ISSN : 1412-2367
SOSIO-RELIGIA
Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial Vol. 8, No.2, Februari 2009
Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial
Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa: Suatu Analisis dengan Pendekatan Fiqh Al-Hadis Mukhsin Nyak Umar Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam (Ke Arah Reformulasi Paradigma Filosofis) H. Akhyak Islam dan Demokrasi (Menelusuri Makna dan Respons Intelektual Muslim) Arsyad Sobby Kesuma Lintasan Pemikiran Ekonomi Islam Akhmad Mujahidin
Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Lingkar Studi Ilmu Agama dan Ilmu Sosial (LinkSAS) Yogyakarta
Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial
ISSN: 1412-2367 Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Pemimpin Redaksi Udiyo Basuki Redaktur Pelaksana Sunarsih Slamet Haryono Tim Redaksi Ahmad Bahiej Budi Ruhiatudin Misnen Ardiansyah Wawan GA Wahid Fuad Arif Fudiyartanto Muyassarotussolichah Ahmad Bunyan Wahib Muhrisun Yasin Baidi Malik Ibrahim Redaktur Ahli Machasin Akh. Minhaji Syamsul Anwar Ainurrofiq Dawam Alamat Redaksi Perum Taman Giwangan Asri I D-12 Telp. (0274) 384835 Yogyakarta E-mail:
[email protected] atau
[email protected]
Diterbitkan oleh: Lingkar Studi Ilmu Agama dan Ilmu Sosial (LinkSAS) LinkSAS (Lingkar Studi Ilmu Agama dan Ilmu Sosial), merupakan sebuah forum diskusi yang membahas seputar kajian agama dan sosial (humaniora). Jurnal SOSIO-RELIGIA telah terakreditasi dengan kategori B oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No. 108/DIKTI/Kep./2007 tanggal 23 Agustus 2007.
Editorial Palestina menangis dan menjerit tapi tak satupun kekuatan di dunia mampu menghentikan kebiadaban tentara Israel yang membantai warga Palestina terutama perempuan dan anak-anak. Tragedi kemanusiaan yang telah menelan korban jiwa lebih dari seribu orang warga Palestina tak berdosa telah membangkitkan simpati dan solidaritas warga dunia terutama umat Islam. Aksi demonstrasi, kecaman, penggalangan dana, pengiriman bantuan hingga mujahidin marak dilakukan dan hampir tiap saat diberitakan di media massa. Tragedi ini dalam jangka panjang tidak hanya masalah korban yang begitu banyak di pihak Palestina dan kekalahan perang dari sebuah negara yang baru muncul dalam peta dunia khususnya tetapi secara umum tragedi ini juga kembali meneguhkan para intelektual Muslim untuk mempertanyakan kembali apa yang oleh Muhammad Abied al-Jabiri disebut turats. Sampai saat ini sudah banyak para tokoh intelektual Muslim memberikan sumbangsih pemikiran dalam rangka rereading, renewal, reacting terhadap bangunan turats tersebut, tapi sumbangsih tersebut baru pada tahap discourse dan belum begitu landing apalagi aplikatif secara massal dan membentuk sebuah sistem. Proses di atas memang akan berjalan lama berdasarkan siklus perjalanan sejarah, tapi kalau proyek di atas berjalan lancar suatu ketika akan bermuara pada suatu penemuan sistem yang established dan kokoh kuat; sebuah peradaban baru yang mampu menjawab sekian problematika yang sedang dihadapi umat Islam. Tesis ini mungkin terkesan klise tapi sampai kapan umat ini harus tergantung pada peradaban Barat yang hingga saat ini selalu memperlakukan secara tidak adil, haruskah umat ini senantiasa menghiba, mengemis, dan merendahkan kehormatan dan harga dirinya sendiri di bawah kaki sebuah peradaban yang angkuh. Selama ini umat Islam tidak sadar bahwa dalam dirinya sebetulnya masih tersimpan potensi yang sangat ditakuti dan dikhawatirkan bahkan selalu menjadi hantu sepanjang sejarah peradaban Barat. Sekadar mengingatkan dan tidak bermaksud untuk romantisme masa lalu, umat ini pernah memiliki sejarah sebagai kaum yang lebih baik mati syahid atau hidup mulia, umat ini pernah juga memiliki kesatuan sistem politik yang membentang panjang dari Asia Tengah, Afrika Barat hingga Eropa. Di era modern sebagian besar minyak, yang menjadi bahan bakar utama segala peralatan tempur canggih di dunia termasuk peralatan tempur Israel, muncul dari dalam perut bumi mayoritas negara-negara Muslim. Persoalannya adalah kenapa potensi tersebut tidak dimanfaatkan kembali
v
sekadar misalnya untuk menjaga kehormatan umat ini dari agresor Zionis Israel? Kelemahan inilah yang sedang dibidik oleh Israel sehingga mereka berani unjuk kekuatan, padahal kalau Liga Arab saja bisa bersatu, bisa satu suara dalam menyikapi agresi Israel terhadap Palestina mereka juga akan berpikir beberapa kali untuk semena-mena terhadap Palestina. Pada perang 1987 antara Israel dengan gabungan Mesir-Suriah, Israel mengalami kekalahan telak hingga beberapa daerah yang pada awalnya dikuasai Israel harus diserahkan kembali kepada Mesir-Suariah seperti Dataran Tinggi Golan. Sayangnya kesatuan tersebut dalam tragedi kali ini tidak muncul, Kerajaan Arab Saudi (KAS) sendiri hanya sangat peka dalam hal internasionalisasi Wahabi atau urusan haji yang jelas mendatangkan keuntungan yang luar biasa besar bagi kerajaannya. Di luar kepentingan tersebut, KAS lebih banyak tunduk terhadap kepentingan Amerika Serikat. Pada saat seperti ini mestinya Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia mampu mengambil alih posisi kepemimpinan negara-negara Muslim untuk menghentikan kekejaman yang dipertontonkan Israel dan sebagian besar rakyat Indonesia pasti mendukung pemerintah dalam hal ini. Semoga Allah s.w.t. memberikan petunjuk dan kekuatan kepada warga Palestina khususnya dan umat Islam umumnya untuk bangkit melawan penjajahan dan pembantaian Israel dan mengusahakan untuk menyeret Israel ke muka sidang Mahkamah Internasional (ICC) yang mengadili tindak pidana kejahatan perang, pemusnahan suatu bangsa, dan kejahatan melawan kemanusiaan di Den Haag Belanda karena telah melakukan pelanggaran HAM berat dalam kondisi perang sekalipun dengan membunuh anak-anak dan perempuan bahkan petugas kemanusiaan termasuk pegawai PBB sendiri, semoga Amin ya rabbal ‘alamin. (
[email protected]) Ralat: Dalam Jurnal SOSORELIGIA Vol. 8 No. 1, November 2008 tertulis judul "Mekanisme Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Pra dan Pasca Undang-undang NO. 3 Tahun 2007 Tentang Peradilan Agama: Antara Peluang dan Tantangan" seharusnya berjudul "...Undang-undang No. 3 Tahun 2006..."
vi
Daftar Isi Editorial
v
Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa: Suatu Analisis dengan Pendekatan Fiqh al-Hadis Mukhsin Nyak Umar
299- 314
Islam dan Demokrasi (Menelusuri Makna dan Respons Intelektual Muslim) Arsyad Sobby Kesuma
315 - 334
Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia Moh. Shofiyul Huda MF
335 - 354
Filsafat Khudhi Muhammad Iqbal: Sebuah Analisis Epistemik Pendidikan dalam Konteks Teori Perubahan Masyarakat Muhmidayeli
355 - 374
Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah terhadap Alat Transaksi Pembayaran Modern) Subhan MA Rachman 375 - 394 Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam Teori Kesehatan Ibnu Sina Khamidinal
395 - 407
Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam Khairunnas Rajab
409 - 424
Lintasan Pemikiran Ekonomi Islam Akhmad Mujahidin
425 - 444
Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syari'ah Muslimin
445 - 457
Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara Untuk Menanggulangi Risiko Sunarsih
459 - 476
Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam (Ke Arah Reformulasi Paradigma Filosofis) H. Akhyak
477 - 496
Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia Nur Ahid
497 - 516
Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Islam Prim Masrokan Mutohar
517 - 536
Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis Nanik Sri Rahayu
537 - 556
Peran Budaya dalam Disain Penelitian Ibnu Qizam
557 - 574
Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi International Criminal Court bagi Terjaminnya HAM di Indonesia Lindra Darnela 575 - 594 Indeks Jurnal
Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa: Suatu Analisis dengan Pendekatan Fiqh al-Hadis Oleh: Mukhsin Nyak Umar* Abstrak Secara hierarkis, hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an karena berfungsi sebagai al-bayan (penjelas) bagi hukum-hukum yang terdapat di dalam Kitab Suci ini. Di antara persoalan yang dijelaskan oleh hadis adalah hal-hal yang boleh dilakukan ketika berpuasa, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam karyanya Fiqh al-Sunnah. Dengan menggunakan analisis fiqh al-hadis terhadap hadis-hadis ini, diketahui bahwa dari sepuluh persoalan yang ada, terdapat dua masalah yang menjadi perdebatan di kalangan ulama, yaitu junub pada pagi puasa dan mencium istri. Perdebatan ini terjadi karena adanya hadis-hadis yang saling bertentangan antara yang membolehkan dan yang melarangnya. Dalam menyikapi perbedaan yang terjadi antara hadis-hadis ini, Sayyid Sabiq menyelesaikannya dengan memakai metode al-jam’u wa al-tawfiq sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa junub pada pagi puasa dan mencium istri termasuk dalam kelompok perbuatan yang diperbolehkan dalam puasa. Kata kunci: puasa, pendekatan fiqh al-hadis A. Pendahuluan Sunnah atau hadis-hadis Nabi saw. merupakan induk dari sekian banyak disiplin ilmu agama. Ilmu ini pernah menjadi mahkota ilmu-ilmu keislaman. Bahkan Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa sunnah dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dan peradaban.1 Pada sisi substansinya kebenaran hadis merupakan bagian integral dari wahyu. Pengingkaran terhadap hadis sama artinya dengan pengingkaran terhadap kebenaran yang bersumber dari Allah sendiri.2 Oleh karena itu, argumen yang dipegangi oleh para penginkar sunnah * Guru Besar di bidang Hukum Islam pada Fakultas Syari'ah IAIN Ar-Raniry dan Dosen Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh. 1 Yusuf al-Qardhawi, Sunnah Rasul; Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban (Terj.) Cet.I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), p. 145-148. Bandingkan dengan Yusuf alQardhawi, Studi Kritis As-Sunnah, (Terj.), Cet.I, (Bandung: Trigenda Karya, 1995), p. 4355. Sunnah dan hadis terkadang dipahami sebagai dua istilah yang berbeda dan kerapkali juga dipandang sama. Meskipun ada yang memahami bahwa sunnah lebih mengarah fi'liyah (perbuatan), sedangkan hadis lebih dipahami sebagai suatu ungkapan verbal Rasul. 2 Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis: Rekontruksi Fiqh al-Hadis (Banda Aceh: Citra Karya, 2002), p. vii.
300
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
bahwa cukuplah hanya berpegang kepada al-Qur'an dengan menafikan sunnah, sangat rapuh dan tidak mempunyai dasar yang kuat. Bukankah segala perkataan dan perbuatan Nabi senantiasa dalam koridor dan kontrol wahyu. Berkaitan dengan hal tersebut, Badruddin az-Zarkasyi (1344-1391) mengklasifikasikan ilmu-ilmu keislaman menjadi tiga bagian; pertama; Ilmu yang telah matang tetapi belum terbakar seperti nahwu (tatabahasa) dan ushul fiqh. Kedua, ilmu yang belum matang belum pula terbakar; seperti sastra dan tafsir. Ketiga, adalah ilmu yang telah matang dan terbakar pula; yaitu fiqih dan hadis.3 Ilmu fiqih dan ilmu hadis dikatakan matang dan terbakar pula karena kedua ilmu ini begitu banyak dibahas oleh para ulama, dan istilahistilah yang digunakan begitu banyak; sehingga tidak jarang setiap ulama mempunyai pengertian yang berbeda dengan ulama lain, walaupun istilah yang digunakan sama.4 Fiqih dapat dikatakan sebagai ilmu yang lahir dari hadis-hadis Nabi s.a.w. Walaupun ulama-ulama fiqih merujuk kepada al-Qur'an seringkali pemahamannya dikaitkan dengan hadis-hadis. Dan meskipun ilmu fiqih lahir dari hadis, namun pandangan dan pemahaman ulama-ulama hadis terhadap hadis, tidak jarang berbeda dengan pandangan ulama fiqh atau ushul fiqih. Ulama hadis misalnya, memandang Nabi Muhammad saw. sebagai teladan, mengarahkan perhatian mereka kepada segala apa saja yang berkaitan dengan pribadi agung itu, baik berkaitan dengan hukum atau tidak. Bahkan mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang dinisbahkan kepadanya, baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Nabi, adalah sunnah. Sementara itu, ulama ushul fiqh membatasi bahasan-bahasan mereka, yang berkenaan dengan Rasul saw. dalam persoalan-persoalan yang dapat dijadikan kaidah-kaidah hukum. Sedangan ulama fiqh membatasi pembahasan mereka yang berkaitan dengan Rasul saw. hanya pada masalah-masalah yang berhubungan dengan perincin hukum syariat, yakni apakah ia wajib, sunnah, haram, makruh atau mubah.5 Mengacu pada perbedaan pandangan tersebut maka dalam memahami sunnah Nabi muncul dua aliran besar yaitu pemahaman secara tekstual dan pemahaman secara kontekstual. Kedua ciri ini sebenarnya telah dikenal bahkan dipraktekkan oleh para sahabat Nabi saw. 3 M. Quriash Shihab, Kata Pengantar dalam Muhammad al-Gazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontesktual (Terj.), Cet.I; (Bandung: Mizan, 1991), p. 8. 4 Ibid. 5 Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
301
Imam al-Qarafi dianggap sebagai orang yang pertama yang memilah ucapan dan sikap Nabi Muhammad saw. Menurutnya, Nabi saw. terkadang berperan sebagai Imam agung, Qadhi (penetap hukum yang bijaksana) juga seorang Mufti yang amat dalam pengetahuannya.6 Pendapat di atas, bagi penganut paham kontekstual dijabarkan dan dikembangkan lebih jauh, sehingga setiap hadis dicari konteksnya, apakah ia diucapkan/diperlukan oleh manusia agung itu dalam kedudukannya sebagai; 1. Rasul, dan karena itu pasti benar, sebab bersumber dari Allah. 2. Mufti, yang memberi fatwa berdasarkan pemahaman dan wewenang yang diberikan Allah swt. kepadanya. Dan ini pun pasti benar serta berlaku umum bagi setiap Muslim. 3. Hakim, yang memutuskan perkara. Dalam hal ini putusan tersebut walaupun secara formal benar, namun secara material adakalanya keliru. Hal ini diakibatkan kemampuan akal salah satu pihak yang bersengketa dalam menutup-nutupi kebenaran, sementara di sisi lain keputusan ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa. 4. Pemimpin suatu masyarakat, yang menyesuaikan sikap, bimbingan dan petunjuknya sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat yang Nabi temui. Dalam hal ini, sikap dan bimbingan tersebut pasti benar dan sesuai dengan masyakaratnya. Namun bagi masyarakat yang lain, mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam petunjuk dan bimbingan itu untuk diterapkan sesuai dengan kondisi masingmasing masyarakat. 5. Pribadi, baik karena ia: (a) memiliki kekhususan dan hak-hak tertentu yang dianugerahkan atau dibebankan oleh Allah dalam rangka tugas kenabian, seperti kewajiban shalat malam atau kebolehan menikahi lebih dari empat orang isteri dalam satu waktu yang bersamaan; maupun karena, (b) kekhususan-kekhususan yang diakibatkan oleh sifat manusia, yang berbeda antara seorang dengan lain, seperti perasaan suka atau tidak suka terhadap sesuatu. Terkait dengan persoalan terakhir ini tidak menjadi fokus perhatian utama mereka yang menitikberatkan pandangan ucapan atau sikap yang berkaitan dengan hukum.7 6
Ibid., p. 9 Ibid., p. 10. Dalam memahami hadis-hadis yang kemungkinan tekstual dan kontekstual, universal, temporal, lokal, makna hakiki dan majazi, latar belakang, kondisi dan tujuan hadis tersebut diungkapkan oleh Rasul dapat dibaca dalam Yusuf Qardhawi, Studi... op. cit., p. 143-186. Juga Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), p. 9-21. 7
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
302
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
Dengan demikian pemahaman terhadap sunnah atau hadis-hadis Rasullah saw. sangat urgen dalam menjabarkan ajaran-ajaran Islam dalam bentuk hukum dan seluruh segi kehidupan manusia. Tulisan ini akan menjawab pertanyaan bagaimana pemahaman ulama dalam memandang hadis-hadis Rasulullah saw. mengenai masalah hal-hal yang diperbolehkan dalam puasa. B. Pembahasan 1. Junub dan Menyelam dalam air Mengenai junub Sayyid Sabiq berpegang pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang sanadnya berasal dari Aisyah ra;
ﻤ ﹺﻦ ﺑـ ﹺﻦ ﺣ ﺮ ﺪ ﺍﻟـ ﺒﻋ ﺑ ﹾﻜ ﹺﺮ ﺑ ﹺﻦ ﻮﻟﹶﻰ ﹶﺃﺑﹺﻲ ﻣ ﻲ ﻤ ﺳ ﻦ ﻋ ﻚ ﻟﺎﺪﹶﺛﻨﹺﻲ ﻣ ﺣ ﻴ ﹸﻞ ﻗﹶﺎ ﹶﻝﺎﻋﺳﻤ ﺎ ﹺﺇﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺖ ﺒﻫ ﻭﹶﺃﺑﹺﻲ ﹶﻓ ﹶﺬ ﺎﺖ ﹶﺃﻧ ﻨﻤ ﹺﻦ ﹸﻛ ﺣ ﺮ ﺪ ﺍﻟ ﺒﻋ ﻦ ﺑ ﺑ ﹾﻜ ﹺﺮ ﺎﻊ ﹶﺃﺑ ﻤ ﺳ ﻪ ﻧﺓ ﹶﺃ ﲑ ﻐ ﺑ ﹺﻦ ﺍ ﹸﳌ ﺎ ﹺﻡﻫﺸ ﺑ ﹺﻦ ﺙ ﺍﳊﹶﺎ ﹺﺭ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠـ ﻪ ﻮ ﹺﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﻋﻠﹶﻰ ﺪ ﻬ ﺷ ﺖ ﹶﺃ ﺎ ﻗﹶﺎﹶﻟﻨﻬﻋ ﻪ ﻲ ﺍﻟﱠﻠ ﺿ ﺭ ﺸ ﹶﺔ ﺋﺎﻋﻠﹶﻰ ﻋ ﺎﺧ ﹾﻠﻨ ﺩ ﻰﺣﺘ ﻪ ﻌ ﻣ ﻡ ﻋﻠﹶﻰ ﹸﺃ ﺎﺧ ﹾﻠﻨ ﺩ ﻢ ﻪ ﹸﺛ ﻣ ﻮﻳﺼ ﻢ ﺘﻠﹶﺎ ﹴﻡ ﹸﺛﺣ ﻴ ﹺﺮ ﺍﻉ ﹶﻏ ﺎ ﹴﻦ ﹺﺟﻤ ﻣ ﺎﻨﺒﺟ ﺢ ﺼﹺﺒ ﻴﻢ ﹺﺇ ﹾﻥ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻟ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ 8 ﻚ ﻟﻣﹾﺜ ﹶﻞ ﹶﺫ ﺖ ﻤ ﹶﺔ ﹶﻓﻘﹶﺎﹶﻟ ﺳﹶﻠ Dari Aisyah ra. berkata: "Sunngguh saya telah menyaksikan Nabi s.a.w. diwaktu subuh berada dalam keadaan junub karena berjima', bukan disebabkan oleh mimpi kemudian beliau berpuasa, kemudian kami kompirmasi kepada Ummi Salamah dia mengatakan seperti itu juga. (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan agak sedikit berbeda meskipun substansinya sama;
ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻪ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﺖ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺸ ﹶﺔ ﻗﹶﺎﹶﻟ ﺋﺎﻦ ﻋ ﻋ ﻋﻄﹶﺎ ٍﺀ ﻦ ﻋ ﺝ ﺎﺣﺠ ﺎﺮﻧ ﺒﺧ ﺪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃ ﻳﺰﹺﻳ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻚ ـﻴ ﹶﺔ ﹶﺫﻟﻘ ﺑ ﻡ ﻮﻳﺼ ﻢ ﺮ ﹸﺛ ﻳ ﹾﻘ ﹸﻄ ﻪ ﺳ ﺭﹾﺃ ﻭ ﺝ ﺮ ﺧ ﻭ ﺴ ﹶﻞ ﺘﻡ ﺍ ﹾﻏ ﻡ ﹶﻓﹺﺈﺫﹶﺍ ﻗﹶﺎ ﺎﻳﻨ ﻢ ﺐ ﹸﺛ ﻨﺠ ﻳ ﻢ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ 9 ﻮ ﹺﻡ ﻴﺍﹾﻟ Dari Aisyah ra. berkata; Rasulullah s.a.w. dalam keadaan junub kemudian ia tidur, ketika bangun segera ia mandi, lalu ia berpuasa pada pagi hari. (HR. Ahmad).
8 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Mughirah al-Bukhary, Shahih Bukhrary, Jilid III, (Beirut: Maktabah al-Tsaqafiyah, t.th.), p. 69. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim, lihat Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy alNaisabury, Shahih Muslim, Jilid II, (al-Qahirah: Dar al-Hadis, 1991), p. 777. 9 Riwayat Ahmad bin Hanbal, hadis No. 24319, lihat CD hadis.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
303
Terdapat riwayat yang berbeda dengan hadis-hadis tersebut di atas, meskipun hal ini tidak disebutkan oleh Sayyid Sabiq, yaitu:
ﺪ ـﺤﻤ ﻣ ﺪﹶﺛﻨﹺﻲ ﺣ ﻳ ﹴﺞ ﺡ ﻭﺮ ﺟ ﺑ ﹺﻦﻦ ﺍ ﻋ ﺪ ﻴﺳﻌ ﻦ ﺑ ﻰﺤﻴ ﻳ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺗ ﹴﻢﺎﻦ ﺣ ﺑ ﺪ ﻤ ﺤ ﻣ ﺪﹶﺛﻨﹺﻲ ﺣ ﻚ ﻠﻤ ﺪ ﺍﹾﻟ ﺒﻋ ﺮﻧﹺﻲ ﺒﺧ ﻳ ﹴﺞ ﹶﺃﺮ ﺟ ﻦ ﺑﺎ ﺍﺮﻧ ﺒﺧ ﺎ ﹴﻡ ﹶﺃﻫﻤ ﻦ ﺑ ﻕ ﺍ ﹺﺮﺯ ﺪ ﺍﻟ ﺒﻋ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻪ ﻆ ﹶﻟ ﺍﻟﱠﻠ ﹾﻔ ﹸﻓ ﹴﻊ ﻭﺍﻦ ﺭ ﺑ ﺺ ﻳ ﹸﻘ ﻪ ﻨﻋ ﻪ ﻲ ﺍﻟﱠﻠ ﺿ ﺭ ﺮ ﹶﺓ ﻳﺮ ﻫ ﺎﺖ ﹶﺃﺑ ﻌ ﻤ ﺳ ﺑ ﹾﻜ ﹴﺮ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻦ ﹶﺃﺑﹺﻲ ﻋ ﻤ ﹺﻦ ﺣ ﺮ ﺪ ﺍﻟ ﺒﻋ ﺑ ﹺﻦ ﺑ ﹾﻜ ﹺﺮ ﻦ ﹶﺃﺑﹺﻲ ﺑ ـ ﹺﻦﻤ ﹺﻦ ﺑ ﺣ ﺮ ﺪ ﺍﻟ ﺒﻌ ﻟ ﻚ ﻟﺕ ﹶﺫ ﺮ ﻢ ﹶﻓ ﹶﺬ ﹶﻛ ﺼ ﻳ ﺎ ﹶﻓﻠﹶﺎﻨﺒﺟ ﺮ ﺠ ﻪ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ﺭ ﹶﻛ ﺩ ﻦ ﹶﺃ ﻣ ﻪ ﺼ ﺼ ﻲ ﹶﻗﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﻓ ﺸ ﹶﺔ ﺋﺎﻋﻠﹶﻰ ﻋ ﺎﺧ ﹾﻠﻨ ﺩ ﻰﺣﺘ ﻪ ﻌ ﻣ ﺖ ﻧ ﹶﻄﹶﻠ ﹾﻘﺍﻤ ﹺﻦ ﻭ ﺣ ﺮ ﺪ ﺍﻟ ﺒﻋ ﻖ ﻧ ﹶﻄﹶﻠﻚ ﻓﹶﺎ ﻟﺮ ﹶﺫ ﻧ ﹶﻜﻪ ﹶﻓﹶﺄ ﻟﹶﺄﺑﹺﻴ ﺙ ﺎ ﹺﺭﺍﹾﻟﺤ ﺖ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺎ ﻗﹶﺎﹶﻟﻫﻤ ﺎﻜ ﹾﻠﺘ ﻚ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻓ ﻟﻦ ﹶﺫ ﻋ ﻤ ﹺﻦ ﺣ ﺮ ﺪ ﺍﻟ ﺒﻋ ﺎﻬﻤ ﺴﹶﺄﹶﻟ ﺎ ﹶﻓﻬﻤ ﻨﻋ ﻪ ﻲ ﺍﻟﱠﻠ ﺿ ﺭ ﻤ ﹶﺔ ﺳﹶﻠ ﻡ ﻭﹸﺃ ـﻰﺣﺘ ـﺎﻧ ﹶﻄﹶﻠ ﹾﻘﻨﻡ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻓﹶﺎ ﻮﻳﺼ ﻢ ﺣﹸﻠ ﹴﻢ ﹸﺛ ﻴ ﹺﺮﻦ ﹶﻏ ﻣ ﺎﻨﺒﺟ ﺢ ﺼﹺﺒ ﻳ ﻢ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻲ ﻨﹺﺒﺍﻟ ـﺎﻚ ﹺﺇﻟﱠـﺎ ﻣ ﻴﻋﹶﻠ ﺖ ﻣ ﺰ ﻋ ﺍ ﹸﻥﺮﻭ ﻣ ﻤ ﹺﻦ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﺣ ﺮ ﺪ ﺍﻟ ﺒﻋ ﻪ ﻚ ﹶﻟ ﻟﺮ ﹶﺫ ﺍ ﹶﻥ ﹶﻓ ﹶﺬ ﹶﻛﺮﻭ ﻣ ﻋﻠﹶﻰ ﺎﺧ ﹾﻠﻨ ﺩ ﺮ ـﺎﺿﺑ ﹾﻜ ﹴﺮ ﺣ ﻮﻭﹶﺃﺑ ﺮ ﹶﺓ ﻳﺮ ﻫ ﺎﺎ ﹶﺃﺑﺠﹾﺌﻨ ﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻓ ﹺ ﺎﻪ ﻣ ﻴﻋﹶﻠ ﺕ ﺩ ﺩ ﺮ ﺮ ﹶﺓ ﹶﻓ ﻳﺮ ﻫ ﺖ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﹶﺃﺑﹺﻲ ﺒﻫ ﹶﺫ ﻢ ﻗﹶـﺎ ﹶﻝ ﻌ ﻧ ﻚ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻩ ﹶﻟ ﺎﺎ ﻗﹶﺎﹶﻟﺘﻫﻤ ﺮ ﹶﺓ ﹶﺃ ﻳﺮ ﻫ ﻮﻤ ﹺﻦ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃﺑ ﺣ ﺮ ﺪ ﺍﻟ ﺒﻋ ﻪ ﺮ ﹶﻟ ﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻓ ﹶﺬ ﹶﻛ ﻚ ﹸﻛﱢﻠ ﻟﹶﺫ ـﻮﺱ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃﺑ ﺎ ﹺﻌﺒ ﺑ ﹺﻦ ﺍﹾﻟ ﻀ ﹺﻞ ﻚ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ﻟﻲ ﹶﺫﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﻓ ﺎ ﻛﹶﺎ ﹶﻥﺮ ﹶﺓ ﻣ ﻳﺮ ﻫ ﻮﺩ ﹶﺃﺑ ﺭ ﻢ ﻢ ﹸﺛ ﻋﹶﻠ ﺎ ﹶﺃﻫﻤ ﻊ ﺟ ﺮ ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻓ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻲ ﻨﹺﺒﻦ ﺍﻟ ﻣ ﻪ ﻌ ﻤ ﺳ ﻢ ﹶﺃ ﻭﹶﻟ ﻀ ﹺﻞ ﻦ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ﻣ ﻚ ﻟﺖ ﹶﺫ ﻌ ﻤ ﺳ ﺮ ﹶﺓ ﻳﺮ ﻫ ﻚ ﻟﺎ ﹶﻥ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻛﹶـ ﹶﺬﻣﻀ ﺭ ﻲﺎ ﻓﻚ ﹶﺃﻗﹶﺎﹶﻟﺘ ﻠﻤ ﺪ ﺍﹾﻟ ﺒﻌ ﻟ ﺖ ﻚ ﹸﻗ ﹾﻠ ﻟﻲ ﹶﺫﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﻓ ﺎ ﻛﹶﺎ ﹶﻥﻋﻤ ﺮ ﹶﺓ ﻳﺮ ﻫ ﻮﹶﺃﺑ 10 ﻡ ﻮﻳﺼ ﻢ ﺣﹸﻠ ﹴﻢ ﹸﺛ ﻴ ﹺﺮﻦ ﹶﻏ ﻣ ﺎﻨﺒﺟ ﺢ ﺼﹺﺒ ﻳ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ Hadis di atas menerangkan bahwa Abu Hurairah memahami bahwa jika seseorang dalam keadaan junub pada saat subuh ramadhan maka puasanya batal. Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa terdapat beberapa tabiin yang mengamalkan pendapat Abu Hurairah tersebut. Ibnu Baththal mengatakan bahwa ini adalah salah satu ucapan Abu Hurairah, namun Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan tidak benar jika hadis ini berasal dari Abu Hurairah. Karena Ibnu Munzir meriwayatkannya dari Abu Hurairah melalui jalur Abu Muhzam, salah seorang perawi yang dhaif.11 Jika diperhatikan riwayat hadis dari Abu Hurairah kelihatannya ada keterangan bahwa ketika pendapat Abu Hurairah dikonfirmasikan dengan Aisyah dan Ummu Salamah, Abu Hurairah langsung mengatakan mereka 10
Muslim, Ibid., p. 889. Muhammad Ali bin Muhammad As-Syaukani, Nailul Authar: Syarah Munthaqa al-Akhbar Min Ahadis Sayyid Akhyar, Juz III, (Beirut: Darul Khalil, t.t.), p. 213. 11
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
304
berdualah yang lebih mengetahui apa yang dilakukan oleh Nabi.12 Ia juga mengatakan bahwa saya tidak mendengarnya langsung dari Nabi s.a.w., lalu Abu Hurairah menarik kembali fatwanya. Meskipun terdapat perbedaan riwayat, ada ulama yang melakukan kompromi atau al-jam'u wa al-tawfiq. Menurut mereka, perintah dalam hadis Abu Hurairah merupakan perintah yang bersifat petunjuk tentang yang lebih baik. Jadi orang yang berhadas besar pada malam hari di bulan Ramadhan, sebaiknya dia memang mandi sebelum datangnya waktu fajar. Tetapi kalau umpamanya dia tidak mandi, maka boleh saja. Sedangkan hadis Aisyah hanya menerangkan tentang kebolehannya.13 Berkenaan dengan "menyelam" berdasarkan dalil yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan beberapa sahabat dari Nabi s.a.w. yang bercerita kepadanya:
ﺸ ﹶﺔ ﻭ ﻗﹶـﺎ ﹶﻝ ﺋﺎﻦ ﻋ ﻋ ﻴ ﹴﻖﺷﻘ ﺑ ﹺﻦ ﻪ ﺪ ﺍﻟﱠﻠ ﺒﻋ ﻦ ﻋ ﺏ ﻮﻦ ﹶﺃﻳ ﻋ ﺪ ﻴﺳﻌ ﻦ ﻋ ﺏ ﺎ ﹺﻮﻫ ﺪ ﺍﹾﻟ ﺒﻋ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻦ ـﺐ ﻣ ﻴﻳﺼ ﻢ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻲ ﻨﹺﺒﺱ ﹶﺃ ﱠﻥ ﺍﻟ ﺎ ﹴﻋﺒ ﺑ ﹺﻦﻋ ﹺﻦ ﺍ ﻑ ﺨﻔﱠﺎ ﻯ ﺍﹾﻟﺧﺮ ﺮ ﹰﺓ ﹸﺃ ﻣ 14 ﻢ ﺋﺎﻮ ﺻ ﻫ ﻭ ﺱ ﺮﺀُﻭ ﹺ ﺍﻟ Dari Ibnu Abbas berkata; "Sungguh, saya telah melihat Rasulullah s.a.w. menimpakan air ke atas kepalanya sewaktu ia berpuasa. (HR. Ahmad, Malik, Abu Dawud dengan sanad yang sah).
Ditambahkan pula jika air ini masuk ke dalam rongga perut orang yang berpuasa tanpa disengaja, maka puasanya tetap sah. Pada masalah ini tampaknya tidak ada masalah, sebab tidak terdapat riwayat yang berbeda. 2.
Mencium
Mencium isteri tidak membatalkan puasa bagi orang yang sanggup menahan dan menguasai syahwat atau nafsunya. Hal ini berdasarkan hadis yang telah diakui yang bersumber dari Aisyah:
ﻦ ـﺩ ﻋ ﻮ ـﻦ ﺍﹾﻟﹶﺄﺳ ﻋ ﻢ ﻴﺍﻫﺑﺮﻦ ﹺﺇ ﻋ ﺤ ﹶﻜ ﹺﻢ ﻦ ﺍﹾﻟ ﻋ ﺒ ﹶﺔﻌ ﺷ ﻦ ﻋ ﺏ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺮ ﹴ ﺣ ﻦ ﺑ ﺎ ﹸﻥﻴﻤﺳﹶﻠ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻢ ﺋﺎﻮ ﺻ ﻫ ﻭ ﺮ ﺷ ﺎﻳﺒﻭ ﺒ ﹸﻞﻳ ﹶﻘ ﻢ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻲ ﻨﹺﺒﺖ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺍﻟ ﺎ ﻗﹶﺎﹶﻟﻨﻬﻋ ﻪ ﻲ ﺍﻟﱠﻠ ﺿ ﺭ ﺸ ﹶﺔ ﺋﺎﻋ
12
Ibid. Ibid., p. 214. 14 Riwayat Ahmad bin Hanbal, hadis No. 25088, lihat CD hadis.
13
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
305
ﺔ ـﺭﺑ ﻲ ﺍﹾﻟﹺﺈﻴ ﹺﺮ ﺃﹸﻭﻟﺱ ﹶﻏ ﻭ ﺟ ﹲﺔ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻃﹶﺎ ﺎﺏ ﺣ ﺂ ﹺﺭﺱ ﻣ ﺎ ﹴﻋﺒ ﻦ ﺑﻭﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺍ ﻪ ﺭﹺﺑ ﻟﹺﺈ ﻢ ﻣﹶﻠ ﹶﻜ ﹸﻜ ﻭﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﺃ 15 ﺎ ِﺀﻨﺴﻲ ﺍﻟﻪ ﻓ ﺟ ﹶﺔ ﹶﻟ ﺎﻖ ﻟﹶﺎ ﺣ ﻤ ﺣ ﺍﹾﻟﹶﺄ Dari Aisyah ra. berkata: "Nabi saw. biasa mencuim diwaktu sedang berpuasa, dan bersentuhan dikala berpuasa, dan beliau adalah orang yang paling mampu menguasai nafsunya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis yang kedua bersumber dari Umar bin Khattab ra. ia berkata;
ﺎﹺﺑ ﹺﺮﻦ ﺟ ﻋ ﻱ ﺎ ﹺﺭﻧﺼﺪ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﻴﺳﻌ ﺑ ﹺﻦ ﻚ ﻠﻤ ﺪ ﺍﹾﻟ ﺒﻋ ﻦ ﻋ ﺮ ﻴﺑ ﹶﻜ ﺪﹶﺛﻨﹺﻲ ﺣ ﺚ ﻴ ﹲﺎ ﹶﻟﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺝ ﺎﺣﺠ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ـﺎﻭﹶﺃﻧ ﺖ ﺒ ﹾﻠﺎ ﹶﻓ ﹶﻘﻮﻣ ﻳ ﺖ ﺸ ﺸ ﻫ ﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻧﻪ ﹶﺃ ﻨﻋ ﻪ ﻲ ﺍﻟﱠﻠ ﺿ ﺭ ﺏ ﺨﻄﱠﺎ ﹺ ﺑ ﹺﻦ ﺍﹾﻟ ﺮ ﻤ ﻋ ﻦ ﻋ ﻪ ﺪ ﺍﻟﱠﻠ ﺒﻋ ﺑ ﹺﻦ ﺖ ﺒ ﹾﻠﺎ ﹶﻗﻴﻤﻋﻈ ﺍﻣﺮ ﻡ ﹶﺃ ﻮ ﻴﺖ ﺍﹾﻟ ﻌ ﻨﺻ ﺖ ﻢ ﹶﻓ ﹸﻘ ﹾﻠ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻪ ﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﺖ ﻴﺗﻢ ﹶﻓﹶﺄ ﺋﺎﺻ ﺖ ـﻭﹶﺃﻧ ﺎ ٍﺀﺖ ﹺﺑﻤ ﻀ ﻤ ﻀ ﻤ ﺗ ﻮ ﺖ ﹶﻟ ﻳﺭﹶﺃ ﻢ ﹶﺃ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻪ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﻢ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﺋﺎﺎ ﺻﻭﹶﺃﻧ 16 ﻢ ﻴﻢ ﹶﻓﻔ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻪ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﻚ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﻟﺱ ﹺﺑ ﹶﺬ ﺑ ﹾﺄ ﺖ ﻟﹶﺎ ﻢ ﹶﻓ ﹸﻘ ﹾﻠ ﺋﺎﺻ Dari Umar bin Khattab ra. berkata: "Pada suatu hari bangkitlah birahi saya, maka saya cium –isteri saya— sedang saya berpuasa. Lalu saya temui Nabi s.a.w. kata saya kepadanya. "Hari ini saya telah melakukan hal berat, saya mencium padahal saya berpuasa. Maka Rasulullah s.a.w. berkata: "Bagaimana pendapat Anda, jika Anda berkumur-kumur sedang ketika itu Anda berpuasa"? Saya berkata; "Itu tidak apaapa. Sabda Nabi pula; "Maka kenapa Anda tanyakan lagi. (HR. Ahmad bin Hanbal).
Selain itu, terdapat dua riwayat yang nampaknya bertentangan dengan kedua hadis tersebut di atas. Riwayat tersebut disebutkan dalam alMuwaththa' Imam Malik yang berasal dari Ibnu Umar.
ﺓ ﺮ ـﺎﺷﻤﺒ ﺍﹾﻟﺔ ﻭ ﺒﹶﻠﻦ ﺍﹾﻟ ﹸﻘ ﻋ ﻰﻨﻬﻳ ﺮ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻤ ﻋ ﻦ ﺑ ﻪ ﺪ ﺍﻟﱠﻠ ﺒﻋ ﻓ ﹴﻊ ﹶﺃ ﱠﻥﺎﻦ ﻧ ﻋ ﻚﺎﻟﻦ ﻣ ﻋ ﺪﹶﺛﻨﹺﻲ ﺣ ﻭ 17 ﻢﺎﺋﻠﺼﻟ Malik menerima dari Nafi', ia menerima dari Abdullah bin Umar bahwasannya melarang untuk mencium dan memeluk (isteri) pada saat berpuasa. (HR. Malik).
ﺌ ﹶﻞﺳ ﺱ ﺎ ﹴﻋﺒ ﻦ ﺑ ﻪ ﺪ ﺍﻟﱠﻠ ﺒﻋ ﺎ ﹴﺭ ﹶﺃ ﱠﻥﻳﺴ ﺑ ﹺﻦ ﻋﻄﹶﺎ ِﺀ ﻦ ﻋ ﻢ ﺳﹶﻠ ﺑ ﹺﻦ ﹶﺃ ﺪ ﻳﺯ ﻦ ﻋ ﻚﺎﻟﻦ ﻣ ﻋ ﺪﹶﺛﻨﹺﻲ ﺣ ﻭ 18 ﺏ ﺎﻠﺸﺎ ﻟﻫﻬ ﻭ ﹶﻛ ﹺﺮ ﻴ ﹺﺦﺸ ﻠﺎ ﻟﻴﻬﺺ ﻓ ﺧ ﺭ ﺋ ﹺﻢ ﹶﻓﹶﺄﺎﻠﺼﺔ ﻟ ﺒﹶﻠﻦ ﺍﹾﻟ ﹸﻘ ﻋ 15 Al-Bukhary, Shahih Bukhrary.... Muslim, Shahih Muslim.... Pada Bukhari meriwayatkan dengan tiga riwayat sedangkan pada Muslim terdapat tiga belas riwayat dengan beragam sanad. 16 Riwayat Ahmad bin Hanbal, No. 350, lihat CD hadis. 17 Riwayat Malik, hadis No. 505, lihat CD hadis. 18 Riwayat Malik, hadis No. 574, lihat CD hadis.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
306
Dua hadis yang terakhir disebutkan di atas merupakan hadis yang menjadi pegangan oleh Imam Malik sebagaimana diriwayatkan dalam alMuwaththa'. Namun demikian jika diperhatikan hadis tersebut tidak marfu —tetapi mauquf atau bersumber dari sahabat—dan tidak muttashil sampai kepada Rasul, sebab hadis tersebut hanya sampai kepada Ibnu Umar atau thabaqat sahabat. Hadis ini adalah satu-satunya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik. Selain hadis di atas, Abu Dawud juga meriwayatkan hadis yang melarang tidur bersama dalam keadaan berpuasa yang bersumber dari Abu Hurairah:
ﺲ ﺒ ﹺـﻌﻨ ﻦ ﹶﺃﺑﹺﻲ ﺍﹾﻟ ﻋ ﻴ ﹸﻞﺍﺋﺳﺮ ﺎ ﹺﺇﺮﻧ ﺒﺧ ﻱ ﹶﺃ ﻴ ﹺﺮﺑﺰ ﻌﻨﹺﻲ ﺍﻟ ﻳ ﺪ ﻤ ﺣ ﻮ ﹶﺃﺎ ﹶﺃﺑﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻲ ﻠﻋ ﻦ ﺑ ﺮ ﺼ ﻧ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺓ ﺮ ـﺎﺷﻤﺒ ﻦ ﺍﹾﻟ ـﻢ ﻋ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻲ ﻨﹺﺒﺳﹶﺄ ﹶﻝ ﺍﻟ ﺟﻠﹰﺎ ﺭ ﺮ ﹶﺓ ﹶﺃ ﱠﻥ ﻳﺮ ﻫ ﻦ ﹶﺃﺑﹺﻲ ﻋ ﺮ ﻦ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﹶﻏ ﻋ ﻩ ـﺎﻧﻬ ﻱﺍﻟﱠـﺬﺦ ﻭ ﻴﺷ ﻪ ﺺ ﹶﻟ ﺧ ﺭ ﻱﻩ ﹶﻓﹺﺈﺫﹶﺍ ﺍﱠﻟﺬ ﺎﻨﻬﻪ ﹶﻓ ﺴﹶﺄﹶﻟ ﺮ ﹶﻓ ﺧ ﻩ ﺁ ﺎﻭﹶﺃﺗ ﻪ ﺺ ﹶﻟ ﺧ ﺮ ﺋ ﹺﻢ ﹶﻓﺎﻠﺼﻟ 19 ﺏ ﺎﺷ Dari Abu Hurairah: Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang tidur bersama (isteri) bagi orang yang sedang berpuasa. Beliau memberikan keringanan kepadanya. Dan datang lagi orang lain. tapi beliau melarangnya. Adapun orang yang diberinya keringanan tadi ialah karena dia sudah tua. Sedang yang dilarangnya karena dia masih muda. (HR. Abu Dawud).
Dari beberapa riwayat tersebut ada perbedaan riwayat yang berasal dari empat sahabat Rasulullah s.a.w. Aisyah dan Umar bin Khattab mengatakan bahwa Nabi membolehkan mencium isteri pada bulan ramadhan dalam keadaan puasa. Sedangkan Ibnu Umar dan Abu Hurairah sebagaimana disebutkan oleh Malik, melarang perbuatan tersebut. Sedangkan pada riwayat Abu Dawud yang juga berasal dari Abu Hurairah terdapat dua pilihan hukum sesuai dengan subyek atau orang yang bertanya, bagi pemuda hal tersebut terlarang sedangkan bagi orang tua hal tersebut menjadi keringanan. Pada riwayat Aisyah terdapat beberapa redaksi yang sedikit berbeda dalam konteks matan, meskipun secara substansi hadis maknanya sama. Inilah apa yang disebut sebagai periwayatan bi al-makna. Artinya sahabat menerima redaksinya tidak semuanya sama. Karena salah satu ciri dari hadis ahad dan masyhur adalah adanya periwayatan makna. Apalagi bukan hanya periwayatan makna tetapi ada periwayatan yang berbeda seperti telah disebutkan.
19
Riwayat Abu Dawud, hadis No. 2039, lihat CD hadis.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
307
Konsekuensi logis dari periwayatan bi al-makna dan perbedaan riwayat menimbulkan perbedaan pemahaman selanjutnya perbedaan pelaksanaan. Hal ini yang menimbulkan keragaman dalam memahami sunnah atau sering disebut tanawwu' fil ibadah. Hal tersebut yang menyebabkan perbedaan pandangan di antara ulama mazhab. Ibnu Hajar al-Asqallani mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara orang yang melakukan itu seorang pemuda atau orang tua. Seperti yang diriwayatkan oleh 'Aisyah.20 Imam an-Nawawi menambahkan bahwa mencium isteri pada saat berpuasa tidak haram jika tidak disertai dengan syahwat, akan tetapi lebih baik jika ditinggalkan. Jika disertai dengan syahwat maka hukumnya haram, pandangan lebih kuat ada juga yang berpendapat makruh.21 Ibnu Munzir berkata bahwa Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Aisyah, Atha', Sya'bi, Hasan, Ahmad dan Ishak memberi keringanan atau rukhsah dalam hal mencium. Sedangkan menurut golongan Hanafi dan Syafi'i, hukumnya makruh jika merangsang syahwat atau nafsu seks seseorang dan jika tidak merangsang maka tidaklah makruh, tetapi lebih utama meninggalkannya.22 Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara orang yang telah tua dengan anak muda, karena yang diperhatikan ialah timbulnya rangsangan dan kemungkinan keluarnya sperma. Maka jika ia membangkitkan syahwat seorang anak muda atau seorang tua yang masih bertenaga, maka hukumnya makruh. Sebaliknya jika tidak ada pengaruh, misalnya terhadap seseorang yang telah lanjut usia atau seseorang pemuda yang lemah tenaganya, maka tidak makruh, tetapi lebih baik ditinggalkan. Juga tidak ada bedanya, apakah mencium itu pipi atau di mulut dan lain-lainnya. Demikian pula halnya dengan tangan atau berpelukan, hukumnya sama dengan mencium.23 Menurut Imam Syafi'i bahwa perbuatan tersebut hukumnya makruh jika disertai dengan syahwat yang kuat. Tapi tidak sampai membatalkan puasa seperti riwayat Imam Malik. Ini menunjukkan kehati-hatian pendapat as-Syafi'i yang lebih mengutamakan untuk menghindari perbuatan tersebut bahkan mengatakan bahwa makruh untuk dilakukan. Meskipun Abu Hanifa menganggapnya tidak makruh.24 20
Ibnu Hajar al-Asqallani, Fathu al-Bary Syarah Sahih al-Bukhary, Jilid IV, (Beirut: Dar al-kutub al-Alami, 1996), p. 191. 21 Ibid. 22 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cet., II Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), p. 341. 23 Ibid. 24 Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh Islamiy Wa Adillatuhu, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr Al-Ashr, 2002), p. 1692. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
308
Pandangan Imam Syafi'i di atas dapat dipahami dimana ia menggunakan metode al-jam'u dan tawfiq yaitu menggabungkan antara riwayat yang berbeda yang berasal dari 'Aisyah-Umar pada satu sisi dan Ibnu Umar-Abu Hurairah pada sisi lain. Metode inilah yang paling tepat dan paling pertama harus dilakukan dalam menyelesaikan hadis-hadis yang nampaknya bertentangan. Perbedaan riwayat dari persoalan ini menunjukkan bahwa pemahaman sahabat dan tabi'in terhadap sunnah sangat beragam. Dengan demikian menjunjung tinggi keragaman dalam praktek ibadah atau tanawwu fil ibadah sangat urgen. Tanpa mengklaim salah satu pendapat yang dianggap paling benar dengan menyalahkan pendapat yang lain. 3.
Memakai Celak dan Meneteskan Obat atau Lain-lain ke dalam Mata
Memakai celak dan meneteskan obat atau lain-lain ke dalam mata walaupun terasa dalam kerongkongan atau tidak, karena mata bukanlah jalan masuk ke rongga perut tidak membatalkan puasa. Pandangan seperti ini berasal dari berita Anas, bahwa ia sendiri memakai celak waktu berpuasa.25 Pendapat ini merupakan pandangan mazhab Syafi'i, Ibnu Munzir, Atha', Hasan, Nakha'i, Auza'i, Abu Hanifah dan Abu Tsaur. Juga diriwayatkan dari pendapat Ibnu Umar, Anas dan Ibnu Abi Aufa dari golongan sahabat, Abu Dawud, yang mengatakan bahwa tidak ada keterangan yang sah mengenai soal ini sebagaimana dikatakan oleh Turmudzi.26 Nampaknya Sayyid Sabiq hanya menggunakan riwayat atau pendapat para sahabat, tidak menggunakan hadis atau riwayat yang bersumber langsung kepada Rasulullah saw. Langkah ini dilakukan sebab menurutnya memang tidak terdapat keterangan mengenai hal tersebut. Pendapat sahabat biasanya dipakai oleh para ulama jika tidak ada keterangan dari al-Qur'an dan sunnah. 4.
Injeksi atau Suntikan
Melakukan injeksi atau suntikan ke dalam makanan atau lainnya, dan sama saja halnya apakah ke dalam urat atau ke bawah kulit. Walaupun akhirnya yang disuntikkan itu sampai juga ke dalam perut, tetapi masuk bukanlah dari jalan yang biasa (mulut). Hal ini tidak membatalkan puasa.
25 26
Ibid. Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
309
Demikian pula dengan kasus inpus, atau memasukan obat kepada orang yang sakit. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika inpus itu berupa makanan yang telah larut dalam air. Dalam kondisi seperti ini lebih baik seseorang itu menggugurkan puasanya, sebab ia dalam keadaan sakit, sedangkan orang yang sakit tidak diwajibkan untuk berpuasa. 5.
Berbekam
Berbekam yakni mengeluarkan darah dari bagian kepala. Nabi s.a.w. sendiri pernah berbekam padahal ia sedang berpuasa sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari. Kecuali bila berbekam itu akan melemahkan orang yang berpuasa, maka bila demikian, hukumnya makruh. Tsabit al-Banani bertanya kepada Anas;
ﻦ ـﺲ ﺑ ـﺌ ﹶﻞ ﹶﺃﻧﺳ ﻲ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺎﹺﻧﺒﻨﺎ ﺍﹾﻟﺖ ﺛﹶﺎﹺﺑﺘ ﻌ ﻤ ﺳ ﺒ ﹸﺔ ﻗﹶﺎ ﹶﻝﻌ ﺷ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺱ ﺎ ﹴﻦ ﹶﺃﺑﹺﻲ ﹺﺇﻳ ﺑ ﻡ ﺩ ﺎ ﺁﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻒ ﻌ ـﺟ ﹺﻞ ﺍﻟﻀ ﻦ ﹶﺃ ﻣ ﺋ ﹺﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻟﹶﺎ ﹺﺇﻟﱠﺎﺎﻠﺼﻣ ﹶﺔ ﻟ ﺎﺤﺠ ﻮ ﹶﻥ ﺍﹾﻟﺮﻫ ﺗ ﹾﻜ ﻢ ﺘﻨﻪ ﹶﺃ ﹸﻛ ﻨﻋ ﻪ ﻲ ﺍﻟﱠﻠ ﺿ ﺭ ﻚ ﻟﺎﻣ 27 ﻢ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻲ ﻨﹺﺒﺪ ﺍﻟ ﻬ ﻋ ﻋﻠﹶﻰ ﺒ ﹸﺔﻌ ﺷ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺑ ﹸﺔﺎﺷﺒ ﺩ ﺍﻭﺯ Tsabit bin Bunani bertanya kepada Anas bin Malik: Apakah di masa Rasulullah s.a.w. berbekam itu kalian anggap makhruh? Tanya Anas: Tidak kecuali bila melemahkan. (HR. Bukhari dan lain-lain).
Mengenai pengambilan darah dari salah satu anggota tubuh maka hukumnya sama seperti berbekam. Dalam hal ini boleh jadi yang dimaksudkan adalah menjadi donor darah pada saat berpuasa. Dapat dilihat jika ia melemahkan maka hukumnya makruh, jika tidak maka tidak membatalkan puasa. 6.
Berkumur-kumur dan Memasukkan Air ke Rongga Hidung, Asal Tidak Berlebih-lebihan
Perbuatan tersebut dianggap tidak membatalkan puasa apabila tidak dilakukan secara berlebih-lebihan. Berdasarkan sebuah riwayat dari Laqith bin Shabrah bahwa Nabi s.a.w. Bersabda:
ﺜ ﹴﲑﺑ ﹺﻦ ﻛﹶـ ﻴ ﹶﻞﻤﻌ ﺳ ﻦ ﹺﺇ ﻋ ﻴ ﹴﻢﺳﹶﻠ ﻦ ﺑ ﻰﺤﻴ ﻳ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻦ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﺧﺮﹺﻳ ﻲ ﺁﺪ ﻓ ﻴﺳﻌ ﻦ ﺑ ﺒ ﹸﺔﻴﺘﺎ ﹸﻗﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠـ ﻪ ﻮ ﹺﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﺮ ﹶﺓ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺒﺻ ﺑ ﹺﻦ ﻂ ﻴﻪ ﹶﻟﻘ ﻦ ﹶﺃﺑﹺﻴ ﻋ ﺮ ﹶﺓ ﺒﺻ ﺑ ﹺﻦ ﻂ ﻴﺑ ﹺﻦ ﹶﻟﻘ ﺻ ﹺﻢ ﺎﻦ ﻋ ﻋ
27
Bukhary, Shahih Bukhari..., p. 74-75. dalam kitab shahihnya terdapat empat
riwayat. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
310
ﺗﻜﹸـﻮ ﹶﻥ ﻕ ﹺﺇﻟﱠﺎ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺎ ﹺﻨﺸﺘﺳ ﺎﻲ ﺍﻟﻟ ﹾﻎ ﻓﺎﻭﺑ ﺎﹺﺑ ﹺﻊﻦ ﺍﹾﻟﹶﺄﺻ ﻴﺑ ﺧﱢﻠ ﹾﻞ ﻭ ﻮ َﺀﻮﺿ ﺳﹺﺒ ﹾﻎ ﺍﹾﻟ ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ 28 ﺎﺋﻤﺎﺻ Jika istinsyaq-membersihkan rongga hidung-maka sampaikanlah sedalam-dalamnya, kecuali jika engkau berpuasa. (HR. Ashhab Sunan, menurut Turmudzi hadis ini hasan lagi shahih).
Mengenai menaruh obat ke dalam hidung orang yang berpuasa, maka tidak disetujui oleh para ahli, mereka berpendapat bahwa itu membatalkan puasa. Dan maksud hadis di atas menguatkan pendapat mereka. Sedangkan menurut Ibnu Qudamah mengatakan bahwa jika seseorang berkumur-kumur atau ber-istinsyaq waktu bersuci, lalu masuk air kedalam kerongkongannya tanpa disengaja atau berlebih-lebihan, maka tidak apa-apa. Pandangan tersebut didukung oleh Auza'i, Ishak, dan Imam Syafi'i dalam salah satu di antara dua pendapatnya. Begitu juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas (bila lalat masuk ke dalam kerongkongan maka tidak membatalkan puasa).29 Tetapi Abu Hanifah dan Imam Malik, berpandangan bahwa puasanya batal, karena ia memasukkan air ke rongga perutnya dalam keadaan sadar terhadap puasanya, hingga dengan demikian menjadi batal, seperti halnya bila ia sengaja meminumnya.30 7.
Hal-hal yang Tak Mungkin Dihindari
Hal-hal yang tak mungkin dihindari yaitu menelan air ludah, debu jalan, sisa-sisa tepung, selesma dan lain-lain. Ibnu Abbas mengatakan bahwa tidak apa-apa bila ia merasai makanan asam atau sesuatu yang hendak dibelinya. Dan Hasan biasa memeras kelapa untuk cucunya, dan Ibrahim menganggapnya rukhsah atau suatu keringanan. Adapun memeras karet susu maka hukumnya makhruh jika isinya tidak terpencar keluar. Di antara orang-orang yang menganggapnya makruh ialah: Sya'bi, Nakha'i, Syafi'i, golongan Hanafi dan Hanbali. Aisyah, Atha' menganggapnya rukhsah, karena tidak sampai ke rongga perut, maka tidak sama dengan menaruh kerikil dalam mulut apablia bagian-baginnya tidak terlepas. Jika terlepas atau masuk ke perut maka puasanya menjadi batal. Ibnu Taimiyah berkata bahwa mencium bau-bau harum tidak apa-apa bagi orang yang berpuasa. Adapun bercelak dan bersuntik dan meneteskan obat dalam saluran kencing, mengobati orang 28
Riwayat Abu Dawud hadis No. 123, lihat CD hadis. Ibid., p. 342. 30 Ibid.
29
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
311
yang sakit luka pada ubun-ubun dan rongga perut, maka hal itu menjadi perdebatan ulama. Di antara mereka, ada yang berpendapat tidak ada satu pun di antara mereka yang membatalkan. Ada pula yang mengatakan semua itu membatalkan, kecuali bercelak, ada pula yang berpendapat membatalkan, kecuali meneteskan obat, juga ada yang mengatakan batal, kecuali bercelak dan meneteskan obat.31 Bagi Ibnu Taimiyah, pandangan yang pertama lebih kuat. Dengan kata lain, tidak satu pun di antara semua itu yang membatalkan. Karena puasa itu termasuk pokok agama Islam yang perlu diketahui, baik orang terpelajar maupun awam. Maka seandainya hal-hal seperti itu termasuk barang yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam berpuasa hingga merusak puasa, tentulah harus dijelaskan oleh Rasul. Penjelasan itu tentulah akan diketahui oleh para sahabat yang akan mereka sampaikan kepada umat, sebagaimana halnya syari'at-syari'at yang lain.32 8.
Dibolehkan Orang Berpuasa Makan-Minum dan Berjima' Sampai Terbit Fajar
Dengan datangnya fajar, maka seluruh aktifitas orang berpuasa yaitu makan dan minum harus dihentikan, jika dimulutnya ada makanan maka hendaklan ia muntahkan. Demikian pula jika sedang berkumpul dengan isterinya hendaklah ia segera menghentikannya. Jika tidak dilakukan demikian, maka puasanya batal. Berdasarkan riwayat dari Aisyah;
ﻪ ﺪ ﺍﻟﱠﻠ ﻴﺒﻋ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻰ ﻗﹶﺎ ﹶﻝﻮﺳﻦ ﻣ ﺑ ﻀ ﹸﻞ ﺎ ﺍﹾﻟ ﹶﻔﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻱ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻭ ﹺﺯ ﺮ ﻤ ﻰ ﺍﹾﻟﻴﺴﻦ ﻋ ﺑ ﻒ ﺳ ﻮﺪﹶﺛﻨﹺﻲ ﻳ ﺣ ﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹺﺇ ﱠﻥ ﻧﻢ ﹶﺃ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻲ ﻨﹺﺒﻦ ﺍﻟ ﻋ ﺸ ﹶﺔ ﺋﺎﻦ ﻋ ﻋ ﺪ ﻤ ﺤ ﻣ ﺑ ﹺﻦ ﺳ ﹺﻢ ﻦ ﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ﻋ ﺮ ﻤ ﻋ ﻦ ﺑ 33 ﻮ ﹴﻡﻣ ﹾﻜﺘ ﻡ ﻦ ﹸﺃ ﺑﺆ ﱢﺫ ﹶﻥ ﺍ ﻳ ﻰﺣﺘ ﻮﺍﺮﺑ ﺷ ﺍﻴ ﹴﻞ ﹶﻓ ﹸﻜﻠﹸﻮﺍ ﻭﺆ ﱢﺫ ﹸﻥ ﹺﺑﹶﻠ ﻳ ﹺﺑﻠﹶﺎﻟﹰﺎ Dari Aisyah ra. berkata; Bilal akan azan waktu malam, maka makan dan minumlah kamu sampai terdengar adzan Ibnu Ummi Maktum. (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengenai masalah tersebut nampaknya tidak ada masalah dan perbedaan pandangan di antara para ulama mazhab. Sebab tidak terdapat riwayat yang berbeda dari Rasulullah saw. 9.
Dibolehkan Orang yang Berpuasa Berada dalam Keadaan Junub di Waktu Subuh
Mengenai ini telah disebutkan hadis dari Aisyah pada pembahasan yang lalu,34 yaitu pada pembahasan yang pertama. 31
Ibid. Ibid., p., 342. 33 Bukhary, Shahih Bukhari, p. 76. dan Muslim, Shahih Muslim, p. 768. 34 Ibid., p. 343. 32
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
312
10. Wanita-wanita yang haid atau dalam keadaan nifas, jika darah mereka terhenti di waktu malam, boleh menangguhkan mandi hingga waktu subuh sambil mereka berpuasa. Kemudian mereka mandi untuk melakukan shalat.35 C. Penutup Dari pembahasan tersebut di atas dapat dipahami bahwa hal yang dibolehkan dalam berpuasa menurut Sayyid Sabiq ada sepuluh hal. Yaitu; 1) Junub dan menyelam dalam air 2) Mencium, 3) Memakai celak dan menteskan obat atau lain-lain ke dalam mata 4) Injeksi atau suntikan 5) Berbekam, 6) Berkumur-kumur dan memasukkan air ke rongga hidung, asal tidak berlebih-lebihan, 7) Hal-hal yang tak mungkin dihindari misalnya; menelan air ludah, debu jalan 8) Makan-minum dan berjima' sampai terbit fajar, 9) Dibolehkan orang yang berpuasa itu berada dalam keadaan junub di waktu subuh. Mengenai ini telah disebutkan hadis dari Aisyah pada pembahasan yang lalu, 10) Wanita-wanita yang haid atau dalam keadaan nifas, jika darah mereka terhenti di waktu malam, boleh menangguhkan mandi hingga waktu subuh sambil mereka berpuasa. Kemudian hendak mereka mandi untuk melakukan shalat. Dua dari sepuluh masalah tersebut yaitu pada masalah pertama dan kedua terdapat riwayat yang berbeda sehingga menarik diperbincangkan. Sedangkan pada masalah yang lain cenderung tidak terdapat permasalahan dan Sayyid Sabiq terkadang memakai pendapat sahabat, pandangan ulama serta pendapat sendiri. Masalah junub pada saat subuh terdapat dua riwayat yang nampak bertentangan antara riwayat dari Aisyah dan Abu Hurairah. Perbedaan dapat diselesaikan dengan metode al-jam'u wa tawfiq. Apalagi jika diperhatikan riwayat dari Abu Hurairah terdapat keterangan yang mengatakan bahwa ketika pendapatnya dikompromikan dengan 'Aisyah dan Ummu Salamah, Abu Hurairah mengatakan mereka berdualah yang lebih mengetahui apa yang dilakukan oleh Nabi. Tetapi Abu Hurairah menarik kembali fatwanya. Sebab riwayat yang menceritakan persoalan yang spesifik wanita dan kepribadian serta menyangkut hubungan suami isteri lebih banyak diriwayatkan oleh 'Aisyah, hal ini dapat dipahami karena Aisyah adalah isteri Nabi s.a.w. Riwayat seperti ini juga banyak terungkap ketika ada pertanyaan sahabat kepada 'Aisyah setelah wafatnya Nabi s.a.w. Dengan demikian metode al-jam'u wa tawfiq. Dapat dikatakan bahwa perintah dalam hadis Abu Hurairah merupakan perintah yang bersifat 35
Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
313
petunjuk tentang yang lebih baik. Jadi orang yang menanggung hadas besar pada malam hari di bulan Ramadhan, sebaiknya dia mandi sebelum datangnya waktu fajar. Tetapi kalau umpamanya dia tidak mandi, maka boleh saja. Sedangkan hadis 'Aisyah hanya menerangkan tentang kebolehannya. Kemudian masalah yang kedua adalah mencium isteri pada saat berpuasa. Pada konteks ini riwayat yang berasal dari Aisyah dan Umar bin Khattab membolehkan dan dianggap tidak membatalkan puasa, kecuali jika diikuti dengan nafsu dan syahwat. Meskipun demikian, ada riwayat yang berasal dari Ibu Umar yang diabadikan dalam kitab al-Muwaththa' Malik bahwa Abu Hurairah mengatakan bahwa puasanya akan batal jika mencium isteri. Kedua riwayat dapat dipadukan dengan mengambil jalan tengah atau dikompromikan (al-jam'u wa tawfiq), bahwa mencium isteri bagi Rasul dikatakan bahwa ia dapat mengendalikan nafsunya. Sebagaimana Imam Syafi'i yang lebih mengutamakan untuk menghindari perbuatan tersebut bahkan mengatakan bahwa makruh untuk dilakukan. Langkah al-jam'u dalam penyelesaian hadis-hadis bertentangan merupakan metode yang lebih utama dilakukan sebagaimana pandangan Yusuf al-Qardhawi yang mengatakan bahwa "al-jam'u muqaddamun ala tarjih" (metode jam'u lebih didahulukan daripada tarjih). Hal ini bertujuan untuk menghindari mengambil satu riwayat dengan membuang riwayat yang juga berasal dari Rasul s.a.w. Perlu dicatat bahwa perbedaan riwayat dari persoalan tersebut menunjukkan bahwa pemahaman sahabat dan tabi'in terhadap sunnah juga beragam. Oleh karena itu, tidak dengan serta merta menghukum salah satu pendapat yang paling benar. Klaim kebenaran justru akan mematikan sunnah, sebaliknya membiarakan perbedaan dalam memahami sunnah justru akan menghidupkan sunnah.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
314
Mukhsin Nyak Umar: Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa…
Daftar Pustaka Asqallani, Ibnu Hajar al-, Fath al-Bary Syarah Sahih al-Bukhary, Jilid IV, Beirut: Dar al-Kutub al-Alami, 1996. Djuned, Daniel, Paardigma Baru Studi Ilmu Hadis: Rekontruksi Fiqh al-Hadis, Banda Aceh: Citra Karya, 2002. Gazali, Muhammad al-, Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontesktual, Bandung: Mizan, 1991. Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma'ani alHadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Mughirah, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-, Shahih Bukhari, Jilid III, Beirut: Maktabah al-Tsaqafiyah, t.th. Naisabury, Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-, Shahih Muslim, Jilid II, al-Qahirah: Dar al-Hadis, 1991. Qardhawi, Yusuf al-, Studi Kritis As-Sunnah, Bandung: Trigenda Karya, 1995. Qardhawi, Yusuf al-, Sunnah Rasul; Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Cet., II, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr, 1998. Syaukani, Muhammad Ali bin Muhammad as-, Nailul Authar: Syarah Munthaqa al-Akhbar Min Ahadis Sayyid Akhyar, Juz III, Beirut: Darul Khalil, t. th. Zuhaily, Wahbah Az-, Al-Fiqh Islamiy Wa Adillatuhu, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr Al-Ashr, 2002. CD Hadis Kutub Tis'ah.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia Oleh: Moh. Shofiyul Huda MF* Abstrak Diadakannya perubahan atas Undang-undang Peradilan Agama dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada satu sisi patut disyukuri karena akan memberikan tambahan atas kewenangan Peradilan Agama di dalam menyelesaikan sengketa di antara umat Islam, dengan adanya tambahan kewenangan di bidang ekonomi syari’ah dan tidak terbatas hanya di bidang hukum kekeluargaan Islam saja. Namun, pada sisi lain juga akan menimbulkan problem baru bagi Peradilan Agama atas bertambahnya kewenangan tersebut. Terdapat minimal dua masalah yang dihadapi oleh Peradilan Agama; Pertama, problem materi hukum Islam yang akan digunakan oleh para hakim Pengadilan Agama di dalam menyelesaikan sengketa yang tidak hanya soal hukum kekeluargaan Islam tetapi juga termasuk hukum ekonomi syari’ah. Kedua, problem Sumber Daya Manusia (SDM) atau para hakim Pengadilan Agama yang dituntut harus dapat menyelesaikan sengketa, baik dalam masalah kekeluargaan maupun masalah ekonomi syari’ah. Untuk menjawab persoalan studi hukum Islam tersebut, maka perlu diadakan perubahan pola pengembangan atau rekonstruksi studi hukum Islam di Indonesia. Di samping menyelesaikan problem yuridis materi hukum Islam, studi hukum Islam mestinya diarahkan menjadi studi hermeneutic atas hukum Islam. Pendekatan hermeneutic atas kajian hukum Islam dimaksudkan untuk; Pertama, mengkaji materi hukum (fiqh) karya ulama klasik sebagai jawaban atas problem hukum pada masa lalu untuk kemudian diambil dan dimanfaatkan kaidah, prinsip, konsep, atau teori hukumnya. Kedua, mengkaji materi hukum (fiqh) untuk menghadapi problem hukum masa kini pada hal-hal tertentu yang dianggap relevan pada batas-batas tertentu dan merekonstruksi materi fiqh yang dianggap kurang relevan, bahkan diadakan ijtihad baru. Ketiga, Mengkonstruksi materi hukum Islam yang dapat menjawab tantangan dan problem hukum yang mungkin akan datang. Dengan adanya rekonstruksi studi hukum Islam yang baru tersebut diharapkan para sarjana syari’ah pada umumnya dan yang menjadi hakim pada Pengadilan Agama pada khususnya dapat menyelesaikan dan memberikan putusan atas sengketa dan problem hukum yang diajukan kepadanya. Kata kunci: hukum islam, hukum positif, undang-undang peradilan agama, pendekatan hermeneutik
*
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri Jawa Timur.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
336
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
A. Pendahuluan Peran peradilan agama1 di dalam sistem peradilan di negeri ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Sejak masa sebelum kemerdekaan peradilan agama telah menjalankan fungsi peradilan di masyarakat Islam ketika itu. Di dalam menjalankan fungsinya, peradilan agama telah mengalami pasang surut peran di dalam menyelesaikan problem hukum masyarakat Islam. Pada masa sebelum kedatangan penjajahan Belanda di Indonesia, peradilan agama, dengan berbagai istilah yang disandangnya,2 menjadi lembaga peradilan masyarakat pribumi yang beragama Islam pada kesultanan/kerajaan Islam dengan kewenangan untuk menyelesaikan segala permasalahan hukum yang ada berdasarkan hukum Islam (fiqh). Namun seiring dengan kedatangan penjajahan Belanda, kewenangan peradilan agama mulai dikurangi, untuk tidak mengatakan hendak dihapuskan oleh penjajah.3 Masa penjajahan Jepang tidak memberi perubahan apapun terkait dengan posisi peradilan agama, bahkan pada masa awal kemerdekaan Indonesia.4 Baru pada tahun 1970, pemerintah Indonesia mempertegas keberadaan peradilan agama dengan dikeluarkannya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan penyeragaman nama lembaga menjadi sebutan pengadilan agama, serta pengaturannya secara khusus di dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dari sinilah muncul problem terkait dengan sumber hukum materiil yang dapat digunakan dan dipegangi oleh para hakim Peradilan Agama di dalam memutuskan perkara yang diajukan kepada mereka, sebab selama ini para hakim agama di dalam memutuskan perkara masih berpegang pada hukum Islam (fiqh) yang ada di dalam kitab-kitab fiqh karya ulama terdahulu, dan itupun dengan mengambil pendapat hukum ulama madzhab yang sesuai dengan pilihan para hakim tersebut. Oleh karena itu, atas dasar beberapa pertimbangan, termasuk terkait dengan sumber 1Peradilan
dalam perkembangan khazanah fiqh disebut dengan istilah al-qadla’, sedangkan pengadilan diistilahkan dengan mahkamah al-qadla’, dan hakim diistilahkan dengan qadli. Lihat Muhammad Salam Madkur, al-Qadla’ fi al-Islam, (Kairo: Dar anNadwah al-‘Arabiyah, 1964), p. 11. 2Selain istilah peradilan agama itu sendiri, ditemukan beberapa istilah lain, yaitu peradilan agama Islam, badan peradilan agama, badan peradilan agama Islam, mahkamah syar’iyah, kerapatan qadli. Pada masa Belanda dikenal dengan istilah priessterrad, penghoeloe gerecht, godstientige rechtspaak, raad agama. Pada masa Jepang dikenal istilah sooryoo hooin. Lihat Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), pp. 32-33. 3Ibid., pp. 33-67. 4Ibid., pp. 67-76. 336 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
337
hukum materiil peradilan agama, maka pemerintah menyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI)5 yang pasal-pasalnya berisi hukum materiil di bidang pernikahan, kewarisan, hibah, wasiat, dan wakaf sesuai dengan kewenangan Peradilan Agama, yang dipandang sesuai dengan hukum Islam (fiqh) dan karakter masyarakat Indonesia, yang nantinya dapat digunakan oleh para hakim peradilan agama di dalam memutuskan perkaranya.6 Selanjutnya, seiring dengan pemikiran ekonomi Islam dan pesatnya perkembangan praktik ekonomi serta maraknya lembaga-lembaga perekonomian yang didasarkan pada aturan-aturan hukum Islam (fiqh),7 yang diikuti pula dengan regulasi pemerintah Indonesia terkait dengan lembaga perekonomian syari’ah,8 maka pemerintah mengadakan perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perubahan tersebut, di antaranya terkait dengan tambahan kewenangan Peradilan Agama di dalam menyelesaikan sengketa di antara umat Islam, yaitu dengan adanya tambahan kewenangan di bidang ekonomi syari’ah dan tidak terbatas hanya di bidang hukum kekeluargaan (Islam) saja.9 Pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di atas, meskipun pada satu sisi telah memberikan jawaban atas kebutuhan materi hukum bagi para hakim agama, namun masih menyisakan problem yuridis terkait upaya positifisasi hukum Islam (fiqh) ke dalam sistem hukum nasional,10 ditambah lagi dengan bertambahnya kewenangan Peradilan Agama 5Dasar
pelaksanaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, yang diperkuat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Inpres No. 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991. 6Lihat Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), pp. 15-29. 7Perkembangan ini ditandai dengan munculnya praktik lembaga perbankan dan lembaga keuangan lain yang didasarkan atas aturan fiqh sejak tahun 1990-an. Perbankan syari’ah yang pertama kali berdiri adalah Bank Mu’amalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Mei 1992. Lihat Karnaen Perwataatmaja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992). 8Regulasi tersebut misalnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dan UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syari’ah Negara (SBSN). 9Mekanisme penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank, melalui Pengadilan Agama (PA) juga diatur di dalam salah satu pasal UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. 10Masih sering terjadi perdebatan, baik yang pro maupun yang kontra terkait dengan formalisasi hukum Islam (fiqh) di dalam konstitusi negara. Lihat Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA (ed.), Syariat Islam Yes Syariat Islam No, Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Paramadina, 2001). SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
337
338
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
tersebut. Terdapat minimal dua problem yang harus dihadapi oleh Peradilan Agama; Pertama, problem yuridis materi hukum Islam yang akan digunakan oleh para hakim Pengadilan Agama di dalam menyelesaikan sengketa yang tidak hanya soal hukum kekeluargaan Islam tetapi juga termasuk hukum ekonomi syari’ah. Kedua, problem Sumber Daya Manusia (SDM) atau para hakim Pengadilan Agama yang dituntut harus dapat menyelesaikan sengketa, baik dalam masalah kekeluargaan maupun masalah ekonomi syari’ah. Kedua problem tersebut berpangkal pada hakekat hukum Islam yang dipahami selama ini dan model pengkajian atas hukum Islam yang dikembangkan selama ini. Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud mengupas tentang hakekat hukum Islam yang semestinya dipahami dan dapat dijadikan sebagai bahan di dalam upaya pembangunan sistem hukum nasional dan model pengkajian atas hukum Islam tersebut sehingga tidak terjebak di dalam pro dan kontra penerapan hukum Islam di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. B. Hakekat Hukum Islam dan Problem Formalisasi Secara yuridis, usaha untuk melakukan transformasi hukum Islam ke dalam legislasi hukum nasional secara konseptual akan menghadapi persoalan-persoalan yuridis setidaknya dari dua sisi, yaitu materi hukum itu sendiri dan aliran filsafat hukum dimana materi hukum tersebut diterapkan. 1. Materi Hukum Problem yang muncul ketika hendak melakukan tranformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional dari sisi materi hukumnya adalah problem istilah hukum Islam itu sendiri. Terdapat dua istilah yang biasanya diterjemahkan sebagai “hukum Islam”, yaitu istilah syari’ah dan fiqh. Kedua istilah tersebut sering dikacaukan pemakaiannya, kadangkadang sebagai suatu hal yang berbeda dan kadang-kadang sebagai sinonim. Bahkan kekacauan pengertian antara syari’ah dengan fiqh telah menimbulkan konflik hukum dalam masyarakat. Bagi yang membedakannya, syari’ah dipahami sebagai hukum-hukum yang telah jelas nashnya (qath’i), sedangkan fiqh dipahami sebagai hukum-hukum yang dapat dimasuki pemikiran manusia (dhanni dan ijtihadi). Oleh karena itu, untuk melakukan transformasi hukum Islam ke dalam legislasi hukum nasional diperlukan usaha untuk memperjelas istilah syari’ah dan fiqh. Demikian pula, menurut Bustanul Arifin, demi kepentingan untuk pembinaan dan pembangunan hukum (Islam) diperlukan usaha untuk 338 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
339
memperjelas istilah syari’ah dan fiqh, karena banyak hal yang semula dianggap konflik antara hukum sipil dengan hukum Islam, sebenarnya hanya terletak dalam kekacauan pengertian (istilah) yang dipakai, sehingga kita harus menyamakan bahasa, istilah, konsep, atau teori hukum yang terdapat di dalam hukum Islam dengan bahasa, istilah, konsep, atau teori hukum yang terdapat di dalam hukum sipil.11 Syari’ah secara etimologis berarti jalan menuju air, artinya sebuah jalan menuju sesuatu yang benar-benar merupakan sumber kehidupan (air). Dalam terminology agama, syari’ah berarti jalan besar untuk kehidupan yang baik, yaitu nilai-nilai agama yang dapat memberi petunjuk bagi setiap manusia. Pengertian secara literal ini sesuai dengan apa yang memang terkandung di dalam makna visi dan misi syari’ah itu sendiri sehingga syari’ah identik dengan agama itu sendiri, yaitu meliputi segala ketentuan Allah s.w.t. yang diturunkan untuk kehidupan umat manusia sehingga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan akidah, akhlak, dan hukum. Segala sesuatu dari Allah s.w.t. yang diturunkan kepada hambaNya melalui salah satu Nabi-Nya disebut syari’ah, dan sebagai subyeknya adalah Allah s.w.t. itu sendiri.12 Fiqh secara etimologis berarti paham, memahami atau mengerti. Fiqh yang pada awalnya berarti memahami atau hanya sebagai nama bagi proses atau aktifitas memahami dan deduksi terhadap nash-nash agama (Islam), kemudian setelah menjadi disiplin keilmuan, fiqh berarti sebagai hasil ijtihad seseorang atau beberapa ulama (fuqaha atau mujtahid).13 Fiqh merupakan dimensi praktis syari’ah. Syari’ah adalah segala hukum yang disyari’atkan oleh Allah s.w.t. kepada hamba-hamba-Nya (manusia), baik berdasarkan al-Qur’an maupun as-Sunnah. Apakah hukum tersebut mengenai cara meyakini (kaifiyat al-i’tiqad) yang khusus dibahas oleh ilmu kalam atau ilmu tauhid, maupun cara berbuat (kaifiyat al-‘amal) yang khusus dibahas oleh ilmu fiqh.14 Walaupun untuk hal-hal yang masuk kategori ibadah, pengaruh atau intervensi pemikiran ulama tidak sebanyak 11
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), pp. 40-41. 12 A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), pp. 52-53. 13Kata fuqaha jamak dari faqih, yaitu orang yang ahli tentang fiqh atau orang yang menghasilkan atau memproduksi fiqh. Jika menggunakan arti yang kedua (memproduksi fiqh), berarti identik dengan mujtahid, yaitu orang yang melakukan ijtihad, yaitu menghabiskan kekuatan, kemampuan dan mencurahkan daya upaya untuk memperoleh (menemukan) hukum Islam. Lihat Abu Ishaq asy-Syirazi, Al-Luma’ fi Usul al-Fiqh, (Kairo: Muhammad Ali Sabih, 1900), p. 75. 14 Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, I, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), p. 18. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
339
340
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan mu’amalah. Untuk mu’amalah, hanya dasarnya (yang memang sangat sedikit) yang merupakan nash wahyu, sementara esensi yang lebih detail adalah produk ulama.15 Dari kedua istilah tersebut, maka yang seharusnya diterjemahkan sebagai hukum Islam adalah fiqh, yang merupakan hasil ijtihad ulama. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa hukum Islam atau fiqh adalah produk mufti (pemberi fatwa) juga, karena esensi hukum Islam itu sering sebagai wujud fatwa.16 Oleh karena itu, adanya usaha transformasi Syari’ah Islam ke dalam legislasi hukum nasional akan mendapatkan dukungan dari seluruh umat Islam, akan tetapi adanya usaha transformasi hukum Islam (fiqh) akan menimbulkan kontroversi, yaitu hukum Islam yang mana yang akan ditranformasikan sebagai konsekuensi dari keberadaan hukum Islam yang merupakan hasil ijtihad ulama, yang jelas bukan merupakan hal yang absolut, tetapi tetap mengandung probabilitas (dhanni), yaitu mungkin mengandung kesalahan dan perbedaan pendapat (al-ikhtilaf) sekaligus mungkin untuk dikaji ulang dan diadakan dekonstruksi atau rekonstruksi. Sudah disadari bahwa nash dari wahyu sangat terbatas, sementara persoalan dan permasalahan yang timbul akan selalu berkembang. Dari sinilah muncul usaha reinterpretasi terhadap nash wahyu agar hukum Islam mampu memberi solusi dan jawaban terhadap perubahan sosial karena hukum Islam pada hakekatnya ditujukan untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia (rahmatan li al-‘alamin) yang harus selalu sesuai dengan tuntutan perubahan. Salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya perubahan hukum Islam adalah pengaruh kemajuan dan pluralisme sosial budaya dan politik dalam sebuah masyarakat dan negara. Oleh karena itu, dalam rangka transformasi hukum Islam ke dalam legislasi hukum nasional harus pula mempertimbangkan tuntutan perubahan-perubahan itu sendiri. Nilai-nilai hukum Islam yang akan ditranformasikan ke dalam sistem hukum nasional harus sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Proses tranformasi tersebut, secara yuridis (di luar proses politik) memerlukan adanya kajian hermeneutic terhadap hukum Islam, mana yang bisa ditransformasikan dalam bentuk hukum konkret (al-Ahkam alFar’iyyah), asas-asas umum (al-Usul al-Kulliyyah), maupun dalam bentuk nilai-nilai dasar filosofis (al-Ahkam al-Asasiyyah). 15Azizy,
Eklektisisme, p. 52. dalam praktik peradilan di negara-negara Timur Tengah pada Abad Pertengahan, ketika hendak memutuskan perkara, terlebih dahulu meminta fatwa kepada mufti atau fuqaha. Ibid, p. 52. 16Di
340 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
341
Dalam hal ini, Syamsul Anwar menawarkan tiga bentuk transformasi. Pertama, dalam bentuk hukum konkret (harfiyyah), bagi hukum-hukum yang sangat eart kaitannya dengan agama seperti hukum kekeluargaan. Kedua, dalam bentuk hukum konkret (harfiyyah) dan dan asas-asas umum, bagi hukum-hukum yang agak erat kaitannya dengan agama seperti hukum mu’amalah dan asas-asas umumnya. Dan ketiga, dalam bentuk asas-asas umum dan nilai-nilai dasar filosofis, bagi hukumhukum yang agak renggang kaitannya dengan agama seperti hukum pidana dan tata-negara.17 Sementara Padmo Wahjono lebih menekankan kepada hukum Islam yang bersumber dari asas-asas hukum Islam yang kemudian dituangkan sebanyak mungkin ke dalam hukum nasional sehingga pembudayaan hukum Islam tidak hanya terjadi di bidang hukum keperdataan, tetapi juga di bidang yang lain, seperti hukum pidana, tata-negara dan hukum administrasi negara. Menurutnya cara ini akan efektif karena secara tidak langsung berarti menarik nilai-nilai (values) dari suatu peraturan (hukum konkret/positif) di masa lalu untuk mendapatkan asas-asas yang kemudian dirumuskan sebagai peraturan (induktif) bagi semua warga negara, atau menarik nilai-nilai kehidupan dari al-Qur’an kemudian dijabarkan ke dalam asas-asas dan peraturan bagi semua warga negara (deduktif). Cara seperti inilah yang dilakukan oleh umat Islam pada masa lalu sehingga hukum konkretnya benar-benar sesuai dengan situasi dan kondisi.18 Di sisi lain diperlukan adanya usaha untuk menyamakan bahasa hukum Islam dengan bahasa hukum nasional, karena bahasa hukum nasional telah berkembang jauh sekali sementara bahasa hukum Islam telah berhenti sesudah abad ke-4 hijriyah bersamaan dengan terhentinya kegiatan ilmiah hukum Islam (fiqh) itu sendiri sehingga yang ada sekarang adalah hukum Islam yang merupakan hasil pemikiran ulama (fuqaha atau mujtahid) pada masa itu.19 Pada kenyataannya, ungkapan atau istilah yang ada di dalam hukum Islam lebih berkonotasi dan hanya berorientasi untuk memperoleh pahala semata sehingga sulit dipahami oleh ahli hukum pada umumnya. Demikian pula, ilmu hukum nasional seolah-olah hanya untuk dunia, yang tidak ada kaitannya dengan hukum agama, yang berakibat para pelakunya 17
Syamsul Anwar, “Revitalisasi Hukum Islam”, dalam Jurnal Mazhabuna, No. 1, Tahun 2001. 18Padmo Wahjono, “Budaya hukum Islam dalam perspektif Pembentukan Hukum di Masa Datang”, dalam Amrullah Ahmad, dkk (peny.), Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, SH., (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), pp. 172-173. 19Bustanul Arifin, Pelembagaan, p. 41. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
341
342
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
tidak hanya enggan mengkaji hukum Islam, tetapi juga menjauhkan materi ilmu hukum dari mereka yang mendalami hukum Islam. Wujud dikotomi ini tanpa disadari juga menghasilkan sekularisme dalam kajian hukum di Indonesia.20 Dengan demikian, secara epistemologis diperlukan usahausaha penyusunan metodologi hukum yang sesuai dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia. 2. Aliran Filsafat Hukum Sistem hukum di Indonesia masih berkiblat kepada Belanda berarti mengikuti Roman Law System atau Civil Law System.21 Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa secara formal lebih cenderung kepada aliran positivisme. Sebagai konsekuensinya maka hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup.22 Sistem yang tertutup akan menyulitkan dan menghalang-halangi penyesuaian kaidah-kaidah hukum terhadap perubahan-perubahan yang disebabkan oleh munculnya kebutuhan-kebutuhan baru, bahkan suatu sistem hukum tidak akan dapat hidup lama apabila tidak mendapatkan dukungan sosial yang luas.23 Di dalam praktik penetapan atau penerapan hukum biasanya para hakim akan sangat berhati-hati atau takut dianggap salah dalam mengambil keputusan hukum sehingga terkungkung oleh teks undangundang yang ada. Hal ini bertolak belakang dengan kesadaran bahwa masih banyak sekali produk perundang-undangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan tuntutan masyarakat. Cara seperti ini memang jalan yang paling aman bagi para hakim karena akan jauh dari penilaian hakim yang lebih tinggi sebagai hakim yang putusan hukumnya tidak sesuai dengan undang-undang. Dari kenyataan praktis semacam ini, berarti sistem hukum di Indonesia lebih cenderung mengikuti aliran legisme, di mana kerja-kerja hakim hanya melakukan pelaksanaan undang-undang (wetstoepassing) dengan jalan jurisdische-syllogisme (dedukdi logis dari suatu perumusan yang luas).24 20Azizy,
Eklektisime, p. 181. Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), p. 235. 22Salah satu cabang dari aliran positivisme adalah madzhab formalistis yang teorinya lebih dikenal dengan nama analytical jurisprudence. Salah seorang tokoh terkemuka dari madzhab ini adalah ahli filsafat hukum dari Inggris John Austin (1790-1859). Austin terkenal dengan paham yang menyatakan bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi, atau dari yang memegang kedaulatan. Austin menganggap hukum sebagai sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup. Lihat Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), p. 30. 23Ibid., p. 31. 24CST. Kansil dan Christine ST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), pp. 158-160. 21Satjipto
342 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
343
Berdasarkan kecenderungan aliran filsafat hukum tersebut, maka usaha-usaha untuk melakukan transformasi hukum Islam ke dalam legislasi hukum nasional tidak akan dapat menempatkan hukum Islam di dalam iklim yang kondusif bagi keberlangsungannya. Hal ini didasarkan kepada kenyataan bahwa hukum Islam merupakan hasil ijtihad ulama (fuqaha atau mujtahid), yang sangat kaya akan perbedaan pendapat (ikhtilaf al-fuqaha), sesuai dengan pengaruh individu faqih, mujtahid dan lingkungan pemikirannya.25 Oleh karena itu, sangat wajar apabila para imam madzhab hukum Islam tidak ada yang bersedia menjadi hakim di pengadilan walaupun diminta penguasa pada masa itu karena mereka khawatir jika kebebasan pemikiran tentang hukum Islam akan berada di dalam cengkeraman dan kepentingan penguasa.26 Untuk dapat melakukan transformasi hukum Islam ke dalam legislasi hukum nasional maka diperlukan adanya perubahan orientasi aliran filsafat hukum yang ada, dari aliran positivisme ke aliran realisme, bahwa hakim-hakim tidak hanya menemukan hukum, tetapi lebih jauh membentuk hukum. Seorang hakim selalu harus memilih, dia yang menentukan prinsip-prinsip mana dan pihak-pihak mana yang akan menang. Keputusan-keputusan hukum yang formal, keputusan-keputusan pengadilan dan doktrin hukum selalu dapat dikembangkan untuk menunjang perkembangan atau hasil-hasil proses hukum. Suatu keputusan pengadilan dibuat atas dasar konsepsi-konsepsi hakim yang bersangkutan tentang keadilan, dan kemudian dirasionalisasikan di dalam suatu pendapat tertulis.27 Demikian pula, di dalam praktik penetapan atau penerapan hukum oleh hakim perlu diadakan perubahan dari aliran legisme kepada aliran freie rechtsbewegung di mana kerja hakim adalah untuk menciptakan hukum (rechtsschepping) dan hakim bebas sama sekali untuk tidak mendasarkan kepada undang-undang dalam memberikan putusannya, atau paling tidak diarahkan kepada aliran rechtsvinding di mana hakim memiliki kebebasan yang terikat (gebonden-vrijheid) atau keterikatan yang bebas (vrije-gebondenheid) untuk menyelaraskan undang-undang dengan tuntutan zaman.28 25Azizy,
Eklektisisme, pp. 103-105. pp. 25-26. 27Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok, pp. 38-39. 28CST. Kansil dan Christine ST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, pp. 158-160. Indonesia nampaknya sudah menerapkan aliran rechtsvinding tersebut walaupun belum sepenuhnya dilaksanakan. Hal ini nampak di dalam UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan;”Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Dan di dalam pasal 14 (1) disebutkan;”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan 26Ibid.,
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
343
344
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
Secara tidak langsung, sistem hukum nasional seharusnya lebih condong kepada Common Law System daripada Civil Law system karena hukum Islam lebih dekat kepada Common Law System, yang pada umumnya lebih berupa asas-asas (kaidah) bukan peraturan (tertulis), tidak berupa aturan-aturan yang absolut, tetap dan tanpa dapat berubah, tetapi berupa asas-asas yang umum dan komprehensif berdasarkan (rasa) keadilan, (pertimbangan) akal, dan pendapat umum yang dapat diterima. Asasasasnya ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perubahan kebutuhan tersebut. Asas-asas ini mudah beradaptasi terhadap keadaan, kepentingan, hubungan dan pemakaian (ungkapan) yang baru sebagaimana kemajuan masyarakat mungkin (sekali) mengharuskan demikian.29 Dengan demikian, terdapat titik-temu antara fungsi faqih, mujtahid atau mufti di dalam hukum Islam dengan fungsi hakim di dalam melakukan pencarian hukum dan penetapan atau penerapannya. Pembahasan tentang kedudukan hukum Islam di dalam legislasi hukum nasional sudah tidak relevan lagi di masa sekarang karena hanya akan dimaksudkan sebagai usaha untuk mencari legitimasi legal-formal semata. Pembahasan tersebut seharusnya diarahkan kepada usaha-usaha bagaimana agar nilai-nilai hukum Islam mampu memberikan sumbangan ke dalam sistem hukum nasional, baik melalui peraturan/perundangundangan, penetapan atau putusan hakim, kebiasaan, dan doktrin, dalam rangka kemajuan, keteraturan, ketenteraman, dan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga perlu adanya kajian hermeneutic terhadap hukum Islam sehingga dapat ditransformasikan dalam bentuk hukum konkret atau hukum positif di Indonesia. C. Studi Hukum Islam di Indonesia Kajian hukum Islam secara hermeneutic juga dapat dimaksudkan untuk menyelesaikan problem yang berkaitan dengan para hakim Pengadilan Agama, yang meskipun mayoritas lulusan sarjana syari’ah yang kemungkinan besar sudah memiliki bekal pengetahuan tentang hukum Islam (fiqh) pada umumnya akan tetapi belum tentu mendalam pada bidang-bidang hukum tertentu. Model studi hukum Islam yang selama ini berkembang di Fakultas Syari’ah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Untuk lebih tegasnya lihat R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), pp. 92-93. 29Steven H. Gifis, Law Dictionary, (New York: Barron’s Educational Series, Inc., 1984), p. 82. 344 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
345
pada khususnya dan Fakultas Hukum pada umumnya yang masih bersifat parsial. Pada Fakultas Syari’ah misalnya, studi hukum Islam di samping masih mengikuti pola pesantren yang menonjolkan kajian fiqh karya ulama klasik, juga diadakan pemisahan jurusan yang condong pada kajian fiqh bidang tertentu, yaitu ada jurusan al-Ahwal asy-Syakhsiyah (AS), JinayahSiyasah (JS), mu’amalat (MU), dan (kadang-kadang) ekonomi Islam (EI). Adanya pembidangan jurusan tersebut secara tidak langsung juga akan mempersempit tingkat pemahaman dan pengetahuan hukum Islam para sarjana syari’ah. Studi hukum Islam di Indonesia perlu diadakan perubahan pola pengembangan. Di samping menyelesaikan problem yuridis materi hukum Islam. Terdapat beberapa tawaran model kajian terhadap hukum Islam, Nur A. Fadhil Lubis misalnya mengemukakan bahwa secara kelembagaan memandang, peran aktif dan kontribusi positif hukum Islam di Indonesia harus dilandasi oleh program studi hukum Islam yang kondusif dan relevan untuk mengarahkan dan membangun sistem hukum nasional. Studi hukum Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) meskipun telah berhasil mengukir nama baiknya dalam khazanah pemikiran dan pengembangan sistem hukum nasional, mutlak harus memperbaiki dan mengembangkan diri untuk menjawab tuntutan masa kini dan tantangan masa depan sehingga tidak terperangkap dalam kenangan masa lalu. Jika tidak, maka Fakultas Syari’ah bisa malah berubah menjadi sekedar benteng yang mempertahankan tradisi lama yang telah usang, dan bukannya berkembang sebagai pelopor dan pengarah pembangunan sistem hukum nasional.30 Menurutnya, studi hukum Islam mencakup tiga bidang, yaitu studi kewahyuan sebagai sumber utama hukum Islam, studi pemikiran yang mengurai perkembangan pemikiran tentang hukum di kalangan umat Islam dan studi terapan yang mengkaji pengalaman dan implementasi serta perkembangan interaksi kaidah-kaidah tingkah-laku tersebut dengan kondisi empiris masyarakat Muslim. Dengan memperbandingkan tujuan pendidikan hukum secara umum, maka program studi hukum Islam di PTAIN sebaiknya diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi sarjana yang; (1) mengenal hukum Islam secara menyeluruh dan menguasai bagian hukum Islam yang menjadi bidang konsentrasi studinya, (2) mengenal hukum positif di Indonesia secara umum dan menguasai bagian hukum positif Indonesia yang menjadi bidang konsentrasinya, (3) menguasai landasan ilmiah dan dasar-dasar kemahiran kerja untuk 30Nur
A. Fadhil Lubis, ”Pengembangan Studi Hukum Islam di IAIN”, dalam http://www.ditpertais.net/artikel/fadil01.asp, diakses tanggal 4 September 2008. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
345
346
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
mengembangkan hukum dan ilmu hukum, (4) mengenal dan peka terhadap masalah-masalah keadilan dan kemasyarakatan, (5) memiliki kemampuan menganalisis masalah-masalah hukum dan masyarakat, dan (6) mempunyai kemampuan mempergunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan problema kemasyarakatan (law as social engineering) dengan adil dan bijaksana serta berdasar pada prinsip-prinsip syari'ah.31 Hukum sebagai rekayasa sosial yang belakangan ini makin disadari oleh para pemikir dan para praktisi hukum mendorong para eksponen hukum Islam menyadari peran penting dan strategis yang bisa dimainkan oleh syari'at Islam. Prinsip-prinsip syari’ah serta warisan pemikiran dan sejarah penerapannya yang begitu kaya dapat menawarkan alternatif dan solusi bagi permasalahan dan dilema masyarakat modern sekarang ini serta untuk mengarahkan perkembangan di masa depan. Pengalaman sistem hukum Barat yang sekularistis, bahkan anti-religi, serta terlepasnya nilainilai moral dari sistem hukum dapat memperoleh masukan dari idealisme dan pengalaman sistem hukum Islam.32 Di samping berbagai kesempatan yang bisa dimanfaatkan serta banyak tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan studi hukum Islam, yang lebih penting barangkali menjernihkan visi dan memantapkan misi para perencana, pengelola dan peserta studi hukum Islam itu sendiri. Masih ditemukan di kalangan pengelola dan tenaga pengajar yang terikat kuat secara dogmatis pada fiqh hingga tingkat pensakralan yang tidak proporsional. Hal ini mengakibatkan apa yang diajarkan bukan metodologi berpikir para fuqaha’ masa lalu yang begitu tekun dan cerdas, tetapi sekadar pengalihan produk akhir pemikiran terdahulu. Kekakuan ini makin diperparah dengan ketidakmampuan memahami perkembangan hukum modern yang oleh karenanya mengalami kesulitan untuk menempatkan hukum Islam dalam perkembangan hukum secara komprehensif. Dan mengingat beragamnya kondisi internal yang dimiliki oleh masing-masing daerah dan mencermati luas dan beragamnya situasi lingkungan yang meliputinya mutlak diperlukan adanya otonomisasi dan diversifikasi studi hukum Islam, sehingga lebih relevan dengan kondisi obyektif masa kini dan proyeksi masa depan masing-masing. Maka barangkali yang perlu dikembangkan adalah jaringan (network) antara berbagai pusat studi dan berbagai lembaga sejenis, terkait dan pendukung lainnya.33 Sementara itu, Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad memberikan beberapa opsi untuk pengembangan studi hukum Islam di 31Ibid. 32Ibid. 33Ibid.
346 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
347
lingkungan PTAI, meskipun masih sebatas tesis yang mungkin dapat diperdebatkan. Opsi pertama, studi hukum Islam sebagai bagian dari studi kawasan. Opsi ini ingin menempatkan studi hukum Islam dalam percaturan studi kawasan. Dengan kata lain, Indonesia sebagai salah satu kawasan yang termasuk dalam studi kawasan Islam, maka perkembangan hukum Islam di sini dapat dikaji secara mendalam. Dengan kata lain, perkembangan hukum Islam di Indonesia, meminjam istilah Satjipto Rahardjo, merupakan laboratorium hukum yang sangat bagus. Apa yang ingin didalami, sama persis seperti yang diberikan Liebesny dengan sedikit modifikasi yang sesuai dengan konteks keindonensiaan. Dengan begitu, corak studi hukum Islam di PTAI menjadi Studi Hukum Islam di Asia Tenggara. Harus diakui, model studi ini masih sangat langka di lingkungan PTAI, bahkan di perguruan tinggi umum sekalipun. Corak ini tentu saja mengandaikan mahasiswa telah memiliki ilmu dasar yang baik yaitu penguasaan fiqh, ushul fiqh, dan tarikh tasyri’. Tiga ilmu dasar dalam pengkajian hukum Islam ini akan menjadi pisau bedah menganalisa perkembangan hukum Islam di kawasan ini. Selanjutnya, dapat juga dibandingkan dengan hukum di kawasan lainnya seperti Timur Tengah, Eropa, Amerika, dan Asia Timur. Dengan demikian, mata kuliah yang diajarkan adalah bagaimana melihat perkembangan hukum Islam di Asia Tenggara melalui berbagai kacamata, dan mungkin juga membandingkannya dengan hukum-hukum di luar kawasan Asia Tenggara.34 Opsi kedua, mendalami satu atau dua saja yang terkait dengan studi hukum Islam. Cara ini pernah dijalankan oleh Emory School di mana perguruan tinggi ini hanya mengkaji satu bidang program studi yaitu Islamic Family Law (Hukum Keluarga Islam). Model ini akan memperjelas keahlian mahasiswa, mereka menguasai satu bidang saja. Kendati opsi ini sulit diterapkan, namun dalam beberapa hal akan menunjukkan manfaat yang cukup baik. Jika di Indonesia ada 14 IAIN (Fakultas Syariah) dan 33 STAIN (Jurusan Syariah), dan masing-masing konsentrasi pada satu bidang saja, maka masing-masing IAIN/STAIN akan mampu melahirkan alumni yang profesional sekaligus mempunyai bekal cukup untuk mengembangkan karir akademiknya. Dengan opsi kedua ini, mahasiswa benar-benar mengkaji satu aspek studi hukum Islam secara tuntas dan dia langsung menjadi profesional muda yang ahli hukum Islam sekaligus mempunyai kemampuan akademik yang siap dikembangkan. Dengan demikian, bentuk kerja dan posisi akademik yang akan diperolehi alumni 34Akh.
Minhaji dan Kamaruzzaman Bustmam-Ahmad, “Arah Baru Studi Hukum Islam di Indonesia”, dalam http://www.ditpertais.net/jurnal/vol62003g.htm, diakses tanggal 4 September 2008. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
347
348
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
pun sangat menjanjikan bagi masa depan mereka. Pendalaman studi hukum Islam model ini menuntut para pengajar yang benar-benar ahli dalam bidangnya sehingga setiap pengajar memiliki ciri dan keahlian tersendiri sehingga siap melakukan penelitian secara terus menerus untuk pengembangan bidang studi yang ditekuninya.35 Opsi ketiga, studi hukum Islam menggunakan metode comparative law atau muqaranah (perbandingan hukum). Model ini hampir sama dengan opsi pertama, hanya saja, titik tekan yang berbeda. Jika opsi pertama bertumpu pada kawasan, maka yang kedua lebih menitikberatkan pada perbandingan. Cara ini memang semakin marak di perguruan tinggi Barat. Sebab, dengan cara seperti ini, hukum Islam selain dibandingkan antartempat, juga dengan hukum-hukum lainnya, IAIN/STAIN dapat menjadi motor penggerak opsi ini. Fakultas hukum di perguruan tinggi umum, belum ada yang menggunakan model studi ini secara sistematis dan mendalam. Dengan demikian, kekosongan ini dapat diisi oleh IAIN/STAIN agar ada ahli-ahli perbandingan hukum yang berkualitas. Di luar negeri, mahasiswa S-1 telah mulai dididik dengan model ini yang pada gilirannya, model ini lebih menekankan pada aspek akademik, ketimbang profesional. Opsi keempat, kembali ke tradisi klasik. Opsi ini adalah pilihan terakhir, jika memang tiga opsi di atas tidak dapat dijalankan, sebab tanpa kemauan besar dan sungguh-sungguh tiga opsi di atas memang agak sulit diterapkan di IAIN/STAIN. Di samping IAIN/STAIN belum memiliki kemandirian seperti perguruan tinggi di luar negeri, Sumber Daya Manusia juga ikut menjadi faktor penting dalam menjalankan ketiga opsi di atas. Untuk opsi yang terakhir ini memang hanya dibutuhkan pendalaman dan pemekaran di sana-sini. Konkretnya, penguasaan metodologi dan naskahnaskah klasik merupakan syarat penting untuk kembali ke tradisi klasik. Corak studi hukum Islam seperti ini sama dengan sistem pembelajaran di luar negeri seperti terlihat di sejumlah perguruan tinggi Barat. Dengan demikian, orientasi studi hukum Islam di IAIN/STAIN adalah akademik murni.36 Sementara dalam aspek materi hukum Islam, Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad memandang perlunya dilakukan reorientasi terhadap materi dan model kajian fiqh dan ushul fiqh serta institusi yang mendukung subjek tersebut. Secara metodologis misalnya, upaya pemahaman hukum Islam (fiqh) haruslah meliputi dua model pendekatan. Pertama, pendekatan doktriner dan normatif dan karenanya metode deduktif sangat dibutuhkan. Hal ini penting mengingat hukum 35Ibid. 36Ibid.
348 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
349
Islam, yang merupakan upaya memahami ajaran syariah, pada dasarnya menyangkut teks-teks yang datang dari Allah yang diyakini sebagai pedoman pokok kehidupan bersifat sakral dan transendental. Kedua, perlunya dimanfaatkan pendekatan-pendekatan lain seperti pendekatan filosofis-semantik, sosiologis, antropologi, dan historis. Hal ini merupakan satu keniscayaan mengingat upaya pemahaman terhadap teks-teks syariah pada akhirnya diyakini sebagai bersifat relatif yang kebenarannya membutuhkan penelitian secara terus menerus sebagaimana penelitianpenelitian ilmiah lainnya. Sebab pemahaman terhadap satu teks akan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor bahasa ataupun konteks sosial dari teks itu sendiri, juga menyangkut konteks sosial dari munculnya teks-teks ataupun konteks sosial masing-masing mereka yang mencoba memahami teks-teks syariah itu sendiri. Sekarang ini, semakin dirasakan pentingnya kajian hermeneutic hukum (legal hermeneutics), yang dalam kajian hukum konvensional belum banyak mendapat perhatian.37 Pada titik inilah penulis juga memandang penting adanya rekonstruksi terhadap pola pengembangan studi hukum Islam di Indonesia menuju ke arah studi hermeneutic hukum Islam (Islamic Legal Hermeneutics).
Hermeneutic Hermeneutics)
D. Studi
atas
Hukum
Islam
(Islamic
Legal
Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein, yang berarti menafsirkan. Jadi pada mulanya hermeneutika adalah penafsiran terhadap kitab suci. Namun, pada masa selanjutnya ruang lingkupnya berkembang dan mencakup masalah penafsiran secara menyeluruh.38 Secara lebih umum, hermeneutika di masa lampau memiliki arti sebagai sejumlah pedoman untuk pemahaman teks-teks yang bersifat otoritatif, seperti dogma agama dan kitab suci. Dalam konteks ini, dapat diungkapkan bahwa hermeneutika tidak lain adalah menafsirkan berdasarkan pemahaman yang sangat mendalam. Sebagaimana dikutip Putera Manuaba bahwa A. Lafevere memandang bahwa ada tiga varian hermeneutika yang pokok.39 Ketiga varian tersebut adalah; Pertama, hermeneutika tradisonal (romantik). Refleksi mengenai hermeneutika ini mula-mula dirintis oleh F.D.E Schleiermacher, kemudian dilanjutkan oleh Wilhelm Dilthey. Mereka 37Ibid. 38T.
Eagleton, Literary Theory: An Introduction, (London: Basil Blackwell, 1983), p.
39A.
Lafevere, Literary Knowledge, pp. 46-47.
66.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
349
350
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
berpandangan bahwa proses verstehen mental melalui pemikiran yang aktif, merespon pesan dari pikiran yang lain dengan bentuk-bentuk yang berisikan makna tertentu. Pada konteks ini dapat diketahui bahwa dalam menafsirkan teks, Schleiermacher lebih menekankan pada pemahaman pengalaman pengarang atau bersifat psikologis, sedangkan Dilthey menekankan pada ekspresi kehidupan batin atau makna peristiwaperistiwa sejarah. Apabila dicermati keduanya dapat dikatakan memahami hermeneutika sebagai penafsiran reproduktif. Namun, pandangan mereka ini diragukan oleh A. Lafevere karena dipandang sangat sulit dimengerti bagaimana proses ini dapat diuji secara inter-subjektif.40 Keraguan ini agaknya didukung oleh pandangan M.J. Valdes yang menganggap proses seperti itu serupa dengan teori histori yang didasarkan pada penjelasan teks menurut konteks pada waktu teks tersebut disusun dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang definitif.41 Kelemahan yang ditampakkan dalam hermeneutika tradisional, sebagaimana diungkapkan A. Lafevere, karena berpegang pada cara berpikir kaum positifis yang menganggap hermeneutika hanya menghidupkan kembali (mereproduksi). Menurut A. Lafevere, interpretasi tidak mungkin identik dengan penghidupan kembali, melainkan indentik dengan rekonstruksi struktur-struktur yang sudah objektif, dan perbedaan interpretasi merupakan hal yang dapat terjadi. Maksudnya, penafsir dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut.42 Kedua, hermeneutika dialektik.43 Varian hermeneutika ini sebenarnya dirumuskan oleh Karl Otto Apel. Ia mendefinisikan verstehen tingkah laku manusia sebagai suatu yang dipertentangkan dengan penjelasan berbagai kejadian alam. Interpretasi tingkah laku harus dapat dipahami dan diverifikasi secara inter-subjektif dalam konteks kehidupan yang merupakan permainan bahasa. A. Lafevere menilai bahwa secara keseluruhan hermeneutika dialektis yang dirumuskan oleh Apel sebenarnya cenderung mengintegrasikan berbagai komponen yang tidak berhubungan dengan hermeneutika itu sendiri secara tradisional. Apel tampaknya memadukan antara penjelasan (erklaren) dan pemahaman (verstehen), keduanya harus saling mengimplikasikan dan melengkapi satu sama lain. Ia menyatakan tidak seorangpun dapat memahami sesuatu (verstehen) tanpa pengetahuan faktual secara potensial. 40Ibid.,
p. 47. Valdes, Phenomenological Hermeneutical Hermeneutics and the Study of Literature, (London: University of Toronto Press, 1987), p. 58. 42A. Lafevere, Literary Knowledge, p. 49. 43Ibid. 41M.J.
350 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
351
Ketiga, hermeneutika ontologis. Aliran hermeneutika ini digagas oleh Hans-Georg Gadamer. Dalam mengemukakan deskripsinya, ia bertolak dari pemikiran filosof Martin Heidegger. Sebagai penulis kontemporer dalam bidang hermeneutika yang sangat terkemuka, Gadamer tidak lagi memandang konsep verstehen sebagai konsep metodologis, melainkan memandang verstehen sebagai pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis. Dalam sudut pandang Gadamer, masalah hermeneutika merupakan masalah aplikasi yang berhenti pada semua verstehen. Meskipun memperlihatkan kemajuan pandangan, Gadamer tidak lepas dari kritikan A. Lafevere. A. Lafevere menganggap bahwa varian ketiga ini masih mencampur-adukkan kritik dengan interpretasi. Dalam hal A. Lafevere menganggap perlu menentukan batas kritik dengan interpretasi. Baginya, Gadamer lebih mementingkan rekreasi. Maksudnya, ia tidak memandang proses pemahaman makna terhadap teks itu sebagai jalan reproduksi tetapi sebagai jalan produktif.44 Konsep hermeneutika ontologi Gadamer yang bertitik tolak pada teks didukung sepenuhnya dalam kata-kata Paul Ricoeur. Ia menyatakan bahwa teks merupakan sesuatu yang bernilai, jauh melebihi sebuah kasus tertentu dalam komunikasi inetr-subjektif. Teks memainkan sebuah karakteristik yang fundamental dari satu-satunya historisitas pengalaman manusia, yaitu teks merupakan komunikasi dalam dan melalui jarak.45 Oleh karena itu, tampak di sini Gadamer mengikuti filsafat Heidegger yang berusaha mencari hubungan dengan fenomena. Dengan demikian, dalam varian ini Gadamer mengembalikan peran subjektif pembaca selaku pemberi makna yang dalam hal ini dinaifkan oleh hermeneutika tradisional. Dalam konteks inilah, penulis memandang bahwa pendekatan hermeneutic atas kajian hukum Islam dimaksudkan untuk; Pertama, mengkaji materi hukum (fiqh) karya ulama klasik sebagai jawaban atas problem hukum pada masa lalu untuk kemudian diambil dan dimanfaatkan kaidah, prinsip, konsep, atau teori hukumnya. Kedua, mengkaji materi hukum (fiqh) untuk menghadapi problem hukum masa kini pada hal-hal tertentu yang dianggap relevan pada batas-batas tertentu dan merekonstruksi materi fiqh yang dianggap kurang relevan, bahkan diadakan ijtihad baru. Ketiga, mengkonstruksi materi hukum Islam yang dapat menjawab tantangan dan problem hukum yang mungkin akan datang.
44Ibid., 45M.J.
p. 50. Valdes, Phenomenological Hermeneutical, pp. 61-62.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
351
352
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
Dengan hermeneutika kita meletakkan pentingnya peran subjek pembaca (audience), yang dalam konteks hukum Islam diperankan oleh mujtahid, dalam menginterpretasikan sumber-sumber hukum Islam. Hal ini tampak pada hermeneutika ontologis yang dikembangkan Gadamer, yang pemahamannya didasarkan pada basis filsafat fenomenologi Heidegger. Perlu pula kita mengingat model hermeneutika Paul Ricoeur, seorang tokoh setelah Gadamer yang dalam perkembangan mutakhir banyak mengembangkan hermeneutika dalam bidang sastra dan meneruskan pemikiran filosofi fenomenologis, yang menyatakan bahwa setiap pertanyaan yang dipertanyakan yang berkenaan dengan teks (termasuk juga teks-teks sumber hukum Islam) yang akan diinterpretasikan adalah sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks. Arti dan makna teks itu diperoleh dari upaya pencarian dalam teks berdasarkan bentuk, sejarah, pengalaman membaca, dan self-reflection dari pelaku interpretasi (dalam hal ini juga termasuk seorang mujtahid). E. Penutup Kenyataan-kenyatan di atas, membangkitkan kesadaran kita bahwa lahirnya Undang-undang Peradilan Agama yang baru membawa konsekuensi tentang perlunya peningkatan pemahaman sumber daya manusia para hakim Pengadilan Agama tentang hakekat hukum Islam di masa sekarang. Peningkatan pemahaman tentang posisi hukum Islam dalam sistem hukum nasional akan menegasikan dualisme pemahaman hukum Islam dan hukum nasional, termasuk juga lembaga peradilan. Upaya positifisasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional Indonesia bukan dimaksudkan sebagai upaya kontra terhadap keberadaan hukum nasional. Upaya positifisasi bukan pula dimaknai sebagai upaya fiqh-sasi hukum nasional, tetapi sebagai upaya membangun hukum Islam yang sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan adanya perubahan arah pengembangan hukum Islam di Indonesia, yang berimbas juga pada rekonstruksi studi hukum Islam itu sendiri. Dari berbagai tawaran model studi hukum Islam yang ada, penulis memandang perlunya model studi hukum Islam dengan pendekatan hermeneutika. Dengan adanya rekonstruksi studi hukum Islam yang baru tersebut diharapkan para sarjana syari’ah pada umumnya dan yang menjadi hakim pada Pengadilan Agama pada khususnya dapat menyelesaikan dan memberikan putusan atas sengketa dan problem hukum yang diajukan kepadanya sesuai dengan karakter dan budaya bangsa Indonesia.
352 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
353
Daftar Pustaka Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2004. Anwar, Syamsul, “Revitalisasi Hukum Islam”, dalam Jurnal Mazhabuna, No. 1, Tahun 2001. Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Azizy, A. Qodri, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002. Eagleton, T., Literary Theory: An Introduction, London: Basil Blackwell, 1983. Gifis, Steven H., Law Dictionary, New York: Barron’s Educational Series, Inc., 1984. Halim, Abdul, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kansil, CST. dan Christine ST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2000. Karnaen Perwataatmaja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992. Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Inpres No. 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991. Lafevere, A., Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic Essay on Its Nature, Growth, Relevance and Transmission, Amsterdam: Van Gorcum Assen, 1977. Lubis, Nur A. Fadhil, ”Pengembangan Studi Hukum Islam di IAIN”, dalam http://www.ditpertais.net/artikel/fadil01.asp, diakses tanggal 4 September 2008. Madkur, Muhammad Salam, al-Qadla’ fi al-Islam, Kairo: Dar an-Nadwah al‘Arabiyah, 1964. Manuaba, Putera. “Hermeneutika dan Interpretasi Sastra” dalam FSU In the Limelight, Vol. 8 No. 1, Juli 2001.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
353
354
Moh. Shofiyul Huda MF: Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia
Minhaji, Akh. dan Kamaruzzaman Bustmam-Ahmad, “Arah Baru Studi Hukum Islam di Indonesia”, dalam http://www.ditpertais.net/jurnal/vol62003g.htm, diakses tanggal 4 September 2008. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997. Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2001. asy-Syirazi, Abu Ishaq, Al-Luma’ fi Usul al-Fiqh, Kairo: Muhammad Ali Sabih, 1900. UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syari’ah Negara (SBSN). UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Valdes, M.J., Phenomenological Hermeneutical Hermeneutics and the Study of Literature, London: University of Toronto Press, 1987. Wahjono, Padmo, “Budaya hukum Islam dalam perspektif Pembentukan Hukum di Masa Datang”, dalam Amrullah Ahmad, dkk. (peny.), Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, SH, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Zein, Kurniawan dan Sarifuddin HA (ed.), Syariat Islam Yes Syariat Islam No, Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, Jakarta: Paramadina, 2001. az-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar alFikr, 1996.
354 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah terhadap Alat Transaksi Pembayaran Modern) Oleh: Subhan MA Rachman * Abstrak Alat transaksi pembayaran modern seperti cek memang tidak dikenal dalam fiqh klasik. Karena cek lahir jauh di belakang masa terbukukannya fiqh secara mapan. Kehadiran produk baru yang memudahkan, aman dan nyaman dalam bertransaksi cenderung disambut baik, akan tetapi pertimbangan syari'at semestinya lebih diutamakan. Oleh karena itu, fiqh yang dalam hal ini menuntun umat menyahuti titah Syar’i dalam berbagai aspek kehidupan salah satunya interaksi lahiriyah umat di bidang mu'amalah menjadi penting untuk diperhatikan. Isu utama yang ingin dijawab adalah bagaimanakah pandangan fiqh menggunakan cek sebagai alat transaksi pembayaran. Fiqh, karena keterbatasannya, dalam hal ini memberikan tuntunan yang bersifat prinsipil semata. Bekerjanya telaah perspektif fiqh ini sederhananya adalah dengan dua cara: Pertama mendeskripsikan sejelas mungkin persoalan baru yang ingin ditelaah. Kedua, menganalisis persoalan cek dari sudut pandang fiqh. Pada bagian kedua ini berisi pemaparan berbagai pendapat ulama yang berargumen dengan nash ayat maupun hadits atau kalau ada contoh praktik sahabat. Dalam kasus cek ini, upaya mendekati obyek ditempuh dengan menggelar pendapat berbagai aliran fiqh (mazhab) tentang harta, harta berharga dan sebaliknya. Demikian juga ada pertaliannya dengan bank, menyebabkan diskusi memasuki ranah riba atau bukan riba dan pada akhirnya status hukumnya itu sendiri. Setelah melihat jalannya diskusi secara naratif dan mengambil pandangan yang lebih argumentatif, telaah ini menyimpulkan bahwa cek dan penggunaannya sebagai media bermu'amalah dewasa ini adalah mubah/boleh. Kata kunci: cek, mal mutaqawwim, mal ghaira mutaqawwim, alat bayar, riba nasiah, riba fadhl A.
Pendahuluan
Seiring berjalannya waktu membawa banyak perubahan pada berbagai segi kehidupan manusia karena manusia yang dibekali oleh Tuhan dengan daya berpikir, terus berupaya menemukan hal-hal baru yang terbit dari rasa ingin tahunya terhadap sesuatu. Penemuanpenemuan yang diperoleh manusia dalam upaya mempermudah dan meningkatkan taraf hidupnya, selalu mendapat perkenan Syari’ selama hal *
Ketua Prodi Hukum Islam Program Pascasarjana IAIN STS Jambi.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
376
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang tegas dalam al-Qur’an maupun yang diujarkan oleh Rasul-Nya Muhammad s.a.w. Sehubungan dengan itu para ulama melalui penelitian yang sungguh-sungguh (ijtihad) terhadap al-Qur’an dan al-hadist, dari waktu ke waktu berupaya menggali hukum untuk memenuhi kebutuhan hukum yang muncul seiring dengan kemajuan peradaban manusia, hal mana dipandang sebagai upaya menterjemahkan kehendak Syari’ yaitu Allah s.w.t. Satu dari penemuan dunia modern dibidang perdagangan adalah apa yang disebut dengan cek. Cek dalam kedudukannya sebagai benda berharga atau sebagai alat bayar pada transaksi jual-beli memiliki segi-segi keuntungannya tersendiri ketimbang uang tunai yang lazimnya dipakai. Seperti diketahui cek adalah produk pembayaran modern dan yang lahir dari pemikiran yang modern pula, karenanya belum tersentuh secara langsung oleh pemikiran fiqh klasik namun tidak berarti cek lepas dari telaah fiqhiyah dan agaknya dapat pula ditelusuri dasar-dasar pemikirannya oleh fiqh yang ada. Seperti diketahui tuntutan untuk senantiasa bermu'amalah dalam koridor syar'iy kian kencang dewasa ini, demi pengejawantahan tuntunan yang ditorehkan Syari' dalam al-Qur'an dan al hadits. Sementara itu tengah berdiri kokoh sebuah sistem ekonomi kapitalis yang mendunia, namun didengungkan sebagai sistem ekonomi ribawi oleh kalangan Muslim. Di antara produk transaksi bisnis/perdagangan selain uang adalah cek yang dikeluarkan baik oleh bank-bank konvensional maupun syari'ah1. Pertanyaannya apakah cek adalah sebuah produk yang boleh digunakan oleh Muslim dalam aspek mu'amalah maliyahnya? Cek yang mana yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan serta mengapa?. Tulisan ini mencoba mengenali cek sebagai alat pembayaran yang berlaku dalam dunia perdagangan dewasa ini untuk selanjutnya dianalisis dengan menggunakan perspektif fiqh.
1Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, tidak membicarakan cek secara langsung tetapi dengan memfatwakan tentang giro yang cek muncul darinya. Fatwa tentang giro pada bank konvensional dilarang, sedangkan giro pada perbankan syari'ah dibolehkan oleh fatwa tersebut. Lihat Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional yang diterbitkan oleh Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia dengan Bank Indonesia, edisi kedua 2003. Penelusuran produk perbankan syari'ah diketahui bahwa cek digunakan di semua bank yang ada dengan membuka rekening giro. Cek menjadi alat pembayaran dalam dunia bisnis baik giro yang terdapat pada bank-bank konvensional atau bank-bank syari'ah.
376 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
B.
377
Pengertian Cek dan Kegunaannya
Surat cek adalah surat berharga yang memuat kata “cek/cheque”, di mana penerbitnya memerintahkan kepada bank tertentu untuk membayar sejumlah uang kepada orang yang namanya disebut dalam cek, penggantinya atau pembawanya pada saat diunjukkan.2 Purwosutjipto juga menyebutkan bahwa cek harus dipandang sebagai alat pembayaran tunai seperti uang biasa. Menurutnya tujuan penerbitan surat cek adalah untuk meningkatkan jaminan pembayaran. Oleh karena itu berkenaan dengan ketentuan penerbitan cek terdapat hal-hal sebagai berikut : a. cek hanya diterbitkan kepada bankir; b. cek boleh diterbitkan, jika bankir telah mempunyai dana untuk pembayaran itu; dan c. cek berlaku dalam waktu singkat. Menurut Lucas sebagaimana dikutip Anwari3 cek adalah perintah pembayaran (kepada bank) dari orang yang menandatanganinya untuk membayar kepada orang yang membawanya atau orang yang namanya tersebut di atas cek sejumlah uang yang tertera di atasnya. Yang dimaksud dengan orang yang menandatangani cek di sini, adalah orang yang mempunyai rekening giro di bank. Seperti diketahui, cek itu dapat digunakan untuk melakukan pembayaran, meskipun bukan alat pembayaran yang sah, karena alat pembayaran yang sah itu adalah uang. Karena orang bisa saja menolak pembayaran dengan cek, tatapi tidak dengan uang. Apabila seseorang menolak pembayaran dengan uang ia dapat dituntut. Dari pemaparan di atas diketahui bahwa cek adalah surat berharga yang berfungsi sebagai alat bayar dan dipandang sebagai alat bayar tunai seperti uang biasa. Tetapi bila dicermati benar masih dapat dibedakan antara cek dan uang sebagai alat bayar. Anwari4 membedakan antara keduanya sebagai berikut: Umur cek hanya 70 hari sejak dari tanggal dikeluarkan, sedangkan umur uang tidak terbatas, selama undang-undang mengenai uang tersebut belum dicabut. Demikian pula bahwa setiap orang dapat atau berhak menolak pembayaran yang dilakukan dengan cek, bilamana ia tidak percaya pada pemilik atau bank yang mengeluarkan cek itu. Sedangkan terhadap uang, setiap orang harus menerima pembayaran yang dilakukan 2Purwosutjipto, H.M.N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1990), p. 12. 3Anwari, Apakah Cek Itu (seri mengenal Bank 2), (Jakarta: Balai Aksara, 1983), pp. 78. Selanjutnya disebut cek. 4Anwari, Cek, pp. 7-8.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
377
378
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
dengan uang. Apabila menolak pembayaran ini, seseorang itu dapat dituntut. Cek pada prinsipnya hanya digunakan untuk satu kali pembayaran saja, walaupun mungkin terjadi pindah tangan beberapa kali. Adapun uang dapat dipergunakan untuk pembayaran yang tidak ada batasnya. Dari adanya perbedaan antara cek dan uang biasa di atas, terhadap cek seseorang yang menerima transaksi pembayaran jenis ini menurut Alma, harus lebih hati-hati, karena sangat boleh jadi cek tersebut kosong5 Meski sebenarnya tindakan preventif dari hal-hal yang tidak diinginkan pemegang cek dapat meminta kepada pihak bank suatu “fiat bayar” di bagian depan cek yang telah diisi dan ditanda-tangani. Pembubuhan tanda fiat bayar itu dimaksudkan agar pada suatu saat bila cek tersebut hendak diuangkan dapat diterima oleh bank, karena sisa dana masih cukup untuk memenuhi penarikan tersebut. Namun, karena pihak bank acapkali lalai menyisikan uang untuk cek yang telah difiat, maka fiat bayar sedemikian rupa sejak 16 Mei 1975 tidak diperkenankan lagi oleh Bank Indonesia6. Adapun macam-macam cek dan kegunaannya bagi berbagai pihak dijelaskan Anwari sebagai berikut:7 1. Cek atas unjuk. Pihak bank akan membayar kepada siapa saja yang membawa, menunjukkan dan menguangkan cek kepada bank. 2. Cek atas nama. Pihak bank akan membayar kepada orang atau badan yang namanya tertera pada cek itu. 3. Cek silang atau cross cheque. Cek seperti ini tidak dapat diuangkan. Dapat ditulis atas nama atau atas unjuk. Cek silang ini diberi tanda dua garis paralel di ujung atas sebelah kiri dan biasanya di antara kedua garis itu bertulis “HANYA UNTUK DISETORKAN”. Cek silang ini ada dua macam, silang umum dan silang khusus. Silang umum yaitu jika dalam dua garis tidak ditulis apa-apa atau ditulis bank saja. Silang khusus, yaitu jika dalam dua garis itu disebutkan nama bank. Silang umum dapat diganti menjadi silang khusus, tapi tidak sebaliknya. Cek silang umum hanya boleh dibayar kepada sesuatu bank oleh yang kena tarik saja. Sedangkan cek bersilang khusus hanya boleh dibayar kepada bank yang namanya yang tersebut dalam dua garis itu, atau kalau yang disebutkan itu kebetulan bank yang kena tarik sendiri, maka pembayaran hanya kepada salah seorang nasabahnya. Bank yang ditunjuk itu dapat menyerahkan cek bersilang khusus itu kepada bank lain untuk diinkaso (ditagih). 5Buchari
Alma, Ajaran Islam Dalam Bisnis, (Bandung: Alfabeta, 1994), pp. 65-66. Cek, p. 32. 7 Ibid., pp. 21-23.
6Anwari,
378 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
379
4.
Cek atas nama atau si pembawa, pihak bank akan memperlakukan cek semacam ini, sebagai cek atas unjuk biasa. Tetapi apabila sebutan “atau si pembawa” dicoret, maka cek ini akan berlaku atas nama. 5. Cek yang diberi tanggal kemudian atau disebut postdate check. Yaitu cek yang bertanggal maju, yaitu tanggal menulisnya lebih muda dari tanggal menguangkannya. Dengan kata lain, tanggal menguangkan cek ini tidak sama dengan tanggal menerbitkannya. Selain dari macam-macam cek yang disebutkan di atas, ada pula yang disebut traveller’s check. Macam cek yang disebutkan terakhir ini digunakan oleh orang-orang yang berpergian yang berlaku dalam lingkungan tertentu seperti hotel, kantor urusan perjalanan. Dalam lingkungan ini traveller’s check tersebut menduduki fungsi sebagai uang kertas bank (uang kartal). Selain itu ada juga istilah cek kosong adalah cek yang pada saat penarikan/penguangan cek itu tidak didukung oleh adanya dana yang cukup di bank atau jumlah uang yang tertera pada cek lebih besar dari sisa dana di bank. Sebagai alat penarikan dana dari bank, maka cek mempunyai kegunaan sebagai berikut: a. Bagi nasabah giro: Bagi nasabah bank, cek adalah sebagai alat penarikan dana dari bank, sebagai alat pembukuan transaksi-transaksi penarikan/pengurangan dana di bank, sebagai salah satu alat pengawas sisa dana yang ada di bank serta sebagai salah satu alat penyelesaian utang piutang dengan pihak ketiga. b. Bagi bank: Cek merupakan alat pembayaran tunai, pemindah-bukuan dari satu rekening ke-rekening giro lainnya, pengurangan dana dari penarik cek, serta sebagai alat pembukuan. c. Bagi pemegang cek: Bagi pemegang cek, cek adalah sebagai alat pengganti uang tunai, sebagai salah satu alat penyelesaian tagihan pihak lain. C. Cek dalam Pandangan Fiqh Perlu dikemukakan bahwa cek hanya akan dicermati pada fungsinya sebagai alat bayar dalam transaksi jual beli. Jelasnya, pihak yang memiliki simpanan uang di bank menggunakan surat/formulir cek sebagai alat bayar ketika ia melakukan transaksi jual beli tertentu. Dalam fiqh dikenal adanya empat jenis jual beli berdasarkan barang tukaran (alat bayar) yang dipergunakan, yaitu: a. Jual beli muqayadhah, yaitu jual beli barang dengan barang. Jual beli seperti ini dikenal juga dengan barter. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
379
380
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
b. Jual beli muthlaq, yaitu jual beli barang dengan uang. Jual beli cara ini sangat lazim dipraktekkan pada zaman modern sekarang. c. Sharf, yaitu jual beli uang dengan uang; sejumlah uang dari mata uang tertentu ditukar dengan mata uang lain yang diinginkan. Jual beli cara ini disebut juga dengan jual beli valuta. d. Salam, yaitu jual beli terhadap jenis barang tertentu yang belum ada ditempat aqad dengan harga tertentu. Barang yang dibeli akan diterima oleh pembeli sesuai dengan waktu yang ditentukan8 Sebelum menempatkan cek termasuk pada alat bayar salah satu dari empat hal di atas atau tidak, akan dianalisis terlebih dahulu apakah cek itu termasuk mal atau bukan, mal mutaqawwim atau bukan dalam pandangan fiqh. Sebab, sesuatu yang dipandang sebagai mal dan mal mutaqawwim-lah yang dibolehkan fiqh bertransaksi atasnya. 1. Cek Sebagai Harta atau Bukan Harta Mengacu kepada defenisi harta yang dibuat oleh ulama Hanafiyah sebagai ma yamilu ilaihi thab’u al-insan wa yumkinu iddikharuhu ila waqti alhajah (sesuatu yang diminati manusia dan mungkin disimpan sampai waktu yang dibutuhkan)9. Ahmad al-Zarqa’ mengemukakan beberapa definisi lain dari ulama Hanafiyah dan melakukan kritik terhadap definisi-definisi itu sebagai definisi yang kabur dan tidak mencakup. Menurutnya Ulama Hanafiyah memandang harta dengan menitik-beratkan hanya pada aspek kongkritnya saja10 Redaksi dari Wahbah al-Zuhaili tentang defenisi harta dari ulama Hanafiyah adalah segala sesuatu yang dapat dihimpun, dimiliki dan dimanfaatkan dengan cara biasa. Definisi ini memuat dua unsur:11 Dapat dihimpun dan dimiliki : Tidak termasuk harta sesuatu yang tidak dapat dimiliki seperti hal-hal abstrak semisal ilmu, kesehatan, kemuliaan, kecerdasan. Demikian pula yang tak dapat dikuasai seperti udara segar, panas matahari, cahaya bulan. 1. Dapat dimanfaatkan dengan cara biasa: Yang jelas tak boleh dimanfaatkan seperti bangkai, makanan beracun, atau rusak. Ataupun bermanfaat namun tidak biasa dipergunakan orang seperti sebutir gandum, setetes air, segenggam tanah, tak dihitung sebagai harta karena 8Wahbah
al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), pp. 595-596. 9Ibnu ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar, Jilid 5, (Kairo: Musthafa al-Babi alHalabi wa Auladuh, t.t.), pp. 50-51. 10 Mushtafa Ahmad al-Zarqa’, Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am (al-Fiqh al-Islam fi Tsaubihi al-Jadid), jilid 3, (t.tp., Dar al-Fikr, t.t.), pp. 114-116. 11Al-Zuhaili, Al-Fiqh, jilid 4, pp. 40-41. 380 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
381
tak dapat bermanfaat tanpa yang lain. Demikian pula kebiasaan menuntut adanya kemanfaatan yang terus menerus dan dalam keadaan normal. Adapun manfaat yang diperoleh dari sesuatu ketika darurat, seperti memakan bangkai disaat sangat lapar, tidak menyebabkan daging bangkai sebagai harta. Ahmad Al-Zarqa’12 melihat unsur penting dari sesuatu yang dipandang harta ada dua hal yaitu materi (al-ainiyah) dan adat kebiasaan (alurf). Yang dimaksudkan al-ainiyah adalah sesuatu yang dipandang harta itu berwujud nyata (konkrit). Sedangkan yang ia maksudkan dengan al-urf adalah kebiasaan semua orang atau sebagian, menjadikan sesuatu itu sebagai harta dan menjaganya, sehingga berlaku pada sesuatu tadi pengorbanan dan pencegahan (bazl wa man’u). Bila hal tersebut tidak diberlakukan maka sesuatu itu tidak disebut mal sekalipun benda kongkrit seperti manusia merdeka, sebutir gandum, serpihan roti, segenggam tanah dan bangkai (jifah). Al-Zarqa’ menempatkan nilai sesuatu (qimah) pada unsur urf. Dengan kata lain, sesuatu yang mungkin tidak memiliki nilai pada urf suatu masyarakat, mungkin saja bernilai pada urf masyarakat yang lain dan sejauh yang ditolerir oleh syari’at sesuatu tadi adalah harta. Jumhur ulama selain Hanafiyah mengemukakan definisi harta sebagai segala sesuatu yang mempunyai nilai (qimah) yang apabila rusak maka orang yang merusaknya wajib mengganti13. Definisi ini diilhami oleh definisi harta oleh imam Syafi’i r.a. Menurut imam Syafi’i tidaklah dinamakan harta kecuali terhadap sesuatu yang mempunyai nilai, dapat diperjual-belikan, yang merusak wajib mengganti meskipun sedikit nilainya dan sesuatu yang tidak dibuang oleh manusia seperti uang serta yang seumpama dengan itu (Al-Suyuthi, 1983:327). Menurut Jumhur harta tidak saja terbatas pada sesuatu yang berujud juga termasuk yang tidak berujud seperti manfaat dan hak. Pada definisi harta dari Jumhur ulama ini menitik beratkan pada daya guna atau manfaat dari suatu benda, karena menurut Zaidan14 daya guna dan kemanfaatan dari benda itu sendirilah yang dituju, adapun benda yang tidak bermanfaat tidak menjadi harta. Cek seperti diketahui adalah berupa lembaran kertas berujud (ainy) yang dapat dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan menurut tata aturan yang berlaku (adat kebiasaan) dan bukan termasuk sesuatu yang pemanfaatannya dilarang secara tegas dalam syari’at sebagaimana bangkai, babi, khamr dan sebagainya. Menurut penulis, cek dapat dikatagorikan harta oleh ulama Hanafiyah. Demikian pula bila dipandang dari definisi 12
Al-Zarqa', Al-Fiqh al-'Am, jilid 3, p. 117. Al-Fiqh, jilid 4, p. 142. 14A. Karim Zaidan. Al-Madkhal li Dirasati al-Syari’ah al-Islamiyah, (Iskandariyah: Dar Umar bin Al-Khattab, t.t.), p. 219. 13 Al-Zuhaili,
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
381
382
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
harta menurut Jumhur yang lebih menekankan aspek kemanfaatannya atau nilainya, cek memenuhi syarat dipandang sebagai harta karena memiliki manfaat dan bernilai. Dengan demikian, tampaknya baik dari kalangan ulama Hanafiyah maupun Jumhur ulama dapat menerima cek sebagai harta sekalipun dalam persoalan defenisi harta titik tekan mereka berbeda. 2. Cek Dipandang sebagai Mal Mutaqawwim atau Bukan Yang dimaksud harta berharga (mal mutaqawwim) adalah harta yang sudah dimiliki oleh seseorang dan boleh dimanfaatkan menurut syari’at dalam keadaan normal15 Adapun harta yang tidak berharga adalah harta yang belum dimiliki atau harta yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dalam keadaan darurat.16 Tujuan adanya pembagian mal mutaqawwim dan mal ghaira mutaqawwim berguna bagi kebolehan atau ketidakbolehan mengadakan transaksi jual beli, sewa menyewa, hibah dan ada atau tidak adanya kewajiban mengganti bagi perusak harta tersebut. Terhadap mal mutaqawwim transaksi di atas diperbolehkan serta terdapat kewajiban mengganti bagi perusak benda tersebut, sedangkan terhadap mal ghaira mutaqawwim adalah kebalikannya.17 Al-Zarqa’18 dan Ash Shiddieqy19 menjelaskan arti mutaqawwim sebagai ma yubahu al-intifa’ bihi syar’an dan ghaira mutaqawwim sebagai ma la yubahu al-intifa’bihi syar’an. Adakalanya mutaqawwim dimaksudkan terhadap harta yang telah dihimpun/dimiliki (al-mal al-muhraz) juga adakalanya dimaksudkan terhadap harta yang bernilai (zi al-qimah). Ikan di lautan— tulis al-Zarqa’—sebelum dijaring oleh nelayan bukanlah mutaqawwim. Demikian juga yang memiliki nilai atau manfaat belum menjadi berharga, ia menjadi berharga (mutaqawwim) dengan akad sewa menyewa (dalam pandangan Hanafiyah).20 Semua harta pada dasarnya boleh dimanfaatkan menurut syari’at yakni boleh dijadikan objek akad. Hal ini didasarkan pada firman Allah Q.S. 2:29 yang berarti: “Allahlah yang menciptakan semua yang ada dibumi untuk kamu”. Lalu ulama fiqh mengeluarkan sebuah kaedah “alashl fi al-asyyai al-ibahah (pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya boleh). 15
A. Karim Zaidan. Al-Madkhal, p. 220. Al-Zuhaili, Al-Fiqh jilid 4, p. 44. 17 Ibid., pp. 44-45, A. Karim Zaidan, Al-Madkhal, p. 221. 18 Al-Zarqa', Al-Fiqh al-'Am, jilid 3, p. 124. 19Hasbie Asshiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), p. 16
144. 20 Lihat
Al-Zarqa', Al-Fiqh al-'Am, jilid 3, p. 125.
382 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
383
Larangan haram memanfaatkan datangnya kemudian bila terdapat nash yang menjelaskannya. Bila tidak ada dalil, hukumnya boleh memanfaatkannya. Firman Allah dalam QS. 6:145 menyebutkan benda-benda yang diharamkan adalah: 1) bangkai; 2) darah yang mengalir; 3) daging babi; 4) sembelihan dengan nama selain Allah. Kemudian surat. 5:3 menyebutkan benda yang diharamkan adalah: 1) bangkai; 2) darah; 3) daging babi; 4) hewan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah; 5) hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, diterkam binatang buas (kecuali sempat disembelih); 6) sembelihan untuk berhala; 7) mengundi nasib dengan anak panah. Dan menurut surat. 5:90 benda yang diharamkan adalah: 1) minum khamr; 2) berjudi; 3) berkorban untuk berhala; 4) mengundi nasib dengan anak panah. Terhadap benda-benda yang disebutkan di atas, para ulama sepakat memandangnya bukan sebagai mal mutaqawwim bagi Muslim yang memilikinya, sehingga tidak terdapat kewajiban mengganti akibat perusakan benda-benda tersebut seperti membunuh babi dan menghancurkan botol-botol yang berisi khamr. Demikian juga tidak dibolehkan transaksi jual-beli terhadap benda-benda tersebut, bila dilakukan transaksi (akad) itu dihukumi batal.21 Namun terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama terhadap barang-barang seperti khamr dan babi yang dimiliki oleh non muslim (zimmi). Apakah benda-benda itu dipandang sebagai mutaqawwim sehingga merusaknya mewajibkan perusak menggantinya, atau tidak. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah khamr dan babi itu adalah mal mutaqawwim bagi non muslim (zimmi) oleh karenanya perusak harus menggantinya. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah tidak wajib mengganti. Hanafiyah dan Malikiyah beralasan kewajiban mengganti, karena Islam tidak memaksa mereka masuk Islam dan menghormati mereka dengan memberikan kebebasan menganut agamanya. Sedangkan alasan Syafi’iyah dan Hanabilah tidak ada kewajiban mengganti ialah bahwa suatu mal itu mutaqawwim hanya dilihat dari sudut pandang Islam bukan dari sudut pandang non Islam.22 Wahbah al-Zuhaili23menyatakan bahwa jumhur ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa babi, khamr, bangkai dan sebagainya tidak termasuk mal mutaqawwim bagi non muslim. Karena non muslim yang hidup di negeri Muslim harus tunduk kepada hukum Islam dalam bidang 21
Ibid., p. 126. A. Karim Zaidan, Al-Madkhal, p. 221. mengutip dari Bada’i al-Shana’i, jilid 5, pp. 16,113, Al-Um, p. 131, Al-Mughni, jilid 5, p. 271. 23 Al-Zuhaili, Al-Fiqh jilid 4, p. 44. 22 Lihat
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
383
384
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
mu’amalat, hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara adalah sama dengan seorang Muslim. Dalam hal ini agaknya pendapat ulama Hanafiyah dan Malikiyah lebih mengena, karena bagaimanapun juga Islam menghargai kepercayaan dan aturan yang berlaku dari agama non Islam seperti Kristen dan Yahudi, serta larangan memaksakan keyakinan Islam kepada mereka. Sikap toleransi beragama tadi meliputi juga terhadap sesuatu yang mereka pandang sebagai harta berharga haruslah dilindungi, dan mestilah menggantinya manakala terjadi perusakan terhadap harta itu sekalipun dalam pandangan Islam sesuatu itu tidak dipandang sebagai harta berharga, seperti babi dan khamr di atas. Kembali ke persoalan cek apakah sebagai mal mutaqawwim atau bukan. Bila mencermati pengertian yang diberikan oleh para ulama seperti telah disebutkan, berikut apa dan bagaimana suatu harta itu dipandang berharga atau tidak, penulis berpendapat cek dapat dipandang sebagai mal mutaqawwim atas realitanya sebagai berikut: 1. Cek dapat dimiliki oleh siapa saja dengan cara meminta pihak bank mencantumkan namanya pada rekening giro, karena ia mempunyai sejumlah simpanan uang pada bank tersebut; maka cek tersebut menjadi mal mutaqawwim miliknya. 2. Cek memiliki nilai atau berharga (qimah). 3. Cek telah lazim dipergunakan oleh para pedagang, karenanya memenuhi persyaratan sebagai harta. Dengan kata lain penggunaan cek telah menjadi urf dikalangan para pedagang. 4. Cek bukan termasuk benda yang pemanfaatannya dilarang oleh syari’at seperti pada benda-benda yang disebutkan terdahulu. Dengan demikian wujud kongkrit dari lembaran Cek yang menjadi milik seseorang itu dipandang sebagai harta berharga (mal mutaqawwim) yang membawa kepada kebolehan transaksi jual-beli, hibah, wasiat dan sebagainya. Demikian pula adanya konsekuensi mengganti bagi orang yang merusaknya dalam arti luas. Hanya saja cek seperti diketahui, lazimnya berhubungan dengan bank-bank non-Islam (bank konvensional) di mana fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan baik perorangan maupun badan guna investasi dalam usaha-usaha produktif dan lain-lain dengan sistem bunga, sedangkan telah diketahui bunga bank diperdebatkan halal atau haramnya. 3.
Cek sebagai Alat Bayar dalam Sistem Perbankan Konvensional
Di atas telah dibicarakan adanya empat jenis jual beli berdasarkan barang tukaran yang dipergunakan. Penulis cenderung memasukan cek 384 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
385
pada kategori jual beli kedua yaitu bai’u muthlaq, yang menjadikan uang sebagai alat bayar atau alat tukar barang. Hanya persoalannya surat cek memiliki perbedaan dengan uang biasa sebagaimana dipaparkan di awal. Cek selanjutnya akan dibahas dengan mengaitkannya pada sistem perbankan yang memakai bunga (interest), di mana terlihat mencuatkan perbedaan pendapat. Ada yang memandang bunga bank itu sebagai riba, ada pula yang melihatnya tidak riba. Sebelum membicarakan status bunga bank yang nantinya sedikit banyak cek menjadi terkait, akan dijelaskan dahulu apa yang dimaksud dengan riba itu sendiri. Riba yang berasal dari bahasa Arab artinya tambahan (ziyadah), yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman.24Al-Jurjani mendefenisikan riba sebagai berikut: "Al-riba fi al-syar’i huwa fadhlu khalin ‘an ‘iwadhin syuritha liahadi al-‘aqidain (kelebihan pembayaran tanpa ada ganti yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad.25 Sebagai contoh, Badu memberi pinjaman kepada Usro’ dengan syarat bahwa Usro’ harus mengembalikan uang pokok pinjaman beserta sekian persen tambahannya. Adanya tambahan sebagai syarat dari peminjaman uang pokok sebagai yang disebutkan, itulah yang disebut riba. Ulama membagi riba kepada dua macam, yaitu riba nasiah dan riba fadhl. Riba nasiah, riba yang dipraktekkan oleh orang-orang jahiliyah dahulu kala yakni berupa kelebihan pembayaran yang dimestikan kepada orang yang berutang sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diberikan.26 Ulama sepakat menyatakan bahwa ayat-ayat riba yang turun seperti QS. 2:275, 276,278, QS. 3:130, QS. 30:39 dan ayat-ayat yang terkait, adalah berkenaan dengan riba nasiah. Salah satu sabda nabi mengenai riba nasiah (bertempo) sebagaimana yang diterjemahkan oleh Hamzah Ya’qub berikut: Berkata Abu Shalih az-Zayyad, saya mendengar Abu Said Al-Khudri berkata: “Dinar dengan dinar dan dirham dengan dirham”. Maka saya bertanya kepadanya: “Sesungguhnya Ibnu Abbas tidak mengatakan demikian”. Maka berkata Abu Said: “Saya sudah bertanya kepadanya, kata saya: “Adakah engkau mendengarnya dari nabi atau engkau menemukannya dalam kitabullah? Ibnu Abbas menjawab: “Semua itu saya tidak mengatakan, dan engkau adalah orang yang lebih tahu dengan 24Maulana M. Ali, The Religion of Islam, (Lahore: The Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1950), p. 721. 25Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1938), p. 97. 26Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Hukum Islam, (Bandung: Diponegoro, 1992), p. 176.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
385
386
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
Rasulullah dari pada saya. Akan tetapi Usamah menceritakan kepada saya bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak ada riba melainkan bertempo” 27 Adapun riba fadhl berkaitan dengan jual-beli, yakni kelebihan yang diperoleh dalam tukar menukar barang sejenis. Misalnya emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum dan lain sebagainya. Salah satu hadits Nabi yang melarang riba fadhl terlihat sebagai berikut: Emas dengan emas, perak dengan perak, beras gandum dengan beras gandum, padi gandum dengan padi gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam harus sama dan tunai; bila jenis itu berbeda-beda, maka juallah sekehendakmu, selagi dengan tunai.28 Hadits di atas menurut Masjfuk Zuhdi29 mengingatkan kepada umat Islam bahwa: 1. Jual beli barter pada enam macam barang tersebut yang sama jenis dan 'illatnya dilarang oleh Islam, kecuali telah memenuhi dua syarat: a). sama banyak dan mutunya, b). kontan. Dua syarat tersebut bertujuan mencegah adanya unsur riba dalam jual beli barter. Apabila jual di atas tidak sama banyak dan mutunya, dicontohkan 5 gr emas 24 karat dibarter dengan 8 gr emas 21 karat, atau 10 kg beras no.1 dibarter dengan 15 kg beras no.3, jual beli barter seperti ini tidak boleh. Diperoleh kebolehan dengan cara menjual terlebih dahulu kualitas yang lebih rendah atau sebaliknya, hasil jual itu dibelikan kepada barang yang dikehendaki. 2. Jual beli barter antara enam macam barang tersebut pada hadits yang berbeda jenisnya, tetapi sama illat hukumnya adalah sah jual belinya dan boleh ada kelebihan, tetapi harus tunai. Misalnya 1 gr emas dibarter dengan 7 gr perak, atau 1 kg kurma dibarter dengan 40 kg garam. 3. Jual beli barter antara enam macam itu yang berbeda jenis dan illat hukumnya adalah sah tanpa syarat harus sama dan tunai. Misalnya 1 gr emas dibarter dengan 10 kg kurma. Mengutip Ashshiddiqy 30 para ulama berbeda dalam melihat illat keribaan dari enam macam yang disebutkan oleh hadits tersebut. Menurut Syafi’i emas dan perak bila tidak dengan dua ketentuan yang telah disebutkan, illatnya terletak pada bahwa keduanya masuk jenis harga. Abu Hanifah berpendapat bahwa illat keribaan kedua benda itu ditimbang, karenanya terhadap selain emas dan perak yang ditimbang juga dilarang. Adapun yang empat macam lagi menurut Syafi’i dan qaul jadidnya ialah karena benda-benda itu jenis makanan, karenanya semisal minyak makan 27 Muttafaq
‘alaih. Lihat HamzahYa’qub, Kode Etik, p. 177. Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Ubadah bin Shamit. 29Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Cet.6, (Jakarta: CV. H. Masagung, 1993), pp. 105-106. 30 Hasbie Asshiddieqy, Al-Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), pp. 373-374. 28H.R.
386 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
387
tidak dibolehkan adanya kelebihan (riba). Di kalangan ahlu zhahir (kaum literalis) tidak setuju mencari-cari illat riba. Menurut mereka riba hanya tertentu dengan yang enam macam itu saja. Selain Zahiriyah yang memperpegangi pendapat terbatasnya riba fadhl hanya pada enam macam saja, adalah qatadah, Thawus, Ustman AlBatti, Ibnu ‘Aqil al-Hanbali. Mazhab Maliki memandang keharaman riba fadhl pada makanan yang disebutkan (illatnya) karena merupakan makanan pokok yang biasanya menguatkan tubuh. Masih terdapat beberapa pendapat ulama tentang riba fadhl ini, seperti pendapat Muhammad Abduh, Ibnu al-Qayyim dan lain-lain, namun tidaklah penting menurunkan semua pendapat itu. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa keharaman riba fadhl para ulama masih berbeda pendapat, sedangkan terhadap riba nasiah sepakat akan keharamannya.31Praktek riba nasiah masih dilakukan di zaman ini yang menurut sebagian ulama terdapat pada mekanisme bank konvensional dan sebagian yang lain tidak setuju dengan pendapat tersebut. Wahbah al-Zuhaili secara tegas menyatakan praktik bank itu sebagai bagian dari riba al-nasiah dengan alasan bank ini memberikan harta atau meminjamkan uang bertempo dengan memakai faidah, tahunan atau bulanan seperti 7 persen, 5 persen atau 2 persen. Alasan lain bahwa urf manusia sekarang riba disebut keuntungan harta manakala bertempo, maka itu adalah riba nasiah, sedangkan riba fadhl masa sekarang ini jarang sekali terjadi. Oleh karena itu, menurutnya seperti praktik perbankan konvensional itulah riba nasiah yang menjadi objek hadits dan diperingatkan akan bahayanya. Syekh Muhammad Abu Zahrah sebagai dikutip Hamzah Ya’qub berpendapat32 bahwa riba sudah jelas keharamannya dalam al-Qur’an. Namun, orang tertarik kepada sistem perekonomian Yahudi yang menguasai ekonomi dunia. Mereka memandang darurat, mencoba mentakwilkan makna riba, padahal menurutnya sudah jelas bahwa makna riba itu ialah riba yang dilakukan oleh semua bank dewasa ini yang tidak diragukan lagi keharamannya. Syeikh Maula Abu Su’ud Al-Ammari berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya mau mengatakan bahwa rente bank itu halal hukumnya akan tetapi pada masa kini tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh oleh umat Islam untuk dapat hidup seperti umat lain. Maka keadaannya sudah menjadi darurat. Ia mensitir sebuah kaidah ushul fiqh, bahwa keadaan darurat membolehkan 31Lihat 32
HamzahYa’qub, Kode Etik, pp. 180-183. HamzahYa’qub, Kode Etik, p. 195.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
387
388
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
yang dilarang. Menurutnya dewasa ini tidak mungkin umat Islam dapat ikut serta memegang perekonomian, tanpa melalui bank-bank dunia. Oleh karena itu, daruratlah hukumnya mengikuti sistem berniaga dengan memakai saluran bank.33 Keputusan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang diadakan oleh MUI tanggal 19-22 Agustus 1990 di Cisarua-Bogor satu di antara point terpentingnya menyebutkan: Dalam hubungan itu, dengan melihat kenyataan hidup yang ada dan untuk menghindari kesulitan (masyaqqah) karena sebagian umat Islam terlibat dengan sistem bunga bank, maka dapat dimungkinkan ditempuhnya ‘rukhshah’ (pengecualian) dari ketentuan baku, sepanjang dapat dipastikan adanya kebutuhan (qiyamu hajatin) umum demi kelanjutan pembangunan nasional, ataupun secara khusus untuk mempertahankan kehidupan pribadi pada tingkat kecukupan.34 Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah dari laporan penelitian Djamil35 menyatakan bahwa terdapat illat yang sama antara keharaman riba dengan praktik perbankan konvensional. Illatnya adalah al-zhulm, penghisapan dan pemerasan terhadap peminjam, oleh karenanya bunga bank sama dengan riba dan hukumnya haram. Namun, putusan ini berlaku bagi bank-bank swasta (yang nota benenya memberikan suku bunga relatif lebih tinggi). Adapun bunga bank pada bank pemerintah illat tadi dianggap belum meyakinkan. Karena itu, hukum bunga bank milik pemerintah adalah musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlaq. Fathurrahman Djamil menulis bahwa Muhammadiyah sudah membenarkan praktik perbankan konvensional dengan melihat sebabsebab tertentu misalnya adanya kepentingan masyarakat ataupun kepentingan pribadi yang sesuai dengan maksud-maksud dari pada tujuan agama Islam pada umumnya, sehingga perkara musytabihat itu dikerjakan sesuai dengan kepentingan itu. Dengan demikian meski agaknya terdapat perbedaan metode dalam menelaah riba dan bunga bank antara MUI dan Muhammadiyah, namun keduanya sepakat boleh bermu’amalah dengan bank konvensional karena darurat, meski menurut Djamil36 penetapan istihsan bi al-darurat pada kasus bunga bank oleh Muhammadiyah tidak sepenuhnya diterapkan. Pendapat yang menghalalkan bunga bank dan bermu’amalah dengan bank konvensional adalah sebagai berikut: Menurut Mahmod Syaltut 33 Ibid.,
p. 197. M. Amin. Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Buku 2, (Jakarta: Penerbit Bangkit, t.t.), p. 133. 35 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), p. 126. 36 Ibid., p. 133. 34Lihat
388 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
389
bahwa bunga tabungan adalah halal. Uang yang ditabung di pos (bank) bukan berarti pemilik pos (bank) yang berutang, bank juga tidak meminjam kepada pemilik uang. Pemilik uang sendirilah yang mendatangi pos (bank) supaya uangnya diterima. Karena pemilik uang tahu bahwa bank memutarkan uangnya dibidang perdagangan yang jarang dan tak ada mengalami kerugian. Tujuan penyimpanan ini juga—selain agar uang aman, membiasakan hidup hemat—juga membantu pihak bank memperluas lapangan usahanya, sehingga labanya akan banyak, karyawan memperoleh gaji yang laiak, hal mana juga berarti membantu pemerintah. Perbuatan ini dipandang baik dan berkat. Bila laba yang diperoleh disisihkan bagi penabung menurutnya tindakan ini berguna, manifestasi kegotong-royongan dari berbagai pihak yang terkait. Para ahli fiqh terdahulu sewaktu membahas bentuk-bentuk serikat dan syarat-syaratnya belum mengenal pengaturan dan jaminan keuntungan. Dengan berkembangnya masyarakat bermunculan bentuk-bentuk kerjasama baru dalam perekonomian yang didasarkan atas yang benar dan adil dengan tidak melanggar syara’.37 A. Hasan yang nampaknya berpegang pada kajian kebahasaan, melihat QS. 3:130 hanya melarang memakan riba dengan berlipat ganda. Ayat ini bersifat muqayyad sedangkan ayat-ayat yang lain bersifat muthlaq. Kaedah ushul fiqh membenarkan memperpegangi ayat yang muqayyad. Dengan demikian, menurutnya riba yang sedikit diperbolehkan. Oleh karena sedikit dan banyak itu tidak ada batas yang jelas, maka menurutnya kita sendirilah yang memberi batasannya. Tidak diberikan batasan oleh alQur’an dan hadits bukan suatu kealpaan, melainkan disengaja guna memberi kelonggaran kepada kita menurut tempat, zaman dan keadaan. Menurutnya sifat riba yang diharamkan itu esensinya sebagai berikut: 1. Memaksa, orang yang berhutang dipaksa bila sampai tempo membayar, antara membayar hutang atau menambah (tempo) sehingga berakibat bertambah pula prosentase kelebihan dari pinjaman pokoknya. Andaikata tidak dapat membayar terpaksa ia menerimanya. 2. Dharar, yaitu menimbulkan kesusahan lantaran berat dan mahalnya. Sekiranya ia berdagang dengan uang itu tidak dapat memperoleh keuntungan yang cukup untuk makan minum dan bayar hutang. 3. Berlipat ganda, yakni tidak terbatas. Walaupun riba yang dipungut itu kecil akan memberatkan juga lantaran berlipat gandanya. Adapun riba yang tidak diharamkan menurut A. Hassan ialah bila memenuhi persyaratan berikut: 1. Tidak berlipat ganda, 37
Lihat HamzahYa’qub, Kode Etik, p. 201.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
389
390
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
2. Tidak membawa kepada berlipat ganda, 3. Tidak mahal, sekiranya orang yang meminjam dapat berusaha dengan uang itu dengan tidak menanggung kerugian, dan 4. Pinjaman itu hendaklah untuk berdagang, bertani usaha pertukangan dan sebagainya (bukan keperluan konsumtif). Dalam kaitan dengan praktik bank konvensional, A. Hassan menerimanya, bahkan mengadakan bank itu wajib bagi mereka yang mampu, dalam pandangannya. Walaupun—tulis A. Hassan—mereka percaya haramnya riba sedikit dan banyak. Karena menurutnya sesuai kaidah agama dan akal bahwa menghilangkan kejahatan yang besar dengan satu kejahatan yang kecil itu diperintah.38 Pembahasan di atas hanya membicarakan status bunga bank yang melahirkan tiga pendapat secara garis besarnya. Pertama, mereka yang mengharamkan secara mutlak. Kedua, mereka yang mengharamkan bunga bank, namun membolehkannya karena darurat, dan ketiga, mereka yang memandang bunga bank itu memang halal. Cek yang belum dibahas dapat dipertanyakan bagaimanakah kedudukannya bila duhubungkan dengan realitanya yang merupakan bagian dari sistem perbankan berbunga? Terdapat sebuah hadits Nabi yang mengutuk semua orang yang terlibat dalam perbuatan riba, yaitu hadits riwayat Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah bersabda: La’ana Allahu Akila al-riba wamuwakkilahu wasyahidaih wakatibahu (Allah mengutuk orang yang memakan riba, orang yang mewakilinya, dua orang yang menyaksikannya serta juru tulisnya).39 Bagi kelompok ulama yang memandang riba ada pada bunga bank, berdasarkan hadits di atas, semua aktivitas perbankan akan dipandang sebagai aktivitas perbankan yang ribawi, termasuk cek karena ia merupakan bagian dari aktifitas bank. Bagi kelompok ulama yang memandang bunga bank tidak riba tentu tidak diancam dengan hadits di atas dan cek tidak ada masalah dalam pendayagunaannya. Cek dipandang sebagai mal dan menjadi mal mutaqawwim milik seseorang yang dapat menjadi alat bayar yang sah dalam pandangan syari’at. Demikian pula sebagai objek transaksi lain seperti hibah, wasiat dan sebagainya. Kedudukan cek pada kelompok ini adalah kebalikan dari kelompok yang disebutkan pertama. Bagi kelompok ulama yang memandang bunga bank adalah riba, karenanya haram, namun diperbolehkan karena darurat, kedudukan cek akan sejalan dengan bunga bank yaitu: sebenarnya cek itu haram karena 38 39
lihat A. Hassan, Riba, (Bangil: Percetakan Persatuan, 1975), p. 62. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), p. 174.
390 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
391
menopang kelangsungan perbankan ribawi, namun diperbolehkan karena darurat. Kondisi darurat berdasarkan penjelasan terdahulu tidak menjadikan sesuatu itu sebagai mal dan mal mutaqawwim milik seseorang. Dari beberapa pendapat di atas tentang bunga bank maupun cek, penulis memilih sependapat memandang riba bunga bank yang sebenarnya diharamkan, namun karena kondisi ummat Islam yang masih memerlukan hubungan mu’amalah dengan perbankan ribawi ini, maka berbagai aspek mu’amalah dengan bank ini diperbolehkan karena darurat. Kemunculan bank-bank Islam disatu sisi memang patut disyukuri karena merupakan alternatif dari bank konvensional ribawi di mana umat Islam mayoritas bermu’amalah denganya. Namun, sosialisasi bank-bank Islam masih kalah bersaing dari bank konvensional oleh faktor internal maupun eksternal. Secara umum keberadaan bank Islam menurut penulis belum dapat mengembalikan bank konvensional ke asal hukumnya yaitu riba dan haram tanpa ada rukhsah karena darurat, sehingga bermu’amalah dengan bank konvensional bagi Muslim masih darurat saat ini seiring dengan proses pertumbuhan dan pelayanan bank syari'ah. Bank konvensional sebagai bank yang tertua dan mapan dalam layanannya telah memberikan kemudahan dan rasa aman kepada nasabah salah satunya dengan memberlakukan cek. Sejalan dengan bunga bank, menggunakan cek1 pada bank konvensional juga adalah darurat. Hanya saja kedaruratan pada cek tidak dapat disamakan dengan kedaruratan mengkonsumsi daging babi atau khamr. Dua terakhir keharamannya secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits, sedangkan cek tidak demikian, sebagai halnya pandangan terhadap bunga bank, cek masih diperselisihkan. Bila kebolehan mengkonsumsi daging babi dan khamr dalam konteks mencegah kematian/berakibat fatal bagi jiwa, mendayagunakan cek diperbolehkan dalam konteks menghindarkan masyaqqah (kesukaran) di bidang ekonomi. Seperti diketahui mencegah kematian/yang berakibat fatal bagi jiwa diurutan pertama dari kebutuhan mutlak manusia dibandingkan menghindari masyaqqah dibidang ekonomi. Dengan demikian, kedaruratan pada daging babi dan khamr tidak menjadikannya sebagai mal apalagi mal mutaqawwim, meski pada cek— karena perbedaan-perbedaan di atas—tetap menjadi mal namun tidak menjadi mal mutaqawwim seseorang Muslim, sehingga dibolehkan transaksi jual beli dengan menggunakan cek, hibah, wasiyat dan sebagainya semuanya dalam konteks darurat. Sampai sosialisasi bidang ini, instrumen pendukungnya telah berjalan sangat baik pada perbankan syari'ah. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi bagi setiap Muslim yang bergerak di bidang bisnis untuk tidak menggunakan cek, dengan cara membuka rekening giro pada perbankan syari'ah. Dengan sistem yang handal dan menguntungkan SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
391
392
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
akan menarik minat siapa saja, sehingga peralihan dari bermu'amalah dengan produk perbankan konvensional kepada perbankan syari'ah tidak menimbulkan gejolak ekonomi. D. Kesimpulan Cek sebagai alat bayar dewasa ini memegang peranan besar dalam dunia perdagangan, baik oleh muslim maupun non muslim. Mencermati pengertian harta dan harta berharga yang dibuat oleh para ulama, maka cek secara umum terbilang memenuhi kriteria harta, tetapi tidak termasuk sebagai harta berharga, karena cakupan harta berharga diantaranya hukum asalnya adalah mubah. Cek sebagai bagian dari sistem perbankan kovensional yang kebolehannya bersifat darurat. Sesuatu yang dibolehkan karena darurat tidak mengubah status sesuatu itu menjadi harta berharga. Adapun menggunakannya sebagai alat pembayaran sejauh ini masih ditolerir atau dibolehkan. Status mu'amalah maliyah dengan menggunakan Cek dibolehkan karena darurat tersebut adalah terkait dengan hukum bermu'amalah dengan bank konvensional itu sendiri. Pendapat terpilih menyatakan riba nasiah yang dilarang oleh al-Qur'an itu ditujukan kepada sistem perbankan konvensional yang ribawi, namun menurut hemat penulis statusnya sampai hari ini bermu'amalah dengannya oleh kalangan muslim masih darurat, sampai sistem perbankan syari'ah, produkproduknya, praktik-praktiknya, berjalan dengan optimal sebagai yang dikehendaki oleh syari'. Dengan demikian, kesadaran untuk mengalihkan dari sistem perbankan konvensional kepada sistem perbankan syari'ah tumbuh dari dalam diri individu setiap Muslim. Bukan atas "ancaman dan agitasi" yang oleh sebagian Muslim menganggap tidak lebih dari refleksi dari persaingan bisnis berbasis agama dan bukan agama semata, bukan berbasis keunggulan sistem dan keuntungan.
392 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
393
Daftar Pustaka Abdulrasul, Ali, Al-Mabadi’ al-Iqtishadiyah fi al-Islam, t.tp., Dar al-Fikr alAraby, 1980. Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1938. Alma, Buchari, Ajaran Islam Dalam Bisnis, Bandung: Alfabeta, 1994. Al-Suyuthi, Al-Asybah wa Al-Nazhair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983. Al-Zarqa’, Mushtafa Ahmad, Al-Madkhal Al-Fiqh Al-‘am (al-fiqh al-Islam fi tsaubihi al-jadid), t.tp.: Dar al-Fikr, t.t. Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 4, Beirut: Dar alFikr, 1989. Anwari, Achmad, Apakah Cek Itu (seri mengenal Bank 2), Jakarta: Balai Aksara, 1983. Ash-Shidieqy, M. Hasbi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991. _______, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1989. Aziz, M. Amin, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Buku 2, Jakarta: Penerbit Bangkit, t.t. Djamil, H. Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: Logos, 1995. Hasan, Fuad dan Koentjaraningrat. 1991. Beberapa Azaz Metodologi Ilmiah, dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. Hassan, A., Riba, Bangil: Percetakan Persatuan, 1975. Ibnu, ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar, Jilid 5., Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, t.t. M. Ali, Maulana, The Religion of Islam, Lahore: The Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1950. Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1990.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
393
394
Subhan MA Rachman: Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah…
Ya’qub, Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Hukum Islam, Bandung: Diponegoro, 1992. Zaidan, A. Karim, Al-Madkhal Lidirasati al-Syari’ah Iskandariyah: Dar Umar bin Al-Khattab, t.t.
al-Islamiyah,
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Cet.6., Jakarta: CV. H. Masagung, 1993.
394 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam Teori Kesehatan Ibnu Sina Oleh : Khamidinal * Abstrak Jaman dahulu sedikit orang yang menderita penyakit. Banyak orang merasakan kesehatan yang prima. Akan tetapi kini banyak penyakit baru bermunculan dan diderita oleh orang-orang sekarang. Pada skala individu hal ini juga berlaku. Dahulu sewaktu masih usia di bawah lima puluh tahun, tubuh dalam keadaan sehat. Akan tetapi keaadan mulai berubah ketika usia di atas lima puluh tahun. Berbagai penyakit degeneratif mulai menjangkiti sebagian orang. Ibnu Sina menyatakan teorinya bahwa terjadinya penyakit pada tubuh manusia dikarenakan adanya ketidakseimbangan empat unsur dalam tubuh. Selanjutnya Ibnu Sina menyatakan bahwa organ-organ di dalam tubuh dapat dikelompokkan menjadi empat unsur yaitu, air, tanah, api, dan udara. Keempat unsur pada dasarnya merupakan unsur-unsur pembentuk tubuh manusia. Apabila keempat unsur tersebut berada dalam keadaan keseimbangan maka tubuh mempunyai kekebalan tubuh (immunity) yang baik. Kekebalan tubuh inilah yang akan membentengi tubuh dari berbagai macam penyakit. Kata kunci: empat unsur, keseimbangan, kekebalan tubuh, teori Ibnu Sina. A. Pendahuluan Ibnu Sina menyatakan bahwa terjadinya penyakit dikarenakan oleh ketidakseimbangan dalam tubuh. Terkait dengan kesehatan tubuh manusia, maka Ibnu Sina telah menyatakan dalam teorinya yang terkenal dengan teori empat unsur. Tubuh manusia secara umum terdiri dari empat unsur. Empat unsur tersebut adalah air, tanah, api, dan udara. Empat unsur tersebut harus secara harmonis keberadaannya di dalam tubuh manusia. Keharmonisan ini dapat dicapai jika keempat unsur tersebut berada dalam keadaan keseimbangan. Tubuh yang sehat adalah tubuh yang di dalamnya terdapat keseimbangan empat unsur tersebut. Unsur air, tanah, api, dan udara berada pada posisi seimbang. Namun, segalanya akan berubah jika salah satu unsur (biasanya unsur api) mendominasi unsur yang lain. Keadaan menjadi tidak seimbang. Keharmonisan empat unsur akan terganggu. Jika salah satu unsur mendominasi unsur-unsur yang lain, maka tubuh berada *
Dosen Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Khamidinal: Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam…
396
dalam keadaan yang kurang baik. Keadaan tubuh yang kurang baik ini mengakibatkan kekebalan tubuh (immunity) berkurang. Apabila keadaan seperti ini terus berlanjut dalam jangka waktu yang lama, maka berbagai penyakit akan menyerang. Kekebalan tubuh manusia mempunyai sifat dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Tubuh semakin sehat dan baik dengan bertambahnya kekebalan, dan kekebalan tubuh semakin sakit dan jelek dengan berkurangnya kekebalan. Kekebalan tubuh akan bertambah apabila empat unsur tersebut mengarah ke keadaan keseimbangan. Sebaliknya kekebalan tubuh akan berkurang apabila empat unsur tersebut mengarah kepada keadaan yang tidak seimbang. Keseimbangan adalah keadaan di mana komposisi dari keempat unsur tersebut sesuai dengan porsi (jumlah) yang sebenarnya diperlukan oleh tubuh. Kekebalan tubuh manusia mempunyai hubungan erat dengan empat unsur tersebut. Permasalahan selama ini adalah orang sering ingin meningkatkan kekebalan tubuhnya dengan tidak memperhatikan keseimbangan keempat unsur tersebut. Berbagai cara dilakukan orang agar kekebalan tubuhnya meningkat. Orang sering memakan makanan tertentu secara berlebihan, tanpa pertimbangan keseimbangan terhadap porsi makanan yang lain. Hasilnya adalah tidak seperti yang diharapkan. Kesehatan tidak kunjung didapatkan, bahkan penyakit yang dideritanya malah semakin memburuk saja. Terdapat pula orang yang memperbaiki tingkat kesehatannya dengan cara melakukan olah raga tertentu. Olah raga tertentu memang dapat meningkatkan kesehatan seseorang. Akan tetapi apabila tidak diimbangi dengan jenis olah raga yang lain, maka hasil yang diperoleh tidaklah maksimal. Dengan demikian, orang yang menginginkan kesehatan yang lebih baik lagi akan mendapatkan hal yang kurang memuaskan. Akibatnya orang cenderung untuk putus asa setelah melakukan olah raga tertentu selama waktu tertentu tidak kunjung mendapatkan kesehatan yang lebih baik lagi. Kesehatan tubuh merupakan hasil dari keseimbangan antara olah raga dan makan. Kesehatan yang terkait dengan hal makanan terdapat berbagai hal yang harus diperhatikan. Ada tiga hal yang harus diperhatikan terkait dengan makanan, pertama adalah apa yang dimakan, kedua bagaimana cara makan, ketiga seperti apa pola makan. Ibnu Sina mengatakan, janganlah engkau makan sampai makanan yang engkau makan sebelumnya telah tercerna.1 1
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti, Pengobatan Cara Nabi, Terjemahan Luqman Hakim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), p. 27. 396 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Khamidinal: Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam…
397
Kesehatan tubuh terkait erat dengan kekebalan tubuh, sedangkan kekebalan tubuh terkait dengan keseimbangan benda-benda di alam raya. Semua jenis benda di alam semesta ini dapat dipandang sebagai dua buah alam, pertama alam kecil (mikrokosmos) dan kedua adalah alam besar (makrokosmos). Secara makrokosmos maka alam raya ini berada dalam keadaan keseimbangan yang baik. Keseimbangan alam ini membuat makhluk hidup dapat berkembang dengan baik. Tidak ada dominasi satu makhluk hidup terhadap yang lain. Keadaan alam semesta pada posisi keseimbangan sehingga segala kebutuhan hidup makhluk-makhluk yang hidup di dalamnya bisa berlangsung dengan sempurna. B. Kesehatan Jasmani dan Kesehatan Akhlak. Setiap orang tentu menginginkan untuk sehat. Sehat yang diinginkan adalah sehat jasmani dan sehat rohani. Kesehatan jasmani seseorang selanjutnya akan berpengaruh pada kesehatan akhlak orang tersebut. Jasmani atau tubuh yang sehat terdapat pada tubuh yang mengandung unsur-unsur yang seimbang. Akhlak yang baik merupakan hasil dari keseimbangan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Setiap manusia mempunyai akhlak sendiri-sendiri. Setiap manusia mempunyai pilihan untuk menentukan akhlak seperti apa yang akan dimiliki. Manusia tinggal memilih unsur-unsur apa saja yang akan diikutkan di dalam jasmani atau tubuhnya. Jika dibandingakan dengan hewan maka manusia mempunyai memiliki peluang untuk hidup lebih sehat. Hal ini dikarenakan manusia dikaruniai akal oleh Allah s.w.t. Dengan akal inilah manusia dapat memilih antara yang baik dan yang buruk. Dalam hal memilih makanan, di alam raya ini tersedia makan yang baik dan makanan yang buruk. Akal manusia dapat dipergunakan untuk memilih antara makanan yang baik makanan yang buruk. Setiap makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia akan memberikan pengaruh kepada akhlak orang tersebut. Pengaruh pada akhlak ini bersifat sementara sesuai dengan kadar makanan yang masuk ke dalam tubuh. Apabila makanan itu dikonsumsi secara berkala dan berkelanjutan, maka pengaruh itu juga akan nampak seberapa lama manusia mengkonsumsi makanan tersebut. Dengan demikian, terdapat hubungan antara makanan, kesehatan jasmani, dan kesehatan akhlak seseorang.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
397
Khamidinal: Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam…
398
C. Teori Empat Unsur Pengertian tentang unsur di sini diperoleh dari pengalaman yang dibuktikan dengan pancaindera dan kenyataan, hanya saja unsur di sini tidaklah berupa zat yang dapat diraba-raba, digerakkan, atau ditimbang, melainkan berupa prinsip dan azas-azas saja.2 Ibnu Sina mengatakan dalam sebuah teorinya bahwa setiap benda di alam semesta ini merupakan gabungan dari empat unsur. Keempat unsur tersebut merupakan komponen-komponen penyusun setiap benda yang terdapat di alam. Keempat unsur tersebut kemudian dikenal dengan teori empat unsur (the four element theory). Keempat unsur penyusun tiap-tiap benda tersebut adalah: air (water), tanah (earth), api (fire), dan udara (air). Keempat unsur tersebut mempunyai peran dan karakteristik masing-masing yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Meskipun berbeda, namun satu unsur dengan yang lain saling melengkapi dan saling mendukung. 1. Unsur Air (Water Element) Unsur air mempunyai sifat yang dingin dan basah. Air mempunyai sifat yang mengalir, tenang, selalu mencari tempat yang stabil (rendah), dan jernih. Benda yang mempunyai unsur air biasanya akan mudah menyesuaikan dengan keadaan di sekelilingnya. Secara fisik, bentuk air mengikuti dengan wadah atau tempatnya. Jika tempatnya bulat, maka air akan berbentuk bulat. Jika tempatnya berbentuk persegi empat, maka air akan mempunyai bentuk segi empat juga, demikian seterusnya sifat fisik air akan menyesuaikan dengan di mana air bertempat. 2. Unsur Tanah (Earth Element) Unsur tanah mempunyai sifat dingin dan kering. Tanah mempunyai sifat fisik yang keras tetapi mantap, menempati posisi yang stabil, dan tidak mudah tergoyahkan. Sifat fisik tanah adalah padat, sehingga mempunyai bentuk yang tetap dan tidak dipengaruhi oleh di mana tanah tersebut diletakkan. Tanah juga mempunyai sifat dapat menerima unsur apapun yang berada di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa peran unsur tanah adalah sebagai pendukung unsur lain. 3. Unsur Api (Fire Element) Unsur api mempunyai sifat panas dan kering. Api bersifat hidup dan memberi kehidupan, dinamis, ringan, dapat membakar, dan dapat merusak. Sifat fisik api adalah tidak berbentuk. Bentuk asli dari api tidak 2
Posthumus, Ilmu Kimia Umum: Pendahuluan dan Ichtiar, Jilid I, (Jakarta: Noordhoff–Kolff, 2000), p. 18. 398 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Khamidinal: Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam…
399
pernah didefinisikan, namun demikian keberadaan api dapat dirasakan. Di dalam kehidupan di alam raya, api merupakan sumber energi yang utama. Tidak akan ada gerak yang dilakukan oleh makhluk hidup jika tidak ada unsur api di dalamnya. Tidak akan ada tanda-tanda kehidupan pada makhluk hidup jika tidak ada unsur api di dalamnya. Namun demikian, api juga dapat bersifat menyerang dan merusak. Seseorang yang terlalu banyak unsur api di dalam tubuhnya akan merasakan sakit. Perasaan sakit ini timbul akibat usnur api menyerang salah satu unsur lain. Penyerangan salah satu unsur oleh unsur api menyebabkan terganggunya keseimbangan unsur dalam tubuh manusia. Jika keseimbangan dalam tubuh terganggu, maka muncullah berbagai penyakit yang dimulai dari jenis penyakit yang ringan kemudian ke penyakit yang lebih berat lagi. 4. Unsur Udara (Air Element) Unsur udara mempunyai sifat panas dan basah. Udara mempunyai sifat yang lembut, tetapi dalam suatu saat tertentu dapat mempunyai kekuatan yang dahsyat. Jika dilihat dari massa jenis, udara mempunyai massa jenis yang ringan. Udara selalu mengalir ke arah atas dan dapat memenuhi hampir ke seluruh ruangan. Wujud dari udara pada temperatur kamar adalah gas. Menurut teori kinetika kimia udara yang bersifat ideal (gas ideal), selalu bergerak dinamis ke berbagai arah. Setiap molekul udara yang satu dengan molekul udara yang lain saling bertumbukan secara elastis dan menghasilkan tumbukan lenting sempurna.3 Dengan kata lain, energi dari satu molekul dipindahkan ke molekul berikutnya. Meskipun udara mengalami tumbukan satu sama lain, namun karena sifat ideal gas, maka udara tidak kehilangan energinya sama sekali. Udara selalu bergerak dinamis sehingga selalu mempunyai energi yang disebut energi kinetik. Udara bersifat menguasai seluruh ruang. Hal ini berarti udara mempunyai kemampuan mengendalikan semua unsur. Di dalam tubuh yang sakit terdapat gangguan pada keseimbangan keempat unsur tersebut. Di antara keempat unsur tersebut, maka unsur udara merupakan unsur yang masih dapat mengendalikan organ-organ tubuh. Unsur udara merupakan benteng pertahanan terahir, di mana unsur ini mempunyai kemampuan untuk memulihkan keseimbangan empat unsur yang ada di dalam tubuh.
3
Raymond Chang, Kimia Dasar, Jilid I, (Jakarta: Erlangga, 2003), p. 142.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
399
Khamidinal: Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam…
400
D. Keterhubungan Antar Organ dalam Tubuh. Tubuh manusia tersusun atas beberapa organ yang saling terhubung antara organ yang satu dengan organ yang lainnya Susunan syaraf merupakan organ perantara antara berbagai organ penting dalam tubuh. Organ jantung terhubung dengan organ hati. Organ limfa terhubung dengan organ ginjal. Demikian seterusnya sehingga setiap organ tubuh manusia saling terhubung antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan tersebut terbentuk sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Antara organ yang satu dengan organ yang lain dihubungkan oleh sesuatu yang disebut meridian4. Keterhubungan antara organ yang satu dengan organ yang lain di samping bermanfaat untuk berjalannya fungsi organ tersebut, juga mempunyai efek berantai antara organ-organ yang saling terhubung tersebut. Efek berantai ini terjadi dalam hal yang bersifat menguntungkan dan juga dalam hal yang bersifat merugikan kesehatan tubuh. Efek berantai dapat mengalir ke kedua arah. Misalnya saja dilihat dari sisi organ jantung yang terhubung dengan organ ginjal. Efek berantai dapat mengalir dari arah ginjal menuju jantung, dan begitu pula sebaliknya dari arah jantung menuju ginjal. Apabila salah satu organ tubuh mengalami kerusakan misalnya, maka akan menjalar kepada organ tubuh yang lain. Efek berantai seperti ini dinamakan dengan efek merusak atau efek destruktif. Jika organ yang terkena imbas buruk ini mengalami kerusakan misalnya, maka akan terjadi efek berantai lagi ke organ yang berikutnya. Sedemikian efek berantai tersebut sehingga organ yang semula tidak bermasalah akan mulai nampak bermasalah. Jika keadaan tersebut tidak segera ditangani dengan pengobatan, maka secara perlahan-lahan akan menyebar ke seluruh organ yang ada di dalam tubuh. Selain efek buruk yang bisa menjalar dari organ satu ke organ yang lain, efek berantai juga dapat berlaku untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat. Efek berantai yang bersifat bermanfaat ini merupakan efek yang sifatnya konstruktif. Efek yang sifatnya konstruktif ini selanjutnya sering diterapkan oleh masyarakat Islam jaman dahulu dalam pengobatan suatu penyakit maupun dalah hal penjagaan kesehatan tubuh. Apabila ada salah satu organ tubuh yang sakit maka pengobatan dapat ditujukan pada organ tersebut yang mengalami kerusakan. Akan tetapi apabila cara tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan, maka pengobatan dapat pula dilakukan dengan memperkuat fungsi organ-organ lain yang berhubungan dengan organ yang mengalami kerusakan tersebut. Apabila 4
Putu Osaka Sukanto, Terapi Pijat Tangan, (Jakarta : Penebar Plus, 2007), p 34.
400 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Khamidinal: Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam…
401
organ yang terhubung tersebut mempunyai fungsi yang baik, maka secara perlahan-lahan organ yang berfungsi normal ini akan turut dalam memperbaiki organ yang mengalami kerusakan. E. Teori Keseimbangan Kimia Menurut teori empat unsur, setiap jenis benda yang terdapat di alam raya ini tersusun atas empat komponen tersebut.5 Perbedaan adalah terletak pada seberapa besar komponen dari masing-masing unsur tersebut. Satu benda tersusun dari komponen utama unsur air, dan mengandung sejumlah sedikit unsur tanah, sedikit unsur api, dan sedikit lagi unsur udara. Benda yang lain lagi tersusun atas komponen utama dari unsur tanah, dan mengandung sejumlah sedikit unsur api, sedikit unsur udara, dan sejumlah sedikit lagi adalah unsur air. Demikian seterusnya, sehingga masing-masing benda mempunyai komponen utama penyusun yang merupakan salah satu dari keempat unsur tersebut. Pada dasarnya setiap jenis benda adalah mengandung keempat unsur tersebut. Perbedaan antara jenis benda yang satu dengan benda yang lainnya adalah terletak pada jumlah masing-masing komponen unsur tersebut. Jenis benda tertentu mempunyai komposisi yang seimbang di antara keempat penyusun tersebut. Keseimbangan benda tersusun dari antara unsur air, unsur tanah, unsur api, dan unsur udara. Jenis benda yang baik adalah yang mempunyai komposisi seimbang di antara keempat unsur tersebut. Keseimbangan benda tersebut bukan berarti jumlah masing-masing unsur tersebut sama banyak. Keseimbangan yang dimaksud di sini adalah masing-masing unsur tersebut mempunyai suatu perbandingan tertentu. Perbandingan jumlah masing-masing unsur tersebut secara matematis kemudian dapat dinyatakan dengan suatu konstanta. Konstanta ini merupakan suatu bilangan yang besarnya adalah tetap. Konstanta perbandingan jumlah unsur-unsur tersebut kemudian dikenal dengan konsanta keseimbangan6. Pengamatan secara eksperimen di laboratorium kimia menunjukkan bahwa konstanta keseimbangan tidak dipengaruhi oleh konsentrasi masing-masing reaktan dan produk. Setiap jenis benda mempunyai suatu konstanta yang besarnya adalah tetap dan tertentu. Besar konstanta keseimbangan setiap jenis benda merupakan hal yang spesifik untuk jenis benda tersebut. Artinya untuk 5
Nekrasov B, Textbook of General Chemistry, (Moskow: Peace Publishers, 1960), p.
11. 6
Masterton W, Slowinski E, Walford E, Chemistry, (New York: Rinehart and Winston Publisher, 1980), p. 450. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
401
402
Khamidinal: Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam…
jenis benda yang berbeda mempunyai konstanta yang berbeda-beda. Besar konstanta keseimbangan antara jenis benda yang satu dapat berdekatan dengan jenis benda yang lain, tetapi tidaklah sama persis. Untuk dua jenis benda yang sama, maka akan mempunyai satu macam besar konstanta keseimbangan. Besarnya konstanta keseimbangan untuk masing-masing jenis benda dapat ditentukan dengan suatu percobaan (ekpseriment). Melalui eksperimen di laboratorrium kimia, diketahui bahwa konstanta keseimbangan dipengaruhi oleh volume yang ditempati. Secara kimia keseimbangan unsur-unsur tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: p W + q E ↔ r F + s A Keq = [F]r [A]s/ [W]p [E]q di mana, W = unsur Air (Water). E = unsur Tanah (Earth) F = unsur Api (Fire) A = unsur Udara (Air) p, q, r, s = konstanta reaksi kimia K = konstanta keseimbangan [F] = konsentrasi unsur Api [A] = konsentrasi unsur Udara [W] = konsentrasi unsur Air [E] = konsentrasi unsur Tanah F. Susunan Tubuh Manusia Untuk menjaga kesehatan tubuh manusia maka harus diperhatikan susunan tubuh manusia. Susunan tubuh manusia erat kaitannya dengan penjagaan kesehatan jasmani dan akhlak. Menurut teori kesehatan yang dilontarkan oleh Ibnu Sina tubuh manusia dapat dibagi menjadi unsurunsur. Unsur-unsur yang menyusun tubuh manusia dapat dikelompokkan menjadi empat unsur. Keempat unsur-unsur yang menyusun tubuh manusia tersebut adalah unsur air (water), tanah (earth), api (fire), dan udara (air). Keadaan sehat adalah jika terjadi keseimbangan antara unsur-unsur penyusun tubuh manusia tersebut. Jika unsur-unsur penyusun tubuh mengalami keseimbangan maka terciptalah keharmonisan metabolisme tubuh. Metabolisme tubuh yang harmonis akan menciptakan rantai suplai kebutuhan masing-masing organ penting di dalam tubuh. Apabila suplai kebutuhan masing-masing organ tubuh terpenuhi maka tidak akan ditemui masalah dengan proses hidup yang dijalani oleh organ-organ tubuh. Inilah kondisi yang dinamakan dengan keadaan sehat. Organ-organ manusia dapat mewakili keempat unsur tersebut sesuai dengan sifat-sifatnya. Adapun organ-organ tubuh manusia yang dapat mewakili keempat unsur tersebut masing-masing adalah: 402 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Khamidinal: Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam…
403
1. Organ Ginjal Mewakili Unsur Air Ginjal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sangat vital peranannya dalam kehidupan manusia. Organ ginjal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang merupakan unsur air7. Letak organ ginjal adalah menempel pada tulang sumsum tulang belakang. Terletak di bagian bawah sumsum tulang belakang. Setiap manusia mempunyai dua buah ginjal, yaitu satu di sebelah kanan dan satu di sebelah kiri. Ginjal merupakan organ yang berfungsi untuk menyaring darah. Apabila fungsi ginjal berjalan dengan baik, maka kesehatan manusia dapat terjaga dengan baik. Organ ginjal mempunyai karakteristik yang unik. Keunikan organ ginjal terletak pada kemampuan kerjanya yang sangat baik. Sedemikian baiknya sehingga walaupun organ ginjal mengalami kerusakan sampai dengan lima puluh persen pun, organ ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik. Keunikan lain adalah walaupun salah satu dari ke dua ginjal ini rusak, ginjal yang satu lagi masih dapat berfungsi dengan baik. Sehingga manusia tetap dapat hidup sehat walaupun hanya dengan memiliki satu buah organ ginjal saja. 2. Jaringan Limfa Mewakili Unsur Tanah Jaringan limfa merupakan penyusun tubuh manusia yang dapat mewakili unsur tanah. Jaringan limfa bermuara di bawah diafragma dan mempunyai saluran tersebar ke hampir seluruh tubuh manusia. Letak jaringan limfa adalah di bawah kulit. Fungsi jaringan limfa ini adalah memproduksi semacam cairan bening kekuningan yang dapat mengalir ke seluruh bagian tubuh. Fungsi cairan bening kekuningan ini adalah sebagai pertahanan tubuh dari berbagai benda asing yang masuk ke dalam tubuh dan membahayakan bagi kesehatan8. 3. Organ Jantung Mewakili Unsur Api Organ Jantung terletak di dalam rongga antara tulang rusuk dan tulang sumsum belakang. Jantung manusia memiliki empat bilik. Fungsi jantung adalah untuk memompakan darah agar dapat mengalir ke seluruh tubuh. Darah mengalir ke luar dari jantung dengan membawa oksigen untuk keperluan metabolisme. Kemudian setelah darah mengalir dari seluruh tubuh, darah akan kembali lagi ke arah jantung. Demikian
7 Udayana Gendo, Teori Dasar Kedokteran Tradisional Cina, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), p. 22. 8 Igor Cetojevic, Francesca Pinoni, Good Health : It’s A Question of Balance, (New Delhi: Health & Harmony, 2000), p. 62.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
403
Khamidinal: Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam…
404
seterusnya darah dipompakan oleh jantung untuk mengalir ke seluruh tubuh. Organ jantung dapat mewakili unsur api. Api bersifat hidup dan memberikan kekuatan ke seluruh benda. Demikian juga organ jantung yang menurut susunan dalam tubuh manusia jantung merupakan unsur api. Tubuh yang sehat berkat jantung yang sehat, tubuh yang sakit berkat jantung yang sakit. Jantung memberikan energi atau kekuatan ke seluruh tubuh. Organ jantung merupakan organ jaringan syaraf tak sadar. Oleh karena itu, kerja jantung tidak dipengaruhi oleh kesadaran manusia. Jantung tetap bekerja walaupun manusia dalam keadaan tidur ataupun tak sadarkan diri. Beberapa penyakit merupakan keterkaitan dengan kesehatan jantung. Kesehatan dalam jantung tercermin dalam berbagai gejala dalam tubuh. Hal ini berarti bahwa jika ada masalah pada jantung maka akan muncul dalam bentuk keluhan-keluhan lain yang dapat dirasakan oleh penderita. Untuk dapat mengobati gejala tersebut dapat dilakukan dengan memperbaiki masalah yang ada pada jantung. Menurut ilmu kesehatan tradisional cina, jantung bertanggung jawab terhadap penyakit-penyakit ringan di bagian atas9. Contoh penyakit yang ada hubungannya dengan kesehatan jantung adalah batuk dan pusing. Dengan memperkuat jantung maka keluhan seperti batuk dan pusing dapat dihilangkan. Berbagai penyakit juga dapat disembuhkan dengan cara memperkuat jantung, seperti darah rendah, kesemutan, sering lupa dan sebagainya. 4. Organ Hati Mewakili Unsur Udara Organ hati terletak di atas lambung dan di bawah jantung. Organ hati manusia mempunyai berat kira-kira 8–15 Kg. Hati yang sehat mempunyai warna yang segar dan tidak pucat. Hati termasuk organ padat, bersifat elastis, dan mempunyai bentuk yang menyerupai daun sirih. Organ hati merupakan salah satu penyusun tubuh manusia yang mewakili unsur udara. Fungsi organ hati adalah untuk menyimpan dan menyaring darah. Setiap hari darah mengalir melalui hati. Senyawa-senyawa sisa metabolisme tubuh yang harus dibuang oleh tubuh akan disaring oleh organ hati. Selanjutnya sisa-sisa metabolisme tersebut dibuang bersama urin. Hati mempunyai fungsi untuk mengharmoniskan seluruh organ dalam tubuh. Apabila fungsi hati ini terganggu, maka kesehatan tubuh secara perlahan-lahan akan terganggu juga. Demikian juga untuk 9
Harahap Unang, Menjaga Kesehatan Ala Tsun Tzu, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), p. 25. 404 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Khamidinal: Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam…
405
memperbaiki kesehatan, terutama dari penyakit yang diakibatkan oleh toksin, maka peran hati sangat diperlukan dalam membuang toksin tersebut keluar dari tubuh bersama urin. G. Tinjauan Empat Unsur dalam Berbagai Herba Ibnu Sina merupakan pelopor pengobatan cara Nabi. Pengobatan cara Nabi juga pernah ditulis oleh seorang ulama bernama Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti. Ulama ini hidup pada tahun 1445–1505 Masehi. Karyanya telah banyak menjadi rujukan pengobatan-pengobatan moderen selama ini. Salah satu bentuk dari cara pengobatan dan pencegahan penyakit adalah dengan menggunakan makanan. Makanan hendaklah dimakan di mana tubuh saat itu sedang memerlukan untuk melestarikan kesehatan10. Pengobatan dengan berbagai herba mengikuti kaidah adanya teori empat unsur tersebut. Sebagaimana benda-benda yang lain dapat dikelompokkan ke dalam salah satu unsur yang paling dominan, maka demikian juga halnya dengan makanan yang berasal dari tanaman (herba). Makanan herba dapat juga dikelompokkan ke dalam salah satu unsur dari keempat unsur tersebut sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makanan herba tersebut. Berikut ini merupakan contoh dari pengelompokan makanan atas dasar teori empat unsur. Bawang merah merupakan makanan herba yang mewakili unsur udara. Bawang merah sesuai dengan sifat udara, mempunyai sifat panas dan basah. Bawang merah merupakan bumbu penyedap pada berbagai makanan. Memakan bawang merah setelah memakan obat dapat mengobati perasaan mau muntah. Melon merupakan buah yang mewakili unsur air. Air memiliki sifat dingin dan basah, demikian juga melon mempunyai sifat dingin dan basah. Melon merupakan makanan herba yang bersifat diuretik. Bersifat diuretik berarti makanan melon ini dapat memperbanyak volume urine. Dengan demikian, melon dapat dijadikan makanan sebagai pencuci ginjal. Seseorang yang mempunyai keluhan bermuara pada ginjal pada dasarnya dapat diobati dengan buah melon. Akan tetapi perlu diingat bahwa melon tak segar dan yang telalu manis, maka ia akan beranjak ke arah bersifat sebagai unsur tanah. Oleh karena itu, makanlah melon yang segar dan tidak terlalu manis. Buah lain yang mewakili unsur air adalah nanas, mentimun, dan apel. Buah-buahan ini semuanya bersifat diuretik. Yaitu meningkatkan 10
Jalaluddin Abdurahman As-Suyuti, Pengobatan Cara Nabi, ( Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), p. 21. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
405
406
Khamidinal: Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam…
volume urine. Setelah memakan buah-buahan tersebut hendaknya diimbangi dengan minum air yang cukup agar dapat berfungsi sebagai pencuci ginjal. Dalam susunan tubuh manusia, organ ginjal merupakan organ yang mewakili unsur air. Mawar merupakan herba yang mewakili unsur tanah. Mawar ini bersifat dingin dan kering sebagaimana sifat unsur tanah. Rebusan air bunga mawar dapat memperkuat perut dan membantu pencernaan. Sebagaimana diketahui bahwa lambung merupakan organ tubuh yang mewakili unsur tanah. Oleh karena itu, cocoklah kiranya jika masalah pencernaan dapat diatasi dengan rebusan bunga mawar. Minyak kesturi merupakan herba yang mewakili unsur api. Minyak kesturi bersifat panas dan kering sebagaimana unsur api. Meminum minyak kesturi dapat memperkuat unsur jantung. Dalam susunan tubuh manusia organ jantung merupakan organ yang mewakili unsur api. Nabi biasa mengenakan parfum minyak kesturi ini. Aisyah r.a. biasa memberi beliau parfum kesturi sebelum beliau melakukan ihram, dan memberinya lagi setelah beliau selesai melakukan ihram. H. Kesimpulan Menurut Ibnu Sina dalam teori empat unsur, semua organ tubuh dan makanan dapat dikelompokkan ke dalam empat unsur. Keempat unsur tersebut adalah: air, tanah, api, dan udara. Setiap unsur berhubungan antara yang satu dengan unsur yang lainnya. Setiap makanan yang dimakan akan mempengaruhi keseimbangan empat unsur dalam tubuh. Jika keempat unsur berada dalam keseimbangan maka tubuh akan menjadi sehat. Sebaliknya jika keseimbangan keempat unsur tersebut terganggu maka tubuh akan dijangkiti oleh berbagai penyakit. Menjaga kesehatan dapat dilakukan dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung keempat unsur tersebut secara seimbang.
406 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Khamidinal: Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam…
407
Daftar Pustaka As-Suyuti, Jalaluddin Abdurahman, Pengobatan Cara Nabi, Bandung : Pustaka Hidayah, 2006. B., Nekrasov, Textbook of General Chemistry, Moskow : Peace Publishers, 1960. Cetojevic, Igor, Francesca Pinoni, Good Health : It’s A Question of Balance, New Delhi : Health & Harmony, 2000. Chang, Raymond, Kimia Dasar, Jilid I, Jakarta : Erlangga, 2003. Gendo, Udayana, Teori Dasar Kedokteran Tradisional Cina, Yogyakarta: Kanisius, 2006. Posthumus, Ilmu Kimia Umum : Pendahuluan dan Ichtiar, Jilid I, Jakarta : Noordhoff – Kolff, 1960. Sukanto, Putu Osaka, Terapi Pijat Tangan, Jakarta : Penebar Plus, 2007. Unang, Harahap, Menjaga Kesehatan Ala Tsun Tzu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000. W., Masterton, Slowinski E, Walford E, Chemistry, New York: Rinehart and Winston Publisher, 1980.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
407
Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam Oleh: Khairunnas Rajab∗ Abstrak Ibadah di sisi Islam adalah tuntutan yang harus dipatuhi. Ibadah dalam spiritualisasi Islam adalah penguatan, pencegahan, dan pembinaan menjadi pribadi Muslim yang kuat dan memiliki kesehatan mental yang paripurna. Muatan-muatan ibadah dalam Islam mampu merekonstruksi kejiwaan menjadi tenang dan bahagia. Secara psikologis ibadah adalah motivasi kreatif atas kesadaran seorang Muslim bertaqarrub kepada Tuhannya, yang dapat melahirkan intuisi sadar bahwa dia berada dalam pengawasan Tuhannya. Sikap mental seperti inilah yang berimplikasi positif terhadap rekonstruksi psikologis dan kesehatan mental Islam. Kata kunci : ibadah, zakat, puasa, amar ma’ruf, nahi munkar, psikologi, spiritual, kesehatan mental, dan rekonstruksi A. Pendahuluan Tujuan penciptaan manusia, di samping sebagai khalifah fi al-ardh adalah beribadah dan memakmurkan dunia. Untuk tujuan tersebut seorang individu harus mampu menjadi dirinya sendiri, karena dia sendiri yang akan bertanggungjawab terhadap persoalan hidup dan kehidupannya. Sebagai khalifah di bumi, seorang individu harus mampu berlaku adil, menindak segala macam kezhaliman, menolak kebodohan, belajar dan mengajar. Karena khalifah bermakna sebagai pemimpin, maka minimal seorang individu harus mempunyai kemampuan dalam memanaj kehidupannya, sehingga menjadi lebih baik.1 Dalam menjalankan kekhalifahan di muka bumi, seorang individu pada prinsipnya berupaya melestarikan tujuan penciptaannya, yaitu beribadah dan beramal shaleh. Menjadi khalifah di bumi berorientasi pada penguatan sendi-sendi kemasyarakatan, membentuk kultur dan pranata sosial, serta menentukan konsekuensi hukum yang harus dipatuhi. Dalam ∗
Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN ”Suska” Riau dan Direktur Eksekutif ”Madine el-Jadid”. 1 Lihat, Rasulullah s.a.w. mengingatkan dalam sebuah riwayat, yang bermaksud: ”Setiap diri adalah pemimpin yang bertanggungjawab atas kepemimpinannya, seorang imam bertanggungjawab atas keimamannya, seorang laki-laki bertanggungjawab terhadap keluarganya, seorang isteri bertanggungjawab menjaga rumah suaminya, demikian juga seorang pembantu bertanggungjawab terhadap majikannya. Muhammad Ibn Ismail Abu Abdillah al-Bukhariy al-Ja’fi, Shahih Bukhari, Juz I, (Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987), p. 308. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
410
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam
Islam aturan dan penataan sosial tersebut dirujuk dari sumber autentik alQur’an dan al-Sunnah. Islam membenarkan seorang Muslim yang kualified untuk berijtihad dalam istimbath hukum.2 Sebagai seorang Muslim yang baik, kita tidak dibenarkan menghukum selain dengan hukum Allah. Siapa saja yang menghukum selain dengan hukum Allah, maka dia itu fasiq.3 Kemaslahatan umat adalah penting, bahkan lebih penting sekalipun dengan kepentingan pribadi. Maslahah yang dituntun Islam adalah maslahah orang banyak, baik dalam normativitas-moralitas maupun mu’amalah. Setiap perilaku individu dinilai baik ataupun buruk. Perbuatan baik dinilai dengan pahala di akhirat, demikian juga dengan perbuatan maksiat dinilai sebagai perilaku mungkar, dan mendapat azab di akhirat. Ibadah di sisi Islam adalah tuntutan yang harus dipatuhi. Ibadah dalam spiritualisasi Islam adalah penguatan, pencegahan, dan pembinaan menjadi pribadi Muslim yang kuat dan memiliki kesehatan mental yang paripurna. Muatan-muatan ibadah dalam Islam mampu merekonstruksi kejiwaan menjadi tenang dan bahagia. Secara psikologis ibadah adalah motivasi kreatif atas kesadaran seorang Muslim bertaqarrub kepada Tuhannya, yang dapat melahirkan intuisi sadar bahwa dia berada dalam pengawasan Tuhannya. Sikap mental seperti inilah yang berimplikasi positif terhadap rekonstruksi psikologis dan kesehatan mental Islam. Kajian tentang psikologi ibadah dibatasi pada psikologi puasa, zakat, dan amar ma’ruf nahi munkar. Spesifikasi pada psikologi puasa, zakat, dan amar ma’ruf dan nahi munkar dimaksudkan untuk penelaahan kesehatan 2
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa: “Ketika Muadz ibn Jabal diutus Rasullullah ke Yaman untuk menjadi qadhi (hakim), Rasulullah bertanya kepada Muadz. "Hai Muadz dengan apa kamu menghukumi suatu perkara? Muadz menjawab "Dengan kitabullah", lalu Rasulullah kembali bertanya: "Bagaimana kalau tidak terdapat di dalam kitabullah?" Muadz menjawab: "Dengan Sunnah-mu ya Rasulullah". "Bagaimana jikalau dalam kitabullah dan sunnah-ku juga tidak ada?" Muadz menjawab: "Dengan ijtihadku ya Rasulullah". Lalu Rasulullah mengatakan "Benar engkau ya Muadz.” Muslim Ibn Hajjaj al-Qusyairy, Sahih Muslim: bi Syarh Imam Muhyi a-Din al-Nawawi al-Musamma al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1914), p. 28. 3 Baca ‘Dan Kami telah menurunkan kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukannya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.”QS. Al-Maidah 5:47 dan 48. 410 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam
411
mental seorang individu yang secara aplikatif dapat beramal sebagai sumbangan maslahat pribadi dan maslahat al-ummah. B. Psikologi Puasa dalam Kesehatan Mental Dalam Islam, tuntunan berbuat baik adalah anjuran yang dapat mendatangkan kebaikan-kebaikan dan pahala bagi pelakunya. Ibadah fardhu, seperti puasa, zakat, dan amar ma’ruf nahi mungkar merupakan ibadah yang menyentuh kepada pelaku dan berimplementasi positif kepada masyarakat umumnya. Baik puasa, zakat, maupun amar ma’ruf nahi mungkar merupakan tindakan sadar seorang Muslim dalam membentuk sistem pranata sosial yang teruji melalui peningkatan solidaritas dan kemaslahatan umat seutuhnya. Puasa dalam bahasa Indonesia berarti menahan makan dan minum, sedangkan dalam bahasa Arab puasa berasal dari kata shiyam dari akar kata: Shama-yashumu-shauman-shiyaman artinya menahan dari makan dan minum, berkata-kata kotor dan melakukan perbuatan jelek.4 Menurut terminologi, shiyam atau puasa berarti menahan diri dari makan, minum dan berjima’ mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.5 4 Lois Ma’luf, Munjid Fi al-Lughah wa al-A`lam, (Beirut: Maktabah Syarqiyyah, 1986), p. 441. 5 Sayyid Abi Bakr al-Masyhur bi Sayyid al-Bakri Ibn Sayyid Muhammad Syata’ alDimyati al-Misri al-Malaibari Fanani, Hasyiyah I’anah al-Talibin II, (Singapura, Maktabah wa Matba`ah Sulaiman, t.t.), p. 225, Lihat juga, Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan bertindak bodoh, maka Allah tidak akan menerima amal itu (puasa) yang meninggalkan makan dan minumnya. Abi Abdillah Muhammad Ibn Isma’il Ibn Ibrahim Ibn Mughirah Ibn Bardidhbah al-Bukhari al-Jufri, Sahih al-.Bukhari, Jil. 1, (Kaherah: Dar al-Hadits, t.t.) p. 309, Allah Azza Wajalla berfirman: Semua amal perbuatan anak Adam adalah miliknya, kecuali ibadah puasa. Karena sesungguhnya ibadah puasa adalah untuk-Ku. Dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa itu merupakan perisai. Oleh karena itu, hendaklah salah seorang di antara kalian tidak berkata kotor ketika dia menunaikan ibadah puasa dan hendaklah juga tidak bertindak bodoh! Apabila ada orang yang mengganggunya, hendaklah dia berkata, sesungguhnya aku sedang berpuasa. HR. Bukhari Muslim dalam An-Nawawi, Shahih Muslim fi Syarhi alNawawi Vol II, (al-Qaherah: Al-Mathba’atu al-Mishriyah wa Makbatuha, t.t.) p. 1216. Barang siapa yang menunaikan puasa Ramadhan dengan dilandasi rasa iman dan penuh perhitungan, maka akan diampuni dosa-dosanya di masa lampau. HR. Bukhari Muslim dalam Mansur Ali Nashif, Al-Tajul Jami’ li Ushul fi Ahaditsi al-Rasul Vol.II, (al-Qaherah: Dar al Fikr, 1975), p. 48. Tidak ada seorang hambapun yang menunaikan ibadah puasa hanya satu hari saja, kecuali Allah akan menjauhkannya dari neraka (sejauh jarak perjalanan selama) tujuh puluh tahun lantaran ibadah puasa tersebut. HR. Bukhari Muslim dalam An-Nawawi Vol II, p. 868. Sesungguhnya Allah SWT telah memfardhukan puasa Ramadhan kepada kalian, sedangkan aku telah mensunnahkan shalat pada malam harinya untuk kalian. Barang siapa berpuasa Ramadhan dalam melakukan shalat pada malam harinya dengan didasari iman dan penuh perhitungan,
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
411
412
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam
Dalam etimologi dan terminologi puasa dipahami sebagai menuntut keteguhan, kesabaran, keyakinan dan penuh perhitungan dalam pelaksanaannya. Dua aspek dalam diri manusia yang tidak pernah lepas dari pelaksanaan puasa, pertama aspek fisikal, dan yang kedua aspek psikologikal. Pada aspek fisikal seorang Muslim yang berpuasa menahan dari makan dan minum. Pada aspek psikologi, seorang Muslim yang berpuasa mematuhi peraturan dan perintah yang berhubungan dengan
maka dia akan keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya. HR. An-Nasa’i dalam Mansur Ali Nashif Vol II, Al-Tajul Jami’…, p. 46. Dalam beberapa tempat Allah menyebutkan perihal puasa ini, sebagai berikut:(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. QS. AlBaqarah 2:184 , 185, dan 187. Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". QS. Maryam 19:26. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. QS. AlAhzab 33:35 412 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam
413
sifat tercela, seperti; berdusta, takabbur, mengumpat, hasad, iri hati, dan riya’. Sifat-sifat tercela yang bersarang dalam hati dan keinginan yang berpusat di perut dan yang ditunggangi oleh sifat-sifat syaitan menjadi sasaran mendasar dalam ibadah puasa. Seorang Muslim yang berpuasa berjuang mati-matian untuk menekan, menahan, menindas dan mengendalikan hawa nafsu, terutama dari sifat-sifat tercela.6 Dalam ibadah puasa terdapat unsur latihan bagi seseorang untuk bersabar. Dengan latihan bersabar, seorang individu mampu menanggung pelbagai beban berat kehidupan. Ketika seorang individu menunaikan ibadah puasa merasa terhalangi untuk mengkomsumsi makanan maupun minuman, maka individu itu merasakan ikut menderita karena tidak makan dan minum.7 Hikmah di balik pelaksanaan ibadah puasa meliputi penguatan iman dan pemantapannya. Dengan keimanan yang tertanam dalam diri seorang Muslim, maka individu merasa dikawal dan diawasi; sehingga keinginan melakukan perbuatan tercela dan maksiat dapat dihindari. Puasa mempunyai muatan yang berisikan latihan kesabaran, ketekunan, dan metodologi pertahanan diri dari pelbagai kemungkinan terjebak dalam dosa dan maksiat. Puasa juga merupakan pendidikan bagi hati sanubari manusia, di mana dengan berpuasa seorang Muslim selalu menjadi konsisten dengan tingkah laku yang baik dan benar dan dapat pula mengendalikan hati sanubarinya sendiri tanpa menghendaki pengawasan dari siapapun.8 Seorang Muslim yang berpuasa harus punya keyakinan bahwa ia selalu dikawal dan diawasi oleh Allah s.w.t. Dengan demikian, apabila individu berniat untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap ketentuan puasa, maka individu ingat bahwa ia sedang berpuasa. Jika seseorang menyakiti hatinya atau merugikan pribadinya, maka kemarahannya dibendung dan keyakinannya konsisten bersama Allah s.w.t.9 Seorang Muslim yang berpuasa melatih dirinya supaya selalu dalam kesabaran dan ketaqwaan kepada Allah s.w.t. Puasa yang diamalkan dengan penuh perhitungan, keimanan dan ketaqwaan akan melahirkan kejujuran, keikhlasan dan kesabaran yang akhirnya akan mendatangkan anugerah sebagai orang yang bertaqwa dan 6
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris al-Syafi`i, al-Umm, (Beirut, Dar alMa`rifah, 1973), p. 82. 7 M. ‘Utsman Najati, al-Qur’an wa ilmu al-Nafs, (al-Qaherah, Dar al-Syuruq, t.t.), p. 411. 8 Ibid., p. 317. 9 Muhammad, Pendekatan Kesehatan Terhadap Ibadah Puasa, (Surabaya: Al-Ikhlas, t.t.), p. 24. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
413
414
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam
mencapai kondisi psikologis yang nyaman, damai, dan memiliki kesehatan mental yang paripurna. Puasa dengan dorongan keimanan, ketaqwaan dan penuh perhitungan merupakan puasa hakiki yang melahirkan solidaritas dan dapat pula memaklumi perasaan orang-orang fakir dan miskin. Puasa seperti ini, melatih diri bahwa kehidupan tidak selamanya senang. Hanya Allah saja yang memberikan ganjaran pahala kepada orang yang berpuasa di akhirat kelak nanti. Rasa belas kasih dan solidaritas yang timbul dari puasa adalah implikasi dari pembinaan yang kontinu dengan menahan lapar, haus, menahan nafsu biologis dan seksualitas di siang hari, dan menahan diri dari berkata-kata kotor. Rasa keprihatinan dan keinginan dalam melapangkan dan meringankan beban si fakir dan miskin adalah metodologi psikologi puasa. Seorang Muslim yang selalu berpuasa melatih dirinya supaya hidup sebagai seorang fakir dan miskin yang dalam kehidupannya kadangkala makan, dan kadangkala tidak sama sekali. Maka seorang Muslim yang berpuasa akan menghadapi hidupnya di hari itu dengan psikologis yang lebih lapang, bersikap lebih toleran dan tolongmenolong, lebih mampu beradaptasi dengan alam sekitarnya, serta lebih mampu menahan pelbagai interaksi dan pembicaraan sesama manusia.10 Membantu meringankan beban fakir dan miskin sebagai manifestasi dari puasa merupakan upaya ke arah peningkatan rasa persamaan dan keserasian antara sesama Muslim di mana yang membedakannya hanyalah ketaqwaan kepada Allah s.w.t. Terwujudnya keserasian dan keselarasan dengan alam sekitar merupakan dasar dalam mewujudkan kesehatan mental manusia. Terealisirnya kehidupan yang sesuai dan serasi di antara umat Islam dan sekitarnya serta antara fungsi-fungsi psikologis dalam arti berkembangnya seluruh potensi kejiwaan secara seimbang, sehingga manusia mencapai kesehatan lahir dan batin, serta terhindar dari pertentangan batin, kegoncangan, kebimbangan, keraguan, dan tekanan perasaan dalam menghadapi pelbagai dorongan, motivasi, dan kemauan.11 Di samping rasa solidaritas yang ditimbulkan; puasa juga mempunyai kesan luhur dalam melepaskan manusia dari cengkeraman dan kebiasaan hina dan buruk. Kebiasaan buruk yang sudah dilakukan secara terusmenerus sangat sulit untuk diubah tanpa melalui latihan kontinuitas pula. Orang yang semasa kecil biasa berdusta, maka setelah dewasa, perangai itupun terbawa-bawa. Demikian juga dengan perbuatan buruk yang lain, yang sudah menjadi kebiasaannya sulit untuk diubah. Puasa melatih diri 10 M. Thahir, Puasa Ramadhan Pengantar Kesehatan Paripurna, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), p. 20. 11 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1992), p. 78.
414 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam
415
agar terhindar dari penyakit-penyakit hati; karena siapa saja yang tidak dapat mengendalikan hawa nafsu akan menjadi korban hasutan iblis; fikirannya akan dipengaruhi iblis yang mengajak berbuat buruk dan jahat sesuai dengan kemauan iblis. Oleh karena itu, seorang Muslim perlu berpuasa karena puasa bukan hanya menahan lapar dan haus saja, tetapi psikologisnya harus mampu pula menghalau nafsu-nafsu iblis dan syaitan yang mengajak berbuat jahat.12 Dengan berpuasa seorang Muslim dapat meningkatkan rasa percaya pada diri sendiri di samping melahirkan konsep diri yang optimistik yang merupakan indikasi adanya mental yang sehat untuk menghadapi rintangan hidup yang semakin besar.13 C. Psikologi Zakat dalam Kesehatan Mental Di samping puasa, zakat juga berimplementasi positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan kehidupan kemanusiaan. Zakat berasal dari bahasa Arab dari akar kata zaka-zaka’an-zukuwan-zakiyyah yang berarti suci, memberikan harta yang bertujuan untuk mensucikannya, sesuatu yang meliputi segala kebaikan (menambah kebaikan-kebaikan dan karunia yaitu suci dari dosa). Menurut terminologi, zakat berarti; sejumlah harta yang wajib dikeluarkan dan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya dan bila mencapai nisab tertentu, dan dengan syarat-syarat tertentu pula. Zakat merupakan metode membersihkan diri dengan cara mengeluarkan dan memberikan harta kepada orang yang berhak menerimanya.14 12
Bahauddin Mudhariy, Esensi Puasa, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), p. 53. Jamaluddin Ancok dan FN Suroso, Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), p. 59. 14 Lois Ma’luf, Munjid, p. 103, Baca "Ambillah sedekah dari harta mereka untuk membersihkan dan menyucikan mereka dan do’akanlah mereka. Sesungguhnya do’a engkau itu menjadi ketenangan (hati) mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". QS.Al-Taubah 9: 103, Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. QS. Al-Syams 91: 9, Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya. QS. Maryam 19: 55, Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah. QS. Al-Anbiya’ 21:73, Dan orang-orang yang menunaikan zakat. QS. Al-Mukminun 23: 4, Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Quran), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar. QS. AlNisa’ 4: 162, Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami". QS. Al13
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
415
416
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam
Masalah zakat tidak terlepas dari seorang muzakki dan mustahiq, harta yang diperoleh dengan jalan yang halal serta kesempurnaan dalam kepemilikan dan bukannya dari seorang budak. Menafkahkan dan memberikan sebagian harta kepada mustahiq adalah metodologi dalam melatih diri dari berbalas kasih di antara sesama muslim, menanamkan rasa solidaritas yang tinggi serta saling bertoleransi dan tolong-menolong. Selain itu, zakat juga menguatkan perasaan partisipasi intuitif dengan kaum dhu`afa’ dan miskin pada diri seorang Muslim, membangkitkan perasaan tanggung jawab terhadap diri mereka, dan mendorong untuk membahagiakan dan menyenangkan mereka. Lebih jauh zakat mengajar kepada seorang Muslim; mencintai orang lain dan membebaskannya dari egoisme, cinta diri, bakhil, dan ketamakan.15 Sangat erat kaitan antara muzakki dengan mustahiq, dan pemilikan harta, sehingga masalah ini seringkali dikonotasikan dengan sosial Islam, yang kemudian dijadikan dasar pemikiran dalam pengentasan kemiskinan. Hal ini tidak lain karena kemiskinan adalah masalah umat Islam dan lingkungan. Zakat menjadikan cita-cita luhur dan hubungan yang serasi antara semua lapisan masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin. Umat Islam bertanggungjawab menyucikan harta yang diperolehnya untuk mewujudkan ketenteraman dan kesejahteraan. Dalam rangka mewujudkan kesehatan mental dan ketenteraman; diperlukan penyaluran ataupun bait al-mal yang akan membagikan secara seksama dan adil. Pada prinsipnya zakat mempunyai tujuan dan makna yang sangat vital, terutama sebagai cobaan dari kecintaan kepada Allah s.w.t., selaku pemilik dan penguasa harta kekayaan dan nikmat. Zakat juga membersihkan diri dari sifat bakhil dan melahirkan rasa syukur yang dalam
A’raf 7: 156, "Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus. QS. Al-Maidah 5: 12, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. QS. Al-Nur 24: 21. 15 M. ‘Utsman Najati, al-Qur’an, p. 318. 416 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam
417
terhadap limpahan anugerah dan rahmat oleh Allah Rabb al-’Alamin.16 Sangat wajar, apabila Allah menitahkan, agar umat Islam menunaikan kewajiban zakat, sebagai cobaan dan bukti kecintaan seorang Muslim terhadap Tuhannya. Ada beberapa khikmah dari kewajiban zakat: 1). mensyukuri karunia Ilahi, menumbuhsuburkan harta dan pahala serta membersihkan diri dari sifat-sifat bakhil, loba, dengki, iri dan dosa lainnya. 2). melindungi masyarakat dari bahaya kemiskinan dan akibat kemelaratan. 3). mewujudkan solidaritas dan kasih sayang antara sesama manusia. 4). manifestasi hidup saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa. 5). mengurangi kefakiran yang merupakan masalah sosial. 6). membina dan mengembangkan kestabilan sosial. 7). salah satu jalan mewujudkan keadilan sosial.17 Hubungan individu dengan yang lainnya adalah wadah keakraban dan keserasian dalam mewujudkan penyesuaian diri dengan sekitar. Zakat, di samping pengembangan solidaritas dan penyucian harta, juga berindikasi pada spiritual yang tinggi, membangun kesehatan mental dan kepribadian Qur’ani secara realistis. Kesan lain yang ditimbulkan zakat mampu menghapus sifat bakhil yang ditukar dengan sifat dermawan dan membawanya kepada mensyukuri nikmat Allah, sehingga dapat menyucikan diri dan mengembangkan kepribadiannya. Menciptakan ketenangan dan ketenteraman bukan saja pada muzakki, tetapi juga kepada mustahiq. Zakat bisa menumbuhkembangkan nilai-nilai ekonomispsikologis yaitu ketenangan batin pemberi zakat.18 Konteks penyucian diri melalui zakat mencerminkan keterpautan hati kaum Muslimin di bawah panji-panji syari’at Islam. Justeru itu, kesucian hati melahirkan ketenangan batin, bukan hanya bagi penerima zakat, tetapi juga bagi pemberinya.19 Zakat apabila ditinjau dari sudut ekonomis-psikologis; mendatangkan kesehatan mental, menggugah hati seorang muzakki untuk menjadikan tumpuan untuk mengembangkan hartanya. Kemauan untuk hidup berdampingan dan saling memperhatikan keberadaan masingmasing, merupakan pelestarian hidup tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan. Aspek spiritual seperti ini senantiasa memberi warna baru dalam pengembangan metodologi psikoterapi zakat dalam kehidupan umat Islam. Apabila aktivitas ini dipraktekkan dalam kehidupan umat 16 Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin I, (al-Kaherah: Muassasah al-Halabi wa Syirkah Li al-Nasri wa Tauziog, t.t.), p. 296. 17 M. Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat, dan Wakaf, (Jakarta: UI Pers, 1988), p. 41. 18 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1993), p. 325. 19 M. Quraish Shihab, Lentera Hati, (Bandung: Mizan, 1994), p. 193.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
417
418
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam
Islam secara holistik dan menyeluruh, maka pengentasan kemiskinan dapat diatasi segera. Kesadaran masyarakat Islam dalam menumbuhkembangkan zakat, belum sepenuhnya terwujud, namun telah memperlihatkan tanda yang lebih baik. Bukti nyata dari aktifitas zakat adalah eksistensi badan yang mengelola zakat, sedekah, dan perbelanjaan melalui Bait al-Mal. Zakat di masa awal Islam, merupakan kewajiban negara dalam membina dan mengurusnya yang ditandai dengan adanya badan yang dinamakan Bait al-Mal.20 Rasa persamaan dan solidaritas yang timbul dari zakat di kalangan muzakki-mustahiq meliputi kesadaran terhadap kesamaan derajat yang saling berkewajiban dalam ta’awun. Seorang pedagang mendapat untung besar dengan adanya pembeli. Demikian juga halnya dengan petani yang memetik dengan adanya aliran sungai yang mengairi air dan adanya peralatan pertanian dari pabrik. Sangat tidak wajar, apabila seseorang tidak menunaikan zakat karena keangkuhan dan kebakhilan. Zakat diwajibkan kepada muzakki disebabkan ketimpangan ekonomi. “Hampir saja si fakir menjadi kafir”. Ungkapan sederhana ini sangat bermakna, karena kemiskinan akan menghalangi individu beramal kepada Allah s.w.t. Zakat melawan kebakhilan, ketamakan, dan kelobaan dengan cara memberikan sebagian harta kepada yang mustahik dari para dhuafa’, masakin, faqir, ibnu sabil, gharim, amil, muallaf, dan hamba sahaya. Allah berfirman: "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".21
Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.22 "(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orangorang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih".23
20
Syechul Hadi Purnomo, Pemerintah RI sebagai Pengelola Zakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), p. 162. 21 QS. Al-Taubah 9: 60. 22 QS. Al-Taubah 9: 104. 23 QS. Al-Taubah 9: 79. 418 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam
419
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.24 Membantu orang lain dengan bersedekah ataupun berzakat merupakan pekerjaan yang mulia. Setiap kali seorang muzakki mengeluarkan harta serta tidak diiringi oleh perkataan yang membuat mustahik tersakiti, maka di waktu itu ia sudah memudahkan kehidupan mustahik dari rezeki yang dianugerahkan Allah kepada-Nya. Semakin banyak ia bersedekah atau berinfaq di jalan Allah, maka Allah janjikan pahala yang besar di akhirat, melapangkan kehidupannya di dunia, dan dapat pula membuat jiwa hidup dalam ketenteraman dan ketenangan. D. Sosiolitas Ibadah dalam Keummatan Amal shaleh berupa puasa dan zakat adalah momentum yang tepat untuk melestarikan kehidupan yang solider. Keduanya bisa membantu kemaslahatan umat dan dapat pula mengurangi tumbuh dan berkembangnya kejahatan, kemaksiatan, dan kemungkaran. Puasa maupun zakat adalah metodologi beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Dengan berpuasa seorang Muslim menahan nafsu angkara murka untuk tidak terjebak pada pelanggaran-pelanggaran yang merugikan atau membathalkan ibadah puasanya. Demikian juga dengan berzakat, seorang Muslim dapat menahannya dari berperilaku jahat, fahsya’, dan mungkar. Seorang individu yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik sandang, papan, dan pangan bisa melakukan apa saja untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Maka dengan berzakat seorang dhuafa’ merasa terbantu dalam meringankan beban penderitaan yang menghadangnya; sehingga dapat menghambat penyimpangan perilaku yang merugikan dirinya sendiri dan masyarakat pada umumnya. Kewajiban beramar ma’ruf dan nahi mungkar sebenarnya adalah wewenang dan tanggungjawab bersama. Seorang individu berkewajiban menahan dirinya, untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Individu yang melihat kemungkaran dan kemaksyiatan, ia harus mampu mencegah baik dengan tangan (kekuasaan), memberikan nasehat, ataupun ia harus mencela kemungkaran tersebut di dalam hatinya. Allah berfirman: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung".25
24 25
QS. Al-Baqarah 2: 263. QS. Ali Imran 3: 104.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
419
420
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik".26 "(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka, orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung".27 "Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik".28 "Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu".29 "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran".30 "(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan".31 "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".32 "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
26
QS. Ali Imran 3: 110. QS. Al-A’raf 7: 157. 28 QS. Al-Taubah 9: 67. 29 QS. Al-Taubah 9: 112. 30 QS. Al-Nahl 16: 90. 31 QS. Al-Hajj 22: 41. 32 QS. Al-Nur 24: 21.
27
420 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam
421
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan".33 'Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)".34
Abu Sayyid al-Khudri, berkata: Aku mendengar Rasulullah s.a.w. berkata: "Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tangannya (kekuasaannya), kalau tidak sanggup, maka ia harus merubahnya dengan memberikan nasehat melalui lisannya, kalau juga tidak sanggup maka hendaklah ia mencelanya dalam hati, namun ini adalah selemah-lemah iman".35
Amar ma’ruf nahi mungkar tidak dapat dicampuradukkan, keduanya harus berdiri sebagai satu subjek berbeda. Ma’ruf adalah segala sesuatu yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya, sedangkan mungkar adalah sesuatu yang dicegah dan dilarang untuk mengerjakannya berdasarkan ketentuan Allah dan rasul-Nya. Menyuruh kepada yang ma’ruf harus ditunaikan dengan yang ma’ruf pula, sebaliknya mencegah kemungkaran tidak boleh dengan cara yang mungkar.36 Menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar berimplementasi kepada stabilitas sosial, ekonomi, budaya, norma, keamanan, dan psikologis individu. Dengan beramar ma’ruf dan nahi munkar berarti seorang Muslim telah meninggalkan segala sumber keburukan dan kejahatan,37 untuk mengerjakan yang baik-baik dan diredhai Ilahi. Seorang Muslim yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar dapat menjamin stabilitas dirinya, keluarganya, tetangganya, dan lingkungannya. Dengan beramar ma’ruf semua aktivitas yang bermanfaat dapat dilaksanakan. Apabila ada perilaku menyimpang dalam masyarakat; baik pencurian, perampokan, peminum minuman keras, perjudian, pelacuran, pertengkaran, atau perkelahian, maka dengan bernahi mungkar, semua aktivitas yang merugikan tersebut dapat dicegah dan dihentikan. Terwujudnya amar ma’ruf dan nahi mungkar yaitu mengerjakan amalan-amalan yang baik dan bermanfaat serta meninggalkan perbuatanperbuatan mungkar, niscaya akan tercapai kestabilan ekonomi yaitu dengan bekerja dan mencari nafkah yang halal lagi baik. Dengan beramar 33
QS. Al-Ankabut 29: 45. QS. Luqman 31: 17. 35 HR. Muslim dalam Hadits Arba’in Imam Nawawi, p. 40. 36 Lihat Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-Munkar, (Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, 1984), p. 18. 37 Said Hawwa, Al-Islam, terj. Abdul Hayy al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), p. 753. 34
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
421
422
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam
ma’ruf nahi mungkar juga akan terwujud stabilitas keamanan, karena individu tidak lagi melakukan perbuatan menyimpang yang membuat masyarakat resah, seperti pencurian, perampokan, peminum minuman keras, perjudian, dan pelacuran. Amar ma’ruf nahy mungkar dapat mewujudkan kestabilan psikologis, di mana seorang Muslim dapat mengerjakan amalan shaleh yang bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya, bahkan terhindar pula dari rasa berdosa; lantaran telah meninggalkan perbuatan-perbuatan menyimpang yang melanggar hukum Islam. E. Penutup Amal shaleh berupa puasa dan zakat adalah momentum yang tepat untuk melestarikan kehidupan yang solider. Keduanya bisa membantu kemaslahatan umat dan dapat pula mengurangi tumbuh dan berkembangnya kejahatan, kemaksiatan, dan kemungkaran. Puasa maupun zakat adalah metodologi beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Dengan berpuasa seorang Muslim menahan nafsu angkara murka untuk tidak terjebak pada pelanggaran-pelanggaran yang merugikan atau membatalkan ibadah puasanya. Demikian juga dengan berzakat, seorang Muslim dapat menahannya dari berperilaku jahat, fahsya’, dan mungkar. Seorang individu yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik sandang, papan, dan pangan bisa melakukan apa saja untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Maka dengan berzakat seorang dhuafa’ merasa terbantu dalam meringankan beban penderitaan yang menghadangnya; sehingga dapat menghambat penyimpangan perilaku yang merugikan dirnya sendiri dan masyarakat pada umumnya. Dengan memperbanyak amal shaleh dapat mengantarkan seseorang ke kondisi kesehatan mental, kebahagiaan, dan ketenangan, serta dapat pula memberikan maslahat yang besar bagi orang lain dan lingkungan kehidupannya. Amal shaleh bukan saja memberikan manfaat kepada pelakunya, lebih dari itu adalah orang yang berada di sekelilingnya.
422 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam
423
Daftar Pustaka al-Ghazali, Imam, Ihya Ulumiddin I, al-Kaherah: Muassasah al-Halabi wa Syirkah Li al-Nasri wa Tauziog, t.t.. Ali, M. Daud, Sistem Ekonomi Islam, Zakat, dan Wakaf, Jakarta: UI Pers, 1988. al-Ja’fi, Muhammad Ibn Ismail Abu Abdillah al-Bukhariy, Shahih Bukhari, Juz I, Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987. al-Jufri, Abi Abdillah Muhammad Ibn Isma’il Ibn Ibrahim Ibn Mughirah Ibn Bardidhbah al-Bukhari, Sahih al-.Bukhari, Jil. 1, Kaherah: Dar alHadits, t.t. al-Qusyairy, Muslim Ibn Hajjaj, Sahih Muslim: bi Syarh Imam Muhyi a-Din alNawawi al-Musamma al-Minhaj, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1914. al-Syafi`i, al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris, al-Umm, Beirut, Dar al-Ma`rifah, 1973. Ancok, Jamaluddin dan FN Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994. An-Nawawi, Shahih Muslim fi Syarhi al-Nawawi, Vol II, al-Qaherah: AlMathba’atu al-Mishriyah wa Makbatuha, t.t. Fanani, Sayyid Abi Bakr al-Masyhur bi Sayyid al-Bakri Ibn Sayyid Muhammad Syata’ al-Dimyati al-Misri al-Malaibari, Hasyiyah I’anah al-Talibin II, Singapura, Maktabah wa Matba`ah Sulaiman, t.t. Hawwa, Said, Al-Islam, terj. Abdul Hayy al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2004. Jaya, Yahya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, Jakarta: Ruhama, 1992. Ma’luf, Lois, Munjid Fi al-Lughah wa al-A`lam, Beirut: Maktabah Syarqiyyah, 1986. Mudhariy, Bahauddin, Esensi Puasa, Surabaya: Pustaka Progresif, 1993. Muhammad, Pendekatan Kesehatan Terhadap Ibadah Puasa, Surabaya: AlIkhlas, t.t. Najati, M. ‘Utsman, al-Qur’an wa ilmu al-Nafs, al-Qaherah, Dar al-Syuruq, t.t.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
423
424
Khairunnas Rajab: Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam
Nashif, Mansur Ali, Al-Tajul Jami’ li Ushul fi Ahaditsi al-Rasul Vol.II, alQaherah: Dar al Fikr, 1975. Purnomo, Syechul Hadi, Pemerintah RI sebagai Pengelola Zakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Shihab, M. Quraish, Lentera Hati, Bandung: Mizan, 1994. _______, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1993. Taimiyah, Ibnu, Al-Amru bil Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-Munkar, Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, 1984. Thahir, M., Puasa Ramadhan Pengantar Kesehatan Paripurna, Surabaya: AlIkhlas, 1994.
424 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Lintasan Pemikiran Ekonomi Islam Oleh: Akhmad Mujahidin * Abstrak Filsafat ekonomi Islam secara keilmuan memang tidak berdiri sendiri tetapi tersebar dalam berbagai disiplin keilmuan lain seperti tafsir, fiqh, sejarah, politik dan lain-lain. Dalam rentang sejarah Islam yang panjang sebetulnya dari rahim sejarah Islam telah lahir beberapa pemikir ekonomi Islam terkemuka dan berpengaruh terhadap zamannya misalnya Abu Yusuf, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taimiayyah, Ibn Khaldun dan lain sebagainya. Pemikiran mereka tertuang dalam berbagai karya yang telah mereka terbitkan. Mereka berbicara tentang sewa tanah, pajak, kharaj, syirkah hingga jaminan sosial. Mengkaji ulang pemikiran para pemikir klasik dalam Islam justru seakan membongkar bongkahan emas tak ternilai di tengah momentum kebangkitan sistem ekonomi Islam. Kata kunci: filsafat ekonomi islam, fase-fase, karya ulama A. Pendahuluan Pemikiran ekonomi adalah pemikiran manusia tentang kemiskinan dan kesejahteraan, mengenai produksi dan distribusi, tukar-menukar dan konsumsi, tentang harga dan uang dan sebagainya.1 Dalam Islam, pemikiran ekonomi tidak berdiri sendiri dan terpisah jauh dari pemikiran Islam lainnya karena bertitik tolak dari pandangan Islam yang komprehensif tentang manusia, alam, dan kehidupan. Sejumlah karya besar ulama terkemuka pada abad-abad yang silam telah menjadi objek studi para ahli ekonomi baik Muslim maupun non muslim, dalam mereka menelusuri konsep-konsep pemikiran ekonomi Islam. Beberapa hasil penelitian mereka menjelaskan bahwa ilmu ekonomi Islam telah berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisipliner, menjadi kajian ahli tafsir, ahli hukum, ahli sejarah, ahli ilmu sosial, ahli ilmu politik, serta ahli filsafat. Sejumlah cendikiawan seperti Abu Yusuf (182 H./792 M.), AlMas’udi (w. 346 H./957 M.), al-Mawardi (w. 450 H./1058 M.), Ibnu Hazm (w. 456 H./1064 M.), Asy-Syarakhsyi (w. 483 H./1090 M.), Al-Tusi * Dosen Ekonomi Islam Fakultas Syari'ah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau) Alumni Doktor IAIN Surabaya tahun 2004. 1 M. Nejatullah Siddiqi, “History of Islamic Economic Thought”, dalam Awsaf Ahmad dan Kazim Raza Awam (ed.), Lecture on Islamics, (Jeddah: IRTI IDB, 1987), p. 69.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
426
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
(w. 485 H./1093 M.), al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.), Ibn Rusyd (w. 595 H./1198 M.), Ibn Taimiayyah (w. 728 H./1318 M.), Ibn al-Qayyim (w. 751 H./1359 H.), Asy-Syatibi (w. 790 H./1388 M.), Ibn Khaldun (w. 808 H./1406 M.), al-Maqrizi (w. 845 H./1442 M.), dan Syah Waliullah (w. 1176 H./1762 M.) telah memberikan kontribusi pemikiran secara luas melalui sebuah proses evolusi yang terjadi selama berabad-abad.2 B. Fase-fase Pemikiran Ekonomi Islam Perkembangan pemikiran ekonomi klasik, menurut Siddiqi, dapat diklasifikan dalam tiga fase. Fase pertama 113 H/738 M s.d. 450 M/1058 H.3 Di antara pemikir Muslim yang memberikan kontribusi pemikiran ekonomi Islam pada fase ini antara lain Abu Yusuf4 dalam kitabnya yaitu Al-Kharaj yang menrangkan masalah-masalah keuangan publik, pajak tanah dan pendistribusiannya langsung tanggung jawab pemerintah dalam ekonomi, terutama kebutuhan publik seperti pembangunan jalan dan irigasi.5 Mengenai pajak, Abu Yusuf dengan tegas menentang pajak tanah pertanian dan menyarankan penggantian dari pemungutan tetap atas tanah lahan dengan pajak yang sebanding atas penghasilan pertanian. Hal ini lebih besar dan membantu ekspansi dalam area-area yang ditanami.6 Abu Ubaid Al-Qosim ibn Salam (w. 324 H.) dengan karyanya “AlAmwal (The Wealth) telah menetapkan dirinya pada tempat terhormat sebagai penulis awal tentang sistem keuangan dalam Islam.7 Tentang penarikan dan pembayaran pendapatan, Ibnu Salam menempatkan dalam tiga jenis pendapatan: zakat (termasuk usr), Khums, seperlima dari rampasan perang dan harta benda, dan fay', yang termasukl kharaj, jizyah dan pendapatan lain yang tidak termasuk dalam dua kategori pertama, misalnya kehilangan dan penemuan, harta benda yang ditinggalkan tanpa pewaris.8 Dalam menjelaskan hak pemimpin atas rakyat dan hak rakyat 2 M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, Edisi Indonesia oleh Ikhwan Abidin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), p. 149. 3 Siddiqi, “History, p. 69. 4 Tentang sejarah dan kerja Abu Yusuf, lihat Abdullah Mustafa al-Maraghi, PakarPakar Fiqh, terj. Husein Muhammad, (Yogyakarta; LKPSM, 2001), p. 77. 5 Zohreh Ahghari, The Origin And Evolution of Islamic Economic Thought, (Michigan: UMI, 1994), pp. 100-101. 6 Siddiqi, “History, p. 71. Dua orang cendikiawan klasik lainnya telah menulis tentang pajak dengan nama yang sama dengan karya Abu Yusuf, al-Kharaj oleh Yahya Ibn Adam (w. 203 H./839 M.), dan al-Kharaj karya Ibn Zanjawiyah (251 H./865 M.), lihat Chapra (2000), Landscape, p. 173. 7 Komentar Ibn Taimiyyah sebagaimana dikutip oleh A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibn Taimiyyah, terj. Ansari Thayib, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1997), p. 297. 8 Siddiqi, “History, p. 297.
426 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
427
atas pemimpin Ibnu Salam memberikan pendapatnya bahwa merupakan kewajiban negara terhadap orang-orang yang masih membutuhkan bantuan karena ditinggal (mati) yang diambil dari kas negara (bait al-mal). Tentang kitab Al-Amwal, Yusuf al-Qaradhawi yang banyak mengutip laporan dan pandangan Ibnu Salam dalam menyelesaikan fiqh zakah, memberi komentar: "buku-buku fiqh keuangan dan administrasi, terutama yang diakui tidak ada bandingannya yaitu Al-Amwal oleh Imam Abu Ubaid Al-Qosim Ibn Salam.9 Al-Mawardi,10 seorang ahli fiqh (Jurist) dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sultaniyyah menjelaskan bahwa terdapat empat lapangan usaha untuk mencari nafkah yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan industri. Mencari nafkah yang lebih cukup untuk memenuhi kebutuhan seseorang bisa dibenarkan, dengan tujuan untuk pengeluaran hal-hal yang baik. Namun, mencari nafkah untuk menimbun kekayaan dan sombong terhadap orang lain adalah hal yang buruk11. Kepemilikan barang modal yang mengadakan kontrak dengan pengusaha yang menggunakannya untuk kegiatan produktif keuntungannya akan dibagi dua dan pendapat ini sejalan dengan pandangan mayoritas Fuqoha12. Fase kedua (450-850 H./1058-1466 M.), muncul tokoh antara lain Imam Al-Ghazali13 dalam kitabnya Ihya ‘Ulum al-Din menjelaskan tentang fungsi uang sebagai alat tukar dan larangan riba al-fadl14. Alasan-alasan larangan riba al-fadl karena bertentangan dengan sifat dan fungsi uang yang dirancang untuk memudahkan pertukaran dan mengutuk penimbun uang. “He tries to explain prohibition of riba al-fadl by arguing that it violates the nature and functions of money, and condemns hording of money on the ground that money is designed to facilitate exchange whereas hording abstracts this process…”.15 Uang dirancang untuk memudahkan pertukaran, maka perdagangan uang menurut Al-Ghazali, sama dengan memenjarakan uang yang diperdagangkan, makin sedikit uang dapat berfungsi sebagai alat tukar. Bila semua uang diperdagangkan untuk membeli uang, tidak ada lagi uang yang dapat berfungsi sebagai alat tukar. Al-Ghazali juga membolehkan 9 Yusuf al-Qaradhawi, Hukum Zakat, terj. Salman Harun dkk., (Jakarta: Mizan, 1996), p. 12. 10 Al-Mawardi dilahirkan di Basra tahun 364 H. Abu Ya'la al-Farra yang hidup satu mas dengan Mawardi telah menulis kitab dengan nama yang sama dengan karya Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah, lihat al-Maraghi, Pakar, pp. 151-152. 11 Siddiqi, “History, p. 73. 12 Dilaporkan oleh Abdul Sayyid al-Siba’i, seperti dikutip oleh Siddiqi, Ibid., p. 74. 13 Untuk mengetahui sejarah dan karya Al-Ghazali, silahkan lihat al-Maraghi, Pakar, pp. 171-172. 14 Ibid., p. 118. 15 Siddiqi, “History, p. 76.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
427
428
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
peredaran uang yang tidak mengandung emas dan perak asalkan pemerintah menyatakan sebagai alat tukar.16 Selanjutnya adalah Taqiuddin Ibnu Taimiyah dalam karyanya yaitu Al-Hisbah fi al-Islam dan Majmu’ al-Fatawa menerangkan tentang kewajiban publik secara mendalam telah membawanya kepada manajemen keuangan, peraturan timbangan dan ukuran, pengawasan harga dan lain-lain. Naik dan turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh tindakan tidak adil dari sebagian orang-orang yang ikut terlibat transaksi. Dapat juga disebabkan penawaran yang diakibatkan tidak efesiennya produksi. Jika permintaan terhadap barang meningkat, sedangkan penawaran menurun, maka harga barang tersebut akan naik.17 Tokoh yang tidak kalah terkenal adalah Ibnu Taimiyah yang mengemukakan pandangannya tentang teori pasar dalam Islam, apabila terjadi kenaikan harga, “kalau kenaikan harga disebabkan karena adanya pergeseran kurva penawaran maka obatnya adalah Market Intervention. Di masa Umar ibn al-Khattab pernah terjadi kenaikan harga gandum karena harga paceklik di daerah Hijaz, maka diimporlah gandum dari Mesir. Kebijakan mereka lakukan adalah menambah jumlah penawaran gandum sehingga harga kembali pada keseimbangan awal. Akan tetapi jika penyebab kenaikan harga tersebut bukan karena pergeseran kurva penawaran maka Islam tidak memberlakukan cara seperti di atas. Ibnu Khaldun seperti dikemukakan oleh Siddiqi, telah menerangkan norma-norma Islam dalam perilaku ekonomi, terutama pada masalah kemiskinan dan kesejahteraan, mengapa beberapa negara lebih makmur dari yang lain. Hal ini, kemudian, membawanya kepada subjek-subjek ekonomi seperti: pembagian tenaga kerja, uang dan harga, produksi dan distribusi, perdagangan internasional, pembentukan modal, kemiskinan dan kemakmuran, pertanian, industri, dan pembiayaan publik.18 Fase ketiga (850 H./1446 M. sampai dengan 1350 H./1932 M.). tokohnya adalah Syah Waliyullah (1703-1762 M.), dengan karyanya Hujjatullah al-Balighah bahwa manusia adalah makhluk sosial, kesejahteraan manusia terletak pada kerjasama yang terjadi dalam berbagai bentuk seperti tukar menukar, kontrak bagi hasil, pembagian hasil panen, 16 Dikutip oleh Adiwarman A. Karim dalam keryanya Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), p. 56. Lihat juga Ahghari, The Origin, p. 118. dan juga dalam pembahasan “syurk” dan Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam, terj. Umar Sitanggal, (Bandung: Al-Ma’arif, 1985), p. 265. 17 Lihat tulisan Abdul Azim Islahi, “Ibnu Taimiyah’s Concept of Market Mechanism” dalam Sayyid Thaher dkk. (Ed.), Reading in Microeconomics an Islamic Perspective, (Selangor: Longman Malaysia, 1992), p. 157. 18 Siddiqi, "History, p. 78.
428 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
429
perjudian dan segala bentuk riba adalah melanggar semangat kerjasama tersebut. Faktor produksi yaitu sumber alam, khususnya tanah, yang menurutnya harus dibagi secara adil. Ia menjelaskan semua tanah sebenarnya adalah seperti masjid atau tempat istirahat yang diserahkan kepada musafir.19 Penyebab kemunduran dan kemiskinan negara. Kezaliman adalah awal dari kemunduran dan kemiskinan. Ia menemukan kemewahan hidup, korupsi, pelayan masyarakat yang tidak efisien, gaji pegawai yang tinggi, pemungutan pajak yang menekan. Semua ini menyebabkan orang kehilangan semangat kerja dan akhirnya hasil produksi menurun.20 Kontribusi yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu ekonomi Islam kontemporer adalah “kebangkitan Islam” di negeri-negeri non muslim setelah dijajah dominasi Eropa selama 124 tahun (1798-1922). Pan Islamic yang didirikan Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) adalah satusatunya usaha yang perlu dicatat bagi menyusun satu respons Muslim terhadap kolonisasi.21 Tokoh pembaharu muslim anatara lain adalah Muhammad Abduh (1849-1905) yang telah banyak mempengaruhi pembaharu Muslim lainnya, seperti Ibnu Badis di Aljazair, dan gerakan Muhammadiyyah di Indonesia, “Ikhwan al-Muslimin”, “Jemaat Al-Islami” di India, tahun 1941, dan “Hizb at-Tahrir”22. Menurut Chapra, seruan untuk membangun ilmu ekonomi Islam hanya satu bagian dari proses kebangkitan Islam.23 Konferensi Ekonomi Islam International Pertama (The First Islamic Economic Conference) yang diadakan di Makkah 1976, berfungsi sebagai katalisator pada tingkat International dan membawa pada pertumbuhan literatur ekonomi Islam.24 Menurut Nabhani, kegiatan produksi seperti administrasi, gaji buruh dapat diberlakukan hukum-hukum “Ijarah” atas seorang “Ajir”. Menurut hemat penulis pembahasan produksi dalam buku tersebut hanya sebatas pembahasan fiqh. Hal ini terlihat dalam pembahasan tanah. Ia hanya memberi penekanan pada aspek hukum yang berhubungan dengan menghidupkan tanah mati, bagaimana mengolah tanah dan hukum yang melarang menyewakan tanah. Pembahasan tanah ditinjau dari segi fiqh, sangat mendalam, namun terpisah dari pembahasan tanah dalam kaitannya dengan produksi. Usaha-usaha yang telah dilakukan dan patut disyukuri 19
Siddiqi, "History, p. 79. Chapra, Landscape., (2001), pp. 172-173. 21 Neal Robinson, Islam Komprehensif, terj. Anam Sutopo dkk., (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), pp. 70-71. 22 Ibid., p. 72. 23 Chapra, Landscape, p. 262. 24 Chapra, Landscape, p. 263. 20
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
429
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
430
adalah beberapa tulisan antara lain: penelitian Sayyid Ezzat el-Alfi tentang konsep produksi Ibn Khaldun dalam “Production, Distribution, and Exchange in Khaldun’s Writings”. M. Baqir As-Sadr dalam karyanya “Iqtisaduna” 1961 melakukan pembahasan komparatif antara pandangan kapitalistik dan Islam tentang produksi. Etika dan hukum Islam untuk mendorong peningkatan produktifitas, melarang kemalasan dan penyia-nyiaan berbagai sumber alami. Seperti penulis-penulis lain, ia juga mempunyai pandangan bahwa yang dimaksud faktor produksi adalah tanah. Yusuf al-Qaradawi dalam “Norma dan Etika Ekonomi Islam” menjelaskan bahwa bekerja adalah faktor utama dalam proses produksi, faktor-faktor yang lain, seperti modal, tidak lebih dari asset, baik alat maupun bangunan yang semuanya merupakan hasil kerja manusia. Monzer Kahf dalam tulisannya ‘Ekonomi Islam: Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, membahas motif dan tujuan produksi, tujuan badan usaha, dan hak milik. Dalam menjelaskan “prinsipprinsip ekonomi Islam”, Suroso Imam Zadjuli juga menyinggung faktor produksi; sumber daya alam, modal, sumber daya manusia dan manajemen. Dalam menjelaskan “modal” Suroso menguraikannya dalam pengertian umum yaitu sejumlah uang yang dapat digunakan untuk membeli barang modal.25 C. Cuplikan hasil Pemikiran Ekonomi Islam 1. Sewa Tanah dan Pemerataan Kesempatan Sejalan dengan pendekatan zahirinya, Ibnu Hazm mengemukakan konsep pemerataan kesempatan berusaha di bidang ekonomi yang cenderung kepada prinsip-prinsip ekonomi sosial Islami. Konsep ini mengarah kepada kesejahteraan masyarakat banyak namun berlandaskan keadilan sosial dan keseimbangan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan Hadits. Pemikiran Ibu Hazm tentang sewa tanah sangat menarik untuk dicermati. Menurutnya menyewakan tanah sama sekali tidak diperbolehkan, baik untuk bercocok tanam, perkebunan, mendirikan bangunan, ataupun segala sesuatu, baik untuk jangka pendek, jangka panjang, maupun tanpa batas waktu tertentu, baik dengan imbalan dinar maupun dirham. Bila hal ini terjadi, hukum sewa-menyewa batal selamanya, kecuali mengikuti sistem berikut ini, yaitu tidak boleh 25
Lihat tulisan Suroso Imam Zadjali, “Prinsip-prinsip Ekonomi Islam”, dalam M. Rusli Karim (ed.), Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana bekerjasama dengan P3FE UII, 1992), p. 44. 430 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
431
dilakukan kecuali muzara’ah (penggarapan tanah) dengan sistem bagi hasil produksinya atau mugharasah (kerjasama penanaman). Dengan pernyataan tersebut, Ibnu Hazm memberikan tiga alternatif penggunaan tanah, yaitu: Pertama, tanah tersebut dikerjakan atau digarap oleh pemiliknya sendiri. Kedua, si pemilik mengizinkan orang lain mengarap tanah-tanah tanpa meminta sewa. Ketiga, si pemilik memberikan kesempatan orang lain untuk menggarapnya dengan bibit, alat, atau tenaga kerja yang berasal dari dirinya, kemudian si pemilik memperoleh bagian dari hasilnya dengan persentase tertentu sesuai kesepakatan.26 Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dengan kaum Yahudi terhadap tanah Khaibar. Dalam sistem ini, jika tanaman itu gagal, si penggarap tidak dibebani tanggung jawab tertentu. Menggarap tanah adalah termasuk jenis kerjasama yang diperbolehkan oleh ajaran Islam dan banyak dijumpai di masyarakat luas. Diketahui manfaatnya yang besar bagi kedua pihak, kedua pihak mendapatkan keuntungan dari kerjasama tersebut. Menggarap tanah dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah muzara’ah. Muzara’ah ialah seseorang yang memberikan tanahnya kepada orang lain untuk ditanami dengan upah bagian tertentu dari hasil tanah tersebut, misalnya sepertiganya atau separuhnya. Berkata Syaikh Abu Bakar AlJazairi “Muzara’ah diperbolehkan oleh sebagian besar para sahabat rodhiyallohu ‘anhum, tabi’in dan para imam serta tidak diperbolehkan oleh sebagaian yang lain. Dalil orang-orang yang membolehkannya adalah muamalah Rasulullah s.a.w. dengan penduduk Khaibar. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar rodhiyallohu’anhuma bahwa Rasulullah mempekerjakan orang-orang Khaibar di tanah Khaibar dan mereka mendapatkan separoh dari tanaman atau buah-buahan yang dihasilkannya. Adapun dalil yang melarang muzara’ah mereka tafsirkan bahwa larangan tidak bolehnya akad muzara’ah itu karena dengan sesuatu yang tidak diketahui atau tidak jelas. Ini karena mereka berhujjah dengan hadits Rafi’ bin Khadij ra. berkata: Kami adalah penduduk Anshar yang paling banyak kebunnya, ada salah seorang dari kami menyewakan tanahnya, kemudian dia berkata: sebidang tanah ini untukku dan sebidang tanah ini untukmu, maka terkadang satu bidang mengeluarkan tanaman (berhasil) dan sebidang yang lain tidak mengeluarkan tanaman (gagal), maka Nabi s.a.w. melarang mereka.
Ataupun larangan tersebut berarti makruh yang tidak sampai kederajat haram berdasarkan ucapan Ibnu Abbas ra.:
26
Euis Amalia, Op.Cit, p. 138.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
431
432
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam Sesungguhnya Rasululloh s.a.w. tidak melarangnya hanya saja beliau bersabda: Jika salah seorang kalian memberi kepada saudaranya itu lebih baik baginya daripada ia mengambil imbalan tertentu.
Dalil dibolehkannya muzara’ah adalah: Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasululloh s.a.w. pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah dan tanaman.
Berkata Syaikh Abdullah Al-Bassam dalam menyebutkan pelajaran yang dapat diambil dari Hadits di atas: "Bolehnya muzara’ah dan musaqat dengan bagian dari apa yang tumbuh dari tanah tersebut baik berupa tanaman dan buah. Dari zahir hadits tidak disyaratkan benih dari pemilik tanah, dan ini adalah yang benar. Jadi muzara’ah adalah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang ada dan diamalkan oleh salafush shalih. Berkata imam Bukhori rohimahulloh berkata Qais bin Muslim dari Abu Ja’afar, dia berkata: “Tidaklah di Madinah kaum Anshar melainkan mereka menanam dengan bagian sepertiga atau seperempat. Dan adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali dan Ibnu Sirin, mereka melakukan muzara’ah". Mengenai benih tanaman bisa dari pemilik tanah maka ini dinamakan muzara’ah, dan boleh benih berasal dari penggarap dan ini disebut mukharabah. Berkata Syaikh Abdul Adhim al-Badawi: “Tidak mengapa benih berasal dari pemilik tanah atau dari penggarap tanah ataupun dari keduanya, dalilnya: berkata Imam Bukhari rohimahulloh: Umar r.a. mempekerjakan orang-orang, jika benih dari Umar maka bagiannya setengah, dan jika benih berasal dari mereka maka bagian mereka adalah seperti itu (setengah). Dia juga berkata: telah berkata Hasan: “Tidak mengapa jika tanah itu milik salah satu dari keduanya, kemudian diusahakan bersama maka apa yang keluar (tumbuh) untuk keduanya, dan az-Zuhri berpendapat demikian. Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi “Di antara hukum-hukum muzara’ah adalah sebagai berikut: "Masa muzara’ah harus ditentukan misalnya satu tahun". Bagian disepakati dari ukurannya harus diketahui, misalnya setengah, sepertiga atau seperempatnya, dan harus mencakup apa saja yang dihasilkan tanah tersebut. Jika pemilik tanah berkata kepada penggarapnya: “Engkau berhak atas apa yang tumbuh di tempat ini dan tidak di tempat yang lainnya.” Maka hal ini tidak sah. Jika pemilik tanah mensyaratkan mengambil bibit sebelum dibagi hasilnya kemudian sisanya dibagi antara pemilik tanah dan penggarap tanah sesuai dengan syarat pembagiannya maka muzara’ah tidak sah. 432 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
433
Seorang Muslim yang mempunyai kelebihan tanah, disunnahkan memberikan kepada saudaranya tanpa konpensasi apapun, karena Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.
Juga sabda Rasulullah s.a.w. : “Jika salah seorang kalian memberi kepada saudaranya itu lebih baik baginya daripada ia mengambil imbalan tertentu.”
Dalam penggarapan tanah tidak boleh adanya unsur-unsur yang tidak jelas seperti pemilik tanah mendapat bagian tanaman dari tanah sebelah sini, dan penggarap mendapat bagian tanaman dari tanah sebelah sana. Hal ini dikatakan tidak jelas karena hasilnya belum ada, bisa jadi bagian tanaman dari tanah sebelah sini yaitu untuk pemilik tanah bagus dan bagian tanaman penggarap gagal panen ataupun sebaliknya. Dan bila keadaan ini yang terjadi maka terjadi salah satu pihak dirugikan. Padahal muzara’ah termasuk dari kerjasama yang harus menamggung keuntungan maupun kerugian bersama-sama. Ataupun bisa terjadi pemilik tanah memilih bagiannya dari tanah yang dekat dengan saluran air, tanah yang subur, sementara yang penggarap mendapat sisanya. Inipun tidak diperbolehkan karena mengandung ketidakadilan, kezhaliman dan ketidakjelasan. Tetapi dalam muzara’ah harus disepakati pembagian dari hasil tanah tersebut secara keseluruhan. Misalnya pemilik tanah mendapatkan bagian separuh dari hasil tanah dan penggarap mendapat setengah bagian juga, kemudian setelah ditanami dan panen ternyata rugi maka hasilnya dibagi dua, begitu juga bila hasilnya untung maka harus dibagi dua. Dan pada kasus ini ada kejelasan pembagian hasil, dan ini diperbolehkan. Berkata Syaikh Abdul Azhim Al Badawi “dan tidak boleh muzara’ah dengan syarat sebidang tanah ini untuk pemilik tanah dan sebidang tanah yang ini untuk penggarap. Sebagaimana tidak boleh pemilik tanah berkata bagianku dari tanah ini adalah sejumlah berapa wasak. “Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku telah menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman Nabi r.a. dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu yang telah dikecualikan pemilik tanah, kemudia Nabi s.a.w. melarang hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan dirham?, Rafi’ menjawab, tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham. “Dari Hanzhalah bin Qais, dia berkata, aku bertanya kepada Rafi’ bin Khadij mengenai penyewaan tanah dengan emas dan perak, kemudian dia menjawab, tidak apa-apa. Sesungguhnya orang-orang pada zaman Nabi s.a.w. menyewakan tanah dengan imbalan apa yang tumbuh di saluran air dan parit, dan berupa aneka tanaman. Kemudian terkadang tanaman ini rusak dan itu selamat, terkadang juga
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
433
434
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam tanaman ini selamat dan tanaman itu rusak, sedangkan orang-orang tidak mempunyai sewaan kecuali itu, oleh karena itu Rasulullah s.a.w. melarangnya. Adapun sesuatu (imbalan) yang jelas diketahui dan terjamin maka tidak apa-apa.
Dari dua hadits yang ada menggunakan lafadz menyewakan tanah namun menyewakan tanah yang dilarang pada hadits tersebut adalah muzara’ah (menggarap tanah), karena imbalan yang disepakati adalah dari hasil tanah tersebut dan ini dinamakan muzara’ah. Sedangkan apabila imbalannya berupa emas, perak, uang, ataupun selain dari hasil tanah tersebut maka ini disebut penyewaan tanah. Pelarangan muzara'ah pada hadits di atas juga tidak secara mutlak, karena sebenarnya muzara'ah diperbolehkan sebab Nabi s.a.w. sendiri mengamalkan muzara'ah dan juga salafus shahih. Namun, pelarangan muzara'ah pada hadits di atas karena tidak adanya pembagian hasil yang jelas. Maka haruslah bagi orang yang akan melakukan akad muzara'ah harus menentukan pembagian hasil tanah dengan jelas seperti menentukan separuh, sepertiga atau seperempat dari hasil tanaman yang dihasilkan untuk penggarap dan untuk pemilik tanah karena muzara'ah adalah kerja sama (persekutuan), dan yang namanya kerja sama keuntungan dan kerugian harus ditanggung bersama. Menggarap tanah adalah termasuk akad kerjasama (persekutuan/syirkah) yang harus jelas pembagian hasilnya seperti separuh, sepertiga atau seperempat atau bagian yang tertentu dari hasil tanaman yang diperoleh, sehingga apabila mengalami kerugian ataupun keberhasilan ditanggung bersama karena pembagiannya adalah hasil tanaman yang dihasilkan tanah tersebut dan menggarap tanah hukumnya dibolehkan. Akad syirkah ini mendapatkan landasan syari'ahnya dari al-Qur'an, hadits dan ijma’. 1. al-Qur’an ôΜßγsù â!%Ÿ2uà° ’Îû Ï]è=›W9$# 4 “Maka mereka berserikat dalam sepertiga” (Q.S. An-Nisa’: 12).
Ayat ini sebenarnya tidak memberikan landasan syari'ah bagi semua jenis syirkah, ia hanya memberikan landasan kepada syirkah jabariyah (yaitu perkongsian beberapa orang yang terjadi di luar kehendak mereka karena mereka sama-sama mewarisi harta pustaka). ( ¨βÎ)uρ #ZÏVx. zÏiΒ Ï!$sÜn=èƒø:$# ‘Éóö6u‹s9 öΝåκÝÕ÷èt/ 4’n?tã CÙ÷èt/ āωÎ) tÏ%©!$# (#θãΖtΒ#u (#θè=Ïϑtãuρ ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$# ×≅‹Î=s%uρ $¨Β öΝèδ 3 £sßuρ ߊ…ãρ#yŠ $yϑ‾Ρr& çµ≈¨ΨtGsù txøótGó™$$sù …çµ−/u‘ §yzuρ $YèÏ.#u‘ z>$tΡr&uρ ) ∩⊄⊆∪
434 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
435
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berkongsi itu benar-benar berbuat zalim kepada sebagian lainnya kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh; dan Amat sedikitlah mereka ini" (Q.S. Shod: 24).
Ayat ini mencela perilaku orang-orang yang berkongsi atau berserikat dalam berdagang dengan menzalimi sebagian dari mitra mereka. Kedua ayat al-Qur'an ini jelas menunjukkan bahwa syirkah pada hakekatnya diperbolehkan oleh risalah-risalah yang terdahulu dan telah dipratikkan. 2. Sunnah Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t. telah berfirman: Aku adalah mitra ketiga dari dua orang yang bermitra selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati yang lainnya. Jika salah satu dari keduanya telah mengkhianatinya, maka Aku keluar dari pengkongsian itu”. (H. R. Abu Dawud dan al-Hakim). Arti hadits ini adalah bahwa Allah s.w.t. akan selalu bersama kedua orang yang berkongsi dalam kepengawasan, penjagaan, dan bantuan-Nya. Allah s.w.t. akan memberikan bantuan dalam kemitraan ini dan menurunkan berkah dalam perniagaan mereka. Jika keduanya atau salah satu dari keduanya telah berkhianat, maka Allah meninggalkan mereka dengan tidak memberikan berkah dan pertolongan sehingga perniagaan itu merugi. Di samping itu, masih banyak hadits yang lain yang menceritakan bahwa para sahabat telah mempraktikkan syirkah ini sementara Rasulullah s.a.w. tidak pernah melarang mereka, sehingga dapat disimpulkan bahwa Rasulullah telah memberikan ketetapan kepada mereka. 3. Ijma’ Kaum Muslimin telah sepakat dari dulu bahwa syirkah diperbolahkan, hanya saja mereka berbeda pandangan dalam hukum jenisjenis syirkah yang banyak variasinya itu. a. Jenis-jenis syirkah/musyarokah Pada prinsipnya syirkah itu ada dua macam yaitu syirkah amlak (kepemilikan) dan syirkah uqud (terjadi karena kontrak). Syirkah kepemilikan ini ada dua macam yaitu ikhtiari dan jabari. Ikhtiyari terjadi karena kehendak dua orang atau lebih untuk berkongsi, sedangkan jabari terjadi karena kedua orang atau lebih tidak dapat mengelak untuk berkongsi misalnya dalam pewarisan. Syirkah uqud adalah pengkongsian yang terjadi karena kesepakatan dua orang atau lebih untuk berkongsi modal, kerja atau keahlian dan jika
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
435
436
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
pengkongsiannya itu menghasilkan untung, maka hal itu akan dibagi bersama menurut saham dan kesepakatan masing-masing. Syirkah uqud ini memiliki banyak variasi yaitu syirkah ‘inan, mufawadhoh, abdan, wujuh dan mudhorobah. b. Rukun Syirkah Menurut madzhab Hanafi hanya ada dua rukun dalam syirkah yaitu ijab dan qobul. 1. Syirkah ‘inan ‘Inan artinya sama dengan menyetorkan atau menawarkan modal. Syirkah ‘inan merupakan suatu akad di mana dua orang atau lebih berkongsi dalam modal dan sama-sama memperdagangkannya dan bersekutu dalam keuntungan. Hukum jenis syirkah ini merupakan titik kesepakatan di kalangan para fukoha. Demikian juga syirkah ini merupakan bentuk syirkah yang paling banyak dipraktikkan kaum Muslimin di sepanjang sejarahnya. Hal ini disebabkan karena bentuk pengkongsian ini lebih mudah dan prakits karena tidak mensyaratkan persamaan modal dan pekerjaan. Salah satu dari patner dapat memiliki modal yang lebih tinggi dari pada mitra yang lain. Begitu pula salah satu pihak dapat menjalankan perniagaan sementara yang lain tidak ikut serta. Pembagian keuntunganpun dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan mereka bahkan diperbolehkan salah seorang dari patner memiliki keuntungan lebih tinggi sekiranya ia memang lebih memiliki keahlian dan keuletan dari pada yang lain. Adapun kerugian harus dibagi menurut perbandingan saham yang dimiliki oleh masingmasing patner. 2. Sirkah mufawadhoh Mufawadhoh artinya sama-sama. Syirkah ini dinamakan syirkah mufawadhoh karena modal yang disetor para patner dan usaha fisik yang dilakukan mereka sama atau proporsional. Jadi syirkah mufawadhoh merupakan suatu bentuk akad dari beberapa orang yang menyetorkan modal dan usaha fisik yang sama. Masing-masing patner saling menanggung satu dengan yang lainnya dalam hak dan kewajiban. Dalam syirkah ini tidak diperbolehkan satu patner memiliki modal dan keuntungan yang lebih tinggi dari para patner lainnya. Yang perlu diperhatikan dalam syirkah ini adalah persamaan dalam segala hal di antara masing-masing patner. 3. Syirkah wujuh Syirkah ini dibentuk tanpa modal dari para patner. Mereka hanya bermodalkan nama baik yang diraihnya karena kepribadiannya dan kejujurannya dalam berniaga. Syirkah ini terbentuk manakala ada dua 436 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
437
orang atau lebih yang memiliki reputasi yang baik dalam bisnis memesan suatu barang untuk dibeli dengan kredit (tangguh) dan kemudian menjualnya dengan kontan. Keuntungan yang dihasilkan dari usaha ini kemudian dibagi menurut persyaratan yang telah disepakati antara mereka. 4. Syirkah abdan (a’mal) Syirkah ini dibentuk oleh beberapa orang dengan modal profesi dan keahlian masing-masing. Profesi dan keahlian ini bisa sama dan bisa juga berbeda. Misalnya satu pihak tukang cukur dan pihak lainnya tukang jahit. Mereka menyewa satu tempat untuk perniagaannya dan bila mendapatkan keuntungan dibagi menurut kesepakatan di antara mereka. Syirkah ini dinamakan juga dengan syirkah shona’i atau taqobul. c. Syarat-syarat umum syirkah 1. jenis usaha fisik yang dilakukan dalam syirkah ini harus dapat diwakilkan kepada orang lain. Hal ini penting karena dalam kenyataan, sering kali satu patner mewakili perusahaan untuk melakukan dealing dengan perusahaan lain. Jika syarat ini tidak ada dalam jenis usaha, maka akan sulit menjalankan perusahaan dengan gesit. 2. keuntungan yang didapat nanti dari hasil usaha harus diketahui dengan jelas. Masing-masing patner harus mengetahui saham keuntungannya seperti 10% atau 20% misalnya. 3. keuntungan harus disebar kepada semua patner. d. Syarat-syarat khusus 1. Modal yang disetor harus berupa barang yang dihadirkan. Tidak diperbolehkan modal masih berupa utang yang tidak dapat dihadirkan ketika akad atau beli. Tidak disyaratkan modal yang disetor oleh para patner itu dicampur satu sama lain. Karena syirkah ini dapat diwujudkan dengan akad dan bukan dengan modal. 2. Modal harus berupa uang kontan. Tidak diperbolahkan modal dalam bentuk harta yang tidak bergerak atau barang. Karena barang-barang ini tidak dapat dijadikan ukuran sehingga akan menimbulkan persengketaan dikemudian hari karena keuntungan yang dihasilkannya juga menjadi tidak jelas proporsinya dengan modal yang disetor akibat sulitnya dinilai. Menurut pendapat Ibnu Hazm bahwa tanah ini merupakan ciptaan Allah s.w.t. di mana manusia tinggal memanfaatkan, mengklaim kepemilikan, dan penguasaannnya. Dengan demikian, kepemilikan tersebut tidak mutlak, tetapi justru relatif selama ia memanfaatkannya. Jika tidak memanfaatkannya, ia harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkannya sesuai dengan asas SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
437
438
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
kepemilikan umum bahwa tanah adalah ciptaan Allah s.w.t. Oleh karena itu, menurut Ibnu Hazm, tanah tidak bisa disamakan dengan rumah atau peralatan yang secara nyata merupakan hasil kerja dan jerih payah manusia untuk membuatnya, sehingga dapat disewakan. Di samping itu, larangan penyewaan tanah dan alternatif bagi hasil, menciptakan iklim bekerja dan berusaha yang lebih baik bagi orang-orang yang tidak mampu dengan resiko kecil dalam menanggung kerugian akibat bencana alam atau penyakit, sehingga gagal panen. Dengan seperti ini keuntungan akan dinikmati secara bersama, dan begitu pula sebaliknya. Pandangan Ibnu Hazm tersebut berbeda dengan sejumlah fuqaha yang secara umum memperbolehkan penyewaan tanah, sebagaimana bolehnya melakukan muzara’ah dan mugharasah. Termasuk di antara mereka adalah Abu Hanifah, Malik, Abu Yusuf, Zufar, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Syafi’i, dan Abu Sulaiman. Agaknya pendapat ini bertitik tolak dari kepemilikan tanah secara mutlak. Si pemilik berhak sepenuhnya atas tanah tersebut, apakah ia memanfaatkannya sendiri atau memanfaatkannya dalam jangka waktu tertentu ia alihkan kepada orang lain dengan ganti rugi berupa sewa yang dibayarkan kepada pemilik tanah itu sesuai dengan kesepakatan. 2. Jaminan Sosial Bagi Orang Yang Tak Mampu a. Pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs) dan pengentasan kemiskinan. Kebutuhan pokok (primer) dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang berupa pangan, sandang dan papan serta kebutuhan terhadap jasa berupa keamanan, pendidikan, dan kesehatan. Sistem ekonomi Islam menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara Islam secara menyeluruh baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa. Barang-barang berupa pangan, sandang dan papan (perumahan) adalah kebutuhan pokok (primer) manusia yang harus dipenuhi. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan tersebut. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa ketiga kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan pokok adalah nash-nash yang berkenaan dengan pangan, sandang dan papan (perumahan). Allah s.w.t. berfirman: “Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik….” (QS. Al-Baqarah : 233)
Firman-Nya juga : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di tempat kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu….” (QS. At-Thalaq : 6)
Az-Zein (1981) mengutip hadits Rasulullah s.a.w. yang bersabda:
438 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
439
“Anak Adam tidak mempunyai kebutuhan selain dari sepotong roti untuk menghilangkan laparnya, seteguk air untuk meredakan dahaganya dan sepotong pakaian untuk menutup ‘auratnya. Dan lebih dari itu adalah keutamaan.”
Nash-nash al-Qur’an dan hadits di atas menunjukkan dengan jelas bahwa kebutuhan yang tiga tersebut. Selain dari barang yang tiga tersebut merupakan kebutuhan pelengkap (kamaliyat). Demikian juga dengan kebutuhan jasa berupa keamanan, kesehatan dan pendidikan. Ketiganya merupakan kebutuhan jasa asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Dijadikannya keamanan sebagai salah satu kebutuhan terhadap jasa yang pokok mudah dipahami, sebab tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh aktifitasnya terutama aktifitas yang wajib seperti kewajiban ibadah, kewajiban bekerja, kewajiban bermuamalat secara Islami termasuk menjalankan aktivitas pemerintah sesuai dengan ketentuan Islam tanpa adanya keamanan yang menjamin pelaksanaannya. Untuk dapat melaksanakan semua ini, maka haruslah ada jaminan keamanan bagi setiap warga negara. Demikian pula dengan kesehatan, tidak mungkin setiap manusia dapat menjalani berbagai aktifitas sehari-hari tanpa dia mempunyai kesehatan yang cukup untuk melaksanakannya. Karena kesehatan juga termasuk ke dalam kebutuhan jasa yang pokok yang harus dipenuhi setiap manusia. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa keamanan dan kesehatan adalah salah satu kebutuhan pokok adalah sabda Rasulullah s.a.w.: “Barangsiapa yang bangun pagi dalam keadaan aman jiwanya, sehat badannya dan disampingnya ada makanan hari itu, maka seakan-akan dunia ini telah dikumpulkan baginya.” (Al-Hadits)
Dalil yang menunjukkan bahwa jasa pendidikkan adalah merupakan kebutuhan pokok, adalah karena tidak mungkin manusia mampu mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia, terlebih lagi di akhirat kecuali dia memiliki ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) dunia hendaklah ia mempunyai ilmu, barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) akhirat hendaklah ia mempunyai ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya (kebahagiaan dunia dan akhirat) maka hendaklah ia mempunyai ilmu.” (al-Hadits)
Rasulullah s.a.w. bersabda : “Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim dan Muslimah” (HR Thabrani). Ibnu Hazm menyebutkan empat kebutuhan pokok yang memenuhi standar kehidupan manusia, yaitu makan, minuman, pakaian dan perlindungan (rumah). Dalam konteks ini, Ibnu Hazm mengingatkan bahwa kemiskinan selalu tumbuh dalam situasi tingkat konsumsi atau kebutuhan lebih tinggi daripada pendapatan untuk memenuhi kebutuhan. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
439
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
440
Hal ini terjadi akibat laju populasi yang meningkat cepat (akibat kelahiran atau migrasi). Kesenjangan yang lebar antara si kaya dengan si miskin dapat menambah kesulitan saat keadaan orang kaya mempengaruhi struktur administrasi, cita rasa, dan berbagai pengaruh lain seperti kenaikan harga dalam aktifitas ekonomi.27 Ibnu Hazm memperluas jangkauan dan ruang lingkup kewajiban sosial lain selain zakat yang wajib dipenuhi oleh orang kaya. Ini merupakan bentuk kepedulian dan tanggung jawab sosial mereka terhadap orang miskin, anak yatim, dan orang yang lemah secara ekonomi. Salah satu pandangan Ibnu Hazm yang menarik dalam masalah ini dapat dilihat: “Orang-orang kaya dari penduduk setiap negeri wajib menanggung kehidupan orangorang fakir miskin di antara mereka. Pemerintah harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika zakat dan harta kaum muslimin (bait al-mal) tidak cukup untuk mengatasinya. Orang fakir miskin itu harus diberi makanan dari makanan semestinya, pakaian untuk musim dingin dan musim panas yang layak, dan tempat tinggal yang layak dapat melindungi mereka dari hujan, panas matahari, dan pandangan orang-orang yang lalu lalang.”
Ibnu Hazm mendasarkan pandangannya tersebut pada firman Allah s.w.t.: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang terdekat akan haknya, kepada orang-orang miskin, dan orang dalam perjalanan….” (Surat al-Isra/17 : 26). “Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu.” (Surat an-Nisa/ 4: 36)
Hak-hak yang diperintahkan oleh Allah untuk dipenuhi orang kaya, di pahami Ibnu Hazm sebagai suatu kewajiban. Hak-hak tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang menjadi tanggungjawab sosial secara bersama-sama dalam mewujudkannya, demi tercapainya keadilan bagi seluruh umat manusia. Bagaimanapun juga, kemiskinan tidak pernah dikehendaki oleh siapapun. Orang miskin harus dibantu untuk bisa terbebas dari kemiskinan yang membelenggu. b. Kewajiban mengeluaran harta selain zakat Mengenai adanya kewajiban selain zakat merupakan persoalan yang diperselisihkan oleh fuqaha. Sebagian fuquha menyatakan adanya kewajiban harta yang harus dikeluarkan selain zakat. Pendapat ini juga pendapat sebagian sahabat, seperti Umar bin al-Khattab, Ali ibn Abi Thalib, Abu Dzar al-Ghifari, Aisyah, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Hasan ibn Ali, dan Fatimah binti Qai. Di antara golongan tabi’in yang berpendapat senada adalah al-Sya’bi, Mujahid, dan Thawus. Dengan demikian, pendapat tersebut bukan 27
Abdul Hasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (ed), Op.Cit. pp. 71-72
440 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
441
merupakan sesuatu yang baru dalam fiqih Islam dan Ibnu Hazm bukan orang yang pertama berpendapat demikian. Berbeda dengan pendapat di atas, sebagian fuqaha yang lain menyatakan tidak ada kewajiban harta selain zakat. Harta yang dikeluarkan selain zakat adalah merupakan sedekah atau santunan yang disunnahkan. Pendapat kedua ini masyhur dikalangan fuqaha mutaakhirin, sehingga nyaris tidak dikenal pandapat yang lain. Dalil yang dikemukakan oleh kelompok kedua ini diantaranya adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan lainnya dari sahabat Thalhah r.a., ia berkata : “Seseorang sahabat laki-laki dari penduduk Nejd dengan rambut tergerai datang menghadap Rasulullah s.a.w. Suaranya terdengar parau dan apa yang dikatakan tidak mudah ditangkap. Setelah mendekati Rasulullah s.a.w., ia bertanya tentang Islam. Kemudian Rasulullah s.a.w. menjawab “Lima kali sholat dalam sehari semalam”. Ia bertanya, “apakah selain itu ada yang wajib bagiku ? “Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu sholat sunnah.” Rasul berkata, “ Dan berpuasa Ramadhan”. Ia bertanya, “Apakah ada puasa yang lain yang wajib bagi diriku ?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu berpuasa sunnah”. Kemudian Rasul menyebut zakat. Ia bertanya, “Apakah ada kewajiban selain zakat ?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu bersedekah sunnah”. Lantas laki-laki itu berbalik seraya berkata, “Aku tidak akan membenahi ataupun menguranginya”. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Dia beruntung jika jujur” atau “masuk surga jika jujur.” Hadits di atas menegaskan tidak ada kewajiban harta selain zakat. Akan tetapi harus dipahami dalam konteks kualitas kewajibannya sama persis dengan zakat, yakni sebagai suatu kewajiban harta yang bersifat periodik. Penyebab kewajibannya melekat pada jenis dan jumlah harta itu sendiri dengan ketentuan nisab dan kadar jumlah tertentu, tanpa memandang kondisi orang-orang yang berhak menerimanya. Ini merupakan bentuk fardhu ain yang wajib dipenuhi oleh seseorang yang memiliki harta tertentu yang mencapai satu nisab, meskipun tidak ada fakir miskin. Dalam kondisi normal, ia tidak dituntut lebih dari pada itu. Adapun kewajiban harta selain zakat sangat tergantung pada situasi dan kondisi serta kebutuhan atau bersifat ardhi (muncul belakangan karena suatu sebab) dan bukan dzati dan tidak tertentu jumlahnya. Kewajiban akan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan lingkungan, situasi, dan kondisi. Jika fakir miskin dan orang-orang yang layak untuk disantuni tidak ada dalam satu waktu, kewajiban tersebut hilang dengan sendirinya. Inilah tampaknya yang membedakan antara kewajiban zakat dengan kewajiban pemberian santunan di luar zakat. Ibnu Hazm sendiri juga mengatakan SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
441
442
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
bahwa kewajiban harta selain zakat ada selama zakat dan kas negara (bait al-mal) tidak cukup untuk menanggungnya. Jika mencukupi, kewajiban itu hilang dengan sendirinya. Dengan demikian, sebenarnya perbedaan antara kedua pendapat tersebut tidak bertolak belakang sama sekali. Kelompok pertama menyatakan sebagai kewajiban secara kifai, dan kelompok kedua memandangnya sebagai sesuatu yang sangat dianjurkan. 3. Masalah Zakat Dalam persoalan zakat, Ibnu Hazm menekankan pada status zakat sebagai suatu kewajiban dan juga menekankan peranan harta dalam upaya memberantas kemiskinan. Menurutnya, pemerintah sebagai pengumpul zakat dapat memberikan sanksi kepada orang yang enggan membayar zakat, sehingga orang mau mengeluarkannya, baik secara suka rela maupun terpaksa. Ibnu Hazm menekankan bahwa kewajiban zakat tidak akan hilang. Seseorang yang harus mengeluarkan zakat dan yang belum mengeluarkannya selama hidupnya harus dipenuhi kewajibannya itu dari hartanya. Sebab tidak mengeluarkan zakat berarti punya hutang terhadap Allah s.w.t. Hal ini berbeda dengan mengeluarkan pajak dalam pandangan konvensional yang jika tidak dibayarkan berarti kredit macet (tidak ada pemasukan) bagi negara dalam periode waktu tertentu. Sedangkan kewajiban zakat tidak dibatasi periode waktu tertentu. 4. Persoalan Pajak Ibnu Hazm sangat konsen terhadap faktor keadilan dalam sistem pajak. Menurutnya, sebelum segala sesuatu diatur, hasrat orang untuk mengeluarkan kewajiban pajak harus dipertimbangkan secara cermat karena apapun kebutuhan seseorang terhadap apa yang dikeluarkannya akan berpengaruh pada sistem dan jumlah pajak yang dikumpulkan. Perhimpunan administrasi pajak di Andalusia pada masa Ibnu Hazm dikemukakan oleh S.M. Imamuddin : “Cabang departemen keuangan yang disebut amil. Saat hasil panen tiba, ladang diawasi dan hasil produksinya diperhitungkan oleh seorang petugas yang disebut ash-shar. Saat itu, ada mutaqabbil yang bertugas mengumpulkan pajak dan kewajiban lain berkaitan dengan fiskal di wilayahnya. Untuk mengawasi para petugas ini dari penipuan dan harga yang melebihi kewajiban dilakukan pengawasan ketat sehingga jika hal ini dilakukan, mereka akan ditangkap.” D. Penutup Mengapa untuk membahas tentang ekonomi Islam harus merujuk pada masa kejayaan Islam masa lalu? Hal ini dilakukan untuk 442 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
443
menunjukkan bahwa ekonomi kerakyatan ini merupakan salah satu aktivitas yang efektif untuk menunjang program pemerintahan pada waktu itu dalam mensejahterakan masyarakatnya. Dengan demikian, pemerintahan Islam tidak perlu meniru tatanan pemerintahan non-muslim (Romawi dan Persia) yang pada saat itu pemerintahannya dipimpin oleh penguasa zalim dengan mengutamakan kerakusan dan ketamakan, bukan rasa iman dan bakti sosial. Dalam kajian sejarah dikenal dua teori. Pertama, teori siklus yaitu perubahan babakan sejarah yang dijelaskan sebagai gerak siklus (perulangan). Kedua, teori progress yaitu perubahan yang dijelaskan sebagai gerak maju (progress). Dalam teori siklus digambarkan bahwa kelangsungan segala sesuatu berjalan dalam suatu lingkaran untuk kemudian kembali lagi ke titik permulaan. Sementara teori progress menyatakan bahwa kejadian yang ada di muka bumi ini merupakan fenomena unik yang tidak mungkin terulang kembali. Dalam kaitan dengan ekonomi Islam maka teori siklus nampaknya lebih tepat untuk diterapkan karena melihat fenomena kehidupan masyarakat Muslim saat ini yang kesadaran beragamanya semakin kuat. Sebagai contoh, saat ini kaum muslimin telah mempunyai pilihan dalam menjalankan kegiatan di bidang keuangan. Jika sebelumnya hanya dikenal bank-bank umum dan asuransi yang terlepas dari kaidah-kaidah ajaran Islam, maka sejak lahirnya Bank Muamalat Indonesia, BPR Syari’ah, dan Asuransi Takaful, umat Islam dapat menjalankan kegiatan usahanya yang tidak hanya berdimensi duniawi tetapi juga berdimensi ukhrawi. Fenomena ini sudah dapat dipastikan menimbulkan semangat untuk menggali kembali aktifitas-aktifitas ekonomi yang berbasis kerakyatan pada masa kejayaan Islam masa lalu untuk diterapkan kembali pada saat ini. Keberhasilan Islam masa lalu, bukanlah sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim, membuktikan bahwa solusi yang ditawarkan benar-benar dapat realisasikan, yaitu ketika kaum Muslim hidup di bawah naungan negara khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh).
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
443
444
Akhmad Mujahidin: Lintasan Pemikirran Ekonomi Islam
Daftar Pustaka Abdul Azim Islahi, “Ibnu Taimiyah’s Concept of Market Mechanism” dalam Sayyid Thaher dkk. (Ed.), Reading in Microeconomics an Islamic Perspective, Selangor: Longman Malaysia, 1992. Ahghari, Zohreh, dalam pembahasan “syurk” dan Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam, terj. Umar Sitanggal, Bandung: Al-Ma’arif, 1985. _______, The Origin And Evolution of Islamic Economic Thought, Michigan: UMI, 1994. al-Maraghi, Abdullah Mustafa, Pakar-Pakar Fiqh, terj. Husein Muhammad, Yogyakarta; LKPSM, 2001. al-Qaradhawi, Yusuf, Hukum Zakat, terj. Salman Harun dkk., Jakarta: Mizan, 1996. an-Nabhani, Taqiyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Islam Alternatif, terj. Maghfur Wachid, Cet. II, Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Chapra, M. Umer, Sistem Moneter Islam, Edisi Indonesia oleh Ikhwan Abidin, Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Islahi, A.A., Konsepsi Ekonomi Ibn Taimiyyah, alih bahasa Ansari Thayib, Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1997. Karim, Adiwarman A., dalam keryanya Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Robinson, Neal, Islam Komprehensif, terj. Anam Sutopo dkk., Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001. Siddiqi, M. Nejatullah, “History of Islamic Economic Thought”, dalam Awsaf Ahmad dan Kazim Raza Awam (ed.), Lecture on Islamics, Jeddah: IRTI IDB, 1987. _______, Pemikiran Ekonomi Islam: Suatu Tinjauan Penulisan Semasa, terj. dalam bahasa Malaysia oleh Moh. Amin bin Abdullah, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1989. Zadjali, Suroso Imam, “Prinsip-prinsip Ekonomi Islam”, dalam M. Rusli Karim (ed.), Berbagai Aspek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana bekerjasama dengan P3FE UII, 1992.
444 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syari'ah Oleh: Muslimin ∗ Abstrak Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan bank syari'ah dan dukungan yang besar dari pemerintah misalnya dari segi kebijakan berupa dikeluarkannya beberapa undang-undang tentang perbankan syari'ah serta gencarnya pemberitaan dan iklan di media massa membuat bank-bank syari'ah semakin established dan tambah menarik hati masyarakat Indonesia terutama umat Islam. Kota Makassar merupakan kota yang mayoritas penduduknya Muslim, sehingga menarik apabila melakukan penelitian tentang respons masyarakatnya terhadap bank syari'ah. Hasilnya lebih dari 60% masyarakat kota Makassar tidak terlalu mengenal bank syari'ah. Dari segi pengenalan produk bahkan hingga 70% lebih yang belum memahaminya. Secara umum prilaku masyarakat kota Makassar terhadap bank syari'ah dapat dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu: nasabah bank syari'ah tradisional, nasabah bank syari'ah rasional, dan masyarakat Islam yang menjadi nasabah bank konvensional. Untuk meningkatkan pemahaman dan menarik minat masyarakat terhadap bank syari'ah di kota Makassar, antara lain: sosialisasi tentang perbankan syari'ah, pembenahan regulasi perbankan syariah, peningkatan sumber daya dan kinerja, serta peningkatan daya saing produk-produk perbankan syari'ah. Kata kunci: bank syari'ah, respons, kota Makassar A. Pendahuluan Gagasan pendirian bank syari'ah beberapa negara Islam tidak terlepas dari kontroversi seputar praktik bunga bank yang dilakukan pada bank-bank konvensional yang beredar di negara-negara Barat sendiri, sebagai awal praktik semacam itu, maupun di negara-negara Islam sendiri. Apakah bunga bank itu masuk dalam kategori riba atau tidak. Praktik bunga dalam dunia perdagangan dan investasi di negara-negara Islam mulai muncul pada abad ke-19 yang diperkenalkan dan dipraktikkan oleh negara-negara Barat ketika mereka menjajah negara-negara Islam. Pendirian bank syari'ah juga dilatarbelakangi semakin intensnya pembahasan pendirian bank-bank syari’ah di negara-negara Islam yang mengalami perkembangan yang cukup signifikans pada awal tahun 1970an. Namun demikian, sebenarnya para ahli banyak yang sepakat bahwa ide ∗
Dosen Tetap Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Muslimin: Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syariah
446
pendirian bank syari'ah tersebut merupakan fenomena tahun 1960-an; meskipun pada dasarnya gagasan itu sudah terbaca sejak awal tahun 1940an. Namun, pada dekade ini kondisi tidak memungkinkan untuk merealisasikan pendirian bank-bank Islam.1 Ide pendirian syari'ah di Indonesia dapat dilihat dari berbagai keputusun lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, seperti NU dan Muhammadiyah maupun pandangan dari para intelektual Islam di Indonesia. Komitmen pendirian itu lebih dipertegas ketika diselenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan” pada tanggal 1820 Agustus 1990 oleh Majelis Ulama Indonesia. Lokakarya itu merupakan satu rangkain dari berbagai kegiatan untuk mengakhiri, atau paling tidak mencari titik temu, perdebatan panjang mengenai halal tidaknya bunga bank, dan hasil dari lokakarya itu mengamanatkan kepada MUI untuk mendirikan bank syari'ah. Dilihat dari berbagai segi, misalnya dari aset, manajemen maupun sumber daya manusia; perkembangan perbankan syari'ah di Indonesia belum sebanding dengan perbankan konvensional yang sudah berkembang puluhan tahun. Tapi beberapa tahun terakhir ini, khususnya pasca krisis ekonomi pada bulan Juli tahun 1997 perkembangan perbankan syari'ah cukup signifikan. Demikian juga dari sisi regulasi, masih ada kendala yang dihadapi bank-bank syari'ah dalam menyesuaikan prinsip-prinsip syari'ah dengan ketentuan regulasi yang ada. Kara menilai bahwa regulasi lembaga perbankan syariah di Indonesia dibagi dalam 2 periode yaitu: periode 1992-1998 sebagai peletakan dasar sistem perbankan syari'ah; dan periode 1998-sekarang sebagai perkembangan praktik perbankaan syari’ah.2 Pada periode kedua, Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang memperbaharui Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan membolehkan bank umum yang beroperasi dengan sistem konvensional dapat membuka kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang dengan prinsip syari'ah. Dengan demikian, bank umum dengan sistem konvensional dapat membuka kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang konvensional dan syariah, atau dikenal dengan istilah double window: conventional window dan Islamic window. Sistem inilah yang dikenal dengan dual system of banking. Namun dalam satu kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang tidak boleh menggunakan dua sistem sekaligus, harus ada 1
Muslimin H. Kara, Bank Syari’ah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah, (Yogyakarta: UII Press, 2003), p. 95. 2 Ibid., pp. 185-230. 446 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Muslimin: Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syariah
447
pemisahan dan kejelasan antara kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang konvensional dan syari'ah.3 Ketentuan tersebut diterapkan untuk menghindari bercampurnya praktek riba dan non riba dalam satu kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang. Demikian juga, undang-undang baru memungkinkan bank umum dengan sistem konvensional dapat merubah kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang konvensional menjadi kantor cabang atau kantor di bawah cabang dengan prinsip syari'ah. Untuk pelaksanaan pembentukan kantor cabang baru dan perubahan sistem usaha maka bank yang bersangkutan harus membentuk Unit Usaha Syari'ah yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syari'ah di dalam kantor bank tersebut. Pemberian kesempatan membuka kantor cabang dan kantor di bawah kantor cabang syari'ah adalah sebagai upaya peningkatan jaringan perbankan syari'ah. Dengan sendirinya kesempatan itu akan berimplikasi pada upaya pemberdayaan perbankan syari'ah. Upaya itu diharapkan akan mendorong perluasan jaringan kantor, pengembangan pasar uang antarbank syari'ah, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan kinerja bank Islam.4 Pada sisi lain, bank syari'ah tidak boleh membuka kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang konvensional. Bank syari'ah hanya dapat melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah saja, tidak boleh mempraktikkan sistem konvensional dan syari'ah walaupun dalam kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang yang berbeda. Bank dengan prinsip syari'ah juga tidak boleh merubah kegiatan usahanya menjadi bank konvensional.5 Pembatasan tersebut sebagai upaya agar tidak bercampurnya praktik syari'ah dan non-syari'ah dalam bank syari’ah, di samping sebagai upaya untuk meningkatkan jaringan bank Islam itu sendiri. Kebijakan tersebut juga bisa dinilai sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap perbankan syari'ah di Indonesia. Sebab perbankan dengan prinsip syari'ah tidak akan mudah dijadikan “kelinci percobaan” bagi pelaku perbankan yang hanya memanfaatkan situasi tertentu untuk meraih keuntungan. Ketentuan yang berbeda dengan Bank Umum Konvensional berlaku bagi Bank Perkreditan Rakyat Konvensional. Bagi Bank 3 Penjelasan pasal 6 huruf m Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. 4 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), p. 224. 5 Bank Indonesia, Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari'ah, tidak diterbitkan, p. 27.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
447
Muslimin: Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syariah
448
Perkreditan Rakyat Konvensional tidak diperkenankan melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syari'ah.6 Namun, mereka dapat merubah kegiatan usahanya dari konvensional kepada prinsip syari'ah dengan ketentuan apabila izin perubahan itu telah diberikan maka Bank Perkreditan Rakyat tersebut tidak diperkenankan untuk kembali mengubah kegiatan usahanya ke bentuk konvensional.7 Demikian juga berlaku bagi Bank Perkreditan Rakyat Syari'ah, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usahanya berdasarkan sistem konvensional. Namun, berbeda dengan Bank Perkreditan Konvensional, Bank Perkreditan Rakyat dengan prinsip syari'ah tidak diperkenankan mengubah kegiatan usahanya menjadi Bank Perkreditan Rakyat Konvensional. Kebijakan tersebut di atas berimplikasi terjadinya akselerasi perkembangan perbankan syari'ah di Indonesia, termasuk di kota Makassar. Kota Makassar sebagai ibukota propinsi Sulawesi Selatan merupakan daerah yang potensial bagi dunia perbankan, termasuk perbankan syari'ah. Beberapa tahun terakhir ini, telah berdiri beberapa cabang bank syari'ah di Kota ini, seperti: Bank Muamalat Indonesia, Bank Syari'ah Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syari'ah, Bank Negara Indonesia (BNI) Syari'ah, Bank Danamon Syari'ah, Bank Tabungan Negara (BTN) Syari'ah, dan Bank Sulsel Syari'ah. Belum lagi beberapa BPR yang beroperasi dengan sistem syari'ah, seperti BPR Dana Moneter Syariah dan Bank Indonesia Timur Syari'ah. Berikut data Bank Syari'ah/BPRS di Sulawesi Selatan/Sulawesi Barat: No 1. 2. 3.
Nama bank PT. BRI (persero) KC. Syari'ah PT. Bank Syariah Mandiri PT. BMI KC Makassar KC Pembantu Pangkep KC.Pembantu Maros PT. BNI (persero) KC. Syari'ah PT. Bank Danamon Indonesia KC. Syariah PT. BTN KC. Syari'ah PT. Bank Sulsel KC. Syari'ah PT. BPRS Niaga Madani PT. BPRS Dana Moneter PT. BPRS Gowata PT. BPRS. Surya Sejahtera
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
6
Kantor Makassar Makassar Makassar Pangkep Maros Makassar Makassar Makassar Sengkang Makassar Makassar Gowa Takalar
Penjelasan Pasal 13 huruf c Undang-Undang No. 10 tahun 1998. Bank Indonesia, Pasal 31 ayat (3) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/Kep/Dir tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari'ah, p. 32. 7
448 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Muslimin: Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syariah 12. 13. 14.
PT. BPRS. Al-Ittihad PT. BPRS. Indo Timur PT. BPRS Nurul Ikhwan
449
Sengkang Makassar Polmas
Dari data di atas dapat dilihat bahwa di Makassar baru memiliki 6 bank umum syari'ah sedangkan Bank Sulsel membuka cabang syari'ah di Sengkang. Dari 6 bank umum syari'ah tersebut hanya 1 bank yang membuka cabang pembantu yakni Bank Muamalat Indonesia. Ini menunjukkan bahwa jaringan bank syari'ah di Makassar belum berkembang sesuai yang diharapkan. Padahal secara potensial masyarakat Makassar adalah masyarakat yang dikenal memiliki komitmen religius yang tinggi. Dari jumlah penduduk sekitar 1.251.493 jiwa umat Islam yang mendiami kota Makassar sekitar 88.8%, belum termasuk rumah ibadah bagi umat Islam: masjid maupun musholla mencapai 738 buah. Seharusnya kondisi umat Islam yang begitu dominan dalam masyarakat kota Makassar berjalan seimbang dengan perkembangan perbankan syari'ah. Kondisi tersebut menjadi pertanyaan mendasar, kenapa tingkat reliogisitas masyarakat kota Makassar belum mampu secara maksimal mendorong perkembangan perbankan syari'ah. Apakah hal tersebut dilatarbelakangi kurangnya pemahaman masyarakat terhadap perbankan syari'ah dan bagaimana pemahaman masyarakat kota Makassar terhadap bank syari'ah. B. Pemahaman Masyarakat kota Makassar terhadap Bank Syari'ah 1. Mengenal Bank Syari'ah Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat kota Makassar sudah kenal dengan bank syari’ah. Walaupun ada di antara mereka yang masih mempersepsikan bahwa bank syari'ah hanyalah bank Muamalat. Masyarakat kota Makassar mengenal bank syari'ah baik melalui media cetak seperti koran, majalah, dan tabloid maupun media elektoronik, seperti televisi dan radio. Tampaknya iklan yang dilakukan di dalam media elektronik, khususnya televisi serta pemberitaan yang dilakukan medi massa memberikan dampak yang cukup positif bagi masyarakat kota Makassar untuk mengenal bank syari'ah. Iklan dan acara yang menampilkan topik ekonomi syari'ah baik yang dilakukan oleh TV nasional maupun TV lokal memberi porsi yang besar memperkenalkan bank syari'ah kepada masyarakat. Seminar-seminar dan kegiatan ilmiah lain yang dilakukan sejumlah praktisi dan pemerhati perbankan syari'ah yang tidak diliput oleh media massa, khususnya koran lokal, kurang memberikan informasi bagi SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
449
450
Muslimin: Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syariah
masyarakat tentang bank syari’ah. Justru keberadaan para khatib atau para penceramah yang menjadikan ekonomi syari'ah atau perbankan syari'ah sebagai topik khutbah atau ceramahnya mendapat posisi yang agak lebih baik dalam mengenalkan bank syari'ah kepada masyarakat ketimbang seminar-seminar atau kegiatan ilmiah lainnya. Hasil penelitian menunjukkan 100% masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini mengatakan sudah pernah mendengar dan kenal dengan bank syari'ah. Namun, ketika ditanya sejauhmana pengetahuan mereka tentang prinsip dasar perbankan syariah, banyak yang kurang mengetahui. Sekitar 32 orang responden (64%) mengatakan kurang tahu, dan hanya sekitar 18 orang (36%) yang sudah mengenal lebih jauh tentang bank syari'ah. Meskipun di antara responden itu adalah nasabah aktif dari perbankan syari'ah di Makassar. Mereka menjadi nasabah bank syari'ah bukan didasarkan pada pertimbangan pemahamannya terhadap prinsip-prinsip dasar dari perbankan syari'ah. 2. Mengetahui akad, produk, dan sistem operasional Bank Syari’ah Sebagai lembaga intermediasi keuangan, bank syari'ah harus memiliki nilai kompetitif, khususnya produk-produk perbankan yang dikeluarkannya. Secara teoretis, nasabah yang rasional dalam berprilaku terhadap lembaga keuangan, khususnya perbankan akan memilih sebuah bank, antara motivasinya karena faktor produk perbankan. Produk-produk perbankan syari'ah sama dengan bank konvensional berada pada 3 areal: a. Pengumpulan Dana (Funding) b. Penyaluran Dana (Financing) c. Pelayanan Jasa (Services) Di dalam UU 10 tahun 1998 tentang pembaharuan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank umum syari'ah sebagai berikut: Kegiatan usaha yang dapat dilakukan Bank Umum Syari'ah atau Unit Usaha Syari'ah bagi bank konvensional sebagai beikut: 1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, meliputi: a) giro berdasarkan wadi‘ah; b) tabungan berdasarkan prinsip wadi‘ah atau murabah; c) deposito berjangka berdasarkan prinsip murabah; dan bentuk lainnya berdasarkan prinsip wadi‘ah atau murabah. 2) Melakukan penyaluran dana, melalui: a) transaksi jual beli berdasarkan prinsip: murabah; salam; istishna; ijarah iqtina’; dan jual beli lainnya; b) pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip: murabah; musyarakah; dan bagi hasil lainnya; 450 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Muslimin: Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syariah
451
c) pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip hiwalah, rahn, dan qard. 3) Membeli, menjual dan/atau menjamin atas resiko sendiri surat-surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlaying transaction) berdasarkan prinsip jual-beli atau hiwalah. 4) Membeli surat-surat berharga pemerintah dan/atau Bank Indonesia yang diterbitkan atas dasar prinsip syari'ah 5) Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah berdasarkan prinsip wakalah. 6) Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip wakalah. 7) Melakukan kegiatan penitipan, termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah. 8) Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lain dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek berdasarkan prinsip ujr 9) Memberikan fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan prinsip wakalah, murabahah, mudarabah, musyarakah, dan wadi‘ah, serta memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip kafalah. 10) Melakukan kegiatan usaha kartu debet berdasarkan prinsip ujr. 11) Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan prinsip wakalah. 12) Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan prinsip sarf. 13) Melakukan penyertaan modal berdasarkan prinsip musyarakah dan/ atau murabah pada bank atau perusahaan lain yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari'ah. 14) Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syari'ah sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku. 15) Bertindak sebagi lembaga bait al-mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan (qard al-hasan). Produk-produk perbankan syari’ah tersebut harus secara syar’i bisa dipertanggungjawabkan kehalalannya baik dalam dimensi proses maupun produknya itu sendiri. Oleh karena itu, semua produk-produk perbankan syariah harus didasarkan pada prinsip-prinsip dasar dan akad-akad yang terdapat dalam hukum Islam, yaitu: 1. Titipan/Simpanan (Depository/al-Wadi’ah) 2. Bagi Hasil: a. al-Musyarakah SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
451
452
Muslimin: Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syariah
b. al-Mudharabah c. al-Muzara’ah d. al-Musaqah 3. Jual Beli (Sale and Purchase) a. al-Murabahah b. al-Bai’ al-Salam c. al-Bai’ al-Istisna’ 4. Sewa Menyewa (Operational Lease and Financial Lease/Ijarah) 5. Jasa (Fee – Based Services) 1. al-Wakalah 2. al-Kafalah 3. al-Hiwalah 4. al-Rahn 5. al-Qard Pada umumnya responden penelitian mengatakan tidak paham tentang akad, produk dan sistem operasional yang dilakukan Bank Syari’ah, yakni sekitar 76%, dan hanya sekitar 24% yang paham (tahu) tentang akad, produk dan sistem operasional yang dilakukan Bank Syari’ah. Akan tetapi ketika ditanya sejauhmana pengetahuan mereka terhadap produk-produk perbankan syari'ah dan akad-akad yang dilakukan seperti al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’a, al-musaqah, al-murabahah, al-bai’ al-salam, al-bai’ al-istisna’, ijarah, al-wakalah, al-kafalah, al-hiwalah, alrahn, dan al-qard pada umumnya responden tidak memahami bagaimana mekanisme kerjanya. 3. Kategorisai Prilaku Masyarakat kota Makassar terhadap Bank Syari'ah Prilaku masyarakat kota Makassar terhadap bank syari’ah secara umum dapat dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu: 1. Nasabah bank Syari'ah Tradisional Nasabah ini adalah orang yang melakukan transaksi dengan bank syari'ah karena pertimbangan alasan moral dan keagamaan. Mereka memahami praktik-praktik yang dilakukan di bank-bank konvensional tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh al-Qur’an, Sunnah Rasul dan ketetapan hukum Islam lainnya. Masalah yang fundamental mereka tolak dalam praktik perbankan konvensional adalah masalah bunga bank. Mereka memahami bunga bank termasuk dalam perbuatan ribawi yang telah dilarang oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sedikit atau banyak. Dasar argumen mereka misalnya ayat-ayat al-Qur'an, seperti surat alRum (30): 39; Ali ‘Imran (3): 130, al-Baqarah (2): 275, 276, 278 dan 279, 452 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Muslimin: Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syariah
453
juga didukung dengan hadis-hadis Nabi baik untuk mendukung riba nasi‘ah maupun fadl. Hadis riba nasi‘ah, yaitu:
(ﻪ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﻳﺪ ﻫ ﺎﻭﺷ ﻪ ﺒﺗﻭﻛﹶﺎ ﻪ ﺆ ﱢﻛﹶﻠ ﻣ ﻭ ﺎﺮﺑ ﻛ ﹶﻞ ﺍﻟ ﷲ ﺁ ِ ﻮ ﹸﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﻦ ﻌ ﺎﹺﺑ ﹴﺮ ﹶﻟﻦ ﺟ ﻋ “Dari Jabir, Rasulullah melaknat riba, yang mewakilkannnya, penulisnya, dan yang menyaksikannya” (HR. Muslim).8
Sedangkan keharaman riba fadl didasarkan pada hadis riwayat ‘Ubadah bin al-Shamit:
ﺔ ﻀ ﻔ ﺍﹾﻟﺐ ﻭ ﻫ ﹺ ﺐ ﺑﹺﺎﻟ ﱠﺬ ﻫ ﹺ ﻴ ﹺﻊ ﺍﻟ ﱠﺬﺑ ﻦ ﻋ ﻰﻨﻬﻳ ﻢ ﺳﱠﻠ ﻭ ُ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﷲ ِ ﺻﻠﱠﻰ ﺍ ﷲ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﺖﻤﻌ ﺳ ﻲﹺﺇﻧ ﺎﻴﻨﻋ ﺍ ٍﺀﺴﻮ ﺍ ًﺀ ﹺﺑﺳﻮ ﻤ ﹾﻠ ﹺﺢ ﹺﺇﻟﱠﺎ ﻤ ﹾﻠ ﹺﺢ ﺑﹺﺎﹾﻟ ﺍﹾﻟﻤ ﹺﺮ ﻭ ﺘﻤ ﹺﺮ ﺑﹺﺎﻟ ﺘﺍﻟﻌ ﹺﲑ ﻭ ﺸ ﻌ ﹺﲑ ﺑﹺﺎﻟ ﺸ ﺍﻟﺮ ﻭ ﺒﺮ ﺑﹺﺎﹾﻟ ﺒﺍﹾﻟﺔ ﻭ ﻀ ﻔ ﺑﹺﺎﹾﻟ (ﻰ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﺭﺑ ﺪ ﹶﺃ ﺩ ﹶﻓ ﹶﻘ ﺍﺯﺩ ﺩ ﹶﺃ ﹺﻭ ﺍ ﺍﻦ ﺯ ﻤ ﻴ ﹴﻦ ﹶﻓﻌ ﹺﺑ “Dari Ubadah berkata: saya mendengar Rasulullah saw. melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, jagung dengan jagung, gandum dengan gandum, korma dengan korma, garam dengan garam, kecuali dengan sama (dalam timbangan/takaran) dan kontan. Barangsiapa melebihkan salah satunya, ia termasuk dalam praktek riba". (HR. Muslim).9
2. Nasabah Bank Syariah Rasional Nasabah rasional adalah mereka yang menjadi nasabah atau bertransaksi dengan perbankan syariah karena pertimbangan rasionalitas ekonomi, seperti keuntungan yang diperoleh lebih menjanjikan, pelayanan yang baik, lokasi yang strategis dan lainnya. Mereka menjadi nasabah bank syari'ah bukan pertimbangan utamanya karena memahami bunga bank sama dengan riba tapi lebih karena pertimbangan ekonomi. Nasabah bank syariah dalam kategori ini dapat dibedakan dalam 2 kelompok: a. Kelompok yang meyakini bahwa bunga bank itu tidak boleh (haram) b. Kelompok yang tidak meyakini bahwa bunga bank itu haram. Oleh karenanya, non muslim yang menjadi nasabah pada bank syari'ah dikategorikan dalam kelompok ini. 3. Masyarakat Islam yang menjadi nasabah bank konvensional. Dalam masyarakat berdasarkan ketagori ini, memilih tidak melakukan transaksi ekonomi pada bank-bank syari'ah tetapi bertransaksi menggunakan bank-bank konvensional. Alasan mereka memilih bankbank konvensional, yaitu:
8
Imam Muslim, Sahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), Kitab al-Bai’, jilid I, p. 679. 9 Ibid., p. 792. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
453
454
Muslimin: Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syariah
a. memahami bahwa bunga bank berbeda dengan riba sehingga hukum bunga boleh. b. memahami bunga bank haram, tapi karena pertimbangan lain mereka tetap bertransaksi dengan bank konvensional. c. mereka yang masih ragu dalam hukum bunga bank dan memilih tetap bertransaksi dengan bank konvensional d. kelompok yang tidak tahu tentang hukum Islam yang terkait dengan perbankan. 4. Upaya yang dilakukan dalam Meningkatkan Pemahaman dan Keinginan Masyarakat kota Makassar terhadap Bank Syari’ah. Beberapa usaha yang dilakukan dalam rangka peningkatan pemahaman dan menarik masyarakat agar mau bertransaksi dengan bank syari'ah adalah melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Sosialisasi tentang perbankan syari'ah. Dalam melakukan sosialisasi perbankan syari'ah peran media massa, khususnya Koran dan televisi begitu penting. Di samping itu, keberadaan ulama dan dai dalam rangka memberikan pemahaman dan motivasi kepada umat agar berprilaku ekonomi sesuai dengan prinsipprinsip syari'ah berdampak positif dalam pengembangan perbankan syari'ah. 2. Pembenahan regulasi perbankan syari'ah. Regulasi perbankan syari'ah harus ditata lebih baik lagi misalnya aspek operasional perbankan syari'ah juga harus menjadi perhatian pemerintah dalam rangka pengembangan perbankan syari'ah di Indonesia. Misalnya penilaian CAR (Capital Adequacy Ratio) perbankan Islam dengan perbankan konvensional yang diperlakukan sama oleh Bank Indonesia. Padahal dari segi operasionalnya perbankan Islam berbeda dengan perbankan konvensional. Kalau pada bank konvensional Dana Pihak Ketiga (DPK) yang diinvestasikan pada bank-bank tersebut dimasukkan menjadi modal, maka pada bank syariah DPK tidak dikategorikan sebagai modal. Modal bagi perbankan Islam adalah dana yang menjadi milik dari institusi bank itu sendiri, tidak termasuk DPK. Perbedaan penilaian tersebut tentu akan berimplikasi terhadap penilain CAR, sehingga kalau diperlakukan sama, perbankan syari'ah dirugikan oleh aturan tersebut. Hal lain berkaitan dengan ketentuan aktiva produktif perbankan syari'ah terhadap semua produknya diperlakukan sama oleh Bank Indonesia. Ketentuan tersebut didasarkan pada SK Direksi BI No. 31/147/KEP/DIR tahun 1998. Padahal dalam beberapa produk perbankan syari'ah memiliki perbedaan sehingga seyogyanya 454 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Muslimin: Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syariah
455
pengaturan aktiva produktif juga berbeda, sesuai dengan karakteristik dari masing-masing produk perbankan syari'ah. Misalnya pembiayaan bagi hasil (mudarabah dan musyaakah) antara pihak bank sebagai pemilik dana dan nasabah sebagai pengelola dana disepakati bahwa pendapatan yang akan diperoleh sesuai dengan porsi nisbah yang tertera dalam akad perjanjian mudarabah. Pendapatan yang akan diterima masing-masing pihak masih berupa perkiraan dapat menguntungkan dan bahkan bisa mengalami kerugian karena kedua belah pihak sepakat berbagi keuntungan dan resiko. Sementara itu, berkaitan dengan akad jual beli, bank Islam mengambil keuntungan dari selisih antara harga beli dan harga jual sehingga piutang dan waktu pembayaran ditentukan secara pasti pada saat akad dilaksanakan. Akad jual beli semacam ini memberi kejelasan penilaian kualitas aktiva pada akhir perjanjian, sementara bagi akad bagi hasil tidak dapat menentukan penilaian kualitas aktiva.Pengaturan penilaian aktiva produktif yang dikeluarkan BI di atas, hanya diperuntukkan bagi produk-produk jual beli saja, sedangkan bagi produk bagi hasil tidak bisa diterapkan. Demikian juga dengan produk-produk lain perbankan syari'ah yang begitu beragam, sebagaimana yang menjadi kegiatan usaha perbankan Islam. 3. Peningkatan sumber daya dan kinerja 4. Peningkatan daya saing produk-produk perbankan syari'ah C. Kesimpulan 1. Umumnya masyarakat kota Makassar sudah pernah mendengar atau kenal dengan bank syari'ah. Namun pengenalan mereka terhadap bank syari'ah belum dibarengi dengan pemahaman tentang prinsip dasar perbankan syari'ah. Sekitar 32 orang responden (64%) mengatakan kurang tahu, dan hanya sekitar 18 orang (36%) yang sudah memahaminya; meskipun di antara responden itu adalah nasabah aktif dari perbankan syari'ah di kota Makassar. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat kota Makassar mengenal bank syari'ah melalui media: cetak seperti koran, majalah, jurnal maupun media elektronik, website dan televisi. Juga melalui mimbar-mimbar masjid maupun seminar dan kegiatan ilmiah lainnya. 2. Konsep dan sistem operasional yang digunakan Bank Syari'ah di kota Makassar belum tersosialisasi dengan baik di kalangan masyarakat. Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian menunjukkan sekitar 76% responden belum memahami akad, produk, dan mekanisme sistem operasional perbankan syari'ah; dan hanya sekitar 24% yang sudah memahaminya.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
455
456
Muslimin: Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syariah
3. Prilaku masyarakat kota Makassar terhadap bank syari'ah secara umum dapat dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu: nasabah bank syari'ah tradisional, nasabah bank syari'ah rasional, dan masyarakat Islam yang menjadi nasabah bank konvensional. 4. Upaya yang bisa dilakukan dalam rangka meningkatkan pemahaman dan menarik minat masyarakat agar mau bertransaksi dengan bank syari'ah di kota Makassar, antara lain: sosialisasi tentang perbankan syari'ah, pembenahan regulasi perbankan syariah, peningkatan sumber daya dan kinerja, serta peningkatan daya saing produk-produk perbankan syari'ah.
456 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Muslimin: Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syariah
457
Daftar Pustaka Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktik, cet ke-3, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari'ah. Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/Kep/Dir tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari'ah. Chapra, M. Umer, Toward a Just Monetary System, London: The Islamic Foundation, 1985. Kara, Muslimin H., Bank Syari’ah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syari’ah, Yogyakarta: UII Press, 2003. Kotler, Philip, Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control, Fourth Edition, New York: Prentice Hall, 1997. Muslim, Imam, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t. Loudon, David L. and Arbert J. Della Bitta, Consumer Behavior, New York: McGraw-Hill International Edition, 1993. Siddiqi, Muhammad Najetullah “Issues in Islamic Banking: Selected Papers” dalam Islamic Economic Series-4, Nairobi: Islamic Foundation, 1993. Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undangundang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
457
Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara Untuk Menanggulangi Risiko Oleh: Sunarsih ∗ Abstrak Asuransi Syariah merupakan sistem alternatif, atau tepatnya pengganti atas pola asuransi konvensional yang menerapkan sistem akad pertukaran yang tidak sejalan dengan syari’at Islam, seperti gharar, maisyir, riba, dan bathil. Akad dalam asuransi syariah didasarkan pada tolong-menolong (ta’awun) antarwarga masyarakat, baik Muslim maupun non-muslim dan terbebas dari adanya unsurunsur gharar, maisyir, riba dan bathil. Maksud setiap peserta ikut dalam asuransi syariah lebih kepada tolong menolong, sehingga dalam asuransi akan terjadi risk sharing antarpeserta asuransi. Adanya risk sharing tersebut akan dapat membantu setiap orang atau perusahaan yang mengikuti asuransi syariah, jika dalam keikutsertaannya mengalami musibah (risiko). Risiko yang dialami oleh setiap orang atau perusahaan akan mengakibatkan kerugian, untuk itu risiko perlu dikelol (menerapkan Manajemen Risiko) untuk menghilangkan atau meminimalisir risiko tersebut. Asuransi syariah merupakan salah satu cara yang dalam Manajemen Risiko untuk menanggulangi risiko yang mungkin dialami oleh setiap orang atau perusahaan. Kata kunci: risiko, manajemen risiko, asuransi konvensional, asuransi syariah A. Pendahuluan Dalam kehidupan ini setiap orang maupun perusahaan dalam kegiatan usahanya akan selalu dihadapkan pada kondisi ketidakpastian. Kondisi yang tidak pasti ini akan menimbulkan risiko. Untuk itu, agar tercapai ketenangan dan kesuksesan maka setiap orang dan perusahaan harus mampu mengurangi kidakpastian tersebut dengan penanggulangan risiko yang mungkin terjadi. Penanggulangan risiko tersebut bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pengelolaan berbagai cara penanggulangan risiko. Asuransi merupakan salah satu cara penangulangan risiko yang ada dalam manajemen risiko.1 Asuransi memang bukan alat yang dapat mencegah bencana alam atau musibah lainnya, tetapi bisa menanggulangi masalah keungan (risiko) ∗
Dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Soeisno Djojosoedarso, Prinsip-Prinsip dan Manajemen Resiko Asuransi, Edisi Revisi, (Salemba Empat, 2003), p. 12. 1
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
460
yang terjadi. Islam telah memperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan di bidang perasuransian.2 Bukti tentang diperbolehkannya umat manusia berasuransi dapat dilihat dalam al-Qur’an, surat A Yusuf[12]: 43-49. Allah telah memerintahkan umat manusia untuk membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman dalam surat surat Yusuf [12]: 46-49, yang artinya: “(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya”.Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur). Dalam ayat tersebut Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapai kemungkinan yang buruk dimasa depan. Dan jelas ayat di atas menyatakan bahwa berasuransi tidak bertentangan dengan takdir, bahkan Allah menganjurkan adanya upayaupaya menuju kepada perencanaan masa depan dengan sisitem proteksi yang dikenal dalam mekanisme asuransi. Islam melarang adanya transaksi-transaksi yang di dalamnya mengandung unsur gharar, riba, bathil, dan ryswah karena secara faktual akan cenderung hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Dalam asuransi konvensional nilai utama yang dikembangkan adalah nilai ekonomi. Seseorang yang masuk sebagai nasabah sebuah perusahaan asuransi, akan mempunyai pemikiran bagaimana ia mendapatkan keuntungan dari perusahaan asuransi tersebut, sehingga lebih bernuansa profit oriented daripada bernuansa sosial (tolong menolong). Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan ajaran Islam, selain itu di dalam asuransi konvensional terdapat unsur-unsur ketidakpastian, spekulasi atau perjudiaan, dan unsur riba.3 Pada sistem asuransi syari’ah, setiap peserta bermaksud tolong menolong satu sama lain dengan menyisihkan sebagian dananya sebagai iuran kebajikan (tabarru’). Dana inilah yang digunakan untuk menyantuni siapa pun di antara para peserta asuransi yang mengalami musibah. Jadi 2
Abddul Ghofur Anshori, Asuransi Syariah di Indonesia, Regulasi dan Opersionalnya di dalam Kerangka Hukum Positif di Indonesia, (UII Press, 2007), p. 21. 3Abddul Ghofur Anshori, Asuransi, p. 16. 460 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
461
bukan dalam bentuk akad pertukaran di antara dua pihak, melainkan akad untuk saling tolong menolong (takafuli) di antara semua peserta atau anggota.4 B. Risiko Istilah risiko sudah biasa dipakai dalam kehidupan kita sehari-hari, yang umumnya sudah dipahami secara intuitif. Tetapi pengertian secara ilmiah dari risiko sampai saat ini masih tetap beragam. Arthur Williams dan Richard, M.H. mendefinisikan risiko sebagai suatu variasi dari hasilhasil yang dapat terjadi selama periode tertentu.5 Risiko dapat dibedakan dengan berbagai macam cara, antara lain: 1. Menurut sifatnya risiko dapat dibedakan ke dalam: a. Risiko yang tidak disengaja (risiko murni), adalah risiko yang apabila terjadi tentu menimbulkan kerugian dan terjadinya tanpa sengaja; misalnya risiko terjadinya kebakaran, bencana alam, pencurian, penggelapan, pengacauan, dan sebagainya. b. Risiko yang disengaja (risiko spekulatif), adalah risiko yang sengaja ditimbulkan oleh yang bersangkutan, agar terjadinya ketidakpastian memberikan keuntungan kepadanya, misalnya risiko utang piutang, perjudian, perdagangan berjangka (hedging), dan sebagainya. c. Risiko fundamental, adalah risiko yang penyebabnya tidak dapat dilimpahkan kepada seseorang dan yang menderita tidak hanya satu atau beberapa orang saja, tetapi banyak orang; seperti banjir, angin topan, dan sebagainya. d. Risiko khusus, adalah risiko yang bersumber pada peristiwa yang mandiri dan umumnya mudah diketahui penyebabnya; seperti kapal kandas, pesawat jatuh, tabrakan mobil, dan sebagainya. e. Risiko dinamis, adalah risiko yang timbul karena perkembangan dan kemajuan (dinamika) masyarakat di bidang ekonomi, ilmu dan tehnologi, seperti risiko keusangan, risiko penerbangan luar angkasa. Kebalikannya disebut risiko statis; seperti risiko hari tua, risiko kematian, dan sebagainya. 2. Dapat-tidaknya risiko tersebut dialihkan kepada pihak lain, maka risiko dapat dibedakan kedalam: a. Risiko yang dapat dialihkan kepada pihak lain, dengan mempertanggungjawabkan suatu objek yang akan terkena risiko kepada 4Rika Zahroni, Asuransi Syari‘ah Dalam Perspektif Mahasiswa, http://ugnews.gunadarma.ac.id/2007/09/20/asuransi-syari%E2%80%98ah-dalamperspektif-mahasiswa/, diakses 17 Juli 2008. 5Soeisno Djojosoedarso, Prinsip-Prinsip, p. 2.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
461
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
462
b. 3. a. b.
perusahaan asuransi,dengan membayar sejumlah premi asuransi, sehingga semua kerugian menjadi tanggungan (pindah) pihak perusahaan asuransi. Risiko yang tidak dapat dialihkan kepada pihak lain (tidak dapat diasuransikan), umumnya meliputi semua jenis risiko spekulatif. Menurut sumber/ penyebab timbulnya, risiko dapat dibedakan ke dalam: Risiko intern yaitu risiko yang berasal dari dalam perusahaan itu sendiri, seperti kerusakan aktiva karena ulah karyawan sendiri, kecelakaan kerja, kesalahan manajemen, dan sebagainya. Risiko ekstern yaitu risiko yang berasal dari luar perusahaan, seperti risiko pencurian, penipuan, persaingan, fluktuasi harga, perubahan kebijakan pemerintah, dan sebagainya.
C. Manajemen Risiko Secara sederhana pengertian Manajemen Risiko adalah pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dalam penanggulangan risiko, terutama risiko yang dihadapi oleh organisasi/ perusahaan, keluarga, dan masyarakat. Jadi mencakup kegiatan merencanakan, mengorganisir, menyusun, memimpin/mengkoordinir, dan mengawasi (termasuk mengevaluasi) program penanggulangan risiko.6 Sesuai dengan sifat dan objek yang terkena risiko, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meminimumkan risiko kerugian, antara lain:7 1. Melakukan pencegahan dan pengurangan terhadap kemungkinan terjadinya peristiwa yang menimbulkan kerugian, misalnya membangun gedung dengan bahan yang anti terbakar untuk mencegah terjadinya kebakaran, memagari mesin-mesin untuk menghindari kecelakaan kerja, melakukan pemeliharaan dan penyimpanan yang baik terhadap bahan dan hasil produksi untuk menghindari risiko kecurian dan kerusakan, mengadakan pendekatan kemanusiaan untuk mencegah terjadinya pemogokan, sabotase dan pengacauan. 2. Melakukan retensi, artinya mentolerir membiarkan terjadinya kerugian, dan untuk mencegah terganggunya operasi perusahaan akibat kerugian, dan untuk mencegah terganggunya operasi perusahaan akibat kerugian tersebut disediakan sejumlah dana untuk menanggulanginya (contoh: pos biaya lain-lain atau tak terduga dalam anggaran perusahaan.
6Ibid., 7
p. 4. Soeisno Djojosoedarso, Prinsip-Prinsip, p. 4.
462 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
463
3. Melakukan pengendalian terhadap risiko, contohnya melakukan hedging (perdagangan berjangka) untuk menanggulangi risiko kelangkaan dan fluktuasi harga bahan baku/pembantu yang diperlukan. 4. Mengalihkan/memindahkan risiko kepada pihak lain, yaitu dengan mengadakan kontrak pertanggungan (asuransi) dengan perusahaan asuransi terhadap risiko tertentu, dengan membayar sejumlah premi asuransi yang telah ditetapkan, sehingga perusahaan asuransi akan mengganti kerugian bila betul-betul terjadi kerugian yang sesuai dengan perjanjian. D. Keberatan Terhadap Asuransi Konvensional Asuransi adalah sebuah sistem untuk mengurangi kehilangan finansial dengan menyalurkan risiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya. Keberatan Islam terhadap asuransi konvensional adalah sebagai berikut:8 1. Asuransi konvensional adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi keduabelah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah kewajiban tertanggung untuk membayar premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar klaim asuransi jika terjadi evenement. 2. Akad asuransi adalah mu’awadhah, yaitu akad yang di dalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya. 3. Akad asuransi adalah akad yang bersifat gharar, karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang akan diterima. 4. Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) terhadap pihak yang kuat yakni perusahaan asuransi, karena dialah yang menentukan syaratsyarat pertanggungan secara sepihak sebagaimana yang tertuang dalam polis asuransi. Namun, Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan keabsahan praktek hukum asuransi, yaitu:9
8Anonim, Bagaimana Hukum asuransi, Sharia Consulting Center, www.syariahonline.com, diakses 1 Agustus 2007. 9Anonim, Bagaimana Hukum Asuransi Dalam Syar'iah?, http://yayasanalhidayah.net/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=18, diakses 13 Januari 2009. Lihat juga AM. asan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, (Prenada Media, 2005), pp. 141-150.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
463
464
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
a. Pendapat pertama: Mengharamkan, pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqili, Yusuf al-Qaradhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth'i. b. Pendapat Kedua: Membolehkan, pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khallaf, Mustafa Akhmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa, dan Abdurrahman Isa. c. Pendapat Ketiga: Asuransi Sosial Boleh dan Komersial Haram, pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah E. Asuransi Syariah Pengertian Asuransi Syariah berdasarkan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah, adalah sebagai berikut:10 “Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/ atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.” Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Prinsip dasar asuransi syariah ada sepuluh macam, yaitu: tauhid, keadilan, tolong menolong, kerja sama, amanah, kerelaan, kebenaran, larangan riba, larangan (maisir) judi, dan larangan gharar.11 1. Tauhid Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan. Paling tidak dalam setiap melakukan aktivitas berasuransi ada semacam keyakinan dalam hati bahwa Allah s.w.t. Selalu mengawasi gerak langkah kita dan selalu bersama kita. Kalau pemahaman ini dapat terbentuk dalam setiap “pemain” yang terlibat dalam perusahaan asuransi maka pada tahap awal masalah yang sangat urgensi telah terlalui dan dapat melangsungkan perjalanan bermuamalah seterusnya. 2. Keadilan Dalam berasuransi harus terpenuhi nilai keadilan antara pihak yang terkait dengan akad asuransi. Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai
10DSN-MUI, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah, http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/fatwa.php?id=28&pg=2, diakses 10 juli 2008. 11AM. Hasan Ali, Asuransi, pp. 125-136.
464 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
465
upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah (anggota) dan perusahaan asuransi. 3. Tolong-Menolong Semangat tolong menolong (ta’awun) antara anggota (nasabah) merupakan salah satu prinsip dasar dalam berasuransi. Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapatkan musibah atau kerugian. 4. Kerja Sama Kerja sama dalam bisnis asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang dijadikan acuan antara kedua belah pihak yang terlibat, yaitu antara anggota (nasabah) dan perusahaan asuransi. Dalam operasionalnya, akad yang dipakai dalam bisnis asuransi dapt memakai konsep mudharabah atau musyarakah. 5. Amanah Prinsip amanah juga harus berlaku pada diri nasabah asuransi. Seseorang yang menjadi nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran iuran (premi) dan tidak memanipulasi kerugian (peril) yang menimpa dirinya. 6. Kerelaan Dalam bisnis aruransi, kerelaan dapat diterapkan pada setiap anggota (nasabah) asuransi agar mempunyai motifasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana yang disetor (premi) ke perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial. Dana sosial memang benar-benar digunakan untuk tujuan membantu anggota (nasabah) asuransi yang lain jika mengalami bencana kerugian. 7. Larangan Riba Dalam setiap transaksi asuransi tidak diperbolehkan dilakukan secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. 8. Larangan Maisir (judi), artinya adanya salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. 9. Larangan Gharar (ketidakpastian) dalam asuransi yaitu bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis dan sumber dana pembayaran klaim serta keabsahan syar’i penerima uang klaim. F. Akad Dalam Asuransi Syariah Akad dalam asuransi syariah adalah sebagai berikut:12 12Fatwa
DSN-MUI No. 21 DSN/MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/fatwa.php?id=28&pg=2, diakses 10 juli 2008. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
465
466
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
1. Akad dalam asuransi: a. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan/ atau akad tabarru’. b. Akad tijarah yang dimaksud adalah mudharabah, sedang akad tabarru’ adalah hibah. c. Dalam akad, sekurang kurangnya harus disebutkan: a) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan. b) Cara dan waktu pembayaran premi. c) Jenis akad tijarah dan/ akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan. 2. Kedudukan para pihak dalam akad tijarah dan tabarru’, adalah sebagai berikut: a. Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul maal (pemegang polis). b. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah, sedang perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah. Konsep al-mudharabah yang diterapkan dalam asuransi syariah memiliki tiga unsur:13 1. Dalam perjanjian antara peserta dengan perusahaan asuransi, perusahaan diamanahkan untuk menginvestasikan dan mengusahakan pembiayaan ke dalam proyek-proyek dalam bentuk: musyarakah, murabahah, dan wadi’ah yang dihalalkan syariat Islam. 2. Perjanjian antara peserta dengan perusahaan asuransi berbentuk perkongsian untuk bersama-sama menanggung resiko usaha dengan prinsip bagi hasil yang porsinya masing-masing telah disepakati bersama. 3. Dalam pejanjian antara peserta dengan perusahaan asuransi ditetapkan bahwa sebelum bagian keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha dan investasi, terlebih dahulu diselesaikan klaim manfaat takaful dari para peserta yang mengalami kerugian atau musibah. Dengan demikian, asuransi yang mendasarkan pada akad tijarah berupa akad mudharabah, maka pihak perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi berperan sebagai manajer investasi (fund manajer) yang akan mengelola dana premi yang terkumpul, kemudian akan memberikan bagi hasil sesuai dengan nisbah kepada pemegang polis diakhir periode asuransi.
13Muhammad
Firdaus NH, dkk., Sistem, pp. 22-23.
466 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
467
Kegiatan atau jenis-jenis investasi yang diperbolehkan dalam perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan sistem syariah terdiri dari:14 a. Deposito dan Sertifikat Deposito Syariah. b. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. c. Saham syariah yang tercatat di Bursa Efek. d. Obligasi syariah yang tercatat di Bursa Efek. e. Surat berharga syariah yang diterbitkan atau dijamin Pemerintah. f. Unit penyertaan reksa dana syariah. g. Peyertaan langsung syariah. h. Bangunan atau tanah dengan bangunan untuk investasi . i. Pembiayaan kepemilikan tanah dan/ atau bangunan, kendaraan, bermotor dan barang modal dengan skema kendaraan bermotor dan barang modal dengan skema murabahah (jual beli dengan pembayaran ditangguhkan). j. Pembayaran modal kerja dengan skema mudharabah (bagi hasil). k. Pinjaman polis. G. Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah menurut Muhammad Syakir Sula secara lengkap dapat dibaca di dalam tabel di bawah ini.15 Tabel 1. Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah No. 1
Prinsip Konsep
2
Asal usul
Asuransi Konvensional Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung. Dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun 1668 M di Coffe House
Asuransi syariah Sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerjasama, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’
Dari al-Aqidah, kebiasaan suku arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disyahkan oleh Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah
14Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep.4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Dengan Sistem Syariah. 15Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta, Gema Insani Press, 2004), pp. 326-328.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
467
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
468
London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.
3
Sumber hukum
Bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami, dan contoh sebelumnya.
6
Akad
7
Jaminan/ Risk
8
Pengelolan dana
Akad jual beli (akad mu’awadhah, akad idz’aan, akad grara dan akad mulzim) Transfer of risk, dimana terjadi transfer resiko dari tertanggung kepada penanggung. Tidak adanya pemisahaan dana, yang berakibat pada terjadinya dana hangus (pada produk saving life)
9
Investasi
4
5
tertuang dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung Rasulullah.
Bersumber dari wahyu Ilahi. Sumber hukum dalam syariah Islam adalah al-Quran, Sunnah dan kebiasaan Rasul, Ijmak, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan, Urf, dan Mashalih Mursalah. Maghrib Tidak selaras dengan Bersih dari adanya praktek (Maisir, syariah Islam karena Maisir, Gharar dan Riba. Gharar, dan adanya Maisir, Gharar dan Riba) Riba, hal yang diharamkan dalam muamalah. DPS Tidak ada, sehingga Ada, yang berfungsi untuk (Dewan dalam prakteknya mengawasi pelaksanaan Pengawas bertentangan dengan operasional perusahaan Syariah) kaidah-kaidah syara’ agar terbebas dari praktekpraktek muamalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Bebas melakukan investasi dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan, dan tidak terbatasi pada halal dan haramnya obyek atau sistem investasu yang digunakan.
468 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Akad tabarru dan akad tijarah (mudharabah, wakalah, wadiah, syirkah, dan sebagainya) Sharing of risk, dimana terjadi proses saling menanggung antara satu peserta dengan peserta yang lainnya (ta’awun) Pada produk saving life terjadi pemisahan dana, yaitu dana tabarru’/ derma dan dana peserta, sehingga tidak mengenal istilah dana hangus. Sedangkan untuk term insurence (life) dan general insurence semuanya bersifat tabarru’. Dapat melakukan investasi sesuai ketentuan perundangundangan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsipprinsip syariah, bebas dari riba dan tempat-tempat inveatasi terlarang.
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara… 10
Kepemilikan dana
Dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan dan perusahaan bebas menggunakan, serta menginvestasikan kemana pun.
11
Unsur premi
Unsur premi terdiri dari tabel mortalitas (mortality table), bunga (interest), dan biaya asuransi (cost insurence).
12
Loading
Loading pada asuransi konvensional cukup besar terutama diperuntukkan untuk komisi agen, bisa menyerap premi tahun pertama dan kedua. Karena itu, nilai tunai pada tahun pertama dan kedua biasanya belum ada (masing hangus).
13
Sumber pembayaran klaim
14
Sistem akuntansi
Sumber biaya klaim adalah dari rekening perusahaan, sebagai konsekwensi penanggung terhadap tertanggung. Murni bisnis dan tidak ada nuansa spiritual. Menganut asuransi accrual basis, yaitu proses akuntansi yang mengakui terjadinya peristiwa atau keadaan non kas. Dan, mengakui pendapatan, peningkatan aset, expenses, liabilities dalam jumlah tertentu yang baru akan diterima dalam waktu yang akan datang.
15
Keuntungan
Keuntungan dari surplus underwriting, komisi asuransi, dan hasil investasi seluruhnya adalah
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
469
Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi, merupakan milik peserta (shahibul mall), perusahaan hanya sebagai pemegang amanah (mudharib) dalam mengelola dana tersebut. Iuran atau kontribusi terdiri dari unsur tabarru’ dan tabungan yang tidak mengandung unsur riba. Tabarru’ juga dihitung dari mortalitas, tetapi tanpa perhitungan bunga tekhnik. Pada sebagian asuransi syariah, loading (komisi agen) tidak dibebankan pada peserta, tetapi dari dana pemegang saham. Namun, sebagian yang lainnya mengambil dari sekitar 20%30% saja dari premi tahun pertama. Dengan demikian, nilai tunai tahun pertama sudah terbentuk. Sumber pembayaran klaim diperoleh dari rekening tabarru’, yaitu peserta saling menanggung. Jika salah satu peserta mendapat musibah, maka peserta lainnya ikut menanggung bersama risiko. Menurut konsep akuntansi cash basis, mengakui apa yang benar-benar telah ada, sedangkan accrual basis dianggap bertentangan dengan syariah karena mengakui adanya pendapatan, harta, beban atau utang yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Sementara apakah itu benar-benar dapat terjadi hanya Allah yang tahu. Profit yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi asuransi, dan hasil investasi bukan seluruhnya menjadi 469
470
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara… keuntungan perusahaan.
16
Misi dan visi
Secara garis besar misi utama asuransi konvensional adalah misi ekonomi dan misi sosial.
milik perusahaan, tetapi dilakukan bagi hasil (mudharabah) dengan peserta. Misi yang diemban dalam asuransi syariah adalah misi akidah, misi ibadah (ta’awun), misi ekonomi (iqtisadl), dan misi pemberdayaan umat (sosial).
H. Manfaat Asuransi Syariah Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:16 1. Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota. 2. Implementasi dari anjuran Rasulullah s.a.w. agar umat Islam saling tolong menolong. 3. Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat. 4. Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak. 5. Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya. 6. Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti. 7. Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad. 8. Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi (bekerja). 9. Asuransi syariah selain menjadi alterntif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam, juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah adil bagi mereka. Syariah adalah sebuah prinsip atau sistem yang ber-sifat universal dimana dapat dimanfaatkan oleh siapapun juga yang berminat.17 16Anonim, Hukum Asuransi Menurut Islam, http://jacksite.wordpress.com/2007/07/11/hukum-asuransi-menurut-islam/, diakses 11 Juli 2008. 17Anonim, Mengenal Konsep Dasar Asuransi Syariah, http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/eureka/2004/0416/eur1.html, diakses 12 Juli 2008.
470 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
471
I. Asuransi Syariah Sebagai Sebuah Solusi Setiap orang hendaknya perlu menyadari bahwa segala benda di dunia ini memiliki risiko untuk mengalami kerusakan, termasuk diri kita sendiri. Oleh karena itu, kita perlu menganalisa risiko-risiko apa aja yang ada, berapa besar peluang resiko tersebut terjadi, beserta berapa besar kerugian yang akan dialami. Untuk resiko-resiko yang dapat menimbulkan kerugian besar ataupun memiliki peluang tinggi, kita perlu menyiapkan rencana antisipasi agar kehidupan rutin kita jangan sampai terlalu banyak terganggu apabila kerusakan tersebut terjadi. Fungsi asuransi syari’ah adalah sebagai: 1. Dana Darurat Dana darurat adalah sejumlah uang yang sengaja disisihkan untuk digunakan pada saat darurat. Biasanya dana ini disimpan dalam bentuk tabungan dengan rekening khusus yang tidak boleh ditarik jika bukan dalam keadaan darurat. Kelebihan dari dana darurat adalah bahwa dana ini adalah tabungan seseorang. Uang dalam dana darurat akan tetap menjadi milik seseorang jika tidak terjadi musibah. Dan uang ini bisa digunakan untuk apa saja yang dimauinya.18 Kekurangan dari dana darurat membutuhkan kedisiplinan untuk secara berkala menyimpan uang ke rekening dana darurat. Dan kedisiplinan juga diperlukan agar dana darurat ini benar-benar disimpan, tidak ditarik untuk keperluan harian. Namun, kekurangan terbesar dari dana darurat adalah terbatasnya jumlah uang yang bisa ditabung sebagai dana darurat. Dalam kasus seperti James diatas, dana darurat tidak akan cukup untuk mengganti seluruh kerugian finansial yang diderita oleh James. Dalam hal ini, perlu mempertimbangkan cara manajemen resiko yang lain. 2. Asuransi Ajaran Islam yang mulia memerintahkan kita untuk menyantuni orang yang kehilangan harta benda, kematian kerabat, maupun musibah lainnya. Tindakan tersebut merupakan wujud kepedulian dan solidaritas (itsar), serta tolong-menolong (ta’awun) antar warga masyarakat, baik muslim maupun non-muslim. Dengan cara demikian rasa persaudaraan (ukhuwah) akan semakin kokoh. Mereka yang ditimpa musibah tidak dirundung kesedihan yang berlarut-larut dan tidak terjerembab dalam keputusasaan, bahkan terhindar dari kemungkinan terpuruk dalam kemiskinan atau kehilangan masa depan. Akan tetapi cara-cara 18Anonim,
Manajemen Resiko, http://blog.keuanganpribadi.com/manajemenresiko/, diakses 8 Januari 2009. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
471
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
472
penyantunan itu pun harus sejalan dengan syariat, yaitu tidak boleh mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maysir (untung-untungan), riba, dan hal-hal lain yang bersifat maksiat. Denga kata lain, ta’awun harus diletakkan di atas nilai-nilai ketakwaan untuk kebajikan, dan bukan pelanggaran hukum syariah yang dapat menimbulkan pertentangan atau permusuhan. Hal ini sebagaimana perintah Allah dalam surat AlMaidah[5]:2, yang artinya: “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. Pada sistem asuransi syariah, setiap peserta bermaksud tolongmenolong satu sama lain dengan menyisihkan sebagian dananya sebagai iuran kebajikan (tabarru’). Dana inilah yang digunakan untuk menyantuni siapapun diantara peserta asuransi yang mengalami musibah. Jadi bukan dalam bentuk akad pertukaran dianatara dua pihak, melainkan akad untuk saling tolong-menolong (takaafuli) di antara semua peserta. Seluruh dana premi yang terhimpun dikelola oleh perusahaan untuk investasi, re-asuransi, penyaluran manfaat asuransi, dan distribusi surplus operasi. Untuk semua jasa pengelolaan ini, perusahaan meminta kontribusi peserta yang jumlahnya pasti dan disetujui oleh peserta, serta bagian dari surplus operasi sesuai kesepakatan perusahaan dengan peserta yang prosentase nisbahnya ditetapkan sejak awal. Oleh karena itu, sejak awal peserta mengetahui dengan jelas komponen premi yang disetorkannya, yaitu tabarru’ (iuran kabajikan), tabungan (hak mutlak peserta), dan kontribusi biaya pengelolaan (30% premi tahun pertama). Selain itu, peserta dapat melihat perkembangan dari waktu ke waktu perkembangan nilai tunai polisnya, yakni akumulasi tabungan dan bagi hasilnya. Oleh karenanya ketika peserta bermaksud mengundurkan diri dalam masa perjanjian karena sesuatu hal, nilai tunai yang dapat diterimanya dapat dihitung nilainya dan jelas sumbernya (berasal dari tabungan dan bagi hasilnya). Demikian pula halnya klaim meninggal yang diterima oleh ahli waris peserta, terdiri dari manfaat asuransi atau santunan kebajikan (bersumber dari tabarru’-tabarru’ peserta), tabungan yang sudah disetorkan dan bagi hasil tabungannya itu.19 Dalam hal investasi, selain pertimbangan profitabilitas, kesesuaian usaha dengan ketentuan syariah merupakan faktor penentu keputusan investasi. Oleh karena itu, peran Dewan Pengawas Syariah menjadi sangat 19Tim
Takaful, Asuransi Syariah: Sebuah http://www.asuransisyariah.net/2008/08/asuransi-syariah-sebuah-solusi-html, 13 Januari 2009. 472 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Solusi, diakses
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
473
penting di dalam dinamika pengembangan usaha asuransi syariah, hal yang tidak ditemukan di dalam asuransi konvensional. Dengan demikian, asuransi syariah merupakan salah satu cara yang paling tepat untuk menanggulangi risiko yang dihadapi oleh perusahaan maupun individu/keluarga. Sistem Asuransi syariah selain menjadi alterntif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam, juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah adil bagi mereka. Syariah adalah sebuah prinsip atau sistem yang ber-sifat universal di mana dapat dimanfaatkan oleh siapapun juga yang berminat. M. Penutup Risiko timbul karena adanya ketidakpastian, dan bisa menimpa pada setiap benda maupun makhluk hidup di bumi ini. Risiko yang menimpa manusia atau perusahaan tentunya akan mengakibatkan manusia/ perusahaan mengalami kerugian bila tidak diantisipasi dan dikelola. Agar tercapai ketenangan dan kesuksesan maka setiap manusia/ individu dan perusahaan harus mampu mengurangi kidakpastian tersebut dengan penanggulangan resiko yang mungkin terjadi. Dengan penanggulangan resiko diharapkan resiko dapat dihilangkan atau paling tidak diminimalisir. Perusahaan harus menerapkan Manajemen Risiko untuk menaggulangi risiko. Asuransi merupakan salah satu cara penangulangan resiko yang ada dalam Manajemen Resiko. Sehingga untuk memberikan proteksi terhadap resiko yang akan menimpa baik individu maupun perusahaan, maka sebaiknya setiap individu maupun perusahaan berasuransi. Dalam Islam ditekankan bahwa setiap transaksi yang dilakukan tidak boleh mengandung unsur yang dilarang, yaitu perjudian (maisyir), unsur ketidak jelasan (gharar), unsur riba, dan unsur bathil. Dalam asuransi konvensional, akadnya dapat dikategorikan sebagai pertukaran (raqad mu’awadhah), layaknya jual beli. Dalam perusahaan asuransi konvensional, premi yang terkumpul akan diinvestasikan. Dalam kaitan ini, akad pertukaran tidak mensyaratkan kejelasan dalam alokasi dana premi, karena dana premi yang telah dibayarkan oleh pesera, berstatus milik perusahaan. Dengan demikian, perusahaan dapat menginvestasikan dana premi itu kemana saja dan dengan cara apapun, termasuk di bidang-bidang usaha yang mengandung unsur maksiat atau dilarang oleh syariat (riba, minuman keras, pornografi, dan lain-lain). Oleh karena itu, dalam asuransi konvensional terdapat unsur-unsur ketidakpastian, spekulasi atau perjudiaan, dan unsur riba. Selain itu, dalam asuransi konvensional jika peserta berhenti sebelum masa perjanjian berakhir, terutama pada awal SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
473
474
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
periode perjanjian, pada umumnya peserta tidak mendapatkan pengembalian premi yang telah dibayarnya (hangus), atau mendapatkan pengembalian dalam jumlah yag sangat kecil dibandingkan dengan premi yang telah dibayarnya. Hal ini tentunya akan sangat merugikan peserta asuransi yang tidak melakukan klain atas perjanjiannya dengan perusahaan asuransi dan juga akan merugikan pada pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam, karena terdapatnya unsur-unsur yang dilarang dalam syariat Islam. Dengan demikian, cara untuk memproteksi risiko yang tepat adalah dengan asuransi syariah. Akad dalam asuransi syariah didasarkan pada tolong-menolong (ta’awun) antar warga masyarakat, baik muslim maupun non-muslim. Dan tentunya akan terhindar dari gharar, maisyir, unsur riba, dan unsur bathil. Dalam mekanismenya, asuransi syariah tidak mengenal dana hangus sebagaimana yang terjadi pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melakukan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri pada masa reversing period, maka dana yang dimasukkan dapat diambil kembali, kecuali sebagai dana yang memang telah diniatkan untuk dana tabarru’. Dana yang terkumpul dari akad tijarah. Oleh perusahaan akan diinvestasikan dan mengusahakan pembiayaan ke dalam proyek-proyek dalam bentuk musyarakah, murabahah, dan wadi’ah yang dihalalkan syariat Islam, sehingga dalam berinvestasi selain mempertimbangkan profitabilitas, kesesuaian usaha dengan ketentuan syariah merupakan faktor penentu keputusan investasi. Dewan Pengawas Syariah akan mengawasi pengelolaan investasi dana tersebut dan juga akan mengawasi produk yang akan dipasarkan, hal yang tidak ditemukan di dalam asuransi konvensional. Maka dengan asuransi syariah Insya Allah setiap manusia ataupun perusahaan akan memperoleh ketenangan dan keselamatan di dunia maupun di akhirat.
474 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
475
Daftar Pustaka Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, Prenada Media, 2005. Anonim, Bagaimana Hukum Asuransi Dalam Syar'iah?, http://yayasanalhidayah.net/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=18, diakses 13 Januari 2009. Anonim, Bagaimana Hukum asuransi, Sharia Consulting Center, www.syariahonline.com, diakses 1 Agustus 2007. Anonim, Kajian Asuransi Konvensional vs Asuransi Syariah, http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/14/kajian-asuransikonvensional-vs-asuransi-syariah/, diakses 13 Januari 2009. Anonim, Mengenal Konsep Dasar Asuransi Syariah, hjjp://www sinarharapan. co. d/ekonomi/eureka/2004/0416/eurl.html, diakses 17 Juli 2008. Anonim, Sejarah Asuransi Syariah di Indonesia Pdf, http://www.icmi.or.id/ind/content/view/686/60/, diakses 10 Juli 2008. Antoni, Muhammad Syafi’i, Asuransi dalam Perspektif Islam, Jakarta: STI, 1994. Djojosoedarso, Soeisno, Prinsip-Prinsip dan Manajemen Resiko Asuransi, Salemba Empat, Edisi Revisi, 2003. DSN-MUI, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah, http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/fatwa.php?id=28&pg=2, diakses 10 juli 2008. Firdaus NH., Muhammad, dkk., Sistem Operasional Asuransi Syariah, Renaisan, 2007. Ghofur Anshori, Abddul, Asuransi Syariah di Indonesia, Regulasi dan Opersionalnya di dalam Kerangka Hukum Positif di Indonesia, UII Press, 2007. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep.4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Dengan Sistem Syariah.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
475
476
Sunarsih: Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara…
Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani Press, 2004. Sumitro, Warkum, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Sutawinangun, TB. M. Nazmudin, Manajemen Resiko dalam Corporate Governance, Republika, 26 Maret 2003. Tim
Takaful, Asuransi Syariah: Sebuah Solusi, http://www.asuransisyariah.net/2008/08/asuransi-syariah-sebuahsolusi-html, diakses 13 Januari 2009.
Zahroni, Rika, Asuransi Syari‘ah Dalam Perspektif Mahasiswa, http://ugnews.gunadarma.ac.id/2007/09/20/asuransisyari%E2%80%98ah-dalam-perspektif-mahasiswa/, diakses 17 Juli 2008.
476 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam (Ke Arah Reformulasi Paradigma Filosofis) Oleh: H. Akhyak∗ Abstrak Pendidikan Islam dalam era perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini semakin dipertanyakan relevansinya, terutama jika dikaitkan kontribusinya bagi pembentukan budaya modern yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Pendidikan Islam belum mampu memfungsikan diri sebagai pendidikan alternatif, dan kurang memiliki kemampuan berhadapan dengan dinamika kehidupan manusia yang cepat, karena pendidikan Islam masih bergumul dengan problem yang mengitarinya. Dalam ranah implementasi, realitas pendidikan Islam terjangkit krisis spiritual, krisis intelektual dan krisis moral. Ketiga krisis tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari para stake-holders pendidikan Islam. Oleh karena itu, perlu dikembangkan konsep alternatif dalam upaya melerai krisis dalam pendidikan Islam. Konsep alternatif tersebut adalah perlunya menekankan pendidikan Islam dengan pendekatan pendidikan spiritual- dinamis– proposional, pendekatan pendidikan intelektual–kritis paradigmatik-religious, dan pendekatan pendidikan moral–modernis–transendental. Gagasan pendekatan tersebut perlu diimplementasikan dalam pendidikan Islam agar secara fungsional pendidikan Islam memiliki peran sentral dalam melakukan pendidikan manusia di dunia ini secara optimal. Kata kunci: krisis spiritual, krisis intelektual, krisis moral, pendidikan islam A. Pendahuluan Modernisasi di negeri-negeri Muslim pada umumnya berkiblat ke Barat. Oleh karena itu, upaya penyelesaian problem yang dihadapkan pada agama menuntut penyelesaian-penyelesaian yang bersifat dialektis bukan normatif.2 Pembaharuan Islam yang bagaimanapun yang mau 1
∗
Dosen STAIN Tulungagung. Sistem manapun yang berusaha mempersiapkan diri menuju masa depan, misalnya pendidikan, tanpa memperhitungkan sistem raksasa yang mengitarinya seperti sistem Barat sekarang yang memasuki hampir setiap aspek kehidupan kita akan mengalami kegagalan total, begitu pula bila hanya mengikuti pola Barat tanpa ada upaya filterisasi. Lihat Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad XXI, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), p. 125. Bandingkan dengan Maryam Jamilah, Islam dalam Kancah Modernisasi, (Bandung: Risalah, 1983), pp. 184-187. 2 Dalam hal ini agama harus memiliki peran strategis dalam masyarakat yang selalu berubah. Dunia ini sebenarnya senantiasa berkembang. Sedangkan setiap perkembangan, 1
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
478
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
dilakukan, sudah barang tentu harus dimulai dengan pendidikan. Ini semua menjadi tantangan bagi para tokoh intelektual Muslim. Pendidikan Islam adalah sebagai usaha mengubah tingkah laku manusia dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan, sebagai proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat yang dilandasi dengan nilai-nilai Islami.3 Oleh sebab itu, pembaharuan pendidikan merupakan hal penting,4 untuk melahirkan suatu peradaban Islam yang asli dan modern. Pembaharuan pendidikan adalah satu-satunya pendekatan untuk suatu penyelesaian jangka panjang atas problemproblem yang dialami masyarakat Islam saat ini. Tetapi pembaharuan pendidikan tidak bisa dicapai ataupun memperlihatkan hasil hanya dalam waktu semalam saja. Ia adalah suatu proses yang apabila dilaksanakan akan memakan waktu sedikitnya dua generasi.5 Pada semua masyarakat di sepanjang sejarah, lembaga pendidikan betapapun tidak sempurnanya, tetap mempunyai peranan strategis dalam membentuk bangunan peradaban umat manusia.6 Untuk Indonesia yang merupakan pusat konsentrasi penganut Islam yang terbesar di dunia, pendidikan yang bercorak Islam haruslah ditempatkan pada posisi untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan. Pendidikan Islam dalam era perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini, semakin dipertanyakan relevansinya, terutama jika dikaitkan tentu berarti terdapat perubahan. Maka keagamaan harus mampu menampung perubahan masyarakat (social change), Lihat Nurcholis Majid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1995), p. 126. Bandingkan dengan Sujatmoko, "Agama dan Tantangan Zaman", dalam Permasalahan Abad 21 Sebuah Agenda, Said Tuhuleley (Penyunting), (Yogyakarta: SIPRESS, 1993), pp. 119-127. Bandingkan pula dengan Abdullah Fadjar, Peradaban dan Pendidikan Islam, (Jakarta, Rajawali Press, 1991), p. 45. 3 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), p. 14. Lihat pula Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), p. 94. 4Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Asharaf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Gema Risalah Press, l994), p. 6. Bandingkan dengan Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2002), p. 32. Bandingkan pula dengan Imam Bawani dan Isa Ansori, Cendekiawan Muslim dalam Perspektif Pendidikan Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1991), pp. 106-123. 5Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Penerbit Pustaka, l984), p. 384. 6 Muchtar Bukhori, Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan dalam Renungan, (Jakarta: IKIP MUHAMMADIYAH Jakarta Press, 1994), p. 61. 478 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
479
kontribusinya bagi pembentukan budaya modern yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Lembaga pendidikan Islam juga tidak terhindar dari kemelut yang dihadapi dunia pendidikan pada umumnya. Atau, bahkan konflik yang dihadapi oleh sistem pendidikan Islam jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dilema yang melanda pendidikan yang tidak memasukkan dimensi keislaman. Pada lazimnya pendidikan dipahami sebagai fenomena individual di satu pihak dan fenomena sosial-budaya di pihak lain. Sebagai fenomena individual pendidikan mengacu pada pandangan dasar perlu adanya upaya pengembangan potensi yang dimiliki oleh manusia.7 Sebagai fenomena sosial- budaya pendidikan bertugas menyiapkan generasi untuk memegang peranan-peranan tertentu pada masyarakat.8 Menurut Arifin, pendidikan Islam belum mampu memfungsikan diri sebagai pendidikan alternatif. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktorfaktor hambatan internal, yaitu karena belum tegas filsafat yang mendasarinya.9 Kerangka filosofis yang dipakai selama ini tidak jelas dan tidak tegas, sehingga memunculkan teori-teori pendidikan yang rancu dan rapuh.10. Dalam ranah implementasi, realitas pendidikan Islam memiliki banyak persoalan fundamental. Di antaranya adalah terjangkitnya krisis spiritual, krisis intelektual dan krisis moral. Ketiga krisis tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari para stakeholders pendidikan Islam. Berangkat dari deskripsi di atas penulis bermaksud menyumbangkan konsep alternatif dalam upaya melerai krisis dalam pendidikan Islam. B. Diskursus Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Secara lughawi, pendidikan diartikan sebagai proses peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui transfer pengetahuan, peningkatan potensi diri maupun penanaman nilai-nilai budaya, moral, serta spiritual. Abd al-Fattah Jalal membatasi proses tersebut lebih sempit lagi, yakni
7
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988),
p. 3. 8 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: AlMaarif, 1995), p. 92. 9 H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), p. 41. 10 Ali Asyraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, Cet. II (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), p. 103.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
479
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
480
sekedar penyiapan dan pemeliharaan pada tingkat awal pertumbuhan insan.11 Muhammad Athiyyah al-Abrasyi memandang pendidikan secara lebih luas yaitu sebagai penyiapan individu untuk meraih kehidupan yang lebih sempurna, dalam arti meraih kebahagiaan hidup seluas-luasnya. Hal itu diwujudkan dengan penanaman kesadaran cinta tanah air, membina kekuatan raga, kemuliaan akhlak, kecerdasan, kehalusan rasa, semangat berkreasi, toleransi serta keterampilan dalam menggunakan bahasa tulis maupun lisan.12 Ahmad D. Marimba memberikan arti pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.13 Dalam bimbingan terdapat sistem-sistem ketentuan yang menjadi dasar bimbingan (sistem nilai) suapaya dapat ditentukan batasan kepribadian yang utama serta sekaligus membedakan antara pendidikan Islam dari pendidikan-pendidikan yang lainnya.14 Titik tekan yang membedakan pendidikan Islam dengan lainnya terletak pada sistem nilai yang dianut. Karena Islam merupakan agama yang membawa sistem nilai sesuai dengan ajarannya. Sistem nilai inilah yang nantinya menentukan arah dan orientasi pendidikan Islam. Termasuk di dalamnya penekanan terhadap arah perkembangan setiap potensi peserta didik. Dengan demikian, pendidikan Islam merupakan usaha mempertemukan perkembangan potensi manusia dengan ajaran Islam itu sendiri. Pertemuan antara keduanya akan membentuk kepribadian Muslim yang sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran Islam untuk selanjutnya akan mengemban tugas tersebut pada generasi sesudahnya. Pendidikan Islam menurut Omar Muhammad Al-Toumy alSyaebani, diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan. Perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islami.15 Dari deskripsi di atas, maka penulis menekankan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah sebagai usaha mengubah 11
Abd. Al-Fattah Jalal. Min Usul at-Tarbiyyah fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Kutub, 1977), p. 17. 12 Muhammad Athiyyah al-Abrosvi, Ruh at-Tarbiyyah wa at-Ta'lim, (Saudi Arabia: Dar al-Ihya', t.t.), p. 7. 13 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. AlMa’arif, 1989), p. 2. 14 Ibid., p. 23. 15 M. Arifin, Filsafat, p. 14. 480 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
481
tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan, sebagai proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat yang dilandasi dengan nilai-nilai Islami. 2. Ciri khas Pendidikan Islam Secara lebih spesifik terdapat karakteristik tersendiri yang membedakan pendidikan Islam dengan sistem pendidikan lainnya, secara singkat karakteristik tersebut adalah: 1). penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah s.w.t. Setiap penganut Islam diwajibkan mencari ilmu pengetahuan untuk dipahami secara mendalam yang dalam taraf selanjutnya dikembangkan dalam kerangka ibadah guna kemaslahatan umat manusia. Proses ini berlangsung secara berkesinambungan dan seumur hidup yang kemudian dikenal dengan istilah life long education dalam sistem pendidikan modern. 2) pengakuan akan potensi manusia dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian. Setiap pencari ilmu dipandang sebagai makhluk Tuhan yang perlu dihormati dan disantuni, agar potensi-potensi yang dimilikinya dapat teraktualisasi dengan sebaikbaiknya. 3) pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggungjawab kepada Tuhan dan masyarakat manusia. Di sini suatu pengetahuan bukan hanya untuk diketahui, dan dikembangkan, melainkan sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, terdapat konsistensi antara apa-apa yang diketahui dengan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Islam mengetahui sesuatu ilmu pengetahuan sama pentingnya dengan pengamalannya secara kongkret.16 Karakteristik tersebut meliputi setiap aspek dari proses pendidikan secara menyeluruh. Pertama-tama meliputi penguasaan ilmu pengetahuan seluas mungkin. Kemudian dikembangkan atas dasar ibadah kepada Allah dengan orientasi kemaslahatan umat manusia. Kedua proses ini berjalan secara terus-menerus dalam hidup manusia. Di samping itu, pendidikan berlangsung dalam kerangka pengakuan terhadap segala potensi manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna. Dari segenap potensi yang ada diharapkan akan tumbuh kepribadian yang mumpuni dan berkembang selaras dengan tujuan kesempurnaan penciptaannya. Antara penguasaan ilmu beserta pengembangannya dan pengakuan potensi manusia 16
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), p. 10. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
481
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
482
diharapkan lahir sebuah kepribadian utuh yang bisa mempertemukan keduanya dalam pengamalan yang nyata. Maka karakteristik ini merupakan usaha mempertemukan orientasi dunia dan akhirat secara sejajar. Kemaslahatan yang dilahirkan di dunia dari proses pendidikan ini sekaligus merupakan pengamalan orientasi akhirat sesuai ajaran Islam. C. Eksistensi Pendidikan Islam di Indonesia Pendidikan Islam di Indonesia, seperti juga di dunia Islam lainnya berjalan menurut rentang gerakan-gerakan Islam pada umumnya, dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain seterusnya. Di Indonesia, dengan adanya dua model pendidikan agama: pesantren dan madrasah seperti yang ada sekarang ini; ternyata umat Islam menghadapi kesulitan dalam mempertemukan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu agama Islam.17 Kalau dilihat kembali sejarah kelahiran pendidikan Islam dalam awal abad ke-20, dengan jelas dapat diketahui bahwa motivasinya betul-betul pragmatis yaitu bagaimana mengimbangi pendidikan umum yang berkembang pesat yang semata-mata diorientasikan pada pemenuhan kebutuhan kolonialisme. Dari sini muncul keinginan untuk memasukkan unsur agama dalam pendidikan umum ini, artinya memang sudah sejak lama diasumsikan tentang adanya dua lembaga pendidikan tersebut. Pada mulanya, penambahan mata pelajaran agama, pada sekolah umum dipandang sebagai suatu terapi yang mujarab dalam membina perilaku anak, namun (barangkali) belum terpikir untuk mengintegrasikan kedua jenis ilmu itu, sesuai dengan iklim penjajahan pada waktu itu. Baru setelah bangsa Indonesia merdeka dan telah muncul ilmuwan yang mempunyai kapasitas pikir lebih jauh ke depan, maka semakin dirasakan bahwa membekali anak dengan ilmu-ilmu agama yang sangat sedikit itu belumlah memadai. Dari sini lalu muncul keinginan untuk mendirikan lembagalembaga pendidikan Islam yang khusus berorientasi pada usaha memadukan kedua jenis ilmu diatas. Dengan begitu, pada mulanya telah diasumsikan bahwa out put pendidikan sudah dapat menguasai kedua rumpun ilmu tersebut. Dengan demikian, maka telah lahir dua sistem pendidikan, yaitu yang khusus berorientasi pada agama (pesantren dan madrasah dalam batas-batas tertentu) dan pendidikan umum yang "bermuatan" agama dalam porsi yang lebih besar.18 Namun, justru di sinilah terdapat ironi, 17
M. Amin Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1987), pp. 108-115 dan pp. 156-171. 18 Mamfred Ziemeck, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986), p. 3. 482 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
483
ketika pendidikan umum semakin berkembang pesat, justru pendidikan umum yang diembel-embeli agama tidak mampu menampilkan citra dirinya secara tegas. Pendidikan yang disebut terakhir ini, karena sarat beban dan sikapnya yang mendua bahkan semakin tidak begitu jelas orientasinya, sehingga seolah-olah mempertontonkan dirinya sebagai pendidikan kelas dua atau pendidikan murahan. Dalam bahasa lain, "pendidikan umum plus" yang diklaim sebagai pendidikan Islam tersebut, belum mampu memfungsikan diri sebagai pendidikan alternatif. Hal ini antara lain menurut Rusli Karim,19 terutama disebabkan oleh beberapa faktor: 1. Hambatan internal, karena belum tegas filsafat yang mendasarinya sebagai implikasi yang dapat dilihat beberapa gejalanya, antara lain; a. tiadanya kurikulum yang baku sebagai garis batas terhadap sistem pendidikan lainnya. b. belum adanya metodologi yang baku. c. belum adanya alat ukur yang dapat diandalkan dalam menilai hasil pendidikan. 2. Hambatan eksternal; a. masih terlalu tergantung pada pola pendidikan yang digariskan pemerintah, yakni pendidikan untuk menopang program pembangunan. Keadaan ini sangat erat kaitannya dengan; b. kekurangan dana, sehingga pendidikan Islam diorientasikan kepada selera konsumen. Pendidikan Islam juga didikte oleh lembaga penentu lapangan kerja; c. masih labilnya sistem pendidikan nasional. 3. Perkembangan kebudayaan dan perubahan masyarakat yang cepat, sehingga dunia pendidikan semakin tidak berdaya berkompetisi dengan laju perubahan masyarakat dan perkembangan kebudayaan. 4. Apresiasi masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam yang belum cukup menggembirakan dan hambatan psikologis yang bermula dari ketidakberdayaan pendidikan Islam dalam memenuhi logika persaingan. 5. Adanya pelapisan sosial yang didasarkan pada ukuran serba materialistik dan menyebabkan masyarakat berlomba menyerbu sekolah atau lembaga pendidikan favorit, dengan tidak mengindahkan lagi aspek idiologis yang tersembunyi dibaliknya 6. Adanya kecenderungan mismanajemen, misalnya persaingan yang tidak sehat antarpimpinan dan kepemimpinan yang tertutup. 19
M. Rusli Karim, "Pendidikan Islam di Indonesia Dalam Transformasi Sosial Budaya", dalam Muslih Usa, (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), pp. 132-133. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
483
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
484
Keenam aspek yang telah dikemukakan di atas barangkali juga dapat dikatakan seperti gejala umum yang melanda hampir semua lembaga pendidikan Islam. Dari sini tampak bahwa ternyata dalam dunia serba persaingan yang didasarkan pada manajemen profesional justru umat Islam berada pada posisi yang sangat lemah: kalah bersaing, misalnya dengan umat Nasrani. Memang logika persaingan profesional tampaknya masih asing bagi umat Islam. Institusi modern masih merupakan barang mewah bagi umat Islam, termasuk di dalamnya segala tatanan dan piranti yang mengiringinya. Kalau kita perhatikan lembaga pendidikan swasta favorit di seluruh Indonesia hampir semuanya di tangani umat Nasrani. Lembaga pendidikan mereka sudah menjadi semacam "alternatif" dan bahkan kadang-kadang mengungguli prestasi sekolah atau lembaga pendidikan pemerintah.20 Ini bukan berarti menutup mata terhadap (hanya) beberapa lembaga pendidikan yang ditangani oleh umat Islam juga menjadi favorit. Pesantren sebagai suatu bentuk lembaga pendidikan agama yang spesifik di Indonesia,21 yang semula dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam untuk penyebaran agama dan tempat mempelajari agama Islam,22 telah banyak berubah performancenya. Pesantren semakin terbuka terhadap perkembangan masyarakat dan beberapa kecenderungan baru mulai tampak. Dalam hal ini pesantren makin akrab dengan metodologi ilmiah modern dan semakin berkembangnya kurikulum yang digunakan. Dan makin berorientasi pada pendidikan yang fungsional dalam arti, terbuka terhadap perkembangan di luar dirinya. Di samping itu, program dan kegiatan telah memungkinkan makin terbukanya pesantren dan mengurangi ketergantungan absolut dengan "kyai" dan sekaligus dapat membekali para santrinya dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan pekerjaan. Bahkan sekarang pesantren berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat. Namun harus pula diingat bahwa dengan makin intensifnya pengaruh ekstern tersebut, pesantren juga menghadapi dilema: Otonomi pesantren semakin berkurang; pesantren mempunyai ketergantungan pada pihak luar, baik untuk kepentingan pengadaan tenaga ahli maupun dalam 20Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Prespektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1994), p. 1. Bandingkan dengan, Akhyak (Ed), Meniti Jalan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), p. 52. 21 Mamfred Ziemeck, Ibid, p. 17. 22 Suyoto, Pondok Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional, dalam, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1983), p. 61, lihat pula Sudjoko Prasojo,Profil Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1975), p. 1. 484 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
485
menghimpun dana bagi pembiayaan program, mengingat swadaya masyarakat belum memadai. Masyarakat memandang pesantren sebagai lembaga pendidikan "kelas rendah". Apalagi pesantren tradisional, peminatnya sangat terbatas. Hanya pesantren yang membuka program pendidikan umum yang mendapat persamaan ijazahnya dengan lembaga pendidikan lain pada umumnya yang banyak diminati masyarakat. Hal tersebut erat kaitannya dengan masa depan dan lapangan pekerjaan abituren pesantren. Persepsi masyarakat tentang hakekat kerja yang identik dengan white color job menyebabkan lulusan pesantren seakan-akan tidak ada tempatnya dalam tatanan masyarakat modern. Merosotnya peranan kyai, karena banyak kegiatan belajar mengajar tidak lagi bergantung kepadanya. Interaksi kyai dengan santri sudah sangat berkurang frekuensinya dan diganti dengan tenaga guru atau tenaga instruktur, yang cenderung bertindak bagi kepentingan formal saja. Begitu juga gejala "mengkota" dalam dunia pesantren semakin kentara, dan ini bisa mengeliminir pesantren dari lingkungannya. Kemungkinan ini dapat terjadi atas dasar asumsi bahwa terlalu banyak unsur budaya kota yang melakukan intervensi ke dalam pesantren. Uraian di atas adalah realitas pendidikan Islam dalam era transformasi sosial budaya yang dewasa ini berkembang pesat di Indonesia. Dalam proses transformasi sosial budaya ini, ternyata berbagai pranatanya juga terpengaruh, karena harus melakukan adaptasi besarbesaran bukan sekedar modifikasi namun dalam banyak hal harus direkonstruksi atau reorientasi. Pranata pendidikan Islam yang secara kebetulan belum merupakan pranata canggih di saat masuknya pola budaya baru, yang memerlukan dukungan dari lembaga pendidikan, maka di saat itu pula dapat diketahui bahwa dukungan yang diharapkan itu tidak mungkin, karena lembaga ini masih bergelut dengan persoalan-persoalan internalnya yang sebetulnya sudah klasik. Di samping itu, harus diakui bahwa lembaga pendidikan Islam belum mempunyai kesiapan untuk "mengadakan dialog" dengan dunia yang ada di luar dirinya, karena institusi pendidikan ini belum mampu menuntaskan mekanisme institusionalnya untuk menyangga modernisasi di segala segi kehidupan. Dengan kata lain, kehadiran lembaga pendidikan Islam dalam era modern Indonesia cenderung berjalan apa adanya, termasuk IAIN.23 Lembaga yang disebutkan terakhir ini, tampaknya juga masih jauh dari harapan untuk tampil meyakinkan dalam bersaing dengan lembaga-lembaga lain 23M.
Rusli Karim, "Respons Cendekiawan Muslim terhadap Tuntutan Masyarakat Modern Indonesia", dalam M. Amien Rais (Ed), Islam di Indonesia, (Jakarta:CV. Rajawali, 1986), p. 253. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
485
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
486
pada umumnya, misal yang ada dibawah koordinasi Depdikbud baik dari fisik, maupun (apalagi) segi konsepsionalnya. Upaya mendinamisasikan pendidikan Islam kurang dikaitkan dengan konteks sosio kultural yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia, hal ini seharusnya merupakan tugas kita semua kaum Muslimin untuk bersama-sama bertanggungjawab terhadap majunya pendidikan Islam, sesuai dengan potensi, bidang, dan medan kiprah masing-masing. Semua kaum Muslimin terutama para intelektualnya memiliki tanggungjawab untuk berjuang memikirkan bagaimana agar pendidikan Islam di Indonesia ini sesuai dengan idealisasi Islam, sehingga mampu menjawab tantangan masa depan. Karena pendidikan Islam menuntut kepada generasi muda untuk menjadi pemimpin utama yang berjiwa pemberani dan mampu menyelesaikan kepentingan bangsa dan negaranya,24 maka dalam hal ini kita harus mau dan mampu meninjau kembali berbagai aspek strategis yang menghambat jalannya roda pendidikan Islam. Namun, ini semua sudah barang tentu tidak bisa dilepaskan begitu saja dari keinginan (kepentingan) politik. Karena dalam dunia yang semakin kompleks ini saling ketergantungan. Potensi besar umat Islam hampir tidak mampu terkelola secara optimal, manakala eksistensi pendidikan Islam selalu pada posisi marginal dan status quo. Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam hal ini adalah pengembangan potensi manusia dan proses pewarisan budaya untuk membentuk masyarakat Islami seperti diuraikan di atas tidak dapat dilepaskan dari peranan lembaga-lembaganya yang secara integral saling mendukung antara satu dan lainnya. Meskipun ada berbagai masalah yang harus dihadapi oleh masing-masing lembaga dalam rangka pengembangan eksistensinya. Peran salah satunya saja tentunya tidak akan dapat berjalan secara maksimal tanpa adanya peran-peran lembaga pendidikan Islam lainnya sesuai fungsi pendidikan Islam itu sendiri. Seperti diuraikan di atas bahwa lembaga-lembaga pendidikan berusaha menciptakan suatu situasi di mana proses pendidikan dapat berlangsung, sesuai tugas yang dibebankan kepadanya. Karena itu, situasi lembaga pendidikan Islam meski berbeda dengan situasi lembaga pendidikan lain, karena mengingat tugasnya yang khusus dan berbeda pula.25 Peran yang diambil masing-masing lembaga, seperti diuraikan di atas akan saling melengkapi bagi terjadinya proses pendidikan Islam itu sendiri. Fungsionalisasi setiap lembaga pendidikan Islam menentukan keberhasilan proses pendidikan secara menyeluruh. Mengingat sebagai 24
Ali al-Junbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. HM. Arifin, (Jakarta: Rineka Jaya, 1994), p. 45. 25 Azyumardi Azra, Esai, p. 15. 486 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
487
proses yang terencana, pendidikan merupakan menejemen ide dan perencanaan kurikulum dalam bentuk sistematisasi dalam ruang dan waktu yang terbatas. Sedangkan terdapat ruang-ruang lain yang tidak tersentuh oleh proses yang terencana ini yang meniscayakan kontinuitas proses secara terus menerus dalam kawasan yang luas. Maka adanya lembaga lain yang berperan dalam menyertai proses pendidikan diluar sistem yang terencana ini merupakan keharusan, sehingga kalaupun satu lembaga telah berperan dalam perencanaan proses pendidikan maka lembaga lainnya berkompeten pada keikutsertaan peran-peran sosial sebagai komunitas pendidikan yang didalamnya terdapat intensitas pertemuan pengetahuan dan nilai yang tinggi. Dalam hal ini masyarakat merupakan bentuk lembaga yang paling representatif disamping keluarga sebagai bentuk kecilnya di mana pertama kalinya individu melakukan komunikasi dan interaksi. Kombinasi ketiga lembaga ini secara tidak langsung akan memenuhi kebutuhan seseorang akan pendidikan jika masing-masing bisa optimal dalam menjalankan fungsinya. Mengingat kebutuhan terhadap pendidikan Islam dalam hal ini bukan saja kebutuhan paradigmatik atas seperangkat pengetahuan yang ditemui atas realitas dan dikaji, melainkan juga kebutuhan artikulatif dan kontrol dalam menjaga kontinuitas peradaban untuk generasi selanjutnya. Yang paling penting adalah adanya usaha dari pendidikan untuk memberikan solusi atas berbagai persoalan kekinian dan tantangan yang muncul. Persoalan mendasar yang berhubungan dengan realitas pendidikan Islam adalah integrasi antar lembaga-lembaga pendidikan yang ada, baik itu keluarga, sekolah maupun masyarakat dengan segala perangkat institusinya. Integrasi antara lembaga dalam mengembangkan fungsinya masing-masing akan menyentuh berbagai dimensi dari tujuan dan fungsi pendidikan Islam. Hal ini dikarenakan masing-masing dari lembaga pendidikan Islam yang ada mempunyai tugas yang tidak bisa dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam lainnya dalam kaitan pengembangan potensi manusia maupun pewarisan budaya.26 Menurut M. Rusli Karim, proses runtuhnya pendidikan dan kegiatan intelektual Islam terjadi justru ketika munculnya sistem madrasah atau lembaga pendidikan Islam yang dikontrol oleh negara. Penyebab utama kemunduran kualitas ilmu pengetahuan Islam adalah secara gradual ilmuilmu keagamaan mengalami pengeringan karena dikucilkan dari kehidupan intelektualisme awam yang kemudian mati. Kemunduran yang terjadi pada 26
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), p. 319. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
487
488
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
zaman pertengahan tersebut ditandai dengan pengucilan filsafat dan matematika dengan terlalu mengagung-agungkan ilmu fiqh. Filsafat rasional diganti dengan teologi dogmatis. Melalui inilah, kurikulum madrasah diredusir secara sangat merugikan sehingga kurikulum hanya berisi ilmu-ilmu keagamaan murni ditambah tata bahasa dan kesusasteraan. Kemudian lapangan ilmu pengetahuan diambil alih oleh dunia Barat, sehingga dunia Islam terbelenggu secara spiritual-intelektual dan secara fisik-material, sebagai bangsa yang terjajah. Kondisi ini semakin terasa ketika memasuki zaman modern di mana ada ketergantungan ilmu pengetahuan dan teknologi.27 Selain persoalan keterbatasan materi pengetahuan dan sempitnya ruang kontrol dari lembaga sekolah ini, masalah klasik yang tetap aktual karena masih sering dipersoalkan oleh para pakar pendidikan Islam adalah adanya dikotomi dalam sistem pendidikan. Dualisme dikotomik ini, nampaknya sudah berkembang, dan dianggap sebagai sistem pendidikan modern yang sesuai dengan zaman. Sebenarnya hal ini tidak boleh terjadi, karena dualisme dikotomik yaitu sistem pendidikan Barat yang dinasionalisasikan dengan menambah beberapa mata pelajaran agama (Islam) dan sistem pendidikan Islam yang berasal dari zaman klasik (tradisisonal) yang tidak diperbaharui secara mendasar, mempunyai arah yang berbeda atau dalam beberapa sisi penting justru bertolak belakang.28 Dalam sistem pendidikan Islam yang banyak diadopsi dari zaman klasik secara tegas tidak membekali skill sebagaimana tuntutan zaman modern dan hanya berkonsentrasi pada pengetahuan keislaman sebagai kajian ajaran agama dengan ranah sosiologis yang sempit dalam masyarakat, sehingga pendidikan Islam dipandang sebagai sistem pendidikan alternatif saja yang kehilangan integrasinya dengan berbagai sistem pengetahuan dan pendidikan lain secara umum. D. Gagasan Alternatif dalam Melerei Krisis Pendidikan Islam 1. Krisis Spiritual dalam Pendidikan Islam Spiritual mempunyai arti secara bahasa sebagai kejiwaan, rohani, batin, mental maupun moral manusia.29 Dimensi spiritualitas pada dasarnya merupakan perjalanan kedalam diri manusia sendiri dalam pengembaraannya dalam upaya mengenal dimensi batinnya, bahwa ia 27 M. Rusli Karim, “Hakekat Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Tantangan Pendidikan Islam, (Jakarta: LPM UII, 1987), pp. 22-3. 28 Muslih Usa (edit.), Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), p. 3. 29 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), p. 857.
488 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
489
adalah makhluk spiritual. Sebagai makhluk spiritual, manusia senantiasa berhubungan dengan pencipta-Nya. Agama adalah aturan ideal manusia yang harus diusahakan dengan prinsip keseimbangan yang berarti tunduk dan berserah diri pada kemauan Tuhan dalam arti kesepahaman dengan rencana Ilahi yang dilestarikan dalam alam semesta dan sejarah.30 Selain ketundukan dan kepatuhan, masih ada ciri khas yang merupakan hal terpenting pada semua agama, yaitu kepatuhan yang disertai rasa spiritualitas dan religiositas yang sakral.31 Landasan filosofis dan ilmu pengetahuan yang berkembang di jaman modern mengikis segala bentuk media yang menghantarkan manusia membangun relasi spiritualnya. Baik media yang bersumber dari kekuatan batin, kekuatan intelektual dan media dalam bentuk prilaku budaya serta simbol karena dianggap sudah tidak relevan lagi. Hal ini membuat manusia makin terlena dengan segala kenikmatan duniawi. Pendidikan Islam sampai saat ini masih mengalami langkah yang statis dalam mengatasi krisis spiritualitas yang menggejala di era modernitas. Sebagai institusi yang memiliki peran sentral dalam mengemban amanat pendidikan yang mengaksentuasikan dimensi sipritualitas kepada peserta didik, sampai saat ini pada dataran realitas empirik masih belum mampu berperan secara optimal dalam menghantarkan peserta didik untuk memiliki kedalaman dan kekokohan dalam bidang spiritualitas. Berangkat dari deskripsi di atas, krisis spiritualitas manusia modern perlu segera diantisipasi secara arif oleh pendidikan Islam. Pendekatan pendidikan spiritual –dinamis, adalah pendekatan yang mengedepankan pola pendidikan yang selalu berorientasi pada pembinaan kekuatan spiritualitas peserta didik dengan tetap memperhatikan aspek perkembangan zaman. Artinya secara dinamis peserta didik memiliki kedalaman spiritual dalam meniti kehidupan yang dilingkari oleh berbagai macam problematika. Pendekatan pendidikan spiritual – proporsional, diarahkan kepada pembinaan peserta didik yang mampu mengimplementasikan ajaran agamanya secara cerdas, yang tidak sekedar mengedepankan aspek ritual-eksklusifindividual dalam beribadah, tetapi peserta didik mampu menghambakan diri kepada sang Kholiqnya juga melalui ibadah dalam arti luas, yaitu dengan mengejawantahkan ibadah dalam bentuk kegiatan sosial kemasyarakatan. 2. Krisis Intelektual dalam Pendidikan Islam 30
Muhammad Fazlur Rahman Ansari, penterj. Mohammed Ja’far Shaikh, Konsepsi Masyarakat Islam Modern (Bandung: Risalah, t.t.), p. 107. 31 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), p. 15. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
489
490
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
Dalam pengertian yang sederhana intelektual merupakan daya atau proses fikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan, daya akal budi atau kecerdasan berfikir berdasarkan ilmu pengetahuan.32 Menurut Fazlur Rahman, bagi manusia, ilmu sama pentingnya dengan wujud (eksistensi). Apabila manusia hanya memiliki wujud tanpa memiliki ilmu, ia akan sedikit memiliki arti. Disebabkan kemampuan ini, yaitu kemampuan akal (intellect, reason, aql) yang diberikan Allah kepada manusia, maka manusia dapat menyingkap pengetahuan dan terus meningkatkan seperti yang dilakukannya selama berabad-abad. Karena pengetahuan inilah manusia memiliki rasa tanggungjawab (sense of responsibility).33 Kemampuan rasional manusia untuk memahami segala sesuatu merupakan potensi yang luar biasa. Kemampuan ini merupakan kombinasi daya tangkap terhadap pengetahuan, pemahaman struktur pengetahuan dan menetapkan garis-garis fungsi pada pengetahuan. Ia dapat menguraikan pengetahuan pada kategorisasi sekaligus mengambil kesimpulan-kesimpulan atas rangkuman pengetahuan yang diperoleh. Tantangan bagi dunia Islam yang berhubungan dengan intelektualitas kaum Muslim adalah pemikiran Islam tidak mempunyai sistem, sumber daya atau kekuatan intelektual yang semuanya menumpuk di Barat dengan nama modernitas.34 Menurut Arkoun, dunia Barat terus bergerak dan mengalami perubahan penting, sedangkan kaum Muslim atau dunia Islam pada umumnya hanya mengulang-ulang nalar religius skolastik yang tertutup seperti yang terjadi pada abad pertengahan.35 Pendidikan Islam harus menjadi inspirasi baru bagi peserta didik untuk terus menerus menguasai bidang dan kawasan baru dalam dunia pengetahuan, serta tidak pernah mundur atau takut akan berbagai perangkap yang mungkin menghadang. Sasaran pendidikan intelektualkritis paradigmatik ialah membangkitkan sikap kritis dan radikal, yaitu terus bertanya dan tidak begitu saja menerima suatu pandangan atas dasar kepercayaan belaka. Pengembangan pendididikan intelektual-kritis paradigmatik ini adalah menghindarkan diri dari konsepsi pendidikan yang terlalu bersifat intelektualistis (over-intelectualism),—dalam arti intelek yang tidak disertai tindakan—tetapi lebih menekankan pendidikan intelektual yang memberikan bobot yang seimbang bagi komponen-komponen
32 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), p. 335. 33 Fazlur Rahman, Cita-Cita Islam, Sufyanto dan Imam Musbikin (edit.) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), p. 110. 34 Suadi Putro, Mohammad Arkoun, p. 52. 35 Ibid., pp. 71-72.
490 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
491
pengalaman, kognitif, efektif dan psikomotorik yang menyulam jalinan secara serasi dalam pembinaan kepribadian manusia. Pendekatan tersebut sepenuhnya menghargai peranan intelek dan pencarian ilmu pengetahuan, dalam rangka mengatasi, berbagai hambatan yang dihadapi peserta didik di era perubahan zaman—di samping memperkaya dan memperluas jangkauan kehidupan—juga mempertajam tilikan (insight), untuk mempersiapkan peserta didik agar memiliki keberanian melakukan pengembaraan intelektualitasnya secara mendalam dan menembus ke dalam segi-segi pengalaman insani yang lebih halus, tetapi tetap dalam ranah transendental sebagai pengejawantahan dalam khidmatnya terhadap agama (religious) nya, yang merupakan bentuk ibadat kepada Allah s.w.t. 3. Krisis Moral dalam Pendidikan Islam Secara etimologis, moral merupakan ajaran tentang yang baik dan buruk yang diterima mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti dan susila.36 Selanjutnya moral merupakan aturan normatif yang diletakkan untuk menentukan kualifikasi perbuatan manusia yang dalam perspektif Islam merupakan norma-norma etis dalam bingkai etika Ketuhanan. Etika Ketuhanan dalam kaitan moral dapat dilihat dalam teladan moral Muhammad s.a.w. yang secara lengkap melestarikan etika Tuhan dalam arti kesempurnaan manusiawi dan dengan demikian membentuk manusia yang patut ditiru.37 Keterkaitan moral dengan etika Ketuhanan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai spiritual Ketuhanan yang melandasi setiap etika tersebut.38 Keterlibatan pendidikan dalam hal ini merupakan keniscayaan. Sebagai sarana pengembangan potensi manusia pendidikan mempunyai arti penting dalam mengatur keseimbangan dinamika internal manusia. Keseimbangan antara kekuatan rohani dan jasmani, antara orientasi fisik dan metafisik, karena pada dasarnya naluri manusia tidak dapat diredusir hanya pada pemenuhan kebutuhan jasmani melainkan juga kebutuhankebutuhan rohaninya. Dan pendidikan sebagai sarana pewarisan budaya bertanggungjawab atas kelestarian moralitas masyarakat dengan pertimbangan kesejahteraan secara nyata dan menyeluruh sesuai kompleksitas eksistensi manusianya. Termasuk di dalamnya menjaga
36 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), p. 592. 37Muhammad Fazlur Rahman Ansari, terj. Mohammed Ja’far Shaikh, Konsepsi Masyarakat Islam Modern, (Bandung: Risalah, t.t.), pp. 156-158. 38 Ibid., p. 241.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
491
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
492
moralitas transendental sebagai kekuatan absolut yang menuntun kehidupan manusia. Secara kuantitatif dan formalitas, eksistensi pendidikan di negaranegara di dunia ini—termasuk dunia Muslim—realitasnya semakin maju dibanding dengan masa-masa yang lalu, tetapi mengapa moralitas kemanusian di dunia ini semakin menurun? Dan mengapa pula dekadensi sosial dan kemerosotan tatanan taraf kehidupan manusia semakin tidak membaik?. Itu semua adalah realitas empirik bahwa pendidikantermasuk—pendidikan Islam belum mampu mendidik peserta didik yang memiliki moralitas yang anggun39, sehingga perlunya pola pendidikan yang mengedepankan pendekatan pendidikan moralitas-modernistransendental. Pendekatan pendidikan moralitas-modernis mengarah kepada pendidikan peserta didik yang memiliki moralitas dalam kehidupan yang penuh usaha dan perjuangan, bukan suatu cara hidup yang menarik diri dan memencilkan diri, bukan suatu corak kehidupan yang dihiasi kemalasan dan memandang segala serba remeh. Pendekatan pendidikan moralitas-transendental mengarah kepada pendidikan moralitas peserta didik agar mampu melengkapi diri dengan pribadi yang berkembang sepenuhnya, dilandasi iman yang tangguh kepada Allah, serta percaya pada diri sendiri, akan menjelma menjadi suatu kekuatan yang tak terkalahkan, yang mengarahkan dirinya kepada kebajikan, serta dengan kegiatan yang kreatif menyelaraskan diri kepada iradat Allah s.w.t. E. Penutup Berangkat dari asumsi bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam menghantarkan martabat manusia pada taraf yang tinggi, maka secara implementatif kiprah pendidikan Islam perlu mendapat perhatian yang serius bagi para stake-holders pendidikan. Tulisan ini mencoba memberikan kontribusi ide untuk upaya pengembangan pendidikan Islam yang sedang dilanda krisis spiritualitas, intelektualitas, dan moralitas. Gagasan alternatif penulis yang terangkum dalam terma pendidikan spiritual-dinamis–proporsional, pendidikan intelektual-kritis paradigmatikreligious, dan pendidikan moral-modernis–transendental, adalah sebuah pendekatan dalam implementasi pendidikan Islam agar secara fungsional pendidikan Islam memiliki peran sentral dalam melakukan pembinaan manusia di dunia ini secara optimal.
39
Akhyak, Meretas Pendidikan Islam Berbasis Etika, (Suarabaya: Penerbit ELKAF, 2006), p. 89. Lihat pula Akhyak, Inovasi Pendidikan Islam, ( Jakarta: Penerbit Bina Ilmu, 2004), p. 123. 492 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
493
Daftar Pustaka Abu al-Ainain, Ali Khalil, Filsafah at-Tarbiyyah al-Islamiyyah fi al-Qur'an alKarim, Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, 1980. Akhyak, Inovasi Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Ilmu, 2004. _______, Meniti Jalan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. _______, Meretas Pendidikan Islam Berbasis Etika, Surabaya: Penerbit LKAF, 2006. _______, Profil Pendidik Sukses, Surabaya: Penerbit LKAF, 2005. Al-Abrosyi, Muhammad Athiyyah, Ruh at-Tarbiyyah wa at-Ta'lim, Saudi Arabia: Dar al-Ihya', t.t. Al-Attas, Muhammad An–Naquib, Dilema Kaum Muslimin, terj. Anwar Wahdi Hasi dan Mochtar Zoerni, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986. Al-Junbulati, Ali, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. HM. Arifin, Jakarta: Rineka Jaya, 1994. Ansari, Muhammad Fazlur Rahman, terj. Mohammed Ja’far Shaikh, Konsepsi Masyarakat Islam Modern, Bandung: Risalah, t.t. Arifin, HM., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Arifin, Syamsul, Agus dan Habib Purwadi, Khoirul, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarta: Sipress, 1996. Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Al-Husna, 1988. Asyraf, Ali, Horizon Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, Cet. II, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998. _______, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Bawani, Imam dan Isa Ansori, Cendekiawan Muslim dalam Perspektif Pendidikan Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1991. Bellah, Robert N, Beyond Belief: Menemukan Kembali Agama (Esai-esai tentang Agama di Dunia Modern), terj. Rudy Harisyah Alam, Jakarta: Paramadina, 2000.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
493
494
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
Buchori, Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan dalam Renungan, Jakarta: IKIP MUHAMMADIYAH Jakarta Press,1994. Buchori, Mochtar. Spektrum Problematika Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994.
Pendidikan
di
Indonesia,
Dasuki, A. Hafidz, Ensiklopedi Islam, Depag RI, Jakarta, 1993. Deigthton, Lee C., Editor-in-chief, The Encyclopedia of Education, Voll. VIII New York: The Macmillan Company & Free Press, 1991. Dewey, John. Democracy and Education, New York: The Macmilan Company, 1923. Fadhlullah, Syaikh Muhammad Husain, Islam dan Logika Kekuatan, terj. Afif Muhammad dan H. Abdul Adhiem, Bandung: Mizan, 1995. Fadjar, Abdullah, Peradaban dan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1991. _______, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: LP2NI, 1998. Gellner, Ernest, Postmodernism, Reason and Religion terj. Hendro Prasetyo dan Nurul Agustina, Bandung: Mizan, 1994. Hasbulloh, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Perennial, Jakarta: Paramadina, 1995. Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1998. Husain, Syed Sajjad dan Asharaf Syed Ali Asharaf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Gema Risalah Press, l994. Ismail, Faisal, Islam, Transformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana , 2001. Jalal, Abd. Al-Fattah, Min Usul at-Tarbiyyah fi al-islam, Kairo: Dar al-Kutub, 1977. Jameelah, Maryam, Islam dalam Kancah Modernisasi, Bandung: Risalah, 1983. Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000. Karim, M. Rusli, "Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya", dalam Muslih Usa, Ed., Pendidikan Islam di Indonesia: 494 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
495
Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991. _______, "Respons Cendekiawan Muslim Terhadap Tuntutan Masyarakat Moderen Indonesia, dalam M. Amien Rais (Ed), Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1986. _______, “Hakekat Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Tantangan Pendidikan Islam, Jakarta: LPM UII, 1987. Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1980. _______, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989. Ma’arif, Ahmad Safi’i, ”Agama dan Pembangunan: Corak Masyarakat Masa Depan”, dalam Moeflich Hasbullah (edit.), Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000. _______, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993. Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992. _______, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1995. Marimba D., Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : PT. AlMa’arif, 1989. Muhaimin dan Mujib, Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya, 1993. Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta: Sipres, 1993. Prasojo, Sudjoko, Profil Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1975. Rahman, Fazlur, Cita-Cita Islam, Sufyanto dan Imam Musbikin (edit.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. _______, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Penerbit Pustaka, l984. Rais, M. Amin, Cakrawala Islam, Bandung: Mizan, 1987. Steenbrink, K A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1986. Sujatmoko, Agama dan Tantangan Zaman, dalam Permasalahan Abad 21 Sebuah Agenda, Said Tuhuleley (Penyunting), Yogyakarta: SIPRESS, 1993. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
495
496
H. Akhyak: Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam…
Suyoto, "Pondok Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional", dalam Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1983. Syaibani, Omar Muhammad Al-Toumy Al-, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Syam, Mohammad Noor, Filsafat Pendidikan dan Dasar Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1984. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Prespektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994. Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1988. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1988. Usa, Muslih (edit.), Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991. Ziemeck, Mamfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1986. Zuhairin I, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
496 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia Oleh: Nur Ahid* Abstrak Madrasah Aliyah Diniyah tumbuh dan berkembang di Indonesia, seperti tumbuh dan berkembangnya masyarakat Muslim Indonesia. Ia tumbuh dan berkembang dengan karakteristiknya masing-masing, tanpa adanya buku panduan dan aturan baku dari pemerintah, sehingga berjalan dengan karakteristik dan otoritasnya masing-masing. Kondisi yang demikian ternyata terdapat adanya beberapa problem. Problem Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia adalah: pertama, ijazahnya tidak mendapat pengakutan pemerintah, akibatnya ketika digunakan menjadi PNS atau legislatif ditolak. Solusinya perlu adanya pengakuan dari pemerintah melalui PP dan hindari diskriminasi pengakuan; kedua tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah, akibatnya belajar menggunakan fasilitas apa adanya. Solusinya penyediaan fasilitas belajar yang dibantu oleh pemerintah, seperi halnya membantu kepada SMA/MA/SMK/MAK; dan ketiga, rendahnya kompetensi dan kualitas guru, akibatnya proses belajar mengajar kurang kondusif dan kurang profesional. Solusinya diikutsertakan program S1, workshop, dan pelatihan metodologi pengajaran. Kata kunci : problem, aliyah, diniyah A. Pendahuluan Madrasah, sebagaimana yang kita kenal dewasa ini, bukan institusi atau lembaga pendidikan Islam asli Indonesia, tetapi berasal dari dunia Islam Timur Tengah yang tumbuh dan berkembang sekitar abad ke-10 H/11 M. Madrasah muncul sebagai simbul kebangkitan golongan Sunni, dan madrasah didirikan sebagai sarana transmisi ajaran-ajaran golongan Sunni. Pada perkembangan berikutnya, madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam formal, berbeda dengan kuttab dan masjid. Seluruh dunia Islam telah mengadopsi sistem madrasah di samping kuttab dan masjid, untuk mentransfer nilai-nilai Islam. Pada awal perkembangannya, madrasah tergolong lembaga pendidikan setingkat college (jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan Islam saat ini). Namun,
*Alumni
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dosen dan Kepala Lembaga Penelitian, Penerbitan dan Pengabdian pada Masyarakat (LP3M) STAIN Kediri. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
498
selanjutnya madrasah tidak lagi berkonotasi sebagai akademi, tetapi sekolah tingkat dasar sampai menengah.1 Sejarah pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia tidak bisa lepas dengan masuknya Islam di Indonesia. Fase Madrasah di Indonesia dapat dibagi kepada tiga fase. Fase pertama, sejak mulai tumbuhnya pendidikan Islam sejak awal masuknya Islam ke Indonesia sampai munculnya zaman pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Fase kedua, sejak masuknya ide-ide pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, dan Fase ketiga, sejak diundangkannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 2 Tahun 1989 dan dilanjutkan dengan UU No. 20 tahun 2003).2 Fase pertama adalah fase awal munculnya pendidikan informal, yang dipentingkan pada tahap awal yaitu pengenalan nilai-nilai Islami, selanjutnya baru muncul lembaga-lembaga pendidikan Islam yang diawali dengan munculnya masjid-masjid dan pesantren-pesantren. Ciri yang paling menonjol pada fase ini adalah: a) materi pelajaran terkonsentrasi kepada pengembangan dan pendalaman ilmu-ilmu agama, seperti tauhid, fiqh, tasawuf, akhlak, tafsir, hadits dan lain-lain yang sejenis dengan itu, pembelajarannya terkonsentrasi kepada pembahasan kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab, b) metodenya sorogan, wetonan, dan mudzakarah, dan c) sistemnya nonklasikal yakni dengan memakai sistem halaqah. Outputnya akan menjadi ulama, kiyai, ustadz, guru agama, dan juga menduduki jabatan-jabatan penting keagamaan dari tingkat yang paling tinggi seperti mufti sampai ke tingkat pengurusan soal-soal yang berkenaan dengan fardu kifayah ketika seorang meninggal dunia, di masyarakat Jawa dikenal peristilahan modin. Fase kedua adalah fase ketika masuknya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam ke Indonesia. Sejak abad ke-19 M. telah muncul ide-ide pembaharuan pemikiran Islam ke seluruh dunia Islam, dimulai dari gerakan pembaharuan di Mesir, Turki, Saudi Arabia dan juga Indonesia. Inti dari gerakan pembaharuan itu adalah berupaya untuk mengadopsi pemikiran pendidikan modern yang berkembang di dunia Timur Tengah dikembangkan di Indonesia berupa madrasah.3 Pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia dalam bentuk madrasah, dilatarbelakangi oleh dua faktor penting: a) faktor intern, yakni kondisi masyarakat muslim Indonesia yang terjajah dan terbelakang dalam 1
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), p.
193. 2Haidar
Putra Dauly, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Inter Pratama Ofset, 2004), p. 5. 3Ibid., p. 6. 498 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
499
dunia pendidikan mendorong semangat beberapa orang pemuka-pemuka masyarakat Indonesia untuk memulai gerakan pembaharuan pendidikan Islam tersebut, b) faktor ekstern, yakni sekembalinya pelajar dan mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu agama ke Timur Tengah, dan setelah mereka kembali ke Indonesia mereka memulai gerakan-gerakan pembaharuan dalam bidang pendididikan.4 Di Indonesia, dengan kehadiran lembaga-lembaga pendidikan Barat dalam bentuk sekolah sekuler yang dikembangkan oleh penjajah munculkan gerakan pembaharuan akhir abad XIX. Respons atas tantangan ini lebih bersifat isolatif, di mana madrasah hanya mengkhususkan kepada pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan hampir tidak mengajarkan sama sekali mata pelajaran umum. Kehadiran madrasah pada awal abad XX dapat dikatakan sebagai perkembangan baru di mana pendidikan Islam mulai mengadopsi mata pelajaran non-keagamaan. Orr mengatakan dalam hasil penelitiannya bahwa pendirian madrasah dilatarbelakangi usaha mempertahankan budaya terhadap berbagai proses sekulerisasi.5 Husni Rahim mengatakan bahwa pertumbuhan madrasah tidak hanya atas dasar semangat pembaharuan di kalangan umat Islam, tetapi beralas tumpu pada dua faktor: a) pendidikan Islam (masjid dan pesantren) dianggap kurang sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai, b) perkembangan sekolah-sekolah Belanda di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawa watak sekularisme, sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam madrasah yang memiliki Diniyah dan organisasi yang lebih teratur dan terencana. Jadi, pertumbuhan madrasah sekaligus menunjukkan adanya dua pola respons umat Islam yang lebih progresif, tidak semata-mata pasif terhadap politik pendidikan Belanda.6 Steenbrink mengatakan bahwa faktor-faktor yang mendorong munculnya pembaharuan pendidikan Islam, termasuk munculnya madrasah di Indonesia adalah: a) adanya perlawanan nasionalisme terhadap penguasa kolonial Belanda, b) adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk memperkuat organisasinya dalam bidang pendidikan, dan c)
4Maksum,
Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), p. 82. MM Billah Orr dan Budi Lazarusli, Education for This Life or For The Life Come: Observationns on The Javanese Village Madrasah, (Indonesia: t.p., 1977), pp. 129-156. 6Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2005), pp. 15-16. 5Kenneth
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
499
500
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
tidak puas dengan metode pendidikan tradisional di dalam mempelajari alQur’an dan studi agama.7 Fase ketiga adalah fase masuknya madrasah dalam sistem pendidikan nasional, di mana madrasah menjadi bagian pendidikan nasional, sehingga pemerintah ikut memperhatikan tumbuh kembangnya madrasah di Indonesia. Madrasah Diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah).8 Madrasah Diniyah yang di dalamnya termasuk Madrasah Aliyah Diniyah bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.9 Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.10 Madrasah Aliyah Diniyah ini ada yang diselenggarakan di dalam pondok pesantren dan ada yang diselenggarakan di luar pondok pesantren. Lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan nama Madrasah Diniyah telah lama ada di Indonesia.11 di masa pemerintahan Hindia Belanda, hampir di semua desa di Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam terdapat madrasah diniyah dengan berbagai nama dan bentuk seperti: pengajian anak-anak, sekolah kitab, sekolah agama dan lain-lain.12 penyelenggaraan madrasah diniyah biasanya mendapatkan bantuan dari raja/sultan/pemimpin daerah setempat. Di Indonesia, Madrasah Aliyah Diniyah (Madrasah Diniyah Ulya) terus berkembang pesat seiring dengan peningkatan kebutuhan 7Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Waktu Modern (Jakarta: LP3ES, 1986), pp. 46-47. 8Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007, tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab I, Pasal 1, Ayat (3). 9Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007, tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab II, Pasal 2, Ayat (2) 10Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007, tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab III, Pasal 8, Ayat (1, 2). 11Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), p. 22. 12 Ibid., pp. 22-23.
500 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
501
pendidikan agama oleh masyarakat. Pendirian madrasah diniyah di luar pondok pesantren ini dilatarbelakangi keinginan masyarakat menambah pendidikan agama di sekolah yang dianggap belum memadai. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya agama, terutama dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa depan, telah mendorong munculnya tingkat kebutuhan keberagamaan yang semakin tinggi. Orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah umum, banyak yang merasakan bahwa pendidikan agama di sekolah sangat sedikit dan kurang begitu mendalam. Berbagai upaya dilakukan untuk menambah pendidikan agama yang telah diperoleh di sekolah. Salah satunya adalah memasukkan anaknya ke Madrasah Aliyah Diniyah, akan tetapi juga ada orang tua yang memang menyekolahkan anaknya hanya ke Madrasah Aliyah Diniyah saja, agar kelak menjadi orang yang betul-betul menguasai dan mendalami agama. Kebutuhan mendalami agama di satu sisi, dan di sisi lain tambahan pendidikan agama bagi anak yang sekolah umum, telah mendorong peningkatan jumlah Madrasah Aliyah Diniyah. Hal ini menunjukkan bahwa Madrasah Aliyah Diniyah semakin diminati dan dipilih masyarakat, baik untuk menambah pendidikan agama yang telah diperoleh di sekolah umum maupun untuk memperdalam dan memperluas pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam bagi siswa yang hanya menempuh pendidikan pada Madrasah Aliyah Diniyah. Upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas dan kesesuaian Madrasah Diniyah dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman terus dilakukan. Akan tetapi upaya-upaya tersebut tidak lepas dari problem, maka problem tersebut harus dicari penyebab dan akibatnya sekaligus solusinya. Di dalam rangka mencari penyebab problem (akar persolan) dan akibat yang terjadi pada Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia, maka perlu adanya sebuah penelitian yang hasilnya bisa menjadi konstribusi untuk semua pihak, baik oleh pemerintah, pengelola dan pelaksana pendidikan, masyarakat maupun pengguna lulusan. Oleh karena itu, yang menjadi fokus penelitian adalah problem apa saja yang terjadi pada Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia, apa akibat problem tersebut, dan bagaimana solusinya.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
501
502
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
B. Kajian Terdahulu dan Perspektif Teori Penelitian tentang madrasah sudah pernah dilakukan oleh Maksum,13 ia mengkaji tentang Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, titik tekan penelitian tersebut pada perkembangan institusi madrasahnya, yaitu membicarakan tentang madrasah pada Islam klasik dan sejarah pertumbuhan madrasah di Indonesia secara umum, belum sampai detail. Sama halnya Husni Rahim tentang Anatomi Madrasah dalam Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan keagamaan, ia juga memfokuskan penjelasannya pada perkembangan institusi madrasah di Indonesia, seperti Madrasah Aliyah Negeri, Swasta, Keterampilan dan lain sebaginya.14 Tulisan tersebut juga masih secara garis besar, bahkan kadang-kadang bersifat wacana. Karel A. Steenbrink melakukan penelitian tentang Pesantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Penelitian tersebut lebih menekankan pada pesantren, sedangkan madrasah dan sekolah sifatnya hanya sepintas kilas. Dari hasil penelitian yang ada, pada umumnya lebih memfokuskan pada perkembangan institusi sekolah atau madrasah secara garis besar dan sifatnya umum, belum spesifik, maka di sini peneliti lebih memfokuskan pada problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia. Kriteria problem pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut: 1) sistem pendidikan yang masih bermasalah, 2) kurangnya pengakuan terhadap mutu lulusan, 3) kualitas guru masih rendah dan salah pegang materi pelajaran, 4) inputnya rendah, 5) sarana dan prasarana kurang memadai, 6) kurangnya tanggungjawab oleh semua pihak (pemerintah, orang tua dan masyarakat), 7) kurangnya dana yang memadai dan atau memadai tetapi tidak lancar, 8) kurikulum yang digunakan tidak relevan dengan kebutuhan dan bebannya terlalu berat, 9) orientasi kurikulum tidak jelas, 10) lemahnya managemen pendidikan.15 13Maksum,
Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), pp. 51-112. 14Husni Rahim, Anatomi Madrasah di Indonesia “Edukasi”: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan keagamaan, Volume 2, Nomor 2, April-Juni 2004, p. 24. 15H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Indonesia Tera, 1999), pp. 30-51, lihat Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), pp. 6-8, lihat Sutjipto, Pendidikan Guru: Masalah dan Strategi Pemecahannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), pp. 92-113, lihat Abdul Munir Mulkhan, Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia, Kompas, Sabtu, 22 September 2001, lihat Syamsul Arif Rakhmadani, Problematika Pendidikan di Indonesia, http://bz.blogfam.com/bzaktual/ menyoal problematika_pendidika/ dan p. 10, 5, dan lihat Arif Rahman, “Mengkaji Ulang Ukuran Keberhasilan Pendidikan di Indonesia”, dalam Mengurai Benang Kusut, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). 502 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
503
Handayani mengatakan bahwa kriteria problem pendidikan di Indonesia antara lain adalah: 1) kurangnya tenaga guru yang profesional, 2) kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal, 3) proses pembelajaran yang konvensional, 4) keterbatasan anggaran pendidikan, 5) rendahnya mutu SDM pengelola pendidikan, 6) mutu lulusan dan life skill yang dihasilkan tidak sesuai kebutuhan, dan 7) pendidikan yang belum berbasis masyarakat dan lingkungan.16 C. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang bertujuan mendeskripsikan keutuhan suatu masalah atau problem yang ada di Madrasah Aliyah. Dengan kata lain, pendekatan kualitatif ini memusatkan perhatian pada fenomena yang ada.17 Fenomena yang dimaksud adalah problem-problem yang terjadi di Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia. Pendekatan kualitatif ini dapat dipandang sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang terlibat dalam pendidikan yang dapat ditemui, diamati, atau diminta informasi, bahwa problem atau fenomena tersebut sebagai satu kesatuan yang masing-masing berdiri sendiri tetapi satu sama lain saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan menyeluruh. Dalam hal ini teori dasar yang dipakai adalah pendekatan fenomenologis yang berupaya memahami persoalan yang ada, baik dari pelaku maupun lembaga yang menimbulkan fenomena atau problem.18 Penelitian kualitatif lebih bersifat natural, deskriptif, induktif dan menemukan makna dari suatu fenomena. Naturalistik, berarti konteks kebulatan yang menyeluruh yang tidak akan dipahami dengan membuat isolasi atau eliminasi sehingga terlepas dari konteksnya. Deskriptif, berarti penelitian ini tujuan utamanya adalah menerangkan apa adanya atau apa yang sekarang ada. Induktif berarti dari fenomena satu tempat dan tempat yang lain lalu digeneralisakikan menjadi fenomena umum. Dengan sifat ini berarti bahwa gambaran-gambaran yang berkembang di Madrasah Aliyah
16Handayani, http://ayok. wordpress. com/2007/06/18/problematika-sistempendidikan- indonesia- gagasan-based- syaria-education/Ahad, 6 Januari 2007. 17Parsudi Suparlan, Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif, (Semarang: Fakultas Tarbiyah, Majalah Media edisi 14 tahun 1993), p. 19. 18Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), p. 3.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
503
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
504
didasarkan atas kenyataan-kenyataan empiris sebagaimana dapat dipahami dari permasalahan yang telah dirumuskan.19 Penentuan informan dalam penelitian ini didasarkan pada kriteria yang disarankan oleh Deddy Mulyana,20 Guba dan Lincoln,21 William J. Fieldstead:22 a) enkulturasi penuh, artinya subjek cukup lama atau paling tidak lebih tahu, sehingga memiliki pengetahuan khusus atau informasi atau dekat dengan situasi yang menjadi fokus penelitian, b) keterlibatan langsung, subjek yang masih aktif di lingkungan aktifitas yang menjadi sasaran penelitian, c) subjek yang masih mempunyai waktu untuk dimintai informasi oleh peneliti, d) subjek memiliki otoritas dan kapasitas memberikan informasi, e) subjek yang tidak mengemas informasi, tetapi memberikan informasi yang sebenarnya. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wawancara adalah upaya mendapatkan keterangan secara lisan atau tertulis dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang yang diwawancarai. Metode ini bertujuan memperoleh informasi dari semua responden, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri setiap responden.23 Wawancara yang dipilih dalam penelitian ini adalah wawancara yang tak berstruktur. Wawancara tak berstruktur dilakukan karena lebih bersifat fleksibel dan tanpa kehilangan arah. Dalam wawancara ini responden mendapat kebebasan dan kesempatan untuk mengeluarkan buah pikiran, pandangan dan perasaan tanpa diatur oleh peneliti.24 Untuk mendapatkan informasi, peneliti mewawancarai pengurus pondok secukupnya, lalu minta untuk menunjukkan siapa saja yang dapat memberikan informasi terkait dan mendalam yang saling melengkapi tentang data-data yang diperlukan, dengan teknik bola salju (snowball sampling). Teknik bola salju ini digunakan untuk mencari informasi terus 19Noeng
Muhadjir, Methode Penelitian Kuantitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002),
p. 148. 20Deddy
Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya, (Bandung: Remaja Posdakarya, 2001), p. 182. 21E.G. Guba dan Lincoln, Y, Effective Evaluation, Improving the Usefulness of Evaluation Results through Responsive and Naturalistic Approaches, (San Fransisco: Jossey-Bass, Inc, 1981), p. 78. 22William J. Fieldstead (ed.), Qualitative Methodology: Firsthand Involvement with the Social World. Chicago: Markham, 1970), pp. 217-231. 23Norman K. Denzin, The Research Act: A Theoretical Introduction to Sociological Methods, (New York: McCraw-Hill, 1978), p. 105. 24Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Yogyakarta: Paradigma, 2005), p. 202, dan lihat Suharmisi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), p. 196. 504 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
505
menerus dari informan yang satu ke yang lainnya, sehingga data yang diperoleh semakin lengkap, banyak dan mendalam. Dalam memilih informan, di samping sumber yang dianggap paling mengetahui masalah yang dikaji, juga cara memilihnya dikembangkan sesuai kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data ini akan berhenti wawancara karena data dianggap telah jenuh.25 Artinya, peneliti tidak menemukan informasi baru tentang problem yang diteliti. Observasi adalah pengamatan langsung di lapangan terhadap objek yang diteliti.26 Pengamatan langsung ini dilakukan oleh peneliti ketika datang ke lokasi melihat aktifitas pembelajaran siswa di kelas. Dokumentasi digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, tulisan, arsip atau dokumen.27 Catatan dan tulisan tersebut berupa undang-undang sistem pendidikan nasional, peraturan pemerintah, Surat Keputusan Menteri, buku-buku pedoman, jurnal, data-data yang ada di internet maupun di catatan-catatan yang lain. Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka teknik analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif-eksploratif-analitis dan content analysis. Deskriptif-eksploratif-analisis, yaitu mendeskripsikan pandangan para pejabat, pimpinan dan guru Madrasah Aliyah apa adanya, lalu dianalisa. Sedangkan content analysis, yaitu menelaah dan menganalisa dokumen-dokumen yang ada,28 baik itu berupa Undang-undang Pendidikan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, maupun bukubuku pedoman. D. Hasil dan Pembahasan 1. Temuan Data Saat ini jumlah Madrasah Diniyah di seluruh Indonesia sebanyak 34.571 dengan jumlah siswa/santri pada jenjang madrasah diniyah Ula (Ibtidaiyah) sebanyak 3.095.719, Wusta (Tsanawiyah) sebanyak 258.069, dan Ulya (Aliyah) sebanyak 74.744 dan tidak jenjang 51.847. Untuk lebih jelasnya tentang data siswa/santri dapat dilihat tabel 1 sebagai berikut:
25Deddy
Mulyana, Metodologi, p. 182. Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), p. 1. 27Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), p. 56 dan lihat Suharmisi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineke Cipta, 2002), p. 206. 28Abdullah Khozin Afandi dkk., Buku Penunjang Berfikir Teoritis Marancang Proposal, (Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2006), p. 154. 26Suharmisi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
505
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
506
Tabel 1 Jumlah Siswa Madrasah Diniyah di Indonesia Tahun 200529 No 1 2 3 4
Nama Madrasah Ula Wusta Ulya Lain jenjang Total 3500000
Jumlah Siswa 3.095.719 258.069 74.744 51.847 3.480.379
Prosentase 89,0 7,4 2,1 1,5 100
3.095.719
3000000
Jumlah
2500000 2000000 1500000 1000000 258.069
500000
74.744
51.847
Ulya
Lain jenjang
0 Ula
Wusta Nama Madrasah
Gambar 1 Grafik Jumlah Siswa Madrasah Diniyah di Indonesia Tahun 2005
Dari sebanyak 34.571 jumlah Madrasah Diniyah di atas, yang dikelola oleh organisasi keagamaan sebanyak 8.729, Yayasan sebanyak 11.870, perorangan 4.327, dan lainnya sebanyak 9.645. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 3 sebagai berikut: No 1 2 3 4
Tabel 2 Jumlah Pengelola Madrasah Diniyah di Indonesia Tahun 200530 Nama Pengelola Jumlah Prosentase Organisasi keagamaan 8.729 25 Yayasan 11.870 34 Perorangan 4.327 13 Lainnya 9.645 28 Total 34.571 100
29http://www.bagais.go.id/, 30http://www.bagais.go.id/,
36, Kamis, 3 Januari 2008. 33, Kamis, 3 Januari 2008
506 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
8.729
9.645
507
Pengelola Organisasi keagamaan Yayasan Perorangan Lainnya
4.327 11.870
Gambar 2 Perbandingan Jumlah Pengelola Diniyah di Indonesia Tahun 2005
Dari 34.571 jumlah Madrasah Diniyah di atas, terdapat 3.478.379 siswa/santri, putra sebanyak 1.685.550 dan perempuan sebanyak 1.792.829. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 5 sebagai berikut:
No
Tabel 3 Jumlah Siswa Madrasah Diniyah di Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 200531 Jenis Kelamin Jumlah Prosentase Putra 1.685.550 48,46 Perempuan 1.792.829 51,54 Total 3.478.379 100
1.792.829
1.685.550
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Gambar 3 Perbandingan Siswa Madrasah Diniyah di Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2005
Madrasah Aliyah Diniyah menyebar di seluruh Indonesia, yang tidak kecil jumlahnya, tumbuh dan berkembang seperti tumbuh dan 31http://www.bagais.go.id/,
35, Kamis, 3 Januari 2008.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
507
508
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
berkembangnya masyarakat Muslim Indonesia. Ia tumbuh dan berkembang dengan karakteristiknya masing-masing. Seakan-akan tidak ada panduan dan aturan khusus dari pemerintah pusat, sehingga berjalan dengan otoritas dan kesesuaian institusi masing-masing. Kondisi yang demikian bukan berarti mulus dan lancar tanpa adanya problem. Problem tersebut antara lain adalah: a. Problem ijazah dan akibatnya Kurangnya perhatian pemerintah terhadap Madrasah Aliyah Diniyah tampak dalam ketidakjelasan kedudukan dan pengakuan terhadap lulusan pendidikan keagamaan, selama ini. Baru saja diakui oleh pemerintah setelah munculnya PP. Nomor 55 tahun 2007, itupun dengan persyaratan dan standar tertentu, bukan setiap Madrasah Aliyah Diniyah diakui. Sebab siswa yang telah tamat dari Madrasah Aliyah Diniyah memiliki civil efect sebagaimana tamatan madrasah formal, padahal dari segi kualitas penguasaan ilmu yang dipelajari, lulusan Madrasah Aliyah Diniyah tidak kalah dengan siswa yang mengikuti pendidikan di Madrasah Aliyah yang lain, tetapi ijazahnya ketika digunakan sebagai persyaratan administrasi menjadi persoalkan sah dan tidaknya. Hal ini ditegaskan oleh Qowimuddin32 bahwa lulusan Madrasah Aliyah Al-Islah Bandar Kidul ketika mencalonkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Malang diprotes oleh KPU setempat karena legalitas ijazah, akibatnya ia ditolak untuk mendaftar ke DPRD. Setelah itu, Qowimuddin datang ke Malang untuk mengklarifikasi, tetapi gagal. Berbeda dengan kasus yang ada di Salatiga, mendaftar Kepala Desa diprotes panitia, akibatnya tidak boleh mendaftar Kepala Desa, kemudian orangnya datang ke Kediri, dan Ijazahnya dimintakan legalisir ke Depag, akhirnya boleh mendaftar. Lebih lanjut Makmun Baidhowi33 mengatakan lulusan Madrasah Aliyah Diniyah Jampes ketika pulang banyak menjadi tokoh masyarakat dan juga banyak yang diminta menjadi penghulu (modin) karena kemampuannya di bidang agama, akan tetapi pada saat ditanyakan ijazahnya lalu ditunjukkan, pemerintah setempat tidak mengakui, akibatnya ditolak kemudian komplain ke pondok. Setelah itu alumni tersebut dimintakan rekomendasi ke Depag tetapi dipersulit dengan alasan materi pelajaran yang ada pada ijazah semua pelajaran agama, kecuali kalau ditambah pelajaran PMP, Bahasa Indonesia dan SKI, akhirnya dengan 32 Wawancara dengan pengurus dan Ustadz Madrasah Aliyah Dininah AlBadriyah Pondok Pesantren Al-Islah Bandar Kidul Kota Kediri, tanggal 9 April 2008. 33 Wawancara dengan Pengurus Pondok Pesantren Ihsan Jampes Kediri, tanggal 10 April 2008.
508 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
509
terpaksa ditambah dengan pelajaran umum walaupun tidak pernah diajarkan. Sedangkan Saiful Kholiq34 memberikan komentar, Lirboyo memang sudah mendapat pengakuan penyetaraan dari Departemen Agama sejak tahun 2006 dan itu tidak berlaku surut, sehingga lulusan yang mendapat pengakuan hanya setelah 2006 ke belakang, padahal lulusan dari Madrasah Aliyah Diniyah Lirboyo sudah puluhan ribu siswa, akibatnya para siswa yang lulus dari pondok pesantren Lirboyo ini ketika ingin melanjutkan ke perguruan tinggi agama tidak semuanya menerima. Kalau ingin diterima di perguruan tinggi ikut ujian penyetaraan paket C. Berbeda dengan kasus di Madura awal 2006, ada lulusan yang ingin maju calon kepala desa, lalu ditolak. Setelah itu SK dari Departemen Agama di photo copy kemudian dibawa ke Madura untuk ditunjukkan, akhirnya diterima. Masih menurut Saiful Kholiq dan juga Qowimuddin,35 sekarang ini alhamdulillah Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan sudah ada, tinggal kapan isi peraturan tersebut dijalankan secara konsisten, kita menunggu sosialisasi secara menyeluruh, tidak hanya bagian-bagian saja. b. Problem pendanaan dan akibatnya Hampir seluruh Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia berdiri di atas kakinya sendiri. Ini artinya berdiri di atas usaha masyarakat sendiri tanpa menunggu bantuan proyek dari pemerintah. Semua berjalan sesuai dengan rencana dan kesiapan masing-masing. Ini dilakukan tidak semua bisa lancar, terutama problem pendanaan yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pembelajaran. Hal ini dikatakan oleh Qowimuddin dan Mu’min Firmansyah36 bahwa Madrasah Aliyah Diniyah Al-Badriyah Pondok Pesantren Al-Islah Bandar Kidul Kediri belum pernah menerima bantuan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, kalaulah ada itu bantuan dari Wali Murid. Akibatnya proses pembelajaran tanpa meja-kursi (duduk lesehan), kecuali hanya untuk meja-kursi guru. Lebih lanjut Baidhowi37 mengatakan bahwa Madrasah Aliyah Diniyah Jampes Kediri belum pernah mendapat sentuhan dana dari 34
Wawancara dengan Pengurus Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’in Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, tanggal 11 April 2008. 35 Wawancara dengan Pengurus dan Ustadz Madrasah Aliyah Dininah AlBadriyah Pondok Pesantren Al-Islah Bandar Kidul Kota Kediri, tanggal 13 April 2008. 36 Wawancara dengan Pengurus dan Ustadz Madrasah Aliyah Dininah AlBadriyah Pondok Pesantren Al-Islah Bandar Kidul Kota Kediri, tanggal 9 April 2008. 37 Wawancara dengan Pengurus Pondok Pesantren Ihsan Jampes Kediri, tanggal 16 April 2008. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
509
510
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
pemerintah, baik pusat maupun daerah, sedangkan kondisi sarana belajar sangat sederhana dan terbatas. Akibatnya belajar di tempat yang ada, berdesak-desakan, satu kursi panjang yang normalnya ditempati 4 siswa ditempati 5 sampai 6 siswa, bahkan kadang-kadang jendela digunakan untuk tempat duduk. Saiful Kholiq38 mengatakan Pondok Pesantren Lirboyo ini memang besar, tetapi belum pernah mendapat bantuan dana untuk sarana dan parasarana belajar dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sesuai dengan data yang ada, jumlah siswa Madrasah Aliyah Diniyah saja ada 1550 siswa, dari sekitar 10.000 santri yang ada, sedangkan ketersediaan tempat belajar sebanyak 24 ruang kelas. Ini kalau dihitung per kelas ratarata 65 siswa. Akibatnya standar normal apalagi ideal tidak terpenuhi, itupun tidak menggunakan meja-kursi dalam proses belajar-mengajar, kecuali untuk guru. c. Problem kompetensi dan kualifikasi guru serta akibatnya Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran adalah kualitas guru. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 dikatakan bahwa guru Madrasah Aliyah memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial, disamping memiliki ijazah S1. Namun kenyataan yang ada, kebanyakan guru-guru Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia tidak demikian. Hal ini dikatakan oleh Saiful Khaliq, ”contoh kasus Pondok Pesantren Lirboyo”. Dari jumlah 1550 siswa dibimbing oleh 40 guru, yang S1 satu orang, S2 dua orang dan sisanya tamatan Aliyah. Dilihat dari sisi ini belum memenuhi kualifikasi dan ditambah dengan istilah ”guru mustahiq”.39 Akibatnya guru mengajar hanya garis besar saja. Sama halnya kasus di Pondok Pesantren Al-Islah Bandar Kidul Kediri sebagaimana dikatakan Qowimuddin,40 dari 7 guru Madrasah Aliyah Diniyah, yang S1 tiga orang dan sisanya tamatan Madrasah Aliyah dan pesantren. Akibatnya metode pengajaran yang digunakan hanya ceramah saja, kurang menguasai metode yang lain. 38 Wawancara dengan Pengurus Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’in Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, tanggal 11 April 2008 39Sebutan guru kelas, yaitu guru yang mengajar sekian pelajaran (antara 4–7 mata pelajaran) dan mengikuti kenaikan kelas siswanya sampai tamat. Kalau siswanya tamat Aliyah berarti gurunya tamat menjadi mustahiq Aliyah. Berbeda dengan munawib, kalau munawib disebut dengan guru fak mata pelajaran. Di Lirboyo anehnya yang menjadi munawib justru para seniornya (pengasuh), sedangkan yang mustahiq malah yang masih junior. 40 Wawancara dengan Pengurus dan Ustadz Madrasah Aliyah Dininah AlBadriyah Pondok Pesantren Al-Islah Bandar Kidul Kota Kediri, tanggal 13 April 2008.
510 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
511
Di Madrasah Aliyah Diniyah Jampes sebagaimana dikatakan Makmun Baidhowi,41 jumlah murid sekitar 160 siswa yang dibina oleh guru sebanyak 36 orang. Dari jumlah guru tersebut yang S1 dua orang dan D2 tiga orang, sedangkan selebihnya guru tamatan Madrasah Aliyah Diniyah. Akibatnya guru ketika mengajar kebanyakan monoton dan banyak menggunakan metode ceramah saja. E. Pembahasan Di dalam kenyataan selama ini, bahwa pertumbuhan dan perkembangan Madrasah Aliyah Diniyah (Madrasah Diniyah Ulya) berdasarkan keinginan, kemauan, dan kebutuhan masyarakat sendiri terhadap pendidikan agama, sehingga pendiriannya pun tidak minta izin kepada pemerintah, kurikulum yang digunakan pun juga tidak menggunakan kurikulum pemerintah dan guru-gurunya pun tidak menggunakan standar kualifikasi pemerintah, sehingga asal siap tempat untuk proses pembelajaran, maka di situlah didirikan sebuah institusi (lembaga) Madrasah Aliyah Diniyah (Madrasah Diniyah Ulya). Guru yang mengajar yang penting siap dan mampu menurut ukuran mereka. Sedangkan kurikulumnya tidak menggunakan silabus (GBPP). Keberadaan Madrasah Aliyah Diniyah (Madrasah Diniyah Ulya) selama ini diakui oleh masyarakat, akan tetapi problemnya adalah kurangnya pengakuan pemerintah terhadap lulusan dan ijazahnya. Arif Rahman berpendapat: titik lemah atau problem pendidikan yaitu kurangnya pengakuan terhadap lulusan.42 Temuan data yang peneliti dapatkan dari Qowimuddin43 bahwa lulusan Madrasah Aliyah Diniyah AlIslah Bandar Kidul ketika mencalonkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Malang diprotes oleh KPU setempat karena legalitas ijazah, akibatnya ia ditolak untuk mendaftar ke DPRD. Dari pendapat teori dan kenyataan problem para lulusan Madrasah Aliyah Diniyah (Madrasah Diniyah Ulya) perlu adanya solusi. Oleh karena solusi yang perlu dilakukan adalah pengakuan pemerintah terhadap ijazah produk atau lulusan dari Madrasah Aliyah Diniyah (Madrasah Diniyah Ulya) seperti sekolah dan madrasah yang lain, tentu menggunakan aturan dan standart yang jelas. Di sini, sekalipun sudah ada upaya dari pemerintah dua tahun yang lalu (2006), terdapat dua Madrasah Aliyah Diniyah (Pondok Pesantren Lirboyo Kediri dan Sidogiri Pasuruan) sebagai tahap awal, namun itu tidak 41 Wawancara dengan Pengurus Pondok Pesantren Ihsan Jampes Kediri, tanggal 10 April 2008. 42Arif Rahman, Mengkaji Ulang, pp. 199-200. 43 Wawancara dengan Pengurus dan Ustadz Madrasah Aliyah Dininah AlBadriyah Pondok Pesantren Al-Islah Bandar Kidul Kota Kediri, tanggal 9 April 2008.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
511
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
512
berlaku surut, sehingga lulusan sebelum 2006 tidak diakui, padahal produknya sama dan kualitasnya sama, kenapa pengakuannya berbeda. Inilah problem diskriminasi pengakuan dari pemerintah. Sama-sama anaknya, yang muda diakui, kenapa kakak tuanya tidak diakui, padahal dari rahim yang sama, apa salahnya dan apa kekurangannya. Di sini solusi yang perlu dilakukan adalah pengakuan semua lulusan Madrasah Aliyah Diniyah (Madrasah Diniyah Ulya) seluruh Indonesia yang memenuhi kriteria dan standar tertentu, kemudian hindari diskriminasi pengakuan dari pemerintah. Memang pemerintah sekarang secara legal formal melaui PP Nomor 55 Tahun 2007 sudah mengakui keberadaan Madrasah Aliyah Diniyah (Madrasah Diniyah Ulya) dengan syarat-syarat tertentu. Yang menjadi problem adalah kapan legal formal tersebut bisa direalisasikan dengan sepenuhnya dan sungguh-sungguh. Sebab, kalau ini direalisakan akan sangat membantu para lulusan Madrasah Aliyah Diniyah yang jumlahnya ratusan ribu. Oleh karena itu maka butuh keseriusan dan dukungan dari semua pihak, terutama pemerintah pusat, agar tidak sebatas konsepsi, tetapi segera sampai ke realisasi. Di sisi lain, masalah pendanaan ini juga menjadi problem. Tilaar berpendapat, bahwa termasuk problem pendidikan nasional yaitu sarana dan prasarana kurang memadai.44 Lebih lanjut Arif Rahman mengatakan bahwa lemahnya political will pemerintah menempatkan anggaran pendidikan juga menjadi problem pendidikan.45 Menurut temuan data dari beberapa Madrasah Aliyah Diniyah (Madrasah Diniyah Ulya) yang ada di pondok pesantren semua mengatakan tidak pernah menerima bantuan dari pemerintah untuk pembangunan gedung atau sarana-prasarana belajar. Akibatnya belajar apa adanya, tidak menggunakan meja-kursi, dan satu kelas bisa mencapai 60-70 siswa. Dari pendapat teori dan kenyataan problem pendanaan Madrasah Aliyah Diniyah (Madrasah Diniyah Ulya) setelah dianalisa, maka perlu adanya solusi. Solusi yang perlu dilakukan menurut peneliti adalah pemerintah mau membantu kepada Madrasah Aliyah Diniyah (Madrasah Diniyah Ulya) seperti membantu kepada saudara-saudaranya yang lain (MA/MAK/SMA/SMK). Kemudian mengenai kompetensi dan kualifikasi guru Madrasah Aliyah Diniyah (Madrasah Diniyah Ulya) juga menjadi problem. Menurut PP. No. 19 tahun 2005, guru minimal berpendidikan S1, sehingga ini menjadi problem tersendiri bagi guru Madrasah Diniyah. Tilaar berpendapat bahwa adanya kualitas guru masih rendah dan salah pegang 44H.A.R.
Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi, p. 30-51. Rahman, “Mengkaji Ulang Ukuran Keberhasilan Pendidikan di Indonesia”, dalam Mengurai Benang Kusut, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), pp. 199-200. 45Arif
512 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
513
materi pelajaran adalah termasuk problem pendidikan.46 Pendapat tersebut didukung oleh Sudarwan Danim.47 Temuan data informasi yang peneliti dapatkan bahwa para guru yang mengajar di Madrasah Aliyah Diniyah (Madrasah Diniyah Ulya) tidak sampai 10% yang memiliki ijazah S1, akibatnya guru mengajar kurang profesional, penguasaan materi kurang mendalam, begitu pula penguasaan metode dan strategi belajar mengajar, sehingga mengajarnya monoton. Dari pendapat teori dan kenyataan problem guru di Madrasah Aliyah Diniyah (Madrasah Diniyah Ulya) setelah dianalisa, maka perlu adanya solusi. Solusi yang perlu dilakukan menurut peneliti adalah mengikuti pendidikan S1 yang didukung dengan bantuan pemerintah, mengikuti work shop kependidikan, seminar dan pelatihan-pelatihan tentang metodologi pengajaran, sehingga kualitas guru bisa ditingkatkan dan aturan formal minimal berpendidikan S1 bisa diwujudkan. F. Penutup Problem Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia adalah sebagai berikut: 1) ijazahnya tidak mendapat pengakutan pemerintah, akibatnya ketika digunakan menjadi PNS atau legislatif ditolak. Solusinya Perlu adanya pengakuan dari pemerintah melalui PP dan hindari diskriminasi pengakuan, 2) tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah, akibatnya belajar menggunakan fasilitas apa adanya. Solusinya penyediaan fasilitas belajar yang dibantu oleh pemerintah, seperti halnya membantu ke SMA/MA/SMK/MAK, dan 3) rendahnya kompetensi dan kualitas guru, akibatnya mengajar kurang profesional, penguasaan materi kurang mendalam, begitu pula penguasaan metode dan strategi belajar mengajar, sehingga mengajarnya monoton. Solusinya diikutsertakan program S1, workshop dan pelatihan metodologi pengajaran. Kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, hendaknya PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, segera direalisasikan terutama yang berkaitan dengan bantuan penyelenggaraan pendidikan kepada Madrasah Diniyah di seluruh Indonesia.
46H.A.R.
Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi, pp. 30-51. Danim, Agenda Pembaharuan., pp. 6-8.
47Sudarwan
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
513
514
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
Daftar Pustaka Abd al-A’la, Al-Tarbiyyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’ al-Hijri, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t. Al-Abrashi, Muhammad Atiyah, Al-Tarbiyyah Al-Islamiyyah wa Falsafatuha. Beirut: Dar Al-Fikr, t.t. Afandi, Abdullah Khozin, dkk., Buku Penunjang Berfikir Teoritis Marancang Proposal, Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2006. Arikunto, Suharmisi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Arikunto, Suharmisi, Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1993. Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Danim, Sudarwan, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Dauly, Haidar Putra, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Inter Pratama Ofset, 2004. Denzin, Norman K., The Research Act: A Theoretical Introduction to Sociological Methods, New York: McCraw-Hill, 1978. Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003. Fieldstead, William J., ed. Qualitative Methodology: Firstthand Involvement with the Social World, Chicago: Markham, 1970. Guba E.G., dan Lincoln, Y, Effective Evaluation, Improving the Usefulness of Evaluation Results through Responsive and Naturalistic Approaches, San Fransisco: Jossey-Bass, Inc, 1981. Handayani, http://ayok. wordpress. com/2007/06/18/problematikasistem-pendidikan- indonesia- gagasan-based- syaria-education/ Ahad, 6 Januari 2007. http://www.bagais.go.id/, 35, Kamis, 3 Januari 2008. Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Yogyakarta: Paradigma, 2005.
514 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
515
Ma’ruf, Naji, Ulama Al-Nizhamiyah wa Madaris Al-Masyriq Al-Islami, Baghdad: Mathba’at Al-Irsyad, 1393/1973. Ma’ruf, Naji, Madaris Qabl Al-Nizhamiyah, Baghdad: Mathba’at Al-Jam’ AlIlm Al-‘Iraqi, 1393/1973. Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos, 1999. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991. Muhadjir, Noeng, Methode Penelitian Kuantitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002. Mulkhan, Abdul Munir, “Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia”, Kompas, Sabtu, 22 September 2001. Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya, Bandung: Remaja Posdakarya, 2001. Mursi, Munir, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathowwuruha fi AlBilad Al-Arabiyah. Kairo: Alam Al-Kutub, 1977. Nazir, Moh., Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999 An-Nahlawi, Abdurrahman, Usul At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha. Damsyik: Dar al-Fikr, 1409. Orr, Kenneth MM Billah, dan Budi Lazarusli, Education for This Life or For The Life Come: Observationns on The Javanese Village Madrasa, Indonesia: t.p., 1977. Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007, tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Rahim, Husni, Anatomi Madrasah di Indonesia “Edukasi”: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan keagamaan, Volume 2, Nomor 2, April-Juni 2004. Rahim, Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Logos, 2005. Rahman, Arif, “Mengkaji Ulang Ukuran Keberhasilan Pendidikan di Indonesia”, dalam Mengurai Benang Kusut, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
515
516
Nur Ahid: Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia
Rakhmadani, Syamsul Arif, Problematika Pendidikan di Indonesia, http://bz.blogfam.com/bzaktual/ menyoal problematika_pendidika/ Shaleh, Abdul Rahman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Waktu Modern, Jakarta: LP3ES, 1986. Suparlan, Parsudi, Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif, Semarang: Fakultas Tarbiyah, Majalah Media edisi 14 tahun 1993. Sutjipto, Pendidikan Guru: Masalah dan Strategi Pemecahannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Indonesia Tera, 1999. Tritton, A.S., Materials on Muslim Education in the Middle Ages, London: Luzac, 1957. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara, 1979.
516 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Islam Oleh: Prim Masrokan Mutohar* Abstrak Aplikasi Total Quality Management (TQM) pada institusi pendidikan berdasarkan pada pertimbangan bahwa administrator dan manajer institusi tersebut perlu untuk memformulasikan framework institusional untuk mendukung pencapaian kualitas pendidikan. Ide sentral sistem ini adalah: 1) institusi harus mampu menghubungkan output pengguna dengan penyedia, 2) evaluasi diagnosis dilaksanakan secara berkelanjutan, 3) peningkatan kualitas dilakukan berdasarkan pada data, melibatkan semua elemen dalam institusi tersebut, untuk memberikan kepuasan kepada orang tua siswa dan masyarakat. Kata kunci: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu, Mutu Pendidikan A. Pendahuluan Persoalan penting yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada saat ini adalah upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mutu pendidikan. Hal ini disebabkan karena ada beberapa indikator yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan, yaitu: Pertama, rendahnya daya saing Indonesia di dunia internasional. Di antara 46 negara terkemuka dalam sains dan teknologi, Indonesia berada pada peringkat 41, di bawah Malaysia, Thailand, dan Philipina (yaitu urutan ke-23, 30, dan 31). Kedua, di bidang Sains dan Teknologi, Indonesia masih menduduki urutan ke 40. Hal ini terdiri atas unsur penelitian dan pengembangan pada urutan ke-39, kualitas sumberdaya penelitian dan pengembangan pada urutan ke-43, dan kemampuan manajemen teknologi pada urutan ke-38.1 Keadaan tersebut diperkuat oleh data tenaga kerja Indonesia yaitu 80% berpendidikan di bawah SLTA, dan kurang dari 17% yang berpendidikan SLTA.2 Di samping itu, secara global hasil survei yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk Consultant (PERC) yang bermarkas di Hongkong menunjukkan bahwa peringkat kualitas pendidikan di Indonesia di tingkat *
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung Jawa Timur. Mukadis, “Standar dan Sertifikasi Representasi Penjaminan Mutu Profesionalisme Guru di Indonesia pada Abad Pengetahuan”, Makalah, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2004), p. 3. 2H.P. Gatot, “Pendidikan Kejuruan”, Makalah KONASPI IV di Jakarta, 19 September, 2000, p. 5. 1A.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
518
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
Asia Pasifik berada pada peringkat ke-12 di bawah Vietnam, Thailand, dan Philipina.3 Tantangan besar yang dihadapi oleh seluruh bangsa Indonesia pada era globalisasi ini adalah ketatnya kompetisi di berbagai bidang. Kompetisi ini akan memasuki seluruh dimensi kehidupan dan menjamah wilayah geografis di berbagai belahan dunia. Apabila ingin menjadi survive atau bahkan menjadi pemenang dalam era kompetitif ini, kepemilikan daya saing menjadi prasyarat mutlak yang tidak dapat ditawar lagi. Pendidikan Islam merupakan salah satu bidang yang tidak dapat melepaskan diri dari tantangan peningkatan mutu secara berkelanjutan. Mutu pendidikan harus ditingkatkan menjadi lebih baik, karena sebagai kunci sukses yang harus dimiliki dan merupakan daya saing yang paling efektif. Kebutuhan dan harapan masyarakat (community needs and wants) akan mutu pelayanan pendidikan yang baik tampaknya menjadi faktor pemicu utama inovasi manajemen pendidikan. Keputusan institusional (institutional decisions) yang dibuat oleh kepala madrasah dan staf untuk meningkatkan mutu pelayanan internal (di dalam lembaga pendidikan) dan eksternal (hubungan madrasah dengan masyarakat) akan sangat mempengaruhi proses pembuatan keputusan inovatif dalam bidang manajemen pendidikan. Kegiatan pendidikan dan pengajaran di madrasah akan berjalan baik, jika ditunjang oleh manajemen pendidikan yang memadai. Satu hal hingga saat ini masih menjadi fokus pemikiran para ahli manajemen pendidikan adalah bagaimana menyeimbangkan antara produk kerja inovasi manajemen pendidikan Islam dan aplikasinya di madrasahmadrasah. Mereka sepakat bahwa inovasi manajemen pendidikan dapat dibuat dengan menggunakan logika deduktif dari proses inquiry, berdasarkan penelitian eksperimental atau penelitian empiris tertentu. Namun demikian, pada tingkat aplikasi ternyata unsur-unsur seni (art) dan keprigelan (craft) dalam kinerja manajemen pendidikan tidak sepenuhnya menujukkan perpaduan yang serasi.4 Dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam di era kontemporer, dikejutkan dengan adanya model pengelolaan pendidikan berbasis industri. Pengelolaan model ini mengendalikan adanya upaya pihak pengelola institusi pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan manajemen perusahaan. Penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan ini lebih populer dengan sebutan istilah Total Quality Education (TQE). Dasar dari manajemen ini dikembangkan dari konsep Total Quality 3M. Wibowo, “Peluang dan Tantangan Memasuki Era Global dan Otonomi”, Makalah Seminar, (Semarang: UNNES, 2003), p. 2. 4S. Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), p. 61.
518 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
519
Management (TQM) yang pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis kemudian diterapkan pada dunia pendidikan. Secara filosofis, konsep ini menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan.5 Manajemen peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu pendekatan yang sistematis, praktis, dan strategis bagi penyelenggaraan pendidikan yang bermutu dan memuaskan pelanggan.6 Pendidikan yang bermutu dan memuaskan pelanggan dapat terwujud jika dilaksanakan dengan proses yang bermutu. Terdapat lima pilar untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, yaitu: produk, proses, organisasi, pemimpin, dan komitmen.7 Produk adalah titik pusat untuk mencapai tujuan organisasi. Produk tidak akan bisa bermutu jika tidak disertai dengan proses yang bermutu. Proses yang bermutu tidak mungkin terwujud jika tidak disertai pengorganisasian yang tepat (the right man on the right place). Organisasi yang tepat tidak akan berarti jika tidak didukung dengan pemimpin dan kepemimpinan visioner. Komitmen yang kuat dari pemimpin dan seluruh anggota organisasi merupakan pilar pendukung dalam meningkatkan mutu dari semua pilar yang ada. Pilar-pilar tersebut saling keterkaitan, jika terdapat salah satu pilar yang lemah akan berpengaruh terhadap pilar yang lain sehingga prakarsa mutu akan sulit tercapai. B. Artikulasi Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan Manajemen Mutu Terpadu adalah sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi. Dalam hal ini Tjiptono dan Anastasia8 menjelaskan bahwa manajemen mutu terpadu adalah suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan. Edward Sallis9 menjelaskan bahwa terdapat dua konsep mutu yang dapat diajukan, yaitu: Pertama, mutu absolut, yaitu pencapaian standar tertinggi dalam suatu pekerjaan, produk, atau layanan yang tidak mungkin dilampaui lagi karena telah mencapai “kesempurnaan”. Penjelasan ini 5Edward
Sallis, Total Quality Management in Education, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1993), p. 5. 6Ibid., p. 35. 7Bill Creech, Winning the Quality War, In World Executive’s Digest, Juli 1996, p. 7. 8Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), p. 4. 9Edward Sallis, Total Quality Management, p. 22-23. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
519
520
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
kemudian bermunculan persepsi bahwa mutu itu selalu berkait dengan “banyak dan mahal” dan menjadi kebanggaan bagi yang mencapainya. Bagi yang tidak mampu memperoleh yang banyak dan mahal tersebut, maka tidak akan dapat mencapai mutu, padahal dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Kedua, mutu relatif. Mutu dalam pengertian relatif adalah kualitas yang masih ada peluang untuk ditingkatkan. Kualitas relatif ini mempunyai dua aspek pengukuran, yaitu: (1) pengukuran berdasarkan spesifikasi perencanaan, sebagaimana konsep Global Alliance for Transnational Education yang dikutip oleh Hari Sudrajat10 bahwa yang dimaksud dengan mutu adalah: “meeting of fulfilling requirement, often referred to as fitness for purpose”. (2) pengukuran terhadap pemenuhan dan tuntutan pelanggan, “performance to the standart expected by the customer and meeting the customers needs the first time and every time”. Manajemen Mutu Terpadu merupakan sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi. Dalam hal ini Nasution11 menjelaskan bahwa Manajemen Mutu Terpadu adalah suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan secara terusmenerus atas produk, jasa, tenaga kerja, proses, dan lingkungannya. Sallis menjelaskan bahwa “Total Quality Management is about creating a quality culture where the aim of every member of staff is to delight their customers and where the structure of their organization allows them to do so”.12 Manajemen Mutu Terpadu terjadi bila sekolah atau madrasah melakukan pengembangan atau peningkatan mutu pendidikan secara berkesinambungan setelah sekolah atau madrasah melakukan manajemen mutu. Jeol E. Ross13 mendefinisikan Total Quality Management sebagai interaksi dari semua fungsi dan proses di dalam organisasi untuk memperoleh dan mencapai perbaikan serta peningkatan kualitas sebagai produk dan layana-layanan yang berkesinambungan. Murgatroyd dan Morgan14 menyatakan bahwa fokus mutu bagi pelanggan adalah hal yang menghantarkan pada perkembangan batang tubuh teori, alat, dan
10Hari
Suderajat, Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung: Cipta Cekas Grafika, 2004), p. 142. 11Nasution, Manajemen Mutu Terpadu, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), p. 22. 12Edward Sallis, Total Quality Management, p. 26. 13Jeol E. Ross, Total Quality Management: Text, Cases and Readings, (Singapore: St. Lucie Press, 1995), p. 7. 14Stephen Morgatoyd dan Collin Morgan, Total Quality Management and the School, (Buckingham: Open University Press, 1995). 520 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
521
aplikasinya di dalam dunia manajemen. Nigel Bennet, dkk.15 menghindari untuk mendefinisikan dan mengkonseptualisasikan Manajemen Mutu Terpadu, karena tidak satupun teori TQM yang bisa dianggap satusatunya. Oleh karena itu, mereka mengidentifikasi prinsip-prinsip mendasar dengan memadukan hal-hal yang dianggap penting dalam melaksanakan TQM, yaitu: (1) definisi kualitas lebih mengacu pada konsumen, bukan pada pemasok, (2) konsumen adalah seseorang yang memperoleh produk atau layanan, seperti mereka yang secara internal dan eksternal terkait dengan organisasi dan bukannya yang hanya hanya menjadi “pembeli” atau “pembayar”, (3) mutu harus mencukupi persyaratan kebutuhan dan standar, (4) mutu dicapai dengan mencegah kerja yang tidak memenuhi standar, bukannya dengan melacak kegagalan melainkan dengan peningkatan layanan dan produk yang terus menerus, (5) peningkatan mutu dikendalikan oleh manajemen tingkat senior, namun semua yang terlibat di dalam organisasi harus ikut bertanggung jawab, mutu harus dibangun di dalam setiap proses, (6) mutu diukur melalui proses statistik, anggaran mutu adalah anggaran biaya yang tidak disesuaikan dengan tuntutan persyaratan, sehingga terjadi “kesenjangan” antara dua penyerahan barang, (7) alat yang paling ampuh untuk menjamin terjalinnya mutu adalah kerjasama (tim) yang efektif, dan (8) pendidikan dan pelatihan merupakan hal yang fundamental terhadap organisasi yang bermutu. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa Manajemen Mutu Terpadu dalam pendidikan adalah suatu sistem manajemen yang diterapkan dalam mengelola lembaga pendidikan yang memperhatikan kualitas proses, produk, jasa, tenaga kerja, dan lingkungan yang dilaksanakan secara terus-menerus dan berorientasi pada kepuasan pelanggan pendidikan. Perbaikan yang dilaksanakan secara terus-menerus dan adanya komitmen bersama antara pimpinan dan seluruh anggota organisasi lembaga pendidikan dan adanya peran serta masyarakat yang tinggi merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan secara total. Manajemen Mutu Terpadu dalam bidang pendidikan terkandung upaya: (1) mengendalikan proses yang berlangsung di lembaga pendidikan (sekolah atau madrasah) baik kurikuler maupun administrasi, (2) melibatkan proses diagnose dan proses tindakan untuk menindaklanjuti diagnoses, (3) peningkatan mutu harus didasarkan pada data dan fakta, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, (4) peningkatan mutu 15Nigel
Bennet, Megan Crawford dan Collin Riches, Managing Change in Education: Individual and organization Perspectives, (London: Paul Chapman Publishing Co., 1992). SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
521
522
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
harus dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan, (5) peningkatan mutu harus memberdayakan dan melibatkan semua unsur yang ada di lembaga pendidikan, dan (6) peningkatan mutu memiliki tujuan yang menyatakan bahwa sekolah atau madrasah dapat memberikan kepuasan kepada peserta didik, orang tua dan masyarakat atau stakeholders pendidikan.16 Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan atau kompetensi, baik kompetensi akademik maupun kompetensi kejuruan, yang dilandasi oleh kompetensi personal dan sosial, yang secara menyeluruh disebut sebagai kecakapan hidup (life skill). Pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang bermutu, baik quality in fact maupun quality in perception.17 Untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan, lembaga pendidikan Islam harus dapat melaksanakan pengelolaan yang didasarkan pada peningkatan mutu pendidikan di madrasah. C. Karakteristik Sekolah/Madrasah Bermutu Terpadu Perbaikan mutu pendidikan harus diiringi dengan penataan kelembagaan dengan manajemen yang efektif dan efisien. Dalam hal ini setiap pemimpin pendidikan dituntut dapat mengelola lembaganya dengan baik, sehingga bisa menjadi lembaga pendidikan yang maju dan kompetitif. Lembaga pendidikan yang maju akan mampu berkembang dengan baik dan bisa menghasilkan out put yang berkualitas. Sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menerapkan pengelolaannya dengan pendekatan Manajemen Mutu Terpadu mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal dan eksternal, (2) memiliki obsesi yang tinggi terhadap kualitas, (3) menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, (4) membutuhkan kerjasama tim (team work), (5) memperbaiki proses secara berkesinambungan, (6) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, (7) memberikan kebebasan yang terkendali, (8) memiliki kesatuan tujuan, (9) adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.18 Hal senada juga
16Willem Mantja. Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pendidikan: Kumpulam Karya Tulis Terpublikasi, (Malang: Wineka Media, 2002), p. 30. 17H. Suderadjat, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, (Bandung: CV. Cipta Cekas Grafika, 2005), p. 17. 18Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), pp. 4-5.
522 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
523
dijelaskan oleh Goetsch dan Davis19 bahwa Manajmen Mutu Terpadu mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) fokus pada kepuasan pelanggan, (2) mempunyai obsesi terhadap mutu, (3) menggunakan pendekatan ilmiah, (4) mempunyai komitmen jangka panjang, (5) kerjasama tim (team work), (6) adanya perbaikan secara terus menerus, (7) adanya pendidikan dan pelatihan, (8) mempunyai kebebasan yang terkendali, (9) memiliki kesatuan tujuan, dan (10) adanya keterlibatan dan pemberdayaan guru dan staf tata usaha. Sekolah atau madrasah yang bermutu pada dasarnya menunjukkan tingkat kesesuaian antara hasil yang dicapai berupa achievements atau observed outputs dengan hasil yang diharapkan berupa objectives, targets, intended ouputs sebagaimana telah ditetapkan oleh sekolah atau madrasah. Hal tersebut menunjukkan bahwa sekolah bermutu adalah sekolah yang mampu mencapai hasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Kebutuhan dan harapan yang ingin dicapai dapat dijadikan sebagai motor (penggerak) sekolah dalam mencapai mutu pendidikan. Sekolah yang bermutu memiliki lima karakteristik sebagai pilar mutu yang dapat digambarkan sebagai berikut: Sekolah Bermutu Total Perbaikan Berkelanjutan
Komitmen
Pengukuran
Keterlibatan Total
Fokus pada Kostomer
Keyakinan Gambar 1.1 Karakteristik Madrasah Bermutu Terpadu20
Pilar mutu madrasah harus dipahami secara komprehensip oleh kepala madrasah agar mampu mewujudkan sekolah bermutu secara total. Pilar mutu tersebut dapat diberikan penjelasan sebagai berikut: 19
D.L. Goetsch dan S. Davis, Implementing Total Quality Management, (Englewood, Cliffs, New Jersey: Prentice Hall International, Inc., 1995). 20 Diadaptasi dari Arcaro, J.S. 1995. Quality in Education: An Implementation Handbook. St. Lucie Press. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
523
524
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
1. Fokus pada Coustomer (Pelanggan) Sekolah atau madrasah yang menerapkan manajemen mutu terpadu sangat memperhatikan pelanggan yang terdiri dari siswa, orang tua siswa, masyarakat sekitar, dan stakeholders pendidikan. Sekolah dapat berkembang dengan baik karena adanya dukungan dari masyarakat dan berbagai pihak yang peduli terhadap pendidikan. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, sekolah dituntut dapat memberikan pelayanan yang terbaik agar pelanggan menjadi puas dan meningkatkan dukungannya terhadap sekolah tersebut. Sekolah atau madrasah harus mampu meningkatkan peran dan kerjasamanya dengan masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan. 2. Keterlibatan Total Mutu merupakan tanggung jawab bersama antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Perbaikan mutu pendidikan yang ada di sekolah perlu adanya dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak, yaitu kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan, guru sebagai ujung tombak dalam proses pembelajaran, pengawas sekolah, dewan sekolah, masyarakat, dan stakeholders pendidikan. Kerjasama yang baik dan saling mendukung merupakan kunci keberhasilan sekolah dalam menciptakan mutu secara total di sekolah. 3. Pengukuran Pengukuran dapat dijadikan sebagai alat untuk mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi dalam memprakarsai mutu sekolah. Sekolah harus mampu menerapkan autentic assesment (penilaian yang sebenarnya) dalam mengevaluasi terhadap program-program yang telah dilaksanakan oleh sekolah. Hasil autentic assesment dapat dijadikan sebagai feed-back bagi sekolah dalam memperbaiki prakarsa mutu yang telah dijalankannya. 4. Komitmen Penciptaan mutu pendidikan di sekolah harus diawali dengan adanya komitmen bersama antara kepala sekolah, guru, staf, dewan sekolah, pengawas sekolah, dan masyarakat pengguna sekolah dalam menciptakan pendidikan yang berkualitas. Komitmen memiliki implikasi pada semangat kerja dan kinerja kepala sekolah, guru, dan staf dalam mewujudkan sekolah yang bermutu. Dalam hal ini setiap orang akan mendukung dan berjuang untuk meningkatkan mutu pendidikan. Prakarsa mutu yang dijalankan akan merubah budaya (culture) yang mengakibatkan organisasi sekolah mengubah cara kerjanya dengan mengacu pada prakarsa mutu yang dijalankannya. 5. Perbaikan Berkelanjutan Perbaikan dilaksanakan secara terus menerus tanpa ada kata berhenti. Mutu pendidikan harus ditingkatkan menjadi lebih baik dan 524 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
525
berkualitas dengan mengacu pada perbaikan berkelanjutan. Perbaikan berkelanjutan memungkinkan sekolah dapat memonitor proses kerja dan dapat mengidentifikasi kekuatan yang dimiliki, peluang-peluang yang harus diraih, serta tantangan dan hambatan yang harus dihadapi dalam meningkatkan mutu pendidikan. Perbaikan berkelanjutan selalu memberikan peluang bagi sekolah untuk mengevaluasi secara terus menerus terhadap proses kerja yang mengacu pada peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Hal ini disebabkan karena pada sekolah bermutu total terdapat: a. ruang untuk melakukan perbaikan pada setiap proses pendidikan. b. setiap perbaikan, baik besar maupun kecil tetap berharg. c. perbaikan kecil melengkapi perubahan yang bermakna. d. kesalahan dipandang sebagai peluang untuk perbaikan. e. setiap orang memiliki tanggungjawab yang sama untuk mencoba mencegah munculnya masalah dan untuk menyelesaikan masalah yang muncul. f. setiap orang yang ada di sekolah dan pengguna sekolah memiliki komitmen dalam perbaikan mutu sekolah secara berkelanjutan.21 D. Strategi Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam Lembaga Pendidikan Islam Perbaikan mutu pendidikan harus diiringi dengan penataan kelembagaan dengan manajemen yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, setiap pemimpin pendidikan dituntut dapat mengelola lembaganya dengan baik, sehingga bisa menjadi lembaga pendidikan yang maju dan kompetitif. Lembaga pendidikan yang maju akan mampu berkembang dengan baik dan bisa menghasilkan out put yang berkualitas. Pentingnya manajemen yang efektif dalam organisasi pendidikan semakin banyak mendapatkan pengakuan dari berbagai pihak. Sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi akan lebih efektif dalam memberikan pendidikan yang baik pada siswa atau mahasiswanya, jika mereka termanage dengan baik. Penelitian tentang efektifitas sekolah dan perbaikan sekolah di beberapa negara menunjukkan bahwa mutu kepemimpinan dan manajemen merupakan salah satu variabel terpenting untuk membedakan antara sekolah yang berhasil dan tidak.22 Temuan ini menunjukkan bahwa manajemen tidak dapat dianggap sebagai suatu aspek institusi pendidikan 21J.S. Arcaro, Quality in Education: An Implementation Handbook, (St. Lucie Press, 1995), p. 25. 22T. Bush & M. Coleman, Leadership and Strategic Management in Education, Alih Bahasa: Fahrurraji. (Yogjakarta: IRCiSoD, 2006).
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
525
526
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
yang jumud dan tidak bisa diubah. Manajemen yang baik akan membuat sebuah perbedaan mutu sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi, serta kualitas proses pendidikan yang ada di dalamnya. Hasil pendidikan dipandang bermutu jika mampu melahirkan keunggulan akademik dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu. Keunggulan akademik dinyatakan dengan nilai yang dicapai oleh peserta didik. Keunggulan ekstrakurikuler dinyatakan dengan aneka jenis keterampilan yang dikuasai oleh peserta didik. Pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang mampu meningkatkan mutu proses dan keluaran pendidikan. Untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan, Danim23 menjelaskan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh sekolah, yaitu: 1. Pendekatan yang berpusat pada anak (the child-centred approach). Pendekatan ini dapat dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a) potensi dasar peserta didik harus diakses, (b) kebutuhan belajar peserta didik harus terpenuhi, (c) peserta didik harus dipandang sebagai manusia dewasa atau dalam proses menuju kedewasaan, (d) peserta didik harus diposisikan sebagai pribadi yang utuh, (e) tidak ada diskriminasi pelayanan pada peserta didik, (f) peserta didik adalah sentral pelaksanaan pembelajaran, (g) pembelajaran berfokus pada anak secara totalitas, (g) guru memberi peluang bagi anak untuk secara alami mengembangkan diri hingga ke tingkat lanjut, (h) sentral perubahan ada pada anak, meski tidak selalu dapat diobservasi, (i) perubahan hanya dipahami pada konteks diri siswa secara menyeluruh, (j) perubahan dan motivasi anak bersifat internal, sedangkan guru sebatas memberi dorongan dan fasilitas. Strategi pembelajaran berpusat pada anak lebih menekankan pada proses dari pada hasil. Jika proses pembelajaran dilaksanakan dengan baik dan mendidik anak untuk aktif dan kreatif, maka hasil pembelajarannya juga akan menjadi baik. Titik tekan pada pembelajaran ini adalah penguasaan yang dimiliki oleh siswa baik secara kualitatif maupun kuantitatif. 2. Pembentukan Asosiasi Guru dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Organisasi ini beranggotakan guru-guru sebidang atau antarbidang, mereka merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi programprogram yang berkaitan dengan upaya peningkatan mutu dan efektivitas pendidikan. tujuannya adalah: (a) untuk merangsang semua 23Ibid.,
pp. 57-60.
526 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
527
guru dapat menunjukkan profesionalitas dan kepemimpinan dalam kerangka menciptakan sistem pendidikan yang berkualitas, efektif, dan akuntabel, (b) untuk membangun sistem assesment bagi efektivitas pengujian agar sistem dapat mengukur kinerja siswa, guru, administrator, dan birokrat, (c) untuk mendorong pemaparan kurikulum yang riil, misalnya materi kurikulum dari kelas ke kelas sesuai dengan standar akademik, (d) untuk menjamin bahwa siswa memperoleh tingkat standar profesional sebelum mereka diperomosikan ke level berikutnya, (e) untuk membantu implementasi sistem pelaporan kepada orang tua secara akurat mengenai perkembangan kemajuan siswa pada tingkat yang diharapkan menurut kinerja minimum pada kelas tertentu. 3. Pembentukan Jaringan Kualitas Pendidikan (The Quality Education Network). Jaringan Kualitas Pendidikan ini merupakan organisasi yang anggotanya terdiri dari orang tua dan guru. Kualitas yang dikehendaki dalam sistem ini adalah: (a) kualitas dan standar lebih tinggi dari capaian umum, (b) setiap peserta didik diberi peluang mengembangkan potensinya untuk meraih tujuan tertinggi di bidang pendidikan, (c) keyakinan masyarakat terhadap sistem pendidikan dimapankan ulang, (d) sistem kerja menekankan pada keefektifan biaya, dengan tetap mengedepankan akselerasi pendidikan, (e) sistem bersifat responsif terhadap kemauan publik. Jaringan kualitas pendidikan yang dimaksudkan dapat dijelaskan dalam bentuk gambar sebagai berikut:
Orang tua
Guru Kualitas Sekolah
Sentra Belajar Gambar 1.2 Jaringan Kualitas Sekolah
4. Pembentukan Koalisi Sekolah-Sekolah Esensial. Koalisi sekolahsekolah esensial ini merupakan wujud dari reformasi pendidikan sebagaimana telah dilaksanakan di Brown University dengan istilah SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
527
528
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
”Coalition of Essential Schools” yang mempunyai sembilan prinsip sebagai berikut: a. Intellectual focus (fokus intelektual) Pendidikan harus memfokuskan diri untuk membantu generasi muda mengembangkan kebiasaan menggunakan otak intelektualnya dengan baik. Sekolah menjadikan peserta didik sebagai subyek utama layanan belajar, menekankan pada pengembangan sosial dan emosional, demekian juga pengembangan akademik. b. Simple goals (tujuan-tujuan sederhana) Tujuan akademik sekolah dirumuskan secara sederhana agar peserta didik dapat menguasai keterampilan dan memiliki pengetahuan secara penuh. Ide dasarnya adalah ”less is more” yang berarti siswa menguasai pengetahuan dan keterampilan melebihi menu bahan ajar formal yang ditetapkan. ”less is more” juga dapat diartikan bahwa kekurangan harus dijadikan pendorong untuk maju. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan prinsip membangkitkan minat siswa, mengembangkan keterampilan praktis secara tepat, peserta didik memperoleh penguasaan materi pembelajaran secara penuh (mastery learning). Pembelajaran dilaksanakan dengan mengacu pada strategi pembelajaran kontekstual sehingga siswa dapat menemukan dan mengkonstruksikan pemahaman dan temuannya sendiri melalui proses pembelajaran yang dilaksanakannya. c. All children can learn (semua anak dapat belajar) Supaya diciptakan situasi pembelajaran yang dapat mengembangkan seluruh pengetahuan yang dimiliki oleh peserta didik. Guru harus dapat mengetahu perbedaan individual peserta didik dengan penerapan strategi pembelajaran yang tepat. Standar kompetensi yang telah dirumuskan dapat dicapai oleh seluruh peserta didik dengan baik. d. Personalization (Personalisasi) Pembelajaran dilaksanakan dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Guru harus dapat memilih strategi pembelajaran yang mampu mengembangkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh masing-masing individu. e. Student as Active Learner (Siswa sebagai pebelajar yang aktif) Strategi pembelajaran ditekankan pada keaktifan siswa dalam belajar dan guru berperan sebagai pembimbing. Agar anak bisa belajar secara aktif, kreatif, dan menyenangkan di dalam kelas, guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran sebagai berikut: 1) merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental (developmentally appropriate) peserta didik,
528 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
529
2) menyediakan lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning), 3) membentuk kelompok belajar (Learning group), 4) memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelligences) siswa, 5) mempertimbangkan keragaman siswa (disversity of students), 6) mengembangkan teknik bertanya (questioning) bagi siswa, 7) memberikan penilaian yang sebenarnya (authentic assesment). f. Authentic Assesment (penilaian yang sebenarnya) Penilaian yang sebenarnya harus diterapkan oleh guru untuk mengetahui penguasaan dan keberhasilan yang dicapai siswa dalam proses pembelajaran. Pembelajaran memerlukan sistem penilaian interdisiplin yang dapat mengukur pengetahuan dan keterampilan lebih dalam dan dengan cara yang bervariasi dibandingkan dengan penilaian satu disiplin.24 Guru harus dapat mengamati perkembangan siswa dalam proses pembelajaran secara menyeluruh dan memberikan penilaian autentik berdasarkan proses dan hasil pembelajaran yang dilaksanakan oleh siswa. g. Tone (sifat) Keluarga merupakan anggota vital komunitas sekolah (school community). Kolaborasi yang padu antara rumah dan sekolah melahirkan respek dan pengertian. Terkait dengan itu, sifat sekolah harus secara eksplisit dan dengan kesadaran diri menekankan nilai-nilai tanpa ketakutan. Termasuk dalam kerangka ini adalah harapan besar kepada siswa, keyakinan, nilai-nilai yang fair, keterusterangan, dan toleransi. h. Staff as generalists (Staf sebagai generalis) Kepala sekolah dan guru dituntut dapat terampil dan berminat terhadap beberapa hal yang berbeda. Kepala sekolah harus mampu memainkan multi peran baik sebagai leader atau manajer, administrator, maupun supervisor dengan baik. Guru juga harus mampu menguasai berbagai pendekatan yang berbeda dalam melaksanakan proses pembelajaran sehingga dapat berhasil secara efektif dan efisien. Mutu pendidikan dapat dicapai, jika para pengelola menguasai berbagai keterampilan yang dibutuhkan dalam prakarsa mutu. i. Time and Budget (waktu dan anggaran) Manajemen waktu dan anggaran yang ada di sekolah perlu direncanakan dengan sebaik mungkin agar bisa efektif dan efisien. Penggunaan waktu yang tepat dan produktif dapat membantu sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Anggaran sekolah perlu direncanakan dan dikelola dengan baik sesuai dengan kebutuhan24S.
Ananda, Authentic Assesment. A Web-based System for the Professional Development of Teachers in Contextual Teaching and Learning Project, (USA: Bowling Green State University, 2001). SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
529
530
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
kebutuhan yang diperlukan oleh sekolah sebagai proses peningkatan mutu pendidikan. Anggaran digunakan seefisien mungkin, transparansi, dan dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Strategi dalam melaksanakan manajemen peningkatan mutu pendidikan di sekolah atau madrasah sebagaimana dijelaskan oleh Dikmenum Depdikbud25 dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Benchmarking merupakan kegiatan untuk menetapkan standar, baik proses maupun hasil yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Untuk kepentingan praktis, maka standar tersebut direfleksikan dari realitas yang ada. Contoh: standar perilaku mengajar yang telah ditetapkan direfleksikan pada salah satu guru yang memiliki prestasi baik dalam mengajar (internal benchmarking). Dapat juga standar kualitas yang akan dicapai direfleksikan pada madrasah yang lain (external benchmarking). 2. Quality Assurance yang bersifat process oriented, artinya proses yang sedang dilaksanakan sesuai dengan standar dan prosedur yang telah ditetapkan sehingga bisa berhasil secara efektif (sesuai dengan standar). Oleh karena itu, perlu dilakukan kontrol secara menyeluruh terhadap seluruh komponen yang ada di madrasah dan berkesinambungan untuk mengetahui kualitas standar yang telah dicapai. Untuk itu, perlu disusun sistem dan mekanisme yang dapat digunakan sebagai wadah untuk meng-audit seluruh komponen madrasah dalam meningkatkan kualitasnya yang disebut dengan istilah quality assurance. 3. Quality Control merupakan suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas out-put yang tidak sesuai dengan standar. Konsep ini berorientasi pada out-put untuk memastikan apakah mutu yang dihasilkannya sudah sesuai dengan standar yang ingin dicapai. Oleh karena itu, konsep ini menuntut adanya indikator yang pasti dan jelas. 4. School Review adalah proses mengharuskan seluruh komponen sekolah bekerja sama dengan berbagai pihak yang memiliki keterkaitan misalnya orang tua dan tenaga profesional untuk mengevaluasi keefektifan kebijakan madrasah, program dan pelaksanaannya, serta mutu lulusan. Dengan school review diharapkan dapat menghasilkan laporan yang dapat mengungkapkan kelemahan-kelemahan, kekuatan, prestasi sekolah, dan memberikan rekomendasi untuk penyusunan perencanaan strategis
25Dikmenum
Depdikbud, Manajemen Peningkatan Mutu dalam Suplemen 2 Pelatihan Kepala Sekolah Menengah Umum, (Jakarta: Depdikbud, 1999). 530 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
531
pengembangan madrasah di masa mendatang, yang mempunyai jangka waktu sekitar tiga tau empat tahun mendatang. Manajemen peningkatan mutu pendidikan yang efektif perlu juga memperhatikan beberapa hal yang mempengaruhi mutu sebagaimana dikemukakan oleh Murgatroyd dan Morgan26 yaitu culture, commitment, dan communacation. 1. Budaya (culture) berkaitan dengan aturan-aturan, asumsi-asumsi, dan nilai-nilai yang mengikat kebersamaan dalam organisasi. Keberhasilan manajemen peningkatan mutu dari suatu organisasi ditentukan bagaimana organisasi menciptakan budaya, seperti: a. inovasi dipandang bernilai tinggi, b. status dinomorduakan, yang dipentingkan adalah performansi dan kontribusi, c. kepemimpinan adalah sebuah kunci dari kegiatan/tindakan, bukan posisi, d. ganjaran dibagi rata melalui kerja tim, e. pengembangan, belajar dan pelatihan dipandang sebagai sarana penunjang, dan f. pemberdayaan untuk mencapai tujuan yang menantang didukung oleh pengembangan yang berkelanjutan dan keberhasilan seharusnya merupakan iklim untuk memotivasi diri sendiri. 2. Komitmen (commitment) berarti keterlibatan menanggung akibat dalam pencapaian tujuan, menuntut kerja yang sistematik, meneruskan informasi mengenai adanya kesempatan untuk melakukan inovasi dan pengembangan. Keberhasilan penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan akan terlihat jika semua anggota organisasi mempunyai kebanggaan dan dedikasi untuk berkembang, merasa memiliki dan secara bersama-sama berusaha untuk mewujudkan tujuan organisasi. 3. Komunikasi (communication) yang bagus dapat dijadikan sebagai kekuatan meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Komunikasi merupakan strategi dalam memberikan informasi yang efektif dalam sistem organisasi. Oleh karena itu, sistem komunikasi yang ada di sekolah perlu dikelola dengan baik, agar informasi-informasi yang ada dapat tersampaikan secara efektif dalam upaya mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Berdasarkan hal tersebut di atas, Murgatroyd dan Morgan27 menjelaskan bahwa terdapat tiga strategi dasar dalam menetapkan mutu, yaitu: (1) quality assurance, (2) contract conformance, dan (3) customer-driven. 26Stephen
Murgatoyd dan Collin Morgan, Total Quality Management and the School, (Buckingham: Open University Press, 1994), p. 173. 27Ibid., p. 178. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
531
532
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
Ketiga strategi peningkatan mutu ini dapat diberikan penjelasan sebagai berikut: 1. Quality Assurance. Mengacu pada penetapan standart, metode yang memadai, dan tuntutan mutu oleh suatu kelompok atau lembaga para pakar yang diikuti oleh proses pengawasan dan evaluasi yang memeriksa sejauh mana pelaksanaannya memenuhi standar yang telah ditetapkan. Sesuatu yang penting dalam proses quality assurance adalah publikasi dari standar yang telah ditetapkan tersebut. 2. Contract Conformance. Mutu standar harus ditetapkan secara spesifik melalui negosiasi dalam bentuk sebuah kontrak yang disepakati dalam lingkup kerja peningkatan mutu sekolah dan madrasah. Mutu harus dilihat apakah terdapat kesesuaian dengan komitmen dalam perumusan standar mutu yang spesifik tersebut. Yang membedakan antara quality assurance dengan contract conformance terletak apada spesifikasi mutu dibuat oleh orang yang membuat tugas kerja (lokal), bukan oleh panel (jajaran para pakar). 3. Customer-driven Quality mengacu pada pemikiran mutu dari mereka yang menerima produk atau layanan. Produk atau layanan yang diberikan harus sesuai dengan harapan dan kualitasnya ditentukan oleh klien. Peningkatan mutu harus bertumpu pada kebutuhan pelanggan baik internal maupun eksternal. Oleh karena itu, lembaga pendidikan secara terus menerus dan berkesinambungan harus meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasinya guna untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan memiliki tugas dan tanggungjawab dalam meningkatkan mutu pendidikan yang ada di sekolahnya. Esensi mengenai kemampuan kepala sekolah di dalam mengelola lembaga pendidikan telah banyak dibahas dalam literatur yang intinya menegaskan bahwa keberhasilan sekolah sangat tergantung pada keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah sebagai top leader harus mampu menjalankan tugastugas kepemimpinan secara efektif dan profesional. Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Peningkatan mutu pendidikan di sekolah sebagaimana diungkapkan oleh Sukmadinata, Jami’at, dan Ahman perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:28 1. Peningkatan mutu pendidikan menuntut kepemimpinan profesional dalam bidang pendidikan. Manajemen mutu pendidikan merupakan alat 28N.S.
Sukmadinata, A.Y. Jami’at, dan Ahman, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), p. 10. 532 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
533
yang dapat digunakan oleh para profesional pendidikan dalam memperbaiki sistem pendidikan yang ada. kesulitan yang dihadapi oleh para profesional pendidikan adalah ketidakmampuan mereka dalam menghadapi ”kegagalan sistem” yang mencegah mereka dari pengembangan atau penerapan cara atau proses baru untuk memperbaiki mutu pendidikan yang ada. Peningkatan mutu pendidikan harus melakukan loncatan-loncatan norma dan kepercayaan lama harus diubah. Sekolah harus belajar bekerja sama dengan sumber-sumber yang terbatas. Para profesional pendidikan harus membantu para siswa dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan guna bersaing di dunia global. Uang bukan kunci utama dalam usaha peningkatan mutu. Mutu pendidikan dapat diperbaiki jika administrator, guru, staf, pengawas, dan pimpinan kantor diknas mengembangkan sikap yang terpusat pada kepemimpinan, team work, kerja sama, akuntabilitas, dan rekognisi. Kunci utama dalam peningkatan mutu pendidikan adalah komitmen pada perubahan dan perbaikan. Jika semua guru dan staf sekolah telah memiliki komitmen pada perubahan dan perbaikan, pimpinan dapat dengan mudah mendorong mereka menemukan cara baru untuk memperbaiki efisiensi, produktivitas, dan kualitas layanan pendidikan. Guru akan menggunakan pendekatan baru atau strategi pembelajaran yang efektif bagi siswa, membimbing dan melatih siswa agar mencapai perkembangannya secara maksimal. Demikian juga staf administrasi mampu menggunakan proses baru dalam meningkatkan kinerjanya agar bisa berhasil secara efektif dan efisien. Banyak profesional dibidang pendidikan yang kurang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam menyiapkan para siswa memasuki pasar kerja yang bersifat global. Ketakutan terhadap perubahan atau takut melakukan perubahan akan mengakibatkan ketidaktahuan bagaimana mengatasi tuntutan-tuntutan baru. Program peningkatan mutu dalam bidang komersial tidak dapat dipakai secara langsung dalam pendidikan, tetapi membutuhkan penyesuaianpenyesuaian dan penyempurnaan. Budaya, lingkungan, dan proses kerja tiap organisasi berbeda. Para profesional pendidikan harus dibekali dengan program yang khusus dirancang untuk menunjang peningkatan mutu pendidikan. Salah satu komponen kunci dalam program mutu adalah sistem pengukuran. Dengan menggunakan sistem pengukuran memungkinkan para profesional pendidikan dapat memperlihatkan dan mendokumentasikan nilai tambah dari pelaksanaan program SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
533
534
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
peningkatan mutu pendidikan, baik terhadap siswa, guru, orang tua atau masyarakat. 9. Masyarakat dan manajemen pendidikan harus menjauhkan diri dari kebiasaan menggunakan ”program singkat”, peningkatan mutu dapat dicapai melalui perubahan yang berkelanjutan tidak dengan programprogram singkat. Penerapan program mutu dalam pendidikan diperlukan kepemimpinan yang berorientasi pada mutu. Kepala madrasah sebagai pemimpin pendidikan memegang peranan kunci dalam mensukseskan program-program peningkatan mutu di madrasah. Oleh karena itu, kepala madrasah harus mempunyai bekal kemampuan, keahlian, dan keterampilan dalam prakarsa mutu serta mampu memberdayakan guru sebagai team work dalam meningkatkan mutu pendidikan di madrasah. E. Penutup Sekolah atau madrasah yang menginginkan pelaksanaan peningkatan mutu berjalan dengan baik harus berani malakukan inovasi dan mau melangkah maju untuk mencapai visi dan misi sekolah/madrasah. Civitas akademik madrasah harus menyadari bahwa mutu harus memuaskan pelanggan dan mutu akan mempengaruhi kinerja kepala madrasah, guru, staf, dan siswa. Kepala madrasah sebagai pemimpin pendidikan merupakan kunci penggerak dalam memelihara serta memperkuat proses peningkatan mutu secara terus menerus. Sekolah atau madrasah yang berorientasi pada peningkatan mutu harus mampu merespon kebutuhan pelanggan guna mencapai mutu yang diinginkannya dan mampu berkompetisi dengan sekolah atau madrasah lain dalam meningkatkan mutu pendidikan.
534 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
535
Daftar Pustaka Ananda, S., Authentic Assesment. A Web-based System for the Professional Development of Teachers in Contextual Teaching and Learning Project, USA: Bowling Green State University, 2001. Arcaro, J.S., Quality in Education: An Implementation Handbook, St. Lucie Press, 1995. Bennet, Nigel, Megan Crawford dan Collin Riches, Managing Change in Education: Individual and organization Perspectives, London: Paul Chapman Publishing Co., 1992. Bush, T. & Coleman, M., Leadership and Strategic Management in Education, alih bahasa: Fahrurraji. Yogjakarta: IRCiSoD, 2006. Creech, Bill, Winning the Quality War, In World Executive’s Digest. Juli 1996. Danim, S., Visi Baru Manajemen Sekolah dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Danim, Sudarwan, Visi Baru Manajemen Sekolah: dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006. Dikmenum Depdikbud, Manajemen Peningkatan Mutu dalam Suplemen 2 Pelatihan Kepala Sekolah Menengah Umum, Jakarta: Depdikbud, 1999. Gatot, H.P., “Pendidikan Kejuruan”, Makalah KONASPI IV di Jakarta, 19 September 2000. Goetsch, D.L dan Davis, S., Implementing Total Quality Management, Englewood, Cliffs, New Jersey: Prentice Hall International, Inc., 1995. Mantja, Willem, Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pendidikan: Kumpulam Karya Tulis Terpublikasi, Malang: Wineka Media, 2002. Morgatoyd, Stephen dan Collin Morgan, Total Quality Management and the School, Buckingham: Open University Press, 1995. Mukadis, A., “Standar dan Sertifikasi Representasi Penjaminan Mutu Profesionalisme Guru di Indonesia pada Abad Pengetahuan”, Makalah: Universitas Negeri Malang, 2004. Nasution, Manajemen Mutu Terpadu, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
535
536
Prim Masrokan Mutohar: Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam…
Ross, Jeol E., Total Quality Management: Text, Cases and Readings, Singapore: St. Lucie Press, 1995. Sallis, Edward, Total Quality Management in Education, New Jersey: PrenticeHall, Inc.1993. Suderadjat, H., Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Bandung: CV. Cipta Cekas Grafika, 2005. Suderajat, Hari, Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: Cipta Cekas Grafika, 2004. Sukmadinata, N.S., Jami’at, A.Y., dan Ahman, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006. Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana, Total Quality Management, Yogyakarta: Andi Offset 2003. Wibowo, M., “Peluang dan Tantangan Memasuki Era Global dan Otonomi”, Makalah Seminar, Semarang: UNNES, 2003.
536 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis Oleh: Nanik Sri Rahayu* Abstrak Menulis dalam bahasa Inggris adalah satu keterampilan berbahasa yang sangat penting terutama di era globalisasi ini. Selain sebagai sarana komunikasi non lisan, keterampilan ini juga telah menjadi kebutuhan primer dalam dunia pendidikan. Namun, untuk menguasai keterampilan ini tidak semudah yang dibayangkan. Selain harus mempunyai wawasan yang luas, seorang pembelajar dituntut untuk mampu menggunakan aspek bahasa yang lain seperti tata bahasa dan kosakata. Dalam hal ini, tugas seorang guru dalam menyampaikan keterampilan ini tidaklah selalu mudah mengingat kondisi pembelajar yang masih dalam proses menyerap bahasa asing itu sendiri dengan segala keterbatasannya. Pendekatan proses adalah salah strategi yang mengedepankan pertanyaan bagaimana seorang pembelajar menghasilkan sebuah tulisannya yang tidak lain adalah sebuah proses yang panjang dan berkelanjuatan. Dengan menggunakan pendekatan ini seorang guru diharapkan mampu mengantarkan pembelajar menjadi seorang penulis yang profesional di masa yang akan datang. Kata kunci: menulis, pendekatan proses A. Pendahuluan Kemampuan berbahasa asing pada era globalisasi menjadi kebutuhan dan bahkan tuntutan yang bisa ditunda lagi. Hal ini disebabkan oleh, pertama, teknologi dan informasi dunia disajikan dalam bahasa asing, baik dalam bentuk media cetak maupun elektronik. Dengan demikian, menguasai bahasa asing merupakan kunci kesuksesan bagi siapa saja yang ingin mengaksesnya. Kedua, bahasa asing sudah dijadikan prasyarat wajib dalam pasar kerja. Disiplin ilmu apapun yang dimiliki seseorang tanpa dilengkapi kompetensi ini akan mengurangi, dan bahkan bisa menghambat kesuksesan seseorang dalam persaingannya di kancah bursa kerja. Dengan kata lain, kompetensi bahasa asing merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi bagi siapa saja yang ingin survive di era globalisasi ini. Menulis (writing) dalam bahasa Inggris adalah salah satu keterampilan berbahasa yang sangat penting dalam kehidupan kita terutama di era globalisasi ini. Tujuan akhir dari pembelajaran keterampilan ini adalah seorang pembelajar diharapkan mampu menjadi penulis yang baik dalam menulis essay, karya ilmiah, artikel, penelitian dan *
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung Jawa Timur
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
538
sebagainya. Selain untuk mencapai tujuan tersebut keterampilan menulis juga dapat membekali pembelajar dengan keterampilan hidup yang lain, yaitu pencarian jati diri, pengaturan terhadap lingkungan di mana kita berada, berfikir kritis dan menjadi problem solving, dan sarana berkomunikasi dengan orang lain.1 Pencarian jati diri; menulis adalah alat yang sangat penting dalam mengekplorasi jati diri kita dan dunia di sekitar kita. Dengan menulis kita bisa memahami siapa sebenarnya kita dan ingin menjadi orang seperti apa kita. Pengaturan terhadap lingkungan di mana kita berada; karena semua keterampilan berbahasa (membaca, menyimak, mendengarkan) saling terkait satu sama yang lain, belajar menjadi seorang penulis yang baik secara otomatis akan menjadikan kita sebagai seorang pendengar, pembicara dan pembaca yang baik pula. Dengan demikian, penguasaan keempat keterampilan berbahasa ini secara tidak langsung akan dapat mengontrol perilaku seseorang di manapun ia berada, baik di dunia akademis, dunia kerja maupun di masyarakat secara umum. Berfikir kritis dan menjadi problem solving; menulis adalah alat yang penting dalam menyikapi informasi dan persepsi seseorang terhadap suatu hal tertentu. Dengan menguasai keterampilan menulis seseorang dapat berfikir dan bersikap rasional dan menemukan solusi-solusi terhadap masalah-masalah yang ada pada saat ini dan di masa yang akan datang. Sarana berkomunikasi dengan orang lain; menulis juga dapat dijadikan sarana utama dalam menyampaikan ide, informasi, kepercayaan, pesan dan kesan seseorang kepada orang lain ketika hal tersebut tidak dapat disampaikan secara lisan. Tidak seperti bahasa lisan yang dapat diubah, dalam bahasa tulis seseorang mempunyai kesempatan untuk merevisi segala sesuatunya dalam menyampaikan maksud sebenarnya sebelum tulisan tersebut disampaikan kepada orang lain. Dalam konteks ini menulis bisa menyadarkan seseorang tentang tujuan komunikasi yang sebenarnya yang tidak bisa disampaikan secara lisan saja. Selain keempat keuntungan di atas, dalam pembelajaran bahasa asing tes menulis seringkali dijadikan rujukan untuk mengukur kemampuan berbahasa asing seseorang ketimbang bentuk tes yang lain. Tes ini dianggap lebih valid daripada bentuk tes yang lain karena ia dapat merefleksikan kemampuan berbahasa seseorang secara holistik yang meliputi tata bahasa, kosakata, sintaksis dan sebagainya. Sementara bentuk tes lainnya kebanyakan hanya mengukur satu aspek saja, misalnya pada 1Basic
Writing Components: A Road To academic Composition, English Language Department, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, (Malang: IKIP Malang, 1996), p. 1. 538 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
539
aspek kosakata, atau tata bahasa saja. Selain sebagai tolok ukur penguasaan kemampuan berbahasa asing, keterampilan menulis adalah keterampilan yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Sebagai insan akademis, seseorang diharapkan mampu menuangkan ide-ide mereka dalam bentuk tulisan yang efektif, komunikatif dan efisien. Kiranya tidak berlebihan apabila menulis telah menjadi kebutuhan yang sangat penting mengingat keterampilan tersebut merupakan media dalam mengekspresikan gagasangagasan mereka sebagai insan intelektual dan beradab. Bahkan produktifitas seorang intelektual sering diukur dari jumlah karya tulis yang mereka hasilkan. Namun demikian, kebiasaan menulis masih menjadi barang yang asing dalam kehidupan kita. Hal ini terefleksi dari minimnya jumlah tulisan-tulisan yang dihasilkan. Budaya menulis masih terasa jauh dalam kehidupan kita. Minimnya jumlah tulisan tersebut disebabkan karena masih kentalnya budaya listening-speaking oriented daripada reading-writing oriented. Masyarakat kita masih senang mengakses informasi yang mereka butuhkan dari kegiatan mendengarkan berita-berita dari media elektronik ketimbang mengaksesnya dari media cetak. Tentunya tren kebiasaan ini juga ditunjang dengan pesatnya teknologi yang cenderung memanjakan dan secara tidak langsung mengamputasi kreatifitas kita dalam menulis. B. Keterampilan Menulis Menulis sebagai salah satu keterampilan dalam bahasa Inggris juga diberikan mulai di tingkat sekolah menengah sampai pendidikan tinggi. Di tingkat sekolah menengah penyampaian keterampilan ini biasanya terintegrasi dengan keterampilan berbahasa yang lain. Menulis biasanya merupakan latihan tambahan untuk melengkapi keterampilan yang lain seperti membaca misalnya. Namun sayang sekali meskipun sifatnya hanya melengkapi tetapi biasanya latihan-latihan tersebut merupakan latihan yang cukup sulit bagi pembelajar. Misalnya pembelajar kelas 1 SMP disuruh membuat tulisan anekdot. Tentunya latihan ini sangat membebani bagi pembelajar pemula bahasa Inggris. Hal ini disebabkan mereka belum mempunyai kompetensi yang cukup untuk menyelesaikan latihan tersebut. Wajar sekali apabila pembelajar mengalami kesulitan dan bahkan frustasi karenanya. Latihan-latihan seperti ini secara tidak langsung dapat menumbuhkan sikap antipati pembelajar terhadap keterampilan menulis. Dalam pembelajarannya keterampilan menulis ada dua macam, yaitu keterampilan menulis untuk pembelajaran unsur bahasa yang lain (writing
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
539
540
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
for learning) dan keterampilan menulis untuk menulis (writing for writing)2. Kedua dikotomi ini tentunya memerlukan situasi pembelajaran yang berbeda. Dalam kategori yang pertama (biasanya pada aspek tata bahasa dan kosakata), yaitu keterampilan menulis untuk pembelajaran, seorang guru seharusnya memfokuskan diri pada aspek bahasa yang sedang diajarkan. Dalam hal ini menulis hanyalah sebagai sarana untuk mengaplikasikan dan mempertajam aspek tersebut saja. Tujuan utama dari aktifitas menulis ini adalah memberikan kesempatan pada pembelajar untuk mengingat materi baru tersebut dengan lebih baik. Sementara dalam kategori yang kedua, menulis untuk menulis adalah hal yang sangat jauh berbeda dengan kategori pertama. Tujuan utama dari aktifitas ini adalah untuk mencetak pembelajar menjadi seorang penulis yang baik. Di sini seorang guru tidak seharusnya memfokuskan diri pada tata bahasa atau kosakata yang digunakan, melainkan pada bagaimana cara menulis yang baik. Seorang guru harus mengetahui batasan-batasan wilayah masingmasing dikotomi ini dengan baik sehingga ia dapat memilih dan memilah teknik-teknik yang sesuai untuk diaplikasikan pada masing-masing tujuan pembelajaran menulis tersebut. Dalam pembelajaran kelas writing for writing seorang guru mempunyai tugas untuk membantu pembelajar dalam mengekpresikan ide-ide mereka dalam tulisan dengan baik dan benar. Namun, pada kelas yang telah spesifik ini pembelajar masih sering mengalami kendala-kendala yang signifikan dalam menulis. Pembelajar cenderung menganggap menulis sebagai keterampilan yang sulit dikuasai dan ketimbang keterampilan yang lain. Hal ini wajar mengingat keterampilan menulis dalam bahasa Inggris adalah sebuah keterampilan yang kompleks sehingga masalah-masalah yang timbul pun juga sangat kompleks. Setidaknya ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi fenomena di atas, yaitu: 1. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka tulis Ketidaktahuan akan apa yang akan ditulis disebabkan karena mereka tidak mempunyai bahan (background of knowledge) yang cukup untuk ditulis. Hal ini sering terjadi ketika mereka diminta untuk menulis dengan topiktopik tertentu yang asing bagi mereka. Pembelajar kita cenderung tidak informatif terhadap berita-berita terbaru. Bahkan untuk topik-topik yang umum pun mereka juga sering tidak mempunyai informasi yang komprehensif untuk dijadikan rujukan dalam menulis. Dalam hal ini kuantitas knowledge yang dimiliki pembelajar sangat bergantung pada informasi, pengalaman, dan observasi pembelajar selama ini. 2Lindsay,
Cora with Paul Knight Learning and Teaching English (A Course for Teachers), (Oxford: Oxford University Press, 2006), p. 93. 540 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
541
2. Tata Bahasa Tata bahasa sebagai framework dalam menulis kalimat adalah faktor yang sangat penting dalam pembelajaran menulis. Dalam hal ini meskipun tata bahasa bukan segala-galanya dalam menulis, tetapi segala-galanya dalam menulis membutuhkan tata bahasa. Kematangan seorang penulis dalam menggunakan kalimat-kalimat yang ia gunakan merefleksikan tingkat penguasaan tata bahasa seseorang. Misalnya seseorang yang menggunakan kalimat majemuk bertingkat dianggap lebih profesional dibandingkan dengan kalimat sederhana atau kalimat majemuk setara. Orang yang menggunakan kalimat ini diibaratkan sebagai seorang arsitek yang mempunyai nilai seni yang tinggi (Kitzaber). Dalam hal ini tata bahasa merupakan salah satu aspek penunjang kelancaran pembelajar dalam menulis. Namun demikian, mengusai tata bahasa Inggris tidak selalu mudah bagi pembelajar. Selain mempunyai persamaan, tata bahasa bahasa Inggris dan bahasa Indonesia juga mempunyai banyak perbedaan struktur yang cukup signifikan, tense misalnya. Perbedaan ini sering menjadi kendala dalam menulis. Hal ini terjadi karena mereka belum menguasai struktur dengan sempurna sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan struktur tersebut untuk mengekspresikan ide mereka dalam sebuah kalimat. 3. Kosakata Sebagai bahasa yang fleksibel bahasa Inggris sangat kaya akan kosakata. Bahasa ini sering menyerap bahasa-bahasa lain untuk yang tidak ia miliki untuk memperkaya jumlah kosakatanya. Minimnya jumlah kosakata yang dimiliki pembelajar juga sering menjadi kendala bagi mereka dalam menulis. Hal ini terjadi karena mereka tidak mengetahui terjemahannya dalam bahasa Inggris ketika mereka membuat kalimat. Fenomena ini biasanya diperparah ketika mereka harus berhadapan dengan sebuah kata bahasa ibu yang mempunyai banyak makna dalam bahasa Inggris. Misalnya kata mengupas dalam bahasa Indonesia bisa kita terjemahkan dengan peel, crack, dan sebagainya tergantung dari jenis buah yang dikupas dalam bahasa Inggris. Hal ini juga bisa berlaku sebaliknya. Melihat begitu kompleksnya permasalahan dalam menulis seorang guru dihadapkan pada tantangan yang cukup berat untuk mencapai tujuan pembelajaran menulis, terutama untuk pembelajar yang belum memiliki kompetensi berbahasa Inggris dengan baik. Oleh karena itu, seorang guru harus memilih strategi yang sesuai sehingga tujuan untuk mengantarkan pembelajar menjadi penulis yang baik bisa tercapai.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
541
542
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
Pada mulanya strategi pembelajaran menulis berorientasi pada hasil menulis (product oriented).3 Pendekatan ini biasanya ditandai oleh penekanan pada analisa teks pada aspek bahasa apa yang mereka gunakan serta bagaimana mereka menggunakan bahasa tersebut. Dengan demikian, pembelajaran menulis hanya menjadi ajang pengadilan bagi kerja keras mereka dalam menulis. Praktik konkret guru yang menggunakan pendekatan ini adalah adalah setelah pembelajar mengumpulkan tulisan kepada sang guru, guru kemudian memberi coretan-coretan dengan tinta merah yang tidak lain adalah justifikasi dari kerja keras mereka. Parahnya lagi setelah tulisan tesebut dikembalikan kepada pembelajar, biasanya mereka hanya menyimpan tulisan itu tanpa melakukan apa-apa lagi untuk menindaklanjuti resep dari sang guru. Tentunya pendekatan ini tidaklah arif mengingat kompleksitas masalah pembelajar sebelum mereka menghasilkan tulisan tersebut. Untuk menentukan pendekatan yang sesuai dalam pembelajaran menulis, seorang guru hendaknya mempertimbangkan bagaimana proses menulis itu sendiri berlangsung. Dalam hal ini dapat dibandingkan proses seseorang dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tulis dan lisan. Sebagai media berinteraksi sosial, proses menulis dengan berbicara pada umumnya sangat jauh berbeda. Pada saat seseorang berbicara dengan orang lain, maka ia hanya membutuhkan waktu sebentar untuk mengetahui apakah yang ia bicarakan tersebut dapat diterima oleh pendengar atau tidak.4 Waktu yang dibutuhkan seseorang untuk mentransfer apa yang ia pikirkan ke dalam ujaran-ujaran tersebut hanya relatif singkat dan langsung dapat direspon oleh pendengar. Ketika komunikasi lisan itu tidak berjalan dengan baik, maka pembicara langsung mempunyai waktu untuk mengklarifikasi penyebab tidak tersampaikannya pesan yang ia maksudkan, misalnya dengan mengulangi atau memparafrase ujaran tersebut dan bahkan menggunakan kata jeda (seperti, e, maksud saya, begini, anda tahu bahwa, dan sebagainya). Hal inilah yang tidak dapat dilakukan ketika berkomunikasi dengan tulisan. Penulis tidak mempunyai waktu melihat keberhasilan dari pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca secara instan. Dalam menulis dibutuhkan waktu yang cukup lama dalam menghasilkan tulisan tersebut. Dalam hal ini seseorang harus mempersiapkan segala sesuatunya sedemikian rupa sebelum ia menyajikan hasil akhir yang ia anggap sebagai hasil terbaik untuk disampaikan kepada pembaca. Kegiatan tersebut merupakan sebuah proses yang membutuhkan waktu sebelum menyajikan hasil akhirnya. 3Jeremy
Harmer, How to Teach Writing, LONGMAN, (England: Pearson Education Limited, 2004), p. 11. 4Ibid., p. 8. 542 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
543
Proses menulis antara satu orang dengan orang lain hampir sama. Bahkan seorang penulis profesional pun secara umum menjalani proses yang sama.5 Beberapa ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam hal istilah penamaan saja, namun pada intinya mereka sepakat bahwa proses tersebut setidaknya dilakukan dalam tahapan–tahapan yang sama. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa tahapan menulis tersebut ada empat tahap besar. Pertama, Jaremy Harmer menamai tahapan tersebut dengan tahap perencanaan, penulisan draft, pengeditan, dan penulisan hasil akhir.6 Kedua, seperti halnya Harmer, A.E. Lipkewitch menamai empat tahapan tersebut dengan pre writing, penulisan draft, revisi, dan editing.7 Ketiga, sama halnya dengan kedua pendapat sebelumnya, Ghazi juga membagi tahapan tersebut menjadi empat dengan istilah pre wriring, perencanaan, penulisan draft dan post writing.8 Keempat, Smalley menamai tahapan tersebut dengan pre writing, penulisan draft, revisi dan editing. Berbeda halnya dengan keempat pendapat di atas M. Muray membagi tahapan tersebut dengan lebih rinci denga istilah penentuan topik, tujuan, dan calon pembaca, pengumpulan informasi dan data, pengelompokan informasi, penulisan kerangka dan penulisan draft.9 Dalam pembahasan ini penulis tidak mengikuti salah satu aliran dengan ketat, melainkan kombinasi di antaranya. Dari gambaran tahapan-tahapan di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan menulis tidak lain adalah sebuah proses yang harus dilalui dalam tiap tahapnya. Paradigma inilah yang kemudian diadopsi dalam pembelajaran menulis dengan istilah pendekatan proses. Pendekatan proses adalah pendekatan yang mengedepankan hakekat menulis pembelajar yang tidak lain adalah sebuah proses yang panjang dan berkelanjutan. Pendek kata, pendekatan ini lebih menekankan pada pertanyaan bagaimana seorang pembelajar menulis ketimbang apa yang mereka tulis. Seorang guru yang menggunakan pendekatan ini akan memberikan kesempatan untuk membantu atau mendampingi pembelajar dalam setiap tahap yang dilaluinya. Berikut ini adalah penjelasan dari tahapan-tahapan tersebut.
5L
Regina Smalley, Refining Composition Skill (fifth edition), (Boston: Heinle & Heinle, 2001), p. 3. 6Jeremy Harmer, How to, p. 5. 7A.E. Lipkewich dan R Mazurenco, http://www.angelfire.com/wi/writing process/html. 8Ghazi Ghaith, http://nadabs.tripod.com/ghaith-writing.html#nature 9M. Murray, http://www, e cuohio. Edu/academic/writing center/writproc.Html/ SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
543
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
544
a. Pre Writing Pre writing adalah semua kegiatan terstruktur baik yang tertulis maupun lisan untuk mengaktifkan kembali semua background of knowledge pembelajar terhadap topik yang akan ditulis. Seorang guru biasanya melakukan tahap ini dalam lima atau sepuluh menit saja. Tahap ini identik dengan pertanyaan apa yang akan ditulis mengenai topik tersebut. Tahap ini sangat penting mengingat pembelajar sering mengalami kebingungan dan bahkan frustasi ketika mereka akan memulai menulis. Hal inilah yang membuat pembelajar merasa stress dalam menulis. Banyak sekali pembelajar yang membuang waktu mereka sia-sia hanya untuk melamun tidak terarah untuk mendapatkan ide. Ada banyak teknik yang dapat digunakan dalam tahap ini, antara lain: 1. Brainstorming Smalley menyatakan bahwa brainstorming adalah cara untuk menghubungkan ide dan merangsang pikiran.10 Untuk melakukan brainstorming seorang guru bisa meminta pembelajar untuk menuliskan kata atau frase terhadap topik tertentu. Pada saat tersebut berikanlah kesempatan kepada pembelajar untuk mendata apa saja yang masuk dalam pikiran mereka tanpa berhenti dalam waktu tertentu. Berikanlah kesempatan kepada mereka untuk menggali ide sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan apakah kata tersebut logis atau tidak, berbobot atau tidak, dan sebagainya. Setelah waktu tersebut habis, pembelajar diminta untuk mengelompokkan kata–kata atau frase-frase yang mempunyai hubungan atau kaitan dengan topik tersebut. Hal inilah yang nanti akan dikembangkan dalam tulisan selanjutnya. Untuk penulis pemula seorang guru bisa memberi topik-topik yang mudah dan tidak asing bagi mereka seperti keluarga, tempat-tempat tertentu, televisi, dan sebagainya. 2. Freewriting (menulis bebas) Freewriting adalah kegiatan menulis kalimat apa saja yang datang dalam benak pembelajar terhadap topik tertentu tanpa berhenti dalam waktu terentu. Kegiatan tersebut juga dilakukan tanpa menghiraukan apakah kalimat tersebut bagus atau tidak, tata bahasanya sudah baik atau tidak dan sebagainya. Bahkan jika mereka tidak tahu padanan bahasa Inggrisnya, biarkanlah mereka menuliskannya dalam bahasa ibu.11 Pada saat tersebut pembelajar diminta untuk sungguh-sungguh berkonsentrasi tanpa adanya interupsi yang mengganggu jalannya pikiran mereka. Pembelajar diminta untuk tidak membaca kembali kalimat-kalimat yang 10L
Regina Smalley, Refining, p. 4. Houge, First Step in Academic Writing, (Longman: Addison-Wesley Publishing Company, t.t.), p. 24. 11Ann
544 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
545
telah mereka buat. Setelah waktunya habis pembelajar diminta untuk melingkari ide-ide yang dapat digunakan dan mencoret kalimat-kalimat yang tidak digunakan. 3. Clustering Seperti halnya brainstorming, clustering adalah sebuah cara untuk menggali ide pembelajar dalam bentuk kata atau frase. Perbedaannya adalah terletak pada cara penyusunannya. Dalam brainstorming kata atau frase tersebut hanya di tulis dalam bentuk menyerupai daftar, sedangkan pada clustering kata atau frase tersebut ditulis didalam lingkaran mengelilingi topik yang diletakkan di tengah. Setelah itu pembelajar diminta untuk menambahkan ide-ide mereka terhadap topik tersebut. Apabila ide tersebut tingkatannya lebih rendah terhadap kata atau frase yang telah ada dalam lingkaran-linkaran tersebut, maka letakkanlah mereka pada lingkaran kecil yang menunjukkan bahwa ide tersebut adalah sub dari lingkaran besar. Dari berbagai cluster atau kelompok ini pembelajar diminta untuk memilih ide yang akan mereka gunakan dan yang akan mereka buang. Cluster yang memiliki banyak lingkaran atau unsur menunjukkan bahwa cluster tersebut lebih mudah untuk dikembangkan.12 4. WH Question Pertanyaan WH dalam bahasa Inggris meliputi siapa, apa, di mana, kapan dan bagaimana. Sebuah artikel atau tulisan pada sebuah surat kabar sebenarnya adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.13 Pertanyaan-pertanyaan ini dapat digunakan sebagai salah satu teknik dalam menggali ide-ide pembelajar. Dalam hal ini pembelajar diminta untuk membuat dan sekaligus menjawab pertanyaan WH ini sebanyak mungkin. Dengan melihat pertanyaan beserta jawaban tersebut pembelajar dapat menarik benang merah terhadap apa yang akan ditulis. Tahap pre writing ini sangat penting bagi pembelajar pemula di mana ia masih kesulitan dalam mengakses ide, pengalaman, pengetahuan, dan perasaan mereka dalam menulis.14 Tahap ini seringkali menyadarkan pembelajar bahwa mereka mempunyai cukup materi untuk ditulis. Dengan demikian, mereka akan merasa termotivasi dan bersemangat dalam menulis. Tahap ini juga diharapkan dapat menjadi pencerahan bagi keraguan mereka akan kemampuan mereka dalam menulis. Lebih lanjut mereka diharapkan untuk menggunakan tahap ini secara mandiri ketika mereka akan menulis di masa yang akan datang.
12Ibid.,
p. 91. Regina Smalley, Refining, p. 6. 14Ghazi Ghaith, http://nadabs.tripod.com/ghaith-writing.html#nature 13L
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
545
546
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
b. Perencanaan Pencanaan adalah tahap awal dalam menyiapkan segala sesuatunya sebelum menulis. Dalam tahap ini pembelajar harus mengorganisir informasi yang telah diperoleh dari tahap pre writing sedemikian rupa sehingga tulisan mereka nantinya mudah dipahami pembaca. Menurut Harmer15 ada tiga hal utama yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan, yaitu: 1. Tujuan Tujuan dalam menulis adalah hal yang penting dalam tahap perencanaan. Yang dimaksud dengan tujuan di sini adalah untuk apa seseorang menulis topik tersebut. Pertanyaan ini sangat penting mengingat menulis pada hakekatnya adalah salah satu media dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan menetapkan tujuan menulis pembelajar dapat menentukan beberapa hal, antara lain: jenis teks yang sesuai, bahasa yang digunakan dan informasi yang sesuai. Jenis teks yang sesuai; dalam hal ini ada berbagai macam jenis teks, misalnya teks untuk menceritakan sesuatu, menghibur, meyakinkan, mengklarifikasi sesuatu dan sebagainya. Dalam hal ini pembelajar harus menentukan jenis teks yang sesuai dengan tujuannya. Apakah ia ingin mempengaruhi pembaca terhadap keyakinannya, mengajak pembaca melakukan sesuatu atau sekedar berbagi pengalaman dengan pembaca. Dengan menentukan jenis teks yang tepat maka diharapkan tujuan dalam menulis sesuatu dapat tercapai. Bahasa yang digunakan; tujuan dalam menulis sangat mempengaruhi jenis bahasa yang kita gunakan. Misalnya jika ingin menghibur pembaca, bahasa yang ringan dan bahasa tidak resmi akan lebih representatif dalam menyampaikan tujuan tulisan. Informasi yang sesuai; informasi yang dibutuhkan sangat bergantung dari tujuan sebuah tulisan. Misalnya jika ingin menceritakan sejarah sebuah peristiwa, maka diperlukan detail waktu-waktu di mana peristiwa itu berlangsung. 2. Pembaca Pertimbangan terhadap siapa calon pembaca tulisan sangat penting dalam menulis. Laiaknya komunikasi lisan, harus diketahui dengan baik siapa yang sedang diajak bicara. Hal ini sangat penting dalam menentukan bahasa dan intonasi yang sesuai dengan lawan bicara. Misalnya ketika sedang berbicara di depan forum pertemuan, maka seharusnya menggunakan bahasa yang formal. Demikian halnya dengan menulis dengan mengetahui siapa calon pembaca tulisan, maka dapat ditentukan 15Jeremy
Harmer, How to Teach Writing, p. l5.
546 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
547
bahasa apa yang sesuai misalnya bahasa formal, informal, bahasa prokem, dan sebagainya. 3. Struktur isi tulisan Struktur isi tulisan di sini terkait dengan pengorganisasian atau penyajian informasi, fakta, dan gagasan penulis dalam tulisanya. Dalam hal ini penulis harus menyajikan semua sumber informasi yang telah dipilihnya dengan sebaik mungkin sehingga dapat memudahkan pembaca dalam memahami isinya. Selain ketiga unsur di atas pembelajar juga harus menentukan sudut pandangnya terhadap apa yang ia tulis.16 Sudut pandang di sini meliputi sudut pandang fisik yang erat kaitannya dengan pertanyaan tentang keberadaan penulis dalam tulisannya, sudut pandang tentang objektifitas dan subjektifitas penulis yang berkaitan dengan keterlibatan emosi penulis dalam tulisannya dan sudut pandang pribadi yang merupakan jawaban atas pertanyaan siapa pencerita dalam sebuah peristiwa itu. Hasil akhir dari tahap perencanaan ini adalah berupa outline atau kerangka tulisan. Penulisan outline ini merupakan hal yang paling penting dalam menulis, karena kerangka adalah penyangga pada sebuah konstruksi tertentu. Menyiapkan kerangka berarti telah menyelesaikan 75% dari pekerjaan menulis.17 Apabila kerangka ini sudah bagus, maka pembelajar akan mudah mengembangkan isinya. c. Menulis Draft Setelah menyelesaikan kerangka atau garis besar tulisannya pada tahap perencanaan langkah yang harus dilalui pembelajar berikutnya adalah tahap penulisan draft. Yang dimaksud draft di sini adalah tulisan yang sebenarnya dari pembelajar dalam bentuk paragraf atau essay. Hal yang perlu ditekankan pada tahap ini adalah pada aspek isi atau arti dari tulisan tersebut daripada aspek yang lain, misalnya tata bahasa atau aspek mekanis dalam menulis lainnya (smalley). Pengembangan ide-ide dalam bentuk draft kasar tersebut diharapkan sesuai dengan outline yang telah disiapkan sebelumnya. Untuk menghasilkan draft yang pertama, pembelajar harus menuliskan ide-ide yang tertuang pada outline tersebut dengan cepat. Pada saat tersebut, pembelajar tidak perlu berusaha untuk mengedit tulisan tersebut sekaligus. Hal ini dilakukan untuk menghindari penterjemahan ide dari outline ke dalam bentuk tulisan yang sesungguhnya berkurang atau bahkan menjadi tidak fokus mengingat pembelajar sering menemukan ideide baru ketika mereka sedang membuat draft tersebut. Pendek kata, 16Ghazi
Ghaith, http://nadabs.tripod.com/ghaith-writing.html#nature Oshima and Ann Hogue, Writing Academic English (A Writing and Sentence Structure), (Longman: Addison-Wesley Publishing Company, 1983), p. 21. 17Alice
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
547
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
548
mengingat draft yang pertama ini merupakan draft yang masih kasar, pembelajar harus memfokuskan diri pada kelancaran mereka dalam mentransfer gagasan-gagasan yang telah tertuang pada outline tesebut dengan baik. Selain berorientasi pada outline, untuk mendukung kelancaran pembelajar dalam mengembangkan outline tersebut, kelas menulis perlu difasilitasi dengan media-media pendukung dalam menulis. Media tersebut dapat berupa kamus, buku-buku yang berkaitan dengan tata bahasa dan aplikasinya dan sebagainya. Dengan tersedianya media-media tersebut diharapkan mampu memperlancar pembelajar dalam membahasakan gagasan mereka dalam kalimat-kalimat. Hal ini penting mengingat pembelajar sering mengalami kemacetan dalam menulis karena mereka hanya sibuk menebak kata-kata sulit tertentu yang tidak mereka ketahui dalam bahasa Inggris misalnya. Setelah pembelajar menyelesaikan draft tersebut, terkadang mereka ragu terhadap apa yang telah mereka tulis. Hal ini sering terkait dengan minimnya jumlah kata atau isi yang mereka hasilkan. Apabila pembelajar bimbang terhadap sedikitnya kalimat yang mereka tulis, hendaknya guru menegaskan batas minimal mengenai tulisan yang ideal dalam topik tersebut. Selain jumlah kalimat mereka juga sering meragukan minimnya isi tulisan mereka. Jika nantinya hal tersebut terjadi, maka mereka harus kembali lagi pada tahap sebelumnya (tahap perencanaan) untuk mendapatkan ide atau detail yang lebih lengkap. Tahap penulisan draft ini adalah otoritas mutlak pembelajar dalam mengekspresikan gagasan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Tahap ini merupakan tahap yang berorientasi pada pembelajar.18 Dengan demikian, guru hendaknya memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk menjadi diri mereka sendiri terhadap apa yang mereka ketahui dan mereka pikirkan tentang topik yang ditulisnya. d. Revisi Draft pertama dalam menulis sebenarnya adalah titik awal dalam menulis. Setelah draft ini selesai, penulis harus berfikir kembali terhadap isinya. Revisi merupakan kunci efektifitas sebuah tulisan. Dalam hal ini penulis harus mengedepankan kebutuhan dan harapan pembaca, sehingga tulisan tersebut harus berorientasi pada pembaca.19 Dalam konteks ini hakekat merevisi adalah perenungan kembali atau evaluasi terhadap kelaiakan tulisan ditinjau dari segi isi. Dengan melakukan tahap revisi 18A.E.
Lipkewich dan R Mazurenco, http://www.angelfire.com/wi/writing
process/html 19Ibid. 548 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
549
diharapkan mampu menyajikankan isi tulisan dengan lebih jelas, menarik, informatif dan meyakinkan. Dalam kelas menulis, tahap merevisi sangat penting mengingat pembelajar (pemula) biasanya masih menghasilkan tulisan-tulisan yang isinya belum sempurna. Apabila pembelajar merasa belum merasa puas dengan draft pertama, mereka bisa melanjutkan dengan draft yang selanjutnya mengingat draft tersebut biasanya masih kasar. Hal ini sering terjadi pada penulis pemula. Pada draft yang kedua ini pembelajar dapat menambah, menyusun kembali dan bahkan membuang ide-ide yang mereka anggap tidak sesuai langsung pada halaman tersebut, sehingga mereka tidak perlu menulis draft tersebut secara keseluruhan pada halaman yang berbeda. Jumlah penulisan draft antara pembelajar yang satu dengan yang lain bisa berbeda, tergantung dari tingkat pengusaan materi pembelajar . Untuk mendapatkan hasil yang maksimal pada tahap penulisan draft pembelajar, seorang guru dapat menyelenggarakan revisi/evaluasi dengan cara mengadakan konferensi. Konferensi tersebut dapat dilakukan oleh pembelajar itu sendiri secara mandiri, dengan partner sebangku mereka, secara berkelompok atau dengan melibatkan sang guru itu sendiri. Apabila konferensi itu dilakukan secara berkelompok, seorang guru harus memberikan pedoman tentang bagaimana menjadi seorang komentator yang baik terhadap draft temannya. Hal ini penting ditanamkan kepada pembelajar mengingat tahap revisi adalah tahap pengklarifikasian isi terhadap tulisan temannya sehingga mereka dapat memberikan feedback yang konstruktif. Dengan memberikan komentar secara tidak langsung pembelajar dapat melakukan cross check terhadap kemampuan mereka sendiri dalam menulis. Pedoman tersebut antara lain:20 1. berfikirlah bahwa draft tersebut masih dalam tahap persiapan 2. berfikirlah bahwa posisi guru adalah sebagai pemandu dan bukan hakim 3. fokuskan pada isi draft secara holistik, jangan terlalu terpancang pada aspek tata bahasa atau kesalahan ejaan 4. berikanlah komentar terhadap hal terbaik yang telah dilakukan oleh temannya secara spesifik 5. berikanlah komentar terhadap kelemahan-kelemahan yang dilakukan oleh temannya secara spesifik 6. berikanlah komentar secara jujur namun juga bijaksana terhadap draft tersebut.
20L
Regina Smalley, Refining, p. 9.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
549
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
550
Selain memberikan panduan tentang bagaimana menjadi seorang komentator yang baik terhadap draft temannya, untuk mengevaluasi kelaiakan isi draft tersebut, seorang guru dapat memberikan seperangkat pertanyaan atau checklist sebagai tolok ukur atau rambu-rambu mengenai tulisan yang ideal pada sesi konferensi ini. Berikut ini adalah contohcontoh cheklist yang biasanya digunakan pada sesi konferensi: Pertama, konferensi yang diselenggarakan oleh pembelajar sendiri. Setelah pembelajar menulis, berilah mereka pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:21 1. bagaimana perasaan saya tentang draft yang telah saya buat sampai saat ini? 2. hal terbaik apa yang dapat saya raih? 3. adakah hal-hal yang sekiranya tidak sesuai, atau bakan kelihatannya masih salah? 4. hal apa yang bisa saya temukan ketika saya menulis topik ini? 5. hal apa yang mengejutkan saya? Hal tersebut akan bermuara ke mana? 6. apa tujuan saya sebenarnya? 7. hal terpenting apa yang sebenarnya ingin saya capai? 8. bagaimana saya mengembangkan topik ini? Apakah saya telah menyimpang dari topik dalam mengembangkan tulisan ini? 9. siapa calon pembaca tulisan saya? Kedua, konferensi yang diselengarakan antarguru dan pembelajar. Ketika konferensi guru dan siswa sedang berlangsung, sang guru memberikan pertanyaan kepada pembelajar sebagai berikut:22 1. bagian apa yang paling anda sukai? 2. apakah draft anda tersebut sudah merepresentasikan apa yang sebenarnya ingin anda katakan? 3. apa yang anda maksud dengan....? 4. di mana peristiwa dalam tulisan ini berlangsung? 5. apakah anda puas dengan bagian awal atau akhir dari tulisan ini? sebutkan alasannya! 6. apakah kalimat, frase, atau kata ini masuk akal? 7. reaksi apa yang anda harapkan dari pembaca? 8. bagaimana jika ide yang ada tulisan anda disusun ulang atau diubah? Setelah pembelajar menerima masukan atau feedback dari teman atau dari guru terhadap draft yang telah mereka hasilkan, mereka diharapkan melakukan perubahan-perubahan demi menyempurnakan isi tulisan 21Ghazi
Ghaith, http://nadabs.tripod.com/ghaith-writing.html#nature
22Ibid.
550 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
551
mereka. Dalam hal ini mereka dapat menggunakan metode ARRR (Arrange, Rearranging, Removing, Replacing) dengan cara:23 1. Menambah Menambah di sini berkaitan dengan pertanyaan “apa lagi yang ingin diketahui oleh pembaca?”. Dalam hal ini pembelajar harus memberi materi-materi yang tambahan untuk mendukung kejelasan arti tulisan tersebut. 2. Menyusun ulang Menyusun ulang di sini terkait dengan pertanyan “apakah informasi yang disajikan dalam tulisan tersebut sudah tersusun secara logis dan efektif”. Dalam konteks ini untuk menegaskan kandungan isi draft tersebut pembelajar bisa mengubah susunan kalimat atau paragraf yang telah ada. 3. Menghilangkan Menghilangkan di sini terkait dengan pertanyan “apakah draft tersebut mengandung penjelasan yang berlebihan atau penjelasan yang tidak perlu?” Hal ini biasanya terjadi pada kalimat penjelas yang sebenarnya adalah pengulangan dari apa yang telah disampaikan sebelumnya atau kalimat-kalimat yang tidak relevan dengan topik yang sedang dibahas. 4. Menggantikan Menggantikan pada konteks ini adalah jawaban dari pertanyaan “apakah draft tersebut mengandung kata atau frase yang sebenarnya bisa digantikan dengan ungkapan-ungkapan yang lebih jelas dan tepat? Dalam hal ini pembelajar sering menggunakan pilihan kata yang tidak pas, sehingga draft tersebut sulit dipahami. e. Melakukan Editing Setelah pembelajar merasa yakin terhadap isi draft mereka, guru dapat membawa pembelajar ke tahap berikutnya, yaitu tahap editing. Dalam tahap ini, pembelajar diharapkan tidak lagi memikirkan tentang isi tulisan mereka, namun memfokuskan diri pada aspek teknis tulisan yang meliputi: tata bahasa, ejaan, penggunaan huruf kapital, struktur kalimat, penggunaan kata, dan tanda baca. Tahap ini sangat penting mengingat salah satu kendala pembelajar dalam menulis adalah karena mereka belum menguasai tata bahasa Inggris dengan baik. Dengan tahap editing ini mereka diharapkan mampu memperbaiki kualitas tulisan mereka. Pada tataran tata bahasa, dalam tahap editing ini pembelajar diharapkan mampu mengecek apakah semua kalimat-kalimat yang mereka tulis telah memenuhi kaidah tata bahasa Inggris dengan benar, misalnya 23http://
www.angekfire.com/wi/writing process.html
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
551
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
552
pada aspek tense, verb agreement dan sebagainya. Dalam hal ini pembelajar harus membaca kalimat-kalimat yang telah mereka tulis satu per satu dengan teliti dan berulang-ulang. Kegiatan membaca juga dapat dilakukan dengan terbalik atau dari bagian belakang ke depan. Apabila pembelajar menemukan kalimat yang bermasalah, maka mereka harus segera membetulkan kalimat tersebut sehingga laiak untuk dibaca oleh orang lain. Setelah mereka menyelesaikan satu demi satu kalimat-kalimat tersebut, maka pembelajar dapat melakukan editing terhadap penggunaan kata sambung yang menghubungkan antara kalimat yang satu dengan yang lain. Dalam hal ini pembelajar harus mengecek apakah penggunaan kata sambung tersebut sudah tepat sehingga kalimat-kalimat tersebut telah tersusun dengan baik sehingga tulisan tersebut telah memenuhi azas keruntutan (coherence) dalam menulis. Kegiatan editing ini biasanya dilakukan secara individu maupun kelompok. Untuk mempermudah pembelajar dalam tahap ini seorang guru juga dapat memberikan seperangkat checklist editing,24 antara lain: 1. Tata bahasa a) apakah penggunaan huruf besar pada kalimat kalimat tersebut sudah tepat? b) apakah kalimat-kalimat tersebut telah menggunakan ejaan dengan benar? c) apakah penggunaan tanda koma pada kalimat-kalimat tersebut sudah benar? d) apakah semua kalimat-kalimat tersebut diakhiri dengan tanda titik? e) Struktur kalimat f) apakah kalimat-kalimat tersebut paling tidak mempunyai satu subjek dan satu predikat? g) apakah kalimat-kalimat tersebut merupakan ungkapan suatu pikiran yang utuh? Dari penjelasan di atas secara umum proses atau tahapan dalam menulis dapat digambarkan sebagai berikut:
24Alice
Oshima and Ann Hogue, Writing Academic English, p. 87.
552 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
553
Pre writing Perencanaan Menulis draft pertama Merevisi (aspek isi tulisan) Menilis draft kedua Mengedit (aspek mekanis tulisan) Menulis draft akhir Diagram di atas menunjukkan bahwa proses menulis tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Proses tersebut harus dilalui secara bertahap dan berkesinambungan. Namun, diagram di atas tidak bersifat linear (satu garis lurus) dan berurutan melainkan resiprokal.25 Dalam hal ini apabila pembelajar merasa belum mantap pada tahap tertentu, maka ia dapat kembali lagi ke tahap sebelumnya atau sesudahnya seperti yang ditunjukkan oleh tanda panah dengan dua arah. Kebutuhan untuk mengulang tahapan-tahapan tersebut berbeda-beda antarpembelajar. Tidak ada patokan khusus yang menentukan jumlah pengulangan tersebut. Pada prinsipnya pengulangan tersebut tergantung dari kebutuhan pembelajar itu sendiri. Secara umum aplikasi dari tahapan-tahapan tidaklah sama antara pembelajar yang satu dengan yang lain. Ada satu pembelajar yang lebih fokus pada tahap perencanaan ketimbang tahap yang lain, ada pula yang lebih fokus pada tahap revisi dan sebagainya. Hal ini seiring dengan waktu pembelajar mempunyai gaya mereka sendiri dalam menulis. Ketika kemampuan menulis seseorang semakin meningkat, ia tidak lagi menggunakan tahapan-tahapan dalam proses menulis tersebut secara lengkap. Misalnya seorang pebelajar tingkat atas sudah tidak lagi melalui tahap pre writing dan hanya menggunakan outline sederhana saja kemudian dilanjutkan ke tahap berikutnya. Bahkan seorang penulis profesional biasanya langsung menulis draft dan hanya membutuhkan sedikit editing ketika mereka menulis sebuah artikel. Hal ini menunjukkan bahwa mereka
25M.
Murray, http://www, csuohio. Edu/academic/writing center/writproc.
Html/ SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
553
554
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
sudah bisa melakukan tahapan pre writing dan perencanaan hanya dalam benak mereka saja. C. Implikasi Pendekatan Proses dalam Kegiatan Belajar dan Mengajar Untuk memperlancar pelaksanaan kelas menulis yang menggunakan pendekatan proses ini, seyogyanya seorang guru mengklarifikasi segala sesuatunya dengan pembelajar.26 Pertama, guru dapat menjelaskan kepada pembelajar bagaimana prosedurnya dan aturan main pelaksanaannya. Kedua, guru harus menciptakan suasana kelas yang kondusif sehingga proses menulis tersebut dapat berjalan dengan baik. Kelas yang kondusif di sini adalah kelas yang nyaman bagi mereka untuk menulis, misalnya penyusunan bangkunya dibuat melingkar sehingga memudahkan mereka ketika mengadakan sesi konferensi. Ketika dalam proses ini berlangsung, guru dapat menawarkan iringan musik (musik klasik misalnya) untuk menciptakan suasana rileks dan memudahkan pembelajar untuk berkonsentrasi terhadap apa yang akan ia tulis. Ketiga, guru harus memberikan pengertian kepada pembelajar bahwa kelas menulis mereka merupakan sebuah komunitas pembelajaran dalam menulis. Hal ini perlu ditekankan kepada pembelajar mengingat pada umumnya mereka merasa malu apabila melakukan kesalahan dalam menulis. D. Penutup Menghasilkan tulisan yang berkualitas adalah sebuah dambaan bagi setiap orang. Untuk dapat mewujudkan kompetensi tersebut diperlukan kerja keras dalam waktu yang tidak relatif singkat, mengingat keterampilan menulis adalah keterampilan berbahasa tingkat lanjut yang sudah kompleks. Dalam konteks ini setidaknya ada dua faktor utama yang mempengaruhi keberhasilannya, yaitu faktor kelas pembelajaran menulis itu sendiri dan faktor dari diri sang pembelajar sendiri. Kelas pembelajaran menulis adalah cikal bakal yang memberikan kesan pertama bagi pembelajar dalam mengaktualisasikan ide mereka dalam bentuk tulisan. Kelas ini seyogyanya merupakan kelas yang dapat membangkitkan motifasi mereka dalam menulis. Dalam kelas ini seorang pembelajar diharapkan untuk dapat terlibat di dalamnya secara maksimal sehingga ia menghasilkan tulisan yang baik. Dalam hal ini seorang guru harus menyampaikan dan mengupayakan keterampilan ini secara maksimal. Seorang guru tidak seharusnya menganggap keterampilan ini sebagai keterampilan yang mudah dan tidak memerlukan banyak energi 26Ghazi
Ghaith, http://nadabs.tripod.com/ghaith-writing.html#nature
554 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
555
dalam penyampainnya. Guru hanya memberi sedikit teori dan memberi tugas, setelah itu, ia hanya berpangku tangan sambil menunggu hasilnya dari pembelajar tanpa memahami kendala-kendala yang mungkin dihadapi sang pembelajar untuk menghasilkan tulisan tersebut. Dengan memperhatikan hakekat pembelajar dalam menulis yang tidak lain adalah sebuah proses diharapkan pembelajar mampu (1) mengorganisir pikiran mereka dengan baik, (2) menghindari perasaan frustrasi ketika menulis, (3) menggunakan waktu dengan efektif dan efisien dalam menulis. Dengan demikian, harapan pembelajar untuk menulis dengan baik di kemudian hari dapat menjadi nyata. Selain pendekatan dalam pembelajarannya di kelas, faktor kebiasaan menulis dari sang pembelajar sendiri sangat mempengaruhi keberhasilan penguasaan keterampilan ini. Dengan kata lain, untuk menguasai keterampilan menulis, seorang pembelajar juga harus mempraktikkannya sendiri ini di luar kelas. Dengan membangun kebiasaan dalam menulis, seorang pembelajar secara otomatis dapat memperkuat penguasaannya dalam menulis, karena pada hakekatnya belajar menulis adalah kegiatan menulis itu sendiri. Semakin sering seorang pembelajar mempraktikkan keterampilan ini, maka semakin terasahlah kemampuannya.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
555
556
Nanik Sri Rahayu: Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis
Daftar Pustaka Basic Writing Components: A Road To academic Composition. English Language Department. Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. IKIP Malang, 1996. Ghaith, Ghazi, http://nadabs.tripod.com/ghaith-writing.html#nature Harmer, Jeremy, How to Teach Writing. Longman-England: Pearson Education Limited, 2004. Houge, Ann., First Step in Academic Writing. Longman: Addison-Wesley Publishing Company, t.t. http:// www.angekfire.com/wi/writing process.html Lindsay, Cora with Paul Knight Learning and teaching English (A Course for Teachers), Oxford University Press, 2006. Lipkewich, A.E. dan R Mazurenco, http://www.angelfire.com/wi/writing process/html Murray, M., http://www, center/writproc.Html/
e
cuohio.
Edu/academic/writing
Oshima, Alice and Ann Hogue, Writing Academic English (A Writing and Sentence Structure Workbook for International Students), Longman: Addison-Wesley Publishing Company, 1983. Smalley, L Regina, Refining Composition Skill (fifth edition), Boston: Heinle & Heinle, 2001.
556 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Peran Budaya dalam Disain Penelitian Oleh: Ibnu Qizam∗ Abstrak Paper bertujuan untuk menjelaskan dampak kultur dalam kaitannya dengan perancangan instrumen riset. Peran budaya dalam riset dapat dilihat dari berbagai perspektif, antara lain: 1) apakah sebuah negara atau bangsa dapat dijadikan sebagai definisi surogasi untuk budaya, 2) apakah populasi yang dalam batasan suatu negara dapat dipandang sebagai homogen atau multikultur, dan 3) apakah budaya diperlakukan sebagai variabel independen, sebuah konstanta, variabel dependen, ataukah variabel residual. Peran budaya dalam disain instrumen penelitian sangat besar, baik pengaruh secara langsung (yaitu merepresentasikan variabel-variabel utama) maupun tidak langsung (yaitu menjadi konteks dan setting yang mendasari variabel-variabel utama); dari sudut pandang kemunculannya (pengaruh kultur) dalam setiap tahapan (komponen) prosedur penelitian; dan juga dari sudut pandang kemanfaatannya dalam pengembangan disain riset ataupun lingkup variabel. Namun demikian, cukup banyak cara dan teknik yang bisa digunakan untuk mengatasi dampak budaya, antara lain dengan pendekatan umum, pendekatan khusus, pendekatan pengelompokan, dan pendekatan konvensional yang disesuaikan dengan tujuan riset lintas budaya. Kata kunci: dimensi budaya, pergeseran makna, disain penelitian A. Pendahuluan Budaya bisa didefinisikan dari berbagai segi. Taylor (1977) mendefinisikan budaya sebagai “keseluruhan yang kompleks yang melibatkan pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, moral, kebiasaan dan apapun kemampuan dan kebiasaan yang dimiliki oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.”1 Linton (1945) mendefinisikan budaya sebagai “konfigurasi perilaku yang telah diperoleh (dipelajari) dan hasil-hasil perilaku yang komponen-komponennya dimiliki bersama dan ditransmisikan oleh anggota masyarakat tertentu.”2 Sedangkan Barnouw (1963) telah menyatakan bahwa “budaya merupakan sebuah pandangan ∗ Dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada. 1 Taylor, E.B., Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art, and Custom, Vol. 1, (New York: Henry Holt, 1977), p.105 2 Linton, R., The Cultural Background of Personality, (New York: Appleton-Century, 1945), p. 74.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2,Februari 2009
558
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
hidup dari sekelompok orang, konfigurasi semua pola perilaku dari hasil pembelajaran yang memiliki stereotype tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui penggunaan bahasa dan peniruan.”3 Dalam hal ini, Kroeber dan Kluckhohn (1952) memberikan definisi budaya dengan lebih komprehensif, yaitu:4 Budaya terdiri dari pola, baik eksplisit ataupun implisit dari dan untuk perilaku yang telah diperoleh dan ditransmisikan dengan simbol, yang merupakan hasil pencapaian sekelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam artifact; inti budaya yang pokok terdiri dari ide-ide (baik yang secara historis diturunkan maupun terseleksi) tradisional dan terutama nilai-nilai yang melekat; dalam satu segi, sistem budaya dianggap sebagai produk tindakan, di lain pihak, dipandang sebagai elemen kondisioning tindakan berikutnya. Namun sekarang juga ada definisi budaya yang dikemukakan oleh Hofstede (1980). Budaya adalah pemrograman pikiran secara kolektif yang membedakan satu anggota kelompok manusia dengan yang lain dan agregat interaktif karakteristik yang dimiliki bersama yang mempengaruhi respon kelompok manusia terhadap lingkungannya.5 Dari berbagai definisi budaya di atas, apapun definisinya, menurut Adler (1984), peran budaya dalam riset paling tidak dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu 1) apakah sebuah negara atau bangsa dapat dijadikan sebagai definisi surogasi untuk budaya; 2) apakah populasi yang dalam batasan suatu negara dapat dipandang sebagai homogen atau multikultur; dan 3) apakah budaya diperlakukan sebagai variabel independen, sebuah konstanta, variabel dependen, ataukah variabel residual.6 Dari ketiga pengelompokan permasalahan tersebut, yang paling sering adalah bahwa budaya dianggap sebagai variabel residual. Sementara riset-riset sekarang sudah mengarah untuk memperlakukan budaya sebagai variabel independen; banyak juga yang memasukkan sebagai konstanta; dan masih sedikit yang memasukkan sebagai variabel dependen sebagai contoh, penelitian Kumar tentang pengaruh korporasi internasional terhadap 3 Barnouw, V., Culture and Personality, Homewood, (Illinois: The Dorsey Press, 1963), p. 212. 4 Kroeber, A.L. and Kluckholm, C., Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions, Papers of the Peabody Museum of American Archeology & Ethnology, Vol. 47 (No. 1), Cambridge, Mass.: Harvard University, 1952, p. 198-225. 5 Hofstede, Geert, Culture’s Consequences: International Differences in Work Related Valves, (Beverly Hills, Calif.: Sage, 1980), p. 145. 6 Adler, Nancy J., Understanding the Ways of Understanding: Cross-cultural Management Methodology Reviewed, Advances in International Comparative Management, Vol. 1: 31-67, 1984.
558SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
559
budaya lokal;7 Robert bahkan menganjurkan agar budaya dimasukkan sebagai variabel intervening yang menjelaskan atau dijelaskan oleh fenomena yang lain.8 Namun demikian problem utama yang dihadapi dalam disain riset (instrument) pada umumnya adalah bahwa hasil riset sering dipengaruhi oleh adanya interaksi antara variabel kultural dan eksperimental. Sayangnya, dalam studi yang bersifat parosial dan etnosentris, main effect saja yang diinterpretasikan dan bukan pada interaksi tersebut. Problem lain yang muncul adalah sering para peneliti menggunakan instrumen pada budaya tertentu (budaya A), tapi dirancang, dilakukan pretest, direvisi, divalidasi dan seterusnya dengan menggunakan budaya yang lain (budaya B). Masalahnya muncul ketika peneliti berusaha untuk memperoleh kesimpulan tentang budaya tertentu (budaya A) dengan melakukan scoring menurut norma-norma yang diturunkan dari budaya yang lain (budaya B) sehingga norma kultur yang lain tersebut (budaya B) belum tentu relevan dengan kultur tertentu (budaya A) tersebut dan akibatnya hasil riset yang demikian itu bisa bias dan menyesatkan.9 Oleh sebab itu, pembahasan ini akan ditujuan untuk menjawab pertanyaan: apa peran budaya dalam disain instrumen penelitian (hubungan-hubungan apa yang terjadi antara riset dengan berbagai dimensi budaya dan teknik-teknik apa saja yang biasa dipakai untuk mencegah pergeseran makna dalam instrumen penelitian). B. Hubungan Riset dengan berbagai dimensi budaya Peran budaya dalam disain instrumen penelitian sangat besar. Hal ini bisa ditemui di berbagai penelitian, baik dalam penelitian-penelitian sosial dan humaniora maupun bidang lain seperti teknologi informasi. Dalam bidang teknologi informasi, sebagai contoh, budaya sudah dimasukkan sebagai bagian integral riset teknologi informasi. Bukti empiris menunjukkan bahwa budaya memiliki dampak langsung dan tidak langsung terhadap berbagai aspek dalam mengkaji teknologi informasi, seperti dalam penelitian Achjari and Quaddus; Quaddus and Tung, 2002;
7 Kumar, Krishna (ed.), Bonds Without Bandage: Explorations in Transnational Cultural Interactions, Honolulu, Hawaii: University Press of Hawaii. Dan (1980), Transnational Enterprises: Their Impact on Third World Societies and Cultures, (Colorado: Westview Press., 1979), p. 86. 8 Robert, K.H., On Looking at an Elephant: An Evaluation of Cross-Cultural Research Related to Organizations, Psychological Bulletin, Vol. 74: 327-350, 1970. 9 Brislin, R., Comparative Research Methodology: Cross-cultural Studies, International Journal of Psychology, Vol 11 (No. 3): 215-229, 1976.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
559
560
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
Shore and Venkatachalm, 1996; Straub, 1994; Tan et al., 1993.10 Menurut Achjari (2004), dampak langsung yang dimaksud adalah bahwa budaya dapat direpresentasikan (diproksikan) ke dalam variabel-variabel utama dalam penelitian seperti dalam penelitian Dasgupta et al., 1999; Griffith, 1998; Straub, 1994; Straub et al., 1997; Hasan and Ditsa, 1999; Tan et al., 1998a; Tan et al., 1998b; sementara dampak tidak langsung yang dimaksud adalah bahwa budaya dapat menjadi konteks atau setting yang mendasari hubungan antar variabel utama, seperti dalam penelitian Robey and Rodriguez-Diaz, 1989; Tung and Quaddus, 2002; Quaddus and Tung, 2002 dan juga dapat menjadi pemicu munculnya variabel-variabel baru. 11 Di samping itu, menurut Brislin yang dikutip Akhjari dan Quaddus dimasukkannya budaya dalam disain riset juga memiliki berbagai keuntungan, antara lain:12 1) dapat meningkatkan lingkup variabel, yaitu kalau studi hanya dilakukan pada satu setting budaya tertentu, maka variabel yang diuji hanya terbatas pada satu budaya itu saja sehingga tidak bisa atau belum tentu bisa diaplikasikan ke setting budaya yang berbeda (cross-cultural). Oleh sebab itu, dimasukkannnya konteks budaya dalam disain riset dapat meningkatkan berkembangnya variabel-variabel yang sudah memperhitungkan konteks budaya tersebut; 2) unconfounding variables, yaitu studi dalam satu setting budaya mungkin tidak dapat mengungkap dampak variabel-variabel yang tidak diekspektasikan. Dalam hal ini Brislin dalam risetnya tentang peran keturunan biologis atau etnik dalam budaya dan kebiasaan diet menunjukkan bahwa penggunaan alkohol sangat tergantung pada lamanya masa tinggal orang-orang Jepang di Amerika. Jika hanya menggunakan subyek Amerika yang hidup di Amerika, maka akan sulit mengungkap bahwa kebiasaan diet dipengaruhi oleh keturunan biologis; dan 3) meningkatkan sensitivitas terhadap konteks, yaitu masalah-masalah dalam satu konteks dapat diidentifikasikan secara lebih mudah jika dilihat dari konteks yang lain karena peneliti dari budaya yang sama kadangkadang kurang sensitif terhadap masalah tersebut. Dalam perspektif lain, peran budaya dalam disain riset (instrumen) juga bisa dilihat dari setiap pentahapan riset. Dengan mengacu Adler, peran budaya bisa dilihat mulai dari topik, penyampelan, translasi, pengukuran dan instrumentasi, administrasi, pengumpulan data, gaya respon, dan terakhir analisis data dan interpretasi.13 10 Achjari, Didi and Mohammed Quaddus, Development of the Formal and Informal Network Constructs: Implicit Role of Culture in Information Technology Research, Working Paper, 2004. 11 Ibid. 12 Ibid. 13 Adler, Nancy J., Understanding the Ways of …, 31-67.
560SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
561
Dalam tahap pemilihan topik, hal yang perlu diketahui adalah apakah topik yang dikaji sesuai untuk semua budaya yang akan dikaji; apakah topik tersebut memiliki makna yang sama pada setiap konteks (budaya); apakah topik ini dianggap penting untuk setiap budaya. Untuk bisa dianggap penting pada setiap budaya, menurut Hofstede, topik yang dipilih harus dapat dikelompokkan sebagai fenomena lazim atau ektrim pada setiap budaya.14 Sebagai contoh, tanggung jawab sosial korporat (CSR) telah menjadi isu pokok di Amerika Utara untuk dekade yang lalu, namun mungkin tidak untuk negara-negara lain, seperti di India isu pokoknya mungkin kelaparan; sementara di Meksiko mungkin krisis transportasi kota. Di samping itu, topik yang dipilih per definisi mungkin belum mencerminkan definisi yang ekuivalen untuk semua budaya. Sebagai contoh, studi-studi yang menggunakan efisiensi dan efektifitas sebagai ukuran outcome mungkin tidak bisa disamaratakan untuk semua budaya dari segi definisinya. Pada budaya tertentu, efektifitas bisa berarti laba maksimum dalam jangka panjang namun dalam budaya lain, mungkin hal ini memiliki makna yang berbeda, yaitu melestarikan pola-pola tradisi hubungan dan aktifitas dalam sebuah komunitas. Sebuah studi tentang perencanaan bencana alam mungkin dianggap rutin di Amerika Utara, namun mungkin tidak untuk negara yang lain. Membayangkan bencana saja diyakini akan meningkatkan kemungkinan terjadinya bencana, apa lagi membuat perencanaan. Pada tahap penyampelan, isu-isu penyampelan terkait dengan jumlah budaya yang akan dimasukkan ke dalam sampel, pemilihan budayabudaya yang spesifik yang akan dimasukkan, pilihan sampel-sampel yang sesuai dan representatif, dan independensi budaya dalam sampel. Dalam hal jumlah budaya yang akan dimasukkan ke dalam sampel, menurut Brislin et al., jumlah budaya yang dimasukkan sebaiknya cukup banyak untuk merandomisasi variansi variabel-variabel kultural yang tidak sesuai dan cukup besar untuk menghilangkan rival hypothesis.15 Menurut Sekaran, studi-studi yang hanya memasukkan sedikit budaya seharusnya diperlakukan sebagai pilot study.16 Contoh kongkrit dalam hal ini adalah studi Hofstede tahun 1980 terhadap 40 negara (atau 160.000 individu)
14
Hofstede, Geert, Culture’s Consequences…,p. 148 Brislin, R., , Understanding Culture’s Influence on Behavior, Harcourt Brace College Publishers, Orlando, p. 102. 16 Sekaran, U., Are U.S. Organizational Concepts and Measures Transferable to Another Culture? An Empirical Investigation, Academy of Management Journal, Vol. 24 (No. 2): 409-417, 1981. 15
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
561
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
562
yang dilaporkan dalam bukunya: Culture’s Consequence (1980).17 Pemilihan budaya spesifik yang dimasukkan dan riset seharusnya didasarkan pada dimensi teori yang diacu. Budaya tertentu yang akan dimasukkan dalam riset seharusnya dipilih karena faktor budaya bisa dijadikan sebagai variabel independen, bukan dipilih karena ketersediaan akses untuk maksud coba-coba. Di samping itu, sampel yang digunakan seharusnya representatif, yaitu merefleksikan seluruh populasi kelompok budaya spesifik pada semua variabel-variabel demografi kunci dan atau matched (cocok), yaitu sampel yang digunakan harus secara fungsional ekuivalen untuk semua budaya yang dikaji. Dan sampel juga harus diekspektasikan independen, artinya tidak saling terkontaminasi satu dengan yang lain. Pada tahap translasi, bahasa yang digunakan dalam setiap versi riset seharusnya ekuivalen untuk seluruh budaya. Instrumen yang dibuat baik dirancang untuk eksperimen maupun untuk survey seharusnya secara fungsional ekuivalen untuk seluruh budaya, baik dalam hal voabulary, grammar atau sintax.18 Dua teknik yang biasanya digunakan untuk mengatasi hal ini antara lain, decentering dan back-translation. Namun, Hofstede menggunakan cara lain, yaitu dengan menggunakan penerjemah bilingual yang tahu baik secara linguistik maupun background budaya populasi dan pokok masalah.19 Pada tahap pengukuran dan instrumentasi, riset dikembangkan dalam rangka mendapatkan teori perilaku sosial yang ekuivalen yang kurang-lebih memiliki struktur yang serupa untuk semua budaya.20 Instrumen yang dikembangkan seharusnya menggambarkan variabel, skala, instrumentasi, dan manipulasi eksperimental yang ekuivalen, yang dimaksud dengan variabel yang secara struktural ekuivalen, menurut Triandis adalah bahwa kultur dapat berinteraksi dengan reaksi subyek terhadap susunan kata, tugas, setting riset ekperimental, dan alternatif respon. Variabel-variabel yang digunakan harus sedemikian rupa sehingga berbagai kelompok budaya dalam sampel memiliki sesamaan baik dalam hal instrumen, format, interpretasi situasi sosial, gaya respon, dan tingkat kecemasan situasi tes yang sama pula. Interaksi antara variabel-variabel ekperimental dan budaya mungkin dapat mengganggu interpretasi studi lintas budaya. Lebih jauh menurut Triandis ketika tingkat perhatian suatu dimensi berbeda pada dua budaya, maka sudah tidak sesuai lagi membuat 17
Hofstede, Geert , Culture’s Consequences…, p. 148 Sekaran, U., Are U.S. Organizational Concepts and…, p. 409-417. 19 Hofstede, Geert, Culture’s Consequences…, p. 150 20 Triandis, H., The Analysis of Subjective Culture, (New York: Wiley-Interscience, 1972), p. 137. 18
562SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
563
perbandingan lintas budaya kecuali jika pada level abstraksi yang lebih tinggi ditemukan suatu dimensi yang dapat dimiliki bersama. Item-item atau pengukuran-pengukuran seharusnya secara konseptual ekuivalen, reliabel dan valid dalam lintas budaya.21 Menurut Campbell, penyusunan skala juga dapat menimbulkan masalah dalam riset lintas budaya. Perbedaan rata-rata di antara kelompok kultural tidak bisa diinterpretasikan ketika tidak ada kemiripan yang cukup jelas sehingga perbedaannya bisa diinterpretasikan.22 Kesamaan-kesamaan tersebut dapat ditunjukkan dengan 1) mengikuti dengan seksama prosedur-prosedur yang sama dalam budaya yang baru sebagaimna diikuti dalam pengembangan skala dalam budaya asli; 2) dengan menemukan pola-pola korelasi yang serupa antara skor yang diperoleh dengan instrumen dan variabel lain dalam setiap budaya. Di samping itu, instrumentasi juga harus disusun secara ekuivalen lintas budaya, baik dalam segi vocabulary, ekspresi idiomatik, grammar dan sintax, konteks eksperimental, dan konsep. Sedangkan manipulasi eksperimental juga dituntut ekuivalen. Interpretasi manipulasi eksperimental bisa dipengaruhi oleh interaksi antara variabel eksperimental dengan variabel-variabel kultural. Oleh sebab itu, manipulasi eksperimental juga harus ekuivalen di antara budaya yang sedang diteliti. Pada tahap administrasi, pengumpulan data dan gaya respon, riset merupakan proses yang intrusif. Prosedur riset sendiri sebenarnya mempengaruhi fenomena yang diteliti. Pengaruh tersebut sering bervariasi menurut budayanya kecuali jika dikendalikan oleh peneliti yang bersangkutan. Oleh sebab itu, tujuan peneliti seharusnya adalah untuk menjaga agar pengaruh proses riset adalah ekuivalen untuk semua budaya. Ekuivalensi administratif berarti ekuivalen respon subyek dalam 1) perkenalan, 2) pengenalan kepada peneliti, 3) perintah tugas, 4) komentar akhir, 5) setting riset, dan 6) waktu pengumpulan data.23 Yang dimaksud dengan respon yang ekuivalen adalah bahwa respon terhadap stimuli seharusnya ekuivalen terhadap hampir semua budaya. Subyek seharusnya memiliki familieritas yang serupa di antara budaya baik dalam uji instrumen, format dan situasi sosial riset. Dalam kaitannya dengan respon terhdap administrator riset. Maka pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah orang yang mengelola studi pada setiap budaya 21
Ibid., p. 138. Campbell, D.T., Distinguishing Differences of Perception from Failures of Communication in Cross-Cultural Studies, dalam F.S.C. Northrop & H. H. Livingston (eds), Cross-cultural Understanding: Epistimology in Anthropology, (New York: Harper and Row, 1964), p. 315-343. 23 Sekaran, Are U.S. Organizational Concepts and…, p. 409-417. 22
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
563
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
564
sama atau berbeda-beda; apakah administratur yang menyiapkan studi sama orangnya setiap waktu. Dalam hal ini, administratur yang berbeda budaya dapat memberikan pengaruh terhadap penyajian hasil riset. Menurut Adler & Kiggundu, orang yang berasal dari negara berkembang biasanya memberikan respon yang lebih baik terhadap para administratur yang berasal dari negara-negara maju secara ekonomis dari pada orang yang berasal dari negara berkembang atau negaranya sendiri. Sedangka dalam kaitannya dengan respon terhadap penyajian dan setting riset, setting seharusnya ekuivalen dalam hal formalitas, struktur dan lokasi.24 Yang maksudkan di sini adalah bahwa adanya standarisasi respon yang diberikan subyek bukan standarisasi setting untuk semua budaya. Sebagai contoh, kehadiran seorang bos atau tidak mungkin mempengaruhi respon karyawan yang diberikan pada suatu riset. Pada suatu budaya tertentu, kehadiran bos dapat memberikan sinyal bahwa riset adalah penting dan sangat penting artinya untuk bekerja-sama dengan para peneliti. Namun, pada sebagian budaya lain, kehadiran bos dapat dipandang sebagai suatu pemaksaan. Pada tahap analisis data dan interpretasi, masalah yang muncul dalam kaitannya dengan budaya adalah sejauhmana sampel-sampel mencerminkan semua budaya yang terlibat dan sejauhmana proses riset yang ekuivalen bisa digunakan. Dalam hal ini, pendekatan yang biasanya digunakan dalam menggeneralisir temuan adalah multitrait-multimethod design.25 C. Teknik-Teknik untuk Mencegah Pergeseran Makna dalam Instrumen Penelitian Teknik-teknik yang bisa digunakan untuk mencegah terjadinya pergeseran makna dapat digambarkan dengan mengikuti kerangka yang digunakan oleh Brislin dan Adler.26 Teknik-teknik ini bisa dikelompokan menjadi tiga: 1) pendekatan umum, 2) pendekatan khusus, 3) pendekatan pengelompokan, 4) Pendekatan Konvensional. Dua pendekatan pertama dan satu yang terakhir mengikuti konsep yang dikembangkan Brislin dan pendekatan ketiga dikembangkan oleh Adler. 24
Adler, Nancy J., and Kiggundu, Moses N., Awareness at the Crossroad: Designing Translator Based Training Program. Handbook of Intercultural Training: Issues in Training Methodology, Vol. II, D. Landis and R. Brislin (eds), (New York: Pergamon Press, 1983), 124-150. 25 Campbell, D.T. & Fiske, D.W., Convergent and Discriminant Validation by the Multitrait-Multimethod Matrix, Psychological Bulletin, Vol. 56: 81-105, 1959. 26 Brislin, R., Comparative Research Methodology…, 215-229; Adler, Nancy J., Understanding the Ways of …, 31-67.
564SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
565
1. Pendekatan Umum Pada pendekatan ini, para peneliti dianjurkan untuk mendasarkan pada konsep emik dan etik sebagai langkah awal untuk mengatasi pengaruh budaya dalam disain instrumen. Pembedaan dua konsep tersebut, yaitu emik dan etik berkaitan dengan tujuan riset yang diekspektasikan terkait dengan kultur, yaitu pertama untuk menyusun prinsip-prinsip yang valid yang menggambarkan perilaku pada budaya apapun, dengan memperhitungkan apa yang dinilai berarti dan penting oleh masyarakat. Ini yang terkait dengan analisis emik; kedua, untuk membuat generalisasi lintas budaya yang memperhitungkan semua perilaku manusia, yang pada gilirannya tujuan ini berkaitan dengan pembangunan teori. Dan ini yang terkait dengan analisis etik. Dengan pengetahuan tentang konsep emik dan etik ini, maka metode riset, antara lain yang berkaitan dengan pengembangan instrumen (kuesioner) dapat dilakukan dengan baik. Pendekatan etik digunakan sebagai dasar untuk menyusun core items (item-item pokok); sedangkan pendekatan emik digunakan sebagai dasar untuk menyusun culture specific items (item-item yang berkaitan dengan budaya spesifik). Untuk memperoleh core items dan cultural specific items, dua cara dianjurkan untuk digunakan, yaitu pertama, melakukan riset kolaboratif dengan kolega dari negara-negara lain yang memiliki pengetahuan tentang budaya secara langsung dari tangan pertama. Dari sini, maka pembahasan secara komprehensif dapat dilakukan untuk kemudian dapat menyusun core items dan cultural specific items; kedua, mengkaji literatur antropologis tentang budaya yang akan diteliti, dengan mencari kesamaan dan perbedaan perilaku orang yang relevan dengan isu yang diteliti.27 2. Pendekatan Khusus Dalam pendekatan khusus ini, ada dua teknik yang bisa digunakan untuk mengatasi pengaruh kultur dalam perancangan instrumen, yaitu: pertama, penggunaan decentering dan back-translation28 dan kedua, penggunaan prosedur sebagaimana yang digunakan Triandis, yaitu pengembangan instrumen riset dalam masing-masing budaya dan penggunaan faktor analisis.29 27
Ibid. Werner, O. & Campbell, D. T., Translating, Working Through Interpreters, and the Problem of Decentering, In R. Naroll & R. Cohen (Eds.), A Handbook of Method in Cultural Anthropology, (New York: Americal Museum of Natural History, 1970), pp. 398420. 29 Triandis, H., Approaches toward Minimizing Translation, In R. Brislin (Ed.), Translation: Applications and Reaseach, (New York: Wiley/Halsted, 1976), p. 340. 28
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
565
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
566
Metode decentering ini didasarkan pada prosedur back-translation, yaitu seorang peneliti menyusun materi dalam satu bahasa dan meminta seorang bilingual untuk menerjemahkan materi tersebut ke dalam bahasa target (bahasa lain). Kemudian, seorang bilingual yang kedua diminta untuk menerjemahkan materi tersebut (yang sudah diterjemahkan oleh seorang bilingual pertama) kembali ke bahasa aslinya. Peneliti kemudian memiliki dua bentuk bahasa asli untuk diperiksa, dan meskipun peneliti tidak tahu bahasa target tersebut, dia tetap bisa menilai kualitas terjemahan (instrumen) tersebut. Dengan menggunakan pendekatan decentering ini, maka konsep etik dan emik bisa diturunkan. Konsep etik adalah konsep-konsep ‘tetap ada’ ketika dilakukan prosedur back-translation, yaitu istilah-istilah yang masih tetap muncul pada kedua bahasa tersebut; sedangkan konsep emik adalah konsep-konsep yang ‘hilang’ ketika prosedur back-translation dijalankan. Pada pendekatan kedua sebagaimana disarankan Triandis, peneliti memulai dengan item-item etik yang diusulkan dan kemudian baru menulis item-item emik dalam setiap budaya untuk menuju konsep etik. Item-item emik ditulis oleh orang-orang yang mengenal secara dekat budaya tersebut. Dalam hal ini Triandis menemukan bahwa konsep etik yang meliputi ras, kewarganegaraan, agama, okupasi, social-distance terletak pada tingkat generalisasi yang lebih tinggi dari pada konsep emik dalam setiap budaya.30 Untuk menyusun realitas etik yang bisa diikuti dengan pengembangan emik dalam penyusunan instrumen, ada dua teknik yang bisa digunakan, yaitu penggunaan faktor analisis untuk memunculkan faktor-faktor utama yang diturunkan dari data yang terkumpul melalui instrumen; sedangkan cara yang lain adalah menghubungkan bidangbidang investigasi yang baru ke bidang yang lama, yang telah terbentuk. Pertama-tama penyusunan instrumen dengan mengacu konsep emik dilakukan, dan kemudian penentuan dimensi etik diperoleh setelah dilakukan analisis faktor terhadap instrumen-instrumen emik tersebut. Namun, bagaimanapun prosedur Triandis ini, masih dimungkinkan terjadinya kelemahan, pertama yaitu ketika mengembangkan instrumen emik dalam setiap budaya, dimensi etiknya bisa hilang;31 dan kedua, kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penggunaan analisis faktor,
30
Ibid. Lihat Davidson, A., Jaccard, J., Triandis, H.C., Morales, M. & Diaz-Guerrero, R., Cross-cutural Model Testing: Toward a Solution of the Emic-etic Delimma, International Journal of Psychology, Vol. 11: 1-13, 1976. 31
566SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
567
antara lain dalam hal metode rotasi, estimasi communality, penentuan jumlah faktor, pemilihan model faktor, dan lain-lain.32 3. Pendekatan Pengelompokan Studi Budaya Dalam pendekatan ini, teknik-teknik yang bisa digunakan adalah menentukan asumsi-asumsi tertentu (asumsi-asumsi similaritas, perbedaan, dan universalitas) yang sesuai dengan tipe atau kelompok riset sebagaimana yang dikembangkan oleh Adler untuk sejauh mungkin menghindari pergeseran makna atau pengaruh kultur terhadap hasil riset. Adler (1984) mengelompokkan riset lintas budaya menjadi enam kelompok, yaitu studi parosial, etnosentris, polisentris, komparatif, geosentris, dan sinergistik.33 1). Riset parosial adalah proyek riset yang dirancang secara orisinil dan dilakukan dalam satu kultur oleh para peneliti dari kultur yang sama. Pertanyaan utama yang biasanya diangkat adalah perilaku orang seperti dalam satu lingkungan organisasi kerja dan studi ini hanya bisa diterapkan pada satu budaya, sehingga kurang cocok untuk diterapkan pada banyak kultur. Metodologi yang biasanya dipakai adalah semua prosedur metodologis yang pada umumnya digunakan seperti disain, penyampelan, instrumentasi, analisis dan interpretasi, kecuali budaya, karena budaya pada riset ini dianggap sebagai sebuah konstanta. Pendekatan umum yang bisa digunakan untuk penelitian jenis ini adalah mengasumsikan adanya similaritas (di antara kultur-kultur yang ada) dan mengasumsikan pula adanya universalitas (hasil-hasil riset bersifat universal, yaitu dapat diterapkan lintas budaya); meskipun sebenarnya, sebagian besar studi parosial tidak dapat diterapkan pada budaya lain, dan hanya bisa diterapkan untuk budaya tertentu. 2). Riset Etnosentris adalah suatu riset yang diranang secara orisinil dan dilakukan dalam satu kultur oleh para peneliti dari budaya yang direplikasikan ke sebuah kultur yang lain (kultur kedua). Mayoritas riset etnosentris adalah riset Amerika yang direplikasikan ke negaranegara diluar Amerika, termasuk Indonesia. Pada riset jenis ini, pertanyaan yang sering diangkat adalah antara lain: dapatkah teoriteori yang dibangun di negara tertentu berlaku untuk negara lain; dapatkah teori yang dapat diterapkan pada kultur A diperluas ke kutur B. Sedangkan metodologi yang sering digunakan adalah standarisasi dan penerjemahan, yaitu antara lain dengan melakukan penerjemahan 32
Brislin, R., Lonner, Walter J., and Thorndike, Robert M., Cross-Cultural Research Methods, (New York: John Wiley., 1973), p. 87. 33 Adler, Nancy J., Understanding the Ways of …, pp. 31-67. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
567
568
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
instrumen-instrumen secara literal. Pendekatan yang sering digunakan pada penelitian jenis ini adalah replikasi. Replikasi adalah identik dengan aslinya kecuali bahasanya yang berbeda. Pendekatan yang sering digunakan dalam riset replikasi ini antara lain adalah berusaha untuk mencari similaritas (jika terjadi perbedaan, maka hal ini dianggap disebabkan oleh pengaruh disain riset); tapi sudah mempertanyakan adanya universalitas (baik terhadap hasil maupun teori-teorinya). Jadi hasil riset bersifat konfirmatori, yaitu mendukung atau tidak terhadap hasil riset pada satu budaya tertentu ketika dibawa ke kultur lain. 3). Riset Polisentris adalah sebuah riset domestik individual yang dilakukan di berbagai negara. Pada bentuk yang paling ekstrim, studi polisentis memandang suatu obyek kajian sebagai satu-satunya realitas yang dapat dipahami dalam kaitannya dengan budaya tertentu. Pertanyaan yang sering diangkat adalah misalnya, bagaimana para manajer dan karyawan berperilaku dalam negara X? Pola-pola hubungan apa yang ada pada negara X? Untuk itu, prosedur metodologi yang biasanya digunakan adalah deskriptif, yang difokuskan pada metode induktif dan pengukurannya sering bersifat unobstrusive. Sedangkan pendekatan atau teknik yang sering dilakukan adalah justru berusaha untuk mencari perbedaan (peneliti berusaha mencari hal-hal yang spesifik pada budaya tertentu) dan sebagai konsekwensi logis, menolak adanya universalitas. 4). Studi Komparatif adalah suatu studi yang dirancang untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan di antara dua atau lebih budaya. Pertanyaan riset yang sering diangkat, sebgai contoh, adalah berkenaan dengan bagaimana persamaan dan perbedaan gaya manajemen dan karyawan di antara budaya-budaya? Teori yang mana yang tetap berlaku untuk seluruh budaya dan yang mana yang tidak? Prosedur metodologi yang sering digunkan adalah ekuivalensi, yaitu ekuivan dalam setiap tahapan proses riset, ekuivalen dalam makna atau definisi konsep inti, dan prosedur-prosedur lain, seperti penyampelan, instrumentasi, administrasi, analisis dan juga interpretasi juga dituntut untuk bisa ekuivalen dalam kaitannya dengan budaya yang dimasukkan. Sedangkan dalam hal pendekatan yang digunakan, riset jenis ini sering mencari kedua-duanya baik kesamaan maupun perbedaan dan universalitas yang dicari masih bersifat emergensi. Para peneliti harus berasumsi bahwa tidak ada budaya apapun yang dominan; pendekatan komparatif memperhitungkan baik aspek fenomena yang memiliki budaya yang bersifat umum dan juga yang spesifik. Karena jika peneliti berasumsi adanya suatu budaya yang dominan atau superior dibanding yang lain, maka saat itu juga sebenarnya risetnya termasuk kelompok riset lain (yaitu, etnosentris). 568SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
569
5). Studi geosentris adalah studi yang menyelidiki pengelolaan organisasi secara multinasional. Isu yang sering diangkat adalah bagaimana organisasi multinasional berfungsi karena obyek risetnya memang fenomena multinasional dan prosedur metodologi yang sering digunakan adalah dispersi geografis, yaitu semua prosedur metodologi tradisional dipakai dan ditambah dengan pengkajian terhadap kompleksitas jarak geografis. penerjemahan sering bukan menjadi masalah karena sebagian besar MNOs telah menggunakan bahasa yang sama pada semua negara tempat beroperasinya perusahaan. Problem utamanya justru terletak pada bagaimana mengembangkan suatu pendekatan untuk mempelajari kompleksitas organisasi yang besar. Dalam hal ini, budaya sering diabaikan. Secara tidak langsung studi jenis ini juga menggunakan pendekatan yang berusaha untuk mencari persamaan dan berusaha agar universalitas (lintas lintas budaya tanpa mempertanyakan validitasnya) yang telah ada bisa diperluas. 6). Studi sinergistik adalah sebuah studi yang difokuskan pada pemahaman pola hubungan dan teori yang dapat diterapkan ketika orang lebih dari satu budaya berinteraksi dalam setting kerja. Riset sinergetik difokuskan pada perilaku 1) orang dalam organisasi multinasional dan transnational; 2) orang dalam organisasi domestik untuk assignment internasional; dan 3) orang dalam organisasi domestik yang memiliki karyawan, pemasok, atau populasi klien yang lintas budaya. Riset jenis ini dirancang untuk menjawab pertanyaan: bagaimana seharusnya kita mengelola interaksi antar budaya dalam organisasi. Hukum apa yang mengatur interaksi di antara orang yang kulturnya berbeda-beda? Cara-cara apa yang efektif untuk mengkaji interaksi lintas budaya? Bagaimana pola-pola yang universal dan secara kultural spesifik dapat dibedakan? Keseimbangan yang bagaimana yang paling sesuai antara proses yang universal dan yang secara spesifik kultural dalam satu organisasi? Bagaimana penggunaan perbedaan kultural yang proaktif untuk menciptakan pola-pola yang dapat diterima secara universal bisa dipelajari? Dalam kondisi ini, pendekatan yang sesuai adalah menggunakan persamaan dan perbedaan sebagai sumberdaya dan berusaha untuk menciptakan universalitas. 4. Pendekatan Konvensional Pendekatan konvesnsional, menurut penulis, yang dimaksudkan di sini adalah pendekatan yang paling sering terjadi, yaitu berkenaan dengan
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
569
570
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
penggunaan analisis hipotesis alternatif.34 Pertama-tama peneliti mempertimbangkan interpretasi-interpretasi yang diekspektasikan dari data dengan membandingkan penjelasan alternatif lainnya. Interpretasi yang diekspektasikan biasanya merujuk pada suatu teori yang dimaksudkan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan lintas budaya, sementara penjelasan alternatifnya biasanya berupa kesulitan-kesulitan metodologis, seperti penyampelan subyek, instrumentasi, dan lain-lain. Setiap penjelasan alternatif tentang adat ditulis dan dipertimbangkan satu demi satu. Lalu, faktor-faktor apa yang terkait dengan sampel mungkin berpengaruh terhadap hasil dan akan membatasi dapat digeneralisasikannya hasil. D. Simpulan Dari uraian di atas, maka jelas bahwa peran budaya dalam riset dapat dilihat dari berbagai perspektif, antara lain 1) apakah sebuah negara atau bangsa dapat dijadikan sebagai definisi surogasi untuk budaya; 2) apakah populasi yang dalam batasan suatu negara dapat dipandang sebagai homogen atau multikultur; dan 3) apakah budaya diperlakukan sebagai variabel independen, sebuah konstanta, variabel dependen, ataukah variabel residual. Peran budaya dalam disain instrumen penelitian sangat besar, baik pengaruh secara langsung (yaitu merepresentasikan variabel-variabel utama) maupun tidak langsung (yaitu menjadi konteks dan setting yang mendasari variabel-variabel utama); dari sudut pandang kemunculannya (pengaruh kultur) dalam setiap tahapan (komponen) prosedur penelitian; dan juga dari sudut pandang kemanfaatannya dalam pengembangan disain riset ataupun lingkup variabel. Namun demikian, cukup banyak cara dan teknik yang bisa digunakan untuk mengatasi dampak budaya, antara lain dengan pendekatan umum, pendekatan khusus, pendekatan pengelompokan, dan pendekatan konvensional yang disesuaikan dengan tujuan riset lintas budaya.
34 Campbell, D.T., Cooperative Multinational Opinion Sample Exchange, Journal of Social Issues, Vol. 24: 245-258, 1968; serta Campbell, D.T., Perspective: Artifact and Control. In R. Rosenthal & R. Rosnow (eds.), Artifact in Behavioral Research, (New York: Academic Press, 1969), pp. 351-382.
570SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
571
Daftar Pustaka Adler, Nancy J., and Kiggundu, Moses N. (1983), Awareness at the Crossroad: Designing Translator Based Training Program. Handbook of Intercultural Training: Issues in Training Methodology, Vol. II, D. Landis and R. Brislin (eds), New York: Pergamon Press, 124-150. Adler, Nancy J. (1984), Understanding the Ways of Understanding: Crosscultural Management Methodology Reviewed, Advances in International Comparative Management, Vol. 1: 31-67. Achjari, Didi and Mohammed Quaddus, Development of the Formal and Informal Network Constructs: Implicit Role of Culture in Information Technology Research, working paper. Barnouw, V. (1963), Culture and Personality, Homewood, Illinois: The Dorsey Press Brislin, R. (1970), Back-translation for Cross-cultural Research, Journal of Cross-Cultural Psychology, Vol. 1: 185-216. ____ (1976), Comparative Research Methodology: Cross-cultural Studies, International Journal of Psychology, Vol 11 (No. 3): 215-229 ____, Lonner, Walter J., and Thorndike, Robert M. (1973), Cross-Cultural Research Methods, New York: John Wiley. ____ (1993), Understanding Culture’s Influence on Behavior, Harcourt Brace College Publishers, Orlando. Campbell, D.T. & Fiske, D.W. (1959), Convergent and Discriminant Validation by the Multitrait-Multimethod Matrix, Psychological Bulletin, Vol. 56: 81-105 Campbell, D.T. (1964), Distinguishing Differences of Perception from Failures of Communication in Cross-Cultural Studies, dalam F.S.C. Northrop & H. H. Livingston (eds), Cross-cultural Understanding: Epistimology in Anthropology, New York: Harper and Row. ____ (1968), Cooperative Multinational Opinion Sample Exchange, Journal of Social Issues, Vol. 24: 245-258. ____ (1969), Perspective: Artifact and Control. In R. Rosenthal & R. Rosnow (eds.), Artifact in Behavioral Research, New York: Academic Press, 351-382.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
571
572
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
Dasgupta, S., Agarwal, D., Ionnidis, A. and Gopalakrishnan, S. (1999), Determinants of Information Technology Adoption: An Extension of Existing Models to Firms in a Developing Country, Journal of Global Information Management, Vol. 7 (no. 3): 30-40. Davidson, A., Jaccard, J., Triandis, H.C., Morales, M. & Diaz-Guerrero, R. (1976), Cross-cutural Model Testing: Toward a Solution of the Emic-etic Delimma, International Journal of Psychology, Vol. 11: 1-13 Griffith, T.L. (1998), Cross-cultural and Cognitive Issues in the Implementation of New Technology: Focus on Group Support Systems and Bulgaria, Interacting with Computers (vol. 9): 431-447. Hofstede, Geert (1980), Culture’s Consequences: International Differences in Work Related Valves, Beverly Hills, Calif.: Sage. Hassan, H. and Ditsa, G. (1999) The Impact of Culture on the Adoption of IT: An Interpretive Study, Journal of Global Information Management, Vol. 7 (No. 1): 5-15. Kroeber, A.L. and Kluckholm, C. (1952), Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions, Papers of the Peabody Museum of American Archeology & Ethnology, Vol. 47 (No. 1), Cambridge, Mass.: Harvard University. Kumar, Krishna (ed.) (1979), Bonds Without Bandage: Explorations in Transnational Cultural Interactions, Honolulu, Hawaii: University Press of Hawaii. ____ (ed) (1980), Transnational Enterprises: Their Impact on Third World Societies and Cultures, Colorado: Westview Press. Linton, R. (1945), The Cultural Background of Personality, New York: Appleton-Century. Quaddus, M. A. and Tung, L. L. (2002), Explaining Cultural Differences in Decision Conferencing, Communications of the ACM, Vol 45 (No. 8): 93-98 Robert, K.H. (1970), On Looking at an Elephant: An Evaluation of Cross-Cultural Research Related to Organizations, Psychological Bulletin, Vol. 74: 327-350. Robey, D. and Rodrigues-Diaz, A. (1989), The Organizational and Cultural Context of Systems Implementation: Case Experience from Latin America, Information and Management, Vol. 17 (No. 4): 131-152. 572SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
573
Sekaran, U. (1981a), Are U.S. Organizational Concepts and Measures Transferable to Another Culture? An Empirical Investigation, Academy of Management Journal, Vol. 24 (No. 2): 409-417. ____ (1981b), Methodological and Theoretical Issues and Advancements in Cross-Cultural Research, Paper presented at the McGill International Symposium on Cross-Cultural Management, Montreal, Canada. Shore, B. and Venkatachalam, A. R. (1996), Role of National Culture in the Transfer of Information Technology, Journal of Strategic Information Systems, Vol. 5: 19-35. Straub, D., Keil, M. and Brenner, W. (1997), Testing the Technology Acceptance Model Across Cultures: A Three Country Study, Information and Management, Vol. 33 (No. 1): 1-11 Straub, D. W. (1994), The Effect of Culture on IT Diffusion: E-Mail and FAX in Japan and the U.S., Information Systems Research, Vol. 5 (No. 1): 23-47. Tan, B. C. Y., Watson, R. T., wei, K.K., Rahman, K.S. and Kerola, P.K. (1993), National Culture and GSS: Examining the Situation Where Some People are More Equal than Others, in the 26th Hawaii International Conference on Systems Sciences, Hawaii: 132-141 Tan, B. C. Y., Wei, K.K., Watson, R.T., Clapper, D.L. and McLean, E.R. (1998a), Computer-Mediated Communication and Majority Influece: Assessing the Impact in an Individual and a Collectivistic Culture, Management Science, Vol. 44 (No. 9): 1263-1278. Tan, B. C. Y., Wei, K.K., Watson, R.T., and Walczuch, R.M. (1998b), Reducing Status Effects with Computer-Mediated Communication: Evidence from Two Distinct National Cultures, Journal of Management Information Systems, Vol 15 (No. 1): 125-143. Triandis, H. (1963), Factors Affecting Employee Selection in Two Cultures, Journal of Applied Psychology, Vol. 47 (No. 2): 89-96. ____ (1972), The Analysis of Subjective Culture, New York: WileyInterscience. ____ (1976) Approaches toward Minimizing Translation, In R. Brislin (Ed.), Translation: Applications and Reaseach, New York: Wiley/Halsted.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
573
574
Ibnu Qizam: Peran Budaya dalam Disain Penelitian
Taylor, E.B. (1977), Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art, and Custom, Vol. 1, New York: Henry Holt. Tung, L.L. and Quaddus, M.A. (2002), Cultural Differences Explaining the Differences in Result in GSS: Implications for the Next Decade, Decision Support Systems, Vol. 33 (No. 2): 177-199 Werner, O. & Campbell, D. T. (1970), Translating, Working Through Interpreters, and the Problem of Decentering, In R. Naroll & R. Cohen (Eds.), A Handbook of Method in Cultural Anthropology, New York: Americal Museum of Natural History, 398-420.
574SOSIO-RELIGIA, Vol. 8 No. 2, Februari 2009
Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi International Criminal Court bagi Terjaminnya HAM di Indonesia Oleh: Lindra Darnela* Abstrak Mahkamah Pidana Internasional (ICC) merupakan pengadilan independen dan otoritatif yang mencoba menuduh seseorang mengenai kejahatan HAM internasional yang sangat serius, yakni pemusnahan suatu bangsa, kejahatan melawan kemanusiaan dan kejahatan perang. ICC diharapkan mampu menyelesaikan berbagai tindak kekerasan HAM yang tidak dapat diselesaikan oleh Mahkamah Internasional (ICJ) karena ICC fokus pada pengajuan kasus-kasus yang dibawa kepada percobaan oleh negara sebagai subjek hukum internasional. Pendirian ICC berasal dari persetujuan internasional yang dideklarasikan di Roma, Italia, dikenal sebagai Statuta Roma. ICC didasarkan pada perjanjian yang ditandatangani oleh 106 negara. Sayangnya, Amerika Serikat, yang merasa paling menghargai HAM, telah menarik dukungannya terhadap organisasi tersebut. Alasannya, bahwa partisipasi sebuah negara dalam organisasi tersebut akan mengurangi kedaulatannya, sangat tidak beralasan karena jurisdiksi ICC adalah untuk menjadi benteng perlindungan terakhir dari persetujuan kasus ketika mahkamah nasional tentang keadilan gagal merekonsiliasi kasus tersebut. Indonesia memiliki alasan logis untuk meratifikasi perjanjian ICC; oleh karena itu, masalah tindak kekerasan HAM di Indonesia dapat dibawa ke ICC agar supaya memperoleh solusi yang sangat baik. Kata kunci: ICC, ICJ, ratifikasi, HAM A. Pendahuluan Berakhirnya era Perang Dingin telah memunculkan berbagai masalah baru dalam hubungan internasional. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan salah satu masalah yang menjadi perhatian masyarakat internasional dan kini menjadi isu yang legitimite dalam hubungan antarnegara. Hal tersebut terjadi karena maraknya pelanggaran HAM, seperti: pembunuhan massal, penganiayaan, dan pemerkosaan kebebasan umat manusia yang dilakukan oleh kelompok orang atau individu atas nama negara.1 *
Dosen Fakultas Syari'ah Sunan Kalijaga Yogyakarta Bartanto Bandoro, Hak Asasi Manusia: Korban Perang Dingin, Pelajaran dan Agenda untuk Indonesia, Analisis CSIS, 2, 1994, p. 158. 1
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
576
Setelah PBB terbentuk, dibentuklah sebuah organ judisial permanen yang bernama Internasional Court of Justice (ICJ) atau biasa disebut Mahkamah Internasional. Dalam statuta Mahkamah Internasional2 secara tegas dinyatakan bahwa yang dapat berperkara dalam Mahkamah Internasional hanyalah negara, sehingga tidak memungkinkan seseorang diajukan atau mengajukan suatu perkara kecuali harus melibatkan negara. Untuk mengadili individu-individu yang melakukan kejahatan internasional yang berupa pelanggaran HAM yang berat, dibentuk pengadilan-pengadilan internasional khusus (ad-hoc), di antaranya Tokyo Trial 1946.3 Namun demikian, banyak kerumitan yang terjadi pada setiap pembentukan tribunal tersebut, maka masyarakat internasional yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menugaskan Komisi Hukum Internasional untuk menyusun suatu draf statuta pengadilan pidana internasional permanen. Peristiwa runtuhnya menara kembar World Trade Center di New York merupakan pembunuhan kejam terburuk warga sipil oleh kaum teroris yang ditafsirkan sebagai ‘crime against humanity’ dan para pelakunya harus dibawa ke Mahkamah Pengadilan Internasional. Dalam konteks ini, Statuta Roma telah membuka babakan baru dalam hukum internasional yang pasti akan mempengaruhi perilaku negara sekaligus juga perilaku manusia. Mimpi untuk memiliki sebuah Mahkamah Internasional (International Criminal Court) yang mengadili kejahatan internasional sebenarnya cita-cita yang sudah lama. Terlalu banyak kejahatan internasional dan pelanggaran hak asasi manusia yang tak bisa diadili di negara tempat kejahatan tersebut terjadi karena sistem hukum yang tidak credible atau karena merupakan kepanjangan tangan suatu kekuasaan. Singkat kata, kejahatan tanpa hukuman atau impunity merupakan kenyataan pahit yang sangat berakar, apalagi di negara yang otoriter. Indonesia, misalnya, adalah surga bagi kejahatan tanpa hukuman. Kalaupun ada pengadilan terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia, pengadilan ini adalah realitas baru setelah berpuluh-puluh tahun rakyat kita dipaksa menyerah pada impunity. Banyak tanggapan yang pro dan kontra dari masyarakat internasional terhadap pembentukan ICC ini yang tergambar dari kesediaan atau keengganannya untuk meratifikasi Statuta Roma. Dalam hal ini, Amerika sebagai negara yang merasa paling menghargai HAM ternyata menarik kembali pernyataannya untuk ikut serta dalam organisasi 2
Pasal 34 Statuta Mahkamah Internasional. Ronny Rahman Nitibaskara, “Pengadilan HAM dan Masyarakat Internasional”, Kompas, 20 Februari 2002. 3TB.
576 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
577
internasional tersebut, dan hal ini menjadi suatu fenomena besar dalam masyarakat internasional. Dengan maraknya isu terorisme serta banyaknya pelanggaran yang terjadi di Indonesia, khususnya Pasca Jajak Pendapat di Timor-Timur dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, serta pelanggaran lain terhadap HAM di Indonesia, maka pemerintah membentuk Pengadilan HAM ad-hoc untuk mengadili pelaku-pelaku pelanggar tersebut. Untuk kemudian pemerintah membuat suatu undang-undang anti teroris yang kehadirannya menimbulkan pro dan kontra. Meskipun demikian, Statuta Roma sebagai payung pelaksanaan pengadilan pidana, paling tidak mengilhami terbentuknya undang-undang tersebut. Tulisan ini akan membahas beberapa persoalan di antaranya adalah mengenai respon masyarakat internasional khususnya Amerika dengan hadirnya Internasional Crime Court (ICC) dalam menangani kasus HAM yang terjadi di dunia internasional dan pengaruh Statuta Roma dalam pembentukan Hukum, khususnya mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia. B. Sejarah Singkat Pembentukan International Criminal Court Tanggal 1 Juli 2002 merupakan hari bersejarah bagi negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Terletak di Den Haag, Belanda, pada hari tersebut telah lahir Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court), sebuah organ judisial internasional baru di samping Mahkamah Internasional (International Crourt of Justice) yang sudah ada lebih dulu yang tugasnya mengadili sengketa antar negara. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, dunia memiliki suatu lembaga peradilan internasional yang bersifat permanen yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki, mengadili, menghukum individu, presiden, jenderal, panglima perang atau pun tentara bayaran yang terbukti melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan atau pun pembantaian umat manusia (genocide).4 Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court) berlaku secara efektif berdasarkan Pasal 126 Rome Statuta of the International Criminal Court 1998 (ICC-Statuta Roma) yang dideklarasikan 17 Juli 1998 di Roma, Italia. Tanggal 11 April 2002 telah genap 60 negara yang meratifikasi ICC sebagai syarat berlakunya statuta tersebut. ICC menempatkan individu sebagai subyek penanggung jawab yang berbeda dengan International
4
A. Irman Sidin, “Berjalan Menuju Roma (Refleksi Berlakunya Statuta Roma)”, Kompas, 13 Juli 2002. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
577
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
578
Court of Justice (ICJ) yang menempatkan negara sebagai subyek hukum internasional.5 Perjalanan perang menuju pembentukan Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) digambarkan oleh Prof. M. Cherif Bassiouni dalam kalimat sebagai berikut: A journey that started in Versailles in 1919 is about to end in Rome in 1998 … This three quarter of a century journey has been long and arduous. It was also filled with missed opportunities and marked by terrible, tragadies that revaged the world. World War I was dubbed ‘the war to ned all wars’, but then came World War II with its horrors and devastation. Since than, some 205 conflicts of all sorts and victimization by tyrannical regines have resulted in an estimated 170 million casualties. Throughout this entire period of time, most of the perpetrators of genocide, crimes against humanity and war crimes have benefited from impunity.”6
Dalam kurun waktu 50 tahun, negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa melihat adanya perkembangan kebutuhan untuk mengendalikan kejahatan internasional dengan membentuk 4 (empat) Pengadilan Ad-Hoc dan 5 (lima) Komisi Penyidik. Keempat pengadilan Ad-Hoc tersebut adalah: (1). Mahkamah Militer Internasional (The International Military Tribunal) dengan tempat kedudukan di Nuremberg (1945); (2). Mahkamah Militer Internasional untuk Timur Jauh (The International Military Tribunal for the Far East) dengan tempat kedudukan di Tokyo (1946); (3). Mahkamah Pidana Internasional Ad-Hoc untuk bekas jajahan Yugoslavia (The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia/ICTY) dengan tempat kedudukan di Hague (1996); dan (4). Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (The International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR)-1998 dengan tempat kedudukan di Arusha. 7 Pembentukan kedua Mahkamah Internasional tersebut di atas (butir 3 dan 4) bersifat Ad-Hoc, disebabkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: a. Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat permanen atau ICC sampai saat terjadinya kejahatan internasional di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda belum terbentuk dan berjalan efektif, sekalipun Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional sudah diadopsi pada tahun 1998
5 6
Ibid. Romli Artasasmita, “Pengadilan Pidana Internasional”, Legalitas Online, 1 Juli
2002. 7
Ibid.
578 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
579
b. Kebutuhan yang sangat mendesak untuk mengadili kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda telah menjadi tuntutan masyarakat internasional untuk memulai langkah-langkah konkrit dalam skema perlindungan HAM universal. c. Kebutuhan mendesak untuk mencegah korban yang lebih luas dan melindungi penduduk di kedua daerah tersebut dari ancaman kejahatan terhadap kemanusiaan yang lebih besar lagi; d. Ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma sebagian besar sudah disetujui oleh negara peserta sehingga implementasi ketentuan Statuta Roma tersebut merupakan uji coba seberapa jauh Statuta tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan; e. Konflik bersenjata yang terus menerus di kedua daerah tersebut dan perangkat hukum yang berjalan tidak efektif untuk menyidik dan mengadili kejahatan-kejahatan internasional yang terjadi, memerlukan penanganan yang cepat dan terkendali serta diharapkan dapat segera mengakhiri meluasnya kejahatan internasional tersebut.8 Jika diteliti lebih jauh, landasan pokok pembentukan pengadilan semacam itu merupakan kesepakatan anggota PBB yang duduk dalam Dewan Keamanan. Setelah kesepakatan tercapai dengan quorum yang cukup, maka dikeluarkan resolusi. Sebagai contoh dalam pembentukan Internasional Tribunal for Farmer Yugoslavia yang diawali Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 808 dan 827 tahun 1993. Selain resolusi, payung hukum lain atas dibentuknya pengadilan itu adalah dengan Pasal 24-25 Piagam PBB.9 Dorongan kuat masyarakat internasional untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan perubahan sikap wakil-wakil negara peserta terhadap pembentukan Mahkamah ini terjadi dari tahun 1989 sampai dengan 1998 yaitu dengan berakhirnya Perang Dingin. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (MPI) juga tidak terlepas dari peran penting yang dilakukan oleh Parliamentarians for Global Action (PGA) sehingga terjadi adopsi Statuta Roma tersebut. PGA bekerja sama dengan Non Govermental Organization (NGO) secara terus menerus melakukan kampanye tentang pembentukan Mahkamah Pidana Internasional tersebut. Awal paling signifikan dari kerja keras ini adalah ketika 120 negara (yang ditentang oleh tujuh negara dan abstain ada dua puluh satu), kemudian 139 negara, berhasil menyepakati sebuah piagam yang akan mendasari pembentukan dan operasionalisasinya MPI, yakni 8
Gatra, II/Juli 2002. TB. Romy Rahman Nitibaskara, Pengadilan HAM dan Masyarakat Internasional, Kompas, 20 Februari 2002. 9
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
579
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
580
yang dikenal dengan Statuta Roma ini untuk pertama kalinya ditandatangani negara-negara pada tanggal 17 Juli 1998.10 Sekalipun begitu banyak negara telah menandatangai Statuta Roma, namun MPI tidak dapat segera terbentuk karena ada satu syarat yang sangat berat terlebih dulu harus dipenuhi yakni perjanjian internasional tersebut harus disahkan (diratifikasi) sekurang-kurangnya enam puluh negara. Sejumlah pengamat memperkirakan bahwa jumlah tersebut tidak akan bisa dicapai dalam tempo sepuluh tahun, bahkan ada yang memperkirakan tidak akan pernah tercapai sehingga Statuta Roma hanya akan merupakan perjanjian multilateral lain yang tidak efektif. Namun berkat usaha keras sejumlah negara dan LSM/NGO terutama International Coalition for the International Criminal Court, dalam waktu kurang dari empat tahun sejak Statuta Roma ditandatangani jumlah negara yang meratifikasi sudah melebihi persyaratan minimal untuk instrumen penting itu bisa berlaku (come into force). Pada tanggal resmi berdirinya MPI, 76 negara telah meratifikasinya.11 Meskipun ICC dibentuk untuk menyelesaikan kejahatan internasional dengan segala akibat-akibatnya, namun hal ini tidaklah serta merta diterima oleh seluruh negara anggota PBB karena 3 (tiga) hal sebagai berikut: (1). Pembentukan ICC semula dicurigai oleh negara-negara peserta sebagai salah satu bentuk campur tangan atau intervensi terhadap masalah dalam negeri sehingga dapat menganggu kedaulatan negara; (2). Pembentukan ICC sekalipun diusulkan oleh salah satu negara Afrika (bukan negara maju), tetap tidak mengurangi kecurigaan sebagaimana telah diuraikan dalam butir 1; (3). Draft ICC yang kemudian menjadi Statuta Roma (1998) masih mengandung kelemahan-kelemahan subtansial dan prosedural.12 C. ICC sebagai Organisasi Internasional 1. Kesekretariatan ICC Mahkamah Pidana Internasional berkedudukan di sebuah kompleks perkantoran Hipermoderen De Haagse di pinggiran kota Den Haag, pusat pemerintahan negeri Belanda. Kompleks De Haagse Arc cuma sementara, sebelum pembangunan kantor tetap di pantai Scheveningen benar-benar selesai. Dengan menyediakan De Haagse Arc sebagai kantor, maka Belanda memenuhi syarat sebagai tuan rumah Mahkamah Pidana 10
Kompas, 12 Juli 2002 Kompas, 8 Juli 2002 12 Romli Artasasmita, “Pengadilan" 11
580 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
581
Internasional. Selama 10 tahun pertama, Mahkamah ini secara cuma-cuma dapat menempati perkantoran De Haagse Arc. Ini merupakan hadiah negeri Belanda karena sudah dipilih sebagai ibukota peradilan dunia. Mulai tanggal 1 Juli 2002, setiap pelanggaran hak-hak asasi manusia berat yang digolongkan kejahatan terhadap kemanusiaan bisa dibawa ke hadapan Mahkamah Pidana Internasional. Akan tetapi masih dibutuhkan waktu lama sebelum Mahkamah ini benar-benar menangani kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi setelah 1 Juli 2002. 13 Den Haag, Belanda dipilih sebagai markas besar ICC berdasarkan pertimbangan bahwa Belanda selama ini telah mampu menjadi posisi sentral dalam menangani kasus-kasus yang diajukan kepada ICJ yang juga berkedudukan di sana. Selain itu, Belanda juga merupakan negara kaya yang tidak mudah diintervensi oleh pihak lain, sehingga mampu mewadahi lembaga peradilan dunia tersebut dalam menjalankan tugasnya secara independen. Mahkamah Pidana Internasional tidak mungkin berdiri tanpa dukungan negara-negara adidaya seperti Amerika. Mahkamah Pidana Internasional misalnya sangat membutuhkan kucuran dana untuk menutupi biaya yang sangat besar. Standar gaji para hakim dan jasa mahkamah sama dengan standar gaji sekjen PBB. Dalam hal ini, negaranegara Eropa memikul 80 persen dari seluruh biaya Mahkamah Pidana Internasional, yang tiga perempat anggotanya adalah negara berkembang. Karena Mahkamah Pidana Internasional membutuhkan biaya yang sangat besar dan pendanaaannya bisa menjadi kendala terselenggaranya pengadilan pidana internasional ini, maka ditentukan bahwa dananya dipungut dari semua anggota yang ikut meratifikasi.14 Hal tersebut berbeda dengan ICJ yang memungut biaya dari pihakpihak yang mengajukan sengketa kepadanya, karena dalam ICJ negara sebagai subjek hukum internasionallah yang berhak mengajukan sengketa, sedangkan ICC merupakan peradilan bagi individu atau kelompok yang melakukan kejahatan terhadap hak asasi manusia, sehingga masyarakat internasional sebagai pihak yang dirugikan, berhak mengajukannya kepada ICC. 2. ICC dalam Klasifikasi Organisasi Internasional International Crime Court (ICC) dapat diklasifikasikan sebagai organisasi internasional publik, karena anggotanya terdiri dari pemerintahan dari berbagai negara secara umum. Berdasarkan kriteria 13 14
Suara Pembaharuan, 1 Juli 2002. Kompas, 12 Juli 2002.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
581
582
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
keanggotaan, ICC ini merupakan organisasi yang bersifat universal, karena keanggotaannya heterogen terbuka bagi semua negara dengan berbagai kebudayaan, pandangan politik, struktur ekonomi dan mempunyai tingkat perkembangan yang berbeda-beda. 15 Menurut kriteria pemberian status organisasi internasional yang dibentuk, ICC merupakan organisasi internasional antarpemerintah karena dibentuk antarpemerintah dan tidak mempunyai status di atas negara. Posisi subordinatif adalah antara yang memerintah dan yang diperintah seperti yang berlaku dalam hukum nasional, dalam ICC tidak berlaku, karena diadopsinya prinsip dalam hukum internasional yaitu “prinsip masyarakat bangsa-bangsa” bahwa setiap negara memiliki kedudukan yang sama sebagai subjek hukum internasional. Inilah yang disebut asas equality among states atau prinsip persamaan kedudukan di antara negara-negara.16 Dengan melihat pada lingkup fungsi yang harus dilaksanakan, ICC merupakan organisasi fungsional karena badan ini mempunyai tugas dan fungsi yang terbatas yaitu sebagai badan khusus PBB yang secara spesifik mengadili tindakan pidana yang dilakukan oleh individu atau kelompok dan secara teknis sebagai badan legislatif menangani kasus tersebut secara langsung. 3. Tujuan dan Prinsip ICC Sebagaimana laiaknya suatu organisasi internasional, ICC mempunyai suatu instrumen dasar (constituent instrument) yang memuat prinsip dan tujuan, struktur maupun cara organisasi tersebut bekerja yang terangkum dalam Statuta Roma. Sesungguhnya tugas dan fungsi dari Statuta Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat permanen menggabungkan nilai-nilai kemanusiaan dan pertimbangan kebijakan yang sangat penting, bukan hanya untuk mencapai keadilan, memberantas dan mencegah kejahatan internasional melainkan juga untuk mempersiapkan, memelihara, dan memperkuat perdamaian. Yang sangat penting dari pembentukkan Mahkamah Pidana Internasional adalah bagaimana Mahkamah Pidana Internasional mampu menterjemahkan nilai-nilai moral universal yang diakui masyarakat dunia ke dalam suatu wujud reaksi kolektif yang bersifat positif. Sebagai organisasi pada umumnya, ICC mempunyai tujuan umum yaitu:
15 Mohd, Burhan Tsani. Bahan Perkuliahan Hukum Organisasi Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1997, pp. 9-10. 16 TB. Ronny Rahman Nitibaskara, “Pengadilan HAM dan Masyarakat Internasional”, Kompas, 20 Februari 2002.
582 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
583
a. Mewujudkan dan memelihara perdamaian dunia, serta keamanan internasional. b. Mengurus serta meningkatkan kesejahteraan dunia maupun negara anggota. 17 Adapun tujuan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, diantaranya adalah: (1). Meningkatkan keadilan distributif; (2). Memfasilitasi aksi dari korban; (3). Pencatatan sejarah; (4). Pemaksaan penataan nilai-nilai internasional; (5). Memperkuat resistensi individual; (6). Pendidikan untuk generasi sekarang dan di masa yang akan datang; (7). Mencegah penindasan berkelanjutan atas HAM. 18 Secara umum, tujuan utama keberadaan lembaga tersebut adalah untuk mengadili orang-orang yang bertanggungjawab melakukan kekejaman yang sangat keji. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Mahkamah Pidana Internasional harus melaksanakan tugasnya dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip predictability, consistency, dan keterbukaan serta kejujuran. Dengan terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional ini, berarti sekarang masyarakat internasional memiliki sebuah pengadilan internasional yang mampu menyeret dan menghukum orang-orang semacam Hitler, Pinochet atau Pol Pot di masa yang akan datang. Ada beberapa prinsip-prinsip hukum yang dianut di dalam Statuta Roma (1998), dan telah disetujui oleh segenap peserta Konferensi Diplomatik di Roma. Prinsip-prinsip hukum terpenting adalah sebagai berikut: 1. Prinsip Komplemeritaritas atau Complementarily Principle Prinsip ini dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma (1998), sebagai berikut: “An International Criminal Court shall be a permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes of internasional concern, … shall be complementary to nationl criminal jurisdiction.”
Pengertian “complementary” atau komplementaritas sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma tersebut, adalah bahwa telah disepakati secara bulat untuk seluruh peserta, bahwa jurisdiksi (pengadilan) nasional memiliki tanggung jawab utama untuk melaksanakan
17 18
Mohd. Burhan Tsani, Ibid, p. 11. Romli Artasasmita, “Pengadilan.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
583
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
584
penyelidikan dan penuntutan setiap kejahatan internasional yang menjadi wewenang Mahkamah Pidana Internasional. Prinsip ini menunjukkan bagaimana hubungan antara Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan Nasional. Berdasarkan prinsip tersebut, maka ada 2 (dua) hal yang esensial sebagai berikut: (1). Bahwa sesungguhnya Mahkamah Pidana Internasional merupakan kepanjangan tangan/wewenang dari Pengadilan Nasional dari suatu negara; (2). Bahwa sesungguhnya bekerjanya Mahkamah Pidana Internasional tidak serta merta mengganti kedudukan pengadilan nasional. Kedua hal yang bersifat esensial tersebut di atas dapat diukur dari standar penerimaan dan standards of admissibility19 yang mensyaratkan 4 (empat) keadaan sebagai berikut: 1). Mahkamah Pidana Internasional harus menentukan bahwa suatu kasus adalah tidak dapat diterima oleh Mahkamah, jika: a. Kasus kejahatan internasional sedang disidik atau dituntut oleh sejumlah negara yang memiliki jurisdiksi atas kejahatan internasional tersebut kecuali negara yang bersangkutan tidak mau (unwilling) atau tidak mampu secara sungguh-sungguh (unable genuinely) melaksanakan penyidikan atau penuntutan. b. Kasus kejahatan internasional tersebut telah disidik oleh negara yang bersangkutan, akan tetapi negara yang bersangkutan telah menetapkan untuk tidak menuntut tersangka/terdakwa, kecuali tindakan tersebut disebabkan oleh tidak adanya kehendak atau ketidakmampuan negara yang bersangkutan untuk secara bersungguh-sungguh melakukan penuntutan. c. Terdakwa sudah diadili dan peradilan Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 20 ayat (3). d. Kasus tersebut tidak bersifat serius untuk diteruskan dan diadili oleh Mahkamah. 2. Prinsip “ne bis in idem” (double jeopardy) Prinsip ini diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Statuta Roma (1998) yang berbunyi: “No person shall be tried before another court for a crime referred to ini article 5 for which that person has already been convicted or acquitted by the Court”. Terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 angka 2 diatas, terdapat kekecualian dalam pasal 20 ayat 3 yang berbunyi sebagai berikut:
19
Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma 1998
584 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
585
“No person who has been tried by another Court for conduct also proscribed under articles 6, 7, or 8 shall be tried by the Court with respect to the same conduct unless the proceedings in the Court: a). were the purposes of shielding the person concerned from criminal responsibility for crimes within the jurisdiction of the court; or b). Otherwise were not conducted independently or impartially in accordance with the norms of due process recognized by international law and were conducted in manner which, in circumstances was inconsisten with an intent to bring the person concerned to justice.
Berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat 3 tersebut di atas ditegaskan, bahwa terhadap kejahatan-kejahatan genocide, crime against humanity and war crimes sebagaimana tercantum dalam pasal 6, 7, dan 8, prinsip ne bis in idem dapat dikesampingkan hanya dalam 2 (dua) keadaan sebagaimana telah diuraikan di atas, yaitu: a. Pengadilan nasional dilaksanakan untuk melindungi seseorang/ kelompok orang dari pertanggungjawaban pidana b. Pengadilan nasional tidak dilaksanakan secara bebas dan mandiri sesuai dengan norma-norma “due process” yang diakui Hukum Internasional dan tidak sejalan dengan tujuan membawa keadilan bagi orang/kelompok orang yang bersangkutan. 3. Prinsip “nullum crimen sine lege”. Prinsip ini diatur dalam Pasal 22 yang sangat dikenal dengan asas legalitas, merupakan tiang yang kokoh dan memperkuat supremasi hukum. Yang sangat penting dari Statuta Roma 1998 mengenai asas ini adalah bagi Pasal 22 ayat 2 yaitu berbunyi: “The definition of crime shall be strictly construed and shall not be extended by analogy. In case of ambiguity, the definition shall be interpreted in favour of the person being investigated, prosecuted or convicted”. Dari ketentuan tersebut di atas jelas bahwa sejalan dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocence) jika ada keragu-raguan mengenai materi muatan dalam Statuta Roma ini, maka penafsiran atas ketentuan tersebut harus “berpihak” kepada seseorang yang sedang disidik, dituntut, atau diadili. Ketiga prinsip tersebut di atas hanya sebagian saja dari seluruh prinsip-prinsip yang dimuat dalam Statuta Roma 1998 yang sangat penting dan dapat dikatakan merupakan prinsip-prinsip dasar Statuta tersebut. 4. Kompetensi ICC Berdasarkan Pasal 17, ICC bukanlah pengadilan the first resort, tetapi the last of the last resort karena itu tidak akan merusak kedaulatan domestik negara peserta. ICC menggunakan prinsip remedi domestik bahwa negara peserta tetap mengadili terlebih dahulu pelaku pelanggaran HAM berat. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
585
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
586
Apabila negara tersebut tidak berkeinginan (unwilling) atau ketidaksediaan (unable) untuk serius menuntaskannya, barulah kemudian menjadi jurisdiksi ICC. Oleh karena itu, ICC hanya bersifat pengadilan komplementasi atas pengadilan domestik. ICC tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili delik yang terjadi (ratione temporis) sebelum 1 Juli 2002. Indonesia, jika meratifikasi ICC, maka jurisdiksi ICC hanya pada delik-delik yang terjadi setelah tanggal ratifikasi. Namun, Indonesia tanpa meratifikasi dapat meminta pelaksanaan yurisdiksi ICC dengan terlebih dahulu menyampaikan deklarasi penerimaan kepada Panitera ICC di Den Haag Belanda.20 Semua dugaan delik pelanggaran HAM berat yang mengemuka saat ini tidak termasuk yurisdiksi ICC. Namun, yang perlu dicermati bahwa walaupun delik ini tidak menjadi yurisdiksi ICC, mahkamah internasional tidak tertutup kemungkinan digelar apabila kita dianggap tidak serius menuntaskannya. Melalui Resolusi DK PBB maka dapat dibentuk tribunal internasional (ad hoc court) seperti pembentukan International Tribunal for the Farmer Yugoslavia 1993 (ICTY) dan International Tribunal for Rwanda 1995 (ICTR). ICTY ditetaskan oleh Resolusi DK PBB Nomor 808 dan 827 Tahun 1993, sedangkan ICTR oleh Resolusi DK PBB Nomor 935 dan 955 Tahun 1994 yang disandarkan pada Artikel 24 dan 25 Piagam PBB (Charter of the United Nations). Di sinilah letak perbedaan ICC dengan tribunal internasional karena ICC melaksanakan yurisdiksinya tanpa Resolusi DK PBB dan jurisdiksi delik tribunal internasional “tidak dibatasi” oleh ratione temporis, tetapi tergantung pada kasus yang mau diangkat oleh PBB, di sinilah ratione temporis diidentifikasi. Keseriusan sebuah negara tidak diukur dengan indikator menggelar pengadilan HAM dan orang yang didakwa harus mendapatkan hukuman pidana. Keseriusan juga diukur dari kualitas fair trial yang terbuka, transparan, dan berkesanggupan. Kalau ada terdakwa yang diputus bebas oleh suatu pengadilan yang fair karena tidak terbukti sah dan menyakinkan, maka tidak serta-merta ICC atau PBB menggelar Mahkamah Intenasional. Pengadilan domestik yang menghukum terdakwa dengan sanksi pidana seadanya melalui proses unfair trial, dapat mengundang masuknya dunia internasional. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ICC merupakan suatu organisasi internasional karena sebagai badan PBB yang mempunyai perangkat norma hukum yang berhubungan dengan organisasi
20
Pasal 11 dan 12 Statuta Roma 1998.
586 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
587
internasional tersebut21 serta mempunyai persyaratan sebagai suatu organisasi internasional di antaranya, yaitu: 1. Merupakan suatu organisasi yang permanen untuk melaksanakan serangkaian fungsi yang berkesinambungan, yaitu dalam hal ini untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh individu atau kelompok. 2. Keanggotaannya bersifat sukarela asal memenuhi syarat yang ditentukan. Dengan adanya instrumen retifikasi yang terbuka untuk setiap negara, hal ini menunjukkan sifat kesukarelaannya tersebut. 3. Suatu instrumen pokok yang menyatakan tujuan dan struktur. D. Respon Masyarakat Internasional terhadap Keberadaan ICC 1. ICC bagi Undang-Undang Invasi Amerika Harapan dan kegembiraan yang menyertai kelahiran MPI ternyata tidak terwujud sepenuhnya sebagaimana yang diharapkan para pendukungnya. Dalam suatu pernyataan yang mencengangkan, pada tanggal 3 Mei 2002 pemerintah Amerika Serikat telah mencabut kembali persetujuannya atas Statuta Roma yang telah diberikan negara semasa pemerintahan Clinton. Hal tersebut sangat ironis, ketika komunitas internasional melakukan kohesi melawan penjahat kemanusiaan, Amerika Serikat (AS), yang distigma sebagai police of the world malah menyatakan tidak bergabung sebagai negara peserta. Argumentasi penolakan AS adalah ICC telah mengurangi peran Dewan Keamanan PBB (DK PBB), sebuah sistem yang cacat, dibangun tanpa pengawasan, dan mengancam kedaulatannya.22 Selain hal tersebut di atas, pemerintahan Bush melihat banyak kelemahan dalam Statuta Roma sehingga tidak memungkinkan negaranya menyetujuinya. Di antara alasan-alasan yang diberikan adalah bahwa berdirinya ICC akan menghilangkan sistem check and balances yang diyakini pemerintah AS dalam sistem ketatanegaraannya. Mereka melihat kekuasaan jaksa penuntut akan tidak terkendali. Kemudian berdirinya MPI akan mengambil sebagian dari kewenangan Dewan Keamanan PBB (di mana AS memiliki hak veto). AS juga percaya bahwa kekuasaan mengadili dan menghukum para penjahat tersebut lebih pantas dipegang oleh negara bukan oleh sebuah organisasi.
21
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta: UI Press, 1990),
pp. 1-5. 22
Office of Internatinal Information Programs, US Departement of State, Mei
2002. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
587
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
588
Lebih lanjut, Pierre Prosper, Duta Besar Amerika Serikat untuk Masalah Kejahatan Perang, berkata “The United States is not and will not be a part of ICC,”23. Pengunduran diri Amerika Serikat dari Mahkamah Pidana Internasional ini jelas sebuah pukulan bagi masyarakat internasional dan menunjukkan bahwa Amerika Serikat selalu menerapkan standar ganda dalam banyak hal, termasuk dalam bidang hak asasi manusia. Puncak penolakan Amerika terhadap Mahkamah Pidana Internasional ini adalah apa yang disebut undang-undang invasi, yang memungkinkan Amerika membebaskan warga negaranya, dengan kekerasan, dari penjara milik Mahkamah yang berlokasi di dekat pantai Scheveningen.24 Sebenarnya kekhawatiran Amerika terhadap yuridiksi yang bukan Amerika ini agak berlebihan juga, karena kemungkinan seorang warga negara Amerika sampai diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional sangatlah kecil. Misalnya saja ada seorang prajurit Amerika yang ikut sebuah operasi perdamaian sampai didakwa melakukan kejahatan perang di wilayah negara anggota Mahkamah, maka Amerika Serikat sendiri yang pertama-tama harus mengadili orang ini. Mahkamah Pidana Internasional memang hanya memiliki wewenang yang menambah wewenang pengadilan dalam negeri sebuah negara anggota. Hanya kalau pengadilan nasional sebuah negara anggota tidak mampu mengadili seorang terdakwa, atau bahkan tidak mau, baru Mahkamah Pidana Internasional berwenang sepenuhnya. Menurut penulis, alasan-alasan ini mengada-ada karena sebenarnya Statuta sendiri telah mengantisipasi hal-hal seperti ini. Mungkin alasan sebenarnya adalah kekhawatiran bahwa warga negara atau personel militer AS sendiri kemungkinan akan diseret di hadapan mahkamah ini mengingat negara adidaya ini menempatkan orang-orangnya di sekitar seratus negara di dunia. Aksi-aksi militer negara ini terhadap Irak telah mendorong sejumlah LSM/NGO internasional untuk menempatkan para petinggi AS sendiri sebagai penjahat perang. Sekarang ini bukan mustahil serangan tentara Amerika Serikat ke Afganistan dan ke Iran akan dikategorikan sebagai kejahatan perang, kejahatan agresi, dan mungkin juga sebagai crime against humanity. Pada akhirnya, kepentingan nasional yang menentukan apakah ratifikasi itu dilakukan atau tidak. Dalam koalisi internasional, tempat Amerika Serikat meminta dukungan dalam menghadapi terorisme, skala 23 24
The Straits Times, 30 Maret 2002. Tempo, 14 April 2002.
588 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
589
keangkuhan Amerika Serikat sebaiknya diturunkan. Kita semua tahu bahwa sistem peradilan di Amerika Serikat sudah sangat maju, tapi sebagai bagian dari komunitas antarbangsa, sebuah kebersamaan merupakan prasyarat mutlak yang diperlukan dalam membangun suatu perjuangan yang bahu-membahu. Pada dasarnya, kejahatan internasional adalah musuh kolektif umat manusia. Untuk menghadapinya, kita pun harus secara kolektif berjuang bersama-sama. Mahkamah Pidana Internasional seharusnya menjadi semen pengikat dari koalisi internasional dalam penegakan hak asasi manusia. 2. Implikasi Pembentukan ICC terhadap Kebijakan Legislasi di Bidang Peradilan terhadap Pelanggaran HAM di Indonesia Bertitik tolak pada latar belakang, substansi dan muatan ketentuan dalam Statuta Roma (1998), maka Indonesia yang merupakan anggota PBB dan peserta aktif dalam Konferensi Diplomatik yang membahas Statuta Roma tersebut sangat berkepentingan untuk terus menerus mengikuti dan memantau pembahasan-pembahasan dalam Sidang Persiapan Konferensi Diplomatik di New York sejak bulan Maret 1999 sampai dengan bulan Desember 2000. Perkembangan situasi politik dan keamanan di wilayah Republik Indonesia sejak masa Pemerintahan Orde Baru sampai saat ini telah membuktikan berbagai tindakan-tindakan kekerasaan oleh aparatur negara terhadap perorangan atau kelompok dalam masyarakat yang telah menimbulkan korban yang sangat banyak dan menyengsarakan. Pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi selama kurun waktu kurang dari 50 tahun Indonesia Merdeka telah menunjukkan bahwa suatu proses peradilan atas pelaku pelanggaran HAM merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM selama Orde Baru dan peristiwa Timor Timur telah meningkatkan intensitas tekanan-tekanan sosial baik di dalam negeri maupun di luar negeri terhadap pemerintah Indonesia untuk segera melakukan langkah-langkah konkrit mencegah dan mengatasi pelanggaran HAM yang lebih luas lagi dan menimbulkan korban yang lebih besar. Langkah-langkah pemerintah di bidang legislasi untuk menghadapi pelanggaran HAM sudah dimulai dengan upaya pemerintah untuk meratifikasi konvensi-konvensi HAM (antara lain Konvensi Menentang Penyiksaan dan Konvensi Anti Ras Diskriminasi), kemudian dilanjutkan dengan penyusunan peraturan perudang-undangan yang melindungi HAM (Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan PERPU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM).
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
589
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
590
Implikasi pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dalam Statuta Roma (1998) terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia sangat mendasar karena beberapa sebab sebagai berikut: (1). Pelanggaran HAM yang sangat berat (serious violation of human right) sudah merupakan dan dipandang oleh seluruh masyarakat internasional sebagai “serious crimes of international concern” sehingga pelanggaran HAM yang sangat berat bukan semata-mata masalah hukum nasional, melainkan merupakan masalah hukum internasional. Konsekuensi logis dari dasar pemikiran tersebut, peradilan atas pelanggaran HAM yang sangat berat bukan semata-mata jurisdiksi pengadilan nasional melainkan juga merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. (2). Penggolongan atas pelanggaran HAM yang sangat berat sebagaimana dimuat dalam Pasal 5, 6, 7, dan 8 Statuta Roma 1998, bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) sehingga penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan suatu pengadilan terhadap kejahatan ini memerlukan pengaturan secara khusus dan berbeda dengan pengaturan dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku seperti KUHP dan Undang-undang Pidana Khusus lainnya. (3). Institusi yang relevan dan sesuai untuk memeriksa, dan menyidik pelanggaran HAM yang berat memerlukan prasarana dan sarana secara khusus yang memadai sehingga proses peradilan atas kasuskasus pelanggaran HAM yang berat dapat dilaksanakan secara “impartial”, “fair” dan “transparan” dengan mengacu kepada standar yang diakui berdasarkan hukum Internasional. 25 Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka perubahan mendasar dalam sistem peradilan pidana Indonesia tidak dapat dielakkan. Perubahan mendasar tersebut adalah: (1). Diperlukan pembentukkan Pengadilan HAM Permanen sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dan dalam sistem kekuasaan kehakiman sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 199 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (2). Diperlukan Hukum Acara Khusus, jika perlu ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari asas-asas umum hukum acara pidana untuk peradilan pelanggaran HAM yang sangat berat. (3). Diperlukan lembaga khusus yang diberi wewenang melakukan penyelidikan seperti Komnas HAM dan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang sudah ada. 25
A. Irmanputra Sidin, Ibid.
590 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
591
(4). Diperlukan penyidik khusus dan Jaksa Penuntut Umum Khusus serta Hakim Khusus seperti Penyidik Ad-Hoc, jaksa dan Hakim Ad-Hoc. (5). Diperlukan sistem pemidanaan tertentu yang berbeda dengan sistem pemidanaan yang berlaku umum, dimana memungkinkan ancaman pidana yang dapat dijatuhkan adalah hukuman seumur hidup.26 Indonesia hingga saat ini juga masih enggan untuk meratifikasi ICC, padahal kesiapan sistem penegakan hukum HAM sudah memadai. Perangkat subtansi hukum (legal subtances) terdapat Pasal 28 Perubahan II UUD 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM, Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM. Pada struktur hukum (legal structure), kita memiliki pengadilan HAM permanen yang memiliki hakim ad hoc dan penuntut ad hoc. Penyelidikan atas kasus Pelanggaran HAM berat Juga diberikan Ekslusif kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).27 Meskipun demikian, secara politik posisi itu tidak menguntungkan Indonesia karena seolah-olah Indonesia berniat melindungi para pelaku pelanggaran berat HAM. Mahkamah Pidana Internasional, sebenarnya jauh lebih tidak bersifat politis dibanding keberadaan International Criminal Tribual yang bersifat ad hoc. Pemerintah Indonesia dalam hal ini memilih untuk aksesi yaitu keputusan untuk menyetujui subtansi Statuta Roma, namun belum bersifat mengikat karena belum meratifikasi statuta tersebut. Edi Sutopo, staff Departemen Luar Negeri, mengemukakan bahwa di pihak pemerintah ada dua kecenderungan yang berkembang. Pertama bahwa opsi ratifikasi tetap terbuka. Opsi kedua, bersikap menunggu dengan melihat terlebih dahulu kinerja Mahkamah Pidana Intenasional sembari meningkatkan pengadilan HAM di dalam negeri. Sekjen Komisi Nasional (Komnas) HAM pada saat itu, Asmara Nababan berpendapat tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda-nunda ratifikasi. 28 Statuta Roma karena nasionalisme tidak bisa lagi dipertentangkan dengan universalisme dan humanisme. Apalagi konstitusi telah menyebutkan dengan jelas bahwa negara, terutama pemerintah, berkewajiban memajukan HAM. Mahkamah Pidana Internasional hanyalah pilihan terakhir ketika mekanisme nasional gagal mengadili para pelaku pelanggaran berat HAM. Ratifikasi itu penting, karena ada potensi pelanggaran HAM makin besar di Indonesia, antara lain berkaitan dengan 26
Kompas, 30 Juli 2002. Hatta, "Menyambut Kelahiran Mahkamah Internasional", Tempo, 1 Juli 2002. 28 Kompas, 4 April 2002. 27
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
591
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
592
kasus di Aceh dan Papua. Ratifikasi Statuta Roma akan menyudahi pendekatan-pendektanan militeristik dan represif dalam menyelesaikan masalah-masalah seperti itu.29 Oleh karena itu, tampaknya Indonesia tidak bisa lepas dari tanggung jawab internasional atas delik pelanggaran HAM berat. Di tengah menyempitnya kedaulatan domestik atas kasus pelanggaran HAM berat, maka cara yang terbaik adalah Indonesia memilih jalur “berjalan menuju Roma” atau meratifikasi ICC. Pertimbangan politisnya, bahwa setelah runtuhnya Uni Soviet maka tidak ada lagi blok yang mengimbangi hegemonik AS dan karenanya kohesi internasional ICC akan muncul sebagai blok baru. Kohesi ICC akan mengimbangi hegemonik AS (blok lama) terlebih lagi setelah AS menyatakan diri tidak berkohesi dengan komunitas ICC. Kita tidak memprediksikan bahwa negara-negara yang kurang respek dengan Indonesia (anggapan melindungi teroris) akan menganggu ketenangan domestik. Pertimbangan hukumnya, ICC perlu untuk terbentuknya kepastian hukum dan sebagai sarana hukum terakhir dalam menangani kasus pidana berat yang terjadi di Indonesia dan tidak dapat ditangani oleh perangkat hukum nasional. Dan dengan keikutsertaan Indonesia dalam ICC, maka keberadaan Indonesia sebagai subyek hukum Internasional lebih diakui. E. Penutup Bagi masyarakat internasional, terbentuknya ICC cukup memberi harapan bagi mereka yang bercita-cita menegakkan Rule of Law secara internasional. Di mana kepentingan hukum ditempatkan di atas kepentingan politik. Demokratisasi yang mewarnai proses negoisasi serta partisipasi yang sangat luas dalam rangka mewujudkan lembaga peradilan internasional ini tampaknya mengalahkan pertimbangan-pertimbangan politik dan ideologis. Amerika Serikat nampaknya tetap berupaya menghindari Mahkamah Pidana Internasional, dengan alasan Amerika sudah mengancam untuk menggunakan kekerasan militer dalam upaya membebaskan warganya kalau sampai ada yang ditahan oleh Mahkamah Pidana Internasional. Argumentasi penolakan AS bahwa ICC telah mengurangi peran Dewan Keamanan PBB (DK PBB), sebuah sistem yang cacat, dibangun tanpa pengawasan dan mengancam kedaulatannya adalah alasan yang mengadaada.
29
Kompas, 4 April 2002.
592 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
593
Mendukung ICC merupakan suatu langkah yang positif bagi suatu negara yang kini sedang disorot akibat pelanggaran HAM para aparatnya di masa lampau, terlebih lagi dengan adanya isu terorisme di Indonesia. Setidak-tidaknya ada dua aspek positif jika kita menjadi pendukung ICC. Pertama, terangkat citra kita sebagai negara yang memiliki keinginan politik untuk melihat para pelanggara HAM berat diadili dan dijatuhi hukuman seadil-adilnya menurut ukuran negara-negara beradab. Kedua, mendukung ICC berarti akan memperkuat usaha penegakan hukum di dalam negeri sendiri, paling tidak Pengadilan HAM benar-benar akan melaksanakan proses hukum secara benar (due process of Law), jika Indonesia tidak ingin diaggap “unwilling of unable”. Indonesia hendaknya selalu peka terhadap situasi yang terjadi dalam dunia internasional khususnya sekarang ini masyarakat sedang dihebohkan dengan adanya isu teroris yang mengancam keselamatan umat manusia seluruhnya. Terlebih lagi, banyaknya anggapan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara “gembong teroris”, harus disikapi dan dibuktikan kepada dunia atas ketidakbenaran hal tersebut. Hal ini sangat penting mengingat terancamnya kedaulatan negara serta keselamatan rakyat Indonesia baik yang berada di luar maupun di dalam negeri akan adanya kecurigaan tersebut. Maka pemerintah harus segera membuat hukum positif yang menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang cinta damai serta menghargai HAM. Undang-undang yang melindungi hak-hak warga negara dalam bidang apapun baik itu perbuatan ataupun pendidikan, hendakya menjadi agenda penting yang harus segera dilaksanakan.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
593
594
Lindra Darnela: Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi…
Daftar Pustaka Artasasmita, Romli, Pengadilan Pidana Internasional, Legalitas Online, 1 Juli 2002. Bandoro, Bartanto, Asasi Manusia; Korban Perang Dingin, Pelajaran dan Agenda untuk Indonesia, Analisis CSIS 2, 1994. Hatta, "Menyambut Kelahiran Mahkamag Internasional", Tempo, 1 Juli 2002. Nitibaskara, TB. Ronny Rahman, "Pengadilan HAM dan Masyarakat Internasional", Kompas, 20 Februari 2002. Sidin, A. Irmanputra, "Berjalan Menuju Roma (Refleksi Berlakunya Statuta Roma)", Kompas, 13 Juli 2002. Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Organisasi Internasional, Jakarta: UI Press, 1990. Tsani, Mohd. Burhan, Bahan Perkuliahan Hukum Organisasi Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1997. ________, Gatra, II/Juli 2002. ________, Kompas, 30 Juli 2002. ________, Kompas, 4 April 2002. ________, Kompas, 12 Juli 2002. ________, Kompas, 8 Juli 2002. ________, Office of International Information Programs, US Departement of State, Mei 2002. ________, Statuta Mahkamah Internasional. ________, Statuta Roma 1998. ________, Suara Pembaruan, 1 Juli 2002. ________, The Straits Times, 30 Maret 2002. ________, Tempo, 14 April 2002.
594 SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 2, Februari 2009
Indeks Jurnal SOSIO-RELIGIA Vol. 7 No. 1 November 2007 s.d. Vol. 8 No. 2 Februari 2008 Vol. 7 No. 1 November 2007 Binti Maunah Damanhur Maragustam Nur Efendi Ahmad Muhtadi Anshor Sri Eka Astutiningsih Samsul Hadi Hikmah Endraswati Ifan Luthfian Noor Syamsul Anwar Muyassarotussolichah Umy Zahroh Yasin Baidi Pujiono
Puncak Sufisme dalam Perspektif Al-Ghazali (Telaah Komparasi antara Ma'rifat dengan Ittihad-Hulul) Sikap Masyarakat terhadap Double Tax di Nanggroe Aceh Darussalam Tantangan Pendidikan Nilai-nilai Spiritual Keagamaan di Era Globalisasi Terorisme dan Dialektika Interpretasi Hegemonik Perspektif Keagamaan Fundamentalisme Islam Menimbang Pendidikan Pluralis-Multikultural: Perspektif Pendidikan Islam Kewajiban dan Hak-hak Non Muslim (Tinjauan terhadap Teori Politik Ibn Taimiyyah) Achieving Cultural Excellence: Personality Factor dalam Perspektif Islam Gender, Feminisme, dan Perananan Media Hadis-hadis tentang Hari Raya Bertepatan dengan Hari Jum'at: Suatu Analisis Astronomi Aliran Teori Hukum Kritis: Analisis Ekonomi terhadap Hukum (The Analysis of Law) dalam Jurisprudence: Hilaire McCoubrey and Nigel D. White Agama sebagai Sistem Budaya (Telaah Kritis Pemikiran Cliffort Geertz) Perubahan Konstitusi di Indonesia: Tidak Perlu Lagi Perubahan Pasca Perubahan Keempat Mampukah GCG Meningkatkan Kinerja Perusahaan? Vol. 7 No. 2 Februari 2008
Kutbuddin Aibak Aning Ayu Kusumawati Imam Annas Mushlihin Iswantoro Miftah Arifin Nurmuludin dan Muchammad Abrori Moh. Kharis Ening Herniti Ali Anwar
Penalaran Ta’līli dan Pembaharuan Hukum Islam (Telaah Corak Penalaran Ta’līli dalam Upaya Penerapan Maqāsid al-Syarī’ah) Novel Genijora Karya Abidah El Khalieqy: Analisis Kritik Sastra Feminis Analisis Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah Otonomi Daerah, Reforma Agraria, dan Perlindungan Kepemilikan Hak Ulayat Pembaruan Tasawuf Nusantara: Kasus di Abad XVII–XIX M. Jaringan Komputer di UIN Sunan Kalijaga Pendekatan Etika Terhadap Pluralisme Agama Alih Kode dan Campur Kode Bahasa Jawa dalam Pemakaian Bahasa Indonesia Pesantren pada Masa Kolonial dan Pasca Kemerdekaan
أ
M. Zainuddin H. Nihaya M. Bahrul Ulum Ambo Asse Badrun Alaena Muhammad Ramli
Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Pendidikan Menuju Pendidikan Demokratis Kerawanan Kerukunan Antar Umat Beragama di Era Reformasi (Studi Kasus Konflik Sosial di Kota Makassar dan Kabupaten Luwu) Penguasaan Iptek yang Berwawasan Moral Memasuki Era Persaingan Global Hadis tentang Pencegahan Kemungkaran (Studi Kritis terhadap Sanad dan Matan) Islam dan Hegemoni Budaya Global Kualitas Manajemen Kerukunan Umat Beragama dalam Upaya Menghindari Konflik SARA (Studi Kasus di Kota Makassar) Vol. 7 No. 3 Mei 2008
Ahmad Yani Anshori Soegeng Soetedja Musafir Pababbari Sunaryati Ramli Abdul Wahid Muhamad Nafik H. R. Siti Aminah Muyassarotussolichah M. Zainuddin Ali Masyhar Zainul Fuad Jani Elly Herlyana Tobroni Abdullah Zailani Misnen Ardiansyah
Politik Hukum di Iran dalam Perspektif Sejarah dan Pembaharuan Hukum Analisis Akuntansi sebagai Salah Satu Tahapan dalam Menilai “Nilai Perusahaan” Berbasis Laporan Keuangan Katup Pengaman Sosial: Kajian Sosiologis Tarekat Qadiriyah di Polmas Sulawesi Barat ORI: Berinvestasi atau Berspekulasi? Intensitas Penggunaan Hadis dan Atsar di dalam Tafsir Tarjuman al-Mustafid Karya `Abd ar-Ra’uf Sinkel (1615– 1693 M.) Sistem Margin Trading dan Strategi dalam Menutup Sisa Margin pada Perdagangan Saham di Bursa Efek: Perspektif Fiqh Muamalah Zakat dalam Konteks Keindonesiaan (Sebuah Upaya Rekontekstualisasi) Marital Rape pada Masyarakat: Kasus Marital Rape yang Terlapor di Rifka Annisa Tahun 2001-2006 Perubahan Sosial dalam Perspektif Sosiologi Pendidikan Kriminalisasi Human Trafficking sebagai Reaksi atas Ancaman Terselubung bagi Kemanusiaan Perkembangan Komunitas Ahlul Bayt di Sumatera Utara Peran Kompetensi Guru PAI dalam Proses Pembelajaran Gerakan Islam Politik: Angan-Angan Persatuan dalam Keterpecahan Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam: Mencari Format Baru Manajemen yang Efektif di Era Globalisasi Manajemen Pelatihan Kerja Karyawan Mengekang Oportunisme Manajer melalui Penerapan Good Corporate Governance Vol. 7 No. 4 Agustus 2008
Ali Anwar
Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan
ب
Ahmad Bahiej Bunyana Sholihin Firdaus Mukhsin Nyak Umar Udiyo Basuki Yasin Baidi Ibnu Burdah H. Zainuddin Nunung Rodliyah M. Jazeri Sangkot Sirait Shobahussurur Rosmaniah Hamid Dyah Sawitri Budi Ruhiatudin
di Indonesia Perbandingan Jenis Pidana dan Tindakan dalam KUHP Norwegia, Belanda, Indonesia, dan RUU KUHP Indonesia Qiyas sebagai Teori Dinamika Hukum dalam Islam Ijtihad dan Perubahan Hukum Islam Eksistensi Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia (Kajian Singkat Kitab "Fiqh Indonesia") Pemerintahan Lokal: Tinjauan Yuridis atas Hubungan Hierarkis Antara Propinsi dan Kabupaten Speaking in God’s Name: Menggeser Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif Perspektif Khaled M. Abou El-Fadl Theodor Herzl (Yahudi, Zionisme, dan Negara Israel) Pandangan Maulana Muhammad Ali tentang Dajjal, Ya'juj dan Ma'juj Fungsi ‘Iddah bagi Perempuan dalam Perspektif Hukum Perkawinan Islam Pertarungan Simbolik dalam Wacana Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia: Perspektif Analisis Wacana Kritis Pemikiran Islam Modern di Indonesia Spiritualisme dalam Islam: Telaah Pemikiran Hamka Hadis-Hadis Keluarga Sakinah ‘Aisyiyah dan Implementasinya pada Warga ‘Aisyiyah di Kota Makassar Program Pelatihan dan Pengembangan Manajemen Sumber Daya Manusia: Perspektif Teori Strategik Konstitusionalitas Hukuman Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia Edisi khusus Agustus 2008
Syahabuddin
Syafa’ul Mudawam Aswadi Syuhadak M. Tauchid Noor Mohammad Nizarul Alim, Prasetyono, dan M. Mahfud Efendi Soegeng Soetedja Usman
Membaca Gelombang Politik Hukum Islam Pemerintah Kolonial Belanda (Melacak Sisi Historis tentang Dominasi Pengadilan Negeri daripada Pengadilan Agama) Historiografi Kodifikasi As Sunnah (Metodologi Kajian Tentang Tadwin as-Sunnah al-Nabawiyah) Kajian syifa' dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib al-Razi Peran Komisi Pemilihan Umum Daerah terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Blitar Prospek dan Kendala Revitalisasi Lembaga Ekonomi (Syariah) di Daerah Pesisir (Field Study di Kabupaten Pamekasan Madura) Fenomena Manajemen Laba Asas Egalitarianisme dalam Islam (Sebuah Kajian tentang Hak-hak Politik Non-Muslim di Tengah-tengah
ت
Witriani Slamet Haryono Sokip Murtono
Mayoritas Muslim di Kota Makassar) The Social Change of the American Jews, and Solidarity toward Israel Kenapa Terjadi Manajemen Laba? Psikoanalisis dalam Relasi Agama dan Sains Photovoltaic (Sel Surya) sebagai Energi Alternatif Masa Mendatang yang Murah dan Ramah Lingkungan Vol. 8 No. 1 November 2008
Munjin Binti Maunah Moh. Asror Yusuf Abdul Ghofur Noer M. Danial Djalaluddin Abu Bakar Abak Malik Ibrahim
Mahendra Wijaya Muyassarotussolichah
Agung Listiadi Endang Sulistya Rini Edy Sujana Ikhwan Munawir Susy Yunita Prabawati & Bagus Sulasmono Sidik Ngurawan
The Causal Factors of Diversity in Islam Perilaku Santri dalam Proses Interaksi Sosial (Studi Komparasi Perilaku Santri Pesantren Mahasiswa dan Ma’had Aly di Pondok Pesantren Al-Hikam Malang) Pengkajian Kitab Akidah di Pesantren Keragaman dan Cara Pandang terhadap Umat Beragama Lain Bahasa Arab di Era Global Otentifikasi Akseleratif Antara As-Sunnah dan AlQur’an (Model Kajian Sumber Tasyri’ al-Islami) Memaksimalkan Peran Program Studi Agama Islam pada Perguruan Tinggi Agama Islam terhadap Upaya Mengurangi Tingkat Pengangguran Sarjana (Suatu Pemikiran Awal) Perubahan Ethos Kerja Pengusaha Muslim dan Perkembangan Ekonomi Komersial Ganda Mekanisme Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Pra dan Pasca Undang-undang NO. 3 Tahun 2007 Tentang Peradilan Agama: Antara Peluang dan Tantangan Penerapan Etika dalam Penggunaan Sistem Informasi Pengaruh Economic Content, Resource Content dan Social Content terhadap Kepercayaan, Kepuasan, dan Komitmen serta Relationship Intention Nasabah Bank Tekanan Anggaran Waktu, Multiple Role, Kepemimpinan, Dukungan Sosial dan Locus of Control Sebagai Stressor Mempengaruhi Perilaku Disfungsional Auditor Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM (Peranan Wilayah al-Mazhalim) Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian dalam Perspektif Hukum Tinjauan Ilmu Kimia dan Fiqh terhadap Pemanfaatan Kotoran Burung Puyuh Analisis Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nasional dalam Kerangka Meningkatkan SDM di Indonesia
ث
Vol. 8 No. 2 Februari 2009 Mukhsin Nyak Umar Arsyad Sobby Kesuma Moh. Shofiyul Huda MF Muhmidayeli Subhan MA Rachman Khamidinal Khairunnas Rajab Akhmad Mujahidin Muslimin Sunarsih Akhyak Nur Ahid Prim Masrokan Mutohar Nanik Sri Rahayu Ibnu Qizam Lindra Darnela
Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa: Suatu Analisis dengan Pendekatan Fiqh al-Hadis Islam dan Demokrasi (Menelusuri Makna dan Respons Intelektual Muslim) Rekonstruksi Studi Hukum Islam di Indonesia Filsafat Khudhi Muhammad Iqbal: Sebuah Analisis Epistemik Pendidikan dalam Konteks Teori Perubahan Masyarakat Pandangan Fiqh tentang Cek (Telaah Fiqhiyyah terhadap Alat Transaksi Pembayaran Modern) Tinjauan Keseimbangan Unsur-unsur Kimia dalam Teori Kesehatan Ibnu Sina Psikologi Ibadah: Sebuah Kajian Kesehatan Mental Islam Lintasan Pemikiran Ekonomi Islam Perilaku Masyarakat Kota Makassar terhadap Bank Syari'ah Asuransi Syariah Merupakan Salah Satu Cara Untuk Menanggulangi Risiko Keluar dari Kemelut Krisis Pendidikan Islam (Ke Arah Reformulasi Paradigma Filosofis) Problematika Madrasah Aliyah Diniyah di Indonesia Implementasi Manajemen Mutu Terpadu dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Islam Pendekatan Proses dalam Pembelajaran Menulis Peran Budaya dalam Disain Penelitian Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi International Criminal Court bagi Terjaminnya HAM di Indonesia
ج
Submission Naskah yang dikirim ke redaksi SOSIO-RELIGIA akan dipertimbangkan untuk dimuat jika memenuhi kriteria sebagai berikut. 1. Judul berkaitan dengan kajian keagamaan dan sosial. 2. Bersifat ilmiah. 3. Naskah dapat menggunakan bahasa Indonesia, Arab, Inggris atau asing lainnya dengan disertai abstrak berbahasa Indonesia. 4. Mencantumkan kata kunci, referensi lengkap dengan model footnote (catatan kaki) dan disertai daftar pustaka. 5. Diketik spasi ganda (2 spasi) program MS Word dengan panjang naskah 15-30 halaman kwarto. 6. Menyertakan naskah asli (print out) satu buah dengan disertai CD (master) atau file naskah dikirimkan ke email
[email protected] atau
[email protected] Contoh model catatan kaki: 1 2 3
Fuad Hasan, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1990), p. 145. Ibid., p. 146. Fuad Hasan, Pengantar Filsafat…, pp. 147-148.
Daftar pustaka ditulis secara alfabetis, contoh: Daftar Pustaka Brinton, Crane, The Shaping of The Modern Mind, New York: A Mentor Book, 1989. Eddwards, Paul, The Encyclopedia of Philosophy, Vol. III, New York: Macmillan Publishing Co., Inc. and The Free Press, 1967. Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
Merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh LinkSAS (Lingkar Studi Ilmu Agama dan Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial Ilmu Sosial), sebuah forum diskusi yang membahas seputar kajian agama dan sosial (humaniora). Redaksi membuka kesempatan kepada berbagai kalangan untuk berpartisipasi dalam mengembangkan wacana keislaman yang humanis dengan karyakarya aspiratif-komunikatif. Tulisan tidak mencerminkan mainstream SOSIO-RELIGIA dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
SOSIO-RELIGIA