PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS): ANALISIS INDIKATOR PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN Tim: Bambang Irawan Sugiarto Supadi Julia Forcina Sinuraya Reni Kustiari Mewa Ariani Tri Bastuti Sunarsih Prajogo U. Hadi Mohamad Maulana Adreng Purwoto Bambang Winarso Waluyo Deri Hidayat
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2008
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sebagian besar penduduk Indonesia berdomisili di daerah pedesaan dan
memiliki mata pencaharian di sektor pertanian. Pada tataran nasional jumlah daerah pedesaan dan cakupan daerah pedesaan jauh lebih luas dibanding daerah kota. Namun akibat pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi sementara ketersediaan sumberdaya lahan dan air yang merupakan faktor produksi utama pada usaha pertanian relatif terbatas maka telah terjadi marjinalisasi daerah pedesaan. Pada sisi lain pembangunan di daerah kota yang identik dengan pembangunan sektor industri dan jasa belum sepenuhnya mampu menimbulkan dampak positip bagi kehidupan masyarakat desa sehingga daerah pedesaan relatif tertinggal dibanding daerah kota, dan dalam banyak kasus daerah pedesaan identik dengan daerah miskin. Pelaksanaan
pembangunan
pedesaan
perlu
didukung
dengan
kegiatan
monitoring untuk memahami hasil pembangunan yang telah dicapai dan memahami permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan tersebut. Hasil monitoring selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik bagi penyempurnaan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan pedesaan selanjutnya. Dalam rangka memantau dinamika pembangunan pedesaan tersebut maka diperlukan pengumpulan data dan informasi yang dilakukan secara sistimatis dalam rentang waktu yang cukup panjang agar dapat dipahami perubahan-perubahan yang terjadi akibat kegiatan pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan informasi tersebut berbagai indikator pembangunan telah diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) seperti: pertumbuhan PDRB, penyerapan tenaga kerja dan pengangguran, tingkat inflasi, nilai tukar petani, dan sebagainya. Namun indikator-indikator tersebut umumnya masih bersifat agregat nasional, propinsi atau kabupaten sehingga belum dapat dimanfaatkan untuk memahami dinamika pembangunan di daerah pedesaan yang sangat bervariasi. Dua faktor utama yang dapat menimbulkan variasi dinamika pembangunan di daerah pedesaan adalah ketersediaan sumberdaya lahan pertanian dan jenis komoditas pertanian yang diusahakan petani. Hal ini karena sebagian besar pendapatan rumah tangga di pedesaan berasal dari kegiatan usaha pertanian sementara ketersediaan sumberdaya lahan dan jenis komoditas yang diusahakan petani akan menentukan besarnya pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari usaha pertanian. Berdasarkan
1
hal tersebut maka pemahaman dinamika pembangunan di daerah pedesaan perlu dirinci menurut tipe desa yang dirumuskan sedikitnya berdasarkan ketersediaan sumberdaya lahan pertanian dalam kuantitas dan kualitas, serta komoditas pertanian yang diusahakan petani. Dalam rangka memahami dinamika pembangunan pedesaan menurut tipe desa maka sejak tahun 1983 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian telah melakukan penelitian Panel Petani Nasional (PATANAS). Pada intinya penelitian PATANAS tersebut dirancang untuk memantau dan memahami berbagai perubahan jangka panjang profil rumah tangga di daerah pedesaan dengan tipe agro-ekosisitem yang berbeda dan mencakup berbagai aspek ekonomi dan sosial, terutama yang berkaitan dengan isu-isu pembangunan yang berkembang. Untuk keperluan tersebut maka penelitian PATANAS dilakukan secara berkesinambungan dengan interval waktu tertentu. Sedangkan data primer yang dibutuhkan dikumpulkan dari contoh desa dan contoh
rumahtangga
yang
sama
agar
konsistensi
sumber
informasi
dapat
dipertahankan.
1.2. Perumusan Masalah Penelitian Pada tahun 2006 telah dilakukan penyempurnaan penelitian PATANAS khususnya yang berkaitan dengan tipologi desa yang dijadikan lokasi penelitian dan aspek sosial ekonomi yang dianalisis. Hasil analisis tipologi desa menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik sumberdaya lahan dan jenis komoditas pertanian yang diusahakan petani maka terdapat 5 tipe daerah pedesaan yang memiliki populasi terbanyak pada tataran nasional yaitu : (1) desa sawah irigasi berbasis padi sebanyak 11237 desa atau 21.9%, (2) desa sawah non irigasi berbasis padi sebanyak 4607 desa atau 8.9%, (3) desa lahan kering berbasis palawija sebanyak 5749 desa atau 11.2%, (4) desa lahan kering berbasis sayuran sebanyak 4361 desa atau 8.5%, dan (5) desa lahan kering berbasis komoditas perkebunan sebanyak 7354 desa atau 14.3%.
Secara
keseluruhan kelima tipe desa tersebut meliputi 64.8% dari seluruh desa secara nasional. Untuk memahami profil rumah tangga pedesaan secara nasional maka perlu dilakukan survey rumah tangga sedikitnya pada kelima tipe desa tersebut. Namun karena keterbatasan dana yang tersedia maka survey rumah tangga tersebut baru dapat dilaksanakan untuk tipe desa sawah irigasi berbasis padi dan belum mencakup seluruh tipe desa yang ada.
2
1.3. Justifikasi Penelitian Penelitian PATANAS sangat berguna untuk memperoleh gambaran tentang profil rumah tangga pedesaan dan memonitor dinamika pembangunan pedesaan menurut tipe desa. Hasil-hasil penelitian PATANAS akan sangat bermanfaat sebagai masukan dalam merumuskan kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan yang bersifat spesifik lokasi dan spesifik komoditas. Hingga tahun 2007 penelitian PATANAS tersebut baru dapat dilaksanakan di tipe desa sawah irigasi berbasis padi yang merupakan tipe desa terbanyak pada tataran nasional dan meliputi sekitar 22 persen desa. Untuk dapat memahami dinamika pedesaan secara menyeluruh maka perlu dilakukan penelitian yang sama pada tipe-tipe desa lainnya terutama untuk kelima tipe desa yang memiliki populasi terbanyak.
1.4. Tujuan dan Keluaran Secara umum penelitian PATANAS ditujukan untuk memahami perubahan sosial ekonomi jangka panjang yang terjadi di daerah pedesaan dengan tipe agro-ekosistem yang berbeda. Dari hasil penelitian tersebut diharapkan akan diperoleh keluaran berupa data dan infromasi yang berkaitan dengan dinamika sosial ekonomi pedesaan pada tipe agro-ekosistem yang berbeda. Untuk dapat menangkap perubahan-perubahan tersebut maka penelitian ini dirancang untuk dilaksanakan selama 5 tahun yaitu pada tahun 2007 – 2010. Adapun aspek sosial ekonomi yang dikaji meliputi : 1. Sumberdaya lahan yang meliputi: struktur penguasaan lahan, distribusi penguasaan lahan rumah tangga, pola pemanfaatan lahan. 2. Tenaga kerja pedesaan yang meliputi: tingkat pengangguran rumah tangga, curahan dan alokasi tenaga kerja rumah tangga, produktivitas tenaga kerja rumah tangga, migrasi tenaga kerja. 3. Pendapatan rumah tangga yang meliputi: tingkat pendapatan rumah tangga, distribusi pendapatan rumah tangga, struktur pendapatan rumah tangga, variabilitas pendapatan. 4. Kemiskinan rumah tangga yang meliputi: insiden kemiskinan, karakteristik rumah tangga miskin, penyebab kemiskinan, survival strategy untuk mengurangi masalah kemiskinan.
3
5. Konsumsi pangan rumah tangga yang meliputi: kecukupan konsumsi pangan rumah tangga, struktur konsumsi bahan pangan pokok, keragaman sumber gizi rumah tangga. 6. Nilai tukar petani yang meliputi: nilai tukar komoditas yang dihasilkan petani, nilai tukar petani terhadap produk konsumsi pangan. 7. Teknologi pertanian yang meliputi: penerapan teknis budidaya tanaman dan penanganan pasca panen, analisis finansial budidaya tanaman. 8. Kelembagaan agribisnis yang meliputi: kelembagaan penguasaan lahan, transaksi lahan, transasksi upah tenaga kerja, transaksi sarana produksi pertanian, transaksi modal usahatani, pemasaran hasil pertanian, organisasi petani, dan pengelolaan kolektif infrastruktur pertanian. 9. Dinamika wilayah pedesaan yang meliputi: struktur ekonomi pedesaan, ketersediaan infrastruktur, peralatan dan industri pertanian, aksesibilitas terhadap pasar, perubahan tata guna lahan dan dinamika agroindustri.
II. METODE PENELITIAN 2.1. Kerangka Pemikiran Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses yang direncanakan untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu. Di sektor pertanian tujuan pembangunan adalah: (1) Meningkatkan kapasitas produksi pertanian, (2) Meningkatkan cadangan devisa, (3) Meningkatkan kesempatan kerja, dan (4) Meningkatkan ketahanan pangan. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai melalui pembangunan pertanian adalah meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat desa lainnya yang tercerminkan dari meningkatnya pendapatan petani, meningkatnya produktivitas tenaga kerja pertanian, berkurangnya jumlah penduduk miskin, berkurangnya jumlah penduduk yang kekurangan pangan dan turunnya ketimpangan pendapatan di daerah pedesaan. Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran diatas, berbagai program dan kebijakan telah ditempuh pemerintah sehingga menimbulkan perubahan sosial ekonomi di daerah pedesaan. Secara tidak langsung dinamika sosial ekonomi di daerah pedesaan juga dapat dirangsang oleh kebijakan dan program pembangunan di sektor lain. Dinamika pedesaan yang dimaksud dapat terjadi dalam konteks: (1) wilayah pedesaan sebagai basis kegiatan ekonomi, (2) rumah tangga pedesaan yang
4
melakukan aktivitas ekonomi di wilayah pedesaan, dan (3) usahatani pada lahan garapan petani. Perubahan dalam konteks wilayah pedesaan misalnya dapat meliputi perubahan ketersediaan lahan pertanian, ketersediaan sarana transportasi pedesaan dan kelembagaan agribisnis pedesaan. Perubahan dalam konteks rumahtangga misalnya meliputi perubahan tingkat pendapatan rumahtangga, tingkat kecukupan pangan rumahtangga, tingkat kemiskinan, alokasi tenaga kerja rumahtangga, dst. Sedangkan perubahan dalam konteks usahatani dapat meliputi perubahan produktivitas usahatani, pola tanam, penggunaan input usahatani, dst. Dinamika pedesaan dalam ketiga konteks diatas dapat saling terkait satu sama lain. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur transportasi dan ekonomi dapat merangsang migrasi tenaga kerja pedesaan akibat meningkatnya aksesibilitas masyarakat desa terhadap pasar tenaga kerja di luar desa. Peningkatan produktivitas dan efisiensi usahatani juga dapat mempengaruhi pendapatan rumah tangga melalui pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan yang bersumber dari kegiatan usahatani. Sebaliknya peningkatan pendapatan rumah tangga juga dapat meningkatkan produktivitas usahatani akibat meningkatnya kemampuan modal petani untuk menerapkan teknologi usahatani yang lebih unggul, yang biasanya membutuhkan tambahan biaya usahatani. Daerah pedesaan umumnya memiliki tipe agroekosistem yang berbeda. Perbedaan tipe agroekosistem di daerah pedesaan dapat disebabkan oleh perbedaan letak geografis yang mempengaruhi tipe iklim. Variasi tipe agroekosistem di daerah pedesaan juga dapat dipengaruhi oleh kebijakan pembangunan pada masa lalu. Sebagai gambaran, kebijakan pembangunan lahan sawah yang pada masa lalu lebih difokuskan di Pulau Jawa menyebabkan agroekosistem lahan sawah lebih banyak dijumpai di Pulau Jawa dibanding pulau-pulau lainnya. Variasi tipe agroekosistem akan mempengaruhi jenis komoditas pertanian yang dapat dikembangkan oleh petani. Mengingat sebagian besar pendapatan petani bersumber dari kegiatan usahatani maka pendapatan rumahtangga pedesaan juga dapat bervariasi menurut tipe agroekosistem. Sementara itu karena daya beli pangan dan non pangan rumahtangga tangga antara lain dipengaruhi oleh pendapatan rumahtangga maka kecukupan pangan rumahtangga dan insiden kemiskinan akan bervariasi pula menurut tipe agroekosistem. Dalam rangka mengevaluasi hasil-hasil pembangunan dan mempertajam kebijakan pembangunan maka diperlukan kegiatan monitoring yang memantau berbagai
5
perubahan yang terjadi di daerah pedesaan baik pada tingkat rumahtangga pedesaan, tingkat wilayah desa, dan tingkat usahatani. Untuk
memenuhi
kebutuhan
informasi
tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk memantau beberapa indikator yang mencerminkan dinamika di daerah pedesaan yang meliputi beberapa aspek, yaitu: (1) sumberdaya lahan pertanian, (2) tenaga kerja pedesaan, (3) pendapatan rumahtangga, (4) konsumsi pangan rumahtangga, (5) kemiskinan rumahtangga, (6) nilai tukar petani, (7) teknologi pertanian, dan (8) kelembagaan agribisnis.
2.2. Tahapan Penelitian Penelitian PATANAS pada intinya ditujukan untuk memahami dinamika jangka panjang yang terjadi di daerah pedesaan baik untuk cakupan desa, rumahtangga maupun tingkat usahatani. Sehubungan dengan itu maka kegiatan survey rumahtangga yang meliputi berbagai aspek yang dianalisis harus dilakukan beberapa kali dengan interval waktu tertentu yang cukup panjang agar dapat dievaluasi perubahan-perubahan yang terjadi selama interval waktu tersebut. Idealnya kegiatan survey rumahtangga tersebut dapat dilakukan secara bersamaan untuk seluruh aspek dan seluruh tipe desa yang dianalisis agar dapat ditangkap variasi perubahan aspek yang dianalisis menurut tipe desa, yang antara lain dapat disebabkan oleh perubahan kebijakan pembangunan. Akan tetapi, karena keterbatasan dana penelitian maka kegiatan survey rumahtangga yang bersifat lintas aspek dan lintas tipe desa tersebut tidak dapat dilaksanakan secara serentak, sehingga perlu dilakukan pentahapan kegiatan survey rumahtangga menurut aspek yang dianalisis atau menurut tipe desa. Permasalahannya adalah bagaimana pentahapan kegiatan survey tersebut sebaiknya dilakukan, apakah menurut aspek yang dianalisis atau menurut tipe desa. Tabel 1 memperlihatkan beberapa keunggulan dan kelemahan dari kedua pilihan tersebut. Dengan kendala dana penelitian yang tersedia maka pada setiap kegiatan survey rumahtangga atau tahun penelitian terdapat dua pilihan yaitu : (a) seluruh aspek dianalisis (8 aspek) tetapi hanya mencakup tipe desa tertentu, atau (b) seluruh tipe desa dianalisis tetapi hanya mencakup aspek tertentu (sebagian dari 8 aspek). Pada pilihan pertama terdapat beberapa keunggulan yaitu : (1) aspek yang dianalisis cukup lengkap, (2) akurasi data lebih baik karena dapat dilakukan uji konsistensi data secara lintas aspek, (3) kelengkapan data untuk modeling dan estimasi
6
parameter akan lebih baik karena keterkaitan antar aspek dapat dianalisis dan jumlah contoh rumahtangga untuk tipe desa tertentu lebih banyak, (4) variasi geografis untuk tipe desa tertentu dapat lebih tertangkap karena jumlah desa contoh untuk tipe desa tertentu dapat lebih banyak dan tersebar menurut lokasi geografis, (5) replikasi desa contoh untuk tipe desa tertentu dapat dilakukan karena jumlah desa contoh lebih banyak, dan (6) dalam analisis perubahan antar waktu dapat ditangkap cakupan aspek yang relatif luas. Sedangkan kelemahan yang melekat pada pilihan tersebut adalah: (1) pada setiap kegiatan survey rumahtangga variasi aspek yang dianalisis menurut tipe desa tidak tertangkap, dan (2) kesimpulan yang diperoleh tidak dapat digeneralisasi untuk seluruh daerah pedesaan karena hanya mencakup tipe desa tertentu. Pada pilihan kedua juga terdapat keunggulan dan kelemahan yang pada dasarnya merupakan kebalikan dari pilihan pertama. Keunggulan yang terdapat pada pilihan kedua adalah pada setiap kegiatan survey rumahtangga dapat ditangkap variasi aspek yang dianalisis menurut tipe desa dan dapat dilakukan generalisasi hasil penelitian karena data yang dikumpulkan diperoleh dari berbagai tipe desa. Namun kelemahan dari pilihan ini adalah akurasi data yang kurang baik karena tidak dapat dilakukan uji konsistensi data, jumlah contoh rumahtangga untuk setiap tipe desa relatif sedikit, dan variasi geografis menurut tipe desa kurang tertangkap. Tabel 1. Keunggulan dan Kelemahan Menurut Alternatif Pelaksanaan Survey Rumah tangga VARIABEL 1. Kelengkapan aspek yang dianalisis 2. Akurasi data dan uji konsistensi data 3. Kelengkapan data untuk modeling dan estimasi parameter 4. Variasi geografis 5. Replikasi desa contoh 6. Cakupan aspek dalam analisis perubahan antar waktu 7. Variasi antar tipe desa 8. Generalisasi hasil penelitian Dalam
penelitian
ini
ALTERNATIF (A) Seluruh aspek pada tipe desa tertentu Baik Baik Baik
ALTERNATIF (B) Seluruh tipe desa untuk aspek tertentu Kurang Kurang Kurang
Baik Baik Baik
Kurang Kurang Kurang
Kurang Kurang
Baik Baik
pentahapan
kegiatan
survey
rumahtangga
akan
dilaksanakan menurut tipe desa tetapi mencakup seluruh aspek yang dianalisis. Hal ini mengingat dengan pentahapan tersebut maka akurasi data yang diperoleh akan lebih
7
baik. Secara keseluruhan kegiatan survey rumahtangga yang akan dilakukan menurut tahun penelitian adalah sebagai berikut : Tahun 2007 : tipe desa sawah irigasi berbasis padi. Tahun 2008 : tipe desa lahan kering berbasis komoditas sayuran dan palawija. Tahun 2009 : tipe desa lahan kering berbasis komoditas perkebunan. Tahun 2010 : resurvey tipe desa sawah irigasi berbasis padi.
2.3. Lokasi Penelitian Hasil analisis tipologi desa menunjukkan bahwa secara nasional terdapat 5 tipe desa yang memiliki jumlah desa terbanyak yaitu : (1) desa sawah irigasi berbasis padi, (2) desa sawah non irigasi berbasis padi, (3) desa lahan kering berbasis palawija, (4) desa lahan kering berbasis sayuran, dan (5) desa lahan kering berbasis komoditas perkebunan. Pada tahun 2007 survey rumah tangga telah dilakukan pada tipe desa sawah irigasi berbasis padi dengan jumlah desa contoh sebanyak 14 desa yang tersebar di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Pada tahun 2008 survey rumah tangga tersebut akan dilakukan untuk tipe desa lahan kering berbasis palawija dan sayuran yang secara keseluruhan memiliki pangsa sebesar 19.7% dari total desa secara nasional. Pada tahun 2006 telah dilakukan identifikasi desa lahan kering berbasis komoditas sayuran dan palawija yang dapat dipilih sebagai desa contoh. Pemilihan desa contoh tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa kriteria yaitu : a. Desa contoh dipilih di propinsi yang memiliki populasi terbanyak untuk tipe desa yang dianalisis (desa lahan kering berbasis palawija dan sayuran) dan memiliki luas komoditas (palawija/sayuran) tertinggi. b. Luas sumberdaya lahan basis dan luas komoditas basis di desa contoh lebih besar dibanding rata-rata per desa di tingkat propinsi dan tingkat nasional. Kriteria ini digunakan agar desa contoh yang dipilih merupakan daerah sentra sumberdaya lahan dan komoditas basis yang dianalisis. c. Desa contoh yang dipilih tidak merupakan kelurahan atau merupakan desa ibukota kecamatan, dan berlokasi cukup jauh dari ibukota kecamatan. Kriteria ini digunakan agar desa contoh yang dipilih benar-benar menggambarkan situasi desa secara umum. Dalam penelitian ini desa yang berlokasi sedikitnya 5 km dari kota kecamatan dianggap dapat mewakili situasi desa secara umum.
8
d. Desa contoh yang dipilih tidak termasuk kedalam wilayah rencana pengembangan daerah kota atau pengembangan infrastruktur publik lainnya (kawasan industri, lapangan terbang, dan seterusnya). Kriteria ini digunakan agar desa contoh yang dipilih tidak cepat mengalami perubahan yang disebabkan oleh kegiatan pembangunan di sektor lain. e. Desa contoh berbasis lahan kering yang dipilih tidak termasuk kedalam wilayah rencana pembangunan jaringan irigasi dan lahan sawah. Kriteria ini digunakan agar tipe lahan di desa contoh tidak cepat mengalami perubahan karena perubahan kualitas lahan dapat merangsang perubahan jenis komoditas yang diusahakan petani. f.
Untuk provinsi di Jawa, dalam satu kecamatan tertentu dapat dipilih paling banyak 3 desa contoh dengan tipe lahan dan basis komoditas yang sama sedangkan untuk provinsi di luar Jawa dapat dipilih paling banyak 2 desa contoh. Kriteria ini digunakan agar dapat ditangkap variasi tipe agroklimat untuk setiap desa contoh yang dipilih.
g. Jika akan dipilih lebih dari satu desa contoh untuk tipe lahan dan basis komoditas yang sama di suatu kecamatan tertentu maka desa-desa contoh yang dipilih tidak saling berdampingan. Kriteria ini digunakan agar desa-desa contoh yang dipilih cukup tersebar meskipun masih berada dalam kecamatan yang sama. h. Dalam setiap kabupaten tertentu tidak dipilih hanya satu desa contoh. Kriteria ini digunakan agar lokasi desa-desa contoh tidak terlalu saling berjauhan satu sama lain yang dapat mempengaruhi efisiensi dalam pengumpulan data lapangan. i.
Desa ”PATANAS lama” dengan tipe lahan dan basis komoditas tertentu mendapat prioritas untuk dipilih kembali jika memenuhi kriteria sampling yang digunakan. Berdasarkan seluruh kriteria tersebut maka untuk tipe desa lahan kering berbasis
komoditas sayuran dan palawija terdapat 49 desa alternatif yang dapat dipilih sebagai desa contoh dan terdapat di 7 propinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur (Tabel 2). Dalam penelitian ini desa contoh akan dipilih dari populasi desa tersebut sedangkan banyaknya desa contoh akan ditentukan kemudian, tergantung pada dana penelitian yang tersedia.
9
Tabel 2.
Palawija Jagung Kedele Kc.Tanah Ubikayu Sayuran -D.Tinggi -D.Rendah Total
Sebaran Calon Desa Contoh PATANAS Untuk Tipe Desa Lahan Kering Berbasis Komoditas Sayuran dan Palawija Menurut Propinsi. Sumut 3 2 1 1 1 4
Lampung 3 1 2 3
Jabar 5 1 2 2 4 4 9
Jateng 9 3 2 2 2 4 2 2 13
jatim 8 4 3 1 4 2 2 12
NTT 3 1 2 3
Sulsel 4 2 2 1 1 5
total 35 13 6 7 9 14 10 4 49
2.4. Sampling Rumahtangga Contoh Pengumpulan data rumahtangga dilakukan melalui survey rumahtangga yang melibatkan 25 rumahtangga contoh untuk setiap tipe desa. Pemilihan rumahtangga contoh dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut : (1) Identifikasi blok-blok Sensus Pertanian 2003 di setiap desa contoh yang telah dipilih beserta jumlah rumahtangga di setiap blok. (2) Pilih 2-3 blok Sensus Pertanian 2003 yang merupakan daerah sentra sumberdaya lahan dan sentra komoditas yang dianalis, yang memiliki jumlah rumahtangga terbanyak. (3) Buat daftar rumah tangga di blok Sensus Pertanian 2003 yang dipilih beserta : alamat, luas pemilikan dan penguasaan lahan menurut jenis lahan, kegiatan anggota rumahtangga dan penguasaan asset produktif. (4) Berdasarkan daftar rumahtangga yang diperoleh dari butir (3) dipilih secara acak 25 rumah tangga contoh.
2.5. Metoda Analisis Secara total terdapat 8 topik sosial dan ekonomi yang dianalisis untuk menggambarkan profil rumah tangga contoh di setiap desa yaitu : (1) penguasaan sumberdaya lahan, (2) tenaga kerja, (3) pendapatan rumahtangga, (4) kemiskinan, (5) konsumsi rumahtangga, (6) nilai tukar petani, (7) penerapan teknologi pertanian, dan (8) kelembagaan agribisnis. Uraian berikut menjelaskan secara ringkas aspek-aspek yang akan dianalisis pada setiap topik tersebut beserta konsepsi pengukuran variabel dan metoda analisis yang digunakan.
10
2.5.1. Penguasaan Sumberdaya Lahan Analisis penguasaan sumberdaya lahan meliputi tiga aspek yang dikaji, yaitu: struktur penguasaan lahan, distribusi penguasaan lahan rumahtangga dan pola pemanfaatan lahan. Analisis struktur penguasaan lahan rumahtangga dilakukan dengan menghitung luas lahan garapan rumahtangga menurut jenis lahan (lahan sawah, tegalan, kebun) dan status penguasaan lahan (milik, sewa, sakap, gadai). Analisis distribusi penguasaan lahan rumahtangga dilakukan dengan menghitung Indeks Gini penguasaan dan pemilikan lahan menurut jenis lahan, sedangkan analisis pola pemanfaatan lahan dilakukan dengan menghitung pemanfaatan lahan dan perubahan luas lahan pertanian ke penggunaan non pertanian selama 3 tahun yang lalu. 2.5.2. Tenaga Kerja Pedesaan Analisis tenaga kerja ditujukan untuk memahami sejauh mana kegiatan pembangunan pedesaan dapat menyediakan kesempatan kerja bagi rumahtangga pedesaan. Analisis ini meliputi empat aspek yang dikaji, yaitu: (1) Curahan kerja dan alokasi tenaga kerja rumahtangga, (2) Produktivitas tenaga kerja rumahtangga, (3) Tingkat pengangguran rumahtangga, dan (4) Tingkat migrasi tenaga kerja di pedesaan. Curahan kerja rumahtangga diukur dari total jam kerja rumahtangga yang digunakan untuk berbagai jenis kegiatan ekonomi. Produktivitas tenaga kerja rumahtangga diukur dari pendapatan kotor yang dihasilkan dari setiap jenis kegiatan yang dilakukan. Tingkat pengangguran rumahtangga diukur dari banyaknya anggota rumahtangga yang menganggur atau tidak memiliki pekerjaan. Sedangkan tingkat migrasi tenaga kerja diukur dari banyaknya jumlah penduduk desa yang melakukan migrasi, baik migrasi komutasi, sirkulasi maupun menetap, baik migrasi antar wilayah di dalam negeri maupun ke luar negeri. Konsep dan definisi yang digunakan dalam pengumpulan data ketenagakerjaan mengacu pada Badan Pusat Statistik. Konsep ini membagi penduduk menjadi dua kelompok, yaitu penduduk usia kerja dan penduduk bukan usia kerja. Selanjutnya, penduduk usia kerja dibedakan pula menjadi dua kelompok berdasarkan kegiatan utama yang sedang dilakukannya. Kelompok tersebut adalah Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Definisi yang berkaitan dengan penerapan konsep tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
11
a. Penduduk usia kerja adalah penduduk berumur 15 tahun dan lebih. b. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran. c. Penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang masih sekolah, mengurus rumahtangga atau melaksanakan kegiatan lainnya. d. Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak putus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu kegiatan ekonomi. e. Punya pekerjaan tetapi sedang tidak bekerja adalah keadaan dari seseorang yang mempunyai pekerjaan tetapi selama seminggu yang lalu tidak bekerja karena berbagai sebab, seperti: sakit, cuti, menunggu panenan, mogok dan sebagainya, termasuk mereka yang sudah diterima bekerja tetapi selama seminggu yang lalu belum mulai bekerja. f.
Penganggur terbuka, terdiri dari: (a) mereka yang mencari pekerjaan, (b) mereka yang mempersiapkan usaha, (c) mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan (d) mereka yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.
g. Setengah Penganggur adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Setengah Penganggur terdiri dari (a) Setengah Penganggur Terpaksa adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu), dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan, dan (b) Setengah Penganggur Sukarela adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu), tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain (sebagian pihak menyebutkan sebagai pekerja paruh waktu/part time worker) (BPS,2004). 2.5.3. Pendapatan Rumahtangga Analisis pendapatan rumahtangga ditujukan untuk memahami besarnya tingkat pendapatan rumahtangga, distribusi pendapatan rumahtangga dan struktur pendapatan
12
rumahtangga. Peningkatan pendapatan rumahtangga antar waktu dapat digunakan sebagai indikator meningkatnya daya beli rumahtangga untuk memenuhi kebutuhannya. Distribusi pendapatan rumahtangga yang diukur dengan Indeks Gini dapat digunakan sebagai
indikator
ketimpangan
pendapatan
rumahtangga
sebagai
akibat
ketidakmerataan aksesibilitas rumahtangga terhadap sumberdaya ekonomi. Sedangkan struktur pendapatan rumahtangga dapat digunakan untuk melihat seberapa besar lapangan kerja dan usaha pertanian mampu berkontribusi terhadap pendapatan rumahtangga. Tingkat pendapatan rumahtangga dalam penelitian ini dibagi atas dua kelompok besar, yaitu: (a) Pendapatan rumahtangga yang berbasis lahan pertanian, dan (b) Pendapatan rumahtangga yang tidak berbasis lahan pertanian. Pengelompokkan ini digunakan untuk memahami sejauh mana tekanan terhadap lahan pertanian sebagai sumber pendapatan rumahtangga pedesaan. Pendapatan berbasis lahan dapat dirinci atas: (1) Nilai produksi berbagai komoditas pertanian yang dihasilkan petani, dan (2) Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan berburuh tani. Sedangkan pendapatan yang tidak berbasis lahan dapat dirinci atas: (1) Pendapatan tetap sebagai pegawai, (2) Pendapatan dari kegiatan berburuh non pertanian, (3) Pendapatan dari usaha industri rumahtangga, (4) Pendapatan dari usaha perdagangan, (5) Pendapatan dari transfer/kiriman uang, dan (6) Pendapatan dari mencari di alam bebas (menggali pasir, mencari kayu, dan sebagainya) . 2.5.4. Kemiskinan Rumahtangga Analisis kemiskinan rumahtangga meliputi insiden kemiskinan, karakteristik rumahtangga miskin, penyebab kemiskinan, dan survival strategy untuk mengurangi masalah kemiskinan. Dalam penelitian ini perkiraan jumlah penduduk miskin mengacu pada konsep dan metode pengukuran yang dilakukan oleh BPS agar dapat diperbandingkan
antara masalah kemiskinan pada agregat provinsi dan kabupaten
(yang dihasilkan BPS) dengan masalah kemiskinan di tingkat desa contoh, secara konsisten. Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS hingga saat ini adalah berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs). Dengan pendekatan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai “ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar”. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan secara
13
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan yang bersifat mendasar. Garis kemiskinan (GK) dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan non makanan per kapita pada kelompok referensi yang telah ditetapkan sebelumnya. Kelompok referensi tersebut didefinisikan sebagai penduduk kelas marjinal, yaitu mereka yang tingkat kehidupannya berada diatas perkiraan awal GK. Sedangkan perkiraan awal GK tersebut dihitung berdasarkan tingkat pengeluaran pada kelompok referensi. Dalam pendekatan ini GK dibagi kedalam dua bagian, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). GKM dihitung dari besarnya pengeluaran yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan minimum energi (kalori) per kapita/hari. Sedangkan GKNM dihitung dari besarnya pengeluaran yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar non makanan, seperti kebutuhan perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain-lain. Sementara itu, karena keterbatasan data konsumsi, perkiraan garis kemiskinan per kabupaten dan per provinsi dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Metode yang digunakan dalam perkiraan GK per kabupaten dan provinsi didasarkan pada Hukum Engel yang menyatakan bahwa semakin miskin suatu rumahtangga, semakin tinggi proporsi pengeluaran makanan rumahtangga tersebut. Mengacu pada hukum tersebut, maka GK per kabupaten dihitung berdasarkan proporsi pengeluaran makanan penduduk miskin. Namun, jika proporsi pengeluaran makanan suatu rumahtangga lebih besar dari proporsi pengeluaran rumahtangga miskin tetapi pengeluaran per kapitanya lebih besar dari interval garis kemiskinan agregat nasional maka dikategorikan tidak miskin. Dalam penelitian ini perkiraan garis kemiskinan di setiap desa contoh dilakukan dengan pendekatan yang sama seperti yang dilakukan BPS. Penetapan garis kemiskinan di setiap desa contoh dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi kelompok rumahtangga referensi, yaitu rumahtangga contoh yang tidak mampu mencukupi kebutuhan energinya. Kelompok rumahtangga tersebut adalah mereka yang memiliki konsumsi energi lebih rendah dari kebutuhan konsumsi energi menurut norma gizi. 2. Menghitung total pengeluaran (makanan dan non makanan) dan proporsi pengeluaran makanan rumahtangga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan energinya.
14
3. Dengan asumsi bahwa rumahtangga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan makanannya mencerminkan rumahtangga miskin, maka nilai pengeluaran yang diperoleh dari butir (2) dapat digunakan sebagai batas kemiskinan. 4. Dengan asumsi bahwa semakin miskin rumahtangga semakin besar proporsi pengeluaran makanan pada rumahtangga tersebut (Hukum Engel), maka proporsi pengeluaran yang diperoleh dari butir (2) juga dapat digunakan sebagai batas kemiskinan. 5. Garis kemiskinan (GK) di setiap desa contoh diukur dari pangsa pengeluaran makanan dan total pengeluaran rumahtangga referensi. Rumahtangga contoh yang memiliki pangsa pengeluaran makanan lebih besar dan memiliki total pengeluaran lebih rendah dikategorikan sebagai rumahtangga miskin. 6. Berdasarkan butir (5) dapat diidentifikasi dan dihitung jumlah rumahtangga miskin di setiap desa contoh. 2.5.5. Konsumsi Pangan Rumahtangga Analisis konsumsi pangan rumahtangga meliputi kecukupan konsumsi pangan rumahtangga, struktur konsumsi bahan pangan pokok, dan keragaman sumber gizi rumahtangga. Analisis ini ditujukan untuk memahami sejauh mana rumahtangga pedesaan maupun memenuhi kebutuhan energinya sesuai dengan norma gizi. Dalam analisis tersebut tingkat kecukupan konsumsi kalori rumahtangga akan digunakan sebagai indikator. Tingkat kecukupan konsumsi kalori rumahtangga diukur dari rasio antara konsumsi kalori per kapita per hari setiap rumahtangga yang bersangkutan. Kebutuhan konsumsi kalori rumahtangga dihitung berdasarkan tingkat kebutuhan menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Sedangkan konsumsi kalori rumahtangga dihitung berdasarkan nilai kalori produk pangan yang dikonsumsi. Formula yang digunakan dalam menghitung tingkat kecukupan konsumsi rumahtangga adalah sebagai berikut: a. Konsumsi kalori rumahtangga per kapita per hari:
KR =
n
∑ Ki .Qi i
b. Kebutuhan konsumsi kalori rumahtangga per kapita per hari:
KBR = ∑ Ajs.Njs 15
c. Tingkat kecukupan konsumsi kalori rumahtangga
TK = Keterangan: i…. n Ki Qi Ajs Njs
KR × 100 KBR
= produk pangan yang dikonsumsi rumahtangga = nilai kalori produk pangan i = kuantitas konsumsi produk pangan i = anggota rumahtangga dengan jenis kelamin j dan kelompok umur s = kebutuhan konsumsi kalori jenis kelamin j dan kelompok umur s
2.5.6. Nilai Tukar Petani Dalam rangka mengevaluasi keberhasilan pembangunan perlu dipahami sejauh mana peningkatan kesejahteraan penduduk pedesaan khususnya. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Indikator tersebut dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan mengingat sebagian besar pendapatan rumahtangga pedesaan berasal dari kegiatan usaha pertanian. Secara konseptual NTP merupakan indikator pengukur kemampuan tukar produk pertanian yang dihasilkan petani dengan produk yang dibeli petani untuk konsumsi rumahtangga maupun kebutuhan untuk menghasilkan produk pertanian. Dalam penelitian ini NTP dibagi atas dua kategori, yaitu: (1) Nilai Tukar Petani (NTP) yang mencerminkan daya tukar seluruh komoditas pertanian yang dihasilkan petani dengan seluruh produk yang dibeli petani untuk keperluan konsumsi rumahtangga dan menghasilkan produk pertanian, dan (2) Nilai Tukar Petani terhadap Konsumsi Pangan atau NTPkon, yang mencerminkan daya tukar seluruh komoditas pertanian yang dihasilkan petani dengan produk konsumsi pangan yang dibutuhkan petani. Formula yang digunakan untuk mengukur kedua nilai tukar diatas adalah: (1) Nilai Tukar Petani (NTP) :
NTP = HT HB = ∑ aiPTi Dimana: HT HB PTi PBx
= = = =
∑ bxPBx
harga yang diterima petani harga yang dibayar petani harga komoditas i yang diproduksi petani harga produk yang dibeli petani
16
ai bx
= =
pembobot komoditas i pembobot produk x
(2) Nilai Tukar Petani terhadap produk konsumsi pangan (NTPkon):
NTPkon = HT
HBkon
Dimana: HBkon PBc cj
= = =
=
∑ aiPTi
∑ cjPBc
harga produk pangan yang dibayar petani harga produk pangan c yang dibeli petani pembobot produk pangan j
2.5.7. Penerapan Teknologi Pertanian Dengan luas penguasaan lahan yang umumnya sempit, penerapan teknologi pertanian merupakan upaya penting untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga tani yang berasal dari budidaya tanaman. Secara umum teknologi pertanian dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu: (1) teknologi produksi atau teknologi budidaya tanaman, dan (2) teknologi pasca panen yang meliputi kegiatan pasca panen dan pengolahan hasil pertanian. Berdasarkan hal tersebut maka aspek teknologi yang dikaji dalam penelitian ini meliputi : teknologi budidaya tanaman dan teknologi pasca panen. Analisis penerapan teknologi pertanian dalam penelitian ini diarahkan untuk memahami dua hal, yaitu: (1) Variasi teknologi budidaya dan teknologi pasca panen yang dilakukan petani, dan (2) Variasi profitabilitas usahatani menurut teknologi usahatani. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan teknologi usahatani adalah kombinasi dari penggunaan jenis varitas, penggunaan pupuk/ha, penggunaan tenaga kerja/ha, cara pengolahan tanah, pengaturan pola tanam dan cara penanganan pasca panen. Profitabilitas usahatani didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan usahatani dan biaya usahatani. Biaya usahatani yang diperhitungkan meliputi: nilai sewa lahan, biaya pupuk, biaya tenaga kerja, biaya benih, biaya pestisida, biaya pengairan, pajak lahan, biaya penanganan pasca panen/pengolahan, biaya pengangkutan dan biaya lain yang terkait.
2.5.8. Kelembagaan Agribisnis Analisis kelembagaan agribisnis difokuskan pada dua aspek yaitu : aksesibilitas petani terhadap lembaga agribisnis termasuk lembaga pendukung agribisnis dan pola transaksi antara petani dengan lembaga agribisnis. Lembaga agribisnis yang dimaksud
17
meliputi: lembaga input usahatani, organisasi petani, lembaga pasca panen/pengolahan hasil usahatani, lembaga pemasaran, lembaga alsintan, lembaga penyuluhan dan lembaga modal.
III. PERENCANAAN OPERASIONAL 3.1.
Personalia dan Tim Pelaksana Susunan tim peneliti menurut golongan kepangkatan, jabatan fungsiona dan
bidang keahlian seperti berikut: No
Nama
Gol/Pangkat
Jabatan Fungsional
Kedudukan dalam Tim
1.
Dr. Bambang Irawan
IVc
Peneliti Utama
Ketua
2.
Ir. Sugiarto,MP
IVa
Peneliti Madya
Anggota
3.
Ir. Supadi
IVa
Peneliti Madya
Anggota
4.
Julia Forcina Sinuraya,SP,MSi
IIIc
Peneliti Non Klas
Anggota
5.
Dr. Reni Kustiari
IVb
Peneliti Muda
Anggota
6
Ir. Mewa Ariani, MS
IVb
Peneliti Utama
Anggota
7.
Ir. Tri Bastuti P
IIId
Peneliti Pertama
Anggota
8.
Ir. Sunarsih,MSi
IIId
Peneliti Non Klas
Anggota
9.
Prajogo U.Hadi, SE,MEc
IVd
Peneliti Utama
Anggota
10.
Mohamad Maulana, SP
IIIb
Peneliti Non Klas
Anggota
11.
Ir. Adreng Purwoto, MS
IVb
Peneliti Madya
Anggota
12.
Drs. Bambang Winarso
IVa
Peneliti Madya
Anggota
13.
Drs. Waluyo
IIIc
Peneliti Pertama
Anggota
14.
Drs. Deri Hidayat
IIId
Peneliti Non Klas
Anggota
18
3.2. Jadwal Palang Sesuai dengan acuan pelaksanaan kegiatan, penelitian ini direncanakan selesai dalam satu tahun anggaran. Adapun perincian jadwal kegiatan direncanakan sebagai berikut : Jenis Kegiatan 1
2
3
4
Persiapan - Studi Pustaka - Penyusunan Proposal - Seminar Proposal - Perbaikan Proposal - PenyusunanKuesioner Pengumpulan Data di Pusat Pra Survey Survey Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Laporan Seminar Hasil Perbaikan Laporan Penggandaan
19
5
Bulan 6 7 8
9
10
11
12