ASOSIASI PERGURUAN TINGGI KATOLIK
2017
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN ARAH PENGEMBANGAN PERGURUAN TINGGI APTIK Kumpulan Materi Hari Studi APTIK 2016 dan Rapat Umum Anggota APTIK 2017
Editor: Yap Fu Lan
Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik d.a. Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jl. Jend. Sudirman 51 Jakarta 12930 Telp. 021-5706059 i
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN ARAH PENGEMBANGAN PERGURUAN TINGGI APTIK Kumpulan Materi Hari Studi APTIK 2016 dan Rapat Umum Anggota APTIK 2017
Editor, cover designer, layouter: Yap Fu Lan
© APTIK 2017
ISBN: 978-602-14190-5-2
Buku ini diterbitkan hanya dalam bentuk elektronik, tidak untuk dicetak dan diperjualbelikan. ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul
i
DAFTAR ISI
iii
PENGANTAR
1
1.
MAKNA MEA BAGI APTIK Johanes Eka Priyatma
10
2.
TANTANGAN BAGI MASA DEPAN PERGURUAN TINGGI KATOLIK DI INDONESIA DALAM ERA GLOBAL Sulistyowati Irianto
23
3.
CATHOLIC HIGHER EDUCATION IN A PERIOD OF INTEGRATION, POPULISM, AND RADICALIZATION Br. Armin A. Luistro, FSC
33
4.
INDONESIA MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Patdono Suwignjo
49
iii
PENGANTAR BAGAIMANA MEMAKNAI MEA, RENSTRA APTIK 2017-2021, DAN PEMBAHARUAN ORGANISASI APTIK?
Pada tahun 2014, Gereja melalui Kongregasi untuk Pendidikan Katolik menerbitkan sebuah kertas kerja berjudul “Mendidik di Masa Kini dan Masa Depan: Semangat yang Dibaharui”. Kertas kerja ini merupakan hasil rangkuman Sidang Pleno para anggota Kongregasi yang dilaksanakan pada bulan Februari 2014. Sebelumnya telah diselenggarakan sebuah seminar pada bulan Juni 2012 yang dihadiri oleh para ahli dari seluruh dunia untuk membahas masalah terkait. Upaya Gereja ini dilakukan dalam rangka persiapan perayakan 50 tahun dikeluarkannya Deklarasi Gravissimum Educationis (1965), dan 25 tahun diterbitkannya Konstitusi Apostolis Ex Corde Ecclesiae (1990). Kertas kerja ini diharapkan bisa dimanfaatkan sebagai pegangan pembaharuan diri di bidang pendidikan oleh lembaga-lembaga seperti konferensi waligereja,
asosiasi internasional superior jenderal tarekat-tarekat
religius, asosiasi nasional serta internasional penyelengara sekolah-sekolah serta universitas-universitas, dan asosiasi nasional serta internasional para guru, orangtua, mahasiswa, serta alumni.
Dalam kertas kerja tersebut, dibahas isu perlunya Gereja membaharui diri di bidang pendidikan terutama saat harus menghadapi perubahan-perubahan dalam konteks historis serta sosial masyarakat akibat kemenangan liberalisme. Lewat kertas kerja ini, secara implisit Gereja ingin menyampaikan sikapnya yang cenderung mewapadai liberalisme, khususnya yang diterapkan bagi pengembangan ekonomi. Liberalisme di bidang ekonomi telah dikembangkan ke arah mengejar kemakmuran ekonomi tanpa batas dengan berpegang pada prinsisp-prinsip ekonomi yang mengesampingkan aspek-aspek non ekonomi seperti: keadilan sosial, solidaritas atau kesetiakawanan, dan kelestarian planet bumi. 1
Lewat kertas kerja “Mendidik di Masa Kini dan Masa Depan”, Gereja ingin menegaskan bahwa budaya dan pendidikan tidak boleh tunduk kepada kekuatankekuatan ekonomi yang bekerja dengan motivasi semata-mata demi kemakmuran ekonomi tanpa batas dan bersifat ekploitatif. Gereja ingin mendukung semua individu dan lembaga-lembaga baik nasional maupun internasional
yang
menentang kecenderungan liberalisme pasar bebas. Salah satu dukungan nyata diberikan oleh Gereja kepada UNESCO yang mendeklarasikan bahwa pendidikan merupakan hak universal bagi semua orang. Negara dan masyarakat harus bisa memenuhi hak universal ini.
Apa yang mendasari sikap Gereja mewaspadai liberalisme? Alasan utama adalah karena Gereja melihat: terjadinya ketegangan, konflik, dan fragmentasi pada tataran kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama tak terlepas dari kemenangan ideologi liberalisme atas sosialisme
terutama setelah jatuhnya
komunisme Rusia. Kemenangan ini begitu diagung-agungkan oleh para pengikutnya sehingga dianggap sebagai satu-satunya ideologi yang pantas dianut oleh sistem politik kenegaraan dan sistem ekonomi manapun. Pertumbuhan ekonomi negara tidak lagi dipercayakan kepada tanggung jawab pemegang kekuasaan negara melainkan kepada mekanisme ekonomi pasar.
Mekanisme ekonomi pasar diandaikan akan bisa menjamin kesejahteraan umum lewat apa yang dikenal dengan istilah trickle down effect. Kemakmuran yang dibangun lewat mekanisme ekonomi pasar dan terakumulasi di lapisan masyarakat atas pada waktunya akan menetes ke bawah sehingga semua orang di lapisan masyarakat bawah akan mengalami kemakmuran pula. Untuk dunia pendidikan berlaku hukum yang sama. Pemenuhan hak universal pendidikan bagi seluruh warga negara dipercayakan sepenuhnya kepada mekanisme ekonomi pasar. Negara membatasi campur tangannya pada pemenuhan hak pendidikan tingkat
2
paling dasar saja. Warga negara dari kelas ekonomi rendah harus bersaing dengan warga ekonomi kelas menengah dan kelas atas untuk bisa mendapatkan peluang pendidikan pada tingkat lebih lanjut. Untuk dunia pendidikan, penerapan liberalisme ekonomi pasar bebas mendapatkan peluang paling besar pada tingkat pendidikan paling tinggi yakni perguruan tinggi.
Liberalisme dalam kehidupan negara dan masyarakat jaman ini tidak lagi tampil sebagai sebuah ajaran atau ideologi yang memiliki akar sangat panjang dalam dunia pemikiran barat, mulai dari paham demokrasi jaman keemasan Junani sebelum Masehi, pemikiran John Locke tentang hak-hak kodrati manusia, deklarasi hak-hak manusia dan warga negara dari Revolusi Perancis, sampai dengan yang kini dikembangkan terutama di Amerika Serikat. Liberalisme yang ingin diwaspadi oleh Gereja adalah liberalisme yang telah beradaptasi serta menyatu dengan irama kehidupan masyarakat yang semakin terbuka dan meng-global. Jejak-jejaknya dapat dirunut dari kemunculan kebijakan pasar bebas secara global, dominasi perusahan-perusahan multinasional yang bisa mengatur tata ekonomi dunia, penghilangan subsidi bagi kelas ekonomi rendah oleh negara, pelonggaran regulasi demi penggalakan investasi, penciptaan iklim persaingan bebas, deregulasi, standarisasi, dll.
Dampaknya bisa positif dan bisa negatif. Dampak positifnya, antara lain: kemajuankemajuan ekonomi di sebagian belahan dunia, perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, percepatan globalisasi, dan perkembangan sistem ekonomi global. Dampak negatifnya, yang lebih bersifat lokal dan pantas dicatat di sini, antara lain: budaya mengejar posisi, ranking; peluang penguasaan materi yang menghalalkan praktek-praktek korupsi; ketersingkiran kelompok ekonomi lemah, kehadiran radikalisme di mana-mana; kerusakan alam akibat eksploitasi oleh
3
kekuatan-kekuatan ekonomi yang cenderung serakah; pertumbuhan pola hidup konsumtif atas barang-barang yang serba instan.
Melalui acara Hari Studi di bulan Oktober 2016 di Surabaya dan Rapat Umum Anggota APTIK di bulan Maret 2017 di Makasar, APTIK telah mengangkat Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) sebagai tema studi sekaligus pilihan landasan strategis untuk merancang program-program baru dalam rangka Renstra APTIK 2017-2021 dan pembaharuan organisasi APTIK. Pilihan tema ini dimaksudkan untuk membantu APTIK agar bisa melangkah lebih jauh dalam upaya menghadirkan perutusan Gereja Indonesia di tengah-tengah dunia yang sedang berubah cepat. Hal yang paling dirasakan saat ini tentunya perubahan dalam konteks Indonesia menghadapi tantangan-tangangan MEA. Kelahiran APTIK menyatu dengan proses perubahan kesadaran meng-Gereja sejak Konsili Vatikan II terarah ke peningkatan kesadaran akan peran pentingnya Gereja lokal dalam konteks penyelamatan dunia.
Maka sudah selayaknya APTIK, dalam usaha menghadirkan dirinya di dalam kerangka MEA, tak bisa melepaskan diri dari dari ikatannya dengan dinamika Gereja Indonesia sekaligus dinamika bangsanya, yakni bangsa Indonesia, untuk bisa ikut membangun masa depan dunia yang lebih baik. MEA menjadi pilihan pintu masuk usaha APTIK melibatkan diri di dalam percaturan Indonesia di tengah pergaulannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Tema MEA ternyata telah membawa APTIK masuk ke dalam proses pembelajaran yang tak terduga dan mungkin unik bagi perjalanan Asosiasi ini. Ada empat narasumber yang dipilih untuk memberikan masukan-masukan guna membantu proses pembelajaran bersama selama dua acara yang saling terkait tersebut. Satu narasumber dipilih dari lingkungan internal APTIK, yakni: Drs. Johanes Eka Priyatma Ph.D., Rektor Universitas Sanata Dharma, yang ditugasi untuk mengantar masuk ke
4
dalam peta tantangan-tantangan konkret MEA bagi Perguruan Tinggi APTIK. Tiga narasumber lainnya dipilih dari luar APTIK, yakni: Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi dari Universitas Indonesia; Bruder Armin A. Luistro, FSC, mantan Sekretaris Menteri Pendidikan Filippina; dan Dr. Ir. Patdono Suwignjo, M.Eng.Sc., Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek-Dikti. Ketiga narasumber ini diminta untuk membantu APTIK memperluas sekaligus memperdalam scope pemahaman terkait dunia pendidikan tinggi di belahan dunia yang bernama Asia Tenggara baik dalam perspektif MEA maupun perspektif dunia lebih luas yang sedang bergolak.
APTIK, di satu pihak, diajak melihat MEA sebagai kerangka membangun tata kehidupan berbangsa baru dalam perspektif kebersamaan yang luas. Dalam perspektif jangka jauh, kebesamaan yang hendak dibangun tidak hanya kebersamaan pada tingkat regional melainkan juga pada tingkat global. MEA ingin dijadikan kendaraan memasuki persaingan ekonomi global. Dengan menggunakan sebutan MEA, tata kehidupan berbangsa dalam ikatan kebersamaan ini terkesan mau menekankan pengembangan aspek ekonomi semata.
Pendidikan tinggi
diposisikan seakan-akan lebih sebagai sasaran saja. Namun sebenarnya tidaklah demikian. Aspek sosial, budaya, dan politik tak kalah penting terutama dalam keterkaitannya dengan harapan terhadap peranan dunia pendidikan tinggi sebagai penunjang pengembangan kebersamaan tersebut. Dalam posisi pendidikan tinggi sebagai penunjang ditemukan tantangan-tantangan yang jauh lebih berat. Pendidikan tinggi diharapkan bisa membangun nilai-nilai serta prinsip-prinsip kerja sama yang bermartabat, mengembangkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas serta berdaya saing tinggi, membuka peluang-peluang bagi terciptanya pertukaran ilmu serta teknologi, kegiatan penelitian bersama, membuka jalan bagi mobilisasi dosen serta mahasiswa, dan mengembangkan budaya belajar sepanjang hayat.
5
Menurut Bapak Eka Priyatma, dalam konteks MEA, Indonesia masih membutuhkan reformasi pendidikan tinggi. Reformasi bisa difokuskan pada bidang-bidang: kurikulum,
penjaminan
mutu,
model
pembelajaran,
kerja
sama,
dan
pengembangan sumber daya manusia. MEA bisa dimaknai sebagai peluang bagi dilakukannya reformasi pendidikan tinggi secara menyeluruh. Kontribusi Indonesia bisa dibangun dengan mengandalkan kekhasan-kekhasaan serta keunggulankeunggulan lokal yang telah dimiliki. Dalam rangka reformasi ini, Ibu Sulistyowati Irianto mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar sifatnya. Pertanyaanpertanyaan itu meliputi: Hasil temuan sains dan teknologi macam apa yang bisa kita sumbangkan lewat perguruan tinggi kita? Bagaimana perguruan tinggi kita merespon persoalan-persoalan kemasyarakatan serta kemanusiaan global yang semakin kompleks? Seberapa jauh kita telah mampu memecahkan persoalanpersoalan mendasar di lembaga-lembaga perguruan tinggi kita sendiri? Apa saja yang harus diperjuangkan oleh segenap civitas akademika kita saat ini?
Bapak Patdono Suwignjo, selaku Dirjen Kelembagaan Iptek Dikti, memberikan peta strategi reformasi pendidikan tinggi yang dipilih Indonesia dalam menghadapi MEA. Secara sederhana dapat digambarkan adanya tiga strategi utama yang dipilih oleh Pemerintah saat ini, yakni: 1) peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga Indonesia melalui pendidikan tinggi; 2) penetapan peningkatan daya saing bangsa melalui peningkatan tenaga trampil dan inovasi sebagai ultimate goal strategi kerja Kementerian Ristek Dikti ke depan; dan 3) revitalisasi pendidikan tinggi vokasi dan peningkatannya secara kuantitatif.
Dalam pengantar buku ini kiranya perlu dilontarkan dua pertanyaan reflektif berikut:
6
(1) Bagaimana MEA, Renstra APTIK 2017-2021, dan pembaharuan organisasi APTIK kita tempatkan dalam kerangka besar pembaruan perutusan bidang pendidikan tinggi seperti yang dirindukan Gereja saat ini? (2) Disposisi batin macam apa yang kita perlubangun saat ini ketika tantangantantangan nyata di depan tampak semakin kompleks?
Di sini perlu kita berasumsi bahwa apa yang dirindukan atau dijadikan hasrat besar Gereja saat ini mencerminkan ke mana Roh Kudus sedang mendorong atau menggerakkan Gereja. Kita berkeyakinan bahwa Roh Kudus selalu bekerja untuk membaharui Gereja. Dalam menghadapi tantangan-tantangan jaman yang semakin sulit dan kompleks, kekuatan Roh Kudus akan diberikan secara berlimpah. Menghadapi situasi sebagaimana digambarkan di depan, Gereja – melalui dokumen Instrumentum Laboris (2014) – mengajak kalangan perguruan tinggi yang menyatakan diri
Katolik untuk terlibat aktif
dalam perancangan dan
pengembangan sebuah konteks budaya alternatif yang oleh dokumen Gereja, yakni Gaudium et Spes diberi nama “humanisme baru” (GS, no. 55).
Apa yang dimaksudkan dengan budaya humanisme baru di sini? Budaya humanism baru bisa digambarkan sebagai budaya manusia yang lebih universal, yang di satu pihak mampu semakin memajukan serta mengungkapkan kesatuan umat manusia, dan di lain pihak bisa memberikan perhatian lebih kepada kekhususan kebudayaankebudayaan yang berbeda-beda. Jalan menuju perwujudan budaya baru macam ini dimungkinkan di jaman ini berkat peningkatan kesadaran akan otonomi sekaligus tanggung-jawab dari pelbagai kelompok masyarakat serta negara, perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan baik eksakta maupun non-eksakta, kemajuan teknik informasi, kemudahan masyarakat mengakses segala macam informasi yang tersedia, kemajuan
pemanfaatan alat-alat komunikasi antar manusia, dan
peningkatan hubungan timbal-balik antar bangsa serta kelompok masyarakat.
7
Budaya baru ini bersifat humanistis serta universal karena manusia yang berada di berbagai belahan dunia dengan berbagai inspirasi kemanusiaan khas yang dimiliki mau ditempatkan sebagai seniman dan pencipta utamanya.
Perancangan budaya humanisme baru ini dipercayakan oleh Gereja kepada perguruan-perguruan tinggi Katolik di manapun keberadaannya di muka dunia ini, termasuk mereka yang tergabung dalam asosiasi bernama APTIK.
Hasil
pembelajaran bersama APTIK dengan mengangkat isu MEA, penetapan pilihan strategi serta program kerja lewat Renstra APTIK 2017-2021, dan usaha pembaharuan organisasi APTIK bisa kita tempatkan sebagai usaha Gereja lokal untuk menjadikan diri kita seniman dan pencipta budaya baru dalam konteks nyata di lingkup ASEAN. Inilah makna paling mendalam yang kita bisa petik dari apa yang sudah dan sedang kita usahakan bersama saat ini. Gereja Indonesia melalui APTIK sedang dipanggil untuk menjadi seniman dan pencipta kreatif budaya baru tersebut. Bagaimana hal ini bisa dilakukan APTIK dalam suasana politik dunia termasuk Indonesia, yang oleh Bruder Armin A. Luistro FSC digambarkan sebagai the age of post-truth di mana kepentingan-kepentingan politik pecah belah, beritaberita bohong, sulutan-sulutan api kemarahan, kebencian, frustrasi, dan kondisikondisi krisis diciptakan lewat manipulasi media sosial.
Dalam menghadapi dunia seperti digambarkan sebelumnya, APTIK dianjurkan untuk memaknai seruan Paus Fransiskus
kepada para pendidik di lembaga-
lembaga pendidikan Katolik: “know how to enter, with courage, into the Areopagus of contemporary cultures and to initiate dialogue, aware of the gift they are able to offer to all.” Lembaga-lembaga pendidikan Katolik melalui para guru dan dosennya telah diberi anugerah-anugerah yang bisa ditawarkan untuk memulai dialog secara berani. Disposisi batin yang perlu dibangun oleh APTIK untuk menghadapi tantangan-tantangan era post-truth adalah percaya pada anugerah-anugerah yang
8
telah diberikan kepada kita dan berani melangkah maju. Anugerah-anugerah dimaksud bisa mengambil berbagai macam bentuk: praktik–praktik baik, pengetahuan, pengalaman, semangat, kesediaan membangun kemitraan, kerjasama, organisasi dengan rencana-rencana kerjanya, kesediaan untuk selalu memperbaharui diri, dll.
Dialog berani mengandaikan adanya ruang-ruang refleksi, pemikiran jernih serta mendalam, kemampuan berdiskresi, dan pencarian kebenaran secara terus menerus. Hal-hal terakhir ini harus bisa ditemukan di lingkungan perguruanperguruan tinggi APTIK. Inilah ajakan sangat menarik dari Bruder Luistro kepada APTIK dalam menghadapi tantangan-tantangan era post-truth:
Thus is the task of the university in this purportedly post-truth world: to stand at the vanguard as defenders of truth. We must uphold the role of universities as centers of discernment. When the visceral holds sway over discourse, we must lean towards the contemplative. When virality dictates the public pulse, we must champion nuance and context. When our students obsess over proving themselves right, we must teach them to open their minds and hearts first, and pursue what the philosopher Gadamer called a fusion of horizons.
Yogyakarta, 1 Juni 2017 P. Wiryono P., SJ
9
1.
MAKNA MEA BAGI APTIK Johanes Eka Priyatma1
A. Latar Belakang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bertujuan mewujudkan integrasi pasar dan produksi, memperkuat daya saing ekonomi regional, mengurangi kesenjangan pembangunan di antara anggotanya, serta menjadi entitas wilayah penting dari ekonomi global (ASEAN Secretariat, 2008a). Semua pihak meyakini bahwa pendidikan tinggi (PT) merupakan bagian dari mekanisme penting untuk memudahkan proses integrasi tersebut karena peran sentralnya baik sebagai tujuan/sasaran maupun sebagai elemen pendukung integrasi. Ada tiga aspek penting yang sebaiknya kita perhatikan dalam hubungan antara PT dan integrasi ekonomi ini. Pertama, di masa datang layanan pendidikan tinggi yang semula sebagai layanan publik sehingga bersifat nir-laba menjadi sebuah komoditas yang dapat diperjual-belikan dan oleh karenanya tidak bersifat nir-laba. Kedua, MEA menuntut PT memberi perhatian lebih kepada pengembangan ekonomi regional dalam bentuk daya saing ekonomi, pengembangan sumber daya manusia, serta kerja sama tiga pihak antara pemerintah, industri dan perguruan tinggi. Ketiga, integrasi ekonomi menuntut ketersediaan sumber daya manusia yang mempunyai perspektif dan kompetensi yang baru, yakni: perspektif ASEAN sebagai satu kesatuan serta merupakan standar kerja dan relasi baru pada level regional Asia Tenggara. Dengan demikian, tantangan besar yang kita hadapi adalah bagaimana kita dapat secara efektif menghadirkan layanan pendidikan tinggi yang mendukung MEA sebagai entitas baru tata masyarakat regional yang pasti akan sangat diwarnai oleh integrasi budaya, bahasa, hukum, dan politik yang baru. Secara lebih khusus, APTIK yang merupakan asosiasi perguruan tinggi swasta Katolik akan menghadapi tantangan besar berkompetisi dengan perguruan tinggi lain yang dikelola untuk memperoleh profit. Secara lebih khusus lagi, PTS Katolik anggota APTIK menghadapi tantangan untuk menghadirkan kekhasan dan kontribusi uniknya di dalam konteks baru, yakni MEA.
1
Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (
[email protected]). Seksi 2, 3 dan 4 disarikan dari Kamolpun, S (2015) The Impact Of Asean Economic Integration On The Thai Higher Education Policy And Plan, University of Pittsburgh. 2
10
B. Tujuan Integrasi Regional2 Per-definisi integrasi ekonomi regional adalah proses di mana dua atau lebih negara menghilangkan berbagai pembatasan dan hambatan perdagangan internasional, investasi, dan mobilitas penduduk (Carbaugh, 2012). Integrasi ekonomi regional bertujuan mengubah suatu kawasan menjadi pasar tunggal dan basis produksi demi peningkatan daya saing ekonomi regional, pertumbuhan ekonomi, percepatan pembangunan, serta pemantapan posisi wilayah tersebut dalam ekonomi global (ASEAN Secretariat, 2008b). Hasil akhir dari integrasi ekonomi regional bervariasi karena tergantung pada tingkat integrasi mulai dari perjanjian perdagangan bebas sampai dengan penyatuan ekonomi dan politik (Rosamond, 2005). Cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan ASEAN Socio-Cultural (ASCC) menyatakan bahwa perguruan tinggi di setiap negara harus membantu negaranya menangkap peluang serta mengatasi dampak integrasi ekonomi ASEAN. Salah satu peran pentingnya adalah mendukung terwujudnya arus bebas tenaga kerja di antara negara-negara anggota ASEAN dengan cara mengharmonisasikan sistem dan kualifikasi pendidikan, mempromosikan pembelajaran seumur hidup, dan menghasilkan tenaga kerja yang kompetitif (ASEAN Secretariat 2009a). Untuk itu ASEAN mengharap anggotanya memasukkan agenda integrasi ekonomi ASEAN kedalam kebijakan pendidikan tingginya supaya integrasi berhasil baik dan menyiapkan diri menangkap peluang yang muncul dari integrasi ini. ASEAN perlu mengembangkan identitas bersama yang mendukung integrasi lebihlebih ketika kita menyadari bahwa ASEAN beragam dalam banyak aspek kehidupan. Dari sistem politik, ASEAN terdiri dari negara-negara demokrasi, republik sosialis, monarki, dan kediktatoran militer. Terkait kemajuan pembangunan ekonomi, Singapura merupakan salah satu negara yang paling kompetitif menurut World Economic Forum (WEF), sedangkan Kamboja, Laos, dan Myanmar adalah negara-negara yang tergolong paling terbelakang. Anggota ASEAN juga beragam dalam hal bahasa, agama, budaya, dan sistem pendidikan. Meskipun cetak biru integrasi ASEAN memberikan panduan pengembangan kebijakan yang sesuai untuk setiap negara tetapi dukungan yang kuat dari sektor pendidikan sangat diperlukan. Untuk menciptakan kesamaan identitas regional, pendidikan tinggi perlu mendorong lahirnya kesadaran mahasiswa sebagai bagian dari kawasan yang beragama budayanya. Diharapkan warga ASEAN akan menerima dan menghormati perbedaan berbagai budaya yang ada di kawasan ini. Hal-hal ini akan menjadi dasar PT untuk mengembangkan tenaga kerja yang kompeten, menggalakkan penelitian dan inovasi, serta melakukan harmonisasi demi tumbuhnya kualitas pendidikan tinggi. Hasilnya diharapkan membantu
11
meningkatkan volume perdagangan barang dan jasa serta aliran bebas modal dan tenaga kerja, yang merupakan tujuan dan indikator keberhasilan MEA. Karena MEA merupakan hal yang sangat baru maka kita bisa belajar dari Uni Eropa yang memiliki sejumlah inisiatif untuk memanfaatkan pendidikan tinggi sebagai pendorong kerja sama ekonomi dan pembangunan. Inisiatif tersebut antara lain gagasan belajar seumur hidup dan program mobilitas dosen dan mahasiswa seperti ERASMUS, Leonardo da Vinci, serta Erasmus Mundus. Selain itu, Uni Eropa telah menerapkan dua kerangka kualifikasi regional untuk meningkatkan komparabilitas kualifikasi, mobilitas mahasiswa dan tenaga kerja, serta meningkatkan kemampuan kerja (employability) lulusan. Banyak penelitian menyimpulkan bahwa kelahiran Uni Eropa telah mendorong terjadinya reformasi pendidikan tinggi baik di negara anggota maupun bukan anggota uni Eropa. Dampaknya berupa, antara lain: terjadinya reformasi penjenjangan akademik (degree), sistem penjaminan mutu, promosi mobilitas mahasiswa dan dosen, serta peningkatan kerja sama dengan lembaga bisnis. Penelitian juga menunjukkan pentingnya dan perlunya kerja sama perumusan kebijakan baik pada level organisasi, pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi.
C. Hubungan Integrasi Ekonomi dan Pendidikan Tinggi Sebagaimana disebut di atas, ada dua peran pendidikan tinggi dalam integrasi ekonomi regional yakni sebagai sasaran integrasi maupun hanya sebagai pendukung. Sebagai sasaran, integrasi ekonomi regional bertujuan menghilangkan hambatan perdagangan dan meningkatkan volume perdagangan jasa pendidikan tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap negara anggota wajib menyesuaikan peraturan supaya penyedia layanan pendidikan tinggi dari suatu negara anggota bebas masuk dan bersaing secara sehat di pasar domestik (World Trade Organization, 2001). Sebagai elemen pendukung, pendidikan tinggi diharapkan dapat memainkan peran utama dalam meningkatkan daya saing ekonomi, pengembangan sumber daya manusia, dan harmonisasi sistem pendidikan tinggi di negara-negara anggota. Peran ini akhirnya akan meningkatkan pembangunan ekonomi kawasan dan mengurangi kesenjangan pembangunan di antara negara-negara anggota (ASEAN Secretariat 2008b, 2009a). 1. Perguruan Tinggi sebagai Sasaran Menurut GATS, ada empat bentuk layanan yang mungkin, yakni: pasokan lintas batas, konsumsi luar negeri, kehadiran komersial, dan gerakan perorangan (World Trade Organization, 2006) seperti dalam tabel berikut.
12
Bentuk Pasokan lintas batas Konsumsi di luar negeri Kehadiran perdagangan
Mobilissasi tenaga kerja
Uraian Konsumen di negara X menerima layanan dari luar negeri lewat berbagai saluran komunikasi. Tak perlu ada kontak fisik. Warganegara X berpindah ke negara lain untuk mendapatkan layanan di negara tersebut Layanan diberikan di dalam negara X oleh institusi lokal yang berafiliasi dengan pemilik asing Warga asing menyediakan jasanya di suatu negara secara perseorangan
Praktek di PT Pembelajaran jarak jauh E-learning Mahasiswa belajar di luar negeri Kampus luar negeri yang beroperasi/membuka cabang di suatu negara Profesor yang bekerja di PT luar negeri Sumber : WTO (2006)
2. Perguruan Tinggi sebagai Elemen Penunjang Berdasarkan tujuan dari integrasi ekonomi regional, pendidikan tinggi diharapkan memainkan peran penting dalam meningkatkan pembangunan ekonomi regional dan mengurangi kesenjangan pembangunan di antara negara-negara anggota. Untuk mencapai tujuan ini, peran pendidikan tinggi meliputi peningkatan daya saing ekonomi, pengembangan sumber daya manusia, dan harmonisasi sistem pendidikan tinggi (ASEAN Secretariat 2008b, 2009a). Peran ini jelas terbukti di Uni Eropa melalui kebijakan Eropa 2020, yang berfokus pada pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi serta penguatan sumber daya manusia beserta perangkat pendukungnya, seperti: Proses Bologna dan Strategi Lisabon. a. Pendidikan Tinggi dan Daya Saing Ekonomi Daya saing ekonomi mengacu pada seperangkat kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemampuan produktivitas (Shafaeddin, 2012; WTO, 2011). Ini mengacu sekaligus kepada tujuan dan rencana pembangunan ekonomi (Shafaeddin, 2012). Sebagai tujuan, setiap negara harus mengidentifikasi dan menemukan faktor serta merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang dapat meningkatkan daya saing. Semakin tinggi tingkat daya saing suatu negara maka semakin tinggi pula keunggulan negara tersebut dalam perdagangan internasional maupun dalam pembangunan ekonomi (World Economic Forum, 2011). Menurut World Economic Forum (WEF), ada tiga tahap pembangunan ekonomi yakni tahap pasokan, tahap efisiensi, dan tahap inovasi. Daya saing ekonomi di setiap tahap bergantung kepada berbagai faktor, misalnya: sumber daya alam,
13
efisiensi pasar, dan tenaga kerja terampil. Pendidikan tinggi memiliki peran penting dalam meningkatkan daya saing ekonomi ini terutama pada tahap efisiensi dan inovasi dengan mengembangkan tenaga kerja terampil, melakukan penelitian lanjut, dan mentransfer teknologi untuk sektor bisnis (World Economic Forum, 2011). b. Pendidikan Tinggi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Teori sumber daya manusia menyatakan bahwa kemampuan belajar individu merupakan aset yang setara dengan modal atau sumber daya lain dalam proses produksi (Nafukho, Hairston, dan Brooks, 2004). Teori ini menyatakan adanya korelasi positif antara kuantitas dan kualitas pendidikan, kesehatan umum dan kondisi gizi tenaga kerja dengan pendapatan baik di tingkat mikro maupun makro (Zulkifli, 1999). Menurut teori ini, investasi pendidikan sangat penting karena dapat mengubah seseorang dari tenaga kerja tidak terampil ke tenaga kerja terampil, sehingga meningkatkan produktivitas dan daya saing individu, negara dan kawasan (Nafukho, Hairston, dan Brooks, 2004). Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa jumlah tahun sekolah akan secara signifikan meningkatkan pendapatan individu (Stanfield, 2009). Dalam konteks yang lebih luas, PT diharapkan memberikan sumbangan di berbagai bidang penting terkait dengan integrasi wilayah ini sebagaimana disajikan dalam table berikut.
14
D. Harmonisasi Sistem Pendidikan Tinggi Integrasi ekonomi regional menempatkan pendidikan tinggi sebagai bagian dari infrastruktur ekonomi regional. Untuk itu lembaga pendidikan tinggi diharapkan melayani wilayah dan setiap negara di wilayah ini terlepas dari lokasi mereka (Echols, 1996; OECD, 2009). Sebagai konsekuensi, integrasi ekonomi regional memasukkan kebijakan harmonisasi pendidikan tinggi sebagai bagian dari proses integrasi. Harmonisasi pendidikan tinggi adalah proses yang bertujuan untuk mengenali keragaman pendidikan tinggi, membangun hubungan antara sistem pendidikan tinggi yang berbeda, dan mempromosikan panduan dan langkah praktis bersama untuk kerja sama (Terada, 2003). Umumnya, harmonisasi pendidikan tinggi dilakukan dengan meniru Uni Eropa dan kerangka Proses Bologna. Ini berfokus pada tiga hal yakni mobilitas lintas-negara dosen dan mahasiswa, pengakuan kredit dan gelar serta belajar sepanjang hayat (Neubauer, 2012). 1. Mobilitas Mahasiswa dan Dosen Mobilitas mahasiswa terjadi ketika mahasiswa meninggalkan negara asal mereka untuk belajar di negara lain. Mobilitas ini bisa bersifat vertikal (gelar) maupun horizontal (non-gelar). Mobilitas vertikal berlangsung ketika mahasiswa melanjutkan belajar di luar negeri untuk memperoleh gelar akademik yang lebih tinggi. Sebaliknya, mobilitas horisontal merupakan studi jangka pendek di luar negeri di mana mahasiswa hanya menyelesaikan beberapa modul atau program tetapi tidak seluruh gelar (Teichler, 2003, 2011). Mobilitas dosen terwujud ketika seorang dosen meninggalkan negara mereka untuk tujuan pengajaran, pelatihan, dan penelitian. Lintas batas mobilitas mahasiswa dan dosen dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan dan keahlian di antara negara-negara yang akan meningkatkan kerja sama akademik dan penelitian serta dapat mengurangi kesenjangan pembangunan ekonomi di wilayah tersebut (Neubauer, 2012). Program mobilitas mahasiswa dan dosen merupakan mekanisme penting dan menjadi indikator dari harmonisasi sistem pendidikan tinggi dan integrasi ekonomi regional. Jumlah mahasiswa dan dosen yang terlibat dalam mobilisasi ini menunjukkan derajat pengakuan kredit dan gelar. Mobilisasi ini akan meningkatkan employability, memfasilitasi transfer teknologi dan pengetahuan, serta mengembangkan kesadaran budaya yang menumbuhkan integrasi regional pada aspek ekonomi dan politik (Rexeisen, et al., 2008). Selain itu, mobilisasi akan membantu mahasiswa lebih memahami dan menyadari pilihan karir di luar negeri
15
yakni meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, terutama posisi yang membutuhkan pengalaman internasional (Relich dan Kindler, 1996). Kebijakan meningkatkan mobilitas mahasiswa dan dosen tentu menghadapi sejumlah tantangan antara lain keuangan, prosedur imigrasi, serta keragaman sistem pendidikan tinggi. Kendala keuangan merupakan hambatan terbesar untuk mobilitas mahasiswa (Souto-Otero, et al., 2013). Untuk itu organisasi regional dan pemerintah diharapkan memberikan dukungan keuangan yang tepat dan memadai untuk meningkatkan program mobilitas ini (Verbik dan Lasanowski, 2007). Terlepas dari kendala keuangan, kesulitan dalam mendapatkan visa dan izin kerja juga menghalangi program mobilitas mahasiswa dan dosen ini (Gürüz, 2011). Meskipun negara-negara di Eropa seperti Inggris, Perancis dan Jerman meringankan prosedur visa mereka dan memungkinkan mahasiswa untuk bekerja selama studi atau setelah lulus, sebagian besar negara masih memiliki prosedur yang ketat untuk memperoleh visa dan izin kerja karena alasan keamanan dan kesehatan masyarakat (Gürüz, 2011). Meskipun mobilitas mahasiswa dan dosen mendukung integrasi ekonomi regional tetapi ada sejumlah kekhawatiran. Pola mobilitas mahasiswa di Eropa dan Asia menunjukkan bahwa mahasiswa lebih memilih negara-negara maju untuk studi dan bekerja setelah lulus (Gürüz, 2011). Ini memicu terjadinya brain-drain negara kurang maju dan memperburuk kesenjangan pembangunan antara negara-negara anggota. Selain masalah brain-drain, ada masalah lain yang tidak sederhana misalnya keamanan, pengendalian penyakit epidemik, perdagangan manusia, narkotika dan terorisme. Berita gembiranya, mahasiswa Asia Timur yang belajar dan bekerja di negara Barat sangat disukai dalam sektor jasa (Brooks dan Walters, 2009). 2. Pengakuan Kredit dan Gelar Saling mengakui kredit dan gelar merupakan bagian yang sangat penting dalam proses harmonisasi. Sebelum pengakuan tersebut dapat dilakukan, langkah yang paling penting adalah transparansi jenjang dan kredit sehingga memudahkan pemahaman khusunya menyangkut standar dan kualifikasi yang diberlakukan. Hal ini penting untuk proses pengambilan keputusan baik oleh PT yang akan bekerja sama maupun oleh individu yang akan menempuh studi di lain negara. Fokus dari pengakuan kredit dan gelar ini untuk mereview, membandingkan serta untuk menciptakan kerangka bersama terkait kualifikasi lulusan dan sistem penjaminan mutu di berbagai negara. Berdasarkan pengalaman di Eropa, kerangka kualifikasi ini didasarkan pada masa studi dan capaian hasil belajar mahasiswa. Pengembangan kerangka kualifikasi ini telah memaksa negara-negara di Eropa
16
untuk melakukan reformasi pendidikan tinggi mereka. Sebelum pelaksanaan Proses Bologna, banyak negara di Eropa, misalnya, Jerman, Prancis, dan Belanda, tidak menggunakan sistem pendidikan tinggi tiga jenjang S1, S2 dan S3 maupun sistem kredit. 3. Belajar Sepanjang Hayat Fokus belajar sepanjang hayat adalah pada pengembangan tenaga kerja dan kerja sama antara pendidikan tinggi dan sektor bisnis. Tujuan utamanya untuk meningkatkan kemampuan kerja lulusan (employability). Meskipun literatur mendefiniskan kemampuan kerja sebagai kemampuan untuk memperoleh sebarang pekerjaan tetapi pertama-tama dimaksudkan sebagai kemampuan memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi dan tingkat pendidikannya. Bila kita terapkan konsep ini ke dalam konteks integrasi ekonomi maka hal itu berarti kemampuan lulusan memperoleh pekerjaan di dalam dan di luar negeri (OECD 2009). Untuk meningkatkan employability lulusan, pendidikan tinggi dan sektor bisnis harus bekerja lebih erat untuk memastikan bahwa program gelar (akademik) dan program pelatihan membantu lulusan dan tenaga kerja mengembangkan kompetensi yang diperlukan (Tomlinson, 2012). Seperti dua wilayah lain dalam harmonisasi, implementasi pembelajaran sepanjang hayat dalam konteks integrasi ekonomi regional setidaknya memiliki dua tantangan. Tantangan pertama adalah identifikasi kompetensi yang diperlukan (Martinez, 2008). Daftar kompetensi harus diidentifikasi berdasarkan referensi nasional dan internasional, misalnya, kerangka kualifikasi, standar profesional, dan persetujuan yang dibuat bersama. Tantangan kedua adalah menghubungkan kompetensi yang dibutuhkan dengan hasil belajar siswa (learning outcomes) dan menanamkannya ke dalam desain kurikulum (Cranmer, 2006). Umumnya, kompetensi harus mencakup aspek akademik dan profesional. Fokus kompetensi akademik berupa penelitian serta penguasaan, pengembangan dan penyebarluasan pengetahuan. Kompetensi profesional berfokus pada penerapan pengetahuan dan keterampilan generik dalam pekerjaan. Jika lembaga pendidikan tidak mampu mengidentifikasi kompetensi yang diperlukan, jangkauan kemampuan siswa akan terbatas yang berakibat pada kurangnya kemampuan untuk pengembangan intelektual dan professional (Kennedy, Hyland, dan Ryan, 2006). Oleh karena itu, penting bagi lembaga pendidikan untuk mengidentifikasi dan menghubungkan kompetensi ini dengan learning outcome mahasiswa sesuai bidang studi masing-masing.
17
E. Reformasi Pendidikan Tinggi Ada banyak peluang yang muncul dengan berlakunya MEA meskipun juga menimbulkan berbagai ancaman. Akan tetapi kita tidak mempunyai pilihan kecuali terus berbenah dan melakukan serangkaian penyesuaian, reformasi ataupuan harmonisasi. Reformasi tersebut menyangkut kurikulum, penjaminan mutu, model pembelajaran, kerja sama regional dan internasional, serta pengembangan sumber daya manusia. 1. Kurikulum Selama lima tahun terakhir Pemerintah telah mendorong PT Indonesai untuk menggunakan KKNI dalam pengembangan kurikulumnya. Sayangnya, perumusan KKNI belum sepenuhnya selesai untuk semua program studi. Penggunaan KKNI akan memudahkan semua pihak terutama mahasiswa dan lembaga asing untuk melihat dan kemudian mengambil keputusan ketika akan mengakses layanan pendidikan yang kita berikan. Pada dasarnya, kerangka kualifikasi memberikan gambaran umum tentang learning outcome mahasiswa yang diharapkan. Deskripsi ini tidak melulu untuk bidang tertentu maupun terbatas pada bidang profesional atau kejuruan tertentu (Karseth, 2010). Dengan demikian, masing-masing negara dan bidang studi dapat menggunakannya sebagai dasar untuk mengembangkan kerangkanya sendiri yang akan memfasilitasi pengakuan kredit dan jenjang, mempromosikan mobilitas mahasiswa dan tenaga kerja, dan meningkatkan employability lulusan (Burke, et al., 2009;. Rauhvargers, 2004). Lebih daripada itu, kalau kita menganggap MEA sebagai satu kesatuan baru maka ke depan harus dikembangkan Kerangka Kualifikasi Regional yang akan memudahkan relasi dan kerja sama antar regional misalnya antara MEA dan MEE. Supaya pengembangan kurikulum ini optimal maka seharusnya melibatkan semua pihak khususnya industri, pemerintah dan alumni. Industri dan pemerintah dapat memberikan gambaran kualifikasi lulusan yang diharapkan, sedang alumni dapat member informasi kesesuaian proses pembelajaran yang dulu diikuti dengan tuntutan dunia kerja. Selain penggunaan KKNI, pengembangan kurikulum sebaiknya memberi perhatin terhadap perubahan orientasi dan gaya belajar mahasiswa saat ini. Kurikulum harus mampu mengantar mahasiswa memenuhi kualifikasi lulusan abad 21 yang mencakup: kemampuan menghadapi kompleksiatas dan perubahan yang cepat, mempelajari hal baru terus-menerus dan menyesuaikan diri terus-menerus dan belajar secara multidisiplin;
18
kemampuan mengelola banjir informasi yakni menyaring dan menganalisis informasi dengan benar; kemampuan untuk berinteraksi dalam lingkungan lintas budaya; berani mengambil resiko dan menjadi pencipta ketimbang hanya sebagai pengguna; berani melakukan perubahan demi kebaikan lingkungan dan masyarakat.
2. Penjaminan Mutu Penjaminan mutu internal maupun eksternal (nasional) sudah menjadi kebiasaan kita karena sudah cukup lama diperkenalkan oleh pemerintah. Yang perlu kita kembangkan dalam konteks MEA adalah penjaminan mutu eksternal lewat akreditasi pada lingkup regional dan internasional. Dengan akreditasi ini maka PT akan terpaksa mengadopsi standar mutu regional dan/atau internasional. Hal ini akan meningkatkan penerimaan, akses, dan kerja sama antar PT di tingkat regional maupun internasional yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas PT secara keseluruhan. 3. Model Pembelajaran Model pembelajaran harus terus kita kembangkan sehingga menjadi semakin fleksibel (terbebas dari kungkungan tempat dan waktu), kaya representasi (multimedia), berformat digital, bersifat kolaboratif, dan berorientasi kepada penyelesaian kasus atau masalah konkrit. Selain itu, pembelajaran yang hanya berorientasi informatif menjadi semakin tidak relevan karena internet telah menyediakan dengan mudah dan murah. Yang lebih dibutuhkan adalah pembelajaran yang membantu mahasiswa untuk untuk melakukan generalisasi, berfikir kritis dan kreatif. Hal ini sangat penting di tengah kehidupan kita yang semakin hari semakin diwarnai oleh ketidakpastian, kompleksitas yang tinggi serta perubahan yang sangat cepat. 4. Kerja Sama Luar Negeri Kerja sama dengan PT luar negeri yang bermutu memang sangat strategis dan penting baik untuk kepentingan pengembangan riset, pertukaran dosen dan mahasiswa, maupun gelar ganda (double degree). Namun demikian,kerja sama ini sering menemui kendala mendasar yang menyangkut perbedaan kualifikasi dan standar mutu akademik, pendanaan karena perbedaan tingkat kemakmuran, serta penguasaan bahasa asing. Pepatah Jawa mengatakan “ngangsu banyu pepikulan warih” (mencari air bermodalkan air) dapat kita pakai sebagai prinsip dalam membangun kerja sama
19
luar negeri ini. Karena kita cenderung ingin bekerja sama dengan PT luar negeri yang lebih tinggi kualifikasinya maka hal tersebut hanya mungkin kalau PT APTIK mempunyai kekhasan atau keunggulan lokal yang tidak dimiliki PT mitra kerja sama. Bila ini mungkin maka kerja sama yang setara dan bersifat win-win dapat terwujud secara produktif.
F. Penutup/Refleksi Sebenarnya kelahiran MEA bukanlah sesuatu hal baru yang berpengaruh terhadap PT. Telah lama PT menempatkan eksistensi dan kontribusinya dalam lingkup global sehingga isu-isu terkait MEA seperti pengembangan kurikulum yang mengacu ke KKNI, mobilitas dosen dan mahasiswa, serta pengakuan kredit dan gelar telah lama menjadi pergulatan PT Indonesia. Meskipun demikian, kelahiran MEA memberikan tantangan baru yakni perluasan konteks PT APTIK dari lingkup nasional menuju lingkup regional yang lebih terbayangkan dan terkelola ketimbang pada lingkup global. Perluasan konteks ini menuntut PT menyadari dan mengambil konsekuensi akan eksistensinya sebagai bagian dan demi ASEAN. Tantangan baru terebut hanya dapat dikelola dengan baik apabila kita berani mengambil langkah drastis dalam manajemen dan kepemimpinan PT setelah kita menyadari betapa jauhnya kualitas tridaharma PT Indonesia dibanding PT negara tetangga seusia. Saya merasa sumber perkara dari rendahnya kualitas PT berasal dari beralihnya tugas dan perhatian tenaga akademik (dosen) ke bidang nonakademik yakni manajemen dan administrasi sealin tentu saja di beberapa situasi karena besarnya beban mengajar. Dengan demikian tugas utama dosen bukan pada tridharma saja melainkan catur dharma karena ditambah dengan tugas manajemen administratif. Celakanya, tugas tambahan ini malah menghabiskan energi sehingga menurunkan kualitas kegiatan tridharma. Mari kita perhatikan situasi kepemimpinan di tingkat puncak PT. Ada ketua atau rektor, dan dibantu oleh tiga sampai empat wakil rektor yang semuanya merupakan tenaga akademik. Padahal kalau dipikir mendalam, kita hanya butuh seorang rektor dan seorang wakil rektor bidang akademik, sedang wakil rektor yang lain bisa berasal dari tenaga non akademik karena memang tugas kesehariannya tidak terkait dengan bidang akademik. Sementara itu pola personalia rektorat ini ditiru pada tingkat fakultas dan program studi bahkan kepala biro atau unit yang kegiatannya sangat teknispun dipegang oleh tenaga akademik. Pertanyaan untuk kita semua: mungkinkah kita melakukan reformasi struktural mendasar demi kualitas PT di masa mendatang?
20
Pustaka ASEAN Secretariat. 2008a. ASEAN Charter. Jakarta, Indonesia: ASEAN Secretariat. ASEAN Secretariat. 2008b. ASEAN Economic Community Blueprint. Jakarta, Indonesia: ASEAN Secretariat. ASEAN Secretariat. 2009a. ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint. Jakarta, Indonesia: ASEAN Secretariat. Brooks, Rachel, and Johanna Walters. 2009. "International Higher Education and the Mobility of UK Students." Journal of Research in International Education 8 (2): 191-209. Carbaugh, Robert J. 2012. International Economics. 14th ed. Independence, KY: Cengage Brain. Echols, Marsha A. 1996. Regional Economic Integration and Higher Education: An Idea for a University. Law and Policy in International Business 27 (4): 903-925. Gürüz, Kemal. 2011. Higher Education and International Student Mobility in the Global Knowledge Economy. Albany, NY: State University of New York Press. Nafukho, Fredrick Muyia, Nancy Hairston, and Kit Brooks. 2004. "Human Capital Theory: Implications for Human Resource Development." Human Resource Development International 7 (4): 545-551. OECD. 2009. Higher Education to 2030 Volume 2: Globalization, Educational Research and Innovation. Paris: OECD Centre for Educational Research and Innovation. Rosamond, Ben. 2005. "The Uniting of Europe and the Foundation of EU Studies: Revisiting the Neofunctionalism of Ernst B. Haas." Journal of European Public Policy 12 (2): 237-254. Neubauer, Deane E. 2012. "Introduction: Some Dynamics of Regionalization in AsiaPacific Higher Education." In Higher Education Regionalization in Asia Pacific: Implications for Governance, Citizenship, and University Transformation, edited by John N. Hawkins, Ka-Ho Mok and Deane E. Neubauer (pp. 3-16). New York: Palgrave Macmillan. Relich, J. D., and M Kindler. 1996. "Canadian Students Down Under: An Intercultural Perspective for Teacher Training in Australia." Frontiers: The Interdisciplinary Journal of Study Abroad 2: 35-48. Rexeisen, Richard J., Philip H. Anderson, Leigh Lawton, and Ann C Hubbard. 2008. "Study Abroad and Intercultural Development: A Longitudinal Study." Frontiers: The Interdisciplinary Journal of Study Abroad 17: 1-20. Shafaeddin, S. M. 2012. Competitiveness and Development: Myth and Realities. London, UK: Anthem Press. Souto-Otero, Manuel, Jeroen Huisman, Maarja Beerkens, Hans de Wit, and Suncica Vujic. 2013. "Barriers to International Student Mobility: Evidence from the Erasmus Program." Educational Researcher 42 (2): 70-77. Stanfield, James. 2009. "The Rise and Fall Of Human Capital Theory." Economic Affairs 29 (1): 100.
21
Teichler, Ulrich. 2003. "Mutual Recognition and Credit Transfer in Europe: Experiences and Problems." Journal of Studies in International Education 7 (4): 312-341. Teichler, Ulrich. 2011. "Bologna-Motor or Stumbling Block for the Mobility and Employability Of Graduates." In Employability and Mobility of Bachelor Graduates in Europe: Key Results of the Bologna process, edited by Harald Schomburg and Ulrich Teichler. Rotterdam, The Netherlands: Sense Publishers. Terada, Takashi. 2003. "Constructing an 'East Asian' Concept and Growing Regional Identity: from EAEC to ASEAN+3." Pacific Review 16 (2): 251-277. Verbik, Line, and Veronica Lasanowski. 2007. International Student Mobility: Patterns And Trends. London, UK: The Observatory on Borderless Higher Education. WTO. 2001. Guide to the GATS: An Overview of Issues for Further Liberalization. Geneva, Switzerland: WTO. WTO. 2006. The General Agreement on Trade in Services (GATS): An Introduction. Geneva, Switzerland: WTO. Zulkifli, Siti Norazah. 1999. "Nutrition as a Basic Prerequiste for Human Capital Formation, with Reference to Malaysia." In Human Capital Formation as an Engine of Growth: The East Asian Experience, edited by Joseph L. H. Tan (pp. 117-172). Singapore: Institute of Southeast Asain Studies.
22
2.
TANTANGAN BAGI MASA DEPAN PERGURUAN TINGGI KATOLIK DI INDONESIA DALAM ERA GLOBAL1 Sulistyowati Irianto2
Pengantar Apakah tantangan masa depan bagi perguruan tinggi atau universitas di Indonesia, termasuk perguruan tinggi Katolik ?Bagaimana tantangan itu bersifat dimensional menyangkut hubungan universitas dengan stakeholdernya, yaitu masyarakat, pemerintah/negara, dan korporasi.Pada masa kini perguruan tinggi kita juga harus bersaing dengan perguruan tinggi mancanegara, dalam hal menyediakan segala jawaban dan rekomendasi ilmiah sebagai landasan kebijakan untuk mengatasi berbagai persoalan kemasyarakatan.Perguruan Tinggi di Indonesia juga bertanggungjawab menyediakan hasil temuan sains dan teknologi untuk kesejahteraan umat manusia, yang melampaui batas ruang dalam era global seperti sekarang. Bagaimana perguruan tinggi (Katolik) seharusnya merespon persoalanpersoalan kemasyarakatan dan kemanusiaan global yang semakin kompleks? Sudahkah kita bisa mengidentifikasi persoalan mendasar di perguruan tinggi kita? Sudahkah kita mampu mendefinisikan manusia seperti apa yang hendak kita hasilkan melalui sejumlah kurikulum dan kegiatan akademik yang dibuat? Apa saja yang harus diperjuangkan oleh para sivitas akademika?
A. Tantangan Masa Depan Pada tahun 2050 diramalkan penduduk dunia akan mencapai 9,3 milyar.3 Pada masa itu diramalkan negara-negara Asia akan mencapai puncak peradaban Asia dengan bertambahnya tiga milyar orang kaya baru, yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. China dan India akan memimpin di depan, sementara ada negara-negara lain di Asia, termasuk Indonesia yang punya potensi untuk ikut dalam kemakmuran
1
Disampaikan dalam Seminar “Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Arah Pengembangan Perguruan Tinggi APTIK”, APTIK, Surabaya 20-21 Oktober 2016. Tulisan ini berasal dari berbagai butir pemikiran yang diambil dari beberapa tulisan Sulistyowati Irianto dalam Sulistyowati Irianto (ed.), Otonomi Perguruan Tinggi, Suatu Keniscayaan (Yayasan Obor Indonesia: 2011) dan beberapa tulisan opini yang pernah diterbitkan di Harian Kompas. 2 Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 3 http://internasional.kompas.com/read/2015/08/05/13304151/Penduduk.Dunia.Diprediksi.Menca pai.9.3.Miliar.Jiwa.pada.2050, diunduh 9 Oktober 2016.
23
Asia 4 . Namun di sisi lain, ada permasalahan yang sangat kompleks yang harus dihadapi manusia di dunia pada umumnya, seperti kekurangan pangan, air bersih, krisis enerji, ancaman penyakit, kerusakan hutan dan semakin hancurnya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Bagaimanakah sikap para ilmuwan Indonesia menghadapi masalah kemanusiaan di masa depan? Mampukah perguruan tinggi di Indonesia melahirkan puncak kreativitas dan inovasi, sejajar dengan perguruan tinggi lain di dunia? Bila ingin sejajar dengan dunia, maka universitas di Indonesia harus terbuka terhadap perubahan dan mengikuti perkembangan kemajuan universitas di negara-negara lain itu. Universitas adalah kekuatan moral dan niat baik untuk memampukan dirinya sendiri adalah suatu keharusan. Bila hal ini tidak dilakukan sekarang maka sejarah akan mencatat utang kita kepada generasi muda yang kehilangan kesempatan menjadi calon pemimpin bangsa, dan manusia Indonesia yang berkualitas dan berkarakter, sebagaimana dicita-citakan oleh pendiri negeri kita. Universitas adalah gerakan moral tempat lahirnya produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan. Semua universitas di dunia ditantang untuk mengatasi berbagai persoalan kekinian dan masa depan dengan mengantisipasi perubahan yang tidak terbendung terutama kemajuan teknologi informasi. Kerja dan temuan ilmiahdiharapkan akan semakin mampu menjelaskan berbagai persoalan kemanusiaan, dan mendukung pembangunan kesejahteraan dan peradaban dunia. Di masa depan produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan secara signifikan akan itentukan arahnya oleh sumberdaya pendidik yang berkualitas dan perpustakaan digital yang tidak mengenal batas ruang. Para ilmuwan dengan kapasitas intelektual dan kepeduliannya yang tinggi, memiliki potensi yang sangat besar untuk ikut mengatasi berbagai persoalan dunia di masa depan itu. Namun potensi imuwan itu tidak cukup, ada hal mendasar yang sangat dibutuhkan yaitu: kebebasan akademik. Inilah landasan moral para ilmuwan untuk bekerja memaksimalkan kemampuan intelektualnya. Bila menghendaki universitas yang kuat, budaya riset tumbuh kuat sehingga segala kebijakan didasarkan pada perhitungan akademik, maka ilmuwan harus dibiarkan mengemban kebebasan akademiknya sendiri. Kebebasan akademik bersifat kodrati, tidak boleh dibatasi oleh siapapun, bahkan harus didukung sepenuhnya oleh Negara melalui perangkat hukum. Di Jerman dan Filipina kebebasan akademik termuat dalam konstitusi mereka. Bagaimana di Indonesia? Di negara-negara maju seperti di Skandinavia (Norwegia, Swedia, Finlandia, Denmark), universitas didanai seratus persen oleh pemerintah, 4
http://www.asia-pacific.undp.org/content/dam/rbap/docs/RHDR2016/RHDR2016overview.pdf, diunduh 9 Oktober 2016.
24
dan masyarakat dibebaskan dari bayaran, tetapi status universitas adalah otonom penuh. Saat ini universitas di Asia seperti India dan China, di ASEAN seperti Singapore dan Malaysia, semakin menjadi otonom. Pemerintah di negara-negara maju mendanai seratus persen, tetapi tidak mencampuri urusan pendidikan tinggi. Di banyak negara bahkan di negara berkembang termasuk ASEAN, universitas sudah menjadi independen, dan pemerintah tidak melepaskan tanggungjawabnya dalam pendanaan. Di Indonesia, sungguhpun sudah merdeka 71 tahun dan menjadi Negara demokrasi dan rule of law, kebebasan akademik yang paling esensial itupun masih harus diperjuangkan. Indonesia menjadi ketinggalan dari Negara-negara lain dalam hal memandirikan perguruan tingginya. Barangkali inilah yang menjelaskan mengapa prestasi ilmuwan Indonesia termasuk yang rendah di dunia, meskipun ada banyak orang pandai. Pemerintah tidak memiliki konsep yang mendasar. Kebijakan yang diambilpun “tambal sulam”, yang justru menuai banyak kritik. Universitas (Negeri) setiap saat dapat diintervensi pemerintah dalam bentuk apapun, dengan dalih ketergantungan dana pada pemerintah. Padahal secara konstitusional sudah menjadi kewajiban Negara untuk memberi hak pendidikan kepada setiap warganegara, artinya termasuk menghidupi universitas. Tidaklah tepat bila universitas menggadaikan kebebasan akademiknya, dikontrol pemerintah, dengan alasan dibiayai pemerintah, yang padahal adalah kewajibannya. Ketidakmandirian pendidikan tinggi juga menjelaskan mengapa banyak ilmuwan Indonesia yang sangat pandai, lari ke luar negeri dan membaktikan dirinya untuk kemajuan bangsa lain. Di sini mereka tidak mendapatkanapa yang mereka dapatkan di luar negeri: laboratorium yang memadai, kesejahteraan lahir batin yang dibutuhkan untuk sampai pada puncak prestasi akademik. Tambahan lagi, atmosfir akademik tidak menunjang, adakalanya ilmuwan tidak bisa bersuara karena terbelenggu oleh kedudukannya dalam hierarki birokrasi akademik.
B. Otonomi Universitas dan Tatakelola Apa artinya otonomi? Dalam Magna Charta Universitatum 1988, otonomi adalah keseluruhan kemampuan institusi untuk mencapai misinya berdasarkan pilihannya sendiri. Dalam RUU PT Pasal 74, otonomi diartikan sebagai: (a) universitas mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat; (b) otonomi dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan perguruan tinggi; (c) dasar dan tujuan serta kemampuan tersebut dinilai oleh Menteri; (d) otonomi pengelolaan
25
Perguruan Tinggi diatur dalam Peraturan Pemerintah. Otonomi universitas dijalankan dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan nirlaba. Otonomi dan akuntabilitas adalah dua sisi dari koin yang sama. Akuntabilitas memampukan institusi untuk meregulasi kebebasan yang ada padanya dengan cara yang otonom. Otonomi dilaksanakan dalam bidang akademik (penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan Tri Dharma); dan nonakademik (organisasi, keuangan, kemahasiswaan, sumberdaya dosen dan karyawan, sarana dan prasarana). Diharapkan dalam kondisi universitas semacam ini akan semakin terbangun inovasi, kreativitas dan keunggulan karya akademik. 1. Otonomi Universitas dan Kebebasan Akademik Tujuan dari otonomi adalah memampukan para ilmuwan Indonesia untuk sampai pada puncak prestasi akademik, seperti yang diamanatkan pendiri bangsa besar ini. Kreativitas dan inovasi para ilmuwan dinantikan oleh masyarakat ilmiah dunia, untuk bersama-sama mengatasi persoalan kemanusiaan di masa depan. Para ilmuwan menyadari betul bahwa hanya dengan kebebasan/otonomi akademik, akan dapat diciptakan universitas yang modern, di mana produksi ilmu pengetahuan, kreatifitas dan dan inovasi dapat ditumbuhkan. Otonomi universitas akan menumbuhkan budaya akademik yang mengajarkan nilai-nilai ilmu pengetahuan, argumentasi dengan dasar ilmiah dalam setiap pengambilan keputusan. Budaya akademik yang demikian akan melahirkan hubungan kolegialitas yang egaliter dan sehat atas dasar saling menghormati dan memberdayakan di antara para ilmuwan. Kebebasan akademik adalah hak bagi setiap dosen, profesor, dan peneliti terkait kegiatannya dalam pengajaran dan penelitian, yang sejalan dengan tradisi universitas, kode etik, prinsip toleransi dan obyektifitas. Profesor bebas menentukan isi kuliahnya dan menerbitkan hasil penelitiannya tanpa meminta persetujuan. Akademisi hanya mengabdi pada kebenaran, kejujuran dan keadilan, dan terbebas dari kepentingan politik praktis dan uang dalam tugasnya. Kebebasan akademik juga ada pada institusi, yaitu kebebasan untuk mengangkat pegawai, menetapkan standar masuk bagi mahasiswa. Kebebasan akademik menjadi kesepakatan bagi 800 universitas di Eropa yang berkumpul di Bologna dan mendeklarasikan Magna Charta Universitatum 1988. 5 Mahkamah Agung Amerika pernah mengeluarkan suatu keputusan bahwa kebebasan akademik universitas adalah untuk menentukan sendiri siapa boleh mengajar, apa yang diajarkan, bagaimana cara mengajar dan siapa yang diijinkan untuk belajar. 5
http://www.magna-charta.org/resources/files/the-magna-charta/english, diunduh 9 Oktober
2016.
26
Akar sejarah dari otonomi Universitas di Indonesia sudah dapat ditemukan dalam gagasan para pendiri bangsa yang berperhatian pada bidang pendidikan. Dalam Kongres Pendidikan 4-6 Agustus 1947 di Surakarta dihadiri diantaranya oleh Ki Hajar Dewantara, Prof Soepomo, Prof Soenario Kolopaking dan Presiden Soekarno, telah dibahas soal otonomi. Soepomo menginginkan agar fungsi universitas di Indonesia sejajar dengan universitas di Eropa dan Amerika, yaitu sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan, tempat dilahirkannya calon pemimpin bangsa. Untuk itu universitas harus menjadi badan hukum yang otonom. Soenario Kolopaking menegaskan bahwa Negara harus menyelenggarakan universitas, yang berbentuk badan hukum dan mempunyai kemerdekaan seluas-luasnya dalam mengabdi ilmu pengetahuan. 2. Sejarah Otonomi Universitas Pada tahun 1950-an sekali lagi dinyatakan oleh Soepomo (Menteri Pendidikan) bahwa karena fungsi dan sifatnya, universitas tidak diperkenankan menjadi jawatan di bawah administrasi Kementrian Pendidikan, karena akan membinasakan semangat akademi dan menghalangi perkembangan kehidupan universitas. Pemerintah harus memberi otonomi sepenuhnya kepada universitas. Selengkapnya: Sifat dan fungsi perguruan tinggi di dalam negara dan masyarakat memang tidak memperkenankan suatu bentuk organisasi yang menempatkan Universitet hanya sebagai suatu jawatan belaka di bawah administrasi Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Susunan demikian hanya dengan sendirinya akan menyerahkan Universitet kepada formalisme birokrasi dari suatu Kementerian, akan membinasakan semangat akademik dan menghalang perkembangan kehidupan Universitet. (Prof.Dr. Mr.R. Soepomo, Presiden kedua, Universiteit Indonesia, 19511954.)
Beliau berharap bahwa kejayaan Sriwijaya yang pernah menjadi pusat politik dan pengetahuan di Asia akan kembali terjadi pada universitas di Indonesia di masa depan. “Mudah-mudahan datanglah pula masanya, bahwa Universitet Indonesia jadi salah satu pusat di muka bumi yang memancarkan sinar menghalau kegelapan dan membawa cahaya dalam hati-hati dan pikiran-pikiran manusia bagi keselamatan dan kesejahteraan pergaulan hidup seluruh dunia.” Dalam pernyataan itu tersirat bahwa apabila universitas dijadikan bagian dari birokrasi pemerintah maka yang akan tumbuh adalah budaya birokrasi yang lamban, tidak efisien, dan korup. Universitas di Indonesia akan semakin tidak mampu mengejar perkembangan ilmu, dan akan kalah bersaing dengan universitas di dunia.
27
3. Tata Kelola Universitas (Good University Governance) Otonomi universitas setali tiga uang dengan tata kelola universitas yaitu akuntabilitas, transparansi, partisipasi publik untuk ikut mengontrol. Perguruan tinggi akan menjadi organisasi yang sehat, dan memperkecil kemungkinan terjadinya korupsi. Ada otonomi untuk mengelola keuangan sendiri, dan tidak melibatkan birokrasi kementrian yang rawan korupsi seperti selama ini. Semakin terkait dengan birokasi keuangan pemerintah, semakin tersedia celah bagi penyalahgunaan kewenangan dan korupsi. Aksesibilitas masyarakat khususnya kelompok rentan secara ekonomi dan sosial, harus dapat dijamin dalam universitas yang otonom. Pendanaan universitas tidak boleh mengandalkan dari bayaran mahasiswa, tetapi dari Negara, korporasi dengan Corporate Social Responsibility, dan kegiatan penelitian yang hebat. Universitas dibiayai oleh negara, masyarakat dan korporasi. Sungguhpun universitas dibiayai sepenuhnya oleh negara seperti di beberapa negara, tetapi uang itu didapatkan dari pajak masyarakat, dan kontribusi dari korporasi. Oleh karena menggunakan dana masyarakat maka universitas harus terbuka terhadap pengawasan publik dalam berbagai bentuknya. Universitas harus dikelola secara transparan dan akuntabel, menyangkut soal-soal pengelolaan sumberdaya manusia dan keuangan. Apabila prinsip-prinsip ini tidak dapat dipenuhi, maka artinya otonomi telah disalahgunakan. 4. Kesalahpahaman tentang Otonomi Universitas Kekhawatiran masyarakat bahwa otonomi universitas akan menyebabkan ketiadaan akses bagi masyarakat kurang mampu adalah tidak beralasan. Standar biaya dan tarif diatur oleh Menteri (Pasal 95), didukung oleh APBN dan APBD (Pasal 96); penerimaan mahasiswa baru diatur dan gratis (Pasal 77), Perguruan Tinggi Negeri mencari mahasiswa tidak mampu (Pasal 78), bahkan ada jaminan pendanaan bagi yang lulus (Pasal 80). Komersialisasi pendidikan dijawab melalui Pasal 70 yang mengatakan bahwa pengaturan oleh pemerintah kuat, pemilik tunggal, dan prinsip nirlaba. Pemerintah tetap mendanai (Pasal 90, 96, 97). Dengan demikian kita melihat bahwa otonomi bukanlah tujuan, tetapi adalah cara untuk mencapai pemenuhan hak asasi warga masyarakat terhadap pendidikan. Negara tetap berkewajiban mendanai, mengatur dan mengawasi bukan justru mengambil dana dari masyarakat.
28
C. Tantangan yang Dihadapi Pada hari ini para ilmuwan dan institusi perguruan tinggi di Indonesia masih memperjuangkan kebebasan akademik dan otonomi perguruan tinggi. Potensi intervensi pemerintah terhadap perguruan tinggi ditenggarai sangat besar, bahkan jauh lebih besar daripada pada masa pemerintahan Orde Baru. 6 Banyak urusan perguruan tinggi yang akan diatur oleh Peraturan Menteri, seperti soal kurikulum, pendikan dan pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat, klasifikasi rumpun ilmu, bahkan ada klausul tentang mutasi dosen kepada perguruan tinggi lain. Sudah barang tentu universitas yang dikekang semacam ini, hanya akan menjadi macan kertas, dan sekedar meluluskan sarjana secara prosedural formal saja, sekedar menuruti komando dalam jalur birokrasi pemerintah. Universitas hanya sekedar memproduksi sarjana yang lulus secara administrasi, terpenuhinya persyaratan satuan kredit semester. Di samping itu organisasi perguruan tinggi hanya akan melanggengkan budaya yang lamban, tidak efisien, tidak terbuka terhadap publik dan korup. Suatu sistem dan budaya yang tidak cocok bagi “rumah tempat produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan”. Universitas tidak bisa lagi menyebut dirinya gerbang moral. Potensi mismanajemen, ketiadaan tata kelola yang baik, dan korupsi akan melekat dalam birokrasi universitas yang merupakan kepanjangan tangan birokasi kementrian. Perguruan tinggi tidak bisa lagi merdeka terhadap kepentingan partai politik yang potensial memasuki wilayah kementrian. Kreativitas, inovasi, dan pencapain puncak-puncak prestasi akademik dianggap bukanlah cita-cita yang utama. Hubungan universitas dan tujuan-tujuan ilmu untuk kesejahteraan umat manusia dan masa depan bangsa, menjadi hubungan yang kosong, tidak bermakna. Dengan demikian Indonesia akan semakin sukar mengejar ketertinggalannya dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan akan ketinggalan dari Negara-negara tetangga ASEAN sekalipun. Dalam situasi seperti inilah para ilmuwan semakin banyak yang sadar, dan menyuarakan tuntutan akan pentingnya otonomi perguruan tinggi. Namun sayangnya, masyarakat awam ada yang memahami otonomi universitas secara keliru sebagai “privatisasi”, “komersialisasi”, lepasnya kewajiban pemerintah untuk mendanai universitas. Bahkan sebagian dosen ada yang mengkhawatirkan kehilangan kepastian, khususnya kesempatan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan mengartikan secara salah tujuan otonomi universitas. Praduga semacam ini sangat beralasan mengingat gambaran buruk tentang penyelenggaraan universitas yang ada selama ini. Termasuk di dalamnya adalah sejumlah pimpinan universitas yang salah dalam menerjemahkan otonomi. Sistem 6
Sulistyowati (ed.), Otonomi Perguruan Tinggi.
29
dan kebijakan pendidikan tinggi tidak jelas arahnya, ketiadaan tata kelola bahkan penyalahgunaan kewenangan dan korupsi dalam birokrasi pendidikan secara menyeluruh sudah menjadi rahasia umum. Hal ini berdampak pada buruknya penyelenggaraan keseharian universitas negeri dan swasta di tanah air. Juga menjadi gambaran umum bahwa sebagian dosen menempatkan diri sebagai “pencari kerja” dan melihat universitas sebagai “piring nasi”, tidak lagi melihatnya sebagai arena profesi yang bersifat luhur untuk mewujudkan cita-cita pencerdasan bangsa. Tidak mengherankan bila ada dosen yang melakukan plagiarisme, kecurangan dalam kenaikan pangkat, dan menyediakan dirinya untuk disuap dalam berbagai bentuk. Lembaga pendidikan semakin melipatgandakan jumlah mahasiswa, bahkan dengan membuka cabang di kota lain. Universitas tidak segan memberikan gelar magister atau Doktor secara mudah, dengan kurikulum dan mutu kelulusan yang sangat tidak memadai. Universitas lebih senang membangun gedung-gedung megah untuk pencitraan daripada membangun laboratorium, memberi beasiswa kepada mahasiswa miskin, dan meningkatkan kapasitas dosen dan mensejahterakannya. Universitas dijalankan seperti perusahaan yang menyedot dana masyarakat dan dikelola tanpa mengindahkan prinsip good university governance. Tentu saja hal ini sangat salah, karena semakin menjauhkan pendidikan dari masyarakat. Hal lain yang hendak dikemukakan di sini khususnya adalah pendidikan tingkat pascasarjana. Nampak bahwa terjadi pembiaran terhadap pascasarjana, “nirsubsidi”, menyebabkan pendidikan pascasarjana harus membiayai hidupnya sendiri. Banyak petinggi di bidang pendidikan menganggap bahwa pendidikan tinggi adalah S-1. Mereka lupa bahwa justru kekuatan universitas terletak di Pascasarjana, karena di situlah para mahasiswa doktoral beserta guru besar dapat diharapkan menghasilkan penelitian, tulisan-tulisan jurnal dan publikasi bermutu, temuan sains dan teknologi yang bisa menghasilkan hak patent. Akibatnya, universitas “terpaksa” menjadikan pendidikan pascasarjana sebagai komoditas, mendirikan cabang di kota lain, dan mendapatkan mahasiswa yang mampu membayar. Mahasiswa yang bertujuan mencari gelar jauh lebih banyak daripada yang “kasmaran” kepada riset dan produksi ilmu pengetahuan. Para dosenpun bertujuan sama, yaitu mendapatkan tambahan penghasilan dengan mengajar di pascasarjana di waktu luang sesudah mengajar S1. Pendidikan pascasarjana tak ubahnya “lapak” untuk mencari uang, atau status bagi professional yang mengajar cuma sesekali. Alhasil pendidikan pascasarjana berhenti sebagai universitas pengajaran, bukan universitas riset. Kelemahan paling serius adalah kebijakan pemerintah yang tidak memungkinkan universitas memiliki basic research, yaitu penelitian jangka panjang, dilakukan
30
kolaboratif oleh ilmuwan lintas disiplin ilmu, didukung dana hampir tidak terbatas dan tidak dibebani urusan administratif. Ketidakmampuan memberdayakan ilmuwan sendiri mengakibatkan kita menjadi konsumen yang membeli produk riset sains dan teknologi dari negara lain. Ruang otonomi universitas yang dijamin undang-undang itu, dalam kenyataannya tidak terjadi. Pemerintah sangat ketat meregulasi hampir semua sendi: nomenklatur dan batas ilmu yang boleh diajarkan, dan bagaimana cara mengajar. Dalam penelitian, dosen lebih takut kepada urusan kwitansi daripada kerja penelitiannya sendiri. Di sisi lain, pemerintah memilih cara yang paling gampang untuk mengatur pendidikan pascasarjana atas nama jaminan mutu dan prestasi, yaitu membuat semakin banyak peraturan. Pertama, keharusan berprestasi dengan ukuran satusatunya yaitu produksi artikel jurnal terindeks Scopus. Tanpa itu, dosen tidak bisa naik pangkat atau jadi guru besar. Prestasi akademik dipahami sebatas perintah administratif, bukan hakikat terbangunnya budaya akademik dan penelitian. Kedua, keharusan memiliki dosen tetap yang berpangkalan di program studi. Setiap prodi S1, S2, S3 harus memiliki dosen tetapnya sendiri bergelar doktor atau guru besar minimal enam orang. Padahal saat ini universitas, fakultas, prodi manapun di Indonesia, kekurangan doktor dan guru besar. Ukuran mutu ditetapkan lebih pada ketersediaan kuantitas dosen tetap di setiap prodi, ketimbang prestasi dan capaian dosen di tingkat universitas. Ketiga, setiap universitas, demikian pula pascasarjana memiliki identitas tradisi keilmuan yang unik karena kesejarahan, konteks masyarakat dan geografis yang beragam. Dalam perspektif otonomi universitas seharusnya keragaman ini diakomodasi. Namun atas nama “jaminan mutu”, semuanya diseragamkan. Rigiditas penilaian administratif ini diamini oleh pejabat universitas, sungguhpun bisa mematikan pendidikan pascasarjana. Keempat, konsekuensi otonomi akademik adalah tatakelola universitas, yang mensyaratkan transparansi dan akuntabilitas. Namun rezim keuangan negara menyamakan universitas dengan kantor jawatan pemerintah. Penyelenggaraan keseharian pendidikan terkendala administrasi. Pengadaan dan pemelilharaan peralatan laboratorium, perpustakaan, berbagai kegiatan ilmiah, tak luput dari prosedur “njlimet”, karena takut audit BPK. Begitulah transparansi dan akuntabilitas universitas dijalankan. Ketika negara baru mampu membiayai sebagian kebutuhan universitas dan melakukan pembiaran terhadap pendidikan pascasarjana, seketat itu negara mengontrol, seolah para akademisi bukan orang yang layak dipercaya. Industri juga tidak mendukung pendananaan universitas. Bukannya membangun sinergi dengan universitas yang ada, banyak perusahaan malah membuat universitas sendiri.
31
Epilog Ketika ilmuwan kita masih berkutat dengan soal-soal administratif, repertoire ilmu pengetahuan global sudah menghasilkan berbagai temuan spektakuler yang mengubah dunia dan cara berpikir. Dari cara berilmu seperti itu, lahirlah banyak kreatifitas, inovasi, dan kemajuan peradaban manusia. Artikel terindeks Scopus dan ranking dunia datang dengan sendirinya. Dalam situasi itu, bagaimana para ilmuwan kita bisa berkarya menembus ranking dunia? Dalam situasi seperti ini, Perguruan Tinggi Katolik harus mampu mendefinisikan keberadaan dirinya. Apa visi dan misinya dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi? Manusia dengan karakter seperti apa yang akan dihasilkan, agar mampu berkolaborasi dan memiliki daya saing bila berhadapan dengan mahasiswa/sarjana mancanegara? Bagaimana mewujudkan kekatolikan melalui penyelenggaraan pendidikan tinggi dalam perumusan visi, misi, disain kurikulum dan pengelolaan universitas? Menciptakan manusia yang berkarakter amat penting, karena itulah yang hilang dari dunia pendidikan tinggi kita pada saat ini, karena berbagai persoalan yang sudah dipaparkan di muka. Penting untuk dipikirkan bagaimana menciptakan manusia yang bisa menjunjung tinggi ke-Indonesian, mampu berdampingan dengan orang-orang yang berbeda, berbela rasa terhadap penderitaan orang lain. Penting pula ditumbuh-kembangkan suatu semangat yang menjadi pelita/panduan bagi setiap kegiatan akademik dan capaian prestasi di kalangan sivitas akademika pendidikan tinggi Katolik.
Pustaka Irianto, Sulistyowati (ed.). Otonomi Perguruan Tinggi, Suatu Keniscayaan. Yayasan Obor Indonesia: 2011. Wahono, Tri (ed.). “Penduduk Dunia Diprediksi Mencapai 9,3 Miliar Jiwa pada 2050.” Diunduh 9 Oktober 2016. http://internasional.kompas.com/read/2015/08/05/13304151/Penduduk.Dunia. Diprediksi.Mencapai.9.3.Miliar.Jiwa.pada.2050. Palanivel, Thangavel, et.al. Asia-Pacific Human Development Report: Shaping the Future: How Changing Demographics can Power Human Development. New York: UN, 2016. Diunduh 9 Oktober 2016. http://www.asiapacific.undp.org/content/dam/rbap/docs/RHDR2016/RHDR2016overview.pdf. Magna Charta Universitatum. Diunduh 9 Oktober 2016. http://www.magna-charta.org/resources/files/the-magna-charta/english.
32
3.
CATHOLIC HIGHER EDUCATION IN A PERIOD OF INTEGRATION, POPULISM, AND RADICALIZATION Br. Armin A. Luistro, FSC1
Introductory Remarks As you may well know, the Philippines, like Indonesia, is a country of many islands. When I address foreign groups holding their conferences in Manila, I welcome them to our archipelago of 7,100 islands and jokingly tell them they can be king or queen of an island for a day. I have to be very humble today as I address my big brothers in a country of more than 18,000 islands! As Secretary of Education—a post I held until June of last year—I tried my best to visit even the most far-flung schools and make our government’s presence felt in our communities. Leading more than 47,000 schools under a single agenda can sometimes be overwhelming, but I am glad to say that I had an excellent Executive Team and hardworking staff, and we were, for the most part, able to deliver on our mandate. I must admit that whenever that figure comes up—47,000 schools—I say it with more than a little pride. That is true especially in Singapore where I addressed our Lasallian educators just a few days ago and where the total number of government-run schools is less than 300. Many times I have felt sorry for myself given the sheer volume of work and the burden of carrying on my shoulders the challenges that the 47,000 schools where facing during my six-year term as Education Chief in the Philippines. That was the case until I met my counterpart, the Indonesian Minister of Education and Culture, at that time, His Excellency Prof. Dr. Ir. H. Mohammad Nuh, DEA. I asked him how many schools were under the Indonesian public school system to which he flatly replied, “more than 230,000”. I must say that after that encounter, I became a little more humble and very much consoled that I was not alone. I was determined to complain less about my lack of sleep heading our Department of Education. After all, my counterparts here in Indonesia must surely be putting in more hours of work and travel just to monitor the various concerns faced by the education sector. In any case, that little anecdote perhaps demonstrates one of the reasons why Indonesia will always hold a special place in my heart. We have so many things in common: we are both archipelagic countries with diverse, warm, hardworking peoples, despite the distinct histories that have given rise to our own set of 1
Br. Armin A. Luistro, FSC is the former secretary of the Department of Education of the Philippines under President Benigno Aquino III.
33
complex challenges. Yours is a beautiful country that feels like home to me, and it is always a delight to come back here. On a personal note, part of my close links with your country came about providentially when, as Provincial Superior of the De La Salle Brothers in the Philippines, we were invited by Bp. Joseph Suwatan DD, to establish with him the Universitas Katolik De La Salle in Manado. As co-founder of Unika DLS Manado, I suppose I left part of myself here in your country. Terima kasih for the invitation to share my reflections on the challenges to Catholic universities in the context of Indonesia’s own growth and development within the evolving ASEAN Economic Community. I am privileged to join you on this first session to which a full two hours has been allotted but I do not intend to use the whole time to deliver a lecture on those challenges facing APTIK as a Rabbi would to his disciples. Instead, since I am among colleagues, I am sure that many of you would like to use at least part of the session to engage each other in a more interactive discussion. Let me then attempt to uphold the reputation of Catholic educators by trying to speak briefly about a few points, which may then perhaps serve to propel our reflections forward during the open forum.
A. Pursuing Partnerships Despite Its Risks 1. Threats to Unity and Peace In December 2016, a huge protest occurred in Jakarta demanding an apology from Governor Basuki Tjahaja Purnama, popularly known as Ahok. I know that many of you here are more familiar about the events that preceded and took place after the protest. Suffice it to say that the protest was viewed by many as a test of religious tolerance for Indonesia. While some analysts argue that the protest against Ahok was politically motivated in view of the then forthcoming gubernatorial elections, one cannot deny that many of those who attended were mobilized because of what they believed to be an insult to Islam, which is professed by ninety percent of the population. For the member-institutions of APTIK, I assume that the protests in Jakarta served as an opportunity to reflect—from the Catholic perspective— how institutions of higher learning could engender on the part of their learners, as well as the academic and non-academic staff, a culture of respect and tolerance for diversity but also become a bridge of reason for those who are in danger of falling into the trap laid by rabble-rousers. On the other hand, in Catholic Philippines, the
34
peculiar personality of President Duterte and his priority program of war on drugs is actually dividing the nation:2 [T]he optimists’ view is that the end justifies the means. The drug trade, say Duterte’s supporters, is markedly in decline. More important, the country is seen to have a President who is shaking up the establishment and following through on his promises. Never mind the bluster and insulting the mothers of foreign dignitaries. The hope is that the innate goodness of the strongman will prevail and change the country for the better. Just give him time, say the hopefuls. Fear and despair and an unlikely, if not unwarranted, optimism are dividing society. By remaining silent, by refusing to take an unambiguous stance against the killings, Duterte does not assuage the despair among the fearfuls or inject reality into the optimist camp. He is plunging the country into uncertainty. Meanwhile, the executions continue and the world sees the grisly, taped up corpses appearing on our streets.
More than just the profound political upheaval that afflicts the Philippines, there are grave concerns about this key government program and its scary similarity with a previous Indonesian experience:3 Indonesia shares with the Philippines an unfortunate toleration for extrajudicial killings by vigilante death squads. Soon after the 1965-1966 coup that propelled General Suharto to power, anti-Communist killing squads zealously went about slaughtering an estimated 500,000 Indonesians. But death squad activity is rarely confined to the political-ideological type. Remarkably malleable in terms of purpose and motive, death squads can be whipped up as and when needed. In the 1980s, new death squads, known as “Petrus,” an acronym for penembak misterius, or mysterious killers, murdered up to 10,000 people in Suharto’s crackdown on crime.
2. A Church Ready to Embrace All Now more than ever, I feel deeply the universal character of Catholicism not as a Church that imposes its beliefs on peoples but more as a Church that embraces everyone as a brother and a sister even if his or her beliefs and traditions are alien if not in conflict with our own. The inability to deal with diversity has given way to paranoia; the lack of trust between conflicting groups have created ghettoes which further highlight the discrimination and separation of groups. Today,z vn c xckl? social media has created a platform that was non-existent in the past but which now allows explicit expressions of violence and hatred anonymously. As a 2
Rachel Reyes, 19 Sept 2016, “A country divided between despair and hope,” The Manila Times, from http://www.manilatimes.net/a-country-divided-between-despairand-hope/286800/, accessed 11 Mar 2017. 3 Rachel Reyes, 28 Feb 2017, “The ominous precedent of Indonesia’s anti-crime death squads,” The Manila Times, from http://www.manilatimes.net/ominous-precedentindonesias-anti-crimedeath-squads/314540/0, accessed 11 Mar 2017.
35
result, minority groups that feel disenfranchised have also found a platform for their attacks virtually via trolls or physically through acts of terrorism. Government has to step up their security protocols and add firewalls if not build actual walls along porous borders to protect themselves and prevent illegal migration, trafficking or smuggling. Leaders who are comfortable with diversity are able to navigate through conflicting issues and perspectives by opening spaces where sincere dialogue can happen. It becomes very risky though when certain groups and individuals are vested with the authority to make unilateral decisions and quick fixes which do not address the root cause of the conflict. About a year and a half ago, Pope Francis himself warned about such bigotry. In an address to the faithful in the United States, Pope Francis reminded the Church that:4 If globalization would seek to make everyone the same as if it were a single sphere, that globalization destroys the richness and the particularity of every people. If globalization seeks to bring all of us together, but to do so respecting each person, each individual person’s peculiarity, that globalization is good, and makes us good and grow, and leads to peace.
I am happy to note that this challenge is recognized in APTIK’s Strategic Plan where the leaders and members of your organization underscore the necessity of sustaining the willingness to dialogue and cooperate with other segments of society in order to address various societal problems. Like many of you, however, I also recognize the difficulty of ensuring that our institutions, while being open and adaptable to all the changes occurring, could pursue its distinct mission or— even more basic—survive in the face of new threats to private or faith-based institutions of higher learning, e.g. unwarranted regulations from the state, diminishing support or total lack of subsidy if not increasing taxes on its operations. 3. One Alamat There is a word in Filipino that, as I recently learned, also exists in Bahasa. That word is alamat. Now, I know that in your language, the word seems very mundane—in fact, one of my staff noticed it in a simple form that he had to fill in. I think I am correct in saying that, in Bahasa, alamat means address. In Filipino, however, it takes on a distinct but related meaning: myth. One need not look long to find the thread that binds both words. Alamat is where one comes from; the point of origin, or to use a more biblical term, genesis.
4
Pope Francis, 26 Sept 2015, “'Never be ashamed': Pope forcefully defends immigrants in Philadelphia,” The Guardian, from https://www.theguardian.com/world/2015/sep/26/pope-francisphiladelphia-independence-hall-speech, accessed 12 March 2017.
36
There exist many such similar words in our vocabularies. In fact, some words might mean the exact same thing in Jakarta as it does in Manila. But I choose the word alamat to stress a point: though we fly different flags, though our societies may have undergone their own different upheavals over the centuries, though the modern concept of nation-states has drawn lines on maps to separate us—we come from the same people. Our genesis is one. This is an especially important idea given our current context. In our own backyard, the seas have become another space for dominion. This is a sad situation, given the fact that, for millennia, the waters surrounding us have been a maritime commons—they fed us, allowed us to thrive and expand, allowed our bloodlines to intertwine, and in this entwinement, contribute to the enrichment of human culture. The seas did not separate us, but rather connected us; they did not set the limits to our islands, but rather made us aware of distant shores, where our cousins huddled together to tell the same stories under the same stars. This is an especially timely insight, given the ongoing integration of ASEAN economies. History has shown us: true integration begs more than just a single currency, and more than just a greater connectedness between our markets. While we can leave it to the businessmen to ponder over economic integration, educators play a very crucial role in deepening cultural integration. The road to change gets tougher and rougher when we acknowledge the overarching political, social and regional environment we operate in. In each ASEAN country, there are state policies that limit our work. How can we “escape” from these policies when they deter us from pursuing our mission? How can we change these policies? Beyond each ASEAN country, ASEAN alone has yet to achieve a substantive sense of community, with different political and belief systems, with institutions geared towards competition more than cooperation. Despite statements that integration is proceeding smoothly, and notwithstanding the progression of the ASEAN University Network’s initiatives, it has been argued that ASEAN economic integration may fail unless ASEAN leaders consider the groundwork needed to “build more stable, secure societies…and, eventually, develop a shared sense of regional community and purpose”.5 Therein lies the role of Universities. We are raising the next generation of Southeast Asians, and we are called to weave the Southeast Asian thread into the tapestry of their identity. Thus far, the business community and our political leaders are determining the direction for ASEAN. Would universities take on the critical role of dream-weavers for ASEAN? Our youth must begin to learn to think of themselves, 5
Eloise Seller. 2016. "The Diplomat," The Diplomat. 12 January 2016. http://thediplomat.com/2016/01/the-asean-economic-community-the-force-awakens, accessed 2 Feb 2017.
37
yes as Indonesians, or as Filipinos, but also as part of a larger whole we call ASEAN and beyond that the global community shared by all of humanity. How do we ensure that our unique cultural traditions, mother tongues, culinary delights and minority communities are not lost in the mad race to create common ground? What safety nets should universities create with other partners so that peoples and communities who fall in between the cracks can be protected? It would be appropriate for us at this time to rediscover the lessons from Gaudium et Spes:6 The joys and the hopes, the griefs and the anxieties of the men of this age, especially those who are poor or in any way afflicted, these are the joys and hopes, the griefs and anxieties of the followers of Christ. Indeed, nothing genuinely human fails to raise an echo in their hearts …. That is why this community realizes that it is truly linked with mankind and its history by the deepest of bonds.
Maybe we can also consider our regional integration using the imagery of Christ, as the Alpha and the Omega of all creation, so envisioned by Teilhard de Chardin as the first spark of life and the summit unto which all lives will eventually reunite. He cautions us though on the appropriate attributes of unity that divinizes:7 But there are negative and positive versions of unity. Teilhard rejected the unity of the anthill, in which the individual is a tool of the collective and in which individuality is totally diminished. This is the unity of totalitarian states, and thus he rejected the false paradise offered by totalitarian systems, such as communism. Instead Teilhard stood for a unity in which the collective and the individual both come to fruition and are perfected, a unity in God in which the world becomes divinized, filled with the divine presence.
B. The Audacity of Hope in Addressing Inequality 1. Pluralism We know we live in plural societies. In the milieu that we live and work in there are various groups differentiated based on race, religion, gender, age, and ideology, just to mention a few. There are a number of benefits originating from this social differentiation. Within one’s group, be it the family we are part of, the 6
Pope Paul VI, 7 December 1965, Gaudium et Spes: Pastoral Constitution on the Church in the Modern World, from http://www.vatican.va/archive/hist_councils /ii_vatican_council/documents/vat-ii_cons_19651207_gaudium-et-spes_en.html, accessed 12 March 2017. 7 Frank Beswick, 23 November 2014, “The Evolutionary Theory of Teilhard de Chardin,” Decoded Past, from http://decodedpast.com/evolutionary-theory-teilhardde-chardin/14043, accessed 12 March 2017.
38
community we belong to, or the church that we are a member of, members are provided the scaffolding that assist them in developing their potentials. Groups also provide the safety net for members who are weathering a storm. Given the benefits drawn from group membership, it is important therefore that these groups be maintained, unless they clearly threaten the existence or survival of all other groups. 2. Genesis of Conflict However, the presence of diverse groups indicates potential and actual sources of conflict. As each group has its own identity and interest, one cannot preclude the possibility that groups with differing interests may get entangled in a conflict. I think you have experienced these episodes of conflict in your own groups and institutions here in Indonesia, so much so that if we allow each of us here to share our experiences, we may just spend the entire day recounting these lamentable experiences. If one were to examine the roots of conflict within groups or society, we can identify a few precipitating factors. The first is when a group’s identity, or even more basic, its existence is threatened by another group, more specifically by those groups that possess more power and authority. The second is when a group’s interests are disregarded or not responded to. Recognizing just these two factors should instruct us on the steps that we should take in dealing with diversity. While we, as stated earlier, need to embrace and promote the diversity that surrounds us, Embrick cautions us in falling into the usual trap of being exceedingly inclusive: declaring that we embrace differences; believing that democracy does obtain in our institutions and society; and, welcoming everyone with open arms.8 While these are good, I do agree with this scholar that such platitudes ignore the fact that there is at least one fundamental issue that needs to be addressed— inequality. 3. Inequality There are many manifestations of inequality. In society, inequality is exemplified by income disparities. Across educational institutions, APTIK’s strategic planning documents identifies the unequal resources, both human and material, among its members.9 Regardless of how we measure inequality, it is undeniable that unless 8
David Embrick. 2016. "Thinking diversity, rethinking diversity," Humanity and Society (Sage) 40 (3): 223-228. 9 Association of Catholic Institutes of Higher Learning. 2016. "2017-2021 Strategic Plan," APTIK 2017-2021 Strategic Plan. Jakarta: APTIK, October.
39
this prolonged concern is addressed, it will potentially spawn conflict, if not within our organization, in the society we live in. In our lifetime, we have seen the consequences of this conflict rooted in unequal access to resources or in exclusive or closed political systems that resort to repression to sustain itself. Given the diversity in society and prolonged inequality, we need to seriously reflect and find ways to contribute to lessening the latter concern. Our contribution need not be grandiose and can be as modest as securing changes within our own institutions. For us to get a clearer grasp of what we should do, as institutions that respect, promote and build from diversity, we can reflect on a number of questions: 1) Are there policies and practices in our institutions that purposely or unwittingly disregard diverse identities and compel uniformity? 2) Are we clear about our own identity and how this is distinct from the identities of other institutions and publics? 3) Are our practices and processes truly democratic? 4) Do we provide opportunities for those who could not, by virtue of the limited resources they possess, access the quality educational services we provide? You may wish to draw up other questions that can guide APTIK and its member institutions in a deeper process of self-examination/self-criticism that is important in crafting the strategies to move forward and contribute to positive social change. 4. Excellence for Survival The challenge for APTIK-member institutions to strive to be among the leading universities in Indonesia and in ASEAN will not only be an essential contribution towards the country's competitiveness with the rest of ASEAN. More importantly, the public's esteem for what the university represents will engender greater appreciation and respect for the Christian community to which it is affiliated and might, in the long run, be a critical factor for the survival of the Church and its members as a minority group. When a university gains the respect of the local community and is valued due to its contribution to the growth of society, then it engenders respectability and support not only for itself but also, in this case, the faith tradition that it professes. 5. Threats to Survival ASEAN integration occurs at a critical moment when sentiments against establishments are spreading like wildfire. We live in a world that has seemingly become obsessed with boundaries thus challenging the very principles and ideals that spurred the creation of our region. Those who have not had the time or inclination to reflect are shutting their doors and their borders, leaving outside 40
those who are most in need: the poor, the marginalized, the homeless, those riven by conflict and despair. In fact, one of the biggest obstacles to regional integration is rooted in the fear that the AEC will follow the natural law of evolution—survival of the fittest— and the natural consequence leading to the obliteration from existence of the weak, the ill, the inefficient, the unproductive. Add to this the political turmoil in Turkey and the economic problems experienced by Greece, for example, as well as the impending actions that will effect Brexit; all these are now putting doubts in the minds of those supportive of ASEAN integration. For the most part—and not surprisingly—even in the more advanced nations, inequality and economic uncertainty have bred fear in the population. Less scrupulous leaders have exploited this fear either to win an election or to perpetuate themselves in power by emphasizing differences rather than the common human spirit that binds us. Their political strategists have exploited social media to create crises borne out of fear, uncertainty and doubt (F.U.D.).10 It is, as some commentators have put it, the age of post-truth and alternative facts and fake news. The more generous philosophers would characterize it as the triumph of emotions over logic; seen from another lens, we can say it is the reign of gut reactions, where everything that gives anyone a rise in blood pressure blankets public discourse at the cost of a deeper, more nuanced take on issues. 6. Genesis of Unrest Why have we come to this? For sure, there are many answers, and I do not pretend to know all of them. There is perhaps some merit in the claim that newfound technologies, left unchecked, have more easily allowed for ideas to spread like wildfire. This milieu has been fairly impressive in advancing science and other areas of human endeavor; it has, at the same time, provided an unprecedented platform for the cries of the suffering, of those who have been pushed to the periphery, those who have long yearned for a voice. Exploited by demagogues, and lacking the coherence usually provided by reflection, frustrations easily morph into anger. This anger, today, is more immediately expressed; it more easily coalesces, spreads, and escalates. Its primary instinct is to replicate, to look for the connection that it has long been denied. It has proven to be very difficult to break through the chrysalis of fear and frustration, especially as many of those who advocate for sobriety come from a position of privilege and otherness. It is in this light that the challenge of Pope Francis to educators rings loud and clear: “know how to enter,
10
The 2015 American film, “Our Brand is Crisis,” directed by David Gordon Green and written by Peter Straughan, portrays how the political landscape can be manipulated to favor a candidate.
41
with courage, into the Areopagus of contemporary cultures and to initiate dialogue, aware of the gift they are able to offer to all.”11 7. Spaces for Reflection and Dialogue Regardless of the narrative that has brought about the context we find ourselves in now, there is one conviction that I have absolute faith in: thought is the most important weapon in resisting the post-truth impulse. Fair, level-headed, sober thought. Reflective thought. Deep thought. UNESCO echoes the same in its preamble when it declares that "since wars begin in the minds of men, it is in the minds of men that the defences of peace must be constructed".12 And where else can we find fair, reflective, deep thought, except in our universities? I am sure you have seen analyses of the great rural-urban divide in the way Americans voted for Trump in their last elections. It would perhaps surprise no one when I say that the same urban areas who resisted the post-truth politics of the current American President are also home to great centers of learning. Would it not be a sound hypotheses to claim that the farther one is from a university, the greater one’s tendency is to react viscerally to a fake news article? Thus is the task of the university in this purportedly post-truth world: to stand at the vanguard as defenders of truth. We must uphold the role of universities as centers of discernment. When the visceral holds sway over discourse, we must lean towards the contemplative. When virality dictates the public pulse, we must champion nuance and context. When our students obsess over proving themselves right, we must teach them to open their minds and hearts first, and pursue what the philosopher Gadamer called a fusion of horizons. Ultimately, the post-truth disposition is to break revelation into soundbite-sized, relativistic fragments. We must therefore remain steadfast in our faith: there is truth, and it is in God, and while our minds may be too feeble to perceive His entirety, we are able to catch a glimpse of His greatness in every attempt to truly understand our sister and our brother.
11
Pope Francis, 13 February 2014, “Pope Francis offers three proposals to improve Catholic Education, The Catholic World Report, from http://www.catholicworldreport. com/Blog/2929/pope_francis_offers_three_proposals_for_improving_catholic_education.aspx, accessed 12 March 2017. 12 UNESCO. “The Constitution,” UNESCO: Building Peace in the minds of men and women, from http://www.unesco.org/new/en/unesco/about-us/who-we-are/ history/constitution/, accessed 12 March 2017.
42
C. Striving for Excellence with a Soul I do not think APTIK has a choice. Caritas Christi urget nos! The transformation of Catholic universities into excellent institutions with a soul requires hard work and tough workers. 1. Financial Resource If APTIK is serious with its identified strategic goals, you need to muster enormous resources to facilitate change. By resources, we begin with financial or material resources, which by itself, is a major challenge for many institutions that draw funds from grants or even tuition. On the financial side, the ways to increase or augment one’s resources involves crafting more funding proposals and expanding one’s network. Through an expansion of the network of our institutions, we may be able to obtain support from other institutions in the form of scholarships to enable faculty members to obtain advance degrees, a transfer of used or excess learning resources (books; software, computers, etc.). This networking falls squarely on your lap as leaders of your respective institutions—Presidents, Rectors, Development Officers. 2. Building up Our Human Resource Beyond financial and material resources, the core resource that we must secure is our human resource. We need to expand and develop the pool of individuals who will work, individually and collectively, towards fomenting change. Beyond recruiting qualified individuals, which on its own is a difficult task, educational institutions must ensure that every member of our community agrees on the change to be pursued and fully commit to such endeavor. Another tall and long order. In general, a critical sector to facilitate change in our institution are the faculty, whose mindset, specifically as regards teaching-learning, need to be assessed and if necessary, altered (not by force/fiat but through constant dialogue, training, workshops). For more than two decades now, advocates of educational reform have pushed for and provided concrete examples and guidelines in transiting from a teacher-centered to a learner-centered education. Proceeding from the belief that learning is a process of construction on the part of the learners, necessitating therefore their active participation in the learning process, we have seen how this transition has been stalled by the insistence of those who are learned, some of the faculty, that learning still involves nothing more than the mere transmission of knowledge. In a learner-centered system, the faculty are expected to be facilitators of learning, attentive to the needs of each and every learner. To do this, a faculty member must, as Pope Francis emphasized, “know how to
43
communicate with the young.”13 It is only through effective communication that those of us from an older generation could really connect with the youth. 3. Work on Every Phase of the Cycle But how can we battle with alternative facts unless we are perceived and respected as excellent, credible institutions? It is a generally accepted principle among educational leaders that excellence is measured at various phases and dimensions of an education cycle, as follows: 1) Inputs refer to the quality of resources that are essential in facilitating learning, such as quality of library materials, credentials of the faculty, and student selectivity; 2) Process refers to the quality of learning/teaching and of the systems and practices of leadership/administration; 3) Outputs are measured in terms of immediate and tangible results, such as the number of graduates and their employability, the number of researches conducted and published; 4) Outcomes refer to the extent that research impacts on public policy, the contribution of its alumni to the development of communities, organizations and the larger society as well as the university's contribution to the growth of the Church. 4. Existing Models in ASEAN Reviewing these dimensions, it is clear that the first three are easy to measure since the indicators for each are readily available and relatively easy to collect. For example, in determining the weaknesses of APTIK members, the organization surveyed the institutions to find out how many of the faculty have attained graduate degrees and the fields of specialization of those who have a doctorate degree (Association of Catholic Institutes of Higher Learning 2016). In terms of processes, many institutions, specifically Lasallian institutions in the Philippines, have adopted learning observation instruments that assess the extent that transformative learning approaches obtain in the classroom. The fact that all institutions gather and monitor indicators of the quality of inputs, process, and outputs testifies to the universal motivation among educational institutions to strive for excellence. In a number of institutions, and across institutions, the monitoring of one’s progress in attaining measures of excellence, come in the form of accreditation or quality assessment systems.
13
Pope Francis, 13 February 2014, “Pope Francis offers three proposals to improve Catholic Education,” ibid.
44
Quality assessment systems are integral in an institution’s pursuit of excellence. Since such pursuit is endless, a QA system must be set in place for an institution to know whether a course is producing a desired outcome or whether an administrative process provides support to rather than hinders the conduct of the institutions’ core operations—the acquisition, application and production of knowledge. As I speak before you today, a team of assessors from member universities of the ASEAN University Network (AUN) are at De La Salle University (DLSU) in Manila to conduct an institutional quality assessment. This quality assessment follows from the earlier initiatives of AUN to assess the quality of study/degree programs. Since the start of AUN’s assessment of programs in 2007, more than 200 study/degree programs in AUN member universities have been assessed. From these program quality assessments, AUN developed a framework for an institutional level assessment in 2016. DLSU is one of the first member-institution of AUN to undergo the institutional level assessment. At the institutional level, the AUN Quality Assurance Framework starts from an examination of whether the institution gathers and directs its decisions, systems, and programs towards addressing the needs of its stakeholders. As stated in the official document guiding institutional level assessment (ASEAN University Network 2016), the AUN-QA Framework is geared to “support the ASEAN Economic Community and to promote cross-border mobility for students and faculty members and internationalization of education.”14 It is clear from AUN’s initiatives that HEIs in the region--and not just the current roster of AUN members--should start instituting systems of quality assessment. While I acknowledge that a number of HEIs may have limited human, financial, and other required resources, rest assured that the task of quality assurance need not have an elaborate or full blown system as each dimension to be covered by an assessment can be undertaken without a dedicated office but as a shared responsibility of the faculty and administrators. More than the system, however, what is evident in the AUN-QA’s Framework, is that the core measure of performance of an institution is hinged on its distinct mission. As such, institutions need not be bothered by the reality that other institutions may have attained more (e.g. in the area of research or faculty credentials) as they measure themselves based on their specific objectives while still having an eye to level up to the scale, scope and state of higher tier institutions.
14
ASEAN University Network. 2016. "Guide to AUN-QA Assessment at Institutional Level," Guide to AUN-QA Assessment at Institutional Level, Bangkok: ASEAN University Network.
45
5. Role of Research Embrick poses a challenge to the university research agenda when he asks these crucial questions to race scholars:15 Why are more race scholars not engaging in producing research or knowledge in the service of transformation? Is it because many of us are more interested in knowledge rather than transformation? Do we expect others will take on the task of “policy work” broadly defined? Do we believe in the separation of “scholar” from “activist?”
He identifies four obstacles that prevent research from contributing to societal transformation but I thought the first two are more relevant for us in ASEAN: Challenge 1: I wasn’t trained to do this; talking to people outside the academy is hard. Challenge 2: It is easier to identify problems than to come up with solutions, or why we end all of our research with “more needs to be done.” 6. Final Remarks It was during one of those first meetings with your Education Minister Mohammad Nur when he asked me what the “Br.” before my name stood for. I told him that it is a convention that my religious congregation used—I am a De La Salle Brother, and so the Br. stood for “brother.” He must have been enthralled with that title since from that time on, whenever we would meet, he would extend a warm embrace and very effusively greet me, "Hello, my brother!" If your experience here in Indonesia is in any way analogous to ours in the Philippines, then you would know that Catholic universities can at times be very assertive about their identities. Those who have applied for research grants, or who have ever been on the lookout for talented students, know that the competition is not limited to sports. But Catholic institutions should not treat the others as competitors; rather, as comrades working towards a singular goal. In a world where there are real forces intent on fragmentation, APTIK's strategic thrust to move towards greater solidarity among Catholic universities in the country and, solidly united as APTIK, in synergy with all institutions--public and private--that participate in nation-building.
15
David Embrick & Amanda Lewis. “Working at the Intersection of Race and Public Policy: The Promise (and Perils) of Putting Research to Work for Societal Transformation.” Sociology of Race and Ethnicity, American Sociological Association, 2016. www.researchgate.net/publication/303535137, accessed 11 March 2017.
46
Much work needs to be done, and our strategic planners will have many long days hammering out the minutiae of our continuing engagement. I have utmost confidence that, with God as our guide, we will go from strength to strength in moving our respective institutions and nations, the region, and this assembly of the faithful, forward. Terima kasih.
Pustaka Embrick, David. 2016. "Thinking diversity, rethinking diversity," Humanity and Society (Sage) 40 (3): 223-228. Association of Catholic Institutes of Higher Learning. 2016. "2017-2021 Strategic Plan," APTIK 2017-2021 Strategic Plan. Jakarta: APTIK, October. The 2015 American film, “Our Brand is Crisis,” directed by David Gordon Green and written by Peter Straughan, portrays how the political landscape can be manipulated to favor a candidate. UNESCO. “The Constitution,” UNESCO: Building Peace in the minds of men and women, from http://www.unesco.org/new/en/unesco/about-us/who-weare/history/constitution/, accessed 12 March 2017. ASEAN University Network. 2016. "Guide to AUN-QA Assessment at Institutional Level," Guide to AUN-QA Assessment at Institutional Level, Bangkok: ASEAN University Network. Embrick, David & Amanda Lewis. “Working at the Intersection of Race and Public Policy: The Promise (and Perils) of Putting Research to Work for Societal Transformation.” Sociology of Race and Ethnicity, American Sociological Association, 2016. www.researchgate.net/publication/303535137, accessed 11 March 2017. Paul VI, Pope. 7 December 1965, Gaudium et Spes: Pastoral Constitution on the Church in the Modern World, from http://www.vatican.va/archive/hist_councils /ii_vatican_council/documents/vat-ii_cons_19651207_gaudium-etspes_en.html, accessed 12 March 2017. Francis, Pope. 13 February 2014, “Pope Francis offers three proposals to improve Catholic Education, The Catholic World Report, from http://www.catholicworldreport. com/Blog/2929/pope_francis_offers_three_proposals_for_improving_cathol ic_education.aspx, accessed 12 March 2017.
47
Beswick, Frank. 23 November 2014, “The Evolutionary Theory of Teilhard de Chardin,” Decoded Past, from http://decodedpast.com/evolutionary-theoryteilhardde-chardin/14043, accessed 12 March 2017. Francis, Pope. 26 Sept 2015, “'Never be ashamed': Pope forcefully defends immigrants in Philadelphia,” The Guardian, from https://www.theguardian.com/world/2015/sep/26/pope-francis-philadelphiaindependence-hall-speech, accessed 12 March 2017. Reyes, Rachel. 19 Sept 2016, “A country divided between despair and hope,” The Manila Times, from http://www.manilatimes.net/a-country-divided-betweendespairand-hope/286800/, accessed 11 Mar 2017. Reyes, Rachel. 28 Feb 2017, “The ominous precedent of Indonesia’s anti-crime death squads,” The Manila Times, from http://www.manilatimes.net/ominous-precedentindonesias-anti-crimedeath-squads/314540/0, accessed 11 Mar 2017. Seller, Eloise. 2016. "The Diplomat," The Diplomat. 12 January 2016. http://thediplomat.com/2016/01/the-asean-economic-community-the-forceawakens, accessed 2 Feb 2017.
48
4. INDONESIA MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Patdono Suwignjo1
1
Dr. Ir. Patdono Suwignjo, M.Eng.Sc. adalah Dirjen Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, KemenristekDikti. 49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
ISBN: 978-602-14190-5-2
9
7896021
419052
ASOSIASI PERGURUAN TINGGI KATOLIK d.a. Universitas Katolik Indonesia ATMA JAYA Jl. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930 Telp. (021) 5706059 email:
[email protected] www.aptik .or.id