LAPORAN TEKNIS T.A. 2016
KEPATUHAN PELAKU USAHA TERHADAP KEWAJIBAN PEMENUHAN PERSYARATAN “EKOLABELING” KOMODITAS UDANG DAN TUNA DI PASAR INTERNASIONAL
PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TIM PENYUSUN 2 0 1 6 i
TIM PENYUSUN Radityo Pramoda, SH, SE, MM Risna Yusuf, M.Si Drs. Muhajir, MM Hertria Maharani Putri, MBA Bayu Vita Indahyanti, SH Rismutia Hayu Deswati, SE Ahmad Akmal, SE
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Satuan Kerja (Satker)
:
Judul Kegiatan
:
Status Pagu Anggaran Tahun Anggaran Sumber Anggaran
: : : :
Pejabat Penanggung jawab Output (PPO) Penanggung Jawab Pelaksana Output (PJPO)
:
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Kepatuhan Pelaku Usaha terhadap Kewajiban Pemenuhan Persyaratan “Ekolabeling” Komoditas Udang dan Tuna di Pasar Internasional Baru/ Lanjutan *) Rp. 300.000.000,2016 APBN/APBNP *) DIPA Satker Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2016 Radityo Pramoda, SH, SE, MM
:
Radityo Pramoda, SH, SE, MM
Jakarta,
Maret 2016
Pejabat Penanggung Jawab Output
Penanggung Jawab Pelaksana Output
(RadityoPramoda, SH, SE, MM) NIP. 19741103 200801 1 009
(RadityoPramoda, SH, SE, MM) NIP. 19741103 200801 1 009
Mengetahui/Menyetujui: Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Ir. Tukul Rameo Adi, MT NIP. 19610210 1990 03 1 001
iii
PROPOSAL TEKNIS KEGIATAN TAHUN 2016 1.
JUDUL KEGIATAN
2.
SUMBER : DAN TAHUN ANGGARAN STATUS : Baru PENELITIAN PROGRAM : Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan a. Komoditas : Perikanan b. : Bidang/Masalah Dimensipembangunansektorunggulan V Kedaulatan Pangan Kedaulatan Energi dan Kelistrikan Kemaritiman Pariwisata, Industri, IPTEK c. Penelitian : Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Pengembangan Jenis Penelitian: Penelitian Dasar V Penelitian Terapan Pengembangan Eksperimental d. Manajemen : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Penelitian
3. 4.
:
Kepatuhan Pelaku Usaha terhadap Kewajiban Pemenuhan Persyaratan “Ekolabeling” Komoditas Udang dan Tuna di Pasar Internasional APBN/ APBNP 2016 *)
e. Isu Strategis Pembangunan KP 2015-2019 : Pemberantasan IUU Fishing V Penciptaan Iklim Usaha Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan V Penciptaan Iklim Usaha Perikanan Budidaya yang Berkelanjutan V Penguatan Pasca Panen dan Jaringan Pemasaran Hasil Kelautan dan Perikanan yang Bernilai Tambah Penguatan Pulau-Pulau Kecil Terluar, Rehabilitasi dan Konservasi Swasembada Garam Industri Penguatan Kapasitas SDM dan Inovasi IPTEK KP f. Dukungan terhadap Agenda Pembangunan Nasional (Nawa Cita) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya V Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional V Wujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi Domestik
iv
g. Dukungan terhadap Indikator Kinerja BSC Jumlah WPP yang Terpetakan Potensi di bidang sumberdaya sosial ekonomi KP untuk Pengembangan Ekonomi Kelautan yang Berkelanjutan Jumlah Rekomendasi penelitian sosial ekonomi KP yang diusulkan untuk dijadikan bahan kebijakan V Jumlah Rekomendasi dan Masukan Kebijakan Sosial Ekonomi KP V Jumlah Data dan/atau Informasi Ilmiah KP V Jumlah Karya Tulis Ilmiah yang diterbitkan Model Sosial Ekonomi Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan Proporsi fungsional PPSEKP dibandingkan total pegawai PPSEKP Jumlah sarana dan prasarana, serta kelembagaan litbang sosial eknomi KP yang ditingkatkan kapasitasnya Jumlah jejaring dan/ atau kerjasama litbang sosial eknomi KP yang terbentuk Proporsi kegiatan penelitian terapan dan pengembangan eksperimental dibandingkan total kegiatan penelitian sosial eknomi KP Indeks kompetensi dan integritas PPSEKP Persentase unit kerja PPSEKP yang menerapkan sistem manajemen pengetahuan yang terstandar Nilai Kinerja Reformasi Birokrasi PPSEKP Nilai kinerja anggaran PPSEKP Persentase Kepatuhan terhadap SAP lingkup PPSEKP 5.
LOKASI KEGIATAN
:
Tarakan, Bitung, dan Bali
6.
SASARAN PENGGUNA/USER
:
Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan; Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap; Direktorat Jenderal Budidaya; dan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan
7.
PENELITI YANG TERLIBAT
:
No.
Nama
Pendidikan/ Jabatan Fungsional
PJPO
6
S2/Peneliti Madya S2/Peneliti Muda
Anggota Anggota
6 6
S2/Peneliti Muda
Politik
Anggota
6
Anggota
6
Radityo Pramoda, MM S2/Peneliti Muda
2. 3.
Risna Yusuf, M.Si Drs. Muhajir, MM Hertria Maharani Putri, MBA Rismutia Hayu Deswati, SE Bayu Vita Indah Yanti, SH Ahmad Akmal. SE
5. 6. 7.
Alokasi Waktu (OB)
Hukum & Manajemen Pemasaran Manajemen
1.
4.
Disiplin Ilmu
Tugas (Institusi)
S1/Peneliti Muda
Ekonomi Pembangunan Hukum
S1/Non Peneliti
Keuangan
S2/Peneliti Muda
v
Anggota Anggota (PUMK)
6 6
8 LATAR BELAKANG
:
Indonesia merupakan negara yang memiliki luas wilayah perairan yang lebih besar dibandingkan dengan daratannya. Keanekaragaman sumber daya perikanan telah terkenal dan sudah menembus pasar internasional (Muswar, 2011). Permintaan dunia terhadap hasil perikanan yang terus meningkat setiap tahun, merupakan pasar potensial untuk sebuah negara mengembangkan modal perekonomiannya. Pasar potensial seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa, sangat bergantung pada impor dengan proporsi impor sebesar 40%-60% untuk memenuhi total konsumsi makanan laut mereka. Permintaan produk perikanan yang besar, seringkali menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hasil tangkapan yang besar juga. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia/FAO (Food and Agriculture Organization), memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh (mengalami tangkap lebih/overfishing) dan hanya 25% dari sumber daya masih berada pada kondisi tangkap kurang. Kondisi ini dikarenakan pola penangkapan yang tidak ramah lingkungan dan tidak mengedepankan prinsip keberlanjutan. Isu aktivitas perikanan tangkap saat ini meliputi: (1) masih maraknya aktivitas IUU (Illegal, Unregulated and Unreported) fishing; (2) gejala lebih tangkap/overfishing pada beberapa perairan pantai Indonesia, akibat pemanfaatan sumber daya ikan yang umumnya masih bersifat open acces dan belum melaksanakan limited entry secara penuh; (3) masih terdapat penggunaan alat penangkapan ikan yang bersifat destruktif; (4) sistem pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan yang masih lemah dan belum efektif (BAPPENAS, 2014). Mekanisme untuk memastikan keberlanjutan stok ikan di laut sudah diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) (1982); FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (1995); United Nations Fish Stocks Agreement (1995); dan sejumlah peraturan dalam Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs). Regulasi internasional tersebut, masih belum dapat dijadikan instrumen kebijakan dalam memperbaiki kondisi perikanan tangkap yang semakin terdegradasi. Gambaran aktivitas budidaya saat ini diantaranya: (1) kebutuhan pakan yang masih tergantung dengan impor dari negara lain; (2) sebagian besar usaha perikanan budidaya di Indonesia belum menerapkan good aquaculture practices, sehingga aktivitasnya berdampak pada degradasi lingkungan yang cukup signifikan (menimbulkan masalah penyakit, kematian massal, dan pencemaran (baik limbah sisa pakan maupun limbah penggunaan obat-obatan yang tidak tepat jenis dan dosisnya)); (3) terjadinya konversi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, sehingga menimbulkan ancaman langsung maupun tidak langsung bagi keberlanjutan usaha perikanan budidaya; (4) ketersediaan induk unggulan masih terbatas. Udang dan Tuna merupakan komoditas perikanan unggulan ekspor Indonesia. Tujuan ekspor untuk Udang dan Tuna ini diantaranya adalah Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Ketiga negara ini dipilih menjadi tujuan eskpor yang dibahas dalam penelitian ini, karena mewakili negara yang kebutuhan akan Udang dan Tunanya cukup besar. Nilai total ekspor Udang tahun 2014 sebesar US$ 1.919.345.969,00 (volume: 155.882.438,00 kg), sedangkan nilai total eskpor Tuna sebesar US$ 689.971.241,00 (volume 109.989.972,00) (BKIPM, 2016). Jumlah total produksi tangkapan laut Tuna sebesar 1.251.350 ton tahun 2014, sedangkan udang hasil penangkapan di laut tahun 2014 adalah 255.410 ton dan dari hasil budidaya sebesar 592.219 ton (total produksi tangkapan dan budidaya Udang 847.629 ton) (Pusat Data, Statistik dan Infomasi-KKP, 2014). Mengacu data statistik tersebut, komoditas Udang yang dikaji dalam penelitian ini difokuskan kepada sektor budidaya. Produksi Udang melalui penangkapan saat ini
vi
tidak besar dan Balitbang KP memiliki kontrak kinerja dengan Direktorat Jenderal Budidaya dalam mengkaji komoditas Udang. Kesadaran masyarakat internasional terhadap pemanfaatan sumber daya Udang dan Tuna menggunakan sistem keberlanjutan dan ramah lingkungan, memunculkan istilah ekolabeling. Pembangunan berkelanjutan dipahami sebagai kegiatan memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana, efisien, dan memperhatikan kemungkinan pemanfaatan oleh generasi mendatang. WTO/World Trade Organization sebagai organisasi perdagangan dunia (dibentuk 1995) dan merupakan perluasan GATT/General Agreement on Tariff and Trade (lembaga multilateral selain Bank Dunia dan IMF), telah menetapkan diterimanya ekolabel sebagai standar lingkungan hidup internasional. Pelaksanaannya standar tersebut harus dilakukan secara transparan, non diskriminatif, serta penanganan menggunakan pendekatan multilateral dan berdasarkan standar internasional untuk menyelesaikan masalah lingkungan hidup (Mayasari, 2009). Isu lingkungan sudah mendapat perhatian khusus dalam WTO/GATT sudah sejak lama. Pada tahun 1972, GATT membentuk sebuah kelompok yang dinamakan “Tindakan terhadap Lingkungan dan Perdagangan Internasional”. Kelompok ini dibentuk atas munculnya kecemasan adanya hambatan perdagangan yang disebabkan oleh kepentingan lingkungan. Isu tersebut dewasa ini menjadi sebuah pengesahan (sertifikasi ekolabel) bagi produk ramah lingkungan. Ekolabeling adalah tanda/identitas yang dicantumkan untuk produk yang telah berhasil memenuhi kriteria ramah lingkungan yang ditetapkan oleh lembaga sertifikasi (Muswar, 2011). Ekolabel merupakan permintaan tambahan dari buyer di luar ketentuan ekspor (wawancara dengan ATLI/Asosiasi Tuna Longline Indonesia, ASTUIN/Asosiasi Tuna Indonesia, pejabat Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap-Kementerian Kelautan dan Perikanan/Ditjen Tangkap-KKP, dan pejabat Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan-KKP). Skema ekolabel perikanan menjadi populer di negara Eropa dan menyebabkan banyak perusahaan retail besar bergabung. Pada dasarnya perusahaan ini memilih konsumen dengan kesadaran tentang keberlanjutan ekologi yang tinggi, sehingga menginginkan produk yang mereka beli telah memenuhi kaidah ramah lingkungan. Salah satu ekolabel perikanan untuk produk perikanan tangkap adalah MSC. MSC mempunyai misi memanfaatkan program sertifikasinya untuk berkontribusi dalam menjaga kesehatan laut dunia, dengan memperkenalkan sistem penangkapan ikan berkelanjutan (MSC, 2016). Menurut Saut P. Hutagalung, yang pada tahun 2014 menjabat Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP)-Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam Rohmat (2014): “Sebenarnya sejak tahun 2009, Indonesia telah mengajukan beberapa produk perikanan tangkap untuk mendapat sertifikasi MSC. Sayangnya, sampai saat ini, sertifikasi yang sangat penting dan diakui dunia itu belum didapat Indonesia lantaran ketatnya persyaratan dan membutuhkan waktu cukup lama. Beberapa perikanan tangkap yang telah diajukan untuk mendapat MSC seperti Rajungan, Tuna, Kepiting, Kerapu, dan Cakalang. Kendati demikian, pasar perikanan dunia baik di Asia, Eropa dan Amerika, tetap mengakui dan menerima produk ikan asal Indonesia. Dikatakannya, sertifikasi MSC cukup penting karena tidak hanya menyangkut aspek sustainabel keberlanjutan sumber daya perikanan di masa mendatang namun juga terkait mutu yang berstandar dunia”.
vii
Kepentingan Indonesia sebagai produsen perikanan terbesar dunia terhadap sertifikasi MSC, yaitu memenuhi ketentuan pasar ekspor yang memiliki persyaratan ekolabel dan mendukung implementasi kebijakan ke arah pengelolaan perikanan yang lestari. Produk perikanan Indonesia meskipun belum mendapat sertifikasi MSC, hasil tangkapan ikan telah diakui pada pasaran dunia sejajar dengan produk perikanan tangkap negara lainnya. Kondisi ini menurut Saut P. Hutagalung (Dirjen P2HP-KKP), disebabkan dunia sudah mengetahui bahwa Indonesia telah masuk mengikuti program untuk mendapatkan sertifikasi MSC dan menunjukkan adanya komitmen kuat memenuhi persyaratan sesuai standar internasional (Rohmat, 2014). Kebutuhan pasar terhadap produk budidaya yang ramah lingkungan terkait dengan ekolabel, salah satunya menggunakan prinsip yang telah dibuat oleh ASC (Aquaculture Stewardship Council). Pelaku usaha internasional dapat meminta ASC sebagai pihak ketiga untuk memberikan sertifikasi terhadap produk perikanan budidaya. ASC adalah lembaga independen yg bergerak dalam program sertifikasi perikanan budidaya yang bertanggung jawab. Tujuan ASC adalah mentransformasi industri budidaya perikanan ke standarisasi yang lebih tinggi, melalui program sertifikasi komprehensif dengan bertumpu pada keberlanjutan lingkungan dan sosial budidaya perikanan (MSC, 2016). Sertifikat MSC dan ASC meskipun saat ini belum menjadi kewajiban bagi eksportir nasional, tetapi untuk ke depannya menjadi penting sebagai citra dan pendongkrak daya saing produk perikanan Indonesia. 9. TUJUAN : a. Menganalisis regulasi ekolabeling untuk komoditas Udang dan ikan Tuna; b. Menganalisis implementasi kepatuhan pelaku usaha dalam melaksanakan sistem ekolabeling pada pasar internasional; c. Merumuskan rekomendasi kebijakan terkait strategi pelaku usaha terhadap kewajiban pemenuhan persyaratan “ekolabeling” komoditas Udang dan ikan Tuna di pasar internasional. 10. PERKIRAAN KELUARAN : 1 (satu) rekomendasi sosial ekonomi terkait kepatuhan pelaku usaha kewajiban pemenuhan persyaratan “ekolabeling” komoditas Udang Tuna di Pasar internasional. 1 (satu) paket data dan informasi terkait kepatuhan pelaku usaha kewajiban pemenuhan persyaratan “ekolabeling” komoditas Udang Tuna di pasar internasional. 2 (dua) Karya Tulis Ilmiah.
terhadap dan ikan terhadap dan ikan
11. METODOLOGI PENELITIAN : Lokasi Penelitian Lokasi penelitian: Tarakan, Bitung, dan Bali. Ketiga lokasi tersebut, dipilih karena mewakili lokus pelaku usaha yang mengekspor komoditas Udang dan ikan Tuna ke negara tujuan yang konsumennya sudah teredukasi untuk mengkonsumsi produk perikanan ramah lingkungan dengan sertifikasi ekolabeling.
Waktu Pelaksanaan Kegiatan
viii
Pembuatan ROKP Survey lapang Analisis data dan penyusunan laporan
: Akhir Maret : April - September : Oktober - November
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji kepatuhan pelaku usaha terhadap kewajiban pemenuhan persyaratan “ekolabeling” komoditas Udang dan ikan Tuna di pasar internasional, adalah menggunakan teknik survey. Metode survey diperlukan sebagai sarana untuk mengumpulkan informasi, serta memahami kondisi kepatuhan pelaku usaha terhadap persyaratan ekspor dengan sistem ekolabeling dalam pasar internasional. Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan dalam mengkaji kepatuhan pelaku usaha terhadap kewajiban pemenuhan persyaratan “ekolabeling” komoditas Udang dan ikan Tuna di pasar internasional, adalah primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan difokuskan pada: - Identifikasi ketentuan maupun syarat ekolabeling untuk komoditas Udang dan ikan Tuna. - Pendalaman terhadap implementasi pelaku usaha dalam mematuhi syarat ekolabeling pada lingkup pasar internasional. Data sekunder yang diperlukan terkait dengan ketentuan/kebijakan dan kajian ilmiah yang membahas tentang ekolabeling, serta informasi yang dapat memperkuat pembahasan topik penelitian. Jenis pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilaksanakan menggunakan kuesioner dengan teknik indepth interview dan FGD, terhadap informan kunci yang mengetahui tentang kepatuhan pelaku usaha terhadap kewajiban pemenuhan persyaratan “ekolabeling” komoditas Udang dan ikan Tuna di pasar internasional. Data sekunder ditelusuri menggunakan teknik studi literatur yang mengkaji tentang Ekolabeling. Studi literatur diperlukan untuk menambah informasi dan melengkapi referensi bahan rujukan. Metode Pengambilan Responden Metode pengambilan responden dilaksanakan menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan yang diperlukan. Metode ini digunakan dengan maksud, agar responden yang dituju sesuai dengan kepentingan topik kajian. Metode Analisis Data Analisis data untuk mengkaji regulasi ekolabeling dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris, dengan pendekatan content analysis dan yuridis komparatif. Metode tersebut dibutuhkan untuk mendalami ketentuan yang terkait dengan syarat maupun prosedur ekolabeling dalam pasar internasional, serta implementasinya. Metode pembahasan implementasi kepatuhan pelaku usaha melaksanakan sistem ekolabeling pada pasar internasional, menggunakan analisis statistika deskriptif dan compliance theory dengan pendekatan Qualitative Response Regression Models (QRRM).
ix
Statistika deskriptif adalah suatu ilmu yang merupakan kumpulan dari aturan tentang pengumpulan, pengolahan, penaksiran, dan penarikan kesimpulan, data statistik untuk menguraikan suatu masalah (Rasyad, 2003). Analisis ini hanya melihat gambaran secara umum dari data yang didapatkan. Statistika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data. Hasan (2004), menjelaskan bahwa analisis deskriptif merupakan bentuk analisis data untuk menguji generalisasi hasil penelitian berdasarkan satu sampel. Menurut Suryoatmono (2004), statistika deskriptif adalah statistika yang menggunakan data pada suatu kelompok untuk menjelaskan atau menarik kesimpulan mengenai kelompok itu saja. Menurut FNI Statistics (2013), statistik deskriptif dapat dinyatakan dengan: a. Frekuensi (F) Dinyatakan dengan persentase, dimana bentuk yang tepat dalam menampilkan data frekuensi adalah diagram dan grafik. b. Mode dan Median Mode adalah nilai yang paling sering muncul dan menyatakan jumlah kategori yang paling sering muncul pada suatu kasus. Mode cocok untuk diterapkan pada data yang bersifat nominal. Median adalah nilai tengah yang merupakan titik tengah pembagi data. c. Mean (M) Mean merupakan rataan dari skor yang diukur, menghitung mean untuk variable X dapat menggunakan rumus:
d. Variabilitas/Dispersi Teknik mengelompokkan data pada teknik statistik deskriptif adalah menghitung dispersi atau variabilitas. QRRM merupakan model ekonometrika dimana regressand/variabel terikat dari model yang bersifat kualitatif (Gujarati, 2003). Model QRRM, dimaksudkan untuk menentukan besaran probabilitas terjadinya sesuatu. Kepatuhan pada dasarnya adalah sebuah variabel kualitatif dan QRRM adalah model yang tepat untuk diaplikasikan dalam penelitian ini. Respon dari objek yang dipelajari hanya digolongkan menjadi: responden yang patuh dan responden yang tidak patuh. Keluarannya akan dihasilkan model QRRM binary sederhana, dimana variabel terikat bernilai satu (1) jika responden patuh dan nol (0) jika responden tidak patuh. Model tersebut dimaksudkan untuk menilai seberapa besar probabilitas terjadinya kepatuhan seorang responden berdasarkan beberapa fitur sosial ekonominya. Model QRRM yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1.
Model Logit Pada model logit, variabel terikat pada model adalah berupa log dari nilai rasio kemungkinan terjadinya sesuatu, yang merupakan fungsi linear dari variabel bebas. Fungsi probabilitas yang mendasari model ini adalah distribusi logistik. Jika data tersedia dalam bentuk grup, maka Ordinary Least Square (OLS) dapat dipakai mengestimasi model (mempertimbangkan masalah heteroskedastik yang umumnya terdapat pada error term). Apabila data tersedia pada tingkat individual, maka harus digunakan metoda estimasi lain yang bersifat non-linier. Bentuk dari model Logit:
x
Persamaan di atas untuk memudahkan, dapat ditulis: (Fungsi distribusi logistik) Dimana
.
Jika Pi adalah probabilitas dari seseorang untuk patuh, maka (1- Pi) merupakan probabilitas dari seseorang untuk tidak patuh. Hal tersebut dapat dibuat persamaan sebagai berikut:
1−
Persamaan di atas dapat menuliskan:
Pada dasarnya (Pi/1-Pi) adalah rasio kemungkinan dari seseorang mematuhi peraturan. Misalkan nilai Pi=0,8, maka nilai rasio kemungkinan tersebut akan bernilai 4, yang berarti terjadi kemungkinan 4 berbanding 1 bahwa seseorang akan mematuhi peraturan. Apabila kita lakukan natural log terhadap rasio kemungkinan tersebut, maka diperoleh persamaan:
Persamaan tersebut diperoleh Li, yang tidak hanya bersifat linier terhadap X, akan tetapi juga secara parameter bersifat linier. L inilah yang disebut dengat Logit. 2.
Model Probit Model Probit harus digunakan, jika distribusi normal dipilih sebagai distribusi probabilitas. Secara matematis (melibatkan integral) model Probit lebih rumit, akan tetapi baik model Logit maupun Probit akan menghasilkan nilai estimasi yang hampir serupa. Pemilihan aplikasi diantara keduanya, tergantung pada ketersediaan alat bantu analisis yang tersedia saja. Bentuk Persamaan: Sebagai contoh bahwa kepatuhan atau ketidakpatuhan seseorang terhadap peraturan akan tergantung dari sebuah angka Indeks yang tidak dapat diamati Ii, yang misalnya dipengaruhi oleh sebuah variabel bebas, Pendapatan, Xi. Persamaan probabilitas seseorang untuk mematuhi peraturan adalah sebagai berikut:
Bagaimana angka Indeks yang tidak dapat diamati tersebut dapat berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk patuh atauh tidak patuh terhadap sebuah
xi
peraturan? Seperti pada kasus terdahulu, diasumsikan bahwa Y = 0 merupakan responden yang tidak patuh dan Y = 1 merupakan responden yang patuh. Asumsi berikutnya adalah terdapat satu titik batas bagi angka indeks ( ), dimana apabila angka Ii yang terjadi melebihi angka batas tersebut, maka responden akan patuh terhadap peraturan. Angka batas ini juga tidak teramati, apabila diasumsikan terdistribusi secara normal. Hal ini tidak hanya memungkinkan untuk mengestimasi Ii, akan tetapi juga memungkinkan diperoleh beberapa informasi terkait indeksnya.
P(Y=1|X) dapat diartikan probabilitas terjadinya sesuatu yang tergantung dari besaran variabel X, dan Zi merupakan variabel standar normal. 3.
Model Tobit Model Tobit ini sangat terkait dengan model Probit. Pada model Tobit, variabel terikatnya hanya dapat diamati pada kondisi tertentu saja. Sebagai ilustrasi, permasalahan seberapa besar biaya yang timbul akibat kepatuhan terhadap suatu peraturan, hanya dapat diamati pada responden yang mematuhi saja. Berdasarkan ketersediaan data yang tidak lengkap tersebut, maka model Tobit sering dirujuk sebagai model regressi tersensor. Bentuk standar model Tobit secara statistic adalah:
Kerangka Pemikiran Sejak berlangsungnya Konferensi Stockholm pada tahun 1972, masalah lingkungan hidup nampaknya terus berkembang "menjadi isu global". Isu ini mendorong negara industri maju semakin meningkatkan kepeduliannya terhadap kondisi lingkungan dunia. Sebaliknya, negara berkembang juga terpacu untuk terus menerus meningkatkan upaya dalam menjaga, memelihara, serta meningkatkan kualitas lingkungan hidup di negaranya masing-masing (Sukadri, 2016). Salah satu upaya untuk menyikapinya, yaitu dengan menggunakan sistem ekolabel terhadap produk yang dipasarkan (ekspor) ke negara tujuan yang menerapkan sistem tersebut. Ekolabeling merupakan salah satu bentuk pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat proaktif sukarela, karena memerlukan biaya yang tinggi. Tujuannya adalah untuk melindungi fungsi lingkungan hidup, kepentingan masyarakat, serta peningkatan efisiensi produksi dan daya saing (Kementerian Lingkungan Hidup, 2016). Skema ekolabel perikanan menjadi populer pada sejumlah negara Eropa dan menyebabkan banyak perusahaan retail besar turut bergabung dalam skema tersebut (Notohamijoyo, 2015). Ekolabeling terhadap kedua sumber daya tersebut, dimaksudkan untuk memberikan keterangan kepada konsumen bahwa penangkapan, penanganan, serta pengirimannya, melalui proses yang ramah lingkungan. Ramah lingkungan diartikan sebagai praktek perikanan yang tidak merusak dan memperhatikan keberlanjutan sumber daya alam (Muswar, 2011). Ekolabeling merupakan sebuah tanda atau pengesahan bahwa produk yang dijual sudah melalui prosedur keberlanjutan lingkungan dan merupakan sumber daya yang dikelola dengan baik. Sertifikasi ekolabel menjadi bagian persyaratan penting untuk perdagangan ikan di pasar internasional. Banyak negara yang sudah menyadari perlunya penerapan pembangunan perikanan yang berkelanjutan untuk menjaga kelestarian sumber daya.
xii
Terkait hal tersebut, KKP memberikan dukungan sebagai tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Developing World Fisheries Conference ke-2 oleh MSC, pada tanggal 15 April 2014 di Bali. MSC sendiri merupakan lembaga ekolabel internasional yang membangun dan menetapkan standar untuk ekolabel MSC melalui sertifikasi pihak ketiga. Sertifikasi ekolabel MSC memastikan bahwa semua produk perikanan tangkap suatu negara telah memenuhi prinsip-prinsip yang lestari sejak proses penangkapan, pengolahan hingga pemasaran. Menurut WWF2 (2010), sektor industri adalah salah satu pihak yang paling berperan pada perbaikan sekaligus kerusakan lingkungan, serta kelangsungan sumber daya alam. Praktek konkretnya adalah mensinergikan kepatuhan pelaku usaha dengan instrumen perdagangan, khususnya ekspor. Kepatuhan pelaku usaha dalam mematuhi sistem ekolabeling dapat memberikan: (1) nilai tambah terhadap penjualan Udang dan Tuna yang bersertifikat; (2) keamanan terhadap akses pasar ke negara yang telah menetapkan peraturan tentang ekspor dengan sistem ekolabeling; (3) citra kepada konsumen, karena menjual produk perikanan yang bersumber dari pengelolaan yang lestari. Ekolabel dalam perikanan merupakan hal penting bagi semua yang terlibat dalam manajemen perikanan di seluruh dunia (Phillips et. al., 2003). Kerangka penelitian yang dirumuskan dalam kajian ini, dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar1. Kerangka Penelitian Berdasarkan Gambar 1, diketahui bahwa tingginya permintaan kebutuhan pangan ikan dewasa ini disebabkan oleh adanya perubahan pola makan ikan dan pertumbuhan penduduk dunia. Kondisi tersebut menyebabkan adanya eksploitasi terhadap sumber daya Udang dan Tuna, yang kurang memperhatikan aspek keberlanjutan dan ramah lingkungan. Eksploitasi secara besar-besaran untuk memenuhi permintaan konsumen (khususnya untuk pasar ekspor), menyebabkan keberadaan kedua komoditas tersebut mengalami kelangkaan. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan, salah satunya dengan menggunakan instrumen ekolabeling.
xiii
Pengelolaan pemanfaatan menggunakan skema ekolabeling wajib memperhatikan ketentuan ramah lingkungan, agar ekologi sumber daya dapat dikelola secara terus menerus. Proses pengelolaan sumber daya yang telah dilakukan, harus melalui tahapan verifikasi terlebih dahulu sebelum diekspor. Tahapan verifikasi merupakan standar prosedur untuk menilai sumber daya sudah memenuhi syarat ekolabeling. Kepatuhan/kesadaran terhadap instrumen ekolabeling akan memberikan kredibilitas terhadap produk Udang dan Tuna yang diekspor, serta memberikan citra yang baik kepada pelaku usaha. Pemahaman ekolabeling secara sederhana, adalah bahwa produk yang dilabeli memiliki permintaan lebih tinggi daripada produk tanpa ekolabel. Praktek perikanan ramah lingkungan dan berkelanjutan melalui skema ekolabeling, merupakan investasi jangka panjang yang dapat menyuburkan ekonomi perikanan secara kontinyu. Sertifikasi ekolabel yang dirujuk dalam penelitian ini untuk perikanan tangkap adalah MSC, sedangkan standar untuk perikanan budidaya mengacu pada sertifikasi ekolabel ASC. Standar yang dikembangkan oleh MSC dan ASC tersebut, dijadikan panduan penelitian untuk mengetahui kesiapan/kesadaran eksportir dalam memahami skema sertifikasi ekolabel. Kedua ekolabel ini dipilih, karena memiliki materi yang komprehensif dan telah diakui oleh dunia internasional. Menurut Accenture dalam laporan independen pada tahun 2012, menyebutkan bahwa sistem sertifikasi MSC merupakan ekolabel yang terbaik dari empat sistem sertifikasi sejenis lainnya. Pembahasan difokuskan mengkaji kepatuhan/kesadaran pelaku usaha dalam menerapkan sertifikasi ekolabel perikanan. Cakupan ekolabel yang dijadikan topik kajian, dibatasi hanya yang diterbitkan oleh lembaga independen internasional (pihak ketiga). 12. FAKTOR RESIKO DAN KEBERHASILAN Faktor yang mendukung keberhasilan pencapaian sasaran kegaiatan penelitian adalah: adanya informasi dan kajian ilmiah yang telah dilakukan sebelumnya, sebagai bahan rujukan dalam mempertajam maupun memperkuat pembahasan topik penelitian. Faktor resiko yang dapat menghambat pencapaian sasaran kegiatan penelitian: - Kurangnya respon dari pelaku usaha atau instansi terkait terhadap kajian topik penelitian. - Data yang dibutuhkan tidak lengkap/tidak tersedia dan bersifat rahasia, sehingga menyebabkan pembahasan penelitian tidak mendalam. 13. PEMBIAYAAN
Mata Anggaran ** 521211 521811 521213 522151 522141 524111
Rincian Komposisi Pembiayaan
Jumlah (Rp)
Belanja Bahan 30.800.000 Belanja Barang untuk Persediaan Barang 10.000.000 Konsumsi Honor Output Kegiatan 6.400.000 Belanja Jasa Profesi 33.200.000 Belanja Sewa 17.500.000 Belanja Perjalanan Biasa 252.100.000 Jumlah 350.000.000
** Mata anggaran disesuaikan dengan dokumen RKAKL
xiv
Jumlah (%) 8,8 2,86 1,83 9,48 5 72,03 100
14. JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN BulanKe1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN Persiapan, studi pustaka, pra survey, dan koordinasi pemantapan pelaksanaan kegiatan 1. Penyusunan ROKR 2.Koordinasi Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan/ROKR 3. Pemantapan Kuisioner 4. Perbaikan Kuisioner 5. Persiapan Survey Lapang Pengumpulan data primer dan sekunder di lapangan 1. Survey Lapang 2. Verifikasi dan input data 3. Pengolahan Data 2. Pembuatan Laporan Kemajuan Penyusunan laporan, rekomendasi, dan 2 naskah KTI 1. Penyusunan Laporan - Semester - Teknis 2. Penyusunan Policy Brief 3. Penyusunan Rekomendasi 4. Penyusunan paket data dan informasi 5. Penyusunan naskah KTI Sosialisasi dengan stakeholder 1. Semiloka Hasil Riset
xv
11
12
15. RENCANA PENYERAPAN ANGGARAN DAN REALISASI FISIK (PERBULAN DAN PERBELANJA) Rencana Penyerapan anggaran Penyerapan Anggaran (Rp.000) Bulan KeJADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN Rp 1 2 3 4 5 6 7 8 Kepatuhan Pelaku Usaha terhadap Kewajiban Pemenuhan Persyaratan “Ekolabeling” Komoditas Udang dan Tuna di Pasar Internasional
9
10
11
12
350.000
10,226
40,266
38,439
36,710
35,408
31,969
35,860
40,407
36,329
34,451
9,935
Belanja Bahan Honor Output Kegiatan
30.800 6.400
1,500
2,546 880
3,765 900
2,364
2,956 1,050
2,664
3,500 1,160
2,116 1,280
2,458 1,130
2,626
4,305
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
10.000
526
880
990
856
987
1,130
1,000
841
1,190
850
750
Belanja Jasa Profesi
33.200
900
900
1,800
3,500
900
1,800
4,800
4,800
4,800
5,400
3600
Belanja Sewa
17.500
700
1,400
2,100
3,500
2,100
2,100
1,400
2,100
2,100
29,584
27,890
26,015
24,275
23,300
31,250
24,651
23,475
1.000 900 313 2.800 1.400
1.500
1.500 1,050 313 2.800 1.400
1.500
1.500 1,160 313 2.800 1.400
1.000 1.280 313 2.800 1.400
2.765 1,130 314
Belanja Perjalanan Biasa Breakdown per tahapan Persiapan, studi pustaka, pra survey, dan koordinasi pemantapan pelaksanaan kegiatan Belanja Bahan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Belanja Jasa Profesi Belanja Perjalanan Biasa Pengumpulan data primer dan sekunder di lapangan Belanja Bahan Honor Output Kegiatan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Belanja Jasa Profesi Belanja Sewa
252.100
6,420
35,240
4.560 2.500 3.600 15.000
2.100 1.250 900 7.500
2.460 1.250 2.800 7.500
11.765 6.400 2.500 18.000 11.200
1.000 880 313 1.600 700
xvi
313 2.800 1.400
313 2.800 1.400
2.100
JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN Belanja Perjalanan Biasa Penyusunan laporan, rekomendasi, dan naskah KTI Belanja Bahan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Belanja Jasa Profesi Belanja Perjalanan Biasa Belanja Sewa Sosialisasi dengan stakeholder Belanja Bahan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Belanja Jasa Profesi Belanja Perjalanan Biasa Belanja Sewa
Rp 198.560
1
2
3
4
24.280
8.475 2.500 6.800 28.980 3.500
24.820
Penyerapan Anggaran (Rp.000) Bulan Ke5 6 7 8 24.820
24.820
24.820
24.820
9 24.820
10
4.200 1.250 3.400 14.490 1.750
6.000 2.500 4.800 9.560 2.800
11
12
24.820
4.275 1.250 3.400 14.490 1.750 6.000 2.500 4.800 9.560 2.800
xvii
Rencana Realisasi Fisik JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN Kepatuhan Pelaku Usaha terhadap Kewajiban Pemenuhan Persyaratan “Ekolabeling” Komoditas Udang dan Tuna di Pasar Internasional Breakdown per tahapan Persiapan, studi pustaka, pra survey dan koordinasi pemantapan pelaksanaan kegiatan Pengumpulan data primer dan sekunder di lapangan Penyusunan laporan, rekomendasi, dan naskah KTI Sosialisasi dengan stakeholder
Bobot (%)
15 60 15 10
1
2
3
7
8
4
Realisasi Fisik (%) BulanKe5 6 7 8 9
10 10 10 10 10
5
10
11 12
5 10
16. DAFTAR PUSTAKA BAPPENAS. 2014. Kajian Strategi pengelolaan Perikanan Berkelanjutan. Jakarta: Kementerian PPN/BAPPENAS-Direktorat Kelautan dan Perikanan BKIPM. 2016. Data Ekspor Tuna dan Udang Tahun 2011-2015. (Tidak Dipublikasikan). Jakarta: Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan FNI Statistics. 2013. Pengertian Statistik Deskriptif. http://fni-statistics.blogspot.co.id/2013/06/ pengertian-statistik-deskriptif.html. Tanggal diunduh: 3 November 2016 Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics. McGraw-Hill. New York Hasan, I. 2004. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Jakarta: PT Bumi Aksara Kementerian Lingkungan Hidup. 2016. Ekolabel Indonesia. http://www.menlh.go.id/ekolabel-indonesia/. Tanggal diunduh: 25 Maret 2016 Mayasari, K.P. 2009. Peran GATT/WTO terhadap Isu Lingkungan Hidup melalui Ekolabel dalam Perdagangan Internasional. Medan: Universitas Sumatera Utara MSC. 2016. Kerangka acuan kerja (KAK) untuk pengembangan MSC-ASC Standar Rumput Laut. https:// improvements.msc.org/database/seaweed-standard/documents/terms-of-reference-for-theseaweed-standard-development/TOR-for-MSC-ASC-Seaweed-Standard-Development-Indonesian. pdf/view. Tanggal diunduh: 16 April 2016 Muswar, H.S. 2011. Dampak Pelabelan Ramah Lingkungan (Ecolabelling) Perikanan dan Nelayan Ikan Hias (Kasus Nelayan Ikan Hias Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali). (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor Notohamijoyo, A. 2015. Ekolabel Perikanan. http://print.kompas.com/baca/2015/ 02/09/EkolabelPerikanan. Tanggal diunduh: 23 Maret 2016 Phillips, B.; T. Ward; dan C. Chaffee. 2003. Eco-labelling in Fisheries (What is it all about). USA: Blackwell Science Ltd, a Blackwell Publishing Company Pusat Data, Statistik dan Informasi-KKP. 2014. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2014 (Marine and Fisheries in Figures 2014). Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan Rasyad, R. Metode Statistik Deskriptif untuk Umum. Jakata: PT. Grasindo Rohmat. 2014. Tak Miliki MSC, Tangkapan Ikan RI Diterima Internasional. http://ekbis. sindonews.com/read/854348/34/tak-miliki-msc-tangkapan-ikan-ri-diterima-internasional1397552352. Tanggal diunduh: 22 Maret 2016
xviii
5 10
Sukadri, D.S. 2016. Ecolabelling. http://www.dephut.go.id/Halaman/PDF/ECOLABELING. pdf. Tanggal diunduh: 21 Maret 2016 Suryoatmono, B. 2004. Statistika Nonparametrik dan Penerapannya dalam Penelitian Manajemen. http://home.Unpar.ac.id. Tanggal diunduh: 3 November 2016 WWF. 2010. Dua Perusahaan Perikanan Bergabung di “Seafood Savers”. http://www.wwf.or.id/?20620/ Two-fisheries-companies-join-Seafood-Savers. Tanggal dunduh: 26 Maret 2016
xix
RINGKASAN Ekolabeling adalah tanda/identitas yang dicantumkan untuk produk yang telah berhasil memenuhi kriteria ramah lingkungan yang ditetapkan oleh lembaga sertifikasi. Ekolabel merupakan permintaan tambahan dari buyer di luar ketentuan ekspor. Kepentingan Indonesia sebagai produsen perikanan terbesar dunia terhadap sertifikasi MSC, yaitu memenuhi ketentuan pasar ekspor yang memiliki persyaratan ekolabel dan mendukung implementasi kebijakan ke arah pengelolaan perikanan yang lestari. Produk perikanan Indonesia meskipun belum mendapat sertifikasi MSC, hasil tangkapan ikan telah diakui pada pasaran dunia sejajar dengan produk perikanan tangkap negara lainnya. Kondisi ini disebabkan dunia sudah mengetahui bahwa Indonesia telah masuk mengikuti program untuk mendapatkan sertifikasi MSC dan menunjukkan adanya komitmen kuat memenuhi persyaratan sesuai standar internasional. Kebutuhan pasar terhadap produk budidaya yang ramah lingkungan terkait dengan ekolabel, salah satunya menggunakan prinsip yang telah dibuat oleh ASC (Aquaculture Stewardship Council). Pelaku usaha internasional dapat meminta ASC sebagai pihak ketiga untuk memberikan sertifikasi terhadap produk perikanan budidaya. ASC adalah lembaga independen yg bergerak dalam program sertifikasi perikanan budidaya yang bertanggung jawab. Tujuan ASC adalah mentransformasi industri budidaya perikanan ke standarisasi yang lebih tinggi, melalui program sertifikasi komprehensif dengan bertumpu pada keberlanjutan lingkungan dan sosial budidaya perikanan. Sertifikat MSC dan ASC meskipun saat ini belum menjadi kewajiban bagi eksportir nasional, tetapi untuk ke depannya menjadi penting sebagai citra dan pendongkrak daya saing produk perikanan Indonesia. Merujuk kepada pentingnya ekolabeling untuk , maka tujuan penelitian ini adalah: Menganalisis regulasi ekolabeling untuk komoditas Udang dan Tuna; Menganalisis implementasi kepatuhan pelaku usaha dalam melaksanakan sistem ekolabeling pada pasar internasional; Merumuskan rekomendasi kebijakan terkait strategi pelaku usaha terhadap kewajiban pemenuhan persyaratan “ekolabeling” komoditas Udang dan Tuna di pasar internasional. Kebutuhan data primer diambil menggunakan kuesioner dengan teknik indepth interview dan FGD. Data sekunder ditelusuri melalui studi literatur yang mengkaji tentang Ekolabeling. Metode survey dibutuhkan untuk menggali informasi dan memahami pengetahuan pelaku usaha, terhadap sistem ekolabeling dalam pasar internasional. Metode Pengambilan Responden menggunakan teknik purposive sampling. Analisis data untuk mengkaji regulasi ekolabeling dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris, dengan pendekatan content analysis dan yuridis komparatif. Metode pembahasan implementasi kepatuhan menggunakan analisis compliance theory dengan pendekatan Qualitative Response Regression Models (QRRM). Model QRRM yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: logit, probit, dan tobit. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa konsepsi kesepatakan menggunakan salah satu ekolabel oleh pelaku usaha perikanan nasional, adalah syarat tambahan. Syarat tambahan dapat menjadikan kendala, jika produk perikanan (Udang dan Tuna) Indonesia ditolak oleh buyer karena tidak memiliki sertifikat ekolabel tertentu. Penolakan tersebut dikategorikan sebagai hambatan non tarif. Skema ekolabel MSC maupun ASC termasuk hambatan non tarif, apabila buyer mensyaratkan dan eksportir mengalami kesulitan untuk memenuhinya. Hambatan non tarif sifatnya subyektif dan tidak hanya bisa dilakukan oleh negara pengimpor, tetapi juga dapat dilakukan oleh pelaku bisnis. Ekolabeling komoditas perikanan dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, merupakan standar preferensi pasar yang memiliki relevansi dengan ekspor. Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa Jepang, Uni Eropa, dan Amerika, yang merupakan tujuan ekspor Udang dan Tuna Indonesia, kebijakan perdagangannya merupakan bagian prinsip ekolabel MSC dan ASC. Materi MSC xx
yang belum termasuk ke dalam regulasi kebijakan perdagangan ketiga negara tersebut, adalah efektivitas pengelolaan. Materi efektivitas pengelolaan, mengatur tentang kepatuhan eksportir terhadap regulasi nasionalnya dalam memanfaatkan sumber daya ikan. Kebijakan perdagangan Jepang, Uni Eropa, dan Amerika, terkait dengan prinsip ASC, belum mengatur tentang aspek sosial (kepentingan tenaga kerja dan masyarakat di lingkungan lahan budidaya) secara utuh. Materi ASC yang merupakan aspek sosial yaitu: (1) pengembangan dan pelaksanaan budidaya dengan mempertimbangkan masyarakat sekitar; (2) pelaksanaan budidaya dengan praktek yang bertanggung jawab. MSC dan ASC merupakan ekolabel yang memiliki karakteristik pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan skema ketelusuran. MSC memiliki 3 prinsip dan 27 variabel, sedangkan ASC mempunyai 7 prinsip dan 34 kriteria. Variabel MSC dan kriteria ASC tersebut harus dipenuhi oleh pelaku usaha, apabila ingin mendapatkan sertifikasi. Setiap variabel maupun kriteria akan dinilai oleh accesor yang ditunjuk untuk memeriksa, apakah setiap ketentuan sudah diikuti dengan benar. Accesor merupakan tim penilai yang menentukan perusahaan bisa mendapatkan sertifikasi MSC dan ASC. Implementasi prinsip ekolabel MSC di Bali dan Bitung, diketahui bahwa saat ini belum ada satupun perusahaan yang memiliki sertifikat ini. Hal ini dikarenakan biaya yang mahal dan kompleksnya persyaratan yang harus dipenuhi. Biaya perkiraan utuk mendapatkan sertifikat MSC sebesar 1 milyar rupiah (setiap 6 bulan sertifikat diperbaharui). Harga premium yang dijanjikan jika memiliki sertikat MSC, pada kenyataannya tidak ada. Elemen penting untuk mendapatkan sertifikasi MSC di Bali dan Bitung adalah adanya kesiapan nelayan Tuna, pengusaha, serta pemerintah itu sendiri. Penelitian ini menyimpulkan, bahwa perusahaan eksportir Tuna di Bali dan Bitung secara umum belum siap menerapkan standar MSC. Kondisi ini juga terjadi di Kota Tarakan, dimana kemampuan perusahaan eksportir Udang memenuhi standar prinsip ASC masih rendah. Peraturan nasional yang teridentifikasi, meskipun ada yang belum spesifik/teknis mengatur prinsip yang dipersyaratakan, tetapi materinya dapat dijadikan rujukan sebagai pedoman memenuhi ketentuan MSC dan ASC. Peran pemerintah sebagai regulator dalam mendukung perusahaan memperoleh sertifikat MSC maupun ASC sangat penting. Regulasi nasional merupakan salah satu faktor pendukung utama yang disyaratkan oleh kedua ekolabel tersebut. Model kepatuhan yang dianalisis terkait dengan standar MSC, menunjukkan bahwa upaya memenuhi sertifikasi dilakukan oleh eksportir Tuna yang beroperasi secara padat modal. Perusahaan akan mempekerjakan karyawan yang berpengalaman untuk efisiensi, agar bisa menjaga kualitas produk. Analisis melalui model kepatuhan terhadap pemenuhan kualifikasi ASC, diketahui pengawasan tidak akan maksimal jika eksportir memiliki perusahaan cabang (semakin banyak cabang perusahaan, probabilitas mengadopsi standar ASC menurun). Kelebihan dan kekurangan sertifikasi MSC dan ASC, menunjukkan bahwa ekolabeling belum dapat dibuktikan keefektifannya sebagai salah satu alat untuk mencapai alat pembangunan berkelanjutan. Ekolab MSC dan ASC bisa dijadikan alat politik untuk mengatur negara berkembang. Terlepas dari sudut pandang itu, konsepsi ekolabeling harus diakui mempunyai arah yang baik sebagai upaya menjaga lingkungan alam dan keberlanjutan sumber daya Udang dan Tuna. Rekomendasi kebijakan penelitian ini adalah menata kembali sistem regulasi nasional yang baik, untuk menghindari aturan yang tumpah tindih, terlalu banyak pengaturan, dan mengetahui kekosongan pengaturan. Pengaturan yang bersifat umum, juga harus dipertimbangkan dibentuk ketentuan yang sifatnya teknis. Hal tersebut dimaksudkan, agar pengaturannya dapat lebih operasional diaplikasikan. Hambatan non tarif yang disebabkan kewajiban memiliki sertifikasi perikanan tertentu, harus diupayakan pemerintah dengan melobi negara buyer untuk tidak mempersulitnya. Pendekatan lobi ini, juga bisa digunakan menegosiasi biaya sertifikasi ekolab MSC dan ASC yang cukup besar. Upaya pemerintah lainnya untuk mengurangi beban biaya kedua ekolab tersebut, yaitu menyediakan tenaga accesor yang bersertifikat internasional. xxi
Kasus lahan budiaya petambak yang ilegal di Tarakan harus segera diselesaikan, supaya tidak menghambat pelaku usaha mendapatkan sertifikasi ASC. Isu domestik sektor sosial ekonomi dan lingkungan dalam ASC, harus dipertimbangan juga oleh pemerintah dimasukan dalam rencana strategis pembangunan perikanan tangkap. Hal ini bertujuan, membangun kesejahteraan pelaku perikanan tangkap secara menyeluruh sampai kepada nelayan tradisional. Prinsip yang terkandung di dalam MSC dan ASC, dapat dijadikan rujukan bagi pemerintah membentuk ekolabeling nasional yang berstandar internasional.
xxii
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN LEMBAR PENGESAHAN COPY PROPOSALTEKNIS KEGIATAN TAHUN 2016 RINGKASAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... .......................................................................................
Hal. ii iii iv xx xxiii xxvi xxxi
I
....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... .......................................................................................
1 1 4 5 6 6
....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... .......................................................................................
9 12 16 21 25 32 32 32 35 36 36 40 40
.......................................................................................
41
.......................................................................................
47
.......................................................................................
51
....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... .......................................................................................
57 60 60 64
.......................................................................................
69
II
III
IV
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan 1.3. Keluaran TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi dan Distribusi Sumber Daya Perikanan Indonesia 2.2. Tuna 2.3. Udang 2.4. Perdagangan Internasional 2.5. Hambatan Non Tarif 2.6. Ekolabel Perikanan METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Kerangka Pemikiran 3.3. Jenis dan Metode Pengumpulan Data 3.4. Metode Pengambilan Responden 3.5. Metode Analisis HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kebijakan Perdagangan 4.1.1. Kebijakan Perdagangan Produk Perikanan Jepang 4.1.2. Kebijakan Perdagangan Produk Perikanan Uni Eropa 4.1.3. Kebijakan Perdagangan Produk Perikanan Amerika Serikat 4.1.4. Posisi Ekolabeling MSC dan ASC dalam Kebijakan Perdagangan Internasional 4.2. Ketentuan Ekolabeling 4.2.1. Penelusuran Ketentuan Prinsip MSC 4.2.2. Penelusuran Ketentuan Prinsip ASC 4.3. Perbandingan Prinsip MSC dan ASC terhadap Kebijakan Perdagangan Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat
xxiii
4.4.
4.5.
4.6. 4.7.
4.8. 4.9.
4.3.1. Perbandingan Prinsip MSC terhadap Kebijakan Perdagangan Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat 4.3.2. Perbandingan Prinsip ASC terhadap Kebijakan Perdagangan Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat Identifikasi Regulasi Nasional terhadap Prinsip MSC 4.4.1. Prinsip Pertama MSC 4.4.2. Prinsip Kedua MSC 4.4.3. Prinsip Ketiga MSC Identifikasi Regulasi Nasional terhadap Prinsip ASC 4.5.1. Prinsip Pertama ASC 4.5.2. Prinsip Kedua ASC 4.5.3. Prinsip Ketiga ASC 4.5.4. Prinsip Keempat ASC 4.5.5. Prinsip Kelima ASC 4.5.6. Prinsip Keenam ASC 4.5.7. Prinsip Ketujuh ASC Rencana Aksi terhadap Prinsip MSC dan ASC Kepatuhan Eksportir Udang dan Tuna dalam Melaksanakan Sistem Ekolabeling 4.7.1. Penerapan Ekolabel MSC Komoditas Tuna di di Bali 4.7.1.1. Usaha Perikanan Tangkap Tuna 4.7.1.2. Kesiapan Eksportir Tuna Mengadopsi Prinsip MSC 4.7.1.3. Implementasi Prinsip Ekolabel MSC 4.7.2 Penerapan Ekolabel MSC Komoditas Tuna di di Bitung 4.7.2.1. Usaha Perikanan Tangkap Tuna 4.7.2.2. Kesiapan Eksportir Tuna Mengadopsi Prinsip MSC 4.7.2.3. Implementasi Prinsip Ekolabel MSC 4.7.3. Penerapan Ekolabel ASC Komoditas Budidaya Udang di Tarakan 4.7.3.1. Usaha Budidaya Udang 4.7.3.2. Kesiapan Eksportir Udang Mengadopsi Prinsip ASC 4.7.3.3. Implementasi Prinsip Ekolabel ASC Model Kepatuhan 4.8.1. MSC 4.8.2. ASC Penerapan Ekolabel MSC dan ASC terhadap Produk Perikanan xxiv
Hal. .......................................................................................
70
....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... .......................................................................................
72 75 75 83 94 100 100 100 105 107 115 118 119 126
.......................................................................................
132
....................................................................................... .......................................................................................
134 134
....................................................................................... .......................................................................................
136 138
....................................................................................... .......................................................................................
140 140
....................................................................................... .......................................................................................
142 143
....................................................................................... .......................................................................................
145 145
....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... .......................................................................................
147 151 153 153 155
.......................................................................................
158
V
VI
Hal.
IMPLIKASI HASIL PENELITIAN DALAM MENDUKUNG KEBIJAKAN KP 5.1 Kebijakan Nasional 5.2 Kebijakan pada Tingkat Regional/Daerah KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 6.1 Kesimpulan 6.2 Rekomendasi Kebijakan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... .......................................................................................
xxv
163 163 163 164 164 166 168 178
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13 Tabel 4.14 Tabel 4.15 Tabel 4.16 Tabel 4.17 Tabel 4.18 Tabel 4.19
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Ekspor Ikan Tongkol/Tuna 2010-2014 Nilai Ekspor Ikan Tongkol/Tuna 2010-2014 Volume dan Nilai Ekspor Udang Indonesia VAT dan Tarif Produk Udang Uni Eropa PDB Indonesia Tahun 1995-2015 Identifikasi Regulasi FSL terhadap Ketentuan Ekspor Produk Perikanan Jepang Identifikasi Regulasi Ketentuan Ekspor Produk Perikanan Uni Eropa Buyer Requirements Produk Perikanan Uni Eropa Analisa Hukum Komparatif Regulasi Produk Perikanan Amerika Serikat Produk Makanan yang Memiliki Resiko terhadap Kesehatan Rekomendasi Strategi Kebijakan Keamanan Produk Perikanan Identifikasi Ketentuan Prinsip MSC Identifikasi Ketentuan Prinsip ASC Perbandingan Prinsip MSC terhadap Kebijakan Perdagangan Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat Perbandingan Prinsip ASC terhadap Kebijakan Perdagangan Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat Penelusuran Peraturan Nasional tentang Status Ketersediaan Peraturan Nasional tentang Ketersediaan Ikan Terkait Ekosistem Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pemulihan Ketersediaan/Stok Penelusuran Peraturan Nasional tentang Strategi Produksi Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pengendalian Produksi Penelusuran Peraturan Nasional tentang Informasi dan Pengawasan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Status Penilaian Ketersediaan Ikan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Hasil Spesies Utama Penelusuran Peraturan Nasional tentang Strategi Pengelolaan Spesies Utama
xxvi
....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... .......................................................................................
Hal. 6 10 10 14 15 17
.......................................................................................
45
....................................................................................... .......................................................................................
48 51
.......................................................................................
53
.......................................................................................
53
....................................................................................... ....................................................................................... .......................................................................................
54 61 65
.......................................................................................
71
.......................................................................................
73
.......................................................................................
76
.......................................................................................
77
.......................................................................................
78
.......................................................................................
79
.......................................................................................
80
.......................................................................................
82
.......................................................................................
83
.......................................................................................
84
.......................................................................................
85
Tabel 4.20 Tabel 4.21 Tabel 4.22 Tabel 4.23 Tabel 4.24 Tabel 4.25 Tabel 4.26 Tabel 4.27 Tabel 4.28 Tabel 4.29 Tabel 4.30 Tabel 4.31 Tabel 4.32 Tabel 4.33 Tabel 4.34 Tabel 4.35 Tabel 4.36 Tabel 4.37 Tabel 4.38 Tabel 4.39 Tabel 4.40 Tabel 4.41 Tabel 4.42 Tabel 4.43
Penelusuran Peraturan Nasional tentang Informasi Spesies Utama Penelusuran Peraturan Nasional tentang Hasil Spesies Sampingan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Strategi Pengelolaan Spesies Sampingan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Informasi Spesies Sampingan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Produksi Spesies Terancam Punah Penelusuran Peraturan Nasional tentang Strategi Pengelolaan Spesies Terancam Punah Penelusuran Peraturan Nasional tentang Informasi Spesies Terancam Punah Penelusuran Peraturan Nasional tentang Habitat Penelusuran Peraturan Nasional tentang Strategi Pengelolaan Habitat Penelusuran Peraturan Nasional tentang Informasi Habitat Penelusuran Peraturan Nasional tentang Ekosistem Penelusuran Peraturan Nasional tentang Strategi Pengelolaan Ekosistem Penelusuran Peraturan Nasional tentang Informasi Ekosistem Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kerangka Regulasi Penelusuran Peraturan Nasional tentang Konsultasi, Peran, dan Tanggung Jawab Penelusuran Peraturan Nasional tentang Tujuan Jangka Panjang Penelusuran Peraturan Nasional tentang Tujuan Spesifik Perikanan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Proses Pengambilan Keputusan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kepatuhan dan Penegakan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pengawasan dan Evaluasi Kinerja Pengaturan Regulasi Nasional terhadap Variabel MSC Penelusuran Peraturan Nasional tentang Dokumen Kepatuhan terhadap Persyaratan Hukum Nasional dan Lokal Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pengkajian Dampak Lingkungan Keanekaragaman Hayati Penelusuran Peraturan Nasional tentang Konservasi Kawasan Lindung atau Habitat Kritis xxvii
Hal. .......................................................................................
85
.......................................................................................
86
.......................................................................................
87
.......................................................................................
88
.......................................................................................
88
.......................................................................................
89
....................................................................................... .......................................................................................
90 91
.......................................................................................
91
....................................................................................... .......................................................................................
92 92
.......................................................................................
93
.......................................................................................
93
.......................................................................................
94
.......................................................................................
95
.......................................................................................
95
.......................................................................................
96
.......................................................................................
96
.......................................................................................
97
....................................................................................... .......................................................................................
97 99
.......................................................................................
100
.......................................................................................
101
.......................................................................................
102
Tabel 4.44 Tabel 4.45 Tabel 4.46 Tabel 4.47 Tabel 4.48 Tabel 4.49 Tabel 4.50 Tabel 4.51 Tabel 4.52 Tabel 4.53 Tabel 4.54 Tabel 4.55 Tabel 4.56 Tabel 4.57 Tabel 4.58 Tabel 4.59 Tabel 4.60 Tabel 4.61 Tabel 4.62 Tabel 4.63 Tabel 4.64
Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pertimbangan Habitat Kritis untuk Spesies Langka Penelusuran Peraturan Nasional tentang Koridor, Pembatas, dan Penyangga Ekologi Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pencegahan Salinisasi Air Tawar dan Sumber Tanah Penelusuran Peraturan Nasional tentang Dampak terhadap Masyarakat Sekitar, Pengguna Ekosistem, dan Pemilik Lahan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Penyelesaian Klaim dari Pemangku Kepentingan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Keterbukaan Peluang Tenaga Kerja pada Masyarakat Lokal Penelusuran Peraturan Nasional tentang Perjanjian Kontrak yang Adil untuk Pembudidaya Ikan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Tenaga Kerja Anak-Anak dan Pekerja Muda Penelusuran Peraturan Nasional tentang Paksaan Kewajiban Mengikat Pekerja Penelusuran Peraturan Nasional tentang Diskriminasi di Lingkungan Kerja Pekerja Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kesehatan dan Keamanan Lingkungan Kerja Penelusuran Peraturan Nasional tentang Upah Minimum yang Adil dan Layak Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kebebasan Mengakses Organisasi dan Hak Bersama untuk Posisi Tawar Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pelecehan dan Disiplin Praktek di Lingkungan Kerja Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kompensasi Lembur dan Jam Kerja Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kontrak Kerja yang Adil dan Transparan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Keadilan dan Keterbukaan Sistem Pengelolaan Kerja Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kondisi Tempat Tinggal Pekerja yang Menetap di Lahan Budidaya Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pencegahan Penyakit Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kontrol Pemangsa Penelusuran Peraturan Nasional tentang Perlakuan dan Pengelolaan Penyakit
xxviii
Hal. .......................................................................................
103
.......................................................................................
104
.......................................................................................
104
.......................................................................................
105
.......................................................................................
106
.......................................................................................
106
.......................................................................................
107
.......................................................................................
108
.......................................................................................
109
.......................................................................................
109
.......................................................................................
110
.......................................................................................
111
.......................................................................................
111
.......................................................................................
113
.......................................................................................
113
.......................................................................................
113
.......................................................................................
114
.......................................................................................
115
.......................................................................................
116
.......................................................................................
116
.......................................................................................
117
Tabel 4.65 Tabel 4.66 Tabel 4.67 Tabel 4.68 Tabel 4.69 Tabel 4.70 Tabel 4.71 Tabel 4.72 Tabel 4.73 Tabel 4.74 Tabel 4.75 Tabel 4.76 Tabel 4.77 Tabel 4.78 Tabel 4.79 Tabel 4.80 Tabel 4.81 Tabel 4.82 Tabel 4.83 Tabel 4.84 Tabel 4.85 Tabel 4.86 Tabel 4.87 Tabel 4.88 Tabel 4.89 Tabel 4.90 Tabel 4.91
Penelusuran Peraturan Nasional tentang Keberadaan Spesies Udang Eksotis dan Memperkenalkannya Penelusuran Peraturan Nasional tentang Asal Larva atau Induk Penelusuran Peraturan Nasional tentang Udang Transgenic Penelusuran Peraturan Nasional tentang Ketelusuran Bahan Baku Pakan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Asal Air dan darat Bahan Pakan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Penggunaan Rekayasa Genetika Bahan dalam Pakan Penelusuran Peraturan Nasional tentang Efisiensi Penggunaan Ikan liar untuk Tepung Ikan atau Minyak Penelusuran Peraturan Nasional tentang Bahan Kontaminasi Limbah Penelusuran Peraturan Nasional tentang Efisiensi Energi Penelusuran Peraturan Nasional tentang Penanganan dan Pembuangan Bahan Berbahaya serta Limbah Pengaturan Regulasi Nasional terhadap Kriteria ASC Rencana Aksi terhadap Prinsip Ekolabeling MSC Rencana Aksi terhadap Prinsip Ekolabeling ASC Data Kapal Anggota ATLI dan Jumlah Produksinya Jumlah Produksi Tuna Menurut Jenisnya Kesiapan Eksportir di Bitung Mengadopsi Prinsip MSC Volume Produksi Tuna, Cakalang, dan Tongkol di PPS Bitung Volume Produksi berdasarkan Alat Tangkap di PPS Bitung Kesiapan Eksportir di Bitung Mangadopsi Prinsip MSC Jumlah RTP Perikanan Budidaya Tambak di Kota Tarakan Tahun 2014 Kesiapan Perusahaan/Petambak Mengadopsi Prinsip ASC Kepatuhan Pembudidaya Udang terhadap Standar CBIB Biaya Investasi untuk Fasilitas Tambak Biaya Pengadaan Input per Musim Tanam Biaya Tetap Usaha Tambak Udang Hasil Olahan Data Model Kepatuhan Eksportir Tuna terhadap Standar MSC Hasil Olahan Data Model Kepatuhan Eksportir Tuna terhadap Standar ASC
xxix
Hal. .......................................................................................
118
.......................................................................................
119
.......................................................................................
119
.......................................................................................
120
.......................................................................................
120
.......................................................................................
121
.......................................................................................
122
.......................................................................................
122
.......................................................................................
123
....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... ....................................................................................... .......................................................................................
123 125 127 129 134 135 137
.......................................................................................
141
....................................................................................... .......................................................................................
141 142
.......................................................................................
146
....................................................................................... .......................................................................................
148 149
....................................................................................... ....................................................................................... .......................................................................................
150 150 151
.......................................................................................
154
.......................................................................................
156
Tabel 4.92 Tabel 4.93 Tabel 4.94
Kelebihan dan Kekurangan Ekolab MSC dan ASC Biaya yang Dikeluarkan Perusahaan untuk Sertifikasi MSC Biaya yang Dikeluarkan Perusahaan untuk Sertifikasi ASC
xxx
.......................................................................................
Hal. 159
.......................................................................................
160
.......................................................................................
161
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.7 Gambar 3.1 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4
Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Peta Tingkat Eksploitasi Sumber Daya Ikan di WPP Republik Indonesia Sistem Insentif Pasar Produk dengan Sertifikat Ekolabel Kerangka Penelitian Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dan Segar Kota Tarakan, 2001-2015 Negara Tujuan Produk Budidaya Ikan Kota Tarakan (2016) Probabilitas Kepatuhan Eksportir Tuna terhadap Standar MSC Probabilitas Kepatuhan Eksportir Tuna terhadap Standar ASC
xxxi
Hal. .......................................................................................
7
.......................................................................................
8
....................................................................................... .......................................................................................
39 34
.......................................................................................
145
.......................................................................................
147
.......................................................................................
155
.......................................................................................
157
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki luas wilayah perairan yang lebih besar
dibandingkan dengan daratannya. Keanekaragaman sumber daya perikanan telah terkenal dan sudah menembus pasar internasional (Muswar, 2011). Permintaan dunia terhadap hasil perikanan yang terus meningkat setiap tahun, merupakan pasar potensial untuk sebuah negara mengembangkan modal perekonomiannya. Pasar potensial seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa, sangat bergantung pada impor dengan proporsi impor sebesar 40%-60% untuk memenuhi total konsumsi makanan laut mereka. Permintaan produk perikanan yang besar, seringkali menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hasil tangkapan yang besar juga. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia/FAO (Food and Agriculture Organization), memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh (mengalami tangkap lebih/overfishing) dan hanya 25% dari sumber daya masih berada pada kondisi tangkap kurang. Kondisi ini dikarenakan pola penangkapan yang tidak ramah lingkungan dan tidak mengedepankan prinsip keberlanjutan. Isu aktivitas perikanan tangkap saat ini meliputi: (1) masih maraknya aktivitas IUU (Illegal, Unregulated and Unreported) fishing; (2) gejala lebih tangkap/overfishing pada beberapa perairan pantai Indonesia, akibat pemanfaatan sumber daya ikan yang umumnya masih bersifat open acces dan belum melaksanakan limited entry secara penuh; (3) masih terdapat penggunaan alat penangkapan ikan yang bersifat destruktif; (4) sistem pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan yang masih lemah dan belum efektif (BAPPENAS, 2014). Mekanisme untuk memastikan keberlanjutan stok ikan di laut sudah diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) (1982); FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (1995); United Nations Fish Stocks Agreement (1995); dan sejumlah peraturan
dalam
Regional
Fisheries
Management
Organizations
(RFMOs).
Regulasi
internasional tersebut, masih belum dapat dijadikan instrumen kebijakan dalam memperbaiki kondisi perikanan tangkap yang semakin terdegradasi. 1
Gambaran aktivitas budidaya saat ini diantaranya: (1) kebutuhan pakan yang masih tergantung dengan impor dari negara lain; (2) sebagian besar usaha perikanan budidaya di Indonesia belum menerapkan good aquaculture practices, sehingga aktivitasnya berdampak pada degradasi lingkungan yang cukup signifikan (menimbulkan masalah penyakit, kematian massal, dan pencemaran (baik limbah sisa pakan maupun limbah penggunaan obat-obatan yang tidak tepat jenis dan dosisnya)); (3) terjadinya konversi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, sehingga menimbulkan ancaman langsung maupun tidak langsung bagi keberlanjutan usaha perikanan budidaya; (4) ketersediaan induk unggulan masih terbatas. Udang dan Tuna merupakan komoditas perikanan unggulan ekspor Indonesia. Tujuan ekspor untuk Udang dan Tuna ini diantaranya adalah Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Ketiga negara ini dipilih menjadi tujuan eskpor yang dibahas dalam penelitian ini, karena mewakili negara yang kebutuhan akan Udang dan Tunanya cukup besar. Nilai total ekspor Udang tahun 2014 sebesar US$ 1.919.345.969,00 (volume: 155.882.438,00 kg), sedangkan nilai total eskpor Tuna sebesar US$ 689.971.241,00 (volume 109.989.972,00 kg) (BKIPM, 2016). Jumlah total produksi tangkapan laut Tuna sebesar 1.251.350 ton tahun 2014, sedangkan udang hasil penangkapan di laut tahun 2014 adalah 255.410 ton dan dari hasil budidaya sebesar 592.219 ton (total produksi tangkapan dan budidaya Udang 847.629 ton) (Pusat Data, Statistik dan Infomasi-KKP, 2014). Mengacu data statistik tersebut, komoditas Udang yang dikaji dalam penelitian ini difokuskan kepada sektor budidaya. Produksi Udang melalui penangkapan saat ini tidak besar dan Balitbang KP memiliki kontrak kinerja dengan Direktorat Jenderal Budidaya dalam mengkaji komoditas Udang. Kesadaran masyarakat internasional terhadap pemanfaatan sumber daya Udang dan Tuna menggunakan sistem keberlanjutan dan ramah lingkungan, memunculkan istilah ekolabeling. Pembangunan berkelanjutan dipahami sebagai kegiatan memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana, efisien, dan memperhatikan kemungkinan pemanfaatan oleh generasi mendatang. WTO/World Trade Organization sebagai organisasi perdagangan dunia (dibentuk 1995) dan merupakan perluasan GATT/General Agreement on Tariff and Trade (lembaga multilateral selain Bank Dunia dan IMF), telah menetapkan diterimanya ekolabel sebagai standar lingkungan hidup internasional. Pelaksanaannya standar tersebut harus 2
dilakukan secara transparan, non diskriminatif, serta penanganan menggunakan pendekatan multilateral dan berdasarkan standar internasional untuk menyelesaikan masalah lingkungan hidup (Mayasari, 2009). Isu lingkungan sudah mendapat perhatian khusus dalam WTO/GATT sudah sejak lama. Pada tahun 1972, GATT membentuk sebuah kelompok yang dinamakan “Tindakan terhadap Lingkungan dan Perdagangan Internasional”. Kelompok ini dibentuk atas munculnya kecemasan adanya hambatan perdagangan yang disebabkan oleh kepentingan lingkungan. Isu tersebut dewasa ini menjadi sebuah pengesahan (sertifikasi ekolabel) bagi produk ramah lingkungan. Ekolabeling adalah tanda/identitas yang dicantumkan untuk produk yang telah berhasil memenuhi kriteria ramah lingkungan yang ditetapkan oleh lembaga sertifikasi (Muswar, 2011). Ekolabel merupakan permintaan tambahan dari buyer di luar ketentuan ekspor (wawancara dengan ATLI/Asosiasi Tuna Longline Indonesia, ASTUIN/Asosiasi Tuna Indonesia, pejabat Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap-Kementerian Kelautan dan Perikanan/Ditjen Tangkap-KKP, dan pejabat Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan-KKP). Skema ekolabel perikanan menjadi populer di negara Eropa dan menyebabkan banyak perusahaan retail besar bergabung. Pada dasarnya perusahaan ini memilih konsumen dengan kesadaran tentang keberlanjutan ekologi yang tinggi, sehingga menginginkan produk yang mereka beli telah memenuhi kaidah ramah lingkungan. Salah satu ekolabel perikanan untuk produk perikanan tangkap adalah MSC. MSC mempunyai misi memanfaatkan program sertifikasinya
untuk
berkontribusi
dalam
menjaga
kesehatan
laut
dunia,
dengan
memperkenalkan sistem penangkapan ikan berkelanjutan (MSC, 2016). Menurut Saut P. Hutagalung, yang pada tahun 2014 menjabat Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP)-Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam Rohmat (2014): “Sebenarnya sejak tahun 2009, Indonesia telah mengajukan beberapa produk perikanan tangkap untuk mendapat sertifikasi MSC. Sayangnya, sampai saat ini, sertifikasi yang sangat penting dan diakui dunia itu belum didapat Indonesia lantaran ketatnya persyaratan dan membutuhkan waktu cukup lama. Beberapa perikanan tangkap yang telah diajukan untuk mendapat MSC seperti Rajungan, Tuna, Kepiting, Kerapu, dan Cakalang. Kendati demikian, pasar perikanan dunia baik di Asia, Eropa dan Amerika, tetap mengakui dan 3
menerima produk ikan asal Indonesia. Dikatakannya, sertifikasi MSC cukup penting karena tidak hanya menyangkut aspek sustainabel keberlanjutan sumber daya perikanan di masa mendatang namun juga terkait mutu yang berstandar dunia”. Kepentingan Indonesia sebagai produsen perikanan terbesar dunia terhadap sertifikasi MSC, yaitu memenuhi ketentuan pasar ekspor yang memiliki persyaratan ekolabel dan mendukung implementasi kebijakan ke arah pengelolaan perikanan yang lestari. Produk perikanan Indonesia meskipun belum mendapat sertifikasi MSC, hasil tangkapan ikan telah diakui pada pasaran dunia sejajar dengan produk perikanan tangkap negara lainnya. Kondisi ini menurut Saut P. Hutagalung (Dirjen P2HP-KKP), disebabkan dunia sudah mengetahui bahwa Indonesia telah masuk mengikuti program untuk mendapatkan sertifikasi MSC dan menunjukkan adanya komitmen kuat memenuhi persyaratan sesuai standar internasional (Rohmat, 2014). Kebutuhan pasar terhadap produk budidaya yang ramah lingkungan terkait dengan ekolabel, salah satunya menggunakan prinsip yang telah dibuat oleh ASC (Aquaculture Stewardship Council). Pelaku usaha internasional dapat meminta ASC sebagai pihak ketiga untuk memberikan sertifikasi terhadap produk perikanan budidaya. ASC adalah lembaga independen yg bergerak dalam program sertifikasi perikanan budidaya yang bertanggung jawab. Tujuan ASC adalah mentransformasi industri budidaya perikanan ke standarisasi yang lebih tinggi, melalui program sertifikasi komprehensif dengan bertumpu pada keberlanjutan lingkungan dan sosial budidaya perikanan (MSC, 2016). Sertifikat MSC dan ASC meskipun saat ini belum menjadi kewajiban bagi eksportir nasional, tetapi untuk ke depannya menjadi penting sebagai citra dan pendongkrak daya saing produk perikanan Indonesia.
1.2.
Tujuan
1. Menganalisis regulasi ekolabeling untuk komoditas Udang dan Tuna; 2. Menganalisis implementasi kepatuhan pelaku usaha dalam melaksanakan sistem ekolabeling pada pasar internasional; 3. Merumuskan rekomendasi kebijakan terkait strategi pelaku usaha terhadap kewajiban pemenuhan persyaratan “ekolabeling” komoditas Udang dan Tuna di pasar internasional.
4
1.3.
Keluaran 1 (satu) rekomendasi sosial ekonomi terkait kepatuhan pelaku usaha terhadap kewajiban pemenuhan persyaratan “ekolabeling” komoditas Udang dan Tuna di Pasar internasional.
1 (satu) paket data dan informasi terkait kepatuhan pelaku usaha terhadap kewajiban pemenuhan persyaratan “ekolabeling” komoditas Udang dan Tuna di Pasar internasional.
2 (dua) Karya Tulis Ilmiah.
5
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Potensi dan Distribusi Sumber Daya Perikanan Indonesia Perikanan sebagai salah satu kegiatan ekonomi utama yang memanfaatkan sumber daya
ikan, memiliki komponen yang meliputi: habitat dan ekosistem perairan; sumber daya ikan; serta dinamika pelaku perikanan maupun pihak pemerintah sebagai regulator (sekaligus pengambil kebijakan). Berdasarkan hal tersebut, diperlukan upaya pengelolaan perikanan yang menitikberatkan pada konektivitas (keterkaitan) antarfaktor di dalamnya. Kondisi ini menyebabkan pengelolaannya tidak hanya berorientasi pada spesies tunggal (single species), namun juga mempertimbangkan keterkaitan sumber daya ikan target (target resources) dengan ekosistem dan habitat sebagai wadah biofisik sumber daya ikan, serta faktor sistem manusia (teknologi yang digunakan, kondisi sosial dan budaya, ekonomi, serta tata kelola perikanan). Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.50/MEN/2012, tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing Tahun 2012-2016 (Kepmen KP RI No. KEP.50/MEN/2012), diketahui bahwa Indonesia mempunyai sebelas WPP (Tabel 2.1). No.
WPP - NRI
Tabel 2.1. Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan
1. WPP RI 571 Selat Malaka 2. WPP RI 572 Samudera Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda 3. WPP-RI 573 Samudera Hindia selatan Jawa hingga selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Timor bagian Barat 4. WPP-RI 711 Selat Karimata, Laut China Selatan, dan Natuna 5. WPP-RI 712 Laut Jawa 6. WPP-RI 713 Selatan Makasar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali 7. WPP-RI 714 Teluk Tolo dan Laut Banda 8. WPP-RI 715 Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau 9. WPP-RI 716 Laut Sulawesi dan utara Pulau Halmahera 10. WPP-RI 717 Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik 11. WPP-RI 718 Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur Sumber: Kepmen KP RI No. KEP.50/MEN/2012
Berdasarkan Tabel 2.1, diketahui bahwa pengelolaan dalam pengembangan WPP diharapkan dapat dikoordinasikan dengan daerah yang memiliki potensi sumber daya ikan. Peta pengembangan WPP, dapat dilihat pada Gambar 2.1. 6
Sumber: Kepmen KP RI No. KEP.50/MEN/2012
Gambar 2.1. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
Gambar 2.1, menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya ikan dala dimaksudkan agar pemanfaatannya pada setiap kawasan dapat lebih terkendali, efektif, dan bertanggung jawab. Menurut Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (KOMNAS KAJISKAN), status pemanfatan dan distribusi sumber daya ikan pada wilayah perairan Indonesia yang ada saat ini, memberikan indikasi (signal) perlunya upaya intervensi pengelolaan yang kuat dari pemerintah (Ditjen Tangkap-KKP, 2012). Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.45/MEN/2011, tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (Kepmen KP RI No. KEP.45/MEN/2011), secara spesifik dapat dikatakan bahwa Tuna hampir tersebar di seluruh WPP Republik Indonesia (Gambar 2.2), sedangkan status pemanfaatannya pada beberapa wilayah telah menunjukkan kondisi tangkap lebih (over fishing–ditandai warna merah).
7
Sumber: Kepmen KP RI No. KEP.45/MEN/2011
Gambar 2.2. Peta Tingkat Eksplotasi Sumber Daya Ikan di WPP Republik Indonesia
Menurut Gambar 2.2, jenis ikan yang tertangkap di wilayah perairan laut Indonesia dapat dikategorikan menjadi: (1) pelagis; (2) demersal; (3) Udang (statistik perikanan Indonesia mengkategorikan hasil tangkapan ikan dalam 10 kelompok). Kelompok jenis ikan pelagis, demersal, maupun Udang, yang tersebar di perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, sebagian besar merupakan komoditas ekonomi penting. Jenis ikan ini meliputi: Tuna, Tongkol, Cakalang, Tembang (Sardinella fimbriata), Teri (Setipina tenuifilis), Bilis (Thryssa hamiltinii), Selar (Carangoides chrysophrys), Peperek (Leiognathus equulus), Gerot-gerot (Johnius australis), ikan Lidah (Cynoglossus abbreviatus), Senangin (Eleutheronema tetradactylum), Lencam (Lethrinus lentjam), Sembilang (Arius solidus), Udang Jerbung (Panaeus merguensis), Udang Dogol (Metapenaeus ebarocensis), Udang Windu 8
(Penaeus monodon), Udang Krosok (Trachypenaeus fulvus), Rajungan (Portunus pelagicus), beberapa jenis Tripang, dan Ubur-ubur. Seluruh jenis ikan tersebut memiliki nilai ekonomis sebagai komoditi ekspor, baik melalui atau tanpa proses pengolahan. Kelompok jenis ikan pelagis secara umum, dapat diklasifikasikan menjadi pelagis besar dan pelagis kecil. Kelompok ikan pelagis yang dieksploitasi adalah neritik, yaitu ikan yang bergerombol pada wilayah pantai (alat tangkap utamanya adalah pukat cincin). Jenis ikan demersal dan Udang di Samudera Hindia terdapat pada kedalaman 100 meter, yang berada dalam wilayah penangkapan dekat pantai (alat tangkap utamanya yaitu: pukat tarik, pukat Udang, jaring insang dasar, rawai dasar, dan lain-lain). Jenis ikan pelagis besar, sudah dimanfaatkan sejak tahun 1950 secara industri oleh negara-negara berkembang dan telah mencapai tingkat eksploitasi berlebih. Jenis ikan yang sudah dieksploitasi secara berlebih adalah Tuna Mata Besar (Bigeye Tuna) dan yang dieksploitasi penuh yaitu Madidihang (Yellowfin Tuna), sedangkan yang dapat diusahakan karena masih dalam kondisi moderat adalah Cakalang. 2.2.
Tuna Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumber daya kelautan dan
perikanan (KP) yang besar, serta strategis. Pengelolaan potensi komoditas perikanan yang sudah sejak lama dimanfaatkan oleh Indonesia diantaranya pelagis besar. Pemanfaatan potensi perikanan tersebut, dimaksudkan untuk meningkatkan perekonomian nasional dan regional melalui berbagai program pembangunan KP (salah satunya industrialisasi perikanan). Program industrialisasi perikanan tangkap saat ini lebih difokuskan terhadap komoditas Tuna, Tongkol, dan Cakalang (TTC). Komoditas Tuna dan Cakalang termasuk ke dalam golongan ikan pelagis besar yang beruaya internasional. Komoditas Tuna yang dikenal di pasar dunia adalah Bluefin Tuna, Southern Bluefin Tuna (SBT), Bigeye Tuna, Yellowfin Tuna, Albacore dan Skipjack. Pemanfaatan komoditas Tuna di perairan laut Indonesia maupun internasional, harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh organisasi RFMOs. Pengelolaan terkait produksi Tuna membuat pemerintah wajib mempertimbangkan keberadaan RFMOs yang berada di sekitar wilayah laut Indonesia (Indian Ocean Tuna Commission/IOTC, Commission for the Conservation of Southern Bluefin 9
Tuna/CCSBT, dan Western and Central Pacific Fisheries Commission/WCPFC). Data ekspor dan nilainya untuk ikan Tongkol/Tuna, dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3. Tabel 2.2. Ekspor Ikan Tongkol/Tuna 2010-2014 Negara Tujuan Jepang Hongkong Taiwan Thailand Singapura Vietnam Australia Amerika Serikat Belanda Belgia Lainnya Jumlah
Sumber: BPS (2015)
2010 30,282.3 283.8 4,500.3 9,083.5 1,344.2 3,042.6 193.3 4,536.9 181.6 257.3 13,976.7 67,682.5
2011 35,010.2 215.8 305.8 12,824.8 699.7 2,675.9 130.8 4,117.1 348.2 58.5 15,398.1 71,784.9
Berat Bersih (ton) 2012 29,236.6 138.4 255.5 42,974.2 360.8 3,320.0 91.5 4,515.5 156.0 10.0 24,669.3 105,727.8
2013 33,116.6 217.5 351.1 44,777.9 572.4 2,678.5 127.1 4,199.3 74.8 209.4 26,022.8 112,347.4
2014 25,118.1 75.9 360.0 47,920.3 658.2 2,234.5 118.1 2,359.9 946.2 41.0 21,278.8 101,111.0
Tabel 2.3. Nilai Ekspor Ikan Tongkol/Tuna 2010-2014 Negara Tujuan Jepang Hongkong Taiwan Thailand Singapura Vietnam Australia Amerika Serikat Belanda Belgia Lainnya Jumlah
Sumber: BPS (2015)
2010 115,440.6 572.7 3,213.6 7,645.6 4,167.8 7,515.0 811.6 23,490.8 1,730.0 1,309.0 31,155.7 197,052.4
Nilai FOB: 000 US$ 2011 2012 118,234.8 111,055.7 590.9 935.2 520.0 216.8 19,579.9 78,316.3 1,649.9 1,275.4 5,856.6 5,982.4 643.1 675.4 25,584.6 42,019.6 2,142.3 1,091.6 451.7 81.6 44,186.5 58,238.0 219,440.3 299,888.0
2013 106,763.2 1,654.3 336.1 69,040.3 1,180.5 4,737.0 1,079.3 33,012.1 428.7 1,310.8 57,064.9 276,607.2
2014 74,763.1 631.3 393.9 68,782.8 1,539.9 3,592.9 915.8 17,541.5 4,623.5 242.0 37,314.8 210,341.5
Tabel 2.2 dan Tabel 2.3, menunjukkan bahwa negara tujuan ekspor yang paling besar untuk produk Tuna Indonesia ke negara Eropa, Amerika, dan Jepang. Jumlah total produksi tangkapan laut Tuna tahun 2014 sebesar 1.251.350 ton. Tuna merupakan salah satu kelompok produk yang termasuk jenis ikan unggulan di Indonesia. Wilayah Indonesia memiliki posisi strategis sebagai daerah pemijahan, asuhan, dan sekaligus sebagai daerah penangkapan Tuna (baik di laut teritorial maupun laut lepas/ZEE). 10
Posisi strategis ini didukung oleh adanya terumbu karang yang tersebar di bagian barat hingga timur (Indonesia termasuk negara yang mempunyai proporsi terumbu karang pada kawasan coral triangle). Kawasan coral triangle terbukti sebagai tempat bertelur, berkembang biak, jalur migrasi, dan sebagai penyuplai sumber daya Tuna dunia sebesar 89%. Jenis Tuna yang hidup pada wilayah coral triangle meliputi: Tuna Sirip Biru; Tuna Mata Besar; Tuna Sirip Kuning; Tongkol; dan Tuna Albakor (semua jenis Tuna berasal dari Lautan Hindia, Lautan Pasifik, dan Lautan Pasifik Selatan) (WWF, 2008). Pemanfaatan perikanan pada wilayah coral triangle mempunyai implikasi yang besar terhadap populasi Tuna di seluruh dunia (khususnya untuk tempat pemijahan dan fase awal pertumbuhan). Produksi Tuna dalam WPP 572, 573, 714, 716, dan 717, merupakan komoditas utama penyumbang devisa penting negara yang memiliki nilai ekspor signifikan. Komoditas Highly Migratory Species (HMS), pengelolaannya memerlukan kesepakatan bersama dalam wadah RFMOs. Berdasarkan arah kebijakan Organisasi Pangan dan Pertanian/FAO, pemerintah diwajibkan untuk mengembangkan perikanan Tuna secara bertanggung jawab. Tuna adalah salah satu penopang perekonomian Indonesia yang memiliki tren perkembangan sangat prospektif, namun tingkat ekploitasinya sudah menunjukkan kecenderungan catch per unit of effort (CPUE) yang menurun. Pengelolaan perikanan Tuna juga dihadapkan pada penggunaan alat penangkapan ikan yang dianggap tidak seletif seperti purse-seine yang beroperasi dengan menggunakan alat bantu rumpon dan/atau lampu (cahaya). Pola operasi ini, akan mengakibatkan tertangkapnya tuna berukuran kecil (juvenile) terutama Yellowfin dan Bigeye bersamaan dengan tertangkapnya Cakalang sebagai target utama penangkapan. Keadaan ini dapat mengkibatkan ancaman terhadap pertumbuhan alami Bigeye dan Yellowfin Tuna. Intensifikasi kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat bantu rumpon dan/atau lampu (cahaya), harus dapat dikendalikan secara efektif (Ditjen Tangkap-KKP, 2012). Indikasi adanya praktek IUU fishing juga menjadi masalah tersendiri dalam pengelolaan perikanan tuna. Sebagaimana diketahui bahwa dewasa ini kegiatan IUU fishing telah dianggap musuh bersama (common enemy) oleh komunitas internasional. Setiap Negara mempunyai kewajiban yang sama untuk memberantas, mencegah, dan mengurangi kegiatan IUU fishing, 11
baik di perairan dalam yurisdiksi nasional maupun di laut lepas. Kewenangan negara bendera memberikan izin penangkapan ikan harus diikuti dengan kewajiban untuk mengendalikan operasionalnya. Komitmen untuk mengadopsi berbagai kebijakan pengelolaan dan konservasi sumber daya tuna, menimbulkan kepedulian pelaku usaha (whole seller) di negara maju menerapkan prinsip ekolabeling terhadap semua produk perikanan. Salah satu elemen dalam penerapan prinsip ekolabeling, adalah manajemen pengelolaan perikanan Tuna di negara eksportir (negara asal ikan) yang diterapkan secara efektif (effectively in place) (Ditjen TangkapKKP, 2012).
2.3.
Udang Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas dan diakui secara internasional sebagai
negara maritim yang ditetapkan dalam UNCLOS 1982. Ketetapan tersebut memberikan kewenangan, serta memperluas wilayah laut Indonesia dengan segala kebijakan yang mengikutinya. Luasnya wilayah laut Indonesia, terkandung beraneka ragam sumber daya alam laut (baik hayati dan non-hayati) yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bisnis perikanan (Ambarwati, 2014). Salah satu bisnis perikanan yang menjanjikan adalah Udang. Udang merupakan produk spesies famili: (a) Penaeidae; (b) Pandalidae; (c) Crangonidae; dan (d) Palaemonidae. Udang merupakan salah satu komoditas sektor perikanan yang bernilai ekonomi tinggi (Apindo, 2014). Melimpahnya jenis Udang yang hidup di perairan Indonesia membuat peluang untuk membudidayakan dan memasarkannya sangat besar. Produksi Udang Indonesia dari tahun 2008-2013 rata-rata sebanyak 320.000 ton per tahun (KKP dalam Kementerian Perdagangan, 2016). Udang untuk kebutuhan ekspor, pada umumnya diproduksi secara akuakultur (Apindo, 2014). Produksi Udang produksi udang Indonesia yang dihasilkan dari budidaya sebesar 59% dan selebihnya merupakan tangkapan (41%). Usaha budidaya Udang di Indonesia melibatkan 1,18 juta orang tenaga kerja langsung maupun tidak langsung yang terdiri dari pembudidaya Udang (482.161 orang), pelaku usaha sarana produksi Udang (pabrik pakan; pembenuran; vitamin; dan obat-obatan), serta usaha perdagangan lainnya. Jenis Udang yang banyak dipelihara petambak meliputi: Windu; Vanname; Api-api; Putih; dan Galah. Syarat Udang untuk 12
kebutuhan ekspor harus: (1) utuh (belum ada bagian yang patah atau lepas); (2) kulit licin dan mudah meluncur diantara satu dan lainnya; (3) warna masih asli sesuai jenisnya dan belum berubah menjadi merah muda; (4) tidak terdapat bercak-bercak hitam (black spot) di kepala; (5) ruas ekor, kaki renang, dan sungut masih tersambung; (6) mata bulat, hitam, bening, dan bercahaya. Udang budidaya yang dikaitkan dengan pasar ekspor adalah Windu dan Vanname, sedangkan jenis lainnya untuk keperluan pasar dalam negeri. Produksi Udang budidaya sebesar 358.925 ton dihasilkan dari tambak seluas 290.982 ha. Sasaran produksi sebesar 540.000 ton, dicapai melalui hasil tambak tradisional (Udang Windu, Putih, dan Api-api, sebesar 108.000 ton). Kekurangan produksi Udang Vanname 432.000 ton, diproduksi secara intensif oleh pembudidaya skala besar (perorangan, petambak yang tergabung dalam kelompok Shrimp Club Indonesia (SCI), maupun perusahaan tambak terintegrasi (Kementerian Perdagangan, 2016). Petambak Udang intensif yang tergabung dalam SCI saat ini sebanyak 40 pemilik lahan, dengan luasan lahan sekitar 600-700 ha (produksi Udang 105.000-115.000 ton per tahun). Perusahaan tambak Udang terintegrasi mengelola lahan seluas 50.000 ha dan mempekerjakan 38.000 orang, dengan produksi mencapai 57.000 ton tahun 2007 (penjualan bersih senilai Rp. 3,683 triliun). Negara tujuan utama ekspor Indonesia adalah Amerika Serikat (USA), Jepang, dan Uni Eropa. Amerika Serikat merupakan Negara tujuan utama ekspor Udang Indonesia. Menurut Simamora (2014), regulasi di Indonesia untuk melakukan ekspor Udang cukup banyak. Pengusaha Udang harus melalui tiga kementerian untuk melengkapi dokumen yang berbeda sebagai syarat ekspor, yakni: KKP, Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Eksportir harus melengkapi semua persyaratan dalam negeri sebelum melakukan ekspor. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Dokumen yang ditetapkan oleh KKP sebagai competent agency cukup banyak. Dokumen yang ditetapkan oleh KKP, seutuhnya untuk menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman dan berkualitas. Sertifikasi yang harus dimiliki dalam mengekspor Udang meliputi: a. GAP (Good Aquaculture Practices) b. GHcP (Good Hacthery Pratices) 13
c. RMP (Residues Monitoring Programme) d. CBIB (Cara Budidaya Ikan yang Baik) e. CPIB (Cara Penanganan Ikan yang Baik) f. HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) g. HC (Health Certificate) Dokumen berikutnya yang dibutuhkan adalah SIUP (Surat Ijin Usaha Perikanan) dan SKA (Surat Keterangan Asal), yang diurus melalui Kemendag. SIUP digunakan sebagai konfirmasi bahwa produsen yang melakukan ekspor memiliki usaha yang legal. SKA sendiri digunakan sebagai dasar penelusuran atau traceability negara produsen produk tersebut. SKA juga dapat digunakan untuk mendapatkan reduksi tarif. Ketentuan ekspor ke Uni Eropa, mengharuskan eksportir menggunakan SKA form a dalam memenuhi preferential tariff dengan skema GSP. Kementerian terakhir yang harus dilalui adalah Kemenkeu. Dokumen yang diurus melalui Kemenkeu adalah NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan PEB (Persetujuan Ekspor Karang) (Simamora, 2014). Volume dan nilai eskpor Udang Indonesia ke negara tujuan tahun 2007-2011, dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Negara Jepang USA Uni Eropa Lain-lain
Volume (Ton) 40.334 60.399 28.845 27.967
2007
Tabel 2.4. Volume dan Nilai Eskpor Udang Indonesia
Nilai (Ribu USD) 334.982 420.720 178.195 96.038
Sumber: KKP dalam Kholifin (2013)
Volume (Ton) 39.582 80.479 26.825 26.397
2008
Nilai (Ribu USD) 337.681 550.773 177.855 96.306
Volume (Ton) 38.528 63.592 23.689 25.180
2009
Nilai (Ribu USD) 333.656 426.995 146.597 100.833
Volume (Ton) 36.712 58.277 13.383 36.720
2010
Nilai (Ribu USD) 351.402 443.220 110.549 151.228
Volume (Ton) 36.605 68.092 16.315 31.041
2011
Berdasarkan Tabel 2.4, diketahui bahwa rata-rata 42% ekspor ke Amerika Serikat dalam 5 tahun terakhir mencapai 47% dari nilai ekspor Udang Indonesia. Ekspor Udang ke Jepang rata-rata 24% (34% dari nilai ekspor Udang Indonesia), sedangkan ekspor ke Uni Eropa rata-rata 14% (15% dari nilai ekspor Udang Indonesia). Volume serta nilai ekspor tersebut menunjukkan bahwa potensi Udang dapat memberikan manfaat optimal dan berkelanjutan, apabila dikelola secara bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan Pasal 6, Ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana 14
Nilai (Ribu USD) 393.266 572.720 136.975 108.585
telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004, tentang Perikanan (UU Perikanan): (1) Pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan. (2) ............................... Liberalisasi perdagangan (pembukaan arus perdagangan internasional) dewasa ini, telah membuka peluang peningkatan ekonomi bagi pelaku usaha mengekspor sumber daya perikanan. Tarif dan Value Added Taxes (VAT) untuk beberapa produk Udang di Uni Eropa, dapat dilihat pada Tabel 2.5. No.
HS Code Negara
Tabel 2.5. VAT dan Tarif Produk Udang Uni Eropa 0306.16.10 VAT (%) Tarif (%)
1. Austria 10 7 2. Belgium 21 7 3. Bulgaria 20 7 4. Croatia 25 7 5. Cyprus 19 7 6. Czech Rep. 15 7 7. Denmark 25 7 8. Estonia 20 7 9. Finland 14 7 10. France 5.5 7 11. Germany 7 7 12. Greece 13 7 13. Hungary 27 7 14. Ireland 0 7 15. Italy 10 7 16. Laytvia 21 7 17. Lithunia 21 7 18. Luxembourg 3 7 19. Malta 0 7 20. Netherlands 6 7 21. Poland 8 7 22. Portugal 23 7 23. Romania 24 7 24. Slovakia 20 7 25. Slovenia 9.5 7 26. Spain 10 7 27. Sweden 12 7 Sumber: Export Helpdesk EU dalam Simamora (2014)
0306.16.91 VAT (%) Tarif (%) 10 21 20 25 19 15 25 20 14 5.5 7 13 27 0 10 21 21 3 0 6 5 23 24 20 9.5 10 12
14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5 14.5
0306.16.99 VAT (%) Tarif (%) 10 21 20 25 19 15 25 20 14 5.5 7 13 27 0 10 21 21 3 0 6 5 23 24 20 9.5 10 12
4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2
15
Berdasarkan Tabel 2.5, diketahui bahwa produk ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa cenderung menurun sejak tahun 2007, karena kualitas yang kurang baik. Badan Penelitian dan Pengembangan KKP, menjabarkan bahwa 10 tahun belakangan ini produksi Udang anjlok hingga 50% akibat serangan virus yang menyebabkan kematian. Virus yang melanda tambak Udang di Indonesia disinyalir berasal dari tanah. Peningkatan standar negara tujuan eskpor, juga berkontribusi menurunkan ekspor Udang. Kondisi tersebut membuat Indonesia kehilangan daya saingnya di pasar global dan semakin tergerus oleh negara eksportir Udang lainnya yang memiliki teknologi, cara pengolahan, kualitas, serta strategi pemasaran yang lebih baik (APINDO, 2016). Masalah industri budidaya Udang di Indonesia beberapa tahun terakhir adalah kasus penolakan yang dilakukan oleh negara tujuan ekspor. Alasan penolakan, karena kandungan antibiotik (aksitetrasiklin, klortetrasiklin, dan kloramfenikol) melebihi ketentuan ambang batas. Maraknya penggunaan antibiotik serta produk kimiawi berbahaya, sebenarnya dapat membahayakan dan berdampak kepada para konsumen. Minimnya benih berkualitas, pencemaran akibat aktivitas budidaya, degradasi kualitas lingkungan, serta konversi lahan budidaya yang tidak sesuai ketentuan, menambah deretan permasalahan budidaya Udang di Indonesia (Kementerian Perdagangan, 2016). Langkah strategis yang harus dilakukan adalah meningkatkan jaminan kualitas mutu produk perikanan serta keamanan hasil perikanan (quality assurance dan food safety), untuk memacu ekspor. Sikap yang dilakukan pemerintah (KKP) adalah mengembangkan sarana dan prasarana sistem pelayanan berkualitas, karantina ikan, mutu, serta keamanan hasil perikanan, sebagai upaya memberikan pelayanan bisnis menuju Indonesia National Single Window (NSW). 2.4.
Perdagangan Internasional Perdagangan luar negeri merupakan salah satu variabel penting pertumbuhan ekonomi
di suatu perekonomian. Hal ini menyebabkan seluruh negara berupaya keras mendorong kerja sama perdagangan, dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan mendorong ekspor dalam negeri dan mengurangi volume impor. Perdagangan internasional merupakan salah satu faktor utama untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto 16
(PDB). Menurut Sabaruddin (2015), PDB merupakan indikator kesejahteraan perekonomian suatu negara dan dapat menjadi rujukan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan tingkat pendapatan (income). Berdasarkan hal tersebut, jika ekspor suatu negara bertambah, maka pendapatan masyarakat akan meningkat juga. Besarnya PDB Indonesia tahun 1999-2015, dapat dilihat pada Tabel 2.6. Tabel 2.6. PDB Indonesia Tahun 1999-2015
Tahun
Constant Price (Rp.) Base Year 2000 PDB (Billion) PDB Non Oil and Gas
Current Price (Rp.) PDB (Billion) PDB Non Oil and Gas
2014 2.909.181,50 2.779.064,00 10.094.928,90 9.391.537,30 2013 2.769.053,00 2.635.612,60 9.087.276,90 8.419.133,90 2012 2.618.932,00 2.481.790,30 8.230.925,90 7.589.809,00 2011 2.464.566,10 2.322.653,10 7.419.187,10 6.795.885,60 2010 2.314.458,80 2.171.113,50 6.446.851,90 5.941.951,90 2009 2.178.850,40 2.036.685,50 5.606.203,40 5.141.414,40 2008 2.082.456,10 1.939.625,90 4.948.688,40 4.427.633,50 2007 1.964.327,30 1.821.757,70 3.950.893,20 3.534.406,50 2006 1.847.126,70 1.703.422,40 3.339.216,80 2.967.040,30 2005 1.750.815,20 1.605.261,80 2.774.281,10 2.458.234,30 2004 1.656.516,80 1.506.296,60 2.295.826,20 2.083.077,90 2003 1.577.171,30 1.421.474,80 2.013.674,60 1.840.854,90 2002 1.505.216,40 1.344.906,30 1.821.833,40 1.659.081,40 2001 1.440.405,70 1.278.060,00 1.646.322,00 1.467.642,30 2000 1.389.769,90 1.218.334,10 1.389.769,90 1.218.334,10 1999 379.557,80 345.732,80 1.109.979,50 1.003.509,70 Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), Diproses oleh Pusat Data dan Informasi Perdagangan, Kementerian Perdagangan dalam Sabaruddin (2015)
Berdasarkan Tabel 2.6, diketahui bahwa perdagangan internasional merupakan salah satu aspek ekonomi yang penting (mempengaruhi pendapatan nasional). Perdagangan internasional merupakan kegiatan perekonomian yang melibatkan salah satu negara dengan negara lain. Kegiatan perdagangan internasional yang dilakukan oleh suatu negara, memiliki dampak langsung maupun tidak langsung bagi perekonomian negara tersebut. Setiap kerja sama dalam koridor
perdagangan
internasional
harus
dilakukan
menggunakan
prinsip
saling
menguntungkan. Alesina, et. al. (2005), dalam studinya dengan memanfaatkan ekonometrika metode estimasi 3SLS size, menyatakan bahwa suatu perekonomian berdampak terhadap kinerja perekonomian dan salah satunya dipengaruhi oleh perdagangan luar negeri. Menurut Endarto (2016), dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan perdagangan internasional meliputi:
17
Positif 1. Mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi Perdagangan internasional yang dilakukan suatu negara mendorong pertumbuhan industri dan mempercepat pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Perdagangan internasional dapat meningkatkan permintaan dan penawaran suatu produk. 2. Meningkatkan pendapatan negara Implikasi perdagangan internasional memberikan devisa yang menajdi salah satu penerimaan negara. Semakin besar nilai ekspor, maka semakin besar devisa yang diperoleh. Meningkatnya pendapatan negara, menjadikan pembangunan bisa terlaksana dengan baik dan kebutuhan negara terpenuhi. 3. Memperluas lapangan pekerjaan Perdagangan internasional meningkatkan permintaan suatu produk. Hal inilah yang mendorong tumbuh dan berkembangnya industri dalam negeri yang menciptakan lapangan kerja, sebagai upaya mengurangi pengangguran. 4. Meningkatkan kesejahteraan Kegiatan perdagangan internasional berimplikasi terhadap kesempatan bekerja dan memberikan hasil nilai uang dalam bentuk pendapatan. Pendapatan memberikan kemampuan pemenuhan kebutuhan hidupnya untuk menciptakan kesejahteraan. 5. Meningkatkan kualitas produksi Persaingan dalam perdagangan internasional mendorong setiap negara meningkatkan kualitas produk ekspornya, agar dapat unggul dalam persaingan. Nilai produk dapat ditingkatkan melalui kualitas yang sesuai standar mutu internasional, sesuai teknologi terkini. 6. Memajukan dunia perbankan dan lembaga keuangan lain Perdagangan internasional secara langsung berimplikasi terhadap dunia dan lembaga keuangan. Hal ini disebabkan, interaksi perdagangan antar negara membutuhkan kelancaran aliran transaksi yang melibatkan lembaga keuangan.
18
Negatif 1. Produk dalam negeri terancam Perdagangan internasional membuka peluang dan kesempatan masuknya produk luar negeri. Hal ini menyebabkan produk dalam negeri yang tidak dapat bersaing terancam tidak laku di pasaran. 2. Pasar produk dalam negeri menjadi kecil Masuknya produk luar negeri mengurangi pasar dalam negeri dan perlahan-lahan akan digeser oleh dan dikuasasi produk luar negeri. 3. Industri dalam negeri tidak berkembang Industri kecil yang modalnya tidak besar dan daya saingnya rendah, menjadi kalah bersaing dengan perusahaan asing. Kondisi ini menyebabkan industri yang tidak dapat bersaing menutup usahanya. 4. Pengangguran Masuknya perusahaan asing yang dapat menyaingi perusahaan dalam negeri, mengakibatnya perusahaan dalam negeri bangkrut dan memberhentikan karyawannya. 5. Hutang luar negeri bertambah Kegiatan ekspor yang tidak besar daripada impor, menyebabkan terjadinya hutang luar negeri. Situasi ini mengakibatkan pendapatan negara berkurang dan perekonomian menjadi terganggu. Perdagangan internasional merupakan transaksi jual beli (atau imbal beli) lintas negara,
yang melibatkan dua pihak dan melintasi batasan kenegaraan. Pihak yang terlibat tidak harus berasal dari negara yang berbeda atau memiliki nasionalitas yang berbeda. Transaksi perdagangan internasional (ekspor impor), pada hakekatnya suatu transaksi sederhana yang tidak lebih dari membeli dan menjual antar pengusaha yang berdomisili di negara yang berbeda (Gunawan Widjaya dalam Sutedi, 2014). Kegiatan ekspor impor didasari oleh kondisi, bahwa tidak ada suatu negara yang benar-benar mandiri (satu sama lain saling mengisi dan membutuhkan). Setiap negara memiliki karakteristik berbeda, baik sumber daya alam, iklim, geografi, demografi, struktur ekonomi, maupun struktur sosial. Kondisi tersebut menyebabkan
19
perbedaan komoditas yang dihasilkan, komposisi biaya yang diperlukan, serta kualitas dan kuantitas produk (Sutedi, 2014). Komoditas yang menjadi unggulan Indonesia dalam perdagangan internasional, salah satunya adalah hasil perikanan. Pada tahun 2013 total ekspor hasil perikanan dunia mencapai US$144,1 milyar atau meningkat sebesar 6,81% dari tahun 2012. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan prediksi FAO sebelumnya, yaitu sebesar US$ 132,2 milyar. Menurut catatan UN COMTRADE tahun 2014, negara eksportir perikanan dunia adalah: Tiongkok (US$ 20,3 milyar); Norwegia (US$ 10,4 milyar); Thailand (US$ 7,1 milyar); USA (US$ 6,5 milyar); Vietnam (US$ 5,7 milyar), India (US$ 5,3 milyar); Chile (US$ 5,2 milyar); Denmark (US$ 4,7 milyar); Kanada (US$ 4,5 milyar); dan Indonesia (US$ 4,2 milyar). Impor perikanan dunia pada tahun 2013 mencapai US$ 143,3 milyar (naik sekitar 5,97%), dibandingkan tahun sebelumnya dan meningkat 22,43 % dari tahun 2010. Pengimpor perikanan utama dunia tahun 2013: USA (US$ 19,6 milyar); Jepang (US$ 16,1 milyar); Tiongkok (US$ 8,6 milyar); Perancis (US$ 6,8 milyar); Spanyol (US$ 6,5 milyar); Italia (US$ 5,9 milyar); Jerman (US$ 19,6 milyar); Hongkong-Cina (US$ 5,1 milyar); Inggris (US$ 4,6 milyar); dan Swedia (US$ 4,5 milyar) (Ditjen P2HP, 2014). Pemasaran ikan dan produk perikanan internasional yang biasanya menjadi kendala eksportir, adalah standar dan aturan yang berbeda tiap negara importir untuk menjamin produk memenuhi persyaratan keamanan pangan. Perbedaan standar nasional tiap negara dan sistem pemeriksaannya, mungkin menjadi mempertahankan atau menciptakan hambatan perdagangan non-tariff baru. Kondisi idealnya, setiap negara yang meratifikasi perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan perjanjian hambatan teknis pada perdagangan, Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT) di bawah WTO, memiliki standar yang sama dalam keamanan pangan. Globalisasi perdagangan makanan dan peningkatan kepedulian, serta permintaan terhadap makanan yang berkualitas, menyebabkan keamanan pangan menjadi prioritas negara importir (Ditjen P2HP, 2014). Menurut Ahmed (2006), perhatian publik di negara maju terhadap sanitary dan hygiene produk pangan telah meningkat. Kondisi ini menyebabkan pengimpor (negara maju) melakukan proteksi yang ketat atas aturan keamanan pangan, baik untuk produk domestik maupun produk impornya.
20
Perbedaan aturan negara pengimpor, standar, tata laksana, dan sistem inspeksi yang diterapkan, merupakan kesulitan tersendiri bagi negara berkembang. Selama 4 tahun terakhir (2010-2013) produk ekspor hasil perikanan mengalami kenaikan, baik volume dan nilainya. Tahun 2010, ekspor produk perikanan nasional mencapai 1.103.576 ton (US$ 2,86 milyar). Volume ekspor menjadi meningkat tahun 2012, yaitu 1.229.114 ton (US$ 3,853 milyar). Total volume eskpor hasil perikanan tahun 2013, mencapai 1.258.179 ton (US$ 4,18 milyar). Total ekspor ini, dipasarkan ke Jepang (18,94%), USA (31,87%), Eropa (12,77%), dan Cina (9,8%). Menurut catatan BPS sampai dengan September 2014, eskpor hasil perikanan mencapai 920.585 ton (US$ 3,4 milyar) (Udang: 45,64%); Tuna/Tongkol/Cakalang (15,08%); Kepiting dan Rajungan (9,24%); ikan lainnya (16,22%); serta lainnya (13,82%) (Ditjen P2HP, 2014). Pasar tujuan ekspor perikanan yang paling potensial bagi Indonesia adalah negara Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat.
2.5.
Hambatan Non Tarif Hambatan non tarif pada awalnya muncul akibat semakin meningkatnya kekhawatiran
negara maju menghadapi persaingan dengan negara industri baru (NIC’s/Newly Industrialized Country’s) seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. NIC’s berhasil menjual produk dan komoditas yang berkualitas sama dengan yang dihasilkan oleh negara maju, tetapi dengan harga yang relatif lebih murah. Faktor penyebabnya adalah upah buruh yang murah, tingkat pajak yang rendah, serta keuntungan kompetitif lainnya. Kondisi ini berdampak terhadap barang-barang yang diproduksi negara maju kalah bersaing di pasar internasional (Muhajir, 2007). Fenomena tersebut, membuat negara maju mulai memberlakukan beberapa ketentuan dan peraturan yang berhubungan dengan restriksi impor di luar tarif. Hambatan di luar tarif sebagian tidak dibenarkan oleh aturan GATT, dan sisanya masih berada di wilayah abu-abu atau belum diatur lebih lanjut (Kartadjoemena, 1996). Hambatan non tarif dibahas pada Tokyo Round (1973-1979); Uruguay Round (1986-1994); Konferensi Tingkat Menteri/KTM I, Singapura (1995-1996); KTM II, Jenewa-Swiss (1997); KTM III, Seattle-Amerika Serikat (1999); KTM IV, Doha-Qatar (2001); dan KTM V, Cancun-Meksiko (2003). Materi perundingan yang disepakati 21
adalah kode yang digunakan untuk: mendaftar, mengidentifikasi, mengklasifikasi, membatasi, menjelaskan, dan melarang praktek penghambat perdagangan melalui skema hambatan non tarif. Praktek perdagangan internasional dalam implementasinya, masih diwarnai dengan berbagai hambatan yang sulit untuk dideteksi. Kondisi ini berkaitan dengan kebijakan ekonomi politik suatu negara. Menurut Diphayana (2014), materi pembahasan dalam Tokyo Round yang terkait dengan hambatan non tarif meliputi: 1.
Subsidi dan tindakan balasan atas subsidi (Subsidy and Countervailing Duties) Subsidi adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada pihak produsen di dalam negeri. Bentuk bantuan bisa berupa pemberian bahan baku, penetapan harga bahan baku yang lebih rendah dari harga pasar, dan lain-lain. Subsidi menyebabkan produsen dapat menjual barang yang diproduksinya dengan harga yang lebih rendah dari yang seharusnya/tanpa subsidi (dapat menimbulkan distorsi pada pasar). Berdasarkan hal itu, banyak negara yang melakukan berbagai bentuk proteksi terhadap produk impor yang disubsidi. Subsidi ekspor merupakan instrumen yang diberikan pada barang ekspor dan banyak diterapkan pada produk pertanian negara maju. Subsidi ekspor dilarang oleh GATT dalam pasal VI, sedangkan bentuk subsidi lainnya ada yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, maupun dilarang.
2.
Hambatan teknis Agreement on Technical Barriers to Trade atau lebih dikenal dengan standard code, merupakan materi yang dibahas dalam Tokyo Round. Standard code merupakan penyempurnaan aturan GATT yaitu: (1) pasal I dan III, yang mengatur pelarangan spesifikasi yang digunakan untuk melindungi industri dalam negeri; (2) pasal IX tentang aturan dalam merk; (3) pasal X mengatur tentang publikasi peraturan administratif yang mencakup juga standar-standar produk; (4) pasal XI dan XX, yang berkenaan dengan referensi umum mengenai standar dan peraturan yang terkait. Ketentuan dalam rangka melindungi kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, maupun perlindungan kesehatan dan lingkungan hidup dengan membentuk sebuah sertifikasi/prosedur pengujian mutu produk, tidak dilarang dijadikan penghambat arus perdagangan. Hambatan teknis ini dipakai oleh negara 22
maju, karena berhubungan erat dengan penguasaan teknologi dan tingginya standar hidup. Negara maju bisa menentukan satu standar dengan spesifikasi terhadap produk tertentu, dimana teknologi atau pengelolaannya belum dikuasai negara berkembang yang menghasilkan produk sejenis. 3.
Hambatan Administratif Hambatan administratif adalah kendala di kepabeanan, yang menyangkut penilaian produk impor yang masuk. Penilaian ini harus sesuai dengan kenyataan praktek dunia perdagangan dan melarang cara penentuan penilaian yang arbiter/semena-mena dan fiktif (custom valuation). Penilaian yang cukup lama mengakibatkan adanya kerugian pihak importir, karena harus mengeluarkan biaya lebih atas keterlambatan waktu tertahannya barang mereka. Harga jual dari produkpun dengan adanya keterlambatan tersebut dapat berubah. Penilaian di pabean ini penting untuk menentukan tingkat bea masuk barang.
4.
Government Procurement (Pembelian Negara) Code on Government Procurement yang dihasilkan dalam Tokyo Round, dimaksudkan membuka kompetisi internasional dalam pembelian yang dilakukan suatu negara untuk pembangunan infrastruktur seperti: waduk; jalan maupun jembatan dan lain-lain; ataupun keperluan pelayanan publik. Negara maju serta para pengusahanya yang sangat berkepentingan dengan keterbukaan tender dalam pembelian negara ini, menginginkan masuk dalam perjanjian GATT. Hal tersebut dikarenakan dapat dijadikan alat mendiskriminasi produk dan pemasok dari luar negeri, serta memproteksi industri dalam negeri (melanggar prinsip GATT tentang Most Favoured Nation serta National Treatment). Pandangan negara maju terhadap keterbukaan tender berbeda dengan negara berkembang. Negara berkembang memiliki kepentingan mempersempit masuknya tender pihak asing, karena dapat dijadikan stimulus industri dalam negeri untuk mendapatkan keuntungan.
5.
Dumping dan bea masuk anti dumping Dumping merupakan praktek sebuah perusahaan yang menjual produk ekspornya dengan harga lebih rendah, dibandingkan jika dijual di negara asalnya. Definisi dumping dipakai pada Kennedy Round dan Tokyo Round mengenai anti dumping duties. Terminologi 23
dumping yang disepakati dalam Uruguay Round, adalah praktek yang dilakukan perusahaan yang menjual produk ekspornya pada harga yang lebih rendah daripada harga normal produk itu. Dumping merupakan hambatan non tarif yang dapat menganggu perdagangan internasional. Helwani (2002), menyatakan bahwa hambatan non tarif merupakan hambatan birokrasi yang merupakan bagian dari fungsi pemerintah mengenakan “tarif bayangan” (shadow tariff) pada pembelian sektor publik. Hambatan non tarif menurutnya meliputi: 1. Customs Clearance Bentuk clearance yang harus disetujui oleh pegawai pabean dari isian formulir yang ada dengan barang yang diimpor. Pihak pabean dapat menghambat masuknya barang, dengan mempersulit proses persetujuan dan dengan tidak menunjukkan sikap keinginan bekerja sama. Pengisian formulir yang terlalu banyak dan tidak berbelit-belit, merupakan salah satu bentuk menghambat kelancaran arus impor. 2. Customs Valuation Penilaian atas barang yang diimpor, dimana aparat bea dan cukai tidak selalu mempercayai harga yang tercantum pada invoice. Apabila check price lebih tinggi daripada harga pada invoice, maka aparat akan mengacu pada check price. Apabila harga pada invoice lebih tinggi daripada check price, maka harga yang tercantum dalam invoice yang dipakai. Penilain harga yang lebih tinggi ini menyebabkan pajak yang dikenakan menjadi besar. 3. Customs Classification Rincian klasifikasi untuk beberapa jenis barang yang diimpor. Jenis hambatan non tarif ini, sering menimbulkan peluang untuk melakukan interpretasi klasifikasi yang berbeda-beda dan menempatkan barang pada klasifikasi yang lebih tinggi daripada yang seharusnya. Prektek tersebut dilakukan sebagai sarana membebankan pajak yang lebih tinggi, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian. 4. Import Licensing Izin istimewa yang diberikan pada importir tertentu (jumlah kasusnya tidak banyak). Import licensing, meniadakan adanya persaingan yang wajar dan sistem kerja yang efisien.
24
5. Packaging and Labelling Regulations Bentuk hambatan dalam kesempurnaan pengemasan dan pemenuhan peraturan pengenaan tanda (label), bahwa barang yang diimpor atau yang diekspor telah sesuai dengan standar negara pengimpor atau standar internasional. 6. Foreign Exchange Control Salah satu bentuk kontrol lalu lintas devisa bagi setiap transaksi impor ekspor (ke dalam dan ke luar negeri). 7. Consular Formalities Hambatan yang mengharuskan importir menunjukkan adanya surat dari konsuler dari negara, dimana barang tersebut diimpor. 2.6.
Ekolabel perikanan Perdagangan dunia dewasa ini sudah tidak mengenal lagi batas negara, sehingga
standarisasi mempunyai peranan penting dalam meningkatan mutu barang untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat. Meningkatkan pembangunan sektor industri dan perdagangan, menyebabkan timbulnya gangguan dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini semakin diperparah, oleh pelaku usaha dalam menggunakan sumber daya alam (perikanan) tanpa memperhitungkan resiko kerusakan alam untuk generasi mendatang. Setiap produk mempunyai dampak terhadap lingkungan selama tahap daur hidupnya, mulai dari perolehan bahan baku, proses produksi, distribusi, sampai pembuangan akhir (Suminto, 2011). Dampak potensial tersebut dapat dikurangi dengan mempertimbangkan isu lingkungan ke dalam standar produk, seperti ekolabeling (pelabelan ramah lingkungan). Penerapan standar di bidang lingkungan dan ekolabel produk, berperan menunjang upaya pelestarian fungsi lingkungan. Perkembangan kondisi lingkungan global yang cenderung menurun, mengakibatkan adanya perubahan tuntutan konsumen/pembeli luar negeri. Upaya untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa produk yang ditawarkan ramah lingkungan, maka diperlukan adanya tanda ekolabel pada produk/kemasan. Hal tersebut dilakukan, untuk membedakan dengan produk sejenis lainnya yang tidak ramah lingkungan (Suminto, 2011). Keterkaitan perdagangan dan lingkungan hidup yang saling mempengaruhi, menyebabkan 25
adanya permasalahan pada tataran pembangunan ekonomi global. PBB mengadakan konferensi di Stockholm (Swedia) pada tahun 1972, mengenai lingkungan hidup yang dikenal dengan The United Nations Confference on the Human Environment. Konferensi tersebut menghasilkan kesepakatan, mengenai keterkaitan antara konsep pembangunan dan pengelolaan hidup. Skema menyerupai ekolabel bernama “Blue Angel”, telah dikeluarkan oleh Jerman pada tahun 1977. Persoalan lingkungan hidup dicirikan dengan kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pembangunan, dan pendidikan yang masih rendah. Intinya, faktor kemiskinan yang menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan hidup di dunia. Forum tersebut menyepakati suatu persepsi, bahwa kebijakan lingkungan hidup harus terkait dengan kebijakan pembangunan nasional dan membentuk UNEP (United Nations Environment Program). UNEP merupakan lembaga lingkungan hidup internasional, untuk menindaklanjuti dan memonitor pelaksanaan kesepakatan dalam konferensi Stockholm (Mayasari, 2009). Pada tahun 1992 diadakan kegiatan United Nations Conference on Environmen Development (UNCED) di Rio De Janeiro (Brasil), yang lebih dikenal dengan KTT BUMI. KTT Bumi menjadikan hubungan antara ekonomi perdagangan dan lingkungan hidup semakin jelas. Salah satu materi pembahasan tentang kesepakatan hambatan non tarif dalam perdagangan sebagai kontrol produk yang diekspor, dimaksudkan agar tidak merusak lingkungan hidup. Masalah produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, juga menjadi komponen penting dalam ketahanan pangan dalam hasil KTT Bumi. WTO mentakan bahwa liberalisasi perdagangan (removing trade restriction and distortion) akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan, perdagangan, serta pembangunan (dikenal dengan win-win-win outcome) (Mayasari, 2009). Korelasi positif tersebut didasarkan: (1) kompetisi menyebabkan pola konsumsi dan penggunaan sumber daya menjadi lebih efisien; (2) ekspansi perdagangan menyebabkan pengurangan kemiskinan yang pada akhirnya mendorong eksploitasi sumber daya alam yang berkelanjutan; (3) liberalisasi pasar meningkatkan penyediaan barang dan jasa lingkungan (environment goods and services); (4) adanya kondisi yang baik bagi kerja sama internasional melalui proses negosiasi multilateral yang lebih berkelanjutan. Persoalan kritis berkenaan dengan lingkungan hidup, mendorong PBB untuk membentuk World Commission on Environment and Development atau dikenal dengan Brundlant Commission. Komisi ini 26
menghasilkan pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan, sebagai elemen signifikan upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungan pada umumnya. Konsep tersebut menjadikan Inggris mengeluarkan standar model pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hidup (perekonomian), tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk mencukupi kebutuhan mereka (Mayasari, 2009). Inggris mengeluarkan standar British Standard/BS 7750 (1992), yang pertama kali di dunia tentang pengelolaan lingkungan hidup. Standar ini kemudian direvisi dan ditetapkan kembali tahun 1994, setelah Komisi Uni Eropa mulai memberlakukan Eco-management and Audit Scheme (EMAS) tahun 1993. Pada tingkat internasional, International Standard Organization (ISO) dan International Electrotechnical Commission (IEC) membentuk Strategic Advisory Group on the Environment (SAGE) tahun 1991 (Mayasari, 2009). SAGE mengusulkan kepada ISO untuk membentuk TC (Technical Comittee) 207. TC bertugas sebagai pengembang standar pengelolaan lingkungan yang dikenal dengan ISO seri 14000. Aspek yang dikembangkan dalam ISO 14000 meliputi: 1. Environment Management System (EMS). 2. Environment Auditing (EA). 3. Environment Labelling (EL). 4. Environment Performance Evaluation (EPE). 5. Life Cycle Analysis (LCA). 6. Term and Definitions (TD). Menurut Mayasari (2009), pokok pemikiran yang mendasari ISO 14000 yaitu: (1) menyediakan elemen sistem pengelolaan lingkungan yang efektif dan dapat dipadukan dengan persyaratan pengelolaan lainnya; (2) membantu tercapainya tujuan ekonomi dan lingkungan dengan meningkatkan kinerja lingkungan, serta mencegah terjadinya hambatan dalam perdagangan; (3) tidak dimaksudkan sebagai hambatan perdagangan non tarif atau untuk mengubah ketentuan hukum yang harus ditaati; (4) dapat diterapkan pada semua tipe dan skala organisasi; (5) pencapaian sasaran dan tujuan harus didorong dengan penggunaan Best Practicable Pollution Control Technology (Teknologi Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Praktis) dan Best
27
Available Pollution Control Technology Economically Achieveable (Teknologi Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Tersedia) Gerakan kampanye mendorong produksi dan konsumsi berkelanjutan semakin menguat, setelah dunia internasional memberikan perhatian khusus. Beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional mulai aktif menyusun tentang sertifikasi ramah lingkungan atau ekolabel, sebagai mekanisme skema tersebut. Skema ekolabel semakin berkembang menjadi instrumen pasar yang mendorong rantai nilai suatu produksi ramah lingkungan dari hulu ke hilir, dengan insentif harga premium bagi produsen yang memproduksi barang. Berdasarkan sudut pandang konsumen, ekolabeling menunjukkan kepedulian mereka menggunakan produk hijau (ramah lingkungan). Pada konteks ini, konsumen menghendaki dilakukannya internalisasi aspek kelestarian lingkungan hidup dalam aktivitas ekonomi (nilai ekstraksi/eksploitasi bahan baku, proses produksi sampai dengan pengemasan). Konsumen negara maju saat ini memerlukan simbol/label, yang menunjukkan bahwa produk yang dipilihnya telah melalui proses yang akrab lingkungan. Ekolabeling memberikan informasi bahwa standar ramah lingkungan telah dilaksanakan dalam proses produksi yang membawa label tertentu tersebut (Mayasari, 2009). Skema ekolabel pada awalnya hanya mencakup produk industrial, tetapi menjadi berkembang ke hasil laut dan perikanan. Perkembangan informasi dan pemahaman masyarakat terhadap kesehatan menyebabkan permintaan ikan sebagai sumber nutrisi yang kaya protein dan menyehatkan, meningkat pesat. Kenaikan permintaan tersebut membuat berbagai pihak khawatir terhadap kelestarian ikan dan pada akhirnya memunculkan skema ekolabel perikanan. Ekolabel merupakan penyedia informasi bagi konsumen, dengan memberi kesempatan untuk menunjukkan perhatiannya terhadap ekologi maupun lingkungan melalui produk yang mereka pilih (Gardiner dan Visnawathan, 2004). Sistem Insentif pasar produk yang menggunakan sertifikasi ekolabel, dapat dilihat pada Gambar 2.3.
28
Sumber: Ward dan Philips dalam Muswar (2011)
Gambar 2.7. Sistem Insentif Pasar Produk dengan Sertifikasi Ekolabel
Gambar 2.7, menunjukkan bahwa sistem insentif pasar sebenarnya hanya sebuah logo, label, atau pengesahan produk perikanan. Hal ini dimaksudkan untuk menyatakan secara tidak langsung kepada konsumen, bahwa produk perikanan yang dibeli diproduksi melalui prosedur keberlanjutan ekologi dan sumber daya alam yang dikelola dengan baik. Ekolabel perikanan memiliki beberapa skema yang dikeluarkan oleh berbagai macam organisasi internasional. Ekolabel yang paling pertama muncul terkait perikanan tangkap adalah Marine Stewardship Council (MSC) yang diinisiasi Unilever dan World Wildlife Fund (WWF), pada tahun 1996. Kemunculan MSC diikuti oleh berbagai skema ekolabel lain, seperti Dolphin Safe, Friends of The Sea, Ocean Wise, dan Naturland. Komitmen mendukung penerapan ekolabeling saat ini, ditindaklanjuti pemerintah dengan membuat program rencana aksi KKP (2016-2019) berdasarkan sasaran nasional serta sasaran WPPNRI pengelolaan Tuna dan Cakalang.
Rencana aksi KKP terkait dengan penerapan ekolabeling meliputi: 29
1. Tahun 2016: a. Menyusun kebijakan tata cara penerbitan sertifikat ecolabelling-Tuna dan Cakalang produksi Indonesia, b. Memfasilitasi calon peserta pelatihan dari pelaku usaha anggota asosiasi, c. Memfasilitasi calon accesor untuk mengikuti pelatihan, menyelenggarakan workshop nasional tentang penyempurnaan sertifikat ecolabelling-Tuna dan Cakalang hasil tangkapan di Indonesia, d. Melakukan pembinaan terhadap penerapan sertifikat ecolabelling-Tuna dan Cakalang hasil tangkapan di hasil tangkapan Indonesia, e. Melakukan pendataan perusahaan anggotanya yang ingin memperoleh sertifikat ecolabelling-Tuna dan Cakalang hasil tangkapan di Indonesia, f. Menetapkan kebijakan nasional tentang penerapan sertifikat ecolabelling-Tuna dan Cakalang hasil tangkapan di Indonesia bagi perusahaan pengolah Tuna dan Cakalang, g. Menyusun prosedur tetap bagi perusahaan untuk memperoleh sertifikat ecolabellingTuna hasil tangkapan di Indonesia. 2. Tahun 2017: a. Menyelenggarakan pelatihan bagi 30 orang calon accesor dalam penerapan sertifikat ecolabelling-Tuna dan Cakalang hasil tangkapan Indonesia, b. Menyelenggarakan pelatihan bagi 100 perwakilan pelaku usaha/asosiasi tentang sertifikat ecolabelling-Tuna dan Cakalang produksi Indonesia. 3. Tahun 2016-2017: Penerapan sertifikasi ecolabelling-Tuna dan Cakalang hasil tangkapan di Indonesia. 4. 2018-2019: Mempromosikan sertifikat ecolabelling-Tuna dan Cakalang hasil tangkapan di Indonesia kepada ASEAN. Keinginan perusahaan menggunakan sertifikat ekolabel, masih terganjal pemenuhan persyaratan yang dianggap terlalu berat dan berbiaya tinggi. Kendala ini memancing perdebatan mengenai keunggulan dalam melindungi/memproteksi pelaku usaha hulu (nelayan dan petambak), untuk melakukan praktek pengelolaan ramah lingkungan yang bernilai tambah. 30
Sertifikasi ekolabel merupakan salah satu alat pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lestari dan bersifat voluntary (suka rela).
31
III.
3.1.
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Tarakan, Bitung, dan Bali. Ketiga lokasi tersebut, dipilih
karena mewakili lokus pelaku usaha yang mengekspor komoditas Udang dan Tuna ke negara tujuan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2016.
3.2.
Kerangka Pemikiran Sejak berlangsungnya Konferensi Stockholm pada tahun 1972, masalah lingkungan
hidup nampaknya terus berkembang "menjadi isu global". Isu ini mendorong negara industri maju semakin meningkatkan kepeduliannya terhadap kondisi lingkungan dunia. Sebaliknya, negara berkembang juga terpacu untuk terus menerus meningkatkan upaya dalam menjaga, memelihara, serta meningkatkan kualitas lingkungan hidup di negaranya masing-masing (Sukadri, 2016). Salah satu upaya untuk menyikapinya, yaitu dengan menggunakan sistem ekolabel terhadap produk yang dipasarkan (ekspor) ke negara tujuan yang menerapkan sistem tersebut. Ekolabeling merupakan salah satu bentuk pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat proaktif sukarela, karena memerlukan biaya yang tinggi. Tujuannya adalah untuk melindungi fungsi lingkungan hidup, kepentingan masyarakat, serta peningkatan efisiensi produksi dan daya saing (Kementerian Lingkungan Hidup, 2016). Skema ekolabel perikanan menjadi populer pada sejumlah negara Eropa dan menyebabkan banyak perusahaan retail besar turut bergabung dalam skema tersebut (Notohamijoyo, 2015). Ekolabeling terhadap kedua sumber daya tersebut, dimaksudkan untuk memberikan keterangan kepada konsumen bahwa penangkapan, penanganan, serta pengirimannya, melalui proses yang ramah lingkungan. Ramah lingkungan diartikan sebagai praktek perikanan yang tidak merusak dan memperhatikan keberlanjutan sumber daya alam (Muswar, 2011). Ekolabeling merupakan sebuah tanda atau pengesahan, bahwa produk yang dijual sudah melalui prosedur keberlanjutan lingkungan dan merupakan sumber daya yang dikelola dengan baik. 32
Sertifikasi ekolabel menjadi bagian persyaratan penting untuk perdagangan ikan di pasar internasional. Banyak negara yang sudah menyadari perlunya penerapan pembangunan perikanan yang berkelanjutan untuk menjaga kelestarian sumber daya. Terkait hal tersebut, KKP
memberikan dukungan sebagai tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Developing
World Fisheries Conference ke-2 oleh MSC, pada tanggal 15 April 2014 di Bali. MSC sendiri merupakan lembaga ekolabel internasional yang membangun dan menetapkan standar untuk ekolabel MSC melalui sertifikasi pihak ketiga. Sertifikasi ekolabel MSC memastikan bahwa semua produk perikanan tangkap suatu negara telah memenuhi prinsip-prinsip yang lestari sejak proses penangkapan, pengolahan hingga pemasaran. Menurut WWF (2010), sektor industri adalah salah satu pihak yang paling berperan pada perbaikan sekaligus kerusakan lingkungan, serta kelangsungan sumber daya alam. Praktek konkretnya adalah mensinergikan kepatuhan pelaku usaha dengan instrumen perdagangan, khususnya ekspor. Kepatuhan pelaku usaha dalam mematuhi sistem ekolabeling dapat memberikan: (1) nilai tambah terhadap penjualan Udang dan Tuna yang bersertifikat; (2) keamanan terhadap akses pasar ke negara yang telah menetapkan peraturan tentang ekspor dengan sistem ekolabeling; (3) citra kepada konsumen, karena menjual produk perikanan yang bersumber dari pengelolaan yang lestari. Ekolabel dalam perikanan merupakan hal penting bagi semua yang terlibat dalam manajemen perikanan di seluruh dunia (Phillips et. al., 2003). Kerangka penelitian yang dirumuskan dalam kajian ini, dapat dilihat pada Gambar 3.1.
33
Gambar 3.1. Kerangka Penelitian Berdasarkan Gambar 3.1., diketahui bahwa tingginya permintaan kebutuhan pangan ikan dewasa ini disebabkan oleh adanya perubahan pola makan ikan dan pertumbuhan penduduk dunia. Kondisi tersebut menyebabkan adanya eksploitasi terhadap sumber daya Udang dan Tuna, yang kurang memperhatikan aspek keberlanjutan dan ramah lingkungan. Eksploitasi secara besar-besaran untuk memenuhi permintaan konsumen (khususnya untuk pasar ekspor), menyebabkan keberadaan kedua komoditas tersebut mengalami kelangkaan. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan, salah satunya dengan menggunakan instrumen ekolabeling. Pengelolaan pemanfaatan menggunakan skema ekolabeling wajib memperhatikan ketentuan ramah lingkungan, agar ekologi sumber daya dapat dikelola secara terus menerus. Proses pengelolaan sumber daya yang telah dilakukan, harus melalui tahapan verifikasi terlebih dahulu sebelum diekspor. Tahapan verifikasi merupakan standar prosedur untuk menilai sumber daya sudah memenuhi syarat ekolabeling. Kepatuhan/kesadaran terhadap instrumen ekolabeling akan memberikan kredibilitas terhadap produk Udang dan Tuna yang diekspor, serta memberikan citra yang baik kepada pelaku usaha. Pemahaman ekolabeling secara sederhana, adalah bahwa produk yang dilabeli memiliki permintaan lebih tinggi daripada 34
produk tanpa ekolabel. Praktek perikanan ramah lingkungan dan berkelanjutan melalui skema ekolabeling, merupakan investasi jangka panjang yang dapat menyuburkan ekonomi perikanan secara kontinyu. Sertifikasi ekolabel yang dirujuk dalam penelitian ini untuk perikanan tangkap adalah MSC, sedangkan standar untuk perikanan budidaya mengacu pada sertifikasi ekolabel ASC. Standar yang dikembangkan oleh MSC dan ASC tersebut, dijadikan panduan penelitian untuk mengetahui kesiapan/kesadaran eksportir dalam memahami skema sertifikasi ekolabel. Kedua ekolabel ini dipilih, karena memiliki materi yang komprehensif dan telah diakui oleh dunia internasional. Menurut Accenture dalam laporan independen pada tahun 2012, menyebutkan bahwa sistem sertifikasi MSC merupakan ekolabel yang terbaik dari empat sistem sertifikasi sejenis lainnya. Pembahasan difokuskan mengkaji kepatuhan/kesadaran pelaku usaha dalam menerapkan sertifikasi ekolabel perikanan. Cakupan ekolabel yang dijadikan topik kajian, dibatasi hanya yang diterbitkan oleh lembaga independen internasional (pihak ketiga).
3.3.
Jenis dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam kajian ini adalah primer dan sekunder. Data primer
yang dikumpulkan difokuskan pada pemahaman pelaku usaha terhadap persyaratan ekolabeling untuk komoditas Udang dan Tuna, maupun regulasi pendukungnya. Data sekunder yang diperlukan terkait dengan ketentuan/kebijakan dan kajian ilmiah yang membahas tentang ekolabeling, serta informasi yang dapat memperkuat pembahasan topik penelitian. Teknik pengumpulan data penelitian meliputi: -
Data primer diambil menggunakan kuesioner dengan teknik indepth interview dan FGD. Interview dilakukan terhadap informan kunci yang mengetahui tentang persyaratan “ekolabeling” komoditas Udang dan Tuna di pasar internasional.
-
Data sekunder ditelusuri menggunakan teknik studi literatur yang mengkaji tentang Ekolabeling. Studi literatur diperlukan untuk menambah informasi dan melengkapi referensi bahan rujukan.
-
Metode survey dibutuhkan untuk menggali informasi dan memahami pengetahuan pelaku usaha, terhadap sistem ekolabeling dalam pasar internasional. 35
3.4.
Metode Pengambilan Responden Metode pengambilan responden dilaksanakan menggunakan teknik purposive sampling.
Purposive sampling adalah pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan yang diperlukan. Metode ini digunakan dengan maksud, agar penentuan responden yang dituju sesuai dengan kepentingan topik kajian.
3.5.
Metode Analisis Analisis data untuk mengkaji regulasi ekolabeling dalam penelitian ini menggunakan
metode yuridis empiris, dengan pendekatan content analysis dan yuridis komparatif. Metode tersebut dibutuhkan untuk mendalami ketentuan yang terkait dengan syarat maupun prosedur ekolabeling dalam pasar internasional, serta implementasinya. Metode pembahasan implementasi kepatuhan pelaku usaha melaksanakan sistem ekolabeling pada pasar internasional, menggunakan analisis statistika deskriptif dan compliance theory dengan pendekatan Qualitative Response Regression Models (QRRM). Statistika deskriptif adalah suatu ilmu yang merupakan kumpulan dari aturan tentang pengumpulan, pengolahan, penaksiran, dan penarikan kesimpulan, data statistik untuk menguraikan suatu masalah (Rasyad, 2003). Analisis ini hanya melihat gambaran secara umum dari data yang didapatkan. Statistika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data. Hasan (2004), menjelaskan bahwa analisis deskriptif merupakan bentuk analisis data untuk menguji generalisasi hasil penelitian berdasarkan satu sampel. Menurut Suryoatmono (2004), statistika deskriptif adalah statistika yang menggunakan data pada suatu kelompok untuk menjelaskan atau menarik kesimpulan mengenai kelompok itu saja. Menurut FNI Statistics (2013), statistik deskriptif dapat dinyatakan dengan: a. Frekuensi (F) Dinyatakan dengan persentase, dimana bentuk yang tepat dalam menampilkan data frekuensi adalah diagram dan grafik. b. Mode dan Median
36
Mode adalah nilai yang paling sering muncul dan menyatakan jumlah kategori yang paling sering muncul pada suatu kasus. Mode cocok untuk diterapkan pada data yang bersifat nominal. Median adalah nilai tengah yang merupakan titik tengah pembagi data. c.
Mean (M) Mean merupakan rataan dari skor yang diukur, menghitung mean untuk variable X dapat menggunakan rumus:
d. Variabilitas/Dispersi Teknik mengelompokkan data pada teknik statistik deskriptif adalah menghitung dispersi atau variabilitas. QRRM merupakan model ekonometrika dimana regressand/variabel terikat dari model yang bersifat kualitatif (Gujarati, 2003). Model QRRM, dimaksudkan untuk menentukan besaran probabilitas terjadinya sesuatu. Kepatuhan pada dasarnya adalah sebuah variabel kualitatif dan QRRM adalah model yang tepat untuk diaplikasikan dalam penelitian ini. Respon dari objek yang dipelajari hanya digolongkan menjadi: responden yang patuh dan responden yang tidak patuh. Keluarannya akan dihasilkan model QRRM binary sederhana, dimana variabel terikat bernilai satu (1) jika responden patuh dan nol (0) jika responden tidak patuh. Model tersebut dimaksudkan untuk menilai seberapa besar probabilitas terjadinya kepatuhan seorang responden berdasarkan beberapa fitur sosial ekonominya. Model QRRM yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Model Logit Pada model logit, variabel terikatnya adalah berupa log dari nilai rasio kemungkinan terjadinya sesuatu, yang merupakan fungsi linear dari variabel bebas. Fungsi probabilitas yang mendasari model ini adalah distribusi logistik. Jika data tersedia dalam bentuk grup, maka Ordinary Least Square (OLS) dapat dipakai mengestimasi model (mempertimbangkan masalah heteroskedastik yang umumnya terdapat pada error term). Metoda estimasi lain yang bersifat non-linier akan digunakan, jika data yang tersedia pada tingkat individual. Bentuk dari model Logit: 37
Persamaan di atas dapat ditulis sebagai berikut: (Fungsi distribusi logistik) Dimana . Jika Pi adalah probabilitas dari seseorang untuk patuh, maka (1- Pi) merupakan probabilitas dari seseorang untuk tidak patuh. Berdasarkan hal tersebut, maka persamaannya adalah:
1−
Persamaan di atas dapat ditulis sebagai berikut:
Pada dasarnya (Pi/1-Pi) adalah rasio kemungkinan dari seseorang mematuhi peraturan. Misalkan nilai Pi=0,8, maka nilai rasio kemungkinan tersebut akan bernilai 4 (artinya: terjadi kemungkinan 4 berbanding 1, bahwa seseorang akan mematuhi peraturan). Persamaan yang diperoleh, apabila menggunakan natural log terhadap rasio kemungkinan tersebut yaitu:
Persamaan tersebut diperoleh Li, yang tidak hanya bersifat linier terhadap X, akan tetapi juga secara parameter bersifat linier. L inilah yang disebut dengat logit. 2. Model Probit Model probit harus digunakan, jika distribusi normal yang dipilih adalah distribusi probabilitas. Secara matematis (melibatkan integral) model probit lebih rumit, tetapi baik model logit maupun probit akan menghasilkan nilai estimasi yang hampir serupa. Pemilihan aplikasi diantara keduanya, tergantung pada adanya alat bantu analisis yang tersedia saja. 38
Bentuk Persamaan: Sebagai contoh, bahwa kepatuhan atau ketidakpatuhan seseorang terhadap peraturan akan tergantung dari sebuah angka indeks yang tidak dapat diamati Ii (misalnya dipengaruhi oleh sebuah variabel bebas pendapatan, Xi). Berdasakan hal tersebut, maka persamaan probabilitas seseorang untuk mematuhi peraturan adalah sebagai berikut:
Angka indeks yang tidak dapat diamati bisa berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk patuh atauh tidak patuh terhadap sebuah peraturan, dapat dijelaskan dengan mengasumsikan bahwa Y=0 adalah responden yang tidak patuh dan Y=1 merupakan responden yang patuh. Asumsi berikutnya adalah, bahwa terdapat satu titik batas bagi angka indeks , dimana apabila angka Ii yang terjadi melebihi angka batas tersebut, maka responden akan patuh terhadap peraturan. Angka batas ini juga tidak teramati, apabila diasumsikan terdistribusi secara normal. Hal ini tidak hanya memungkinkan untuk mengestimasi Ii, akan tetapi juga dapat digunakan untuk memperoleh beberapa informasi terkait indeksnya.
P(Y=1|X) diartikan sebagai probabilitas terjadinya sesuatu yang tergantung dari besaran variabel X, sedangkan Zi merupakan variabel standar normal. 3. Model Tobit Model tobit ini sangat dekat terkait dengan model probit. Variabel terikat pada model tobit, hanya dapat diamati pada kondisi tertentu saja. Sebagai ilustrasi: permasalahan seberapa besar kebutuhan biaya akibat kepatuhan terhadap suatu peraturan, hanya dapat diamati pada responden yang mematuhi saja. Berdasarkan ketersediaan data yang tidak lengkap tersebut, maka model tobit sering dirujuk sebagai model regresi tersensor. Bentuk standar model tobit secara statistik adalah:
39
IV.
4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kebijakan Perdagangan Kebijakan adalah pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis
pedoman untuk mencapai sasaran; garis haluan (Kamus Pusat Bahasa, 2008). Kebijakan sebagai keputusan yang mengikat publik harus dibuat oleh otoritas politik, yakni penerima mandat dari publik/rakyat. Kebijakan tersebut, selanjutnya akan dilaksanakan oleh administrasi negara dan dijalankan oleh birokrasi pemerintah. Kebijakan publik merupakan keputusan mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar, yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Kebijakan yang bersifat publik pada prinsipnya dilaksanakan dalam rangka mensejahterakan masyarakat. mewujudkan suatu kebijakan perlu memperhatikan: (a) adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan, agar dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan; (b) harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; (c) adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apabila suatu kebijakan dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak (Suharto, 2008). Menurut Rastikarany (2008), kebijakan perdagangan merupakan bentuk regulasi atau peraturan pemerintah yang membatasi perdagangan bebas. Kebijakan perdagangan luar negeri merupakan salah satu variabel penting pertumbuhan ekonomi di suatu perekonomian. Hal ini menyebabkan seluruh negara berupaya keras untuk mendorong kerja sama perdagangan dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan mendorong ekspor dalam negeri dan mengurangi volume impor (Sabaruddin, 2015). Penelitian Sabaruddin (2013), menyimpulkan bahwa secara ekonomi perdagangan internasional berpengaruh terhadap aspek konsumsi, produksi, dan distribusi pendapatan.
40
4.1.1.
Kebijakan Perdagangan Produk Perikanan Jepang Ketertarikan Jepang terhadap sumber daya ikan Indonesia dan Asia Tenggara, memiliki
faktor kesejarahan yang panjang. Pendudukan Jepang di tanah air, laut nusantara, dan perairan Indonesia lainnya, telah menjadi “ladang” ikan bagi nelayan Jepang. Eksploitasi sumber daya ikan secara berlebihan di dalam negerinya mendorong para nelayan melakukan ekspansi keluar negeri (seperti yang dilakukan oleh para nelayan Okinawa setelah Perang Dunia I ke Asia Tenggara). Selama perang pasifik (Perang Dunia II), Jepang telah menanamkan modalnya untuk perikanan sebesar 45,8 juta (3.7% dari total investasi Jepang di Indonesia). Kondisi tersebut, menuntut pemerintah dan/atau pengusaha perikanan Jepang mencari jalan keluar dalam rangka mencukupi kebutuhan hasil perikanan (Suadi, 2016). Kebutuhan ikan Jepang untuk suplai ikan mencapai 60% kg/perkapita tahun, sedangkan rata-rata suplai ikan dunia hanya sekitar 16.7 kg/kapita/tahun. Kerja sama pengembangan sektor perikanan ataupun penanaman modal yang memiliki potensi sumber daya ikan besar seperti Indonesia, menjadi pilihan utama. Faktor penyebabnya adalah industri perikanan Jepang sedang menghadapi masalah domestik dengan menurunnya peminat pada usaha ini, serta menumpuknya kelompok usia tua dalam industrinya (hampir separuh nelayan Jepang berusia 60 tahun ke atas). Investasi asing di sektor perikanan pada awal rezim Orde Baru mencapai US$ 11,5 juta, dari total komitmen ivestasi sekitar US$ 324 juta (Oktober 1968) (Suadi, 2016). Jepang merupakan investor terbesar dengan komoditi utama Udang dan Tuna. Investasi utamanya dipusatkan pada industri penangkapan Udang dan ikan (khususnya Sumatera dan Kalimantan). Perusahaan Jepang mampu mengeksploitasi Udang (komoditi utama) dengan hasil yang lebih baik, karena kemampuan teknologi yang dimiliki. Kemampuan nteknologi inilah yang menyebabkan ekspor Indonesia meningkat cepat dengan nilai US$ 229 ribu (1962), menjadi US$ 17,5 juta (1971), dan US$ 211,1 juta pada tahun 1980. Komoditas lainnya yang diminati oleh pasar Jepang dan salah satu komoditas unggulan Indonesia, adalah Tuna. Pada era tahun 1970, dana yang dialokasikan oleh Jepang untuk pengembangan industri Tuna (seperti Tuna Fishery Development Project) di Sabang dan Benoa. Pengembangan selanjutnya difokuskan pada Enginering Services and Jakarta Fishing Port Development (1980-an, 1990-an, dan 2004), serta Enginering Services for Bitung Fishing Port Development Project (1990-an). Total ekspor 41
Tuna Indonesia selama tiga dekade terakhir, mencapai lebih 70% untuk pasar Jepang (khususnya Tuna segar dan Tuna yang melalui proses pendinginan) (Suadi, 2016). Eksploitasi sumber daya perikanan telah memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia, tetapi dampak sosial dan lingkungan akibat pola pembangunan yang diterapkan memberikan pengaruh yang besar. Dampak ini diakibatkan keberadaan investasi asing terhadap sumber daya ikan dan usaha perikanan domestik. Depresi sumber daya ikan saat ini semakin terasa dan sering menjadi faktor konflik. Konversi luasan lahan mangrove untuk kepentingan tambak udang mengakibatkan 4,2 juta hektar pada tahun 1980 (dalam 3 dekade terakhir), menjadi hilang. Peran negara donor dalam krisis lingkungan seperti ini telah menjadi bahan kritik dan adanya perilaku korup yang melekat pada rezim yang ada, juga telah memperburuk pengelolaan sumber daya alam. Periode 1970-an sampai menjelang awal 1990-an, merupakan periode emas hubungan ekonomi Indonesia-Jepang (Suadi, 2016). Pesatnya perkembangan budidaya Udang Windu yang didukung dana hutang luar negeri tahun 1908-an sampai pertengahan 1990-an, memberikan predikat kepada Indonesia sebagai eksportir utama ke Jepang. Kondisi ini tidak bertahan lama, karena imbas praktek budidaya yang tidak sehat (penyakit dan penurunan kualitas, serta kerusakan lingkungan) dan membuat tampilan industri Udang nasional terpuruk. Perkembangan yang tidak meyakinkan selama dekade 1990-an, menyebabkan posisi Indonesia digantikan Vietnam sebagai suplier utama kebutuhan Udang Jepang. Gambaran kondisi, prospek, serta tantangan, perdagangan internasional Indonesia dan Jepang, dapat digambarkan sebagai berikut: a. Pasar Jepang saat ini masih menjadi pasar utama industri perikanan Indonesia. Fenomena ini terlihat dengan banyaknya ekspor Udang dan Tuna segar masuk ke pasar Jepang. Laju impor ikan Jepang menjelang akhir dekade 1990-an terus melambat, baik volume maupun nilainya (dibandingkan dua dekade sebelumnya), dan pertumbuhan impor ikan Jepang periode 2000-2006 telah berbalik ke negatif. Satu tantangan bagi Indonesia pada sisi konsumsi, dimana konsumen Jepang sudah mulai beralih ke produk home meal replacement (produk yang bergizi dan siap saji, baik disantap; dihangatkan; atapun langsung
42
dimasak). Hal tersebut menuntut Indonesia mampu memenuhi selera konsumen, jika tetap ingin mempertahankan pasar Jepang. b. Persaingan industri perikanan (khususnya Udang) ke Jepang akan lebih ketat untuk ke depannya. Komoditi perdagangan Udang dunia bergeser dari 5-6 spesies menjadi 2-3, dengan meluasnya budidaya Udang (seperti Vanname) yang diintroduksi oleh industri budidaya nasional. Isu keamanan pangan dan kecurangan dalam perdagangan akan tetap menjadi faktor penentu berikutnya. c. Peluang pasar untuk pelaku usaha industri Tuna nasional masih terbuka diekspor ke Jepang. Tantangan yang harus disikapi oleh pemerintah maupun pelaku usaha dalam melakukan perdagangan dengan Jepang: (1) Tekanan harga bahan bakar minyak akan membatasi kemampuan produksi Tuna Indonesia; (2) Tekanan masyarakat dunia yang menginginkan ekploitasi Tuna yang lebih bertanggungjawab semakin kencang. Komunitas masyarakat perikanan international seperti CCSBT/Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna), telah berhasil memaksa Jepang menurunkan kuotanya untuk Tuna Sirip Biru (dikhawatirkan berpengaruh kepada industri Tuna nasional); (3) Persaingan antar negara di Asia Tenggara semakin ketat. Malaysia sudah mengalokasikan dana untuk perikanan Tuna dan berani menarik industri Tuna nasional dengan subsidi BBM, jika bersedia pindah ke Malaysia. Thailand juga akan menyelesaikan pembangunan pelabuhan perikanan Puket dan Vietnam (dengan dukungan Jepang) sedang merencanakan pengembangan pelabuhan perikanan Tuna modern; (4) Struktur industri perikanan Tuna Indonesia tergantung pada aktivitas perikanan dari negara lain. Aktivitas perikanan asing ini sulit dibedakan antara yang berizin dan yang mencuri. Hal ini menuntut pemerintah untuk melakukan kerja sama dengan Jepang, sebagai upaya mengurangi permasalahan dan aktivitas yang dikenal dengan istilah IUU. Kerja sama bilateral maupun regional dapat dilakukan dengan memberi tekanan kepada para penangkap, serta penjual hasil ikan curian pada sisi teknis. 43
d. Melemahnya minat pasar Jepang bagi industri nasional saat ini, salah satunya terhadap diversifikasi ekspor (baik komoditi ikan, produk, maupun negara tujuan). Ekspor Udang Indonesia sudah bergeser ke beberapa negara, termasuk masuknya pasar China sebagai tujuan baru. Sebagai ilustrasi, lebih dari 70% ekspor Udang Indonesia ditujukan ke Jepang sampai tahun 1989, dan kini turun hanya separuh. Penurunan tersebut, diakibatkan adanya kebijakan revitalisasi perikanan yang terkonsentrasi pada 3 komoditi (Udang, Tuna, dan Rumput Laut). Jepang sangat ketat dalam menerapkan kententuan yang telah diterapkan dalam Food Sanitation Law (FSL). Menurut Law No. 48/2003-Last Amendment: No. 74/2003, FSL harus dilengkapi dengan dokumen import notification untuk seluruh profuk impor perikanan. FSL merupakan regulasi yang membahas setiap produk pangan yang diimpor, untuk wajib memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. FSL membahas mengenai: mutu dan kualitas produk ikan yang masuk, bahan pengawet yang digunakan, cara pengemasan, labeling, standar laboratorium, dan pengaturan inspeksi pabrik. Menurut Danisha (2016), berdasarkan data Japan Product Rejected tahun 2007 (sampai dengan November 2001), total produk perikanan Indonesia yang ditolak masuk Jepang sebanyak 46 kasus. Produk yang bermasalah pada umumnya adalah Udang, karena terkontaminasi senyawa antibiotik dan sanitasi. Nilai ekspor komoditas perikanan Indonesia ke Jepang yang paling menonjol yaitu Udang dan Tuna. Nilai ekspor Udang Indonesia ke Jepang pada tahun 2010 sebesar USD 989.708.000, dengan volume 140.940 ton (harga rata-rata USD 7/kg). Total eskpor tersebut lebih kecil dibandingkan pada tahun 2009 (150.989 ton, dengan nilai USD 1.007.481.000), dimana harga rata-rata hanya USD 6/kg. Nilai ekspor Tuna pada tahun 2010, hanya mencapai USD 355.746.00 (volume 116.320 ton, dengan harga rata-rata hanya USD 3/kg. Nilai ekspor ini lebih besar 1% dibandingkan pada tahun 2009, yaitu sebesar USD 352.300.000 (total ekspor 131.550 ton dan harga rata-rata USD 2,7/kg) (Danisha, 2016). Impor Produk Tuna pada tahun 2011 menurut data statistik perdagangan Jepang mengalami penurunan dari sisi nilai (Ministry of Finance, 2011). Produk perikanan Tuna Indonesia yang diimpor ke Jepang pada tahun 2010 didominasi oleh jenis Yellowfin Tunas (7.734 ton dan nilainya 5.874.000.000 Yen) dan Bigeye Tunas (8.099 ton dan nilainya 6.262.000.000 Yen). 44
Produk perikanan yang diimpor oleh Jepang harus melewati uji dan pemeriksaan, serta kebersihan makanan, sebagaimana diatur di dalam Food Sanitation Law (Law No. 233/1947Last Amendment: Law No. 55/2003). Peraturan ini mengatur, bahwa semua makanan dan bahan tambahan makanan (food addictives) yang akan dijual atau akan digunakan sebagai stok harus ditangani, diproduksi, diproses, disiapkan, disimpan, didistribusikan, serta dipamerkan atau diantarkan, dalam kondisi yang sehat dan bersih. Identifikasi regulasi standar ekspor untuk produk perikanan dan olahannya yang diberlakukan di Jepang menurut peraturan FSL, dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Identifikasi Regulasi FSL terhadap Ketentuan Ekspor Produk Perikanan Jepang Ketentuan
Kualitas komersil dan pelabelan
Peraturan keamanan pangan
Penelusuran produk
Pabrik dan laboratorium
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)
Keterangan Persyaratan pelabelan ini dimulai sejak tahun 2000. Kepedulian konsumen atas kesehatan, kualitas, serta keterangan negara asal dari produk yang dikonsumsi, membuat setiap produk wajib untuk memiliki informasi (seperti: tingkatan mutu, ukuran berat, dan pelabelan paket). Infomasi yang dibutuhkan untuk pelabelan yaitu: asal negara, nama produk, variasi, serta jumlah. Persyaratan komersial yang harus dipenuhi yaitu warna dan tanggal kadaluarsa. Pihak produsen harus memastikan kualitas dan keamanan hasil produksi dan untuk menghindari berbagai potensi hazards (resiko pencemaran air atau mikroba dan kontaminasi bahan kimia). Pihak yang akan melakukan pengujian dan bertanggung jawab terhadap penetapan seta pengujian batas residu adalah Departemen Kesehtan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Sosial, serta Departemen Lingkungan. Penelusuran produk adalah kemampuan untuk mengikuti pergerakan makanan pada berbagai tingkatan yang spesifik dalam kegiatan produksi, pemrosesan dan distribusi. Hal ini juga memberikan kemampuan untuk menarik kembali produk secara efisien, jika terjadi kontaminasi produk. Penelusuran membantu menentukan penyebab dari masalah keamanan pangan yang terjadi, mematuhi berbagai persyaratan hukum dan memenuhi harapan konsumen atas keamanan serta kualitas produk yang dibeli. Pemerintah Jepang akan melakukan inspeksi langsung ke setiap perusahaan yang dijadikan sebagai rekanan, untuk mengirimkan produk ekspor ke negaranya. Pemerintah Jepang mensyaratkan produk yang diekspor telah mendapatkan sertifikat kesehatan yang dikeluarkan oleh LPPMHP (laboratorium tingkat provinsi yang terdaftar), yang menyatakan produk siap didistribusikan dan memenuhi persyaratan sanitasi, sehingga aman untuk dikonsumsi. HACCP adalah sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan titik kritis pada tahap penanganan dan proses produksi. Indonesia sudah menerapkan sertfikasi HACCP sejak tahun 1987. Sertifikasi HACCP konsumen akan lebih terjamin keamanannya (diawali titik kritis saat memenuhi proses produksi, pengolahan, sampai dengan distribusi kepada konsumen).
45
Berdasarkan Tabel 4.1, kebijakan FSL mengharuskan pelaku usaha yang melakukan perdagangan ke Jepang mengajukan notifikasi impor. Hal ini dilakukan dalam menjamin keamanan pangan dan produk pangan terkait lainnya. Menurut Danisha (2016), produk yang ditujukan untuk pangan atau sejenisnya tidak boleh diperjualbelikan apabila tidak disertai dengan notifikasi impor. Pengajuan notifikasi impor ditujukan kepada kantor karantina dari Ministry of Healt, Labour, and Welfare (MHLW). MHLW, bertugas melakukan pemeriksaan kesesuaian terhadap persyaratan dan standar yang ditetapkan dalam FSL. Standar FSL yang ditetapkan oleh MHLW: e. Apabila impor dilakukan dengan menggunakan jasa pos (baik untuk tujuan penjualan atau bisnis), maka tetap diperlukan notifikasi impor. f. Ketika produk perikanan impor tiba di pelabuhan Jepang, maka dokumen notifikasi kedatangan “Notice of Custom Clearance” akan dikirimkan ke alamat yang berasal dari kantor bea cukai. g. Notifikasi impor harus harus diserahkan kepada kantor karantina MHLW di pelabuhan. h. Setiap produk perikanan harus melewati pemeriksaan karantina, untuk memastikan bahwa produk yang masuk sudah sesuai dengan standar FSL. Pemeriksaan tersebut meliputi: -
Spesifikasi dan komposisi penggunaan zat tambahan makanan (zat adiktif) harus sesuai standar pangan dan tidak boleh mengandung bahan kimia anti bakteri buatan.
-
Pabrik pengolahan tidak pernah mengalami permasalahan kebersihan.
-
Pemeriksaan dilakukan oleh kantor karantina yang berada di sebuah pelabuhan atau oleh Pusat Pemeriksaan dan Karantina (The Center of Quarantine and Inspection), yang terdapat di Kobe dan Yokohama.
-
Spesifikasi dan komposisi pangan yang diperbolehkan untuk produk perikanan maupun kerang-kerangan berdasarkan pedoman spesifikasi, serta standar pangan yang mengacu pada undang-undang kebersihan pangan.
-
Penggunaan zat tambahan makanan (zat adiktif) tidak boleh mengandung bahan kimia antibakteri buatan.
46
4.1.2.
Kebijakan Perdagangan Produk Perikanan Uni Eropa Uni Eropa memiliki anggota 28 negara dan merupakan pasar terbesar dunia untuk
komoditas perikanan (Simamora, 2014). Kelompok negara Uni Eropa saat ini menjadi 27, karena Inggris menyatakan diri keluar dari keanggotaannya pada tahun 2016. Seluruh anggota Uni Eropa terikat oleh traktrat dan harus disepakati untuk kemudian diratifikasi, baik oleh parlemen nasional ataupun melalui referendum. Nama Uni Eropa muncul pada tahun 1992 menggantikan nama Komunitas Masyarakat Eropa, yang ditandai dengan penandatanganan Traktat Maastricht (Traktat Uni Eropa) pada tanggal 7 Februari 1992 (Nababan, 2012). Negara importir produk perikanan dalam perdagangan internasional memberikan batasan dan aturan, yang pada dasarnya untuk melindungi konsumen. Uni Eropa sebagai salah satu importir terbesar dunia untuk produk perikanan (terutama Udang) memiliki kebijakan perdagangan dan batasan yang jauh lebih kompleks, jika dibandingkan Jepang dan USA. Menurut Export Helpdesk EU (2016), legal requirements yang harus dipenuhi untuk melakukan ekspor produk perikanan ke Uni Eropa meliputi: a. Control of contaminants in foodstuffs (kontrol kontaminan dalam bahan makanan). b. Control of residues of veterinary medicines in animals and animal products for human consumption–only required for aquaculture (pengendalian residu obat hewan pada hewan dan produk hewan untuk dikonsumsi manusia–hanya untuk produk budidaya). c. Control on illegal fishing–not applicable to aquaculture products obtained from fry or larvae pengendalian terhadap penangkapan ilegal–tidak belaku untuk produk budidaya benih atau larva). d. Health control of fishery products intended for human consumption (kontrol kesehatan terhadap produk perikanan yang dikonsumsi oleh manusia). e. Health control of fishery products not intended for human consumptiont (kontrol kesehatan terhadap produk perikanan yang tidak dikonsumsi oleh manusia).. f. Labelling for fishery products (pelabelan untuk produk perikanan). g. Marketing standards for fishery products–only required for Pandalus borealis (standar pemasaran untuk produk perikanan–hanya diperlukan untuk Pandalus borealis).
47
h. Traceability, compliance, and responsibility in food and feed (penelusuran, kepatuhan, serta tanggung jawab dalam makanan dan pangan). Voluntary–products from organic production (Voluntir–produk dari produksi organik).
i.
Identifikasi regulasi terkait dengan ketentuan yang dipersyaratkan untuk melakukan ekspor produk perikanan untuk ke Uni Eropa, dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Identifikasi Regulasi Ketentuan Ekspor Produk Perikanan Uni Eropa
Pengaturan
Regulasi
Kontaminasi
EEC 315/1993 Commision Regulation (EC) No. 1881/2006
IIegal fishing
Council Regulation (EC) 1005/2008 Commission Regulation (EC) 1010/2009
Kontrol kesehatan untuk produk yang dikonsumsi manusia
Kontrol kesehatan untuk produk yang tidak dikonsumsi manusia
Label
Marketing Standards
Regulation (EC) No. 852/2004 Regulation (EC) No. 853/2004 Council Directive 2002/99/EC Regulation (EC) No. 1829/2003 Regulation (EC) No. 258/97 Regulation (EC) No. 1935/2004
Regulation (EC) No. 183/2005 Regulation (EC) No. 852/2004 Regulation (EC) No. 853/2004 Council Directive 2002/99/EC Regulation (EC) No. 1829/2003 Regulation (EC) No. 258/97 Regulation (EC) No. 1935/2004 Council Directive 2000/13/EC Council Regulation (EC) No. 104/2000 Commission Regulation (EC) No. 2065/2001 Council Regulation (EC) No. 2406/96 Council Regulation (EC) No. 2406/96 Council Regulation (EC) No. 1224/2009
Keterangan
Kontaminan mungkin ada dalam makanan (seperti: buah-buahan dan sayuran, daging, ikan, sereal, rempah-rempah, produk susu, dll.) sebagai hasil dari tahapan produksi, pengemasan, transportasi/holding, atau mungkin juga timbul dari pencemaran lingkungan. Dalam rangka perlindungan terhadap konsumen, impor bahan makanan ke Uni Eropa harus sesuai dengan undangundang yang dirancang. Hal ini untuk memastikan bahwa makanan yang beredar di pasar aman dikonsumsi dan tidak mengandung kontaminan pada batas yang dapat mengancam kesehatan manusia. Peraturan ini menetapkan bahwa produk perikanan yang diperoleh dari IUU fishing, dilarang diperdagangkan di Uni Eropa. Dalam rangka memastikan efektivitas larangan ini, Uni Eropa menetapkan skema sertifikasi hasil tangkapan. Tujuannya untuk menyatakan (lebih jauh: untuk menjamin) bahwa hasil tangkapan telah dilakukan sesuai dengan aturan konservasi dan manajemen internasional dan diupayakan untuk memastikan penelusuran/pelacakan produk perikanan laut. Impor produk perikanan dan akuakultur dimaksudkan untuk konsumsi manusia harus mematuhi persyaratan kesehatan umum yang berkaitan dengan: kebijakan kesehatan negara, establishment disetujui, sertifikat kesehatan, dan kontrol kesehatan. Produk hanya dapat diimpor ke Uni Eropa, jika datang dari negara termasuk dalam daftar negara yang memenuhi syarat untuk produk yang relevan, yang disertai dengan sertifikat kesehatan yang layak, dan telah lulus kontrol wajib di pos perbatasan pemeriksaan. Produk perikanan segar yang mendarat langsung di Uni Eropa dari kapal penangkap ikan yang mengibarkan bendera negara ketiga tunduk pada skema kontrol kesehatan yang ditetapkan Lampiran III, Peraturan (EC) No. 854/2004 dari Parlemen Eropa dan Dewan (OJ L-226 25/06/2004). Pemerintah Eropa berhak menangguhkan impor dari seluruh atau sebagian dari negara ketiga yang bersangkutan atau mengambil tindakan perlindungan sementara. Tindakan ini dilakukan, jika terdapat produk yang dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan masyarakat atau hewan (seperti kasus wabah penyakit berbahaya).
Produk perikanan yang dipasarkan di Uni Eropa harus tunduk pada aturan pelabelan untuk bahan makanan, aturan pelabelan untuk produk perikanan, dan aturan pelabelan khusus untuk produk perikanan tertentu, dan tunduk pada standar harmonisasi. Poduk dapat dipasarkan jika memenuhi standar pemasaran Uni Eropa. Standar pemasaran Uni Eropa: klasifikasi kesegaran, ukuran atau kategori berat,
48
Penelusuran, pemenuhan syarat, dan bertanggung jawab
Regulation (EC) No. 178/2002
Voluntirproduk dengan produksi organik
Council Regulation (EC) No. 834/2007 Commission Regulation (EC) No. 889/2008 Commission Regulation (EC) No. 235/2016 Regulation (EEC) No. 2092/91
kemasan, presentasi, dan pelabelan. Menurut UU keamanan pangan Uni Eropa, pangan dan pakan tidak dapat dipasarkan di Uni Eropa jika tidak aman. UU Pangan Uni Eropa tidak hanya menjunjung tinggi perlindungan kehidupan dan kesehatan konsumen (manusia), tetapi juga perlindungan terhadap kesehatan dan kesejahteraan hewan, tanaman, dan lingkungan. Pelaku usaha makanan dan pangan harus memenuhi ketentuan, yang mencakup semua tahapan produksi pangan/pakan dan distribusi, baik kepatuhan terhadap UU pangan, penelusuran, serta tanggung jawab. Produk pertanian yang hidup dan/atau belum diproses, produk olahan pertanian untuk digunakan sebagai makanan, pakan ternak, benih dan bahan propagasi vegetatif, serta produk dengan metode produksi organik, harus sesuai dengan ketetapan: - produksi, pengolahan, pengemasan, transportasi dan penyimpanan produk. - penggunaan produk dan zat tertentu dalam pengolahan makanan.
Berdasarkan Tabel 4.2, diketahui bahwa ketentuan penting yang menjadi kebijakan resmi ketika melakukan ekspor ke Uni Eropa adalah penerapan bea cukai. Ketentuan tarif impor di seluruh negara Uni Eropa sama untuk satu produk (HS Code yang sama), namun Uni Eropa mengizinkan anggotanya untuk memberlakukan bea cukai sesuai konteks kebijakan domestik. Besaran bea cukai inilah yang berbeda untuk tiap negara dan cenderung beragam. Menurut Simamora (2014), secara garis besar buyers requirements dibagi menjadi environmental dan social requirements (labour standards). Syarat tersebut meliputi: i.
Fairtrade label and other fairtracde Initiatives,
j.
ILO Fundamental labaour Standards,
k. International Codes of Conduct and other initiatives for responsible fisheries and aquaculture, l.
International sustainability labels for aquacultureproducts,
m. International sustainability labels for wild fisheries products, n. Management systems suppor ting sustainable development, o. Occupational health and safety in the fishery sector , p. Organic labelling of food products, q. Retailers’ sustainability initiatives for non-food products. Isu utama terhadap lingkungan untuk sektor perikanan, adalah menurunnya stok ikan dikarenakan overfishing (tangkap lebih) dan/atau metode penangkapan ikan yang tidak suistainable (tidak memperhitungkan aspek keberlanjutan). Supermarket memegang peranan 49
penting dalam distribusi perdagangan ikan, sehingga mempelajari syarat yang ditetapkan oleh supermarket sangat diperlukan (secara tidak langsung). Hal ini dilakukan agar terbiasa dengan syarat yang dibutuhkan pembeli dari negara Uni Eropa (EU buyer requirements). Supermarket di Uni Eropa secara signifikan terus memperhatikan stok ikan yang segar dan sehat, serta melakukan seleksi ikan yang ditangkap dengan metode sustainable. Kondisi tersebut, berdampak bagi suplier untuk mengikuti persyaratan yang telah ditetapkan (Simamora, 2014). Greenpeace sebagai salah satu NGO yang berfokus pada isu lingkungan, akan memonitor atau mengawasi performa supermarket berdasarkan penilaian yang telah ditentukan (Simamora, 2014). Label lingkungan yang cukup terkenal salah satunya adalah MSC. Meningkatnya kesadaran akan lingkungan, menyebabkan tingginya permintaan untuk sertifikasi MSC. Ritel British Tesco dan Sainsburry, serta beberapa perusahaan makanan lainnya mensyaratkan produk yang bersertifikasi MSC. Global GAP (Global Aquaculture Practices) merupakan inisiatif dari industri untuk mempromosikan praktik pertanian dan perikanan yang baik, untuk menjaga keamanan pangan. Sertifikat GAP semakin banyak digunakan sebagai nonlegal requirements di supermarket Uni Eropa untuk produk perikanan tambak. Label lainnya yang juga biasa digunakan pada distribusi ritel Uni Eropa (khususnya Italia dan Spanyol) adalah Friends of the Sea. Skema sertifikasi ini dapat digunakan untuk produk perikanan liar dan tambak (budidaya) (Simamora, 2014). Private sector juga tidak jarang memiliki syarat sendiri, seperti British Retailers Consortium dan Carrefour Quality Line menetapkan sertifikasi sendiri atau dengan kata lain memiliki sertifikasi sendiri khusus untuk produk perikanan, seperti udang. Eksportir yang ingin berdagang dengan kedua retailer besar tersebut, harus memiliki sertifikat khsusus yang telah disyaratkan. Centre for the Promotion of Imports from Developing Countries (CBI) menggolongan regulasi untuk produk perikanan menjadi (1) must atau harus, (2) common atau pada umumnya, (3) niche. Legal requirements termasuk dalam kategori must dan common, sedangkan non-legal requirements digolongkan menjadi niche. Ketentuan yang berlaku untuk tiap kategori produk perikanan di Uni Eropa, dapat dilihat pada Tabel 4.3.
50
Tabel 4.3. Buyer Requirements Produk Perikanan Uni Eropa Must
Ketentuan
Common Niche Sumber: CBI (2016)
Kategori
Microbiological contamination Hygiene Catch certification Health certificate Approved country & establishment Food safety certification Contaminants Ecolabelling
Berdasarkan Tabel 4.3, diketahui bahwa regulasi Uni Eropa terkait produk pangan memiliki persyaratan yang terkenal sulit. Kondisi ini menyebabkan Uni Eropa berusaha menjalin rekanan dengan badan tertentu sebagai competent agency di negara eksportir, dalam memudahkan persyaratan. Competent agency untuk produk perikanan di Indonesia adalah KKP. KKP bertanggungjawab dan berwenang dalam mengatur regulasi, perizinan, serta sertifikasi, yang dibutuhkan oleh produsen dan eksportir untuk melakukan ekspor ke Uni Eropa (Simamora, 2014). 4.1.3.
Kebijakan Perdagangan Produk Perikanan Amerika Serikat Perhatian masyarakat internasional terhadap keamanan, menyebabkan mereka
memberlakukan standar tinggi pada bahan pangan yang akan diterima dan dikonsumsi (Hariyadi, 2007). Salah satu negara yang menetapkan kebijakan perdagangan ketat terhadap produk pangan sektor perikanan (Udang dan Tuna) adalah Amerika Serikat. Lembaga yang bertugas mengawasi persyaratan masuknya produk perikanan tersebut, adala Food and Drug Administration (FDA). FDA adalah lembaga di bawah Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat. FDA memiliki peraturan Public Health Security and Terorism Prepardness and Response Act of 2002 (Bioterorism Act), dalam menjamin kesehatan masyarakat (Rahmawaty et. al., 2014). Regulasi dan standar FDA terkait keamanan produk perikanan meliputi: FDA No. 21 CFR 123, FDA Food Code 2009 dan Fish and Fishery Products Hazards and Controls Guidance, edisi keempat, April 2011. FDA Food Code 2009 serta 21 CFR 123, memuat secara rinci standar GMP (Good Manufacturing Practices) produk pangan keseluruhan dan khusus produk perikanan. Fish 51
and Fishery Products Hazards and Controls Guidance, tidak hanya memuat mengenai 7 prinsip Hazard Analysis & Critical Control Point (HACCP), tetapi juga standar bahaya kimia, fisik, dan mikrobiologi, yang dirinci untuk setiap jenis maupun spesies ikan, serta untuk masing-masing proses pengolahan. FDA, GMP, dan sistem HACCP, merupakan dasar regulasi serta standar Amerika Serikat untuk melindungi kesehatan masyarakatnya dari bahaya penyakit karena makanan (Rahmawaty et. al., 2014). Cato pada tahun 1998, telah meneliti mengenai kontaminasi Salmonella dan Filthy yang dihubungkan dengan penerapan HACCP. Penelitiannya menjelaskan penyebab tertinggi keracunan ikan dan produk perikanan di Amerika, Eropa, Kanada, dan Jepang, adalah Salmonella, Staphylococcus Aureaus, Clostridium Botulinum, serta Histamin. Menurut Cato (1998), penerapan sistem HACCP efektif untuk mengurangi kejadian penyakit atau keracunan karena makanan laut. Kasus penolakan produk perikanan Indonesia oleh Amerika tahun 2010 sebanyak 290, tahun 2011 meningkat sebesar 494 dan pada tahun 2012 jumlahnya 419. Menurut Rahmawaty et. al. (2014), peningkatan penolakan produk Indonesia kemungkinan dipengaruhi oleh pemberlakuan Peraturan FDA No. 21 CFR 123. Materi peraturan tersebut, memuat Pedoman Bahaya dan Kontrol Ikan dan Produk Perikanan yang dikeluarkan pada bulan April 2011. Penolakan produk perikanan Indonesia penyebab utamanya adalah karena Salmonella dan filthy. Hal ini terjadi karena lemahnya penerapan standar sistem HACCP. Hasil penelitian Rinto (2010), menunjukkan terdapat 146 kasus penolakan dari FDA. Sebanyak 64% kasus penolakan disebabkan adanya bakteri patogen maupun toksin yang dihasilkan seperti histamin, 26% disebabkan filthy, 6% disebabkan adanya residu kimia, dan 4% disebabkan misbranding. Penolakan produk perikanan terbesar di AS disebabkan adanya kontaminasi bakteri patogen (termasuk Salmonella) dan filthy. HACCP merupakan sistem manajemen pengawasan dan pengendalian keamanan pangan secara preventif yang bersifat ilmiah, rasional, dan sistematis. Tujuannya untuk mengidentifikasi, memonitor, dan mengendalikan bahaya (hazard), mulai dari bahan baku, selama proses produksi/pengolahan, manufakturing, penanganan, serta penggunaan bahan pangan. Prosedur tersebut dimaksudkan untuk menjamin produk makanan aman bila dikonsumsi. Prinsip HACCP meliputi: (1) melakukan analisis bahaya; (2) menetapkan titik 52
kendali kritis; (3) menetapkan batas kritis setiap titik kendali kritis; (4) menetapkan sistem monitoring titik kendali kritis; (5) menetapkan tindakan koreksi penyimpangan; (6) menetapkan prosedur verifikasi; (7) menyusun pengendalian dokumen. Identifikasi hukum ketentuan ekspor produk perikanan ke Amerika Serikat terhadap penerapan prinsip HACCP, dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Analisis Hukum Komparatif Regulasi Produk Perikanan Amerika Serikat
Prinsip HACCP
Uraian
1
Melakukan analisis bahaya
2
Menetapkan titik kendali kritis Menetapkan batas kritis setiap titik kendali kritis Menetapkan sistem monitoring titik kendali kritis Menetapkan tindakan koreksi penyimpangan Menetapkan prosedur verifikasi Menyusun pengendalian dokumen
3 4 5 6 7
Regulasi Nasional
Regulasi FDA
Tidak menetapkan jenis bahaya, hanya standar produk akhir (BSN1, 2006) Tidak menetapkan titik kendali kritis (BSN1, 2006) Tidak menetapkan batas kritis lulus uji (BSN2, 2006) Hanya menetapkan suhu (BSN3, 2006)
Menetapkan jenis bahaya (FDA1, 2013)
TidakMenetapkan tindakan korektif (BSN3, 2006)
Menetapkan tindakan korektif (FDA1, 2013)
Tidak Menetapkan dokumentasi tindakan korektif (BSN3, 2006)
Menetapkan dokumentasi tindakan korektif (FDA1, 2013)
Menetapkan titik kendali kritis (FDA1, 2013) Menetapkan batas kritis lulus uji bahan baku (FDA1, 2013) Menetapkan pemantauan suhu dan waktu (FDA1, 2013)
Berdasarkan Tabel 4.4, diketahui bahwa pendekatan HACCP dalam industri makanan difokuskan terhadap produk yang memiliki resiko penyebab penyakit dan keracunan (makanan yang mudah terkontaminasi oleh bahaya mikrobiologi, kimia, serta fisika) (Tabel 4.5). Tabel 4.5. Produk Makanan yang Memiliki Resiko terhadap Kesehatan
Tingkat Resiko Kesehatan Resiko Tinggi
Resiko Sedang
Resiko Rendah
Jenis Makanan
Susu dan produk olahannya Daging (sapi, ayam, kambing, dll.) dan produk olahannya Hasil perikanan dan produk olahannya Sayuran dan produk olahannya Produk makanan berasam rendah lainnya Keju Es krim Makanan beku Sari buah beku Buah-buahan dan sayuran beku Daging dan ikan beku Serealia/biji-bijian Makanan kering Kopi dan teh
53
Tabel 4.5, menjelaskan bahwa sistem HACCP merupakan penjamin keamanan pangan. Keuntungan penerapan sistem HACCP untuk pelaku usaha industri meliputi: (1) mencegah penarikan produk pangan yang dihasilkan; (2) mencegah penutupan pabrik; (3) meningkatkan jaminan keamanan produk; (4) pembenahan dan pembersihan pabrik; (5) mencegah kehilangan pembeli/pelanggan atau pasar; (6) meningkatkan kepercayaan konsumen; (7) mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang ditimbulkan karena masalah keamanan produk. Rahmawaty et. al. (2014), melakukan kajian gap analisis dan rekomendasi strategi
terhadap kebijakan keamanan produk perikanan Indonesia terhadap FDA (Tabel 4.6). Analisis gap yang dianalisis menetapkan komponen pembanding dalam terhadap regulasi dan standar, sebagai
dasar
menetapkan
rekomendasi
strategi.
Komponen
pembanding
yang
dikemukakannya meliputi: kewenangan; peraturan jaminan karantina, jaminan mutu dan keamanan produk perikanan; sertifikasi HACCP; sertifikasi produk; laboratorium acuan serta penguji; kerja sama internasional. No.
Tabel 4.6. Rekomendasi Strategi Kebijakan Keamanan Produk Perikanan Komponen
Regulasi Nasional
Regulasi USA
1.
Kewenangan
NSW: BKIPM
NSW: FDA (1938)
2.
Peraturan karantina, jaminan mutu dan keamanan produk perikanan Standar keamanan produk perikanan
40 regulasi karantina, 8 regulasi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan SNI HACCP (BSN, 1998) dan SNI produk perikanan Atas penunjukkan dan belum terakreditasi
21 CFR 123, FDA Food Code 2009 dan Pedoman FDA (FDA1, 2013)
3.
4.
Sertifikasi HACCP
5.
Sertifikasi produk
6.
Laboratorium acuan dan penguji Kerja sama internasional
7.
Menetapkan wajib SNI 43 produk perikanan Laboratorium KKP Sudah dilakukan, namun belum dengan USA
Rekomendasi Strategi
Peningkatan efektivitas NSW Merancang regukasi yang komprehensif
21 CFR 123, FDA Food Code 2009 dan Pedoman FDA (FDA2, 2013) Dilakukan Lembaga Sertifikasi diakreditasi ANAB (ANSI-ASQ National Accreditation Board) Tidak mensyaratkan
Harmonisasi standar
Laboratorium swasta, FDA sebagai pengawas Sudah dilakukan
Pemutakhiran infrstruktur Melakukan MoU dengan USA
Akreditasi lembaga sertifikat HAGG
Penyediaan infrastruktur
Tabel 4.6, menunjukkan bahwa di Amerika Serikat kewenangan karantina, jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan, dilakukan oleh FDA sejak tanggal 24 Juni 1938 dalam mewujudkan
54
NSW. Jaminan mutu dan keamanan ini berlaku untuk semua jenis pangan, kosmetik, dan obatobatan. NSW di Indonesia diwujudkan dengan penunjukkan BKIPM (Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan), berdasarkan Peraturan Kepala BKIPM Selaku Otoritas Kompeten Nomor: PER.03/BKIPM/2011, tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Petunjuk teknis mengenai pelaksanaan NSW baru diterbitkan pada tahun 2013, melalui Keputusan Kepala BKIPM Nomor: KEP.10/BKIPM/2013, tentang Petunjuk Teknis Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 25/MEN/2011 tentang Organisasi dan tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (Rahmawaty et. al., 2014). Komponen peraturan karantina, jaminan mutu dan keamanan produk perikanan, di Amerika Serikat sudah ditetapkan dalam regulasi FDA Food Code 2009 dan 21 CFR 123. Kedua regulasi ini mengatur ketentuan GMP terkait: bangunan, konstruksi, sumber daya manusia, higiene personel, training, pengolahan air, pengolahan limbah, dll. Komponen ini di Indonesia sudah difasilitasi dengan 48 peraturan. Banyaknya peraturan tersebut, menyebabkan aplikasinya kurang efektif. Hal ini mengharuskan pemerintah membuat regulasi yang komprehensif dan dapat diimplementasikan dengan mudah sesuai dengan aspek GMP, ke dalam beberapa peraturan saja (Rahmawaty et. al., 2014). Standar keamanan produk perikanan di Indonesia adalah Standard Nasional Indonesia (SNI) 01-4852-1998 dari Badan Standar Nasional (BSN) tahun 1998, yang merujuk pada Codex Alimentarius Commission (CAC)/Recommended International Code of Practice (RCP) 1-1969. Standar Codex yang menjadi acuan telah memasuki edisi keempat tahun 2003, namun SNI belum sampai pada tahap review sesuai perkembangan standar Codex. Codex juga menetapkan standar sistem HACCP sektor perikanan pada CAC/RCP No. 52-2003, yang dapat diadopsi ke dalam SNI sistem HACCP sektor perikanan (CAC1, 2003). Penerapan sistem HACCP FDA sendiri menggunakan Fish and Fishery Products Hazards and Controls Guidance edisi keempat, yang diterbitkan bulan April 2011. Pedoman ini merupakan turunan CAC/RCP 1-1969 (revisi 4-tahun 2003), yang dikembangkan dan diperketat sesuai dengan kebutuhan masyarakat Amerika Serikat (CAC2, 1969). 55
Pedoman tersebut tidak hanya memuat mengenai prinsip HACCP, tetapi juga mengatur standar bahaya kimia, fisik, dan mikrobiologi. Standar dirinci menurut jenis dan spesies ikan, serta untuk masing-masing proses pengolahan dengan menggunakan contoh rencana HACCP, penetapan batas kritis dan CCP, tindakan perbaikan dan verifikasinya, beserta format formulirnya (FDA2, 2013). Hal ini membutuhkan adanya strategi harmonisasi standar sistem HACCP Indonesia, yang mengadopsi versi terbaru CAC/RCP 1-1969 dan pedoman sistem HACCP khusus sektor perikanan FDA. Sertifikasi HACCP sektor perikanan di Indonesia, menjadi kewenangan pemerintah (khususnya Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan dan BKIPM) dan belum diakreditasi oleh KAN (Komite Akreditasi Nasional). Penerapan sertifikasi HACCP di Amerika Serikat tidak dilakukan oleh FDA. FDA hanya melakukan pengawasan dan penetapan regulasi sistem HACCP. Sertifikasi HACCP diserahkan kepada Lembaga Sertifikasi pemerintah maupun swasta, yang telah diakreditasi ANSI-ASQ National Accreditation Board. Komite Akreditasi Nasional (KAN) adalah perwakilan Indonesia dalam forum akreditasi internasional (IAF/Internasional Accreditation Forum). Hal ini menyebabkan KAN diakui secara internasional dalam hal pemberian sertifikasi. Akreditasi mensyaratkan peningkatan kompetensi, evaluasi, dan pemeliharaan kompetensi auditor, sesuai dengan standar ISO 17021 (ISO, 2011). Prinsip sebuah lembaga sertifikasi HACCP (termasuk di dalamnya pemeliharaan kompetensi auditor HACCP BKIPM) agar terpenuhi, maka harus diakreditasi di bawah naungan dan ditunjuk oleh BKIPM. Indonesia telah menetapkan SNI terhadap 43 produk, 7 metode pengemasan, dan 31 metode uji, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor KEP.61/MEN/2009, tentang Pemberlakuan Wajib Standar Nasional Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan. FDA tidak mensyaratkan sertifikasi produk perikanan. Penetapan SNI wajib memberikan
konsekuensi
penyediaan
infrastruktur
untuk
sertifikasi
produk
yang
mempersyaratkan akreditasi ISO 17065:2012 untuk lembaga sertifikasi produk SNI (ISO, 2012). Penggunaan logo SNI harus mengikuti PSN 306-2006 (KAN, 2006) yang dikeluarkan KAN, yakni memenuhi standar SNI dan standar sistem manajemen mutu ISO 9001:2008.
56
Sertifikasi produk tidak dapat ditetapkan hanya melalui Keputusan Menteri. Menurut KAN (2013), hanya lembaga ABIPro dan ILPro (dari 33 lembaga sertifikasi produk) yang terakreditasi untuk melakukan sertifikasi produk dengan empat SNI wajib. Berdasarkan hal tersebut, rekomendasi strategi yang harus diupayakan adalah menyediakan infrastruktur lembaga sertifikasi produk perikanan yang lengkap (terakreditasi ISO 17065) dan komitmen pelaksanaan wajib SNI dan pengawasannya. KKP dalam rangka menyediakan laboratorium acuan dan laboratorium penguji, mengupayakan untuk mewajibkan akreditasi berdasarkan ISO 17025. Hal ini sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya No.502/DPB/PB.430.D4/I/2008, tentang Penunjukkan Laboratorium Acuan dan Laboratorium Pengujian Kandungan Residu Obat Ikan, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan pada Pembudidayaan Ikan. Rahmawaty et. al. (2014), dalam penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat kasus perbedaan pengambilan sampel dan hasil uji antara laboratorium Indonesia dan FDA. Kondisi tersebut harus disikapi pemerintah dengan mengembangkan strategi pemutakhiran infrastruktur laboratorium (metode, alat, dan SDM) pada seluruh UPT, untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Komponen kerja sama internasional terhadap keamanan produk perikanan yang dikirim ke Amerika Serikat, belum dilakukan oleh Indonesia. Amerika Serikat telah membuka kerja sama kepada banyak negara mitra, dengan syarat adanya harmonisasi regulasi dan standar keamanan produk. Berdasarkan hal itu, maka pemerintah harus membuat strategi pengembangan kerja sama dengan Amerika Serikat untuk mengurangi hambatan non-tarif dan meningkatkan ekspor. 4.1.4.
Posisi Ekolabeling MSC dan ASC dalam Kebijakan Perdagangan Internasional Kebijakan perdagangan internasional dalam bentuk hambatan teknis yang meliputi
penerapan standar, sertifikasi, dan ekolabeling, mulai berkembang sekitar tahun 1970. Perkembangan ini dibarengi dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dan tuntutan gaya hidup go green. Kebijakan atau regulasi lingkungan dapat menyebabkan efek perdagangan yang tidak diinginkan, karena membatasi praktek ekspor impor. Kebijakan ekolabeling memliki 57
potensi dijadikan alasan politik, untuk menyamarkan proteksi perusahaan domestik dari persaingan asing. Dampak positif penerapan ekolabeling adalah sebagai salah satu faktor penentu daya saing produk pada pasar global. Ekolabeling, juga dapat menjadi katalisator dalam mecapai pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah konsep relevan untuk menyeimbangkan antara aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial, dimana penerapan ekolabel juga bergerak pada ruang yang sama (Tuarsih, 2012). Liberalisasi perdagangan memiliki fungsi meningkatkan distribusi kesejahteraan antarnegara dan efisiensi perekonomian. Liberalisasi perdagangan berpotensi menimbulkan dampak negatif, karena mendorong persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini memunculkan pandangan akan pentingnya upaya proteksi, terhadap produksi dalam negeri dan kepentingan lainnya dari tekanan pasar internasional (salah satunya hambatan pedagangan non tarif produk impor). Hambatan non tarif dalam perdagangan internasional sering menimbulkan praktek yang tidak sehat. Negara industri maju menggunakan tindakan ini dengan alasan melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, dan tanaman. Hambatan non tarif diberlakukan untuk melindungi industri dalam negeri terhadap serangan impor (Priyono, 2013). Hambatan non tarif yang diberlakukan oleh mitra dagang Indonesia inilah, yang menyebabkan ekspor non migas menjadi penghambat dan sulit ditingkatkan. Berlakunya hambatan non tarif menimbulkan kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan hambatan yang berupa tarif. Hambatan non tarif yang sering dihadapi oleh Indonesia pada sektor perikanan adalah ekolabeling dan sanitary. Jepang memberlakukan hambatan non tarif yang berkaitan dengan perikanan dengan melakukan karantina, sistem standar kualitas produk industri, izin investasi komoditi dan usaha jual, sistem kemasan daur ulang, dan pengaturan perlindungan terhadap binatang yang terancam punah. Uni Eropa melakukan proteksi melalui hambatan non tarif terhadap sektor perikanan Indonesia, dengan mengharuskan produk perikanan telah memenuhi white papper of food safety regulation dan uji laboratorium untuk makanan kemasan, dan pencantuman label. Hambatan non tarif juga diberlakukan terhadap produk impor dari Indonesia, seperti persyaratan yang ketat untuk produk Udang. Penelitian Fakhrudin (2008), menyimpulkan bahwa hambatan non tarif di Jepang lebih besar daripada hambatan tarifnya. Amerika sebagai 58
salah satu tujuan ekspor komoditi perikanan mempunyai komposisi hambatan perdagangan yang mirip dengan Jepang (walaupun secara umum lebih rendah). Jepang dan Amerika menerapkan proteksi yang lebih tinggi terhadap produk pertanian, daripada produk manufaktur. Hambatan non tarif dalam bentuk ekolabeling untuk produk perikanan meskipun tidak menjadi kendala, tetapi dapat mengurangi daya saing. Eklolabeling
MSC
dan
ASC
merupakan
syarat
tambahan
untuk
memenuhi
selera/keinginan konsumen, serta sebagai upaya buyer menembus pangsa pasar yang lebih luas lagi. Dhipayana (2014), menyatakan bahwa: “Masalah selera konsumen di suatu negara secara tidak langsung seringkali menjadi hambatan dalam perdagangan internasional. Selera konsumen menyangkut berbagai hal termasuk masalah rasa, warna, nama dan bentuk produk, yang seringkali dipengaruhi oleh faktor budaya, agama, kepercayaan dan etika masyarakat yang mengkonsumsi produk”. Pendapat tersebut memberikan pengertian, bahwa ekolabeling MSC dan ASC termasuk sebagai hambatan non tarif karena adanya unsur ”selera konsumen”. Pada dasarnya hambatan perdagangan di berbagai negara bukan hanya ditentukan oleh faktor ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non ekonomi (Fakhrudin, 2008). Menurut Ilmie (2014), yang mempersyaratkan sertifikasi ekolabel itu bukan pihak pemerintah, melainkan pasar ritel. Faktor non ekonomi (politis dan keinginan buyer), juga dapat menjadikan ekolabel MSC dan ASC sebagai hambatan non tarif. Kondisi hubungan bilateral antar negara, juga dapat mempengaruhi kebijakan perdagangan. Hasil wawancara dengan ATLI, ASTUIN, pejabat Ditjen Tangkap-KKP, pejabat Ditjen PDS-KKP, serta pelaku usaha, menyatakan bahwa produk perikanan (Udang dan Tuna) yang diekspor selama ini, tanpa ekolabel MSC dan ASC tetap diterima oleh buyer di Jepang, Uni Eropa, dan Amerika. Kondisi ini dapat berubah apabila buyer (pelaku bisnis internasional) mewajibkan kedua ekolabel harus ada, meskipun sebenarnya sertifikasi MSC dan ASC tidak masuk kebijakan ekspor resmi ketiga negara tersebut. Ekolabel MSC dan ASC dikategorikan sebagai hambatan non tarif, dikarenakan sulitnya memenuhi syarat yang ditentukan. Dampak hal tersebut, dapat menyebabkan konsumen menjadi hilang dan mengurangi pendapatan pelaku usaha dalam negeri. Perusahaan eksportir Indonesia akan memiliki kendala jika buyer menginginkannya, mengingat besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan kedua sertifikat tersebut. Kendala yang menyulitkan 59
eksportir dalam negeri inilah, yang disebut dengan hambatan non tarif. Penyebab hambatan non tarif dalam perdagangan internasional tidak hanya dapat dilakukan negara pengimpor (government to government), tetapi juga dapat dilakukan oleh pelaku bisnis (business to business). Hambatan non tarif dalam perdagangan internasional, sifatnya sangat subyektif dan sampai saat ini belum bisa dikendalikan.
4.2.
Ketentuan Ekolabeling Indonesia sebagai warga dunia yang telah meratifikasi KTT Bumi dan sekaligus menjadi
anggota WTO, harus memperhatikan standarisasi terhadap lingkungan. Ketentuan tentang ekolabeling perikanan mensyaratkan negara pengekspor memberikan tanda (label) terhadap produknya, yang menjamin bahwa pemanfaatannya sudah sesuai dengan prinsip berkelanjutan dan ramah lingkungan. Indonesia sebagai salah satu negara eksportir komoditas perikanan terbesar, wajib menyikapi perkembangan ini. Peran pemerintah diperlukan dalam menciptakan dan mengharmonisasikan produk hukum, yang memberikan kepastian pelaku usaha. Hal ini dilakukan dalam rangka mencegah adanya kepentingan negara/lembaga independen, menggunakan isu ekolabeling menjadi alat mengintervensi pasar maupun mengatur posisi kepentingan Indonesia. Komitmen pemerintah harus dijabarkan dalam bentuk satu regulasi yang komprehensif, utuh, dan jelas, sebagai sarana melindungi kepentingan pelaku usaha serta meningkatkan daya saing produk perikanan. 4.2.1.
Penelusuran Ketentuan Prinsip MSC MSC adalah sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan membantu perdagangan seafood
yang berbasis keberlanjutan. MSC didirikan pada tahun 1997, diinisiasi oleh 2 organisasi global yakni WWF dan Unilever. Visi yang dianut oleh MSC yaitu meningkatkan keberlanjutan dunia perikanan. Rentang tahun 1997-1999, MSC sudah memberikan konsultasi kepada 200 peneliti, ahli lingkungan dan pemangku jabatan, dalam rangka penciptaan sistem sertifikasi global perikanan ramah lingkungan. Sertifikasi ekolabel MSC pertama kali diperkenalkan pada tahun 1999. Metodenya secara luas diterima sebagai sistem sertifikasi yang sesuai dengan panduan ecolabeling dan CCRF (Code of Conduct for Responsible Fisheries) dari FAO. 60
Produk perikanan tangkap yang tersertifikasi MSC diharapkan memiliki karakteristik pengelolaan perikanan yang berkelanjutan secara ekologi, serta mekanisme ketelusurannya. Sistem sertifikasi ekolabel telah menjadi standar produk perikanan ramah lingkungan dan lestari. Produk ramah lingkungan merupakan syarat utama pemasaran retailer di Eropa dan Amerika. Mayoritas retailer besar dengan jaringan terluas di benua Eropa dan Amerika berkomitmen, bahwa mulai 2012 hanya menerima produk yang berada dalam tahapan perbaikan menuju sertifikasi MSC. MSC menjalankan program sertifikasi maupun ekolabeling untuk tangkapan ikan laut, sesuai dengan kode dan praktek standar penyusunan sosial lingkungan. MSC menjadi panduan FAO untuk pengemasan produk tangkapan ikan, serta produk perikanan dari perikanan dan kelautan (ISEAL Code of Good Practice for Setting Social and Environmental Standards and the United Nations Food and Agricultural Organization Guidelines for the Ecolabelling of Fish and Fishery Products from Marine Capture Fisheries). Standar perikanan MSC disusun dengan mempersyaratkan bahwa perikanan wajib dikelola, mulai dari mana datang dan cara pengelolaannya. Melalui praktek pengelolaan perikanan yang baik diharapkan mampu menjamin pekerjaan, ketersediaan pasokan untuk masa depan, serta membantu melindungi lingkungan laut. Penelusuran ketentuan yang dijadikan prinsip ekolabeling MSC, dapat dilihat pada Tabel 4.7. Prinsip
Pertama
Materi
Keberlanjutan stok ikan
Tabel 4.7. Identifikasi Ketentuan Prinsip MSC
Variabel
Status ketersediaan terkait dengan produktivitas Ketersediaan ikan yang terkait dengan ekosistem Upaya pemulihan kembali ketersediaan ikan Strategi produksi
Ketentuan pengendalian produksi (Harvest Control Rules/HCRs) dan
Kriteria
Status ketersediaan ikan terkait dengan penurunan hasil yang diperoleh Hasil ikan yang diperoleh sudah optimal dan berbasis keberlanjutan Status ketersediaan ikan yang mempengaruhi penurunan ekosistem Status ketersediaan ikan yang berpengaruh terhadap kebutuhan ekosistem Jangka waktu pemulihan stok ikan Evaluasi pemulihan stok ikan Strategi produksi Evaluasi strategi produksi Monitoring strategi produksi Review strategi produksi Melakukan review Rancangan dan aplikasi HCRs Ketidakpastian penanganan HCRs
61
faktor pendukungnya Informasi/monitoring
Penilaian dari ketersediaan ikan
Kedua
Dampak lingkungan perikanan
Outcome spesies utama
Strategi pengelolaan spesies utama
Informasi spesies utama
Outcome spesies sekunder
Strategi pengelolaan spesies kedua
Informasi spesies kedua
Outcome spesies ETP (Endangered, Threatened or Protected)/terancam, punah atau dilindungi Strategi pengelolaan spesies ETP
Informasi spesies ETP
Evaluasi terhadap HCRs Cakupan informasi yang diperoleh Monitoring Kelengkapan informasi Pertimbangan kesesuaian penilaian ketersediaan ikan Pendekatan penilaian Ketidakpastian dalam penilaian ketersediaan ikan Evaluasi penilaian ketersediaan ikan Mengamati review dari penilaian Ketersediaan stok ikan spesies utama yang diinginkan (sesuai standar); Ketersediaan stok ikan spesies utama yang tidak sesuai standar/ukuran Strategi manajemen yang diterapkan pada saat melakukan pengelolaan Evaluasi terhadap strategi pengelolaan Implementasi strategi pengelolaan Review dari alternatif pengukuran Kecukupan informasi untuk penilaian dampak pada spesies utama Kecukupan informasi untuk penilaian dampak pada spesies bukan yang utama Kecukupan informasi terhadap strategi pengelolaan Ketersediaan data stok ikan spesies sekunder sesuai dengan standar yang diinginkan Ketersediaan data stok ikan spesies sekunder yang tidak sesuai dengan standar Strategi manajemen yang diterapkan pada saat melakukan pengelolaan Evaluasi terhadap strategi pengelolaan Implementasi strategi pengelolaan Efek langsung dan tidak langsung Informasi yang cukup untuk penilaian dampak pada spesies sekunder informasi yang cukup untuk penilaian dampak pada spesies sekunder yang tidak sesuai standar informasi yang cukup untuk untuk membuat strategi pengelolaan spesies sekunder Pengaruh Unit Penilaian (UoA) dari populasi/ketersediaannya dalam pemberlakuannya pada batas/wilayah nasional atau internasional Efek langsung Efek tidak langsung Strategi pengelolaan yang diterapkan (persyaratan/ketentuan nasional dan internasional) Strategi pengelolaan yang diterapkan (alternatif) Evaluasi terhadap strategi pengelolaan Implementasi strategi pengelolaan Review terhadap alternatif pengukuran dalam upaya meminimalisir kematian terhadap ETP spesies Kecukupan informasi untuk penilaian dampak pada spesies sekunder Kecukupan informasi untuk penilaian dampak pada spesies sekunder yang bukan sesuai standar Kecukupan informasi terhadap strategi pengelolaan
62
Outcome habitat Strategi pengelolaan habitat
Informasi habitat
Outcome ekosistem Strategi pengelolaan ekosistem
Informasi ekosistem
Ketiga
Efektivitas pengelolaan
Kerangka hukum dan/atau kebiasaan Konsultasi, aturan, dan tanggung jawab Tujuan jangka panjang
Tujuan khusus perikanan Proses pengambilan keputusan
Kepatuhan dan penegakan
Monitoring dan evaluasi kinerja manajemen
Status habitat yang biasa ditemukan Status kerentanan ekosistem laut Strategi pengelolaan yang diterapkan Status kerentanan ekosistem laut Implementasi strategi pengelolaan Kepatuhan terhadap syarat pengelolaan dan Pengaruh Unit Penilaian (UoA) dari pengukuran MSC maupun non-MSC perikanan untuk melindungi kerentanan ekosistem laut (VMEs) Kualitas informasi Kecukupan informasi terhadap penilaian dari dampak Monitoring Status ekosistem Strategi pengelolaan yang diterapkan Evaluasi terhadap strategi pengelolaan Implementasi strategi pengelolaan Kualitas informasi Investaigasi terhadap dampak Pengaruh Unit Penilaian (UoA) Pemahaman terhadap fungsi komponen Relevansi informasi Monitoring Keserasian/kecocokan hukum atau standar pengelolaan yang efektif Penyelesaian sengketa Menghormati hak-hak Aturan dan tanggung jawab Proses konsultasi Partisipasi Tujuan Proses konsultasi Partisipasi Tujuan Proses pengambilan keputusan Respon terhadap proses pengambilan keputusan Penggunaan pendekatan kehati-hatian Akuntabilitas dan transparansi terhadap sistem manajemen, serta proses pengambilan keputusan Pendekatan untuk menyelesaikan sengketa Implementasi MCS Sanksi Ketidakpatuhan Ketidakpatuhan yang sistemik Cakupan evaluasi; Review internal dan/atau eksternal
Berdasarkan Tabel 4.7, diketahui bahwa prinsip pertama mengenai keberlanjutan dalam ketentuan MSC mengamanatkan, bahwa kegiatan perikanan harus patuh pada tindakan yang dapat menyebabkan overfishing atau penurunan populasi, serta memerlukan pemulihan. Prinsip kedua MSC yang terkait dengan dampak lingkungan, berhubungan dengan aktivitas 63
perikanan yang harus patuh dalam menjaga struktur produktivitas, keberagaman, serta fungsi ekosistem (termasuk habitat dan spesies), terhadap sumber daya perikanan. Efektivitas pengelolaan (prinsip ketiga), menunjukkan bahwa perikanan adalah subyek dalam sistem pengelolaan yang efektif, mulai dari hukum lokal, nasional, dan internasional. Hal ini mensyaratkan pengelolaan terhadap perikanan, harus dilakukan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Standar perikanan yang disusun oleh MSC bekerja sama dengan nelayan, perusahaan seafood, peneliti, kelompok konservasi, pembuat kebijakan, serta masyarakat umum, untuk mempromosikan praktek tangkapan ikan laut terbaik melalui program sertifikasi dan pengemasan seafood. Ketika konsumen membeli produk ikan berlabel MSC, maka nelayan akan dihargai dengan praktek berkelanjutan melalui preferensi pasar. MSC dan mitranya mendorong penyedia, suplier, retail, maupun pemakai, untuk memprioritaskan membeli seafood dari nelayan yang bersertifikasi MSC (MSC, 2016). Pelaksanaan MSC membutuhkan dukungan regulasi yang membantu pelaku usaha, mendapatkan ekolabel yang diwajibkan negara pembeli. Komponen substansi sistem hukum adalah hasil nyata yang diterbitkan berupa aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Negara pada dasarnya membuat dua macam bentuk keputusan, yaitu peraturan perundang-undangan dan keputusan yang bukan peraturan perundang-undangan. Seluruh regulasi yang memberikan kemudahan dan membantu pelaku usaha mendapatkan sertifikasi MSC, menjadikan produk perikanan Tuna nasional semakin diperhitungkan dunia. Proses mendapatkan pengakuan terhadap produk perikanan Tuna yang ingin mendapatkan sertifikasi MSC, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Perusahaan eksportir Tuna yang ingin mendapatkan sertifikat tersebut, membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Hal ini dikarenakan variabel yang harus dipenuhi dalam setiap prinsip MSC cukup banyak dan ketat. 4.2.2
Penelusuran Ketentuan Prinsip ASC ASC atau Dewan Pengurus Budidaya Perikanan didirikan oleh WWF dan IDH (Dutch
Sustainable Trade Initiative) pada tahun 2010. WWF dan IDH merupakan organisasi nirlaba independen, serta memiliki pengaruh secara global. Peran utama ASC, yaitu mengatur standar 64
umum untuk budidaya perikanan yang dikembangkan oleh Forum Budidaya Perikanan WWF. Tujuan ASC adalah mentransformasi industri budidaya perikanan ke standarisasi yang lebih tinggi, melalui serangkaian program sertifikasi yang komprehensif (bertumpu pada keberlanjutan lingkungan dan sosial budidaya perikanan). Standar yang dikembangkan dan diimplementasikan berdasarkan panduan dan fitur ISEAL, yang tersertifikasi pada aspek lingkungan dan sosial. Visi ASC menjadikan perikanan sebagai penyedia dan penyalur utama makanan umat manusia, dengan tetap meminimalisir dampak negatifnya terhadap lingkungan. Misi ASC adalah mentransformasi budidaya perikanan terhadap keberlangsungan lingkungan dan tanggung jawab sosial. Misi ini dicapai menggunakan mekanisme pasar yang efektif, serta menciptakan nilai tambah pada rantai makanan. Upaya mencapai visi dan misi ASC dilakukan dengan mempromosikan patokan atau standard menjaga keberlangsungan lingkungan, tanggung jawab sosial, dan penghargaan terhadap budidaya terbaik melalui sertifikasi. Penelusuran ketentuan prinsip ekolabeling dalam ASC, dapat dilihat pada Tabel 4.8. Prinsip
Pertama
Kedua
Materi
Kepatuhan terhadap semua peraturan perundangundangan yang berlaku baik nasional maupun lokal Kesesuaian lokasi budidaya perikanan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem alami penting
Tabel 4.8. Identifikasi Ketentuan Prinsip ASC Kriteria
Indikator
Dokumen kepatuhan terhadap persyaratan hukum nasional dan lokal
Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan nasional dan lokal Transparansi kepatuhan hukum
Pengkajian dampak lingkungan keanekaragaman hayati
Pemilik budidaya perikanan harus ikut serta dalam komisi pengkajian dampak lingkungan keanekaragaman hayati dan menyebarluaskan laporan, serta hasil secara terbuka dengan menggunakan bahasa lokal Penyisihan penentuan lokasi di kawasan lindung Penyisihan penentuan lokasi di ekosistem mangrove dan lahan basah, maupun kawasan kepentingan ekologi, sesuai dengan yang ditetapkan oleh pengkajian dampak lingkungan keanekaragaman hayati/nasional atau dokumen perencanaan lainnya Penyisihan lokasi budidaya pada habitat kritis spesies langka sebagaimana ditetapkan dalam daftar merah (red list) IUCN, daftar yang ditetapkan oleh pemerintah/nasional, dan daftar yang dikeluarkan lembaga lainnya Menjaga habitat kritis untuk spesies langka sekitar batas-batas budidaya dan melaksanakan tindakan perlindungan di wilayah tersebut Pembatas pesisir, minimal ada pembatas permanen atau alam antara lahan budidaya dan lingkungan laut
Konservasi kawasan lindung atau habitat kritis
Pertimbangan habitat kritis untuk spesies langka
Koridor, pembatas, dan penyangga ekologi
65
Pencegahan salinisasi air tawar dan sumber tanah
Ketiga
Pengembangan dan pelaksanaan budidaya dengan mempertimbangkan masyarakat sekitar
Keempat
Pelaksanaan budidaya dengan praktek yang bertanggung jawab
Penyangga riparian, lebar minimal permanen dan vegetasi alami antara lahan budidaya, serta lingkungan alami perairan payau Koridor, lebar minimal permanen, dan vegetasi alami melalui lahan budidaya, untuk pergerakan manusia atau hewan lokal melintas kawasan pertanian Penyisihan pemakaian air garam untuk badan air tawar alami Penyisihan penggunaan air tanah dalam di lahan budidaya Spesisifikasi konduktansi air/konsentrasi klorida dalam penggunaan air tawar di lahan budidaya atau lokasi yang berdekatan Spesisifikasi konduktansi tanah atau konsentrasi klorida pada ekosistem tanah yang berdekatan dan lahan pertanian Pemilih budidaya harus melakukan pengkajian dampak sosial secara partisipatif dan menyebarluaskan laporan, serta hasilnya secara terbuka dengan bahasa lokal
Dampak terhadap masyarakat sekitar, pengguna ekosistem, dan pemilik lahan harus menjadi bahan perhitungan Penyelesaian klaim dari pemangku Pemilik budidaya harus mengembangkan dan menerapkan kepentingan berbagai kebijakan resolusi konflik untuk masyarakat lokal Kawasan konflik atau sengketa dicatat dan disebarluaskan diantara pembudidaya, pemerintah lokal dan masyarakat sekitar Keterbukaan peluang penyediaan Pembudidaya harus mendokumentasikan bukti posisi tenaga kerja pada masyarakat pemasangan iklan lokal Justifikasi untuk tenaga kerja, bahwa setiap pekerja tersedia dan berdasarkan profil dan manfaat Perjanjian kontrak budidaya yang Perjanjian kontrak tertulis adil dan transparan bagi Ketentuan kontrak pembudidaya ikan Transparansi dan keterbukaan negosiasi Tenaga kerja anak-anak dan Minimum usia pekerja 18 tahun pekerja muda Paksaan kewajiban mengikat Hak mendapatkan keuntungan dan pembayaran penuh pekerja Tenaga kerja mendapatkan hak untuk dijaga identitas dan izin kerjanya Kebebasan pekerja untuk melakukan aktivitas di luar jam kerja Diskrimasi di lingkungan kerja Kebijakan anti diskriminasi Jumlah kejadian diskriminasi Persamaan gaji dan peluang Menghormati hak melahirkan dan manfaatnya Kesehatan dan keamanan Persentase tenaga kerja yang dilatih pada praktek, prosedur, lingkungan kerja kebijakan kesehatan dan keamanan, serta ketersediaan peralatan keselamatan; Monitoring kejadian dan kecelekaan kerja serta tindakan perbaik; Perlindungan biaya pengobatan Upah minimum yang adil dan Tingkat upah minimum sesuai dengan beban kerjanya layak Pekerja tetap mendapatkan upah yang adil Hukuman melalui pelanggaran hak-hak pekerja atau upah Adanya penetapan mekanisme penetapan gaji dan tunjangan Perancangan skema kontrak kerja bergulir dalam menolak pekerja lama mendapatkan akses penuh untuk remunerasi yang adil dan merata, serta manfaat lain Kebebasan mengakses organisasi Persentase tenaga kerja mengakses organisasi buruh
66
dan hak bersama untuk posisi tawar Pelecehan dan disiplin praktek di lingkungan kerja, yang menyebabkan kerusakan fisik dan/atau mental sementara maupun permanen Kompensasi lembur dan jam kerja
Kontrak kerja yang adil dan transparan
Keadilan dan keterbukaan sistem pengelolaan pekerja
Kelima
Mengelola kesehatan dan tanggung jawab memperlakukannya
Kondisi tempat tinggal pekerja yang menetap di lahan budidaya Pencegahan penyakit
Kontrol pemangsa
Perlakuan dan pengelolaan
Anggota serikat atau organisasi buruh tidak didiskriminasikan oleh majikan Kewajaran tindakan disipliner; Kejelasan, keadilan, dan keterbukaan kebijakan, serta prosedur disipliner; Larangan pelecehan Maksimum jumlah jam kerja 8 jam/hari atau 48 jam/minggu Hak untuk meninggalkan lahan budidaya setelah selesai pekerjaan sehari-hari Waktu minimum off dari pekerjaan dengan hak, tetapi bukan kewajiban untuk meninggalkan tempat budidaya Transportasi yang disediakan untuk pekerja (jika lokasi budidaya terpencil) Penyediaan kompensasi lembur Lembur adalah sukarela dan tidak lebih dari 12 jam/minggu Hak untuk cuti hamil, termasuk istirahat harian atau pengurangan jam kerja dalam memenuhi kebutuhan perawatan anak Penetapan hubungan kerja atau skema magang palsu Semua pekerja memiliki surat izin sesuai yang berlaku Pekerja sepenuhnya menyadari kondisi kerja mereka dan menegaskan kesepakatan mereka Masa percobaan ditetapkan dalam kontrak Pemilik pembudidaya harus memastikan bahwa hukum perburuhan, hukum jaminan sosial diajukan di kantor, saling menandatangani, serta meratifikasi ketentuan ILO, sepatutnya dihormati dan dipatuhi Pemilik memastikan bahwa semua pekerja memiliki akses ke saluran komunikasi yang sesuai dengan pengelola, yang berkaitan dengan hak buruh dan kondisi kerja Persentase isu yang diangkat oleh pekerja yang dicatat dan ditanggapi oleh pemilik Kejelasan rencana dengan tindakan proses dan kerangka waktu, dikembangkan untuk mengatasi keluhan, serta ditaati Persentase keluhan yang diselesaikan dalam waktu 3 bulan setelah diterima Kondisi tempat tinggal pekerja di budidaya yang layak dan aman Fasilitas yang memadai untuk perempuan Pengembangan dan perawatan kesehatan udang dari pathogen Penyaringan salurang masuk (inlet) untuk meminimalkan masuknya pathogen Rata-rata tahunan tingkat kelangsungan hidup Persen larva ditebar yang bebas penyakit atau Specific Pathogen Resistant (SPR) untuk semua pathogen penting Penyisihan terhadap kontrol predator yang dilindungi Penyisihan penggunaan bahan kimia untuk kontrol predator Dalam kasus kontrol predator mematikan harus menggunakan program pemantauan dasar di tempat untuk mendokumentasikan frekuensi kunjungan berbagai spesies, serta jumlah hewan berinteraksi dengan budidaya Penyisihan penggunaan antibiotik dan pakan obat pada produk
67
penyakit
Keenam
Mengelola indukan asli, seleksi stok, dan dampak pengelolaan stok
Keberadaan spesies Udang eksotis dan memperkenalkannya
Asal larva atau induk
Ketujuh
Penggunaan sumber daya yang ramah lingkungan dan perilaku bertanggung jawab
Udang transgenic Ketelusuran bahan baku pakan
Asal air dan darat bahan pakan
Penggunaan rekayasa genetika bahan dalam pakan
Efisiensi penggunaan ikan liar untuk tepung ikan atau minyak Bahan kontaminasi limbah
ASC–berlabel Penyisihan penggunaan antibiotik dikategorikan penting oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), bahkan jika diizinkan oleh otoritas nasional yang relevan Informasi penyimpanan dan penggunaan bahan kimia; Penggunaan yang tepat dari produk kimia oleh pekerja budidaya Penyisihan untuk pemulihan air dengan pestisida yang dilarang/atau dibatasi oleh konvensi atau digolongkan sebagai, "sangat berbahaya" (kelas Ia dan Ib) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Penyisihan pembuangan bahan kimia berbahaya tanpa pemurnian sebelumnya Penggunaan strain bakteri probiotik tidak termasuk penggunaan produk fermentasi untuk benih Penggunaan spesies Udang non-lokal; Tindakan pencegahan untuk mencegah pelarian pada saat panen dan selama pembesaran; Pelarian dan tindakan untuk mencegah terulangnya Induk berstatus bebas penyakit dan sumber memenuhi pedoman impor regional, nasional maupun internasional Persen larva dari pembenihan terdekat Asal induk liar tertangkap Penyisihan PL liar tertangkap, selain aliran pasang surut alami ke tambak Penyisihan udang budidaya transgenic Bukti ketertelusuran dasar bahan pakan, termasuk sumber, jenis, negara asal, dan metode panen, ditunjukkan oleh produsen pakan Demonstrasi rantai custody dan traceability untuk produk perikanan terkait umpan melalui anggota ISEAL atau ISO 65 skema sertifikasi, yang menggabungkan dengan CCRF Jangka waktu untuk 100% (neraca massa) tepung ikan dan minyak ikan yang digunakan dalam umpan, yang datang dari perikanan bersertifikasi ISEAL Persentase bahan non-laut dari sumber disertifikasi oleh skema sertifikasi anggota ISEAL, yang membahas kelestarian lingkungan dan sosial Penyisihan pakan yang mengandung bahan-bahan yang secara genetik dimodifikasi Daftar bahan pakan yang tidak berisi genetik dimodifikasi Ketelusuran non-genetik dimodifikasi oleh produser pakan dan pembudidaya Pengambilan sampel secara acak oleh auditor yang mengecek negtif kandungan PCR Rasio keseteraan pakan ikan Economic Feed Conversation Ratio Protein Retention Efficiency Beban limbah nitrogen per ton udang yang dihasilkan selama periode 12 bulan Beban limbah fosfor per ton udang yang dihasilkan selama periode 12 bulan Tanggung jawab penanganan, pembuangan lumpur, sedimen dari
68
Efisiensi energi Penanganan dan pembuangan bahan berbahaya serta limbah
kolam dan kanal Pengolahan air limbah dari kolam aerasi secara permanen Persentase perubahan di urnal oksigen terlarut (DO) relatif terhadap DO disaturasi yang diterima badan air, untuk salinitas tertentu air dan suhu Konsumsi energi oleh sumber daya selama 12 bulan Kebutuhan energi kumulatif tahunan selama 12 bulan Penyimpanan dan penanganan yang aman terhadap bahan kimia yang berbahaya Penanganan yang bertanggung jawab dan pembuangan limbah berdasarkan penilaian risiko, serta kemungkinan daur ulang
Berdasarkan Tabel 4.8, diketahui bahwa prinsip kesesuaian lokasi budidaya dengan konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem alami penting, sesuai dengan kewenangan yang berlaku pada konvensi internasional terkait dengan konservasi. Konvensi internasional tersebut, yaitu Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Konvensi Ramsar tentang Lahan Basah. Prinsip ASC yang mengatur pengembangan dan pelaksanaan budidaya dengan mempertimbangkan masyarakat sekitar, dimaksudkan untuk meminimalkan ketidakadilan dan ketidakpuasan yang ditimbulkan masyarakat akibat aktivitas budidaya udang. Prinsip ini sesuai dengan standar keberlanjutan sosial ASC yang mengakui hukum internasional, seperti: (1) Deklarasi PPB tentang HAM; (2) Deklarasi PPB tentang Hak Masyarakat Adat; (3) Millennium Development Goals (4) berbagai Konvensi Organisasi Buruh Dunia (ILO). Praktek budidaya yang bertanggung jawab, mempersyaratkan tenaga kerja harus mengacu prinsip dasar ILO dan ketentuan lain yang ditetapkan oleh PBB (terkait dengan hak dasar individu). 4.3.
Perbandingan Prinsip MSC dan ASC terhadap Kebijakan Perdagangan Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat Penelitian Alfonso (2001) tentang the impact of International trade on economic growth,
menjelaskan bahwa perdagangan internasional merupakan salah satu variabel penting terhadap pertumbuhan ekonomi di suatu perekonomian. Kerja sama perdagangan antara Indonesia dengan Jepang, Uni Eropa, serta Amerika Serikat, merupakan kebijakan pemerintah dalam mengelola potensi pemasaran Udang dan Tuna sebagai penambah devisa negara. Aplikasi kebijakan tersebut, telah memberikan pengaruh positif terhadap hubungan kerja sama perdagangan internasional pada sektor perikanan. Aliran modal yang masuk dengan adanya 69
kebijakan perdagangan, merupakan keberhasilan pemerintah menata atmosfer usaha produktif bagi pelaku usaha perikanan. Kajian kebijakan produk perikanan negara Jepang, Uni Eropa, dan Amerika, terhadap prinsip ekolabel dimaksudkan untuk mengetahui apakah variabel yang dibangun dalam MSC dan ASC sudah sudah memenuhi syarat ekspor ketiga negara tersebut (demikian sebaliknya). Hasil analisis ini dapat digunakan untuk membangun pengelolaan perikanan Udang dan Tuna nasional sesuai dengan standard internasional, meskipun tidak termasuk sebagai kebijakan perdagangan negara buyer. 4.3.1.
Perbandingan Prinsip MSC terhadap Kebijakan Perdagangan, Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Ketentuan variabel pendukung prinsip MSC, merupakan salah satu dasar menilai
pengaturan strategi pengelolaan perikanan pada skala bisnis global perikanan tangkap. Pengelolaan perikanan menjadi efektif, jika ketentuan tersebut dilaksanakan secara benar, tegas, serta terkoordinir dengan baik. Pembangunan perikanan yang mengacu standar global, memberikan gambaran posisi Indonesia untuk mengikuti arah pengelolaan perikanan berlandaskan kaedah internasional. Implementasi pengelolaan perikanan sesuai kaedah internasional merupakan bentuk kekuatan untuk menegaskan, bahwa Indonesia adalah negara maju, sejahtera, dan berkelanjutan, dalam menempatkan pengelolaan potensi KP. Perbandingan prinsip MSC terhadap kebijakan ekspor Jepang, Uni Eropa, dan Amerika, dapat dilihat pada Tabel 4.9.
70
Tabel 4.9. Perbandingan Prinsip MSC terhadap Kebijakan Perdagangan Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat Materi
Keberlanjutan stok ikan
Dampak lingkungan perikanan
Efektivitas pengelolaan
PRINSIP MSC Variabel
Status ketersediaan terkait dengan produktivitas Ketersediaan ikan yang terkait dengan ekosistem Upaya pemulihan kembali ketersediaan ikan Strategi produksi Ketentuan pengendalian produksi (Harvest Control Rules/HCRs) dan faktor pendukungnya Informasi/monitoring Penilaian dari ketersediaan ikan Outcome spesies utama Strategi pengelolaan spesies utama Informasi spesies utama Outcome spesies sampingan/sekunder Strategi pengelolaan spesies sampingan/sekunder Informasi spesies sampingan/sekunder Outcome spesies ETP ETP (Endangered, Threatened or Protected)/terancam, punah atau dilindungi) Strategi pengelolaan spesies ETP Informasi spesies Outcome habitat Strategi pengelolaan habitat Informasi habitat Outcome ekosistem Strategi pengelolaan ekosistem Informasi ekosistem Kerangka hukum dan/atau kebiasaan Konsultasi, aturan, dan tanggung jawab Tujuan jangka panjang Tujuan khusus perikanan Proses pengambilan keputusan Kepatuhan dan penegakan Monitoring dan evaluasi kinerja manajemen
KEBIJAKAN PERDAGANGAN PRODUK PERIKANAN Jepang Uni Eropa USA V
V
-
V
V
-
V V
V V
V
V
-
V
V V V V
V V V -
V V V V
-
-
-
-
-
-
V
-
-
V V V V V V -
V V V V -
V -
Berdasarkan Tabel 4.9, diketahui bahwa kebijakan perdagangan untuk ekspor produk perikanan ke negara Jepang, Uni Eropa, dan Amerika, sudah termasuk ke dalam materi yang dikembangkan oleh MSC. Prinsip yang belum dikembangkan oleh kebijakan perdagangan ketiga negara tersebut, adalah materi mengenai efektivitas pengelolaan. Efektivitas pengelolaan,
71
merupakan keterlibatan perusahaan mematuhi peraturan nasional dan berpartisipasi memanfaatkan sumber daya Tuna yang efektif. Materi efektivitas pengelolaan menjadi penting, untuk menjaga perusahaan dapat mengelola sumber daya Tuna secara berkelanjutan (bukan profit semata). Pelaku usaha merupakan stake holder yang berperan langsung mengetahui proses produk ekspor. Pemanfaatan menggunakan alat ramah lingkungan merupakan faktor krusial menjaga kelestarian habitat dan ekosistem Tuna. Kondisi ini memerlukan kontrol dan pengawasan pemerintah dalam penegakan hukum nasional pada prakteknya. Variabel yang belum diatur kebijakan perdagangan Jepang, Uni Eropa, dan Amerika, lainnya yaitu terkait dengan sumber daya ikan selain Tuna. Sumber daya ikan ini merupakan produk sampingan yang dijadikan bahan baku, untuk menambah keuntungan perusahaan. Sumber daya sampingan dan yang dilindungi perlu datur, karena kapal nelayan tidak semua mengkhususkan menangkap Tuna saja. Hal tersebut menjaga agar produk sampingan tetap dimanfaatkan secara ramah lingkungan dan tetap lestari keberadaannya. Mengacu kepada analisa perbandingan di atas, diketahui bahwa untuk memenuhi syarat ekspor tidaklah serumit prinsip pada MSC. Hal ini dikarenakan pemerintah Indonesia sudah memenuhi standar ekspor (kebijakan perdagangan Jepang, Uni Eropa, dan Amerika) melalui regulasi nasionalnya. Pemenuhan syarat ekspor ini adalah mutlak dan jika tidak dipenuhi, praktek penjualan komoditas perikanan tidak dapat dilakukan. Prinsip MSC, jika diterapkan oleh pemerintah dapat menyebabkan produk perikanan Tuna Indonesia lebih diperhitungkan oleh dunia internasional. 4.3.2.
Perbandingan Prinsip ASC terhadap Kebijakan Perdagangan, Jepang, Uni Eropa, dan Amerika ASC merupakan organisasi pihak ketiga yang memberikan sertifikasi terhadap sektor
perikanan budidaya. Jasa sertifikasi yang disediakan untuk operasi budidaya perikanan, sesuai dengan penetapan standar melalui berbagai diskusi. Kelompok spesies yang dipilih, didasarkan atas potensi dampak terhadap lingkungan dan kehidupan sosial, sistem pemasaran hingga pasar internasional. Kelompok spesies tersebut meliputi: Abalone, Bivalvia (Clams, Oysters, 72
Mussels, dan Scallops), Cobia, Freshwater Trout, Patin, Salmon, Seriola, Udang, dan Ikan Mas. ASC mengidentifikasi dan menghargai praktek terbaik program sertifikasi budidaya perikanan dan pengemasan seafood, melalui kolaborasi antar pengelola inti budidaya perikanan, pengelola makanan hasil laut (seafood), perusahaan dan retail penjualan makanan, peneliti, serta kelompok konservasi. Sertifikasi berupa logo penjualan bertujuan mempromosikan aspek keberlanjutan lingkungan dan sosial kepada pasar, serta menyampaikan pesan kepada pengguna produk. Hal ini dimaksudkan, untuk menyampaikan integritas produk dan penghargaan terhadap pembudidaya yang telah melalui sertifikasi ASC (MSC, 2016). Perbandingan prinsip ASC terhadap kebijakan ekspor Jepang, Uni Eropa, dan Amerika, dapat dilihat pada Tabel 4.10. Tabel 4.10. Perbandingan Prinsip ASC terhadap Kebijakan Perdagangan Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat Materi
Kepatuhan terhadap semua peraturan perundangundangan yang berlaku baik nasional maupun lokal Kesesuaian lokasi budidaya perikanan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem alami penting
Pengembangan dan pelaksanaan budidaya dengan mempertimbangkan masyarakat sekitar
Pelaksanaan budidaya dengan praktek yang
PRINSIP ASC
Kriteria
Dokumen kepatuhan terhadap persyaratan hukum nasional dan lokal
Pengkajian dampak lingkungan keanekaragaman hayati Konservasi kawasan lindung atau habitat kritis Pertimbangan habitat kritis untuk spesies langka Koridor, pembatas, dan penyangga ekologi Pencegahan salinisasi air tawar dan sumber tanah Dampak terhadap masyarakat sekitar, pengguna ekosistem, dan pemilik lahan harus menjadi bahan perhitungan Penyelesaian klaim dari pemangku kepetingan Keterbukaan peluang penyediaan tenaga kerja pada masyarakat lokal Perjanjian kontrak budidaya yang adil dan transparan bagi kontrak pembudidaya ikan Tenaga kerja anak-anak dan pekerja muda Paksaan kewajiban mengikat pekerja Diskrimasi di lingkungan kerja
KEBIJAKAN PERDAGANGAN PRODUK PERIKANAN Jepang Uni Eropa USA
V
V
-
V
V
-
-
V
-
-
V
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
73
bertanggung jawab
Mengelola kesehatan dan tanggung jawab memperlakukannya Mengelola indukan asli, seleksi stok, dan dampak pengelolaan stok Penggunaan sumber daya yang ramah lingkungan dan perilaku bertanggung jawab
Kesehatan dan keamanan lingkungan kerja Upah minimum yang adil dan layak Kebebasan mengakses organisasi dan hak bersama untuk posisi tawar Pelecehan dan disiplin praktek di lingkungan kerja, yang menyebabkan kerusakan fisik dan/atau mental sementara maupun permanen Kompensasi lembur dan jam kerja Kontrak kerja yang adil dan transparan Keadilan dan keterbukaan sistem pengelolaan pekerja Kondisi tempat tinggal pekerja yang menetap di lahan budidaya Pencegahan penyakit Kontrol pemangsa Perlakuan dan pengelolaan penyakit Keberadaan spesies Udang eksotis dan memperkenalkannya Asal larva atau induk Udang transgenic Ketelusuran bahan baku pakan Asal air dan darat bahan pakan Penggunaan rekayasa genetika bahan dalam pakan Efisiensi penggunaan ikan liar untuk tepung ikan atau minyak Bahan kontaminasi limbah Efisiensi energi Penanganan dan pembuangan bahan berbahaya serta limbah
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V V
V V
-
V
V
-
-
-
-
V V V
V V -
V V
V
V
V
V
V
-
V -
V -
V -
V
V
V
Tabel 4.10, menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan Jepang, Uni Eropa, dan Amerika, merupakan bagian materi yang telah ditetapkan oleh ASC. Materi ASC yang tidak diatur oleh ketiga negara tersebut adalah: (1) pengembangan dan pelaksanaan budidaya dengan mempertimbangkan masyarakat sekitar, (2) pelaksanaan budidaya dengan praktek yang bertanggung jawab. Kedua materi ini menekankan pada aspek sosial (lingkungan masyarakat serta kesejahteraan tenaga kerja) dalam lingkungan budidaya. Kebijakan perdagangan Jepang, Uni Eropa, serta Amerika, yang merupakan syarat ekspor belum mengatur (hanya mementingkan produk akhirnya saja). Kehadiran ekolabel ASC memberikan pemahaman, bahwa aspek sosial terhadap proses akhir produk budidaya sangat penting (terlepas adanya kepentingan tertentu dalam pelaksanaannya). Pengelolaan sektor 74
perikanan (khususnya budidaya) yang ideal, harus menjamin pihak yang terlibat maupun masyarakat sekitar lahan tambak mendapatkan manfaat sesuai dengan porsinya. Kepentingan untuk mengoptimalkan produksi Udang Nasional, harus dibarengi dengan kesejahteraan dan kepentingan tenaga kerja maupun masyarakat pada wilayah usaha budidaya. Hal tersebut dimaksudkan, menjaga pengelolaan budidaya tidak hanya berorientasi kepada hasil akhir produknya saja. Prinsip ASC yang tercantum dalam variabelnya, dapat dijadikan rujukan pemerintah dalam mengelola usaha budidaya Udang yang baik dari hulu ke hilir. Implementasi pelaksanaan prinsip ASC, harus mendapatkan pengawasan ketat pemerintah. Peran pemerintah dibutuhkan dalam membantu pengusaha budidaya Udang mendapat sertifikasi ekolabel ASC. Variabel yang telah dikembangkan dalam prinsip ASC selain meningkatkan produksi, dapat juga sebagai sarana menambah daya saing. Hal ini mengingat konsumen masyarakat di Jepang, Uni Eropa, maupun Amerika, sangat peduli dengan produk Udang yang dihasilkan melalu proses yang ramah lingkungan dan memperhatikan aspek sosial. Ekolabel ASC meskipun bukan syarat yang utama dalam dalam kebijakan ekspor, tetapi materinya relevan diadopsi membangun ekolabel perikanan budidaya nasional berstandar internasional.
4.4.
Identifikasi Regulasi Nasional terhadap Prinsip MSC
4.4.1.
Prinsip Pertama MSC Prinsip pertama MSC memiliki variabel: (1) status ketersediaan ikan terkait dengan
produktivitas; (2) ketersediaan ikan terkait ekosistem; (3) pemulihan ketersediaan/stok; (4) strategi produksi; (5) ketentuan pengendalian produksi; (6) informasi dan pengawasan; (7) status penilaian ketersediaan ikan. Identifikasi regulasi nasional terhadap variabel prinsip pertama MSC adalah sebagai berikut: 1. Status ketersediaan ikan terkait dengan produktivitas Status ketersediaan yang menjadi variabel persyaratan ekolabeling MSC, menitikberatkan pada kontribusi perusahaan eksportir menyediakan data yang terkait dengan produktivitas. Data ini mengacu kepada penurunan maupun kenaikan hasil yang diperoleh perusahaan terhadap stok ikan. Pemanfaatan tersebut wajib berbasiskan keberlanjutan dalam 75
prakteknya. Identifikasi regulasi nasional yang sesuai dengan status ketersediaan ini, dapat dilihat pada Tabel 4.11. Tabel 4.11. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Status Ketersediaan Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/Permen-KP/2015, tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Tahun 2015-2019 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.26/Permen-KP/2013, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 107/Kepmen-KP/2015, tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 54/Kepmen-KP/2014, tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 718
Dasar Pembentukan
Relevansi
UU ini dibentuk sebagai rujukan pengaturan ketersediaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
UU ini dijadikan rujukan untuk mengatur ketersediaan sumber daya ikan dengan menggunakan prinsip kelestarian
Permen ini dibentuk dalam rangka menyusun program pembangunan ketersediaan sumber daya ikan nasional serta kelautan dan perikanan tahun 2015-2019
Permen ini dijadikan landasan mengetahui status pengelolaan terhadap ketersediaan stok perikanan untuk tahun 2015-2019
Permen ini dibentuk sebagai upaya memanfaatkan ketersediaan sumber daya ikan di WPP-NRI secara optimal dan berkelanjutan
Permen ini dijadikan petunjuk mengelola usaha perikanan tangkap dengan tetap mempertimbangkan ketersediaan sumber daya ikan
Kepmen ini dibentuk untuk menjamin kualitas, keanekaragaman, dan ketersediaan sumber daya ikan untuk Tuna, Cakalang, dan Tongkol Kepmen ini dibentuk dalam rangka memanfaatkan ketersediaan sumber daya ikan di wilayah perairan Indonesia untuk kemakmuran rakyat
Kepmen ini dijadikan arahan memahami potensi serta volume produksi Tuna, Cakalang, dan Tongkol Kepmen ini dijadikan dasar mengetahui kondisi stok ikan yang dapat menghasilkan tangkapan lestari
Tabel 4.11, menjelaskan bahwa pemerintah sudah memberikan pedoman kenijakan pendukung ketersediaan stok ikan. Regulasi yang telah ada merupakan pedoman pengaturan dan pengelolaan sumber daya ikan secara lestari. Kebijakan ini dapat
76
dipedomani perusahaan untuk mengelola manajemen produksinya tetap berjalan secara kontinyu. 2. Ketersediaan ikan terkait ekosistem Variabel ketersediaan ikan terkait ekosistem, menekankan pada penurunan dan kebutuhan yang memberikan pengaruh terhadap ekosistem. Ekosistem merupakan tatanan kesatuan antara lingkungan yang saling mempengaruhi. Peraturan nasional yang mengakomodir ketersediaan ikan terkait ekosistem, dapat dilihat pada Tabel 4.12. Tabel 4.12. Peraturan Nasional tentang Ketersediaan Ikan Terkait Ekosistem Dasar Pembentukan Relevansi Penelusuran Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
UU ini dibentuk sebagai pedoman UU ini dijadikan rujukan mengatur pengaturan ekosistem perikanan ekosistem dengan tetap di wilayah Republik Indonesia memelihara dan meningkatkan kualitas nilai, ketersediaan, serta keanekaragaman sumber daya ikan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2007, tentang Konservasi Sumber Daya Ikan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor 107/Kepmen-KP/2015, tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol
PP ini dibentuk untuk memanfaatkan sumber daya ikan termasuk ekosistemnya
UU ini dijadikan arahan mengatur secara menyeluruh mengenai perlindungan ekosistem dalam menjaga ketersediaan sumber daya ikan PP dijadikan landasan menjaga ekosistem sumber daya ikan untuk menjamin ketersediaannya
Kepmen ini dibentuk dalam rangka mengelola kawasan konservasi untuk memulihkan ketersediaan sumber daya ikan
Kepmen ini dijadikan dasar mengelola ekosistem melalui pemanfaatan hasil tangkapan Tuna, Cakalang, dan Tongkol
UU ini dibentuk sebagai petunjuk menjaga ekosistem agar tidak terganggu dan terpelihara
Berdasarkan Tabel 4.12, diketahui bahwa peraturan nasional yang mendukung ketersediaan stok materinya terkait dengan pengaturan pemanfaatan sumber daya ikan termasuk ekosistemnya. Pengelolaan ekosistem dalam memulihan ketersediaan sumber daya ikan menjadi perhatian pemerintah, karena menjaga lingkungan alam tidak rusak. Melindungi ekosistem dalam menjaga ketersediaan sumber daya ikan, merupakan paket menjaga keberlanjutan produksi sumber daya ikan.
77
3. Pemulihan ketersediaan/stok Fokus varabel ini adalah pemulihan ketersediaan ikan dilihat berdasarkan waktu dan pembuatan program yang terencana. Program yang sudah dibuat diharapkan dievaluasi secara periodik, untuk memantau perkembangan hasil yang diharapkan. Identifikasi hukum yang mendukung pemulihan stok, dapat dilihat pada Tabel 4.13. Tabel 4.13. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pemulihan Ketersediaan/Stok Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2007, tentang Konservasi Sumber Daya Ikan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/Permen-KP/2015, tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Tahun 2015-2019 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor 107/Kepmen-KP/2015, tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol
Dasar Pembentukan
Relevansi
UU ini dibentuk sebagai pedoman pengaturan menjaga agar sumber daya ikan terjaga ketersediaannya di wilayah Republik Indonesia
UU ini dijadikan landasan mengatur pemulihan ketersediaan sumber daya ikan tetap lestari
PP ini dibentuk sebagai langkah memulihkan ketersediaan stok ikan
PP dijadikan petunjuk melindungi sumber daya ikan dengan melakukan konservasi
Permen ini dibentuk sebagai rujukan mengelola konservasi dalam menjaga pemulihan ketersediaan sumber daya ikan
Permen ini dijadikan dasar mengelola kawasan konservasi laut nasional
Kepmen ini dibentuk sebagai dasar memastikan terlaksananya praktek pengelolaan dan konservasi Tuna, Cakalang, dan Tongkol
Kepmen ini dijadikan arahan mengelola konervasi untuk menjaga ketersediaan Tuna, Cakalang, dan Tongkol
Berdasarkan Tabel 4.13, diketahui bahwa peraturan nasional yang terkait dengan pemulihan ketersediaan/stok materinya mengatur pengelolaan dan upaya konservasi dalam rangka menjaga ketersediaan stok. Tujuan pemerintah melakukan pengaturan teknis dan tata cara mengelolanya, adalah melindungi ketersediaan ikan secara nasional agar tetap terjaga. Materi yang diatur oleh kebijakan nasional terkait dengan ketersediaan stok, pada intinya menjaga agar sumber daya ikan di wilayah perairan Republik Indonesia dapat lestari dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
78
4. Strategi produksi Parameter yang difokuskan dalam strategi produksi adalah perencanaan, evaluasi, monitoring, review, dan pengukuran alternatif strategi yang dijalankan. Strategi ini sangat penting, agar perusahaan mampu menjaga keberlansungan usahanya. Penelusuran terhadap produk hukum nasional yang terkait dengan strategi produksi, dapat dilihat pada Tabel 4. 14. Tabel 4.14. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Strategi Produksi Peraturan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/Permen-KP/2015, tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.26/Permen-KP/2013, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 107/Kepmen-KP/2015, tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol
Dasar Pembentukan
Relevansi
Permen ini dibentuk sebagai pedoman untuk menentukan langkah yang ditetapkan dalam memanfaatkan perikanan
Permen ini dijadikan arahan dalam membuat strategi produksi untuk dimanfaatkan secara optimal
Permen ini dibentuk sebagai rujukan memanfaatkan sumber daya perikanan tangkap
Permen ini dijadikan petunjuk dalam membuat strategi produksi dalam mengelola usaha perikanan tangkap di perairan Republik Indonesia
Kepmen ini dibentuk sebagai landasan dalam mengelola penangkapan Tuna, Cakalang, dan Tongkol
Kepmen ini dijadikan dasar membuat strategi pemanfaatan Tuna, Cakalang, dan Tongkol
Tabel 4.14, menunjukkan bahwa peraturan nasional yang terkait dengan strategi produksi masih bersifat normatif dan belum dapat secara detail memberikan informasi dalam pembuatan strategi. Dukungan regulasi nasional terhadap variabel ini, sifatnya masih sangat normatif dan belum spesifik. Hal ini dikarenakan strategi produksi yang dibuat oleh perusahaan, sangat tergantung oleh visi misi perusahaan itu sendiri (tidak terkait secara langsung dengan pemerintah) dalam menyikapi kelangsungan usahanya. Pemerintah tidak dapat mencampuri pengelolaan manajemen perusahaan dalam menjalan operasional bisnisnya. 79
5. Ketentuan pengendalian produksi Indikator ini menekankan kepada pembuatan rancangan dan aplikasi ketentuan pengendalian produksi. Pengendalian produksi berkaitan dengan penanganan terhadap ketidakpastian ketersediaan produk. Produksi yang dapat dikendalikan bisa memberikan kepastian usaha perusahaan, dalam menjaga keuntungan ekonomi secara periodik. Identifikasi hukum yang mendukung ketentuan pengendalian produksi, dapat dilihat pada Tabel 4.15. Tabel 4.15. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pengendalian Produksi Peraturan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 4/Permen-KP/2015, tentang Larangan Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 714 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.26/Permen-KP/2013, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 54/Kepmen-KP/2014, tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 718
Dasar Pembentukan
Relevansi
Permen ini dibentuk sebagai rujukan mengetahui daerah pelarangan penangkapan ikan
Permen ini dijadikan petunjuk membuat strategi produksi dalam memanfaatkan hasil tangkapan di wilayah Republik Indonesia
Permen ini dibentuk sebagai dasar memanfaatkan sumber daya perikanan tangkap
Permen ini dijadikan arahan dalam membuat strategi produksi mengelola usaha perikanan tangkap di perairan Republik Indonesia
Kepmen ini dibentuk untuk mengetahui aksi strategis pengelolaan perikanan di WPPNRI 718
Kepmen ini relevan sebagai pedoman membuat strategi produksi usaha perikanan tangkap di WPP-NRI 718
Berdasarkan Tabel 4.15, diketahui bahwa ketentuan regulasi nasional yang dibentuk lebih memfokuskan pemanfaatan dan pengelolaan perikanan di wilayah perairan Republik Indonesia. Peraturan yang teridentifikasi, secara umum belum secara tegas mampu dijadikan patokan bagi perusahaan dalam mengendalikan produksi.
80
6. Informasi dan pengawasan Indikator Informasi dan pengawasan menekankan kepada kemudahan mendapatkan akses data yang komprehensif, terkait dengan penetapan produksi yang dibutuhkan oleh perusahaan. Informasi dan pengawasan sangat diperlukan oleh perusahaan sebagai sarana mengontrol produksinya. Penelusuran peraturan nasional tentang informasi dan pengawasan, dapat dilihat pada Tabel 4.16.
81
Tabel 4.16. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Informasi dan Pengawasan Peraturan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 15/Permen-KP/2016, tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 48/Permen-KP/2014, tentang Logbook Penangkapan Ikan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.12/Men/2012, tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.04/MEN/2006, tentang Unit Pelaksana Teknis Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 107/Kepmen-KP/2015, tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.50/Men/2012, tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing Tahun 20122016 Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep 294/DJ-PSDK/2010, tentang Prosedur Operasional Standar (POS) Pengawasan Sumberdaya Perikanan
Dasar Pembentukan
Permen ini dibentuk dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan yang bertanggung jawab
Relevansi
Permen ini dijadikan rujukan mencegah dan memberantas IUU Fishing di wilayah WPPNRI
Permen ini dibentuk sebagai Permen ini dijadikan dasar untuk upaya memenuhi kebutuhan data informasi dan pengawasan dan informasi dalam pengelolaan produksi penangkapan sumber daya ikan Permen ini dibentuk sebagai rujukan dalam memanfaatkan sediaan ikan berdasarkan standar internasional
Permen ini dijadikan petunjuk memenuhi informasi mengenai pengelolaan perikanan di laut lepas dalam koridor internasional
Permen ini dibentuk dalam rangka melaksanakan pengawasan sumber daya perikanan
Permen ini dijadikan landasan mengawasi teknis pengelolaan sumber daya perikanan
Kepmen ini dibentuk untuk memanfaatkan sumber daya ikan untuk Tuna, Cakalang, dan Tongkol
Kepmen ini dijadikan arahan dalam memberikan informasi pengelolaan sumber daya ikan untuk Tuna, Cakalang, dan Tongkol
Kepmen ini dibentuk untuk menertibkan pengelolaan sumber daya ikan di wilayah perairan Republik indonesia
Kepmen ini dijadikan pedoman mengawasi pemanfaatan ikan di wilayah perairan Republik Indonesia
Kep Dirjen ini dijadikan landasan teknis dalam melakukan pengawasan penangkapan ikan
Kep Dirjen ini dijadikan pedoman pelaksanaan sebagai upaya menjaga ketersediaan ikan
Tabel 4.16, menunjukkan bahwa peraturan yang telah disahkan merupakan keseriusan pemerintah memberikan informasi dan tindakan pengawasan. Regulasinya yang sudah ditetapkan digunakan sebagai pedoman menjaga ketersediaan sumber daya ikan secara 82
berkelanjutan. Peraturan nasional yang ditetapkan, memberikan koridor pengelolaan perikanan dan dapat dijadikan landasan bagi perusahaan menjaga kestabilan produksinya. 7. Status penilaian ketersediaan ikan Status penilaian ketersediaan ikan terfokus pada metode pendekatan dan perhitungan adanya ketidakpastian. Status penilaian ketersediaan stok ikan, dapat dijadikan evaluasi dan review perusahaan dalam memenuhi target produksi. Identifikasi regulasi nasional yang mendukung status penilaian ketersediaan ikan, dapat dilihat pada Tabel 4.17. Tabel 4.17. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Status Penilaian Ketersediaan Ikan Peraturan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.45/Men/2011, tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Dasar Pembentukan
Permen ini dibentuk untuk menetapkan potensi sumber daya ikaan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan di WPP-NRI
Relevansi
Permen ini dijadikan arahan dalam menilai potensi ketersediaan ikan di WPP-NRI
Berdasarkan Tabel 4.17, diketahui bahwa peraturan nasional yang sudah dibentuk belum memberikan pedoman baku perusahaan untuk menilai ketersediaan ikan. Hal ini dikarenakan,
penilaian
ketersediaan
ikan
berpedoman
kepada
praktek
kinerja
pengelolaannya. Ketersediaan ikan dapat dinilai, jika peraturan yang telah dibuat dapat dilaksanakan dengan baik dalam implementasinya. 4.4.2.
Prinsip Kedua MSC Prinsip kedua MSC memiliki variabel: (1) hasil spesies utama; (2) strategi pengelolaan
spesies utama; (3) informasi spesies utama; (4) hasil spesies sampingan; (5) strategi pengelolaan spesies sampingan; (6) informasi spesies sampingan; (7) produksi spesies yang terancam, punah atau dilindungi; (8) strategi pengelolaan spesies yang terancam, punah atau dilindungi; (9) informasi spesies yang terancam, punah atau dilindungi; (10) habitat; (11) strategi pengelolaan habitat; (12) informasi habitat; (13) ekosistem; (14) strategi pengelolaan ekosistem; (15) informasi ekosistem. Identifikasi regulasi nasional terhadap variabel prinsip kedua MSC adalah sebagai berikut:
83
1. Hasil spesies utama Hasil spesies utama yang menjadi salah satu variabel dalam memperoleh sertifikat ekolabel MSC, memberikan petunjuk mengenai kesesuaian ketersediaan stok spesies utama sesuai standar perusahaan. Kesesuaian standar, merupakan bentuk keinginan perusahaan dalam memenuhi permintaan pasar dan pengambilan manfaat ekonomi. Penelusuran hukum nasional terkait dengan hasil spesies utama, dapat dilihat pada Tabel 4.18. Tabel 4.18. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Hasil Spesies Utama Peraturan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 107/Kepmen-KP/2015, tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol
Dasar Pembentukan
Kepmen ini dibentuk sebagai rujukan mengelola penangkapan Tuna, Cakalang, dan Tongkol
Relevansi
Kepmen ini dijadikan petunjuk pemanfaatan Tuna, Cakalang, dan Tongkol
Tabel 4.18, menggambarkan bahwa peraturan nasional yang sudah ada dapat dijadikan pedoman pelaku usaha untuk mengelola hasil spesies utama. Pemenuhan standar sesuai kriteria perusahaan secara normatif, sudah jelas dalam peraturan nasional yang teridentifikasi. Pemerintah wajib untuk mengawal aplikasinya, karena kebutuhan terhadap spesies utama oleh perusahaan merupakan bentuk pendapatan negara. 2. Strategi pengelolaan spesies utama Strategi ini mengharuskan perusahaan membuat program manajemen yang implementatif dalam mengelola ikan yang menjadi spesies utama. Program ini pelaksanaannya, harus dapat diukur dan dilakukan review secara berkala. Hal ini dimaksudkan, agar program manajemen yang sudah dibuat dapat diterapkan dalam mencapai tujuan perusahaan. Penelusuran hukum nasional terkait strategi pengelolaan spesies utama, dapat dilihat pada Tabel 4.19.
84
Tabel 4.19. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Strategi Pengelolaan Spesies Utama Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai rujukan untuk lokasi pengelolaan perikanan
Relevansi
UU ini dijadikan dasar menetapkan strategi pengelolaan produksi sumber daya ikan
Berdasarkan Tabel 4.19, diketahui bahwa peraturan nasional yang sudah ada telah cukup mengakomodir kebutuhan perusahaan dalam membuat strategi pengelolaan spesies utama. Peraturan yang sudah ada meskipun telah mengakomodir, tetapi masih perlu untuk ditambah dan diperinci ketentuannya. Pengawalan terhadap implementasinya sangat diperlukan, karena pemanfaatannya rentan terhadap eksploitasi yang kurang bertanggung jawab. 3. Informasi spesies utama Informasi yang dijadikan variabel dalam syarat ketentuan ekolabeling MSC ini, bertujuan agar perusahaan dapat menilai dampak pada spesies utama yang dibutuhkan. Informasi spesies utama dibutuhkan perusahaan sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan program yang dijadikan strategi dalam mengelola produksi. Identifikasi peraturan nasional yang mendukung informasi spesies utama, dapat dilihat pada Tabel 4.20. Tabel 4.20. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Informasi Spesies Utama Peraturan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.45/Men/2011, tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 107/Kepmen-KP/2015, tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol
Dasar Pembentukan
Relevansi
Permen ini dibentuk untuk menetapkan potensi sumber daya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan di WPP-NRI
Permen ini dijadikan dasar menilai potensi ketersediaan ikan di WPP-NRI
Kepmen ini dibentuk sebagai arahan dalam mengelola penangkapan Tuna, Cakalang, dan Tongkol
Kepmen ini dijadikan pedoman memanfaatkan Tuna, Cakalang, dan Tongkol
85
Tabel 4.20, menunjukkan bahwa regulasi nasional yang diterbitkan hanya mengatur t potensi dan pemanfaatan Tuna. Kebutuhan informasi perusahaan tentang spesies utama harus dapat diakomodir oleh regulasi pemerintah secara komprehensif. Hal ini diperlukan, agar perusahaan dapat menentukan strategi menggunakan informasi aktual yang diperoleh secara benar. 4. Hasil spesies sampingan/sekunder Variabel ini menekankan pada ketersediaan data stok ikan spesies sampingan, sesuai dengan standar perusahaan dan memenuhi kriteria yang ditetapkan pemerintah. Identifikasi regulasi nasional yang menagtur hasil spesies sampingan, dapat dilihat pada Tabel 4.21. Tabel 4.21. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Hasil Spesies Sampingan Peraturan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 107/Kepmen-KP/2015, tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol
Dasar Pembentukan
Kepmen ini dibentuk sebagai landasan mengelola tangkapan sampingan
Relevansi
Kepmen ini dijadikan pedoman memanfaatkan tangkapan sampingan
Tabel 4.21, menunjukkan bahwa pengaturan spesies sekunder dalam peraturan nasional sudah mencukupi. Implementasi peraturan nasional ini harus dikawal, karena pelaksanaannya masih banyak yang tidak sesuai. Faktor pengawasan dan penegakan hukum masih perlu untuk diberikan perhatian, agar pemanfaatan terhadap spesies sekunder tetap dikelola dengan benar. 5. Strategi pengelolaan spesies sampingan/sekunder Strategi ini memfokuskan kepada program manajemen perusahaan saat mengelola spesies sekunder yang dibutuhkan dalam produksi. Program manajemen yang dibuat harus dapat diaplikasikan dan terukur. Program yang telah dibuat harus selalu dimonitor secara berkala, agar tujuannya tetap sesuai visi misi perusahaan. Penelusuran regulasi nasional yang mendukung strategi pengelolaan spesies sampingan, dapat dilihat pada Tabel 4.22. 86
Tabel 4.22. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Strategi Pengelolaan Spesies Sampingan .
Peraturan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.26/Permen-KP/2013, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 107/Kepmen-KP/2015, tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol
Dasar Pembentukan
Relevansi
Permen ini dibentuk sebagai landasan untuk mengelola perikanan dalam menjamin keberlanjutan serta menjaga kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya
Permen ini dijadikan petunjuk menetapkan strategi pengelolaan tangkapan sampingan
Kepmen ini dibentuk sebagai arahan dalam memanfaatkan tangkapan sampingan
Kepmen ini dijadikan rujukan untuk pedoman penetapan strategi pengelolaan tangkapan sampingan
Berdasarkan Tabel 4.22, diketahui bahwa peraturan nasional yang teridentifikasi belum diperinci dan masih bersifat umum. Seharusnya strategi pengelolaan yang diatur dalam Kepmen sudah selayaknya bersifat teknis dan detail. Hal ini diperlukan agar dapat dijadikan pedoman perusahaan untuk membuat strategi pengelolaan spesies sampingan. 6. Informasi spesies sampingan/sekunder Variabel ini menekankan kepada informasi yang bisa diakses perusahaan terkait dengan spesies sampingan. Kebenaran data diperlukan agar perusahaan dapat menilai dampak pada spesies sekunder, yang tidak sesuai dengan standar yang diinginkan. Penelusuran regulasi nasional yang mendukung informasi spesies sampingan, dapat dilihat pada Tabel 4.23.
87
Tabel 4.23. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Informasi Spesies Sampingan Peraturan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.26/Permen-KP/2013, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 107/Kepmen-KP/2015, tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol
Dasar Pembentukan
Relevansi
Permen ini dibentuk sebagai rujukan untuk mengelola perikanan dalam menjamin keberlanjutan serta menjaga kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya
Permen ini dijadikan arahan dalam mengetahui informasi tangkapan sampingan
Kepmen ini dibentuk sebagai landasan dalam memanfaatkan tangkapan sampingan
Kepmen ini dijadikan dasar untuk pedoman penetapan strategi pengelolaan tangkapan sampingan
Tabel 4.23, menunjukkan bahwa peraturan nasional yang ditetapkan dapat menjadi pedoman untuk membuat strategi pengelolaan spesies sekunder. Regulasi yang sudah disahkan pemerintah, belum secara khusus dapat dijadikan dasar membuat strategi yang sesuai dengan tujuan perusahaan. 7. Produksi spesies terancam punah/dilindungi Variabel ini menekankan kepada data penilaian mengenai dampak terhadap spesies ikan yang terancam punah/dilindungi dalam wilayah perairan Republik Indonesia. Penelusuran peraturan nasional yang mendukung produksi spesies terancam punah/dilindungi, dapat dilihat pada Tabel 4.24. Tabel 4.24. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Produksi Spesies Terancam Punah Peraturan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.03/Men/2010, tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan
Dasar Pembentukan
Permen ini dibentuk sebagai pedoman dalam mengatur perlindungan jenis ikan yang dilindungi
Relevansi
Permen ini dijadikan petunjuk untuk mengetahui jenis ikan yang dilindungi
Berdasarkan Tabel 4.24, diketahui bahwa peraturan nasional sudah mengatur terhadap spesies yang terancam punah/dilindungi. Peraturan ini dapat dijadikan pedoman 88
perusahaan untuk tidak mengambil manfaat atas spesies yang terancam punah/dilindungi. Peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah juga mengatur mengenai efek langsung dan tidak langsung penanganan tindakan, jika perusahaan mengambil spesies tersebut. Pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam implementasinya perlu mengawal peraturan ini, agar kelestarian spesies terancam punah/dilindung dapat dilestarikan keberadaannya. 8. Strategi pengelolaan spesies terancam punah/dilindungi Strategi ini difokuskan agar perusahaan menerapkan program pengelolaan terhadap spesies terancam punah/dilindungi, sesuai dengan ketentuan internasional. Strategi alternatif terhadap pengelolaan spesies ini harus dibuat perusahaan, untuk menjaga kelangsungan hidup sumber daya ikan tersebut. Hasil identifikasi regulasi nasional terhadap strategi pengelolaan spesies terancam punah/dilindungi, dapat dilihat pada Tabel 4.25. Tabel 4.25. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Strategi Pengelolaan Spesies Terancam Punah Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2007, tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
Dasar Pembentukan
Relevansi
UU ini dibentuk sebagai arahan pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
UU ini dijadikan landasan mengatur produksi sumber daya ikan yang dilindungi
PP ini dibentuk sebagai upaya menjamin keberlanjutan spesies ikan yang dilindungi
PP dijadikan rujukan melindungi sumber daya ikan dengan melakukan konservasi
Berdasarkan Tabel 4.25, diketahui bahwa peraturan nasional yang ditetapkan pemerintah dapat dijadikan petunjuk perusahaan dalam mengevaluasi dan mengimplementasikan strategi yang sudah dibuat untuk mengelola spesies terancam punah/dilindungi.
89
9. Informasi spesies terancam punah/dilindungi Variabel ini merupakan kebutuhan perusahaan untuk mendapatkan informasi menilai dampak spesies yang terancam punah/dilindungi. Penelusuran peraturan nasional terhadap informasi spesies terancam punah/dilindungi, dapat dilihat pada Tabel 4.26. Tabel 4.26. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Informasi Spesies Terancam Punah Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2007, tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
Dasar Pembentukan
Relevansi
UU ini dibentuk sebagai arahan pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
UU ini dijadikan dasar mengatur produksi sumber daya ikan yang dilindungi
PP ini dibentuk sebagai upaya menjamin keberlanjutan spesies terancam punah/dilindungi
PP dijadikan petunjuk melindungi sumber daya ikan yang terancam punah/dilindungi dengan melakukan konservasi
Tabel 4.26, menjelaskan bahwa peraturan nasional yang sudah disahkan merupakan rujukan perusahaan membuat strategi pengelolaan spesies ikan yang terancam punah/dilindungi. Tujuan pembuatan strategi ini adalah untuk menjaga keberlangsungan spesies tersebut, agar tidak punah dan tetap terjaga kehidupannya. 10. Habitat Variabel habitat ini, menekankan kepada status dan data tentang habitat terhadap sumber daya ikan yang dibutuhkan perusahaan dalam proses produksi. Penelusuran peraturan nasional yang mendukung variabel ini, dapat dilihat pada Tabel 4.27.
90
Tabel 4.27. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Habitat Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2007, tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
Dasar Pembentukan
Relevansi
PP ini dibentuk sebagai upaya menjamin keberlanjutan habitat sumber daya ikan
PP dijadikan rujukan melindungi habitat sumber daya ikan dengan melakukan konservasi
UU ini dibentuk sebagai pedoman UU ini dijadikan petunjuk pengaturan pengelolaan mengatur habitat sumber daya perikanan di wilayah Republik ikan Indonesia
Berdasarkan Tabel 4.27, diketahui bahwa peraturan nasional yang terdentifikasi sudah cukup dijadikan pedoman perusahaan dalam menyediakan data tentang kerentanan ekosistem laut terhadap manajemen produksi. 11. Strategi pengelolaan habitat Strategi ini diperlukan untuk membuat program yang harus dilaksanakan oleh perusahaan dalam mengelola habitat ikan. Strategi yang telah dibuat harus dapat diterapkan dan dievaluasi sesuai dengan ketentuan MSC. Tujuannya adalah melindungi kerentanan ekosistem laut dari kerusakan. Identifikasi terhadap produk hukum nasional yang mendukung variabel strategi pengelolaan habitat, dapat dlihat pada Tabel 4.28. Tabel 4.28. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Strategi Pengelolaan Habitat Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2007, tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
Dasar Pembentukan
Relevansi
UU ini dibentuk sebagai arahan pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
UU ini dijadikan dasar mengelola strategi pengelolaan habitat sumber daya ikan
PP ini dibentuk sebagai upaya untuk menjamin keberlanjutan habitat sumber daya ikan
PP dijadikan petunjuk membuat strategi pengelolaan habitat sumber daya ikan dengan melakukan konservasi
Tabel 4.28, menunjukkan bahwa peraturan nasional yang diterbitkan pemerintah sudah mencukupi untuk dijadikan pedoman perusahaan membuat strategi pengelolaan habitat 91
sumber daya ikan. Peraturan yang sudah ada dapat dirujuk sebagai petunjuk pembuatan program yang digunakan menjaga ekosistem sumber daya ikan. 12. Informasi habitat Variabel ini difokuskan terhadap informasi habitat sumber daya ikan yang dijadikan produk oleh perusahaanData yang diperoleh digunakan sebagai acuan menilai dampak habitat sumber daya ikan. Penelusuran regulasi nasional terkait dengan informasi habitat, dapat dilihat pada Tabel 4.29. Tabel 4.29. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Informasi Habitat Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai arahan pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
Relevansi
UU ini dijadikan dasar mengetahui informasi habitat sumber daya ikan
Berdasarkan Tabel 4.29, diketahui bahwa informasi habitat yang dibutuhkan perusahan sudah didukung oleh peraturan nasional. Regulasi nasional ini, masih belum komprehensif dapat dijadikan acuan dalam memonitor habitat ikan. 13. Ekosistem Variabel ekosistem menekankan pada data tentang status ekosistem terhadap ikan yang dijadikan produk perusahaan. Identifikasi hukum nasional tentang ekosistem, dapat dilihat pada Tabel 4.30. Tabel 4.30. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Ekosistem Peraturan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai arahan untuk menjaga ekosistem agar tidak terganggu dan terpelihara
Relevansi
UU ini dijadikan landasan mengatur secara menyeluruh mengenai ekosistem dalam menjaga ketersediaan sumber daya ikan
Tabel 4.30, menggambarkan bahwa regulasi nasional yang ditetapkan pemerintah, dapat dijadikan rujukan perusahan membuat strategi. Materi pengaturan regulasi ini 92
menerangkan secara umum tata laksana mengelola ekosistem ikan secara bertanggung jawab. 14. Strategi pengelolaan ekosistem Strategi ini mengatur pengelolaan yang dapat diterapkan oleh perusahaan dalam mengelola ekosistem ikan. Strategi yang dibuat oleh perusahaan harus dilakukan evaluasi secara berkala. Evaluasi diperlukan untuk melihat kekurangan ataupun memperbaiki strategi yang telah dibuat, agar dapat menjaga ekosistem sumber daya ikan tetap terjaga ketersediaannya. Identifikasi hukum nasional terkait dengan strategi pengelolaan ekosistem, dapat dilihat pada Tabel 4.31. Tabel 4.31. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Strategi Pengelolaan Ekosistem Peraturan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai rujukan dalam menjaga ekosistem agar tidak terganggu dan tetatp terpelihara
Relevansi
UU ini dijadikan pedoman menetapkan strategi pengelolaan ekosistem yang benar
Tabel 4.31, menunjukkan bahwa peraturan nasional yang diterbitkan pemerintah merupakan payung hukum bagi perusahaan merancang strategi pengelolaan ekosistem sumber daya ikan. 15. Informasi ekosistem Variabel ini digunakan sebagai sarana perusahaan mendapatkan informasi yang berkualitas, dalam memahami ekosistem ikan dan faktor pendukungnya. Penelusuran regulasi nasional terkait informasi ekosistem, dapat dilihat pada Tabel 4.32. Tabel 4.32. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Informasi Ekosistem Peraturan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Dasar Pembentukan
Relevansi
UU ini dibentuk sebagai pedoman UU ini dijadikan landasan untuk untuk menjaga ekosistem agar mengetahui informasi tidak terganggu dan terpelihara pengelolaan ekosistem
Tabel 4.32, menjelaskan bahwa muatan materi peraturan nasional yang sudah ada relevan dipedomani untuk mendapatkan informasi ekosistem. Monitoring terhadap informasi yang 93
diperoleh secara periodik perlu dilakukan perusahaan. Tujuannya, agar informasi yang digunakan oleh perusahaan sesuai dengan perkembangan terkini menilai dampak ekosistem. 4.4.3.
Prinsip Ketiga MSC Prinsip ketiga MSC memiliki variabel: (1) kerangka regulasi; (2) konsultasi, peran, dan
tanggung jawab; (3) tujuan jangka panjang; (4) tujuan spesifik perikanan; (5) proses pengambilan keputusan; (6) kepatuhan dan penegakan; (7) pengawasan dan evaluasi kinerja. Identifikasi regulasi nasional terhadap variabel prinsip ketiga MSC adalah sebagai berikut: 1. Kerangka regulasi Kerangka regulasi ini dijadikan variabel, agar perusahaan dapat mengetahui keserasian hukum nasional terhadap pengelolaan ikan yang efektif. Identifikasi hukum nasional terkait dengan kerangka regulasi, dapat dilihat pada Tabel 4.33. Tabel 4.33. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kerangka Regulasi Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai pedoman pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
Relevansi
UU ini dijadikan dasar sebagai payung hukum pembangunan perikanan di wilayah perairan Republik Indonesia
Berdasarkan Tabel 4.33, digambarkan bahwa peraturan yang sudah dibuat pemerintah digunakan untuk memamahi penyelesaian sengketa akibat benturan kepentingan dalam mengelola produksi sumber daya ikan. Muatan materi regulasi nasional tersebut, juga memuat hak perusahaan terkait dengan pengelolaan ikan. 2. Konsultasi, peran, dan tanggung jawab Variabel ini menekankan pada aturan dan tanggung jawab yang diberikan perusahaan untuk mengelola sumber daya ikan. Penelusuran peraturan nasional yang mendukung konsultasi, peran, dan tanggung jawab, dapat dilihat pada Tabel 4.34.
94
Tabel 4.34. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Konsultasi, Peran, dan Tanggung Jawab Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai pedoman pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
Relevansi
UU ini dijadikan arahan mengetahui peran dan tanggung jawab pengelolaan perikanan secara menyeluruh di wilayah perairan Republik Indonesia
Tabel 4.34, menunjukkan bahwa regulasi nasional sudah mendukung terhadap peran perusahaan dalam berpartisipasi mengelola sumber daya ikan yang efektif. Materi peraturan nasional ini, juga memberikan pemahaman bagi perusahaan mengenai keterlibatannya dalam menjaga sumber daya ikan yang berkelanjutan. 3. Tujuan jangka panjang Fokus variabel ini menekankan, agar perusahaan memahami tujuan jangka panjang pengelolaan perikanan yang ditetapkan oleh pemerintah. Identifikasi peraturan nasional terkait dengan tujuan jangka panjang, dapat dilihat pada Tabel 4.35. Tabel 4.35. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Tujuan Jangka Panjang Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai petunjuk pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
Relevansi
UU ini dijadikan rujukan menetapkan tujuan jangka panjang pengelolaan perikanan secara holistik di wilayah perairan Republik Indonesia
Berdasarkan Tabel 4.35, diketahui bahwa UU yang telah dibuat oleh pemerintah sudah mengakomodir tujuan pengelolaan jangka panjang yang harus dirujuk oleh perusahaan. 4. Tujuan spesifik perikanan Variabel ini menitikberatkan, pada tujuan spesisfik terhadap sistem menajemen perikanan yang ditetapkan oleh pemerintah dan harus dipatuhi oleh perusahaan. Penelusuran hukum nasional terkait dengan tujuan spesifik perikanan, dapat dilihat pada Tabel 4.36.
95
Tabel 4.36. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Tujuan Spesifik Perikanan Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai landasan pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
Relevansi
UU ini dijadikan petunjuk menentukan tujuan spesifik pemanfaatan perikanan secara komprehensif di wilayah perairan Republik Indonesia
Tabel 4.36, menjelaskan bahwa materi peraturan yang teridentifkasi sudah memberikan landasan dalam memahami tujuan spesifik pemanfaatan perikanan secara komprehensif di wilayah perairan Republik Indonesia. 5. Proses pengambilan keputusan Proses pengambilan keputusan terkait dengan penentuan tujuan perusahaan terhadap sistem manajemen perikanan. Perusahan mempunyai hak mengetahui akuntabilitas dan transparansi terhadap sistem manajemen, serta proses pengambilan keputusan dalam mengelola perikanan yang dilakukan pemerintah. Identifikasi peraturan nasional yang mendukung proses pengambilan keputusan, dapat dilihat pada Tabel 4.37. Tabel 4.37. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Proses Pengambilan Keputusan Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai arahan pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
Relevansi
UU ini dijadikan dasar pengambilan keputusan terkait pengelolaan perikanan di wilayah perairan Republik Indonesia
Berdasarkan Tabel 4.37, diketahui bahwa peraturan nasional yang disahkan pemerintah materinya menjelaskan pemahaman perusahaan mengenai penggunaan pendekatan kehati-hatian terhadap sistem manajemen perikanan. Peraturan nasional ini memberikan ruang kepada perusahaan, untuk memberikan respon terhadap sistem manajemen pemerintah.
96
6. Kepatuhan dan penegakan Variabel ini difokuskan bagi perusahaan dalam mematuhi ketentun monitoring, control, surveillance. Kepatuhan dan penegakan juga menekankan kepada perusahaan untuk dapat menerima sanksi, apabila melanggar ketentuan yang ditetapkan pemerintah terhadap pengelolaan perikanan. Penelusuran peraturan nasional yang terkait dengan kepatuhan dan penegakan, dapat dilihat pada Tabel 4.38. Tabel 4.38. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kepatuhan dan Penegakan Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai dasar pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
Relevansi
UU ini dijadikan rujukan sebagai sarana kepatuhan dan penegakan tindakan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab
Berdasarkan Tabel 4.38, diketahui bahwa materi peraturan nasional yang disahkan memberikan kewajiban kepada perusahaan, untuk mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam mengelola perikanan. Peraturan nasional tersebut mengatur secara umum sikap yang dapat dapat diambil perusahaan, jika ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan. 7. Pengawasan dan evaluasi kinerja Kriteri dalam variabel ini menekankan, bahwa perusahaan harus dapat membuat cakupan evaluasi terhadap pengawasan dan kinerja manajemen. Identifikasi hukum nasional yang mendukung variabel pengawasan dan evaluasi kinerja, dapat dilihat pada Tabel 4.39. Tabel 4.39. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pengawasan dan Evaluasi Kinerja Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai pedoman pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
Relevansi
UU ini dijadikan arahan sebagai sarana evaluasi kinerja dan tindakan pengawasan dalam memanfaatkan sumber daya ikan
97
Tabel 4.39, menunjukkan bahwa peraturan nasional yang ditetapkan pemerintah mengatur perusahaan secara umum agar dapat melakukan review internal maupun eksternal, terhadap pengawasan dan evaluasi kinerja manajemen. Hasil identifikasi terhadap regulasi nasional, diketahui bahwa peraturan yang sudah disahkan telah mengakomodir seluruh variabel dalam prinsip MSC. Kebijakan nasional yang mengatur pengelolaan sumber daya ikan untuk penangkapan, materinya sudah komprehensif dan cukup jelas. Seluruh ketetentuan nasional yang mendukung variabel MSC meskipun sudah mengakomodir, tetapi masih ada yang pengaturannya bersifat umum dan belum teknis. Kompleksnya permasalahan yang menyangkut perikanan, dapat menyebabkan perancangan aturan teknis membutuhkan waktu yag tidak sebentar. Proses pembuatan suatu aturanharus melalui kajian dan harus diujicobakan dulu (sosialisasi), agar daya berlakunya dapat efektif dan memenuhi rasa keadilan serta kepastian hukum. Peta regulasi nasional yang bersifat umum dan khusus berdasarkan hasil identifikasi terhadap variabel prinsip MSC, dapat dilihat pada Tabel 4.40.
98
Tabel 4.40. Pengaturan Regulasi Nasional terhadap Variabel MSC Variabel MSC Status ketersediaan terkait dengan produktivitas Ketersediaan ikan yang terkait dengan ekosistem Upaya pemulihan kembali ketersediaan ikan Strategi produksi Ketentuan pengendalian produksi (Harvest Control Rules/HCRs) dan faktor pendukungnya Informasi/monitoring Penilaian dari ketersediaan ikan Outcome spesies utama Strategi pengelolaan spesies utama Informasi spesies utama Outcome spesies sampingan/sekunder Strategi pengelolaan spesies sampingan/sekunder Informasi spesies sampingan/sekunder Outcome spesies ETP Strategi pengelolaan spesies ETP Informasi spesies ETP (Endangered, Threatened or Protected)/terancam, punah atau dilindungi) Outcome habitat Strategi pengelolaan habitat Informasi habitat Outcome ekosistem Strategi pengelolaan ekosistem Informasi ekosistem Kerangka hukum dan/atau kebiasaan Konsultasi, aturan, dan tanggung jawab Tujuan jangka panjang Tujuan khusus perikanan Proses pengambilan keputusan Kepatuhan dan penegakan Monitoring dan evaluasi kinerja manajemen
Regulasi Nasional Mengatur Khusus Mengatur Umum V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V
Berdasarkan Tabel 4.40, diketahui bahwa pengaturan dalam regulasi nasional yang sifatnya masih umum sebagian besar pada variabel prinsip ketiga. Variabel ini lebih menekankan kepada pelaku usaha/perusahaaan dalam upaya memanfaatkan sumber daya ikan. Ketaatan perusahaan dalam mematuhi regulasi nasional pada prinsip ketiga, lebih menyoroti pada proses. Ekolabel yang ditetapkan oleh MCS tidak hanya mementingkan hasilnya tetapi lebih kepada prosesnya, serta regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah. Ketegasan pelaksanaan, sistem monitoring, dan sinergi seluruh stake holder dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, merupakan peran pemerintah yang menjadi sorotan prinsip ketiga MSC. 99
4.5.
Identifikasi Regulasi Nasional terhadap Prinsip ASC
4.5.1.
Prinsip Pertama ASC Prinsip pertama ASC memiliki kriteria mengenai dokumen kepatuhan terhadap
persyaratan hukum nasional dan lokal. Identifikasi regulasi nasional terhadap kriteria prinsip pertama ASC adalah sebagai berikut: Kriteria ini menitikberatkan kepatuhan terhadap hukum lokal dan nasional, serta upaya keterbukaan dalam mentaati regulasi yang berlaku. Identifikasi regulasi nasional yang relevan dengan kriteria dokumen kepatuhan terhadap persyaratan hukum nasional dan lokal, dapat dilihat pada Tabel 4.41. Tabel 4.41. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Dokumen Kepatuhan terhadap Persyaratan Hukum Nasional dan Lokal Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai dasar pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
Relevansi
UU ini merupakan dasar untuk mengetahui kewajiban dan larangan dalam melakukan usaha perikanan
Berdasarkan Tabel 4.41, diketahui bahwa regulasi nasional ini merupakan koridor bagi pelaku usaha perikanan (khususnya pembudidaya Udang). Peraturan yang ditetapkan pemerintah secara umum memberikan kewajiban pembudidaya Udang untuk mematuhi setiap ketentuan yang dipersyaratkan. Persyaratan ini memberikan petunjuk bagaimana melakukan usaha budidaya Udang yang baik. 4.5.2.
Prinsip Kedua ASC Prinsip kedua ASC memiliki kriteria: (1) pengkajian dampak lingkungan keanekaragaman
hayati; (2) konservasi kawasan lindung atau habitat kritis; (3) pertimbangan habitat kritis untuk spesies langka; (4) koridor, pembatas, dan penyangga ekologi; (5) pencegahan salinisasi air tawar dan sumber tanah. Identifikasi regulasi nasional terhadap kriteria prinsip kedua ASC adalah sebagai berikut:
100
1. Pengkajian dampak lingkungan keanekaragaman hayati Kriteria ini mengharuskan pemilik lahan budidaya turut aktif, dalam komisi pengkajian dampak lingkungan keanekaragaman hayati. Pemilik lahan budidaya diwajibkan untuk menyebarluaskan laporan, serta hasil kajian secara terbuka menggunakan bahasa lokal. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria pengkajian dampak lingkungan keanekaragaman hayati, dapat dilihat pada Tabel 4.42. Tabel 4.42. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pengkajian Dampak Lingkungan Keanekaragaman Hayati Peraturan
Dasar Pembentukan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU ini dibentuk sebagai upaya agar lingkungan hidup tidak rusak
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.04/Men/2010, Tata Cara Pemanfaatan Jenis Ikan dan Genetik Ikan
UU ini dibentuk sebagai dasar pengaturan pengelolaan lingkungan keanekaragaman hayati
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.02/Men/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.02/Men/2004, tentang Perizinan Usaha Pembudidayaan Ikan
Kepmen ini disahkan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan nasional dan internasional Kepmen ini dibentuk dengan tujuan menertibkan lahan udaha budidaya
Permen ini dibentuk dalam rangka pemanfaatan konservasi sumber daya ikan yang berupa pemanfaatan jenis ikan dan genetik ikan
Relevansi
UU ini menjadi dasar untuk melestarikan lingkungan hidup pada wilayah lahan budidaya Udang UU ini merupakan dasar untuk mengetahui pengelolaan usaha budidaya dalam melakukan kajian mengenai dampak lingkungan keanekeragaman hayati PP ini relevan untuk dijadikan landasan mencegah tejadinya kerusakan dan/atau degradasi populasi sumber daya ikan sesuai dengan ketentuan internasional pada lingkungan budidaya Kepmen ini merupakan rujukan dalam mengkaji dampak lingkungan pada lahan usaha budidaya Udang yang diakibatkan oleh pencemaran Kepmen ini menjadi landasan bagi pelaku usaha bahwa pembukaan lahan budidaya Udang diwajibkan memperhatikan lingkungan melalui kajian AMDAL
Berdasarkan Tabel 4.42, diketahui bahwa regulasi nasional memiliki regulasi yang cukup pengetaurannya mengenai dampak lingkungan keanekaragaman hayati. Hal ini dikarenakan pemerintah telah memiliki komitmen (baik nasional maupun internasional), untuk menjaga lingkungan sumber daya ikan sesuai pemanfaatannya.
101
2. Konservasi kawasan lindung atau habitat kritis Kriteria ini memberikan ketentuan, bahwa lahan budidaya Udang tidak boleh melebihi 25% luas kawasan lindung itu sendiri. Penyisihan dalam menentukan lokasi budidaya pada ekosistem mangrove dan lahan basah/kawasan kepentingan ekologi, harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan melalui kajian dampak lingkungan maupun dokumen perencanaan lainnya. Regulasi nasional yang memenuhi kriteria pengkajian dampak lingkungan keanekaragaman hayati, dapat dilihat pada Tabel 4.43. Tabel 4.43. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Konservasi Kawasan Lindung atau Habitat Kritis Peraturan
Dasar Pembentukan
Relevansi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
UU ini dibentuk sebagai dasar pengaturan pengelolaan lingkungan keanekaragaman hayati
UU ini merupakan dasar untuk mengetahui pengelolaan usaha budidaya dalam melakukan kajian mengenai dampak lingkungan keanekeragaman hayati
Keppres ini disahkan untuk menjamin terselenggaranya kehidupan dan pembangunan yang berkelanjutan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007, tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
PP ini dibentuk sebagai upaya perlindungan,pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan
Keppres ini memberikan arahan bagi pelaku usaha tambak Udang dalam memelihara fungsi pelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan, serta nilai sejarah dan budaya bangsa PP ini relevan untuk dijadikan rujukan dalam mengkaji dampak lingkungan keaneka ragam hayatu yang ada di lingkungan budidaya Udang
Tabel 4.43, menunjukkan bahwa regulasi nasional yang telah dibentuk merupakan upaya pemerintah menjaga habitat dan keanekaragamaman hayati yang terkandung pada lahan usaha petambak, agar dikelola secara lestari.
102
3. Pertimbangan habitat kritis untuk spesies langka Kriteria ini mengatur tentang penyisihan lokasi budidaya pada habitat kritis spesies langka sesuai dengan: daftar merah IUCN, daftar pemerintah, dan daftar yang dikeluarkan lembaga lainnya. Regulasi nasional yang mengatur kriteria pertimbangan habitat kritis untuk spesies langka, dapat dilihat pada Tabel 4.44. Tabel 4.44. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pertimbangan Habitat Kritis untuk Spesies Langka Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2007, tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
Dasar Pembentukan
Relevansi
UU ini dibentuk sebagai arahan pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
UU ini dijadikan dasar mengatur produksi sumber daya ikan yang dilindungi
PP ini dibentuk sebagai upaya menjamin keberlanjutan spesies terancam punah/dilindungi
PP dijadikan petunjuk melindungi sumber daya ikan yang terancam punah/dilindungi dengan melakukan konservasi
Berdasarkan Tabel 4.44, bahwa peraturan nasional materinya telah mengatur secara ketat untuk mejaga habitat kritis. Kedua regulasi ini merupakan payung hukum bagi semua peraturan teknis dalam melindungi spesies langka (salah satunya pada lahan budidaya tambak Udang). 4. Koridor, pembatas, dan penyangga ekologi Kriteria ini mengatur syarat minimal pembatas pesisir, penyangga riparian, serta koridor permanen dan vegetasi alami, melalui lahan budidaya untuk pergerakan manusia atau hewan lokal yang melintas di kawasan budidaya. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria koridor, pembatas, dan penyangga ekologi, dapat dilihat pada Tabel 4.45.
103
Tabel 4.45. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Koridor, Pembatas, dan Penyangga Ekologi Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 02/Men/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik
Dasar Pembentukan
Relevansi
UU ini dibentuk sebagai arahan pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
UU ini dijadikan dasar mengatur produksi sumber daya ikan yang dilindungi
Kepmen ini disahkan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan nasional dan internasional
Kepmen dapat dijadikan dasar dalam mengakaji usaha budidaya Udang yang terkait dengan koridor, pembatas, dan penyangga ekologi
Tabel 4.45, menunjukkan bahwa meskipun Kepmen ini tidak membahas secara tentang koridor, pembatas, dan penyangga, tetapi materinya dapat dijadikan dasar membuat panduan yang mengatur kriteria ini. 5. Pencegahan salinisasi air tawar dan sumber tanah Kriteria ini menekankan kepada penyisihan pemakaian air garam dan penggunaan air tanah pada lahan budidaya, serta spesifikasi konduktansi air, konduktansi tanah pada ekosistem tanah lahan budidaya yang berdekatan dan lahan pertanian. Regulasi nasional yang memenuhi ketentuan kriteria pencegahan salinisasi air tawar dan sumber tanah, dapat dilihat pada Tabel 4.46. Tabel 4.46. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pencegahan Salinisasi Air Tawar dan Sumber Tanah Peraturan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 28/Men/2004, tentang Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 02/Men/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik
Dasar Pembentukan
Kepmen ini dibentuk dalam rangka meningkatkan produksi Udang sebagai komoditas utama dan salah satu penghasil devisa negara Kepmen ini disahkan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan nasional dan internasional
Relevansi
Kepmen ini menjadi landasan pengaturan kualitas air dan tanah pada usaha budidaya Udang Kepmen ini merupakan rujukan dalam mengkaji dampak lingkungan pada lahan usaha budidaya Udang yang diakibatkan oleh pencemaran
104
Berdasarkan Tabel 4.46, diketahui bahwa regulasi nasional telah memfasilitasi kepentingan usaha budidaya Udang secara utuh. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan peningkatan produksi Udang bersaing memasuki pasar internasional. 4.5.3.
Prinsip Ketiga ASC Prinsip ketiga ASC memiliki kriteria: (1) dampak terhadap masyarakat sekitar, pengguna
ekosistem, dan pemilik lahan harus menjadi bahan perhitungan; (2) penyelesaian klaim dari pemangku kepetingan; (3) keterbukaan peluang penyediaan tenaga kerja pada masyarakat lokal; (4) perjanjian kontrak budidaya yang adil dan transparan bagi kontrak pembudidaya ikan. Identifikasi regulasi nasional terhadap kriteria prinsip ketiga ASC adalah sebagai berikut: 1. Dampak terhadap masyarakat sekitar, pengguna ekosistem, dan pemilik lahan harus menjadi bahan perhitungan. Kriteria ini mengharuskan pemilik budidaya mengkaji dampak sosial secara partisipatif dan menginformasikan hasilnya secara terbuka menggunakan bahasa lokal. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria dampak terhadap masyarakat sekitar, pengguna ekosistem, dan pemilik lahan, dapat dilihat pada Tabel 4.47. Tabel 4.47. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Dampak terhadap Masyarakat Sekitar, Pengguna Ekosistem, dan Pemilik Lahan Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai arahan pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
Relevansi
UU ini merupakan mandat bahwa pengelolaan sumber daya ikan harus memperhatikan ksejahteraan dan dampaknya terhadap masyarakat secara umum
Tabel 4.47, menunjukkan bahwa materi UU Perikanan pengaturannya masih bersifat umum dalam upaya pemanfaatan lingkungan usaha perikanan. Kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah melalui UU tersebut, dapat dijadikan rujukan membuat peraturan teknis tentang dampak sosial pada lahan usaha budidaya Udang yang dilakukan oleh petambak.
105
2. Penyelesaian klaim dari pemangku kepetingan Kriteria ini mewajibkan pemilik budidaya mempunyai resolusi konflik untuk masyarakat lokal, serta memberitahukan kawasan sengketa kepada pembudidaya lainnya, pemerintah lokal, dan masyarakat sekitar. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria penyelesaian klaim dari pemangku kepetingan, dapat dilihat pada Tabel 4.48. Tabel 4.48. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Penyelesaian Klaim dari Pemangku Kepentingan Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai arahan pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
Relevansi
UU ini dapat dijadikan rujukan untuk mengatur mekanisme penyelesaian konflik yang terjadi pada masyarakat lokal maupun sekitar, pembudidaya, dan pemerintah lokal, pada kawasan budidaya Udang
Berdasarkan Tabel 4.48, diketahui bahwa regulasi nasional yang ada meskipun belum mengatur secara rinci, tetapi dapat dijadikan pertimbangan dalam membuat tata cara menyelesaikan masalah antar pihak yang berada di lokasi budidaya Udang. 3. Keterbukaan peluang penyediaan tenaga kerja pada masyarakat lokal Kriteria ini mewajibkan adanya dokumentasi bukti tempat pemasangan iklan, dalam rangka mencari pekerja sesuai dengan profil dan manfaat yang dibutuhkan. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria keterbukaan peluang penyediaan tenaga kerja pada masyarakat lokal, dapat dilihat pada Tabel 4.49. Tabel 4.49. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Keterbukaan Peluang Tenaga Kerja pada Masyarakat Lokal Peraturan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk sebagai arahan pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
Relevansi
UU ini dapat dijadikan rujukan untuk hak masyarakat lokal untuk memberikan kesempatan kerja pada masyarakat lokal
Tabel 4.49, menunjukkan bahwa UU ini tidak secara khusus membahas tentang masyarakat lokal yang tinggal pada kawasan buidadaya Udang. Partisipasi masyarakat lokal, sudah diatur pemerintah secara umum dan telah mendapatkan ruang sebagai salah satu 106
komponen masyarakat perikanan (salah satunya yang berada pada kawasan usaha budidaya). 4. Perjanjian kontrak budidaya yang adil dan transparan bagi kontrak pembudidaya ikan Kriteria ini menekankan adanya keterbukaan negosiasi dalam perjanjian kerja secara tertulis. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria perjanjian kontrak budidaya yang adil dan transparan bagi kontrak pembudidaya ikan, dapat dilihat pada Tabel 4.50. Tabel 4.50. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Perjanjian Kontrak yang Adil untuk Pembudidaya Ikan Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016, tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk dengan maksud bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan serta kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan UU ini dibentuk dalam rangka mensejahterakan rakyat (nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam)
Relevansi
UU ini dapat dijadikan pedoman dalam mengatur kepentingan tenaga kerja anak-anak dan muda pada usaha budidayaUdang
UU dijadikan dasar untuk mengatur tahapan pelaksanaan kontrak secara tertulis yang berkaitan dengan petambak
Berdasarkan Tabel 4.50, diketahui bahwa pengaturan kontrak sudah difasilitasi pemerintah di dalam kebijakan nasional. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjalankan amanat melindungi segenap rakyat Indonesia, khususnya kesejahteraan pembuidaya ikan (salah satunya petambak Udang). 4.5.4.
Prinsip Keempat ASC Prinsip keempat ASC memiliki kriteria: (1) tenaga kerja anak-anak dan pekerja muda; (2)
paksaan kewajiban mengikat pekerja; (3) diskriminasi di lingkungan kerja; (4) kesehatan dan keamanan lingkungan kerja; (5) Upah minimum yang adil dan layak; (6) Kebebasan mengakses organisasi dan hak bersama untuk posisi tawar; (7) pelecehan dan disiplin praktek di lingkungan kerja, yang menyebabkan kerusakan fisik dan/atau mental sementara maupun permanen; (8) kompensasi lembur dan jam kerja; (9) kontrak kerja yang adil dan transparan; (10) keadilan dan 107
keterbukaan sistem pengelolaan pekerja; (11) kondisi tempat tinggal pekerja yang menetap di lahan budidaya. Identifikasi regulasi nasional terhadap kriteria prinsip keempat ASC adalah sebagai berikut: 1. Tenaga kerja anak-anak dan pekerja muda Kriteria ini mengharuskan tenaga kerja yang bekerja untuk kepentingan budidaya, minimal berumur 18 tahun. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria tenaga kerja anak-anak dan pekerja muda, dapat dilihat pada Tabel 4.51. Tabel 4.51. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Tenaga Kerja Anak-Anak dan Pekerja Muda Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk dengan maksud bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan serta kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan
Relevansi
UU ini dapat dijadikan pedoman dalam mengatur kepentingan tenaga kerja anak-anak dan muda pada usaha budidayaUdang
Tabel 4.51, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sudah sangat jelas mengatur kepentingan pengusaha untuk mempekerjakan tenaga kerja anak-anak dan yang berusia muda. Hal ini dikarenakan Indonesia telah sepakat untuk mematuhi ketentuan Internasional yang mengatur tentang ketenagakerjaan. Peraturan nasional tersebut meskipun tidak secara langsung membahas tenaga kerja yang bekerja pada usaha budidaya Udang, tetapi materinya dapat dijadikan rujukan untuk diaplikasikan. 2. Paksaan kewajiban mengikat pekerja Kriteria ini mengatur mengenai hak tenaga kerja mendapatkan keuntungan dan pembayaran penuh, dijaga identitas maupun izin kerjanya, serta kebebasan beraktivitas di luar jam kerja. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria paksaan kewajiban mengikat pekerja, dapat dilihat pada Tabel 4.52.
108
Tabel 4.52. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Paksaan Kewajiban Mengikat Pekerja Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk dengan maksud bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan serta kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan
Relevansi
UU ini menjadi petunjuk mengatur hak tenaga kerja yang bekerja pada usaha budidaya tambak Udang
Berdasarkan Tabel 4.52, diketahui bahwa UU ini dapat dijadikan rujukan untuk melindungi hak pekerja, meskipun tidak diatur pada sektor usaha budidaya Udang. UU ini sudah mengakomodir kepentingan pekerja nasional secara normaif dalam menjaga keadilan. 3. Diskriminasi di lingkungan kerja Kriteria ini mengatur mengenai kepentingan tenaga kerja terhadap masalah kebijakan, gaji, dan kesempatan yang menjadi haknya. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria diskriminasi di lingkungan kerja, dapat dilihat pada Tabel 4.53. Tabel 4.53. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Diskriminasi di Lingkungan Kerja Pekerja Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk dengan maksud bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan serta kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan
Relevansi
UU ini menjadi landasan mengatur jaminan hak perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun kepada tenaga kerja, yang bekerja pada usaha budidaya tambak Udang
Berdasarkan Tabel 4.53, diketahui bahwa UU ini memberikan koridor mengenai hak dasar setiap tenaga kerja pada lingkungan kerjanya. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan dan kenyamanan bekerja, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. UU ini meskipun tidak secara tertulis ditujukan pada sektor usaha budidaya Udang, tetapi materinya dapat dijadikan rujukan dalam mengaturnya.
109
4. Kesehatan dan keamanan lingkungan kerja Kriteria ini memberikan kewajiban bagi pemilik budidaya membuat kebijakan terhadap perlindungan biaya pengobatan dan keselamatan pekerjanya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kenyamanan bagi pekerja dalam melakukan tugasnya. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria kesehatan dan keamanan lingkungan kerja, dapat dilihat pada Tabel 4.54. Tabel 4.54. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kesehatan dan Keamanan Lingkungan Kerja Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 02/Men/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk dengan maksud bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan serta kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan Kepmen ini disahkan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan nasional dan internasional
Relevansi
UU ini menjadi dasar bagi pelaku usaha budidaya Udang untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan dan keamanan pekerjanya Kepmen ini dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui kriteria sehatan yang dibutuhkan oleh pekerja yang berkerja di lahan budidaya Udang
Tabel 4.54, menjelaskan bahwa salah satu materi kebijakan nasional ini mengutamakan kesehatan diri dan keamanan pada lingkungan kerja. Kesehatan dan keamanan kerja merupakan upaya menekan resiko kecelakaan dan penyakita akibat kerja (pada hakekatnya antara kesehatan dan keamanan tidak dapat dipisahkan). Kesehatan pekerja (khususnya yang menangani Udang) sangat dibutuhkan dalam kinerja dan menjaga kualitas hasil Udang itu sendiri. 5. Upah minimum yang adil dan layak Kriteria ini memberikan kewajiban bagi pemilik budidaya memenuhi hak (upah dan tunjangan) pekerja sesuai dengan standar yang ditentukan oleh negara, serta kebijakan hukuman yang sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria upah minimum yang adil dan layak, dapat dilihat pada Tabel 4.55.
110
Tabel 4.55. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Upah Minimum yang Adil dan Layak Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk dengan maksud bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan serta kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan
Relevansi
UU ini dapat dijadikan petunjuk untuk pelaku usaha budidaya dalam memberikan upah dan tunjangan pekerjanya sesuai dengan ketentuan pemerintah
Berdasarkan Tabel 4.55, diketahui bahwa pemerintah secara tegas mengatur kepada pelaku usaha untuk memberikan upah minimum yang adil sesuai dengan standar yang ditetapkan negara. Tindakan disiplin yang terkait dengan hak pekerja tersebut, juga diatur dalam UU ini. UU ini secara langsung mengatur setiap pelaku usaha (salah satunya pada sektor budidaya Udang), agar mematuhi ketentuan normatif yang telah menjadi kebijakan nasional. 6. Kebebasan mengakses organisasi dan hak bersama untuk posisi tawar Kriteria ini mengatur tentang kebebasan pekerja berpartispasi dalam organisasi buruh atau serikat pekerja, agar mendapatkan posisi sama dalam memperjuangkan haknya. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria kebebasan mengakses organisasi dan hak bersama untuk posisi tawar, dapat dilihat pada Tabel 4.56. Tabel 4.56. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kebebasan Mengakses Organisasi dan Hak Bersama untuk Posisi Tawar Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk dengan maksud bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan serta kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan
Relevansi
UU ini dapat menjadi petunujuk dalam mengatur hak pekerja untuk berorganisasi seseuai dengan keinginannya
Tabel 4.56, menunjukkan bahwa pemerintah telah menetapkan kebijakan yang memperbolehkan setiap pekerja/berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi serikat pekerja. Hal ini dimaksudkan agar tenaga kerja suara memperjuangkan keinganan mereka. UU ini meskipun materinya bersifat global, namun ketentuannya dapat dijadikan 111
sebagai payung hukum mengatur tentang kebebasan mengakses organisasi dan hak besama untuk posisi tawar. 7. Pelecehan dan disiplin praktek di lingkungan kerja, yang menyebabkan kerusakan fisik dan/atau mental sementara maupun permanen Kriteria ini mengatur tentang kebijakan pengaturan disiplin tenaga kerja. Hal ini dimaksudkan, untuk menghindari terjadinya peristiwa yang menyebabkan kecelakaan dan mengakibatkan cacat fisik maupun mental. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria kebebasan mengakses organisasi dan hak bersama untuk posisi tawar, dapat dilihat pada Tabel 4.57. Tabel 4.57. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pelecehan dan Disiplin Praktek di Lingkungan Kerja Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk dengan maksud bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan serta kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan
Relevansi
UU ini merupakan petunjuk untuk menjaga terjadinya kecelakaan kerja di lingkungan usaha budidaya Udang
Berdasarkan Tabel 4.57, diketahui bahwa regulasi nasional yang sudah ditetapkan telah masih bersifat umum pengaturannya. Hal tersebut dikarenakan tindakan pelecehan sudah masuk ranah pidana, yang kewenangannya sudah diatur secara terpisah oleh pemerintah. UU ini dapat dijadikan pedoman pelaku usaha budidaya Udang dalam membuat mekanisme disiplin kerja. 8. Kompensasi lembur dan jam kerja Kriteria ini mengatur tentang ketentuan waktu kerja, hak untuk meninggalkan pekerjaan, akomodasi, lembur, dan cuti hamil. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria kompensasi lembur dan jam kerja, dapat dilihat pada Tabel 4.58.
112
Tabel 4.58. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kompensasi Lembur dan Jam Kerja Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk dengan maksud bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan serta kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan
Relevansi
UU ini dapat dijadikan rujukan oleh pelaku usaha budidaya Udang untuk mengetahui ketentuan nasional mengenai kompensasi waktu jam kerja yang diatur bagi pekerjanya
Tabel 4.58, menunjukkan bahwa pengaturan nasional memberikan batasan dan kelonggaran mengenai waktu kerja bagi tenaga kerja. Hal ini dimaksudkan, agar efektivitas kemampuan pekerja dapat dimaksimalkan sesuai dengan kapasitasnya. UU ini dapat dijadikan acuan untuk membuat kebijakan internal bagi pelaku usaha, dalam mengatur deskripsi pekerjaan karyawannya pada usaha budidaya Udang. 9. Kontrak kerja yang adil dan transparan Kriteria ini mengatur tentang ketentuan hubungan kerja, kontrak kerja, dan izin bekerja, yang harus dipenuhi oleh pemilik budidaya. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria kontrak kerja yang adil dan transparan, dapat dilihat pada Tabel 4.59. Tabel 4.59. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kontrak Kerja yang Adil dan Transparan Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk dengan maksud bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan serta kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan
Relevansi
UU ini dapat dijadikan acuan untuk mengatur hubungan industrial dalam menciptakan iklim kerja yang kondusif,serta keadilan dalam menentukan hak
Berdasarkan Tabel 4.59, diketahui bahwa hubungan industrial antara pelaku usaha dan pekerja merupakan faktor penting yang diatur pemerintah. Tujuannya agar hak dan kewajiban kedua belah saling menguntungkan dan nyaman. Kondisi tersebut diperlukan karena terkait dengan kepentingan ekonomi dalam angka pelaku usaha maupun nasional. UU ini sangat relevan dijadikan payung hukum mengatur kesepakatan kerja pelaku usaha budidaya Udang dengan pekerjanya. 113
10.Keadilan dan keterbukaan sistem pengelolaan pekerja Kriteria ini mengatur mengenai akses komunikasi dengan pemilik lahan budidaya, serta cara menangani keluhan pekerjanya. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria keadilan dan keterbukaan sistem pengelolaan pekerja, dapat dilihat pada Tabel 4.60. Tabel 4.60. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Keadilan dan Keterbukaan Sistem Pengelolaan Kerja Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk dengan maksud bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan serta kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan
Relevansi
UU ini relevan untuk dijadikan rujukan mengelola tenaga kerja dengan menggunakan prinsip keterbukaan
Berdasarkan Tabel 4.60, diketahui bahwa kebijkan pemerintah melalui UU ini sudah mengakomodir secara umum pengelolaan tenaga kerja secara menyeluruh. Materi pengaturan kebijakan tersebut meskipun hanya secara umum, tetapi batasannya dapat dijadikan pedoman mengetaui tata cara sistem pengelolaan tenaga kerja pada usaha buidadaya Udang secara adil. 11.Kondisi tempat tinggal pekerja yang menetap di lahan budidaya Kriteria ini mengatur mengenai kondisi tempat tinggal bagi pekerja yang nyaman dan aman, serta fasilitas yang memadai untuk pekerja perempuan. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria kondisi tempat tinggal pekerja yang menetap di lahan budidaya, dapat dilihat pada Tabel 4.61.
114
Tabel 4.61. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kondisi Tempat Tinggal Pekerja yang Menetap di Lahan Budidaya Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 02/Men/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik
Dasar Pembentukan
Relevansi
UU ini dibentuk dengan maksud bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan serta kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan Kepmen ini disahkan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan nasional dan internasional
UU ini menjadi acuan untuk mengatur mengenai fasilitas tempat bagi pekerja di lokasi budidaya Udang
Kepmen ini merupakan landasan bagi pelaku usaha budidaya Udang untuk menyediakan tempat tinggal yang nyaman bagi pekerjanya
Tabel 4.61, menunjukkan bahwa kebijakan nasional yang menyangkut fasilitas bagi pekerja sudah diperhatikan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kenyaman bagi pekerja dan rasa aman, khususnya untuk pekerja wanita. Pengaturan umum yang ditetapkan pemerintah tersebut, dapat dijadikan rujukan pelaku usaha membangun tempat tinggal bagi pekerjanya yang tinggal di lokasi budidaya Udang. 4.5.5.
Prinsip Kelima ASC Prinsip kelima ASC memiliki kriteria: (1) pencegahan penyakit; (2) kontrol pemangsa; (3)
perlakuan dan pengelolaan penyakit. Identifikasi regulasi nasional terhadap kriteria prinsip kelima ASC adalah sebagai berikut: 1. Pencegahan penyakit Kriteria
ini
mengatur
mengenai
pengembangan,
perawatan
kesehatan,
tingkat
kelangsungan, dan larva yang bebas penyakit. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria pencegahan penyakit, dapat dilihat pada Tabel 4.62.
115
Tabel 4.62. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Pencegahan Penyakit Peraturan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 26/KepmenKP/2013, tentang Penetapan Jenis-Jenis Hama dan Penyakit Ikan Karantina, Golongan, Media Pembawa dan Sebarannya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 02/Men/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik
Dasar Pembentukan
Kepmen ini dibentuk dalam rangka mengendalikan tingkat penyebaran penyakit dan jenis penyakit ikan karantina, baik di dalam negeri maupun luar negeri Kepmen ini disahkan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan nasional dan internasional
Relevansi Kepmen ini menjadi rujukan untuk mengetahui jenis hama yang menyebabkan terjadinya penyakit pada Udang
Kepmen ini menjadi dasar untuk mengetahui cara pengembangan, perawatan kesehatan, tingkat kelangsungan, dan larva yang bebas penyakit, terkait dengan usaha budidaya Udang
Berdasarkan Tabel 4.62, pembentukan regulasi nasional ini merupakan upaya pemerintah untuk menerapkan cara budidaya udang yang baik. Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan daya saing komoditas Udang di pasar global. 2. Kontrol pemangsa Kriteria ini mengatur mengenai program pemantauan dan pengontrolan predator yang berada di lingkungan budidaya Udang. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria kontrol pemangsa, dapat dilihat pada Tabel 4.63. Tabel 4.63. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Kontrol Pemangsa Peraturan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 02/Men/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik
Dasar Pembentukan
Kepmen ini disahkan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan nasional dan internasional
Relevansi
Kepmen ini dijadikan acuan bagi pelaku usaha untuk memantau dan mengontrol predator pada lahan budidaya Udang
Berdasarkan Tabel 4.63, diketahui bahwa Kepmen ini meskipun tidak secara spesifik membahas tentang pengontrolan pemangsa pada budidaya Udang, tetapi ketentuannya dapat dijadikan rujukan untuk mengaturnya.
116
3. Perlakuan dan pengelolaan penyakit Kriteria ini mengatur mengenai pakan, obat, bahan kimia, serta air yang aman bagi Udang dan lingkungan sekitarnya. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria kontrol pemangsa, dapat dilihat pada Tabel 4.64. Tabel 4.64. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Perlakuan dan Pengelolaan Penyakit Peraturan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2015, tentang Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan serta Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil Perikanan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002, tentang Karantina Ikan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 39/Permen-KP/2015, tentang Pengendalian Residu Obat Ikan, Bahan Kimia, dan Kontaminan pada Kegiatan Pembudidayaan Ikan Konsumsi Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 52A/Kepmen-KP/2013, tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 02/Men/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik
Dasar Pembentukan
Relevansi
PP ini dibentuk dengan maksud sebagai upaya mencegah dan mengendalikan produk perikanan dari pra produksi sampai pendistribusian
PP ini dijadikan landasan bagi pelaku usaha budidaya Udang untuk menghasilkan produk yang bermutu dan aman dikonsumsi
PP ini dibentuk dengan maksud untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam hayati Kepmen ini ditetapkan untuk memberikan jaminan mutu dan keamanan ikan konsumsi hasil budidaya
PP ini dijadikan acuan untuk mengetahui upaya pencegahan dan tersebarnya penyakit Udang
Kepmen ini disahkan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan yang diinginkan konsumen agar dapat bersaing di pasar internasional
Kepmen ini dijadikan dasar bagi pelaku usaha budidaya Udang dalam mengelola penanganan penyakit pada Udang
Kepmen ini disahkan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan nasional dan internasional
Kepmen ini dijadikan petunjuk bagi pelaku usaha budidaya Udang dalam mengelola penanganan penyakitnya
Kepmen ini dijadikan pedoman tata cara menjamin kemanan Udang yang akan dikonsumsi tetap terjaga mutu dan kesehatannya
Berdasarkan Tabel 4.64, diketahui bahwa kebijakan pemerintah terkait dengan perlakukan dan pengelolaan penyakit sangat ketat. Hal ini dimaksudkan agar hasil perikanan (salah satunya Udang) dalam negeri, mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional. Peraturan nasional ini merupakan panduan bagi pelaku usaha budidaya Udang, dalam menjaga mutu dan kemanan produknya agar terhindar dari penyakit. 117
4.5.6.
Prinsip Keenam ASC Prinsip keenam ASC memiliki kriteria: (1) keberadaan spesies Udang eksotis dan
memperkenalkannya; (2) asal larva atau induk; (3) udang transgenic. Identifikasi regulasi nasional terhadap kriteria prinsip keenam ASC adalah sebagai berikut: 1. Keberadaan spesies Udang eksotis dan memperkenalkannya Kriteria ini mengatur tentang tindakan mencegah pelarian Udang non lokal (eksotis) pada saat panen dan pembesaran. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria keberadaan spesies Udang eksotis dan memperkenalkannya, dapat dilihat pada Tabel 4.65. Tabel 4.65. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Keberadaan Spesies Udang Eksotis dan Memperkenalkannya Peraturan -
Dasar Pembentukan -
Relevansi -
Tabel 4.65, menunjukkan bahwa keberadaan spesies Udang eksotis yang mengatur tentang pelarian Udang non lokal pada saat panen dan pembesaran, belum dibentuk regulasinya secara khusus oleh pemerintah. 2. Asal larva atau induk Kriteria ini mengatur tentang asal indukan Udang (bebas penyakit) yang memenuhi pedoman nasional dan internasional. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria asal larva atau induk, dapat dilihat pada Tabel 4.66.
118
Tabel 4.66. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Asal Larva atau Induk Peraturan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 43/Permen-KP/2014, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 32/PermenKP/2013 tentang Larangan Pemasukan Udang dan Pakan Alami dari Negara dan/atau negara Transit yang Terkena Wabah Early Mortality Sindrome atau Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 02/Men/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik
Dasar Pembentukan
Relevansi
Permen ini dibentuk mengendalikan wabah penyakit yang dapat membahayakan budidaya Udang
Permen ini relevan untuk dijadikan acuan untuk mengetahui asal indukan Udang dalam mencegah wabah penyakit
Kepmen ini disahkan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan nasional dan internasional
Kepmen ini relevan menjadi dasar untuk mengetahui ketentuan mengenai indukan Udang yang sehat dan bebas penyakit
Berdasarkan Tabel 4.66, diketahui bahwa regulasi yang sudah ada dapat digunakan sebagai rujukan melakiukan praktek budidaya Udang yang memiliki indukan bebas penyakit. 3. Udang transgenic Kriteria ini mengatur tentang penyisihan Udang budidaya transgenic. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria Udang transgenic, dapat dilihat pada Tabel 4.67. Tabel 4.67. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Udang Transgenic Peraturan -
Dasar Pembentukan -
Relevansi -
Tabel 4.67, menunjukkan bahwa regulasi nasional belum mengatur secara khusus mengenai udang transgenic. 4.5.7.
Prinsip Ketujuh ASC Prinsip ketujuh ASC memiliki kriteria: (1) ketelusuran bahan baku pakan; (2) asal air dan
darat bahan pakan; (3) penggunaan rekayasa genetika bahan dalam pakan; (4) efisiensi penggunaan ikan liar untuk tepung ikan atau minyak; (5) bahan kontaminasi limbah; (6) efisiensi
119
energi; (7) penanganan dan pembuangan bahan berbahaya serta limbah. Identifikasi regulasi nasional terhadap kriteria prinsip ketujuh ASC adalah sebagai berikut: 1. Ketelusuran bahan baku pakan Kriteria ini mengatur tentang asal, jenis, negara asal bahan pakan, dan metode panen. Bahan pakan yang berasal dari produk perikanan harus jelas rantai traceability-nya (melalui skema sertifikasi ISEAL atau ISO 65, yang digabungkan dengan CCRF). Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria ketelusuran bahan baku pakan, dapat dilihat pada Tabel 4.68. Tabel 4.68. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Ketelusuran Bahan Baku Pakan Peraturan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 02/Men/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik
Dasar Pembentukan
Kepmen ini disahkan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan nasional dan internasional
Relevansi
Kepmen ini dijadikan landasan untuk pengaturan bahan baku pakan Udang yang diatur oleh pemerintah
Berdasarkan Tabel 4.68, pengaturan bahan baku yang diatur oleh pemerintah meskipun masih bersifat global, tetapi sudah dapat dijadikan pedoman bagi pelaku usaha untuk mengaturnya. 2. Asal air dan darat bahan pakan Kriteria ini mengatur tentang tepung dan minyak ikan sebagai umpan yang bersertifikat ISEAL. Pengaturan juga ditekankan pada bahan non laut melalui skema sertifikasi ISEAL, khususnya terkait kelestarian dan sosial. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria asal air dan darat bahan pakan, dapat dilihat pada Tabel 4.69. Tabel 4.69. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Asal Air dan darat Bahan Pakan Peraturan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 28/Men/2004, tentang Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 02/Men/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik
Dasar Pembentukan
Kepmen ini dibentuk dalam rangka meningkatkan produksi Udang sebagai komoditas utama dan salah satu penghasil devisa negara Kepmen ini disahkan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan nasional dan internasional
Relevansi
Kepmen ini dijadikan pedoman untuk mengetahui pembuatan pakan Udang yang memperhatikan lingkungan Kepmen ini menjadi acuan untuk mengetahui pengaturan pakan Udang yang memenuhi standar nasional maupun internasional
120
Tabel 4.69, diketahui bahwa regulai yang telah disahkan oleh pemerintah sudah cukup lengkap dalam mengatur bahan pakan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sangat memperhatikan keamanan hasil perikanan, yang bertujuan meningkatkan produksi Udang secara nasional. 3. Penggunaan rekayasa genetika bahan dalam pakan Kriteria ini mengatur tentang: (1) kandungan pakan yang secara genetik dimodifikasi (2) daftar bahan pakan yang tidak mengandung genetik dimodifikasi; (3) ketelusuran nongenetik dimodifikasi oleh produsen pakan dan pembudidaya; (4) mengecek negatif kandungan PCR dalam sampel yang diambil secara acak oleh auditor. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria penggunaan rekayasa genetika bahan dalam pakan, dapat dilihat pada Tabel 4.70. Tabel 4.70. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Penggunaan Rekayasa Genetika Bahan dalam Pakan Peraturan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 02/Men/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik
Dasar Pembentukan
Kepmen ini disahkan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan nasional dan internasional
Relevansi
Kepmen ini dijadikan dasar untuk mengetaui kandungan bahan pakan Udang yang digunakan pelaku usaha dalam budidayanya
Berdasarkan Tabel 4.70, diketahui bahwa Kepmen ini tidak secara khusus mengatur rekayasa genetika bahan dalam pakan Udang. Secara umum Kepmen ini bisa dijadikan rujukan dasar mengetahui kriteria bahan pakan yang baik untuk budidaya Udang. 4. Efisiensi penggunaan ikan liar untuk tepung ikan atau minyak Kriteria ini mengatur tentang: (1) rasio keseteraan pakan ikan; (2) economic feed conversation ratio; (3) protein retention efficiency. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria efisiensi penggunaan ikan liar untuk tepung ikan atau minyak, dapat dilihat pada Tabel 4.71.
121
Tabel 4.71. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Efisiensi Penggunaan Ikan liar untuk Tepung Ikan atau Minyak Peraturan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 28/Men/2004, tentang Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak
Dasar Pembentukan
Kepmen ini dibentuk dalam rangka meningkatkan produksi Udang sebagai komoditas utama dan salah satu penghasil devisa negara
Relevansi
Kepmen ini relevan untuk dijadikan pedoman dalam mengetahui pengaturan pakan udang yang menggunakan ikan liar
Berdasarkan Tabel 4.71, diketahui bahwa regulasi nasional meskipun tidak secara spesifik mengatur tentang ikan liar untuk tepung ikan/minyak, tetapi materinya dapat dijadikan pedoman bagi pelaku usaha budidaya Udang melaksanakan kriteria ASC ini. 5. Bahan kontaminasi limbah Kriteria ini mengatur mengenai beban limbah nitrogen dan fosfor per ton Udang, yang dihasilkan selama periode 12 bulan. Tanggung jawab penanganan dan pengolahan air limbah hasil budidaya, juga diatur dalam kriteria bahan kontaminasi limbah. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria efisiensi penggunaan ikan liar untuk tepung ikan atau minyak, dapat dilihat pada Tabel 4.72. Tabel 4.72. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Bahan Kontaminasi Limbah Peraturan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.02/Men/2007, tentang Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan pada Pembudidayaan Ikan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 02/Men/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik
Dasar Pembentukan
Relevansi
Permen ini dibentuk dengan maksud melindungi kesehatan konsumen, serta mengamankan kawasan lingkungan sumber daya ikan
Permen ini dijadikan rujukan untuk mengetahui pengelolaan air limbah hasil budidaya Udang
Kepmen ini disahkan dalam rangka mewujudkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan nasional dan internasional
Kepmen ini dijadikan acuan untuk mengetahui beban limbah yang terdapat pada usaha budidaya Udang
Tabel 4.72, diketahui bahwa regulasi nasional secara khusus telah mengatur mengenai limbah yang dapat merusak lingkungan. Hal ini dikarenakan, kerusakan lingkungan dapat mengakibatkan dampak buruk bagi keberlanjutan sumber daya alam. Regulasi yang sudah diatur pemerintah relevan untuk dijadikan acuan, dalam mengelola limbah pada usaha budidaya Udang. 122
6. Efisiensi energi Kriteria ini mengatur mengenai konsumsi dan kebutuhan energi oleh sumber daya selama 12 bulan. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria efisiensi energi, dapat dilihat pada Tabel 4.73. Tabel 4.73. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Efisiensi Energi Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007, tentang Energi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014, tentang Kebijakan Energi Nasional
Dasar Pembentukan
UU ini dibentuk dalam rangka menjamin ketersediaan energi secara berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu PP ini sebagai pelaksana UU No. 30 Tahun 2007, tentang Energi
Relevansi
UU ini menjadi dasar untuk mengetahui batasan mengenai konsumsi dan kebutuhan energi yang ditetapkan pemerintah PP ini merupakan peraturan teknis untuk memahami kebutuhan energi yang ideal untuk usaha budidaya Udang
Berdasarkan Tabel 4.73, diketahui bahwa regulasi nasional yang dibentuk dapat dijadikan acuan bagi pelaku usaha budidaya Udang dalam memanfaatkan sumber energi secara efisien. 7. Penanganan dan pembuangan bahan berbahaya serta limbah Kriteria ini mengatur mengenai ketentuan penanganan bahan kimia yang berbahaya dan upaya daur ulangnya. Regulasi nasional yang relevan dengan kriteria efisiensi energi, dapat dilihat pada Tabel 4.74. Tabel 4.74. Penelusuran Peraturan Nasional tentang Penanganan dan Pembuangan Bahan Berbahaya serta Limbah Peraturan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.02/Men/2007, tentang Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan pada Pembudidayaan Ikan
Dasar Pembentukan
Permen ini dibentuk dengan maksud melindungi kesehatan konsumen, serta mengamankan kawasan lingkungan sumber daya ikan
Relevansi
Permen ini dijadikan petunujuk untuk mengetahui penanganan dan pengelolaan daur terhadap bahan kimia yang berbahaya pada usaha budidaya Udang
Tabel 4.74, menunjukkan bahwa secara garis besar pemerintah sudah memberikan koridor untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup terhadap adanya pencemaran. Permen ini materinya sudah tegas mengatur penanganan limbah bahan kimia berbahaya dan upaya mendaur ulangnya. 123
Regulasi nasional yang sudah dibentuk hampir secara keseluruhan, sudah mendukung kriteria dalam prinsip ASC. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap peraturan tertulis nasional yang telah disahkan, materinya ada yang sudah mengatur secara khusus dan ada juga yang masih secara umum. Regulasi yang mengatur secara umum ini, dapat diartikan bahwa pemerintah masih akan melakukan kajian atau memang belum termasuk ke dalam perencanaan hukum untuk diatur secara khusus. Kondisi tersebut, menunjukkan bahwa regulasi yang mengatur secara umum dan dijadikan payung hukum saat ini, sudah dirasakan cukup menjadi dasar pengaturannya. Regulasi nasional yang telah mengatur secara khusus, memberikan pemahaman bahwa pemerintah sudah membuat ketentuannya lebih rinci. Peta regulasi nasional yang sudah mengatur secara khusus dan umum terhadap prinsp ASC, dapat dilihat pada Tabel 4.75.
124
Tabel 4.75. Pengaturan Regulasi Nasional terhadap Kriteria ASC Kriteria ASC Dokumen kepatuhan terhadap persyaratan hukum nasional dan lokal Pengkajian dampak lingkungan keanekaragaman hayati Konservasi kawasan lindung atau habitat kritis Pertimbangan habitat kritis untuk spesies langka Koridor, pembatas, dan penyangga ekologi Pencegahan salinisasi air tawar dan sumber tanah Dampak terhadap masyarakat sekitar, pengguna ekosistem, dan pemilik lahan harus menjadi bahan perhitungan Penyelesaian klaim dari pemangku kepetingan Keterbukaan peluang penyediaan tenaga kerja pada masyarakat lokal Perjanjian kontrak budidaya yang adil dan transparan bagi kontrak pembudidaya ikan Tenaga kerja anak-anak dan pekerja muda Paksaan kewajiban mengikat pekerja Diskrimasi di lingkungan kerja Kesehatan dan keamanan lingkungan kerja Upah minimum yang adil dan layak Kebebasan mengakses organisasi dan hak bersama untuk posisi tawar Pelecehan dan disiplin praktek di lingkungan kerja, yang menyebabkan kerusakan fisik dan/atau mental sementara maupun permanen Kompensasi lembur dan jam kerja Kontrak kerja yang adil dan transparan Keadilan dan keterbukaan sistem pengelolaan pekerja Kondisi tempat tinggal pekerja yang menetap di lahan budidaya Pencegahan penyakit Kontrol pemangsa Perlakuan dan pengelolaan penyakit Keberadaan spesies Udang eksotis dan memperkenalkannya Asal larva atau induk Udang transgenic Ketelusuran bahan baku pakan Asal air dan darat bahan pakan Penggunaan rekayasa genetika bahan dalam pakan Efisiensi penggunaan ikan liar untuk tepung ikan atau minyak Bahan kontaminasi limbah Efisiensi energi Penanganan dan pembuangan bahan berbahaya serta limbah
Regulasi Nasional Mengatur Khusus Mengatur Umum V
V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V -
V V
V V V V V V
Berdasarkan Tabel 4.75, diketahui bahwa regulasi nasional yang ditetapkan pemerintah memberikan landasan yang cukup dalam mendukung variabel prinsip ASC. Variabel ASC yang tidak didukung/belum ada ketentuannya, adalah keberadaan spesies Udang eksotis dan Udang transgenic. Ketiadaan regulasi nasional yang mendukung kedua variabel ini, tidak menjadi hambatan bagi pelaku usaha bisa mendapatkan sertifikat ASC. Dukungan kebijakan nasional 125
yang sudah ada, dirasakan dapat membantu pelaku usaha memenuhi syarat ekolabeling internasional dalam melakukan budidaya Udang yang baik.
4.6.
Rencana Aksi terhadap Prinsip MSC dan ASC Hukum menjadi penting sejak hukum merupakan instrumen kebijakan (Jeane Neltje Saly
dalam Hidayat dan Hidayat, 2010). Hukum adalah perwujudan kebijakan publik ditinjau dari sisi produk, proses, dan muatan. Produk hukum yang digunakan menjadi landasan pelaksanaan ekolabeling, mempunyai misi mengakomodir kepentingan pelaku usaha perikanan dalam membantu pemerintah meningkatkan ekonomi. Rencana aksi kegiatan perekonomian melalui skema ekolabeling untuk produk perikanan, menjadi strategis bagi pembangunan nasional dan perluasan lapangan kerja. Rencana aksi terhadap prinsip MSC, dapat dilihat pada Tabel 4.76.
126
Ketentuan MSC
Keberlanjutan Stok Ikan
Tabel 4.76. Rencana Aksi terhadap Prinsip Ekolabeling MSC Variabel
Status ketersediaan ikan terkait produktivitas Ketersediaan ikan yang terkait dengan ekosistem Upaya pemulihan kembali ketersediaan ikan Strategi Produksi
Penilaian ketersediaan ikan
Outcome spesies utama Strategi pengelolaan spesies utama
1 regulasi (1 Kepmen KP) 1 regulasi (1 UU)
Informasi spesies utama Outcome spesies kedua
2 regulasi (2 Kepmen KP) 1 regulasi (1 Kepmen KP)
Strategi pengelolaan spesies kedua
2 regulasi (1 Permen KP dan 1 Kepmen KP) 2 regulasi (1 Permen KP dan 1 Kepmen KP) 1 regulasi (1 Permen KP) 2 regulasi (1 UU dan 1 Permen KP) 2 regulasi (1 UU dan 1 Permen KP) 2 regulasi (1 UU dan 1 PP) 2 regulasi (1 UU dan 1 Permen KP) 1 regulasi (1 UU) 1 regulasi (1 UU) 1 regulasi (1 UU)
Ketentuan pengendalian produksi dan faktor pendukung Informasi/monitoring
Dampak Lingkungan Hidup
Informasi spesies kedua Outcome spesies ETP Strategi pengelolaan spesies ETP Informasi spesies ETP Outcome habitat Strategi pengelolaan habitat Informasi habitat Outcome ekosistem Strategi pengelolaan ekosistem Efektivitas pengelolaan
Regulasi Nasional
5 regulasi (1 UU, 2 Permen KP, 2 Kepmen KP) 4 regulasi (2 UU, 1 PP, dan 1 Kepmen KP) 4 regulasi (1 UU, 1 PP, 1 Permen KP, dan 1 Kepmen KP) 3 regulasi (2 Permen KP, dan 1 Kepmen KP) 3 regulasi (2 Permen KP, dan 1 Kepmen KP) 7 regulasi (4 Permen KP, 2 Kepmen KP, dan 1 Kep Dirjen PSDKP) 1 regulasi (1 Kepmen KP)
Informasi ekosistem Kerangka hukum dan/atau kebiasaan Konsultasi, aturan, dan tanggung jawab Tujuan jangka panjang
1 regulasi (1 UU) 1 regulasi (1 UU)
Tujuan khusus perikanan
1 regulasi (1 UU)
Proses pengambilan keputusan Kepatuhan dan penegakan
1 regulasi (1 UU) 1 regulasi (1 UU)
Monitoring dan evaluasi kinerja manajemen
1 regulasi (1 UU)
1 regulasi (1 UU) 1 regulasi (1 UU)
Rencana Aksi
Harmonisasi terhadap regulasi yang terkait dengan pengelolaan sumber daya ikan Tuna Penataan dan peningkatan sistem pengumpulan data serta manajemen administrasi data terpadu Mengkaji pengelolaan konservasi dan potensi sumber daya ikan tuna, serta peningkatan peran PUSLITBANGKAN-KKP Pembentukan aturan teknis yang memperjelas peran dan fungsi pengumpulan data secara terpadu/one data (menghindari perbedaan informasi terhadap kebutuhan data) Melakukan monitoring dan evaluasi secara periodik terhadap pencapaian tujuan yang diamanatkan dalam RPP-Tuna Menata sistem pengawasan dan penegakan hukum yang tegas Meningkatkan peran observer dan kebenaran pengisian logbook
Pembuatan kebijakan dibarengi kajian terlebih dahulu yang melibatkan peran BALITBANG-KP Melakukan sosialisasi secara rutin terkait aturan dan peran pihak yang terlibat di dalam pengaturan Mendorong kinerja satuan tugas yang sudah ada dalam proses pencapaian tujuan sesaui dengan yang diharapkan
127
Berdasarkan Tabel 4.76, diketahui bahwa ketentuan MSC sangat rigid mengawal keberlansungan ikan dan dampaknya terhadap lingkungan. MSC menekankan pada pentingnya stock status, ecosistem impacts, dan governance. Peran pemerintah sangat diperlukan untuk mendorong pelaku usaha mendapatkan ekolabeling. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan mempunyai peran besar membuat regulasi. Regulasi nasional yang sudah ada saat ini, masih banyak yang pengaturannya bersifat umum. Hal tersebut perlu dipertimbangkan, untuk membuat peraturan teknis secara komprehensif. Harmonisasi terhadap regulasi nasional juga diperlukan, agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan. Pemerintah perlu memperbaiki sistem data dan manajemen administrasinya, terkait dengan keberlanjutan stok ikan dalam rangka pengumpulan dan pengkinian data. Peran Balitbang-KP harus lebih ditingkatkan untuk mengkaji potensi Tuna dan pengelolaan konservasi. Koordinasi antara Balitbang dan Ditjen Perikanan Tangkap KKP, sangat diperlukan sebagai sarana memperbaharui data perikanan Tuna serta . Dampak lingkungan hidup yang dipersyaratkan dalam MSC, membutuhkan perhatian pelaku usaha dan pemerintah. Dampak pemanfaatan perikanan Tuna yang tidak bertanggung jawab dapat memberikan efek negatif terhadap ekosistem serta habitat Tuna. Sistem pengawasan terpadu dan implementasi penerapan sanksi yang tegas, merupakan salah satu upaya yang dapat dijadikan sarana pencapaian tujuan mengurangi efek negatif terhadap lingkungan. Dampak lingkungan pengelolaan Tuna sudah menjadi agenda KKP pada RPP-Tuna. RPP-Tuna merupkan program strategis nasional yang dibuat KKP, dalam menciptakan pengelolaan sumber daya Tuna yang lestari. Berdasarkan hasil kajian, diketahui bahwa pengisian log book belum berjalan baik, Hal ini disebabkan tidak semua log book diisi oleh nakhoda dan data yang diberikan belum dapat dipastikan kebenarannya. Peran observer harus dioptimalkan untuk memonitor pengisian log book. Pengoptimalan observer dibutuhkan, karena pengelolaan perikanan Tuna terikat organisasi internasional yang membatasi pemanfaatannya (berdasarkan kuota). Kebenaran data melalui observer sangat membantu Indonesia menambah kuota penangkapan Tuna. Rencana aksi sebagaimana yang menjadi ketentuan MSC dalam efektivitas pengelolaan, perannya lebih cenderung kepada pemerintah. Pemerintah dituntut membentuk kebijakan 128
sesuai dengan pengelolaan perikanan berkelanjutan. Pembuatan kebijakan sebaiknya didahului dengan kajian yang melibatkan Balitbang-KP. Hal ini dilakukan agar penetapan kebijakan terukur dari segi dampak dan pencapaian tujuan. Implementasi setiap kebijakan perlu adanya proses sosialisasi secara holistik. Tujuannya, agar rumusan pasalnya bisa dipahami dan dilaksanakan dengan baik. Proses sosialisasi kebijakan sangat diperlukan, agar masyarakat berperilaku sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah. Menurut Soekanto dalam Abdurrahman (2009), derajat tinggi rendahnya kepatuhan terhadap hukum positif tertulis, salah satunya didasarkan pengetahuan dan pemahaman hukum. Kelancaran pelaksanaan efektivitas pengelolaan harus dibantu kinerja satuan tugas yang sudah dibentuk KKP. Satuan tugas ini berfungsi untuk mengawal pelaksanaan kebijakan mencapai tujuan yang diharapkan. Konsepsi ekolabeling dalam perdagangan bebas, mengharuskan pemerintah membuat kebijakan yang mengatur terjadinya kelancaran proses pelaksanaannya. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan sektor perikanan memiliki daya saing tinggi pada tingkat glonal. Menurut Tri F. Mounty dalam Halim dan Damayanti (2007), upaya merealisasikannya membutuhkan aturan main/kebijakan di bidang perundangan. Rencana aksi terhadap prinsip ASC, dapat dilihat pada Tabel 4.77. Ketentuan ASC
Kepatuhan terhadap semua peraturan perundang-undangan yang berlaku baik nasional maupun lokal Kesesuaian lokasi budidaya perikanan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem alami penting
Pengembangan dan pelaksanaan budidaya dengan mempertimbangkan masyarakat sekitar
Tabel 4.77. Rencana Aksi terhadap Prinsip Ekolabeling ASC Kriteria
Regulasi Nasional
Rencana Aksi
Dokumen kepatuhan terhadap persyaratan hukum nasional dan lokal
1 regulasi (1 UU)
Melakukan pengawasan, evaluasi, serta monitoring secara reguler
Pengkajian dampak lingkungan keanekaragaman hayati Konservasi kawasan lindung atau habitat kritis Pertimbangan habitat kritis untuk spesies langka Koridor, pembatas, dan penyangga ekologi Pencegahan salinisasi air tawar dan sumber tanah Dampak terhadap masyarakat sekitar, pengguna ekosistem, dan pemilik lahan harus menjadi bahan perhitungan Penyelesaian klaim dari pemangku
5 regulasi (2 UU, 1 Permen KP, dan 2 Kepmen KP) 3 regulasi (1 UU, 1 Keppres, dan 1 PP) 2 regulasi (1 UU dan 1 PP)
Mengharmonisasikan peran PSDKP dan Ditjen Budidaya, serta pemerintah daerah, dalam melakukan pengawasan
2 regulasi (1 UU dan 1 Kepmen KP) 2 regulasi (2 Kepmen KP) 1 regulasi (1 UU)
Pemerintah bekerja sama dengan pemerintah daerah, serta stakeholder, terkait pengembangan dan pelaksanaan budidaya
1 regulasi (1 UU)
129
Pelaksanaan budidaya dengan praktek yang bertanggung jawab
Mengelola kesehatan dan tanggung jawab memperlakukannya Mengelola indukan asli, seleksi stok, dan dampak pengelolaan stok
kepetingan Keterbukaan peluang penyediaan tenaga kerja pada masyarakat lokal Perjanjian kontrak budidaya yang adil dan transparan bagi kontrak pembudidaya ikan Tenaga kerja anak-anak dan pekerja muda Paksaan kewajiban mengikat pekerja Diskrimasi di lingkungan kerja Kesehatan dan keamanan lingkungan kerja Upah minimum yang adil dan layak Kebebasan mengakses organisasi dan hak bersama untuk posisi tawar Pelecehan dan disiplin praktek di lingkungan kerja, yang menyebabkan kerusakan fisik dan/atau mental sementara maupun permanen Kompensasi lembur dan jam kerja Kontrak kerja yang adil dan transparan Keadilan dan keterbukaan sistem pengelolaan pekerja Kondisi tempat tinggal pekerja yang menetap di lahan budidaya Pencegahan penyakit Kontrol pemangsa Perlakuan dan pengelolaan penyakit Keberadaan spesies Udang eksotis dan memperkenalkannya Asal larva atau induk Udang transgenic
Penggunaan sumber daya yang ramah lingkungan dan perilaku bertanggung jawab
Ketelusuran bahan baku pakan Asal air dan darat bahan pakan Penggunaan rekayasa genetika bahan dalam pakan Efisiensi penggunaan ikan liar untuk tepung ikan atau minyak Bahan kontaminasi limbah Efisiensi energi Penanganan dan pembuangan bahan berbahaya serta limbah
1 regulasi (1 UU) 2 regulasi (2 UU) 1 regulasi (1 UU) 1 regulasi (1 UU)
Pemerintah melalui Ditjen Budidaya secara aktif membuat program dan mengawal pengelolaannya, terkait dengan tenaga kerja
1 regulasi (1 UU) 2 regulasi (1 UU dan 1 Kepmen KP) 1 regulasi (1 UU) 1 regulasi (1 UU) 1 regulasi (1 UU)
1 regulasi (1 UU) 1 regulasi (1 UU) 1 regulasi (1 UU) 2 regulasi (1 UU dan 1 Kepmen KP) 2 regulasi (2 Kepmen KP) 1 regulasi (1 Kepmen KP) 5 regulasi (2 PP, 1 Permen, dan 2 Kepmen KP) Belum diatur dalam regulasi nasional 2 regulasi (1 Permen KP dan 1 Kepmen KP) Belum diatur dalam regulasi nasional 1 regulasi (1 Kepmen KP) 2 regulasi (2 Kepmen KP) 1 regulasi (1 Kepmen KP)
Peran aktif pemerintah melalui BKIPM-KKP diperlukan dalam mengawasi setiap produk Udang (khususnya untuk konsumsi ekspor) Pembuatan peraturan teknis perlu dipertimbangkan untuk memberikan pengaturan yang komprehensif terhadap aspek budidaya nasional Bekerja sama dengan otoritas daerah, untuk melakukan pengawasan secara terpadu dan terkoordinasi
1 regulasi (1 Kepmen KP) 2 regulasi (1 Permen KP dan 1 Kepmen KP) 2 regulasi (1 UU dan 1 PP) 1 regulasi (1 Permen KP)
130
Tabel 4.77, menjelaskan bahwa regulasi nasional yang mendukung ASC sudah memberikan koridor pada praktek usaha budidaya Udang yang baik. Materi regulasi nasional yang dibentuk oleh pemerintah sudah jelas dalam mendukung ke arah sertifikat ekolabel ASC. Prinsip untuk mendapatkan sertifikasi ASC, menekankan kepada cara budidaya yang baik dilakukan oleh petambak. Peraturan yang telah disahkan, masih ada yang bersifat umum dan ada yang belum diatur sesuai dengan kriteria ASC. Pengawasan, evaluasi, dan monitoring, merupakan peran pemerintah mengawal prinsip kepatuhan pelaku usaha terhadap regulasi nasional dan lokal. Rencana aksi ini sangat dibutuhkan dalam rangka menciptakan praktek budidaya yang benar dan berdaya saing di pasar internasional, serta memperhatikan aspek keberlanjutan maupun lingkungannya. Lingkungan usaha budidaya merupakan faktor penting menjaga keanekaragaman hayati di sekitarnya. Lahan usaha budidaya tidak diharapkan mengganggu kawasan lindung atau menggesernya. Krietria kesesuaian lokasi budidaya Udang ini, harus tetap terjaga dengan benar. Rencana aksi yang diperlukan adalah dengan mengharmonisasikan peran PSDKP, Ditjen Budidaya-KKP, serta pemerintah daerah, dalam melakukan pegawasan setiap lahan budidaya. Hal ini dilakukan, untuk mencegah agar lahan usaha budidaya tetap sesuai dengan peruntukkannya dan tidak menggangu ekosistem alami penting. Pengelolaan usaha budidaya Udang harus dilakukan dengan benar, terutama terhadap tenaga kerja dan lingkungan kerja. Lingkungan kerja dengan iklim yang kondusif dapat meningkatkan produktivitas usaha. Rencana aksi pemerintah untuk mengawal tenaga kerja yang terlibat pada usaha budidaya Udang, harus secara aktif membuat program dan melakukan pengawasan terkoordinasi melalui Ditjen Budidaya-KKP. Produk Udang yang dihasilkan oleh usaha budidaya juga mendapat perhatian dalam prinsip ASC. Produk yang sehat dan baik, sangat mempengaruhi terhadap penerimaan konsumen (khususnya ekspor). Peran aktif pemerintah melalui Badan Karantina Ikan serta Pengendalian Mutu dan Kemanan (BKIPM), menjadi pintu utama praktek pengawasan. Pemerintah melalui regulasi nasional belum mendukung secara komprehensif mengenai kriteria pengelolaan indukan asli, seleksi stok, dan dampak pengelolaan stok. Pembentukan kebijakan teknis untuk mengaturnya perlu dilakukan. Hal ini bertujuan agar pelaku usaha 131
memiliki dasar hukum, jika ingin menggunakan sertifikasi ASC untuk produknya. Rencana aksi berdasarkan regulasi nasional yang sudah ada untuk penggunaan sumber daya yang ramah lingkungan dan perilaku bertanggung jawab, membutuhkan kerja sama dengan daerah untuk melakukan pengawasan secara terpadu dan terkoordinasi. Kerja sama ini dilakukan agar upaya peningkatan kapasitas melalui produksi Udang, tidak semata hanya kepentingan ekonomi saja (tanpa memperhatikan kondisi fisik lingkungan dan sarana pendukung yang digunakan).
4.7.
Kepatuhan Eksportir Udang dan Tuna dalam Melaksanakan Sistem Ekolabeling Pengertian pengelolaan perikanan menurut Pasal 1, Butir 7, UU Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 45 Tahun 2009 adalah: “Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati”.
Prinsip pengelolaan perikanan berdasarkan UU perikanan, mengatur tentang pemanfaatan dan pendayagunaan perikanan dalam WPP Republik Indonesia secara optimal, berkelanjutan, dan lestari. Pengelolaan perikanan pada wilayah perairan Indonesia, meliputi upaya pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya yang terkandung di dalamnya. Pemanfaatan dan pendayagunaan yang dilakukan, harus mematuhi ketentuan dan peraturan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dengan prinsip kehati-hatian. Hal ini bertujuan, agar masyarakat dunia memiliki perhatian terhadap keberlangsungan sumber daya perikanan yang sudah
mengalami
penurunan
produksi.
Kewenangan
untuk
memanfaatkan
dan
mendayagunakan sumber daya ikan oleh setiap negara (baik di wilayah perairannya maupun laut lepas), terikat dengan kaedah hukum internasional yang mengaturnya. Ekolabel perikanan merupakan momen masuknya instrumen pasar dalam menangani masalah ekologis. Penelitian Muswar (2011), menyatakan bahwa dengn adanya ekolabel, muncul beberapa dampak pada lingkungan ekologis perairan:
132
1. Tidak diperbolehkannya perikanan tangkap yang menggunakan alat tangkap yang merusak (destructive fishing), seperti bom ataupun zat kimia berbahaya. Diharapkan wilayah perairan laut yang sebelumnya Terkena dampak negatif akibat penangkapan yang merusak dapat pulih kembali. 2. Stok ikan dapat mulai dikendalikan. 3. Penangkapan ikan yang memperhatikan keanekaragaman hayati ikan. Ikan langka dan hampir punah tidak dapat diperjualbelikan. 4. Dengan tidak digunakannya zat-zat kimia berbahaya dalam sistem penangkapan ikan, meminimalisir masyarakat pesisir di sekitar pantai terkontaminasi zat berbahaya. Manfaat yang diperoleh dengan adanya sertifikasi ekolabel perikanan (Udang dan Tuna) adalah mendorong konsumen agar memilih produk yang memberikan dampak lingkungan lebih kecil, dibandingkan dengan produk lain sejenis. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang mempunyai ekosistem perairan tropis, memiliki karakteristik dinamika sumber daya ikan yang tinggi. Tingginya dinamika sumber daya ikan tersebut, merupakan bagian yang melekat dengan kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities). Pada konteks ini, pengelolaan perikanan menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan dengan dinamika ekosistem sebagai media hidup untuk sumber daya ikan itu sendiri. Keinginan pasar internasional terpengaruh dengan adanya isu global mengenai produksi perikanan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Negara pengimpor yang masyarakatnya sudah memiliki kesadaran, menginginkan makanan yang dikonsumsinya memiliki sertifikat/label ramah lingkungan dan berkelanjutan. Preferensi konsumen oleh pelaku usaha/buyer (khususnya produk perikanan), ditindaklanjuti dengan mensyaratkan produk yang dibelinya dilabeli/diberi logo. Pemberian sertifikasi atau logo ekolabel, bisa dilakukan oleh lembaga independen yang diakui dunia internasional. Hal ini bertujuan memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat. Kepatuhan (compliance) pelaku usaha dan pemerintah terhadap ekolabel, merupakan kepentingan meningkatkan daya saing terhadap produksi perikanan dalam memenuhi pasar internasional.
133
4.7.1.
Penerapan Ekolabel MSC Komoditas Tuna di Bali
4.7.1.1. Usaha Perikanan Tangkap Tuna Penangkapan Tuna di wilayah Benoa (Bali) masuk dalam area kewenangan IOTC dan CCSBT. Area kewenangan tersebut meliputi wilayah Samudera Hindia, Samudera Pasifik (barat dan selatan), Laut Banda, Laut Arafuru, dan laut lepas. Alat tangkap yang banyak digunakan pada kawasan Pelabuhan Benoa adalah long line dan purse seine. Pemantauan terhadap penangkapan Tuna yang dilakukan oleh nelayan telah diatur menggunakan sistem Log Book. Menurut Permen KP Nomor Per.18/MEN/2010, tentang Log Book penangkapan Ikan (Permen 18/2010), terminologi log book adalah laporan harian tertulis nakhoda mengenai kegiatan penangkapan ikan. Sistem pengawasan yang terkait dengan log book pengisiannya sudah dilaksanakan, akan tetapi kebenarannya belum bisa dipertanggungjawabkan. Penerapan VMS juga telah diberlakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pihak yang mempunyai kepentingan terhadap konvensi IOTC dan CCSBT di Bali, salah satunya adalah ATLI. Pada tahun 2012, kapal yang dimiliki oleh anggota ATLI untuk IOTC sebanyak 491 kapal dan 141 kapal untuk CCSBT. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan pada tahun 2011, dimana jumlah kapal untuk IOTC sebanyak 54 dan untuk CCSBT 31 kapal. Data jumlah kapal penangkap Tuna (Yellowfin, Bluefin, Bigeye, dan Albacore) serta ikan lainnya anggota ATLI berdasarkan log book hingga periode tahun 2016, dapat dilihat pada Tabel 4.78. Tabel 4.78. Data Kapal Anggota ATLI dan Jumlah Produksinya
No. Tahun Jumlah Kapal Produksi Tuna (Ton) 1. 2011 845 13.444,13 2. 2012 926 9.085,30 3. 2013 889 7.322,65 4. 2014 898 14.591,31 5. 2015 705 7.367,83 6. 2016* 592 5.572,70 Sumber: ATLI (2016) Catatan: Tahun 2016 data hanya sampai bulan Agustus
Produksi Ikan Lainnya (Ton) 456,29 1.652,44 7.670,99 15.650,10 11.131,26 10.951,62
Jumlah (Ton) 13.900,42 10.737,74 14.388,71 30.241,41 18.499,09 16.524,32
Berdasarkan Tabel 4.78. terdapat dua instansi yang aktif dalam kegiatan sertifikasi tangkapan Tuna, yaitu PPN Pengambengan dan PSDKP Benoa. 134
Tujuan ekspor pemasaran hasil tangkapan Tuna anggota ATLI meliputi: Jepang (85%): dalam keadaan utuh (sirip, insang, dan perut dibuang); Amerika (10%): dalam bentuk kepala; Uni Eropa (5%): ketentuan ekspor yang diberlakukan memiliki aturan yang ketat. Mekanisme pembagian kuota tangkapan sumber daya ikan Tuna, kewenangannya ditentukan oleh Direktorat SDI DJPT-KKP (merupakan kesepakatan bersama dengan pengusaha). Kuota yang dimiliki Indonesia saat ini masih rendah, dikarenakan hasil yang dilaporkan pengusaha juga rendah (berdasarkan tagging). Produksi Tuna dalam 6 tahun terakhir pada area kewenangan IOTC dan CCSBT, menunjukkan adanya penurunan hasil tangkapan. Data produksi jenis Tuna anggota ATLI berdasarkan log book tahun 2011 -2016, dapat dilihat pada Tabel 4.79. Tabel 4.79. Jumlah Produksi Tuna Menurut Jenisnya Jenis
2011 411.68 5,344.07 4,694.48 993.90 13,444.13
2012 529.56 3,354.62 2,106.51 3,094.61 9,085.30
Produksi (Ton) 2013 2014 579.90 661.49 646.99 2,195.30 2,140.15 4,767.86 3,955.61 6,966.65 7,322.65 14,591.30
Bluefin Tuna Bigeye Tuna Yellowfin Tuna Albacore Total Sumber: ATLI (2016) Catatan: Tahun 2016 data hanya sampai bulan Agustus
2015 745.00 1,230.79 3,044.19 2,347.84 7,367.82
2016* 414.09 1,052.83 2,794.39 1,311.39 5,572.70
Berdasarkan Tabel 4.79, diketahui bahwa ekspor Tuna segar yang tercatat di ATLI pada tahun 2015 sebesar 4.089.565 kg (nilai US$ 29.329.544). Nilai produksi ekspor untuk Tuna beku pada tahun 2015 sebesar US$ 44.273.875, dengan jumlah 8.427.052 kg. Penurunan total produksi yang dihadapi perikanan tangkap untuk komoditas Tuna di Bali adalah dilarangnya transhipment, melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
57/Permen-KP/2014,
tentang
Perubahan
Kedua
atas
Pemrn
KP
Nomor
Per.30/Men/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (Permen KP No. 57/Permen-KP/2014). Berlakunya Permen KP No. 57/Permen-KP/2014, sejak bulan November 2014 berdampak terhadap: Volume tangkapan Tuna segar yang memenuhi syarat ekspor dengan grade sashimi menurun drastis.
135
Terhentinya izin operasi sebanyak 76 unit kapal pengangkut milik anggota ATLI, yang selama ini mengangkut dari kapal penangkap di tengah laut untuk langsung diekspor melalui Bandara Ngurah Rai. Terjadinya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan pengangguran terhadap mantan ABK kapal pengangkut. Tanggal 29 April 2016, pemerintah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor: 1/Per-DJPT/2016, tentang Penangkapan Ikan dalam Satu Kesatuan Operasi. Peraturan ini pada awalnya diperkirakan dapat membantu mengatasi permasalahan transhipment di wilayah Bali, tetapi setelah dilaksanakan tidak memberikan solusi. Hal ini dikarenakan operasional kapal penangkap Tuna long line terganjal dalam Pasal 4 Huruf f. Pasal tersebut menetapkan bahwa kapal penangkap wajib kembali ke pelabuhan pangkalan setidaknya setiap 3 bulan sekali, serta adanya keawajiban membuat pakta integritas yang harus ditandatangani banyak pihak. Kondisi tersebut pada kenyatannya, tidak sesuai dengan operasional kapal long line anggota ATLI yang bersandar lebih dari 3 bulan. Kapal long line jarang bersandar ke pelabuhan, disebabkan untuk menghemat ongkos bahan bakar solar. Birokrasi yang panjang untuk membuat pakta integritas, seakan-akan tidak disadari pemerintah akan menghambat operasional aktivitas penangkapan di Bali. Diterbitkannya Peraturan Ditjen Tangkap ini, menunjukkan kekhasan kompleksitas budaya birokrasi pemerintah yang panjang. 4.7.1.2. Kesiapan Eksportir Tuna Mengadopsi Prinsip MSC Kesiapan eksportir untuk menerapkan prinsip MSC, menunjukkan kemampuan perusahaan eksportir Tuna di Bali memenuhi syarat yang ditentukan. Kesiapan merupakan indikator kemampuan ekportir untuk memperoleh sertifikat MSC. Hasil analisis terhadap kesiapan eksportir Tuna di Bali untuk menerapkan berbagai standar ekolabelling yang disyaratkan oleh MSC, dapat dilihat pada Tabel 4.80.
136
Tabel 4.80. Kesiapan Eksportir di Bali Mengadopsi Prinsip MSC Prinsip
Rata-Rata
Pertama 29% Kedua 33% Ketiga 59% Total 38% Sumber: Olahan Data Primer (2016)
Minimum 0% 0% 0% 1%
Maximum 71% 68% 100% 66%
Tabel 4.80, menggambarkan bahwa tidak ada satupun eksportir di Bali yang sudah siap menerapkan standar MSC secara penuh. Tingkat kesiapan para eksportir mengadopsi berbagai standar MSC, jauh nilainya daripada eksportir di Bitung. Nilai total kesiapan eksportir di Bali hanya mencapai rata-rata kesiapan sebesar 38%, dengan nilai paling rendah 1% dan nilai tertinggi mencapai 66%. Nilai total tersebut, menunjukkan belum siapnya eksportir di Bali memenuhi standar MSC. Kesiapan paling rendah terjadi pada prinsip pertama (nilai rata-rata 29%, minimum 0%, dan maksimum 71%). Prinsip pertama ini mengatur tentang keberlanjutan stok ikan yang pada intinya menekankan, ketersediaan dan upaya pemulihan sumber daya ikan. Menurut hasil wawancara, diketahui bahwa rendahnya prinsip pertama tersebut, karena selama ini perusahaan kurang mendapatkan informasi yang pasti mengenai data ketersediaan ikan Tuna dan bagaimana upaya untuk memulihkannya. Hal ini disebabkan bahwa Tuna memiliki sifat hidup yang bermigrasi (berpindah-pindah) dan tidak menetap. Faktor sifat alamiah Tuna itulah, yang menyulitkan manajemen perusahaan untuk mengantisipasi upaya pengendaliannya. Kesiapan paling rendah berikutnya terjadi pada prinsip kedua, dengan nilai rata-rata 33% (minimum 0% dan maksimum 68%). Prinsip kedua ini memberikan fokus terhadap dampak lingkungan hidup akibat pemanfaatan sumber daya ikan (tidak hanya Tuna). Kondisi ini menurut eksportir yang menjadi kendala, bahwa pihak perusahaan tidak ikut mengawasi proses penangkapan di laut. Perusahaan hanya mendapatkan hasil akhir saja mengani produk yang didistribusikan oleh nelayan. Pencatatan log book sebagai salah satu upaya pengawasan, menurut manajemen perusahaan masih memiliki hambatan yang harus dibenahi. Kesiapan eksportir Tuna di Bali, memiliki kemampuan yang besar memenuhi syarat MSC pada prinsip ketiga (nilai rata-rata 59%, minimum 0%, dan maksimum 100%). Prinsip ini mengatur tentang efektivitas pengelolaan yang terkait dengan kerangka hukum, aturan, 137
maupun tanggung jawab. Ekspotir Tuna di Bali merupakan mitra pemerintah dan segala ketentuan yang diamanatkan pemerintah akan selalu dipenuhi keawajibannya. Para eksportir menyadari, bahwa pemerintah merupakan faktor utama dalam mendukung kemajuan bisnis perusahaan dan upaya pengelolaan Tuna. 4.7.1.3. Implementasi Prinsip Ekolabel MSC Pelaku usaha produk perikanan Tuna di Bali sudah tidak asing dengan sertifikasi ekolabel. Sertifikasi ekolabel yang menjadi syarat tambahan di luar ekspor, sudah diikuti oleh beberapa perusahaan eksportir besar di Bali. Hal ini dilakukan perusahaan untuk menjaga kepercayaan pembeli dan menjaga nilai pendapatan. Kepedulian negara yang menjadi tujuan ekspor terhadap produk Tuna yang ramah lingkungan dalam pemanfaatannya saat ini, menyebabkan sertifikasi ekolabel menjadi penting. Berdasarkan hasil kajian diketahui, bahwa sertifikasi ekolabel tertentu terhadap produk yang dinginkan konsumen jika tidak dapat dipenuhi, dapat menyebabkan perusahaan kehilangan pasarnya. Hal ini dikarenakan konsumen akan mencari suplier lainnnya yang sanggup memenuhi syarat yang diminta. Kondisi tersebut lebih disebabkan target pasar pembeli negara tujuan ekspor adalah retail besar, yang produk pemasarannya mengharuskan memiliki sertifikasi ekolabel tertentu. Kesadaran yang tinggi dan teredukasinya masyarakat negara pengimpor membeli produk Tuna yang dikelola secara ramah lingkungan, menyebabkan sertifikasi ekolabel sebagai keharusan. Salah satu sertifikasi ekolabel yang dipersyaratkan negara tujuan ekspor untuk produk Tuna adalah MSC. Kesiapan perusahaan di Bali mengikuti program ekolabeling MSC harus didukung oleh kesiapan nelayan Tuna, pengusaha, dan pemerintah itu sendiri. Pihak yang sangat berperan dengan adanya ekolabeling MSC adalah pemerintah, karena untuk mendukungnya diperlukan adanya regulasi yang jelas. Hal ini sesuai dengan prinsip ketiga MSC, yang mengatur mengenai efektivitas pengelolaan. Prinsip MSC menekankan pada pengelolaan perikanan yang ditinjau dari sudut pandang hukum lokal, hukum nasional, maupun hukum internasional. Efektivitas pengelolaan perikanan nasional yang baik harus ditopang menggunakan produk hukum yang komprehensif, disertai dengan penerapan yang benar dan tegas. 138
Hukum dan politik menjadi penting sejak hukum merupakan instrumen kebijakan (Jeane Neltje Saly dalam Hidayat dan Hidayat, 2010:36). Hukum adalah perwujudan kebijakan publik ditinjau dari sisi produk, proses, dan muatan. Produk hukum yang digunakan untuk kepentingan prinsip 3 MSC, mempunyai misi mengakomodir kepentingan perusahaan dalam mematuhi regulasi pengelolaan Tuna secara berkelanjutan dan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Kemungkinan dampak negatif terhadap pengelolaan perikanan Tuna, harus dapat dikendalikan pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan/regulasi yang benar dan dibarengi dengan pendampingan pelaksanaan yang konsisten. Pelaksanaan ekolabeling untuk Tuna sudah ada sejak dahulu dan yang paling komprehensif dan rumit adalah ekolabel MSC. Menurut ATLI, program MSC sudah dicanangkan oleh pemerintah (KKP) sejak tahun 2010 dan sampai sekarang tidak ada kelanjutannya. Hal ini dikarenakan tidak adanya ketentuan dari pemerintah yang mengharuskan perusahaan untuk menggunakan ekolabeling tertentu. Menurut beberapa perusahaan Tuna di Bali, sertifikasi MSC tidak memberikan harga lebih tinggi atau mendapatkan harga premium. Pemenuhan syarat untuk mendapatkan sertifikat MSC, dirasakan oleh perusahaan berbiaya mahal. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan sertifikat MSC tidak menjadi kendala bagi perusahaan eksportir Tuna di Bali. Skema pembiayaan terhadap ekolab MSC, dapat dilakukan dengan melobi buyers (pembeli) untuk membantu keuangan dalam mendapatkan sertifikasi. Menurut mereka, yang terpenting dengan adanya persyaratan tambahan ekolabel MSC dari negara tujuan pemasaran adalah dukungan pemerintah. Ekolabel MSC memerlukan sinergi serta keterlibatan yang aktif dari perusahaan, nelayan, dan pemerintah. Sertifkat MSC yang diinisiasi oleh WWF ini lebih untuk ke pasar Tuna di Uni Eropa. Pasar Uni Eropa menjadi perhatian eksportir di Bali, karena lebih bersifat politis. Jumlah ekspor Tuna ke pasar Uni Eropa meskipun tidak terlalu besar, tetapi kesatuan negara di dalamnya mempengaruhi kebijakan dunia termasuk sektor perikanan. Hal inilah yang menjadikannya sangat penting, meskipun persyaratan yang diberikan banyak dan rumit (khususnya ekspor). Pasar Tuna ke Uni Eropa dan Amerika sangat dipengaruhi oleh NGO (Non Governmental Organization). Berdasarkan hal tersebut, sertifikasi yang diberikan oleh NGO tersebut, mempengaruhi keinginan pasar terhadap produk Tuna. Syarat ekolabeling merupakan 139
penekanan pihak NGO yang dipaksakan, agar pembeli internasional patuh terhadap ketentuannya. 4.7.2.
Penerapan Ekolabel MSC Komoditas Tuna di Bitung
4.7.2.1. Usaha Perikanan Tangkap Tuna Bitung merupakan kota satelit yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Sulawesi Utara. Kota Bitung menjadi daerah penghasil ikan dengan kontribusi yang cukup besar untuk pemasaran daerah sekitarnya, maupun ekspor ke luar negeri (BAPPEDA dan BPS, 2010). Menurut lampiran II, Peraturan Daerah Kota Bitung Nomor 11 Tahun 2013, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bitung Tahun 2013-2033: “Kota Bitung dibentuk pada tahun 1990 berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1990, tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bitung (sebelumnya Bitung merupakan kota administratif bagian Kabupaten Daerah Tingkat II Minahasa). Pada tanggal 6 Desember 1995, terbentuklah Kecamatan Bitung Timur (hasil pemekaran Kecamatan Bitung Tengah) yang menjadikan Kotamadya Bitung memiliki 4 wilayah kecamatan. Memasuki era otonomi daerah, Bitung menjadi kota dan bukan lagi kotamadya. Pada tanggal 14 Desember 2001, berdasarkan Surat Keputusan Walikota Bitung Nomor 100 Tahun 2001, Kecamatan Bitung Tengah mengalami pemekaran menjadi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Bitung Tengah dan Kecamatan Bitung Barat (jumlah kecamatan di Kota Bitung menjadi 5). Jumlah kelurahan juga mengalami pemekaran menjadi 60 kelurahan (sebelumnya 44 kelurahan). Pada tanggal 10 Oktober 2007, Kota Bitung mengalami pemekaran menjadi 8 kecamatan dan 69 kelurahan”.
Wilayah Bitung terletak pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) 3 (Laut Maluku dan Samudera Pasifik), yang dilayari oleh kapal besar dari berbagai negara. Bitung juga memiliki akses langsung menuju luar negeri, tanpa harus melalui pelabuhan di Jakarta ataupun Surabaya untuk sampai ke negara tujuan. Kondisi tersebut menyebabkan waktu menjadi lebih efisien dan mengurangi biaya logistik untuk ekspor. Jalur pelayaran strategis inilah, yang diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pelabuhan perikanan pada hakekatnya dilakukan guna mendukung kemajuan Kota Bitung. Legalitas keberadaan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung ditetapkan oleh Peraturan Menteri KP Nomor: PER.19/MEN/2008, pada tanggal 6 Oktober 2008. Luas lahan yang dimiliki PPS Bitung adalah 23.418 m2 (sertifikat HPL No. 1/1996 a/n Direktorat Jenderal Perikanan). PPS Bitung terletak di Kelurahan Aertembaga Satu, Kecamatan 140
Aertembaga, dan dibangun tanggal 18 Juli 2001 (beroperasi pada tanggal 10 September 2004). Produksi Ikan di PPS Bitung dalam 5 tahun terakhir (2011–2015) mengalami peningkatan ratarata per tahun 95%. Volume produksi Tuna, Cakalang, dan Tongkol di PPS Bitung tahun 20112015, dapat dilihat pada Tabel 4.81. Tabel 4.81. Volume Produksi Tuna, Cakalang, dan Tongkol di PPS Bitung 2011
Ikan
2012
2013
Tuna 1,556.45 4,593.40 Cakalang 10,871.88 20,611.67 Tongkol 403.32 1,231.89 Jumlah (Ton) 12,831.65 26,436.96 Sumber: Statistik PPS Bitung (2016)
Tahun (Ton) 2014
11,314.73 47,597.32 5,122.57 64,034.62
21,982.24 68,755.12 8,829.96 99,567.32
2015
9,662.66 18,263.08 8,800.36 36,726.09
Kenaikan Rata-rata (%) 2011-2015 2014-2015 95% 48% 148% 60%
-56% -73% -0.3% -63
Tabel 4.81, menunjukkan bahwa volume ekspor tahun 2015 berdasarkan pencatatan data yang permohonan pembuatan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI) adalah 11.297,14 ton. Tujuan pemasaran produksi Tuna, Cakalang, dan Tongkol, adalah negara Uni Eropa, Amerika, dan Asia. Volume produksi berdasarkan alat tangkap di PPS Bitung tahun 2011-2015, dapat dilihat pada Tabel 4.82. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Tabel 4.82. Volume Produksi berdasarkan Alat Tangkap di PPS Bitung
Alat Tangkap 2011 2012 2013 2014 2015 Purse Seine 10,099.05 17,908.33 52,091.74 88,494.22 33,431.23 Pole And Line 4,568.51 9,672.02 14,253.98 12,251.94 9,002.39 Hand Line 694.66 1,444.16 3,027.80 3,856.49 1,912.05 Beach Seine 194.43 182.39 391.26 506.80 93.64 Gill Net 55.56 438.06 1,106.60 4,271.39 614.10 Rawai Tuna 180.33 116.50 1,812.21 1,091.63 155.12 Bottom Longline 71.11 70.48 211.67 480.78 Bagan 2.72 Pancing Cumi 91.15 12.72 Pukat Ikan 130.88 349.56 Pukat Udang 66.56 95.56 Jumlah (Ton) 15,932.93 30,018.65 73,026.14 111,315.53 45,208.52
Sumber: Statistik PPS Bitung (2016)
Berdasarkan Tabel 4.82, diketahui bahwa frekuensi kunjungan kapal perikanan di PPS Bitung tahun 2015 menurun menjadi 26%, jika dibandingkan dengan tahun 2014. Hasil tangkapan yang didaratkan berasal dari nelayan yang berdomisili di Bitung dan nelayan bebas, serta hasil pembelian/pengumpulan pada sentra produksi ikan hampir. 141
Volume produksi ikan yang tercatat oleh PPS Bitung tahun 2014, sebesar 111.315,53 ton dan tahun 2015 volume produksi ikan mengalami penurunan sebesar 59% (45.208,52 ton). Nilai produksi ikan tahun 2014 sebesar Rp. 1.507.898.016.100,-, (mengalami penurunan 46% menjadi Rp. 809.615.486.906,- pada tahun 2015). Pemasaran Hasil Perikanan dari PPS Bitung berupa produk ikan segar dan produk beku. Daerah tujuan distribusi meliputi lokal, antar kota, antar provinsi dan ekspor (Statistik PPS Bitung, 2016). Perusahaan Tuna di Bitung menyatakan bahwa stok Tuna saat ini menurun, dikarenakan dikeluarkannya peraturan moratorium oleh pemerintah dan sudah tidak ada lagi nelayan Philipina. Menurut pengakuan perusahaan, nelayan lokal tidak setangguh dan ahli dalam menangkap Tuna seperti nelayan Philipina. 4.7.2.2 Kesiapan Eksportir Tuna Mengadopsi Prinsip MSC Kesiapan perusahaan eksportir Tuna di Kota Bitung, masih dapat dikatakan belum dapat mengikuti standar prinsip MSC. Hal ini dikarenakan, perusahaan belum berniat untuk menggunakannya (biaya mahal) dan konsumen mereka tidak mengharuskan sertifikat MSC. Berdasarkkan hasil kajian, perusahaan di Bitung belum mempunyai strategi pengelolaan dalam mengelola Tuna yang dijadikan bahan baku utama. Kebanyakan perusahaan di Bitung hanya mengetahui hasil tangkapan yang ditawarkan saja, tanpa mengetahui proses dan asal usul bahan baku. Hal ini dikarenakan sudah ada rasa saling percaya dengan nelayan atau suplier mereka. Kesiapan pelaku usaha (eksportir) Tuna di Kota Bitung, dapat dilihat pada Tabel 4.83. Tabel 4.83. Kesiapan Eksportir di Bitung Mengadopsi Prinsip MSC Prinsip
Rata-Rata
Pertama 60% Kedua 59% Ketiga 82% Total 64% Sumber: Olahan Data Primer (2016)
Minimum 33% 38% 42% 53%
Maximum 81% 79% 100% 80%
Tabel 4.83, menggambarkan bahwa secara umum tidak ada satupun eksportir Tuna di Bitung yang sudah siap untuk menerapkan standar MSC. Capaian rata-rata total kesiapan sebesar 62% dan kesiapan yang paling rendah berada pada angka 52%, sedangkan kesiapan tertinggi pada angka 80%. Nilai rata-rata kesiapan meskipun mengindikasikan cukup baik dari para eksportir untuk menerapkan standar MSC, 142
tetapi memiliki selang yang cukup tinggi (52%-80%). Berdasakan hasil analisis diketahui kesiapan paling rendah terjadi pada prinsip kedua, dengan nilai rata-rata sebesar 59% (nilai minimum sebesar 38% dan maksimum 79%). Prinsip kedua ini memuat materi tentang dampak lingkungan perikanan. Dampak lingkungan terkait dengan hasil, strategi, serta informasi, terhadap spesies utama, sampingan, dan yang terancam punah. Hasil kajian juga menjelaskan, bahwa hampir seluruh perusahaan di Bitung kurang mendapatkan materi tentang informasi. Hal ini dikarenakan mereka tidak menelusuri bahan baku sampai pada proses penangkapan. Informasi juga terkait dengan peran pemerintah yang seharusnya memiliki data kekinian dan disosialisasikan. Prinsip pertama yang terkait dengan materi keberlanjutan stok ikan, menurut hasil analisis memiliki nilai rata-rata sebesar 60% (nilai minimum 33% dan nilai maksimum 81%). Kendala yang dihadapi terkait prinsip pertama, yaitu status perusahaan yang berdomisili di Bitung kebanyakan merupakan cabang. Hal tersebut menyebabkan, strategi produksi, ketentuan pengendalian, penilaian ketersediaan yang terkait dengan ekosistem, ditangani oleh pusat. Ketertutupan pihak perusahaan terhadap data, menjadi kendala tersediri dalam menggali informasi terhadap prinsip pertama ini. Kesiapan eksportir yang cukup tinggi, terdapat pada prinsip ketiga yang materinya mengatur tentang aktivitas pengelolaan. Rata-rata nilai yang dimiliki berdasarkan hasil kajian sebesar 82% (nilai minimum 42% dan maksimum 100%). Prinsip ketiga ini mendapat nilai yang tinggi, dikarenakan aktivitas pengelolaan perusahaan untuk Tuna, sudah diatur dalam kebijakan nasional. Koridor hukum setiap pelaku usaha di Indonesia terikat dan harus mematuhi regulasi nasional yang sudah disahkan. Sistem pengawasan yang ketat dari pemerintah, memberikan pengaruh terhadap keberhasilan pencapaian kepatuhan eksportir Tuna dalam prinsip ketiga MSC. 4.7.2.3. Implementasi Prinsip Ekolabel MSC Perusahaan eksportir Tuna di Kota Bitung, sampai saat ini menggunakan sertifikasi ekolabeling sesuai dengan permintaan buyer. Selama buyer yang menjadi konsumen tidak memintanya, maka perusahaan tidak akan mengusahakan sertifikasi ekolabeling. Berdasarkan 143
wawancara terhadap beberapa pengusaha di Bitung, diketahui bahwa konsumen akan membantu soal pendanaan (jika terdapat sertifikasi yang harus dimiliki eksportir). Hal ini biasanya dilakukan oleh konsumen yang telah menjalin hubungan kerja sama perdagangan cukup lama. Hubungan kerja sama ini lebih bersifat kepercayaan konsumen terhadap perusahaan eksportir Tuna. Pelaku usaha di Bitung, juga menyatakan bahwa konsumen untuk pasar internasional saat ini lebih memperhatikan produk Tuna yang menggunakan sertifikasi ramah lingkungan yang dikeluarkan oleh lembaga independen. Pangsa pasar yang sering meminta produk Tuna dengan sertifikasi ramah lingkungan adalah Uni Eropa. Menurut hasil kajian, konsumen yang menginginkan sertifikasi MSC untuk Tuna sudah ada, namun belum bisa direalisasikan. Kondisi tersebut dikarenakan besarnya biaya yang dibutuhkan, banyaknya persyaratan, dan lamanya waktu yang dibutuhkan, untuk mendapatkan sertifikat MSC. Perusahaan di Bitung mengharapkan
adanya
peran
pemerintah
untuk
membantu,
serta
mempermudah
mendapatkannya sertifikasi. Peran accesor untuk mendapatkan sertifikasi MSC sangatlah besar dan mendapatkan porsi biaya yang cukup besar. Accesor merupakan tenaga ahli yang ditunjuk untuk memastikan, bahwa setiap variabel dalam prinsip MSC sudah terpenuhi sesuai dengan yang dipersyaratkan. Sertifikasi MSC merupakan sebuah instrumen untuk kepentingan target konsumen dalam pasar tertentu. Ekolabeling menciptakan sinergi pengendalian dampak negatif lingkungan, serta mendorong supply dan demand produk (Kementerian Lingkungan Hidup, 2016). Komitmen terhadap instrumen ekolabeling, merupakan bentuk kepatuhan pelaku usaha nasional memperbaiki industri perikanan melalui pengelolaan ramah lingkungan. Upaya perbaikan yang dapat dilakukan harus mengintegrasikan keberlanjutan dalam implementasinya, serta keberlanjutan bisnis industri perikanan di Bitung untuk jangka panjang.
144
4.7.3. Penerapan Ekolabel ASC Komoditas Budidaya Udang di Tarakan 4.7.3.1. Usaha Budidaya Udang Tarakan merupakan salah satu penghasil Udang Windu terbesar di Indonesia dan dikenal sebagai sentra produksi nasional. Sejak dekade 90-an sebagian besar wilayah mangrove, secara bertahap dikonversi menjadi kawasan tambak Udang tradisional (terluas di Indonesia). Volume ekspor Udang beku atau segar di Kota Tarakan selama 15 tahun terakhir, memberikan nilai ekonomi yang cukup menjanjikan (Gambar 4.1).
Sumber: DKP Kota Tarakan (2015)
Gambar 4.1. Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dan Segar Kota Tarakan, 2001-2015 Berdasarkan Gambar 4.1, diketahui bahwa penurunan jumlah ekspor (antara tahun 2014-2015) diakibatkan belum terpenuhinya permintaan pembeli yang menginginkan adanya sertifikasi. Jenis Udang yang diekspor dari wilayah Tarakan, yaitu Windu/Black Tiger Prawn dan dikenal memiliki kualitas baik (hasil budidaya air payau). Luas lahan tambak untuk budidaya Udang Windu/Black Tiger Prawn mencapai 947,7 Ha. Hasil wawancara. Menunjukkan bahwa sebenarnya pembudidaya Udang memiliki lahan tambak yang lebih besar lagi luasnya. Lahan tambak lainnya biasanya yang berlokasi di kabupaten lain (Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Malinau). Jumlah rumah tangga perikanan budidaya tambak Udang di Kota Tarakan, dapat dilihat pada Tabel 4.84.
145
Tabel 4.84. Jumlah RTP Perikanan Budidaya Tambak di Kota Tarakan Tahun 2014 Kecamatan Tarakan Timur Tarakan Tengah Tarakan Barat Tarakan Utara Jumlah
Udang 44 19 45 17 125
Sumber: DKP Kota Tarakan 2015
Bandeng dan Udang 16 4 0 0 20
Berdasarkan Tabel 4.84, diketahui bahwa beberapa petambak di tarakan menggabungkan komoditas Udangnya dengan Bandeng dalam satu areal tambak yang sama. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan pendapatan dari hasil panen yang berbeda. Ketersediaan benur Udang mayoritas didatangkan dari Surabaya, dimana sisanya diambil di dalam wilayah Tarakan. Kota Tarakan memiliki 24 unit usaha pembenihan Udang dengan skala menengah. Balai Benih Udang, juga merupakan salah satu pemasok benur milik DKP Kota Tarakan. DKP Kota Tarakan diberi mandat oleh pemerintah untuk menunjang kegiatan budidaya setempat. Pada akhir tahun 2015, jumlah benur yang diperdagangkan sebanyak 1.051.819.000 ekor. Jumlah ini masih sangat rendah, apabila pemerintah ingin meningkatkan kebutuhan produksi ekspor. Kendala yang sering dihadapi pembuidaya Udang di Tarakan yaitu: 1) sulitnya ketersediaan induk lokal; 2) pakan yang mahal; 3) kondisi fisik dan kimiawi air laut yang kualitasnya kurang baik digunakan dalam kegiatan pembenihan; 4) serangan penyakit (DKP Kota Tarakan, 2015). Kendala tersebut harus segera diatasi, karena Udang merupakan salah satu komoditas ekspor
Kota
Tarakan
yang
memiliki
nilai
strategis. Hasil perikanan tambak Tarakan
merupakan produk ekspor yang banyak dicari oleh negara Jepang dan Eropa (Fitrian, 2015). Udang yang dihasilkan Tarakan sangat diminati oleh Konsumen Jepang. Tujuan pemasaran internasional Udang Kota Tarakan, dapat dilihat pada Gambar 4.2.
146
Sumber: DKP Kota Tarakan (2015)
Gambar 4.2. Negara Tujuan Produk Budidaya Ikan Kota Tarakan (2016) Berdasarkan Gambar 4.2, diketahui bahwa keinginan konsumen pasar mengharuskan petambak Udang memenuhi persyaratan sertifikasi yang diakui internasional. Sertifikasi ASC selain meningkatkan nilai ekspor dan daya saing produk, juga menjaga agar pengelolaan komoditas Udang dilakukan sesuai dengan prinsip ramah lingkungan. Peningkatan ekspor memberikan keuntungan tersendiri bagi petambak Udang di Tarakan ,dalam memenuhi standar kehidupan yang lebih baik. Sertifikasi ASC menganut prinsip, bahwa Udang yang diekspor harus diproduksi dengan cara yang baik dan benar (mulai dari persiapan hingga proses penanganan di tingkat prosesor). Konsumen tidak hanya menginginkan produk Udang yang aman untuk dikonsumsi. Sistem budidaya yang melindungi lingkungan alam dan memberikan dampak sosial yang baik bagi tenaga kerjanya maupun masyarakat pada wilayah tambak, juga menjadi perhatian penting. 4.7.3.2 Kesiapan Eksportir Udang Mengadopsi Prinsip ASC Saat ini sudah ada 32 perusahaan Udang dunia yang telah tersertifikasi, 2 diantaranya berasal dari Indonesia, sementara sisanya didominasi oleh perusahaan asal Vietnam (Wetlands International Indonesia, 2016). WWF telah menginisiasi 2 perusahaan di Kota Tarakan untuk mendapatkan sertifikat ASC. Sebelum assesment mendapatkan sertifikat ASC, perlu diperhatikan kesiapan perusahaan atau petambak yang ada di Kota Tarakan terkait penerapan prinsip ASC. Hal tersebut dimaksudkan, untuk mengetahui faktor apa yang perlu segera 147
ditingkatkan atau diperbaiki. Pemahaman terhadap standar ASC sangat diperlukan, agar petambak bisa mengaplikasikan cara budidaya Udang yang baik serta berkelanjutan. Kesiapan perusahaan maupun petambak dalam mengadopsi prinsip ASC, dapat dilihat pada Tabel 4.85. Prinsip 1 2 3 4 5 6 7
Tabel 4.85. Kesiapan Perusahaan/Petambak Mengadopsi Prinsip ASC Keterangan
Kesesuaian dokumen dengan persyaratan hukum lokal dan nasional Kesesuaian lahan budidaya untuk mendukung keanekaragaman hayati dan keberlanjutan ekosistem Mengembangkan dan mengoperasikan usaha budidaya dengan memperhatikan komunitas sekitar Pengelolaan usaha budidaya yang bertanggung jawab Keamanan hasil budidaya Mengatur indukan dan stok Menggunakan sumber daya dengan bertanggung jawab Total Kesiapan Sumber: Olahan Data Primer (2016)
Rata-Rata (%) 40 15 20 70 28 9 27 38
Tabel 4.85, menggambarkan bahwa tingkat kesiapan beberapa perusahaan eksportir Udang mengadopsi berbagai standar ekolabeling yang disyaratkan oleh ASC. Secara rata-rata, responden hanya mampu memenuhi 38% dari total standar ekolabel tersebut (kisaran antara 31%-50%). Nilai tersebut menggambarkan masih rendahnya tingkat kemampuan eksportir Udang di Kota Tarakan, untuk dapat memenuhi standar ASC. Secara umum kemampuan adopsi setiap prinsip yang terdapat di dalam ASC, juga masih rendah. Kemampuan adopsi tertinggi terjadi pada prinsip keempat, dengan nilai 70%. Prinsip keempat tersebut, menyoroti masalah hubungan antara pemilik perusahan dengan pekerjanya (mereka memiliki hubungan baik dengan pekerjanya). Pemenuhan syarat ekolab ASC yang dijadikan patokan adalah petambaknya dan bukan perusahaan. Perusahaan eksportir Udang di Tarakan kebanyakan tidak memiliki tambak, tetapi mempunyai hubungan kontraktual dengan para petambak Udang. Keinginan perusahaan memenuhi permintaan pasar sesuai ketentuan ASC, mengharuskan mereka memilih petambak yang loyal. Tujuannya adalah untuk mendapatkan hasil budidaya Udang dengan standar permintaan pasar. Ikatan antara perusahaan dan petambak, menyebabkan petambak menjadi terbantu perekonomiannya karena mendapatkan dukungan pendanaan. Hal inilah yang menyebabkan kesiapan dalam prinsip keempat mendapatkan nilai yang cukup baik.
148
Prinsip keenam yang memuat ketentuan untuk mengetahui sumber asal benih dengan pasti dan hal-hal yang terkait dengan pembenihan lainnya, menurut kaijan memiliki nilai paling rendah (10%). Benih atau benur Udang biasanya didatangkan dari luar Kota Tarakan dan belum bisa dikontrol asal serta kondisinya. Pemerintah KKP mencoba mendorong perbaikan dalam usaha budidaya, dengan membuat program Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). CBIB merupakan usaha pengelolaan budidaya yang mensyaratkan standar dari mulai aktivitas hulu budidaya hingga ke hilir. Persayaratan standar ini dibuat berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.02/MEN/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik. CBIB dapat dijadikan sebagai salah satu alat ukur, dalam mengetahui kesiapan petambak mengikuti standar internasional prinsip ASC. CBIB meskipun belum diakui oleh dunia internasional, tetapi indikatornya dapat dijadikan ukuran mengetahui pengelolaan budidaya Udang yang baik dan benar. Kepatuhan pembudidaya Udang di Kota Tarakan terhadap standar CBIB, dapat dilihat pada Tabel 4.86. Tabel 4.86. Kepatuhan Pembudidaya Udang terhadap Standar CBIB Standar
Rata-Rata (%)
Lokasi Suplai air Tata letak Kebersihan Persiapan wadah Pengelolaan air Benih Pakan Penggunaan bahan kimia Penggunaan es dan air Panen Penanganan hasil Pengangkutan Pembuangan limbah Pencatatan Tindakan perbaikan Pelatihan Kebersihan personel Total Sumber: Olahan Data Primer (2016)
33 30 70 95 100 48 97 3 0 89 100 100 76 0 33 100 100 100 59
Tabel 4.86, menunjukkan bahwa tingkat kemampuan 33 pembudidaya Udang di Kota Tarakan untuk memenuhi standar CBIB dapat memenuhi 59% (kisaran nilai 56%-64%) dari kriteria yang 149
dipersyaratkan. Kondisi ini menggambarkan, bahwa kemampuan pembudidaya memenuhi standar CBIB masih perlu untuk ditingkatkan. Investasi untuk fasilitas tambak yang harus dikeluarkan oleh pembudidaya Udang menerapkan sistem CBIB yang dapat mendukung ekolabeling di Tarakan, dapat dilihat pada Tabel 4.87. Tabel 4.87. Biaya Investasi untuk Fasilitas Tambak Jenis Bangunan (unit) Pintu air (unit) Kamar mandi (kayu) Pembuangan limbah rumah tangga
Satuan 1 1 2 1
Harga satuan (Rp/unit) 50.000.000,100.000.000,5.000.000,10.000.000,Total
Jumlah biaya (Rp) 50.000.000,100.000.000,10.000.000,10.000.000,170.000.000,-
Tabel 4.87, menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk tambak Udang adalah harga standar. Kebutuhan investasi untuk tambak bisa saja lebih kecil atau lebih besar, tergantung dari kemampuan petambak. Pembuatan konstruksi tambak menurut hasil wawancara, membutuhkan dana sebesar 200-300 juta (untuk lahan seluas 10 Ha. Biaya yang harus dikeluarkan petambak Udang di Tarakan untuk pengadaan input produksi per musim tanam dalam mendukung CBIB, dapat dilihat pada Tabel 4.88. Tabel 4.88. Biaya Pengadaan Input per Musim Tanam
Jenis input/biaya Biaya persiapan lahan (racun) Biaya pemeliharaan Benur Pupuk Obat-obatan Pakan alami Pakan buatan Upah tenaga kerja Biaya panen
Harga satuan (Rp) 160.000,28,5.000.000,3.000.000,-
Jumlah 5 200.000,1 1 Total
Jumlah biaya (Rp) 800.000 5.600.000,5.000.000,3.000.000,14.400.000,-
Berdasarkan Tabel 4.88, diketahui bahwa ketersediaan benur yang memenuhi standar pembenihan menjadi perhatian tersendiri oleh petambak. Hal tersebut dimaksudkan, agar Udang yang dibudidaya memenuhi standar kualitas ekspor. Pembudidaya Udang di Tarakan 150
membeli benur tidak selalu pada unit pembenihan yang sudah tersertifikasi. Kebutuhan pakan untuk budidaya seluruhnya menggunakan pakan alami dan tidak mengandung bahan kimia. Upah tenaga kerja dibayarkan selama 1 periode/3 bulan (1 periode=1 kali panen bulan). Biaya tetap usaha tambak Udang di Kota Tarakan, dapat dilihat pada Tabel 4.89. Tabel 4.89. Biaya Tetap Usaha Tambak Udang
Jenis biaya Izin usaha tambak Pajak bumi dan bangunan Perbaikan tambak Perbaikan peralatan
Biaya/unit (Rp/unit) Tidak berjalan 1.000.000,-
Jumlah biaya (Rp) 1.000.000,-
Tabel 4.89, menjelaskan bahwa biaya perbaikan peralatan sifatnya tidak kontinyu dan tergantung kerusakannya. Keperluan dana perbaikan tambak dan peralatan tidak ada yang disiapkan. Biaya yang paling besar ketika ada tanggul yang jebol. Penanganan tanggul ini bisa dilakukan oleh petambak sendiri maupun gotong royong, jika kerusakannya ringan (biaya yang dikeluarkan hanya makanan saja). Kerusakan tanggul yang bersifat besar, biasanya menggunakan pemborong manual dan apabila tidak mampu, maka diperbaiki menggunakan excavator (biaya minimal 30 juta). 4.7.3.3. Implementasi Prinsip Ekolabel ASC Sertifikasi ASC pada intinya tidak hanya memperhatikan persoalan food safety semata, tetapi mensyaratkan pemenuhan aspek legalitas. Aspek tersebut meliputi: status lahan dan izin usaha; aspek lingkungan (perlindungan lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati); perlindungan sumber air tawar; keterlacakan benih; aspek budidaya (penggunaan pakan dan input lainnya secara bijak); aspek sosial (tanggung jawab sosial kemasyarakatan). Kondisi usaha budidaya Udang yang terkait dengan prinsip pertama ASC di Kota Tarakan dan perlu disikapi, adalah masalah lahan. Hasil wawancara, menunjukkan bahwa status lahan tambak di Kota Tarakan banyak yang ilegal. Berdasarkan hasil kajian, diketahui bahwa sebagian besar petambak Udang masih beroperasi pada kawasan budidaya kehutanan (KBK). Kasus lahan budidaya bermula setelah pemerintah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 942 tahun 2013, terkait berubahnya lahan produksi 151
(budidaya) menjadi lahan KBK yang tidak boleh digunakan sebagai lahan budidaya perikanan. SK ini mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Tarakan Nomor 4 Tahun 2012, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan Tahun 2012-2032 (Tribun Kaltim, 2014). Perda ini materinya mengatur lebar sempadan pantai, sungai, dan anak sungai, masing-masing sekitar 100, 50, dan 20 meter (dihitung dari titik pasang tertinggi ke arah darat). Hal tersebut, menyebabkan beberapa kawasan di Tarakan harus masuk ke dalam rencana restorasi mangrove untuk menjaga keseimbangan ekosistem tambak. Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Tarakan, menyebabkan lebih dari 50% kawasan tambak dianggap berstatus “ilegal”. Status lahan yang ilegal mengakibatkan petambak tidak bisa mengajukan permohonan uji sertifikasi ASC. Opsi yang sedang diupayakan otoritas setempat (sedang dibahas oleh BAPPEDA dan stakeholder lainnya) adalah: (1) perubahan status lahan yang mekanismenya tercantum dalam UU No. 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan dan UU No. 26 Tahun 2007, tentang Penataan Tata Ruang; (2) mekanisme pinjam pakai yang diajukan oleh pelaku tambak kepada Menteri Kehutanan melalui pemerintah daerah setempat; (3) penyesuaian Rencana Tara Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Utara melalui proses pengusulan perubahan kawasan. Kelemahan yang harus diperhatikan oleh otoritas setempat dan pemerintah terhadap operasional usaha budidaya Udang di Kota Tarakan, adalah pencatatan. Pencatatan tidak pernah dilakukan petambak, karena usaha budidaya mereka dikelola secara tradisional. Pencatatan ini diperlukan untuk mengetahui, apakah standar operasional sudah dijalankan pada usaha budidaya sesuai dengan prinsip CBIB maupun ASC. Pencatatan juga dibutuhkan, sebagai sarana menilai kekurangan dan kendala yang dialami petambak Udang. Komitmen pemerintah untuk memberikan kemudahan, mengawasi, serta memperhatikan infrastruktur lahan dan cara budidaya Udang yang baik, dapat membantu eksportir mendapatkan sertifikat ASC.
152
4.8.
Model Kepatuhan
4.8.1.
MSC Model kepatuhan MSC disusun berdasarkan gabungan data responden eksportir Tuna di
Bali dan Bitung. Model kepatuhan yang disusun dalam penelitian ini terdiri tiga variabel (satu variabel terikat (Y) dan dua variabel bebas (X1 dan X2)). Data bagi varibel terikat (Y) adalah besaran persentase kepatuhan responden terhadap berbagai standar MSC; data bagi variabel bebas X1 adalah jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh responden; sedangkan data bagi variabel X2 adalah jumlah sertifikasi yang dimiliki oleh responden. Hasil olahan data menunjukkan, bahwa jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan (X1) secara individu dapat dikatakan memberikan pengaruh signifikan secara statistik terhadap peningkatan probabilitas kepatuhan eksportir (ditunjukkan dari angka Prob. untuk X1 yang bernilai kurang dari 0,05). Jumlah sertifikasi yang dimiliki oleh responden (X2), berdasarkan hasil analisis data kurang signifikan pada tingkat kepercayaan 90%. Jumlah sertifikasi akan bernilai signifikan, jika tingkat kepercayaan 85% (diketahui dari angka Prob. untuk X2 yang bernilai 0,149). Hasil olahan model kepatuhan eksportir Tuna terhadap Prinsip MSC berdasarkan jumlah tenaga kerja dengan 3 sertifikasi, dapat dilihat pada Tabel 4.90.
153
Tabel 4.90. Hasil Olahan Data Model Kepatuhan Eksportir Tuna terhadap Standar MSC Dependent Variable: Y Method: ML - Binary Probit (Quadratic hill climbing) Date: 11/11/16 Time: 15:51 Sample: 1 12 Included observations: 12 Convergence achieved after 5 iterations QML (Huber/White) standard errors & covariance Variable
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
X1 X2
-0.008608 0.342508
0.003278 0.237352
-2.626411 1.443034
0.0086 0.1490
Mean dependent var S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Deviance Avg. log likelihood
0.500000 0.489037 2.391575 -6.777869 13.55574 -0.564822
Obs with Dep=0 Obs with Dep=1
6 6
S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Restr. Deviance Total obs
0.522233 1.462978 1.543796 1.433056 16.63553 12
Sumber: Olahan Data Primer (2016)
Berdasarkan Tabel 4.90, diketahui bahwa model kepatuhan eksportir Tuna terhadap standar MSC yang dibangun adalah: Y = -0,008608*X1 + 0,342508*X2 Model tersebut, menggambarkan setiap peningkatan jumlah karyawan yang dipekerjakan sebanyak satu orang akan berpengaruh menurunkan nilai Y sebesar 0,008608. Hal ini menyebabkan probabilitas kepatuhannya terhadap standar MSC, menjadi semakin rendah juga.
154
Perubahan probabilitas kepatuhan eksportir Tuna terhadap standar MSC (menurut jumlah pekerja dengan kepemilikan sertifikasi maksimum (3 buah)) berdasarkan model kepatuhan, dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Sumber: Olahan Data Primer (2016)
Gambar 4.3. Probabilitas Kepatuhan Eksportir Tuna terhadap Standar MSC Gambar 4.3, menjelaskan kepatuhan eksportir Tuna terhadap standar MSC akan dioperasikan secara padat modal (cenderung mempekerjakan tenaga kerja secara efisien). Kualitas hasil olahan Tuna, selain tergantung keahlian pekerja pada bagian pengolahan, juga dipengaruhi besar kecilnya kemungkinan terjadinya paparan produk terhadap polutan. Pada konteks ini, dapat dinyatakan semakin sedikit orang yang menangani, maka semakin tinggi pula kemungkinan terjaganya kualitas produk yang dihasilkan. 4.8.2.
ASC Model kepatuhan ASC yang dibangun dalam penelitian ini terdiri tiga variabel. Variabel
tersebut yaitu satu variabel terikat (Y) dan dua variabel bebas (X1 dan X2). Variabel tersebut meliputi:
155
Varibel terikat (Y) adalah besaran persentase kepatuhan responden terhadap berbagai standar ASC;
Variabel bebas X1 adalah jumlah pekerja yang dipekerjakan oleh responden;
Variabel X2 adalah jumlah perusahaan cabang yang dimiliki oleh responden.
Berdasarkan hasil analisis data responden, diketahui bahwa jumlah karyawan yang dipekerjakan (X1) secara individu dapat dikatakan memberikan pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap peningkatan probabilitas kepatuhan eksportir. Hal ini ditunjukkan dari angka Prob. untuk X1 yang bernilai kurang dari 0,05. Jumlah cabang perusahaan yang dimiliki oleh responden (X2), hasilnya juga dapat dikatakan signifikan, karena angka Prob. untuk X2 memiliki nilai kurang dari 0,05. Model kepatuhan eksportir Udang terhadap standar ASC menurut jumlah tenaga kerja dan jumlah cabang perusahaan, dapat dilihat pada Tabel 4.91. Tabel 4.91. Hasil Olahan Data Model Kepatuhan Eksportir Udang terhadap Standar ASC Dependent Variable: Y Method: ML - Binary Probit (Quadratic hill climbing) Date: 11/21/16 Time: 08:55 Sample: 1 5 Included observations: 5 Convergence achieved after 5 iterations QML (Huber/White) standard errors & covariance Variable
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
X1 X3
0.003832 -1.006622
0.001505 0.365056
2.545297 -2.757447
0.0109 0.0058
Mean dependent var S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Deviance Avg. log likelihood
0.400000 0.484888 0.705349 -1.940031 3.880063 -0.388006
Obs with Dep=0 Obs with Dep=1
3 2
S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Restr. Deviance Total obs
0.547723 1.576013 1.419788 1.156721 6.730117 5
Sumber: Olahan Data Primer (2016)
156
Mengacu pada Tabel 4.91, model kepatuhan yang dibangun atas hasil olahan data eksportir terhadap standar ASC adalah: Y = 0,003832*X1 - 1,00662*X2 Model tersebut menggambarkan, bahwa setiap peningkatan jumlah pekerja sebanyak satu orang akan mempengaruhi meningkatnya nilai Y sebesar 0,003832. Kondisi ini menyebabkan probabilitas kepatuhannya terhadap standar ASC semakin tinggi pula. Usaha budidaya Udang merupakan kegiatan yang cenderung padat karya dan membutuhkan cukup banyak tenaga kerja. Model kepatuhan yang diolah, juga menjelaskan setiap penambahan satu cabang perusahan akan menurunkan nilai Y sebesar 1,00662 (menurunkan probabilitas kepatuhannya terhadap Standar ASC). Perubahan probabilitas kepatuhan eksportir Udang terhadap standar ASC berdasarkan jumlah tenaga kerja dengan jumlah cabang perusahaan 1, dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Sumber: Olahan Data Primer (2016)
Gambar 4.4. Probabilitas Kepatuhan Eksportir Tuna terhadap Standar ASC
Gambar 4.4, menerangkan adanya peningkatan kesulitan pengawasan penerapan standar di perusahaan cabang. Semakin banyak cabang yang dibuka, akan memberikan kecenderungan menurunkan probabilitas dipatuhinya berbagai standar ASC.
157
4.9.
Penerapan Ekolabel MSC dan ASC terhadap Produk Perikanan Ekolabeling merupakan sebuah pendekatan dan digunakan secara luas dalam
mengindustrialisasikan negara, sebagai jalan untuk mempromosikan produk yang berkelanjutan dengan cara yang saling melengkapi. Cara ini diwujudkan dengan menyediakan informasi kepada
konsumen
dalam
memilih
produk
ramah
lingkungan
atau
menggunakan
“brenchmarking”, untuk meningkatkan pengembangan produk (European Council (2002) dalam Mungkung et. al., 2006). Ward dan Phillips (2008), menyatakan bahwa ekolabel merupakan sistem yang dibentuk berdasarkan insentif dari mekanisme pasar untuk mendorong produk yang diproduksi telah memperhatikan keberlanjutan ekologi. Menurut Rahardjo (2010), penegakan hukum (law enforcement) adalah konsep normatif, di mana orang hanya tinggal mengaplikasikan apa yang ada dalam perundang-undangan. Tujuan utama ekolabeling pada sektor perikanan adalah keberlanjutan sumber daya. Muara untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya perikanan adalah pengawasan dan penegakan hukum. Sampai saat ini, pengawasan serta penegakan hukum dalam mengawal pengelolaan sumber daya ikan masih memiliki kendala dalam aplikasinya. Hal tersebut dikarenakan, manajemen pengawasan belum maksimal dan penerapan sanksi dalam rangka penegakan hukum belum memberikan kepastian. Persoalan konflik kewenangan, kurangnya tenaga sumber daya manusia (SDM), tidak tegasnya eksekusi sanksi, dan egosentrisme sektoral, menjadi permasalahan klasik di Indonesia yang sampai saat ini tidak ada solusinya. Menurut Rahardjo (2009), kondisi tersebut menyebabkan terjadinya hambatan yang menyulitkan hukum untuk dapat mengatur dengan berhasil. Kondisi ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi penerapan ekolabel untuk perikanan. Ekolabel perikanan yang diinisiasi dan menjadi preferensi konsumen negara maju, sangat memperhatikan pengelolaan secara ramah lingkungan dan berkelanjutan sebagai syarat utama. Penelitian Nunes dan Riyanto (2005), menyimpulkan bahwa ekolabeling mengarah kepada skema kebijakan yang dikarakterisasi oleh evaluasi suatu produk, atau karakteristik produk.
158
Kepentingan ekolabeling yang diinisiasi oleh pihak ketiga meskipun memiliki tujuan baik, tetapi banyak pendapat yang menyatakan bahwa ekolabel MSC dan ASC hanya sebagai kepentingan bisnis semata. Penerapan ekolabeling untuk produk perikanan, khususnya yang diinisiasi oleh pihak ketiga (lembaga independen/NGO), memiliki kelebihan dan kekurangan. Berdasarkan hasil kajian terhadap ekolabel MSC (perikanan tangkap Tuna) dan ASC (budidaya Udang), dapat diketahui kelebihan dan kekurangan penerapan kedua sertifikasi tersebut (Tabel 4.92). Tabel 4.92. Kelebihan dan Kekurangan Ekolab MSC dan ASC
MSC
Kelebihan Pemanfaatan ikan dilakukan dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan Menciptakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan Mengontrol produksi produksi ikan (tidak berlebihan dan tidak kekurangan) Menjaga sumber daya ikan langka, dilindungi, dan terancam punah tetap terjaga kelestariannya Meciptakan peluang pasar yang lebih besar Mendapatkan preferensi harga yang lebih tinggi (belum dapat dipastikan) Meningkatkan daya saing produk Produk ikan aman untuk dikonsumsi (karena tidak menggunakan zat yang membahayakan), baik dari penangkapan sampai dengan pengemasan
Kekurangan Berbiaya mahal Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan sertifikasi cukup lama Dijadikan instrumen untuk mempengaruhi praktek ekspor impor Menjadi hambatan non tarif Sertifikasi ini belum dapat dibuktikan meningkatkan stok ikan dan dapat melestarikan lingkungan alam Tidak berorientasi kepada nelayan kecil
ASC
Kelebihan Petambak mendapat jaminan pendapatan Meciptakan praktek budidaya yang baik dan ramah lingkungan Memperhatikan aspek sosial masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah lahan tambak Memperhatikan iklim lingkungan kerja Memberikan jaminan kesehatan kepada tenaga kerja yang bekerja di lahan tambak Hak pekerja dan petambak mendapat kepastian secara hukum Produk Udang yang sehat dan aman untuk dikonsumsi Menjaga lingkungan alam sekitar tidak terkontaminasi limbah dan zat kimia berbahaya Mempertimbangkan regulasi dan kearifan lokal yang ada di lokasi lahan budidaya
Kekurangan Berbiaya mahal Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan sertifikasi cukup lama Dijadikan instrumen untuk mempengaruhi praktek ekspor impor Menjadi hambatan non tarif
Tabel 4.92, menunjukkan bahwa untuk mendapatan sertifikasi MSC dan ASC membutuhkan adanya peran pemerintah sebagai regulator dalam pelaksanaannya. Penggunaaan alat tangkap yang ramah lingkungan dimaksudkan, agar pemanfaatannya dapat memberikan jaminan kelestarian dan tidak merusak habitat maupun ekosistem Tuna. Menurut Sainsbury (2010) serta Gardiner dan Visnawathan (2004), pemanfaatan terhadap 159
perikanan tangkap tidak diperbolehkan menggunakan alat tangkap yang merusak (destructive fishing) (seperti bom ataupun zat kimia berbahaya). Penangkapan yang memperhatikan keanekaragaman hayati ikan dapat dijadikan sarana melindungi populasi spesies langka, dilidungi, serta terancam punah. Praktek penangkapan yang baik harus mempertimbangkan kelimpahan dan keberadaan ikan dalam rantai makanan. Menurut Notohamijoyo (2015), pertumbuhan skema ekolabel perikanan dianggap menghambat perdagangan. Hal ini dikarenakan persyaratannya terlalu berat dan terlalu berorientasi pada struktur perikanan negara maju, serta memiliki biaya sertifikasi yang besar. Penelitian Ramirez et. al. (2012), menunjukkan bahwa negara berkembang sulit memenuhi standar MSC dan membayar biaya proses sertifikasi. Perkiraan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan eksportir Tuna untuk mendapatkan sertfikat MSC, dapat dilihat pada Tabel 4.93. Prinsip
Pertama Kedua Ketiga
Tabel 4.93. Biaya yang Dikeluarkan Perusahaan untuk Sertifikasi MSC Keberlanjutan Stok Ikan Dampak Lingkungan Perikanan Efektivitas pengelolaan
Materi
Biaya (Rp.)
1.000.000.000,Total
1.000.000.000,-
Sumber: PT. XXX (2016)
Tabel 4.93, menjelaskan bahwa sertifikat MSC berlaku hanya selama 6 bulan dan setelah batas waktunya habis harus dilakukan pembaharuan. Pembaharuan ini dilakukan untuk menjaga perusahaan tetap konsisten mengelola Tuna secara berkelanjutan dan melindungi lingkungan dari kerusakan. Biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk memperbaharui sertifikat MSC adalah Rp. 2.000.000,-. Foley dan McCay (2014), mengkaji bahwa sertifikasi ekolabeling menciptakan lembaga baru hak milik pribadi dan tindakan kolektif yang mengakibatkan terjadinya praktek eksklusif.
160
Biaya operasional yang diperlukan dalam mengurus sertifikasi ASC untuk komoditas budidaya Udang, dapat dilihat pada Tabel 4.94. Prinsip
Tabel 4.94 Biaya yang Dikeluarkan Perusahaan untuk Sertifikasi ASC Materi
Kepatuhan terhadap semua peraturan perundang-undangan yang berlaku baik Pertama nasional maupun lokal Kesesuaian lokasi budidaya perikanan dengan konservasi keanekaragaman hayati Kedua dan ekosistem alami penting Pengembangan dan pelaksanaan budidaya dengan mempertimbangkan Ketiga masyarakat sekitar Keempat Pelaksanaan budidaya dengan praktek yang bertanggung jawab Kelima Mengelola kesehatan dan tanggung jawab memperlakukannya Keenam Mengelola indukan asli, seleksi stok, dan dampak pengelolaan stok Ketujuh Penggunaan sumber daya ramah lingkungan dan perilaku bertanggung jawab Total Sumber: PT. YYY (2016)
Biaya (Rp.) 15.500.000 215.750.000 128.500.000 35.100.000 47.500.000 13.500.000 81.500.000 554.750.000
Tabel 4.94, menggambarkan bahwa jumlah dana yang dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikasi ASC di atas belum termasuk biaya untuk accesor. Biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikat dirasakan tidak sebanding dengan insentif (harga premium produk), karena sensitivitas konsumen masih tinggi terhadap harga. Mengacu hal tersebut, sertifikasi MSC dan ASC hanya bisa dilakukan dan dipenuhi oleh perusahaan berskala menengah ke atas. Harga premiun produk bersertifikasi MSC dan ASC, belum diketahui kepastiannya. Hail wawancara dengan pelaku usaha (Bitung, Tarakan, dan Bali) serta ATLI, diketahui bahwa harga premiun produk bersertifikasi MSC dan ASC tidak ada. Keterangan pelaku usaha ini, berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gudmusson dan Wessel pada tahun 2000. Hasil penelitian Gudmusson dan Wessel, menyatakan bahwa harga ikan yang bersertifikasi dinilai lebih tinggi di pasar dibandingkan dengan yang tidak bersertifikasi. Ketimpangan harga yang terjadi, dapat membuat nelayan skala kecil mengalami kesulitan ekonomi. Ponte (2006), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa skema ekolabel gagal menunjukkan adanya surplus pada nelayan di negara berkembang. Penerapan ekolabeling, juga bisa menyebabkan nelayan kecil tidak memiliki akses untuk memasarkan ikannya di pasar global. Penelitian yang telah dilakukan Collins-1997; Amstel et. al.-2008; Gulbrandsen-2009; Bratt et. al.-2011; dan Ramirez-2012 dalam Notohamijoyo (2015), menyimpulkan bahwa
161
ekolabel gagal menerapkan perlindungan lingkungan sekaligus mendorong insentif bagi produsen dan konsumen terkait penerapannya. Upaya memanfaatkan sumber daya ikan secara optimal, berkelanjutan, dan lestari, merupakan tuntutan mendesak bagi sebesarnya-besarnya kemakmuran rakyat. Pemanfaatan ini dimaksudkan mensejahterakan nelayan dan pembudidaya ikan, pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja/kesempatan berusaha, serta peningkatan ekspor penghasil devisa negara (BAPPENAS, 2014). Produksi ikan yang dilakukan dengan mempertimbangkan kesehatan ekologi, meminimalkan efek samping yang mengganggu keanekaragaman, fungsi ekosistem, serta dikelola secara adil dan bertanggung jawab sesuai dengan hukum (nasional dan internasional), bertujuan memenuhi kebutuhan generasi sekarang maupun generasi masa depan (Deere, 1999).
162
V. 5.1.
IMPLIKASI HASIL PENELITIAN DALAM MENDUKUNG KEBIJAKAN KP
Kebijakan Nasional Implikasi hasil penelitian “Kepatuhan Pelaku Usaha terhadap Kewajiban Pemenuhan
Persyaratan Ekolabeling Komoditas Udang dan Tuna di Pasar Internasional”, terhadap kebijakan nasional adalah:
Mengetahui kelebihan dan kekurangan ekolabeling yang diinisiasi oleh lembaga independen internasional.
Pemerintah mengetahui posisi tatanan hukum nasional dalam memberdayakan regulasi sebagai pengawal pembangunan sektor KP yang berkelanjutan.
Menciptakan langkah strategis sebagai upaya membantu perusahaan eksportir Udang dan Tuna nasional dalam mendapatkan ekolabeling yang diakui internasional.
Pemerintah dapat melakukan harmonisasi peraturan nasional untuk menyederhanakan kebijakan yang masih tumpang tindih maupun kurang pengaturannya.
Pemerintah dapat mengadopsi prinsip dalam ekolabel MSC dan ASC, untuk menciptakan ekolabel nasional yang diakui oleh dunia internasional.
Pemerintah dapat menentukan program prioritas/strategis dalam mengembangkan industri perikanan tangkap Tuna dan Budidaya Udang melalui ekolabeling produk yang berdaya saing.
5.2.
Kebijakan Tingkat Regional/Daerah Implikasi hasil kajian ini terhadap kebijakan regional/daerah yaitu:
Membantu pengembangan potensi KP dan menambah pendapatan daerah.
Mampu merancang program yang komprehensif untuk membangun sektor perikanan budidaya dan peangakapan secara lestari.
Mengsinkronkan regulasi daerah sesuai dengan kebijakan dan arah pembangunan nasional sektor KP dalam mendukung ekolabeling.
163
VI.
6.1.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Kesimpulan Konsepsi kesepakatan menggunakan salah satu ekolabel oleh pelaku usaha perikanan
nasional, adalah syarat tambahan untuk memenuhi kepentingan pembeli. Syarat tambahan dapat menjadi kendala, jika produk perikanan (Udang dan Tuna) Indonesia ditolak oleh buyer karena tidak memiliki sertifikat ekolabel tertentu. Penolakan tersebut dikategorikan sebagai hambatan non tarif. Skema ekolabel MSC maupun ASC termasuk hambatan non tarif, apabila buyer mensyaratkan dan eksportir mengalami kesulitan untuk memenuhinya. Hambatan non tarif sifatnya subyektif dan tidak hanya bisa dilakukan oleh negara pengimpor, tetapi juga dapat dilakukan oleh pelaku bisnis. Ekolabeling komoditas perikanan dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, merupakan standar preferensi pasar yang memiliki relevansi dengan ekspor. Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa Jepang, Uni Eropa, dan Amerika, yang merupakan tujuan ekspor Udang dan Tuna Indonesia, kebijakan perdagangannya merupakan bagian prinsip ekolabel MSC dan ASC. Materi MSC yang belum termasuk ke dalam regulasi kebijakan perdagangan ketiga negara tersebut, adalah efektivitas pengelolaan. Materi efektivitas pengelolaan, mengatur tentang kepatuhan eksportir terhadap regulasi nasionalnya dalam memanfaatkan sumber daya ikan. Kebijakan perdagangan Jepang, Uni Eropa, dan Amerika, terkait dengan prinsip ASC, belum mengatur tentang aspek sosial (kepentingan tenaga kerja dan masyarakat pada wilayah lahan budidaya) secara utuh. Materi ASC yang merupakan aspek sosial yaitu: (1) pengembangan dan pelaksanaan budidaya dengan mempertimbangkan masyarakat sekitar; (2) pelaksanaan budidaya dengan praktek yang bertanggung jawab. MSC dan ASC merupakan ekolabel yang mempunyai karakteristik pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan skema ketelusuran. MSC memiliki 3 prinsip dan 27 variabel, sedangkan ASC mempunyai 7 prinsip dan 34 kriteria. Variabel MSC dan kriteria ASC tersebut harus dipenuhi oleh pelaku usaha, apabila ingin mendapatkan sertifikasi. Setiap variabel maupun kriteria nantinya dinilai oleh accesor yang ditunjuk untuk memeriksa, apakah setiap ketentuan 164
sudah diikuti dengan benar. Accesor merupakan tim penilai yang menentukan perusahaan bisa mendapatkan sertifikasi MSC dan ASC. Peraturan nasional yang teridentifikasi, meskipun ada yang belum spesifik/teknis mengatur prinsip yang dipersyaratakan, tetapi materinya dapat dijadikan rujukan sebagai pedoman memenuhi ketentuan MSC dan ASC. Peran pemerintah sebagai regulator dalam mendukung perusahaan memperoleh sertifikat MSC maupun ASC sangat penting. Regulasi nasional merupakan salah satu faktor pendukung utama yang disyaratkan oleh kedua ekolabel tersebut. Penerapan prinsip ekolabel MSC di Bali dan Bitung saat ini, belum ada satupun perusahaan eksportir yang memiliki sertifikat. Situasi ini disebabkan mahalnya biaya dan kompleksnya persyaratan yang harus dipenuhi. Elemen penting untuk mendapatkan sertifikasi MSC di Bali dan Bitung adalah adanya kesiapan nelayan, pengusaha, serta pemerintah itu sendiri. Secara umum seluruh perusahaan eksportir Tuna di Bali dan Bitung belum siap menerapkan standar MSC. Perusahaan eksportir Udang di Kota Tarakan dalam memenuhi standar prinsip ASC, tingkat kemampuannya juga masih rendah. Salah satu indikator mengukur kesiapan petambak Udang adalah CBIB. Hasil analisis, menjelaskan bahwa nilai kemampuan pembudidaya Udang di Kota Tarakan untuk memenuhi standar CBIB, masih perlu untuk ditingkatkan. Sertifikasi ASC pada intinya mensyaratkan juga pemenuhan aspek legalitas, yang salah satunya status lahan dan izin usaha. Status lahan tambak yang ada sekarang sifatnya ilegal, dimana sebagian besar lahan budidaya Udang terletak di kawasan budidaya kehutanan yang dilarang (salah satu penghambat mendapatkan sertifikat ASC). Hambatan lainnya adalah biaya yang cukup besar mendapatkan sertifikat ASC. Model kepatuhan yang dianalisis terkait dengan standar MSC, menunjukkan bahwa upaya memenuhi sertifikasi dilakukan oleh eksportir Tuna yang beroperasi secara padat modal. Perusahaan akan mempekerjakan karyawan yang berpengalaman untuk efisiensi (semakin sedikit tenaga kerja diyakini bisa menjaga kualitas produk). Analisis melalui model kepatuhan terhadap pemenuhan kualifikasi ASC, diketahui jika eksportir memiliki perusahaan cabang akan sulit menerapkan pengawasan secara komprehensif. Semakin banyak cabang perusahaan, dapat menyebabkan probabilitas memenuhi standar ASC menurun. 165
Ekolab MSC dan ASC, belum dapat dibuktikan keefektifannya sebagai salah satu alat untuk mencapai alat pembangunan berkelanjutan. Ekolab MSC dan ASC bisa dijadikan alat politik perdagangan negara maju untuk mengatur negara berkembang. Terlepas sudut pandang itu, konsepsi ekolabeling harus diakui mempunyai arah yang baik sebagai upaya menjaga lingkungan alam dan keberlanjutan sumber daya Udang dan Tuna. Ekolabeling digunakan untuk mengukur dan mengemukakan secara detail nilai sosial, ekologi, dan ekonomi, yang menjadi atribut dari produk. 6.2.
Rekomendasi Kebijakan Ekolabeling perikanan dapat dianggap sebagai bentuk upaya peningkatan daya saing
produk suatu negara di pasar internasional. Globalisasi isu lingkungan pada konteks ekolabeling perikanan, mengharuskan setiap pelaku usaha melakukan pengawasan ketat terhadap produknya. Ekolabeling yang saat ini merupakan salah satu upaya masyarakat dunia menjaga keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungannya, harus disiapkan oleh pemerintah agar dapat mengambil manfaatnya secara optimal. Pengelolaan perikanan dalam skema ekolabeling MSC dan ASC, operasionalisasinya memerlukan dukungan pemerintah melalui kebijakannya. Penataan sistem regulasi nasional yang baik, perlu dilakukan pemerintah untuk menghindari aturan yang tumpah tindih, terlalu banyak pengaturan, dan mengetahui kekosongan pengaturan. Pengertian kekosongan pengaturan ini, adalah belum adanya kebijakan yang dibuat untuk mengatur aspek tertentu. Pengaturan yang bersifat umum, juga harus dipertimbangkan dibentuk ketentuan yang sifatnya teknis. Hal tersebut dimaksudkan, agar pengaturannya dapat lebih operasional diaplikasikan. Peran pemerintah dalam mendukung setiap aspek melalui regulasi, merupakan faktor utama yang menjadi perhatian prinsip ekolab MSC dan ASC. Ketidakmampuan perusahaan eksportir dalam memenuhi sertifikat MSC dan ASC, masih dapat dicarikan solusinya. Hambatan non tarif yang disebabkan kewajiban memiliki sertifikasi perikanan tertentu, harus diupayakan pemerintah dengan melobi negara buyer untuk tidak mempersulitnya. Pendekatan lobi ini, juga bisa digunakan menegosiasi biaya sertifikasi ekolab MSC dan ASC yang cukup besar. Upaya pemerintah lainnya untuk mengurangi beban biaya 166
kedua ekolab tersebut, yaitu menyediakan tenaga accesor yang bersertifikat internasional. Biaya pengadaan accesor ini berdasarkan hasil kajian cukup mahal, apabila harus ditanggung oleh accesor. Kasus lahan budiaya petambak yang ilegal di Tarakan harus segera diselesaikan, supaya tidak menghambat pelaku usaha mendapatkan sertifikasi ASC. Pemerintah dapat menindaklanjutinya, dengan mendorong opsi yang sedang diupayakan otoritas setempat (dalam proses pembahasan BAPPEDA dan stakeholder lainnya) agar segera dituntaskan. Orientasi yang terlalu fokus ke luar (export oriented), menghasilkan beban masalah domestik (seperti: kerusakan sumber daya, lingkungan, dan masalah sosial ekonomi). Faktor sosial dan domestik yang tercakup dalam prinsip ASC, sudah sesuai dengan arah pembangunan KP. Isu domestik sektor sosial ekonomi dan lingkungan dalam ASC, harus dipertimbangan juga oleh pemerintah dimasukan dalam rencana strategis pembangunan perikanan tangkap. Hal ini bertujuan, membangun kesejahteraan pelaku perikanan tangkap secara menyeluruh sampai kepada nelayan tradisional. Keseriusan dan komitmen yang tinggi semua pihak (pemerintah, swasta, maupun masyarakat), perlu dilakukan untuk membangun sektor perikanan menjadi lebih baik. Prinsip yang terkandung di dalam MSC dan ASC, dapat dijadikan rujukan bagi pemerintah membentuk ekolabeling nasional yang berstandar internasional. Keberadaan ekolabeling perikanan nasional diharapkan menjadi pendorong praktek pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab, sebagai bentuk kewajiban semua pihak yang berkepentingan (tanpa mengecilkan arti keberadaan nelayan kecil/tradisional).
167
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, M. 2009. Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum. Malang: UMM Press Alfonso, O. 2001. The Impact of International Trade on Economic Growth”, Working Papers, Universidade do Porto. http://wps.fep.up.pt/wps/wp106.pdf. Tanggal diunduh: 3 Agustus 2016 Ahmed, M. 2006. Market Acces and Trade Liberalisation. Geneva: International Trade and Suistanable Development (ITCD) Alesina, A.; E. Spolaor; & R. Wacziarg. 2005. Trade, Growth and the Size of Countries, Handbook of Economic Growth, Vol. 1B, Elsevier B.V. http://www.anderson.ucla.edu/faculty_pages/ romain.wacziarg/downloads/handbook.pdf. Tanggal diunduh: 2 Agutus 2016 Ambarwati, R. 2014. Membangun Kelautan untuk Mengembalikan Kejayaan sebagai Negara Maritim. http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/ver2/news/read/115/membangun-kelautanuntuk-mengembalikan-kejayaan-sebagai-negara-maritim.html. Tanggal diunduh: 6 September 2016 ATLI. 2016. Data Produksi Tuna. Bali: Asosiasi tuna Long Line Indonesia. ((Tidak dipublikasikan) BAPPENAS. 2014. Kajian Strategi pengelolaan Perikanan Berkelanjutan. Jakarta: Kementerian PPN/BAPPENAS-Direktorat Kelautan dan Perikanan BAPPEDA dan BPS. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bitung Tahun 2009. Kota Bitung: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik BKIPM. 2016. Data Ekspor Tuna dan Udang Tahun 2011-2015. (Tidak Dipublikasikan). Jakarta: Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan BPS. 2015. Ekspor Ikan Tongkol/Tuna Menurut Negara Tujuan Utama, 2002-2014. https:// www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1019. Tanggal diunduh: 20 Juli 2016 BSN. 1998. Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya. SNI 01-4852-1998. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional BSN1. 2006. Tuna Beku-Bagian 1: Spesifikasi. SNI 01-2710.1-2006. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional 2 BSN . 2006. Tuna Beku-Bagian 1: Persyaratan Bahan Baku. SNI 01-2710.2-2006. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional 3 BSN .Badan Standardisasi Nasional. 2006. Tuna Beku-Bagian 3: Penanganan dan Pengolahan. SNI 01-2710.3-2006. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional Cato, J.C. 1998. Economic Values Associated with Seafood Safety and Implementation of Seafood. FAO Fisheries Technical Paper. No. 381 CBI. 2016. What Requirements do Fish and Seafood Products have to Comply with to be Allowed on the European Market?. https://www.cbi.eu/market-information/fish-seafood /buyer-requirements/. Tanggal diunduh: 8 Oktober 2016 Danisha. 2016. Kebijakan Standarisasi Produk Perikanan. https://www.scribd.com/doc/315309 448/Kebijakan-Standardisasi-Produk-Perikanan. Tanggal diunduh: 27 September 2016 Deere, C. 1999. Eco-Labeling and Sustainable Fisheries. IUCN: Washington, DC & FAO: Rome Deliarnov, 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Penerbit Erlangga
168
Diphayana, W. 2014. Hambatan Non Tarif Dalam Perdagangan. http://wahonodiphayana. blogspot.co.id/2014/12/hambatan-non-tarif-dalam-perdagangan.html. Tanggal diunduh: 8 November 2016 DKP Kota Tarakan. 2015. Laporan Tahunan Kelautan dan Perikanan Kota Tarakan. Tarakan: Dinas Kelautan dan Perikan Ditjen Tangkap-KKP. 2012. Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna Nasional (National Tuna Management Plan). Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap-Kementerian Kelautan dan Perikanan Ditjen P2HP. 2014. Pedoman Ekspor ke Negara Mitra. Jakarta: Direktorat Pemasaran Luar Negeri, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan Endarto, D. 2016. Dampak Positif dan Negatif Perdagangan Internasional terhadap Perekonomian. http://www.ssbelajar.net/2014/06/dampak-posotif-dan-negatifperdagangan-internasional.html. Tanggal diunduh: 3 Agustus 2016 Export Helpdesk EU. 2016. Trade. http://exporthelp.europa.eu/thdapp/index.htm?New LanguageId=EN Fakhrudin, U. 2008. Kebijakan Hambatan Perdagangan atas Produk Ekspor Indonesia di Negara Mitra Dagang. Buletin Ilmiah. Litbang Perdagangan, Volume II, Nomor 2. (216-236) Fitrian, H. 2015. Udang Tarakan Paling Baik Di Dunia, Petani diminta Meningkatkan Konsistensi Tersebut. https://www.merahbirunews.com/. Tanggal diunduh: 16 September 2016 FNI Statistics. 2013. Pengertian Statistik Deskriptif. http://fni-statistics.blogspot.co.id/2013/06/ pengertian-statistik-deskriptif.html. Tanggal diunduh: 3 November 2016 Foley, P. dan McCay. 2014 Certifying the Commons: Eco-certification, Privatization, and Collective Cction. Journal Ecology and Society 19(2): 28. http://dx.doi.org/10.5751/ES06459-190228. Tanggal diunduh: 3 November 2016 Gardiner, P.R. dan K.K. Visnawathan. 2004. “Ecolabeling and Fisheries Management”. World Fish Center Studies and Reviews 27, 44 Gudmundsson, E. dan C. Wessel. 2000. Ecolabelling Seafood for Sustainable Production: Implication for Fisheries Management. Journals of Marine Resource Economics, Volume 15, pp. 97–113 Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics. New York: McGraw-Hill Halim, A. dan T.W. Damayanti. (2007). Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah (Pengelolaan Keuangan Daerah). Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN Hariyadi, P. 2007. Pangan dan daya Saing Bangsa (Upaya Peningkatan Kemanan, Mutu, dan Gizi Pangan melalui Ilmu dan Teknologi. Bogor: SEAFAST Center IPB Hasan, I. 2004. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Jakarta: PT Bumi Aksara Helwani RH. 2002. Ekonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hidayat, S. dan A.S. Hidayat. 2010. Quo Vadis Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Jakarta: Rajawali Pers-PT. RajaGrafindo Persada Ilmie, M.I. 2014. Indonesia Fasilitasi Sertifikasi Perikanan Negara Berkembang. http://bali. antaranews.com/berita/51275/indonesia-fasilitasi-sertifikasi-perikanan-negaraberkembang. Tanggal diunduh: 26 Oktober 2016 169
Kartadjoemena, H.S. 1996. GATT, WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan. Jakarta: UI-Press Kementerian Lingkungan Hidup. 2016. Ekolabel Indonesia. http://www.menlh.go.id/ekolabelindonesia/. Tanggal diunduh: 25 Maret 2016 Kementerian Perdagangan. 2016. Udang. http://inatrims.kemendag.go.id/id/product/detail/ produk-udang_1030/?market=ar. Tanggal diunduh: 7 September 2016 Kholifin, M.B. 2013. Determinan Permintaan Ekspor Udang Beku Indonesia ke Uni Eropa. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional KAN. 2006. Penilaian Kesesuaian–Ketentuan Umum Penggunaan Tanda Kesesuaian Produk SNI. PSN 306-2006. Jakarta: Komite Akreditasi Nasional Kristianto, P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta: ANDI Lestari, Wiji. 2011. Analisis Dan Strategi Peningkatan Daya Saing Tuna Olahan Indonesia Di Pasar Internasional. Magister Profesional/Program Studi Industri Kecil Menengah. Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor Martosubroto, P. 2012. Kajian Usulan Pembentukan Lembaga Pengelola Perikanan Tuna yang Berkelanjutan dan Bertanggungjawab. Indonesia: WWF Mayasari, K.P. 2009. Peran GATT/WTO terhadap Isu Lingkungan Hidup melalui Ekolabel dalam Perdagangan Internasional. Medan: Universitas Sumatera Utara Ministry of Finance. 2011. Trade Statistic of Japan. http://www.mof.go.jp/english/. Tanggal diunduh: 27 September 2016 MSC. 2016. Kerangka acuan kerja (KAK) untuk pengembangan MSC-ASC Standar Rumput Laut. https://improvements.msc.org/database/seaweed-standard/documents/terms-ofreference-for-the-seaweed-standard-development/TOR-for-MSC-ASC-Seaweed-StandardDevelopment-Indonesian.pdf/view. Tanggal diunduh: 16 April 2016 Muhajir, M. 2007. Non tarif Barreiers dalam Perdagangan Internasional. http://kataloghukum. blogspot.co.id/2007/12/non-tarif-barriers-dalam-perdagangan.html. Tanggal diunduh: 10 November 2016 Mungkung, R.T.; H.A.U.D. Haes.; dan R. Clift. 2006. Potentials and Limitations of Life Cycle Assessment in Setting Ecolabelling Criteria: A Case Study of Thai Shrimp Aquaculture Product”. Journal of Thai Shrimp Aquaculture Product. Int J LCA 11 (1) 55 – 59 Muswar, H.S. 2011. Dampak Pelabelan Ramah Lingkungan (Ecolabelling) Perikanan dan Nelayan Ikan Hias (Kasus Nelayan Ikan Hias Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali). (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor Nababan, S.C. 2012. Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya terhadap Ekspor Udang Indonesia. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor Notohamijoyo, A. 2015. Ekolabel Perikanan. http://print.kompas.com/baca/2015/02/09/ Ekolabel-Perikanan. Tanggal diunduh: 23 Maret 2016 Nunes, P. dan Y.E. Ryanto. 2005. “Information as a Regulatory Instrument to Price Biodiversity Benefits: Certification and Ecolabeling Policy Practices”. Journals of Biodiversity and Conservation (2005) 14:2009–202 Phillips, B.; T. Ward; dan C. Chaffee. 2003. Eco-labelling in Fisheries (What is it all about). Blackwell Science Ltd, USA: a Blackwell Publishing Company 170
Ponte, S. 2006. Ecolabels and Fish Trade: Marine Stewardship Council Certification and the South African Hake Industry. Tralac Working Paper No. 9/2006. www.tralac. org). Tanggal diunduh: 9 November 2016 Priyono, F.X.J. 2013. Hambatan teknis di Bidang Perdagangan dalam Kaitannya dengan Kasus Tembakau Indonesia-Amerika Serikat. Jurnal Masalah-Masalah Hukum. Semarang: Universitas Diponegoro, Jilid 2, Nomor 2 PT. XXX. 2016. Jumlah Budget yang Dibutuhkan untuk Sertifikasi MSC. (Tidak dipublikasikan) PT. YYY. 2016. Jumlah Budget yang Dibutuhkan untuk Sertifikasi ASC. (Tidak dipublikasikan) Pusat Data, Statistik dan Informasi-KKP. 2014. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2014 (Marine and Fisheries in Figures 2014). Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan Rahardjo, S. 2010. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara Rahardjo, S. 2009. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara Rahmawaty, L.; W.P. Rahayu; dan H.D. Kusumaningrum. 2014. Pengembangan Strategi keamanan Produk Perikanan untuk Ekspor ke Amerika Serikat. Jurnal Standarisasi. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional, Volume 16, Nomor 2. (95-102) Rastikarany, H. Analisis Pengaruh Kebijakan Tarif dan Non Tarif Uni Eropa terhadap Ekspor Tuna Indonesia. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor Rasyad, R. Metode Statistik Deskriptif untuk Umum. Jakata: PT. Grasindo Rinto. 2010. Kajian Penolakan Ekspor Produk Perikanan Indonesia ke Amerika Serikat. Skripsi. Palembang: Universitas Sriwijaya Rohmat. 2014. Tak Miliki MSC, Tangkapan Ikan RI Diterima Internasional. http://ekbis. sindonews.com/read/854348/34/tak-miliki-msc-tangkapan-ikan-ri-diterima-internasional1397552352. Tanggal diunduh: 22 Maret 2016 Ramirez, M.P.; B. Phillips; D.L. belda; dan S.L. Cota. 2012 Perspectives for Implementing Fisheries Certification in Developing Countries. Marine Policy. 36 (1): pp. 297-302 Sabaruddin, S.S. 2015. Dampak Perdagangan Internasional Terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis. Buletin Ekonomi Moneter. Jakarta: Bank Indonesia, Volume 17, Nomor 4, 2015. (432-456) Sabaruddin, S.S. 2013. Simulasi Dampak Liberalisasi Perdagangan Bilateral RI-China terhadap Perekonomian Indonesia: Sebuah Pendekatan SMART Model. Jurnal Ekonomi Kuantitatif. (86-96) Sainsbury, K. 2010. Review of Ecolabelling Schemes for Fish and Fisheries Products from Capture Fisheries. Roma (Itali): FAO Simamora, S.D.. 2014. Langkah dan Strategi Ekspor ke Uni Eropa: produk Udang. Market Brief. APINDO-EU Active Project. Jakarta: Asosiasi Pengusaha Indonesia Soekanto, S. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press) Statistik PPS Bitung. 2016. Laporan Statistik PPS Bitung 2015. Kota Bitung: Pelabuhan Perikanan Samudera Kota Bitung Suadi. 2016. Refleksi 50 Tahun Hubungan Ekonomi Indonesia-Jepang dalam Sektor Perikanan. http://io.ppijepang.org/old/cetak.php?id=255. Tanggal diunduh: 4 Agustus 2016 Suharto, E. 2008. Penerapan Kebijakan Pelayanan Publik bagi Masyarakat dengan Kebutuhan Khusus. Disampaikan pada Focused Group Discussion (FGD) “Kajian Penerapan Pelayanan Khusus (Service for Customers with Special Needs) pada Sektor Pelayanan Publik”, 171
Lembaga Administrasi Negara, Sahira Butik Hotel, Bogor 9-10 Oktober 2008. http://www. policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/LANPelayananPublik.pdf. Tanggal diunduh: 5 April 2016 Sukadri, D.S. 2016. Ecolabelling. http://www.dephut.go.id/Halaman/PDF/ECOLABELING.pdf. Tanggal diunduh: 21 Maret 2016 Suminto. 2011. Kajian Penerapan Ekolabel Produk di Indonesia. Jurnal Standarisasi. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional, Volume 13, Nomor 3, 2011. (201-206) Suryoatmono, B. 2004. Statistika Nonparametrik dan Penerapannya dalam Penelitian Manajemen. http://home.Unpar.ac.id. Tanggal diunduh: 3 November 2016 Sutedi, A. 2014. Hukum Ekspor Impor. Jakarta: Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup) Tribun Kaltim. 2014. http://kaltim.tribunnews.com/2014/12/08/bulungan-cabut-izin-3000tambak. Tanggal diunduh: 20 September 2016 Tuarsih, N. 2012. Perdagangan Internasional dan Pembangunan Berkelanjutan: Sebuah Kajian atas Dampak Penerapan Ekolabel. Skripsi. Padang: Universitas Andalas Wetland International Indonesia, 2016. Laporan Seminar Budidaya Udang Ramah Lingkungan Sesuai dengan Standard Aquaculture Stewardship Council di Pesisir Timur Kalimantan. http://indonesia.wetlands.org/Portals/28/Press%20Rel%20Wshop%20RSCIP%203%20Tarakan%2013Mar2015%20(Indonesia)_1.pdf. Tanggal diunduh: 16 September 2016 Ward, T. dan B. Phillips. 2008. Seafood Ecolabelling: Principles and Practice. United Kingdom: Wiley-Blackwell WWF. 2010. Dua Perusahaan Perikanan Bergabung di “Seafood Savers”. http://www.wwf.or.id /?20620/Two-fisheries-companies-join-Seafood-Savers. Tanggal diunduh: 26 Maret 2016 WWF. 2008. Pertemuan APEC/DKP/WWF Diskusikan Pengelolaan Perikanan Tuna Dunia yang Bertanggung Jawab. http://www.wwf.or.id/?1160/. Tanggal diunduh: 26 Juli 2016 Zileni, I.J. 2013. Pengaturan Ecolabelling Indonesia. http://www.hukumonline.com/klinik/detail /cl3266/pengaturan-ecolabelling-di-indonesia. Tanggal diunduh: 22 Maret 2016 Undang-Undang, Peraturan, dan Keputusan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016, tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007, tentang Energi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang 172
Perikanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2015, tentang Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan serta Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil Perikanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 181. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4779 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014, tentang Kebijakan Energi Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 300. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5609 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007, tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5726 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002, tentang Karantina Ikan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 36. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4179 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 25 Juli 1990) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 15/PERMEN-KP/2016, tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 544 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/Permen-KP/2015, tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Tahun 2015-2019. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1328 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 39/Permen-KP/2015, tentang Pengendalian Residu Obat Ikan, Bahan Kimia, dan Kontaminan pada Kegiatan Pembudidayaan Ikan Konsumsi. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1904 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 4/Permen-KP/2015, tentang Larangan Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 714. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 62 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 48/Permen-KP/2014, tentang Logbook Penangkapan Ikan. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1618 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 43/Permen-KP/2014, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 32/PermenKP/2013 tentang Larangan Pemasukan Udang dan Pakan Alami dari Negara dan/atau negara Transit yang Terkena Wabah Early Mortality Sindrome atau Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1467 173
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.26/Permen-KP/2013, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1146 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.12/Men/2012, tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 668 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.04/Men/2010, tentang Tata Cara Pemanfaatan Jenis Ikan dan Genetik Ikan. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 8 Februari 2010) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.02/Men/2007, tentang Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan pada Pembudidayaan Ikan. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 5 Januari 2007) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.04/MEN/2006, tentang Unit Pelaksana Teknis Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 12 Januari 2006) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 107/Kepmen-KP/2015, tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 28 Agustus 2015) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 54/Kepmen-KP/2014, tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 718. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 3 Oktober 2014) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 52A/KEPMEN-KP/2013, tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 21 Oktober 2013) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 26/KepmenKP/2013, tentang Penetapan Jenis-Jenis Hama dan Penyakit Ikan Karantina, Golongan, Media Pembawa dan Sebarannya. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 20 Juni 2013) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.50/MEN/2012, tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing Tahun 2012-2016. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 27 Desember 2012) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.45/MEN/2011, tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 3 Agustus 2011) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.61/MEN/2009, tentang Pemberlakuan Wajib Standar Nasional Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 27 Agustus 2009) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.02/Men/2007, tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 5 Januari 2007) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep. 28/Men/2004, tentang Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 23 Juli 2004) 174
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.02/Men/2004, tentang Perizinan Usaha Pembudidayaan Ikan. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 14 Januari 2004) Peraturan Daerah Kota Bitung Nomor 11 Tahun 2013, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bitung Tahun 2013-2033. Lembaran Daerah Kota Bitung Tahun 2013 Nomor 32. Tambahan Lembaran Daerah Kota Bitung Nomor 116 Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 4 Tahun 2012, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan Tahun 2012-2033. Lembaran Daerah Kota Tarakan Tahun 2012 Nomor 4. Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor: 1/Per-DJPT/2016, tentang Penangkapan Ikan dalam Satu Kesatuan Operasi. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 29 April 2016) Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep 294/DJ-PSDK/2010, tentang Prosedur Operasional Standar (POS) Pengawasan Sumberdaya Perikanan. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 6 September 2010) Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya No.502/DPB/PB.430.D4/I/2008, tentang Penunjukkan Laboratorium Acuan dan Laboratorium Pengujian Kandungan Residu Obat Ikan, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan pada Pembudidayaan Ikan. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 14 Januari 2008) Peraturan Kepala BKIPM Selaku Otoritas Kompeten Nomor: PER.03/BKIPM/2011, tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Ditetapkan di Jakarta (Tanggal 13 Januari 2011) Ketentuan Internasional CAC1. 2003. Code of Practice for Fish and Fishery Products. 52-2003, Rev. 2004, 2005, 2007: CAC/RCP. Codex Alimentarius Commission 2 CAC . 2003. Recommended International Code of Practice – General Principles of Food Hygiene. 1-1969, Rev. 4, 2003: CAC/RCP. Codex Alimentarius Commission FDA1. 2013. Fish and Fishery Products Hazards and Controls Guidance. www.fda.gov/ downloads/Food/Guidance-Regulation/UCM251970.pdf. Food and Drug Administration. Tanggal diunduh: 15 September 2016 FDA2. (2013). Import Refusal. http://www.accessdata.fda.gov/scripts/importrefusals. Food and Drug Administration. Tanggal diunduh: 15 September 2016 ISO. 2011. Conformity Assessment. Requirements for Bodies Providing Audit and Certification of Management Systems. ISO 17021. International Organization for Standardization ISO. 2012. Conformity Assessment-Requirements for Bodies Certifying Products, Processes and Services. ISO 17065. International Organization for Standardization Law No. 233, December 24, 1947- Last Amendment: No. 55. May 30, 2003. Food Sanitation Law in Japan Law No.48, May 23, 2003/12/15-Last Amendment: No. 74, June 11, 2003. The Food Safety Basic Law Regulation (EC) No. 183/2005 of the European Parliament and of the Council of 12 January 2005. Laying Down Requirements for Feed Hygiene 175
Regulation (EC) No. 1953/2004 of the European Parliament and of the Council of 27 October 2004, (on Materials and Article Intended to Come Into Contact with Food and Repealing Directive 80/590/EEC and 89/109/EEC) Regulation (EC) No. 853/2004 of the European Parliament and of the Council of 29 April 2004, Laying Down Specific Hygiene Rules for on the Hygiene of Foodstuffs Regulation (EC) No. 852/2004 of the European Parliament and of the Council of 29 April 2004, (on the Hygiene of Foodstuffs) Regulation (EC) No. 178/2002 of the European Parliament and of the Council of 28 January 2002, laying Down the General Principles and Requirements of Food Law, Establishing the European Food Safety Authority and Laying Down Procedures in Matters of Food Safety Regulation (EC) No. 258/1997 of the European Parliament and of the Council of 27 January 1997, Concerning Novel Foods and Novel Food Ingredients Commission Regulation (EU) No. 2016/235 of 18 February 2016, Amending Annex II to Regulation (EC) No 110/2008 of the European Parliament and of the Council on the Definition, Description, Presentation, Labelling and the Protection of Geographical Indications of Spirit Drinks Commission Regulation (EC) No. 1010/2009 of 22 October 2009, Laying Down Detailed Rules for the Implementation of Council regulation (EC) No. 1005/2008 Establishing a Community System to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing Commission Regulation (EC) No. 889/2008 of 5 September 2008, Laying Down Detailed Rules for the Implementation of Council Regulation (EC) No 834/2007 on Organic Production and Labelling of Organic Products with Regard to Organic Production, Labelling and Control Commission Regulation (EC) No. 1881/2006 of 19 December 2006, Setting Maximum Levels for Certain Contaminants in Foodstuff (Text with EEA Relevance) Commission Regulation (EC) No. 2065/2001 of 22 October 2001, Laying Down Detailed Rules for Application of Council Regulation (EC) No. 104/2000 as Regards Informing Consumers about Fishery a Aquaculture Products Council Regulation (EC) no. 1224/2009 of 20 November 2009, Establishing a Community Control System for ensuring compliance with the rules of the common fisheries policy, amending Regulations (EC) No 847/96, (EC) No 2371/2002, (EC) No 811/2004, (EC) No 768/2005, (EC) No 2115/2005, (EC) No 2166/2005, (EC) No 388/2006, (EC) No 509/2007, (EC) No 676/2007, (EC) No 1098/2007, (EC) No 1300/2008, (EC) No 1342/2008 and repealing Regulations (EEC) No 2847/93, (EC) No 1627/94 and (EC) No 1966/2006 Council Regulation (EC) no. 1005/2008 of 29 September 2008, Establishing a Community System to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, Amneding Regulation (EEC) No. 284/93, (EC) No. 1936/2001 and (EC) No. 601/2004 and Repealing Regulation (EC) No. 1093/94 and No. 1447/1999 Council Regulation (EC) No. 834/2007 of 28 Juny 2007, (on Organic Production and Labelling of Organic Products and Repealing Regulation (EEC) No. 2092/91) Council Regulation (EC) No. 104/2000 of 17 December 1999, (on the Common Organization of the Markets in Fishery and Aquaculture Products) Council Regulation (EC) No. 2406/96 of 26 November 1996, Laying Down Common Marketing Standards for Certain Fishery Products 176
Council Regulation (EEC) No. 315/93 of 8 February 1993, Laying Down Community Procedures for Contaminants in Food Council Regulation (EEC) No. 2092/91 of 24 juny 1991, (on Organic Production of Agriculture Products and Indications Referring thereto on Agricultural Products and Foodstuff Council Directive 2002/99/EC of of the European Parliament and of the Council of 16 December 2002, Laying Down the Animal Health Rules Governing the Production, Processing, Distribution and Introduction of Product of Animal Origin for Human Consumption Council Directive 2000/13/EC of the European Parliament and of the Council of 20 March 2000, (on the Approximation of the Laws the Member States Relating to the Labelling, Presentation and Advertisng of Foodstuff)
177
LAMPIRAN
1. Kuesioner MSC
KUESIONER KAJIAN KESADARAN PELAKU USAHA TERHADAP KEWAJIBAN PEMENUHAN PERSYARATAN “EKOLABELING” KOMODITAS UDANG DAN TUNA DI PASAR INTERNASIONAL
Nama perusahaan Bentuk perusahaan Alamat Pusat
PT/CV/...........
Komoditas
Tuna
Tujuan eskpor
UE USA Japan
(*): berilah tanda (V/X)
......* ......* ......*
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi - Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2016 178
KEGIATAN KAJIAN KESADARAN PELAKU USAHA TERHADAP KEWAJIBAN PEMENUHAN PERSYARATAN “EKOLABELING” KOMODITAS UDANG DAN TUNA DI PASAR INTERNASIONAL
Pengisian kuesioner ini difokuskan untuk membahas ekolabeling terhadap komoditas Tuna, yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam memenuhi keinginan pasar internasional. Syarat ekolabeling dalam panduan kuesioner menggunakan prinsip MSC (Marine Stewardship Council). MSC mempunyai misi memanfaatkan program sertifikasinya untuk berkontribusi, dalam menjaga kesehatan laut dunia dengan memperkenalkan sistem penangkapan ikan berkelanjutan. Kepentingan pelaku usaha terhadap sertifikasi MSC, yaitu memenuhi pasar ekspor yang memiliki persyaratan ekolabel dan mendukung implementasi kebijakan ke arah pengelolaan perikanan yang lestari. Sertifikat MSC meskipun saat ini bukan merupakan kewajiban bagi eksportir nasional, tetapi ke depannya menjadi penting sebagai pendongkrak daya saing produk perikanan Indonesia. Hasil pengisian kuesioner bertujuan memberikan gambaran mengenai kesiapan dan kesulitan pelaku usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip ekolabeling, dengan standar MSC. Berdasarkan hal tersebut, kami mengharapkan Bapak/Ibu untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Identitas perusahaan yang dijadikan responden akan dirahasiakan dan tidak disebarluaskan. Informasi yang diberikan akan sangat bermanfaat sebagai masukan, dalam mendukung penerapan ekolabeling yang telah dijadikan program rencana aksi bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan.
179
Data Perusahaan
Jumlah tenaga kerja Sertifikasi yang sudah ada
Jumlah cabang perusahaan Prusahaan sudah go publik
a. b. c. d.
.......................... .......................... .......................... ..........................
1. Sudah (..........) 2. Tidak (..........)
180
Petunjuk pengisian: Isilah dengan memberi tanda (V/X) pada kolom yang telah disediakan, untuk jawaban yang dirasakan paling sesuai. Principle 1 No. 1.
Status Stok Apakah perusahaan memiliki akses terhadap informasi status stok ikan tangkapannya terkait penurunan jumlah ikan baru yang masuk ke dalam stok ikan? Apakah perusahaan memiliki akses terhadap informasi status stok ikan tangkapannya terkait tercapainya produksi yang menjamin keberlanjutan
Ya
Tidak
Stok Ikan Terkait Ekosistem Apakah perusahaan memiliki akses terhadap informasi dampak dari perubahan status stok ikan tangkapannya terhadap kerusakan ekosistem? Apakah perusahaan memiliki akses terhadap informasi status stok ikan tangkapannya terkait dengan jumlah stok yang dibutuhkan oleh ekosistem?
Ya
Tidak
No. 1. 2.
Pemulihan Stok Apakah perusahaan memiliki informasi terkait kerangka waktu bagi usaha pemulihan? Apakah perusahaan melakukan evaluasi terhadap usaha pemulihan?
Ya
Tidak
No. 1. 2. 3. 4.
Strategi Produksi Apakah perusahaan memiliki strategi penangkapan? Apakah perusahaan melakukan evaluasi terhadap strategi penangkapan? Apakah perusahaan melakukan monitoring terhadap strategi penangkapan? Apakah perusahaan melakukan review atas strategi penangkapan yang dilakukan?
Ya
Tidak
No. 1.
Ketentuan dan Alat Pengendalian Produksi Apakah perusahaan mengembangkan rancangan dan aplikasi ketentuan pengendalian produksi (Harvest Control Rules/HCRs) Apakah rancangan ketentuan pengendalian penangkapan (Harvest Control Rules/HCRs) yang dikembangkan perusahaan sudah dirasa mampu mengatasi berbagai ketidak pastian? Apakah perusahaan melakukan evaluasi terhadap ketentuan pengendalian produksi (Harvest Control Rules/HCRs)
Ya
Tidak
Informasi & Pengawasan Apakah perusahaan mengetahui cakupan informasi yang dibutuhkan? Apakah perusahaan melakukan monitoring terhadap informasi yang dihasilkan? Apakah perusahaan informasi yang dimiliki perusahaan sudah dianggap cukup lengkap?
Ya
Tidak
Ya
Tidak
2.
No. 1. 2.
2. 3.
No. 1. 2. 3. No. 1.
Status Penilaian Stok
Apakah perusahaan sudah memperhatikan kecocokan dari kegiatan penilaian terhadap stok
181
2. 3. 4. 5.
ikan yang dipertimbangkan?
Apakah perusahaan memiliki metode pendekatan untuk menilai ketersediaan stok ikan? Apakah perusahaan mempertimbangkan adanya ketidakpastian dalam melakukan penilaian ketersediaan stok ikan? Apakah perusahaan melakukan evaluasi terhadap penilaian ketersediaan stok ikan ? Apakah perusahaan menerima review dari perusahaan lain terhadap penilaian ketersediaan stok ikan yang dilakukan?
Principle 2 No. 1. 2.
Hasil Spesies Utama Apakah perusahaan memiliki informasi tentang status ketersediaan stok ikan spesies primer utama? Apakah perusahaan memiliki informasi tentang ketersediaan stok ikan spesies primer minor/sampingan?
Ya
Tidak
No. 1.
Strategi Pengelolaan Spesies Utama Apakah perusahaan telah memiliki strategi pengelolaan atas spesies utama?
Ya
Tidak
Informasi Spesies Utama Apakah perusahaan memiliki kecukupan informasi untuk penilaian dampak penangkapan pada spesies utama? Apakah perusahaan memiliki informasi yang cukup untuk penilaian dampak pada spesies lainnya (bukan yang utama/sekunder)? Apakah perusahaan memiliki informasi yang cukup mengenai penilaian strategi pengelolaan spesies utama yang telah dibuat?
Ya
Tidak
No. 1. 2.
Hasil Spesies Sekunder Apakah perusahaan memiliki informasi terkait stok ikan spesies sekunder utama? Apakah perusahaan memiliki informasi terkait stok ikan spesies sekunder minor/sampingan yang tidak sesuai dengan standar
Ya
Tidak
No. 1.
Strategi Pengelolaan Spesies Sekunder Apakah perusahaan telah mengembangkan strategi manajemen yang bisa diterapkan untuk mengelola spesies sekunder? Apakah perusahaan melakukan evaluasi terhadap strategi pengelolaan spesies sekunder tersebut? Apakah perusahaan telah mengimplementasikan strategi pengelolaan spesies sekunder tersebut? Apakah perusahaan melakukan review terhadap berbagai cara alternatif untuk meminimalkan kematian tangkapan sampingan yang tak diinginkan?
Ya
Tidak
Informasi Spesies Sekunder Apakah perusahaan memiliki informasi yang cukup untuk penilaian dampak pada spesies sekunder? Apakah perusahaan memiliki informasi yang cukup untuk penilaian dampak pada spesies sekunder yang tidak sesuai standar? Apakah perusahaan memiliki informasi yang cukup untuk bagi strategi pengelolaan spesies sekunder?
Ya
Tidak
Produksi Spesies Terancam Punah/Dilindungi Apakah perusahaan memiliki informasi terkait unit penilaian mengenai dampak penangkapan terhadap spesies yang terancam punah/dilindungi dalam wilayah nasional maupun internasional?
Ya
Tidak
2. 3. 4. No. 1. 2. 3.
2. 3. 4.
No. 1. 2. 3. No. 1.
Apakah melakukan evaluasi terhadap strategi pengelolaan tersebut? Apakah perusahaan telah berhasil mengimplementasikan strategi pengelolaan tersebut? Apakah perusahaan telah melakukan review terhadap berbagai cara pengelolaan alternatif lain?
182
2. 3.
No. 1.
Apakah perusahaan memiliki informasi mengenai efek langsung jika mendapatkan hasil ikan kategori spesies yang terancam punah/dilindungi? Apakah perusahaan memiliki informasi mengenai efek tidak langsung jika mendapatkan hasil ikan kategori spesies yang terancam punah/dilindungi?
Strategi Pengelolaan Spesies Terancam Punah/Dilindungi Apakah perusahaan menerapkan strategi pengelolaan yang dibuat terhadap spesies ikan yang terancam punah/dilindungi sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional? Apakah perusahaan mengembangkan strategi pengelolaan alternatif terhadap spesies ikan yang terancam punah/dilindungi sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional? Apakah perusahaan melakukan evaluasi terhadap strategi pengelolaanyang dibuat terhadap spesies ikan yang terancam punah/dilindungi? Apakah perusahaan telah mengimplementasikan strategi pengelolaan yang dibuat terhadap spesies ikan yang terancam punah/dilindungi ? Apakah perusahaan melakukan review terhadap alternatif strategi dalam upaya meminimalkan kematian spesies ikan yang terancam punah/dilindungi?
Ya
Tidak
Informasi Spesies Terancam Punah/Dilindungi Apakah perusahaan memiliki informasi yang cukup untuk penilaian dampak penangkapan pada spesies ikan yang terancam punah/dilindungi? Apakah perusahaan memiliki informasi yang cukup untuk membuat strategi pengelolaan spesies ikan yang terancam punah/dilindungi?
Ya
Tidak
No. 1. 2. 3.
Habitats Outcome Apakah perusahaan memiliki informasi tentang status habitat yang biasa ditemukan? Apakah perusahaan memiliki informasi tentang status dari ekosistem laut yang rentan? Apakah perusahan memiliki informasi tentang status habitat minor/sampingan?
Ya
Tidak
No. 1. 2. 3.
Strategi Pengelolaan Habitat Apakah perusahaan menerapkan strategi pengelolaan habitat dari ikan yang ditangkap? Apakah perusahaan melakukan evaluasi terhadap strategi pengelolaan habitat ikan yang ditangkap? Apakah perusahaan menerapkan strategi yang telah dibuat untuk mengelola habitat ikan yang ditangkap? Apakah perusahaan memastikan terjadinya kepatuhan atas syarat pengelolaan yang ditetapkan oleh MSC maupun non-MSC untuk melindungi kerentanan ekosistem laut?
Ya
Tidak
Informasi Habitat Apakah perusahaan memiliki informasi yang berkualitas mengenai habitat ikan yang ditangkap? Apakah perusahaan memiliki informasi yang cukup untuk menilai dampak penangkapan terhadap habitat ikan yang ditangkap? Apakah perusahaan melakukan monitoring terhadap habitat ikan yang ditangkap secara kontinyu/reguler?
Ya
Tidak
Ekosistem Apakah perusahaan memiliki informasi tentang status ekosistem ikan yang ditangkap?
Ya
Tidak
Ya
Tidak
2. 3. 4. 5.
No. 1. 2.
4.
No. 1. 2. 3.
No. 1. No.
Strategi Pengelolaan Ekosistem
183
1. 2. 3.
No. 1. 2. 3.
Apakah perusahaan menerapkan strategi pengelolaan ekosistem ikan yang ditangkap? Apakah perusahaan melakukan evaluasi terhadap strategi pengelolaan ekosistem ikan yang ditangkap? Apakah perusahaan telah mengimplementasikan strategi yang telah dibuat untuk mengelola ekosistem ikan yang ditangkap?
Ya
Tidak
Kerangka Regulasi dan/atau Kepabeanan Apakah perusahaan mengetahui keserasian/kecocokan hukum atau standar kepabeanan terhadap pengelolaan ikan yang efektif? Apakah perusahaan memahami cara penyelesaian sengketa hukum dari regulasi nasional apabila terjadi benturan kepentingan? Apakah perusahaan menghargai adanya hak-hak yang dimiliki terkait dengan pengelolaan ikan terhadap regulasi nasional dari pemerintah?
Ya
Tidak
Konsultasi, Peran, & Tanggung Jawab Apakah perusahaan turut berperan dan bertanggungjawab terhadap pengelolaan ikan yang efektif? Apakah perusahaan memahami proses konsultasi/keterlibatannya, terkait pengelolaan ikan yang efektif kepada pemerintah? Apakah perusahaan turut berpartisipasi dalam pengelolaan ikan yang efektif?
Ya
Tidak
No. 1.
Tujuan Jangka Panjang Apakah perusahaan mengetahui adanya tujuan jangka panjang pengelolaan perikanan yang ditetapkan oleh pemerintah?
Ya
Tidak
No. 1.
Tujuan Spesifik Perikanan Apakah perusahaan mengetahui adanya tujuan spesifik terhadap sistem manajemen perikanan yang ditetapkan oleh pemerintah?
Ya
Tidak
No. 1.
Proses pengambilan keputusan Apakah perusahaan dapat berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan dalam menentukan tujuan terhadap sistem manajemen perikanan yang ditetapkan oleh pemerintah? Apakah perusahaan mengetahui seperti apa responsiveness dari proses pengambilan keputusan? Apakah perusahaan pendekatan kehati-hatian manjadi bagian dari tujuan terhadap sistem manajemen perikanan yang ditetapkan oleh pemerintah? Apakah perusahaan mengetahui bagaimana tingkat akuntabilitas dan transparansi dari sistem manajemen, serta proses pengambilan keputusan dalam mengelola perikanan? Apakah perusahaan mengetahui tentang pendekatan yang digunakan oleh pemerintah untuk menyelesaikan sengketa terkait pengelolaan perikanan?
Ya
Tidak
4. 5.
Informasi Ekosistem Apakah perusahaan memiliki informasi yang berkualitas mengenai ekosistem ikan yang ditangkap? Apakah perusahaan melakukan investigasi dalam menilai dampak ekosistem ikan yang ditangkap? Apakah perusahaan dapat memahami mengenai ekosistem dan faktor pendukungnyaterhadap ikan yang ditangkap? Apakah perusahaan mampu menyaring informasi yang relevanterkait ekosistem ikan yang ditangkap? Apakah perusahaan memonitor informasi ekosistem ikan yang ditangkap?
Principle 3 No. 1. 2. 3.
No. 1. 2. 3.
2. 3. 4. 5.
184
No. 1. 2. 3. 4. No. 1. 2.
Kepatuhan dan Penegakan Apakah perusahaan memiliki informasi terkait penerapan MCS (monitoring, control, and surveillance)? Apakah perusahaan memiliki informasi terkait sanksi yang diberlakukan atas pelanggaran ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah mengenai pengelolaan perikanan? Apakah perusahaan ikut serta mematuhi regulasi dan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam mengelola perikanan? Apakah perusahaan melakukan kegiatan yang menunjukkan ketidakpatuhan secara sistematik?
Ya
Tidak
Pengawasan dan pengelolaan Kinerja Apakah perusahaan membuat cakupan evaluasi terhadap pengawasan dan evaluasi kinerja manajemen? Apakah perusahaan melakukan review secara internal maupun eksternal terhadap pengawasan dan evaluasi kinerja manajemen?
Ya
Tidak
185
2. Kuesioner ASC
KUESIONER KAJIAN KESADARAN PELAKU USAHA TERHADAP KEWAJIBAN PEMENUHAN PERSYARATAN “EKOLABELING” KOMODITAS UDANG DAN TUNA DI PASAR INTERNASIONAL
Nama perusahaan Bentuk perusahaan Alamat Pusat
PT/CV/...........
Komoditas
Tuna
Tujuan eskpor
UE USA Japan
(*): berilah tanda (V/X)
......* ......* ......*
186
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi - Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2016
KEGIATAN KAJIAN KEPATUHAN PELAKU USAHA TERHADAP KEWAJIBAN PEMENUHAN PERSYARATAN “EKOLABELING” KOMODITAS UDANG DAN TUNA DI PASAR INTERNASIONAL
Penyebaran kuesioner ini ditujukankan untuk menilai kesiapan para pelaku usaha budidaya Udang di Indonesia untuk memenuhi berbagai persyaratan ekolabeling untuk memenuhi tuntutan pasar internasional. Syarat ekolabeling yang ditanyakan dalam kuesioner ini sepenuhnya menggunakan prinsip ASC (Aquaculture Stewardship Council) yang dikembangkan oleh WWF (World Wildlife Fund). ASC merupakan syarat tambahan untuk mentransformasi industri budidaya ke standarisasi yang lebih tinggi, melalui program sertifikasi berbasiskan keberlanjutan lingkungan dan sosial budidaya perikanan. Sertifikat ASC meskipun saat ini bukan merupakan kewajiban bagi eksportir nasional, tetapi ke depannya menjadi penting sebagai alat meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia. Hasil pengisian kuesioner ini nantinya akan dijadikan alat untuk menggambarkan kesiapan para pelaku usaha budidaya udang Indonesia untuk penerapan aturan ekolabelling. Selain itu, hasil pengisian kuesioner juga dapat membantu untuk memberikan informasi terkait kesulitan yang dialami pelaku usaha, jika persyaratan ekolabeling ASC diterapkan. Oleh karena itu, kami mengharapkan Bapak/Ibu untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya agar informasi yang dihasilkan dapat menggambarkan secara tepat kondisi yang sesungguhnya. Identitas perusahaan yang dijadikan responden akan dirahasiakan dan tidak disebarluaskan. Informasi yang diberikan akan sangat bermanfaat sebagai masukan, dalam mendukung penerapan ekolabeling yang telah dijadikan program rencana aksi bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan.
187
Jumlah tenaga kerja Total penjualan terakhir
Data Perusahaan
Jumlah aktiva/modal aktiva Jumlah cabang perusahaan Prusahaan go publik
Volume ...................................... Ton/tahun Nilai Rp. ................................../tahun
3. Sudah 4. Tidak
(..........) (..........)
188
Petunjuk pengisian: Isilah dengan memberi tanda (V/X) pada kolom yang telah disediakan, untuk jawaban yang dirasakan paling sesuai. Principle 1 No. 1. 2.
Kesesuaian Dokumen dengan Persyaratan Hukum Lokal dan Nasional Apakah perusahaan memiliki dokumen-dokumen usaha budidaya sesuai dengan yang diminta berdasarkan persyaratan hukum lokal dan nasional?
Ya
Tidak
Apakah perusahaan menerapkan keterbukaan terkait transparansi kepatuhan hukum usahanya?
Principle 2 No. 1.
Penilaian Dampak Lingkungan terhadap Keanekaragaman Hayati Apakah perusahaan dapat secara sukarela melakukan analisis dampak lingkungan terhadap keanekaragaman hayati dan menyebarluaskan hasilnya secara terbuka dan mudah dimengerti kepada masyarakat umum?
Ya
Tidak
No. 1.
Konservasi terhadap Kawasan Lindung atau Habitat yang terancam Apakah perusahaan mematuhi segala ketentuan yang ditetapkan dalam kawasan lindung (untuk lahan budidaya yang berada di kawasan lindung)? Apakah perusahaan mematuhi segala ketentuan terkait dengan ekosistem bakau atau bidang kepentingan ekologi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun daerah?
Ya
Tidak
Pertimbangan terhadap Habitat Spesies yang Terancam Punah Apakah perusahaan memiliki ijin untuk beroperasi pada lokasi yang menjadi habitat dari spesies yang terancam punah menurut daftar dari International Union for Conservation of Nature (IUCN), pemerintah, atau lembaga resmi lainnya? Apakah perusahaan menjaga habitat untuk spesies terancam punah [pada wilayah/dekat dengan lingkungan lahan budidayanya, serta menerapkan pengelolaan untuk melindunginya?
Ya
Tidak
Penyangga Ekologi, Hambatan, dan Ruang lingkup Hambatan pesisir: Apakah perusahaan menyediakan ruang permanen sebagai hambatan minimum (baik buatan maupun alamiah) diantara lahan budidaya dan lingkungan laut? Hambatan tepian pantai: Apakah perusahaan menyediakan ruang permanen dengan lebaran minimum bagi tumbuh-tumbuhan lokal alamiah antara lahan budidaya dan perairan alami/lingkungan air payau? Koridor: Apakah perusahaan menyediakan ruang permanen dengan lebaran minimum bagi tumbuh-tumbuhan lokal alamiah yang ditujukan sebagai ruang bagi manusia atau hewan liar sekitar bergerak melalui lahan budidaya?
Ya
Tidak
Pencegahan terhadap salinisasi air tawar dan sumber daya tanah Apakah perusahaan membiarkan atau melepaskan air salin ke perairan alami?
Ya
Tidak
2.
No. 1. 2.
No. 1. 2. 3.
No. 1.
189
2. 3. 4. 5.
Apakah perusahaan dapat menggunakan air tanah pada kolam? Apakah perusahaan menggunakan konduktan khusus air /konsentrasi klorida pada sumur air yang digunakan pada lahan budidaya atau yang berada di lokasi sekitar lahan budidaya? Apakah perusahaan menggunakan konduktan khusus tanah atau konsentrat klorida pada ekosistem darat dan lahan pertanian sekitar lahan budidaya? Apakah perusahaan menggunakan konduktan tertentu atau konsentrat klorida dari sedimen sebelum pembuangan ke luar dari lahan budidaya?
Principle 3 No. 1.
No. 1.
2.
No. 1. 2.
No. 1. 2. 3.
Dampak usaha budidaya terhadap masyarakat sekitar, pengguna ekosistem dan pemilik tanah sudah dipertimbangkan dan sedang atau akan dinegosiasikan secara terbuka dan akuntabel Apakah elemen partisipatif (input dan respon masyarakat) disertakan secara jelas di dalam laporan? Apakah outcome yang disetujui bersama antara usaha budidaya dan masyarakat sekitar terkait pengelolaan resiko dan dampak telah dimasukan di dalam laporan?
Ya
Tidak
Pengaduan dari Stakeholder yang Terpengaruh Diselesaikan oleh Perusahaan Apakah pemilik usaha budidaya mengembangkan dan menerapkan kebijakan penyelesaian konflik yang dapat diverifikasi bagi masyarakat sekitar? Apakah kebijakan tersebut menyatakan bagaimana konflik diakui dan pengaduan baru akan ditelusuri secara transparan, bagaimana mediasi oleh pihak ketiga dapat menjadi bagian dari proses, dan menjelaskan bagaimana cara merespon terhadap seluruh keluhan? Apakah Kotak keluhan, Catatan keluhan dan Bukti Penerimaan Keluhan dalam Bahasa lokal telah dipergunakan? Apakah dilakukan pencatatan terhadap ranah konflik atau perselisihan yang terjadi dan disebarluaskan ke sesama usaha budidaya, pemerintah setempat dan perwakilan masyarakat sekitar? Apakah setidaknya 50% dari konflik diselesaikan dalam waktu satu tahun dari tanggal pencatatan, dan secara total 75% diselesaikan pada periode di antara dua audit yang berurutan ?
Ya
Tidak
Transparansi Pada Pemberian Kesempatan Kerja Kepada Masyarakat Lokal Apakah perusahaan telah mendokumentasikan bukti dari adanya pengumuman lowongan kerja ke masyarakat yang tinggal dalam jarak perjalanan harian dari lokasi budidaya sebelum merekrut pekerja yang tidak dapat bepergian ke lokasi budidaya dari rumahnya secara harian? Apakah bukti justifikasi atas perekrutan dari masing-masing pegawai telah tersedia, dan pegawai direkrut atas dasar profil dan kemampuannya (Keahlian, pengalaman atau CV bagi pegawai migran yang direkrut)?
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Pengaturan Budidaya Kontrak (Jika Dilakukan) Dilakukan Secara Adil Dan Transparan Bagi Para Pembudidaya Kontrak Apakah terdapat kontrak secara tertulis terkait kegiatan budidaya kontrak? Apakah terdapat ruang lingkup kerja yang dituangkan dalam perjanjian dan memastikan pihak pembudidaya kontrak memahaminya ? Apakah terdapat transparansi dan keterbukaan dalam negosiasi?
Principle 4 No. 1.
Tenaga Kerja Anak Dan Pekerja Muda Apakah terdapat kontrak secara tertulis dengan para pegawai?
Ya
Tidak
No. 1. 2. 3.
Pekerjaan Wajib Yang Mengikat Apakah pekerja mendapatkan hak atas pembayaran akhir penuh beserta tunjangannya? Apakah pekerja mendapatkan hak untuk memegang dokumen itentitas dan ijin bekerjanya sendiri? Apakah pekerja memiliki kebebasan untuk bergerak di luar waktu kerjanya?
Ya
Tidak
190
No. 1.
2. 3. 4. No. 1.
2. 3. No. 1. 2. 3. 4. 5.
No. 1.
2.
No. 1. 2. 3.
Diskiriminasi di lingkungan kerja Apakah perusahaan menerapkan kebijakan anti diskriminasi, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, bagaimana mengatasi diskriminasi di tempat kerja dan akses yang setara atas berbagai pekerjaan terkait jenis kelamin, umur, asal (lokal vs migran), ras atau agama; dan gambaran prosedur yang jelas serta transparan bagi pelaporan dan respon terhadap keluhan diskriminasi? Apakah perusahaan dapat menyampaikan berapa banyak frekuensi terjadinya insiden berupa diskriminasi? Apakah perusahaan bisa memberikan jaminan kesetaraan gaji dan peluang berkarir kepada seluruh karyawannya ? Apakah menjamin hak untuk cuti hamil bersalin serta tunjangannya?
Ya
Tidak
Kesehatan dan keselamatan lingkungan kerja Apakah terdapat informasi terkait proporsi (persen) dari pekerja perusahaan yang mendapatkan pelatihan praktek, prosedur dan kebijakan terkait kesehatan dan keselamatan kerja? Apakah peralatan keselamatan telah tersedia, terawat dan dapat dipergunakan? Apakah perusahaan melakukan pengawasan atas terjadinya kecelakaan, insiden dan melakukan tindakan perbaikan? Apakah menanggung biaya pengobatan bagi seluruh karyawan?
Ya
Tidak
Tingkat upah minimum yang berlaku untuk pekerjaan tertentu/uraian tugas Apakah perusahaan memberlakukan upah minimum yang sesuai yang diberlakukan bagi pekerjaan tertentu? Apakah gaji, jika belum sesuai dengan tingkat upah yang adil, diberikan kenaikan secara bertahap, dan nilainya cukup untuk menutupi kebutuhan dasar seorang pegawai ditambah pendapatan tambahan sebagai tabungan dan/atau pembayaran pensiun? Apakah perusahaan memberlakukan hukuman berupa pemotongan hak atau upah? Apakah perusahaan memiliki mekanisme penetapan upah dan tunjangan (termasuk, jika dapat diterapkan, kombinasi dari pegawai tetap dan tenaga pemanenan)? Apakah perusahaan memiliki skema perputaran pegawai kontrak yang dibuat untuk menghindari para pegawai lama mendapatkan akses terhadap remunerasi yang adil dan setara, serta tunjangan lainnya?
Ya
Tidak
Akses Atas Kebebasan Berserikat dan Hak untuk Berunding Bersama Apakah perusahaan memiliki informasi porsi (persen) pegawainya yang memiliki akses terhadap serikat pekerja, organisasi pekerja dan/atau memiliki kemampuan untuk mengorganisir sendiri dan melakukan tawar-menawar secara kolektif, atau memiliki akses terhadap perwakilan yang dipilih oleh para pegawai tanpa campur tangan dari manajemen? Apakah anggota serikat pekerja atau organisasi pekerja yang bekerja di perusahaan tidak mengalami diskriminasi?
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Pelecehan dan praktek disiplin di lingkungan kerja yang menyebabkan cacat fisik dan/atau mental sementara atau permanen Apakah pelaksanaan disiplin di perusahaan dirasakan adil? Apakah perusahaan memiliki kebijakan dan prosedur disiplin yang jelas, adil dan transparan? Apakah perusahaan memberlakukan pelarangan atas pelecehan?
191
No. 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7.
No. 1. 2. 3. 4. 5.
No. 1. 2. 3. 4.
No. 1.
Kompensasi Lembur dan Jam Kerja Apakah perusahaan memberikan jaminan tentang ketentuan jam kerja dan lembur yang sesuai dengan ketetapan pemerintah? Apakah pegawai diberikan hak untuk meninggalkan tempat kerja setelah waktu kerja sehari-harinya berakhir? Apakah terdapat pengaturan terkait waktu luang minimum, dengan hak tapi tanpa keharusan untuk meninggalkan lokasi budidaya jika akomodasi tidak tersedia di lokasi budidaya, kecuali jika baik pihak pekerja dan yang mempekerjakan menyepakati bahwa waktu luang tidak dapat diakomodasi di dalam lingkungan budidaya? Apakah perusahaan menyediakan angkutan untuk karyawan (jika lokasi budidaya di tempat terpencil) untuk memungkinkan pekerja menikmati waktu santai di rumah dengan keluarga atau di tempat-tempat rekreasi? Apakah perusahaan memberikan kompensasi apabila karyawan melakukan lembur? Apakah banyaknya lembur tidak lebih dari 12 jam per minggu dan dilakukan secara sukarela? Apakah perusahaan memberikan hak cuti hamil, termasuk istirahat harian atau pengurangan jam kerja untuk memenuhi kebutuhan perawatan anak?
Ya
Tidak
Kontrak Kerja yang Adil dan Transparan Apakah perusahaan memberikan kesempatan terjalinnya hubungan kontrak khusus tenaga kerja atau skema magang semu termasuk kontrak kerja berulang/berlanjut agar dapat menghindar dari keharusan untuk memberikan tunjangan? Apakah semua karyawan yang dipekerjakan sudah sesuai dan memenuhi perijinan untuk bekerja menurut peraturan negara? Apakah para pekerja mengetahui secara penuh informasi tentang kondisi kerja dan mengkonfirmasi persetujuan (baik secara verbal maupun tertulis)? *Kebijakan dan prosedur kerja tertulis akan dibutuhkan jika jumlah pekerja melebihi lima orang. Apakah masa percobaan juga diperhitungkan dalam kontrak kerja? Terkait kegiatan sub-kontrak atau pengaturan pekerja paruh waktu di rumah, apakah perusahaan melakukan filing terhadap informasi terkait hukum ketenagakerjaan, aturan jaminan sosial yang diberlakukan, peraturan yang ditandatangani bersama dan diratifikasi oleh ILO telah diperhatikan dan dipatuhi?
Ya
Tidak
Sistem Manajemen Pekerja yang Adil dan Transparan Apakah pihak yang mempekerjakan telah memastikan bahwa seluruh pekerja memiliki akses terhadap saluran komunikasi yang benar dengan para manajer terkait berbagai -hak pekerja dan kondisi kerja? Apakah para pekerja memiliki ijin kerja yang sesuai dan berlaku untuk bekerja di negara tempat budidaya dilakukan? Apakah perusahaan telah mengembang rencana yang jelas, dengan proses tindakan dan kerangka waktu, untuk mengatasi keluhan, yang juga dipatuhi? Apakah perusahaan dapat menunjukkan informasi terkait porsi (persentase) dari keluhan yang selesai ditangani dalam waktu tiga bulan setelah diterima?
Ya
Tidak
Kondisi Hidup bagi Pekerja yang Berakomodasi di Lokasi Budidaya Apakah perusahaan memberikan kondisi tempat kerja yang layak dan aman bagi pekerja yang tinggal di
Ya
Tidak
192
2.
Lokasi Budidaya? Apakah perusahaan menyiapkan fasilitas (toilet terpisah) yang memadai bagi pekerja wanita dan terpisah dengan fasilitas pekerja pria?
Principle 5 No. 1.
2. 3. 4.
No. 1. 2. 3.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pencegahan Penyakit Apakah perusahaan mengembangkan dan menjalankan rencana operasional kesehatan yang terkait dengan: 1) pathogen yang datang dari lingkungan sekitar lokasi budidaya (contoh: predator dan vector kendali)? 2) pathogen yang menyebar dari lokasi budidaya ke lingkungan sekitar (contoh: filtrasi/sterilisasi yang berpengaruh, dan pembuangan semacam pengelolaan udang mati)? 3) penyebaran pathogen di dalam lingkungan budidaya? Apakah perusahaan melakukan filtrasi air masuk untuk mengurangi masuknya pathogen? Apakah perusahaan dapat menunjukkan informasi besaran angka Survival Rate (SR) tahunan? Apakah perusahaan dapat menunjukkan informasi porsi (persen) stok benur yang bebas pathogen spesifik atau resisten pathogen spesifik untuk seluruh pathogen yang penting?
Ya
Tidak
Pengendalian Predator Apakah perusahaan melakukan usaha pengendalian predator mematikan terhadap berbagai spesies yang dilindungi, terancam atau langka seperti yang dinyatakan dalam daftar merah IUCN atau daftar resmi lainnya? Apakah perusahaan melakukan usaha pengendalian predator dengan menggunakan suntikan timbal dan bahan kimia? Jika perusahaan menggunakan suntikan timbal, apakah perusahaan mempunyai program monitoring dasar untuk mendokumentasikan frekuensi kedatangan, jenis varietas spesies dan jumlah hewan-hewan yang saling berinteraksi di dalam lokasi budidaya?
Ya
Tidak
Pengobatan dan Manajemen Penyakit Apakah perusahaan menggunakan antibiotic dan pakan berobat yang terdaftar dalam produk berlabel ASC? (Kegiatan budidaya mungkin memperoleh sertifikat ASC, akan tetapi produk tertentu yang diberi makan pakan berobat tidak akan diperbolehkan untuk diberikan label ASC) Apakah perusahaan mempergunakan antibiotic yang berkategori sangat penting oleh WHO? Apakah perusahaan dapat memberikan informasi terkait penyimpanan bahan kimia dan penggunaannya? Apakah perusahaan memastikan bahwa penggunaan produk kimia oleh pekerja di lokasi budidaya dilakukan sesuai aturan penggunaannya? Apakah perusahaan melakukan penanganan air dengan menggunakan pestisida yang dilarang atau tidak diijinkan berdasarkan Konvensi Rotterdam tentang PIC, Konvensi Stockholm tentang POP, atau termasuk ke dalam kelas “luar biasa berbahaya” atau “sangat berbahaya” menurut WHO? Apakah perusahaan melakukan pembuangan bahan kimia berbahaya yang tidak di netralisir sebelumnya? Apakah perusahaan memastikan bahwa penggunaan produk kimia oleh para pegawainya telah sesuai dengan aturan pemakaiannya?
Ya
Tidak
193
Principle 6 No. 1. 2.
3.
No. 1. 2. 3. 4.
No. 1.
Keberadaan Spesies Eksotis atau Udang yang Diintroduksi Apakah perusahaan menggunakan spesies udang non-lokal? Apakah perusahaan melakukan usaha pencegahan bagi terlepasnya udang pada saat pembesaran dengan cara: A. kasa atau penghalang efektif dengan ukuran mesh yang sesuai dengan ukuran hewan terkecil yang ada; kasa ganda jika spesies yang dibudidaya adalah non-lokal? B. Pinggiran kolam dibuat dengan tinggi yang sesuai dan dibuat untuk mencegah masuknya air pada saat terjadi banjir luarbiasa? C. Inspeksi regular yang terjadwal dilakukan dan dicatat dalam sebuah catatan permanen? D. Dilakukan perbaikan secara berkala terhadap system yang ada dilakukan pencatatan? E. Instalasi dan pengelolaan alat penangkap bagi hewan yang lepas dari kolam; dengan pencatatan data? F. Diberlakukan protocol penanganan bagi hewan yang lepas? Apakah perusahaan melakukan penanganan terhadap hewan yang lolos dan melakukan usaha untuk mencegah berulangnya kejadian?
Ya
Tidak
Asal Benur dan Induk Apakah benur dan induk berstatus bebas penyakit dan sumbernya memenuhi petunjuk standar regional, nasional dan internasional? Apakah perusahaan mengetahui porsi (persen) benur yang dihasilkan dari hatchery (pembenihan) lingkaran tertutup? Apakah perusahaan tahu asal dari induk yang ditangkap dari alam? Apakah perusahaan menggunakan benur yang ditangkap dari alam disamping yang tertangkap pada saat air mengalami pasang surut secara alami?
Ya
Tidak
Udang Transgenik Apakah perusahaan mengembangbiakan udang transgenik (termasuk keturunan udang rekayasa genetik)?
Ya
Tidak
Ketertelusuran bahan baku pakan Apakah perusahaan dapat menyediakan bukti dasar ketertelusuran dari bahan baku pangan, termasuk asal, jenis spesies, negara asal dan cara panen yang dilakukan oleh produsen pakan? Apakah perusahaan dapat menunjukan rantai penanganan dan ketertelusuran dari produk perikanan pada pakan melalui anggota ISEAL atau kepatuhan terhadap skema sertifikasi ISO 65 yang memuat kode bertindak berdasarkan FAO untuk perikanan yang bertanggungjawab?
Ya
Tidak
Asal Bahan Baku Pakan air dan asing Apakah kerangka waktu bagi 100% (kesetimbangan massa) pakan ikan dan minyak ikan yang dipergunakan dalam pakan berasal dari kegiatan perikanan bersertifikat dari salah satu anggota penuh ISEAL yang memiliki petunjuk khusus mengedepankan keberlanjutan ekologi dari usaha pengumpulan perikanan? Jika penilaian atas sumber ikan kurang memadai, apakah perusahaan melakukan program peningkatan? Apakah perusahaan mengetahui berapa persen dari bahan baku non-kelautan yang berasal dari sumber
Ya
Tidak
Principle 7 No. 1. 2.
No. 1.
2. 3.
194
bersertifikat ISEAL yang telah menunjukkan keberlanjutan lingkungan dan sosial?
No. 1.
Penggunaan bahan pakan hasil Rekayasa Genetika Apakah perusahaan dapat mengidentifikasi adanya kandungan bahan baku pakan hasil rekayasa genetik (GMO)? Apakah perusahaan pernah melakukan pengambilan sampel secara acak yang dilakukan oleh auditor dengan hasil yang degatif berdasarkan PCR? Efisensi dengan Penggunaan Ikan Liar untuk Tepung ikan atau Minyak Apakah perusahaan dapat memberikan data terkait dengan Feed Fish Equivalence Ratio (FFER)? Apakah perusahaan dapat memberikan data terkait dengan Feed Convertion Ratio (FCR) ekonomis? Apakah perusahaan dapat memberikan data Protein Retention Efficiency
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Beban Kontaminasi Limbah Apakah perusahaan dapat menyediakan informasi kandungan nitrogen yang terkandung dalam limbah udang per ton yang dihasilkan selama periode 12 bulan? Apakah perusahaan dapat menyediakan informasi kandungan fosfor yang terkandung dalam limbah udang per ton yang dihasilkan selama periode 12 bulan? Apakah perusahaan bertanggungjawab terhadap pembuangan lumpur dan sedimen dari kolam budidaya maupun saluran airnya? Apakah perusahaan melakukan pengolahan air limbah dari kolam permanen? Apakah perusahaan melakukan pengukuran perubahan persentase pada Oksigen Terlarut diurnal dibandingkan oksigen terlarut (DO) saturasi pada permukaan air penerima limbah pada salinitas dan temperatur tertentu?
Ya
Tidak
No. 1. 2.
Efisiensi Energi Apakah perusahaan dapat menyediakan informasi terkait sumber energi selama periode 12 bulan? Apakah perusahaan dapat menyediakan informasi terkait penggunaan energi kumulatif selama 12 bulan (mega joule per ton udang yang dihasikan)?
Ya
Tidak
No. 1.
Penanganan dan pembuangan bahan berbahaya dan limbah Apakah perusahaan menyediakan penyimpanan dan penanganan yang aman terhadap bahan bahan kimia dan bahan berbahaya?
Ya
Tidak
2. No. 1. 2. 3. No. 1. 2. 3. 4. 5.
195
3. Kuesioner CBIB
KUESIONER KAJIAN KESADARAN PELAKU USAHA TERHADAP KEWAJIBAN PEMENUHAN PERSYARATAN “EKOLABELING” KOMODITAS UDANG DAN TUNA DI PASAR INTERNASIONAL
Nama unit usaha/kelompok Lokasi Status Kepemilikan Luas Lahan Tahun Usaha & Lama Usaha Komoditas Berapa Kali Panen dalam 1 Tahun
Tanggal Enumerator
: :
/
Pemilik
Udang
&
/2016
196
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi - Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2016
KEGIATAN KAJIAN KEPATUHAN PELAKU USAHA TERHADAP KEWAJIBAN PEMENUHAN PERSYARATAN “EKOLABELING” KOMODITAS UDANG DAN TUNA DI PASAR INTERNASIONAL Pengisian kuesioner ini difokuskan untuk membahas Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) terhadap komoditas Udang, yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam memenuhi keinginan pasar internasional. Kegiatan ini dilakukan untuk menilai kesesuaian usaha budidaya udang, sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Pedoman pelaksanaan kegiatan dengan CBIB, mengharuskan usaha budidaya dilakukan menggunakan metode untuk menghasilkan produk yang aman. Konteks aman dalam hal ini, tidak mengandung bahan berbahaya (logam berbahaya, dll.) dan kontaminasi lainnya (obat, pupuk, dan pestisida).CBIB diperlukan untuk meningkatkan: (1) kemampuan pembudidaya, (2) mutu hasil produk dan jaminan keamanan pangan, (4) kemampuan tenaga teknis. Pelaksanaan CBIB berkaitan dengan sasaran pemasaran untuk tujuan ekspor. Indonesia sebagai negara pemasar (penyedia produk Udang), harus mengikuti standar mutu keamanan pangan yang dibuat oleh negara tujuan. Standar mutu yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor, dimaksudkan untuk melindungi warga negaranya dari produk yang tidak aman (berbahaya) untuk dikonsumsi. Kuesioner ini dibagi ke dalam 18 bagian utama, dimana untuk setiap persyaratan diberikan pedoman untuk menentukan kesesuain dan ketidaksesuaian. Berdasarkan hal tersebut, kami mengharapkan Bapak/Ibu untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Identitas kepemilikan yang dijadikan responden akan dirahasiakan dan tidak disebarluaskan. Informasi yang diberikan akan sangat bermanfaat sebagai masukan, dalam mendukung penerapan ekolabeling yang telah dijadikan program rencana aksi bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan.
197
Petunjuk pengisian: Isilah dengan memberi tanda (V/X) pada kolom yang telah disediakan, untuk jawaban yang dirasakan paling sesuai. Lokasi No. 1.
Persyaratan Unit usaha budidaya berada pada lingkungan yang sesuai di mana resiko keamanan pangan dari bahaya kimiawi, biologis dan fisik diminimalisir
Suplai Air No. 1.
Persyaratan Unit usaha mempunyai sumber air yang baik dan air pasok terhindar dari sumber polusi
Tata Letak dan Desain No.
Persyaratan
1. 2.
Area usaha budidaya hanya digunakan untuk pembudidayaan udang Unit usaha budidaya mempunyai desain dan tata letak yang dapat mencegah kontaminasi silang Toilet, septic tank, gudang, dan fasilitas lainnya, terpisah dan tidak berpotensi mengontaminasi produk budidaya Unit usaha budidaya memiliki fasilitas pembuangan limbah cair ataupun padat yang ditempatkan di area yang sesuai Wadah budidaya seperti karamba dan jaring didesain dan dibangun agar menjamin fisik udang tidak rusak selama pemeliharaan dan panen
3. 4. 5
Kebersihan Fasilitas dan Perlengkapan No.
Persyaratan
1. 2. 3.
Unit usaha budidaya dan lingkungannya dijaga kondisi kebersihan dan higienis Dilakukan tindakan pencegahan terhadap binatang dan hama yang menyebabkan kontaminasi BBM, bahan kimia (desinfektan, pupuk, reagen), pakan dan obat udang disimpan dalam tempat yang terpisah dan aman Wadah, perlengkapan dan fasilitas budidaya dibuat dari bahan yang tidak menyebabkan kontaminasi Fasilitas dan perlengkapan dijaga dalam kondisi higienis dan dibersihkan sebelum dan sesudah digunakan; serta (bila perlu) didesinfeksi dengan desinfektan yang diizinkan
4. 5.
Kesesuaian Ya Tidak
Kesesuaian Ya Tidak
Kesesuaian Ya Tidak
Kesesuaian Ya Tidak
198
Persiapan Wadah Budidaya No. 1. 2.
Persyaratan Wadah budidaya dipersiapkan dengan baik sebelum penebaran benih Dalam persiapan wadah dan air, hanya menggunakan pupuk, probiotik, dan bahan kimia yang direkomendasikan
Pengelolaan Air No.
Persyaratan
1.
Dilakukan upaya filterisasi air atau pengendapan serta menjamin kualitas air yang sesuai untuk udang yang dibudidayakan Monitor kualitas air sumber secara rutin untuk menja min kesehatan & kebersihan udang yang dibudidayakan
2.
Benih No.
Persyaratan
1.
Benih yang ditebar dalam kondisi sehat dan berasal dari unit pembenihan bersertifikat & tidak mengandung penyakit berbahaya maupun obat udang
Pakan No.
Persyaratan
1.
Pakan udang yang digunakan memiliki nomor pendaftaran/sertifikat yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal atau surat jaminan dari Institusi yang berkompeten Pakan udang disimpan dengan baik dalam ruang yang kering dan sejuk untuk menjaga kualitas serta digunakan sebelum tanggal kadaluarsa Pakan tidak dicampur bahan tambahan seperti antibiotik, obat udang, bahan kimia lainnya atau hormon yang dilarang dan bahan tambahan harus terdaftar Pakan buatan sendiri harus dibuat dari bahan yang direkomendasikan oleh DJPB dan tidak dicampur dengan bahan-bahan terlarang (antibiotik, pestisida, serta logam berat) Pemberian pakan dilakukan dalam efisiensi sesuai dengan dosis yang direkomendasikan Pakan berlabel/memiliki informasi yang mencantumkan komposisi, tanggal kadaluarsa, dosis dan cara pemberian dengan jelas dalam bahasa Indonesia
2. 3. 4. 5. 6.
Penggunaan Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Obat Udang No.
Persyaratan
1.
Hanya menggunakan obat udang, bahan kimiawi dan biologis yang diizinkan (dengan nomor registrasi dari DJPB) Penggunaan obat yang diizinkan sesuai petunjuk dan pengawasan (obat keras harus digunakan di bawah pengawasan petugas yang berkompeten) Obat udang, bahan kimia dan biologis disimpan dengan baik sesuai spesifikasi Penggunaan obat udang, bahan kimia dan bahan biologis sesuai instruksi dan ketentuan/petunjuk pada label Dilakukan tes untuk mendeteksi residu obat udang dan bahan kimia dengan hasil di bawah ambang batas
2. 3. 4. 5.
Kesesuaian Ya Tidak
Kesesuaian Ya Tidak
Kesesuaian Ya Tidak
Kesesuaian Ya Tidak
Kesesuaian Ya Tidak
199
6.
Obat udang, bahan kimia, dan bahan biologi yang digunakan mempunyai label yang menjelaskan: dosis dan aturan pemakaian, tanggal kadaluarsa dan masa henti obat yang ditulis dalam bahasa Indonesia
Penggunaan Es dan Air No. 1. 2. 3. 4.
Persyaratan Air bersih digunakan dan tersedia dalam jumlah yang cukup untuk panen, penanganan hasil dan pembersihan Es hanya berasal dari pemasok yang direkomendasi dan menggunakan air minum/ bersih Es diterima dalam kondisi saniter Es ditangani dan disimpan dalam kondisi higienis
Panen No. 1. 2. 3. 4.
Persyaratan Perlengkapan & peralatan mudah dibersihkan dan dijaga dalam kondisi bersih dan higienis Panen dipersiapkan dengan baik untuk menghindari pengaruh temperatur yang tinggi pada udang Pada saat panen dilakukan upaya untuk menghindari terjadinya penurunan mutu dan kontaminasi udang Penanganan udang dilakukan secara higienis dan efisien sehingga tidak menimbulkan kerusakan fisik
Penanganan Hasil No. 1. 2. 3. 4.
Persyaratan Peralatan dan perlengkapan untuk penanganan hasil mudah dibersihkan dan didisinfeksi (bila perlu) serta selalu dijaga dalam keadaan bersih Udang mati segera didinginkan dan diupayakan suhunya mendekati 0° C di seluruh bagian Proses penanganan seperti pemilihan, penimbangan, pencucian, pembilasan, dll., dilakukan dengan cepat dan higienis tanpa merusak produk Berdasarkan persyaratan yang berlaku, bahan tambahan & kimia yang dilarang tidak digunakan pada udang yang diangkut
Pengangkutan No. 1. 2. 3. 4.
Persyaratan Peralatan dan fasilitas pengangkutan yang digunakan mudah dibersihkan dan selalu terjaga kebersihannya (boks, wadah, dll) Pengangkutan dalam kondisi higienis untuk menghindari kontaminasi (seper ti udara, tanah, air, bahan kimia, dll) dan kontaminasi silang Suhu produk selama pengangkutan mendekati suhu cair es (0°C) pada seluruh bagian produk Udang hidup ditangani dan dijaga dalam kondisi yang tidak menyebabkan kerusakan fisik atau kontaminasi
Kesesuaian Ya Tidak
Kesesuaian Ya Tidak
Kesesuaian Ya Tidak
Kesesuaian Ya Tidak
200
Pembuangan Limbah No. 1.
Persyaratan Limbah (cair, padat, dan berbahaya) dikelola (dikumpulkan & dibuang) dengan cara yang higienis dan saniter untuk mencegah kontaminasi
Pencatatan No.
Persyaratan
1.
Dilakukan rekaman pada jenis dan asal pakan (pakan pabrikan) serta bahan baku pakan udang (untuk pakan buatan sendiri) Penyimpanan rekaman penggunaan obat udang, bahan kimia dan bahan biologi atau perlakuan lain selama masa pemeliharaan Penyimpanan rekaman kualitas air (air sumber, air pasok, air pemeliharaan dan limbah cair) sesuai kebutuhan Penyimpanan rekaman kejadian penyakit yang mungkin berdampak pada keamanan pangan produk udang Rekaman panen disimpan dengan baik Catatan/rekaman pengangkutan udang disimpan dengan baik
2. 3. 4. 5. 6.
Tindakan Perbaikan No. 1.
Persyaratan Tindakan perbaikan dilakukan dengan tepat dan segera sesuai dengan masalah yang ditemukan
Pelatihan No. 1.
Persyaratan Pemilik unit usaha atau pekerja sadar dan terlatih (pelatihan, seminar, workshop, sosialisasi, dsb.) dalam mencegah dan mengendalikan bahaya keamanan pangan dalam perikanan budidaya
Kebersihan Personal No. 1.
Persyaratan Pekerja yang menangani udang dalam kondisi sehat
Kesesuaian Ya Tidak
Kesesuaian Ya Tidak
Kesesuaian Ya Tidak
Kesesuaian Ya Tidak
Kesesuaian Ya Tidak
201
4. Sebaran Probabilitas berdasarkan Luasan Z (Tabel Z)
202
203
204