ASOSIASI PERGURUAN TINGGI SWASTA INDONESIA ( APTISI ) d.a. Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA)
Jl. Gandaria IV/24, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12130. Telp/Fax. : (021)7398898 Bank Niaga : 005-0106986002 USULAN APTlSl TERHADAP RUU PERGURUAN TlNGGl (VERSI 26 JUNl2012) Pendahuluan Perguruan Tinggi
baik PTN maupun PTS sama-sama memiliki peran yang sangat
penting dan strategis dalam mengemban pendidikan tinggi formal setelah pendidikan menengah. PTN dan PTS diamanatkan dalam Undang-Undang SlDlKNAS nomor 20 Tahun 2003 untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan sistim pendidikan nasional untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yakni pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional lndonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Mengingat sama pentingnya peran PTS dan PTN dalam pendidikan tinggi, maka tidaklah wajar kalau ada dikotomi atau ketidak adilan perlakukan dari pemerintah yang selama ini dirasakan oleh pengelola dan para stakeholder PTS. Untuk itu, APTSl sebagai satusatunya Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta di lndonesia berkewajiban memberikan usulan-usulan penting terhadap RUU PT. Usulan-Usulan Terhadap RUU PT Setelah mencermati isi RUU PT, APTlSl menyatakan bahwa (1) ada pasal-pasal yang tidak layak dimasukan dalam sebuah RUU, (2) terdapat pasal-pasal yang harus dihapus dan direvisi, (3) diperlukan tambahan ayat dalam beberapa pasal agar terdapat keadilan dari pemerintah yang bertanggung jawab untuk pembinaan dan pengembangan perguruan tinggi, dan hal-ha1 lain yang sangat penting untuk disampaikan kepada Pemerintah dan DPR.
I. Pasal-pasal yang tidak layak dijadikan RUU PT Terdapat beberapa pasal
yang mengatur secara teknis sistim dan pengelolaan
perguruan tinggi. Pasal-pasal tersebut di antaranya pasal 10 tentang Rumpun llmu Pengetahuan dan Teknologi; pasal 11 sd 14,tentang
Civitas Akademika; pasala 17,
tetang Pendidikan Vokasi; pasal 18 sd 33, tentang Program Pendidikan Tinggi-sarjana, magister, doktor, profesi dan spesilais; pasal 36, tentang Kredit Semester; pasal 42, tentang ljazah; pasal 70, tentang Otonomi Perguruan Tinggi, dan pasal 76, tentang
Penerimaan Mahasiswa Baru.
Pasal-pasal ini seharusnya dihapus atau dimasukan
dalam tingkatan dibawah undang-undang, seperti Peratuaran Pemerintah atau Peratuan Menteri. (Usulan dihapus pasal-pasal tersebut sesuai dhengan usulan RUU PT versi Pemerintah). 2. Pasal-pasal RUU PT yang harus dihapus dan direvisi
a) Pasal 55 tentang akreditasi; ayat 6 harus direvisi menjadi " Lembaga Akreditasi Mandiri merupakan lembaga akreditasi mandiri yang dibentuk oleh Pemerintah atau masyarakat seperti lembaga asosiasi dan profesi yang diakui oleh pernerintah." Dalam ayat ini dihapus kata-kata "atas rekomendasi BAN PT" karena posisi BAN PT sejajar dan sama dengan badan atau lembaga akreditasi lain yang dibentuk oleh masyarakat. b) Pasal 64 sangat memposisikan PTS sebagai suatu lembaga yang inferior dan diatur sangat ketat, sangat berbeda dengan PTN. Oleh karena itu, pasal 64, ayat 4 harus dihapus, sedangkan ayat 5 menjadi ayat 4 dan direvisi menjadi " Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian PTN dan PTS sebagaimana dimaksud pada ayat (I), ayat (2), dan (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
c) Pasal 80, ayat 1 dan ayat 6 dapat dimasukan dalam RUU PT, sedangkan ayat yang lain, ayat 2, ayat 3, ayat 4 dan ayat 5 dihapus. d) Semua penyelenggaraan pendidikan seharusnya dipusatkan di
Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, dengan demikian kementrian lain danlatau LPNK tidak menyelenggarakan pendidikan tinggi sehingga inefisien dan infektif. Kebutuhan SDM dengan kualifikasi khusus di Kementrian lain dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi di bawah kementrian pendidikan dan kebudayaan. Oleh karena itu, pasal 1 6 , pasal 21, pasal 22 , dan pasal47 harus direvisi. 3. Penambahan ayat-ayat dalam pasal RUU PT
a) Dalam pasal 6, perlu ditambahkan prinsip nirlaba yaitu prinsip pengelolaan perguruan tinggi yang bertujuan tidak mencari keuntungan. Meskipun pada pasal64 dan pasal
67 disebut kata nirlaba, namun seharusnya nirlaba dimasukan dapa prinsip pengelolaan perguruan tinggi pada pasal 6. Konsekuensi dari prinsip ini lernbaga pendidikan tinggi tidak boleh dijadikan ajang untuk mencari profit untuk kepentingan di luar pendidikan. Oleh karenanya, sudah seharusnya perguruan tinggi dan aktivitasnya terkait dengan pedidikan tinggi tersebut tidak dijadikan objek palak.
b) Pasal 87 atau pasal 45 versi Pemerintah, masalah pendanaan dan pembiayaan harus diberikan kepada PTN dan PTS, yakni tidak hanya PTN dalam bentuk Bantuan Operasional PTN (BOPTN), tapi juga PTS dalam bentuk Bantuan Operasional PTS (BOPTS). Sehingga harus ada ayat dalam pasal tersebut yang menyatakan " Pemerintah menyediakan pendanaan PTS yang dialokasikan dalam APBN antara lain dalam bentuk Bantuan Operasional PTS (BOPTS), yang jumlahnya proposional atau ada keadilan antara PTN dan PTS. ---------
c) Pasal 93 atau pasal 50 versi Pemerintah, masalah ak&aKpFn~naan-ontaft
penelitian.
Seharusnya
ada
ayat
yang
menyatakan
bahwa
pemerintah
mengalokasikan sebagian dana yang dikelola oleh Kementrian untuk membiyai penelitian PTS. Dengan demikian, PTS juga memiliki kesempatan yang sama dengan PTN untuk melakukan penilitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan humaniora serta meningkatkan kualitas SDM yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah mahasiswa di PTN. Dengan kata lain, pemerintah harus mengalokasikan pendanaan penelitian bagi pendidikan tinggi tanpa mendikotomikan PTS. Penutup
Dan paparan usulan tersebut diatas, sikap APTlSl adalah meminta Pernerintah dan DPR tidak terburu-buru mengesahkan RUU PT karena masih banyak pasal-pasal yang harus diperbaiki serta masih terdapat pasal dan ayat yang belum mengakomodasi kepentingan masyarakat, khusunya perguruan tinggi swasta yang berazaskan keadilan. Pada prinsipnya RUU PT mengatur hal-ha1 yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi tanpa rnembedakan PTN -PTS. Pemerintah dan DPR harus mengubah mindset dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, yaitu Pernerintah bertanggungjawab dalam peneyelenggaraan pendidikan tinggi bagi setiap WNI tanpa membedakan PTN dan PTS. Begitu pula masyarakat dan dunia industri serta sernua pemangku kepentingan lainya berperan serta membantu pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini akan memperkuat posisi dan daya dukung dalam pengembangan SDM Indonesia yang kompetitif dan berdaya saing. Jakarta, 6 Juli 2012
~ ~ A S O S I A SP E I RGUR
&% Prof. Dr. Edv Suandi Hamid. M. Ketua Umum
A S T A INDONESIA
ASOSIASI PERGURUAN TINGGI SWASTA INDONESIA ( APTISI )
Y
d.a. Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamga
3 APTlSl
Jl Gandaria . N/24, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12130. Telp/Fax. : (021) 7398898 i ;
Bank Niaga : 005-0106986002
PERNYATAAN SlKAP APTlSl TERHADAP ISU-ISU TERKlNl TENTANG PENDlDlKAN TlNGGl Dl INDONESIA RPPP APTlSl ke-2, Samarinda 5 - 7 Juli 2012 Rapat Pleno APTlSl ke-2, yang diselenggarakan di Hotel Mesra International, Samarinda, tanggal 5 - 7 Juli 2012 menyatakan sikap terhadap isu-isu terkini tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia sebagai berikut : 1. APTlSl menolak pengesahan RUU-PT yang disosialisasikan pemerintah
saat ini, karena setelah menelaah substansi RUU-PT tersebut terdapat hal-ha1 sebagai berikut. a. Masih banyak pasal dalam RUU-PT yang tidak layak dimasukkan sebagai pasal sebuah produk undang-undang. b. Masih terdapat pasal-pasal yang harus dihapus dan direvisi karena sangat dikotomis dalam mendudukkan posisi PTN dan PTS, serta menunjukkan perlakuan tidak adil terhadap PTS. c. Perlu ada penambahan ayat-ayat yang mengakomodasi penguatan PTS sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap pembinaan dan pengembangan PTS. 2. APTlSl menolak langkah pemerintah mengkonversi PTS menjadi PTN.
Beberapa alasan penolakan tersebut diantaranya : a. Peningkatan APK tidak seharusnya dilakukan dengan mengkonversi PTS menjadi PTN, tetapi dengan memberdayakan kapasitas PTS dan PTN secara proporsional, yang ha1 ini secara keseluruhan akan berdampak pada penghematan anggaran pemerintah. b. Konversi PTS menjadi PTN akan menyebabkan terjadinya akumulasi pembiayaan yang justru akan memberatkan pemerintah.
3. Dalam rangka memperkuat kapasitas sumber daya manusia di daerah perbatasan negara dan memperkokoh integritas NKRI, maka APTlSl mendukung pendirian PTN di daerah perbatasan tersebut. 4. APTlSl selama ini telah melakukan kajian dan mengusulkan adanya Badan Akreditasi Mandiri (hasil Deklarasi Padang tahun 2010). Sehubungan dengan rencana pemerintah membentuk Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM), maka APTlSl mendesak pendirian LAM tersebut segera direalisasikan, dengan catatan sebagai berikut:
a. LAM mendapat dukungan dana operasional dari APBN. b. Posisi LAM harus sejajar dengan BAN-PT, artinya semua prosedur, manaiemen, dan operasional LAM harus sarna dennan apa yann dimiliki dan diperoleh BAN-PT. Kesejajaran posisi tersebut beras BAN-PT tidak merniliki fungsi kontrol terhadap LAM. c. Produk kerja LAM harus-sama dengan BAN-PT, artinya akreditasi yang diberikan oleh LAM memiliki kekuatan dan pengakuan yang sama dengan akreditasi yang diberikan oleh BAN-PT. 5. Untuk menjaga integritas lembaga pendidikan, APTlSl mendukung pemberantasan korupsi di lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan tinggi. Oleh karena itu, APTlSl mengapresiasi dan mendukung langkah-langkah KPK memberantas korupsi sarnpai ke akarakarnya. Terkait dengan ha1 tersebut, APTlSl meminta anggota APTlSl untuk menolak segala bentuk bantuan yang diperkirakan akan mendudukkan penerima bantuan tersebut sebagai bagian dari pelaku korupsi.
6. APTlSl menolak kebijakan pemerintah, khususnya Dikti, yang dibuat tanpa melalui analisis mendalam. Sebagai contoh: a. Pengurusan Nomor lnduk Dosen Nasional (NIDN) dengan menyertakan rekening koran. b. Kasus penghilangan nama-nama dosen dalam database Dikti tanpa sepengetahuan PT.
7. APTlSl meminta pelayanan administrasi Dikti ditingkatkan, sehingga masalah-masalah seperti lambatnya proses akreditasi dapat segera ditangani. Contoh kasus yang selama ini terjadi adalah jam pelayanan bagi PT khususnya PTS, yang hanya diberikan waktu 2 (dua) hari dalam satu minggu.
Samarinda. 6 Juli 2012