LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012
REVITALISASI SISTEM PENYULUHAN UNTUK MENDUKUNG DAYA SAING INDUSTRI PERTANIAN PEDESAAN
Oleh : Kurnia S. Indraningsih Kedi Suradisastra Tri Pranadji Gelar S. Budhi Endang L. Hastuti Sunarsih Rita N. Suhaeti
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENDAHULUAN 1.
Penyuluhan pertanian mempunyai peranan penting dalam pembangunan pertanian di pedesaan. Sistem penyuluhan pertanian bila dirumuskan dan dijalankan dengan baik, diperkirakan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Pemberlakuan Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan mempunyai kekuatan hukum bagi kegiatan penyuluhan dalam memberikan dukungan bagi keberhasilan pembangunan pertanian di pedesaan.
2.
Perubahan untuk perbaikan dalam rangka Revitalisasi Sistem Penyuluhan secara menyeluruh, seyogyanya tidak dilakukan secara trial and error. Perubahan yang dimaksud akan sangat baik jika didasarkan pada kajian kritis dan dari hasil penelitian yang berkualitas tinggi. Untuk mencapai tujuan penyuluhan pertanian, yakni mengembangkan sumberdaya manusia yang maju dan sejahtera, diperlukan kerja keras dan komitmen yang tinggi dari seluruh elemen (pemerintah, masyarakat, dan swasta) yang terlibat.
3.
Kinerja penyuluhan pertanian saat ini belum sepenuhnya sejalan dengan UU 16/2006. Faktor yang menjadi penyebab signifikan terjadinya penurunan kinerja dimaksud antara lain yang berkaitan dengan regulasi, materi dan program, kompetensi dan penyebaran SDM penyuluh, organisasi dan manajemen serta infrastruktur penyuluhan. Kegiatan penyuluhan kurang memberikan dampak yang signifikan terhadap dihasilkannya berbagai produk pertanian yang berdaya saing tinggi, ramah lingkungan, berkeadilan, serta kurang berdasarkan pada kekuatan dan kearifan lokal.
4.
Tujuan penelitian meliputi hal-hal berikut: (1) Mengidentifikasi pola penyuluhan pertanian, dilihat dari transfer inovasi teknologi dalam perspektif membangun industri pertanian pedesaan (IPP), (2) Mengidentifikasi pola penyuluhan pertanian, dilihat dari transfer inovasi kelembagaan dalam perspektif IPP, (3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penyuluhan pertanian dalam perspektif membangun IPP, (4) Mempelajari keterkaitan peraturan perundang-undangan, kegiatan advokasi, dan keterlibatan masyarakat sasaran dalam pengembangan IPP, dan (5) Merekomendasikan rumusan alternatif model penyuluhan dalam perspektif membangun IPP.
METODE PENELITIAN 5.
Data dan infromasi dihimpun melalui survai dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur (structured questionnaire) dari informan kunci. Teknik pengumpulan data adalah wawancara mendalam (indepth interview) dilengkapi dengan teknik Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion, FGD). Untuk memperoleh hasil penganalisaan yang logis dan komprehensif, analisis dilakukan dengan pendekatan nomotetis dilengkapi dengan pendekatan ideografis.
6.
Pemilihan lokasi penelitian mempertimbangkan hal berikut: (1) Sektor pertanian rakyat cukup dominan sebagai penopang ekonomi daerah dan mata pencaharian masyarakat pedesaan; (2) Dalam skala provinsi atau kabupaten dijumpai sistem IPP (hulu-hilir) yang relatif lengkap; (3) Kegiatan pertanian di lokasi (kecamatan atau desa) dipilih yang mempunyai peluang untuk dikembangkan secara progresif mengikuti model IPP; (4) Di wilayah penelitian relatif mudah dijumpai para pelaku yang terlibat dalam kegiatan penyuluhan pertanian, baik dulu maupun sekarang.
ix
7.
Lokasi (provinsi) penelitian mencakup wilayah Jawa dan Luar Jawa. Berdasarkan kriteria yang telah ditentukankan di atas secara purposif dipilih Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Lampung. Masing-masing dipilih dua kabupaten contoh sebagai lokasi penelitian, yakni Kabupaten Gunungkidul dan Sleman mewakili Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY); serta Kabupaten Pringsewu dan Lampung Timur mewakili Provinsi Lampung.
8.
Jumlah responden di setiap provinsi sebanyak 20 rumah tangga petani. Selain rumah tangga petani, wawancara juga dilakukan terhadap penyuluh (PNS, swadaya dan swasta), industri pertanian lingkup desa, serta informan kunci di masing-masing lokasi penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tujuan 1: Mengidentifikasi pola penyuluhan pertanian, dilihat dari transfer inovasi teknologi dalam perspektif membangun IPP 9.
IPP dilihat dari para pelaku di lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu (1) IPP yang pelakunya adalah pihak yang sama mulai dari produksi, panen, pascapanen dan pemasaran, yaitu IPP Pengolahan Padi Semi Organik dan Fermentasi Kakao; dan (2) IPP yang pelakunya berbeda-beda pada masing-masing subsistem, yaitu Pengolahan Keripik Pisang, Pengolahan Tepung Mocaf, dan Pengolahan Susu Kambing PE. Proses transfer teknologi, baik dari sisi sumber, materi, media maupun penerima inovasi teknologi berbeda bagi setiap pelaku.
10. Produksi padi semi-organik merupakan kegiatan yang dapat diketegorikan ke dalam kegiatan industri karena telah melibatkan kegiatan pengemasan (pascapanen) yang merupakan salah satu karakteristik industri. Petani yang menerapkan budidaya padi semi organik adalah petani yang mengikuti program sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SL-PHT). 11. Peluang untuk pengembangan industri padi organik cukup baik karena komoditas padi yang diusahakan sejalan dengan permintaan konsumen. Usaha padi organik di Lampung belum sepenuhnya menggunakan input organik, namun sedapat mungkin menghindari penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Masalah utama adalah hal-hal yang terkait dengan manajemen karena harus mampu menggali sumber-sumber pupuk organik dan menghindari godaan perusahaan-perusahaan penghasil pupuk dan pestisida. 12. Transfer inovasi teknologi padi semi-organik dalam kaitan dengan revitalisasi penyuluhan di Provinsi Lampung dilakukan dengan pola segitiga antara pemerintah, penyuluh, dan kelompok tani setempat. Materi penyuluhan terutama adalah aspek budidaya. 13. Pengembangan padi semi-organik di Desa Pagelaran, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: (1) ketersediaan sumber air bebas polusi, (2) ketersediaan permintaan dan pasar, (3) supply pupuk organik secara berkelanjutan, (4) mampu meminimalisir penggunaan pestisida kimia, dan (5) mampu meningkatkan produktivitas padi organik agar mampu melakukan penetrasi pasar dan bersaing dengan padi anorganik. 14. Pengembangan industri keripik pisang di Lampung cenderung diarahkan pada daerah perkotaan, baik kota/kabupaten maupun kota provinsi untuk lebih mendekatkan jarak konsumen-produsen. Perkembangan industri keripik pisang terjadi di wilayah perkotaan karena daya beli masyarakat yang lebih tinggi dari masyarakat pedesaan. Pusat pertanaman pisang seperti di Lampung Utara tidak
x
dapat mendorong pertumbuhan industri keripik karena wilayah ini lebih merupakan areal produksi bahan mentah keripik dan jauh dari pusat konsumen. 15. Kegiatan penyuluhan untuk keripik pisang telah membentuk alur dan pola pemasaran yang mencapai supermarket dan pasar ekspor. Alur penyuluhan dan pembinaan serta sertifikasi produk dan permodalan mengalir dari kelembagaan terkait (seperti Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pertanian) kepada petani. Dari arah grass-root, produk petani tiba ke kelompok pengusaha dan industri keripik melalui pengepul yang beroperasi di lapangan. 16. Dalam proses transfer inovasi teknologi pada industri keripik pisang, penyuluhan pemerintah belum memberikan perhatian khusus pada petani pisang, demikian juga pada olahan keripik pisang, yang telah menjadi salah satu ikon Lampung. Keterlibatan penyuluhan pemerintah dan perusahaan milik pemerintah terkait dengan pengemasan, pemasaran dan permodalan. 17. Transfer inovasi teknologi pada fermentasi kakao menunjukkan peran yang dominan dari kegiatan penyuluhan yang diselenggarakan oleh pemerintah yang mencakup susbsistem hulu, tengah dan hilir. Bahkan dalam subsistem hilir, pihak pemerintah juga memfasilitasi masuknya pihak swasta untuk membeli biji kakao yang sudah difermentasi. 18. Industri Pengolahan Susu Kambing PE menjadi salah satu contoh IPP yang berkembang karena kolaborasi yang baik antara penyuluhan pemerintah, swadaya, dan swasta. Petani menerima berbagai bentuk inovasi yang dapat memajukan usahatani kambingnya, didukung oleh berbagai pihak dari pemerintah baik aparat desa sampai provinsi, peneliti, perguruan tinggi, maupun swasta. Swasta yang berperan secara langsung dalam pengembangan pengolahan susu kambing PE adalah pengolah, baik pengolah individu maupun kelompok, yang sekaligus berperan dalam pemasaran produk akhir susu. 19. Industri rumahtangga pengolahan tepung mocaf tumbuh secara swadaya. Dalam perkembangannya masuk pembinaan dari pemerintah. Industri aneka olahan, termasuk pengolahan mocaf, berkembang bukan karena wilayah tersebut merupakan penghasil bahan baku, tapi karena kedekatan dengan pasar untuk produk yang dihasilkan. Adanya keterlibatan pelaku yang berbeda antara penghasil bahan baku dan pengolah memerlukan pendekatan penyuluhan yang berbeda pula, baik dari sisi sumber, materi, maupun medianya, karena kebutuhan pelakunya juga berbeda. 20. Terdapat penyelenggaraan penyuluhan yang berbeda untuk pelaku industri di Gunung Kidul, yaitu (1) berbasis kelompok, diselenggarakan oleh Dinas Pertanian, dan Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan; dan (2) berbasis sentra, diselenggarakan oleh Koperindagtam. 21. Dalam proses transfer inovasi teknologi, terdapat individu penggerak dalam komunitas, yang kemudian juga berperan menjadi menghubung antara anggota komunitas dengan pihak atas desa (instansi pemerintah/swasta). Tokoh ini menjadi inisiator bagi munculnya suatu usaha atau industri berbagai produk di suatu wilayah, sekaligus menjadi motor penggerak bagi perkembangan industri setempat. Penguasaan inovasi teknologi para tokoh tersebut umumnya relatif baik, karena selain mendapat kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam berbagi pelatihan, tokoh ini terjun langsung dalam memproduksi dan memasarkan aneka tepung, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diproduksi oleh anggota kelompok.
xi
Tujuan 2: Mengidentifikasi pola penyuluhan pertanian, dilihat dari transfer inovasi kelembagaan dalam perspektif membangun industri pertanian pedesaan 22. Transfer inovasi kelembagaan terjadi di tingkat lembaga pelaksana maupun di tingkat petani. Di tingkat lembaga pelaksana, inovasi kelembagaan tersebut berupa kerjasama antar instansi terkait untuk merancang konsep kelembagaan yang diinginkan, terutama berupa sikap dari petani (penerima). Inovasi kelembagaan yang ditransfer ke petani adalah menanamkan prinsip-prinsip pengembangan IPP, dengan meningkatkan produktivitas dan kualitas, agar produksi dapat dilakukan dengan efisien dan mendapat pasar yang lebih luas. 23. Dari segi kerjasama kelembagaan, dukungan lembaga terkait seperti Dinas Pertanian dan dinas terkait lainnya, cukup baik, namun dihadapkan pada kondisi bahwa di lokasi pengembangan Kabupaten Pringsewu sulit untuk menghimpun pupuk organik asal ternak karena wilayah ini bukan sentra pengembangan ternak dan populasi ternaknya terbatas. 24. Perkembangan industri keripik pisang mendapat dukungan kuat dari Kementerian Perdagangan c/q Dinas Perdagangan daerah. Namun demikian, upaya peningkatan volume pemasaran tidak mudah dilakukan, karena industri ini masih berskala rumah tangga dan belum menerapkan prinsip-prinsip produksi dengan standar yang memadai. Di sisi lain, penggunaan alat dan mesin pengolahan belum banyak dilakukan dan proses produksi masih dilakukan secara manual. 25. Usaha fermentasi kakao di Kabupaten Lampung Timur diprakarsai oleh BPTP Lampung dengan membuka kerjasama dengan PT General Food. Atas kerjasama ini, usaha fermentasi kakao mulai berkembang dalam naungan Koperasi Mutiara Prima. Kegiatan fermentasi kakao merupakan kegiatan industri pengolahan yang menguntungkan petani, dan berpotensi meningkatkan pendapatan petani kakao pada skala yang semakin luas. 26. Masalah yang dihadapi petani yang melakukan fermentasi adalah kegiatan para pedagang perantara yang umumnya hanya membeli kakao tanpa fermentasi. Harga kakao fermentasi dan kakao tanpa fermentasi tidak jauh berbeda sehingga petani kurang berminat melakukan kegiatan fermentasi. Tujuan 3: Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penyuluhan pertanian dalam perspektif membangun industri pertanian pedesaan 27. Kelembagaan penyuluhan di Provinsi Lampung telah sejalan dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Penyelenggaraan penyuluhan di Provinsi Lampung adalah wewenang dan tanggungjawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pada tingkat provinsi, wewenang dan tanggungjawab penyelenggaraan penyuluhan berada pada Bakorluh, sedangkan pada tingkat kabupaten pada BP4K, dan BP3K pada tingkat kecamatan, serta pos penyuluhan di tingkat desa. 28. Pedoman penyusunan programa penyuluhan untuk pemerintah, swasta maupun swadaya sebagaimana tercantum pada Peraturan Menteri Pertanian No: 25/Permentan/OT.140/5/2009 telah diterapkan. Programa penyuluhan disusun secara bertingkat dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional sesuai dengan kebutuhan. 29. Subyek atau sasaran penyuluhan terdiri atas pelaku utama dan pelaku usaha; sedangkan sasaran antara adalah kelompok atau lembaga pemerhati pertanian, perikanan dan kehutanan dan generasi muda dan tokoh masyarakat. Dalam kaitannya dengan revitalisasi sistem penyuluhan pertanian yang sedang dilakukan,
xii
program penyuluhan pertanian dirancang pada upaya pemanfaatan keterkaitan industri hulu dan hilir, sesuai dengan kapasitasnya: (1) inisiasi pengembangan industri hulu dan hilir skala kecil yang secara evolutif dapat berkembang menjadi lebih besar, dan (2) advokasi terhadap pengembangan industri hulu dan hilir di pedesaan. 30. Sumber informasi (penyuluh dan lembaga penyuluhan) bagi komoditas-komoditas yang diamati terdiri atas penyuluh pemerintah (PNS dan THL), penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya. Bobot materi penyuluhan beragam menurut status industri komoditas masing-masing dan berkisar dari penyuluhan tentang aspek budidaya, pengemasan permodalan, sertifikasi, kemitraan dan lain-lain. Proporsi terbesar masih pada materi budidaya (70%). 31. Industri pengolahan pedesaan yang berkembang di DIY antara lain adalah pengolahan tepung dan pengolahan susu kambing peranakan Etawa (PE). Usaha pengolahan susu telah mendapat bantuan dan pengawasan mutu dari dinas terkait berupa Pengawas Mutu Hasil Pertanian (PMHP) bidang peternakan yang terkait dengan kesehatan hewan, pemotongan hewan, dan pengolahan hasil ternak. Kegiatan pengolahan susu telah berkembang dalam bentuk koperasi beranggotakan 12 peternak kambing PE. 32. Kendala yang dihadapi peternak pengolah susu kambing PE antara lain adalah alat pengolah susu yang masih minim dan kekurangan air bersih untuk ternak. Peternak juga memerlukan bantuan modal usaha dan bimbingan teknis serta legalitas produk yang dihasilkan dalam bentuk sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Guna mengatasi kendala ini diperlukan koordinasi dan kerjasama dinasdinas terkait di lokasi dan pusat kegiatan pengolahan susu kambing PE. 33. Proses alih teknologi dari penyuluh dan lembaga penyuluhan di DIY belum berjalan dengan baik. Di sisi lain kelembagaan kelompok tani dan gapoktan masih memerlukan pembinaan karena banyak yang tidak berfungsi secara optimal. Dalam rangka revitalisasi kelembagaan penyuluhan perlu lebih diarahkan pada peningkatan kinerja kelembagaan dan pendampingan untuk mempercepat proses alih teknologi. 34. Kelembagaan penyuluhan di DIY belum sesuai dengan UU No. 16/2006, masih bersifat campuran antara Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan DIY. Legislasi yang mendasari kondisi ini adalah PP No. 41/2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah dan PP No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan yang menjadi kewenangan wajib daerah yang dibentuk secara mandiri, sehingga ketahanan pangan digabung dengan penyuluhan. 35. Kompetensi penyuluh di DIY masih kurang memadai. Bidang-bidang penyuluhan yang dikuasai penyuluh masih belum mencukupi dan tidak semua bidang dikuasai para penyuluh. Penguasaan substansi penyuluhan masih terpusat pada usaha produksi tanaman pangan (dari hulu sampai ke hilir). 36. Rekrutmen tenaga penyuluh yang dilaksanakan seringkali kurang tepat mengenai sasaran. Penempatan penyuluh sering tidak sesuai dengan kompetensinya, contohnya adalah penempatan tenaga penyuluh sebagai tenaga struktural. Di sisi lain jumlah tenaga penyuluh semakin berkurang karena rekrutmen yang tidak sejalan dengan proses regenerasi (pensiun dan lain-lain). 37. Petani penerima penyuluhan masih mengandalkan kemampuan penyuluh pemerintah. Namun kehadiran penyuluh swasta yang merupakan sales perusahaan swasta hendaknya dipandang sebagai mitra penyuluh pemerintah. Penyuluh swasta umumnya memiliki informasi teknologi yang selangkah lebih maju dari penyuluh pemerintah.
xiii
38. Alat Bantu yang populer di kalangan penyuluh DIY antara lain adalah leaflet, buku, dan tabloid. Website baru diperuntukkan bagi penyuluh dan belum diarahkan langsung kepada petani. Metode penyuluhan yang banyak dilaksanakan adalah percontohan (demplot, denfarm). Secara umum, materi penyuluhan disusun atas permintaan dari penyuluh BP3K (BPP). 39. Insentif yang diterima para penyuluh DIY antara lain adalah penghargaan bagi penyuluh yang aktif memotivasi dan memimpin kelompok tani dalam lomba petani berprestasi, dan insentif supervisi kegiatan lain, insentif perjalanan dan insentif plot demonstrasi. Tujuan 4: Mempelajari keterkaitan antara peraturan perundang-undangan, kegiatan advokasi, dan keterlibatan masyarakat sasaran dalam pengembangan industri pertanian pedesaan 40. Secara kritis, penerapan UU No.16/2006 belum memenuhi kaidah reformatif. Kelompok dan lembaga penyuluh swasta dan swadaya belum tersentuh oleh UU No.16/2006. Penyuluh swadaya belum memperoleh kemudahan dalam menjalankan kegiatan penyuluhan. Lebih buruk lagi, banyak penyuluh swadaya dan swasta yang belum menyadari secara mendalam tentang kegiatan yang tergolong kegiatan penyuluhan. 41. Posisi masyarakat sasaran dalam konstalasi penyuluhan yang diselenggarakan pemerintah relatif lemah. Keterlibatan masyarakat sasaran hanya menerima apa yang disampaikan pemerintah, sehingga tergolong . keterlibatan pasif. Dialog antara penyuluh pertanian pemerintah dengan masyarakat sasaran tidak masuk pada substansi apakah materi penyuluhan yang disajikan sesuai atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat petani, termasuk materi tentang industri pertanian pedesaan belum menjadi prioritas utama. 42. Muatan UU 16/2006 masih lebih menonjolkan penyuluhan untuk kepentingan pencitraan program pemerintan, dibandingkan (misalnya) untuk memberikan pelayanan prima agar masyarakat sasaran di pedesaan dapat berkembang ke arah yang lebih berdaya saing dalam usaha pertanian (industrial), lebih adil, dan lebih mandiri. 43. Industri pertanian di pedesaan yang digerakkan oleh keorganisasian ekonomi koperasi dapat dipandang sebagai bentuk keberpihakkan fungsional bagi masyarakat pertanian di pedesaan. Masih patut disayangkan, implementasi dari revitalisasi penyuluhan pertanian belum menunjukkan tanda-tanda yang jelas ke arah industri pertanian di pedesaan. Tujuan 5: Merekomendasikan rumusan alternatif model penyuluhan dalam perspektif membangun industri pertanian pedesaan 44. Perubahan paradigma peran penyuluh dari “agen perubahan” menjadi “pendamping petani” harus segera disikapi, terutama dalam kaitannya dengan perubahan paradigma berusahatani. Orientasi kegiatan pertanian yang semakin mengarah pada usaha agribisnis akan diikuti oleh orientasi spesialisasi produk, baik bahan mentah dan produk setengah-jadi untuk industri, maupun produk jadi dan siap jual. 45. Kondisi ini hendaknya diantisipasi dengan mengembangkan inisiatif makro yang merinci peran dan posisi penyuluh di masa depan sebagai suatu panduan untuk pengembangan perannya. Inisiatif makro ini harus tegas dan jelas, namun juga harus dapat dikembangkan dan disesuaikan (di-“kalibrasi”) kedalam kondisi spesifik wilayah. Penyuluh masa depan harus mampu memahami dan
xiv
mengembangkan pola pikir berdasarkan keterpaduan kegiatan produktif usahatani dari hulu sampai ke hilir. 46. Hubungan kelembagaan triangulatif (pemerintah, lembaga penyuluh, dan lembaga kelompok tani) yang bersifat parsial sektor pertanian harus lebih bersifat komprehensif lintas sektor. Implikasinya adalah bahwa sistem penyuluhan harus memiliki sentra-sentra kegiatan di lokasi dimana dikembangkan usaha agribisnis pedesaan. Dalam hal ini diperlukan suatu sentra pendampingan agribisnis pedesaan yang lebih bersifat horisontal. 47. Seluruh dinas sektor yang terkait dengan usaha pertanian agribisnis yang beroperasi di hierarki lebih tinggi (kabupaten/kota) merupakan sumber informasi yang sangat berharga bagi petugas pendamping (penyuluh masa depan). Upaya fine-tuning kebijakan harus lebih diarahkan pada kemampuan produksi, jenis komoditas dan kualitasnya sesuai dengan keseimbangan permintaan dan kondisi pasar. KESIMPULAN 48. Penyuluh pemerintah masih mempunyai peran cukup signifikan, khususnya dalam transfer inovasi teknologi pada subsistem penyedia bahan baku untuk industri berbasis komoditas pangan. Peran penyuluhan pertanian pemerintah dalam subsistem tengah (prosesing) dan hilir (pemasaran) tidak terlihat dominan, bahkan relatif lebih kecil dibandingkan dengan peran pelaku yang lain, khususnya penyuluhan swasta. Peran yang cukup dominan hanya ditunjukkan pada industri olahan primer berbasis tanaman pangan. 49. Dalam program RSP yang dilaksanakan penyuluhan pertanian pemerintah belum secara tegas diarahkan untuk mendukung industri pertanian di pedesaan. Program ini masih menekankan pada perbaikan kelembagaan internal penyuluhan, dan belum secara khusus difokuskan untuk memperbaiki materi penyuluhan untuk petani. Transformasi ke arah industri pertanian pedesaan tidak semata-mata dapat ditempuh hanya melalui perbaikan kelembagaan internal penyuluhan, melainkan juga materi inovasi (teknologi dan kelembagaan) yang seharusnya secara khusus dirancang untuk transformasi ke arah industri pertanian di pedesaan. 50. Secara kualitatif dapat dikatakan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi kegagalan penyuluhan pertanian dalam proses transformasi ke arah industri pertanian pedesaan adalah materi penyuluhan. Faktor lain yang tidak dapat diabaikan dan mempengaruhi kegiatan penyuluhan pertanian adalah kualitas sumberdaya manusia; baik sebagai sumber (sources, penyuluh) maupun sebagai penerima (receiver, petani), terutama terkait dengan kompetensi teknis dan manajerial. Faktor insentif bagi kegairahan penyuluh dalam menjalankan pekerjaannya di lapangan masih banyak diabaikan. 51. Peraturan perundang-undangan seharusnya dibuat untuk meningkatkan keefektifan penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memenuhi kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak. Muatan peraturan perundangundangan perlu merepresentasikan kepentingan masyarakat banyak, sehingga dalam penyusunannya harus memenuhi kaidah partisipatif dan keberpihakkan pada kepentingan masyarakat petani di pedesaan. Posisi masyarakat sasaran dalam konstalasi penyuluhan yang diselenggarakan pemerintah relatif lemah. Keterlibatan masyarakat sasaran seakan-akan hanya pada posisi harus menerima apa yang disajikan pemerintah. Penyuluhan pertanian pemerintah bukan menjadi segala-galanya ketika slogan politik pembangunan (indsutri) pertanian di pedesaan tidak ditopang dengan program penguatan kelembagaan ekonomi yang bersifat
xv
komprehensif. Produk pertanian pedesaan menjadi sulit untuk dapat berkembang karena program penyuluhan pertanian tidak diintegrasikan secara langsung dengan industri pertanian di pedesaan dan daya saing ekonomi pedesaan. 52. Upaya pengembangan pola dan sistem penyuluhan pendampingan horisontal di tingkat operasional pedesaan dapat dipandang sebagai alternatif model penyuluhan dalam perspektif membangun industri pertanian pedesaan. Dalam hal ini seluruh dinas sektor yang terkait dengan usaha pertanian agribisnis yang beroperasi di hierarki lebih tinggi (kabupaten/kota) merupakan sumber informasi yang sangat berharga bagi petugas pendamping (penyuluh masa depan). Upaya fine-tuning kebijakan harus lebih diarahkan pada kemampuan produksi, jenis komoditas dan kualitasnya sesuai dengan keseimbangan permintaan dan kondisi pasar. Pola pendampingan sebaiknya diarahkan untuk lebih berorientasi ke hierarki desa dimana kegiatan agribisnis dilakukan. Kelompok tani sebagai pemangku kepentingan utama, dapat melakukan interaksi dengan berbagai pihak, baik dengan kelembagaan penyuluhan, maupun dengan sektor-sektor terkait dan perusahaan serta pasar. IMPLIKASI KEBIJAKAN 53. Dalam rangka penerapan sistem penyuluhan di daerah, Komisi Penyuluhan Nasional dapat merumuskan kerangka dasar sistem penyuluhan untuk mewujudkan visi industri pertanian di pedesaan, yang mencakup sistem administrasi, sistem inovasi (teknologi dan kelembagaan), sistem monitoring dan evaluasi penyelenggaraan penyuluhan, sistem pengembangan sumberdaya manusia/penyuluh (baik kuantitas maupun kompetensi), pembangunan jaringan informasi/komunikasi, dan prasarana pendukung penyuluhan. 54. Kelembagaan penyuluhan pertanian dan dinas teknis dapat diposisikan pada kesejajaran eselonisasi, tidak bersifat sub-ordinatif dari dinas teknis, terutama dalam administrasi penganggaran program dan kegiatan, sehingga masing-masing harus mempunyai sistem penganggaran kegiatan yang mandiri. Dalam penyelenggaraan kerja sehari-hari SKPD penyuluhan dalam berinteraksi dengan SKPD lainnya harus berada di bawah koordinasi Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda). 55. Proses penyusunan perencanaan penyuluhan di daerah diawali dengan penyusunan programa penyuluhan yang merupakan bagian dari akuntabilitas individu atau sekelompok penyuluh yang mempunyai (satu kesatuan) kesesuaian fungsi dan tujuan penyuluhan. Substansi programa merupakan penjabaran dari visi dan misi pembangunan pertanian daerah dan/atau prioritas program pembangunan pertanian Pemerintah Pusat, yang berisi materi industri pertanian pedesaan dan sistem pengelolaannya dilakukan melalui organisasi ekonomi masyarakat pedesaan berbadan hukum koperasi. 56. Dalam rangka memantapkan revitalisasi sistem penyuluhan pertanian di daerah, sistem penyelenggaraan penyuluhan perlu didukung peraturan perundangundangan yang sesuai dengan kerangka perencanaan pembangunan daerah; yaitu berupa peraturan daerah (Perda). Rambu-rambu dan muatan minimal rancangan Perda tentang penyuluhan pertanian secara teknokratik disusun oleh Komisi Penyuluhan Nasional. Untuk itu, Komisi Penyuluhan Pertanian perlu meningkatkan kapasitasnya agar mampu memfungsikan diri sebagai tempat konsultasi penyusunan rancangan Perda tentang penyuluhan pertanian. 57. Tatanan kelembagaan dan sistem penyuluhan pertanian di daerah perlu dilakukan perbaikan (“revitalisasi”), yaitu (paling tidak) dengan memberikan ruang
xvi
kewenangan yang memadai bagi lembaga penyuluhan dan penyuluh dalam menjalankan fungsinya membangun industri pertanian di pedesaan. Ruang kewenangan yang dimaksud perlu didukung dengan sistem insentif dan sarana operasional yang memadai. Sistem insentif yang dimaksud mencakup penambahan anggaran untuk peningkatan kinerja lembaga dan individu penyuluh; proporsi yang memadai bagi penyuluh berprestasi, peningkatan kompetensi penyuluh berprestasi (melalui pelatihan dan pendidikan), dan peningkatan kualitas sarana operasional (antara lain berupa sarana yang memadai untuk peningkatan kualitas hubungan interaktif antara penyuluh dan masyarakat petani di pedesaan yang lebih memadai, dan penyediaan kendaraan bermotor beserta bahan bakar dan fasilitas pemeliharaan).
xvii