Jurnal Lex Publica
JURNAL
LEX PUBLICA ASOSIASI PIMPINAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM INDONESIA
DAFTAR ISI
Vol. I. No. 2, Mei 2015 DARI REDAKSI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA RATIFIKASI THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION DAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA Kristian S.H. Dan Dr. P. Lindawaty S. Sewu S.H., M.Hum., M.Kn ............ hal. 101 - 118 NASIONALISASI HUKUM PIDANA DAN HUKUM ACARA PIDANA DAN KEHARUSAN PERADABAN Dr. Syaiful Bakhri, SH., MH ………. hal. 119 - 142 BUDAYA HUKUM MASYARAKAT TERHADAP FENOMENA PENGIRIMAN TENAGA KERJA MIGRAN SEBAGAI SALAH SATUBENTUK PERBUDAKAN MODERN DARI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Oleh : Dr. Henny Nuraeny, SH. MH ………… hal. 143 - 152 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY DALAM Oleh: Henry Arianto ………. hal. 153 - 164 PENYELESAIAN MALPRAKTEK DI BIDANG KEDOKTERAN DALAM SISTEM PERADILAN INDONESIA Oleh : Dr. Laksanto Utomo S.H., M.H ………. hal. 165 - 179 MINIMALISASI DISPARITAS PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI AJARAN DUALISTIS Oleh : Sari Mandiana, SH. MS ………. hal. 180 - 188 IMPLEMENTASI DESENTRALISASI KEWENANGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR DI KALIMANTAN BARAT Oleh : Hj. Yenny AS, SH, MH ………. hal. 189 - 204 PETUNJUK PENULISAN ……. hal. 205 - 208
99i
Jurnal Lex Publica
Pengantar Redaksi...... LEX PUBLICA
Dari aspek kajian filsafat, orientasi konsep pendidikan ilmu hukum pada umumnya tertuju pada perilaku positif eksistensi manusia. Penempatan etika ke ilmu filsafat kecenderungan dimaksudkan agar manusia memudahkan secara terstruktur memperoleh kebenaran. Begitu juga dalam mengurai konsep filsafat pada bidang pendidikan ilmu hukum. Dalam perjalanan waktu yang begitu panjang, interpretasi oleh orang-orang cerdas dimasanya, filsafat dianggap sebagai suatu ilmu yang dapat dikatagorikan paling tua. Memasuki kehidupan peradaban yang serba modern, apabila sifat olah pikir yang menghasilkan konsep positif yang dianggap universal bagi peradaban manusia melalui pemikiran para filsuf, maka pengenalan atas hukum diyakini tidak terlepas dari kontribusi positif filosof bidang ilmu hukum masa lalu. Landasan temuan teori-teori hukum menjadi berkembang justru karena kedudukan filsafat ilmu pengetahuan atau disingkat filsafat ilmu yang mendorong mengkaji pelbagai masalah filosofis yang berhubungan dengan ilmu-ilmu modern, seperti makna dan interpretasi tentang konsep-konsep ilmiah, hukum-hukum dan teori-teori, struktur logis ilmu, dan metodologi berpikir guna mencapai tujuan memperoleh pemikiran-pemikiran yang terbarukan. Kedudukan filsafat pengetahuan menyoroti gejala pengetahuan manusia berdasarkan sudut sebab akibat; Pertama, Pokok bahasannya antara lain: apakah suatu pengetahuan itu benar dan tetap terpercaya, tidak berubah atau berubah-ubah terus, bergerak dan berkembang; dan jika berkembang, ke manakah arah perkembangannya. Ilmu dan pengetahuan sering dikacaubalaukan. Kedua, kata tersebut dianggap memiliki persamaan arti, bahkan ilmu dan pengetahuan dirangkum menjadi ilmu pengetahuan. Namun, kedua kata itu berdiri sendiri-sendiri. Berbasis peran filsafat, perkembangan teori ilmu hukumpun tiada henti. Teori hukum responsip misalnya, hal tersebut merupakan wujud dorongan dan tatangan bagaimana mewujudkan konsep hukum yang ideal yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Dalam kapasitas tersebut, harapannya juga tertuju pada pembaca jurnal ini, untuk terus berpikir dan berkarya. Maka kemudian, Jurnal Ilmiah Hukum “Lex Publica” ini, layak dijadikan sarana rembuk para pemikir kritis di bidang ilmu hukum. Untuk itu setiap penerbitan “Lex Publica“, harus mampu menjadi hasil refleksi kajian yang obyektif dari suatu peristiwa hukum yang berdasarkan kaidah ilmiah, sekaligus dapat diwujudkan sebagai korektif penegakkan hukum. Bagi para pembaca yang berkehendak urun karya kajian ilmiah, redaksi sangat terbuka menerimanya. Mudah-mudahan keberadaan Jurnal ”Lex Publica” terus berkiprah untuk kemanfaatan kita bersama.
Salam Redaksi
Suradjiman
100 ii
Jurnal Lex Publica
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA RATIFIKASI THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION DAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh: Kristian S.H.1 Dan Dr. P. Lindawaty S. Sewu S.H., M.Hum., M.Kn.2
Abstrak Meningkatnya kasus tindak pidana korupsi dari tahun ke tahun telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Mengingat bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat, tindak pidana korupsi tidak hanya telah merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas dan dalam jangka panjang akan membawa bencana bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan termasuk dalam kejahatan yang dilakukan dengan tersistematis, terorganisir. Tindak pidana korupsi dilakukan juga dengan dimensi-dimensi kejahatan yang selalu baru (new dimention of crime) bahkan dilakukan melampaui lintas batas negara (transnational crime), dampak dari tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang berdampak luar biasa. Hal tersebut menimbulkan kesadaran bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan dengan cara-cara luar biasa (extra ordinary treatment). Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama lebih dari 60 tahun telah dilakukan, baik pada era Orde Lama dan Orde baru, maupun pada Era Reformasi, serta Era Baru pemerintahan saat ini. Namun upaya yang dilakukan ternyata belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan hasil survei lembaga rating kaliber dunia berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi telah menempatkan Indonesia ke dalam peringkat teratas di Asia atau sekurang-kurangnya ke dalam kelompok sepuluh besar negara terkorup di dunia. Menanggapi hal ini, sudah tentu hukum harus kembali mengambil peranannya sebagai alat untuk menciptakan masyarakat yang aman, adil, makmur dan sejahtera yakni dengan melakukan penindakan dan pencegahan dilakukannya tindak pidana korupsi. Pada tanggal 18 April 2006 lalu Indonesia telah meratifikasi The United Nations Convention Against Corruption melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003). Namun sangat disayangkan, ratifikasi The United Nations Convention Against Corruption melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini dikarenakan masih banyak prinsip-prinsip yang terdapat dalam The United Nations Convention Against Corruption belum diadopsi oleh peraturan perundang-undangan nasional khususnya peraturan perundang-undangan yang menyangkut pemberantasan tindak pidana korupsi yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kata Kunci: Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, The United Nations Convention Against Corruption, 2003, Pembaharuan Hukum Pidana.
1 2
Dosen Luar Biasa pada Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha, Bandung. Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha, Bandung.
101
Jurnal Lex Publica,Jurnal Vol. I,Lex No. Publica 2, Mei 2015, hal. 101 - 118
Abstract The increasing cases of corruption over the years has caused huge losses to the state, which in turn may have an impact on the onset of the crisis in various fields. Given that corruption in Indonesia occurred in a systematic and widespread and scope that enters all aspects of society, corruption has not only been detrimental to state finance, but also has violated the social rights and economic society at large and in the long run will bring disaster for society, nation and state. Therefore, corruption can no longer be classified as an ordinary crime but is included in the crimes committed by tersistematis, organized. Corruption carried out also with dimensions that are always new crimes (new dimention of crime) even performed beyond the cross-border (transnational crime), the impact of corruption is an extraordinary crime that impacts. This raises awareness that the eradication of corruption needs to be done in ways remarkable (extraordinary treatment). Efforts to eradicate corruption which for more than 60 years has been carried out, both in the era of the Old Order and New Order, as well as in the Reform Era, as well as New Era current administration. But it turns out the efforts made have not shown the expected results. This is evidenced by the results of the survey rating agencies world-caliber associated with the eradication of corruption has put Indonesia into the top ranking in Asia or at least into groups of ten most corrupt countries in the world. In response to this, of course, the law must re-take the role as a tool to create communities that are safe, equitable, and prosperous that by doing repression and prevention of corruption. On April 18, 2006 Indonesia has ratified the United Nations Convention Against Corruption through Law of the Republic of Indonesia Number 7 of 2006 on Ratification UNITED NATIONS Convention against Corruption, 2003 (UNITED NATIONS CONVENTION ON ANTICORRUPTION, 2003). Unfortunately, the ratification of the United Nations Convention Against Corruption through Law No. 7 of 2006 can not be executed properly. This is because there are many principles contained in the United Nations Convention against Corruption has not been adopted by the national legislation, especially legislation pertaining to the eradication of corruption the Law of the Republic of Indonesia Number 31 of 1999 as amended by Law of the Republic of Indonesia Number 20 Year 2001 on Corruption Eradication. Keywords: Eradication of Corruption, The United Nations Convention against Corruption, 2003, the Criminal Law Reform. A. LATAR BELAKANG Berbicara mengenai tindak pidana korupsi merupakan hal yang tidak akan kunjung selesai. Hal ini dikarenakan masalah tindak pidana korupsi merupakan persoalan klasik yang telah lama ada bahkan dari waktu ke waktu terus berkembang kuantitas dan kualitasnya. Sejarawan Onghokham pernah menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum.3 Menurut Onghokham, pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan
tradisional.4 Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tindak pidana korupsi mulai dikenal pada saat sistem politik modern dikenal.5 Berbeda dengan pendapat Onghokham di atas, Alfiler menyatakan bahwa korupsi merupakan: “Purposive behavior which may be deviation from an expected norm but is undertake nevertheless with a view to attain materials or other rewards”.6 (Terjemahan bebas: (Perilaku bertujuan yang mungkin menyimpang dari norma yang diharapkan tetapi tetap dilakukan dengan maksud untuk mencapai materi atau imbalan lainnya.) Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini disinyalir menjadi salah satu
3
LPPNRI, Panduan Kegiatan Sadar Hukum Mengenai Korupsi Kolusi Nepotisme Bagi Aparatur Pemerintah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat, Jakarta, 2008, hlm. 3-4.
102
4
Ibid. Ibid. 6 Ibid. 5
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasca Ratifikasi ... Jurnal Lex Publica
penyebab terpuruknya sistem perekonomian dan keuangan yang terjadi secara sistemik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi perekonomian dan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.7 Hal serupa dikemukakan dengan tegas dalam Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa: “ … Dalam kenyataan, adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hakhak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa …” Demikian juga dalam Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikemukakan dengan tegas bahwa: “ … Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan 7
Departemen Hukum dan HAM Republik Indone-sia, Penelitian Hukum tentang Aspek Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 1.
Kristian dan P. Lindawaty S. Sewu
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa...” Mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan pernah menggungkapkan bahwa tindak pidana korupsi telah melukai dan menyakiti kaum miskin melalui ketidak-proporsionalan atau ketimpangan alokasi pendanaan, menurunkan kemampuan pemerintah untuk melakukan pelayanan mendasar terhadap warga negaranya, menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan serta berpengaruh buruk terhadap investasi dan dana bantuan luar negeri.8 Dalam kacamata global, selain menghambat investasi, tindak pidana korupsi itu sendiri adalah hambatan terbesar untuk merealisasikan keseimbangan pendapatan, kesejahteraan, akses pendidikan bahkan pemberantasan kemiskinan.9 Salah satu faktor terpenting adalah saat arus uang dan pola-pola korupsi ternyata telah menembus sekat-sekat kedaulatan negara. Hal ini menjadi masalah krusial jika di masing-masing negara terdapat standar hukum yang berbeda, bahkan seringkali bertolak belakang dalam hal perlawanan terhadap korupsi. Bukan tidak mungkin, sebuah perbuatan yang di satu negara diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, ternyata dinilai sebaliknya di negara lain.10 Oleh karenanya, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa fenomena maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sudah menjadi penyakit kronis dan sulit untuk disembuhkan. Miris rasanya melihat fakta bahwa bangsa Indonesisa merupakan salah satu bangsa terkorup di dunia tetapi yang muncul “secara hukum” tidak ditemukan ko8
Perpustakaan KPK, http://perpustakaan.kpk.go.id/ index.php?p=show_detail&id=1082, diakses terakhir pada hari Selasa, 21 Januari 2014 pada pukul 22.33 WIB. 9 Ibid. 10 Ibid.
103
Jurnal Lex Publica,Jurnal Vol. I,Lex No. Publica 2, Mei 2015, hal. 101 - 118
ruptor.11 Dilihat dari cara melakukannya, tindak pidana korupsi dewasa ini tidak dilakukan secara tradisional dan konvensional tetapi telah dilakukan dengan tersistematis, terorganisir, dilakukan dengan dimensi-dimensi kejahatan yang selalu baru (new dimenstion of crime) bahkan dilakukan lintas batas negara (transnational). Dalam konteks nasional, dapat dikatakan bahwa tindak pidana korupsi sudah menjadi suatu sistem yang menyatu dan sangat sulit untuk dipisahkan dengan penyelenggaraan pemerintahan Negara. Dikatakan demikian karena dari mulai penyelenggaraan pemerintahan terkecil sampai penyelenggaraan pemerintahan besar selalu dibumbui dengan adanya “uang pelicin” yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.12 Terkait dengan hal ini, ada pula yang menyatakan bahwa struktur pemerintahan yang dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur manakala korupsi tersebut dihilangkan.13 Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa pemerintahan justru 11
Melihat kondisi Indonesia saat ini, kita dapat melihat kegagalan penegakan hukum untuk membawa koruptor ke penjara oleh aparat penegak hukum dalam lingkaran sistem peradilan pidana terpadu. Kegagalan tersebut lebih disebabkan oleh sikap submisif terhadap kelengkapan hukum yang ada seperti prosedur, administratif, doktrin dan asas. Sebagai konsekuensinya, hukum justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu sebagai safe heaven bagi para koruptor. Lihat selengkapnya dalam: Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Hukum Indonesia dalam “Mengupas Hukum Progresif Indonesia” Semarang, Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 8. 12 Jika dilihat dalam kenyataan sehari-hari, tindak pidana korupsi hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari mengurus Ijin Mendirikan Bangunan, proyek pengadaan di instansi pemerintah sampai proses penegakan hukum. Tanpa disadari, tindak pidana korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberikan hadiah kepada pejabat pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaan itu dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian dari budaya ketimuran. Kebiasaan koruptif ini lama-lama akan menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata. Lihat selengkapnya dalam: Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2006, hlm. 1. 13 LPPNRI, Loc.Cit, hal. 4-5.
104
akan hancur apabila korupsi diberantas. Sejarah menorehkan catatan panjang perjuangan bangsa Indonesia melawan korupsi. Dan perlu untuk disadari bahwa selama ini kita belum menang melawan tindak pidana korupsi. Hal ini ditandai dengan semakin maraknya tindak pidana korupsi. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa sebagai bangsa pejuang, bangsa Indonesia tidak pernah dan tidak boleh menyerah dalam perang melawan korupsi ini. Perlawanan harus terus dilakukan dengan lebih masif, sistematis, konsisten dan berkomitmen.14 Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama lebih 60 tahun telah dilakukan, baik pada era Orde Lama dan Orde baru, maupun pada Era Reformasi, serta Era Baru pemerintahan saat ini, ternyata belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan.15 Hal ini terlihat dalam data Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2010 yang menempatkan Indonesia sebagai Negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik. Lebih lanjut, lembaga rating kaliber dunia berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi telah menempatkan Indonesia ke dalam peringkat teratas di Asia atau sekurangkurangnya ke dalam kelompok sepuluh besar negara terkorup di dunia.16 Hal ini diperparah dengan fakta yang menunjukan bahwa semakin hari, tindak pidana korupsi semakin marak dilakukan sehingga kuantitas dan kualitasnya tidak menurun bahkan justru meningkat. Berikut akan dipaparkan data statistik yang menunjukan bahwa tindak pidana korupsi semakin meningkat dari waktu ke waktu.
14
Komisi Pemberantasan Korupsi, Optimalisasi Pelayanan Publik Laporan Tahunan KPK 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2008, hlm. 14. 15 LPPNRI, Loc.Cit, hlm. 4-6. 16 I Gede Made Sadguna. Peranan PPATK Dalam Pemberantasan Korupsi Menuju Good Corporaate Governance Sektor Keuangan, Jurnal Hukum Bisnis. Volume 24 - Nomor 3 Tahun 2005 hlm. 16.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasca Ratifikasi ...
Kristian dan P. Lindawaty S. Sewu
Tabulasi Data Penangan Tindak Pidana Korupsi Oleh KPK Tahun 2004-2013 (Data Per 31 Desember 2013).
Penindakan Penyelidikan Penyidikan Penuntutan Inkracht Eksekusi
2004 23 2 2 0 0
2005 29 19 17 5 4
2006 36 27 23 17 13
2007 70 24 19 23 23
2008 70 47 35 23 24
Berdasarkan data statistik dan tabulasi data diatas, dapat dilihat bahwa per 31 Desember 2013, di tahun 2013 KPK telah berhasil melakukan penyelidikan 81 perkara, penyidikan 70 perkara, penuntutan 41 perkara, inkracht 40 perkara dan eksekusi 44 perkara.
2009 67 37 32 39 37
2010 54 40 32 34 36
2011 78 39 40 34 34
2012 77 48 36 28 32
2013 81 70 41 40 44
Dan dengan demikian, maka total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 20042013 adalah penyelidikan 585 perkara, penyidikan 353 perkara, penuntutan 277 perkara, inkracht 243 perkara, dan eksekusi 247 perkara.
Tabulasi Data Jenis Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahun 2004-2013 (Data Per 31 Desember 2013).
Jabatan Pengadaan Barang/ Jasa Perijinan Penyuapan Pungutan Penyalahgunaan Anggaran TPPU Merintangi Proses KPK Jumlah
2004
2005
2 0 0 0
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Jumlah
12
8
14
18
16
16
10
8
9
113
0 7 0
5 2 7
1 4 2
3 13 3
1 12 0
0 19 0
0 25 0
0 34 0
3 50 1
13 164 12
0
0
5
3
10
8
5
4
3
0
38
0
0
0
0
0
0
0
0
2
7
9
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
2
2
19
27
24
47
37
40
39
49
70
354
Berdasarkan data statistik dan tabulasi data diatas, dapat dilihat bahwa per 31 Desember 2013, di tahun 2013 KPK telah berhasil melakukan penanganan korupsi yang dido-
Jabatan Anggota DPR dan DPRD Kepala Lembaga/ Kementerian Duta Besar Komisioner Gubernur Walikota/Bupati dan Wakil Eselon I, II dan III Hakim Swasta Lainnya Jumlah Keseluruhan
Jumlah 585 353 277 243 247
minasi dari jenis perkara penyuapan yaitu sebesar 50 kasus, disusul korupsi pengadaan barang/jasa sebanyak 9 kasus, TPPU sebanyak 7 kasus, dan korupsi perijinan sebanyak 3 kasus.
Tabulasi Data Pelaku Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Jabatan Tahun 2004-2013 (Data Per 31 Desember 2013). 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Jumlah
0
0
0
2
7
8
27
5
16
8
73
0
1
1
0
1
1
2
0
1
4
11
0 0 1
0 3 0
0 2 2
2 1 0
1 1 2
0 0 2
1 0 1
0 0 0
0 0 0
0 0 2
4 7 10
0
0
3
7
5
5
4
4
4
3
35
2 0 1 0
9 0 4 6
15 0 5 1
10 0 3 2
22 0 12 4
14 0 11 4
12 1 8 9
15 2 10 3
8 2 16 3
7 3 24 8
114 8 94 40
4
23
29
27
55
45
65
39
50
59
396
Berdasarkan data statistik dan tabulasi data diatas, dapat dilihat bahwa per 31 Desember 2013, di tahun 2013 KPK telah berhasil
menangkap tersangka korupsi dari dari unsur pengusaha atau swasta sebanyak 24 orang, disusul anggota DPR/DPRD sebanyak 8 orang, 105
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 101 - 118
eselon I/II/III sebanyak 7 orang, Kepala Lembaga/Kementerian 4 orang, dan Hakim 3
orang.
Tabulasi Data Penanganan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Instansi Tahun 2004-2013 (Data Per 31 Desember 2013).
Jabatan Anggota DPR RI Kementerian Lembaga BUMN/BUMD Komisi Pemerintah Propinsi Pemkab/Pemkot Jumlah
2004 0
2005 0
2006 0
2007 0
2008 7
2009 10
2010 7
2011 2
2012 6
2013 2
Jumlah 34
1
5
10
12
13
13
16
23
18
43
154
0 0 1 0 2
4 9 1 0 19
0 4 9 4 27
0 2 2 8 24
2 2 5 18 47
5 0 4 5 37
7 2 0 8 40
3 1 3 7 39
1 0 13 10 48
0 0 3 18 66
22 20 41 78 349
Berdasarkan data statistik dan tabulasi data diatas, dapat dilihat bahwa per 31 Desember 2013, di tahun 2013 penanganan tindak pidana korupsi lebih banyak ditemukan di lingkungan instansi Kementerian atau Lemba-
ga Pusat sebanyak 43 perkara, disusul dari Pemerintah Kabupaten/Kota sebanyak 18 perkara, Pemerintah Provinsi sebanyak 3 perkara dan dari DPR sebanyak 2 perkara.
Tabulasi Data Kasus Tindak Pidana Korupsi Yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht) Tahun 2004-2013 (Data Per 31 Desember 2013).
Inkracht Pengadilan Negeri Pengadilan Tinggi Mahkamah Agung Jumlah
2005 3 0 2 5
2006 5 3 9 17
2007 9 0 14 23
2008 9 0 14 23
Berdasarkan data statistik dan tabulasi data diatas, dapat dilihat bahwa per 31 Desember 2013, di tahun 2013 perkara korupsi yang telah diputus berkekuatan hukum tetap (inkracht) berjumlah: 10 perkara di tingkat Pengadilan Negeri, 10 perkara di tingkat Pengadilan Tinggi, dan 20 perkara di tingkat Mahkamah Agung. Berdasarkan data-data dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2013 sebagaimana dikemukakan diatas, dapat dilihat dengan jelas peningkatan dan sektor atau bidang mana saja yang rawan dilakukannya tindak pidana korupsi. Menanggapi hal ini, sudah tentu hukum harus kembali mengambil peranannya sebagai alat untuk menciptakan masyarakat yang aman, adil, makmur dan sejahtera yakni dengan melakukan penindakan dan pencegahan dilakukannya tindak pidana (termasuk didalamnya tindak pidana korupsi). Berkaitan dengan hal ini, pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagi upaya misalnya dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan 106
2009 20 2 17 39
2010 20 3 11 34
2011 21 0 13 34
2012 8 3 17 28
2013 10 10 20 40
Jumlah 105 21 117 243
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang memberi sanksi keras terhadap pelaku tindak pidana korupsi, sudah dibentuk lembaga anti korupsi, diadakan pelbagai pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dan integritas birokrat untuk memerangi korupsi dan lain sebagainya. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa tindak pidana korupsi justru semakin meningkat? Apakah perlu dilakukan perombakan hukum di Indonesia? Pertanyaan ini seakan menjadi kegelisahan berbagai kalangan (khususnya bagi mereka yang berkecimpung di dunia hukum) karena situasi dan kondisi dunia hukum di Indonesia yang masih sangat carut-marut. Keadaan ini dalam kenyataannya diperparah dengan lemahnya penegakkan supremasi hukum di Indonesia karena kurangnya keberanian, ketegasan dan inovasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum Indonesia dalam menegakan dan melaksanakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasca Ratifikasi ...
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut memang tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan pemberantasan tindak pidana korupsi akan melibatkan banyak faktor misalnya kemiskinan, rendahnya kesadaran, rendahnya law enforcement, lemahnya sanksi, lemahnya kapasitas dan integritas lembaga peradilan dan lain sebagainya. Terlepas dari berbagai faktor tersebut, menurut hemat penulis, lemahnya penanganan (pencegahan dan pemberantasan) tindak pidana korupsi diakibatkan karena hukum positif yang ada saat ini belum menyesuaikan dengan peraturan internasional dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Apabila melihat kebelakang, pada tanggal 18 April 2006 lalu Indonesia telah meratifikasi The United Nations Convention Against Corruption melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan The United Nations Convention Against Corruption, 2003 (disebut juga dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Konvensi tersebut adalah konvensi PBB yang mengatur mengenai kerja sama internasional untuk menngatasi tindak pidana korupsi, mulai dari mengejar dan menangkap pelaku tindak pidana korupsi, menelusuri harta yang diperoleh dari kejahatan dan merampas hasil-hasil atau kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Dalam kenyataannya saat ini, sangat disayangkan setelah 7 (tujuh) tahun dari ratifikasi The United Nations Convention Against Corruption melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan The United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) ternyata dalam pelaksanaannya tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini dikarenakan masih banyak prinsip-prinsip yang terdapat dalam The United Nations Convention Against Corruption belum diadopsi oleh peraturan perundang-undangan nasional khususnya peraturan perundang-undangan yang menyangkut pemberantasan tindak pidana korupsi yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Kristian dan P. Lindawaty S. Sewu
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. B. PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis ingin mengkaji beberapa permasalahan yakni Prinsip-prinsip hukum apa yang terdapat dalam The United Nations Convention Against Corruption namun belum diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional, kemudian dapatkah prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam The United Nations Convention Against Corruption diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional khususnya dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia. C. PEMBAHASAN 1. Pengertian Korupsi Korupsi dalam bahasa Latin disebut corruptio atau corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Indonesia disebut korupsi dan dalam bahasa Sansekerta sebagaimana tertuang dalam Naskah Kuno Negara Kertagama arti harfiah corrupt menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkut-pautkan dengan keuangan.17 Ditinjau dari segi istilah, tindak pidana korupsi berasal dari kata “corrupteia” dalam bahasa latin “bribery” berarti penyuapan atau “seduction” makna yang diartikan “corrupti” atau “corruptus” diartikan sebagai memberikan, menyerahkan kepada seseorang untuk atau agar orang tadi berbuat untuk atau guna memberikan keuntungan (bagi si pemberi).18 Sedangkan yang diartikan sebagai “seduction” atau penggoda ialah sesuatu yang menarik untuk membuat seseorang menyeleweng dan dipakai juga untuk menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. 19 Tindak pidana korupsi di dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai: “suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk 17
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996, hlm. 115. 18 Fockema Andrea, Kamus Hukum, Bina Cipta: Bandung, 1983, hlm. 45. 19 Ibid.
107
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 101 - 118
memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain”.20 Menurut Piers Beirne dan James Messerschmidt ada 4 (empat) tipe tindak pidana korupsi yang semuanya berkaitan erat dengan kekuasaan. Keempat tipe tersebut adalah political bribery, political kickbacks, election fraud dan corrupt campaign practices. Political Bribery adalah termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai pembentuk undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka. Political Kick-backs, yaitu kegitan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Election Fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum. Sedangkan Corrupt Campaign Practice adalah praktik kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara.21 Sedangkan apabila dilihat dari ciri-cirinya, ciri-ciri dari tindak pidana korupsi menurut Shed Husein Alatas adalah sebagai berikut: 1. Tindak pidana korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan; 2. Tindak pidana korupsi pada umumnya di20
Henry Campbell Black, Black‟s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing, St. Paul Minesota, 1990. 21 H.A. Rasyid Noor, Korupsi dan Pemberantasannya di Indonesia, Varia Peradilan, Nomor 278, Edisi Januari 2009, hlm. 28.
108
3.
4.
5.
6.
7.
lakukan secara rahasia, kecuali tindak pidana korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada didalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif dilakukannya tindak pidana korupsi tersebut tetap dijaga kerahasiaannya; Tindak pidana korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik (kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang); Mereka yang mempraktikkan cara-cara tindak pidana korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum; Mereka yang terlibat tindak pidana korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusankeputusan itu; Setiap perbuatan yang merupakan tindak pidana korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat); Setiap bentuk tindak pidana korupsi adalah suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan.22
2. Latar Belakang dan Tujuan Dari The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Latar belakang lahirnya United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dapat dilihat dalam Preamble (Pembukaan) dari The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) itu sendiri yang menyatakan bahwa: “The States Parties to this Convention, Concerned about the seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law, Concerned also about the links between corruption and other forms of crime, in particu22
Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, LP3S, Jakarta, 1983, hlm. 10.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasca Ratifikasi ...
lar organized crime and economic crime, including money-laundering, Concerned further about cases of corruption that involve vast quantities of assets, which may constitute a substantial proportion of the resources of States, and that threaten the political stability and sustainable development of those States, Convinced that corruption is no longer a local matter but a transnational phenomenon that affects all societies and economies, making international cooperation to prevent and control it essential, Convinced also that a comprehensive and multidisciplinary approach is required to prevent and combat corruption effectively, Convinced further that the availability of technical assistance can play an important role in enhancing the ability of States, including by strengthening capacity and by institution-building, to prevent and combat corruption effectively, Convinced that the illicit acquisition of personal wealth can be particularly damaging to democratic institutions, national economies and the rule of law, Determined to prevent, detect and deter in a more effective manner international transfers of illicitly acquired assets and to strengthen international cooperation in asset recovery, Acknowledging the fundamental principles of due process of law in criminal proceedings and in civil or administrative proceedings to adjudicate property rights, Bearing in mind that the prevention and eradication of corruption is a responsibility of all States and that they must cooperate with one another, with the support and involvement of individuals and groups outside the public sector, such as civil society, nongovernmental organizations and community-based organizations, if their efforts in this area are to be effective, Bearing also in mind the principles of proper management of public affairs and public property, fairness, responsibility and equality before the law and the need to safeguard integrity and to foster a culture of rejection of
Kristian dan P. Lindawaty S. Sewu
corruption, Commending the work of the Commission on Crime Prevention and Criminal Justice and the United Nations Office on Drugs and Crime in preventing and combating corruption, Recalling the work carried out by other international and regional organizations in this field, including the activities of the African Union, the Council of Europe, the Customs Cooperation Council (also known as the World Customs Organization), the European Union, the League of Arab States, the Organisation for Economic Cooperation and Development and the Organization of American States, Taking note with appreciation of multilateral instruments to prevent and combat corruption, including, inter alia, the InterAmerican Convention against Corruption, adopted by the Organization of American States on 29 March 1996, the Convention on the Fight against Corruption involving Officials of the European Communities or Officials of Member States of the European Union, adopted by the Council of the European U-nion on 26 May 1997 the Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions, adopted by the Organisation for Economic Cooperation and Development on 21 November 1997, the Criminal Law Convention on Corruption, adopted by the Committee of Ministers of the Council of Europe on 27 January 1999, the Civil Law Convention on Corruption, adopted by the Committee of Ministers of the Council of Europe on 4 November 1999, and the African Union Convention on Preventing and Combating Corruption, adopted by the Heads of State and Government of the African Union on 12 July 2003, Welcoming the entry into force on 29 September 2003 of the United Nations Convention against Transnational Organized Crime …” (terjemahan bebas oleh penulis: “Dengan demikian, dapat dilihat bahwa negaraNegara peserta konvensi merasa prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman 109
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 101 - 118
yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum. Negara peserta konvensi prihatin pula atas hubungan antara korupsi dan bentuk-bentuk lain kejahatan, khususnya kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang. Keprihatinan lainnya berkenaan dengan kasus-kasus korupsi yang melibatkan jumlah asset yang besar yang dapat merupakan bagian penting dari sumber daya Negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang berkelanjutan Negara tersebut, Meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi, yang menjadikan kerja sama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya sangat penting, Meyakini juga bahwa suatu pendekatan yang komprehensif dan multidisipliner diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif, Meyakini lebih lanjut bahwa keberadaan bantuan teknis dapat memainkan peranan yang penting dalam meningkatkan kemampuan Negara, termasuk dengan memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan lembaga untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif, Meyakini bahwa perolehan kekayaan pribadi secara tidak sah dapat secara khusus merusak lembaga-lembaga demokrasi, sistem ekonomi nasional dan penegakan hukum, Berketetapan untuk mencegah, mendeteksi, dan menghambat dengan cara yang lebih efektif transfer internasional aset yang diperoleh secara tidak sah dan untuk memperkuat kerja sama internasional dalam pengembalian aset, Mengakui prinsip-prinsip dasar prosedur hukum dalam proses pidana dan perdata atau proses administratif untuk mengadili hak-hak atas kekayaan, Mengingat bahwa pencegahan dan pembe110
rantasan korupsi merupakan tanggungjawab semua Negara dan bahwa Negaranegara harus saling bekerja sama, dengan dukungan dan keterlibatan orangperorangan dan kelompok di luar sektor publik, seperti masyarakat madani, organisasi nonpemerintah dan organisasi kemasyarakatan agar upaya-upaya dalam bidang ini dapat efektif, Mengingat juga prinsip-prinsip pengelolaan yang baik urusan-urusan publik dan kekayaan publik, keadilan, tanggungjawab dan kesetaraan di muka hukum dan kebutuhan untuk menjaga integritas dan untuk meningkatkan budaya penolakan terhadap korupsi, Menghargai hasil kerja Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana dan Kantor Perserikatan BangsaBangsa untuk Obat Terlarang dan Kejahatan dalam mencegah dan memberantas korupsi, Mengingat hasil kerja organisasi-organisasi internasional dan regional lainnya dalam bidang ini, termasuk kegiatan-kegiatan Uni Afrika, Dewan Eropa, Dewan Kerja sama Kepabeanan (juga dikenal sebagai Organisasi Kepabeanan Dunia), Uni Eropa, Liga Negara-Negara Arab, Organisasi untuk Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan dan Organisasi Negara-Negara Amerika, Mencatat dengan penghargaan instrumen-instrumen multilateral untuk mencegah dan memberantas korupsi, termasuk antara lain Konvensi Antar Amerika Anti Korupsi yang disahkan oleh Organisasi Negara-Negara Amerika pada tanggal 29 Maret 1996, Konvensi tentang Pemberantasan Korupsi yang melibatkan Pejabat-Pejabat Masyarakat Eropa atau Pejabat-pejabat Negara-Negara Anggota Uni Eropa yang disahkan oleh Dewan Uni Eropa pada tanggal 26 Mei 1997, Konvensi tentang Memberantas Penyuapan Pejabat-Pejabat Publik Asing dalam Transaksi-Transaksi Bisnis Internasional yang disahkan oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi Dan Pembangunan pada tanggal 21 November 1997, Konvensi Hukum Pidana tentang Korupsi yang disahkan oleh Komite Menteri-
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasca Ratifikasi ...
Menteri Dewan Eropa pada tanggal 27 Januari 1999, Konvensi Hukum Perdata tentang Korupsi, yang disahkan oleh Komite Menteri-Menteri Dewan Eropa pada tanggal 4 November 1999 dan Konvensi Uni Afrika tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang disahkan oleh Kepala-Kepala Negara dan Pemerintahan Uni Afrika pada tanggal 12 Juli 2003, Menyambut berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Kejahatan Lintas-Negara Terorganisir”.) Sedangkan tujuan utama yang ingin dicapai oleh The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 1 The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang menyatakan bahwa: “Article 1: Statement of purpose (Tuju-an) The purposes of this Convention are: (Tujuan Konvensi ini adalah:) a. To promote and strengthen measures to prevent and combat corruption more efficiently and effectively (Terjemahan bebas: Meningkatkan dan memperkuat upayaupaya untuk mencegah dan memberantas korupsi secara lebih efisien dan efektif); b. To promote, facilitate and support international cooperation and technical assistance in the prevention of and fight against corruption, including in asset recovery (Terjemahan bebas: Meningkatkan, memfasilitasi dan mendukung kerja sama internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, termasuk dalam pengembalian aset); c. To promote integrity, accountability and proper management of public affairs and public property (Terjemahan bebas: Me-
Nomor
Kriteria
01
Penyuapan pejabat publik nasional.
Kristian dan P. Lindawaty S. Sewu
ningkatkan integritas, akuntabilitas dan pengelolaan yang baik urusan-urusan publik dan kekayaan publik).” 3. Implementasi The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, terdapat prinsip-prinsip dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional namun ada juga yang belum diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional. Perlu pula diketahui bahwa meskipun dalam peraturan perundang-undangan nasional sudah terdapat prinsip-prinsip yang sesuai dengan The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), prinsip-prinsip tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan. Oleh karena itu, hal penting yang harus diperhatikan dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi tidak hanya berkaitan dengan pengadopsian prinsip-prinsip yang terdapat dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) melainkan juga tahap pelaksanaannya (aplikasi dan eksekusinya). Dalam bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dibahas dalam tulisan ini, penulis berhasil mengidentifikasi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCAC yang sudah diadopsi maupun yang belum diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia. Mengenai ketentuan-ketentuan pencega-han dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam UNCAC yang sudah ataupun yang belum diadopsi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, dapat digambarkan dengan tabel berikut:
Pengaturan tindak pidana korupsi menurut UNCAC (Bab III Pasal 15 – Pasal 22 UNCAC)
Diatur dalam pasal 15 huruf a dan Pasal 15 huruf b UNCAC. Berdasarkan Pasal 15 huruf (a) UNCAC suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana korupsi penyuapan pejabat publik
Pengaturan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pengaturan tindak pidana korupsi yang termasuk ke dalam penyuapan pejabat publik nasional sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
111
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 101 - 118
nasional apabila memiliki unsur-unsur delik sebagai berikut: dilakukan dengan sengaja; memberikan janji, tawaran, pemberian yang tidak semestinya; secara langsung atau tidak langsung; kepada pejabat publik nasional atau badan lain, agar pejabat yang bersangkutan bertindak tidak sesuai dengan tugasnya. Kemudian berdasarkan Pasal 15 huruf (b) UNCAC, suatu perbuatan termasuk dalam tindak pidana korupsi penyuapan pejabat publik nasional apabila memenuhi unsurunsur delik berikut ini: perbuatan itu dilakukan dengan sengaja; dilakukan oleh pejabat publik atau orang atau badan lain; meminta atau menerima manfaat yang tidak semestinya; baik secara langsung maupun tidak langsung; sehingga pejabat yang bersangkutan bertindak tidak sesuai dengan tugasnya. Dari pengaturan Pasal 15 huruf (a) dan huruf (b) UNCAC memiliki perbedaan mendasar. Dalam Pasal 15 huruf (a) mengandung unsur-unsur tindak pidana korupsi penyuapan pejabat publik nasional pada sisi penyuap atau pemberi suap, sedangkan Pasal 15 huruf (b) mengandung unsur-unsur tindak pidana korupsi penyuapan pejabat publik nasional untuk pihak yang disuap atau penerima suap. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak pidana korupsi (khususnya penyuapan) itu selalu melibatkan dua pihak yakni pemberi dan penerima suap.
02
112
Penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik.
Disamping itu, dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan termasuk ke dalam tindak pidana korupsi penyuapan pejabat publik nasional menurut UNCAC apabila pejabat publik nasional atau badan lain yang memberi suap atau menerima suap sehingga atau agar pejabat publik nasional yang bersangkutan tidak bertindak sesuai dengan tugasnya adalah tindak pidana korupsi. Mengenai tindak pidana korupsi penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik ditur secara tegas dalam Pasal 16 ayat (1) UNCAC. Suatu perbuatan disebut tindak pidana korupsi penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: dengan sengaja; memberikan janji, tawaran atau pemberian manfaat yang tidak semestinya, secara langsung ataupun tidak langsung; kepada pejabat publik asing atau pejabat organisasi internasional publik atau orang atau badan lain; agar pejabat yang bersangkutan tidak bertindak sesuai dengan tugas resminya.
khususnya pasal-pasal mengenai tindak korupsi yang terkait dengan suap-menyuap yaitu: Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c dan d serta Pasal 13. Unsur-unsur delik dari pasal-pasal tersebut pada dasarnya sudah diadopsi melalui unsur delik tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UNCAC tepatnya dalam Pasal 15 huruf a dan Pasal 15 huruf b mengenai tindak pidana korupsi penyuapan pejabat publik nasional.
Dalam prinsip hukum pidana untuk menentukan suatu perbuatan masuk ke dalam tindak pidana maka perbuatan tersebut harus memenuhi semua unsur yang terkandung dalam Pasal yang berkaitan. Pasal 16 ayat (1) UNCAC khususnya unsur pejabat publik asing atau pejabat organisasi internasional publik belum diadopsi dalam pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi suap-menyuap dalam hukum nasional sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c dan d serta Pasal 13 Undang-Un-dang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasca Ratifikasi ...
Dari unsur-unsur delik di atas, tindak pidana korupsi penyuapan ini mirip dengan unsur-unsur delik sebagaimana diatur dalam Pasal 15 huruf a sebagaimana telah dijelaskan diatas, namun perbedaannya adalah dalam Pasal 16 ayat (1) yang menjadi salah satu unsurnya (subjek hukumnya) adalah pejabat publik asing atau pejabat organisasi internasional publik.
03
Penggelapan, penyalahguna an atau penyimpangan lain atas kekayaan oleh pejabat publik.
Tindak pidana korupsi penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain atas kekayaan oleh pejabat publik diatur secara tegas dalam Pasal 17 UNCAC. Untuk menentukan suatu perbuatan termasuk ke dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UNCAC yakni sebagai tindak pidana penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain atas kekayaan oleh pejabat publik harus memenuhi unsur-unsur delik sebagai berikut: dilakukan dengan sengaja; dilakukan oleh pejabat publik; perbuatannya berupa penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan; dilakukan terhadap kekayaan, dana atau sekuritas publik atau swasta atau barang lain; barang-barang tersebut dipercayakan kepadanya karena jabatannya; dilakukan untuk kepentingan sendiri atau orang lain atau badan lain.
04
Pemanfaatan pengaruh kekuasaan.
Dalam Pasal 18 huruf (a) dan (b) UNCAC diatur secara tegas mengenai tindak pidana korupsi yang terkait dengan pemanfaatan pengaruh. Setiap perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi akibat pemanfaatan pengaruh berdasarkan ketentuan pasal 18 huruf a apabila memenuhi unsur-unsur delik sebagai berikut: dengan sengaja; memberikan janji, tawaran atau pemberian manfaat yang tidak semestinya; kepada pejabat publik atau orang lain; secara langsung atau tidak langsung; agar pejabat yang bersangkutan menyalahgunakan pengaruhnya yang sudah ada; dengan maksud untuk memperoleh manfaat yang tidak semestinya untuk kepentingan penghasut atau untuk orang lain. Setiap perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi akibat pemanfaatan pengaruh berdasarkan ketentuan pasal 18 huruf b apabila memenuhi unsur-unsur delik sebagai berikut: dengan sengaja;
Kristian dan P. Lindawaty S. Sewu
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Ketentuan-ketentuan atau pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sama sekali tidak menga-tur tindak pidana korupsi penyuapan pejabat publik asing atau pejabat organi-sasi internasional publik. Artinya, penga-turan Pasal 16 ayat (1) UNCAC belum diadopsi ke dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia. Unsur-unsur tindak pidana sebagai tindak pidana penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain atas kekayaan oleh pejabat publik sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UNCAC sudah terpenuhi oleh peraturan perundang-undangan nasional yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya pengaturan tentang tindak pidana korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan sebagaimana diatur dalam: Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b dan Pasal 10 huruf c. Unsur-unsur delik yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut pada dasarnya sudah diadopsi sesuai dengan unsur-unsur tindak pidana korupsi penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain kekayaan oleh pejabat publik sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UNCAC kecuali berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak swasta. Dari uraian unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 18 huruf (a) dan (b) UNCAC disamping, tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pemanfaatan pengaruh ini erat kaitannya dengan tindak pidana korupsi suap-menyuap yang sudah diadopsi dan diatur secara tegas dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c dan d serta Pasal 13 Undang-Un-dang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, tindak pidana korupsi yang terkait dengan pemanfaatan pengaruh khususnya Pasal 18 huruf b UNCAC identik dengan tindak pidana korupsi yang terkait dengan pemerasan sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 12 huruf e, g dan huruf f Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Ta-
113
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 101 - 118
dilakukan oleh pejabat publik atau orang lain; secara langsung atau tidak langsung; meminta atau menerima manfaat yang tidak semestinya untuk kepentingan pejabat tersebut atau orang lain; agar pejabat yang bersangkutan atau orang lain tersebut menyalahgunakan pengaruhnya yang ada.
05
06
114
Penyalahguna an fungsi.
Memperkaya diri sendiri secara tidak sah.
Tindak pidana korupsi yang termasuk penyalahgunaan fungsi diatur secara tegas dalam Pasal 19 UNCAC. Dalam pasal tersebut terdapat unsur-unsur perbuatan yang termasuk ke dalam tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penyalahgunaan fungsi. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: dilakukan dengan sengaja; menyalahgunakan fungsi atau jabatan; oleh pejabat publik dalam pelaksanaan tugasnya; melaksanakan atau tidak melaksanakan perbuatan yang melanggar hukum; dengan maksud untuk memperoleh manfaat yang tidak semestinya untuk dirinya atau untuk orang lain atau untuk badan lain. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penyalahgunaan fungsi adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat publik yang menyalahgunakan jabatan atau fungsinya demi mendapatkan manfaat yang tidak seharusnya. Dalam UNCAC, tindak pidana korupsi berupa memperkaya diri sendiri secara tidak sah diatur secara tegas dalam Pasal 20. Untuk mengklasifikasikan suatu perbuatan ke dalam tindak pidana korupsi berupa memperkaya diri sendiri secara tidak sah, harus memenuhi unsur-unsur delik sebagai berikut: dilakukan dengan sengaja; memperkaya diri sendiri (pejabat publik); didapatkan secara tidak wajar; tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam kaitan dengan penghasilannya yang sah. Unsur-unsur yang telah disebutkan tersebut menurut hemat penulis masih dapat ditafsirkan sangat luas, semua jenis tindak pidana korupsi yang terdapat dalam UNCAC seperti suap-meyuap, penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain atas kekayaan oleh pejabat publik, pemanfaatan pengaruh, penyalahgunaan fungsi dan penggelapan di sektor swasta bisa
hun 2001 dan juga termasuk ke dalam tindak pidana korupsi gratifikasi yang telah diatur secara tegas dalam Pasal 12 B jo. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pemanfaatan pengaruh yang diatur dalam Pasal 18 huruf a dan Pasal 18 huruf b UNCAC sudah diadopsi dan diatur dalam peraturan nasional Indonesia. Tidak pidana korupsi yang berkaitan dengan penyalahgunaan fungsi sebagaimana diatur dalam UNCAC identik dengan tindak pidana korupsi penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain kekayaan oleh pejabat publik yang telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni sebagaiman diatur dalam: Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b dan Pasal 10 huruf c. Dengan demikian, pengaturan mengenai tindak pidana korupsi berupa penyalahgunaan fungsi yang diatur dalam Pasal 19 UNCAC telah diadopsi dan diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
Demikian juga jenis tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 seperti korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan Negara, korupsi yang terkait dengan suap-menyuap, korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan, korupsi yang terkait dengan pemerasan, korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang, korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan dan korupsi yang terkait dengan gratifikasi dapat dikategorikan sebagai perbuatan memperkaya diri sendiri secara tidak sah. Semua jenis tindak pidanan korupsi yang telah disebutkan sebagaimana diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 itu memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi memperkaya diri
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasca Ratifikasi ...
07
Penyuapan di sektor swasta.
08
Penggelapan kekayaan di sektor swasta.
memenuhi unsur tindak pidana korupsi memperkaya diri sendiri secara tidak sah. Tindak pidana korupsi lainnya yang diatur dalam UNCAC adalah tindak pidana korupsi penyuapan di sektor swasta, mengenai tindak pidana tersebut diatur secara tegas dalam Pasal 21 huruf (a) dan huruf (b) UNCAC. Untuk menentukan suatu perbuatan termasuk ke dalam tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 21 huruf (a), maka harus memenuhi unsur-unsur delik sebagai berikut: dilakukan dengan sengaja; dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan; memberikan janji, penawaran atau pemberian manfaat yang tidak semestinya; secara langsung atau tidak langsung; kepada orang yang memimpin atau bekerja dalam jabatan apapun atau orang lain untuk badan sektor swasta; supaya orang yang bersangkutan bertindak tidak sesuai dengan tugasnya. Sedangkan unsur-unsur delik yang terdapat dalam Pasal 21 hurf (b) adalah sebagai berikut: dilakukan dengan sengaja; oleh orang yang memimpin atau bekerja dalam jabatan apapun atau orang lain untuk badan sektor swasta; dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan; meminta atau menerima manfaat yang tidak semestinya; secara langsung atau tidak langsung; untuk dirinya atau orang lain; agar orang yang bersangkutan bertindak tidak sesuai dengan tugasnya. Dari pengaturan Pasal 21 huruf (a) dan huruf (b) memiliki perbedaan mendasar, dalam Pasal 21 huruf (a) mengandung unsur-unsur tindak pidana korupsi penyuapan di sektor swasta pada sisi penyuap atau pemberi suap, sedangkan Pasal 21 huruf (b) mengandung unsur-unsur tindak pidana korupsi penyuapan di sektor swasta untuk pihak yang disuap atau penerima suap. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak pidana korupsi (khususnya penyuapan) itu selalu melibatkan dua pihak (pemberi dan penerima suap). Penggelapan kekayaan di sektor swasta merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 22 UNCAC. Untuk menentukan suatu perbuatan termasuk dalam penggelapan kekayaan di sektor swasta maka harus memenuhi unsur-unsur delik sebagai berikut: dilakukan dengan sengaja; dilakukan oleh orang yang memimpin atau bekerja dalam jabatan apapun di badan sektor swasta; penggelapan terhadap kekayaan, dana atau sekuritas swasta atau barang lain yang berharga; barang-
Kristian dan P. Lindawaty S. Sewu
sendiri secara tidak sah yang diatur dalam UNCAC. Mengenai pengaturan tindak pidana korupsi jenis ini di Indonesia belum diatur secara tegas. Dalam peraturan perundangundangan Indonesia, yang diancam dengan pidana adalah perbuatan penyuapan atau gratifikasi kepada pejabat Negara. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa penyuapan di sektor swasta belum dapat dikenakan sanksi pidana.
Mengenai pengaturan tindak pidana korupsi jenis ini di Indonesia masih diatur dalam KUHP tentang tindak pidana penggelapan yakni Pasal 372 jo. Pasal 374 KUHP dan tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa rumusan Pasal 22 UNCAC, apabila dikonstruksikan kedalam hukum nasional di Indonesia bukanlah tindak pidana korupsi tetapi tindak pidana penggelapan pada umumnya.
115
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 101 - 118
barang tersebut dipercayakan kepadanya karena jabatannya; dalam rangka kegiatan ekonomi keuangan atau perdagangan. Pada dasarnya, rumusan tindak pidana korupsi ini mirip dengan rumusan tindak pidana korupsi penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain atas kekayaan oleh pejabat publik yang diatur dalam Pasal 17 UNCAC. Namun perbedaan mendasarnya adalah dalam Pasal 22 UNCAC disebutkan dalam salah satu unsurnya „dilakukan oleh orang yang memimpin atau bekerja dalam jabatan apapun di badan sektor swasta‟ jadi tindak pidana korupsi ini adalah tindak pidana yang tidak dilakukan oleh pejabat publik melainkan dilakukan oleh seseorang yang bekerja di sektor swasta.
Berdasarkan tabel perbandingan diatas, dapat dilihat dengan jelas bahwa pengaturan mengenai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ada yang belum diimplementasikan atau tidak selaras dengan UNCAC yakni berkaitan dengan pengaturan tindak pidana korupsi tentang penyuapan di sektor swasta atau penggelapan di sektor swasta dan penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik. Oleh karena itu, dalam rangka pembaharuan hukum pidana (penal reform) ataupun dalam melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu dilakukan pengaturan mengenai tindak pidana korupsi tentang penyuapan di sektor swasta atau penggelapan di sektor swasta dan penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik. Pelaksanakan secara konsisten prinsip-prinsip yang terdapat dalam UNCAC diharapkan dapat meningkatakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan dengan baik. D. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan-pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya, maka pada bagian ini akan ditarik kesimpulan umum yang dianggap penting dan relevan berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi 116
pasca ratifikasi The United Nations Convention Against Corruption dan pembaharuan hukum pidana Indonesia, sebagai berikut: 1) Tindak pidana korupsi adalah salah satu tindak pidana yang dapat dikelompokan sebagai extra ordinary crimes, transnational crime, organized crime, transnational organized crime dan new dimentions of crime. 2) Tindak pidana korupsi terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini masih belum efektif. 3) Ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan nasional ada yang sudah sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UNCAC dan ada pula yang belum sesuai. 4) Belum efektifnya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini salah satu faktornya dikarenakan belum sesuainya peraturan perundang-undangan nasional dengan ketentuan-ketentuan internasional (dalam hal ini The United Nations Convention Against Corruption). 5) Penyesuaian peraturan perundang-undangan nasional dengan UNCAC merupakan kebutuhan mendesak (urgent needs). 6) Pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan suatu yang wajib dilakukan oleh segenap masyarakat (tidak hanya para penegak hukum) karena dengan adanya pemberantasan tindak pidana korupsi yang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasca Ratifikasi ...
efektif dan evisien diharapkan dapat mengurangi atau bahkan menghapuskan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Demi meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, penulis menyarankan beberapa hal berikut ini: 1) Perlu dilakukan pembaharuan hukum pidana dalam rangka mencegah dan memberantas maraknya tindak pidana korupsi. 2) Pembaharuan hukum pidana tersebut dapat dilakukan dengan pembaharuan KUHP Nasional maupun merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor
Kristian dan P. Lindawaty S. Sewu
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3) Perlu dilakukan pengaturan secara tegas mengenai tindak pidana korupsi tentang penyuapan di sektor swasta atau penggelapan di sektor swasta dan penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik. 4) Ketentuan atau prinsip-prinsip pemberantasan tindak pidana korupsi (baik dalam UNCAC maupun dalam hukum nasional) selain telah diratifikasi namun perlu dilaksanakan secara maksimal, integral, tidak pandang bulu, konsisten dan dilakukan dengan penuh integritas.
Daftar Pustaka Buku dan Literatur Fockema Andrea, Kamus Hukum, Bina Cipta: Bandung, 1983. H.A. Rasyid Noor, Korupsi dan Pemberantasannya di Indonesia, Varia Peradilan, Nomor 278, Edisi Januari 2009. Henry Campbell Black, Black‟s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing, St. Paul Minesota, 1990. I Gede Made Sadguna. Peranan PPATK Dalam Pemberantasan Korupsi Menuju Good Corporate Governance Sektor Keuangan, Jurnal Hukum Bisnis. Volume 24 - Nomor 3 Tahun 2005. Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2006. Komisi Pemberantasan Korupsi, Optimalisasi Pelayanan Publik Laporan Tahunan KPK 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2008. LPPNRI, Panduan Kegiatan Sadar Hukum Mengenai Korupsi Kolusi Nepotisme Bagi Aparatur Pemerintah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat, Jakarta, 2008. Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Hukum Indonesia dalam “Mengupas Hukum Progresif Indonesia” Semarang, Pustaka Pelajar, 2006. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996. Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, LP3S, Jakarta, 1983. Peraturan Perundang-Undangan dan Konvensi Internasional Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan The United Nations Convention Against Corruption. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. The United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi).
117
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 101 - 118
Internet http://perpustakaan.kpk.go.id/index.php?p=show_detail&id=1082 http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan-tahun http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan-jenis-perkara http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan-tingkat-jabatan http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan-instansi http://acch.kpk.go.id/statistik-perkara-berkekuatan-hukum-tetap.
118
NASIONALISASI HUKUM PIDANA DAN HUKUM ACARA PIDANA DAN KEHARUSAN PERADABAN Dr. Syaiful Bakhri, SH., MH23
Abstrak Berlakunya aturan hukum dalam masyarakat, tidak dengan sendirinya akan terbentuk tata hubungan masyarakat yang sesuai dengan cita ideal dari keinginan luhur para pembentuk UUD 1945. Keadilan merupakan suatu kebaikan, yang mengatasi semuanya, sekaligus merangkai hak hak individu yang saling memberikan manfaat. Melalui pembaharuan hukum pidana Materiil dan Formiil, sekarang ini, sedang dalam agenda dan prioritas utama. Hukum pidana Indonesia, merupakan suatu pergulatan pemikiran oleh para ahli, cerdik pandai dibidangnya, yang telah menggagas pemberlakuan cita cita, hukum pidana yang ideal, untuk kemanusiaan. Hukum pidana baru akan menyongsong semangat berhukum bagi generasi, reformasi hukum pada kancah restorasi bangsa, menuju peradaban milinium berikutnya, bangsa dan generasinya, akan selalu tampil membanggakan, sebagaimana para pendahulunya yang sangat mulia dan terpuji dikancah pergaulan dan kemajuan di dunia internasional. Pembaharuan KUHP dan KUHAP, sebagai karya anak bangsa yang terbaik dibidangnya, mengisi rentang sejarah peradaban bangsa. Bangsa Indonesia, yang sejajar dalam pergaulan dunia, yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan yang universal, melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, dengan hukum pidana yang sesuai dengan keperibadian bangsa. Kata Kunci : Normalisasi Hukum Pidana Abstract Applicability of the rule of law in society, not by itself be formed governance community relations in accordance with the ideals of the noble desire of the framer of the 1945 Constitution Justice is a virtue, which overcome everything, as well as arranging individual rights are mutually beneficial. Through criminal law reform Materiil and Formiil, now, being on the agenda and a top priority. Indonesian criminal law, is a struggle of ideas by experts, scholars in their fields, who have initiated the implementation of future goals, the ideal criminal law, for humanity. The new criminal law will meet lawless spirit for generations, legal reforms on the scene restoration of the nation, towards the next millennium civilization, race and generation, will always appear proud, as his predecessors were very noble and commendable social arena and progress in the international world. Renewal of the Criminal Code and Criminal Procedure Code, as the work of the nation the best in their field, filling span the history of civilization. Indonesian nation, which is aligned in the association world, who uphold truth and justice are universal, protect all the spilled blood of the Indonesian nation, the criminal law in accordance with the personality of the nation. Keywords: Normalization of Criminal Law
23
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah.Disampaikan dalam Seminar Forum PPTHI (Forum Pimpinan Tinggi Hukum Indonesia) Di Hotel Nagoya, Batam, 28-30 Januari 2014
119
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 119 - 142
A. PENDAHULUAN Perkembangan hukum di Indonesia, dapat diketahui dari sisi, kekuasaan kolonialisme belanda di Pulau jawa, yang berlangsung lebih dari satu abad (1840- 1950), berlanjut dengan berbagai modifikasi serta adaptasinya, untuk kepentingan pembangunan, suatu negara nasional yang modern, pada dasa waktu berikutnya (1945-1990). Pada era (1840-1990) disebut sebagai perkembangan dari hukum kolonial ke hukum nasional.24 Berlakunya aturan hukum dalam masyarakat, tidak dengan sendirinya akan terbentuk tata hubungan masyarakat yang sesuai dengan cita ideal dari keinginan luhur para pembentuk UUD 1945. Keberadaan berbagai macam aturan perundang undangan di dalam masyarakat, secara kuantitas tidak otomatis mewujudkan tata hubungan dan kehidupan masyarakat yang berkeadilan. Pengalaman pahit masyarakat bangsa kita selama penjajahan belanda, menunjukan betapa perihnya perasaan batin dan runtuhnya martabat kemanusiaan, yang diperlakukan secara diskriminatif dan feodal oleh aturan perundang undangan pemerintahan kolonial. Sungguh ironis, kalau sebagai suatu bangsa merdeka masih menjadi pewaris yang loyal terhadap perangkat undang undang pemerintah kolonial, yang nota bene tidak sesuai dengan nilai nilai kehidupan bangsa yang merdeka. Atau, kita hanya pandai meniru atau trampil mempergunakan Klise dari perundang undangan pemerintahan kolonial. Dalam arti belum mampu mengkonstruksi hukum hukum yang berindentitas nasional.25 Selanjutnya titik awal reformasi ditahun 1998, dimulainya reformasi yang menyeluruh di bidang hukum, ditandai dengan perubahan Konstitusi, dan perbaikan sistem penegakan hukum, pembaharuan perundang undangan, untuk memenuhi keinginan reformasi dibidang hukum dan HAM. Dilihat dari kepentingan yang diatur, ada dua jenis hukum, yakni hu24
Soetandyo Wignyosoebroto. Dari Hukum Kolonial Ke hukum Nasional. DinamikaSosial- Politik Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia.(Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 1995) hlm 2-3. 25 Artidjo Alkostar.Menelusuri Akar dan Merancang Hukum Nasional. Dalam Indentitas Hukum Nasional. (Yogyakarta; Fakultas Hukum UII,1997) hlm 2.
120
kum privat dan hukum publik. Alasan dibaginya, yakni karena negara berfungsi untuk menyelenggarakan kehendak rakyatnya. Negara dibentuk untuk menjaga terpeliharanya kehidupan berbangsa, melindungi warganya dan memberdayakan warganya. Negara bertindak sebagai pasilitator dalam kehidupan berbangsa, dalam melaksanakan fungsinya diperlukan aturan hukum. Aturan hukum dapat saja diadopsi dari praktek praktek dalam pergaulan dimasyarakat. Aturan itulah yang diciptakan oleh negara, dalam rangka melaksanakan fungsinya. Ukuran kepentinganlah yang membedakan hukum privat dan publik.Hukum pidana sebagai salah satu bagian dari hukum publik, yang secara tradisional, menetapkan perbuatan perbuatan yang dilarang dengan sistem sanksi. Maka sangatlah penting peranan asas legalitas.26 Asas legalitas, dalam pertumbuhan dan perkembangannya, telah mengalami pergeseran, terutama pada proses pembaharuan hukum di Indonesia, yakni masalah, dilarangnya berlaku surut (retroaktif) suatu undang undang pidana, karena pengaruh dan kepentingan HAM, melalui pranata hukum internasional, yakni International convention on civil and political rights (ICCPR), serta Statuta Roma tentang international criminal court. Dalam pertumbuhannya asas legalitas telah bergeser, disebabkan dalam KUHP, menganut prinsif pada idea dasar kepastian hukum, tetapi dalam realitanya, asas legalitas mengalami pelunakan, penghalusan, dan menghadapi berbagai tantangan27. Perkembangan asas legalitas dalam hukum pidana nasional, sesungguhnya membuka jalan masuknya hukum kebiasaan atau hukum pidana adat, tetapi dalam prakteknya, teramat sulit dilakukan, karena peradilan pidana Di Indonesia, masih sangat berpegang pada pandangan positif legalistis, dengan memperlakukan asas legalitas secara ketat. Dengan pemikiran pada doktrin kepastian hukum, dan jauh dari sikap keadilan, atau memandang keadilan hanya dalam posisi lega26
Peter Machmud Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Prenada Kencana). hlm 212-214. 27 Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta Hukum Pidana. (Bandung; PT.Cita Adytia Bakti, 2003) hlm 1-10.
Nasionalisasi Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana ...
litas. Dalam rentang perjalanan sejarah yang panjang, kondisi hukum bangsa Indonesia, telah dipengaruhi secara nyata, oleh Peradaban Erofah, yang membawa pemahaman dan sistem hukum, termasuk hukum pidana, yang hingga kini berlangsung, pada milineum kedua di seluruh nusantara. Hukum pidana barat masih berlaku, dan sangat terasa bersifat kolonial, kolot, Egosentris, bahkan sangat positivistik, sehingga menimbulkan pergolakan, dalam tataran pengembangan ke Ilmuan, bahkan masalah keadilan dalam praktek kehidupan. Karenanya upaya pembaharuan hukum pidana terus dilakukan. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia, ialah hukum pidana yang telah dikodifikasi, yakni sebahagian besar aturan aturannya telah disusun dalam suatu Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dikodifikasi. Melalui unifikasi, sejak tahun 1918, berlakunya Wetboek van strafrecht voor nederlands Indie (Wvsi). Selanjutnya melalui Undang Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana. berlaku hingga sekarang, dengan berbagai perubahan dan tambahannya.28 Dalam rentang sejarah, ketika pada tahun 1809. Belanda memperoleh KUHP, yang dibuat oleh Kerajaan Belanda. Tetapi pada tahun 1810 hingga 1811, Kerajaan Belanda digabung dengan Perancis, dibawah Kaisar Napoleon, dan melalui kode penal Perancis, disyahkanlah KUHP yang berlaku untuk negeri Belanda. Selanjutnya pemerintahan dikuasi oleh Raja Willem I. Keadaan menjadi tidak stabil dengan dimasukkannya Belgia, bagian dari negeri Belanda. Selanjutnya dengan KUHP Belanda tahun 1881 disyahkan dan diterima pada tahun 1886.29 28
Moelyatno, .Asas Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. (Jakarta; Rineka Cipta, 2008) hlm 17-19. Negara Angelsak, Inggris, Amerika, Australia, masih banyak yang belum mempunyai kitab undang undang hukum pidana, hanya beberapa negara bagian yang telah mempunyainya, sehingga hukum pidana mendasarkan pada Common law, (hukum adat) ataupun statuten law, yakni aturan hukum yang tertulis dalam undang undang. 29 J.M.Van Bemmelen. Hukum Pidana Dua. Hukum Peneitentier. Diterjemahkan oleh Hasnan. (Bandung; Bina Cipta, 1991) hlm 4-6. KUHP Tahun 1881/1886. Disusun oleh pembuatnya dengan sangat sederhana dan berhati-hati sekali, karena pada waktu itu tidak ditemukan kepastian tentang dasar hukum pidana. Menteri Kehaki-
Syaiful Bahri
Munculnya gagasan untuk menciptakan kesatuan dan kepastian hukum yang dipelopori oleh Napoleon, maka pada tahun 1897 muncullah KUHP Perancis yang dikenal sebagai kode Napoleon, yang mempunyai pengaruh luar biasa besarnya, bahkan KUHP ini tidak hanya lama, tetap berlaku tanpa perubahan di berbagai negara, melainkan juga di negara negara yang telah membuat KUHP, masih mempergunakan banyak bagian bagian yang dalam garis garis besarnya sama dengan code Napoleon.30 Sedangkan titik awal mulai dikenalnya hukum acara pidana, sejak tahun 1596, ketika Cornelis de Houtman mendarat di Banten, dalam perkembangannya Belanda mendirikan VOC pada tahun 1602, hukum acara pidana diterapkan untuk orang orang Belanda di pusat pusat perdagangan VOC. Selanjutnya berlaku di Batavia, pada tahun 1848 di Indonesia diperlakukan RO,Stb.1847 No. 23 jo. Stb 1848 No. 7. Tentang susunan organisasi kehakiman. Selanjutnya beberapa ordonansi yang diterbitkan untuk hukum acara pidana, dan puncaknya ketika tahun 1941 telah lahir HIR (Het Herzien Inlandch/Indonesich Reglement) Stb Tahun 1941 No. 44. Selanjutnya berubah menjadi UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.31 Dengan demikian, maka dapat dimaklumi, telah terjadi aneka warna hukum pidana di Indonesia, sejak kedatangan bangsa Belanda, sekitar tahun 1596. Tetapi hukum adat, tetap berlaku di Indonesia.32 man Belanda, Modermann, mengemukakan, bahwa hanya boleh dipidana tertutama sesuatu yang melanggar hukum. Ini adalah syarat mutlak. Ancaman pidana tetap merupakan upaya terakhir (ultimum remedium). Suatu keharusan juga untuk mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pemidanaan, dan haris dijaga agar hukum pidana bukan sebagai obat yang terjelek dari suatu penyakit. 30 Rusli Muhammad. Kemandirian Pengadilan Indonesia. ( Yogyakarta, FH- UII Press, 2010) hlm 102. 31 Lilik Mulyadi. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Teori, Praktek, Tehnik Penyususnan dan Permasalahannya. (Bandung; PT. Citra Adytia Bakti, 2007) hlm 15-17. 32 Abdurrahman.Hukum Adat Dalam Perkembangan Pluralisme Hukum di Indonesia. Dalam Majalah Hukum Nasional. No 2 Tahun 2008.( Jakarta; Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI, 2008) hlm 127-133.Hukum adat adalah bagian dari tata hukum bangsa Indonesia, yang merupakan himpu-
121
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 119 - 142
Dimaksudkan dengan Perundang undangan pidana, yaitu KUHP, beserta seluruh perundang undangannya, yang mengobah dan menambah, sebagaimana ditentukan dalam UU No. 1 Tahun 1946 Tentang KUHP, UU No. 73 Tahun 1958, UU No. 18 (Prp) 1960 dan lainnya. Perundang undangan pidana khusus, semua perundang undangan di luar KUHP serta perundang undangan pelengkapnya, baik undang undang pidana,maupun yang bukan undang undang pidana, tetapi bersanksi pidana.33 Sejak tahun 1966, penggarapan naskah rancangan undang undang hukum pidana baru, telah dilaksanakan. Dengan melakukan berbagai politik kriminal, sebagai suatu upaya yang rasional, dari masyarakat untuk menanggulagi kejahatan. Proses kriminalisasi berlangsung sejak dibentuknya UU No. 1.Tahun 1946. Tentang KUHP, dengan perobahan sifat hukum pidana yang disesuaikan dengan kemerdekaan Indonesia, dan hal demikian berlangsung hingga sekarang.34 Kekerasan pemidanaan, seharusnya seimbang dengan tingkat kemajuan yang telah dicapai, oleh suatu bangsa tertentu. Hal ini dikemukakan oleh Beccaria, pada abad ke 19, dalam beberapa persoalan, kekerasan, pemidanaan diperlunak, walaupun dicapai dengan susah payah, sedangkan banyak usaha yang progresif direncanakan di atas kertas, akan tetapi tidak dapat dilaksanakan dalam praktek, karena kebiasaan atau sarana yang tidak mencukupi. Pada abad 20 ini, masih saja terjadi hal demikian.35 Hukum pidana adat Indonesia, yang ternan kaedah sosial dari tradisi masyarakat bumi putera, kaedah tersebut ditaati oleh anggouta berbagai persekutuan hukum. 33 Andi Hamzah. Asas Asas Hukum Pidana. Edisi revisi. (Jakarta; Rineka Cipta, 2008) hlm 13. 34 Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. (Bandung; Alumni, 2007) hlm 29-32. Selain kriminalisasi, juga dekriminalisasi, serta penalisasi. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal V. UU No. 1 Tahun 1946. Peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebagian sekarang yang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan negara Republik Indonesia, sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku. Sealanjutnya dapat dilihat pada pasal VIII, Tentang delik delik dalam Wvs, yang masih berlaku. 35 J.M.Van Bemmelen. Hukum Pidana Dua. Hukum Peneitentier.Op cit, hlm 4.
122
sebar diberbagai kesatuan hukum adat, adalah cermin dari peradaban asli bangsa Indonesia, yang pernah memperlakukan hukum adatnya. Alam pikirannya bersifat komunalisme dan religio-magis. Kedududkan manusia adalah sentral. Manusia merupakan bagian dari alam kosmos, selalu seimbang, terjaga dan bilamana ada gangguan, maka segera dipulihkan. Hukum adat tidak mengenal peraturan yang statis, tiap-tiap peraturannya timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap, karenanya perubahan hukum, perobahan zaman diikuti oleh perubahan peraturan. Perubahan perubahan itu dipengaruhi oleh perubahan rasa keadilan lahir dan bathin masyarakatnya. Pemikiran untuk memperbaharui hukum pidana materiil (KUHP), sebenarnya sudah terjadi sejak terbitnya UU No. 1 Tahun 1946, tanggal 26 februari 1946, selanjutnya ditegaskan pada seminar hukum pidana nasional tahun 1963 di Semarang. Para tokoh terkemuka hukum pidana, yakni Seno Adjie, Sudarto, Ruslan Saleh, mulai menyingggung, betapa pentingnya membangun hukum pidana nasional yang tidak bersifat ad hoc, seperti kain perca, melainkan bersifat sistemik, atas dasar idea nasional, dan pandangan sikap, persepsi, filosofi dan nilai nilai budaya, bangsa Indonesia, yang terkait dengan asas asas hukum pidana, tentu saja tidak mengenyampingkan hukum pidana yang bersifat universal, dalam bentuk konvensi-konvensi hukum pidana internaional, yang telah diratifikasi, resolusi resolusi, lembaga lembaga internasional yang mengatur pelbagai asas, norma norma dan standar, yang muncul dari organisasi organisasi hukum pidana tersebut. Selanjutnya melalui BPHN dikoordinasikan pelbagai pertemuan ilmiah, yang pada akhirnya mengerucut, dalam bentuk tim RUU KUHP. Penyusunan itu, dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional, untuk melakkan pembaharuan hukum pidana secara sistemik (struktur, substansi dan kultur).36 36
Muladi Pembaharuan Hukum Pidana Materiil Indonesia. Dalam Perkembangan Hukum Pidana Dalam Era Globalisasi. Hasil Seminar dan Kongres III Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia. Bandung 16-19 Maret 2008. (Jakarta; Perum Percetakan Negara RI, 2008) hlm 8-9.
Nasionalisasi Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana ...
B. PEMBAHASAN Perkembangan Pemberlakuan Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Pada umumnya KUHP Belanda mengenal, bagian umum, diatur dalam buku pertama. Sedangkan bagian khusus hukum pidana, semula sebagai kumpulan yang bersifat sangat khusus. Bagian khusus dalam hukum pidana, sesungguhnya, sejarah terbentuknya lebih tua dari bagian umum. Di Negeri belanda, hal ini dikembangkan oleh Philiieps Wiieland (14401520), yang menulis tentang hukum Practice Kriminale. Bagian pertama yang ditulisnya tentang hukum acara pidana, dan bagian yang ke dua tentang delik delik khusus, selanjutnya tulisan tentang bagian khusus itu, dikembangkan oleh D.Simons. Selanjutnya disekitar tahun 1960, terjadi perubahan yang pesat, karena, usaha usaha yang dijalankan melalui dekriminalisasi, yang mencari norma norma positif dan negatif, untuk menentukan dapatnya dipidana.37 Penyusunan KUHP nasional yang baru bertujuan untuk menggantikan KUHP warisan pemerintah kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (Staatsblad 1915:732) dengan segala perubahannya yang masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. KUHP ini berlaku sebagai hukum positif secara nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang kemudian dalam perkembangannya telah mengalami beberapa kali perubahan, antara lain, dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 16 Prp. Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 18 Prp. Tahun 1960, Undang- Undang-Undang Nomor 2 PNPS Tahun 1964, Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang 37
JM.Van Bemmelen. Hukum Pidana 3 Bagian Khusus Delik Delik Khusus.(Bandung; Bina Cipta, 1986) hlm 13.
Syaiful Bahri
Nomor 20 Tahun 2001. Makna pembaruan KUHP nasional ini yang semula semata-mata diarahkan pada misi tunggal yaitu “dekolonisasi” KUHP dalam bentuk “rekodifikasi”, dalam sejarah perjalanan bangsa, baik perkembangan nasional maupun internasional, mengandung pula misi yang lebih luas, yaitu misi “demokratisasi hukum pidana”, “konsolidasi hukum pidana”, serta “adaptasi dan harmonisasi” terhadap perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar, serta norma- norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia internasional. Terdapat beberapa perbedaan yang mendasar antara KUHP warisan Belanda (Wet Book van Strafrecht) dengan KUHP baru ini adalah: 1. Pergeseran filosofi yang mendasarinya, yaitu dari pemikiran aliran klasik (classical school) yang berfokus pada perbuatan atau tindak pidana (daad-strafrecht) yang dianut oleh KUHP warisan Belanda, menjadi mendasarkan pada pemikiran aliran Neo Classic (neo classical school) yang mempertimbangkan aspek-aspek individual pelaku tindak pidana (daad-dader strafrecht) yang memiliki karakter lebih manusiawi yang berusaha menjaga keseimbangan antara faktor obyektif (perbuatan pidana) dengan faktor subyektif (sikap batin); 2. Diakuinya tindak pidana dan pemidanaan berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat Internasional; 3. Tidak membedakan antara tindak pidana (strafbaarfeit) berupa kejahatan (misdrijven) dan tindak pidana pelanggaran (overtredingen) dan untuk kedua hal tersebut digunakan istilah “tindak pidana” yang selama ini diatur dalam buku ketiga; 4. Modernisasi hukum pidana nasional dengan mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana sehingga dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana (corporate criminal responsibility); 5. Asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen 123
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 119 - 142
straf zonder schuld) tetap merupakan salah satu asas utama dalam hukum pidana. Namun, dalam hal tertentu sebagai pengecualian dimungkinkan penerapan asas “strict liability” dan asas “vicarious liability”. 6. adanya jenis-jenis baru dalam pidana pokok antara lain berupa, pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang perlu dikembangkan bersama dengan pidana denda sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek (short prison sentence). 7. pidana mati tidak lagi diatur sebagai pidana pokok, namun diatur dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa pidana mati betul- betul bersifat khusus sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan. Dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana perampasan kemerdekaan; 8. Perubahan konsep pemidanaan yaitu: a. dianutnya sistem 2 (dua) jalur (doubletrack system) yakni selain jenis pidana pokok, pidana mati, dan pidana tambahan, diatur pula jenis-jenis tindakan (maatregelen) bagi yang melakukan tindak pidana tetapi tidak atau kurang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya karena menderita gangguan jiwa atau retardasi mental dan dalam hal tertentu dapat pula diterapkan kepada terpidana yang mampu mempertanggungjawabkannya; b. rambu-rambu pemidanaan baru guna menghindari disparitas pidana terhadap tindak pidana yang relatif sama kualitasnya; c. Pidana minimum khusus yang hanya boleh diterapkan untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresah124
kan masyarakat, dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya; d. Sistem kategorisasi pidana denda guna mengantisipasi fluktuasi nilai mata uang akibat situasi perekonomian; e. Jenis pidana dan cara pelaksanaan pemidanaan secara khusus terhadap anak yang sejalan dengan Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), mengingat Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dalam kerangka pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. 9. Adaptasi dan harmonisasi juga dilakukan terhadap perkembangan tindak pidana di luar KUHP dan berbagai tindak pidana yang bersumber dari berbagai Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Titik awal mulai dikenalnya hukum acara pidana, adalah sejak tahun 1559, ketika Cornelis de houtman mendarat di Banten. Dalam perkembangannya Belanda mendirikan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602, dimana hukum acara pidana tersebut diterapkan untuk orang orang belanda di pusat pusat dagang VOC, berupa “hukum kapal” atau Scheepsrecht, yang merupakan campuran hukum belanda kuno dan asas asas hukum Romawi. Tahap berikutnya karena terus berkembang, maka Belanda membuat peraturan peraturan dalam bentuk plakat plakat seperti statuta betawi, yang diterapkan untuk daerah betawi dan sekitarnya. Daerah tertentu VOC mengadakan kodifikasi hukum adat.38 Hukum acara pidana di negeri Belanda, ketika itu, perkara pidana diselesaikan sendiri oleh pihak yang bersangkutan. Karena belum diatur oleh negara, sehingga selalu terjadi balas dendam, dan permusuhan diantara keluar38
Lilik Mulyadi. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Teori, Praktek, Tehnik Penyususnan dan Permasalahannya.Loc cit, hlm 15-16. Kodifikasi tersebut meliputi Kodifikasi hukumadat cina (1761). Kodifikasi Pepakem Cirebon (1757). Kodifikasi hukum Megharaer, di Semerang dan sekitarnya. Kodifikasi hukum Goa dan Bone Sulawesi Selatan.
Nasionalisasi Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana ...
ga, dengan penyelesaian terjadinya perkelahian, yang berlangsung hingga turun temurun. Pihak yang memenangkan perkelahian adalah yang memenangkan perkara tersebut. Perkara pidana dipandang sebagai perkara perseorangan, untuk mencegah kondisi demikian, maka timbullah suatu peristiwa pidana, diadili oleh badan peradilan oleh negara. Semula pihak yang mengajukan tuduhan harus membuktikannya, dan dipandang kedua pihak, mempunyai kebebasan yang sama, untuk membela kebenaran diri masing masing di muka pengadilan. Hal demikian disebut sebagai accusatoir. Perkembangan berikutnya adalah masalah penuntutan bukan persoalan perorangan, tetapi menjadi bagian dari publik. Sehingga tertuduh berhadapan dengan penyidik atau negara. Cara penuntutan ini dinamakan inquisitoir. Cara pembuktian dengan suatu keadaan yang memaksa, dengan derita, siksaan, untuk mendapatkan pengakuan sebagai alat bukti.39 Perkembangan kodifikasi hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, sejak tahun 1848 yakni; 1. Reglement op de rechterlijke organitatie RO, Stb. 1848 No. 57) yang mengatur mengenai susunan organisasi kehakiman dan kebijaksanaan mengadili. 2. Inlandsch Reglement (IR.Stb 1848 No. 16) yang mengatur terhadap hukum acara perdata dan hukum acara pidana di depan persidangan Landraat, bagi mereka yang tergolong penduduk Indonesia dan timur asing, dan hanya berlaku bagi daerah Jawa dan Madura. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura, berlaku Rechtsgelement voor de Buitengewesten (Rbg.Stb 1929 No. 227) 3. Reglement op de Strafvordering (Stb. 1949. No. 63), mengatur ketentuan hukum acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan. 4. Landgerechtreglement (Stb. 1914 No. 317 jo Stb.1917 No. 323) mengatur acara di depan pengadilan Langerecht dan mengadili perkara perkara sumir/kecil untuk semua 39
R. Soesilo. Hukum Atjara Pidana (Tugas Kepolisian Sebagai Djaksa Pembantu). (Bogor; Politea, 1964) hlm 13-14.
Syaiful Bahri
golongan penduduk. Dalam sejarah perkembangan terhadap Inlandsch Reglement. (IR. Stb. 1848 No. 16), cukup penting eksistensinya. Pada mulanya dikenal dengan istilah Reglement op de Uittolening van de Strafvordening Onder de inlanders en Vreemde Oestoelingen op Java en Madura. Berlaku sejak tanggal 1 mei 1848 No. 39, yang disyahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29 september 1849 No. 93. Diumumkan dalam Stb. 1849 No. 63, diperlakukan sebagai hukum acara pidana dan hukum acara perdata bagi golongan bumiputra untuk daerah jawa dan madura.Pengaturan hukum acara di luar jawa secara terpisah yakni;40 Hukum acara pidana pada awal kemerdekaan, dengan pangkal tolak Landasan Idiil Pancasila dan Landasan Konstitusional UUD 1945. Berdasarkana aturan peralihan Pasal II, menentukan; Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang ini.” Selanjutnya ditegaskan dalam Peraturan Presiden No. 2, tanggal 10 oktober 1945, Pasal 1 Menentukan;” segala badan badan negara dan peraturan peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia, pada tanggal 17 agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang Undang dasar tersebut.”. Pasal 2 40
Lilik Mulyadi. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Op cit. Ordonansi 26 maret 1874 (Stb. 94.b). Gubernur Sumatera barat. Ordonanssi 2 februari 1880 (Stb.32) residen Bengkulu.. Ordonasi 25 Januari 1879 (Stb.65) residen lampung. Ordonasi 8 januari 1878 (Stb. 14) Residen Jambi.Ordonansi 8 Juli 1906 (Stb. 320) Residen Jambi.Ordonansi 21 Februari 1887 (Stb. 45) Residen Sumatera Timur. Ordonansi 14 Maret 1881 (Stb. 82 Residen Aceh. Ordonansi 15 Maret (Stb. 84) Residen Riau.. Ordonansi 30 Januari 1874 (Stb, 33) Residen Bangka. Ordonansi 23 Agustus (Stb. 183) Aisten Residen Belitung.. Ordonansi 1 Februari 1883 (Stb. 53) Residen Kalimantan Barat. Ordonasi 5 Maret 1880 (Stb. 55) Residen Kalimantan Selatan dan Timur. Ordonansi 6 Februari 1882 (Stb.27) Residen Manado.. Ordonasi 6 Februari 1882 (Stb 22) Gubernur Sulawesi. Ordonansi 6 Februaru (Stb. 29) Residen Maluku. Ordonansi 6 Februari 1882 (Stb. 32) Residen Ternate.. Ordonansi 6 Februari 1882 (Stb. 26) Resieen Timor. Ordonansi 21 Mei 1882 (Stb.142) Residen Bali dan Lombok.
125
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 119 - 142
Menentukan;” peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 agustus 1945”. Sejarah telah mencatat, bahwa mengenai hukum acara, dikenal lahirnya dua undang undang untuk peradilan umum, yaitu undang undang No. 20 Tahun 1947 Tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura serta undang undang No. 21 Tahun 1947 Tentang Pemeriksaan Perkara Pidana Di Luar Hadirnya Terdakwa. Hal ini mencabut peraturan peradilan ulangan Osamo Seihi No. 1573 Tahun 1942, yang diperlakukan pada periode pendudukan Jepang. Dengan diberlakukannya HIR, Rbg, maka semua putusan baik perdata maupun pidana dapat dimintakan Kasasi ke Hoogerachtrechthof Berdasarkan UUD (RIS), UU No. 1 Tahun 1950 (LN. 1950 Nomor 30) diganti menjadi Mahkamah Agung. Selanjutnya melalui UU No. 1 Drt 1951, menghilangkan dualisme struktur pengadilan dan peradilan di Indonesia. Pembentukan pengadilan tinggi makasar, pengadilan tinggi yogyakarta, medan dan Surabaya.41 Sepanjang sejarahnya yang singkat. Sumber pembuatan hukum perundang undangan yang utama di Indonesia, tak lain adalah RIS. Akan tetapi, diantara negara negara dan daerah daerah bagian yang ada di lingkungan RIS, adalah anggouta yang paling berperan dalam ikhwal pengembangan hukum perundang undangan ini. Apa yang telah pernah dihasilkan oleh republik ini, telah diteruskan dan dinyatakan tetap berlaku sebagai hukum Indonesia berdasarkan Pasal 192 Konstitusi RIS 1949. Maka tidaklah salah kalau dikatakan, bahwa Republik Indonesia Proklamasi inilah yang sesungguhnya harus dipandang sebagai sebagai sumber utama hukum perundang undangan Indonesia antara tahun 1945-1950, dan diperlakukan kembali berdasarkan Pasal 142
41
Ibid, hlm 22-24. Melalui UU No. 1 Drt 1951. Sealain pembentukan pengadilan tinggi, dan penghapusan peradilan swapraja, dan semua pengadilan adat, peradilan agama, dan peradilan desa, serta pembentukan peradilan negeri dan kejaksaan negeri. Memngahapuskan Mahkamah Justisi Makasar, medan, segala pengadilan kepolisian serta alat penuntut umumnya, segala pengadilan rendah, pengadilan kabupaten, pengadilan distrik dan pengadilan Negorij Maluku.
126
UUDS 1950.42 Lahirnya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 Tentang tindakan Tindakan Untuk Mrenyelenggarakan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan Pengadilan Sipil, adalah bersifat sementara, melalui undang undang darurat, dan mengandung univikasi hukum, tentang susunan, kekuasaan dan dan acara segala pengadilan negeri, tinggi di dalam daerah republik Indonesia. Maka beberapa pengadilan mulai dihapuskan, akni Mahkamah Justisi Ujung pandang serta alat alat penuntutannya, segala peradilan Swapraja, untuk negara Sumatera Timur, Keresidenan Kalimantan Barat, segala pengadilan adat, kecuali pengadilan agama. Sehingga mengurangi peranan hakim hakim perdamaian di desa desa. Selanjutnya mengadakan pengadilan negeri dan kejaksaan negeri. Menentukan tugas pengadilan tinggi makasar dan Jakarta. Mengatur tentang aturan peralihan selama 7 hari sejak mulainya berlaku Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Staatsblad 1941 No. 44) sebagai pedoman tentang perkara pidana sipil.43 Sejak tahun 1941 IR, berubah menjadi HIR, maka dapat diketahui, tentang; 1. Titel Pertama. Hal Melakukan Pekerjaan Polisi, bahagian pertama Tentang pegawai dan pejabat yang diwajibkan melakukan pekerjaan polisi. Bahagian Kedua tentang kepala desa dan sekalian pejabat polisi rendah yang lain. Bahagian ketiga. Tentang kepala distrik. Bagaina Keempat tentang bupati dan patih. Bahagian kelima tentang gubernur, residen dan asisten asisten. 2. Titel Kedua Tentang mengusut kejahatan dan pelanggaran tentang pegawai dan pejabat yang diwajibkan mengusut kejahatan dan pelanggaran. Bahagian pertama. Bahagian kedua, tentang pegawai penuntut umum pada pengadilan negeri. Bahagian ketiga, tentang magistraat pembantu. Bahagian keempat Tentang kedapatan tengah berbuat. Bahagian kelima. Peraturan pera42
Soetandyo Wignyosoebroto. Dari Hukum Kolonial Kehukum Nasional. Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia. Op cit hlm 197198 43 R.Tresna. Komentar HIR. Op cit, hlm 21.
Nasionalisasi Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana ...
turan lain tentang pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah umum dan magistraat pembantu. Bahagian Keenam. Tentang menyudahkan pemeriksaan permulaan. Titel Kedelapan. Tentang pengadilan Kabupaten. Titel Kesembilan. Bahagian pertama, tentang memeriksa perkara di dalam persidangan, bahagian kedua, tentang bukti. Bahagian Ketiga. Tentang musyawarat dan putusan hakim. Bahagian keempat, tentang meminta keputusan lebih tinggi (apel).44 Ketika berlakunya HIR, atau hukum acara pidana, sebelum berlakunya KUHAP (1981), maka secara praktek diketahui beberapa keadaan; 1. Tidak ada perbedaan antara acara pidana, dan perkara perdata. 2. Semua perkara diantara penduduk dari suatu desa, sedapat mungkin diselenggarakan dengan perdamaian, oleh desa sendiri dengan pimpinan kepala desa. 3. Perkara perkara yang oleh desa, tidak dapat diselesaikan, selanjutnya diserahkan kepada pengadilan. 4. Hakim dalam menyelesaikan perkara tersebut, harus ada penggugat. 5. Dalam suatu perkara, diharuskan penggugat membuktikan kesalahan terdakwa. 6. Cara hakim dalam memutuskan perkara, didasarkan pada rasa keadilan. Hakim memberikan putusannya, Yang sifatnya memberikan kepuasan kedua pihak. 7. Jaksa, dikenal juga sebagai hakim.45 Pelaksanaan hukum acara pidana, terdiri dari tiga tingkatan yakni; 1. Pemeriksaan pendahuluan, atau pemeriksaan sementara, yang sifatnya tidak umum, dan cenderung mengikuti sistim Inquisitoir, termasuk tugas kejaksaan dan kepolisian. 2. Peneriksaan di sidang pengadilan yang sifatnya umum,, termasuk juga hakim, sebagai pemeriksa dan pemutus. 3. Kejaksaan sebagai penuntut perkara, menjalankan keputusan hakim.46 44
Ibid. R.Soesilo. Hukum Atjara Pidana (Tugas Kepolisian Sebagai Djaksa Pembantu). Op cit, hlm 11. 46 Ibid, hlm 15. 45
Syaiful Bahri
Adapun beberapa pokok perubahan dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yakni antara lain: 1) Buku Kesatu a. Pergeseran filosofi yang mendasarinya, yaitu dari pemikiran aliran klasik (classical school) yang berfokus pada perbuatan atau tindak pidana (daad-strafrecht) yang dianut oleh KUHP warisan Belanda, menjadi mendasarkan pada pemikiran aliran Neo Classic (neo classical school) yang mempertimbangkan aspek-aspek individual pelaku tindak pidana (daad-dader strafrecht) yang memiliki karakter lebih manusiawi yang berusaha menjaga keseimbangan antara faktor obyektif (perbuatan pidana) dengan faktor subyektif (sikap batin); b. Pembaharuan Hukum Pidana Materiil dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak lagi membedakan lagi antara Kejahatan (msidrijven) dan Pelanggaran (Overtredingen) dengan menggunakan istilah tindak pidana. Sehingga KUHP baru terdiri dari 2 (dua) buku yang terdiri dari Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum dan Buku Kedua memuat tentang Tindak Pidana. c. KUHP baru diakui pula adanya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga hakim dapat menetapkan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat setempat yang harus dilaksanakan oleh pelaku tindak pidana. d. Subjek hukum pidana tidak hanya terbatas pada manusia (naturlijk person) tetapi juga mencakup pula korporasi yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum (Legal Person) maupun bukan badan hukum. Hal ini dikarenakan korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana 127
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 119 - 142
(corporate criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana (Crimes for Corporation). Sehingga korporasi dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dimungkinkan pula pertanggung jawaban pidana dipikul bersama oleh korporasi dan pengurusnya yang memiliki kedudukan fungsional dalam korporasi atau hanya pengurusnya saja yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Sehingga dengan diatur dalam Buku Kesatu KUHP maka pertanggungjawaban pidana oleh Korporasi berlaku secara umum untuk tindak pidana lain baik didalam maupun diluar KUHP. Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi dapat berupa pidana (Straf) dan dapat pula berupa tindakan tata tertib (maatregel) e. Asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) tetap merupakan salah satu asas utama dalam hukum pidana. Namun demikian dalam hal tertentu sebagai pengecualian, diumumkan penerapan asas “strict liability” dan asas “vicarious liability” Sehingga pelaku tindak pidana telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur tindak pidana oleh perbuatannya dan tanggung jawab pidana pelaku dipandang patut dapat diperluas kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. f. Dalam KUHP baru diatur mengenai jenis-jenis pidana, yaitu berupa: i. Pidana Pokok: 1. Pidana Penjara 2. Pidana tutupan 3. Pidana pengawasan 4. Pidana denda 5. Pidana kerja sosial Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini bersama dengan pidana denda perlu dikembangkan se128
bagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang akan dijatuhkan oleh hakim. Sebab dengan pelaksanaan ketiga jenis pidana ini terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah. Disamping untuk menghindari efek destruktif dari pidana perampasan kemerdekaan. Demikian pula masyarakat dapat berinteraksi dan berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehiduan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal yang bermanfaat. Dalam perkembangan dunia penegakan hukum, faktor ini juga dapat membantu pada permasalahan overkapasitas di berbagai Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. ii. Pidana Mati, dan Pidana Tambahan. Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir (Ultimum Remedium) untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana perampasan kemerdekaan. Hakim bebas memilih jenis-jenis pidana (strafsoort) yang akan dijatuhkan di antara kelima jenis tersebut, walaupun dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini hanya dirumuskan tiga je-
Nasionalisasi Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana ...
nis pidana yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana mati. Sedangkan jenis pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial pada hakikatnya merupakan cara pelaksanaan pidana (strafmodus) sebagai alternatif pidana penjara. g. Dalam pemidanaan dianut sistem dua jalur (double track system) sebab disamping jenis pidana tersebut diatas KUHP juga mengatur pula jenis-jenis tindakan (maatregelen). Dalam hal ini hakim dapat menjatuhkan tindakan kepada mereka yang melakukan tindak pidana, tetapi tidak atau kurang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya yang disebabkan karena menderita gangguan jiwa atau penyaki jiwa atau retardasi mental. Disamping itu dalam hal tertentu tindakan dapat diterapkan kepada terpidana yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dengan maksud untuk memberi perlindungan kepada masyarakat dan menumbuhkan tata tertib sosial. h. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diatur pula rambu-rambu pemidanaan baru yang berkaitan dengan berat ringannya pidana yakni berupa ancaman pidana minimum khusus yang sebenarnya sebelumnya juga sudah dikenal dalam perundang-undangan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pengaturan sistem pemidanaan baru ini dilakukan berdasarkan pertimbangan: i. untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok bagi tindak pidana yang sama atau kurang lebih sama kualitasnya; ii. untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat; iii. apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat, maka sebagai analog dipertimbangkan pula bahwa untuk minimum pidana
Syaiful Bahri
pun dalam hal-hal tertentu dapat diperberat. Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. i. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru ini ancaman pidana denda dirumuskan dengan menggunakan sistem kategori. Sistem ini dimaksudkan agar dalam perumusan tindak pidana tidak perlu disebutkan suatu jumlah denda tertentu, melainkan cukup dengan menunjuk kategori denda tertentu sebagaimana yang ditentukan dalam Buku Kesatu. Dasar pemikiran penggunaan sistem kategori ini adalah bahwa pidana denda termasuk jenis pidana yang relatif lebih sering berubah nilainya karena perkembangan nilai mata uang akibat situasi perekonomian. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan nilai mata uang, dengan sistem kategori akan lebih mudah dilakukan perubahan atau penyesuaian, sebab yang diubah tidak seluruh ancaman pidana denda yang terdapat dalam perumusan tindak pidana, melainkan cukup mengubah pasal yang mengatur kategori denda dalam Buku Kesatu. j. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diatur pula mengenai jenis pidana, berat ringannya pidana dan cara pelaksanaan pemidanaan secara khusus terhadap anak. Hal ini karena baik dipandang dari perkembangan fisik maupun psikis anak berbeda dari orang dewasa. Selain itu, pengaturan secara khusus terhadap anak berkaitan dengan kenyataaan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) dalam kerangka pemajuan dan perlindungan Hak- Hak Asasi Manusia.
129
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 119 - 142
2) Buku Kedua a. Untuk menghasilkan Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang bersifat kodifikasi dan unifikasi, di samping dilakukannya evaluasi dan seleksi terhadap pelbagai tindak pidana yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama, apresiasi juga dilakukan terhadap pelbagai perkembangan tindak pidana yang terjadi di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, antara lain, berbagai Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perlindungan Benda Cagar Budaya, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Kesehatan, Sistem Pendidikan Nasional, dan sebagainya. b. Secara antisipatif dan proaktif, juga dimasukkan pengaturan tentang Tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi, Tindak Pidana di Dunia Maya dan Tindak Pidana tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Cybercrime), Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking Crime), dan lain-lain. c. Di samping itu, adaptasi terhadap perkembangan tindak pidana internasional yang bersumber dari pelbagi konvensi internasional baik yang sudah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi juga dilakukan, antara lain Tindak Pidana Penyiksaan atas dasar UndangUndang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia), 1984. Di samping itu secara antisipatif diatur pula Kejahatan Perang (War Crimes) yang bersumber pada Statuta Roma 1998 tentang “International Criminal Court”, dan perluasan Tindak Pidana Korupsi yang bersumber pada 130
“United Nations Convention Against Corruption (2003). d. Dengan sistem perumusan tindak pidana semacam itu, maka penambahan beberapa pasal dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana, khususnya di dalam Buku II tak dapat dihindarkan. Dalam hal ini terlihat beberapa Bab baru seperti Bab VI tentang Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan, Bab VII tentang Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, Bab IX tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Bab XVII tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika, dan Bab XXXII tentang Tindak Pidana Korupsi. e. Seirama dengan proses globalisasi, lajunya pembangunan dan perkembangan sosial yang disertai dengan mobilitas sosial yang cepat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, diperkirakan jenis tindak pidana baru masih akan muncul di kemudian hari. Oleh karena itu, terhadap jenis tindak pidana baru yang akan muncul yang belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru ini, pengaturannya tetap dapat dilakukan melalui amandemen terhadap Kitab UndangUndang Hukum Pidana atau mengaturnya dalam Undang-Undang tersendiri karena kekhususannya atas dasar Pasal 211 Buku Kesatu yakni Ketentuan Penutup. Undang Undang No. 8 Tahun 1981 (LN. Tahun 1981 No. 76. TLNRI No. 3206) Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, dikaji dari proses dan prosudural pembentukannya, telah dimulai pembahasannya sejak tahun 1967, dengan dibentuknya panitia Intern Departemen Kehakiman, selanjutnya pada tahun 1968 diadakan seminar hukum nasional II disemarang tentang hukum acara pidana dan hak hak asasi manusia, yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional. Selanjutnya pada tahun 1973 Panitia tersebut dengan memperhatikan seminar nasional, menghasilkan Naskah Rancangan KU-
Nasionalisasi Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana ...
HAP, yang selanjutnya dibahas bersama sama dengan Kejaksaan Agung, Departemen Hankam termasuk Polri dan Departemen Kehakiman.47 Adanya suatu hubungan yang tidak dapat dilepaskan, dalam KUHAP, ketika dilakukan pembahasanannya, adalah jalinan antara Undang undang pokok kejaksaan No. 15 tahun 1961. Undang undang pokok kepolisian. No. 13 Tahun 1961. Undang undang pokok kekuasaan kehakiman No. 14 tahun 1970. Dikenal sebagai trilogi undang undang pokok. Adapun asas asasnya langsung disalurkan atau dialihkan pada asas asas KUHAP, yakni asas Presumtion of innocence, pengawasan terhadap putusan pidana, hak untuk memperoleh ganti kerugian apabila ada salah penahanan, penuntutan ataupun peradilan, asas bantuan hukum yang diberikan dalam setiap tingkatan, yang memnpunyai sumber aslinya dalam undang undang pokok kehakiman, yang kemudian mendapat stimulasi dalam KUHAP. Pada tahun 1980 an sebelum berlakunya KUHAP, maka dapat diketahui, bahwa jaksa masih mepunyai tanggung jawab terhadap penyidikan dan, seterusnya bergerak dalam peradilan dan ikut serta dalam penyelenggaraan peradilan. Pada tahun 1982, sesudah KUHAP berlaku, memberikan pertanda, bahwa dengan adanya peralihan fungsi dalam tingkat pemeriksaan preeliminer dari jaksa kepada polisi, akan merobah kedudukan jaksa, dan lebih mendekati sistem commonwelth, dengan hanya melibatkan diri pada aktivitas peradilan saja. 48 KUHAP, dibangun, sejak awal lahirnya orde baru, karena sangat dirasakan kebutuhan akan hukum acara pidana, yang berlaku ketika itu sangat bersifat kolonial, dan sangat bertentangan dengan semangat hak asasi manusia, yang sedang mendapatkan perhatian. Pada tahun 1974 RUU telah selesai finalisasinya, dan diserahkan kepada Sekretaris Kabinet, dikembalikan kepada Departemen 47
Lilik Mulyadi. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Teori, Praktek, Tehnik Penyususnan dan Permasalahannya. Loc cit, hlm 26-27. Menteri Kehakiman Prof. Oemar Seno Adji. Jaksa Agung Ali Said,S.H. Kapolri Jenderal Pol Drs Moh Hasan, SH. Menhankam/ Pangab. Diwakili oleh Laksamana Soedomo. 48 Oemar Seno Adji.KUHAP Sekarang. (Jakarta; Erlangga, 1984) hlm 1-3.
Syaiful Bahri
Kehakiman, karena dianggap belum lengkap, dan dilakukan pembahasan dengan meminta pendapat Mahkamah Agung. Serta para pakar hukum terkemuka dalam berbagai organisasi, yakni persatuan advokat Indonesia, Ikatan Hakim Indonesia. Persatuan Jaksa Indonesia. Persatuan Sarjana Hukum Indonesia, baik yang diajukan melalui seminar maupun kegiatan lainnya, seperti kongres, rapat kerja dal lain lainnya. Diserahkan kembali pada Sekretariat Kabinet dengan empat kali penyempurnaan, dan akhirnya pada draf ke lima, yang merupakan hasil kesepakatan pemerintah, diajukan ke DPR, dengan amanat Presiden tanggal 12 September 1979 No. R.06/PU/IX/1979, untuk dibicarakan dalam sidang DPR guna mendapatkan persetujuannya. Dalam pembahasannya pada tanggal 9 Oktober tingkat pertama. Menteri Kehakiman menyampaikan keterangan pemerintah. Tingkat kedua dilakukan dalam sidang Paripurna, pendapat praksi praksi, dilanjutkan dengan Jawaban Pemerintah. Pembicaraan tingkat tiga dilakukan dalam sidang komisi, gabungan komisi. Pada tanggal 24 november 1979 sampai dengan 22 mei 1980 Sekteratiat gabungan dengan pemerintah selesai pembahasannya. Pada tanggal 25 mei 1980 merumuskan KUHAP dilakukan secara marathon, diberbagai tempat tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di Bogor, Cipayung, dengan agenda sinkronisasi.49 Pembicaraan dalam setiap rapat di DPR, dalam kurun waktu tertentu, terbatas pada pembahasan materi secara umum, yang menghasilkan putusan penting yang terkenal dengan nama “13 kesepakatan pendapat”, yang mengandung materi pokok yang dituangkan dalam pasal pasal Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana. Dalam pembahasannya, team sinkronisasi, bekerja selama dua tahun, dengan berbagai hambatan, terutama pembahasan bab tentang peralihan, dan hadirnya penasehat hukum, pada saat pemeriksaan pendahuluan. Hambatan tersebut diselesaikan melalui Lobby, sarasehan, antara pimpinan dewan, pimpinan fraksi dan pimpinan gabungan 49
Lilik Mulyadi. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Teori, Praktek, Tehnik Penyusunan dan Permasalahannya. Op cit.
131
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 119 - 142
fraksi.50 Akhirnya pada tanggal 23 September 1981, melalui sidang paripurna DPR menyetujui UU tersebut, selanjutnya disyahkan oleh Presiden pada tanggal 31 desember 1981 menjadi Undang-Undang. Maka sejak tanggal 31 Desember 1981, ketentuan hukum acara pidana berlaku secara tunggal. Peraturan yang berlaku sebelumnya dinyatakan telah dicabut, sebagaimana konsideran huruf d dan diktum angka 1 dan 2, yang dianggap tidak sesuai lagi dengan cita cita hukum nasional.51 KUHAP sebagai suatu kodifikasi, yang memenuhi persyaratan TAP MPR, telah diintrodusir sebagai suatu kenyataan ditengah-tengah kehidupan hukum nasional, bernafaskan hak asasi manusia, yang menggambarkan suatu keseimbangan antara hak hak terdakwa/ dan pemberi bantuan hukum. KuUHAP disesuaikan dengan persyaratan ilmiah, diadakan pembagian dalam bab sesuai dengan sistematikanya, dimbangi dengan inovasi, praperadilan dengan pra penuntutan, ganti kerugian, pengawasan terhadap eksekusi, dan putusan putusan pidana, serta fungsi dari advokat, yang kesemuanya memerlukan aturan pelaksanaan.52 KUHAP telah disambut dengan suka cita yang mendalam oeh segenap masyarakat Indonesia, dengan suatu harapan akan terujudnya kepastian hukum dan tertib hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan. KUHAP secara tersurat dan tersirat mengatur tentang pemberian, perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang lebih dikenal dengan hak hak asasi manusia. Perbedaan fundamental KUHAP dan HIR, adalah pada perlindungan hak hak asasi manusia.53 Perbedaan itu terlihat dengan diaturnya hak-hak tersangka, bantuan hukum, dasar hu50
Luhut M.P.Pangaribuan.Hukum Acara Pidana Suatu Kompilasi Ketentuan Ketentuan KUHAP Serta Dilengkapi Dengan Hukum International Yang Relevan. (Jakarta; Djambatan, 2000) hlm 414-415 51 Lilik Mulyadi. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Teori, Praktek, Tehnik Penyususnan dan Permasalahannya. Loc cit, hlm 27-28 52 Oemar Seno Adji. KUHAP Sekarang. Op cit, hlm 29. 53 H.M.A Kuffal. Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum. (Malang; Universitas Muhammadiyah Malang, 2004) hlm 1.
132
kum penangkapan, ganti kerugian dan rehabilitasi, penggabungan perkara perdata, pidana, upaya hukum, koneksitas, pengawasan dan pelaksanaan putusan hakim. Selanjutnya beberapa perundang undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan KUHAP, yakni undang undang kejaksaan, Kepolisian, Mahkamah Agung, Advokat, Peradilan Militer, Kepabeanan, Zona Ekonomi Eksklusif, Larangan praktek monopoli, PeraturanPemerintah, Keputusan Menteri, Peraturan / keputusan Mahkamah Agung, surat edaran. Surat Mahkamah Agung, Menteri, Kejaksaan Agung, Kepolisian, serta beberapa dokumentasi Internasional yang relevan dengan Hukum Acara Pidana, yakni;54 1. Universal Declaration Of Human Right. 2. International Convenant on Civil and Political Rights 3. Optional Protocol to the International Covenant in Civil and political rights. 4. Civil and political rights; Protection of persons subjected to detention or Imprisonment and other safeguard to the rights of Citezen. 5. Body Of Prinsiples For The Protection Of All Persons Under Any Form Of Detention or Imprisonment. 6. Declaration on The Protection Of All Persons Prom Being Subjected To Toture and Others Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punisment. 7. Convention Againts Torture and order cruel Inhuman or Degrading treatment or Punisment. 8. Code Of Conduct For Law Enforcement Officials. 9. Principles of Medical Ethis, R elevant to the Role of Healts personal, particularly, In the Protection Of Prisonnners and Detainees Againt Torture and other cruel 10. Standard Minimum Rules For The Treatment of Prisioners. 11. Basic Prinsiples On The Independence of Judiciary 12. Draft Basic Prinsiples on the Use of Force and Fire Arm by Law Enforcement Offi54
Luhut M.P.Pangaribuan. Hukum Acara Pidana Suatu Kompilasi Ketentuan Ketentuan KUHAP Serta Dilengkapi Dengan Hukum International Yang Relevan.Op cit.
Nasionalisasi Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana ...
cials. 13. Effective Prevention and Inverstigation of ekstra Legal, arbitory and summary Executors. 14. Second Optimal Protocol to The International Covenant Civil and Political Rights Aiming Act the Abolition of the Death Penalty. KUHAP, dalam perjalanannya, telah terjadi banyak penyimpangan, yang bertentangan dengan prinsif prinsif dasar hak asasi manusia. Karenanya telah dimulai pembahasan RUU KUHP, guna penyempurnaan, dengan selalu mengaitkan dengan model HAM, terutama tentang wewenang penahanan, yang ada pada tahap penyidikan, penuntutan. Kini beralih pada hakim, yang dikenal sebagai hakim komisaris. Walaupun gagasan itu, telah lama, sejak pembahasan KUHAP yang berlaku sekarang, telah dimunculkan kewenangan hakim komisaris, tetapi tidak berhasil dalam perjuangan di DPR, ketika itu. Gagasan hakim komisaris, muncul kembali, serta pemberlakuan model restrorative juctice, dan kearifan lokal. Kesemuanya, adalah suatu keinginan, untuk tidak mengurangi hak hak asasi manusia. Maknanya segala hal tentang kekerasan, penyiksaan dalam bentuk apapun (pisik maupun non pisik), tidak diperkenankan. Segala bentuk kekerasan dan penyiksaan, tidak dapat dijadikan pembuktian dalam proses persidangan, dan lebih jauh berakibat batal demi hukum. KUHAP, sebagai hukum formil, yang sangat modern, mengikuti berbagai kecenderungan hukum acara pidana di Dunia, serta lahir, pada masa orde baru, yang sangat otoriter. Maka suatu hal yang luar biasa, para ahli hukum, yang tergabung dalam berbagai organisasi profesi, ikut mendorong kelahiran KUHAP, dalam waktu yang relatif cepat. Melalui Kuhap, serangkaian kerja penegak hukum, lebih dapat ditata secara harmonis, terlebih dalam pencerminan, pembuktian dengan segala persyaratan yang sangat ketat, diatur secara limitatif dalam perundang undangan. Segala peraturan perundang undangan juga telah dipersiapkan, guna pelaksanaan dan pemberlakukan KUHAP.
Syaiful Bahri
Pembaruan Hukum Acara Pidana Asas legalitas Yang pertama-tama dikemukakan di sini ialah ditegaskannya asas legalitas dalam Rancangan, sebagai padanan asas legalitas dalam KUHP atau hukum pidana materiel. Jadi, bukan asas legalitas sebagai lawan asas oportunitas yang akan diutarakan pula di belakang. Berlainan dengan asas legalitas dalam hukum pidana materiel yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi: ”Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan pidana yang ada sebelumnya”. KUHP Indonesia (termasuk Rancangan) sama dengan KUHP Belanda memakai istilah “wettelijk strafbepaling” (perundang-undangan pidana) bukan strafwet (undang-undang pidana). Ini berarti suatu peraturan yang lebih rendah dari undang-undang dalam arti formel, seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat memuat rumusan delik dan sanksi pidana, sama dengan Belanda yang meliputi undang-undang dekrit raja dan peraturan gemeente.Dalam hukum acara pidana dipakai istilah undang-undang (wet) sehingga hanya dengan undang-undang dalam arti formel seseorang dapat ditangkap, ditahan, digeledah, dituntut, diadili, dst. Pasal 1 KUHAP (Sv). Belanda menegaskan hal ini yang berbunyi: ”Strafvordering heft alleen plaats op de wijze bij de wet voorzien.” (Acara pidana dijalankan hanya menurut cara yang diatur oleh undangundang). Jadi, tidak boleh suatu peraturan yang lebih rendah dari undang-undang dalam arti formel mengatur acara pidana. Cortens seorang pakar hukum acara pidana Belanda mengatakan, bahwa hukum pidana materiel bisa bersifat lokal, akan tetapi hukum acara bersifat nasional.55 Sengaja disalin Pasal 1 KUHAP Belanda karena rumusan asas legalitas dalam KUHAP 1981yang tercantum di dalam Pasal 3 kurang tepat rumusannya. Pasal itu berbunyi: “Peradilan dijalankan menurut cara dalam undang-undang ini.” Keliru karena dipakai istilah peradilan yang meliputi peradilan perdata, pidana, administrasi, agama, militer, dst. 55
Naskah Akademik RUU KUHAP, hlm 11
133
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 119 - 142
Mestinya yang dipakai ialah “peradilan pidana” atau lebih tepat “acara pidana”. Menurut Joan Miller, criminal justice system, luas artinya, mulai dari perencanaan undang-undang pidana sampai keluarnya narapidana dari penjara atau pemasyarakatan. Sedangkan acara pidana mulai dari penyidikan sampai eksekusi. Sistem penjara atau pemasyarakatan tidak termasuk acara pidana sehingga tidak masuk dalam KUHAP. Kata “ini” harus dihapuskan pula karena ada ketentuan acara pidana diatur di luar KUHAP, seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Pengadilan HAM, dll. Jika dicantumkan kata “ini” artinya KUHAP, sehingga perlu ditambahkan lagi katakata “dan undang-undang lain yang relevan”, seperti KUHAP RRC. Pasal 3 alinea kedua KUHAP RRC berbunyi :“In conducting criminal procedure, the People‟s Court, the People Procurator and the public security organs must strictly observe this Law and any relevant stipulations of the laws.” (Dalam melaksanakan acara pidana, Pengadilan Rakyat, Jaksa Rakyat, dan organisasi keamanan publik harus secara ketat memperhatikan undang-undang ini dan ketentuan lain yang relevan dari undang-undang lain) ketentuan alenia ketiga Pasal 3 KUHAP RRC itu mirip dengan Pasal 1 pendahuluan KUHAP Belgia yang mengatakan kecuali ditentukan lain dalam undang-undang, hanya pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang yang boleh menerapkan pidana. KUHAP Federasi Rusia tahun 2003 pada Pasal 8 ayat (2) juga merumuskan asas legalitas walaupun dengan susunan yang lain sebagai berikut: “No one may be adjudge guilty of a crime or subjected to criminal punishment except pursuant to a court judgement and in accordance with the procedures established by this code.” (Tidak ada seorang pun yang boleh dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan atau tunduk pada pidana kriminal kecuali berdasarkan putusan pengadilan dan sesuai dengan acara yang diatur dalam kitab ini.”). Yang tidak diatur di dalam hukum acara pidana ialah hukum transitoir, seperti Pasal 1 ayat (2) KUHP apabila ada perubahan perun-dang134
undangan, maka yang diterapkan ialah ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa. Jadi, menurut Schaffmeister dan Keijzer dalam ceramahnya di Universitas Indonesia April 2006,56 apabila ada perubahan perundang-undangan dalam hukum acara pidana misalnya diperkenalkannya DNA sebagai alat bukti, maka dapat diterapkan kepada perkara yang sedang diperiksa walaupun ketika perbuatan dilakukan DNA belum merupakan alat bukti. Yang penulis tidak mengerti karena menurut mereka hal itu tidak berkaitan dengan undangundang berlaku surut. Dasar fundamental hukum acara pidana ditambahkan juga seperti ketentuan Pasal 1 KUHAP Perancis yang baru ditambahkan pada tahun 2000. 1. Hukum acara pidana haruslah fair, dan adversarial dan menjaga keseimbangan para pihak. 2. Haruslah dijamin pemisahaan penguasa yang bertanggung jawab atas penuntutan dan yang bertanggung jawab dalam memutus. 3. Orang dalam keadaan yang sama dan dituntut atas delik yang sama harus diadili berdasarkan aturan yang sama. 4. Kekuasaan yudisial menjamin bahwa korban diberitahu dan hak-haknya dihormati dalam seluruh proses pidana. 5. Setiap orang yang disangka atau dituntut dianggap tidak bersalah sepanjang kesalahannya belum ditentukan. Hubungan penyidik dan penuntut umum lebih diakrabkan. Dalam praktek sekarang ini terjadi berkas bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum yang sebagian (dalam jumlah besar) tidak lagi muncul ke pengadilan. Hal ini menurut Oemar Seno Adji dalam beberapa kali kesempatan, “sangat merugikan pencari keadilan”.57 Ada P 19 yaitu pengembalian berkas ke penyidik untuk dilengkapi (yang sebagian tercecer tidak tahu rimbanya), ada P 21 yang menyatakan bahwa berkas perkara sudah lengkap, yang membebaskan penyidik dari urusan berkas itu selanjutnya. Demikian, sehingga dalam Rancangan, pada saat penyidikan dimulai 56 57
Ibid Ibid
Nasionalisasi Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana ...
dan diberitahukan kepada penuntut umum, penuntut umum sudah memberi petunjuk, bukan ketika berkas sudah selesai disusun oleh penyidik. Petunjuk pun tidak perlu tertulis, boleh secara lisan, SMS, telepon, e-mail. Di Perancis ada jaksa yang piket menunggu telepon dari penyidik dimulainya penyidikan dan langsung memberi petunjuk. Oleh karena itu dalam PP pelaksanaan KUHAP akan ditunjuk jaksa zona yang akan memberi petunjuk perkara yang terjadi di zonanya, sama dengan di Belanda. Jadi, lebih memudahkan penyidik menghubungi. Jaksa zona yang wilayahnya (bukan kantornya) per kecamatan (POLSEK). Menurut pendapat Penulis, untuk perkara kecil tidak perlu diberitahu jaksa tentang dimulainya penyidikan dan jaksa memberi petunjuk, hanya untuk perkara serius atau sulit pembuktiannya secara yuridis. Apalagi dengan diperkenalkannya sistem adversarial yang penuntut umum boleh menambah alat bukti (saksi) pada saat sidang sudah dimulai. Jadi, berkas perkara tidak sepenting sekarang ini, karena pada prinsipnya pembuktian terjadi di sidang pengadilan. Penyadapan Penyadapan diperkenalkan dalam Rancangan, akan tetapi diberi persyaratan yang ketat. Pasal 83 ayat (1) Rancangan berbunyi: “Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan.” Jadi, pada prinsipnya penyadapan dilarang. Penyadapan dengan demikian bersifat pengecualian. Tindak pidana serius dijelaskan dalam Pasal 83 ayat (2) Rancangan. Adalah tindak pidana: (a) terhadap keamanan Negara (Bab I Buku II KUHP); (b) perampasan kemerdekaan/penculikan (Pasal 333 KUHP); (c) pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP); (d) pemerasan (Pasal 368 KUHP); (e) pengancaman (Pasal 368 KUHP); (f) perdagangan orang; (g) penyelundupan; (h) korupsi; (i) pencucian uang; (j) pemalsuan uang; (k) keimigrasian; (l) mengenai bahan peledak dan senjata api; (m) terorisme; (n) pe-
Syaiful Bahri
langgaran berat HAM; (o) psikotropika dan narkotika; dan (p) pemerkosaan. Penyadapan pun dilakukan dengan perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Dengan demikian, tidak ada kecuali, KPK pun melakukan penyadapan harus dengan izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Pengecualian izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam keadaan mendesak dibatasi dan tetap dilaporkan kepada hakim melalui penuntut umum. Sistem Penuntutan dan Mediasi Penal Hal lain yang juga berubah, ialah sistem penuntutan, walaupun seperti halnya di Belanda, penuntutan pidana dimonopoli oleh jaksa. Dengan demikian, sistem yang berlaku di Indonesia sama dengan di Belanda, jaksa dominus litis penuntutan. Berbeda dengan England, Perancis, Belgia, Rusia, Thailand, RRC dan Filipina yang swasta (korban) langsung dapat melakukan penuntutan ke pengadilan tanpa melalui penyidik dan jaksa. Biasanya hanya untuk perkara ringan, seperti penghinaan, penganiayaan (ringan), penipuan, dan lain lain. Di Thailand ada tiga macam penuntutan, yaitu yang dilakukan oleh penuntut umum (public prosecutor), swasta atau korban dan gabungan antara swasta (korban) dan jaksa yang disebut joint prosecution. Hal ini disebabkan karena penuntutan pidana itu memerlukan keahlian teknis-yuridis. Belum terpikirkan untuk memperkenalkan private prosecution di Indonesia, karena hal itu berarti akan merombak seluruh sistem acara pidana. Oleh karena Indonesia menganut asas oportunitas sama dengan Belanda, Perancis, Jepang, Korea, Israel dll, maka diperkenalkan penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten proces). Hal ini sesuai dengan asas peradilan cepat, biaya murah dan sederhana. Asas oportunitas secara global diartikan “The public prosecutor may decide conditionally or unconditionally to make prosecution to court or not.” (Penuntut umum boleh menentukan menuntut atau tidak menuntut ke pengadilan dengan syarat atau tanpa syarat.”). Penyelesaian di luar pengadilan tercantum di dalam Pasal 42 ayat (2) dan (3) Rancangan. Pasal 42 ayat (2) RUU KUHAP berbunyi: 135
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 119 - 142
”Penuntut umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat.” Pasal 42 ayat (3) RUU KUHAP menyebut syarat-syarat itu sebagai berikut: a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan; b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda; d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas tujuh puluh tahun; dan/ atau e. kerugian sudah diganti. Tindak pidana bersifat ringan, misalnya menipu (Pasal 378 KUHP) yang ancaman pidananya maksimum empat tahun penjara sebesar 10 (sepuluh) juta rupiah untuk membayar biaya rumah sakit, kemudian telah membayar kepada korban. Dengan demikian, korban pun mendapat kembali uangnya, daripada penipu ini masuk penjara dan uang tidak kembali. Penyelesaian seperti ini termasuk peradilan restoratif (restorative justice), adanya perdamaian antara korban dan pelaku. Di Belanda, maksimum ancaman pidana yang dapat diselesaikan di luar pengadilan ialah 6 (enam) tahun penjara yang dengan sendirinya termasuk delik pencurian, misalnya mengutil sekaleng susu di super market untuk bayinya sedangkan dia tidak mempunyai uang, belum pernah melakukan tindak pidana sebelumnya, lalu dia telah membayar supermarket itu. Persyaratan lain misalnya dia belum pernah dipidana sebelumnya. Oleh karena Pasal 42 Rancangan menyebut maksimum pidana 4 (empat) tahun penjara, maka pencurian yang ancaman pidananya 5 (lima) tahun penjara tidak termasuk penyelesaian di luar pengadilan, kecuali pelaku yang berumur 70 (tujuh puluh) tahun atau lebih. Pasal 25 KUHAP Federasi Rusia yang baru (tahun 2003) yang berjudul “penyampingan perkara dengan alasan antara para pihak (tersangka dan korban) telah terjadi perdamaian dengan ganti kerugian. Pasal 25 itu berbunyi: 136
“A court or procurator or an investigator, or an inquiry officer acting with the consent of a procurator, may on the request of the victim or his legal guardian, dismiss criminal case againt a person who is suspected or accused of having committed a minor or moderately serious crime in cases in article 76 of the Criminal Code of the Russian Federation and the person has reached a settlement with the victim and has compensated the victim for his loss.”58 Pasal 76 KUHP Federasi Rusia itu menyebut maksimum pidana penjara sepuluh tahun. Jadi, lebih berat daripada di Belanda yang dibatasi untuk delik yang diancam dengan pidana penjara maksimum enam tahun berdasarkan Undang-Undang yang mulai berlaku di Belanda sejak 1 Mei 1983. Perancis menentukan pidana penjara maksimum lima tahun yang dapat diselesaikan di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan ini termasuk konsep peradilan restoratif (restorative justice). Hukum Islam mengenal restorative justice bahkan sampai delik berat seperti pembunuhan yang disebut diyat. Akan tetapi ada perbedaan karena penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten proces) hanya untuk delik ringan dan motifnya pun harus ringan. Asas oportunitas yang disebut di dalam undang-undang Kejaksaan, benar-benar untuk kepentingan umum termasuk delik berat, akan tetapi hanya Jaksa Agung yang boleh menerapkannya. Dalam Pasal 42 Rancangan, hanya delik ringan yang ancaman pidananya 4 (empat) tahun penjara ke bawah kecuali pelaku yang berumur 70 tahun ke atas ancaman pidananya maksimum 5 (lima) tahun penjara. Bahkan Rusia mengenal sistem pengakuan terdakwa atas semua dakwaan dan terdakwa mohon 58
Pengadilan atau jaksa atau penyidik atau perwira pemeriksa dengan persetujuan jaksa, boleh dengan permohonan korban atau penasihat hukumnya menyampingkan perkara pidana terhadap seseorang yang disangka atau didakwa telah melakukan kejahatan ringan atau kurang serius yang tersebut di dalam Pasal 76 KUHP Federasi Rusia, dan orang itu telah mencapai penyelesaian dengan korban dan telah mengganti kerugian yang diderita korban.”
Nasionalisasi Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana ...
langsung dijatuhi pidana tanpa ada sidang pengadilan. Hal itu diatur di dalam Pasal 314 KUHAP Rusia yang pada ayat (1) berbunyi: “Terdakwa berhak, dengan tunduk pada persetujuan penuntut umum atau private prosecution (penuntut perorangan) dan korban, untuk menyetujui dakwaan yang diajukan terhadapnya dan mengajukan mosi (permohonan) untuk memutuskan tanpa pengadilan dalam perkara pidana yang keputusannya ditetapkan dalam KUHP Federasi Rusia tidak melebihi sepuluh tahun penjara. Ayat (7) mengatakan pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi 2/3 dari yang ditentukan untuk kejahatan itu. Jadi, ada keuntungan (bargain) jika seseorang mengaku. Ketentuan seperti itu belum diakomodasikan di dalam Rancangan KUHAP, karena merupakan hal baru sama sekali yang tidak ditemui dalam KUHAP negara lain, yang mungkin orang Indonesia menganggap ketentuan seperti itu terlalu canggih. Swedia yang menganut asas legalitas dalam penuntutan sebagai lawan asas oportunitas, namun mengenal jaksa dapat langsung menerapkan pidana yang bersifat ringan, misalnya denda tanpa melalui pengadilan.59Jadi, Swedia tidak menerapkan trias politica secara ketat karena jaksa dapat mengenakan sanksi tanpa melalui pengadilan. Dengan demikian, pengenaan sanksi ringan terhadap delik ringan tidak berkaitan dengan asas oportunitas, karena Swedia menganut asas legalitas dalam penuntutan bukan asas oportunitas. Begitu juga dengan Norwegia yang menciptakan KUHAP baru pada tahun 1986, jaksa dapat menjatuhkan pidana tanpa persetujuan hakim yang disebut patale unnlatese5. Belanda telah menentukan, bahwa jaksa dapat menyampingkan perkara yang diancam dengan pidana tidak lebih dari enam tahun dengan pembayaran denda administratif. Hakim Pemeriksa Pendahuluan Pada pendahuluan sudah dikemukakan bahwa dalam Rancangan diperkenalkan lembaga baru yaitu Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Sebenarnya isinya bukan hal baru, tetapi lebih merupakan revitalisasi praperadilan 59
Nakah Akademik Ruu KUHAP
Syaiful Bahri
yang sudah ada dalam KUHAP 1981. Hakim Pemeriksa Pendahuluan di dalam Rancangan ini berbeda sama sekali dibanding dengan Rechtercommissaris di Belanda atau juge d’ instruction di Perancis atau Inschuhungsrichter dulu di Jerman atau Giudice Istructtore dulu di Italia. Hakim Pemeriksa Pendahuluan versi Rancangan sama sekali tidak memimpin penyidikan sebagaimana rechtercommissaris di Belanda atau juge d’instruction di Perancis. Kedua lembaga di Belanda dan Perancis itu bersifat inquisitoir, sedangkan kecenderungan dunia sekarang mengarah ke sistem adversarial, artinya kedudukan penuntut umum dan terdakwa beserta penasihat hukumnya di pengadilan berimbang. Italia telah menghapus giudice istructtore (model Hakim Pemeriksa Pendahuluan Perancis dan Belanda) dan menggantikannya dengan lembaga baru yang disebut giudice per le indagini preliminary (bahasa Indonesia: “Hakim Pemeriksa Pendahuluan”). Jerman pun telah menghapus lembaga inschuhungsrichter model Hakim Pemeriksa Pendahuluan Belanda dan Perancis. Secara kebetulan tanpa sengaja meniru, Hakim Pemeriksa Pendahuluan versi Rancangan mirip dengan lembaga baru di Italia itu. Lembaga ini sama sekali tidak memimpin penyidikan, akan tetapi sama dengan praperadilan yang wewenangnya diperluas dan dimandirikan. Dengan demikian, lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan versi Rancangan tidak dapat diterjemahkan ke bahasa Inggeris menjadi investigating judge. Terjemahan ke bahasa Inggris ialah Commissioner Judge. Tujuan dulu dibentuk investigating judge ialah untuk mengimbangi jaksa yang terlalu dominan sebagai master of procedure atau dominus litis. Maksudnya ialah menjaring perkara-perkara besar dan menarik perhatian masyarakat yang akan diajukan jaksa ke pengadilan. Seperti dikemukakan di Pendahuluan, adanya lembaga penyaring, di samping hakim sidang (trial judge) maka dapat dihindari penuntutan yang sewenang-wenang karena alasan pribadi atau balas dendam. Oleh karena itu, salah satu wewenang Hakim Pemeriksa Pendahuluan versi Ranca137
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 119 - 142
ngan ialah menentukan layak tidak layaknya suatu perkara diajukan ke pengadilan atas permohonan jaksa (pretrial). Dengan demikian, jika jaksa tidak menuntut dan terjadi desakan masyarakat awam, jaksa dapat menunjuk putusan Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Namun demikian, jika kemudian ditemukan bukti baru, dapat diajukan lagi ke Hakim Pemeriksa Pendahuluan agar penuntutan dapat dilakukan. Dalam pemeriksaan itu, tersangka dan saksi dapat didengar keterangannya begitu pula konklusi penuntut umum. Dengan adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan maka diharapkan dapat dicapai tujuan hukum acara pidana yakni due process of law atau behoorlijk procesrecht. Tujuan hukum acara pidana ialah mencari kebenaran materiel (objective truth) dan melindungi hak asasi terdakwa jangan sampai terjadi orang tidak bersalah dijatuhi pidana di samping perhatian kepada korban kejahatan. Alat bukti tidak boleh diperoleh secara melawan hukum. Pemancingan tidak dibolehkan (kasus seperti Mulyana Kusumah dilarang di Perancis dan Italia). Hasil penyidikan adalah rahasia (secret d‟instruction). Dilarang keras penyidik membeberkan hasil penyidikan. Pasal 434-7-2 Code Penal mengancam pidana bagi orang yang membocorkan hasil penyidikan. Terbalik di Indonesia, masyarakat menghendaki penyidikan transparan. Tujuan penyidikan adalah rahasia, ialah menjaga praduga tak bersalah (Inggris: presumption of innocence, Belanda: presumptie van onschuldig, Perancis: presumption d’innocence). Di samping itu, juga untuk kepentingan penyidikan sendiri jangan sampai tersangka menghilangkan alat-alat bukti atau mempengaruhi saksi. Prosedur Persidangan Yang Mengarah Ke Adversarial Di negara-negara lain seperti Italia dan Jepang sistem pemeriksaan sidang yang inquisitoir sudah ditinggalkan. Italia memperkenalkan sistem adversarial murni, yang artinya tidak ada lagi berkas perkara yang diserahkan oleh penuntut umum kepada hakim. Berkas perkara yang dibuat penyidik hanya untuk penuntut umum guna dipakai dalam persidangan. Yang diserahkan kepada hakim hanya surat 138
dakwaan, nama terdakwa, surat penahanan dan daftar barang bukti. Ketentuan prosedur persidangan sudah mengarah ke adversarial atau antara penuntut umum dan terdakwa/penasihat hukum lebih berimbang. Dengan demikian, peran aktif hakim yang memimpin sidang berkurang. Peranan berita acara juga berkurang oleh karena kedua pihak penuntut umum dan terdakwa/penasihat hukum dapat menambah alat bukti (saksi) baru di sidang pengadilan yang dapat ditolak oleh hakim, jika segalanya sudah jelas dan terang. Dengan demikian, ada kaitannya dengan tiadanya P 21, sehingga hubungan antara penyidik dan penuntut umum berlangsung terus sampai sidang pengadilan. Adanya keberatan jika penuntut umum menambah sendiri pemeriksaan juga menjadi tidak beralasan, karena pada saat sidang sedang berlangsung pun penuntut umum dapat menambah alat bukti baru, terutama untuk menyanggah alat bukti baru a‟ de charge yang diajukan terdakwa/penasihat hukum. Pasal 152 (1) Rancangan berbunyi: Penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi kesempatan menyampaikan penjelasan singkat untuk menguraikan bukti dan saksi yang hendak diajukan oleh mereka pada persidangan. Pasal 152 (2): Sesudah pernyataan pembuka, saksi dan ahli memberikan keterangan. Pasal 152 (3): Urutan saksi dan ahli ditentukan oleh pihak yang memanggil. Pasal 152 (4): Penuntut umum mengajukan saksi, ahli, dan buktinya terlebih dahulu. Pasal 152 (5): Apabila hakim menyetujui saksi dan ahli yang diminta oleh Penasihat hukum untuk dihadirkan, maka hakim memerintahkan kepada Penuntut Umum untuk memanggil saksi dan ahli yang diajukan oleh Penasihat Hukum tersebut. Pasal 152 (10): Setelah pemeriksaan terdakwa, Penuntut Umum dapat memanggil saksi atau ahli tambahan untuk menyanggah pembuktian dari penasihat hukum selama persidangan. Dalam ketentuan tersebut nyata kecenderungan ke arah adversarial, yang menyebabkan penuntut umum benar-benar menguasai hukum acara dan hukum pidana materiel di samping sikap, wibawa, suara dan taktik yang mantap.
Nasionalisasi Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana ...
Alat-Alat Bukti Alat bukti berubah, sehingga berdasarkan Pasal 177 Rancangan alat bukti yang sah mencakup: a. barang bukti; b. surat-surat; c. bukti eletronik; d. keterangan seorang ahli; e. keterangan seorang saksi; f. keterangan terdakwa; g. pengamatan hakim. Yang baru ialah “barang bukti” yang lazim disebut di Negara lain real evidence atau material evidence, yaitu bukti yang sungguhsungguh. Disebut surat-surat (jamak) maksudnya ialah jika ada seratus surat, dihitung sama dengan satu alat bukti Sebaliknya, disebut “seorang ahli” atau “seorang saksi” maksudnya jika ada dua saksi maka memenuhi bukti minimum dua alat bukti. Ini sama dengan KUHAP Belanda yang menyebut geschriftelijke bescheiden (surat-surat) dan verklaringen van een getuige (keterangan seorang saksi). Bukti elektronik misalnya e-mail, SMS, foto, film, fotokopi, faximail, dst. Sengaja keterangan saksi ditempatkan bukan pada urutan satu (sama dengan KUHAP Belanda) agar jangan dikira jika tidak ada saksi tidak ada alat bukti. Keterangan terdakwa berbeda dengan pengakuan terdakwa. Alat bukti “petunjuk” yang berasal dari KUHAP Belanda tahun 1838 yang sudah lama diganti dengan eigen waarneming va de rechter (pengamatan hakim sendiri) berupa kesimpulan yang ditarik dari alat bukti lain berdasarkan hasil pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Amerika Serikat disebut judicial notice. Tidak ada KUHAP di dunia yang menyebut petunjuk (Belanda: aanwijzing; Inggris: indication) sebagai alat bukti kecuali KUHAP Belanda dahulu (1838); HIR dan KUHAP 1981). Dalam requisitoirnya penuntut umum dapat menguraikan dan menjelaskan hal-hal yang terjadi di sidang pengadilan dan memberi kesimpulan dari semua alat bukti yang telah dikemukakan, untuk memancing opini hakim yang menjurus kepada adanya bukti berupa “pengamatan hakim sendiri”.
Syaiful Bahri
Plea Bargaining Hal ini tercantum di dalam 197 Rancangan yang berjudul jalur khusus. Pada saat Penuntut Umum membacakan surat dakwaan, terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari tujuh tahun penjara, Penuntut Umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat. Pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih dari 2/3 dari maksimum. Di sinilah letak pengakuan yang memberi keuntungan (semacam plea bargaining). Hakim dapat menolak pengakuan ini dan meminta Penuntut Umum mengajukan ke sidang pemeriksaan biasa. Saksi Mahkota (KROON GETUIGE: CROWN WITNESS) Salah satu hal yang paling sering disalahmengerti ialah saksi mahkota. Ada yang mengartikan saksi mahkota ialah jika para terdakwa bergantian menjadi saksi atas kawan berbuatnya. Justru hal itu dilarang karena berarti selfincrimination. Sebagai saksi dia disumpah, jadi jika dia berbohong dia bersumpah palsu, padahal dia juga terdakwa dalam kasus itu yang jika dia berbohong tidak diancam dengan pidana. Saksi mahkota hanya ada dalam buku teks dan yurisprudensi, tidak tercantum di dalam undang-undang. Saksi mahkota ialah salah seorang tersangka/terdakwa yang paling ringan perannya dalam delik terorganisasikan yang bersedia mengungkap delik itu, dan untuk “jasanya” itu dia dikeluarkan dari daftar tersangka/terdakwa dan dijadikan saksi. Jika tidak ada peserta (tersangka/terdakwa) yang ringan perannya dan tidak dapat dimaafkan begitu saja, tetap diambil yang paling ringan perannya dan dijadikan saksi kemudian menjadi terdakwa dengan janji oleh penuntut umum akan menuntut pidana yang lebih ringan dari kawan berbuatnya yang lain. Demikian ketentuan undang-undang Italia tentang saksi mah-kota. Jadi, ketentuan tentang saksi mahkota yang dituangkan di dalam Pasal 198 Rancangan sesuai dengan asas oportunitas juga yang dianut di Indonesia. Tentu hal ini harus disampaikan oleh penuntut umum kepa-
139
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 119 - 142
da hakim. Penuntut umumlah yang menentukan terdakwa dijadikan saksi mahkota. C. PENUTUP Pentingnya memahami kembali lintas sejarah hukum pidana, dimaksudkan, agar, semangat filosofis sejarah yang baik, dapat berputar kembali, pada kurun waktu tertentu, sebagaimana maksud dan tujuannya, untuk mencapai kebenaran, kebaikan, keadilan dan kebahagian umat manusia. Dalam kurun waktu kemerdekaan, hingga masa reformasi, pergolakan pembuatan hukum, diwarnai oleh sejarah tarik menarik berbagai kepentingan konsfigurasi politik, oleh bangsa Indonesia, walaupun produk hukum yang dihasilkan masih juga diwarnai oleh berbagai kepentingannya. Tetapi tetap menuju pada hukum Indonesia dengan ciri ciri khasnya sesuai dengan Falsafah Pancasila dan UUD Tahun 1945. Terutama sentuhan keadilan, yang bercorakan Pancasila, walaupun dipengaruhi oleh perkembangan keadilan yang universal. Keadilan merupakan suatu kebaikan, yang mengatasi semuanya, sekaligus merangkai hak hak individu yang saling memberikan manfaat. Melalui pembaharuan hukum pidana Materiil dan Formiil, sekarang ini, sedang dalam agenda dan prioritas utama. Maka sejarah akan mencatat, terbentuknya Hukum pidana baru, yang sarat dengan pergolakan, perkembangan globalisasi dunia, dan arus perkembangan Ilmu pengetahuan dan tehnologi,
yang begitu cepat, serta penyesuaian dengan hak asasi manusia yang univesal. Pengaruh hukum Internasional di bidang hukum pidana. Dikaitkan dengan kriminalisasi yang sedang terjadi dan menggejala dalam pengalaman empiris bangsa, oleh para pembentuk UndangUndang di Lembaga Legislatif. Sejarah hukum akan berputar, untuk mencapai kebahagiaan manusia, selaras dengan perobahan zamannya. Hukum pidana Indonesia, adalah suatu pergulatan pemikiran oleh para ahli, cerdik pandai dibidangnya, yang telah menggagas pemberlakuan cita cita, hukum pidana yang ideal, untuk kemanusiaan. Hukum pidana baru akan menyongsong semangat berhukum bagi generasi, reformasi hukum pada kancah restorasi bangsa, menuju peradaban milinium berikutnya, bangsa dan generasinya, akan selalu tampil membanggakan, sebagaimana para pendahulunya yang sangat mulia dan terpuji dikancah pergaulan dan kemajuan di dunia internasional. Pembaharuan KUHP dan KUHAP, seba-gai karya anak bangsa yang terbaik dibidang-nya, mengisi rentang sejarah peradaban bang-sa. Bangsa Indonesia, yang sejajar dalam pergaulan dunia, yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan yang universal, melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, dengan hukum pidana yang sesuai dengan keperibadian bangsa.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman. Hukum Adat Dalam Perkembangan Pluralisme Hukum di Indonesia. Dalam Majalah Hukum Nasional No 2 Tahun 2008. (Jakarta; Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI,2008) Anthon F Susanto. Ilmu Hukum Non Sistimatik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia.(Yogyakarta; Genta Publishing, 2010) Anto Soemarwan,Hukum Adat Perspektif Sekarang dan Mendatang (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2003) Akhmad Hasan. Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar Dalam Kerangka Sistem Nasional. Diseratasi Doktor Ilmu Hukum. Program Pascasarjana UII, Fakultas Hukum Yogyakarta. 2007. Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro. Cs. Reformasi Hukum Di Indonesia. (Jakarta;PT Siber Konsultan, 1999) A. Zainal Abidin Farid. Hukum Pidana I. (Jakarta; Sinar Grafika, 2007) Andi Hamzah. Asas Asas Hukum Pidana. Edisi revisi. (Jakarta; Rineka Cipta, 2008) 140
Nasionalisasi Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana ...
Syaiful Bahri
--------, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara. (Jakarta; Sinar Grafika, 2008) --------, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, (Jakarta; Pusat Study Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2007) --------, Pembangunan Hukum Pidana Indonesia.Dalam Perrkembangan Hukum Pidana Dalam Era Globalisasi. (Jakarta; Perum Percetakan Negara RI, 2008) Andi Hamzah. Delik Delik Tertentu (Specieali Delicten) Di Dalam KUHP. (Jakarta; Pusat Study Hukum Pidana, 2010) Artidjo Alkostar.Menelusuri Akar dan Merancang Hukum Nasional. Dalam Indentitas Hukum Nasional. (Yogyakarta; Fakultas Hukum UII, 1997) Ahmad Ali. Menguak Tabir Hukum. (Bogor; Ghalia Indonesia, 2008) Akhmad Ramli. Kordinasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang Undangan. Dalam Majalah Hukum Nasional. (Jakarta; BPHN-Dep Hukum dan HAM RI. No. 2 Tahun 2008) Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta Hukum Pidana. (Bandung; PT.Cita Adytia Bakti, 2003) ---------, Sistem Pemidanaan Menurut Konsep KUHP Baru dan Latar Belakang Pemikirannya. Makalah Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi Dosen Fakultas Hukum PTN/PTS Se Indonesia. (Semarang; 12-31 Januari, 1993) ---------, Kapita Selekta Hukum Pidana. (Bandung; PT. Citra Adytia Bakti, 2010) ---------, Pembaharuan Hukum Pidana Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat(Jakarta: Pradnya Paramita, 1987) Bagir Manan. Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. (Jakarta; Ind-Hill,co,1992) C. Van Vollenhoven,Penemuan Hukum Adat, Terjemahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1981) Cesare Beccaria. Perihal Kejahatan dan Hukuman (Yogyakarta; Genta Publishing, 2011) Gregory Leyh. Hermeneutika Hukum. Sejarah Tero dan Praktek. (Bandung; Nusa media, 2008) J.M.Van Bemmelen. Hukum Pidana 3 Bagian Khusus Delik Delik Khusus. (Bandung; Bina Cipta, 1986) ---------, Hukum Pidana 2. Hukum Peneitentier. Diterjemahkan oleh Hasnan. (Bandung; Bina Cipta, 1991) Luhut M.P. Pangaribuan. Hukum Acara Pidana Suatu Kompilasi Ketentuan Ketentuan KUHAP Serta Dilengkapi Dengan Hukum International Yang Relevan. (Jakarta; Djambatan, 2000) Lilik Mulyadi. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Teori, Praktek, Tehnik Penyususnan dan Permasalahannya.(Bandung; PT. Citra Adytia Bakti, 2007) ---------, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. (Bandung; Alumni, 2007) Lili Rasyidi. Dinamika Situasi dan Kondisi Hukum Dewasa Ini. Dalam Tinjauan Kritis Atas Perkembangan Hukum Seiring Perkembangan Masyarakat di Indonesia. Kapita Selekta Hukum. (Bandung; Widya Padjadajaran, 2009) Roeslan Saleh. Pembinaan Cita Hukum dan Asas Asas Hukum Nasional. (Jakarta; Karya Dunia Fikir, 1996) --------, Kitab Undang Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan.(Jakarta; Aksara Baru, 1981) Roeslan Saleh dan Erna Widjajanti. Perbandingan Hukum Perdata I. (Jakarta; diktat perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1996) Rusli Muhammad. Kemandirian Pengadilan Indonesia. (Yogyakarta, FH- UII Press, 2010) R. Tresna. Peradilan Di Indonesia Dari Abad Ke abad. (Jakarta; Pradnya Paramita, 1977) R. Tresna. Komentar HIR. (Jakarta; PT. Pradnya Paramita, 1972) R. Van Dijk,Pengantar Hukum Adat Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 2006) Rifyal Ka‟bah. Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta; Universitas YARSI, 1999) Roberto M Unger.Law and Modern Society Toward a Critican Of social Theory (the free Press, 1976) Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. (Jakarta; Prenada Media Grouf, 2010)
141
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 119 - 142
R. Soesilo. Hukum Atjara Pidana (Tugas Kepolisian Sebagai Djaksa Pembantu). (Bogor; Politea, 1964) Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana.(Bandung; Alumni, 2007) --------, Hukum Pidana dan Pandangan Masyarakat.(Bandung; Sinar Baru, 1990) Satjipto Rahardjo. Sosiologi Hukum, Esai Esai Terpilih. (Yogyakarta; Genta Publishing, 2010) --------, Hukum dan Perilaku. Hidup Baik Adalah Dasar Hukum Yang Baik. (Jakarta; Kompas, 2009) --------, Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Hukum dalam Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Binacipta, 1975) Slamat Mulyana. Tafsir Sejarah Negara Kretagama, (Yogyakarta; LKIS, 2006) --------, Perundang-Undangan Majapahit (Djakarta: Bhratara, 1967) Soetandyo Wignyosoebroto. Dari Hukum Kolonial Kehukum Nasional. Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia. (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 1995) Siti Maryam R. Salahudin. Hukum Adat Undang-Undang Bandar Bima (Nusa Tenggara Barat: Lengge, 2004) Suparman Marzuki. Tragedi Politik Hukum HAM. (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, bekerjasama dengan PUSHAM UII Yogyakarta, 2011) Suhariyono. Ar. Pengaturan Pidana Anak Dalam RUU KUHP. Disampaikan dalam FGD KUHP Kemkumham,Jakarta 4 april 2011, hotel Mercuri Ancol. Sajuti Thalib. Receptio A Contrario Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam. (Jakarta; Bina Aksara, 1985) Satria Effendi. M. Zein. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah. (Jakarta; Prenada Media, 2005) Syaiful Bakhri. Pidana Denda dan Korupsi. (Yogyakarta; Total Media, 2009) Moelyatno. Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. (Jakarta; Rineka Cipta, 2008) Muhammad Ajisatria Sulaiman (penyunting). Menantikan Kebangkitan Hukum Indonesia. Pemikiran dan Rekomendasi Mahasiswa Hukum Se Indonesia. Agenda Pembaharuan Hukum di Era Pasca Reformasi. (Jakarta; BEM FH-UI dan Mahkamah Konstitusi RI, 2008) Mahadi. Uraian Singkat Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854 (Bandung: Alumni, 2003) Muhammad Yamin. Tatanegara Majapahit. (Jakarta;Parwa I, Tanpa Tahun) Muladi. Proyeksi Hukum Pidana Mteriil Indonesia di Masa Datang.Pidato pengukuhan Guru Besar (Semarang Universitas Diponegoro, 24 Februari 1990) --------, Hak Asasi Manusia dan Sistem Peradilan Pidana. (Semarang; Badan Penerbit UNDIP, 1997) --------, Pemidanaan, Jenis Pidana dan Implementasi Penjatuhan Pidana Dalam RUU KUHP (Futuristik) Disampaikan dalam FGD KUHP Kemkumham, Jakarta 4 april 2011, hotel Mercuri Ancol. --------, Pembaharuan Hukum Pidana Materiil Indonesia. Dalam Perkembangan Hukum Pidana Dalam Era Globalisasi. Hasil Seminar dan Kongres III Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia. Bandung 16-19 Maret 2008. (Jakarta; Perum Percetakan Negara RI, 2008).
142
BUDAYA HUKUM MASYARAKAT TERHADAP FENOMENA PENGIRIMAN TENAGA KERJA MIGRAN SEBAGAI SALAH SATUBENTUK PERBUDAKAN MODERN DARI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Oleh : Dr. Henny Nuraeny, SH. MH.*)
Abstrak Indonesia merupakan salah satu negara pengirim Tenaga Kerja Migran (migrant wolker) terbesar di Asia. Pengiriman Tenaga Kerja Migran umumnya dilakukan dengan berbagai cara, baik legal ataupun illegal. Pengiriman illegal selalu dihubungkan dengan perbudakan sebagai salah satu bentuk dari tindak pidana perdagangan orang. Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dapat terjadi dalam berbagai bentuk, namun biasanya bertujuan untuk mengeksploitasi korban untuk keuntungan orang lain. Sekalipun berbagai rencana strategis dan upaya penanggulangan sudah direncanakan dan dilaksanakan, namun realita dalam masyarakat masih banyak kendala yang dihadapai dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang dengan modus pengiriman Tenaga Kerja Migran. Oleh karena itu diperlukan kerjasama dan sinergitas antara semua Komponen dalam mayarakat, aparat penegak hukum dan Pemerintah. Kata kunci : Budaya Hukum, Tenaga Kerja Migran, Perbudakan, Tindak Pidana Perdagangan Orang. Abstract Indonesia is one of the sending state Migrant Workers (migrant wolker), the largest in Asia. Delivery Migrant Workers generally done in various ways, either legal or illegal. Illegal shipments are always associated with slavery as one form of the crime of trafficking in persons. Crime of Trafficking in Persons (TPPO) can occur in many forms, but generally aim to exploit the victim for the benefit of others. Even if the various strategic plans and the response has been planned and implemented, but the reality in the community are still many obstacles faced in the prevention of the crime of trafficking in persons with delivery mode Migrant Workers. Therefore we need cooperation and synergy between all components in society, law enforcement agencies and the Government. Keywords: Culture Law, Labor Migrants, Slavery, Crime of Trafficking in Persons A. Pendahuluan Pembangunan nasional yang dilakukan dewasa ini bertujuan untuk mengejar sebesarbesarnya kemakmuran rakyat Indonesia, yang ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan penduduk, menciptakan kemandirian, keadilan, serta menjunjung tinggi moral agama. Namun dalam realitanya, masih ada rakyat Indonesia yang belum mendapatkan kesejahteraan, bahkan cenderung menjadi “budak” dan tidak *)
Dekan Fak. Hukum Univ. Suryakencana Cianjur
selaras dengan rencana pembangunan bangsa dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi (fundamental right) merupakan hak dasar (grounded), pokok dan prinsipil.1 (Pius A Prananto dan M Dahlan Al Barry. 1994: 48). Hal ini berati bahwa hak seseorang itu mempunyai keistimewaan, terutama karena HAM merupakan anugrah dari 1
Pius A. Prananto dan M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola Surabaya, 1994, hlm. 48.
143
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 143 - 152
Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia tidak menciptakannya dan tidak dapat mencabutnya. HAM menjadi tanggungjawab bagi setiap pihak untuk menjaga dan melindunginya, baik negara, hukum, masyarakat maupun setiap individu dimanapun dan kapanpun. HAM terdiri dari hak dibidang sipil, politik, sosial, ekonomi, bahkan hak untuk hidup bebas dari ancaman yang merendahkan harkat dan martabat dari kemanusiaan.2 (Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, 2011:7). Salah satu perbuatan yang dianggap merendahkan harkat dan martabat manusia adalah adanya perbudakan. Dewasa ini Indonesia merupakan salah satu negara pengirim Tenaga Kerja Migran (migrant wolker) terbesar di Asia. Pengiriman Tenaga Kerja Migran umumnya dilakukan dengan berbagai cara, baik legal ataupun illegal. Pengiriman illegal selalu dihubungkan dengan “perbudakan” sebagai salah satu bentuk dari tindak pidana perdagangan orang. Pemerintah sangat memperhatikan fenomena dan realita adanya “perbudakan” (disebut juga sebagai perbudakan modern), sebagai salah satu modus dari tindak pidana perdagangan orang terutama terhadap perempuan dan anak. Perempuan dan anak lebih dilindungi daripada kaum laki-laki, karena perempuan dan anak sangat rentan dengan kekerasan, terutama perdagangan orang yang merupakan perwujudan dari perbudakan modern. Sementara perdagangan orang selain melanggar HAM, juga memuat aspek-aspek yang bertentangan dengan perlindungan dan juga berlawanan dengan kesejahteraan umum. Lebih-lebih praktek perdagangan orang selalu disertai dengan berbagai tindak ancaman dan kekerasan, sehingga menimbulkan ketersiksaan bagi si korban pada masa depannya, apalagi korban perdagangan orang pada umumnya adalah pihak yang dalam kondisi tidak berdaya baik, secara phisik (perempuan dan anakanak), psikis, maupun ekonomi. Atas dasar itulah kemudian pemerintah Indonesia melakukan upaya atau kebijakan hukum, dengan cara meratifikasi beberapa konvensi internasional yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Menurut Blacks Law Dictionary perbu2
Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court System & Out System, Gramata Publishing, Jakarta, 2011, hlm. 7.
144
dakan/slavery adalah A Situational in wich one person has absolute power over the live, fortune, and liberty of another. Slavery was big problem for the Contitution makers. Those who profited by it insisted on protecting it; those who loathed it dreaded even more the prospect that to insist on abolution would mean that the Contitution would die aborning. So the framers reached a compromise, of sorts. The words “slave” and “slavery” would safeguard the „peculiar institution‟ from the abolitionist.3 (Bryan A. Garner,2009: 1393). Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, perbudakan diartikan sama dengan hamba atau memperlakukan sebagai budak, segala sesuatu mengenai budak belian.4 (Anton M. Moeliono (ed),1993: 156). Dalam perkembangannya bentuk perbudakan yang dewasa ini banyak terjadi adalah pengiriman buruh migran yang mengarah pada perbudakan dan merupakan salah satu bentuk dari “perdagangan orang”, yang merupakan kejahatan yang sudah meluas, sehingga menimbulkan ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu perlu semangat untuk mencegah, menanggulangi, dan bahkan memberantas perdagangan orang yang dilandasi nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan bahkan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama. Atas dasar semangat itulah Pemerintah Indonesia mengundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), sebagai upaya penegakan hukum yang komprehensif dan integral. B. Budaya Hukum Masyarakat Terhadap Fenomema Perbudakan (Modern) Menurut sejarah di Indonesia, perbudakan sudah dimulai sejak masa kolonial di Hindia Belanda pada tahun 1854 ketika pemerin3
Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, ninthedition, West Group St Paul Minn. USA, 2009, hlm. 1393. 4 Anton M. Moeliono (ed), KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 156.
Budaya Hukum Masyarakat Terhadap Fenomena Pengiriman Tenaga Kerja ...
tah (Raja) dan Parlemen Belanda mengundangkannya dalam Wet (Undang-Undang) Belanda No. 2 Tahun 1854 (Staatblad No.2 Tahun 1855) yaitu Reglement op het Beleid der Regering van Nederlands – Indie (RR) yaitu dalam Pasal 169 yang menentukan paling lambat 1 Januari 1860 perbudakan di Hindia Belanda sudah harus dihapus total. Upaya ini kemudian diimplementasikan dalam Wetboek van Strafrecht (KUH Pidana Hindia Belanda), walaupun baru sebatas peraturan normatif saja, karena dalam kenyataannya belum dijalankan.5 (L.M. Gandhi Lapian & Hetty A. Geru, 2006: 47). Hal ini karena pemerintah kolonial di Hindia Belanda masih melaksanakan perbudakan walaupun dengan alasan-alasan politis tertentu. Salah satu alasan pemerintah kolonial masih mempertahankan adanya perbudakan, karena wilayah Hindia Belanda adalah Negara jajahan, dimana pada Negara jajahan menerapkan sistem hukum yang berlaku harus bersifat memaksa dan mengatur agar stabilitas di Negara jajahan tetap berjalan. Warga Negara jajahan tidak boleh sama kedudukannya, termasuk di depan hukum. Atas dasar itu, walaupun secara normatif pelanggaran HAM yang berupa perbudakan sudah diatur dan dilindungi, namun dalam realitanya tidak berjalan. Disamping itu, hal ini dipengaruhi oleh pemikiran dari Jean Bodin yang menyatakan bahwa Raja memiliki hak mutlak untuk mengikat rakyatnya melalui undang-undang yang disusunnya, dan menurut Thomas Hobes bahwa kehidupan manusia di alam bebas penuh dengan pertentangan dan peperangan yang akan menghasilkan kehancuran. Oleh karena itu perlu adanya kesepakatan dari masyarakat untuk menyerahkan kekuasaan negara kepada Raja. Raja yang mendapat mandat dari masyarakat memiliki hak mutlak (absolut). Sementara itu John Locke (1632 - 1704), Pemikir (Filsuf) yang mendukung negara hukum dan HAM menyatakan bahwa “setiap individu memiliki hak-hak kodrati, seperti hak hidup dan 5
L.M. Gandhi Lapian & Hetty A. Geru, Trafficking Perempuan dan Anak Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus : Sulawesi Utara, Kerja sama Yayasan Obor, Convention Watch, Pusat Kajian Perempuan Universitas Indonesia dan NZAID, Jakarta, 2006, hlm. 47.
Henny Nuraeny
lain-lain, sedangkan peranan Raja dan Pemerintah harus melindungi hak-hak tersebut dan tidak boleh melanggar.”6 (Mansyur Effendi, 1994 : 28-29). Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk tidak menegakkan/memberlakukan HAM di negara jajahan dipengaruhi juga oleh budaya hukum yang dimiliki oleh Negara Belanda, bahwa kekuasaan Raja sangat mutlak, termasuk untuk mendapat penghormatan dari seluruh warga di negara jajahan. Budaya hukum sebagaimana dipahami oleh Lawrence M. Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya.7 (Lawrence M. Friedman, 2001:8). Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum sistem hukum tidak akan berdaya. Oleh karena itu, suatu institusi hukum akan menjadi hukum yang benar-benar diterima dan digunakan oleh masyarakat ataupun suatu komunitas tertentu sangat ditentukan oleh budaya hukum masyarakat/komunitas yang bersangkutan. Ironisnya hukum yang merupakan kebijakan pemerintah sering kontradiktif dan tidak diimbangi dengan tindakan yang riil untuk benar-benar mewujudkan keadaan yang kondusif dengan nilai-nilai dalam tatanan kehidupan masyarakat, terutama terhadap pelanggaran HAM dengan berbagai modus dan jenis pelanggarannya, terhadap penegakan hukum. Upaya penegakan hukum dalam membersihkan wilayah terutama daerah yang disinyalir sebagai daerah yang banyak pelanggaran HAM perlu ditingkatkan. Salah satu kontradiktif antara kebijakan pemerintah yang didasari budaya hukum yang berupa nilai-nilai agama dan budaya, masih adanya usaha-usaha yang telah dilakukan baik secara perorangan maupun kelompok, yang memfasilitasi praktek-praktek 6
Mansyur Effendi, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 28 - 29. 7 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction, alih Bahaha Wisnu Basuki, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2001, hlm. 8.
145
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 143 - 152
pekerjaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat Indonesia yaitu perdagangan orang dengan modus pengiriman tenaga kerja/buruh migran baik tingkat domestik (dalam negeri), maupun tingkat publik (ke luar negeri). Atas dasar itu, pemerintah kemudian membuat kebijakan yang merupakan suatu upaya dalam mendukung pembangunan, khususnya pembangunan hukum. Setiap pembangunan dibidang apapun diperlukan peraturan hukum, karena setiap pembangunantidak akan berarti apabila tidak diikuti oleh aturan hukum.8 (Satjipto Rahardjo, 1980 : 131). Hubungan hukum dengan pembangunan sangatlah imperatif, karena hukum dapat membantu mengantarkan masyarakat kearah pembangunan serta menampung akibat-akibat yang timbul dari pembangunan tersebut. Konflik yang terjadi antara hukum dan pembangunan, beragam bentuk dan macamnya. Realita yang ada adalah banyak warga masyarakat yang pola dan gaya hidupnya berubah mengikuti perkembangan jaman (konsumtif). Keadaan ini akan memprihatinkan, apabila tidak disertai peraturan dan yang mengacu pada nilai-nilai dan budaya masyarakat, mulai dari tingkah laku, gaya hidup sampai pada nilai-nilai yang bersumber pada pemahaman budaya dan agama. Secara umum, perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai sistem nilai-nilai, norma-norma, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga-lembaga sosial, stratifikasi, kekuasaan, interaksi sosial dan sebagainya.9 Diantara budaya masyarakat Indonesia yang mempengaruhi adanya tindak pidana perdagangan orang adalah faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan dan pola hidup yang konsumtif. Keadaan ini sangat mempengaruhi dan mendorong masyarakat untuk bekerja dengan cepat dan mendapatkan imbalan penghasilan yang tinggi. Oleh karena itu perubahan sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas, dan untuk mengatasinya diperlukan berbagai kebijakan terutama kebijakan dibidang hukum.
Berbagai kebijakan dan peraturan hukum yang diciptakan ini tentu mempunyai tujuan, yaitu untuk kesejahteraan manusia (Social welfare) dalam pergaulan hidupnya. Atas dasar itu hukum sebaiknya ditaati, diikuti dan dilaksanakan, karena itu hukum disatu tempat harus sesuai dengan kondisi sosial (budaya hukum) masyarakatnya. Jika tidak, maka hukum tersebut tidak akan berjalan secara efektif. Demikian juga dengan supremasi hukum sangat berkaitan dengan penegakkan hukum. Mengingat fungsi hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering). Menurut Roscoe Pound, hukum harus dapat melindungi kepentingan umum (public interest); kepentingan masyarakat (social interest); dan kepentingan pribadi (private interest). Berdasarkan pemikiran antara hukum dan masyarakat inilah konsep Roscoe Pound kemudian di Indonesia dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yang melahirkan Teori Hukum Pembangunan di Indonesia. Teorinya dipengaruhi oleh pandangan Roscoe Pound, yang menyatakan bahwa peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin perubahan yang terjadi secara teratur, yang dibantu oleh undang-undang, Keputusan Hakim dan Kombinasi keduanya.10Atas dasar itu, maka hukum juga berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik. Kenyataan yang ada sekarang, sebagian besar masyarakat kurang mempercayai hukum, baik terhadap aparat penegak hukum maupun lembaga peradilan, sehingga tindakan masyarakat cenderung main hakim sendiri. Tindakan ini diantaranya diakibatkan karena kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap jaminan keadilan yang diberikan oleh hukum. Realita lainnya, dewasa ini kesejahteraan masyarakat belum merata, baik antar daerah maupun antar negara. Di Negara Berkembang identik dengan masyarakat miskin, sedangkan di Negara Maju terkesan dengan kekayaan dan sumber penghidupan yang mudah, sehingga menimbulkan minat untuk migrasi bagi warga Negara Berkembang ke Negara Maju. Potensi migrasi ini dipengaruhi juga oleh potensi dan
8
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hlm. 131. 9 Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm.1.
146
10
Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Cet ke 2, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 19 - 20.
Budaya Hukum Masyarakat Terhadap Fenomena Pengiriman Tenaga Kerja ...
kekayaan suatu negara, terutama yang berhubungan dengan masalah sosial, politik dan ekonomi. Secara umum, aktivitas migrasi umumnya berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, politik dan sosial (terutama perubahan pola konsumsi masyarakat). Demikian juga dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan berbagai modus sudah di atur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), sekalipun sudah diancam dengan sanksi pidana, tetapi dalam pelaksanaannya perbuatan ini masih banyak dilakukan, bahkan dijadikan mata pencarian atau sumber nafkah kehidupan keluarga. Dilihat dari efektifitasnya, ternyata peraturan ini tidak efektif. Penyebabnya tentu berbagai macam alasan, dapat karena faktor ekonomi, faktor lingkungan, faktor pendidikan, dan proses penegakan hukum yang tidak efektif atau bahkan faktor-faktor lainnya, seperti ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi hukum, karena menganggap tidak akan mendapatkan keadilan. C. Pengiriman Tenaga Kerja Migran Sebagai Salah Satu Bentuk Perbudakan Modern Dari Tindak Pidana Perdagangan Orang Secara historis, perbudakan telah berkembang sejak beberapa ribu tahun yang lalu yang diawali dengan adanya penaklukan atas suatu kelompok oleh kelompok lainnya, kelompok yang kuat dan mempunyai kekuasaan akan menguasai kelompok yang lemah. Kekuasaan ekonomi dan politik menjadi sumber dan peluang untuk dapat berkembangnya perbudakan, sebagai konsekuensi dari penaklukan yang dibayar dengan „pengabdian mutlak‟. Di Benua Eropa khususnya Inggris, perbudakan diawali dengan adanya penaklukan negara Inggris ke beberapa negara di luar Benua Eropa. Kasus perbudakan pertama-tama diketahui terjadi di masyarakat Sumeria, yang sekarang adalah Irak, lebih dari lima ribu tahun yang lalu. Perbudakan juga terjadi di masyarakat Cina, India, Afrika, Timur Tengah & Amerika. Perbudakan berkembang, seiring dengan perkembangan perdagangan dengan meningkatnya permintaan akan tenaga kerja
Henny Nuraeny
untuk menghasilkan barang-barang keperluan ekspor. Pada masa itu perbudakan merupakan keadaan umum yang wajar, yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapanpun. Tidak banyak yang memandang perbudakan sebagai praktek jahat atau tidak adil. Kampanye anti perbudakan dan perdagangan manusia pertama kali dilakukan di Eropa dan Amerika, dengan melahirkan beberapa konvensi anti perbudakan dan eksploitasi tenaga manusia, yang kemudian berkembang ke negara-negara lainnya di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia. Dewasa ini, Indonesia merupakan salah satu pengirim tenaga kerja migran secara internasional, khususnya pekerja kasar dan pembantu rumah tangga (PRT), atau pekerja domestik terbesar di Asia. Keadaan ini menjadi peluang bagi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), untuk memanfaatkan dan mengakomodasi berbagai kepentingan tenaga kerja. Namun kondisi tenaga kerja dari Indonesia berbeda dengan kondisi tenaga kerja dari negara lain. Tenaga kerja Indonesia (TKI) sering bermasalah baik secara individual bagi dirinya, maupun secara umum bagi pemerintah Indonesia. Masalah yang paling besar adalah TKI yang berasal dari Indonesia sering menjadi korban dalam perekrutan TKI yang akhirnya menjurus pada perdagangan orang. Berbagai masalah sering dialami oleh TKI yang menjadi korban, baik menjadi tenaga kerja di dalam negeri, maupun di luar negeri. Korban yang berharap untuk bekerja guna memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, malah menjadi korban eksploitasi perdagangan orang. Perempuan dan laki-laki dewasa, anak laki-laki dan perempuan, telah diperdagangkan dari Indonesia melalui perbatasan wilayah ke negara-negara lain. Beberapa negara yang menjadi tujuan adalah Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, dan negara-negara di Timur Tengah (Arab Saudi). Situasi dan kondisi yang dialami korban dapat berupa kondisi ekonomi, sosial, politik, pendidikan, lingkungan, dan bahkan kondisi fisik, dan mental dapat mempengaruhi situasi korban. Pelaku dan korban dalam suatu kejahatan dapat saling kenal, tidak kenal, atau diperkenalkan oleh orang lain, sebelum, atau pada saat kejahatan terjadi. Korban seperti halnya juga pelaku kejahatan dapat perseorangan, 147
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 143 - 152
kelompok dan masyarakat, yang mendapat kerugian akibat dari perbuatan-perbuatan dari pelaku kejahatan. Kerugian yang diderita kor-ban akan menimbulkan beban dan tekanan psikologis, sepeti rasa kesal, jengkel, takut yang berkepanjangan, trauma, stress, atau bahkan gangguan kejiwaan.11 Di Indonesia, dari beberapa kasus yang menimpa korban kebanyakan menimpa wanita dan anak perempuan, demikian juga dengan TPPO. Latar belakang TPPO umumnya disebabkan oleh kondisi kerja dan sistem kerja, terutama di negara-negara penerima Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yaitu Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah, terutama Arab Saudi, bahkan ke berbagai pelosok daerah di Indonesia untuk dipaksa menjadi Pekerja Seks Komersial/Pelacur dan pekerja paksa. Begitu juga TPPO di dalam negeri masih menjadi masalah besar, dimana para wanita dan anak dieksploitasi menjadi pembantu rumah tangga, pekerja seks, dan buruh di pabrik-pabrik kecil. Para pelaku TPPO kadang-kadang bekerja sama dengan pihak sekolah untuk merekrut pelajar-pelajar di Sekolah-Sekolah (terurama Sekolah Kejuruan), dengan modus untuk praktek kerja lapangan (magang) di hotel-hotel, yang sebenarnya fiktif. Disamping itu, warga Indonesia yang direkrut dengan tawaran untuk bekerja di restoran, pabrik, atau sebagai pembantu rumah tangga, dan kemudian dipaksa menjalani komoditas dalam perdagangan seks. Modus baru yang dewasa ini berkembang adalah rekrutmen para wanita dan gadis belia untuk bekerja sebagai pelayan di industri pertambangan, yang kemudian akan dipaksa menjadi Pekerja Seks Komersial/Pelacur, beberapa gadis-gadis di bawah umur dilarikan dan diculik ke penampungan-penampungan di pertambangan atau pembalakan liar di pedalaman beberapa pulau di Indonesia, dimana mereka dipaksa menjadi pekerja seks. Beberapa kasus Tenaga Kerja Migran tidak hanya menimpa yang bekerja di luar negeri, tetapi dapat juga terjadi di dalam negeri. Kasus yang sangat menggemparkan adalah adanya perbudakan yang menimpa pekerja migran asal Kabupaten Cianjur, yang terjadi di 11
Soedjono Dirdjosisworo, Respon….. Op Cit, hlm. 5.
148
Tangerang - Banten, yaitu Tenaga Kerja di “Pabrik Kuali”. Kasus ini sangat menarik perhatian dunia, karena dimasa modern masih ditemukan adanya perlakuan terhadap Tenaga Kerja yang menyerupai “perbudakan modern” sebagai salah satu modus dari TPPO. Perdagangan orang dapat terjadi dalam berbagai bentuk, namun biasanya bertujuan untuk mengeksploitasi korban untuk keuntungan orang lain. Secara ringkas, TPPO memiliki 3(tiga) unsur, yaitu : 1. Proses yang dilakukan biasanya pelaku memindahkan korban jauh dari komunitasnya dengan merekrut, mengangkut, mengirim, memindahkan atau menerima. 2. Cara yang dilakukan adalah pelaku menggunakan ancaman, kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan/posisi rentan, atau jeratan hutang untuk mendapat kendali atas diri korban, sehingga dapat melakukan pemaksaan. 3. Tujuannya adalah ditujukan untuk eksploitasi atau menyebabkan korban tereksploitasi untuk keuntungan finansial pelaku. Eksploitasi selalu dihubungkan dengan prostitusi, mengurung korban dengan kekerasan fisik atau psikologis (kerja paksa), menempatkan korban dalam situasi jeratan hutang atau perbudakan. Dalam beberapa kasus eksploitasi dapat juga berarti pemanfaatan atau transpalansi organ tubuh.12 TPPO dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok, korporasi, dan terkadang dilakukan oleh keluarga (orang tua/saudara kandung), kerabat, teman, atau tetangga dari korban. Korban TPPO umumnya perempuan dan anak, hal ini dimungkinkan karena Korban sangat rentan dan dianggap lemah (phisik dan psikis), sehingga para trafficker sangat mudah memperdayanya. Korban sering mendapat perlakuan kejam, penderitaan, bahkan tidak sedikit yang mengalami kekerasan dan anca12
Buku Saku Bagi Anggota Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Orang Di Indonesia, Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Barat.
Budaya Hukum Masyarakat Terhadap Fenomena Pengiriman Tenaga Kerja ...
man kekerasan. Korban terjebak dalam jaringan ketidakberdayaan, karena trafficker berupaya dengan berbagai cara, baik legal atau illegal secara terang-terangan ataupun dengan cara menjebak, menipu, membujuk, dengan iming-iming dan janji-janji berupa cerita-cerita keberhasilan, bantuan ekonomi, atau memberikan pinjaman yang pada akhirnya merupakan penjeratan hutang. Tidak sedikit pula korban mengalami siksaan berupa penyekapan sebelum berangkat (mulai dari perekrutan), dalam perjalanan (pengangkutan), di tempat kerja, bahkan pada saat dalam perjalanan pulang ke kampung halaman, sering pula mengalami penipuan dan perampokan. Tindakan yang paling memprihatinkan adalah adanya dorongan dari keluarga (Suami, atau Orang Tua/Wali) untuk mengikuti bujukan trafficker, dan dibantu dalam proses pemberangkatan dengan adanya dokumen yang dimanipulasi oleh penyelenggara negara (aparat pemerintah) setempat. Beberapa kasus perdagangan orang dari berbagai daerah di Indonesia, yang paling banyak adalah eksploitasi terhadap buruh migran (migrant worker), eksploitasi seksual, kawin kontrak dan pemalsuan dokumen, serta kasus yang paling mutakhir adalah penculikan untuk transpalansi organ tubuh. Bentuk-bentuk eksploitasi perdagangan orang tersebut umumnya bermuara dari penjeratan hutang, walaupun ada modus lain yang mungkin terjadi, tetapi modus penjeratan hutanglah yang paling banyak dilakukan. Adapun macam penjeratan hutang yang dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Perdagangan orang untuk eksploitasi pekerja/buruh migran. 2. Perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual. 3. Perdagangan orang untuk tujuan perkawinan kontrak. 4. Perdagangan orang untuk tujuan Adopsi Anak. Dari kasus yang terjadi di Indonesia, kebanyakan/sebagian besar calon korban/korban adalah pekerja/buruh migran, yang sejak awal mengetahui dan mengerti maksud dan tujuan para calo/sponsor/penghubung (Trafficker) untuk membantu, namun karena calon korban/
Henny Nuraeny
korban mempunyai kehendak untuk menjadi pekerja/buruh migran menggunakan jasa tersebut, denan berbagai alasan. Alasan yang sering diteima dan masuk akal adalah para calo/ sponsor/peghubung (Trafficker) bermaksud membantu proses pengurusan administrasi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, terutama untuk yang akan bekerja ke luar negeri, tetapi dalam proses pengurusan ini calon korban/ korban tidak diberitahukan biaya akomodasi dan administrasi yang sebenarnya, dan baru diberitahukan besaran biayanya pada saat akan berangkat atau sudah di tempat tujuan, sehingga tidak ada cara lain yang dapat dilakukan calon korban/korban selain (terpaksa) menyetujui. Bahkan tidak sedikit calon korban/korban tidak mengetahui hak dan kewajibannya, yang diketahuinya adalah hanya menandatangi surat-surat yang disodorkan dengan alasan surat administrasi, tanpa mengetahui isi surat dan perjanjian yang telah ditandatangani tersebut. Dalam beberapa kasus tersebut, yang dianggap paling memprihatinkan adalah adanya eksploitasi, terutama eksploitasi seksual.13 Beberapa modus dalam kasus tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan, sampai saat ini tidak didapat data secara resmi berapa besar dan tingkatannya, karena dilakukan secara terselubung dan sulit untuk diidentifikasi dan didokumentasikan, sehingga akurasi data antara realita dan fakta berbeda.Selain itu data-data yang didapat umumnya dari hasil investigasi dan laporan media cetak, sedangkan data dari aparat dan pemerintah lebih sedikit dari fakta yang terjadi, karena tidak semua kasus diselesaikan secara hukum. Perkiraan jumlah korban tindak pidana perdagangan orang seringkali bersifat sementara, hal ini dimungkinkan karena seseorang yang tadinya dianggap sebagai korban tindak pidana perdagangan orang, tetapi pada akhirnya korban dapat menerima keadaan, tidak merasa sebagai korban, karena merasa diuntungkan oleh kondisi yang terjadi. Korban tindak pidana perdagangan orang akan diketahui 13
Eksploitasi seksual umumnya terjadi pada perempuan dan anak, dengan iming-iming bekerja di salon atau rumah makan.Tetapi setelah sampai ke tempat tujuan, mereka dihadapkan pada pilihan yang terpaksa harus dilakukan.
149
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 143 - 152
secara pasti apabila (telah)merasa dirugikan dan melaporkan kepada pihak-pihak yang dipercaya dan dianggap dapat membantu menguruskan kasus yang terjadi. Pihak-pihak yang dapat dianggap membantu korban biasanya instansi pemerintah (Gugus Tugas), Lembaga Swadaya asyarakat (LSM), Lembaga Advokasi Hukum (seperti LBH), dan apabila dianggap tidak memenuhi sesuai keinginan, korban baru melapor ke aparat pemerintah (Polisi dan Gugus Tugas). Berdasarkan pemantauan dari International Organitation Migrant (IOM), dari tahun ke tahun, kasus perdagangan orang di Indonesia terus meningkat. Sejak bulan Maret tahun 2005 hingga bulan Desember tahun 2011, IOM sudah menangani 4.067 (empat ribu enam puluh tujuh) kasus trafficking. Sebagian besar, 87,94 persen kasus trafficking terjadi di Malaysia dan dialami perempuan. "Ini hanya data yang IOM tangani, belum yang ditangani lembaga lain. "Untuk tahun 2013, jumlah kasus meningkat drastis. Dari bulan Januari sampai bulan Juli 2013, IOM sudah menerima laporan sebanyak 1.045 (seribu empat puluh lima) kasus pelaporan tindak pidana perdagangan orang. Sebanyak 85 persen kasus dialami oleh perempuan. Sedangkan korban perdagangan orang terhadap laki-laki diperkerjakan sebagai buruh sawit, dan pelaut.14 Korban yang terjerat praktek tindak pidana perdagangan orang ini pada awalnya tidak menyadari telah menjadi korban. Para korban umumnya bekerja ke luar negeri melalui jasa calo “trafficker” yang membantu pengurusan administrasi dan dokumen imigrasi. Mayoritas pekerja perempuan bekerja sebagai pekerja rumah tangga tanpa dibayar, mendapat pelecehan seksual dari majikan, dan dipekerjakan tidak sesuai perjanjian. Korban telah diperdagangkan orang dan dieksploitasi tenaga serta seksualitasnya.15 Berdasarkan laporan tahunan Departemen Luar Negeri Amerika tentang Perdaga14
Nurul Qoiriah (Koordinator Nasional Organisasi Migran Internasional (IOM), Perempuan Pekerja Migran Indonesia Di Luar Negeri Ditenggarai Merupakan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, Diskusi Gedung MPR, Kamis, 17 Oktober 2013. 15 Ibid.
150
ngan Orang tahun 2011, Indonesia dimasukkan pada lapis kedua dalam memenuhi standar perlindungan korban perdagangan orang (TPPO). Indonesia dinilai termasuk sumber utama perdagangan perempuan, anak-anak dan lakilaki, baik sebagai budak seks maupun korban kerja paksa. Menurut data pemerintah Indonesia, seperti dikutip dalam laporan itu, sekitar 6.000.000 (enam juta) warga Indonesia menjadi pekerja migran di luar negeri, termasuk 2.600.000 (dua juta enam ratus) pekerja di Malaysia dan 1.800.000 (satu juta delapan ratus) di Timur Tengah. Dari keseluruhan pekerja migran itu, 4.300.000 (empat juta tiga ratus) diantaranya berdokumen resmi dan 1.700.000 (satu juta tujuh ratus) lainnya digolongkan sebagai pekerja tanpa dokumen. Sekitar 69 persen pekerja migran Indonesia adalah perempuan.16 Pada umumnya Korban bekerja sebagai : 1. Pembantu Rumah Tangga (PRT). 2. Penari, penghibur dan pertukaran budaya (terutama di luar negeri). 3. Pengantin pesanan, terutama di luar negeri. 4. Beberapa bentuk buruh/pekerja anak. 5. Pekerja Seks Komersial dan eksploitasi seks. 6. Penjualan bayi melalui perkawinan palsu/Kawin kontrak. 7. Bentuk lain dari kerja migran. Melihat pola dan cara kerja para pelaku/ trafficker tindak pidana perdagangan orang, dilakukan dengan berbagai macam cara dan ragamnya. Ada yang dilakukan secara perseorangan (calo/penghubung/sponsor/trafficker), dan ada juga yang melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), baik resmi ataupun tidak resmi. Dari contoh tersebut di atas, ternyata tidak semua perjanjian kerja dilakukan secara tertulis. Ada beberapa kasus baik yang diberangkatkan oleh PJTKI ataupun oleh calo/sponsor (Trafficker) secara mandiri, dilakukan secara tidak tertulis. Apabila dilihat dari sahnya perikatan yang mengacu pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian kerja itu dapat dikatakan sah secara hukum (legal), karena te16
Laporan Departemen Luar Negeri AS mengenai Perdagangan Manusia tahun 2012.
Budaya Hukum Masyarakat Terhadap Fenomena Pengiriman Tenaga Kerja ...
lah terjadi kesepakatan. Namun dari segi perlindungan dan keselamatan, ini akan dijadikan celah oleh penyalur (Trafficker), untuk melepaskan tanggung jawab apabila pekerja melanggar kesepakatan. Umumnya kerugian lebih banyak menimpa pekerja/buruh, terutama apabila perbuatan ingkar janji dilakukan karena keterpaksaan akibat mengalami kekerasan atau perbuatan tidak manusiawi. Untuk itu, Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak selalu melanggar satu aturan hukum (hukum pidana) saja, tetapi dapat juga melanggar lebih dari satu aturan/undang-undang. Karena itu, dalam menerapkan sanksi hukum bagi pelaku sudah selayaknya mendapat sanksi yang berat, baik sanksi penal (pemidanaan) atau non penal (ganti rugi dan sanksi administrasi) agar menimbulkan efek jera bagi pelaku/Trafficker. Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakukan ke depan untuk pencegahan Human Trafficking adalah : 1. Penyadaran masyarakat untuk mencegah trafficking melalui sosialisasi kepada berbagai kalangan (Camat, Kepala Desa/Lurah,Guru, Anak Sekolah). 2. Memperluas peluang kerja melalui pelatihan keterampilan kewirausahaan, pemberdayaan ekonomi dan lain-lain. 3. Peningkatan partisipasi pendidikan anak-anak baik formal maupun informal. 4. Kerjasama lintas kabupaten/provinsi dalam rangka pencegahan dan penanganan trafficking. Adapun kebijakan hukum yang dapat dilakukan dalam upaya penegakan hukum dan pencegahan dapat dilakukan dengan berpedoman pada peraturan hukum yang berlaku ataupun melakukan regulasi peraturan, yaitu : 1. Berpedoman dan mengacu pada Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). 2. Memperluas sosialisasi Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang PTPPO. 3. Mempedomani Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan
Henny Nuraeny
anak apabila korban masih di bawah umur (anak-anak). 4. Pembentukkan Pusat Pelayanan Terpadu sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi Atau Korban TPPO. 5. Melaksanakan Peraturan Menteri Nomor: 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/ 2009 Tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan TPPO dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) tahun 2009 - 2012. 6. Pembentukkan Gugus Tugas PTPPO terdiri dari berbagai elemen pemerintah dan masyarakat (PERPRES No. 69 Tahun 2008 Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO). 7. Penyusunan Peraturan Daerah Trafficking. 8. Menyediakan Dana untuk menunjang terwujudnya Upya Pencegahan Trafficking. Kesemuanya ini bukan hanya kewajiban pemerintah saja, tetapi juga menjadi kewajiban masyarakat dalam mencegah human trafficking yaitu wajib berperan serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang dengan memberikan informasi/laporan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada pihak berwajib. Dalam melakukan upaya pencegahan hal tersebut, masyarakat berhak memperoleh perlindungan hukum.Hal ini sejalan dengan UndangUndang Nomor 13Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan juga dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. D. Penutup Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pengiriman tenaga kerja migran, sering dijadikan salah satu bentuk dari modus perdagangan orang. Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perbudakan modern, karena umumnya korban sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pengiriman tenaga kerja migran baik pa151
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 143 - 152
da lingkup domestik maupun publik sudah sangat memprihatinkan, terutama dilihat dari sisi korban. Korban yang semula bertujuan untuk memperbaiki tingkat ekonomi keluarga, kemu-
dian bahkan sering menjadi korban perlakuan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan norma yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Anton M. Moeliono (ed), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1993 Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, ninthedition, West Group St Paul Minn. USA, 2009 Buku Saku Bagi Anggota Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Orang Di Indonesia, Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Barat. L.M. Gandhi Lapian & Hetty A. Geru, Trafficking Perempuan dan Anak Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus : Sulawesi Utara, Kerja sama Yayasan Obor, Convention Watch, Pusat Kajian Perempuan Universitas Indonesia dan NZAID, Jakarta, 2006 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction, alih Bahaha Wisnu Basuki, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2001. Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court System & Out System, Gramata Publishing, Jakarta, 2011, Mansyur Effendi, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994 Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Cet ke 2, Alumni, Bandung, 2006. Pius A Prananto dan M Dahlan Al Barry,Kamus Ilmiah Populer, Arkola Surabaya, 1994 Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980 Soedjono Dirdjosisworo, Respon Terhadap Kejahatan, STHB Press, Bandung, 2002 Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Peraturan Menteri No.25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 Tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan TPPO dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) tahun 2009 – 2012.
152
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY DALAM Oleh: Henry Arianto*)
Abstrak Suku Baduy salah satu suku di Indonesia yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten (salah satu propinsi di Pulau Jawa). Berjarak sekitar 120 km dari Jakarta (Ibukota Negara Indonesia). Mereka tinggal di daerah yang terpencil di Gunung Kendeng, sehingga untuk mencapai daerah tersebut juga dibutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan jalan yang berat. Sekalipun masyarakat Adat Baduy tinggal di tengah perbukitan yang dikelilingi hutan, namun tidak ada kerusakan hutan yang terjadi. Masyarakat Adat Baduy dapat hidup harmonis berdampingan dengan lingkungan selama ratusan tahun tanpa merusak hutan. Padahal, mereka memanfaatkan hasil hutan tersebut dalam kesehariannya. Hal ini telah berlangsung lama meskipun masyarakat Adat Baduy tidak mengenal konsep pembangunan berkelanjutan. Keharmonisan antara masyarakat Adat Baduy dan hutan di sekitarnya tak selamanya langgeng. Kemesraan keduanya mulai terusik. Hutan adat mulai dirambah orang luar Baduy; menebang pohon tanpa kearifan. Penyerobotan tanah ulayat masyarakat Adat Baduy semakin sulit dikendalikan. Penyerobotan itu dilakukan warga luar Baduy dengan cara menebang hutan, mengerjakan ladang, dan membiarkan hewan ternak berkeliaran di tanah adat dalam kawasan hutan adat. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan penelitian ini adalah pertama mengenai bagaimanakah bentuk penyerobotan terhadap hak ulayat masyarakat Adat Baduy Dalam? Dan kedua mengenai Bagaimana penyelesaian perselisihan terhadap sengketa tanah atas hak ulayat masyarakat Adat Baduy Dalam? Tipe penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum empiris atau disebut juga penelitian hukum sosiologis, yaitu penelitian hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Kata Kunci: Perlindungan, Ulayat, Baduy. Abstract Baduy one of the tribes in Indonesia who live in the village Kanekes, District Leuwidamar, Lebak, Banten Province (one of the provinces in Java ). Located about 120 km from Jakarta (the capital of the State of Indonesia) . They live in a remote area in Mount Kendeng , so as to reach the area also takes relatively long and tough road. Although Indigenous Baduy communities living in the midst of hills surrounded by forests, but no forest destruction. Indigenous Baduy can live side by side in harmony with the environment for hundreds of years without damaging the forest . In fact , they take advantage of the forest products in their daily life. It is long overdue though Indigenous Baduy community does not recognize the concept of sustainable development. The harmony between indigenous peoples and forest surrounding Baduy not always lasting. Intimacy both from disturbed. Encroached upon the indigenous forest began outside Baduy; cutting trees without wisdom. Indigenous customary land invasions Baduy society increasingly difficult to control. Annexation was done outside the Baduy people by cutting down forests, working in the fields, and let animals roam in indigenous lands in the area of indigenous forest . The issue will be discussed in the writing of this study is the first of how the form of annexation to the customary rights of indigenous peoples *)
Dosen Home Base pada Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul
153
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 153 - 164
Baduy Dalam? And the second concerning the settlement of disputes How to land disputes over customary rights of Indigenous peoples Baduy Dalam? This type of research that I use is empirical legal research or also known as the law of sociological research, namely legal research to obtain data from primary data or data obtained directly from the community. Key Word: Protection, Ulayat, Baduy. Pendahuluan Hak Ulayat, adalah kewenangan menurut Hukum Adat yang di punyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, seperti hutan, hewan-hewan, sungai, danau, termasuk tanah (sering disebut juga tanah ulayat), dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupan yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Sebagai sarana pendukung utama kehidupan dan penghidupan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, tanah ulayat dikelola dan diatur peruntukan, penguasaan dan penggunaannya, maka kewenangan pelaksanaannya sehari-hari dilimpahkan dan ditugaskan kepada ketua adat dan para tetua adatnya. Tanah ulayat tersebut tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain karena tanah ulayat bukan saja milik generasi yang sekarang tetapi juga hak generasi yang akan datang. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Adat Baduy, yang menyatakan bahwa masyarakat Adat Baduy sebagai masyarakat adat yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum, yang mengakui dan menerapkan ketentuan persekutuan hukumnya dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Baduy memiliki wilayah yang bersifat ulayat serta memiliki hubungan dengan wilayahnya tersebut. Hal ini berarti masyarakat Adat Baduy dalam melakukan hubungan dengan wilayahnya diatur dan dibatasi pada wilayah ulayatnya, sehingga perlu dilindungi. Sumber daya hutan yang melimpah akan mendorong pihak tertentu untuk memanfaat154
kannya. Hal ini terdorong pula oleh peningkatan kebutuhan hidup akan tanah, sehingga menimbulkan ancaman akan penyerobotan tanah ulayat. Hal ini yang merupakan pemicu terjadinya konflik termasuk munculnya keresahan warga Baduy. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan penelitian ini adalah pertama mengenai bagaimanakah bentuk penyerobotan terhadap hak ulayat masyarakat Adat Baduy Dalam? Dan kedua mengenai Bagaimana penyelesaian perselisihan terhadap sengketa tanah atas hak ulayat masyarakat Adat Baduy Dalam? Tipe penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum empiris atau disebut juga penelitian hukum sosiologis, yaitu penelitian hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat (Mukti, 2010). Adapun sifat penelitian dalam penelitian ini adalah sifat penelitian deskriptif, peneliti ingin memberi gambaran mengenai keadaan atau gejala yang terjadi pada masyarakat adat baduy, berkaitan dengan penyerobotan yang terjadi atas tanah hak ulayat mereka. Tujuan penelitian dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan kejelasan mengenai bagaimanakah bentuk penyerobotan terhadap hak ulayat masyarakat Adat Baduy Dalam dan untuk mengetahui bagaimana penyelesaian perselisihan terhadap sengketa tanah atas hak ulayat masyarakat Adat Baduy Dalam. Pembahasan Hak Ulayat Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang sebagai telah diuraikan di atas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat. Konsepsi hak ulayat menu-
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Ulayat ...
rut hukum adat terdapat nilai-nilai komunalistik-religius magis yang memberi peluang penguasaan tanah secara individual, serta hakhak yang bersifat pribadi, namun demikian hak ulayat bukan hak orang-seorang. Sehingga dapat dikatakan hak ulayat bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang bersangkutan. Sifat magis-religius menunjuk kepada hak ulayat tersebut merupakan tanah milik bersama, yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan merupakan peninggalan nenek moyang dan para leluhur pada kelompok masyarakat adat itu sebagai unsur terpenting bagi kehidupan dan penghidupan mereka sepanjang masa dan sepanjang kehidupan itu berlangsung. Kewenangan untuk mengatur hak ulayat dalam aspek hukum publik ada pada hak Kepala Adat dan para Tetua Adat, sebagai petugas masyarakat hukum adat berwenang mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah bersama tersebut. Jika dilihat dari sistem hukum tanah adat tersebut, maka hak ulayat dapat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar (Boedi, 2010). Ke dalam berhubungan dengan para warganya, sedang kekuatan berlaku ke luar dalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya, yang disebut “orang asing atau orang luar”. Kewajiban utama penguasa adat yang bersumber pada hak ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah dan kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikan. Sedangkan untuk hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke luar hak ulayat dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Orang-orang asing, artinya orang-orang yang bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat tanpa ijin penguasa adatnya. Subyek hak ulayat adalah masyarakat persekutuan adat dalam keseluruhannya, yakni
Henry Arianto
seluruh nusantara ini, masyarakat menguasai hak ulayat tidak boleh di tangan oknum pribadi tetapi harus di tangan masyarakat (Bushar, 1983). Obyek hak ulayat meliputi tanah (daratan), air, tumbuh-tumbuhan (kekayaan alam) yang terkandung di dalamnya dan binatang liar yang hidup bebas dalam hutan. Dengan demikian hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum (subyek hukum) dan tanah/wilayah tertentu (objek hak). Isi hak ulayat adalah : a. Kebebasan dari anggota masyarakat desa untuk menikmati tanah hak ulayat itu misalnya berbumi, mengambil kayu atau buah-buahan yang tumbuh di tanah tersebut b. Orang asing dilarang menguasai atau menikmat tanah ulayat kecuali setelah mendapatkan ijin dari ketua adat, desa dan membayar uang pengakuan c. Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum. (Maria, 2010) Terhadap tanah-tanah yang dikuasai dengan hak ulayat ini tiap-tiap daerah mempunyai istilah yang berbeda-beda, misalnya Patuanan (Ambon), Panyampeto (Kalimantan), Wewengkon (Jawa), Prabumian (Bali), Tatabuan (Bolang Mangondow), Limpo (Sulawesi Selatan), Nuru (Buru), Paer (Lombok), Ulayat (Minangkabau), Golat (Batak) dan sebagainya. Hak ulayat mempunyai ciri-ciri tertentu, ciriciri tersebut adalah: 1. Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah liar di wilayah kekuasaannya. 2. Orang luar hanya boleh memprgunakan tanah itu dengan izin penguasa persekutuan tersebut, tanpa izin itu dianggap melakukan pelanggaran. 3. Warga persekutuan boleh mengambil manfaat dari wilayah hak ulayat dengan tujuan untuk keperluan keluarganya sendiri, jika dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain ia dipandang sebagai orang asing, sehingga harus mendapat izin terlebih dahulu. Sedangkan orang asing hanya diperkenankan 155
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 153 - 164
mengambil manfaat di wilayah hak ulayat dengan izin kepala adat dengan disertai pembayaran upeti kepada persekutuan adat. 4. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dalam wilayahnya terutama yang berupa tindakan melawan hukum, yang merupakan delik. 5. Hak ulayat tidak dapat dilepaskan, dipindahtangankan, diasingkan untuk selamanya. 6. Hak ulayat meliputi juga tanah yang sudah digarap, atau dikuasai oleh orang perorangan. (Maria, 2010) Bagi orang masyarakat adat, tanah atau hutan merupakan suatu lebensraum. Artinya suatu ruang hidup yang padanya tumbuh berbagai tanaman yang berguna bagi manusia dalam kehidupannya. Di dalam hutan bukan saja aneka ragam hayati yang tumbuh, tapi juga beraneka jenis binatang yang hidup di dalamnya. Bahkan tanah atau hutan bukan saja bermakna ekonomis semata-mata, melainkan juga punya nilai sosiobudaya dan religius. Bahwa tanah dan hutan bukan hanya hak orang sekarang, tetapi juga hak generasi yang akan datang, sesuai maksud ayat 9 surat An-Nisa, “Dan hendaklah mereka menjaga jangan sampai meninggalkan anak-anak yang lemah di belakangnya, karena dikhawatiri akan sengsara.” Setelah manusia tutup mata juga memerlukan tanah untuk tempat istirahat terakhir baginya. Itulah yang dikatakan dalam mamangan adat : “Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah”. Kompleksitas pemikiran religio magis inilah yang melahirkan ikatan hukum (iuris vinculum) yang berupa ikatan hak dan kewajiban. Menurut Ter Haar kesadaran mengenai adanya hubungan masyarakat dengan tanah ini terbukti dari adanya “selamatan” yang tetap di tempat-tempat tertentu yang dipimpin oleh Kepala Adat pada waktu permulaan mengerjakan tanah. Sedangkan keyakinan dari adanya pertalian hidup antara manusia dengan tanah dapat kita amati sebagai contoh pada masyarakat Adat dari upacara pembersih dusun sehabis panen dan upacara pembersih desa. Upacaraupacara keagamaan sebagaimana ditunjukkan oleh Ter Haar di atas sampai sekarang masih 156
ajeg atau patuh dilakukan oleh masyarakat adat (misalnya ngendagin, mecaru). Ini membuktikan ikatan masyarakat Adat dengan tanahnya demikian kuatnya. Profile Masyarakat Adat Baduy Dalam Desa Kanekes terletak di Gunung Kendeng yang sebagian wilayahnya adalah hutan, baik hutan lindung maupun hutan produksi. Dulu wilayah ini masuk kedalam propinsi Jawa Barat, tetapi sejak tahun 2000 terjadi pemekaran wilayah dan masuk menjadi Propinsi Banten, tepatnya di Kabupaten Lebak Kecamatan Leuwidamar. Kondisi alamnya berbukit-bukit dan tersusun oleh sambung menyambung bukit, menyebabkan jarak antar pemukiman di lingkungan Baduy sangat jauh. Meskipun demikian komunikasi antar masyarakat dapat berjalan dengan baik, dan mereka memiliki mekanisme tersendiri dalam berkomunikasi. Suku Baduy salah satu suku di Indonesia yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten (salah satu propinsi di Pulau Jawa). Berjarak sekitar 120 km dari Jakarta (Ibukota Negara Indonesia). Mereka tinggal di daerah yang terpencil di Gunung Kendeng, sehingga untuk mencapai daerah tersebut juga dibutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan jalan yang berat. Dan untuk menjelajahi Desa Kanekes dengan luas 5130,8 hektar, kita harus berjalan kaki, karena tidak ada alat transportasi apapun. Masyarakat Adat Baduy tinggal secara mengelompok pada suatu kampung dan menyebar di wilayah Kanekes. Ada dua kelompok besar pemukiman masyarakat Adat Baduy, yaitu kelompok Baduy Dalam dan Kelompok Baduy Luar. Kelompok yang berada di Baduy Luar disebut masyarakat “Panamping” yang artinya adalah pendamping, karena mereka bermukim di bagian luar wilayah Baduy dan mendampingi masyarakat Adat Baduy Dalam. Kelompok Baduy Luar ini tersebar di 50 (lima puluh) kampung. Sementara kelompok Baduy Dalam disebut dengan masyarakat “Kajeroan” yang artinya dalam atau “Girang” yang artinya hulu. Mereka bermukim di bagian dalam atau daerah hulu dari Sungai Ciujung.
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Ulayat ...
Ada tiga kampung yang mereka tinggali, yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo. Kelompok Baduy Dalam tidak pernah menambah jumlah kampung yang ada, wilayahnya hanya ada di tiga kampung tersebut. Sementara untuk Baduy Luar dari tahun ke tahun jumlah kampungnya bertambah seiring dengan pertambahan populasi disana. Jika populasi di Baduy Dalam bertambah dan tidak sesuai dengan kapasitas kampungnya, maka sebagian dari mereka akan keluar untuk tinggal di wilayah Baduy Luar dan menjadi kelompok Baduy Luar. Memasuki Kampung Baduy Dalam Cibeo seperti mendapatkan sensasi tersendiri. Seperti menerobos dimensi waktu. Tak ada listrik dan bangunan tembok. Asri, alami, hening, dan gemericik air sungai mendominasi suasana. Jembatan bambu melintasi sungai menjadi tanda sudah memasuki Cibeo. Di sini, manusia dan alam hidup berdampingan. Sama halnya dengan makanan pokok orang Indonesia pada umumnya, makanan utama masyarakat Baduy adalah nasi. Namun, masyarakat Baduy tidak menamam padi dengan bersawah. Mereka menanam padi di huma - padi yang ditanam di tanah kebun, bukan sawah. Bagi masyarakat Adat Baduy, kegiatan bersawah dan membajak tanah adalah terlarang. Ayah Mursyid menjelaskan ketentuan tersebut semata untuk menjaga keseimbangan alam. Masyarakat Adat Baduy menyimpan hasil panen padi huma di sebuah leuit, lumbung padi. Leuit biasanya dibangun di pinggiran tiap kampung. Setiap keluarga memiliki leuit masing-masing. Leuit menyiratkan konsep ketahanan pangan masyarakat Adat Baduy. Dan saya belum pernah mendengar warga Baduy kekurangan stok bahan pangan. Sementara itu, selain semua rumah di Cibeo memiliki bentuknya yang sama, semua bahan yang digunakanpun berasal dari alam: batu, kayu, bambu, ijuk. Tak satupun bahan modern macam paku, batu bata, dan semen diperkenankan di Cibeo (Hal yang sama juga berlaku pada kampung Baduy Dalam lainnya). Dan meskipun bahan bangunan didapatkan dari alam sekitar, tak nampak adanya kerusakan hutan di Baduy. Masyarakat Adat Baduy tidak mengeksploitasi alam; mereka hanya menggu-
Henry Arianto
nakan seperlunya yang selalu dibarengi dengan pelestariannya. Bila ada sebuah hajatan sehingga pemangku hajat membutuhkan kayu bakar untuk keperluan memasak, maka mereka mencari kayu yang telah kering dan tua. Kayu bakar tersebut didapat dari pohon yang sudah dimakan rayap atau batang pohon dan ranting yang jatuh terserak. Mereka tidak menebang pohon untuk kayu bakar. Kearifan lokal ini menjadikan Baduy dan hutan di sekitarnya hidup harmonis selama ratusan tahun. Salah satu kewajiban masyarakat Adat Baduy memang adalah melestarikan alam. Masyarakat Adat Baduy bersekolah pada alam. Mereka belajar dan hidup dengan alam. Oleh karenanya, kita takkan menemukan seorang warga Baduy yang bersekolah formal. Sekolah adalah salah satu hal yang dilarang dalam kehidupan masyarakat Adat Baduy. Praktik menyesuaikan diri dengan alam juga terlihat dari cara membangun rumah. Bagian paling bawah dari rumah adalah batu sebagai penopang tiang-tiang utama rumah yang terbuat dari kayu. Tetapi, tidak seperti rumah pada umumnya, masyarakat Adat Baduy tidak menggali tanah untuk pondasi. Batu hanya diletakan di atas tanah. Jika kontur tanah tidak rata, maka bukan tanah yang menyesuaikan sehingga diratakan, tetapi batu dan tiang kayu yang menyesuaikan. Jadi, panjang pendeknya batu mengikuti kontur tanah. Sekalipun masyarakat Adat Baduy tinggal di tengah perbukitan yang dikelilingi hutan, namun tidak ada kerusakan hutan yang terjadi. Masyarakat Adat Baduy dapat hidup harmonis berdampingan dengan lingkungan selama ratusan tahun tanpa merusak hutan. Padahal, mereka memanfaatkan hasil hutan tersebut dalam kesehariannya. Hal ini telah berlangsung lama meskipun masyarakat Adat Baduy tidak mengenal konsep pembangunan berkelanjutan. Masyarakat Adat Baduy memang dikenal sangat patuh dan taat pada hukum adatnya. Ada banyak larangan dalam hukum Adat Baduy, misalnya tidak boleh difoto (di dalam wilayah Baduy Dalam), naik kendaraan, atau memakai alas kaki. Jika bepergian ke Jakarta, Bogor atau Bandung dengan maksud memenuhi undangan ataupun mengunjungi tamu yang 157
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 153 - 164
pernah datang ke Baduy, orang Baduy Dalam selalu berjalan tanpa alas kaki. Jika diketahui menggunakan kendaraan, maka ia akan dikenai sanksi adat hingga dikeluarkan dari Baduy Dalam menjadi Baduy Luar – Baduy Luar memiliki aturan yang lebih longgar dan berinteraksi lebih dengan dunia modern. Jika ditanyakan alasan kenapa tidak boleh ini dan itu, maka mereka akan menjawab dengan singkat “teu meunang ku adat” (tidak boleh oleh adat). Pola-Pola Penyelesaian Sengketa Sengketa adalah fenomena hukum yang bersifat universal yang dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, karena sengketa itu tidak terikat oleh ruang dan waktu, setiap sengketa memerlukan tindakan penyelesaian dan tidak ada suatu sengketa tanpa adanya penyelesaian. Penyelesaian konflik dan sengketa pada kondisi masyarakat yang masih sederhana, dimana hubungan kekerabatan dan kelompok masih kuat, maka pilihan institusi untuk menyelesaikan sengketa atau konflik yang terjadi diarahkan kepada institusi yang bersifat kerakyatan (folkinstitutions), karena institusi penyelesaian sengketa atau konflik yang bersifat tradisional bermakna sebagai institusi penjaga keteraturan dan pengembalian keseimbangan magis dalam masyarakat. Sedangkan konflik-konflik atau sengketa-sengketa yang terjadi dalam masyarakat modern, dimana relasi sosial lebih bersifat individualistik dan berorientasi pada perekonomian pasar, cenderung diselesaikan melalui institusi penyelesaian sengketa yang mengacu pada hukum negara (state institutions) yang bersifat legalistik. Pada masyarakat hukum adat penyelesaian sengketa acapkali dilakukan di luar peradilan formal denegan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Secara umum, pola-pola penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh masyarakat adalah sebagai berikut : negosiasi; musyawarah mufakat; dan mediasi. Negosiasi dilakukan dengan jalan dimana para pihak yang berkonflik duduk bersama untuk mencari jalan yang terbaik dalam penyelesaian konflik dengan prinsip bahwa penyelesaian itu tidak ada pihak yang dirugikan win-win solution, kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Musyawarah mufakat adalah langkah lebih lanjut dari negosiasi. Jika dalam negosiasi tidak ter158
dapat kesepakatan yang saling menguntungkan, maka langkah lebih lanjut adalah melakukan musyawarah mufakat dengan melibatkan pihak lain selaku penengah. Pihak lain tersebut adalah bisa anggota keluarga, bisa pemuka agama. Atau pemuka adat, bahkan aparat desa. Hasil musyawarah mufakat tersebut selanjutnya dibuatkan surat kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan para saksi yang disebut dengan “akta perdamaian”. Sedangkan dalam penyelesaian secara mediasi, yaitu masyarakat melibatkan pemuka adat, pemuka agama atau Kepala Desa atau Camat sebagai mediatornya. Akan tetapi, masing-masing lingkungan hukum di Nusantara mempunyai pola atau tata cara sendiri-sendiri dalam menyelesaikan konflik pertanahan. Dalam masyarakat hukum adat Sasak, tatacara penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Pertama-tama para pihak yang bersengketa duduk bersama untuk menyelesaikan sengketanya dengan cara negosiasi; 2. Jika cara negosiasi ini tidak bisa menghasilkan kesepakatan bagi para pihak, maka pihak yang dirugikan melaporkan perselisihannya tersebut kepada kepala dusun atau klian atau kepala adat dan pemuka agama; 3. Selanjutnya kepala adat atau pemuka agama tersebut memanggil para pihak atau keluarga dekat dan tetua-tetua adat untuk menyaksikan proses musyawarah tersebut; 4. Dalam musyawarah tersebut, yang bertindak selaku penengah adalah pemerintah (pemerintah desa atau kecamatan), pemuka agama (kyai, tuan-tuan guru), atau tokoh adat pemangku adat/pengemban adat yang bijaksana; 5. Keputusan yang diambil didasarkan pada musyawarah-mufakat yang saling menguntungkan kedua belah pihak; 6. Kesepakatan kedua belah pihak tersebut dibuat secara tertulis berupa akta perdamaian yang ditanda tangani oleh para pihak dan saksi-saksi dan penengah. Pentingnya tanah bagi suatu masyarakat, demikian juga masyarakat adat tidak dapat dipungkiri lagi bahkan masyarakat adat akan siap mempertaruhkan nyawanya apabila tanah
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Ulayat ...
yang merupakan tempat tinggalnya yang merupakan tumpuan kehidupannya serta yang mempunyai nilai religius magis terusik dari kehidupannya atau yang dikenal dalam masyarakat adat sebagai “hak ulayat”. Prinsip-prinsip hukum adat dalam penyelesaian sengketa tanah nilai kearifan suatu masyarakat adat atau dikenal dengan nilai-nilai budaya merupakan obyek normative yang sulit diukur dengan tolok ukur yang bersifat materiel, namun sesungguhnya nilai budaya yang lazim dikenal sebagai nilai kearifan itu, dapat dirasakan sebagai pemandu setiap orang secara naluriah, intuitif yang akurat untuk mencapai kebajikan dan kemaslahatan. Dengan demikian maka nilai-nilai budaya itu akan dapat meningkatkan kualitas seseorang apabila diamalkan dan ditegakkan dalam menciptakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehubungan dengan penyelesaian konflik dam sengketa tanah pada masyarakat adat terdapat hal-hal yang hampir sama disetiap masyarakat adat di nusantara, sekalipun disana sini terdapat perbedaan yang tipis. Tetapi pada umumnya masyarakat hukum adat tidak menghendaki adanya putusan kalah menang dalam penyelesaian sengketa, akan tetapi harus mengarah kepada perdamaian yang diselesaikan secara musyawarah. Dalam upaya penyelesaian itu, para pihak harus bisa saling menjaga perasaan masing-masing. Teori Penyelesaian Sengketa Pada dasarnya dalam masyarakat manapun sebenarnya banyak sengketa diselesaikan oleh orang tersebut dengan bantuan orang di sekitarnya, kerap kali mereka menyelesaikan sengketa dengan pihak lawan itu sendiri ataupun dengan bantuan pemimpin adat atau kita sebut dengan tokoh masyarakat adat, di mana struktur informal itu berlaku pada masyarakat di Indonesia yang selalu menginginkan perdamaian tanpa adanya penyelesaian didalam pengadilan, jadi masyarakat lebih memilih cara penyelesaian dengan negoisasi atau perundingan dan mediasi melalui bantuan orang lain, dua hal inilah yang selalu dan banyak dilakukan pada masyarakat Indonesia. Konflik yang sering kali disamakan dengan sengketa dalam
Henry Arianto
masyarakat dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Konflik kepentingan. 2. Konflik nilai-nilai 3. Konflik norma-norma (Fokky, 2001) Dalam kehidupan sosial masyarakat paling tidak mengenal dua cara penyelesaian sengketa yaitu: 1. Dengan institusi yang bersifat tradisional bersumber pada politik dan hukum rakyat yang berlangsung secara tradisional. 2. Institusi-institusi penyelesaian sengketa yang dibangun dari sistem politik dan hukum negara. Dalam teori penyelesaian sengketa menurut pendapat Wader dan Todd berpendapat ada 7 (tujuh) lembaga penyelesaiaan konflik yang digunakan oleh masyarakat , yaitu: 1. Membiarkan saja (lumping it) pihak yang merasakan tidak adil dan gagal menekankan tuntutannya, dia mengambil keputusan untuk mengabaikan masalah baru atau isu tersebut. Pihak yang telah merugikannya, sikap ini diambil karena kurangnya informasi mengenai bagaimana proses mengajukan keluhan itu ke pengadilan, sekurangnya akses lembaga Peradilan atau sengaja tidak diproses ke pengadilan karena diperkirakan bahwa kerugiannya lebih besar daripada keuntungannya (dalam arti materi maupun kejiwaan) 2. Mengelak (avoindance), dalam hal ini pihak yang merasa dirugikan memilih untuk mengurangi hubungan atau sama sekali tidak berhubungan dengan pihak yang dirugikannya. 3. Paksaan (coersion) dimana salah satu pihak memaksa pemecahan pada pihak lain. Ini bersifat unilateral tindakan yang bersifat memaksa atau ancaman menggunakan kekerasan pada umumnya mengurangi kemungkinan penyelesaian secara damai. 4. Perundingan (negotiation) Para pihak yang berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan dari masalah yang mereka dihadapi dilakukan oleh pihak yang bersengketa tanpa adanya pihak ketiga, kedua belah pihak berusaha untuk saling meyakinkan. 159
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 153 - 164
5. Mediasi (mediation) yaitu dimana pemecahan konflik dengan perantaraan pihak ke tiga sebagai mediator. Mediator berusaha membantu kedua belah pihak yang bersengketa untuk menemukan kesepakatan. Pihak ke tiga ini dapat ditemukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, atau yang ditunjuk oleh yang berwenang Untuk itu. 6. Arbitrase (arbritation) yaitu dimana kedua belah pihak yang bersengketa untuk meminta perantara pihak ketiga yakni Arbitrator dan sejak semula sudah setuju bahwa mereka akan menerima keputusan arbitrator itu. 7. Peradilan (adjudication) yaitu dalam hal ini pihak ketiga mempunyai wewenang untuk mencampuri pemecahan masalah dengan lepas dari keinginan pihak yang bersengketa, bahkan pihak ketiga berhak membuat keputusan dan sekaligus melaksanakannya. (Fokky, 2001) Kerusakan Hutan di Baduy Keharmonisan antara masyarakat Adat Baduy dan hutan di sekitarnya tak selamanya langgeng. Kemesraan keduanya mulai terusik. Hutan adat mulai dirambah orang luar Baduy; menebang pohon tanpa kearifan. Penyerobotan tanah ulayat masyarakat Adat Baduy semakin sulit dikendalikan. Penyerobotan itu dilakukan warga luar Baduy dengan cara menebang hutan, mengerjakan ladang, dan membiarkan hewan ternak berkeliaran di tanah adat dalam kawasan hutan adat.(Kompas, 2004) Warga baduy dalam pernah menemukan jejak ternak berkaki empat. Warga tersebut menjelaskan bahwa ternak semisal kerbau tersebut merupakan milik warga luar Baduy. Warga Baduy telah sering melaporkan persoalan ini ke Pemerintah Provinsi Banten melalui Seba. Seba adalah adat tiap tahun untuk mengunjungi pemerintah yang berkuasa sebagai ajang silaturahmi. Pada masa Banten masih di dalam wilayah Jawa Barat, Seba dilakukan dengan mengunjungi Gubernur Jawa Barat, juga kabupaten-kabupaten di Banten, umumnya ke Lebak atau Serang. Masyarakat Baduy juga sudah melakukan sosialisasi pada warga luar Baduy agar ti160
dak menebang pohon di hutan adat. Bahkan, pelanggaran atas prinsip tersebut juga sudah dilaporkan ke kepolisian. Dalam Peraturan Daerah Banten Nomor 8 Tahun 2001 Tentang Hak Ulayat Suku Baduy, ditetapkan bahwa wilayahnya seluas 6000 hektar. Namun, kenyataannya wilayah ini kerap diserobot orang, termasuk pada kasus tanah seluas 9.500 hektar persegi yang telah disertifikatkan oleh Nyonya Mariam, anak mantan Kepala Desa Bojongmanik (Situs koran Sinar Harapan). Menurut Jaro Dainah, meski tanah ulayat Baduy sudah dilindungi Peraturan Daerah (PERDA), pada praktiknya aturan tersebut tidak berjalan akibat lemahnya penegakan hukum oleh aparat (Kompas, 2004). Pada akhirnya, faktor ekonomi menjadi faktor paling utama dalam menyumbang kerusakan hutan di Baduy. Pemerintah nampaknya belum memiliki komitmen yang kuat dalam melestarikan lingkungan, tidak hanya dalam tataran kebijakan, tetapi juga upaya kuat mendorong penegakan hukum dengan tak berpihak pada kekuatan ekonomi. Sementara, pihak perusahaan maupun perseorangan juga belum memiliki kesadaran dalam menjaga kelestarian lingkungan. Padahal, kesadaran tersebut dapat dilakukan dengan banyak cara, mulai dari penyuluhan hingga penegakan hukum sebagai upaya untuk menghasilkan efek pencegahan (deterrence effect). Keharmonisan yang telah berlangsung lama antara masyarakat adat Baduy dan alam akhirnya terusik justru karena faktor di luar mereka. Sedikit demi sedikit, modernisasi mulai menjamah keharmonisan hubungan alam dan manusia. Kondisi ini sebenarnya menjadi “bom waktu” jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan tegas. Konflik horizontal pada akhirnya berpotensi terjadi antara masyarakat adat Baduy dengan masyakarat luar Baduy. Penyerobotan Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Baduy Dalam Secara umum wilayah Masyarakat Baduy dipisahkan menjadi dua, yaitu Wilayah Baduy Dalam dan Wilayah Baduy Luar. Penguasaan tanah perladangan di Baduy Dalam dilakukan secara bersama dan dikelola secara
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Ulayat ...
bergiliran berdasarkan hukum adat, sehingga tidak ada ketimpangan yang besar terkait dengan sumber daya alam di wilayah Baduy Dalam. Sedangkan di wilayah Baduy Luar, kepemilikan perladangan atau huma dapat menjadi milik pribadi. Tetapi ketentuan mengenai panen dan penanaman adalah sama (berdasarkan hukum adat) dan larangan menjual padi ke pihak luar juga berlaku bagi keduanya. Masyarakat Baduy telah menjaga lingkungannya dengan baik, dan kepada setiap orang yang datang berkunjung ke wilayah masyarakat Baduy selalu memperingatkan dan memberitahu bahwa hutan mereka tidak boleh dirusak oleh siapapun karena hutan sangat berharga bagi masyarakat baduy, karena hutan merupakan sumber kehidupan mereka. Mereka selalu menaati aturan-aturan adat yang diajarkan secara turun temurun. Tetapi masyarakat Baduy tidak dapat bertindak menghukum masyarakat luar Baduya yang merusak lingkungannya. Peringatan tersebut apabila tidak ditaati oleh masyarakat luar baduy, maka masyarakat baduy akan melakukan teguran secara keras terhadap yang merusak lingkungan adat mereka. Jika teguran itu tidak didengarkan, masyarakat baduy akan melakukan upaya melaporkan kepada kepala adat Baduy untuk kemudian melaporkan ke Pemerintah Kabupaten Lebak. Pada saat waktu “Seba” (kegiatan adat tiap tahun untuk mengunjungi pemerintah sebagai ajang silahturahmi dengan membawa hasil panen), masyarakat adat Baduy melaporkan tentang kondisi hak ulayatnya yang dirusak oleh masyarakat luar Baduy. Pengakuan hukum oleh pemerintah bagi Masyarakat Baduy adalah hal yang penting. Jaro Dainah, Kepala Desa Kanekes menyebutkan ada dua faktor penting mengapa pengakuan hukum terhadap hak ulayat Masyarakat Baduy diperlukan, yaitu: Pertama, untuk melindungi wilayah adat dari pihak luar. Hal ini menjadi persoalan karena orang luar baduy berkebun di tanah ulayat dengan menanam komoditas yang justru dilarang oleh hukum adat Masyarakat Baduy. Selain itu juga praktek penebangan kayu di hutan lindung Baduy oleh orang luar. Kedua, untuk mengamankan fungsi wilayah ulayat Masyarakat Baduy sebagai sumber mata air, mencegah banjir dan untuk
Henry Arianto
melindungi hewan-hewan dari tindakan perburuan orang luar. Masyarakat Baduy mempunyai hak ulayat atas tanah di sekitar wilayah masyarakat adat Baduy dan mereka menjaga kelestarian alam terutama hutan. Namun, dalam kenyataannya sering terjadi penyerobotan tanah ulayat milik masyarakat Baduy. Penyerobotan itu dilakukan warga luar Baduy dengan cara menebang hutan, mengerjakan ladang, dan membiarkan hewan ternak berkeliaran di tanah adat yang tentunya akan menimbulkan kerusakan hutan. Bagi Masyarakat Baduy, pengakuan hukum yang dituangkan dalam Perda No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy memberikan kekuasaan penuh kepada mereka untuk menjaga dan melindungi wilayah adat. Menjaga wilayah adatnya menurut Masyarakat Baduy merupakan tugas suci karena mereka mempercayai bahwa alam semesta dititipkan oleh Yang Maka Kuasa kepada mereka untuk dijaga dan dikelola secara arif sebagaimana disampaikan oleh Ayah Mursyid, salah seorang tokoh Masyarakat Adat Baduy. Salah satu yang membedakan antara wilayah Masyarakat Adat Baduy dengan wilayah lainnya dalam penelitian ini adalah bahwa wilayah Masyarakat Adat Baduy berada di luar kawasan administrasi kehutanan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga pada wilayah Masyarakat Adat Baduy tidak berlaku Undang-Undang Kehutanan, melainkan yang berlaku adalah UUPA. Konsepsi tentang masyarakat adat dan hak mereka atas sumber daya alam antara Undang-Undang Kehutanan dengan UUPA berbeda satu sama lain. UUPA secara substansial lebih menghargai keberadaan masyarakat adat dan hak ulayat. Bahkan di dalam UUPA dinyatakan bahwa hukum yang berlaku atas bumi, air dan kekayaan alam di Indonesia adalah hukum adat. Penyelesaian Perselisihan Terhadap Sengketa Tanah Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy Dalam Sengketa adalah fenomena hukum yang bersifat universal yang dapat terjadi dimana 161
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 153 - 164
saja dan kapan saja, karena sengketa itu tidak terikat oleh ruang dan waktu, setiap sengketa memerlukan tindakan penyelesaian dan tidak ada suatu sengketa tanpa adanya penyelesaian. Pola-pola penyelesaian konflik pertanahan yang terjadi di dalam masyarakat adalah dapat dalam bentuk penyelesaian konflik secara litigasi dan penyelesaian konflik secara nonlitigasi. Penyelesaian konflik secara litigasi adalah penyelesaian konflik yang dilakukan melalui lembaga pengadilan normal, sedangkan penyelesaian pihak di luar lembaga peradilan, yaitu dapat dilakukan dengan negosiasi, musyawarah mufakat, atau mediasi. Penyelesaian konflik pertanahan dengan negosiasi dilakukan oleh para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan bagi kedua pihak dengan jalan win-win solution, tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Penyelesaian sengketa pertanahan secara musyawarah dan mufakat dilakukan oleh para pihak untuk menyuelesaikan sengketanya dengan melibatkan keluarga para pihak yang disaksikan oleh pemuka agama atau pemuka masyarakat. Sedangkan penyelesaian sengketa pertanahan secara mediasi yaitu dimana para pihak menunjuk pihak-pihak tertentu yang dihormati dan dihargainya sebagai mediator (penengah) dalam penyelesaian tersebut Negosiasi dilakukan dengan jalan dimana para pihak yang berkonflik duduk bersama untuk mencari jalan yang terbaik dalam penyelesaian konflik dengan prinsip bahwa penyelesaian itu tidak ada pihak yang dirugikan (win-win solution), kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Musyawarah mufakat adalah langkah lebih lanjut dari negosiasi. Jika dalam negosiasi tidak terdapat kesepakatan yang saling menguntungkan, maka langkah lebih lanjut adalah melakukan musyawarah mufakat dengan melibatkan pihak lain selaku penengah. Pihak lain tersebut adalah bisa anggota keluarga, bisa pemuka agama. Atau pemuka adat, bahkan aparat desa. Hasil musyawarah mufakat tersebut selanjutnya dibuatkan surat kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan para saksi yang disebut dengan “akta perdamaian”. Sedangkan dalam penyelesaian secara mediasi, yaitu masyarakat melibatkan pemuka adat, pemuka 162
agama atau kepala desa atau camat sebagai mediatornya. Dengan adanya Perda Nomor 32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy dapat mengamankan wilayah adat sekaligus sumber daya alam yang ada di wilayah masyarakat Adat Baduy. Mereka menegaskan bahwa jika tidak ada Perda ini, maka wilayah Adat Baduy akan habis dan rusak oleh pihak luar. Perda ini kemudian menjadi dasar bagi masyarakat Adat Baduy untuk melakukan tindakan hukum ketika ada pelanggaran atau penyerobotan terhadap wilayah adat mereka dari orang luar. Masyarakat Adat Baduy Dalam, umumnya menyelesaikan konflik penyerobotan atau pelanggaran wilayah adatnya yang dilakukan dalam tiga cara, yaitu: 1. Proses sosialisasi dan rekonsiliasi yang difasilitasi oleh pihak kecamatan, BPN, Babinsa, bagian hukum pemerintah daerah, kepolisian, dan kejaksaan. 2. Pihak masyarakat Adat Baduy mengirimkan surat kepada beberapa orang yang menyerobot wilayah Adat Baduy untuk meminta kembali tanah adat masyarakat Adat Baduy, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penandatanganan kontrak pengembalian tanah kepada masyarakat Adat Baduy. 3. Diselesaikan melalui pengadilan. Cara ini dilakukan ketika cara-cara di atas tidak dapat lagi dilakukan. Untuk cara ini tercatat telah ada lima orang yang dikenai sanksi pidana karena terbukti melanggar dan menyerobot wilayah Adat Baduy. Selanjutnya akan dilakukan penyelesaian sengketa dengan mekanisme arbitrase, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang melibatkan masyarakat Adat Baduy, masyarakat luar Baduy dan pemerintah daerah sebagai arbiter untuk menemukan titik temu penyelesaian masalah ini. Dalam arbitrase ini perwakilan pihak masyarakat Adat Baduy yang diwakili Jaro Dainah, Pemerintah Daerah Lebak yang diwakili oleh Dinas Lingkungan Hidup, dan dari masyarakat luar Baduy yang melakukan perusakan, duduk dalam satu meja. Dalam musyawarah biasanya akan dilakukan pembuaan patok-patok sebagai batasan wilayah yang tidak boleh di ganggu oleh ma-
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Ulayat ...
Henry Arianto
syarakat luar Baduy. Jika masih terjadi pelanggaran terhadap batas wilayah masyarakat Adat Baduy tersebut, pihak Baduy dan pihak pemerintah daerah Lebak akan menempuh jalur hukum Pidana untuk melaporkan tindak perusakan lingkungan yang dilakukan masyarakat luar Baduy. Oleh karenanya dalam menyelesaikan sengketa berkaitan dengan penyerobotan tanah masyarakat Baduy lebih banyak berhubungan dengan pihak kepolisian dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) karena hal ini menyangkut keamanan wilayah. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama bentuk penyerobotan terhadap hak ulayat masyarakat baduy dalam umumnya adalah dengan cara menebang pohon, mengerjakan ladang, dan membiarkan hewan ternak berkeliaran di tanah adat yang tentunya akan menimbulkan kerusakan hutan. Kedua mengenai penyelesaian perselisihan terhadap sengketa tanah atas hak ulayat masyarakat Adat Baduy Dalam, umumnya mereka menyelesaikan konflik penyerobotan atau pelanggaran wilayah adatnya yang dilakukan dalam tiga cara, yaitu: 1. Proses sosialisasi dan rekonsiliasi yang difasilitasi oleh pihak kecamatan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Bintara Pembina Desa (Babinsa), bagian hukum pemerintah daerah, kepolisian, dan kejaksaan.
2. Pihak masyarakat Adat Baduy mengirimkan surat kepada beberapa orang yang menyerobot wilayah Adat Baduy untuk meminta kembali tanah adat masyarakat Adat Baduy, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penandatanganan kontrak pengembalian tanah kepada masyarakat Adat Baduy. 3. Diselesaikan melalui pengadilan. Cara ini dilakukan ketika cara-cara di atas tidak dapat lagi dilakukan. Untuk cara ini tercatat telah ada lima orang yang dikenai sanksi pidana karena terbukti melanggar dan menyerobot wilayah Adat Baduy. Menurut penulis, pemerintah sudah cukup membuktikan bahwa keberadaan hak ulayat masyarakat adat sudah mendapatkan bentuk perlindungan yang cukup, yaitu dengan dikeluarkannya Perda Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Terhadap pelaku penyerobotan terhadap hak ulayat masyarakat baduy dalam yang umumnya adalah dengan cara menebang pohon, mengerjakan ladang, dan membiarkan hewan ternak berkeliaran di tanah adat yang tentunya akan menimbulkan kerusakan hutan, diberikan hukuman ganda. Pertama dari hukum adat dan kedua dari hukum negara. Dengan demikian akan membawa pembelajaran dan efek jera yang optimal bagi pelaku penyerobotan tersebut.
Daftar Pustaka Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2005. Bushar Muhammad. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta:Pradnya Paramita, 1983. Fokky Fuad. Sengketa Penguasaan dan Pengelolaan Sumber Daya Tambang Golongan C, Batu Kapur di Desa Karang Tembang. Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan. Tesis. Malang: Tidak diterbitkan, 2001. R.G Kartasapoetra, et.al. Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah. Jakarta: Bina aksara, 1985. http://forestclimatecenter.org/files/2010%20Kuasa%20&%20Hukum%20%20Realitas%20Pengakuan%20Hukum%20thd%20Hak%20Masy%20Adat--.pdf Laporan Penelitian. “Hak Ulayat dan Masyarakat Hukum Adat di Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah.” Masohi: Dinas Kehutanan Kabupaten Maluku Tengah, 2005.
163
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 153 - 164
Maria S.W.Sumardjono. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi, Penerbit Buku Kompas. Jakarta, Juni 2001. Mukti Fajar. “Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris.” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Ronny Hanitijo Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. www.kompas.com.
164
PENYELESAIAN MALPRAKTEK DI BIDANG KEDOKTERAN DALAM SISTEM PERADILAN INDONESIA Oleh : Dr. Laksanto Utomo S.H., M.H*)
Abstrak Munculnya dugaan kasus kelalaian medis dan dalam rangka meningkatkan profesionalisme profesi medis, dijawab dengan menyiapkan seperangkat peraturan di bidang kedokteran. Ada beberapa jalur yang bisa dipilih untuk menyelesaikan kasus-kasus di mana orang menghadapi praktek medis terdistorsi. Jalur pertama adalah melalui Indonesian Medis Disiplin Council (IMDC), Kedua Pengajuan gugatan perdata ke pengadilan negeri, Ketiga melaporkan tindak pidana ke pihak berwenang, keempat melalui MKEK / MKEKG / P3EK. Ketika mengacu pada Pasal 66 UU 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran, ada tiga penyelesaian hukum yang mungkin terkait dengan pelanggaran praktek medis yang IMDC, investigasi kriminal, pemukiman sipil ketiga. Sementara itu, ada juga lembaga penyelesaian pelanggaran etika. Begitu banyak kasus dibawa ke pengadilan dengan alasan malpraktek yang dilakukan oleh dokter, bidan, apoteker dan tenaga medis lainnya. Namun, banyak kasus yang kandas dalam proses pengadilan. Atau dengan kata lain tidak bisa dibuktikan secara hukum mengenai kesalahan yang dilakukan oleh dokter, bidan, apoteker dan tenaga medis lainnya sehingga tersangka dapat dibebaskan dari hukuman. Hal ini karena dalam proses pengadilan, terutama dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan malpraktik, masih ada kendala yang muncul sehingga sulit untuk memproses bukti. Kata kunci: Malpraktek, Sistem Peradilan Abstract The rise of the alleged medical negligence cases and in order to improve the professionalism of the medical profession, is answered by setting up a set of regulations in the field of medicine. There are some lines that can be selected for resolving cases where people face distorted medical practices. The first path is through the Indonesian Medical Disciplinary Council (IMDC), Second Filing a civil suit to the district court, the Third reporting criminal offenses to the authorities, the fourth through MKEK / MKEKG / P3EK. When referring to Article 66 of Law 29 of 2004 on the practice of medicine, there are three possible legal settlement related to violations of medical practices that IMDC, the criminal investigation, the third civil settlement. Meanwhile, there is also the settlement institution for violations of ethics. So many cases were brought to court on the grounds of malpractice committed by doctors, midwives, pharmacists and other medical personnel. However, many of these cases that ran aground in the process of court proceedings. Or in other words can not be proved legally regarding mistakes made by doctors, midwives, pharmacists and other medical personnel so that the suspects can be freed from punishment. This is because in the process of court proceedings, particularly in cases related to malpractice, there are still obstacles that arise making it difficult to process evidence. Keywords: Malpractice, Justice System
*)
Dosen FH Usahid dan Dekan FH Usahid Jakarta
165
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 165 - 179
A. Pendahuluan Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional. Kebutuhan manusia terhadap pertolongan pengobatan untuk menyelamatkan nyawanya merupakan hal yang mendasar yang diperlukan oleh setiap makhluk hidup insani. Tidak jarang apabila pasien berada dalam kondisi yang lemah meminta perlindungan yang menggantungkan hidup dan matinya dengan percaya sepenuhnya kepada sang dokter. Dokter hanyalah sebagai perantara, sembuh dan tidaknya semua atas kehendak Allah. Oleh karena itu, diperlukan pihak lain yang mempunyai keahlian untuk memberikan pertolongan kepadanya agar terbebas dari penyakit yang dideritanya tersebut.1 Dokter merupakan ilmuwan yang telah dididik secara profesional untuk memberikan pertolongan kepada seseorang yang membutuhkan pelayanan medisnya. Pendidikan kedokteran telah memberikan bekal pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan perilaku profesional (professional attitude) bagi peserta didiknya untuk dibentuk sebagai dokter yang berkompeten dengan didasari perilaku profesi yang selalusiap memberikan pertolongan kepada sesamanya.2 Etika yang mengikat para dokter serta tenaga kesehatan lainnya dalam menjalankan profesi medik3 merupakan materi atau isi dari 1
Ahmadi Sofyan (ed), Malpraktik & Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, Jakarta : Prestasi Pustaka, Cet. Ke-1, 2005, hlm. 1. 2 Nonny Yogha Puspita (ed), Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Jilid 1, Jakarta : Prestasi Pustaka, Cet. ke-2, 2006, hlm. V. 3 Mengenai profesi medis diatur oleh PP no. 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan, khususnya pasal 2 ayat
166
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tanggal 23 Oktober 1960 kemudian diperbaharui dan disempurnakan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 434/ Men. Kes./SK/X/1983 tanggal 28 Oktober 1983, yang hakekatnya memuat arti dan fungsi KodeEtik Kedokteran (KODEKI).4 Dikaitkan dengan bab Mukadimah KODEKI khususnya alinea pertama,5 bahwa transaksi terapeutik merupakan hubungan antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medik secara profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kedokteran. Bahwa profesi kedokteran merupakan suatu profesi yang penuh dengan resiko dan tidak jarang dalam melakukan pengobatan terhadap pasien seringkali terjadi pasien menderita luka berat, cacat tubuh atau bahkan kematian. Hal ini bisa timbul karena banyak macam faktor yang mempengaruhinya. Mungkin ada kelalaian pada dokter karena dihinggapi sindrom Metrominiatau mungkin karena penyakit pasien sudah berat sehingga kecil sekali kemungkinan sembuh atau mungkin juga ada kesalahan pada pihak pasien.6 Akhir-akhir ini, perbincangan masalah yang menyangkut profesi kedokteran dan bidang hukum semakin ramai dan menarik banyak minat berbagai kalangan, khususnya orang-orang yang mempunyai kaitan dengan profesi hukum dan kedokteran. Hal tersebut merupakan hal yang positif, dan sekaligus menunjukkan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang semakin meningkat. Cara berpikir masyarakat menjadi semakin kritis terhadap (1) a, yaitu yang meliputi dokter dan dokter gigi. PP no. 23 tahun 1992 adalah terdiri dari setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan. 4 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak),Bandung : Citra Aditya Bakti, Cet. ke-1, 1998, hlm. 61. 5 Mukadimah KODEKI alinea pertama adalah” Sejak awal sejarah umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu manusia penyembuh dan penderita. Dalam zaman modern, hubungan ini disebut transaksi atau kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien”. 6 J. Guwandi, Dokter Pasien dan Hukum, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Cet. ke-1, 2003, hlm. 1.
Penyelesaian Malpraktek di Bidang Kedokteran Dalam ...
berbagai aspek kehidupan. Banyak hal yang tadinya tidak menjadi pusat perhatian kini mencuat ke permukaan dan menjadi sorotan masyarakat. Misalnya saja mengenai masalah malpraktik, yang merupakan masalah hukum yang dihadapi dalam praktik kedokteran. Dalam pembicaraan mengenai masalah malpraktik kita tidak hanya membicarakan masalah hukum dan praktik kedokteran belaka, tetapi kitapun harus pula menyoroti hubungan timbal balik antara profesi kedokteran dan masyarakat. Antara dokter dan pasien ada saling ketergantungan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya. Di satu pihak masyarakat memerlukan kehadiran dokter untuk menyembuhkan penyakitnya, sedang di pihak lain dokter dalam menjalankan profesinya membutuhkan masyarakat. Bidang medis telah mengalami perkembangan yang amat pesat. Melalui pengetahuan dan teknologi medis yang serba modern, diagnosis suatu penyakit dapat dilakukan dengan lebih sempurna sehingga pengobatan penyakit pun dapat berlangsung secara lebih efektif dan efisien. Dengan peralatan dan obat-obatan kedokteran yang modern, rasa sakit seorang penderita dapat diperingan; bahkan hidup seorang pasienpun dapat “diperpanjang” untuk waktu tertentu dengan bantuan alat-alat dan obatobatan tersebut. Demikian pula cepat atau lambatnya proses kematian seorang penderita, seolah-olah dapat diatur oleh teknologi modern tersebut. B. Permasalahan Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan hukum menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan-persoalan malpraktek yang kita jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat menjadi masalah pidana. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkahlangkah yang bijaksana sehingga masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memperoleh perlindungan hukum yang seadil adilnya. Membiarkan persoalan ini berlarut-larut
Laksanto Utomo
akan berdampak negativ terhadap pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan lalai sehingga pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran norma-norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum. Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran di dalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut, menunjukan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya bisa diperoleh dengan berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi kedokteran. Sekalipun pasien atau keluarganya mengetahui bahwa kualitas pelayanan yang diterimanya kurang memadai, seringkali pasien atau keluarganya lebih memilih diam karena kalau mereka menyatakan ketidak puasannya kepada dokter, mereka khawatir kalau dokter akan menolak menolong dirinya yang pada akhirnya bisa menghambat kesembuhan sang pasien. Walapun demikian tidak semua pasien memilih diam apabila pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya ataupun keluarganya terutama bila salah satu anggota keluarganya ada yang mengalami cacat atau kematian setelah prosedur pengobatan dilakukan oleh dokter. Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut pandang terhadap dokter dengan pasiennya. Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung pada dokter dalam menentukan cara penyembuhan (terapi) kini berubah menjadi sederajat dengan dokter. Dengan demikian dokter tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak pasien dalam memilih cara pengobatan termasuk pendapat pasien untuk menentukan pengobatan dengan operasi atau tidak. Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan dalam pelayanan dokter maka pasien akan mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberikan ganti rugi terhadap pengobatan yang dianggap me167
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 165 - 179
rugikan dirinya. Dokterpun bereaksi, tindakantindakan penuntutan dipengadilan itu mereka anggap sebagai ancaman. Penerapan hukum di bidang kedikteran dianggap sebagai intervensi hukum. Mereka mengemukakan bahwa KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) sudah cukup untuk mengatur dan mengawasi dokter dalam bekerja, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi hukum tersebut. Lebih jauh dari itu kekhawatiran paling utama adalah profesi kedokteran akan kehilangan martabatnya manakala diatur oleh hukum. Dokter merasa resah dan merasa diperlakukan tidak adil sehingga mereka menuntut perlindungan hukum agar dapat menjalankan profesinya dalam suasana tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan adalah perlindungan hukum dan bukan mengenai masalah tanggung jawab hukum serta kesadaran hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Hal ini menunjukan kurangnya pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam kalangan dokter. Demikian juga kerancuan pemahaman atas masalah medical malpractice, masih sering dianggap pelanggaran norma etis profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi ancaman pidana. Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan teknologi memang mampu meningkatkan mutu dan jangkauan diagnosis (penentuan jenis penyakit) dan terapi (penyembuhan) sampai batasan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Namun demikian tidak selalu mampu menyelesaikan problema medis seseorang penderita, bahkan kadang-kadang muncul problem baru dimana untuk melakukan diagnosa dokter sangat bergantung pada alat bantu diagnosis. Patut disadari bahwa ilmu dokter bukanlah ilmu pasti, menentukan diagnosis merupakan seni tersendri karena memerlukan imajinasi setelah mendengar keluhan-keluhan pasien dan melakukan pengamatan yang seksama terhadapnya. Hipocrates mengatakan bahwa ilmu kedokteran merupakan perpaduan antara pengetahuan dan seni (science and art) yang harus diramu sedemikian sehingga menghasilkan suatu diagnosa yang mendekati kebenaran. Memang kita harus berkata jujur bahwa profesi kedokteran merupakan suatu profesi yang penuh dengan resiko dan kadang-kadang dalam mengobati penderita atau pasien dapat 168
terjadi kematian sebagai akibat dari tindakan dokter. Resiko ini kadangkala diartikan oleh pihak luar profesi kedokteran sebagai malpraktek medik. Penulisan ini akan mengangkat tentang kajian penyelesaian malpraktek di bidang kedokteran dalam sistem peradilan Indonesia. C. Pembahasan Maraknya malpraktek di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di indonesia. Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, departemen kesehatan perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang tenaga medis. Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis bermunculan. Di negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah makpraktek medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan. Di indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke polda metro jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat. Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata,
Penyelesaian Malpraktek di Bidang Kedokteran Dalam ...
hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan. Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi) saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produkproduk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang
Laksanto Utomo
disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malpraktek. Hal ini tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari pemerintah pada umumnya dan peran dari departemen kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.7 Dalam kamus bahasa medis Malpraktik adalah prilaku atau praktek medis (Kedokteran/Keperawatan) yang dilakukan dengan salah (keliru) dan melanggar keetisan dan undang-undang, yang mana dalam menjalankan profesionalnya itu menimbulkan cedera pada pasien atau kerugian fatal lainya.8 Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).9 Pengertian mal7
http://Wikipedia.malpaktik.com M. Dachlan. Y Al-Barry, Yustina Akmalia, S.Kp, A. Rahman Usman ; Kamus Istilah Medis, 2000. 9 Lihat dalam Safitri Hariyani, Sengketa Medik, (Jakarta: Diadit Media, 2004), hlm. 58 8
169
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 165 - 179
praktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the physician‟s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient‟s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien). Ada dua istilah yang sering dibicarakan secara bersamaan dalam kaitannya dengan malpraktik yaitu kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah melakukan sesuatu di bawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna, melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yaag tidak beralasan dan berisiko melakukan kesalahan.10 Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional. Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki keterampilan dan pendidikan.11 Dalam suatu kasus di California tahun 1956, Jazuli12 mendifinisikan malpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka dilingkungan wilayah yang sama. Malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter/perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan pelayanan pengobatan/perawatan terhadap seorang pasien, yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit/terluka dilingkungan wilayah yang sama. Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan kumpulan kumpulan peraturan-
peraturan tertulis atau kaidah-kaidah dalam suatu masyarakat sebagai susunan sosial, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan memberikan sanksi bila dilanggar. Tujuan pokok dari hukum ialah menciptakan suatu tatanan hidup dalam masyarakat yang tertib dan sejahtera di dalam keseimbangan-keseimbangan. Dengan terciptanya ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi.13 Demikian pula bagi pasien, sebagai anggota masyarakat tentunya juga memerlukan kaidah-kaidah yang dapat menjaganya dari perbuatan tenaga kesehatan yang melanggar aturan ketertiban tenaga kesehatan itu sendiri. Oleh karena itu, setiap kesalahan yang diperbuat oleh seseorang, tentunya harus ada sanksi yang layak untuk diterima si pembuat kesalahan, agar terjadi keseimbangan dan keserasian didalam kehidupan sosial. Untuk mengatur kehidupan masyarakat diperlukan kaidah-kaidah yang mengikat setiap anggota masyarakat agar tidak terjadi kejahatan dan pelanggaran terhadap ketertiban umum agar masyarakat dapat hidup damai, tenteram dan aman. Disinilah hukum diperlukan untuk mengatur agar tenaga kesehatan menaati peraturan yang telah ditentukan oleh profesinya. Tanpa sanksi yang jelas terhadap pelanggaran yang dilakukannya, sebagai manusia biasa tentunya tenaga kesehatan pun dapat bersikap ceroboh. Oleh karena itu, bila memang seorang tenaga kesehatan terbukti melakukan malpraktek yang berakibat fatal terhadap pasien, tentunya perlu dikaji pula apakah ada pidana yang dapat diberlakukan kepada profesi ini.14 Tindak pidana merupakan salah satu istilah untuk menggambarkan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi tindak pidana sebagai “suatu perbuatan yang pelakunya dapat dike-
13
10
Ibid, hal. 62 11 Jazuli, Asep Saefuddin, “Duka Akibat Malpraktik”, Blakasauta, 2004, (Edisi 05): hlm. 4 12 Ibid, hlm. 7
170
Soeparto, Pitono,dkk, Etik Dan Hukum Dibidang Kesehatan, Surabaya: Airlangga University, 2008, hal 129 14 Isfandyarie,Anny, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005, hal 46-47
Penyelesaian Malpraktek di Bidang Kedokteran Dalam ...
nakan pidana”.15 Menurut Jusuf Hanafiah, mal praktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama. Malpraktek atau malpraktek medik adalah istilah yang sering digunakan orang untuk tindak pidana yang dilakukan oleh orangorang yang berprofesi didalam dunia kesehatan atau biasa disebut tenaga kesehatan.16 Sedangkan menurut Veronica, malpraktek medik adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis yang tidak sesuai dengan standar profesi medis dalam menjalankan profesinya.17 Banyak persoalan malpraktek, atas kesadaran hukum pasien diangkat menjadi masalah pidana. Menurut Maryanti, hal tersebut memberi kesan adanya kesadaran hukum masyarakat terhadap hak-hak kesehatannya.18 Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :19 1. Cara langsung oleh taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 d yakni : a. Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan: 1) Adanya indikasi medis 2) Bertindak secara hati-hati dan teliti 3) Bekerja sesuai standar profesi 4) Sudah ada informed consent. b. Dereliction of duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka 15
Ibid, hal 48 Hanafiah, M. Yusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Kedokteran EGC, 1999, hal 87 17 Isfandyarie,Anny, op.cit., hal 22 18 Ibid, hal 9 19 Oemar Seno Adji, Etika Professional Dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter “Profesi Dokter”, Jakarta: Erlangga, Cet. ke-4, 1991, hal, 59 16
Laksanto Utomo
dokter dapat dipersalahkan. c. Direct cause (penyebab langsung) d. Damage (kerugian) Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya, dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien). 2. Cara tidak langsung Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria: a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence. Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:20 1. Contractual liability Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai stan20
Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Bandung: Tarsito, Cet. ke-3, 1991, hal. 22.
171
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 165 - 179
dar profesi/standar pelayanan. 2. Vicarius liability Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya. 3. Liability in tort Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (hogeraad 31 januari 1919). Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa uu praktik kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke majelis disiplin kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke kuhp (kitab undang-undang hukum pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa gunanya? Di negara yang menganut sistem hukum anglo-saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi. Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan keseha172
tan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk undang-undang (UU) tentang malpraktik medik, sebagai pelengkap UU praktik kedokteran. Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang. Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu.21 1. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. 2. Franz magnis suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter singer, filusf kontemporer dari australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar. 3. Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat. 4. Bagi eksekutif puncak rumah sakit, eti21
Dewi Setyowati, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Dokter Dalam Transaksi Terapeutik, Surabaya: Srikandi, Cet. ke-1, 2007, hal. 44
Penyelesaian Malpraktek di Bidang Kedokteran Dalam ...
ka seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit. 5. Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu. Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak (breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 april 2004). Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan pe-er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU praktik kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU praktik kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien. Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan.
Laksanto Utomo
RUU praktek kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi. Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan hak, oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban). Sehubungan dengan hal ini, adami Maryanti22 juga menilai tidak semua malpraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu 1. Sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa). 2. Syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa str atau sip, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. 3. Syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (Pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsur tindak pidana. Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan pasal 360 (jika korban luka berat). Pada tindak pidana aborsi criminalis (pasal 347 dan 348 KUHP). Hampir tidak pernah jaksa mene22
Ninik Mariyanti, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata, Jakarta: Bina Aksara, Cet. ke-1, 1988, hal. 20
173
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 165 - 179
rapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP) untuk malpraktik medik. Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsur sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi. Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan. Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wanprestasi). Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana. Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana. Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam UU. Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsur pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang akibat yang timbul, dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian, luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsur tindak pidana. Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya. Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hu174
kum dikenal istilah res ipsa loquitur (the things speaks for itself), misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kesehatan. Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu: a. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri. b. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis. c. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang kuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya. d. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam. e. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi ke-
Penyelesaian Malpraktek di Bidang Kedokteran Dalam ...
pada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting. f. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent). Para dokter dianggap melakukan suatu kesalahan profesi (Malpraktek, beroesfout) apabila dalam menjalankan profesinya tidak memenuhi Standar Profesi Kedokteran, hal ini disebut juga “Kuntfout”. Sedangkan Standar Profesi Kedokteran menurut rumusan Leenen adalah sebagai berikut:23 1. Berbuat secara teliti/seksama (Zorvuildig handelen) dikaitkan dengan culpa/ kelalaian. Bila seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteh,” tidak teliti, tidak berhati-hati, maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia sangat tidak hati-hati ia memenuhi culpa lata. 2. Sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standaard). 3. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medik yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie). 4. Situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden). 5. Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional (azas proporsionalitas). (met middelen die in redelijke verhouding staan) dengan tujuan konkret tindakan/perbuatan tersebut (tot het concreet handelingsdoel). Di Belanda apabila ada dugaan Malpraktek yang dilakukan oleh dokter maka kelima unsur dari standar ini harus dipakai untuk menguji apakah suatu perbuatan medik merupakan Malpraktek atau tidak, hal tersebut juga dilakukan oleh Hakim di 23
Nonny Yogha Puspita, Tanggungjawab Hukum Dan Sanksi Bgi Dokter, Jilid I, Jakarta: Prestasi Pustaka, Cet. ke-2, 2006, hal. 66
Laksanto Utomo
Indonesia dalam menangani kasus dugaan Malpraktek selama ini. Dalam Hukum kedokteran dikenal adanya 4 (empat) unsur Malpraktek medik, yaitu: a. Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan; b. Adanya dereliction of that duty (penyimpangan kewajiban); c. Terjadinya damage (kerugian); d. Terbuktinya direct causal relationship (berkaitan langsung) antara pelanggaran kewajiban dengan kerugian. Apabila ada dugaan Malpraktek maka harus dapat dibuktikan adanya keempat unsur di atas yang dilakukan dokter dalam menangani pasien. Dalam pembuktian itu dipakai lima unsur standar profesi kedokteran yang dirumuskan Leenen. Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Azas ini merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya pasal 48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai berikut : 1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak harus normal. 2. Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). 3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau pemaaf. Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memorie van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui. Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang me175
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 165 - 179
lakukan pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Didalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter operator selalu menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak karena perintah Undang-Undang “si pembuat luka” dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap pembedahan, dokter operator haruslah berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak menimbulkan masalah kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa menutup. Bila ini terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan. Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan jahat dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan. Moeljatno24 menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja. Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum “malpraktek”. Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam menja24
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, Cet. ke-4, 1987.
176
lankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika kedokteran. Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan. Istilah hukum kedokteran mula-mula digunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan oleh World Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law. Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya
Penyelesaian Malpraktek di Bidang Kedokteran Dalam ...
hukum (legal culture) yang sesuai dengan sistem kesehatan nasional. Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan). Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3). Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non struktural yang keanggotaannya terdiri dari
Laksanto Utomo
unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien. D. Penutup Banyak tudingan yang dilemparkan masyarakat kepada profesi kedokteran dalam memberikan pelayanan medik, hendaknya profesi kedokteran tidak menanggapi secara emosional, tetapi perlu melakukan pendekatan pada para pihak yang merasa dirugikan kepentingannya oleh tindakan dokter tersebut. Dalam hal ini, masyarakat harus diyakinkan, bahwa hasil pengobatan terakhir yang dilakukan dokter yang berakibat menimbulkabn cacat, luka berat atau bahkan meninggal/kematian belum tentu kesalahan dokter, bila dokter dalam melakukan tindakan tersebut telah bertindak sesuai dengan standar pfofesi yang telah digariskan, yaitu bertindak dengan baik, hati-hati, teliti sesuai dengan pengetahuann, dan kemampuan rata-rata seorang dokter ahli yang dalam kondisi dan sarana yang seimbang. Dan harus diiingat bahwa ilmu kedokteran merupakan ilmu pengetahuan berdasar pada pengalaman “evidence” based dan bukan ilmu pasti, sehingga hasil akhir suatu pengobatan atau suatu tindakan medik tidak ada yang seratus persen pasti berhasil. Hasil akhir suatu pengobatan atau tindakan medik merupakan suatu “probabilitas”. Bila suatu “probabilitas” keberhasilan yang tinggi maka tindakan medik itu secara professional dapat dipertanggungjawabkan. Untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi keraguan pasien/masyarakat atas pelayanan yang akan dilakukan atau telah dilakukan dokter terhadap pasien, disarankan agar IDI sebagai organisasi induk para dokter mewajibkan kepada seluruh anggotanya secara profesional untuk meningkatkan kemampuan dalam 177
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 165 - 179
komunikasi, kemampuan memberikan informasi yang cukup jelas, sehingga pasien/keluarga cukup jelas dan mengerti informasi yang diberikan serta tindakan apa serta resikoresiko yang mungkin akan timbul atas tindakan dokter terhadap dirinya. Dengan demikian pasien/keluarga dapat memilih salah satu alternatif pengobatan dan membuat suatu keputusan yang tepat disamping itu, IDI perlu melakukan keorganisasi kesamping dengan organisasi profesi lain, para aparat penegak hukum secara contiu/periodic. Kasus malpraktik yang dilakukan oleh dokter semakin marak diketahui oleh masyarakat. Mungkin hal ini dikarenakan semakin mengertinya masyarakat tentang hukum. Akan tetapi pada kenyataannya hal ini tidak diimbangi dengan regulasi yang mengatur tentang perbuatan tersebut. Sehingga, banyak kasus malpraktik, khususnya yang menyebabkan kematian pasien hanya dituntut dengan pidana yang ringan (maksimal penjara lima tahun dan kurungan maksimal satu tahun-menurut pasal 359 KUHP) karena adanya unsur kelalaian dalam perbuatan tersebut. Proses peradilan pidana juga banyak dipengaruhi oleh sistem sosial masyarakat yang
memandang status dokter sebagai status yang tinggi dan beranggapan dokter tidak pernah salah. Selain itu, adanya solidaritas diantara para dokter dapat pula mengganggu pula proses pembuktian kasus ini. Dituntut dari para pengguna jasa dokter dan kalangan medis lainnya untuk lebih proaktif meminta informasi tentang segala hal berhubungan dengan penyakitnya, kapabilitas dokter dan perawatan yang akan didapatkan, serta menghindari sikap pasrah dan menyerahkan semua hal kepada dokter. Diharapkan kepada para dokter untuk lebih mengedepankan rasa kemanusiaan dan keinginan untuk menolong orang lain, daripada menangguk keuntungan atas ketidakmengertian orang, apalagi diatas penderitaan manusia lain. Perlu kerjasama antara Polri yang memiliki peran sebagai penegak hukum dengan MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) yang secara profesi berwenang menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi dan menetapkan sanksi.
Daftar Pustaka Abiding, Zamhari., Pengertian Dan Asas Hukum Pidana Dalam Schema (Bagan) Dan Synopsis (Catatan Singkat),Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Achadiat, Drisdiono M., Pernik-Pernik Hukum Kedokteran Melindungi Pasien Dan Dokter, Jakarta: Widya Medika, Cet. ke-1, 1996. Adji, Oemar Seno., Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga, Cet. ke-4, 1984. Amir, Amri., Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika, Cet. ke-1, 1997. Anwar Muhammad., Praktek Peradilan Pidana Di Indonesia,Jakarta: IND-HILL CO, Cet. ke-1, 1989. Arief, Barda Nawawi., Bunga Rampai hukum Pidana, Bandung: Alumni Bandung, Cet. ke-1, 1992. Dahlan, Irdan., Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Jakarta: Bina Aksara, Cet. ke-1, 1987. Fuady, Munir., Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter), Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet. ke-1, 2005. Gufron, Agus., Tanggungjawab Hukum Dan Sanksi Bagi Dokter Buku II, Jakarta: Prestasi Pustaka, Cet. ke-1, 2006. Guwandi, J., Malpraktik Medik, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1993. _________, Tindakan Medik Dan Tanggungjawab Produk Medik, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, Cet. ke-1, 1993. _________, Malpraktik Medik, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1993. _________, Kelalaian Medik (Medical Negligence),Jakarta: Balai Penerbit FKUI, Cet. ke-2, 1994. 178
Penyelesaian Malpraktek di Bidang Kedokteran Dalam ...
Laksanto Utomo
_________, Dokter, Pasien Dan Hukum, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Cet. ke-1, 2003. Hartanto, Huriawati., Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman, Jakarta: EGC, Cet. ke-1, 2007. Koeswadji., Hermien Hadiati, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak,Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet. ke-1, 1998. Moeljatno., Asas-asas Hukum Pidana,Jakarta: Bina Aksara, Cet. ke-4, 1987. _________., KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara, Cet. ke-24, 2005. Ranoemihardja, Atang., Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science),Bandung: Tarsito, Cet. ke3, 1991. Sani, Abdullah., Hakim Dan Keadilan Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-1, 1977. Seno Adji, Oemar., Etika Professional Dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter “Profesi Dokter”, Jakarta: Erlangga, Cet. ke-4, 1991. Setyowati, Dewi., Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Dokter Dalam Transaksi Terapeutik, Surabaya: Srikandi, Cet. ke-1, 2007. Soetomo, A., Hukum Acara Pidana Indonesia Dalam Praktik, Pustaka Kartini, Cet. ke-1, 1990. Sofyan., Ahmad., Malpraktik Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, Jakarta: Prestasi Pustaka, Cet. ke-1, 2005. Surjaman, Tjun., Pengantar Hukum Kesehatan, Bandung: Remaja Karya, Cet. ke-1, 1987. Sutarto, Suryono., Hukum Acara Pidana, Jilid II, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Cet. ke-2, 2004.
179
MINIMALISASI DISPARITAS PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI AJARAN DUALISTIS* Oleh : Sari Mandiana, SH. MS*)
Abstrak Menjatuhkan suatu pidana atau suatu tindakan, adalah suatu perbuatan yang diarahkan pada suatu tujuan. Dan ini adalah sangat penting sekali bagi hakim yang mengadili juga mengetahui tentang arti dari apa yang telah dilakukannya/diputuskannya. Arti pertanggungan jawab pidana disini adalah keputusan dalam apa yang harus dilakukan dalam keadaan konkrit terhadap pelaku delik. Suatu hukum pidana berdasarkan kesalahan hanya dapat diberi isinya oleh pertimbangan-pertimbangan berdasarkan tujuan kemanfaatannya. Hubungan antara tujuan dan keputusan untuk mewujudkan tujuan itu dengan suatu cara tertentu akan mendapatkan tempatnya yang lebih baik. Demikian, jika ada pelanggaran norma hukum (undang-undang) dan ada sanksinya, selalu akan ada pertanggungan jawab pidana. Pertanggungan jawab pidana dapat terjadi dalam bentuk penjatuhan sanksi berupa pidana mati, memenjarakan, menjatuhkan suatu denda, dan pelbagai bentuk-bentuk lainnya. Dasar bagi pertanggungan jawab pidana ini adalah kesalahan, yang hanya muncul / ada karena keharusan adanya suatu aksi yang harus dibenarkan pula. Ada suatu ikatan yang logis antara kesalahan dan apa yang menyusul kemudiannya. Kesalahan harus merupakan dasar, merupakan alasan, merupakan tujuan, merupakan ratio daripada sanksi yang harus dipertanggungjawabkan untuk dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Penerobosan harus dilaksanakan atas struktur tersebut dengan menegaskan bahwa menjatuhkan suatu pidana atau tindakan adalah suatu tindakan dengan mana Hakim mampu memberikan putusan yang rasional tentang kerangka/gambaran mengenai apakah selanjutnya yang akan terjadi dengan terhukum, dan kerangka ini dapat bersifat luas atau sempit. Disinilah diperlukan hakim yang harus benar-benar dengan tepat mengetahui keputusan yang bagaimanakah yang dihasilkannya dan manfaatnya bagi terpidana. Kata Kunci : Disparitas Pidana Abstract Dropping a criminal or an action, is an act that is directed to a destination. And this is very important for judges who adjudicate also know about the meaning of what he had done / he decided. Meaning criminal liability here is the decision of what to do in the concrete circumstances of the perpetrator of the offense. A criminal law based errors can only be given it by considerations based on the objective usefulness. The relationship between the objectives and the decision to achieve that goal in a certain way will get a better place. Thus, if there is a violation of legal norms (laws) and there are sanctions, there will always be criminal liability. Criminal liability may occur in the form of sanctions in the form of capital punishment, imprisonment, impose a fine, and various other forms. The basis for criminal liability this is a mistake, which only appear / exist because of the necessity of an action that must be justified anyway. There is a logical bond between the fault and what followed later. Mistakes should be a basic, is the reason, a purpose, a ratio rather than sanctions that must be accounted for to be used with the best. Tunneling be carried out on the structure by asserting that impose a criminal or action is an act by which the judge is able to give a rational decision on the frame / picture over whether that will happen next with the prisoner, and * *)
Makalah untuk diskusi panel para dekan pada forum PPTHI, Hotel Nagoya Plaza, 28-30 Januari 2014 Dosen Hukum Pidana F.H. UPH Surabaya
180
Mininalisasi Disparitas Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi ...
Sari Mandiana
this framework can be broad or narrow. Here we need judges who should really know exactly how the resulting decisions and their benefits for the convict. Keywords: Criminal Disparities A. Pendahuluan Tindak pidana korupsi di Indonesia pada dewasa ini perkembangannya sudah sangat sistemik dengan tidak hanya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara tetapi juga telah merampas hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas. Dampaknya, sangat besar dan luas mulai dari kerugian keuangan yang diderita oleh negara sampai pada fenomena meluasnya kemiskinan di dalam masyarakat. Korupsi di Indonesia terindikasi terjadi di semua lembaga penyelenggara negara, dari korupsi kecil-kecilan hingga mega korupsi yang dilakukan oleh PNS, Gubernur, Bupati/ Wali Kota, Kepala Dinas, Camat, Kepala Desa, DPRD, Perbankan, Koperasi, KPU, LSM, dan Swasta, dengan penyebaran secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Hasil penelitian tingkat korupsi negaranegara di Dunia maupun Regional Asia, menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia sangat tinggi. Sesuai dengan tingkat pemeriksaan di Mahkamah Agung, Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat TPK) dalam tahun 2009 diputus sebanyak 953 perkara, tahun 2010 diputus sejumlah 1053, dan dalam tahun 2011 diputus sebanyak 1127 perkara. Data tersebut menunjukkan TPK semakin tahun semakin meningkat, sekaligus merefleksikan Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia tidak memuaskan atau gagal dalam melakukan upaya preventip maupun represip. Mengapa hal ini sampai terjadi berlaru-larut? Adakah ketidaktepatan dalam mengimplementasikan UUTPK yang sudah 5 (lima) kali disempurnakan. Istilah korupsi mempunyai defenisi sangat luas, seperti dalam beberapa literatur antara lain Andi Hamzah mengistilahkan korupsi yang berasal dari kata “corruption” atau “corruptus” yang secara harviah berarti kebusu-
kan, keburukan, ketidakjujuran, dan tidak bermoral”.1 Korupsi menurut ketentuan Undang-undang, secara legal defenition of crime mengarahkan bentuk labelisasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana korupsi dengan mengedepankan filosofi atau the aims of the legislation sebagaimana tertuang didalam konsideran butir a dan b dengan mengedepankan “.... sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ....” Pengertian “ keuangan negara” di dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK) tidak satupun kaidah hukumnya mengatur masalah keuangan negara. Padahal kepentingan hukum utama / bestanddeel delict yang harus dilindungi justru “merugikan keuangan negara”. Makna dari “keuangan negara” hanya ditemukan dalam Penjelasan Umum dari UU PTPK sebagai berikut: Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milih Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ke tiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang di1
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hlm 5
181
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 180 - 188
maksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah , baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Undang-undang lain yang secara khusus mengatur “keuangan negara” ditemukan pula dalam Undang-undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelola dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Banyaknya hukum positip yang mengatur “keuangan negara” kerapkali menimbulkan kebingungan bahkan disalahgunakan dalam penanganan tindak pidana korupsi pada tataran praksis dalam peradilan pidana. Tak pelak lagi, dengan menemukan dan mempelajari kelemahan hukum, dilakukan konspiransi untuk tujuan kepentingan ekonomi tertentu yang berakhir dengan “korupsi”. Belum lagi kasus-kasus korupsi yang berlanjut ke persidangan berakhir dengan putusan hakim yang sangat bertentangan dengan rasa keadilan bagi masyarakat dan negara. Dikatakan demikian karena sanksi pidana yang dijatuhkan dalam hal ini pengembalian kerugian keuangan negara maupun perampasan harta kekayaan hasil korupsi sering tidak memadai dengan realita kerugian negara. Contoh kasus, putusan Pengadilan TIPIKOR dalam kasus Angelina Sondakh, kasus Nasaruddin dan lainnya. Munculnya disparitas pidana yang tidak didasarkan pada “reasonable” menambah terpuruknya pemberantasan tindak pidana korupsi yang menimbulkan ketidak percayaan, ketidakpuasan, ketidakadilan, dan kebencian masyarakat terhadap sistem khususnya lembaga pengadilan. 182
Di sisi lain, para terpidana akan membandingkan sanksi pidana yang diterapkan dengan terpidana lainnya, dan merasa bahwa dirinya menjadi korban “the judicial caprice” dengan konsekuensi tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum merupakan salah satu target didalam tujuan pemidanaan. Contoh realita, terjadinya pemberontakan, pembakaran dan perusakan di beberapa lembaga pemasyarakatan oleh para terpidana karena ketidakadilan dan ketidapuasan. Keadilan di sini lebih banyak didekati dari perspektif prosedural bukan keadilan substansial. B. Rumusan Masalah Atas dasar pemikiran-pemikiran tersebut diatas, paper ini membahas “Filosofi Pertanggungan Jawab Pidana dan Hakekat serta Tujuan Sanksi/Pidana. C. Konsepsi Pertanggungan Jawab Pidana Satu hal yang perlu mendapat pemikiran adalah pendapat dari Alf Ross, yang mengemukakan pendapatnya tentang apakah yang dimaksud dengan seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya. Selanjutnya lebih jauh dikemukakan bahwa pertanggungan jawab itu dinyatakan sebagai “adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat hukum yang disyaratkan. Hubungan antara keduanya ini tidak bersifat kodrat atau tidak bersifat kausal, melainkan diadakan oleh aturan hukum. Jadi pertanggungan jawab itu adalah pernyataan dari suatu keputusan hukum”.2 Memang banyak penulis yang membicarakan tentang syarat-syarat dari mampu bertanggung jawab atau tidak mampu bertanggung jawab dengan syarat utamanya adalah ”telah melakukan suatu perbuatan pidana”. Siapakah yang bertanggung jawab atas dilakukannya perbuatan pidana itu?. Pada umumnya tentu orang yang dituduh/disangka telah melakukan perbuatan yang dilarang itu. Pada 2
Alf Ross, On Guilt, Responsibility, and Punishment, London, 1975, disadur oleh Roeslan Saleh dalam Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungan jawab Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 33 - 38.
Mininalisasi Disparitas Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi ...
umumnya seseorang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya sendiri. Ilmu hukum pidana telah berkembang dalam hal ini dikenal ajaran: Vicarious Responsibility, Collective Responsibility, yang kesemuanya aturan undang-undanglah yang menetapkan siapa-siapakah yang dipandang sebagai pembuat yang bertanggungjawab. Hal pertanggungan jawab pidana seperti dikemukakan di atas tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) maupun undang-undang pidana khusus lainnya. Perlu pemikiran bahwa satu kali telah ditegaskan bahwa seseorang adalah harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang terjadi, maka langkah selanjutnya adalah menegaskan apakah ia juga memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk pertanggungan jawab itu. Menurut pandangan-pandangan konvensional, di samping syarat-syarat obyektif dalam melakukan perbuatan pidana, harus dipenuhi pula syarat-syarat subyektif atau syaratsyarat mental/moral untuk dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhkannya pidana padanya. Syarat subyektif ini disebut ”Kesalahan”. Perbuatan pidana, kesalahan, pertanggungan jawab dan pidana adalah ungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari tentang moral, dan hukum (pidana). Empat unsur itu berkaitan satu dengan yang lain, dan berakar dalam satu keadaan yang sama, yaitu adanya pelanggaran terhadap suatu sistem aturan-aturan yang bersifat luas dan beraneka macam antara lain hukum pidana. Kesamaannya adalah bahwa kesemuanya itu merupakan suatu rangkaian aturan tentang tingkah laku yang diikuti secara ajeg dan merupakan suatu sistem. Jadi sistem yang melahirkan konsepsi perbuatan pidana, kesalahan, pertanggungan jawab dan pemidanaan, yang dikenal dengan sistem normatif. Berpangkal tolak dari sistem normatip yang melahirkan konsepsi perbuatan pidana, kesalahan, pertanggungan jawab dan pemidanaan itu, perlu dipertanyakan ”apakah yang dimaksud dengan bertanggung jawab atas dilakukannya perbuatan pidana?. Bukankah bertanggung jawab atas suatu perbuatan pidana
Sari Mandiana
berarti yang bersangkutan secara sah menurut hukum dapat dikenai pidana karena perbuatan itu, demikian makna asas ”Geen Straf Zonder Schuld”. Secara singkat dapat dikatakan bahwa tindakan itu dibenarkan oleh sistem hukum tersebut, inilah dasar konsepsinya. Lebih jauh dapat dilihat dalam hukum acara pidana, jika jaksa dalam tuntutannya menghubungkan kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat yang dalam hal ini adalah ”perbuatan pidana” dengan akibat-akibat hukum yang disyaratkan yang dalam hal ini adalah “kesalahan”, dan meminta pertanggungan jawab tertuduh, maka pada tingkat ini pertanggungan jawab adalah suatu tuntutan. Selanjutnya, jika hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, menghubungkan kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dengan akibat-akibat hukum yang disyaratkan, kemudian menyatakan bahwa terdakwa bertanggung jawab atas perbuatan pidana itu, di sini pertanggungan jawab adalah suatu statement. Disini sebenarnya terjadi aktivitas mengkaitkan unsur-unsur perbuatan pidana dan unsur-unsur kesalahan sebagai kenyataankenyataan yang menjadi syarat dengan akibat hukum yang disyaratkan secara normatip, yakni macam/jenis pidana yang dijatuhkan. Sadarlah kita bahwa sebenarnya, sejak kesalahan dihubungkan dengan pertanggungan jawab, sebenarnya kesalahan tidak lain hanyalah suatu pengertian ”instrumental”. Dikatakan demikian karena pengertian ”kesalahan” tidak dikaitkan dengan tindak lanjut yang diadakan karena adanya kesalahan yakni pidana. Kesalahan disini tidak lebih dan tidak kurang daripada dasar-dasar pembenaran criminal policy dari aksi selanjutnya yakni sanksi pidana yang diterapkan. Atas dasar pemikiran dan orientasi sebagaimana dikemukakan di atas perlu ditelusuri ”Fungsi dari pernyataan bersalah yang tidak dapat dilihat terlepas dari pertanggungan jawab serta tujuan daripada penerapan macam/ jenis pidana”.
183
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 180 - 188
D. Ajaran Monolistis dan Ajaran Dualistis Pertanggungan Jawab Pidana Ajaran klasik monolistis yang memandang pelaku perbuatan pidana dan perbuatan pidana sebagai unsur tindak pidana dimana kesalahan hanya dipandang sebagai keadaan psikologi pelaku pada waktu mewujudkan tindak pidana. Sedangkan pemidanaan secara absolut diserahkan kepada hakim. Pola unsur-unsur tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1) pelaku; 2) secara melawan hukum; 3) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 4) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pola penerapan unsir-unsur tersebut menunjukkan bahwa pelaku yang memiliki unsur salah (schuld) dan perilaku yang dilarang, sama-sama merupakan unsur tindak pidana. Apabila tidak ditemukannya alasan pembenar yang terkait dengan perbuatan pidana dan alasan pemaaf yang terkait dengan kesalahan pelaku, maka terdakwa harus dinyatakan terbukti bersalah dan karenanya dijatuhi pidana. Sedangkan penjatuhan sanksi/pidana dengan keberadaan kesalahan tadi yang berlandaskan “Geen Straf Zonder Schuld” merupakan kebebasan absolut hakim yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, yang melahirkan “disparitas pidana” .Ajaran ini dianut secara umum di Indonesia dan dipelopori oleh Simon, van Hamel yang diikuti oleh Moeljatno bahwa “Onrechtmatigheid atau wederrechtelijkheid dan schuld dipandang sebagai unsurunsur straftbaar feit” Dipertegas oleh Moeljatno, kesalahan adalah adanya keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tertentu dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Selanjutnya, di samping itu jangan dilupakan bahwa semua unsur-unsur keasalahan tadi harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan. Dengan demikian ternyata bahwa untuk adanya kesalahan, terdakwa harus: a) melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum); b) di atas umur tertentu mampu bertanggung 184
jawab; c) mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan; d) tidak adanya alasan pemaaf.3 Berbeda dengan ajaran dualistis yang lebih condong memperhatikan tujuan dan hakekat pidana itu sendiri sebagai akibat resiko yang telah diputuskan oleh pelaku/dader. Dalam ajaran pandangan dualistis, yang pertama kali dianut oleh Herman Kontorowicz : ....beliau menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang ketika itu berkuasa, yang oleh beliau dinamakan “obyektive schuld, oleh karena kesalahan di situ dipandang sebagai sifat daripada kelakuan (merkmal der handlung). Untuk adanya “strafvoraussetzungen” (syarat-syarat penjatuhan pidana) terhadap pembuat (handelnde) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya “strafbare handlung” (perbuatan pidana), lalu sesudahnya itu dibuktikan schuld atau kesalahan subyektif pembuat (handelnde).4 Ajaran /pandangan dualistik tersebut di atas justru tidak memisahkan antara tindak pidana korupsi sebagai handlung yang dinamakan segi obyektif dalam arti ada hal yang mencocoki rumusan undang-undang dan tidak adanya alasan pembenar; dengan handelnde yang dinamakan segi subyektif meliputi keberadaan schuld dan tidak adanya alasan pemaaf. Kedua segi tersebut harus dipandang sebagai kesatuan, tidak hanya berdampingan sematamata, bahkan yang satu merupakan syarat bagi yang lainnya. Yang menjadi syarat adalah handlung yang merupakan “das kriminelle unrecht”; sedangkan yang disyaratkan adalah segi schuld. Oleh karena adanya schuld baru setelah adanya “das kriminelle unrecht atau sifat melawan hukumnya perbuatan, dan tak mungkin ada schuld tanpa adanya “das kriminelle unrecht”. Sebaliknya dari segi handelnde juga menjadi syarat bagi handlung yang subyektif, oleh karena meskipun orang dipidana karena perbuatan yang dilakukannya, tetapi tidak 3
Moeljatno, Azaz-Azaz Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Jokyakarta, h. 107 s.d 111. 4 Ibid, h. 63-65.
Mininalisasi Disparitas Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi ...
mungkin tanpa adanya syarat bahwa orang tadi mempunyai kesalahan dan tidak adanya alasan pemaaf.5 Ajaran dualistis Kantorowics menunjukkan dimana antara perbuatan pidana dan pertanggungan jawab pidana dari pelaku (handelnde) ada hubungan yang erat sekali seperti halnya perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan. Kesalahan di sini tidak mungkin dipisahkan dari perbuatan pidana dan pertanggungan jawab pidana. Dikatakan bahwa kesalahan dalam hal ini merupakan instrumental dari criminal policy, yang merupakan syarat mutlak bagi adanya pertanggungjawaban pidana/kesalahan yang berupa penerapan sanksi pidana bagi pelaku. Kesatuan antara perbuatan pidana, pertanggungan jawab pidana serta kesalahan merupakan syarat bagi penerapan sanksi/pidana di tahap berikutnya. Perkataan kesalahan/pertanggungan jawab pidana disini tidaklah dapat disamakan dengan opzet dan culpa dalam arti kesalahan/ pertanggungjawaban pidana sebagaimana diartikan dalam asas“geen straf zonder schuld”. Pertanggungan jawab pidana atau kesalahan subyektif di sini merupakan hubungan antara keadaan batin dengan perbuatan yang merupakan tindak pidana, faham ini dinamakan “psychologis schuldbegrijp”. Jelasnya diartikan sebagai keadaan psikhis pelaku yang memungkinkan pelaku dapat menilai akan arti tindakannya, hingga karena keadaan itulah tindakannya dapat dipersalahkan kepadanya yang dalam bahasa belanda disebut “toerekeningsvatbaarheid”. Selanjutnya oleh van Hamel diartikan “een staat van psychishe normaliteit en rijpheid welke drie erleigeschiktheid medebrengt” atau suatu keadaan yang normal dan suatu kedewasaan secara praktis yang membuat orang itu mempunyai 3 (tiga) macam kemampuan, yakni: 1. mampu untuk mengerti akan maksud yang sebenarnya dari apa yang ia lakukan; 5
Moelyatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan jawab dalam Hukum Pidana, Fak. Hukum Gajah Mada, Jogyakarta, 1969, h. 17 - 20.
Sari Mandiana
2. mampu untuk menyadari bahwa tindakannya itu dapat atau tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat; 3. mampu untuk mementukan kehendak terhadap apa yang ingin dilakukan.6 Saat ini teori ini di Belanda dikembangkan, dimana Ferry de Jong mengemukakan The intent element of an offence is described as an element that shows a twofolt bivalence. It is exactly on the basis of this twofold bivalence that the concept of intent in criminal law is to be regarded as a pivoting point between the factual, intersubjective and pre legal social world, on the one hand, and the normative, dogmatic world of criminal law, on the other. In view of this it is argued that a quantitative meaning is to be attributed to the partial criterion of the considerable chance.7 Dalam ajaran dualistis jelas tidak memi6
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, h. 379 – 280. 7 Ferry de Jong, Daad-Schuld ,G.J. Wiarda Instituut, Utrechts Instituut voor rechtswetenschappelijk Onderzoek, Utrecht, NUR 824, p.445. Zie uitvoerig Ricoeur 1992, p.56-87. De door normativering gebonden descriptieve weergave grijpt aan op de objectieve betekenis van de gedraging, oftewel: De daderextrinsieke betekensis die in het maatschappelijk verkeer aan de gedraging wordt toegeschreven. Normativering abstraheert van de subjectieve inzichten en bedoelingen van de handelende persoon wiens verrichting voorwerp is van de interpretatie. In de mate waarin een gedraging door een interpretator wordt geobjectiveerd of genormativeerd, in die zelfde mate wordt het subject gereduceerd tot degene over wie men het heft en aan wie de geinterpreteerde gedraging tenslotte wordt toegeschreven of geascribeerd. In het strafrecht kan men zich echter met een objectieve beschrijving van een gedraging alleen niet tevreden stellen. De juridische toerekening (imputatie) van een gedraging aan haar auteur stekt verder dan de loutere toewijzing van een intersubjectieve betekenis aan die gedraging : toerekenen is immers verantwoordelijkheid toeschrijven. Deze normatieve strafrechtelijke operatie veronderstelt dat handelend subject in de juridiesche betekenisverlening wordt betrokken. Dit subject kan niet enkel fungeren als degene over wie men het heft wanneer men de door dit subject verrichte gedraging interpreter met het oog op de beantwoording van de vraag op dat subject eventueel voor bestraffing door de overhead in aanmerking kan komen.
185
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 180 - 188
sahkan antara tindak pidana (korupsi) dan pertanggungan jawab pidana/toerekeningsvatbaarheid secara tersendiri di satu sisi, sedangkan pertanggungjawaban pidana/kesalahan sebagai akibat keberadaan “toerekeningsvaatbarheid” di sisi lain dilandasi oleh asas “Geen Straf Zonder Schuld”, kemudian diikuti dengan penjatuhan sanksi/pidana. Pelaku disini bukan unsur tindak pidana, melainkan sebagai unsur dari pertanggungjawaban pidana/kesalahan. Kesalahan dalam arti ini adalah sebagai penentu berat/ringannya pidana yang akan dijatuhkan oleh hakim yang didasarkan pada tindakan tercela atau actus reus, toerekeningsvaatbarheid dan kesalahan/ pertanggungjawaban pidana atau mens rea. Oleh sebab itu dalam menjabarkan unsur-unsur tindak pidana korupsi seperti halnya pasal 2 ayat (1) UUTPK seharusnya adalah sebagai berikut: 1) secara melawan hukum; 2) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, 4) oleh pelaku yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvaatbarheid). Filosofi hakekat dan tujuan pidana/sanksi justru disini bersifat ekstensip dalam mewujudkan ragam/jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada dader. Dikatakan demikian karena kehidupan hukum (rechtsleven) menunjukkan bahwa, setiap kaidah hukum itu bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. Jadi kaidah hukum memerlukan terjadinya peristiwa konkrit; das sollen memerlukan das sein. Peristiwa konkrit merupakan aktivitor yang diperlukan untuk dapat membuat aktif kaidah hukum. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim yang diberi tugas melaksanakan hukum (das sollen) terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit (das sein), sekaligus juga penciptaan dan pembentukan hukum baru. Disinilah hakim dituntut melakukan pembentukan hukum dengan memahami makna ontologi dan axiologi sanksi/pidana pada tindak pidana korupsi.. Penegakan hukum memiliki tiga unsur 186
yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechtsszicherkeit), keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan hukum (zweckmassigkeit) termasuk kemanfaatan daripada sanksi itu sendiri. Hukum tanpa keadilan adalah sia-sia dan hukum tanpa tujuan/manfaat juga tidak dapar diandalkan. Suatu hukum yang baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang yang diaturnya.8 Dalam konsepsi keadilan , banyak istilah yang digunakan untuk menerangkan pelbagai konteks pengertian yang dikandungnya. Dalam bidang hukum, bisa digunakan istilah-istilah keadaan substantif versus keadilan prosedural untuk menggambarkan dalam keadilan itu ada masalah isi atau essensi dan ada pula masalah prosesnya atau prosedur untuk mewujudkannya. Kedua-duanya sama-sama penting untuk terwujudnya keadilan dalam kenyataan. Menurut John Rawls terdapat dua prinsip keadilan, yaitu: “ first, each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others; second, social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be to everyones‟s advented, and (b) attached to positions and offices open all”.9 Ini berarti keadilan tidak hanya berdasarkan pada kehendak hakim, atau keadilan hanya ditujukan kepada terdakwa, melainkan harus dirasakan oleh masyarakat, termasuk korban kejahatan korupsi dalam hal ini adalah Negara dan masyarakat. Dalam system pidana konvensional dengan ajaran monolistisnya, saat ini mengarah pada pendekatan ”retributive justice system” . Kata retribution didefenisikan “as administering criminals their ”just deserts” for their crimes. Follows a “consequentalist” theory formed on the belief that criminals will be deterred from committing subsequent crimes
8
Sudikno Merthokusumo dan A Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, 1993;h.1-6 9 John Rawls, A Theory of Justice, Harvard University Press, Masacusetts, 1971, h. 60.
Mininalisasi Disparitas Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi ...
by the punishment imposed on them”.10 Pengertian retribusi itu sendiri telah memicu isu-isu bermasalah dibidang politik dan tingkat praktis. Keadilan retributif telah menciptakan siklus yang tidak pernah berakhirnya kemarahan dan balas dendam, dan yang paling penting adalah para korban dan kebutuhannya sering dan sebagain besar telah diabaikan oleh system pidana yang didasarkan pada pendekatan retributif.. Pengertian korban tindak pidana korupsi dalam hal ini adalah Negara dan masyarakat secara keseluruhan seperti yang tersurat dan tersirat dalam filosofi UUTPK yakni konsideran butir a UUTPK “bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat secara luas”. Di sinilah ironinya, mulai muncul dan menimbulkan persoalan pemberantasan korupsi yang mengalami hambatan yang serius dalam penaggulangannya. Pemerintah mengalami banyak kegagalan dalam menghukum para koruptor dengan sistem/pendekatan keadilan retributif. Harus diakui bahwa masalah dan persoalan di atas, terletak pada ranah ilmu dan teori, yang pada akhirnya turut menentukan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi menurut ragam sanksi pidana yang tepat. E. Kesimpulan Ajaran dualistis berbeda dengan ajaran monolistis yang dikenal dalam sistem penjatuhan sanksi pidana konvensional. Dikatakan demikian karena ajaran dualistis dalam beberapa hal melihat kejahatan secara komprehensip. Tidak saja mendefenisikan kejahatan sebagai pelanggaran hukum semata. Namun memahami bahwa kesalahan tidak boleh dilihat terlepas dari tujuan dan kemungkinan diterapkannya pidana/sanksi sebagai realitas keberadaan pertanggungan jawab pidana . Dalam hal ini ”kesalahan” menjadi pusat dari kesemuanya itu, dikatakan demikian karena pada saat dipersidangan hakim menganggap 10
D. Lee Christopher, Restorative Justice insteasd of Restorative Process, 30 Saint Louis University Public Law Review Journal 527 (2011).
Sari Mandiana
ada kesalahan pada pelaku atas kejadian-kejadian tertentu. Apakah alasannya serta apakah alasan penerapan pidana itu tepat; sangat terkait dengan pidana yang merupakan suatu keadaan menyusul setelah hakim menyatakan kesalahan itu. Seharusnya pidana tersebut tidak dilihat hanya sebagai suatu akibat, melainkan harus dilihat sebagai alasan sebenarnya daripada pidana yang dipilih tersebut termasuk tujuan menegaskan kesalahan tadi. Kesalahan di sini dilihat sebagai suatu kaitan antara hukum pidana di satu pihak dan realitas pidana (straf) serta tindakan-tindakan (maatregel) di lain pihak. Hubungan ini adalah demikian rupa, sehingga keharusan dan kemungkinan dari pidana serta tindakan-tindakan lainnya itu berfungsi sebagai sesuatu yang menentukan bagi kesalahan, dengan maksud adanya hubungan dengan pidana maupun tindakan yang bersifat memperbaiki terpidana. Menjatuhkan suatu pidana atau suatu tindakan, adalah suatu perbuatan yang diarahkan pada suatu tujuan. Dan ini adalah sangat penting sekali bagi hakim yang mengadili juga mengetahui tentang arti dari apa yang telah dilakukannya/diputuskannya. Jadi arti pertanggungan jawab pidana disini adalah keputusan dalam apa yang harus dilakukan dalam keadaan konkrit terhadap pelaku delik. Disini perlu penegasan bahwa suatu hukum pidana berdasarkan kesalahan hanya dapat diberi isinya oleh pertimbangan-pertimbangan berdasarkan tujuan kemanfaatannya. Hubungan antara tujuan dan keputusan untuk mewujudkan tujuan itu dengan suatu cara tertentu akan mendapatkan tempatnya yang lebih baik. Demikian, jika ada pelanggaran norma hukum (undang-undang) dan ada sanksinya, selalu akan ada pertanggungan jawab pidana. Pertanggungan jawab pidana dapat terjadi dalam bentuk penjatuhan sanksi berupa pidana mati, memenjarakan, menjatuhkan suatu denda, dan pelbagai bentuk-bentuk lainnya. Dasar bagi pertanggungan jawab pidana ini adalah kesalahan, yang hanya muncul / ada karena keharusan adanya suatu aksi yang harus dibenarkan pula. Uraian di atas mengemukakan bahwa ada suatu ikatan yang logis antara kesalahan 187
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 180 - 188
dan apa yang menyusul kemudiannya. Kesalahan harus merupakan dasar, merupakan alasan, merupakan tujuan, merupakan ratio daripada sanksi yang harus dipertanggungjawabkan untuk dapat digunakan dengan sebaikbaiknya. Mengenai cara-cara bagaimanakah tujuan-tujuan itu dapat diwujudkan, disinilah Hakim harus menilainya dengan baik dalam kejadian-kejadian manakah diperlukan pidana penjara atau pidana lainnya. Hakim harus mengetahui apa yang dilakukannya, apa yang diharapkannya dari tindakannya/putusannya itu. Harus diakui bahwa peradilan pidana masih merupakan struktur yang tertutup atau berada dalam suasana normatif dengan formalitas-formalitasnya.
Penerobosan harus dilaksanakan atas struktur tersebut dengan menegaskan bahwa menjatuhkan suatu pidana atau tindakan adalah suatu tindakan dengan mana Hakim mampu memberikan putusan yang rasional tentang kerangka/ gambaran mengenai apakah selanjutnya yang akan terjadi dengan terhukum, dan kerangka ini dapat bersifat luas atau sempit. Disinilah diperlukan hakim yang harus benar-benar dengan tepat mengetahui keputusan yang bagaimanakah yang dihasilkannya dan manfaatnya bagi terpidana. Bukankah suatu pidana memiliki ciri-ciri; strafmaat, strafsoort, dan strafmodus, perubahan atas suatu eksekusi dapat merubah tentang ciri dari sanksi maupun perubahan dari ukuran atau jenisnya.
Daftar Pustaka D. Schaffmeister, Nico Keijzer, CS, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar baru, Bandung, 1984 L.H.C. Hulsman, Selamat Tinggal Hukum Pidana Menuju Swa-Regulasi, Forum Studi Hukum Pidana, Surakarta, 1986 M.Roeslan, Beberapa Asas-Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Akasara Baru, Jakarta, 1981 ---------, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungan Jawab Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982 Moeljatno, Perbuatan Pudana dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Pidana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1968 , Fakultas Hukum ---------, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008 Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Genta, Jakarta, 2008 Syarifudin, Agus Syahbani CS, Benag Kusut Peradilan Korupsi Perbankan, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Jakarta, 2006 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta, Yokyakarta, 2009
188
IMPLEMENTASI DESENTRALISASI KEWENANGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR DI KALIMANTAN BARAT Oleh : Hj. Yenny AS, SH, MH*)
Abstract Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak dapat dilepaskan dari dinamika otonomi daerah Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Faktor belum menguatnya implementasi desentralisasi kewenangan pengelolaan wilayah pesisir tersebut masih terdapatnya dissinkronisasi dari regulasi dan kebijakaan yang ada serta Masih rendahnya daya akomodasi dan responsitas basis kultural akibat semangat kebijakan dan regulasi yang yang berkarakter sentralistik, sehingga compatible dengan signifikansi kearifan lokal masyarakatnya. Upaya mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan dan kelembagaan di Kalimantan Barat diharapkan Pemerintahan pusat semestinya dapat konsisten meninggalkan keengganan untuk membagi kewenangan dengan pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan menghargai semangat desentralisasi. Sebagai upaya mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan dan kelembagaan, maka perlu dibangun pola pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Kata Kunci : Desentralisasi Kewenangan Abstract Regional development as an integral part of national development can not be separated from the dynamics of regional autonomy as an autonomous region, the area has the authority and responsibility of organizing the interests of society based on the principles of openness, participation and accountability to the public. Factors strengthening the implementation of decentralization has not the authority to manage the coastal areas still have a dissinkronisasi of existing regulation and kebijakaan and still low power responsitas accommodation and cultural basis due to the spirit of the policies and regulations that are characterized by a centralized, making it compatible with the significance of local knowledge society. Efforts to achieve decentralization of authority in the field of coastal management that can accommodate a balance of interests and institutions in West Kalimantan is expected central government should be able to consistently leave a reluctance to share authority with the local government and improve the framework and process to respect the spirit of the decentralization policy. In an effort to realize the decentralization of authority in the field of coastal management that can accommodate the interests and institutional balance, it is necessary to build a pattern-based approach to coastal resource management community. Keywords: Decentralization Authority
*)
Dosen Fakultas Hukum Univ. Panca Bhakti Pontianak
189
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 189 - 204
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak dapat dilepaskan dari dinamika otonomi daerah Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah tersebut diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah. Secara umum, pemberian otonomi kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejalan dengan itu, maka pemerintah mengesahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, dan telah diganti dengan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Secara normatif dalam Undang-undang tersebut, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam seluruh bidang pemerintahan. Realitas dari penyelenggaraan otonomi daerah, ternyata dalam implementasinya sering melupakan hakekat dari otonomi itu sendiri. Jiwa atau semangat otonomi undang-undang pemerintahan daerah tersebut diatas, adalah kewenangan kesatuan masyarakat hukum di daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Riset ini, hendak mengkaji persoalan yang terkait dengan implementasi desentralisasi kewenangan dalam pengelolaan sumber daya pesisir di Kalimantan Barat. Mengingat selama ini praktek yang terjadi, potensi akan kekayaan sumber daya alam yang melimpah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kalimantan Barat, ternyata belum dapat mendatang 190
kemakmuran dan kesejahtaeraan masyarakat sekitarnya ---balutan kemiskinan, infrastruktur yang tidak memadai, fasilitas dan anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik yang sangat minim yang sering mereka terima---. Disisi lain, kekayaan yang melimpah tersebut, mendorong timbulnya persaingan yang bersifat destruktif dan eksploitatif antar daerah yang memiliki wilayah pesisir. Masingmasing daerah, berupaya mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir secara berkelebihan, tanpa memperhatikan ekosistem dan keberlanjutannya. Akibatnya terjadilah degradasi hutan mangrove, rusaknya terumbu karang, merosotnya kualitas taman bawah laut, tangkap ikan lebih (overfishing) dan ilegal penangkapan (penggunaan trawl yang merusak peralatan nelayan kecil) yang akhirnya bermuara pada satu titik “persaingan” antar nelayan besar dan nelayan kecil, dan disisi lain secara massif telah terjadi erosi pantai dan meluasnya sedimentasi serta intrusi air laut ke persawahan pasang surut yang meluas dbeberapa daerah, hampir dapat ditemui diwilayah pesisir Kalimantan Barat. Meskipun telah diterbitkan UU tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang secara spesifik mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, ternyata belum dapat menghadirkan pengelolaan wilayah pesisir secara memadai dan optimal. Praktek egosektoral dan perebutan klaim kewenangan serta benturan kepentingan secara tidak proporsional, kerap terjadi antara departemen satu dengan departemen lainnya, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama apabila didalam kesatuan ruang terdapat lebih dari satu jenis sumber kekayaan alam. Padahal dan semestinya, kewenangan sektoral tidak perlu menimbulkan permasalahan, apalagi sampai menimbulkan konflik kepentingan dan kelembagaan. Jenis-jenis kegiatan setiap sektor sudah ditetapkan batasannya oleh peraturan perundangan tentang pembentukannya, termasuk batas-batas wilayah yurisdiksi untuk pelaksanaan tugasnya yang meliputi seluruh wilayah negara. Oleh karena itu
Implementasi Desentralisasi Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber Daya ...
kewenangan dan klaim teritorial secara eksklusif yang dilakukan oleh sektor-sektor tertentu dapat dipastikan akan melampaui wewenang yang telah diserahkan kepadanya. Demikian pula klaim fungsional maupun administratif tidak perlu dilakukan secara unilateral, karena akan mengacaukan prinsip-prinsip pembagian kerja setiap sektor. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa wewenang setiap sektor merupakan visualisasi dari kewenangan negara sebagai satu kesatuan otoritas. B. Permasalahan Permasalahan yang dianggap signifikan untuk diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengimplementasian pelaksanaan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat? 2. Mengapa terjadi konflik kepentingan dan kelembagaan dalam mengimplementasikan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat ? 3. Bagaimanakah mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan dan kelembagaan di Kalimantan Barat? II. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, pilihan metode secara sosio-legal dianggap tepat, yakni dilakukan dengan menggunakan pendekatan normatif kritikal dan empirisrne kualitatif di dalam satu penelitian/kajian. Dengan demikian kajian hukum, tidak terkungkung menjadi penelitian dogmatis sekaligus juga tidak liar menjadi penelitian non-hukum. Penggunaan sekaligus dua pendekatan tersebut ditujukan untuk menjawab persoalan-persoalan hukum supaya hukum benar-benar hadir untuk mendatangkan keadilan bagi semua kalangan, terutama bagi kalangan marjinal yang realitasnya sering diabaikan dalam studi hukum normatif Penelitian ini mengambil lokasi di Wilayah Kalimantan Barat dengan focus pada wilayah Kabupaten Sambas, Kota Singkawang,
Yenny AS
Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya dengan pertimbangan pada wilayah tersebut merupakan wilayah pesisir dan Peneliti relatif lebih mengenal dan dekat dengan lingkungan komunitas sasaran penelitian, sehingga keadaan ini akan memudahkan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian lapangan, karena halangan-halangan, seperti: transportasi, diskusi, perijinan dan birokrasi relatif mudah untuk di atasi Metode Sampling yang dipergunakan adalah purposive sampling yaitu penarikan sampel bertujuan, karena sampel yang diperlukan dalam penelitian ini harus memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan penelitian. Berdasarkan tehnik sampling di atas, maka sistem pilihan sampel yang paling urgen untuk dipergunakan adalah Snow ball sampling yaitu memilih (menentukan) salah satu sampel sebagai informan awal selanjutnya terus menggelinding laksana bola salju kepada sampel-sampel lanjutan dan baru akan berakhir pada suatu sampel/informan yang tidak memunculkan varian baru, dan dalam penelitian ini, masing-masing dipilih 1 (satu) orang informan awal masing-masing Kabupaten/Kota pada lokasi penelitian yaitu ; (1) Bappeda; (2) Dinas Kelautan dan Perikanan; (3) Bagian Hukum Setda Kabupaten/Kota; (4) Balegda DPRD Kabupaten/Kota; (5) Pihak-pihak lain terkait yang dianggap mengetahui pokok masalah yang diteliti. III. Kajian Teoretis Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil (UU No.27/2007 PWP-3K) menyebutkan bahwa; “Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut”. Sesuai kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Kearah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang ter191
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 189 - 204
jadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lainnya; sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir. Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya binaan/buatan dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Secara fisiologi didefinisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan lebar yang ditentukan oleh kelandaian pantai dan dasar laut, serta dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang materinya berupa kerikil. Kawasan pesisir Indonesia termasuk Kalimantan Barat terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman jenis sumber daya alamnya baik sumber alam yang dapat pulih (renewable) maupun yang tidak dapat pulih (unrenewable). Sumber daya alam pulau-pulau kecil bila dipadukan dengan sumber daya manusia yang handal serta didukung dengan iptek yang di tunjang dengan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan yang tepat bisa menjadi modal yang besar bagi pengembangan wilayah pesisir. Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan (Interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan mendorong berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya. 192
Desentralisasi memberikan peluang kepada daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah untuk terciptanya suatu tata pengelolaan pemerintahan yang lebih adil, khususnya dalam hal hubungan keuangan dan pemanfaatan sumber daya alam, dengan pemerintah pusat maupun dengan daerah lainnya. Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah tercantum dalam Pasal 18A, ayat (1): Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dan ayat (2): Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Desentralisasi kewenangan di bidang pengelolaan pengelolaan Sumber daya pesisir idealnya akan mendorong tata kelola pemerintahan daerah yang berpihak kepada prinsipprinsip konservasi dan pembangunan berkelanjutan, yang dapat dilakukan oleh daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar namun pemanfaatannya secara ekonomis beresiko besar terhadap fungsi ekologis. Karena kondisi kewilayahannya, daerah semacam ini dapat (berpotensi) mengajukan diri sebagai daerah yang karena kekhasan kondisi alamnya sebagai daerah yang pengelolaannya bersifat khusus. Daerah yang memiliki kekhasan diberikan pengakuan oleh negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (1): Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Sedangkan mengenai pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 18B ayat (2): Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Mencermati terdapat pertentangan kepentingan-kepentingan dalam pengelolaan
Implementasi Desentralisasi Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber Daya ...
Sumber daya wilayah pesisir yang terumus dalam instrumen hukum, maka melalui pemetaan posisi hukum yang diungkapkan Satjipto Rahardjo,1 menunjukkan ada dua kemungkinan posisi hukum, yaitu sebagai berikut: (1) sebagai sarana untuk mencairkan pertentangan (conflictoplossing), dan (2) sebagai tindakan yang memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut (conflictversterking). Pada masyarakat yang tidak berlandaskan kesepakatan nilainilai, maka pembentukan hukum selalu merupakan semacam endapan pertentangan-pertentangan yang ada dalam masyarakat. Dari sini dapat dilihat bahwa adanya pertentangan nilainilai dan kepentingan dalam masyarakat akan cenderung untuk mendorong dilakukan pembentukan hukum dengan jalan membuat kompromi di antara hal yang bertentangan itu. Kompromi ini merupakan pilar pokok dari hukum. Jika masing-masing pihak hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, dan realitas kebersamaan yang seharusnya dibangun kemudian dilalaikan, maka secara sosial kehadiran hukum tersebut bersifat disfungsional. Ditegaskan oleh Anis Ibrahim,2 bahwa proses pembentukan hukum tersebut menjadi tidak demokratis manakala pengakomodasian nilai-nilai dan kepentingan masyarakat yang beragam itu didominasi oleh pihak-pihak kuat dan dominan tertentu. Jika ini terjadi berarti dalam pengelolaan nilai-nilai dan kepentingan yang berbeda-beda itu pada ujungnya berakhir dengan penundukan nilai-nilai yang dihayati dan kepentingan golongan yang lemah oleh golongan yang kuat. Adanya suatu kondisi ketidakharmonisan atau ketidaksinkronan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan yang lain, baik yang sifatnya sederajat maupun yang ada di bawahnya, antara lain disebabkan:3 1. Kebijaksanaan-kebijaksanaan antar instansi Pemerintah Pusat yang saling bertentangan; 1
Ibid, Satjipto Raharjo Anis Ibrahim, Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik Dan Hukum Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah Di Jawa Timur, Disertasi PDIH Undip, Semarang 2008, Halaman 174 3 Abdul Bari Azed, “Harmonisasi….”., Op.Cit., hlm. 364. 2
Yenny AS
2. Adanya perbedaan antara kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 3. Adanya rumusan ketentuan peraturan perundang-undangan yang kurang tegas atau jelas dan megundang perbedaan dan penafsiran; dan 4. Adanya benturan antara wewenang instansi-instansi Pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas. Salah satu upaya untuk menjaga agar desentralisasi kewenangan tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional adalah dipegangnya prinsip bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggungjawabnya dalam menetapkan kebijakan daerah didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di samping itu, ada beberapa hal yang patut dicatat dalam kaitan upaya harmonisasi produk hukum Pusat dan Daerah, antara lain, yakni:4 a. Pengaturan substansi hukum di Daerah harus dapat memperkuat sendi-sendi negara berdasarkan konstitusi dan negara hukum, sendi kerakyatan (demokrasi), dan sendi kesejahteraan social, dan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan. b. Pengaturan substansi produk legislasi Daerah harus diupayakan sedemikian rupa agar tetap berada di dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Kondisi-kondisi kekhususan atau keistimewaan daerah, keberadaan dan penerapan hukum agama dan hukum adat, serta keraifan local yang akan lebih memperkaya sistem hukum nasional, harus mendapat tempat yang wajar dalam pengembangan hukum di daerah. c. Dari segi pembuatannya, kedudukan Peraturan Daerah, baik Perda Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dapat dilihat setara dengan undang-undang, dalam arti semata-mata merupakan produk 4
Abdul Bari Azed, Ibid., hlm 364-366.
193
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 189 - 204
hukum lembaga legislatif. Namun, dari segi isinya, sudah seharusnya kedudukan peraturan yang mengatur materi dalam runag lingkup wilayah berlaku yang sempit dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dibanding dengan peraturan dengan ruang lingkup wilayah pemberlakuan yang lebih luas. Dengan demikian, Undang-Undang lebih tinggi kedudukannya daripada Perda (Provinsi/Kabupaten/Kota). Karena itu, sesuai prinsip hirarki peraturan perundang-undangan, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi. d. Pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan hukum, termasuk badan legislatif Daerah, mutlak dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi yang menjadi tanggungjawabnya sepanjang yang menyangkut pengaturan bidang pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangga Daerah, dengan memperhatikan prinsip-prinsip manajemen pada umumnya guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas, serta profesionalisme. Untuk bidang legislasi koordinasi antara legislatif dan eksekutif sangat penting untuk ditingkatkan; dan e. Pemberdayaan legislasi daerah tidak akan efektif jika tidak disertai dengan upaya pengembangan budaya hukum atau peningkatan kesadaran hukum masyarakat. IV. Pembahasan Dan Analisa Hasil Penelitian A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Wilayah Pesisir Letak geografis Kalimantan Barat berbatasan langsung dengan laut pada bagian baratnya menunjukan fakta bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah strategis dan cepat tumbuh. Demikian halnya pada wilayah kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya sebagai wilayah/lo194
kasi penelitian ini dilakukan. Potensi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil pada empat kabupaten/kota lokasi penelitian tersebut begitu beragam baik dari segi kuantitas maupun kualitas, seharusnya dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Pembangunan wilayah pesisir pada dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat dan kelestarian sumberdaya alam pesisir. Artinya, bahwa sumberdaya alam pesisir dapat dieksploitasi untuk kemaslahatan manusia, namun tidak menjadikan lingkungan termasuk sumberdaya itu sendiri. 2. Potensi Sumberdaya Pesisir Hasil penelitian di lapangan menunjukkan berbagai potensi dan kekayaan sumberdaya pesisir di wilayah lokasi penelitian yang diharapkan dapat menunjang pertumbuhan ekonomi pembangunan, diantaranya potensi: a) Panjang pantai b) Hutan mangrove c) Karang dan Terumbu karang d) Padang lamun e) Luas laut pengelolaan f) Pulau-pulau kecil g) Kawasan konservasi pesisir h) Pantai Pasir i) Wisata pesisir j) Perikanan 3. Isu Strategis dan Permasalahan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir; Identifikasi isu-isu strategis pengelolaan WP-3-K di wilayah lokasi penelitian (Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya) merupakan “grand design” yang menggambarkan arah dan sasaran pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil secara umum. Identifikasi ini berangkat dari isuisu pengelolaan masing-masing kabupaten. Akan tetapi, karakteristik isu-isu pengelolaan ini cenderung seragam hanya pada kabupaten tertentu yang memiliki karakteristik tertentu, misalnya untuk kabupaten Sambas karena disamping sebagai wilayah pesisir juga terdapat daerah perbatasan. Permasalahan krusial dalam pengelolaan
Implementasi Desentralisasi Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber Daya ...
wilayah pesisir yang ditemukan di lapangan antara lain adalah: a) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pesisir b) Mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim global; Bencana yang timbul di pesisir adalah sedimentasi, abrasi, intrusi air laut, banjir pasang (rob) karena kenaikan muka air laut. Elevasi kawasan pesisir yang cenderung hampir datar ini menyebabkan banjir pasang (rob) terjadi hingga ke pemukiman warga. Terutama saat pasang tertinggi, rumah-rumah banyak yang terendam. c) Kegiatan Darat yang Mempengaruhi Laut/Perairan Lingkungan pesisir merupakan daerah yang sangat rentan terhadap berbagai tekanan. Berbagai tekanan baik oleh alam maupun manusia dapat menyebabkan degradasi sumberdaya lingkungan. Berbagai isu degradasi sumberdaya lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir diantaranya degradasi ekosistem mangrove, Pemanfaatan Ruang di Sempadan Sungai dan Pantai, Degradasi Ekosistem Terumbu Karang, Pencemaran Perairan, Penambangan Tanah dan Batu. d) Kegiatan Laut/Perairan yang Mempengaruhi Daratan; Realitasnya dipengaruhi oleh Intensitas Penangkapan Ikan di Pantai dan Alat Tangkap yang dapat merusak, terjadinya sedimentasi, abrasi dan akresi. e) Pengembangan sarana dan prasarana yang kurang memadai; f) Minimnya Informasi Mengenai Potensi Sumber Daya Pesisir Potensi sumber daya yang terdapat di wilayah pesisir, baik itu menyangkut perikanan tangkap dan budidaya, terumbu karang, hutan mangrove, kawasan konservasi, maupun kawasan pariwisata masih minim informasinya terutama menyangkut jumlah dan luas daerah budidaya perikanan (banyak pembukaan lahan untuk budidaya peri-
Yenny AS
kanan yang tidak ada izin, lokasinya di tempat terpencil dan sulit untuk dijangkau oleh aparat penegak hukum, jumlah terumbu karang dan padang lamun, beserta daerah penyebarannya, dan daerah-daerah yang berpotensi untuk pengembangan daerah wisata (ekowisata). Potensi sumber daya wilayah pesisir di lapangan jauh lebih besar dan potensial dibandingkan dengan data yang tersedia. g) Penataan kesadaran, kepastian, penegakan dan kedaulatan hukum; Rendahnya kesadaran dan penegakan hukum tidak terlepas dari rendahnya kualitas sumberdaya manusia baik di kalangan masyarakat maupun aparat penegak hukum yang berada di wilayah pesisir. Lemahnya penaatan dan penegakan hukum ini antara lain tercermin dari sikap dan pengetahuan masyarakat tentang hukum yang masih rendah, khususnya yang berhubungan dengan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. h) Pencemaran, degradasi dan konservasi sumberdaya hayati; Wilayah pesisir merupakan tempat terakumulasinya segala macam limbah yang dibawa melalui aliran air, baik limbah cair maupun padat. Sampah sering ditemukan berserakan di sepanjang pantai dan semakin banyak di dekat permukiman, khususnya permukiman yang membelakangi pantai. Permukiman seperti itu dikategorikan sebagai permukiman kumuh yang fasilitas sanitasi dan kebersihan lingkungannya sangat buruk. i) Pengembangan ekonomi, wisata bahari dan peningkatan kesejahteraan; Pengembangan wisata bahari tidak hanya tergantung dari faktor sumberdaya alam saja, tetapi perlu memperhitungkan faktor lain yang tidak kalah pentingnya seperti, penyediaan fasilitas, aksesibilitas, keamanan dan sikap masyarakat sekitarnya dalam menerima kedatangan pengunjung. 195
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 189 - 204
j) Perkembangan Pembangunan Wilayah Pesisir yang tidak merata; Dibandingkan dengan wilayah lainnya perkembangan pembangunan di wilayah pesisir jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah lain (daratan), banyak daerah-daerah potensial untuk pengembangan kawasan pertanian, perikanan, dan pariwisata, namun selama ini masih belum dikembangkan secara optimal (selama ini ada daerah yang kurang potensial tetapi dipaksakan untuk dikembangkan menjadi daerah/kawasan perikanan, dan lain sebagainya). k) Pengelolaan perikanan tangkap dan perikanan budidaya; Penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak, dapat merusak ekosistem perairan, sehingga berdampak wilayah pesisir mengalami kerusakan dan berperan dalam proses abrasi akibat dari tidak adanya penahan arus dari dasar perairan. Dengan rusaknya ekosistem dasar perairan, maka akan mengakibatkan degradasi sumberdaya perikanan di daerah tersebut. l) Lemahnya Perlindungan dan Keselamatan di Wilayah Pesisir; Sebagai masyarakat nelayan pada daerah pesisir pantai dan pulau-pulau kewajiban mereka tentunya adalah untuk mampu melindungi potensi yang ada di laut dan di pesisir untuk menjaga agar tidak merusak lingkungannya, sehingga dapat dimanfaatkan untuk berkelanjutan. m) Lemahnya Perekonomian Masyarakat Di Wilayah Pesisir; Kondisi masyarakat pesisir (nelayan dan keluarganya) masih tergolong miskin. Kelompok nelayan dan koperasi nelayan sangat sedikit dan bahkan di daerah tertentu tidak ada sama sekali. Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir banyak yang tidak mengenai sasaran dan masih belum mampu mengangkat perekonomian masyarakat pesisir. Di wilayah pesisir kesadaran masyarakat untuk meningkatkan perekonomian keluarga masih sangat 196
rendah, sehingga mereka hanya berpikiran mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tanpa ada keinginan untuk mengelola keuangan dengan sistem yang lebih baik lagi. n) Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat; Pembangunan daerah khususnya di pesisir dan pulau-pulau kecil perlu melibatkan masyarakat dengan pemberdayaan dan menarik partisipasi masyarakat. Pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan cara memberikan kewenangan kepada lembaga-lembaga lokal dalam mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, dapat juga dengan memperluas aspek pasar untuk meningkat nilai produk perikanan. o) Integrasi penataan ruang; Penyusunan rencana tata ruang yang telah dilakukan selama ini belum mengintegrasikan wilayah pesisir, baik dalam RTRW Propinsi maupun RTRW Kabupaten. Dalam kenyataannya, pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir telah banyak terjadi pelanggaran, misalnya pendirian bangunan dan/atau pengusahaan tambak di sempadan pantai yang menyebabkan rusaknya hutan mangrove di jalur hijau (green belt). Belum adanya penyusunan rencana tata ruang wilayah pesisir berkaitan erat dengan belum adanya peraturan yang mendukung secara tegas upaya penataan ruang wilayah pesisir tersebut. Penataan ruang merupakan salah satu usaha untuk menekan terjadinya konflik kepentingan pemanfaatan ruang, termasuk pemanfaatan ruang di wilayah pesisir. Pada saat ini aktivitas dan jumlah orang yang ingin memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir semakin hari semakin meningkat, sedangkan sumberdaya wilayah pesisir tetap atau cenderung berkurang. Di sisi lain pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir yang ada saat ini kurang ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan. Kondisi ini akhirnya akan menurunkan
Implementasi Desentralisasi Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber Daya ...
daya dukung sumberdaya wilayah pesisir. Untuk itu, perlu integrasi antar pemangku kepentingan dalam penyusunan tata ruang agar terintegrasi dan meminimalisir konflik. p) Lemahnya Kelembagaan Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir. Instansi yang terkait dengan pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir cukup banyak, seringkali pengelolaannya tumpang tindih dan tidak jarang juga terjadi konflik dalam pengelolaannya. Oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan yang bersifat terpadu dari berbagai instansi yang terkait, agar pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dapat dilakukan secara optimal dengan tetap mengutamakan aspek kelestarian fungsi lingkungan di wilayah pesisir. Dukungan peraturan di tingkat daerah terhadap pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir juga kurang, sehingga di tingkat implementasi sering terjadi benturan kepentingan dan kewenangan, terutama menyangkut kepentingan dan kewenangan antara Kabupaten/Kota yang satu dengan yang lain, atau antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi. B. Pembahasan dan Analisa 1.
Pelaksanaan Desentralisasi Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Hal ini dapat dilihat dari peraturan perundangundangan tentang pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut selama ini lebih berorientasi kepada eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kelestarian sumberdayanya, dan belum mampu untuk mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan lingkungan. Sebagai negara hukum, pelaksanaan pengembangan sistem pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan harus sesuai dengan norma diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum ba-
Yenny AS
gi upaya pengelolaan wilayah pesisir. Persoalan utama yang ingin dipahami dalam penelitian ini adalah peran kelembagaan daerah dalam pergeseran paradigma pembangunan sentralistik ke paradigma pembangunan desentralistik. Asumsi dasar dari pergeseran ini adalah lahirnya reformasi kebijakan di semua sektor pembangunan. Akibat lahirnya kekuatan baru daerah, hal ini tidak hanya memberikan dampak posistif terhadap pembangunan tetapi juga membuka peluang lahirnya pembangunan yang eksploitatif bagi sumberdaya alam. Reformasi kelembagaan terjadi akibat desakan kebutuhan akan pembangunan Dalam Era Otonomi daerah diperlukan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah yang mencakup berbagai aspek. Terdapat tiga matra untuk pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, pembagian kekuasaan mengelola pemerintahan (governmental power sharing) antara pusat dan daerah. Pelimpahan kepada pemerintah daerah wewenang pengambilan keputusan sektoral, yang mencakup ruang lingkup daerah. Pemerintah pusat cukup membatasi pada tugas berskala nasional, sedangkan tugas berskala daerah diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua, pembagian keuangan dan personalia negara (financial and manpower sharing) antara pusat dan daerah. Ketiga, pelimpahan kekuasaan politik, adat dan budaya (political, and social cultural power) kepada daerah Peran kelembagaan daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal pada hakekatnya memiliki posisi yang sangat urgen. Namun kenyataannya pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten/Kota dalam wilayah kajian penelitian ini (Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya sampai saat ini belum memiliki konstribusi nyata dalam pembangunan daerah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Sumberdaya pesisir yang memiliki sifat open access, dalam semangat desentralisasi, pengelolaannya membutuhkan formulasi kebijakan yang tepat agar tidak terjadi eksploitasi sumberdaya pesisir, krisis ekologis, degradasi dan meluasnya ketidakberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan. Aktivitas manusia baik yang tinggal di pegunungan maupun yang ber197
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 189 - 204
diam di pesisir semunya menyumbang proses degradasi lingkungan hidup dikawasan pinggiran laut. Diantara semua aktivitas tersebut, pertanian (akibat aplikasi pestisida dan pupuk kimia) dan pertambangan (misal: pertambangan emas) memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi pencemaran pesisir. Ancaman yang nyata bukan saja kerusakan ekosistem, melainkan ancaman terhadap kualitas dan kuantitas penyediaan pangan berbasis kelautan. Persoalan lain adalah Lingkungan pesisir merupakan daerah yang sangat rentan terhadap berbagai tekanan. Berbagai tekanan baik oleh alam maupun manusia dapat menyebabkan degradasi sumberdaya lingkungan. Berbagai isu degradasi sumberdaya lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir diantaranya degradasi ekosistem mangrove, Pemanfaatan Ruang di Sempadan Sungai dan Pantai, Degradasi Ekosistem Terumbu Karang, Pencemaran Perairan, Penambangan Tanah dan Batu. Akses untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya jika tidak diatur dengan kebijakan dan regulasi yang berpihak terhadap kelestarian dan keberlanjutan akan menimbulkan dampak eksploitasi terhadap sumberdaya. Dalam beberapa kasus, sumberdaya pesisir seringkali mendapat beban yang sangat berat, selain karena posisinya yang berada di daerah hilir, juga struktur wilayahnya yang sangat terbuka dan selama ini tidak mendapat prioritas pembangunan akibat paradigma pembangunan yang sangat sektoral. Lahirnya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mewarnai perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia. Semangat otonomi yang terkandung dalam undang-undang tersebut adalah desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut kepada wilayah otonom. Sebagaimana yang dituangkan dalam undang-undang tersebut wilayah otonom dalam hal ini propinsi dan kabupaten/kota. UndangUndang No. 32 tahun 2004 menjelaskan bahwa setiap pemerintah dan masyarakat di wilayah otonom menyadari arti penting dari pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut dilakukan secara bijak198
sana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila daerah berlomba-lomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya, tata kelola pemerintah daerah dihadapkan pada realitas politik yaitu perseteruan dan persaingan antar pemerintah daerah dalam mengeksploitasi sumberdaya alam sebagai akibat rejim otonomi daerah. Selain itu eco-governance pemerintah daerah sangat buruk sementara desakan jebakan hutang yang diderita Indonesia dalam tinjaun ekonomi politik menyebabkan proses eksploitasi dan penghancuran sumberdaya alam dan lingkungan akan makin intensif ke depan. Penanganan permasalahan ini dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan pemerintah daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia, sistem administrasi pembangunan yang mengacu pada perencanaan hirarki pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu atau lebih dikenal Integrated Coastal Zone Management (ICZM). Penataan kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan seharusnya memadukan pengetahuan tentang ekosistem dan sumberdaya alam dalam keputusan-keputusan politik pemerintahan. Dengan kata lain, untuk mengoptimalkan upaya pengembangan/eksploitasi sumber daya pesisir tersebut, perlu dilakukan kegiatan perencanaan, yang berguna untuk mengetahui jenis, letak dan nilai ekonomis sumberdaya serta untuk mengetahui kesesuaian ekologis setempat terhadap upaya eksploitasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil serta PERMEN Nomor 16 tahun 2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penetapan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah pengelompokan suatu wilayah ke dalam kawasan-kawasan atau zona-zona sesuai dengan kondisi biogeofisik dan fisiknya. Tujuan penetapan zonasi adalah untuk mengoptimalkan fungsi ekologi, sosial dan ekonomi suatu kawasan sehingga dapat dilaku-
Implementasi Desentralisasi Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber Daya ...
kan pengelolaan kawasan secara berkelanjutan. Zonasi peruntukan pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri atas kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu dan alur laut (Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007). Namun kenyataan dari hasil penelitian menunjukan penetapan zonasi wilayah pesisir di 4 (empat) kabupaten/kota lokasi penelitian yang dilakukan masih dalam draft penyusunan Rencana Zonasi dan belum terakomodir dalam suatu regulasi kebijakan berupa Peraturan Daerah. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Permasalahan Dalam Pengimplementasian desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat Potensi sumber daya pesisir di Kalimantan Barat sebagaimana diuraikan di atas yang begitu beragam baik dari segi kuantitas maupun kualitas, seharusnya dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Pembangunan wilayah pesisir pada dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat dan kelestarian sumberdaya alam pesisir. Artinya, bahwa sumberdaya alam pesisir dapat dieksploitasi untuk kemaslahatan manusia, namun tidak menjadikan lingkungan termasuk sumberdaya itu sendiri menjadi rusak, sehingga diperlukan pengelolaan. Pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir di Kalimantan Barat berimplikasi langsung pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakatnya. Kesenjangan dan ketertinggalan merupakan kondisi yang sudah jamak ditemui. Realitas ini amat kontras disandingkan dengan melimpahnya kekayaan sumber daya alam yang tersedia. Beragam kebijakan dan regulasi telah digulirkan, baik secara sektoral maupun lintas sektoral, terakhir melalui UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun ironisnya bukan keteraturan dan kesejahteraan dihadirkan, melainkan sebaliknya, disini tampak bahwa hukum telah gagal mengemban fungsi instrumentalis mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Faktor penyebab terjadinya permasala-
Yenny AS
han dalam tataran pengimplementasian desentralisasi kewenangan pengelolaan wilayah pesisir sehingga dapat diasumsikan sebagai suatu keterbatasan kemampuan hukum yang mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan amatan dan hasil penelitian yang dilakukan, diantaranya adalah: a) Terjadinya disinkronisasi dari regulasi dan kebijakan yang ada Pasca diterbitkan UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara spesifik mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, ternyata belum dapat menghadirkan pengelolaan wilayah pesisir secara memadai dan optimal di daerah. Akomodasi sinkronisasi kebijakan dan regulasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan kebijakan penataan ruang, masih jauh dari harapan. Realitas ini seperti yang ditemui di Kota Singkawang, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, tampak bahwa perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, masih belum dapat memenuhi prinsip serasi, selaras dan seimbang dengan dokumen perencanaan tata ruang sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2007. Secara normatif di dalam UU No. 26 No. Tahun 2007 pasal 6 ayat 5, ruang laut dan ruang udara pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri. Sedangkan didalam UU No. 27 Tahun 2007 pasal 7 ayat 1, Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terdiri atas : a) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K); b) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil (RZWP-3-K); c) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K); dan d) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAWP-3-K). Pada pasal 7 ayat 3, Pemerintah Daerah wajib menyusun semua rencana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sesuai dengan kewenangan masingmasing. Didalam UU No 27 Tahun 2007 pasal 9 ayat 2, RZWP-3-K diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan 199
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 189 - 204
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Pada ayat 4, Jangka waktu berlakunya RZWP-3-K selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Pada ayat 5, RZWP-3-K ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Namun sampai dengan saat sekarang pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota di Kalimantan Barat belum menerbitkan peraturan daerah sebagaimana yang diamanatkan undang-undang tersebut, terlebih dengan penghadiran SK MenHutBun. No. 259/kpts-II/2000 tentang Penujukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat. b) Masih rendahnya daya akomodasi dan responsitas basis kultural akibat semangat kebijakan dan regulasi yang yang berkarakter sentralistik, sehingga compatible dengan signifikansi kearifan lokal masyarakatnya. Pembangunan daerah khususnya di pesisir dan pulau-pulau kecil perlu melibatkan masyarakat dengan pemberdayaan dan menarik partisipasi masyarakat. Pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan cara memberikan kewenangan kepada lembaga-lembaga lokal dalam mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, dapat juga dengan memperluas aspek pasar untuk meningkat nilai produk perikanan. Namun kenyataannya tingkat partisipasi dan kearifan lokal masyarakat pesisir masih rendah. Responsitas hukum yang demikian, didasari bahwa hakekatnya hukum bukan institusi bersifat otonom, namun bagian yang tidak terpisahkan dan dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan (ideologi, politik, ekonomi, sosial dan religi) dari masyarakatnya. Secara sosiologis hukum yang baik bukanlah suatu institusi yang terosilasi, melainkan tertanam dalam dan berakar pada masyarakatnya. Tidak ada kehidupan hukum yang terpisah secara diametral-otonom. Komunitas masyarakat merupakan arena sosial yang memiliki kapasitas untuk membentuk hukum sebagai mekanisme internal dalam menjaga ketera200
turan dan ketertiban sosial dalam lingkungan komunitasnya. Secara sosiologis masyarakat pesisir sangat berbeda dengan masyarakat agraris. Seiring dengan perbedaan tersebut membawa perbedaan dalam memaknai sumber daya alam. Pemahaman terhadap karakteristik tersebut harus berkarakter battom up, mengingat eksploitasi dan makna pemilikan terhadap sumber daya alam yang bersifat open access tersebut, sudah barang tentu akan berpengaruh terhadap eksistensi perlindungan lingkungan hidupnya. Perilaku yang didasarkan atas orientasi berpikir kebenaran ekologis, idealnya menjadi pedoman dalam setiap interaksi dan interalasi manusia dengan lingkungannya. Pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir yang berbasis pada sumber daya lokal akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pengelolaan potensi sumberdaya, dengan demikian akan lebih menjamin kesinambungan peningkatan pendapatan dan pelestarian sumberdayanya. 3. Upaya mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan dan kelembagaan di Kalimantan Barat Untuk mencapai pembangunan wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu (Integrated Coastal dan Marine Zone Management). Pada dasarnya arahan kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan meliputi empat aspek utama, yaitu (1) aspek teknis dan social (2) aspek sosial ekonomi dan budaya (3) aspek social politik dan (4) aspek hukum dan kelembagaan. Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir adalah kebijakan yang selama ini cenderung lebih berpihak terhadap kegiatan eksploitasi sumberdaya pesisir, untuk mencegah hal ini berlanjut, adanya kelembagaan yang kuat dan penegakan hukum yang ber-
Implementasi Desentralisasi Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber Daya ...
keadilan menjadi keniscayaan bagi pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam sistem, organisasi maupun program kerja pemerintahan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir semestinya dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir, keselarasan peran antara pusat dan daerah, serta antar sektor. Pengaturan pengelolaan tersebut merupakan instrumen hukum yang berfungsi preventif menjaga ancaman terhadap kelestarian sumberdaya hayati. Beberapa faktor utama yang mengancam kelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati laut adalah : (1) Pemanfaatan berlebih (over eksploitation) sumberdaya hayati, (2) Penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, (3) Perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) Pencemaran, (5) Introduksi spesies asing, (6) Konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, (7) Perubahan iklim global serta bencana alam. Efektifitas desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir membutuhkan beberapa agenda yang harus dilakukan, hal ini dilakukan dari banyak tingkatan antara lain; level pemerintahan pusat, level pemerintahan lokal dan level komunitas. Pertama, dalam level pemerintahan pusat salah satu poin agenda yang terpenting adalah perbaikan kerangka kerja legal, tentunya ada dua aspek legal yang dibutuhkan untuk membuat desentralisasi lebih efektif bagaimana membuat agar desentralisasi hukum lokal dapat diturunkan lebih detail dan bagaimana membuat legitimasi terhadap kelambagaan lokal. Kedua, desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan secara tidak langsung membagi manajemen unit pengelolaan perikanan, zona perikanan, untuk wilayah yang berbeda harus dipertanggungjawabkan. Ketiga, pada level komunitas revita-
Yenny AS
lisasi kelembagaan lokal menjadi sangat penting sebagai kunci dari desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan. Revitalisasi ini adalah pemberdayaan dan penguatan kembali bangunan kultural kelembagaan lokal yang baik. Ada dua dimensi dari revitalisasi kelembagaan lokal yaitu dimensi politik dan teknis. Dimensi politik adalah tentang bagaimana memberdayakan nelayan lokal dengan mempercepat menyambut aspirasi mereka, memahami kepentingan nelayan dan merespon relasi kebijakan untuk sektor perikanan. Desentralisasi dapat dibenarkan jika tujuan desentralisasi sebagai upaya peningkatan efisiensi dan keseimbangan aktifitas pembangunan, serta untuk meningkatkan partisipasi lokal dan demokrasi. Pada saat melakukan penguatan terhadap penerapan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir, permasalahan yang terjadi di tingkat pusat dan tingkat lokal semestinya dapat dipecahkan. Pemerintahan pusat semestinya dapat konsisten meninggalkan keengganan untuk membagi kewenangan dengan pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan mengharagai semangat desentralisasi. Di sisi lain, pada tingkat pemerintahan lokal peraturan di tingkat lokal semestinya dapat memfasilitasi dan bekerjasama dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang lebih baik. Kondisi tersebut mengakibatkan kepercayaan antara pemerintahan pusat, pemerintahan lokal dan masyarakat lokal menjadi sangat penting untuk desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir. Sebagai upaya mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan dan kelembagaan, maka perlu dibangun pola pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Pendekatan ini diharapkan akan memberikan arah kepada pemerataan kesempatan kerja dan kehidupan yang lebih layak bagi nelayan. Dengan semangat partisipasi aktif masyarakat diharapkan dapat 201
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 189 - 204
menjamin kelestarian sumberdaya alam.. Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat sudah merupakan pendekatan yang banyak dipakai didalam programprogram pengelolaan sumberdaya pesisir di berbagai negara di dunia, khususnya di negara-negara berkembang. Pendekatan ini secara luas digunakan di wilayah asia pasifik seperti dinegara-negara Filipina dan Pasifik Selatan. Pemerintahan yang semakin mengarah pada desentralisasi membutuhkan pendekatan ini dalam rangka menjawab tuntutan otonomi daerah. Dengan diberikannya wewenang kepada daerah dalam pengelolaan pesisir dan lautnya sejauh 12 mil untuk propinsi dan 4 mil untuk kabupaten memberikan peluang yang besar bagi pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Lahirnya Undang-Undang No. 27 tahun 2007 juga diharapkan mampu menjadi kekuatan hukum bagi pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis masyarakat. Dalam operasionalnya, paradigma pembangunan berbasis masyarakat mensyaratkan adanya pembagian kewenangan antara pemerintah dan masyarakat. Dua elemen terpenting dalam konsep pemberdayaan yang diperlukan adalah mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat secara egaliter. Masyarakat dengan potensi modal sosial (social capital) dan pemerintah dengan kebijakannya, akan sangat menentukan bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dalam pengelolaannya. Ciri sumberdaya alam pesisir yang sebagian besar bersifat common property dan open access, bagi beberapa masyarakat nelayan berpandangan bahwa semua orang berhak memanfaatkannya, sehingga jika tidak diikuti oleh regulasi yang tepat, akan menyebabkan pemanfaatan yang eksploitatif. Kondisi ini membutuhkan perhatian bagi semua stakeholder untuk ikut bertanggungjawab dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutannya. Pengelolaan sumberdaya alam pesisir berbasis ekosistem dan masyarakat yang bersumber dari kekuatan modal sosial diharapkan dapat mengurangi 202
sikap selfish dan free rider. Dengan kekuatan masyarakat dan dukungan regulasi yang berpihak terhadap paradigma pembangunan keberlanjutan (sustainable) diharapkan pula mampu menjawab krisis dan degradasi sumberdaya alam pesisir Faktor penting yang terkait dengan pembangunan berbasis masyarakat adalah peran kelembagaan lokal, yang dapat diukur dengan melihat, keberpihakan regulasi atau kebijakan daerah dalam bentuk peraturan-peraturan daerah, informasi dan pengetahuan, struktur pasar dan respon stakeholder terhadap kebijakan dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Upaya penguatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat membutuhkan langkah-langkah baik yang bersifat makro maupun mikro. Langkah makro merupakan tugas pemerintah untuk mengakui eksistensi sistem pengelolaan tersebut, dan juga tugas unsur civil society lainnya untuk melakukan advokasi. Sementara itu langkah mikro merupakan tugas pemerintah dan civil society untuk melakukan langkah aksi baik untuk pengembangan kapasitas organisasi, kapasitas sumberdaya manusia (SDM), serta pelengkapan sarana dan prasarana pengelolaan. V. Penutup Desentralisasi kewenangan Pengelolaan sumberdaya pesisir di Kalimantan Barat sebagaimana tampak di Kabupaten/Kota dalam wilayah kajian penelitian ini (Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya sampai saat ini belum memiliki konstribusi yang signifikan dalam pembangunan daerah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Sumberdaya pesisir yang memiliki sifat open access, dalam semangat desentralisasi, pengelolaannya membutuhkan formulasi kebijakan yang tepat agar tidak terjadi eksploitasi sumberdaya pesisir, krisis ekologis, degradasi dan meluasnya ketidakberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan. Faktor belum menguatnya implementasi desentralisasi kewenangan pengelolaan wilayah pesisir tersebut masih terdapatnya dissinkronisasi dari regulasi dan kebijakaan yang
Implementasi Desentralisasi Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber Daya ...
ada serta Masih rendahnya daya akomodasi dan responsitas basis kultural akibat semangat kebijakan dan regulasi yang yang berkarakter sentralistik, sehingga compatible dengan signifikansi kearifan lokal masyarakatnya. Upaya mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan dan kelembagaan di Kalimantan Barat diharapkan Pemerintahan pusat semestinya dapat konsisten meninggalkan keengganan untuk membagi kewenangan dengan pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan menghargai semangat desentralisasi. Di sisi lain, pada ting-
Yenny AS
kat pemerintahan lokal peraturan di tingkat lokal semestinya dapat memfasilitasi dan bekerjasama dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang lebih baik. Kondisi tersebut mengakibatkan kepercayaan antara pemerintahan pusat, pemerintahan lokal dan masyarakat lokal menjadi sangat penting untuk desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir. Sebagai upaya mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan dan kelembagaan, maka perlu dibangun pola pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat.
Daftar Pustaka Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni Bandung, 1986. Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum: Rapai Kolom dan Artikel Pilihan Dalam bidang Hukum, Kecana Prenada Media Group, Jakarta, 2008. Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal: Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, Grasindo, Jakarta, 2010. A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto (ed), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988. Agus Salim, Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif. Tiara Wacana. Yogyakarta, 2006. Ambar Teguh Sulistiyani, Kemitraan Dan Model-Model Pemberdayaan, Penerbit Gaya Media, Jakarta, 2001. Arif Satria, Karakteristik Masyarakat Pesisir, Cidesindo, Jakarta, 2007. Arief Sidharta, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Dalam Perspektif Positivis, Makalah disajikan dalam Simposium Nasional Ilmu Hukum “Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia” diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis Fakultas Hukum UNDIP ke 41bekerjasama dengan Pusat Kajian Hukum Indonesia Bagian Tengah dan Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang 10 Februari 1998. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum, Mandar Maju Bandung, 2000. Bernard L. Tanya, Meretas Integras Nasional Menuju Kemajuan Peradaban, Makalah disampaikan dalam Temu Antar Generasi Se-Jawa dan Bali di Surabaya, diselenggarakan oleh KNPI Jawa Timur, 2 Agustus 2002. Bernand L. Tanya, Hukum, Politik, dan KKN, Penerbit Srikandi, Surabaya, 2006. Bernand L. Tanya, Teori Hukum,; Strategi Tertib Manusia Lintas ruang dan Generasi, CV. Kita Surabaya, 2006. Bromley dan Cernea, territorial use rights in fisherie, 1989. Budi Siswanto, Kemiskinan dan Perlawanan Kaum Nelayan, Penerbit Laksbang Mediatama, Surabaya, 2010. Darul Kutni Tuhepaly, Otonomi Khusus Bidang Kelautan, Penerbit Galang Press, Yogyakarta, 2010 Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian, Memperkokoh Otonomi Daerah, Kebijakan, Evaluasi dan Saran,UII Press Yogyakarta, 2004. 203
Jurnal Lex Publica, Vol. I, No. 2, Mei 2015, hal. 189 - 204
Edy Sudarta, Kebijakan social Sebagai kebijakan Publik, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2008. Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Mata Padi Prseindo, Yogyakarta, 2010. FX.Adji Samekto, Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah, Badan penerbit Universitas Diponegoro, 2007. Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. LP3ES, Jakarta, 1987. Imam Kabul, Paradigma Pembangunan Hukum Indonesia, Penerbit Kurnia Kalam, Yogyakarta, 2005. Hetifah Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good governance, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004. Julius Stone, Law and the Social Sciences in the Second Half Century, University of Minnesota Press, 1966 Khudzaifah Dimyati, Mencari Jatidiri Ilmu Hukum Indonesia, Jurnal Akademika: Kajian Masalah social dan Agama, Universitas Muhamadiyah Surakarta, 1999 Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan, LKiS, Yogyakarta, 2008 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation, 1977. Mahfud MD, Moh,. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2009 Margaret M . Poloma, Teori Sosiologi Komtemporer, Raja Grafindo, Jakarta, Jakarta, 1994. Mboi Napsiah,. Perempuan dan Pemberdayaan, Jakarta, Penerbit Obor, 1997 Muladi, Menjamin Kepastian, Ketertiban, Penegakan, dan Perlindungan Hukum Dalam Era Globalisasi, Makalah, 1995 Prijono, Onny S, dan A.M.W. Pranarka (penyunting), 1, Pemberdayaan : Konsep Kebijakan dan Implementasi, CSIS, JakartA, 1996. Romli Atmasasmita, Pengantar hukum Kejahatan Bisnis, Prenedia Media, Jakarta,2003 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, 1988. Sarundajang, babak baru Sistem Pemerintahan Daerah, Penerbit Kata hasta, Jakarta, 2005, Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980. -------------, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung 1996 -------------, Pendekatan dan Kajian Sosiologis Terhadap Hukum, Jurnal Ilmu Hukum Nomor 1 Tahun 1, Surakarta,1996 -------------, Masalah Nilai-Nilai dalam Penemuan Hukum dan Pembentukan Hukujm Nasional, Makalah, Temu Wicara Tentang Pelaksanaan Pembangunan Hukum PJP II, BPHN, Jakarta, 1999 Setiono, “Pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia”, dalam Jurnal Ilmiah Psikologi: Kognisi UMS, Vol. 6, Nomor 2 Nopember 2002 Soejono Dirdjosisworo, Ilmu Hukum, Alumni Bandung, 2000 Suhana, Redesain Kebijakan Ekonomi Kelautan dan Perikanan Untuk Kesejahteraan rakyat dan Kelestarian Sumber Daya: Rekonstruksi Kebijakan Kelautan, Jurnal Transisi, Jakarta, 2011 Sulistyowati Irianto, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009 Sujana Rayat, Kebijakan Sosial baru dan Peran Pemerintah Daerah, Penerbit Prakarsa-LP3ES, 2009 Suriansyah Murhani, Pengawasan Pemerintahan Daerah, Mediatama, Yogyakarta, 2008 Syamsudin Haris, Desentalisasi dan Otonomi Daerah, LIPI Press-Jakarta,2010 Ostrom, Elinor, Coping with Tragedies of the Commons in Annual Reviews 1999 Owin Jamasy, Keadilan, Pemberdayaan, & Penanggulangan Kemiskinan, Penerbit Blantika Jakarta, 2006 Team Work LAPERA, Politik Pemberdayaan, Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
204
Petunjuk Penulisan
Jurnal Ilmu Hukum Lex Publica Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia PETUNJUK PENULISAN 1. Naskah yang diterima adalah artikel yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. naskah dapat berupa jurnal laporan hasil suatu penelitian atau artikel ulasan (review). Naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. 2. Naskah diketik pada kertas ukuran A4 (210 x 297 mm) dengan jarak antar baris 1 spasi. Batas pengetikan dari tepi kertas diatur sebagai berikut: - Tepi atas : 3 cm - Tepi bawah : 2.5 cm - Tepi kiri : 3 cm - Tepi kanan : 2.5 cm 3. Naskah diketik dengan mempergunakan jenis huruf Times New Roman dengan spesifikasi ukuran huruf sebagai berikut: - Judul naskah : ukuran huruf 14 point - Nama penulis, keterangan lembaga penulis, abstrak dan kata kunci: ukuran huruf 12 point - Isi naskah : ukuran huruf 12 point - footnote : ukuran huruf 10 point - Daftar pustaka : ukuran huruf 12 point 4. Format penulisan mempergunakan format satu kolom. Naskah setiap halaman diberi nomor berurutan, minimal 20 halaman dan maksima130 halaman. Naskah dikirim melalui email atau file dalam CD ke: Redaksi Jurnal Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum. Jl. Raya Kalimalang No. 1, Jakarta Timur Email:
[email protected] 5. Naskah disusun secara berurutan terdiri atas: - Judul artikel - Nama lengkap penulis (tidak disingkat) - Afiliasi penulis (instansi tempat penulis bekerja dan alamat email untuk korespondensi) - Abstrak dan kata kunci (dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) - Latar belakang - Pembahasan - Kesimpulan - Daftar pustaka - Tabel dan gambar apabila ada 6. Deskripsi bagian naskah a. Judul dicetak tebal (bola) dengan huruf kapital. Judul maksimum terdiri dari 12 kata untuk Bahasa Indonesia dan 10 kata untuk Bahasa Inggris. Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, lembaga tempat penulis bekerja, dan alamat email. Contoh: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENCIPTA BERKAITAN DENGAN KARYA ILMIAH DI INDONESIA Azis Budianto, SH. MS Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Email:
[email protected] 205
Petunjuk Penulisan
b. Setiap artikel harus disertai satu paragraf abstrak (bukan ringkasan yang terdiri atas beberapa paragraf) dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang secara gamblang, utuh, dan lengkap menggambarkan esensi isi keseluruhan tulisan. c. Materi muatan artikel terdiri dari latar belakang (berisi tentang permasalahan dan metode penelitian jika tulisan merupakan hasil penelitian), pembahasan, dan kesimpulan. d. Contoh tata aturan penulisan footnote sebagai berikut: 1. Buku Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit INDHILL.CO, Jakarta, 1992, hlm. 3. C. De Rover, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 51. 2. Buku karya terjemahan Scholten, Paul, De Structuur Dere Rechtswetenschap, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung, Alumni, 2011, hlm. 7. 3. Buku yang berisi kumpulan artikel Mahmod Thoha (Ed), Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT Terhadap Industri Kecil, UI Press, Jakarta, 1998, hlm. 89. 4. Skripsi, tesis atau disertasi Jazim Hamidi, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2005, Tidak dipublikasikan, hlm. 2. 5. Artikel dalam buku kumpulan artikel Moh Fadli, Nondelegationdoctrine dan Peraturan Delegasi di Indonesia, Susi Dwi Harijanti (Eds), Negara Hukum yang Berkeadilan Kumpulan Pemikiran dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr H. Bagir Manan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung, 2011, h1m. 33. 6. Artikel dalam jurnal Moh. Fadli, Program Legislasi Nasional (Prolegnas): Ketersiapan Data dan Optimalisasi Kinerja DPR, Jurnal Konstitusi, Volume IV No. 1, Juni 2011, PPK Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2011, hlm. 20. 7. Artikel dalam majalah atau koran Bartens, K., 11 Agustus 2003, Aborsi Di Tengah Polarisasi "Pro Life "-"Pro Choice", Kompas, hlm. 89. 8. Artikel dalam majalah atau koran tanpa penulis Jawa Pos, 22 April 1995, Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hlm. 4. 9. Makalah Ni'matul Huda, Penulisan Laporan Penelitian untuk Jurnal, makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Tingkat Dasar Bagi Dosen PTN dan PTS di Malang Angkatan XIV, Pusat Penelitian IKIP Malang, Malang, 12 Juli 2004, hlm. 53. 10. Artikel internet Ali Safaat, Penafsiran Konstitusi (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/ Penafsiran-Konstitusi.pdf, diakses 3 Februari 2013. Kennedy, DC., In Search of Balance Between Police Power and Privacy in The Cybercrime Treaty (online), The Richmond Journal Law and Technology, http:// www. richmond. jlt.htmU185.htm, diakses 12 Januari 2003. 11. Dokumen resmi pemerintah Arsip dan Dokumentasi, Risalah Rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undangundang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tanggal 23 Februari 2011, Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2011, hlm. 7. 206
Petunjuk Penulisan
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978, hlm. 88. 12. Peraturan Perundang-undangan Pasa15 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 7. Contoh tata aturan penulisan daftar pustaka sebagai berikut: Buku Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit IND-HILL. CO, Jakarta. C. De Rover, 2000, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM), Raja Grafindo Persada, Jakarta. Jazim Hamidi, 2005, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi program Doktor Ilmu Hu kum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Tidak dipublikasikan. Mahmod Thoha (Ed), 1998, Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT Terhadap Industri Kecil, UI Press, Jakarta. Moh. Fadli, 2011, Nondelegationdoctrine dan Peraturan Delegasi di Indonesia, Susi Dwi Harijanti (Eds), Negara Hukum yang Berkeadilan Kumpulan Pemikiran dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung. Scholten, Paul, 2011, De Structuur Dere Rechtswetenschap, Struktur IImu Hukum, Terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung, Alumni. Jurnal dan Artikel Bartens, K., 11 Agustus 2003, Aborsi Di Tengah Polarisasi "Pro Life"-"Pro Choice", Kompas. Jawa Pos, 22 April 1995, Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri. Moh. Fadli, 2011, Program Legislasi Nasional (Prolegnas): Ketersiapan Data dan Optimalisasi Kinerja DPR, Jurnal konstitusi, Volume IV No. 1, Juni 2011, PPK Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Makalah Arsip dan Dokumentasi, 2011, Risalah Rapat Panitia ysus (Pansus) Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tanggal 23 Februari 2011, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta. Ni'matul Huda, 2004, Penulisan Laporan Penelitian untuk Jurnal, makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Tingkat Dasar Bagi Dosen PTN dan PTS di Malang Angkatan XIV, Pusat Penelitian IKIP Malang, Malang. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978, Pedoman Penulisan Laporan Penelitian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perindangundangan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. 207
Petunjuk Penulisan
Artikel Internet Ali Safaat, Penafsiran konstitusi (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/ Penafsiran -Konstitusi.pdf. Kennedy, DC., In Search of Balance Between Police Power and Privacy in The Cybercrime Treaty (online), The Richmond Journal Law and Technology, http:// www. richmond.jlt. htm185.htm. 8. Redaksi berhak melakukan penyuntingan melalui Dewan Penyunting tanpa mengubah isi dan makna redaksi. Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi naskah.
208