LAPORAN KUNJUNGAN KERJA PANSUS RUU TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH KE PROVINSI SULAWESI UTARA TANGGAL 21 S.D. 23 MEI 2012 I.
PENDAHULUAN Pada tanggal 21 s.d 23 Mei 2012 Pansus RUU tentang Pemerintahan Daerah melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Sulawesi Utara. Kunjungan kerja Pansus dalam rangka mencari masukan terkait dengan proses pembahasan RUU Pemerintahan Daerah yang sedang dilakukan oleh fihak DPR RI dengan fihak Pemerintah. Sekaligus pula, kunjungan ini bertujuan untuk menyerap masukan atau input yang dapat diperoleh dari daerah. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, antara lain disebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan RUU. Kunjungan kerja Pansus ini dilakukan melalui forum dialog dengan berbagai jajaran unit kerja pemerintah daerah provinsi setempat, juga melalui forum dialog dengan kalangan civitas akademika di Universitas Samratulangi, Manado, dan beberapa kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat di kantor Kesbangpolinmas, Pemerintahan Daerah Provinsi Sulawesi Utara. Adapun susunan tim kunjungan kerja ini adalah sebagai berikut : NO
NO. ANGG
NAMA
KETERANGAN
ANGGOTA PANSUS 1.
275
Drs. Ibnu Munzir
Ketua Tim/FPG
2.
537
Ir. Nanang Samodra, KS, M.Sc
Anggota/FPD
3.
455
Eddy Sadeli, SH
Anggota/FPD
4.
180
Ir. Ali Wongso Halomoan Sinaga
Anggota/FPG
5.
62
Hermanto, SE. MM
Anggota/PKS
6.
317
A.W. Thalib, M.Si
Anggota/FPPP
7.
156
H. Baharuddin Nasori, SSi, MM
Anggota/FPKB
8.
41
H. Mestariyani Habie, SH
Anggota/F-PGerindra
SEKRETARIAT PANSUS 9.
----
Hakhimah
10.
----
Titiek Endartini
11.
----
Prayudi
12.
---
Iwan Armanias
Staf Set. Pansus Set. Bagian Risalah Tenaga Ahli Pemberitaan DPR RI
1
II.
BEBERAPA MASUKAN A. MASUKAN DARI PEMERINTAH DAERAH PROVINSI SULAWESI UTARA Penyelenggaraan Pemerintahan di era Otonomi Daerah sejatinya harus dapat menjamin terwujudnya stabilitas pemerintahan dan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan demokratisasi. Berkaca dari sejarah, penyelenggaraan pemerintahan Daerah di Indonesia cenderung masih dalam tahapan mencari bentuk yang pas untuk mewujudkan stabilitas, pemberdayaan dan demokrasi. Hal ini tercermin dari berbagai produk perundang-undangan yang dikeluarkan untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah, diantaranya UndangUndang No. 5 Tahun 1974 dibawah era Orde Baru, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dibawah era Reformasi, dan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yang lahir untuk menjawab permasalahan Undang-Undang terdahulu. Akan tetapi Undang-Undang inipun sepertinya belum merupakan bentuk yang pas bagi manajemen pemerintahan daerah, sebab masih terdapat beberapa pasal yang memiliki kelemahan sehingga perlu dilakukan revisi, dan penambahanpenambahan pada bagian-bagian proses pemerintahan daerah yang belum terakomodasi, antara lain: a. Belum diakomodirnya kekhususan wilayah kepulauan/perbatasan yang cenderung terisolir, dalam manajemen pemerintahan daerah. b. Tidak diakomodasinya dimensi wilayah laut dalam penentuan anggaran Dana Alokasi Umum (DAU). Indikator luas wilayah yang selama ini diperhitungkan hanyalah luas wilayah daratan, sedangkan wilayah laut tidak diperhitungkan. Padahal darat dan laut merupakan satu kesatuan integral wilayah yang tidak terpisahkan. Dengan formula ini, provinsi kepulauan yang memiliki luas wilayah laut lebih besar dari wilayah darat, praktis mengalami “kerugian” dalam penentuan Dana Alokasi Umum (DAU), dan ini tidak sesuai dengan prinsip distribusi fiskal yang adil dan sesuai dengan kebutuhan. c. Kecenderungan pemekaran daerah yang tidak terkendali, yang dapat berakibat negatif pada stabilitas daerah. d. Ketidakjelasan dalam Peraturan Perundang-Undangan yang baru mengenai proses dan mekanisme penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi yang masih menimbulkan masalah, misalnya dalam pembentukan balai-balai teknis dan penentuan pejabatnya. e. Ketidakjelasan pengaturan hubungan kewenangan dan administrasi antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, berakibat pada sering terjadinya over-laping, tarik-menarik, dan saling lempar tanggung jawab, misalnya dalam pengelolaan urusan lingkungan hidup, khususnya urusan pertambangan (ijin pembukaan tambang), dimana Kabupaten/Kota sering langsung berhubungan dengan Kementerian Teknis di Pusat dan tidak berkoordinasi/konsultasi dengan Gubernur, padahal sering kali tidak sesuai rencana tata ruang wilayah. Dan fatalnya lagi, Kementerian Teknis tanpa koordinasi dengan Gubernur, langsung memberikan persetujuan. f. Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan Desa/Kelurahan masih menyatu dengan Pemerintah Daerah. g. Ketentuan pelaksanaan Pilkada masih menyatu dalam rezim UU Pemerintah Daerah, sehingga proses pilkada langsung tetap ada dalam pengaruh kuat kekuasaan pemerintah. Bagi pemerintah di daerah, disadari bahwa kondisi ini bukanlah sebuah alasan yang dapat menghambat regulasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, utamanya dalam pencapaian tujuan otonomi daerah. Oleh sebab itu, dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah daerah Sulut mencoba mengoptimalkan kinerja dengan mengambil langkahlangkah yang bersifat usaha penyelesian, antara lain: a. Melaksanakan pengembangan sistem wilayah pembangunan yang bersinergi dan terintegrasi dengan wilayah daratan.
2
b. c. d. e. f. g. h.
i.
j. k.
l.
Melaksanakan Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program antar sektor dan pelaku pembangunan dalam menciptakan peluang ekonomi dan keamanan, sehingga menjadi daya tarik investasi. Optimalisasi dan pengembangan infrastruktur telekomunikasi, perhubungan, pendidikan dan kesehatan (telepon, listrik, jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, sekolah dan puskesmas) Penyusunan dan pengembangan tata ruang laut dan pesisir wilayah kepulauan. Penataan wilayah menjadi beberapa gugus pulau (multy-cluster) berdasar potensi masingmasing wilayah yang memiliki multy-gate untuk pelayanan lokal, regional maupun internasional. Pembangunan lumbung-lumbung pangan, sentra ekonomi (pasar) dan depot pertamina, yang diikuti dengan pengaturan harga kebutuhan pokok maupun bbm. Memperkuat dan memperketat sistem pengawasan pertahanan keamanan wilayah kepulauan dengan penempatan personil TNI/Polri. Merencanakan program-program dan kegiatan pembangunan daerah yang berbasis potensi sesuai dengan karakteristik dari masing-masing wilayah Kabupaten dan Kota. Dalam arti bahwa semua potensi Sumber Daya Alam, Sumber Daya Sosial dan Sumber Daya Manusia diintegrasikan dalam satu kekuatan, kebijakan dan program pembangunan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pertumbuhan ekonomi, daya saing daerah dan demokrasi. Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten/Kota diarahkan untuk melaksanakan urusan otonominya sesuai dengan potensi daerah dan berdasarkan kewenangan urusan pemerintahan, dengan mengembangkan prakarsa dan kreativitas daerah, tetapi tetap dalam kerangka NKRI. Dalam melaksanakan kebijakan dana program pembangunan tersebut, prinsip koordinasi, pembinaan dan pengawasan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah tetap dilaksanakan sesuai aturan untuk menjamin sinergitas pembangunan. Terkait dengan hambatan yang ditemui dalam implementasi otonomi daerah, khususnya masalah koordinasi pelaksanaan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dari Kabupaten/Kota ke Provinsi, maka Untuk mengatasi masalah tersebut diatas, koordinasi, pembinaan dan pengawasan perlu dintensifkan antara lain melalui Forum Koordinasi Pemerintahan, Forum Sekretaris Daerah dan Forum Pimpinan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta melalui Pelaksanaan Rapat Kerja pada masing-masing lingkup urusan pemerintahan dengan tempat pelaksanaan mulai dari Provinsi, dan seterusnya Kabupaten/Kota. Masyarakat Sulawesi Utara sebagai salah satu elemen penting dalam pembangunan daerah, turut memberikan kontribusi besar dalam sukses penyelenggaraan programprogram pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang dilaksanakan. Hal ini tercermin dari besarnya dukungan masyarakat yang diwujudkan melalui parisipasi terhadap program dan kebijakan yang keluarkan pemerintah. Disamping itu pula, partisipasi masyarakat tergambar juga dari hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang bergulir dinamis, sehingga menjadi penopang bagi terciptanya stabilitas keamanan daerah.
Terkait konstruksi politik otonomi daerah dalam konteks pembagian urusan pemerintahan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, dinilai bahwa : a. Saat ini dalam praktek hubungan antar pemerintahan daerah, berkembang fenomena umum bahwa Kabupaten/Kota tidak memiliki keterkaitan hubungan hirarkis dengan Provinsi, meskipun UU No.32 Tahun 2004 telah menegaskan bahwa Gubernur adalah sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah, sesuai tugas dan Kewenangan Gubernur (Pasal 38). Hal ini sebagai akibat dari “euphoria” berotonomi dan kesalahan logika (logical fallacy) dalam menginterpretasikan otonomi, yang menganggap bahwa discretionary power (keleluasaan Pemerintah Kabupaten/Kota) dengan semangat otonomi seluas-luasnya, sama dengan tidak ada hubungan hirarkis sama sekali dengan Provinsi. 3
b.
Dari fenomena kemudian munculah perilaku Kabupaten/Kota yang “mengacuhkan” peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Antara lain dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan, Kabupaten/Kota sering melangkahi Kedudukan Gubernur dan langsung berhubungan dengan Pemerintah Pusat dalam berbagai pengurusan pada tingkat Kementerian, bahkan melakukan perjalanan dinas tanpa sepengetahuan Gubernur; tidak berkoordinasi ke Gubernur dalam melakukan kerjasama dengan Luar Negeri; tidak berkonsultasi mengenai penempatan Pejabat Eselon II maupun pelaksanaan fit and proper test dan pengusulan Pejabat Sekda Kabupaten/Kota ke Mendagri; serta untuk fungsi bugeting Provinsi/Gubernur, khususnya dalam konsultasi APBD Kabupaten/Kota keProvinsi yang terk mesan formalitas, sebab tidak jelasnya sanksi atas perbaikan/revisi yang tidak disampaikan kembali kepada Provinsi/Gubernur. Namun demikian, Pemerintah Provinsi sebagai Wakil Pusat tetap melaksanakan dan mengoptimalisasikan fungsi koordinasi, pembinaan dan pengawasan sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga jalannya pemerintahan di Provinsi, Kabupaten dan Kota tetap terkendali.
Terkait dengan itu, maka usulan kami untuk perbaikan dan penyempurnaan kedepan, antara lain : a. Perlu adanya ketegasan kepada Kementerian teknis untuk rela melepaskan “baju lama” (paradigma top-down), yang diikuti dengan penegasan kepada Instansi teknis di daerah agar dalam melaksanakan tugas dekonsentrasi senantiasa menempatkan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. b. Penegasan ini harus melalui kebijakan yang lebih operasional, dimana Gubernur perlu diberikan peranan dalam keseluruhan aspek manajemen Pemerintahan Daerah. Untuk itu perlu diatur mekanisme dan prosedur: sektor/Kementerian – Gubernur - Dinas Teknis, mulai dari perencanaan sampai evaluasi dan pelaporan, untuk menciptakan koordinasi dan sinergitas, serta menghindari terjadinya tumpang-tindih program/kegiatan sektor dengan program/kegiatan daerah. c. Kewenangan-kewenangan sektoral yang lebih efisien dan efektif dilaksanakan oleh daerah, sebaiknya diserahkan kepada Gubernur melalui asas dekonsentrasi atau tugas pembantuan. Antara lain kewenangan mereview (pengawasan) perda-perda yang bermasalah dari Kabupaten/Kota, sebagaimana kewenangan evaluasi RAPBD Kabupaten/Kota. Semuanya ini perlu didukung dengan aturan hukum yang tegas dan jelas. Terkait masalah pembentukan daerah otonom baru, dinilai bahwa: a. Kebijakan pembentukan daerah otonom baru merupakan salah satu bagian dari implementasi otonomi daerah yang selalu mendapatkan respon positif dari Pemerintah Sulawesi Utara. Berdasarkan data dan fakta yang ada, Provinsi Sulawesi Utara telah berhasil menetaskan 10 Daerah Otonom Kabupaten/Kota dan Provinsi Gorontalo (periode 1999-2008), dimana hingga saat ini masing-masing hasil pemekaran tersebut terus menunjukan perkembangan yang signifikan terhadap pembangunan, bahkan secara integral telah menjadi pendorong pemerintah provinsi untuk mengimpelementasikan tujuan pelaksanaan oronomi daerah yang berbasis peningkatan kesejahteraan rakyat, peningkatan domokratisasi, peningkatan kompentesi dan daya saing daerah serta optimalitas pelayanan kepada masyarakat. b. Terkait dengan proses dan metode evalusasi kinerja pemerintah yang diterapkan oleh pemerintah pusat saat ini, dirasakan cukup evektif untuk mengukur kinerja dari masingmasing pemerintah daerah. Namun demikian, beberapa hal yang mungkin dapat disederhanakan dan sempurnakan agar mampu mencapai tujuan dan sasaran dari pelaksanaan evaluasi itu sendiri. Sehubungan landasan pemikiran tersebut, diusulkan sebagai berikut: 1. Untuk efisiensi, kiranya proses evaluasi yang diterapkan pemerintah melalui kementerian terkait agar kiranya tidak tumpang tindih, contoh: Evaluasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) yang dilaksanakan oleh Kementerian 4
2.
3.
Dalam Negeri bersama Tim terkait, agar kiranya dapat disatukan dengan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instasi Pemerintah yang diterapkan oleh Kementerian Pendayagunaan Apratur Negara karena memiliki tujuan dan sasaran sama. Khusus untuk Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) raport hasil evaluasi kinerja pemerintah yang selama ini di umumkan, kiranya dapat diserahkan kembali kepada pemerintah daerah untuk dijadikan bahan evaluasi dan pembandingan guna perbaikan kinerja pemerintah kedepan. Terkait dengan batas akhir pemasukan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang dilaksanakan secara bersamaan, yakni 3 bulan setelah berakhirnya Tahun anggaran agar kiranya dapat ditinjau kembali, mengingat Pemerintah Provinsi sebagai Wakil Pemerintah di Daerah memiliki peranan untuk melaksanakan evaluasi terhadap LPPD Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam LPPD Provinsi, beberapa indikator kinerja kunci yang terdapat didalamnya adalah merupakan hasil kumulatif dari indikator LPPD Kabupaten/Kota (nilai agregasi dalam IKK LPPD).
Selanjutnya menyangkut status daerah persiapan. Dianggap bahwa pembentukan secara formal daerah persiapan tidak perlu ada, karena akan berpotensi kurang efektif bagi proses penyelenggaraan pemerintahan. Jika satu daerah sudah memenuhi kriteria dan persyaratan untuk dibentuk sebagai daerah baru, sebaiknya segera diproses menjadi daerah otonom definitif sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai masalah keberadaan daerah kepulauan, dinilai bahwa memang perlu pengaturan yang tersendiri atau bersifat khusus, alasannya adalah karena salah satu problematika Undang-Undang 32 Tahun 2004 adalah menyangkut Daerah Kepulauan, diantaranya menyangkut: 1. Belum diakomodirnya kekhususan wilayah kepulauan/perbatasan dalam manajemen pemerintahan daerah. 2. Tidak diakomodasinya dimensi laut dalam penentuan anggaran Dana Alokasi Umum (DAU). Indikator luas wilayah yang selama ini diperhitungkan hanyalah luas wilayah daratan, sedangkan wilayah laut tidak diperhitungkan. Padahal darat dan laut merupakan satu kesatuan integral wilayah yang tidak terpisahkan. 3. Dengan formula ini, Provinsi kepulauan yang memiliki luas wilayah laut lebih besar dari wilayah darat, praktis mengalami “kerugian” dalam penentuan dana alokasi umum (DAU), dan ini tidak sesuai dengan prinsip distribusi fiskal yang adil dan sesuai dengan kebutuhan. Menyikapi kekurangan tersebut, maka ada beberapa hal harus diperhatikan, antara lain : 1. Perlunya manajemen pemerintahan khusus wilayah kepulauan, yang diperkuat dalam pasal-pasal perubahan, antara lain dengan memberikan perlakuan dan kewenangan khusus kepada Bupati, Camat dan Kepala Desa untuk menangani urusan-urusan tertentu, karena karakteristik daerah kepulauan sangat berbeda dengan wilayah daratan. 2. Dalam penyusunan formula anggaran DAU, DAK harus memasukan dimensi kelautan sebagai satu kesatuan dengan wilayah daratan, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, jika tidak demikian akan sulit bagi daerah kepulauan untuk mengejar ketertinggalannya dari wilayah daratan. 3. Pasal 40 PP No. 55 Tahun 2005 tentang dana perimbangan masih terfokus pada wilayah daratan (berorientasi kontinental), yang seharusnya dalam perhitungan DAU memasukan wilayah laut. Karena pada Pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004, menegaskan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. 4. Demikian halnya dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang perairan indonesia pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa segala perairan (laut) adalah merupakan bagian integral dari wilayah daratan.
5
5.
Dalam kerangka itu, penambahan 25% dari luas wilayah pengelolaan perairan, belumlah terasa “adil”. Oleh karena itu kami mengusulkan penambahan kurang lebih 50% dari luas wilayah pengelolaan perairan dari berbagai tingkatan administrasi pemerintahan.
Oleh karena itu perlu adanya peraturan khusus yang mengatur tentang wilayah daerah kepulauan agar supaya dapat mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut dan mengkoordinir semua kebutuhan-kebutuhan di daerah kepulauan. Mengenai masalah pemilukada, dinilai bahwa, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung sebagaimana yang berlaku sampai dengan saat ini, merupakan bentuk aktualisasi dari penegakan sistem demokrasi di masyarkat. Dalam hal ini, pemilukada langsung menjadi instrumen penegakan demokrasi dan pendewasaan politik bagi masyarakat di tingkat lokal. Namun demikian dalam realita, sitem pilkada langsung (Gubernur, Bupati/Walikota) cenderung menimbulkan dampak negatif pada stabilitas keamanan daerah yang berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu dampak negatif dari pemilukada adalah, hadirnya konflik antar elit politik yang cenderung menimbulkan konflik horisontal (antar masyarakat pemilih) maupun konflik vertikal (antar masyarakat dan KPU, Panwaslu), bahkan pada beberapa daerah di tanah air, konflik ini telah berkembang menjadi kerusuhan massa di tingkat lokal, karena kultur dan perilaku kita belum mendukung kedewasaan dalam berdemokrasi. Disamping itu, pelaksanaan Pilkada langsung juga dirasakan menguras anggaran negara yang sangat besar. Kondisi ini mengundang keprihatinan, karena disaat yang sama Pemerintahan Daerah sedang diperhadapkan dengan upaya mencari sumber-sumber dana untuk mengembangkan daerah. Dari pengalaman Pilkada di era reformasi yang cenderung kurang efektif dan efisien, perlu adanya pengaturan teknis pelaksanaan Pilkada yang menjamin efektifitas, efisiensi dan tertib penyelenggaraan pemerintahan. Idealnya teknis pelaksanaan pilkada dilaksanakan secara serentak, paling tidak dengan 2 kali pelaksanaan, yaitu : 1. Pemilihan Gubernur (apakah dipilih rakyat, dipilih DPRD atau ditunjuk presiden), dan kemudian pemilihan Bupati/ Walikota. 2. Jika pilihan teknis ini diterima, maka langkah awal adalah penentuan waktu pelaksanaannya (tanggal dan bulan) secara jelas dalam UU Pemilukada. 3. Untuk awal pelaksanaan, ada proses transisi yang harus dilalui, yaitu: penyesuaian akhir masa jabatan setiap kepala daerah dengan mengikuti jadwal waktu yang telah ditetapkan. Artinya ada yang dipercepat masa jabatannya, dan ada yang diperpanjang sampai dengan waktu pelaksanaan. Jika Pilkada tidak diatur dalam jadwal secara serentak, maka kemungkinan dalam sebulan ada beberapa kali pelaksanaan Pilkada, baik Pilkada Gubernur maupun Bupati/Walikota. Dan hal ini sangat menguras energi maupun anggaran Negara/Daerah. Menyangkut hubungan Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah, maka perlu digarasibawahi bahwa berdasarkan realita yang terjadi dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia, sebagian besar hubungan Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah berjalan tidak harmonis. Fenomena ini terjadi dikarenakan ego kepentingan masing-masing lebih besar dibandingkan dengan visi-misi yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal ini mengakibatkan Tugas dan Wewenang serta Kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana yang tertuang pada Pasal 27 UU No. 32 Tahun 2004 tidak berjalan maksimal. Wakil Kepala Daerah sebagai partner Kepala Daerah dalam menjalankan tugas Pemerintahan di daerah, mempunyai peran strategis dalam proses pemerintahan daerah. Wakil Kepala Daerah seharusnya ditempatkan sesuai dengan porsi kewenangannya dalam menjalankan tugas untuk membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, khususnya dalam memantau serta mengevaluasi kedalam terhadap penyelenggaraan 6
pemerintahan di masing-masing daerah. Oleh karena itu, setiap daerah harus memiliki Wakil Kepala Daerah demi optimalisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Terkait dengan begitu ramainya konflik yang terjadi dalam proses demokratisasi pemilukada, maka kami menawarkan beberapa Opsi Pemilukada yang mungkin dapat dijadikan solusi alternative untuk menjawab segala permasalahan dalam proses pemilukada. Antara lain : Alternatif 1 : Model DKI Jakarta, dimana Gubernur dipilih oleh rakyat, sedangkan Bupati/Walikota ditunjuk oleh Gubernur. Argumentasinya: - Model ini adalah untuk mendayagunakan resource di tingkat provinsi dan administrasi di Kabupaten/Kota. - Adanya efisiensi keuangan daerah. - Menyatukan tata ruang di tingkat provinsi. - Diperlukan amandemen UUD dan pembuatan UU, PP sebagai derivasi peraturan diatasnya. Alternatif 2 : Gubernur dipilih oleh DPRD Provinsi, sedangkan Bupati/Walikota dipilih langsung oleh Rakyat. Argumentasinya: - Model ini merupakan gabungan jabatan antara Gubernur sebagai Kepala Daerah dan sekaligus sebagai Wakil Pemerintah Pusat, maka Gubernur akan dipilih secara demokratis oleh DPRD. Alternatif 3 : Gubernur ditunjuk langsung oleh Presiden, sebagai konsekuensi wakil pemerintah di daerah, sedangkan Bupati/Walikota dipilih oleh Rakyat. Argumentasinya: - Opsi ini menempatkan Gubernur lebih konsentrasi sebagai wakil pemerintah pusat. - Dasar pertimbangannya adalah untuk efisiensi pemerintahan. Alternatif 4 : - Bupati/Walikota yang masih aktif menjabat, dilarang untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur. - Kepala Daerah yang masih aktif menjabat, dilarang untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah di daerah lainnya. Argumentasinya: - Hal ini penting untuk diatur dan ditegaskan dengan UU, agar tidak mengacaukan sistem Pemerintahan. Alternatif 5: - Dalam hal ini, apapun model Pilkada Gubernur (apakah dipilih rakyat, atau dipilih DPRD ataupun ditunjuk presiden), maka untuk Wakil Gubernur harus ditunjuk/dipilih oleh Gubernur dari Birokrat Karier. - Jadi tidak satu paket seperti saat ini pemilihannya. Tentang masalah aparatur daerah, dijelaskan sebagai berikut berikut: a. Sebagai tindak lanjut Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Nomor 05 Tahun 2010 tentang Pendataan tenaga honorer yang bekerja di lingkungan instansi pemerintah maka Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara melakukaan pendataan dan perekaman data tenaga honorer dan hasilnya terdapat 839 orang tenaga honorer. b. Sesuai surat Kepala BKN RI Nomor f1.26-30 V.296-10 99, tanggal 11 Oktober 2010 perihal verifikasi tenaga honorer kategori I, Tim Verifikasi dan Validasi pusat yang terdiri
7
c. d.
e.
dari BKN dan BPKP melakukan verifikasi dan validasi berka tenaga honerer pada tanggal 25 Oktober 2010 sampai dengan 3 November 2010 . Dari hasil verifikasi dan validasi selama 10 (sepuluh) hari maka Tim menyerahkan Laporan Hasil Verifikasi dan Validasi Tenaga Honerer Provinsi Sulawesi Utara kepada BKD pada tanggal 3 November 2010. Selanjutnya pada hari Rabu tanggal 4 April 2012 bertempat di Badan Kepegawaian Negara Regional XI Manado telah diserahkan Daftar Nominatif Tenaga Honerer Kategori I yang memenuhi kriteria berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebanyak 339 orang sebagaimana Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2012 tanggal 12 Maret 2012. Terdapat perbedaan hasil pada laporan awal verifikasi dan validasi tanggal 3 November 2010 dan Daftar Nominatif Tenaga Honorer Kategori I yang menenuhi kriteria, sebagai berikut: - Terdapat tenaga honorer yang dinyatakan tidak memenuhi kreteria pada laporan awal tanggal 3 November 2010 namun dinyatakan memenuhi kriteria pada Daftar Nominatif Tenaga Honorer Kategori I yang memenuhi kriteria. - Terdapat tenaga honorer yang dinyatakan memenuhi kriteria pada laporan awal tanggal 3 November 2010 namun dinyatakan tidak memenuhi kriteria pada Daftar Nominatif Tenaga Honorer Kategori I yang memenuhi kreteria. - Terdapat tenaga honorer yang pembiayaannya Non APBD/APBN dinyatakan memenuhi kriteria padahal seharusnya dimasukkan pada tenaga honorer kategori II. - Terdapat tenaga honorer yang dinyatakan tidak ada berkas padahal tenaga honorer tersebut telah memasukkan berkas pada saat verifikasi dan validasi. - Terhadap tenaga honorer ketegori I yang tidak memenuhi kriteria dimaksud telah disampaikan permohonan ke Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan RB dan Kepala Badan Kepegawaian Negara untuk dapat dipertimbangkan kembali status tenaga honorer dengan pertimbangan bahwa tenaga honorer tersebut telah bekerja secara aktif dan terus-menerus sampai saat ini dan berka/dokumen tenaga honerer dimaksud terarsip. - Untuk tenaga honorer kategori II masih sementara dilakukan perekaman data. Mengenai isu inovasi daerah yang diusulkan dalam draft RUU Pemerintahan Daerah, ditanggapi sebagai berikut: a. Usaha daerah dalam menggali potensi daerah yang dimiliki antara lain yaitu dengan mengundang investor untuk menanamkan modalnya dengan mempromosikan potensi daerah kepada para pengusaha melalui pameran baik yang dilakukan di dalam daerah, nasional dan internasional, mempersiapkan sarana dan prasarana untuk penyelenggaraan MICE (Meeting, Incentive, Convention And Exibition), revitalitasi pertanian dan perkebunan, perikanan dan kelautan, pariwisata dan rencana pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di wilayah Kota Bitung dan Kabupaten Minahasa Utara. b. Berkaitan dengan menggali sumber-sumber keuangan daerah, maka denga dikeluarkannya undang-undang nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan kontribusi daerah, maka pemerintah daerah hanya dapat menggali potensi keuangan melalui lima jenis sumber pajak daerah yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB), Pajak Air Permukaan (PAP), dan Pajak Rokok (khusus pakaj rokok nanti akan diberlakukan pada tahun 2014). Demikian juga untuk retribusi hanya dapat dipungut jenis retribusi yang tercantum dalam undang-undang nomor 28 Tahun 2009 tersebut. Usaha yang dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah yaitu melakukan sosialisasi tentang pentingnya pajak terhadap pembagunan daerah, rasia terhadap kendaraan bermotor, mendekatkan pelayanan kepada wajib pajak dengan membuka samsat di seluruh kabupaten dan kota, membuka samsat pembantu, samsat mall, samsat drivetrue dan samsat keliling.
8
c.
Terkait gagasan untuk penerapan tindakan hukum tertentu terhadap aparatur daerah terkait dengan pelanggaran yang bersifat administratif atau tidak hanya dikenakan terbatas pada pelanggaran yang bersifat pidana yang ditampilkan dalam salah satu isu baru substansi dari RUU Pemerintahan Daerah, ditanggapi sebagai berikut:
Dalam kesempatan ini, melalui surat elektronik (e-mail) juga disusulkan masukan dari Sekretaris Inspektorat Provinsi Sulawesi Utara, yang memberikan masukan sebagai berikut: a. Bahwa, pada dasarnya secara normatif telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Pemerintah Nomor. 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Akan tetapi dalam implementasinya perlu ada pemahaman yang komprehensif sehingga optimalisasi kinerja aparatur bisa semakin baik. b. Paragraf kedua Wakil Kepala Daerah Pasal 41 ayat 3 menyatakan “Wakil Kepala Daerah adalah jabatan negeri setingkat Eselon I B untuk wakil gubernur dan setingkat Eselon II A untuk wakil bupati / wakil walikota”. Masukan : Berhubung Sekretaris Daerah Provinsi Eselon IB maka sebaiknya wakil gubernur Eselon IA, demikian juga untuk Sekretaris Kabupaten / Kota Eselon IIA maka wakil bupati / wakil walikota Eselon IB karena wakil kepala daerah tersebut dalam kedudukannya lebih tinggi dari para sekretaris daerah provinsi / kabupaten / kota. c. Paragraf kelima Inspektorat Pasal 96 ayat 3 menyatakan “Inspektorat daerah dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah”. d. sesuai Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman dan Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah Pasal 25 ayat 1 dan 2 sebagai pelaksanaan dari undang-undang 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang menyatakan : (1) Inspektur Provinsi dalam pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab kepada Gubernur, Inspektur Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab kepada Bupati/ Walikota. (2) Inspektur Provinsi dalam pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan, mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah Provinsi dan Inspektur Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan, mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota. Dengan pasal ini secara jelas memastikan bahwa satua-satunya satuan kerja perangkat daerah yang tidak bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah adalah inspektorat. Inspektorat dalam pelaksanaan tugasnya juga memeriksa sekretariat daerah yang dipimpin oleh sekretaris daerah. Pengaturan ini dikandung maksud agar inspektorat dalam melasanakan tugasnya tidak terpengaruh oleh pejabat struktural yang lebih tinggi (dalam hal ini sekretaris daerah). e. Perlu ditingkatkannya eselonering inspektorat daerah diatas satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lainnya atau sama dengan sekretaris daerah. Hal ini juga mengacu kepada eselonering komponen pada tingkat kementerian dimana eselon Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Inspektur Jenderal adalah sama IA. Sedangkan di daerah sekretaris daerah eselon IB inspektur eselon IIA sama seperti eselon SKPD yang lain. Sebagai perbandingan pada undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya eselon kepala dinas pemerintah daerah provinsi IIB.
9
B. MASUKAN DARI UNIVERSITAS SAM RATULANGI Sebagaimana disampaikan oleh salah seorang pengajar Fakultas Hukum Unsrat, Lendy Siar, SH, MH, bahwa Pengaturan tentang Pemerintahan Daerah telah mengalami beberapa pergantian dan perubahan dengan segala pertimbangan dan alasan, sehingga terdapat pandangan yang muncul, bahwa hal tersebut terjadi akibat dari kurangnya pemahaman atas sistem pemerintahan negara, pembagian kewenangan, konsep pengaturan pemerintahan daerah dalam negara kesatuan, desentalisasi, otonomi daerah, kewenangan daerah, hubungan Pusat dan Daerah, kualitas serta substansi dari suatu Undang-undang dan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan. Atas dasar itu, terdapat beberapa hal yang dapat disampaikan dalam pertemuan membicarakan mengenai RUU Pemerintahan Daerah sebagai berikut : a.
Berdasarkan UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Dalam konteks pemerintahan daerah, Kementerian Dalam Negeri (bukan Menteri Negara) pengaturan selama ini terdapat kesan bahwa Kementerian Dalam Negeri merupakan “atasan” dari daerah pemerintahan yang ada, sehingga Kementerian lain yang membidangi urusan tertentu, kurang pengaturan yang memberi hubungan yang kuat dengan daerah pemerintahan. Akibatnya pemerintahan daerah seolah-olah hanya mempunyai perhatian atas urusan-urusan yang menjadi kewenangan Kementerian Dalam Negeri. Kesan seperti itu menjadi kuat karena perilaku elit daerah yang mengutamakan kepentingan jabatan-jabatan di daerah dan mengabaikan urusan-urusan tertentu dari kementerian lain yang menjadi kepentingan atau kebutuhan dan memajuhkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Apabila terdapat kepentingan Daerah pada Kementerian diluar Kementerian Dalam Negeri kebanyakan berkaitan dengan janji politik, terutama yang berkaitan dengan anggaran, maka Daerah mengambil jalan langsung kepada DPR RI. Kesan seperti menunjukan belum adanya pengaturan hubungan Pusat dan Daerah yang menjadi pegangan bersama, bahkan DPD RI yang diharapkan dapat menjembatani itu, tidak dapat berbuat banyak untuk Daerah karena semua sangat tergantung dari kewenangan dan pengaturan DPR RI. Demikian juga pengaturan terhadap kewenangan lembaga/badan lain terhadap Daerah, termasuk perangkat daerah dan pejabat daerah seperti BPK dan lembaga lain. Secara umum pengaturan DPR RI belum dapat memperjelas kedudukan Daerah Pemerintahan atau pemerintahan daerah, perangkat daerah, dan pejabat di daerah dengan berbagai lembaga penyelenggara pemerintahan di tingkat Pusat. Karena itu, terhadap RUU Pemerintahan Daerah ini diusulkan perlu mempertimbankan keterkaitan dengan berbagai lembaga lain yang ada dan diperlukan dalam kaitan dengan Daerah, perangkat daerah dan pejabat di daerah sehingga Daerah-daerah Pemerintahan yang ada menjadi jelas sebagai bagian dari sistem ketatanegaraan atau pemegang kekuasaan penyelenggara pemerintahan (eksekutif). Setidaknya perubahan atau penggantian Undang-undang Pemerintahan Daerah harus bersamaan atau disatukan dengan melakukan perubahan terhadap berbagai Undangundang yang berkaitan dengan lembaga lain.
b.
Seharusnya pembentuk Undang-undang konsisten dengan konsep Negara kesatuan bahwa penyelenggara urusan pemerintahan berada dan menjadi tanggungjawab Pemerintah (Presiden), sehingga Daerah Pemerintahan yang ada hanya menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tidak dapat secara efisien dan efektif diselenggarakan oleh Pemerintah di daerah-daerah sehingga perlu desentralisasi dan tugas pembantuan. Pengaturan seperti itu,
10
memperjelas otonomi Daerah terbatas pada kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan ke Daerah atau atas tugas pembantuan. c.
Atas dasar itu, maka perlu dilakukan perubahan terhadap desentralisasi politik pada daerahdaerah, terutama keterwakilan atau keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan daerah dan yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah sebagai pemimpin daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah yang diserahkan oleh Pemerintah.
d.
Kedudukan wakil kepala daerah perlu dipertegas kewenangan wakil kepala daerah, tidak hanya diberi tugas tetapi tidak mempunyai kewenangan.
e.
Kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dipertegas tugas dan kewenangannya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota dan desa, agar terjadi koordinasi, intergritas, dan terhindar dari tumpang tindih kewenangan daerah kabupaten/kota dan desa serta konflik antar daerah, termasuk desa.
f.
Praktik penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah oleh pemerintah daerah dan perangkatnya, terkadang menemui adanya kekurang jelasan aturan, bahkan tidak ada aturan, sehingga dalam RUU ini perlu diberi dan dirumuskan alasan, persyaratan, dan harus diperhatikan dalam melaksanakan ruang kebebasan bertindak (Freies Ermessen) dari kepala daerah. Dalam acara pertemuan di Universitas Samratulangi ini juga diberikan tanggapan terhadap draft RUU Desa, yang menurut Lendy Siar, SH, MH, dikatakan bahwa sebelum Negara RI ada, Desa telah mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri berdasarkan asal-usul dan adat istiadat desa. Karena itu terdapat pandangan asas dalam sistem ketatanegaraan RI berasal dari asas pemerintahan desa, bahkan susunan dan struktur pemerintahan desa terdapat pandangan diambil atau diangkat dalam sistem ketatanegaraan negara kesatuan RI. Dalam sejarah pengaturan pemerintahan desa, pernah ditempatkan desa sebagai pemerintahan tingkat ketiga yang memiliki otonomi dan didalam UU No. 22/1999 menganut prinsip apa yang telah diatur oleh Desa tidak dapat di intervensi atau diambil oleh Kabupaten atau Kota. Akan tetapi pengaturan didalam UU No. 32/2004 kedudukan desa ditempatkan sebagai bagian dari kabupaten dan kota serta pengaturannya sangat tergantung dari kabupaten/kota, karena itu kewenangan yang ada di desa dilakukan penyerahan oleh kabupaten/kota dan kewenangan yang sudah ada selama ini, terkadang di intervensi oleh kabupaten/kota dengan berbagai alasan, walaupun kewenangan tersebut diperoleh desa berdasarkan asal-usulnya menjadi kewenagan desa. Berdasarkan kedudukan dan kewenangan desa seperti itu, maka terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian : a. Desa seharusnya ditempatkan sebagai bagian dari susunan pemerintahan dan memiliki otonomi yang berbeda dengan otonomi kabupaten dan kota maupun provinsi, berdasarkan asal-usulnya maupun adat istiadat yang terpelihara selama ini. b. Konsekuensi dari otonomi seperti itu, maka struktur pemerintahan di tingkat desa dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip pembagian kekuasaan yang menyerupai sistem dan struktur ketatanegaraan. c. Atas dasar itu, maka lembaga-lembaga yang pernah ada perlu di adakan kembali, seperti adanya lembaga hakim perdamaian desa, bahkan perlu pengaturan di tingkat Undangundang bahwa desa dapat membuat peraturan desa yang memuat kaidah sanksi pidana yang harus ditegakan sebagai bagian dari kewenangan desa dengan penyesuaian, penyelarasan dan harmonisasi dengan asas-asas serta sistem hukum nasional dan HAM.
11
d. Kewenangan desa yang memiliki otonomi seperti itu, tidak hanya merupakan pengukuan oleh Negara dengan cara membiarkan atau pengakuan secara diam-diam, tetap perlu dipertegas pengaturan dalam tingkat Undang-undang. e. Tanggungjawab atas penyelarasan dan harmonisasi pengaturan dengan prinsip-prinsip umum seperti NKRI, HAM, dan hukum Nasional menjadi tanggungjawab Negara melalui lembaga/badan yang diadakan oleh Negara yang diatur dalam Undang-undang. f. Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kewenangan urusan pemerintahan desa diadakan oleh lembaga yang diadakan oleh Negara. g. Pemerintah melalui UU menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa serta melaksanakan fasilitasi dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa.Pemerintah mengatur untuk melaksanakan supervisi, monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan desa. Dalam acara pertemuan di Unsrat, juga ditampilkan beberapa pokok pemikiran yang disebutnya sebagai beberapa isu strategis dari salah seorang pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)-nya, yaitu Dr. Fery Daud Liando, M.Si, antara lain adalah sebagai berikut : 1. Pembentukan Daerah Otonom Baru Pemerintahan Daerah sebaiknya tetap memfasilitasi daerah-daerah untuk melakukan pemekaran wilayah terutama daerah-daerah di Kawasan Timur Indonesia, karena sarana dan prasarana penunjang kinerja pemerintah daerah masih sangat terbatas. Sarana penunjang kegiatan pemerintah akan tersedia, dianggap akan muncul ketika terjadi pemekaran daerah otonom baru. Selama ini, hampir 90 persen daerah-daerah yang mengajukan pemekaran adalah daerah-daerah yang berasal dari kawasan timur Indonesia. Hal ini disebabkan karena sarana dan prasarana di wilayah itu memang sangat tertinggal dibandingkan daerah-daerah pulau Jawa. 2. Kenyataannya, 78 persen daerah pemekaran mengalam kegagalan untuk berkembang maju, konsentrasi Pemerintahan Daerah biasanya langsung diperhadapkan dengan kegiatan pemilukada. Anggaran hibah dari daerah induk langsung terkuras pada pembiayaan pemilukada. Anggaran terkuras mulai dari pembiayaan pengadaan penyelenggaraan pemilukada (bagi KPUD, Panwasda, PPK dan PPS). Anggaran pun kerapkali dipakai untuk bantuan-bantuan sosial oleh pemerintah setempat, terutama bagi pejabat kepala daerah yang bermaksud untuk mencalonkan diri kembali atau justru sekedar dukungan bagi pencalonan kerabat dekatnya dalam pemilukada. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk pengadaan infrastruktur pembangunan lebih banyak terpakai oleh agenda-agenda lainnya. Ketentuan PP No. 78 Tahun 2007 yang mensyaratkan penggabungan daerah jika gagal sangat sulit untuk diimplementasikan. Apabila memungkinkan, sebenarnya, pegawai bersangkutan masih dapat didistribusikan bagi daerah lain. Menyadari kondisi yang dihadapi dan kemungkinan yang dapat dilakukan di lapangan, maka diperlukan adanya wilayah administratif sebelum pembentukan daerah otonom baru yang belum diisi oleh pejabat-pejabat definitif. Jika sarana dan prasarana nantinya sudah dapat dibentuk dan daerah bersangkutan dinilai sudah memiliki kemampuan, maka barulah di tahap berikut dapat ditetapkan sebagai daerah otonom. Pengangkatan Pejabat Eselon II Pengangkatan pejabat eselon II masih sering menimbulkan polemik antara pemerintah provinsi yang menentapkan pejabat dan pemerintah kabupaten/kota yang mengusulkan, sebagaimana pernah terjadi di kota Manado dan Kabupaten Minahasa Selatan. RUU Pemerintahan Daerah harus memfasilitasi agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam 12
masalah ini. Kedudukan pejabat sebagai pelaksana tugas (PLT) memberikan dampak pada penyelenggaraan pelayanan publik. Pejabat PLT yang tidak memperoleh tunjangan jelas akan tidak mungkin bekerja secara optimal. Mutasi pejabat Pasca Pemilukada Masalah yang sering terjadi pasca pemilukada adalah penggantian pejabat-pejabat lama dengan pejabat-pejabat baru. Penggantian tersebut lebih banyak didasari oleh kepentingankepentingan politik. Pejabat yang tidak memiliki kontribusi terhadap kepala daerah terpilih pada saat pemilukada biasanya langsung digantikan, walaupun pejabat tersebut memiliki pengalaman dan reputasi yang baik. RUU Pemerintahan Daerah harus mencantumkan sebuah ketentuan agar kepala daerah tidak terlampau leluasa melakukan reposisi pejabat struktural. Sinkronisasi Program Nasional dan Daerah Baik RPJP maupun RPJM yang menjadi rujukan penetapan program di daerah, melalui Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, seringkali berbenturan dengan visi dan misi pemerintah daerah dalam Rencana Pemerintah Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Strategis Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Rencana Kerja Satuan Perangkat Daerah (Renja SKPD). Program Pemerintahan Daerah yang ditetapkan merupakan rumusan yang dikembangkan dari visi dan misi pasangan kepala daerah pada saat pelaksanaan Pemilukada. Menjadi permasalahan, karena Presiden sebagai kepala pemerintahan yang mengesahkan RPJP Nasional memiliki perbedaan keanggotaan partai politik dengan kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang mengesahkan RPJ di daerah yang secara otomatis berbeda dalam hal visi dan misi politiknya, terutama dalam hal prioritas-prioritas politiknya. Kondisi ini akan berpengaruh pada kepala daerah yang akan dilantik pada sekitar tahun 2013, seperti haknya contoh kasus di Kabupaten Minahasa. Mengingat RPJMD sudah ditetapkan pada tahun sebelumnya, maka akan menciptakan sebuah persoalan apakah program yang dilaksanakan itu didasarkan pada RPJMD atau berdasarkan visi dan misi yang telah dibuat kepala daerah ketika melakukan kampanye politiknya. RUU Pemerintahan Daerah, perlu melakukan sinkronisasi program yang agar dapat berjalan secara teratur dan sistematis mulai dari tingkat nasional, sampai ke tingkat daerah. Hal ini jelas pula harus disesuaikan dengan Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu Legislatif dan UU Pilpres. Peran Pengawasan Salah satu sebab maraknya korupsi penyelenggara Pemerintahan Daerah dan buruknya pelayanan publik adalah disebabkan karena lemahnya pengawasan internal. Kedudukan Inspektorat daerah yang merupakan bagian dari SKPD, sangat sulit untuk melakukan pengawasan, karena terbangun sebuah kebersamaan korps dengan pejabat lain yang setingkat dengannya. Perlu lembaga pengawas yang tidak terikat secara struktural dengan Pemerintahan Daerah. Pengembangan Kapasitas DPRD Kinerja DPRD belum optimal, sehingga perlu dibangun sistem yang mampu mengoptimalkan kinerja DPRD. Indikator belum optimalnya kinerja DPRD dapat ditelusuri dari rendahnya produk-produk legislasi, seperti halnya Perda. Banyak Perda ditolak oleh pemerintah pusat, karena tidak memenuhi unsur yang diharapkan, seperti halnya menjadi penghambat investasi atau berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di samping itu, banyaknya “Perda tidur” atau perda yang tidak dapat dilaksanakan. 13
Intervensi pemerintah terhadap rekrutmen kader oleh partai politik bukan merupakan pelanggaran. Alasannya, adalah anggota DPRD merupakan penyelenggara Pemerintahan Daerah yang dibiayai APBD. Nama-nama yang hendak diusulkan partai politik untuk menjadi anggota DPRD seharusnya adalah anggota partai politik dan mereka telah mengikuti pendidikan dan latihan dalam berbagai jenjang yang diselenggarakan oleh partai bersangkutan. Pengalaman selama ini, banyak di antara mereka yang dipromosikan pada jabatan-jabatan publik adalah bukan anggota partai politik. Pengalamannya dalam berorganisasi di partai politik akan sangat mempengaruhi pada tingkat profesionalismenya sebagai anggota DPRD dan dapat bersinergi dengan kalangan eksekutif. Sehingga, perlu peran pemerintah untuk memberdayakan anggota DPRD, yang untuk ini harus disinkronkan dengan Undang-Undang Partai Politik. Jika DPRD nantinya dapat diberdayakan, maka akan sangat berpengaruh pada proses penyelenggaraan Pilkada kalau memang nantinya dialihkan pada DPRD. Pedoman Partisipasi Publik Kebijakan publik yang baik sangat ditentukan oleh keberfihakan dan partisipasi publik baik dalam perumusan kebijakan maupun di tahapan implementasi kebijakan. Banyak Perda yang sulit diimplementasikan karena tidak ada dukungan masyarakat, karena masyarakat tidak dilibatkan dalam proses perumusannya. Kenyataannya, dalam proses perumusan Perda, akses publik untuk berpartisipasi sangat sulit. Hal ini disebabkan belumnya adanya ketentuan atau pedoman tentang masalah bagaimana partisipasi publik terlibat dalam perumusan Perda. Padahal, ketidakterlibatan publik ini, sering berujung pada kasus terjadinya pembatalan Perda oleh Pemerintah pusat, Optimalisasi Peran OPD Provinsi. Perubahan kedua UUD 1945 yang mengamanatkan keperluan memperkuat otonomi daerah, tidak menerangkan mengenai kedudukan provinsi dalam sistem ketatanegaraan kita. Apakah provinsi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat di daerah atau sebagai daerah otonom. Organisasi Pemerintahan Daerah (OPD) Provinsi perlu dibatasi jumlah dan kewenangannya. Hal ini bertujuan, pertama, agar tidak terjadi tumpang tindih dengan kewenangan di kabupaten/kota. Kedua, agar terjadi penghematan anggaran APBD yang membiayai tunjangan pejabat, fasilitas pejabat, dan studi banding pejabat, dan sebagainya. Tugas utama Kabupaten/Kota Perlu pembagian kewenangan dari setiap tingkatan pemerintahan secara optimal. Kabupaten dan kota seharusnya hanya diberikan tiga tugas utama, yaitu tugas pelayanan kepada masyarakat tugas sebagai pelaksana sebuah produk undang-undang atau pelaksana regulasi dan tugas pemberdayaan masyarakat. Kalau memperoleh tugas lain, sebaiknya tetap mengotimalkan ketiga tugas tersebut. Kenyataan selama ini, ketiga tugas ini diabaikan karena terganggu oleh tugas-tugas lain yang sesungguhnya tugas itu dapat dilakukan oleh level pemerintahan yang lain. Pengajar FISIP Unsrat lainnya yang memberikan masukan, adalah Dr. Michael Mamentu, MA. Menurutnya, kebijakan otonomi daerah tidak dapat digeneralisir mengalami kegagalan secara keseluruhan, karena dari sekian banyak permasalahan otonomi daerah, ternyata terdapat beberapa “daerah” di Indonesia yang mengalami perubahan positif secara signifikan. Sehingga, sebernarnya yang menarik untuk dicari adalah mengapa daerahdaerah tertentu mampu mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah lebih baik, dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia.
14
Kajian-kajian tentang kegagalan otonomi daerah sebenarnya menjadi isu yang tidak menarik lagi dieksplorasi, karena semuanya akan bermuara pada sumber-sumber persoalan yang relatif sama. Oleh karenanya, yang paling penting sekarang ini adalah menjawab pertanyaan tentang apakah kebijakan otonomi daerah itu merupakan persoalan bad policy atau bad implementation? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka yang sebenarnya perlu ditelaah adalah mengenai persoalan, apakah sebenarnya yang “disediakan” oleh kebijakan bersangkutan, selanjutnya, bagaimana kebijakan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menggunakan apa yang disediakan. Di samping itu, persoalan mengenai, bagaimana sebenarnya daerah mengelola “ketersediaan” yang diberikan oleh kebijakan? Inventarisasi tetang permasalahan otonomi daerah ini, adalah sebagai berikut: (1) Koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota: a. Kebijakan antara provinsi-kabupaten/kota; b. Penempatan jabatan; c. Pembiayaan pembangunan. (2) Kinerja pemerintahan: a. Rendahnya PAD; b. Pemekaran kecamatan/desa; c. Konflik kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sumber masalah pada kedua point ini, adalah: (1) Masih ada beberapa celah di dalam kebijakan (di tingkat UU) yang belum mengatur secara teknis administratif, bagamana koordinasi itu harus dilakukan; (2) Koordinasi sering diterjemahkan dalam konteks politik, sehingga ini kemudian menjadi stimulant terjadi diskoordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota; (3) Mekanisme pilkada menjadi sumber masalah terhadap buruknya kinerja Pemerintahan Daerah. Contoh keberhasilan, adalah berkenaan beberapa daerah tertentu yang mengalami keberhasilan dalam menjalankan otonomi daerah. Kuncinya adalah (1) Tingkat pendidikan yang baik; (2) managerial skill yang baik; (3) mempunyai komitmen; (4) bebas nilai (politik). Sehubungan dengan sumber-sumber permasalahan di atas: a. Adanya perubahan pada Undang-Undang Pilkada, sehingga akan berpengaruh positif pada pelaksanaan pemerintahan di daerah; b. Perlu adanya perubahan dalam pengaturan koordinasi antara pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
C. MASUKAN DARI PIHAK LSM Dalam pertemuan ini, Sekretaris Kesbanglinmas, Pemprov Sulut, mengungkapkan bahwa keberadaan LSM di Sulut yang terdaftar adalah 49 LSM. Kondisi Sulut yang stabil dianggap tidak terlepas dari peran LSM yang sepakat bumi nyiur melambai ini nyaman bagi setiap tamu dan penduduk Sulut dalam menajalankan aktivitasnya, termasuk terhadap pembangunan yang dilaksanakan. Dalam acara ini, muncul beberapa pemikiran sebagai berikut: - Yang penting penjariangan calon kepala daerah, bukan sekedar pilkada langsung oleh rakyat atau melalui DPRD, jangan sampai KKN, Misalnya, harus dilihat strata pendidikannya, misalnya S1. Kriteria penjaringan terbuka, harus diatur dan jelas kriterianya serta dapat benar-benar mengikat partai. Ini harus dimasukkan ke dalam UU Pemerintahan Daerah. - Sudah beberapa kali perubahan UU Pemerintahan Daerah direvisi, Dari kasus-kasus konflik yang terjadi, maka perlu diatur tentang masalah return of investment dari cost yang
15
-
-
-
-
-
III.
mahal kampanye, sehingga mendorong penyimpangan APBD. Hal ini perlu dipikirkan lebih lanjut. Kepartaian yang sangat banyak jumlahnya saat ini, menjadi persoalan tersendiri, antara lain terkait masalah dana. Akar korupsi justru dari pilkada. Solusinya, ambil birokrat yang adil dan berwibawa. Disinggung tentang infrastruktur belanja modal, yaitu soal DAU, soal manajemen Pemerintahan Daerah. Mohon dipertimbangkan agar para incumbent yang gagal struktur tata pemerintahan, misalnya saat dapat disclaimer BPK, kalau sekali boleh, tapi kalau lebih dari itu jangan mencalonkan kembali, Soal like and dislike, promosi dan demosi pejabat sangat mengganggu jalannya pemerintahan di daerah. Di samping itu, juga mengenai persoalan pengangkatan pejabat eselon 2, mereka masih muda potensial, banyak terjadi non job, harus diatur dapat diangkat dari kabupaten/kota naik ke provinsi. Demikian halnya, dalam persoalan mutasi PNS, misalnya guru di tempat terpencil, perlu dikeluarkan aturan penggajian PNS dipusat, sehingga tidak terjadi masalah. Soal UU 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang sudah dianulir oleh UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 2005. Di UU Pemerintahan Daerah, pengangkatan dan pemberhentian dijabarkan, tetapi dalam pelaksanaan ternyata sesudah kasasi, diaktifkan lagi. Padahal, di UU digunakan istilah pemberhentian, tidak dikenal istilah non aktif. Dalam masalah pemekaran daerah, perlu dlihat secara mendalam tentang perbedaan kondisi di kawasan barat dan timur Indonesia. Apalagi, di timur, kawasannya daerah terpinggirkan, seperti halnya di Sulut, pulau Sulawesi, hanya Gorontalo tidak menyebut nama Sulawesi sebagi embel embel provinsinya, padahal secara geografis terletak di Pulau Sulawesi. Persoalan lain, adalah daerah kepulauan apa harus juga 5 sebagai propinsi seperti daerah daratan, ini agar infratsruktur dan pembangunannya cepat berkembang. Perlu ada UU khusus LSM. Usulan agar Kesbangpolmas, perlu diberikan dana memadai untuk menjaga NKRI.
PENUTUP Demikian laporan hasil kunjungan tim kerja dibuat berdasarkan hasil masukan dari kegiatan diskusi yang telah diselenggarakan. Diharapkan bahwa laporan ini dapat menjadi bahan masukan lebih lanjut bagi proses pembahasan Pansus DPR tentang RUU Pemerintahan Daerah yang sedang dibahas bersama pemerintah.
Ketua Tim Kunjungan Kerja Pansus RUU tentang Pemerintahan Daerah Ke Provinsi Sulawesi Utara
DRS. H. IBNU MUNZIR A-275
16