LAPORAN KINERJA PUSAT KETERSEDIAAN DAN KERAWANAN PANGAN TAHUN 2016
BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN
Laporan Kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016
RINGKASAN EKSEKUTIF Dalam mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan telah menyelenggarakan fungsinya dalam : (1) Penyiapan koordinasi di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; (2) Pengkajian di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; (3) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; (4) Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; (5) Pelaksanaan pemantapan di bidang peningkatan ketersediaan kerawanan pangan; (6) Penyusunan
pangan dan akses pangan serta penurunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di
bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; (7) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; (8) Pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan. Mengacu visi, misi, arah, dan kebijakan BKP Kementerian Pertanian, disusun Visi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 2015-2019, yaitu: “Pemantapan ketersediaan pangan dan penurunan kerawanan pangan berbasis sumberdaya lokal untuk mewujudkan peningkatan kedaulatan pangan.” Untuk mencapai visi di atas, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mengemban misi, yaitu: (1) Membangun koordinasi yang sinergi dan efektif untuk bahan perumusan kebijakan peningkatan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan pangan, (2) Memantapkan ketersediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya local, (3) Memantapkan penurunan kerawanan pangan, (4) Membangun model-model pengembangan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan pangan secara partisipatif dan transparan, (5)Membangun kapasitas aparatur dan sumberdaya manusia pertanian Sebagai penjabaran visi dan misi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, maka tujuan yang ingin dicapai adalah: (1) Menyusun dan menganalisis bahan rumusan kebijakan peningkatan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan pangan , (2) Meningkatkan penyediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya lokal, (3) Menurunkan persentase jumlah penduduk rawan pangan, (4) Mengembangkan desa dan kawasan mandiri pangan, (5) Meningkatkan kualitas kinerja aparatur dan sumberdaya manusia pertanian. Berdasarkan visi, misi, dan tujuan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, serta mengakomodasi berbagai perubahan yang terjadi di lingkup Badan Ketahanan Pangan, disusun rencana kerja tahunan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016 dengan sasaran strategis yang hendak dicapai, yaitu : (1) Tersedianya Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
i
Laporan Kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016
bahan rumusan kebijakan peningkatan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan pangan, (2) Meningkatnya ketersediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya lokal; (3)Menurunnya persentase penduduk rawan pangan; (4) Berkembangnya desa dan kawasan mandiri pangan; (5) Meningkatnya kualitas kinerja aparatur dan sumberdaya manusia pertanian. Meningkatnya pemantapan ketersediaan pangan dan penanganan rawan pangan, yang diukur dengan indikator kinerja: (1) Analisis Neraca Bahan Makanan sebanyak 34 laporan; (2) Sistem kewaspadaan pangan dan gizi pada 35 lokasi; (3) Kajian responsif dan antisipatif ketersediaan dan kerawanan pangan sebanyak 1 judul; (4) Peta ketahanan dan kerentanan pangan sebanyak 1 peta; (5) Kawasan mandiri pangan pada 187 kawasan; (6) Pemantauan ketersediaan dan kerawanan pangan pada 33 lokasi; (7) Pemberdayaan petani kecil dan gender pada 33.600 KK; (8) Dukungan produksi pertanian dan pemasaran pada 26.880 KK; (9) Pengembangan rantai nilai tanaman perkebunan pada 224 desa; (10) Dukungan manajemen dan administrasi SOLID sebanyak 12 bulan layanan. Tujuan dan sasaran strategis tersebut dicapai melalui Kebijakan ketahanan pangan dalam aspek ketersediaan dan kerawanan pangan yang diarahkan untuk: (a) Peningkatan ketersediaan pangan yang beraneka ragam berbasis potensi sumber daya lokal; dan (b) Memantapkan penanganan kerawanan pangan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan kelaparan. Untuk mendukung sasaran strategis meningkatnya pemantapan ketersediaan pangan dan penanganan rawan pangan, pada tahun 2016 dialokasikan anggaran sebesar Rp.250.064.227.000,00 telah direalisasikan sebesar Rp. 228.991.719.899,00 atau 91,57 persen yang dilaksanakan melalui Satker BKP Kementerian Pertanian, untuk kegiatan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan sebesar Rp. 17.524.834.000,00 telah direalisasikan sebesar Rp 13.237.639.642,00 atau 75,54 persen dan di daerah sebesar Rp. 233.577.267.000,00 telah terealisasi sebesar Rp. 216.669.974.442,00 atau 92,76 persen. Dalam hal akuntabilitas keuangan, laporan baru dapat menginformasikan realisasi penyerapan anggaran, dan belum dapat menginformasikan adanya efisiensi penggunaan sumberdaya. Hal ini diakibatkan oleh sistem penganggaran yang belum sepenuhnya berbasis kinerja, sehingga salah satu komponen untuk mengukur efisiensi, yaitu standar analisis biaya belum ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
ii
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN EKSEKUTIF
i
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR TABEL
iv
KATA PENGANTAR
vi
PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Tugas Fungsi dan Struktur Organisasi
1
PERENCANAAN KINERJA
4
2.1 Rencana Strategis
4
BAB I
II
III
IV
1. Visi
4
2. Misi
4
3. Tujuan
4
4. Sasaran Strategis
5
5. Cara Pencapaian Tujuan dan Sasaran
5
6. Program
6
7. Rencana Kinerja Tahun 2016
8
AKUNTABILITAS KINERJA
10
3.1 Capaian Kinerja
10
3.2 Realisasi Anggaran
20
3.3 Hasil Kinerja Tahun 2016
23
3.4 Capaian Kinerja Lainnya
60
3.5 Dukungan Instansi Lain
62
Penutup
64
4.1 Kesimpulan
64
4.2 Saran
65
LAMPIRAN
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
66
iii
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Lampiran Pernyataan Penetapan Kinerja Tahun 2016 Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Formulir Penetapan Kinerja Tingkat Unit Organisasi Eselon II Kementerian/Lembaga Matriks Rencana Aksi Pencapaian Kinerja Berdasarkan PK Triwulan I-IV Tahun 2016 Matriks Target dan Realisasi Capaian Kinerja Berdasarkan PK Triwulan I-IV Tahun 2016 Indikator, Definisi dan Sumber Data FSVA Kabupaten 2016 Tabel
Perbandingan
Indikator
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Peta
Ketahanan
dan
Kerentanan
Pangan
iv
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
DAFTAR TABEL
Tabel
1
Halaman
Penetapan Kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun Anggaran 2016
9
2
Perbandingan Target dan Realisasi Kinerja Tahun 2016
11
3
Perbandingan Realisasi Kinerja dan Capaian Kinerja Tahun 2012-2016
14
4
Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
21
5
Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
22
Daerah 6
Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
23
Pusat dan Daerah 7
Perkembangan Dana Bansos/Banper dan Realisasi Kawasan Mandiri Pangan Tahun 2013-2016
24
8
Jumlah Sampel Per Provinsi Berdasarkan Kapasitas Penggilingan
53
9
Tingkat Rendemen Penggilingan Sampel
55
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
v
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
KATA PENGANTAR Laporan Kinerja (LAKIN) ini disusun sebagai pertanggung jawaban atas pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan selama menjalankan tugas-tugas kedinasan dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar prestasi yang telah dicapai.
dan
Melalui LAKIN ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada semua pihak yang berkepentingan mengenai kinerja Pusat ketersediaan dan Kerawanan Pangan yang telah dicapai dalam Tahun 2016. Terkait dengan hal itu diharapkan adanya masukan-masukan sebagai umpan balik yang bermanfaat dan alternatif pemecahan masalah-masalah yang dihadapi, yang semuanya mengarah pada peningkatan kinerja aparat. Kami menyadari bahwa laporan ini belum sepenuhnya sempurna, karena itu saran konstruktif untuk pelaksanaan tugas dimasa mendatang sangat diharapkan. Semoga laporan ini bermanfaat bagi peningkatan kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan.
Jakarta,
Januari 2017
Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Dr. Benny Rachman, APU NIP. 19590210 198603 1001
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
vi
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan merupakan salah satu unit kerja Eselon II pada Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mempunyai tugas melaksanakan koordinasi, pengkajian, penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan ketersediaan dan penurunan kerawanan pangan. Sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, mewajibkan setiap instansi pemerintah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan negara untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya serta kewenangan pengelolaan sumberdaya, pelaksanaan kebijakan, dan program dengan menyusun laporan akuntabilitas melalui proses penyusunan rencana strategis, rencana kinerja, dan pengukuran kinerja. Sehubungan dengan Inpres tersebut, setiap penyelenggara negara dan pemerintah wajib melaporkan akuntabilitas kinerjanya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sehingga terjadi sinkronisasi antara perencanaan ideal yang direncanakan dengan keluaran dan manfaat yang dihasilkan. Untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan (pemberi mandat dan publik) tentang visi dan misi, tujuan dan sasaran yang akan dicapai, serta tingkat capaian sasaran tersebut melalui program dan kegiatan yang telah ditetapkan, maka disusun Laporan Akuntabilitas Kinerja (LAKIN) Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016. LAKIN disusun sebagai : (1) pertanggungjawaban Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan dalam melaksanakan program dan kegiatannya selama tahun 2016; (2) untuk mengetahui tingkat pencapaian atau keberhasilan program dan kegiatan yang dilakukan oleh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan; (3) bahan untuk mengevaluasi kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016, termasuk permasalahan, penyelesaian permasalahan dan saran masukan serta perbaikan kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan di masa datang. 1.2 Tugas Fungsi dan Struktur Organisasi Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mempunyai tugas melaksanakan koordinasi, pengkajian, penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan ketersediaan dan penurunan kerawanan
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
1
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
pangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan menyelenggarakan fungsi : 1. penyiapan koordinasi di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; 2. pengkajian di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; 3. penyiapan perumusan kebijakan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; 4. pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; 5. pelaksanaan pemantapan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; 6. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; 7. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; dan 8. pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan terdiri atas : 1. Bidang Ketersediaan Pangan terdiri dari Subbidang Analisis Ketersediaan Pangan dan Subbidang Sumberdaya Pangan yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan koordinasi, pengkajian, penyusunan dan pelaksanaan kebijakan, pemantapan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi di bidang peningkatan ketersediaan pangan; 2. Bidang Akses Pangan terdiri dari Subbidang Analisis Akses Pangan dan Subbidang Pengembangan Akses Pangan yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan koordinasi, pengkajian, penyusunan dan pelaksanaan kebijakan, pemantapan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi di bidang akses pangan; 3. Bidang Kerawanan Pangan terdiri dari Subbidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Kerawanan Pangan dan Subbidang Mitigasi Kerawanan Pangan yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan koordinasi, pengkajian, penyusunan dan pelaksanaan kebijakan, pemantapan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi di bidang penurunan kerawanan pangan;
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
2
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
4. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri atas jabatan fungsional Analis Ketahanan Pangan, dan dikoordinasikan oleh pejabat fungsional senior yang ditunjuk Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan. Tugasnya melakukan kegiatan sesuai dengan jabatan fungsional berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan tugas dan fungsinya, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan pada Tahun Anggaran 2016 telah berupaya mengoptimalkan tugas dan fungsinya melalui dukungan sumberdaya manusia baik teknis maupun non teknis. Adapun dukungan sarana/prasarana lainnya berupa biaya, data/informasi, alat pengolah data/komputer, dana khususnya dalam melaksanakan pemantauan, pengkajian, dan perumusan kebijakan ketahanan pangan. Data pendukung yang terkait diantaranya adalah data statistik (penduduk, statistik pertanian, konsumsi/Susenas, status gizi, kemiskinan, industri, ekspor/impor, stok pangan, dan lain-lain) secara series, serta data primer dan sekunder dari instansi terkait yang ada di pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
3
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
BAB II PERENCANAAN KINERJA 2.1 Rencana Strategis Penyusunan LAKIN Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mengacu pada Renstra Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2015-2019. Renstra yang disusun Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan untuk melaksanakan program dan kegiatan, berdasarkan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan sebagai berikut : 1. Visi Visi merupakan suatu gambaran tentang keadaan masa depan yang berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan. Visi adalah suatu harapan dan tujuan yang akan dicapai, dalam mencapai visi tersebut memerlukan waktu yang panjang dan kerja keras, karena akan berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan pertanian khususnya pembangunan ketahanan pangan. Untuk itu, visi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan tahun 2015-2019, yaitu : “Pemantapan ketersediaan pangan dan penurunan kerawanan pangan berbasis sumberdaya lokal untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan kemandirian pangan.” 2.
Misi Untuk mencapai visi di atas, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mengembangkan misi dalam tahun 2015 - 2019, yaitu : a. Membangun koordinasi yang sinergi dan efektif untuk bahan perumusan kebijakan peningkatan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan pangan b. Memantapkan ketersediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya lokal c. Memantapkan penurunan kerawanan pangan d. Memantapkan akses pangan masyarakat e. Membangun model-model pengembangan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan pangan secara partisipatif dan transparan f. Membangun kapasitas aparatur dan sumberdaya manusia pertanian
3.
Tujuan Sebagai penjabaran visi dan misi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, maka tujuan yang ingin dicapai adalah : a. b. c.
Menyusun dan menganalisis bahan rumusan kebijakan peningkatan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan pangan; Meningkatkan penyediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya lokal; Menurunkan persentase jumlah penduduk rawan pangan;
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
4
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
4.
d.
Mengembangkan Desa dan Kawasan Mandiri Pangan;
e.
Meningkatkan kualitas kinerja aparatur dan sumberdaya manusia pertanian.
Sasaran Strategis Sasaran strategis merupakan indikator kinerja dalam mencapai tujuan yang hendak dicapai. Sasaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan tahun 2015-2019 adalah: a. Tersedianya bahan rumusan kebijakan peningkatan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan pangan; b. Meningkatnya ketersediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya lokal; c. Menurunnya persentase penduduk rawan pangan; d. Berkembangnya Desa dan Kawasan Mandiri Pangan; e. Meningkatnya kualitas kinerja aparatur dan sumberdaya manusia pertanian.
5.
Cara Pencapaian Tujuan dan Sasaran Tujuan dan sasaran strategis Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan tersebut, ditempuh melalui strategi, kebijakan, program, dan kegiatan sebagai berikut : a. Strategi Memperhatikan strategi Badan Ketahanan Pangan yang meliputi : (1) Memprioritaskan pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan untuk meningkatkan produksi pangan domestik, menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat; (2) Pemenuhan pangan bagi kelompok masyarakat terutama masyarakat miskin kronis dan transien (akibat bencana alam, sosial, ekonomi) melalui pendistribusian bantuan pangan; (3) Pemberdayaan masyarakat supaya mampu memanfaatkan pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman (B2SA) berbasis sumber daya dan kearifan lokal; (4) Promosi dan edukasi kepada masyarakat untuk memanfaatkan pangan B2SA berbasis sumber daya lokal; dan (5) Penanganan keamanan pangan segar. Adapun strategi yang akan ditempuh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 2015-2019 untuk peningkatan ketersediaan dan penurunan kerawanan pangan meliputi: 1) Memobilisasi dan mengoptimalkan sumberdaya dan kemampuan (experties) 2) 3)
yang ada (birokrasi, masyarakat, dan pakar setempat); Memobilisasi sumberdaya (alam, finansial, sosial, teknologi) - daerah dan masyarakat; Memanfaatkan internasional.
bantuan
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
teknis dari
negara-negara
asing
dan
lembaga
5
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Strategi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan dalam pengembangan ketersediaan dan penanganan rawan pangan diimplementasikan melalui langkahlangkah operasional sebagai berikut : (a) Penguatan Sistem Kewaspadaan Pangan Dan Gizi (SKPG); (b) Analisis ketahanan dan kerentanan pangan wilayah; (c) Kajian ketersediaan, akses dan kerawanan pangan; (d) Model Desa dan Kawasan Mandiri Pangan; (e) Peningkatan kapasitas aparat; (f) Menggerakkan berbagai komponen
masyarakat
dan
pemerintah
untuk
memobilisasi sumber daya untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga dan masyarakat. b.
Kebijakan Kebijakan ketahanan pangan dalam aspek ketersediaan dan kerawanan pangan difokuskan pada : 1) Peningkatan ketersediaan pangan yang beraneka ragam berbasis potensi sumber daya lokal; dan 2) Memantapkan penanganan kerawanan pangan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan rawan pangan.
6.
Program Program yang dilaksanakan oleh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan pada tahun 2015–2019 sesuai dengan program Badan Ketahanan Pangan tahun 2015-2019 yaitu “Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat”. Dalam rangka mencapai sasaran program Badan Ketahanan Pangan tersebut, sasaran program yang hendak dicapai oleh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan adalah pengembangan model-model peningkatan ketersediaan dan penanganan kerawanan pangan. Hal ini dilakukan dengan menggerakkan berbagai komponen masyarakat dan pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat untuk memobilisasi, memanfaatkan, dan mengelola aset setempat (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya finansial, sumberdaya fisik/teknologi serta sumberdaya sosial) untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga dan masyarakat, dengan kegiatan strategis yang terdiri dari : a. Penguatan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi, adalah kegiatan yang dilakukan untuk pencegahan dan penanggulangan terjadinya bencana rawan pangan kronis dan transien. Penanganan kerawanan pangan kronis dilakukan dengan penerapan instrumen Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), melalui tahap
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
6
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
pengumpulan data, analisis, pemetaan, investigasi dan intervensi. Sedangkan untuk penanganan kerawanan pangan transien dilakukan melalui investigasi dan intervensi. b.
Model Kawasan Mandiri Pangan, merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin yang mempunyai potensi komoditas unggulan di kawasan rawan pangan, khususnya di wilayah kepulauan dan perbatasan, untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat dengan pendekatan penguatan kelembagaan masyarakat, pengembangan sistem ketahanan pangan dan koordinasi lintas sektor, selama empat tahun secara berkesinambungan. Model kawasan mandiri pangan merupakan pengembangan kegiatan desa mandiri pangan yang telah dilaksanakan sebelumnya.
c.
Analisis ketahanan dan kerentanan pangan wilayah (Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan/Food Security and Vulnerability Atlas, FSVA), adalah kegiatan yang dilakukan untuk menyediakan informasi bagi pengambil keputusan dalam perencanaan program, penentuan sasaran/lokasi, penanganan kerawanan pangan dan gizi di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan dan desa.
d.
Kajian ketersediaan, akses dan kerawanan pangan, adalah kegiatan dalam rangka penyediaan data dan informasi serta hasil analisis, secara berkala dan berkelanjutan untuk perumusan kebijakan dan program ketersediaan, rawan pangan dan akses pangan, antara lain melalui pemantauan ketersediaan pangan, sinkronisasi sub sektor dan lintas sektor, penyusunan neraca bahan makanan, penyusunan dan analisis sumberdaya pangan, monitoring dan analisis situasi akses pangan, pengembangan akses pangan, penyebarluasan informasi ketersediaan, kerawanan dan akses pangan.
e.
Peningkatan kapasitas aparat, adalah rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kemampuan apparat dalam metode pengumpulan, pengolahan, dan analisis data serta evaluasi kegiatan dalam pelaksanaan pemantauan produksi, penanggulangan rawan pangan, pengembangan akses pangan bagi aparat di daerah dan pusat.
Indikator sasaran output kegiatan pengembangan ketersediaan pangan dan penanganan daerah rawan pangan pada tahun 2016 adalah : (a) Hasil analisis ketersediaan pangan 34 laporan; (b) Pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi 35 lokasi; (c) Hasil kajian responsif dan antisipatif ketersediaan dan kerawanan pangan 1 judul; (d) Hasil Analisis Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 1 peta FSVA; (e) Pengembangan Kawasan Mandiri Pangan di 188 kawasan; (f) Hasil pemantauan ketersediaan, akses dan kerawanan pangan 33 lokasi; (g) pemberdayaan petani kecil dan gender di 33.600 KK; (h) Pengembangan Kepala Keluarga yang mendukung produksi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
7
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
pertanian dan pemasaran 26.880 KK; (i)
Desa yang mengembangkan rantai nilai
tanaman perkebunan 224 desa; (j) Kelancaran dukungan manajemen dan administrasi SOLID 12 bulan layanan. 7.
Rencana Kinerja Tahun 2016 Rencana kinerja pada tahun 2016 merupakan implementasi rencana jangka menengah yang dituangkan kedalam rencana kerja jangka pendek, yang mencakup tujuan, sasaran kegiatan dan indikator kinerja berikut : a. Sasaran Kinerja Tahun 2016 Berdasarkan visi, misi dan tujuan strategis Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016 yang masih mengacu pada Renstra Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2015-2019, serta mengakomodasi berbagai perubahan yang terjadi di lingkup Badan Ketahanan Pangan, disusun sasaran strategis Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016 yang hendak dicapai, dengan indikator kinerja sebagai berikut : 1) Jumlah Hasil Analisis Ketersediaan Pangan 34 Laporan 2) Jumlah Lokasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi 35 Lokasi 3) Jumlah Hasil Kajian Responsif dan Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 1 Judul 4) Jumlah Analisis Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 1 Peta FSVA 5) Jumlah Kawasan Mandiri Pangan 188 kawasan 6) Jumlah Hasil Pemantauan Ketersediaan, Akses dan Kerawanan Pangan 33 lokasi 7) 8) 9)
Jumlah KK pemberdayaan petani kecil dan gender 33.600 KK Jumlah KK yang mendukung produksi pertanian dan pemasaran26.880 KK Jumlah desa yang mengembangkan rantai nilai tanaman perkebunan 224 Desa
10) Dukungan Manajemen dan Administrasi SOLID 12 bulan layanan b.
Penetapan Kinerja Sebagai tindaklanjut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah, Badan Ketahanan Pangan telah menyusun Penetapan Kinerja (PK) Tahun 2016 sebagai acuan tolok ukur evaluasi akuntabilitas kinerja yang akan dicapai pada tahun 2016, sebagai berikut :
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
8
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Tabel 1. Penetapan Kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016 Unit Organisasi Eselon II
: Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Tahun Anggaran
: 2016
Sasaran Strategis Indikator Kinerja (1) (2) 1. Meningkatnya 1. Jumlah Hasil Analisis Ketersediaan pemantapan Pangan ketersediaan 2. Jumlah Lokasi Sistem Kewaspadaan dan penanganan Pangan dan Gizi rawan pangan 3. Jumlah Hasil Kajian Responsif dan Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 4. Jumlah Analisis Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 5. Jumlah Kawasan Mandiri Pangan 6. Jumlah Hasil Pemantauan Ketersediaan, Akses dan Kerawanan Pangan 7. Jumlah KK pemberdayaan petani kecil dan gender 8. Jumlah KK yang mendukung produksi pertanian dan pemasaran 9. Jumlah desa yang mengembangkan rantai nilai tanaman perkebunan 10. Dukungan Manajemen dan Administrasi SOLID
Target (3) 34 Laporan 35 Lokasi 1 Judul 1 Peta FSVA 188 kawasan 33 lokasi 33.600 KK 26.880 KK 224 Desa 12 Bulan Layanan
Jumlah Anggaran : Kegiatan Pengembangan Ketersediaan Pangan dan Penanganan Kerawanan Pangan sebesar Rp. 250.064.227.000,--
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
9
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
BAB III AKUNTABILITAS KINERJA 3.1
Capaian Kinerja Sasaran program dan kegiatan yang dilaksanakan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan yang digunakan pada tahun 2016 mengacu pada sasaran yang telah disusun pada Rencana Strategis (Renstra), Indikator Kinerja Utama (IKU) dan Penetapan Kinerja (PK), serta mengikuti perubahan kebijakan dan lingkungan strategis Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. Berdasarkan Indikator Kinerja Utama Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan telah ditetapkan satu sasaran strategis, yaitu meningkatnya pemantapan ketersediaan dan penanganan rawan pangan. Sasaran tersebut selanjutnya diukur dengan menggunakan 8 (delapan) indikator kinerja. Pengukuran tingkat capaian kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016 dilakukan dengan cara : 1.
Perbandingan Target dan Realisasi Kinerja Tahun 2016 Capaian kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan dapat dilihat dari realisasi kinerja yang telah dilakukan selama satu tahun terhadap target yang telah disusun dalam penetapan kinerja (Renstra). Perbandingan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2. Perbandingan Target dan Realisasi Kinerja Tahun 2016 Sasaran Strategis
Indikator Kinerja
1 2 Meningkatnya 1. Jumlah Hasil Analisis pemantapan Ketersediaan Pangan ketersediaan 2. Jumlah Lokasi Sistem dan Kewaspadaan Pangan penanganan dan Gizi rawan 3. Jumlah Hasil Kajian pangan Responsif dan Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 4. Jumlah Analisis Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 5. Jumlah Kawasan Mandiri Pangan (Papua dan Papua Barat, Kepulauan dan Perbatasan yang diberdayakan) Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Target
Realiasi
3 34 Laporan
4 34 Laporan
% Capaian Kinerja 5 100
35 Lokasi
35 Lokasi
100
1 Judul
1 Judul
100
1 Peta FSVA
1Peta FSVA
100
107 kawasan
96.26 103 kawasan
10
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
6. Jumlah Pengembangan Kawasan Mandiri Pangan reguler 7. Jumlah Hasil Pemantauan Ketersediaan, Akses dan Kerawanan Pangan 8. Jumlah KK pemberdayaan petani kecil dan gender 9. Jumlah KK yang mendukung produksi pertanian dan pemasaran. 10. Jumlah desa yang mengembangkan rantai nilai tanaman perkebunan. 11. Dukungan Manajemen dan Administrasi SOLID
85 kawasan
85 kawasan
100
33 lokasi
33 lokasi
100
33.600 KK
33.600 KK
100
26.880 KK
26.880 KK
100
224 Desa
224 Desa
100
12Bulan Layanan
12Bulan Layanan
100
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa target Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan yang telah ditetapkan sebelumnya, telah terlaksana seluruhnya dengan capaian kenerja sebesar 100 persen untuk setiap target yang telah ditetapkan, namun untuk kegiatan Kawasan Mandiri Pangan di Papua dan Papua Barat, Kepulauan Perbatasan target capaian 96,26%. Hal ini disebabkan 4 kabupaten pelaksana Kawasan mandir Pangan di Mahakam Hulu (Kalimantan Timur), Kawasan di Kabupaten Nunukan (Kalimantan Timur), Indragiri Hulu (Riau), Kawasan di Kabupaten Rote Ndao (NTT) tidak melaksanakan kgiatan. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan dapat dikatakan berhasil (capaian Kawasan di Mahakam Hulu (Kaltara), disebabkan oleh wilayah Kawasan merupakan bagian dari wilayah pemekaran provinsi wilayah tersebut menjadi wilayah
kinerja antara 80 hingga 100 %). pemekaran wilayah yang semula admnistratif di Kaltim dengan Kaltara. Sedangkan Kawasan di
kabupaten Inhil (Riau), tidak terlaksana disebabkan SDM Aparat kabupaten kurang siap dalam melaksanakan kegiatan sehingga proses pendampingan tidak terlaksana. Untuk Kawasan di Kabupaten Rote ndao (NTT), kawasan tidak terlaksana disebabkan pemanfaatan dana tidak sesuai dengan RUK yang dibuat kelompok. Kawasan di Kabupaten Nunukan (kaltim) dana bansos tidak dicairkan disebabkan karena tidak adanya tenaga pendamping sehingga kelompok yang ditumbuhkan tidak paham maksud dan tujuan kegiatan.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
11
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (SOLID) di Maluku dan Maluku Utara Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (SOLID) di Maluku dan Maluku Utara. Kegiatan tersebut antara lain pemberdayaan petani kecil dan Gender, dan kegiatan rumah tangga yang mendukung produksi pertanian dan pemasaran. Program SOLID dilaksanakan di 224 desa dan dirasakan manfaatnya oleh 217 desa atau 92,72% , yang terdiri dari 33.600 KK (100% dar target sasaran 33.600 KK) dan tergabung ke dalam 26.363 Kelompok Mandiri (KM) (98% dari target sasaran 26.880 KM). Fasilitas permodalan dalam bentuk dana hibah prestasi atau Matching Fund (MF) dan dana bergulir atau Revolving Fund (RF) diberikan kepada KM untuk membiayai usaha produktif yang dijalankan oleh KM maupun anggota KM. Sampai dengan akhir tahun 2016, total dana MF dan RF yang disalurkan kepada KM masing-masing sebesar Rp. 30.352 Milyar dan Rp. 72.840 Milyar. Selain Fasilitasi permodalan pada tahun 2016 KM menerima fasilitasi pelatihan-pelatihan teknik, demplot, sekolah lapang, anjang karya, serta bantuan sarana dan prasarana untuk KM. Fasilitasi permodalan pelatihan pengembangan kapasitas serta sarana dan prasarana yang diberikan kepada KM berpengaruh terhadap perkembangan kegiatan produktif yang diusahakan oleh KM. Berdasarkan hasil survei tahun 2016, peningkatan hasil produksi pertanian dialami oleh hamper semua responden SOLID. Peningkatan produksi pertanian responden tersebut terjadi pada hamper semua komoditi/produk yang diusahakan, kecuali produk olahan pala. Peningkatan tersebut terkait dengan penggunaan teknologi baru, teknologi perbanyakan benih, teknik budidaya tanaman dan lain-lain. Meskipun produksinya dilaporkan meningkat hanya 59% responden yang menyatakan bahwa pendapatan mereka naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Adanya peningkatan produksi pertanian dan pendapatan tersebut berpengaruh terhadap situasi ketahanan pangan responden SOLID. Dari seluruh responden, hanya 25% yang melaporkan mengalami kekurangan pangan selama 12 bulan terakhir. Akan tetapi responden tersebut sebagian besar mengalami kekurangan pangan selama 1-2 minggu (Grafik A), relative lebih singkat apabila dibandingkan dengan durasi kekurangan pangan yang dialami oleh sebagian besar responden pada tahun 2012 dan 2014.. Kendala SOLID : (1) Beberapa kegiatan yang harus dilakukan di awal tahun harus tertunda karena adanya pemblokiran ; (2) Pencairan dana di tahun 2015 masih disalurkan di tahun 2016; (3) Proses identifikasi yang agak terlambat karena belum siapnya masyarakat dalam penyusunan Rencana Usaha .
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
12
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Total anggaran yang dialokasikan untuk mencapai keberhasilan indicator penurunan jumlah penduduk rawan pangan adalah sebesar Rp. 250.064.227.000 dengan realisasi anggaran sebesar Rp. 244.304.341.000 atau 91,57% 2.
Perbandingan Realisasi Kinerja Serta Capaian Kinerja Tahun Ini Dengan Beberapa Tahun Terakhir Penetapan indikator kinerja untuk mencapai sasaran strategis mengalami perubahan dari tahun 2012 – 2014. Hal tersebut terkait dengan perubahan organisasi Badan Ketahanan Pangan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/10/2010 tanggal 14 Oktober 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mengalami perubahan struktur organisasi yaitu dari yang sebelumnya terdiri dari Bidang Ketersediaan Pangan, Bidang Kerawanan Pangan dan Bidang Cadangan Pangan menjadi Bidang Ketersediaan Pangan, Bidang Kerawanan Pangan dan Bidang Akses Pangan. Capaian kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan juga dapat dilihat dari realisasi kinerja selama lima tahun terakhir berdasarkan Rencana Strategis Jangka Menengah Tahun 2012-2016. Capaian tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
13
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Tabel 3. Perbandingan Realisasi Kinerja dan Capaian Kinerja Tahun 2012-2016 Sasaran Strategis (1)
Target Indikator Kinerja
Realisasi
Capaian Kinerja (%)
2012
2013
2014
2015
2016
2012
2013
2014
2015
2016
2012
2013
2014
2015
2016
(2) 1. Jumlah desa yang diberdayakan Demapan (reguler dan kawasan 2013) 2. Analisis penanganan daerah/lokasi rawan pangan, SKPG 3. Jumlah hasil penyusunan FSVA Provinsi
(3) 3.414
(4) 1.625
(5) 798
(6) -
(7) -
(8) 3.414
(9) 1.625
(10) 798
(11)
(12)
(13) 100
(14) 100
(15) 100
(16)
(17)
444
455
455
456
444
455
455
456
100
100
100
100
100
1
15
1
58
100
1
15
1
58
100
100
100
100
100
4. Jumlah hasil kajian ketersediaan pangan, rawan pangan, dan akses pangan 5. Penguatan kapasitas aparat dan masyarakat 6. Jumlah desa mandiri pangan regular yang diberdayakan
34
36
36
72 1
37 1
34
36
36
72 1
37 1
100
100
100
100 100
100 100
132
8
7
2
1
132
8
7
2
1
100
100
100
100
100
429
-
429
-
100
-
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
14
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Target
Sasaran Strategis
Indikator Kinerja
(1)
(2)
14. Jumlah kawasan mandiri pangan (Papua dan Papua Barat, Kepulauan dan Perbatasan yang diberdayakan) 15. Jumlah pengembangan kawasan mandiri pangan 2015 16. Pengembangan akses pangan
Realisasi
Capaian Kinerja (%)
2012
2013
2014
2015
2016
2012
2013
2014
2015
2016
2012
2013
2014
2015
2016
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
107
107
107
103
100
96,26
-
-
-
85
85
-
-
-
85
85
-
-
-
100
100
-
-
-
3
1
-
-
-
3
1
-
-
-
100
100
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
15
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Berdasarkan tabel diatas walaupun realisasi kinerja mengalami perubahan satuan maupun jumlah target di setiap tahunnya, akan tetapi capaian kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan menunjukkan capaian 80-100 persen di setiap tahun untuk masing-masing target. Adanya perubahan yang terjadi ditahun-tahun tertentu dapat dijelaskan sebagai berikut: -
Capaian kinerja untuk kegiatan Kawasan Mandiri Pangan sampai dengan tahun 2016 secara keseluruhan terealisasi dari segi keprograman, namun pada tahun 2016 terjadi penurunan sasaran yang dikarenakan terjadinya pemotongan anggaran dan perubahan kelembagaan di daerah.
-
Pada tahun 2016, Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan Papua-Papua Barat, Kepulauan dan Perbatasan telah memasuki Tahap Kemandirian. Alokasi dana bansos sebesar 200 juta di 107 kawasan Mandiri Pangan, 59 Kabupaten di 13 Provinsi (Aceh, Sumut, Riau, Kepri, Babel, Kalbar, Kaltim, Sulut, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat). Sedangkan kegiatan Kawasan Mandiri Pangan regular (diluar wilayah Papua-Papua Barat, Kepulauan dan Perbatasan) yang ditumbuhkan tahun 2015 telah memasuki Tahap Penumbuhan. Jumlah lokasi kawasan yang diberdayakan sebanyak 85 kawasan, 85 kabupaten dan di 24 Provinsi. Hasil capaian kinerja baik di Pusat maupun di daerah telah mencapai 100 persen untuk kegiatan Kawasan Mandiri Pangan. Kawasan Mandiri Pangan tahun tidak mencapai 100 % atau sebesar 98,16 %, karena ada 2 (dua) kawasan yang tidak terbentuk karena tidak sesuai dengan CPCL atau Pedoman Umum Pengembangan Kawasan mandiri Pangan yaitu di Kabupaten Rote Ndao yaitu kawasan Rote Barat Daya dan Rote Barat. Pada tahun 2015, kegiatan Desa Mandiri Pangan tetap dikembangkan dalam 2 (dua) model, yaitu (1) Kegiatan Desa Mapan Reguler yang merupakan kelanjutan pembinaan dari desa yang sudah ada, dan (2) Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan di 192 kawasan dengan jumlah desa rata-rata 3 desa per kawasan. Realisasi pelaksanaan Kawasan Mandiri Pangan sebanyak 150 kawasan atau 78,40%, karena ada 42 kawasan yang tidak terlaksana karena tidak sesuai dengan CPCL atau Pedoman Umum Pengembangan Kawasan mandiri Pangan, perpindahan lokasi sasaran pada pertengahan tahun 2015, pemekaran wilayah desa.
-
Kegiatan Desa Mandiri Pangan telah memasuki tahap kemandirian sesuai target keprograman pada tahun 2015 dan merupakan tahun terakhir kegiatan Desa Mandiri Pangan yang dibiayai dari anggaran APBN, keberlanjutan pembinaan akan dilakukan oleh Provinsi dan Kabupaten.
-
Capaian kinerja untuk penyusunan FSVA dari tahun 2010 hingga tahun 2014 ini secara keseluruhan berturut-turut telah terealisasi 100 persen. Perbedaan jumlah realisasi kerja untuk setiap tahunnya disebabkan karena perbedaan output dan sasaran penyusunan FSVA.
Pada tahun 2010, penyusunan FSVA ditujukan pada tingkat provinsi, sehingga dihasilkan 14 laporan di tingkat provinsi dan 1 laporan di tingkat pusat. Pada tahun 2011,
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
16
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
penyusunan FSVA merupakan kelanjutan dari FSVA 2010, sehingga dihasilkan 18 laporan di tingkat provinsi (bagi provinsi yang belum menyusun FSVA pada tahun 2010) dan 1 laporan di tingkat pusat. Pada tahun 2012 telah disusun FSVA tingkat kabupaten, sehingga di hasilkan 100 laporan untuk kabupaten yang masuk dalam prioritas satu hingga tiga berdasarkan FSVA Nasional 2009. Pada tahun 2013, disusun kembali FSVA tingkat Nasional yang menganalisis tingkat ketahanan dan kerentanan pangan sampai dengan level kabupaten, sehingga diperoleh 1 laporan. Sedangkan pada tahun 2014 ini, penyusunan FSVA ditujukan untuk pemutakhiran data FSVA provinsi tahun 2010 sehingga dihasilkan 14 laporan di tingkat provinsi dan 1 laporan di tingkat pusat. Sedangkan pada tahun 2015, penyusunan peta ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA) Nasional yang menganalisis tingkat ketahanan dan kerentanan pangan sampai dengan level kabupaten (pemutahiran data FSVA tahun 2013). Kegiatan penyusunan FSVA Nasional menghasilkan output berupa tersusunnya FSVA Nasional sebanyak 1 Buku atau terealisasi 100 persen. Kemudian pada tahun 2016 menyusun 58 FSVA kabupaten, terdiri dari 44 kabupaten prioritas 1 dan 14 kabupaten prioritas 2 berdasarkan FSVA Nasional tahun 2015. -
Kegiatan pengembangan akses pangan tahun 2016 terdiri dari kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya pertanian (1 dokumen), peningkatan akses pangan (1 dokumen) serta pembinaan dan pemantauan pemanfaatan dana hibah AGFUND (1 dokumen).
-
Pelaksanaan SKPG dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2015 dilaksanakan di seluruh provinsi dan kabupaten, sedangkan untuk tahun 2016 hanya di 34 Provinsi yang mendapatkan kegiatan SKPG yang dialokasikan dana APBN.
-
Hasil kajian ketersediaan pangan, rawan pangan, dan akses pangan :
Pada tahun 2010 dan 2011 output dari indikator ini berupa provinsi yang menyusun analisis ketersediaan pangan yaitu sebanyak 33 provinsi.
Sedangkan pada tahun 2012 hingga 2016 output dari indikator ini berupa laporan. Laporan pada tahun 2012 ditujukan pada penyusunan Neraca Bahan Makanan di tingkat provinsi sejumlah 33 buku dan di tingkat nasional sejumlah 1 buku serta satu laporan Analisis Situasi Akses Pangan dan satu laporan Pengembangan Akses Pangan, sehingga secara keseluruhan berjumlah 36 laporan. Walaupun dalam penetapan kinerja tahun 2012 hanya tertulis target sebanyak 34 laporan tetapi dihasilkan 36 laporan. Hal tersebut juga terjadi pada tahun 2013 dan 2014.
Untuk tahun 2016, indikator ini berupa laporan dan dokumen. Hasil kajian ketersediaan pangan, rawan pangan, dan akses pangan pada tahun 2016 terdiri dari 35 laporan penyusunan NBM, 1 laporan analisis situasi akses pangan, 35 laporan kajian evaluasi dampak desa mandiri pangan, 1 laporan monitoring akses pangan di tingkat penggilingan dan 1 dokumen Kemandirian Pangan dalam mendukung Swasembada Pangan.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
17
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
-
Pada TA.2016, hasil Kajian Responsive dan Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, outputnya barupa bahan rekomendasi pengembangan ketahanan pangan dan energi untuk kawasan perbatasan.
Penguatan kapasitas aparat dan masyarakat
Pada tahun 2016 peningkatan kapastas aparat Kabupaten dan Provinsi berupa : pelatihan penyusunan analisis penanganan kerawanan pangan melalui Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) untuk 34 provinsi dimana setiap provinsi diwakili oleh 2 aparat sehingga secara keseluruhan berjumlah 116 aparat. Output yang diharapkan berupa tersedianya laporan hasil situasi kerawanan pangan din gizi.
Peningkatan kapasitas pendamping, pengurus LKK/pengurus FKK kegiatan Kawasan Mandiri Pangan dilaksanakan 2 kali, yaittu bagi pelaksana kegiatan kawasan Mandiri Pangan wilayah Perbatasan, Kepulauan, Papua-Papua Barat dan pelaksana Kawasan Mandiri Pangan regular diluar wilayah tersebut. Output yang diharapkan adalah terlaksananya kegiatan Kawasan Mandiri Pangan sesuai tujuan dan sasaran kegiatan pada wilayah pelaksana KMP.
3.
Analisis penyebab keberhasilan/kegagalan atau peningkatan/penurunan kinerja serta alternatif solusi yang telah dilakukan; Analisis penyebab keberhasilan jika dilihat dari kedua tabel di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : a.
Hambatan dan Permasalahan Dari hasil evaluasi kinerja berbagai kegiatan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, ditemui beberapa permasalahan dan kendala utama dalam pelaksanaan kegiatan selama tahun 2016 sebagai berikut : 1) Kesulitan dalam memperoleh data dan informasi untuk menghasilkan analisis yang akurat, karena data dan informasi sering dianggap bukan kegiatan prioritas; 2) Terbatasnya dukungan anggaran untuk pelaksanaan pembinaan, monitoring dan evaluasi menyebabkan petugas Kabupaten/Kota jarang melakukan kunjungan lapangan ke kelompok sasaran; 3) Tingginya mutasi pegawai di daerah, sangat mempengaruhi kinerja daerah dan kemampuan pegawai daerah dalam melakukan berbagai kegiatan yang terkait dengan pengembangan ketersediaan pangan dan penanganan kerawanan pangan; 4) Kawasan Mandiri Pangan: (a) jumlah KK miskin hasil DDRT tidak semua menjadi anggota kelompok afinitas, karena alokasi anggaran terbatas; (b) koordinasi provinsi dan kabupaten melalui forum Dewan Ketahanan Pangan (DKP) belum optimal; (c) pembinaan pandamping masih belum optimal; dan (d) kurangnya dukungan daerah dalam keterpaduan/sinergitas kegiatan untuk mempercepat pembangunan di lokasi;
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
18
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
5) Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan SKPG diantaranya yaitu : a)
Ketersediaan data untuk analisis SKPG yaitu data yang sesuai dengan indikator SKPG yang ditetapkan, tidak seluruhnya dapat tersedia disetiap wilayah;
b)
Terkait Tim Pokja SKPG dan koordinasinya : (i) beberapa provinsi dan kabupaten belum membentuk Tim SKPG; (ii) efektifitas kerja Tim SKPG belum berjalan optimal. Hal ini berdampak pada proses analisis data dan pelaporan rutin oleh provinsi; (iii) Koordinasi dengan dinas terkait dalam melakukan pemantauan dan mengumpulkan data tidak semuanya berjalan dengan baik;
c)
Aparat di beberapa daerah masih belum memahami kegiatan SKPG sebagai sistem pemantauan pangan dan gizi serta alat analisis;
d)
Sering terjadinya mutasi pejabat/pegawai yang menangani kegiatan SKPG, sehingga menghambat proses analisis SKPG.
6) Hambatan dan permasalahan dalam penyusunan analisis ketersediaan pangan di daerah antara lain : a) Kurangnya SDM atau aparat yang menangani analisis ketersediaan pangan di daerah yang mengakibatkan terhambatnya penyusunan analisis ketersediaan pangan. b) Belum semua Provinsi/Kabupaten terbentuknya tim NBM sehingga sulit untuk berkoordinasi lintas instansi dalam hal pengumpulkan data. c) Belum adanya angka konversi wilayah (Provinsi/Kabupaten/Kota) yang lebih bisa menggambarkan kondisi wilayah setempat. d) Banyak komoditas atau jenis pangan lokal yang belum masuk dalam NBM padahal komoditas tersebut merupakan potensi wilayah. e) Belum dimanfaatkannya hasil analisis ketersediaan pangan sebagai dasar mengambil kebijakan. f) Kurangnya dukungan dana APBD untuk kegiatan analisis ketersediaan pangan, walaupun hasil analisis tersebut sangat bermanfaat sebagai bahan kebijakan atau perencanaan. 7) Beberapa permasalahan berkaitan dengan pemanfaatan dana hibah AGFUND: a) LKD Naka Mura Desa Madukoro - Pemahaman pengurus tentang isi AD/ART yang telah disepakati oleh seluruh anggota LKD Nakamura masih kurang, - Anggota kelompok yang meminjamkan dana di LKD Naka Mura yang berasal dari luar Desa Madukoro tidak berasal dari desa pelaksana program Desa Mandiri Pangan maupun Desa Replika Mandiri Pangan. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
19
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
- Usaha produktif yang dibiayai dari pinjaman dana AGFUND tidak hanya untuk sektor pertanian dalam arti luas, tetapi juga berbagai sektor usaha. - SDM yang mengelola dana hibah AGFUND pengetahuannnya terutama dalam administrasi.
masih
sangat
terbatas
b) LKD Muntuk Lestari, Desa Muntuk - Anggota kelompok LKD Munthuk Lestari sebagian besar merupakan pengrajin, sehingga apabila pemanfaatannya lebih besar untuk usaha produktif pertanian dikhawatirkan tingkat kegagalannya tinggi (resiko tinggi) karena tidak punya pengalaman dalam bidang pertanian. - Untuk kelompok budidaya tanaman padi dan budidaya perikanan, pencairan dana AGFUND sedikit mundur. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan dana menunggu datangnya musim hujan yang datangnya terlambat. 8) Beberapa
permasalahan
pada
kegiatan
monitoring
akses
pangan
di
tingkat
penggilingan antara lain : (a) Pengklasifikasian kapasitas penggilingan berdasarkan ketentuan BPS berbeda dengan kondisi di lapangan; (b) Ada beberapa penggilingan berhenti beroperasi; (c) Data tidak dapat dikumpulkan sebagaimana yang diharapkan, karena pergantian beberapa enumerator kabupaten. b.
Upaya yang dilakukan Berbagai upaya yang dilakukan oleh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan dalam rangka mengatasi permasalahan antara lain : 1) Meningkatkan koordinasi lintas sektor terkait penyediaan data dan informasi dan meningkatkan koordinasi antara Pusat dan Daerah; 2) Untuk kegiatan monitoring akses pangan di tingkat penggilingan, disarankan untuk (a) Peninjauan metodologi; dan (b) Peninjauan klasifikasi kapasitas penggilingan.
3.2
Realisasi Anggaran Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan di Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan TA. 2016 telah dialokasikan anggaran melalui Satker BKP Kementerian Pertanian untuk alokasi anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan sebesar Rp.17.524.834.000 telah direalisasikan sebesar Rp.13.237.639.642 atau 75,54 persen dengan rincian per kegiatan sebagai berikut :
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
20
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Tabel 4. Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan KETERANGAN PAGU Hasil Analisis Neraca Bahan Makanan Penguatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi Kajian Responsif dan Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
-
BKP PUSAT REALISASI -
% -
750,000,000
641,073,750
85.48
345,060,000
113,768,358
32.97
Peta ketahanan dan kerentanan pangan
600,000,000
420,833,180
70.14
Kawasan Mandiri Pangan Pemantauan ketersediaan dan kerawanan pangan Dukungan manajemen dan administrasi SOLID Dukungan manajemen dan administrasi PUSAT
993,140,000
905,105,475
91.14
2,538,635,000
1,895,055,741
74.65
11,260,125,000
8,345,908,953
74.12
1,037,874,000
915,894,185
88.25
17,524,834,000
13,237,639,642
75.54
TOTAL
Untuk mendukung sasaran strategis meningkatnya pemantapan ketersediaan pangan dan penanganan rawan pangan di daerah, pada tahun 2016 dialokasikan anggaran sebesar Rp. 233,577,267,000 dan telah terealisasi sebesar Rp. 216,669,974,442 atau 92.76 persen dengan rincian sebagai berikut :
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
21
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Tabel 5. Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Daerah KETERANGAN PAGU
BKP DAERAH REALISASI
%
Hasil Analisis Neraca Bahan Makanan Penguatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi
1,815,081,000
1,707,994,700
94.10
5,079,897,000
4,612,029,419
90.79
Kawasan Mandiri Pangan Pemantauan ketersediaan dan kerawanan pangan
26,524,051,000
23,726,999,058
89.45
5,638,363,000
5,104,152,510
90.53
Pemberdayaan petani kecil dan gender Dukungan produksi pertanian dan pemasaran Pengembangan rantai nilai tanaman perkebunan Dukungan manajemen dan administrasi SOLID
19,588,600,000
18,681,073,000
95.37
TOTAL
233,577,267,000 216,669,974,442
130,578,050,000 121,034,192,549
92.69
4,953,150,000
4,712,413,000
95.14
39,400,075,000
37,091,120,206
94.14 92.76
Untuk mendukung sasaran strategis meningkatnya pemantapan ketersediaan pangan dan penanganan rawan pangan di Pusat dan Daerah, pada tahun 2016 dialokasikan anggaran sebesar Rp. 250.064.227.000 dan telah terealisasi sebesar Rp. 228.991.719.899 atau 91,57 persen dengan rincian sebagai berikut :
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
22
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Tabel 6. Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Pusat dan Daerah KETERANGAN
Hasil Analisis Neraca Bahan Makanan Penguatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi Kajian Responsif dan Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
%
1,815,081,000
1,707,994,700
94.10
5,829,897,000
5,253,103,169
90.11
345,060,000
113,768,358
32.97
600,000,000
420,833,180
70.14
Kawasan Mandiri Pangan Pemantauan ketersediaan dan kerawanan pangan
27,517,191,000
24,632,104,533
89.52
8,176,998,000
6,999,208,251
85.60
Pemberdayaan petani kecil dan gender Dukungan produksi pertanian dan pemasaran Pengembangan rantai nilai tanaman perkebunan Dukungan manajemen dan administrasi SOLID
19,588,600,000
18,681,073,000
95.37
130,578,050,000 121,034,192,549
92.69
Peta ketahanan dan kerentanan pangan
TOTAL 3.3
BKP PUSAT DAN DAERAH PAGU REALISASI
4,953,150,000
4,712,413,000
95.14
50,660,200,000
45,437,029,159
89.69
250,064,227,000 228,991,719,899
91.57
Hasil Kinerja Tahun 2016 Hasil kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan pada tahun 2016 adalah sebagai berikut : 1) Kawasan Mandiri Pangan Dalam rangka pengurangan kemiskinan dan penanggulangan kerawanan pangan khususnya rawan pangan kronis, BKP mengembangkan kegiatan Kawasan Mandiri Pangan yang menjadi salah satu kegiatan strategis di BKP. Kawasan Mandiri Pangan (KMP) adalah kawasan yang dibangun dengan melibatkan keterwakilan masyarakat yang berasal dari desa-desa atau kampung-kampung terpilih (terdiri dari 5 kampung/desa), untuk menegakkan masyarakat miskin di daerah rawan pangan menjadi kaum mandiri. Tujuan umum kegiatan KMP adalah mewujudkan ketahanan pangan masyarakat berlandaskan kemandirian dan kedaulatan pangan. Secara keprograman, kegiatan KMP dilaksanakan melalui 5 tahapan yang meliputi: Tahap Persiapan, Penumbuhan, Pengembangan, Kemandirian dan Keberlanjutan (Exit Strategy). Untuk mendukung kegiatan pemberdayaan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
23
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
dalam KMP maka dialokasikan dana bantuan sosial bansos/bantuan pemerintah (banper) serta anggaran pembinaan dan pendampingan bagi daerah. Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan dimulai pada tahun 2013 di Kawasan Perbatasan, Kepulauan dan Papua-Papua Barat yang bertujuan mengembangkan perekonomian kawasan adat di Papua-Papua
untuk: Barat;
(1) (2)
mengembangkan perekonomian kawasan perbatasan antar negara; dan (3) mengembangkan cadangan pangan masyarakat kawasan kepulauan. Selanjutnya pada tahun 2015 dikembangkan Kawasan Mandiri Pangan yang hingga saat ini dilaksanakan di 85 kawasan pada 84 kabupaten di 24 provinsi. Untuk KMP Perbatasan, Kepulauan, Papua dan Papua Barat dialokasikan dana bansos senilai Rp. 200 juta per kawasan yang dialokasikan pada Tahap Persiapan, Penumbuhan dan Pengembangan; selanjutnya untuk KMP yang dimulai pada tahun 2015, dialokasikan dana banper senilai Rp. 100 juta per kawasan yang dialokasikan pada Tahap Penumbuhan, Pengembangan, dan Kemandirian (mengingat pengalaman menunjukkan bahwa pada masyarakat perlu dipersiapkan terlebih dahulu pada Tahun I/Tahap persiapan). Pemanfaatan dana banper I pada Tahun II/Tahap Penumbuhan diarahkan untuk kegiatan budidaya dan kegiatan pendukung lainnya; banper II pada Tahun III/Tahap Pengembangan diarahkan untuk pengolahan dan kegiatan pendukungan lainnya; dan banper III pada Tahun IV/Tahap Kemandirian diarahkan untuk pemasaran dan kegiatan pendukung lainnya. Tabel 7
Perkembangan Dana Bansos/Banper dan Realisasi Kawasan Mandiri Pangan Tahun 2013–2016
Tahun
2013
2014
2015
2016
Bansos/Banper (Rp.000.000)
21.800
21.400
20.600
7.800
Penerima Manfaat (kawasan)
109
107
188
181
Total
71.600
585
Ratarata/tahun 14.320
146
Sasaran kegiatan Kawasan Mandiri Pangan di tahun 2016 beradi di 192 kawasan di 145 Kabupaten/Kota pada 31 Provinsi yang terdiri dari 107 Kawasan Kepulauan, Perbatasan, Papua dan Papua Barat serta 85 Kawasan Mandiri Pangan regular (diluar wilayah Kepulauan, Perbatasan, Papua dan Papua Barat). Pelaksanaan kegiatan KMP tahun 2016, (yakni KMP yang dimulai pada tahun 2015) terdapat perbedaan antara target dan capaian, dimana target pelaksanaan KMP diawal tahun 2016 adalah sebanyak 192 kawasan dan terealisasi sebanyak 181 kawasan atau 94,27% (yang terdiri dari 103 Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
24
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Kawasan Kepulauan, Perbatasan, Papua dan Papua Barat dan 78 KMP). Penyebab terjadinya hal tersebut antara lain karena : Terjadi pemekaran di salah satu wilayah Provinsi Kalimantan Timur menjadi Provinsi Kalimanatan Utara sehingga berpengaruh terhadap kesiapan provinsi baru dalam proses administrasi pencairan bansos dan pembinaan kegiatan; Tantangan dari segi geografis di beberapa daerah di mana jarak antar lokasi yang jauh dan tidak hanya dihubungkan oleh daratan (tetapi juga perairan) sehingga dibutuhkan sumber daya (termasuk keuangan) yang besar untuk pelaksanaan monev oleh aparat kabupaten dan provinsi; Kapasitas SDM/aparat yang masih kurang di tingkat kabupaten; Terdapat daerah yang tidak melakukan survei Data Dasar Rumah tangga (DDRT) pada Tahap Persiapan; Penetapan lokasi pelaksanaan kegiatan tidak sesuai sasaran lokasi dan kriteria yang sudah ditentukan. Selain itu tantangan lain yang dihadapi adalah: terjadinya refocusing kegiatan dan anggaran, mutasi pejabat/pegawai, serta pendamping yang tinggal diluar desa binaan. Selain itu untuk mendukung kegiatan Kawasan Mandiri Pangan tahun 2016 dilaksanakan kegiatan (a) Sosialisai Kawasan Mandiri Pangan, (b) Apresiasi Kawasan Mandiri Pangan, (c) Workshop Akhir Kawasan Mandiri Pangan. a) Sosialisasi Kawasan Mandiri Pangan Sosialisasi Kawasan Mandiri Pangan dilaksanakan pada tanggal 10 Maret 2016. Peserta terdiri dari eselon III/IV dari 34 provinsi dan perwakilan kabupaten/kota yang menangani kegiatan Kawasan Mandiri Pangan. Dari undangan yang hadir telah mencapai target 100 persen yang sesuai dengan sasaran di 34 Provinsi. Kawasan mandiri pangan tahun 2016 masuk dalam tahap penumbuhan dimana kegiatan kawasan sudah mulai mencairkan dana bantuan pemerintah sebesar 100 juta dan fokus dana pemanfaatannya pada kegiatan budidaya pertanian, peternakan, perikanan, holtikultura. b) Apresiasi Kawasan Mandiri Pangan Kegiatan apresiasi Kawasan Mandiri Pangan bertujuan memberikan pemahaman bagi tenaga pendamping kawasan dalam pengelolaan kegiatan kawasan mandiri pangan, pengelolaan pemanfaatan dana bansos dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin dan pengembangan usaha sesuai lokal spesifik; memberikan pelatihan pemberdayaan masyarakat kepada petugas di lapangan mengenai pembuatan RUK dan RPWK dan melakukan penguatan dan pengembangan dinamika serta usaha produktif kelompok, pengembangan fungsi kelembagaan, pengembangan potensi pasar, peningkatan dukungan sarana dan prasarana. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
25
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Apresiasi kawasan mandiri pangan dilaksanakan dua kali yaitu di wisma hijau pada tanggal 21 – 24 Maret 2016 yang diikuti oleh petugas pendamping/penyuluh pertanian yang beradi di 107 kawasan, 58 kabupaten, 13 provinsi dan pada tanggal 28 – 31 Maret di Diandara Bogor yang diikuti oleh petugas pendamping/penyuluh pertanian, di 85 kawasan, 84 kabupaten, 24 provinsi, undangan yang hadir telah mencapai target 100 % Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam apresiasi kawasan mandiri pangan dan tindak lanjut yang harus dilakukan oleh pelaksana kegiatan di kawasan mandiri pangan yaitu : Konsep Kawasan Mandiri Pangan adalah Kawasan yang terdiri dari 5 desa berdekatan yang dibangun dengan melibatkan masyarakat miskin yang berasal dari desa-desa terpilih dalam satu kecamatan, untuk menegakkan masyarakat miskin/rawan pangan menjadi kaum mandiri. Adapun sasaran kegiatannya adalah rumah tangga miskin yang berada dalam Kawasan Mandiri Pangan yang mempunyai potensi wilayah untuk dikembangkan dan mengupayakan penyelesaian masalah untuk mewujudkan ketahanan pangan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat, yang dilakukan meliputi : (a) Pemanfaatan SDA (khususnya penyehatan lahan, pengelolaan air, pengelolaan limbah, pengembangan bibit/benih lokal spesifik); (b) meningkatkan kegiatan usahatani kelompok melalui budidaya pertanian/peternakan/perikanan sampai pengolahan dalam rangka memenuhi ketiga manfaat pertanian sebagai sumber bahan pangan, sumber enerji, dan bahan baku industri; (c) Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro untuk mendukung kegiatan usaha. Sebagai tindak lanjut kegiatan apresiasi Kawasan Mandiri Pangan : 1) Aparat/Pendamping/LKK/FKK yang sudah mendapatkan pelatihan pada kegiatan ini berkoordinasi dan menyampaikan materi kepada penangungjawab kegiatan di Provinsi maupun Kabupaten, selanjutnya peserta sebagai Trainer di kawasan masing-masing. 2) Aparat/Pendamping/LKK/FKK menindaklanjuti hasil pelatihan dengan pelatihan teknis spesifik lokasi dengan metode demplot dan sekolah lapangan. 3) Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan tahap penumbuhan segera menentukan titik tumbuh kawasan sebagai pusat perekonomian di kawasan secara terintgrasi dengan mempertingkan prioritas kegiatan. 4) Pemanfaatan bantuan pemerintah untuk kegiatan usaha di kawasan meliputi kegiatan budidaya, pengolahan, pemasaran dan teknologi tepat guna 5) Penyuluh/pendamping berkoordinasi LKK, FKK dan aparat kabupaten/provinsi untuk meningkatkan kinerja kelembagaan dan kelompok. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
26
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
6) Seluruh pengelolaan keuangan dana bantuan pemerintah kawasan dilakukan oleh LKK. Untuk itu, sebelum LKK memberikan dana pinjaman kepada kelompok, LKK harus memenuhi administrasi umum, seperti: (1) AD/ART; (2) Buku Simpan Pinjam; (3) Buku Tabungan; dan (4) Buku Administrasi Keuangan. 7) Syarat untuk pencairan bantuan pemerintah ke KPPN dilengkapi SK penetapan lokasi kawasan, kelompok penerima manfaat, usulan RUK, no rekening, SPTJB (Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja), SPTJM, Pakta integritas yang dibuat kelompok dengan PPK 8) Mekanisme pencairan bantuan pemerintah melalui rekening kelompok, yang selanjutnya ada proses serah terima kepada pengelolaan LKK untuk dilakukan pencatatan oleh pengurus LKK. Pengurus LKK akan memonitor perkembangan pemanfaataan Dana Bantuan Pemerintah. 9) Melakukan monitoring, evaluasi kegiatan secara bertingkat di tingkat Desa dan kawasan, serta menyampaikan laporan secara berjenjang dari Desa, Kawasan sampai dengan Pusat dalam rangka penyempurnaan kegiatan. c) Workshop Akhir Kawasan Mandiri Pangan Untuk mengoptimalkan kegiatan Kawasan Mandiri Pangan melaksanakan kegiatan Workshop Akhir Kawasan Mandiri Pangan yang bertujuan untuk: (1) mengevaluasi pelaksanaan kegiatan KMP khususnya untuk Tahap Kemandirian pada KMP Perbatasan, Kepulaun, Papua dan Papua Barat dan tahap penumbuhan pada kawasan mandiri pangan serta, (2) merencanakan tindak lanjut kegiatan KMP.Kegiatan workshop ini dilaksanakan pada tanggal 2 – 4 November 2016 di Hotel Sukajadi Bandung, yang diikuti oleh 31 Provinsi hasil diskusi evaluasi kegiatan kawasan mandiri pangan sebagai berikut: Konsep penajaman kegiatan Kawasan Mandiri Pangan melalui pertanian terpadu dan berkelanjutan perlu dijelaskan lebih lanjut didalam pedoman teknis kawasan mandiri pangan tahap pengembangan. Kegiatan pendampingan oeh pendamping kawasan dan pendamping swakarsa perlu dukungan pendanaan dari APBD I dan APBD II mengingat okasi binaan jauh dari pusat kota dan merupakan basis/sentra kerawanan. Kegiatan kawasan yang sudah tahap kemandirian selanjutnya tahun depan diserahkan sepernuhnya kepada pemerintah daerah, baik segi pendanaan maupun kegiatan keberlanjutan.
Pemanfaatan dana Banper kawasan mandiri pangan tahap pengembangan akan diprioritaskan pada pengolahan hasil pertanian dan kegiatan pendukung lainnya, yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi produk hasi pertanian.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
27
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Hasil dari akhir kegiatan Workshop Akhir Kawasan Mandiri Pangan dibuat suatu rumusan untuk ditindak lanjuti daerah dan sebagai acuan daerah untuk melaksanakan kegiatan Kawasan Mandiri Pangan. Adapun rumusan Workshop Akhor KMP 2016 adalah sebagai berikut : 1) Penajaman KMP dengan 2)
menerapkan
Konsep
Pertanian
Terpadu
dan
Berkelanjutan untuk meningkatkan manfaat bagi masyarakat: Pendekatan pemberdayaan diarahkan pada pemenuhan kepentingan bersama melalui kegiatan secara berkelompok. Oleh sebab itu usaha yang dilakukan oleh kelompok adalah usaha bersama melalui Rencana Usaha Kelompok (RUK).
3)
4)
Pelaksanaan Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan Tahap Pengembangan:
Pendekatan ekonomi masyarakat secara berkelompok untuk meningkatkan kesejahteraan (pendapatan) bersama dengan memanfaatkan semua potensi sumberdaya lokal dari hulu sampai hilir (zero waste);
Pemerintah daerah melakukan monitoring proses pencairan dan pemanfaatan dana Banper sampai kelompok penerima dan dilengkapi dokumen administrasi.
Pelaksanaan Kawasan Mandiri Pangan Keberlanjutan:
Lembaga Keuangan Kawasan/LKK diharapkan berkembang menjadi lembaga keuangan formal sesuai dengan aturan yang berlaku dan bersinergi dengan lembaga keuangan lain dilingkup desa/kecamatan.
Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan Tahap Keberlanjutan (tahun 2017) tidak dibiayai oleh APBN dan sudah diserahkan kepada daerah. Komponen kegiatan utama yang perlu dibiayai antara lain: honor pendamping kawasan dan swakarsa, honor FKK dan LKK, pelatihan lanjutan bagi kelompok.
2) Pengembangan Akses Pangan Untuk mendukung kegiatan pengembangan akses pangan, dilakukan beberapa kegiatan pertemuan yang bertujuan memberikan masukan untuk penyusunan kebijakan, dimana kegiatan ini meliputi : a.
Peningkatan kapasitas sumber daya pertanian Tujuan dari kegiatan pertemuan peningkatan kapasitas sumber daya pertanian adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengurus LKD dalam pengelolaan keuangan agar dana yang dikelola dapat berkembang dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan pemanfaatannya. Kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya pertanian dilaksanakan pada tanggal 28 – 30 November 2016 di Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Convention Hotel Yogyakarta, Jalan Demangan Baru No. 8 Yogyakarta dengan peserta sebanyak 20 orang yang terdiri dari 5 pengurus dan anggota LKD Muntuk Lestari, 5 pengurus dan
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
28
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
anggota LKD Naka Mura dan 10 anggota LKD di luar penerima bantuan dana hibah AGFUND. Adapun rumusan hasil pertemuan ini adalah : 1) Lembaga Keuangan Desa Mandiri Pangan (LKD) merupakan lembaga keuangan non bank milik masyarakat desa yang bersepakat untuk bekerja sama saling menolong dengan melaksanakan penghimpunan dana melalui tabungan dan menyalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada kelompok masyarakat untuk tujuan produktif dan kesejahteraan; 2) LKD memiliki fungsi sebagai sarana pemberdayaan ekonomi masyarakat desa rawan pangan, sarana untuk pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah, memberikan layanan permodalan untuk usaha produktif serta mengembangkan kapasitas masyarakat dan membangun jaringan usaha. Prinsip LKD dalam menjalankan fungsinya adalah mandiri, transparan, profesional dan prudential (MANTAP). Dalam perkembangannya, LKD diharapkan bisa menjadi lembaga keuangan berbadan hukum berbentuk koperasi; 3) Dalam mencapai tujuan LKD atau koperasi, perlu ada nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi bersama dan diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan operasional sehari-hari. Salah satunya adalah komitmen yang harus dibangun oleh seluruh anggota dan pengurus, dimana anggota dan pengurus berpegang teguh dan fokus pada keputusan bersama yang diambil, memikul segala resiko dan konsekuensinya dan menjalaninya penuh rasa syukur sebagai bagian dari proses untuk mencapai tujuan bersama; 4) Prinsip pengelolaan usaha LKD atau koperasi adalah orientasi pelayanan pada anggota, dimana anggota adalah segala-galanya, kepuasan anggota adalah yang utama dan memberikan nilai lebih kepada anggota adalah penting. Pelayanan kepada anggota diterapkan untuk meningkatnya keinginan dan harapan anggota, untuk LKD atau koperasi dapat eksis dan berkembang dan untuk mendukung kinerja keuangan LKD atau koperasi; 5) Hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan dana adalah melakukan analisis kelayakan usaha untuk menentukan kelayakan besaran pinjaman yang akan disalurkan terhadap jenis-jenis usaha yang diajukan anggota melalui kelompok. Beberapa hal pokok yang menjadi dasar dalam pemilihan jenis usaha adalah jangka waktu usaha, jumlah pengusahaan, potensi produksi dan waktu proses produksi. Penilaian kelayakan usaha dalam pemilihan jenis kegiatan usaha dilihat dari cakupan daerah pemasaran, cara pemasaran, persaingan pasar, permintaan pasar, penentuan harga, cara pembayaran, penguasaan teknologi, tenaga kerja, sarana dan prasarana serta cara dan tempat pengelolaan usaha dilakukan; Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
29
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
6) Peluang usaha dapat dilihat dari adanya kebutuhan pasar akan suatu barang atau jasa yang dapat diberikan. Peluang usaha juga dapat diciptakan dengan memberi nilai tambah pada suatu objek yang menjadi kebutuhan pasar. Dibutuhkan pengalaman bisnis yang cukup baik dan waktu yang lama agar naluri bisnis menjadi tajam dalam melihat peluang usaha serta dibutuhkan kreativitas untuk menciptakan peluang usaha; 7) Faktor penting yang menentukan keberlanjutan suatu LKD adalah kinerja keuangan yang baik. Jika layanan internal baik, dan layanan ke anggota atau pihak eksternal lainnya baik, maka diharapkan kinerja keuangannya akan baik. Dari aspek pengelolaan keuangan, dibutuhkan kemampuan pengurus dalam mengelola keuangan, menyusun laporan keuangan dan mengintepretasikan hasil laporan keuangan untuk penyusunan rencana usaha; 8) Tertib administrasi atau pencatatan keuangan sangat penting sebagai laporan penerimaan dan pemanfaatan uang LKD atau koperasi sehingga keuntungan yang diperoleh atau kerugian yang dialami dapat dikontrol dan pengelolaan dana yang berkembang secara keseluruhan dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Aplikasi berbasis sistem android yang dapat digunakan untuk mempermudah pencatatan keuangan adalah SI APIK; 9) Manajemen resiko kredit adalah manajemen resiko kerugian karena pihak peminjam tidak dapat dan/atau tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar kembali dana yang dipinjamnya secara penuh pada saat jatuh tempo atau sesudahnya. Kerangka manajemen resiko kredit terdiri dari : (1) Pencegahan resiko kredit yaitu desain produk kredit, seleksi nasabah dan analisis kredit, komite kredit; dan (2) Pengendalian resiko kredit yaitu manajemen tunggakan dan pemantauan resiko kredit; 10) Prinsip seleksi nasabah dalam pencegahan resiko kredit adalah 5C, yaitu : (1) Character, yaitu informasi kepribadian nasabah; (2) Capacity, yaitu kemampuan nasabah dalam mengelola dana yang dipinjam; (3) Condition, yaitu kondisi ekonomi yang mempengaruhi kelayakan pinjaman; (4) Capital, yaitu aset atau kekayaan yang dimiliki oleh nasabah; dan (5) Collateral yaitu jaminan atau agunan yang dimiliki oleh nasabah; 11) Permasalahan umum yang dihadapi dalam pemberian modal usaha adalah nasabah tidak dapat mengembalikan pinjaman tepat waktu atau gagal bayar. Untuk mengantisipasi resiko gagal bayar, LKD atau koperasi dapat menyiapkan dana cadangan resiko yang disisihkan dari keuntungan yang diterima setiap bulan atau diambil dari SHU tahunan sesuai dengan akumulasi kerugian yang dialami;
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
30
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
12) Sejak penerimaan tahun pertama pada tahun 2014, dana hibah AGFUND yang dikelola LKD Nakamura sampai Oktober tahun 2016 berkembang dari Rp.547.938.500,- menjadi Rp.688.068.053 (26%), sedangkan LKD Munthuk Lestari dari Rp. 543.680.000,- menjadi Rp. 830.298.409,- (53%), yang digunakan untuk mengembangkan berbagai usaha anggotanya dalam bidang pertanian pertanian dalam arti luas dan turunannya diantaranya untuk kerajinan bambu, mebel, ternak kambing, ternak sapi, budidaya padi, perikanan lele, warung sembako dan olahan pangan seperti mie, susu kedelai, nata de casava, geplak dan tempe; 13) Selain kepada anggotanya, LKD penerima dana hibah AGFUND diharapkan dapat melakukan kerja sama dengan memberikan pinjaman modal kepada LKD lain yang membutuhkan penguatan modal usaha produktifnya. Hal ini juga dapat dilakukan oleh LKD lain yang modalnya sudah berkembang, sehingga dapat membantu LKD lain yang membutuhkan penguatan modal. b.
Pembinaan dan pemantauan pemanfaatan dana hibah AGFUND Pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengurus dan anggota Lembaga Keuangan Desa (LKD) dalam pemanfaatan dan pengelolaan dana hibah AGFUND. Pertemuan Peningkatan Kapasitas LKD Pemanfaatan Dana Hibah AGFUND Tahun 2016, dilaksanakan tanggal 27 – 29 Juli 2016, di Asrama Haji Transit Yogyakarta, Jl. Ringroad Utara Siduadi, (Depan SD Al-Azhar), dengan peserta penerima dana hibah AGFUND, yaitu LKD Desa Mandiri Pangan di Desa Madukoro, Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah dan Desa Munthuk, Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I Yogyakarta, dan pendamping. Adapun rumusan hasil pertemuan ini adalah : a) Pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengurus dan anggota Lembaga Keuangan Desa (LKD) dalam pemanfaatan dan pengelolaan dana hibah AGFUND. Sasarannya adalah pengurus dan anggota LKD yang menerima dana hibah AGFUND, yaitu LKD Munthuk Lestari, Desa Munthuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Provinsi DI. Yogyakarta dan LKD Nakamura, Desa Madukoro, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah; b) LKD sebagai suatu organisasi memiliki tujuan bersama yang ingin dicapai yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya secara khusus dan masyarakat sekitarnya secara umum. Dalam pembentukannya, LKD diharapkan dapat mengelola dan mengembangkan dana yang dimiliki melalui berbagai usaha atau kegiatan yang dilaksanakan anggotanya;
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
31
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
c) Dalam mencapai tujuan LKD, perlu ada nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dan diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan operasional sehari-hari. Salah satunya adalah komitmen yang harus dibangun oleh seluruh anggota dan pengurus, dimana anggota dan pengurus berpegang teguh dan fokus pada keputusan yang diambil, kemudian memikul segala resiko dan konsekuensinya tanpa mengeluh, dan menjalaninya penuh rasa syukur sebagai bagian dari proses kehidupan untuk mencapai tujuan bersama; d) Ketrampilan teknis pengelolaan keuangan menjadi salah satu hal yang harus dimiliki oleh pengurus LKD agar dana yang dikelola dapat berkembang dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan pemanfaatannya. Administrasi pembukuan atau akuntansi koperasi/LKD harus dilakukan dengan cermat, tertib dan tepat, sehingga laporan keuangan yang disusun dapat memberikan gambaran yang baik mengenai arus kas yang masuk dan keluar, jumlah dana yang dipinjam dan dikembalikan anggota serta jumlah hasil usaha yang diperoleh LKD; e) Keberhasilan usaha yang dilakukan koperasi juga ditentukan oleh kemampuan membangun jaringan usaha dan kemitraan. Karakteristik yang harus dimilki seorang wirausaha/pengurus LKD adalah 1). adanya kemauan; 2). memiliki keberanian; 3). mampu membela usahanya dan mitranya; 4). Jujur dan amanah (bisa dipercaya); 5). hemat; 6). tepat guna didalamnya termasuk menempatkan orang sesuai dengan kemampuannya; 7). mencintai usahanya dan 8). pantang menyerah; f) Dalam menjalin kemitraan, prinsip utama yang harus dipegang adalah saling memperkuat, saling memerlukan dan saling menguntungkan; g) Untuk mewujudkan berkembangnya koperasi, koperasi harus melayani anggota melalui pemahaman atas kebutuhan anggotanya yaitu dengan memenuhi sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk kemajuan usaha anggotanya, sehingga diversifikasi usaha dari koperasi di Nakamura dan Munthuk dapat dilakukan berdasarkan pemenuhan kebutuhan anggota; h) Sejak penerimaan dana hibah AGFUND oleh 2 LKD pada tahun 2014, perkembangan dana maupun organisasi desa telah meningkat, sebagai berikut: (1) Dana hibah AGFUND yang dikelola oleh LKD Munthuk Lestari dan LKD Nakamura sampai tahun 2016 telah berkembang masing-masing dari Rp.543.680.000,menjadi Rp. 792.560.730,(45,8 persen) dan Rp. 547.938.500,- menjadi Rp. 821.050.000,- (50 persen) yang digunakan untuk mengembangkan berbagai usaha anggotanya dalam bidang pertanian pertanian dalam arti luas dan turunannya diantaranya untuk kerajinan bambu, mebel, ternak kambing, ternak sapi, budidaya padi, perikanan lele, warung sembako dan olahan pangan seperti mie des, susu kedelai, nata de casava, geplak dan tempe; Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
32
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
(2) Di samping itu modal dari bantuan program Desa Mandiri Pangan (Demapan) yang diterima LKD Muntuk sebesar 100.000.000,- pada tahun 2006 berkembang sampai saat ini sebesar Rp. 465.472.000,- dan LKD Nakamura Desa replikasi sebesar Rp. 25.000.000,- pada tahun 2011 berkembang menjadi Rp. 30.000.000,- di samping berbagai kegiatan produktif yang sampai saat ini masih dilakukan oleh anggota kelompok afinitas; (3) Terkait dengan kelembagaan LKD Muntuk Lestari, sejak tanggal 15 Oktober 2015, No. 26/BH/XV.I/X/2015 telah berbadan hukum menjadi Koperasi, sedangkan LKD Nakamura sedang mengajukan proses untuk menjadi koperasi. 3) Penanganan Rawan Pangan, Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) SKPG merupakan serangkaian proses untuk mengantisipasi kejadian rawan pangan dan gizi melalui pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi situasi pangan dan gizi. Penerapan SKPG sampai saat ini masih dirasakan sangat penting sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota, dimana sebagian aspekaspek penanganan kerawanan pangan merupakan urusan daerah. Pemerintahan Propinsi mempunyai kewajiban: (1) pencegahan dan pengendalian masalah pangan akibat menurunnya ketersediaan pangan di daerah karena berbagai sebab; (2) pencegahan dan penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunya mutu, gizi dan keamanan pangan; (3) peningkatan dan pencegahan penurunan akses pangan masyarakat; dan (4) penanganan dan pengendalian kerawanan pangan di wilayah provinsi. Kegiatan SKPG bertujuan untuk menganalisis situasi pangan dan gizi; meningkatkan kemampuan petugas dalam menganalisis situasi pangan dan gizi; dan mengantisipasi terjadinya rawan pangan. Sasaran kegiatan SKPG terpetakannya situasi pangan dan gizi dan terantisipasinya kejadian rawan pangan secara dini di 455 lokasi, yang terdiri dari pusat, 33 provinsi dan 421 kabupaten/kota. Untuk tahun 2016 kegiatan SKPG hanya dilakukan di Provinsi, sedangkan Kabupaten untuk menganalisis kegiatan SKPG dengan pembinaan di APBD Kabupaten. Pelaksanaan kegiatan SKPG pada tahun 2016 sebagai berikut: a. Pertemuan Penguatan Kapasitas Aparat dalam Analisis SKPG Kegiatan Pertemuan Penguatan Kapasitas Aparat dalam Analisis SKPG dilaksanakan guna meningkatkan pemahaman dan kemampuan pejabat/aparat provinsi dan kabupaten/kota dalam menganalisis situasi pangan dan gizi di wilayahnya melalui SKPG. Terlaksananya kegiatan Pertemuan Penguatan Kapasitas Aparat dalam Analisis SKPG diharapkan dapat memberikan pemahaman aparat pelaksana kegiatan SKPG mengenai analisis SKPG sehingga mampu meningkatkan kemampuan aparat Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
33
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
yang menangani SKPG dalam menganalisis situasi pangan dan gizi di wilayahnya. Kegiatan ini dilaksanakan dengan metode pemaparan materi, praktik analisis SKPG bulanan dan tahunan, pembuatan laporan SKPG, serta pembuatan peta dengan menggunakan Quantum GIS. Hal-hal yang dapat disampaikan berdasarkan kegiatan Pertemuan Penguatan Kapasitas Aparat dalam Analisis SKPG sebagai berikut: 1)
2)
3)
4)
Aparat provinsi dan kabupaten/kota harus meningkatkan pemahaman tentang konsepsi ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan berdasarkan UU No 18 tahun 2012, sehingga pelaksanaan pencegahan kerawanan pangan melalui SKPG dapat terlaksana lebih baik. Pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) pada tahun 2016 masih berdasarkan Permentan No. 43 Tahun 2010, sedangkan ujicoba aplikasi berbasis website digunakan untuk penyempurnaan sistem pada Permentan baru sebagai pengganti Permentan No. 43 Tahun 2010. Sehingga kabupaten/kota tetap menyampaikan laporan analisis SKPG tahun 2016 ke provinsi dan pusat berupa laporan tahunan dan bulanan yang dimulai dari bulan Januari 2016. Provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki karakteristik khusus (non sentra pertanian, Papua&Papua Barat, Maluku&Maluku Utara, NTT, dan Gorontalo) harus dibahas lebih lanjut oleh daerah masing-masing untuk merumuskan dan menentukan indikator yang akan digunakan dalam analisis SKPG. Beberapa masukan untuk penyusunan permentan baru sebagai pengganti Permentan No 43 Tahun 2010: a) Wilayah perkotaan yang memiliki luas lahan pertanian pangan dan dapat mencukupi kebutuhan wilayahnya tetap menggunakan indikator dari aspek ketersediaan. b) SKPG tahunan merupakan akumulasi dari analisis bulanan sehingga laporan
5)
bulanan diharapkan dilaporkan setiap bulannya c) Untuk data D (data balita ditimbang terkoreksi) terdapat beberapa daerah yang tidak memiliki data Dalam rangka pelaksanaan ujicoba pelaporan SKPG berbasis website: a) Aparat kabupaten/kota dan provinsi yang menangani entry data SKPG berbasis website diharapkan tidak berganti-ganti selama proses uji coba tahun 2016. b) Kabupaten/kota melakukan entry data mulai bulan Januari 2016, sedangkan provinsi berkewajiban mendapingi pelaksanaan entry data. Namun demikian, jika kabupaten/kota mengalami kendala dalam pengisian dan upload data, aparat provinsi membantu berdasarkan kabupaten/kota yang menjadi tanggung jawabnya;
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
34
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
c) Kabupaten/kota dan provinsi membuat email yang akan digunakan sebagai username sesuai format yang telah disepakati, provinsi membuat tabulasi dan melaporkan username ke pusat melalui email:
[email protected]; d) BKP Pusat membuat password untuk login dan formulir input data selanjutnya disampaikan kembali hasilnya kepada provinsi melalui email provinsi, selanjutnya provinsi menyampaikan password dan formulir input ke kabupaten/kota masingmasing. 6)
Aplikasi SKPG berbasis website yang telah didemonstrasikan perlu penyempurnaan, diantaranya: a) Pada tampilan perlu ditambahkan menu cetak dan download hasil tabulasi (.xls) setiap indikator; b) Upload data SKPG dipisahkan per tahun agar dapat terlihat hasil analisis setiap tahunnya;
7)
c) Update data diharapkan dapat dilakukan berdasarkan data terakhir yang diupload kedalam website. Database SKPG sebaiknya dilengkapi dengan instrumen berikut: (1) peta analisis; (2) fungsi download data dan analisisnya; dan (3) fungsi pembuatan pelaporan.
b. Rapat Koordinasi Tim/Pokja SKPG Pusat Rapat Koordinasi Pokja SKPG Pusat dilaksanakan dalam rangka untuk merumuskan bahan kebijakan terkait dengan penanganan rawan pangan dan gizi. Hal lain adalah Konsolidasi antar anggota Pokja, terkait tugas dan fungsi masing-masing instansi dan perannya terhadap kegiatan analisis SKPG serta mengevaluasi pelaksanaan program SKPG terkait dengan situasi pangan dan gizi di propinsi dan kabupaten/kota. Terlaksananya Rapat Koordinasi Pokja SKPG Pusat diharapkan dapat meningkatkan peran serta Tim Pokja SKPG dalam memberikan rekomendasi dan masukan terkait kegiatan SKPG. Pada Tahun 2016 telah dilaksanakan 2 kali Rapat Koordinasi Tim Pokja dengan uraian sebagai berikut: a) Rapat Koordinasi Tim Pokja I Rapat koordinasi Tim Pokja SKPG Pusat dilaksanakan pada tanggal 25 Januari 2016 di Ruang Nusantara 1 Lantai II yang dihadiri anggota Tim Pokja SKPG Pusat dari: (1) Kementerian Dalam Negeri; (2) Kementerian Sosial; (3) Bappenas; (4) BPS; (5) Kementerian Perdagangan; (6) Tanaman Pangan Kementerian Pertanian; (7) Pusdatin, Kementerian Pertanian, (7) BNPB; dan Pejabat lingkup Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan serta perwakilan dari World Food Programme (WFP). Rapat dibuka Kepala Bidang Kerawanan Pangan dan dilanjutkan dengan pemaparan materi hasil Kajian Ujicoba Perubahan Indikator SKPG oleh Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
35
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
dan dilanjutkan dengan diskusi dan masukan dari Tim Pokja SKPG pusat dan peserta lainnya. Berdasarkan paparan dan diskusi oleh peserta pertemuan, diperoleh hal-hal penting sebagai berikut: 1)
Perlunya memahamkan kepada pimpinan daerah tentang SKPG dengan metode dan bahasa yang dapat dipahami atau re-branding, sehingga diharapkan pimpinan daerah tertarik dan selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi kebijakan terkait permasalahan penanganan kerawanan pangan. Hal lain adalah perlunya indikator positif terkait upaya dan pencapaian penanganan kerawanan pangan yang dapat dibandingkan dengan
2)
3)
4)
perkembangan yang perlu ditindaklanjuti. Perlunya SKPG menjadi perhatian bersama atau lintas sector seperti forum DKP, sehingga dapat menjadi penguat dalam pelaksanaan dan sebagai fungsi rekomendasi. Salah satu hal yang dapat ditindaklanjuti adalah bahwa perlu adanya reward and punishment bagi pelaksana kegiatan SKPG yang menunjukan kinerja yang baik, sehingga dapat memotivasi bagi daerah dalam melaksanakan kegiatan SKPG.. Pada wilayah khusus seperti wilayah kepulauan, perkebunan, Papua, Maluku dan NTT memerlukan indikator khusus, dan berdasarkan hasil kajian sudah diusulkan mengenai hal tersebut yang diharapkan dapat memperkuat analisis dan memperoleh informasi yang tepat berdasarkan indicator yang digunakan. Sistem SKPG adalah bersifat terbuka yaitu bahwa apabila terdapat kabupaten yang mengalami kerentanan maka bisa dapat bantuan dari daerah/kabupaten sekitarnya. Hal ini karena fungsi SKPG adalah sebagai deteksi dini, dan hasil analisis yang menunjukan rawan dapat disebabkan oleh banyak faktor termasuk alih fungsi lahan (lahan baku sawah) atau perubahan komoditas (dari padi ke lainnya), tetapi hasil akhirnya sama yaitu produksi menurun akan menunjukan
5)
6)
7)
indikasi rawan pangan. SKPG masih diperlukan sesuai dengan amanat UU Pangan sehingga merupakan tanggungjawab pusat, provinsi dan kabupaten melalui Dewan Ketahanan Pangan. Pusat menyediakan data dalam bentuk dashboard sehingga memudahkan daerah mengakses dan mempublikasi datanya. Pusat dapat membuat berupa dashboard yang komprehensif agar kabupaten bisa mencontoh nya. Perlunya memasukan SKPG dalam konsep kebijakan yang besar KS RANPG, sehingga dapat dengan mudah di implementasikan di daerah karena ada instruksi khusus dari presiden.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
36
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
b)
Rapat Koordinasi Tim Pokja II Rapat koordinasi Tim Pokja SKPG Pusat dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2016 di Ruang Nusantara I Lantai 2 yang dihadiri anggota Tim Pokja SKPG Pusat yaitu: (1) Sub Direktorat Statistik Rumah Tangga, Direktorat Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS; (2) Bidang Data Non Komoditas, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian, (3) Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis, Kementerian Perdagangan; (4) Seksi Pengolahan Statistik Tanaman Pangan, Direktorat Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan, BPS, (5) Bidang Perencanaan dan Bidang Konsumsi pada Badan Ketahanan Pangan, (6) Pejabat lingkup Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan serta (7) World Food Programme (WFP). Rapat dibuka Kepala Bidang Kerawanan Pangan dan dilanjutkan dengan pemaparan materi konsep panduan penyusunan analisis SKPG dan juga disampaikan oleh Dr. Drajat Martianto dari IPB tentang hasil visibility study kegiatan SKPG. Berdasarkan paparan dan diskusi oleh peserta pertemuan, diperoleh hal-hal penting sebagai berikut: 1) Hasil ujicoba perubahan indikator SKPG menunjukkan bahwa terdapat indikator yang perlu disesuaikan dengan kondisi saat ini, sehingga hasil dari analisis SKPG dapat dimanfaatkan secara maksimal dan dapat dijadikan dasar penyusunan Pedoman Pelaksanaan SKPG Tahun 2016; 2) Hasil kajian feasibility study SKPG yang dilaksanakan oleh Tim dari BKP bekerjasama dengan WFP dengan tenaga ahli Dr. Drajat Martianto (IPB) menunjukkan bahwa pada kegiatan SKPG terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan SKPG di daerah seperti kuantitas dan kapasitas SDM di daerah yang kurang, keterlambatan data analisis, dan kurangnya dukungan pemerintah daerah; 3) Terkait dukungan pemerintah daerah, perlu adanya advokasi dalam rangka pemahaman kegiatan SKPG baik melalui koordinasi maupun melalui forum-forum resmi seperti rapat Dewan Ketahanan Pangan (DKP) di provinsi maupun kabupaten/kota; 4) Perlu adanya payung hukum yang kuat dan mengikat untuk pemerintah daerah, sehingga keberadaan SKPG menjadi hal penting. Kebijakan bersama antara Kementan dan Kemendagri atau Inpres tentang SKPG diharapkan memperkuat terhadap keterlibatan lembaga/instansi terkait, dukungan dan prioritas anggaran; 5) Adanya penghargaan/reward terhadap pengambil kebijakan (gubernur dan bupati/walikota) dan pelaksana kegiatan SKPG di daerah. Penghargaan ini dapat diintegrasikan dengan kegiatan lain (misalnya integrasi dengan Penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara) atau secara mandiri. Hal ini sebagai bentuk
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
37
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
apresiasi dan semangat kepada pemerintah daerah atas perhatiannya terhadap upaya pencegahan/deteksi dini kerawanan pangan melalui SKPG; 6) Pelaksanaan kegiatan analisis SKPG berkaitan erat dengan kebijakan dan ketersediaan data, oleh karena itu perlu upaya dan langkah bersama serta pengembangan media atau alat analisis. Pengembangan aplikasi SKPG berbasis website perlu disempurnakan sehingga dapat difungsikan lebih optimal. c. Pembahasan Panduan Penyusunan SKPG Pertemuan dalam rangka Pembahasan Panduan Penyusunan SKPG dihadiri oleh: (1) Pimpinan dan Staf Bidang Kerawanan Pangan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan (2) perwakilan dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementan; (1) Tim Pengembangan Aplikasi SKPG berbasis website dan (4) World Food Programme (WFP). Pembahasan tentang Panduan Analisis SKPG antara lain :u sulan bahwa perlu adanya kesepakatan oleh stakeholder terkait di provinsi dalam menetapkan indikator yang akan digunakan dalam analisis SKPG. Hal ini berkaitan dengan agregat yang akan dihasilkan oleh provinsi nantinya agar seragam atau sama, perlunya menggunakan istilah yang lebih tepat, dimana selama ini menggunakan istilah Aman, Waspa dan dan Rawan sebagai hasil analisis SKPG, usulan menggunakan istilah Aman, Waspada dan Rentan dalam analisis SKPG dan perlunya pemahaman bersama mengenai konsep dan pelaksanaan SKPG, baik secara istilah maupun dalam pelaksanaan analisis. d. Penyusunan Analisis SKPG Kegiatan Penyususnan Analisis SKPG dilaksanakan di Wisma Hijau, Depok. Penyusunan Analisis SKPG dilaksanakan dalam rangka mengetahui perkembangan analisis SKPG bulanan dari provinsi. Metode yang digunakan adalah dengan menganalisis perkembangan laporan SKPG bulanan masing-masing provinsi selama tahun 2016. Laporan tersebut diamati perkembangan data ditiap bulannya, kemudian dianalisis mempengaruhinya, sehingga menjadi analisis yang komperhensif.
faktor
yang
Beberapa hal yang dapat dilaporkan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut: a). Perlunya data dan laporan SKPG bulanan dari provinsi yang rutin sehingga dapat dianalisis dengan baik b). Masih adanya provinsi yang belum mengirimkan laporan yang disebabkan oleh keterlambatan data dari instansi terkait. Hal ini perlu ditindaklanjuti dengan koordinasi dengan provinsi sehingga data dasar yang digunakan untuk analisis provinsi dapat terpenuhi.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
38
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
c). Data yang dikirim oleh provinsi masih memerlukan konfirmasi ulang. Hal ini dikarenakan data yang dikirim tidak seluruhnya lengkap dan sesuai dengan format analisis SKPG. 4) Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Vulnerability Atlas) FSVA
(Food Security and
Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vurnerability Atlas - FSVA) mengacu pada tiga aspek ketahanan pangan, yaitu: ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan dan konsumsi (pemanfaatan) pangan, dan digambarkan secara lebih rinci kedalam beberapa indikator yang terkait dengan masalah ketahanan pangan. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) diharapkan dapat memfasilitasi kebutuhan informasi mengenai lokasi keberadaan wilayah yang memiliki kerentanan terhadap kerawanan pangan. Kegiatan penyusunan FSVA pada tahun 2016, dilakukan analisisi FSVA sampai dengan tingkat Kabupaten dengan cakupan analisis sampai dengan wilayah desa. Analisis FSVA Kabupaten ini dilakukan terhadap 58 kabupaten yang masuk prioritas 1 dan 2 hasil FSVA Nasional 2015. Karena kabupaten yang masuk dalam kedua prioritas tersebut dinilai atau dikelompokkan dalam kategori kerentanan tinggi terhadap kerawanan pangan. Dari analisis FSVA Kabupaten 2016 diharapkan akan meningkatkan efektifitas pemantauan dan penanganan kerawanan pangan, sekaligus dijadikan referensi untuk memformulasikan kebijakan ketahanan pangan yang tepat. Kabupaten yang termasuk kedalam prioritas 1 dan 2 yaitu sebanyak 58 terdapat di Provinsi Papua (26 Kabupaten), Sumatera Utara (4 kabupaten), Sumatera Barat (1 Kabupaten), Kepulauan Riau (1 Kabupaten), Nusa Tenggara Timur (9 Kabupaten), Maluku (7 Kabupaten), Maluku Utara (1 Kabupaten), dan Papua Barat (9 Kabupaten). Agar pelaksanaan penyusunan FSVA berjalan dengan baik, termasuk penyiapan metodologi, ketersediaan data, maka diperlukan beberapa kegiatan seperti pemantapan serta pertemuan untuk pembahasan draf dan pemantapan penyusunan FSVA Kabupaten. Selain itu juga dilakukan sosialisasi panduan penyusunan FSVA Kabupaten ke aparat daerah dan ditindaklanjuti dengan pembinaan/bimbingan teknis ke daerah untuk koordinasi, sinkronisasi kegiatan dan peningkatan kapasitas aparat di daerah dalam rangka penyusunan FSVA Kabupaten. Indikator-indikator yang telah ditetapkan untuk penyusunan FSVA Kabupaten sebanyak 9 (sembilan) indikator baru yang digunakan dalam penyusunan yaitu: (1) Rasio Warung terhadap Rumah Tangga; (2) Rasio Toko terhadap Rumah Tangga; (3) Rasio Penduduk dengan Tingkat Kesejahteraan Terendah; (4) Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses Listrik; (5) Desa tanpa akses penghubung yang memadai; (6) Rasio Anak Tidak Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
39
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Bersekolah; (7) Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses ke Air Bersih; (8) Rasio
Tenaga
Kesehatan terhadap Penduduk; dan (9) Rasio Rumah Tangga Tanpa Fasilitas Tempat Buang Air Besar (BAB). Metodologi yang digunakan dalam analisis FSVA Kabupaten adalah metode pembobotan yang terdiri atas dua tahapan yaitu :
Penentuan Cut Off Point Indikator Individu Cut off point indikator individu bisa menjadi dasar suatu kabupaten melihat perkembangan kondisi desa-desa di wilayahnya. Masing-masing indikator nantinya akan dikelompokkan kedalam empat prioritas. Prioritas 1 dan 2 merupakan desa-desa yang cenderung rentan terhadap suatu indikator (warna merah). Sedangkan prioritas 3 dan 4 adalah kelompok desa-desa yang yang cenderung tahan terhadap suatu indikator (warna hijau). Penentuan cut off point indikator individu menggunakan metode sebaran empiris dengan mencari nilai pada titik potong 25%, 50% dan 75%. Sehingga jika nilai pada titik-titik potong tersebut diketahui, maka cut off point untuk masing-masing indikator akan mudah ditentukan.
Penentuan Cut Off Point Skor Komposit Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) kabupaten terdiri atas sembilan indikator. Dengan indikator yang banyak tersebut kita akan menemui banyak kesulitan untuk mengelompokkan satu desa dengan desa yang lain, sehingga desadesa dalam satu kelompok memiliki karakteristik yang sama dibandingkan dengan desa-desa yang berada dalam kelompok lainnya. Untuk mengakomodir kebutuhan tersebut, diperlukan suatu metode komposit yang berguna untuk menjawab permasalahan tersebut. Dalam perkembangannya, metode komposit yang digunakan dalam penyusunan FSVA baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten mengalami perubahan disesuaikan dengan perkembangan permasalahan yang ada. Sehingga muncul analisis komposit dengan metode pembobotan. Metode pembobotan ini merupakan suatu metode sederhana yang bisa digunakan untuk menentukan suatu daerah atau desa masuk kedalam kategori rentan atau tahan pangan. Analisis komposit dengan metode pembobotan digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi kelemahan-kelemahan pada metode-metode komposit sebelumnya. Kelemahan tersebut antara lain: tidak ada cut off point dalam penentuan prioritas komposit, pengelompokan dilakukan hanya berdasarkan tingkat kemiripan karakteristik data-data indikator, daerah-daerah yang di prioritas rendah/tinggi akan selalu berada pada posisi tersebut (konstan) untuk tahun-tahun mendatang, dan adanya kerancuan tingkat pemahaman terkait hasil analisis komposit pada tahun yang berbeda. Oleh
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
40
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
karena itu, metode pembobotan dapat dijadikan sebagai salah satu cara pendekatan yang baik untuk mengurangi kelemahan-kelemahan tersebut.
2. Kajian Ketersediaan Pangan, Akses Pangan dan Penanganan Rawan Pangan Kajian ketersediaan pangan, rawan pangan dan akses pangan terdiri dari : a. Penyusunan Neraca Bahan Makanan Informasi situasi ketersediaan pangan di suatu wilayah dapat menjadi bahan penyusunan kebijakan ketersediaan pangan wilayah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan. Dalam upaya untuk mendapatkan informasi tersebut dilakukan penyusunan Neraca Bahan Makanan (NBM) yang telah dilakukan di tingkat pusat dan 34 Provinsi. Penyusunan Neraca Bahan Makanan bertujuan untuk memperoleh data ketersediaan pangan per kapita dalam bentuk energi, protein dan lemak. Pada tahun 2016, telah disusun Buku NBM Indonesia 2014-2016 yang berisi data 2014 Angka Tetap, 2015 Angka Sementara dan 2016 Angka Sangat Sementara. Hasil analisis NBM berdasarkan Angka Tetap 2014, Angka Sementara 2015 dan 2016 Angka Sangat Sementara sebagai berikut : 1)
Tingkat ketersediaan energi dan protein pada periode tahun 2014 – 2015 sudah melebihi anjuran Angka Kecukupan Energi (AKE) 2.200 Kalori/kapita/hari, dan Angka Kecukupan Protein 57 gram/kapita/hari. Total ketersediaan zat gizi per kapita tahun 2014 yaitu energi sebesar 3.834 kkalori/hari, protein 91,83 gram/hari, dan lemak 63,63 gram/hari. Pada Tahun 2015 (angka sementara), ketersediaan zat gizi untuk energi menjadi 3.835 kkalori/hari, protein 94,85 gram/hari dan 57,81 gram/hari lemak. Ketersediaan energi, protein dan lemak per kapita per hari pada tahun 2016 masing-masing sebesar 4.017 kkalori, 83,07 gram, dan 79,64 gram.
2)
Ketersediaan energi per kapita per hari pada tahun 2015 mengalami peningkatan 0,03% dibanding tahun 2014, dari 3.834 kkal menjadi 3.835 kkal. Ketersediaan protein per kapita per hari pada tahun 2015 mengalami peningkatan sebesar 3,29% dibanding tahun 2014, dari 91,83 gram menjadi sebesar 94,85 gram. Sedangkan ketersediaan lemak per kapita per hari pada tahun 2015 mengalami penurunan sebesar 9,15% dibanding tahun 2014 dari 63,63 gram turun menjadi 57,81 gram.
3)
Ketersediaan energi per kapita per hari pada tahun 2016 mengalami peningkatan 4,73% dibanding tahun 2015, dari 3.835 kkal menjadi 4.017 kkal. Ketersediaan protein per kapita per hari pada tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 12,42% dibanding tahun 2015, dari 94,85 gram menjadi sebesar 83,07 gram. Sedangkan ketersediaan lemak per kapita per hari pada tahun 2016 mengalami peningkatan sebesar 37,78% dibanding tahun 2015 dari 57,81 gram naik menjadi 79,64 gram.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
41
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
4)
Ketersediaan energi, protein dan lemak pada tahun 2014, 2015 dan 2016 masih di dominasi bahan pangan sumber nabati. Pada tahun 2014 kontribusi energi pangan nabati sebesar 95,51%, protein sebesar 80,65% dan lemak sebesar 84,58% dari total energi, protein dan lemak. Pada tahun 2015 kontribusi energi, protein dan lemak dari bahan pangan sumber nabati masing-masing sebesar 95,38%, 80,68% dan 82,53% dari total energi, protein dan lemak. Pada tahun 2016 kontribusi energi, protein dan lemak dari bahan pangan sumber nabati masing-masing sebesar 95,95%, 79,13% dan 88,18% dari total energi, protein dan lemak.
5)
Ketersediaan energi kelompok padi-padian pada tahun 2015 lebih tinggi dari tahun 2014, yaitu 2.294 kkal/kap/hari menjadi 2.362 kkal/kap/hari atau meningkat sebesar 68 kkalori (2,96%). Demikian pula ketersediaan protein dan lemak per kapita per hari meningkat dari 55,57 gram menjadi 57,13 gram protein, dan lemak meningkat dari 12,82 gram menjadi 13,11 gram, atau meningkat masing-masing sebesar 1,56 gram (2,81%) dan 0,29 gram (2,26%). Sedangkan ketersediaan kelompok padipadian tahun 2016 menurun dari tahun 2015 yaitu 2.362 kkal/kap/hari menjadi 2.258 kkal/kap/hari atau menurun sebesar 104 kkalori.
6)
Kelompok makanan berpati, kelompok pangan ini adalah ubi jalar, ubi kayu dan sagu. Kelompok pangan ini mensuplai untuk ketersediaan per kapita per hari energi, protein, dan lemak yang cukup tinggi, namun mengalami penurunan pada tahun 2015 dibandingkan tahun 2014, yaitu dari 272 kkal menjadi 262 kkal, 1,37 gram menjadi 1,28 gram dan 1,05 gram menjadi 1,00 gram. Tahun 2016 dari kelompok makanan berpati yaitu masing-masing sebesar 228 kkal, 1,05 gram dan 0,87 gram masih lebih rendah dibanding 2015. Hal tersebut belum bisa dijadikan acuan karena ketersediaan pada tahun 2016 masih mengalami perubahan.
7)
Kelompok gula, terdiri dari komoditas gula pasir dan gula mangkok Kelompok ini terdiri dari komoditas gula pasir dan gula mangkok. Gula pasir merupakan komoditas penyumbang energi terbesar. Ketersediaan energi per kapita per hari dari kelompok gula pada tahun 2015 meningkat dibanding tahun 2014, yaitu dari 227 kkal menjadi 250 kkal, sedangkan untuk protein dan lemak relatif sama. Ketersediaan energi, protein dan lemak per kapita per hari pada tahun 2016 dari kelompok gula yaitu masing-masing 158 kkal, 0,09 gram dan 0,31 gram.
8)
Kelompok buah/biji berminyak yang termasuk dalam kelompok ini adalah kacang tanah, kedelai, kacang hijau dan kelapa. Ketersediaan energi dan protein per kapita per hari kelompok ini pada tahun 2015 mengalami peningkatan dibanding tahun 2014, masing-masing dari 224 kkal menjadi 230 kkal, 14,08 gram menjadi 15,11 gram, sedangkan untuk lemak ketersediaan per kapita per hari mengalami penurunan dari 15,34 gram menjadi 15,26 gram. Ketersediaan energi, protein dan
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
42
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
lemak per kapita per hari pada tahun 2016 dari kelompok buah biji berminyak, yaitu masing-masing 153 kkal, 7,40 gram dan 11,50 gram, masih lebih rendah dari dua tahun sebelumnya karena data yang masuk belum lengkap dan sebagian besar masih angka sementara, estimasi dan angka sasaran. 9)
Kelompok buah-buahan, Kontribusi energi per kapita/hari pada tahun 2015 sama dengan tahun 2014 yaitu sebesar 71 kkal. Sedangkan untuk protein dan lemak mengalami peningkatan masing-masing dari 0,76 gram menjadi 0,77 gram dan 0,44 gram menjadi 0,47 gram. Ketersediaan energi, protein dan lemak per kapita per hari pada tahun 2016 dari kelompok buah-buahan untuk sementara tidak jauh berbeda dengan dua tahun sebelumnya namun akan mengalami perubahan apabila data sudah menjadi angka sementara ataupun angka tetap.
10) Kelompok sayur-sayuran, Kontribusi energi, protein dan lemak per kapita per hari pada tahun 2015 mengalami penurunan dibanding tahun 2014 yaitu masing-masing dari 35 kkal menjadi 32 kkal, dari 1,65 gram menjadi 1,50 gram dan dari 0,33 gram menjadi 0,30 gram. Ketersediaan energi, protein dan lemak per kapita per hari kelompok sayur-sayuran pada tahun 2016, tidak jauh berbeda dengan dua tahun sebelumnya yaitu masing-masing 32 kkal, 1,50 gram dan 0,32 gram, namun data ini akan mengalami perubahan apabila sudah menjadi angka sementara atau angka tetap. 11) Kelompok daging, Pada tahun 2015 ketersediaan per kapita per hari untuk energi, protein dan lemak mengalami peningkatan dibanding tahun 2014 masing-masing dari 61 kkal (1,59%) menjadi 62 kkal (1,62%) dari total ketersediaan, 4,10 gram menjadi 4,12 gram dan 4,83 gram menjadi 4,95 gram. Ketersediaan energi, protein dan lemak dari kelompok daging pada tahun 2016 kemungkinan akan mengalami kenaikan, dan saat ini tersedia naik masing-masing sebesar 63 kkal, 4,17 gram dan 5,03 gram, dan akan mengalami perubahan apabila sudah menjadi angka sementara dan angka tetap. 12) Kelompok telur, kelompok ini antara lain telur ayam buras, telur ayam ras dan telur itik. Kelompok telur memberikan kontribusi ketersediaan energi, protein dan lemak cukup tinggi. Pada tahun 2015 kontribusi per kapita per hari mengalami peningkatan dibanding tahun 2014, yaitu masing-masing dari 22 kkal (0,57%) menjadi 24 kkal (0,63%), dari 1,68 gram menjadi 1,80 gram, dan dari 1,60 gram menjadi 1,71 gram. 13) Kelompok susu, pada tahun 2015 tidak mengalami perubahan dari tahun 2014 yaitu sebesar 24 kkal, sedangkan untuk protein dan lemak mengalami peningkatan yaitu masing-masing dari 1,24 gram menjadi 1,25 gram dan dari 1,35 gram menjadi 1,37 gram. Sedangkan tahun 2016 yaitu masing-masing 9 kkal, 0,48 gram dan 0,53 gram. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
43
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
14) Kelompok ikan, Produksi perikanan berasal dari produksi ikan tangkap dan budidaya, baik air tawar maupun laut, termasuk rumput laut. Pada tahun 2015, kontribusinya mengalami peningkatan dibanding tahun 2014 yaitu masing-masing dari 177 kkal menjadi 213 kkal, dari 11,25 gram menjadi 11,78 gram dan dari 1,69 gram menjadi 1,83 gram. Tahun 2016 ketersediaan per kapita per hari energi, protein masing-masing sekitar 213 kkal, 11,48 gram dan 1,85 gram. 15) Kelompok minyak dan lemak terdiri dari minyak nabati dan lemak hewani. Minyak nabati terdiri dari minyak yang berasal dari kacang tanah, kopra dan sawit, sedangkan lemak hewani merupakan bagian dari kelompok daging. Pada tahun 2015 ketersediaan energi dan lemak per kapita per hari mengalami penurunan dibanding tahun 2014 yaitu masing-masing dari 426 kkal menjadi 307 kkal dan dari 23,86 gram menjadi 17,50 gram, sedangkan untuk ketersediaan protein tidak mengalami perubahan yaitu tetap sebesar 0,03 gram. Kontribusi kelompok minyak nabati terhadap ketersediaan energi dan lemak per kapita per hari merupakan yang terbesar, pada tahun 2015 mengalami penurunan dibanding tahun 2014 yaitu masing-masing dari 419 kkal menjadi sebesar 299 kkal dan dari 23,06 gram menjadi sebesar 16,67 gram, sedangkan untuk ketersediaan protein tetap tidak mengalami perubahan yaitu 0,02 gram. Sementara itu pada tahun 2016, ketersediaan per kapita per hari energi, protein dan lemak masingmasing sekitar 809 kkal, 0,05 gram dan 44,18 gram.
b. Analisis Situasi Akses Pangan Secara konsep akses pangan dipengaruhi oleh aspek fisik, ekonomi dan sosial. Aspek fisik dicirikan oleh ketersediaan pangan disuatu wilayah baik sebagai hasil produksi setempat maupun pasokan pangan dari tempat lain yang kondisinya sangat tergantung pada jalur distribusi dan prasarana infrastruktur dasar seperti jalan dan pasar, aspek ekonomi terkait dengan daya beli masyarakat terhadap bahan pangan, dan aspek sosial meliputi pendidikan dan modal sosial masyarakat. Permasalahan akses pangan dapat bersifat sesaat (transien) maupun kronis. Permasalahan yang bersifat sesaat (transien) biasanya disebabkan oleh adanya gangguan terhadap potensi sumberdaya seperti konflik sosial dan bencana alam sedangkan yang bersifat kronis yang umumnya terjadi didaerah rawan pangan dapat disebabkan karena adanya ketimpangan pada salah satu aspek tersebut diatas atau bahkan pada ketiga-nya, sehingga penanganan yang harus diambil akan berbeda sesuai dengan penyebab timbulnya masalah aksesibilitas pangan tersebut. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
44
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Untuk menciptakan kondisi sebagaimana pengertian akses pangan bahwa akses pangan merupakan kemampuan masyarakat, kelompok, rumah tangga atau individu untuk untuk memenuhi kecukupan pangan setiap saat, baik dari produksi sendiri, pembelian, pemberian atau bantuan berdasarkan sumber daya yang dikuasai (teknologi, finansial, sosial, alam dan manusia) dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan keyakinan dapat terpenuhi, maka langkah awal adalah mengetahui individu atau kelompok yang mengalami rawan pangan, penyebab timbulnya kondisi tersebut, dan sumber daya yang mereka kuasai yang dapat dijadikan modal untuk memperkuat aksesibilitas pangan mereka, sehingga langkah dan kebijakan yang akan disusun berdasarkan kondisi, setempat.
permasalahan, kebutuhan dan potensi
Tujuan kegiatan Analisis Situasi Akses Pangan adalah :
Mengetahui rumah tangga/kelompok rumah tangga yang mengalami masalah aksesibiltas pangan;
Mengetahui penyebab rendahnya akses pangan rumah tangga/kelompok rumah tangga;
Menyediakan masyarakat.
bahan
rumusan
kebijakan
penguatan
aksesibilitas
pangan
Hasil analisis situasi akses pangan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Kegiatan analisis akses pangan telah dilakukan di Desa Tanah Abang Kecamatan Batanghari Leko Kabupaten Musi Banyuasin. Pemilihan desa berdasarkan FSVA dan SKPG Kabupaten. Pelaksanaan dilakukan 2 (dua) tahap pengumpulan data dan informasi yaitu tahap identifikasi dan tahap investigasi. Tahap identifikasi dilaksanakan dengan menyebar KAP-RT (Kartu Akses Pangan-Rumah Tangga) kepada seluruh penduduk Desa Tanah Abang yang berjumlah 500 orang. KAP-RT berisi informasi keberagaman makanan yang dikonsumsi RT setiap hari selama dua minggu, pada tahap ini semua rumah tangga mengisi KAP-RT sesuai dengan konsumsi rumah tangga yang bersangkutan, sedangkan tahap investigasi dilakukan kepada rumah tangga yang teridentifikasi mengalami masalah aksesibilitas pangan (kategori rendah), untuk mengetahui penyebab terjadinya masalah aksesibilitas pangan di rumah tangga terduga, baik dari aspek fisik, ekonomi maupun sosial, dengan menggunakan kuesioner investigasi; 2.
Berdasarkan identifikasi aksesibilitas pangan rumah tangga yang dilakukan dengan menggunakan KAP-RT untuk 500 kepala keluarga, diperoleh status aksesibilitas akses pangan yang masuk dalam kategori baik 129 kepala keluarga, kategori sedang 239 kepala keluarga, kategori rendah 53 kepala keluarga atau 10,6 % dan
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
45
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
79 kepala keluarga tidak ada data. Jumlah keluarga yang termasuk pada kategori aksesibilitas pangan rendah sebesar 10,6 %, mendekati angka kemiskinan BPS sebesar 11,22 % (Maret 2015); 3.
Hasil monitoring pada rumah tangga dengan aksesibiitas pangan rendah mencatat hal-hal berikut : a) Berdasarkan analisa distribusi pengeluaran untuk pangan dan stok pangan rumah tangga, pada 53 rumah tangga yang teridentifikasi mengalami aksesibilitas pangan tersebut, diperoleh data bahwa rumah tangga yang benarbenar mengalami masalah aksesibilitas pangan hanya sebesar 16% atau sebanyak 9 orang, sisanya sebanyak 44 orang berkecenderungan memiliki akses pangan sedang sampai baik; b) Tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara usia produktif kepala rumah tangga, jumlah anggota keluarga serta jenis kelamin kepala rumah tangga dengan kondisi aksesibilitas pangan rumah tangga bersangkutan, namun mengingat identifikasi aksesibilitas rumah tangga ini berdasarkan keberagaman asupan makanan, maka perlu dikaji sejauh mana intervensi kepala rumah tangga pria dalam menentukan menu keluarganya; c) Keberadaan warung pangan di sekitar pemukiman penduduk dapat mencerminkan ketersediaan pangan yang cukup dan terjangkau. Jumlah warung yang cukup banyak dan jarak yang relatif dekat membantu masyarakat memperoleh bahan pangannya dengan mudah, dapat dikatakan bahwa ketersediaan bahan pangan di daerah ini cukup, serta dengan harga yang relatif tidak berbeda jauh dengan harga di kota kecamatan; d) Penyebab masalah aksesibilitas pangan di Desa Tanah Abang Kecamatan Batanghari Leko adalah sebagai berikut : 1)
Keterbatasan pendidikan (tidak tamat SD) Pada rumah tangga yang teridentifikasi mengalami akses pangan rendah, komposisi terbesar pendidikan kepala rumah tangga adalah belum tamat SD;
2)
Mata pencaharian kepala rumahtangga dan anggota keluarga lainnya Keterbatasan pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki kepala keluarga mengakibatkan tidak adanya pilihan pekerjaan yang dapat diperoleh, umumnya pekerjaan mereka adalah buruh di kebun karet maupun buruh serabutan lainnya, pekerjaan tersebut tidak memberi mereka pendapatan yang cukup, sehingga sebagian besar pendapatannya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan saja;
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
46
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
3)
Tidak dimilikinya aset, baik aset produksi maupun aset yang mudah dicairkan yang dapat digunakan untuk membantu pemenuhan pangan keluarga;
4)
Peran dan fungsi hubungan sosial belum maksimal dimanfaatkan terutama terkait dengan ketahanan pangan keluarga. Keaktifan berkelompok untuk peningkatan produksi kebun hanya diikuti oleh 18,6 % buruh, di luar itu kelompok untuk dana kematian diikuti oleh 39,5 %;
5)
Berdasarkan topografi wilayah dan kultur setempat, tersedia potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan aksesibilitas masyarakat desa tersebut.
c. Kajian Responsif Antisipatif Kerawanan Pangan Pada tahun 2016 Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan melaksanakan kegiatan Kajian Responsif Antisifatif dalam rangka mitigasi penanganan Kerawanan Pangan yang difokuskan pada pengembangan kawasan terpadu pangan dan energi, dengan sasaran kegiatan di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), Maluku Utara, Kepuluan Riau (Natuna). Dari hasil pemetaan FSVA wilayah Maluku, Kep. Riau dan Kaltara, merupakan daerah rentan karena faktor akses dan sarana prasana. Sedangkan potensi wilayahnya sangat mendukung untuk dikembangkan. Tahun 2016 kegiatan pengembangan kawasan terpadu pangan dan energi rencana dilaksanakan di Provinsi Kalimantan utara. dimana Energi listrik merupakan salah satu infrastruktur utama yang menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat. Kebutuhan penyediaan energi listrik harus dapat menjamin ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, sehingga dapat menggerakan perekonomian masyarakat. Semakin meningkatnya tingkat ekonomi pada suatu daerah maka konsumsi energi listrik juga akan semakin meningkat. Kurangnya pasokan listrik di Kalimantan Utara menyebabkan pemadaman bergilir sewaktuwaktu. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mengadakan kajian melalui FGD (Focus Discusion Group) sebagai berikut: 1) FGD pertama dilaksanakan pada tannggal 14 – 15 Juli 2016 di Wisma Sapphire Pertamina dengan peserta yang hadir dari unsur pemerintah (swasta). Unsur pemerintah terdiri dari Dinas/Kantor/Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Utara, Kabupaten Natuna, dan Kabupaten Blora. Sedangkan dari swasta dan Perguruan Tinggi dari perwakilan PT. Megadaya, PT. Paduka Tani Mulia serta UNWAHA Jombang. Dari hasil FGD ini, untuk pengembangan kawasan perpadu pangan dan energi dengan melihat pengembangan daerah kawasan memerlukan infrastruktur dan sarana yang memadai. Inovasi teknologi yang terjangkau dan sesuai dengan kondisi daerah Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
47
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
seperti penggunaan mikroba untuk penyuburan tanah, penggunaan Soil Stabilizer untuk pengerasan sarana jalan dan pengadaan energi listrik dari bahan bakar biomassa dapat diterapkan untuk pengembangan daerah kawasan dan untuk mengimpelentasikan upaya tersebut, maka diperlukan kerjasama dari seluruh sektor baik pemerintah maupun non pemerintah. 2) FGD Kedua melanjutkan pembahasan Kawasan Mandiri Pangan terpadu untuk daerah perbatasan di Provinsi Kaliamantan Utara, FGD ini dilaksanakan di Ruang Rapat Nusantara II tanggal 3 Agustus 2016 dengan hasil bahasan bahwa di perbatasan Provinsi Kalimantan Utara banyak daerahnya berada di wilayah pedalaman sehingga pemenuhan pangan dengan harga terjangkau dan penyediaan energi listrik masih kurang. Dengan melimpahnya ketersediaan sumberdaya lokal merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan kawasan terpadu pangan dan energi diwilayah perbatasan. Potensi sumberdaya lokal yang ada tersebut merupakan peluang untuk dimanfaatkan dalam penyediaan listrik dari biomassa. Produksi energi dari biomassa tersebut juga merupakan salah satu output yang tidak terpisahkan dari pengembangan sektor pertanian khususnya pangan. 3) FGD Ketiga dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2016 di Ruang Rapat Kapus Ketersediaan dan Kerawanan Pangan bertujuan untuk: (1) menggali informasi dan permasalahan serta potensi SDA maupun SDM di wilayah perbatasan Kaltara; (2) mendapatkan masukan dari nara sumber dan praktisi yang terkait untuk pengembangan potensi pangan dan energi terbaharukan dalam rangka pembangunan ketahanan pangan di kawasan perbatasan di Kaltara; dan (3) merumuskan upaya untuk mengembangkan Kawasan Mandiri Pangan Terpadu untuk Daerah Perbatasan Beberapa hal yang menjadi perhatian dan arah pengembangan Kawasan Mandiri Pangan terpadu untuk Daerah Perbatasan di Provinsi Kalimantan Utara yaitu: a.
Pertanian berkelanjutan dengan memanfaatkan sumberdaya lokal diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak hanya mencakup pangan tetapi juga kebutuhan lainnya seperti energi. Teknologi yang dapat digunakan untuk mewujudkan hal tersebut adalah pemanfaatan mikroba baik untuk di sektor pertanian untuk meningkatkan penyediaan dan akses pangan untuk masyarakat maupun untuk memproduksi listrik dari biomassa; di mana biomassa ini banyak tersedia di Provinsi Kalimantan Utara.
b.
Fokus pengembangan Kawasan Mandiri Pangan Terpadu untuk Daerah Perbatasan di Kalimantan Utara meliputi: (1) Pemanfaatan pertanian berkelanjutan; (2)
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
48
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
pembangunan
infrastruktur
pendukung
sarana
prasarana
pertanian
dan
pemukiman, (3) penyediaan listrik tenaga melalui PLTBM (Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa); dam, 4) Pengembangan SDM misalnya melalui pembangunan politeknik kerjasama dengan perguruan tinggi lainnya. 4) FGD Keempat dilaksanakan di Cipayung pada tanggal 14 -1 5 November 2016 Focus Group
Discussion
(FGD)
ini
merupakan
upaya
meningkatkan
pemahaman
stakeholder terkait dan aparat daerah dalam memanfaatkan sektor pertanian dan sumberdaya lokal lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan melalui pengembangan Kawasan mandiri Pangan Terpadu. Untuk memperkuat Kajian Kawasan Mandiri Pangan terpadu ini maka ditambah peran Pokja Ahli DKP dan Dewan Pakar Provinsi Kalimantan Utara. Dai hasil FGD sebagai berikut : a. Untuk mewujudkan kehidupan yang layak, maka perlu dilakukan perubahan paradigma dalam pertanian terkait kedaulatan/ketahanan pangan, yakni pertanian digunakan untuk memenuhi penghidupan (livelihood); artinya pertanian tidak hanya untuk memenuhi pangan tetapi juga memenuhi kebutuhan hidup lainnya seperti bahan sandang, papan, obat-obatan, dll. Contoh realisasi konsep ini meliputi contoh sebagai berikut: -
Pemanfaatan jamur mikoriza untuk menyehatkan dan mempertahankan kesuburan lahan;
-
Pemanfaatan mikroorganisme untuk ketersediaan pangan seperti ganggang mikro spirulina;
-
Pemanfaatan pertanian untuk bahan infrastruktur seperti membuat tembok dari serat tanaman dan bahan pengeras jalan (yang berfungsi seperti aspal);
-
Eceng gondok/tanaman lainnya yang dianggap gulma dimanfaatkan sebagai bahan bioetanol;
-
Landscaping pertanian untuk meningkatkan produksi, pendapatan dan kemandirian petani. Contoh lanscaping pertanian adalah: memanfaatkan arah sinar matahari, penyediaan air di setiap lahan petani, serta penerapan sistem zero waste dalam kegiatan pertanian.
b. Upaya untuk melakukan pemerataan pembangunan melalui optimalisasi potensi sumberdaya yang belum dimanfaatkan. Nilai APBN Indonesia saat ini adalah sekitar Rp. 3.000 trilyun, yang merupakan 5% dari ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Sementara 95% dari keseluruhan ekonomi Indonesia yang sering tidak diperhatikan, merupakan potensi yang perlu dikelola. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
49
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
c. Untuk daerah perbatasan/kepulauan yang memiliki tantangan tertentu, maka diperlukan penyelesaian yang sesuai dengan kondisinya masing-masing. Penyelesaian tantangan dan permasalahan perlu dipikirkan untuk daerah yang biasanya jauh dari perhatian ini. Pemanfaatan pertanian untuk memenuhi penghidupan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perlu dilakukan untuk menghadapi tantangan tersebut. Berbagai tantangan yang dihadapi antara lain: -
Masih rendahnya kapasitas SDM (baik aparat maupun masyarakat);
-
Keterbatasan sarana dan pra sarana produksi pertanian untuk menghasilkan pangan;
-
Keterbatasan penyediaan energi listrik dan bahan bakar untuk masyarakat.
-
Beberapa jalan keluar yang ditawarkan dalam rangka menghadapi tantangan tersebut (baik dari sisi teknis maupun kebijakan), adalah sebagai berikut:
Kebijakan: Perlu ada leading sector yang dapat mengkoordinasi upaya penyelesaian
masalah ini; Perlunya dukungan politik dari masing-masing daerah untuk merealisasikan upaya yang direncanakan.
Teknis: Pemanfatan limbah pertanian/perikanan/peternakan menjadi bahan yang bernilai ekonomis, seperti pemanfaatan limbah perikanan untuk bahan pengenyal dan pengawet makanan, pemanfaatan gulma untuk bahan bioetanol; Pemanfaatan embung bertingkat dalam rangka menyediakan air untuk kegiatan pertanian sekaligus menahan air selama mungkin sebelum kembali ke laut;
Penyediaan tanaman pelindung disekitar embung, untuk mengatasi evaporasi yang tinggi pada musim kemarau; Penyediaan benih bagi petani oleh petani itu sendiri.
d. Rencana tindak lanjut yang perlu dilakukan antara lain : Sosialisasi kepada stakeholder di Daerah Perbatasan (Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Utara, dan Maluku Utara);
Pembagian peran (pengorganisasian); Persiapan teknis;
Pengembangan Kemitraan dan peran lembaga kemasyarakatan, pemerintah dan swasta.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
50
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
5) FGD kelima di laksanakan pada tanggal 16 November 2016 dengan membahas isuisu strategis yang dibahas a) Fokus utama proyek pengembangan kawasan mandiri pangan terpadu daerah perbatasan di Provinsi Kalimantan Utara, b) rencana lokasi proyek pengembangan kawasan mandiri pangan terpadu daerah perbatasan di Provinsi Kalimantan Utara, penyiapan bahan-bahan terkait rencana audiensi dengan jajaran pemerintah Provinsi Kalimantan Utara. Hasil FGD yang perlu diperhatikan adalah : a) fokus utama pengembangan Kawasan Mandiri Pangan Terpadu diarahkan pada pemantapan sistem pertanian dengan menggunakan pendekatan landscaping yang mampu mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah, sehingga dapat dihasilkan produk-produk pertanian/pangan yang berdaya saing dan sebagai bonus pemanfaatan dengan penerapan prinsip zero easte maka didapat energi (termasuk listrik). b) melalui pendekatan landscaping tersebut, Kawasan Mandiri Pangan Terpadu dapat dikembangkan secara berkelanjutan dengan berbasis pemanfaatan sumberdaya lokal; c) kegiatan pengembangan Kawasan Mandiri Pangan Terpadu tersebut dapat melibatkan swasta dengan tetap memfokuskan kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat; d) dalam rangka persiapan pelaksanaan kegiatan pengembangan Kawasan Mandiri Pangan Terpadu, akan segera disusun proposal mengenai kegiatan dimaksud; e) untuk mempercepat pelaksanaan audiensi dengan jajaran Pemprov Kaltara, selama satu minggu kedepan Tim akan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan di Provinsi Kalimantan Utara; d. Monitoring Akses Pangan di Tingkat Penggilingan Penggilingan padi merupakan bagian dari aktivitas produksi, pasca panen, pengolahan dan pemasaran gabah/beras, sehingga merupakan mata rantai penting dalam suplai beras nasional. Industri penggilingan padi dituntut dapat memberikan kontribusi dalam penyediaan beras, baik dari segi kuantitas maupun kualitas untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Penggilingan memiliki peranan penting antara lain: (1) sebagai penyedia kebutuhan masyarakat, (2) menjadi titik sentral dari suatu kawasan industri produksi padi, karena mampu berfungsi sebagai titik pertemuan antara perubahan bentuk padi menjadi hasil utama berupa beras, (3) kontribusinya dalam menentukan jumlah ketersediaan beras, mutu dan kualitas beras, (4) tingkat harga dan pendapatan yang diperoleh petani serta tingkat harga yang harus dibayar oleh konsumen, dan (5) mampu membuka lapangan pekerjaan di daerah pedesaan. Selain itu, penggilingan merupakan salah satu pintu masuk untuk memperkirakan antara lain jumlah/kuantitas beras yang tersedia pada waktu tertentu.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
51
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Berdasarkan hasil survei ekonomi yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2012 data jumlah penggilingan yang ada di Indonesia sebanyak 182.175 unit terdiri dari 167.840 unit dengan kapasitas kecil, 8.624 unit dengan kapasitas sedang, 2.117 unit dengan kapasitas besar, dan sebanyak kapasitasnya.
3.594 unit
tidak tercatat golongan
Jumlah penggilingan padi tergantung pada kondisi lingkungan setempat dimana biasanya semakin tinggi produksi padi di suatu wilayah semakin banyak pula jumlah penggilingan padi di wilayah tersebut. Saat ini sebanyak 53% jumlah penggilingan padi di Indonesia berada di pulau Jawa. Berdasarkan tempat usaha, penggilingan padi dibedakan menjadi dua yaitu penggilingan padi tetap dan penggilingan padi keliling. Lokasi penggilingan padi tetap selalu menetap di suatu wilayah sedangkan penggilingan padi keliling umumnya bergerak mengikuti konsumen dari jasa penggilingan tersebut. Jumlah penggilingan padi keliling di Indonesia mencapai 11,5 % dari total seluruh penggilingan. Munculnya penggilingan padi keliling mempermudah petani untuk menggiling padi tanpa harus memikirkan pengangkutan hasilnya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui stok gabah dan beras yang ada di penggilingan sebagai indikasi ketersediaan beras di masyarakat. Jumlah sampel pada kegiatan monitoring akses pangan sebanyak 970 penggilingan yang terdapat pada 97 kabupaten di 22 provinsi di Indonesia. Tiga kabupaten yaitu Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Sintang dan Kabupaten Lampung Tengah (30 penggilingan) tidak dimasukkan dalam pengolahan data karena kendala di lapangan sehingga kabupatenkabupaten tersebut tidak dapat mengirimkan data. Sampel penggilingan terdiri dari 514 penggilingan dengan kapasitas besar, 357 penggilingan kapasitas sedang, dan 99 penggilingan kapasitas kecil. Persentase penggilingan responden dari masing-masing skala usaha dibandingkan dengan populasi jumlah penggilingan di Indonesia berdasarkan kapasitasnya adalah sebagai berikut penggilingan besar sebesar 25%, penggilingan sedang 4,3%, dan penggilingan kecil sebesar 0,06%. Hasil kegiatan monitoring akses pangan di tingkat penggilingan tahun 2016 adalah sebagai berikut : (1) Jumlah Sampel Per Provinsi Persentase penggilingan responden dari masing-masing skala usaha dibandingkan dengan populasi jumlah penggilingan di Indonesia berdasarkan kapasitasnya adalah sebagai berikut : penggilingan besar sebesar 25%, penggilingan sedang 4,3%, dan penggilingan kecil sebesar 0,06%. Pengambilan sampel pada penggilingan skala besar lebih banyak dari penggilingan skala lainnya karena keragaman kapasitas terpasang pada skala tersebut relatif tinggi. Berikut jumlah
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
52
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
populasi sampel dan jumlah sampel berdasarkan kapasitas penggilingan per provinsi pada kegiatan monitoring akses pangan tahun 2016. Tabel 8. Jumlah sampel per provinsi berdasarkan kapasitas penggilingan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Provinsi Bali Banten DI Yogyakarta Jawa Barat Jambi Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Lampung Nanggroe Aceh Darussalam Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Riau Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sumatera Barat Sumatera Selatan Sumatera Utara Total
Jumlah Sampel Jumlah Besar Sedang Kecil 13 5 2 20 12 24 4 40 6 3 1 10 96 48 16 160 11 5 4 20 70 56 14 140 72 36 12 120 29 26 5 60 17 9 4 30 11 7 2 20 12 6 2 20 9 18 3 30 18 9 3 30 24 8 1 11 50 1 15 22 6 514
12 10 8 7 31 8 12 14 3 357
4 2 1 2 9 1 3 4 1 99
40 20 10 20 90 10 30 40 10 970
a. Tingkat Rendemen Penggilingan Sampel 1) Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat rendemen Rendemen giling adalah persentase berat beras sosoh terhadap berat gabah yang digiling. Beras sosoh adalah gabungan beras kepala, beras patah, dan menir. Langkah-langkah yang dilakukan untuk menghitung rendemen adalah dengan mengambil sampel gabah dan ditimbang kemudian dimasukkan ke mesin penggiling dengan konfigurasi mesin yang telah ditentukan. Beras hasil penggilingan ditimbang dan dipisahkan dari kotoran atau benda asing. Nilai rendemen merupakan hasil perbandingan antara berat Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
53
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
beras sosoh yang dihasilkan dari penggilingan dengan berat gabah sebelum digiling. Rendemen merupakan salah satu faktor mutu yang penting. Rendemen dikatakan baik apabila dari gabah digiling diperoleh minimum 70% beras giling, terdiri dari ± 50% beras kepala dan 20% beras pecah. Faktor-faktor yang menentukan rendemen giling antara lain : varietas, penerapan budidaya, lingkungan atau agroekosistem, penanganan pasca panen, teknik penggilingan, peralatan penggilingan, dan kemampuan sumber daya manusia yang melakukan proses penggilingan. Upaya untuk menekan susut dan meningkatkan rendemen giling telah dilakukan pemerintah dengan meluncurkan program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dan gerakan penanganan pasca panen dan pemasaran gabah/beras (GP4GB) dengan target menghasilkan tambahan produksi dua juta ton beras atau setara 3,15 juta ton GKG (gabah kering giling). Dalam kegiatan pascapanen upaya tersebut ditempuh melalui pengadaan dan rehabilitasi alat mesin pascapanen (sabit bergerigi, terpal, pedal thresher dan power thresher) dan revitalisasi penggilingan padi kecil (PPK) atau rice milling unit (RMU) dengan tujuan utama menekan susut pascapanen dan meningkatkan rendemen giling. Jika dalam penanganan pascapanen dapat ditekan susut sebesar 3 persen maka usaha tersebut dapat meningkatkan produksi gabah sebesar 1,8 juta ton GKG atau setara 1,14 juta ton beras. Di lain pihak, dalam penggilingan jika dapat meningkatkan rendemen sebesar 3 persen akan dapat meningkatkan ketersediaan beras nasional sekitar 1,14 juta ton beras. Dengan demikian sekitar 2,28 juta ton beras dapat diselamatkan dengan menekan susut dan meningkatkan rendemen giling. 2) Keragaan rendemen setiap kabupaten Hasil pemantauan menunjukkan bahwa tingkat rendemen berkisar antara 41% - 75 % dengan rata-rata rendemen 55 %. Keragaan rendemen setiap kabupaten dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
54
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Tabel 9 . Tingkat rendemen penggilingan sampel No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kabupaten Lima Puluh Kota Indragiri Hilir Kerinci Banyuasin Lampung Timur Tanggamus Serang Lebak Pandeglang Tangerang Cianjur Bogor Karawang Majalengka Pati Ponorogo Banyuwangi Ngawi Malang Pasuruan Lumajang Bantul Lombok Tengah Bima Lombok Barat Kubu Raya Hulu Sungai Tengah Hulu Sungai Selatan Takalar Gowa Bantaeng Maros Wajo Bulukumba Polewali Mandar
Rata-Rata Rendemen 48 % 60 – 65 % 55 – 65 % 55 – 66 % 56 – 66 % 50 % 50 – 59 % 55 – 62 % 48 – 63 % 55 – 65 % 43 – 64 % 52 – 65 % 53 – 60 % 60 – 65 % 49 – 60 % 60 – 66 % 51 – 55 % 55 – 65 % 50 – 55 % 46 – 53 % 53 – 58 % 60 % 60 – 62 % 60 – 66 % 50 – 75 % 64 – 68 % 60 – 67 % 66 % 65 % 55 – 65 % 60 – 70 % 41 – 65 % 50 – 57 % 55 – 65 % 57 – 60 %
b. Jumlah Penggilingan Yang Memberikan Data Selama Juli – Desember 2016 Persentase tertinggi jumlah penggilingan yang memberikan data terjadi pada bulan Juli 2016 yaitu sebesar 83,09%, dan terendah pada bulan Desember 2016 yaitu 69,38%, rata-rata data yang masuk setiap bulan sebesar 76,82%. Berdasarkan wilayah, provinsi yang memberikan laporan data stok gabah dan beras secara penuh (100%) adalah provinsi Bali, Jambi, Kalimantan Selatan, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
55
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Riau dan Sumatera Utara, sedangkan provinsi Sulawesi Tenggara merupakan provinsi yang terendah dalam memberikan laporan (0%). Tren pengumpulan data semakin menurun. Hal ini antara lain disebabkan oleh : 1) 2)
Perubahan kelembagaan yang menangani ketahanan pangan di daerah, salah satu diantaranya mutasi enumerator ke dinas lain; Respon dari penggilingan yang menjadi sampel semakin lama semakin turun, hal ini diduga karena responden merasa bosan. Sehingga pengumpulan data mengalami keterlambatan atau bahkan tidak ada data sama sekali.
c. Stok Gabah dan Beras di Penggilingan pada Bulan Juli – Desember 2016 Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan dari bulan Juli – Desember 2016, diperoleh data stok gabah tertinggi terdapat pada bulan Agustus 2016 yaitu sebesar 3.828.810 ton, dan stok terendah terjadi pada bulan November 2016 yaitu sebesar 2.964.067 ton. Stok beras tertinggi terjadi pada bulan September 2016 yaitu sebesar 1.762.296 ton, dan stok terendah pada bulan Juli 2016 yaitu sebesar 1.529.048 ton. Stok tersebut tersebar di penggilingan besar, sedang maupun kecil. d. Stok Gabah dan Beras di Penggilingan Berdasarkan Kapasitasnya pada bulan Juli – Desember 2016 1)
Stok gabah dan beras di penggilingan berdasarkan kapasitas besar pada bulan Juli – Desember 2016 Berdasarkan hasil survei Juli - Desember 2016 diperoleh data stok gabah di penggilingan kapasitas besar tertinggi terjadi pada bulan Juli 2016 yaitu sebanyak 291.342,60 ton, sedangkan stok beras tertinggi pada bulan Oktober 2016 yaitu sebesar 454.271,78 ton.
2)
Stok gabah dan beras di penggilingan kapasitas sedang pada bulan Juli – Desember 2016 Berdasarkan hasil survey Juli - Desember 2016 diperoleh data stok gabah di penggilingan kapasitas sedang tertinggi terjadi pada bulan Desember 2016 yaitu sebanyak 398.072,80 ton dan stok beras tertinggi juga terjadi pada bulan Desember 2016 sebesar 192.110,23 ton.
3)
Stok gabah dan beras di penggilingan kapasitas kecil pada bulan Juli – Desember 2016 Berdasarkan hasil survey Juli – Desember 2016 diperoleh data stok gabah dan beras di penggilingan kapasitas kecil tertinggi terjadi pada bulan
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
56
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Agustus 2016 yaitu dimana stok gabah sebanyak 3.260.289 ton dan stok beras tertinggi terjadi pada bulan Juli 2016 sebanyak 1.268.680 ton. e. Perkiraan Ketersediaan dan Kebutuhan Beras Nasional Perkiraan ketersediaan beras nasional tahun 2016 sebesar 46,028.6 ribu ton dan perkiraan kebutuhan beras nasional tahun 2016 sebesar 33,842.4 ribu. Kebutuhan beras nasional dihitung sebesar 124,89 kg/kap/thn. Dengan stok akhir tahun 2015 sebesar 8.906,6 ribu ton maka pada tahun 2016 tidak perlu ada import. Jumlah penduduk tahun 2016 sebanyak 258.705.000 jiwa (proyeksi penduduk Indonesia 2010 – 2035, Bappenas – BPS). f. Hubungan Antara Ketersediaan Dan Stok Beras Di Penggilingan Pada Bulan Juli – Desember 2016 Apabila dibuat perbandingan perkiraan ketersediaan beras dan stok beras di penggilingan dari bulan Juli – Desember 2016 terdapat hubungan yang cukup signifikan antara ketersediaan beras dan stok beras di penggilingan, dimana hasil uji korelasi menunjukan nilai r = 0,889. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang kuat antara ketersediaan beras dengan stok beras di penggilingan. Sedangkan arah hubungan adalah positif karena nilai r positif, berarti semakin tinggi perkiraan ketersediaan beras per bulan maka stok beras di penggilingan per bulan juga meningkat. g. Hubungan Antara Perkiraan Kebutuhan Dan Stok Beras Di Penggilingan Pada Juli – Desember 2016 Berdasarkan hasil pengumpulan data monitoring akses pangan di tingkat penggilingan dari bulan Juli – Desember 2016 jumlah stok beras di penggilingan hampir selalu lebih rendah dibanding perkiraan kebutuhan beras. h. Hubungan Antara Perkiraan Ketersediaan Beras, Stok Beras Di Penggilingan, Dan Perkiraan Kebutuhan Beras Bulan Juli – Desember 2016 Perkiraan kebutuhan beras untuk tahun 2016 cenderung stabil dari bulan ke bulan, sedangkan perkiraan ketersediaan beras bersifat fluktuatif tergantung pada musim, dimana pada saat musim panen seperti bulan Maret perkiraan ketersediaan berasnya sangat tinggi. Namun apabila dilihat dari jumlah stok beras di penggilingan, jumlahnya juga cukup stabil tidak terlalu terpengaruh oleh musim panen walaupun pada musim-musim panen jumlahnya cenderung tinggi namun meningkatnya tidak terlalu signifikan dibanding bulan-bulan lainnya.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
57
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Stabilnya jumlah stok beras di penggilingan diduga karena pada umumnya apabila di suatu wilayah tidak terdapat stok gabah untuk digiling maka pengusaha penggilingan akan berusaha mencari gabah dari daerah-daerah lain untuk digiling, sehingga perusahaan penggilingan tersebut cenderung stabil. Secara umum, ketersediaan dan stok beras di penggilingan masih dapat memenuhi kebutuhan beras setiap bulan pada tahun 2016. e. Kemandirian Pangan dalam Mendukung Swasembada Pangan Untuk
mencapai
kemandirian
pangan
kemampuan
penyediaan
pangan
berdasarkan produksi lokal merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu swasembada pangan harus terus diupayakan. Penyediaan pangan yang dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri sangat ditentukan oleh luas dan produktivitas lahan yang dikelola, keterbatasan lahan dan rendahnya produktivitas mengakibatkan ketergantungan pangan kepada pihak luar, kondisi tersebut akan sangat membahayakan kedaulatan suatu bangsa. Ekstensifikasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan-lahan yang selama ini tidak digunakan karena berbagai sebab, antara lain minimnya unsur hara yang berakibat pada rendahnya produktivitas sebagaimana yang terjadi di lahan kritis yang di dalamnya termasuk lahan bekas galian tambang. Jaringan advokasi tambang (Jatam) memperkirakan 70% kerusakan lingkungan Indonesia disebabkan operasi pertambangan. Sekitar 3,97 juta ha kawasan lindung terancam pertambangan termasuk keragaman hayatinya. Tak hanya itu, kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat aktivitas pertambangan juga meningkat dalam 10 tahun terakhir, dari sekitar 4.000 DAS di Indonesia, 108 rusaknya rusak parah. Pengelolaan lahan dengan benar pada lahan-lahan kritis dan tidak termanfaatkan tersebut dapat memenuhi 2 (dua) hal yang dibutuhkan untuk penyediaan pangan secara optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan lahan harus diupayakan tanpa menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan maupun menurunkan kualitas sumber daya lahan, dan sebaiknya diarahkan pada perbaikan struktur fisik, komposisi kimia dan aktivitas biota tanah yang optimum bagi tanaman, yang selanjutnya dapat menjamin keberlangsungan usaha tani. Pertemuan Penyusunan Panduan Pembinaan Keberlanjutan Kemandirian Pangan Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 21 – 22 April 2016 di Wisma BIN, Cipayung, Bogor dengan peserta sebanyak 12 orang yang terdiri dari Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Kepala Bidang Akses Pangan, Kepala Sub
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
58
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Bidang Analisis Akses Pangan, Kepala Sub Bidang Pengembangan Akses Pangan dan staf Bidang Akses Pangan. Tujuan dari pertemuan ini adalah menyusun panduan pembinaan keberlanjutan kemandirian pangan. Output yang dihasilkan
pada
pertemuan
ini
adalah
Panduan
Pembinaan
Keberlanjutan Kemandirian Pangan – SOP Penyehatan Lahan Bekas Galian Tambang. Kegiatan pembinaan keberlanjutan kemandirian pangan hanya dilaksanakan melalui kegiatan penyusunan panduan saja. Hal ini dikarenakan adanya pemotongan anggaran. 3. Penguatan Kapasitas Aparat dan Masyarakat a. Apresiasi Analisis Ketersediaan Pangan Kegiatan Apresiasi Analisis Ketersediaan Pangan bertujuan untuk menyamakan persepsi dan meningkatkan kemampuan aparat daerah dalam melakukan analisis ketersediaan pangan wilayah (provinsi dan kabupaten/kota). Sasaran dari kegiatan ini adalah aparat daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam melakukan analisis ketersediaan pangan wilayah. Sedangkan output dari kegiatan ini adalah terlaksananya apresiasi analisis ketersediaan pangan terhadap aparat dari 34 provinsi.Realisasi pelaksanaan 100 persen. Apresiasi Analisis Ketersediaan Pangan Tahun 2016 dilaksanakan dua kali pertemuan. Pertemuan pertama di Kepulauan Bangka Belitung pada tanggal 15 – 17 Maret 2016, diikuti oleh 16 provinsi. Pertemuan kedua di Jawa Timur pada tanggal 30 Maret – 1 April 2016, diikuti oleh 17 provinsi. Sedangkan Materi yang disampaikan dalam Apresiasi Analisis Ketersediaan Pangan adalah Neraca Bahan Makanan (NBM), Angka Kecukupan Gizi dan Pola Pangan Harapan (AKG & PPH), Pola Panen Bulanan, Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). Berdasarkan hasil pemaparan, diskusi dan pembahasan selama apresiasi maka diperlukan rencana tindak lanjut yang perlu dilakukan di tingkat daerah dan pusat, diantaranya sebagai berikut: a.
Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, khususnya SKPD yang menangani ketahanan pangan diharapkan dapat: 1) Memanfaatkan hasil analisis ketersediaan pangan sebagai bahan perumusan kebijakan ketersediaan pangan di wilayahnya. Analisis Neraca Bahan Makanan (NBM) dapat digunakan sebagai sarana evaluasi kinerja instansi lintas sektor terkait yang menjadi sumber data dan informasi NBM.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
59
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
2) Membentuk Tim Neraca Bahan Makanan dengan melibatkan instansi lintas sektor dalam rangka mempermudah koordinasi dan validasi data dari berbagai instansi lintas sektor terkait, dengan menerbitkan SK Gubernur/Bupati/Walikota selaku Ketua Dewan Ketahanan Pangan Provinsi/Kabupaten/Kota. 3) Melakukan kordinasi dengan SKPD, terkait komoditas yang belum masuk dalam NBM. Dalam hal ini komoditas spesifik wilayah dimana komoditas tersebut banyak dikonsumsi oleh mayarakat. 4) Menggunakan angka konversi dalam NBM sesuai dengan kondisi daerah masing-masing berdasarkan hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan dan disepakati Tim NBM Provinsi dan Kabupaten/Kota. 5) Buku NBM diharapkan dapat distribusikan kepada seluruh SKPD terkait dan anggota TIM NBM, sehingga diharapkan menjadi salah satu alat (informasi) dalam pengambilan kebijakan Gubernur, Bupati dan walikota.
b. c. d.
3.4
6) Menyusun Pola Pangan Harapan (PPH) sesuai dengan kondisi potensi wilayah, khususnya di wilayah non sentra produksi beras atau wilayah dengan konsumsi pangan pokok selain beras. 7) Dalam menyusun pola panen dan produksi bulanan, diharapkan Provinsi, Kabupaten/Kota perlu melakukan kordinasi dengan BPS terkait dengan data subround khususnya data sub-round pada tingkat Kabupaten. 8) Melaksanakan pelatihan analisis ketersediaan pangan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kinerja aparat provinsi/kabupaten/kota dalam analisis ketersediaan pangan. Melakukan koordinasi lintas sektor untuk membahas kembali angka-angka konversi yang digunakan dalam NBM. Melakukan evaluasi terhadap hasil analisis NBM yang disusun oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota. Melakukan koordinasi untuk mengalokasikan anggaran Tugas Pembantuan untuk memfasilitasi analisis ketersediaan pangan di tingkat kabupaten.
Capaian Kinerja Lainnya a. Updating FSVA Nasional FSVA Nasional 2015 menyediakan bahan rekomendasi kepada pengambil keputusan dalam mengidentifikasi daerah yang lebih rentan, dimana investasi dari berbagai sektor seperti pelayanan jasa, pembangunan manusia dan infrastuktur yang berkaitan dengan ketahanan pangan dapat memberikan dampak yang lebih baik terhadap penghidupan, ketahanan pangan dan gizi masyarakat. FSVA Nasional 2015 ini menganalisis tingkat ketahanan dan kerentanan pangan sampai dengan level kabupaten.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
60
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Kegiatan penyusunan FSVA Nasional menghasilkan output berupa tersusunnya FSVA Nasional sebanyak 1 Buku atau terealisasi 100 persen. Kegiatan penyusunan FSVA bertujuan untuk: (1) Meningkatkan pemahaman petugas pelaksana tentang pentingnya informasi ketahanan dan kerentanan pangan, (2) Meningkatkan kemampuan petugas pelaksana dalam penyusunan peta ketahanan dan kerawanan pangan (FSVA) provinsi/kabupaten, (3) Meningkatkan kemampuan petugas pelaksana dalam pemanfaatan data/indikator peta ketahanan dan kerawanan pangan untuk menyusun rencana program peningkatan ketahanan pangan dan penanggulangan kerawanan pangan dan gizi. FSVA Nasional 2015 mengacu pada tiga aspek ketahanan pangan, yaitu aspek ketersediaan pangan, aspek akses pangan dan pemanfaatan pangan. Masing-masing aspek tersebut diwakili dengan indikator-indikator yang mengimplementasikan aspek ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. FSVA Nasional 2015 terdiri dari 13 indikator, dimana indikator tersebut terbagi dalam 9 indikator kerawanan pangan kronis dan 4 kerawanan pangan transien. Indikator kerawanan pangan kronis meliputi rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan produksi bersih (padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar), persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, persentase desa dengan akses penghubung yang kurang memadai, persentase rumah tangga tanpa akses listrik, persentase perempuan buta huruf, persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih, persentase desa dengan jarak lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan, presentase tinggi badan balita dibawah standar (stunting) dan angka harapan hidup pada saat lahir. Sedangkan kerawanan pangan transien meliputi bencana alam yang terkait iklim, variabilitas curah hujan, hilangnya produksi padi dan deforestasi yang secara rinci dapat dilihat pada tabel lampiran. Metodologi dalam analisis komposit FSVA Nasional 2015 adalah menganalisis 9 indikator kerawanan pangan kronis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis), Analisis Gerombol (Cluster Analysis) dan Analisis Diskriminan (Discriminant Analysis). FSVA Nasional 2015 juga dapat menjawab tiga pertanyaan dasar, yaitu dimana wilayah yang paling rentan terhadap kerawanan pangan, mengapa wilayah tersebut rentan terhadap kerawanan pangan, dan berapa banyak orang yang terkena dampak (estimasi). Berdasarkan hasil analisis ketahanan pangan komposit, dari total 398 kabupaten di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Prioritas 1 sebanyak 14 kabupaten (4%), Prioritas 2 sebanyak 44 kabupaten (11%), Prioritas 3 sebanyak 52 kabupaten (13%), Prioritas 4 sebanyak 84 kabupaten (21%), Prioritas 5 sebanyak 85 kabupaten (21%) dan Prioritas 6 sebanyak 119 kabupaten (30%). Dari 14 kabupaten yang termasuk kategori Prioritas 1, semuanya berasal dari Provinsi Papua. Perlu diketahui bahwa Provinsi Papua memiliki 28 kabupaten secara keseluruhan. Selanjutnya dari 44 kabupaten yang termasuk kategori Prioritas 2, terdapat 12 kabupaten di Provinsi Papua, 9 kabupaten di Provinsi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
61
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Papua Barat, 9 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 7 kabupaten di Provinsi Maluku, 4 kabupaten di Provinsi Sumatera Utara dan 1 kabupaten masing-masing di Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Maluku Utara. Karakteristik utama yang menyebabkan tingginya kerentanan terhadap kerawanan pangan secara umum adalah: (1) tingginya jumlah rumah tangga tanpa akses listrik, (2) tingginya jumlah desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai (jalan darat dan air), (3) tingginya jumlah keluarga yang tinggal di desa dengan jarak lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan, (4) tingginya angka perempuan buta huruf, (5) tingginya jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, dan (6) tingginya rasio konsumsi terhadap produksi. Karakteristik utama kerentanan terhadap kerawanan pangan pada Prioritas 1 secara berturut-turut adalah: (1) tingginya jumlah desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai (jalan darat dan air), (2) tingginya jumlah rumah tangga tanpa akses listrik, (3) tingginya angka perempuan buta huruf, (4) tingginya jumlah desa yang tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan dalam jarak 5 km dan (5) tingginya angka stunting pada balita. Karakteristik utama kerentanan terhadap kerawanan pangan pada Prioritas 2 berturut-turut adalah: (1) tingginya angka stunting pada balita, (2) tingginya jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih dan layak minum, (3) rendahnya angka harapan hidup, (4) tingginya jumlah rumah tangga tanpa akses listrik dan (5) tingginya angka perempuan buta huruf. Sedangkan karakteristik utama kerentanan terhadap kerawanan pangan pada Prioritas 3 berturut-turut adalah: (1) tingginya jumlah desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai (jalan darat dan air), (2) tingginya jumlah rumah tangga tanpa akses listrik, (3) tingginya jumlah desa yang tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan dalam jarak 5 km, (4) tingginya jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih dan layak minum dan (5) tingginya rasio konsumsi terhadap produksi. 3.5
Dukungan Instansi Lain Pada tahun 2016 Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mendapatkan dukungan dari beberapa instansi terkait antara lain : (1) Badan Pusat Statistik (BPS), (2) Kementerian Kesehatan, (3) Kementerian Perdagangan, (4) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), (5) Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), (6) Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, (7) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), (8) Kementerian Sosial, (9) Kementerian Dalam Negeri, (10) Bank Indonesia, (11) Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BPPN), (12) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (13) Kementerian Kelautan dan
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
62
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Perikanan, (14) Perum Bulog, (15) Institut Pertanian Bogor (IPB) dan (16) World Food Programme (WFP). Dukungan yang diberikan berupa penyediaan data yang digunakan dalam analisis yang terkait kegiatan di Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan. Selain itu, BAPPENAS juga memberikan dukungan dengan menjadikan peta FSVA sebagai salah satu sumber wacana dalam penentuan indikator pembangunan desa.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
63
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Secara umum, kinerja pelaksanaan tugas dan fungsi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan selama tahun 2016 telah berjalan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, yang tampak dari hasil pengukuran kinerja dengan sasaran meningkatnya kualitas analisis ketersediaan dan akses pangan serta penanganan kerawanan pangan, yang ditetapkan melalui 8 indikator berikut: 1. Jumlah desa mandiri pangan regular yang diberdayakan di 429 desa dengan capaian 429 desa atau 100 persen; 2. Jumlah kawasan mandiri pangan (Papua, Papua Barat, Kepulauan dan Perbatasan yang diberdayakan) di 107 lokasi dengan capaian 100 persen; 3. Jumlah pengembangan kawasan mandiri pangan 2016 sebanyak 85 laporan dengan capaian 85 laporan atau 100 persen; 4. Analisis penanganan rawan pangan, SKPG sebanyak 456 laporan dengan capaian 456 laporan atau 100 persen; 5. Pengembangan akses pangan sebanyak 3 laporan dengan capaian 3 laporan atau 100 persen; 6. Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) sebanyak 1 laporan, dengan capaian 1 laporan atau 100 persen; 7. Jumlah hasil kajian ketersediaan pangan, akses pangan dan penanganan rawan pangan sebanyak 72 laporan dan 1 dokumen dengan capaian 72 laporan dan 1 dokumen atau 100 persen. 8. Jumlah laporan hasil penguatan kapasitas aparat dan masyarakat sebanyak 2 laporan dengan capaian 7 laporan atau 100 persen. Selain melakukan kegiatan diatas, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan juga melakukan kegiatan lain untuk menunjang sasaran strategis yaitu kajian cadangan beras dan PPFS-APEC. Untuk mencapai sasaran strategis meningkatnya pemantapan ketersediaan pangan dan penanganan rawan pangan dialokasikan anggaran sebesar Rp.17.524.834.000 telah direalisasikan sebesar Rp.13.237.639.642 atau 75,54 persen, yang dialokasikan pada di 9 kegiatan yang meliputi : Pengembangan Kawasan Mandiri Pangan, Penanganan Daerah Rawan Pangan (SKPG), Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA), Kajian Ketersediaan Pangan, Akses Pangan dan Penanganan Rawan Pangan, dan Penguatan Kapasitas Aparat dan Masyarakat. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
64
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
4.2 Saran 1.
Perlunya peningkatan koordinasi lintas sektor untuk mendukung kegiatan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan;
2. 3.
Perlunya peningkatan sosialiasi kegiatan Pusat ke daerah; Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Pusat dan Daerah;
4.
Perlunya dukungan anggaran di Pusat dan Daerah.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
65
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
LAMPIRAN
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Indikator, Definisi dan Sumber Data FSVA Kabupaten 2016
1. Rasio Warung terhadap Rumah Tangga Adalah Rasio Jumlah Warung/Kedai Makanan dan Minuman terhadap Jumlah Rumah Tangga. Jumlah toko/warung kelontong adalah tempat usaha di bangunan tetap untuk menjual barang keperluan sehari-hari secara eceran tanpa ada sistem pelayanan mandiri, sumber data: PODES 2014 #1208, BPS. Jumlah Rumah Tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2014, hasil dari proyeksi SP 2010.
2. Rasio Toko terhadap Rumah Tangga. Adalah Rasio Jumlah Warung/Kedai Makanan Minuman terhadap Jumlah Rumah Tangga. Jumlah warung/kedai makanan minuman adalah usaha pangan siap saji di bangunan tetap, pembeli biasanya tidak dikenai pajak, sumber data: PODES 2014 #1207, BPS. Jumlah Rumah Tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2014, hasil dari proyeksi SP 2010.
3. Rasio Penduduk dengan Status Kesejahteraan Terendah. Adalah Rasio Penduduk dengan Status Kesejahteraan Terendah terhadap Total Penduduk. Penduduk dengan Status Kesejahteraan Terendah adalah Jumlah Penduduk dengan Tingkat Kesejahteraan pada Desil 1, Sumber data: PBDT 2015, TNP2K. Jumlah Penduduk adalah jumlah penduduk tahun 2015, hasil proyeksi dari SP 2010.
4. Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses Listrik Adalah rasio jumlah rumah tangga dengan sumber penerangan utama bukan listrik pada semua desil, sumber data: PBDT 2015, Blok III #9a, TNP2K. Jumlah rumah tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2015, hasil dari proyeksi 2010.
5. Desa yang Tidak Memiliki Akses Penghubung Memadai. Adalah Desa Tidak Memiliki Jalan yang Dapat Dilalui Kendaraan Roda 4 atau Lebih, yaitu: desa dengan sarana transportasi darat tidak dapat dilalui sepanjang tahun dan desa yang tidak ada angkutan umum sarana transportasi air. Sumber data: PODES 2014 #1001B2, BPS.
6. Rasio Anak yang Tidak Bersekolah terhadap Anak yang Bersekolah. Adalah Rasio Jumlah Anak yang Tidak Bersekolah (7-15 Tahun) terhadap Jumlah Anak Bersekolah (7-15 Tahun) pada semua desil, sumber data: PBDT 2015, Blok IV #kolom15, TNP2K. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
7. Rasio Rumah Tangga tanpa Akses Air Bersih. Adalah Rasio Rumah Tangga Tidak Memiliki Akses ke Air Bersih. Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak (Permenkes 416 Tahun 1990). Air minum yang berkualitas (layak) adalah air minum yang terlindung meliputi: air ledeng (keran), keran umum, hydrant umum, terminal air, penampungan air hujan (PAH) atau mata air dan sumur terlindung, sumur bor atau sumur pompa, yang jaraknya minimal 10 m dari pembuangan kotoran, penampungan limbah dan pembuangan sampah. Tidak termasuk: air kemasan, air dari penjual keliling, air yang dijual melalui tanki, air sumur dan mata air tidak terlindung. Rumah tangga tidak memiliki akses ke air bersih adalah rumah tangga dengan sumber air tidak layak minum yaitu sumber air tidak terlindungi, terdiri atas (a) sumur tak terlindung; (b) mata air tak terlindung (c) sungai/danau/waduk; (d) air hujan; (d) lainnya pada semua desil, sumber data: PBDT 2015, Blok III #7, TNP2K. Jumlah rumah tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2015, hasil dari proyeksi SP 2010.
8. Rasio Tenaga Kesehatan terhadap Penduduk. Adalah Rasio Jumlah Tenaga Kesehatan terhadap Jumlah Penduduk. Jumlah tenaga kesehatan terdiri atas: (a) Dokter Umum/Spesialis (Pria/wanita), (b) Dokter Gigi, (c) Bidan dan (d) Tenaga Kesehatan lainnya (apoteker/asisten apoteker, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, perawat), Sumber data: PODES 2014 #706a-#706d, BPS. Jumlah penduduk adalah jumlah penduduk tahun 2014, hasil proyeksi dari SP 2010.
9. Rasio Rumah Tangga Tanpa Fasilitas BAB (Buang Air Besar). Adalah Rasio Rumah Tangga yang Tidak Memiliki Fasilitas Buang Air Besar terhadap Jumlah Rumah Tangga. Rumah Tangga yang Tidak Memiliki Fasilitas Sanitasi Memadai adalah rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar pada semua desil, sumber data: PBDT 2015, Blok III #11a, TNP2K. Jumlah Rumah Tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2015, hasil dari proyeksi SP 2010.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Tabel Perbandingan Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan No FSVA Nasional (2015)
FSVA Provinsi
FSVA Kabupaten (2016)
A. Aspek Ketersediaan Pangan 1 Rasio Konsumsi Normatif Rasio Konsumsi Normatif per Kapita terhadap per Kapita terhadap Produksi Bersih Produksi Bersih Sumber Data: Produksi, BPS
Data Sumber Data: Produksi, BPS
1. Rasio Warung terhadap Rumah Tangga Sumber Data: PODES 2014, BPS
Data
2. Rasio Toko terhadap Rumah Tangga Sumber Data: PODES 2014, BPS 2
Persentase Miskin
Penduduk Persentase Miskin
Penduduk
Sumber Data: 2013, BPS
SUSENAS Sumber Data: 2013, BPS
SUSENAS
3. Rasio Penduduk dengan Status Kesejahteraan Tersendah Sumber Data: PBDT 2015, TNP2K
Diolah dengan Metode SAE (Small Area Estimation) B. Aspek Akses terhadap Pangan 3 Persentase Desa dengan Persentase Desa dengan Akses Penghubung Kurang Akses Penghubung Kurang Memadai Memadai Sumber Data: PODES 2014, Sumber Data: PODES 2014, BPS BPS 4
Persentase Rumah Tangga Persentase Rumah Tangga Tanpa Akses Akses Listrik Tanpa Akses Akses Listrik Sumber Data: 2013, BPS
SUSENAS Sumber Data: 2013, BPS
SUSENAS
4. Desa yang Tidak Memiliki Akses Penghubung Memadai Sumber Data: PODES 2014, BPS
5. Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses Listrik Sumber Data: PBDT 2015, TNP2K
Diolah dengan Metode SAE (Small Area Estimation) C. Aspek Pemanfaatan Pangan 5 Persentase Perempuan Buta Persentase Perempuan Buta Huruf Huruf Sumber Data: 2013, BPS
SUSENAS Sumber Data: 2013, BPS
SUSENAS
Diolah dengan Metode SAE (Small Area Estimation) Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
6. Rasio Anak yang Tidak Bersekolah terhadap Anak yang Bersekolah Sumber Data: PBDT 2015, TNP2K
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
No FSVA Nasional (2015)
6
FSVA Provinsi
FSVA Kabupaten (2016)
Persentase Rumah Tangga Persentase Rumah Tangga tanpa Akses Air Bersih tanpa Akses Air Bersih Sumber Data: 2013, BPS
SUSENAS Sumber Data: 2013, BPS
SUSENAS
7. Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses Air Bersih Sumber Data: PBDT 2015, TNP2K
Diolah dengan Metode SAE (Small Area Estimation) 7
Persentase Desa dengan Persentase Desa dengan 8. Rasio Tenaga Kesehatan terhadap Penduduk Jarak lebih 5 km dari Jarak lebih 5 km dari Sumber Data: PODES 2014, Fasilitas Kesehatan Fasilitas Kesehatan BPS Sumber Data: PODES 2014, Sumber Data: PODES 2014, BPS BPS
8
Persentase Balita Kurang (Stunting)
Tinggi Persentase Balita Kurang (Stunting)
Tinggi
Sumber Data: RISKESDAS Sumber Data: RISKESDAS 2013, Kemkes 2013, Kemkes Diolah dengan Metode SAE (Small Area Estimation) 9
Angka Harapan Hidup Sumber Data: 2013, BPS
Angka Harapan Hidup
SUSENAS Sumber Data: 2013, BPS
SUSENAS
Diolah dengan Metode SAE (Small Area Estimation)
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
9. Rasio Rumah Tangga Tanpa Fasilitas BAB Sumber Data: PBDT 2015, TNP2K