LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING JURNAL PEDAGANG KAKI LIMA (SUATU TINJAUAN SEJARAH SOSIAL)
Oleh SUTRISNO NIM. 231 408 044 Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Hj. Resmiyati Yunus, M.Pd
Drs. Surya Kobi, M.Pd
NIP. 196212031994032002
NIP. 19570622 198603 1 002
1
PEDAGANG KAKI LIMA (Suatu Tinjauan Sejarah Sosial)
Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Social Universitas Negeri Gorontalo ABSTRACK Sutridno, Nim: 231408044, 2014. Pedagang kaki lima (suatu tinjauan sejarah sosial) skripsi. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universita Negeri Gorontalo. Penelitian bertujuan untuk mengetahui. Pertama, eksistensi pedagang kaki lima di Kabupaten Buol. Kedua, persepsi masyarakat terhadap pedagang aki lima. Ke tiga, kebijakan pemerintah terhadap pedagang kaki lima. Penelitian ini di lakukan Di Kabupaten Buol. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif yang membahas tentang kajian fenomenologis dan diungkapkan secara deskriptif analisis kritis, dan penelitian ini bersifat naturalistic yang memfokuskan pada pengumpulan infomasi tentang keadaan atau realita yang sedang berlangsung dengan menggambarkan sifat dari keadaan saat penelitian dilakukan, serta memeriksa dari suatu gejala tertentu secara alamiah. Hasil penelitian menunjukan, bahwa keberadaan PKL masih belum mendapat tempat yang selayaknya. bisa di katakan tidak teratur, umumnya mereka tidak tertib dan jorok karena mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan dibadan jalan, sehingga menjadi penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan kota. Namun pada umumnya keberadaan Pedagang Kaki Lima sangat membantu konsumen dalam mendapatkan barang tertentu, karena keberadaanya sangat mudah ditemui. Kata kunci: pedagang kaki lima (suatu tinjauan sejarah sosial) Nama : sutrisno Nim : 2314 08044 Pembimbing 1. Dra. Hj. Resmiyati Yunus, M.Pd 2. Drs. Surya Kobi, M.Pd 2
PENDAHULUAN Masalah sektor informal merupakan suatu fenomena yang mempunyai berbagai dimensi. Terjadinya hal ini mengakibatkan suatu perbedaan pendapat dari berbagai pihak. Pada umumnya masalah sektor informal ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak diiginkan oleh sebagian besar warga masyarakat. Hal itu disebabkan karena gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau nilai, norma, dan peraturan yang berlaku. Lebih dari itu, suatu kondisi juga di anggap sebagai masalah sektor informal karena menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian baik fisik maupun nonfisik. Pedagang kaki lima seringkali didefinisikan sebagai suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit, berusaha dalam bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu. Usahanya dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam lingkungan yang informal. Sektor usaha pedagang kaki lima tersebut seringkali menjadi incaran bagi masyarakat dan pendatang baru untuk membuka usaha di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena adanya ciri khas dan relatif mudahnya membuka usaha (tidak memerlukan modal yang besar) di sektor tersebut. sektor informal tidak terbatas pada pekerjaanpekerjaan di pinggiran-pinggiran kota besar, tetapi bahkan juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi yang antara lain ditandai dengan mudah untuk dimasuki, bersandar pada sumberdaya lokal, usaha milik sendiri, operasinya dalam skala kecil, padat karya dan teknologinya bersifat adaptif, ketrampilan dapat diperoleh di luar sistem sekolah formal, dan tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif karena sektor informal ini dengan bercirikan ukuran usaha yang kecil, kepemilikan keluarga, intensif tenaga kerja, status usaha individu, tidak resmi (illegal/ekstralegal), tanpa promosi, dan tidak ada hambatan masuk. Terjadinya transformasi sosial di sektor informal khususnya pedagang kaki lima pada aras individu maupun kelompok, mengakibatkan perubahan yang mendasar dan sekaligus gradual dalam sistem sosial sektor informal pedagang kaki lima, bahwa 3
pada aktor atau pelaku perubahan yang terlibat atau subjek pada transformasi sektor informal pedagang kaki lima, berlangsung perubahan secara kelindan dengan kompleksitas permasalahan ekonomi, seperti pertumbuhan pendapatan, dan segi-segi sosial, seperti posisi dan status sosial pelaku dalam sistem sosial, bahwa perubahan atau transformasi sosial pada sektor pedagang kaki lima terjadi secara unik dalam sebuah kontinum dalam arti ganda yakni pada satu sisi mengalami perubahan atau transformasi
per dan
inter karakteristik, baik
dengan perluasan maupun
pengambilalihan. Pada sisi lainnya meninggalkan atau menguatkan karakteristik perubahan itu sendiri atau pemapanan. Kenyataan transformatif menunjukkan keduanya
dapat
terjadi
secara
bersamaan
dan
tidak
sendiri-sendiri
Melalui pendekatan strukturasi Giddens dipahami bahwa transformasi sosial sektor informal di perkotaan sebagai fenomena struktural, yakni sebagai implikasi perubahan yang dilakukan serta fenomena individual, yakni kehendak otononom agen, adalah tidak bisa dipisahkan. Struktur sosial perkotaan selain membatasi individu pedagang kaki lima dalam menjalankan usahanya, juga memberikan kesempatan bagi aktor pedagang kaki lima untuk berkreasi mencapai tujuan tujuan yang diharapkan, sehingga terjadilah perubahan yang terus menerus dalam ruang dan waktu atau kontinuum perubahan yang kemudian disebut transformasi sosial sektor informal di perkotaan. Pada umumnya konsep urbanisasi di artikan sebagai proses yang membawa bagian yang semakin besar penduduk suatu negara berdiam di pusat perkotaan. Mimpi untuk mengubah nasib dan mendapatkan kehidupan yang layak membuat arus urbanisasi di kota kian meningkat. setiap tahunnya urbanisasi dan berbagai bentuk perpindahan terjadi termasuk Di Kabupaten BUOL.
4
METODE PENULISAN suatu penelitian kualitatif kehadiran peneliti menjadi hal yang utama, sebab peneliti yang menjadi insrumen atau alat penelitian itu sendiri, jadi dalam hal ini kehadiran peneliti menjadi kunci dari keberhasilan dari penelitian tergantung kehadiran peneliti. Sugiyono (2009:13) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif instrument utamanya adalah peneliti itu sendiri, peneliti mengumpulkan data dan informasi secara mandiri, baik pada grand tour question, tahap focused and selection, melakukan pengumpulan data, analisis dan membuat kesimpulan. Metode kualitatif ini digunakan dengan alasan karena ; pertama metode ini lebih mudah jika berhadapan dengan kenyataan ganda, kedua metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden, ketiga metode lebih peka dan lebih menyesuaikan diri dengan banyak penejaman pengaruh bersama dan terhadap nilai-nilai yang dihadapi (Moleong 2004:5). Alasan peneliti menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dalam penelitian ini adalah karena secara prinsip tujuan dan jenis peneliti ini adalah untuk memdeskripsikan, menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta serta hubungan antara fenomena. Penggunaan jenis penelitian ini dipandang lebih mendukung dalam memberikan arti dan makna yang berguna dalam menyerap permasalahan yang berkaitan dengan fokus penelitian.
5
Jenis Penelitian Alasan peneliti menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dalam penelitian ini adalah karena secara prinsip tujuan dan jenis peneliti ini adalah untuk memdeskripsikan, menggambarkan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta serta hubungan antara fenomena. Penggunaan jenis penelitian ini dipandang lebih mendukung dalam memberikan arti dan makna yang berguna dalam menyerap permasalahan yang berkaitan dengan fokus penelitian. Analisis Data Dari penelitian ini pengelolaan data dan analis data dapat dilakukan secara bersamaan selama proses penelitian berlangsung. Data yang di peroleh baik melalui obsevasi maupun wawncara diolah dengan cara mengklasifikasikan berdasarkan tema sesuai dengan focus permasalahan, sebab penelitian di fokuskan pada pedagang kaki lima (suatu tinjauan Sejarah social), maka dengan sendirinya data-data tersebut dapat dikategorikan dalam berbagai hal yang berkaiatan dengan pedagang kaki lima. Untuk kegiatan pengelolaan analisis data dapat dilakukan dengan langkah-langkah yaitu mengklasifikasikan data dalam berbagai ranah untuk memperoleh gambaran yang bersifat umum dari catatan langsung kemudian dikelompokan
atau
dikategorikan
sesuai
dengan
penelitian.
Kemudian
menghimpun elemen-elemen yang sama. Setelah itu penulis mendeskripsikan
6
data secara menyeliruh untuk mempermudah penulis dalam mendeskripsikan hasil penelitian dan pembahasan. Penyajian Data Penyajian data dimaksudkan sebagai sesuatu untuk menemukan pola-pola yang bermakna serta memungkinkan adanya penarikan kesimpulan. Dalam penyajian data ini dilakukan dengan cara menggunakan berbagai jenis matriks, grafik, jaringan, dan bagan atau bentuk kumpulan kalimat. Hal ini dirancang untuk mempermudah peneliti dalam menggambarkan informasi serta penarikan kesimpulan. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Menurut Miles dan Huberman (Sugiyono, 2013: 224) pada tahap penarikan atau verifikasi, peneliti berusaha agar dapat menggambarkan kerepresentatifan suatu peristiwa kejadian atau objek. Oleh karena itu, analisis data dilakukan secara berkesinambungan selama dan sesudah pengumpulan data, sehingga dapat ditemuka pola tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi. Pengambilan kesimpulan ini dilakukan oleh peneliti sejak awal yaitu setiap tahap pengumpulan data walaupun masih bersifat terbuka dan umum. Misalnya, peneliti mengambil kesimpulan tentang perkembangan cagar alam di Indonesia melalui kegiatan penyuluhan terhadap lingkungan sekitar. Maka peneliti dapat menarik kesimpulan yang masih bersifat umum dan terbuka sebelum mendapat verifikasi dari data yang tersedia, sedangkan untuk kesimpulan akhirnya merupakan kesimpulan yang diperoleh setelah verifikasi data yang terakhir.
7
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini, saya sebagai peneliti ingin memaparkan hasil analisis penelitian dan pembahasan secara rinci dan jelas. Adapun penelitian yang dilakukan menggunakan analisis kualitatif sebagai studi mengkaji pedagang kaki lima (PKL) di tinjau dari sejarah sosial di Kabupaten Buol. Hasil Penelitian Berbicara mengenai suatu kajian sosial pada masyarakat Buol dengan adanya pedagang kaki lima, lahirlah suatu analisis di mana perkembangan sosial di Buol sebelum dan setelah adanya pedagang kaki lima. Pada umumnya di Indonesia diketemukan banyak cerita atau legenda tentang asal kejadian suatu negeri. Demikian pula asal kejadian Negeri Buol, pada mulanya dikisahkan bahwa negeri ini belum ada dan semuanya masi berupa lautan luas. Menurut buku memeori R Venema,(dalam H.Mohammad Kasim Rajak, 1965:25) controleor di buol pada tahun 1983, luas wilaya Buol ini sekitar 4300 km² dan didiami oleh penduduk yang merupakan satu kesatuan yang dinamakan suku bangsa Buol yang mempunyai bahasa, kebudayaan serta adat istiadat sendiri. Suku bangsa ini sudah banyak berhubungan dengan suku bangsa lain seperti suku bangsa Gorontalo,Bugis, Mandar, Banjar, Kaidipan, Toli-Toli, Bualemo, Bolaan Mngondow dan lain-lainnya.
8
Sejarah Singkat Kabupaten Buol Sebelum Daerah Buol menjadi salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah, Daerah Buol masih bergabung dan merupakan bagian dari wilayah Toli-toli yaitu dikenal dengan Kabupaten Buol Toli-toli. Kabupaten ini merupakan salah satu dari ke empat kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah yang terbentuk pada tahun 1960 berdasarkan Undang-undang No. 29 Tahun 1959, yang merupakan gabungan dari dua wilayah yaitu Daerah Buol dan Daerah Toli-toli. Dengan perkembangan Zaman Daerah Buol memekarkan diri dari Toli-toli dan menjadi satu Kabupaten sendiri. Kabupaten Buol dibentuk berdasarkan Undangundang No. 51 Tahun 1999 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Buol Tolitoli dan diresmikan pada tanggal 27 November tahun 1999 atas nama Mentri Dalam Negeri yaitu Gubernur H.B Paliudju. Ir. Abdul Karim Mbouw dilantik di Jakarta sebagai Pejabat Bupati Buol pertama pada tanggal 12 Oktober tahun 1999. Letak geografis Buol adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang beribukota di Kecamatan Biau/Kota Buol. Wilayah Kabupaten Buol berada di bagian utara Provinsi Sulawesi Tengah dengan letak wilayah antara 0,35° – 1,20° LU dan 120,12° – 122,09° BT. Di samping itu, wilayah Kabupaten Buol terletak di sebelah Timur Kabupaten Toli-toli dan terletak di sebelah utara wilayah Provinsi Sulawesi Tengah, sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan pantai yang menyebabkan
9
Kabupaten Buol beriklim panas, dengan rata-rata curah hujan yaitu 99,75 mm dengan maksimal curah hujan pada bulan Februari di Kecamatan Bokat. Luas Wilayah Kabupaten Buol mempunyai luas wilayah ± 4.043,57 km², dan memiliki 11 Kecamatan yaitu Kecamatan Palele, Palele Barat, Gadung, Bokat, Bukal, Biau, Momunu, Tiloan, Karamat, dan Lakea. Keadaan Penduduk Berdasarkan estimasi, pada tahun 2011 penduduk Kabupaten Buol mencapai 134.776 jiwa, terdiri dari 69.290 jiwa laki-laki dan 65.486 jiwa perempuan. Penduduk yang terbanyak berada di Kecamatan Biau. Kabupaten Buol dengan luas wilayah 4.043,57 km² memilki kepadatan penduduk 33,3 jiwa/km². Apabila dengan melihat penyebaran penduduk pada tingkat kecamatan, wilayah yang merupakan kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Biau yaitu 129 jiwa/km², dan Kecamatan yang kepadatan penduduknya sangat rendah adalah Kecamatan Tiloan yaitu 7 jiwa/km². Sajian Data Eksistensi Pedagang Kaki Lima Di Kabupaten Buol Berdasarkan hasil observasi ( 10 Mei 2014 ) didapatkan bahwa keberadaan PKL masih belum mendapat tempat yang selayaknya. bisa di katakan tidak teratur, umumnya mereka tidak tertib dan jorok karena mereka berjualan di trotoar jalan, di
10
taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan dibadan jalan, sehingga menjadi penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan kota. Hal ini dipertegas lagi dari hasil wawancara dengan Rusli ( 13 Mei 2014 ) umumnya keberadaan Pedagang Kaki Lima sangat membantu konsumen dalam mendapatkan barang tertentu, karena keberadaanya sangat mudah ditemui. Sebagian besar barangbarang yang dijual oleh Pedagang Kaki Lima adalah barang-barang convience goods, artinya barang yang dibeli dengan cara emosional (senang), dan mudah untuk mendapatkannya. Konsumen biasanya begitu melihat barang yang ditawarkan oleh Pedagang Kaki Lima, langsung timbul keinginan untuk membelinya. Di Kabupaten Buol terdapat beberapa komunitas PKL yang beraktifitas di sepanjang kawasan pasar sentral BUOL, dari pedagang eceran (eceran besar dan kecil ) pedagang borongan dan campuran tepatnya di kecamatan lipunoto. Mereka berasal dari berbagai daerah seperti, jawa barat, Sulawesi selatan (makasar),gorontalo dan daerah-daerah lainnya. Keberadaan mereka sudah hampir berpuluh-puluh tahun dan menetap di Kab. Buol. Mereka sampai berada di daerah Buol diakibatkan oleh kesenjangan ekonomi dan social yang membuat mereka harus terpaksa merantau di negri orang untuk mencari nafkah. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat setempat yang menjadi responden dalam penelitian ini Samsudin Lasau (24 Mei 2014) pedagang kaki lima di Kabupaten Buol sangat memprihatinkan keberadaannya, mereke berjualan di sekitar kawasan sentral Buol tanpa ada persetujuan dari pemerintah
11
dengan lokasi yang di gunakan untuk berdagang mereka pun langsung tanpa banyak pertimbangan menggunakan lokasi tersebut untuk berjualan di sekitar kawasan sentral tersebut demi mendapatkan rejeki dan kehidupan yang layak. Keberadaann Pedagang Kaki Lima
memang selalu dipermasalahkan oleh
pemerintah karena ada beberapa alasan, Penggunaan ruang publik oleh PKL bukan untuk fungsi semestinya karena dapat membahayakan orang lain maupun PKL itu sendiri, membuat tata ruang kota menjadi kacau, Keberadaan PKL tidak sesuai dengan visi kota yaitu yang sebagian besar menekankan aspek kebersihan, keindahan dan kerapihan kota, Pencemaran lingkungan dan kerawanan sosial. Maka dari itu bagaimana pemerintah memberikan ruang kepada PKL agar mereka bisa mendapatkan tempat atau memberikan bimbingan secara langsung dengan PKL tentang perelokasian supaya mereka tidak mengganggu keindahan,kebersihan dan ketertiban kota. Dari hasil wawancara dengan Nur Miati (24 Mei 2014) seorang pedagang menganggap bahwa pemerintah kota tidak memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima mencurigai relokasi tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan pemerintah kota atas proyek pribadi semata. Selain itu, tidak adanya sosialisasi tersebut mengakibatkan ketidak jelasan konsep relokasi yang di tawarkan oleh pemrintah, sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah.
12
Persepsi Masyarakat terhadap Pedagang Kaki Lima Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan (26 mei 2014) bahwa masyarakat memiliki pandangan tersendiri tentang keberadaan para pedagang kaki lima d kabupaten Buol. Dari Hasil Wawancara yang dilakukan dengan Moh. Aminullah turungku,(26 Mei 2014) bahwa keberadaan PKL di Kabupaten Buol bisa di katakan tidak teratur, umumnya mereka tidak tertib dan jorok karena mereka berjualan di jalan sekitaran sentral, bahkan dibadan jalan sehingga menjadi penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan kota. Keberadaan PKL yang tidak terkendali mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakan, sehingga dapat timbul tindak criminal/Mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti pinggir jalan dan depan toko Dan sebagian dari barang yang mereka jual tersebut mudah mengalami penurunan mutu yang berhubungan dengan kepuasan konsumen. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Nasarudin mangge ( 05 juni 2014 ) mengatakan, “keberadaan pedagang kaki lima di kab. Buol dapat membantu masyarakat khususnya pada warga golongan menengah ke bawah”. PKL yang dianggap illegal, mengganggu ketertiban kota dan alasan-alasan lain yang mengharuskan pemerintah membuat suatu kebijakan melarang keberadaan PKL. Tetapi sebaiknya pemerintah tidak melihat PKL dari satu sisi saja, PKL juga telah memainkan peran sebagai pelaku shadow economy. PKL perlu diberdayakan guna 13
memberikan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat. PKL merupakan sebuah wujud kreatifitas masyarakat yang kurang mendapatkan arahan dari pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan arahan sehingga PKL dapat melangsungkan usahanya tanpa menimbulkan kerugian pada eleman masyarakat yang lainnya. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pedagang Kaki Lima Mengenai kebijakan pemerintah berarti segala hal yang diputuskan pemerintah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang bersifat mengatur. Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara Pedagang dengan pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah. Hal ini ditegaskan lagi dari hasil wawancara dengan Samsudin Lasau ( 24 mei 2014) menyatakan bahwa selama ini tidak ada sumbangsih dan perhatian pemerintah dalam hal memberikan kebijaksanaan kepada pedagang kaki lima. Pemerintah daerah Buol dalam hal ini harus memiliki suatu kebijakan untuk menangani masalah PKL, yaitu suatu kebijakan yang melarang keberadaan PKL untuk berdagang di sembarang tempat dengan memberikan mereka izin sekaligus memberikan lokasi ataupun tempat khusus untuk semua PKL kemudian ditata dengan rapi agar keberadan mereka tidak selalu dipandang menganggu keindahan kota. Akan tetapi berdasarkan fenomena yang ada sampai saat ini, pemerintah daerah kabupaten Buol sama sekali tidak memutuskan untuk memberikan kebijakan ataupun perhatian
14
kepada PKL Sehingga Keberadaan PKL Yang ada di Kab. Buol dapat ditemukan diberbagai tempat khususnya disudut-sudut kota. Dari hasil wawancara dengan Nasarudin Mangge ( 26 mei 2014) bahwa pemerintah memberikan izin untuk menempati lokasi tempat usaha PKL namun, kurangnya sosialisasi/perhatian pemerintah sehingga keberadaan kaki lima tidak teratur akibatnya mengganggu ketertiban dan keindahan kota. Pembahasan Eksistensi Pedagang Kaki Lima di Kab Buol Berdasarkan hasil penelitian dan hasil observasi yang dilakukan, Di Kabupaten Buol terdapat beberapa komunitas PKL yang beraktifitas di sepanjang kawasan pasar sentral BUOL, dari pedagang eceran (eceran besar dan kecil ) pedagang borongan dan campuran tepatnya di kecamatan lipunoto. Mereka berasal dari berbagai daerah seperti, jawa barat, Sulawesi selatan (makasar),gorontalo dan daerah-daerah lainnya. Keberadaan mereka sudah hampir berpuluh-puluh tahun dan menetap di Kab. Buol. Mereka sampai berada di daerah Buol diakibatkan oleh kesenjangan ekonomi dan social yang membuat mereka harus terpaksa merantau di negri orang untuk mencari nafkah. Namun
keadaan
pedagang
kaki
lima
di
Kabupaten
Buol
sangat
memprihatinkan keberadaannya, mereka berjualan di sekitar kawasan sentral Buol tanpa ada persetujuan dari pemerintah dengan lokasi yang di gunakan untuk berdagang mereka pun langsung tanpa banyak pertimbangan menggunakan lokasi
15
tersebut untuk berjualan di sekitar kawasan sentral tersebut demi mendapatkan rejeki dan kehidupan yang layak. Para PKL yang umumnya tidak memiliki keahlian khusus mengharuskan mereka bertahan dalam suatu kondisi yang memprihatinkan, dengan begitu banyak kendala yang harus di hadapi diantaranya kurangnya modal, tempat berjualan yang tidak menentu. Para PKL yang berdagang dikawasan sentral Buol sebagian dari mereka berumur 40 tahunan ke atas. Selain dari berdagang, mereka melakukan pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan mereka seperti kuli bangunan, gaji harian dari hasil pertanian dan perkebunan, dll. Apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga, kebutuhan makin banyak yang mengharuskan mereka untuk melakukan pekerjaan sampingan. sektor informal di Kab.Buol yang tidak jalas keberdaannya mereka menempati pinggiran-pinggiran jalan sentral buol membuat para pedagang resmi lain kurang nyaman. Namun di satu sisi mereka juga dapat membantu kepada konsumen untuk mendapatkan harga barang yang lebi murah tidak seperti harga barang pada padagang resmi lainnya. Dewasa ini, pada kenyataannya, hal itu telah menjadi kecenderungan yang semakin terasakan kehadirannya. Setidak-setidaknya, kecenderungan dapat dilihat dari dua hal berikut. pertama, Kegiatan pembangunan masyarakat sudah semakin luas dan menembus batas-batas administratif. Kedua, unit-unit sosial telah tumbuh semakin kompleks dan konsekuensinya kemudian adalah semakin sulitnya menemukan keuinikan kuntural suatu masayarakat.
16
Seperti yang sudah di jelaskan di atas, setidak-tidaknya ada dua macam perspektif yang relevan untuk memberdayakan masyarakat terutama kelompok masyarakat miskin agar lebih memeiliki pelayanan dari pemerintah atau dinas terkait khususnya terhadap sector informal disebut juga pedagang kaki lima mengenai lokasi sumber daya. Dan kedua perpektif yang memfokuskan perhatiannya pada keberadaan pedagang kaki lima. Berangkat dari itu pemerintah seharusnya melakukan sosialisasi secara langsung kelapangan dan memberikan pemahaman kepada para pedagang kaki lima agar mereka tidak dapat mengganggu ketertiban lalu lintas dan keindahan kota khususnya sekitaran sentral Buol. Persepsi Masyarakat Terhadap Pedagang Kaki Lima Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian hasil di atas bahwa pedagang kaki lima (PKL) bisa di katakana tidak teratur, umumnya mereka tidak tertib dan jorok karena berjualan di sembarang tempat sekitaran sentral. Kebredaan PKL yang tidak terkendali mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakan, sehingga timbul tindak criminal (pencopetan) dan juga mengganggu kegiatan ekonomi formal karena lokasi yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti kaki lima toko dan barang mereka jual murah daripada harga pedagang formal sehingga banyak di jumpai oleh konsumen. Mengenai struktur informal ini bahwa sektor informal merupakan suatu istilah yang mencakup dalam istilah “usaha sendiri”,merupakan jenis kesempatan kerja yan kurang terorganisir, sulit di cacah, sering dilupakan dalam sensus resmi, persyaratan
17
kerjanya jarang dijangkau oleh aturan-aturan hukum. Mereka adalah kumpulan pedagang, pekerja yang tidak terikat dan tidak terampil, serta golongan-golongan lain dengan pendapatan rendah dan tidak tetap, hidupnya serba susah dan semi kriminal dalam batas-batas perekonomian kota. Kebijakan Pemerintah Tehadap Pedagang Kaki Lima Fenomena PKL dan masalah – masalah yang ditimbulkan PKL seperti yang telah diuraikan di atas. dianggap menyulitkan dan menghambat pemerintah untuk mewujudkan sebuah kota yang bersih dan tertib salah satunya, walaupun pemerintah telah membuat kebijakan Perda untuk melarang keberadaan PKL, faktanya jumlah PKL malah semakin banyak. Dan tentu kebijakan Perda tersebut memenuhi banyak kontra dari para PKL karena kebijakan pemerintah itu dianggap tidak tepat, tidak adil dan merugikan para PKL Kemudian yang menambah daftar panjang permasalahan PKL ini adalah pendekatan yang dilakukan pemerintah dalam praktiknya banyak menggunakan kekerasan. Pendekatan kekerasan yang akan dilakukan pemerintah justru akan menjadi boomerang bagi pemerintah itu sendiri, sehingga akan timbul ketidakstabilan, anarkisme dan ketidaktentraman yang dampaknya justru akan menurunkan citra pemerintah sebagai pembuat kebijakan , yang paling menarik permasalahan PKL ini adalah karena PKL menjadi sebuah dilema tersendiri bagi pemerintah.
18
Kesimpulan dan saran Dari hasil-hasil observasi di lapangan dan reperensi serta hasil wawancara, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: o Aktivitas PKL merupakan salah satu alternatif mata pencaharian bagi warga Kab.Buol yang tidak dapat
memasuki sektor
formal
karena mempunyai ciri-ciri mudah dimasuki, tidak membutuhkan pendidikan tinggi, tidak membutuhkan modal yang besar, namun dapat menghasilkan pendapatan yang kadang melebihi sektor formal. o Faktor yang mendorong para pekerja sektor informal pedagang kaki lima pendatang dari asal berbagai daerah adalah tidak membutukan pendidikan tinggi, modal sendiri dan muda untuk mendapatkan kehidupan yang layak walaupun persaingan antara sektor formal tetap ada. o Sektor informal pedagang kaki lima khususnya, tampaknya harus patut diperhitungkan dalam konteks permasalahan relokasi. Tindakan bijaksana yang patut di lakukan oleh pihak terkait terhadap kaki lima, mereka seharusnya memberikan jalan alternatif lain untuk tetap melakukan uasaha mereka. Pemerintah daerah tindakan yang dilakukan bukanlah menertibkan dan mengusir sebaiknya pemerintah mengadakan sosialisai sebagai unit usaha kecil, pemerintah seharusnya
19
juga meminimalisir jumlah pedagang kaki lima karena tiap tahunnya akan semakin bertambah. Kepada pemerintah dan pedagang kaki lima khususnya,sebaiknya membentuk suatu organisasi yang dapat menampung aspirasi mereka yang bertujuan untuk melindungi dan membantu para pedagang kaki lima dari segala macam permasalahan yang dirasakan kaki lima. pembinaan dan pemberdayaan sektor informal pedagang kaki lima sebaiknya saling mendukung dan berkesinambungan, baik pihak pemerintah yang terkait maupun dari pihak swasta mengingat peranannya sehingga terciplah suatu ketertiban dan keindahan kota.
20
DAFTAR PUSTAKA Jayadinata, J.T. 1999. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Lexy J. Moleong. 1990. Metodologi pnelitian kualititaif. Bandung: PT. Remaja rosda karya Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi, Jakarta: Kencana Prenata Manning, Chris dan Tadjuddin Noer Effendi. 1991. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.Perkotaan dan Wilayah, Bandung: ITB.Media Group Sugiyono. 2013. Memahami penelitian kualitatif. Bandung: PT. Alfabeta Budiyono. 2009. Sosiologi 2. Jakarta : CV. Rizqi Mandiri Tarunasena M. 2009.Sejarah 1.Jakarta: Aramico Katodirdjo, Sartono.1999. pendekatan ilmu sosial dalam metodologi sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Usman, Sunyoto. 1994.pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar S, Muliyadi. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Mustafa, Ali Acshan. 2008. Model Tranformasi Soisal Sektor Informal (sejarah,teori dan fraktis pedagang kaki lima). INSPIRE Indonesia, Malang Skripsi. Yunus, Aulia Insani. 2011.Potret Kehidupan Pedangan Kaki Lima Di Kota Makasar (Kasus Penjual Pisang Epe Di Pantai Losari. Makasar Soeroso, Eddy. 1977.Mengenal Buol Toli-Toli. Tingkat II. Ditetapkan Di Toli-Toli http://formasjuitan.wordpress.com/2011/04/08/pemberdayaan-pedagang-kaki-lima/ 21