LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) : INDIKATOR PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN
Oleh : Sri Hery Susilowati Prajogo Utomo Hadi Sugiarto Supriyati Wahyuning Kusuma Sejati Supadi Amar Kadar Zakaria Tri Bastuti Purwantini Deri Hidayat Mohamad Maulana
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2009
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENDAHULUAN
Latar Belakang dan Rumusan Permasalahan 1.
Program pembangunan berbagai bidang yang telah dilakukan secara menyeluruh selama ini telah membawa perubahan pada struktur ekonomi pedesaan. Perubahan yang terjadi di pedesaan menyangkut banyak aspek, antara lain perubahan pada penguasaan aset produktif pertanian, struktur kesempatan kerja, pendapatan, pola konsumsi, penggunaan teknologi dan perubahan kelembagaan pedesaan. Perubahan tersebut membawa dampak positif maupun negatif bagi tatanan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat pedesaan. Dampak positif diantaranya dapat dilihat dari peningkatan pendapatan perkapita, tercapainya swasembada beras, peningkatan produksi hasil-hasil pertanian, perkembangan di bidang industri pertanian, menurunnya insiden kemiskinan. Dampak negatif memunculkan berbagai permasalahan antara lain meningkatnya ketimpangan penyebaran pendapatan dan penguasaan aset serta marginalisasi penguasaan dan garapan lahan usahatani, serta masalah pengangguran, fenomena aging dan degradasi kualitas tenaga kerja pedesaan. Masalah pada aspek konsumsi dewasa ini bukan lagi hanya sekedar mengetahui tingkat konsumsi dan pengeluaran masyarakat sebagai refleksi dari tingkat kesejahteraan rumah tangga. Namun isu kerawanan pangan, kecukupan pangan dan gizi buruk akhir-akhir ini, khususnya dengan terjadinya krisis finansial global, menjadi topik yang mencuat ke permukaan. Masalah kemiskinan sampai saat ini juga masih tetap menjadi isu strategis, bukan hanya menyangkut insiden kemiskinan, namun juga bagaimana strategi masyarakat mengatasi kemiskinan. Penelitian PATANAS dirancang untuk mengetahui dinamika atau perubahan ekonomi pedesaan sebagai dampak pembangunan pertanian yang disajikan melalui berbagai indikator ekonomi pedesaan.
Tujuan Analisis 2.
Secara umum penelitian PATANAS ditujukan untuk memahami dinamika sosial ekonomi di pedesaan pada berbagai tipe agroekosistem dengan menyajikan berbagai indikator pembangunan pertanian dan pedesaan.
3.
Secara spesifik tujuan penelitian adalah sebagai berikut. a. Mengetahui struktur dan distribusi penguasaan serta pola pemanfaatan lahan rumahtangga. b. Mengetahui struktur tenaga kerja dan curahan tenaga kerja, tingkat pengangguran, produktivitas tenaga kerja, migrasi serta faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi tenaga kerja rumah tangga. c. Mengetahui struktur dan distribusi pendapatan rumah tangga. d. Mengidentifikasi insiden kemiskinan, persepsi rumah tangga terhadap indikator kemiskinan serta survival strategy untuk mengurangi masalah kemiskinan.
1
e. Mengetahui struktur pengeluaran dan konsumsi rumah tangga serta menganalisis kecukupan konsumsi pangan dan keragaman sumber gizi rumahtangga. f.
Mengetahui nilai tukar komoditas yang dihasilkan petani dan nilai tukar petani terhadap produk konsumsi pangan.
g. Mengetahui tingkat penerapan teknologi pertanian dan tingkat profitabilitas usahatani menurut komoditas yang diusahakan. h. Mengetahui kelembagaan agribisnis yang berkembang di pedesaan. i.
Mengetahui struktur ekonomi pedesaan, ketersediaan infrastruktur, investasi, perubahan tata guna lahan, dinamika ketenagakerjaan serta keterkaitan antara pembangunan non pertanian dan ekonomi pedesaan.
10. Menghasilkan rekomendasi kebijakan pertanian khususnya yang berkenaan dengan indikator pembangunan pertanian dan pedesaan.
Metode Penelitian 4.
Kerangka Pemikiran Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan ekonomi nasional, berbagai program dan kebijakan telah ditempuh pemerintah menimbulkan perubahan sosial ekonomi di pedesaan. Proses perubahan yang dinamis akan berlanjut berkesinambungan. Ekonomi pedesaan berkembang, tidak lagi hanya didominasi oleh kegiatan produksi pertanian, tetapi juga semakin meningkatnya kegiatan pasca produksi dan kegiatan non usahatani. Secara tidak langsung dinamika sosial ekonomi di daerah pedesaan dapat dirangsang oleh kebijakan dan program pembangunan di sektor lain. Dinamika pedesaan yang dimaksud dapat terjadi dalam konteks: (1) wilayah pedesaan sebagai basis kegiatan ekonomi, (2) rumahtangga pedesaan yang melakukan aktivitas ekonomi di wilayah pedesaan, dan (3) usahatani pada lahan garapan petani. Dinamika pedesaan dalam ketiga konteks diatas dapat saling terkait satu sama lain dan ketiganya secara simultan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara makro maupun pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Daerah pedesaan umumnya memiliki tipe agroekosistem yang berbeda. Variasi tipe agroekosistem akan mempengaruhi jenis komoditas pertanian yang dapat dikembangkan oleh petani dan lebih lanjut pada pendapatan rumah tangga
5.
Metoda Analisis Data Analisis yang digunakan adalah melalui metode statistik deskriptif. Analisis data menggunakan formula sederhana dengan menghitung rata-rata (mean), dan ukuran tingkat partisipasi (participation rate). Untuk mengetahui distribusi pemilikan dan penguasaan lahan serta distribusi pendapatan rumahtangga digunakan Indeks Gini dan konsep Worldbank. Untuk menghitung tingkat kemiskinan digunakan formulasi Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index dengan menggunakan Garis Batas Kemiskinan yang ditetapkan BPS.
Lokasi dan Responden Penelitian 6.
Penelitian PATANAS tahun 2009 dilakukan di agroekosistem lahan kering berbasis komoditas perkebunan. Kriteria pemilihan provinsi dan kabupaten yang mewakili 2
basis komoditas perkebunan, didasarkan pada pangsa luas tanam secara nasional (Location Quotient atau LQ) dan jumlah desa untuk masing-masing komoditas. Pemilihan desa didasarkan pada dominasi komoditas dalam perekonomian desa sehingga desa terpilih dapat mewakili basis komoditas perkebuan komoditas terpilih. Desa terpilih juga harus merupakan subset desa contoh pada SP 2003 BPS sehingga data PATANAS dapat diperbandingkan dan menerangkan data BPS. Desa contoh juga diupayakan merupakan desa contoh PATANAS terdahulu sehingga aspek data panel dapat terpenuhi. Dengan kriteria tersebut maka terpilih provinsi Sul-Sel (kab Pinrang dan Luwu) mewakili basis komoditas kakao, Jambi (kab Muaro Jambi) dan Kal-Bar (kab Sanggau) mewakili komoditas kelapa sawit dan Jambi (kab Batanghari) dan Kal-Bar (Sanggau) mewakili komoditas karet, serta prov Ja-Tim (kab Malang dan Lumajang) mewakili komoditas tebu lahan kering. Dengan demikian total jumlah desa contoh sebanyak 8 (delapan) desa. 7.
Sampling rumahtangga contoh ditentukan dari kerangka contoh yang dibangun sebelumnya melalui kegiatan sensus partial. Jumlah rumahtangga sensus sebanyak 100 rumahtangga per desa. Rumah tangga contoh survey dipilih dengan menggunakan metoda pengambilan contoh acak stratifikasi (stratified random sampling) dari kerangka contoh hasil sensus parsial rumah tangga, Pemilihan contoh untuk kegiatan survey menggunakan dua strata, yakni: (1) penguasaan aset lahan, (2) sumber pendapatan utama rumahtangga. Dengan metoda pengambilan contoh seperti ini diharapkan diperoleh contoh rumahtangga yang cukup mewakili dengan komunitas yang bersangkutan. Jumlah rumahtangga survey sebanyak 40 (empat puluh) rumahtangga per desa.
HASIL PENELITIAN
Penguasaan Lahan Pertanian 8.
Sekitar 80-100% petani di lokasi penelitian adalah petani pemilik-penggarap lahan komoditas basis di lahan mereka sendiri karena kelembagaan lahan (sewa, sakap, gadai) di wilayah tersebut kurang berkembang karena sifat usahatani yang tidak memerlukan tenaga kerja maupun input produksi secara intensif sehingga lebih menguntungkan apabila dikerjakan sendiri.
9.
Rata-rata penguasaan lahan terluas pada komoditas basis karet, (2,7 – 3,1 ha/KK), dan urutan berikutnya adalah kelapa sawit (2,3 – 2,7 ha/KK), kakao (1,0 – 1,3 ha/KK) dan tebu (0,3 – 0,6 ha/KK). Ranking luas penguasaan lahan tersebut dipengaruhi oleh kondisi wilayah masing-masing komoditas basis. Komoditas karet ketersediaan lahan masih cukup luas, untuk kakao merupakan perkebunan rakyat dengan rata-rata pemilikan lahan yang relatif sempit, kelapa sawit merupakan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dengan inti PTPN VI, dan pola kemitraan dengan perkebunan swasta (PT SIA). Untuk tebu, sempitnya pemilikan dan penguasan lahan karena ketersediaan lahan yang terbatas di Jawa dengan tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi.
10. Distribusi luas penguasaan lahan komoditas basis karet terkonsentrasi pada kelas diatas 3 ha//KK, kakao pada kelas dibawah 0,5 ha/KK; untuk komoditas kelapa sawit pada kelas 1,5-2,5 ha/KK di daerah Muaro Jambi dan diatas 3,0 ha/kk di daerah Sanggau; dan untuk komoditas tebu di bawah 0,5 ha/KK. 11. Indeks Gini sebagai indikator tingkat ketimpangan luas penguasaan lahan komoditas basis menunjukkan tingkat ketimpangan penguasaan lahan yang
3
tergolong rendah (karet), moderat (kakao dan kelapa sawit) dan berat (tebu). Besaran indeks Gini tersebut sebagai berikut: karet 0,323, kakao 0,435, kelapa sawit 0,391 dan tebu 0,533.
Tenaga Kerja Pertanian 12. Jumlah angkatan kerja di wilayah agroekosistem lahan kering komoditas perkebunan secara rataan sebanyak 72,1 persen, dan kesempatan kerja sebanyak 50,8 persen. Kesempatan kerja terendah berada di wilayah komoditas basis kakao (44,1 persen). Tingkat partisipasi kerja secara rataan sebanyak 66,9 persen. Dengan tingkat partisipasi kerja sebesar tersebut, tingkat pengangguran sebanyak 19,0 persen, terendah di wilayah komoditas basis tebu dan tertinggi di wilayah komoditas basis kakao. 13. Struktur tenaga kerja menurut umur menunjukkan dari rataan 77,4 persen tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian, sekitar 50,9 persen termasuk usia produktif (15 tahun – 44 tahun) dan yang termasuk dalam kelompok usia ‘tua’ (> 45 tahun) sekitar 26,5 persen. Fenomena ‘aging farmer‘ memang lebih nyata terlihat di sektor pertanian sehingga perlu diantisipasi dampaknya terhadap produktivitas sektor pertanian. 14. Tingkat pendidikan tenaga kerja baik di sektor pertanian dan non pertanian, dominan berada pada kelompok pendidikan < 6 tahun (63,1%), sedangkan setara SLTA hanya sekitar 17,2 persen dan lebih tinggi dari tingkat SLTA (Perguruan Tinggi) hanya sekitar 4,4 persen. Tenaga kerja yang berpendidikan perguruan tinggi secara umum lebih banyak terdapat di sektor non pertanian 15. Sektor pertanian masih merupakan sumber pekerjaan utama bagi angkatan kerja di wilayah agroekosistem lahan kering berbasis tanaman perkebunan. Kontribusi sektor pertanian, terutama pertanian, terhadap sumber mata pencaharian secara rataan sebesar 77,4 persen, Kontribusi penyerapan tenaga kerja pertanian terbesar di agroekosistem komoditas basis karet, diikuti oleh agroekosistem perkebunan kelapa sawit. 16. Produktivitas tenaga kerja didekati dari nillai total pendapatan rumah tangga dibagi dengan jumlah angkatan kerja rumahtangga (anggota rumah tangga berumur 15 tahun ke atas). Produktivitas tenaga kerja di pedesaan Patanas yang berbasis perkebunan berkisar antara Rp 5,0 – 16,1 juta/kapita, berturut-turut dari yang tertinggi adalah produk-tivitas tenaga kerja di pedesaan yang berbasis kelapa sawit, karet, kakao dan tebu. Keragaman produktivitas tenaga kerja antara lain disebabkan karena keragaman pendapatan pertanian, non pertanian dan jumlah anggota rumah tangga.
Pendapatan Rumahtangga 17. Pangsa pendapatan pertanian memberikan kontribusi berkisar 43 persen sampai dengan 80 persen dari total pendapatan rumahtangga. Wilayah dengan komoditas basis karet dan kelapa sawit memberikan kontribusi pendapatan pertanaian tertinggi, disusul oleh komoditas basis kakao dan terkecil adalah komoditas tebu. 18. Dilihat dari total pendapatan rumah tangga per tahun, rumahtangga di wilayah komoditas basis karet memiliki pendapatan tertinggi, sebaliknya pada komoditas basis tebu memiliki pendapatan terendah. Sedangkan komoditas basis kakao dan kelapa sawit masing-masing memilki pendapatan seimbang.
4
19. Kontribusi pendapatan usahatani komoditas basis terhadap total pendapatan rumahtangga sangat bervariasi antar komoditas. Kelapa sawit memberikan kontribusi pendapatan tertinggi, disusul oleh komoditas karet, kakao dan terkecil adalah usahatani tebu. Pada wilayah dimana kontribusi pendapatan komoditas basis yang rendah, petani memiliki alternatif usahatani sawah dan tegalan. Terutama pada usahatani tebu, kontribusi pendapatan dari lahan tegalan dan sawah justru lebih besar dari usahatai tebu itu sendiri 20. Distribusi pendapatan rumahtangga yang dinyatakan melalui besaran Indeks Gini, menunjukkan sebagai berikut: wilayah komoditas basis kelapa sawit dan kakao memiliki indeks Gini 0,52 yang dapat dikatakan sangat tidak merata, karet 0,32 (merata), dan tebu 0,41 (tidak merata).
Kemiskinan 21. Insiden kemiskinan di agroekosistem komoditas basis perkebunan relatif sangat kecil. Bahkan di wilayah komoditas basis kelapa sawit tidak terdapat insiden kemiskinan. Insiden kemiskinan di agroekosistem tebu di Jawa Timur berkisar 10,0%-12,5%. Tingkat keparahan kemiskinan lebih besar di kabupaten Lumajang dibandingkan di Malang. Insiden kemiskinan tertinggi di agroekosistem perkebunan komoditas basis kakao karena rendahnya tingkat produktivitas usahatani kakao disebabkan serangan hama penyakit dengan intensitas serangan yang cukup tinggi. 22. Persepsi masyarakat setempat mengenai komponen yang digunakan sebagai indikator untuk mengukur kemiskinan, secara umum setuju pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, perumahan, dan sumber pendapatan sebagai indikator kemiskinan. Namun indikator pendidikan dan kesehatan kurang mendapat dukungan untuk digunakan sebagai indikator kemiskinan, karena adanya fasilitasi pemerintah bagi masyarakat golongan pendapatan rendah melalui dana bantuan sekolah (BOS) dan program sekolah gratis serta adanya askeskin, puskesmas, polindes serta fasilitasi kesehatan lainnya. 23. Strategi dalam menghadapi kemiskinan oleh rumahtangga bervariasi. Strategi dominan yang ditempuh agar tidak mengalami kesulitan dalam hal pemenuhan pangan yaitu mengatur frekuensi makan, mengatur pola pangan dan hanya membeli bahan pangan murah. Lebih dari 80 persen rumahtangga yang mengusahakan tanaman padi, memprioritaskan untuk konsumsi sendiri dan hanya menjual sebagian hasil panen mereka. Strategi dominan untuk memenuhi kebutuhan pakaian yaitu membatasi anggaran untuk pakaian, membeli pakaian murah, prioritas untuk seragam sekolah anak, dan hanya membeli pakaian saat lebaran. Strategi dominan untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan yaitu menggunakan pelayanan yang tersedia di berbagai puskesmas, polindes atau sarana kesehatan lain, atau menggunakan obat yang dibeli di warung. Strategi dominan untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan pendidikan adalah memilih sekolah yang dekat rumah untuk menghemat ongkos transport, memilih sekolah yang murah, membeli peralatan sekolah berkualitas rendah, dan berupa pengaturan dalam pembelian seragam yang biasanya dilakukan sekali dalam 1-3 tahun. Strategi dominan yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal yaitu membangun rumah dengan cara mencicil pembelian bahan bangunannya, atau bergabung dengan keluarga besar. Strategi dominan yang ditempuh rumahtangga agar tidak mengalami kesulitan sumber mata pencaharian dan pendapatan yaitu dengan diversifikasi komoditas, mencari bahan-bahan pangan di alam bebas, dan berburuh tani serta berdagang.
5
Pengeluaran dan Konsumsi Rumahtangga 24. Pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumahtangga berkisar 61-65 persen, terrendah di wilayah agroekosistem komoditas basis kakao dan tertinggi di agroekosistem karet. Tidak ada hubungan antara besarnya pangsa pengeluaran pangan dengan tingkat pendapatan atau pengeluaran total rumahtangga. 25. Konstribusi kelompok pangan pokok memberikan pangsa berkisar antara 16,2 persen (di Luwu) sampai 32 persen (di Sanggau). Kontribusi pangan hewani juga tinggi, sebaliknya pangan jenis sayuran dan buah-buahan umumnya bernilai relatif rendah. Sebaliknya pangsa pengeluaran untuk rokok, tembakau dan sejenisnya cukup tinggi, 26. Struktur pengeluaran non pangan terbesar adalah pengeluaran untuk BBM, pangsa kedua terbesar adalah untuk pendidikan dan selanjutnya pengeluaran lainlain yang meliputi sumbangan hajatan/sosial, pajak kendaraan dan lain-lain. 27. Tingkat partisipasi konsumsi beras mendekati 100 persen, hanya di wilayah dengan basis komoditas kakao sekitar 95 persen dan wilayah dengan basis komoditas tebu sekitar 97,5 persen. Mie instan juga secara meluas di konsumsi dengan tingkat partisipasinya mencapai 79-90 persen. Sementara tingkat partisipasi konsumsi untuk pangan hewani rata-rata rendah (daging sapi hanya berkisar 0 – 7,5 persen. Tingkat partisipasi konsumsi telur berkisar 22 – 27,7 persen, hampir sama dengan tingkat partisipasi konsumsi ikan yakni berkisar 2227,9 persen 28. Secara kuantitas konsumsi energi rata-rata sudah di atas standar kecukupan yang dianjurkan, namun bila dilihat struktur sumbangan masing-masing energi dari masing-masing kelompok pangan, belum ideal. Padi-padian melebihi standar kecukupan dengan komposisi ideal sekitar 8,8 persen, gula melebihi sekitar 2,5 persen. Sedangkan yang masih defisit antara lain adalah pangsa energi dari kelompok umbi-umbian, sayur dan buah, kacang-kacangan dan beberapa kelompok pangan lain. 29. Nilai skor PPH mencapai 71,18 persen, hal ini mencerminkan kualitas pangan yang rendah dan kurang beragam, karena pangsa energi hanya terkonsentrasi di beberapa kelompok pangan tertentu seperti padi-padian, sementara untuk sayur dan buah masih jauh dibawah skor ideal. Kelompok sayur dan buah defisitnya mencapai sekitar 27 persen. Untuk itu konsumsi sayur dan buah perlu ditingkatkan.
Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Petani (NTPRP) 30. Rataan NTPRP perkebunan dengan berbagai komoditas basis terhadap total pengeluaran berkisar antara 0,63– 1,18, tertinggi pada komoditas kelapa sawit dan terrendah pada komoditas tebu. Apabila NTPRP didekomposisi menurut biaya produksi dan total konsumsi, NTPRP terhadap biaya produksi lebih besar dibanding NTPRP terhadap total konsumsi, yang menunjukkan pengeluaran rumahtangga petani lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dibandingkan untuk biaya usaha. 31. Beragamnya biaya produksi antar komoditas basis karena beragamnya tingkat penggunaan input produksi dan pemeliharaan. Pada usahatani karet, pada umumnya petani tidak melakukan pemupukan dan pemeliharaan secara intensif,
6
namun melakukan penyadapan hampir setiap hari. Sebaliknya pada usahatani tebu penggunaan input produksi dilakukan secara intensif.
Teknologi Budidaya dan Profitabilitas Usahatani 32. Pada umumnya tanaman perkebunan terutama tanaman tahunan (kelapa sawit,kakao, dan karet) berada dalam usia produktif. Untuk tanaman kelapa sawit di Muaro Jambi, kakao di Luwu, dan karet di Batanghari dan Sanggau perlu peremajaan karena umurnya sudah tua. Pengusahaan tanaman tebu rata-rata telah mengalami kepras lima kali padahal tanaman tebu keprasan idelnyahanya tiga kali. Status pengusahaan untuk komoditas karet, kakao dan tebu adalah perkebunan rakyat mandiri, sedangkan untuk kelapa sawit adalah pola PIR dan pola kemitraan. 33. Penggunaan herbisida pada tanaman perkebunan kelapa sawit, kakao, dan karet telah banyak digunakan, tetapi pada tanaman tebu masih sangat jarang dilakukan. Pada tanaman kelapa sawit, karet dan tebu petani umumnya tidak melakukan pemberantasan hama penyakit. Hal ini disebabkan umumnya serangan hama penyakit pada komoditas tersebut relatif ringan. Sebaliknya untuk tanaman komoditas kakao, pemberantasan hama penyakit banyak dilakukan petani karena intensitas serangan yang cukup tinggi sehingga menurunkan produktivitas, terutama hama PBK (Penggerek Buah Kakao). 34. Pada umumnya petani belum menerapkan dosis dan frekuensi pemupukan anjuran oleh instansi terkait dan mereka menerapkan dosis dan frekuensi pemupukan berdasarkan pengalaman sendiri. Hal ini diduga untuk menghemat biaya produksi karena karena harga pupuk dirasa mahal dan dosis anjuran lebih tinggi dari yang mereka lakukan. Secara umum penggunaan pupuk oleh petani kelapa sawit dan tebu lebih intensif dibandingkan petani karet dan kakao. 35. Profitabilitas usahatani yang dinyatakan dalam nilai R/C (Revenue/Cost) menghasilkan nilai profitabilitas yang bervariasi, dengan kisaran angka 2,35-30,2. Nilai R/C tertinggi terdapat pada usahatani karet di Sanggau dan terendah pada usahatani tebu dengan nilai R/C rata-rata 2,64. Penerimaan antar komoditas bervariasi antara 9 juta-22 juta rupiah, sementara total biaya bervariasi dari 350 ribu-6,4 juta rupiah sehingga tingkat keuntungan juga memiliki perbedaan cukup tinggi dari 7,6 juta - 20 juta rupiah. Keuntngan tertinggi dicapai usahatani kelapa sawit disusul karet, kakao dan terendah tebu. Faktor penyebab tingginya perbedaan tingkat profitabilitas komoditas disebabkan oleh bervariasinya tingkat penggunaan input usahatani, terutama pupuk dan obat-obatan, serta intensitas kegiatan pemeliharaan tanaman.
Kelembagaan Agribisnis Pedesaan 36. Kelembagaan kelompok tani umumnya sudah dibentuk. Secara agregat jumlah petani yang mengetahui keberadaan kelompok tani sejumlah 61,5%, namun hanya 42,9% yang menjadi anggota kelompok tani. Salah satu penyebab rendahnya minat petani untuk menjadi anggota Kelompok Tani adalah kurangnya manfaat yang dapat diperoleh petani dengan menjadi anggota Kelompok Tani tersebut. 37. Sumber informasi yang paling banyak dilakukan oleh petani adalah dengan berkomunikasi dengan sesama petani (71%) , sumber informasi kedua adalah kelompok tani, dan PPL sebagai sumber informasi hanya 9,89%
7
38. Kelembagaan pemasaran karet dilakukan di KUD melalui pasar lelang karet yang dilakukan setiap dua minggu sekali (5%), namun sebagian besar (95%) dilakukan secara bebas di pinggir jalan melalui pedagang pengumpul. Pada pemasaran tebu, persentase petani yang menjual tebu secara tebasan hampir sama dengan cara kiloan melalui pedagang pengumpul. Cara lain yaitu menitipkan hasil tanaman tebu ke pengumpul dengan biaya tebang, biaya angkut dan bongkar di pabrik ditanggung pengumpul dan diperhitungkan pada saat pencairan hasil penjualan. Pemasaran lainnya adalah melalui kelompok tani, bagi anggota kelompok tani yang memperoleh fasilitas subsidi pupuk melalui kelompok tani. Pada komoditas kelapa sawit pemasaran hasil melalui pedagang pengumpul desa yang memperoleh modal dari seorang bandar yang disebut ’Tauke’. Tauke ini biasa juga memberikan modal berupa pinjaman sarana produksi terutama pupuk.
Struktur Ekonomi Pedesaan 39. Struktur ekonomi pedesaan masih didominasi sektor pertanian. Secara umum, kegiatan non pertanian pada wilayah yang berbasis perkebunan kurang berkembang. Beberapa komoditas basis mampu menciptakan kegiatan ekonomi non pertanian, salah satunya adalah kegiatan angkutan terutama untuk komoditas tebu dan kelapa sawit yang mandiri. Meski usahatani komoditas perkebunan relatif dapat dijadikan sumber pendapatan utama rumahtangga yang relatif mantap, masih terdapat keluarga prasejahtera dalam katagori SS1, terbanyak berada pada wilayah dengan komoditas basis tebu. 40. Ketersediaan Infrastruktur pada wilayah berbasis perkebunan bervariasi dari jalan tanah sampai dengan jalan beraspal. Hampir seluruh tipe desa kebun dapat dilalui kendaraan bermotor roda 4. Angkutan utama yang sering digunakan oleh masyarakat di seluruh desa adalah kendaraan roda 2. Sarana informasi melalui media TV, sarana dan prasarana pendidikan yang ada umumnya hingga ketingkat pendidikan SLTA negeri maupun swasta. Selain pendidikan formal di wilayah dengan komoditas basis desa tebu dan karet juga dilengkapi dengan sarana pendidikan non formal keagamaan seperti pondok pesantren. 41. Kegiatan investasi skala rumahtangga adalah dalam bentuk industri rumahtangga yang mampu menyerap sebagian kecil tenaga kerja anak-anak (kasus di desa dengan komoditas basis kakao) dan sebagian besar menyerap tenaga kerja wanita. Tidak dijumpai investasi non pertanian skala besar yang berdampak nyata pada perekonomian pedesaan. 42. Perubahan penggunaan lahan terjadi namun dengan frekuensi yang relatif kecil, yaitu perubahan lahan sawah/tegal/ladang/huma/kebonan ke penggunaan non pertanian dan perumahan dan ke penggunaan yang lain. 43. Kelembagaan tenaga kerja dalam bentuk upahan ada namun kurang berkembang. Sebagian besar petani mengerjakan lahan mereka sendiri, hanya sebagian kecil yang menggunakan buruh upahan. Sedangkan untuk komoditas padi yang diusahakan di agroekosis perkebunan karet, diusahakan dengan system sambatan.
8
KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN
Kesimpulan 44. Rata-rata penguasaan lahan rumahtangga di agroekosistem lahan kering perkebunan dengan komoditas basis karet, kelapa sawit, kakao dan tebu berada pada kisaran 0,3 ha sampai 3,1 hektar. Distribusi penguasan lahan komoditas basis berada pada tingkat ketimpangan rendah (karet, kelapa sawit), moderat (kakao) dan berat (tebu). Distribusi penguasaan lahan total berada pada tingkat ketimpangan yang lebih lebar, yang ditopang oleh distribusi penguasaan lahan non basis (tegal, sawah, pekarangan). 45. Struktur tenaga kerja di sektor pertanian menurut umur menunjukkan gejala ‘aging’, penyerapan tenaga kerja masih sangat dominan di sektor pertanian, yang besarnya secara rataan masih sekitar 72,1 persen. Produktivitas tenaga kerja relatif tinggi, berada pada kisaran Rp 5,0 – 16,1 juta/kapita. 46. Struktur pendapatan rumahtangga masih dominan pada pada sektor pertanian, distribusi pendapatan antar rumahtangga berada pada tingkat merata (karet), tidak merata (kakao dan tebu) dan kelapa sawit karet berada pada distribusi yang sangat tidak merata. 47. Insiden kemiskinan di semua wilayah relatif kecil, kurang dari 10 persen, bahkan di wilayah dengan komoditas basis karet tidak ada rumahtangga yang tergolong miskin, kecuali di kabupaten Pinrang dengan komoditas basis kakao dengan insiden kemiskinan cukup tinggi. 48. Pangsa pengeluaran pangan relatif tinggi hampir di semua wilayah. Kelompok pangan pokok memiliki pangsa tertinggi dibanding kelompok lain. Tingkat partisipasi rumahtangga terhadap konsumsi pangan pokok beras mendekati 100 persen, yang mengindikasikan relatif tidak mudahnya program diversifikasi pangan dari beras ke komoditas pangan lain. 49. Nilai tukar petani (NTPRP) >1 di seluruh lokasi, yang mengindikasikan seluruh rumahtangga berada dalam kondisi sejahtera menurut indikator tersebut. 50. Petani telah memahami semua tentang standard dan anjuran teknologi usahatani di setiap wilayah, namun dalam pelaksanaannya belum semua petani menerapkan anjuran tersebut.
Saran Kebijakan 51. Untuk meningkatkan kualitas kemampuan sumberdaya manusia (SDM) di pedesaan , diperlukan program peningkatan ketrampilan dan pengetahuan sehingga tenaga kerja dapat bersaing di pasar tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan. Upaya tersebut sekaligus untuk menyiasati fenomena aging farmer yang terjadi. Pengembangan infrastruktur pertanian dan pedesaan perlu dilakukan secara pararel dalam rangka keseimbangan pembangunan sektoral dan wilayah dengan sasaran peningkatan kesejahteraan petani. 52. Perlu didukung berbagai cara yang dilakukan pemerintah dalam mengupayakan perbaikan distribusi lahan. Pada saat yang sama agar terjadi diversifikasi pendapatan dan usaha serta mengurangi ketimpangan pendapatan rumahtangga,
9
dapat dilakukan dengan memperbesar kesempatan kerja di sektor luar pertanian misalnya dengan pengembangan industri pedesaan. Selain itu juga perlu memperlancar mobilitas penduduk melalui perbaikan infrastrukrur prasarana jalan dan tramsportasi sehingga diversifikasi usaha dapat berkembang dengan baik. 53. Untuk meningkatkan pendapatan petani kecil, perlu diciptakan kesempatan kerja non pertanian sebagai komplemen bagi usahatani komoditas basis. Sebagai alternatif kebijakan kearah sana adalah mendorong tumbuhnya usaha angkutan hasil produksi, khususnya untuk petani di wilayah komoditas basis tebu, dan industri rumahtangga yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang yang kuat dengan sektor pertanian khususnya untuk komoditas basis kakao. 54. Untuk meningkatkan keragaman pangan dan pangan lokal serta peningkatan kualitas konsumsi pangan rumahtangga maka peran pemerintah dalam merubah konsumsi pangan masyarakat sangat diperlukan. Perlu didukung upaya peningkatan daya beli masyarakat untuk meningkatkan konsumsi pangan masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, penyadaran masyarakat akan pangan dan gizi serta kesehatan perlu ditingkatkan, sehingga jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan. 55. Agar petani dapat mengadopsi teknologi usahatani yang menjadi anjuran diperlukan ketersediaan sarana produksi baik bibit unggul maupun pupuk pada tingkat harga yang terjangkau oleh petani dan dapat diperoleh secara mudah. Sejalan dengan hal itu peningkatan kegiatan penyuluhan/pembinaan dari instansi terkait perlu terus dilakukan untuk perbaikan teknologi usahatani serta upaya memperkuat kelembagaan petani dalam usahatani dan pemasaran hasil.
10