LAPORAN TEKNIS PENELITIAN
Penelitian Kelimpahan Stok dan Bioekologi Sumberdaya Ikan di Estuari Berau, Kalimantan Timur (KPP PUD 436) Tahun Anggaran 2015
BALAI PENELITIAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2015
Abstrak Perairan Delta Berau memiliki potensi sumber daya perairan seperti ikan, kerang, udang maupun jenis biota lain yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Menurut Julianery (2001) budidaya laut di Perairan Delta Berau diperkirakan mempunyai potensi sebesar 2.500 hektar dengan potensi penangkapan sebesar 35.000 ton per tahun. Pesatnya kegiatan pembangunan di kawasan Delta Berau seperti areal pemukiman, perikanan/ tambak, anjungan minyak, pelayaran sungai, serta kegiatan penebangan hutan mangrove untuk berbagai kebutuhan, menimbulkan tekanan ekologis terhadap ekosistem delta Berau, khususnya ekosistem mangrove. Sampai seberapa jauh potensi produksi sumberdaya ikan di estuari Berau (delta Berau) belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data dan informasi biologi, ekologi, jenis-jenis biota sumberdaya ikan dan kualitas air lingkungan hidupnya di perairan estuari Berau. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data dan informasi biologi, ekologi, jenis-jenis biota sumberdaya ikan dan kualitas air lingkungan hidupnya di perairan estuari Berau. Penelitian dilakukan pada Tahun Anggaran 2015 di estuari Berau Kalimantan Timur, sampling dilakukan sebanyak empat kali yang mewakili musim kemarau dan musim penghujan. Ruang lingkup kegiatan yang akan dilakukan adalah: Penelitian ini akan dilakukan selama 2 tahun, Biologi spesies dominan, Keanekaragaman jenis ikan dan biota air lainnya, Pendugaan stok ikan dengan metoda akustik dan pukat tarik, Kondisi lingkungan perairan, dan Wawancara dengan nelayan tentang perubahan penangkapan dan kondisi lingkungan terhadap sumberdaya ikan. Hasil penelitian: Biota hasil tangkapan dari empat kali pengambilan contoh (Februari, Mei, Agustus dan Oktober) teridentifikasi sebanyak 111 spesies yang meliputi 51 famili. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa luas perairan estuari Berau yang disurvei adalah ± 167 mil2. Nilai biomassa total perairan estuari Berau adalah 457 ton dengan kepadatan 1,3 ton/km2. Hasil analisis terhadap struktur komunitas ikan di perairan estuari Berau, adalah: nilai indeks keanekaragaman (H’): 2,99, nilai ini masuk dalam kriteria keanekaragaman sedang mendekati tinggi, indeks keseragaman (E): 0,67, yang menunjukkan komunitas yang labil dan indeks dominansi spesies (C): 0,08 atau dominansi spesies yang rendah. Kelimpahan fitoplankton Februari 2015 berkisar antara 70 – 398 sel/L dan bulan Mei 2015 berkisar antara 67 – 389 sel/L. Kelimpahan plankton ini tergolong cukup rendah. Hal ini diduga karena tipe perairan estuari Berau tergolong dalam perairan yang oligotrofik. Kelimpahan zooplankton pada Februari berkisar 19 - 250 ind/L dan Mei 2015 berkisar antara 12 – 123 ind/L. Indeks keanekaragaman fitoplankton pada trip 1 bulan Februari 2015 berkisar antara 1,36 - 2,29 dan bulan Mei berkisar antara 1,93 - 2,28. Sedangkan indeks keanekaragaman zooplankton pada trip 2 bulan Februari berkisar 0,83 - 2.15 dan bulan Mei berkisar 0,91 – 1,65. Berdasarkan kriteria indeks keanekaragaman seluruh nilai yang terhitung berada dalam kategori rendah dan sedang karena memiliki nilai keanekaragaman kurang dari 3. Makrozoobentos yang ditemukan bulan Februari 2015 penelitian terdiri dari 6 kelas, 24 famili, 28 genera. Komposisi kelas makrozoobentos terdiri dari Crustacea (1%), Oligochaeta (16%), Polychaeta (7%), Bivalvia (27%), Gastropoda (26%), Scaphopoda (24%). Komposisi kelas yang paling mendominasi adalah Bivalvia, Gastropoda dan Scaphopoda. Pada Mei 2015, makrozoobentos ditemukan 4 kelas, 25 famili dan 32 genera. Komposisi makrozoobentos terdiri dari Bivalvia (27%), Gastropoda (55%), Polychaeta (2%) dan Scaphopoda (16%). Bulan Agustus 2015, ditemukan makrozoobentos yang terdiri dari 7 kelas, 47 famili dan 48 genera. Komposisi makrozoobentos terdiri dari Polychaeta (31%), Oligochaeta (0,1%), Amphipoda (1,2%), Copepoda (0,4%), Scaphopoda (15%), Bivalvia (21%) dan Gastropoda (32%). Berdasarkan hasil penelitian 2015 dan hasil-hasil penelitian sebelumnya kualitas perairan di estuari Berau masih tergolong baik dan layak untuk kehidupan biota air. Kata Kunci: Berau, biologi, ekologi, estuari, sumberdaya ikan
ii
I.
LATAR BELAKANG
I.1. Latar Belakang Kabupaten Berau memiliki luas wilayah 34.127,47 km2, yang terdiri dari: daratan 22.030,81 km2, laut 12.299,88 km2, 52 pulau besar dan kecil dengan 13 Kecamatan, 10 Kelurahan, 96 Kampung/ Desa. Jika ditinjau dari luas wilayah, luas Kabupaten Berau adalah 13,92% dari luas wilayah Kalimantan Timur, dengan prosentase luas perairan 28,74%. Jumlah penduduknya pada tahun 2011 sebesar 191.807 jiwa dengan laju pertumbuhan 7,11%. Daerah pesisir Kabupaten Berau terletak di Kecamatan Biduk-Biduk, Talisayan, Pulau Derawan dan Maratua yang secara geografis berbatasan langsung dengan laut (BPS, 2010). Perairan Delta Berau memiliki potensi sumber daya perairan, seperti: ikan, kerang, udang dan jenis biota lain yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Budidaya laut di perairan Delta Berau diperkirakan mempunyai potensi sebesar 2.500 hektar dengan potensi penangkapan sebesar 35.000 ton per tahun. Kabupaten Berau dialiri oleh 21 sungai besar dan kecil. Sungai Kelay merupakan sungai terpanjang di Kabupaten Berau yang mengalir dari pegunungan sekitar Gunung Mantan, sepanjang 254 kilometer sampai pada pertemuan dengan Sungai Segah yang membentuk Sungai Berau di Tanjung Redeb (BPS, 2010). Beberapa penelitian di Delta Berau lebih banyak membahas masalah sedimentasi, logam berat pada moluska dan organisma bentik (Arifin et al, 2010; Afriansyah, 2009), dinamika perubahan mangrove menjadi tambak dan tingkat kekeruhan yang terjadi di Delta Berau (Kompas, 2008) dan sosial ekonomi nelayan (Sugiharto et al, 2013). Informasi tentang sumberdaya perikanan di Estuari Berau belum banyak didapat. Komoditas Perikanan merupakan salah satu produk unggulan dari Kabupaten Berau. Beberapa kecamatan yang memiliki daerah perairan menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian. Perikanan dibagi menjadi dua, yaitu: perikanan laut dan darat. Produksi perikanan laut terus meningkat dari tahun ke tahun. Produksi perikanan tersebut berkisar 14.000 ton per tahun. Pada tahun 2011 produksi ikan segar sebanyak 15.509,80 ton yang mengalami peningkatan dibanding tahun 2010 yaitu sebesar 14.922,40 ton. Kawasan Konservasi Laut (KKL) Kabupaten Berau mencakup seluruh perairan laut Berau yaitu seluas 1,2 juta hektar. Konsep KKL Berau mendapat persetujuan DPRD Kabupaten Berau pada 14 Desember 2005 dan selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2005 Bupati Berau mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) No.31 Tahun 2005 tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau. KKL Berau 1
merupakan kawasan pesisir termasuk pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya yang memiliki sumberdaya hayati dan karakteristik sosial budaya spesifik yang dilindungi secara hukum. Salah satu fungsi KKL adalah sebagai daerah perlindungan habitat dan spesies ikan. Dengan demikian KKL diharapkan dapat berfungsi sebagai ’bank’ sumberdaya perikanan yang dapat mendukung peningkatan dan keberlanjutan pendapatan masyarakat, khususnya nelayan. Perairan Berau memiliki beberapa karakteristik yang menonjol seperti adanya danau air laut di Pulau Kakaban, tempat makan dan bertelurnya penyu, dan keberadaan hutan mangrove. Perairan Estuari Berau menghadapi masalah degradasi yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, seperti: penangkapan ikan yang merusak lingkungan (penggunaan bom dan racun sianida), trawl ilegal, perangkap penyu ilegal, penjarahan penyu dan telurnya, perusakan mangrove, penangkapan ikan berlebih, pencemaran dan penangkapan ikan oleh nelayan pendatang dari luar. Pesatnya kegiatan pembangunan di kawasan Delta Berau seperti areal pemukiman, perikanan/ tambak, anjungan minyak, pelayaran sungai, serta kegiatan penebangan hutan mangrove untuk berbagai kebutuhan, sehingga menimbulkan tekanan ekologis terhadap ekosistem Delta Berau, khususnya ekosistem mangrove (Dinas Perikanan Kalimantan Timur, 2010). Sampai seberapa jauh potensi produksi di estuari Berau (Delta Berau) belum banyak diketahui. Penelitian Bioekologi dan Stok Ikan-ikan Dominan di Estuari Berau, Kalimantan Timur akan memberikan gambaran tentang sumberdaya ikan di perairan tersebut. Plankton merupakan salah satu organisme yang ada di perairan. Secara umum dibedakan menjadi fitoplankton dan zooplankton. Pada ekosistem perairan alami, siklus produksi dimulai oleh produsen. Produsen adalah organisme autotrof yang mampu mensintesa bahan organik yang berasal dari bahan anorganik melalui proses fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari. Pada jaring-jaring makanan fitoplankton sebagai produsen primer kemudian dimanfaatkan oleh konsumen pertama yaitu zooplankton. Menurut Handayani dkk (2005), fungsi zooplankton sebagai mata rantai antara produsen primer dengan ikan karnivora besar atau ikan karnivora kecil dan hal ini sangat penting dalam rantai makanan dan ekosistem suatu perairan. Perubahan yang terjadi pada lingkungan akan mempengaruhi keberadaan zooplankton secara langsung maupun tak langsung. Kelimpahan, Keragaman dan komunitas zooplankton dipakai sebagai indikator biologi dalam menentukan perubahan kodisi suatu perairan. 2
Kelimpahan zooplankton sangat ditentukan oleh adanya fitoplankton, karena fitoplankton merupakan makanan bagi zooplankton. Kepadatan zooplankton sangat tergantung pada kepadatan fitoplankton, karena fitoplankton adalah makanan bagi zooplankton, dengan demikian kuantitas atau kelimpahan zooplankton akan tinggi di perairan yang tinggi kandungan fitoplanktonnya. Fitoplankton berperan sangat penting dalam perairan sebagai produsen untuk mendukung kehidupan biota perairan. Melalui sistem rantai makanan secara langsung maupun tidak langsung organisme perairan terutama ikan memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energi (Prianto dkk, 2006). Bentos adalah organisme yang hidup di atas atau di dalam dasar perairan. Bentos dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok nabati yang disebut fitobentos dan kelompok hewani ang disebut zoobentos (Odum, 1971). Berdasarkan ukurannya
zoobentos
digolongkan
kedalam
tiga
kelompok
besar,
yaitu:
makrozoobentos berukuran besar lebih dari 1 mm, melobentos berukuran antara 0,11,0 mm dan mikrobentos berukuran lebih kecil dari 0,1 mm (Barnes dan Hughes, 1999). Makrozoobentos adalah organism yang dapat hidup di habitat substrat sungai, danau, estuari dan perairan laut. Organisme yang termasuk makrozoobentos adalah Coelenterata, cacing tanah, Annelida, Mollusca, Echinodermata, Crustacea dan organism lain (APHA, 1989). Barnes dan Hughes (1999)menyatakan bahwa berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya merayap di permukaan dasar perairan disebut dengan Epifauna seperti Crustacea dan larva serangga, sedangkan makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di dalam lumpur disebut dengan Infauna, misalnya Bivalvia dan Polychaeta. I.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data dan informasi biologi, ekologi, jenis-jenis biota sumberdaya ikan dan kualitas air lingkungan hidupnya di perairan estuari Berau. I.3. Prakiraan Keluaran a. Gambaran tentang kepadatan stok, struktur komunitas, biologi spesies dominan, parameter populasi, status sebaran dan musim penangkapan, serta aspek lingkungan sumber daya ikan b. Informasi tentang sumberdaya ikan dan kondisi lingkungan terkini sebagai dasar untuk pengelolaan sumber daya ikan. I.4. Faktor Keberhasilan dan Resiko 3
I.4.1. Faktor Keberhasilan Mendapatkan data gambaran perikanan estuari Berau (Delta Berau) yang dapat dijadikan dasar untuk pengelolaan perikanan di Estuari Sungai Berau. I.4.2. Faktor Resiko - Faktor alam, badai dan binatang buas - Sarana prasarana (biaya kapal, akomodasi, dan biaya opearsional yang tinggi). I.5. Hasil Yang Diharapkan (1) Diketahui aspek biologi, ekologi spesies dominan, kepadatan stok dan keanekaragaman jenis ikan dan pengaruh perubahan biofisik perairan estuari terhadap sumberdaya ikan (aspek penangkapan musiman, hasil tangkapan dan pendapatan nelayan). (2) Dapat diprediksinya kondisi Sungai Berau sebagai habitat biota air berdasarkan data-data yang diperoleh dan kecenderungan yang terjadi selama ini. (3) Hasil yang diperoleh dapat dijadikan sebagai dasar pengelolaan perikanan di Delta Berau. I.6. Aspek Strategis Kegiatan ini dapat memberikan data-data sumberdaya perairan Estuari Berau berupa gambaran sumberdaya ikan dan biota air lainnya serta lingkungannya untuk menunjang pengelolaan perikanan dengan memperhatikan kelestarian vegetasi perairan sebagai penunjang kehidupan biota perairan. I.7. Pelaksanaan Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian melakukan koordinasi dengan instansi terkait, antara lain seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Instansi dan masyarakat terkait kegiatan penelitian No. Instansi Terkait Wujud Pekerjaan 1. Dinas Perikanan Kabupaten Penyedia data dan informasi Kalimantan Timur koordinasi penelitian 2.
UPTD Kelautan dan Perikanan Penyedia data dan Kecamatan Pulau Derawan koordinasi penelitian
3.
Nelayan/ masyarakat setempat
informasi
dan dan
Penyedia data dan informasi
I.8. Jadwal Kegiatan Jadwal tahapan pelaksanaan penelitian ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Jadwal tahapan pelaksanaan penelitian No 1
Rencana kerja Studi Literatur
1 x
2 x
3 x
4 x
5 x
Bulan 6 7
8
9
10
11
12 4
2 3 4 5 6
Administrasi Bahan dan alat Survei Lapangan Pengolahan Data Pelaporan
x x
x
x
x
x
x
x
x x
x
x
x
x
x
x
x
x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
I.9. Pembiayaan Biaya pelaksanaan penelitian seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Biaya pelaksanaan penelitian Nomor Jenis Belanja/ Akun Biaya (Rp.000) % 1 Belanja Bahan 21.560,0 7,36 2 Honor 20.000,0 6,83 3 Belanja Sewa 50.000,0 17,07 4 Belanja Perjalanan 201.323,6 68,74 Total 292.883,6 100,00 I.10. Jadwal Rencana Operasional Kegiatan Penelitian Jadwal rencana operasional kegiatan penelitian seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Jadwal rencana operasional kegiatan penelitian Bulan JADWAL RENCANA N0 OPERASIONAL 1 2 3 4 5 6 7 8 KEGIATAN 1 Persiapan Pengadaan Bahan x x x Alat x x x Rapat operasional x x 2
Pelaksanaan Pelaporan Pengolahan data
x
x
9
10
11
12
x x x
x
x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
5
II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Estuari ESTUARI Estuari berasal dari kata aetus yang artinya pasang-surut.
Estuari
didefinisikan sebagai badan air di wilayah pantai yang setengah tertutup, yang berhubungan dengan laut bebas sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Pickard, 1967). Menurut Dahuri et al. (1996) ekosistem estuaria adalah bagian dari wilayah pesisir dimana air laut dan air tawar bertemu dan bercampur. Proses percampuran ke dua massa air ini sangat bervariasi karena masing-masing emiliki karakteristik yang berbeda dan dipengaruhi oleh kekuatan tiga unsur yaitu daratan (sungai), lautan dan atmosfir. Namun demikian kekuatan utama yang mempengaruhinya adalah kekuatan aliran sungai dan pasang surut. Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi, antara lain: 1. Tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya. 2. Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut. 3. Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya. 4. Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasangsurut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta topografi daerah estuaria itu sendiri. Estuaria dapat terjadi pada lembah-lembah sungai yang tergenang air laut, baik karena permukaan laut yang naik (misalnya pada zaman es mencair) atau pun karena turunnya sebagian daratan oleh sebab-sebab tektonis. Estuaria juga dapat terbentuk pada muara-muara sungai yang sebagian terlindungi oleh beting pasir atau lumpur.Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Contoh dari estuaria adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang-surut Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting, antara lain: sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan 6
(feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Perairan estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri (Bengen, 2004). Kolom air di estuaria merupakan habitat untuk plankton dan nekton. Di dasar perairan hidup mikro dan makro bentos. Setiap kelompok organisme dalam habitatnya menjalankan fungsi biologisnya masing-masing. Antara satu kelompok organisme terjalin jaringan trofik (rantai makanan) sehingga membentuk jaringan jala makanan. Jumlah spesies organisme yang mendiami estuaria jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut. Sedikitnya jumlah spesies ini terutama disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, sehingga hanya spesies yang memiliki kekhususan fisiologis yang mampu bertahan hidup di estuaria. Selain miskin dalam jumlah spesies fauna, estuaria juga miskin dalam flora. Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan mencuat yang dapat tumbuh mendominasi. Rendahnya produktifitas primer di kolom air, sedikitnya herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus menunjukkan bahwa rantai makanan pada ekosistem estuaria merupakan rantai makanan detritus (Bangen, 2002). II.1.1. Tipe-tipe Estuari Pembagian tipe-tipe estuari dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, kekuatan gelombang, pasang surut dan keberadaan sungai. Kuat lemahnya ketiga faktor ini tergantung dari bentuk geomorfologinya. Secara umum tipe-tipe estuari dapat dibagi menjadi tujuh tipe, yaitu: 1. Embayments and drown river valleys (Teluk dengan sungai dari lembah bukit) 2. Wave-dominated estuaries (Estuari dengan dominasi gelombang) 3. Wave-dominated deltas (Delta dengan dominasi gelombang) 4. Coastal lagoons and strandplains (Lagun dengan hamparan tanah datar) 5. Tide-dominated estuaries (Estuari dengan dominasi pasang surut) 6. Tide-dominated deltas (Delta dengan dominasi pasang surut) 7. Tidal creeks (Daerah pasang surut dengan banyak anak sungai) Karakteristik (ciri – ciri) ekosistem estuaria adalah sebagai berikut:
7
Keterlindungan Estuaria merupakan perairan semi tertutup sehingga biota akan terlindung dari gelombang laut yang memungkinkan tumbuh mengakar di dasar estuaria dan memungkinkan larva kerang-kerangan menetap di dasar perairan. Kedalaman Kedalaman estuaria relatif dangkal sehingga memungkinkan cahaya matahari mencapai dasar perairan dan tumbuhan akuatik dapat berkembang di seluruh dasar perairan, karena dangkal memungkinkan penggelontoran (flushing) dengan lebih baik dan cepat serta menangkal masuknya predator dari laut terbuka (tidak suka perairan dangkal). Salinitas air Air tawar menurunkan salinitas estuaria dan mendukung biota yang padat. Sirkulasi air Perpaduan antara air tawar dari daratan, pasang surut dan salinitas menciptakan suatu sistem gerakan dan transport air yang bermanfaat bagi biota yang hidup tersuspensi dalam air, yaitu plankton. Pasang Energi pasang yang terjadi di estuaria merupakan tenaga penggerak yang penting, antara lain mengangkut zat hara dan plangton serta mengencerkan dan meggelontorkan limbah. Penyimpanan dan pendauran zat hara Kemampuan menyimpan energi daun pohon mangrove, lamun serta alga mengkonversi zat hara dan menyimpanya sebagai bahan organik untuk nantinya dimanfaatkan oleh organisme hewani. II.1.2. Substrat Dasar Substrat lumpur merupakan ciri dari estuaria dan rawa asin. Perbedaan utama dengan wilayah pesisir dengan substrat berpasir adalah pantai berlumpur tidak dapat berkembang dengan hadirnya gerakan gelombang. Oleh karena itu, daerah pesisir dengan pantai berlumpur hanya terbatas pada daerah intertidal yang benar-benar terlindung dari aktivitas gelombang laut terbuka. Pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak makanan yang potensial bagi bentos pantai ini. Namun berlimpahnya partikel organik yang halus yang mengendap di daratan lumpur juga mempunyai kemampuan untuk menyumbat permukaan alat pernafasan (Nybakken, 1988). Bentos yang dominan hidup di substrat berlumpur tergolong dalam Suspention Feeder (penyaring 8
suspensi sebagai sumber makanan). Di antara yang umum ditemukan adalah kelompok Polychaeta, Bivalvia, Crustacea, Echinodermata dan Bakteri. Di samping itu juga ditemukan Gastropoda dengan indeks keanekaragaman yang rendah serta lamun yang berperan meningkatkan kehadiran bentos (Nybakken, 1988). Adapun substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh kehidupan makroskopik, selain itu kebanyakan bentos pada pantai berpasir mengubur diri dalam substrat. Produksi primer pantai berpasir rendah, meskipun kadang-kadang dijumpai populasi Diatom yang hidup di pasir intertidal. Hampir seluruh materi organik diimpor baik dalam bentuk materi organik terlarut (DOM) atau partikel (POM). Pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk melekat
bagi
organisme,
karena
aksi
gelombang
secara terus menerus
menggerakkan partikel substrat. Kelompok organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro (berukuran 1 – 10 cm) yang mampu menggali liang di dalam pasir, dan organisme meiofauna mikro (berukuran 0,1 -1 mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam ruang interaksi. Ditinjau dari kebiasaan makan (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak ditemukan adalah kelompok Suspention Feeder dan Carnivore. Organisme yang dominan adalah Polychaeta, Bivalvia dan Crustacea (Nybakken, 1988). Pada jenis sedimen berpasir, kandungan oksigen relatif lebih besar dibandingkan pada sedimen yang halus karena pada sedimen berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya percampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya, tetapi pada sedimen ini tidak banyak nutrien, sedangkan pada substrat yang lebih halus walaupun oksigen sangat terbatas tapi tersedia nutrien dalam jumlah besar (Wood, 1987). Daerah pesisir dengan substrat berbatu merupakan daerah yang paling padat makroorganismenya dan mempunyai keragaman terbesar baik untuk spesies hewan maupun tumbuhan. Komunitas biota di daerah pantai berbatu jauh lebih kompleks dari daerah lain karena bervariasinya relung (niche) ekologis yang disediakan oleh genangan air, celah-celah dan permukaan batu serta hubungan yang bervariasi terhadap cahaya, gerakan air, perubahan suhu dan faktor lainnya. Ditinjau dari kebiasaan makannya (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak ditemukan termasuk kelompok Herbivora, Scavenger, Suspention Feeder dan Predator. Organisme bentos yang dominan adalah kelompok epifauna, seperti Gastropoda, Crustacea, Bivalvia dan Echinodermata (Nybakken, 1988). Daerah pasang surut khususnya pada daerah intertidal, memiliki kondisi kritis, dimana suhu 9
pada wilayah ini bisa berbeda sangat ekstrim sebagaimana halnya salinitas. Pasang naik dan turun menyebabkan hamparan intertidal terendam air atau kontak langsung dengan udara terbuka selama interval waktu tertentu. Pada saat pasang turun (terpapar), kondisi permukaan substrat dasar yang menjadi habitat hidup bentos mengalami kering karena adanya penguapan yang mengakibatkan terjadi peningkatan suhu dan salinitas yang cepat bahkan dapat mencapai batas letal organisme. Di samping itu, dapat digenangi oleh air tawar yang mengalir masuk ketika hujan deras sehingga terjadi penurunan salinitas yang mendadak (Nybakken, 1988). II.1.3. Sifat-sifat Ekologis Estuaria Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar, salinitas di estuaria sangat bervariasi. Baik menurut lokasinya di estuaria, ataupun menurut waktu. Berikut adalah sifat-sifat ekologis estuaria secara umum: 1. Salinitas yang tertinggi berada pada bagian luar, yakni pada batas wilayah estuaria dengan laut, sementara yang terendah berada pada tempat-tempat di mana air tawar masuk ke estuaria. Pada garis vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air lebih rendah daripada salinitas air di lapisan bawahnya. Ini disebabkan karena air tawar cenderung ‘terapung’ di atas air laut yang lebih berat oleh kandungan garam. Kondisi ini disebut ‘estuaria positif’ atau ‘estuaria baji garam’. Akan tetapi ada pula estuaria yang memiliki kondisi berkebalikan, dan karenanya dinamai ‘estuaria negatif’. Misalnya pada estuaria estuaria yang aliran air tawarnya sangat rendah, seperti di daerah gurun pada musim kemarau. 2. Laju penguapan air di permukaan, lebih tinggi daripada laju masuknya air tawar ke estuaria, menjadikan air permukaan dekat mulut sungai lebih tinggi kadar garamnya. Air yang hipersalin itu kemudian tenggelam dan mengalir ke arah laut di bawah permukaan. Dengan demikian gradien salinitas airnya berbentuk kebalikan daripada ‘estuaria positif’. 3. Dinamika pasang surut air laut sangat mempengaruhi perubahan-perubahan salinitas dan pola persebarannya di estuaria. Pola ini juga ditentukan oleh geomorfologi dasar estuaria. 4. Perubahan-perubahan salinitas di kolom air dapat berlangsung cepat dan dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan sangat lambat. 5. Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau pasir berlumpur yang berasal dari sedimen yang terbawa aliran air, baik dari darat maupun dari laut. Hal ini disebabkan karena pertukaran partikel garam dan air yang terjebak diantara 10
partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada kolom air di atasnya berlangsung dengan lamban. II.1.4. Fungsi Ekologis Estuaria Secara singkat peran ekologi estuaria yang penting adalah sebagai berikut:
a) Merupakan sumber zat hara dan bahan organik bagi bagian estuari yang jauh dari garis pantai maupun yang berdekatan denganya lewat sirkulasi pasang surut (tidal circulation).
b) Menyediakan habitat bagi sejumlah spesies ikan yang ekonomis penting sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makan (feeding ground).
c) Memenuhi kebutuhan bermacam spesies ikan dan udang yang hidup dilepas pantai, tetapi bermigrasi keperairan dangkal dan berlindung untuk memproduksi dan/atau sebagai tempat tumbuh besar (nursery ground) anak mereka.
d) Sebagai potensi produksi makanan laut di estuaria yang sedikit banyak didiamkan dalam keadaan alami. Kijing yang bernilai komersial (Rangia euneata) memproduksi 2900 kg daging per ha dan 13.900 kg cangkang per ha pada perairan tertentu di Texas.
e) Perairan estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman f) Tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan g) Jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri II.1.5. Peranan Ekosistem estuaria Produktifitas estuaria, pada kenyataannya bertumpu atas bahan-bahan organik yang terbawa masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut. Produktifitas primernya sendiri, karena sifat-sifat dinamika estuaria sebagaimana telah diterangkan di atas dan karena kekeruhan airnya yang berlumpur, hanya dihasilkan secara terbatas oleh sedikit jenis alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton. Meski demikian, bahan-bahan organik dalam rupa detritus yang terendapkan di estuaria membentuk substrat yang penting bagi tumbuhnya alga dan bakteri, yang kemudian menjadi sumber makanan bagi tingkat-tingkat trofik di atasnya. Banyaknya bahan-bahan organik ini dibandingkan oleh Odum dan de la Cruz (1967) dalam Nybakken (1988) yang mendapatkan bahwa air drainase estuaria mengandung sampai 110 mg berat kering bahan organik per liter, sementara perairan laut terbuka hanya mengandung bahan yang sama 1-3 mg per liter. Oleh sebab itu, organisme terbanyak di estuaria adalah para pemakan detritus, yang sesungguhnya bukan menguraikan bahan organik menjadi unsur 11
hara, melainkan kebanyakan mencerna bakteri dan jasad renik lain yang tercampur bersama detritus itu. Pada gilirannya, para pemakan detritus berupa cacing, siput dan aneka kerang akan dimakan oleh udang dan ikan, yang selanjutnya akan menjadi mangsa tingkat trofik di atasnya seperti ikan-ikan pemangsa dan burung Sebagai lingkungan perairan yang mempunyai kisaran salinitas yang cukup lebar, estuari menyimpan berjuta keunikan yang khas. Hewan-hewan yang hidup pada lingkungan perairan ini adalah hewan yang mampu beradaptasi dengan kisaran salinitas tersebut. Dan yang paling penting adalah lingkungan perairan estuary merupakan lingkungan yang sangat kaya akan nutrient yang menjadi unsure terpenting bagi pertumbuhan phytoplankton. Inilah sebenarnya kunci dari keunikan lingkungan estuary. Sebagai kawasan yang sangat kaya akan unsur hara (nutrient) estuary di kenal dengan sebutan daerah pembesaran (nursery ground) bagi berjuta ikan, invertebrate (Crustacean, Bivalve, Echinodermata, annelida dan masih banyak lagi kelompok infauna). Tidak jarang ratusan jenis ikan-ikan ekonomis penting seperti siganus, baronang, sunu dan masih banyak lagi menjadikan daerah estuari sebagai daerah pemijahan dan pembesaran. Melihat banyaknya jenis hewan yang sifatnya hidup sementara di estuaria, bisa disimpulkan bahwa rantai makanan dan rantai energi di estuaria cenderung bersifat terbuka. Dengan pangkal pemasukan dari serpih-serpih bahan organik yang terutama berasal dari daratan (sungai, rawa asin, hutan bakau), dan banyak yang berakhir pada ikan-ikan atau burung yang kemudian membawa pergi energi keluar dari sistem. II.1.6. Komposisi Biota dan Produktifitas Hayati Di estuaria terdapat tiga komponen fauna, yaitu fauna laut, air tawar dan payau. Komponen fauna yang terbesar didominasi oleh fauna laut yaitu hewan stenohalin yang terbatas kemampuannya dalam mentolerir perubahan salinitas dan hewan euryhalin yang mempunyai kemampuan mentolerir berbagai penurunan salinitas yang lebar. Komponen air payau terdiri dari spesies organisme yang hidup di pertengahan daerah estuaria pada salinitas antara 5-300/00. Spesiesspesies ini tidak ditemukan hidup pada perairan laut maupun tawar. Komponen air tawar biasanya terdiri dari yang tidak mampu mentoleril salinitas di atas 5 dan hanya terbatas pada bagian hulu estuaria. Ciri khas estuaria cenderung lebih produktif daripada laut ataupun air tawar. Estuaria adalah ekosistem yang miskin dalam jumlah spesies fauna dan flora. Faunanya: ikan, kepiting, kerang dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai makanan 12
yang kompleks. Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan alga dan kemudian menjadi sumber makanan penting bagi organisme pemakan suspensi dan detritus. Secara fisik dan biologis, estuaria merupakan ekosistem produktif karena:
a) Estuaria yang berperan sebagai jebak zat hara yang cepat di daur ulang b) Beragamnya komposisi tumbuhan di estuaria baik tumbuhan makro (makrofiton) maupun tumbuhan mikro (mikrofiton), sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung sepanjang tahun.
c) Adanya fluktuasi permukaan air terutama akibat aksi pasang-surut, sehingga antara lain memungkinkan pengangkutan bahan makanan dan zat hara yang diperlukan berbagai organisme estuaria. II.1.7. Biota Estuari Sebagai wilayah peralihan atau percampuran, estuaria memiliki tiga komponen biota, yakni fauna yang berasal dari lautan, fauna perairan tawar, dan fauna khas estuaria atau air payau. Fauna lautan yang tidak mampu mentolerir perubahan-perubahan salinitas yang ekstrem biasanya hanya dijumpai terbatas di sekitar perbatasan dengan laut terbuka, di mana salinitas airnya masih berkisar di atas 30‰. Sebagian fauna lautan yang toleran (eurihalin) mampu masuk lebih jauh ke dalam estuaria, di mana salinitas mungkin turun hingga 15‰ atau kurang. Sebaliknya fauna perairan tawar umumnya tidak mampu mentolerir salinitas di atas 5‰, sehingga penyebarannya terbatas berada di bagian hulu dari estuaria. Fauna khas estuaria adalah hewan-hewan yang dapat mentolerir kadar garam antara 5-30‰, namun tidak ditemukan pada wilayah-wilayah yang sepenuhnya berair tawar atau berair laut. Di antaranya terdapat beberapa jenis tiram dan kerang (Ostrea, Scrobicularia), siput kecil Hydrobia, udang Palaemonetes, dan cacing polikaeta Nereis.Di samping itu terdapat pula fauna-fauna yang tergolong peralihan, yang berada di estuaria untuk sementara waktu saja. Beberapa jenis udang Penaeus, misalnya, menghabiskan masa juvenilnya di sekitar estuaria, untuk kemudian pergi ke laut ketika dewasa. Jenis-jenis sidat (Anguilla) dan ikan salem (Salmo, Onchorhynchus) tinggal sementara waktu di estuaria dalam perjalanannya dari hulu sungai ke laut, atau sebaliknya, untuk memijah. Dan banyak jenis hewan lain, dari golongan ikan, reptil, burung dan lain-lain, yang datang ke estuaria untuk mencari makanan (Nybakken, 1988). Akan tetapi sesungguhnya, dari segi jumlah spesies, fauna khas estuaria adalah sangat sedikit apabila dibandingkan dengan keragaman fauna pada ekosistem-ekosistem lain yang 13
berdekatan. Umpamanya dengan fauna khas sungai, hutan bakau atau padang lamun, yang mungkin berdampingan letaknya dengan estuaria. Para ahli menduga bahwa fluktuasi kondisi lingkungan, terutama salinitas, dan sedikitnya keragaman topografi yang hanya menyediakan sedikit relung (niche), yang bertanggung jawab terhadap terbatasnya fauna khas setempat. II.1.8. Rantai Makanan di Estuari Rantai makanan adalah perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jenjang makan (tumbuhan-herbivoracarnivora). Pada setiap tahap pemindahan energi, 80%–90% energi potensial hilang sebagai panas, karena itu langkah-langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan perkataan lain, semakin pendek rantai makanan semakin besar pula energi yang tersedia (Anonim, 2010). Pada ekosistem estuaria dikenal 3 (tiga ) tipe rantai makanan yang didefinisikan berdasarkan bentuk makanan atau bagaimana makanan tersebut dikonsumsi: grazing, detritus dan osmotik. Fauna diestuaria, seperti udang, kepiting, kerang, ikan, dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai dan jaring makanan yang kompleks (Komunitas tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput rawa garam, ganggang, dan fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai cacing, kerang, kepiting, dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut dan ikan laut yang menjadikan estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk menuju habitat air tawar. Estuari juga merupakan tempat mencari makan bagi vertebrata semi air, yaitu unggas air. Ada dua tipe dasar rantai makanan:
1. Rantai makanan rerumputan (grazing food chain). Misalnya: tumbuhanherbivora-carnivora.
2. Rantai makanan sisa (detritus food chain). Bahan mati mikroorganisme (detrivora = organisme pemakan sisa) predator. Suatu rantai adalah suatu pola yang kompleks saling terhubung, rantai makanan di dalam suatu komunitas yang kompleks antar komunitas, selain daripada itu, suatu rantai makanan adalah suatu kelompok organisme yang melibatkan perpindahan energi dari sumber utamanya (yaitu: cahaya matahari, phytoplankton, zooplankton, larval ikan, kecil ikan, ikan besar, binatang menyusui). Jenis dan variasi rantai makanan adalah sama banyak seperti jenis/ spesies di antara mereka dan tempat kediaman yang mendukung mereka. Selanjutnya, rantai makanan dianalisa didasarkan pada pemahaman bagaimana rantai makanan 14
tersebut memperbaiki mekanisme pembentukannya. Ini dapat lebih lanjut dianalisa sebab bagaimanapun jenis tunggal boleh menduduki lebih dari satu tingkatan tropik di dalam suatu rantai makanan (Johannessen et al., 2005). Dalam bagian ini, diuraikan tiga bagian terbesar dalam rantai makanan yaitu: phytoplankton, zooplankton, dan infauna benthic. Sebab phytoplankton dan zooplankton adalah komponen rantai makanan utama dan penting, dimana bagian ini berisi informasi yang mendukung keberadaan organisme tersebut. Sedangkan, infauna benthic adalah proses yang melengkapi pentingnya rantai makanan di dalam ekosistem pantai berlumpur. Selanjutnya, pembahasan ini penekananya pada bagaimana mata rantai antara rantai makanan dan tempat berlindungnya (tidal flat; pantai berlumpur) (Johannessen et al., 2005). II.1.9. Adaptasi Organisme Estuaria Variasi sifat habitat estuaria, terutama dilihat dari fluktuasi salinitas dan suhu, membuat estuaria menjadi habitat yang menekan dan keras. Bagi organisme, agar dapat hidup dan berhasil membentuk koloni di daerah ini mereka harus memilki adaptasi tertentu. Adaptasi tersebut antara lain:
a) Adaptasi morfologis: organisme yang hidup di lumpur memiliki rambut-rambut halus untuk menghambat penyumbatan permukaan ruang pernafasan oleh partikel lumpur;
b) Adaptasi fisiologis: berkaitan dengan mempertahankan keseimbangan ion cairan tubuh;
c) Adaptasi tingkah laku: pembuatan lubang ke dalam lumpur organisme khususnya avertebrata. Kebanyakan organisme yang menempati daerah ini menunjukkan adaptasi dalam menggali dan melewati substrat yang lunak atau menempati saluran yang permanen dalam substrat. Dikarenakan pantai lumpur juga agak tandus, hal ini dapat dilihat dari sedikitnya organisme yang menempati permukaan daratan lumpur. Kehadiran organisme di pantai berlumpur ditunjukkan oleh adanya berbagai lubang di permukaan dengan ukuran dan bentuk yang berbeda. Jadi, salah satu adaptasi utama dari organisme di daratan lumpur adalah kemampuan untuk menggali substrat atau membentuk saluran yang permanen. Adaptasi utama yang kedua berkaitan dengan kondisi anaerobik yang merata di seluruh substrat. Jika organisme ingin tetap hidup ketika terkubur dalam substrat, mereka harus beradaptasi untuk hidup dalam keadaan anaerobik atau harus membuat beberapa jalan yang dapat mengalirkan air dari permukaan yang mengandung banyak oksigen ke bawah. 15
Untuk mendapatkan air dari permukaan yang kaya oksigen dan makanan maka muncul berbagai lubang dan saluran di permukaan daratan lumpur. Adaptasi yang umum terhadap rendahnya ketersediaan oksigen adalah dengan membentuk alat pengangkut (misalnya, hemoglobin) yang dapat terus-menerus mengangkut oksigen dengan konsertasi yang lebih baik dibandingkan dengan pigmen yang sama pada organisme lain (Nybakken, 1982). II.1.10. Tipe Organisme Pantai berlumpur sering menghasilkan suatu pertumbuhan yang besar dari berbagai tumbuhan. Di atas daratan lumpur yang kosong, tumbuhan yang paling berlimpah adalah diatom, yang hidup di lapisan permukaan lumpur dan biasanya menghasilkan warna kecoklatan pada permukaan lumpur pada saat terjadi pasangturun. Tumbuhan lain termasuk makroalga, Glacilaria, Ulva, dan Enteromorpha. Pada daerah lain, khusus pada pasut terendah hidup berbagai rumput laut, seperti Zostera. Daratan berlumpur mengandung sejumlah besar bakteri, yang memakan sejumlah besar bahan organik. Bakteri ini merupakan satu-satunya organisme yang melimpah pada lapisan anaerobikdi pantai berlumpur dan membentuk biomassa yang berarti. Bakteri ini dinamakan Bakteri Kemosintesis atau Bakteri Sulfur, bakteri ini mendapatkan energi dari hasil oksidasi beberapa senyawa sulfur yang tereduksi, seperti berbagai sulfida (misalnya, H2S). Mereka menghasilkan bahan organik dengan menggunakan energi yang didapat dari oksidasi senyawa sulfur yang tereduksi,
berbeda
dengan
tumbuhan
yang
menghasilkan
bahan
organik
menggunakan energi matahari. Karena bakteri ototrofik ini berlokasi di lapisan anaerobik di lumpur, maka daratan lumpur merupakan daerah yang unik di lingkungan laut, mereka mempunyai dua lapisan yang berbeda di mana produktivitas primer terjadi, daerah tempat diatom, alga, dan rumput lautmelakukan fotosintesis, dan lapisan dalam tempat bakteri melakukan kemosintesis. Mahluk dominan yang terdapat pada daratan lumpur, yaitu cacing polichaeta, moluska bivalvia, dan krustacea besar dan kecil, tetapi dengan jenis yang berbeda (Nybakken, 1982). Phytoplankton Pertumbuhan phytoplankton di wilayah pantai estuaria berlumpur diatur dengan suatu interaksi antara matahari, hujan, bahan gizi, dan gerakan massa air, serta convergensi yang di akibatkan oleh arus laut. Sampai jumlah tertentu produksi phytoplankton tergantung pada cuaca, dengan pencampuran dan stratifikasi 16
kolom air yang mengendalikan produktivitas utama. Percampuran massa air vertikal yang kuat mempunyai suatu efek negatif terhadap produktivitas, dengan mengurangi perkembangan phytoplankton maka terjadi penambahan energi itu sendiri dan penting bagi fotosintesis. Bagaimanapun, pencampuran vertikal adalah juga diuntungkan karena proses penambahan energi, yang membawa bahan gizi (nutrient) dari air menuju ke permukaan di mana mereka dapat digunakan oleh phytoplankton. Zooplankton dan Heterotrophs Lain Zooplankton dan heterotrophs lain (suatu tingkatan organisma trophic sekunder yang berlaku sebagai consumer utama organik) di dalam kolom air mengisi suatu relung ekologis penting sebagai mata rantai antara produksi phytoplankton utama dan produktivitas ikan. Secara teknis, istilah zooplankton mengacu pada format hewan plankton, yang tinggal di kolom air dan pergerakan utama sematamata dikendalikan oleh keadaan insitu lingkungan (current movement). zooplankton mempunyai kemampuan untuk berpindah tempat vertikal terhadap kolom air dan boleh juga berpindah tempat secara horisontal dari pantai ke laut lepas sepanjang yaitu musim semi dan musim panas dalam untuk mencari lokasi yang cocok untuk pertumbuhan mereka. Migrasi vertikal menciptakan sonik lapisan menyebar ketika zooplankton bergerak ke permukaan pada malam hari dan tempat yag terdalam pada siang hari. Pada daerah berlumpur dengan olakan gelombang besar, migrasi vertical zooplankton akan terhalang. Sedangkan, migrasi horisontal musiman mengakibatkan zooplankton akan mengalami blooming (pengkayaan). Infauna dan Epifauna Benthic Infauna Benthic (organisma yang tinggal di sedimen) dan epifauna (organisma yang mempertahankan hidup di sedimen) adalah suatu kumpulan taxa berbeda-beda mencakup clam, ketam, cacing, keong, udang, dan ikan. Sedangkan burrowers, adalah binatang pemakan bangkai, pemangsa, dan pemberi makan/tempat makan sejumlah phytoplankton, zooplankton, sedimen, detritus dan nutrient lainnya. Mereka berperan penting dalam jaring makanan di pantai berlumpur, juga bertindak sebagai konvertor untuk pembuatan bahan-bahan organik pada tingkatan tropik yang lebih tinggi, sehingga menyokong peningkatan produktivitas alam bebas (wildlife) dan ikan. Dengan diuraikannya secara rinci bagaimana berbagai rantai makanan terhubung ke dalam suatu jaringan makanan terpadu 17
pada benthic community dalam system dinamika pantai berlumpur adalah penting untuk di jawab bahwa ekosistem pantai berlumpur ini berperan di dalam keseimbangan produktifitas primer perairan Zedler (1980). Predator asli di dataran lumpur ini mencakup beberapa cacing polychaeta seperti Glycera spp., siput bulan (Polinices, Natica) dan kepiting. Jadi, struktur trofik dataran lumpur sering terbentuk berdasarkan dua hal, yaitu : berdasarkan detritus – bakteri dan berdasarkan tumbuhan. II.1.11. Peranan Ekosistem Estuari Produktifitas estuaria, pada kenyataannya bertumpu atas bahan-bahan organik yang terbawa masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut. Produktifitas primernya sendiri, karena sifat-sifat dinamika estuaria sebagaimana telah diterangkan di atas dan karena kekeruhan airnya yang berlumpur, hanya dihasilkan secara terbatas oleh sedikit jenis alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton. Meski demikian, bahan-bahan organik dalam rupa detritus yang terendapkan di estuaria membentuk substrat yang penting bagi tumbuhnya alga dan bakteri, yang kemudian menjadi sumber makanan bagi tingkat-tingkat trofik di atasnya. Banyaknya bahan-bahan organik ini dibandingkan oleh Odum dan de la Cruz (1967, dalam Nybakken (1988) yang mendapatkan bahwa air drainase estuaria mengandung sampai 110 mg berat kering bahan organik per liter, sementara perairan laut terbuka hanya mengandung bahan yang sama 1-3 mg per liter. Oleh sebab itu, organisme terbanyak di estuaria adalah para pemakan detritus, yang sesungguhnya bukan menguraikan bahan organik menjadi unsur hara, melainkan kebanyakan mencerna bakteri dan jasad renik lain yang tercampur bersama detritus itu. Pada gilirannya, para pemakan detritus berupa cacing, siput dan aneka kerang akan dimakan oleh udang dan ikan, yang selanjutnya akan menjadi mangsa tingkat trofik di atasnya seperti ikan-ikan pemangsa dan burung. Melihat banyaknya jenis hewan yang sifatnya hidup sementara di estuaria, bisa disimpulkan bahwa rantai makanan dan rantai energi di estuaria cenderung bersifat terbuka. Dengan pangkal pemasukan dari serpih-serpih bahan organik yang terutama berasal dari daratan (sungai, rawa asin, hutan bakau), dan banyak yang berakhir pada ikan-ikan atau burung yang kemudian membawa pergi energi keluar dari sistem.
18
II.1.12. Ekosistem Mangrove Salah satu bagian yang sangat berperan penting di ekosistem estuaria adalah ekosistem mangrove yang
memiliki produktivitas tinggi.
Nybakken (1988)
mengemukakan bahwa ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut. Salah satu komponen utama penyusun ekosistem mangrove adalah vegetasi mangrove atau mangal merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak yang memiliki kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken1988). Berdasarkan Odum (1993) mangrove adalah salah satu diantara sedikitnya tumbuh-tumbuhan tanah timbul yang tahan terhadap salinitas laut terbuka. Tumbuhan ini mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama penggenangan, substrat dan morfologi pantai. Mangrove dapat di jumpai pada daerah sepanjang muara sungai atau daerah yang banyak dipengaruhi oleh aliran sungai (fluvio-marine) dan daerah yang umumnya didominasi oleh faktor laut (marino-fluvial) (DKP 2004).
Istilah
bakau adalah sebutan bagi jenis utama pohon mangrove (Rhizophora spp.) yang dominan hidup dihabitat pantai. Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub - tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon, seperti Avicennia spp, Sonneratia spp, Rhizophora spp, Bruguiera spp, Ceriops spp, Lumnitzera spp, Exoecaria spp, Xylocarpus spp, Aegiceras spp, Scyphyphora spp.dan Nypa sp yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen 2004). Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu(silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya (DKP 2004). Menurut Snedaker (1984) hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan tanah anaerob. Selanjutnya Aksornkoae (1993) mengemukakan bahwa mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.
19
Mangrove umumnya tumbuh di daerah intertidal yang memiliki jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir. Tergenang oleh air laut secara berkala, dapat setiap hari maupun hanya tergenang pada saat surut purnama, frekuensi genangan ini menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Selain itu, mangrove juga membutuhkan suplai air tawar dari daratan, dan biasanya hidup baik pada daerah yang cukup terlindung dari gelombang besar dan pasang surut yang kuat. Salinitas yang baik untuk mangrove tumbuh adalah pada salinitas 2 – 22 ppt atau sampai asin pada salinitas 38 ppt (Bengen, 2001; Nontji, 2005). Cakupan sumberdaya mangrove secara keseluruhan menurut Kusmana et al., (2003) terdiri atas: (1) satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove, (2) spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove, (3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain lain, baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali kali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup dihabitat mangrove, (4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada didaerah bervegetasi maupun diluarnya, dan (5) daratan terbuka/ hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut. II.2. Kondisi Lingkungan Perairan II.2.1. Suhu air Suhu air merupakan salah satu faktor abiotik yang memegang peranan penting bagi kehidupan organisme perairan. Di dalam perairan, suhu air dapat mempengaruhi produktivitas primer perairan. Dengan meningkatnya suhu yang masih dapat ditolerir oleh organisme nabati, akan diikuti oleh kenaikan derajat metabolisme dan aktifitas fotosintesis, yang ada di dalamnya. Dengan demikian suhu air erat kaitannya dengan pembentukan produktivitas primer di suatu perairan (Schwoerbel, 1987 in Musa, 1992). Pada perairan yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, sehingga suhu air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembang biakan organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembang biakan organisme perairan. Perubahan suhu dapat menjadi isyarat bagi organisme untuk 20
memulai atau mengakhiri berbagai aktivitas, misalnya aktivitas reproduksi (Nyabakken, 1988). Peningkatan suhu juga menyebakan peningkatan kecepatan metabolisme serta respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairansebesar 100C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat. Namun peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadaroksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian air dari permukaan laut, waktu penyinaran dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman dari badan air. Penstrataan panas dapat terjadi yang disebabkan oleh sinar matahari yang memanaskan permukaan air. Dalam keadaan ini, epilimnion dan hipolimnion dapat memperlihatkan ciri-ciri fisik-kimiawi yang berbeda. Tetapi pada perairan tropik suhu relatif tinggi (>25°C) sepanjang tahun, menunjukkan kondisi yang relatif stabil dan umumnya jarang terjadi gejala stratifikasi. Stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan meteorologi dan sifat setiap pertukaran panas, pangadukan, pemasukan atau pengeluaran air, dan bentuk, ukuran, serta letak waduk (Goldman & Horne, 1983). II.2.2. Kecerahan Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan suatu perairan dipengaruhi oleh kekeruhan dan warna perairan tersebut, semakin tinggi kecerahan suatu perairan maka akan semakin tinggi daya penetrasi cahaya matahari sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung dalam lapisan yang tebal. Pada perairan alami kecerahan sangat erat hubungannya dengan fotosintesis. Kecerahan dapat digunakan untuk menentukan tingkat produktifitas primer suatu perairan (Odum, 1971). Fitoplankton sebagai produsen primer di perairan, memerlukan cahaya matahari untuk fotosintesis. Dalam suatu perairan, fotosintesis meningkat sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya. Namun, pada lapisan permukaan laju fotosintesis adalah kecil karena pengaruh sinar matahari yang terlalu kuat. Semakin dalam, laju fotosintesis semakin meningkat hingga mencapai maksimum pada kedalaman beberapa meter di bawah permukaan (cahaya optimal). Di bawahnya, laju fotosintesis akan berkurang secara proporsional terhadap intensitas cahaya. Apabila intensitas cahaya yang jatuh di permukaan menurun, misalnya karena 21
cuaca mendung, maka lapisan yang menerima cahaya optimal akan bergerak ke atas hingga diperoleh lapisan optimal di permukaan agar fotosintesis kembali berjalan maksimum. Sejalan dengan itu, tebal lapisan eufotik akan semakin menipis (Baksir, 1999). II.2.3. Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) menunjukkan konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan (Effendi, 2003). pH sangat penting karena perubahan pH yang terjadi di air tidak hanya berasal dari masukan bahan-bahan asam atau basa di perairan tetapi juga dapat disebabkan oleh perubahan tidak langsung dari aktivitas-aktivitas metabolik perairan yang mencakup aktivitas manusia di daratan seperti: limbah rumah tangga, pertanian, dan tambak yang dibuang ke sungai lalu diteruskan ke laut. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 - 8,5. Nilai pH akan mempengaruhi proses biologi kimiawi perairan. Sementara menurut Nybakken (1992) lingkungan perairan laut yang memiliki pH yang bersifat relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,5 - 8,4. Effendi (2000) menyatakan bahwa sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7 - 8,5. Batas toleransi dari suatu organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation serta tergantung dengan jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973). II.2.4. Oksigen terlarut Oksigen telarut adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air, oksigen terlarut dalam air berasal dari hasil fotosintesis fitoplankton atau tumbuhan air, difusi dari udara, air hujan dan aliran air permukaan yang masuk. Oksigen di perairan mempengaruhi beberapa faktor antara lain salinitas, suhu, respirasi da fotosintesis. Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas-gas yang ada dalam udara dan air. Oksigen di perairan mempunyai variasi yang sangat tinggi dan biasanya bervariasi lebih rendah dari kandungan oksigen di udara. Oksigen berperan penting bagi pernapasan dan merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme ikan dan organisme perairan lainnya. Kandungan oksigen di suatu perairan akan meningkat apabila masukan limbah yang masuk ke perairan tersebut juga meningkat. Kelarutan oksigen dipengaruhi suhu, tekanan parsial gasgas yang ada dalam udara dan air (Klein, 1962 in Ginting, 1999).
22
Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut beperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari. Aksornkoae (1978) mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut dimangrove 17 - 34 mg/l, lebih rendah dibanding diluar mangrove yang besarnya 4,4 mg/l. Perairan yang diperuntukan untuk kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen terlarut tidak kurang dari 5 mg/l. II.2.5. Kekeruhan Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA, 1995). Penetrasi cahaya pada perairan turbulen ini lebih kecil dibandingkan dengan daerah laut terbuka. Kumpulan partikel-partikel sisa, baik dari daratan, dari potonganpotongan kelp dan rumput laut, ditambah kepadatan plankton yang tinggi akibat melimpahnya nutrien, menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya sampai beberapa meter di estuaria (Nybakken, 1988). Banyak organisme akuatik, khususnya filter feeder, tidak dapat mentolerir konsentrasi bahan inorganik dalam jumlah yang besar (Wetzel, 2001 in Honata, 2010). Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut pada kekeruhan menurut KEPMEN LH tahun 2004 adalah lebih dari 5 NTU. Banyak organisme akuatik, khususnya filter feeder, tidak dapat mentolerir konsentrasi bahan inorganik dalam jumlah yang besar (Wetzel, 2001 in Honata, 2010). Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut pada kekeruhan menurut KEPMEN LH tahun 2004 adalah lebih dari 5 NTU. Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan mencuat yang dapat tumbuh mendominasi. Rendahnya produktivitas primer di kolom air, sedikitnya herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus menunjukkan bahwa rantai makanan pada ekosistem estuaria merupakan rantai makanan detritus. Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan algae yang kemudian menjadi sumber makanan penting bagi organisme pemakan suspensi dan detritus. Suatu penumpukan bahan makanan yang dimanfaatkan oleh organisme estuaria 23
merupakan produksi bersih dari detritus ini. Fauna di estuaria, seperti ikan, kepiting, kerang, dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai makanan yang kompleks (Bengen, 2004). II.2.6. Salinitas Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar, salinitas di estuaria sangat bervariasi. Baik menurut lokasinya di estuaria, ataupun menurut waktu. Secara umum salinitas yang tertinggi berada pada bagian luar, yakni pada batas wilayah estuaria dengan laut, sementara yang terendah berada pada tempat-tempat di mana air tawar masuk ke estuaria. Pada garis vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air lebih rendah daripada salinitas air di lapisan bawahnya. Ini disebabkan karena air tawar cenderung ‘terapung’ di atas air laut yang lebih berat oleh kandungan garam. Kondisi ini disebut ‘estuaria positif’ atau ‘estuaria baji garam’ (salt wedge estuary) (Nybakken, 1988). Akan tetapi ada pula estuaria yang memiliki kondisi berkebalikan, dan karenanya dinamai ‘estuaria negatif’. Misalnya pada estuaria-estuaria yang aliran air tawarnya sangat rendah, seperti di daerah gurun pada musim kemarau. Laju penguapan air di permukaan, yang lebih tinggi daripada laju masuknya air tawar ke estuaria, menjadikan air permukaan dekat mulut sungai lebih tinggi kadar garamnya. Air yang hipersalin itu kemudian tenggelam dan mengalir ke arah laut di bawah permukaan. Dengan demikian gradien salinitas airnya berbentuk kebalikan daripada ‘estuaria positif’. Dinamika pasang surut air laut sangat mempengaruhi perubahan-perubahan salinitas dan pola persebarannya di estuaria. Pola ini juga ditentukan oleh geomorfologi dasar estuaria.Sementara perubahan-perubahan salinitas di kolom air dapat berlangsung cepat dan dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan sangat lambat. Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau pasir berlumpur, yang berasal dari sedimen yang terbawa aliran air, baik dari darat maupun dari laut. Sebabnya adalah karena pertukaran partikel garam dan air yang terjebak di antara partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada kolom air di atasnya berlangsung dengan lamban. II.2.7. Nitrat Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung 24
pada kondisi aerob. Oksidasi amonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Keduanya adalah bakteri kemotrofik, yaitu bakteri yang dapat mendapatkan energi dari proses kimiawi. Menurut Novotny & Olem (1994) in Effendi (2003). Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0.1 mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktifitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat melebihi 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrof memiliki kadar nitrat antara 0 – 1 mg/l, perairan mesotrof memiliki kadar nitrat antara 1 – 5 mg/l, dan perairan eutrof memiliki kadar nitrat yang berkisar antara >5 – 50 mg/l (Vollenweider, 1969 in Wetzel, 1975). II.2.8. Ortofosfat Fitoplankton di perairan umumnya memperoleh unsur P dari senyawa fosforus anorganik (ion ortofosfat). Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Setelah masuk ke dalam tumbuhan, misalnya fitoplankton, fosfat anorganik mengalami perubahan menjadi organofosfat. Fosfat yang berikatan dengan ferri (Fe2(PO4)3) bersifat tidak larut dan mengendap di dasar perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob, ion besi valensi tiga (ferri) ini mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang bersifat larut dan melepaskan fosfat ke perairan (Brown, 1987 in Effendi, 2003). Semua polifosfat mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat. Perubahan ini bergantung pada suhu. Pada suhu yang mendekati titik didih, perubahan polifosfat menjadi ortofosfat berlangsung cepat. Kecepatan ini meningkat dengan menurunnya nilai pH. Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih sedikit daripada kadar nitrogen; karena sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan. Sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan mineral. Selain itu, fosfor juga berasal dari dekomposisi bahan organik. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik, yakni fosfor yang berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi, 2003). Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan algae 25
di perairan (algae bloom). Algae yang melimpah ini dapat membentuk lapisan pada permukaan air, yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan (Boney, 1989 in Effendi, 2003). II.2.9. Klorofil-a Klorofil-a adalah salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi tumbuhan yang ada di perairan khususnya fitoplankton. Dari pigmen fotosintesis, klorofil-a merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton (Parsons et al., 1984). Sementara Cole (1988), menambahkan bahwa klorofil-a merupakan master pigmen Cyanophyceae dan eukaryota yang dibentuk dari fotosintesis. Klorofil-b, Klorofil-c, fikobilin, dan karotenoid hanya sebagai pigmen tambahan. Selain pigmen tersebut, beberapa algae tertentu mengandung pigmen pelengkap seperti xantofil, fikosianin, fikoeritrin dan fikopirin. Peranan pigmen pelengkap tersebut adalah untuk menyadap sinar yang tidak dapat diserap oleh klorofil dan karotenoid. Elektron-elektron pada pigmen tersebut diteruskan pada klorofil untuk diubah menjadi energi kimia yang digunakan dalam proses fotosintesis (Goldman & Horne, 1983). Kandungan klorofil-a secara gradien longitudinal sangat dipengaruhi oleh fisika-kimia dan biologi. Di zona sungai, biomassa cendrung lebih rendah daripada di zona transisi dan lakustrin. Tingginya klorofil-a ini disebabkan oleh pola sirkulasi air yang memberi muatan hara dan diikuti dengan meningkatnya kekeruhan (Carrick et al., 1994 in Noryadi, 1998). Menurut Vyhnalek (1994) in Noryadi (1998), biomassa fitoplankton sering diukur sebagai nilai konsentrasi klorofil-a. Penentuan biomassa dengan metode klorofil-a didasarkan pada pengukuran jumlah klorofil-a yang dikandung oleh fitoplankton. Strathmann (1967) in Nontji (1984) mengemukakan bahwa pendekatan ini mempunyai kelebihan karena klorofil-a dimiliki oleh semua fitoplankton. Sedangkan kelemahannya sukar membedakan antara klorofil yang aktif dan non aktif atau produk degradasinya dan komposisi jenis fitoplankton. Kepekatan klorofila sering dihubungkan dengan produktivitas primer untuk menduga tingkat eutrofikasi perairan danau (Vollenweider, 1976 in Nur, 2006). OECD (1982) in Henderson-Sellers & Markland (1987) menjelaskan tentang kriteria kesuburan berdasarkan kandungan klorofil-a adalah sebagai berikut; kandungan klorofil-a antara 0-4 mg/m3 merupakan perairan oligotrof, kandungan klorofil-a antara 4 - 10 mg/m3 merupakan perairan mesotrof, dan kandungan klorofila antara 10 - 100 mg/m3 merupakan perairan eutrof. 26
II.3. Strategi Pengelolaan Ekosistem Estuari Estuaria sebagan bagian dari wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut khususnya daerah estuari masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing. Nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia. Kekayaan sumberdaya laut tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya. Akan tetapi, kekayaan sumberdaya pesisir tersebut mulai mengalami kerusakan. Sejak awal tahun 1990-an, fenomena degradasi biogeofisik sumberdaya pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju kerusakannya telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove terumbu karang dan estuari (muara sungai). Rusaknya ekosistem daerah estuari berimplikasi terhadap penurunan kualitas lingkungan untuk sumberdaya ikan serta erosi pantai. Sehingga terjadi kerusakan tempat pemijahan dan daerah asuhan ikan, berkurangnya populasi benur, nener, dan produktivitas tangkap udang. Semua kerusakan biofisik lingkungan tersebut adalah gejala yang terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan daya dukung lingkungannya. Persoalan yang mendasar adalah mekanisme pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak efektif untuk memberi kesempatan kepada sumberdaya hayati pesisir yang dimanfaatkan pulih kembali atau pemanfaatan sumberdaya non hayati disubstitusi dengan sumberdaya alam lain dan mengeliminir faktor-faktor yang menyebabkan kerusakannya Sebagian pihak mungkin memiliki pengetahuan terbatas mengenai ekosistem estuari. Sejumlah ekosistem estuari ternyata memiliki keunikan dan keunggulan tersendiri. Akan tetapi ekosistem ini ternyata juga sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gelombang pasang maupun pemanasan global. Ekosistem Estuari juga berpeluang besar untuk rusak akibat perbuatan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka perlu keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian yang disesuaikan dengan daya dukung 27
lingkungan dan alokasi penataan ruang. Keterbatasan sarana dan prasarana, data dan informasi tentang potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan terhadap ekosistem
estuari
beserta
ekologisnya
perlu
segera
diatasi
agar
tingkat
kesejahteraan masyarakat pesisir meningkat. Beberapa aspek yang digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan kebijakan dan strategi penataan ruang ekosistem estuari adalah: Daya dukung lingkungan, Kondisi sosial budaya, Target perencanaan yang realistis, kepastian hukum, Letak geografis dan kondisi geopolitik. Dimana Penataan ruang Ekosistem Estuari dapat dilakukan pada 4 kawasan yaitu: kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laut dan kawasan strategis nasional tertentu. Kawasan strategis nasional tertentu dapat didefinisikan sebagai kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis. Kawasan strategis nasional tertentu dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat,
mempercepat
pertumbuhan
ekonomi
kawasan,
meningkatkan upaya pertahanan negara, memperkuat integrasi nasional dan melestarikan fungsi lingkungan hidup. Sehingga pengelolaan ekosistem estuari harus dilakukan dengan cara: secara ekonomi efisien dan optimal (economically sound), dimana secara sosial-budaya berkeadilan dan dapat diterima (socioculturally acepted and just). Dan secara ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungan
(environmentally
friendly).
Akan
tetapi,
kebijakan
mengenai
pengelolaan ekosistem estuari harus berorientasi kepada kepentingan umum, bukan kepentingan perorangan atau golongan. Kabupaten Berau memiliki sumberdaya hutan mangrove yang sangat berpotensi untuk dimanfaatkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Hutan mangrove Kabupaten Berau terdapat mulai dari bagian utara di Tanjung Batu, Delta Berau, sampai ke selatan di Biduk-biduk. Selain itu hutan mangrove juga ditemukan di beberapa pulau, seperti Pulau Panjang, Rabu-rabu, Semama dan Maratua di bagian utara pesisir Berau, dan di Pulau Buaya-buaya di bagian selatan pesisir Berau. Secara keseluruhan luas kawasan mangrove sebesar 80.277 ha (Wiryawan, et al., 2005). Dari segi kondisi kawasan mangrove, Kabupaten Berau relatif masih memiliki kondisi kawasan mangrove yang lebih baik bila dibandingkan dengan kabupaten atau kota lainnya di provinsi Kalimantan Timur. Namun demikian degradasi/ 28
kerusakan kawasan mangrove dan kerusakan DAS serta konversi lahan mangrove menjadi areal pertanian dan pertambakan menjadi ancaman serius bagi kelestarian hutan mangrove di Kabupaten Berau. Tingkat kerusakan kawasan mangrove yang terdata pada tahun 1997 baru sekitar 450 hektar hutan mangrove di Delta Berau yang berubah menjadi tambak udang. Akan tetapi, pada tahun 2003 sudah mencapai sekitar 4.000 hektar (Kompas.com, 2003). Penelitian Sumberdaya perairan estuari Sungai Berau baru dilakukan sebatas inventarisasi biota perairan, potensi dan lingkungan perairan, Untuk Tahun kedua akan dilengkapi dengan data - data lainnya sehingga didapatkan suatu bahan untuk pengelolaan perairan estuari Berau.
29
III. METODOLOGI III.1. Komponen Kegiatan Ruang lingkup kegiatan yang akan dilakukan adalah: a) Penelitian ini akan dilakukan selama 2 tahun b) Biologi spesies dominan (Tahun I dan II) c) Keanekaragaman jenis ikan dan biota air lainnya (Tahun I dan II) d) Pendugaan stok ikan dengan metoda akustik dan pukat tarik (Tahun I dan II) e) Kondisi lingkungan perairan f) Wawancara dengan nelayan tentang perubahan penangkapan dan kondisi lingkungan terhadap sumberdaya ikan III.2. Jadwal dan lokasi penelitian Penelitian dilakukan pada Tahun Anggaran 2015 di estuari Berau Kalimantan Timur, sampling dilakukan sebanyak empat kali yang mewakili musim kemarau dan musim penghujan. III.3. Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Parameter yang diukur serta alat dan bahan yang digunakan: No. Parameter Alat/ bahan yang digunakan A Fisika 1 Temperatur Termometer air raksa 2 Kecerahan Piring secchi (secchi disk) 3 Kedalaman Gauge Sounder 4 Daya Hantar Listrik SCT-Meter B Kimia 1 pH pH- indikator universal/ pH-Meter 2 Oksigen (O2-terlarut) SCT-Meter 3 Karbondioksida (CO2) Botol sample, label 4 Alkalinitas Botol sample, label 5 Kesadahan Botol sample, label 6 Nitrat (NO3-N) Botol sample, label 7 Nitrit (NO2-N) Botol sample, label 8 Ammonia (NH3-N) Botol sample, label 9 Phosfat (PO4-P) Botol sample, label C Biologi 1. Plankton Plankton-net, botol sample, lugol, formalin, label 2. Chlorofil-a Water sampler, botol sampel 3 Ikan Alat tangkap, alat bedah, kantong plastik, formalin, bouin, kalkir, label D Akustik 1. TS, Densitas, Kedalaman Biosonic DT-X scientific echosounder yang dioperasikan pada frekuensi 200 kHz
30
III.4. Metode Pengumpulan data 1. Pengambilan sampel spesies ikan dan udang menggunakan alat tangkap pukat tarik. Pukat tarik yang digunakan merupakan alat tangkap yang biasa digunakan nelayan di perairan ini, dengan ukuran panjang 14,0 meter, panjang tali ris atas 7,0 meter, meshsize 1,5 dan 1,0 inch kantong hasil 0,5 inchi. Pukat ditarik dengan kapal trawl (6 GT), lama penarikan 15 menit pada masing-masing lokasi pengambilan contoh yang telah ditentukan, kecepatan tarikan antara 2,5 – 3,0 km/jam dan bagan untuk mengetahui keanekaragaman, distribusi dan biologi. Untuk mendapatkan data series hasil tangkapan setiap bulan menggunakan jasa enumerator. 2. Untuk melihat kepadatan ikan dilakukan dengan metoda akustik. 3. Pengambilan contoh plankton dilakukan dengan plankton net. Pengambilan sampel air disaring dengan menggunakan planktonet no.25 berukuran 64 µm dan diawetkan dengan larutan formalin 4%. Analisa sampel plankton dilakukan di laboratorium Hidrobiologi Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang dengan menggunakan buku Mizuno (1979) & Pennak (1978). 4. Pengambilan sampel substrat dilakukan secara acak terpilih menggunakan Ekman dredge ukuran 15x15cm di 10 stasiun. Pada tiap stasiun pengamatan, pengambilan sampel dilakukan sebanyak 2 kali. Organisme bentos yang diamati adalah kelompok makrozoobentos yang diperoleh dengan menyaring sampel substrat, menggunakan ayakan bertingkat dengan ukuran bukaan (mesh size) 1,0 mm; 1,5 mm; dan 2,0 mm. Sampel bentos yang diperoleh diawetkan dalam larutan alkohol
70%,
selanjutnya
diidentifikasi
berdasarkan
genus
dan
dihitung
-2
kelimpahannya dalam satuan cm . Identifikasi makrozoobentos menggunakan referensi Faucland (1977); Gosner (1971), Milligan (1997), Ruswahyuni (1988) dan Pennak (1978). 5. Pengukuran beberapa parameter biofisik, antara lain: salinitas, DO, Co2, pH dan suhu secara insitu, dan parameter lainnya diukur di Laboratorium Kimia BP3U. III.5. Analisis sampel Sampel ikan yang tertangkap dengan alat tangkap pukat tarik dianalisis di laboratorium biologi ikan untuk melihat distribusi ukuran, kebiasaan makanan dan reproduksinya. Analisis plankton dan bentos dilakukan untuk menentukan komposisi, jenis dan sebarannya dalam kolom air serta posisinya di sepanjang estuari. Sampel air dianalisis di laboratorium kimia. Contoh air dianalisis dengan metode baku untuk
31
mendapatkan kandungan nutriennya (nitrat, fosfat, amonia). Demikian pula dengan analisis konsentrasi Chl-a untuk produktivitas primer. III.6. Analisis data III.6.1. Biologi Spesies Dominan III.6.1.1. Kebiasaan Makanan III.6.1.1.1. Indeks Bagian Terbesar Perhitungan indeks bagian terbesar dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis makanan yang dimakan oleh ikan sampel. Metode ini merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian dengan metode volumetrik. Indeks bagian terbesar dihitung dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Natarajan dan Jhingran (1961) in Effendie (1979), yaitu:
IPi
Vi xOi x100 (Vi xOi )
............................................................................... (1)
Keterangan: IPi = indeks bagian terbesar Vi = persentase volume makanan jenis ke-i Oi = persentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i n = jumlah jenis organisme makanan III.6.1.1.2. Indeks Similaritas Perhitungan indeks similaritas digunakan untuk mengetahui kesamaan jenis makanan berdasarkan waktu dan stasiun pengambilan ikan contoh. Perhitungan indeks tersebut dilakukan dengan membandingkan komposisi jenis makanan pada masing-masing kelompok ikan setiap bulannya. Indeks tersebut dihitung menggunakan rumus menurut Sorensen (1984) in Krebs (1989), yaitu:
IS
2C A B .................................................................................................... (2)
Keterangan: A, B = jumlah jenis makanan yang terdapat pada masing-masing kelompok ikan (A dan B) C = jumlah jenis makanan yang terdapat pada kedua kelompok ikan (A dan B) IS = indeks similaritas (berkisar 0-1). III.6.1.1.3. Luas Relung dan Tumpang Tindih Relung Makanan Perhitungan luas relung makanan digunakan untuk melihat bagaimana selektifitas ikan terhadap makanannya. Analisis luas relung makanan dilakukan dengan melihat proporsi dari kelompok ke-i yang berhubungan 32
dengan sumberdaya ke-j. Luas relung makanan dihitung menggunakan rumus metode Levin in Krebs (1989) yaitu:
Bi
1 n
m
P
2
ij
i 1 j 1
.............................................................................................. (3)
Keterangan: Bi = luas relung kelompok ke-i Pij = proporsi dari kelompok ke-i yang berhubungan dengan sumberdaya makanan ke-j n = jumlah jenis makanan yang dimanfaatkan oleh spesies m = jumlah sumberdaya makanan Standarisasi nilai luas relung makanan agar bernilai 0-1 ditentukan dengan menggunakan rumus Hulbert in Krebs (1989), yaitu:
BA
Bi 1 n 1 ................................................................................................... (4)
Keterangan: BA = standarisasi luas relung Levins (0-1) Bi = luas relung Levins n = jumlah seluruh organisme makanan yang dimanfaatkan Perhitungan tumpang tindih relung makanan dilakukan untuk melihat bagaimana
pola
penggunaan
bersama
terhadap
sebuah
atau
lebih
sumberdaya oleh dua atau lebih spesies dalam suatu komunitas. Tumpang tindih relung makanan dihitung dengan menggunakan rumus Morisita oleh Horn dalam Krebs (1989) yaitu: n
Ch
m
l
2 Pij Pik
i 1 j 1 k 1 n l 2 ij i 1 j 1 i 1 k 1 n
m
P
P
.......................................................................... (5) 2 ik
Keterangan: Ch = Indeks Morisita-Horn Pij, Pik = Proporsi jenis organisme makanan ke-i yang dimanfaatkan oleh kelompok ukuran ikan ke-j dan kelompok ukuran ikan ke-k n = jumlah jenis organisme makanan m, l = jumlah kelompok ukuran ikan
III.6.1.2. Reproduksi 33
Beberapa aspek biologi ikan spesies dominan yang diukur antara lain nisbah kelamin, TKG, IKG, fekunditas, diameter telur dan ukuran pertama kali matang gonad. III.6.1.2.1. Nisbah kelamin Nisbah kelamin ditentukan dengan membandingkan antara jumlah ikan jantan dengan jumlah ikan betina yang dihitung dengan menggunakan rumus: .............................................................................................................. (6) Keterangan : x = nisbah kelamin J = jumlah ikan jantan B = Jumlah ikan betina (ekor) Keseragaman sebaran nisbah kelamin dilakukan dengan uji Khi-Kuadrat (Steel & Torrie, 1989):
.............................................................................................. (7) Keterangan: X2 = nilai bagi peubah acak yang sebaran penarikan contohnya mendekati sebaran Khi-Kuadrat oi = frekuensi ikan jantan dan betina yang diamati ke-i ei = frekuensi harapan dari ikan jantan + ikan betina dibagi dua. III.6.1.2.2. Indeks Kematangan Gonad Indeks kematangan gonad diukur dengan membandingkan berat gonad dengan berat tubuh ikan (Effendie, 1979): ...................................................................................... (8) Keterangan : BG : Berat gonad (gram) BT : Berat tubuh (gram) III.6.1.2.3. Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad ditentukan dengan mengamati ciri-ciri morfologis (Tabel 6). Pengamatan secara morfologis dilakukan dengan menggunakan mikroskop, terutama untuk ikan yang berada pada TKG I dan II. Ikan yang diamati fekunditasnya hanya ikan yang berada pada TKG IV dan V dan fekunditas total telur dihitung dengan menggunakan metode gravimetrik sebagai berikut: 34
................................................................................................. (9)
Keterangan : F : Fekunditas total (butir) Fso : Fekunditas sub ovarium (butir) Wso: Berat sub ovarium (gram) Wo : Berat ovarium (gram) Tabel 6. Tingkat kematangan gonad ikan menurut Cassie (Effendie & Subardja, 1977) dalam Effendie (2002) TKG Betina Jantan I Ovari seperti benang, panjang, Testis seperti benang, lebih sampai kedepan rongga tubuh. pendek (terbatas) dan terlihat Warna jernih. Permukaan licin ujungnya di rongga tubuh. Warna jernih II
Ukuran ovari lebih besar. Pewarnaan lebih gelap kekuningkuningan. Telur belum terlihat jelas dengan mata
Ukuran testis lebih besar. Pewarnaan putih seperti susu. Bentuk lebih jelas daripada tingkat I
III
Ovari berwarna kuning. Secara morfologi telur mulai kelihatan dengan mata
Permukaan testis tampak bergerigi. Warna makin putih, testis makin besar. Dalam keadaan diawetkan mudah putus
IV
Ovari makin besar, telur Seperti pada tingkat III tampak berwarna kuning, mudah lebih jelas. Testis semakin pejal dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi ½-2/3 rongga perut, usus terdesak
V
Ovari berkerut, dinding tebal, Testis bagian belakang kempis butir telur sisa terdapat didekat dan di bagian dekat pelepasan pelepasan. Banyak telur seperti masih berisi. pada tingkat II
III.6.1.2.4. Ukuran Pertama Kali Matang Gonad Untuk menduga ukuran rata-rata ikan pertama kali matang gonad digunakan dua kriteria kematangan gonad menurut Udupa (1986) yaitu kelompok belum matang gonad (TKG I dan TKG II) dan kelompok matang gonad (TKG III, TKG IV, dan TKG V). Metode yang digunakan yaitu metode Spearman-Karber (Udupa, 1986):
35
x m xk x pi ................................................................................. (10) 2 Dengan simpangan deviasi:
m 1.96 * X * 2 pi * qi / ni 1
Keterangan: m = Logaritma panjang rata-rata ikan pertama kali matang gonad xk = Logaritma nilai tengah kelas panjang terakhir ukuran ikan telah matang gonad 100% x = Selisih logaritma nilai tengah pi = Proporsi ikan matang gonad pada selang kelas panjang ke-i ri = Jumlah ikan matang gonad pada kelas ke-i ni = Jumlah ikan pada kelas ke-i qi = 1 – pi Panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) diduga dari antilog m. III.6.1.3. Parameter Pertumbuhan Analisa struktur kelompok umur dilakukan dengan Metode Bhattacharya (Sparre et al., 1989). Nilai dari modus panjang dari metode tersebut digunakan untuk menghitung panjang asimtotik (L∞), koefisien pertumbuhan (K) dan umur teoritik (to) dengan menggunakan analisa Ford-Walford (1993 & 1996 dalam Sparre et al., 1989). Pertumbuhan ikan dianalisa berdasarkan formula Von Bertalanffy sebagai berikut: Untuk panjang digunakan rumus: Lt = L∞ [1-e -k (t-to)] ............................................................................................ (11) Dimana: Lt : panjang ikan pada waktu t, L∞ : panjang asimtotik/infinity, K : koefisien pertumbuhan, t0 : umur ikan saat panjang sama dengan 0. L∞ adalah panjang ikan terbesar (maksimum) yang tercatat selama periode pengumpulan data. Parameter pertumbuhan lainnya yaitu to dicari dengan menggunakan persamaan empiris (Pauly, 1980): Log (-to) = -0,3922- 0,2752 log L∞ - 1,038 log K ............................................... (12) Karena pulsa rekruitmen alami (musiman) kedalam populasi menentukan struktur dari suatu set data frekuensi panjang, maka sebaliknya frekuensi panjang dapat menjelaskan beberapa informasi keadaan rekruitmen (Pauly, 1982 dalam Gayanilo & Pauly, 1997). Kebalikan (Inverse) dari pendekatan ini dilakukan dengan program Fi-SAT dalam bentuk pola rekruitmen. Pola 36
rekruitmen didapat dari proyeksi ke belakang ke dalam sumbu panjang dari data frekuensi panjang yang telah diatur. Poin pemecahan adalah: Dari frekuensi setelah dibagi dengan perubahan waktu, diproyeksi ke dalam sumbu waktu (Fi-Sat) Penyajian terakhir dari masing-masing bulan adalah (dan terlepas dari tahun) hasil penyesuaian frekuensi yang telah diproyeksi pada masing-masing bulan Mengurangkan frekuensi masing-masing bulan terhadap frekuensi bulan terendah sehingga mendapatkan nilai 0 (nol), yang menunjukkan rekruitmen berada pada posisi paling rendah. Hasil rekruitmen bulanan adalah rekruitmen tahunan Dari poin 3 dan 4 dapat dicatat bahwa nilai bulanan dari setiap bulan pada suatu tahun dapat diduga bila t0 diketahui (Gayanilo & Pauly, 1997) Untuk menduga mortalitas total (Z) diduga dengan metoda kurva hasil tangkapan konversi panjang (Length Converted Catch Curve) yang dikemukakan oleh Pauly (1984): Log e N = a + bt ............................................................................................... (13) dimana: Log e N : frekuensi panjang ikan, t : umur mutlak, a dan b : koefisien regresi, Kematian alami (M) dianalisis dengan menggunakan rumus empiris Pauly sebagai berikut: Log (M) = - 0.0066 - 0.279 log L∞ + 0.654 log K+ 0.4631 log T ....................... (14) dimana: L∞ dan K : parameter pertumbuhan T : rataan temperatur tahunan perairan Mortalitas yang disebabkan oleh aktivitas penangkapan (F) adalah: F = Z - M .......................................................................................................... (15) Nisbah eksploitasi diperoleh dari: E = F / Z ........................................................................................................... (16) dimana: E : nisbah eksploitasi F : mortalitas akibat penangkapan Z : mortalitas total M : mortalitas alami III.7. Akustik 37
Pendugaan stok ikan dengan metoda akustik yang dilakukan mulai dari muara Sungai Berau (Pasang surut terendah) sampai ke estuari yang berbatasan dengan laut (Selat Makasar). Pendugaan kepadatan ikan dengan akustik dilakukan dengan peralatan Biosonic DT-X scientific echosounder yang dioperasikan pada frekuensi 200 kHz. Data akustik diolah dengan menggunakan software ECHOVIEW ver.5. Elementary sampling distance unit adalah 1 nmi. Hasil ekstraksi berupa nilai area backscattering coeficient (sA, m2/nmi2) dan distribusi nilai target strength ikan tunggal dalam satuan decibel (dB) sebagai indeks refleksi ukuran ikan. III.7.1. Target Strength Hubungan target strength dan óbs (backscattering cross-section, m2) dihitung berdasarkan atas MacLennan & Simmonds (1992), yaitu: TS=10 log óbs ........………………………………………….................................... (17) III.7.2. Densitas rata-rata ikan Persamaan untuk densitas ikan (ñA, ind/mil2) adalah: ñA=sA/óbs ............................................................................................................ (18) III.7.3. Hubungan panjang-berat (length-weight relationship) Panjang ikan (L) berhubungan dengan óbs yaitu: óbs=aLb ................................................................................................................ (19) Hubungan target strength dan L adalah: TS=20 log L+A ...................................................................................................... (20) di mana: A = nilai target strength untuk 1 cm panjang ikan (normalized target strength) Konversi nilai target strength menjadi ukuran panjang (L) untuk ikan pelagis digunakan persamaan TS = 20 log L-73,97 (Hannachi et al., 2004). Menurut Hile (1936) dalam Effendie (2002), hubungan panjang (L) dan bobot (W) dari suatu spesies ikan yaitu: W=aLb .................................................................................................................. (21) Menurut Mac Lennan & Simmonds (1992) dalam Natsir et al. (2005) persamaan panjang dan bobot untuk mengkonversi panjang dugaan menjadi bobot dugaan adalah: Wt=a{∑{ni(Li+ÄL/2)b+1-(Li-ÄL/2)b+1}/{(b+1)ÄL}} .…………………………...…… (22) di mana: Wt = bobot total (g) ÄL = selang kelas panjang (cm) 38
Li = nilai tengah dari kelas panjang ke-i (cm) ni = jumlah individu pada kelas ke-i a, b = konstanta untuk spesies tertentu III.7.4. Dugaan Biomassa Hasil perhitungan luas perairan estuari Berau yang disurvei dipakai sebagai acuan dalam penentuan volume perairan untuk menentukan biomassa perairan untuk mendapatkan nilai biomassa total. III.8. Analisis struktur komunitas Analisa struktur komunitas ditentukan oleh indeks keanekaragaman (H’), indeks keragaman (E), dan indeks dominansi (C). III.8.1. Indeks keanekaragaman (H’) Indeks keanekaragaman atau keragaman (H’) menyatakan keadaan populasi organisme secara matematis agar mempermudah dalam menganalisis informasi jumlah individu masing-masing bentuk pertumbuhan/ genus ikan dalam suatu komunitas habitat dasar/ ikan (Odum, 1971). Indeks keragaman yang digunakan adalah indeks Shannon-Weaver (Odum, 1971; Krebs, 1985 in Magurran, 1988) dengan rumus: S
H ' Pi ln Pi .................................................................................................. (23) i 1
Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman; Pi = Perbandingan proporsi ke i; S = Jumlah spesies yang ditemukan. Indeks keanekaragaman digolongkan dalam kriteria sebagai berikut : H’≤ 2 : Keanekaragaman kecil 2 < H’≤ 3 : Keanekaragaman sedang H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi III.8.2. Indeks keseragaman (E) Indeks keseragaman atau Equitabilitas (E) menggambarkan penyebaran individu antar spesies yang berbeda dan diperoleh dari hubungan antara keanekaragaman (H’) dengan keanekaragaman maksimalnya (Bengen, 2000). Semakin merata penyebaran individu antar spesies maka keseimbangan ekosistem akan makin meningkat. Rumus yang digunakan adalah (Odum, 1971; Pulov, 1969 in Magurran, 1988):
E
H' ............................................................................................................. (24) H maks 39
Dimana: E = indeks keseragaman; H maks = Ln S; S = Jumlah ikan karang yang ditemukan. Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 – 1. Selanjutnya nilai indeks keseragaman berdasarkan Krebs (1972) dikategorikan sebagai berikut: 0 < E ≤ 0.5 : Komunitas tertekan 0.5 < E ≤ 0.75 : Komunitas labil 0.75 < E ≤ 1 : Komunitas stabil Semakin kecil indeks keseragaman, semakin kecil pula keseragaman populasi, hal ini menunjukkan penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama sehingga ada kecenderungan satu jenis biota mendominasi. Semakin besar nilai keseragaman, menggambarkan jumlah biota pada masing-masing jenis sama atau tidak jauh beda. III.8.3. Indeks dominansi (C) Indeks dominansi berdasarkan jumlah individu jenis digunakan untuk melihat tingkat dominansi kelompok ikan tertentu. Persamaan yang digunakan adalah indeks dominansi (Simpson, 1949 in Odum, 1971), yaitu : S
C ( Pi ) 2 ......................................................................................................... (25) i 1
Dimana: C = Indeks dominansi; Pi = Perbandingan proporsi ikan ke i; S = Jumlah spesies yang ditemukan. Nilai indeks dominansi berkisar antara 1 – 0. Semakin tinggi nilai indeks tersebut, maka akan terlihat suatu biota mendominasi substrat dasar perairan. Jika nilai indeks dominansi (C) mendekati nol, maka hal ini menunjukkan pada perairan tersebut tidak ada biota yang mendominasi dan biasanya diikuti oleh nilai keseragaman (E) yang tinggi. Sebaliknya, jika nilai indeks dominansi (C) mendekati satu, maka hal ini menggambarkan pada perairan tersebut ada salah satu spesies yang mendominasi dan biasanya diikuti oleh nilai keseragaman yang rendah. Nilai indeks dominansi dikelompokkan dalam 3 kriteria, yaitu: 0 < C ≤ 0.5 0.5 < C ≤ 0.75 0.75 < C ≤ 1
: Dominansi rendah : Dominansi sedang : Dominansi tinggi
III.9. Fitoplankton dan Zooplankton III.9.1. Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton 40
Kelimpahan fitoplankton/ zooplankton dihitung dengan menggunakan metode Sedweght – Rafter Counting (APHA, 2005) : A C 1 x x B D E .......................................................................... (26)
N n x
di mana : N = Jumlah total zooplankton (sel/l). n = Jumlah rataan individu per lapang pandang. A = Luas gelas penutup (mm2). B = Luas satu lapang pandang (mm2). C = Volume air terkonsentrasi (ml). D = Volume satu tetes (ml) dibawah gelas penutup. E = Volume air yang disaring (l). III.9.2. Indeks Keanekaragaman/Shannon (H’) Indeks
keanekaragaman
adalah
indeks
yang
menunjukkan
tingkat
keanekaragaman jenis organisme yang ada dalam suatu komunitas (Odum, 1998). s
H ' pi ln pi n 1
s ni N
= = =
pi
=
.................................................................................................. (27) jumlah organisme jumlah individu dari jenis ke-i jumlah total individu
ni N ........................................................................................................... (28)
III.9.3. Indeks Dominansi (C) (Odum, 1998)
N
C ni ni N
= =
2
...................................................................................................... (29)
jumlah individu dari jenis ke-i jumlah total individu
III.10. Struktur Komunitas Makrozoobentos
III.10.1. Komposisi Makrozoobentos Komposisi
jenis
makrozoobentos
menunjukkan
kekayaan
jenis
makrozoobentos pada perairan tersebut. Komposisi jenis tiap stasiun dijabarkan dalam persentase, yaitu sebagai perbandingan antara jumlah individu masingmaing jenis makrozoobentos terhadap total makrozoobentos yang ditemukan pada masing-masing stasiun. III.10.2. Kepadatan
41
Kepadatan adalah jumlah individu per satuan luas (Brower & Zar, 1997) dengan formulasi sebagai, berikut: D = (10.000 x Ni) / A .......................................................................................... (30) di mana : D Ni A 10.000
= Kepadatan (ind/m2) = jumlah individu (ind) = luas petak pengambilan contoh (cm2) = konversi dari cm2 ke m2
III.10.2. Keanekaragaman Keanekaragaman spesies dapat dikatakan sebagai keheterogenan spesies dan merupakan cirri khas suatu komunitas. Perhitungan indeks keanekaragaman makrozoobentos menggunakan rumus indeks keanekaragaman Shannon-Weaver (1949) dalam Odum (1971) yaitu: S
H ' Pi ln Pi
.............................................................................................. (31)
i 1
di mana : H’= indeks keanekaragaman jenis S = jumlah spesies yang ditemukan Pi = ni/N ni = jumlah individu ke-i N = jumlah total individu Indeks keanekaragaman digolongkan dalam kriteria sebagai berikut: H’≤ 2 2 < H’≤ 3 H’ > 3
: Keanekaragaman kecil : Keanekaragaman sedang : Keanekaragaman tinggi
III.10.2. Dominansi Indeks dominansi berdasarkan jumlah individu jenis digunakan untuk melihat tingkat dominansi kelompok organisme bentos tertentu. Persamaan yang digunakan adalah indeks dominansi (Simpson, 1949 dalam Odum, 1971), yaitu : S
C ( Pi ) 2 i 1
...................................................................................................... (32)
dimana: D = indeks dominansi S = jumlah spesies yang ditemukan Pi = ni/N ni = jumlah individu ke-i N = jumlah total individu Nilai indeks dominansi dikelompokkan dalam 3 kriteria, yaitu: 0 < C ≤ 0.5
: Dominansi rendah 42
0.5 < C ≤ 0.75 0.75 < C ≤ 1
: Dominansi sedang : Dominansi tinggi
43
IV. Hasil Penelitian IV.1. Stasiun Pengamatan Lokasi Pengambilan sample data primer dan pengamatan lapangan ditentukan secara purposive dengan mempertimbangkan aspek habitat mikro terutama pengaruh air pasang (fisik-kimia) seperti disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 1. Tabel 7. Stasiun pengamatan di estuari Berau Nomor Nama stasiun Koordinat stasiun E S 1 Pulau Besing 117°.40.938’ 02°.10.539’ 2 Desa Kasai 117°.54.622’ 02°.12.282’ 3 Muara Petumbuk 117°.46.749’ 02°.11.083’ 4 Sei Petumbuk 117°.50.245’ 02°.06.229’ 5 Muara Mengkajang 117°.51.817’ 02°.00.465’ 6 Laut Mengkajang 118°.01.649’ 01°.58.437’ 7 Muara Petumbuk 117°.57.518’ 02°.04.488’ 8 Laut Petumbuk 118°.03.963’ 02°.05.297’ 9 Teluk Sumanting 117°.58.975’ 02°.09.775’ 10 Tanjung Ulungan 118°.04.939’ 02°.11.869’
Gambar 1. Stasiun pengamatan estuari Berau IV.2. Jenis-jenis Hasil Tangkapan Biota hasil tangkapan dari empat kali pengambilan contoh (Februari, Mei, Agustus dan Oktober) teridentifikasi sebanyak 111 spesies yang meliputi 51 famili 44
(Lampiran 1). Jumlah spesies berdasarkan bulan penangkapan disajikan pada Gambar 2 dan Lampiran 2, 3, 4 dan 5.
Gambar 2. Jumlah spesies berdasarkan bulan Pada Gambar 2 hasil tangkapan pada Februari teridentifikasi sebanyak 63 spesies dari 30 famili. Spesies hasil tangkapan ini didominasi oleh Bete list kuning (Photopectoralis bindus Valenciennes, 1835), Gulama (Johnius macropterus Bleeker, 1853) dan Bete belang (Secutor ruconius Hamilton, 1822). Hasil tangkapan pada Mei teridentifikasi 48 spesies dari 31 famili, didominasi oleh Gulama (Johnius amblycephalus Bleeker, 1855) dan Gulama (Johnius macropterus Bleeker, 1853). Hasil tangkapan pada Agustus teridentifikasi 47 spesies dari 20 famili, didominasi oleh Bete list kuning (Photopectoralis bindus Valenciennes, 1835) dan Kakap (Lutjanus malabaricus Bloch & Schneider, 1801). Dan hasil tangkapan pada Oktober teridentifikasi 62 spesies dari 39 famili, didominasi oleh Gulama (Johnius coitor Hamilton, 1822). Berdasarkan jumlah bobot hasil tangkapan dari masingmasing spesies selama empat bulan pengamatan, jenis-jenis yang mendominasi, yaitu: Bete list kuning (Photopectoralis bindus Valenciennes, 1835), Gulama (Johnius amblycephalus Bleeker, 1855) dan Gulama (Johnius macropterus Bleeker, 1853). Jumlah spesies berdasarkan lokasi penangkapan/ stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 3.
45
Gambar 3. Jumlah spesies berdasarkan bulan Dari Gambar 3 terlihat bahwa spesies terbanyak pada Stasiun 7, yaitu: 49 spesies dari 28 famili. Spesies yang mendominasi, yaitu: Ikan Bete list kuning (Photopectoralis bindus Valenciennes, 1835) dari famili Leiognathidae, Ikan Bete loreng (Secutor ruconius Hamilton, 1822) dari Leiognathidae dan Ikan Gulama (Johnius amblycephalus Bleeker, 1855) dari Sciaenidae. Sedangkan jumlah spesies paling sedikit pada Stasiun 1, yaitu: 19 spesies dari 10 famili. Spesies yang mendominasi, yaitu: Ikan Gulama (Johnius macropterus Bleeker, 1853) dari famili Sciaenidae, Ikan Bete bintik (Gazza minuta Bloch, 1795) dari Leiognathidae dan Ikan Gulama (Johnius coitor Hamilton, 1822) dari Sciaenidae. Perbedaan hasil tangkapan dipengaruhi kualitas perairan, terutama salinitas (Rahardjo, 2006). IV.3. Biologi Spesies Dominan IV.3.1. Kebiasaan Makanan IV.3.1.1. Indeks Bagian Terbesar Perhitungan indeks bagian terbesar jenis-jenis makanan Ikan Bete list kuning (Photopectoralis bindus) selama penelitian, ditemukan 11-25% merupakan cacing (worms), sedangkan sisanya adalah hancuran yang lunak. Menurut Simanjuntak et al., 2011, Ikan Bete list kuning (Photopectoralis bindus) adalah pemakan Mikro-krustasea. Sedangkan menurut James, 1984; Nasir, 2000, ikan ini pemakan zoobentos. Perhitungan indeks bagian terbesar jenis-jenis makanan Ikan Gulama (Johnius amblycephalus) selama penelitian, ditemukan 50-75% merupakan Udang Burung (Metapenaeus lysianassa), sedangkan sisanya adalah hancuran daging ikan kecil. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Rahardjo & Simanjuntak, 2005. 46
Perhitungan indeks bagian terbesar jenis-jenis makanan Ikan Gulama (Johnius macropterus) selama penelitian, ditemukan 75 - 80% merupakan Udang Burung (Metapenaeus lysianassa), sedangkan sisanya adalah hancuran daging ikan kecil. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Rahardjo & Simanjuntak, 2005. Menurut (Kailola, 1987) ikan ini memakan zoobentos berupa: bentos, krustasea dan cacing (worms). Beberapa aspek biologi, yaitu: Indeks Similaritas, Luas Relung dan Tumpang Tindih Relung Makanan, biologi reproduksi dan parameter pertumbuhan akan dilaksanakan pada tahun ke 2. IV.4. Akustik Pendugaan stok ikan dengan metoda akustik yang dilakukan mulai dari muara Sungai Berau (Pasang surut terendah) sampai ke estuari yang berbatasan dengan laut (Selat Makasar). Pendugaan kepadatan ikan dengan akustik dilakukan dengan peralatan Biosonic DT-X scientific echosounder yang dioperasikan pada frekuensi 200 kHz. IV.4.1. Kepadatan Stok : Kepadatan stok ikan di Estuari Berau ditentukan dengan alat echo sounder BIOSONIC DT-X yang ditempatkan di atas kapal dengan penempatan transducer bim terbagi (split beam echosounder) 200 KHz pada sisi kiri luar kapal 3 GT dengan sistem side mounted. Penelitian yang dilaksanakan di perairan estuari Berau pada Mei 2015 dilaksanakan dengan jalur survei berbentuk zigzag dan lurus, seperti pada Gambar 4.
47
Gambar 4. Bentuk trek pengambilan data akustik di estuari Berau, Mei 2015 IV.4.2. Densitas rata-rata ikan Dari hasil pengolahan data didapatkan rata-rata densitas, dari gambar dapat dilihat bahwa nilai rata-rata densitas absolut cenderung merata kecuali agak meningkat pada esdu 85-89, densitas pelagis rata-rata tertinggi terdapat pada esdu 88 yaitu 0,006476 ind/1000 m3, sedangkan rata-rata terkecil adalah pada esdu 46, yaitu 0,002501 ind/1000 m3, dengan rata-rata 0.003239 ind/1000 m3. Profil densitas rata-rata secara horizontal ditunjukkan pada Gambar 5 dan profil kedalaman rata-rata secara horizontal pada Gambar 6.
Gambar 5. Profil densitas rata-rata secara horizontal 48
Gambar 6. Profil Kedalaman rata-rata secara horizontal IV.4.3. Jumlah dan komposisi target (target strength) menurut strata kedalaman perairan Hasil analisis akustik menunjukkan bahwa target strength (TS) pelagis paling banyak terdeteksi adalah pada nilai TS -44 yang ekuivalen dengan panjang 31,5 cm dan paling rendah pada nilai TS -51, -50, -48, -39 dan -38 yang ekuivalen dengan panjang 14,1, 15,8, 19,9, 56,0 dan 62,9 cm (Gambar 7).
Gambar 7. Komposisi nilai target Srenght Secara umum ikan-ikan dengan ukuran yang lebih besar lebih banyak terdeteksi pada kedalaman yang lebih dalam, hal ini sesuai dengan perbedaan swimming layer dari masing-masing ukuran ikan. Ikan dengan ukuran lebih besar cenderung berenang di perairan dalam dibandingkan ikan berukuran kecil. Nilai komposisi dari masing-masing target ini digunakan dalam penentuan komposisi berat dalam proses konversi untuk mendapatkan nilai biomassa ikan perairan estuari Berau. Variasi jumlah dugaan panjang berdasarkan nilai target strength ditunjukkan pada Gambar 8, sedangkan variasi komposisi dugaan panjang berdasarkan nilai target strength pada Gambar 9. 49
Gambar 8. Variasi jumlah dugaan panjang berdasarkan nilai target strength
Gambar 9. Variasi komposisi dugaan panjang berdasarkan nilai target strength IV.4.4. Hubungan panjang-berat (length-weight relationship) Hubungan panjang-berat ikan digunakan untuk mengkonversi ukuran panjang dugaan menjadi berat dugaan, data panjang berat berasal dari ikan-ikan yang ditangkap di perairan estuari Berau. Pada penentuan biomassa perairan estuari Berau, data yang digunakan adalah Ikan Selar (Decapterus macrosoma). Hubungan panjang berat Ikan Selar (Decapterus macrosoma) disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Hubungan panjang-berat Ikan Selar (Decapterus macrosoma) 50
Dari data panjang berat ikan yang diperoleh didapatkan persamaan biologi untuk ikan pelagis W = 0,011 L2,995. IV.4.5. Dugaan Biomassa Hasil perhitungan menunjukkan bahwa luas perairan estuari Berau yang disurvei adalah ± 167 mil2. Luas perairan ini digunakan sebagai acuan penentuan volume perairan untuk menentukan biomassa perairan, sehingga didapatkan nilai biomassa total perairan estuari Berau adalah 457 ton dengan kepadatan 1,3 ton/km2 (Lampiran 6). IV.4.6. Sebaran densitas ikan pelagis secara horisontal Penyebaran ikan secara horisontal juga memperlihatkan pola yang hampir sama, dimana densitas yang tinggi banyak ditemukan di esdu 88 yaitu daerah Muara Mengkajang (Gambar 11).
Gambar 11. Sebaran ikan secara horizontal di perairan estuari Berau. IV.5. Struktur komunitas Ikan Secara keseluruhan hasil analisis terhadap struktur komunitas ikan di perairan estuari Berau, adalah: nilai indeks keanekaragaman (H’): 2,99, nilai ini masuk
dalam
kriteria
keanekaragaman
sedang
mendekati
tinggi,
indeks
keseragaman (E): 0,67, yang menunjukkan komunitas yang labil dan indeks dominansi spesies (C): 0,08 atau dominansi spesies yang rendah. Jenis-jenis ikan yang ditemukan di perairan lokasi pengamatan cukup banyak, yaitu: 89 spesies. Penyebaran individu antar spesies yang berbeda di perairan lokasi pengamatan sangat bervariasi. Menurut Odum (1971), indeks 51
keseragaman jenis akan tinggi jika tidak terjadi pemusatan individu pada suatu jenis tertentu. Nilai indeks dominansi (C) mendekati nol, maka hal ini menunjukkan pada perairan tersebut tidak ada spesies yang mendominasi. Hasil analisis berdasarkan bulan pengamatan (empat kali sampling) dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Indeks H’, E dan C berdasarkan bulan
Dari hasil analisis data diperoleh nilai indeks keanekaragaman jenis biota (H’) pada Februari 2,49 (keanekaragaman sedang), Mei 1,81 (keanekaragaman kecil), Agustus 2,17 (keanekaragaman sedang) dan Oktober 2,69
(keanekaragaman
sedang).
Perbedaan
keanekaragaman
pada
Mei
dibandingkan dengan tiga bulan pengamatan lainnya disebabkan jumlah spesies yang tertangkap sangat sedikit (35 spesies). Hal ini diduga sebagai pengaruh musim. Perubahan musim juga akan berpengaruh pada tingkah laku ikan, biologi reproduksi dan migrasi, sehingga keanekaragaman setiap musim akan mengalami perubahan (Prianto & Suryati, 2010). Nilai indeks keseragaman jenis ikan (E)
selama empat bulan pengamatan, adalah: Februari 0,63, Mei 0,51, Agustus 0,59 dan Oktober 0,69. Dari hasil selama empat bulan pengamatan, diketahu bahwa di perairan estuari Berau pada lokasi pengamatan menunjukkan komunitas yang labil (Latuconsina et al., 2012) Hasil analisis data terhadap dominansi spesies (C) pada Februari 0,14, Mei 0,27, Agustus 0,19 dan Oktober 0,12 semuanya menunjukkan dominansi yang rendah atau tidak ada spesies yang mendominasi (Brower at al., 1990). 52
IV.6. Plankton IV.6.1. Kelimpahan Fitoplankton Kelimpahan fitoplankton Februari 2015 berkisar antara 70 – 398 sel/L dan bulan Mei 2015 berkisar antara 67 – 389 sel/L. Kelimpahan plankton ini tergolong cukup rendah. Hal ini diduga karena tipe perairan estuari Berau tergolong dalam perairan yang oligotrofik. Menurut Welch (1952), suatu perairan oligotrofik ditandai dengan kuantitas plankton yang rendah yaitu kurang dari 2000 sel/L dengan jumlah jenis yang sedikit. Kelimpahan fitoplankton hasil pengamatan pada trip 1 dan 2 dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14. Hasil pengamatan fitoplankton pada Februari dan Mei dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8.
Gambar 13. Kelimpahan fitoplankton pada trip 1
Gambar 14. Kelimpahan fitoplankton pada trip 2 IV.6.2. Kelimpahan Zooplankton Kelimpahan zooplankton pada bulan Februari berkisar 19 - 250 ind/L dan bulan Mei 2015 berkisar antara 12 – 123 ind/L. Adanya perbedaan kelimpahan total tersebut disebabkan karena pada bulan Februari kondisi air besar atau 53
musim hujan dan pada bulan Mei termasuk dalam musim kering atau air surut. Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah zooplankton, selain jumlah fitoplankton yang kurang, waktu pengambilan zooplankton serta pengaruh arus. Menurut Wetzel (2001) bahwa beberapa jenis zooplankton akan bermigrasi kedasar perairan pada siang hari dan pada malam hari baru menuju ke permukaan, pengaruh sinar matahari dan keberadaan banyaknya jumlah ikan juga akan mempengaruhi jumlah zooplankton di perairan. Kelimpahan zooplankton hasil pengamatan pada trip 1 dan 2 dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. Hasil pengamatan zooplankton pada Februari dan Mei dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10.
Gambar 15. Kelimpahan zooplankton pada trip 1
Gambar 16. Kelimpahan zooplankton pada trip 2 IV.6.3. Indeks Keanekaragaman Fito dan Zooplankton Hasil perhitungan indeks keanekaragaman fitoplankton pada trip 1 bulan Februari 2015 berkisar antara 1,36 - 2,29 dan bulan Mei berkisar antara 1,93 54
2,28. Sedangkan indeks keanekaragaman zooplankton pada trip 2 bulan Februari berkisar 0,83 - 2.15 dan bulan Mei berkisar 0,91 – 1,65. Berdasarkan kriteria indeks keanekaragaman seluruh nilai yang terhitung berada dalam kategori rendah dan sedang karena memiliki nilai keanekaragaman kurang dari 3. Indeks keanekaragaman fitoplankton dapat dilihat pada Gambar 17 dan Indeks keanekaragaman zooplankton dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 17. Indeks keanekaragaman fitoplankton
Gambar 18. Indeks keanekaragaman zooplankton IV.6.3. Indeks Dominansi Fito dan Zooplankton Untuk melihat adanya spesies yang dominan dalam setiap stasiun diperlukan indeks dominansi. Nilai ini akan menerangkan besarnya tingkat dominansi satu spesies terhadap spesies lainnya dalam stasiun. Nilai indeks dominansi spesies fitoplankton pada bulan Februari 2015 berkisar 0,14 – 0,39 dan 55
bulan Mei 2015 0,12 -0,24. Sedangkan nilai indeks dominansi spesies zooplankton pada bulan Februari 2015 berkisar 0,13 – 0,57 dan bulan Mei 2015 berkisar 0,220,53. Nilai indeks dominansi (C) ini menunjukkan hasil yang rendah karena terdapat beberapa jenis fitoplankton dan zooplankton dari beberapa kelas. Indeks dominansi fitoplankton dapat dilihat pada Gambar 19 dan Indeks keanekaragaman zooplankton dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 19. Indeks dominansi fitoplankton
Gambar 20. Indeks dominansi zooplankton IV.7. Struktur Komunitas Makrozoobentos IV.7.1. Komposisi Jenis Makrozoobentos Makrozoobentos yang ditemukan bulan Februari 2015 penelitian terdiri dari 6 kelas, 24 famili, 28 genera. Komposisi kelas makrozoobentos terdiri dari Crustacea (1%), Oligochaeta (16%), Polychaeta (7%), Bivalvia (27%), Gastropoda 56
(26%), Scaphopoda (24%). Komposisi kelas yang paling mendominasi adalah Bivalvia, Gastropoda dan Scaphopoda. Hal ini didukung oleh Kennish (1990) bahwa Moluska (Bivalvia, Scaphopoda dan Gastropoda) dan Polychaeta merupakan kelompok organisme ciri khas dari komunitas bentik estuaria, karena kemampuan adaptasi organisme tersebut sangat baik terhadap perairan estuaria yang fluktuatif. Komposisi makrozoobentos hasil tangkapan pada Trip 1 dan 2 dapat dilihat pada Gambar 21. Hasil pengamatan makrozoobentos pada Februari, Mei dan Agustus dapat dilihat pada Lampiran 11, 12 dan 13.
Gambar 21. Komposisi Makrozoobentos Trip 1 Pada bulan Mei 2015, makrozoobentos ditemukan 4 kelas, 25 famili dan 32 genera. Komposisi makrozoobentos terdiri dari Bivalvia (27%), Gastropoda (55%), Polychaeta (2%) dan Scaphopoda (16%). Persentase makrozoobentos bulan Mei 2015 tersaji pada Gambar 22.
Gambar 22. Komposisi Makrozoobentos Trip 2 57
Bulan Agustus 2015, ditemukan makrozoobentos yang terdiri dari 7 kelas, 47 famili dan 48 genera. Komposisi makrozoobentos terdiri dari Polychaeta (31%), Oligochaeta (0,1%), Amphipoda (1,2%), Copepoda (0,4%), Scaphopoda (15%), Bivalvia (21%) dan Gastropoda (32%) tersaji pada Gambar 23.
Gambar 23. Komposisi Makrozoobentos Trip 2 IV.7.2. Kepadatan Makrozoobentos Kepadatan makrozoobentos yang ditemukan di perairan estuari Berau bulan Februari 2015 berkisar antara 44 – 4.489 ind/m2. Pada stasiun 2 dan stasiun 4 terjadi kesalahan sehingga sampel pada stasiun tersebut tidak terambil. Kepadatan terendah ditemukan di stasiun 1 sedangkan tertinggi terdapat pada stasiun 8 (Gambar 24).
Gambar 24. Kelimpahan Makrozoobentos Trip 1 Bulan Mei 2015, kepadatan makrozoobentos di perairan estuari Berau berkisar antara 0-5000 ind/m2. Pada stasiun 4, sampel tidak terambil. Kepadatan terendah ditemukan pada stasiun 1 dan tertinggi terdapat pada stasiun 10 (Gambar 25). 58
Gambar 25. Kelimpahan Makrozoobentos Trip 2 Kepadatan makrozoobentos perairan estuari Berau didominasi oleh kelas Bivalvia, Gastropoda dan Scaphopoda. Hal ini disebabkan karena ketiga kelas tersebut termasuk phylum Moluska, di mana Moluska merupakan salah satu phylum yang memiliki anggota paling banyak diantara anggota organisme perairan yang lain (80.000 spesies hidup dan 35.000 spesies fosil) (Barnes, 1987). Bulan Agustus 2015, kepadatan makrozoobentos di perairan estuari Berau berkisar antara 33-1.465 ind/m2. Kepadatan terendah ditemukan pada stasiun 4 dan tertinggi terdapat pada stasiun 10 (Gambar 26). Banyaknya jumlah spesies yang sama pada bulan Februari, Mei dan Agustus 2015 diduga makrozoobentos tersebut masih hidup selama waktu pengambilan sampel. Sedangkan perbedaan jumlah spesies pada bulan tersebut diduga merupakan populasi berbeda dan munculnya populasi yang baru.
Gambar 26. Kelimpahan Makrozoobentos Trip 3
59
Kepadatan makrozoobentos kelas Scaphopoda dan Gastropoda semakin ke arah laut nilainya cenderung meningkat. Meningkatnya kepadatan Scaphopoda dan Gastropoda ke arah laut disebabkan karena organisme tersebut dapat beradaptasi dengan kecepatan arus yang kuat. Adaptasi kelas Scaphopoda (famili Dentallidae dan Siphonodentaliidae) adalah kaki berbentuk seperti kerucut untuk mengubur diri di dalam substrat dan dapat hidup pada perairan yang lebih dalam, sedangkan kelas Gastropoda memiliki kaki berbentuk mendatar untuk bergerak dan memiliki kemampuan melekat kuat pada habitat yang bervariasi (Barnes, 1974). IV.7.3. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi Makrozoobentos IV.7.3.1. Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos Indeks keanekaragaman dan dominansi merupakan indeks-indeks biologi yang sering digunakan untuk menduga dan mengevaluasi kondisi suatu lingkungan perairan. Kondisi suatu lingkungan perairan umumnya dapat dikatakan baik (stabil) bila memiliki indeks keanekaragaman yang tinggi serta dominansi yang
rendah
(spesies
yang
mendominasi).
Indeks
keanekaragaman
makrozoobentos dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27. Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos Hasil perhitungan indeks keanekaragaman pada trip 1 bulan Februari 2015 berkisar antara 0 - 2,31. Sedangkan pada bulan Mei berkisar antara 0 - 2,22 dan bulan Agustus 1,05 – 2,59. Berdasarkan kriteria indeks keanekaragaman seluruh nilai yang terhitung berada dalam kategori rendah dan sedang karena memiliki nilai keanekaragaman kurang dari 3. 60
IV.7.3. Indeks Dominansi Makrozoobentos Untuk melihat adanya spesies yang dominan dalam setiap stasiun diperlukan indeks dominansi. Nilai ini akan menerangkan besarnya tingkat dominansi satu spesies terhadap spesies lainnya dalam stasiun. Nilai indeks dominansi spesies pada bulan Februari berkisar 0 – 1,0 dan bulan Mei 0 -0,6. Sedangkan pada bulan Agustus berkisar 0,1 – 0,4. Pada Trip 1 bulan Februari memperlihatkan adanya dominansi spesies. Hal ini ditunjukkan pada nilai indeks dominansi yang mendekati angka satu (Gambar 28)
Gambar 28. Indeks Dominansi Makrozoobentos IV.8. Keadaan Umum Daerah Penelitian Kabupaten Berau dengan luas wilayah sebesar 34,127 Km² dengan luas laut sekitar 1,2 juta hektar menjadikan subsektor perikanan yang sangat dominan (Statistik Berau, 2015) Perairan Delta Berau memiliki potensi sumber daya perairan seperti ikan, kerang, udang maupun jenis biota lain yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Menurut Julianery (2001) budidaya laut di Perairan Delta Berau diperkirakan mempunyai potensi sebesar 2.500 hektar dengan potensi penangkapan sebesar 35.000 ton per tahun. Selain itu, daerah perairan Delta Berau merupakan tempat bagi penyu hijau (Chelonia mydas) untuk bertelur. Produksi telur penyu yang dihasilkan dari daerah ini 94,9 ton dengan nilai Rp 2,1 milyar. Kabupaten Berau dialiri oleh dua sungai utama yaitu Sungai Kelay dan Sungai Segah yang dari hulu ke hilir letak kedua sungai tersebut masih berada di Kabupaten Berau dengan luas ke dua sungai tersebut 15.000 km persegi atau sekitar 62% dari luas kebupaten Berau. Ke dua Sungai tersebut bergabung menjadi satu di Tanjung Redeb yang merupakan ibukota Kupaten Berau, dan mengalir 61
sepanjang 40 km menuju muara Sungai Berau yang bermuara ke Selat Makasar (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kaltim, 2013). Kecamatan Pulau Derawan merupakan kawasan pesisir yang memiliki sumberdaya yang melimpah dan satu diantara 13 Kecamatan yang ada di kabupaten Berau, kecamatan ini berorientasi pada pengembangan perekonomian dengan memanfaatkan sumberdaya dan memandirikan masyarakat yang dominan bermata pencaharian sebagai nelayan. Kecamatan Pulau Derawan merupakan kecamatan yang terletak di sebelah utara wilayah Kabupaten Berau yang memiliki luas 3.858,96 km2. Kecamatan Pulau Derawan memiliki lima kampung yakni Kampung Pulau Derawan, Kampung Tanjung Batu, Kampung Pegat, Kampung Kasai dan Kampung Teluk Semanting. Stasiun penelitian sumberdaya estuari Sungai Berau (Delta Berau) sebagian besar meliputi estuari yang terdapat di Kecamatan Pulau Derawan. Muara Sungai Berau yang biasa disebut dengan Delta Berau berhadapan dengan perairan pesisir yang memiliki karang yang luas sampai ke Selat Makasar, hal ini yang menyebabkan banyak jenis-jenis ikan karang yang mencari makan di estuari Berau. Dari 10 Stasiun tersebut 4 stasiun diantaranya berada di dalam sungai yaitu stasiun Pulau Besing, Muara Petumbuk dalam, Sungai Petumbuk dan Desa Kasai, tiga Stasiun berupa Muara yaitu Teluk Semanting, Muara Petumbuk dan Muara Mengkajang, dan tiga stasiun lagi ke arah laut yang berdekatan dengan perairan karang. Ketiga stasiun yang berdekatan dengan laut tersebut masih berupa estuari yaitu ditandai dengan masih tingginya pengaruh air sungai dengan warna kekeruhan (Gambar 1). Stasiun penelitian tersebut yaitu dimulai dari perairan yang paling tawar (bagian hulu) pada saat musim penghujan, yaitu: 1. Pulau Besing/ Batu-batu (posisi: N 02°10.539’ E 117°40.938’) merupakan perairan paling tawar pada saat musim penghujan dan merupakan pusat penangkapan
udang
galah
(Macrobrachium
rosenbergii).
Pulau
Besing
merupakan sebuah pulau yang berada ditengah Sungai Berau dan masih merupakan wilayah Kecamatan Tanjung Batu. Stasiun ini merupakan batas estuari Berau dengan salinitas nol pada musim penghujan dan salinitas 5 pada musim kemarau. 2. Kampung Kasai/ Desa Kasai (posisi: N 02’ 12.282’ E 117°54.622’) merupakan salah satu kampung yang terdapat di desa Kasai dan sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dengan menggunakan 62
perahu motor tempel dan wilayah penangkapan ikan hanya berada di Delta Berau. 3. Muara Patumbuk dalam (posisi: N 02°11.083’ E 117°46.749’) merupakan ujung Sungai Patumbuk yang banyak terdapat tambak-tambak sampai ke muara. Sepanjang Sungai Patumbuk tidak dibenarkan melakukan penangkapan dengan trawl mini dan alat tangkap yang terdapat di Sungai Patumbuk berupa tuguk yang dipasang dipinggir-pinggir sungai. Alat tangkap tuguk merupakan alat tangkap statis yang memanfaatkan pasang surut. 4. Sungai Patumbuk (posisi: N 02°06.229’ E 117°50.245’) yang terletak di bagian pertengahan sungai yang juga tidak dibolehkan melakukan penangkapan dengan jaring trawl. Di perairan ini juga banyak terdapat tambak-tambak udang. 5. Muara Mangkajang (posisi: N 02°00.465’ E 117°51.817’) adalah tempat Lalu lintas kapal dari Tanjung Redeb (ibu kota Kabupaten Berau) menuju ke Makasar. 6. Laut Mangkajang (posisi: N 01°58.437’ E 118°01.649’) yang merupakan perbatasan estuari yang berdekatan dengan perairan karang. Perairan Laut Mangkajang ditandai dengan perairan berwarna coklat keruh dengan salinitas < 25 ppt. 7. Muara Patumbuk (posisi: N 02°04.488’ E 117°57.518’) merupakan perairan yang masih tidak boleh beroperasi alat tangkap trawl mini dan merupakan Muara Sungai Patumbuk. Dilarangnya penangkapan ikan dengan alat tangkap trawl adalah kearifan lokal dari masyarakat desa Patumbuk. 8. Laut Patumbuk (posisi: N 02°05.257’ E 118°03.963’) perairan Patumbuk yang berada ke arah laut yang masih berupa estuari dan di perairan ini merupakan fishing ground tempat penangkapan udang terutama udang putih. 9. Teluk Semanting (posisi: N 0°09.775’ E 117°58.975’) bagian muara dari perairan Kasai yang juga merupakan daerah penangkapan ikan dari famili Ariidae dan penangkapan ikan bawal yang berukuran besar. 10. Tanjung Ulungan (posisi : N 02°11.869’ E 118°04.939’) merupakan muara dari desa Kasai yang terletak di estuari yang berdekatan dengan laut yang warna air coklat keruh dan masih dipengaruhi oleh air tawar dari Sungai Kasai. IV.8.1. Kondisi lingkungan IV.8.1.1. Estuaria Sungai Berau Kabupaten Berau memiliki sumberdaya hutan mangrove yang sangat berpotensi untuk dimanfaatkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Hutan mangrove Kabupaten Berau terdapat mulai dari bagian utara di 63
Tanjung Batu, Delta Berau (Sungai Berau), sampai ke selatan di Biduk-biduk. Selain itu hutan mangrove juga ditemukan di beberapa pulau, seperti Pulau Panjang, Rabu-rabu, Semama dan Maratua di bagian utara pesisir Berau, dan di Pulau Buaya-buaya di bagian selatan pesisir Berau. Secara keseluruhan luas kawasan mangrove sebesar 80.277 ha. (Wiryawan, et al. 2005) Dari segi kondisi kawasan mangrove, Kabupaten Berau relatif masih memiliki kondisi kawasan mangrove yang lebih baik bila dibandingkan dengan kabupaten atau kota lainnya di provinsi Kalimantan Timur. Namun demikian degradasi/ kerusakan kawasan mangrove dan kerusakan DAS serta konversi lahan mangrove menjadi areal pertambakan menjadi ancaman serius bagi kelestarian hutan mangrove di Kabupaten Berau. Tingkat kerusakan kawasan mangrove yang terdata pada tahun 1997 baru sekitar 450 hektar hutan mangrove di Delta Berau yang berubah menjadi tambak udang. Akan tetapi, pada tahun 2003 sudah mencapai sekitar 4.000 hektar (Kompas.com, 2003) Kondisi Perairan Mangrove di Kabupaten Berau Luas kawasan mangrove di kabupaten berau mencapai 59,03% atau seluas 47.349 Ha dari total wilayah pesisir. Kategori wilayah pesisir Kabupaten Berau dibagi menjadi 5 kategori yaitu wilayah tambak, mangrove, nipah, nipah dan kelapa serta hutan pasang surut (Tabel 8). Tabel 8. Kategori wilayah pesisir Kabupaten Berau Tipe Area Tambak udang/ikan Mangrove Nipah Nipah & Pohon Kelapa Hutan pasang surut Total area Sumber : Triyanto et al. 2012
Total area (Ha) 1.647 47.349 23.306 600 7.307 80.208
Percentase (%) 2,05 59,03 29,06 0,75 9,11 100
Hasil survei tahun 2012 menunjukkan pada seluruh area mangrove di Kabupaten Berau minimal terdapat 24 jenis vegetasi mangrove dari 13 famili/suku (Tabel 9).
64
Tabel 9. Jenis-jenis mangrove di Kabupaten Berau No Jenis mangrove 1 Aegiceras corniculatum 2 Avicenia alba 3 Avicennia officinalis 4 Sonneratia alba 5 Osbornia octodonta 6 Bruguiera gymnorrhiza 7 Bruguiera sexangula 8 Bruguiera parviflora 9 Ceriops decandra 10 Ceriops tagal 11 Rhizophora apiculata 12 Rhizophora mucronata 13 Calophyllum inophylum 14 Derris trifoliata 15 Glochidion lucidum 16 Hibiscus tiliaceus 17 Lumnitzera racemosa 18 Lumnitzera littorea 19 Lumnitzera racemosa 20 Nipa fruticans 21 Pandanus tectoriue 22 Pongamia pinnata 23 Scyphipora hydrophyllacea 24 Xylocarpus granatum Sumber : Triyanto et al. 2012
Famili Myrsinaceae Myrsinaceae Myrsinaceae Myrsinaceae Myrtaceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Guttiferae Leguminose Euphorbiaceae Malviaceae Combretaceae Combretaceae Combretaceae Arecaceae Pandanaceae Caesalpiniaceae Rubiaceae Meliaceae
IV.8.1.2. Parameter fisika-kimia perairan estuari Berau Kondisi hidrodinamika perairan estuaria dipengaruhi oleh bentuk topografi dasar dan skala waktu (musim). Selama pasang naik air laut akan terdesak ke dalam sungai dan pada waktu surut massa air tersebut akan kembali ke laut. Nybakken (1992) menyatakan bahwa parameter-parameter fisika kimia di perairan estuari relatif lebih bervariasi dibandingkan perairan lainnya. Beberapa parameter yang perlu diperhatikan di perairan estuari adalah suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH dan kecerahan. IV.8.1.2.1. Suhu Suhu udara di peraian Estuari Berau pada bulan Maret berkisar antara 27 31oC sedangkan suhu permukaan perairan berau berkisar antara 27 - 32 oC untuk pengamatan bulan Maret sedangkan bulan Mei suhu udara berkisar antara 27 65
32oC, suhu air berkisar antara 27 - 31oC. Untuk Bulan Agustus suhu udara berkisar antara 28.5 – 31 oC sedangkan suhu perairan berkisar antara 30 - 32 oC dan Bulan Oktober suhu lebih tinggi baik untuk suhu udara (29 - 33 oC) maupun suhu perairan (29 - 31 oC) yang merupakan musim kemarau. Pada saat penelitian, bulan Maret masih merupakan musim penghujan sedangkan bulan Mei mulai memasuki musim kemarau sampai pada bulan Oktober. Perairan estuaria bersifat dinamik sehingga kemungkinan terjadinya stratifikasi suhu menjadi kecil. Dari beberapa penelitian, suhu di Muara Sungai Cimandiri pada bulan Desember 1995 - Februari 1996 berkisar antara 25 - 30oC (Sriati 1998) dan pada bulan September 1999 berkisar antara 26 - 32oC (Adriana, 2001). Berdasarkan hasil penelitian Triyanto et al., 2012, kondisi suhu perairan estuari mangrove di Kabupaten Berau untuk suhu berkisar antara 28,6 - 33,9°C (Gambar 29).
Gambar 29. Suhu udara dan perairan estuari Berau berdasarkan stasiun dan bulan
IV.8.1.2.2. Salinitas Berdasarkan Nontji (1987) salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air yang dinyatakan dalam satuan per seribu (‰) atau per miligram per liter (ppt). Salinitas permukaan di estuari perairan 66
Berau pada Trip pertama berkisar antara 0 - 30 ppt sedangkan salinitas permukaan berkisar antara 5 - 34 ppt. Salinitas pada stasiun paling hulu yaitu Pulau Besing 0 ppt dipermukaan dan 5 ppt di bagian dasar perairan. Salinitas tertinggi di Tanjung Ulungan yaitu 30 ppt di permukaan dan 34 ppt di bagian dasar perairan. pada pengamatan pertama salinitas tertinggi lainnya masing masingnya di stasiun 6 (Laut Mangkajang) dan stasiun 8 (Laut Patumbuk). Pada Trip ke dua salinitas permukaan berkisar antara 0 - 29 ppt sedangkan salinitas dasar berkisar antara 0 - 31 ppt. Salinitas tertinggi terdapat di stasiun 8 (Laut Patumbuk) yaitu 29 ppt di permukaan dan 30 ppt di dasar perairan. Salinitas 0 berada di stasiun paling hulu yaitu Pulau Besing baik di bagian dasar maupun di permukaan yang berarti terjadi percampuran massa air yang merata begitu juga di Muara Patumbuk Dalam percampuran massa air merata dengan salinitas 5 sampai ke dasar perairan. Gradien salinitas ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nybakken, (1988) Keberadaan salinitas di estuaria mencirikan adanya gradien salinitas, mulai dari dominasi air laut sampai ke dominasi air tawar di hulu estuaria. Gradien salinitas tersebut berubah secara dinamik, sesuai dengan perubahan debit air sungai, pasang surut serta arus perairan pantai. Pernyataan ini dilengkapi oleh Odum (1993) yang menyatakan gambaran salinitas di estuaria dapat berfluktuasi dan tergantung pada musim, topografi, pasang surut serta jumlah air tawar. Berdasarkan Effendie (2003), Salinitas menggambarkan padatan total dalam air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas perairan tawar adalah kurang dari 0,5‰, perairan payau berkisar antara 0,5 sampai dengan 30‰ dan perairan laut antara 30 sampai dengan 40‰. Selanjutnya Wibisono (2005) menyatakan salinitas merupakan salah satu faktor kandungan substansi dalam air muara yang sudah umum keberadaannya (conservative constituent) dan oleh sebab itu, konsentrasinya tidak dipengaruhi oleh proses bio-geo-chemical, tetapi hanya dipengaruhi oleh proses pencampuran serta disebabkan oleh curah hujan lokal, proses evaporasi dan/atau pembekuan yang bisa mengakibatkan menurunnya salinitas. Pada Gambar 30 terlihat bahwa gradien salinitas sangat bervariasi pada bulan Maret dan mulai membentuk pola yang sama pada bulan Mei – Agustus yang merupakan musim kemarau yaitu semakin ke muara salinitas semakin tinggi. Pada stasiun paling hulu tetap nol dan salinitas mulai meningkat menuju kea rah muara yaitu berkisar antara 25,7 - 30,5‰ di bagian muara dan di depan muara sungai Berau tersebut berkisar antara 30,42 – 33,7‰. Tingginya salinitas di dalam sungai 67
sampai ke bagian muara menyebabkan Delta Berau banyak ditemui tambak-tambak udang sampai mendekati Pulau Besing. Salintas yang tinggi di Delta Berau dipengaruhi oleh perairan pesisir Berau yang luas berupa terumbu Karang yang terletak didepan muara Sungai Berau. Meskipun di bagian depan muara Sungai Berau memiliki salinitas tinggi, namun warna air dan tumbuhan mangrove yang ada disekitarnya mencirikan bahwa perairan ini masih berupa estuari yang sifat fisik dan kimia perairannya tidak sama dengan laut dan perairan tawar. Ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Clark (1974) bahwa fluktuasi salinitas yang tinggi merupakan salah satu ciri yang membedakan antara perairan estuari dengan perairan tawar. Selanjutnya Menurut Nybakken (1988) Salinitas di daerah estuaria berkisar antara 7 – 32‰ yang bervariasi akibat adanya air tawar yang masuk ke perairan estuari. Selanjutnya Kennis (1994) menyatakan bahwa salinitas di estuari berkisar antara 0,5 - 35‰ dimana salinitas ini dapat bervariasi baik secara vertical maupun horizontal tergantung dari perbandingan antara limpasan air dari darat, masukan air hujan dan penguapan. Berdasarkan hasil penelitian Triyanto et al., 2012, kondisi kualitas air perairan mangrove di Kabupaten Berau dicirikan salinitas antara 10,41 - 27,3 ppt.
68
Gambar 30. Nilai salinitas berdasarkan bulan IV.8.1.2.3. Kedalaman perairan Kedalaman perairan yang diteliti pada saat pengamatan Maret berkisar antara 5 - 7,8 m sedangkan pada pengamatan Bulan Mei berkisar antara 4,0 - 10 m. Bulan Agustus 2,1 – 9,4 m dan Oktober berkisar antara 2,3 – 8,0 m (Gambar 31). Herry (1998) menyebutkan bahwa ada hubungan antara kedalaman dan kecerahan perairan. Kekeruhan dapat disebabkan akibat adanya pengadukan oleh energi ombak yang erat hubungannya dengan kedalaman, dimana perairan yang lebih dangkal akan lebih terpengaruh oleh gerakan ombak dibandingkan perairan yang lebih dalam. Butet (1997) menjelaskan hubungan antara kedalaman perairan dengan distribusi vertikal larva yaitu bahwa stadia awal (early stage) larva cenderung berada di permukaan kolom perairan, sedangkan stadia akhir (late stage) larva mendekati atau berada di dekat dasar perairan. Perbedaan distribusi berdasarkan kedalaman ini mungkin disebabkan oleh fungsi pada stadia larva yang berkaitan dengan berat jenisnya. Larva yang lebih muda memiliki berat jenis yang lebih rendah daripada air laut, sedangkan berat jenis dari larva yang lebih dewasa lebih besar (Manning & Whaley, 1954 in Butet, 1997).
69
Gambar 31. Kedalaman perairan estuari Berau pada Maret dan Mei 2015 IV.8.1.2.4. Oksigen terlarut Menurut Effendi (2003) Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil. Kandungan oksigen terlarut mempengaruhi keanekaragaman organisme dalam suatu ekosistem perairan. Nilai oksigen terlarut (DO) cukup tinggi di perairan estuari Berau yaitu berkisar antara 5,37 – 8,67 pada Maret 4,85 – 8,08, Mei 8,1 – 9,7, Agustus 7,22 – 9,16 dan Oktober 7,09 – 9,28 mg/l. Nilai oksigen terlarut ini hampir sama dengan penelitian Triyanto et al., 2012, yang mengemukakan bahwa di perairan mangrove Berau kadar oksigen terlarut berkisar antara 4,22 - 7,47 mg/L (Gambar 32). Effendi (2003) mengemukakan bahwa perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen yang tidak kurang dari 5 mg/l dan McNeely et al., 1979 dalam Effendie (2003) kadar oksigen terlarut pada perairan biasanya kurang dari 10 mg/l. Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perairan estuari Sungai Berau memiliki kandungan oksigen yang cukup baik untuk kehidupan organisme akuatik.
70
Gambar 32. Oksigen terlarut berdasarkan bulan IV.8.1.2.4. Kecerahan Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan suatu perairan dipengaruhi oleh kekeruhan dan warna perairan tersebut, semakin tinggi kecerahan suatu perairan maka akan semakin tinggi daya penetrasi cahaya matahari sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung dalam lapisan yang tebal. Pada perairan alami kecerahan sangat erat hubungannya dengan fotosintesis. Kecerahan dapat digunakan untuk menentukan tingkat produktifitas primer suatu perairan (Odum, 1971). Kecerahan perairan estuari Berau berkisar antara 0 - 340 cm (Gambar 33). Kecerahan sampai nol cm terdapat di stasiun Muara Patumbuk. Hal ini disebabkan Sungai Patumbuk merupakan daerah pertambakan dan terdapat banyak anak-anak sungai yang memasuki Sungai Patumbuk dan buangan-buangan air dari pertambakan.
Gambar 33. Kecerahan perairan di stasiun pengamatan berdasarkan bulan 71
IV.8.1.2.4. Kekeruhan Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik seprti plankton dan mikroorganisme lainnya (APHA, 1976; Davis & Cornwell in Effendi 2003). Menurut Ewusie (1980) in Tussulus (2003) kekeruhan itu penting dari segi biologi, karena melibatkan juga bahan terlarut dan sebagai perangkap zat makanan terbentuk, dimana kadar garam anorganiknya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di lautan bebas ataupun sungai yang mengalir masuk. Hasil pengamatan terhadap Co2 berdasarkan bulan disajikan pada Gambar 34.
Gambar 34. Nilai karbondioksida (CO2) di stasiun pengamatan berdasarkan bulan Kekeruhan merupakan sifat fisik air yang tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna dan kotor. Adapun penyebab kekeruhan ini antara lain meliputi tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik yang tersebar secara baik dan partikel-partikel kecil tersuspensi lainnya. Tingkat kekeruhan air di perairan mempengaruhi tingkat kedalaman pencahayaan matahari, semakin keruh suatu badan air maka semakin menghambat sinar matahari masuk ke dalam air. Pengaruh tingkat pencahayaan matahari sangat besar pada metabolisme makhluk hidup dalam air, jika cahaya matahari yang masuk berkurang maka makhluk hidup dalam air terganggu, khususnya makhluk hidup pada kedalaman air tertentu, demikian pula sebaliknya 72
(Hardjojo & Djokosetiyanto, 2005; Alaerts & Santika, 1987 in Hartami, 2008). Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung yang terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sediment, seperti tanah liat, bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan lain sebagainya (Hardjojo and Djokosetiyanto, 2005 in Hartami, 2008). Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air laut memiliki nilai padatan terlarut yang tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya tinggi pula (Effendi, 2003). IV.8.1.2.5. Konsentrasi nitrat (NO3) Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob. Oksidasi amonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Keduanya adalah bakteri kemotrofik, yaitu bakteri yang dapat mendapatkan energi dari proses kimiawi. Menurut Novotny & Olem (1994) in Effendi (2003) Kadar nitrat diperairan estuari Berau Bulan Maret yaitu berkisar antara 0,159 - 0,445, terendah pada bulan Mei yaitu berkisar antara 0,0003 - 0,0474, merupakan yang tertinggi selama penelitian yaitu pada Bulan Agustus berkisar antara 0,1743 -2,0526 dan bulan Oktober berkisar antara 0,072 - 0,4621 Gambar 35).
Gambar 35. Konsentrasi nitrat berdasarkan bulan 73
Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktifitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat melebihi 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrof memiliki kadar nitrat antara 0 – 1 mg/l, perairan mesotrof memiliki kadar nitrat antara 1 – 5 mg/l, dan perairan eutrof memiliki kadar nitrat yang berkisar antara >5 – 50 mg/l (Vollenweider, 1969 in Nontji, 1984). IV.8.1.2.5. Ortofosfat (O-PO4) Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Setelah masuk ke dalam tumbuhan, misalnya fitoplankton, fosfat anorganik mengalami perubahan menjadi organofosfat. Fosfat yang berikatan dengan ferri (Fe2(PO4)3) bersifat tidak larut dan mengendap di dasar perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob, ion besi valensi tiga (ferri) ini mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang bersifat larut dan melepaskan fosfat ke perairan (Brown, 1987 in Effendi, 2003). Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih sedikit daripada kadar nitrogen; karena sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan. Sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan mineral. Selain itu, fosfor juga berasal dari dekomposisi bahan organik. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik, yakni fosfor yang berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi, 2003). Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan algae di perairan (algae bloom). Algae yang melimpah ini dapat membentuk lapisan pada permukaan air, yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan (Boney, 1989 in Effendi, 2003). Kandungan ortopospat di estuari Berau berkisar antara 0,0005 - 0,014 pada bulan Maret, bulan Mei 0,001 - 0,012, bulan Agustus berkisar antara 0,001 0,012 dan yan tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu berkisar antara 0,006 0,259 (Gambar 36). Kisaran yang tertinggi ini terdapat di perairan Patumbuk yang merupakan areal pertambakan. Vollenweider in Wetzel (1975) menyatakan bahwa kandungan fosfor dalam air menggambarkan karakteristik kesuburan perairan. 74
Berdasarkan kadar ortofosfat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: perairan oligotrof yang memiliki kadar ortofosfat 0,003 – 0,001 mg/l, perairan mesotrof yang memiliki kadar ortofosfat 0,011 – 0,003 mg/l, dan perairan eutrof yang memiliki kadar ortofosfat 0,031 – 0,01 mg/l.
Gambar 36. Nilai kadar ortopospat (O-PO4) berdasarkan bulan Berdasarkan hasil penelitian Triyanto et al., 2012, kondisi kualitas air perairan mangrove di Kabupaten Berau dicirikan oleh pH berkisar antara 7,14 8,15, kadar oksigen terlarut antara 4,22 - 7,47 mg/L dan nilai BOD5 mencapai 1,04 7,32 mg/L, temperature berkisar antara 28,6 - 33,9°C, salinitas antara 10,41 - 27,3 ppt dan status kesuburan perairan berdasarkan nilai TP adalah 0,061 mg/L, TN adalah 3,285 mg/L dengan nilai maksimum ammonium mencapai 0,200 mg/L. Kandungan klorofil-a mencapai 6,774 mg/m3. Tipe substrat perairan ada dua kategori yaitu substrat berpasir dan lumpur berliat, dengan kandungan C substrat berkisar antara 0,11 - 4,26% dan N substrat berkisar antara 0,01 - 0,31%.
75
V. Kesimpulan dan Saran V.1. Kesimpulan 1. Biota hasil tangkapan dari empat kali pengambilan contoh (Februari, Mei, Agustus dan Oktober) teridentifikasi sebanyak 111 spesies yang meliputi 51 famili
2. Perairan estuari Berau memiliki kualitas air yang cukup layak bagi kehidupan ikan dan biota perairan lainnya. Perairan ini memiliki salinitas yang cukup tinggi dengan kisaran 0 - 46‰ sehingga perairan ini merupakan sumber penangkapan udang ekonomis penting. Disamping itu di perairan Berau berkembang budidaya tambak
3. Biodiversitas ikan cukup tinggi yaitu dengan ditemukannya 111 jenis ikan, beberapa jenis diantaranya merupakan ikan ekonomis penting antara lain Ikan Kerapu (Epinephelus coioides), Ikan Putih (Pomadasys kaakan) dan Ikan Kakap (Lutjanus malabaricus). Keberadaan ikan-ikan ini di perairan estuari Berau adalah untuk mencari makan
4. Dari pengamatan stok ikan dengan menggunakan akustik didapatkan dugaan biomassa ikan di perairan estuari Berau sebanyak 1,3 ton per km2. Jeni-jenis ikan yang teridentifikasi tersebut sebagian besar berupa anak-anak ikan yang belum tumbuh besar/ dewasa. Hal ini dibuktikan dengan percobaan penangkapan menggunakan alat tangkap pukat tarik dan data dari hasil tangkapan nelayan sehingga dapat disimpulkan bahwa perairan estuari Berau merupakan habitat anakan ikan dan udang yang induk-induknya merupakan ikan laut 5. Dari pengamatan plankton didapatkan kelimpahan plankton berkisar antara 12 – 123 individu/ liter dan jumlah ini selalu berbeda antara bulan Maret, Mei, Agustus dan Oktober. Adanya perbedaan ini disebabkan adanya perubahan musim. Indeks keanekaragaman plankton berkisar antara 0,83 – 2,29 dengan kategori rendah hingga sedang 6. Kepadatan makrozoobentos berkisar antara 0 – 5000 individu per m2 dengan kepadatan
yang
lebih
tinggi
ke
arah
laut.
Hasil
perhitungan
Indeks
keanekaragaman makrozoobentos berkisar antara 0 – 2,9 dengan kategori rendah sampai sedang
76
V.2. Saran Untuk lanjutan penelitian ini diperlukan penelitian biologi beberapa jenis ikan dan udang. Selain itu pengamatan menggunakan akustik terhadap biota perairan lainnya tetap dilanjutkan.
77
DAFTAR PUSTAKA Afriansyah, A., 2009. Konsentrasi Kadmium (Cd) dan Tembaga (Cu) dalam air, seston, kerang dan fraksinasinya dalam sedimen di Perairan Delta Berau, Kalimantan Timur. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 88 hal. Aksornkoae S.1993. Ecology and management of mangroves. Bangkok. IUCN. 176 p. Arifin, Z., S.P. Situmorang & K. Booij, 2010. Geochemistry og heavy metals (Pb, Cr and Cu) in sediment and benthic communities of Berau Delta, Indonesia. Coastal Marine Science 34 (1): 205-211. Barnes, R.S.K. & R.N. Hughes, 1999. An Introduction to Marine Ecology. 3rd Edition. Blackwell Science Ltd. London. Bengen, D.G., 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 86 pp. Bengen, D.G., 2001. Sinopsis: Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut serta prinsip pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisisr dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 61 hlm. Bengen, D.G., 2003. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL. IPB. Bogor. Bengen, D.G., 2004. Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisisr dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.Bogor. BPS, 2010. Berita Resmi Statistik. No. 45/07/th XIII. 1 Juli 2010. Brower, J.E., J.H. Zar & C.N.V. Ende, 1990. Field and Laboratory Method for General Ecology. 3rd Wim. C. Brown Co Publisher. Dubuque, Lowa. 237 p. Butet, N.A., 1997. Distribution of Quahog Larvae Along A North – South Transect in Naragansett Bay [tesis]. University of Rhode Island. Kingston. Rhode Island. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Pedoman Pengelolaan Mangrove.DepartemenKelautandanPerikanan(DKP).Jakarta.123 hlm.
Ekosistem
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur, 2013. Kegiatan Penyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kalimantan Timur. Bidang Kelautan dan Pulau-Pulau Kecil dan Pengawasan SDI. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal. Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal. Effendie, M.I., 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 p. 78
Effendie, M.I., 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. 163 pp. Gayanilo, F.C. & D. Pauly, 1997. FAO-ICLARM stock assessment tools. Reference manual. FAO Computerized information series fisheries. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. 261 p. Handayani, S. & Patria, M.P, 2005. Komunitas Zooplankton di Perairan Waduk Krenceng, Cilegon, Banten. Makra sains Vol.9. No.2: 75-80. Hannachi, M. S., L. B. Abdallah, & O. Marrakchi. 2004. Acoustic Identification of Small Pelagic Fish Species: Target Strength Analysis and School Descriptor Classification. MedSudMed Technical Documents No.5. Herry, 1998. Struktur Populasi Anadara spp. Secara Spasial dan Hubungannya dengan Gradien Lingkungan di Perairan Teluk Lada, Desa Mekarsari, Pandeglang, Jawa Barat. Hutabarat, S & S.M. Evans., 1983. Pengantar Oseanografi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Jakarta. James, P.S.B.R., 1984. Leiognathidae. In W. Fischer and G. Bianchi (eds.) FAO species identification sheets for fishery purposes. Western Indian Ocean (Fishing Area 51). Vol. 2. FAO, Rome. pag. var. Kailola, P.J., 1987. The fishes of Papua New Guinea: a revised and annotated checklist. Vol.II Scorpaenidae to Callionymidae. Research Bulletin No.41, Research Section, Dept. of Fisheries and Marine Resources, Papua New Guinea. Kennish, M.J., 1994. Practical Handbook of Marine Science, Second Edition. CRC. Press. Inc. Boca Raton. Kompas, 2008. Kabupaten Berau. http//:www.kompas.com/kabupaten_berau.htm [25 Mei 2008]. Kompas. Com. 2003. 4.000 Hektar Hutan Mangrove Delta Berau Habis Dibabat. http://www. kompas.com/kompas-cetak/0310/21/daerah/636741.htm (diunduh tanggal 28 Agustus 2011). Krebs, C.J., 1972. Ecology the Experimental Analysis of Distribution and Abudance. New York: Harper and Row Pubication. Krebs, C.J., 1989. Ecological Methodology. Harper Collins Publisher. Inc. New York. 654 p. Krebs, C.S., 1989. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper and Row Publication. New York. 694 p. Kusmana C,S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yunasfi & Hamzah, 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan. IPB.
79
Latuconsina, H., M.N. Nessa & R.A. Rappe, 2012. Komposisi Spesies dan Struktur Komunitas Ikan Padang Lamun di Perairan Tanjung Tiram – Teluk Ambon Dalam. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.4. No.1, Juni 2012. Hal. 35-46. MacLennan, D.N & Simmonds. 1992. Fisheries Acoustic. Chapman and Hall.London. 325 p. Magurran, A.E., 1988. Ecological Diversity and its measurements. Princeton University Press. 179 pp. Nasir, N.A., 2000. The food and feeding relationships of the fish communities in the inshore waters of Khor Al-Zubair, northwest Arabian Gulf. Cybium 24(1):89-99. Natsir, M., B. Sadhotomo, & Wudianto. 2005. Pendugaan biomassa ikan pelagis di perairan Teluk Tomini dengan metode akustik bim terbagi. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11 (6): 101-107. Nontji, A., 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk Jakarta Serta Kaitannya dengan Faktor-Faktor Lingkungan [disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nontji, A., 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Nontji, A., 2005. Laut Nusantara. Edke-4. Djambatan. Jakarta. 356 hlm. Nybakken, J.W., 1986. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Diterjemahkan oleh: M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, Malikusworo dan Sukristrijono. Cetakan Pertama. PT. Gramedia Jakarta. Odum, E.P., 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. W.B. Sounders Co. Philadelphia and London. 574 p. Odum, E.P., 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh T. Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hal. Pauly, D., 1980. A Selection of sample Methods for The Stock Assesment of Tropical Fish Stock. FAO. Fish. Circ. (729): 54 p. Pauly, D., 1984. Some Simple Methods for the Assessment of Tropical Fish Stock. FAO. 52 p. Prianto, E. & N.K. Suryati, 2010. Komposisi Jenis dan Potensi Sumber Daya Ikan di Muara Sungai Musi. JPPI. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Vol.16 No.1. Jakarta. hal 1-81. Prianto, E; Husnah, S. Nurdawaty dan A. Muaka. 2006. Komposisi Jenis dan Keragaman Plankton di Perairan Umum Bersifat Asam Pulau Bangka. Seminar Nasional Forum Perairan Umum Indonesia III. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Rahardjo, M. F., 2006. Biologi Reproduksi Ikan Blama, Nibea Soldado (Lac.) (Famili Sciaenidae) di Perairan Pantai Mayangan Jawa Barat. Jurnal Ichthyos, Vol.5, No.2, Juli 2006: 63-68 hal. 80
Rahardjo, M.F. & P.H. Simanjuntak, 2005. Komposisi Makanan Ikan Tetet, Johnius belangerii Cuvier (Pisces: Sciaenidae) di Perairan Pantai Mayangan, Jawa Barat. Jurnal Ilmu Kelautan. Juni 2005. Vol.10(2): 68-71. Simanjuntak, P.H., Sulistiono, M.F. Rahardjo & A. Zahid, 2011. Iktiodiversitas di Perairan Teluk Bintuni, Papua Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. 11(2): 107-126. Snedaker, S.C. & J.G. Snedaker, 1984. The mangrove ecosystem: research methods. Hal 91-114. The Chaucer press ltd. Bungay. United Kingdom. xv+251 p. Sparre, P. & S.C. Venema, 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1; Manual. FAO, Puslitbang Perikanan, Badan Litbang Pertanian Jakarta. 438 hal. Steel, R.G.D. & J.H. Torrie, 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: Gramedia. 748 h. Sugiharto, E., Salmani & B.I. Gunawan, 2013. Studi tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di Kampung Gurimbang Kecamatan Sambaliung Kabupaten Berau (Study on welfare level of fishing community at Gurimbang Village, Sambaliung Subdistrict of Berau). Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18 (2): 68-74. Triyanto, N.I., Wijaya, I. Yuniarti, T. Widiyanto, F. Setiawan & F.S. Lestari, 2012. Habitat Condition of Mud Crab (Scilla serrata) in Berau Mangrove Area, East Kalimantan. International Conference on Indonesian Inland Waters III. Balai Riset Perikanan Perairan Umum - KKP; 8 November 2012 (dalam penerbitan). Udupa, K.S., 1986. Statistical methods of estimating the size at first maturity in fishes. Fishbyte 4(2): 8-10. Walford, JT., & T.J. Lam. 1993. Development of Digestive tract and proteolitic enzyme activity in seabass (Lates calcarifer) Larvae and juveniles. Aquaculture. Wetzel, R.G. 2001. Limnologi: Lake and river Ecosystem. Academic Press, Third edition. Wibisono, M.S., 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Gramedia. Jakarta. 224 hal. Wiryawan, B., M. Khazali, & M. Knight (eds.), 2005. Menuju Kawasan Konservasi Laut Berau, Kalimantan Timur: Status sumberdaya pesisir dan proses pengembangannya. Program Bersama Kelautan Berau TNC-WWF-Mitra Pesisir/ CRMP II USAID. Jakarta. 128 hal.
81
Lampiran 1. Jenis-jenis hasil tangkapan No.
Famili
Spesies
Nama Lokal
St.1
St.2
St.3
St.4
St.5
St.6
St.7
St.8
St.9
St.10
Total
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
1
Ambassidae
Ambassis vachellii
Kaca
2
Anostomidae
Anostomus anostomus
Ikan Cerutu
3
Apogonidae
Ostorhinchus kiensis
Ariidae
Hexanematichthys sagor
Dukang
534,0
Arius maculatus
Dukang
473,0
Arius oetik Bleeker
Utik
Arius venosus
Dukang Baung
Bothidae
Hemibagrus nemurus Engyprosopon grandisquama
Carangidae
Alectis indica
24,0
Alepes djedaba
22,0
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Bagridae
Atule mate
141,0 35,0
313,0
123,0
1.004,0
301,0
10,0
78,0
194,0
4,9
132,9
78,0
2.244,0
637,0
1.110,0
101,9
310,0
401,0
10,0
307,0
457,0
1.168,0 418,9
14,0
Sebelah
9,0
Selar
30,5
14,0
333,0
11,6
342,0 13,8
Kaca
Parastromateus niger
Bawal hitam Selar ekor kuning
48,5
38,0
7,0
96,0
12,4
37,8 22,0
1.472,0
1.738,0
Megalaspis cordyla
797,0 348,0
50,0
Decapterus macrosoma
Selaroides leptolepis
656,0
1.521,1 1.738,0
136,0
55,0
194,0
565,0
1.089,9 55,0
77,0
77,0
1
17 18 19
Clupeidae
20 21
24
27
590,0
Amblygaster sirm
22,1
4,0
62,0
656,0
232,0
232,0
3,0
855,0
Cynoglossus lingua
Lidah panjang
296,0
165,0
62,0
Paraplagusia bilineata
Tambal
132,0
132,0
Dasyatidae
Himantura toshi
Pari tutul
430,0
430,0
Drepaneidae
Drepane longimana
Bulan garis
4,6
Drepane punctata
Bulan bintik
74,0
Dussumieriidae
Dussumieria elopsoides
Sarden
Engraulidae
Coilia lindmani
Bulu ayam
Stolephorus indicus
Teri Indian
Thryssa hamiltonii
Puput
Thryssa setirostris
Bilis
Gerres filamentosus
Bete muncung
Gerres oyena
Mata besar
Cynoglossidae
29 30 Gerreidae
32 33 34
Cale-cale
2,1
1.409,0
28
31
Ulua mentalis
20,0
Lopa
25 26
Bete sirip pjg
Anodontostoma chacunda
22 23
Ulua aurochs
Gobiidae
8,0
3,0
547,0
921,0
53,0
3.788,0
99,0
622,0
338,0
40,0
82,0
190,0 186,0
559,0
4.191,0
155,0
92,1
453,0
1.114,0 12,8
382,6 1,8
358,8
14,9
200,9
2.089,9
8.654,0
4,0
16,8
61,0
61,0
3,0
14,0 60,0
366,0
1.847,0
496,0 152,0
328,0
11,0
17,0 399,0
3.507,0
1.314,4
1.466,4
Pentaprion longimanus
76,0
76,0
Bathygobius cocosensis
20,0
20,0
2
35 36 37 38
Eviota infulata
Lactarius lactarius
Kapas-kapas
Leiognathidae
Equulites moretoniensis
Bete-bete
Equulites elongatus
Bete panjang
Gazza minuta
Bete bintik
2.958,1
Leiognathus equulus
Petek
111,5
Leiognathus longispinis Photopectoralis bindus
Bete bete Bete list kuning
Secutor ruconius
Bete belang
Loligo pickfordi
Cumi-cumi
Loliolus beka
Cumi-cumi
15,0
15,0
Uroteuthis duvaucelii
Cumi-cumi
19,0
19,0
Lutjanidae
Lutjanus malabaricus
Kakap
Mullidae
Upeneus asymmetricus
Kuniran
43 44 Loliginidae
46 47
50
52
670,0
Lactariidae
42
51
220,0
Kakap Putih
41
49
16,0
Pomadasys kaakan
40
48
8,0
Haemulidae
39
45
8,0 450,0 252,0 1.608,0
48,0
Oxyconger leptognathus Nemipterus furcosus
513,0
189,0 1,0
486,0
24,0
453,0 15,0
5,0 66,6
363,9
4,0
15,5
15.654,0
10.038,0
56,0
416,0
9.622,0
63,0
57,0
34,4
134,0
6,9
3.504,0
1.695,3
1.985,8
208,0
71,0 846,0 444,0
28,0
2.602,0
134,0
71,0
21,0
14,2
26.543,0 10.972,5
12,3
14.075,0 145,0
9,0 Belut laut
93,0
5,0 155,0
Upeneus sulphureus Muraenesocidae
372,0
12,0
27,0
60,0
231,2
14.297,2 172,0 69,0
30,0
30,0 796,7
796,7
3
53
Nemipterus nematopus
54 55
Nemipterus nemurus
Nangka
Macrobrachium equidens
Udang buku
101,0
Macrobrachium rosenbergii
Udang Galah
173,4
Palinuridae
Panulirus cygnus
Lobster
Pangasiidae
Pangasius nasutus
Patin
Paralichthyidae
Pseudorhombus arsius
Sebelah
Penaeidae
Fenneropenaeus indicus
Palaemonidae
56 57 58 59 60 61 62 63 64
66 67 68 69 70
Metapenaeus bennettae Metapenaeus dobsoni
Udang Kuning
Metapenaeus ensis
Udang Brown
Udang bintik
Parapenaeopsis sculptilis
Udang loreng
Bembrops platyrhynchus
Platycephalidae
Rogadius asper
Plotosidae
Paraplotosus albilabris
Polynemidae
Polydactylus plebeius
18,3
25,7
893,0
84,0
109,0
6,4
171,3 173,4 64,9
76,0 57,0
40,0
83,5 255,1
18,0
18,0
102,0
54,9 332,0
4,0
64,9 76,0
26,5
123,0
Metapenaeus tenuipes
Percophidae
20,0
215,1 Udang ekor hijau
Metapenaeus lysianassa
65
25,0
893,0
156,9
40,0
915,0
136,0
1,3
70,4
1.494,7
2,1
64,2
385,0
2,1
125,7
15,0
12,0
40,9
186,0
653,0
11,0
413,0
40,0
25,0
1.328,0
692,0
1.940,0
662,7
1.847,0
899,0
1.006,6
7.051,3
67,0
67,0 121,0
25,0
Sembilang 49,0
211,0
25,0
4,1
175,1
16,0
16,0
9,0
269,0
4
71
Portunidae
72 73 74 75 76
Pristigasteridae
77
80 81 82 83 84 85 86 87 88
Charybdis annulata
Kepiting Kepiting renang
Charybdis feriatus
Kepiting
Portunus pelagicus Scylla serrata
Rajungan Kepiting Bakau
Ilisha striatula
Mata galak
4,0 65,0
Pellona ditchela
4,0
8,0
227,0
292,0 124,0 3,0
25,0
52,7 117,0
74,6
13,0
372,0
484,6
406,0
406,0
Tembang
116,0
Rhabdodemaniidae
Rhabdodemania gracilis
Scatophagidae
Scatophagus argus
Kiper
Sciaenidae
Johnius amblycephalus
Gulama
Johnius belangerii
Gulama keken
Johnius borneensis
Little jewfis
Johnius coitor
Gulama
980,0
3.038,3
143,8
1.122,0
Johnius macropterus
Gulama
11.565,0
1.690,0
7.333,0
202,0
Otolithes ruber
Gulama
116,0
146,0
25,9
150,0 7,0
76,8
124,0 49,7
117,0
Opisthopterus tardoore
78 79
Charybdis affinis
2,0
553,9 7,0 78,8
13.751,6
493,0
6.026,0
359,0
2.603,0 49,0
12,0
69,0
22.873,6 62,0
12,0
2.315,0
470,0 24,0
522,0
3.439,3
11.560,4 20.790,0
1.039,0
Pennahia anea
150,0
Pennahia pawak
244,0
1.108,0 150,0
300,0 244,0
5
89 90 91
Protonibea diacanthus Scorpaenidae
Pterois russelii
Sepiidae
Sepia officinalis
Sotong
11,0
Sepiella weberi
Sotong
121,0
Serranidae
Epinephelus coioides
Siganidae
Siganus canaliculatus
Kerapu Bete grs kuning
Sillaginidae
Sillago sihama
Soleidae
Dexillus muelleri
Lidah
Solenoceridae
Solenocera australiana
Udang merah
Squillidae
Cloridopsis scorpio
Udang kipas
Stromateidae
Pampus argenteus
Bawal
Synodontidae
Harpadon nehereus
Lome
92 93 94 95 96 97 98 99 100 101
Saurida undosquamis Synodontidae
104
106
Synodus sageneus Terapontidae
1.088,0
1.088,0
495,0
495,0
3.582,0
460,0
43,4 34,0
Terapon theraps
3.746,4 3.116,0
234,0
12,0
155,0
9,0
36,0
220,0
72,0
21,0 12,6
869,0 21,0
119,0
384,8
82,9
599,3
18,0
18,0
1,0
1,0 283,0
283,0
536,0
1.102,0
Benus Pemukul bedug
5.786,0 990,0
36,0 167,0
1,3 11,0
Synodus dermatogenys Synodus indicus
105
64,0 1,3
Saurida micropectoralis
102 103
64,0
397,1
41,0
58,0
105,0
24,7
24,7
17,2
17,2 496,1 105,0
4,0
13,0
17,0
6
107
Canthigaster solandri
Buntal list biru
Tetraodon nigroviridis
Buntal hijau
Torquigener hicksi
Buntal
Triacanthidae
Pseudotriacanthus strigilifer
Tunjang langit
Trichiuridae
Trichiurus lepturus
Layur
Tetraodontidae
108 109 110 111 111
Jumlah
44,3
122,8
394,6
3,0 17.368,3
25.941,2
19,8
7,0
16,0
40,0
23,0
62,0
244,0
2,0 15.150,1
35,0 3.214,0
17.934,0
23.427,4
15,0
7,0 316,5
64,0
32,0
48,0
31.990,0
5.710,5
11.022,3
44,3 85,0
352,4
1.535,1
53,6
53,6 184,0
24.451,2
176.209,0
7
8
Lampiran 2. Jenis-jenis hasil tangkapan, Trip 1 (Februari 2015) No.
Famili
Spesies
Nama Lokal
St.1
St.2
St.3
St.4
St.5
St.6
St.7
St.8
St.9
St.10
Total
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
1,0
42,0
272,0
10,0
1
Ariidae
Hexanematichthys sagor (Hamilton, 1822)
Dukang
2
Bothidae
Engyprosopon grandisquama (Temminck & Schlegel, 1846)
Sebelah
3
Carangidae
Alectis indica (Rüppell, 1830)
12,0
12,0
4
Alepes djedaba (Forsskål, 1775)
11,0
11,0
5
Atule mate (Cuvier, 1833)
6
Decapterus macrosoma (Bleeker, 1851)
7
Megalaspis cordyla (Linnaeus, 1758)
Kaca
8
Parastromateus niger (Bloch, 1795)
9
Ulua aurochs (Ogilby, 1915)
Bawal hitam Bete sirip panjang
10
Ulua mentalis (Cuvier, 1833)
Cale-cale
11
Clupeidae
Selar
7,0
7,0
22,0
31,0
48,0
869,0 56,0
97,0
254,4
55,0
55,0 4,0 295,0
2,0
6,0
62,0
357,0
116,0
116,0
257,0
Cynoglossus lingua (Hamilton, 1822)
Lidah panjang
14
Drepaneidae
Drepane longimana (Bloch & Schneider, 1801)
Bulan garis
Drepane punctata (Linnaeus, 1758)
Bulan
Coilia lindmani (Bleeker, 1857)
Bulu ayam
Engraulidae
0,4
Amblygaster sirm (Walbaum, 1792)
Cynoglossidae
15
106,0
869,0
13
16
106,0
Anodontostoma chacunda (Hamilton, 1822)
12
325,0
296,0
165,0
461,0 169,0
5,0
2,0
8,0
3.741,0
86,0
257,0
20,0
189,0
190,0
200,0
86,0
3.918,0
1
Thryssa setirostris (Broussonet, 1782)
17 18
Gerreidae
Bilis
3,0
3,0
Gerres filamentosus (Cuvier, 1829)
19
Gerres oyena (Forsskål, 1775)
20
8,0
164,0
Mata besar
172,0
76,0
76,0
Pentaprion longimanus (Cantor, 1849)
34,0
34,0
10,0
10,0
126,0
126,0
21
Gobiidae
Bathygobius cocosensis (Bleeker, 1854)
22
Lactariidae
Lactarius lactarius (Bloch & Schneider, 1801)
Kapas-kapas
23
Leiognathidae
Equulites elongatus (Günther, 1874)
Bete panjang
24
Equulites moretoniensis (Ogilby, 1912)
Bete-bete
25
Gazza minuta (Bloch, 1795)
Bete bintik
26
Photopectoralis bindus (Valenciennes, 1835)
Bete list kuning
5,0
27
Secutor ruconius (Hamilton, 1822)
Bete belang
4,0
28
Loliginidae
Loligo pickfordi (Adam, 1954)
Cumi-cumi
29
Lutjanidae
Lutjanus malabaricus (Bloch & Schneider, 1801)
Kakap
30
Nemipteridae
Nemipterus nematopus (Bleeker, 1851)
31
Palaemonidae
Macrobrachium equidens (Dana, 1852)
Udang buku
32
Penaeidae
Metapenaeus dobsoni (Miers, 1878)
Udang Kuning
33
Metapenaeus ensis (De Haan, 1844)
Udang Brown
34
Metapenaeus lysianassa (De Man, 1888)
67,0 629,0
67,0
186,0
815,0
48,0
48,0
28,0
13,0
102,0 332,0
7.827,0
4.639,0
208,0
4.811,0
12,0
12.471,0 222,0
5.273,0
14,0
39,0 3.339,0
3.339,0
212,0
212,0
14,7
14,7
39,0
141,0
18,0
42,0 6,0
392,0 3,0
9,0
2
35
Metapenaeus tenuipes (Kubo, 1949)
36
Parapenaeopsis sculptilis (Heller, 1862)
Udang loreng
4,0
117,0
625,0
304,0
695,0
742,0 227,0
374,5
331,0
1.935,5
37
Percophidae
Bembrops platyrhynchus (Alcock, 1894)
38
Polynemidae
Polydactylus plebeius (Broussonet, 1782)
39
Portunidae
Charybdis annulata (Fabricius, 1798)
Kepiting renang
40
Charybdis affinis (Dana, 1852)
Kepiting
4,0
4,0
41
Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758)
Kepiting Totol
3,0
3,0
42
Scylla serrata (Forsskål, 1775)
Kepiting Bakau
117,0
Ilisha striatula (Wongratana, 1983)
Mata galak
27,0
43
Pristigasteridae
67,0
67,0 12,0
45,0
57,0
65,0
65,0
117,0 186,0
213,0
44
Opisthopterus tardoore (Cuvier, 1829)
45
Pellona ditchela (Valenciennes, 1847)
Tembang
116,0
116,0
Johnius borneensis (Bleeker, 1851)
Little jewfis
12,0
12,0
47
Johnius macropterus (Bleeker, 1853)
Gulama
48
Johnius coitor (Hamilton, 1822)
Gulama
49
Pennahia anea (Bloch, 1793)
50
Pennahia pawak (Lin, 1940)
51
Protonibea diacanthus (Lacepède, 1802)
46
52
Sciaenidae
Sepiidae
Sepiella weberi (Adam, 1939)
406,0
65,0
1.690,0 881,0
5.000,0
406,0
202,0 748,0
6.957,0 276,0
1.905,0 150,0
150,0
122,0
122,0 32,0
Cumi-cumi besar
32,0 1.085,0
1.085,0
3
53
Serranidae
Epinephelus coioides (Hamilton, 1822)
54
Siganidae
Siganus canaliculatus (Park, 1797)
Kerapu Bete garis kuning
55
Soleidae
Dexillus muelleri (Steindachner, 1879)
Lidah
56
Squillidae
Cloridopsis scorpio (Latreile, 1828)
Udang kipas
24,0
57
Stromateidae
Pampus argenteus (Euphrasen, 1788)
Bawal
9,0
58
Synodontidae
Harpadon nehereus (Hamilton, 1822)
Lome
59
Saurida micropectoralis (Shindo & Yamada, 1972)
60
Synodus indicus (Day, 1873)
61
Synodus sageneus (Waite, 1905)
1.088,0
230,0
1.558,0
495,0 167,0
495,0
173,0
17,0 8,0
357,0 32,0 9,0
1,0
1,0 283,0
268,0
551,0
Pemukul bedug
29,0
29,0
105,0
105,0
62
Tetraodontidae
Torquigener hicksi (Hardy, 1983)
Buntal
13,0
2,0
63
Trichiuridae
Trichiurus lepturus (Linnaeus, 1758)
Layur
3,0
2,0
63
Jumlah
7.689,0
7.969,0
180,0
2.876,0
23,0
31,0
122,0
153,0
2,0
346,0 5,0
1.925,7
1.354,5
11.486,4
10.894,0
1.380,0
1.109,0
5.192,0
4
49.179,6
5
Lampiran 3. Jenis-jenis hasil tangkapan Trip 2 (Mei 2015) No.
Famili
No.
Spesies
Nama Lokal
1
Anostomidae
1
Anostomus anostomus
Ikan Cerutu
2
Ariidae
2
Hexanematichthys sagor
Dukang
3
Bagridae
3
Hemibagrus nemurus
Baung
4
Carangidae
4
Megalaspis cordyla
5
Selaroides leptolepis
6
Ulua aurochs
Kaca Selar ekor kuning Bete sirip panjang
5
Clupeidae
7
Anodontostoma chacunda
Lopa
6
Cynoglossidae
8
Cynoglossus lingua
Lidah panjang
7
Dasyatidae
9
Himantura toshi
Pari tutul
8
Drepaneidae
10
Drepane punctata
Bulan
9
Engraulidae
11
Coilia lindmani
Bulu ayam
12
Thryssa hamiltonii
Puput
13
Thryssa setirostris
Bilis
14
Gerres filamentosus
Bete muncung
15
Pentaprion longimanus
16
Pomadasys kaakan
10
11
Gerreidae
Haemulidae
St.1
St.2
St.3
St.4
St.5
St.6
St.7
St.8
St.9
St.10
Total
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
35,0 533,0
81,0
3,0
313,0
502,0
348,0
194,0
7,0
78,0
1.388,0
14,0
14,0
24,0
34,0
77,0
77,0 16,0
1.409,0
3,0
855,0
33,0
921,0
16,0 53,0
3.274,0
62,0
62,0 430,0
430,0
82,0 41,0
450,0
61,0
82,0
435,0
987,0
61,0
61,0 14,0
60,0
358,0
1.847,0
496,0 8,0
11,0
14,0 399,0
3.171,0 8,0
Kakap Putih
1
Totol
450,0
450,0
12
Lactariidae
17
Lactarius lactarius
Kapas-kapas
13
Leiognathidae
18
Equulites moretoniensis
Bete-bete
19
Gazza minuta
Bete bintik
335,0
335,0
20
Leiognathus longispinis
Bete bete
71,0
71,0
21
Loligo pickfordi
Cumi-cumi
22
Loliolus beka
Cumi-cumi
15,0
15,0
23
Uroteuthis duvaucelii
Cumi-cumi
19,0
19,0
14
Loliginidae
189,0 979,0
63,0
15
Mullidae
24
Upeneus asymmetricus
Kuniran
16
Muraenesocidae
25
Oxyconger leptognathus
Belut laut
17
Nemipteridae
26
Nemipterus nemurus
Nangka
18
Palaemonidae
27
Macrobrachium equidens
Udang buku
19
Pangasiidae
28
Pangasius nasutus
Patin
20
Penaeidae
29
Metapenaeus ensis
Udang Brown
30
Metapenaeus tenuipes
69,0
31
Metapenaeus bennettae
Udang bintik Udang ekor hijau
32
Parapenaeopsis sculptilis
Udang loreng
218,0
33
Charybdis annulata
Kepiting renang
21
Portunidae
93,0
496,0
11,0
189,0 15,0
33,0
96,0
145,0
27,0
30,0
172,0 30,0
25,0 18,0
1.594,0
84,0
109,0
20,0
38,0
76,0
76,0
28,0
3,0
831,0
136,0
19,0
989,0
11,0
413,0
40,0
25,0
586,0
18,0
18,0 342,0
303,0
820,0
563,0 227,0
98,0
2.344,0 227,0
2
34
Charybdis feriatus
Kepiting
22
Rhabdodemaniidae
35
Rhabdodemania gracilis
23
Scatophagidae
36
Scatophagus argus
Kiper
24
Sciaenidae
37
Johnius amblycephalus
Gulama
38
Johnius belangerii
Gulama keken
39
Johnius macropterus
Gulama
40
Otolithes ruber
Gulama
124,0 7,0
2,0
13.616,0
493,0
6.026,0
359,0 11.500,0
69,0
26
Serranidae
42
Epinephelus coioides
Kerapu
27
Soleidae
43
Dexillus muelleri
Lidah
28
Solenoceridae
44
Solenocera australiana
Udang merah
21,0
29
Squillidae
45
Cloridopsis scorpio
Udang kipas
71,0
30
Tetraodontidae
46
Torquigener hicksi
Buntal
47
Tetraodon nigroviridis
Buntal hijau
Trichiurus lepturus
Layur
48
470,0
1.039,0
Sotong
Jumlah
62,0
13.833,0
Sepia officinalis
31
22.538,0
2.333,0
41
48
2.403,0 49,0
Sepiidae
Trichiuridae
7,0
2,0
25
31
124,0
1.108,0 11,0
11,0 34,0
61,0
34,0
9,0
70,0 21,0
91,0
162,0
352,0
352,0 14,0
9,0
15,0
64,0 12.092,0
15.354,0
6.080,0
943,0
10.650,0
2.587,0
6.224,0
471,0
7,0
45,0
48,0
112,0
939,0
525,0
55.865,0
3
4
Lampiran 4. Jenis-jenis hasil tangkapan Trip 3 (Agustus 2015) No.
Famili
Spesies
Nama Lokal
St.1
St.2
St.3
St.4
St.5
St.6
St.7
St.8
St.9
St.10
Total
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
1
Ariidae
Arius venosus (Valenciennes, 1840) Engyprosopon grandisquama (Temminck & Schlegel,
Dukang
2
Bothidae
1846)
Sebelah
3
Carangidae
Alectis indica (Rüppell, 1830)
12,0
12,0
4
Alepes djedaba (Forsskål, 1775)
11,0
11,0
5
Decapterus macrosoma (Bleeker, 1851)
6
Megalaspis cordyla (Linnaeus, 1758)
7
Ulua aurochs (Ogilby, 1915)
Kaca Bete sirip panjang
8
Ulua mentalis (Cuvier, 1833)
Cale-cale
9
Clupeidae
Drepaneidae
12 13
Engraulidae
14 15 16
10,0
Gerreidae
77,9 106,0
48,0
12,0
869,0 56,0
97,0
565,0 0,1
295,0
Amblygaster sirm (Walbaum, 1792)
4,0
Drepane punctata (Linnaeus, 1758)
Bulan bintik
Coilia lindmani (Bleeker, 1857)
Bulu ayam
Stolephorus indicus (van Hasselt, 1823)
Teri Indian
257,0
169,0 72,0
20,0
189,0
190,0
262,0
485,0
485,0 5,0
Gerres filamentosus (Cuvier, 1829)
5,0 164,0
Mata besar
0,1
116,0
257,0 Bulan garis
778,0
299,0
116,0
Drepane longimana (Bloch & Schneider, 1801)
Gerres oyena (Forsskål, 1775)
106,0
869,0
Anodontostoma chacunda (Hamilton, 1822)
10 11
67,9
76,0
164,0 761,0
837,0
1
17
Pentaprion longimanus (Cantor, 1849)
34,0
34,0
10,0
10,0
126,0
126,0
18
Gobiidae
Bathygobius cocosensis (Bleeker, 1854)
19
Lactariidae
Lactarius lactarius (Bloch & Schneider, 1801)
Kapas-kapas
20
Leiognathidae
Equulites elongatus (Günther, 1874)
Bete panjang
21
Equulites moretoniensis (Ogilby, 1912)
22
Photopectoralis bindus (Valenciennes, 1835)
Bete-bete Bete list kuning
23
Secutor ruconius (Hamilton, 1822)
Bete belang
24
Loliginidae
Loligo pickfordi (Adam, 1954)
Cumi-cumi
25
Lutjanidae
Lutjanus malabaricus (Bloch & Schneider, 1801)
Kakap
26
Nemipteridae
Nemipterus nematopus (Bleeker, 1851)
27
Penaeidae
Metapenaeus ensis (De Haan, 1844)
28
Metapenaeus lysianassa (De Man, 1888)
29
Parapenaeopsis sculptilis (Heller, 1862)
67,0
67,0
186,0
66,6
363,9
28,0
186,0 7.827,0
4.639,0
208,0
4.811,0
12,0
12.466,0 222,0
5.699,5
14,0
26,0 10.736,0 681,0
Udang Brown
42,0 52,0
Udang loreng
112,6 156,0
877,0
6,0 71,4
10.736,0 681,0 42,0
3,0
374,5
173,6 331,0
1.809,9
30
Polynemidae
Polydactylus plebeius (Broussonet, 1782)
31
Portunidae
Charybdis affinis (Dana, 1852)
Kepiting
32
Pristigasteridae
Ilisha striatula (Wongratana, 1983)
Mata galak
186,0
186,0
Pellona ditchela (Valenciennes, 1847)
Tembang
116,0
116,0
Johnius borneensis (Bleeker, 1851)
Little jewfis
12,0
12,0
33 34
Sciaenidae
12,0
45,0
57,0
4,0
4,0
2
35
Johnius coitor (Hamilton, 1822)
36
Gulama
938,0
697,3
276,0
1.911,3
Pennahia anea (Bloch, 1793)
150,0
150,0
37
Pennahia pawak (Lin, 1940)
122,0
122,0
38
Protonibea diacanthus (Lacepède, 1802)
32,0 Cumi-cumi besar
39
Sepiidae
Sepiella weberi (Adam, 1939)
40
Serranidae
Epinephelus coioides (Hamilton, 1822)
41
Siganidae
Siganus canaliculatus (Park, 1797)
Kerapu Bete garis kuning
42
Soleidae
Dexillus muelleri (Steindachner, 1879)
Lidah
43
Squillidae
Cloridopsis scorpio (Latreile, 1828)
Udang kipas
24,0
44
Stromateidae
Pampus argenteus (Euphrasen, 1788)
Bawal
9,0
45
Synodontidae
Saurida micropectoralis (Shindo & Yamada, 1972)
46 47
Tetraodontidae
47
Jumlah
1.085,0 1.088,0
Synodus indicus (Day, 1873) Torquigener hicksi (Hardy, 1983)
Buntal
1.085,0
230,0
1.558,0
495,0 55,0 8,0
9,0 268,0
31,0 1.289,2
989,6
71,4
3.498,5
55,0 32,0
551,0 29,0
1.609,5
2.876,0 495,0
283,0 Pemukul bedug
32,0
122,0 9.354,0
10.903,0
1.373,0
29,0
153,0
2,0
1.109,0
14.358,1
308,0 44.555,2
3
4
Lampiran 5. Jenis-jenis hasil tangkapan Trip 4 (Oktober 2015) No.
Famili
Spesies
Nama Lokal
1
Ambassidae
Ambassis vachellii Richardson, 1846
2
Apogonidae
Ostorhinchus kiensis (Jordan & Snyder, 1901)
Ariidae
Hexanematichthys sagor (Hamilton, 1822)
Dukang
Arius maculatus (Thunberg, 1792)
Dukang
Arius oetik Bleeker, 1846
Utik
Arius venosus (Valenciennes, 1840)
Dukang
Bothidae
Engyprosopon grandisquama (Temminck & Schlegel, 1846)
Sebelah
Carangidae
Alectis indica (Rüppell, 1830)
3 4 5 6 7 8 9
11
13
Kaca
Cynoglossus lingua (Hamilton, 1822)
Lidah panjang
Paraplagusia bilineata (Bloch, 1787)
Tambal
Drepane longimana (Bloch & Schneider, 1801)
Bulan garis
Drepane punctata (Linnaeus, 1758)
Bulan bintik
Dussumieriidae
Dussumieria elopsoides Bleeker, 1849
Sarden
Engraulidae
Coilia lindmani (Bleeker, 1857)
Bulu ayam
Drepaneidae
14 15 16
St.4
St.5
St.6
St.7
St.8
St.9
St.10
Total
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
141,0 78,0
656,0
797,0
4,9
132,9
29,0 473,0
29,0
637,0
1.110,0 310,0
401,0
34,0 9,0
457,0
1.168,0
307,0
341,0
121,0
130,0 13,8
Megalaspis cordyla (Linnaeus, 1758)
12
St.3
50,0
Selar
Cynoglossidae
St.2
Kaca
Atule mate (Cuvier, 1833)
10
St.1
23,5
11,6
7,0
1.472,0
23,5
1.514,1 23,5
99,0
99,0
132,0
132,0
4,6
4,6 3,0 186,0
28,0
13,8
8,0
6,1
18,0
1.114,0
2.089,9
1,8
4,8
14,9
200,9 3.264,0
1
17 18 19 20 21 22
Stolephorus indicus (van Hasselt, 1823)
Teri Indian
Gerreidae
Gerres oyena (Forsskål, 1775)
Mata besar
Gobiidae
Eviota infulata (Smith, 1957) Pomadasys kaakan (Cuvier, 1830)
Lactariidae
Lactarius lactarius (Bloch & Schneider, 1801)
Kapas-kapas
Leiognathidae
Equulites moretoniensis (Ogilby, 1912)
Bete-bete
Gazza minuta (Bloch, 1795)
Bete bintik
2.958,1
Leiognathus equulus (Forsskål, 1775)
Petek
111,5
Photopectoralis bindus (Valenciennes, 1835)
Bete list kuning
Loliginidae
Loligo pickfordi (Adam, 1954)
Cumi-cumi
Lutjanidae
Lutjanus malabaricus (Bloch & Schneider, 1801)
Kakap
Mullidae
Upeneus sulphureus Cuvier, 1829
Nemipteridae
Nemipterus furcosus (Valenciennes, 1830)
Palaemonidae
Macrobrachium equidens (Dana, 1852)
Udang buku
83,0
Macrobrachium rosenbergii (De Man, 1879)
Udang Galah
173,4
Palinuridae
Panulirus cygnus George, 1962
Lobster
Paralichthyidae
Pseudorhombus arsius (Hamilton, 1822)
Sebelah
Penaeidae
Fenneropenaeus indicus (Milne-Edwards, 1837)
25
27 28 29 30 31 32 33 34
8,0
Haemulidae
24
4,0
11,8 553,4
Kakap Putih Totol
23
26
7,8
8,0
16,0
220,0
220,0
12,0
12,0
17,0 5,0 155,0
17,0 151,0
24,0
6,9
3.121,0
1.695,3
1.985,8
760,0 2,5
34,4 208,0
21,0
846,0
1.606,0
12,3
70,3
14,2 9,0
222,2
60,0
69,0 796,7
18,3
11,0
553,4
6,4
796,7 118,6 173,4
26,5 215,1
40,0
64,9
64,9
57,0
83,5 255,1
2
35 36 37
40 41 42
47
50 51 52
Udang Brown
19,0 71,0
Udang loreng
2,1
13,1
15,0
14,0
26,4
61,4
Rogadius asper (Cuvier, 1829)
Plotosidae
Paraplotosus albilabris (Valenciennes, 1840)
Polynemidae
Polydactylus plebeius (Broussonet, 1782)
Portunidae
Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758)
Rajungan
Scylla serrata (Forsskål, 1775)
Kepiting Bakau
1,8
50,0
Ilisha striatula (Wongratana, 1983)
Mata galak
25,0
47,6
Pellona ditchela (Valenciennes, 1847)
Tembang
Scatophagidae
Scatophagus argus (Linnaeus, 1766)
Kiper
Sciaenidae
Johnius amblycephalus (Bleeker, 1855)
Gulama
Johnius coitor (Hamilton, 1822)
Gulama
Pristigasteridae
48 49
Metapenaeus ensis (De Haan, 1844)
Platycephalidae
45 46
15,9
Parapenaeopsis sculptilis (Heller, 1862)
43 44
Udang Kuning
Metapenaeus lysianassa (De Man, 1888)
38 39
Metapenaeus dobsoni (Miers, 1878)
Scorpaenidae
15,9
34,9
1,3
51,4
71,7
2,1
64,2
202,4 962,2
278,0
336,0
246,6
121,0
25,0
25,0
Sembilang 25,0
121,0
16,0
9,0
155,0 49,7
19,3
202,0
Sepiella weberi (Adam, 1939)
Sillaginidae
Sillago sihama (Forsskål, 1775)
Soleidae
Dexillus muelleri (Steindachner, 1879)
85,6 25,9
150,0
321,9
76,8
76,8 135,6 1.460,0
200,0 143,8
374,0
1.763,0
335,6
522,0
3.439,3
7.744,1 1,3
Cumi-cumi besar
Lidah
49,7 273,1
13,0 146,0
42,0
175,1
16,0
Pterois russelii Bennett, 1831
Sepiidae
4,1
121,0
12,0
155,0
327,0
43,4
1,3 491,4
36,0
36,0
220,0
387,0
3
53 54
Squillidae
Cloridopsis scorpio (Latreile, 1828)
Synodontidae
Synodus dermatogenys Fowler, 1912
55 56 57 58
62
Benus
Synodus indicus (Day, 1873)
Pemukul bedug
Terapon theraps Cuvier, 1829
Tetraodontidae
Canthigaster solandri (Richardson, 1845)
Buntal list biru
Torquigener hicksi (Hardy, 1983)
Buntal
Tetraodon nigroviridis (Marion de Procé, 1822)
Buntal bintik
Triacanthidae
Pseudotriacanthus strigilifer (Cantor, 1849)
Tunjang langit
Trichiuridae
Trichiurus lepturus (Linnaeus, 1758)
Layur
60
62
Saurida undosquamis (Richardson, 1848)
Terapontidae
59
61
Udang kipas
Jumlah
12,6
277,8
397,1
82,9 17,2
17,2
24,7
24,7
41,0 4,0
122,8
373,3
29,6
438,1 13,0
17,8
10,5 7,0
2,0
17,0 44,3
44,3
348,4
529,0
31,0
40,0 53,6
35,0 4.597,5
1.781,9
1.270,1
574,9
2.760,9
32,0 -
4.365,0
2.109,5
53,6 67,0
8.600,2
4.376,0
30.436,1
4
Lampiran 6. Biomassa ikan di estuari Berau Nilai TS (dB)
-51
-50
-49
-48
-47
-46
-45
-44
-43
-42
-41
-40
-39
-38
Panjang (cm)
14,1
15,8
17,7
19,9
22,3
25,0
28,1
31,5
35,4
39,7
44,5
49,9
56,0
62,9
Total
Bobot (gram)
31,2
45,7
66,9
97,9
143,4
209,9
307,3
450,0
658,9
964,8
1412,6
2068,4
3028,5
4434,3
Komposisi individu (%)
1
1
2
1
8
10
17
22
12
11
8
6
1
1
100,0
Biomassa (Kg)
279
394
1111
784
8.859
15.634
39.727
71.662
57.182
74.515
70.130
74.253
17.471
24.664
456.665,9
Biomassa (Ton)
0,3
0,4
1,1
0,8
8,9
15,6
39,7
71,7
57,2
74,5
70,1
74,3
17,5
24,7
456,7
Kepadatan stok 2 (ton/ km )
0,00
0,00
0,00
0,00
0,02
0,04
0,11
0,20
0,16
0,21
0,20
0,21
0,05
0,07
1,3
5
Lampiran 7. Hasil pengamatan fitoplankton Trip 1 (Februari 2015) STASIUN PENGAMATAN Trip I NO
1
JENIS PLANKTON
Bacillariophyceae
No
KODE SAMPEL 07
GENUS
STASIUN PENGAMATAN Phytoplankton St.1
St.2
St.3
St.4
St.5
St.6
St.7
St.8
St.9
St.10
1
Diatoma *
3
4
14
8
0
7
6
12
13
6
2
2
Cyclotella *
22
12
17
27
6
12
28
13
33
39
3
3
Synedra *
4
23
4
8
15
61
10
51
9
37
4
4
Stephanodiscus *
0
14
46
0
0
11
0
6
27
0
5
5
Chaetoceras*
0
54
0
21
0
14
12
58
29
21
6
6
Asterionella*
0
55
0
0
0
32
4
12
22
8
7
7
Coscinodiscus*
6
28
43
13
25
4
2
5
0
3
8
8
Biddulphia *
0
0
0
9
13
13
4
9
8
0
9
9
Cymbella*
0
8
0
1
0
0
0
0
0
0
10
10
Melosira*
8
32
16
0
10
0
5
0
0
11
11
11
Actinella*
0
24
0
0
0
0
0
0
0
0
12
12
Lauderia*
0
0
0
0
0
0
0
18
0
0
13
13
Eunotia venesis*
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
14
14
Surirela*
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
15
PHYTOPLANKTON
KELAS
1
Ulotrix *
0
54
0
0
84
0
0
15
235
75
16
Chlorophyceae
2
Closterium *
3
75
7
4
2
3
0
7
9
7
17
3
Mougeotia *
9
0
0
20
14
0
3
0
4
12
18
4
Tetraedron*
0
2
8
0
0
0
0
0
0
0
19
5
0
0
0
0
0
70
0
0
0
0
20
6
0
13
0
0
0
0
0
0
0
0
21
7
Anabaena* Treubaria setigerum* Schroederia ancora*
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
22
8
Chodatella*
0
0
0
6
0
4
3
3
0
0
23
9
Pleodorena*
0
0
0
0
30
0
0
0
0
0
24
10
Xanthidium*
0
0
0
0
0
8
0
0
0
0
25
11
Scnedesmus*
7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
12
Spondylosium*
0
0
0
0
0
0
0
0
0
33
1
Sphaerocystis*
0
0
9
0
0
0
0
0
0
0
2
Selenastrum*
8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
26 27 28
Cyanophiceae
1
Lampiran 8. Hasil pengamatan fitoplankton pada Mei 2015
STASIUN PENGAMATAN Phytoplankton Klas
Jumlah
Bacillariophyceae
1
Chlorophyceae
Genus
st.1
st.2
st.3
st.4
st.5
st.6
st.7
st.8
st.9
st.10
Diatoma *
6
17
14
11
3
0
4
0
6
6
2
Cyclotella *
12
54
18
52
0
24
5
23
34
21
3
3
23
16
15
7
4
8
13
9
8
4
Synedra * Stephanodiscus *
28
40
22
28
4
6
0
0
14
7
5
Chaetoceras*
0
9
0
36
106
21
9
36
35
59
6
Asterionella*
0
26
0
38
4
23
12
33
4
19
7
Coscinodiscus*
7
12
0
0
9
8
4
0
0
3
8
Biddulphia *
0
3
0
22
23
11
16
28
0
8
9
Cymbella*
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
10
Melosira*
0
52
0
6
98
36
48
19
0
53
11
Surirela*
0
0
3
3
0
0
0
0
0
0
12
Navicula*
7
0
10
13
0
0
0
0
7
0
13
Gyrosigma *
0
103
0
8
8
6
3
44
59
45
14
Rhizosolenia *
0
0
0
8
8
53
5
23
0
5
15
Bacteriastrum*
0
0
0
17
25
0
7
24
0
20
16
Hemialus*
0
0
0
0
15
0
0
0
0
0
17
Nitzschia*
0
0
0
0
0
3
13
0
0
0
18
Ditylum*
0
0
0
0
0
13
0
0
3
0
19
Tabellaria*
0
0
0
0
0
0
0
0
4
0
1
Ulotrix *
0
0
0
110
20
0
0
0
17
45
2
Closterium *
0
0
7
0
0
0
0
8
0
0
3
Mougeotia *
0
0
13
4
0
0
17
10
0
69
4
Tetraedron*
0
8
0
0
0
0
0
0
0
0
5
Xanthidium*
0
4
0
0
0
0
0
0
0
0
6
Cosmarium*
4
38
0
0
0
0
0
0
0
0
67
389
103
371
330
208
151
261
195
368
1
Lampiran 9. Hasil pengamatan zooplankton Trip 1 (Februari 2015)
STASIUN PENGAMATAN Trip I JENIS PLANKTON
KELAS
No
KODE SAMPEL 07
GENUS
STASIUN PENGAMATAN Phytoplankton
PHYTOPLANKTON
Bacillariophyceae
Chlorophyceae
St.2
St.3
St.4
St.5
St.6
St.7
St.8
St.9
St.10
1
Diatoma *
3
4
14
8
0
7
6
12
13
6
2
Cyclotella *
22
12
17
27
6
12
28
13
33
39
3
4
23
4
8
15
61
10
51
9
37
4
Synedra * Stephanodiscus *
0
14
46
0
0
11
0
6
27
0
5
Chaetoceras*
0
54
0
21
0
14
12
58
29
21
6
Asterionella*
0
55
0
0
0
32
4
12
22
8
7
Coscinodiscus*
6
28
43
13
25
4
2
5
0
3
8
Biddulphia *
0
0
0
9
13
13
4
9
8
0
9
Cymbella*
0
8
0
1
0
0
0
0
0
0
10
Melosira*
8
32
16
0
10
0
5
0
0
11
11
Actinella*
0
24
0
0
0
0
0
0
0
0
12
0
0
0
0
0
0
0
18
0
0
13
Lauderia* Eunotia venesis*
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
14
Surirela*
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
1
Ulotrix *
0
54
0
0
84
0
0
15
235
75
2
Closterium *
3
75
7
4
2
3
0
7
9
7
3
Mougeotia *
9
0
0
20
14
0
3
0
4
12
4
Tetraedron*
0
2
8
0
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
0
0
70
0
0
0
0
0
13
0
0
0
0
0
0
0
0
7
Anabaena* Treubaria setigerum* Schroederia ancora*
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
8
Chodatella*
0
0
0
6
0
4
3
3
0
0
9
Pleodorena*
0
0
0
0
30
0
0
0
0
0
10
Xanthidium*
0
0
0
0
0
8
0
0
0
0
11
Scnedesmus*
7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
12
Spondylosium*
0
0
0
0
0
0
0
0
0
33
1
Sphaerocystis*
0
0
9
0
0
0
0
0
0
0
2
Selenastrum*
8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
Cyanophiceae
St.1
2
Lampiran 10. Hasil pengamatan zooplankton Mei 2015 Klas
Sarcodina (PZ)
Jumlah
Genus
STASIUN PENGAMATAN ZOOPLANKTON st.1
st.2
st.3
st.4
st.5
st.6
st.7
st.8
st.9
st.10
1
Diflugia #
6
24
4
39
8
12
8
19
9
7
2
Titinidium #
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
3
Phacus #
9
0
0
4
0
4
0
8
2
7
1
Oxitricha #
4
0
5
13
0
18
8
0
4
0
2
Ceratium#
0
0
0
49
35
27
6
8
3
7
3
Didinium#
0
0
0
10
0
0
0
0
0
0
1
Mytillina#
6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
Polyarthra#
0
0
0
0
0
0
4
0
0
0
1
Cyclops #
0
0
3
8
4
0
0
4
0
0
2
Nauplius #
0
10
0
0
3
0
0
2
0
0
3
Hexathra#
0
14
0
0
0
0
0
0
3
0
4
Trichocerca#
0
0
0
0
0
4
0
0
0
0
Ciliata (PZ)
Rotifer
Crustacea
1
2
Lampiran 11. Hasil Pengamatan Makrozoobentos Trip 1 (Februari 2015)
No
Kelas
Famili
Spesies
st.1
st.2
st.3
st.4
st.5
st.6
1
Crustacea
Gammaridae
Gammarus sp
2
Oligochaeta
Tubificidae
Aulodrilus sp
6
Branchiura sworbyi
1
3 4
st.8
st.9
st.10 2
11
17 1
Arenicolidae
Arenicola sp
5
Orbiniidae
Orbinia sp
3
4
6
Capittalidae
Capitella sp
2
4
Archidae
Anadara sp
Carciidae
sp.1 Cerastoderma glaucum sp.1 (kerang bergerigi)
7
Polychaeta
st.7
Bivalvia
8 9 10 11
Crepidulidae
12
Cuspidaridae
Cuspidaria cuspidata
13
Donacidae
Donax variabilis
14
Gastropoda Cylichnidae
Cylicha occulata
Janthinidae
Janthina sp
17
Naticidae
Nassarius sp
18
Nerritidae
Neritina sp
19
Nuculidae
Nucula sp
20
Ringiculidae
Ringicula semistriata
21
Rissoidae
22
Tellinidae
23
Trochidae
Macoma sp Calliostoma ziziphinus
25
Turridae
Gibbula fanulum Lyromangelia taeniata
26
Volutidae
24
28
1
2 9
4
3
2
Dentallidae Siphonodentaliidae
Cadulus jeffreysi
16
1
1
9
17
3
1
1 1 1 1
2
1 1
1
Lyria sp Dentalium inaequicostatum
4 2
7
Argonauta sp
16
Scaphopoda
3
6
15
27
1
1
3
1 1
1
3 1 2 3
1 1
4 1
24
1
9
3
1
Lampiran 12. Hasil pengamatan makrozoobentos trip 2 (Mei 2015)
No 1
Kelas
Famili
Polychaeta
Hesionidae
2 3
Bivalvia
Spesies
Isopilidae
Phalacropharus pictusborealis
Archidae
Anadara sp
4
st.1
st.2
st.3
st.4
st.5
1
st.6
st.7
st.8
Archidae
6
1
1 3
0
1 1 3
Architectonicidae
Scapharca inaequivalvis Architectonica perspectiva
7
Astartidae
Astarte borealis
2
8
Cardiidae
Cerastoderma glaucum
9
Cardiidae
(kerang bergerigi)
10
Conidae
Asprella sp
11
Corbulidae
Corbula gibba
12
st.10
2
Bathyarca sp
5
st.9
3
1 49
2
2
1
1
1 1
Corbula contracta
1
13
Crepidulidae
14
Cuspidaridae
Cuspidaria cuspidata
15
Tellinidae
Macoma melo
2
5
Tellina radiat
3
1
16 17 18
Unionidae Gastropoda
3 4
1
Lanceolaria grayana Argonauta sp
19
Cylichnidae
Cylicha occulata
20
Donacidae
Donax variabilis
21
Mitridae
22
Naticidae
13
2 13
2 1 2
Nassarius sp
1
24
Sinum concavum
2
Olividae
27
Ringiculidae
Ringicula semistriata
28
Turridae
Lyromangelia taeniata
29
Turritellidae
30
Volutidae
31 32
Scaphopoda
3
2 1
6
Polinices aurantius
Nuculidae
130
2
23
26
1 2
1
25
1
Nucula sp
1 1 1
2
2
3
1 15
Dentallidae
Fulgoria clara Dentalium inaequicostatum
Siphonodentaliidae
Cadulus jeffreysi
17 1
16
1
38
3
2
2
Lampiran 13. Hasil pengamatan makrozoobentos Trip 3 (Agustus 2015) No 1
Kelas
Famili
Spesies
Polychaeta
Ampharitidae
Amphicteis sp
st.1 1
2
Arabellidae
3
Arenicolidae
Arenicola sp
4
Capitellidae
Capitella sp
5
Cossuridae
Cossura longocirrata
6
Fauveliospidae
7
Hesionidae
8
Heterospionidae
9
Lumbrineridae
2
10
Magelonidae
2
11
Maldanidae
12
Nereidae
Namalycastis sp
13
Nerillidae
Mesonerilla sp
14
Opheelidae
15
Orbiinidae
Orbinia sp
16
Phyllodocidae
Anaitides sp
17
Polyodontidae
18
Sabellidae
19
Scabellidae
20
Sternaspispidae
Sternaspis scutata
21
Trichobranchidae
Terebellides sp
st.2 1
st.3 7
st.4
st.5
2
st.6
4
1
st.9
st.10
1
1
3
2
1
1
1
1
1 2
st.8 1
2 15
st.7
2
2
1
1
1
1 Hesione sp
1
2
1
1 2
2
1
2 1
2
2 1
3 8
1 2
1 2 1
1
1 Fabricia sabella
1 1 1 1
22
Oligochaeta
Tubificidae
Aulodrilus sp
23
Amphipoda
Gammaridea
Gammarus sp
3
24
Copepoda
Harpacticoida
Harpacticus sp
1
25
Scaphopoda
Dentallidae
Dentalium inaequicostatum
6
28
6
19
Siphonodentaliidae
Cadulus jeffreysi
1
45
18
3
1
2
2
10
4
8
2
26 27
Bivalvia
1
Arcidae
28
Cardiidae
29
Crepidulidae
30
Corbulidae
31
Cuspidaria
32
Donacidae
Donax variabilis
15
33
Tellinidae
Macoma melo
1
34
2 Corbula sp
Gastropoda
2 1
Tellina radiat
35 36
(kerang bergerigi)
Veneridae
Bassina disjecta
Architectonicidae
Architectonica perspectiva
3 1
2
2
45
2
5
2
6
2
5
8
4
2
115
2
4
1
4
2
1
1 1 1
37
Archidae
38
Cylichnidae
Cylicha occulata
1
39
Epitonidae
Epitonium sp
1
40
Mitridae
1
17
3
41
Muricidae
42
Naticidae
43
Pyramidellidae
44
Ringiculidae
45
Rissoidae
46
Turridae
47
Turritellidae
48
Volutidae
Trophon vaginatus
1 11 1
Ringicula semistriata
7
80 1
Lyromangelia taeniata
2 10 1
4
6
Lampiran 14. Kualitas air Trip 1 (Februari 2015)
Metode CO2 No.
Parameter Metode Turbidity
Pengujian
Pengujian
Metode
mg/l
Pengujian
Stasiun
mg/l
1
St. 1 P. Besing
1,76
Titrimetri NaOH
14,5
Meter
4,99
Titrimetri
2
St. 2 Kasai -Berau
1,76
Titrimetri NaOH
25,7
Meter
29,53
Titrimetri
3
St. 3
1,76
Titrimetri NaOH
17,26
Meter
29,53
Titrimetri
4
St. 4
1,76
Titrimetri NaOH
5,34
Meter
336,28
Titrimetri
5
St. 5
1,76
Titrimetri NaOH
1,33
Meter
274,93
Titrimetri
6
St. 6
0
Titrimetri NaOH
4,05
Meter
458,98
Titrimetri
7
St. 7
0,88
Titrimetri NaOH
4,42
Meter
234,03
Titrimetri
8
St. 8
0
Titrimetri NaOH
2,5
Meter
193,13
Titrimetri
9
St. 9
1,76
Titrimetri NaOH
2,64
Meter
4,99
Titrimetri
10
St. 10
0
Titrimetri NaOH
0,42
Meter
213,58
Titrimetri
O-PO4
Metode
Hardness
Metode
NTU
BO. Terlarut
Parameter NH3 Metode
Pengujian
mg/l
Pengujian
mg/l
Pengujian
96
EDTA
0,086
Indofenol
0,005
Vandate Molibdate
2730
EDTA
0,103
Indofenol
0,012
Vandate Molibdate
St. 3
86
EDTA
0,253
Indofenol
0,008
Vandate Molibdate
St. 4
1420
EDTA
0,106
Indofenol
0,006
Vandate Molibdate
5
St. 5
4200
EDTA
0,011
Indofenol
0,012
Vandate Molibdate
6
St. 6
1280
EDTA
0,014
Indofenol
0,005
Vandate Molibdate
7
St. 7
3460
EDTA
0,047
Indofenol
0,014
Vandate Molibdate
8
St. 8
1380
EDTA
0,097
Indofenol
0,003
Vandate Molibdate
9
St. 9
976
EDTA
0,022
Indofenol
0,004
Vandate Molibdate
10
St. 10
1251
EDTA
0,781
Indofenol
0,002
Vandate Molibdate
TSS
Metode
mg/l
Pengujian
No.
Stasiun
mg/l
1
St. 1 P. Besing
2
St. 2 Kasai -Berau
3 4
TDS mg/l
Parameter Metode DHL Pengujian μs
No.
Stasiun
PH
1
St. 1 P. Besing
6,83
3,8
3005
Meter
57
Gravimetri
2
St. 2 Kasai -Berau
7,01
OR
22025
Meter
92
Gravimetri
3
St. 3
7,15
2,2
531
Meter
33
Gravimetri
4
St. 4
7,05
OR
12736
Meter
61
Gravimetri
5
St. 5
7,4
OR
32409
Meter
71
Gravimetri
6
St. 6
7,5
OR
33774
Meter
59
Gravimetri
7
St. 7
7,54
OR
26915
Meter
84
Gravimetri
8
St. 8
7,61
OR
38215
Meter
101
Gravimetri
5
9
St. 9
7,01
OR
37534
Meter
80
Gravimetri
10
St. 10
7,71
OR
38705
Meter
96
Gravimetri
TA
Metode
NO2
Metode
mg/l
Pengujian
Pengujian
mg/l
Pengujian
Parameter Metode
NO3
No.
Stasiun
mg/l
1
St. 1 P. Besing
66
Bromokresol green
0,159
Nessler
0,013
Sulfanilamide
2
St. 2 Kasai -Berau
104
Bromokresol green
0,350
Nessler
0,023
Sulfanilamide
3
St. 3
60
Bromokresol green
0,177
Nessler
0,006
Sulfanilamide
4
St. 4
96
Bromokresol green
0,364
Nessler
0,007
Sulfanilamide
5
St. 5
154
Bromokresol green
0,355
Nessler
0,012
Sulfanilamide
6
St. 6
160
Bromokresol green
0,232
Nessler
0,002
Sulfanilamide
7
St. 7
134
Bromokresol green
0,323
Nessler
0,006
Sulfanilamide
8
St. 8
164
Bromokresol green
0,300
Nessler
0,003
Sulfanilamide
9
St. 9
136
Bromokresol green
0,445
Nessler
0,015
Sulfanilamide
10
St. 10
168
Bromokresol green
0,373
Nessler
0,003
Sulfanilamide
Parameter Klorofil No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Metode
Stasiun
μg/l
Pengujian
St. 1 P. Besing
4,76
Ekstrak Klorofil
St. 2 Kasai -Berau
-1,19
Ekstrak Klorofil
St. 3
2,38
Ekstrak Klorofil
St. 4
4,76
Ekstrak Klorofil
St. 5
-1,19
Ekstrak Klorofil
St. 6
2,38
Ekstrak Klorofil
St. 7
2,38
Ekstrak Klorofil
St. 8
3,57
Ekstrak Klorofil
St. 9
15,47
Ekstrak Klorofil
St. 10
-3,57
Ekstrak Klorofil
6
Lampiran 15. Kualitas air trip 2 (Mei 2015)
No.
Stasiun
CO2
Turbidity
mg/l
NTU
Parameter Metode
COD
Metode
Pengujian
mg/l
Pengujian
1
St. 1
4,4
0,164966
Vandate Molibdate
5,49
Titrimetri
2
St. 2
4,4
0,039116
Vandate Molibdate
5,82
Titrimetri
3
St. 3
4,4
0,013605
Vandate Molibdate
5,66
Titrimetri
4
St. 4
0
0,022109
Vandate Molibdate
3,49
Titrimetri
5
St. 5
4,4
-0,005102
Vandate Molibdate
4,16
Titrimetri
6
St. 6
7,04
0,039116
Vandate Molibdate
3,83
Titrimetri
7
St. 7
0
0,028912
Vandate Molibdate
3,83
Titrimetri
8
St. 8
0
-0,010204
Vandate Molibdate
4,66
Titrimetri
9
St. 9
0,15
0,027211
Vandate Molibdate
3
Titrimetri
10
St. 10
0
0,013605
Vandate Molibdate
2,16
Titrimetri
O-PO4
Metode
Hardness
NH3
Parameter Metode
mg/l
Pengujian
mg/l
Pengujian
1.141,14
0,234375
Indofenol
0,01295
Asam Askorbat
St. 2
1.171,2
0,074219
Indofenol
0,05036
Asam Askorbat
3
St. 3
1.471,5
-0,042696
Indofenol
0,002878
Asam Askorbat
4
St. 4
2.463
0,035156
Indofenol
0,003597
Asam Askorbat
5
St. 5
1.988
0,054688
Indofenol
0,008633
Asam Askorbat
6
St. 6
1.675,7
0,0625
Indofenol
0,009353
Asam Askorbat
7
St. 7
2.171,2
-0,0625
Indofenol
0,01223
Asam Askorbat
8
St. 8
2.546,5
-0,023438
Indofenol
0,001439
Asam Askorbat
No.
Stasiun
mg/l
1
St. 1
2
7
9
St. 9
1.979
0,066406
Indofenol
0,007194
Asam Askorbat
10
St. 10
2399,4
0,11719
Indofenol
0,000719
Asam Askorbat
No.
Stasiun
DHL
Turbidity
Parameter Metode
PH
μs
NTU
TSS
TSS
Metode
pengujian
mg/l
mg/l
Pengujian
1
St. 1
7,4
109,4
189
Meter
158
141
Gravimetri
2
St. 2
7,15
155270
210
Meter
193
38
Gravimetri
3
St. 3
6,97
12156
640
Meter
74
485
Gravimetri
4
St. 4
7,15
44034
63,2
Meter
100
160
Gravimetri
5
St. 5
7,15
41109
7,64
Meter
60
146
Gravimetri
6
St. 6
6,91
31337
38,5
Meter
78
136
Gravimetri
7
St. 7
6,97
43695
55,2
Meter
168
138
Gravimetri
8
St. 8
7,34
46028
11,49
Meter
69
90
Gravimetri
9
St. 9
7,21
40634
42,8
Meter
113
71
Gravimetri
10
St. 10
6,85
47260
16,78
Meter
91
101
Gravimetri
No.
Stasiun
TA
Parameter mg/l
Metode Pengujian
NO3
Metode
NO2
mg/l
Pengujian
mg/l
Metode Pengujian
1
St. 1
40
Bromokresol greeen
0,264574
Nessler
0,109
Sulfanilamide
2
St. 2
91
Bromokresol greeen
0,565022
Nessler
0,0057
Sulfanilamide
3
St. 3
78
Bromokresol greeen
0,573991
Nessler
0,0474
Sulfanilamide
4
St. 4
209
Bromokresol greeen
1,125561
Nessler
0,0026
Sulfanilamide
5
St. 5
178
Bromokresol greeen
1,174888
Nessler
0,0193
Sulfanilamide
6
St. 6
152
Bromokresol greeen
1,170404
Nessler
0,032
Sulfanilamide
7
St. 7
191
Bromokresol greeen
1,067265
Nessler
0,0021
Sulfanilamide
8
St. 8
195
Bromokresol greeen
0,807175
Nessler
0,0012
Sulfanilamide
9
St. 9
182
Bromokresol greeen
1,152466
Nessler
0,0406
Sulfanilamide
10
St. 10
210
Bromokresol greeen
1,130045
Nessler
0,0003
Sulfanilamide
Stasiun
Klorofil Ca (mg/m3)
Parameter
No.
Metode Pengujian
8
1 St. 1
0,02
Ekstrak Klorofil
St. 2
-6,15
Ekstrak Klorofil
St. 3
6,8
Ekstrak Klorofil
St. 4
-4,09
Ekstrak Klorofil
St. 5
-0,45
Ekstrak Klorofil
St. 6
-4,41
Ekstrak Klorofil
St. 7
5398
Ekstrak Klorofil
St. 8
7,48
Ekstrak Klorofil
St. 9
8,5
Ekstrak Klorofil
St. 10
4,41
Ekstrak Klorofil
2 3 4 5 6 7 8 9 10
9
Lampiran 16. Kualitas air trip 3 (Agustus 2015)
No.
Stasiun
CO2
Metode
Turbidity
mg/l
Pengujian
NTU
Parameter Metode
COD
Metode
Pengujian
mg/l
Pengujian
1
St. 1
2,64
Titrimetri NaOH
86,8
Turbidi Meter
5,82
Titrimetri KMnO4
2
St. 2
4,4
Titrimetri NaOH
26,5
Turbidi Meter
0,67
Titrimetri KMnO4
3
St. 3
4,4
Titrimetri NaOH
294
Turbidi Meter
5,66
Titrimetri KMnO4
4
St. 4
0,88
Titrimetri NaOH
100
Turbidi Meter
3,49
Titrimetri KMnO4
5
St. 5
0,88
Titrimetri NaOH
31,5
Turbidi Meter
0,17
Titrimetri KMnO4
6
St. 6
0,88
Titrimetri NaOH
19,49
Turbidi Meter
0,08
Titrimetri KMnO4
7
St. 7
0,88
Titrimetri NaOH
22,45
Turbidi Meter
1,00
Titrimetri KMnO4
8
St. 8
0,88
Titrimetri NaOH
10,17
Turbidi Meter
0,33
Titrimetri KMnO4
9
St. 9
0,88
Titrimetri NaOH
4,41
Turbidi Meter
0,67
Titrimetri KMnO4
10
St. 10
0,88
Titrimetri NaOH
4,01
Turbidi Meter
1,33
Titrimetri KMnO4
No.
Stasiun
Parameter Metode
Hardness
Metode
NH3
TP
O-PO4
Metode
mg/l
Pengujian
mg/l
Pengujian
mg/l
mg/l
Pengujian
1
St. 1
2.306.304
EDTA
0,1468
Indofenol
0,0338
0,0046
Asam Askorbat
2
St. 2
2.738.736
EDTA
0,1365
Indofenol
0,0267
0,0023
Asam Askorbat
3
St. 3
44.648.604
EDTA
0,2381
Indofenol
0,0267
0,0122
Asam Askorbat
4
St. 4
17.873.856
EDTA
0,2635
Indofenol
0,0309
0,0084
Asam Askorbat
5
St. 5
5405,4
EDTA
0,0802
Indofenol
0,0267
0,0084
Asam Askorbat
6
St. 6
5.891.886
EDTA
0,0738
Indofenol
0,0323
0,0031
Asam Askorbat
7
St. 7
5.837.832
EDTA
0,1270
Indofenol
0,0577
0,0061
Asam Askorbat
8
St. 8
62.666.604
EDTA
0,0341
Indofenol
0,0323
0,0008
Asam Askorbat
9
St. 9
4.126.122
EDTA
0,0198
Indofenol
0,0394
0,0008
Asam Askorbat
10
St. 10
4864,86
EDTA
TTD
Indofenol
0,0605
0,0015
Asam Askorbat
10
No.
Stasiun
TDS
PH 1
St. 1
7,81
Parameter Salinitas
DHL
Metode
Metode
TSS
Metode
mg/l
μs
Pengujian
ppt
Pengujian
mg/l
Pengujian
1320
2354
Do Meter
0,90
Do Meter
141
Gravimetri
2
St. 2
7,42
or
22911
Do Meter
16,00
Do Meter
38
Gravimetri
3
St. 3
7,33
or
32620
Do Meter
21,60
Do Meter
485
Gravimetri
4
St. 4
7,54
or
12810
Do Meter
8,60
Do Meter
160
Gravimetri
5
St. 5
7,57
or
38725
Do Meter
26,70
Do Meter
146
Gravimetri
6
St. 6
7,67
or
40450
Do Meter
29,10
Do Meter
136
Gravimetri
7
St. 7
7,48
or
37997
Do Meter
26,40
Do Meter
138
Gravimetri
8
St. 8
7,25
or
38950
Do Meter
27,90
Do Meter
90
Gravimetri
71
Gravimetri
101
Gravimetri
9
St. 9
7,14
or
29931
Do Meter
28,00
Do Meter
10
St. 10
6,89
or
38230
Do Meter
27,70
Do Meter
No.
Stasiun
TA
Metode
mg/l
Pengujian
Parameter Metode
NO2
Metode
mg/l
Pengujian
mg/l
Pengujian
NO3
1
St. 1
47
Bromokresol green
0,2171
Nessler
0,0113
Sulfanilamide
2
St. 2
82
Bromokresol green
0,1743
Nessler
0,0041
Sulfanilamide
3
St. 3
99
Bromokresol green
0,6711
Nessler
0,0401
Sulfanilamide
4
St. 4
69
Bromokresol green
0,3816
Nessler
0,0404
Sulfanilamide
5
St. 5
109
Bromokresol green
0,2533
Nessler
0,0080
Sulfanilamide
6
St. 6
121
Bromokresol green
0,6053
Nessler
0,0033
Sulfanilamide
7
St. 7
106
Bromokresol green
20.526
Nessler
0,0067
Sulfanilamide
8
St. 8
120
Bromokresol green
13.125
Nessler
0,0026
Sulfanilamide
9
St. 9
94
Bromokresol green
0,4474
Nessler
0,0025
Sulfanilamide
10
St. 10
108
Bromokresol green
18.651
Nessler
0,0023
Sulfanilamide
No.
Parameter
Stasiun Klorofil
Metode
11
(λ665, λ750) μg/l
( λ664, λ647, λ630) mg/m3
Pengujian
1 St. 1
61,88
63,76
Ekstrak Klorofil
St. 2
24,99
27,24
Ekstrak Klorofil
St. 3
30,94
37,92
Ekstrak Klorofil
St. 4
44,03
46,30
Ekstrak Klorofil
St. 5
8,33
6,15
Ekstrak Klorofil
St. 6
TTD
8,36
Ekstrak Klorofil
St. 7
TTD
0,12
Ekstrak Klorofil
St. 8
5,95
6,51
Ekstrak Klorofil
St. 9
2,38
3,58
Ekstrak Klorofil
St. 10
1,19
4,76
Ekstrak Klorofil
2 3 4 5 6 7 8 9 10
12
13
14