i
LAPORAN TEKNIS TEMATIK TAHUN 2013
Tim Penyusun: Rr. Widhya Yusi Samirahayu, SE., MT Dr. Purwoko Adhi Yadi Radiansah, ST Zaenul Arifin, SAP Lisdiani
PUSAT PENELITIAN ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA ii
KATA PENGANTAR Program Tematik tahun 2013 di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) terdiri dari 9 kegiatan, yang terbagi dalam tiga bidang yaitu Elektronika, Telekomunikasi, dan Bahan dan Komponen Mikroelektronika. Laporan Teknis ini disusun oleh masing‐masing tim peneliti kegiatan yang bersangkutan, dan hanya menampilkan hasil‐hasil yang dicapai selama tahun 2013. Oleh karena itu, laporan ini tidak bersifat akumulatif walaupun beberapa kegiatan telah memasuki tahap akhir. Akan tetapi, laporan ini tetap diharapkan bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat pada umumnya. Kami menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangannya, baik secara substansi maupun format penulisannya. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa kami harapkan guna perbaikan kualitas laporan teknis PPET dimasa yang akan datang. Bandung, Januari 2014 Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Kepala, Dr. Hiskia NIP. 19650615 199103 1 006
iii
DAFTAR ISI TIM PENYUSUN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI 1. Pengembangan Modul Sub‐Sistem Radar Fmcw – Peneliti Utama : Arief Suryadi Satyawan., M.T. 2. Rancang Bangun Modul Surya Berbasis Dye‐Sensitized Solar Cell – Peneliti Utama : Lia Muliani Pranoto, ST.,MT 3. Pembuatan Sel Surya Berbasis Polimer – Peneliti Utama : Dra. Erlyta Septa Rosa, MT 4. Rancang Bangun Antena Radar Pengawas Pantai Menggunakan Teknologi Film Tebal – Peneliti Utama : Dr.Ir. Yuyu Wahyu, MT 5. Pemanfaatan dan Pemasangan Radar Pengawas Pantai – Peneliti Utama : Ir.Mashury, M.Eng 6. Pembuatan Magnet Barium Ferit Bonded Hybrid Untuk Aplikasi Circulator – Peneliti Utama : Tony Kristiantoro, S.ST 7. Rancang Bangun Band Pass Filter (BPF) Gelombang Mikro – Peneliti Utama : Dadin Mahmudin, S.T 8. Rancang Bangun Transduser Array untuk Meningkatkan Daya Pancar
ii iii iv
1
28
53
80
104
132
148 162
Sistem Sonar – Peneliti Utama : Deni Permana Kurniadi, ST 9. Pengembangan Through‐Wall Radar untuk Life Detector – Peneliti Utama : Dr. Purwoko Adhi
187
iv
Pengembangan Modul Sub‐Sistem Radar Fmcw
Arief Suryadi Satyawan., M.T. 1
LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan Penelitian
2. 3. 4. 5. 6.
:
Kegiatan Prioritas Peneliti Utama Nama Jenis Kelamin Sifat Penelitian Lama Penelitian Biaya Total 2013
: : : : : : :
Pengembangan Modul Sub‐Sistem Radar FMCW Teknologi Informasi dan Komunikasi Arief Suryadi Satyawan. Laki‐laki Baru/Lanjutan Tahun ke ‐ 1 …2…. (Dua) Tahun Rp. 166.989.000
Bandung, 20 Desember 2013 Peneliti Utama
Ketua PME PPET LIPI,
Dr. Purwoko Adhi, DEA NIP. 19670911 198701 1 001
Arief Suryadi Satyawan., M.T. NIP. 19730801 199403 1 005
2
ABSTRAK Kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan modul subsistem radar yang dapat diterapkan khususnya pada sistem radar FMCW. Secara umum kegiatan ini dibagi dalam dua tahap pengerjaan sesuai dengan tahun anggaran penelitian yang diusulkan. Pada usulan tahun 2013 akan dilakukan pengembangan modul Direct Digital Synthesizer (DDS) yang berfungsi sebagai pembangkit sinyal FMCW pada pemancar radar, sedangkan pada tahun 2014 akan dilakukan pengembangan modul Analog to Digital Converter (ADC) yang berfungsi sebagai data acquisition sinyal radar pada sisi penerima. Berbeda dengan pengembangan sistem atau subsistem radar sebelumnya, pada dua tahap kegiatan ini akan dilakukan rancang bangun modul secara menyeluruh meliputi disain rangkaian elektronika beserta perangkat lunak pendukungnya, dan fabrikasi hingga menjadi modul yang siap pakai. Dengan demikian diharapkan melalui kegiatan ini akan didapat modul subsistem radar yang dapat menggantikan peran modul‐modul yang sebelumnya banyak didatangkan dari luar negeri. Selain itu, disain dan pengembangan modul subsistem radar ini selanjutnya diharapkan dapat menekan biaya yang harus dikeluarkan dalam pembangunan sistem radar FMCW. Untuk mencapai sasaran kegiatan pada tahun pertama yaitu terwujudnya prototype modul DDS, maka telah dilakukan beberapa tahapan proses yang meliputi disain rangkaian DDS dengan menggunakan komponen utama AD9956, realisasi rangkaian DDS tersebut pada papan PCB multilayer, dan pengukuran kinerja rangkaian DDS di laboratorium. Pada tahap disain, rangkaian DDS dibuat untuk dapat menghasilkan sinyal luaran hingga 200 MH dan level sinyal – 10 dBm. Sedangkan pada tahap realisasi, rangkaian DDS dibentuk pada papan PCB enam layer dengan bantuan perangkat lunak Altium, sebelum dicetak pada jenis PCB yang sesuai (FR4). Pada tahap akhir, rangkaian DDS yang telah dilengkapi komponen diukur kinerjanya di laboratorium. Kata kunci: Sistem Radar, Direct Digital Synthesizer, Analog to Digital Converter, Data Acquisition 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian dan pengembangan sistem radar telah lama dilakukan di PPET‐LIPI (ketika masih bernama LEN‐LIPI), yang pada saat itu diawali dengan pengembangan sistem konvensional pulse radar. Hal ini terus berlanjut sehingga pada sekitar awal tahun 2000 kita telah mulai melakukan pengembangan sistem radar baru bebasis teknologi FMCW, yang selanjutnya ditandai dengan pembangunan sistem radar pengawas pantai di Cilegon (Banten) untuk mengamati pergerakan kapal di sekitar selat sunda. Sistem radar ini selanjutnya menjadi percontohan dalam rangka membangun stasiun radar di tempat lain, disamping menjadi sarana penelitian khususnya dibidang sistem radar. Pada perkembangannya, permasalahan yang dihadapi saat ini hampir sebagian besar komponen atau modul pada sistem radar masih berupa komponen impor, yang selain mahal juga terkadang perlu waktu lama untuk mendapatkannya. Hal ini 3
merupakan tantangan bagi pengembangan sistem radar nasional, namun dapat menjadi peluang bagi para peneliti untuk dapat menghasilkan komponen atau modul pendukung sistem radar. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan dalam kegiatan tahun pertama ini dapat dirumuskan dalam tiga bagian, yaitu kegiatan perencanaan dan realisasi, pengukuran dan perbaikan alat dan dokumentasi kegiatan, yang secara umum dapat diuraikan sebagai berikut: a) Perancangan dan Realisasi Pada tahap perancangan diawali dengan melakukan disain modul rangkaian Direct Digital Synthesizer. Untuk itu perlu diperhatikan pemilihan jenis komponen yang diperlukan baik dari sisi spesifikasi teknis maupun kemudahan dalam memperoleh komponen tersebut di dalam atau luar negeri. Disamping itu disain rangkaian Direct Digital Synthesizer juga harus memperhitungkan konsumsi daya yang diperlukan, serta besaran sinyal masukan atau luaran rangkaian yang sesuai. Setelah melalui tahap disain rangkaian maka masalah berikutnya adalah merealisasikan disain tersebut kedalam bentukperangkat keras (realisasi pada papan PCB). Pada tahapan ini perlu dilakukan pengerjaan disain rangkaian elektronika menggunakan perangkat lunak seperti Protel, yang selanjutnya hasilnya dapat dicetak pada papan PCB. Terakhir adalah pemasangan komponen‐komponen elektronika pada papan PCB tersebut yang mungkin akan membutuhkan ketelitian dalam hal penyolderan, mengingat beberapa komponen digital yang digunakan mungkin berukuran cukup kecil. b) Pengukuran dan Perbaikan Modul Direct Digital Synthesizer selanjutnya diukur untuk mengetahui kinerjanya. Pada tahap ini diperlukan beberapa alat ukur pendukung seperti osciloscope, function generator atau spectrum analyzer. Perbaikan mungkin perlu dilakukan untuk memperbaiki kinerja modul tersebut sehingga sesuai dengan spesifikasi teknis yang diharapkan dalam disain. c) Dokumentasi Kegiatan Penelitian Dokumentasi kegiatan penelitian dilakukan dalam bentuk laporan teknis akhir kegiatan, disamping pembuatan satu buah makalah ilmiah hasil penelitian ini pada jurnal nasional. 2. TUJUAN DAN SASARAN 2.1 Tujuan Umum Tujuan umum kegiatan ini adalah untuk dapat melakukan penguasaan teknologi rancang bangun modul modul pendukung sistem radar FMCW. Khusus Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah untuk dapat melakukan rancang bangun modul Direct Digital Synthesizer dan Analog to Digital Converter, yang dapat diaplikasikan pada sistem radar FMCW. 4
2.2 Sasaran Sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah terwujudnya modul Direct Digital Synthesizer pada akhir tahun pertama penelitian dan modul Analog to Digital Converter pada akhir tahun kedua penelitian. 3. METODE Metodologi yang juga mencakup tahapan, sasaran dan luaran dari kegiatan ini dapat dilihat pada table 1.
5
Tabel 1. NO. TAHAPAN 1 Perencanaan dan realisasi
SASARAN
LUARAN
Disain dan realisasi modul DDS
• • •
•
METODOLOGI
• Disain skematik rangkaian DDS Spesifikasi teknis yang diharapkan Data komponen yang • akan digunakan beserta rangkaain yang diperlukan sistem • Modul perangkat keras DDS •
2 Pengukuran dan perbaikan 3 Dokumentasi kegiatan
Prototype DDS sesuai spesifikasi teknis yang diinginkan • •
Laporan teknis kegiatan Publikasi
Prototype DDS • •
Laporan akhir Makalah ilmiah pada jurnal nasional.
• •
Survey dan studi lapangan: dari metoda ini diharapkan terkumpul data‐data yang berkaitan dengan komponen‐komponen yang dibutuhkan, serta aspek‐aspek teknis pembuatan Direct Digital Synthesizer (DDS). Perancangan spesifikasi: akan dirancang spesifikasi yang diseusuaikan dengan data‐data hasil survey Perancangan prototipe: akan dirancang Direct Digital Synthesizer (DDS) berdasarkan spesifikasi yang telah ditentukan serta disain rangkaian dalam papan PCB. Realisasi peralatan pada papan PCB dan pemasangan komponen.
Pengukuran besaran kelistrikan Perbaikan disain jika diperlukan
6
4. RENCANA CAPAIAN, HASIL, DAN PEMBAHASAN 4.1 Rencana Capaian Tabel 2. No Kegiatan/ B U L A N Penanggung Jawab 1 2 3 4 5 1. Study literatur (PU, P) Melipiti : 1. Studi terkait disain rangkaian DDS. 2. Studi terkait pembuatan PCB multilayer 3. Studi terkait komponen pendukung DDS 4. Studi terkait pengukuran DDS 2. Survey komponen dan pengadaan bahan dan alat / (P dan Adm proyek) Melipiti : 1. Survey komponen penunjang DDS di dalam dan luar negeri. 2. Survey pembuatan PCB multilayer di dalam dan luar negeri. 3. Perencanaan dan Pembuatan alat / (PU, P, PP) Meliputi : 1. Disain skematik rangkaian DDS 2. Disain rangkaian pada papan PCB (multilayer) 3. Pabrikasi rangkaian DDS pada papan PCB 4. Pemasangan komponen pada papan PCB 5. Disain dan realisasi perangkat lunak DDS 4. Pengujian / (PU, PP) Meliputi : 1. Pengukuran kinerja
6
7
8
9
10 11 12
7
No Kegiatan/ B U L A N Penanggung Jawab 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 DDS 2. Perbaikan kekurangan 5. Dokumentasi dan pembuatan laporan dan realisasi karya ilmiah 4.2 Hasil dan Pembahasan Dasar Teori Pada sistem radar FMCW seperti yang diperlihatkan pada gambar 1., Direct Digital Synthesizer (DDS) digunakan untuk membangkitkan sinyal sinus termodulasi FM.
Gambar 1. Blok Diagram Radar FMCW dengan DDS [3]
Pada dasarnya, DDS merupakan metode untuk menghasilkan sinyal analog, biasanya sinyal sinus, caranya dengan membangkitkan sinyal yang berubah – ubah terhadap waktu dalam bentuk digital, dan kemudian dirubah ke dalam bentuk analog dengan bantuan Digital to Analog Converter (DAC) [10]. Konstruksi yang sederhana dari DDS menyebabkan pengaturan frekuensi keluaran DDS ditentukan oleh sebuah nilai tuning word. Konstruksi digital memberi banyak keuntungan dalam penerapan DDS, diantaranya [1]: 1. Arsitektur digital dapat mengurangi kebutuhan sistem analog yang sensitif terhadap temperatur. 2. Interface DDS yang tersedia akan memudahkan sistem untuk dapat dikendalikan dengan lebih praktis dan lebih dioptimalkan, karena semua berada di bawah kendali processor. Konstruksi sederhana DDS adalah terdiri dari beberapa blok komponen yaitu : Frekuensi clock sebagai referensi, Address Counter, PROM dan DAC, seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.
8
Gambar 2. Diagram Blok Direct Digital Synthesizer [3]
Secara umum diagram tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Address Counter melewatkan dan mengakses lokasi memori pada PROM. Selain itu Address Counter juga memuat kesetaraan word amplitudo sinyal sinus yang akan dikonversi ke dalam bentuk analog. Sine lookup adalah perangkat penyimpan informasi amplitudo digital yang menghubungkan satu gelombang penuh dari gelombang sinus dan berfungsi sebagai sine lookup table. Sedangkan register adalah tempat untuk penyusunan amplitudo digital. Terakhir, DAC berfungsi untuk merubah sinyal digital yang telah diolah sebelumnya menjadi sinyal analog. Dengan menerapkan fungsi phase accumulator pada rangkaian sinyal digital, arsitektur DDS dapat dirubah agar lebih fleksibel. Blok diagram arsitektur tersebut terlihat pada gambar 3.
Gambar 3. Frequency – tunable DDS System [3]
Apabila bagian DDS tersebut dilihat lebih detail, masing – masing mempunyai cara kerja dan sinyal output yang berbeda. Sinyal output yang berbeda tersebut dapat dilihat pada diagram seperti pada gambar 4.
Gambar 4. Gambaran Sinyal Pada Tiap‐Tiap Proses DDS [3]
Sinyal yang dihasilkan dari masing –masing bagian dalam bentuk digital kemudian dirubah menjadi sinyal analog dengan menggunakan DAC. Angka – angka tersebut di simpan dalam sebuah memori yang disebut memori lookup table. 9
Phase Accumulator Phase accumulator berfungsi untuk menjumlahkan informasi fasa dari tahap sebelumnya. Karena yang akan disintesis adalah frekuensi, maka nilai frekuensi adalah tetap. Frekuensi adalah turunan pertama dari fasa ( ). Turunan pertama tersebut bernilai konstan jika grafik fungsi fasa berbentuk garis lurus atau pertambahan nilai fasanya tetap. Karena itu accumulator ini juga disebut accumulator fasa. Ditinjau dari segi data yang diolah maka terdapat dua struktur accumulator, yaitu struktur accumulator yang memanipulasi data biner dan struktur accumulator yang beroperasi dengan basis desimal. Data yang diakumulasi oleh accumulator adalah data dengan format BCD (Binary Coded Decimal). Accumulator pada dasarnya adalah gabungan antara perangkat yang disebut adder dan perangkat register. Dari kedua bagian perangkat ini, adder adalah bagian yang sering dioptimasi ( dilakukan peningkatan kerja ), karena semakin lebar jumlah bit dalam accumulator, waktu tunda yang diakibatkan bagian adder tidak bisa diabaikan lagi. Optimasi ( peningkatan kerja ) blok accumulator tersebut menggunakan metode pipelining untuk rangkaian logika kecepatan tinggi, tetapi penerapan metode pipelining ini berpengaruh terhadap update rate dari DDS.
Gambar 5. Blok Diagram Struktur Phase Accumulator [3] Nilai fasa yang tersimpan pada register frekuensi input ditambahkan ke nilai accumulator fasa , satu kali setiap perioda clock sistem. Hasil penjumlahan tersebut kemudian dimasukkan ke lookup tabel (LUT). LUT akan merubah informasi fasa tadi menjadi informasi amplituda. Untuk accumulator seperti yang terlihat pada gambar 5., frekuensi output (Fout) dan frekuensi clock (Fref) memiliki hubungan dengan nilai penambahan fasa ( ) yang dirumuskan dengan persamaan : (1) Pada persamaan (1), N adalah jumlah bit dalam accumulator fasa. Dengan menggunakan rumus diatas maka akan dapat dihasilkan kenaikan frekuensi dengan satuan Hertz yang tepat.
10
Gambar 6. Hubungan Fasa Dengan Amplituda
Gambar 7. Lingkaran Fasa
Proses akumulasi fasa dilakukan dengan lingkaran fasa. Gambar 6., menunjukkan akumulasi fasa dari sinyal sinus dengan frekuensi 1/8 frekuensi clock. Lingkaran menunjukkan akumulasi fasa sebesar π/4 setiap siklus clock. Titik‐titik pada garis lingkaran menunjukkan nilai fasa pada suatu waktu dan bentuk gelombang sinus menunjukkan representasi amplituda yang bersesuaian. Perubahan fasa ke amplituda terjadi dalam lookup table. Terlihat bahwa penambahan fasa selama periode clock adalah π/4 radian atau 1/8 dari . Osilasi sinus merupakan vektor yang berputar di sekeliling lingkaran fasa seperti ditunjukkan pada gambar 7. Setiap titik pada lingkaran fasa ini berkorespondensi dengan satu titik tertentu pada gelombang keluaran dan titik ini dihasilkan sebagai vektor bergerak di sekeliling lingkaran fasa. Satu putaran pada lingkaran fasa merupakan satu siklus sinusoidal. Jumlah titik diskrit lingkaran fasa sesuai dengan resolusi accumulator fasa. Nilai kendali frekuensi masuk (k) menunjukkan ukuran lompatan atau jump size. Dalam domain waktu, sinyal yang dihasilkan dapat dituliskan sebagai persamaan : .... (2) 11
DDS melakukan proses sampling pada saat sampling.
, dengan Tref adalah interval
adalah frekuensi referensi dan n = 0,1,… Setiap amplituda sample x(nTref) dikalkulasi untuk mendapatkan fasa
.......(3) Dengan Fout=k.Fref. Fref adalah resolusi frekuensi yang juga merupakan frekuensi minimum yang dapat dihasilkan jika menggunakan referensi Fref. Fref sama dengan . Sehingga: .....(4) Nilai frekuensi keluaran yang diberikan oleh persamaan (4) juga disebut dengan DDS Tuning Equation. Substitusi persamaan (4) ke persamaan (2) dengan dan t=nTref akan menghasilkan : ..... (5) Deretan sampel tergantung dengan besarnya (n) dan (k). Dalam persamaan diatas (n) sebagai indeks waktu dan (k) sebagai indeks frekuensi. Dengan nilai (k) tetap dan nilai (n) berubah akan memperoleh alamat untuk sampel pada frekuensi tertentu. Tetapi jika besarnya nilai (k) dirubah dan nilai (n) tetap, akan diperoleh sampel yang berbeda, yaitu sesuai dengan frekuensi yang berbeda. Parameter inilah yang menyebabkan terdapat 2 cara perubahan frekuensi untuk sistem DDS [4]. Keluaran accumulator merupakan korelasi antara frekuensi yang diinginkan dengan clock dalam bentuk phase ramp. Keluaran ini selanjutnya akan menjadi masukan bagi blok ROM atau lookup table. Keluaran dari phasa accumulator adalah seperti seperti pada gambar 8.
Gambar 8. Keluaran Phase Accumulator Sine lookup Table Komponen kedua DDS adalah memori yang menyimpan pemetaan transformasi linier . Karena sinyal keluaran dengan kualitas tinggi memerlukan lebih banyak bit untuk mendefinisikan , maka dibutuhkan memori yang lebih besar. 12
Terdapat beberapa teknik implementasi untuk ROM ini. Teknik pertama adalah implementasi penuh PROM untuk 4 kuadran sebesar 360o. Teknik ini memerlukan memory yang sangat besar. Teknik yang kedua adalah hanya mengimplementasikan satu kuadran sebesar 90o, sedangkan untuk kuadran lain dilakukan operasi pembalikan dan pencerminan terhadap kuadran pertama. Pembalikan dilakukan oleh sinyal sign dan pencerminan dilakukan oleh sinyal quad. Hal ini dapat dilaksanakan karena informasi seluruh kuadran sudah terkandung pada kuadran pertama. Jika keluaran yang dibutuhkan harus memiliki kecepatan tinggi maka memori hanya memiliki waktu akses sedikit. Tetapi karena memori merupakan rangkaian paling lambat pada rangkaian sistem, maka diperlukan pendekatan (cara) lain untuk memperoleh efisiensi dan efektifitas. Cara pertama adalah dengan melakukan multipleks sebesar N memori, sehingga setiap satu memori hanya beroperasi pada 1/N kecepatan clock sistem. Cara kedua adalah mengeksploitasi sifat monoton fungsi sinus, sehingga ukuran memori dapat dikecilkan menjadi 1/50 kali. Pada cara kedua ini melibatkan DSP (Digital Signal Processing). Sehubungan dengan pengaturan frekuensi, dengan mengakses semua alamat PROM yang dikendalikan MSB, quad dan sign dengan kenaikan sebesar satu maka akan diperoleh frekuensi dasar. Frekuensi yang merupakan kelipatan tidak bulat dari frekuensi dasar akan dihasilkan, apabila tidak semua alamat ROM dicacah. Dalam hal ini selang alamat yang dicacah tidak bernilai satu. Suatu sistem DDS yang kompleks dilengkapi dengan kemungkinan untuk modulasi amplituda, frekuensi, dan fasa secara digital. Masukan blok LUT ini dapat dimodulasi amplituda. Sehingga keluaran blok ini sudah dianggap keluaran sistem DDS dalam format digital. Adapun keluaran dari sine lookup table adalah pada gambar 9.
Gambar 9. Keluaran Sine lookup Table Digital to Analog Converter (DAC) Bagian terakhir yang menjadi rangkaian DDS adalah bagian yang melakukan perubahan dari sinyal digital menjadi sinyal analog untuk dapat digunakan dalam domain analog. Untuk memperoleh laju clock yang lebih tinggi dapat dilakukan dengan multipleks pada bagian logika dan memori, namun DAC akan membatasi unjuk kerja sistem. DDS dibatasi pada frekuensi yang cukup rendah. Frekuensi tertinggi berkaitan dengan frekuensi clock yang mampu diberikan kepada rangkaian. Pada metode DDS juga memiliki derau yang lebih besar dari metode lain. Maka untuk memperoleh keaslian spektrum yang lebih baik diperlukan proses filter pada output dengan menggunakan LPF ( Low Pass Filter ) yang tepat. 13
Disain Rancangan a) Komponen Utama DDS Pada kegiatan ini, pembuatan disain rangkaian DDS menggunakan teknologi yang terakhir dikeluarkan oleh Analog Device, yaitu produk komponen terintegrasi AD9956 yang didalamnya terdapat rangkaian DDS dan Phase Lock Loop (PLL). Komponen ini memiliki spesifikasi teknis utama sebagai berikut: a) 400 MSPS internal DDS clock speed b) 48‐bit frequency tuning word c) 14‐bit programmable phase offset d) Integrated 14‐bit DAC e) 1.8 V supply for device operation Diagram blok komponen AD9956 selanjutnya dapat dilihat seperti pada gambar 10. Mengingat keperluan disain yang akan mengoperasikan DDS pada frekuensi luaran 160 MHz, dari system clock maksimum 400 MHz, maka komponen ini sesuai dengan keperluan system radar FMCW. Disamping itu, system clock ini dapat diperoleh dari sinyal masukan RF hingga 2,4 GHz.
Gambar 10. Fungsi‐fungsi dalam komponen AD9956
b) Disain Rangkaian Disain rangkaian DDS selanjutnya diperlihatkan seperti pada gambar 11 dan 12, sedangkan gambar 13., adalah bentuk disain PCB yang dibuat berbantukan Protel.
14
Gambar 11. Disain Rangkaian DDS
15
Gambar 12. Disain Rangkaian DDS
16
Gambar 13. Disain PCB
17
Realisasi Rancangan Pada Papan PCB Selanjutnya rangkaian DDS dibuat pada papan PCB dalam konstruksi multilayer, seperti diperlihatkan pada gambar 14.
Gambar 14. Realisasi Rangkaian DDS Pada Papan PCB
18
Realisasi Perangkat Lunak Perangkat lunak DDS direalisasikan pada PC dengan menggunakan bahasa pemrograman C. Pada dasarnya disain perangkat lunak ini bertujuan untuk mengatur DDS agar menghasilkan sinyal luaran yang berfariasi pada rentang frekuensi tertentu. Bentuk tampilannya dapat dilihat seperti pada gambar 15 dan 16. Pada gambar 15., perangkat lunak direalisasikan untuk aplikasi Jammer, sedangkan pada gambar 16., untuk aplikasi pembangkitan sinyal pada system radar FMCW.
Gambar 15. Aplikasi DDS untuk Jammer.
19
Gambar 16. Aplikasi DDS untuk Pembangkitan Sistem Radar FMCW Pengukuran Awal Kinerja DDS DRO 9 GHz 1 GHz Pembagi 9
50 MHz
DDS
Pengaturan DDS
20
Gambar 17. Pengukuran Awal Prototype DDS
Pada pengukuran awal seperti yang diperlihatkan pada gambar 17., ini masukan sinyal diambil dari sebuah DRO yang bekerja mengeluarkan sinyal dengan frekuensi ± 9 GHz, kemudian dengan bantuan pembagi 9 maka dihasilkan sinyal dengan frekuensi lebih rendah yaitu ± 1 GHz, frekuensi inilah yang menjadi masukan bagi masukan master clock pada DDS. Karena master clock pada komponen DDS ini maksimum dapat menghasilkan luaran hingga 400 MHz, maka perlu diatur pembagi internal didalamnya sehingga luaran master clock kurang dari harga maksimumnya, Pada percobaan ini tingkat pembagi maksimum (8) digunakan, yaitu dengan merubah parameter pembagi melalui program pengendali (program pengendali dapat merubah pembagi internal DDS dengan terlebih dahulu mengkoneksikan DDS dengan perangkat antar muka yang tepat melalui USB pada PC) sehingga diperoleh luaran master clock sebesar 135,417 MHz. Frekuensi ini selanjutnya menjadi system clock atau frekueensi masukan pada mekanisme DDS. Selanjutnya jika dikehendaki luaran DDS adalah ± 50 MHz (dengan cara memasukan nilai 50 MHz pada box profil 0), maka prototype rangkaian DDS kurang lebih telah menunjukkan luaran yang sesuai, dan diperlihatkan seperti pada gambar 18.
21
Gambar 18. Luaran DDS
22
Pengukuran Lanjutan Pengukuran lanjutan DDS dilakukan dengan memberikan masukan sinyal analog sebagai sumber clock dan mengatur konfigurasi kerja DDS sehingga menghasilkan sinyal luaran dengan frekuensi yang diinginkan. Adapun metoda pengukuranya dapat dilihat seperti pada gambar 19. Sebagai contoh, untuk masukan sinyal 400 MHz, dengan level daya ‐4 dBm, dan DDS dikonfigurasi agar menghasilkan sinyal luaran 150 MHz, maka sinyal luaran tersebut terbaca oleh spectrum analyzer seperti yang ditunjukan pada gambar 20. Dimana sinyal tersebut memiliki level daya ‐8,48 dBm dan nilai frekuensi 150,3 MHz. Jika level daya sinyal masukan dikurangi hingga mencapai ‐23 dBm, luaran sinyal yang dihasilkan masih terlihat baik. Akan tetapi, jika terus diturunkan maka terlihat level noise yang cenderung meningkat. Kondisi ini tidak terjadi jika frekuensi sinyal masukan lebih besar dari 1 GHz, hingga mencapai 2,4 GHz. Dengan konfigurasi DDS yang sama, minimum level input yang masih menghasilkan sinyal luaran yang baik adalah – 15 dBm.
23
Gambar 19. Skema Pengukuran Kinerja Prototype DDS
Spectrum Analyzer PC
Configuration Signal
Output Signal
+ 1,8 Vdc
Power Supply
Gnd
Prototype DDS
RF input
Signal Generator
+ 3,3 Vdc
24
Gambar 20. Bentuk Spektrum Daya Sinyal Luaran DDS
Level daya luaran untuk sinyal masukan 400 MHz dan level daya – 10 dBm juga tidak selamanya sama. Pada gambar 21., diperlihatkan level daya yang dihasilkan untuk setiap frekuensi luaran yang dibangkitkan.
Gambar 21. Level Daya Luaran vs Frekuensi Sinyal luaran (untuk sinyal masukan ‐ 10 dBm dengan frekuensi 400 MHz) Masih dengan sinyal masukan yang sama, nilai frekuensi luaran yang dihasilkan prototype DDS memiliki simpangan maksimum 0,5 MHz dan minimum 0,3 MHz., seperti yang diperlihatkan pada gambar 22.
25
Gambar 22. Simpangan Frekuensi Luaran Terukur OUTPUT (rencana sesuai yg tercantum dalam proposal) No Output Rencana Realisasi Capaia n (%) Jurnal Nasional 1 0 80% 1 Prototipe, desain, konsep sosial yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat dan pengakuan LIPI
1
1
100%
Keterangan Masih dalam penyelesaian Pengukuran kinerja masih terus dilakukan, disamping memperbaiki kekurangan yang muncul saat pengukuran tersebut.
5. KENDALA DAN PERMASALAHAN Pembuatan disain rangkaian pada papan PCB multilayer dan pengadaan komponen harus dilakukan di luar negeri hal ini berakibat pada waktu dan biaya. (Usulan yang perlu dilakukan adalah memberikan keringanan pajak bea masuk komponen dari luar negeri untuk keperluan penelitian). Perubahan/pemotongan anggaran kegiatan dapat terjadi ditengah‐tengah berlangsungnya kegiatan, sehingga dapat mempengaruhi rencana yang telah dilakukan diawal kegiatan. Sedangkan peralatan untuk pengukuran (osciloscope dan spectrum analyzer) meski bisa didapatkan di laboratorium bidang sarana telekomunikasi PPET‐LIPI, namun jumlah alat ukur yang tersedia masih minimum, sehingga terkadang harus menunggu kesempatan.
26
6. KESIMPULAN Kegiatan disain dan realisasi DDS telah dilakukan. Secara keseluruhan meski beberapa kendala muncul dalam tahapan kegiatannya, namun masih dapat diatasi, sehingga kegiatan dapat berjalan sesuai dengan jadwalnya. 7. DAFTAR PUSTAKA [1] “A Technical Tutorial on Digital Signal Synthesis”, Analog Devices, 1999. [2] Baracskai, Melinda. Horvart, Richard. Dr. Olah, Ferenc. “CW and FM‐CW Radar Adaptation for Vehicles Technology”, 2000. [3] Crawford,James. “Frequency Synthesizer Design Handbook”. London : Artect House, 2004. [4] Gentile, Ken. Brandon, David. Haris, “Direct Digital Synthesizer Primer”, 2003. [5] Khrisnan, Sudarsan.,“Modeling and Simulation Analysis of an FMCW Radar for Measuring Snow Thickness”. Thesis : University of Madras, 2000. www.ittc.ku.edu/research/thesis/documents/ sudarsan_krishnan_thesis.pdf [6] “FMCW Radar Overview”. Engineer Research and Development Center : US Army Corps of Enginer, Koh. 2001. www.nohrsc.nws.gov/~cline/clp/meetings/boulder_nov01/ presentations/koh_fmcw.ppt [7] Matlab R2007a, help. Filter, copyright 1984‐2007. [8] Murphy, “All About Direct Digital Synthesizer”. Analog Dialogue. http://www.analog.com/analogdialogue, Eva. 2004. Prentiss, Dylan. “Characteristics of Radar”. Department of Geography : University of California, 2005.
27
Rancang Bangun Modul Surya Berbasis Dye‐Sensitized Solar Cell
Lia Muliani Pranoto, ST.,MT
28
LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan Penelitian 2. 3. 4. 5. 6.
Kegiatan Prioritas Peneliti Utama Nama Jenis Kelamin Sifat Penelitian Lama Penelitian Biaya Total 2013
Ketua PME PPET LIPI,
Dr. Purwoko Adhi, DEA NIP. 19670911 198701 1 001
: : : : : : : :
Rancang Bangun Modul Surya Berbasis Dye‐ Sensitized Solar Cell Solar Cell Lia Muliani Pranoto, ST.,MT Wanita Laboratorium 3 (Tiga) Tahun Rp. 194.436.000,‐
Bandung, 20 Desember 2013 Peneliti Utama
Lia Muliani Pranoto, ST.,MT NIP. 19710325 199903 2 005
29
Abstrak Modul surya berbasis Dye‐sensitized solar cell (DSSC) merupakan integrasi dari beberapa sel surya DSSC yang terhubung secara seri untuk menghasilkan output daya yang lebih besar. DSSC adalah sel surya generasi baru yang dibentuk melalui proses mekanisme photoelectrochemical, dimana proses absorbsi cahaya dilakukan oleh molekul dye dan proses separasi muatan oleh bahan inorganik semikonduktor berstruktur nano. Pembuatan modul surya berbasis DSSC ini merupakan teknologi baru dan menjanjikan biaya produsi yang relatif rendah dibanding dengan pembuatan modul surya dengan bahan silikon. Teknologi yang akan digunakan dalam pembuatan modul surya DSSC pada kegiatan ini adalah screen printing, yaitu teknologi untuk mendeposisikan bahan‐bahan berupa pasta ke atas substrat melalui pola pada screen. Pasta yang digunakan pada penelitian ini adalah nanocrystalline TiO2, sedangkan substrat yang digunakan adalah TCO glass. Metode interkoneksi antar sel yang akan dibangun adalah berupa rangkaian seri yang terintegrasi secara internal mengikuti pola interkoneksi tipe‐Z. Proses pembuatan DSSC ini akan dilakukan secara bertahap di PPET LIPI selama 3 tahun. Tahun 2013 merupakan tahun pertama telah dilakukan perancangan disain modul DSSC berukuran 5x10 cm2 dengan interkoneksi seri tipe Z dan telah dilakukan uji coba pembuatan modul surya. Tahun kedua (2014) direncanakan realisasi pembuatan modul surya berukuran 5x10 cm2 serta optimalisasi disain sel dan parameter proses fabrikasinya. Sedangkan pada tahun 2015 akan dilakukan scale up modul surya DSSC berukuran 10x10 cm2 dan diharapkan dapat mencapai efisiensi 3%. Penelitian tahun 2013 telah menghasilkan disain modul surya interkoneksi seri tipe Z yang memiliki 3 buah sel tunggal ukuran 1x9,8 cm (total area aktif 3x9,8 cm2) dengan efisiensi konversi 0,77% ; daya maksimum 10,49mW ; tegangan Voc 1,87V dan arus Isc 10,51 mA. Kegiatan penelitian rancang bangun modul surya dye‐sensitized solar cell masih harus dilanjutkan dan ditingkatkan serta diharapkan mampu menunjang program pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang energi baru dan terbarukan dengan pengembangan material sel surya berstruktur nano. Kata kunci : Modul Surya, Dye‐Sensitized Solar Cell, Screen Printing, Interkoneksi seri tipe Z
30
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatkan kebutuhan energi di dunia, menjadi suatu tantangan bagi para ilmuwan, peneliti dan industri untuk melakukan penelitian dan pengembangan pengadaan sumber energi alternative baru dan terbarukan. Energi cahaya dan panas yang dihasilkan oleh matahari merupakan sumber energi hayati terbesar di dunia, sehingga matahari tidak kalah penting dengan berbagai sumber energi lain seperti angin, air, minyak bumi, dan lain sebagainya. Sel surya merupakan suatu divais yang secara langsung mengubah energi cahaya matahari menjadi energi listrik. Penggunaan sel surya di dunia sebagai pembangkit energi listrik tenaga surya mengalami lonjakan kebutuhan yang relatif tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya kapasitas produksi sel surya secara global, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 1. Grafik tesebut menunjukkan peningkatan signifikan terhadap permintaan pasar dunia akan ketersediaan modul surya (PV module). Tingginya permintaan tersebut diyakini akan terus meningkat di masa datang. Hal ini mengindikasikan pentingnya penguasaan teknologi pembuatan modul surya di Indonesia
Gambar 1. Grafik peningkatan produksi sel surya global1.
Penelitian dan pengembangan proses sel surya di dunia saat ini masih didominasi oleh sel surya berbahan silikon single crystalline maupun polycrystalline. Namun sel surya silikon ini harganya masih relatif mahal, sehingga berbagai usaha untuk mencari teknologi alternatif untuk pengembangan yang memiliki potensi harga relatif murah. Saat ini kecenderungan pengembangan teknologi proses sel surya mengarah pada teknologi struktur nano, baik pengembangan rekayasa bahan ataupun material. Pengembangan rekayasa bahan atau material skala nanometer telah membangkitkan sebuah sel surya jenis baru yang dapat merealisasikan sel surya biaya rendah di masa yang akan datang. Bahan‐bahan ini meliputi sebagai 1
Sumber: 29th Annual PV production data collection by GMT Research
31
bahan‐bahan organik dan nano partikel inorganik, termasuk didalamnya Dye‐ Sensitized Solar Cell (selanjutnya disingkat DSSC) Perkembangan divais sel surya jenis DSSC bermula dari hasil penelitian Michael Gratzel dan rekannya dari Laboratorium Photonic dan Interface EPFL Switzerland di awal tahun 1990‐an. Konsep ini cukup mendapat perhatian sebagai teknologi masa depan sebagai alternatif sel surya konvensional berbasis silikon dikarenakan proses fabrikasinya yang cukup mudah dan bahan yang relatif murah. Selain itu, dengan tampilannya yang cukup estetis, modul sel surya jenis inipun semakin disukai sebagai elemen dekoratif khususnya untuk Building Integrated Photovoltaics (BIPV) sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar 2. Contoh aplikasi modul DSSC pada Building Integrated Photovoltaics (BIPV) [2]. Teknologi yang digunakan dalam fabrikasi modul surya DSSC umumnya adalah teknologi screen printing. Hal ini dikarenakan teknologi tersebut relatif mudah diterapkan, murah dan cenderung repeatable, sehingga untuk produksi skala besar teknologi ini dapat diandalkan. Material pendukung untuk proses fabrikasi DSSC dengan screen printing sudah banyak tersedia di pasaran Indonesia. Berdasarkan hal tersebut di atas serta didukung tersedianya sarana dan prasarana yang lengkap dan sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi teknologi proses yang baik, PPET–LIPI mencoba turut mengatasi permasalahan untuk melakukan penelitian dan pengembangan energi alternatif baru dan terbarukan melalui follow up pengembangan struktur nano dalam kegiatan penelitian kami sebelumnya, yaitu pembuatan sel surya DSSC menggunakan teknik screen printing [3]. Teknologi fabrikasi DSSC dengan teknologi screen printing ini lambat laun diharapkan akan mampu diterapkan untuk diproduksi pada tingkat industri menegah atau bahkan industri rumahan apabila didukung dengan penyuluhan secara terus menerus. Kegiatan ini sesuai dengan Renstra PPET‐LIPI dan LIPI secara umum yaitu program Energi baru dan terbarukan. 1.2 Perumusan Masalah Dalam kegiatan ini akan dikembangkan teknologi pembuatan modul surya berbasis DSSC menggunakan sistem screen printing yang merupakan salah satu jenis teknologi fabrikasi yang relatif sederhana dan murah. Pokok permasalahan yang akan diteliti pada kegiatan ini adalah hal‐hal yang terkait dengan perancangan modul 32
berdasarkan penguasaan teknologi pembuatan sel yang sudah diteliti pada kegiatan penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, beberapa permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut: a. Pengaruh pola dimensi area aktif sel terhadap performa modul secara keseluruhan. b. Pengaruh metode interkoneksi antar sel dalam satu modul. c. Optimalisasi disain modul. d. Optimalisasi parameter proses fabrikasi modul. 1.3 Tujuan dan Sasaran Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menguasai teknologi fabrikasi modul berbasis sel surya jenis dye sensitized menggunakan teknologi screen printing. Kegiatan ini merupakan follow up dari kegiatan penelitian kami sebelumnya yang bertujuan untuk menguasai teknologi pembuatan nanocrystalline TiO2 dye‐sensitized solar cell menggunakan teknologi yang sama, yaitu screen printing. Melalui penguasaan teknologi pembuatan modul, diharapkan sel surya jenis dye sensitized ini nantinya dapat diaplikasikan untuk kebutuhan energi pada skala yang lebih besar. Sasaran Sasaran kegiatan penelitian penelitian ini adalah penguasaan teknologi pembuatan modul surya berbasis dye‐sensitized solar cell, yang direalisasikan melalui perancangan disain dan fabrikasi modul. Secara umum, hasil kegiatan penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan konstribusi ilmiah dalam menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya menunjang program pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang energi baru dan terbarukan. Keluaran / Output dari penelitian ini : ‐ disain modul surya ‐ publikasi jurnal nasional 1 buah ‐ publikasi seminar nasional/internasional 1 buah 1.4 Kerangka Analitik Dye‐Sensitized Solar Cell Dye‐Sensitized Solar Cell (DSSC) merupakan sel surya generasi baru yang dibentuk melalui mekanisme photoelectrochemical. Perkembangan divais ini bermula dari hasil penelitian Michael Gratzel dan rekannya dari Laboratorium Photonic dan Interface EPFL Switzerland di awal tahun 1990‐an. Sel surya pertama yang dikembangkan oleh O’Regan dan Gratzel tahun 1991 menghasilkan konversi energi efisiensi hingga 7%, dan di tahun 1993 Nazeeruddin dan kawan menghasilkan efisiensi sebesar 10 %[4,5]. Struktur dasar DSSC dapat dilihat pada gambar 3. Secara umum DSSC terdiri atas dua substrat berupa transparent‐conducting‐oxide (TCO‐glass), TiO2, dan larutan elektrolit yang terisi diantara kedua substrat. Substrat bagian atas dilapisi oleh molekul dye yang terikat pada pori‐pori partikel nanokristal TiO2, yang berfungsi untuk menyerap cahaya. Substrat ini kemudian disebut sebagai kutub negative
33
(anoda). Sedangkan substrat TCO glass kedua, disebut kutub positif (katoda), dilapisi oleh platinum (Pt) dan berfungsi sebagai counter electrode.
Gambar 3. Skema struktur Dye‐Sensitized Solar Cell [6] Prinsip kerja DSSC pada dasarnya merupakan reaksi reduksi‐oksidasi (redox) dengan tahapan reaksi sebagai berikut: ‐ Energi photon yang diserap oleh molekul dye mengakibatkan electron tereksitasi dari orbit terluar (highest occupied molecular orbital – HOMO) D menuju orbit terdalam (lowest unoccupied molecular orbital – LUMO) D* : D + hυ → D * (1) Elektron tersebut kemudian diinjeksikan ke conduction band TiO2 meninggalkan molekul dye teroksidasi D+ sesuai persamaan berikut: (2) D* → D + + e − ‐ Elektron yang terinjeksi mengalir melalui pori‐pori TiO2 menuju TCO glass sebagai elektroda negatif dan kemudian bergerak melalui external load menuju elektroda positif yaitu counter electrode. Dengan adanya platinum sebagai katalisator, elektron tersebut berekombinasi dengan hole yang terdapat dalam elektrolit dan membentuk muatan negatif iodine. (3) I 3− + 2e − → 3I − Muatan negatif I − kemudian berdifusi kembali menuju dye dan bereaksi dengan molekul dye teroksidasi D+ membentuk satu siklus yang akan berulang kembali dan demikian seterusnya. 3I − + 2 D + → I 3− + 2 D (4) Modul DSSC Modul surya merupakan rangkaian beberapa sel yang dihubungkan secara seri. Pada sel surya konvensional berbasis silikon, modul surya merupakan rangkaian seri terdiri atas beberapa sel individual yang terhubung secara eksternal. Sedangkan pada sel surya thin film (berbasis a‐Si, CIS, atau CdTe), modul surya terbuat dari beberapa sel yang terintegrasi secara internal pada substrat yang sama (lihat gambar 4 sebagai perbandingan). Modul DSSC sendiri pada umumnya dibuat dengan sistem integrasi internal, sama halnya dengan modul surya thin film. Struktur integrasi internal tersebut lebih efisien dan secara ekonomis dapat menghemat biaya produksi dibanding sistem pembuatan modul eksternal.
34
a. b. Gambar 4. Contoh modul surya: a. terkoneksi secara eksternal ; b. terkoneksi secara internal dalam satu substrat. Faktor‐faktor yang perlu diperhatikan dalam mendisain modul surya DSSC secara internal adalah sebagai berikut [7]: 1. Pengaruh efek shading pada sel. 2. Resiko terjadinya electrophoresis akibat kebocoran elektrolit. 3. Efek resistansi shunt (RSH) yang dapat berpengaruh secara electrolytical, bukan hanya secara electrical seperti halnya pada sel surya silikon. Berdasarkan metode pembuatan interkoneksinya, terdapat 3 tipe rangkaian integrasi seri yang dapat digunakan untuk membangun modul surya DSSC [8]. Ketiga metode tersebut dapat dibuat menggunakan teknologi screen printing. Metode tersebut adalah: Koneksi tipe‐Z Metode interkoneksi tipe‐Z diawali dengan pembuatan pola lubang TCO diatas substrat glass menggunakan laser, kemudian diikuti dengan pelapisan TiO2 dan perak pada satu substrat serta pelapisan Pt dan perak pada substrat lainnya. Proses ini diikuti dengan proses pelapisan glass frit. Setelah melalui proses sintering, kedua substrat disatukan pada suhu tinggi sehingga terbentuk hermetic seal diantara sel‐sel yang bersebelahan. Pada saat seal tersebut terbentuk, terjadilah hubungan listrik interkoneksi seri antar sel yang berbentuk Z (lihat gambar 5 untuk skema tahapan prosesnya).
35
Gambar 5. Tahap fabrikasi interkoneksi tipe‐Z dari tampak samping [7,8]. Koneksi tipe‐W Proses awal pembentukan tipe W serupa dengan tipe Z. Perbedaan tipe W dengan tipe Z terletak pada pola screen printing pada masing‐masing substrat. Pada tipe W, masing‐masing substrat berfungsi sebagai front electrode dan counter electrode sekaligus karena kedua substrat mendapat pelapisan TiO2 dan Pt dengan struktur berselang seling (lihat Gambar 6). Pada tahap interkoneksi akhir, kedua substrat disatukan dengan pembentukan seal sebagai pembatas antar sel, tanpa adanya perak sebagai penghubung seperti halnya pada tipe Z. Kontak antar sel terbentuk dengan cara menyatukan kedua substrat pada bagian front electrode dan counter electrode yang saling berlawanan.
Gambar 6. Tahap fabrikasi interkoneksi tipe‐W dari tampak samping [7,8]. Keunggulan interkoneksi tipe‐W dibanding tipe‐Z adalah tidak dibutuhkannya pasta perak, sehingga lebih menghemat biaya produksi. Akan tetapi, konfigurasi interkoneksi tipe‐W mengakibatkan tidak dimungkinkannya penambahan lapisan tambahan untuk penyerapan cahaya yang tidak transparan, seperti ZrO2, dikarenakan pada kedua substrat terdapat elektroda sehingga keduanya harus bersifat transparan.
36
Koneksi Monolithic Seperti halnya kedua tipe sebelumnya, perbedaan tipe monolithic ini terdapat pada pola pelapisan substrat. Bedanya, tipe monolithic hanya membutuhkan satu substrat glass yang terlapisi TCO (lihat gambar 7). Hal ini sangat menguntungkan secara ekonomis dikarenakan harga TCO glass yang relatif mahal. Sedangkan kelemahan tipe monolithic ini adalah dibutuhkannya elemen ZrO2 sebagai pemisah anoda dan katoda, serta dibutuhkannya graphite sebagai penghubung seri antar sel. Hal tersebut merupakan factor penghambat karena pembentukan koneksi seri dengan resistansi rendah menggunakan graphite relatif sulit untuk direalisasikan.
Gambar 7. Tahap fabrikasi interkoneksi tipe monolithic dari tampak samping [7.8]. Karakterisasi Modul Surya Dalam pengukuran sebuah komponen sel maupun modul surya, karakteristik yang diperlukan adalah Kurva I‐V atau hubungan arus dan tegangan, seperti yang diperlihatkan dalam gambar 8.
Gambar 8. Kurva hubungan Arus dan tegangan sebuah sel surya Parameter‐parameter dari kurva tersebut adalah : 1. Arus hubung singkat (ISC) dapat dilihat dalam kurva dan sekaligus tegangan hubung terbuka (VOC). Arus hubung singkat dilihat pada saat tegangan V=0 dan Tegangan hubung terbuka dilihat pada saat arus sama dengan nol (I=0).
37
2. Daya keluaran maksimum diperoleh dari hasil kali tegangan dan arus yang dihasilkan pada titik maksimum, seperti telihat pada kurva I‐V di atas. 3. Efisiensi (η) merupakan ratio dari daya keluaran maksimum (Pmax) terhadap daya masukan cahaya (Pin) P (5) η = max Pin 4. Fill Factor adalah ratio daya keluaran maksimum (Pm) terhadap produk arus hubung singkat (ISC) dengan tegangan hubung terbuka (VOC). P (6) FF = max VOC I SC Fill factor ini untuk melihat penyimpangan yang terjadi dari karakteristik I‐V sebuah sel terhadap sel yang ideal. Penyimpangan yang terjadi ini diakibatkan pengaruh resistansi seri dan resistansi paralel. 1.5 Hipotesa Integrasi sel surya jenis DSSC ke dalam bentuk modul telah diteliti oleh beberapa narasumber, termasuk oleh Späth et. Al. [9] dan Okada et. Al. [10] yang telah berhasil memfabrikasi modul surya DSSC berukuran 10x10 cm2 menggunakan interkoneksi tipe‐Z. Selain itu, berbagai modul surya DSSC serupa dengan ukuran yang lebih besar juga telah dibuat dan dipublikasikan oleh beberapa peneliti, seperti contohnya Sastrawan et. Al. Dengan modul surya ukuran 30x30 cm2 [11] dan Dai et. Al. dengan modul surya ukuran 40x60 cm2 [12]. Kestabilan perfoma modul surya DSSC jangka panjang juga merupakan faktor penting. Hal inipun telah diteliti dan terbukti mampu menghasilkan output daya sesuai yang diharapkan dalam kurun waktu setengah tahun [13]. Beberapa hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa rancang bangun modul surya berbasis DSSC adalah hal yang dapat direalisasikan. Selain itu perancangan modul surya DSSC juga sangat mungkin untuk dikembangkan lebih lanjut karena banyak faktor baik dari segi material maupun teknologi fabrikasi yang dapat diteliti mengingat teknologi DSSC sendiri masih relatif baru dibanding kompetitornya yaitu sel surya konvensional berjenis silikon. Pada kegiatan ini disain modul yang efektif dan parameter proses yang optimal akan diteliti untuk menghasilkan proses fabrikasi yang repeatible sehingga didapatkan modul surya dengan karakteristik listrik yang baik dan efisiensi yang tinggi. Faktor yang juga tak kalah penting untuk dioptimalkan adalah pemilihan material hermatic sealing yang tepat untuk mendukung performa kerja modul surya dalam jangka panjang. 38
II.
PROSEDUR DAN METODOLOGI
2.1 Peralatan Peralatan yang digunakan meliputi peralatan proses dan peralatan pengukuran. Beberapa peralatan utama meliputi screen printer, conveyor furnace, sun simulator, laser trimmer dan sputtering system (Gambar 9). Peralatan pendukung lainnya seperti four point probe, screen maker, timbangan, mutimeter,alat ukur intensitas cahaya, peralatan bor mekanik, hot plate, peralatan kimia seperti petri disk, pipet, gelas kimia dll. Peralatan analisa material seperti SEM, XRD, UV‐Vis Spectrofotometer, IPCE menggunakan jasa kerjasama dari instansi lain.
(a) (b) (c)
(d) (e) Gambar 9 : Peralatan proses screen printer (a), conveyor furnace (b), sun simulator (c), sputtering system (d) dan laser trimmer (e) 2.2 Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : - TEC15 Glass, TEC8 Glass - Pasta TiO2, DSL 18 NR‐AO, DSL NT - Larutan Electrolit HSE - Dye, Z907
39
-
Pasta Perak temperatur rendah Pasta Platinum Pt‐1, produk Dyesol Thermoplastik surlyn 50 µm, Glass Frit Nylon Screen, stainless steel screen, ulano line 300, ulano 188 Etanol, IPA, silicon rubber, Triton X‐100 2.3 Metodologi Kegiatan ini seluruhnya dilakukan di laboratorium Bahan dan Komponen Mikroelektronika PPET‐LIPI. Untuk kegiatan analisa seperti SEM, XRD, UV‐VIS dan IPCE dilakukan di laboratorium di luar PPET‐LIPI antara lain ITB dan UNS. Rancangan modul dibangun menggunakan sel dengan pola strip dengan interkoneksi tipe‐Z. Teknologi fabrikasi yang digunakan adalah teknologi screen printing. Struktur sel yang dibangun akan menggunakan bahan utama semikonduktor berupa nc‐TiO2 dengan counter electrode dilapisi platinum (Pt). Sedangkan substrat yang akan dipakai adalah TCO glass berbahan fluorine‐tin‐oxide (FTO) yang paling umum digunakan untuk membangun sel surya DSSC, dikarenakan FTO memiliki resistansi yang lebih stabil pada proses bersuhu tinggi dibanding kompetitornya yaitu indium‐tin‐oxide (ITO). Skema proses pembuatan modul surya DSSC ditunjukan pada gambar 10. Kegiatan yang dilakukan pada tahun 2013 meliputi : o Pembuatan disain modul dan perancangan screen untuk proses printing. o Pembuatan sel tunggal dengan luas aktif 1x9,8 mm o Percobaan pembuatan modul ukuran 5x10 cm2 dengan tipe Z interkoneksi, (luas area aktif 3x9,8 cm) o Pengukuran dan analisa hasil karakterisasi proses
40
.
Persiapan Substrat
menggunakan laser/etsa Pembuatan pola TCO Pengeboran substrat Persiapan/pencampuran pasta Pelapisan pasta Pt, glass frit, Pelapisan pasta TiO2, glass Sintering dan Drying dan perak pada counter frit, dan perak pada front electrode electrode Assembly (penyatuan substrat) Pewarnaan Pengisian elektrolit Sealing Pembentukan electric contact Pengukuran dan Analisa Gambar 10. Skema proses fabrikasi modul DSSC III.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tahun 2013 merupakan tahun pertama penelitian rancang bagun modul surya dye sensitized solar cell dengan teknologi screen printing. Pada tahun ini kegiatan penelitian yang dilakukan adalah disain rangkaian modul DSSC, percobaan pembuatan sel tunggal 1 x 9,8 cm dan percobaan pembuatan modul surya dengan luas efektif sel 3x9,8 cm. 3.1 Disain Rangkaian Modul DSSC Sub‐modul DSSC dibuat dengan tiga buah grid (sel tunggal) dengan ukuran sel masing‐masing sebesar 1 x 9,8 cm. Interkoneksi antar grid menggunakan tipe‐Z yaitu sel tunggal yang disusun secara seri dengan interkoneksi secara internal. Disain
41
rangkaian dibuat dengan menggunaan Corel Draw, seperti ditunjukkan pada Gambar.11 Disain rangkaian sub‐modul DSSC memiliki beberapa pola rangkaian untuk membentuk suatu rangkaian sub‐modul. Dalam pembuatan disain pola rangkaiannya alligment antar pola harus presisi, sehingga nantinya dapat memudahkan dalam proses pembuatan sub‐modul dan menghasilkan divais sub‐modul yang memiliki performa yang baik
W seal = 1mm
W Ag = 0.5 mm
100 mm
w active area = 10 mm
Laser scribed line Glass FTO Ag
TiO2 Platina
Seal FTO
Glass
Gambar 11. Disain sub‐modul tiga buah grid dengan interkoneksi tipe‐Z Parameter listrik (Voc, Isc, FF, η) dan karakteristik kurva I‐V sub‐modul DSSC dipengaruhi oleh parameter internal dan parameter ekternal. Parameter internal dapat bervariasi dipengaruhi oleh material dan proses fabrikasinya. Sedangkan parameter eksternal ditentukan oleh dimensi dan resistansi seri yang terjadi. Parameter ekternal ditentukan berdasarkan literatur dan hasil penelitian sebelumnya [14] dan ditunjukkan pada tabel 1. Tabel.1 Parameter Eksternal sub‐modul DSSC yang terdiri dari 3 sel Parameter Description Value Wa width of active area 10 mm Distance from end of Wd (Wseal) active are to series 1 mm contact Wc (WAg) Width of contact area 0.5 mm (4 Wd + 2Wc) Width of inactive area 5 mm L Length of cell 98 mm Specific sheet ρTCO 15 Ω/□ resistance of TCO Untuk menghasilkan disain sub‐modul DSSC seperti pada gambar 11 tersebut, maka dibuat pola rangkaian screen untuk tahapan prosesnya. Pola rangkain tersebut Seri connected
42
yaitu pola fotoelektroda TiO2, counter electrode (Pt), dan kontak konduktor (Ag) dan pola untuk sealing (glas frit) seperti ditunjukkan pada gambar.12 Cuting TCO 22.029mm
50 mm 13.727mm
14.244mm
TiO2
Silver
100mm
Pola keseluruhan
Platina
Glass Frit
Gambar 12. Rancangan untuk pola screen untuk rangkaian sub‐modul DSSC Screen yang digunakan untuk pola TiO2 adalah screen dari bahan nylon, sedangkan untuk pola konduktor dan glass frit adalah stainless steel screen. Pembuatan pola screen dilakukan menggunakan emulsi berupa Ulano line‐3 dan ulano 133. Screen yang digunakan adalah dari bahan nylon dan stainless steel. Gambar 13 menunjukkan pola screen yang dihasilkan
Gambar 13. Screen untuk rangkaian sub‐modul DSSC 43
3.2 Pembuatan sel tunggal dengan luas aktif 1x9,8 mm Tujuan dari percobaan pembuatan sel tunggal ini adalah mengetahui karakteristik listrik yang dihasilkan sel tunggal dengan luas aktif sekitar 1x9,8 mm. Dimensi ini nantinya akan diaplikasikan untuk pembuatan sub‐modul DSSC untuk tiap selnya. Dengan diketahuinya karalteristik listriknya sel ukuran ini, maka dapat diperkirakan performa atau karakteristik sub‐modul DSSC yang dihasilkan. Pembuatan sel tunggal dengan luas aktif 1x9,8 mm menggunakan substrat kaca konduktif berlapis fluorinetin‐oxide (FTO) dengan resistansi 15Ω/ . Bahan fotoanoda berupa pasta TiO2 produk Dyesol DSL 18NR‐O. Deposisi lapisan semikonduktor TiO2 dilakukan menggunakan teknik screen‐printing yang relatif mudah, murah dan dapat digunakan untuk skala produksi. Kaca FTO yang sudah dideposisikan lapisan TiO2, dikeringkan dalam oven dan kemudian dibakar dalam conveyor belt furnace pada suhu 500oC selama 15 menit. Proses pewarnaan dilakukan dengan perendaman dalam larutan dye berbasis Ruthenium (Z907, Dyesol) dengan pelarut etanol selama 24 jam pada suhu ruang. Lapisan elektroda lawan (counter electrode) menggunakan Platina yang dideposisi melalui metoda sputtering [3]. Perakitan sel surya berbasis dye‐sensitized dilakukan dengan cara menggabungkan lapisan fotoanoda dan lapisan counter‐elektroda menggunakan lapisan thermoplastic sealant yang memiliki ketebalan 50 mikron. Pada proses penggabungan lapisan, sebagian area dibiarkan terbuka sebagai lubang udara untuk pengisian larutan elektrolit. Area tersebut kemudian ditutup menggunakan glass frit. Larutan elektrolit yang digunakan adalah larutan redoks iodine I‐/I3 (Dyesol HSE). Prototipe sel ditunjukkan pada gambar.14
Gambar 14. Sel surya dengan luas aktif 1x9,8 mm Pengukuran karakteristik kurva I‐V sel surya dilakukan menggunakan Sun Simulator AM1,5 dengan sumber cahaya Xenon intensitas sekitar 50 mA/cm2. Hasil pengukuran ditunjukkan pada Gambar 15 dan Tabel.2. Terlihat bahwa karakteristik listrik (Voc, Isc, FF, η) pada tegangan yang dihasilkan kedua sel hampir sama akan tetapi efisiensi sel masih kecil. Berdasarkan data karaketristik listrik sel tunggal tersebut maka dapat diperkirakan tegangan yang akan dihasilkan pada sub modul yang terdiri dari 3 buah sel tunggal adalah sekitar 1,8 Volt. Sedangkan arus yang dihasilkan tergantung pada proses, material serta beban daya yang diberikan.
44
Gambar.15 Kurva I‐V sel surya luas aktif 1x9,8 mm Tabel.2 Data karakteristik listrik sel surya dengan luas aktif 1x9,8 mm Sampel sel surya Karakteristik Open circuit voltage Voc (Volts) Short circuit current Isc (mA) Maximum power Pm (Watt) Fill factor, FF Efisiensi (%) Resistansi seri (Ohm)
Sel‐1
Sel‐2
0,639 9,2 1,9 x 10‐03 0.329 0,38 42,26
0,611 10,2 2.16 x 10‐03 0.344 0,43 38,18
Suatu sel surya memiliki kemampuan untuk menghasilkan arus foton yang berbeda untuk setiap panjang gelombang cahaya. Cahaya yang memiliki panjang gelombang yang berbeda akan menghasilkan arus foton yang berbeda pula. Hal ini disebabkan setiap material mempunyai kemampuan penyerapan cahaya yang tidak selalu sama untuk tiap panjang gelombang. Kemampuan sel surya menghasilkan foton arus pada panjang gelombang tertentu diukur dengan efisiensi konversi cahaya ke arus (IPCE, Insident Photon to Current Convertion Efficiency). Pada gambar 16 diketahui bahwa sel surya ini secara umum memiliki kemampuan penyerapan foton terbesar pada daerah panjang gelombang 300 nm dan 700 nm yang merupakan daerah cahaya tampak. Kemampuan sel dalam merubah foton menjadi arus yang tertinggi dihasilkan pada panjang gelombang sekitar 400 nm dengan kuantum efisiensi sekitar 11% untuk Sel‐1 dan 8% untuk Sel‐2
45
Gambar 16. IPCE Sel surya dengan luas aktif 1x9,8 mm 3.3 Pembuatan sub‐modul surya DSSC 3x9,8 cm Pembuatan sub‐modul surya DSSC dilakukan melalui tahapan proses seperti yang ditunjukkan pada gambar 10 di atas. a. Preparasi substrat Substrat yang digunakan adalah kaca konduktif FTO dengan resistivitas bahan 8 Ω/sq. Substrat dipotong dengan ukuran 5x10cm2. Pencucian substrat dilakukan dalam ultrasonic cleaner menggunakan cabun air, DI water dan IPA. Proses pemotongan lapisan konduktor pada kaca FTO (scribbing) tidak dapat dilakukan menggunakan laser dikarenakan alat tersebut mengalami kerusakan, sehingga pemotongan dilakukan menggunakan diamond cutter. b. Pembuatan lapisan fotoelektroda TiO2 Pembuatan lapisan TiO2 dilakukan dengan metoda doctor blade printing menggunakan pasta TiO2 produk Dyesol DSL NT (TiO2 transparan), sesuai pola disain sub‐modul. Kaca FTO yang sudah dideposisikan lapisan TiO2, dikeringkan dalam oven dan kemudian dibakar dalam conveyor belt furnace pada suhu 500oC selama 15 menit. Proses pewarnaan dilakukan dengan cara perendaman dalam larutan dye berbasis Ruthenium (Z907, Dyesol) dengan pelarut etanol selama 24 jam pada suhu ruang. Gambar 17 menunjukkan lapisan fotoelektroda TiO2 sebelum dan sesudah diwarnai.
(a) (b) Gamba 17. Lapisan fotoelektroda TiO2 sebelum (a) dan sesudah diwarnai (b) c. Pembuatan lapisan elektroda lawan (counter electrode) Lapisan elektroda lawan menggunakan pasta platina tansparan yang dideposisi melalui screen printing sesuai pola yang dibua. Lapisan Pt, dikeringkan
46
dalam oven dan kemudian dibakar dalam conveyor belt furnace pada suhu 500oC selama 15 menit (Gambar 18). Konduktor perak
Gambar 18. Lapisan elektroda lawan Pt transparan d. Pelapisan glass frit dan pasta konduktor Pelapisan glass frit bertujuan untuk memisahkan antara sel tunggal. Glass frit dideposisi melalui metoda screen printing tepat di daerah yang terpotong (scribbing) pada kedua elektroda, yaitu fotoelektroda dan counter elektroda. Bagian sribbing harus tertutup rapat olah lapisan glass fris, sehingga ketiga sel tunggal terpisah. Konduktor Perak (Ag) digunakan sebagai penghubung dalam interkoneksi seri antar sel. Pencetakkan pasta perak juga dilakukan pada kedua elektrodanya, seperti ditunjukkan pada gambar 18. e. Perakitan sub‐modul dan pengisian larutan elektrolit Perakitan sub‐modul surya berbasis dye‐sensitized dilakukan dengan cara menggabungkan lapisan fotoanoda TiO2 dan lapisan elektroda Pt. Penggabungan kedua elektroda harus dilakukan secara tepat sesuai dengan pola glass frit dan konduktor Ag, seperti ditunjukkan pada Gambar 19. Pada proses penggabungan lapisan, sebagian area dibiarkan terbuka sebagai lubang udara untuk pengisian larutan elektrolit. Setelah digabungkan modul tersebut dijepit dan dipanaskan sampai ikatan kedua elektrodanya kuat (Gambar 20). Larutan elektrolit redoks iodine I‐/I3 (Dyesol,EL‐HSE) disuntikkan melalui area tersebut, kemudian ditutup menggunakan glass frit. Laser scribed line Glass FTO Ag
TiO2 Platina
Seal FTO
Glass
Gambar 19. Disain sub‐modul surya dye‐sensitized
47
Gambar 20. Proses perakitan sub‐modul dye‐senistized 3.4 Karakteristik kurva I‐V sub‐modul dye‐sensitized Pengukuran kurva I‐V sub‐modul dilakukan menggunakan Sun Simulator AM1,5 National Instrument, sumber cahaya Xenon dengan intensitas 50 mW/cm2. Sub‐modul surya berbasis substrat FTO 8 ohm/sq dibuat menggunakan dengan elektroda lawan Pt dengan proses yang berbeda, yaitu Pt printing menggunakan pasta transparan (Tipe‐A) dan Pt sputtering (Tipe‐B). Secara fisik keduanya berbeda. Sub‐modul surya menggunakan pasta Pt transparan secara estatika memiliki tampilan yang lebih baik. Hasil pengukuran kurva I‐V ditunjukkan pada gambar 21 dan diuraikan dalam tabel 3. Terlihat bahwa karakteristik listrik (Voc, Isc, Daya, FF, η) yang dihasilkan kedua sampel hampir sama untuk masing‐masing tipe. Efisiensi konversi energi listrik sub‐ modul surya kaca yang dihasilkan masih relatif kecil yaitu kurang dari 1 % yaitu sekitar 0,5 ‐ 0,7%. Tegangan, (Voc) yang dihasilkan cukup baik, yaitu sebesar 1,8 – 2 V menunjukkan bahwa tegangan setiap sel tunggalnya 1x 9,8 cm sekitar 0,6 ‐ 0,7 V. Daya keluaran masih relatif kecil, Besarnya daya keluaran modul sangat dipengaruhi oleh arus dan FF yang dihasilkan dan terlihat bahwa arus (Isc) dan fill factor masih relatuf kecil. Kondisi ini mengindikasikan bahwa resistansi parasitik seperti resistansi seri dan pararel yang terdistribusi dalam sub‐modul surya masih besar. Ketebalan lapisan elektroda TiO2 juga berpengaruh pada karakteristik sel tunggalnya. Lapisan TiO2 yang tipis menyebabkan kemampuan dalam menyerap pewarna kecil sehingga efisiensi pengumpulan elektron juga rendah. Sedikitnya elektron yang tereksitasi maka difusi elektron berjalan lambat dan dengan demikian menurunkan efisiensi konversi foton menjadi arus.
48
Tipe-B
Gambar 21: Kurva I‐V sub‐modul luas area 3x9,8 cm2 menggunakan Pt printing (Tipe‐A) dan Pt Sputtering (Tipe‐B) Tabel.3 Data karakteristik listrik sel surya dengan luas aktif 3x9,8 cm2 Sub‐modul Tipe‐B Sub‐modul Tipe‐A Karakteristik Sampel‐2 Sampel‐1 Sampel‐2 Sampel‐1 Open circuit voltage Voc (Volts) Short circuit current Isc (mA) Maximum power Pm (mWatt) Vmp (Volt) Imp (mA) Fill factor, FF Efisiensi (%)
1,94 10,46 8,5 1,22 6,9 0,42 0,61
1,98 10,42 8,0 1,17 6,8 0.38 0,58
1,87
2,09
10,51 10,49 1,34 7,8 0,53 0,77
11,47 8,97 1,53 5,87 0,37 0,65
49
Resistansi seri (Ohm)
87,31
105,67
45,7
72,7
Berdasarkan data pada tabel tersebut dapat diketahui bahwa proses pelapisan Pt sebagai elektroda pembanding dapat mempengaruhi performansi dari sub‐modul surya yang dibuat. Terlihat bahwa sub‐modul surya dengan Pt sputtering memiliki karakteristik listrik yang lebih baik dibandingkan dengan Pt printing. Efisiensi konversi terbaik dari sub‐modul Tipe‐A adalah 0,61% sedangkan sub‐modul Tipe‐B adalah 0,77%. Hal ini disebabkan oleh resistansi kontak untuk lapisan elektroda lawan Pt sputtering lebih kecil diibanding Pt printing. Pt sputtering lebih murni disbanding Pt printing yang dibuat dari pasta yang mengandung bahan‐bahan organic sebagai binder. Selain optimasi dan kompatibilitas komponen‐komponen pembentuknya, kinerja modul surya juga dipengaruhi oleh teknik dan ketepatan dalam proses perakitan modul surya [7]. Pada proses perakitan, perak dan lapisan glass frit (Gambar 6) memegang peranan yang sangat penting sebagai penghubung dan pemisah antara sel tunggalnya. Bagian lapisan fotoelektroda dan lapisan elektroda lawan harus disatukan secara tepat. Pencetakkan pasta perak sebagai penghubung harus dibuat dengan tepat agar kontak seri antar sel terhubung dengan baik sehingga memperkecil resistansi seri.. Demikian juga bagian scribbing pada kedua elektroda harus tertutup rapat oleh lapisan glass frit sebagai pemisah. Kegagalan dalam mengisolasi dan memisahkan tiap sel tunggal, akan mengakibatkan kebocoran larutan elektrolit, sehingga akan terjadi resistansi kontak antar sel. Gambar 22 menunjukkan contoh produk sub‐modul surya substrat kaca yang dibuat dengan interkoneksi internal tipe Z (total area aktif 3 x 9,8 cm2).
Gambar.22 Prototipe sub‐modul surya dye‐sensitized menggunakan Pt spinting (transparan) 50
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Proses penelitian Rancang Bangun Modul Surya berbasis Dye‐Sensitized Nanocrystalline telah dilakukan di PPET LIPI. Kinerja modul surya dipengaruhi oleh kompatibilitas komponen‐komponen pembentuknya serta teknik dan ketepatan dalam proses perakitan modul surya. Dalam mendisain suatu pola rangkaian modul surya DSSC harus memperhatikan parameter internal (material dan proses fabrikasinya) dan parameter eksernal (dimensi dan resistansi seri yang terjadi). Pembuatan disain pola rangkaiannya alligment antar pola harus presisi, sehingga memudahkan dalam proses pembuatan modul surya yang memiliki performansi yang baik. Disain modul surya ukuran 5x10 cm2 dengan tipe Z interkoneksi yang memiliki 3 buah sel tunggal ukuran 1x9,8 cm.(total area aktif 3x9,8 cm2) telah diaplikasikan dalam fabrikasi divaisnya. Karakteristik modul terbaik menghasilkan efisiensi konversi 0,77% ; daya maksimum 10,49mW ; tegangan Voc 1,87V dan arus Isc 10,51 mA. 4.2 Saran Selain optimasi dan kompatibilitas komponen‐komponen pembentuknya, kinerja modul surya juga dipengaruhi oleh teknik dan ketepatan dalam proses perakitan modul surya. Karakteristik proses masih harus dilakukan untuk mendapatkan parameter proses yang optimal dan dihasilkan performansi modul yang tinggi sehingga diperlukan penelitian lanjutan. REFERENSI [1] http://cleantechnica.com/2013/05/11/solar‐module‐manufacturing‐trends‐in‐ 2012/ didownload tanggal 18 Desember 2013. [2] B. S. Richards, Solar Enlightment: Bringing Solar Power to Where We Need It Most, Inaugural Speech, Heriot‐Watt University, Scotland, UK, 2010. [3] L Muliani, dkk, “Pembuatan Dye‐Sensitized Nanocrystalline TiO2 Solar Cell”, Laporan Akhir Program Tematik 2009, PPET‐LIPI 2010. [4] Gratzel, M., “Dye‐Sensitized Solar Cells”, Journal of Photochemistry and Photobiology C: Photochemistry Review , vol. 4, hal. 145‐153, 2003. [5] M. K. Nazeeruddin, A. Kay, I. Rodicio, R. Humphrybaker, E. Muller, P. Liska, N. Vlachopoulos,M. Gratzel, “Conversion of Light to Electricity by Cis‐ X2bis(2,2'‐ Bipyridyl‐4,4'‐Dicarboxylate)Ruthenium(Ii) Charge‐Transfer Sensitizers (X = Cl‐, Br‐, I‐, Cn‐, and Scn‐) on Nanocrystalline TiO2 Electrodes”, Journal of theAmerican Chemical Society, vol. 14, hal. 6382‐6390, 1993. [6] http://international.pv‐tech.org [7] R. Sastrawan, 2006, “Photovoltaic modules of dye solar cells”, Disertasi University of Freiburg.
51
[8] [9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
G. E. Tulloch, “Light and energy ‐ dye solar cells for the 21st century”, Journal of Photochemistry and Photobiology A:Chemistry vol. 164, hal. 209‐219, 2004. M, Spath, P. M. Sommeling, J. A. M. van Roosmalen, H. J. P. Smit, N. P. G. van der Burg, D. R. Mahieu, N. J. Bakker, J. M. Kroon, “Reproducible manufacturing of dye‐sensitized solar cells on a semi‐automated baseline”, Progress in Photovoltaics, vol. 11, hal. 207‐220, 2003. K. Okada, H. Matsui, T. Kawashima, T. Ezure, N. Tanabe, “100 mm × 100 mm large‐sized dye sensitized solar cells”, Journals of Photochemistry and Photobiology A: Chemistry, vol. 164, hal. 193‐198, 2004. R. Sastrawan, A. Hinsch, J. Beier, U. Belledin, S. Hemming, S. Hore, R. Kern, C. Prahl, C. Vetter, U. Würfel, J. Luther, F. M. Petrat and A. Prodi‐Schwab, “Towards Manufacturing Dye Solar Cells”, Proceedings, 20th European Photovoltaic Solar Energy Conference and Exhibition, Barcelona, Spain, 2005. S. Dai, K. Wang, J. Weng, Y. Sui, Y. Huang, S. Xiao, S. Chen, L. Hu, F. Kong, X. Pan, C. Shi,L. Guo., et. Al., “Design of DSC Panel with Efficiency More Than 6%”, Solar Energy Materials and Solar Cells, vol. 85, hal. 447‐455, 2005. T. Toyoda, T. Sano, J. Nakajima, S. Doi, S. Fukumoto, A. Ito, T. Tohyama, M. Yoshida, T. Kanagawa, T. Motohiro, T. Shiga, K. Higuchi, K. Tanaka, Y. Takeda, T. Fukano, N. Katoh, A. Takeichi, K. Takechi,M. Shiozawa, “Outdoor performance of large scale DSC modules”, Journal of Photochemistry N.M. Nursam, L. Muliani, J. Hidayat., “Optimalisasi Dimensi Area Aktif pada Sel Surya jenis Dye‐sensitized berbasis Nanokristal TiO2, prosiding Seminar Nasional XIV, Kimia dalam Pembangunan, 2011.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didukung oleh Program Kegiatan Penelitian Dan Pengembangan IPTEK DIPA 2013 – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Terima kasih kepada Puslit Elektronika dan Telekomunikasi (PPET‐LIPI) atas fasilitas yang diberikan pada kegiatan penelitian ini.
52
Pembuatan Sel Surya Berbasis Polimer Dra. Erlyta Septa Rosa, MT
53
LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan Penelitian 2. Kegiatan Prioritas 3. Peneliti Utama Nama Jenis Kelamin 4. Sifat Penelitian 5. Lama Penelitian 6. Biaya Total 2013
Ketua PME PPET LIPI,
Dr. Purwoko Adhi, DEA NIP. 19670911 198701 1 001
: : : : : : : :
Pembuatan Sel Surya Berbasis Polimer Dra. Erlyta Septa Rosa, MT Wanita Lanjutan Tahun ke ‐ 3 3 (Tiga) Tahun Rp. 222.980.000,‐
Bandung, 20 Desember 2013 Peneliti Utama
Dra. Erlyta Septa Rosa, MT NIP. 19630915 199203 2 003
54
Abstrak Sel surya polimer merupakan sel surya dengan struktur bulk heterojunction dimana molekul‐molekul dari dua jenis material polimer yang berfungsi sebagai donor elektron (tipe‐p) dan akseptor elektron (tipe‐n) dicampur menjadi film bulk sehingga membentuk heterojunction diantara keduanya. Film bulk tersebut berfungsi sebagai active layer yang berkerja menyerap cahaya matahari dan membangkitkan elektron pada saat cahaya matahari mengenai permukaan substrat/kaca. Ada 4 (empat) jenis sel surya yang akan dibuat pada penelitian ini dengan menggunakan 4 (empat) jenis campuran polimer yang berbeda sebagai active layer. Campuran polimer yang pertama adalah [poly(2‐methoxy‐5‐(3,7‐ dimethyloctyloxy)‐1,4‐phenylene vinylene)] (MDMO‐PPV) dan [6,6 phenyl C61‐ butyric acid methyl ester] atau PCBM; campuran polimer kedua adalah poly (3‐ hexylthiophene) P3HT dan PCBM; campuran polimer ketiga adalah hybrid MDMO‐ PPV dengan partikel nano seng oksida (ZnO); serta campuran polimer yang keempat adalah hybrid P3HT dengan partikel nano ZnO. Metoda yang akan digunakan dalam pembuatan sel surya berbasis polimer ini adalah lapis tipis (thin film). Pertama‐tama polimer dilapiskan dengan teknik screen printing di atas permukaan substrat kaca yang sudah dilapisi dengan elektroda transparan Indium Tin Oxide (ITO). Selanjutnya di bagian bawah polimer dilapiskan elektroda alumunium (Al) menggunakan teknik sputtering/evaporasi. Fasilitas peralatan untuk proses tersebut semua tersedia di Laboratorium BKME PPET – LIPI. Kata kunci : sel surya, polimer, bulk heterojunction, active layer, ZnO, thin film.
55
I. i.
Pendahuluan Latar belakang, ruang lingkup dan batasan kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) merupakan salah satu sumber energi baru dan terbarukan yang prospektif untuk dikembangkan di Indonesia. Adapun inti dari PLTS adalah sel surya, yaitu divais yang mampu mengubah cahaya matahari menjadi listrik secara langsung. Sel surya generasi pertama, yaitu sel surya yang menggunakan substrat silikon kristal, saat ini dianggap terlalu mahal dan tidak dapat bersaing dengan pembangkit listrik lainnya seperti pembangkit listrik tenaga air maupun pembangkit listrik tenaga uap. Oleh karena itu banyak peneliti mulai mengembangkan sel surya yang lebih murah dengan menggunakan material non‐silikon, yang disebut sebagai sel surya generasi kedua dan ketiga1. Pengembangan sel surya generasi ketiga banyak dilakukan menggunakan teknologi nano, salah satunya adalah sel surya yang menggunakan polimer sebagai material aktifnya. Sel surya berbasis polimer ini, atau juga disebut sebagai sel surya plastik, selain dapat diproduksi dengan biaya proses yang lebih murah, juga mempunyai keunggulan lain, yaitu lebih fleksibel dan ringan. Meskipun demikian efisiensi yang dihasilkan sekitar 6%, masih lebih rendah dibandingkan dengan sel surya silikon, sehingga masih banyak peluang yang dapat dilakukan untuk mengembangkan sel surya berbasis polimer ini secara lebih intensif2,3. Dalam penelitian ini akan dikembangkan proses pembuatan sel surya berbasis polimer dengan metoda lapis tipis (thin film) menggunakan teknik screen printing. Screen printing merupakan teknik yang umum digunakan dalam industri devais elektronika karena merupakan teknik yang mudah, murah dan dapat diaplikasikan pada area yang luas4. Dalam penelitian ini akan digunakan 2 (dua) jenis campuran polimer yang berbeda yaitu [poly(2‐methoxy‐5‐(3,7‐ dimethyloctyloxy)‐1,4‐phenylene vinylene)] (MDMO‐PPV) dan [6,6 phenyl C61‐ butyric acid methyl ester] atau PCBM dan poly (3‐hexylthiophene) P3HT dan PCBM. Selain itu juga akan dikembangkan pula 2 (dua) jenis hybrid polimer dengan partikel ZnO, masing‐masing adalah MDMO‐PPV dengan partikel nano seng oksida (ZnO); dan P3HT dengan partikel ZnO. Penelitian ini merupakan salah satu bentuk pelaksanaan dari tupoksi dan renstra Puslit Elektronika dan Telekomunikasi LIPI dalam bidang pengembangan bahan dan komponen mikroelektronika. Selain itu penelitian ini juga disesuaikan dengan Program Tematik LIPI dalam bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan maupun bidang Material Maju dan Nanoteknologi, serta Program Prioritas Bappenas untuk LIPI dalam bidang Material Maju (Advanched Material) dan Nanoteknologi. ii. Perumusan Masalah Dalam proses pembuatan sel surya berbasis polimer hybrid itu permasalahan yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut : • Bagaimana pengaruh jenis polimer terhadap unjuk kerja sel. • Bagaimana pengaruh konsentrasi polimer terhadap unjuk kerja sel. • Bagaimana pengaruh penambahan partikel nano ZnO ke dalam polimer terhadap unjuk kerja sel. • Bagaimana pengaruh tebal lapisan polimer hybrid terhadap unjuk kerja sel.
56
• Bagaimana pengaruh proses deposisi alumunium terhadap unjuk kerja sel. iii. Tujuan dan Sasaran Penelitian. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk dapat berperan aktif dalam pengembangan material maju (advanched material) dan pengembangan sumber energi baru dan terbarukan yang merupakan program prioritas di lingkungan LIPI. Sasaran. Pengembangan proses pembuatan sel surya berbasis polimer di dunia saat ini statusnya masih dalam tahapan riset dasar. Oleh karena itu sasaran yang diharapkan dapat dicapai adalah mempunyai kemampuan dalam menguasai teknologi pembuatan sel surya berbasis polimer sehingga dapat berkontribusi dalam pengembangan teknologi pembuatan sel surya di dunia. iv. Kerangka Analitik Sel surya polimer merupakan sel surya dengan struktur bulk heterojunction dimana molekul‐molekul dari dua jenis material polimer yang berfungsi sebagai donor elektron (tipe‐p) dan akseptor elektron (tipe‐n) dicampur menjadi film bulk sehingga membentuk heterojunction diantara keduanya5. Film bulk tersebut berfungsi sebagai active layer yang berfungsi menyerap cahaya matahari dan membangkitkan elektron pada saat cahaya matahari mengenai permukaan sel surya. Elektron tersebut kemudian akan mengalir melewati elektroda alumunium (Al) yang ada dibawahnya dan menuju ke elektroda transparan di atasnya menghasilkan arus listrik1. Struktur sel surya polimer secara umum dapat dilihat pada Gambar‐1 berikut. Top electrode Active layer (100-200 nm)
Bottom electrode on transparent substrate
Gambar‐1. Struktur sel surya polimer6. Polimer yang dapat digunakan sebagai lapisan aktif (active layer) adalah material yang kaya dengan donor maupun akseptor elektron, yaitu polimer terkonyugasi, antara lain material turunan fulleren dan thiofen5,7,8 (Gambar 2). Efisiensi sel surya yang dihasilkan bergantung pada material yang digunakan dan proses penumbuhannya (deposisi)9.
57
Gambar 2. Struktur material polimer terkonyugasi 10,11. v.
Hipotesis Polimer terkonyugasi seperti turunan poly(p‐phenylene vinylene) dan polythiophene merupakan material yang mempunyai bandgap yang rendah (2,0 – 2,2 eV), penyerapan tinggi di daerah sinar tampak dan bersifat stabil8,12. Turunan poly(p‐phenylene vinylene) seperti [6,6]‐phenyl‐C61‐butyric acid methyl ester (PCMB) banyak digunakan sebagai akseptor elektron, sedangkan sebagai donor elektron umumnya poly(3‐hexylthiophene) atau disingkat dengan P3HT13. S.E. Shaheen dkk14 memperkenalkan teknik screen printing di dalam fabrikasi sel surya bulk heterojunction. Material yang digunakan adalah campuran polimer [poly(2‐methoxy‐5‐(3,7‐dimethyloctyloxy)‐1,4‐phenylene vinylene)] atau MDMO‐ PPV dan [6,6 phenyl C61‐butyric acid methyl ester] atau PCBM. Efisiensi sel yang dihasilkan adalah sekitar 4,3%. B. Zhang dkk15 juga menggunakan teknik screen printing untuk membuat sel surya polimer dari campuran PCBM dan [poly (3‐ hexylthiophene)] atau P3HT dengan efisiensi sel 4,23%. Faktor yang mempengaruhi efisiensi sel surya polimer adalah efisiensi kuantum internal atau penyerapan foton/cahaya oleh material aktif menjadi elektron16. Penyerapan foton dipengaruhi oleh morfologi permukaan polimer17,18. Oleh karena itu yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pengontrolan permukaan polimer, yaitu dengan cara pengaturan komposisi campuran polimer MDMO‐PPV/ PCBM dan P3HT/PCBM, pengaturan tebal polimer serta penambahan partikel ZnO.
58
II.
Metodologi. Kegiatan ini seluruhnya akan dilakukan di laboratorium Bahan dan Komponen Mikroelektronika PPET‐LIPI. Untuk kegiatan karakterisasi seperti SEM, XRD, UV‐VIS, dan kurva I‐V dilakukan di laboratorium di luar PPET‐LIPI antara lain PPGL, ITB, BATAN dan UGM. Penelitian ini direncanakan memerlukan waktu selama 3 (tiga) tahun. Tahun pertama (2011) telah dilaksanakan pembuatan sel surya polimer MDMO‐PPV dan PCBM sebagai active layer. Pada tahun kedua ini sebagai active layer akan digunakan campuran polimer P3HT dan PCBM. Selanjutnya pada tahun ketiga untuk lebih meningkatkan efisiensi sel surya dan menurunkan biaya proses maka ke dalam campuran polimer akan ditambahkan partikel nano ZnO sehingga membentuk sel surya hybrid polimer/semikonduktor anorganik. Proses pembuatan sel surya berbasis polimer terdiri dari beberapa tahapan proses, yaitu : a. Proses litografi lapisan ITO diatas substrat kaca/plastik. Parameter proses yang diamati adalah waktu etsa. b. Proses pelapisan elektroda interface PEDOT:PSS diatas substrat kaca/plastik yang telah dilapisi ITO menggunakan teknik screen printing. Parameter proses yang diamati adalah parameter printing dan temperatur dan waktu pengeringan. c. Proses pelapisan polimer di atas lapisan PEDOT:PSS menggunakan teknik spin coating. Parameter proses yang diamati adalah konsentrasi polimer, kecepatan spin, serta waktu spin, temperatur dan waktu pengeringan. d. Proses pelapisan Alumunium di atas lapisan polimer menggunakan teknik evaporasi. Parameter proses yang diamati adalah masing‐masing adalah waktu dan arus deposisi untuk proses evaporasi. e. Kapsulasi sel. Kapsulasi dilakukan dengan menutup permukaan atas sel dengan kaca /plastik menggunakan sealant sebagai media perekatnya, dilanjutkan dengan proses pemanasan sekalian proses annealing. Parameter proses yang diamati adalah temperatur dan waktu annealing. f. Karakterisasi I‐V. Karakterisasi dilakukan menggunakan sun simulator pada kondisi temperatur 25 ºC dan radiasi 60 mW/cm2. Diagram alir proses pembuatan sel surya berbasis polimer tersebut di atas dapat dilihat pada gambar 3. Dalam kegiatan ini dilakukan pembuatan sel surya polimer masing‐masing di atas substrat kaca dan substrat plastik (PET). Selain itu pada kegiatan ini juga akan dibuat array dari 3 (tiga) buah sel dalam satu substrat, dimana urutan prosesnya sama seperti yang tertera pada gambar 3, akan tetapi masker yang digunakan berbeda. Gambar 4 memperlihatkan desain array dari 3 (tiga) buah sel dalam satu substrat tersebut.
59
Substrat Gelas/plastik dilapisi ITO Litografi ITO Printing PEDOT:PSS
Substrat kaca Sealant
Spin coating Polimer Aluminium
POLIMER PEDOT:PSS ITO
Evaporasi Alumunium
Substrat kaca
Struktur sel surya polimer Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan sel surya berbasis polimer. Kapsulasi
Karakterisasi I-V Aluminium
POLIMER
POLIMER
PEDOT:PSS ITO
Aluminium
Aluminium
POLIMER
PEDOT:PSS
PEDOT:PSS ITO
ITO
Substrat plastik (PET)/glass
Gambar 4. Desain array dari 3 (tiga) buah sel polimer dalam satu substrat. III.
Faktor risiko/keberhasilan. Penelitian ini akan dapat tercapai sesuai dengan target yang diharapkan karena sumber daya manusia yang tersedia telah memiliki kompetensi dibidang fabrikasi sel surya silikon kristal, proses screen printing dan proses kimia. Selain itu peralatan pendukung tersedia dengan lengkap antara lain lemari asam, screen printer dan conveyor furnace. Oleh karena itu penelitian ini mempunyai faktor keberhasilan yang cukup tinggi. Faktor hambatan yang mungkin muncul adalah tertundanya proses karakterisasi yang dilakukan melalui pihak luar (jasa). IV. Roapmap Hasil Penelitian Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah : Tahun I (2011) : ‐ 1 buah prototipe sel surya polimer MDMO‐ PPV/PCMB ‐ publikasi 2 buah Tahun II (2012) : ‐ 1 buah prototipe sel surya polimer P3HT/PCMB ‐ publikasi 2 buah Tahun III (2013) : ‐ 2 buah prototipe sel surya polimer hybrid ZnO ‐ publikasi 2 buah V.
Aspek Strategis Penelitian ini mempunyai aspek strategis di dalam penguasaan pengembangan material maju dan teknologi nano, khususnya dalam proses pembuatan sel surya generasi ketiga. Peluang untuk mengembangkan proses pembuatan sel surya berbasis polimer masih sangat terbuka lebar karena efisiensi yang dihasilkan masih rendah dibandingkan dengan efisiensi sel berbasis silikon. Oleh karena itu saat ini banyak peneliti dunia sedang giat melakukan penelitian sel surya berbasis polimer.
60
VI.
Pelaksana Penelitian dan Institusi Mitra Penelitian ini akan dilaksanakan di PPET – LIPI. Pelaksana yang akan terlibat dalam penelitian ini berjumlah 9 (sembilan) orang dengan peran dan tanggung jawab masing‐masing adalah sebagai berikut : KEGIATAN PENANGGUNG PERSONIL YANG JAWAB TERLIBAT 1. Persiapan bahan Widhya Y Erlyta, Poppy, Dede 2. Preparasi peralatan dan masker Grace A.Wahid, Poppy, Danu 3. Percobaan pelapisan PEDOT/PSS Shobih Erlyta, A. Wahid 4. Percobaan pembuatan polimer Erlyta Slamet W, Grace hybrid ZnO 5. Percobaan pelapisan polimer hybrid Shobih Erlyta, Grace ZnO 6. Percobaan pelapisan kontak Al Slamet W Grace, A. Wahid, Danu 7. Percobaan pembuatan sel surya Erlyta A.Wahid, Shobih, Slamet W 8. Pengukuran kurva I‐V sel surya A Wahid Danu, Dede 9. Analisa dan Evaluasi Erlyta Shobih, A. Wahid, Slamet W 10. Pembuatan Laporan dan Publikasi Erlyta Shobih,Poppy, Widhya Y VII. Jadwal Kegiatan. Bulan No. Kegiatan dan Penanggung 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jawab 1. Studi literatur / Erlyta 2. Persiapan bahan/ Widhya Y 3. Preparasi peralatan dan masker / Grace 4. Percobaan pelapisan PEDOT/PSS/ Shobih 5. Percobaan pembuatan polimer hybrid ZnO / Erlyta 6. Percobaan pelapisan polimer hybrid ZnO / Shobih 7. Proses pelapisan kontak Al / Slamet W 8. Percobaan pembuatan sel surya / Erlyta 9. Pengukuran kurva I‐V sel surya A. Wahid 10. Analisa dan Evaluasi / Erlyta 11. Laporan dan Publikasi / Erlyta
61
10
11
VIII. Rencana Capaian, Hasil, dan Pembahasan 4.1. Rencana Capaian Adapun yang akan dilakukan pada tahun 2013 ini adalah proses pembuatan sel surya polimer hibrid, dimana campuran polimer yang digunakan adalah MDMO‐PPV dengan partikel nano seng oksida (ZnO); dan campuran polimer P3HT dengan partikel nano ZnO. Adapun tahapan kegiatan tercantum pada Jadwal kegiatan. 4.2. Hasil dan Pembahasan. Sebagaimana yang telah direncanakan dalam jadwal kegiatan, kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun 2013 ini adalah sebagai berikut : i. Percobaan pelapisan PEDOT:PSS. Dalam penelitian ini PEDOT:PSS digunakan sebagai hole transporter and exciton blocker, dan mencegah difusi ITO ke dalam polimer active layer. PEDOT:PSS dilapiskan di atas lapisan ITO yang telah dietsa sebagaimana yang tercantum pada diagaram alir proses pada Gambar 3. Substrat yang digunakan adalah substrat fleksibel, yaitu Poli Etilen Terepthalat (PET) yang telah dilapisi dengan ITO, dimana dalam satu substrat dibuat 3 (tiga) buah sel surya polimer dengan luas area 2,6 cm2 yang terhubung secara seri. Proses etsa ITO dilakukan dengan teknik litografi menggunakan masker seperti yang terlihat pada gambar 5a, sedangkan proses pelapisan PEDOT:PSS dilakukan menggunakan teknik screen printing dengan pola masker seperti pada Gambar 5b. Hasil proses etsa ITO dan printing PEDOT:PSS dapat dilihat pada gambar 6, sedangkan hasil karakterisasi lapisan PEDOT:PSS dapat dilihat pada Tabel 1.
(a) (b) Gambar 5. Masker etsa ITO (a) dan screen PEDOT:PSS (b).
(a) (b) Gambar 6. Hasil proses etsa ITO (a) dan printing PEDOT:PSS (b) di atas substrat PET. Tabel 1. hasil karakterisasi lapisan PEDOT:PSS. No. Resistivitas permukaan (Ω) No. Resistivitas permukaan (Ω) 1
166,9547113
6
161,8512922 62
2 3 4 5
7 8 9 10
128,6790679 147,2700947 154,9252234 132,6888972 Rata‐rata
191,0136872 126,1273583 150,9153941 223,0923217 158,3518048
ii.
Percobaan pembuatan polimer hybrid MDMO‐PPV/ZnO dan pelapisan polimer hybrid MDMO‐PPV /ZnO. Dalam ini kegiatan telah dilakukan percobaan pembuatan pasta polimer hybrid campuran MDMO‐PPV/ZnO dengan perbandingan dalam pelarut klorobensen, dimana diharapkan dapat digunakan dengan teknik screen printing. Akan tetapi karena hasilnya pelapisannya masih tidak merata (gambar 7b), maka kemudian dilakukan dengan proses spin coating. Sehubungan dengan keterbatasan bahan, maka selanjutnya percobaan spin coating larutan polimer dilakukan menggunakan campuran P3HT/ZnO. Proses spin coating polimer hybrid P3HT/ZnO dilakukan pada tiga jenis komposisi campuran P3HT dan ZnO, yaitu masing‐masing (3:7), (1:1), dan (7:3). Foto masker dan hasil pelapisan polimer hybrid P3HT/ZnO dapat dilihat pada gambar 8 berikut.
(a) (b) Gambar 7. Screen polimer hybrid MDMO‐PPV/ZnO (a) dan hasil printing polimer hybrid MDMO‐PPV/ZnO (b).
(a) (b) Gambar 8. Masker polimer hybrid P3HT/ZnO (a) dan hasil spin coating polimer hybrid P3HT/ZnO (b). iii. Proses pelapisan kontak Al. Dalam proses pelapisan kontak Al dengan metoda evaporasi, hanya dilakukan dalam satu parameter proses saja, yaitu pada tekanan 5,0‐6,5 x10‐5 mbar selama 5 menit yang menghasilkan lapisan alumunium dengan tebal 50 nm. Gambar 9 berikut adalah foto masker alumunium dan hasil pelapisannya.
63
(a) (b) Gambar 9. Masker alumunium (a) dan hasil evaporasi alumunium (b).
iv.
Proses laminasi/kapsulasi. Laminasi bertujuan agar sample tidak terkena pengaruh dari luar. Dengan adanya laminasi sample ini, sample yang akan diukur tidak akan mudah rusak. Selain itu sample dapat diukur untuk beberapa waktu kemudian. Dengan kata lain, sample ini dapat bertahan lebih lama. Laminasi ini dilakukan dengan cara menaruh sealant sebagai perekat di antara sample dengan plastik PET.mika (dalam percobaan ini mika yang digunakan adalah mika biasa). Sealant dipotong dengan ukuran sesuai dengan ukuran substrat, namun dengan menyisakan tsebagian tempat yang masih terdapat ITO sebagai kontak pengukuran. Kemudian sample dijepit dengan menggunakan kaca di bagian atas dan bawah. Agar sample, sealant, dan mika dapat merekat dalam proses laminasi ini maka sample yang telah dijepit dengan kaca tersebut harus dioven vakum dengan suhu sebesar 120o C selama 10 menit (Gambar 10).
Gambar 10. Proses laminasi sel surya polimer. v.
Percobaan pembuatan sel surya polimer hybrid P3HT/ZnO. Percobaan pembuatan sel dan modul surya polimer P3HT/ZnO dilakukan pada Triwulan II, melalui proses sebagaimana yang tercantum pada diagaram alir proses pada Gambar 3. Pembuatan sel surya polimer hybrid P3HT/ZnO ini dilakukan masing‐ masing pada komposisi (3:7), (1:1), dan (7:3) dan pada proses annealing 120 ºC dan 150 ºC. Foto prototipe sel dan modul surya polimer tersebut dapat dilihat pada Gambar 11 berikut.
64
Sel surya Modul surya Gambar 11. Foto prototipe sel dan modul surya polimer hybrid P3HT/ZnO desain kotak. Selain pembuatan sel dan modul surya polimer P3HT/ZnO dengan desain kotak, juga dilakukan pembuatan sel dan modul surya polimer P3HT/ZnO dengan desain melintang (gambar 12). Meskipun demikian, luas area aktif setiap sel maupun modul dibuat tetap sama, yaitu 2,6 cm2 untuk sel dan 3 x 2,6 cm2 untuk modul. Foto dari prototipe sel dan modul surya polimer dengan pola melintang dapat dilihat pada Gambar 13.
Sel Modul Gambar 12. Desain pola melintang sel surya polimer hibrid P3HT/ZnO.
65
Sel surya Modul surya Gambar 13. Foto prototipe sel dan modul surya polimer hybrid P3HT/ZnO desain melintang.
66
vi.
Pengukuran kurva I‐V. Alat yang digunakan untuk pengukuran IV sel surya yang digunakan terdiri dari solar simulator Oriel, piranometer, alat ukur I‐V dari National Instrument, dan sebuah komputer dengan aplikasi Lab View. Pengukuran dilakukan dalam penyinaran dengan sumber cahaya lampu xenon pada intensitas cahaya 270 Watt/m2. Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada, Gambar 14, Gambar 15, Gambar 16, Gambar 17, Gambar 18 dan Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4, Tabel 5, Tabel 6. Pengukuran modul melintang hanya menghasilkan 1 (satu) kurva untuk komposisi P3HT/ZnO (3/7), hal tersebut kemungkinan modul lainnya mengalami “short" pada saat kapsulasi.
Gambar 14. Kurva I‐V sel surya polimer hybrid P3HT/ZnO desain kotak.
Gambar 15. K urva I‐V modul surya polimer hybrid P3HT/ZnO desain kotak.
67
Gambar 16. Kurva I‐V sel surya polimer hybrid P3HT/ZnO desain memanjang.
Gambar 17. Kurva I‐V modul surya polimer hybrid P3HT/ZnO (3/7) desain memanjang.
kotak melintang Gambar 18. Kurva I‐V sel surya polimer hybrid P3HT/ZnO (7/3) desain kotak dan desain memanjang pada annealing 120 ºC dan 150 ºC. 68
Tabel 2. Hasil karakterisasi listrik sel surya polimer hybrid P3HT/ZnO desain kotak. Karakteristik listrik P3HT/ZnO P3HT/ZnO P3HT/ZnO (7:3) (1:1) (3:7) Tegangan sirkit terbuka Voc (V) 0,697 0,667 0,650 Arus hubung singkat Isc (mA) 0,040 0,038 0,033 Daya maksimum Pm (mWatt) 0,014 0,013 0,010 Fill faktor FF 0,682 0,510 0,487 Efisiensi (%) 0,024 0,020 0,015 Tabel 3. Hasil karakterisasi listrik modul surya polimer hybrid P3HT/ZnO desain kotak. Karakteristik listrik P3HT/ZnO P3HT/ZnO P3HT/ZnO (7:3) (1:1) (3:7) Tegangan sirkit terbuka Voc (V) 3,92 2,37 2,08 6 Arus hubung singkat Isc (mA) 0,00753 0,0074 0,0060 Daya maksimum Pm (mWatt) 0,011 0,0060 0,0046 Fill faktor FF 0,385 0,346 0,371 Efisiensi (%) 0,0055 0,0029 0,0022 Tabel 4. Hasil karakterisasi listrik sel surya polimer hybrid P3HT/ZnO desain memanjang. Karakteristik listrik P3HT/ZnO P3HT/ZnO P3HT/ZnO (7:3) (1:1) (3:7) Tegangan sirkit terbuka Voc (V) 0,48 0,33 0,26 Arus hubung singkat Isc (mA) 0,0056 0,0055 0,0044 Daya maksimum Pm (mWatt) 0,0017 0,0010 0,0004 Fill faktor FF 0,630 0,578 0,371 Efisiensi (%) 0,024 0,015 0,006 Tabel 5. Hasil karakterisasi listrik modul surya polimer hybrid P3HT/ZnO desain memanjang. Karakteristik listrik P3HT/ZnO P3HT/ZnO P3HT/ZnO (7:3) (1:1) (3:7) Tegangan sirkit terbuka Voc (V) Tidak Tidak terukur 7,83 terukur Arus hubung singkat Isc (mA) 0,0058 Daya maksimum Pm (mWatt) 0,0031 Fill faktor FF 0,690 Efisiensi (%) 0,147 Tabel 6. Hasil karakterisasi listrik sel surya polimer hybrid P3HT/ZnO (7/3) desain kotak dan memanjang pada annealing 120 ºC dan 150 ºC. .Karakteristik listrik sel kotak Non Annealing 120 ºC Annealing 150 ºC Annealing Tegangan sirkit terbuka Voc (V) 0,697 0,881 0,783 69
Arus hubung singkat Isc (mA) 0,040 0,0044 0,0047 Daya maksimum Pm (mWatt) 0,0014 0,033 0,0031 Fill faktor FF 0,682 0,849 0,889 Efisiensi (%) 0,024 0,047 0,045 .Karakteristik listrik sel Non memanjang Annealing Annealing 120 ºC Annealing 150 ºC Tegangan sirkit terbuka Voc (V) 0,37 Tidak terukur Tidak terukur Arus hubung singkat Isc (mA) 0,053 Daya maksimum Pm (mWatt) 0,009 Fill faktor FF 0,482 Efisiensi (%) 0,014 Berhubung hasil pengukuran modul surya tidak memberikan hasil, maka pada Triwulan III ini percobaan dikonsentrasikan pada pembuatan sel surya saja dan pengembangan desain pola baru, dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi sel. Tahapan proses pembuatan sel surya dilakukan melalui tahapan proses sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 3, sedangkan desain pola yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 18.
ITO
PEDOT:PSS
Polimer/ZnO
Alumunium
ALUMUNUM (PERAK) LAPISAN AKTIF PEDOT-PSS ITO
ITO PET
Gambar 18. Desain pola persegi sel surya polimer hibrid. Berdasarkan atas percobaan sebelumnya, dimana untuk sel surya polimer hybrid P3HT/ZnO komposisi campuran P3HT dan ZnO yang mempunyai efisiensi tertinggi adalah (7:3), maka pembuatan sel surya polimer hybrid P3HT/ZnO pada tahap ini dilakukan pada komposisi (7:3) dengan penambahan proses annealing. Foto prototipe sel surya polimer tersebut dapat dilihat pada Gambar 19 dan hasil karakterisasinya pada Tabel 7. Dari hasil Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa u efisiensi yang paling tinggi yaitu sebesar 0.002791 % diperoleh yang diannealing pada 140 C selama 10 menit.
Gambar 19. Foto prototipe sel surya polimer hybrid P3HT/ZnO desain persegi. 70
Tabel.7. Hasil Karakteristik listrik sel surya polimer hybrid P3HT /ZnO pada komposisi (7:3). Eff (%) Isc (A) Voc (V) FF
tanpa anil 1 0.0018 84 3.11E‐ 06 0.6519 47 0.6489 72
120 C sel1 0.00138 6 2.49E‐06 0.65190 5 0.61593 6
120 C sel‐2 0.0013 63 3.11E‐ 06 0.6519 05 0.4629 53
130 C sel1 0.0022 24 3.47E‐ 06 0.9785 84 0.4592 28
130 C sel‐2 0.0024 26 4.13E‐ 06 0.8965 78 0.4630 37
140 C sel‐1 0.0020 64 4.32E‐ 06 0.8968 47 0.3767 73
140 C sel‐2 0.0027 91 3.98E‐ 06 0.8561 26 0.5575 23
150 C sel‐1 0.0014 99 3.06E‐ 06 0.7740 16 0.4586 37
150 C sel‐2 0.0015 27 3.31E‐ 06 0.7335 9 0.4426 75
vi.
Percobaan pembuatan sel surya polimer hybrid MDMO‐PPV/ZnO. Proses pembuatan sel surya polimer hybrid MDMO‐PPV/ZnO ini baru dimulai pada Triwulan III menggunakan desain pola seperti pada gambar 18.. Proses pembuatan sel surya dilakukan masing‐masing pada komposisi (3:7), (1:1), dan (7:3) dan pada proses annealing 120 ºC dan 150 ºC, menggunakan substrat fleksibel (PET) dan substrat kaca. Foto prototipe sel surya polimer tersebut dapat dilihat pada Gambar 20 dan hasilnya pada tabel 8 dan tabel 10..
(a) (b) Gambar 20. Foto prototipe sel surya polimer hybrid MDMO‐PPV/ZnO desain persegi substrat PET (a) dan substrat kaca (b). Tabel.8. Hasil Karakteristik listrik sel surya polimer hybrid MDMO‐PPV /ZnO pada komposisi (7:3), (1:1), dan (3:7) sebelum proses laminasi. FF No MDMO‐PPV : ZnO Eff Isc (A) Voc (V) 1 7:3 (1) 3.61E‐05 5.29E‐08 0.244204 0.754581 2 7:3 (2) 5.60E‐05 9.52E‐08 0.162588 0.982372 3 7:3 (3) 0.000394 7.15E‐08 0.978841 0.997491 4 7:3 (4) 2.91E‐05 1.26E‐07 0.060497 1.030074 5 1:1 (1) 0.000217 6.38E‐08 0.978913 0.947533
71
6 7 8 9 10 11 12
1:1 (2) 1:1 (3) 1:1 (4) 3:7 (1) 3:7 (2) 3:7 (3) 3:7 (4)
6.74E‐05 0.00034 2.35E‐05 0.000326 0.000335 0.00034 0.000273
6.24E‐08 7.89E‐08 3.32E‐07 7.16E‐08 7.99E‐08 9.16E‐08 6.55E‐08
0.223874 0.978886 0.019935 0.978959 0.978819 0.978884 0.978898
1.291509 1.233634 1.0000 1.270437 1.189031 1.058545 1.18055
Tabel.9. Hasil Karakteristik listrik sel surya polimer hybrid MDMO‐PPV /ZnO pada komposisi (7:3), (1:1), dan (3:7) setelah proses laminasi No MDMO‐PPV : ZnO Eff Isc (A) Voc (V) FF 1 7:3 (1) 0.147421 4.47E‐05 0.978799 0.926717 2 7:3 (2) 0.121347 5.21E‐05 0.978753 0.648247 3 7:3 (3) 0.129198 3.75E‐05 0.978933 0.99874 4 7:3 (4) 0.114814 4.00E‐05 0.774506 0.989645 5 1:1 (1) 0.023548 0.000181 0.080428 0.423362 6 1:1 (2) 0.025585 4.74E‐05 0.24395 0.592513 7 1:1 (3) 0.10332 5.05E‐05 0.79482 0.715007 8 1:1 (4) 0.102075 6.42E‐05 0.427347 0.989547 9 3:7 (1) 0.119261 5.35E‐05 0.713543 0.847417 10 3:7 (2) 0.069299 2.73E‐05 0.978826 0.686515 11 3:7 (3) 0.160807 4.58E‐05 0.978746 0.97066 12 3:7 (4) 0.168581 4.73E‐05 0.978839 0.987908 Hasil pengukuran setelah laminasi menunjukkan rata‐rata efisiensi untuk perbandingan (7:3) adalah 0,128 %, (1:1) adalah 0,063 %, dan (3:7) menghasilkan 0,129 %. Hasil yang diperoleh dalam pengukuran yang ke dua masih menunjukkan bahwa sample dengan perbandingan MDMO‐PPV : ZnO sebesar (3:7) memiliki efisiensi yang paling tinggi. Jika dinandingkan dengan sebelum proses laminasi, maka setelah proses laminasi efisiensi yang dihasilkan hampir 10X lebih tinggi (dari 0,0132 % menjadi 0,129 %). Untuk lebih meningkatkan efisiensi, dalam penelitian ini dicoba dilakukan proses annealing lapisan aktif. Annealing dilakukan setelah proses spin coating lapisan aktif di dalam oven vakum pada temperatur 120 ºC selama 10 menit. Hasil pengukuran I‐Vnya dapat dilihat pada Tabel 10. Nilai efisiensi tertinggi diperoleh dari perbandingan MDMO‐PPV/ZnO dengan komposisi (3:7), yaitu sekitar 0,238853 % pada sel ke 1, 0,214923 % pada sel ke 2, 0.118732 % pada sel ke 3 dan 0,206767 % pada sel ke 4. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini perbandingan komposisi MDMO‐ PPV/ZnO (3:7) merupakan perbandingan komposisi paling baik dalam pembuatan sel surya polimer hibrid menggunakan MDMO‐PPV/ZnO dengan proses annealing, dengan efisiensi tertinggi sebesar 0,238853 %. Proses annealing mampu meningkatkan efisiensi sel menjadi 2X lipat. Peningkatan efisiensi tersebut dapat disebabkan karena proses annealing mampu memperbaiki struktur lapisan MDMO‐PPV/ZnO, sehingga kinerjanya dapat meningkat. 72
Tabel 10. Hasil karakterisasi listrik sel surya polimer hybrid MDMO‐PPV /ZnO pada komposisi (7:3), (1:1), dan (3:7) setelah proses annealing pada temperatur 120 ºC selama 10 menit. MDMO‐PPV No : ZnO Eff Isc Voc FF 1 7:3 (1) 0.057582 3.69E‐05 0.468734 0.880312 2 7:3 (2) 0.098198 4.88E‐05 0.938024 0.556418 3 7:3 (3) 0.123066 4.71E‐05 0.938071 0.740487 4 7:3 (4) 0.109568 4.32E‐05 0.978888 0.674688 5 1:1 (1) 0.008772 2.41E‐05 0.101184 0.926639 6 1:1 (2) 0.195707 5.23E‐05 0.978774 0.97754 7 1:1 (3) 0.017942 4.09E‐05 0.162482 0.720297 8 1:1 (4) 0.198407 5.98E‐05 0.978954 0.904864 9 3:7 (1) 0.238853 6.71E‐05 0.978796 0.937448 10 3:7 (2) 0.214923 7.26E‐05 0.978928 0.818806 11 3:7 (3) 0.118732 4.02E‐05 0.938081 0.818654 12 3:7 (4) 0.206767 6.56E‐05 0.978803 0.821199 Selain menggunakan substrat fleksibel, percobaan sel surya polimer hibrid MDMO‐PPV/ZnO ini juga dilakukan di atas substrat kaca. Hasil pengukuran I‐V tanpa proses annealing dan dengan proses annealing sebelum dan sesudah proses laminasi dapat dilihat pada Tabel 11, Tabel 12, Tabel 13 dan Tabel 14. Tabel 11. Hasil karakterisasi listrik sel surya polimer hybrid MDMO‐PPV /ZnO di atas substrat kaca pada komposisi (3:7), (1:1), dan (7:3) tanpa proses annealing sebelum laminasi. No MDMO‐PPV : ZnO Eff Isc (A) Voc (V) FF 1 3:7 (1) 0,439385 5,11E‐05 0,978808 0,92123 2 3:7 (2) 0,444908 4,74E‐05 0,978811 0,99108 3 3:7 (3) 0,466453 5,36E‐05 0,979009 0,92805 4 3:7 (4) 0,16043 3,79E‐05 0,672531 0,66413 5 1:1 (1) 0,450907 4,98E‐05 0,978828 0,98928 6 1:1 (2) 0,150047 4,16E‐05 0,652208 0,57342 7 1:1 (3) 0,430121 4,74E‐05 0,978806 0,93292 8 1:1 (4) 0,427202 4,79E‐05 0,978814 0,96193 9 7:3 (1) 0,392694 4,84E‐05 0,978701 0,88183 10 7:3 (2) 0,409244 4,64E‐05 0,978801 0,95297 11 7:3 (3) 0,107467 3,67E‐05 0,488936 0,61736 12 7:3 (4) 0,408495 4,78E‐05 0,978784 0,92085
73
Tabel 12. Hasil karakterisasi listrik sel surya polimer hybrid MDMO‐PPV /ZnO di atas substrat kaca pada komposisi (3:7), (1:1), dan (7:3) tanpa proses annealing setelah laminasi. No MDMO‐PPV : ZnO Eff Isc (A) Voc (V) FF 1 3:7 (1) 0,333535 4,22E‐05 0,978719 0,908696 2 3:7 (2) 0,01715 4,07E‐05 0,080823 0,592306 3 3:7 (3) 0,39066 4,47E‐05 0,978813 0,958335 4 3:7 (4) 0,346886 4,31E‐05 0,978704 0,918182 5 1:1 (1) 0,167421 3,15E‐05 0,733749 0,825764 6 1:1 (2) 0,331574 3,90E‐05 0,978779 0,987447 7 1:1 (3) 0,118902 3,62E‐05 0,509276 0,707647 8 1:1 (4) 0,125904 3,20E‐05 0,509269 0,883296 9 7:3 (1) 0,348238 4,49E‐05 0,978799 0,885571 10 7:3 (2) 0,045428 4,21E‐05 0,162252 0,740691 11 7:3 (3) 0,030143 6,74E‐05 0,080955 0,599591 12 7:3 (4) 0,084613 4,04E‐05 0,488798 0,476198 Tabel 13. Hasil karakterisasi listrik sel surya polimer hybrid MDMO‐PPV /ZnO di atas substrat kaca pada komposisi (3:7), (1:1), dan (7:3) dengan proses annealing pada temperatur 120 ºC selama 10 menit sebelum laminasi. No MDMO‐PPV : ZnO Eff Isc (A) Voc (V) FF 1 3:7 (1) 0,120123 4,47E‐05 0,509417 0,55974 2 3:7 (2) 0,461017 5,31E‐05 0,978836 0,94823 3 3:7 (3) 0,174284 4,49E‐05 0,631873 0,64521 4 3:7 (4) 0,381798 4,27E‐05 0,978876 0,97329 5 1:1 (1) 0,429556 4,76E‐05 0,978644 0,97532 6 1:1 (2) 0,395851 4,34E‐05 0,978823 0,93015 7 1:1 (3) 0,220643 4,83E‐05 0,550412 0,90731 8 1:1 (4) 0,433944 5,31E‐05 0,978871 0,85158 9 7:3 (1) 0,40852 4,86E‐05 0,978764 0,92493 10 7:3 (2) 0,378001 4,83E‐05 0,978519 0,85219 11 7:3 (3) 0,391324 4,58E‐05 0,978768 0,95104 12 7:3 (4) 0,371395 5,90E‐05 0,795105 0,85605
74
Tabel 14. Hasil karakterisasi listrik sel surya polimer hybrid MDMO‐PPV /ZnO di atas substrat kaca pada komposisi (3:7), (1:1), dan (7:3) dengan proses annealing pada temperatur 120 ºC selama 10 menit setelah laminasi. No MDMO‐PPV : ZnO Eff Isc (A) Voc (V) FF 1 3:7 (1) 0,439027 4,94E‐05 0,978738 0,955861 2 3:7 (2) 0,388804 4,66E‐05 0,978571 0,92171 3 3:7 (3) 0,497401 5,60E‐05 0,978743 0,934509 4 3:7 (4) 0,521177 6,24E‐05 0,978966 0,890868 5 1:1 (1) 0,421783 4,94E‐05 0,978731 0,945701 6 1:1 (2) 0,38104 4.42E‐05 0,978718 0,965866 7 1:1 (3) 0,513 5,62E‐05 0,978768 0,963984 8 1:1 (4) 0,429271 5,16E‐05 0,979033 0,923697 9 7:3 (1) 0,413664 4,76E‐05 0,978698 0,98621 10 7:3 (2) 0,230477 3,01E‐05 0,978824 0,862286 11 7:3 (3) 0,344598 4,32E‐05 0,978649 0,894626 12 7:3 (4) 0,405738 4,84E‐05 0,978676 0,928431 Sebelum proses laminasi efisiensi tertinggi yang diperoleh adalah 0,466453 %, 0,450907 % dan 0,409244 % berturut‐turut untuk komposisi MDMO‐PPV:ZnO (3:7), (1:1), dan (7:3). Adapun setelah proses laminasi efesiensi yang diperoleh adalah 0,39066 %, 0,331574 %, dan 0,348238 %, masing‐masing pada komposisi MDMO‐PPV:ZnO (3:7), (1:1), dan (7:3). Efisiensi tertinggi dihasilkan pada komposisi (3:7) baik sebelum maupun setelah proses laminasi. Dengan penambahan proses annealing pada temperatur 120 ºC selama 10 menit, sebelum proses laminasi efisiensi tertinggi yang diperoleh adalah 0,461017 %, 0,433944 % dan 0, 408520 % berturut‐turut untuk komposisi MDMO‐PPV:ZnO (3:7), (1:1), dan (7:3). Adapun setelah proses laminasi efesiensi yang diperoleh adalah 0,,521177 %, 0,513 %, dan 0,413664 %, masing‐masing pada komposisi MDMO‐PPV:ZnO (3:7), (1:1), dan (7:3). Efisiensi tertinggi juga dihasilkan pada komposisi (3:7), baik sebelum maupun setelah proses laminasi. Seperti halnya pada substrat fleksibel, proses annealing juga mampu meningkatkan efisiensi sel pada substrat kaca, akan tetapi tidak setinggi pada substrat fleksibel. Efiensi sel meningkat hanya sekitar 1,14X lipat.
75
OUTPUT (rencana sesuai yg tercantum dalam proposal) NO. OUTPUT RENCANA REALISASI % CAPAIAN 1. Publikasi Ilmiah a. Jurnal Nasional 1 buah 1 buah 100 • Fabrication of bulk heterojunction polymer solar cells, sudah disubmit dan direview di Jurnal Teknologi Indonesia, IPT LIPI, 2013. b. Jurnal Internasional Tidak ada 1 buah 100 • Fabrication of Polymer Solar Cells on Flexible Substrate. Advanched in Materials, Processing and Manufacturing Journal, Volume 789, 2013, pp.112‐117. 1 buah 2 buah 100 c. Prosiding Internasion • Effect of the composition of P3HT‐ZnO active layer on the electric characteristics and performance of hybrid polymer solar cell on flexible substrate. Prosiding International Seminar Innovation Research for Science, Technology, and Culture, NIST, Serpong, 19‐20 november 2013. • Hybrid polymer solar cell based on zinc oxide and poly (phenylene vinylene). Prosiding Joint Seminar IMEN PPET LIPI, Ciater, 21‐22 November 2013. d. Prosiding nasional 1 buah 3 buah 100 • Studi Pengaruh Intensitas Cahaya Penyinaran terhadap Karakteristik
KETERANGAN
76
Listrik Sel Surya Berbasis Silikon dan Polimer. Prosiding Seminar Nasional Kimia Terapan Indonesia, HKI – P2K LIPI, Solo 23 Mei 2013. • Studi Karakteristik Listrik Sel Surya Polimer Hibrid Berbasis P3HT‐ZnO di atas Substrat Fleksibel. Prosiding Seminar Fisika dan Aplikasinya, ITS, Surabaya 18 Juni 2013. • Pengaruh komposisi campuran P3HT‐ZnO dan proses annealing terhadap karakteristik listrik dan unjuk kerja sel surya polimer Hibrid di atas substrat fleksibel. Prosiding Seminar Nasional IPT, Yogyakarta 3 Oktober 2013. 2. Contoh Produk (jelaskan spesifikasi lengkapnya) • sel surya polimer hybrid MDMO‐PPV/ZnO efisiensi 0,521177 %. • sel surya polimer hybrid P3HT/ZnO efisiensi 0.002791 % 3. HKI a. Paten b. Merk
2 buah
2 buah
100
Tidak ada Tidak ada
‐ ‐
‐ ‐
77
IX.
KESIMPULAN Sebagaimana yang tercantum dalam Jadwal Kegiatan, sampai dengan tahap III ini seluruh kegiatan yaitu studi literatur, persiapan bahan, preparasi peralatan dan masker, percobaan pelapisan PEDOT:PSS, percobaan pembuatan polimer hybrid MDMO‐PPV/ZnO, percobaan pelapisan polimer hybrid MDMO‐ PPV/ZnO, proses pelapisan kontak Al, percobaan pembuatan sel surya, dan pengukuran kurva I‐V sel surya telah dilaksanakan semuanya. Meskipun demikian hasil yang diperoleh masih jauh dari yang diharapkan, akan tetapi masih lebih baik dibandingkan dengan hasil sebelumnya. Proses annealing dan proses laminasi mampu meningkatkan efisiensi sel secara signifikan, baik pada campuran MDMO‐PPV/ZnO maupun pada P3HT/ZnO. Efisiensi sel yang menggunakan substrat kaca lebih tinggi dibandingkan dengan sel yang menggunakan substrat fleksibel. Nilai efisiensi tertinggi untuk sel surya polimer hibrid MDMO‐PPV/ZnO dihasilkan pada komposisi (3:7), yaitu sebesar 0,521177 %. Untuk sel surya polimer hibrid P3HT/ZnO efisiensi tertinggi dihasilkan pada komposisi (7:3), yaitu sebesar 0.002791 %.
Daftar Pustaka : 1. M. Priaulx, “Solar Cells and Nanotechnology”, http://tahan.com/charlie/nanosociety/course201/ 2. Frost and Sullivan, “Plastic solar cells”, Advanched Manufacturing Technology, 15 Juli 2007. 3. S. Bush, “Efficiency of spray‐on polymer solar cell hits 6%”, electronics weekly.com, 3 March 2009. 4. J.K.J. van Duren, A. Dhanabalan, P.A. van Hal, dan R.A.J. Janssen, “Low‐bandgap polymer photovoltaic cells”, Synthetic Metals, 121 (2001) 1587‐1588. 5. Y. Kim, S.A. Choulis, J. Nelson, dan D.D.C. Bradley, “Composition and annealing effects in polythiophene/fullerene solar cells”, Journal of Material Science, 40 (2005) 1371‐1376. 6. T. Aernouts, P. Valaeke, W. Geens, J. Poortmans, P. Heremans, S. Borghs, R. Mertens, Ronn Andriessen, dan Luc Leenders, “Printable anodes for flexible organic solar cell modules”, Thin Solid Films, 451‐452 (2004) 22‐25. 7. Kumar, G. Li, Z. Hong, dan Y. Yang, “High efficiency polymer solar cells with vertically modulated nanoscale morphology”, Nanotechnology, 20 (2009) 5202‐ 5205. 8. J.K.J. van Duren, A. Dhanabalan, P.A. van Hal, dan R.A.J. Janssen, “Low‐bandgap polymer photovoltaic cells”, Synthetic Metals, 121 (2001) 1587‐1588. 9. G. Li, V. Shrotriya, J. Huang, Y. Yaou, T. Moriarty, K. Emery, dan Y. Yang, “High‐ efficiency solution processable polymer photovoltaics cells by self‐organization polymer blends”, Nature Materials, 4 (2005) 864‐868. 10. Wanzhu Cai, Xiong Gong, and Yong Cao (2010), “Polymer solar cells: Recent development and possible routes for improvement in the performance”, Solar Energy Materials & Solar Cells, 94(2): 114‐127. 11. Attila J. Mozer and Niyazi S. Sariciftci (2006), “Conjugated polymer photovoltaic devices and materials, C. R. Chimie, 9: 568–577.
78
12. R. Valaski, C.D. Canestraro, L. Micaroni, R.M.Q. Mello, dan L.S. Roman, “Organic
13.
14.
15.
16.
17.
18.
photovoltaic devices based on polythiophene films electrodeposited on FTO substrates”, Solar Energy Material and Solar Cells, 91 (2007)684‐688. Ankit Kumar, Gang Li, Ziruo Hong, dan Yang Yang, “High efficiency polymer solar cells with vertical modulated nanoscale morphology”, Nanotechnology, 20 (2009) 165202‐165206. S.E. Shaheen, R. Radspinner, dan N. Peyghambarian, “Fabrication of bulk heterojunction plastic solar cells by screen printing”, Appl. Phys. Lett, 70 (2001) 2996‐2998. B. Zhang, H. Chae, dan S.M. Cho, “Screen‐Printed Polymer:Fullerene Bulk‐ Heterojunction Solar Cells”, Japanese Journal of Applied Physics, 48 (2009) 020208 1‐3. Y. Kim, S. Choulis, J. Nelson, D.D.C. Bradley, “Composition and annealing effects in polythiophene/fullerene solar cells”, Journal of Materials Science, 40 (2005) 1171‐ 1376. H. Hoppe, T. Glatzel, M. Niggemann, W. Schwinger, F. Schaeffler, A. Hinsch M. Ch. Lux‐Steiner, N.S. Sariciftci, “Efficiency limiting morphological factors of MDMO‐ PPV:PCBM plastic solar cells”, Thin Solid Films, 511 – 512 (2006) 587 – 592. B. Schmidt‐Hansberg, H. Do, A. Colsmann, U. Lemmer, dan W. Schabel, “Drying of thin film polymer solar cells”, Eur. Phys. J. Special Topics, 166 (2009) 49‐53.
79
Rancang Bangun Antena Radar Pengawas Pantai Menggunakan Teknologi Film Tebal Dr.Ir. Yuyu Wahyu, MT
80
LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan Penelitian
:
2.
Kegiatan Prioritas
:
3. 4. 5. 6.
Peneliti Utama Nama Jenis Kelamin Sifat Penelitian Lama Penelitian Biaya Total 2013
: : : : : :
Rancang Bangun Antena Radar Pengawas Pantai Menggunkan Teknologi Film Tebal Penelitian, Penguasaan, dan Pemanfaatan Iptek (P3‐IPTEK) Dr. Ir. Yuyu Wahyu, MT Laki‐laki Baru/Lanjutan Tahun ke 1 1 ( Satu) Tahun Rp. 170.721.000,‐
Bandung, 20 Desember 2013 Peneliti Utama
Ketua PME PPET LIPI,
Dr. Purwoko Adhi, DEA NIP. 19670911 198701 1 001
Dr. Ir. Yuyu Wahyu, MT NIP. 19620210 199103 1 008
81
ABSTRAK Radar pengawas pantai (ISRA) yang telah dibuat menggunakan antena dengan teknologi mikrostrip dengan bahan PCB berupa Duroid/ RT‐ 5880, bekerja pada frekuensi 9,4 GHz dan dimensi permodul sekitar panjang 20 cm dan lebar 9 cm. Modul yang diperlukan untuk sistem pemancar atau penerima pada sistem radar ISRA sekitar 8 modul. Dengan demikian dimensi total antena sekitar 160 cm x 9 cm, apabila ditambah dengan reflector sekitar 160 cm x 60 cm. Pada kegiatan penelitian ini dilakukan pembuatan antena menggunakan teknologi film tebaldan menggunakan bahan PCB berupa subtrat alumina (Al203) yang mempunyai konstanta dielktrik relatif sekitar 9,6. Karena dimensi antena berbanding terbalik dengan akar dari konstanta dielektrik relatif, maka dimensi antena akan berkurang sampai dengan sekitar setengah dari dimensi semula atau dimensi keseluruhan sistem antena ditambah dengan reflektor sekitar 80 cm x 30 cm. Dengan demikian akan mengurangi bobot sistem mekaniknya yang selama ini merupakan kendala. Kata kunci: Antena, Radar, Thick Film 8. PENDAHULUAN 8.1 Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki sekitar 18.000 pulau tidak dapat sepenuhnya dipantau oleh armada pertahanan Indonesia, itu adalah masalah besar mengingat banyaknya hasil alam Indonesia dari luas sehingga tidak mudah bagi manusia untuk terus memantau dan melestarikan dan melindungi warisan negara berlimpah. Oleh karena itu kita membutuhkan alat yang dapat mendeteksi objek yang berada di wilayah perairan Indonesia yang lebih dari 1/3 bagian adalah wilayah pesisir. Alat yang dapat berfungsi sebagai pemancar dan penerima disebut antena. Antena adalah alat yang digunakan untuk mengirimkan gelombang mikro melalui udara. Antena mikrostrip cocok karena merupakan salah satu antena gelombang mikro yang digunakan sebagai radiator yang efisien pada banyak sistem telekomunikasi modern saat ini. Radar pengawas pantai menggunakan teknologi FM‐CW (frequency modulated continuous wave) dikarenakan radar jenis ini memiliki keunggulan‐keunggulan antara lain, biaya operasional dan pemeliharaan (maintenance) rendah, konsumsi daya kecil, ukuran relatif kecil, jangkauan deteksi cukup jauh dan tidak mudah diketahui oleh pihak lain akan pancaran sinyal radar‐nya (low probability of intercept = LPI). Secara keseluruhan blok diagram dari sistem Radar Pengawas Pantai yang menggunakan teknologi FM‐CW (frequency modulated – continuous wave) yang dikerjakan di PPET‐LIPI dapat ditunjukkan oleh Gambar‐1 berikut ini.
82
Gambar‐1. Blok diagram sistem radar pengawas pantai FM‐CW. Bagian pembangkit frekuensi (frequency generator) merupakan ‘jantung’ dari sistem penerima radar ini dimana input sinyal untuk bagian pemancar berasal dari bagian ini. Sedangkan untuk bagian penerima, input sinyal berasal dari pembangkit frekuensi dan dari antena penerima. Bagian pemancar mengirimkan sinyal Radar yang telah diperkuat ke bagian antena untuk diteruskan ke obyek‐obyek yang diamati. Pantulan (refleksi) dari obyek‐obyek yang diamati akan diterima oleh antena dan kemudian diteruskan ke bagian penerima untuk mendapatkan sinyal perbedaan antara yang dikirim dan yang diterima. Komputer (PC) akan mengolah sinyal perbedaan ini untuk mendeteksi jangkauan, posisi dan kecepatan obyek, dimana informasi ini akan ditunjukkan pada tampilan (displai/monitor).
System antena tampak depan
System antena tampak belakang
Gambar‐2. Sistem antena radar pengawas pantai versi lama.
Dalam penelitian ini, perancangan radar pengawas pantai menggunakan teknologi planar dan tidak menggunakan reflektor sebagai penguat gain dan mengecilkan beamwidth. Perancangan yang baru ini menggunakan air gap untuk mengurangi isolasi yang ditimbulkan antena. Antara antena pemancar dan penerima.
83
Gambar‐3. Sistem antena radar pengawas pantai versi baru. Salah satu masalah yang dihadapi radar ISRA adalah dimensi yang besar sehingga memberikan bobot sekitar 150 kg. Dimensi casing sistem antena saat ini panjang 160 cm, lebar 60 cm dan tebal 30 cm yang menggunakan modul antena menggunakan bahan PCB berupa Duroid/RT 5880 (konstanta dilektrik εr = 2,2) mempunyai dimensi 20 cm x 9 cm. Hal ini sangat tidak praktis, salah satu solusi untuk menurunkan dimensi adalah memperbesar konstanta dilektrik. Diantaranya adalah menggantikan bahan PCB menjadi substrat Alumina memiliki dielektrik εr konstan = 9,6 (5%). Dengan demikian, dimensi akan menjadi sekitar setengah dari ukuran aslinya sebagai dimensi berbanding terbalik dengan akar konstanta dielektrik. Mengurangi dimensi akan memberikan biaya yang lebih rendah, dan akan lebih praktis dan kompak, Namun, alumina 96% memiliki "kerugian tangen" relatif besar (0,0010), sehingga mempengaruhi disipasi daya. nilai εr pada alumina mengakibatkan pengurangan ukuran volume antena.
84
Gambar‐4. Kepingan Alumina yang digunakan.
8.2 Perumusan Masalah a. Melakukan perancangan, simulasi dan realisasi antena mikrostrip menggunakan subtrat alumina dengan teknologi film tebal pada frekuensi 9,4 GHz. b. Pemanfaatan antena tersebut pada poin a untuk radar pengawas pantai (ISRA) sehingga dapat mengurangi dimensi sistem antena ISRA sekitar setengahnya. 9. TUJUAN DAN SASARAN 9.1 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan perancangan, simulasi dan realisasi antena mikrostrip menggunakan subtrat alumina dengan teknologi film tebal untuk aplikasi radar pengawas pantai ISRA. 9.2 Sasaran Sasaran kegiatan penelitian ini adalah perancangan, simulasi dan pembuatan modul antena menggunakan subtrat alumina yang bekerja pada frekuensi X ‐ band untuk aplikasi radar pengawas pantai ISRA. Satu modul mempunyai susunan 8 buah patch antena mikrostrip, mempunyai gain sekitar 15 dB, bandwidth 60 MHz pada VSWR 1,5 dan beamwidth sekitar 9 derajat. Untuk mendapatkan Beamwidth azimut <1 derajat dan elevasi <20 derajat, dibutuhkan susunan array antena patch sebanyak 8 modul. 10. METODE Dalam kegiatan penelitian ini, metodologi yang digunakan adalah: • Perancangan antena : melakukan perhitungan sehingga menghasilkan dimensi antena sementara • Simulasi : melakukan eksperimen hasil perhitungan menggunakan perangkat lunak sehingga mengasilkan gambar yang siap untuk di‐screen printing • Karakterisasi proses film tebal untuk antena menggunakan furnace • Realisasi : melakukan screen printing diatas alumina menggunakan pasta konduktor dan pembakaran di dalam furnace pada suhu sekitar 850 derajat. • Penyambungan feeder antena dengan konektor SMA
85
•
Pengukuran : melakukan pengukuran VSWR menggunakan VNA (vector network analyzer); Polaradiasi, palarisasi dan gain dilakukan menggunakan spektrum analyzer, antena referensi dan signal generator • Seminar dan Publikasi 11. RENCANA CAPAIAN, HASIL, DAN PEMBAHASAN 11.1 Rencana Capaian Jadwal Kegiatan 2013 B U L A N No Tahapan Kegiatan 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1. Perancangan antena 1 modul (susunan antena 8 patch) 2. Simulasi antena 1 modul 3. Simulasi Antena 8 modul 4. Fabrikasi antena 1 modul 5. Fabrikasi antena 8 modul 6. Pengukuran 7. Publikasi Ilmiah 11.2 Hasil dan Pembahasan Spesifikasi antena yang dibuat adalah sebagai berikut − Frekuensi : 9,4 GHz (X‐Band) − Bandwidth : ≥ 60 MHz − Material : 96% Aluminia − Tebal substrat : 0.639 mm − Beamwidth Azimut : ≤ 2,5˚ − Beamwidth Elevasi : ≤ 30˚ − Impedansi : 50 Ohm − VSWR : ≤ 1.5 − Return Loss : ≤ ‐14 dB − Polaradiasi : Unidireksional − Polaisasi : Linier Sifat – sifat bahan PCB alumina • Tahan korosi, sifat tahan korosi dari aluminium ini diperoleh karena terbentuknya lapisan aluminium oksida pada permukaan aluminium. Lapisan 86
1 1
1 2
• •
•
ini membuat Al tahan korosi tetapi sekaligus sukar dilas, karena perbedaan melting point (titik lebur). Aluminium umumnya melebur pada temperature 2000°C. Penghantar listrik dan panas yang baik Mudah difabrikasi/dibentuk, sifat lain yang menguntungkan dari aluminium adalah sangat mudah difabrikasi, dapat dituang (dicor) dengan cara penuangan apapun. Dapat ditempa menjadi lembaran, ditarik menjadi kawat dan diekstrusi menjadi batangan dengan bermacam‐macam penampang. Tipis dan gampang retak seperti cangkang telur.
4.2.1 1 (Satu) Modul Susunan Antena 8 Patch a. Perhitungan dimensi ‐ Menghitung lebar patch = 6,928 mm
‐ Menghitung panjang patch =5,014 mm
87
Karena nilai w/h=6,928/0,7 = 10,8 (w/h > 1), maka kita menggunakan persamaaan ε eff =
εr +1 2
+
ε r − 1 ⎡⎛ ⎢ 2
12 h ⎞ ⎜1 + ⎟ W ⎠ ⎢⎣ ⎝
2
⎤ ⎥ ⎥⎦
‐ Menghitung lebar groundplane W = Wpatch + 6(h) = 6,928 + 6 (0,639) = 10,76 mm ‐ Menghitung panjang groundplane L = Lpatch + 6 (h) = 5,014 + 6 (0,639) = 8,84 mm ‐ Menghitung lebar stripline + 0,39 +
= 0,6372 mm
‐ Menghitung panjang stripline L stripline = = mm Dari hasil perhitungan – perhitungan di atas diperoleh data parameter antena mikrostrip: Tabel‐1. dimensi single antena No. Parameter Hasil 1. W (Lebar Patch) 6,928 mm 2. L (Panjang Patch) 5,014 mm 3. W pround plane 10,76 mm 4. L Ground Plane 8,84 mm 5. W Stript Line 0,6372 mm 6. L Stript Line 2,57 mm Jika di ilustrasikan pada gambar, maka akan seperti : Gambar‐5. struktur antena single patch 88
b. Simulasi 1 modul Pada tahap awal ini dilakukan simulasi dan optimasi antena 1 modul susunan antena 8 patch menggunakan perangkat lunak CST Microwave 2012, Hasil optimasi dalam 1 modul antena memiliki panjang 92,8 mm dan lebar 15 mm. setiap patch memiliki panjang 7 mm dan lebar 4,28 mm. Selain itu hasil simulasi S11, VSWR, bandwidth, impedansi, polaradiasi dan gain dapat dilihat pada Gambar‐7 s.d Gambar‐10 dan tabel‐2
Gambar‐6. Tampilan simulasi antena alumina tampak depan
Gambar‐7. Hasil simulasi Return loss S11
Gambar‐8. Hasil simulasi VSWR Tabel‐2. VSWR Parameter VSWR 89
9,3457 GHz 9.4 GHz 9,4436 GHz
1,5 1,055 1,5
Gambar‐9. Hasil simulasi impedansi
Gambar‐10. Hasil simulasi gain
Gambar‐11. Hasil simulasi gain antena 1 modul
90
Gambar‐12. Hasil simulasi HPBW sudut azimuth
91
Gambar‐13. Hasil simulasi HPBW sudut elevasi
Gambar‐14. Hasil simulasi 3dB E – field
Gambar‐15. Hasil simulasi 3dB H – field
92
Analisa hasil simulasi S11, VSWR, Bandwidth, Impedansi, Polaradiasi, Gain and HPBW : • Keseluruhan antena, Dalam 1 modul antena memiliki panjang 92,8 mm dan lebar 15 mm. Setiap patch memiliki panjang 7 mm dan lebar 4,28 mm. • Nilai Return loss S11 pada frekuensi 9,4 GHz sebesar ‐31,3 dB. • Nilai VSWR yang diperoleh sebesar 1,05. • Dari hasil VSWR dapat dilihat bahwa lebar bandwidth 97,9 MHz untuk VSWR minimum <1,5. • Nilai impedansi yang diperoleh untuk frekuensi 9,4 GHz pada 48,050502 ‐ j1.823181 Ohm. Nilai impedansi mendekati 50 Ohm. • Gain antena dari 1 modul 12.37 dB. • Besar dari HPBW (3 dB) sudut azimuth pada frekuensi 9,4 GHz untuk 1 modul antena menghasilkan 97.9˚ . • Besar dari HPBW (3 dB) sudut elevasi pada frekuensi 9,4 GHz untuk 1 modul antena menghasilkan 17.9˚ • Dari hasil simulasi E – Field and H – Field didapat bahwa arah pancar medan E dan medan H dari bagian sumber berjalan melalui garis strip menuju ke 8 patch yang seragam. Hal ini menunjukkan bahwa sedikit delay yang terjadi ketika antena memancarkan gelombang mikro. c. Fabrikasi 1 Modul Antena Pada proses fabrikasi antena ini menggunkan teknologi film tebal, dengan proses sebagai berikut : 1. Pembuatan screen (negatif film) 2. Pencetakan (printing) 3. Pengeringan (drying) 4. Pembakaran (firing)
Gambar‐16. 1 modul antena
c. Pengukuran 1 Modul Antena Pengukuran menggunakan alat ukur berupa network analyzer yang beroperasi pada frekuensi 50Mhz– 20GHz, dengan hasil ukur sebagai berikut :
93
Gambar‐17. Hasil Pengukuran VSWR
Gambar ‐18. Hasil Pengukuran Return loss
94
Gambar‐19. Hasil Pengukuran Impedansi prototype 1 modul antena Dari pengukuran VSWR prototype 1 modul antenna didapat nilai VSWR 8,4 GHz ini berarti bergeser 1 GHz. Hal ini di karenakan pencetakan material konduktor ke alumina kurang presisi dari ukuran yang sudah di simulasikan. Oleh karena itu pada proses fabrikasi selanjutnya dilakukan pencetakan dengan ketelitian yang benar‐ benar teliti, sehingga kepresisi sesuai dengan simulasi. d. Simulasi 8 modul Pada tahap berikutnya dilakukan simulasi dan optimasi antena 8 modul menggunakan perangkat lunak CST Microwave 2012, Hasil optimasi dalam 8 modul adalah sebagai berikut :
Gambar‐20. Simulasi antena 8 modul
95
Gambar‐21. Gain antena dari 4 x 8 modul 26,83 dB
Gambar‐22. HPBW (3 dB) sudut azimuth 4 x 8 modul pada frekuensi 9,4 GHz menghasilkan 26.9˚ .
96
Gambar‐23. HPBW (3 dB) sudut elevasi 4 x 8 modul pada frekuensi 9,4 GHz menghasilkan 2.1˚ .
Gambar‐24. Gain antena dari 4 x 12 modul 28,65 dB
97
Gambar‐25. HPBW (3 dB) sudut azimuth 4 x 12 modul pada frekuensi 9,4 GHz menghasilkan 26.9˚ .
Gambar‐26. HPBW (3 dB) sudut elevasi 4 x 12 modul pada frekuensi 9,4 GHz menghasilkan 1˚ . e. Fabrikasi dan Hasil Pengukuran 8 Modul Antena Fabrikasi antena 8 modul di susun array ini bertujuan untuk melihat memper kecil beamwidth. Untuk pencatuan konektor menggunakan metode insert feed. Hasil fabrikasi antena dan pengukuran dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
98
Gambar‐27. 8 modul antena
Gambar‐28. Hasil Pengukuran VSWR 8 Modul antena
99
Gambar‐29. Hasil Pengukuran Return loss 8 Modul antena
Gambar‐30. Hasil Pengukuran Impedansi 8 Modul antena Dari pengukuran VSWR antena yang dilakukan mendapatkan nilai VSWR yang sesuai dengan harapan sebesar 1.02 dan bandwidth 73 MHz dengan menghasilkan gain sebesar 26,83 dB. OUTPUT (rencana sesuai yg tercantum dalam proposal)
100
NO. OUTPUT 4. Publikasi Ilmiah e. Jurnal Nasional
RENCANA ‐
REALISASI ‐
% CAPAIAN KETERANGAN ‐ Jelaskan judul makalah, penulis, No. ISSN/ISBN, tempat dan tahun diterbitkan ‐ Jelaskan judul makalah, penulis, No. ISSN/ISBN, tempat dan tahun diterbitkan 100 Seminar radar (ICRAMET) 2013 ‐ Jelaskan judul makalah, penulis, No. ISSN/ISBN, tempat dan tahun diterbitkan 100 Pembuatan antena
f. Jurnal Internasional
‐
‐
g. Prosiding Internasional h. Prosiding Nasional
1 buah
1
‐
‐
1 unit
1
‐
‐
‐
‐
‐
‐
Contoh Produk (jelaskan spesifikasi lengkapnya) 6. HKI c. Paten 5.
d. Merk
No. daftar, tgl No. daftar, tgl
dst ‐ ‐ ‐ 12. KENDALA DAN PERMASALAHAN − Pemunduran tibanya komponen yang semula dijadwalkan. Namun demikian proses kegiatan masih sesuai jadwal. − Pada proses simulasi membutuhkann waktu lama untuk mempercepat dilakukan pembelian modul GPU (Grafik prosesing Unit) − Pengeboran lubang menggunakan bor biasa untuk dudukan konektor pada alumina sering pecah maka mata bornya di ganti dengan mata bor berlian/diamond. − Ketebalan konduktor tembaga peradiasi yang susah ditentukan, hal ini dikarenakan ketebalan screen yang sukar di ketahui. Sehingga apa bila dilakukan screen sebanyak 1 lapisan, menghasilkan 0.02 mm, dan 2 kali screen menghasilkan ketebalan 0.04 mm. sedangkan dalam perhitungan perancangan dan simulasi 0.035 mm. hal tersebut mengakibatkan pergeseran frekuensi. 101
13. KESIMPULAN • Telah dilakukan simulasi menggunakan perangkat lunak CST Microwave 2012 dan direlisasi menggunakan teknologi film tebal berupa antena 1 modul, dengan hasil ukur sebagai berikut : 9 Nilai Return loss S11 pada frekuensi 9,31 GHz pada ‐33,3 dB. 9 Nilai VSWR pada frekuensi 9,31 GHz yang diperoleh dalam simulasi, sebesar 1,021. 9 Nilai impedansi yang diperoleh dari hasil simulasi untuk frekuensi 9,31 GHz pada 43,32 ‐ j1.8 Ohm. • Telah direalisasikan antena 8 modul dengan hasil pengukuran antena adalah gain sebesar 26,83 dB, VSWR sebesar 1.02 dan bandwidth 73 MHz. • Tidak terpengaruh terhadap temperature tinggi yang di akibatkan oleh lingkungan, hal ini dikarenakan material Alumina tersebut diproses pada pembakaran bersuhu 850°C. 14. DAFTAR PUSTAKA [1]. M.I. Skolnik, ’Radar Handbook’, McGraw‐Hill, 1990. [2]. M.I. Skolnik, ’Introduction to Radar Systems’, McGraw‐Hill, 2002. [3]. S. Kingsley and S. Quegan, ’Understanding Radar Systems’, CHIPS. [4]. Leo P. Ligthart, ’Short Course on Radar Technologies’, International Research Centre for Telecommunications‐transmission and Radar, TU Delft, September 2005. [5]. Balanis, Constantine A, 2005, Antena Theory Analysis and Design, 3rd edition, Willey Inc, hal 1–84. [6]. Garge Ramesh, 2000, Microstrip Antena Design Handbook, Artech House, hal. 1‐30. [7]. Kumar Girish, 2003, Broadband Microstrip Antenas, Artech House, hal. 1‐45. [8]. James JR dan Hall PS, 1989, Handbook of Microstrip Antenas, 1st edition, Peter Peregrinus Ltd, hal. 58‐82. [9]. Venkataraman, Jayanti, 26 Oktober 2009, Rectangular Microstrip Patch antena with Designer, http://www.rit.edu/kgcoe/eta/docs/Designer‐EMPlanar‐ Tutorial.pdf.
102
Lampiran Seminar Radar (ICRAMET) 2013 27 & 28 Maret 2013 Array Planar Antena Using Thick Film on Alumina Substrate for X band Radar Yuyu Wahyu1, Yussi Perdana Saputera2 I Dewa Putu Hermida3 123 Research Centre for Electronics and Telecommmunications of the Indonesian Institute of Sciences (PPET‐LIPI) Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected] 123Kampus LIPI Jl. Sangkuriang Bandung – Indonesia Abstract— We conducted a research of the radar antena. This research focuses on the manufacturing of microstrip antena using thick film as part of the patch conductor material in paste on alumina (Al203). This antena is designed at a frequency of 9.4 GHz. Alumina material is used because these materials can produce small dimensions, so the overall planar antena radar system dimension is smaller than previous research. This is because the sufficiently large relative permittivity insulation, namely the use of dielectric materials εr = 9.6. Antena design aims to x band radar applications. The designed antena has 8 square patch array in the first module, and structured planar 8 ‐ 12 modules sideways and 4 modules down, both for the transmitter and receiver. Antena design and simulation results illustrate that the antena Rectangular Patch Array for Radar Applications has characteristics that work on frequencies 9.4 GHz, 97.9 MHz for Bandwidth at VSWR ≤ 1.5, 12 dBi for gain, linear polarization and unidirectional radiation pattern. Keywords : Radar; Array; Planar and Alumina
103
Pemanfaatan dan Pemasangan Radar Pengawas Pantai Ir. Mashury, M.Eng
104
LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan Penelitian
:
2.
Kegiatan Prioritas
:
3. 4. 5. 6.
Peneliti Utama Nama Jenis Kelamin Sifat Penelitian Lama Penelitian Biaya Total 2013
: : : : :
Pemanfaatan dan Pemasangan Radar Pengawas Pantai Penelitian, Penguasaan, dan Pemanfaatan Iptek (P3‐IPTEK) Ir. Mashury, M.Eng Laki‐laki Baru/Lanjutan Tahun ke 3 1 ( Satu) Tahun (SBK, diulangi setiap tahun) Rp. 1.127.115.000,‐
Bandung, 20 Desember 2013 Peneliti Utama
Ketua PME PPET LIPI,
Dr. Purwoko Adhi, DEA NIP. 1967 0911198701 1 001
Dr. Mashury NIP. 19680408 199303 1 007
105
ABSTRAK Rancang bangun sebuah prototip radar pengawas pantai (Coastal Surveillance Radar) yang dinamakan ISRA (Indonesian Surveillance Radar) dilakukan dalam kegiatan penelitian ini. Setelah dilakukan rancang bangun, maka dilakukan pengetesan Radar ISRA di dalam laboratorium dan di lapangan yang berdekatan dengan wilayah pantai. Setelah dilakukan perbaikan kinerja berdasarkan hasil pengetesan, selanjutnya dilaksanakan sertifikasi radar oleh pihak‐pihak berwenang di dalam negeri. Radar pengawas pantai ISRA ini akan terkoneksi dalam suatu jaringan sehingga bisa dimonitor secara jarak jauh dari Jakarta atau Bandung. Pemanfaatan dan pemasangan Radar ISRA ini akan membantu pemerintah dalam pengawasan wilayah perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena Indonesia memiliki panjang pantai lebih dari 80.000 km. Tindakan ilegal di wilayah perairan NKRI dapat dikurangi melalui pengawasan menggunakan Radar ISRA ini. Kata kunci: Jaringan radar, radar pengawas pantai ISRA, sertifikasi, wilayah perairan. 15. PENDAHULUAN 15.1 Latar Belakang Masalah Pengamanan dan pengawasan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri dari lebih 17.000 pulau dengan 2/3 wilayah terdiri dari lautan akan memerlukan aparat dan peralatan yang berjumlah sangat besar. Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan panjang pantai terbesar didunia yaitu lebih dari 80.000 Km. Pada kenyataannya, kemampuan TNI‐AL dan POLRI untuk mengawasi wilayah RI sangat terbatas sehingga wilayah perairan Indonesia rawan akan pencurian ikan, pelanggaran wilayah oleh kapal‐kapal asing, pembajakan kapal laut dan penyelundupan. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah dalam mengawasi dan mengamankan wilayah adalah dengan menggunakan radar pengawas pantai untuk mengawasi pergerakan kapal laut sehingga dapat dicegah tindakan‐tindakan yang dapat merugikan NKRI dan juga tabrakan kapal apabila hendak merapat ke pelabuhan. Pemasangan radar pengawas pantai daya besar (high power) di kapal atau dipinggir daratan (sekitar pantai) dapat digunakan untuk mengawasi wilayah laut yang luas sampai beberapa puluh mil laut. Berdasarkan uraian diatas maka penggunaan radar sangat penting untuk pengawasan dan pengamanan wilayah perairan NKRI. Kemandirian bangsa dalam pembuatan radar akan sangat membantu dalam penyediaan radar didalam negeri. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa kondisi perekonomian bangsa yang sedang terpuruk ini tidak memungkinkan pemerintah untuk membeli peralatan radar dari luar negeri yang umumnya bernilai sangat mahal (dari U$100.000 sampai dengan jutaan U$ dollar). Hal ini ditambah dengan sulitnya mekanisme pembelian radar yang sifatnya strategis dibidang pertahanan dan keamanan. Gambar‐1 memperlihatkan contoh radar pengawas pantai dan aplikasinya dalam pengawasan pelabuhan (pengaturan lalu lintas kapal, pencegahan perusakan terhadap laut, penanggulangan kecelakaan diperairan, pencegahan penyelundupan, pencegahan pencurian ikan, dll)
106
Gambar 1. Berbagai fungsi dari Radar pengawas pantai
Ilustrasi pemakaian radar pengawas pantai untuk pengawasan wilayah perairan sekitar Selat Sunda ditunjukkan pada Gambar‐2. Diasumsikan ada tiga buah Radar yang terhubung melalui satu jaringan. Dalam gambar ini, daerah jangkauan Radar ditentukan oleh kemampuan daya pancar, ketinggian menara dan polarisasi dari antena [1, 2, 3, 4]. Penggunaan jaringan Radar Pengawas Pantai memungkinkan lalu lintas kapal disekitar Selat Sunda dan yang menuju atau dari Pelabuhan Tanjung Priok dapat diamati. Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI telah membuat satu prototip Radar Pengawas Pantai pada kurun waktu tahun 2009‐2011. Pada tahun 2010, telah dibuat prototip ke 2 yang merupakan prototip versi komersial/produksi, sementara prototip I adalah untuk demo sedangkan prototip III untuk versi transportable. Blok diagram Radar frequency modulated‐continuous wave (FM‐CW) yang digunakan pada prototip radar PPET‐LIPI diperlihatkan pada Gambar‐3 [1, 4]. Sistem Radar FM‐ CW ini terbagi atas dua bagian utama yaitu transmitter (pemancar) dan receiver (penerima). Hasil deteksi Radar akan ditampilkan oleh Display unit yang mengolah sinyal/data yang diterima dari bagian Receiver menjadi suatu gambar yang dapat diinterpretasikan dengan mudah oleh pengguna [5, 6, 7‐18]. Pengolahan sinyal Radar ini dilakukan oleh sebuah komputer yang berkemampuan tinggi sehingga semua proses dilakukan secara real time untuk menghindari adanya penundaan (delay). Seiring dengan kemajuan teknologi Radar, peranan perangkat lunak untuk pengolahan sinyal menjadi semakin penting (vital) [5, 6, 7‐18]. Tampilan dari Radar akan disesuaikan dengan kelaziman yang berlaku pada Radar Pengawas Pantai yang telah dijual dipasaran, yaitu antara lain mengikuti regulasi International Maritime Organization (IMO) dan menampilkan parameter‐parameter penting dari Radar sebagai informasi untuk pengguna. Terdapat dua antena yang masing‐masing digunakan untuk memancarkan sinyal Radar ke obyek yang ingin diamati dan untuk menerima sinyal Radar yang dipantulkan oleh obyek. Antenna control yang berfungsi untuk mengatur agar gerakan antenna sesuai dengan tampilan dilayar dari Display 107
unit. Pembangkit frekuensi (frequency generator) berfungsi untuk membangkitkan sinyal sweep, memberikan input sinyal osilator (local oscillator) frekuensi rendah dan tinggi ke bagian pemancar dan penerima, serta menghasilkan sinyal dengan frekuensi referensi.
Gambar‐2. Ilustrasi jangkauan radar untuk Selat Sunda.
Pemancar (TX)
Antena TX
Pembangkit Frekuensi (Frequency Generator) Penerima (RX) Personal Computer + Display
15.2 • •
Antena RX Antena Control
Gambar‐3. Blok Diagram Sistem Radar FM‐CW. Perumusan Masalah Melakukan rancang bangun radar pengawas pantai (coastal surveillance Radar). Pemanfaatan dan pemasangan radar pengawas pantai.
108
16. 16.1
16.2
TUJUAN DAN SASARAN Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan perancangan dan implementasi dari radar pengawas pantai ISRA yang akan dipasang dan dimanfaatkan untuk memonitor wilayah perairan strategis di wilayah NKRI. Prototip radar pengawas pantai ini juga akan dites secara keseluruhan dalam rangka mendapatkan sertifikasi dari lembaga‐lembaga yang berwenang. Serangkaian tes akan dilakukan yang melibatkan pihak pengguna seperti TNI‐AL, dan Direktorat Kenavigasian Ditjen Hubla Dephub. Sasaran Sasaran kegiatan penelitian pada tahun 2013 adalah perangkat lunak (software) untuk pengolahan sinyal dan jaringan radar, modul‐modul perangkat keras, sistem antena radar, sistem mekanik radar, pengetesan modul‐modul yang sudah dibuat dan mendapatkan sertifikasi dari lembaga‐ lembaga yang berwenang di Indonesia yang menyatakan bahwa radar pengawas pantai layak digunakan oleh pemakai dan memenuhi standar‐ standar yang ada. Satu revisi atas Standar Operational Procedure (SOP) yang telah dibuat dapat dilakukan berdasarkan pengetesan dan pengujian Radar yang dihasilkan melalui kegiatan ini.
17. METODE Dalam kegiatan penelitian ini, metodologi yang digunakan adalah: a. Pembuatan Perangkat Keras Radar ISRA (Indonesian Surveillance Radar) Pada tahap ini dilakukan desain dari perangkat keras yang melibatkan banyak komponen/modul dari frekuensi rendah sampai tinggi termasuk komponen aksesorisnya. Dikarenakan kompleks‐nya pekerjaan maka diperlukan sejumlah peneliti dan teknisi. Setelah desain, maka dilakukan implementasi perangkat keras termasuk pemasangan kabel dan konektor. Setelah implementasi, dilakukan pengetesan baik per‐sub bagian maupun keseluruhan perangkat keras. b. Rancang Bangun Perangkat Lunak Radar ISRA dan jaringan Radar Dalam tahap ini dilakukan desain dari perangkat lunak yang terdiri dari perangkat lunak untuk pergerakan motor, tampilan Radar, pengolahan sinyal Radar, setting pada ADC dan sweep synthesizer. Setelah desain dilakukan maka dilakukan implementasi dari perangkat lunak tersebut. Dikarenakan banyaknya pekerjaan maka diperlukan banyak personil dengan latar belakang perangkat keras, pengolahan sinyal, elektronika dan programming. c. Pengujian Radar ISRA (Indonesian Surveillance Radar) Pengetesan Radar dilapangan akan dilakukan di Kampung Padi Dago, Bandung, untuk tes pola radiasi antena, dan juga tes di site Radar ISRA di Anyer, Cilegon dan PLTU Suralaya Merak, Cilegon. Pengetesan ini melibatkan banyak orang karena banyaknya hal yang harus dilakukan dan ukuran Radar yang besar/berat serta harus dilakukan beberapa kali. d. Evaluasi dan Perbaikan
109
Berdasarkan hasil pengujian, dan pengetesan maka dilakukan peningkatan unjuk kerja melalui perbaikan setting, tuning, penggantian komponen/modul, perbaikan perangkat lunak dan pengaturan lain‐lain. Publikasi ilmiah Sebagai salah satu output hasil penelitian maka harus dilakukan publikasi ilmiah baik diterbitkan di konferensi nasional/internasional maupun di jurnal nasional/internasional.
e.
4. 4.1
RENCANA CAPAIAN, HASIL, DAN PEMBAHASAN Rencana Capaian Jadwal kegiatan 2013
o 1.
2. 3.
4.
Tahapan Kegiatan 0
1
Rancang Bangun Perangkat Lunak Radar ISRA (Indonesian Surveillance Radar) Pembuatan Perangkat Keras Radar ISRA Pengujian Perangkat Keras dan Perangkat Lunak Radar ISRA Sertifikasi dan perjanjian Radar ISRA Evaluasi dan Perbaikan
5. 4.2 Hasil dan Pembahasan Rancangan perangkat keras radar yang menggunakan teknologi FM‐CW pada frekuensi X‐Band terdiri dari bagian pemancar, penerima, pembangkit frekuensi, catu daya, dan bagian kontrol ditunjukkan pada Gambar‐4. Desain dan pembuatan perangkat lunak radar untuk pengolahan data dan tampilan Radar ditunjukkan pada Gambar‐5.
110
2
Gambar‐4. Rancangan perangkat keras radar pengawas pantai
Gambar‐5. Blok diagram software Radar surveillance.
Spesifikasi Teknis Radar Pengawas Pantai : a. Antenna 1) Microstrip Patch array with gain : ~ 30 dB. 111
2) Dual antenna configuration for transmit and receive. 3) Azimuth range : 180 degree 4) Elevation range : ‐5 degree up to 10 degree 5) Beamwidth : < 1 degree. 6) Vertical beamwidth : ~15 degree. st 7) 1 sidelobe : < ‐ 20 dB 8) TX‐RX Coupling : > 60 dB 9) Rotating Speed : 0 ‐20 rpm 10) Beam Misalignment : < 20% b. Transceiver 1) Frequency : X band (8‐12 GHz) 2) Ranges : 48 NM, 24 NM, 12 NM, 6 NM, 3 NM 3) Output Power Max : 10 Watt. 4) Transmit Power Min : 10, 5, 2.5, 1.25, 0.625, 0.3125 W 5) Carrier Frequency : 9.4 GHz 6) Frequency Agility : Sweep to sweep 7) Noise Floor : < ‐90 dBm 8) Doppler Speed : 40 Knot max 9) ESM Range : 2 mile 10) RX Noise Figure : max 2.5 dB 11) Operating System : Linux or Windows 12) IF Bandwidth : 512 kHz. 13) Number of Range Cells : 512. 14) Range cells : 125, 62, 31, 12, 6 meter. 15) PC‐Based Processing System. 16) Standard PC display. 17) Maximal Beat Frequency 2 MHz. 18) Beat Signal Sampling by 16 bit ADC c. Frequency Generation 1) Main frequency generator DRO (dielectric resonant oscillator). 2) FM – Modulation. 3) Linear saw‐tooth by using DDS (direct digital synthesizer). 4) Sweep Repetition Frequency : 1,5 KHz. 5) Fixed sweep time of 0.66 ms. 6) Frekuensi Sweep: 2MHz, 4MHz, 8MHz, 16 MHz, 32 MHz. d. Features of Radar 1) Low Transmit Power (≤ 10 W) 2) Low Probability of Intercept (LPI) Radar 3) No Interference to other Radars 4) Target Tracking ~ 40 target 5) Doppler Capability 6) Able to be Integrated into a Radar network 7) Capable Frequency Agility Sweep to Sweep
112
8) 9)
Open Architecture Equipped with BITE (built in test equipment) e. Display Unit 1) Display : Min 1280 x 1024 pixel 2) Color Schemes : Navy, daylight, red, customzable 3) Range : 48 NM 4) Ring : 5 5) Azimut Mode : North‐up, head‐up, course‐up, true motion 6) EBL/VRM : 2 line / 2 markers 7) Guards Zone : 3 Zone 8) Ignore Zone : 3 Zone 9) Tracking : ARPA 10) Chart : ECS/ECDIS 11) Software : IMO Standard + Linux or Windows f. Lain‐lain 1) Weight : Min 150 kg 2) Casing : IP65 3) Power Supply : AVR + UPS 4) Bearing Data : Digital Encoder 5) Pheriperal : AIS, GPS dan Compass 6) Provided Shock Absorber 4.2.1 Pembuatan Perangkat Keras a. Sistem antena Pembuatan sistem antena untuk radar pengawas pantai mengacu pada desain yang ergonomis dan dinamis serta water resistance untuk mengurangi faktor angin, faktor, cuaca , kadar garam dan kondisi sea state yang ekstrem. Faktor kekuatan material dan daya tahan yang tinggi tanpa mengurangi fungsi estetika menjadi pertimbangan utama dalam pembuatan sistem antena radar pengawas pantai selain itu menggunakan metode air gap, yaitu dengan menambahkan rongga udara diantara antena pemancar dan penerima. Sehingga isolasi antara antena tersebut, menghasilkan nilai isolasi yang besar dan sesuai sesifikasi. Perakitan dan pengetesan antena, meliputi : Perancangan system antenna Perancangan, simulasi dan fabrikasi antenna Perakitan antenna dan pemasangan kombiner pada antenna Pembuatan pedestial antenna dan mekanikal unit, pembuatan radome dan dudukan antenna. Pengetesan antenna skala laboratorium permodul untuk pengukuran dalam/indoor (Return loss, VSWR, Phase, dan Impedansi antena)
113
Gambar‐6. Desain sistem antena Radar.
Gambar‐7. Antena bagian pemancar dan penerima
Gambar‐8. Dudukan antena radar keseluruhan
Gambar‐9. Pembuatan Radom
Gambar‐10. Pedestal dan dudukan antena radar 114
Antena radar Pedestal
b.
Gambar‐11. Pengukuran dan pengetesan sistem antena Pembangunan komponen RF, IF dan Bite Pembangunan komponen meliputi tahapan kerja berikut : 1. Mendata parameter RF radar ‐ Band Pass Filter 456 MHz ‐ Band Pass Filter 2 MHz ‐ Band Pass Filter 456 MHz ‐ Beat Amplifier 2 MHz ‐ Cavity Band Pass Fillter 9.4 GHz ‐ Cavity Band Pass Fillter 9,4 GHz ‐ Circulator 9,4 Ghz ‐ Directional Coupler 10dB ‐9,4 GHz ‐ IF Amplifier 160 MHz ‐ IF Amplifier 456 MHz ‐ IF Mixer 456 Mhz ‐ Isolator 9,4 Ghz ‐ Low Noise Amplifier 9,4 GHz ‐ Mixer 9,4 Ghz ‐ Power Amplifier 9,4 GHz ‐ Power splitter 456MHz ‐ RF Mixer 9,4 GHz 2. Mendata parameter komponen IF ‐ 2 Way Power Splitter 18 GHz ‐ 2Way Power Spliter 4928 MHz ‐ Band Pass Fillter 197 MHz ‐ Band Pass Fillter 616 MHz ‐ Directional Coupler 18 GHz ‐ Divider by Two 10 GHz ‐ DRO 9856 MHz ‐ Frequency Divider by : 8 ‐ Frequency Divider by :25 ‐ IF Amplifier 197,12 MHz ‐ IF Amplifier 616 MHz 3. Mendata parameter komponen Bite 115
‐ Analog input dan Digital I/O ‐ RF detector 4. Merekam hasil test awal parameter device pemancar, penerima dan pembangkit frekuensi. 5. Mendata dimensi komponen yang telah ada seperti data komponen pemancar, penerima dan Pembangkit Frekuensi. 6. Integrasi komponen RF, IF dan Bite
Gambar‐12. Sekematik radar pengawas pantai pantai
Gambar‐13 . Wiring instalasi sistm Bite
116
Gambar‐14. Tata letak komponen RF dan Bite
Gambar‐15. Tata letak komponen IF
Power supply UPS
117
Driver motor servo Motor Gambar‐16. Komponen pendukung
c. Rancang Bangun Perangkat Lunak Perangkat Lunak yang dibuat merupakan suatu aplikasi untuk menampilkan display PPI (Plan Position Indicator) dari sinyal yang diterima oleh Radar. Perangkat Lunak ini menampilkan informasi sebagai berikut: • Spektrum dari objek yang terdeteksi • Informasi latitude dan longitude objek terdeteksi • Informasi jarak liputan dan jarak objek dari jangkauan radar • Informasi objek tracking • Informasi waktu • Menu pengaturan‐pengaturan Tampilan displai radar adalah sebagai berikut : Displai spektrum dari objek yang terdeteksi Posisi kursor (Latitude, Longitude, Bearing, Distance) Mode tampilan (Day, Dusk, Night) Pengaturan EBL (Electronic Bearing Line) Pengaturan VRM (Variable Range Marker) Informasi OSD (latitude dan longitude) dari GPS Pengaturan gain dan sea clutter Pengaturan RPM Tracking objek (satu objek) Garis tracking objek
118
EBL dan VRM aktiv
Gambar‐17. Tampilan EBL dan VRM dalam kondisi ON
Gambar‐18. aplikasi setting sensor pada software radar
Pengaturan Gain dan Sea Clutter
Gambar‐19. Pengaturan gain dan sea clutter.
Pengaturan gain dan sea clutter akan mengubah setting parameter CFAR pada aplikasi snap, yang berhubungan dengan proses penambahan dan pengurangan gain dan tresholding noise yang dilakukan melalui signal processing radar. Aplikasi Snap ditunjukkan pada gambar berikut : 119
Gambar‐20. penerapan CFAR pada aplikasi signal processing snap Proses tracking untuk satu objek bergerak sudah dapat dilakukan dengan penggambaran jalur tracking menggunakan garis berwarna merah, seperti pada gambar berikut :
Tracking Objek
Gambar‐21. hasil tracking objek pada objek bergerak
120
Gambar‐22. Console perangkat lunak radar
OUTPUT (rencana sesuai yg tercantum dalam proposal) NO. OUTPUT RENCANA REALISASI % CAPAIAN KETERANGAN 7. Publikasi Ilmiah • Jurnal ilmiah i. Jurnal Nasional 1 buah 1 100 widya riset LIPI j. Jurnal Internasional 1 buah 2 100 • Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE Journals) • (Open Journal of Antennas and Propagation (OJAPr) USA) k. Prosiding 2 buah 8 100 • ICRAMET 2013 Internasional Surabaya, • EEIC 2013 (Internasional Electronic Confrance) Hongkong APCC (Asia Pacific 121
l. Prosiding Nasional
Contoh Produk (jelaskan spesifikasi lengkapnya) 9. HKI e. Paten 8.
f. Merk
dst
5 • • •
2 buah
2
100
1 unit
1
100
1 buah
1 buah
50
1 buah
1 buah
100
Conferance) Bali • Seminar IPT Yogyakarta Foto dan spesifikasi Dalam proses pembuatan draft Sudah dilakukan pada tahun 2012
KENDALA DAN PERMASALAHAN Terjadinya pemunduran tibanya komponen. Perlu tambahan SDM karena banyaknya pekerjaan Peralatan ukur untuk tes dilapangan masih terbatas seperti handheld spectrum analyser dan signal generator. Komponen‐komponen dan Modul‐modul untuk radar mahal
• 6 7
KESIMPULAN Mari kita dukung dalam kemandirian bangsa
DAFTAR PUSTAKA 1) M.I. Skolnik, ’Radar Handbook’, McGraw‐Hill, 1990. 2) M.I. Skolnik, ’Introduction to Radar Systems’, McGraw‐Hill, 2002. 3) S. Kingsley and S. Quegan, ’Understanding Radar Systems’, CHIPS. 4) Leo P. Ligthart, ’Short Course on Radar Technologies’, International Research Centre for Telecommunications‐transmission and Radar, TU Delft, September 2005. 5) Mark Richards, ’Radar Signal Processing’, McGraw‐Hill, 2005. 6) Bassem R. Mahafza, ‘Radar Systems Analysis and Design Using MATLAB’, Chapman & Hall, 2005. 7) Mashury Wahab dan Pamungkas Daud, ‘Image Processing Algorithm for FM‐CW Radar’, TSSA/WSSA Conference 2006, ITB Bandung, 2006. 8) Mashury, ‘Development of Radar Image Processing Algorithm’, Information and Communication Technology Seminar 2006, ITS Surabaya, 2006. 9) Mashury Wahab, Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, Yusuf Nur Wijayanto. “Radar Trainer System for LIPI FM‐CW Radar Network”, ICICI 2007, Bandung.
122
10) Mashury Wahab, ‘Penggunaan UAIS dan Radar pengawasan pantai untuk monitoring wilayah perairan indonesia’, Seminar Radar nasional 2007, Jakarta. 11) Yusuf Nur Wijayanto, Dadin Mahmuddin, and Mashury Wahab “Perancangan Sistem LFM‐Chirp Radar menggunakan Matlab untuk Menentukan Posisi Target”, IES‐EEPIS‐ITS 2007, Surabaya. 12) Mashury, Yuyu Wahyu, A. Adya Pramudita, and Pamungkas Daud, “Coupled Patch Array Antenna For Surveillance Radar”, International Conference TSSA 2007, Bandung, 2007. 13) Mashury Wahab and Yuyu Wahyu, “Patch Array Antenna For FM‐CW Radar”, International Conference r‐ICT 2007, Bandung, 2007. 14) Mashury Wahab, Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, Yusuf Nur Wijayanto, “Radar Trainer System for LIPI FM‐CW Radar Network”, International Conference ICICI 2007, Bandung, 2007. 15) Mashury, Yusuf N. W., Pamungkas D., Dadin M., Djohar S., “ A Data Processing Scheme For LIPI Coastal Surveillance Radar”, International Conference on Telecommunications (ICTEL) 2008, Bandung. 16) Mashury Wahab, Sulistyaningsih and Yusuf Nur Wijayanto, “Radar Cross Section For Object Detection Of FM‐CW Coastal Surveillance Radar”, Electrical Power, Electronics, Communications, Control and Information Seminar (EECCIS) 2008, Malang. 17) Mashury, Dadin Mahmudin dan Yusuf Nur Wijayanto, “ Rancang Bangun Perangkat Lunak Citra Radar”, Seminar Radar Nasional 2008, Jakarta. 18) Mashury Wahab, Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, dan Rustini S. Kayatmo, “Rancang Bangun Radar Pengawasan Pantai INDRA II Di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) LIPI”, Seminar Radar Nasional 2008, Jakarta.
123
LAMPIRAN HASIL PENGUKURAN MODUL Tabel‐1. Hasil pengukuran 2 way Power Divider (9400 MHz & 4928 MHz) Isolation Amp Phas Split (dB) VSWR Freq. (dB) l. a Nama/ No. (MH Bala Bala S21 S21 S22 SN z) n. n. (o) S12 S11 S12 (dB) ‐ ‐ ‐ ‐ J103313072 1.198@ 1.418@ ±0.1 ±1.8 1 9856 3.141@ 3.051@ 32.7 32.7 3002 P2 P2 36 7 P2 P2 5 24 ‐ ‐ 1.306@P 3.130@ 2.915@ 1.2@P3 3 P3 P3 ‐ ‐ ‐ ‐ 1.163@ 1.143@ ±0.0 ±0.2 4928 3.090@ 3.075@ 28.4 28.3 P2 P2 63 5 P2 P2 66 59 ‐ ‐ 1.167@ 1.116@P 3.054@ 3.012@ P3 3 P3 P3 Tabel‐2. Pengukuran 2 way Power Divider (456 MHz) Isolation Amp Phas Split (dB) VSWR Freq. l. a (dB) Nama/ Por No. (MH Bala Bala S21 S21 S22 SN t z) n. n. (o) S12 S12 S11 (dB) 1 PD2456 356 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 1.36 1.06 ±0.0 ±0.34 001 3.32 3.297 17.9 17.9 1 8 83 9 85 63 456 ‐ ‐ ‐ ‐ 1.11 ±0.0 ±0.56 3.28 3.273 33.3 33.2 7 1.014 75 6 63 57 556 ‐ ‐ ‐ ‐ 1.26 1.03 ±0.0 ±0.64 3.36 3.358 17.0 17.0 3 0 77 3 86 50 3 ‐ ‐ 1.36 3.24 3.214 2 1.069 7 ‐ ‐ 1.15 1.03 3.21 3.198 5 1 ‐ ‐ 1.25 1.04 3.28 3.281 9 2 6 124
No.
Nama/ SN
‐ 3.29 4
‐ 3.294
1.27 1.03 6 9
Tabel‐3. Pengukuran 8 way Power Divider Split (dB) Isolation (dB) VSWR Freq. S21 S21 S22 Por (MH t S12 S11 S12 z)
1 J1031130705 9200 0014
2
‐ 9.638
9400
‐ 9.198
9600
‐ 9.564
3
‐ 9.762
‐ 9.276
‐ 9.688
4
‐ 9.794
‐ 9.394
‐ 9.733
5
‐ 9.835
‐ 9.461
‐ 9.813
‐ 10.6 07 ‐ 11.2 43 ‐ 10.9 80 ‐ 10.7 71 ‐ 11.2 56 ‐ 10.9 73 ‐ 10.7 65 ‐ 11.3 13 ‐ 11.0 25 ‐ 10.6 61 ‐ 11.2 13 ‐ 10.9 24
‐ 20.990 @S23 ‐ 19.586 @S23 ‐ 19.613 @S23 ≈ S23
‐ 22.632 @S23 ‐ 21.496 @S23 ‐ 20.552 @S23 ≈ S32
≈ S23
1.1 30
1.18 8
Amp Phas l. a Bala Bala n. n. (o) (dB) ±0.1 ±6.71 64
1.2 01 1.226
1.2 89
1.1 29 1.095
1.2 1.12 0 9 1 1.2 1.15 79 4
≈ S32
1.1 35
1.10 8
1.1 97
1.13 8
1.2 82
1.15 4
≈ S23
≈ S32
1.1 39
1.11 0
1.1 96
1.14 8
1.2 82
1.15 5
1.24 1
125
Freq. Por (MH t z)
Split (dB) S21
Isolation (dB) S21
S12
S12
No.
Nama/ SN
6
‐ 9.780
‐ 9.292
‐ 9.696
7
‐ 9.769
‐ 9.329
‐ 9.742
8
‐ 9.709
‐ 9.377
‐ 9.632
9
‐ 9.828
‐ 9.389
‐ 9.764
‐ 10.6 62 ‐ 11.0 90 ‐ 10.8 41 ‐ 10.7 80 ‐ 11.2 54 ‐ 10.9 07 ‐ 10.7 27 ‐ 11.2 36 ‐ 11.0 64 ‐ 10.5 47 ‐ 11.1 37 ‐ 10.8 18
VSWR S22 S11 1.1 37
1.12 0
Amp l. Bala n. (dB)
Phas a Bala n. (o)
≈ S23
≈ S32
1.1 96 1.144
1.2 78
1.14 7
≈ S23
≈ S32
1.1 31
1.08 5
1.2 00 1.117
1.2 78
≈ S23
≈ S32
1.1 31 1.114
1.2 02
1.15 5
1.2 84
1.17 0
‐ 31.752 @S29 ‐ 31.272 @S29 ‐ 31.867 @S29
‐ 33.094 @S92 ‐ 32.935 @S92 ‐ 32.608 @S92
1.1 31
1.10 6
1.2 00
1.14 1
1.2 84
1.14 4
1.13 4
126
Tabel‐4. Pengukuran Bandpass Filter (9.4 GHz) No. Nama/ IL (dB) Rejection (dB) VSWR BW 3dB SN @GHz @GHz (MHz) S11 S22 1 J10811307080 ‐
[email protected] [email protected] 2.387@FL 3.000@F 504.8 01 L ‐
[email protected] [email protected] 1.539@FC 1.25@FC ‐
[email protected] 2.278@FU 2.318@F
[email protected] U 5
[email protected] Tabel‐5. Pengukuran Bandpass Filter (197.12 MHz) No. Nama/ IL(dB) Rejection (dB) VSWR BW 3dB Ket. SN @Fc @MHz (MHz) S11 S22 1 BPF19700 ‐0.986
[email protected] 4.462@FL 5.148@F 10.827 2 L
[email protected] 1.946@FC 1.938@F C
[email protected] 5.507@FU 7.611@F U
[email protected] [email protected] 4
[email protected] 60
[email protected] 33 Tabel ‐6. Pengukuran Bandpass Filter (394.24 MHz) No. Nama/ IL(dB) Rejection (dB) VSWR BW 3dB Ket. SN @Fc @MHz (MHz) S11 S22 1 BPF39400 ‐
[email protected] 4.015@ 4.132@FL 21.249 1 1.1029 F L
[email protected] 1.337@ 1.522@F F C C
[email protected] 6.174@ 6.421@F FU U
[email protected] [email protected] [email protected] 2
[email protected] 75
[email protected]
127
Tabel‐7. Pengukuran Bandpass Filter (616 MHz) IL(dB) Rejection (dB) VSWR BW 3dB Ket. @Fc @MHz (MHz) S11 S22 ‐2.070
[email protected] 4.642@ 4.120@FL 39.998 F L
[email protected] 1.466@ 1.493@F F C C
[email protected] 5.099@ 4.293@F FU U
[email protected] 38.890dB@308 52.072dB@1232 30.849dB@1848
[email protected] 50 29.925dB@456 Tabel‐8. Pengukuran Mixer Phase Ket. Nama/ L(dBm) R(dBm) X(dBm) Conversio SN 616MH 160MHz 456MH n loss (dB) Noise (dBc) z z 010701239‐ 0 ‐15 ‐29.7 14.7 ≈ Level 1 Lo Rekom 5 ‐15 ‐22 7 ≈ endasi: 7 ‐15 ‐21.3 6.3 ≈ 4~7 10 ‐15 ‐20.8 5.8 ≈ dBm 3 ‐15 ‐23.4 8.4 2 ‐15 ‐24.5 9.5 4 ‐15 ‐22.6 7.6
No. 1
No . 1 2 3 4 5 6 7
Nama/ SN BPF61600 2
Tabel‐9. Pengukuran Dielectric Resonator Oscillator (DRO) Level SB Noise Nama/ Freq. No. Output (dBc) SN (KHz) (dBm) 1 J10611307080 9,856.,874. 19.2 ‐58 @10KHz 04 17 9,856,955.4 ‐68 @40KHz 3 9,856,964.0 ‐68 @100KHz 0
128
No. 1
9,856,965.3 0
‐68 @500KHz
‐68 @1000KHz ‐ 68@≥1500KHz
Tabel‐10a. Pengukuran IF Amplifier Gain Amplification Nama/ Frequency Level Input Level Output SN (MHz) (dBm) (dBm) AMP001 456 ‐21.5 ‐10 Tabel‐10b. Pengukuran IF Amplifier Response Frequency Freq. Level Output (dBm) Ket. No. (MHz) AMP001 AMP002 1 416 ‐10.04 0.13 ‐9.97 0.13 ‐9.87 0.3 ‐ 2 426 0.09 10.01 3 436 ‐9.94 0.23 ‐9.97 0.13 ‐10.03 0.14 ‐ 4 446 0.09 10.01 ‐10.17 0 ‐ 0 dB ref. 5 456 0 10.10 ‐10.07 0.10 ‐ 6 466 0.07 10.03 7 476 ‐10.09 0.08 ‐9.98 0.12 ‐10.11 0.06 ‐ 8 486 0.08 10.02 ‐10.07 0.10 ‐ 9 496 0.01 10.09
Gain (dB) 11.5
Tabel‐10c. Pengukuran IF Amplifier 1 dB Compression AMP Level Output (dBm) Freq. No. AMP001 AMP002 (MHz) In. Out. In. Out. 1 456 ‐21.5 ‐10 ≈ ≈ 2 ‐16.5 ‐5.2 ≈ ≈ 3 ‐11.5 ‐0.9 ≈ ≈ 4 ‐6.5 5 ≈ ≈ 5 ‐5.5 5.8 ≈ ≈ 6 ‐4.5 6.8 ≈ ≈ 7 ‐3.5 7.9 ≈ ≈ 8 ‐2.5 9 ≈ ≈ 9 ‐1.5 9.87 ≈ ≈
129
10 11
0 1
11.4 ≈ ≈ 12.3 ≈ ≈ Tabel‐10d. Pengukuran IF Amplifier Hasil pengukuran AMP AMPATT001 AMPATT002 No. Parameter Keterangan dB dBm dB dBm Gain 1 11.5 ≈ ≈ amplification 2 Gain saturation 11.3 > 0 ≈ ≈ ‐44.9@912MHz 3 Harmonics ‐ ≈ ≈ 63.8@1368MHz Tabel‐11. Pengukuran Low Noise Amplifier J101113071 J101113071 J101113071 J101113071 No. Parameter 5003 5004 5005 5006 Gain 1 32.4 dB 32.1 dB 31.5 dB 32.3 dB amplification Frequency 0dB ; ‐0.27dB ; ‐0.27dB ; 2 ‐0.19dB ; 0.04dB response 0.16dB 0dB 0dB 3 Gain saturation ‐16 dBm ‐16.5 dBm ‐16 dBm ‐17 dBm 4 IP2 ≈ ‐56 dBc ≈ ‐56 dBc ≈ ‐56 dBc ≈ ‐56 dBc 5 Arus (I) 192.24 mA 183.4 mA 188.2 mA 193.2 mA Tabel‐12. Pengukuran Power Amplifier (PA) 10W Ket. No. Parameter J2801130802001 J2801130802002
3 5
Gain amplification Frequency response Gain saturation Arus (I)
6
Phase Noise
7
VSWR
1 2
40.2 dB
23.3 dB
0 dB ; 0.4 dB
‐
‐1 dBm 5.1 A ‐50 dBc@10 KHz ‐60 dBc@35 KHz ‐63 dBc@≥100 KHz 1.748
‐ ‐ ‐
Rekomendasi QC : Perlu ditambahkan direct air blower untuk mengantisipasi high temperature dari PA
‐
130
No. 1
Nama/ SN J13060700 1
Nama/ SN 1 J10411307230 03
No.
Tabel‐13. Pengukuran Coaxial Isolator IL VSWR Freq. Isolation (S21,dB) (MHz) (S12,dB) S11 S22 9856 ‐30.918 ‐0.079 1.094 1.152 9430 9400 9370
‐29.611 ‐0.034 1.108 1.139 ‐29.538 ‐0.070 1.106 1.137 ‐29.397 ‐0.056 1.104 1.136 Tabel‐14. Pengukuran Directional Coupler Freq. IL (dB) Coupling VSWR (S21,dB) (MHz) S12 S21 S11 S22 9856 ‐0.582 ‐0.951 ‐10.123 1.416 1.315 9430 9400 9370
‐0.339 ‐0.154 ‐0.309
‐0.242 ‐0.141 ‐0.116
‐10.741 ‐10.652 ‐10.702
Tabel‐15. Pengukuran Termination Nama/ Measurable Resistansi No. SN Freq. (MHz) (Ohm) 1 Female 9200 49.89 Termination 1 Male 9200 50.32 Termination
1.345 1.354 1.352
1.443 1.491 1.506
VSWR ±1.081 ±1.211
131
Pembuatan Magnet Barium Ferit Bonded Hybrid Untuk Aplikasi Circulator
Tony Kristiantoro, S.ST
132
LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan Penelitian 2. 3. 4. 5. 6.
Kegiatan Prioritas Peneliti Utama Nama Jenis Kelamin Sifat Penelitian Lama Penelitian Biaya Total 2013
Ketua PME PPET LIPI,
Dr. Purwoko Adhi, DEA NIP. 19670911 198701 1 001
: : : : : : : :
Pembuatan Magnet Barium Ferit Bonded Hybrid Untuk Aplikasi Circulator Tony Kristiantoro, S.ST Laki ‐ laki Laboratorium 2 (dua) Tahun Rp. 177.120.000,‐
Bandung, 20 Desember 2013 Peneliti Utama
Tony Kristiantoro, S.ST NIP. 19730927 199303 1 002
133
ABSTRAK Magnet permanen bonded hybrid merupakan penggabungan dua buah serbuk magnet permanen Barium ferit dan NdFeB pada komposisi tertentu yang dibonded dengan bahan termoplastic (bakelit atau plastik). Penggabungan kedua serbuk magnet adalah untuk meningkatkan temperatur operasi, temperatur curie, ketahanan korosi dan meningkatkan sifat magnet. Metoda proses yang akan digunakan adalah solgel untuk mendapatkan serbuk magnet barium ferit dan teknologi metalurgi serbuk untuk pencampuran dengan NdFeB dengan tahapan mixing, milling, cetak panas dan magnetisasi sehingga menghasilkan magnet permanen. Magnet ini akan dikarakterisasi dan dianalisa sifat magnetnya dengan Permagraph dan ukuran/struktur partikel dengan SEM. Hasil Magnet bonded hybrid akan diaplikasikan pada ciruclator. Bahan baku yang akan digunakan masih sama dengan tahun sebelumnya yaitu ; Besi Nitrat (Fe(NO3)3), Barium Nitrat (Ba(NO3)2), Amonium Hidroksida (NH4OH), Ethylene Diamine (C6H8O7.H2O), akuades (H2O), katalis NaOH, KOH, NaCl, KCl, C2H8N2 dan aditif Cr(NO3)3. Metoda yang digunakan adalah sol gel, dimana semua bahan baku dicampurkan dalam bentuk larutan (sol) dan kemudian akan membentuk gel. Reaksi ini berlangsung pada temperatur kamar, kemudian dilanjutkan dengan pengeringan/pemanasan pada temperatur 100‐2000C. Proses selanjutnya adalah ; miling, kalsinasi pada temperatur 300 ‐ 10000C, kompaksi dalam suatu medan magnet pada tekanan tertentu (proses anisotrop), sintering pada temperatur 12500C dan terakhir adalah proses magnetisasi untuk mendapatkan magnet permanen barium ferit. Karakterisasi yang akan dilakukan adalah ; dimensi dan densitas dengan menghitung dimensi dan volume sample, sifat magnet dengan permagraph, struktur mikro dengan SEM, ukuran partikel nano dengan Particle Analyzer, senyawa yang terbentuk dengan XRD. Kata kunci : magnet Barium Ferit Nanopartikel, magnet anisotrop, metoda sol gel . I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan komponen magnet permanen untuk bidang telakomunikasi cukup tinggi, salah satunya adalah sebagai komponen circulator untuk radio frekuensi (RF). Sampai saat ini komponen circulator RF selalu diimpor dari manca negara. Untuk itu maka dilakukan penelitian pembuatan magnet permanen Barium Ferit Bonded Hybrid untuk aplikasi circulator. Pemilihan penelitian terhadap magnet Barium Ferit disebabkan karena magnet ini memiliki kestabilan kimia yang baik, tahan korosi, memiliki suhu curie yang tinggi dan murah. Perkembangan material magnet permanen sangat cepat dan bervariasi, yang diikuti dengan peningkatan energi produk (BH)max yang dihasilkan, material magnet saat ini yang memiliki energi produk paling tinggi adalah Neodymium Iron Boron (NdFeB). Namun demikian setiap material magnet tersebut memiliki keunggulan dan kekurangan masing‐masing. Pada gambar 1.1 akan ditampilkan energi produk magnetik dari setiap bahan magnet permanen.
134
Gambar 1.1. Energi produk bahan magnetic Pembuatan jenis bonded hybrid dengan jenis NdFeB diharapkan dapat meningkatkan karakteristik magnet yang dihasilkan, dan lebih mudah dalam proses fabrikasi tidak akan ada rugi penyusutan akibat sintering sehingga akan mendapatkan hasil dengan ukuran yang presisi. Pada tahun pertama akan dibuat magnet barium ferit nanopartikel dengan metoda sol gel dan metalurgi serbuk, yang divariasikan adalah temperatur pengeringan, temperatur kalsinasi dan penambahan aditif. Kemudian dilakukan proses bonded dan hyberid dengan variasi bahan bonded seperti bakelit, serbuk resin dan silicon rubber dan bahan hybrid NdFeB (crushed ribbon). Pada tahun ke‐dua akan dilakukan pembuatan magnet yang akan diaplikasikan pada circulator dengan berbagai ukuran untuk beberapa range frekuensi kerja. Gambar sketsa dasar circulator dan penempatan magnet dalam circulator diperlihatkan pada gambar 1.2. (a) dasar circulator (b) aplikasi magnet dalam circulator Gambar 1.2. Sketsa dasar dan penempatan magnet pada circulator 1.2. Perumusan Masalah Untuk menghasilkan prototipe magnet hybrid yang dapat diaplikasikan pada circulator RF, maka penelitian dirumuskan pada beberapa langkah sebagai berikut; - Menyediakan semua bahan baku dan bahan kimia lainnya untuk penelitian.
135
-
-
Untuk menghasilkan magnet bonded hybrid dengan karakteristik magnet sekitar 1300 Gauss, maka proses pencampuran serbuk Barium Ferit nano partikel hasil metode sol gel dan serbuk NdFeB dengan teknologi metalurgi serbuk sangat menentukan dan tahap ini adalah merupakan inti dari penelitian. Untuk itu maka akan divariasikan komposisi campuran, polimer material untuk proses bonded yang digunakan dan variasi waktu serta temperatur kompaksi. Untuk mengetahui hasil kinerja magnet yang dihasilkan, maka akan diuji cobakan pada prototipe circulator.
1.3. Tujuan dan Sasaran Tujuan (umum): o Menunjang program pemerintah dalam penyediaan komponen lokal untuk penguasaan teknologi telekomunikasi khususnya bidang RADAR. o Penguasaan teknologi pembuatan magnet permanen bonded hybrid o Mengembangkan penelitian material magnet permanen di PPET‐LIPI. Sasaran (khusus) : o Dapat membuat magnet permanen dengan kuat medan di atas 1300 Gauss yang dapat diaplikasikan pada circulator yang bisa digunakan sebagai komponen RF bidang telekomunikasi. 1.4. Kerangka Analitik Penelitian pembuatan magnet Barium Ferit bonded hybrid merupakan pegembangan dari penelitian magnet permanen pada tahun‐tahun sebelumnya yang difokuskan pada pembuatan magnet permanen sinter. Sedangkan fokus penelitian pada dua tahun kedepan adalah membuat sampel magnet Barium Ferit hybrid dengan metode boded melalui moulding injection atau hotpress dengan bahan tambahan untuk bonded berupa plastik, bakelit ataupun karet dengan bentuk sesuai dengan aplikasinya dengan tetap memperbaiki karakteristik magnet yang akan dihasilkan. Kemudian akan dilakukan uji coba pada sebuah circulator. Bahan baku yang akan digunakan yaitu ; Besi Nitrat (Fe(NO3)3), Barium Nitrat (Ba(NO3)2), Amonium Hidroksida (NH4OH), Ethylene Diamine (C6H8O7.H2O), akuades (H2O). Metoda yang digunakan adalah sol gel, dimana semua bahan baku dicampurkan dalam bentuk larutan (sol) dan kemudian akan membentuk gel. Reaksi ini berlangsung pada temperatur 80°C, kemudian dilanjutkan dengan pengeringan/pemanasan pada temperatur 100‐2000C. Proses selanjutnya adalah ; miling, kalsinasi pada temperatur 900 ‐ 12000C. Serbuk barium ferit yang dihasilkan ditambah dengan serbuk NdFeB komersil sebagai doping untuk meningkatkan densitas medan magnet. Hasil pencampuran serbuk barium ferit dan NdFeB ditambah dengan bahan bonded berupa plastik, bakelit atau karet dan dicetak dengan proses hot press dan terakhir adalah proses magnetisasi untuk mendapatkan magnet permanen barium ferit. Karakterisasi yang akan dilakukan adalah ; dimensi dan densitas dengan menghitung dimensi dan volume sample, sifat magnet dengan permagraph, struktur mikro dengan SEM, ukuran partikel nano dengan Particle Analyzer, senyawa yang terbentuk dengan XRD. II. METODOLOGI
136
Percobaan yang dilakukan adalah eksperimen pembuatan magnet barium ferit bonded hybrid dengan metode sol gel maupun metalurgi serbuk. Serbuk Fe(NO3)3 dan Serbuk Ba(NO3)2 terlebih dahulu dilarutkan dalam aquades, selanjutnya ditambahkan larutan C6H8O7.H2O sampai membentuk gel. Setelah gel terbentuk, sebagian akan dikeringkan secara cepat dengan menggunakan microwave dan sebagian lagi dilanjutkan dengan proses sol gel autocombustion. Gel dipanaskan pada temperatur 100 ‐ 200oC selama beberapa jam. Pada proses ini diharapkan kandungan air akan menguap dan hidroksida akan berubah menjadi oksida, sehingga akan diperoleh serbuk ferit yang kering. Agar serbuk yang didapat tidak menggumpal dan homogen, maka dilakukan proses penggilangan. Selanjutnya dilakukan proses kalsinasi, dengan variasi 900 ‐ 1200oC. Serbuk barium ferit hasil kalsinasi ditambah dengan serbuk NdFeB komersil dari magnequench dengan variasi komposisi dan ditambahkan plastik/bakelit/karet. Kemudian dilanjutkan dengan proses kompaksi pada tekanan tertentu menggunakan mesin hot press. Proses ini bertujuan untuk membentuk magnet bonded sesuai bentuk yang diinginkan. Magnet yang sudah disintering akan dikarakterisasi. Karakterisasi yang dilakukan adalah : Densitas dengan perhitungan dan neraca analitik Sifat magnet dengan Permagraph Struktur mikro dengan SEM Ukuran butir dengan Particle Analyzer Senyawa yang terbentuk dengan XRD Magnetisasi yang bertujuan untuk memagnetisasi bahan magnet, agar menjadi magnet yang permanen. Dan dilakukan uji coba skala laboratorium pada sebuah prototipe circulator. 2.1. Studi Literatur Kegiatan pada tahap ini adalah mencari dan mengumpulkan informasi baik itu yang bersifat teoritis maupun praktis melalui buku‐buku, handbook dan internet, yang dapat digunakan sebagai bahan acuan dan referensi dalam penelitian. 2.2. Pengadaan Bahan Bahan baku yang digunakan dengan tingkat kemurnian yang tinggi berkualitas proanalisa (pa) dari E‐Merck yaitu : 1. Besi Nitrat, Fe(NO3)3.9H2O (Merck, code 1.03883.0250) 2. Barium Nitrat, Ba(NO3)2 (Merck, code 1.01729.0500) 3. Amonium Hidroksida, NH4OH 25 % (Merck, code 1.05432.1000) 4. Polivinyl Alkohol, PVA (Merck, code 1.12211.0100) 5. Citric Acid, C6H8O7.H2O (Merck, code 1.00244.0500)
137
6. Alkohol 7. Aquadest 2.3. Penyiapan Peralatan Sebagian besar peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tersedia di Laboratorium magnet PPET‐LIPI, hanya SEM dan XRD yang dilakukan di instansi lain. Peralatan yang digunakan adalah : 1. Permagraph : Alat untuk mengkarakterisasi sifat magnet, seperti ; Induksi Remanen, Br (kG), Kuat Medan maksimum, BHmax (MGOe) dan Koersifitas, Hc (kOe). Gambar 2.1. Permagraph 2. Mesin Kompaksi dan Solenoida : Untuk proses kompaksi. Serbuk magnet barium ferit yang sudah ditempatkan di dalam dies dicetak dengan mesin kompaksi dalam medan elektromagnet dengan tekanan tertentu. Mesin Kompaksi Solenoida Gambar 2.2. Mesin Kompaksi dan Solenoida 3. Pengering : Untuk melakukan proses pengeringan pada temperatur 100 dan 200oC.
138
Gambar 2.3. Alat pengering Furnace : Digunakan untuk proses kalsinasi dan sintering
4.
Gambar 2.4. Furnace Thermoline (Temp. ± 1700oC) 5. Cetakan / Dies : Cetakan untuk membentuk produk magnet yang dihasilkan. Gambar 2.5. Cetakan / Dies 6. Impuls Magnetiser : Alat untuk menyearahkan momen magnet. Gambar 2.6. Impuls Magnetiser Magnet Physik
139
7.
Gauss Meter : digunakan untuk mengukur densitas medan magnet Gambar 2.7. Gauss Meter 8. SEM : Untuk mengkarakterisasi struktur mikro. 9. XRD : Untuk mengkarakterisasi senyawa yang terbentuk. 2.4. Percobaan
Gambar 2.8. Diagram Alir Percobaan Reaksi yang dijadikan dasar pembuatan serbuk magnet barium ferit dengan metode sol gel adalah :
140
12 Fe(NO3)3 + Ba(NO3)2 + 19 C6H8O7 12 Fe(OH)3 + Ba(OH)2 + 19 C6H8O7 (NO3) ................... 1 12 Fe(OH)3 + Ba(OH)2 + 19 C6H8O7 (NO3) BaFe12O19 + 19 H2O ..............................................2 Perbandingan Ba : Fe : Citric Acid adalah 1:12 :26 Sebanyak 50 gram Serbuk Fe(NO3)3 yang dilarutkan dalam aquades 100 ml ditambahkan dengan 2,7 gram serbuk Ba(NO3)2 yang telah dilarutkan dalam aquades 8,332 ml dalam suatu beker gelas, kedua larutan ini dicampurkan dengan 56,35 gram citric acid yang telah dilarutkan dalam 216,6 ml aquades sambil diaduk rata. Kemudian ditambahkan Ammonium Hidroksida (NH4OH) sedikit – demi sedikit sampai nilai pH yang dikehendaki ( pH 4, 5, 6 dan 7 ) tercapai. Kemudian larutan diaduk sambil dipanaskan menggunakan hot plat magnetic stirrer. Waktu yang dibutuhkan untuk proses dari larutan menjadi gel adalah 12,5 jam.
Gambar 2.9. Bahan baku yang dilarutkan dalam aquadest Gambar 2.10. Proses Pencampuran dan Pengadukan c. Drying Gel yang terbentuk selanjutnya dikeringkan dengan oven pada temperatur 100oC selama 15 jam, gel mengembang dan mengering kemudian dikeringkan kembali pada 200oC selama 6 jam, sehingga menghasilkan serbuk yang berwarna coklat tua. Setelah dikeringkan pada temperature 200oC, serbuk bahan magnet sudah dapat ditarik oleh medan magnet. 141
Gambar 2.11. Serbuk magnet setelah proses pengeringan d. Milling Setelah proses pengeringan pada temperatur 100oC ‐ 200oC, masih‐masing sampel digerus sampai halus dan tidak menggumpal. Gambar 2.12. Serbuk magnet yang telah dihaluskan e. Kalsinasi Temperatur kalsinasi divariasikan pada temperatur 900 oC. g. Pressing / Kompaksi Proses kompaksi dilakukan pada tekanan ± 75 kg/cm2 . h. Sintering Proses sintering pada temperatur 1000 oC dengan laju sintering sbb : 1000oC 60 o 10 C/men 40oC/men 30 500oC 10oC/men 475oC 75o Gambar 2.13. Laju Sintering h. Karakterisasi Magnet yang sudah disintering dikarakterisasi. Karakterisasi yang dilakukan adalah : - Densitas dengan perhitungan dan neraca analitik - Sifat magnet dengan Permagraph
142
- Struktur mikro dengan SEM - Senyawa yang terbentuk dengan XRD 2.5. Pembuatan Sampel Dimensi magnet yang dibuat sebagai prototip adalah dengan dimensi diameter 2. 7mm, tinggi 5 mm.
Gambar 2.14. Sampel magnet Barium Ferit III. HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 3.1. Karakterisasi nilai intrinsik magnet permanen 3.1.1 Karakterisasi nilai intrinsik magnet barium ferit Karakterisasi sifat intrinsik magnet permanen circulator komersil. Tabel 1. Karakteristik sifat magnet dari magnet permanen circulator Barium Sifat Magnet Ferrite 3, 64 Br (kG) HcJ (kOe) BH max (MGOe) Density (gr/cm³)
3, 42 3, 15 5, 04
Karakteristik sampel yang dibuat menggunakan serbuk barium ferit hasil proses sol gel dengan variasi pH 4, 5, 6 dan 7 yang diukur dengan alat ukur Permagraph Magnet Physik dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Pengaruh variasi pH terhadap sifat magnet pra sintering ( Kalsinasi ) Sifat pH pH pH pH 7 5 6 Magnet 4 1, 1, 1, 1, Br (kG) 38 33 25 46 2, 4, 4, 4. HcJ (kOe) 67 81 93 93 BH max 0, 0, 0, 0, (MGOe) 39 39 34 46 Density 2, 2, 2, 2, (gr/cm³) 73 32 01 91
143
Nilai induksi remanen terbesar diperoleh pada sampel yang dibuat menggunakan serbuk magnet sol gel dengan pH7. Hal ini juga terlihat dari kepadatan sampel terbesar yang mencapai 2. 91 gr/cm³. Karakteristik sifat magnet hasil percobaan pembuatan magnet barium ferit pada temperatur sinter T= 1000 o C dan holding time 180 menit dengan variasi pH dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 . Karakteristik sifat magnet barium ferit dengan variasi pH 4,5,6 dan 7 hasil proses sintering Sifat pH pH pH pH 7 Magnet 4 5 6 1, 1, 1, 2,21 Br (kG) 49 78 92 HcJ 4, 3, 2, 2,643 (kOe) 55 15 76 BH max 0, 0, 0, 1,04 (MGOe) 47 67 75 Density 3, 3, 4, 4,11 (gr/cm³) 22 61 03 Analisa kristalisasi senyawa dengan XRD dilakukan untuk hasil kalsinasi 900 ºC. Kurva hasil XRD diperlihatkan pada gambar 3.1.
(a) pH4
(b) pH5
144
(c) pH6 (d) pH7 Gambar 3.1. XRD barium ferit dengan variasi pH 3.1.1 Karakterisasi nilai intrinsik magnet bonded Magnet permanen yang dibuat adalah magnet permanen bonded. Serbuk magnet di cetak menggunakan dies matres dengan diameter 2. 5 mm dan dikompaksi menggunakan metode green compact dengan variasi tekanan untuk mendapatkan magnet bonded dengan sifat magnet terbaik. Proses pembuatan magnet permanent bonded yang dilakukan menggunakan magnet serbuk NdFeB. Magnet ini merupakan magnet dengan crashed ribbon sehingga akan mengurangi korosi karena bersifat tahan akan oksidasi. Material magnet dari magnetquench ini sudah dicampur dengan epoxy resin, sehingga pada penelitian ini tidak perlu ditambahkan material binder lainnya. Langkah pertama pada eksperimen ini adalah melakukan penimbangan serbuk magnet seberat 10. 5 gr untuk enam buah sampel. Pada sebuah circulator terdapat sepasang magnet permanen, dengan demikian serbuk magnet sebanyak enam kali penimbangan dimaksudkan untuk dilakukan variasi tekanan yang akan dilakukan untuk mendapatkan densitas terbaik. Pada eksperimen ini tekanan/ kompaksi yang diberikan adalah 50 kg/ cm2, 75 kg/ cm2 dan 100 kg/ cm2. Sampel hasil kompaksi kemudian dipanaskan pada temperatur 250 0 C dengan holding time selama 60 menit. Perlakuan ini diberikan untuk memastikan bahwa pengikatan serbuk magnet oleh polimer sebagai binder terjadi secara optimal. Sampel hasil kompaksi kemudian diukur dimensi fisik‐ nya kemudian dimagnetisasi dengan memberikan energi maksimal sampai sampel mencapai titik jenuh dan dikarakterisasi untuk mendapatkan besaran‐ besaran induksi remanen (Br) kG, koersifitas (Hcj) kOe, produk energi maksimum (BH max) MGOe. Langkah terakhir adalah dengan mengukur kuat medan magnet permukaan menggunakan gauss meter. Hasil karakterisasi sifat magnet menggunakan permagrap magnet physik diperlihatkan pada table 4.
145
Tabel 4. Sifat Intrinsik Magnet Permanen Bonded Sifat Magnet 50 75 100 A B A B A B Br (kG) 4.84 4. 93 5. 11 5. 25 5. 37 5. 4 6. 6. HcJ (kOe) 6. 425 6. 339 4.743 6. 338 545 516 BHmax (MGOe) 3. 65 4. 53 3. 64 4. 86 2. 39 5. 28 Densitas (gr.cm‐ 4. 43 4. 51 4. 76 4. 77 4. 91 4. 88 3) Gauss 800 800 850 850 950 900
Komersil 3. 64 3. 42 3. 15 5. 04
800 Magnet bonded hasil eksperimen kemudian diaplikasikan pada circulator dan dikarakterisasi menggunakan vector network analyzer. Hasil karakterisasi pada tabel 2, memperlihatkan data pengukuran dengan menggunakan vector nertwork analyzer terhadap circulator dimana magnet permanen bonded sudah teraplikasikan. Nilai VSWR terukur adalah 1.3, ini memperlihatkan bahwa setelah magnet permanen bonded diaplikasikan pada circulator, sinyal yang direfleksikan masih memenuhi spesifikasi. Insertion loss pada circulator yang sudah teraplikasi magnet permanen bonded memiliki nilai yang masih sesuai dengan spesifikasi yaitu 0. 6 dB. 3.2 Karakterisasi Circulator Magnet permanen hasil eksperimen disubstitusikan pada circulator komersil, untuk mengetahui unjuk kerjanya circulator kemudian dikarakterisasi menggunakan Vector Network Analyzer. Hasil karakterisasi unjuk kerja circulator diperlihatkan pada tabel 5. Tabel 5. Hasil Karakterisasi Circulator dengan Vector Network Analyzer Vector Network Bonded Komersil Analyzer VSWR Insertion (dB)
Loss
Isolation (dB)
1.3
1.3
0.6
0.5
15
18
Pada tabel 5 diketahui bahwa magnet permanen bonded yang dihasilkan pada eksperimen dapat diaplikasikan pada circulator komersil, hal ini dilihat dari nilai pada karakteisasi spesifikasi yang mendekati nilai spesifikasi circulator komersil. IV. KESIMPULAN 1. Karakterisasi yang dilakukan pada circulator komersil dihasilkan unjuk kerja VSWR = 1. 18 dan 1. 3 max, insertion loss = 0. 6 dB dan isolation = 18. 81 dB memiliki nilai intrinsik residual magnetik ( Br) = 3. 64 kG, koersifitas (Hc ) = 3. 42 kOe, Energi produk maksimum ( BH max) = 3. 15 MGOe, kuat medan magnet permukaan = 800 Gauss dan densitas = 5. 04 gr. cm‐3. 2. Telah dihasilkan magnet permanen barium ferit untuk diaplikasikan sebagai magnet permanen circulator. Magnet permanen barium ferit dengan hasil 146
terbaik diperoleh dari metode sol gel pH 7dengan perlakuan pemberian tekanan 100 kg/ cm2. Magnet permanen bariu ferit ini memiliki densitas terbesar yaitu 4.11 gr/ cm3 . Pada pengukuran sifat intrinsik diperoleh nilai Br = 2. 21 kG, HcJ = 2. 643 kOe dan Bhmax = 1. 04 MGOe. 3. Telah dihasilkan magnet permanen bonded untuk diaplikasikan sebagai magnet permanen circulator. Magnet permanen bonded dengan hasil terbaik diperoleh pada perlakuan pemberian tekanan 100 kg/ cm2. Magnet permanen bonded ini memiliki densitas terbesar yaitu 4.9 gr/ cm3 . Pada pengukuran sifat intrinsik diperoleh nilai Br = 5. 37 kG, HcJ = 4.734 kOe dan Bhmax = 2. 39 MGOe. Hasil aplikasi pada circulator dihasilkan spesifikasi VSWR = 1.3, Insertion Loss = 0.6 dB dan Isolation = 15 dB. V. DAFTAR PUSTAKA 1. Laporan Akhir 2011, “ Pembuatan Magnat Barium Ferit Nanopartikel dengan Metoda Sol Gel untuk Aplikasi Generator”, DIPA Tematik PPET – LIPI 2011. 2. Laporan Akhir 2012, “ Pembuatan Magnat Barium Ferit Nanopartikel dengan Metoda Sol Gel untuk Aplikasi Generator”, DIPA Tematik PPET – LIPI 2012. 3. Hsuan‐Fu Yu, Hsin‐Yi Lin, (2004), Preparation and thermal behavior of aerosol‐ derived BaFe12O19 nanoparticles, Journal of Magnetism and Magnetic Materials, 283, 190‐198. 4. D Bahadur, S.Rajakumar, Ankit Kumar, (2006), Influence of fuel ratios on autocombustion synthesis of barium ferrite nanoparticles, Journal Chem.Sci., 118, 15‐21 5. J.Schneider, R.Knehans S., (1996), “Bonded Hybrid Magnets”, Journal of Magnetism and Magnetic Materials,2157/158, 27 – 28. 6. J.Li, Y.Liu, S.J.Gao, M.Li, Y.Q.Wang, M.J.Tu, (2006), “Effect of process on the magnetic propertiesof bonded NdFeB magnet”, Journal of Magnetism and Magnetic Materials,299, 195‐204. 7. Popa P.D.,Rezlescu E.,Doroftei C., Rezlescu N., (2005) Influence of calcium on properties of strontium and barium. 8. Pal, M., dkk., (2004), Synthesis of nanocomposites comprising iron and barium hexaferrites, Elsevier, journal of magnetism and magnetic materials, 42‐47. 9. Idayanti, Novrita. Teknik Hot Press pada Pembuatan Magnet Bonded Hybrid, ”Jurnal elektronika dan Telekomunikasi” vol.9, No.2 (2009): 64‐ 68. 10. Kristiantoro, Tony. Pembuatan dan Karakterisasi Magnet Bonded NdFeB, “ Proseding Seminar Nasional Fisika ”, 2011
147
Rancang Bangun Band Pass Filter (BPF) Gelombang Mikro
Dadin Mahmudin, S.T
148
LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan Penelitian 2. 3. 4. 5. 6.
:
Kegiatan Prioritas Peneliti Utama Nama Jenis Kelamin Sifat Penelitian Lama Penelitian Biaya Total 2013
: : : : : : :
Rancang Bangun Band Pass Filter (BPF) Gelombang Mikro ‐ Dadin Mahmudin, S.T Laki‐laki Baru Tahun ke 1 1 (satu) Tahun Rp. 103.360.000,‐
Bandung, 20 Desember 2013 Peneliti Utama
Ketua PME PPET LIPI,
Dr. Purwoko Adhi, DEA NIP. 19670911 198701 1 001
Dadin Mahmudin, ST NIP. 19680920 199803 1 004
149
ABSTRAK Rancang bangun rangkaian Gelombang Mikro Filter Band Pass diajukan dalam penelitian ini. Spesifikasi dari Gelombang Mikro Filter Band Pass yang akan dirancang adalah mempunyai Bandwidth filter‐ 3dB 100 MHz, Bandwidth filter ‐ 50dB 300 MHz, Frekuensi kerja 9,34 – 9,46 GHz, Frekuensi tengah 9,4 GHz dan Insertion Loss< 0,4 dB. Insertion Loss pada daerah stop band 50dB, Tipe filter Chebyschev Ripple 0,1 dB, VSWR < 1,5 Impedansi Terminal 50 Ohm. Perancangan Gelombang Mikro Filter Band Pass ini memerlukan proses simulasi menggunakan software aplikasi dan analisa matematis. Hasil perancangan dan realisasi dari penelitian Gelombang Mikro Filter Band Pass ini nantinya akan diaplikasikan pada bagian pemancar (Transmitter) dari sistim Radar.. Dimensi filter hasil simulasi mempunyai panjang 73,0455, lebar 10mm dan tinggi 6mm. Dari hasil simulasi diperoleh filter bandpass combline dengan orde 11, bandwidth filter 400Mhz, frekuensi kerja 9,1 – 9,5MHz, frekuensi tengah 9,3GHz dengan ripple 0,03, dan VSWR < 1,5. Sampai triwulan ketiga , telah dilakukan studi mengenai perancangan filter dan menentukan spesifikasi dari filter yang akan dirancang. Juga sedang dilakukan rancang bangun dari komponen filter. 18. PENDAHULUAN 18.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi telekomunikasi pada daerah frekuensi gelombang mikro (microwave) memerlukan penguasaan teknologi perancangan dan realisasi komponen‐komponen microwave. Adapun salah satu komponen tersebut adalah filter microwave. Filter merupakan suatu alat penting dalam sistem telekomunikasi, yang berfungsi untuk menyalurkan sinyal‐sinyal pada frekuensi tertentu yang diinginkan dan menolak sinyal‐sinyal pada daerah frekuensi yang tidak diinginkan.Pada perkembangan teknologi Radar yang semakin beragam memunculkan berbagai pemakaian band frekuensi, misalnya untuk aplikasi X band memiliki frekuensi pengoperasian sekitar 9370 – 9430 MHz, diperlukan suatu perangkat filter yang bisa beroperasi pada frekuensi tersebut. Salah satunya adalah dengan filter yang berupa Cavity bandpass yaitu saluran transmisi yang menggunakan resonator berbentuk batang silindris (slabline) dengan frekuensi kurang lebih 9370 – 9430 MHz dan BPF Chebyshev berbasis mikrostrip pada frekuensi 9370 – 9430 MHz yang dapat diaplikasikan untuk sistem radar. Metode untuk memperkecil insertion loss pada filter Cavity adalah pada bahan yang digunakan harus bahan dengan konduktivitas yang tinggi agar insertion loss lebih kecil, selain itu disebutkan pula bahwa filter Cavity mempunyai keistimewaan cukup kompak, mempunyai stop‐band yang kuat, dan laju kecuraman cut‐off pada bagian atas pas‐band dapat dirancang sangat curam. Berdasarkan hal di atas, maka perlu untuk diteliti, dkembangkan dan dirancang suatu filter yang memenuhi spesifikasi tersebut. Ada beberapa hal yang menjadi latar belakang dari dicetuskannya penelitian ini, yaitu: • Hampir semua teknologi strategis seperti sistim Radar, sistem komunikasi pesawat ruang angkasa dan rangkaian elektronis untuk telekomunikasi pada frekuensi tinggi (microwave) menggunakan Rangkaian Gelombang Mikro.
150
•
•
•
•
Peralatan Strategis seperti Radar pada umumnya bernilai sangat mahal (dari U$10.000 sampai dengan jutaan U$ dollar), ditambah dengan sulitnya mekanisme pembelian Radar yang bernilai strategis dibidang keamanan, sehingga perlu dilakukan langkah‐langkah yang mengarah kepada upaya untuk meningkatkan kemampuan secara teknologi maupun penguasaan rancangan perangkat keras untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri dalam bidang teknologi perancangan dari modul komponen peralatan strategis ini. Penguasaan Teknologi Rangkaian Gelombang Mikro masih sangat sedikit sekali, karena memerlukan tingkat analisa yang cukup mendalam serta melibatkan perhitungan matematis tingkat tinggi disamping pengalaman mendesain dan praktek yang cukup.
Gambar 1. Contoh Rangkaian Gelombang Mikro Filter Combline. Peningkatan kemampuan Peneliti dalam bidang Rancang Bangun Rangkaian Gelombang Mikro perlu ditingkatkan dikarenakan adanya perkembangan teknologi yang cepat terutama dibidang komponen elektronik dan perangkat lunak, disamping adanya keinginan dari pihak luar negeri yaitu International Research Centre for Telecommunications and Radar (IRCTR) dari TU Delft, Belanda untuk bekerja sama dalam penelitian/pembuatan Radar sehingga bisa dijadikan sebagai nara sumber, turut menjadi faktor pendorong diajukannya penelitian ini. Modul Rangkaian Cavity Filter Band Pass (BPF), merupakan salah satu bagian dari sistim radar yang cukup penting dan srategis. Dalam pembuatan Gelombang Mikro Filter Band Pass (BPF) ini.
151
Synchronizer
Transmitter+ PA
TX Antenna RX Antenna
Power Supply
Display Unit
Video
Receiver + LNA Filter BPF Antenna Control
18.2 Gambar 2. Blok Diagram Sistem Radar. 18.3 Perumusan Masalah Berdasarkan Latar belakang yang telah diuraikan diatas , maka beberapa masalah yang akan diteliti dan dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : • Bagaimana merancang dan merealisasikan Cavity BPF pada rentang frekuensi kurang lebih 9,37 – 9,43 GHz. • Bagaimanakah proses perancangan dan pembuatan Cavity BPF pada rentang frekuensi 9,37– 9,43 GHz GHz. • Bagaimana cara mendapatkan Cavity BPF agar dapat bekerja pada rentang frekuensi kurang lebih 9,37 – 9,43 GHz GHz • Bagaimanakah mengukur parameter Cavity BPF yang akan dibuat. • Apakah hasil pengukuran dan pengujian sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. 18.4 19. TUJUAN DAN SASARAN 19.1 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan perancangan dan implementasi dari modul Rangkaian RF Filter berupa Cavity BPF yang akan dipasang untuk mensuport system RADAR Pengawaspantai ISRA. Prototip modul Rangkaian RF Filter berupa Cavity BPF ini juga akan dites dan dilakukan pengukuran‐ pengukuran yang diharapkan hasilnya sesuai dengan spesifikasi yg telah ditentukan. 152
19.2 Sasaran Penelitian ini diharapkan dapat Mengurangi ketergantungan akan kebutuhan suku cadang modul‐modul komponen yang berbasis Rangkaian Gelombang Mikro seperti peralatan pada sistem Radar Pengawas Tepi pantai, sehingga fungsi Pengawasan dan pengamanan wilayah perairan Indonesia masih tetap bisa berjalan bila terjadi kerusakan pada modul‐modul komponen yang dipakai atau bila terjadi larangan import modul komponen strategis lainnya akibat blokade dari negara tempat produk tersebut dibuat. Untuk meningkatkan kemampuan para peneliti/engineer dalam penguasaan teknologi perangkat keras Sistem Radar. Penelitian ini terdiri atas perancangan dan realisasi. Perancangan mencakup identifikasi dan penentuan spesifikasi dari Cavity Filter Band Pass(BPF), secara berurut metodologi penelitian ini adalah sebagai berikut : • Menentukan spesifikasi dari Cavity Filter Band Pass (BPF) yang akan dirancang • Memilih komponen komponen yang mempunyai spesifikasi sesuai dengan spesifikasi dari Cavity Filter Band Pass (BPF) yang dirancang. • Penentuan Orde (banyaknya resonator) dari filter sesuai dengan karakteristik yang diinginkan. Hal ini dilakukan dengan menggunakan persamaan transformasi low‐pass ke band‐pass dan kurva karakteristik redaman berdasarkan pendekatan matematis dari Chebychev. • Setelah orde filter diketahui, kemudian dihitung parameter prototip low‐pass filter dengan menggunakan persamaan‐persamaan dan tabel harga elemen untuk pendekatan chebychev. • Menghitung besaran kapasitansi sendiri (self capacitance) atau kapasitansi bersama (coupling capacitance) yang dinormalisasi terhadap konstanta dielektrik. Untuk itu sebelumnya dihitung dahulu parameter inverter admitansi relatif terhadap admitansi saluran (Jk,k+1/YA), panjang elektris resonator ( ), dan parameter matematis lainnya. Perhitungan ini berdasarkan persamaan‐persamaan perancangan dari G.L. Matthaei • Setelah besaran kapasitansi pada butir ‘c’ diketahui, maka berdasarkan kurva‐ kurva dari E.G Cristal , bisa ditentukan jarak antar resonator (s) dan diameter dari batangan resonator (d) yang masing‐masing dinormalisasi terhadap jarak antar ground‐plane (b). • Menentukan harga (b) , jarak antar ground‐plane. • Melakukan uji fungsional terhadap rangkaian yang telah dirancang. 20. RENCANA CAPAIAN, HASIL, DAN PEMBAHASAN 20.1 Rencana Capaian Bulan No. Kegiatan dan Penanggung Jawab 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 Perancangan (Pamungkas) 2 Simulasi (Folin Oktaviani) 3 Implementasi Komponen
153
4 5 6 7
(Yana Taryana) Pengukuran (Agus Deni) Integrasi (Patricius) Publikasi (Dadin Mahmudin) Laporan (Dadin Mahmudin)
20.2 Hasil dan Pembahasan 20.2.1 Disain dan Simulasi Spesifikasi filter yang diinginkan adalah sebagai berikut : • Bandwidth filter‐ 3dB : 100 MHz • Bandwidth filter‐50dB : 440 MHz • Frekuensi kerja : 9.35‐9.45 GHz • Frekuensi tengah : 9.4 GHz • Insertion Loss : < 0,4 dB • Tipe filter : Chebyschev • Ripple : 0,1 dB • VSWR : < 1,5 • Impedansi Terminal : 50 Ohm Gambar filter yang disimulasikan data dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Geometri filter bandpass combline Dimensi filter hasil simulasi mempunyai panjang 73,0455mm lebar 10mm dan tinggi 6mm. Filter combline yang dirancang terdiri dari 11 batang silinder yang disusun sejajar, diantara satu batang silinder dengan yang lainnya terdapat stub berbentuk persegi yang berfungsi untuk mempersempit bandwith filter. Untuk memperkecil ripple ditambahkan batang silinder dibagian permukaan atas yang berfungsi sebagai tuning. Hasil simulasi combline filter ditunjukkan pada gambar x‐z. Dari Gambar 4 dapat kita lihat respon s11 dan 21 dari combline filter yang didesain.
154
Gambar 4. Hasil simulasi s11 dan s21 filter Hasil simulasi insertion loss filter yang didesain ditunjukkan pada gambar 5. Nilai insertion loss yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan spesifikasi yang diinginkan yaitu sebesar 0.04dB, hal ini menunjukkan bahwa jenis cavity bandpass dapat memperkecil nilai insertion loss.
Gambar 5. Hasil simulasi s21 filter Nilai insertion loss filter sebesar ‐3dB diperoleh pada range frekuensi 8.9 – 9.6, sehingga bandwidth filter ‐3dB sebesar 700 MHz. Bandwidth hasil simulasi lebih besar dibandingkan dengan spesifikasi hal ini disebabkan karena karakter dari combline filter yang mempunyai bandwith lebar.
155
Gambar 6. Ripple filter bandpass comb‐line
Ripple bandpass filter combline hasil simulasi pada range frekuensi 9,1 ‐9.42Ghz yaitu sebesar 0.03 seperti terlihat pada gambar 6. Dengan menggunakan orde filter yang banyak maka Ripple filter hasil simulasi lebih bagus dibandingkan dengan spesifikasi.
Gambar 7. Hasil simulasi VSWR filter Hasil simulasi VSWR filter pada frekuensi tertentu dapat dilihat pada Gambar 7 dan Tabel 1 . Tabel 1 VSWR Frekuensi (GHz) Nilai VSWR 9.0607 1.4905 9.1007 1.4164 9.1994 1.2943 9.2993 1.2199 9.4009 1.2809 9.4626 1.4925
156
Dari tabel 1 terlihat untuk nilai VSWR< 1.5 diperoleh pada rentang frekuensi 9.0607 – 9.4626 MHz, sehingga filter yang didesain telah memenuhi spesifikasi yang diinginkan. 3.2.2 Desain Filter BPF
Gambar 8. Desain Filter dari hasil simulasi
3.2.3 Prototipe
Gambar 9. Prototipe Filter BPF
3.2.4 Setting Pengukuran dan Hasil‐hasil pengukuran 157
Untuk melakukan pengukuran BPF ini, pada masing‐masing port BPF dihubungkan ke Network Analyzer, dimana port 1 sebagai input, dan port 2 sebagai output. Berikut merupakan konfigurasi dari pengukuran BPF ini : Pengukuran Insertion Loss Dan Bandwidth Pengukuran insertion Loss dan bandwidth ini, dilakukan dengan mengukur parameter S12 dan S21. Adapun langkah‐langkah nya sebagai berikut : a. Hubungkan port 1 dan port 2 Network Analyzer dengan filter, seperti gambar 4.1 b. Tekan hardkey Format, tekan softkey log mag c. Tekan hardkey Means, tekan softkey S12 atau S21 d. Hasil pengukuran akan terlihat di Network Analyzer (Insertion Loss dan Bandwidth)
Gambar 10. Setting pengukuran
3.2.5 Hasil pengukuran S21
Gambar 11. Hasil pengukuran S21 Hasil pengukuran redaman Filter. Nilai insertion loss filter sebesar ‐3dB diperoleh pada range frekuensi x‐z, sehingga bandwidth filter ‐3dB sebesar 496MHz. 158
Bandwidth hasil simulasi (700 MHz) dan pengukuran lebih lebar dibandingkan dengan spesifikasi (100 MHz) hal ini disebabkan karena karakter dari combline filter yang mempunyai bandwith lebar Hasil pengukuran parameter S11
# Gambar 12. Hasil pengukuran parameter S11 Gambar 12 menunjukkan bahwa VSWR (Voltage Standing‐Wave Ratio) input filter pada frekuensi tengah f0 = 1,176 (seperti ditunjukkan marker‐1 pada gambar 12). Namun pada daerah passband, VSWR yang maksimum terjadi pada titik bertanda bintang, yaitu tidak < 1,5. Sementara itu VSWR yang diinginkan maximum 1,5, ini berarti VSWR filter tidak masuk dalam spesifikasi perancangan. Hal ini disebabkan oleh penyesuaian impedansinya yang kurang baik. Spesifikasi vs realisasi Spesifikasi • Bandwidth filter‐ 3dB : 100 MHz • Bandwidth filter‐50dB : 440 MHz • Frekuensi kerja : 9.35‐9.45 GHz • Frekuensi tengah : 9.4 GHz • Insertion Loss : < 0,4 dB • Ripple : 0,1 dB • VSWR : < 1,5 • Impedansi Terminal : 50 Ohm
159
Hasil‐hasil Pengukuran Tabel 1. Hasil‐hasil pengukuran IL (dB) Rejection VSWR @GHz (dB) @GHz S11 ‐
[email protected]
[email protected]
BW 3dB (MHz) S22
2.687@FL 3.107@FL 496
‐
[email protected] 1.17@FC
[email protected] ‐
[email protected] [email protected] 2.94@FU
1.310@FC 2.16@FU
[email protected]
Setalah dibandingkan antara spesifikasi yang dinginkan dengan hasil pengukuran dari filter tersebut, telah terjadi ketidak sesuaian. Hal ini disebabkan oleh: a. Rugi‐rugi bahan yang ditimbulkan oleh resistansi dari bahan kuningan b. Kontak tutup filter yang mengandalkan kekuatan skrup, bagaimanapun juga masih ada rongga yang menimbulkan kebocoran sehingga menimbulkan rugi‐rugi disipasi. Demikian juga halnya dengan kapasitor tuner yang dibuat dalam bentuk sekrup. c. Impedance Matching (penyesuaian impedansi) yang tidak baik pada terminal masukan. OUTPUT (rencana sesuai yg tercantum dalam proposal) (contoh) NO. OUTPUT RENCANA REALISASI % CAPAIAN KETERANGAN 10. Publikasi Ilmiah m. Jurnal Nasional 1 buah ‐ 100 Jelaskan judul makalah, penulis, No. ISSN/ISBN, tempat dan tahun diterbitkan n. Prosiding 1 buah 1 20 Jelaskan Internasional 11. Contoh Produk 1 unit ‐ 40 Jelaskan sampai (jelaskan spesifikasi tahap apa lengkapnya) 12. HKI g. Paten 1 unit ‐ Jelaskan h. Merk 1 unit ‐ Jelaskan dst
160
21. KENDALA DAN PERMASALAHAN Rancang bangun dari Filter harus dikerjakan diluar PPET‐LIPI sehingga memerlukan waktu yang agak lama. 22. KESIMPULAN Telah dibuat sebuah prototype dari Filter Combline di frekuensi 9,4 GHz. Filter combline yang dirancang terdiri dari 11 batang silinder yang disusun sejajar, diantara satu batang silinder dengan yang lainnya terdapat stub berbentuk persegi yang berfungsi untuk mempersempit bandwith filter. Bandwidth hasil pengukuran lebih lebar dibandingkan dengan spesifikasi yang diinginkan, hal ini disebabkan karena karakter dari combline filter yang mempunyai bandwith lebar. 23. DAFTAR PUSTAKA (b) Matthaei, G.L., Young, L., and Jones, E.M.T, Microwave Filter, Impedance Matching Network, and Coupling Structure, Artech House, Inc, 1980 (c) Hunter, I., Theory and Design of Microwave Filters, IEE, London, UK, 2001. (d) Cristal, E.G, coupled Circular Cylindrical rods between parallel ground plane, IEEE Trancactions on Microwave Theory and Techniques, 1964 (e) Mattaei, G.l, Comb‐line band‐pass‐filter of narrow or moderate bandwidth, Microwave J, 1963
161
Rancang Bangun Transduser Array untuk Meningkatkan Daya Pancar Sistem Sonar
Deni Permana Kurniadi, ST
162
LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan Penelitian
:
2.
Kegiatan Prioritas
:
3. 4. 5. 6.
Peneliti Utama Nama Jenis Kelamin Sifat Penelitian Lama Penelitian Biaya Total 2013
: : : : :
Rancang Bangun Transduser Array untuk Meningkatkan Daya Pancar Sistem Sonar Program Penelitian, Penguasaan dan Pemanfaatan Iptek. Deni Permana Kurniadi, ST Pria Baru / Tahun ke I 2 ( dua) Tahun Rp. 152.180.000
Bandung, Desember 2013 Peneliti Utama,
Ketua PME PPET LIPI,
Dr. Purwoko Adhi, DEA NIP. 19670911 198701 1 001
Deni Permana Kurniadi, ST NIP. 19691111 199703 1 004
163
ABSTRAK Sound Navigation and Ranging (SONAR), adalah suatu teknik navigasi yang sama seperti sistem RADAR, hanya saja menggunakan gelombang serta medium yang berbeda. Pada sistem SONAR gelombang yang dipergunakan adalah gelombang akustik yang memanfaatkan air sebagai medium propagasi. Penguasaan teknologi bawah air bersifat strategis, sama seperti sistem Radar karena banyak sekali aplikasi teknologi yang bisa dihasilkan baik itu untuk peralatan komersial ataupun peralatan militer. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mendukung kompetensi PPET – LIPI dalam rancang bangun produk penelitian menjadi produk‐produk komersial yang akan mendorong tumbuhnya industri lokal yang handal, karena didukung oleh hasil‐ hasil penelitian yang terukur dan teruji. Dukungan untuk penelitian ini menjadi penting, karena Indonesia sangat memerlukan produk‐produk yang dapat mendukung pertahanan dan keamanan baik di atas maupun di bawah air. Mengingat pengembangan teknologi bawah air relatif baru, maka pengembangan ke arah itu mempunyai nilai strategis tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia, setidaknya di kawasan asia tenggara. Terlebih lagi jika kita memperhatikan teknologi alusita yang dimiliki Angkatan Bersenjata khususnya yang menerapkan teknologi bawah air, hampir sebagian besar menggunakan teknologi luar negeri sehingga nilai ketergantungannya sangat tinggi. Hal ini terjadi karena industri dalam negeri yang mengembangkan teknologi bawah air terutama untuk peralatan militer masih sangat jarang. Disisi lain, untuk pemeliharaan, perbaikan, dan pengadaan sistem, baik untuk militer dan non‐militer masih sangat tergantung dari luar negeri. Pada akhir penelitian ini diharapkan akan melahirkan beberapa inovasi, kemandirian teknologi serta daya saing yang tinggi dalam perkembangan teknologi bawah air, mengingat sangat sedikit sekali lembaga riset, institusi serta industri yang bergerak di bidang ini. Sementara, peneliti‐peneliti di PPET‐LIPI sejak tahun 2004 telah melakukan beberapa kegiatan penelitian mengenai penguasaan teknologi elekronika bawah air, yang merupakan dasar dalam pembuatan sistem sonar. Kata kunci: sonar, gelombang akustik, projektor, hydrophone, heterodyn. 24. PENDAHULUAN 24.1 Latar Belakang Masalah Dalam setiap penyusunan strategi pertahanan negara dari tantangan, ancaman dan gangguan, sering terlupakan pentingnya pertahanan bawah air. Padahal Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas lautan 3 kali dari luas daratan, membuat Indonesia menjadi negara bahari yang potensial. Oleh karena itu, sudah selayaknya penguasaan teknologi bawah air menjadi prioritas selain penguasaan‐penguasaan teknologi lainnya. Pada kenyatannya sekarang, Lembaga dan kegiatan Penelitian di bidang teknologi bawah air di Indonesia masih sangat sedikit, terlebih lagi untuk bidang pertahanan, dirasa kurang mendapat prioritas, yang mengakibatkan perkembangan teknologi tersebut dalam kondisi stagnan dan jauh tertinggal dengan negara‐negara tetangga terutama Singapura dan Malaysia.
164
Untuk Lembaga Penelitian seperti PPET‐LIPI, keadaan ini merupakan kesempatan emas untuk membuat aplikasi‐aplikasi hasil riset dan masuk ke industri pertahanan yang oleh Menristek diserukan agar para peneliti melirik industri Hankam mengingat anggaran militer yang besar di negeri kita, sehingga dapat memperkuat sistem pertahanan nasional, daya saing dan kemandirian. Beberapa contoh aplikasi teknologi bawah air yang sekarang dipergunakan adalah sistem sonar, sistem navigasi kapal laut dan kapal selam, pelacak black box pesawat, pengendali Torpedo, sistem komunikasi kapal selam, diver tracking, dan lain‐lain. Padahal pemeliharaan, perbaikan, dan pengadaan sistem ini baik untuk militer dan non‐militer masih tergantung dari luar negeri.
Gambar 1. Prinsip Kerja Sistem Sonar Prinsip kerja dari sistem sonar adalah dihasilkannya suatu bentuk sinyal atau impuls di bagian pemancar, kemudian akan dirubah bentuk besarannya oleh sebuah projektor menjadi bentuk gelombang akustik, bentuk gelombang akustik tersebut akan dipancarkan ke dalam air. Ketika gelombang akustik tersebut mengenai suatu objek, maka gelombang akustik tersebut akan dipantulkan kembali dan kemudian akan ditangkap oleh hydrophone, diperkuat pada sistem penerima, yang selanjutnya akan dilakukan proses pengolahan sinyal, sehingga dapat ditampilkan pada tampilan peraga secara visual. Karena kejadian pengiriman gelombang akustik serta penerimaan sinyal pantul terjadi berulang‐ulang dalam setiap detik, maka pada layar peraga akan ditampilkan suatu bentuk sinyal continuous yang akan memperlihatkan keadaan di bawah permukaan air. 24.2 Perumusan Masalah Rancang bangun transduser array untuk meningkatkan daya pancar sistem sonar ini terdiri dari elemen‐elemen projektor (ultasound transducer element) yang disusun secara paralel seperti yang diperlihatkan pada gambar di bawah ini :
165
•
• •
•
Gambar 2. Prinsip Kerja Transduser Array bagian Pemancar Transmit Beamformer, merupakan sub‐bagian dari sistem transduser array yang mana sinyal atau impuls dari keluaran sistem sonar akan diproses dahulu dengan menggunakan metoda splitter secara langsung, dimana besarnya daya dibagi sama besar tergantung dari jumlah elemen projektor yang dipergunakan dengan fasa yang sama. Ultrasound High Voltage Transmitter, merupakan sub‐bagian dari sistem transduser array yang berfungsi untuk menaikkan daya atau level tegangan sebelum masuk kepada elemen projektor. Transmit Focus Delay, merupakan sub‐bagian dari sistem transduser array yang mana sinyal atau impuls yang sudah dikuatkan, akan digeser fasanya dengan metoda delay. Besarnya pergeseran fasa, tergantung dari jumlah elemen projektor yang dipergunakan. Ultrasound Transducer Elements, merupakan sub‐bagian dari sistem transduser array yang berfungsi untuk mengubah sinyal listrik menjadi getaran akustik.
25. TUJUAN DAN SASARAN 25.1 Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah penguasaan teknologi tranduser array sebagai projector pada sistem pemancar sonar, untuk menunjang kebutuhan kemandirian pertahanan dan keamanan. 25.2 Sasaran Sasaran dari penelitian ini adalah rancang bangun tranduser array untuk meningkatkan daya pancar sistem sonar sebagai alat pendeteksi kapal selam bekerjasama dengan Labinbair Dislitbang TNI Angkatan Laut.
166
26. METODE • Studi literatur, yaitu menganalisis trend teknologi pada 5 tahun terakhir untuk teknologi ultrasonic/sonar dari jurnal‐jurnal internasional, selanjutnya mengambil beberapa ide yang layak untuk diplikasikan pada sistem komunikasi bawah air. Sumber untuk melakukan studi literatur ini selain di PDII‐LIPI, kepustakaan alat‐alat pada Mabes TNI, juga di Labinbair TNI‐AL. • Studi lapangan, yaitu melakukan pengukuran lapangan dengan lebih spesifik (pengukuran dasar secara umum pernah dilakukan) dengan memperhatikan faktor‐faktor (kondisi medan) yang memungkinkan adanya refleksi gelombang atau pun dead zone. Selanjutnya dari pengukuran lapangan ini akan diketahui sejauh mana kondisi tersebut berpengaruh pada sistem yang akan dibuat. Studi lapangan akan dilakukan pada daerah gelombang tenang seperti danau atau teluk dan daerah laut terbuka. • Analisa dan Simulasi, yakni melakukan perancangan modul‐modul yang akan dirakit, kemudian melakukan simulasi. • Perakitan, yakni merakit modul‐modul yang berdasarkan hasil analisa dan simulasi sudah mempunyai unjuk kerja optimum. • Pengujian Laboratorium, yakni mengadakan pengujian laboratorium terhadap rangkaian yang telah dirakit. Pengujian skala laboratorium ini sangat dimungkinkan karena sudah bisa membuat model redaman air, sebagai hasil dari pengalaman dalam kegiatan‐kegiatan sebelumnya. • Pengujian Lapangan, yaitu melakukan uji coba di lapangan atas modul tansduser array yang sudah dibuat, sehingga bisa dilakukan penyempurnaan pada bagian‐bagian yang belum optimal. 27. RENCANA CAPAIAN, HASIL, DAN PEMBAHASAN 27.1 Rencana Capaian Tahun I (2013) Bulan Rencana Kerja o. 0 1 Studi Literatur dan . Pustaka Spesifikasi trasnduser . Desain sistem . transduser Pemilihan dan . pembelian komponen & material Realisasi sistem . transduser Karakterisasi dan . pengukuran sistem transduser skala laboratorium 167
2
.
.
Karakterisasi dan pengukuran sistem transduser di lapangan Evaluasi atas semua kegiatan‐kegiatan yang telah dilakukan Pembuatan Laporan
. Seminar seta Publikasi 0. Ilmiah 27.2 Hasil dan Pembahasan : Dengan menggunakan perhitungan panjang gelombang serta prinsip penjumlahan vector, maka desain transduser array dilakukan, dengan mengacu juga kepada hasil pengukuran pada tahap karakterisasi. Untuk menentukan banyaknya jumlah transduser array yang akan dipergunakan, hal ini akan mengacu kepada hasil perhitungan link budget sistem sonar, sehingga efisiensi sistem dapat tercapai dengan sempurna. Diketahui : 1. Frekuensi kerja transduser type Hard Transducer model PTZ (Lead Zirconat Titanat) sebesar 28 kHz. 2. Bentuk fisik dari Hard Transducer model PTZ (Lead Zirconat Titanat) : Lingkar Luar = 70 mm Lingkaran Dalam = 30 mm Ketebalan = 10 mm f = υ/ λ λ = υ / f λ = 1500 m/s : 27.000/s λ = 5.6 cm 2λ = 11.1 cm Dengan kecepatan rambat gelombang di dalam air sebesar 1500 m/s, maka panjang gelombang yang dihasilkan sebesar 5.6 cm pada frekuensi 27 kHz. Panjang ini tidak akan cukup untuk membuat dua buah piezoelectric ditempatkan berdampingan karena diameter luar Hard Transducer model PTZ sebesar 7 cm, sehingga digunakan perhitungan 2 kali panjang gelombang. Untuk perhitungan 2λ dihasilkan panjang 11.1 cm dimana panjang tersebut cukup untuk leluasa untuk menempatkan piezoelectric dengan cara berdampingan, seperti gambar di bawah ini : Pembahasan Rancangan Prototipe : Transduser Array terdiri dari 4 transduser piezoelektrik yang tersusun secara seri. Bentuk dari transduser array berupa kapsulasi dengan diameter casing berdiameter 3 inchi. Untuk transduser piezoelektrik berukuran luar 70mm, dalam atau lubang 30mm, dan tebal 10mm, biasa disingkat 70_30_10. Bahan dasar dari transduser adalah Hard Lead Zirconate Titanat yang sesuai untuk transduser daya tinggi. Setiap 168
transduser berada di antara dua load plate mass m1 dan m2. Apabila load m1 berada dimuka, yaitu arah keluaran radiasi akustik, maka m2 > m1. Load m1 dibuat tersusun dengan arag getar akustik. Diameter terluar dari cones merupakan kelipatan ganjil dari setengah panjang gelombang akustik di bawah air. Keempat transduser tersebut diletakan di dalam housing kedap air, sedangkan bagian muka ditutup dengan dom dengan impedansi akustik rendah dan juga kedap air, dalam perencanaan digunakan polyurethan. Elemen bawah air ini merupakan elemen dasar, atau satuan, dari suatu sistem projektor secara keseluruhan. Sistem Akustik Projektor tersusun dari Elemen‐ elemen akustik projektor yang disusun sedemikian rupa agar diperoleh pola berkas tertentu dan dapat meradiasikan daya berkas seperti yang dibutuhkan. Sinyal Radiasi Akustik Pemancar Sonar pada kedalaman 5 meter dengan jarak pengukuran transduser terhadap penerima sejauh 10 meter, frekuensi kerja 27 KHz. Pengukuran menggunakan alat bantu berupa hydrophone wide band acoustic detector merek Reson type TC 1026, dengan intensitas sinyal ‐2dB dari referens (TC1026). OUTPUT : NO. OUTPUT RENCANA REALISASI % KETERANGAN CAPAIAN 13. Publikasi Ilmiah o. Jurnal Internasional 1 buah 1 buah 100% Diterbitkan di IOSR Judul : Battery Voltage Journal (International Control System to Organization of Scientific Avoid Deep Charging in Research), Control Battery Unit Vol. 4, Issue 6, Mar‐Apr (CBU), Penulis : 2013. Deni Permana Kurniadi dan Arief Budi Santiko 14. Prototipe berupa 1 unit Prototipe 100% Sesuai dengan Jadwal Transduser Array yang Transduser Kegiatan, pada bulan akan berfungsi sebagai Array Oktober sampai Penguat Daya Sistem Desember 2013, masuk Sonar. pada tahap evaluasi kegiatan serta pembuatan laporan akhir 28. KENDALA DAN PERMASALAHAN Di dalam proposal disebutkan akan dilakukan pengukuran pada daerah gelombang tenang seperti danau atau teluk serta melakukan pengukuran di laut. Sampai triwulan keempat, pengukuran serta pengujian sistem transduser array masih belum bisa dilakukan di laut, tetapi dilakukan di daerah air tawar berupa danau buatan, karena terbentur dengan ketersediaan dana. Untuk kegiatan pengukuran di laut, dibutuhkan dana untuk persiapan serta peralatan pendukung pengukuran, seperti power supply, perahu, dudukan transduser, keselamatan
169
kerja, dll, maka pengukuran baru bisa dilakukan di daerah gelombang tenang yaitu di daerah danau berupa perairan tawar. 29. KESIMPULAN Dengan melihat hasil pengukuran dari prototype transduser array jenis Tonpilz Piezoelectric Ring 70_30_10. yang terdiri dari 4 buah piezoelectric, maka dihasilkan respon frekuensi yang hampir rata pada frekuensi tengah 28KHz dengan bandwidth sekitar 10 kHz. Hal ini akan terlihat jika dibandingkan dengan model Prototip 2 X 2 Tonpilz array piezoelectric Ring 70_30_10 seperti pada laporan tahap II yang mana mempunyai respon frekuensi rata pada frekuensi 24 kHz dengan peak frekuensi terjadi pada frekuensi 28.1 KHz. Pada tahap akhir kegiatan, telah dilakukan beberapa pebaikan sisi casing kapsulasi untuk menghindari kebocoran pada transduser array, diataranya telah dipasang beberapa ring seal berupa karet pada penutup serta diberikan pengecoran dengan menggunakan lem bakar (hot glue) untuk beberapa bagian penting yang kontak langsung dengan air, seperti tempat keluarnya kabel, baut pengikat serta baut penutup casing kapsulasi. 30. DAFTAR PUSTAKA 1. Urick, Robert J. : ’Principles of Underwater Sound’ 3D Edition , McGraw‐Hill Book Company, New York 1983. 2. A. B. Baggeroer. Acoustic telemetry An overview. IEEE Journal of Oceanic Engineering, OE‐9(4):229{235, October 1984. 3. G. Fink, Donald : ’ Electronics Engineer Handbook’ Mc Graw Hill International Edition, New York 1986. 4. D. Brady and J. C. Preisig. Underwater acoustic communications. In H. V. Poor and G. Wornell, editors, Wireless Communications: Signal Processing Perspectives, pages 330{379. PTR Prentice‐Hall, 1998. 5. D. B. Kilfoyle and A. B. Baggeroer. The state of the art in underwater acoustic telemetry. IEEE Journal of Oceanic Engineering, 25(1):4{27}, January 2000. 6. G. Bellec. Placement report: Development of digital modulation and demodulation modules for an underwater communications modem. Technical report, Institute for Sistems and Robotics | Instituto Superior Tecnico (ISR/IST), February 2002. 7. Syamsu Ismail, Deni Permana, “Karakterisasi Elemen Transduser Piezoelektrik untuk Sistem Komunikasi Bawah Air”, (Diterbitkan dalam Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi Vol.7, No. 2 / ISSN 1411‐8289, Akreditasi LIPI No. 72/Akred‐ LIPI/P2MBI/5/2007, Juli ‐ Desember 2007, hal 61‐67. 8. Deni Permana, Syamsu Ismail, “Perencanaan dan Realisasi Channel Filter pada Sistem Pemancar Frekuensi Modulasi untuk Komunikasi Bawah Air”, (Diterbitkan dalam Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi No.2 (Edisi Khusus) Vol. 9, September 2009 ISSN 1411‐8289, Akreditasi LIPI No. 72/Akred‐ LIPI/P2MBI/5/2007.
170
9. Syamsu Ismail, Deni Permana, “Sistem Komunikasi Bawah Air untuk Transmisi Data dari Dasar Laut atau Danau ke Stasiun Terapung”, (Diterbitkan dalam Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi No.2 (Edisi Khusus) Vol. 9, September 2009 ISSN 1411‐8289, Akreditasi LIPI No. 72/Akred‐LIPI/P2MBI/5/2007. 10. Syamsu Ismail, Deni Permana, “Sistem Komunikasi Menggunakan Gelombang Akustik dengan Memanfaatkan Bawah Air sebagai Medium Propagasi”, (Diterbitkan dalam Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi Vol. 9, No. 1 / ISSN 1411‐8289, Akreditasi LIPI No. 72/Akred‐LIPI/P2MBI/5/2007, Januari – Juni 2009, hal 75 – 81. 11. Syamsu Ismail, Eko Joni, Deni Permana, “Pengukuran pola Radiasi Transduser Akustik Bawah Air untuk Aplikasi Diver Tracking” , (Diterbitkan dalam Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi No.1 Vol.11, Januari ‐ juni 2011 ISSN 1411‐8289, Akreditasi LIPI No. 276/AU1/P2MBI/05/2010. 12. Deni Permana, Syamsu Ismail, “Rancang Bangun Oscilator Kristal 33.33 KHz untuk Frekuensi Pembawa pada Sistem Komunikasi Bawah Air”, (Diterbitkan dalam Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi Vol. 12, No. 1 / ISSN 1411‐8289, Akreditasi LIPI No. 72/Akred‐LIPI/P2MBI/5/2007.
171
Gambar 3. Transduser Array Setelah Dilakukan Beberapa Perbaikan
172
LAMPIRAN Perhitungan Link Budget sistem Sonar Spesifikasi ditentukan sebagai berikut : Cross section TS = 15 dB ~ 30 dB Jarak maksimum : 12 Km. Periode Repetisi Pulsa : 16s , atau PRF : 0.0625 p/s Frekuensi Kerja : 20 KHz ~ 30 KHz Mode Signal : Pulsed Sinusoid , atau 100% ‐ AM. Lebar Pulse : 5 ms, Res 3.75 m Perhitungan dimulai dengan perhitungan kebutuhan daya sonar, atau Link Budgeting, seperti diuraikan sebagai berikut : Frekuensi Kerja : 20 KHz ~ 30 KHz disesuaikan dengan elemen transduser yang didapat. Jarak maksimum Xmax : 12.000 m Kecepatan gelombang υ = 1500 m/s 2 X 2 x12000 t= = = 16s υ 1500 Blank area ditentukan ∆ X = 10 m 2 ΛX τ≤ = 16ms , τ = 5 ~ 10 ms υ Lebar pita frekuensi yang harus disediakan 1 BW = 2 x KHz = 400Hz 5 Transmission Loss (TL) : TL = LRNG + LSPH‐CYL + α + TPD ....(2) RANGE [m] sehubungan dengan Spreading Loss, LRNG = 10 Log 12,000 = 40.79 dB, Untuk 2 trip LRANGE = 81.58 dB. Bentuk rugi‐rugi Sperik ke Silindrik[5] pada 1000m, LSPHE‐CYL = 10Log 1K = 30 dB. untuk 2 trip = 60 dB. LABSORB(α), high estimation = 5 dB, funtuk 2 trip α = 10 dB. TPD (Total Possible Deviation), high estimation = 10 dB. TL = 81.58 + 60 + 10 + 10 = 161.58 dB. Figure Of Merit (FOM) : FOM > TL FOM = TL + SM, SM = Safety Margin, antara 10 dB sampai 15 dB FOM = 161.58 + 15 = 176.58 dB FOM = SL + TS + DI –NL –DT Source Level (SL) : daya akustik yang diproyeksikan SL = FOM ‐ TS ‐ DI + NL + DT.. (3) Target Strength (TS) : Data tipikal Kapal Selam, dari buku “Principles of Underwater Sound” oleh Robert J, Urick p324 table 9.3, TSSuBM ≈ 15 dB ~ 30 dB, diasumsikan 15dB, jika. : 0.1% Return Signal di penerima, maka TSSUBMARINE = ‐15 dB. Noise Level (NL) : (data, from R.J. Urick). Noise Level terdiri dari : 173
ND = deep water noise = 40 dB , yaitu 10,000 μ Pa. NS = wind speed 28 – 33 Knot = 55 dB, yaitu 31,623 μ Pa. NC = coastal Water 22 – 27 Knot = 55 dB, yaitu 31,623 μPa. NI = Self Noise (data internal system) total = 40dB, yaitu 10,000 μPa (Pa ≈ W, system dianggap tanpa rugi konversi). Noise total adalah NL = (ND + NS + NC + NI) LINEAR = 65,24 104 μPa. NL(dB) = 58.14 dB ≈ 60 dB. Jika noise tak terduga diasumsikan 10 dB, maka NL + 10 dB ≈ 70 dB Directivity of Projector (DI) : Disc PZT circular transducer diameter Ф = *60_*30 mm, 2
2
⎛Φ ⎞ ⎛Φ ⎞ A = π⎜ L ⎟ − π⎜ D ⎟ = 2.12x10 −3 m 2 ⎝ 2 ⎠ ⎝ 2 ⎠ 1 panel = 96 pcs Disc PZT, ATOTAL = 0.20352 m2 4πA TOTAL Directivity factor DF = at 22 KHz ( λ = 0.0682 m) λ2 4π 0.20352 DF = = 2703.2m 2 2 0.0682 DI = 10 Log DF = 34 dB. Sehubungan dengan misalignment, discontinuity, rugi‐rugi bahan, rugi tak terduga total 3 dB, maka DI ≈ 31 dB. Detection Threshold (DT) Keterbatasan ambang deteksi (DT) adalah self noise karena agitasi termal, EM lingkungan, Akustik lingkungan, noise di area frekuensi operasi, dll. Diasumsikan DT = ‐ 20 dB. Source Level (SL) : SL = FOM – TS – DI + NL + DT = 176.58 – (‐15) – 31 + 70 – 20 = 210.58 dB. Konversi Source Level (SL) ke daya elektrik keluaran pemancar sonar : P2 [W.m‐2] Sound Wave Intensity I = Z P : Pressure [Pa] P = u.Z U : velocity of particle [m.s‐1] Z : Specific Acoustic Impedance [Kg. m‐2. s‐1] Z = ρ.C υ : kecepatan gelombang akustik ρ : medium density, sea water[2] ρ = 1000 [Kg. m‐3] ZSW = 1.5 E6 [Kg. m‐2. s‐1] Referensi intensitas (Ir), muka gelombang di dalam air diambil pada tekanan P = 1μPa [4]
Ir =
(1µ )2
[
]
= 0.67 E − 18 Watt / m 2
1 .5 E 6 I SL = SD ISD = intensitas standard jarak (dalam perhitungan 1 m), untuk Ir projektor omni directional, pada jarak 1 meter dari pusat sumber, permukaan sperik S dengan radius 1 meter adalah S = 4πR 2 = 4π(1m ) 2 = 12.566m 2
174
P P , SL = 12.566 Is = 6.67 E − 18 12.566 SL(dB) = P(dB) – 10Log(12.566 x 0.67‐18) SL(dB) = 10 Log P + 170.8 dB ……(4) Dari perhitungan sebelumnya didapat SL = 210.58 dB, persamaan (4) P(dB) = SL(dB) ‐170.8 dB = 210.58 dB – 170.8 dB = 39.78 dB P(WATT) = 103..978 = 9506 Watt RMS Jika efisiensi transduser ή adalah 0.50, maka kebutuhan daya elektrik PEL = 19.012 KW ≈ 19 Kwatt. Pengukuran Transduser type Hard Transducer model PTZ (Lead Zirconat Titanat) :
0 -2 -4
LEVEL (dB)
-6 -8 -10 -12 -14 -16 -18 -20
Gambar 1. Daya Maksimum Transduser FREQ_RESPONSE at DIFF TIME 58K 59K 60K 61K 62K 63K 64K 65K 66K 67K 68K 69K 70K 71K 72K 73K 74K 75K 76K 77K 78K 79K 80K FREQUENCY (Hz) Gambar 2. Frekuensi Respon Transduser 23:25 03:13 05:32 12:55
175
Tabel Daya
KEDALAMAN TRANSDUSER 4 METER DENGAN JARAK 200 METER LOKASI DANAU CIRATA CIANJUR DAYA CAL PERC. 1 PERC. 2 PERC. 2 (WATT) (WATT Rx (WATT) Rx (WATT) Rx (WATT) ATT) 0 0 0 0 0 1 SET 0.12 SET 0.12 SET 0.12 SET 0.12 2 0.18 0.18 0.18 0.18 3 0.21 0.22 0.20 0.21 4 0.44 0.44 0.44 0.44 6 0.56 0.55 0.56 0.57 8 0.69 0.69 0.69 0.69 10 0.82 0.83 0.82 0.82 12 0.98 0.97 0.98 0.97 14 1.05 1.05 1.05 1.05 16 1.15 1.15 1.15 1.15 18 1.36 1.36 1.36 1.36 20 1.57 1.57 1.56 1.57 22 1.86 1.87 1.87 1.87 24 2.11 2.11 2.11 2.11 26 2.45 2.46 2.45 2.45 28 2.87 2.87 2.87 2.87 30 3.09 3.09 3.10 3.09 32 3.15 3.15 3.15 3.15 34 3.43 3.43 3.43 3.43 36 3.78 3.77 3.78 3.78 38 3.99 3.99 3.99 3.99 40 4.14 4.14 4.15 4.14 42 4.42 4.42 4.42 4.42 44 4.65 4.66 4.65 4.65 46 4.81 4.81 4.80 4.81 48 5.06 5.07 5.06 5.06 50 5.34 5.33 5.32 5.33
1.
Maksimum dari Transduser Dalam perhitungan Link Budget dihasilkan perhitungan daya elektrik yang diperlukan oleh transmitter sebesar 19 Kwatt untuk jarak maksimum sejauh 12 Km, Periode Repetisi Pulsa : 16s , PRF sebesar 0.0625 p/s, Frekuensi Kerja antara 20 KHz ~ 30 KHz, Mode Signal berupa Pulsed Sinusoid ( 100% ‐ AM), serta Lebar Pulse sebesar 5 ms. Dari Gambar 3 dan Tabel 1 terlihat daya maksimum dari sebuah transduser yang diketahui merupakan hasil pengukuran transduser pada daerah danau perairan tawar pada jarak 200 meter dengan kedalaman 4 meter, terlihat dari grafik yang diperoleh merupakan fungsi linier dimana daya input di penerima merupakan fungsi
176
pembagi sepuluh dari daya output pemancar. Pada gambar 4 didapat hasil pengukuran frekuensi respon pada transduser dengan pengambilan data untuk 4 waktu yang berbeda terlihat pada waktu dini hari, respon frekuensi lebih stabil dibawah ‐12dB. Sedangkan untuk dua waktu lainnya, respon frekuensi sekitar – 6dB serta adanya ketidak setabilan pada beberapa frekuensi. Hal ini kemungkinan terjadi karena pengaruh salinitas air serta banyaknya aktifitas yang mengganggu pada saat dilakukan pengukuran. Dengan menggunakan perhitungan panjang gelombang serta prinsip penjumlahan vector, maka desain transduser array dilakukan, dengan mengacu juga kepada hasil pengukuran pada tahap karakterisasi. Untuk menentukan banyaknya jumlah transduser array yang akan dipergunakan, hal ini akan mengacu kepada hasil perhitungan link budget sistem sonar, sehingga efisiensi sistem dapat tercapai dengan sempurna. Diketahui : Frekuensi kerja transduser type Hard Transducer model PTZ (Lead Zirconat Titanat) sebesar 27 kHz. Bentuk fisik dari Hard Transducer model PTZ (Lead Zirconat Titanat) : Lingkar Luar = 70 mm Lingkaran Dalam = 30 mm Ketebalan = 10 mm f = υ/ λ λ = υ / f λ = 1500 m/s : 27.000/s λ = 5.6 cm 2λ = 11.1 cm Dengan kecepatan rambat gelombang di dalam air sebesar 1500 m/s, maka panjang gelombang yang dihasilkan sebesar 5.6 cm pada frekuensi 27 kHz. Panjang ini tidak akan cukup untuk membuat dua buah piezoelectric ditempatkan berdampingan karena diameter luar Hard Transducer model PTZ sebesar 7 cm, sehingga digunakan perhitungan 2 kali panjang gelombang. Untuk perhitungan 2λ dihasilkan panjang 11.1 cm dimana panjang tersebut cukup untuk leluasa untuk menempatkan piezoelectric dengan cara berdampingan, seperti gambar di bawah ini : 177
Gambar 3. Hasil Desain Piezoelectric Ring 70 x 30 x 10, Tampak Samping Gambar 4. Hasil Desain Piezoelectric Ring 70 x 30 x 10, Tampak Muka
178
Gambar 5. Prototip PROJECTOR 2 X 2 Tonpilz Array Piezoelectric Ring 70_30_10
Gambar 6. Karakteristik Frequensi Domain Prototip PROJECTOR 2 X 2 Tonpilz Array Piezoelectric Ring 70_30_10
179
Gambar 7. Hasil Desain Piezoelectric Ring 70 x 30 x 10, Tampak Samping
Gambar 8. Bentuk Fisik dari Hard Transducer model PTZ (Lead Zirconat Titanat) :
180
Gambar 9. Prototip Projector Tonpilz Array Piezoelectric Ring 70_30_10
Gambar 10. Respon Frekuensi Tonpilz Array Piezoelectric Ring 70_30_10.
181
Gambar 11. Setup Pengukuran Tonpilz Array Piezoelectric Ring 70_30_10 dengan menggunakan Driver Resonance Amplifier. Pembahasan Driver Resonance Amplifier, Rangkaian ini mendapat trigger dari sinyal carrier yang sudah dimodulasi amplituda 100%. Impulse positif mengakibatkan charging pada induktor, kemudian setalan sinyal sama dengan nol terjadi discharging melalui PZT yang bersifat kapasitif. Dengan membuat L dan Cpzt resonansi pada tegangan pencatu, maka diperoleh Vpzt > VCC. Gambar 12. Hasil Karakterisasi Tonpilz Array Piezoelectric Ring 70_30_10 dengan menggunakan Driver Resonance Amplifier Self Noise di dalam air dengan BW 20 Hz : 1 kHz ~ 15 KHz = ‐112 dBm 20 kHz ~ 30 kHz = ‐115 dBm 35 kHz ~ 50 kHz = ‐118 dBm 55 kHz ~ 70 kHz = ‐120 dBm
182
Tabel 2. Pengukuran Noise dengan Frekuensi Tonpilz Array Piezoelectric Ring 70_30_10
183
Tabel 3. Respon Frekuensi Tonpilz Array Piezoelectric Ring 70_30_10
184
Gambar 13. Pengukuran Tonpilz Array Piezoelectric Ring 70_30_10 di Lapangan.
Gambar 14. Setup Peralatan Ukur di Lapangn.
185
Gambar 15. Pengukuran Daya Pancar Tonpilz Array Piezoelectric Ring 70_30_10 di Lapangan.
Gambar 16. Pengukuran Transduser Array di Lapangan
186
Pengembangan Through‐Wall Radar untuk Life Detector
Dr. Purwoko Adhi
187
LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan Penelitian 2. 3. 4. 5. 6.
:
Kegiatan Prioritas Peneliti Utama Nama Jenis Kelamin Sifat Penelitian Lama Penelitian Biaya Total 2013
: : : : : : :
PENGEMBANGAN THROUGH‐WALL RADAR UNTUK LIFE DETECTOR PURWOKO ADHI PRIA Baru/Lanjutan Tahun ke‐3 3 (TIGA) Tahun Rp204.949.000,00
Bandung, 19 Desember 2013 Peneliti Utama
Ketua PME PPET LIPI,
Dr. Purwoko Adhi, Dipl. Ing., DEA NIP. 19670911 198701 1 001
Dr. Purwoko Adhi, Dipl. Ing., DEA NIP. 19670911 198701 1 001
188
ABSTRAK Dalam kegiatan Pengembangan Through Wall Radar untuk Life Detector, dilakukan pengembangan software dan hardware radar dengan teknologi ultrawideband (UWB). Pada tahun pertama dan kedua telah dilakukan pengembangan Radar UWB frequency modulation continuous wave (FMCW), dengan frekuensi kerja dari 500 sampai dengan 3000MHz. Pengembangan difokuskan pada perancangan sistem, pengembangan pembangkit chirp wide band, pengembangan data akuisisi, dan pengembangan software. Namun, hasil pengujian menunjukkan bahwa prototype Radar UWB FM‐CW yang dikembangkan belum berfungsi sebagaimana mestinya. Radar belum cukup sensisif dalam mendeteksi obyek yang berada di depannya. Pada tahun ketiga ini, mulai dilakukan pengembangan Radar UWB impulse. Pengembangan dilakukan bersamaan dengan investigasi yang masih harus dilakukan terhadap prototype Radar UWB FM‐CW hasil pengembangan tahun pertama dan kedua. Kata kunci: Radar, ultra wideband, FM‐CW, pulse, through wall, life detector
189
31. PENDAHULUAN 31.1 Latar Belakang Masalah Pengembangan through‐wall radar bertujuan untuk menjawab kebutuhan akan perangkat life detector. Through‐wall radar menggunakan prinsip radar UWB yang banyak digunakan untuk ground penetrating radar (GPR). Beberapa tipe radar UWB yang lazim digunakan adalah frequency modulation continuous wave (FM‐CW), step frequency continuous wave (SF‐CW), dan impulse. Pada tahun pertama dan kedua dari kegiatan ini, telah dilakukan pengembangan Radar UWB FM‐CW. Radar UWB FM‐CW menggunakan prinsip yang sama dengan Radar FM‐CW yang digunakan untuk radar permukaan atau radar udara. Perbedaannya, Radar UWB FM‐CW menggunakan frekuensi yang lebih rendah namun memiliki bandwidth sinyal yang jauh lebih lebar. Pembangkit chirp wideband adalah salah satu komponen atau subsistem terpenting dari sebuah radar UWB FM‐ CW. Tantangan dalam komponen ini adalah bandwidth yang sangat lebar, linearitas frekuensi terhadap waktu, level daya yang rata, dan kestabilan. Komponen atau subsistem penting lain dari sistem Radar FM‐CW adalah modul data akuisisi. Modul ini berfungsi mengubah sinyal beat menjadi data digital yang siap diolah oleh komputer (PC). Pengiriman data dari modul data akuisisi ke PC bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui PCI, USB, dan sebagainya. Untuk alasan kepraktisan USB dipilih sebagai jalur data dari modul ke PC. Hasil pengujian menunjukkan bahwa prototype Radar yang dikembangkan belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Radar belum cukup sensitif untuk mendeteksi obyek yang ada di depannya. Dugaan sementara, hal ini disebabkan oleh penguatan low noise amplifier (LNA) yang belum cukup kuat dan belum sempurnanya penerapan gating pada sinyal pancar dan sinyal terima. Tahun ini, bersamaan dengan investigasi lebih lanjut yang masih harus dilakukan terhadap prototype Radar UWB FM‐CW, mulai dilakukan pengembangan Radar UWB impulse. Radar type ini mendeteksi obyek dengan cara mengirim impulse, kemudian menerima dan menganalisa impulse yang dipantulkan. Impulse adalah pulse yang sangat pendek, orde puluhan hingga ratusan picosecond, tanpa sinyal carrier. Tantangan dalam pengembangan Radar impulse adalah pembuatan pembangkit impulse pada pemancar dan data akuisisi pada penerima. 31.2 Perumusan Masalah Karena pada tahun ini kegiatan berupa perbaikan prototype Radar UWB FM‐CW dan pengembangan prototype baru Radar UWB impulse, dengan masing‐masing permasalahan, maka perumusan masalah dibagi menjadi dua. Berkaitan dengan prototype Radar UWB FM‐CW adalah peningkatan sensitivitas dengan tetap memperhatikan masalah coupling antara antena pemancar dan antena penerima. Hipotesisnya, sensitivitas masih bisa ditingkatkan melalui peningkatan gain baik pada pemancar maupun pada penerima. Masalah coupling akan diatasi dengan switch RF, yang memang sudah direncanakan sejak awal, namun belum diimplementasikan karena belum tersedianya switch RF yang memenuhi persyaratan. Berkaitan dengan prototype Radar UWB impulse, masalah yang kritis adalah pengembangan pulse generator, yang diharapkan mampu menghasilkan pulsa
190
pendek berorde beberapa puluh sampai beberapa ratus picosecond, dan pengembangan sampling down converter yang diharapkan mampu men‐sampling sinyal yang diterima dengan equivalent sampling rate berorde puluhan giga sample per second. 32. TUJUAN DAN SASARAN 32.1 Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah penguasaan teknologi dan alih teknologi through‐wall radar. Sedangkan tujuan khususnya adalah pengembangan sebuah prototype through‐wall radar. 32.2 Sasaran Sasaran dari penelitian ini adalah sebuah prototype through‐wall radar dengan teknologi impulse dan sebuah karya tulis ilmiah yang diterbitkan di jurnal terakreditasi. 33. METODE Adapun dalam pelaksanaannya, kegiatan ini menggunakan metoda penelitian yang sama dan dapat dirangkum sebagai berikut. • Perancangan sistem, di mana sistem dirancang secara keseluruhan, termasuk di dalamnya penyusunan spesifikasi dan pendefinisian modul‐ modul penyusun sistem. • Perancangan Software • Pemilihan modul‐modul yang memenuhi fungsi dan spesifikasi yang dibutuhkan (untuk modul‐modul yang tidak dibuat sendiri). • Perancangan modul‐modul (untuk modul‐modul yang dibuat sendiri) di mana skema rangkaian elektronik modul‐modul dibuat untuk menghasilkan fungsi dari masing‐masing modul yang diinginkan. • Realisasi modul‐modul, di mana skema elektronik dituangkan dalam disain tata letak komponen dalam PCB, kemudian PCB dibuat dan rangkaian elektronika diasembling di atas PCB. • Pengujian modul‐modul, di mana modul‐modul di uji coba secara individu untuk mengetahui apakah mereka telah berfungsi sebagaimana yang didinginkan. • Intergrasi sistem, di mana modul‐modul yang telah diuji diintegrasikan menjadi sebuah sistem. • Pengembangan Software • Pengujian sistem di laboratorium, di mana sistem diuji coba untuk mengetahui fungsi sistem. • Perbaikan dan penyempurnaan apabila diperlukan 34. RENCANA CAPAIAN, HASIL, DAN PEMBAHASAN 34.1 Rencana Capaian Pada tahun pertama dan kedua kegiatan, telah dilakukan pengembangan prototype Radar UWB FM‐CW. Pengembangan meliputi perancangan dan realisasi modul‐modul penyusun sistem, perancangan dan realisasi software, dan integrasi sistem. 191
Sebuah pembangkit chirp wideband telah dirancang dan direalisasikan. Pembangkit ini menggunakan sebuah DDS dan sebuah VCO sebagai komponen utama. Untuk DDS digunakan AD9956 dari Analog Devices dalam bentuk evaluation board dan untuk VCO digunakan HMC‐C029 dari Hittite. Subsistem yang dikembangkan telah menghasilkan sinyal chirp dari 6750 sampai 9250MHz. Sebuah modul akuisisi data sederhana untuk sistem radar FM‐CW telah dikembangkan. Modul menggunakan IC CY7C68013A dari keluarga EZ‐USB dari Cypress Semiconductor yang difungsikan sebagai slave FIFO. Untuk master FIFO digunakan IC CPLD Max II EPM1270T144 dari Altera. Sedangkan untuk ADC digunakan AD9235 dari Analog Device. Sebuah software untuk tampilan juga sudah dikembangkan. Pada tahun ini, jadwal kegiatan adalah sebagai berikut. KEGIATAN/ B U L A N N PENANGGUNG 1 12 o 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 JAWAB 1. Study literatur (PU, P) Survey komponen 2. dan pengadaan bahan dan alat / (P) Perancangan 3. Hardware / (PU, P) Pengembangan 4. Hardware / (PP ) Pengembangan 5. Software 6. Pengujian / (PU, PP) 7. Pembuatan laporan Sedangkan secara detail, tahapan kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Penggantian modul LNA untuk sistem Radar UWB FMCW 2. Penggantian modul RF Switch untuk sistem Radar UWB FMCW • Pengadaan komponen • Pembuatan PCB • Realisasi modul • Pengujian modul 3. Pengujian sistem Radar UWB FMCW dengan beberapa komponen baru 4. Perancangan sistem Radar UWB impulse 5. Perancangan modul‐modul (yang akan dibuat sendiri) 6. Pengadaan modul‐modul (yang akan dibeli) dan komponen‐ komponen 7. Realisasi modul‐modul 8. Pengembangan software 9. Integrasi Sistem 10. Pengujian 11. Penulisan KTI dan Laporan 192
34.2 Hasil dan Pembahasan Pada triwulan pertama tahun ini telah dilakukan hal‐hal sebagai berikut. 1. Modul LNA dalam proses pengadaan 2. Modul RF Switch dalam proses pembuatan PCB 3. Perancangan sistem Radar UWB impulse 4. Perancangan modul‐modul (yang akan dibuat sendiri) 5. Modul‐modul (yang akan dibeli) dan komponen‐komponen dalam proses pengadaan 6. Realisasi modul‐modul (pulse generator dan sampling down converter) dalam proses pembuatan PCB Pada triwulan kedua tahun ini telah dilakukan hal‐hal sebagai berikut. 1. Realisasi dan pengujian Modul RF Switch 2. Realisasi sistem Radar UWB impulse 3. Realisasi dan pengujian modul‐modul (pulse generator dan sampling down converter) Pada triwulan ketiga tahun ini telah dilakukan hal‐hal sebagai berikut. 1. Pengujian modul‐modul yang dibeli. 2. Pengujian dan perbaikan modul pulse generator. 3. Penulisan KTI tentang pulse generator. 4. Pengujian modul sampling down converter. 5. Realisasi dan pengujian antena Rancangan Hardware Sebagai perbandingan, terlebih dulu akan disampaikan dagram blok Radar UWB FM‐CW dan cara kerjanya. Gambar 1 menunjukkan diagram blok Radar UWB FM‐CW.
Gambar 1. Diagram blok Radar UWB FM‐CW.
193
Gambar 2 menunjukkan diagram blok Radar UWB impulse.
125MHz CLOCK GENERATOR
FREQUENCY DIVIDER
PULSE GENERATOR
ADC
SAMPLING DOWN CONVERTER
PA
DDS
TO PC USB
LNA
Gambar 2. Diagram blok Radar UWB impulse Secara sederhana prinsip kerja sistem Radar UWB impulse dapat dijelaskan sebagai berikut. Clock Generator membangkitkan sinyal clock dengan frekuensi 125MHz. Sinyal ini digunakan langsung sebagai sinyal referensi untuk DDS dan dibagi 4 oleh Frequency Divider menjadi sinyal trigger dengan frekuensi 7.8125MHz untuk Pulse Generator dan sampling clock untuk ADC. Pulse Generator membangkitkan sinyal impulse dengan lebar berkisar puluhan hingga ratusan picosecond, dengan pulse repetition frequency (PRF) sama dengan frekuensi sinyal trigger. Kemudian sinyal impulse diperkuat oleh power amplifier (PA) dan dipancarkan melalui antena pemancar. Sinyal impulse yang dipancarkan akan dipantulkan oleh target dan diterima kembali oleh antena penerima. Selanjutnya diperkuat oleh low noise amplifier (LNA) dan diteruskan ke Sampling Down Converter. DDS diprogram, melalui USB, supaya menghasilkan sinyal, dengan frekuensi sedikit lebih kecil dari PRF, yang akan digunakan sebagai sinyal referensi untuk Sampling Down Converter. Sampling Down Converter akan menghasilkan sinyal intermediate frequency (IF) yang akan diteruskan ke ADC untuk didigitalkan, kemudian di kirim ke PC melalui USB, untuk diproses di PC. Realisasi Modul‐Modul dan Sistem Pada prototipe awal, hanya modul Pulse Generator dan modul modul Sampling Down Converter yang akan dikembangkan sendiri. Untuk modul‐modul yang lain, seperti modul DDS, PA, LNA, ADC, dan USB, kita akan menggunakan modul‐modul yang sudah ada. Menurut literatur, lazimnya Pulse Generator dibuat dengan memanfaatkan sifat dioda Step Recovery Diode (SRD), yang mampu menghasilkan pulsa yang sangat sempit pada saat dia berpindah dari keadaan menghantar dan ke keadaan tidak menghantar ketika tegangan antara katoda dan anoda dibalik. Transistor NPN juga dilaporkan menghasilkan efek yang sama ketika berpindah dari keadaan off ke keadaan on. Pulsa sempit juga bisa dibangkitkan dengan microstrip. Untuk
194
pengembangan Pulse Generator kita akan mencoba menggunakan kombinasi antara transistor NPN atau SRD dan microstrip.
Gambar 3. Diagram skematik rangkaian Pulse Generator berbasis transistor NPN
Gambar 4. Desain PCB Pulse Generator berbasis transistor NPN
Gambar 5. Diagram skematik rangkaian Pulse Generator berbasis SRD dengan bias negatif.
195
Gambar 6. Desain PCB Pulse Generator berbasis SRD dengan bias negatif. Modul Sampling Down Converter dikembangkan dengan komponen utama berupa Sampling Phase Detector.
Gambar 7. Diagram skematik rangkaian Sampling Down Converter.
Gambar 8. Desain PCB Sampling Down Converter. Di samping itu, untuk modul RF Switch untuk Sistem Radar UWB FM‐CW juga telah dibuat desain PCB.
196
Gambar 9. Desain PCB RF Switch. Pengukuran Pembangkit Impulse/Picopulse Rangkaian pembangkit picopulse direalisasikan di atas sebuah PCB FR4 double sided dengan ketebalan 1,6mm. Microstrip yang dihubungkan ke ground memiliki panjang sekitar 15mm dan lebar sekitar 0,2mm. Transistor yang digunakan adalah BFP420. Untuk gate NAND digunakan IC 74ACT00 yang memiliki propagation delay sekitar 5ns. Pengukuran dilakukan menggunakan digital sampling oscilloscope 11801C dari Tektronix, yang dilengkapi dengan sebuah sampling head SD‐22. Sampling head ini memiliki bandwidth 12,5GHz. Bandwidth sebesar ini cukup memadai untuk pengukuran sebuah pulse yang ditargetkan memiliki lebar sekitar 200ps. Gambar 10. menunjukkan bentuk picopulse yang diukur sebelum dioda.
Gambar 10. Bentuk sinyal sebelum dioda penyearah Gambar 11. menunjukkan bentuk picopulse yang diukur setelah dioda. Bagian negatif dan ringing setelah picopulse telah jauh berkurang.
197
Gambar 11. Bentuk sinyal sesudah dioda penyearah Gambar 12. menunjukkan bentuk picopulse di mana oscilloscope diset untuk mendapatkan 200ps/div. Tinggi pulse terbaca sekitar 4,5 kotak pada 200mV/div, atau sekitar 900mV. Pulse diukur dengan attenuator 9dB, dengan demikian level pulse yang terukur adalah sekitar 2,5V.
Gambar 12. Bentuk sinyal diperbesar Gambar 13. menunjukkan rangkaian picopulse. Jarak antara picopulse terbaca sekitar 2,55 kotak, dengan oscilloscope diset untuk mendapatkan 50ns/div, atau sekitar 127,5ns. Ini sama dengan PRF sekitar 7,8MHz.
Gambar 13. Pengulangan pulse
198
Untuk mengkonfirmasi hasil pengukuran di atas, kami juga melakukan pengukuran menggunakan spectrum analyzer Anritsu MS2721A. Gambar 14. menunjukkan spektrum frekuensi dari sinyal rangkaian picopulse. Sinyal tersebut memiliki nul pertama pada frekuensi sekitar 5,6GHz.
Gambar 14. Spektrum frekuensi rangkaian picopulse Gambar 15. menunjukkan detail dari spektrum frekuensi picopulse. Jarak antara puncak atau harmonik frekuensi yang berdekatan adalah sekitar 2,6 kotak pada 3MHz/div, atau sekitar 7,8MHz. Perbedaan frekuensi yang ditunjukkan oleh marker juga sekitar angka ini.
Gambar 15. Detail spektrum frekuensi pulse OUTPUT (rencana sesuai yg tercantum dalam proposal) NO. OUTPUT RENCANA REALISASI % KETERANGAN CAPAIAN 15. Publikasi Ilmiah p. Jurnal Nasional 1 buah 1 buah 75 Judul “Perancangan dan Realisasi Sistem Radar Penembus Dinding UWB‐ FM‐CW 500‐3000 Mhz”, telah disubmit ke Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi.
199
q. Prosiding Internasional r. Prosiding Nasional
16. Contoh Produk
‐
‐
‐
‐
1 buah
100
1 unit
‐
75
‐
‐
(jelaskan spesifikasi lengkapnya)
17. HKI
i.
Paten
‐
j.
Merk
‐
Judul: “Pembangkit Picopulse Berbasis Transistor Bipolar NPN Untuk Radar Ultra Wideband”, Prosiding Seminar Ilmu Pengetahuan Teknik 2013 Prototype Radar Through Wall UWB Impulse, sudah selesai, namun belum berfungsi Perlu perbaikan modul sampling down converter
dst 35. KENDALA DAN PERMASALAHAN Kegiatan ini membutuhkan sebuah digital sampling oscilloscope yang belum dimiliki PPET. Dana telah dianggarkan untuk pembelian alat tersebut. Namun karena kesalahan survey harga, ternyata dana yang dianggarkan tidak mencukupi untuk membeli dengan harga normal, sehingga pengadaannya sempat tertunda. Untunglah pihak pabrikan di luar negeri pada akhirnya bersedia memberi potongan harga, sehingga pengadaan digital sampling oscilloscope bisa dilakukan. Hasil pengujian terhadap modul sampling down converter yang telah direalisasikan menunjukkan bahwa modul tersebut belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Karena modul tersebut merupakan modul utama, belum berfungsinya modul tersebut mengakibatkan belum berfungsinya seluruh sistem radar. Modul sampling down converter merupakan salah satu modul yang dikembangkan sendiri. Keberhasilan pengembangan modul ini adalah indikator dari keberhasilan pengembangan sistem radar ultra wideband pulse. Untuk itu upaya harus dan akan terus dilakukan untuk merealisasikan prototipe modul sampling down converter yang berfungsi. 36. KESIMPULAN Pengembangan hardware dan software Through Wall Radar untuk aplikasi Life Detektor dengan teknologi Radar UWB FM‐CW telah dilakukan pada tahun pertama dan kedua. Meskipun ada beberapa masalah yang harus diselesaikan dan penyempurnaan yang harus dilakukan, secara prinsip hardware dan software telah berfungsi. 200
Pada tahun ketiga, investigasi terhadap masalah yang masih ada di Radar UWB FM‐CW masih akan dilakukan. Bersamaan dengan itu dimulai pengembangan Radar UWB dengan teknologi lain, yaitu Radar UWB impulse. Radar UWB impulse ini lebih sederhana dan lebih murah. Namun, karena belum ada pengalaman mengenai Radar dengan jenis ini, resiko dalam pengembangannya tetap harus diperhatikan. Tantangan utama dalam pengembangan radar jenis ini adalah pengembangan pembangkit impulse, yaitu pulsa yang sangat sempit berorde sekitar puluhan hingga ratusan pico second, dan pengembangan data akuisi yang mampu mendigitalkan sinyal impulse. Prototype Radar UWB impulse telah direalisasikan, namun belum berfungsi sebagaimana direncanakan. Hal ini disebabkan oleh belum berfungsinya modul sampling down converter yang diperlukan untuk proses data akuisisi. Modul sampling down converter memungkinkan proses digitalisasi sinyal pulse dengan durasi sangat pendek menggunakan ADC biasa. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pembangkit picopulse yang dikembangkan telah berfungsi sebagaimana yang diinginkan, di mana picopulse yang dihasilkan memiliki lebar sekitar 200ps dengan PRF sekitar 7,8MHz. Pengukuran spektrum frekuensi menggunakan spectrum analyzer menunjukkan bahwa sinyal berupa rangkaian picopulse memiliki bandwidth sekitar 5,6GHz dan jarak antara harmonik frekuensi sekitar 7,8MHz. Hasil ini mengkonfirmasi pengukuran lebar pulsa dan PRF yang dilakukan menggunakan digital sampling oscilloscope. Terkait dengan Radar UWB FM‐CW, investigasi belum bisa dilakukan karena modul switch RF yang dikembangkan tidak memenuhi spesifikasi yang diperlukan. Untuk itu telah diputuskan untuk membeli modul switch RF yang memenuhi spesifikasi. Namun, karena pengadaan yang terlambat dilakukan, modul baru datang di akhir waktu kegiatan. 37. DAFTAR PUSTAKA 1. Protiva, P., Mrkvica, J., Macháč, J., Universal Generator of Ultra‐Wideband Pulses, Radioengineering, Vol. 17, No. 4, December 2008. 2. Rulikowski, P., Barrett, J., Truly Balanced Step Recovery Diode Pulse Generator with Single Power Supply, 3. Cemin Zhang and Aly E. Fathy, Reconfigurable Pico‐Pulse Generator for UWB Applications, 4. Jeongwoo Han And Cam Nguyen, A New Ultra‐Wideband, Ultra‐Short Monocycle Pulse Generator With Reduced Ringing, IEEE Microwave And Wireless Components Letters, Vol. 12, No. 6, June 2002 5. Daniels, D.J., Surface Penetrating Radar, IEE, London, 1996 6. Daniels, David J., Ground Penetrating Radar, 2nd Edision, IEE, London, 2004 7. Jol, Harry M., Ground Penetrating Radar Theory and Applications, Elsevier Science & Technology, 2009 8. Chia, M Y W, Leong S W, Sim C K, Chan K M‐ “Through‐Wall UWB Radar Operating Within FCC’s Mask for Sensing Heart Beat and Breathing Rate”, 2005 European Microwave Conference, Oct 4‐6, Paris, France. 9. Hamran, Svein‐Erik, et all., Gated UWB FMCW/SF Radar for Ground Penetration and Through the Wall Applications, NATO Publication
201
10. Kouemou, Guy, Radar Technology, ISBN 978‐953‐307‐029‐2, INTECH, Croatia, December 2009. 11. Aqsa, Patel, Signal Generation for FMCW Ultra‐Wideband Radar, Master of Science Thesis, Electrical Engineering and Computer Science, University of Kansas, 2009 12. Jang, B.‐J. et al., Wireless Bio‐Radar Sensor For Heartbeat And Respiration Detection, Progress In Electromagnetics Research C, Vol. 5, 149–168, 2008 13. D'Urso , M. et al., A Simple Strategy For Life Signs Detection Via An X‐Band Experimental Set‐Up, Progress In Electromagnetics Research C, Vol. 9, 119‐129, 2009 14. Boric‐Lubecke, Olga et al., Doppler Radar Architectures and Signal Processing for Heart Rate Extraction, Microwave Review, Decembar 2009 15. Yamaguchi, Yoshio et al., Human Body Detection in Wet Snowpack by an FM‐CW Radar, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol.30, No.1, January 1992 16. Purdy, Robert J. et al., Radar Signal Processing, Lincoln Laboratory Journal, Volume 12, Number 2, 2000 17. Yamaguchi, Yoshio et al., Detection of Objects Buried in Wet Snowpack by an FM‐CW Radar, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol.29, No.2, March 1991 18. Millot, P. and Maaref, N., UWB FM‐CW Radar for Through‐The‐Wall Sensing, 19. Ferrier, Jean Marie, Comparison of Two UWB Techniques: Step Frequency and FMCW Technique, 20. Maaref, Nadia, FMCW Ultra‐Wideband Radar For Through‐The‐Wall Detection of Human Beings, 21. Harris, T. L. et al., Range‐Doppler Radar Signal Processing with Spectral Holography, 22. Hamran, Svein‐Erik et al., Gated UWB FMCW/SF Radar for Ground Penetration and Through the Wall Applications 23. Ivashov, S.I. et al., Detection of Human Breathing and Heartbeat by Remote Radar, Progress in Electromagnetic Research Symposium 2004, Pisa, Italy, March 28 ‐ 31 24. Immoreev, I. Y. et al., Ultra‐Wideband Radar For Remote Detection And Measurement Of Parameters Of The Moving Objects On Small Range, Ultra Wideband and Ultra Short Impulse Signals, 19‐22 September, 2004, Sevastopol, Ukraine pp. 1‐3 25. Immoreev, Igor Y., Practical Application Of Ultra‐Wideband Radars, Ultrawideband and Ultrashort Impulse Signals, 18‐22 September, 2006, Sevastopol, Ukraine
202
203