LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)
Oleh: A. Rozany Nurmanaf Adimesra Djulin Herman Supriadi Sugiarto Supadi Nur Khoiriyah Agustin Julia Forcina Sinuraya Gelar Satya Budhi
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PETANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2004
RINGKASAN EKSEKUTIF
1. Ekonomi pedesaan merupakan bagian integral dari sistem perekonomian nasional secara keseluruhan. Strategi pembangunan selama ini cenderung bersifat bias perkotaan menyebabkan potensi perekonomian pedesaan tidak didayagunakan secara maksimal. Dari aspek tenaga kerja, terlihat bahwa kesempatan kerja kurang berkembang dan rendahnya produktivitas tenaga kerja di sektor ekonomi pedesaan. Fenomena ini merupakan salah satu pendorong terjadinya urbanisasi tenaga kerja muda terdidik. Hal ini didukung oleh lambatnya peningkatan upah riil buruh pertanian. 2. Secara umum pembangunan pertanian telah berhasil meningkatkan produksi fisik, tapi produktivitas tenaga kerja di sektor ini khususnya subsektor tanaman pangan tidak mengalami peningkatan yang berarti dalam dua dekade terakhir. sementara upah buruh di sektor luar pertanian terus mengalami peningkatan. Akan tetapi, angkatan kerja yang berasal dari kelompok rumah tangga berlahan sempit dan rumah tangga tanpa lahan yang diharapkan dapat terserap dan bekerja di sektor luar pertanian tidak sesuai seperti yang diharapkan. Pada kenyataannya, sebagian besar dari mereka hanya bekerja pada jenis-jenis kegiatan dengan produktivitas yang rendah. 3. Dari aspek pendapatan rumah tangga, telah terjadi perubahan terutama dalam hal distribusinya. Derajat ketimpangan distribusi pendapatan erat kaitannya dengan ketimpangan penguasaan lahan pertanian sebagai salah satu faktor produksi pertanian. Artinya, ketimpangan pendapatan rumah tangga dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan yang berasal dari sektor pertanian. Hal ini terlihat jelas di wilayah-wilayah dimana sektor pertanian merupakan sektor penting dalam perekonomian masyarakat Hasil penelitian empiris menunjukkan bahwa derajat ketimpangan distribusi lahan di berbagai kasus cenderung semakin timpang yang ditunjukkan oleh semakin tingginya angka indeks Gini, sejalan dengan rata-rata luas penguasaan lahan yang semakin sempit. 4. Kelembagaan tradisional di masyarakat juga terjadi perubahan sebagai akibat berubahnya struktur sosial ekonomi secara keseluruhan. Hubungan garapan usahatani antara pemilik lahan dan penggarap; hubungan kerja antara petani yang mengusahakan lahan dengan buruh sebagai pekerja; sistem pengupahan buruh telah terjadi pergeseran-pergeseran. Secara umum perubahan tersebut mengarah pada tingkat yang semakin komersial dan lebih didasari pada pertimbangan ekonomi. Namun pada kenyataannya di berbagai kasus cenderung lebih menguntungkan pemilik lahan karena pada dasarnya mereka memiliki posisi tawar yang lebih kuat. 5. Untuk mengidentifikasi perubahan-perubahan yang terjadi perlu dihimpun informasi tentang keadaan berbagai aspek sosial ekonomi rumah tangga dan masyarakat pedesaan yang relevan. Tahun 2004 dilakukan penelitian yang merupakan lanjutan penelitian serupa di tahun-tahun sebelumnya. Aspek yang dianalisis erat kaitannya dengan struktur sosial ekonomi masyarakat. Indikator-indikator yang dibangun mempunyai persamaan dengan yang ada 1
tahun-tahun sebelumnya. Dengan demikian perubahan-perubahan dapat terdeteksi dengan baik. Aspek yang mendapat penekanan dipilah ke dalam seri kegiatan penelitian, yaitu (i) analisis penguasaan lahan pertanian, (ii) analisis ketenagakerjaan rumah tangga, dan (iii) analisis pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Ketiga aspek tersebut diidentifikasi keterkaitannya yang merupakan bahan masukan dalam memformulasikan seri kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan yang spesifik. 6. Tujuan penelitian di diarahkan secara khusus untuk masing-masing kegiatan. Analisis pada aspek penguasaan lahan tujuan penelitian meliputi struktur, distribusi dan keragaan kelembagaan yang terkait dengan penguasaan dan pengusahaan lahan pertanian. Selanjutnya, aspek tenaga kerja rumah tangga dianalisis potensi angkatan kerja, partisipasi kerja, curahan kerja, produktivitas tenaga kerja dan migrasi. Disamping itu, penelitian tenaga kerja juga menganalisis keragaan kelembagaan hubungan kerja. Sedangkan aspek pendapatan dan pengeluaran rumah tangga dianalisis struktur dan tingkat pendapatan, distribusi dan stabilitas pendapatan, dan struktur pengeluaran dan keterkaitannya dengan tingkat pendapatan. 7. Penelitian dilakukan di 3 (tiga) provinsi, yaitu Jawa Tengah, Lampung dan Sulawesi Selatan. Masing-masing provinsi dipilih 4 desa yang diklasifikasi menurut perbedaan agroekosistem, desa-desa berbasis lahan sawah dan berbasis lahan kering. Setiap desa diwawancara sebanyak 50-60 rumah tangga yang merupakan petani sampel Patanas. Informasi tambahan yang bersifat umum tingkat makro desa juga dikumpulkan yang diperlukan sebagai pelengkap dalam mendiskusikan perubahan di tingkat rumah tangga. 8. Secara umum analisis deskriptif merupakan alat utama dalam penelitian. Penghitungan-penghitungan konvensional seperti nilai rata-rata, frekuensi distribusi persentase dan lain-lain dilakukan yang sebagian besar ditampilkan dalam bentuk tabel. Walaupun demikian, sesuai keperluan pengujian dan tuntutan pembahasan dan diskusi alat analisis dengan menggunakan statistik sederhana juga dioperasikan. Mengukur derajat ketimpangan distribusi penguasaan lahan dan pendapatan rumah tangga digunakan angka Indeks Gini; tingkat stabilitas pendapatan diukur dengan angka Deviasi Standar; dan keeratan hubungan antara 2 indikator digunakan angka koefisien korelasi. 9. Dalam hal struktur penguasaan lahan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengusahaan lahan, dalam arti garapan usahatani, tidak hanya berasal dari lahan yang dimiliki. Sebagian luasan lahan yang diusahakan adalah lahan milik fihak lain (bukan milik), dengan menyakap, menyewa dan status lainnya yang umumnya dilakukan oleh rumah tangga tanpa lahan dan berlahan sempit. Sehingga hal ini merupakan penjelasan mengapa derajat ketimpangan distribusi lahan milik lebih tinggi dibandingkan ketimpangan distribusi lahan garapan. Kecenderungan demikian terlihat di kedua agroekosistem, baik di desa-desa berbasis lahan sawah maupun di desadesa berbasis lahan kering. Namun, terdapat variasi yang jelas antara wilayah seperti di Jawa dibandingkan di luar Jawa.
2
10. Kelembagaan pengusahaan lahan yang umum berlaku adalah dengan sistem sakap (bagi hasil) atau sewa. Para pemilik lahan menyerahkan penggarapan lahan pada pihak lain dengan sistem sakap diduga didasari pertimbangan adanya kemungkinan risiko, misalnya kesuburan lahan rendah, fasilitas irigasi kurang baik dan tempat yang jauh dari rumah. Umumnya penggarapan cara ini dilakukan oleh para petani tanpa lahan dan petani berlahan sempit. Sebaliknya, sistem persewaan banyak dilakukan petani yang berorientasi perluasan usaha karena lahan milik yang terbatas. Kasus dengan sistem sewa banyak dijumpai di wilayah yang berpotensi pengusahaan komoditas bernilai tinggi dan tanpa kesulitan pemasaran dan kemungkinan risiko rendah. 11. Dari aspek kesempatan kerja, hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja rumah tangga di pedesaan sebagian besar masih di sektor pertanian. Walaupun demikian, pada kasus tertentu peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja telah digeser oleh sektor di luar pertanian. Jumlah angkatan kerja belum sepenuhnya terserap dan masih di jumpai angkatan kerja rumah tangga yang tidak bekerja, seperti masih sekolah, pernah bekerja tapi sedang menganggur atau memang belum pernah bekerja sama sekali. Sementara, alokasi waktu kerja masih dominan di sektor pertanian di pedesaan Jawa, baik di desa-desa berbasis lahan sawah maupun di desa-desa berbasis lahan kering. Akan tetapi, di desadesa berbasis lahan kering di luar Jawa terjadi sebaliknya, jenis kegiatan terdiversifikasi pada kegiatan di luar sektor pertanian, walaupun sebagian besar dengan produktivitas rendah. 12. Mobilitas tenaga kerja dalam kegiatan migrasi, baik yang bersifat sirkulasi, komutasi maupun menetap sebagian besar terserap pada sektor informal dengan produktivitas tenaga kerja yang rendah akibat terbatasnya keterampilan dan permodalan. Sementara itu, bekerja di dalam desa khususnya pada jenis-jenis pekerjaan di sektor pertanian, pola hubungan kerja tradisional yang dianut masyarakat juga telah bergeser. Hubungan kerja lepas antara petani sebagai pengguna tenaga kerja dan buruh sebagai pekerja lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan hubungan kerja dengan ikatan. Disamping itu, besarnya upah yang dibayar lebih didasarkan pada tingkat upah yang berlaku. Diduga kecenderungan demikian merupakan indikasi bahwa transaksi di pasar tenaga kerja mengarah pada tingkat yang lebih komersial. 13. Pada aspek pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum sektor pertanian masih memiliki kontribusi yang dominan. Namun demikian, posisi ini terlihat adanya pergeseran yang dibuktikan dengan semakin kecilnya proporsi pendapatan dari sektor pertanian dan semakin besarnya proporsi pendapatan dari sektor nonpertanian, khususnya di desa-desa yang berbasis lahan kering. Sementara, tingkat pendapatan (pendapatan per kapita) tampak lebih tinggi di desa-desa berbasis lahan sawah dibandingkan dengan di desa-desa berbasis lahan kering.
3
14. Distribusi pendapatan rumah tangga di pedesaan termasuk kriteria dengan ketimpangan yang tinggi terutama di desa-desa berbasis lahan sawah. Diduga hal ini ada kaitannya dengan derajat ketimpangan distribusi lahan di desa-desa tersebut. Sementara kontribusi pendapatan dari sektor pertanian lebih dominan dari pada kontribusi sektor luar pertanian. Derajat ketimpangan distribusi pendapatan rumah tangga cenderung semakin tinggi yang ditunjukkan oleh semakin besarnya angka Indeks Gini. 15. Pendapatan rumah tangga lebih berfluktuasi di desa-desa berbasis lahan sawah dibandingkan di desa-desa berbasis lahan kering. Di desa-desa berbasis lahan sawah kontribusi pendapatan dari sektor pertanian lebih dominan tapi sangat tergantung pada musim. Sementara jenis-jenis kegiatan di sektor luar pertanian masih terbatas. Sedangkan di desa-desa berbasis lahan kering jenis-jenis kegiatan di sektor luar pertanian telah terdiversifikasi dan tidak terikat dengan musim dan dapat dilakukan sepanjang tahun. 16. Dilihat dari nilai nominal, pengeluaran rumah tangga di desa-desa berbasis lahan kering lebih tinggi dibandingkan dengan di desa-desa berbasis lahan sawah. Sementara, proporsi pengeluaran untuk pangan di desa-desa berbasis lahan kering lebih tinggi dibandingkan dengan di desa-desa berbasis lahan sawah. Akan tetapi pengeluaran non pangan memiliki pola yang unik bila dipilah menurut tingkat pendapatan rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga untuk energi misalnya, memiliki hubungan posistif dengan tingkat pendapatan baik di desa-desa berbasis lahan sawah maupun lahan kering. Tapi pengeluaran untuk pemeliharaan bangunan dan alat rumah tangga terdapat perbedaan antara agroekosistem. Perbedaan tersebut sangat tergantung pada jenis harta yang dimiliki yang memerlukan biaya pemeliharaan. Sedangkan proporsi pengeluaran untuk pendidikan lebih tinggi pada rumah tangga yang tergolong pendapatan rendah. Seperti untuk pendidikan, pengeluaran keperluan sosial secara nominal sangat besar. Walaupun keperluan ini dirasakan berat tapi seperti tidak mampu menghindarinya. Secara proporsi tampak lebih tinggi pada rumah tangga kelompok pendapatan rendah. Kecenderungan serupa juga terlihat pada pengeluaran rumah tangga untuk investasi. Proporsi pengeluaran untuk investasi hanya dilakukan oleh rumah tangga dengan tingkat pendapatan sedang dan tinggi. 17.Rata-rata penguasaan lahan yang sempit selalu menjadi hambatan untuk mencapai pertanian modern yang efisien dan berdaya saing. Dengan demikian untuk jangka panjang konsolidasi usaha untuk mencapai skala usaha yang optimal perlu diupayakan. Disamping itu, upaya untuk membatasi fragmentasi lahan pertanian seyogyanya mendapat prioritas. Sementara itu, berbagai program yang diaplikasikan hendaknya diarahkan pada aksi yang mengacu pada keberpihakan pemerintah pada petani berlahan sempit. 18.Terbatasnya kesempatan kerja di pedesaan mendorong angkatan kerja bermigrasi ke luar desa termasuk ke kota. Akan tetapi pada kenyataannya para migran hanya bekerja pada sektor informal dengan produktivitas tenaga kerja rendah akibat keterampilan yang rendah dan permodalan yang terbatas. Oleh karena itu, untuk jangka panjang dukungan untuk meningkatkan keterampilan dan bantuan permodalan sangat diperlukan. 4
19.Terjadi kecenderungan pergeseran dengan semakin besar peranan sektor non pertanian dalam kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga. Hal ini terjadi erat kaitannya dengan usaha pertanian, khususnya pangan, yang tidak mampu memberikan pendapatan yang cukup bahkan cenderung menurun secara relatif. Upaya bekerja di sektor luar pertanian merupakan jalan keluar yang alami. Dengan demikian, bila kesejahteraan rumah tangga petani yang menjadi target, maka upaya memperluas kesempatan kerja di luar pertanian di pedesaan perlu lebih digiatkan. Upaya ini sekaligus dapat diarahkan pada perbaikan fluktuasi pendapatan. Namun demikian, usaha meningkatkan produktivitas dan efisiensi di sektor pertanian tetap dilakukan secara terus menerus.
5