LAPORAN TEKNIS KEGIATAN PENELITIAN
KAJIAN EKONOMI REVITALISASI INDUSTRI BUDIDAYA UDANG
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2015
i
KAJIAN EKONOMI REVITALISASI INDUSTRI BUDIDAYA UDANG
TIM PENELITI:
Dr. Ir. Tajerin, MM., ME. Estu Sri Luhur, SE Mira, Spi, MT., MSc. Noviardy
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2015
ii
LEMBAR PENGESAHAN Satuan Kerja (Satker)
:
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Judul Kegiatan Status Pagu Anggaran Tahun Anggaran Sumber Anggaran
: : : : :
Penanggung Jawab Output
:
Penanggungjawab Pelaksana Output
:
Kajian Ekonomi Revitalisasi Industri Budidaya Udang Baru Rp. 181.037.000,2015 APBN, DIPA Satker Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2015 Dr. Ir. Tajerin, M.M., M.E. NIP. 19640326 199303 1 003 Dr. Ir. Tajerin, M.M., M.E. NIP. 19640326 199303 1 003
Jakarta,
2015
Penanggung Jawab Output/Penanggung Jawab Pelaksana Output
Dr. Ir. Tajerin, M.M., M.E. NIP. 19640326 199303 1 002
Mengetahui/Menyetujui: Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T. NIP. 1964126 199303 1 002
iii
4
COPY RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN (ROKP)
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. Judul Kegiatan
:
2. Sumber dan Tahun Anggaran 3. Status Penelitian 4. Program
: : :
Kajian Ekonomi Revitalisasi Industri Budidaya Udang APBN 2015 Baru Penelitian dan Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan Perikanan (Udang)
a. Komoditas : b. Bidang/Masalah Kegiatan : Kedaulatan Pangan Pengembangan Ekonomi Maritim Penguatan Jati Diri Bangsa Pemberantasan Ikan Liar c. Penelitian Pengembangan : Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan d. Manajemen Penelitian : Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan e. Isu Strategis Pengembangan KP : 2015 – 2019 Pengembangan Produk Perikanan untuk Ketahanan Pangan dan Gizi Nasional Peningkatan Daya Saing dan Nilai Tambah Produk Kelautan dan Perikanan Pendayagunaan Potensi Ekonomi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pengelolaam Sumberdaya KP secara berkelanjutan Peningkatan Kesejahteraan Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan Pengembangan SDM dan IPTEK KP f. Dukungan terhadap Indikator : Kinerja BSC Nilai Indeks Kesejahteraan Masyarakat KP Pertumbuhan PDB Perikanan (%) Jumlah WPP yang Terpetakan Potensi di Bidang Sumberdaya Sosial Ekonomi KP untuk Pengembangan Ekonomi Maritim dan Kelautan yang Berkelanjutan Jumlah Rekomendasi Kebijakan yang Diusulkan untuk dijadikan Bahan Kebijakan (buah) Jumlah Pengguna Hasil IPTEK Litbang di Bidang Sumberdaya Sosial Ekonomi KP (kelompk) Jumlah Rekomendasi Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan: 1 (satu) buah Jumlah Data dan Informasi Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan: 1 (satu) buah Karya Tulis Ilmiah Bidang Penelitian Sosial Ekonomi: 1 (satu) buah Jumlah Model Kelembagaan Penyebaran IPTEK dan Pemberdayaan Masyarakat Jumlah Model Kebijakan Sosial Ekonomi Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan 5. Judul Rekomendasi Kebijakan 6. Lokasi Kegiatan
: Kebijakan Percepatan Revitalisasi Industri Udang Indonesia : DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Lampung iii
7. Peneliti yang terlibat
:
No.
Nama
1. 2. 3. 4.
Dr. Ir. Tajerin, MM., ME. Estu Sri Luhur, SE. Mira, SPi, MT., MSc. Noviardy
Pendidikan/ Jabatan Fungsional S3/Peneliti Utama S1/Peneliti Muda S2/Peneliti Madya SUPM/Fungsional Umum
Disiplin Ilmu
Tugas (Institusi)
Ekonomi Ekonomi Ekonomi Perikanan
Penanggung jawab Anggota Anggota PUMK
Alokasi Waktu (OB) 6 6 6 4
: 8. Tujuan (1) Menelaah dinamika produktivitas budidaya tambak udang di Indonesia periode 1989—2013 dan mengkaji peran berbagai kebijakan (termasuk kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang) terkait dengan produktivitas tambak udang di Indonesia. (2) Mengukur kinerja revitalisasi usaha budidaya udang (produktivitas) dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya serta faktor penentu keputusan pembudidaya revitalisasi kegiatan usaha budidaya udang. (3) Merumuskan rekomendasi kebijakan percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia. 9.
Latar Belakang Program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia merupakan bagian dari program besar “Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan” (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden R.I. pada tanggal 11 Juni 2005. Program besar ini diimplemetasikan menggunakan strategi umum untuk: (1) Meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan (pembudidaya tambak), dan petani hutan; (2) Meningkatkan daya saing produk pertanian, perikanan dan kehutanan; dan (3) Menjaga kelestarian sumberdaya pertanian, perikananan dan kehutanan (Pusdatin - KKP., 2005). Pada awal direncanakannya program revitalisasi perikanan di Indonesia (tahun 2005), dijalankan dengan misi utama berupa “percepatan implementasi pembangunan perikanan untuk mengatasi pemulihan ekonomi menuju Indonesia yang lebih sejahtera melalui pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal, berkelanjutan dan berkeadilan. Tujuan revitalisasi perikanan (termasuk industri budidaya udang) adalah meningkatkan kesejahteraan nnelayan, pembudidaya ikan (udang) dan masyarakat pesisir lainnya serta pelaku ekonomi perikanan/kelautan, menyediakan lapangan kerja, kesempatan berusaha, serta meningkatkan konsumsi dan menyediakan bahan baku industri di dalam negeri dan penerimaan devisa, serta meningkatkanan penerimaan negara/daerah melalui hasil perikanan. termasuk dari hasil budidaya udang. Program revitaslisasi perikanan dikembangkan mencakup revitalisasi sumbersumber pertumbuhan ekonomi yang ada berupa berbagai kegiatan usaha di bidang penangkapan ikan, budidaya perikanan, dan mengoptimalisasikan operasioanl unit usaha pengolahan ikan dalam negeri, termasuk juga menciptakann sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru berupa pemanfaatan peluang usaha perikanan yang masih memiliki prospek yang baik. Dalam kurun waktu 2005 hingga 2009, pemerintah telah menjalankan program jangka menengah revitalisasi perikanan berupa: (1) Pengembangan industri perikanan terpadu; (2) Pengembangan Prasarana Pelabuhan; dan (3) Pengembangan prasarana budidaya perikanan; serta (4) Peningkatan partisipasi Indonesia dalam perikanan regional. Salah satu langkah operasional yang dilakukan dalam rangkaa mendukung revitalisasi perikanan adalah “Pengembangan Komoditas Udang” sebagai bentuk dari langkah-langkah dalam operasionalisasi revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, yang tahap awalnya telah diimplementasikan para kurun waktu 2005-2009 adalah (Pusdatiniv
KKP, 2005): Melakukan impor indusk dan benih udang vaname SPF (Spesifik Pathogen Free); (2) Melakukan domestikasi dan pemuliaan udang vaname menjadi induk SPF dan SPR, sehingga mengurangi ketergantungan dari impor; (3) Membangun National Backyard Hatchery (NBH) udang; (4) Melakukan revitalisasi backyard hatchery udang; (5) Menerapkan sertifikasi perbenihan dan pembudidayaan udang; (6) Mengembangkan laboratorium lingkungan dan penyakit; (7) Menyediakan sarana dan prasarana budidaya tambak udang; dan (8) Membantu penguatan permodalan bagi pembudidaya udang. Revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia sangat terkait erat dengan posisi komoditas udang di Indonesia yang merupakan komoditas unggulan di sektor perikanan yang dihasilkan dari kegiatan budidaya. Di samping itu, juga karena kegiatan usaha budidaya udang mampu memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perolehan devisa, pendapatan pembudidaya, menciptakan lapangan kerja dan peluang berusaha. Revitalisasi tersebut juga sangat penting, terutama karena peran kegiatan budidaya udang ke depan yang semakin besar, sementara kegiatan penangkapan udang terus semakin berkurang. Kemudian juga karena perusahaan yang terlibat adalah perusahaan skala kecil, menengah, dan besar; dan pasar utama komoditas udang adalah pasar ekpor dengan permintaan yang masih tetap tinggi. Dengan demikian, revitalisasi industri budidaya udang akan mencakup revitalisasi pada level produksi, pengolahan dan pemasaran/perdagaangan melalui pelibatan usaha skala kecil, menengah dan besar. Hasil evaluasi program revitalisasi industri udang di Indonesia yang dilakukan oleh Ditjen Perikanan Budidaya pada tahun 2010 menyatakan bahwa sebagian sasaran yang telah ditentukan masih belum tercapai sesuai dengan yang diharapkan, seperti terkait dengan capaian produksi,baik yang dilakukan melalui intensifikisasi, ekstensifikasi dan diversifikasi budidaya tambak udang di Indonesia. Oleh karena itu, program revitalisasi industri budidaya udang kemudian terus dilanjutkan kembali pada tahun 2012 yang diintegrasikan ke dalam program Industrialisasi Perikanan, khusunya yang dilakukan dengan lebih mengoptimalkan segala sumberdaya yang dimiliki Indonesia (Ditjen Perikanan Budidaya – KKP, 2012). Pertambakan di Indonesia pernah mengalami kejayaan dalam produksi udang pada era tahun 1990-an, dengan menerapkan teknologi ekstensif, semi- intensif dan intensif. Dengan timbulnya berbagai masalah, seperti penurunan daya dukung lingkungan, serangan penyakit udang, dan menurunnya mutu induk/benih udang, mengakibatkan kegagalan pada produksi udang. Rendahnya tingkat produktivitas perikanan budidaya udang di Indonesia saat ini masih dapat ditingkatkan, seperti dengan melakukan revitalisasi melalui perencanaan zonasi kawasan pesisir, sehingga akan tercipta keseimbangan tata ruang kawasan perikanan yang mampu mendukung keberlanjutan perikanan budidaya. Secara ideal, kegiatan perikanan budidaya haruslah dikembangkan secara berkelanjutan. Dalam artian, kegiatan budidaya tersebut haruslah menghasilkan produktivitas yang sebanding dengan upaya, tidak menciptakan konflik sosial, serta selaras dengan daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali produksi udang di Indonesia, perlu dilakukan upaya-upaya khusus, antara lain melalui “Revitalisasi Industri Budidaya Udang”, terutama pada kegiatan budidaya udang di tambak-tambak yang idle atau yang beroperasi tetapi tidak secara optimal. Ditjen Perikanan Budidaya (2014), menyatakan bahwa program revitalisasi udang dimulai sejak Mei 2012 dan telah menghasilkan sekitar 390 ton udang. Selain itu juga, program ini telah menghasilkan sekitar 125 hektar tambak baru. Program revitalisasi udang vaname akan diperluas wilayahnya, tidak hanya terbatas di Jawa Barat, tetapi juga ke Jawa tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Lampung dan Sumatera Utara. Pemerintah menargetkan dari sekitar 2.000 hektar bisa menghasilkan antara 11-12 ton per hektarnya, khususnya melalui dukungan teknologi dalam menghasilkan udang-udang yang berkualitas. Lebih lanjut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (2014) menjelaskan untuk anggaran yang disediakan pada program revitalisasi di 2013 mencapai Rp260 miliar dengan area cakupan mencapai 2.000 hektar. Sementara itu, pada 2012 anggarannya mencapai Rp225 miliar dan telah menghasilkan sekitar 1.000 hektar v
di 5 kabupaten antara lain, Kerawang, Cirebon, Indramayu, Subang dan Serang. (http://www.neraca.co.id/industri/27307/Revitalisasi-Udang-Vaname-Akan-Diperluas--). Masyarakat Akuakultur Indonesia – MAI (2014), menyatakan bahwa langkah pemerintah untuk melakukan proses revitalisasi tambak di beberapa daerah di Pantura hingga Jawa Timur harus berstrategi, jangan karena mengejar target penggenjotan jumlah produksi semata. Pemerintah seharusnya memperhatikan berbagai kemungkinan yang akan terjadi apabila revitalisasi dilakukan. Jangan hanya karena dikebut jumlah produksi semata hingga mengabaikan lingkungan. Aspek daya dukung lingkungan di sekitar Pantai Utara Jawa sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah, jika tidak ingin gagal di tengah jalan. Belum lagi tingkat kepadatan udang yang juga harus diperhatikan. “Maksimum kepadatan 60ekor per m2 . Sehingga produktivitas bisa mencapai 7-10 ton per panen. Sementara implementasi program revitalisasi yang dilakukan saat ini, tampaknya dilakukan “jor-joran” hingga ada tambak dengan kepadatan tanam sekitar 200 ekor per m2. Belum lagi masalah jadwal yang harus dipercepat secara tidak wajar oleh pemerintah. Seperti pada pelaksanaan program revitalisasi yang tahun sebelumnya (2012-2013). Proses pencanangan revitalisasi tambak baru digulirkan semenjak Oktober 2012, sedangkan target harus bisa dipenuhi di awal 2013 mendatang. Dari sisi jadwal, hal ini tidak mungkin karena harus dilakukan selama 1,5 bulan. Padahal seperti udang vaname dipanen paling cepat 4 bulan untuk bisa mencapai ukuran konsumsi (http://regional.kompasiana.com/2012/12/11/revitalisasitambak-pantura-jangan-karena-asal-kebut-produksi--). Beberapa permasalahan tersebut, tampaknya sangat terkait erat dengan kondisi yang berkembang pada saat itu, dapat saja menyangkut hal-hal yang bersifat kebijakan tertentu atau kepentingan yang politis, atau pun hal lainnya. Untuk itu, penelitian ini direncanakan akan dilakukan dengan tujuan mengkaji revitaliasi industri budidaya udang di Indonesia. Diharapkan dari hasil penelitian ini, akan dapat digunakan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia. 10. Perkiraan Keluaran Perkiraan keluaran yang diharapkan dapat tercapai dari kegiatan penelitian ini adalah: (1) Tersedianya data dan informasi mengenai dinamika produktivitas budidaya udang
di Indonesia, meliputi aspek produksi, pengolahan dan pemasaran/perdagangan udang, serta memperhatikan pelibatan usaha budidaya tambak udang skala kecil (tambak berteknologi tradisional), menengah (tambak berteknologi semi intensif) dan besar (tambak berteknologi intensif); (2) Tersedianya data dan informasi mengenai kinerja revitalisasi usaha budidaya udang (produktivitas) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta faktor penentu keputusan pembudidaya merevitalisasi kegiatan usaha budidaya udang; (3) Tersedianya 1 (satu) buah Karya Tulis Ilmiah (KTI), 1 (satu) paket Data dan Informasi, serta 1 (satu) buah Rekomendasi Kebijakan terkait dengan kebijakan percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia. 11. Metodologi Penelitian 11.1 Kerangka Pemikian Sub sektor perikanan budidaya saat ini telah menjadi barometer utama alam menopang terwujudnya ketahanan pangan nasional, khususnya dari protein ikani. Isu ketahanan pangan saat ini telah menjadi isu strategis bukan hanya pada tataran nasional tapi telah menjadi isu global seiring dari semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dunia yang akan memicu ketergantungan terhadap kebutuhan pangdan dan gizi yang aman dikonsumsi. Khusus untuk komoditas udang Indonesia, perannya tidak hanya terbatas pada dukungannnya terhadap ketahanan pangan, namun juga perannya sebagai komoditas penghasil devisa sangat penting bagi Indonesia, khususnya berkaitan dengan beberapa nilai strategis yang dimilikinya, seperti: potensi perikanan budidaya tambak udang yang sangat vi
besar, penguasaan teknologi yang tinggi, kontribusinya terhadap perekonomian nasional (pertumbuhan ekonomi nasional, kesejahteraan masyarakat, penyerapan tenaga kerja), peran budidaya tambak udang pada tataran pemasaran/perdagangan di tingkat regional ASEAN dan global. Dalam dinamikanya, peran industri budidaya udang di Indonesia, pernah mengalami masa-masa kejayaannya, khususnya yang pada udang windunya yang memiliki pangsa pasar terbesar di dunia sehingga menjadinya Indonesia sebagai pemimpin pasar (market leader), namun kemudian seiring dengan meningkatkan tekanan akibat mewabahnya penyakit udang khususnya white spot telah menjadikan industri udang Indonesia memasuki era kejatuhannya. Menyikapi kejatuhan peran udang windu dari hasil budidaya tambak udang ini, pemerintah mulai menggalakkan program revitalisasi industri budidaya udang baik mencakup aspek teknis maupun non teknis, seperti terkait dengan masalah perbenihan, lahan tambak, infrastruktur, kelembagaan dan pasar. Program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, pada awalnya digulirkan dengan melalui program besar yang menjadi payungnya, yaitu “Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan” (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden R.I. pada tanggal11 Juni 2005, pada pada tahap awal telah diimplementasikan pada tahun 2005 – 2009; dan kemudian program ini dilanjutkan dengan diintegrasikan dalam Program Industrialisasi Kelautan dan Perikanan, yang mulai dilaksanakan pada tahun 2012 dan terus berlangsung hingga saat ini. Program revitalisasi industri budidaya udang tersebut masih perlu terus ditingkatkan kinerjanya, terutama karena program ini masih banyak menghadapi berbagai kendala dan hambatan di lapangan, baik yang menyangkut aspek teknis maupun non teknis. Dari aspek teknis, program revitalisasi tersebut diduga masih menghadapi hambatan, seperti menyangkut: (1) Masalah perbenihan (penyediaan dan teknologi); (2) Lahan pertambakan (produktivitas, dan lahan idle); dan (3) Kualitas dan kuantitas Infrastruktur. Sementara dari aspek non teknis (aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan serta pasar) diantaranya menyangkut: (1) Kualitas SDM dan kemampuan manajerial yang masih rendah yang dapat mempengaruhi produktivitas aspek teknis operasional, kelembagaan, dan pengelolaan, (2) keterbatasan akses dalam perolehan input teknologi dan modal usaha yang dapat mempengaruhi produktivitas usaha, dan (3) Rendahnya aspek pengelolaan data dan pengawasan. Di samping kendala, revitalisasi budidaya udang di Indonesia juga diduga menghadapi hambatan, seperti: (1) Banyaknya tekanan konflik kepentingan terutama dari sektor non perikanan, terutama sektor industri/manufaktur, dan perumahan; (2) Tingginya harga input produksi (pakan); (3) Implementasi kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang kurang tepat sasaran, dan (4) Rendahnya investasi; dan (5) Regulasi permodalan yang tidak berpihak. Data dan informasi mengenai dinamika ekonomi dari kesejarahan per-udang-an di Indonesia dan faktor-faktor yang menjadi kendala dan hambatan dalam menentukan keberhasilan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, dapat sangat berguna dalam melakukan perumusan rekomendasi kebijakan, strategi dan rencana aksi percepatan revitalisi industri budidaya udang di Indonesia. Melalui rekomendasi kebijakan, strategi dan rencana aksi tersebut, diharapkan implementasi program revitalisasi budidaya udang ke depan akan berjalan lebih efektif dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan. Proses penelitian revitalisasi industri budidaya udang berkaitan dan perolehan data dan informasi mengenai dinamika ekonomi dari kesejarahan per-udang-an di Indonesia dan faktor-faktor yang menjadi kendala dan hambatan dalam menentukan keberhasilan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, serta perumusan rekomendasi kebijakan, strategi dan rencana aksi percepatan revitalisi industri budidaya udang di Indonesia, secara skematis tertera pada kerangka pemikiran penelitian revitalisasi industri budidaya udang, seperti tertera pada Gambar 1. 11.2 Model Pendekatan vii
Model pendekatan penelitian revitalisasi industri budidaya udang ini merupakan penelitian deskriptif dan menggunakan pendekatan analisis kualitatif dan kuantitatif serta dengan pemilihan lokasi secara purposive (sengaja) yakni di beberapa wilayah yang menjadi prioritas program revitalisasi industri budidaya udang, yaitu: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Lampung. Dinamika Per-Udang-an Indonesia
Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang
Tujuan: Mendukung Ketahanan Pangan Nasional dan Global Meningkatkan Kontribusi terhadap Perekonomian Meningkatkan Kesejahteraan Petambak Udang Meningkatkan Daya Saing Udang Menjaga Pelestarian Sumberdaya
Implementasi Program Revitalisasi Industri Budidaya Udang
Hambatan: - Tekanan konflik kepentingan sektor non perikanan - Tingginya harga input produksi (pakan) - Kebijakan yang tidak tepat sasaran dan tidak kondusif - Rendahnya investasi - Regulasi permodalan yang tidak berpihak
Kendala - Perbenihan (penyediaan dan teknologi) - Lahan pertambakan (produktivitas dan lahan idle) - Rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur pertambakan - Rendahnya kualitas SDM dan kemampuan manajerial - Rendahnya akses perolahan teknologi dan permodalan - Rendahnya pengawasan
Mengambil Pelajaran Penting(Lesson Learned) Udang
Program Revitalisasi Industri Budidaya Udang
Faktor-faktor Penentu Revitalisasi Industri Budidaya Udang Indonesia Formulasi Rekomendasi Kebijakan dan Strategi serta Rencana Aksi Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Revitalisasi Industri Budidaya Udang
11.3 Metoda Analisa Data Pendekatan yang digunakan: (1) Pendekatan Sejarah melalui Interupted Time Series Analysis (ITSA); (2) Pendekatan Ekonometrika Model Pilihan Kualitatif; dan (3)
viii
Pendekatan Analisis Prospektif. Masing-masing pendekatan analisis tersebut diringkas diringkas sebagaimana terlihat pada Tabel 1 dan dijelaskan pada uraian berikut.
ix
Tabel 1. Tahap-Tahap Analisis Data yang Dilakukan Sesuai dengan Tujuan Penelitian
No
Tujuan
Topik data
Jenis data
Sumber data
Metode pengambilan data Pengamatan Survey
1
Mengetahui dinamika ekonomi politik perudang-an di Indonesia pada era kejayaan, keterpurukan, dan kebangkitan.
Perkembangan produksi, pengolahan dan pemasaran/perdagangan serta halhalnya yang berkaitan dengan aspek teknis dan permasalahannya.
Primer dan Sekunder
-
Pembudidaya Pengolah Pemasar Dinas KP Ditjen/Dinas terkait
2
Menganalisis faktor-faktor yang menentukan keberhasilan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, khususnya
Produksi tambak udang, level Primer dan teknologi, kualitas benih/induk, Sekunder harga udang, infrastruktur, permodalan, keamanan, produktivitas lahan, tenaga kerja, dan peubah lainnya terkait dengan revitalisasi budidaya udang
-
Pembudidaya Pengolah Pemasar Dinas KP Ditjen/Dinas terkait
Pengamatan Survey
Data dan informasi dari hasil Primer dan tujuan 1 dan 2. Sekunder
-
Pembudidaya Pengolah Pemasar Dinas KP Ditjen/Dinas terkait
Sintesa dari hasil tujuan 1 dan 2, serta Pendekatan Brainstorming, FGD
terkait dengan aspek teknis (perbenihan, pertambakan dan infrastruktur) dan non teknis (sosial-ekonomi dan kelembagaan). 3
Merumuskan rekomendasi kebijakan, strategi dan rencana aksi dalam rangka mempercepat revitalisi industri budidaya udang di Indonesia
Metode analisis Pendekatan Sejarah dengan menggunakan model ITSA (Interpreted Time Seires Analysis) melalui studi pusataka dan desk study Pendekatan Model Regresi Pilihan Respons Kualitatif yang meliputi Model Peluang Linier, Model Probit, Model Logit, dan Model Tobit.
Analisis Prospektif berdasarkan hasil hasil sintesa temuan dari tujuan 1 dan 2, kemudian dilakukan brainstorming dan diskusi kelompok terfokus.
ix
11.4 Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan ini akan dilakukan selama satu tahun sejak Januari 2015 sampai dengan Desember 2015. Lokasi kegiatan mencakup wilayah-wilayah prioritas program revitalisasi industri budidaya udang, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Lampung. 11.5
Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder terkait dengan aspek produk, pengolahan dan pemasaran/perdagangan udang baik yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan di Wilayah Penelitian maupun dari Statistik perikanan budidaya udang (Ditjen Perikanan Budidaya, KKP). Data primer yang dikumpulkan dianataranya berupa data yang berkaitan dengan persepsi pembudidaya mengenai perkembangan produksi, pengolahan, pemsaran/perdagangan, dan kelembagaan (permodalan dan produksi). Data sekunder yang dikumpulkan data menyangkut perkembangan aspek produksi tambak udang termasuk teknologi dan produktivitas, pengolahan dan pemasaran/perdagangan ekspor dan impor serta domestik, aspek kelembagaan, infrastruktur, dan berbagai kebijakan yang terkait dengan program revitalisasi industri budidaya udang baik secara langsung maupun tidak langsung 11.6
Teknik Pengumpulan Data dan Penentuan Responden Pada penelitian ini metode pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dari sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011). Teknik ini digunakan untuk menggali data kepada narasumber atau responden dengan pertimbangan yaitu orang yang paham atau mengetahui informasi terkait program revitalisasi industri budiadaya udang di Indonesia baik provinsi maupun kabupaten/kota, Bappeda, Pelabuhan Perikanan, pelaku usaha dan tokoh nelayan. Metode pengumpulan data dengan pengamatan, wawancara dengan menggunakan kuesioner, dan dokumentasi. 12 Rencana Anggaran Belanja (RAB): MA 521211 521213 521811 522141 522151 524111
Rincian Komposisi Pembiayaan Belanja Bahan Honor Output Kegiatan Belanja Barang untuk Persediaan Barang Konsumsi Belanja Sewa Belanja Jasa Profesi Belanja Perjalanan Biasa JUMLAH
Jumlah (Rp) 17.735.000 2.400.000
Jumlah (%) 13% 2%
13.000.000
6%
14.700.000 16.300.000 110.902.000 181.037.000
11% 12% 56% 100%
x
13 RENCANA PENYERAPAN ANGGARAN DAN REALISASI FISIK (PER BULAN DAN PER BELANJA) Rencana Penyerapan Anggaran Kegiatan MA
TAHAPAN
1 2 3 Total Penyerapan Anggaran/Bulan/Rp(000) 0 600 11,203 A. Persiapan, Studi Pustaka, Prasurvey dan Koordinasi Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan 521211 Belanja Bahan 0 240 240
8 24,793
9 15,214
10 23,859
11 23,659
12 8,883
240
240
240
240
240
240
240
240
240
363
363
363
363
363
363
363
363
363
363
0
700
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3,000
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6,900
0
0
0
0
0
0
0
0
0
521811
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
0
363
522114
Belanja Sewa
0
522115
Belanja Jasa Profesi
0
0 B. Pengumpulan Data Primer,Sekunder, dan FGD di Lapangan 0 521211 Belanja Bahan
BULAN KE-( Rp.000) 5 6 7 15,413 22,118 12,458
4 15,425
524111
Belanja perjalanan biasa
0
0
1,500
620
1,980
620
1,980
175
0
0
0
521213
Honor Output Kegiatan
0
0
0
800
0
800
0
800
0
0
0
0
521811
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
0
0
0
800
800
800
800
800
0
0
0
0
522114
Belanja Sewa
0
0
0
0
3,500
3,500
0
3,500
0
3,500
0
0
522115
Belanja Jasa Profesi
0
0
0
0
900
1,500
0
1,900
0
0
0
0
524111
Belanja perjalanan biasa
0
0
0
11.722
9.690
13.635
10.435
15.210
14.436
14.436
14.436
0
2,320
2,620
0
1,500
1,500
C. Pengolahan Data, Analisis Data, Penyusunan Laporan dan Dokumen Capaian Output 0 0 521211 Belanja Bahan
0
0
0
0
0
0
0
521811
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
0
0
0
0
0
0
0
0
0
522115
Belanja Jasa Profesi
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Belanja perjalanan biasa
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1,500 0
4,500 0
0
524111
D. Seminar dan Sosialisasi Hasil Dengan Stakeholder 521211 Belanja Bahan
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3,280
521811
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
522115
Belanja Jasa Profesi
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2,000 3,000
xi
Rencana Realisasi Fisik MA
TAHAPAN
1 2 3 REALISASI FISIK/BLN/% 0% 4% 12% A. Persiapan, Studi Pustaka, Prasurvey dan Koordinasi Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan 521211 Belanja Bahan 0% 2% 2%
5 35%
BULAN KE-( %) 6 49%
7 58%
8 72%
9 74%
10 82%
11 92%
12 100%
2%
2%
2%
2%
2%
2%
2%
2%
2%
2%
2%
5%
5%
8%
5%
3%
4%
3%
3%
0%
2%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
3%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
3%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
521811
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
0%
2%
522114
Belanja Sewa
0%
522115
Belanja Jasa Profesi
0%
0% B. Pengumpulan Data Primer,Sekunder, dan FGD di Lapangan 0% 521211 Belanja Bahan
4 22%
524111
Belanja perjalanan biasa
0%
0%
2%
2%
7%
9%
12%
7%
0%
0%
0%
521213
Honor Output Kegiatan
0%
0%
0%
1%
6%
8%
0%
5%
0%
0%
0%
0%
521811
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
0%
0%
0%
0%
0%
0%
522114
Belanja Sewa
0%
0%
522115
Belanja Jasa Profesi
0%
0%
524111
Belanja perjalanan biasa
0%
0%
5%
5%
2%
15%
7%
0%
0%
0%
5%
7%
0%
4%
0%
6%
0%
0%
0%
0%
5%
5%
0%
5%
0%
0%
0%
0%
0%
10%
5%
10%
17%
14%
11%
11%
11%
0%
C. Pengolahan Data, Analisis Data, Penyusunan Laporan dan Dokumen Capaian Output 0% 0% 0% 521211 Belanja Bahan
5%
3%
0%
4%
4%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
521811
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
522115
Belanja Jasa Profesi
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
3%
3%
0%
524111
Belanja perjalanan biasa
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
D. Seminar dan Sosialisasi Hasil Dengan Stakeholder 521211 Belanja Bahan
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
4%
521811
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
522115
Belanja Jasa Profesi
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
xii
0%
3% 2%
14 DAFTAR PUSTAKA Bourgeois, R and F. Jesus. 2004. Participatory Proepective Analysis, Exploring and Anticipating Chalanges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverty through Secondary Crops Development in Asia and The Pacific and French Agricultural Research center for International development. Monograph (46): 1-29. Durance, P., and M. Godet. 2010. Scenaerion Building: Technol.Forecast.Sos. Change, 77: 1488-1492.
Uses and Abuses.
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid 1. Edisi Ketuga, IPB Press. Geoffrey, M., D.DeMatteo, D.Festinger. 2005. Essentials of Research Design and Methodology. New Jersey: John Willey and Sons. Husaini, U dan Akbar P.S. 2009.Metode Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Jakarta Gottschalk, L. 1975/ Pengantar Metode Sejarah. Universitas Indonesia. Jakarta. Gujarati, D.N. 2004. Baasic Econometrica. Fourth Edition. New York: The McGraw-Hill Company. Juanda, B. 2009. Ekonometrika: Permodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor. Kholistianingsih dan Hardiansyah. 2005. Jenis-jenis Penelitian Secara Umum dan Pendekatannya. Yogyakarta: JurusanTeknik Elektro UGM. Diunduh dari websitehttp://te.ugm.ac.id/ ~risanuri/v01/wp-content/uploads/2011/05/final-hardi-dankholis.pdf pada tanggal 2 Maret 2015. Mangkusubroto, K. dan Trisnadi C.L. 1985. Analisis Keputusan Pendekatan Sistem dan Manajemen Usaha dan Proyek. Ganesa Exacta. Bandung. 271 hlm. Marzuki, 2002. Metodoligi Riset, Fakultas Ekonomi UII. Yogyakarta. Nazir, M.. 2003. Metode Ilmiah. Ghalia Indonesia. Jakarta. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta. Tiara Wacana. Ramsay, C.R., L. Matowe, R. Grilli, J.M. Grimshaw, and R.E. Thomas. 2003. Interrupted Time Series Designs in Health Technology Assesment: Lessons From Two Systematic Reviews of BeahviourChange Strategies. International Journal of Health Technology Assesment in Health Care; 19: 613-23. Syamsudin, H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Sugiyono, 2011.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Alfabeta.Bandung. Wagner, A.K., S.B. Soumerai, F. Zhang and D. Ross-Degnan. 2002. Segmented Regression Analysis Of Interrupted Time Series Studies In Medication Use Research. Journal of Clinical Pharmacy and Therapeutics (2002) 27, 299–309. Widarjono, A. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisis Kedua. Penerbit Ekonisia. Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta. xiv
xv
RINGKASAN Budidaya udang Indonesia mengalami kejayaan pada era tahun 1990-an, namun mengalami kemunduran pada awal era 2000-an. Faktor penyebabnya antara lain masalah penurunan daya dukung lingkungan, serangan penyakit, dan menurunnya mutu induk/benih udang. Untuk membangkitkan kembali produksi udang, dilakukan program “Revitalisasi Industri Budidaya Udang”, terutama pada kegiatan budidaya udang di tambak-tambak yang idle. Program revitalisasi ini dilaksanakan pada periode 2005—2009 dan dimulai kembali sejak Mei 2012 dan telah menghasilkan sekitar 390 ton udang. Selain itu juga, program ini telah menghasilkan sekitar 125 hektar tambak baru. Program revitalisasi udang vaname akan diperluas wilayahnya, tidak hanya terbatas di Jawa Barat, tetapi juga ke Jawa tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Lampung dan Sumatera Utara. Pemerintah menargetkan dari sekitar 2.000 hektar bisa menghasilkan antara 11-12 ton per hektarnya, khususnya melalui dukungan teknologi dalam menghasilkan udang-udang yang berkualitas. Anggaran pada program revitalisasi di 2013 mencapai Rp260 miliar dengan area cakupan mencapai 2.000 hektar. Sementara itu, pada 2012 anggarannya mencapai Rp225 miliar dan telah menghasilkan sekitar 1.000 hektar di 5 kabupaten antara lain, Kerawang, Cirebon, Indramayu, Subang dan Serang. Untuk itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk: (1) Mengetahui dinamika per- udang-an Indonesia pada era kejayaan, keterpurukan dan kebangkitan; 2) Menganalisis faktor penentu keberhasilan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia; 3) Merumuskan kebijakan, strategi dan rencana aksi percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada Januari— Desember 2015 dengan memilih lokasi penelitian di wilayah prioritas program revitalisasi industri budidaya udang, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Lampung. Pendekatan yang digunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, wawancara, dan FGD. Metode analisis data menggunakan: (1) Pendekatan Sejarah dan Interupted Time Series Analysis (ITSA); (2) Pendekatan Ekonometrika Model Pilihan Kualitatif; dan (3) Pendekatan Analisis Prospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kesejarahannya, ditemukan lima era dinamika produktivitas (indeks Total Factor Productivity – TFP) usaha budidaya udang di Indonesia, yaitu: (a) Era Pra dan Awal Budidaya Udang (1964—1970); (b) Era Perintisan Teknologi Intensif (1971—1981); (c) Era Kejayaan (1982—1995); (d) Era Penurunan Kinerja (1996—1999); dan (e) Era Revitalisasi/Kebangkitan Budidaya Udang (2000 — sekarang).Dinamika kinerja indeks produktivitas (Total Factor Productivity – TFP) usaha budidaya udang di Indonesia selam periode 1989 hingga 2013 mengalami kondisi pasangsurut tetapi masih berada di bawah (belum melampaui) kinerj TFP tahun 1998, serta diwarnai oleh kondisi yang menghambat kinerja indeks TFP tersebut seperti serangan penyakit, dan kondisi yang mendukung seperti intervensi berbagai kebijakan yang terkait. Kemudian, ditemukan pula bahwa Kebijakan penguatan sarana irigasi tambak yang diimplementasi melalui program rehabilitasi dan pembangunan saluran pengairan/irigasi tambak udang sejak tahun 1999 hingga sekarang ternyata memberikan pengaruh yang nyata dalam memperbaiki kinerja produktivitas (indeks TFP) usaha budidaya udang di Indonesia. Sementara, kebijakan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia tahap satu yang diimplementasi pada tahun 2006-2009 maupun tahap dua yang dimplementasi sejak tahun 2012 hingga sekarang ternyata tidak berpengaruh nyata dalam memperbaiki kinierja produktivitas (indeks TFP) usaha budidaya udang di Indonesia. Di samping itu, hasil penelitian menunjukkan pula bahwa di tingkat lapang (lokasi penelitian), kinerja TFP (produktivitas) usaha budidaya udang di tingkat lapang bervariasi antar lokasi pengamatan, yaitu berkisar antara 0,81 – 2,67; dengan TFP rata-rata sebesar 1,79 yang tergolong cukup baik karena indeks output 1,79 kali lebih besar dari indeks inputnya. Kemudian faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap TFP (produktivitas) usaha budidaya udang di tingkat lapang adalah: (1) Indeks kualitas benih udang, (2) Indeks kualitas pakan udang, (3) Dummy Kerjasama, (4) Tingkat pengalaman usaha budidaya, (5) Kondisi infrastruktur irigasi, (6) Dummy serangan penyakit, dan (7) Tingkat pendidikan xvi
formal. Sementara keputusan pembudidaya terkait dengan revitalisasi usaha budidaya ditentukan oleh: (1) Kondisi infrastruktur irigasi, (2) Dummy penguasaan teknologi/pendampingan, (3) Kualitas bantuan sarana produksi, (4) Ketersediaan benih udang berkualitas dan terjangkau, (5) Ketersediaan pakan udang berkualitas dan terjangkau, (6) Tingkat pendidikan formal, dan (7) Tingkat pengalaman usaha budidaya udang. Selain itu, ditemukan sebanyak delapan peubah yang dinilai menjadi faktor yang paling berpengaruh penting dalam menyusun rumusan kebijakan percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, dalam kategori sebagai faktor penggerak/input adalah (1) Peran mitra, (2) Sosialisasi dan monitoring, (3) Kerjasama swasta, dan (4) Ketewrlibatan pemda; dan dalam kategori sebagai faktor penghubung/proses adalah: (1) Pengauatan irigasi, (2) Kawasan budidaya, (3) Kerjasama swasta, dan (4) Perbanyakan wilayah. Berdasarkan kedelapan peubah tersebut direkomendasikan tiga altenatif kebijakan, sebagaimana disampaikan uraian di bawah ini. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, untuk mempercepat capaian kinerja program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, perlu dilakukan beberapa alternative kebijakan, yaitu: (1) Meningkatkan jumlah wilayah penerima program revitalisasi budidaya udang tambak di Indonesia, yang diikuti dengan mengintensifkan sosialisasi dan monitoring terkait dengan penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi budidaya udang tambak di Indonesia; (2) Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah untuk menjaga keberlanjutannya; dan (3) Meningkatkan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia sarana, pihak mitra dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong percepatan industri budidaya udang di Indonesia.
xvii
xviii
DAFTAR ISI Halaman: LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………………...
ii
COPY RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN (ROKP) …….
iii
RINGKASAN ………………………………………………………………………….
xvi
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………..
iv
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………....
v
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………......
vi
I. PENDAHULUAN ………………………………………………………………..
1
1.1. Latar Balakang dan Masalah …………………………………………………..
1
1.2 Tujuan ………………………………………………………………………... 1.3. Perkiraan Keluaran ……………………………………………………………
3
II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………………
4
2.1 Budidaya Perairan (Akuakultur ) ……………………………………………….
4
2.2 Kebijakan Pemerintah Terkait Peningkatan Produktivitas Tambak Udang ........
12
2.3 Konsep Total Factor Productivity ……………………………………………..
13
2.4 Hasil Penelitian Terdahulu ……………………………………………………..
20
III. METODOLOGI ……………………………………………………………….....
24
3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian ………………………………………………
24
3.2 Metode Pendekatan …………………………………………………………….
27
3.3 Metode Analisis Data …………………………………………………………
27
3.3.1 Metode Analisis Sejarah dan ITSA ........................................................
29
3.3.2 Metode Analisis Total Factor Productivity (TFP) ……………………..
48
3.3.3 Metode Analisis Model Regresi Pilihan Kualitatif ...................................
52
3.3.3.1 Model Regresi Peluang Linier .....................................................
54
3.3.3.2 Model Regresi Probit ..................................................................
59
3.3.3.3 Model Regresi Probit ..................................................................
64
3.3.4 Metode Analisis Prospektif ……………………………………………...
72
3.4 Waktu dan Lokasi Penelitian ………………………………………………..
74
3.5 Jenis dan Sumber Data ……………………………………………………….
76
3.6 Teknik Pengumpulan Data dan Penentuan Responden ...................................
77
xx
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………….
79
4.1 Sejarah dan Program Revitalisasi Usaha Budidaya Udang di Indonesia .........
79
4.1.1 Sejarah Budidaya Udang di Indonesia: Analisis Pendekatan Sejarah ..
79
4.1.2 Program Revitalisasi Usaha Budidaya Udang di Indonesia ………….
87
4.2 Dinamika Produktivitas Budidaya Tambak Udang di Indonesia dan Peran Beberapa Kebijakan yang Mempengaruhinya ................................................
93
4.2.1 Perkembangan Produksi Udang Indonesia, 1989-2013 .........................
93
4.2.2 Telaah Dinamika Produktivitas Budidaya Tambak Udang Indonesia, 1989 – 2013 ...........................................................................................
96
4.2.2.1 Perkembangan Output, 1989-2013 …………………………
97
4.2.2.2 Perkembangan Input, 1989-2013 …………………………….
98
4.2.2.3 Perkembangan Produktivitas (Indeks TFP), 1989-2013 ……..
99
4.2.3 Peran Beberapa Kebijakan yang Mempengaruhi Produktivitas Budidaya Udang Tambak di Indonesia selama Periode 1989 – 2013: Aplikasi Model ITSA ………………………………………………… 101 4.3 Kinerja Revitalisasi (Produktivitas) Usaha Budidaya Udang, Faktor-faktor yang Mempengaruhi, dan Penentu Keputusan Pembudidaya ........................ 4.3.1 Gambaran Umum Pelaksanaan Program Revitalisasi Tambak Udang di Lokasi Penelitian ……………………………………………………...
104 104
4.3.1.1 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Lampung .........
104
4.3.1.2 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Jawa Barat .......
107
4.3.1.3 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Jawa Tengah ....
110
4.3.1.4 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Jawa Timur ......
113
4.3.1.5 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Sulawesi Selatan
116
4.3.2 Kinerja Program Revitalisasi (Produktivitas) Usaha Budidaya Udang di Lokasi Penelitian ..............................................................................
119
4.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Revitalisasi (Produktivitas) Usaha Budidaya udang di Lokasi Penelitian ........................................
120
4.3.4 Faktor Penentu Keputusan Pembudidaya Merevitalisasi Usaha Budidaya udang di Lokasi Penelitian ....................................................
121
4.4 Analisis Prospektif Kebijakan Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya udang di Indonesia ............................................................................................
122
4.4.1 Penentuan Faktor Kunci .........................................................................
122
4.4.2 Analisis Pengaruh Antar-Faktor Kunci ..................................................
124
4.4.3 Penentuan Kondisi (State) Faktor Kunci di Masa Depan .......................
128
4.4.4 Pembangunan Skenario untuk Rekomendasi Kebijakan ........................
130
4.4.5 Rumusan Kebijakan Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang
132
xxi
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN …………………………….
134
5.1 Kesimpulan …………………………………………………………………..
134
5.2 Implikasi Kebijakan …………………………………………………………..
135
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………
137
LAMPIRAN …………………………………………………………………………...
142
xxii
xx
DAFTAR TABEL Judul Tabel:
Halaman:
Tabel 1. Pengelompokkan Komoditas Akuakultur Berdasarkan Karakter Morfologi dan Jenis Habitat ..............................................................................................
8
Tabel 2. Jenis-jenis Akuakultur Berdasar Tingkat Teknologi dan Produksi ................
9
Tabel 3. Batasan Sistem Budidaya Udang di Tambak .................................................
10
Tabel 4. Total Factor Productivity (TFP) dalam Budidaya Polikultur Ikan Jenis Carp Tahun 1998-1999 ...........................................................................................
21
Tabel 5. Indeks TFP Interspasial Budidaya Ekstensif Udang pada Tiga Kecamatan, di Sulawesi Menggunakan Tornqvish Theil Index, 1999 ....................................
21
Tabel 6. Indeks TFP Interspasial Indeks pada Budidaya Ekstensif Udang Berdasarkan Sistem Budidaya dari Tiga Kecamatan, di Sulawesi Menggunakan Tornqvish Theil Index, 1999 ..........................................................................
22
Tabel 7. Tahapan Analisis Data yang Dilakukan Sesuai dengan Tujuan Penelitian .....
28
Tabel 8. Sebaran Peluang bagi Peubah Galat (εi) .........................................................
57
Tabel 9. Hubungan Nilai Indeks Z dan Sebaran Peluang Normal Kumulatif …………
63
Tabel 10. Nilai-nilai Model Regresi Logistik dengan Peubah Bebas Dikotomi ………
71
Tabel 11.Road Map Revitalisasi Tambak Udang Tahun 2012—2014 ……………….
91
Tabel 12. Peran Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Model Pola Kemitraan pada Revitalisasi Tambak ……………….………………………………………
93
Tabel 13. Produksi Udang dari Hasil BudidayaTambak Indonesia Menurut Varietas, Tahun 1989-2013 (ton) .................................................................................
95
Tabel 14. Produksi Udang Hasil Penangkapan Menurut Varietas, Tahun 1989-2013 (ton) ..............................................................................................................
96
Tabel 15. Rata-rata Pertumbuhan Output dan Penggunaan Input Budidaya Tambak Udang Indonesia, Tahun 1989-2013 ............................................................
98
Tabel 16. Hasil Pendugaan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Total Factor Productivity Usaha Budidaya Udang di Indonesia .........................
102
Tabel 17. Pelaksanaan Demfarm di Provinsi Lampung Tahun 2014 ………………..
104
Tabel 18. Luas dan Produksi Demfarm Tambak Udang di Jawa Barat Tahun 2013...
107
Tabel 19. Luas dan Produksi Demfarm Tambak Udang di Jawa Barat Tahun 2013 ..
108
Tabel 20. Luas dan Produksi Tambak Udang di Kab. Brebes Tahun 2013 ..................
110
Tabel 21. Jumlah RTP/Perusahaan Perikanan, Luas Pemeliharaan, Volume dan Nilai Produksi di Provinsi Sulawesi Selatan, Tahun 2014 ....................................
116
Tabel 22. Luas Tambak Udang Demfarm dari POKDAKAN Penerima Program Revitalisasi Udang Tambak pada Tahun 2014 di Kabupaten Takalar .........
117
xxii
Tabel 23. Luas areal budidaya Tambak di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan Tahun 2014 ..................................................................................................
117
Tabel 24. Produktivitas Budiadaya Udang Windu dan Udang Vaname di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan pada Tahun 2013 .................................
118
Tabel 25. Kisaran Angka Indeks TFP Usaha Budidaya Udang di Lokasi Penelitian (Tingkat Lapang) …………………………………………………………..
120
Tabel 26. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi TFP Usaha Budidaya Udang di Tingkat Lapang (2015) …………………………………………..
120
Tabel 27. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pembudidaya Mengikuti Program Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Tingkat Lapang (2015) …………………………………………………….
121
Tabel 28. Peubah-peubah yang Terindendifikasi sebagai Faktor Penentu Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia .....................................
123
Tabel 29. Pilihan Partisipan Secara Konsensus mengenai Peubah-peubah yang Paling berpengaruh (Penting dan Urgen) terhadap Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia .......................................................................
124
Tabel 30. Skor Pengaruh Antar-peubah yang dinilai oleh Partisipan sebagai Penentu Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia ...................
126
Tabel 31. Hasil Perhitungan Indeks Total Pengaruh Global dan Indeks Total Ketergantungan Global Peubah-peubah dalam Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia .........................................................
127
Tabel 32. Kondisi Spektrum Peubah yang Ditetapkan oleh Partisipan secara Konsensus .....................................................................................................
129
Tabel 33. Kondisi Peubah yang Ditetapkan oleh Partisipan secara Konsensus ...........
130
Tabel 34. Alternatif Pilihan Skenario untuk berbagai Kombinasi Kondisi yang Mungkin terkait dengan Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia ..................................................................................................
131
xxiii
xxii
DAFTAR GAMBAR Judul Gambar:
Halaman:
Gambar 1. Perbandingan antara beberapa sistem budidaya ikan .................................
10
Gambar 2. Fungsi Produksi yang Menggambarkan TFP .............................................
15
Gambar 3. Berbagai Alternatif Metode untuk Pengukuran Produktivitas ...................
17
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Penelitian Revitalisasi Industri Budidaya Udang ......
26
Gambar 5. Hubungan antara Intervensi dengan Outcome berdasarkan Perubahan Waktu dalam Analisis Interrupted Time Series (ITS) ..................................
31
Gambar 6. Pengukuran Variablity pada dua interrupted time series hipotetik. Gambar Pertama Menunjukkan series variability yang tinggi, dan Gambar Kedua menujukkan series yang relatif stabil ...............................................
34
Gambar 7. Implementasi Efek Michigan’s dari Pemberlakuan Penggunaan Kursi Pengaman pada Mobil terhadap Cedera Kendaraan Bermotor untuk Usia 0 sampai 3 Tahun ………………………………………………………..
35
Gambar 8. Proporsi Outlet Tembakau di Masing-masing Empat Komunitas yang Bersedia untuk Menjual Kepada Mereka yang Berusia di Bawah 18 Tahun Setelah Implikasi Program Reward dan Sisanya …………………
37
Gambar 9. Ilustrasi Sampel Berukuran B Kemungkinan Berasal dari Populasi A daripada Populasi B ...................................................................................
43
Gambar 10. Sebaran Data dan Garis Regresi Model LPM ...........................................
59
Gambar 11. Fungsi probabilitas Distribusi Kumulatif CDF) .......................................
60
Gambar 12. Perbedaan Model Probit dengan Model Peluang Linier (LPM) ..............
63
Gambar 13. Model Distribusi Normal dan Model Distribusi Logistik ………………
66
Gambar 14. Tingkat Kepentingan Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Sistem yang Dikaji ..................................................................................... Gambar 15. Model Pola Kemitraan pada Revitalisasi Tambak Melalui Kegiatan Demfarm ……………………………………………………………….. Gambar 16. Perkembangan Produksi Udang Indonesia Hasil Budidaya di Tambak dan Hasil Penangkapan,Tahun 1989-2013 ................................................. Gambar 17. Indeks TFP Budidaya Udang Tambak Indonesia menurut Harga Konstan Tahun 1989 =100, Selama Era Sisa Kejayaan (1989-1995), Era Penurunan Kinerja (1996-2005), dan Era Kebangkitan/Revitalisasi (2006-2014) ................................................................................................ Gambar 18. Hasil Analisis Pengaruh Langsung antar-peubah dalam Analisis Prospektif Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia ................................................................................................
74
92
94
100
127
xxiii
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Judul Lampiran: Lampiran 1.
Halaman:
Naskah Karya Tulis Ilmiah (KTI): Dinamika Total Factor Productivity Usaha Budidaya Udang Indonesia Periode 1998-2013 dan Pengaruh Beberapa Kebijakan Udang ……………………………………………
Lampiran 2. Naskah Rekomendasi Kebijakan (RK): Mempercepat Revitalisasi Usaha Budidaya Udang di Indonesia melalui Peningkatan Produktivitas ……………………………………………………………
143
170
xxiv
xxiv
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Udang merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia. Udang menyumbang sekitar 1.8% devisa non-migas dan menyediakan lapangan kerja bagi 1.7 juta orang (International Finance Corporation/IFC, 2007b). Namun demikian, pengembangan udang terkendala rendahnya produktivitas. Studi IFC (2006, 2007a); USAID (2006); dan World Bank (2006) berturut-turut untuk Indonesia, Nigeria, Bangladesh, dan Pakistan, menunjukkan pentingnya peningkatan produktivitas, agar udang dari negara-negara tersebut mampu bersaing di pasar internasional. Senada dengan hal tersebut, Helble dan Okubo (2006) menyatakan bahwa keberhasilan ekspor berkelanjutan hanya dapat dicapai jika produktivitas tinggi. Guna mendukung peningkatan produktivitas budidaya udang di Indonesia, pemerintah telah mengimplementasi berbagai kebijkan dan program. Salah satunya, adalah kebijakan dan program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia merupakan bagian dari program besar “Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan” (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden R.I. pada tanggal 11 Juni 2005. Program besar ini diimplemetasikan menggunakan strategi umum untuk: (1) Meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan (pembudidaya tambak), dan petani hutan; (2) Meningkatkan daya saing produk pertanian, perikanan dan kehutanan; dan (3) Menjaga kelestarian sumberdaya pertanian, perikananan dan kehutanan (Pusdatin - KKP., 2005). Pada awal direncanakannya program revitalisasi perikanan di Indonesia (tahun 2005), dijalankan dengan misi utama berupa “percepatan implementasi pembangunan perikanan untuk mengatasi pemulihan ekonomi menuju Indonesia yang lebih sejahtera melalui pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal, berkelanjutan dan berkeadilan.
Tujuan revitalisasi perikanan (termasuk industri budidaya udang) adalah
meningkatkan kesejahteraan nnelayan, pembudidaya ikan (udang) dan masyarakat pesisir lainnya serta pelaku ekonomi perikanan/kelautan, menyediakan lapangan kerja, kesempatan berusaha, serta meningkatkan konsumsi dan menyediakan bahan baku industri di dalam negeri dan penerimaan devisa, serta meningkatkanan penerimaan negara/daerah melalui hasil perikanan. termasuk dari hasil budidaya udang. Program revitaslisasi perikanan dikembangkan mencakup revitalisasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang ada berupa berbagai kegiatan usaha di bidang penangkapan ikan, budidaya perikanan, dan mengoptimalisasikan operasioanl unit usaha pengolahan ikan dalam negeri, termasuk juga menciptakann sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru berupa pemanfaatan peluang usaha perikanan yang masih memiliki prospek yang baik. 1
Dalam kurun waktu 2005 hingga 2009, pemerintah telah menjalankan program jangka menengah revitalisasi perikanan berupa: (1) Pengembangan industri perikanan terpadu; (2) Pengembangan Prasarana Pelabuhan; (3) Pengembangan prasarana budidaya perikanan; dan (4) Peningkatan partisipasi Indonesia dalam perikanan regional. Salah satu langkah operasional yang dilakukan dalam rangkaa mendukung revitalisasi perikanan adalah “Pengembangan Komoditas Udang” sebagai bentuk dari langkah-langkah dalam operasionalisasi revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, yang tahap awalnya telah diimplementasikan para kurun waktu 2005-2009 adalah (Pusdatin-KKP, 2005): Melakukan impor indusk dan benih udang vaname SPF (Spesifik Pathogen Free); (2) Melakukan domestikasi dan pemuliaan udang vaname menjadi induk SPF dan SPR, sehingga mengurangi ketergantungan dari impor; (3) Membangun National Backyard Hatchery (NBH) udang; (4) Melakukan revitalisasi backyard hatchery udang; (5) Menerapkan sertifikasi perbenihan dan pembudidayaan udang; (6) Mengembangkan laboratorium lingkungan dan penyakit; (7) Menyediakan sarana dan prasarana budidaya tambak udang; dan (8) Membantu penguatan permodalan bagi pembudidaya udang. Revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia sangat terkait erat dengan posisi komoditas udang di Indonesia yang merupakan komoditas unggulan di sektor perikanan yang dihasilkan dari kegiatan budidaya.
Di samping itu, juga karena kegiatan usaha
budidaya udang mampu memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perolehan devisa, pendapatan pembudidaya, menciptakan lapangan kerja dan peluang berusaha. Revitalisasi tersebut juga sangat penting, terutama karena peran kegiatan budidaya udang ke depan yang semakin besar, sementara kegiatan penangkapan udang terus semakin berkurang. Kemudian juga karena perusahaan yang terlibat adalah perusahaan skala kecil, menengah, dan besar; dan pasar utama komoditas udang adalah pasar ekpor dengan permintaan yang masih tetap tinggi. Dengan demikian, revitalisasi industri budidaya udang akan mencakup revitalisasi pada level produksi, pengolahan dan pemasaran/perdagaangan melalui pelibatan usaha skala kecil, menengah dan besar. Hasil evaluasi program revitalisasi industri udang di Indonesia yang dilakukan oleh Ditjen Perikanan Budidaya pada tahun 2010 menyatakan bahwa sebagian sasaran yang telah ditentukan masih belum tercapai sesuai dengan yang diharapkan, seperti terkait dengan capaian produksi, baik yang dilakukan melalui intensifikisasi, ekstensifikasi dan diversifikasi budidaya tambak udang di Indonesia. Oleh karena itu, program revitalisasi industri budidaya udang kemudian terus dilanjutkan kembali pada tahun 2012 yang diintegrasikan ke dalam program Industrialisasi Perikanan, khusunya yang dilakukan dengan lebih mengoptimalkan segala sumberdaya yang dimiliki Indonesia (Ditjen Perikanan Budidaya – KKP, 2012). 2
Pertambakan di Indonesia pernah mengalami kejayaan dalam produksi udang pada era tahun 1990-an, dengan menerapkan teknologi ekstensif, semi- intensif dan intensif. Dengan timbulnya berbagai masalah, seperti penurunan daya dukung lingkungan, serangan penyakit udang, dan menurunnya mutu induk/benih udang, mengakibatkan kegagalan pada produksi udang. Rendahnya tingkat produktivitas perikanan budidaya udang di Indonesia saat ini masih dapat ditingkatkan, seperti dengan melakukan revitalisasi melalui perencanaan zonasi kawasan pesisir, sehingga akan tercipta keseimbangan tata ruang kawasan perikanan yang mampu mendukung keberlanjutan perikanan budidaya. Secara ideal, kegiatan perikanan budidaya haruslah dikembangkan secara berkelanjutan. Dalam artian, kegiatan budidaya tersebut haruslah menghasilkan produktivitas yang sebanding dengan upaya, tidak menciptakan konflik sosial, serta selaras dengan daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali produksi udang di Indonesia, perlu dilakukan upaya-upaya khusus, antara lain melalui “Revitalisasi Industri Budidaya Udang”, terutama pada kegiatan budidaya udang di tambak-tambak yang idle atau yang beroperasi tetapi tidak secara optimal. Ditjen Perikanan Budidaya (2014), menyatakan bahwa program revitalisasi udang dimulai sejak Mei 2012 dan telah menghasilkan sekitar 390 ton udang. Selain itu juga, program ini telah menghasilkan sekitar 125 hektar tambak baru. Program revitalisasi udang vaname akan diperluas wilayahnya, tidak hanya terbatas di Jawa Barat, tetapi juga ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Lampung dan Sumatera Utara. Pemerintah menargetkan dari sekitar 2.000 hektar dan dapat menghasilkan antara 11-12 ton per hektarnya, khususnya melalui dukungan teknologi dalam menghasilkan udang-udang yang berkualitas. Lebih lanjut Ditjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (2014) menjelaskan untuk anggaran yang disediakan pada program revitalisasi di 2013 mencapai Rp260 miliar dengan area cakupan mencapai 2.000 hektar. Sementara itu, pada 2012 anggarannya mencapai Rp225 miliar dan telah menghasilkan sekitar 1.000 hektar di Jawa barat yang mencakup lima kabupaten, yaitu: Kerawang, Cirebon, Indramayu, Subang dan Serang. Masyarakat Akuakultur Indonesia – MAI (2012), menyatakan bahwa langkah pemerintah untuk melakukan proses revitalisasi tambak di beberapa daerah di Pantura hingga Jawa Timur harus berstrategi, jangan karena mengejar target penggenjotan jumlah produksi semata. Pemerintah seharusnya memperhatikan berbagai kemungkinan yang akan terjadi apabila revitalisasi dilakukan. Jangan hanya karena dikebut jumlah produksi semata hingga mengabaikan lingkungan. Aspek daya dukung lingkungan di sekitar Pantai Utara Jawa sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah, jika tidak ingin gagal di tengah jalan. 3
Belum lagi tingkat kepadatan udang yang juga harus diperhatikan. “Maksimum kepadatan 60 ekor per m2 . Sehingga produktivitas bisa mencapai 7-10 ton per panen. Sementara implementasi program revitalisasi yang dilakukan saat ini, tampaknya dilakukan “jor-joran” hingga ada tambak dengan kepadatan tanam sekitar 200 ekor per m2. Belum lagi masalah jadwal yang harus dipercepat secara tidak wajar oleh pemerintah. Seperti pada pelaksanaan program revitalisasi yang tahun sebelumnya (2012-2013). Proses pencanangan revitalisasi tambak baru digulirkan semenjak Oktober 2012, sedangkan target harus bisa dipenuhi di awal 2013 mendatang. Dari sisi jadwal, hal ini tidak mungkin karena harus dilakukan selama 1,5 bulan. Padahal seperti udang vaname dipanen paling cepat 4 bulan untuk bisa mencapai ukuran konsumsi. Beberapa permasalahan tersebut, tampaknya sangat terkait erat dengan kondisi yang berkembang pada saat itu, dapat saja menyangkut hal-hal yang bersifat kebijakan tertentu atau kepentingan yang bersifat politis, atau pun hal lainnya. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian/kajian ekonomi revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk digunakan sebagai bahan masukan pembuatan kebijakan percepatan revitalisasi industri budiaday udang di Indonesia.
1.2 Tujuan Penelitian (1) Menelaah dinamika produktivitas budidaya tambak udang di Indonesia selama periode 1989-2013; dan mengkaji peran berbagai kebijakan (termasuk kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang) terhadap dinamika produktivitas tambak udang di Indonesia selama periode 1989-2013. (2) Mengukur kinerja revitalisasi usaha budidaya udang (produktivitas) dan menganalisis faktor-faktor
yang
mempengaruhinya,
serta
penentu
keputusan
pembudidaya
merevitalisai kegiatan usaha budidaya udang. (3) Merumuskan rekomendasi kebijakan percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia.
1.3 Perkiraan Keluaran Perkiraan keluaran yang diharapkan dapat tercapai dari kegiatan penelitian ini adalah: (1) Tersedianya data dan informasi mengenai dinamika produktivitas budidaya tambak udang di Indonesia selama periode 1998-2013; dan peran berbagai kebijakan terhadap dinamika produktivitas budidaya tambak udang di Indonesia selama periode 1998-2013. (2) Tersedianya data dan informasi mengenai kinerja revitalisasi usaha budidaya udang (produktivitas) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta faktor penentu keputusan pembudidaya merevitalisai kegiatan usaha budidaya udang. 4
(3) Tersedianya 1 (satu) buah rekomendasi kebijakan, 1 (satu) paket data dan informasi, serta 1 (satu) buah Karya Tulis Ilmiah (KTI) terkait dengan revitalisasi industri udang di Indonesia.
5
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budidaya Perairan (Akuakultur) Budidaya (Akuakultur) adalah kegiatan untuk memproduksi biota (organisme) akuatik di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (profit). Akuakultur berasal dari bahasa Inggris aquaculture (aqua = perairan; culture = budidaya) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi budidaya perairan atau budidaya perikanan. Oleh karena itu, akuakultur dapat didefinisikan menjadi campur tangan (upaya-upaya) manusia untuk meningkatkan produktivitas perairan melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya yang dimaksud
adalah
kegiatan
pemeliharaan
untuk
memperbanyak
(reproduction),
menumbuhkan (growth), serta meningkatkan mutu biota akuatik sehingga diperoleh keuntungan (Effendi 2004). Lebih lanjut menurut Effendi (2004) menjelaskan bahwa berdasarkan salinitas atau kandungan garam NaCl-nya, perairan di permukaan bumi dibedakan menjadi perairan tawar, perairan payau, dan perairan laut. Semua perairan tersebut dapat dijadikan sumber air bagi kegiatan akuakultur. Oleh karena itu, berdasarkan sumber air yang digunakan untuk kegiatan produksi akuakultur maka dikenal budidaya air tawar (freshwater culture), budidaya air payau (brackishwater culture) dan budidaya laut (mariculture). Menurut Crespi dan Coche (2008), pengertian akuakultur air tawar adalah budidaya organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di lingkungan air tawar, tahap awal siklus hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di perairan payau atau laut. Pengertian akuakultur air payau adalah budidaya organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di lingkungan air payau, tahap awal siklus hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di perairan tawar atau laut. Sedangkan pengertian akuakultur air laut adalah budidaya organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di lingkungan air laut, tahap awal siklus hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di perairan payau atau tawar. Pengelompokan komoditas akuakultur berdasakan karakteristik morfologi adalah dengan melihat bentuk dan ciri khas dari tubuh, seperti bersirip, berkarapas, bercangkang, berduri, atau bersel tunggal. Bentuk dan ciri khas dari tubuh biota akuakultur tersebut sangat mudah dan jelas untuk dibedakan. Berdasarkan karakteristik morfologi dan biologi, secara umum komoditas akuakultur dikelompokkan menjadi lima golongan, yaitu ikan, udang, moluska, ekonodermata, dan alga atau rumput laut. Rincian mengenai pengelompokkan komoditas akuakultur berdasarkan karakter morfologi dan jenis habitat dapat dilihat pada Tabel 1.
7
Tabel 1. Pengelompokkan Komoditas Akuakultur Berdasarkan Karakter Morfologi dan Jenis Habitat Karakter Morfologi Habitat Air Tawar
Air Payau
Air Laut
Ikan
Udang
Ikan mas, gurami, nila, mujair, patin, lele, tambakan, tawes, nilem, bawal Bandeng, belanak
Udang galah, udang cherax
Kerapu, kakap putih, baronang
Udang windu, udang vanamei, kepiting bakau Lobster
Moluska Kijing
-
Kerang hijau, kerang mutiara, abalone
Ekonodermata -
-
Teripang, bulu babi
Alga Tanaman Hias
-
Euchema cottonii, Gracilaria sp., Chlorella sp.
Sumber: Effendi (2004)
Tingkat teknologi budidaya dalam akuakultur berbeda-beda. Perbedaan tingkat teknologi ini akan berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas yang dihasilkan oleh suatu usaha. Berdasarkan tingkat teknologi dan produksi yang dihasilkan, kegiatan akuakultur dapat dibedakan menjadi akuakultur yang ekstensif atau tradisional, akuakultur yang semi intensif, akuakultur intensif, dan akuakultur hiper intensif. Pembedaan tersebut berdasarkan seberapa besar intervensi manusia dalam kegiatan perikanan budidaya, seperti dalam pemberian pakan atau pembenihan. Semakin intensif suatu usaha perikanan budidaya maka semakin besar intervensi manusia dalam proses produksinya. Demikian juga produksi yang dihasilkan per unit luasan yang sama akan semakin besar dengan semakin intensifnya sebuah unit usaha perikanan. Pengertian dan perbedaan karakteristik masing-masing kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
8
Tabel 2. Jenis-jenis Akuakultur Berdasar Tingkat Teknologi dan Produksi Jenis Akuakultur 1. Ekstensif (Tradisional)
Pengertian Sistem produksi yang bercirikan: (i) tingkat kontrol yang rendah (contoh terhadap lingkungan, nutrisi, predator, penyakit); (ii) biaya awal rendah, level teknologi rendah, dan level efisiensi rendah (hasil tidak lebih dari 500 kg/ha/tahun); (iii) ketergantungan tinggi terhadap cuaca dan kualitas air lokal; < 500 kg/ha/tahun menggunakan badanbadan air alami. 2. Semi Intensif Sistem budidaya berkarakteristik produksi 2 sampai 20 ton/ha/tahun, yang sebagian besar tergantung makanan alami, didukung oleh pemupukan dan ditambah pakan buatan, benih berasal dari pembenihan, penggunaan pupuk secara reguler, beberapa menggunakan pergantian air atau aerasi, biasanya menggunakan pompa atau gravitasi untuk suplai air, umumnya memakai kolam yang sudah dimodifikasi. 3. Intensif Sistem budidaya yang bercirikan (i) produksi mencapai 200 ton/ha/tahun; (ii) tingkat kontrol yang tinggi; (iii) biaya awal yang tinggi, tingkat teknologi tinggi, dan efisiensi produksi yang tinggi; (iv) mengarah kepada tidak terpengaruh terhadap iklim dan kualitas air lokal; (v) menggunakan sistem budidaya buatan. 4. Hiper Intensif Sistem budidaya dengan karakteristik produksi rata-rata lebih dari 200 ton/ha/tahun, menggunakan pakan buatan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan makanan organisme yang dibudidayakan, benih berasal dari hatchery/pembenihan, tidak menggunakan pupuk, pencegahan penuh terhadap predator dan pencurian, terkoordinasi dan terkendali, suplai air dengan pompa atau memanfaatkan gravitasi, penggantian air dan aerasi sepenuhnya Untuk peningkatan kualitas air, dapat berupa kolam air deras, karamba atau tank. Sumber: Crespi dan Coche (2008)
Produksi < 500 kg/ha/tahun
2.000- 20.000 kg/ha/tahun
20.000- 200.000 kg/ha/tahun
> 200.000 kg/ha/tahun
Pada lingkungan yang alami, ketika jumlah pertumbuhan ikan dan organisme makanan alami ikan dalam kesetimbangan, maka tidak diperlukan menyediakan pakan tambahan. Ketika sistem budidaya dimaksudkan untuk memproduksi lebih banyak lagi ikan, pemupukan dan pakan tambahan harus diberikan. Dalam sistem ekstensif (tradisional), produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambah sedikit pupuk organik atau buatan, sedangkan pada sistem semi intensif produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambahkan pupuk bersama sejumlah pakan tambahan. Dalam sistem budidaya intensif, produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambahkan sejumlah besar pakan tambahan (Piska dan Naik, 9
2005). Perbandingan komposisi pakan tambahan, pakan alami dan produksi ikan dalam sistem ekstensif, semi intensif dan intensif dapat dilihat dalam Gambar 5.
Sumber: (Piska dan Naik 2005)
Gambar 1. Perbandingan antara beberapa sistem budidaya ikan Keterangan: SF : Supplementary feed/Pakan tambahan, NF : Natural food/Pakan alami dan FY : Fish Yield/Produksi ikan
Secara umum, pada budidaya tambak udang tradisional (extensive culture), petakan tambak pada umumnya mempunyai bentuk dan ukuran yang tidak teratur. Luasnya antara 3 hektar sampai 10 hektar per petak. Padat penebaran benur masih relatif rendah, yaitu berkisar 5.000 sampai 10.000 ekor per hektar dan makanan udang hanya tergantung dari pakan alami.
Sedangkan pada sistem budidaya semi-intensif (semi-intensive culture)
merupakan perbaikan atau peningkatan dari sistem budidaya tradisional, yeitu dengan memperkenalkan bentuk petakan yang teratur dengan maksud agar lebih mudah dalam pengelolaan airnya. Bentuk petakan umumnya empat persegi panjang dengan luas 1 sampai 3 hektar per petakan. Padat penebaran benur antara 25.000 sampai 50.000 ekor per hektar dan menggunakan pakan tambahan.
Kemudian pada sistem budidaya intensif yang
merupakan perbaikan atau peningkatan dari sistem semi intensif dengan menggunakan pakan formula lengkap, pompa dan airasi, ukuran petakan teratur dengan luasan 0,1 – 1 Ha dan padat penebaran antara 100.000 sampai 600.000 ekor per hektar. Batasan ketiga sistem budidaya tambak udang tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Batasan Sistem Budidaya Udang di Tambak Pakan Pengelolaan air Padat penebaran Ukuran petak tambak Produksi
Tradisional Alami Pasang-surut 1.000 – 10.000 ekor/Ha/musim 3 – 20 Ha
Semi-Intensif Alami + pakan tambahan Pasang surut + pompa 10.000 – 50.000 ekor/Ha/muism 1 – 5 Ha
Intensif Pakan formula lengkap Pompa + aerasi 100.000 – 600.000 ekor/Ha/musim 0,1 – 1 Ha
100 – 500 kg/Ha/Tahun
500 – 1.000 kg/Ha/tahun
2.000 – 20.000 kg/Ha/tahun
Sumber: Subyakto (2005)
10
Kegiatan akuakultur juga dapat dibedakan dari orientasi usahanya. Ada yang terkatagori akuakultur subsisten dan ada akuakultur komersial. Menurut Crespi dan Coche (2008), akuakultur subsisten adalah sistem akuakultur yang dioperasikan skala mikro atau menengah, biasanya inputnya rendah dan bersifat ekstensif sampai semi intensif, hasil produksi umumnya untuk dikonsumsi sendiri dan sebagian kecil dijual. Adapun akuakultur komersial adalah budidaya organisme aquatik dengan tujuan memaksimumkan profit; dilakukan oleh produsen skala kecil sampai besar dimana mereka berpartisipasi aktif di pasar, membeli input (termasuk modal dan tenaga kerja) dan terlibat dalam penjualan produk yang mereka hasilkan. Menurut Piska dan Naik (2005), sistem perikanan budidaya air tawar dalam penelitian ini ada tiga jenis. Pertama, perikanan budidaya yang menggunakan kolam sebagai media budidaya. Kedua, perikanan budidaya yang menggunakan sawah sebagai media budidaya. Ketiga, perikanan budidaya yang menggunakan Kolam Jaring Apung (KJA) sebagai media budidaya. Lebih lanjuut Piska dan Naik (2005) menjelaskan bahwa dalam akuakultur komersial, pengeluaran untuk pembelian pakan buatan menyerap 50% biaya produksi. Input faktor dalam kegiatan budidaya ikan komersial dapat dikelompokkan ke dalam input tangible dan input intangible.
Input tangible dan intangible berperan dalam menentukan tingkat
produktivitas perikanan budidaya air tawar. Input perikanan budidaya air tawar yang utama dan bersifat tangible adalah benih, pakan, tenaga kerja dan air sebagai media tempat budidaya. Faktor tangible tersebut berpengaruh baik secara tersendiri atau gabungan dari berbagai faktor intangible tersebut di atas. Intensitas dan karakteristik penggunaan input dalam ketiga jenis sistem budidaya berbeda-beda. Sistem budidaya KJA merupakan sistem budidaya yang paling tinggi intensitasnya dalam penggunaan input benih, pakan dan tenaga kerja. Tingkat intensitas berikutnya adalah sistem budidaya kolam, sedangkan sawah merupakan sistem budidaya yang paling rendah tingkat intensitas penggunaan inputnya. Perbedaan intensitas dan karakteristik penggunaan input menjadi salah satu sebab perbedaan tingkat produktivitas. Faktor-faktor intangible yang mempengaruhi produktivitas perikanan budidaya diantaranya adalah kualitas air, kualitas pakan, kualitas benih dan kualitas sumberdaya manusia, baik secara terpisah maupun gabungan dari berbagai faktor intangible atau gabungan dengan faktor tangible-nya. Kualitas lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh sumber air yang digunakan untuk budidaya ikan. Kualitas benih dicerminkan dalam tingginya angka kelangsungan hidup benih ikan sampai dapat dipanen sebagai ikan konsumsi, dan tingginya tingkat pertumbuhan ikan itu sendiri. Secara praktis kualitas benih merupakan rasio dari produksi yang dihasilkan terhadap jumlah benih yang ditanam.
11
Kualitas pakan tercermin dari rasio jumlah daging ikan yang dihasilkan terhadap pakan yang diberikan.
2.2 Kebijakan Pemerintah Terkait Peningkatan Produktivitas Tambak Udang Secara umum, industri udang diuntungkan oleh imolementasi berbagai diuntungkan oleh implementasi berbagai kebijakan pemerintah (Diop et al., 1999). Di Indonesia, udang merupakan salah satu komoditas Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RP2K), dan Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan produktivitas budidaya tambak udang (Pusdatin - KKP., 2005). Program pemerintah terkait peningkatan produktivitas antara lain Intensifikasi Tambak (Intam) yang diluncurkan tahun 1984/1985. Paket teknologi yang dianjurkan adalah: U1 (teknologi sederhana), U2 (teknologi madya), dan U3 (teknologi maju). Melalui Program tersebut, luas area budidaya udang di tambak yang pada tahun 1984/1985 hanya 20 Ha di tiga propinsi, maka pada tahun 1998/1999 telah berkembang menjadi 95 311 Ha di 14 propinsi (Hasibuan, 2003). Peserta dibentuk kelompok, terdapat tambak percontohan, fasilitas kredit, pembangunan dan pemeliharan saluran irigasi, serta dibentuknya kelembagaan pendukung seperti Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Program
Intam
tersebut
selanjutnya
berubah
nama
menjadi
Intensifikasi
Pembudidayaan Ikan (Inbudkan) pada tahun 2002 yang menitikberatkan pada teknologi anjuran. Pada tahun 2005 berubah lagi menjadi Program Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya untuk Ekspor (Propekan). Termasuk didalamnya berupa kegiatan Pengembangan Kawasan, Pembangunan Broodstock Center (calon induk udang vaname di Situbondo dan udang windu di Jepara), Bantuan Langsung Penguatan Modal, dan Bantuan Selisih Harga Benih Ikan (BSHBI) kepada pembudidaya ikan skala kecil. Besarnya bantuan senilai Rp24.97 milyar pada tahun 2006, Rp23.45 milyar tahun 2007, tahun 2008 sebesar Rp35.3 milyar, dan tahun 2009 Rp60 milyar untuk komoditas Udang, Nila, Patin, Kakap Putih, Mas, Lele, Gurame, Bandeng, dan Rumput Laut (KKP, 2009). Selanjutnya terkait infrastruktur, telah dilakukan juga kegiatan pembangunan dan rehabilitasi irigasi saluran tambak guna mendukung sarana dan prasarana tambak. Alokasi dana yang relatif besar terjadi pada kegiatan pembangunan/rehabilitasi tambak dengan sumber dana berasal dari SPL-JBIC pada tahun 1998-2000. Benur unggul hanya dapat diproduksi dari induk yang secara genetik unggul, disamping pengaruh kualitas air dan pakan juga penting dalam pemeliharaannya. Kebijakan terkait penggunaan benur unggul antara lain 31 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.41/Men/2001 tanggal 12 Juli 2001 tentang Pelepasan Varietas Udang Vaname Sebagai Varietas Unggul yang Tahan Terhadap WSSV dengan produksi 9-10 ton/Ha. 12
Selanjutnya, Kep.15/Men/2002 tanggal 12 Juli 2001, tentang Pelepasan Varietas udang Rostris sebagai varietas unggul yang tahan terhadap TSV dan WSV, dengan produksi 7.511.7 ton/Ha dan mempunyai FCR 1.28-1.65. Kebijakan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Rekayasa Breeding Programe udang vaname di BBAP Situbondo dilaksanakan berdasarkan SK Dirjen Perikanan Budidaya No.6375/DPB.1/ PB.110/2003, tanggal 23 Desember 2003 tentang Penetapan Pusat Pengembangan Induk dan Bibit ikan (Udang, Nila, Rumput Laut, dan Kerapu). Tujuan kegiatan Rekayasa Breeding Programe yaitu memperoleh induk unggul, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas induk, mengurangi ketergantungan dari negara lain, dan untuk menekan biaya operasional dalam budidaya udang. Program lainnya yaitu Intensifikasi Pembudidayaan Ikan (Inbudkan) sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.09/Men/2002 tanggal 26 Februari 2002. Inbudkan menitikberatkan pada gerakan bersama dari berbagai pihak untuk mengembangkan usaha pembudidayaan ikan, yang dilaksanakan atas dasar kerjasama antar anggota kelompok pembudidaya ikan sebagai peserta program di dalam kawasan, yang menerapkan teknologi yang
dianjurkan
untuk
meningkatkan
mutu
produksi
dan
produktivitas
usaha
pembudidayaan ikan secara efisien dan berkelanjutan. Nomor KEP.14/ MEN/2007 tentang Pembentukan Satgas Revitalisasi Perikanan Budidaya Berdasarkan rencana pada RP2K, pada tahun 2009 produksi udang ditargetkan 540 ribu ton dan lapangan pekerjaan ditargetkan tersedia bagi 985 ribu orang. Luas lahan yang dibutuhkan yaitu 42 800 Ha untuk udang windu dan 113 500 Ha untuk udang vaname. Guna mencapai target tersebut, kebutuhan dana pemerintah periode 2006-2009 sekitar satu trilyun rupiah. Dana tersebut dibutuhkan untuk rehabilitasi saluran irigasi, optimasi hatchery, laboratorium, penyuluhan, pengembangan luas area budidaya, tenaga kerja pendamping teknologi, dan stimulus modal kerja. Pihak swasta diharapkan menyumbang dana sebesar Rp4.19 trilyun (DKP, 2005).
2.3 Konsep Produktivitas Faktor Total Secara konseptual, pengukuran produktivitas suatu usaha ekonomi dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu produktivitas faktor produksi parsial dan produktivitas total faktor produksi. Produktivitas faktor produksi parsial adalah produksi rata-rata dari suatu faktor produksi yang diukur sebagai hasil bagi total produksi dan total penggunaan suatu faktor produksi (Maulana, 2004). Konsep Produktivitas Faktor Total (Total Factor Productivity - TFP) diperkenalkan pertama kali oleh Jan Tinberger pada tahun 1942. Pertumbuhan Total Factor Productivity menggambarkan bagaimana TFP mengalami perubahan dari satu waktu ke waktu 13
berikutnya. Menurut Cordero et al. (1999), perubahan TFP yang positif dan semakin besar menunjukkan terjadi perubahan produktivitas yang lebih baik dalam periode tersebut, dan sebaliknya. Namun, sebagai suatu ukuran produktivitas, konsep ini baru dapat dijelaskan secara eksplisit oleh Solow pada tahun 1967, dengan menggunakan kerangka produksi Cobb-Douglas (Nanga, 2007). Solow menjelaskan bahwa terjadinya selisih residual antara pertumbuhan output riil dengan tingkat pertumbuhan input tenaga kerja dan modal yang ditimbang dengan ukuran konvensional. Penelitian-penelitian selanjutnya dilakukan oleh banyak ahli ekonomi dengan tujuan memperkecil selisih residual itu atau menjelaskan fenomena tersebut secara ekonomi. Konsep selisih residual inilah yang menjadi konsep pertumbuhan TFP. Ada beberapa definisi TFP yang diterima secara umum, antara lain: sebagai rata-rata dari agregat input; ukuran tingkat perubahan teknologi produksi, dan suatu indeks efektivitas dari suatu input dalam menghasilkan suatu output sebelum dan sesudah terjadi perubahan teknologi (Suparyati, 1999). Sedangkan menurut Ehui dan Jabbar (2002), TFP didefinisikan sebagai rasio agregat output terhadap agregat input yang digunakan dalam proses produksi. Lakitan (2010) menyatakan bahwa pada prinsipnya, TFP merupakan variabel untuk mengukur dampak terhadap keluaran (output) total yang tidak disebabkan oleh tangible inputs, yakni capital input dan labor input yang terpakai dalam proses produksi. TFP menaksir dampak dari intangible inputs, termasuk kontribusi teknologi walaupun tidak terbatas hanya oleh teknologi. Selanjutnya Suparyati (1999), menyatakan bahwa bila pertumbuhan TFP sama dengan nol, maka tingkat pertumbuhan ekonomi hanya tergantung pada tingkat penggunaan modal dan tenaga kerja. Bila pertumbuhan TFP lebih kecil dari nol maka terjadi kondisi The Law of Diminishing Return, yang berarti bahwa pertambahan penggunaan input justru menurunkan tingkat output. Jika kondisi ini terjadi, maka penambahan input walaupun mungkin saja secara teknis menghasilkan output, namun secara ekonomis merugikan. Produktivitas terjadi karena peningkatan efisiensi, skala usaha, dan perubahan teknologi. Produktivitas yang lebih tinggi dapat terjadi jika output yang dihasilkan lebih banyak dengan menggunakan input yang sama, atau dapat juga output sama dengan penggunaan input yang lebih sedikit. Squires (1988) menyajikan kerangka dasar untuk mengukur perubahan produktivitas sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini. Fungsi produksi untuk kasus satu output dengan dua input adalah sebagai berikut:
Y t At f K t Lt ............................................................................................ (1) dimana Y(t) adalah output, K(t) menunjukkan penggunaan kapital pada waktu t, L(t) penggunaan tenaga kerja pada waktu t dan A(t) menggambarkan parameter efisiensi yang memungkinkan pergeseran fungsi produksi. 14
Sumber: Squires (1988)
Gambar 2. Fungsi Produksi yang Menggambarkan TFP. Gambar 2 menyajikan dua tingkat fungsi produksi sesuai persamaan di atas dimana Y1(t) > Y(t). Sumbu vertikal menggambarkan output dimana Y” > Y’, sedangkan sumbu horizontal menggambarkan indeks dari input agregat dimana X” > X’. Jika teknologi tetap, tetapi input lebih banyak digunakan, maka produksi bergerak dari B ke C. Jika terdapat inovasi teknologi, dengan menggunakan jumlah input yang sama maka output akan bergeser dari B ke D dan output meningkat dari Y ke Y’. Pada analisis produktivitas diperlukan data jumlah dan harga, baik output maupun input.
Perhitungannya dilakukan dengan cara
menurunkannya dari Persamaan (1), sebagai berikut:
ln Y t Y t 1 / Y ln Y t / ln K t / t ln K t / t ln Y t / ln Lt / t ln Lt / t
ln Y t / ln At / t ln At / t ................................................. (2) dimana:
ln Y t / ln At / t ln At / t
merupakan parameter penggeser output (Y)
bernilai unity, yaitu teknologi yang seperti digambarkan pada Gambar 2;
ln Y t / ln K t / t ln K t / t merupakan elastisitas kapital terhadap output; dan ln Y t / ln Lt / t ln Lt / t merupakan elastisitas tenaga kerja terhadap output. Perubahan tersebut diinterpretasikan sebagai laju pertumbuhan output, sehingga menjadi:
Y * Y E K K * K E L L* L A* / A ...................................................... (3)
15
tanda bintang menunjukkan penurunan terhadap waktu. Dengan demikian, pertumbuhan output merupakan pertumbuhan dari kapital, tenaga kerja, dan kemajuan teknologi. Dengan asumsi bahwa faktor produksi dibayar sesuai dengan nilai marginal produknya maka:
Y t / K t P K t / Pt ; dan Y t / Lt P L t / Pt .............................. (4) Dimana P(t), PK(t), PL(t) merupakan harga output, harga sewa kapital, dan upah tenaga kerja , maka dengan mensubstitusikan Persamaan (4) ke Persamaan (3) diperoleh:
Y * Y S K K * K S L L* L A* / A ......................................................... (5) atau,
A* / A Y * Y S K K * K S L L* / L .......................................................... (6) dengan demikian, produktivitas sebagai kemajuan teknologi dan perubahan sumberdaya melimpah merupakan residu dari pertumbuhan output dikurangi pertumbuhan input. Pengukuran produktivitas pada awalnya dilakukan secara parsial yaitu produksi ratarata dari suatu produk yang diukur sebagai hasil bagi total produksi dan total penggunaan suatu faktor produksi. Konsep ini mempunyai kelemahan yaitu tidak mengukur kontribusi produktivitas seluruh faktor produksi yang terlibat dalam satu proses produksi. Selain itu, penggunaan produktivitas tenaga kerja akan berguna jika tenaga kerja merupakan faktor dominan. Kelemahan penggunaan produktivitas parsial tersebut di atasi jika menggunakan produktivitas total. Dengan demikian TFP mengukur produktivitas secara lebih komprehensif. Menurut Cordero et al. (1999) TFP adalah ukuran kemampuan seluruh jenis faktor produksi sebagai satu kesatuan faktor produksi agregat dalam menghasilkan output keseluruhan. TFP didefinisikan juga sebagai rasio indeks hasil produksi dengan indeks total faktor produksi (input). Sedangkan menurut Otsuka (1988), mendefinisikan TFP sebagai ukuran kemampuan seluruh jenis faktor produksi sebagai satu kesatuan faktor produksi agregat dalam menghasilkan output secara keseluruhan (output agregat). Dalam prakteknya, TFP biasanya diukur dalam angka indeks sehingga langsung dapat mencerminkan tingkat relatif antar waktu (inter temporal), dan menurut Otsuka (1988) juga dapat diukur sebagai rasio indeks hasil produksi dengan indeks total input produksi. Perhitungan dalam bentuk angka indeks, dapat mencerminkan tingkat relatif antar waktu. Konsep produktivitas antar waktu sering digunakan untuk melihat perubahan teknis dalam penggunaan faktor produksi dan teknologi. Penggunaan konsep TFP akan menjawab sumber-sumber pertumbuhan dari teknologi. Salah satu keterbatasan penggunaan angka indeks yaitu bahwa perubahan harga dapat menyebabkan pengukuran yang bias dari TFP karena pelaku usaha akan mengubah komposisi input akibat perubahan harga. Berbagai pendekatan pengukuran produktivitas dapat dilakukan seperti disajikan Gambar 3. 16
Pengukuran Produktivitas
Pendektan Non Frontier
Pendektan Frontier
Non Parametrik (Angka Indeks)
Parametrik
Non Parametrik (Angka Indeks)
Parametrik
Growth Accounting Divisia Index Exact Index Tornqvist Index
Proggramming Econometrics
Malmquist Productivity Index
Stocastic and deterministic Model
Sumber: Grosskopf (1993) dalam Kiani et al.(2008)
Gambar 3. Berbagai Alternatif Metode untuk Pengukuran Produktivitas Secara konseptual, pengukuran produktivitas suatu usaha ekonomi dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu produktivitas faktor produksi parsial dan produktivitas total faktor produksi. Produktivitas faktor produksi parsial adalah produksi rata-rata dari suatu faktor produksi yang diukur sebagai hasil bagi total produksi dan total penggunaan suatu faktor produksi. Apabila faktor produksi lebih dari satu, maka produktivitas parsial suatu faktor produksi akan dipengaruhi oleh tingkat penggunaan faktor produksi lainnya. Oleh karena itu, konsep ini tidak banyak manfaatnya jika faktor produksi lebih dari satu jenis. Jika faktor produksi yang digunakan lebih dari satu jenis, maka konsep produktivitas yang lebih banyak digunakan adalah produktivitas total faktor produksi (Maulana, 2004). Menurut Ehui dan Jabbar (2002), secara umum terdapat dua basis pendekatan untuk mengukur produktivitas. Pertama, pendekatan growth accounting yang berbasis pada indeks number. Kedua, pendekatan parametrik, yang berbasis pada estimasi ekonometrik terhadap produksi, biaya atau fungsi keuntungan. Growth accounting lebih praktis dibandingkan dengan pendugaan parametrik atau ekonometrik. Akan tetapi pendekatan growth accounting hanya dapat menghitung efisiensi teknis, menggunakan asumsi Constant Return to Scale (CRS), tidak dapat menghitung efisiensi harga, dan tidak dapat menghitung elastisitas permintaan input maupun penawaran. Keterbatasan tersebut dapat diatasi apabila
menggunakan pendekatan ekonometrika. Pada penelitian ini digunakan pendekatan indeks number dalam perhitungan TFP. Menurut Ehui dan Jabbar (2002) terdapat empat alasan mengapa penggunaan indeks number 17
dipilih. Pertama, dengan pendekatan indeks number, data rinci dengan beberapa kategori input dan output dapat digunakan meski dilakukan pada waktu yang berbeda. Tidak ada masalah dalam derajat bebas atau reliabilitas statistik ketika bekerja dengan jumlah sampel yang sedikit selama sampel tersebut representatif. Kedua, indeks dapat dibangun untuk komponen-komponen individu terhadap output usaha total, sehingga menghindari asumsi keterpisahan input-output. Ketiga, dalam kondisi teknis dan pasar tertentu, pendekatan ekonometrik dan indeks hasilnya setara. Keempat, pendekatan TFP berbasis indeks memungkinkan agregasi terhadap output dan input dalam kategori yang berbeda. Total Factor Productivity (TFP) adalah rasio total output (diukur dalam bentuk indeks) terhadap total input (juga diukur dalam bentuk indeks). Jika rasio total output terhadap total input meningkat, maka rasio tersebut dapat diinterpretasikan untuk mengukur bahwa output yang lebih dapat diperoleh untuk suatu level input yang diberikan, atau TFP, menangkap pertumbuhan atau perubahan dalam output tidak dicatat dengan pertumbuhan atau perubahan dalam input produksi. Perbedaan TFP dari waktu ke waktu atau antar berbagai jenis tipe budidaya dapat dihasilkan dari beberepa faktor seperti: (1) Perbedaan dalam efisiensi (produksi kurang dari maksimum output yang dapat dihasilkan dari input yang diberikan) (2) Variasi dalam skala atau level produksi dari waktu ke waktu, sehingga output per unit input bervariasi sesuai skala produksi (3) Perubahan teknis. Perubahan teknis itu sendiri dapat dihasilkan dari peningkatan kualitas dalam input atau peningkatan kualitas dalam proses produksi. Total Factor Productivity (TFP) tidak dijelaskan oleh jumlah input yang digunakan dalam produksi. Level TFP ditentukan oleh bagaimana efisiensi dan intensifikasi input digunakan dalam produksi (Comin, 2006). TFP memainkan peranan penting dalam fluktuasi ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan perbedaan pendapatan perkapita diberbagai negara. TFP sangat kuat berkorelasi dengan output dan jumlah jam kerja dalam frekuensi siklus bisnis. Dalam model siklus bisnis standar, guncangan-guncangan terhadap TFP didorong oleh suplai tenaga kerja dan investasi, yang mendorong fluktuasi dalam output dan produktivitas tenaga kerja. Cara perhitungan indeks TFP dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Pendekatan secara langsung, disebut pula pendekatan akuntansi, dilakukan dengan menghitung jumlah indeks produksi agregat dan faktor produksi agregat terlebih dahulu, kemudian dihitung produktivitas total faktor produksinya. Pendekatan secara tidak langsung, disebut pula pendekatan ekonometrik atau pendekatan
18
faktorial, dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang laju perubahan produktivitas total faktor produksi sendiri (Maulana, 2004).
Salah satu cara penghitungan TFP menggunakan metode akuntansi adalah Indeks Tornqvist-Theil. Indeks Tornqvist-Theil tersebut telah meminimalisir pengaruh perubahan harga (Fuglie, 2004). Penghitungan TFP dengan menggunakan indeks Tornqvist-Theil (Caves et al., 1982 dalam Maulana, 2004), yang digambarkan sebagai perubahan proporsional pada TFP selama periode t dan t-1, adalah sebagai berikut:
TFPt Q X ln t ln t .................................................................. (7) ln TFPt 1 Qt 1 X t 1 dengan indeks output:
Q ln t 1 S t S t 1 ln Q jt ln Q jt 1 .................................................... (8) 2 j Qt 1 dan indeks input:
X ln t 1 S t S t 1 ln X jt ln X jt 1 ................................................... (9) 2 j X t 1 dimana: Qt = jumlah output tahun ke t Qt-1 = jumlah output tahun ke t-1 Qjt = jumlah output j tahun ke t Qjt-1 = jumlah output j tahun ke t-1 Xit = jumlah input i tahun ke t Xt-1 = jumlah input i tahun ke t-1 Sjt = pangsa dari output j tahun ke t Sjt-1 = pangsa dari output j tahun ke t-1 Sit = pangsa dari input i tahun ke t Sit-1 = pangsa dari input i tahun ke t-1 TFPt = faktor produktivitas total tahun ke t TFPt-1 = faktor produktivitas total tahun ke t-1 Seperti produktivitas parsial, Deny dan Fuse (1983) dalam Martinez-Cordero et al., (1999) mengembangkan metodologi untuk penentuan angka indeks intertemporal (antar waktu) dan interspatial (antar tempat) atau gabungan keduanya. Hasil penghitungan TFP tersebut akan sama untuk fungsi produksi translog. Hasilnya akan tidak konsisten untuk perbandingan multilateral karena permasalahan transitivitas, maka Tornqvist Indek untuk antar wilayah dihitung tersendiri, seperti dilakukan oleh Capalbo dan Antle (1986) dalam
Martinez-Cordero et al., (1999) sebagai berikut:
TI avg 1 2 mlog Qmi log Qmavg S mi S mavg -1 2
k log X
ki
log X kavg S ki S kavg ............................................ (10)
dimana: 19
TI avg Qmi Qmavg Smi Smavg Xki Xkavg Ski Skavg
= TFP tiap petak tambak = jumlah output dari species m dari tambak i = rata-rata output species m untuk seluruh tambak yang diuji = proporsi pendapatan dari tambak i = rata-rata proporsi seluruh tambak = jumlah dari input k dari tambak i = rata-rata input k = proporsi input tambak i = rata-rata proporsi input seluruh tambak
2.4 Hasil Penelitian Terdahulu Berbagai penelitian mengenai Total Factor Productivity telah dilakukan di berbagai bidang, baik di luar negeri maupun dalam negeri. Tjahyono dan Anugerah (2006) secara umum telah menghitung TFP Indonesia. Hasil perhitungan dengan metode growth accounting menunjukkan pertumbuhan TFP selama periode 1985-2004 mencapai 1.35 %.
Kajian Avila dan Evenson (2004) menunjuikan bahwa TFP Indonesia untuk tanaman pangan menurun dari 3,95% (periode 1961-1980) menjadi -0,78% (periode 1981-2001) dan untuk peternakan menurun dari 3,08% (1961-80) menjadi 2,41% (19812001). Bandingkan dengan Vietnam yang justru meningkat pada periode yang sama dari -0,52% menjadi 3,94% untuk tanaman pangan dan 0,22% menjadi 0,76% untuk peternakan. Menurut Lakitan (2006), jika nilai TFP negatif berarti peningkatan input tak sebanding dengan peningkatan output, selain kontribusi teknologi tidak terdeteksi juga proses produksi berlangsung secara kurang efisien. Khusus bidang pertanian, penelitian Evenson (2009) menemukan hubungan antara rata-rata jangka panjang pertumbuhan TFP dengan investasi kapital teknologi dari 87 negara-negara berkembang selama dua periode waktu. Pengukuran terhadap kapital teknologi, dapat dibedakan antara kapasitas riset dan kapasitas penyuluhan teknologi dan pendidikan tenaga kerja. Hasil penghitungan ekonometrika memperlihatkan bahwa tingkat peningkatan pertumbuhan TFP pertanian berkorelasi dengan peningkatan kedua bentuk kapital teknologi. Sumber-sumber pertumbuhan produktivitas dalam bidang pertanian menurut Yu (2005), didukung oleh faktor ketersediaan dan kualitas sumberdaya manusia, ketersediaan dan kualitas sumberdaya alam, riset dan pengembangan, infrastruktur, kelembagaan, dan stabilitas. Menurut Lakitan (2006), jika nilai TFP negatif berarti peningkatan input tak sebanding dengan peningkatan output, selain kontribusi teknologi tidak terdeteksi juga proses produksi berlangsung secara kurang efisien. Penelitian mengenai TFP dalam budidaya ikan jenis carp di beberapa negara Asia telah dilakukan oleh FAO untuk rentang
20
waktu 1998-1999 dengan menggunakan metode Tornquist Theil Index. Hasil penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Total Factor Productivity (TFP) dalam Budidaya Polikultur Ikan Jenis Carp Tahun 1998-1999 Indeks TFP Indeks TFP berbasis Nilai Produksi: Indeks Biaya Indeks Produksi Indeks TFP berbasis Jumlah Produksi: Indeks Biaya Indeks Produksi
Bangladesh
China
India
Vietnam
0,63 1,60
0,67 1,50
0,76 1,31
0,28 3,60
0,53 1,88
0,93 1,08
0,82 1,23
0,29 3,43
Sumber: FAO (2001)
Penelitian mengenai TFP di bidang perikanan terutama di dalam negeri masih sangat jarang dilakukan. Tahun 1999, Cordero et al. meneliti TFP beberapa jenis sistem budidaya di perairan payau ekstensif di tiga kecamatan di Sulawesi. Hasil penelitian mengenai besaran nilai TFP di lokasi yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Indeks TFP Interspasial Budidaya Ekstensif Udang pada Tiga Kecamatan, di Sulawesi Menggunakan Tornqvish Theil Index, 1999 Lokasi
Jumlah Pembudidaya
TFP Rata-rata
Luwu
30
1,6670
Kwandang
10
1,4423
Lariang
15
1,1305
Sumber: Cordero et al. (1999)
Sementara itu, hasil penelitian Cordero et al. (1999) menunjukkan bahwa besaran nilai TFP berdasarkan sistem budidayanya dapat dilihat pada Tabel 6.
21
Tabel 6. Indeks TFP Interspasial Indeks pada Budidaya Ekstensif Udang Berdasarkan Sistem Budidaya dari Tiga Kecamatan, di Sulawesi Menggunakan Tornqvish Theil Index, 1999 Sistem Budidaya Monokultur Polikultur dengan Rumput Laut G+M G+M+S G+M+S+C Polikultur tanpa Rumput Laut S+M C+M S+C S+C+M
TFP Rata-rata 1,2308 3,2664 3,3213 4,4157 2,4927 1,3945 1,2821 3,5660 1,1330 1,2133
Sumber: Cordero et al. (1999)
Keterangan: S = udang; G = rumput laut; M = bandeng; C = kepiting;
Penelitian terbaru mengenai TFP dilakukan oleh Juarno (2011) terhadap beberapa tingkat teknologi dalam budidaya udang air payau (tambak) di beberapa tempat di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hasil perhitungan Total Factor Productivity (TFP) menggunakan angka indeks Tornqvist Theil untuk periode 1989-2008 menunjukkan bahwa pertumbuhan produktivitas tambak mengalami stagnasi. Pertumbuhan output berupa udang windu, udang putih, dan bandeng dalam kurun waktu tersebut lebih disebabkan pertumbuhan faktor produksi antara lain benur, obat-obatan, pakan, dan energi. Faktor yang berpengaruh pada aspek perdagangan antara lain bahwa Indonesia belum sepenuhnya memenuhi pemenuhan akan persyaratan mutu dari negara importir. Kemudian hasil konfirmasi pada tingkat lapang dari penelitian yang dilakukan Juarno (2011) menunjukkan bahwa serangan penyakit berpengaruh negatif dan signifikan terhadap produktivitas (TFP). Penggunaan benur bersertifikat, intensifikasi, tingkat pendidikan, dan lokasi budidaya udang di Provinsi Jawa Timur dibandingkan di luar Jawa Timur berkorelasi positif terhadap TFP, sedangkan sistem kerjasama dan luas area berpengaruh negatif. Meskipun intensifikasi berkorelasi positif terhadap TFP, akan tetapi penerapannya perlu dipertimbangkan karena intensifikasi berisiko tinggi terhadap agroekologis. Kecenderungan terjadinya kekurangan bahan baku untuk Unit Pengolah Ikan mengindikasikan pentingnya peningkatan produksi udang yang memenuhi persyaratan ekspor baik dari ukuran, species, serta persyaratan mutu dan keamanan produk hasil perikanan. Di antara rantai pasokan, pedagang pengumpul merupakan titik rawan dalam upaya mempertahankan mutu karena masih kurangnya pembinaan dan pengawasan.
22
23
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikian Sub sektor perikanan budidaya saat ini telah menjadi barometer utama alam menopang terwujudnya ketahanan pangan nasional, khususnya dari protein ikani.
Isu
ketahanan pangan saat ini telah menjadi isu strategis bukan hanya pada tataran nasional tapi telah menjadi isu global seiring dari semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dunia yang akan memicu ketergantungan terhadap kebutuhan pangdan dan gizi yang aman dikonsumsi. Khusus untuk komoditas udang Indonesia, perannya tidak hanya terbatas pada dukungannnya terhadap ketahanan pangan, namun juga perannya sebagai komoditas penghasil devisa sangat penting bagi Indonesia, khususnya berkaitan dengan beberapa nilai strategis yang dimilikinya, seperti: potensi perikanan budidaya tambak udang yang sangat besar, penguasaan teknologi yang tinggi, kontribusinya terhadap perekonomian nasional (pertumbuhan ekonomi nasional, kesejahteraan masyarakat, penyerapan tenaga kerja), peran budidaya tambak udang pada tataran pemasaran/perdagangan di tingkat regional ASEAN dan global. Dalam dinamikanya, peran industri budidaya udang di Indonesia, pernah mengalami masa-masa kejayaannya, khususnya yang pada udang windunya yang memiliki pangsa pasar terbesar di dunia sehingga menjadinya Indonesia sebagai pemimpin pasar (market leader), namun kemudian seiring dengan meningkatkan tekanan akibat mewabahnya penyakit udang khususnya white spot telah menjadikan industri udang Indonesia memasuki era kejatuhannya. Menyikapi kejatuhan peran udang windu dari hasil budidaya tambak udang ini, pemerintah mulai menggalakkan program revitalisasi industri budidaya udang baik mencakup aspek teknis maupun non teknis, seperti terkait dengan masalah perbenihan, lahan tambak, infrastruktur, kelembagaan dan pasar. Program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, pada awalnya digulirkan dengan melalui program besar yang menjadi payungnya, yaitu “Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan” (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden R.I. pada tanggal11 Juni 2005, pada pada tahap awal telah diimplementasikan pada tahun 2005 – 2009; dan kemudian program ini dilanjutkan dengan diintegrasikan dalam Program Industrialisasi Kelautan dan Perikanan, yang mulai dilaksanakan pada tahun 2012 dan terus berlangsung hingga saat ini. Program revitalisasi industri budidaya udang tersebut masih perlu terus ditingkatkan kinerjanya, terutama karena program ini masih banyak menghadapi berbagai kendala dan
24
hambatan di lapangan, baik yang menyangkut aspek teknis maupun non teknis. Dari aspek teknis, program revitalisasi tersebut diduga masih menghadapi hambatan, seperti menyangkut: (1) Masalah perbenihan (penyediaan dan teknologi); (2) Lahan pertambakan (produktivitas, dan lahan idle); dan (3) Kualitas dan kuantitas Infrastruktur. Sementara dari aspek non teknis (aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan serta pasar) diantaranya menyangkut: (1) Kualitas SDM dan kemampuan manajerial yang masih rendah yang dapat mempengaruhi produktivitas aspek teknis operasional, kelembagaan, dan pengelolaan, (2) keterbatasan akses dalam perolehan input teknologi dan modal usaha yang dapat mempengaruhi produktivitas usaha, dan (3) Rendahnya aspek pengelolaan data dan pengawasan. Di samping kendala, revitalisasi budidaya udang di Indonesia juga diduga menghadapi hambatan, seperti: (1) Banyaknya tekanan konflik kepentingan terutama dari sektor non perikanan, terutama sektor industri/manufaktur, dan perumahan; (2) Tingginya harga input produksi (pakan); (3) Implementasi kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang kurang tepat sasaran, dan (4) Rendahnya investasi; dan (5) Regulasi permodalan yang tidak berpihak. Data dan informasi mengenai dinamika ekonomi dari kesejarahan per-udang-an di Indonesia dan faktor-faktor yang menjadi kendala dan hambatan dalam menentukan keberhasilan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, dapat sangat berguna dalam melakukan perumusan rekomendasi kebijakan, strategi dan rencana aksi percepatan revitalisi industri budidaya udang di Indonesia. Melalui rekomendasi kebijakan, strategi dan rencana aksi tersebut, diharapkan implementasi program revitalisasi budidaya udang ke depan akan berjalan lebih efektif dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan. Proses penelitian revitalisasi industri budidaya udang berkaitan dan perolehan data dan informasi mengenai dinamika ekonomi dari kesejarahan per-udang-an di Indonesia dan faktor-faktor yang menjadi kendala dan hambatan dalam menentukan keberhasilan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, serta perumusan rekomendasi kebijakan, strategi dan rencana aksi percepatan revitalisi industri budidaya udang di Indonesia, secara skematis tertera pada kerangka pemikiran penelitian revitalisasi industri budidaya udang, seperti tertera pada Gambar 4.
25
Dinamika Ekonomi Per-Udang-an Indonesia
Program Revitalisasi Industri Budidaya Udang: -
Penataan Ruang yang Seimbang Penerapan Teknologi Dukungan Permodalan Dukungan Sarana dan Prasaran
Hambatan: - Tekanan konflik kepentingan sektor non perikanan - Tingginya harga input produksi (pakan) - Kebijakan yang tidak tepat sasaran dan tidak kondusif - Rendahnya investasi - Regulasi permodalan yang tidak berpihak
Kendala - Perbenihan (penyediaan dan teknologi) - Lahan pertambakan (produktivitas dan lahan idle) - Rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur pertambakan - Rendahnya kualitas SDM dan kemampuan manajerial - Rendahnya akses perolehan teknologi dan permodalan - Rendahnya pengawasan
Mengambil Pelajaran Penting (Lesson Learns) Udang
Implementasi Program Revitalisasi Industri Budidaya Udang Udang
Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang
Tujuan: Mendukung Ketahanan Pangan Nasional dan Global Meningkatkan Kontribusi terhadap Perekonomian Meningkatkan Kesejahteraan Petambak Udang Meningkatkan Daya Saing Udang Menjaga Pelestarian Sumberdaya
Kinerja Revitalisasi Industri (Produktivitas) Budidaya Udang Indonesia dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Rumusan Rekomendasi Kebijakan Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Penelitian Revitalisasi Industri Budidaya Udang
26
3.2 Model Pendekatan Model pendekatan penelitian revitalisasi industri budidaya udang ini merupakan penelitian deskriptif dan menggunakan pendekatan analisis kualitatif dan kuantitatif serta dengan pemilihan lokasi secara purposive (sengaja) yakni di beberapa wilayah yang menjadi prioritas program revitalisasi industri budidaya udang, yaitu: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulwesi Selatan dan Lampung.
3.3 Metoda Analisa Data Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan pendekatan analisis deskriptif. Analisis deskriptif dapat berupa uraian kata-kata atau interpretasi dari gambar atau tabel. Analisis ini digunakan untuk menjelaskan antar fenomena yang ditemukan dalam penelitian ini yang disajikan dalam bentuk table dan grafik. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis,faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat dan hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 2005). Kemudian untuk mendapat tujuan yang ditetapkan dalam penelitian ini, digunakan sebanyak tiga pendekatan analisis, yaitu: (1) Pendekatan Analisis Sejarah dan Interupted Time Series Analysis (ITSA); (2) Pendekatan Ekonometrika Regresi Sederhana dan Model Pilihan Respons Kualitatif; dan (3) Pendekatan Analisis Prospektif. Masing-masing pendekatan analisis tersebut diringkas diringkas sebagaimana terlihat pada Tabel 7 dan dijelaskan pada uraian berikut.
27
Tabel 7. Tahapan Analisis Data yang Dilakukan Sesuai dengan Tujuan Penelitian No
Tujuan
1
Menelaah dinamika produktivitas budidaya udang di Indonesia selama periode 19892013 (pada era kejayaan, keterpurukan, dan kebangkitan); dan mengkaji peran berbagai kebijakan terkait dengan revitalisasi tambak udang di Indonesia dalam meningkatkan produktivitas tambak udang.
2
Mengukur kinerja revitalisasi usaha budidaya udang (produktivitas) di tingkat lapang dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta faktor penentu keputusan pembudidaya merevitalisai kegiatan usaha budidaya udang. Merumuskan rekomendasi kebijakan dalam rangka mempercepat revitalisi industri budidaya udang di Indonesia
3
Topik data Perkembangan produksi (faktor output) dan faktor input dalam budidaya udang di Indonesia selama periode 1989-2013 Kebijakan-kebijakan serta berbagai hal yang berkaitan dengan kondisi budidaaya tambak udang di Indonesia selama periode 1989-2013 (serangan wabah hama dan penyakit, perbaikan infrastruktur pertambakan nasional, dan sebagainya). Produksi tambak udang, level teknologi, kualitas benih/induk, harga udang, infrastruktur, permodalan, keamanan, luas lahan, tenaga kerja, dan peubah lainnya terkait dengan revitalisasi budidaya tambak udang di tingkat lapang Data dan informasi dari hasil tujuan 1 dan 2.
Jenis data
Sumber data
Metode pengambilan data Desk study
Sekunder
- Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, KKP - Instansi lainnya yang terkait
Primer dan Sekunder
- Pembudidaya - Dinas KP - Ditjen Perikanan Budidaya - Dinas terkait
Pengamatan Survey
Primer dan Sekunder
- Pembudidaya - Dinas KP - Ditjen Perikanan Budidaya - Dinas terkait
Sintesa dari hasil tujuan 1 dan 2, serta Pendekatan Brainstorming, FGD
Metode analisis Pendekatan Sejarah dan Ekonomi menggunakan model ITSA (Interpreted Time Seires Analysis)
Tornqvish Theil Index TFP Pendekatan Ekonometrika Model Regresi Sederhana Model Ekonomentrika Regresi Pilihan Kualitatif (Peluang Linier, Probit, dan Logit). Analisis Prospektif berdasarkan hasil sintesa temuan dari tujuan 1 dan 2, kemudian dilakukan brainstorming dan diskusi kelompok terfokus.
28
3.3.1
Metode Analisis Sejarah dan ITSA Untuk mengetahui sejauhmana dinamika per-udang-an Indonesia selama era
kejayaaan, keterpurukan dan kebangkitan, dalam penelitian ini digunakan kombinasi dua buah metode analisis, yaitu: Metode Analisis Sejarah dan Metode ITSA (Interupted Time Series Analysys). Kedua metode analisis digunakan secara paralel. Segala temuan yang dihasilkan dari analisis kuantitaif ITSA akan diperjelas secara kualitatif oleh hasil analisis sejarah. Diharapkan dengan menggunakan kedua metode analisis tersebut secara paralel, akan diperoleh hasil dan pembahasan mengenai dinamika per-udangan Indonesia secara lebih komprehensif dan holistik. Kedua metode analisis tersebut, masing-masing dijelaskan pada uraian berikut.
A. Metode Analisis Sejarah Metode penelitian sejarah bertujuan untuk merekonstruksi masa lalu secara sitematis dan obyektif dengan mengimpulkan, menilai, memverifikasi dan mensintesiskan bukti (data) untuk menetapkan fakta dan mencapai konklusi yang dapat dipertahankan. Sumber sejarah dalam konteks pembelajaran merupakan sumber informasi yang akan menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan ketika akan dilakukan penelitian sejarah. Sumber-sumber (data) sejarah meliputi sumber primer dan sumber sekunder. Sedangkan menurut bahanya, sumber sejarah terdiri dari: sumber tertulis, sumber lisan dan sumber benda (Kuntowidjoyo, 2003; Syamsudin, 2007). Menurut Gottschalk, L. (1975) dalam Kuntowidjoyo (2003), tipe-tipe penelitian sejarah berhadapan dengan empat data sejarah, yaitu: (1) Sumber primer; (2) Sumber sekunder; (3) Rekaman berseri (running record); dan (4) Recollection. Sumber primer, mencakup: (1) Surat, buku harian, film, novel, dan artifak yang biasanya tersimpan dalam bentuk arsip; dan (2) Dokumen-dokumen. Sumber sekunder biasanya berupa karya-karya sejahawan terdahulu yang telah berpengalaman dengan spesialisasi tertentu.
Running
Records atau Rekaman Berjalan, yaitu file atau dokumen statistik yang dipelihara oleh suatu organisasi atau kontor (lembaga). Sedangkan recollections adalah peraturan atau tilisan orang tentang pengalaman masa lalunya atau kesaksian atas suatu peristiwa di masa lalu berdasarkan ingatan belaka. Recollection mengandung kelemahan, karena ingatan orang sangat terbatas dan karenanya tidak semua pengalaman masa lalu dapat diingat seluruhnya. Ada kemungkinan terdapat kesalahan dalam recollection ini, karena bias oleh masa sekarang, atau bias kepentingan. Sementara menurut Syamsudin (2007) Tahap-tahap penelitian sejarah, yaitu:
(1)
Pemilihan topik; (2) Pengumpulan sumber (heuristik); (3) Verifikasi berupa kritik ekstern dan intern; (4) Penafsiran (interpratation); dan (5) Penulisan sejarah (historiografi). 29
Sedangkan prosedur penelitian sejarah adalah: (1) Heuristik berupa kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan; (2) Kritik berupa pengujian secara kritis terhadap sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan, untuk menyeleksei data sehingga diperoleh data; (3) Interpretasi, untuk menetapkan makna dan saling hubungan dari fakta-fakta yang telah diverifikasi; dan (4) Historiografi, berupa penyajian hasil sintesis yang diperoleh dalam bentuk sebuah kisah sejarah. Kuntowidjoyo (2003) menyoroti adanya perkembangan baik sejarah yang makin bersifat lintas disiplin, mempelajari dan berkembang bersama ilmu-ilmun sosisial lainnya, seperti: antropologi, geografi, linguistik, sosiologi, ekonomi dan sebagainya. Tapi tentunya, sebagai ilmu sejarah tetap harus memiliki kaidah-kaidahnya, terutama sifatnya yang diakronis, memanjang dalam waktu. Namun penurutnya, di kala banyak orang (ilmu sosial) menafikan pendekatan kuantitatif (yang dikatakan “terlalu positivis”), maka bidang sejarah pun perlu memperluas wawasan dalam pendekatan kuantitatif. Relevan dengan pandangan Kuntowidjoyo tersebut, guna mendapat tujuan satu dalam penelitian ini digunakan pendekatan ekonomi sejarah untuk mengungkap dinamika ekonomi politik per-udang-an Indonesia yang mencakup masa (era) kejayaan, keterpurukan dan kebangkitan.
B. Metode ITSA (Interrupted Time Series Analysis) Metode Interrupted Time Series Analysis (ITSA) adalah metode yang terkuat pada desain kuasi-eksperimen yang digunakan untuk mengevaluasi efek longitudinal terhadap intervensi yang dilakukan. Analisis regresi tersegmentasi pada data runtun waktu (time series) memungkinkan untuk menilai dalam hal beberapa aspek statistik, seperti berapa banyak intervensi yang mengubah hasil dengan segera dan dari waktu ke waktu; langsung atau dengan keterlambatan; jangka pendek atau jangka panjang; atau apakah faktor-faktor lain selain intervensi bisa menjelaskan perubahan (Wagner et al, 2002). Data dikumpulkan dalam ITSA pada beberapa titik waktu sebelum dan sesudah intervensi. Tujuannya untuk mendeteksi bahwa intervensi yang dilakukan memiliki efek signifikan yang lebih besar daripada “trensekuler” yang terjadi. Metode yang digunakan untuk ITSA adalah perbandingan statistik trend saat sebelum dan sesudah intervensi (lihat Gambar 5). Sebuah gambaran dari unsur-unsur umum analisis regresi time-series tersegmentasi disajikan pada Gambar 5. Analisis memperkirakan pengaruh intervensi sementara memperhatikan trend waktu dan autokorelasi antara pengamatan. Analisis Interrupted Time Series umumnya menggunakan model ARIMA untuk menganalisis datanya, tetapi ada juga beberapa teknik statistik lainnya yang dapat digunakan yang bergantung pada karakteristik data, jumlah titik data yang tersedia dan autokorelasi yang muncul. 30
Perkiraan untuk koefisien regresi sesuai dengan dua ukuran efek standar diperoleh: perubahan dalam tingkat (juga disebut' langkah perubahan') dan perubahan tren sebelum dan sesudah intervensi. Menurut Ramsay(2003), perubahan tingkat didefinisikan sebagai perbedaan antara tingkat yang diamati pada titik pertamakalinya intervensi dan yang diperkirakan oleh pra-intervensi waktu trend, dan perubahan tren didefinisikan sebagai perbedaan antara sebelum dan setelahadanya intervensi yang digambarkan oleh tingkat kemiringan (slope). Perubahan negatif ditingkat kemiringan dan akan menunjukkan penurunan, misalnya, tingkat infeksi.
Slope pre
Intervention Introduced
outcome (y) Change in Level Slope post
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Time (t) Sumber: Ramsey et al, 2003
Gambar 5. Hubungan antara Intervensi dengan Outcome berdasarkan Perubahan Waktu dalam Analisis Interrupted Time Series (ITS)
B.1 Desain ITSA (Interrupted Time Series Analysis) Desain interrupted time-series dapat juga digambarkan sebagai perpanjangan dari one group pretest-post test desain-desain ini diperpanjang dengan menggunakan berbagai pretests dan post-tests. Dalam jenis desain kuasi eksperimental, pengukuran berkala yang dilakukan pada kelompok sebelum presentasi (interupsi) intervensi untuk membangun dasar yang stabil. Mengamati dan menetapkan fluktuasi normal variabel dependen atas waktu memungkinkan peneliti untuk lebih akurat menginterpretasikan dampak dari independen variabel. Setelah intervensi, pengukuran lebih beberapa periodik dibuat. Ada empat variasi dasar desain ini: desain ITSA sederhana, desain ITSA pembalikan, desain beberapa runtun waktu, dan desain longitudinal (Kholistianingsih, 2005).
31
(a) Desain ITSA Sederhana Desain ITSA sederhana adalah dalam desain-subyek di mana pengukuran berkala yang dibuat pada satu kelompok dalam upaya untuk membentukdasar, seperti yang digambarkan di sini (Geoffrey, 2005):
O—O—O—O—X—O—O—O—O Di beberapa
titik waktu, peubah terikat (dependent variable) diperkenalkan, dan ini diikuti dengan pengukuran berkala tambahan untuk menentukan apakah terjadi perubahan dalam peubah bebas.
(b) Desain ITSA Pembalikan Di samping desain ITSA sedehana, juga dikenal sebagai desain “ABA”, desain ini pada dasarnya adalah sebuah variasi multi-subjek desain pembalikan tunggal-subjek, yang akan dibahas nanti dalam bab ini. Tujuan dasar dari ini disain adalah untuk membangun kausalitas dengan menampilkan dan menarik intervensi, atau peubah bebas (independent variable), satu sampai beberapa kali sambil merangkap mengukur perubahan dalam peubah terikat (dependent variable) (seperti yang digambarkan berikutini). Seperti dalam desain time-series yang sederhana, desain ini dimulai dengan serangkaian pre tests untuk mengamati fluktuasi normal pada awal. Nama "pembalikan" mengacu pada gagasan bahwa kausalitas dapat disimpulkan jika perubahan yang terjadi setelah penyajian
intervensi
menghilangkan atau "terbalik" ketika peubah terikat (independent variable)adalah ditarik, seperti: O—O—O—X—O—O—O—REV—O—O—O—X—O—O—O (A)
(B)
(A)
(c) Desain ITSA Multiple Desain ini pada dasarnya sama dengan experiment pretest-posttest desain, dengan pengecualian bahwa variabel dependen diukur pada beberapa waktu poin baik sebelum dan sesudah penyajian independen variabel, atau longitudinal, seperti yang digambarkan di sini: O—O—O—O—X1—O—O—O—O O—O—O—O—X2—O—O—O—O Meskipun desain ini tidak acak, bisa cukup kuat dalam hal kemampuannya untuk menyingkirkan penjelasan lain untu kefek yang diamati. Desain ini memungkinkan kita untuk memeriksa kecenderungan dalam data, pada titik-titik beberap waktu, sebelum, selama, dan setelah intervensi (memungkinkan kita untuk mengevaluasi masuk akal yang ancaman tertentu untuk validitas internal). Selama dan di atas tunggal-kelompok time-series desain, Namun, desain ini menungkinkan kita untuk membuat kedua kelompok – dalam dan
32
antarkelompok- perbandingan, yang selanjutnya dapat mengurangi keprihatinan alternatif penjelasan berkaitan dengan sejarah. Oleh karena itu, kekuatan utamadari desain ini adalah bahwa hal itu memungkinkan kedua perbandingan antarakelompok. Sayangnya, desain ini tidak melibatkan acak tugas dan dengan demikian tidak dapat menghilangkan semuaancaman terhadap internal validitas. Penjelasan versi lain dari desain ITSA juga dijelaskan oleh Biglan et al (2013). Ia menjelaskan bahwa terdapat beberapa desain dalam ITSA, seperti: AB Desain, Multiple Baseline Desain, dan ABA Desain, dan Desain Lainnya. Masing-masing desain ITSA tersebut secara rinci dijelaskan sebagai berikut.
(a) Desain ITSA Sederhana (“A-B”) Secara konvensi, dalam literatur perilaku, desain fase langkah-langkah yang berulang diberi label A, B, C, dan lain-lain. Desain time series sederhana yang berulang adalah desain “A-B” di mana peubah bebas (independent variable) dimanipulasi, yaitu: tingkat yang baru itu diperkenalkan setelah serangkaian pengukuran dasar dalam satu time series. Kemampuan kita untuk menilai efek dari peubah bebas adalah fungsi dari jumlah titik data awal, poin jumlah data intervensi, jumlah titik data pasca-intervensi, dan variabilitas data. Jenis desain ini telah lama digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan. Sebagai contoh, Gambar 6 yang mempresentasikan sebuah contoh Desain A-B sederhana dari Wagenaar dan Webster (1986), di mana efek Michigan dievaluasi dari implementasi tergadap penggunaan mobil yang diwajibkan menggunakan kursi keselamatan untuk anak di bawah usia 4 tahun. Gambar tersebut menunjukkan cedera motor pada penumpang kendaraan dengan usia 0-3 tahun. Undang-undang mulai berlaku pada bulan April 1982. Sebagai dapat dilihat, ada pengurangan yang jelas dalam tingkat cedera anak-anak. Demikian pula, Hingson et al. (1987) yang menggambarkan efek dari perubahan mengemudi di bawah pengaruh undang-undang di Maine dan Massachusetts. Warner (1977) mengevaluasi konsumsi rokok sebagai fungsi dari perubahan kebijakan tentang iklan rokok dan publisitas tentang berbahayanya efek rokok. Efek pajak tembakau pada konsumsi telah dievaluasi dengan memeriksa pengaruh perubahan tarif pajak konsumsi tahunan (US Department of Health & Human Services, 1994).
33
15%
15%
10%
10%
Outcome Variables
Outcome Variables
5 %
5 %
0%
0% 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 1415 16 1718 19 20
Weeks Sumber: Biglan et al. (2000)
1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 1415 16 1718 19 20
Weeks
Gambar 6. Pengukuran Variablity pada dua interrupted time series hipotetik. Gambar Pertama Menunjukkan series variability yang tinggi, dan Gambar Kedua menujukkan series yang relatif stabil Salah satu keterbatasan desain “A-B” tersebut adalah bahwa perubahan dalam serangkaian waktu bisa disebabkan oleh banyak faktor lainnya yang secara bersamaan terjadi dengan perubahan peubah terikat (independen variabel). Misalnya, undang-undang tentang tingkat kandungan alkohol dalam darah, dapat diperkenalkan setelah peningkatan dramatis dalam jumlah kematian mengemudi dalam keadaan mabuk (Campbell, 1969). Jika tingkat kematian kemudian turun, itu bisa disebabkan oleh penerapan hukum, tetapi itu juga bisa disebabkan oleh regresi terhadap rata-rata untuk publisitas tentang berlakunya tingkat kematian yang tinggi sebelumnya, atau pengaruh faktor lain yang tidak terkendali yang akan menyebabkan tingkat penurunan bahkan tanpa aksi undang-undang. Bisa juga bahwa hal itu bukan oleh faktor hukum itu sendiri, tapi seputar publisitas yang ditetapkan bahwa hal tersebut terjadi karena faktor kebiasaan meminum minuman keras dan kebiasaan mengemudi masyarakat. Jika faktor-faktor ini yang terjadi, orang mungkin melihat penurunan tingkat kematian karena mengemudi dalam keadaan mabuk pada saat dilakukan musyawarah undang-undang, tapi sebelum berlakunya. Mungkin, salah satu menemukan bahwa ada penurunan tingkat kematian mengemudi dalam keadaan mabuk pada titik yang ditetapkan, tetapi kemiringan time series lebih positif secara signifikan berikut pelaksanaan (Ross, 1973). Dengan kata lain tingkat kematian akibat mengemedui dalam keadaan mabuk menjadi turun setelah UU ini diberlakukan, tetapi mulai berpotensi meningkat sebagai publisitas tentang berkurangnya masalah ini.
34
75 70 65
Crashes Per 10,000
60 55 50 45 40 35 30 25 1978
1979
1980 Trend
1981 Actual
1982
1983
Sumber: Biglan (2000)
Gambar 7. Implementasi Efek Michigan’s dari Pemberlakuan Penggunaan Kursi Pengaman pada Mobil terhadap Cedera Kendaraan Bermotor untuk Usia 0 sampai 3 Tahun (b) Desain ITSA “Multiplane Baseline” Kita dapat memiliki satu keyakinan besar bahwa manipulasi dari peubah bebas (independent variable) yang bertanggung jawab untuk perubahan dalam time series jika ada beberapa time series, yang masing-masing menerima manipulasi atau intervensi pada titik yang berbeda dalam waktu. Desain di mana peubah bebas (independent variable) dimanipulasi di titik berbeda dalam waktu untuk time series, umumnya disebut Desain Multiple Baseline (Barlow et al., 1984; Barlow & Hersen, 1984). Ada dua tipe Desain Multiple Baseline. Dalam Desain Multiple Baseline pada kasus fenomena menarik diukur berulang kali dalam dua atau lebih kasus dan manipulasi peubah bebas (independent variable) terjadi pada waktu yang berbeda untuk kasus yang berbeda. Sebagai contoh, Gambar. 3 menyajikan contoh
Desain Multiple Baseline di empat
komunitas yang digunakan untuk mengevaluasi program untuk mengurangi penjualan tembakau ilegal kepada orang-orang muda (Biglan et al., 1996b). Intervensi yang melibatkan pedagangan berpendidikan, imbalan untuk pegawai yang tidak menjual, dan publisitas untuk toko dan pegawai yang tidak menjual. Peubah bebas (dependent variable) adalah proporsi toko di setiap komunitas yang bersedia untuk menjual tembakau kepada 35
anak di bawah umur. Hal tersebut dinilai berulang kali dengan memiliki orang-orang muda yang mencoba untuk membeli tembakau di setiap toko. Intervensi pertama diperkenalkan kepada kedua masyarakat, sementara pasangan kedua masyarakat terus di awal. Setelah ada efek pertama yang jelas dalam dua komunitas, intervensi diperkenalkan pada pasangan kedua masyarakat. Prosedur ini dievaluasi dalam empat komunitas lainnya, juga menggunakan beberapa desain dasar di masyarakat (Biglan et al, 1995); dan diperoleh hasil yang sama. Perataan di semua (delapan) komunitas menunjukkan bahwa intervensi menghasilkan pengurangan (persen) toko yang bersedia menjual tembakau dari 57% pada awal menjadi 22% selama fase intervensi. Tipe kedua beberapa desain dasar bisa disebut desain multiple baseline dalam kasus. Berikut dua atau lebih fenomena yang diukur berulang kali untuk satu kasus dan peubah bebas (independent variable) diterapkan pada salah satu fenomena pada suatu waktu. Misalnya, dalam evaluasi efek perubahan kebijakan negara di tahun 1970-an dan 1980-an yang mengangkat usia minimum untuk minum, efek pada kecelakaang tunggal kendaraan dalam lalu lintas waktu malam dibandingkan dengan efek pada siang hari dan kecelakaan banyak kendaraan. Karena kita tahu kebanyakan kendaraan tunggal, kecelakaan mobil pada malam melibatkan penggunaan minuman alkohol oleh pengendaranya, dan relatif sedikit kecelakaan pada siang hari pada banyak kendaraan, jika pengendara kendaraan minum minuman beralkohol diberikan hukuman yang lebih tinggi. Faktor usia mengurangi penggunaan alkohol oleh remaja, kita akan mengharapkan untuk melihat pengurangan keterlibatan remaja dalam kecelakaan tunggal kendaraan pada waktu malam tapi tidak dalam kecelakaang banyak kendaraan pada siang hari (hasil yang ditemukan di berbagai negara; O'Malley & Wagenaar, 1991; Wagenaar, 1983; 1986; 1993).
36
Percent Wlling to Sell
Willamina 100%
Baseline
75% 50% 25% 0% T1
T2
Sutherlin 100%
Percent Wlling to Sell
Intervention
T3
T4
Baseline
T5
T8
T9
T10 T11 T12 T13 T14 T15
T8
T9
T10 T11 T12 T13 T14 T15
Intervention
50% 25% 0% T2
T3
T4
T5
Prinevile 100%
Percent Wlling to Sell
T7
75%
T1
T6
T7
Baseline
Intervention
75% 50% 25% 0% T1
T2
T3
T4
T5 T6
Creswell 100%
Percent Wlling to Sell
T6
T7
T8
Baseline
T9
T10 T11 T12 T13 T14 T15
Intervention
75% 50% 25% 0% T1
T2
T3
T4
T5 T6
T7
T8
T9
T10 T11 T12 T13 T14 T15
Sumber: Biglan (2000)
Gambar 8. Proporsi Outlet Tembakau di Masing-masing Empat Komunitas yang Bersedia untuk Menjual Kepada Mereka yang Berusia di Bawah 18 Tahun Setelah Implikasi Program Reward dan Sisanya Desain Interruption Time-Series Analysis (ITSA) telah digunakan secara produktif untuk evaluasi kebijakan berbagai percobaan alami yang melibatkan perubahan nasional, negara, atau masyarakat lokal. Salah satu contoh desain multiple baseline dalam masyarakat akan menjadi intervensi untuk mempengaruhi penjualan tembakau dan alkohol kepada anakanak, di mana intervensi awalnya menargetkan penjualan tembakau dan kemudian hanya menargetkan penjualan alkohol. Bukti bahwa intervensi memiliki efek akan disediakan oleh perubahan awal dalam penjualan tembakau yang tidak disertai oleh perubahan dalam
37
penjualan alkohol, diikuti oleh perubahan dalam penjualan alkohol ketika intervensi itu diterapkan untuk masalah tersebut. Salah satu kesulitan dengan desain tersebut adalah bahwa mungkin dua atau lebih fenomena yang sedang diukur adalah saling berkaitan dengan cara-cara yang menyebabkan semua mereka untuk berubah ketika intervensi diterapkan salah satu dari mereka (Barlow & Hersen, 1984). Sebagai contoh, penjualan alkohol untuk anak muda mungkin berubah sebagai hasil dari intervensi menargetkan penjualan tembakau kepada orang-orang muda. Jika hal ini terjadi, seseorang dapat memiliki lebih sedikit keyakinan bahwa pelaksanaan peubah bebas (independent variable) membawa perubahan. Dalam banyak contoh, maka akan diperlukan untuk mengumpulkan bukti-bukti apakah dua atau lebih fenomena yang saling terkait dengan cara ini, sebelum seseorang dapat mengetahui apakah seperti desain layak. Beberapa desain dasar terkuat menggabungkan beberapa time series dalam kasus otomatis kecelakaan geopolitik dibandingkan data time-series kecelakaan dalam negara bagian. Mereka melihat efek dari minum di usia remaja muda, remaja yang lebih tua, dan orang dewasa; dan mereka dibandingkan kecelakaan yang mungkin melibatkan alkohol dengan orang-orang yang tidak melibatkan alkohol, yaitu: waktu malam vs siang hari dan kecelakaan tunggal kendaraan vs kecalakaan multi-kendaraan (Wagenaar, 1986). Selain itu, studi tersebut membandingkan pengaruh perubahan pada waktu minum di beberapa negara dengan negara-negara lain di mana usia meminum berubah pada waktu yang berbeda atau tidak berubah semuanya (O'Malley & Wagenaar, 1991; Wagenaar, 1993). Barlow et al. (1984) telah menyebutkan perbandingan yang dapat dibuat dalam beberapa desain awal yang melibatkan tiga seri waktu untuk menilai apakah manipulasi peubah bebas (independent variable) mempengaruhi peubah bebas (dependent variable). Pertama, dalam setiap satu deret waktu dapat memeriksa apakah kemiringan atau tingkat perubahan deret waktu ketika bebas bebas (independent variable) dimanipulasi. Kedua, seseorang dapat membandingkan perubahan yang terkait dengan memanipulasi peubah bebas (independent variable) dalam time series pertama dengan perubahan dalam time series yang tidak menerima manipulasi peubah bebas (independen variable).
Ketika perubahan
dalam seri pertama adalah ditambah dengan tidak adanya perubahan dalam dua detik seri, kesimpulan bahwa peubah bebas (independent variable) membawa perubahan yang diperkuat. Ketiga, dalam kelipatan dasar tiga seri, efek peubah bebas (independen variable) pada seri kedua dapat dibandingkan dengan seri ketiga kalinya. Replikasi efek dalam seri kedua, disertai dengan tidak ada perubahan dalam seri ketiga tidak diintervensi (unintervened), bahkan memberikan bukti kuat pengaruh peubah bebas (independent variable).
38
(c) Desain ITSA “A-B-A” Dalam desain ini, intervensi diberlakukan dengan cara: “diperkenalkan”, “ditarik”, dan “diperkenalkan” lagi. Jika tingkat atau kemiringan (slope) peubah terikat (dependent variable) yang handal dalam menanggapi perubahan untuk manipulasi, sehingga seseorang dapat mengalami peningkatan keyakinan bahwa perubahan yang terjadi adalah karena manipulasi dari peubah bebas (independent variable). Dengan konvensi, fase desain A adalah fase awal di mana manipulasi peubah bebas (independent variable) tidak di tahap kekuatan, sedangkan pada fase B memperlihatkan pada tahap kekuatan tersebut. Desain ini juga disebut “desain reversal”, karena pengaruh peubah bebas (independent variable) juga diuji dengan menarik pada kedua fase A, dan melihat apakah efek
peubah bebas
(independent variable) dibalik. Desain ini telah digunakan secara luas dalam penelitian tentang efek penguatan pada perilaku manusia (misalnya, Barlow et al., 1984). Kegunaan Desain ABA adalah mengharuskan hal itu untuk menghilangkan efek dari peubah bebas (independent variable) dan bahwa pemindahan tersebut menghasilkan pembalikan efek. Sebagai contoh, seseorang mungkin mengevaluasi efek penegakan akses ke undang-undang mengenai tembakau yang bolak-balik ke periode penegakan dengan periode yang mereka tidak menegakkan. Ini mungkin memerlukan periode panjang nonpenegakan efek penegakan.
(d) Desain Lainnya (“A-B-A-C”) Ada berbagai desain lainnya dengan time series yang berulang. Semua desaian yang ada melibatkan manipulasi peubah bebas (independen variable) dan pengamatan dampaknya pada time series. Sebagai contoh, dalam sebuah Desain “A-B-A-C”, dievaluasi efek tingkat yang berbeda atau berbagai jenis peubah bebas (independent variable).
Dalam desaian
perlakuan bolak-balik ini, dievaluasi dua peubah bebas (independent variable) yang berbeda atau dua tingkat peubah bebas (independent variable) secara berganti-ganti dan efek pada seri waktu diperiksa. Barlow et al. (1984) memberikan deskripsi rinci mengenai logika dan prosedur yang terlibat dalam desain ini.
B.2 Spesifikasi Model ITSA (Interrupted Time Series Analysis)
Spesifikasi model ITSA (Interrupted Time Series Analysis) dalam penelitian ini berkaitan dengan intervensi “Program Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia” yang pernah diimplementasikan oleh pemerintah pada tahap awal selama periode tahun 2005-2009, kemudian tahap kedua dimulai lagi sejak tahun 2012 hingga saat ini (masih berlangsung). Dengan demikian penyusunan spesifikasi model ITSA yang digunakan dalam penelitian ini merupakan spesifikasi model ITSA dari kasus yang tersegmentasi menurut 39
periode (tahapan) implementasi program revitalisasi, dan distruktur dengan menggunakan Desain ITSA Multiple Baseline dengan menggunakan regresi yang tersegmentasi, sebagaimana yang pernah digunakan oleh Wagner et al., (2002). Dengan demikian model ITSA yang digunakan dalam penelitian ini dapat dispesifikasi menggunana analisis regresi tersegmentasi, sebagai (Wagner et al., 2002): Yt = β0 + β1 timet + β2 intervention_1at + β3 time after intervention_1at + β4 intervention_1bt + β5 time after intervention_1bt + β6 intervention_2t + β7 x time after intervention_2t + β8 intervention_3t + β9 time after intervention_3t + et ............................................................ (1) dimana: Yt timet intervention_1at time after intervention_1at intervention_1bt time after intervention_1bt intervention_2t time after intervention_2t intervention_3t time after intervention_3t β0 β1 β2 β3 β4 β5 β6
= produktivitas budidaya tambak udang (produksi per hektar) = periode waktu usaha budidaya tambak udang pada tahun ke-t = intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang tahap 1 pada tahun ke-t = periode waktu setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang tahap 1 pada tahun ke-t = intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang tahap 2 pada tahun ke-t = periode waktu setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang tahap 2 pada tahun ke-t = intervensi kebijakan kemudahan permodalan usaha budidaya tambak udang pada tahun ke-t = periode waktu setelah kebijakan kemudahan permodalan usaha budidaya tambak udang pada tahun ke-t = intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t = periode waktu setelah intervensi kebijakan penguatan sarana pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t = koefisien intersep (dugaan level dasar dari produktivitas budidaya tambak udang pada saat dimulainya series data) = koefisien parameter dugaan trend dasar dari perubahan produktivitas budidaya tambak udang per tahun pada segmen sebelum intervensi kebijakan = koefisien parameter dugaan perubahan dalam level pada segmen setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang pada tahap 1 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam trend pada segmen setelah kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang pada tahap 1 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam level pada segmen setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang pada tahap 2 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam trend pada segmen setelah kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang pada tahap 2 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam level pada segmen setelah intervensi kebijakan kemudahan permodalan usaha budidaya tambak udang
40
β7
= koefisien parameter dugaan perubahan dalam trend pada segmen setelah intervensi kebijakan kemudahan permodalan usaha budidaya tambak udang = koefisien parameter dugaan perubahan dalam level pada segmen setelah intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang = koefisien parameter dugaan perubahan dalam trend pada segmen setelah intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang = dugaan eror atau galat (peubah gangguan) ke-t
β8 β9
e1
Di samping itu, dalam penelitian ini juga digunakan spesifikasi model ITSA sama seperti pada spesifikasi model pada Persamaan (1), namun dikembangkan dengan beberapa peubah interkasi antar peubah intervensi yang ada, seperti yang digunakan oleh Wang et al., (2013), yaitu sebagai:
Yt = β0 + β1 timet + β2 intervention_1at + β3 time after intervention_1at + β4 intervention_1bt + β5 time after intervention_1bt + β4 intervention_2t + β6 x time after intervention_2t + β7 intervention_3t + β8 time after intervention_3t + β9 intervention_1at x intervention_2t + β10 intervention_1at x intervention_3t + β11 intervention_1bt x intervention_2t + β12 intervention_1bt x intervention_3t + β13 intervention_2t x intervention_3t + β14 intervention_1at x intervention_2t x intervention_3t + β15 intervention_1bt x intervention_2t x intervention_3t + et .............. (2) dimana: Yt imet intervention_1at
= produktivitas budidaya tambak udang (profuksi per hektar) = periode waktu usaha budidaya tambaj udang pada tahun ke-t = intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang tahap 1 pada tahun ke-t time after intervention_1at = periode waktu setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang tahap 1 pada tahun ke-t intervention_1bt = intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang tahap 2 pada tahun ke-t time after intervention_1bt = periode waktu setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang tahap 2 pada tahun ke-t intervention_2t = intervensi kebijakan kemudahan permodalan usaha budidaya tambak udang pada tahun ke-t time after intervention_2t = periode waktu setelah kebijakan kemudahan permodalan usaha budidaya tambak udang pada tahun ke-t intervention_3t = intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t time after intervention_3t = periode waktu setelah intervensi kebijakan penguatan sarana pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t intervention_1at x intervention_2t = interaksi intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang tahap 1 dengan intervensi kebijakan kemudahan permodalan usaha budidaya tambak udang pada tahun ke-t 41
intervention_1at x intervention_3t
intervention_1bt x intervention_2t
intervention_1bt x intervention_3t
intervention_2t x intervention_3t
intervantion_1a x intervention_2t x intervention_3t
intervantion_1b x intervention_2t x intervention_3t
= interaksi intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang tahap 1 dengan intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t = interaksi intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang tahap 2 dengan intervensi kebijakan kemudahan permodalan usaha budidaya tambak udang pada tahun ke-t = interaksi intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang tahap 2 dengan intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t = interaksi intervensi kebijakan kemudahan permodalan usaha budidaya tambak udang dengan intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t
= interaksi intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang tahap 1 dengan intervensi kebijakan kemudahan permodalan usaha budidaya tambak udang dengan kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t
= interaksi intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang tahap 2 dengan intervensi kebijakan kemudahan permodalan usaha budidaya tambak udang dengan kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t
β0 = koefisien intercept β1, β2, β3, β4, β5, β6, β7, β8, β9, β10, β11, β12, β13, β14, β15 = koefisien parameter peubah bebas e1 = gallat (peubah gangguan) ke-t
B.3. Metode Pendugaan Model ITSA Pendugaan terhadap model ITSA pada Persamaan (1) dilakukan dengan mengunakan pendugaan kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood Estimation – MLE); sedangkan terhadap model ITSA pada Persamaan (2) dilakukan dengan menggunakan pendugaan kemungkinan maksimum (MLE) dan pendugaan Bayessian (Bayessian Estimations - BE). Masing-masing metode pendugaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
42
B.3.1 Metode Pendugaan Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood Estimations – MLE) Menurut Juanda (2009), penduga kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood Estimators – MLE) memfokuskan fakta bahwa populasi-populasi (yang dicirikan dengan parametrnya) berbeda dalam membangkitkan contoh-contoh yang berbeda; suatu contoh apapun yang sedang dikaji kemungkinan (peluang) – nya lebih besar berasal dari beberapa populasi daripada dari populasi lainnya. Misalnya, jika seseorang melakukan sampling dengan pelemparan-pelemparan koin dan kemudian diperoleh rata-rata contoh 0,5 (merepresentasikan setengahnya keluar “angka” dan setengahnya keluar “gambar”), maka populasi paling mungkin dari mana contoh diambil adalah suatu populasi yang rata-ratanya
( X ) 0,5. Gambar 9 mengilustrasikan suatu kasus yang lebih umum dimana suatu contoh (Y1, Y2, ..., Y3) diketahui akan diambil dari suatu populasi normal dengan ragam diketahui tapi nilai tengah tidak diketahui. Asumsikan bahwa pengamatan-pengamatan berasal dari sebara (distribution) A atau sebaran (distribution) B.
Jika populasi (asal) sebenarnya adalah B,
maka peluang bahwa kita telah memperoleh contoh tersebut dari B sangat kecil. Akan tetapi jika populasi (asal) sebenarnya adalah A, maka peluang bahwa kita telah memperoleh contoh tersebut dari A sangat besar. Jadi, pengamatan-pengamatan “memilih” populasi A sebagai populasi asal yang paling mungkin telah membangkitkan data pengamatan tersebut. Peluang
Sebaran B
Y6
Sebaran A
Y2
Y3
Y4
Y5
Y8
Y7
Y1
Sumber: Juanda (2009) Gambar 9. Ilustrasi Sampel Berukuran B Kemungkinan Berasal dari Populasi A daripada Populasi B
Kita defenisikan MLE dari suatu parameter β sebagai nilai yang paling mungkin membangkitkan pengamatan-pengamatan contoh
Y1, Y2, ..., Y3. Secara umum, jika Yi
43
menyebar normal, dan masing-masing nilai Y diambil secara bebas, maka MLE akan memaksimumkan nilai:
pY1 pY2 pYn ................................................................................... (3) dimana e = exponential, dan p(Yi) merepresentasikan suatu peluang yang dikaitkan, misalnya, dengan sebaran normal (normal distribution).
Jadi MLE merupakan suatu fungsi dari
contoh (sample) Yi yang terambil, i = 1, 2, ..., n.
Suatu contoh yang berbeda dapat
menghasilkan keungkinan maskimum (maximum likelihood - ML) yang berbeda. Persamaan (3) sering disebut sebagai “fungsi kemungkinan” (likelihood function). Fungsi kemungkinan ini tidak hanya tergantung dari nilai-nilai contoh Yi tapi juga parameter
yang tidak diketahui (akan diduga). Dalam menggambarkan fungsi kemungkinan, kita sering berfikir bahwa parameter yang tidak diketahui (akan diduga) dapat bervariasi, sedangkan yang tidak diketahui (akan diduga) dapat bervariasi, sedangkan nilai Yi tetap. Prosedur metode MLE adalah dengan mencari dugaan parameter yang paling mungkin membangkitkan data contoh tersebut, atau yang memaksimumkan fungsi kemungkinan pada Persamaan (3). Sebagai ilustrasi, misalnya kita ingin mencari MLE mengenai parameter dari model:
Yi X i i .................................................................................................. (4) Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing Yi menyebar normal dengan nilai tengah (α + βXi), dan ragam σ2. Sebaran peluang dapat dituliskan secara eksplisit sebagai berikut:
p Yi
1 2 exp Yi X i .................................................. (5) 2 2 2 2 1
Oleh karena itu, fungsi peluang bersamanya (likelihood function) adalah:
Y1 , Y2 , , Yn , , , 2 pY1 pY2 pYn ................................................... (6)
n
Y, i 1
1 Yi X i 2 ............................... (7) exp 2 2 2 1
Karena vektor pengamtan
2
tetap, maka fungsi kemungkinan pada Persamaan (7)
2 hanya merupkan funsgi dari vektor parameter , , yang tidak diketahui. Kita
ingin mencari nilai α, β, dan σ2 yang menghasilkan fungsi kemungkinan bernilai maksimum. Untuk ini, kita turunkan fungsi Persamaan (7) terhadap masing-masong dari tiga parameter yang tidak diketahui tersebut, kemungkinan hasil turunannya disamakan dengan nol, dan dicari nilai dugaan dan tiga parameter tersebut. Sebenarnya lebih mudah mencari turunan
44
ini dengan terlebih dahulu mentrasformasi 1 Persamaan (7) ke dalam bentuk logaritma (natural) –nya, sehingga diperoleh fungsi log likelihood sebagai berikut:
n n 1 L ln ln 2 ln 2 2 2 2 2
n
Y i 1
i
X i .......................... (8) 2
Turunan parsial Persamaan (8) terhadap α, β, dan σ2 menghasilkan:
L 1 2
Y
L 1 2
X Y
X i 0 ........................................................................ (9)
i
i
L n 1 2 2 2 2
i
X i 0 ................................................................. (10)
X Y i
i
X i 0 ................................................... (11)
Solusi Persamaan (9) sampai Persamaan (11) menghasilkan penduga kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood Estimator - MLE) sebagai berikut:
Y X
;
X X Y Y X X i
i
2
i
Y X i ; 2 n
2
... (12)
Jelaslah bahwa nilai dugaan α dan β dengan metode MLE seperti pada Persamaan (12) sama dengan snilai dugaan dengan metode OLS. Oleh karena itu, kedua metode ini menghasilkan penduga α dan β yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimators). Akan tetapi nilai dugaan σ2 dengan metode maximum likelihood (ML) bersifat bias meskipun konsisten, tidak sama dengan nilai dugaan σ2 dengan metode OLS.
B.3.2 Metode Pendugaan Bayessian (Bayessian Estiamtions) Secara teoritis, pendugaan Bayessian (Bayessian Estimations) terdiri dari dua jenis, yaitu: Pendugaan Bayaessian Penuh (Fully Bayessian Estimations – FBE) maupun pendugaan Bayessian Empiris (Empirically Bayessian Estimations – EBE). Namun dalam penelitian ini, akan digunakan hanya satu jenis saja, yaitu: Pendugaan Bayessian Empiris (Empirically Bayessian Estimations). Secara umum, konsep dasar dari prosedur pendugaan Bayesian (Bayesian Esimators) melibatkan kombinasi kedua data informasi yang diamati dan beberapa keyakinan sebelum menghasilkan distribusi posterior dari parameter yang tidak diketahui.
Informasi
sebelumnya (prior information) dimasukkan ke dalam model melalui penggunaan distribusi Transformasi monoton, dengan pengertian jika 1 2 , maka L1 < L2 karena nilai selalu negatif 1
45
sebelumnya (prior distribution), yang merupakan sebuah distribusi nilai kemungkinan untuk sebuah parameter. Dengan tidak adanya informasi sebelumnya (prior information) yang spesifik pada sebuah parameter, biasanya diadopsi sebuah distribusi sebelumnya (prior distribution) yang non-informatif dengan varians yang besar. Dibandingkan pendekatan kemungkinan maksimum klasik (Maximum Likelihood Estimation - MLE), pendekatan FBE menawarkan sejumlah keunggulan. Pertama, metode kemungkinan maksimum (MLE) tergantung pada sifat asimtotik mereka, sifat sampel kecil dari pendugaaan Bayesian memungkinkan pendugaan model dengan sampel yang lebih kecil ukurannya. Untuk ukuran sampel yang besar, penduga Bayess yang asimtotik setara dengan penduga kemungkinan maksimum (MLE) dalam kondisi keteraturan yang tepat. Kedua, kemampuan untuk menyertakan pengetahuan sebelumnya (prior knowledge) terhadap nilai-nilai parameter dalam model sebelum mengamati data yang muncul secara menarik ketika peneliti/investigator ingin memanfaatkan temuan dari studi yang mirip atau studi sebelumnya. Ketiga, Pendekatan Bayesian memungkinkan seseorang untuk menentukan bentuk model yang sangat kompleks di mana fungsi kemungkinan terselesaikan, terutama dalam konteks model hirarkis. Keempat (terakhir), dalam pendekatan kemungkinan maksimum klasik, parameter model dianggap sebagai jumlah tetap dan penekanannya pada mendapatkan penduga titik untuk parameter dan kesalahan standar mereka. Pada sisi lain, pendekatan Bayesian, mampu memberikan distribusi posterior seluruh hasil berdasarkan inferensi yang dapat dilakukan. Misalnya, Penduga Bayes umum untuk parameter adalah rata-rata distribusi posterior. Oleh karena itu dalam hal ini, pendekatan Bayesian memungkinkan representasi dan mengambil laporan lengkap tentang ketidakpastian yang berkaitan dengan model dan nilai-nilai parameter. Keterbatasan utama untuk melaksanakan pendekatan Bayesian di masa lalu adalah bahwa distribusi posterior yang analitis dan dapat dirunut (tractable) hanya sejumlah kecil model sederhana. Dalam kebanyakan kasus, distribusi posterior tidak memiliki ekspresi bentuk tertutup dan membutuhkan evaluasi integral berdimensi tinggi. Karena kemajuan komputasi, munculnya software statistik WinBUGS (Lunn et al. 2000) memungkinkan implementasi lebih langsung dan layak dari metodologi Bayesian. WinBUGS mengadopsi Gibbs Sampler untuk mensimulasikan realisasi dari “Rantai Markov” yang membatasi distribusi adalah parameter distribusi posterior. Hal ini terdiri dari sampel masing-masing parameter yang pada gilirannya dari distribusi posterior bersyarat penuh mereka. WinBUG memiliki sebuah sistem untuk memilih metode pengambilan sampel terbaik untuk menarik dari distribusi univariat ini. Sistem pemeriksaan pertama untuk conjugacy, di mana huruf distribusi bersyarat penuh mengurangi analitis untuk distribusi terkenal dan sampel langsung 46
dapat diterapkan menggunakan algoritma standar. Jika kunjugasi (conjugacy) tidak terdeteksi, tapi bukan density adalah log-cekung, maka penolakan adaptif terhadap sampel algoritma (adaptive rejection sampling algorithm) yang digunakan. Jika target kepadatan tidak log-concave, kemudian akan digunakan adaptive rejection sampling algorithm. Jika density target bukan log-concave, maka akan digunakan Metropolis-Hastings . Untuk melengkapi prosedur pendugaan Bayesian, kita perlu menentukan distribusi prior untuk masing-masing parameter model. Untuk koefisien regresi parameter, kita menetapkan distribusi sebelumnya (prior distribution) adalah normal dengan mean 0 dan varians yang besar, yaitu:
i Normal 0,1000; i 0.1.,7, ................................................................. (13) untuk mencerminkan sebuah peubah tidak apriori dalam model, dapat dikaitkan dengan jumlah injury. Kita menetapkan sebuah prior yang seragam untuk parameter dispersi α dari distribusi Poisson, yaitu:
Uniform 0.5,200 ....................................................................................... (14) Parameter yang hiper (mencolok) dipilih untuk mencerminkan ketidaktahuan tentang kemungkinan nilai-nilai parameter. Kita lakukan run tiga “Rantai Markov” secara paralel dimulai dari nilai awal yang berbeda untuk sejumlah iterasi. Sebanyak iterasi awal tertentu mungkin akan dibuang sebagai periode burn-in. Kemudian kita mengambil nilai-nilai simulasi setiap ke-20 iterasi untuk mengurangi autokorelasi. Sampel akhir ukuran tertentu (dikumpulkan selama tiga rantai), sehingga hampir imbang independen yang diperoleh untuk setiap parameter dalam model dan digunakan untuk posterior inferensi. Plot jejak, plot autokorelasi dan plot posterior density diperiksa dengan seksama untuk memastikan konvergensi dicapai untuk setiap parameter. Konvergensi parameter juga ekstensif diperiksa menggunakan metode “Plot Konvergensi Brooks, Gelman dan Rubin” (Gelman dan Rubin, 1992; Brooks dan Gelman, 1998). EBE adalah sebuah pendekatan pendugaan yang telah digunakan secara luas dalam analisis data, terutama untuk sebelum dan sesudah evaluasi dari suatu perlakuan (treatment). Pendekatan EBE terkait dengan pendekatan Bayesian penuh (FBE) dalam arti bahwa informasi prior dikombinasikan dengan data saat ini untuk mendapatkan perkiraan. Namun, berbeda dengan pendekatan FBE, parameter distribusi prior (prior distribution) diperkirakan dari data yang ada dan digunakan dalam langkah-langkah berikutnya dengan asumsi tidak ada ketidakpastian (uncertainty) terkait dengan parameter. Misalnya, dalam mengevaluasi dampak dari beberapa perlakuan (treatment) dalam jumlah outcome tertentu, informasi sebelumnya (prior) diperoleh dari situs perbandingan yang mirip dengan situs perlakuan (treatment). Perkiraan dari mean sampel atau fungsi dari mean (umumnya dikenal sebagai
47
Fungsi Keselamatan Kinerja (Safety Performance Function - (SPF) dapat dihitung dan kemudian dikombinasikan dengan menghitung “kecelakaan” yang spesifik untuk memperoleh perkiraan peningkatan yang diharapkan jumlah situs “kecelakaan”. Namun, ini berarti bahwa dalam pendekatan EBE, perkiraan tingkat populasi tidak memberikan kontribusi pada ketidakpastian di situs. Perkiraan spesifik dan sebagai hasilnya, perkiraan persimpangan tingkat mungkin memiliki kesalahan standar yang lebih rendah. Di sisi lain, pendekatan FBE, memiliki account yang lebih baik untuk ketidakpastian ini dengan mengakui bahwa perkiraan tingkat populasi mengikuti distribusi tertentu yang pada gilirannya tergantung pada tingkat yang lebih tinggi parameter. Juga, peenerapan pendekatan FBE tidak memerlukan estimasi SPF, yang merupakan salah satu keterbatasan terbesar dari pendekatan EBE (Perancis dan Heagerty, 2008). Prosedur yang melibatkan model regresi sebelum intervensi kebijakan dan menggunakan model yang dihasilkan untuk membentuk lintasan hasil dalam periode waktu setelah kebijakan intervensi berupa kebijakan (policy). Hal ini diikuti dengan pengamatan yang kontras pada pasca-intervensi dengan hasil yang mereka harapkan (diprediksi oleh model regresi) di bawah adanya intervensi kebijakan. Model berbasis regresi memiliki fleksibilitas untuk memperhitungkan kecenderungan sementara serta menyesuaikan kovariat penting dan interaksi mereka. Perbedaan antara hasil yang diharapkan dan data yang diamati setelah perubahan kebijakan yang kemudian dirata-ratakan untuk memperkirakan efek kebijakan. Uji statistik yang resmi seperti dua sample t-test, dapat digunakan untuk menguji apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam efek kebijakan antara kelompok sasaran utama yang menarik dan kelompok pembanding.
3.3.2 Metode Analisis Total Factor Productivity (TFP) Kinerja revitalisasi tambak udang dapat diukur berdasarkan peningkatan produktivitas usaha budidaya udang yang direvitalisasi.
Peningkatan produktivitas tersebut dapat
dilakukan melalui peningkatan produktivitas input secara parsial dan atau peningkatan Produktivitas Total Faktor (Total Factor Productivity - TFP). Kajian terhadap produktivitas input secara parsial belum dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usaha budidaya tambak udang secara keseluruhan. TFP merupakan konsep pengukuran produktivitas untuk menjelaskan faktor-faktor lain, selain input, yang dapat mempengaruhi perubahan output. Kajian tentang TFP pada tingkat usaha budidaya tambak udang secara khusus belum dilakukan. Bahkan pada sektor pertanian secara keseluruhan juga masih terbatas, baik dari segi jumlah maupun lingkup penelitian, seperti yang dilakukan Fuglie (2004) dan Fuglie (2010). Fuglie menganalisis TFP pada sektor pertanian secara aggregat (level makro) untuk 48
mengukur perubahan TFP antar waktu (time series) sebagai salah satu sumber pertumbuhan PDB pertanian. Penelitian Fuglie (2010) menunjukkan bahwa TFP antar periode berbedabeda, namun cenderung meningkat pada periode revolusi hijau dan liberalisasi. Sebaliknya, pada periode krisis ekonomi TFP cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi TFP. Oleh karena itu, kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi TFP menjadi penting dan menarik untuk dilakukan. Selain itu, kajian TFP umumnya dilakukan pada level aggregate (makro) dan masih sangat jarang dilakukan pada level usahatani (budidaya). Penelitian Martinez-Cordero et. al (1999) merupakan analisis TFP pada level usahatani dengan menggunakan data lintang waktu (cross section). Pada kedua penelitian tersebut, dianalisis variasi TFP antara usahatani dibandingkan dengan TFP rata-rata. Dengan menganalisis TFP pada level usahatani, maka dapat diketahui faktor-faktor apa saja selain input yang dapat mendorong peningkatan produksi. Peningkatan produksi dapat diupayakan melalui peningkatan luas lahan yang diusahakan dan peningkatan produktivitas. Pada kondisi faktor produksi lahan yang semakin terbatas, maka
peningkatan produktivitas
menjadi pilihan
penting.
Produktivitas
mengandung arti kemampuan menghasilkan output dari setiap input yang digunakan. Produktivitas input secara parsial, misalnya produktivitas per lahan atau produktivitas per tenaga kerja, belum dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas budidaya tambak udang secara keseluruhan. TFP merupakan konsep pengukuran produktivitas untuk menjelaskan faktor-faktor lain, selain input, yang dapat mempengaruhi perubahan output. Dengan kata lain melalui analisis TFP dapat diidentifikasi perubahan output yang tidak dapat dijelaskan oleh perubahan input. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut (Kumar et al., 2005: Aswathy et al., 2013):
TFP index
Output Index ................................................................................. (15) Input Index
TFP dapat disebabkan karena adanya kemajuan teknologi atau technical progress, yang dapat berupa perubahan teknologi atau perbaikan teknologi.
Akibat terjadinya
kemajuan teknologi tersebut dapat menyebabkan terjadinya peningkatan efisiensi dalam penggunaan input. Peningkatan efisiensi kemudian akan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan. Teknologi dapat meliputi teknologi input, teknologi mekanik, teknologi sistem produksi, dan teknologi output. Variasi teknologi dapat mempengaruhi produktivitas sehingga melalui teknologi yang lebih baik, output tertentu dapat dihasilkan dari penggunaan input yang lebih sedikit atau penggunaan input yang sama dapat menghasilkan output yang lebih banyak. Namun perubahan teknologi dapat juga menyebabkan peningkatan penggunaan input untuk menghasilkan ouput yang lebih tinggi, tetapi peningkatan output lebih tinggi dari penambahan input. 49
Selain kemajuan teknologi, produktivitas juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal maupun internal usaha budidaya udang. Faktor internal yang utama yaitu kemampuan pembudidaya dalam mengelola usaha budidaya tambak udang. Kemampuan pembudidaya dalam mengelola sangat ditentukan oleh banyak hal, antara lain tingkat pendidikan, pengalaman, tingkat pengetahuan dan keterampilan petani.
Hal ini sering
disebut dengan faktor human capital. Peranan pembudidaya sebagai pengelola menjadi semakin besar dan penting karena pembudidaya merupakan pengambil keputusan utama dalam usaha budidaya tambak udang. Faktor internal lainnya yang perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi produktivitas yaitu kapasitas usaha yang dapat dilihat dari ukuran usaha budidaya udang (size of farm) dan ketersediaan aset lain. Ukuran usaha budidaya udang yang paling lazim digunakan yaitu luas lahan. Lahan yang lebih luas dan ketersediaan aset yang sesuai kebutuhan usahatani dapat mendorong peningkatan produktivitas usahatani. Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi produktivitas usahatani yaitu dukungan faktor eksternal, terutama ketersediaan infrastruktur pendukung, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Beberapa infrastruktur yang diperlukan dalam mendukung usahatani, antara lain infrastruktur jalan, irigasi, pasar, kelembagaan penelitian, kelembagaan penyuluhan, kredit dan kelembagaan keuangan, sistem agraria dan kebijakan yang mendukung. Beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas, di antaranya penelitian yang dilakukan: Fuglie (2010); Kumar et al. (2008); Weiping and Ying, (2007); Ashok and Balasubramanian (2006); Kalyvitis (2002); Nayak (1999); Looney (1994). Infrastruktur dapat mempengaruhi luas lahan dan produktivitas. Perubahan infrastruktur dapat mendorong perubahan luas lahan sehingga kurva luas lahan bergeser (naik atau turun) tergantung jenis komoditas. Pada komoditas udang, peningkatan infrastruktur pada tingkat harga output tetap akan menyebabkan peningkatan luas lahan. Selain itu, peningkatan infrastruktur juga akan meningkatkan produktivitas dan kurva produktivitas juga akan bergeser (meningkat). Artinya, kondisi infrastruktur yang berbeda antar usaha budidaya udang akan mengakibatkan perbedaan pada luas lahan dan produktivitas usaha budidaya udang yang pada akhirnya mempengaruhi produksi dan keuntungan usahatani. Infrastruktur dalam penelitian ini meliputi infrastruktur fisik (jalan, irigasi), kredit, dan teknologi (konservasi lahan, teknologi benih, dan diversifikasi tanaman). Berdasarkan uraian tersebut, dapat disarikan bahwa TFP dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor penting seperti kualitas sumberdaya manusia, infrastruktur, kualitas dan kapasitas aset (vintage of capital), serta penelitian dan pengembangan. Pengukuran indeks TFP, seperti indeks Laspeyres, Paasche, Fisher, dan Tornqvist. Berdasarkan kriteria teori ekonomi dan pendekatan fungsional serta kriteria pendekatan 50
pengujian, maka indeks Fisher dan indeks Tornqvist dianggap paling baik, hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Ailex Lissitsa dalam modul “Efficiency and Productivity Analysis: Deterministic Approaches. Section an Introduction to Index Number Methods”. Pengukuran indeks TFP dalam penelitian ini digunakan indeks Tornqvist.
Indeks TFP
menurut Tornqvist yang dikenal dengan nama Tornqvist Index. Tornqvist Index dapat digunakan untuk mengukur TFP antar waktu (time series data), data panel, serta antar lokasi atau antar perusahaan pada waktu tertentu (cross section data). Dalam penelitian ini diukur TFP antar usaha budidaya tambak udang pada tahun tertentu (cross-section). Mengingat bahwa produktivitas yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu produktivitas total faktor atau total factor productivity (TFP), bukan produktivitas parsial (misalnya produktivitas per luas lahan atau produktivitas per tenaga kerja), maka mengacu pada Persamaan (17), pengukuran TFP dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan cara perhitungan Tornqvist-Theil Index, seperti yang telah diterapkan oleh Hall and Jones (1997); Martinez-Cordero et al. (1999). Tornqvist-Theil Index ini dapat diaplikasikan untuk menghitung TFP setiap usaha budidaya tambak udang dibandingkan TFP rata-rata. Rumus perhitungan TFP untuk aplikasi data cross section dapat dituliskan sebagai:
TFPi avg 1 2 log Qi log Qavg S Qi S Qavg
1 2 log X i log X avg S Xi S Xavg ................................................ (16) dimana: TFPiavg = produktivitas total faktor usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i, Qi = jumlah output usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i; Qavg = rata-rata output untuk seluruh usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i; SQi = proporsi pendapatan output usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i; SQavg = rata-rata proporsi pendapatan output dari seluruh usaha budidaya tambak udang; Xki = jumlah input pada usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i; Xkavg = rata-rata input untuk seluruh usaha budidaya tambak udang; SXi = proporsi biaya input pada usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i, SXavg = rata-rata proporsi biaya input dari seluruh usaha budidaya tambak udang. Setelah diperoleh indeks TFP, selanjutnya dilakukan analisis regresi untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi indeks TFP dengan menggunakan pendekatan ekonometrika regresi sederhana yang pendugaannya dilakukan dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Model yang dibangun untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi indeks TFP usaha budidaya tambak udang, adalah sebagai berikut:
TFPi 0 1TBU i 2TPPi 3 PPUi 4 LHN i 5 ISI i 6 APIi ei .... .................................................................................................................................. (17) dimana: TFPi = total produktivitas faktor usaha budidaya tambak udang pada pembudidaya ke-i; TBUi = indeks teknologi benih udang pada pembudidaya ke-i; TPPi = tingkat pendidikan formal pembudidaya ke-i (dalam tahun); 51
PPUi = tingkat pengalaman pembudidaya udang ke-i (dalam tahun); LHNi = luas lahan budidaya udang yang dikelola pembudidaya ke-i (dalam Ha); ISIi = indeks infrastruktur irigasi pada usaha budidaya udang pada pembudidaya ke-i (dalam indeks) APIi = indeks aksesibilitas ke pasar input untuk pembudidaya ke-i (dalam indeks) Indeks yang dihasilkan bervariasi antara 0 dan 1. Perhitungan indeks teknologi benih, indeks saluran irigasi, dan indeks aksesibilitas ke pasar input dilakukan dengan menggunakan metode yang digunakan oleh Iyengar dan Sudarshan (1982) yang diaplikasikan juga oleh Ashok dan Balasubramanian (2006). Rumus indeks tersebut sebagai berikut:
Yi Wi MinWi / MaxWi MinWi .............................................................. (18) dimana: Yi = indeks sesuatu yang diukur pada usaha budidaya tambak udang ke-i; Wi = bobot sesuatu yang diukur pada usaha budidaya udang ke-i; MinWi = minimum bobot sesuatu yang diukur pada usaha budidaya tambak udang ke-i; MaxWid = maksimum bobot sesuatu yang diukur pada usaha budiadaya tambak udang ke-i). 3.3.4
Metode Analisis Model Regresi Pilihan Kualitatif Pengambilan keputusan merupakan suatu hal yang bersifat kualitatif. Dalam suatu
penelitian yang terkait dengan pengambilan keputusan, maka peubah bebasnya bersifat kualitatif. Peubah yang bersifat kualitatif memiliki skala pengukuran nominal atau ordinal. Skala pengukuran nominal yaitu masing-masing kategori dalam skala yang memiliki tingkat yang sama. Sedangkan skala pengukuran nordinal yaitu masing-masing kategori memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada kategori yang lain. Model pilihan kualitatif itu sendiri, bertujuan untuk menentukan alternatif mana yang akan dipilih oleh individu yang memiliki karakteristik tertentu dan seberapa besar peluangnya, dimana yang paling sering terjadi yaitu alternatif yang tersedia hanya ada dua, sehingga disebut pilihan model biner (juanda, 2009) Proses pengambilan keptusan dalam penerapan suatu teknologi, seperti teknologi budidaya udang sesuai anjuran dalam program revitalisasi akan selalu dikaitkan dengan adopsi inovasi. Proses adopsi inovasi sendiri melalui bebrapa beberapa tahapan, yaitu: tahap kesadaran (awareness), ketertarikan (interest), evaluasi (evaluation), perobaan (trial), dan adopsi (adoptions) (Rogers dan Shoemaker, 1987).
Proses adopsi tersebut dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor ekternal dari adopter, seperti keuntungan yang akan diperoleh sebagai hasil proses adopsi, saluran komunikasi, kegiatan promosi penyuluhan, interaksi individual dan kelompok, sumber informasi lainnya; serta faktor eksternal adopter seperti umur, pendidikan, sikap terhadap perubahan, dan lainnya (Soekartawi, 1988). Pengambilan keputusan oleh pembudidaya tambak udang dihadapkan oleh dua fakttor, yaitu: faktor endogen dan faktor eksogen.
Faktor endogen berada dalam kontrol 52
pembudidaya, sedangkan faktor eksogen tidak berada dalam kontrol pembudidaya. Faktor endogen meliputi kondisi rumahtangga pembudidaya dengan segala faktor produksi yang dikuasainya berupa lahan, modal, tenaga kerja dan kemampuan dalam pengelolaan. Faktor eksogen meliputi norma dan perilaku dalam suatu struktur masyarakat tertentu, institusi eksternal seperti pasar, dan hal lain yang berada di luar kontrol pembudidaya (Asmara, 2002). Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembudidaya untuk merevitalisasi budidaya tambak udang, dalam penelitian ini digunakan model regresei pilihan kualitatif. Model ini dalam analisisnya menggunakan peubah respons (dependent variable) yang bersifat kualitatif. Peubah respons yang bersifat kualitatif tersebut dapat mempunyai skala pengukuran nominal dan ordinal. Nilai-nilai peubah respons kualitatif ini terbatas (limited dependent variable), bahkan sering hanya bernilai dua kemungkinan saja. Misalnya, apakah seorang pembudidaya tambak udang melakukan revitalisasi usaha budidayanya atau tidak. Peubah kualitatif yang hanya mempunyai dua kemungkinan ini disebut “peubah linier” (Juanda, 2009). Jika satu atau beberapa peubah bebas (independent variables) dalam model regresi linier merupakan peubah linier, kita dapat merepresentasikannya sebagai peubah dummy. Akan tetapi penerapan model regresi linier dalam kasus peubah responsnya bernilai biner, maka penyelesaiannya akan bersifat kompleks. Model-model pilihan biner mengasumsikan bahwa individu-individu (unit pengamatan) dihadapkan pada suatu pilihan antara dua alternatif, dan pilihannya tergantung dari karakteristik individu-individu tersebut. Misalnya, kita ingin memprediksi apakah seorang pembudidaya akan mengambil keputusan
untuk merevitalisasi usaha budidaya tambak udang dengan menerapkan
teknologi sesuai anjuran (Y). Kita dapat memperkirakan bahwa penggunaan benih udang (benur) unggulan sesuai anjurana untuk budidaya udang (X) merupakan faktor dalam menentukan apakah pembudidaya melakukan revitalisasi budidaya tambak udang atau tidak. Pembudidaya yang menggunakan benih udang (benur) yang lebih banik sesuai anjuran berpeluang (berkemungkinan) lebih besar untuk merevitalisasi budidaya tambak udangnya dibandingkan pembudidaya yang menggunakan benih udang (benur) yang kualitasnya lebih rendah (tidak sesuai anjuran). Dengan demikian, dalam menganalisis keputusan seorang pembiddaya untuk merevitalisasi budidaya tambak udang, kita akan memperoleh jawaban hanya dua, yaitu ya (untuk pembudidaya yang merevitalisasi) dan tidak (untuk pembudidaya yang tidak merivtalisasi).
Dengan kata lain, respons seorang pembudidaya tersebut bersifat
dikotomis (binari). Untuk analisis seperti ini, kita dapat menggunakan model regresi dimana peubahnya bersifat kualitatif dan kita harus mengkuantifikasikan peubah kualitatif tersebut
53
agar regresei bisa dilakukan. Kita akan mengambil nilai 1 jika peubah mempunyai atribut dan nilai 0 jika peubah tidak mengandung atribut (Widarjono, 2007). Meskipun logis kita memperkirakan suatu hubungan langsung antara penggunaan benih udang (benur) yang berkualitas tinggi sesuai anjuran (X) dan perilaku keputusan pembudidaya merevitalisasi budidaya tambak udangnya (Y), namun kita tidak bisa memprediksi secara pasti (yakin) apakah masing-masing pembudidaya yang menggunakan benih udang dengan kualitas tertentu pasti akan merevitalisasi budidaya tambak udangnya, seperti yang ditunjukkan dengan kesediaannya menerapkan teknologi untuk merevitalisasi budidaya udang.
Apa yang kita lakukan hanya memprediksi kemungkinan seorang
pembudidaya dengan menggunakan benih udang tertentu akan merevitalisasi budidaya tambak udang (seperti ditunjukkan oleh kesediaanya menggunakan teknologi sesuai anjuran) atau tidak. Oleh karena itu, tujuan model pilihan respons kualitatif adalah menentukan peluang bahwa individu dengan karakteristik-karekteristik tertentu akan memilih suatu pilihan respons tertentu dari beberapa alternatif yang tersedia (Juanda, 2009). Dalam literatur ekonometrika, setidaknya terdapat empat jenis model regresi pilihan respons kualitatif, yaitu: (1) Model Regresei Peluang Linier; (2) Model Regresei Probit; (3) Model Regresei Logit; dan (4) Model Regresi Tobit.
Masing-masing jenis model regresi
pilihan kualitatif tersebut, dapat dijelaskan pada uraian berikut. 3.3.3.1 Model Regresi Peluang Linier Sebagai iliustrasi model pilihan kualitatif yang paling sederhana sederhana, kita mulai dengan model peluang linier (Linier Probability Model – LPM) dengan bentuk model regresi sebagai berikut:
Yi 0 1 X i i ............................................................................................. (19) dimana: Xi = nilai karajteristik (misalnya modal usaha) individu ke-i
1, jika pilihan kesatu dipilih (misal merivalisasi tambak udang ) Yi 0, jika pilihan kedua dipilih (misal tidak merivalisasi tambak udang ) εi = peubah acak yang menyebar bebas dengan nilai tengah 0.
Dalam penelitian ini, digunakan satu peubah terikat atau peubah respons (dependent variabel), Yi dan 11 peubah bebas (independent variables), Xi, sehingga Persamaan (19) tersebut menjadi:
Yi 0 1 X 1 2 X 2 3 X 3 4 X 4 5 X 5 6 X 6 54
7 X 7 8 X 8 9 X 9 10 X 10 11 X 11 i ........................................ (20) dimana: Yi = peubah peluang merevitalisasi budidaya tambak udang yang dalam hal ini diproksi dengan peubah peluang menerapkan teknologi budidaya tambak udang sesuai dengan anjuran dalam program revitalisasi budidaya tambak udang (nilai 1 untuk pembudidaya yang merevitalisasi, dan nilai 0 untuk pembudidaya yang tidak merevitalisasi) X1 = peubah tingkat kualitas benih udang (nilai 3 untuk benih berkualitas tinggi sesuai anjuran, nilai 2 untuk benih yang kurang berkualitas/sedang, dan nilai 1 untuk benih yang tidak berkualitas/rendah) X2 = peubah tingkat kualitas pakan udang (nilai 3 untuk pakan berkualitas tinggi sesuai anjuran, nilai 2 untuk pakan yang kurang berkualitas/sedang, dan nilai 1 untuk pakan yang tidak berkualitas/rendah) X3 = peubah luas lahan budidaya tambak udang yang diusahakan (dalam satuan hektar) X4 = peubah status kepemilikan lahan tambak (nilai 3 untuk milik sendiri, nilai 2 untuk sewa, dan nilai 1 untuk garapan) X5 = peubah dummy penguasaan teknologi budidaya tambak udang sesuai anjuran (nilai 1 jika menguasai , dan nilai 0 jika tidak menguasai) X6 = peubah tingkat pendidikan tenaga kerja (nilai 4 untuk perguruan tinggi, nilai 3 untuk sekolah tingkat atas, nilai 2 untuk sekolah lanjutan tingkat pertama, dan nilai 1 untuk sekolah dasar). X7 = peubah tingkat pengalaman dalam usaha budidaya tambak udang yang diukur dari lamanya petambak melakukan usaha bidudaya udang (tahun). X8 = peubah kondisi infrastruktur irigasi (nilai 3 untuk kondisi baik, 2 untuk kondisi sedang, dan 1 untuk kondisi buruk). X9 = peubah kondisi infrastruktur akses jalan ke lokasi tambak (nilai 3 untuk kondisi baik, 2 untuk kondisi sedang, dan 1 untuk kondisi buruk). X10 = peubah dukungan kebijakan permodalan (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2 untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung). X11 = peubah dukungan kebijakan tata-ruang wilayah (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2 untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung). X12 = peubah dukungan kebijakan revitalisasi industri budidaya udang (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2 untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung). εi = peubah gallat (gangguan) Untuk menginterupsikan Persamaan (19), kita tentukan nilai harapan dari masingmasing pengamatan peubah respons (dependent variable) Yi:
EYi 0 1 X i ................................................................................................ (21) Karena Yi hanya mempunyai kemungkinan dua macam nilai, yaitu: 1 dan 0, kita dapat menggambarkan sebaran peluang Y dengan memisalkan:
Pi PYi 1 dan 1 Pi PYi 0 sehingga:
EYi 1Pi 01 Pi Pi ........................................................................................ (22)
55
Dengan demikian, nilai harapan kondisional (conditional expectation) dari Persamaan (19) dapat diinterpretasikan sebagai probabilitas kondisional dari Y. Karena probabilitas Pi harus bernilai 0 dan 1, maka:
0 E Yi X i 1 .................................................................................................... (23) Jadi dalam iliustrasi mengenai revitalisasi industri budidaya udang seperti dijelaskan di atas, model regresi dalam Persamaan (20) menggambarkan peluang bahwa individu pembudidaya ke-i dengan penggunaan benih udang yang berkualitas tinggi sesuai anjuran (Xi) akan merevitalisasi kegiatan usaha budidaya tambak udang (Y). Dugaan model peluang linier (LPM) sering ditulias dalam bentuk sebagai:
0 1 X i , jika 0 0 1 X i , jika 0 1 X i 1 ......................................................... (24) Pi 1 0 , jika 0 1 X i 1 Karena karakteristik dari model LPM ini sama dengan model regresi linier, maka metode OLS dapat digunakan untuk menyelesaikan model regresei ini. Dengan demikian model LPM merupakan model yang paling sederhana dan mudah dilakukan, namun model ini mempunyai beberapa kelamahan, yaitu: (a)
Peubah Gangguan (εi) Tidak Berdistribusi Normal Sebaran (distribusi) model yang bersifat binari dalam peubah terikatnya yang hanya
mempunyai dua niolai (1 dan 0), maka model LPM peubah gangguannya jelas tidak berdistribusi normal. Hal ini dijelaskan sebagai berikut:
Yi 0 1 X i i ............................................................................................. (19) maka peubah gangguannya:
i Yi 0 1 X i ............................................................................................. (25) Jika Yi = 1, maka εi = 1 – β0 +β1Xi sehingga probabiloitasnya = Pi Jika Yi = 0, maka εi = 0 – β0 +β1Xi sehingga probabiloitasnya = 1 - Pi
Sebaran (distribusi) peluang komponen sisaan ε ditentukan dengan mensubstitusikan nilai Yi ( 1 dan 0) dalam Persamaan (19) yang dapat dilihat dalam Tabel 2. Dari Tabel 2, kita dapat melihat hubungan antara peluang Pi dan Xi dengan menggunakan asumsi bahwa nilai tengah sisaan sama dengan 0, seperti dalam Tabel 8.
56
Tabel 8. Sebaran Peluang bagi Peubah Galat (εi) Yi
εi
Peluang
1
1- β0 - β1Xi
Pi
0
- β0 - β1Xi
1 - Pi
E i 1 0 1 X i Pi 0 1 X i 1 Pi ............................................. (26) Sehingga, Pi 0 1 X i dan 1 Pi 1 0 1 X i Ragam komponen sisaan dapat dihitung sebagai berikut:
E i2 1 0 1 X i Pi 0 1 X i 1 Pi 2
2
1 0 1 X i 0 1 X i 0 1 X i 1 0 1 X i 2
2
1 0 1 X i 0 1 X i Pi 1 Pi .............................................. (27) atau,
Var Yi E Yi 2 E Yi E Yi 1 E Yi Pi 1 Pi i2 E i2 2
....... (28)
Jadi bisa dilihat bahwa peubah ganguan (εi) tidak berdistribusi normal, demikian pula dengan dan peubah Y, tetapi menyebar mengikuti distribusi binomial ( Distribusi Bernouli). Peubah gangguan (εi) yang tidak berdistribusi normal (yakni mengkikuti Distribusi Bernouli) tidak masalah jika tujuan dari OLS hanya sekedar pendugaan bukan untuk inferensi (prediksi), karena akan tetap menghasilkan penduga (estimator) yang BLUE (Best Linier Unbiased Etimators). Disamping itu, jika sampel terus bertambah, maka penduga (estimator) OLS cenderung akan terdistribusi secara normal (Widarjono, 2007). (b) Varian dari Peubah Gangguan Mengandung Unsur Heteroskedastisitas Kelemahan (masalah) kedua yang muncul adalah bahwa peubah gangguan (εi) dari LPM mengnadung unsur heteroskedastisitas, meskipun kita tetap mempertahankan E(εi) = 0 dan cov ((εi, εj) = 0. Hal ini terjadi karena εi mengikuti distribusi binomial. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Ketika: Yi = 1, maka εi = 1 – β0 +β1Xi sehingga probabiloitasnya = Pi Yi = 0, maka εi = 0 – β0 +β1Xi sehingga probabiloitasnya = 1 - Pi Maka E(εi) = 0, sehingga:
1 0 1 X i Pi 0 1 X i 1 Pi 0 ...................................................
(29) 57
Varian peubah gangguan (εi) dapat dihitung sebagai:
Var i E i E i
2
E i2
karena asumsi E(εi) = 0
1 0 1 X i 0 1 X i 0 1 X i 1 0 1 X i 2
2
1 0 1 X i 0 1 X i Pi 1 Pi ............................................................................................ (30) atau,
Var i E Yi X i 1 E Yi X i ........................................................................ (31)
Pi 1 Pi dimana nilai Pi tergantung dari peubah X Persamaan (30) atau Persamaan (31) menunjukkan bahwa komponen sisaan bersifat heteroskedastis, hal ini karena adanya heteroskedastisitas yang menyebabkan penduga (estimator) dari LPM tidak lagi BLUE, yakni tidak lagi mempunyai varian yang minimum. Pengamatan-pengamtan dengan nilai Pi mendekati 0 atau 1 mempunyai ragam relatif kecil, sedangkan pengamatan-pengamatan dengan nilai Pi mendekati 0,5 akan mempunyai ragam relatif besar. Masalah heteroskedastisitas ini, sebagaimana telah dibahas, mengakibatkan penduga OLS (Ordinary Least Square ) tidak efisien (σβ besar), meskipun tetap konsisten dan tak bias, sehingga kita bisa mengatasi atau mengoreksi masalah heteroskedastisitas dengan cara melakukan regresi metode WLS (Weight Least Squares). Namun mengingat bahwa masalah ini cukup kompleks dan disarankan tidak menggunakan pendekatan ini. Dalam hal demikian, terdapat dua macam teknik pendekatan model yang dapat digunakan, yaitu: model probit dan model logit. (c) Nilai E(Yi ǀ Xi) Tidak Selalu Terletak pada 0 ≤ E (Yi ǀ Xi) ≤ 1 Dalam kenyataannya tidak ada jaminan bahwa nilai prediksi Y dari model peluang linir (LPM) ini terletak antara 0 dan 1. Masalah ketiga inilai masalah utama dalam model LPM. Ada dua cara untuk menyelesaiakan masalah ini. Pertama, melakukan regresi model LPM dengan metode OLS dan mencari nilai prediksi Y. Jika hasilnyab lebih kecil dari nol (negatif), maka kita anggap nilainya nol; dan jika hasilnya lebih dari 1, maka kita asumsikan 1. Kedua, menggunakan teknik lain yang menjamin bahwa nilai probabilitas Y terletak
58
antara 0 dan 1. Model yang menjadi nilai probabilitas antara 0 dan 1 adalah model probit maupun model logit. (d) Nilai Koefisien Determinasi (R2) Diragukan Kebenarannya Koefisien determinasi (R2) tidak akan mampu menjelaskan kesesuaian garis regresi dengan datanya jika distribusi data peubah terikat (dependent variable) bersifat dikotomis atau binari. Dalam model regresi dengan pilihan respons kualitatif, nilai peubah terikat adalah 1 dan 0. Jika kita menggunakan model LPM dalam mennduga model ini, maka R2 tidak menjamin adanya koefisien determinasi (R2) yang sedekat mungkin dengan datanya, sedangkan sebaran data hanya terletak di dua titik ekstrim, yaitu 0 dan 1 seperti terlihat pada Gambar 10. Y
1
-
Sumber: Widarjono (2007)
0
+
X
Gambar 10. Sebaran Data dan Garis Regresi Model LPM
3.3.3.2 Model Regresi Probit Dengan berbagai kelemahan (masalah) dalam model peluang linier seperti dijelaskan pada uraian sebelumnya, sangat wajar kita perlu mentransformasi model (linier) awal sedemikian rupa, sehingga prediksi nilai Y berada dalam selang (0;1) untuk semua nilai peubah bebas X. Dalam model LPM kita mengasumsikan bahwa Pi(Yi = 1 ǀ Xi) menaik secara linier terhadap X. Misalnya batas minimal modal usaha budidaya tambak udang untuk bisa merevitalisasi budidaya udangnya adalah 100 juta rupiah per hektar. Dalam model LPM ini berarti jika tingkat modal usaha mengalami kenaikan 10 juta rupiah per hektar, maka probabilitasnya terus mengalami kenaikan dalam besaran tingkat kualitas revitalisasi yang sama, dan jika sudah di atas modal usaha minimal kemanikan modal usaha tidak banyak mempengaruhi probabilitas untuk merevitalisasi budidaya tambak udangnya.
59
Probabilitas seperti ini jelas tidak sesuai dengan fakta. Sebuah model probabilitas harus mampu menjamin nilai probabilitasnya terletak antara 0 dan 1.
Salah satu bentuk
transformasi yang mempunyai karakteristik seperti ini adalah fungsi peluang distribusi kumulatif (Cumulative Distribution Probability Function - CDF), seperti terlihat pada Gambar 11. Model CDF adalah sebuah model yang mampu menjamin bahwa nilainya terletak antara 0 dan 1, sehingga dapat membuat model regresi dimana respons dari peubah terikat bersifat dikotomis, yakni 0 dan 1 menjadi terpenuhi (Widarjono 2007; Juanda, 2009). P(Z)
1
-2
-1
0
1
2
Z
Sumber: Widarjono (2007)
Gambar 11. Fungsi probabilitas Distribusi Kumulatif CDF) CDF memenuhi dua sifat, yaitu: (1) Ketika Xi naik maka Pi(Yi = 1 ǀ Xi) akan naik pula tetapi tidak pernah kelaur dari interval 0 hingga 1; (2) Hubungan antara Pi dan Xi adalah non linier, sehingga tingkat perubahannya tidak sama tetapi kenaikannnya semakin besar dan kemudian semakin kecil (lihat Gambar 2). Ketika nilai probabilitasnya mendekati 1, tingkat kenaikannya semakin mengecil. “F(xi) = Peluang (X ≤ xi).
Sebaran peluang
kumulatifnya dapat direpresentasikan dalam bentuk:
Pi F X i F Z i .................................................................................... (34) Sebenarnya banyak fungsi peluang kumulatif yang mungkin dapat digunakan, namun dalam penelitian ini ada dua model yang memenuhi kriteria dari CDF yang dipertimbangkan, yaitu: Model Probit dan Model Logit. Model probit berkaitan dengan fungsi probabilitas distribusi normal (Normal Distribution Probability Function - NBF), sementara Model Logit berkaitan dengan fungsi probabiloitas distribusi logistik (Logistic Distribution Probability Function - LBF). 60
Untuk memahami Model Probit (NBF) ini, asumsikan bahwa ada suatu indeks Zi yang bernilai kontinu secara teoritis, yang ditentukan oleh nilai peubah penjelas X sehingga dapat ditulis:
Z i 0 1 X i .................................................................................................... (32) Dalam penelitian ini, digunakan satu peubah terikat atau peubah respons (dependent variabel), Yi dan 11 peubah bebas (independent variables), Xi, sehingga Persamaan (13) tersebut menjadi:
Z i 0 1 X 1 2 X 2 3 X 3 4 X 4 5 X 5 6 X 6 7 X 7 8 X 8 9 X 9 10 X 10 11 X 11 ................................................ (33) dimana: Zi = peubah peluang merevitalisasi budidaya tambak udang yang dalam hal ini diproksi dengan peubah peluang menerapkan teknologi budidaya tambak udang sesuai dengan anjuran dalam program revitalisasi budidaya tambak udang (nilai 1 untuk pembudidaya yang merevitalisasi, dan nilai 0 untuk pembudidaya yang tidak merevitalisasi) X1 = peubah tingkat kualitas benih udang (nilai 3 untuk benih berkualitas tinggi sesuai anjuran, nilai 2 untuk benih yang kurang berkualitas/sedang, dan nilai 1 untuk benih yang tidak berkualitas/rendah) X2 = peubah tingkat kualitas pakan udang (nilai 3 untuk pakan berkualitas tinggi sesuai anjuran, nilai 2 untuk pakan yang kurang berkualitas/sedang, dan nilai 1 untuk pakan yang tidak berkualitas/rendah) X3 = peubah luas lahan budidaya tambak udang yang diusahakan (dalam satuan hektar) X4 = peubah status kepemilikan lahan tambak (nilai 3 untuk milik sendiri, nilai 2 untuk sewa, dan nilai 1 untuk garapan) X5 = peubah dummy penguasaan teknologi budidaya tambak udang sesuai anjuran (nilai 1 jika menguasai , dan nilai 0 jika tidak menguasai) X6 = peubah tingkat pendidikan tenaga kerja (nilai 4 untuk perguruan tinggi, nilai 3 untuk sekolah tingkat atas, nilai 2 untuk sekolah lanjutan tingkat pertama, dan nilai 1 untuk sekolah dasar). X7 = peubah tingkat pengalaman dalam usaha budidaya tambak udang yang diukur dari lamanya petambak melakukan usaha bidudaya udang (tahun). X8 = peubah kondisi infrastruktur irigasi (nilai 3 untuk kondisi baik, 2 untuk kondisi sedang, dan 1 untuk kondisi buruk). X9 = peubah kondisi infrastruktur akses jalan ke lokasi tambak (nilai 3 untuk kondisi baik, 2 untuk kondisi sedang, dan 1 untuk kondisi buruk). X10 = peubah dukungan kebijakan permodalan (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2 untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung). X11 = peubah dukungan kebijakan tata-ruang wilayah (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2 untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung). X12 = peubah dukungan kebijakan revitalisasi industri budidaya udang (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2 untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung). Pembentukan indeks Zi pada Persamaan (36) adalah rasional, karena setiap pembudidaya tambak udang mempunyai nilai kritis dari index (treshold), katakanlah Z i* , 61
maka probabilitas merevitalisasi budidaya tambak udang semakin besar dan sebaliknya. Kondisi ini dapat ditulis sebagai: Keputusan merevitalisasi budidaya udang:
Ya , jika Z i Z * * Tidak , jika Z i Z
................................................................................. (34)
Dengan asumsi normalitas, probabilitas dari Z i* yang kurang atau sama dengan Zi dapat dihitung melalui distribusi normal dari CDF sebagai:
Pi PYi 1 X i P Z i* Z i PZ i 0 1 X i F 0 1 X i ....... (35) Dimana P(Yi=1ǀXi) berarti probabilitas peristiwa terjadi pada nilai X tertentu dan Zi adalah peubah normal standar (baku), yaitu: Zi ~ N (0,σ2). Model probit mengasumsikan bahwa Z merupakan peubah acak yang menyebar normal, sehingga peluang bahwa Z lebih kecil (atau sama dengan) Zi dapat dihitung dari fungsi peluang normal kumulatif. Untuk fungsi peluang normal baku kumulatif dapat dituliskan dalam rumus:
Pi F Z i
1 2
Z
e s / 2 s 2
....................................................................... (36)
atau,
Pi F Z i
1 2
0 1 X i
e s / 2 s 2
........................................................... (37)
dimana Pi menunjukkan probabiloitas suatu peristiwa yang terjadi, yaitu pribabilitas merevitalisasi budidaya tambak udang, kondisi ini digambarkan oleh area dari kurva nromal standar (baku) dari ke Z i . Tabel 3 menggambarkan hubungan antara nilai Z dengan normal CDF-nya. Nilai Pi akan terletak pada internval (0;1). Kemdian s adalah suatu peubah acak menyebar normal dengan nilai tengah 0 dan ragam 1.
62
Tabel 9. Hubungan Nilai Indeks Z dan Sebaran Peluang Normal Kumulatif Z
Peluang Normal, P(Z) -3,0 0,0013 -2,0 0,0228 -1,5 0,0668 -1,0 0,1587 -0,5 0,3085 0,0 0,5000 0,5 0,6915 1,0 0,8413 1,5 0,9332 2,0 0,9772 3,0 0,9987 Sumber: Widarjono (2007) dan Juanda (2009)
Peluang Logistik, P(Z) 0,0474 0,1192 0,1824 0,2689 0,3775 0,5000 0,6225 0,7311 0,8176 0,8808 0,9526
Dengan rumus transformasi pada Persamaan (9), peubah Pi akan bernilai dalam selang (0;1). Pi menggambarkan peluang individu berkarakteristik Xi memilih pilihan-1 (misal merevitalisasi budidaya tambak udang). Karena nilai peluang ini diukur berdasarkan luas area di bawah kurva normal, maka untuk mendapatkan informasi Zi dan β0 serta βi, kita melakukan inverse Persamaan (15), sehingga mendapat persamaan sebagai berikut:
Z i F 1 Pi 0 1 X i .................................................................................... (38) dimana F-1 adalah inverse dari normal CDF. Kita dapat menginterpreatasikan probabilitas Pi dari Model Probit ini sebagai suatu pendugaan probabilitas individu (pembudidaya) yang memutuskan merevitalisasi budidaya tambak udang pada nilai modal usaha tertentu, Xi. Fungsi peluang normal kumulatif ditunjukkan dalam Gambar 12 yang membandingkan model probit dan model peluang linier. P(Z) Linier Probability Model – LPM (constrained)
1 Probit Model
-3
-2
-1
0
1
2
3
Z
Sumber: Juanda (2009)
Gambar 12. Perbedaan Model Probit dengan Model Peluang Linier (LPM)
63
Pendugaan Model Probit tergantung jenis datanya, yakni: (1) Data pengamatan pada grup atau kelompok; dan (2) Data observasi pada tingkat individu. Data jenis pertma, kiita bisa mencari nilai probabilitasnya, sehingga kita bisa menduga dengan teknik metode OLS; namun jika data individu tanpa diketahui probabilitasnya, maka kita dapat menduga dengan menggunakan metode pendugaan maximum likelihood (ML) (Widarjono, 2007; Juanda, 2009). Meskipun model probit lebih menarik dari model peluang linier, namun untuk menduga parameter koefisiennya menggunakan pendugaan kemungkinan maksimum (maximum likelihood, ML) non linier. Selain itu, justifikasi atau interpretasi koefisiennya agak terbatas. Oleh karena itu, sebaiknya menggunakan model logit (Juanda, 2009).
3.3.3.3 Model Regresi Logit Regresi logistik atau kadang disebut model logit merupakan salah satu bagian dari analisis regresi yang digunakan untuk memprediksi probabilitas kejadian suatu peristiwa yang dilakukan dengan mencocokkan data pada fungsi logit (Gujarati, 2003). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, model fungsi distribusi kumulatif (CDF) lebih cocok menjelaskan perilaku peubah terikat (dependent variable) yang merupakan sebuah respons kualitatif bersifat dikotomi daripada model probabilitas linier (LPM). Selain Model Probit yang menggunakan distribusi normal, model CDF yang didasarkan pada distribusi logistik dalam banyak kasus juga mampu menjelaskan model peubah terikat yang dikotomis tersebut (Gujarati, 2003). Model ini disebut Model Logit yang berasal dari nama jenis distribusi probabilitas logistik untuk menjelaskan pilihan respons kualitatif peubah terikat. Dalam penelitian ini, penggunaan data revitalisasi budidaya tambak udang (Y) bersifat dikotomis, dimana 0 berarti tidak merevitalisasi budidaya tambak udang, dan nilai 1 berarti merevitalisasi budidaya tambak udang.
Penentuan peubah revitalisasi budidaya tambak udang (Y) tersebut
dipengaruhi oleh sebanyak sebelas peubah, dengan persamaan model fungsi probabilitas logistik kumulatif yang dapat ditulis sebagai:
Pi F Z i 0 1 X i
1 1 e Zi
1 1 e
0 1 X 1 1 X 1 1 X 1 1 X 1 1 X 1 1 X 1 1 X 1 1 X 1 1 X 1 1 X 1 1 X 1 i
..
............................................................................................................. (39)
64
dimana: Zi = peubah peluang merevitalisasi budidaya tambak udang yang dalam hal ini diproksi dengan peubah peluang menerapkan teknologi budidaya tambak udang sesuai dengan anjuran dalam program revitalisasi budidaya tambak udang (nilai 1 untuk pembudidaya yang merevitalisasi, dan nilai 0 untuk pembudidaya yang tidak merevitalisasi) X1 = peubah tingkat kualitas benih udang (nilai 3 untuk benih berkualitas tinggi sesuai anjuran, nilai 2 untuk benih yang kurang berkualitas/sedang, dan nilai 1 untuk benih yang tidak berkualitas/rendah) X2 = peubah tingkat kualitas pakan udang (nilai 3 untuk pakan berkualitas tinggi sesuai anjuran, nilai 2 untuk pakan yang kurang berkualitas/sedang, dan nilai 1 untuk pakan yang tidak berkualitas/rendah) X3 = peubah luas lahan budidaya tambak udang yang diusahakan (dalam satuan hektar) X4 = peubah status kepemilikan lahan tambak (nilai 3 untuk milik sendiri, nilai 2 untuk sewa, dan nilai 1 untuk garapan) X5 = peubah dummy penguasaan teknologi budidaya tambak udang sesuai anjuran (nilai 1 jika menguasai , dan nilai 0 jika tidak menguasai) X6 = peubah tingkat pendidikan tenaga kerja (nilai 4 untuk perguruan tinggi, nilai 3 untuk sekolah tingkat atas, nilai 2 untuk sekolah lanjutan tingkat pertama, dan nilai 1 untuk sekolah dasar). X7 = peubah tingkat pengalaman dalam usaha budidaya tambak udang yang diukur dari lamanya petambak melakukan usaha bidudaya udang (tahun). X8 = peubah kondisi infrastruktur irigasi (nilai 3 untuk kondisi baik, 2 untuk kondisi sedang, dan 1 untuk kondisi buruk). X9 = peubah kondisi infrastruktur akses jalan ke lokasi tambak (nilai 3 untuk kondisi baik, 2 untuk kondisi sedang, dan 1 untuk kondisi buruk). X10 = peubah dukungan kebijakan permodalan (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2 untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung). X11 = peubah dukungan kebijakan tata-ruang wilayah (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2 untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung). X12 = peubah dukungan kebijakan revitalisasi industri budidaya udang (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2 untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung). Bilangan e merepresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e = 2,718...) dan Pi adalah probabilitas seseorang dalam merevitalisasi budidaya tambak udang pada tingkat modal usaha (X) tertentu. Nilai Z terletak antara
dan , sedangkan nilai Pi terletak
diantara 0 dan 1 (lihat Gambar 13). Probabilitas logistik ini dengan demikian memenuhi kriteria dari model distribusi kumulatif (CDF).
65
P(Z)
Probit Model
1
Logit Model
-2 Sumber: Widarjono (2007)
-1
0
1
2
Z
Gambar 13. Model Distribusi Normal dan Model Distribusi Logistik
Perbedaan Model Logit dengan Model Probit sebelumnya dapat dijelaskan memperhatikan Tabel 6. Tabel 7 tersebut menunjukkan bahwa Model Probit dan Model Logit hampir sama. Perbedaannya, nilai probabilitas Pi Model Logit yang mendekati 0 atau 1 mempunyai tingkat penurunan yang lebih lambat daripada Model Probit.
Jika
digambarkan keduanya akan terlihat seperti Gambar 7, dimana Model Logit mempunyai ekor yanag agak sedikit datar Pertimbangan pemilihan sebaran logistik kumulatif diantaranya adalah karena interpreatsinya yang logis dan dapat ditunjukkan bahwa : 0 ≤ E(YǀXi) = Pi ≤ 1 ..................................................................................................... (40) Selain itu dari sisi matematika, Persamaan (20) merupakan fungsi yang sangat fleksibel dan mudah digunakan serta parameter koefisiennya mudah dinterpretasikan.
Dengan
menggunakan aljabar biasa, Persamaan (20) dapat ditunjukkan menjadi (Juanda, 2009):
1 e P 1 Z
i
e Z
1 Pi Pi 1 eZ ................................... (41) 1 p Pi 1 Pi
Peubah Pi/(1-Pi) dalam Persamaan (26) disebut odds, yang sering juga diistilahkan dengan risiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadinya pilihan-1 (merevitalisasi budidaya tambak udang) terhadap peluang terjadi pilihan-0 alternatifnya (tidak merevitalisai budidaya tambak udang). Dalam ilistrasi ini, jika seorang pembudidaya tambak udang dengan tingkat penerapan teknologi sesuai anjuran sama dengan 0,2, maka peluang tidak merevitalisasinya adalah sama dengan 0,8. Dengan demikian odds-nya ¼, atau peluang merevitalisasi budidaya tambak udangnya ¼ dari peluang tidak merevitalisasi. Jika peluang merevitalisasi budidaya tambak udangnya sama dengan ½, maka nilai odds-nya sama 66
dengan 1. Jika peluang merevitalisasi budidaya tambak udangnya adalah sebesar 0,8 (lebih dari ½), maka nilai odds-nya 4 (lebih dari 1), artinya peluang merevitalisasi budidaya tambak udangnya 4 kali dari peluang tidak berhasil dalam revitalisasi. Oleh karena itu, nilai odds merupakan suatu indikator kecenderungan seseorang dalam menentukan pilihan-1 (merevitilasi budidaya tambak udang). Selanjutnya, jika Persamaan (26) ditransformasikan dengan logaritma natural, maka:
Z i ln
Pi Pi ln Z i X i .......................................................... (42) 1 Pi 1 Pi
Persamaan (45) ini menunjukkan bahwa salah satu karakteristik penting dari model logit adalah bahwa model ini metransformasikan masalah prediksi peluang dalam selang (0;1) ke masalah prediksi log odds tentang kejadian (Y=1) dalam selang bilangan riil, ~ ≤ logit (Pi) ≤ ~. - Pendugaan Parameter Koefisien Model Logit Pendekatan dengan Least Square (OLS dan WLS) dapat dilakukan untuk model logit jika data peubah bebas X dikelompokkan dulu (daslam suatu selang). Akan tetapi umumnya, pendugaan parameter koefisien model logit menggunakan penduga kemungkinan maksimum (maximum likelihood estimator – MLE), seperti yang telah dibahas sebelumnya (pada bagian pendugaan dalam metode ITSA). Prosedur MLE dalam menduga parameter koefisien model logit adalah sebagai berikut. Misalkan: Pi = P(Y=1ǀ xi) = P(xi) : peluang bahwa Y = 1 jika diketahui X = xi. 1-Pi = P(Y=1ǀ xi) = P(xi) : peluang bahwa Y = 0 jika diketahui X = xi.. Sebagaimana telah disebutkan bahwa Yi bernilai 1 atau 0 dan menyebar menurut sebaran (distribusi) Bernouli, maka fungsi peluang atau fungsi kemungkinan untuk pengamatan berpasangan (xi,yi) untuk i = 1,2, ..., n adalah:
xi P xi y 1 P xi 1 y ................................................................................. (43) i
Karena n pengamatan (xi,yi) diasumsikan bebas, maka fungsi kemungkinan bersamanya:
x1 x2 xn xi ................................................................ (44) n
i 1
67
Prinsip prosedur MLE adalah menentukan dugaan yang2 nilainya akan memaksimumkan persamaan peluang bersama n pengamatan pada Persamaan (29). Kemudian karena
dan
L
L sulit dicari, maka untuk mempermudahnya ditransformasi 3 dengan logaritma
natural (ln), sehingga mendapatkan fungsi log likelihood berikut:
L ln yi ln P 1 yi ln 1 Pxi .................................... (45) n
i 1
Untuk menentukan dugaan yang memaksimumkan L , kita diferensiasikan Persamaan (48) terhadap masing-masing parameter (α dan β), kemudian disamakan dengan 0 sehingga:
L n yi Pxi 0 ................................................................................ (46) i 1 L n xi yi Pxi 0 ............................................................................. (47) i 1 Persamaan (30) dan (31) disebut persamaan kemungkinan (likelihood equations) yang merupakan persamaan non linier dalam parameter (α dan β), sehingga diperlukan motede iterasi yang telah diprogramkan dalam software regresei logistik (McCullagh dan Nedler, 1983 dalam Juanda, 2009).
- Pendugaan Parameter Ragam Koefisien Model Logit Untuk generalisasi secara umum dalam menduga model regresi logistik dengan k-1 peubah bebas. Misalkan k-1 peubah bebas berskala ordinal atau interval dinotasikan dengan
X i X 2 , X 3 , X 4 ,..., X k yang merupakan vektor peubah bebas, dan peluang bersyarat X i x i bahwa responnya pilihan-1 adalah , maka logit dari model regresei logistik polinomialnya adalah:
2
Untuk model regresi logistik berganda dengan k-1 peubah bebas karakteristik
1 , 2 ,, k ' 3
Transformasi monoton, dengan pengertian jika 1 2 maka L1 L2 karena nilai selalu non-
negatif.
68
g x i ln
P x i 0 1 X 1i 2 X 21i 3 X 31i ... k X ki ................. (48) 1 P x i
dan model regresi logistik polinomialnya:
P x i
g x
1 e i ............................................................................ (49) g x g x 1 e i 1 e i
Misalkan kita mempunyai suatu contoh yang terdiri dari n pengamatan berpasangan
xi , yi , i 1,2,. .., n
yang bebas satu sama lainnya.
Sebagaimana dalam kasus peubah
tunggal, pendugaan model dalam Persamaan (48) mengharuskan kita memperoleh dugaan
vektor 1, 1, ... , k .
Metode pendugaan yang digunakan dalam kasus peubah
bebas tunggal (univariate), yaitu: maximum likelihood (ML) estimator.
- Pengujian Model Logit dan Pendugaan Selang Kepercayaan Koefisien Setelah dugaan model logit polinomial pada Persamaan (29) diperoleh, langkah selanjutnyaa menguji apakah model logit tersebut secara keseluruhan dapat menjelaskan pilihan kualitatif (Y). Hipotesis statistik yang diuji dalam hal ini adalah: H0: β1 = β2 = ... = βk = 0 (model tidak menjelaskan) H1: minimal ada βj ≠ 0, untuk j = 1,2, ... , k (model dapat menjelaskan) Statistik uji yang digunakan adalah likelihood ratio (LR), yaitu rasio fungsi kemungkinan modelUR lengkap terhadap kemungkinan modelR (H0 benar). Statistik Uji-G di bawah ini menyebar menurut sebaran Khi-Kuadrat dengan derajat bebas (k-1).
likelihood _ Model R likelihood _ ModelUR 2 G 2 ln 2 ln X ( k 1) ... (50) likelihood _ mod el R likelihood _ mod elUR Jika menggunakan taraf nyata α, hipotesis H0 ditolak (model signifikan) jika statistik -G > X2α, k-1. Jika H0 ditolak maka dapat disimpulkan bahwa minimal ada βj ≠ 0, dengan pengertian ini, model regresi logistik pada Persamaan (6) dapat menjelaskan atau memprediksi pilihan individu pengamatan. Untuk menguji faktor mana (βj ≠ 0) yang berpengaruh nyata terhadap pilihannya, perlu uji statistik lanjut. Dalam hal ini kita dapat menguji signifikansi dari parameter koefisien secara parsial dengan statistik Uji-Wald yang serupa dengan statistik Uji-t atau Uji-Z dalam regresi linier biasa. Hipotesis statistik yang diuji adalah: H0: βj = 0, untuk j = 2, 3, ... , k (peubah Xj tidak berpengaruh nyata) H1: βj ≠ 0, untuk j = 2, 3, ... , k (peubah Xj berpengaruh nyata) Statistik uji yang digunakan adalah: 69
W
j
se j
.......................................................................................................... (51)
Nilai-p dua arah dari statistik Uji_Wald ini adalah P(ǀZǀ > W), dimana Z adalah peubah acak normal baku. Hauck dan Donner (1977) dalam Juanda (2009) telah mengkaji performance Uji-Wald ini dan menemukan bahwa nilainya berperilaku agak aneh, karena sering gagal menolak H0 jika koefisiennya signifikan.
Mereka menyarankan untuk
menggunakan uji rasio kemungkinan.
- Interpretasi Parameter Koefisien Model Logit Setelah diperoleh dugaan model logit yang dianggap cocok, dan dugaan koefisiennya (pengaruh peubahnya) signifikan secara statistik maupun secara ekonomi, maka kita dapat menarik kesimpulan-kesimpulan parktis dari koefisien dalam model. Pertaanyaannya adalah “apa yang diungkapkan βj mengenai pertanyaan-pertanyaan penelitian yang memotivasi studi”. Untuk menjelaskan bagaimana kita menginterpretasikan dugaan parameter koefisien, kita ambil contoh model regresi sederhana dengan peubah bebas bernilai 2 kategori juga. Misalnya, pertanyaan penelitiannya adalah “apakah kualitas benih yang digunakan (X) akan mempengaruhi keputusan pembudidaya tambak udang untuk merevitalisasi budidaya tambak udangnya (Y)”, maka dikembangkan model regresi logistik sebagai berikut (Juanda, 2009):
P x i
1
1 e
i j X j
e
i j X j
1 e
i j X j
................................................................. (52)
dimana:
1, jika pembudidaya merivalisasi tambak udang Yi 0, jika pembudidaya tidak merievitalisasi tambak udang 1, jika kualitas benih udang tinggi ( sesuai ) Xi 0, jika kualitas benih udang rendah (tidak sesuai ) Untuk model Persamaan (52) ini ada dua nilai P(Xi) dan 2 nilai 1-P(Xi) ekuivalennya yang dapat ditampilkan dengan jelas dalam Tabel 10.
70
Tabel 10. Nilai-nilai Model Regresi Logistik dengan Peubah Bebas Dikotomi Peubah Bebas X X=1 Y=1
Peubah Respons Y
P (1)
Y=0
X=0
e ( ) 1 e ( ) e ( ) 1 e ( )
1- P (1)
Jumlah
P ( 0)
e 1 e
1 P(0)
1
1 1 e
1
Sumber: Juanda (2009)
Keterangan: P(1) : Peluang merevitalisasi budidaya tambak udang untuk pembudiya dengan kualitas benih tinggi (sesuai) 1-P(1) : Peluang tidak merevitalisasibudidaya tambak udang untuk pembudidaya dengan kualitas benih tinggi (sesuai) P(0) : Peluang merevitalisasi budidaya tambak udang untuk pembudiya dengan kualitas benih rendah (tidak sesuai) 1-P(0) : Peluang merevitalisasi budidaya tambak udang untuk pembudiya dengan kualitas benih rendah (tidak sesuai) Transformasi logitnya:
g X i ln
P X i X i ......................................................................... (53) 1 P X i
Dari Persamaan model logit (53) ini secara matematik β = g(1) – g(0), yang sulit dinterpretasikan.
Interpretasi yang lebih mudah adalah dari odds ratio (ψ) yang
didefinisikan sebagai rasio odds untuk x = 1 terhadap odds untuk x = 0, yaang diekspresikan di bawah ini. Nilai odds untuk pembudidaya yang menggunakan benih dengan kualitas udang yang tinggi (sesuai) dan nilai odds untuk pembudidaya yang menggunakan benih dengan kualitas udang yang rendah (tidak sesuai) adalah sebagai berikut:
Odds benih _ rendah
P (1) P ( 0) dan Odds benih _ tinggi .............................. (54) 1 P (1) 1 P ( 0)
Dari Tabel 2, odds-rataio-nya adalah sebagai:
P 1 P 0 e ................................................................................ (55) 1 P 1 1 P 0
e
1 e 1 1 e
e
1 e e 1 1 e
............................................................... (56)
71
Persamaan (38) dapat didekati dengan peluang relatif (P1)/(P0) jika P(x) relatif kecil. Oleh karena itu, odds ratio (ψ=eβ) diinterpretasikan sebagai “berapa kali kemungkinan pilihan-1 dianatar individu dengan X = 1 dibandingkan diantara individu deengan X = 0”. Dalam kasusu ini dapat diinterpretasikan: “berapa kali kemungkinan merevitalisasi budidaya tambak udang untuk pembudidaya yang menggunakan benih udang berkualitas tinggi (sesuai) dibandingkan dengan pembudidaya yang menggunakan benih udang berkualitas rendah (tidak sesuai)”. Jika ψ=eβ=2, maka kemungkinan (peluang) merevitalisasi budidaya tambak udang bagi pembudidaya yang menggunakan benih udang berkualitas tinggi (sesuai) adalah dua kali dari kemungkinan merevitalisasi bagi pembudidaya yang menggunakan benih udang berkualitas rendah (tidak sesuai). Odds-ratio ini sering juga digunakan sebagai suatu ukuran asosiasi yang sering ditemukan dalam epidemiologi.
Untuk peubah bebas kontinu, odds rato ini dapat
diinterpretasikan: “berapa kali kemungkinan merevitalisasi budidaya tambaj udang jika nilai peubah X naik 1 satuan”. Sifat dari odds ratio ini dapat dilihat pada Tabel 10. Sumbu horizontal adalah berbagai kemungkinan nilaim odds ratio, yaitu: 0<ψ<~, untuk membandingkaan peluang pilihan_Y=1 (merevitalisasi budidaya tambak udang) antara kelompok A(X+1) dan kelompok B(X) yang berbeda 1 unit dalam nilai peubah bebas (X). Jika koefisien β dalam persamaan model regresei logistik pada Persamaan (36) bernilai 0, maka odds ratio-nya ψ=eβ=1, artinya peubah X tidak berpengaruh dalam menentukan pilihan (Y), atau tidak ada asosiasi antara X dengan Y. Jika β maka ψ=eβ>1, artinya kelompok A (bernilai X lebih besar) mempunyai peluang pilihan_Y=1 lebih besar dibandingkan kelompok B (bernilai X lebih kecil). Jika β maka ψ=eβ<1, artinya kelompok B (bernilai X lebih kecil) mempunyai peluang pilihan_Y=1 lebih besar dibandingkan kelompok A (bernilai X lebih besar).
3.3.5
Metode Analisis Prospektif Dalam penelitian ini, penggunakan metode analisis prospektif dilakukan untuk
memformulasi rekomendasi kebijakan dan strategi serta rencana aksi percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia. Analisis prospektif ini digunakan unutk menentukan faktor kunci dari atrubut, indikator atau faktor berdassarkan pengaruh atau tingkat ketergantungannya terhadap pencapaian output yang diharapkan (Bourgeois dan Jesus, 2004), dimana output dalam hal ini adalah percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia. Analisis prospektif dilakukan melalui tiga tahapan analisis, yaitu:
72
(a) Penentuan Faktor Kunci Penentuan faktor kunci dalam penelitian ini melalui tiga tahapan. Pertama, penentuan faktor-faktor kunci pada kondisi saat ini (existing condition) menyangkut keberhasilan prohgram revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia; dan penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program revitaliasi industri budidaya udang ini diperoleh dari hasil analisis dengan pendekatan ekonomterika mengggunakan model polinomial. Kedua, penentuan faktor-faktor kunci melalui analisis kebutuhan (need analysis). Analisis kebutuhan stakeholders terkait dengan keberhasilan program revitalisasi industri budidaya udang merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem (Eriyanto, 1999; Hartrisari, 2007). Tiap pelaku memiliki kebutuhan yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi kinerja sistem. Pelaku mengharapkan kebutuhan tersebut dapat terpenuhi jika mekanisme sistem dijalankan. Bila pelaku merasa bahwa mekanisme sistem tidak dapat mengakomodasi kebutuhannya, maka pelaku sebagai komponen sistem tidak akan menjalankan fungsinya secara optimal yang mengakibatkan kinerja sistem terganggu. Ketiga, penentuan faktorfaktor kunci berdasarkan analisis tahap pertama dan kedua yang dihubungkan dengan penyusunan atau formulasi rekomendasi kebijakan dan strategi percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia.
(b) Analisis Pengaruh Antar-Faktor Kunci Setelah faktor-faktor kunci didapatkan, selanjutnya dilakukan analisis pengaruh antarfaktor kunci berdasarkan hasil diskusi para expert atau partisipan yang secara konsensus memberikan skor pada pengaruh silang antar faktor, yang dianalisis secara matriks dengan bantuan perangkat lunak Excel, dari Bourgeois dan Jesus (2004). Proses ini dilakukan melalui analisis struktural dan kerja kelompok, dilakukan analisis pengaruh/ketergantungan langsung (influence/dependence, I/D) dari setiap faktor dengan faktor lainnya, yakni dengan menggunakan pendekatan valuasi konsensual (consensual). Analisis struktural berbasis pada analisis pengaruh langsung, sebagai suatu cara untuk mengelompokkan faktor. Secara praktis, analisis pengaruh langsung terdiri dari vaaluasi pengaruh langsung suatu faktor terhadap faktor lainnya, dengan menggunakan skala dari “0 = tidak ada pengaruh” sampai “3 = berpengaruh sangat kuat”. Nilai yang telah didiskusikan dan disepakati oleh para expert atau partisipan, langsung dimasukkan di dalam matriks I/D. Selanjutnya setelah dilakukan penentuan skor pengaruh faktor yang dinilai oleh para expert atau partisipan dalam bentuk tuangan matriks, hasilnya di-plot ke dalam diagram empat kuadran yang menggambarkan tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji, seperti terlihat pada Gambar 14.
73
Tingkat Kepentingan Faktor-faktor yang Berpengaruh Pada Sistem yang Dikaji 2,0 1,8 1,6 1,4
1,0 0,8 0,6 -
Pengaruh
1,2
0,4
-
0,2
0,0 0,0
0,2
I Faktor Penggerak (Driving Factors) INPUT
II Faktor Penghubung (Leverage Factors) STAKE
IV Faktor Bebas (Marginal Factors) UNUSED
III Faktor Terikat (Output Factors) OUTPUT
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
1,6
1,8
2,0
Ketergantungan
Sumber: Bourgeois dan Jesus (2004)
Gambar 14. Tingkat Kepentingan Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Sistem yang Dikaji Menurut Bourgeois dan Jesus (2004), faktor penggerak (driving factors) adalah faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuta tetapi ketergantungannya kurang kuat, sehingga termasuk ke dalam kategori faktor paling kuat dalam sistem yang dikaji. Faktor penghubung (leverage factors) adalah faktor yang menunjukkan pengaruh dan ketergantungan yang kuat, sehingga faktor-faktor ini sebagian dianggap sebagai faktor atau peubah yang kuat. Faktor terkait (output factors) adalah faktor yang mewakili output, dimana pengaruhnya rendah tetapi ketergantungannya tinggi.
Faktor bebas (marginal
factors) adalah faktor yang pengaruh maupun tingkat ketergantungannya rendah, sehingga dalam sistem bersifat bebas.
(1)
Penentuan Kondisi (State) Faktor Kunci di Masa Depan Dari faktor-faktor yang terpilih pada tahap sebelumnya, selanjutnya para expert atau partisipan melakukan eksplorasi secara konsensus, untuk menentukan kondisi yang berpeluang terjadi terhadap faktor-faktor tersebut untuk masa mendatang (sesuai dengan dimensi waktu analisis). Eksplorasi terhadap kondisi faktor tersebut, penting dilakukan untuk membangun skenario yang diinginkan (Godet dan Roubelat, 1996; Bourgeois dan Jesus, 2004; Gray dan Hatchard, 2008; Wiek dan Walter, 2009; Coates et al., 2010); Durace dan Godet, 2010). Penentuan kondisi faktor di masa depan, merupakan hasil dari analisis morfologis dan diskusi kelompok, dimana expert atau partisipan melakukan perkiraan (foresight) 74
terhadap masing-masing faktor.
Masing-masing peluang dari bentuk kondisi tersebut
merupakan opini dan cerminan kebutuhan para pemangku kepentingan (stakeholders) di masa depan (Godet dan Roubelat, 1996);
Bourgeois dan Jesus, 2004;
Gray dan
Hatchard, 2008); Coates et al., 2010; Durace dan Godet, 2010).
(2) Pembangunan Skenario untuk Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Dari penentuan kondisi faktor yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya, dapat ditentukan kondisi faktor yang tidak mungkin terjadi. Kombinasi antara kondisi faktor yang tidak mungkin terjadi tersebut, selanjutnya dibuang dari penyusunan skenario. Pembangunan skenario ini dilakukan melalui curah pendapat (brainstorming) dan diskusi kelompok terstruktur. Dalam forum tersebut para expert atau partisipan diminta untuk dapat memberikan perkiraan dari kondisi masing-masing faktor penentu pada masa datang.
Perkiraan tersebut merupakan opini dan cerminan kebutuhan para
pemangku kepentingan di masa depan. Dari perkiraan mengenai kondisi faktor tersebut di masa datang, dapat disusun skenario percepatan reviltasasi industri budidaya udang di Indonesia. Suatu skenarion merupakan sebuah kombinasi faktor dengan kondisi yang berbedabeda. Pembangkitan skenario dilakukan melalui curah pendapat terhadap berbagai kondisi faktor (yang telah diidentifikasi), oleh para expert atau partisipan. Secara konsensus, expert atau partisipan diminta untuk menyususn berbagai kombinasi dari kondisi faktor yang mungkin dicapai di masa depan (sesuai dengan kurun waktu yang dianalisis).
Selanjutnya, dari hasil curah pendapat tersebut didapat konsensus
penyusunan skenario dalam percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia yang mungkin terjadi, yang terdiri dari skenario: “optimis”, “moderat”, dan “pesimis”. (a) Pada skenario ekstrim, skenario optimis harus dilakukan upaya perbaikan yang maksimal terhadap semua faktor, sehingga sistem akan menuju ke arah yang lebih baik.
Secara implisit tampak bahwa skenario optimis merupakan cerminan
kebutuhan para pemangku kepentingan untuk mencapai suatu kondisi keberhasilan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia pada masa depan. (b) Pada ekstrim yang lain, skenario sangat pesimis menunjukkan bahwa bila kondisi seperti saat ini terus berlangsung, maka tidak diperlukan upaya perbaikan, dan tentunya sistem akan menjadi lebih buruk daripada kondisi saat ini. (c) Sebagai kompromi dari kedua skenario ekstrim di atas, expert atau partisipan juga merumuskan skenario moderat dan pesimis.
Kedua skenario kompromis ini 75
merupakan cerminan dari kebutuhan para pemangku kepentingan dengan mempertimbangkan kemampuan memperbaiki berbagai faktor penentu (Brown et al, 2001).
(3) Penyusunan Kebijakan, Strategi dan Rencana Aksi Antisipatif Dari kombinasi kondisi faktor dan skenario yang mungkin terjadi pada masa datang, selanjutnya eksert atau partisipan melakukan diskusi terstruktur dan menyusun implikasi strategis dan rencana aksi antisipatif. Upaya logis yang dapat dajukan oleh para expert atau partisipan, secara nyata dapat dirumuskan dalam kebijakan, strategi dan rencana aksi antisipatif.
Rencana aksi yang dapat disusun oleh expert atau
partisipan adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi di masa datang (proaktif).
Selain itu, eksplorasi kondisi masa datang juga dapat membantu dalam
menyiapkan aksi yang bersifat re-aktif. Melalui identifikasi dan perbandingan skenario, maka para pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan dapat lebih mampu merencanakan masa depan keberhasilan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia. Pada akhirnya sebagai kesimpulan konsensus, dapat drumuskan kebijakan, strategi dan rencana aksi antisipatif yang harus diakomodasi dalam mempercepat revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia.
3.4
Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan ini akan dilakukan selama satu tahun sejak Januari 2015 sampai dengan
Desember 2015. Lokasi kegiatan mencakup wilayah-wilayah periritas program revitalisasi industri budidaya udang, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Lampung. 3.5
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder
terkait dengan aspek produk, pengolahan dan pemasaran/perdagangan udang baik yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan di Wilayah Penelitian maupun dari Statistik perikanan budidaya udang (Ditjen Perikanan Budidaya, KKP). Data primer yang dikumpulkan dianataranya berupa data yang berkaitan dengan persepsi pembudidaya mengenai perkembangan produksi, pengolahan, pemasaran/perdagangan, dan kelembagaan (permodalan dan produksi). Data sekunder yang dikumpulkan data menyangkut perkembangan aspek produksi tambak udang termasuk teknologi dan produktivitas, pengolahan dan pemasaran/perdagangan ekspor dan impor serta domestik, aspek
76
kelembagaan, infrastruktur, dan berbagai kebijakan yang terkait dengan program revitalisasi industri budidaya udang baik secara langsung maupun tidak langsung
3.6
Teknik Pengumpulan Data dan Penentuan Responden Pada penelitian ini metode pengambilan sampel menggunakan metode purposive
sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dari sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011). Teknik ini digunakan untuk menggali data kepada narasumber atau responden dengan pertimbangan yaitu orang yang paham atau mengetahui informasi terkait program revitalisasi industri budiadaya udang di Indonesia baik provinsi maupun kabupaten/kota, Bappeda, Pelabuhan Perikanan, pelaku usaha dan tokoh nelayan. Metode pengumpulan data dengan pengamatan, wawancara dengan menggunakan kuesioner, dan dokumentasi. a)
Pengamatan Pengamatan ialah pengamatan langsung dengan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Dalam penelitian ini metode pengamatan digunakan untuk mengamati kondisi lokasi penelitian dan pelaksanaan kegiatan program.
b)
Wawancara Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi melalui Tanya jawab. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk menggali data terkait revitalisasi industri budidaya udang. Wawancara dilakukan dengan narasumber dari pihak DKP, Dinas PU, Bappeda dan tokoh pembudidaya udang dengan menggunakan kuesioner.
c)
Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion) FGD adalah diskusi kelompok dari para stakeholders/ experts/partisipan mengenai hal yang dikaji khususnya berkaitan dengan formulasi rekomendasi kebijakan, strategi dan rencana aksi mempercepat revitalisasi indusstrialisasi budidaya udang di Indonesia yang
didahului
brainstorming
dan
kesepatakan
mengenai
faktor-faktor
pengungkit/leverage (Endogenous factors) dan faktor-faktor penentu (exogenous factors) keberhasilan revilatisasi industri budidaya udang di Indonesia dalam kerangka analisis prosepktif.
d)
Dokumentasi Dokumentasi ialah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen (Usman dan Akbar, 2009). Dokumentasi digunakan untuk mencari data berupa Perkembangan kinerja sektor perikanan, khususnya yang terkait dengan dinamika ekonomi
per-udangan-an
di
Indonesia,
,
RTRW,
RPJMD,
dan
RPJMN. 77
78
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sejarah dan Program Revitalisasi Produktivitas Budidaya Udang di Indonesia 4.1.1 Sejarah Budidaya Udang di Indonesia: Analisis Pendekatan Sejarah Budidaya udang adalah kegiatan pemeliharaan/pembesaran udang secara khusus dengan penebaran benur ditambak air payau yang terdapat di hamparan pesisir. Sampai dengan tahun 60-an hanya ada 4 negara di dunia yang memiliki areal tambak cukup luas, yaitu: Filipina, Indonesia, Taiwan dan Thailand. Masing-masing dengan luas 166.000 Ha, 165.000 Ha, 27.600 Ha dan 20.000 Ha (Ling, 1970). Di Indonesia sendiri sampai dengan tahun 60-an masih terpusat di Jawa, Sulawesi Selatan dan Aceh. Tambak tersebut dibangun di wilayah lahan pasang surut (Zona Internidal) karena untuk pengairannya tergantung penuh pada pergerakan air pasang surut.Komoditi budidaya hanyalah ikan banding (ditambah ikan belanak di Taiwan dan Ikan Kakap di Thailand). Adapun udang yang terdapat didalam tambak hanya berasal dari alam yang masuk sendiri kedalam tambak bersama arus air pasang tinggi. Hasil udang yang diperoleh pemilik tambak dianggap hanya sebagai hasil sampingan (hasil panen utama adalah bandengnya) dan menjadi hak pendega, yaitu karyawan yang mengurus tambak. Penebaran benur (benih udang) secara khusus kedalam tambak untuk dipelihara secara terkendali baru dimulai setelah petambak Sulawesi Selatan diajari untuk mengenal benur udang dan membudidayakannya didalam tambak. Guna menyimak perkembangan budidaya udang di Indonesia secara utuh. Berikut adalah informasi yang disampaikan oleh Bapak Alie Pornomo (Alm) mengenai catatan secara kronologis yang pernah disampaikan saat Simposium Akuakultur Tahun 2001 di Semarang.
(1) Era Pra dan Awal Budidaya Udang di Tambak Sampai dengan awal Tahun 1964 tambak di Indonesia hanya digunakan untuk budidaya ikan bandeng. Kemudian pada kurun waktu tahun 1964-1970 merupakan masa pengenalan benur dan budidaya udang teknologi tradisional/ekstensif.
Pengenalan
morofologi benur alam (terutama udang windu P. monodon dan udang putih P. marguiensis), teknik merawat dan pengangkutan serta pembesarannya didalam tambak (teknologi ekstensif secara mono atau polikultur dengan bandeng) di Sulawesi Selatan (Bulukumba, Jeneponto, pangkep dan Pinrang) (Poernomo, 1968). Pendederan dan aklimatisasi benur didalam keramba jarring apung didalam tambak atau didalam bak-bak semen didarat berkembang pesat di daerah pertambakan di Sulawesi
79
Selatan yang jauh dari sumber benur (Pangkep, Maros, Barru). Setelah tahun 70-an pembudidayaan udang windu teknologi ekstensif berkembang ke Jawa, Kalimantan (Balikpapan) dan Sumatera (Aceh). Khususnya di Banda Aceh, disamping budidaya udang windu juga dibudidayakan udang putih (P. indicus) karena kelimpahan benur alam jenis udang ini diperairan pantai aceh (Poernomo, 1979). Budidaya udang windu teknologi ekstensif dengan kepadatan tebar 20.000-30.000 ekor benur/Ha (monokultur) tanpa pakan dapat menghasilkan 3-4 kwintal/Ha/siklus size 30 (hanya mengandalkan pakan alami dengan pemupukan. Disini masih banyak petani menerapkan polikultur dengan banding. 1970 : Dibangun hatchery udang pertama dan RCU Jepara Setelah penelitian berhasil memijahkan induk udang matang telur dari laut, dibangun hatchery pertama di Makassar (Berita Buana, 1970 Harian Kami, 1970) dan menyusul dibangunnya hatchery ke-2 di Jepara, Jawa Tengah akhir tahun 1970. Mengingat besarnya potensi budidaya udang di Indonesia pada masa mendatang maka penulis waktu itu menyarankan kepada Pemerintah untuk dibangun RCU (Reseacrh Center Udang) di lokasi yang sama di Jepara yang kemudian disebut BPAP (Balai Pengembangan Budidaya Air Payau) dan pada tahun 2003 berubah menjadi BBPBAP (Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau) untuk mendukung percepatan pembangunan budidaya udang di Indonesia.
(2) Era Perintisan Budidaya Udang Teknologi Intensif (Tahun 1974-1980) Pada Tahun 1974 telah dimulai pengembangan budidaya udang teknologi intensif dan semi intensif dengan menggunakan kincir dan pakan pellet dimulai di RCU Jepara, dan dilakukannya Proyek Pengembangan Tambak USAID di Aceh. Namun sejak diinstruksikan oleh ahli-ahli (staf pengajar Auburn University) dalam proyek bantuan USAID, terjadi malapetaka pertambakan di Aceh sebagai akibat dari gerakan pembatan jalur mangrove didalam areal pertambakan. Alasan utama para ahli tersebut adalah produktivitas tambak Aceh rendah disebabkan karena pohon bakau yang ditanam di sepanjang tanggul dan saluran menghabiskan unsur hara dari pupuk yang diaplikasikan untuk menumbuhkan makanan alami didalam tambak. Rupanya para ahli tersebut khilaf karena tidak menyimak hal yang lebih penting, bahwa Jalur mangrove tersebut sangat vital fungsinya sebagai wind breaker bagi wilayah pertambakan di Aceh karena anginnya sangat luar biasa besarnya. Tidak menyadari bahwa mangrove bakau sebenarnya diperlukan untuk memperbaiki lingkungan wilayah tambak karena fungsinya antara lain menyerap zat-zat polutan dan mengandung bakteri yang bermanfaat bagi keseimbangan lingkungan. Sebegitu jauh belum ada penelitian khusus 80
tentang seberapa hebat akar bakau menyerap unsure hara dari pupuk yang diaplikasikan dibagian tengah atau pelataran tambak waktu air dangkal. Kemudian pada tahun 1975 ditemukan teknologi Ablasi Mata untuk Pematangan Telur Induk Udang. Penelitian di RCU Jepara berhasil mematangkan telur induk udang dengan teknik ablasi mata (alikunki dkk, 2975 dan Poernomo, Hamami, 1983). Taiwan dan Filipina setalah membaca bulletin RCU, 1975 atau mengetahui keberhasilan Jepara tersebut langsung menanganinya dengan sangat intensif (di Tungkang Marine Laboratory (TML), Taiwan dan Seafdec, Filipina), sehingga mereka berhasil mengkomersilkan lebih dahulu teknologi tersebut. Dari perjalanan tersebut Alie Pornomo dimintai oleh Dr. Liao, Dir TML penulis yang pada waktu (1983) kebetulan berada di Taiwan, diminta untuk mengajarkan teknik ablasi pada staf peneliti Tungkang Marine Laboratory, Tungkang Taiwan. Selanjutnya antara kurun waktu tahun 1979-1980 telah dibangun Hatchery Swasta Pertama (PT Benur Unggul) yang dibangun di Desa Temporah/Banyuglugur Besuki, Jawa Timur disusul oleh hatchery swasta di Sinjai Sulawesi Selatan dan Kepulauan Seribu, Jakarta. Tepat diakhir tahun 1980 telah berhasil dilakukan perbaikan Teknologi Ablasi Mata induk udang dari laut untuk produksi benur udang windu dengan perbaikan mutu pakan, lingkungan di Sub Balai Penelitian Perikanan Laut Ancol (Poernomo, Hamami, 1983) dan BBAP Jepara yang dikutip dari : http://duniaperikanan.wordpress.com/2009/10/15/sejarahbudidaya-udang-di Indonesia/.
(3) Era Kejayaan (Pemantapan dan Komersialisasi) Budidaya Udang Indonesia (Tahun 1982-1995) Pada periode antara 1982 hingga 1983, di Indonesia telah ditemukan Teknologi Reklamasi Tanah Sulfat Masam. Teknologi perbaikan atau reklamasi tanah sulfat masam (pyrite) yang menjadi kendala tambak udang ditemukan dam dimasyarakatkan (Poernomo dan Singh, 1982; Singh dan Poernomo, 1983; Poernomo, 1983; Kompas, 1982; dan Suara Merdeka, 1982). Tambak yang dibangun di lahan zona intertidal umumnya mengandungi senyawa pyrit antara 0,5-2% dan pada daerah tertentu dapat mencapai >5%. Lahan tambak dengan kandungan pyrit tinggi seperti di daerah Bone Palopo, Malili, Mamuju (Sulawesi Selatan) dan Kalimantan Timur yang belum direklamasi produktivitasnya sangat rendah. Kemudian pada tahun 1984-1985, mulai dilakukan program komersialisasi Budidaya Udang Intensif. Pengembangan budidaya udang teknologi intensif dimulai di Jawa Timur yang terpusat di Banyuwangi dan Situbondo (Jawa Timur) di Tangerang dan Serang (Jawa Barat) serta Denpasar (Bali) yang mencapai puncaknya pada tahun 1987-1990. Diluar Jawa, kecuali Bali dan Lampung (DCD, 1989) pada waktu itu belum ada tambak udang intensif.
81
Selanjutnya pada tahun 1985, mulai dibangun usaha budidaya udang dengan menggunakan pola Tambak Inti Rakyat (TIR). Seperti Tambak Pandu Inti Rakyat (TIR) yang berlokasi di Desa Cipucuk, Kabupaten Karawang seluas 250 Ha lengkap dengan cold storage, pabrik pakan dan pelatihan teknisi. Tambak pola TIR yang lain juga dibangun oleh swasta di Desa Jawai, Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), di Teluk Waworada, Kab. Bima (NTB), Desa Pejarakan Buleleng (Bali), di Muara Sungai Bodri Kendal (Jateng), Takesung (Kal Sel), di Seram (Maluku), Tanjung Arus, Bulongan (Kal Tim).Tambaktambak tersebut yang dibangun oleh pemerintah maupun swasta umumnya kurang berhasil karena masalah manajemen usaha dan manajemen budidaya. Kemudian pada tahun 1989 mulai dibangun Tambak Inti Rakyat (TIR) Raksasa PT. Dipasena Citra Darmaja/DCD seluas >5.000 Ha di Desa Mesuji/Rawa Jitu, Kab. Lampung Utara, kemudian menyusul tambak TIR. Selanjutnya diikuti dengan pembangunan TIR raksasa berikutnya, yaitu PT. Bratasena seluas 10.000 Ha yang dibangun di Muara Way Seputih, Kec.Seputih Surabaya Kab. Lampung Tengah. Unit ketiga dari pembangunan tambak raksasa non TIR oleh PT Wahyuni Mandira seluas >10.000 Ha yang mulai dibangun pada tahun 1999 disebelah utara sungai Mesuji, Propinsi Sumatera Selatan. Ketiga unit tambak raksasa tersebut terletak dalam satu hamparan pantai yang bertetangga dalam lingkup garis pantai sekitar 100 Km. Namun karena desain tata letak ruang dan konstruksinya sudah mengikuti prasyarat kaidah budidaya, maka secara teknis, produktivitas tambak-tambak tersebut cukup stabil. Menurut Dahuri (2012), budidaya tambak udang merupakan salah satu usaha perikanan yang paling potensial untuk mendorong kinerja perekonomian nasional, karena lima alasan, yaitu: (1) Permintaan udang, baik untuk pasar domestik maupun ekspor, terus mengalami peningkatan.Harganya pun relatif stabil, bahkan cenderung semakin mahal.Sampai sekarang, udang merupakan salah satu komoditas perikanan yang termahal, lebih dari US$ 5 per kg harga di lokasi tambak (on farm). Dari total nilai ekspor perikanan tahun 2011 sebesar US$ 3,1 miliar, lebih dari setengahnya (US$ 1,7 miliar) berasal dari udang. (2) Indonesia memiliki areal lahan pesisir yang cocok untuk usaha budidaya tambak udang, terluas di dunia, sekitar 1,24 juta ha. Artinya, Indonesia secara potensial memiliki kapasita produksi udang tambak yang terbesar di dunia. (3) Udang tambak dapat diproduksi secara masal, ukuran dan kualitas (dengan teknologi) bisa diatur menjadi relatif seragam dan baik, dan waktu produksi bisa diatur secara reguler.Dengan perkataan lain, udang memenuhi segenap persyaratan untuk ’diindustrialisaikan’, alias dilipat-gandakan nilai tambahnya. 82
(4) Dapat menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan multiplier effects yang besar dan luas. (5) Sejak Program Udang Nasional pada 1982 sampai 1995 dengan tingkat produksi ratarata 250.000 ton/tahun, Indonesia pernah menjadi produsen dan sekaligus pengekspor udang tambak terbesar di dunia. Artinya, masyarakat sudah memiliki kapasitas dan tradisi untuk melaksanakan usaha budidaya udang.
(4) Era Penurunan Kinerja Budidaya Udang Indonesia (Tahun 1996-1999) Posisi Indonesia sebagai produsen dan pengekspor udang tambak terbesar di dunia yang pernah dialami pada periode 1982 hingga 1995, ternyata tidak berjalan baik untuk periode selanjutnya. Hal ini karena perilaku para pembudidaya yang kurang disiplin dan taat azas dalam menerapkan “Cara Budidaya Udang Yang Baik” (Best Aquaculture Practices) dan abai melakukan pemuliaan genetik (genetic improvement) bibit dan benih udang. Akibatnya, setelah mencapai produksi udang tertinggi (300.000 ton) pada 1995, produksi udang nasional turun drastis menjadi hanya sekitar 150.000 ton pada tahun 1996 sampai 1999 lantaran serangan wabah penyakit (MBV, white spot, dan lainnya). Kondisi penurunan kinerja budidaya udang tersebut diperparah oleh terjadinya kasus yang menimpa PT. Dipasena sebagai tambak udang raksasa dan pensuplai udang terbesar di Indonesia hingga mencapai hampir separuhnya, ternyata berhenti beroperasi pada tahun 1999 dan berakhir dengan penyerahan penuh tambak-tambak kepada plasma terletak pada masalah manajemen sosial. Tetapi dampak negatif dari dikuasainya penuh tambak-tambak oleh petambak mantan plasma, menjadikan produktivitas tambaknya menurun sangat drastis. Hal ini antara lain disebabkan karena tidak ada yang bertanggung jawab merawat saluran primer dan sekunder, kemampuan permodalan, dan koordinasi antar petambak. Seharusnya paling tidak saluran primer harus bisa diurus oleh pemerintah, karena petambak jelas tidak akan mampu merawatnya apalagi dalam kondisi hamparan tambak raksasa. Berdasarkan hasil kajian Fadilasari (2012) yang disampaikan dalam buku berjudul: “Dipasena: Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang”.disebutkan bahwa pada era 1990-an Dipasena adalah sebuah nama besar. Kala itu, Dipasena adalah sebuah impian tentang kehidupan sejahtera dari tambak yang berada di Rawajitu Timur, Kabupaten Tulangbawang, Lampung, seluas 16.250 hektare. Sebelum konflik meletus, tak kurang dari 9.033 petambak plasma dan 11 ribu karyawan menggantungkan hidup dari Dipasena ini. Pada 1997, citra Indonesia terangkat karena menjadi produsen udang terbesar kedua di dunia. Kontribusi nyata telah dilakukan PT Dipasena Citra Dermaja—milik pengusaha Sjamsul Nursalim—mengangkat nama Indonesia di mata pelaku bisnis internasional melalui panen perdana udang tahun 1990. 83
Mengutip data Bank Indonesia, Fadilasari, penulis buku ini, mencatat devisa negara yang disumbangkan Dipasena mencapai 3 juta dolar AS. Tahun 1991, Dipasena mampu membukukan sebesar 10 juta dolar AS.Lalu, 30 juta dolar AS pada 1992.Puncaknya pada 1995 hingga 1998 menghasilkan 167 juta dolar AS.Atas keberhasilannya dalam ekspor udang ini, Dipasena pernah meraih Eksport Primanyarta pada 1995, 1996, dan 1997. Rawajitu, tempat Dipasena membangun bisnis tambak udang tahun 1989, telah menjadi magnet bagi banyak orang yang berharap dapat memperbaiki nasib. Maka ada kisah seorang Syukri J. Bintoro yang meninggalkan profesi gurunya untuk memburu impian di sebuah perusahaan dengan gaji besar, tetapi ternyata ia hanya menjadi petani udang. Abdu Syukur yang melamar bekerja sebenarnya sudah merasa ada keanehan sistem kerja di Dipasena, tetapi harapan mendapatkan penghasilan yang lebih baik mendorongnya meneruskan bekerja di perusahaan ini. Betapa bahagianya Albert M. Limbong ketika dinyatakan diterima menjadi petambak di Bumi Dipasena sampai kemudian ia mulai merasakan adanya keanehan dan kemudian perusahaan ini mulai limbung. Demikian pula yang dialami Maryono dan Nafian Faiz; awal yang begitu menggoda, tetapi kenyataannya hanya kamuflase.Pamor Dipasena mulai pudar. Sejak 2000, perusahaan ini mulai tak terdengar lagi. Tambak udang itu kolaps. Perusahaan sudah tak memproduksi dan mengekspor udang lagi. Ribuan plasma yang masih tersisa, bertambak sendiri-sendiri dan menyatakan putus hubungan dengan inti. Di satu sisi pertambakan mandiri itu sangat menguntungkan para petambak, tetapi di sisi lain pertambakan menjadi rusak parah. Pada saat bersamaan, aset Dipasena diambil alih pemerintah untuk menutupi utang Sjamsul Nursalim. Hal tersebut menggambarkan secara dramatis tentang tumbuh-kembangnya, masamasa kejayaan, bagaimana konflik mulai menggerogoti, hingga runtuhnya sebuah kerajaan bisnis udang bernama Dipasena. Bagian pertama—seperti dikutip pada bagian awal resensi ini—menampilkan beberapa pengalaman sosok di yang menjadi korban kisah sukses dan tenggelamnya Dipasena. Bagian kedua hingga bagian ketujuh bercerita tentang Dipasena mulai dari berdiri, masa jaya hingga hancurnya. Mulailah babak baru ketika (bagian ketujuh) Dipasena direkapitalisasi dan tender ulang (bagian kedelapan). Lalu ada revitalisasi Dipasena (bagian kesembilan dan kesepuluh) yang malah melahirkan kekisruhan baru (bagian kesebelas) dan kerunyaman baru (bagian kedua belas). Alternatif solusi bagi penyelesaian kasus Dipasena dapat dilakukan dengan kembali membangun kemitraan yang tetap harus berlandaskan hak asasi manusia (HAM).
84
(5) Era Revitalisasi Budidaya Udang Indonesia (Tahun 2005-Hingga Sekarang) Upaya untuk mengembalikan kejayaan tambak udang yang sudah dimulai sejak beridirnya DKP/KKP pada awal 2000 harus lebih ditingkatkan dan disempurnakan melalui: (1) revitalisasi tambak-tambak mangkrak(iddle), yang jumlahnya mencapai 200.000 ha yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, khususnya di Pantura, Lampung, Sulawesi Selatan, dan NTB; (2) peningkatan produktivitas dan efisiensi semua unit usaha tambak udang yang kini masih berlangsung (survive); dan (3) pembukaan lahan usaha tambak udang yang baru (ekstensifikasi). Terkait dengan program revitalisasi, KKP tahun ini mentargetkan revitalisasi tambak udang seluas 82.870 ha yang tersebar pada 22 kabupaten di sepanjang Pantura (Provinsi Banten sampai Jatim). Dari luasan itu diharapkan dapat dihasilkan 102.000 ton udang per tahun. Selanjutnya, hingga 2014 areal tambak di seluruh wilayah Nusantara yang akan direvitalisasi ditargetkan seluas 135.213 ha dengan produksi 210.000 ton udang/tahun. Pada tahun 2013, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah merealisasikan program revitalisasi tambak udang sekitar 90% dari target. Peride selanjutnya (2014), pemerintah telah membangun 540 hektare (Ha) tambak udang di seluruh Indonesia. "Harapannya bisa lebih karena prospeknya bagus. Tambak udang yang sudah beroperasi umumnya sudah melakukan tabur benih udang vaname.
Tahun 2014 KKP telah menunjuk 27
kabupaten untuk program revitalisasi tambak udang.Alokasi terbesar berada di Jawa Tengah dengan target tambak udang seluas 180 Ha diikuti Jawa Timur 160 Ha, Sulawesi Selatan 80 Ha, Lampung 60 Ha, NTB 40 Ha, dan Sumatera Utara 20 Ha. Dengan luasan tambak percontohan 540 Ha, pemerintah memproyeksikan dapat menghasilkan 8.100 ton udang. Sementara nilai dari produksi ini ditaksir mencapai Rp 648 miliar per musim atau Rp 1,94 triliun per tahun dengan cara panen parsial. Adapun komponen program revitalisasi tambak udang tersebut meliputi: (1) perbaikan dan peningkatan prasarana dan sarana budidaya (terutama irigasi primer, sekunder, dan tersier); (2) pendalaman kolam tambak; (3) perbaikan teknologi budidaya (penggunaan benur bebas penyakit dan plastik mulsa); dan (4) peningkatan akses pembudidaya kepada permodalan, termasuk penjaminan dari asuransi Jamkrindo (Jaminan Kredit Indonesia). Lebih lanjut Dahuri (2012) menyampaikan bahwa komponen program revitalisasi tambak udang diatas hanyalah sebagian dari sekian banyak faktor (variables) yang menentukan keberhasilan usaha tambak udang. Oleh sebab itu, komponen program revitalisasi yang telah disusun KKP tersebut perlu dilengkapi dengan kebijakan dan program sebagai berikut. (1) Penataan ulang tata ruang wilayah pesisir agar kondusif bagi tumbuh kembangnya usaha budidaya tambak udang; dan pengendalian pencemaran, baik yang berasal dari 85
kegiatan manusia dan pembangunan yang terdapat wilayah pesisir maupun di wilayah hulu (upland areas). (2) Penerapan Good Aquaculture Practices (penggunaan benur unggul, pakan berkualitas, pengendalian hama dan penyakit, pengelolaan kualitas air dan tanah, pond engineering yang benar, dan biosecurity) secara disiplin dan konsisten di seluruh unit usaha budidaya tambak udang. (3) Pemerintah bekerjsama dengan swasta harus mampu menyediakan sarana produksi budidaya (khususnya benur, pakan, BBM) berkualitas dengan harga relatif murah atau sama
dengan
di
negara-negara
pesaing
(Thailand,
Vietnam,
India,
dan
China). Keempat, infrastruktur jalan yang menghubungkan sentra produksi tambak ke kawasan industri pengolahan, pasar domestik, dan pelabuhan ekspor harus diperbaiki atau dibangun baru.Demikian juga halnya dengan jaringan listrik, telkom, dan air bersih. (4) Pemerintah bekerjasama dengan swasta harus terus menerus secara kreatif dan inovatif memperdalam dan mengembangkan pasar baru, baik di dalam negeri maupun luar negeri. (5) Peningkatan kapasitas teknologi budidaya, manajemen, dan etos kerja para pembudidaya tambak udang melalui program DIKLATLUH secara benar, sistematis, dan berkelanjutan. (6) Dengan difasilitasi KKP, seluruh stakeholders budidaya tambak udang harus bekerja sama secara sinergis untuk mewujudkan ’Indonesia Aquaculture Incorporated’. Pemerintah dalam hal ini melalui Ditjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengucurkan pendanaan Rp125 miliar untuk progam revitalisasi tambak udang bersertifikasi atau demfarm pada tahun 2013 lalu. Pola kemitraan ini dibangun khusus untuk para pembudidaya bersertifikasi di 28 kabupaten di enam provinsi. Dirjen Perikanan Budidaya KKP menyatakan bahwa udang merupakan komoditas unggulan baik dari sisi ekspor maupun perikanan budidaya nasional. Karenanya, intervensi pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) dibutuhkan untuk keberlangsungan peningkatan produksi usaha perikanan. Selain itu, juga untuk menjamin kepastian bagi industrialisasi perikanan budidaya. Anggaran sebesar Rp125 miliar tersebut telah digunakan untuk daerah pertambakan percontohan di enam provinsi seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Lampung dan Sumatera Utara di 28 kabupaten. Total luas pertambakan yang akan digarap sebesar 504 hektare. Jadi, setiap kabupaten, ada tambak demfarm sekitar 20 ha. Khususkan kepada tambak semi intensif dan intensif, anggaran tersebut telah dibelanjakan modal bagi sarana produksi petambak seperti 86
kincir, plastik mulsa, pompa mesin, genset. Sementara, mitra petambak yakni pengusaha diharuskan menyediakan pendanaan, benih dan ketersediaan pakan. Hal utama yang membedakan dengan revitalisasi tambak pada tahun lalu, kali ini kita mendapat dukungan aktif dari perbankan di antaranya Bank BNI, BRI, BTN dan BPD, ujarnya. Keseriusan perbankan nasional mendukung usaha budidaya perikanan itu dibuktikan dengan pagu kredit yang disalurkan sebesar Rp30 miliar, selama semester pertama 2013 ini. Plafon ini terus meningkat seiring pengoperasian kegiatan tambak. Untuk itu, pemerintah bersama pihak perbankan tengah melakukan ground check lokasi calon denfarm. Kementerian Pekerjaan Umum sudah menyatakan komitmennya memperbaiki irigasi sekunder dan ketersediaan pasokan listrik akan diupayakan Perusahaan Listrik Negara. Di samping itu, kerja sama dengan Badan Pertahanan Nasional (BPN) juga dilakukan untuk mempermudah para petambak memperoleh sertifikasi lahan. Sertifikasi lahan ini akan digunakan para pembudidaya sebagai agunan untuk mendapatkan kredit dari perbankan. Kebutuhan investasi tambak udang intesif tergolong tinggi, yaitu setiap 1 Ha bisa membutuhkan biaya antara Rp350 sampai Rp500 juta termasuk biaya rehabilitasi atau ekuivalen ongkos biaya produksi udang vanamae sebesar Rp33.000 atau 35.000 per kilogram. Tetapi potensi produksinya bisa menghasilkan hingga 10 ton per ha, dengan waktu produksi selama empat bulan. Data KKP menyebutkan, total produksi udang nasional tahun 2012 sebesar 457.600 ton dari tahun sebelumnya 400.385 ton. Tahun ini, KKP mematok tinggi udang nasional yakni hingga 608.000 ton. Selain itu, tahun 2012, kontribusi udang untuk pasar ekspor sebesar 38 persen dari total ekspor perikanan sebesar 3,9 miliar dolar AS. Tahun ini, kontribusi udang diharapkan meningkat mencapai 40 persen dari total nilai ekspor perikanan yang ditargetkan mencapai 5 miliar dolar AS.
4.1.2 Program Revitalisasi Usaha Budidaya Udang di Indonesia Revitalisasi merupakan upaya untuk menghidupkan kembali suatu kawasan atau bagian kotayang mengalami kemunduran dan degradasi. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik dan ekonomi dari kawasan tersebut. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang.
Revitalisasi fisik diyakini dapat
meningkatkan kondisi fisik, namun tidak untuk jangka panjang.Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk pada aspek sosial budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuk sebuah 87
mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur. Salah satu sektor yang melakukan revitalisasi adalah sektor perikanan budidaya yang dilakukan dalam 2 tahap, yaitu Tahap 1 dilaksanakan pada tahun 2006—2009 dan Tahap 2 dilakukan pada tahun 2012—2014. A. Revitalisasi Tambak Udang Tahun 2006—2009 Pada bulan Juni 2005, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono membuat sebuah momentum percepatan pembangunan perikanan melalui pencanangan sebuah program lintas departemen bertajuk Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Revitalisasi perikanan ditetapkan sebagai salah satu dari bagian Triple Track Strategy Kabinet Indonesia Bersatu yang diterapkan dalam rangka pengurangan kemiskinan dan penganggguran serta peningkatan daya saing ekonomi nasional melalui pembangunan perikanan untuk mengatasi pemulihan
perekonomian
melalui
pemanfaatan
sumberdaya
secara
optimal
dan
berkelanjutan (Purnomo et.al, 2011). Target penurunan kemiskinan dari 16,6 % tahun 2004 menjadi 8,2 % tahun 2009 dan penurunan pengangguran terbuka dari dari 9,7 % tahun 2004 menjadi 5,1% tahun 2009, mengharuskan dilakukannya berbagai usaha pembangunan ekonomi untuk mencapai antara lain pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga 6,6 % per tahun. Disamping itu rasio investasi terhadap GDP harus naik dari 16,0 % pada tahun 2004 menjadi 24,4 % pada tahun 2009; dan rata-rata pertumbuhan pertanian, perikanan dan kehutanan mencapai 3,5 %/ tahun (Anonim, 2014). RPPK yang telah dicanangkan Presiden RI pada tanggal 11 Juni 2005 ini merupakan strategi umum untuk (1) meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan; (2) meningkatkan daya saing produk pertanian, perikanan dan kehutanan; serta (3) menjaga kelestarian sumberdaya pertanian, perikanan dan kehutanan (Pusdatin, 2006). Tujuan RPPK adalah meningkatkan kesejahteraan pembudidaya ikan dan nelayan, meningkatkan daya saing produk perikanan, menjaga kelestarian sumber daya perikanan serta mengurangi kemiskinan. Selaras dengan tujuan RPPK maka road map RPB dimaksudkan untuk (i) membangkitkan usaha akuakultur dengan beberapa komoditas unggulan pada lahan budidaya yang terbengkalai, (ii) menyediakan lapangan kerja dan peluang usaha, sebagai efek ganda (multiplier effect) dari berkembangnya usaha akuakultur, dan (iii) mendorong penerapan teknologi budidaya yang ramah lingkungan untuk mengatasi kualitas perairan yang menurun akibat intensifikasi (Pusdatin, 2006). Program Revitalisasi Perikanan Budidaya (RPB) merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 yang dicanangkan melalui Strategi Revitalisasi Pertanian, Perikanan 88
dan Kehutanan (RPPK) oleh Presiden RI
pada tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Jawa
Barat (Ministry of Marine Affairs and Fisheries, 2005). Dokumen RPB ini menyajikan upaya revitalisasi yang akan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya yang mencakup strategi, kebijakan operasional dan rencana tindak dua komoditas utama, yakni udang (vaname dan windu) dan rumput laut (Eucheuma dan Gracilaria ), serta delapan komoditas unggulan lainnya, yakni nila, kerapu, bandeng, patin, lele, gurame, abalone dan ikan hias. Strategi yang ditempuh dalam RPB ini adalah pengembangan kawasan secara bertahap, penerapan budidaya yang berkelanjutan, pendekatan bisnis agribisnis dan pembinaan secara intensif. Sedangkan kebijakan operasional yang dilakukan secara umum yaitu: (i) memanfaatkan dan mengoptimalkan tambak-tambak dan kolam; (ii) optimalisasi dan pemberdayaan unit-unit pembenihan (panti benih, UPR dan HSRT); (iii) memfasilitasi terjalinnya kemitraan; (iv) melakukan impor induk udang vaname Specific Pathogen Free (SPF) serta domestikasi induk oleh National Shrimph Broodstock Center (NSBC) untuk menghasilkan induk Specific Pathogen Resistant (SPR); (v) penerapan standar dan sertifikasi serta pengawasan mutu benih; (vi) melakukan pembinaan secara intensif melalui diseminasi dan penyediaan dempond. Desiminasi dilakukan dengan memanfaatkan penyuluh perikanan dan tenaga teknis lapangan yang ada, pendampingan teknologi oleh UPT Pusat/Daerah dan rekrutmen tenaga pendamping teknologi sesuai dengan kebutuhan; (vii) koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka penataan ruang, permodalan, pengembangan pasar, pengendalian lingkungan, keamanan dan lainnya. Udang merupakan komoditas yang dihasilkan melalui kegiatan budidaya unggulan. Perikanan budidaya mampu memberikan kontribusi cukup besar dalam perolehan devisa, pendapatan pembudidaya, menciptakan lapangan kerja dan peluang berusaha. Peran kegiatan budidaya akan semakin besar, sementara kegiatan penangkapan akan semakin berkurang. Perusahaan yang terlibat adalah perusahaan skala kecil (rakyat), menengah dan besar (industri). Pasar utama komoditas udang adalah pasar ekspor karena sampai saat ini permintaan udang untuk pasar luar negeri masih tetap tinggi. Dengan demikian, revitalisasi perikanan udang adalah revitalisasi produksi, pengolahan, dan pemasaran melalui pelibatan usaha skala rakyat dan industri. Untuk itu, kebiijakan pengembangan perikanan budidaya dilakukan melalui (1) Peningkatan produksi perikanan budidaya untuk ekspor; (2) Peningkatan produksi perikanan budidaya untuk konsumsi ikan masyarakat; dan (3) Perlindungan dan rehabilitasi sumberdaya perikanan budidaya. Sasaran revitalisasi tambak udang pada tahun 2005 diharapkan dapat mencapai produksi sebesar 300.000 ton yakni melalui (1) Pemanfaatan tambak udang ekstensif seluar 89
140.000 ha (40% dari luas tambak ekstensif) dengan jenis udang vaname dengan sasaran produksi 600—1500kg/ha/tahun; (2) Revitalisasi tambak udang intensif seluas 8000 ha dengan sasaran produksi 20—30 ton/ha/tahun dengan jenis udang vaname. Peningkatan produksi perikanan budidaya tersebut dilakukan melalui intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi budidaya perikanan. Untuk mendukung revitalisasi tambak udang, maka langkah operasional yang dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Melakukan impor induk dan benih udang vaname SPF; (2) Melakukan domestikasi dan pemuliaan udang vaname menjadi induk SPF dan SPR sehingga mengurangi ketergantungan dari impor; (3) Membangun Nasional Broodstock Center; (4) Melakukan revitalisasi backyard hatchery udang; (5) Menerapkan sertifikasi perbenihan dan pembudidayaan udang; (6) Mengembangkan laboratorium lingkungan dan penyakit; (7) Menyediakan sarana dan prasaranan budidaya; (8) Membantu penguatan permodalan bagi pembudidaya udang. Rencana kegiatan dalam rangka revitalisasi tambak udang tahun 2006 antara lain adalah (1) Pemuliaan induk udang melalui breeding program; (2) Pembangunan Balai Benih Ikan Pantai dan pengembangan Balai Benih Udang; (3) Sertifikasi sistem mutu perbenihan dan pembudidayaan; (4) Revitalisasi backyard hatchery; (5) Pengendalian distribusi induk dan benih; (6) Pengendalian peredaran dan penggunaan saran produksi (pakan, obat-obatan, pestisida); dan (7) Pembangunan Pos Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Sasaran produksi untuk usaha budidaya udang ditargetkan sebesar 540.000 ton pada akhir tahun 2009, melibatkan 27 provinsi pada lahan seluas 156.300 ha, yang terdiri dari tambak udang windu seluas 42.800 Ha dan tambak udang vaname seluas 113.500 ha. Produksi masing-masing ditargetkan sebesar 46.600 dan 193.400 ton. Kebutuhan modal usaha untuk udang windu dan vaname masing-masing sebesar Rp. 1,11 triliun dan Rp. 2,97 triliun, serta total serapan tenaga kerja sebesar 985.000 orang. Guna mendukung proses produksi, diperlukan tambahan sarana dan prasarana. Untuk komoditas udang diperlukan panti benih sebanyak 10 unit dan HSRT sebanyak 1.000 unit, serta saluran tambak yang mampu melayani luasan tambak 19.000 ha. Unit pengolahan udang yang telah beroperasi hingga tahun 2004 sebanyak 159 unit dengan kapasitas 2.700 ton/hari, dengan kapasitas gudang simpan sebesar 31.800 ton. Dengan demikian, hasil produksi udang hingga tahun 2009 diperkirakan masih dapat tertampung pada jumlah unit pengolahan udang dan kapasitas terpasang yang telah tersedia. Untuk rumput laut Eucheuma sp secara bertahap dilakukan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah dalam bentuk 90
semi refined carrageenan (SRC) atau disebut alkali treated carrageenan (ATC). Jumlah yang diolah diproyeksikan sebesar 5% sampai 13% dari total produksi, yang harus difasilitasi dengan penyediaan unit pengolahan. Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan revitalisasi perikanan budidaya sebesar Rp. 13,41 triliun, yang terdiri dari investasi pemerintah sebesar Rp 3,06 triliun dan modal usaha sebesar Rp 10,35 triliun.
Investasi pemerintah dialokasikan dalam bentuk
pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi tambak, optimalisasi balai benih, optimalisasi laboratorium kesehatan ikan dan lingkungan, pengembangan kawasan percontohan, penataan kelembagaan, pengembangan unit pelayanan pengembangan, pendampingan dan simulasi modal kerja untuk UPR atau HSRT. Modal usaha dari masyarakat, termasuk di dalamnya investasi pihak swasta, dukungan modal perbankan yang dapat langsung dimanfaatkan untuk pengembangan usaha.
B. Revitalisasi Tambak Udang Tahun 2012--2014 Program revitalisasi tahap 2 kembali dilaksanakan sejalan dengan kebijakan industrialisasi perikanan pada tahun 2012—2014. Tujuannya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas perikanan dengan melaksanakan kegiatan percontohan usaha budidaya dengan pengembangan demstration farm (demfarm) untuk komoditas udang vaname di tambak melalui pengembangan manajemen kluster/kawasan. Selama periode 2012—2014, kegiatan revitalisasi tambak udang dilaksanakan sesuai dengan roadmap yang telah disusun oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11.
Tabel 11.Road Map Revitalisasi Tambak Udang Tahun 2012—2014 Tahun
Lokasi
Rehab Saluran/Luas Tambak yang Tarairi(Ha) 20.000
Luas Tambak Revitalisasi (Ha)
1.000
Demfarm tambak udang intensif/semi intensif dan bandeng tradisional plus
Keterangan
2012
Pantura Jawa (6 Kabupaten) di dua provinsi : Jabar dan Banten
2013
Jateng , Jatim; Sulawesi Selatan, Lampung, NTB, Sumatera Utara
40.000
4.000
APBN 2013 baru mengakomodir 20.000 Ha tambak terairi dan 2.000 Ha tambak terevitalisasi.
2014
NAD, Kalbar, Kaltim, Kalimantan Utara
75.000
7.500
Rehabilitasi dan plastikisasi untuk tambak intensif/semi intensif, dan bandeng tradisional plus
135.000
12.500
Jumlah
Sumber: DJPB, 2013 91
Pengembangan kawasan demfarm budidaya udang ini dilakukan sebagai salah satu upaya dalam antisipasi terhadap perubahan iklim yang menyebabkan penyebaran penyakit.Selain itu, untuk membangkitkan kembali gairah usaha budidaya udang serta merevitalisasi kegiatan usaha pertambakan di Indonesia dengan menerapkan teknologi semi intensif dan intensif yang telah menggunakan plastik mulsa, kincir, pemberian pakan dan probiotik serta sarana lainnya. Pelaksanaan revitalisasi tambak pada tahun 2012—2014 difokuskan pada komoditas udang vaname melalui pelaksanaan tambak percontohan (Demfarm) budidaya udang dengan menggunakan model pola kemitraan seperti pada Gambar 15.
PENERAPAN MODEL POLA KEMITRAAN PADA KEGIATAN REVITALISASI TAMBAK MELALUI DEMFARM PERBANKAN
POKDAKAN
Penyediaan layanan kredit program (KUR, KKPE,dsb)
Penyediaan lahan Pengelola operasional pemeliharaan udang
PEMERINTAH
Menerima bantuan
SWASTA PENYEDIA SARANA BUDIDAYA
MITRA
Rehabilitasi saluran air dan Penyediaan sarana budidaya Penyediaan Posikandu (peralatan lab, bangunan, sepeda motor)
Penyediaan pakan dan sarana penunjang lainnya Penyediaan tenaga pendamping (technical service)
• • • • • • • • •
Perbaikan pematang dan pendalaman kolam Pendampingan teknologi semi intensif dan intensif Pemasangan instalasi listrik Penyediaan gudang pakan dan bangunan lain Penyediaan tempat penanganan pasca panen Penyediaan tenaga pemasangan plastik mulsa Menjamin pemasaran udang Menambah Penebaran benur hingga 100 ekor/m2 Penyediaan pakan 2 bulan pemeliharaan
Penyediaan infrastruktur, Pembangunan pabrik es, cold storage, pengadaan sarana pemasaran, sarana pengolahan, sarana SRD Pendampingan teknis oleh UPT dan Penyuluh Kelautan dan Perikanan 2
Sumber: DJPB (2013)
Gambar 15. Model Pola Kemitraan pada Revitalisasi Tambak Melalui Kegiatan Demfarm 92
Pola kemitraan melibatkan banyak pihak yang bertujuan untuk mewujudkan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha dan swasta. Kemitraan tersebut melibatkan POKDAKAN dengan Mitra yang difasilitasi Pemerintah serta didukung oleh swasta dan perbankan untuk tambahan permodalan dengan peran masing-masing seperti yang ditampilkan pada Tabel 12.
Tabel 12. Peran Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Model Pola Kemitraan pada Revitalisasi Tambak No.
Pihak-pihak yang Terlibat
1.
POKDAKAN
2.
Mitra
3.
Pemerintah
4.
Swasta
5.
Perbankan
Peran
a. b. c. a. b. c. d. e. f. g. h. i. a. b. c.
Penyedia lahan Pengelola operasional pembudidayaan udang Penerima bantuan Perbaikan pematang dan pendalaman kolam Pendampingan teknologi semi intensif dan intensif Pemasangan instalasi listrik Penyediaan gudang pakan dan bangunan lain Penyediaan tempat penanganan pasca panen Penyediaan tenaga pemasangan plastik mulsa Menjamin pemasaran udang Menambah penebaran benur hingga 100 ekor/m2 Penyediaan pakan 2 bulan pemeliharaan Rehabilitasi saluran air dan penyediaan sarana budidaya Penyediaan Posikandu (peralatan lab, bangunan, sepeda motor) Penyediaan infrastruktur, pembangunan pabrik es, cold storage, pengadaan saran pemasaran, saran pengolahan, sarana SRD d. Pendampingan teknis oleh unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, UPT Daerah, Penyuluh dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kelautan dan Perikanan a. Penyediaan pakan dan sarana penunjang lainnya b. Penyediaan tenaga pendamping (technical service) Penyediaan layanan kredit program (KUR, KKPE dan sebagainya)
Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2013 4.2 Dinamika Produktivitas Budidaya Tambak Udang di Indonesia dan Peran Beberapa Kebijakan yang Mempengaruhinya
4.2.1 Perkembangan Produksi Udang Indonesia, 1989-2013 Komoditas udang di Indonesia diperoleh dari hasil budidaya di tambak dan hasil penangkapan yang berasal dari tangkapan di laut dan di perairan umum. Perkembangan kuantitas produksi udang berdasarkan sumbernya disajikan pada Gambar 16, Tabel 13, dan Tabel 14. Berdasarkan Gambar 16, terjadi peningkatan cukup signifikan pada udang hasil budidaya, sedangkan udang hasil tangkapan relatif stagnan.
93
Sumber: Statistik Perikanan Budidaya dan Statistik Perikanan Tangkap (berbagai edisi)
Gambar 16. Perkembangan Produksi Udang Indonesia Hasil Budidaya di Tambak dan Hasil Penangkapan,Tahun 1989-2013 Berdasarkan data pada Tabel 11, terjadi peningkatan produksi udang hasil budidaya sampai dengan tahun 2008, dan terjadi penurunan produksi pada tahun 2009 kemudian meski secara perlahan terus mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2013 yang meningkat secara drastis. Selama horizon data 1983 hingga 2013, tampak bahwa terdapat kecenderungan peningkatan produksi udang budidaya, sebaliknya pada udang hasil perikanan tangkap yang mengalami kecenderungan semakin menurun. Terjadi dua waktu dimana produksi udang budidaya hampir menyamai produksi udang tangkap, yaitu pada tahun 1992 dan tahun 2004. Selanjutnya pada periode tahun 2004 terjadi kondisi berbalikan (trajectory) antara udang dari hasil budidaya dan tangkap, dimana udang hasil budidaya mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan udang hasil tangkapan. Berdasarkan varietas, sampai dengan tahun 2006 produksi udang windu mengalami peningkatan, dan sejak tahun 2007 produksi udang vaname telah melampaui udang windu (Tabel 13). Sebaliknya, udang hasil penangkapan relatif stabil (Tabel 14).
Kemudian
berdasarkan varietas dapat pula ditunjukkan bahwa udang putih mendominasi disusul jenis udang lainnya. Dibandingkan dengan udang hasil budidaya, size/ukuran udang hasil tangkapan memiliki keragaman cukup besar. Dengan demikian, tidak semua jenis udang hasil tangkapan menjadi layak ekspor.
94
Tabel 13. Produksi Udang dari Hasil BudidayaTambak Indonesia Menurut Varietas, Tahun 1989-2013 (ton) Tahun
Udang Windu
Udang Putih
1983
7,550
1984 1985
Udang Vaname
Udang Api-api
Udang Lainnya
Total
8,316
-
11,729
159
27,595
10,315
9,421
-
12,250
104
31,986
13,068
12,001
-
12,330
257
37,399
1986
15,424
13,575
-
11,889
929
40,888
1987
25,202
16,951
-
13,754
3,014
55,907
1988
44,450
17,793
-
15,208
334
77,451
1989
63,676
15,520
-
15,032
1,143
94,228
1990
67,355
17,590
-
20,961
1,359
105,906
1991
96,811
19,337
-
20,248
3,735
136,396
1992
98,358
21,779
-
21,449
104
141,586
1993
87,285
29,167
-
22,106
228
138,558
1994
83,193
23,860
-
25,353
2,652
132,406
1995
89,344
31,676
-
24,196
1,392
145,216
1996
96,237
28,822
-
26,027
673
151,086
1997
96,317
30,609
-
40,191
328
167,117
1998
74,824
22,589
-
20,434
264
117,847
1999
92,726
28,872
-
19,255
93
140,853
2000
93,759
28,965
-
20,453
544
143,177
2001
103,603
25,862
-
19,093
610
149,168
2002
112,840
24,708
-
21,634
415
159,597
2003
133,836
35,249
-
22,881
700
192,666
2004
131,399
33,797
53,217
-
20,154
238,567
2005
134,682
27,088
103,874
-
13,895
279,539
2006
147,867
36,187
141,649
-
-
325,703
2007
133,113
16,995
179,966
-
27,165
357,239
2008
134,930
32,143
208,648
-
32,264
407,985
2009
124,561
22,365
170,969
-
19,120
337,015
2010
125,519
16,424
206,578
-
30,806
379,327
2011
126,157
10,757
246,420
-
-
383,334
2012
116,311
13,128
238,663
-
27,971
396,073
2013
168,318
17,665
376,189
-
28,086
590,258
Sumber: Statistik Perikanan Budidaya (berbagai terbitan)
95
Tabel 14. Produksi Udang Hasil Penangkapan Menurut Varietas, Tahun 1989-2013 (ton) Tahun
Udang Windu
Udang Putih
Udang Dogol
Udang Krosok
Udang Ratu/Raja
Udang Karang/Barong
Udang Lainnya
Total
1983
10,726
37,380
15,865
-
-
763
46,650
111,384
1984
14,209
26,128
14,105
-
-
473
46,513
101,428
1985
10,431
29,610
13,338
-
-
448
53,313
107,140
1986
14,097
1987
10,720
32,887
16,479
-
-
1,257
52,987
117,707
35,766
17,588
-
-
965
66,868
131,907
1988
12,301
42,750
17,244
-
-
1,319
80,192
153,806
1989
12,003
42,925
15,094
-
-
925
72,322
143,269
1990
11,647
41,330
14,564
-
-
826
76,452
144,819
1991
13,743
41,731
16,348
-
-
1,398
78,215
151,435
1992
15,649
47,726
16,241
-
-
2,398
83,641
165,655
1993
16,116
43,925
15,814
-
-
1,208
79,714
156,777
1994
16,960
47,237
20,364
-
-
2,021
91,152
177,734
1995
24,501
50,477
22,863
-
-
2,852
81,261
181,954
1996
19,393
53,913
22,285
-
-
2,463
89,215
187,269
1997
25,929
53,924
32,588
-
-
4,021
95,790
212,252
1998
30,047
62,192
40,717
-
-
2,394
87,200
222,550
1999
34,223
64,179
33,847
-
-
3,244
103,372
238,865
2000
40,987
66,644
38,925
-
-
3,596
98,880
249,032
2001
43,759
65,269
36,358
-
-
4,490
113,161
263,037
2002
38,088
69,508
33,570
-
-
4,758
95,561
241,485
2003
34,190
66,501
34,178
-
-
5,348
100,221
240,438
2004
34,533
68,699
38,438
2,763
134
5,439
95,907
245,913
2005
30,380
61,950
31,506
6,456
126
6,648
71,473
208,539
2006
37,460
59,838
26,859
4,342
328
5,254
93,083
227,164
2007
42,036
81,193
33,455
6,819
661
4,705
90,107
258,976
2008
26,492
73,870
34,718
5,922
1,011
9,896
85,013
236,922
2009
24,637
71,993
46,740
6,003
656
5,892
80,949
236,870
2010
28,319
76,419
39,605
15,116
979
7,651
59,237
227,326
2011
26,417
83,619
47,272
20,077
1,738
10,541
70,892
260,556
2012
27,959
87,405
45,227
17,692
3,258
13,549
67,942
263,032
2013
27,851
87,069
45,053
17,624
3,245
13,497
67,681
262,020
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap (berbagai terbitan)
4.2.2 Telaah Dinamika Produktivitas Budidaya Tambak Udang Indonesia, 1989 - 2013 Pertumbuhan indeks output, indeks input, dan indeks TFP periode tahun 1989-2013 disajikan pada Gambar 17, sedangkan pertumbuhan per periode disajikan pada Tabel 15. Berdasarkan Gambar 17, pada sepanjang periode 1989-2013 indeks output mencapai puncaknya yang meningkat menjadi sebesar 266,39% pada tahun 2008 yang kemudian menurun hingga tahun 2013, dan indeks input mencapai puncaknya yang meningkat menjadi 96
sebesar 439,26% pada tahun 2008 yang kemudian menurun hingga tahun 2013, sedangkan indeks TFP relatif stagnan. Artinya, pertumbuhan output lebih disebabkan pertumbuhan input (faktor produksi) --bukan karena pertumbuhan TFP--, terutama pertumbuhan benur, obat-obatan, energi, dan pakan. Berikut disajikan pembahasan perkembangan output, input, dan TFP periode penelitian. Hal ini disebabkan belum dapat di atasinya masalah penyakit. 4.2.2.1 Perkembangan Output, 1989 - 2013 Berdasarkan data pada Tabel 13, pada keseluruhan periode 1989-2013, laju pertumbuhan output tertinggi terjadi pada udang vaname disusul ikan bandeng, dan udang windu. Diduga karena udang vaname memiliki produktivitas lebih tinggi. Akan tetapi, dari sisi pangsa terhadap penerimaan urutannya yaitu udang windu, udang vaname dan ikan bandeng. Udang windu memiliki pangsa terhadap total penerimaan lebih tinggi dibandingkan udang vaname dikarenakan harga jualnya relatif lebih tinggi. Berdasarkan empat periode pengamatan, pada tahun 1994-1998 laju pertumbuhan output baik untuk udang windu, udang putih, maupun ikan bandeng bernilai negatif. Hal tersebut diduga karena belum berhasil di atasinya penyakit. Pada periode tahun 1989-1993, udang tambak terserang penyakit Monodon Baculo Virus (MBV). Kondisi tersebut berlanjut sehingga pada tahun 2000/2001 dan sampai sekarang. Menurut Widigdo (2005) akibat serangan penyakit, kuantitas ekspor tahun 2000 turun menjadi 70 ribu ton dan 90% dari 350 ribu Ha tambak dalam kondisi terlantar. Pada periode 1999-2003, laju pertumbuhan output menjadi positif yaitu sebesar 12.6% untuk udang windu, 6.8% untuk udang vaname, dan 8.2% untuk ikan bandeng. Peningkatan tersebut diduga karena tersedianya sumber air hasil dari pembangunan jaringan irigasi melalui dana SPL-OECF/JBIC dengan nilai sekitar Rp300 milyar. Peningkatan produksi juga diduga akibat perubahan kewenangan dari semula setingkat Ditjen Perikanan menjadi setingkat Kementerian (Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan/DELP) pada akhir tahun 1999 dan terdapat peningkatan anggaran. Pada periode berikutnya yaitu 2004-2008, laju pertumbuhan udang windu jauh berkurang, dan udang vaname memiliki laju pertumbuhan tertinggi. Pangsa penerimaan dari udang vaname juga meningkat, akan tetapi masih lebih rendah dibandingkan pangsa penerimaaan dari udang windu. Adanya pergantian dari udang windu menjadi udang vaname, secara tidak langsung cukup membantu Indonesia dalam menghasilkan devisa, serta mempertahankan pangsa pasar.
97
Tabel 15. Rata-rata Pertumbuhan Output dan Penggunaan Input Budidaya Tambak Udang Indonesia, Tahun 1989-2013 Periode Pengamatan No. A. 1.
2.
3.
4.
B. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Variabel OUTPUT Udang Windu (ton) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa udang windu terhadap total penerimaan (%) Udang Vaname (ton)
19892013
19891993
19941998
19992003
20042008
20092013
109.321 5,14 58,81
87.452 10,0 70,1
87.983 -2,4 64,7
107.352 12,6 69,0
136.398 0,4 48,5
132.173 6,10 30,41
192.617
0
0
0
137.471
247.764
Laju pertumbuhan/tahun (%)
27,90
0
0
0
31,30
15,31
Pangsa udang vaname terhadap total penerimaan (%) Udang Putih (ton) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa udang putih terhadap total penerimaan (%) Ikan bandeng (ton) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa ikan bandeng terhadap total penerimaan (%)
14,32
0
0
0
28,86
39,86
24.446 5,08 7,41
44.659 11,5 17,6
54.751 -0,5 19,9
49.394 6,8 12,0
185.823 38,2 38,7
16.068 -6,98 2,20
243.492 7,37 18,67
146.234 8,4 12,3
153.570 -0,3 15,4
218.351 8,2 19,0
249.766 4,8 12,8
454.994 16,05 25,58
22.571 28,17 13,32
5.054 53,0 13,0
14.450 53,3 14,6
33.328 13,5 17,8
37.925 12,2 9,9
88.824 13,92 11,30
26.864 10,24 0,6
13.572 7,1 0,7
9.050 1,4 0,4
8.092 4,1 0,6
17.715 22,1 0,6
85.584 16,52 0,5
54.561 6,43 32,29
33.306 5,4 31,6
42.026 4,0 30,1
59.781 9,6 34,1
88.571 6,1 30,4
99.746 7.07 35,23
305.888 10,64 39,80
133.189 9,9 42,8
146.234 -1,9 39,5
159.625 10,4 38,3
328.849 16,1 42,7
767.323 18,69 35,70
23.960 20,13 0,3
417 -5,5 0,3
334 15,6 0,1
675 9,1 0,4
724 36,8 0,2
117.555 44,65 0,3
426,358 44,08 15,4
284.448 38,6 11,7
712.901 22,8 15,5
572.825 1,9 8,9
1350.847 53,0 16,6
2128,869 104,1 24,3
INPUT (FAKTOR PRODUKSI) Benur (juta ekor) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa biaya benur terhadap total pengeluaran (%) Pupuk (ribu liter) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa biaya pupuk terhadap total pengeluaran (%) Tenaga Kerja(OH) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa upah tenaga kerja terhadap total pengeluaran Pakan (ribu kg) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa biaya pakan terhadap total pengeluaran (%) Obat-obatan(ribu liter) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa biaya obat terhadap total pengeluaran (%) Energi (ribu KwH) Laju pertumbuhan /tahun (%) Pangsa biaya energi terhadap total pengeluaran (%)
Sumber: Data sekunder diolah (2015)
4.2.2.2 Perkembangan Input, 1989-2013 Faktor produksi yang digunakan dalam menghitung indeks input mencakup benur, pupuk, tenaga kerja, pakan, obat-obatan, dan energi. Berdasarkan data pada Tabel 17, pangsa pengeluaran faktor produksi terhadap biaya total terbesar adalah pakan, disusul upah, energi, benur, pupuk dan obat. Pakan merupakan penyumbang terbesar pada sistem intensif, sedangkan upah tenaga kerja merupakan penyumbang terbesar sistem usaha budidaya non intensif (semi-intensif dan ekstensif).
98
Dari lima periode pengamatan, penggunaan benur tumbuh 53.0% per tahun pada periode 1994-1998, disusul energi 22.8% per tahun. Hal tersebut diduga karena adanya upaya intensifikasi, dan pada saat bersamaan juga terjadi serangan penyakit sehingga pembudidaya berupaya menambah kincir yang menyebabkan biaya pengeluaran untuk energi dan obat-obatan meningkat. Di lain pihak, laju pertumbuhan pakan bernilai negatif diduga karena berkurangnya masa pemeliharaan akibat terserang penyakit, dan berkurangnya penggunaan pakan akibat kenaikan harga pakan pada saat krisis moneter. Pada periode 2004-2008 pangsa pengeluaran untuk energi meningkat karena terjadinya kenaikan harga BBM. Pergantian dari udang windu ke udang vaname juga menyebabkan terjadinya peningkatan padat tebar sehingga pemakaian pakan dan kincir menjadi lebih banyak. Adapun peningkatan laju pertumbuhan penggunaan obat, diduga terkait dengan serangan penyakit yang belum dapat sepenuhnya diatasi.
4.2.2.3 Perkembangan Produktivitas (Indeks TFP), 1989-2013 Gambar 28 memperlihatkan hasil analisis perkembangan indeks TFP budidaya udang tambak di Indonesia selama periode 1989-2014. Berdasarkan Gambar 28, diketahui bahwa selama kurun waktu penelitian (periode 1989-2014), telah terjadi beberapa kejadian baik program maupun kecenderungan berkaitan kondisi usaha budidaya udang tambak di Indonesia. Seperti adanya kegiatan rehabilitasi dan pembangunan saluran tambak melalui SPL-JBIC/INP-23 periode tahun 1999-2002 diduga mampu menahan penurunan TFP dari periode sebelumnya. Pada periode ini ditunjukkan pula Tren indeks TFP yang meningkat, hal ini diduga di samping karena dukungan rehabilitasi dan pembangunan saluran tambak juga karena introduksi udang vaname. menurun karena serangan penyakit.
Namun, pada tahun 2002 indeks TFP kembali Setelah periode tahun 2002, indeks TFP secara
perlahan meningkat meskipun masih dalam kondisi fluktuatif. Kondisi seperti ini tampak terus berlangsung hingga tahun 2014, dan tampak menonjol peningkatannya pada tahun 2006 dan 2011. Hal ini diduga berhubungan dengan dilaksanakannya program revitalisasi pada periode I (2006-2009) dan periode II sejak tahun 2012 dan masih terus berlangsung hingga saat ini.
99
Program Udang Nasional, 1982-1995
Intoduksi Resmi Vaname
Intoduksi Tidak Resmi Vaname Inbudkan MBV
Protekan
YHV
TSV, WSSV, IMNV
Irigasi: SPL/JBIC
Revitalisasi-1
Revitalisasi-2
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2015)
Gambar 17. Indeks TFP Budidaya Udang Tambak Indonesia menurut Harga Konstan Tahun 1989 =100, Selama Era Sisa Kejayaan (1989-1995), Era Penurunan Kinerja (1996-2005), dan Era Kebangkitan/Revitalisasi (2006-2014) Secara keseluruhan sejak periode tahun 1989 hingga 2014, dinamika TFP usaha budidaya udang Indonesia mengalami kondisi pasang-surut tetapi masih berada di bawah (belum melampaui) kinerja TFP tahun 1998. Di samping selama periode tersebut, TFP usaha budidaya udang Indonesia masih belum optimal. Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah serangan penyakit yang belum sepenuhnya dapat diatasi, dan benur belum sepenuhnya bebas penyakit dan bersertifikat. Berdasarkan Gambar 28, tampak bahwa serangan penyakit berpengaruh negatif dan signifikan terhadap TFP. Udang tambak termasuk yang rentan terkena serangan penyakit. Jenis virus yang menyerang tersebut antara lain: White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), dan Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV). Sebagai ilustrasi, produksi udang tambak tahun 2009 hanya sebanyak 336.0 ribu ton dari target 540.0 ribu ton, atau turun dari capaian tahun 2008 sebanyak 409.6 ribu ton. Penyebabnya, udang di dua wilayah utama yaitu Lampung dan Jawa Timur terkena serangan penyakit yang disebabkan oleh virus. Serangan penyakit tersebut tidak hanya menyerang udang yang dipelihara oleh tambak perorangan, akan tetapi termasuk juga perusahaan terintegrasi. Kuantitas produksi perusahaan terintegrasi dibawah PT. CP Prima Grup, pada tahun 2008 mencapai sekitar 97 ribu ton, sedangkan pada tahun 2009 hanya sekitar 57 ribu ton. Produktivitas udang turun dari 20 ton per Ha menjadi 17- 18 ton per Ha. 100
Dari hasil pengamatan lapang, sekitar 70% responden menyatakan faktor yang paling menentukan keberhasilan budidaya udang adalah terhindarnya dari serangan penyakit. Responden menyebutkan bahwa rata-rata udang mereka mulai terserang penyakit pada umur pemeliharaan 30 sampai dengan 60 hari. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi pengurangan risiko serangan penyakit dilakukan dengan mengganti varietas yang digunakan dari udang windu ke udang vaname. Upaya lainnya yaitu melalui penurunan padat tebar. Di samping itu, kemampuan dan akses ke modal untuk pembudidaya skala kecil juga terbatas. Penerapan teknologi lebih bersifat anjuran dan paket teknologi yang dihasilkan oleh Unit Pelakaana Teknis (UPT) lingkup Ditjen Perikanan Budidaya dan Badan Litbang juga belum banyak diadopsi oleh pembudidaya karena keterbatasan pembiayaan. Selain itu, kegiatan pemerintah lebih banyak kepada pemberian bantuan langsung kepada pembudidaya skala kecil, dan tidak langsung terkait dengan peningkatan produktivitas karena keterbatasan anggaran.
4.2.3 Peran Beberapa Kebijakan yang Mempengaruhi Produktivitas Budidaya Udang Tambak di Indonesia selama Periode 1989 – 2013: Aplikasi Model ITSA Pengaruh kebijakan terhadap kinerja produktivitas (TFP) usaha budidaya udang di Indonesia difokuskan pada tiga buah kebijakan, yaitu: (1) Kebijakan Penguatan Sarana Infrastruktur Pengairan melalui program pembangunan dan rehabilitasi saluran irigasi tambak yang telah dilakukan bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 1999-sekarang; (2) Kebijakan Revitalisasi Tambak Udang Nasional Tahap 1 yang dilakukan pada tahun 2006-2009 melalui Kerangka Kebijakan Revitalisasi Perikanan Nasional; dan (3) Kebijakan Revitalisasi Tambak Nasional Tahap 2 yang diimplementasikan melalui program demfarm (tahun 2012 hingga sekarang).
Ketiga kebijakan tersebut
dianalisis pengaruhnya terhadap dinamika produktivitas (TFP) usaha budidaya udang di Indonesia. Berdasarkan hasil pengujian pendekatan ITSA tanpa mempertimbangkan interaksi antarkebijakan yang diduga menggunakan metode pendugaan Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood Estimations – MLE), seperti ditunjukkan pada Tabel 16 dapat diketahui bahwa kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan pada taraf α =5% berpengaruh cukup nyata terhadap produktivitas (Total Factor productivity - TFP) usaha budidaya udang nasional, sedangkan kebijakan Revitalisasi Tahap 1 dan 2 pada taraf α =10% belum secara nyata mempengaruhi TFP usaha budidaya udang di Indonesia. Satu dari kekuatan studi menggunakan metode Interrupted Time Series Analysys (ITSA) adalah diperolehnya gambaran intiutif hasil presentasi secara grafis dan pemeriksaan secara visual sepanjang waktu sebagai langkah awal ketika dilakukan analisis data time 101
series. Secara visual kita membandingkan pola series waktu sebelum intervensi kebijakan dengan pola setelah intervensi kebijakan dan kemudian menilai (assess) jika setelah invetsni kebikjakan, pola series waktu mengalami perubahan secara notisiabel (noticeably) dalam hubungannya dengan pola kondisi sebelum intervensi kebijakan. Tabel 16. Hasil Pendugaan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Total Factor Productivity Usaha Budidaya Udang di Indonesia Descriptions
Coefficient
Standart Error
tstatistic
Pvalue
Significancy
a. Full segmented regression model Intercept (β0)
0.2421
0.0748
3.2363
0.0012
***
Baseline trend (β1)
0.0035
0.0068
0.5164
0.6128
ns
Level change after irrigation rehabilitation policy (β2)
0.3926
0.1572
2.4972
0.0043
***
Trend change after irrigation rehabilitation policy (β3)
0.0264
0.0193
1.3684
0.1849
ns
Level change after first revitalization policy (β4)
0.0079
0.0325
0.2417
0.3264
ns
Trend change after first revitalization policy (β5)
0.0401
0.0642
0.6253
0.7146
ns
Level change after second revitalization policy (β6)
0.2037
0.4873
0.4181
0.5382
ns
Trend change after second revitalization policy (β7)
0.0463
0.0611
0.7573
0.8832
ns
b. Most parsimonious segmented regression model Intercept (β0)
0.1985
0.0311
6.3841
0.0001
***
Level change after irrigation rehabilitation policy (β2)
0.1772
0.0563
3.1473
0.0017
***
Level change after first revitalization policy (β4)
0.0030
0.0183
0.1652
0.2419
ns
Level change after second revitalization policy (β6)
0.0069
0.0279
0.2479
0.3361
ns
Sumber: Hasil pengolahan data sekunder (2015) Keterangan: *** = nyata pada taraf α = 0,01; ** = nyata pada taraf α = 0,05; * = nyata pada taraf α = 0,10; dan ns = tidak nyata
Untuk itu, lihat titik data pada Gambar 6, kita dapat mengetahui adanya titik-titik data yang menunjukkan kecendenderungan tidak terus menurun, tetapi cenderung meningkat meskipun pada rentang yang sempit. Seperti titik data pada tahun 1999 yang tampaknya mengindikasikan adanya pengaruh intervensi kebijakan yang mampu menahan penuruan TFP usaha budidaya udang Indonesia pada tahun-tahun (titik-titik data) setelahnya. 102
Sementara pada titik-titik data sebelumnya, yaitu sejak tahun 1989 hingga 1989 cenderung terjadi tren yang menurun akibat adanya tekanan produksi akibat serangan penyakit pada udang windu dari virus White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), dan Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV). MBV dan YHV. Namun sejak adanya intervensi kebijakan rehabilitasi saluran irigasi tambak melalui program pembangunan dan rehabilitasi saluran irigasi tambak yang telah dilakukan bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 1999-sekarang yang diikuti dengan introduksi udang vanamei, tampak tekanan produksi udang di Indoneaia relatif tertahan, sehingga dapat mendongkrak kinerja indeks TFP usaha budidaya udang Indonesia pada tahun-tahun berikutnya. Secara statistik, dengan menggunakan model ekonometrika ITSA yang diduga berdadsakan metode Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood Estimations – MLE), diktehaui bahwa perubahan level kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan tersebut berpengaruh cukup nyata terhadap produktivitas (Total Factor productivity - TFP) usaha budidaya udang nasional, pada taraf α =5% dengan koefisien parameter sebesar 0,3926. Angka koefisien parameter tersebut berarti bahwa setiap peningkatan penguatan kebijakan tersebut sebesar 10% akan meningkatkan kinerja indeks TFP usaha budidaya udang Indonesia sebesar 39,26%. Namun, dalam hal perubahan tren, kebijakan tersebut pada taraf α =10% tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kinerja TFP usaha buiddaya udang Indonesia. Fenome yang serupa dengan pengaruh intervensi kebijakan penguatan sarana irigasi tambak tersebut juga ditunjukkan oleh pengaruh intervensi kebijakan reviatalisasi budidaya tambak udang tahap 1 dan tahap 2. Namun, kedua kebijkan tersebut baik pada perubahan level maupun perubahan tren kebijakan, keduanya pada taraf α =10% tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Hal ini diduga karena implementasi kebijakan revitalisasi usaha budidaya tambak udang di Indonesia belum diimplementasi pada skala yang massif, tetapi masih terbatas pada beberapa daerah di Indonesia yang dilakukan secara sporadik di beberapa kecamatan sentra budidaya udang. Oleh karena itu, pada tingkat nasional pengaruhnya terhadap peningkatan produktivitas (TFP) udang Indonesia belum memberikan pengaruh yang nyata. Di samping itu, juga diduga karena berdasarkan hasil pengamatan di lapang masih ditemukan beberapa hal yang berkontribusi terhadap pengaruh yang tidak nyata tersebut.
Hal-hal tersebut,
seperti terkait dengan kurang intensifnya sosialisasi dan monitoring terkait dengan penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi budidaya udang tambak di Indonesia, dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah untuk menjaga keberlanjutannya, dan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia 103
sarana, pihak mitra dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong percepatan industri budidaya udang di Indonesia. . 4.3 Kinerja Revitalisasi (Produktivitas) Usaha Budidaya Udang, Faktor-faktor yang Mempengaruhi, dan Penentu Keputusan Pembudidaya 4.3.1 Gambaran Umum Pelaksanaan Program Revitalisasi Tambak Udang di Lokasi Penelitian Berdasarkan model pola kemitraan Model pada Revitalisasi Tambak Melalui Kegiatan Demfarm yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 9, maka sesuai dengan roadmap-nya program revitalisasi tambak udang di Indonesia telah dilaksanakan di 5 (lima) wilayah yang menjadi lokasi penelitian terpilih, yaitu Kabupaten Indramayu (Provinsi Jawa Barat) pada tahun 2012 dan pada tahun 2013 di Kabupaten Brebes (Provinsi Jawa Tengah), Kabupaten Gresik (Privinsi Jawa Timur), Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Lampung Timur (Provinsi Lampung), dan Kabupaten Takalar (Provinsi Sulawesi Selatan).
Pelaksanaan
program revitalisasi di lima lokasi penelitian tersebut dijelaskan sebagai berikut.
4.3.1.1 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Lampung Kegiatan revitalisasi tambak udang melalui Demfarm di Provinsi Lampung telah dilakukan sejak tahun 2013 hingga sekarang.Lokasi penerima program tahun 2013 tersebar di 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Timur.Selanjutnya pada tahun 2014 bertambah 1 lokasi, yaitu Kabupaten Tulang Bawang. Bantuan yang diberikan berupa plastik mulsa (10 roll/ha), kincir (16 kincir/ha), pompa (1 pompa/ha), dan genset (1 genset/ha). Tabel 17 menunjukkan pelaksanaan demfarm di Provinsi Lampung tahun 2014.
Tabel 17. Pelaksanaan Demfarm di Provinsi Lampung Tahun 2014 Kabupaten Kabupaten Pesawaran Kabupaten Lampung Selatan
Penerima Bantuan Pokdakan Tegal Alur 1. Pokdakan Berkah Windu 2. Pokdakan Windu Abadi
1. Pokdakan Mina Lestari 2. Pokdakan Sumber Rejeki Sumber: DislutkanProvinsi Lampung, 2015 Kabupaten Lampung Timur
Luas Lahan 8 Ha 1,5 Ha 4,0 Ha
Produksi 67,49 ton 11,9 ton
1,5 Ha
Belum ada produksi karena adanya keterlambatan menemukan mitra untuk membiayai tambak 13,6 ton (ada gejala WSSV)
3,0 Ha
400 kg (adanya penyakit)
104
Demfarm Kabupaten Pesawaran : terdiri dari 1 kalster atau 1 kelompok yaitu Pokdakan Tegal Alur dengan luas lahan 8 Ha yang berlokasi di Desa Durian Kecamatan Padang Cermin. Tebar Perdana telah dilakukan pada tanggal 15 Januari 2014. Tebar perdana dilakukan pada 4 petak dengan luas 2,5 ha dengan jumlah benur yang ditebar sebanyak 1,7 juta benur dengan ukuran benur PL 11- 13, dengan kepadatan 60 ekor/m2dengan ketinggian air tambak sekitar 150 cm. Kemudian dilakukan panen perdana pada tanggal 18-21 April 2014 dari 4 petak tambak tersebut diperoleh jumlah panen sebesar 21,37 ton dengan rata2 per Ha sekitar 9-10 ton. Tebar tahap kedua dilakukan bulan Juni pada 8 kolam dan panen dilakukan secara parsial dengan total panen 46,12 ton. Informasi dari Dinas KP Provinsi Lampung menunjukkan bahwa kelompok yang berhasil dalam implementasi program revitalisasi adalah petambak yang berlokasi di Kabupaten Lampung Selatan. Berdasarkan data yang diperoleh, program revitalisasi udang di Lampung Selatan telah dilaksanakan sejak tahun 2013 untuk 2 kelompok, tahun 2014 untuk 1 kelompok dan tahun 2015 untuk 2 kelompok. Program revitalisasi ini menunjukkan keberhasilan dengan meningkatnya produksi udang vanamae yang mencapai 8 kali lipat, yaitu dari 500 kw sebelum tahun 2013 menjadi 6,8 ton pada tahun 2015. Demfarm Kabupaten Lampung Selatan : terdiri dari 2 klaster atau 2 kelompok yaitu Pokdakan Berkah Windu dan Pokdakan Windu Abadi dengan luas lahan masing-masing 10 ha yang berlokasi di Kecamatan Pematang Pasir. Pokdakan Berkah Windu memiliki kolam budidaya yang berjumlah 22 kolam. Tebar perdana dilakukan pada tanggal 3 Mei 2014. Tebar dilakukan pada 5 petak tambak luas masing-masing 3000 m2 dengan padat tebar masing-masing kolam 60-80 ekor/m2. Panen telah dilakukan secara parsial yaitu pada tanggal 15 Juli - 22 Agustus 2014 dengan jumlah panen sebanyak 11,9 ton yang berasal dari 5 kolam. Saat ini masih dalam proses budidaya sebanyak 8 kolam umur 60 hari, dalam tahap persiapan tebar 4 kolam, dan dalam tahap istirahat setelah panen sebanyak 5 kolam. Pokdakan Windu Abadi saat ini memiliki 9 kolam budidaya masing-masing sekitar 1 Ha. Tebar perdana pada tanggal 24 Desember 2014 pada 4 kolam dengan kepadatan tebar 50 emor/m2. Sebanyak 5 kolam sedang dalam tahap persiapan untuk tebar. Rencana tebar 5 kolam tersebut akan dilakukan pada bulan Maret 2014. Kelompok Windu Abadi mengalami keterlambatan proses budidaya karena adanya keterlambatan menemukan mitra yang cocok untuk membiayai tambak tersebut. Demfarm Kabupaten Lampung Timur : terdiri dari 2 klaster atau 2 kelompok, yaitu Pokdakan Mina Lestari dan Pokdakan Sumber Rejeki dengan luas lahan masing-masing 10 Ha. Pokdakan Mina Lestari berlokasi di Desa Sri Minosari Kecamatan Labuhan Maringgai. Tebar Perdana Pokdakan Mina Lesatri telah dilakukan pada tanggal 11 April 2014. Tebar perdana dilakukan pada petakan yang ditebar benur sebanyak 3 petak dengan luas 1,5 ha 105
dengan jumlah benur yang ditebar sebanyak 900.000 ekor benur dengan ukuran benur PL 11- 13, dengan kepadatan 60 ekor/m2, dan ketinggian air tambak sekitar 150 cm. Karena ditemui adanya gejala WSSV maka kemudian dilakukan panen secara parsial sebanyak 3 kali yaitu pada tanggal 28 Juli, 2 Agustus, dan 4 Agustus 2014 dari 3 petak tambak tersebut diperoleh jumlah panen sebesar 13,6 ton sedangkan jumlah udang yang tidak terjual karena penyakit dan busuk sebanyak 3 ton. Pokdakan Sumber Rejeki berlokasi di Desa Bandar Negeri Kecamatan Labuhan Maringgai telah melakukan tebar perdana mulai dari tanggal 11 Juli 2014 pada 6 kolam dengan luas kolam sekitar 5000 m2 dan jumlah benur sebanyak 150rb benur/kolam serta ketinggian air tambak 125 cm. Tambak mengalami panen sedikit, yaitu hanya sebanyak 4 kw saja karena adanya penyakit yang menyerang kolam tersebut. Pengumpulan data primer dilakukan dengan mewawancarai pembudidaya udang yang menerima program demfarm.Responden berlokasi di Kecamatan Ketapang, Kecamatan Labuhan Maringgai dan Kabupaten Pesawaran sebagai lokasi penerima program revitalisasi sejak tahun 2013—2015. Program revitalisasi diakui oleh pembudidaya mampu meningkatkan produksi dan produktivitas udang vanamae yang dibudidayakannya.Meskipun begitu kendala permodalan masih menjadi kendala utama karena program revitalisasi yang diberikan tetap memerlukan modal cukup besar yang harus dikeluarkan pembudidaya. Namun demikian, hasil produksi cukup menjanjikan sehingga beberapa kelompok yang awalnya tidak mau menerima bantuan demfarm justru minta diberikan bantuan.Akan tetapi, ada pula kelompok yang awalnya menjalankan program revitalisasi tidak meneruskan program tersebut (kelompok di Kecamatan Labuhan Maringgai). Hal ini disebabkan oleh mundurnya mitra
usaha yang awalnya bekerja sama dalam usaha budidaya tambak
udangnya. Keluarnya mitra tersebut secara signifikan mempengaruhi pembudidaya dalam menjalankan usahanya dengan teknologi semi intensif seperti yang disyaratkan dalam program revitalisasi. Terkait mitra dan modal tersebut, secara garis besar memang menjadi faktor penentu keberhasilan program karena pembudidaya penerima bantuan memang awalnya adalah pembudidaya yang melakukan usaha budidaya secara tradisional. Dengan penggunaan teknologi maka usaha budidaya udang dilakukan secara semi intensif yang memerlukan pendampingan dalam penggunaan teknologi dan juga dukungan modal yang besar. Program revitalisasi
berusaha mengantisipasi
kendala tersebut sehingga
program tersebut
menggandeng mitra untuk bekerja sama dengan pembudidaya udang. Dengan demikian, keberadaan mitra sangat penting bagi keberlanjutan usaha budidaya udang di lokasi.
106
4.3.1.2 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanlut) Provinsi Jawa Barat diketahui bahwa luas tambak demfarm udang, Kabupaten Subang dan Cirebon merupakan lokasi yang memiliki luas lahan demfarm terbesar, masingmasing seluas 360 Ha dan 245 Ha. Namun demikian, justru Kabupaten Indramayu yang tercatat menghasilkan produksi udang terbesar yaitu 2.640,50 ton dengan luas demfarm tambak udang 126 Ha (lihat Tabel 18). Hal ini disebabkan oleh kurang berhasilnya program demfarm udang di Cirebon, misalnya, karena penyakit udang yang menyerang sehingga hasil produksi yang dihasilkan hanya sebanyak 50 ton pada tahun 2013. Sementara itu, kegiatan demfarm di Indramayu makin berkembang karena keberhasilan tersebut diikuti oleh pelaku usaha budidaya lainnya yang masih menggunakan teknologi tradisional.
Tabel 18. Luas dan Produksi Demfarm Tambak Udang di Jawa Barat Tahun 2013 No.
Kabupaten
1. 2. 3. 4.
Jumlah Kluster
Cirebon Indramayu Subang Karawang Total Sumber: Diskanlut Provinsi Jawa Barat, 2014
6 5 13 3 27
Luas Tambak (Ha) 245 126 360 60 791
Produksi (Ton) 50,00 2.640,50 2.473,50 40,00 5.204,00
Informasi Diskanlut Provinsi Jawa Barat juga menunjukkan program demfarm di Indramayu telah
berhasil meningkatkan produksi dan animo masyarakat pembudidaya
untuk mengembangkan usahanya sehingga luas lahan tambak meningkat hampir 300%, yaitu dari 126 Ha menjadi sekitar 600 Ha. Keberhasilan program demfarm ini diakui juga karena masyarakat perikanan Indramayu telah menjadi pembudidaya udang sejak lama sehingga lebih “tahan banting” dengan dinamika udang yang sangat tinggi fluktuasinya. Dengan kata lain, pembudidaya udang Indramayu berani mengambil resiko (risk taker) dalam menjalankan usahanya. Selanjutnya, program demfarm udang seluas 126 Ha yang telah dilaksanakan pada tahun 2012 diberikan kepada 6 POKDAKAN, yaitu: kelompok Vaname Jaya 1, Vaname Jaya 2, Vaname Jaya 3, Mina Lestari, Mina Sekar Tanjung, dan Vaname Durma Jaya. (lihat Tabel 19).
107
Tabel 19. Luas dan Produksi Demfarm Tambak Udang di Jawa Barat Tahun 2013 No.
Nama Kelompok
Desa/Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Vaname Jaya 1 Lamaran Tarung / Cantigi Vaname Jaya 2 Pagirikan / Pasekan Vaname Jaya 3 Singaraja/ Indramayu Mina Lestari Krangkeng /Krangkeng Mina Sekar Tanjung Luwunggesik /Krangkeng Vaname Durma Jaya Pangkalan / Losarang Total Sumber: Diskanlut Kabupaten Indramayu, 2014
Jumlah Anggota 11 10 10 10 10 10
Luas Tambak (Ha) 36 20 20 20 20 10 126
Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapang, diakui bahwa program revitalisasi melalui demfarm yang berasal dari APBN hanya berjalan selama satu tahun sehingga pada tahun-tahun berikutnya, bantuan demfarm ini tetap dilaksanakan dengan menggunakan dana dari Tugas Perbantuan dan APBD. Akibatnya, saat ini luas lahan tambak udang terus bertambah yang sudah mencapai 600 Ha karena masyarakat pembudidaya lain tertarik membuka lahan melihat keberhasilan pembudidaya demfarm. Keberhasilan program demfarm membuat para pembudidaya tambak udang mengajukan proposal untuk mendapatkan bantuan demfarm.Untuk itu, pemerintah daerah mengalokasikan bantuan dalam anggaran APBD dan Tugas Perbantuan (TP) pada tahun 2014 hingga sekarang karena program Demfarm hanya diberikan pada tahun 2012.Namun demikian, diakui bahwa pada awal penyaluran bantuan demfarm ini ada tiga sikap yang ditunjukkan oleh para pembudidaya, yaitu menerima dengan mantap, menerima dengan ragu-ragu dan juga menolak bantuan. Hal ini disebabkan oleh waktu penyaluran bantuan yang hanya dalam waktu 2 bulan sehingga ada beberapa pokdakan yang tidak sanggup menyiapkan lahan untuk menjalankan program demfarm. Namun demikian, saat ini kelompok yang menolak tersebut justru meminta diikutkan dalam program Demfarm tahun ini. Penelusuran data primer menunjukkan bahwa sikap ragu-ragu dan menolak ini disebabkan karena pendeknya waktu yang diberikan pemerintah untuk melaksanakan program revitalisasi ini, yaitu hanya dalam waktu 2 bulan. Kendala lainnya adalah faktor cuaca dimana pada saat program demfarm dijalankan kondisi tambak sangat berangin sehingga plastik mulsa yang dipasang lepas karena terbang terbawa angin sehingga beberapa kelompok mengundurkan diri dari keikutsertaannya.Sementara itu, kelompok yang raguragu cenderung karena tidak percaya ada bantuan dari pemerintah. Diakui bahwa produksi awal dikatakan gagal karena hasilnya tidak sesuai dengan perhitungan sehingga usaha hanya balik modal (break even point—BEP). Namun demikian, saat ini para pembudidaya mampu
108
berusaha secara mandiri dengan melihat bertambahnya luas areal tambak yang diusahakan dengan sumber modal dari kredit bank. Demfarm dinilai mampu membawa mitra yang memang dibutuhkan oleh para pelaku usaha dalam melakukan usaha budidaya udang. Mitra tersebut sangat besar perannya dalam menyediakan input produksi, seperti pakan, benur, pupuk, obat-obatan, dan vitamin oleh pabrik pakan. Mitra tersebut juga kelonggaran pembayaran secara kredit dalam 1 bulan ke depan sehingga pelaku usaha lebih mudah memperoleh input produksi. Mitra lainnya yang juga penting keberadaannya adalah bank sebagai lembaga keuangan yang menyediakan kredit lunak sebagai modal usaha budidaya udang.Berdasarkan informasi dari pelaku usaha, BRI merupakan bank yang selama ini memfasilitasi kebutuhan kredit masyarakat perikanan. Selain mitra-mitra tersebut, fasilitas sarana dan prasarana yang dibutuhkan juga disediakan oleh pemerintah dengan menggandeng instansi pemerintah terkait, misalnya akses jalan dan jembatan produksi oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU), akses listrik (PLN), saluran irigasi primer dan sekunder (Dinas PU), dan eskavator untuk mempersiapkan lahan tambak (Dinas KP). Hasil survey menunjukkan bahwa masih ada beberapa kendala yang dijumpai oleh para pelaku usaha budidaya udang di Kabupaten Indramayu. Adapun kendala yang dihadapi adalah sebagai berikut: (1) Mesin genset yang diberikan pada awal bantuan cenderung tidak bertahan lama karena mesin menggunakan mesin yang kurang bagus mutunya (merk Domfeng). Akibatnya, mesin genset tersebut hanya dapat digunakan untuk satu siklus pemeliharaan saja. Sarannya, sebaiknya diberikan mesin genset yang biasa saja seperti yang selama ini digunakan oleh pembudidaya. (2) Akses jembatan produksi masih kurang bagus sehingga cukup menghambat kegiatan usaha. Demikikian juga halnya dengan akses irigasi primer dan sekunder karena dangkalnya saluran sehingga volume air tidak/belum optimal. (3) Ketersediaan benur sangat bergantung pada pabrik pakan sehingga harga dan mutu benur ditentukan secara pihak dari pabrik pakan sehingga pembudidaya tidak memiliki daya tawar (bargaining power). Akibatnya tidak ada jaminan yang menguntungkan pembudidaya jika benur yang diberikan bermutu rendah atau benur dengan harga tinggi. (4) Penyakit udang masih menghantui pembudidaya udang karena sampai saat ini belum ada terobosan dari berbagai pihak dalam mengatasi penyakit udang tersebut sehingga produksi udang akan terganggu.
Harga udang saat ini cenderung menurun karena masuknya stok udang dari perusahaan luar daerah (Lampung) karena diduga adanya kebijakan pembatasan/ kuota 109
ekspor udang. Akibatnya, perusahaan tersebut melempar produknya ke pasar lokal Indramayu sehingga stok udang di Indramayu meningkat yang pada akhirnya mendorong harga udang ke level yang lebih rendah. 4.3.1.3 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Jawa Tengah Kegiatan program revitalisasi di Provinsi Jawa Tengah, dalam penelitian ini difokuskan di Kabupaten Brebes dengan mengambil satu kecamatan yang memiliki luasan tambak terbesar dan merupakan satu-satunya wilayah penerima program revitalisasi (demfarm) tambak udang, yaitu Kecamatan Brebes (lihat Tabel 20). Pada tahun 2013, diketahui bahwa luas tambak udang di Kabupaten Brebes adalah seluas 3.874,92 ha dengan jumlah produksi sebesar 41.209.707 kg atau dengan produktivitas lahan sebesar 10.643,98 kg per ha (10,644 ton per ha) dengan tingkat teknologi yang beragam, namun pada umum usaha tambak menggunakan teknologi budidaya udang tradisional dan hanya sebagian kecil yang menggunakan teknologi semi intensif dan intensif. Tabel 20. Luas dan Produksi Tambak Udang di Kab. Brebes Tahun 2013 No.
Kecamatan
Jumlah RTP (Orang)
Luas Tambak (ha)
Produksi (kg)
1.001
2.601,84
6.707.746
1.
Losari
2.
Tanjung
713
2.555,00
1.948.266
3.
Bulakamba
415
2.215,34
5.174.130
4.
Wanasari
275
1.501,96
1.537.142
5.
Brebes
1.623
3.874,92
41.209.707
4.027
1.274.816
56.576,991
Total
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes, 2014
Berdasarkan data dan informasi dari Diskanlut Kabupaten Brebes (2015) diketahui bahwa secara keseluruhan, di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah 241 POKDAKAN. Dari jumlah tersebut sebanyak 45 POKDAKAN terdaoat di Kecamatan Brebes, namun yang merupakan POKDAKAN tambak udang hanya sebanyak 12 POKDAKAN yang terdiri dari sebanyak sembilan POKDAKAN yang membudidayakan udang vaname secara monokultur; dan sisanya membudidaya udang secara polkultura untuk jenis udang windu dengan komoditas perikanan lainnya, seperti: bandeng, nila, rumput laut. Khusus untuk POKDAKAN penerima program revitalisasi tambak udang di Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes adalah sebanyak 4 POKDAKAN, dengan nama POKDAKAN UDANG JAYA yang berlokasi di Desa Kaliwlingi dengan anggota sebanyak 13 pembudidaya, POKDAKAN MUNCUL JAYA berlokasi di Desa Limbangan Wetan dengan anggota sebanyak 12 pembudidaya, POKDAKAN SUBUR MAKMUR berlokasi di 110
Desa Randusanga Kulon dengan anggota sebanyak 12 pembudidaya, dan POKDAKAN MULYA SARI berlokasi di Desa Randusanga Kulon dengan anggota sebanyak 12 pembudidaya (Diskanlut Kabupaten Brebes, 2015). Program reviltalisai tambak udang dilakukan dengan menggunakan jenis udang vaname sebagai komoditas yang dibudidayakan. Demikian dengan, demfarm-demfarm yang ada di Kecamatan Brebes sebagai penerima program revitalisasi tersebut. Sebagai contoh, POKDAKAN MUNCUL JAYA mulai menggeluti budidaya udang vaname sejak tahun 2012. Luas lahan keseluruhan 40 hektar (ha) terdiri dari 26,5 ha atau 53 petak untuk budidaya dan 10 ha atau 7 petak untuk tandon dan 3 ha untuk saluran pemasukan dan pembuangan. Sistem budidaya yang dijalankan terdiri dari sistem intensif seluas 4,5 ha, semi intensif 5,3 ha, tradisional 16,5 ha. Untuk tahun 2013, Kelompok Muncul Jaya mendapatkan bantuan kegiatan Demfarm dari Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Penerapannya untuk 10 ha dengan sistem budidaya intensif padat tebar 70-90 ekor per meter persegi. Semi intensif dengan padat tebar 25-30 ekor per m2 dan tradisional dengan padat tebar 6-12 ekor per m2. Namun demikian, dalam pelaksaannya POKDAKAN MUNCUL JAYA masih menghadai banyak kendala dan hambatan, seperti kendala permodalan dan hambatan penyediaan listrik dan infrastruktur pengairan dan jalan akses produksi untuk tambak. Khusus terkait dengan penyediaan tenaga listrik untuk tambak, POKDAKAN MUNCUL JAYA secara swadaya membiaya pemasangan jaringan PLN di lokasi tambaknya.
Padahal, semestinya sesuai dengan langkah-langkah implementasi
program revitalisasi tambak udang, dimana pengadaan infrastruktur jaringan PLN untuk tambak yang harus disediakan. Bantuan penyediaan jaringan dan tenaga listrik untuk tambak udang sangat dibutuhkan sekali untuk menunjang keberhasil program revitaliasi tambak udang melalui demfarm yang dikelola oleh POKDAKAN. Hal ini karena dapat menunjang kegiatan usaha budidaya tambak udang dan dapat menekan biaya produksi, khususnya solar dan sarana prasaran permesinan.
Sementara dalam kaitannya dengan permodalan, para anggota
POKDAKAN kesulitan mendapatkan pinjaman dari perbankan, terutama karena tambak yang dimilikinya tidak dapat digunakan sebagai agunan, hal ini terkait dengan kebijakan perbankan terhadap kemungkinan kredit macet usaha budidaya tambak sebagaimana pernah terjadi pada periode yang lalu dimana lahan tambak umumnya digunakan untuk agunannya. Di samping itu, berkaitan dengan penyediaan fasilitas sarana dan prasarana yang dibutuhkan yang juga harus disediakan oleh pemerintah dalam hal ini dinas kelautan dan perikanan dengan menggandeng instansi pemerintah yang terkait, misalnya akses jalan dan jembatan produksi oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU), akses listrik (PLN), saluran irigasi primer dan sekunder (Dinas PU), dan eskavator untuk mempersiapkan lahan tambak (Dinas KP). 111
Beberapa kendala lainnya yang dijumpai oleh para pelaku usaha budidaya dalam menjalankan program revitalisasi budidaya tambak udang melalui kegiatan demfarmnya, yaitu: 1. Bantuan mesin genset yang diberikan dari program revitalisasi tambak udang, dipandang memiliki spesifikasi yang kurang sesuai dengan yang dibutuhkan untuk kondisi kegiatan tambak udang di lapang. Dengan kondisi ini, terdapat banyak genset yang mengalami kerusakan pada awal penggunaannya (hanya dapat digunakan dalam beberapa minggu saja untuk satu siklus pemeliharaan saja, dan itu pun tidak dalam penggunaan secara penuh waktu efektif).
Sementara, jaringan infrastruktur listrik belum masuk ke lokasi
tambak meskipun telah diupayakan hingga tingkat provinsi oleh dinas kelautan dan perikanan setempat kepada PLN yang terkait. 2. Sarana kincir angin untuk tambak dinilai kurang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini oleh para pembudidaya disisatai dengan melakukan modifikasi model kincir angin dengan memanfaat perpanjangan pipa pembantu sehingga dapat digunakan luasan yang relatif lebih besar, dan mampu menghemat daya listrik yang digunakan. 3. Akses jalan produksi ke lokasi tambak udang masih kurang memadai secara teknis, sehigga kurang dapat memperlancar gerak pekerjaan kegiatan usaha tambak udang di lapang. 4. Sarana dan prasana pengairan (irigasi) dan pembuangan (drainase) mulai dari saluran primer masih kurang baik yang hingga ke sekunder dan tersier, baik dari segi debit maupun kotinuitasnya, sehingga volume air tidak/belum optimal untuk memdukung kinerja usaha budidaya tambak udang di lokasi. 5. Penyakit udang diare (mencret) yang masih merugikan usaha budidaya tambak udang, dan hingga saat belum ditemukan pengobatan yang tepat untuk mengatasinya meskipun telah beberapa kali dilakukan uji coba yang pihak yang kompeten maupun pembudidaya setempat.
Sesuai dengan tahapan pelaksanaan program revitalisasi tambak, berkaitan dengan bantuan untuk sarana dan prasarana tambak udang, para pembudidaya dari POKDAKAN dapat mengajukan proposal untuk mendapatkan bantuan demfarm pada tahun-tahun selanjutnya, dalam hal ini berupa bantuan yang dialokasikan oleh Pemerintah Daerah dalam anggaran APBD dan Tugas Perbantuan (TP). Namun dalam realitasnya, di Kabupaten Brebes hal ini masih belum dapat dilaksanakan meskipun kegiatan demfarm sudah memasuki tahap lanjutan yang semestinya langsung didukung oleh Pemerintah Daerah setempat.
112
Sebagai gambaran mengenai penyaluran bantuan program revitalisasi tambak udang di Kabupaten Brebes, terdapat beragam sikap para pembudidaya anggota POKDAKAN dalam menerima bantuan tersebut. Sebagian besar mereka menerima bantuan cdemfarm dengan mantap, namun sebagian kecil yang menerima dengan ragu-ragu. Penelusuran data primer menunjukkan bahwa sikap ragu-ragu disebabkan karena kekurangsiapan para pembudidaya dalam menerima program tersebut terutama berhubungan dengan pendeknya waktu yang diberikan pemerintah untuk melaksanakan program revitalisasi ini, yaitu hanya dalam waktu 3 bulan, dan juga karena tidak melalui tahapan yang semetinya seperti belum dilakukannya sosialisasi dan pelatihan bagi para calon penerima bantuan program revitalisasi. Hal lainnya yang menjadi keragu-raguan dalam menerima program trersebut adalah karena dukungan infrastruktur (seperti pengairan, jalan akses produksi dan listrik) yang sangat minim dan belum tersedianya mitra pendamping seperti dari perusahaan-perusahaan terkait dengan usaha dan pemasaran hasil budidaya udang yang dikelola oleh pembudidaya tambak udang dari para POKDAKAN. Posisi mitra tersebut sangat besar perannya dalam membantu kegiatan usaha budiaya tambak udang, seperti menyediakan input produksi, seperti pakan, benur, pupuk, obat-obatan, dan vitamin oleh pabrik pakan, termasuk dalam pembelian hasilnya. Kemudian, di samping mitra dari perusahaan diperlukan pula mitra lainnya yang juga penting keberadaannya dalam mendukung kegiatan usaha budidaya udang adalah perbankan.
Peran perbankan ini adalah sebagai lembaga keuangan yang
menyediakan kredit lunak sebagai modal usaha budidaya udang para anggota POKDAKAN. 4.3.1.4 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Jawa Timur Kabupaten Gresik memiliki panjang pantai sepanjang 140 km dan di sepanjang pantai tersebut terdapat areal pertambakan payau 17.335,02 hektar dengan jumlah produksi sebesar 47.895,18 ton atau 107,06% dari potensi produksi sebesar 44.738 ton. Dalam tahun 2013 ini produksi udang windu masih terasa rendah hal ini disebabkan masih terjadinya kematiankematian saat udang berumur 1-2 bulan,dan sekarang pembudidaya cenderung beralih ke budidaya Udang Vanname yang dianggap lebih menguntungkan. Hasil survey menunjukkan bahwa revitalisasi tambak udang melalui Demfarm di Kabupaten Gresik, Jawa Timur telah dilakukan pada tahun 2013 hingga sekarang. Sumber anggaran demfarm tiap tahun berbeda, yaitu berasal dari APBN pada tahun 2013 dan berasal dari Tugas Perbantuan (TP) pada 2 tahun terakhir. Lokasi penerima program tahun 2013 terdapat di 2 desa, yaitu Desa Dalegan, Kecamatan Panceng dan Desa Banyu Urip, Kecamatan Ujungpangkah. Selanjutnya pada tahun 2014 bertambah 1 POKDAKAN, yaitu Tambak Klayar di Desa Banyu Urip, Kecamatan Ujungpangkah. 113
Untuk itu, survey pengambilan data primer difokuskan pada Kecamatan Panceng dan Kecamatan Ujung Pangkah sebagai salah satu lokasi penerima program revitalisasi budidaya udang vanamae di Kabupaten Gresik. Bantuan yang diberikan berupa plastic mulsa, kincir, pompa, dan genset. Data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Gresik menunjukkan bahwa komoditi yang dibudidayakan pada lahan tambak air payau/asin adalah jenis udang Windu,udang Vanname,Bandeng, Kepiting Bakau, Kerapu dan lain-lain. Para pembudidaya ikan/udang masih berupaya semaksimal mungkin khususnya dalam usaha budidaya udang windu walaupun sampai saat ini masih mengalami kendala. Kematian udang yang berkisar pada umur sampai dengan 2 bulan masih terjadi, namun sudah tidak separah seperti tahun-tahun yang lalu. Namun sekarang telah ditemukan jenis udang Vanname yang mulai dikembangkan untuk dibudidayakan di tambak. Pada tahun 2013 telah berkembang budidaya udang vannamae di hampir seluruh areal tambak tawar dan sebagian tambak payau. Infrastruktur yang perlu disiapkan dalam pra poduksi perikanan budidaya adalah saluran irigasi tambak. Dukungan untuk pengembangan budidaya juga dilakukan dengan melakukan normalisasi saluran irigasi tambak yang ada di Kawasan pengembangan minapolitan yaitu: Kecamatan Sidayu, Kecamatan Bungah, Kecamatan Ujung Pangkah, Kecamatan Banyu Urip dan Kecamatan Panceng. Kegiatan ini merupakan kerjasama Dinas KP, Dinas PU dan Bappelibangda serta pemerintah pusat (KKP) melalui PUMP budidaya (BLM) oleh Direktorat Usaha Budidaya (DJPB) dan Dit. Prasarana dan Sarana (DJPB). Ketersediaan sarana dan prasana input produksi pada sektor pra produksi usaha budidaya udang-vanamae berupa hacthery, UPR, BBI, pabrik pakan, pabrik pupuk, pabrik obat-obatan. Sarana dan prasarana BBI, UPR, pabrik pakan, pabrik pupuk, pabrik obatobatan sudah tersedia di kecamatan baik di sentra kawasan maupun hinterland. Ketersediaan pasokan benur udang di Kabupaten Gresik masih mengandalkan benih dari luar kabupaten. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya hatchery yang mampu memasok kebutuhan benih untuk pembudidaya di kawasan sentra minapolitan dan kawasan hinterland Kabupaten Gresik. Benur udang berkualitas didatangkan dari salah satu perusahaan swasta (CP.PRIMA) Kabupaten Rembang, Balai Penelitian Air Payau (BPAP) Sitobondo dan Lampung. Nener vanamae didatangkan dari Gondol - Bali (Balai Penelitian budidaya Air laut). Benur dan nener udang vanamae ini didatangkan dari luar kabupaten untuk memenuhi permintaan pembudidaya semi intensif dan intensif. Keterjangkauan benur udang yang cukup jauh ini menyebabkan kualitas benih yang digunakan pembudidaya di Kabupaten Gresik menjadi kurang terjaga. Ketiadaan hatchery di Kabupaten Gresik ini salah satunya disebabkan oleh banyaknya unit‐unit hatchery yang 114
kesulitan mengembangbiakan benih udang karena sudah menurunnya kondisi lingkungan dan lahan sekitar, sementara pemeliharaan benih sangatlah rentan dan perlu lingkungan yang terjaga kualitasnya. Saat ini, Dinas Perikanan Kabupaten Gresik membangun balai benih untuk ikan (BBI) yang terletak di Desa Kawasan Minapolis di Kecamatan Sedayu. Balai Benih Ikan (BBI) ini dibangun setelah adanya program minapolitan dan industrialisasi perikanan budidaya. BBI ini belum bisa mensuplai/menyediakan benih untuk kebutuhan pembesaran udang dan vanamae di sentra kawasan minapolitan dan hinterland-nya. Sehingga benih masih didatangkan dari luar Kabupaten Gresik. Berdasarkan data, program revitalisasi udang dilaksanakan sejak tahun 2013 dan 2014, sedangkan tahun 2015 belum berjalan karena terkendala dengan administrasi yang masih baru keluar petunjuk teknisnya. Program revitalisasi diberikan untuk 2 kelompok, yaitu POKDAKAN HASIL BAROKAH dengan luas 7 ha yang berlokasi di Desa Dalegan Kecamatan Panceng dan POKDAKAN MINA MANDIRI dengan luas lahan 6,2 ha yang berlokasi di Desa Banyu Urip, Kecamatan Ujungpangkah. POKDAKAN HASIL BAROKAH melakukan penebaran pada bulan Desember 2014 dan melakukan pemeliharaan selama 98—125 hari sehingga panen total dilakukan pada bulan Maret 2015 sebanyak 14 ton. Sementara itu, POKDAKAN MINA MANDIRI melakukan penebaran selama bulan Februari—November 2014 dengan hasil panen sebanyak 28 ton. Berdasarkan data sekunder, Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Gresik terus melakukan program peningkatan produksi perikanan budidaya dengan kegiatankegiatan: (1) Pengembangan Sistem Kesehatan Ikan dan Lingkungan Pembudidayaan Ikan; (2) Pengembangan Sistem Perbenihan Ikan; (3) Pengembangan Sistem Prasarana dan Sarana Pembudidayaan Ikan;
(4) Pengembangan Sistem Produksi Pembudidayaan Ikan; (5)
Pengembangan Sistem Usaha Pembudidayaan Ikan; dan (6) Peningkatan Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Ditjen Perikanan Budidaya. Program revitalisasi diakui oleh pembudidaya mampu meningkatkan produksi dan produktivitas udang vanamae yang dibudidayakannya. Meskipun demikian, kendala permodalan masih menjadi kendala utama karena pengajuan pinjaman pembudidaya dapat dikatakan tidak berhasil karena kegiatan usaha budidaya ikan masih dinilai memiliki resiko tinggi (high risk). Permasalahan lain terkait bantuan demfarm adalah kualitas plastik mulsa yang diberikan sangat rendah sehingga penggunaannya tidak mampu bertahan hingga satu siklus pemeliharaan. Akibatnya, pembudidaya mengalami kematian udang karena residu pakan membuat air tambak menjadi tidak baik untuk pertumbuhan udang. Untuk itu, penerima bantuan berharap plastik mulsa yang telah diberikan dapat digantikan dengan mulsa yang berkualitas HDPA karena mampu bertahan selama bertahun-tahun. Salah satu pembudidaya 115
akhirnya memasang mulsa hanya pada bagian sisi tambak saja, sedangkan bagian tengah tambak tidak dipasangi karena robeknya mulsa malah merugikan petambak. Di samping itu, jenis tanah tambak yang sangat tinggi tingkat penyerapannya memang mengharuskan pembudidaya melapisi melapisi tambaknya dengan mulsa atau terpal. Permasalahan berikutnya adalah tingkat harga udang yang diakui terus mengalami penurunan. Padahal biasanya harga udang mengikuti kenaikan nilai tukar dollar. Namun, diakui bahwa dalam 2 tahun terakhir kecenderungan tersebut tidak berlaku lagi. Untuk itu, pembudidaya berharap tingkat harga udang dapat mencapai level pada tahun-tahun sebelumnya.
4.3.1.5 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Sulawesi Selatan Tabel 21 menunjukkan bahwa budidaya tambak udang di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan jenis kegiatan budidaya yang memanfaatkan luas lahan terbesar dibandingkan kelompok usaha budidaya lainnya, yaitu mencapai seluas 109.831,7 ha dengan produksi mencapai sebesar 1.001.235,7 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2015). Tabel 21.
Jumlah RTP/Perusahaan Perikanan, Luas Pemeliharaan, Volume dan Nilai Produksi di Provinsi Sulawesi Selatan, Tahun 2014 Uraian
Jumlah - Total
RTP Pembesaran (unit) 111,498
Produksi Volume (ton)
Produksi Nilai (Rp. 000)
3,075,497.9
8,839,809,580 5,425,810,300
Luas Area (ha) 174,314.9
1.
Tambak
49,652
109,831.7
1,001,235.7
2.
Kolam
9,679
7,225.6
8,767.9
189,499,180
3.
Sawah
10,836
12,432.9
5,284.6
127,808,500
4.
Budidaya Laut
40,947
44,819.8
2,059,892.0
5.
Karambah (Air Tawar)
316
2.9
285.7
5,430,100
6.
Jaring Apung (Air Laut)
68
1.9
32.0
1,423,500
3,089,838,000
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2015
Secara keseluruhan untuk Provinsi Sulawesi Selatan, wilayah penerima program revitalisasi tambak udang mencakup empat kabupetan, yaitu: (1) Kabupaten Takalar, seluas 31.000 m2 dengan dua POKDAKAN; (2) Kabupaten Maros seluas 10.000 m2 dengan satu POKDAKAN; (3) Kabupaten Pangkep seluas 20.000 m2 dengan dua POKDAKAN; dan (4) Kabupaten Pinrang seluas 20.000 m2 dengan dua POKDAKAN. Selanjutnya, khususnya menyangkut pelaksanaan program revitalisasi tambak udang di Provinsi Sulawesi Selatan dalam kegiatan penelitian ini difokuskan pada Kabupaten Takalar. Pertimbangan yang digunakan dalam penentuan lokasi tersebut, adalah karena 116
Kabupaten Takalar merupakan salah satu kabupaten penerima program revitalisasi tambak udang di Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas lahan tambak seluas 31 ha yang dikelola oleh dua POKDAKAN yang
masing-masing berlokasi di Desa Soreang, Kecamatan
Mappkasunggu dengan nama POKDAKAN POKDAKAN SIKARANUA seluas 12.000 m2 dan POKDAKAN SIPARANNANG seluas 10.000 m2, dan POKDAKAN GALANG seluas 9.000 m2. (lihat Tabel 22). Tabel 22. Luas Tambak Udang Demfarm dari POKDAKAN Penerima Program Revitalisasi Udang Tambak pada Tahun 2014 di Kabupaten Takalar No. 1. 2. 3.
Nama Kelompok Sikaranua Siparannang Galang
Desa/Kecamatan
Jumlah Anggota
Soreang / Mappakasunggu Soreang / Mappakasunggu Soreang / Mappakasunggu Total
10 10 20 40
Luas Tambak (m2) 12.000 10.000 9.000 31.000
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan KabupatenTakalar, 2015
Di samping itu, berdasarkan luasan lahan tambak yang ada di kabupaten Takalar, ternyata Kecamatan Mappakasunggu merupakan kecamatan dengan luasan lahan tambak tersebar, yaitu mencapai 37,55% (lihat Tabel 23). Tabel 23. Luas areal budidaya Tambak di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan Tahun 2014 LUAS TAMBAK (ha) 1. Manggarambombang 1.202 2. Mappakasunggu 2.065 3. Sanrobone 1.284 4. Polongbangkeng Selatan 189 5. Pattallassang 98 6. Polongbangkeng Utara 0 7. Galesong Selatan 283 8. Galesong 92 9. Galesong Utara 287 Jumlah 5.500 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar, 2015 KECAMATAN
PERSENTASE LUASAN (%) 21,90 37,55 23,35 3,44 1,78 0,00 5,15 1,67 5,22 100,00
Pertimbangan lainnya adalah bahwa Kabupaten Pangkep memiliki luas tambak udang intensif dan super intensif yang tergolong besar di Provinsi Sulawesi Selatan, hal ini terutama sangat terkait dengan arah program revitalisasi tambak udang yang berusaha meningkatkan penggunaan teknologi tambak udang dari tradisional atau semi intensif ke intensif. Di samping itu, pengambilan lokasi penelitian di Kabupaten Takalar tersebut juga dilakukan dengan pertimbangan bahwa tambak dengan teknologi intensif di Kabupaten
117
Takalar memiliki
produktivitas yang tertinggi di banding tambak intensif di wilayah-
wilayah lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu mencapai 139.000 kg/ha (Reni et al., 2013), hal ini sebagaimana ditunjukikan oleh Tabel 24. Tabel 24. Produktivitas Budiadaya Udang Windu dan Udang Vaname di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan pada Tahun 2013
Sumber: Reni et al., 2013
Meskipun produktivitas untuk tambak udang intensif di Kabupaten yang tergolong tinggi tersebut (Tabel 24), namun menurut Diskanlut Provinsi Sulawesi Selatan (2015), produktivitas budidaya tambak udang dari penerima program revitalisasi tambak udang (demfarm) masih belum memuaskan masih berada di bawah rata-rata produktivitas tambak udang intensif di Kabupaten Takalar. Hal ini disebabkan oleh program demfarm udang di Takalar belum berjalan secara optimal, misalnya, karena kurangnya bantuan modal dari perbankan, dukungan infrastrtur yang berkaitan usaha budidaya masih tergolong kurang memadai, seperti infrastruktur jalan akses produksi, listrik, dan pengairan. Padahal hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa kegiatan demfarm di Kabupaten Takalar semakin berkembang dan menujukkan kinerja keberhasilan yang semakin meningkat, bahkan telah diikuti oleh pelaku usaha
budidaya lainnya yang masih menggunakan
teknologi tradisional. Keberhasilan program demfarm ini, sesungguhnya tidak terlepas dari sikap para pembudidaya terhadap resiko produksi usaha budidaya tambak yang telah sejak lama dilakukannya, sehingga lebih “tahan banting” dengan dinamika udang yang masih dihantui oleh tekanan serangan penyakit dan kondisi harga yang cenderung fluktuatif.
Namun
demikian, dalam kenyataannya berdasarkan hasil pengamatan di lapang diketahui bahwa para pembudidaya tersebut pada memberikan sikap yang beragam terhadap bantuan demfarm tambak budidaya udang melalui program revitalisasi taambak udang.
Dalam hal
ini, diketahui sebanyak dua sikap yang ditunjukkan oleh para pembudidaya, yaitu menerima 118
bantuan demfarm dengan mantap, dan menerima bantuan demfarm dengan ragu-ragu pada awalnya. Keberhasilan perlaksanaan program revitalisasi tambak udang (Demfarm) di Kabupaten Takalar, diantaranya diindikasikan oleh adanya kecenderungan beberapa pembudidaya yang bukan penerima program justru telah mengikuti/menerapkan komponen teknologi yang digunakan dalam budidaya udang dengan menggunakan sistem demfarm tersebut. Hal ini berarti bahwa demfarm (program revitalisasi tambak udang) di Kabupaten Takalar telah berhasil “menularkan” pembudidaya lain untuk mengadopsi teknologi tersebut. Tahapan selanjutnya, setelah implementasi demfarm pada usaha budidaya tambak udang yang dilakukan oleh pembudidaya penerima program revitalisasi taambak udang adalah tahapan pengembangan dimana peran pemerintah daerah akan sangat dominan, baaik dalam bentuk penyediaan alokasi anggaran APBD dan Tugas Perbantuan (TP) untuk pengadaan sarana dan prasarana demfarm maupun pendampingan usaha budidaya tambak udang. Untuk itu, para pembudidaya dari POKDAKAN dapat mengajukan proposal untuk mendapatkan bantuan demfarm pada tahun-tahun selanjutnya. Dalam realitasnya pada tahun 2015, di Kabupaten Takalar, hal ini telah berjalan untuk usaha tambak udang yang telah berhasil mengimplementasikan program revitalisasi (demfarm) tambak udang. Dalam pelaksanaannnya, program revitalisasi tambak udang (demfarm) di Kabupaten Takalar menghadapi berbagai hambatan dan kendala. Salah satu hambata yang sangat dipandang sangat mengganggu pelaksanaan demfarm adalah hambatan yang datangnya dari faktor cuaca dimana pada saat program demfarm dijalankan kondisi tambak sangat berangin, sehingga plastik mulsa yang dipasang lepas dan terkoyak. Sementara, kendala utama yang dihadapi oleh para pembudidaya yang melakukan kegiatan revitalisasi budidaya udang (demfarm) adalah permodalan usaha yang sulit diperoleh dari sumber pembiayaan seperti perbankan. Di samping itu, kendala utama lainnya yang dihadapi pembudidaya adalah kesulitan mendapatkan mitra usaha, khususnya terkait dengan penyediaan input produksi oleh pabrik pakan (seperti pakan, benur, pupuk, obat-obatan, dan vitamin) dan pendampingan usaha dan penerapan teknologi budidaya. 4.3.2 Kinerja Program Revitalisasi (Produktivitas) Usaha Budidaya Udang di Lokasi Penelitian Berbeda dengan kondisi kinerja TFP usaha budidaya udang di tingkat nasional sejak 1998 hingga 2013 yang belumk optimal, ternyata kinerja TFP di tingkat lapang justru relatif lebih baik. Hasil verifikasi pengukuran TFP usaha budidaya udang program revitalisasi di tingkat lapang dapat dilihat pada Tabel 25.
119
Tabel
25. Kisaran Angka Indeks TFP Usaha Budidaya Udang di Lokasi Penelitian (Tingkat Lapang)
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer (2015)
4.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Revitalisasi (Produktivitas) Usaha Budidaya udang di Lokasi Penelitian Secara empiris, berdasarkan hasil pendugaan menggunakan model regresi sederhana (OLS) seperti ditunjukkan oleh Tabel 26, diketahui bahwa TFP (produktivitas) usaha budidaya udang di tingkat lapang tersebut dipengaruhi secara nyata pada taraf α = 0,01 oleh: (1) Indeks kualitas benih udang; (2) Indeks kualitas pakan udang; dan (3) Dummy Kerjasama; dan dipengaruhi secara nyata pada taraf α = 0,05 oleh faktor: (1) Tingkat pengalaman usaha budidaya, (2) Kondisi infrastruktur irigasi, dan (3) Dummy serangan penyakit. Kemudian dipengaruhi secara nyata pada taraf α = 0,10 oleh faktor: (1) Tingkat pendidikan formal. Tabel 26. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi TFP Usaha Budidaya Udang di Tingkat Lapang (2015)
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer (2015)
120
4.3.4 Faktor Penentu Keputusan Pembudidaya Merevitalisasi Usaha Budidaya udang di Lokasi Penelitian Berdasarkan hasil pendugaan menggunakan model regresi pilihan repons kualitatif LOGIT (sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 27) dengan menggunakan metode ML – Binary diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap keputusan pembudidaya dalam melakukan revitalisasi usaha budidaya udang (demfarm) di tingkat lapang pada taraf α = 0,01 adalah (1) Kondisi infrastruktur irigasi, (2) Dummy penguasaan teknologi/pendampingan, dan (3) Kualitas bantuan sarana produksi; dan pada taraf α = 0,01 adalah: (1) Ketersediaan benih udang berkualitas dan terjangkau; (2) Ketersediaan pakan udang berkualitas dan terjangkau; (3) Tingkat pendidikan formal; serta pada taraf α = 0,10 adalah: (1) Tingkat pengalaman usaha budidaya udang. Tabel 27. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pembudidaya Mengikuti Program Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Tingkat Lapang (2015)
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer (2015)
121
4.4
Analisis Prospektif Penyusunan Rekomendasi Revitalisasi Industri Budidaya udang di Indonesia
Kebijakan
Percepatan
Pelaksanaan analisis prospektif dilakukan melalui temu pakar (expert meeting). Temu pakar dihadiri oleh sebanyak 43 orang pada tahap awal (penentuan peubah kunci) dan pada tahap lanjutan (analisis pemngaruh antar-variabel). Kemudian pada tahap penajaman untuk proses “penentuan kondisi variabel kunci di masa depan” hanya terbatas pada mereka yang memiliki kompetensi yang relatif tinggi, yaitu sebanyak 21 orang partisipan, dan sebanyak 6 orang partisipan pada tahap pendalaman untuk proses “pembangunan skenario”. Jumlah tersebut (khususnya pada tahap awal, lanjutan dan penajaman) dianggap cukup, sebagaimana analisis dengan pendekatan serupa telah dianggap cukup dengan dihadiri oleh sebanya 13 orang pakar (Bourgeois dan Jesus, 2004). 4.4.1
Penentuan Faktor Kunci Pelaksanaan penentuan faktor kunci, dalam hal ini dilakukan melalui
aktivitas
pertemuan yang melibatkan para partisipan yang diminta untuk mengidentifikasi variable kunci yang dianggap paling berpengaruh terhadap percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia. Aktivitas ini dilakukan secara bebas, yaitu masing-masing partisipan memberikan pilihanya terhadap setiap variabel yang paling berpengaruh dari hasil analisis tujuan 1 dan tujuan 2 dari penelitian ini, khususnya yang dipandang penting dan urgen atau berpengaruh nyata dalam pendugaan secara statistik. Berdasarkan hasil analisis untuk tujuan 1 dan tujuan 2 serta ditambahkan beberapa variabel dari masukan partisipan, teridentifikasi sebanyak sebanyak 31 peubah yang akan diajukan dalam penentuan faktor kunci. Dengan menerapkan aturan sederhana analisis kandungan (content analysis) dari opini partisipan serta relevansinya (Bourgeois dan Jesus, 2014), dalam proses ini terdapat beberapa peubah yang dibuang (karena dianggap relative kurang penting dibanding peubah tertentu lainnya), sehingga pada akhirnya dari semula sebanyak 32 peubah dalam proses ini secara konsensus didapatkan sebanyak 12 peubah yang dianggap paling berpengaruh terhadap percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, seperti disajikan pada Tabel 28 mengenai hasil indentifikasi faktor penentu percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia dan Tabel 29 mengenai hasil konsensus pilihan partisipan terhadap faktor penentu terpilih.
122
Tabel 28. Peubah-peubah yang Terindendifikasi sebagai Faktor Penentu Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia No. 1.
Kategori Faktor
No.
Penentu Produktivitas (TFP) Usaha Budidaya Udang Nasional
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8
Peubah Intensitas serangan penyakit pada udang windu Sistem penanggulangan penyakit udang nasional Kebijakan/program rehabilitasi dan pembangunan saluran irigasi tambak Kebijakan/program revitalisasi budidaya udang nasional Introduksi varietas udang tahan penyakit (vaname) Sistem perbenihan udang nasional Dukungan permodalan usaha dari perbankan Efisiensi biaya usaha budidaya udang nasional
2.
Penentu Produktivitas (TFP) Usaha Budidaya Udang di Tingkat Lapang
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7
Indeks kualitas benih udang Indeks kualitas pakan udang Indeks infrastruktur irigasi Pendidikan formal Pengalaman usaha Dummy serangan penyakit Dummy kerjasama dengan pihak swasta penyedia sarpras
3.
Penentu Sikap/ Keputusan Pembudidaya dalam Merespons Program Revitalisasi Usaha Budidaya Udang Penentu Lainnya bersumber dari Masukan/ Pendapat Partisipan
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7
Ketersediaan benih udang berkualitas dan terjangkau Ketersediaan pakan udang berkualitas dan terjangkau Tingkat pendidikan formal Tingkat pengalaman usaha budidaya udang Kondisi infrastruktur irigasi Dummy penguasaan teknologi melalui pendampingan Kualitas fisik bantuan sarana produksi budidaya udang
4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
Insitensitas sosialisasi dan monitoring Keselarasan dengan program daerah Keterlibatan pemerintah daerah Kesesuaian bantuan dengan kondisi spesifik wilayah Peran serta pihak mitra dalam pengadaaan sarana dan prasarana budidaya Pengembangan sistem budidaya ramah lingkungan berprodutivitas tinggi Jumlah pembudidaya penerima program Perbanyakan Jumlah wilayah penerima program Jumlah bantuan sarana produksi budidaya udang Perluasan revitalisasi berbasis kawasan budidaya
4.
4.6 4.7 4.8 4.9 4.10
Sumber: Hasil Analisis Tujuan 1 dan 2 serta Masukan Partisipan (2015)
123
Tabel 29.
Pilihan Partisipan Secara Konsensus mengenai Peubah-peubah yang Paling berpengaruh (Penting dan Urgen) terhadap Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia
No.
Peubah (Deskripsi)
1 2
Sistem penanggulangan penyakit udang nasional Kebijakan/program rehabilitasi dan pembangunan saluran irigasi tambak Dukungan permodalan usaha dari perbankan Efisiensi biaya usaha budidaya udang nasional Ketersediaan benih udang berkualitas dan terjangkau Ketersediaan pakan udang berkualitas dan terjangkau Penguasaan teknologi melalui pendampingan Kerjasama dengan pihak swasta penyedia sarpras Kualitas fisik bantuan sarana produksi budidaya udang Insitensitas sosialisasi dan monitoring Keterlibatan pemerintah daerah Peran serta pihak mitra dalam pengadaaan sarana dan prasarana budidaya terutama listrik dan jalan produksi Perbanyakan Jumlah wilayah penerima program Perluasan revitalisasi berbasis kawasan budidaya
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Peubah (Ringkas) Penggulangan penyakit Penguatan irigasi Dukungan permodalan Efisiensi biaya Ketersediaan benih Ketersediaan pakan Pendampingan teknologi Kerjasama swasta Kualitas fisik bantuan Sosialisasi dan monitoring Keterlibatan pemda Peranserta mitra Perbanyakan wilayah Kawasan budidaya
Sumber: Hasil pilihan partisipan dan peneliti berdasarkan Tabel 28 (2015)
Peubah-peubah yang terdaftar pada Tabel 29 merupakan sebanyak 14 peubah yang dipilih oleh partisipan melalui hasil diskusi dan konsensus, namun dalam hal ini belum diketahui peubah mana yang paling menentukan dalam percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia. Di samping itu, pengaruh antar-peubah juga belum dapat digambarkan, sehingga semua peubah memiliki kepentingan dan kekuatan yang sama terhadap sistem. Kemudian, untuk kepentingan penyusunan rekomendasi kebijakan, strategi dan rencana aksi, perlu diketahui perbedaan tingkat pengaruh peubah terhadap sistem yang dikaji. Dengan demikian dapat ditentukan peubah yang perlu diintervensi sebagai titik masuk (entry point) bagi perencanaan yang efektif (Godet dan Roubelat, 1996; Bourgeois dan Jesus, 2004; Gray dan Hatchard, 2008; Godet, 2010). 4.4.2
Analisis Pengaruh Antar-Faktor Kunci Berdasarkan sebanyak 14 peubah yang dianggap paling berpengaruh terhadap
percepatan revitalisasi industri budidaya udang Indonesia seperti tertera pada Tabel 29, para partisipan kembali diskusi dan secara konsensus memberikan skor pada pengaruh silang antar-peubah. Proses ini dilakukan melalui analisis struktural dan kerja kelompok yang dituangkan
ke
dalam
bentuk
matriks
pengaruh/ketergantungan
langsung
(influence/dependence, I/D) setiap peubah yang satu dengan variable lainnya dengan 124
menggunakan pendekatan valuasi konsensual (concensual), dengan bantuan perangkat lunak excel dari Bougeois dan Jesus (2004). Analisis struktural berbasis pada analisis pengaruh langsung, sebagai suatu cara untuk mengelompokkan peubah.
Secara praktis, di samping analisis pengaruh langsung juga
terdapat analisis pengaruh tidak langsung; dan analisis pengaruh total (pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung). Perbandingan antara garfik pengaruh langsung dan tidak langsung (Gambar 18), digunakan untuk mengenali peubah yang kuat secara tidak langsung. Interpretasi didasarkan pada peubah yang bertambah kuat secara prograsif dengan adanya pertimbangan terhadap pengaruh tidak langsung, yaitu bahwa jika kekuatan globalnya dan/atau rangking-nya meningkat, atau mereka cenderung bergerak kea rah atas grafik, maka mereka merupakan variable yang dapat muncul setelah waktu yang cukup lama. Peubah ini harus dianggap sebagai variable yang memiliki posisi penting pada sistem di masa depan. Secara khusus, peubah yang berlokasi di kanan-atas dan bergerak secara progresif ke arah kiri-atas grafik, dapat menjadi variable penggerak di masa depan. Karena peubah yang berlokasi di kanan-atas juga dianggap sebagai jaminan, maka pengendalian terhadap peubah ini menjadi penting (Bourgeois dan Jesus, 2004). Dalam penelitian ini analisis hanya difokuskan pada analisis pengaruh langsung saja, hal ini dikarenakan dalam penelitian ini dianggap tidak terdapat pengaruh tidak langsung (meskipun dalam kenyataannya bisa ada/terjadi); dan lazimnya hasil analisis langsung akan jauh lebih besar dibandingkan hasil analisis tidak langsung. Selanjutnya nilai yang telah didiskusikan dan disepakati oleh partisipan, langsung dimasukkan ke dalam matriks I/D. Nilai skor pengaruh silang hasil kesepakatan, secara lengkap disajikan pad Tabel 30. Adapun hasil analisis pengaruh antar-peubah dalam bentuk grafik seperti disajikan pada Gambar 18.
125
Tabel 30. Skor Pengaruh Antar-peubah yang dinilai oleh Partisipan sebagai Penentu Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia
Sumber: Data primer diolah (2015)
126
Indeks Total Pengaruh Global (TPG) Indeks Total Ketergantungan Glogal (TKG) Sumber: Data primer diolah (2015) Gambar 18. Hasil Analisis Pengaruh Langsung antar-peubah dalam Analisis Prospektif Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia Tabel 31. Hasil Perhitungan Indeks Total Pengaruh Global dan Indeks Total Ketergantungan Global Peubah-peubah dalam Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia No
Faktor
TPG
TKG
ITPG
ITKG
1 2 3 4
Penggulangan penyakit Penguatan irigasi Dukungan permodalan Efisiensi biaya
19 31 27 17
11 33 29 30
0.7180 1.1715 1.0203 0.6424
0.42 1.25 1.10 1.13
5 6 7 8 9
Ketersediaan benih Ketersediaan pakan Kualitas fisik bantuan Pendampingan teknologi Kerjasama swasta Sosialisasi dan monitoring Keterlibatan pemda Peranserta mitra Perbanyakan wilayah Kawasan budidaya Jumlah rata-rata
14 21 23 24 28
21 23 28 27 20
0.5291 0.7936 0.8692 0.9070 1.0581
0.79 0.87 1.06 1.02 0.76
30 24 32 25 29 344 25
19 22 22 27 32 344 25
10 11 12 13 14
1.1337 0.9070 1.2093 0.9448 1.0959 13.0000 0.9286
0.72 0.83 0.83 1.02 1.21 13.0000 0.9286
Sumber: Pengolahan data primer (2015)
127
Garfik pangaruh langsung pada Gambar 18 menunjukkan pancaran peubah di dalam ruang empat-kuadran yang dibatasi oleh dua sumbu yang dihitung berdasarkan penilaian indeks Total Pengaruh Global (TPG) dan indeks Total Ketergantungan Global (TKG) pada Tabel . Penggambaran tersebut didasarkan pada nilai-nilai I/D terboboti pada masingmasing peubah, yang dihitung dari dari tabel pengaruh dan ketergantungan. Secara teoritis, interpretasi hasil meliputi: posisi peubah; bentuk distribusi peubah; dan interpretasi hasil langsung dan tidak langsung-nya (Bourgeois dan Jesus, 20004). Masing-masing kuadran berhubungan dengan karakteristik khusus dari peubah. Kuadran I (kiri atas) merupakan wilayah peubah penggerak (driving factors). Kuadran II (kanan atas) merupakan wilayah peubah kontrol (leverage factors), yang bercirikan pengaruh dan juga ketergantungan kuat, beberapa peubah dalam kuadran ini dapat juga digolongkan sebagai peubah kuat. Kaudran III (kanan bawah) merupakan wilayah peubah keluaran (output factors), yang bersifat sangat tergantung dan hanya sedikit pengaruh. Kaudran IV (kiri bawah) merupakan wilayah peubah marjinal (marginal factors), kelompok ini akan langsung dikeluarkan dari analisis. Selain keempat kaudran, juga terdapat area abuabu yang mungkin didapati sekelompok peubah, yang peranannya di dalam sistem tidak dapat didefinisikan secara jelas. Dari presentasi hasil analisis pengaruh silang antar-peubah yang disajikan pada Gambar 18, terpilih sebanyak delapan peubah yang dapat dikatakan sebagai peubah paling berpengaruh, karena terdapat pada Kuadran I (sebagai faktor penggerak/ input), yaitu: Peran mitra, Sosialisasi dan monitoring, dan Kerjasama swasta; dan Kuadran II (sebagai faktor penghubung/proses), yaitu: Penguatan irigasi, Kawasan budidaya, dan Dukungan permodalan; serta peubah yang mendekati Kuadran I dan Kuandaran II, yaitu Keterlibatan Pemda, dan Perbanyakan wilayah .
Dari hasil analisis tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa sebanyak delapan peubah terpilih sebagai peubah yang paling berpengaruh (Godet dan Roubelat, 1996; Bourgeois dan Jesus, 2004).
4.4.3
Penentuan Kondisi (State) Faktor Kunci di Masa Depan Setelah mendapatkan keenam peubah yang terpilih yang memiliki skor kekuatan
peubah global yang positif dan relative tinggi (Tabel 30), Dari keenam peubah terpilih, selanjutanya partisipan melakukan eksplorasi secara consensus, untuk menentukan kondisi yang berpeluang terjadi terhadap peubah tersebut untuk 25 tahun ke depan (sesuai dengan dimensi waktu analisis). Eksplorasi terhadap kondisi peubah tersebut, penting dilakukan untuk membangun skenario yang diinginkan (Godet dan Roubelat, 1996; Bourgeois dan Jesus, 2004; Gray dan Hatchard, 2008; Wiek dan Walter, 2009; Cotes et al., 2010; Durance
128
dan Godet, 2010). Hasil penentuan kondisi peubah yang ditetapkan oleh partisipan secara konsensus dapat dlihat pada Tabel 32.
Tabel 32. Kondisi Spektrum Peubah yang Ditetapkan oleh Partisipan secara Konsensus Kode
Peubah
Kondisi yang Mungkin terjadi pada 25 Tahun ke Depan
Peubah
1
2
3
Peran mitra
A
Baik
Tetap
Sosialisasi & Monitoring
B
Meningkat
Tetap
Menurun
Kerjasama swasta
C
Baik
Tetap
Menurun
Keterlibatan Pemda
D
Baik
Tetap
Menurun
Penguatan irigasi
E
Meningkat
Tetap
Kawasan budidaya
F
Meningkat
Tetap
Menurun
Dukungan permodalan
G
Baik
Tetap
Menurun
Perbanyakan wilayah
H
Meningkat
Tetap
4
Fluktuatif
Fluktuatif
Sumber: Hasil Konsensus Parisipan bersama tim peneliti BBPSEKP (2014)
Keterangan: Huruf (A, B, …, G) merupakan kode untuk nama peubah yang memiliki skor kekuatan global tertimbang yang positif dan tinggi; Angka (1, 2, …, 4) merupakan kode untuk kondisi spektrum peubah. Pada Tabel 32, masing-masing peubah diberi kode dengan huruf (A sampai H) dan kondisi sepktrum peubah diberi kode angka (1 sampai 4), sehingga kombinasinya dapat ditulis ringkas, seperti contoh “B3” bermakna bahwa kondisi peubah sosialisasi dan monitoring usaha budidaya penerima program revitalisasi untuk 25 tahun ke depan adalah menurun. Penentuan kondisi peubah di masa depan merupakan hasil dari morfologis dan diskusi kelompok, dimana partisipan melakukan perkiraan (foresight) terhadap masingmasing peubah. Hasil perkiraan oleh partisipan (Tabel 31), ternyata tidak sama untuk semua peubah. Terdapat peubah yang menurut partisipan hanya akan mempunyai peluang dua bentuk kondisi spektrum (peubah peran mitra, penguatan irigasi, dan perbanyakan wilayah); tiga bentuk kondisi spektrum (peubah sosialisasi & monitoring, keterlibatan pemda, dan kawasan budidaya) dan empat kondisi bentuk spketrum (peubah kerjasama swasta dan dukungan permodalan).
Masing-masing peluang dari bentuk kondisi spektrum peubah tersebut
merupakan opini dan cerminan kebutuhan para pemangku kepentingan (stakeholders) di masa depan (Godet dan Roubelat, 1996); Bourgeois dan Jesus, 2004; Gray dan Hatchard, 2008; Coates et al., 2010; Durance dan Godet, 2010).
129
4.4.4
Pembangunan Skenario untuk Rekomendasi Kebijakan Dari penentuan spektrum kondisi peubah pada Tabel 31, dapat ditentukan kombinasi
peubah yang tidak mungkin terjadi. Kombinasi antar kondisi peubah yang tidak mungkin tersebut, selanjutnya dibuang dari penyusunan skenario.
Berdasarkan hasil konsensus
dengan partisipan atau para ekspert sebagaimana tertera pada Tabel 33 adalah sebanyak 17 buah kombinasi kondisi peubah yang tidak mungkin terjadi, adalah sebagai berikut: (1) A1 – B3 (2) A1 – C3 (3) A1 – C4 (4) A2 – B1 (5) A2 – E1 (6) B1 – D3 (7) B1 – E3 (8) B2 – F1 (9) B2 – G2 (10) C1 – D3 (11) C1 – E3 (12) C1 – E4 (13) C1 – D4 (14) D1 – B3 (15) D1 – E3 (16) E1 – B3 (17) E1 – C3 Tabel 33. Kondisi Peubah yang Ditetapkan oleh Partisipan secara Konsensus Peubah Peran mitra
Kode Peubah A
Sosialisasi dan Monitoring Kerjasama swasta
B
Keterlibatan Pemda
D
Penguatan irigasi
E
Kawasan budidaya
F
Dukungan permodalan
G
Perbanyakan wilayah
H
C
Kondisi yang Mungkin terjadi pada 25 Tahun ke Depan 1 2 3 4 Baik Tetap (A1) (A2) Meningkat Tetap Menurun (B1) (B2) (B3) Meningkat Tetap Menurun Fluktuatif (C1) (C2) (C3) (C4) Meningkat Tetap Menurun (D1) (D2) (D3) Meningkat Tetap Menurun (E1) (E2) (E3) Baik Tetap (F1) (F2) Baik Tetap Menurun Fluktuatif (G1) (G2) (G3) (G4) Meningkat Tetap (H1) (H2)
Sumber: Hasil Konsensus Parisipan bersama tim peneliti BBPSEKP (2015)
Pengembangan skenario dilakukan melalui curah pendapat (brainstrorming) dan diskusi kelompok terstruktur.
Dalam forum tersebut partisipan diminta untuk dapat
130
memberikan perkiraan dari masing-masing peubah penentu pada masa datang. Perkiraan tersebut merupakan opini dan cerminan kebutuhan para pemangku kepentingan di masa depan. Dari perkiraan mengenai kondisi peubah tersebut di masa depan, dapat disusun dengan sckenario yang mungkin terjadi terkait dengan percepatan revitalisasi budidaya udang di Indonesia (Godet dan Roubelat, 1996; Bourgeois dan Jesus, 2004; Godet, 2010). Suatu skenario sebuah kombinasi dengan kondisi yang berbeda-beda. Pembangkitan skenario dilakukan melalui curah pendapat terhadap berbagai kondisi peubah (yang telah diidentifikasi pada Tabel 31) oleh para partisipan. Secara konsensus, partisipan diminta untuk menyusun berbagai kombinasi dari kondisi peubah yang mungkin terjadi atau mungkin dicapai di masa depan (dalam kurun waktu 25 tahun ke depan). Kemudian dari hasil curah pendapat pertisipan tersebut, didapat konsensus penyusunan skenario dalam percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, seperti tertera pada Tabel 34. Tabel 34. Alternatif Pilihan Skenario untuk berbagai Kombinasi Kondisi yang Mungkin terkait dengan Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia No.
Skenario
Keterangan
2.
Optimis
A1 – B1 – C1 – D1 – E2 – F2 – G3 – H2
3.
Moderat
A1 – B2 – C2 – D2 – E2 – F1 – G1
4.
Pesimis
A1 – B1 – C1 – D1 – E1 – F1 – G1 – H1
Sumber: Hasil konsensus partisipan bersama tim peneliti BBPSEKP (2014)
Dari skenario yang disusun partisipan (Tabel 31), tampak bahwa perbedaan antarskenario memberikan implikasi terhadap upaya yang harus dilakukan dalam percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, yaitu: (1) Pada skenario optimis, harus dilakukan upaya perbaikan yang maksimal terhadap semua peubah, sehingga sistem akan menuju ke arah yang lebih baik. Secara implisit tampak bahwa skenario sangat optimis dan optimis, merupakan cerminan kebutuhan para pemangku kepentingan untuk mencapai suatu kondisi percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia yang ideal pada masa depan. (2) Pada skenario kondisi ekstrim yang lain, skenario pesimis dan sangat pesimis menunjukkan bahwa bila kondisi seperti ini terus berlangsung, maka tidak diperlukan upaya perikanan, dan tentunya system akan menjadi lebih buruk daripada kondisi saat ini. (3) Sebagai kompromi dari kedua skenario ekstrim di atas, partispan juga merumuskan skenario moderat. Skenario kompromis ini merupakan cerminan dari kebutuhan para 131
pemangku kepentingan dengan mempertimbangkan kemampuan berbagai peubah penentu (Brown et al., 2001).
4.4.5
Rumusan Kebijakan Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang Upaya logis yang dapat diajukan oleh partisipan, secara nyata dapat dirumuskan
dalam kebijakan percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, yang disusun sesuai dengan kondisi skenarionya. Dari kombinasi kondisi peubah dan scenario yang mungkin terjadi dalam 25 tahun ke depan,
selanjutnya partisipan melakukan diskusi
terstruktur yang diikuti dengan menyusun kebijakan percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia. Pada akhirnya sebagai kesimpulan konsensus, dapat dirumuskan kebijakan yang harus diakomodasi dalam meningkatkan atau mempercepat revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, yaitu: (1) Meningkatkan jumlah wilayah penerima program revitalisasi budidaya udang tambak di Indonesia, yang diikuti dengan mengintensifkan sosialisasi dan monitoring terkait dengan penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi budidaya udang tambak di Indonesia. (2) Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah untuk menjaga keberlanjutannya. (3) Meningkatkan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia sarana, pihak mitra dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong percepatan industri budidaya udang di Indonesia
132
133
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 5.1 Kesimpulan Dalam kesejarahannya, ditemukan lima era dinamika produktivitas (indeks Total Factor Productivity – TFP) usaha budidaya udang di Indonesia, yaitu: (a) Era Pra dan Awal Budidaya Udang (1964—1970); (b) Era Perintisan Teknologi Intensif (1971—1981); (c) Era Kejayaan (1982—1995); (d) Era Penurunan Kinerja (1996—1999); dan (e) Era Revitalisasi/Kebangkitan Budidaya Udang (2000 — sekarang).Dinamika kinerja indeks produktivitas (Total Factor Productivity – TFP) usaha budidaya udang di Indonesia selam periode 1989 hingga 2013 mengalami kondisi pasang-surut tetapi masih berada di bawah (belum melampaui) kinerj TFP tahun 1998, serta diwarnai oleh kondisi yang menghambat kinerja indeks TFP tersebut seperti serangan penyakit, dan kondisi yang mendukung seperti intervensi berbagai kebijakan yang terkait. Kebijakan penguatan sarana irigasi tambak yang diimplementasi melalui program rehabilitasi dan pembangunan saluran pengairan/irigasi tambak udang sejak tahun 1999 hingga sekarang ternyata memberikan pengaruh yang nyata dalam memperbaiki kinerja produktivitas (indeks TFP) usaha budidaya udang di Indonesia.
Sementara, kebijakan
revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia tahap satu yang diimplementasi pada tahun 2006-2009 maupun tahap dua yang dimplementasi sejak tahun 2012 hingga sekarang ternyata tidak berpengaruh nyata dalam memperbaiki kinierja produktivitas (indeks TFP) usaha budidaya udang di Indonesia. Di tingkat lapang (lokasi penelitian), kinerja TFP (produktivitas) usaha budidaya udang di tingkat lapang bervariasi antar lokasi pengamatan, yaitu berkisar antara 0,81 – 2,67; dengan TFP rata-rata sebesar 1,79 yang tergolong cukup baik karena indeks output 1,79 kali lebih besar dari indeks inputnya. Kemudian faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap TFP (produktivitas) usaha budidaya udang di tingkat lapang adalah: (1) Indeks kualitas benih udang, (2) Indeks kualitas pakan udang, (3) Dummy Kerjasama, (4) Tingkat pengalaman usaha budidaya, (5) Kondisi infrastruktur irigasi, (6) Dummy serangan penyakit, dan (7) Tingkat pendidikan formal.
Sementara keputusan pembudidaya terkait dengan
revitalisasi usaha budidaya ditentukan oleh: (1) Kondisi infrastruktur irigasi, (2) Dummy penguasaan teknologi/pendampingan,
(3) Kualitas
bantuan
sarana
produksi,
(4)
Ketersediaan benih udang berkualitas dan terjangkau, (5) Ketersediaan pakan udang berkualitas dan terjangkau, (6) Tingkat pendidikan formal, dan (7) Tingkat pengalaman usaha budidaya udang.
Selain itu, ditemukan sebanyak delapan peubah yang dinilai
menjadi faktor yang paling berpengaruh penting dalam menyusun rumusan kebijakan
134
percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, dalam kategori sebagai faktor penggerak/input adalah (1) Peran mitra, (2) Sosialisasi dan monitoring, (3) Kerjasama swasta, dan (4) Ketewrlibatan pemda; dan dalam kategori sebagai faktor penghubung/proses adalah: (1) Pengauatan irigasi, (2) Kawasan budidaya, (3) Kerjasama swasta, dan (4) Perbanyakan wilayah.
Berdasarkan kedelapan peubah tersebut direkomendasikan tiga
altenatif kebijakan, sebagaimana disampaikan dalam uraian “implikasi kebijakan” di bawah ini.
5.2 Implikasi Kebijakan Untuk mempercepat capaian kinerja program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, perlu dilakukan beberapa alternatif kebijakan, yaitu: (4) Meningkatkan jumlah wilayah penerima program revitalisasi budidaya udang tambak di Indonesia, yang diikuti dengan mengintensifkan sosialisasi dan monitoring terkait dengan penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi budidaya udang tambak di Indonesia. (5) Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah untuk menjaga keberlanjutannya. (6) Meningkatkan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia sarana, pihak mitra dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong percepatan industri budidaya udang di Indonesia
135
136
DAFTAR PUSTAKA Ashok, K.R. dan R. Balasubramanian. 2006. Role of Infrastructure in Productivity and Diversification of Agriculture. South Asia Network of Economic Research Institutes (SANEI), Pakistan Institute of Development Economics, Islamabad, Pakistan. Asmara, A. 2002. Optimalisasi Pola Usahatani Tanaman Pangan pada Lahan Sawah dan Ternak Domba di Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Aswathy, N., R. Narayanakumar, S.S. Shyam, V.P. Nipinkumar, S. Suriakose, R. Geetha, and N.K. Harshan. 2013. Total Factor Productivity in Marine Fisheries of Kerala. Indian, J. Fish., 60(4): 77-80, 2013. Avila, A.F.D. dan R.E. Evenson. 2004. Total Factor Productivity Growth in Agriculture: the role of technological capital. Yale University, New Heaven. Bourgeois, R and F. Jesus. 2004. Participatory Proepective Analysis, Exploring and Anticipating Chalanges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverty through Secondary Crops Development in Asia and The Pacific and French Agricultural Research center for International development. Monograph (46): 1-29. Biglan, A., A. Dennid, A.C. Wagenaar. 2000. The Value of Interrupted Time-Series Experiments for Cummunity Intertvention Research. Prevention Science, Vol. 1. No. 1, 2000. Cordero, M. F.J., Fitzgerald, W.J., dan Leung, P.S. 1999. Evaluation of Productivity in Extensive Aquaculture Practices Using Interspasial TFP Indeks, Sulawesi, Indonesia. Journal of Asian Fisheries Science. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines. Hal 223-234. Crespi, V dan A. Coche. 2008. Glossary of Aquaculture. Food and Agriculture Organization. Rome. Diop, H., R.W. Harrison, and W.R. Keithly, Jr. 1999. Impact of Increasing Imports on the United States Southeastern Region Shrimp Processing Industri 1973-1996. Selected paper for Presentation at the August 8-11 Annual Meeting of the American Agricultural Economics Association in Nashville, Tennessee. Durance, P., and M. Godet. 2010. Scenaerion Building: Technol.Forecast.Sos. Change, 77: 1488-1492.
Uses and Abuses.
Ditjen Perikanan Budidaya. 2014. Revitalisasi Udang Vaname akan Diperluan. Diunduh dari Website http://www.neraca.co.id/industri/27307/Revitalisasi-Udang-VanameAkan-Diperluas-- html pada tanggal 24 Februari 2015. DJPB DKP. 2005. Laporan Survey Udang Tambak Pembudidaya dan Perusahaan Perikanan Budidaya. Subdit Data dan Statistik Perikanan Budidaya, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan. 1989-2008. Statisitik Perikanan Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta. 137
Diskanlut Kabupaten Indramayu. 2014. Laporan Revitalisasi Budidaya Tambak Udang Tahun 2013. Indramayu: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. Diskanlut Provinsi Jawa Barat. 2014. Laporan Tahunan Perikanan Budidaya Tahun 2013. Bandung: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. Dislutkan.Provinsi Lampung. 2010. Revitalisasi Budidaya Udang Lampung 2006—2009. Lampung: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. Dislutkan Provinsi Lampung. 2015. Laporan Tahunan Perikanan Budidaya Tahun 2014. Lampung: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. DJPB. 2013. Laporan Kegiatan: Revitalisasi Tambak Udang Th. 2012 dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Budidaya Udang Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kelautan dan Perikanan. DJPB. 2014. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2005—2025.Diunduh dari website http://www.litbang.pertanian.go.id/special/rppk/ pada tanggal 30 Juni 2015. DKP. 2005. Revitalization Aquaculture 2005-2009. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Effendi, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta Ehui, S. K. dan Jabbar, M. A. 2002. Measuring Productivity in African Agriculture: A Survey of Application of the Superlative Indeks Number Approach. Socio-economics and Policy Resources Working Paper 38. ILRI (International Livestock Research Institute). Nairobi. Kenya. 22 p. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid 1. Edisi Ketuga, IPB Press. Evenson, R. E. dan Fuglie, K. O. 2009. Technology Capital: The Price of Admission to the Growth Club. Makalah dipresentasikan dalam Konfrensi Internasional Ekonomi Pertanian ke-27. 16-22 Agustus 2009. Beijing. FAO (Food and Agriculture Organization). 2001. Production, Accessibility, Marketing and Consumtion Patterns of Freshwater Aquaculture Products in Asia: A Cross-Country Comparison. FAO. Rome. Fuglie, KO. 2004. Productivity Growth in Indonesia Agriculture, 1961-2000. 2004. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 40, No. 2. Geoffrey, M., D.DeMatteo, D.Festinger. 2005. Essentials of Research Design and Methodology. New Jersey: John Willey and Sons. Gottschalk, L. 1975/ Pengantar Metode Sejarah. Universitas Indonesia. Jakarta. Gujarati, D.N. 2004. Baasic Econometrica. Fourth Edition. New York: The McGraw-Hill Company.
138
Hall, R. and Jones, C. 1997. Levels of Economic Activity across Countries, Am. Econ. Rew., 87: 173-177. Husaini, U dan Akbar P.S. 2009.Metode Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Jakarta Iyengar, N.S. dan P. Sudarshan. 1982. A Method of Classifying Regions from Multivariate data’, Economic and Policy Weekly, Vol. 17 (51), pp: 2048-2052. Juanda, B. 2009. Ekonometrika: Permodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor. Juarno, O. 2011. Daya Saing Udang Tambak Indonesia di Pasar Internasional terkait dengan Peningkatan Produktivitas dan Mutu. Disertasi IPB. Tidak dipublikasikan. Bogor. Kalyvitis, S. 2002. Public Investment Rules and Endogenous Growth with Empirical Evidence from Canada. Scot J Polit Econ. 50(1):90-100. doi: 10.1111/14679485.00256. Kholistianingsih dan Hardiansyah. 2005. Jenis-jenis Penelitian Secara Umum dan Pendekatannya. Yogyakarta: JurusanTeknik Elektro UGM. Diunduh dari websitehttp://te.ugm.ac.id/ ~risanuri/v01/wp-content/uploads/2011/05/final-hardi-dankholis.pdf pada tanggal 2 Maret 2015. Kiani A.K., M. Iqbal, and T. Javed. 2008. Total Faktor Productivity and Agricultural Research Relationship: Evidence from Crops Sub-Sector of Pakistan’s Punjab. European Journal of Scientific Research, 23(1):87-97. KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). 2009. Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2008. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Kumar. A., Jha, D. and Pandey, U. K. 2005. Total factor productivity of the livestock sector in India. In: Joshi, P. K., Pal, S., Birthal, P. S. and Bantilan, M. C. S. (Eds.), Impact of agricultural research: Post-Green Revolution evidence from India. National Centre for Agricultural Economics and Policy Research, New Delhi, India and International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics, Patancheru, Andhra Pradesh, India, p. 205-216 Kumar P, S Mittal dan M Hossain. 2008. Agricultural Growth Accounting and Total Factor Productivity in South Asia: A Review and Policy Implications. Agricultural Economics Research Review. Vol 21 July – December 2008 pp 145 – 172. Lakitan, B. 2010. Kontribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan. Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Tidak dipublikasikan. Jakarta. Looney RE. 1994. The Impact of Infrastructure on Pakistan’s Agricultural Sector. The Journal of Developing Areas, 28 (July 1994): 469-486. Mangkusubroto, K. dan Trisnadi C.L. 1985. Analisis Keputusan Pendekatan Sistem dan Manajemen Usaha dan Proyek. Ganesa Exacta. Bandung. 271 hlm. Marzuki, 2002. Metodoligi Riset, Fakultas Ekonomi UII. Yogyakarta. Martinez–Cordero F.J, W.J. Fitgerald and PS. Leung. 1999. Evaluation of Productivity in Extensive Aquaculture Practices Using Interspatial TFP Index, Sulawesi, Indonesia. Asian Fisheries Science, 12 : 223 – 234. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines. 139
Masyarakat Akuakultur Indonesia. 2012. Revitalisasi Tambak Pantura Jangan Karena Asal Kebut Produksi. Diunduh dari Website hhttp://regional.kompasiana.com/2012/12/11/revitalisasi-tambak-pantura-jangankarena-asal-kebut-produksi.html. pada tanggal 24 Februari 2015. Maulana, M, 2004. Peranan Luas Lahan, Intensitas Pertanaman dan Produktivitas sebagai Sumber Pertumbuhan Padi Sawah di Indonesia. Jurnal Agro ekonomi, 22(1):74-95. Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 2005. The Revitalization of Aquaculture 2006— 2009. Jakarta: Ministry of Marine Affairs and Fisheries. Nanga, Muana. 2001. Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. Edisi Perdana. Rajawali Press. Jakarta. Nayak P. 1999. Infrastructure: Its Development and Impact on Agriculture in North-East India. Journal of Assam University, vol. IV (1): 59-65. Nazir, M.. 2003. Metode Ilmiah. Ghalia Indonesia. Jakarta. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta. Tiara Wacana. Piska, R. S. dan Naik, S. J. K. 2005. Fresh Water Aquaculture. Intermediate Vocational Course State Institute of Vocational Education University College of Science Osmania University. Hyderabad. Purnomo, A.H., S.H. Suryawati, Hikmah, dan Y. Hikmayani. 2011. Minapolitan: Konsep, Pengembangan dan Aplikasinya dalam Revitalisasi Perikanan. Jakarta: Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 124 hal. Pusdatin. 2006. Revitalisasi Perikanan 2005. Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan. Ramsay, C.R., L. Matowe, R. Grilli, J.M. Grimshaw, and R.E. Thomas. 2003. Interrupted Time Series Designs in Health Technology Assesment: Lessons From Two Systematic Reviews of Beahviour Change Strategies. International Journal of Health Technology Assesment in Health Care; 19: 613-23. Rogers, E.M. dan F.F. Shoemaker. 1987. Communication of Innonvations. New York (US). The Free Press. Syamsudin, H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Subyakto, S. 2005. Petunjuk teknik Budidaya Udang Vanamei. Juknis. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Sugiyono, 2011.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Alfabeta.Bandung. Sukartawi. 1988. Pronsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta. Suparyati, A. 1999. Analisis Dampak Keterbukaan Ekonomi dan Stabilitas Makroekonomi terhadap Pertumbuhan Total Factor Productivity Indonesia. Thesis Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan. 140
Squires, D. 1988. Index Number and Productivity Measurement in Multispecies Fisheries: An Application to the Pacific Coast Trawl Feet. NOAA Technical Report NMFS 67. U.S. Department of Commerce. Tjahyono, E. D. dan F.A. Anugerah. 2006. Faktor-Faktor Determinan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. Bank Indonesia. Jakarta Wagner, A.K., S.B. Soumerai, F. Zhang and D. Ross-Degnan. 2002. Segmented Regression Analysis Of Interrupted Time Series Studies In Medication Use Research. Journal of Clinical Pharmacy and Therapeutics (2002) 27, 299–309. Wang, J. J.J., S. Walter, R. Grzebieta, and J. Oliver. 2013. A comparison of Statistical Methods in Interrupted Time Series Analysis to Estimate an Intervention Effect. Proceedings of the 2013 Australian Road Safety Research. Policing and Education Conference 28th – 30th August, Brisbane, Queensland. Weiping and Ying, (2007); Weiping C and D Ying. 2007. Total Factor Productivity in
Chinese Agriculture: The Role of Infrastructure. 2 (2) : 212 – 223. DOI 10.1007/s11459-007-0011-3, Front, Econ, China. Widarjono, A. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisis Kedua. Penerbit Ekonisia. Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta. Yu, B. 2005. Agriculture Productivity and Institutions in Sub-Sahara Africa. Dissertation. Faculty of The Graduate and the University of Nebrasca. Nebrasca.
141
LAMPIRAN NASKAH KARYA TULIS ILMIAH (KTI) REKOMENDASI KEBIJAKAN Kegiatan Penelitian KAJIAN EKONOMI REVITALISASI INDUSTRI BUDIDAYA UDANG
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2015
142
LAMPIRAN 1
DINAMIKA TOTAL FACTOR PRODUKTIVITY USAHA BUDIDAYA UDANG INDONESIA PERIODE 1989-2013 DAN PENGARUH BEBERAPA KEBIJAKAN Tajerin*) *) Peneliti Pusat Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Gedung Balitbang KP Lt. 4. Jl. Pasir Putih 2, Ancol – Jakarta. Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika produktivitas (indeks Total Factor Productivity – TFP) usaha budidaya udang di Indonesia sejak tahun 1989 hingga 2013, dan menganalisis pengaruh beberapa kebijakan terhadap dinamika TFP tersebut. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan ekonometrika model Interrupted Time Series Analisysis (ITSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika kinerja indeks produktivitas (Total Factor Productivity – TFP) usaha budidaya udang di Indonesia selam periode 1989 hingga 2013 mengalami pasang-surut tetapi masih berada di bawah (belum melampuai) kinerja pada tahun 1998 serta diwarnai oleh kondisi yang menghambat kinerja indeks TFP tersebut seperti serangan penyakit, dan kondisi yang mendukung seperti intervensi berbagai kebijakan yang terkait. Di samping itu hasil penelitian menujukkan pula bahwa kebijakan penguatan sarana irigasi tambak yang berpengaruh nyata terhadap kinerja produktivitas (indeks TFP) usaha budidaya udang di Indonesia. Sementara, kebijakan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia tahap satu dan tahap dua tidak berpengaruh nyata dalam memperbaiki kinierja produktivitas (indeks TFP) usaha budidaya udang di Indonesia. Untuk mempercepat capaian kinerja program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, perlu meningkatkan jumlah wilayah penerima program revitalisasi budidaya udang tambak di Indonesia, yang diikuti dengan mengintensifkan sosialisasi dan monitoring, meningkatkan dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah untuk menjaga keberlanjutannya, dan meningkatkan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia sarana, pihak mitra dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong percepatan industri budidaya udang di Indonesia
Kata Kunci: produktivitas, udang Indonesia, kebijakan, ITSA
PENDAHULUAN Dalam kesejarahannya, industri budidaya udang di Indonesia mengalami dinamika mulai dari era awal budidaya, era perintisan teknologi intensif hingga era kejayaan, era kejatuhan dan era revitalisasi atau kebangkitannya. Khusus pada era revitalisasi ditandai dengan diluncurkannya beberapa kebijakan terutama terkait dengan program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia merupakan bagian dari program besar “Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan” (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden R.I. pada tanggal 11 Juni 2005.
Salah satu langkah operasional yang dilakukan dalam rangka
mendukung revitalisasi perikanan adalah “Pengembangan Komoditas Udang” sebagai
143
bentuk dari langkah-langkah dalam operasionalisasi revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, yang tahap awalnya telah diimplementasikan para kurun waktu 2005-2009 yang kemudian dilanjutkan kembali sejak tahun 2012 hingga sekarang (KKP, 2014). Revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia sangat terkait erat dengan posisi komoditas udang di Indonesia yang merupakan komoditas unggulan di sektor perikanan yang dihasilkan dari kegiatan budidaya.
Di samping itu, juga karena kegiatan usaha
budidaya udang mampu memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perolehan devisa, pendapatan pembudidaya, menciptakan lapangan kerja dan peluang berusaha. Revitalisasi tersebut juga sangat penting, terutama karena peran kegiatan budidaya udang ke depan yang semakin besar, sementara kegiatan penangkapan udang terus semakin berkurang. Kemudian juga karena perusahaan yang terlibat adalah perusahaan skala kecil, menengah, dan besar; dan pasar utama komoditas udang adalah pasar ekpor dengan permintaan yang masih tetap tinggi. Dengan demikian, revitalisasi industri budidaya udang akan mencakup revitalisasi pada level produksi, pengolahan dan pemasaran/perdagaangan melalui pelibatan usaha skala kecil, menengah dan besar. Pertambakan di Indonesia pernah mengalami kejayaan dalam produksi udang pada era tahun 1990-an, dengan menerapkan teknologi ekstensif, semi- intensif dan intensif. Dengan timbulnya berbagai masalah, seperti penurunan daya dukung lingkungan, serangan penyakit udang, dan menurunnya mutu induk/benih udang, mengakibatkan kegagalan pada produksi udang. Rendahnya tingkat produktivitas perikanan budidaya udang di Indonesia saat ini masih dapat ditingkatkan, seperti dengan melakukan revitalisasi melalui perencanaan zonasi kawasan pesisir, sehingga akan tercipta keseimbangan tata ruang kawasan perikanan yang mampu mendukung keberlanjutan perikanan budidaya.
Secara ideal, kegiatan
perikanan budidaya haruslah dikembangkan secara berkelanjutan. Dalam artian, kegiatan budidaya tersebut haruslah menghasilkan produktivitas yang sebanding dengan upaya, tidak menciptakan konflik sosial, serta selaras dengan daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali produksi udang di Indonesia, perlu dilakukan upaya-upaya khusus, antara lain melalui “Revitalisasi Industri Budidaya Udang”, terutama pada kegiatan budidaya udang di tambak-tambak yang idle atau yang beroperasi tetapi tidak secara optimal. Program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia masih terkendala oleh banyak faktor dalam meningkatkan produktivitasnya.
Untuk itu, telah
dilakukan penelitian mengenai dinamika produktivitas usaha budidaya udang Indonesia dan pengaruh beberapa faktor. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bahan rekomendasi kebijakan untuk mempercepat revitalisasi industri budidaya udang tambak di Indonesia, khususnya melalui peningkatan produktivitas. 144
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder terkait dengan faktor input dan output kegiatann usaha budidaya udang nasional sejak tahun 1989 hingga 2013 yang diperoleh dari sumber DJPB, KKP.
Di samping itu, data sekunder lainnya adalah rentang waktu
implementasi beberapa kebijakan terkait dengan peningkatan produktivitas usaha budidaya udang di Indonesia, yang dalam hal ini dibatasi pada kebijakan penguatan infrastruktur saluran irigasi tambak berupa program rehabilitasi saluran irigasi sejak tahun 1999 hingga sekarang, kebijakan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia tahap 1 yang diimplementasikan sejak 2005 hingga 2009, dan kebijakan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia tahap 2 sejak 2012 hingga sekarang.
Metode Analisis Untuk mengetahui sejauhmana dinamika per-udang-an Indonesia, dalam penelitian ini digunakan metode analisis deskriptif kualitatif, sementara untuk mengetahui sejauhmana pengaruh kebijakan terhadap kinerja produktivitas usaha budidaya udang di Indonesia selama periode 1989 hingga 2013 digunakan metode analisis ekonometrika dengan pendekatan model ITSA (Interupted Time Series Analysys).
Sementara metode untuk
mengukur kinerja produktivitas (Total Factor Productivity – TFP), dalam penelitian ini digunakan metode penghitungan Indeks TFP Tornqvisht-Theil-Index.
Kedua metode
tersebut, masing-masing sebagai berikut.
(1) Metode Analisis Produktivitas Total Faktor (Total Factor Productivity – TFP) Kinerja revitalisasi tambak udang dapat diukur berdasarkan peningkatan produktivitas usaha budidaya udang yang direvitalisasi.
Peningkatan produktivitas tersebut dapat
dilakukan melalui peningkatan produktivitas input secara parsial dan atau peningkatan Produktivitas Total Faktor (Total Factor Productivity - TFP). Kajian terhadap produktivitas input secara parsial belum dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usaha budidaya tambak udang secara keseluruhan. TFP merupakan konsep pengukuran produktivitas untuk menjelaskan faktor-faktor lain, selain input, yang dapat mempengaruhi perubahan output. Kajian tentang TFP pada tingkat usaha budidaya tambak udang secara khusus belum dilakukan. Bahkan pada sektor pertanian secara keseluruhan juga masih terbatas, baik dari segi jumlah maupun lingkup penelitian, seperti yang dilakukan Fuglie (2004) dan Fuglie 145
(2010). Fuglie menganalisis TFP pada sektor pertanian secara aggregat (level makro) untuk mengukur perubahan TFP antar waktu (time series) sebagai salah satu sumber pertumbuhan PDB pertanian. Penelitian Fuglie (2010) menunjukkan bahwa TFP antar periode berbedabeda, namun cenderung meningkat pada periode revolusi hijau dan liberalisasi. Sebaliknya, pada periode krisis ekonomi TFP cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi TFP. Oleh karena itu, kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi TFP menjadi penting dan menarik untuk dilakukan. Selain itu, kajian TFP umumnya dilakukan pada level aggregate (makro) dan masih sangat jarang dilakukan pada level usahatani (budidaya). Penelitian Martinez-Cordero et. al (1999) merupakan analisis TFP pada level usahatani dengan menggunakan data lintang waktu (cross section). Pada kedua penelitian tersebut, dianalisis variasi TFP antara usahatani dibandingkan dengan TFP rata-rata. Dengan menganalisis TFP pada level usahatani, maka dapat diketahui faktor-faktor apa saja selain input yang dapat mendorong peningkatan produksi. Peningkatan produksi dapat diupayakan melalui peningkatan luas lahan yang diusahakan dan peningkatan produktivitas. Pada kondisi faktor produksi lahan yang semakin terbatas, maka
peningkatan produktivitas
menjadi pilihan
penting. Produktivitas
mengandung arti kemampuan menghasilkan output dari setiap input yang digunakan. Produktivitas input secara parsial, misalnya produktivitas per lahan atau produktivitas per tenaga kerja, belum dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas budidaya tambak udang secara keseluruhan. TFP merupakan konsep pengukuran produktivitas untuk menjelaskan faktor-faktor lain, selain input, yang dapat mempengaruhi perubahan output. Dengan kata lain melalui analisis TFP dapat diidentifikasi perubahan output yang tidak dapat dijelaskan oleh perubahan input. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut (Kumar et al., 2005: Aswathy et al., 2013):
TFP index
Output Index ........................................................................... (1) Input Index
TFP dapat disebabkan karena adanya kemajuan teknologi atau technical progress, yang dapat berupa perubahan teknologi atau perbaikan teknologi.
Akibat terjadinya
kemajuan teknologi tersebut dapat menyebabkan terjadinya peningkatan efisiensi dalam penggunaan input. Peningkatan efisiensi kemudian akan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan. Teknologi dapat meliputi teknologi input, teknologi mekanik, teknologi sistem produksi, dan teknologi output. Variasi teknologi dapat mempengaruhi produktivitas sehingga melalui teknologi yang lebih baik, output tertentu dapat dihasilkan dari penggunaan input yang lebih sedikit atau penggunaan input yang sama dapat menghasilkan output yang lebih banyak. Namun perubahan teknologi dapat juga menyebabkan
146
peningkatan penggunaan input untuk menghasilkan ouput yang lebih tinggi, tetapi peningkatan output lebih tinggi dari penambahan input. Selain kemajuan teknologi, produktivitas juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal maupun internal usaha budidaya udang. Faktor internal yang utama yaitu kemampuan pembudidaya dalam mengelola usaha budidaya tambak udang. Kemampuan pembudidaya dalam mengelola sangat ditentukan oleh banyak hal, antara lain tingkat pendidikan, pengalaman, tingkat pengetahuan dan keterampilan petani.
Hal ini sering
disebut dengan faktor human capital. Peranan pembudidaya sebagai pengelola menjadi semakin besar dan penting karena pembudidaya merupakan pengambil keputusan utama dalam usaha budidaya tambak udang. Faktor internal lainnya yang perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi produktivitas yaitu kapasitas usaha yang dapat dilihat dari ukuran usaha budidaya udang (size of farm) dan ketersediaan aset lain. Ukuran usaha budidaya udang yang paling lazim digunakan yaitu luas lahan. Lahan yang lebih luas dan ketersediaan aset yang sesuai kebutuhan usahatani dapat mendorong peningkatan produktivitas usahatani. Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi produktivitas usahatani yaitu dukungan faktor eksternal, terutama ketersediaan infrastruktur pendukung, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Beberapa infrastruktur yang diperlukan dalam mendukung usahatani, antara lain infrastruktur jalan, irigasi, pasar, kelembagaan penelitian, kelembagaan penyuluhan, kredit dan kelembagaan keuangan, sistem agraria dan kebijakan yang mendukung. Beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas, di antaranya penelitian yang dilakukan: Fuglie (2010); Kumar et al. (2008); Weiping and Ying, (2007); Ashok and Balasubramanian (2006); Kalyvitis (2002); Nayak (1999); Looney (1994). Infrastruktur dapat mempengaruhi luas lahan dan produktivitas. Perubahan infrastruktur dapat mendorong perubahan luas lahan sehingga kurva luas lahan bergeser (naik atau turun) tergantung jenis komoditas. Pada komoditas udang, peningkatan infrastruktur pada tingkat harga output tetap akan menyebabkan peningkatan luas lahan. Selain itu, peningkatan infrastruktur juga akan meningkatkan produktivitas dan kurva produktivitas juga akan bergeser (meningkat). Artinya, kondisi infrastruktur yang berbeda antar usaha budidaya udang akan mengakibatkan perbedaan pada luas lahan dan produktivitas usaha budidaya udang yang pada akhirnya mempengaruhi produksi dan keuntungan usahatani. Infrastruktur dalam penelitian ini meliputi infrastruktur fisik (jalan, irigasi), kredit, dan teknologi (konservasi lahan, teknologi benih, dan diversifikasi tanaman). Berdasarkan uraian tersebut, dapat disarikan bahwa TFP dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor penting seperti kualitas sumberdaya manusia, infrastruktur, kualitas dan kapasitas aset (vintage of capital), serta penelitian dan pengembangan. 147
Pengukuran indeks TFP, seperti indeks Laspeyres, Paasche, Fisher, dan Tornqvist. Berdasarkan kriteria teori ekonomi dan pendekatan fungsional serta kriteria pendekatan pengujian, maka indeks Fisher dan indeks Tornqvist dianggap paling baik, hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Ailex Lissitsa dalam modul “Efficiency and Productivity Analysis: Deterministic Approaches. Section an Introduction to Index Number Methods”. Pengukuran indeks TFP dalam penelitian ini digunakan indeks Tornqvist.
Indeks TFP
menurut Tornqvist yang dikenal dengan nama Tornqvist Index. Tornqvist Index dapat digunakan untuk mengukur TFP antar waktu (time series data), data panel, serta antar lokasi atau antar perusahaan pada waktu tertentu (cross section data). Dalam penelitian ini diukur TFP antar usaha budidaya tambak udang pada tahun tertentu (cross-section). Mengingat bahwa produktivitas yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu produktivitas total faktor atau total factor productivity (TFP), bukan produktivitas parsial (misalnya produktivitas per luas lahan atau produktivitas per tenaga kerja), maka mengacu pada Persamaan (17), pengukuran TFP dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan cara perhitungan Tornqvist-Theil Index, seperti yang telah diterapkan oleh Hall and Jones (1997); Martinez-Cordero et al. (1999). Tornqvist-Theil Index ini dapat diaplikasikan untuk menghitung TFP setiap usaha budidaya tambak udang dibandingkan TFP rata-rata. Rumus perhitungan TFP untuk aplikasi data cross section dapat dituliskan sebagai:
TFPi avg 1 2 log Qi log Qavg S Qi S Qavg
1 2 log X i log X avg S Xi S Xavg .................................................. (2) dimana: TFPiavg = produktivitas total faktor usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i, Qi = jumlah output usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i; Qavg = rata-rata output untuk seluruh usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i; SQi = proporsi pendapatan output usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i; SQavg = rata-rata proporsi pendapatan output dari seluruh usaha budidaya tambak udang; Xki = jumlah input pada usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i; Xkavg = rata-rata input untuk seluruh usaha budidaya tambak udang; SXi = proporsi biaya input pada usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i, SXavg = rata-rata proporsi biaya input dari seluruh usaha budidaya tambak udang.
(2) Metode ITSA (Interrupted Time Series Analysis) Metode Interrupted Time Series Analysis (ITSA) adalah metode yang terkuat pada desain kuasi-eksperimen yang digunakan untuk mengevaluasi efek longitudinal terhadap intervensi yang dilakukan. Analisis regresi tersegmentasi pada data runtun waktu (time series) memungkinkan untuk menilai dalam hal beberapa aspek statistik, seperti berapa banyak intervensi yang mengubah hasil dengan segera dan dari waktu ke waktu; langsung
148
atau dengan keterlambatan; jangka pendek atau jangka panjang; atau apakah faktor-faktor lain selain intervensi bisa menjelaskan perubahan (Wagner et al, 2002). Data dikumpulkan dalam ITSA pada beberapa titik waktu sebelum dan sesudah intervensi. Tujuannya untuk mendeteksi bahwa intervensi yang dilakukan memiliki efek signifikan yang lebih besar daripada “trensekuler” yang terjadi. Metode yang digunakan untuk ITSA adalah perbandingan statistik trend saat sebelum dan sesudah intervensi (lihat Gambar 1). Sebuah gambaran dari unsur-unsur umum analisis regresi time-series tersegmentasi disajikan pada Gambar 1. Analisis memperkirakan pengaruh intervensi sementara memperhatikan trend waktu dan autokorelasi antara pengamatan. Analisis Interrupted Time Series umumnya menggunakan model ARIMA untuk menganalisis datanya, tetapi ada juga beberapa teknik statistik lainnya yang dapat digunakan yang bergantung pada karakteristik data, jumlah titik data yang tersedia dan autokorelasi yang muncul.
Slope pre
Intervention Introduced
outcome (y) Change in Level Slope post
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Time (t) Sumber: Ramsey et al, 2003
Gambar 1. Hubungan antara Intervensi dengan Outcome berdasarkan Perubahan Waktu dalam Analisis Interrupted Time Series (ITS) Perkiraan untuk koefisien regresi sesuai dengan dua ukuran efek standar diperoleh: perubahan dalam tingkat (juga disebut' langkah perubahan') dan perubahan tren sebelum dan sesudah intervensi. Menurut Ramsay(2003), perubahan tingkat didefinisikan sebagai perbedaan antara tingkat yang diamati pada titik pertamakalinya intervensi dan yang diperkirakan oleh pra-intervensi waktu trend, dan perubahan tren didefinisikan sebagai perbedaan antara sebelum dan setelahadanya intervensi yang digambarkan oleh tingkat
149
kemiringan (slope). Perubahan negatif ditingkat kemiringan dan akan menunjukkan penurunan, misalnya, tingkat infeksi.
- Desain ITSA (Interrupted Time Series Analysis) Desain interrupted time-series dapat juga digambarkan sebagai perpanjangan dari one group pretest-post test desain-desain ini diperpanjang dengan menggunakan berbagai pretests dan post-tests. Dalam jenis desain kuasi eksperimental, pengukuran berkala yang dilakukan pada kelompok sebelum presentasi (interupsi) intervensi untuk membangun dasar yang stabil. Mengamati dan menetapkan fluktuasi normal variabel dependen atas waktu memungkinkan peneliti untuk lebih akurat menginterpretasikan dampak dari independen variabel. Setelah intervensi, pengukuran lebih beberapa periodik dibuat. Ada empat variasi dasar desain ini: desain ITSA sederhana, desain ITSA pembalikan, desain beberapa runtun waktu, dan desain longitudinal (Kholistianingsih, 2005). Penjelasan versi serupa namun lebih lengkap dari desain ITSA dijelaskan oleh Biglan et al (2013). Ia menjelaskan bahwa terdapat beberapa desain dalam ITSA, seperti: AB Desain, Multiple Baseline Desain, dan ABA Desain, dan Desain Lainnya. Untuk mengetahui pengaruh beberapa kebijakan terhadap kinerja indeks TFP usaha budidaya udang di Indonesia, dalam penelitian ini digunakan desain ITSA multiple baseline.
keyakinan besar bahwa manipulasi dari peubah bebas (independent variable) yang bertanggung jawab untuk perubahan dalam time series jika ada beberapa time series, yang masing-masing menerima manipulasi atau intervensi pada titik yang berbeda dalam waktu. Desain di mana peubah bebas (independent variable) dimanipulasi di titik berbeda dalam waktu untuk time series, umumnya disebut Desain Multiple Baseline (Barlow et al., 1984; Barlow & Hersen, 1984). Secara teoritis, ada dua tipe Desain Multiple Baseline. Dalam Desain Multiple Baseline pada kasus fenomena menarik diukur berulang kali dalam dua atau lebih kasus dan manipulasi peubah bebas (independent variable) terjadi pada waktu yang berbeda untuk kasus yang berbeda. Salah satu kesulitan dengan desain tersebut adalah bahwa mungkin dua atau lebih fenomena yang sedang diukur adalah saling berkaitan dengan cara-cara yang menyebabkan semua mereka untuk berubah ketika intervensi diterapkan salah satu dari mereka (Barlow & Hersen, 1984). Barlow et al. (1984) telah menyebutkan perbandingan yang dapat dibuat dalam beberapa desain awal yang melibatkan beberapa
seri waktu untuk menilai apakah
manipulasi peubah bebas (independent variable) mempengaruhi peubah bebas (dependent
150
variable).
Pertama, dalam setiap satu deret waktu dapat memeriksa apakah kemiringan
atau tingkat perubahan deret waktu ketika bebas bebas (independent variable) dimanipulasi. Kedua, seseorang dapat membandingkan perubahan yang terkait dengan memanipulasi peubah bebas (independent variable) dalam time series pertama dengan perubahan dalam time series yang tidak menerima manipulasi peubah bebas (independen variable).
Ketika
perubahan dalam seri pertama adalah ditambah dengan tidak adanya perubahan dalam dua detik seri, kesimpulan bahwa peubah bebas (independent variable) membawa perubahan yang diperkuat. Ketiga, dalam kelipatan dasar tiga seri, efek peubah bebas (independen variable) pada seri kedua dapat dibandingkan dengan seri ketiga kalinya. Replikasi efek dalam seri kedua, disertai dengan tidak ada perubahan dalam seri ketiga tidak diintervensi (unintervened), bahkan memberikan bukti kuat pengaruh peubah bebas (independent variable).
Spesifikasi Model ITSA (Interrupted Time Series Analysis) Spesifikasi model ITSA (Interrupted Time Series Analysis) dalam penelitian ini berkaitan dengan intervensi “Program Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia” dan kebijakan lainnya yang pernah diimplementasikan oleh pemerintah pada tahap awal selama periode tahun 2005-2009, kemudian tahap kedua dimulai lagi sejak tahun 2012 hingga saat ini (masih berlangsung). Dengan demikian penyusunan spesifikasi model ITSA yang digunakan dalam penelitian ini merupakan spesifikasi model ITSA dari kasus yang tersegmentasi menurut periode (tahapan) implementasi program revitalisasi, dan distruktur dengan menggunakan Desain ITSA Multiple Baseline dengan menggunakan regresi yang tersegmentasi, sebagaimana yang pernah digunakan oleh Wagner et al., (2002). Secara teoritis, spesifikasi model ITSA dengan regresesi tersegmentasi tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu: model tanpa mempertimbangkan aspek interaksi antarkebijakan, dan model dengan mempertimbangkan aspek interaksi antarkebijakan. Namun, dalam penelitian ini dibatasi hanya dengan menggunakan spesifikasi model ITSA tanpa mempertimbangkan aspek interaksi antarkebijakan. Spesifikasi model ini mengikuti prosedur yang melibatkan model regresi sebelum intervensi kebijakan dan menggunakan model yang dihasilkan untuk membentuk lintasan hasil dalam periode waktu setelah kebijakan intervensi berupa kebijakan (policy). Hal ini diikuti dengan pengamatan yang kontras pada pasca-intervensi dengan hasil yang mereka harapkan (diprediksi oleh model regresi) di bawah adanya intervensi kebijakan. Model berbasis regresi memiliki fleksibilitas untuk memperhitungkan kecenderungan sementara serta menyesuaikan kovariat penting dan interaksi mereka. Perbedaan antara hasil yang diharapkan dan data yang diamati setelah perubahan kebijakan 151
yang kemudian dirata-ratakan untuk memperkirakan efek kebijakan. Uji statistik yang resmi seperti dua sample t-test, dapat digunakan untuk menguji apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam efek kebijakan antara kelompok sasaran utama yang menarik dan kelompok pembanding (Perancis dan Heagerty, 2008). Dengan demikian, model ITSA yang digunakan dalam penelitian ini dapat dispesifikasi menggunakan analisis regresi tersegmentasi tanpa mempertimbangkan aspek interaksi antarkebijakan, sebagai beikut (Wagner et al., 2002): Yt = β0 + β1 timet + β2 intervention_1t + β3 time after intervention_1t + β4 intervention_2t + β5 time after intervention_2t + β6 intervention_2t + β7 x time after intervention_2t + β8 time after intervention_3t + et ..................... (3) dimana: Yt timet intervention_1t
= produktivitas budidaya tambak udang (produksi per hektar) = periode waktu usaha budidaya tambak udang pada tahun ke-t = intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang tahap 1 pada tahun ke-t time after intervention_1t = periode waktu setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang tahap 1 pada tahun ke-t intervention_2t = intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang tahap 2 pada tahun ke-t time after intervention_2t = periode waktu setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang tahap 2 pada tahun ke-t intervention_3t = intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t time after intervention_3t = periode waktu setelah intervensi kebijakan penguatan sarana pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t β0 = koefisien intersep (dugaan level dasar dari produktivitas budidaya tambak udang pada saat dimulainya series data) β1 = koefisien parameter dugaan trend dasar perubahan produktivitas budidaya tambak udang per tahun pada segmen sebelum intervensi kebijakan β2 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam level pada segmen setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang pada tahap 1 β3 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam trend pada segmen setelah kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang pada tahap 1 β4 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam level pada segmen setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang pada tahap 2 β5 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam trend pada segmen setelah kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang pada tahap 2 β6 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam level pada segmen setelah intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang
152
β7
= koefisien parameter dugaan perubahan dalam trend pada segmen setelah intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang = dugaan eror atau galat (peubah gangguan) ke-t
e1
Metode Pendugaan Model ITSA Pendugaan terhadap model ITSA dapat dilakukan dengan mengunakan pendugaan kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood Estimation – MLE) dan pendugaan Bayessian (Bayessian Estimations - BE).
Namun dalam penelitian digunakan metode
pendugaan MLE yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Menurut Juanda (2009), penduga kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood Estimators – MLE) memfokuskan fakta bahwa populasi-populasi (yang dicirikan dengan parametrnya) berbeda dalam membangkitkan contoh-contoh yang berbeda; suatu contoh apapun yang sedang dikaji kemungkinan (peluang) – nya lebih besar berasal dari beberapa populasi daripada dari populasi lainnya. Misalnya, jika seseorang melakukan sampling dengan pelemparan-pelemparan koin dan kemudian diperoleh rata-rata contoh 0,5 (merepresentasikan setengahnya keluar “angka” dan setengahnya keluar “gambar”), maka populasi paling mungkin dari mana contoh diambil adalah suatu populasi yang rata-ratanya
( X ) 0,5. Gambar 4 mengilustrasikan suatu kasus yang lebih umum dimana suatu contoh (Y1, Y2, ..., Y3) diketahui akan diambil dari suatu populasi normal dengan ragam diketahui tapi nilai tengah tidak diketahui. Asumsikan bahwa pengamatan-pengamatan berasal dari sebara (distribution) A atau sebaran (distribution) B.
Jika populasi (asal) sebenarnya adalah B,
maka peluang bahwa kita telah memperoleh contoh tersebut dari B sangat kecil. Akan tetapi jika populasi (asal) sebenarnya adalah A, maka peluang bahwa kita telah memperoleh contoh tersebut dari A sangat besar. Jadi, pengamatan-pengamatan “memilih” populasi A sebagai populasi asal yang paling mungkin telah membangkitkan data pengamatan tersebut.
Secara teortis, MLE didefenisikan sebagai suatu parameter β sebagai nilai yang paling mungkin membangkitkan pengamatan-pengamatan contoh Y1, Y2, ..., Y3. Secara umum, jika Yi menyebar normal, dan masing-masing nilai Y diambil secara bebas, maka MLE akan memaksimumkan nilai:
pY1 pY2 pYn ......................................................................... (4) dimana e = exponential, dan p(Yi) merepresentasikan suatu peluang yang dikaitkan, misalnya, dengan sebaran normal (normal distribution). Jadi MLE merupakan suatu fungsi
153
dari contoh (sample) Yi yang terambil, i = 1, 2, ..., n. Suatu contoh yang berbeda dapat menghasilkan keungkinan maskimum (maximum likelihood - ML) yang berbeda. Persamaan (3) sering disebut sebagai “fungsi kemungkinan” (likelihood function). Fungsi kemungkinan ini tidak hanya tergantung dari nilai-nilai contoh Yi tapi juga parameter
yang tidak diketahui (akan diduga). Dalam menggambarkan fungsi kemungkinan, kita sering berfikir bahwa parameter yang tidak diketahui (akan diduga) dapat bervariasi, sedangkan yang tidak diketahui (akan diduga) dapat bervariasi, sedangkan nilai Yi tetap. Prosedur metode MLE adalah dengan mencari dugaan parameter yang paling mungkin membangkitkan data contoh tersebut, atau yang memaksimumkan fungsi kemungkinan pada Persamaan (3). Sebagai ilustrasi, misalnya kita ingin mencari MLE mengenai parameter dari model:
Yi X i i ......................................................................................... (5) Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing Yi menyebar normal dengan nilai tengah (α + βXi), dan ragam σ2. Sebaran peluang dapat dituliskan secara eksplisit sebagai berikut:
p Yi
1 Yi X i 2 ............................................. (6) exp 2 2 2 2 1
Oleh karena itu, fungsi peluang bersamanya (likelihood function) adalah:
Y1 , Y2 , , Yn , , , 2 pY1 pY2 pYn .............................................. (7)
n
Y, i 1
1 2 exp Yi X i ............................ (8) 2 2 2 2 1
Karena vektor pengamtan
tetap, maka fungsi kemungkinan pada Persamaan (8)
2 hanya merupkan funsgi dari vektor parameter , , yang tidak diketahui. Kita
ingin mencari nilai
α, β, dan σ2 yang menghasilkan fungsi kemungkinan bernilai
maksimum. Untuk ini, kita turunkan fungsi Persamaan (8) terhadap masing-masong dari tiga parameter yang tidak diketahui tersebut, kemungkinan hasil turunannya disamakan dengan nol, dan dicari nilai dugaan dan tiga parameter tersebut. Sebenarnya lebih mudah mencari turunan ini dengan terlebih dahulu mentrasformasi4 Persamaan (8) ke dalam bentuk logaritma (natural) –nya, sehingga diperoleh fungsi log likelihood sebagai berikut:
n n 1 L ln ln 2 ln 2 2 2 2 2
n
Y i 1
i
X i ....................... (9) 2
Turunan parsial Persamaan (9) terhadap α, β, dan σ2 menghasilkan: Transformasi monoton, dengan pengertian jika 1 2 , maka L1 < L2 karena nilai selalu negatif 4
154
L 1 2
Y
L 1 2
X Y
X i 0 ............................................................... (10)
i
i
L n 1 2 2 2 2
i
X i 0 ........................................................... (11)
X Y i
i
X i 0 ...............................................(12)
Solusi Persamaan (10) sampai Persamaan (12) menghasilkan penduga kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood Estimator - MLE) sebagai berikut:
Y X
;
X X Y Y X X i
i
2
i
Yi X ; 2 n
2
... (13)
Jelaslah bahwa nilai dugaan α dan β dengan metode MLE seperti pada Persamaan (13) sama dengan snilai dugaan dengan metode OLS. Oleh karena itu, kedua metode ini menghasilkan penduga α dan β yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimators). Akan tetapi nilai dugaan σ2 dengan metode maximum likelihood (ML) bersifat bias meskipun konsisten, tidak sama dengan nilai dugaan σ2 dengan metode OLS.
HASIL DAN PEMBAHASAN Telaah Dinamika Produktivitas Budidaya Tambak Udang di Indonesia Pertumbuhan indeks output, indeks input, dan indeks TFP periode tahun 1989-2013 disajikan pada Gambar 6, sedangkan pertumbuhan per periode disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Gambar 6, pada sepanjang periode 1989-2013 indeks output mencapai puncaknya yang meningkat menjadi sebesar 266,39% pada tahun 2008 yang kemudian menurun hingga tahun 2013, dan indeks input mencapai puncaknya yang meningkat menjadi sebesar 439,26% pada tahun 2008 yang kemudian menurun hingga tahun 2013, sedangkan indeks TFP relatif stagnan. Artinya, pertumbuhan output lebih disebabkan pertumbuhan input (faktor produksi) --bukan karena pertumbuhan TFP--, terutama pertumbuhan benur, obat-obatan, energi, dan pakan. Berikut disajikan pembahasan perkembangan output, input, dan TFP periode penelitian. Hal ini disebabkan belum dapat di atasinya masalah penyakit.
- Perkembangan Output, 1989 - 2013 Komoditas udang di Indonesia diperoleh dari hasil budidaya di tambak dan hasil penangkapan yang berasal dari tangkapan di laut dan di perairan umum. Perkembangan 155
kuantitas produksi udang berdasarkan sumbernya disajikan pada Gambar 1, Tabel 1, dan Tabel 2. Gambar 1 memperlihatkan adanya peningkatan cukup signifikan pada udang hasil budidaya, sedangkan udang hasil tangkapan relatif stagnan. Dalam perkembangannya sejak tahun 1983 hingga 2013, produktsi udang Indonedia dari hasil kegiatan usaha budidaya pada periode sebelum tahun 1991 masih berada di bawah tingkat produksi hasil tangkapan. Kemudian pada periode 1991 hingga 1993, produksi udang hasil usaha budidaya pernah hampir menyamai produksi udang tangkap, namun kembali di bawah udang tangkapan hingga tahun 1997, meskipun dengan kecenderungan yang meningkat. Dalam perkembangannya sejak tahun 1997 hingga 2005, kinerja produksi udang Indonesia mengalami pernurunan di bawah periode 1994-1996. Hal ini diduga karena adanya serangan wabah penyakit udang tambak yang sangat menggangu produksi udang di Indonesia. Namun tingkat produksi tersebut tetap menunjukkan kecenderungan yang meningkat hingga kembali menyamai produksi udang tangkap pada tahun 2005 dan bahkan mampu melampaui produksi udang tangkap pada tahun-tahun berikutnya hingga sekarang.
Sumber: Statistik Perikanan Budidaya dan Statistik Perikanan Tangkap (berbagai edisi)
Gambar 5. Perkembangan Produksi Udang Indonesia Hasil Budidaya di Tambak dan Hasil Penangkapan,Tahun 1989-2013 Kemudian berdasarkan data pada Tabel 1, terjadi peningkatan produksi udang hasil budidaya sampai dengan tahun 2008, dan terjadi penurunan produksi pada tahun 2009 kemudian meski secara perlahan terus mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2013 yang meningkat secara drastis. Selama horizon data 1983 hingga 2013, tampak bahwa terdapat 156
kecenderungan peningkatan produksi udang budidaya, sebaliknya pada udang hasil perikanan tangkap yang mengalami kecenderungan semakin menurun. Terjadi dua waktu dimana produksi udang budidaya hampir menyamai produksi udang tangkap, yaitu pada tahun 1992 dan tahun 2004. Selanjutnya pada periode tahun 2004 terjadi kondisi berbalikan (trajectory) antara udang dari hasil budidaya dan tangkap, dimana udang hasil budidaya mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan udang hasil tangkapan.
Tabel 1. Produksi Udang dari Hasil BudidayaTambak Indonesia Menurut Varietas, Tahun 1989-2013 (ton) Tahun
Udang Windu
Udang Putih
Udang Vaname
Udang Api-api
Udang Lainnya
Total
1983
7,550
8,316
-
11,729
159
27,595
1984
10,315
9,421
-
12,250
104
31,986
1985
13,068
12,001
-
12,330
257
37,399
1986
15,424
13,575
-
11,889
929
40,888
1987
25,202
16,951
-
13,754
3,014
55,907
1988
44,450
17,793
-
15,208
334
77,451
1989
63,676
15,520
-
15,032
1,143
94,228
1990
67,355
17,590
-
20,961
1,359
105,906
1991
96,811
19,337
-
20,248
3,735
136,396
1992
98,358
21,779
-
21,449
104
141,586
1993
87,285
29,167
-
22,106
228
138,558
1994
83,193
23,860
-
25,353
2,652
132,406
1995
89,344
31,676
-
24,196
1,392
145,216
1996
96,237
28,822
-
26,027
673
151,086
1997
96,317
30,609
-
40,191
328
167,117
1998
74,824
22,589
-
20,434
264
117,847
1999
92,726
28,872
-
19,255
93
140,853
2000
93,759
28,965
-
20,453
544
143,177
2001
103,603
25,862
-
19,093
610
149,168
2002
112,840
24,708
-
21,634
415
159,597
2003
133,836
35,249
-
22,881
700
192,666
2004
131,399
33,797
53,217
-
20,154
238,567
2005
134,682
27,088
103,874
-
13,895
279,539
2006
147,867
36,187
141,649
-
-
325,703
2007
133,113
16,995
179,966
-
27,165
357,239
2008
134,930
32,143
208,648
-
32,264
407,985
2009
124,561
22,365
170,969
-
19,120
337,015
2010
125,519
16,424
206,578
-
30,806
379,327
2011
126,157
10,757
246,420
-
-
383,334
2012
116,311
13,128
238,663
-
27,971
396,073
2013
168,318
17,665
376,189
-
28,086
590,258
157
Sumber: Statistik Perikanan Budidaya (berbagai terbitan)
Berdasarkan varietas, sampai dengan tahun 2006 produksi udang windu mengalami peningkatan, dan sejak tahun 2007 produksi udang vaname telah melampaui udang windu (Tabel 1), sebaliknya, udang hasil penangkapan relatif stabil (Tabel 2).
Kemudian
berdasarkan varietas dapat pula ditunjukkan bahwa udang putih mendominasi disusul jenis udang lainnya. Dibandingkan dengan udang hasil budidaya, size/ukuran udang hasil tangkapan memiliki keragaman cukup besar.
Tabel 2. Produksi Udang Hasil Penangkapan Menurut Varietas, Tahun 1989-2013 (ton) Tahun
Udang Windu
Udang Putih
Udang Dogol
Udang Krosok
Udang Ratu/Raja
Udang Karang/Barong
Udang Lainnya
Total
1983
10,726
37,380
15,865
-
-
763
46,650
111,384
1984
14,209
26,128
14,105
-
-
473
46,513
101,428
1985
10,431
29,610
13,338
-
-
448
53,313
107,140
1986
14,097
32,887
16,479
-
-
1,257
52,987
117,707
1987
10,720
35,766
17,588
-
-
965
66,868
131,907
1988
12,301
42,750
17,244
-
-
1,319
80,192
153,806
1989
12,003
42,925
15,094
-
-
925
72,322
143,269
1990
11,647
41,330
14,564
-
-
826
76,452
144,819
1991
13,743
41,731
16,348
-
-
1,398
78,215
151,435
1992
15,649
47,726
16,241
-
-
2,398
83,641
165,655
1993
16,116
43,925
15,814
-
-
1,208
79,714
156,777
1994
16,960
47,237
20,364
-
-
2,021
91,152
177,734
1995
24,501
50,477
22,863
-
-
2,852
81,261
181,954
1996
19,393
53,913
22,285
-
-
2,463
89,215
187,269
1997
25,929
53,924
32,588
-
-
4,021
95,790
212,252
1998
30,047
62,192
40,717
-
-
2,394
87,200
222,550
1999
34,223
64,179
33,847
-
-
3,244
103,372
238,865
2000
40,987
66,644
38,925
-
-
3,596
98,880
249,032
2001
43,759
65,269
36,358
-
-
4,490
113,161
263,037
2002
38,088
69,508
33,570
-
-
4,758
95,561
241,485
2003
34,190
66,501
34,178
-
-
5,348
100,221
240,438
2004
34,533
68,699
38,438
2,763
134
5,439
95,907
245,913
2005
30,380
61,950
31,506
6,456
126
6,648
71,473
208,539
2006
37,460
59,838
26,859
4,342
328
5,254
93,083
227,164
2007
42,036
81,193
33,455
6,819
661
4,705
90,107
258,976
2008
26,492
73,870
34,718
5,922
1,011
9,896
85,013
236,922
2009
24,637
71,993
46,740
6,003
656
5,892
80,949
236,870
2010
28,319
76,419
39,605
15,116
979
7,651
59,237
227,326
2011
26,417
83,619
47,272
20,077
1,738
10,541
70,892
260,556
2012
27,959
87,405
45,227
17,692
3,258
13,549
67,942
263,032
158
2013
27,851
87,069
45,053
17,624
3,245
13,497
67,681
262,020
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap (berbagai terbitan)
Selanjutnya berdasarkan data pada Tabel 3, pada keseluruhan periode 1989-2013, laju pertumbuhan output tertinggi terjadi pada udang vaname disusul ikan bandeng, dan udang windu. Diduga karena udang vaname memiliki produktivitas lebih tinggi. Akan tetapi, dari sisi pangsa terhadap penerimaan urutannya yaitu udang windu, udang vaname dan ikan bandeng. Udang windu memiliki pangsa terhadap total penerimaan lebih tinggi dibandingkan udang vaname dikarenakan harga jualnya relatif lebih tinggi. Tabel 3. Rata-rata Pertumbuhan Output dan Penggunaan Input Budidaya Tambak Udang Indonesia, Tahun 1989-2013
No. A. 1.
Variabel
OUTPUT Udang Windu (ton) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa udang windu terhadap total penerimaan (%) 2. Udang Vaname (ton) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa udang vaname terhadap total penerimaan (%) 3. Udang Putih (ton) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa udang putih terhadap total penerimaan (%) 4. Ikan bandeng (ton) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa ikan bandeng terhadap total penerimaan (%) Sumber: Data sekunder diolah (2015)
Periode Pengamatan 1994199920041998 2003 2008
19892013
19891993
20092013
109.321 5,14 58,81
87.452 10,0 70,1
87.983 -2,4 64,7
107.352 12,6 69,0
136.398 0,4 48,5
132.173 6,10 30,41
192.617 27,90 14,32
0 0 0
0 0 0
0 0 0
137.471 31,30 28,86
247.764 15,31 39,86
24.446 5,08 7,41
44.659 11,5 17,6
54.751 -0,5 19,9
49.394 6,8 12,0
185.823 38,2 38,7
16.068 -6,98 2,20
243.492 7,37 18,67
146.234 8,4 12,3
153.570 -0,3 15,4
218.351 8,2 19,0
249.766 4,8 12,8
454.994 16,05 25,58
Berdasarkan empat periode pengamatan, pada tahun 1994-1998 laju pertumbuhan output baik untuk udang windu, udang putih, maupun ikan bandeng bernilai negatif. Hal tersebut diduga karena belum berhasil di atasinya penyakit. Pada periode tahun 1989-1993, udang tambak terserang penyakit Monodon Baculo Virus (MBV). Kondisi tersebut berlanjut sehingga pada tahun 2000/2001 dan sampai sekarang. Menurut Widigdo (2005) akibat serangan penyakit, kuantitas ekspor tahun 2000 turun menjadi 70 ribu ton dan 90% dari 350 ribu ha tambak dalam kondisi terlantar. Pada periode 1999-2003, laju pertumbuhan output menjadi positif yaitu sebesar 12.6% untuk udang windu, 6.8% untuk udang vaname, dan 8.2% untuk ikan bandeng. Peningkatan tersebut diduga karena tersedianya sumber air hasil dari pembangunan jaringan irigasi melalui dana SPL-OECF/JBIC dengan nilai sekitar Rp300 milyar. Peningkatan produksi 159
juga diduga akibat perubahan kewenangan dari semula setingkat Ditjen Perikanan menjadi setingkat Kementerian (Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan/DELP) pada akhir tahun 1999 dan terdapat peningkatan anggaran. Pada periode berikutnya yaitu 2004-2008, laju pertumbuhan udang windu jauh berkurang, dan udang vaname memiliki laju pertumbuhan tertinggi. Pangsa penerimaan dari udang vaname juga meningkat, akan tetapi masih lebih rendah dibandingkan pangsa penerimaaan dari udang windu. Adanya pergantian dari udang windu menjadi udang vaname, secara tidak langsung cukup membantu Indonesia dalam menghasilkan devisa, serta mempertahankan pangsa pasar.
- Perkembangan Input (Faktor Produksi), 1989-2013 Berdasarkan data pada Tabel 4, pangsa pengeluaran faktor produksi terhadap biaya total terbesar adalah pakan, disusul upah, energi, benur, pupuk dan obat. Pakan merupakan penyumbang terbesar pada sistem intensif, sedangkan upah tenaga kerja merupakan penyumbang terbesar sistem usaha budidaya non intensif (semi-intensif dan ekstensif).
Tabel 4. Rata-rata Pertumbuhan Penggunaan Input Budidaya Tambak Udang Indonesia, Tahun 1989-2013
No. 1.
2.
3.
4.
5.
Variabel Benur (juta ekor) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa biaya benur terhadap total pengeluaran (%) Pupuk (ribu liter) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa biaya pupuk terhadap total pengeluaran (%) Tenaga Kerja(OH) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa upah tenaga kerja terhadap total pengeluaran Pakan (ribu kg) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa biaya pakan terhadap total pengeluaran (%) Obat-obatan(ribu liter) Laju pertumbuhan/tahun
Periode Pengamatan 1994199920041998 2003 2008 14.450 33.328 37.925 53,3 13,5 12,2
19892013 22.571 28,17
19891993 5.054 53,0
20092013 88.824 13,92
13,32
13,0
14,6
17,8
9,9
11,30
26.864 10,24
13.572 7,1
9.050 1,4
8.092 4,1
17.715 22,1
85.584 16,52
0,6
0,7
0,4
0,6
0,6
0,5
54.561 6,43
33.306 5,4
42.026 4,0
59.781 9,6
88.571 6,1
99.746 7.07
32,29
31,6
30,1
34,1
30,4
35,23
305.888 10,64
133.189 9,9
146.234 -1,9
159.625 10,4
328.849 16,1
767.323 18,69
39,80
42,8
39,5
38,3
42,7
35,70
23.960 20,13
417 -5,5
334 15,6
675 9,1
724 36,8
117.555 44,65
160
(%) Pangsa biaya obat terhadap 0,3 total pengeluaran (%) 6. Energi (ribu KwH) 426,358 Laju pertumbuhan /tahun 44,08 (%) Pangsa biaya energi 15,4 terhadap total pengeluaran (%) Sumber: Data sekunder diolah (2015)
0,3
0,1
0,4
0,2
0,3
284.448 38,6
712.901 22,8
572.825 1,9
1350.847 53,0
2128,869 104,1
11,7
15,5
8,9
16,6
24,3
Dari lima periode pengamatan, penggunaan benur tumbuh 53.0% per tahun pada periode 1994-1998, disusul energi 22.8% per tahun. Hal tersebut diduga karena adanya upaya intensifikasi, dan pada saat bersamaan juga terjadi serangan penyakit sehingga pembudidaya berupaya menambah kincir yang menyebabkan biaya pengeluaran untuk energi dan obat-obatan meningkat. Di lain pihak, laju pertumbuhan pakan bernilai negatif diduga karena berkurangnya masa pemeliharaan akibat terserang penyakit, dan berkurangnya penggunaan pakan akibat kenaikan harga pakan pada saat krisis moneter. Pada periode 2004-2008 pangsa pengeluaran untuk energi meningkat karena terjadinya kenaikan harga BBM. Pergantian dari udang windu ke udang vaname juga menyebabkan terjadinya peningkatan padat tebar sehingga pemakaian pakan dan kincir menjadi lebih banyak. Adapun peningkatan laju pertumbuhan penggunaan obat, diduga terkait dengan serangan penyakit yang belum dapat sepenuhnya diatasi.
- Perkembangan Produktivitas (Indeks TFP), 1989-2013 Gambar 6 memperlihatkan hasil analisis perkembangan indeks TFP budidaya udang tambak di Indonesia selama periode 1989-2014. Berdasarkan Gambar 6, diketahui bahwa selama kurun waktu penelitian (periode 1989-2014), telah terjadi beberapa implementasi kebijakan/program berkaitan kondisi usaha budidaya udang tambak di Indonesia. Seperti adanya kegiatan rehabilitasi dan pembangunan saluran tambak melalui SPL-JBIC/INP-23 periode tahun 1999-2002 yang diduga mampu menahan penurunan TFP dari periode sebelumnya. Pada periode ini ditunjukkan pula Tren indeks TFP yang meningkat, hal ini diduga di samping karena dukungan rehabilitasi dan pembangunan saluran tambak juga karena introduksi udang vaname. Namun, pada tahun 2002 indeks TFP kembali menurun karena serangan penyakit.
Setelah periode tahun 2002, indeks TFP secara perlahan
meningkat meskipun masih dalam kondisi fluktuatif.
Kondisi seperti ini tampak terus
berlangsung hingga tahun 2014, dan tampak menonjol peningkatannya pada tahun 2006 dan 2011. Hal ini diduga berhubungan dengan dilaksanakannya program revitalisasi pada periode I (2006-2009) dan periode II sejak tahun 2012 dan masih terus berlangsung hingga saat ini. 161
Program Udang Nasional, 1982-1995
Intoduksi Resmi Vaname
Intoduksi Tidak Resmi Vaname Inbudkan MBV
Protekan
YHV
TSV, WSSV, IMNV
Irigasi: SPL/JBIC
Revitalisasi-1
Revitalisasi2
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2015) Gambar 6. Indeks TFP Budidaya Udang Indonesia menurut Harga Konstan Tahun 1989 =100, Selama Era Sisa Kejayaan (1989-1995), Era Penurunan Kinerja (19962005), dan Era Kebangkitan/Revitalisasi (2006-2014)
Secara keseluruhan sejak periode tahun 1989 hingga 2014, tampak kinerja TFP budidaya udang Indonesia masih belum optimal. Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah serangan penyakit yang belum sepenuhnya dapat diatasi, dan benur belum sepenuhnya bebas penyakit dan bersertifikat. Berdasarkan Gambar 28, tampak bahwa serangan penyakit berpengaruh negatif dan signifikan terhadap TFP. Udang tambak termasuk yang rentan terkena serangan penyakit. Jenis virus yang menyerang tersebut antara lain: White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), dan Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV). Sebagai ilustrasi, produksi udang tambak tahun 2009 hanya sebanyak 336.0 ribu ton dari target 540.0 ribu ton, atau turun dari capaian tahun 2008 sebanyak 409.6 ribu ton. Penyebabnya, udang di dua wilayah utama yaitu Lampung dan Jawa Timur terkena serangan penyakit yang disebabkan oleh virus. Serangan penyakit tersebut tidak hanya menyerang udang yang dipelihara oleh tambak perorangan, akan tetapi termasuk juga perusahaan terintegrasi. Kuantitas produksi perusahaan terintegrasi dibawah PT. CP Prima Grup, pada tahun 2008 mencapai sekitar 97 ribu ton, sedangkan pada tahun 2009 hanya sekitar 57 ribu ton. Produktivitas udang turun dari 20 ton per Ha menjadi 17- 18 ton per ha.
162
Dari hasil pengamatan lapang, sekitar 70% responden menyatakan faktor yang paling menentukan keberhasilan budidaya udang adalah terhindarnya dari serangan penyakit. Responden menyebutkan bahwa rata-rata udang mereka mulai terserang penyakit pada umur pemeliharaan 30 sampai dengan 60 hari. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi pengurangan risiko serangan penyakit dilakukan dengan mengganti varietas yang digunakan dari udang windu ke udang vaname. Upaya lainnya yaitu melalui penurunan padat tebar. Di samping itu, kemampuan dan akses ke modal untuk pembudidaya skala kecil juga terbatas. Penerapan teknologi lebih bersifat anjuran dan paket teknologi yang dihasilkan oleh Unit Pelakaana Teknis (UPT) lingkup Ditjen Perikanan Budidaya dan Badan Litbang juga belum banyak diadopsi oleh pembudidaya karena keterbatasan pembiayaan. Selain itu, kegiatan pemerintah lebih banyak kepada pemberian bantuan langsung kepada pembudidaya skala kecil, dan tidak langsung terkait dengan peningkatan produktivitas karena keterbatasan anggaran.
Pengaruh Beberapa Kebijakan terhadap Produktivitas Budidaya Udang di Indonesia Pengaruh kebijakan terhadap kinerja produktivitas (TFP) usaha budidaya udang di Indonesia difokuskan pada tiga buah kebijakan, yaitu: (1) Kebijakan Penguatan Sarana Infrastruktur Pengairan melalui program pembangunan dan rehabilitasi saluran irigasi tambak yang telah dilakukan bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 1999-sekarang; (2) Kebijakan Revitalisasi Tambak Udang Nasional Tahap 1 yang dilakukan pada tahun 2006-2009 melalui Kerangka Kebijakan Revitalisasi Perikanan Nasional; dan (3) Kebijakan Revitalisasi Tambak Nasional Tahap 2 yang diimplementasikan melalui program demfarm (tahun 2012 hingga sekarang).
Ketiga kebijakan tersebut
dianalisis pengaruhnya terhadap dinamika produktivitas (TFP) usaha budidaya udang di Indonesia. Berdasarkan hasil pengujian pendekatan ITSA tanpa mempertimbangkan interaksi antarkebijakan yang diduga menggunakan metode pendugaan Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood Estimations – MLE), seperti ditunjukkan pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan pada taraf α =5% berpengaruh cukup nyata terhadap produktivitas (Total Factor productivity - TFP) usaha budidaya udang nasional, sedangkan kebijakan Revitalisasi Tahap 1 dan 2 pada taraf α =10% belum secara nyata mempengaruhi TFP usaha budidaya udang di Indonesia. Satu dari kekuatan studi menggunakan metode Interrupted Time Series Analysys (ITSA) adalah diperolehnya gambaran intiutif hasil presentasi secara grafis dan pemeriksaan secara visual sepanjang waktu sebagai langkah awal ketika dilakukan analisis data time 163
series. Secara visual kita membandingkan pola series waktu sebelum intervensi kebijakan dengan pola setelah intervensi kebijakan dan kemudian menilai (assess) jika setelah invetsni kebikjakan, pola series waktu mengalami perubahan secara notisiabel (noticeably) dalam hubungannya dengan pola kondisi sebelum intervensi kebijakan. Tabel 5. Hasil Pendugaan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Total Factor Productivity Usaha Budidaya Udang di Indonesia Descriptions
Coefficient
Standart Error
tstatistic
Pvalue
Significancy
a. Full segmented regression model Intercept (β0)
0.2421
0.0748
3.2363
0.0012
***
Baseline trend (β1)
0.0035
0.0068
0.5164
0.6128
ns
Level change after irrigation rehabilitation policy (β2)
0.3926
0.1572
2.4972
0.0043
***
Trend change after irrigation rehabilitation policy (β3)
0.0264
0.0193
1.3684
0.1849
ns
Level change after first revitalization policy (β4)
0.0079
0.0325
0.2417
0.3264
ns
Trend change after first revitalization policy (β5)
0.0401
0.0642
0.6253
0.7146
ns
Level change after second revitalization policy (β6)
0.2037
0.4873
0.4181
0.5382
ns
Trend change after second revitalization policy (β7)
0.0463
0.0611
0.7573
0.8832
ns
b. Most parsimonious segmented regression model Intercept (β0)
0.1985
0.0311
6.3841
0.0001
***
Level change after irrigation rehabilitation policy (β2)
0.1772
0.0563
3.1473
0.0017
***
Level change after first revitalization policy (β4)
0.0030
0.0183
0.1652
0.2419
ns
Level change after second revitalization policy (β6)
0.0069
0.0279
0.2479
0.3361
ns
Sumber: Hasil pengolahan data sekunder (2015) Keterangan: *** = nyata pada taraf α = 0,01; ** = nyata pada taraf α = 0,05; * = nyata pada taraf α = 0,10; dan ns = tidak nyata
Untuk itu, lihat titik data pada Gambar 6, kita dapat mengetahui adanya titik-titik data yang menunjukkan kecendenderungan tidak terus menurun, tetapi cenderung meningkat meskipun pada rentang yang sempit. Seperti titik data pada tahun 1999 yang tampaknya mengindikasikan adanya pengaruh intervensi kebijakan yang mampu menahan penuruan TFP usaha budidaya udang Indonesia pada tahun-tahun (titik-titik data) setelahnya. 164
Sementara pada titik-titik data sebelumnya, yaitu sejak tahun 1989 hingga 1989 cenderung terjadi tren yang menurun akibat adanya tekanan produksi akibat serangan penyakit pada udang windu dari virus White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), dan Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV). MBV dan YHV. Namun sejak adanya intervensi kebijakan rehabilitasi saluran irigasi tambak melalui program pembangunan dan rehabilitasi saluran irigasi tambak yang telah dilakukan bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 1999-sekarang yang diikuti dengan introduksi udang vanamei, tampak tekanan produksi udang di Indoneaia relatif tertahan, sehingga dapat mendongkrak kinerja indeks TFP usaha budidaya udang Indonesia pada tahun-tahun berikutnya. Secara statistik, dengan menggunakan model ekonometrika ITSA yang diduga berdadsakan metode Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood Estimations – MLE), diktehaui bahwa perubahan level kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan tersebut berpengaruh cukup nyata terhadap produktivitas (Total Factor productivity - TFP) usaha budidaya udang nasional, pada taraf α =5% dengan koefisien parameter sebesar 0,3926. Angka koefisien parameter tersebut berarti bahwa setiap peningkatan penguatan kebijakan tersebut sebesar 10% akan meningkatkan kinerja indeks TFP usaha budidaya udang Indonesia sebesar 39,26%. Namun, dalam hal perubahan tren, kebijakan tersebut pada taraf α =10% tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kinerja TFP usaha buiddaya udang Indonesia. Fenome yang serupa dengan pengaruh intervensi kebijakan penguatan sarana irigasi tambak tersebut juga ditunjukkan oleh pengaruh intervensi kebijakan reviatalisasi budidaya tambak udang tahap 1 dan tahap 2. Namun, kedua kebijkan tersebut baik pada perubahan level maupun perubahan tren kebijakan, keduanya pada taraf α =10% tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Hal ini diduga karena implementasi kebijakan revitalisasi usaha budidaya tambak udang di Indonesia belum diimplementasi pada skala yang massif, tetapi masih terbatas pada beberapa daerah di Indonesia yang dilakukan secara sporadik di beberapa kecamatan sentra budidaya udang. Oleh karena itu, pada tingkat nasional pengaruhnya terhadap peningkatan produktivitas (TFP) udang Indonesia belum memberikan pengaruh yang nyata. Di samping itu, juga diduga karena berdasarkan hasil pengamatan di lapang masih ditemukan beberapa hal yang berkontribusi terhadap pengaruh yang tidak nyata tersebut.
Hal-hal tersebut,
seperti terkait dengan kurang intensifnya sosialisasi dan monitoring terkait dengan penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi budidaya udang tambak di Indonesia, dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah untuk menjaga keberlanjutannya, dan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia 165
sarana, pihak mitra dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong percepatan industri budidaya udang di Indonesia.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Dinamika kinerja indeks produktivitas (Total Factor Productivity – TFP) usaha budidaya udang di Indonesia selam periode 1989 hingga 2013 mengalami kondisi pasangsurut tetapi masih berada di bawah (belum melampaui) kinerj TFP tahun 1998, serta diwarnai oleh kondisi yang menghambat kinerja indeks TFP tersebut seperti serangan penyakit, dan kondisi yang mendukung seperti intervensi berbagai kebijakan yang terkait. Kebijakan penguatan sarana irigasi tambak yang diimplementasi melalui program rehabilitasi dan pembangunan saluran pengairan/irigasi tambak udang sejak tahun 1999 hingga sekarang ternyata memberikan pengaruh yang nyata dalam memperbaiki kinerja produktivitas (indeks TFP) usaha budidaya udang di Indonesia.
Sementara, kebijakan
revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia tahap satu yang diimplementasi pada tahun 2006-2009 maupun tahap dua yang dimplementasi sejak tahun 2012 hingga sekarang ternyata tidak berpengaruh nyata dalam memperbaiki kinierja produktivitas (indeks TFP) usaha budidaya udang di Indonesia.
Implikasi Kebijakan Untuk mempercepat capaian kinerja program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, perlu dilakukan beberapa alternative kebijakan, yaitu: (1) Meningkatkan jumlah wilayah penerima program revitalisasi budidaya udang tambak di Indonesia, yang diikuti dengan mengintensifkan sosialisasi dan monitoring terkait dengan penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi budidaya udang tambak di Indonesia. (2) Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah untuk menjaga keberlanjutannya. (3) Meningkatkan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia sarana, pihak mitra dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong percepatan industri budidaya udang di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
166
Ashok, K.R. dan R. Balasubramanian. 2006. Role of Infrastructure in Productivity and Diversification of Agriculture. South Asia Network of Economic Research Institutes (SANEI), Pakistan Institute of Development Economics, Islamabad, Pakistan. Aswathy, N., R. Narayanakumar, S.S. Shyam, V.P. Nipinkumar, S. Suriakose, R. Geetha, and N.K. Harshan. 2013. Total Factor Productivity in Marine Fisheries of Kerala. Indian, J. Fish., 60(4): 77-80, 2013. Avila, A.F.D. dan R.E. Evenson. 2004. Total Factor Productivity Growth in Agriculture: the role of technological capital. Yale University, New Heaven. Biglan, A., A. Dennid, A.C. Wagenaar. 2000. The Value of Interrupted Time-Series Experiments for Cummunity Intertvention Research. Prevention Science, Vol. 1. No. 1, 2000. Cordero, M. F.J., Fitzgerald, W.J., dan Leung, P.S. 1999. Evaluation of Productivity in Extensive Aquaculture Practices Using Interspasial TFP Indeks, Sulawesi, Indonesia. Journal of Asian Fisheries Science. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines. Hal 223-234. Ditjen Perikanan Budidaya. 2014. Revitalisasi Udang Vaname akan Diperluan. Diunduh dari Website http://www.neraca.co.id/industri/27307/Revitalisasi-Udang-VanameAkan-Diperluas-- html pada tanggal 24 Februari 2015. DJPB DKP. 2005. Laporan Survey Udang Tambak Pembudidaya dan Perusahaan Perikanan Budidaya. Subdit Data dan Statistik Perikanan Budidaya, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan. 1989-2008. Statisitik Perikanan Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta. DJPB. 2013. Laporan Kegiatan: Revitalisasi Tambak Udang Th. 2012 dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Budidaya Udang Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kelautan dan Perikanan. DJPB. 2014. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2005—2025.Diunduh dari website http://www.litbang.pertanian.go.id/special/rppk/ pada tanggal 30 Juni 2015. DKP. 2005. Revitalization Aquaculture 2005-2009. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Ehui, S. K. dan Jabbar, M. A. 2002. Measuring Productivity in African Agriculture: A Survey of Application of the Superlative Indeks Number Approach. Socio-economics and Policy Resources Working Paper 38. ILRI (International Livestock Research Institute). Nairobi. Kenya. 22 p. Evenson, R. E. dan Fuglie, K. O. 2009. Technology Capital: The Price of Admission to the Growth Club. Makalah dipresentasikan dalam Konfrensi Internasional Ekonomi Pertanian ke-27. 16-22 Agustus 2009. Beijing. FAO (Food and Agriculture Organization). 2001. Production, Accessibility, Marketing and Consumtion Patterns of Freshwater Aquaculture Products in Asia: A Cross-Country Comparison. FAO. Rome. 167
Fuglie, KO. 2004. Productivity Growth in Indonesia Agriculture, 1961-2000. 2004. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 40, No. 2. Geoffrey, M., D.DeMatteo, D.Festinger. 2005. Essentials of Research Design and Methodology. New Jersey: John Willey and Sons. Gottschalk, L. 1975/ Pengantar Metode Sejarah. Universitas Indonesia. Jakarta. Iyengar, N.S. dan P. Sudarshan. 1982. A Method of Classifying Regions from Multivariate data’, Economic and Policy Weekly, Vol. 17 (51), pp: 2048-2052. Juarno, O. 2011. Daya Saing Udang Tambak Indonesia di Pasar Internasional terkait dengan Peningkatan Produktivitas dan Mutu. Disertasi IPB. Tidak dipublikasikan. Bogor. Kiani A.K., M. Iqbal, and T. Javed. 2008. Total Faktor Productivity and Agricultural Research Relationship: Evidence from Crops Sub-Sector of Pakistan’s Punjab. European Journal of Scientific Research, 23(1):87-97. KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). 2009. Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2008. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Kumar. A., Jha, D. and Pandey, U. K. 2005. Total factor productivity of the livestock sector in India. In: Joshi, P. K., Pal, S., Birthal, P. S. and Bantilan, M. C. S. (Eds.), Impact of agricultural research: Post-Green Revolution evidence from India. National Centre for Agricultural Economics and Policy Research, New Delhi, India and International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics, Patancheru, Andhra Pradesh, India, p. 205-216 Kumar P, S Mittal dan M Hossain. 2008. Agricultural Growth Accounting and Total Factor Productivity in South Asia: A Review and Policy Implications. Agricultural Economics Research Review. Vol 21 July – December 2008 pp 145 – 172. Lakitan, B. 2010. Kontribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan. Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Tidak dipublikasikan. Jakarta. Looney RE. 1994. The Impact of Infrastructure on Pakistan’s Agricultural Sector. The Journal of Developing Areas, 28 (July 1994): 469-486. Martinez–Cordero F.J, W.J. Fitgerald and PS. Leung. 1999. Evaluation of Productivity in Extensive Aquaculture Practices Using Interspatial TFP Index, Sulawesi, Indonesia. Asian Fisheries Science, 12 : 223 – 234. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines. Maulana, M, 2004. Peranan Luas Lahan, Intensitas Pertanaman dan Produktivitas sebagai Sumber Pertumbuhan Padi Sawah di Indonesia. Jurnal Agro ekonomi, 22(1):74-95. Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 2005. The Revitalization of Aquaculture 2006— 2009. Jakarta: Ministry of Marine Affairs and Fisheries. Nayak P. 1999. Infrastructure: Its Development and Impact on Agriculture in North-East India. Journal of Assam University, vol. IV (1): 59-65. Nazir, M.. 2003. Metode Ilmiah. Ghalia Indonesia. Jakarta.
168
Piska, R. S. dan Naik, S. J. K. 2005. Fresh Water Aquaculture. Intermediate Vocational Course State Institute of Vocational Education University College of Science Osmania University. Hyderabad. Pusdatin. 2006. Revitalisasi Perikanan 2005. Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan. Ramsay, C.R., L. Matowe, R. Grilli, J.M. Grimshaw, and R.E. Thomas. 2003. Interrupted Time Series Designs in Health Technology Assesment: Lessons From Two Systematic Reviews of Beahviour Change Strategies. International Journal of Health Technology Assesment in Health Care; 19: 613-23. Suparyati, A. 1999. Analisis Dampak Keterbukaan Ekonomi dan Stabilitas Makroekonomi terhadap Pertumbuhan Total Factor Productivity Indonesia. Thesis Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan. Squires, D. 1988. Index Number and Productivity Measurement in Multispecies Fisheries: An Application to the Pacific Coast Trawl Feet. NOAA Technical Report NMFS 67. U.S. Department of Commerce. Wagner, A.K., S.B. Soumerai, F. Zhang and D. Ross-Degnan. 2002. Segmented Regression Analysis Of Interrupted Time Series Studies In Medication Use Research. Journal of Clinical Pharmacy and Therapeutics (2002) 27, 299–309. Wang, J. J.J., S. Walter, R. Grzebieta, and J. Oliver. 2013. A comparison of Statistical Methods in Interrupted Time Series Analysis to Estimate an Intervention Effect. Proceedings of the 2013 Australian Road Safety Research. Policing and Education Conference 28th – 30th August, Brisbane, Queensland. Weiping and Ying, (2007); Weiping C and D Ying. 2007. Total Factor Productivity in Chinese Agriculture: The Role of Infrastructure. 2 (2) : 212 – 223. DOI 10.1007/s11459-007-0011-3, Front, Econ, China. Widarjono, A. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisis Kedua. Penerbit Ekonisia. Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta. Yu, B. 2005. Agriculture Productivity and Institutions in Sub-Sahara Africa. Dissertation. Faculty of The Graduate and the University of Nebrasca. Nebrasca.
169
LAMPIRAN 2
NASKAH REKOMENDASI KEBIJAKAN (RK) DINAMIKA TOTAL FACTOR PRODUKTIVITY USAHA BUDIDAYA UDANG INDONESIA PERIODE 1989-2013 DAN PENGARUH BEBERAPA KEBIJAKAN Kegiatan Penelitian KAJIAN EKONOMI REVITALISASI INDUSTRI BUDIDAYA UDANG
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2015
170
REKOMENDASI KEBIJAKAN
PERCEPATAN REVITALISASI INDUSTRI BUDIDAYA UDANG DI INDONESIA MELALUI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS Oleh: Tajerin, Estu Sri Luhur, Mira dan Noviardy
RINGKASAN REKOMENDASI Hasil evaluasi program revitalisasi industri udang di Indonesia yang dilakukan oleh Ditjen Perikanan Budidaya pada tahun 2010 menyatakan bahwa sebagian sasaran yang telah ditentukan masih belum tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, program revitalisasi industri budidaya udang kemudian terus dilanjutkan kembali pada tahun 2012 hingga sekarang (2015). Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi dan kinerja program revitalisasi industri budidaya udang masih menghadapi berbagai kendala terutama terkait dengan peningkatan aspek produktivitas faktor total (Total Factor Productivity – TFP), di samping itu, kebijakan/program revitalisasi tahap 1 dan 2 masih belum menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap produktivitas (TFP) usaha budidaya udang tersebut. Untuk mempercepat revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, diperlukan rekomendasi : (a) Meningkatkan jumlah penerima bantuan program revitalisasi yang diikuti dengan mengintensifkan sosialisasi dan monitoring terkait dengan penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi budidaya tambak udang di Indonesia yang disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah. (b) Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata diselaraskan program daerah untuk mengurangi ekslufisitas. (c) Meningkatkan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia sarana produksi, mitra dan sektor perbankan untuk ikut peduli dalam mendorong industri budidaya udang di Indonesia
ANALISIS SITUASI DAN TANTANGAN Pemerintah mengimplementasi kebijakan dan program revitalisasi industri budidaya udang periode 2006—2009 (Tahap I) dilanjutkan 2012-2014 (Tahap II). Hasil evaluasi program revitalisasi industri udang di Indonesia yang dilakukan oleh Ditjen Perikanan Budidaya pada tahun 2010 menyatakan bahwa sebagian sasaran yang telah ditentukan masih belum tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Program revitalisasi industri budidaya udang kemudian terus dilanjutkan kembali pada tahun 2012 yang diintegrasikan ke dalam program Industrialisasi Perikanan, khusunya yang dilakukan dengan lebih mengoptimalkan segala sumberdaya yang dimiliki Indonesia. 171
Program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia masih terkendala oleh banyak faktor dalam meningkatkan produktivitasnya. Untuk itu, diperlukan penelitian yang mampu memberikan masukan bahan rekomendasi kebijakan untuk mempercepat revitalisasi industri budidaya udang tambak di Indonesia, khususnya melalui peningkatan produktivitas.
Metode Penelitian Untuk mendukung penyusunan rekomendasi kebijakan perrrcepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia melalui peningkatan produktivitas, diperlukan bahan masukanan yang dalam hal ini diperoleh melalui pelaksanaan kegiatan penelitian dengan metode peneltian seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Tujuan, Jenis Data, Sumber data, Metode Pengambilan Data dan Metode Analisis yang digunakan Dalam Penelitian Metode pengambilan data
Tujuan
Jenis data
Sumber data
Menelaah dinamika produktivitas udang dan mengkaji peran kebijakan pemerintah
Sekunder
- DJPB - Instansi terkait lainnya
Desk study
Pendekatan Sejarah dan Ekonomi menggunakan model ITSA (Interpreted Time Seires Analysis)
Mengukur kinerja budidaya/produkti vitas dan faktorfaktor yang mempengaruhinya serta menganalisis faktor-faktor penentu pengambilan keputusan pembudidaya
Primer dan Sekunder
-
Pengamatan Survey
- Tornqvish Theil Index TFP - Pendekatan Ekonometrika Model Regresi Sederhana - Model Ekonomentrika Regresi Pilihan Kualitatif (Peluang Linier, Probit, dan Logit).
Pembudidaya Dinas KP DJPB Dinas terkait
Metode analisis
Temuan Analisis Hasil olahan data sekunder menunjukkan bahwa pada periode 1983—2013, udang hasil budidaya memiliki kecenderungan peningkatan produksi, seba-liknya produksi udang hasil tangkapan memiliki kecenderungan yang makin menurun. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.
172
Sumber: Hasil pengolahan data dari sumber DJPB (2015)
Gambar 1.
Perkembangan Produksi Udang Hasil Budidaya dan Tangkap di Indonesia Selama Periode 1983-2013
Kemudian berdasarkan hasil analisis pendekatan sejarah, diketahui bahwa terdapat sebanyak lima era dinamika budidaya udang: di Indonesia, yaitu: 1) Era Pra dan Awal Budidaya Udang (1964—1970): pengenalan benur, budidaya udang teknologi tradisional/ekstensif, dan dibangunnya hatchery pertama dan RCU Jepara. 2) Era Perintisan Teknologi Intensif (1971—1981) 3) Era Kejayaan (1982—1995): pemantapan dan komersialisasi budidaya udang (Program Udang Nasional); 4) Era Penurunan Kinerja (1996—1999): serangan wabah penyakit dan kasus PT Dipasena sbg suplayer utama dan terbesar Indonesia; 5) Era Revitalisasi/Kebangkitan Budidaya Udang (2000 — sekarang): revitalisasi tambak idle dan pembukaan tambak baru (Mendorong dari semi intensif menjadi intentisif; atau dari ekstensif ke semi intensif kemudian menjadi intensif) Dari kelima era industrialisasi budidaya udang tersebut, bila difokuskan pada kondisi sisa kejayaan hingga sekarang maka dapat dilihat dinamika/perkembangan kondisi produktivitas budidaya udang Indonesia yang diukur berdasarkan indeks Total Factor Productivity (TFP) pendekatan Tornqvish dengan menggunakan rentang waktu sejak tahun 1998 hingga 2013, dapat dilihat berbagai kebijakan yang turut mempengaruhi produktifitas tersebut serta perkembangan TFP usaha budidaya udang di Indonesia yang belum optimal selama periode tersebut. Secara rinci hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.
173
Sumber: Hasil Pengolahan data sekunder dari DJPB (2015)
Gambar 2. Perkembangan Indeks TFP Budidaya Udang Tambak Indonesia menurut Harga Konstan Tahun 1989 =100 Selama Era Sisa Kejayaan, Era Penurunan Kinerja, dan Era Kebangkitan/Revitalisasi Kondisi kinerja TFP yang belum optimal pada usaha budidaya udang di Indonesia selama periode 1998 hingga 2013, diduga disebabkan beberapa faktor, antara lain: (1) Serangan penyakit pada kegiatan usaha budidaya udang belum sepenuhnya dapat diatasi, serta benur belum sepenuhnya bebas penyakit dan bersertifikat. (2) Kemampuan dan akses ke modal untuk pembudidaya skala kecil juga terbatas. (3) Penerapan teknologi lebih bersifat anjuran dan paket teknologi yang dihasilkan oleh Unit Pelakaana Teknis (UPT) lingkup Ditjen Perikanan Budidaya dan Badan Litbang juga belum banyak diadopsi oleh pembudidaya karena keterbatasan pembiayaan. (4) Kegiatan pemerintah lebih banyak kepada pemberian bantuan langsung kepada pembudidaya skala kecil, dan tidak langsung terkait peningkatan produktivitas karena keterbatasan anggaran. Selama era revitalisasi industri budidaya udang, kebijakan yang pernah dilaksanakan pada era revitalisasi: program INBUDKAN tahun 2002, Minapolitan Budidaya (2010— 2012), Program Revitalisasi Tahap 1 (2006-2009), Industrialisasi (2012—sekarang) dan Program Revitalisasi Tambak Nasional – RENAL melalui demfarm (2012—sekarang). Berdasarkan hasil pengujian pendekatan ITSA (Interrupted Time Series Analysis) terhadap intervensi kebijakan budidaya udang di Indonesia diketahui bahwa : Hasil pengujian pendekatan ITSA tanpa mempertimbangkan ineraksi antar-kebijakan yang diduga menggunakan metode pendugaan Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood Estimations – MLE), diketahui bahwa kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan pada taraf α =5% berpengaruh cukup nyata terhadap produktivitas (Total Factor productivity - TFP) usaha budidaya udang nasional, sedangkan kebijakan Revitalisasi Tahap 1 dan 2 pada taraf α =10% belum secara nyata mempengaruhi TFP usaha budidaya udang di Indonesia. Sementara, dengan mempertimbangkan faktor interaksi antar kebijakan, yakni dengan kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan/irigasi berupa program rehabilitasi dan 174
pembangunan saluran tambak melalui SPL-JBIC/INP-23 sejak 1999-2002, ternyata menunjukkan bahwa model tidak dapat dilakukan pendugaan karena mengalami permasalahan near singular matrix. Tabel 2. Hasil Pendugaan Pengaruh Beberapa Kebijakan hadap Kinerja TFP Usaha Budidaya Udang di Indonesia sejak 1998-2013
Sumber: Hasil Pengolahan Data Sekunder DJPB (2015)
Berbeda dengan kondisi kinerja TFP usaha budidaya udang di tingkat nasional sejak 1998 hingga 2013 yang belumk optimal, ternyata kinerja TFP di tingkat lapang justru relative lebih baik. Hasil verifikasi pengukuran TFP usaha budidaya udang program revitalisasi di tingkat lapang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kisaran Angka Indeks TFP Usaha Budidaya Udang di Lokasi Penelitian (Tingkat Lapang)
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer (2015)
175
Secara empiris, berdasarkan hasil pendugaan menggunakan model regresi sederhana (OLS) seperti ditunjukkan oleh Tabel 4, diketahui bahwa TFP (produktivitas) usaha budidaya udang di tingkat lapang tersebut dipengaruhi secara nyata pada taraf taraf α = 0,01 oleh faktor: (1) Indeks kualitas benih udang; (2) Indeks kualitas pakan udang; dan (3) Dummy Kerjasama; dan dipengaruhi secara nyata pada taraf α = 0,05 oleh faktor: (1) Tingkat pengalaman usaha budidaya, (2) Kondisi infrastruktur irigasi, dan (3) Dummy serangan penyakit. Kemudian dipengaruhi secara nyata pada taraf α = 0,10 oleh faktor: (1) Tingkat pendidikan formal.
Tabel 4. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi TFP Usaha Budidaya Udang di Tingkat Lapang (2015)
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer (2015)
Kemudian Berdasarkan hasil pendugaan menggunakan model regresi pilihan repons kualitatif LOGIT dengan menggunakan metode ML –Binary diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap keputusan pembudidaya dalam melakukan revitalisasi usaha budidaya udang (demfarm) di tingkat lapang pada taraf α = 0,01 adalah (1) Kondisi infrastruktur irigasi, (2) Dummy penguasaan teknologi/pendampingan, dan (3) Kualitas bantuan sarana produksi; dan pada taraf α = 0,01 adalah: (1) Ketersediaan benih udang berkualitas dan terjangkau; (2) Ketersediaan pakan udang berkualitas dan terjangkau; (3) Tingkat pendidikan formal; serta pada taraf α = 0,10 adalah: (1) Tingkat pengalaman usaha budidaya udang. 176
Tabel 5. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pembudidaya Mengikuti Program Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Tingkat Lapang (2015)
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer (2015)
SIMPULAN ANALISIS Untuk analisis tingkat nasional, dapat disimpulkan dua hal penting , yaitu sebagai berikut: 1) Terdapat lima era dinamika budidaya udang di Indonesia, yaitu: (a) Era Pra dan Awal Budidaya Udang (1964—1970); (b) Era Perintisan Teknologi Intensif (1971—1981); (c) Era Kejayaan (1982—1995); (d) Era Penurunan Kinerja (1996—1999); dan (e) Era Revitalisasi/Kebangkitan Budidaya Udang (2000 — sekarang). 2) Kebijakan/Program Revitalisasi di Indonesia belum secara nyata mempengaruhi kinerja produktivitas (Total Factor productivity - TFP) usaha budidaya udang, sedangkan kebijakan rehabilitasi pengairan memberikan pengaruh yang nyata. Kemudian untuk analisis tingkat lapang, dapat disimpulkan tiga hal penting, yaitu sebagai berikut: 1) Kinerja TFP (produktivitas) usaha budidaya udang di tingkat lapang bervariasi antar lokasi pengamatan, yaitu berkisar antara 0,81 – 2,67; dengan TFP rata-rata sebesar 1,79 177
yang tergolong cukup baik karena indeks output 1,79 kali lebih besar dari indeks inputnya. 2) Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap TFP (produktivitas) usaha budidaya udang di tingkat lapang adalah: indeks mutu benih udang, indeks mutu pakan udang, pendidikan formal, pengalaman usaha pembudidaya, kondisi infrastruktur irigasi, dummy serangan penyakit dan dummy kerjasama. 3) Keputusan pembudidaya terkait dengan revitalisasi usaha budidaya ditentukan oleh faktor: ketersediaan benih udang, ketersediaan pakan, tingkat pendidikan formal, pengalaman usaha budidaya, kondisi infrastruktur, dummy penguasaan teknologi, dan bantuan sarana produksi.
ALTERNATIF KEBIJAKAN 1) Untuk mempercepat capaian kinerja program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, perlu dilakukan beberapa alternatif kebijakan, yaitu: 2) Meningkatkan jumlah wilayah penerima program revitalisasi budidaya udang tambak di Indonesia, yang diikuti dengan mengintensifkan sosialisasi dan monitoring terkait dengan penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi budidaya udang tambak di Indonesia. 3) Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah untuk menjaga keberlanjutannya. 4) Meningkatkan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia sarana, pihak mitra dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong percepatan industri budidaya udang di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Ashok, K.R. dan R. Balasubramanian. 2006. Role of Infrastructure in Productivity and Diversification of Agriculture. South Asia Network of Economic Research Institutes (SANEI), Pakistan Institute of Development Economics, Islamabad, Pakistan. Aswathy, N., R. Narayanakumar, S.S. Shyam, V.P. Nipinkumar, S. Suriakose, R. Geetha, and N.K. Harshan. 2013. Total Factor Productivity in Marine Fisheries of Kerala. Indian, J. Fish., 60(4): 77-80, 2013. Avila, A.F.D. dan R.E. Evenson. 2004. Total Factor Productivity Growth in Agriculture: the role of technological capital. Yale University, New Heaven. Bourgeois, R and F. Jesus. 2004. Participatory Proepective Analysis, Exploring and Anticipating Chalanges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverty through Secondary Crops Development in Asia and The Pacific and French Agricultural Research center for International development. Monograph (46): 1-29.
178
Biglan, A., A. Dennid, A.C. Wagenaar. 2000. The Value of Interrupted Time-Series Experiments for Cummunity Intertvention Research. Prevention Science, Vol. 1. No. 1, 2000. Cordero, M. F.J., Fitzgerald, W.J., dan Leung, P.S. 1999. Evaluation of Productivity in Extensive Aquaculture Practices Using Interspasial TFP Indeks, Sulawesi, Indonesia. Journal of Asian Fisheries Science. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines. Hal 223-234. Crespi, V dan A. Coche. 2008. Glossary of Aquaculture. Food and Agriculture Organization. Rome. Diop, H., R.W. Harrison, and W.R. Keithly, Jr. 1999. Impact of Increasing Imports on the United States Southeastern Region Shrimp Processing Industri 1973-1996. Selected paper for Presentation at the August 8-11 Annual Meeting of the American Agricultural Economics Association in Nashville, Tennessee. Durance, P., and M. Godet. 2010. Scenaerion Building: Technol.Forecast.Sos. Change, 77: 1488-1492.
Uses and Abuses.
Ditjen Perikanan Budidaya. 2014. Revitalisasi Udang Vaname akan Diperluan. Diunduh dari Website http://www.neraca.co.id/industri/27307/Revitalisasi-Udang-VanameAkan-Diperluas-- html pada tanggal 24 Februari 2015. DJPB DKP. 2005. Laporan Survey Udang Tambak Pembudidaya dan Perusahaan Perikanan Budidaya. Subdit Data dan Statistik Perikanan Budidaya, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan. 1989-2008. Statisitik Perikanan Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta. DJPB. 2013. Laporan Kegiatan: Revitalisasi Tambak Udang Th. 2012 dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Budidaya Udang Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kelautan dan Perikanan. DJPB. 2014. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2005—2025.Diunduh dari website http://www.litbang.pertanian.go.id/special/rppk/ pada tanggal 30 Juni 2015. DKP. 2005. Revitalization Aquaculture 2005-2009. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Ehui, S. K. dan Jabbar, M. A. 2002. Measuring Productivity in African Agriculture: A Survey of Application of the Superlative Indeks Number Approach. Socio-economics and Policy Resources Working Paper 38. ILRI (International Livestock Research Institute). Nairobi. Kenya. 22 p. Evenson, R. E. dan Fuglie, K. O. 2009. Technology Capital: The Price of Admission to the Growth Club. Makalah dipresentasikan dalam Konfrensi Internasional Ekonomi Pertanian ke-27. 16-22 Agustus 2009. Beijing. FAO (Food and Agriculture Organization). 2001. Production, Accessibility, Marketing and Consumtion Patterns of Freshwater Aquaculture Products in Asia: A Cross-Country Comparison. FAO. Rome. 179
Fuglie, KO. 2004. Productivity Growth in Indonesia Agriculture, 1961-2000. 2004. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 40, No. 2. Geoffrey, M., D.DeMatteo, D.Festinger. 2005. Essentials of Research Design and Methodology. New Jersey: John Willey and Sons. Gottschalk, L. 1975/ Pengantar Metode Sejarah. Universitas Indonesia. Jakarta. Iyengar, N.S. dan P. Sudarshan. 1982. A Method of Classifying Regions from Multivariate data’, Economic and Policy Weekly, Vol. 17 (51), pp: 2048-2052. Juarno, O. 2011. Daya Saing Udang Tambak Indonesia di Pasar Internasional terkait dengan Peningkatan Produktivitas dan Mutu. Disertasi IPB. Tidak dipublikasikan. Bogor. Kiani A.K., M. Iqbal, and T. Javed. 2008. Total Faktor Productivity and Agricultural Research Relationship: Evidence from Crops Sub-Sector of Pakistan’s Punjab. European Journal of Scientific Research, 23(1):87-97. KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). 2009. Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2008. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Kumar. A., Jha, D. and Pandey, U. K. 2005. Total factor productivity of the livestock sector in India. In: Joshi, P. K., Pal, S., Birthal, P. S. and Bantilan, M. C. S. (Eds.), Impact of agricultural research: Post-Green Revolution evidence from India. National Centre for Agricultural Economics and Policy Research, New Delhi, India and International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics, Patancheru, Andhra Pradesh, India, p. 205-216 Kumar P, S Mittal dan M Hossain. 2008. Agricultural Growth Accounting and Total Factor Productivity in South Asia: A Review and Policy Implications. Agricultural Economics Research Review. Vol 21 July – December 2008 pp 145 – 172. Lakitan, B. 2010. Kontribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan. Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Tidak dipublikasikan. Jakarta. Looney RE. 1994. The Impact of Infrastructure on Pakistan’s Agricultural Sector. The Journal of Developing Areas, 28 (July 1994): 469-486. Mangkusubroto, K. dan Trisnadi C.L. 1985. Analisis Keputusan Pendekatan Sistem dan Manajemen Usaha dan Proyek. Ganesa Exacta. Bandung. 271 hlm. Marzuki, 2002. Metodoligi Riset, Fakultas Ekonomi UII. Yogyakarta. Martinez–Cordero F.J, W.J. Fitgerald and PS. Leung. 1999. Evaluation of Productivity in Extensive Aquaculture Practices Using Interspatial TFP Index, Sulawesi, Indonesia. Asian Fisheries Science, 12 : 223 – 234. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines. Masyarakat Akuakultur Indonesia. 2012. Revitalisasi Tambak Pantura Jangan Karena Asal Kebut Produksi. Diunduh dari Website hhttp://regional.kompasiana.com/2012/12/11/revitalisasi-tambak-pantura-jangankarena-asal-kebut-produksi.html. pada tanggal 24 Februari 2015. Maulana, M, 2004. Peranan Luas Lahan, Intensitas Pertanaman dan Produktivitas sebagai Sumber Pertumbuhan Padi Sawah di Indonesia. Jurnal Agro ekonomi, 22(1):74-95. 180
Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 2005. The Revitalization of Aquaculture 2006— 2009. Jakarta: Ministry of Marine Affairs and Fisheries. Nanga, Muana. 2001. Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. Edisi Perdana. Rajawali Press. Jakarta. Nayak P. 1999. Infrastructure: Its Development and Impact on Agriculture in North-East India. Journal of Assam University, vol. IV (1): 59-65. Nazir, M.. 2003. Metode Ilmiah. Ghalia Indonesia. Jakarta. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta. Tiara Wacana. Piska, R. S. dan Naik, S. J. K. 2005. Fresh Water Aquaculture. Intermediate Vocational Course State Institute of Vocational Education University College of Science Osmania University. Hyderabad. Purnomo, A.H., S.H. Suryawati, Hikmah, dan Y. Hikmayani. 2011. Minapolitan: Konsep, Pengembangan dan Aplikasinya dalam Revitalisasi Perikanan. Jakarta: Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 124 hal. Pusdatin. 2006. Revitalisasi Perikanan 2005. Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan. Ramsay, C.R., L. Matowe, R. Grilli, J.M. Grimshaw, and R.E. Thomas. 2003. Interrupted Time Series Designs in Health Technology Assesment: Lessons From Two Systematic Reviews of Beahviour Change Strategies. International Journal of Health Technology Assesment in Health Care; 19: 613-23. Rogers, E.M. dan F.F. Shoemaker. 1987. Communication of Innonvations. New York (US). The Free Press. Syamsudin, H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Suparyati, A. 1999. Analisis Dampak Keterbukaan Ekonomi dan Stabilitas Makroekonomi terhadap Pertumbuhan Total Factor Productivity Indonesia. Thesis Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan. Squires, D. 1988. Index Number and Productivity Measurement in Multispecies Fisheries: An Application to the Pacific Coast Trawl Feet. NOAA Technical Report NMFS 67. U.S. Department of Commerce. Wagner, A.K., S.B. Soumerai, F. Zhang and D. Ross-Degnan. 2002. Segmented Regression Analysis Of Interrupted Time Series Studies In Medication Use Research. Journal of Clinical Pharmacy and Therapeutics (2002) 27, 299–309. Wang, J. J.J., S. Walter, R. Grzebieta, and J. Oliver. 2013. A comparison of Statistical Methods in Interrupted Time Series Analysis to Estimate an Intervention Effect. Proceedings of the 2013 Australian Road Safety Research. Policing and Education Conference 28th – 30th August, Brisbane, Queensland.
181
Weiping and Ying, (2007); Weiping C and D Ying. 2007. Total Factor Productivity in Chinese Agriculture: The Role of Infrastructure. 2 (2) : 212 – 223. DOI 10.1007/s11459-007-0011-3, Front, Econ, China. Widarjono, A. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisis Kedua. Penerbit Ekonisia. Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta. Yu, B. 2005. Agriculture Productivity and Institutions in Sub-Sahara Africa. Dissertation. Faculty of The Graduate and the University of Nebrasca. Nebrasca.
182