LEMBAR TERBITAN Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan: KDT
EVALUASI IMPLEMENTASI MODEL-MODEL PENILAIAN (PROGRAM LEA 2012)
ISBN
Judul Buku: Evaluasi Implementasi Model-model Penilaian (Program LEA 2012) PENYUSUN: Himmatul Aliyah, Sos.,M.Si .
Penerbit: PUSPENDIK Jakarta, 2012
i
KATA PENGANTAR Penerapan konsep manajemen berbasis sekolah menuntut dilakukannya pembenahan dalam teknik dan prosedur pelaksanaan penilaian di satuan pendidikan. Oleh karena itu pelaksanaan penilaian perlu dilakukan secara lebih komprehensif dengan memberdayakan guru di sekolah. Untuk mewujudkan model penilaian yang dapat meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah, Puspendik melakukan Pelatihan Guru melalui program asistensi Pengembangan Model Penilaian di satuan pendidikan dengan membentuk kelompok-kelompok kerja pada sekolah di kabupaten/kota sebagai Local Examination Agency (LEA). Program asistensi pengembangan model penilaian pada satuan pendidikan (LEA) pada tahun 2012, dilakukan dalam bentuk kerjasama antara Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang, Kemendikbud dengan 6 Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dan 24 Sekolah di 6 provinsi. Buku ini berisi hasil evaluasi implementasi Program LEA yang dilaksanakan selama bulan September s.d Desember 2012 pada 24 sekolah tingkat SD, SMP, dan SMA di 6 kabupaten/kota yaitu di yaitu 1) Kota Jambi-Jambi, 2) Kota BengkuluBengkulu, 3) Kabupaten Lampung Tengah-Lampung, 4) Kota Kendari-Sulawesi Tenggara, 5) Kabupaten Gorontalo-Gorontalo, 6) Kabupaten Maluku TengahMaluku. Melalui kegiatan asistensi yang dilakukan LEA, diharapkan praktik penilaian di tingkat satuan pendidikan dapat berjalan baik dan hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik dalam proses pembelajaran serta dapat meningkatkan mutu pembelajaran di tingkat sekolah dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional Jakarta, Januari 2013 Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang, Kemendikbud Dr. Hari Setiadi NIP 196103241986031001
ii
DAFTAR ISI Halaman Lembar Data Terbitan ....................................................................................... i Kata Pengantar .................................................................................................. ii Daftar Isi .......................................................................................................... iii BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... A. Latar Belakang ........................................................................... B. Permasalahan ............................................................................. C. Tujuan ........................................................................................
1 1 2 3
BAB II. KAJIAN KEPUSTAKAAN.............................................................. A. Metode Pendekatan Evaluasi ..................................................... B. Penilaian Kelas .......................................................................... C. Analisis Soal .............................................................................. D. Pemanfaatan Hasil Ujian ...........................................................
4 4 5 10 11
BAB III. METODOLOGI ..............................................................................
13
BAB IV. HASIL EVALUASI IMPLEMENTASI PROGRAM LEA ............. A. Hasil Tes Awal dan Tes Akhir .................................................. B. Hasil Penerapan Model Penilaian Kelas .................................... C. Pendapat Kepala Sekolah Perintisan LEA .................................
17 17 23 67
BAB V. Kesimpulan ......................................................................................
78
Daftar Pustaka ...................................................................................................
80
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penilaian merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan guru selama proses pembelajaran di kelas, serta dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Penilaian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi kinerja pembelajaran siswa di kelas maupun pada satuan pendidikan, yang dapat dimanfaatkan untuk perbaikan dalam proses pembelajaran yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di satuan pendidikan. Berdasarkan UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan nasional, pada pasal 57 menyatakan bahwa evaluasi (penilaian) dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan pasal 58 (ayat 2) menyatakan bahwa evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Sementara Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2005 pasal 48 mengamanatkan bahwa Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Balitbang Diknas mempunyai tugas melaksanakan pengembangan sistem penilaian pendidikan. Penerapan konsep manajemen berbasis sekolah menuntut dilakukannya pembenahan dalam teknik dan prosedur pelaksanaan penilaian pada satuan pendidikan. Oleh karena itu pelaksanaan penilaian perlu dilakukan secara lebih komprehensif dengan memberdayakan guru. Selain itu, dalam menghadapi era global saat ini siswa dihadapkan pada tuntutan tidak hanya memahami hal-hal yang bersifat dasar, namun juga dituntut untuk berfikir kritis, analitis dan dapat membuat kesimpulan. Untuk mengembangkan kemampuan tersebut dibutuhkan pengembangan model-model penilaian di tingkat sekolah dan kelas.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
2
Hasil penelitian yang di lakukan Linda Bond (Reaching for New Goals and Standards: The Role of Testing in Educational Reform Policy, 1994) menginformasikan bahwa banyak pendidik dan pengambil keputusan menyatakan bahwa dasar utama penilaian adalah apa yang dipelajari, dan bentuk penilaian dapat mempengaruhi bentuk pembelajaran. Oleh karena itu dalam melakukan penilaian diperlukan perencanaan yang baik, penyesuaian bentuk penilaian yang digunakan dengan materi dan tujuan pembelajaran, kompetensi dasar, standar kompetensi, dan sesuai dengan tujuan penilaian agar mendapat hasil seperti yang diharapkan, Sejalan dengan reformasi pendidikan di Indonesia, penilaian dalam proses pembelajaran juga mengalami perubahan. Beberapa tahun belakangan ini, sejumlah sekolah telah mencoba melakukan perubahan dalam upaya mengimplementasikan model-model penilaian yang menuntut kemampuan berfikir siswa yang lebih tinggi, namun mengalami kendala karena tidak memiliki sumber daya (baca: guru) yang memadai. Untuk mewujudkan model penilaian yang dapat meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah, Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Diknas telah melaksanakan program asistensi pengembangan model penilaian di satuan pendidikan, dengan membentuk kelompok-kelompok kerja pada sekolah/madrasah di kabupaten/kota yang kelak diharapkan menjadi Local Examination Agencies (LEA). LEA yang berbasis sekolah/ madrasah atau gabungan dari keduanya, memiliki tugas dan tanggungjawab untuk memberi bantuan teknis (asistensi) pengujian/ penilainan kepada guru-guru di wilayahnya kabupaten/kota. Melalui kegiatan asistensi yang dilakukan LEA, diharapkan praktik pengujian/penilaian di tingkat sekolah/madrasah dapat berjalan baik dan hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik dalam proses pembelajaran yang dapat meningkatkan mutu pembelajaran di tingkat kelas/sekolah, sekaligus meningkatkan hasil Ujian Nasional, dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional.
B. Permasalahan Sampai saat ini pelaksanaan penilaian di satuan pendidikan masih banyak menggunakan tes tertulis, hasil penilaian belum dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai umpan balik bagi guru. Hal ini berdampak hasil penilaian belum mempengaruhi proses pembelajaran di kelas. Oleh karena itu pengembangan model penilaian di satuan pendidikan perlu dilakukan dengan alasan: Masih kurangnya pemahaman dan kemampuan guru dalam perencanaan, prosedur, dan penyiapan bahan ujian
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
3
Masih kurangnya pemahaman guru dalam mengimplemetasikan bentukbentuk penilaian kelas lainnya selain tes tertulis. Masih rendahnya pemanfaatan hasil ujian yang merupakan gambaran umum dari pencapaian program pembelajaran di sekolah/madrasah dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran di sekolah/madrasah dan meningkatkan hasil Ujian Nasional. Oleh karena itu diperlukan suatu tim kelompok kerja asistensi pengujian/penilaian di daerah-daerah yang berfungsi membantu guru dalam pelaksanaan ujian dan pemanfaatkan hasil ujian di sekolah/ madrasah untuk meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah yang pada akhirnya dapat diharapkan dapat meningkatkan nilai perolehan Ujian Nasional.
C. Tujuan Evaluasi Tujuan dilakukannya evaluasi implementasi Program LEA 2012 adalah untuk mengetahui: Sejauhmana pengetahuan dan pemahaman guru-guru di sekolah perintisan LEA tentang model-model penilaian kelas, analisis soal, dan pemanfaatan hasil ujian, sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan Program LEA (modelmodel penilaian dan pemanfaatan hasil ujian). Sejauhmana pemahaman guru dalam mengimlementasikan model-model penilaian dan pemanfaatan hasil ujian dalam proses pembelajaran di kelas/sekolah. Pendapat para kepala sekolah perintisan LEA terhadap imlementasi modelmodel penilaian di sekolahnya dan penyempurnaan Program LEA untuk masa yang akan datang. .
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
4
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
Berikut ini akan diuraikan teori dan variabel-variabel yang terkait dalam melakukan evaluasi terhadap Program Local Examination Agency (LEA) yang meliputi: metode pendekatan evaluasi yang dilakukan, model-model penilaian kelas, analisis soal, dan pemanfaatan hasil-hasil ujian di sekolah dengan menggunakan Software Aplikasi SIKS.
A. Metode Pendekatan Evaluasi (Evaluation Approach) Dalam pelaksanaan evaluasi program pendidikan terdapat enam metode pendekatan (Evaluation Approach, Sandero, 1987). Metode dengan menggunakan pendekatan ini dipilih dan digunakan sesuai dengan karakteristik dan tujuan dari kegiatan evaluasi tersebut. Metode-metode pendekatan tersebut adalah: 1. Pendekatan Orientasi Objektif (Objektive Oriented Approach) Metode evaluasi dengan pendekatan ini difokuskan pada tujuan spesifik dari evaluasi yang akan dilakukan dan menentukan sampai sejauhmana tujuan dari evaluasi yang dilakukan itu tercapai. 2. Pendekatan Orientasi Manajemen (Management Oriented Approach) Metode evaluasi dengan pendekatan ini fokus utamanya pada evaluasi manajemen secara keseluruhan. Artinya pendekatan ini mengevaluasi mulai dari context, input, process, sampai dengan product yang dihasilkan. 3. Pendekatan Orientasi Konsumen (Consumer Oriented Approach) Metode evaluasi dengan pendekatan ini secara umum mengevaluasi produk pendidikan (educational product) secara luas, dapat berupa kurikulum, buku-buku teks, dan macam-macam produk pendidikan lainnya.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
5
4. Pendekatan Orientasi Para Ahli (Expertise Oriented Approach) Pendekatan evaluasi ini sangat tergantung pada profesionalitas dari para ahli untuk mempertimbangkan kualitas dari objek evaluasi yang dinilai. Artinya hasil evaluasi sangat tergantung pada kualitas dan kemampuan para ahli yang melakukan penilaian tersebut. 5. Pendekatran Orientasi Advisory (Advisory Oriented Approach) Pendekatan ini juga melihat pertimbangan oposisi. Artinya fokus evaluasi mempertimbangkan baik dari segi positif atau yang mendukung, maupun dari segi negative atau yang tidak mendukung objek yang dievaluasi (pro dan kontra). 6. Pendekatan Naturalistik dan Partisipan (Naturalistic and Participant Oriented Approach). Pendekatan evaluasi ini melibatkan semua patisipan (skateholder) yang di evaluasi. Artinya data pendapat setiap partisipan benar-benar direkam secara utuh. Dalam evaluasi Program LEA yang digunakan adalah pendekatan orientasi objektif (Objective Oriented Approach). Artinya evaluasi dilakukan dengan pusat perhatian pada tujuan dilakukannya evaluasi terhadap Program LEA. Secara umum dalam evaluasi Program LEA dilakukan untuk mengetahui sampai sejauhmana pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan guru-guru sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan Program LEA . Dalam evaluasi program ini yang digunakan adalah pendekatan orientasi objektif (Objective Oriented Approach). Artinya dalam evaluasi ini data dan informasi yang diambil berfokus pada tujuan dari evaluasi ini. Secara umum ingin diketahui sampai sejauhmana pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan guru-guru sebelum dan sesudah adanya pelatihan penulisan Local Examination Agency (LEA) di daerah-daerah.
B. Penilaian Kelas Penilaian kelas merupakan suatu bentuk kegiatan guru yang terkait dengan pengambilan keputusan terhadap pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran tertentu. Oleh sebab itu penilaian kelas lebih merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk menilai hasil belajar peserta didik berdasarkan tahapan belajarnya. Dari proses tersebut dapat diperoleh profil kemampuan peserta didik dalam mencapai sejumlah standar kompetensi dan kompetensi dasar sesuai
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
6
dengan tuntutan kurikulum yang berlaku. Penilaian kompetensi dasar dilakukan berdasarkan indikator-indikator pencapaian kompetensi yang memuat satu ranah atau lebih. Melalui indikator-indikator tersebut dapat ditentukan bentuk penilaian yang sesuai dilakukan. Berikut akan diuraikan model-model Penilaian Kelas dan Pemanfaatan Hasil Ujian. 1. Tes Tertulis Tes tertulis merupakan kumpulan soal-soal yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Dalam menjawab soal, peserta didik tidak selalu harus merespon dalam bentuk jawaban, tetapi juga dapat dilakukan dalam bentuk lain seperti memberi tanda, mewarnai, menggambar dan sejenisnya. Bentuk soal tes tertulis dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu soal dengan memilih jawaban yang sudah disediakan (bentuk soal pilihan ganda, benar-salah, dan isian) dan soal dengan memberikan jawaban secara tertulis (bentuk soal isian, jawaban singkat dan uraian). Dalam penyusunan soal tes tertulis, selain memperhatikan kaidah-kaidah penulisan soal dilihat dari segi materi, konstruksi, maupun materi, soal yang dibuat hendaknya menuntut penalaran yang tinggi. Hal ini dapat dilakukan guru dengan cara: Materi yang ditanyakan mengukur perilaku pemahaman, penerapan, sintesis, analisis, atau evaluasi. Perilaku ingatan juga diperlukan namun kedudukannya adalah sebagai langkah awal sebelum peserta didik dapat mengukur perilaku yang disebutkan di atas. Setiap pertanyaan diberikan dasar pertanyaan (stimulus), misalnya dalam bentuk ilustrasi/bahan bacaan seperti kasus, gambar, peta, peristiwa sejarah, contoh, tabel, dan sebagainya. Mengukur kemampuan berfikir kritis. Mengukur keterampilan pemecahan masalah. Sebelum soal disusun terlebih dahulu harus dibuat kisi-kisi yang berfungsi sebagai pedoman dalam menulis soal. Kisi-kisi merupakan suatu format atau matrik yang memuat kriteria tentang soal-soal yang akan disusun. Tidak ada ketentuan baku yang mengharuskan bentuk kisi-kisi harus sama, yang terpenting adalah kisi-kisi harus disusun sesuai dengan tujuan tes yang akan dilakukan, misalnya kisi-kisi untuk tes diagnostik tentunya berbeda dengan kisi-kisi untuk tes formatif atau sumatif. Kisi-kisi tes prestasi belajar harus memenuhi beberapa persyaratan :
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
7
Mewakili isi kurikulum yang akan diujikan Komponen-komponennya rinci dan mudah dipahami Dapat dibuat soalnya sesuai dengan indicator dan bentuk soal yang ditetapkan. Komponen yang diperlukan dalam sebuah kisi-kisi sangat ditentukan oleh tujuan tes yang hendak disusun. Komponen-komponen ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu komponen identitas dan komponen matrik. Komponen identitas biasanya terdiri dari identitas jenjang sekolah, mata pelajaranan yang diujikan, kurikulum yang diacu, jumlah soal dan bentuk soal, serta tahun pembuatan kisikisi. Sedangkan komponen matrik berisi penjabaran dari kompetensi yang akan diujikan, materi, indicator dan nomor soal. Materi dalam kisi-kisi harus sesuai dengan kompetensi yang akan diujikan. Selain itu materi yang tertulis dalam kolom materi hanya materi yang akan dibuatkan soalnya saja. Indikator adalah rumusan yang memuat perilaku peserta didik yang akan diukur yang dituangkan dalam bentuk kata kerja operasional. Adapun indikator yang baik adalah: Memuat ciri-ciri kompetensi yang akan diujikan Memuat satu kata kerja operasional, khusun untuk soal bentuk uraian dapat menggunakan lebih dari satu kata kerja operasional. Berkaitan erat dengan materi Dapat dibuat soalnya sesuai dengan bentuk soal yang ditetapkan. 2. Penilaian Kinerja Penilaian kinerja merupakan penilaian yang dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu. Penilaian ini tepat dilakukan untuk menilai ketercapaian kompetensi yang menuntut peserta didik menunjukkan kinerjanya. Cara penilaian ini dianggap lebih otentik daripada tes tertulis karena apa yang dinilai lebih mencerminkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Dalam penilaian kinerja perlu dipertimbangkan hal-hal berikut: Identifikasi langkah-langkah kinerja yang diharapkan sesuai dengan tuntutan kompetensi Kelengkapan dan ketepatan aspek yang akan dinilai dalam kinerja tersebut. Upayakan kemampuan yang dinilai tidak terlalu banyak agar dapat diamati. Kemampuan yang dinilai diurutkan berdasarkan urutan yang diamati.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
8
Penilaian kemampuan kinerja dapat dilakukan dengan cara yang paling sederhana yaitu menggunakan: Daftar cek (Checklist). Pada penilaian ini peserta didik mendapat skor apabila kriteria penguasaan kemampuan tertentu dapat diamati oleh penilai. Kelemahan cara ini adalah penilai hanya bisa memilih dua pilihan absolut yaitu teramati atau tidak teramati, jika tidak dapat diamati maka peserta didik tidak memperoleh nilai (tidak ada nilai tengah). Skala Rentang (Rating Scale). Pada penilaian ini memungkinkan penilai memberi nilai tengah terhadap penguasaan kompetensi tertentu, karena pilihan kategori nilai lebih dari dua. Penilaian sebaiknya dilakukan lebih dari satu penilai untuk menghindari subjektivitas. Hal yang perlu mendapat perhatian dalam penilaian kinerja adalah pensekoran dan penilaiannya. Dalam menilai kineja biasanya digunakan dua pendekatan yaitu dengan metode holistic dan metode analytic. Metode holistic digunakan apabila penilai hanya memberikan satu buah nilai berdasarkan penilaian mereka secara keseluruhan dari hasil kerja peserta tes. Sedangkan pada metode analytic para penilai memberikan penilaian (skor) pada berbagai aspek yang berbeda sesuai dengan kinerja yang dinilai. Permasalahan yang sering muncul dalam mendesain dan menggunakan penilaian kinerja adalah tentang validitas (kompleksitas tugas dan kemampuan yang akan diukur dapat menimbulkan masalah dalam pensekoran dan keterwakilan domain yang hendak diukur), reliabilitas (sejauhmana skor peseta didik dapat merefleksikan kemampuan yang sebenarnya, dan fairness (ketersediaan alat yang diperlukan dan kesempatan untuk belajar atau berlatih. Dalam penerapannya di lapangan beberapa penilaian dapat dikategorikan ke dalam penilaian kinerja yaitu penilaian kinerja yang menghasilkan produk yang dinamakan penilaian produk Selain itu ada pula yang berbentuk penugasan yang harus diselesaikan dalam periode tertentu, penilaian kinerja semacam ini disebut penilaian projek. 3. Penilaian Produk Penilaian produk adalah penilaian terhadap keterampilan dalam membuat suatu produk dan kualitas produk tersebut. Penilaian produk tidak hanya diperoleh dari hasil akhir, namun juga proses pembuatannya. Pengembangan produk meliputi 3 tahap dan dalam setiap tahap perlu diadakan penilaian yaitu:
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
9
Tahap persiapan meliputi penilaian terhadap kemampuan peserta didik dalam merencanakan, menggali, mengembangkan gagasan, dan mendesain produk. Tahap pembuatan (produk) meliputi penilaian terhadap kemampuan peserta didik dalam menyeleksi, menggunakan bahan, alat dan teknik. Tahap penilaian meliputi penilaian terhadap kemampuan peserta didik membuat produk sesuai dengan yang diharapkan. 4. Penilaian Proyek Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu kegiatan investigasi sejak dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data. Kegiatan ini umumnya dilakukan dalam bentuk kelompok kecil, tapi tidak menutup kemungkinan menjadi tugas perorangan. Penilaian bentuk ini dilakukan sejak perencanaan, proses selama pengerjaan tugas, sampai hasil akhir proyek. Untuk itu guru perlu menetapkan tahapan yang akan dinilai, seperti penyusunan desain, pengumpulan data, analisis data, menyiapkan laporan tertulis. Penilaian proyek dapat dilakukan dengan menggunakan daftar cek ataupun skala rentang. 5. Penilaian Sikap Penilaian sikap merupakan salah satu penilaian berbasis kelas terhadap suatu konsep psikologi yang kompleks. Penilaian sikap terhadap mata pelajaran tertentu dapat dilakukan berkaitan dengan berbagai objek sikap antara lain: sikap terhadap mata pelajaran, sikap terhadap guru mata pelajaran, sikap terhadap proses pembelajaran, sikap terhadap materi pembelajaran, dan sikap-sikap yang berhubungan nilai-nilai yang ingin ditanamkan dalam diri peserta didik melalui materi tertentu. Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan menggunakan lembar observasi, pertanyaan langsung, dan penggunaan skala sikap. 6. Penilaian Portofolio Penilaian portofolio adalah penilaian terhadap sekumpulan karya peserta didik yang tersusun secara sistematis dan terorganisasi, yang diambil selama proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu. Penilaian ini digunakan guru maupun peserta didik untuk memantau perkembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik. Dalam penilaian portofolio yang harus ditentukan terlebih dahulu adalah tujuan dilakukannya penilaian tersebut :
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
10
memantau proses atau mengevaluasi hasil akhir sebagai masukan dalam proses mengajar guru memantau perkembangan kemampuan peserta didik atau guru hanya bermaksud mengkoleksi hasil kerja peserta didik.
Setelah tujuan penggunaan portofolio sudah ditetapkan, maka langkahlangkah kegiatan kunci yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh guru dalam penilaian portofolio di sekolah antara lain : Memastikan bahwa peserta didik memiliki berkas portofolio Menentukan bentuk dokumen atau hasil kerja peserta didik yang perlu dikumpulkan (seperti kliping, laporan hasil observasi, tugas pekerjaan rumah, laporan dll) Peserta didik mengumpulkan dan menyiapkan dokumen dan hasil kerjanya. Menentukan kriteria penilaian yang akan digunakan. Meminta peserta didik menilai hasil kerjanya sendiri secara berkelanjutan. Menentukan waktu dan menyelenggarakan pertemuan portofolio. Melibatkan orang tua peserta didik dalam proses penilaian portofolio
C. Analisis Soal Hasil tes prestasi belajar atau ujian diharapkan dapat memberi gambaran atau informasi yang akurat tentang tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang diuji. Agar dapat diperoleh gambaran/informasi yang akurat, maka alat ukur tersebut dituntut memenuhi segala persyaratan sebagai alat ukur yang baik. Untuk itu perlu dilakukan pengujian terhadap mutu setiap butir soal yang digunakan perlu dilakukan analisis soal. Analisis soal dilakukan untuk mengetahui berfungsi tidaknya sebuah soal. Pada umumnya cara yang ditempuh dalam analisis soal adalah melalui telaah soal (analisis kualitatif) dan analisis berdasarkan data hasil ujicoba atau bukti empirik (analisis kuantitatif atau analisis empirik). Telaah soal atau analisis soal secara kualitatif dilakukan sebelum suatu soal diujikan. Analisis kualitatif terhadap butir soal adalah penelaahan butir soal ditinjau dari segi kaidah penulisan yaitu 1) isi atau materi materi, konstruksi, dan dan bahasa. Namun analisis model ini belum memberikan gambaran tentang karakteristik psikometri soal. Oleh karena itu untuk membuktikan bahwa soalsoal itu sudah baik, perlu diujicobakan terhadap sejumlah peserta didik yang memiliki ciri yang sama dengan ciri peserta didik untuk siapa kelak soal tersebut digunakan. Jawaban atau respon peserta didik terhadap soal-soal itu dijadikan dasar untuk analisis kuantitatif.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
11
Dikenal dua cara dalam melakukan analisis kuantitatif, yaitu analisis dengan cara tradisional dan analisis dengan cara modern dengan menggunakan Item Response Theory. Dalam analisis soal terdapat sejumlah karakteristik soal yang dapat ditinjau, namun yang terpenting daam analisis kuantitatif adalah Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda Soal. Sedangkan untuk soal pilihan ganda perlu dilihat pula Penyebaran Jawaban Soal. (Dalam program LEA, Puspendik menyediakan program analisis soal secara manual maupun dengan program Iteman).
D. Pemanfaatan Hasil Ujian melalui Aplikasi SIKS Profesionalisme dan kemampuan guru memegang peranan penting dalam menentukan mutu pendidikan di sekolah, karena guru lah yang paling bertanggungjawab atas keberhasilan peserta didiknya. Untuk itu diperlukan interaksi dalam proses belajar mengajar antara guru dan peserta didik untuk mengetahui kekurangan/kelebihan masing-masing fihak, karena peningkatan mutu sekolah menjadi tanggung jawab sekolah. Mengetahui hasil Ujian Nasional (UN) seperti peringkat sekolah, jumlah ketidaklulusan peserta didik, dan daya serap kemampuan-kemampuan pada mata pelajaran yang diujikan dalam UN, maupun hasil ujian lainnya yang diselenggarakan sekolah (seperti ulangan harian, ulangan blok, ujian tengah semester, ujian akhir semester/sumatif, maupun ujian kenaikan kelas dan ujian sekolah), dapat menjadi umpan balik bagi guru dalam memperbaiki strategi pengajaran sebagai berikut. Melalui informasi penguasaan materi kemampuan ataupun setiap kompetensi yang diukur pada mata pelajaran yang diujikan guru dapat mengetahui sejauhmana peserta didik menguasai bahan pelajaran yang diajarkannya, baik secara kelompok maupun individual. Dalam hal ini guru mempunyai tanggungjawab yang besar dalam meningkatkan kemampuan kemampuan yang dianggap lemah dikuasai peserta didiknya. Guru dapat memperbaiki metode pengajaran yang digunakan dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya. Dalam upaya menjaga performasi dan kemampuan peserta didik, dibutuhkan sistem evaluasi/penilaian yang baik. Software Aplikasi Sistem Informasi Kompetensi Siswa (SIKS) yang dikeluarkan oleh Puspendik, Balitbang Kemdikbud, dirancang untuk membantu guru/sekolah dalam mengetahui penguasaan (daya serap) materi setiap kompetensi dasar yang telah diajarkan guru di kelas, baik secara individual (per
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
12
siswa), kelas, maupun sekolah. Dengan tools pembuatan kisi-kisi dan kartu soal yang diprogram sedemikian rupa membuat pengguna harus melakukan langkah sesuai dengan standar prosedur dalam pembuatan soal.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
13
BAB III
Metodologi
1. Subjek Populasi evaluasi Program LEA adalah guru-guru peserta Program LEA jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK. Subyek evaluasi implementasi Program LEA adalah 162 guru-guru mata pelajaran yang terdiri dari: 18 orang guru SD; 54 orang guru SMP, 60 orang guru SMA, dan 30 guru SMK yang berasal dari 24 sekolah dan 24 Kepala Sekolah yang ada di 6 Kabupaten/Kota yaitu 1) Kota Jambi - Jambi 2) Kota Bengkulu - Bengkulu, 3) Kab. Lampung Tengah Lampung, 4) Kota Kendari - Sulawesi Tenggara 5) Kab. Gorontalo - Gorontalo, 6) Kab. Maluku Tengah - Maluku. Dasar penetapan kabupaten/kota sebagai basis pengembangan kelompok kerja asistensi LEA didasarkan pada perolehan nilai rata-rata Ujian Nasional 2011 yang termasuk kategori rendah. Kriteria pemilihan satuan pendidikan yang dijadikan sebagai sekolah perintisan LEA adalah sekolah/madrasah yang tingkat kelulusan dalam Ujian nasionalnya cukup tinggi di kabupaten/kota terpilih. Hal ini dilakukan untuk melihat dampak nyata dari pelaksanaan program asistensi di setiap sekolah rintisan setiap tahunnya. Kabupaten/kota dan sekolah-sekolah yang terpilih sebagai sekolah perintisan LEA di 6 kabupaten/kota serta jumlah peserta pembinaan dapat dilihat pada tabel 3.1. dan tabel 3.2. berikut ini.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
14 Tabel 3.1. Daftar Kabupaten/Kota dan Sekolah Perintisan LEA 2012
No. Kab/Kota
SDN
SMPN
SMAN
SMKN
1
Kota Jambi
SDN 49/IV Jambi Timur
SMPN 1 Jambi
SMAN 3 Jambi
SMKN 2 Jambi
2
Kab. Lampung
SDN 1 Bandarsakti
SMPN 2 Kotagajah
SMAN 1 Kotagajah
SMKN 2 Terbanggi Besar
Tengah 3
Kota Kendari
SDN 1 Poasia
SMPN 9 Kendari
SMAN 1 Kendari
SMKN 1 Kendari
4
Kab. Maluku
SDN 4 Masohi
SMPN 2 Masohi
SMAN 2 Masohi
SMKN 1 Masohi
Tengah 5
Kota Bengkulu
SDN 1 Kota Bengkulu
SMPN 1 Bengkulu
SMAN 2 Bengkulu
SMKN 3 Bengkulu
6
Kab. Gorontalo
SDN 1 Kayubulan
SMPN 1 Limboto
SMAN 1 Limboto
SMKN 1 Mootilango
Keterangan : Jumlah peserta pelatihan Program LEA di setiap kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut 1ni.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
15 Tabel 3.2. Jumlah Peserta per Kota/Kabupaten No
Peserta
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Pengawas Kepala Sekolah Guru Kelas Guru Bahasa Indonesia Guru Bahasa Inggris Guru Pendidikan Kewarganegaraan Guru Matematika Guru Matematika Teknik Guru Matematika Non‐Teknik Guru Fisika Guru Biologi Guru Kimia Guru Sejarah Guru Geografi Guru Ekonomi Guru Sosiologi Guru Teknologi Informasi dan Komunikasi Guru Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi Jumlah
18
SD
Total
SMP
SMA SMK
1 1 3 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐
1 1 ‐ 1 1 1 1 ‐ ‐ 1 1 ‐ ‐ 1 1 ‐ 1
1 1 ‐ 1 1 1 1 ‐ ‐ 1 1 1 1 ‐ 1 ‐ 1
1 1 ‐ 1 1 ‐ ‐ 1 1 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐
‐
‐
‐
1
5
11
12
7
35 peserta
Dari tabel tersebut di atas, jumlah peserta yang dirancang untuk mengikuti pelatihan melalui Program LEA di 6 kabupaten/kota untuk periode 2012 sebanyak 162 guru, 24 Kepala Sekolah dan 24 Pengawas.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
16
2. Instrumen Evaluasi Dalam evaluasi implementasi Program LEA, instrumen yang digunakan untuk mendapat data adalah: a. Tes Awal dan Tes Akhir. Tes ini dilakukan pada awal dan akhir pelatihan model-model penilaian dan pemanfaatan hasil ujian. b. Kuesioner “Model Penilaian Kelas dan Pemanfaatan Hasil Ujian”. Kuesioner ini diisi oleh guru peserta Program LEA setelah 2-3 bulan pascapelatihan berakhir, dengan asumsi para guru telah mengimlementasikannya dalam proses pembelajaran di kelas/sekolah masing-masing. c. Kuesioner “Implementasi Program LEA”. Kuesioner ini diisi oleh Kepala Sekolah Perintisan LEA 2012. Untuk mendapatkan informasi sejauhmana keberhasilan dan hambatan penerapan Program LEA di sekolah masing-masing.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
17
Hasil Evaluasi Implementasi Program LEA 2012
BAB IV
A. Hasil Tes Awal dan Tes Akhir Sebelum materi pelatihan disampaikan kepada para peserta, peserta diberikan Tes Awal, sedangkan Tes akhir diberikan seusai penyajian semua materi pelatihan. Kedua tes tersebut menggunakan tes yang sama. Materi yang diujikan dalam tes tersebut meliputi model-model penilaian kelas, analisis soal, pemanfaatan hasil ujian. terlihat secara umum di setiap kabupaten/kota terdapat peningkatan kemampuan peserta tentang model-model penilaian dan pemanfaatan hasil ujian setelah mendapatkan pelatihan Hasil Tes Awal dan Tes Akhir pada Pelatihan Model Penilaian Kelas Program LEA di 6 kabupaten/kota yaitu 1) Kota Jambi - Jambi 2) Kota Bengkulu - Bengkulu, 3) Kab. Lampung Tengah - Lampung, 4) Kota Kendari Sulawesi Tenggara 5) Kab. Gorontalo - Gorontalo, 6) Kab. Maluku Tengah Maluku, dapat dilihat pada grafik 4.1 berikut ini.
Skor Rata‐rata
Grafik 4.1. Hasil Tes Awal dan Tes Akhir 35 30 25 20 15 10 5 0
TES AWAL 26.56 19.63 19.36
BENGKULU
Evaluasi Program LEA2012
16.88
LAMPUNG
©
TES AKHIR 19.64 16.58
KENDARI
21.41
19.28 15.22
14.76
JAMBI
GORONTALO
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
16.56
12.91
MALUKU
KEMDIKBUD
18
Pada grafik 4.1 di atas ini terlihat secara umum di setiap kabupaten/kota terdapat peningkatan kemampuan peserta terhadap model-model penilaian dan pemanfaatan hasil ujian setelah mendapatkan pelatihan. Peningkatan kemampuan yang terlihat pada grafik di atas terjadi kenaikan tertinggi pada tes akhir di Kota Bengkulu, dengan kenaikan skor sebanyak 7.20 poin dari tes awal 19.36 menjadi 26.56 pada tes akhir. Sementara peningkatan terendah terjadi di Kabupaten Lampung Tengah yang mengalami kenaikan sebanyak 2,75 poin yaitu dari tes awal 16.88 menjadi 19.63 pada tes akhir. Sedangkan untuk hasil rata-rata skor tes awal dan tes akhir tertinggi terdapat di Kota Bengkulu dan terendah di Kabupaten Maluku Tengah. Dengan berakhirnya pelatihan LEA, para guru peserta diharapkan dapat mengimplementasikan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam proses pembelajaran di kelas/sekolah masing-masing. Hasil implementasi akan dievaluasi setelah 2-3 bulan berjalan terhitung sejak berakhirnya pelatihan Berikut ini akan diuraikan perolehan hasil tes awal dan tes akhir di setiap kabupaten/kota yang menjadi lokasi implementasi Program LEA. 1. Kota Bengkulu, Bengkulu Pelaksanaan pembinaan di Kota Bengkulu dilaksanakan pada tanggal 26 s.d. 29 September 2012. Pembinaan dilakukan dalam bentuk pelatihan model penilaian dan pemanfaatan hasil ujian kepada 35 peserta yang berasal dari sekolah yang terpilih menjadi rintisan LEA yaitu: SD Negeri 1 Kota Bengkulu dengan peserta 4 orang, SMP Negeri 1 Bengkulu dengan peserta 10 orang, SMA Negeri 2 Bengkulu dengan peserta 11 orang, dan SMK Negeri 2 Bengkulu dengan peserta 6 orang. Pelatihan ini diikuti pula oleh 4 orang pengawas yang berasal dari jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK. Secara umum pelaksanaan pembinaan dan pembentukan LEA di Kota Bengkulu berjalan lancar sesuai jadwal yang ditentukan. Berikut ini dapat dilihat hasil total Tes Awal dan Tes Akhir dalam tabel 4.1 : Tabel 4.1. Hasil Tes Awal dan Tes Akhir Kota Bengkulu STANDAR DEVIASI MEAN MAX SKOR MIN SKOR
Evaluasi Program LEA2012
©
TEST AWAL
TES AKHIR
4.06 19.36 30 14
7.48 26.56 40 18
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
19
Pada tabel di atas tampak pada tes awal skor terendah 14 dan skor tertinggi 30 dengan mean 19.36, sedangkan pada tes akhir skor terendah 18 dan skor tertinggi 40 dengan mean 26.56 dengan demikian terjadi peningkatan nilai rata-rata peserta sebesar 7.20 point. Sedangkan standar deviasi yang menunjukkan angka 4.06 pada tes awal dan 7.48 pada tes akhir menggambarkan bahwa pengetahuan peserta mengenai materi pelatihan secara keseluruhan cukup homogen. 2. Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Pelaksanaan pembinaan di Kabupaten Lampung Tengah dilaksanakan pada tanggal 26 s.d. 29 September 2012. Pembinaan dilakukan dalam bentuk pelatihan model penilaian dan pemanfaatan hasil ujian kepada 35 peserta yang berasal dari sekolah yang terpilih menjadi rintisan LEA yaitu: SD Negeri 1 Bandar Sakti dengan peserta 4 orang, SMP Negeri 2 Kotagajah dengan peserta 10 orang, SMA Negeri 1 Kotagajah dengan peserta 11 orang, dan SMK Negeri 2 Terbanggi Besar dengan peserta 6 orang. Pelatihan ini diikuti pula oleh 4 orang pengawas yang berasal dari jenjang SD , SMP, SMA, dan SMK Secara umum pelaksanaan pembinaan dan pembentukan LEA di Kabupaten Lampung Tengah berjalan lancar sesuai jadwal yang ditentukan. Berikut ini dapat dilihat hasil total Tes Awal dan Tes Akhir dalam tabel 4.2 : Tabel 4.2 Hasil Tes Awal dan Tes Akhir Kabupaten Lampung Tengah
STANDAR DEVIASI MEAN MAX SKOR MIN SKOR
TEST AWAL
TES AKHIR
3.13 16.88 26 10
3.63 19.63 26 13
Pada tabel 4.2 ini terlihat pada tes awal skor terendah 10 dan skor tertinggi 26 dengan mean 16.88, sedangkan pada tes akhir skor terendah 13 dan skor tertinggi 26 dengan mean 19.63. Dengan demikian terjadi peningkatan skor rata-rata peserta sebesar 2,75 point. Sedangkan standar deviasi yang menunjukkan angka 3.13 pada tes awal dan 3.63 pada tes akhir menggambarkan bahwa pengetahuan dan pemahaman peserta mengenai materi pelatihan secara keseluruhan cukup homogen.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
20
3. Kota Kendari, Sulawesi Tenggara Pelaksanaan pembinaan di Kota Kendari dilaksanakan pada tanggal 26 s.d. 29 September 2012. Pembinaan dilakukan dalam bentuk pelatihan model penilaian dan pemanfaatan hasil ujian kepada 35 peserta yang berasal dari sekolah yang terpilih menjadi rintisan LEA di kabupaten ini yaitu: SD Negeri 1 Poasia dengan peserta 4 orang, SMP Negeri 9 Kendari dengan peserta 10 orang, SMA Negeri 1 Kendari dengan peserta 11 orang, dan SMK Negeri 1 Kendari dengan peserta 6 orang. Pelatihan ini diikuti pula oleh 4 orang pengawas yang berasal dari jenjang SD , SMP, SMA, dan SMK. Secara umum pelaksanaan pembinaan dan pembentukan LEA di Kota Kendari berjalan lancar sesuai jadwal yang ditentukan. Berikut ini dapat dilihat hasil total Tes Awal dan Tes Akhir dalam tabel 4.3 : Tabel 4.3 Hasil Tes Awal dan Tes Akhir Kota Kendari STANDAR DEVIASI MEAN MAX SKOR MIN SKOR
TEST AWAL
TES AKHIR
3.87 16.58 22 5
4.20 19.64 25 10
Pada tabel di atas tampak pada tes awal skor terendah 5 dan skor tertinggi 22 dengan mean 16.58 sedangkan pada tes akhir skor terendah 10 dan skor tertinggi 25 dengan mean 19.64. Dengan demikian terjadi peningkatan skor ratarata peserta sebesar 3,06 point. Sedangkan standar deviasi yang menunjukkan angka 3.87 pada tes awal dan 4.20 pada tes akhir menggambarkan bahwa pengetahuan peserta mengenai materi pelatihan secara keseluruhan cukup homogen. 4. Kota Jambi, Jambi Pelaksanaan pembinaan di Kota Jambi dilaksanakan pada tanggal 2 s.d. 5 Oktober 2012. Pembinaan dilakukan dalam bentuk pelatihan model penilaian dan pemanfaatan hasil ujian kepada 35 peserta yang berasal dari sekolah yang terpilih menjadi rintisan LEA di kabupaten ini yaitu: SD Negeri 49/IV Jambi Timur dengan peserta 4 orang, SMP Negeri 1 Jambi dengan peserta 10 orang, SMA Negeri 3 Jambi dengan peserta 11 orang, dan SMK Negeri 2 Jambi dengan
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
21
peserta 6 orang. Pelatihan ini diikuti pula oleh 4 orang pengawas yang berasal dari jenjang SD , SMP, SMA, dan SMK. Secara umum pelaksanaan pembinaan dan pembentukan LEA di Kota Jambi berjalan lancar sesuai jadwal yang ditentukan. Berikut ini dapat dilihat hasil total Tes Awal dan Tes Akhir dalam tabel 4.4 : Tabel 4.4 Hasil Tes Awal dan Tes Akhir Kota Jambi STANDAR DEVIASI MEAN MAX SKOR MIN SKOR
TEST AWAL
TES AKHIR
3.57 14.76 20 7
5.14 21.41 33 15
Pada tabel 4.4 di atas ini tampak pada tes awal skor terendah 7 dan skor tertinggi 20 dengan mean 14.76, sedangkan pada tes akhir skor terendah 15 dan skor tertinggi 33 dengan mean 21.41. Dengan demikian tampak terjadi kenaikan rata-rata skor peserta yaitu sebesar 6.65 point. Sedangkan standar deviasi yang menunjukkan angka 3.57 pada tes awal dan 5.14 pada tes akhir menggambarkan bahwa pengetahuan peserta mengenai materi pelatihan secara keseluruhan cukup homogen. 4. Kabupaten Gorontalo, Gorontalo Pelaksanaan pembinaan di Kabupaten Gorontalo dilaksanakan tanggal 2 s.d. 5 Oktober 2012. Pembinaan dilakukan dalam bentuk pelatihan model penilaian dan pemanfaatan hasil ujian kepada 34 peserta yang berasal dari sekolah yang terpilih menjadi rintisan LEA di kabupaten ini yaitu: SD Negeri 1 Kayubulan dengan peserta 4 orang, SMP Negeri 1 Limboto dengan peserta 10 orang, SMA Negeri 1 Limboto dengan peserta 11 orang, dan SMK Negeri 1 Motilango dengan peserta 6 orang. Pelatihan ini diikuti pula oleh 3 orang pengawas yang berasal dari jenjang SD , SMP, SMA. Secara umum pelaksanaan pembinaan dan pembentukan LEA di Kabupaten Gorontalo berjalan lancar sesuai jadwal yang ditentukan. Berikut ini dapat dilihat hasil total Tes Awal dan Tes Akhir dalam tabel 4.5 :
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
22
Tabel 4.5 Hasil Tes Awal dan Tes Akhir Kota Gorontalo TEST AWAL
TES AKHIR
2.49 15.22 20 11
3.77 19.28 28 12
STANDAR DEVIASI MEAN MAX SKOR MIN SKOR
Pada tabel 4.5 di atas ini tampak pada tes awal skor terendah 11, dan skor tertinggi 20 dengan mean 15.22, sedangkan pada tes akhir skor terendah 12 dan skor tertinggi 28 dengan mean 19.28. Dengan demikian tampak terjadi kenaikan rata-rata skor peserta yaitu sebesar 4.06 point. Sedangkan standar deviasi yang menunjukkan angka 2.49 pada tes awal dan 3.77 pada tes akhir menggambarkan bahwa pengetahuan peserta mengenai materi pelatihan secara keseluruhan cukup homogen. 6. Kabupaten Maluku Tengah, Maluku Pelaksanaan pembinaan di Kabupaten Maluku Tengah dilaksanakan pada tanggal 2 s.d. 5 Oktober 2012. Pembinaan dilakukan dalam bentuk pelatihan model penilaian dan pemanfaatan hasil ujian kepada 35 peserta yang berasal dari sekolah yang terpilih menjadi rintisan LEA di kabupaten ini yaitu: SD Negeri 4 Masohi dengan jumlah peserta 4 orang, SMP Negeri 2 Masohi dengan peserta 10 orang, SMA Negeri 2 Masohi dengan peserta 11 orang, dan SMK Negeri 1 Masohi dengan peserta 6 orang. Pelatihan ini diikuti pula oleh 4 orang pengawas yang berasal dari jenjang SD , SMP, SMA, dan SMK. Secara umum pelaksanaan pembinaan dan pembentukan LEA di Kabupaten Maluku Tengah berjalan lancar sesuai jadwal yang ditentukan. Berikut ini dapat dilihat hasil total Tes Awal dan Tes Akhir dalam tabel 4.6 : Tabel 4.6 Hasil Tes Awal dan Tes Akhir Kabupaten Maluku Tengah STANDAR DEVIASI MEAN MAX SKOR MIN SKOR
Evaluasi Program LEA2012
©
TEST AWAL 4.11 12.91 22 6
TES AKHIR 3.67 16.56 23 7
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
23
Pada tabel 4.6 di atas tampak pada tes awal skor terendah 6 dan skor tertinggi 22 dengan mean 12.91, sedangkan pada tes akhir skor terendah 7 dan skor tertinggi 23 dengan mean 16.56. Dengan demikian terjadi peningkatan nilai rata-rata peserta sebesar 3.65 point. Sedangkan standar deviasi yang menunjukkan angka 4.11 pada tes awal dan 3.67 pada tes akhir menggambarkan bahwa pengetahuan peserta mengenai materi pelatihan secara keseluruhan cukup homogen.
B. Hasil Penerapan Model-model Penilaian Kelas dan Pemanfaatan Hasil Ujian Untuk mendapatkan informasi tentang keberhasilan penerapan Modelmodel Penilaian dan Pemanfaatan Hasil Ujian yang merupakan Program LEA di sekolah perintisan LEA 2012, para peserta pelatihan diminta untuk mengisi kuesioner implementasi. Kuesioner tersebut diisi dua sampai tiga bulan pasca pelatihan dengan pertimbangan bahwa para guru peserta Program LEA telah menerapkannya dalam proses pembelajaran di kelas. Kuesioner yang berhasil dikumpulkan berjumlah 130 dari yang seharusnya diisi oleh 162 responden guru. Berikut ini adalah perbandingan jumlah responden pada satuan pendidikan yang terlihat pada grafik 4.00 berikut ini: Grafik 4.00 Jumlah responden SMK % 16 SMA % 39
SD
% 14
SMP 31%
Tampak pada grafik ini, Kuesioner tersebut diisi oleh 18 guru SD (14%), 40 guru SMP (31%), 51 guru SMA (39%), dan 21 guru SMK (16%). 1. Identitas Responden Pendidikan terakhir guru peserta pelatihan Program LEA secara keseluruhan pada 6 Provinsi cukup bervariasi, dari lulusan diploma I sampai dengan strata 2. Tingkat pendidikan terbanyak adalah Strata 1 sejumlah
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
24
77,69%. Sedangkan yang tersedikit adalah DIII sejumlah 1,54% terlihat pada Grafik 4.01.a. berikut ini.
seperti
Grafik 4.01.a. Tingkat pendidikan responden.
100
Persen
80
77.69
60 40 20
3.85
0
15.38
1.54
DI/DII
DIII
S1
S2
Berikut adalah penjabaran tingkat pendidikan responden untuk setiap satuan pendidikan seperti terlihat pada grafik 4.01.b. Jumlah peserta berpendidikan DI/DII hanya sebagian kecil pada SMP yaitu 2,50% sedangkan di SD sebanyak 22,22%. Begitu pula untuk guru yang berpendidikan DIII hanya ada 2,50% pada SMP dan 4,76% pada SMK. Guru yang berpendidikan Strata-1 di SD sebanyak 66,67%, SMP 75%, SMA 84,31% dan SMK sebanyak 76,19%. Untuk guru yang berpendidikan Strata-2 ada 20% pada SMP, pada SMA 15,69% dan SMK 19,05%. Grafik 4.01.b. Tingkat pendidikan responden pada satuan pendidikan
DI/DII
Evaluasi Program LEA2012
DIII
©
S1
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
19.05
15.69
20.00
76.19
84.31
SMK
75.00
66.67
SMA
4.76
2.50
2.50
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
SMP
22.22
P e r s e n
SD
S2
KEMDIKBUD
25
Sedangkan bila dilihat secara per kabupaten/kota tingkat pendidikan terakhir responden (guru peserta) adalah seperti terlihat pada grafik 4.01.c. berikut ini:
Persen
Grafik 4.01.c. Tingkat pendidikan responden per kabupaten/kota 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Gorontalo
Jambi
Bemgkulu
Maluku
Lampung
DI/DII
5.26
0.00
0.00
18.75
4.17
Sultra 0.00
DIII
0.00
4.55
0.00
0.00
0.00
0.00
S1
84.21
72.73
76.00
68.75
83.33
91.30
S2
10.53
22.73
24.00
12.50
12.50
8.70
Pada grafik 4.01.c. tingkat pendidikan responden di setiap kabupaten/kota yang menjadi perintisan LEA sebagian besar adalah Strata 1 (S1) dan lulusan DIII hanya ada di Jambi (4,55%). Sedangkan untuk lulusan DI/DII tidak ada. Untuk Strata 2 (S2) terbanyak di Kota Bengkulu, Bengkulu yaitu 24% sedangkan di Kabupaten Maluku Tengah hanya 8,70%. Status Kepegawaian responden peserta LEA tampak pada grafik 4.02.a. berikut ini. Secara keseluruhan (6 kabupaten/kota) tampak sebagian besar yaitu sebanyak 91,54% status kepegawaian peserta LEA adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan hanya sedikit saja yang berstatus pegawai honorer yaitu sebanyak 8,46%. Grafik 4.02.a. Status Kepegawaian responden
Per sen
100
91.54 50
8,46 0
PNS
Evaluasi Program LEA2012
©
Honorer
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
26
Sedangkan dari grafik 4.02.b. dapat kita lihat status kepegawaian per satuan pendidikan yaitu dari 18 peserta guru SD sebanyak 77,78% atau 14 orang adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan sisanya adalah pegawai honorer 22,22% (4 orang). Dari 40 peserta guru SMP sebanyak 97,50% atau 39 peserta adalah PNS dan sisanya adalah pegawai honorer 2,50% (1 peserta). Dari 51 peserta guru SMA ada 96,08% (49 peserta) PNS, dan sisanya adalah pegawai honorer 3,92% (2 peserta). Dan dari 21 orang peserta guru SMK sebanyak 80,95% (17 orang) adalah PNS dan sisanya adalah pegawai honorer 19,05% (4 orang). Grafik 4.02.b. Status kepegawaian responden PNS Honorer 96.08
80.95
60
97.50
80
77.78
3.92
2.50
20
19.05
40 22.22
P e r s e n
100
0 SD
SMP
SMA
SMK
Pengalaman Mengajar secara keseluruhan dari responden peserta LEA digambarkan pada grafik 4.03.a. berikut ini. Tampak pada grafik ini, sebagian besar (64,62%) guru telah mengajar lebih dari sepuluh tahun, 24,62% telah mengajar antara 5 - 10 tahun, dan 10,77% lainnya kurang dari 5 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa peserta pelatihan sebagian besar merupakan guru-guru senior di sekolahnya.
Persen
Grafik 4.03.a. Lama mengajar responden 100 80 60 40 20 0
64.62 24.62
10.77 Kurang dari 5 tahun
Evaluasi Program LEA2012
©
5 ‐ 10 tahun
Lebih dari 10 tahun
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
27
. Grafik berikut ini adalah penjabaran dari grafik 4.03.a sebelumnya yang menggambarkan persentase pengalaman kerja peserta LEA per satuan pendidikan. Terlihat pada grafik pengalaman mengajar responden pada jenjang SD, SMP, dan SMA terbanyak pada pengalaman lebih dari 10 tahun, pada jenjang SD sebanyak 61,11%, pada jenjang SMP 75%, jenjang SMA 74,51% sedangkan pada jenjang SMK terbanyak pada rentang 5-10 tahun yaitu sebanyak 42,86%. Grafik 4.03.b. Lama mengajar responden per satuan pendidikan SD
SMP
SMA
SMK
23.81
74.51
61.11 19.61
22.50
22.22
33.33
5.88
20
2.50
40
42.86
60
16.67
Persen
80
75.00
100
0
Kurang dari 5 tahun
5 ‐ 10 tahun
Lebih dari 10 tahun
Grafik berikut menggambarkan persentase mata pelajaran yang diajarkan peserta LEA, apakah hanya mengajar 1 mata pelajaran atau lebih dari 1 mata pelajaran. Grafik 4.04.
Responden yang mengajar hanya satu/lebih dari 1 mata pelajaran.
83.33
23.08
SMA
19.05
74.62
SMP
11.76
20
SD
15.00
40
76.19
82.50
60 16.67
Persen
80
88.24
100
SMK Nasional
0 Hanya 1 mata pelajaran
Evaluasi Program LEA2012
©
Lebih dari 1 mata pelajaran
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
28
Secara nasional tampak sebanyak 74,62% peserta pelatihan hanya mengajar 1 mata pelajaran di sekolahnya, terutama pada peserta dari SMP, SMA dan SMK; sementara pada guru SD yang memang merupakan guru kelas, tampak pada grafik sebanyak 83,33% guru SD mengajar lebih dari satu mata pelajaran. Jumlah rata-rata siswa setiap kelas yang diajar peserta pelatihan pada semester berjalan dapat dilihat pada grafik 4.05. berikut ini. Secara keseluruhan atau Nasional sebagian besar peserta atau sebanyak 67,69% responden mengajar kelas dengan jumlah siswa berkisar antara 30 sampai dengan 40 siswa, sedangkan sebanyak 26,92% responden mengajar kelas dengan jumlah siswa kurang dari 30 dan sejumlah responden lainnya tidak menjawab (5,38%).
< 30 siswa
30 – 40 siswa SD
SMP
SMA
5 %
3,92 % 4,76 % 5,38 %
11,11 %
67,69 %
80,39 % 71,43 %
50 %
66,67 %
15,69 % 23.81% 26,92 %
22.22%
45 %
Grafik 4.05. Jumlah rata-rata siswa setiap kelas yang diajar responden.
Tidak Menjawab SMK
Nasional
Jumlah jam mengajar setiap minggu dapat dilihat pada grafik 4.06. berikut ini. Secara keseluruhan (SD, SMP, SMA dan SMK) dalam satu minggu sebanyak 57,69% responden atau 75 peserta mengajar selama 21 sampai 30 jam, sedangkan sebanyak 27,69% atau 36 peserta mengajar 11 sampai 20 jam, untuk responden yang mengajar kurang dari 11 jam ada 2,31% atau sebanyak 3 guru dan terdapat 4,62% atau 6 guru mengajar lebih dari 30 jam. Lainnya sebanyak 7,69% atau 10 peserta menyatakan tidak tahu atau tidak pasti. Grafik dapat dilihat di halaman berikut (Grafik 4.06.)
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
29
Grafik 4.06.
Jumlah jam mengajar setiap satu minggu pada semester ini
Jumlah kelas yang diajar peserta LEA pada semester berjalan dapat dilihat pada grafik 4.07. di halaman berikut ini. Tampak pada grafik tersebut, responden guru yang mengajar hanya 1 kelas saja persentase tertinggi pada jenjang SD yaitu sebanyak 61,11%. Pada SMK sebanyak 4,76% responden sedangkan pada SMP dan SMA tidak ada. Peserta yang mengajar 2-5 kelas pada SMK sebanyak 42,86%; SMA 29,41% responden; SMP 40% responden; dan SD sebanyak 38,89%. Peserta yang mengajar lebih dari 5 kelas tertinggi pada SMA yaitu terdapat 66,67%; SMP ada 55%; SMK sebanyak 42,86%; sedangkan pada SD tidak ada guru yang mengajar lebih dari 5 kelas.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
30
Grafik 4.07. Persentase jumlah kelas yang diajar peserta
1. Penerapan Model-Model Penilain Kelas Pelatihan Model Penilaian Kelas yang pernah diikuti peserta Program LEA. Dari seluruh responden yang terjaring datanya yaitu sebanyak 130 peserta, yang pernah mengikuti pelatihan sejenis untuk tingkat SD dari 18 peserta hanya 2 orang yang pernah mengikuti pelatihan sejenis (11,11%); pada tingkat SMP dari 40 peserta hanya 11 orang yang pernah mengikuti pelatihan sejenis (27,50%); pada tingkat SMK dari 21 peserta 8 orang pernah mengikuti pelatihan sejenis (38,10%); dan dari 51 peserta pada tingkat SMA lebih dari separuhnya yaitu 58,82% atau sebanyak 30 orang telah mengikuti pelatihan sejenis. Jika ditinjau secara keseluruhan, dari seluruh peserta hanya 51 peserta atau 39,23% yang pernah mengikuti pelatihan model penilaian kelas. Hal ini terjadi karena sebagian besar sekolah terpilih sebagai Sekolah Perintisan LEA 2012 adalah sekolah yang hasil Ujian Nasionalnya termasuk kategori sedang dan kurang baik.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
31
Grafik 4.08. Pelatihan sejenis yang pernah diikuti
39.23
38.10
60.77
61.90
12.50
0
27.50
20
41.18
58.82
40 11.11
persen
60
72.50
80
Pernah mengikuti pelatihan
Belum Pernah
Adapun program pelatihan Penilaian Kelas yang pernah diikuti antara lain diselenggarakan oleh Puspendik Balitbang Dikbud (15,69%), Dinas Pendidikan Provinsi (13,73%), Dinas Pendidikan Kota/ Kabupaten (25,49%), dan Direktorat Peningkatan Mutu/LPMP (11,76%), lembaga lainnya (21,57%). Sedangkan 11,76% lainnya tidak menjawab. Grafik 4.09. Penyelenggara pelatihan sejenis yang pernah diikuti
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
32
2. Pemahaman Guru Terhadap Materi Pelatihan Pemahaman responden terhadap materi yang dilatihkan pada pelatihan Program LEA menunjukkan pesentase yang cukup memuaskan, seperti tampak pada grafik berikut ini.
SD SMP SMA SMK
Ya
22.22 7.50 3.92 4.76 7.69
Nasional 11.11 17.50 15.69 14.29 15.38
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
66.67 75.00 80.39 80.95 76.92
Grafik 4.10. Pemahaman responden terhadap materi pelatihan.
Tidak
Lainnya
Secara keseluruhan 76,92% responden menyatakan memahami materi yang dilatihkan, sementara 15,38% menyatakan tidak memahami materi pelatihan, dan 5,38% lainnya tidak memberi jawaban. Guru-guru peserta pelatihan yang menjawab memahami materi pelatihan yaitu SD 66,67%, SMP 75%, SMA 80,39% dan SMK 80,95%. Dengan mengetahui persentase peserta yang tidak/kurang memahami, diperoleh informasi tentang topik-topik yang kurang dipahami peserta yang tergambar dalam grafik 4.10. berikut ini. Tampak pada grafik di bawah ini, topik pelatihan yang tidak atau kurang dipahami oleh peserta baik pada guru SD, SMP, SMA maupun SMK. Secara umum dapat dijelaskan bahwa Prinsip Penilaian kurang dipahami oleh 5,38% peserta; Penilaian Proyek kurang dipahami oleh 4,62% peserta; Penilaian Produk dan Penilaian Kinerja kurang dipahami oleh 3,85% peserta; Penilaian Portofolio dan Penilaian Tertulis kurang dipahami oleh 3,08% peserta; dan Penilaian Sikap kurang dipahami oleh 0,77% peserta.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
33
Grafik 4.10. Topik pelatihan yang tidak/kurang dipahami responden.
Topik yang kurang dipahami oleh guru SD yaitu Penilaian Proyek 16,67% dan Prinsip Penilaian 5,56%. Di tingkat SMP Prinsip Penilaian kurang dipahami oleh 10% peserta. Penilaian Proyek kurang dipahami oleh 5% peserta. Sementara Penilaian Tertulis dan Penilaian Kinerja masing-masing kurang dipahami oleh 2,5% peserta. Pada peserta guru-guru SMA, tampak model Penilaian Produk yang paling banyak kurang dipahami peserta yaitu sebanyak 7,84%, disusul oleh Penilaian Kinerja dan Penilaian Tertulis masing-masing sebanyak 5,88% peserta, Prinsip Penilaian dan Penilaian Portofolio masing-masing sebanyak 3,92% peserta.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
34
Pada guru-guru SMK, paling banyak peserta yang kurang memahami model Penilaian Portofolio yaitu 9,52% sedangkan untuk Penilaian Kinerja, Penilaian Produk, Penilaian Proyek dan Penilaian Sikap masing-masing kurang dipahami oleh 4,76% peserta. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa topik yang paling banyak dipahami oleh peserta adalah Penilaian Sikap. Sementara model penilaian yang telah diterapkan sebagian peserta dalam pembelajaran di kelas dapat kita lihat pada grafik berikut ini. Grafik 4.11.
Model Penilaian yang telah diterapkan responden
Nasional
SMK
SMA
SMP
SD
27.69 23.81 23.53 32.5 33.33
Penilaian Portofolio Penilaian Sikap
47.5 25.38 19.05 23.53 32.5 22.22 30 33.33 21.57 32.5
Penilaian Proyek Penilaian Produk
60 61.9 60.78 83.33
44.44 60.77 52.38 64.71 55 72.22
Penilaian Kinerja
71.43
Penilaian Tertulis 0
20
40
60
80
88.46 94.12 87.5 94.44
100
Dari data di atas, tampak secara nasional/keseluruhan bahwa model Penilaian Tertulis merupakan model yang paling banyak diterapkan dalam pembelajaran di kelas baik pada tingkat SD, SMP, maupun SMA dan SMK yaitu sebanyak 88,46%. Selanjutnya model Penilaian Kinerja pada urutan kedua yaitu 60,77%, Penilaian Sikap pada urutan ketiga 60%, Penilaian Produk pada urutan keempat 30%, serta Penilaian Portofolio 27,69% dan Penilaian Proyek 25,38% masing-masing di urutan kelima dan keenam.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
35
Adapun persentase model penilaian kelas yang belum pernah diterapkan sebagian lain peserta pelatihan di kelas dapat dilihat pada tabel berikut ini. Grafik 4.12. Model penilaian yang belum diterapkan responden di kelas.
Secara keseluruhan bentuk penilaian yang belum pernah diterapkan, terbanyak adalah Penilaian Produk (49,23%). Pada urutan kedua adalah Penilaian Portofolio (46,15%), selanjutnya Penilaian Proyek (44,62%), Penilaian Sikap (18,46%), Penilaian Kinerja (16,92%) dan Penilaian Tertulis (12,31%). Adapun alasan-alasan peserta belum menerapkan model-model penilaian tersebut di kelas secara nasional alasan terbanyak adalah kekurangan waktu untuk memeriksa hasilnya (37,69%); sulitnya menentukan kompetensi yang akan diukur dengan model penilaian menjadi alasan kedua (30,77%); alasan berikutnya karena terlalu banyak siswa yang harus ditangani (27,69%); selanjutnya 23,85% peserta menyatakan kesulitan untuk membuat pedoman
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
36
penskoran; 19,23% menyatakan kurangnya sarana/prasarana penunjang; dan alasan terakhir karena kesulitan membuat soalnya (11,54%). Implemetasi Program LEA yang dilakukan para guru peserta Program LEA hanya dua sampai tiga bulan, terhitung mulai pertengahan bulan September sampai dengan pertengahan November 2012, merupakan waktu yang sangat singkat untuk dapat menerapkan model-model penilaian yang diperkenalkan dalam pelatihan Program LEA. Hal ini juga yang berdampak tidak seluruh model penilaian dapat diterapkan. a. Penerapan Penilaian Tertulis Penilaian tertulis dikenal juga dengan istilah paper and pencil test, bentuk penilaian ini terdiri atas beberapa bentuk seperti isian, benar-salah, menjodohkan, pilihan ganda, dan uraian. Berikut ini akan diuraikan berapa kali guru peserta Program LEA menggunakan model penilaian tersebut dalam satu semester. Grafik 4.13.a. Penggunaan Model Penilaian Tertulis (Isian) Dalam Satu Semester
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
37
Secara nasional (seluruh peserta di 6 kabupaten/kota) tampak pada grafik 4.13.a. di atas, model penilaian tertulis (Isian) tertinggi digunakan 2-3 kali dalam satu semester yaitu sebanyak 23.85%, berikutnya secara berurutan dilakukan lebih dari 4 kali (16.15%), hanya 1 kali (6.15%), Tidak pernah (5.38%), dan 4 kali (3.85%). Sementara itu dari tingkat SD: 61.11% peserta menyatakan menggunakan model ini lebih dari 4 kali dalam satu semester; 16.67% menyatakan 4 kali, dan 5.56% menyatakan 2-3 kali. Pada peserta dari tingkat SMP: 35% peserta menyatakan 2-3 kali, 10% peserta menyatakan hanya satu kali menggunakan tes tertulis, 10% menyatakan menggunakan lebih dari 4 kali, 2.5% menggunakan tes tertulis sebanyak 4 kali dalam satu semester. Pada peserta tingkat SMA 17.65% menyatakan 2-3 kali menggunakan tes tertulis, 11.76% menyatakan tidak pernah, 7.84% menggunakan hanya satu kali, 5.88% menggunakan tes tertulis lebih dari 4 kali; dan 1.96% menggunakannya 4 kali dalam satu semester. Pada peserta tingkat SMK 33.33% menyatakan 2-3 kali menggunakan tes tertulis,14.29% menggunakan tes tertulis lebih dari 4 kali, dan sebanyak 4.76% guru peserta menyatakan tidak pernah menggunakannya dalam satu semester. Grafik 4.13.b. Penggunaan Model Penilaian Tertulis (B-S) Dalam Satu Semester
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
38
Secara nasional (seluruh peserta di 6 kabupaten/kota) tampak pada grafik 4.13.b. di atas, model penilaian tertulis (Benar-Salah) paling jarang digunakan baik pada tingkat SD, SMP, SMA maupun SMK (20,77%). Model penilaian ini tertinggi digunakan 2-3 kali dalam satu semester yaitu sebanyak 5,38%, berikutnya secara berurutan dilakukan lebih dari 4 kali (1,54%), hanya 1 kali (1,54%), 4 kali (0,77%). Pada tingkat SD: 27,78% peserta menyatakan tidak pernah menggunakan model ini; 11,11% menyatakan lebih dari 2 - 3 kali dalam satu semester; dan yang menyatakan menggunakan model ini hanya 1 kali, 4 kali, dan lebih dari 4 kali dalam 1 semester masing-masing sebanyak 5,56%. Pada peserta dari tingkat SMP: 20% peserta menyatakan tidak pernah menggunakannya; hanya 5% peserta yang menyatakan menggunakannya 2 – 3 kali dalam 1 semester. Pada peserta tingkat SMA 17,65% menyatakan tidak pernah menggunakan model penilaian ini; 5,88% menggunakan 2 – 3 kali; dan 1,98% menggunakan hanya 1 kali dalam 1 semester. Pada SMK model ini tidak pernah digunakan oleh 23,81% peserta dan 4,76 % menggunakannya lebih dari 4 kali. Grafik 4.13.c. Penggunaan Model Penilaian Tertulis (Menjodohkan) Dalam Satu Semester
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
39
Secara nasional (seluruh peserta di 6 kabupaten/kota) tampak pada grafik 4.13.c. di atas, model penilaian tertulis (Menjodohkan) tertinggi digunakan 2-3 kali dalam satu semester yaitu sebanyak 7,69%; berikutnya secara berurutan dilakukan hanya 1 kali (5,38%), 4 kali dan lebih dari 4 kali masing-masing sebanyak 1,54% peserta. Sedangkan 16,15% lainnya tidak pernah menggunakan model ini. Sementara itu dari tingkat SD: sebanyak 22,22% peserta menyatakan menggunakan model ini 2 – 3 kali dalam 1 semester dan 5,56% peserta menggunakannya hanya 1 kali; yang menggunakannya 4 kali dan lebih dari 4 kali masing-masing sebanyak 11,11%; sementara yang tidak pernah menggunakan sebanyak 11,11%. Pada peserta dari tingkat SMP: 15% peserta menyatakan tidak pernah menggunakannya; 5% peserta menggunakan 2 – 3 kali; dan 7,5% menggunakannya hanya satu kali dalam satu semester. Pada peserta tingkat SMA 19,61% menyatakan tidak pernah menggunakan tes tertulis menjodohkan; 1,96 % menggunakannya 2-3 kali; 3,92% menggunakannya hanya 1 kali dalam satu semester. Pada SMK, penggunaan model ini tertinggi 2 – 3 kali dalam satu semester (7,69%); berikutnya hanya 1 kali (5,38%); 4 kali (1,54%); dan lebih dari 4 kali (1,54%). Sementara 16,15% menyatakan tidak pernah menggunakannya. Grafik 4.13.d. Penggunaan Model Penilaian Tertulis (Pilihan Ganda) Dalam Satu Semester
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
40
Secara nasional (seluruh peserta di 6 kabupaten/kota) tampak pada grafik di atas, model penilaian tertulis (Pilihan Ganda) tertinggi digunakan 2-3 kali dalam satu semester yaitu sebanyak 32,31%, berikutnya secara berurutan dilakukan lebih dari 4 kali (22,31%), hanya 1 kali (13,087%), 4 kali (10,77%) dan 0,77% lainnya tidak pernah menggunakannya. Pada tingkat SD penilaian tertulis model pilihan ganda merupakan model yang paling sering digunakan oleh guru-guru peserta. Sebanyak 55,56% peserta menyatakan menggunakannya lebih dari 4 kali dalam 1 semester. Yang menggunakan 4 kali sebanyak 16,67% dan 11,11% menggunakan 2 – 3 kali dalam 1 semester. Pada tingkat SMP persentase tertinggi penggunaanya 2 -3 kali dalam 1 semester (40%), 22,50% lebih dari 4 kali; 10% menggunakan 4 kali; dan 10% lainnya hanya 1 kali. Pada tingkat SMA 15,69% menggunakan hanya 1 kali; 37,25% menggunakannya 2 - 3 kali; 11,76% menggunakannya 4 kali; dan 13,73% menggunakan lebih dari 4 kali. Pada SMK: 23,81% hanya 1 kali, 23,81% menggunakan 2 – 3 kali, 4,76% menggunakan 4 kali, 14,29% lebih dari 4 kali, dan 4,76% lainnya menyatakan tidak pernah menggunakan. Grafik 4.13.e. Penggunaan Model Penilaian Tertulis (Uraian) Dalam Satu Semester
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
41
Secara nasional (seluruh peserta di 6 kabupaten/kota) tampak pada grafik di atas, model penilaian tertulis (Uraian) merupakan model paling umum digunakan. Seluruh peserta pernah menggunakan model ini.Yang tertinggi digunakan 2-3 kali dalam satu semester yaitu sebanyak 43,08%, berikutnya secara berurutan dilakukan lebih dari 4 kali (23,08%), hanya 1 kali (10,77%), 4 kali (8,46%). Sementara itu dari tingkat SD: 38,89% peserta menyatakan menggunakan model ini 4 kali dalam satu semester; 33.33% menyatakan menggunakan lebih dari 4 kali; dan 11,11% menggunakannya 2 – 3 kali dalam 1 semester. Pada peserta dari tingkat SMP: 10% peserta menyatakan hanya satu kali menggunakan tes tertulis uraian, 47,50% menyatakan menggunakan 2-3 kali, 2,5% menyatakan menggunakannya sebanyak 4 kali dalam satu semester; dan 27,50% menyatakan lebih dari 4 kali. Pada peserta tingkat SMA 15,69% menyatakan hanya satu kali menggunakannya; 52,94% menggunakannya 2-3 kali; dan 13,73% menggunakannya lebih dari 4 kali dalam satu semester. Pada SMK 9,52% peserta menggunakannya hanya 1 kali dalam satu semester, 38,10% menggunakan 2 – 3 kali, 14,29% menggunakan 4 kali, dan 28,57% menggunakannya lebih dari 4 kali dalam satu semester. Setelah mengikuti pelatihan secara keseluruhan, sebagian besar (62,31%) menyatakan selalu menyusun kisi-kisi sebelum menulis soal dan sisanya 37,69% meyatakan kadang-kadang. Data tersebut dapat dilihat pada grafik berikut ini. Setelah ikut pelatihan, dalam menulis soal responden menyusun kisi-kisi dulu. Nasional
20
0.00 0.00 0.00
0.00 0.00
40
SMK
47.06 33.33 37.69
60
SMA
20.00
Persen
80
SMP 44.44 80.00 52.94 66.67 62.31
SD
55.56
Grafik 4.14.
0
Ya, Selalu
Evaluasi Program LEA2012
©
Kadang‐kadang
Tdak pernah
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
42
Selain menyusun kisi-kisi, peserta juga mengacu pada kaidah-kaidah penulisan soal dalam menyusun soal, khususnya dalam menulis soal bentuk tes tertulis. Gambaran tersebut dapat dilihat pada grafik berikut ini. Penyusunan soal mengacu pada kaidah penulisan soal. SMA
SMK
Nasional
Ya, Selalu
Kadang‐kadang
0.00 0.00 1.54
83.33 77.50 78.43 76.19 78.46
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
SMP
11.11 20.00 21.57 23.81 20.00
Persen
SD
5.56 2.50
Grafik 4.15.
Tdak pernah
Pada grafik di atas tampak secara keseluruhan 78,46% peserta menyatakan selalu mengacu pada kaidah penulisan soal dalam menyusun soal; sementara 20% menyatakan kadang-kadang memperhatikan kaidah penulisan soal dan 1,54% lainnya tidak memperhatikan kaidah penulisan soal. Dalam menyusun soal yang menuntut penalaran dan logika tinggi, secara keseluruhan (nasional) sebagian besar peserta (72,31%) menyatakan menggunakan stimulus atau ilustrasi dalam soal yang dibuatnya. Sementara 23,85% menyatakan tidak menggunakan stimulus dan 3,85% lainnya tidak menjawab. Adapun alasan peserta tidak menggunakan stimulus atau ilustrasi pada soal yang menuntut logika dan penalaran tinggi adalah karena sulit membuatnya dan menyita banyak waktu. Kesulitan peserta dalam menerapkan model penilaian tertulis dapat dilihat pada grafik berikut.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
43
Grafik 4.16.
Kesulitan responden dalam menerapkan penilaian tertulis.
Tampak pada grafik (secara nasional) sebagian peserta menyatakan bahwa penulisan soal bentuk ini memakan waktu yang relatif lebih lama (30,77%); tidak bisa mencakup seluruh materi karena tidak semua kompetesi dapat diukur hanya dengan bentuk tes tertulis (20%); tidak bisa mengukur konsep materi secara utuh (13,85%); sulit membuat soalnya (6,15%), sementara 29,23% menyatakan alasan lain selain alasan tersebut di atas. b. Penerapan Penilaian Kinerja Penilaian kinerja merupakan penilaian yang dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu. Penilaian ini tepat dilakukan untuk menilai ketercapaian kompetensi yang menuntut peserta didik menunjukkan kinerjanya. Cara penilaian ini dianggap lebih otentik daripada tes tertulis karena apa yang dinilai lebih mencerminkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Penerapan model ini di sekolah-sekolah peserta Program LEA dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
44
Grafik 4.17.
Persentase materi yang dapat diukur dengan model Penilaian Kinerja
Tampak pada grafik di atas secara nasional menunjukkan bahwa 40% peserta menyatakan di atas 30% materi yang dapat diukur dengan model penilaian kineja; 40% menyatakan hanya 20%-30% materi; 17,69% menyatakan kurang dari 20%; semetara 13,85% menyatakan tidak ada materi yang cocok menggunakan penilaian tersebut. Penerapan model Penilaian Kinerja oleh peserta dalam satu semester, secara nasional peserta yang menyatakan hanya satu kali menerapkan model penilaian ini sebanyak 15,38%; yang menerapkan 2 kali dalam satu semester sebanyak 22,31% peserta; yang menerapkannya 3 kali dalam satu semester adalah 21,54% peserta; yang menyatakan lebih dari 3 kali menerapkannya dalam satu semester 16,15% peserta; sementara 10% lainnya menyatakan tidak pernah menenggunakan model penilaian ini.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
45
Pada grafik 4.18. di bawah ini tampak aspek-aspek apa saja yang dinilai oleh guru dalam menggunakan model penilaian kinerja. Grafik 4.18.
Aspek yang dinilai dalam penilaian kinerja
Persentase SD
SMP
SMA
SMK
Nasional
66.92
76.15
72.31
61.90
66.67
66.67
72.55
76.47
76.47
57.50
75.00
65.00
77.78
88.89
83.33
Perencanaan
Pelaksanaan
Hasil akhir
Pada grafik di atas tampak aspek-aspek yang lebih utama dinilai guru dalam mengunakan model Penilaian Kinerja. Secara nasional tampak aspekaspek yang dinilai menunjukkan aspek pelaksanaan yang terbanyak dinilai yaitu 76,15%, disusul dengan penilaian terhadap aspek hasil akhir yaitu 72,31%; dan 66,92% guru menilai aspek perencanaannya. Pada tingkat SD tampak aspek Perencanaan, pelaksanaan dan hasil akhir yang lebih banyak dinilai guru; tidak berbeda dengan guru-guru SMP, SMA dan SMK meski persentasenya tidak sebanyak guru SD. Teknik pensekoran yang lebih banyak digunakan guru dalam penerapkan Penilaian Kinerja adalah menggunakan rentang skor (50%), Sementara yang menggunakan check list sebanyak 32,31%. Langkah-langkah yang dianggap sulit oleh guru dalam menyusun pedoman Penilaian Kinerja, secara nasional adalah mengurutkan kemampuan yang dinilai pada tiap tahapan (44,62%); diikuti menentukan materi yang sesuai (36,92%) serta menentukan bahan dan alat bantu (36,92%); menentukan tahapan
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
46
tiap aspek yang dinilai (34,62%); menentukan aspek yang akan dinilai (33,08%); menentukan bobot setiap aspek yang dinilai (30%); dan menentukan skor atau rentang skor (29,23%). Kendala yang dihadapi guru dalam menerapkan model Penilaian Kinerja adalah membuat pedoman penskoran (26,15%); disusul secara berurutan adalah kesulitan membagi waktu (25,38%); jumlah siswa terlalu banyak (22,31%); kesulitan menentukan bobot setiap soal (21,54%); kesulitan menentukan skor yang akan dinilai (17,69%); kelas paralel yang terlalu banyak (16,92%); dan kurangnya sarana yang memadai di sekolah (13,08%). c. Penerapan Penilaian Proyek Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu kegiatan investigasi sejak dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data. Kegiatan ini umumnya dilakukan dalam bentuk kelompok kecil, tapi tidak menutup kemungkinan menjadi tugas perorangan
Menurut sebagian besar peserta (66,15%) model penilaian ini dapat diterapkan dalam menilai pembelajaran di sekolah. Sementara 18,46% peserta menyatakan model penilaian ini tidak mudah untuk diterapkan pada seluruh kompetensi dasar yang mereka ajarkan, karena tidak semua materi dapat dinilai dengan model penilaian proyek. Selama tiga bulan implementasi model-model penilaian dalam pembelajaran di kelas, persentase materi pembelajaran yang dapat dinilai dengan menggunakan model penilaian proyek secara nasional 33,85% peserta menyatakan bahwa kurang dari 20% materi pembelajaran dapat diukur dengan model ini, sementara yang menyatakan 20% - 30% materi pembelajaran yang terukur sebanyak 29,23% dan hanya 6,92% peserta yang menyatakan dapat mengukur materi pembelajaran lebih dari 30%, sisanya sebanyak 10% peserta menyatakan tidak ada materi yang dapat diukur dengan model penilaian ini. Pada semester berjalan setelah pelatihan, 21,54% peserta menyatakan tidak menerapkan model penilaian ini, karena tidak cocok dengan kompetensi yang diajarkan pada semester ini; 28,46% peserta menyatakan hanya satu kali menerapkannya; 23,85% menerapkan 2 – 3 kali; dan 6,15% peserta menyatakan menerapkannya lebih dari tiga kali.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
47
Aspek-aspek yang dinilai guru dalam penyusunan pedoman penilaian, 57,69% peserta menyatakan lebih mengutamakan hasil akhir; 50,77% menyatakan pada aspek pelaksanaan (proses yang dilakukan siswa); dan 47,69% peserta lainnya menyatakan lebih menilai tahap persiapan/perencanaan. Adapun teknik pensekoran tugas proyek yang digunakan, secara nasional menunjukkan 34,62% guru menyatakan menggunakan rentang skor, dan 30% menggunakan teknik check list. Dalam menentukan tugas proyek, secara nasional menyatakan guru yang menentukan topik tugas proyek yaitu sebanyak 35,38% peserta; 29,23% peserta menyatakan yang menentukan topik tugas proyek adalah guru dan siswa, sementara hanya 3,85% yang menyerahkan pada siswa untuk menentukan topik tugas proyek. Sebelum melaksanakan tugas proyek, langkah-langkah yang harus dipersiapkan oleh siswa, 32,31% peserta menyatakan membuat kerangka kerja sesuai dengan tugas proyek yang diberikan guru; 13,08% peserta menyatakan siswa mengisi lembar kerja; dan 5,38% peserta menyatakan menyiapkan jadwal kerja. Pada grafik 4.18 di bawah ini, tampak tugas proyek sebagian besar diberikan pada kelompok siswa yang terdiri dari 4-6 orang, baik pada tingkat SD,SMP, maupun SMA (32,31% peserta), sementara sebagian guru peserta dari SMK (38,10%) lebih memilih kelompok kecil 2 – 3 orang dalam memberikan tugas proyek. Kemudian kelompok yang terdiri dari 2 – 3 orang (22,31%); kelompok besar lebih dari 6 orang (8,46%); dan sisanya sebanyak 6,15% diberikan pada perorangan.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
48
Grafik 4.19.
Jumlah kelompok kerja tugas proyek
Dalam memonitor hasil tugas proyek yang diberikan kepada siswa, 36,92% peserta menyatakan mendiskusikan kesulitan yang dihadapi siswa dalam menyelesaikan tugas tersebut; 16,15% peserta menyatakan menyediakan lembar kerja dalam memantau kemajuan kerja siswa; sementara 10,77% peserta menyatakan membuat jadwal pertemuan untuk membahas tugas tersebut. Kendala-kendala yang dihadapi guru dalam menerapkan model penilaian proyek dapat dilihat pada grafik 4.20 berikut ini.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
49
Grafik 4.20. Kendala yang dihadapi dalam menerapkan model penilaian proyek
Pada grafik di atas tampak secara nasional, kendala utama yang banyak dihadapi guru dalam menerapkan model penilaian ini adalah sulitnya membagi waktu untuk menerapkan model penilaian tersebut (31,54%), sulitnya membuat pedoman penskoran (22,31%) menjadi alasan kedua; alasan berikutnya adalah jumlah siswa yang terlalu banyak (20,77%) dan kesulitan menentukan bobot setiap soalnya (19,23%). Sisanya masing-masing sebanyak 14,62% menyatakan sulit menentukan skor setiap tahapan yang dinilai, kelas paralel terlalu banyak, serta sarana dan prasarana yang tidak memadai. Jika ditinjau dari kendala yang dihadapi untuk setiap jenjang pendidikan, tampak pada grafik di atas kendala yang dihadapi relatif sama yaitu terbanyak
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
50
menyatakan kesulitan dalam membagi waktu dan membuat pedoman penskorannya. d. Penilaian Produk Penilaian produk adalah penilaian terhadap keterampilan dalam membuat suatu produk dan kualitas produk tersebut. Penilaian produk tidak hanya diperoleh dari hasil akhir, namun juga proses pembuatannya Berikut ini adalah pendapat guru peserta pelatihan Program LEA dalam menerapkan model penilaian hasil kerja (produk) dalam pembelajaran di kelas. Grafik 4.21.
Model penilaian produk cocok untuk menilai pelajaran
Pada grafik di atas, secara nasional tampak. 56,92% peserta menyatakan model penilaian produk sesuai untuk menilai hasil pembelajaran, sementara 21,54% peserta lainnya menyatakan tidak sesuai. Jika dilihat per jenjang pendidikan, di setiap jenjang tersebut juga menggambarkan pendapat yang relatif sama antara peserta SD, SMP, SMA dan SMK menyatakan penilaian model ini cocok diterapkan dalam pembelajaran di sekolah.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
51
Pada grafik 4.22 berikut ini mengggamarkan berapa kali peserta pelatihan Program LEA menerapkan model penilaian Produk dalam pembelajaran di kelas dalam satu semester. Grafik 4.22.
Penerapan model Penilaian Produk Dalam Satu Semester
Tampak pada grafik 4.22 di atas, penilaian Produk yang diterapkan kepada siswa oleh guru SD dilakukan hanya 1 kali oleh 11,11% guru; 33,33% guru melakukannya 2 kali; dan 5,56% guru melakukan 3 kali, 22,22% guru melakukan lebih dari 3 kali, sementara yang tidak menerapkannya sama sekali sebanyak 5,56%. Pada tingkat SMP, 15% guru melakukan penerapan sebanyak 1 kali; 17,50% guru menerapkannya 2 kali; 10% guru menerapkan 3 kali; 2,50% menerapkan lebih dari 3 kali; dan 22,50% menyatakan tidak pernah menerapkannya sama sekali. Pada tingkat SMA diterapkan oleh 21,57% guru sebanyak 1 kali; 7,84% guru menerapkannya 2 kali; 5,88% guru menerapkan sebanyak 3 kali; 5,88%
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
52
lainnya menerapkan lebih dari 3 kali. Sementara 25,49% lainnya tidak pernah menerapkan model penilaian ini. Penerapan model penilaian produk di SMK dilakukan hanya 1 kali oleh 19,05% guru; masing-masing 14,29% menerapkannya antara 2 – 3 kali; 4,76% menerapkan lebih dari 3 kali dan yang tidak pernah menerapkan sama sekali sebanyak 9,52% guru. Secara nasional tampak pada grafik sebagian besar peserta (32,31%) tidak menjawab apakah menerapkan atau tidak. Namun kebanyakan peserta (19,23%) menyatakan tidak pernah melakukan penilaian produk kepada para siswanya. Adapun aspek-aspek yang dinilai guru dalam penilaian tugas Proyek yang dituangkan dalam pedoman pensekoran dapat dilihat pada grafik 4.23. berikut ini. Grafik 4.23. Aspek yang dinilai dari tugas proyek siswa
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
53
Pada grafik 4.23 di atas tampak aspek-aspek yang dinilai guru dalam penilaian produk. Secara nasional aspek yang paling utama dinilai guru adalah prosedur kerja (35,38%). Pada urutan berikutnya adalah kebenaran hasil kerja (34,62%), keterampilan dalam menggunakan alat (32,31%), penyajian dan pemilihan bahan (28,46%), kualitas teknis dan estetika (26,15%), serta kesesuaian bahan (21,54%). Khusus pada peserta dari tingkat SD, dalam menerapkan model penilaian produk umumnya guru-guru menilai semua aspek penting untuk mendapat skor. Grafik 4.24.
Penyusunan pedoman penilaian.
Dalam penyusunan soal maupun tugas-tugas yang diberikan guru kepada siswa, tidak semua guru langsung menyusun pedoman penilaiannya. Pada grafik di atas tampak secara nasional sebagian besar guru (34,62%) menyatakan selalu menyusun pedoman penilaian segera setelah menyusun tugas yang akan diberikan pada siswa; 16,15% peserta menyatakan kadang-kadang; dan 6,15% menyatakan tidak pernah menyusun pedoman penilaian setelah menyusun soal
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
54
ataupun tugas untuk siswa. Menurut para peserta hal tersebut dilakukan setelah siswa mengumpulkan tugas yang diberikan. Dalam menerapkan model penilaian Produk, secara nasional pada umumnya peserta mengalami kesulitan dalam menerapkan model penilaian produk (51,54%), sementara 14,62% peserta lainnya menyatakan tidak mengalami kesulitan dalam menerapkannya. Umumnya kendala yang dihadapi peserta dalam menerapkan model ini tergambar dalam grafik berikut ini. Grafik 4.25.
Kendala yang dihadapi dalam menerapkan model penilaian produk
Tampak pada grafik di atas kendala-kendala yang dihadapi guru dalam menerapkan model penilaian produk. Secara nasional tampak kendala utama yang dihadapi adalah kesulitan guru dalam membagi waktu (16,92%), diikuti oleh banyaknya jumlah siswa yang harus ditangani oleh seorang guru (13,08%) serta sarana dan prasarana yang kurang mendukung (13,08%). Kendala selanjutnya adalah membuat pedoman penskoran (11,54%), menentukan bobot
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
55
setiap soal (11,54%), kelas paralel yang banyak (8,46%), dan menentukan skor yang akan diberikan untuk setiap langkah yang dinilai (5,38%). e. Penilaian Sikap Penilaian sikap merupakan salah satu penilaian berbasis kelas terhadap suatu konsep psikologi yang kompleks. Penilaian sikap terhadap mata pelajaran tertentu dapat dilakukan berkaitan dengan berbagai objek sikap antara lain: sikap terhadap mata pelajaran, sikap terhadap guru mata pelajaran, sikap terhadap proses pembelajaran, sikap terhadap materi pembelajaran, dan sikap-sikap yang berhubungan nilai-nilai yang ingin ditanamkan dalam diri peserta didik melalui materi tertentu Dalam implementasi Program LEA di sekolah, model Penilaian Sikap merupakan salah satu model penilaian yang diharapkan dapat diterapkan guru di kelas/sekolah. Dari hasil kuesioner yang telah diisi oleh peserta Program LEA dapat dilihat pada grafik 4.26 berikut ini. Secara nasional tampak sebagian besar peserta (60%) menyatakan telah menerapkan model penilaian ini dalam proses pembelajaran, 33,85% peserta menyatakan hanya kadang-kadang menerapkan model penilaian ini, sementara 4,62% peserta menyatakan tidak pernah menerapkannya. Grafik 4.26.
Evaluasi Program LEA2012
Penerapan penilaian sikap di kelas
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
56
Namun jika dilihat persentase terbanyak tingkat pendidikan yang selalu menerapkan model ini adalah pada SMK, diikuti oleh SMA, SD, dan SMP. Pada umumnya objek-objek sikap yang dinilai guru di kelas dapat dilihat pada grafik berikut ini. Grafik 4.27. Objek yang dinilai pada penilaian Sikap
Grafik 4.27 di atas menunjukkan objek-objek sikap yang dinilai oleh guru. Secara keseluruhan (nasional) objek sikap yang paling banyak dinilai oleh guru adalah sikap terhadap guru (27,69%) namun secara tingkat pendidikan kebanyakan guru-guru SD dan SMP yang mengutamakan penilaian pada objek ini. Sedangkan pada tingkat SMA cenderung mengutamakan sikap terhadap mata pelajaran. Pada SMK, objek penilaian yang diutamakan lebih kepada etika, disiplin dan tanggung jawab.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
57
Objek sikap yang lain seperti sikap terhadap materi pembelajaran dan sikap terhadap pembelajaran secara umum relatif sama baik pada guru SD, SMP dan SMA. Sementara pada guru SMK objek-objek ini cenderung tidak diperhitungkan. Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa penilaian sikap dilakukan guru di kelas dalam satu semester, secara nasional terbanyak (46.92%) lebih dari 3 kali, pada guru SD 66,67%, SMP 30%, SMA 49,02% dan SMK 57,14%. Guru yang melakukan penilaian sikap 3 kali dalam satu semester: guru SD 16,67%, guru SMP 10%, guru SMA 5,88%, dan guru SMK 9,52%. Yang melakukan penilaian sikap hanya dua kali dalam satu semester: guru SD 11,11%, guru SMP 17,50%, guru SMA 9,80%, dan guru SMK 4,76%. Sementara yang melakukannya hanya satu kali dalam satu semester: guru SD 5,56%, guru SMP 22,50%, guru SMA 17,65% dan guru SMK 14,29%. Adapun teknik penilaian yang digunakan guru dalam menilai sikap siswa antara lain dengan menggunakan pengamatan tidak tertulis terhadap prilaku sehari-hari siswa, menggunakan instrumen penilaian, mengajukan pertanyaan secara langsung kepada siswa, maupun dengan menggunakan lembar observasi. Gambaran tersebut dapat dilihat pada grafik berikut ini. Grafik 4.28.
Evaluasi Program LEA2012
Teknik yang digunakan dalam menilai sikap siswa.
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
58
Tampak secara keseluruhan, pengamatan terhadap prilaku harian siswa paling banyak dilakukan guru, baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA dan SMK (berkisar antara 33,33% sampai dengan 44,44%). Instrumen lainnya digunakan oleh sebagian kecil guru. Penerapan model penilaian sikap oleh guru terhadap objek sikap siswa, dirasakan terdapat kesulitan oleh sebagian kecil guru. Bagian-bagian yang dianggap sulit tergambar pada grafik berikut ini. Grafik 4.29.
Kesulitan dalam menerapkan penilaian sikap di kelas
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
59
Pada grafik di atas menunjukkan kesulitan yang dihadapi guru dalam menerapkan model penilaian sikap di kelas. Secara nasional maupun per jenjang pendidikan tampak kesulitan utama dalam penerapan model penilaian sikap adalah dalam menganalisis hasil penilaian sikap (30,77%). Persentase kesulitan ini pada guru SMP sebanyak 25%, pada guru SD, SMA dan SMK masingmasing sebanyak 33,33%. Pada tingkat SD kesulitan yang berikutnya berturut-turut adalah menentukan indikator yang akan diukur (22,22%), memberikan nilai (16,67%), dan membuat soal (11,11%). Sedangkan tingkat SMP, 20% guru menyatakan menentukan indikator, membuat soal dan memberikan nilainya memiliki tingkat kesulitan yang sama. Pada tingkat SMA, 29,41% guru menyatakan kesulitan kedua adalah menentukan indikator yang akan diukur, berikutnya adalah membuat soal (25,49%) dan memberikan nilainya (13,73%). Pada SMK 23,81% guru kesulitan dalam menentukan indikator; 9,52% dalam memberikan nilainya dan 4,76% dalam pembuatan soalnya. f. Penilaian Portofolio Penilaian portofolio adalah penilaian terhadap sekumpulan karya peserta didik yang tersusun secara sistematis dan terorganisasi, yang diambil selama proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu. Penilaian ini digunakan guru maupun peserta didik untuk memantau perkembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik. Pendapat guru terhadap penerapan model penilaian portofolio dalam pembelajaran di kelas cukup bervariasi. Secara nasional sebagian guru, 43,08% menyatakan model penilaian ini sudah mulai mereka terapkan untuk mendokumentasikan seluruh hasil kerja siswa; 24,62% guru menyatakan mereka melakukannya untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan kemampuan siswa; 30% guru menyatakan sebagai umpan balik dalam proses pembelajaran. Sementara 22,31% guru menyatakan tidak melakukannya karena tidak mempunyai cukup waktu dan 15,38% guru lainnya menyatakan sulit untuk menerapkannya tanpa memberi alasan. Adapun bahan yang digunakan dalam penilaian tersebut dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
60
Grafik 4.30.
Bahan yang digunakan dalam penilaian portofolio
Bahan-bahan yang digunakan guru dalam penilaian portofolio siswa oleh guru-guru SD sebagian besar adalah nilai hasil kerja siswa (72,22%), diikuti dengan hasil tes siswa (50%), hasil presentasi siswa 38,89%, dan daftar hadir 33,33%. Pada SMP, guru-guru mengutamakan nilai hasil kerja siswa sebagai bahan yang digunakan dalam portofolio (55%), diikuti dengan hasil tes (25%), hasil presentasi siswa (25%), dan daftar hadir (22,50%). Sementara pada guruguru SMA, penilaian utama adalah nilai hasil kerja siswa (41,18%) dan hasil presentasi (41,18%), diikuti dengan hasil tes (39,22%), dan daftar hadir (29,41%). Demikian pula pada SMK, nilai hasil kerja juga menjadi yang utama (48,46%), diikuti hasil presentasi (33,85%), hasil tes (32,31%), dan daftar hadir (25,38%). Pihak-pihak yang dilibatkan dalam penilaian portofolio di sekolah peserta Program LEA, sebagian besar responden menyatakan bahwa dalam menerapkan model penilaian portofolio di kelas, secara nasional diketahui bahwa yang terlibat dalam model penilaian ini adalah siswa (47,62%), guru (23,81%), orang tua (19,05%), komite sekolah (9,52%), dan sekolah (4,76%).
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
61
Menurut para responden, prinsip-prinsip yang diterapkan sebagai pedoman penilaian portofolio di kelas pada guru SD dapat dilihat pada grafik 4.30 berikut ini yaitu saling percaya antara guru dan siswa (50%), melibatkan siswa dalam memilih bahan yang dijadikan portofolio bersama siswa (33,33%), menilai hasil kerja siswa (33,33%), dan rahasia dipegang bersama antara siswa dan guru (5,56%). Pada guru SMP, saling percaya antara guru dan siswa serta melibatkan siswa dalam menilai hasil kerja siswa menjadi prinsip yang utama (32,50%), prinsip lainnya yaitu memilih bahanyang dijadikan portofolio bersama siswa (22,50%), dan rahasia dipegang bersama guru dan siswa (17,50%). Pada guru SMA tampak pada grafik berikut ini, prinsip yang utama diterapkan adalah saling percaya antara guru dan siswa (37,25%), diikuti dengan melibatkan siswa dalam menilai hasil kerja siswa (35,50%), memilih bahan yang dijadikan portofolio bersama siswa (33,33%), dan rahasia dipegang bersama antara guru dan siswa (17,65%). Sedangkan pada guru SMK, memilih bahan bersama siswa dan menilai hasil kerja bersama siswa menjadi prinsip utama dalam pedoman penilaian portofolio (42,86%). Selanjutnya prinsip saling percaya antara guru dan siswa (28,57%) dan prinsip rahasia dipegang bersama guru dan siswa (4,76%) Grafik 4.31.
Prinsip yang diterapkan sebagai pedoman penilaian portofolio
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
62
Adapun kendala yang dihadapi guru dalam menerapkan model penilaian portofolio, pada guru-guru SD, SMP, SMA maupun SMK secara nasional terutama adalah karena kesulitan membagi waktu (23,85%), selanjutnya membuat pedoman penskoran (19,23%), jumlah siswa yang terlalu banyak (17,69%), menentukan bobot yang dinilai untuk setiap langkah penilaian (16,15%), menentukan skor yang akan dibuat (14,62%), jumlah kelas paralel yang cukup banyak (12,31%), dan kurangnya sarana penunjang (10%). 3. Analisis Butir Soal Tujuan dilakukannya analisis soal adalah untuk mengetahui tingkat kesukaran dan daya beda soal yang dibuat guru, sehingga guru dapat mengetahui kualitas dari soal yang dibuatnya. Selama tiga bulan pasca pelatihan Program LEA, analisis soal secara manual telah dilakukan oleh 70% peserta, sisanya sebanyak 23,85% menyatakan belum melakukakannya dengan berbagai alasan, antara lain karena belum memahami cara menganalisisnya, tidak ada waktu, dan tidak dapat menginterpretasi hasilnya. Anasilis soal dengan menggunakan Iteman dilakukan oleh 53,08% guru, sementara 39,23% lainnya tidak melakukannya. Adapun kendala yang dihadapi guru dalam menerapkan analisis oal dengan menggunakan Program Iteman dapat dilihat pada grafik berikut ini. (Grafik 4.32) Secara nasional tampak kendala yang utama adalah tidak dapat mengoperasikan program (14,62%), berikutnya secara berturut-turut adalah belum mengerti cara menganalisisnya (10,77%), tidak dapat menginterpretasi hasilnya (8,46%), menyangkut ketersediaan sarana penunjang yaitu tidak adanya komputer yang khusus disediakan sekolah maupun milik pribadi untuk kepentingan tersebut (2,31%) peserta; dan tidak ada waktu (2,31%). Namun bagi para guru yang telah melakukan analisis soal dengan Program Iteman sebagian besar menyatakan manfaatnya adalah untuk mengetahui tingkat kesukaran daya pembeda soal yang mereka buat (84,62%); untuk mengetahui kualitas soal yang mereka susun (74,62%); sebagai umpan balik proses pembelajaran di kelas (53,08%); untuk pengembangan bank soal (45,38%); dan untuk mengetahui kesalahan konsep yang dilakukan dalam pembuatan soal (34,62%).
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
63
Grafik 4.32.
Kendala dalam menganalisis butir soal dengan program Iteman
4. Pemanfaatan Hasil Ujian dengan Aplikasi Sistem Informasi Kompetensi Siswa (SIKS) Berikut adalah pendapat para guru terhadap pemanfaatan hasil ujian bagi proses pembelajaran di kelas dengan memanfaatkan SIKS. Secara nasional tampak pada grafik 4.33. berikut ini sebagian besar guru peserta Program LEA menyatakan Aplikasi SIKS sangat bermanfaat bagi mereka untuk mengetahui penguasaan materi oleh siswa secara individual maupun kelompok (83,85%); untuk mengetahui daya serap setiap kompetensi yang diujikan (70%); untuk mengetahui materi apa saja yang belum dikuasai oleh siswa ( 67,69%); untuk mengetahui pencapaian program pembelajaran yang telah diberikan kepada siswa (56,92%); dan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam satu kelas (46,15%).
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
64
Grafik 4.33. Manfaat hasil ujian.
Hal yang dilakukan guru jika mengetahui daya serap mata pelajaran yang diujikan kepada siswa rendah dapat dilihat pada tabel berikut ini. Grafik 4.34.
Hal yang dilakukan, jika daya serap mata pelajaran siswa rendah.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
65
Tabel 4.34. di atas menggambarkan tindakan yang dilakukan guru jika mengetahui daya serap mata pelajaran yang telah diajarkan dan diujikan kepada siswanya rendah. Secara nasional sebagian besar guru (85,38%) menyatakan melakukan remedial pada mata pelajaran yang diketahui daya serapnya rendah; mengubah metode mengajar yang selama ini dilakukan, termasuk melakukan berbagai macam model penilaian (76,15%); dan memberi pekerjaan rumah kepada siswa agar lebih giat berlatih dan belajar (51,54%). Menurut sebagaian besar guru, para siswa perlu mengetahui daya serap seluruh kompetensi yang telah diajarkan, 85,38% guru menyatakan hal ini diperlukan agar siswa mengetahui kemampuan masing-masing; namun 14,62% lainnya menyatakan siswa tidak perlu mengetahui daya serap kemampuan masing-masing, karena hal tersebut adalah urusan guru. Berikut adalah respon yang diberikan guru dalam menerapkan Sistem Informasi Kompetensi Siswa (SIKS) di sekolah dan kendalanya. Grafik 4.35.
Kendala dalam menerapkan SIKS di sekolah.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
66
Grafik 4.35 di atas menunjukkan, secara nasional kendala utama yang dihadapi guru dalam penerapan SIKS terutama adalah karena program tidak berjalan dengan baik (42,31%), hal ini dikarenakan pada saat pelatihan hanya beberapa peserta saja di tiap daerah perintisan yang komputernya kompatibel dengan software, namun demikian setelah pelatihan revisi segera dilakukan programmer dan revisi program dikirim melalui email kepada peserta pelatihan.agar kompatibel dengan komputer peserta pelatihan di daerah yang kebanyakan spesifikasinya lebih rendah. Pada urutan berikutnya adalah sulit mengoperasikannya dan menyita banyak waktu (39,23%); hal ini dikarenakan pada saat pelatihan, software tidak dipraktekkan peserta karena laptop tidak bisa diinstall atau tidak kompatibel dengan software sehingga selepas pelatihan peserta masih ada yang kesulitan mengoperasikan software yang memang masih dalam taraf ujicoba. Selanjutnya terdapat 23,08% menyatakan sekolah tidak menyediakan komputer yang sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan SIKS dan perlu biaya besar untuk menyusun laporan daya serap (14,62%). Berikut ini adalah spesifikasi yang diperlukan dalam SIKS:
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
67
Adapun hasil pengolahan data dengan menggunakan SIKS, menurut sebagian guru dinyatakan perlu diketahui oleh siswa agar siswa termotivasi untuk meningkatkan prestasi belajarnya (41,54%). Sebagian guru menyatakan perlu diketahui siswa agar masing-masing siswa mengetahui kemampuannya masing-masing (28,46%); sementara 16,15% guru menyatakan bahwa hasil SIKS cukup hanya diketahui oleh guru dan kepala sekolah saja.
C. Pendapat Kepala Sekolah Terhadap Program LEA Untuk mengukur keefektifan dan keberhasilan pelaksanaan Program LEA, selain kepada para guru peserta pelatihan, kuesioner juga diberikan kepada Kepala Sekolah Perintisan LEA 2012. Kuesioner tersebut diberikan untuk mendapatkan informasi mengenai implementasi Model-model Penilaian Kelas, Analisis Soal, dan Aplikasi Sistem Informasi Kompetensi Siswa (SIKS) di sekolah masing-masing. Dari 24 sekolah yang menjadi sekolah rintisan tidak semua kepala sekolah mengembalikan kuesioner yang diberikan. Jumlah responden yang mengisi kuesioner 19 orang kepala sekolah terdiri dari 4 orang Kepala Sekolah Dasar (SD), 4 orang Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 7 orang Kepala Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 4 orang Kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di 6 Kabupaten/kota di 6 provinsi. Berikut akan diuraikan pendapat mereka terhadap pelaksanaan Program LEA. Adapun informasi yang ingin dijaring dari kepala sekolah perintisan LEA 2012 adalah hal-hal yang berhubungan dengan identitas responden, latar belakang responden, identitas sekolah, implementasi model penilaian kelas, analisis soal, Aplikasi SIKS dan saran perbaikan untuk Program LEA yang akan datang. 1. Identitas Responden Responden yang mengisi kuesioner adalah 19 Kepala Sekolah yang terdiri dari 4 orang Kepala SD, 4 orang Kepala SMP, 7 orang Kepala SMA dan 4 orang Kepala SMK yang sekolahnya menjadi sekolah perintisan LEA 2012. Grafik 4.36. Jumlah responden (Kepala Sekolah) SMA 37%
SMP 21% SD 21%
Evaluasi Program LEA2012
©
SMK 21%
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
68
Pada tabel dan grafik berikut ini menggambarkan pendidikan akhir Kepala Sekolah Perintisan LEA periode tahun 2012. Tabel 4.7. Tingkat pendidikan (Kepala Sekolah). Pendidikan Terakhir
Jumlah SMA
SMK
Jumlah
SD
SMP
Strata 1 (S1)
2
1
3
3
9
Strata 2 (S2)
2
3
4
1
10
Total
4
4
7
4
19
Pendidikan terakhir responden hampir berimbang antara lulusan S1 dan S2. Jumlah S1 sebanyak 9 orang terdiri dari 2 orang Kepala SD, 1 orang Kepala SMP, 3 orang Kepala SMA, dan Kepala SMK 3 orang. Sedangkan yang berpendidikan S2 sebanyak 10 orang yaitu Kepala SD 2 orang; SMP 3 orang, SMA 4 orang dan SMK 1 orang. Penentuan sekolah perintisan LEA 2012, salah satunya adalah jumlah kelas yang lebih dari satu lokal untuk setiap tingkat kelasnya. Hal ini dilakukan agar tetap terdapat guru yang mengajar, walaupun sebagian guru terpaksa harus meninggalkan tugasnya mengikuti Program LEA. Jumlah kelas sekolah terpilih umumnya memiliki: pada tingkat SD antara 12-14 kelas; SMP 20-30 kelas; SMA 12-28 kelas, dan SMK 19 – 39 kelas. Adapun jumlah siswa per kelas antara 24 s.d 42 siswa. 2. Penerapan Model-Model Penilaian Kelas Dari hasil analisis data kepala sekolah, diperoleh informasi bahwa 73,68% menyatakan seluruh guru memahami model-model penilaian kelas, 26,32% menyatakan bahwa hanya sebagian guru yang mengikuti pelatihan memahami seluruh model penilaian yang diperkenalkan. Adapun alasan seluruh guru belum memahami materi pelatihan Program LEA antara lain karena waktu pelatihan yang terlalu singkat; kemampuan guru masih terbatas; belum adanya kesamaan persepsi; dan penyampaian materi yang dianggap kurang jelas. Setelah dilakukan pelatihan model-model penilaian, sebagian besar kepala sekolah baik dari SD, SMP, maupun SMA dan SMK menyatakan model-model penilaian kelas telah diterapkan guru-guru dalam pembelajaran di kelas, walaupun sebagian kepala sekolah menyatakan masih terdapat kendala dalam menerapkan model-model penilaian dalam pembelajaran.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
69
Model-model penilaian yang diterapkan guru di sekolah dalam pembelajaran selama 2-3 bulan pasca berakhirnya pelatihan sebagai berikut: (1) Kisi-kisi Seluruh responden baik pada tingkat SD, SMP, SMA maupun SMK menyatakan guru-guru di sekolahnya menyusun kisi-kisi terlebih dahulu sebelum menyusun soal dalam mempersiapkan ulangan/tes. (2) Tes Tertulis Seluruh responden menyatakan bahwa sebelum penulisan soal, seluruh guru yang mengikuti pelatihan menyusun kisi-kisi, dan guru-gurunya telah menerapkan kaidah-kaidah penulisan soal penyusunan Tes Tertulis. Adapun bentuk soal yang paling banyak digunakan di seluruh jenjang adalah bentuk soal uraian, disusul pilihan ganda, dan Jawaban Singkat/Isisan. Sedangkan yang paling jarang digunakan adalah bentuk soal Benar-Salah dan Menjodohkan. (3) Penilaian Kinerja Dalam penerapan model Penilaian Kinerja dalam proses pembelajaran di kelas menurut kepala sekolah terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh para guru peserta LEA, seperti tampak pada grafik di bawah ini. (grafik 4.36) Grafik 4.37. Kendala yang dihadapi dalam menerapkan Penilaian Kinerja.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
70
Secara nasional umumnya kepala sekolah menyatakan kendala utama penerapan model penilaian kinerja adalah karena model penilaian tersebut hanya dapat diterapkan pada bidang studi tertentu (31,58%); kemudian butuh waktu pelaksanaan yang lebih lama dalam memeriksa atau menilai hasil kerja siswa (26,32%); serta kurangnya sarana penunjang untuk kebutuhan tersebut (10,53%). (4) Penilaian Produk Untuk model Penilaian Produk tampak pada grafik berikut, masih terdapat kendala dalam penerapannya. Menurut 50% Kepala SD, kendala utama penerapannya adalah dalam hal penyusunan pedoman penskoran. Kendala lainnya adalah banyaknya jumlah siswa yang harus ditangani (25%). Sementara di tingkat SMP 50% kepala sekolah menyatakan kendala utamanya karena kurangnya waktu pelaksanaan penilaian produk dan 25% menyatakan karena jumlah siswa yang terlalu banyak. Di tingkat SMA, 28,57% kepala sekolah menyatakan kesulitan dalam penyusunan pedoman pensekorannya; 14,29% menyatakan jumlah siswa yang terlalu banyak, dan 14,29% lainnya menyatakan kekurangan sarana penunjang. Sedangkan pada SMK, 50% kepala sekolah menyatakan banyaknya jumlah siswa yang ditangani yang menjadi kendala utama penerapan model penilaian ini; 25% menyatakan kurangnya waktu pelaksanaan; dan 25% lainnya kesulitan dalam menyusun pedoman penskorannya. Grafik 4.38. Kendala yang dihadapi dalam menerapkan Penilaian Produk
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
71
(5) Penilaian Proyek Sama halnya dalam penerapan model penilaian Produk, dalam penerapan penilaian Proyek pun masih ditemui beberapa kendala, khususnya menurut sebagian kepala sekolah, seperti tampak pada grafik berikut ini. Grafik 4.39.
Kendala yang dihadapi dalam menerapkan Penilaian Proyek.
Pada tingkat SD kendala penilaian proyek menurut 75% kepala sekolah hanya terletak pada penyusunan pedoman penskorannya saja, sedangkan 25% lainnya tidak menjelaskan secara spesifik kendala yang ditemui. Pada tingkat SMP, kendalanya adalah kekurangan waktu pelaksanaan penilaian proyek, kesulitan dalam penyusunan pedoman penskorannya, dan kekurangan sarana penunjang. Kendala kendala tersebut masing-masing dinyatakan oleh 25% kepala sekolah. Sementara 25% lainnya tidak memberikan pendapat mengenai kendala penerapan model penilaian tersebut.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
72
Berbeda dengan tingkat SD dan SMP, sebagian besar kepala sekolah pada tingkat SMA (57,14%) menyatakan tidak menemui kendala yang berarti dalam penerapan model penilaian proyek. Hanya sebagian kecil menyatakan kekurangan waktu untuk pelaksanaan penilaian proyek (14,29%); kesulitan menyusun pedoman penskoran (14,29%); dan kekurangan sarana penunjang (14,29%). Di SMK, 75% kepala sekolah menyatakan kekurangan waktu pelaksanaan penilaian proyek dan 25% lainnya menyatakan kesulitan dalam penyusunan pedoman penskoran. (6) Penilaian Sikap Secara umum, model penilaian sikap telah diterapkan di seluruh sekolah peserta Program LEA, baik pada tingkat SD. SMP, SMA maupun SMK. Hanya sebagian kecil (4,62%) yang belum menerapkan model penilaian sikap. Adapun kendala-kendala yang dihadapi sekolah dalam menerapkan model ini dapat dilihat pada grafik berikut ini. Grafik 4.40.
Kendala yang dihadapi dalam menerapkan Penilaian Sikap.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
73
(7) Penilaian Portofolio Dalam penerapan model penilaian Portofolio ditemui beberapa kendala di seluruh sekolah perintisan LEA, baik di tingkat SD , SMP, SMA, maupun SMK. Kendalanya rata-rata terletak pada kurangnya waktu pelaksanaan penilaian (42,11%). Hal ini dinyatakan oleh 75% Kepala SMP, 42,86% Kepala SMA, dan 50% Kepala SMK. Sedangkan 50% Kepala SD dan 25% Kepala SMK menyatakan sulit menerapkan model penilaian ini karena memerlukan sarana untuk menyimpan file-file siswa, sementara sekolah belum menyediakan sarana tersebut. Sementara hanya 25% dari kepala SD yang menyatakan jumlah siswa yang terlalu banyak yang menjadi kendala model penilaian ini. Selain itu umumnya guru belum terbiasa melakukan penilaian portofolio di sekolahnya dan belum ada kesamaan persepsi dalam menentukan bahanbahan apa saja yang ditentukan menjadi bahan penilaian portofolio. Grafik 4.41.
Kendala yang dihadapi dalam menerapkan Penilaian Portofolio.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
74
3. Analisis Soal Dalam implementasi analisis soal telah dilakukan oleh seluruh sekolah perintisan LEA, namun masih ditemukan sejumlah kendala yang dihadapi sekolah dalam menerapkannya, seperti dapat dilihat pada grafik berikut ini. Grafik 4.42.
Kendala yang dihadapi dalam menganalisis soal secara manual.
Tampak pada grafik di atas persentase rata-rata kendala yang dihadapi adalah cara menganalisisnya yang rumit sehingga dibutuhkan waktu yang relatif lama (42,11%), dan 15,79% lainnya menyatakan jumlah siswa dan kelas paralel yang terlalu banyak yang menjadi kendala penerapan model penilaian ini. Sementara kendala yang dihadapi sekolah dalam melakukan analisis soal dengan menggunakan Program Iteman dapat dilhat pada grafik berikut ini.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
75
Grafik 4.43.
Kendala yang dihadapi dalam menganalisis soal dengan program komputer.
Tampak pada grafik sebagian besar sekolah tingkat SD mengalami kendala dalam menganalisis soal dengan menggunakan program Iteman karena tidak tersedianya sarana komputer di sekolah (75%). Sedangkan di tingkat SMK, 50% kepala sekolahnya menyatakan kurangnya waktu pelaksanaan analisis yang menjadi kendalanya. Untuk sekolah tingkat SMP dan SMA hanya sebagian kecil yang mengalami kendala. 4. Aplikasi Sistem Informasi Kompetensi Siswa (SIKS) Penerapan SIKS di sekolah-sekolah perintisan LEA umumnya tidak mengalami kesulitan yang berarti.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
76
Grafik 4.44. Kesulitan penerapan SIKS di sekolah
Tampak pada grafik di atas, yang masih mengalami kesulitan sebagian besar ada di tingkat SD dan SMP, sedangkan pada tingkat SMA hanya sebagian kecil dan bahkan pada SMK tidak mengalami kesulitan sama sekali. Untuk kepentingan pengoperasian SIKS, sebagian besar kepala sekolah (52,63%) yang menggunakan SIKS menunjuk satu orang guru atau staf tata usaha sebagai adminstrator. Sebagian besar kepala sekolah menyatakan bahwa adanya SIKS memotivasi guru untuk memperbaiki proses pembelajaran di kelas, karena melalui program tersebut dapat diketahui daya serap untuk mata pelajaran yang diujikan, baik pada siswa secara individual , kelas, maupun sekolah. Secara keseluruhan responden/nasional sebanyak 89,47% kepala sekolah menyatakan bahwa SIKS secara langsung atau tidak langsung juga memotivasi siswa untuk belajar lebih giat dan memotivasi guru untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya. 5. Lain-lain Para kepala SD, SMP, SMA dan SMK (94,74%) menghimbau kepada guru-guru yang mengikuti pelatihan guru melalui Program LEA, untuk menerapkan dan mengimbaskannya ke teman-teman sejawatnya di sekolah. Adanya program LEA, menurut sebagian besar guru maupun kepala sekolah
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
77
menyebabkan telah terjadi perubahan dalam proses pembelajaran di kelas/sekolah, terutama penggunaan model-model penilaian yang sebelumnya tidak dikenalnya. Dalam upaya pengimbasan Program LEA, sebagian besar kepala sekolah menginstruksikan pembentukan tim asistensi LEA untuk kepentingan pengimbasan di lingkungan sekolah. Menurut sebagian besar kepala sekolah baik tingkat SD, SMP, SMA maupun SMK adanya Program LEA dapat meningkatkan kualitas guru dalam proses pembelajaran di kelas; menyetarakan persepsi guru dalam proses penilaian di kelas; menambah pengetahuan guru tentang metode penilaian kelas; dan menurut para kepala sekolah (89,47%) guru termotivasi untuk meningkatkan kinerja. Selain itu guru juga termotivasi belajar melakukan analisis soal dengan menggunakan program komputer.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
78
BAB V
Kesimpulan
Untuk mewujudkan model penilaian yang dapat meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah, Puspendik melakukan program asistensi pengembangan model penilaian di satuan pendidikan dengan membentuk kelompok-kelompok kerja pada sekolah/madrasah di kabupaten/kota sebagai Local Examination Agencies (LEA). LEA yang berbasis sekolah/madrasah atau gabungan dari keduanya, memiliki tugas dan tanggungjawab untuk memberi bantuan teknis (asistensi) penilaian kepada guru-guru di wilayah kabupaten/kota. Melalui kegiatan asistensi ini diharapkan praktik penilaian di tingkat sekolah/madrasah dapat berjalan baik dan hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik dalam proses pembelajaran yang dapat meningkatkan mutu pembelajaran di tingkat kelas/sekolah, sekaligus meningkatkan hasil Ujian Nasional, yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional. Hasil implementasi program LEA pada 24 sekolah (SD,SMP,SMA, dan SMK) di 6 Kabupaten/Kota/di provinsi yaitu 1), 1) Kota Jambi - Jambi 2) Kota Bengkulu - Bengkulu, 3) Kab. Lampung Tengah - Lampung, 4) Kota Kendari Sulawesi Tenggara 5) Kab. Gorontalo - Gorontalo, 6) Kab. Maluku Tengah Maluku, menunjukkan adanya peningkatan penerapan model-model penilaian selain penilaian tertulis dalam pembelajaran di kelas. Dari 6 model penilaian yang diperkenalkan (Penilaian Tertulis, Penilaian Kinerja, Penilaian Produk, Penilaian Projek, Penilaian Sikap, dan Penilaian Portofolio), hanya Penilaian Portofolio yang belum banyak diterapkan dengan alasan keterbatasan waktu, sarana, dan jumlah siswa yang banyak. Dalam penyusunan soal, sebagian besar guru peserta pelatihan telah menggunakan kisi-kisi sebagai acuan untuk menulis soal bentuk apapun.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
79
Dengan adanya model-model penilaian, sebagian besar guru menyatakan mulai mengimplementasikan model penilaian yang dikuasainya dalam pembelajaran. Analisis soal secara manual maupun dengan perangkat lunak sudah dilakukan oleh sebagian kecil guru SD namun telah dilakukan oleh sebagian besar guru-guru SMP, SMA dan SMK. Dengan mengetahui hasil analisis soal guru-guru tersebut termotivasi untuk membuat soal yang lebih baik. Aplikasi Sistem Informasi Kompetensi Siswa (SIKS) menurut hampir seluruh guru sangat bermanfaaat untuk mengetahui kelemahan dan keunggulan siswa per individu. Dengan mengetahui kompetensi siswa diharapkan guru termotivasi untuk memperbaiki metode mengajar, dan peserta didik termotivasi untuk meningkatkan prestasi belajarmya. Namun masih terdapat kendala dalam mengoperasikan SIKS yaitu tuntutan spesifikasi komputer yang tinggi untuk menginstall SIKS (mengingat sebagian besar sekolah memiliki komputer dengan spesifikasi yang lebih rendah). Di ke-24 sekolah perintisan LEA telah terbentuk kelompok-kelompok kerja LEA yang telah mengimbaskan pengetahuannya tentang model-model penilaian kepada rekan-rekan sejawat di sekolah maupun ke sekolah terdekat di wilayahnya, sehubungan dengan petunjuk pelaksanaan untuk sekolah-sekolah yang mengikuti Program LEA 2012. Dalam upaya pengimbasan Program LEA, sebagian besar kepala sekolah menginstruksikan pembentukan tim asistensi LEA untuk kepentingan pengimbasan di lingkungan sekolah.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD
80
DAFTAR PUSTAKA Pusat Penilaian Pendidikan, Balibang Depdiknas, Pedoman Penilaian Kelas, 2004. Foster, Margaret, dan Masters, G. (1996), Portfolio Assessment Resource Kit, Camberwell Melborne : The Australian Council for Educational Reasearch Ltd. Foster, Margaret, dan Masters, G. (1996), Project Assessment Resource Kit, Camberwell Melborne : The Australian Council for Educational Reasearch Ltd. Foster, Margaret, dan Masters, G. (1998), Product Assessment Resource Kit, Camberwell Melborne : The Australian Council for Educational Reasearch Ltd. Foster, Margaret, dan Masters, G. (1996), Performance Assessment Resource Kit, Camberwell Melborne : The Australian Council for Educational Reasearch Ltd. Foster, Margaret, dan Masters, G. (1996), Paper and Pen Assessment Resource Kit, Camberwell Melborne : The Australian Council for Educational Reasearch Ltd. Popham, W. James, (1995), Classroom assessment : What Teacher Need to Know, Boston: Allyn and Bacon.
Evaluasi Program LEA2012
©
Hak Cipta Pada Pusat Penilaian Pendidikan
KEMDIKBUD