PROPOSAL OPERASIONAL TA 2014
DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERTANIAN DAN PEDESAAN: ANALISIS DATA PATANAS
Tim: Bambang Irawan I Wayan Rusastra Hermanto Tri Pranaji Gatoet Sroe Hardono Tri Bastuti Purwantini Ening Ariningsih
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 0
Ringkasan Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan dan program yang ditujukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sektor pertanian, sekaligus meningkatkan kesejahteran petani dan masyarakat pedesaan secara umum. Untuk memahami dampak pembangunan yang telah dilakukan diperlukan indikator pembangunan pertanian dan perdesaan. Tujuan penelitian secara umum adalah untuk menghasilkan sejumlah indikator yang merefleksikan dinamika hasilhasil dan dampak pembangunan pertanian dan perdesaan di wilayah agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan khususnya di tingkat usahatani dan rumah tangga. Indikator-indikator yang akan dihasilkan dalam penelitian antara lain: distribusi pemilikan/penguasaan lahan, distribusi angkatan kerja menurut tingkat pendidikan, tingkat pengangguran di pedesaan, produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian, tingkat adopsi teknologi maju, produktivitas lahan, profitabilitas usahatani, distribusi pendapatan, pangsa pengeluaran rumah tangga untuk pangan, tingkat kecukupan energi rumah tangga, nilai tukar petani, dan persentase penduduk miskin. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat panel yang akan melakukan analisis pada rumah tangga yang sama pada dua titik waktu berbeda. Penelitian dilakukan di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jambi, dan Kalimantan Barat.
Kata kunci : dinamika, pembangunan pertanian, pedesaan
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Pembangunan merupakan proses yang berkelanjutan sejalan dengan
perubahan lingkungan strategis. Sektor pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Berbagai peran strategis pertanian dimaksud sejalan dengan tujuan pembangunan perekonomian nasional yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengurangi keseimbangan
kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, serta memelihara sumberdaya
alam
dan
lingkungan
hidup.
Target
utama
Kementerian Pertanian Selama lima tahun kedepan (2010-2014) yaitu (a) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (b) peningkatan diversifikasi pangan, (c) peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor, dan (d) peningkatan kesejahteraan petani (Kementerian Pertanian, 2009). Dihadapkan 1
pada pencapaian target Kementerian Pertanian tersebut, dan berbagai perubahan dan perkembangan lingkungan yang sangat dinamis, serta persoalan mendasar sektor pertanian baik di tingkat internasional maupun domestik, maka subsektor perkebunan memiliki
peran dan arti penting dalam menentukan arah
pembangunan sektor pertanian yang akan datang. Hal ini mengingat beberapa komoditas perkebunanan utama seperti komoditas kelapa sawit, kopi, kakao, karet, tebu dan teh dapat dipandang sebagai komoditas pengungkit bagi peningkatan pertumbuhan sektor pertanian. Di sisi lain, pembangunan pertanian yang telah dilakukan secara menyeluruh
selama ini telah mengakibatkan
perubahan struktur ekonomi
pedesaan yang menyangkut seluruh aspek, baik pada perubahan penguasaan aset produktif pertanian, struktur kesempatan kerja, pendapatan, pola konsumsi, penggunaan teknologi dan perubahan kelembagaan perdesaan. Perubahan tersebut
membawa dampak positif maupun negatif bagi tatanan kehidupan
ekonomi dan sosial masyarakat pedesaan. Untuk mengetahui hasil dan dampak dari pembangunan pertanian khususnya
yang
berkaitan
dengan
target
utama
berupa
peningkatan
kesejahteraan petani, pemerintah membutuhkan informasi tertentu dalam bentuk indikator-indikator pembangunan ekonomi, guna menyempurnakan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan perdesaan lebih lanjut. Dalam rangka menyediakan informasi tersebut diatas, data dan informasi yang bersifat panel akan sangat penting untuk mengetahui dinamika dan perubahan ekonomi perdesaan yang telah terjadi sebagai dampak dari pembangunan pertanian. Kaitannya dengan pencapaian target utama Kementerian Pertanian peningkatan kesejahteraan petani, dinamika ekonomi perdesaan sebagai dampak pembangunan pertanian dapat dikaji melalui berbagai indikator pembangunan yang
terkait dengan
berbagai aspek, diantaranya: aspek penguasaan aset pertanian terutama lahan, ketenagakerjaan, pendapatan, konsumsi, kelembagaan, adopsi teknologi serta aspek lain yang memiliki implikasi penting
terkait dengan upaya peningkatan
produksi dan produktivitas pertanian. Melalui indikator pembangunan pertanian dan perdesaan, gejala maupun pola perubahan yang sedang terjadi sebagai dampak pembangunan yang telah 2
dilaksanakan dan perubahan lingkungan global, serta pengaruhnya terhadap struktur ekonomi perdesaan akan dapat diketahui. Permasalahannya adalah tidaklah mudah untuk memperoleh data dan informasi yang rinci dan mencakup spektrum yang luas tentang kondisi sosial ekonomi terkini dari pelaku ekonomi pada unit terkecil, yaitu rumahtangga dengan
berbagai variasi geografi dan
ekosistem dan sekaligus memonitor perubahan yang terjadi. Berbagai indikator pembangunan telah diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memenuhi kebutuhan informasi tentang dampak pembangunan terhadap perubahan struktur ekonomi secara makro, seperti: pertumbuhan PDRB, penyerapan tenaga kerja dan pengangguran, tingkat inflasi, dan sebagainya. Namun indikator-indikator tersebut umumnya bersifat agregat nasional, propinsi atau kabupaten sehingga belum dapat dimanfaatkan untuk memahami dinamika pembangunan di daerah perdesaan
yang
sangat
bervariasi,
baik
menurut
geografis,
perbedaan
agroekosistem, maupun komoditas utama yang diusahakan. Oleh karena itu diperlukan indikator-indikator pembangunan pertanian dan perdesaan yang dapat memantau dampak pembangunan pertanian di tingkat rumah tangga di wilayah pedesaan yang dibedakan menurut geografis maupun agroekosistem. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan penelitian Panel Petani nasional (PATANAS) yang dilaksanakan secara periodik dalam interval waktu tertentu di berbagai agroekosistem. 1.2. Dasar Pertimbangan Penelitian PATANAS (Panel Petani Nasional) merupakan kajian yang bersifat panel, dirancang untuk memantau dan memahami berbagai perubahan jangka panjang profil rumahtangga di daerah perdesaan. menghasilkan data panel mikro,
Kajian PATANAS
gabungan data time series dan cross section
yang memiliki kandungan data dan informasi yang rinci serta memiliki spektrum ekonomi dan sosial yang sangat luas mencakup berbagai variasi agroekosistem dan wilayah serta komoditas basis. Tahun 2007 penelitian PATANAS dilaksanakan di
agroekosistem sawah irigasi berbasis padi, tahun 2008 dilaksanakan di
agroekosistem lahan kering berbasis komoditas sayuran dan palawija dan tahun 2009 dilakukan penelitian yang sama pada agroekosistem lahan kering berbasis 3
perkebunan.
Tahun 2010 penelitian kembali dilaksanakan di agroekosistem
sawah dan pada tahun 2011 di agroekosistem lahan kering berbasis sayuran dan palawija. Pada tahun 2012 penelitian dilaksanakan kembali di agroekosistem berbasis perkebunan. 1.3. Tujuan Tujuan penelitian secara umum adalah menganalisis dinamika sosial ekonomi rumah tangga perdesaan selama periode 2007-2012 pada berbagai tipe desa sebagai berikut : 1. Menganalisis dinamika struktur dan distribusi pengusaaan lahan rumah tangga. 2. Menganalisis dinamika struktur tenaga kerja, tingkat pengangguran, produktivitas tenaga kerja dan migrasi tenaga kerja. 3. Menganalisis dinamika adopsi teknologi pertanian dan profitabilitas usahatani. 4. Menganalisis dinamika pendapatan, struktur pendapatan dan distribusi pendapatan rumah tangga. 5. Menganalisis dinamika struktur pengeluaran dan konsumsi rumah tangga, kecukupan kalori dan pola pangan harapan rumah tangga pedesaan. 6. Menganalisis dinamika insiden kemiskinan di daerah pedesaan. 7. Menganalisis dinamika nilai tukar petani. 8. Menganalisis dinamika kelembagaan agribisnis 1.4. Keluaran yang Diharapkan a. Data
dan
informasi
menurut
tipe
desa
tentang
kecenderungan
perubahan: penguasaan lahan petani, alokasi tenaga kerja rumah tangga, penerapan teknologi dan profitabilitas usahatani, pendapatan dan distribusi pendapatan rumah tangga, konsumsi pangan dan kecukupan kalori rumah tangga, kemiskinan dan nilai tukar petani serta kelembagaan agribisnis. b. Rumusan
kebijakan
antisipasi
peningkatan kesejahteraan petani. c. 4
penanggulangan
kemiskinan
dan
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak Kegiatan Manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah : (1) data perubahan sosial ekonomi rumah tangga pedesaan seperti perubahan pendapatan, kecukupan kalori, kemiskinan, dsb dapat dimanfaatkan untuk melengkapi indikator pembangunan ekonomi pada agregat nasional atau propinsi yang diterbitkan oleh BPS, (2) dengan diketahuinya kecenderungan perubahan sosial ekonomi rumah tangga pedesaan
yang
dianalisis
maka
diperoleh
gambaran
tentang
dampak
pembangunan pertanian pada tingkat rumah tangga pedesaan. Informasi tentang dampak pembangunan pertanian pada tingkat rumah tangga pedesaan tersebut selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam rangka mempertajam kebijakan dan program pembangunan pertanian khususnya yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan petani. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis Dampak pembangunan pertanian, yang tercermin melalui dinamika ekonomi pedesaan, tidak akan dapat diketahui tingkat keberhasilannya tanpa adanya indikator-indikator yang dapat digunakan sebagai penunjuk keberhasilan pembangunan tersebut.
Indikator ekonomi adalah suatu instrumen untuk
mengetahui derajat pembangunan yang dilakukan yang meliputi berbagai aspek. Indikator pembangunan yang paling dikenal adalah pendapatan nasional bruto (GNP) atau Produk Domestik Bruto (PDB). Sebelum dekade 1970, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi (Todaro, 2000). Tinggi rendahnya
kemajuan
pembangunan
hanya
diukur
berdasarkan
tingkat
pertumbuhan PDB, baik secara keseluruhan maupun per kapita, yang diyakini akan menetes dengan sendirinya sehingga menciptakan lapangan pekerjaan dan berbagai peluang ekonomi yang pada akhirnya akan menumbuhkan berbagai kondisi yang diperlukan demi terciptanya distribusi hasil-hasil pertumbuhan ekonomi dan social secara lebih merata atau dikenal sebagai prinsip efek penetesan ke bawah (trickle down effect). Namun ketika banyak diantara negara-negara Dunia Ketiga berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun gagal memperbaiki 5
taraf hidup sebagian besar penduduknya dan semakin rumitnya masalah ekonomi yang dihadapi, penggunaan
tolok ukur PDB sebagai indikator tunggal
bagi
terciptanya kemakmuran dan kriteria kinerja pembangunan dipandang tidak tepat lagi. Strategi pembangunan berubah bukan hanya didasarkan pada tolok ukur PDB, namun juga strategi untuk mengatasi secara langsung berbagai masalah mendesak, seperti tingkat kemiskinan absolut yang semakin parah, ketimpangan pendapatan yang semakin mencolok, dan tingkat pengangguran yang semakin melonjak.
Strategi dan indikator pembangunan ekonomi mengalami redefinisi,
bahwa tujuan utama dari pembangunan ekonomi bukan lagi menciptakan pertumbuhan
PDB
setinggi-tingginya,
melainkan
juga
penghapusan
atau
pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja pada kondisi perekonomian yang terus berkembang (Seers, 1969, Todaro, 2000). Indikator keberhasilan pembangunan juga perlu didukung oleh indikator-indikator sosial (social indicators). Salah satu tolok ukur pembangunan dalam kerangka pola interaksi antara berbagai faktor social dan ekonomi diperkenalkan oleh UNRSID (United Nations Research Institute on Sosial Development) (1970), yang terdiri dari 9 indikator sosial dan 7 indikator ekonomi. Indikator-indikator ini dipilih atas dasar tingginya korelasi dalam membentuk indeks pembangunan dengan menggunakan bobot timbangan yang berasal dari berbagai tingkat korelasi. Indikator lainnya diperkenalkan oleh Morris (1979) yaitu
Physical Quality Life Index (PQLI). PQLI merupakan gabungan dari 3 indikator, yaitu: harapan hidup pada usia satu tahun, angka kematian, dan tingkat melek huruf. Indikator pembangunan lainnya diperkenalkan oleh UNDP (United Nations Development Report) (1994), yang
merumuskan sebuah indeks gabungan
disebut sebagai Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indikator-indikator yang dikaji dalam penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam indikator yang langsung dapat mencerminkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, yaitu pendapatan, nilai tukar petani, pangsa pengeluaran pangan, kemiskinan dan kecukupan pangan dan gizi, serta indikator yang tidak langsung digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat pedesaan namun sebagai faktor utama yang mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, yaitu antara lain: distribusi pemilikan/penguasaan lahan, distribusi angkatan kerja 6
menurut tingkat pendidikan, tingkat pengangguran di pedesaan, produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian, tingkat adopsi teknologi maju, produktivitas lahan, dan profitabilitas usahatani. 2.2. Hasil-hasil Penelitian Terkait 2.1.1. Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan Pertanian Lahan merupakan faktor produksi utama dalam usaha pertanian yang juga dapat dipandang sebagai sumber kesempatan kerja dan perolehan pendapatan. Oleh karena itu, sistem penguasaan dan pemanfaatan lahan merupakan elemen sosial ekonomi yang cukup mendasar dalam pembangunan sektor pertanian. Dalam tatanan pertanian pedesaan, secara garis besar sistem penguasaan lahan dapat diklasifikasikan statusnya menjadi hak milik, sewa, sakap (bagi hasil), dan gadai. Bentuk kelembagaan ini sudah menjadi bagian dari tatanan masyarakat pedesaan dimana keberadaannya bersifat dinamis antar ruang dan waktu. Dari hasil survei PATANAS pada tahun 2009 di agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan (Susilowati, et.al., 2009), menunjukkan bahwa penguasaan lahan terluas adalah pada komoditas basis karet (2,7 – 3,1 ha/KK), dan urutan berikutnya adalah kelapa sawit (2,3 – 2,7 ha/KK), kakao (1,0 – 1,3 ha/KK) dan tebu (0,3 – 0,6 ha/KK). Masih relative luasnya rata-rata penguasaan lahan oleh rumahtangga tersebut karena usahatani berlokasi di luar Jawa yang ketersediaan lahan masih cukup luas, kecuali untuk komoditas tebu yang berada di Jawa Timur. Tingkat ketimpangan penguasaan lahan berada pada tingkat rendah sampai moderat untuk seluruh komoditas, kecuali untuk komoditas tebu di Jawa yang tergolong pada klas ketimpangan berat. Secara umum tingkat ketimpangan distribusi
penguasaan
lahan
relatif
lebih
rendah
dibandingkan
tingkat
ketimpangan distribusi pemilikan lahan karena berkembangnya kelembagaan penguasaan lahan (Supadi dan Susilowati, 2004). Distribusi pemilikan lahan di desa-desa lahan kering berbasis perkebunan
juga relatif lebih merata
dibandingkan dengan desa-desa lahan kering berbasis palawija dan sayuran. Salah satu fenomena yang banyak terjadi dalam pemanfaatan lahan adalah adanya alih fungsi (konversi) lahan. Fenomena ini muncul seiring makin tinggi dan bertambahnya tekanan kebutuhan dan permintaan terhadap lahan, baik dari sektor pertanian maupun dari sektor non-pertanian akibat pertambahan penduduk 7
dan kegiatan pembangunan. Di sisi lain, pengusahaan komoditas oleh petani adalah sangat dinamis, dimana dinamikanya sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan ekonomi global yang di luar kapasitas petani maupun Pemda untuk mengaturnya.
Berbagai kasus konversi lahan antar komoditas terjadi, sebagai
contoh beberapa desa di Sumatera Utara yang semula berbasis komoditas kakao telah berubah menjadi desa yang berbasis kelapa sawit karena peningkatan harga CPO di pasar dunia yang demikian besar (Irawan, dkk., 2007). Demikian pula desa sawah irigasi di desa Gunungrejo, kabupaten Lampung Selatan yang sebagian telah berubah menjadi kebun kakao karena biaya input padi semakin mahal sementara pendapatan dari usahatani kakao lebih tinggi (Susilowati,et.al., 2008). Ketimpangan penguasaan lahan merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan rumahtangga sebagai salah
satu
indikator
pembangunan
pertanian.
Sedangkan
pergeseran
pemanfaatan lahan merupakan salah satu faktor penyebab pergeseran peran subsektor dalam struktur pendapatan rumahtangga. 2.2. Tenaga Kerja Pertanian Tenaga kerja pertanian (dalam arti luas) merupakan tenaga kerja terbesar dengan jumlahnya mencapai 42,3 juta jiwa pada tahun 2006. Jumlah ini merupakan 44,5 persen dari jumlah tenaga kerja Indonesia seluruhnya. Tenaga kerja pertanian tersebut tersebar ke dalam lima sub sektor, dimana penyerapan tenaga kerja terbesar adalah di sub sektor tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura (sekitar 38,8 persen) diikuti dengan sub sektor peternakan sekitar 2,5 persen (www.bappenas.go.id). Dengan jumlah tenaga kerja yang besar tersebut, ternyata sektor pertanian hanya mampu memberikan kontribusi PDB nasional sebesar 13,3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja pertanian masih rendah. Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan masih rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan adopsi teknologi. Menurut Drajat (2003), perkebunan Rakyat (PR) yang luasnya sekitar 80% dari perkebunan nasional dengan jumlah KK yang tergantung pada perkebunan rakyat sekitar 15 juta masih belum mendapatkan fasilitas dan perlindungan yang 8
memadai dari pemerintah. Hasil penelitian Susila (2003), menunjukkan bahwa dari sisi lapangan kerja, industri perkebunan primer, menyediakan lapangan kerja sebesar 13,4 juta orang, sedangkan industri hilirnya menyediakan sekitar 3,2 juta orang. Dengan demikian ada sekitar 16.7 juta orang yang bekerja pada industri berbasis perkebunan. Kontribusi
pendapatan
rumahtangga petani
tenaga
kerja
manusia
dalam
pendapatan
adalah melalui banyaknya tenaga kerja manusia yang
terlibat dan curahan kerjanya (Rusastra et.al, 2005). Hasil penelitian Muchjidin
et. al. (1995) di provinsi Aceh menunjukkan bahwa pada desa dengan agroekosistem lahan dengan basis tanaman perkebunan dan merupakan sentra produksi karet dan kelapa sawit, curahan tenaga kerja rumahtangga berbeda, tergantung pada luasan lahan perkebunan yang diusahakan dan tahapan kegiatan produksinya (bila sedang berproduksi, maka membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak). Dengan demikian, kesempatan kerja sangat ditentukan oleh agroekosistem dan jenis komoditas yang diusahakan serta tahapan produksi. Menurut kajian Simatupang et. al (1987a), alokasi tenaga kerja dalam keluarga untuk kegiatan penyadapan karet adalah yang terbesar dalam usahatani kebun karet, yaitu mencapai 70 persen dari alokasi total. Usaha kebun karet, pada penelitian saat itu, tidak mampu menyerap seluruh tenaga kerja yang ada dalam keluarga sehingga tidak ada penggunaan tenaga kerja luar keluarga. Oleh sebab itu banyak waktu luang yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk usaha sampingan seperti mencari kayu di hutan, buruh pertanian, buruh non pertanian dan lain-lain. Selain itu
Simatupang et al, (1987b), menyebutkan pula bahwa
untuk tanaman perkebunan kelapa sawit, kebutuhan tenaga kerja untuk pengusahaan sawit mulai dari tahun 0 sampai ke 6 berbeda-beda. Setelah tahun ke-6 kebutuhan ternaga tersebut relatif tetap. Kebutuhan tenaga kerja tinggi pada tahun ke-0 kemudian menurun hingga tahun ke-3 dan meningkat lagi tahun ke-4, kemudian menurun lagi sampai tahun ke-6, selanjutnya relatif tetap. Dan hasil penelitian Susilowati, et al. (2009) yang dilakukan
di
agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan, angkatan kerja yang bekerja menurut sektor adalah sektor pertanian sebesar 77% dan sektor non pertanian 23%. Sedangkan dari sektor pertanian yang tertinggi adalah basis tanaman karet 9
(88%), basis kelapa sawit (87%), basis tanaman tebu (76%) dan kakao (62%), dan untuk sumber matapencaharian diluar sektor pertanian adalah basis tanaman kakao (38%) dan tanaman tebu (23%). 2.3. Pendapatan Rumahtangga Menurut Beydha (2002) struktur masyarakat di Indonesia menurut status pendapatan umumnya terdiri dari lapisan-lapisan sebagai berikut : (1) lapisan teratas adalah perkebunan besar (milik pemerintah) seluas 1,1 juta hektar; penguasaan hutan yang dikelola beberapa perusahaan negara sebesar 1 juta hektar hutan produksi, dan perusahaan swasta yang sejak tahun 1967 terdapat 4000 perusahaan swasta kebanyakan milik perusahaan asing yang mengusahakan penebangan hutan di areal seluas 36 juta hektar di berbagai pulau, (2) lapisan kedua adalah adalah perkebunan berskala menengah yang dimiliki perusahaanperusahaan perkebunan swasta dengan luas 1,1 juta hektar, (3) lapisan ketiga adalah petani marginal (memiliki lebih kecil dari 0,5 hektar) sebanyak 6 juta rumahtangga di mana kebanyakan di Jawa, dan dari jumlah tersebut 5,2 juta rumahtangga menguasai tanah seluas 1,5 hektar (sehingga rata-rata luasnya adalah 0,25 hektar), dan (4) petani yang tidak bertanah atau lapisan bawah adalah sebesar 7,2 juta rumahtangga. Sumber utama pendapatan rumahtangga perdesaan sering dianggap berasal dari lahan pertanian. Terdapat keterkaitan yang kuat antara luas tanah yang dimiliki dengan besarnya pendapatan rumahtangga petani. Namun demikian, dewasa ini tampak bahwa pendapatan keluarga tidak lagi sepenuhnya tergantung pada luas tanah yang dimiliki sebagai sumber pendapatan utama rumahtangga. Usaha pertanian di wilayah perdesaan maupun di perkotaan sudah tidak begitu dominan dan tidak memberikan sumbangan yang besar bagi pendapatan rumahtangga.
Pendapatan rumahtangga pada umumnya tidak
berasal dari satu sumber, tetapi dapat berasal dari beberapa sumber pendapatan. Ragam sumber pendapatan tersebut diduga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan itu
sendiri.
Tingkat
pendapatan
yang
rendah,
mengharuskan
anggota
rumahtangga untuk bekerja atau berusaha lebih giat untuk memenuhi kebutuhan. Pendapat tersebut juga didukung dari hasil penelitian Syukur et al, (1988), yang 10
menyatakan bahwa sebagian besar rumahtangga perdesaan mempunyai lebih dari satu sumber pendapatan. Penelitian di desa-desa yang berpredikat sebagai desa miskin, terutama pada rumahtangga buruh tani di Jawa Tengah dan Sulawesi Utara yang dilakukan oleh Nurmanaf, et al. (2003) menunjukkan bahwa sumber pendapatan bagi rumahtangga tani dan buruh tani mempunyai proporsi pendapatan yang bervariasi menurut waktu dari masing-masing sumber pendapatan. Hal ini diduga karena
perbedaan
tingkat
penguasaan
sumberdaya.
Karena
itu
untuk
meningkatkan pendapatan rumahtangga di perdesaan, fokus pembangunan tidak dapat hanya pada usahatani. Dengan demikian, diperlukan strategi yang lebih bersifat broad spectrum untuk mendorong semua potensi yang ada di wilayah perdesaan. Hasil penelitian Susilowati, et al (2009) menunjukkan bahwa pada wilayah berbasis komoditas perkebunan, struktur pendapatan rumahtangga didominasi oleh pendapatan dari lahan kebun dan tegal, yang kontribusinya mencapai 49.54 persen. kontribusi pendapatan dari usaha ternak masih relatif kecil, kecuali pada wilayah komoditas basis tebu yang kontribusinya mencapai sekitar 12 persen. Belum berkembangnya usaha non land base juga ditemukan pada wilayah lahan sawah. Kontribusi pendapatan dari kegiatan berburuh tani relatif kecil yaitu 6.39 persen, dengan kisaran antar komoditas basis 1.5-22 persen. Hal ini disebabkan pasar tenaga kerja tidak berkembang, kegiatan usaha tani dilakukan dengan tenaga kerja keluarga, sehingga kesempatan kerja berburuh tani relatif terbatas. Kajian Susilowati et al. (2009) menunjukkan, distribusi pendapatan rumahtangga yang berada pada
wilayah agroekosistem perkebunan dengan
komoditas basis karet memiliki indeks Gini 0,32 yang berarti berada pada tingkat ketimpangan tingkat ringan. Kakao dan kelapa sawit memiliki indeks gini masingmasing 0.52 yang berarti berada pada tingkat ketimpangan berat sedangkan komoditas tebu berada pada tingkat ketimpangan sedang dengan indeks gini sebesar 0,41. Kajian Syukur et al. (1988), dan Marisa dan Hubarat (1988)
juga
menunjukkan bahwa distribusi pendapatan rumahtangga di perdesaan lahan kering tergolong kedalam ketimpangan yang tinggi. Artinya di desa-desa dengan 11
potensi lahan kering terjadi ketimpangan pendapatan sebagai akibat dari ketimpangan distribusi penguasaan modal dan keterampilan. 2.4. Konsumsi dan Pola Pengeluaran Rumahtangga Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia untuk tetap hidup, sehingga dengan pendapatannya tiap orang akan berusaha untuk mendapatkan makanan yang memadai. Rumahtangga akan terus menambah konsumsi makanannya sejalan dengan bertambahnya pendapatan, namun sampai batas tertentu penambahan pendapatan tidak lagi menyebabkan bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Dengan demikian sejalan dengan meningkatnya pendapatan, persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan menurun. Oleh karena itu, komposisi pengeluaran rumahtangga dapat dijadikan ukuran untuk menilai tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk. Semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran makin membaik tingkat perekonomian penduduk (BPS, 2011). Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli. Keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dapat membeli pangan dengan lebih beragam dan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan keluarga yang pendapatannya rendah (Berg, 1986). Menurut hukum Engel, pada saat terjadi peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang semakin kecil. Sebaliknya, apabila pendapatan menurun, persentase yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat (Bryant, 1990). Berdasarkan data makro Susenas beberapa titik waktu (BPS, 2008), menunjukkan bahwa antara pengeluaran total dengan pangsa pengeluaran pangan terdapat pola yang konsisten, semakin besar total pengeluaran rumahtangga, cenderung pangsa pengeluaran pangan semakin kecil. Sebaliknya hasil kajian data primer di lokasi Patanas (Irawan, et al, 2007, Kustiari, et al, 2008, Susilowati, et al, 2009 dan Susilowati, et al, 2010) di berbagai agrosistem mengemukakan bahwa tidak ada konsistensi antara pengeluaran total dan pangsa pengeluaran pangan pada rumahtangga di agroekosistem tersebut.
Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan selama ini masih digunakan untuk pangan terutama untuk meningkatkan kualitas pangan yang dikonsumsi, dengan 12
demikian meningkatnya pendapatan rumahtangga berpengaruh terhadap selera rumahtangga untuk konsumsi pangan.
Sebagai contoh yang ditemukan di
wilayah agroekositem lahan kering yang berbasis komoditas kelapa sawit secara rataan nilai pengeluaran total tertinggi dibanding wilayah lainnya, namun rataan pangsa pengeluaran pangan relatif tinggi (sekitar 63.99 %). Hal ini terjadi antara lain karena pengaruh pola pangan dan budaya setempat, selain itu selera masyarakat terhadap konsumsi pangan. Dari analisis data SUSENAS pada kajian Martianto dan Ariani, (2004), pada rumahtangga kaya, perubahan pangsa pengeluaran pangan cukup signifikan yaitu dari 54.3 persen tahun 1993 menjadi 38.1 persen tahun 1996. Dilihat dari pola konsumsi pangan rumahtangga, jenis pangan pokok yang dikonsumsi oleh rumahtangga di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sumber pendapatannya dari lahan sawah
(dominan padi) dan lahan kering (dominan
palawija dan tanaman perkebunan) adalah beras, jagung, ubikayu dan gaplek. Tingkat konsumsi beras pada rumahtangga yang pendapatannya dari lahan sawah lebih tinggi dibandingkan rumahtangga lahan kering, sedangkan untuk jagung, ubikayu dan gaplek menunjukkan sebaliknya (Ariani dan Sayaka; 2000). Hal yang sama ditemukan pada hasil penelitian Patanas, di agroekosistem sawah irigasi, beras merupakan pangan pokok tunggal (Susilowati, et al, 2010). Sementara di agroekosistem lahan kering dengan basis komoditas palawija, selain beras, pangan pokok yang biasa dikonsumsi oleh rumahtangga di perdesaan adalah jagung (di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan) dan gaplek (di Jawa Timur dan Jawa Tengah), namun demikian dalam perkembangannya cenderung terjadi pergeseran, karena pangan pokok non beras tersebut umumnya terbatas dikonsumsi oleh kaum tua, sedangkan anak-anak dan kaum muda semakin meninggalkan pangan pokok tersebut. Hasil kajian pola konsumsi rumahtangga
di beberapa lokasi Patanas
(Suryana, 1988) menunjukkan bahwa terdapat keragaman pola konsumsi sampai tingkat desa, setiap rumahtangga atau kelompok rumahtangga memiliki pola konsumsi dan pengeluaran yang berbeda. Selanjutnya dikemukakan bahwa pola konsumsi rumahtangga (dicerminkan oleh fisik atau pengeluaran) merupakan refleksi dari ketersediaan dan kemampuan daya dukung sumberdaya yang 13
dimilikinya. Sebagai contoh di daerah sawah irigasi, cenderung konsumsi beras per kapita relatif tinggi, sedangkan di daerah pantai konsumsi ikan cenderung menonjol. Kajian Arifin dan Simatupang (1988) di Sumatera Barat menunjukkan bahwa secara agregat umumnya rumahtangga telah cukup pangan dan variasi jenis makanan yang dikonsumsi cukup baik, meskipun masih terdapat sebagian masyarakat yang masih kurang pangan.
Konsumsi daging-dagingan secara
rataan cukup tinggi, hal ini terkait dengan pola makan khas daerah dan kondisi ini bervariasi antar kelompok pendapatan. 2.5. Nilai Tukar Petani (NTP) Nilai Tukar Petani (NTP) adalah rasio antara indeks harga diterima petani (IT) dengan indeks harga dibayar petani (IB) dinyatakan dalam persentase. Secara konsepsional NTP adalah pengukur kemampuan tukar barang-barang (produk) pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian (BPS, 2011). Data BPS menunjukkan bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) nasional November 2011 sebesar 105,64 atau naik 0,12 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP dikarenakan naiknya NTP Subsektor Tanaman Pangan sebesar 0,28 persen, NTP Subsektor Hortikultura sebesar 0,22 persen, dan NTP Subsektor Peternakan sebesar 0,32 persen. NTP naik tidak selalu baik, mengingat penghitungan NTP dasarnya adalah didasarkan pada indeks harga, maka kenaikan NTP pada tiga sub sektor tersebut perlu dilihat apakah produktivitas hasil komoditas masing-masing memang mengalami kenaikan atau malah sebaliknya
terjadi penurunan produksi, mungkin akibat anomali cuaca
yang mengganggu produksi,
sehingga mendorong peningkatan harga pangan.
Sebaliknya bila terjadi penurunan nilai tukar petani sebenarnya bukan hal jelek apabila dari sisi produktivitas komoditas meningkat akibat adopsi teknologi. Dan pengaruh faktor produksi lain dan harga komoditas pertanian bisa mengimbangi harga faktor produksi dan barang non pertanian/barang konsumsi. Hasil penelitian PATANAS 2009, NTP yang didekati melalui rasio pendapatan
rumahtangga
terhadap
total
pengeluaran
rumahtangga,
menunjukkan bahwa rataan NTP komoditas perkebunan berkisar antara 0.63 – 1.18, dan secara rataan sebesar 0.90. (Susilowati et.al., 2009). Sementara hasil 14
kajian Sugiarto (2009) menunjukkan NTP petani padi sebesar 0.96, sehingga apabila NTP digunakan sebagai proksi penciri kesejahteraan petani, maka hasil tersebut
tidak
mendukung
fenomena
bahwa
petani
berbasis
perkebunan lebih sejahtera dibandingkan dengan petani padi.
komoditas Selanjutnya
dikemukakan bahwa hasil NTP di perdesaan Patanas 2009 tertinggi pada komoditas kelapa sawit dan terrendah pada komoditas tebu. Hal ini logis karena pendapatan petani tebu lebih kecil dibandingkan dengan petani komoditas basis lainnya, sementara kisaran pengeluaran tidak terlalu besar, kecuali di Pinrang. 2.6. Insiden Kemiskinan Pengukuran kemiskinan yang dilakukan oleh BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Konsep ini tidak hanya digunakan oleh BPS tetapi juga oleh negara-negara lain seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone, dan Gambia (BPS, 2009). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan, yang diukur dari sisi pengeluaran. Menurut pendekatan ini, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan (GK). Secara teknis GK dibangun dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-makanan (GKNM). Komoditas penting bagi penduduk miskin adalah beras, sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan sebesar 25,06 persen di perkotaan dan 34,67 persen di perdesaan. (BPS, 2009). Data kemiskinan
menurut BPS (2011) menunjukkan bahwa jumlah
penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2011 sebanyak 30,02 juta orang. Jumlah ini mengalami penurunan 1 juta orang atau 3,2% dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret tahun lalu yang mencapai 31,02 juta orang.
Di
kawasan perkotaan persentase penduduk miskin mencapaisebanyak 11,05 juta orang, sedangkan di daerah pedesaan jumlah penduduk miskin sekitar 18,94. Angka tersebut menunjukkan bahwa kemiskinan paling banyak dialami penduduk perdesaan yang pada umumnya adalah petani. Menurut Harniati (2007), fenomena kemiskinan perdesaan dan pertanian di Indonesia menunjukkan adanya kaitan antara faktor spasial dan sektor usaha 15
mayoritas penduduknya. Terdapat hubungan erat antara kerentanan penduduk terhadap kemiskinan dengan ekosistem dimana ia tinggal atau dengan kata lain tingkat kemiskinan berbeda antar agroekosistem. Tingkat kemiskinan penduduk di agroekosistem dataran tinggi, lahan basah dan lahan kering serta pantai/pesisir di bawah angka kemiskinan nasional. Namun, jumlah rumahtangga miskin di lahan kering dan di dataran tinggi jauh lebih besar daripada di lahan basah dan di pesisir. Oleh karena itu, penanggulangan kemiskinan tidak bisa lagi menggunakan suatu pola umum (one fits for all) tetapi perlu mengembangkan berbagai model yang sesuai spesifik sesuai karakteristik kemiskinan di berbagai agroekosistem. Hasil kajian PATANAS 2009 di wilayah agroekosistem berbasis perkebunan menunjukkan insiden kemiskinan relatif sangat kecil. Bahkan di wilayah komoditas basis kelapa sawit tidak terdapat insiden kemiskinan. Insiden kemiskinan di agroekosistem tebu di Jawa Timur berkisar 10,0%-12,5%. Tingkat keparahan kemiskinan lebih besar di kabupaten Lumajang dibandingkan di Malang. Insiden kemiskinan tertinggi di agroekosistem perkebunan komoditas basis kakao karena rendahnya tingkat produktivitas usahatani kakao disebabkan serangan hama penyakit dengan intensitas serangan yang cukup tinggi (Susilowati, et.al., 2009). 2.7. Kelembagaan Agribisnis Perkembangan kelembagaan agribisnis di pengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu pemerintah, pasar dan komunitas. Ketiganya saling berkaitan dan saling mempengaruhi meskipun pada rentang waktu tertentu terjadi dominasi salah satu dari ketiga factor utama tersebut. Seperti perubahan dari pertanian subsisten yang sepenuhnya dijalankan oleh komunitas hingga pembangunan pertanian yang pada akhirnya di kerahkan kepada mekanisme pasar. Dengan mempertimbangkan peranan dari ketiga faktor utama tersebut, strategi pembangunan pertanian khususnya pengembangan kelembagaan agribisnis pedesaan dapat dirumuskan secara tepat. (Syahyuti, 2004). Dari hasil kajian PATANAS 2009, kelembagaan agribisnis diwilayah agroekositem lahan kering berbasis perkebunan telah tumbuh dan berkembang pesat. Hal ini ditandai dengan tumbuh koperasi perkebunan di berbagai daerah dan berbagai komoditas perkebunan. Namun apabila dilihat dari sisi peran dan 16
fungsinya masih terlihat lemah misalnya dalam pemasaran/promosi, belum mampu meningkatkan daya saing komoditas perkebunan di pasaran global. Demikian pula dengan kedudukan yang tidak seimbang antara koperasi sebagai representasi dari petani dengan perusahaan perkebunan terutama dalam hal pembagian hasil perkebunan. Dalam konteks penelitian ini, kelembagaan agribisnis adalah kelembagaan input usahatani, kelembagaan tenaga kerja, kelembagaan financial/permodalan, kelembagaan panen dan pasca panen, kelembagaan pemasaran, dan kelembagaan kelompok tani dan penyuluhan (Susilowati, et.al., 2009) 2.8. Adopsi Teknologi Pertanian Untuk meningkatkan produktivitas pertanian diperlukan teknologi yang berkembang. Peningkatan produktivitas memegang peranan penting untuk berkembangnya usaha tani. Pertanian yang maju adalah pertanian yang sangat dinamis dan sangat fleksibel serta meningkat produktivitasnya. Mosher (1996) mengemukakan bahwa untuk berhasilnya pembangunan pertanian diperlukan adanya kemajuan dalam bidang teknologi pertanian. Menurut Hadi et.al. (2006), permasalahan yang umum dihadapi di tingkat usaha tani (on farm) pada perkebunan rakyat antara lain adalah produktivitas yang masih rendah. Faktor penyebabnya antara lain adalah: (1) ketersediaan bibit unggul masih terbatas, sehingga banyak petani yang menggunakan benih asalan, (2) ketersediaan pupuk masih terbatas dan mahal, (3) adanya serangan organisme penggangu tanaman (OPT), (4) kurang diterapkannya teknologi budidaya secara baik (good agricultural practices=GAP), (5) terbatasnya infrastruktur seperti jalan desa dan jalan kebun, (6) banyak tanaman tua tetapi dukungan dana untuk peremajaan dan perluasan areal sangat kurang, (7) kelembagaan petani masih lemah, (8) kurangnya dukungan riset, dan (9) rendahnya mutu hasil.
Menurut Budianto (2000) hambatan dalam adopsi
teknologi sangat kompleks menyangkut berbagai faktor seperti kesesuaian teknologi dengan agroekologi setempat, ketersediaan bahan, sarana dan alsintan pendukung adopsi teknologi, kemampuan permodalan, skala usaha tani, tingkat kemajuan usaha tani dan persepsi serta pemahaman petani terhadap teknologi baru. 17
Rusastra, et al. (1998) mengungkapkan bahwa teknologi usaha pertanian dalam aplikasinya merupakan ramuan dari teknologi biologis, kimia, dan mekanis yang diperlancar melalui rekayasa sosial misalnya dalam bentuk program intensifikasi
yang
terus
disempurnakan.
Paket
teknologi
perlu
terus
disempurnakan dan disesuaikan dengan egroekosistem suatu wilayah dan efektivitas adopsinya akan sangat ditentukan oleh kemampuan manajemen petani yang direfleksikan oleh nilai efisiensi usaha tani. Rendahnya mutu komoditas perkebunan merupakan akibat rendahnya penguasaan pasca panen demikian pula kurangnya peremajaan tanaman tua/rusak/tidak menghasilkan. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil kajian PATANAS 2009 (Susilowati, et.al., 2009), dimana pengolahan pasca panen untuk kelapa sawit dan kakao hanya dijemur atau dikeringkan. Belum ada proses fermentasi untuk Kakao atau pengolahan menjadi Biodiesel untuk kelapa sawit, sehingga ini menjadikan kualitas produk kakao dan kelapa sawit rendah. Bahkan Indonesia memanfaatkan peluang menjadi produsen kakao terbesar di dunia karena terbentur masalah kuantitas dan kualitas (Badan Litbang Pertanian, 2004). III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Pembangunan merupakan suatu proses multidimensi yang mencakup berbagai perubahan mendasar secara menyeluruh atas struktur ekonomi, sosial, institusi dengan tetap mengejar pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Dalam konteks pembangunan pertanian
dan
perdesaan,
indikator
yang
digunakan
untuk
mengetahui
keberhasilan pembangunan ekonomi dalam kajian ini terdiri dari indikator ekonomi maupun indikator sosial dengan fokus sasaran adalah petani, usahatani dan wilayah perdesaan. Sasaran akhir pembangunan pertanian dan perdesaan adalah kesejahteraan petani yang dapat dicerminkan melalui indikator langsung dan tidak langsung (Purwoto, et.al., 2011).
Sebagai indikator langsung dapat
dikaji melalu: (a) pendapatan, (b) Nilai Tukar Petani (NTP), (c) pangsa pengeluaran pangan, (d) tingkat kemiskinan, serta (e) kecukupan pangan dan 18
gizi.
Sementara sebagai indikator tidak langsung adalah faktor-faktor
yang
mempengaruhi pendapatan masyarakat perdesaan yang terkait dengan berbagai aspek, diantaranya: (a) lahan, (b) tenaga kerja (c) teknologi, (d) kelembagaan pengadaan input/pemasaran hasil, (e) harga dan upah, dan (f) fasilitas publik (Gambar 1). Indikator-indikator yang diuraikan di atas termasuk dalam indikator ekonomi, sedangkan yang termasuk dalam indikator sosial diantaranya adalah tingkat pendidikan, ketersediaan lembaga penyuluh, sekolahan, puskesmas dan sebagainya. Dalam penelitian ini, bahasan difokuskan pada indikator ekonomi. Dinamika ekonomi perdesaan yang terjadi bukan hanya sebagai dampak dari pembangunan pertanian, namun juga dampak dari kebijakan pembangunan dan program-program lintas sektoral. Dengan perkataan lain pendapatan rumah tangga petani maupun non petani di wilayah pedesaan dipengaruhi baik oleh kebijakan dan program sektor pertanian maupun sektor di luar pertanian. 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan, maka penelitian ini akan melakukan analisis terhadap rumahtangga yang telah disurvey pada tahun 2007-2012 pada berbagai agroekosistem. Dengan melakukan analisisi pada rumahtangga yang sama, akan diperoleh data panel mikro dan dinamika atau perkembangan social ekonomi rumahtangga di masing-masing agroekositem. Beberapa indikator pembangunan pertanian dan perdesaan baik indikator langsung maupun tidak langsung akan digunakan untuk menjawab tujuan penelitian sebagai berikut
19
Gambar 1. Aspek-Aspek Pembentuk Indikator Langsung dan Tidak Langsung Tingkat Kesejahteraan
Lahan
Nilai Tukar Petani
Kemiskinan
Teknologi
Kelembagaan agribisnis
Ketenagakerjaan
Pendapatan Usahatani (on farm)
Pengeluaran Pangan
Pendapatan di Luar Usahatani (off farm)
Pendapatan Non Pertanian(non farm)
Pengeluaran Non-Pangan
Pangsa Pengeluaran Pangan
Harga dan Upah
Fasilitas Publik
Kecukupan Gizi
Distribusi Pendapatan
Sumber: Purwoto, et.al. 2011
20
1. Lahan Analisis penguasaan dan pemilikan
sumberdaya lahan meliputi tiga hal
yang dikaji, yaitu: (1) struktur penguasaan dan pemilikan lahan, (2) distribusi penguasaan dan pemilikan lahan rumahtangga,
dan
(3) Penambahan dan
pelepasan lahan. Analisis struktur penguasaan dan pemilikan lahan rumahtangga dilakukan dengan menghitung luas lahan garapan dan milik rumahtangga menurut jenis lahan (lahan sawah, tegalan, kebun) dan status penguasaan lahan (milik, sewa, sakap, gadai). Analisis distribusi penguasaan lahan rumahtangga dilakukan dengan menghitung Indeks Gini penguasaan dan pemilikan lahan menurut jenis lahan. Penambahan dan pelepasan luas lahan yang dimiliki seorang petani maupun pelepasan lahan milik petani dapat terjadi karena adanya transaksi jual-beli, proses pembagian hak waris/hibah atau dari pembukaan lahan baru atau sebab lainnya. 2. Penerapan Teknologi produksi dan Profitabilitas Pertanian Analisis yang berkaitan dengan penerapan teknologi sarana produksi akan dilakukan analisis tentang: (1) tingkat partisipasi petani dalam adopsi teknologi sarana produksi (penggunaan benih/bibit unggul, penggunaan pupuk kimia dan atau organic), dan (2) tingkat partisipasi petani dalam adopsi teknologi alat mekanis baik pada tahap pra-panen maupun pasca panen (dalam hal ini traktor, pompa air, power sprayer, mesin pemipil jagung, dan sebagainya), dan (3) struktur biaya dan profitabilitas usahatani. Profitabilitas usahatani dalam kajian ini didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan usahatani dan biaya tunai usahatani atau biaya yang betul-betul dikeluarkan oleh petani. 3. Tenaga Kerja Perdesaan Analisis tenaga kerja ditujukan untuk memahami sejauh mana kegiatan pembangunan pedesaan dapat menyediakan kesempatan kerja bagi rumahtangga pedesaan. Analisis aspek tenaga kerja ini meliputi : (1) Struktur dan alokasi tenaga kerja rumahtangga, (2) Produktivitas tenaga kerja pertanian dan non pertanian, (3) Tingkat pengangguran rumahtangga, dan (4) Tingkat migrasi tenaga kerja di pedesaan. Struktur tenaga kerja rumahtangga dihitung menurut beberapa karakteristik individu, seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, dan jenis 21
kegiatan ekonomi. Produktivitas tenaga kerja rumahtangga pertanian didekati dari total pendapatan kotor rumahtangga yang dihasilkan dari sektor pertanian dibagi dengan jumlah angkatan kerja rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian, sedangkan produktivitas tenaga kerja rumahtangga di sektor non pertanian didekati dari total pendapatan kotor rumahtangga yang dihasilkan dari sektor non pertanian dibagi dengan jumlah angkatan kerja rumahtangga yang bekerja di sektor non pertanian. Tingkat pengangguran rumahtangga diukur dari banyaknya anggota rumahtangga yang menganggur atau tidak memiliki pekerjaan. Sedangkan tingkat migrasi tenaga kerja diukur dari banyaknya jumlah penduduk desa yang melakukan migrasi, baik migrasi komutasi, sirkulasi maupun menetap, baik migrasi antar wilayah di dalam negeri maupun ke luar negeri. 4. Pendapatan Rumahtangga Analisis pendapatan rumahtangga meliputi analisis; (1) besarnya tingkat pendapatan rumahtangga, (2) distribusi pendapatan rumahtangga,
dan (3)
struktur pendapatan rumahtangga. Besarnya dan peningkatan pendapatan rumahtangga antar waktu dapat digunakan sebagai indikator meningkatnya daya beli
rumahtangga
untuk
memenuhi
kebutuhannya.
Distribusi
pendapatan
rumahtangga yang diukur dengan Indeks Gini digunakan sebagai indikator ketimpangan
pendapatan
rumahtangga
sebagai
akibat
ketidakmerataan
aksesibilitas rumahtangga terhadap sumberdaya ekonomi. Sedangkan struktur pendapatan rumahtangga dapat digunakan untuk melihat seberapa besar lapangan kerja dan usaha pertanian mampu berkontribusi terhadap pendapatan rumahtangga. Tingkat pendapatan rumahtangga dalam penelitian ini dibagi atas dua kelompok besar, yaitu: (a) Pendapatan rumahtangga yang berbasis lahan pertanian, dan (b) Pendapatan rumahtangga yang tidak berbasis lahan pertanian. Pengelompokan ini digunakan untuk memahami sejauh mana tekanan terhadap lahan pertanian sebagai sumber pendapatan rumahtangga pedesaan. Pendapatan berbasis lahan dapat dirinci atas: (1) pendapatan yang berasal dari usahatani komoditas utama dan komoditas lain yang dihasilkan petani, dan (2) Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan berburuh tani. Sedangkan pendapatan yang tidak 22
berbasis lahan dapat dirinci atas: (1) Pendapatan tetap sebagai pegawai, (2) Pendapatan dari kegiatan berburuh non pertanian, (3) Pendapatan dari usaha industri rumahtangga, (4) Pendapatan dari usaha perdagangan, (5) Pendapatan dari transfer/kiriman uang, dan (6) Pendapatan dari mencari di alam bebas (menggali pasir, mencari kayu, dan sebagainya).
Besarnya pendapatan
rumahtangga dihitung dalam nilai nominal atau riil dengan menyetarakan dengan beras yang berlaku di pasaran. Salah satu variabel penting dalam profil rumah tangga pedesaan adalah apakah pendapatan masyarakat pedesaan terdistribusi secara merata atau sebaliknya terjadi ketimpangan pendapatan antar rumah tangga tersebut. Untuk mengetahui distribusi pendapatan rumah tangga, digunakan suatu indeks sebagai ukuran ketimpangan, yaitu Indeks Gini yang diformulasikan Glewwe (1986) dan Adams, et.al. (1995). 5. Konsumsi dan Pengeluaran Rumahtangga Analisis untuk aspek pengeluaran rumahtangga meliputi analisis: (1) Tingkat dan pangsa pengeluaran rumahtangga untuk pangan dan non pangan, (2) Struktur pengeluaran rumahtangga untuk pangan (sumber karbohidrat, pangan
hewani,
sayur-sayuran,
kacang-kacangan,
buah-buahan,
dan
sebagainya), dan non pangan (bahan bakar, pendidikan, kesehatan, sandang, dan sebagainya, (3) Kecukupan konsumsi
energi rumahtangga, (4) Keragaman
sumber gizi rumahtangga, dan (4) Pola konsumsi pangan rumahtangga dan pola pangan harapan (PPH). 6. Nilai Tukar Petani (NTP) Secara konsepsional NTP adalah pengukur kemampuan tukar barangbarang (produk) pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian.
Nilai Tukar Petani
adalah rasio antara indeks harga yang
diterima petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib) dalam persentase. It merupakan suatu indikator tingkat kesejahteraan petani produsen dari sisi pendapatan, sedangkan Ib dari sisi kebutuhan petani baik untuk konsumsi
23
maupun produksi. Bila It atau Ib lebih besar dari 100, berarti It atau Ib pada tahun yang bersangkutan lebih tinggi dibandingkan It atau Ib pada tahun dasar. Secara umum ada tiga macam pengertian NTP yaitu: (a) NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksinya naik lebih besar dari kenaikan
harga
konsumsi.
Pendapatan
petani
naik
lebih
besar
dari
pengeluarannya; dengan demikian tingkat kesejahteraan petani lebih baik dibanding tingkat kesejahteraan petani sebe-lumnya; (b) NTP = 100, berarti petani mengalami impm/break even. Kenaikan/ penurunan harga produksi sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsi. Tingkat kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan; (c) NTP < 100, berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga barang produksi relatif dibandingkan
dengan
kenaikan
harga
barang
lebih
konsumsi.
kecil
Tingkat
kesejahteraan petani pada suatu periode mengalami penurunan dibanding tingkat kesejahteraan petani pada periode sebelumnya. Dalam penelitian aspek Nilai Tukar Petani akan dianalisis : (1) Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga yang menggambarkan daya tukar penerimaan usahatani terhadap pengeluaran petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan (2) Dekomposisi Nilai Tukar
terhadap
komponen konsumsi dan biaya
produksi 7. Kemiskinan Rumahtangga Analisis yang akan dilakukan untuk aspek kemiskinan rumahtangga meliputi: (1) insiden kemiskinan, yang akan menganalisis besaran headcount
index, poverty gap index, dan poverty severity index, (2) indikator kemiskinan di wilayah perdesaan, dan (3) survival strategy yang dilakukan rumahtangga untuk mengatasi kemiskinan. Untuk memperkirakan persentase penduduk miskin
dilakukan dengan
mengacu kepada metode BPS yaitu dengan membandingkan besaran pengeluaran perkapita dengan Garis Batas Kemiskinan yang disusun oleh BPS untuk wilayah perdesaan. Dengan menggunakan metoda yang sama, maka hasil kajian ini akan dapat melengkapi informasi tingkat kemiskinan di tingkat Provinsi dan kabupaten yang dikeluarkan oleh BPS 24
8. Kelembagaan Agribisnis Analisis yang akan dilakukan untuk aspek kelembagaan agribisnis meliputi: (a) kelembagaan penguasaan lahan, (b) kelembagaan upah, (c) kelembagaan pengadaan input, (d) kelembagaan permodalan, (e) kelembagaan pemasaran hasil, dan (f) organisasi petani. Selain delapan aspek yang telah diuraikan di atas, perkembangan harga dan tingkat upah di sektor pertanian dan non pertanian serta perkembangan fasilitas public, terutama sarana irigasi, jalan usahatani dan jalan desa, merupakan indikator tidak langsung yang berpengaruh terhadap kesejahteraan petani. Perkembangan harga dan tingkat upah akan mempengaruhi pendapatan dan nilai tukar petani sedangkan infrastruktur publik akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan produksi pertanian yang selanjutnya
akan berpengaruh
terhadap pendapatan rumahtangga pekebun. Kedua aspek tersebut akan digali informasinya di tingkat desa melalui wawancara dengan aparat setempat dan informan kunci serta melalui data-data potensi desa sehingga dapat diketahui perkembangannya dan pengaruhnya terhadap perekonomian perdesaan. Datadata sekunder terkait perekonomian tingkat desa ini akan digunakan untuk memperkaya pembahasan hasil analisis data primer. 3.3. Lokasi Penelitian dan Responden 3.3.1. Dasar Pertimbangan Seperti telah diuraikan bahwa penelitian PATANAS mupakan penelitian panel, sehingga survei akan dilakukan pada lokasi dan rumah tangga yang sama dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Sesuai dengan tahapan
rencana jangka panjang penelitian PATANAS, pada periode 2007- 2012, dilakukan satu rangkaian survei panel berdasarkan perbedaan agroekosistem. Pada tahun 2007 telah dilakukan survei pada rumah tangga di agroekosistem sawah irigasi berbasis padi, pada tahun 2008 di agroekosistem lahan kering berbasis sayuran dan palawija, dan pada tahun 2009 di agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan. Dengan demikian telah diselesaikan tiga tahapan survei yang dilakukan menurut perbedaan agroekosistem yang dapat dipandang sebagai data tahun dasar. 25
Untuk memperoleh data panel sehingga dapat dianalisis dinamika perubahan ekonomi perdesaan, pada tahun 2010 telah dilakukan resurvei di agroekosistem sawah irigasi berbasis padi,
dan pada tahun 2011 di
agroekosistem lahan kering berbasis sayuran dan palawija, dan pada tahun 2012 akan dilakukan resurvei di agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan. Dengan akan diselesaikannya survei PATANAS pada tahun 2012 ini, maka secara lengkap akan diperoleh data panel rumahtangga dengan selang waktu 3 (tiga) tahun, masing-masing untuk data panel rumahtangga di agroekosistem sawah (2007-2010), agroekosistem lahan kering berbasis sayuran dan palawija (20082011), dan agroekositem lahan kering berbasis perkebunan (2009-2012). Basis komoditas perkebunan dipilih komoditas kelapa sawit, karet, kakao dan tebu. Ketiga komoditas pertama dipilih karena kontribusinya dalam ekspor pendapatan sektor perkebunan secara nasional sedangkan komoditas tebu dipilih karena penghasil gula sebagai komoditas strategis yang termasuk komoditas pangan utama dimana pemerintah mentargetkan dapat mencapai swasembada gula pada tahun 2014. 3.3.2. Lokasi dan Responden Pemilihan propinsi-propinsi yang menjadi lokasi penelitian menurut tipe desa diperlihatkan dalam Tabel 1. Jumlah responden di masing-masing desa lokasi penelitian adalah 40 rumah tangga, yang secara garis besar terdiri dari : (a) rumah tangga petani pemilik/penggarap lahan dan (b) rumah tangga buruh tani/ buruh non pertanian. Secara total terdapat 1084 rumah tangga contoh seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 2.
26
Tabel 1. Jumlah Desa dan Sebaran Desa PATANAS Menurut Propinsi dan Tipe Desa. Tipe desa 1. 2.
3.
4.
Jabar Jateng Sawah-Padi 3 4 Lahan Kering –Sayuran - Kentang 1 1 - Kubis Lahan Kering- Palawija - Jagung - Ubi kayu 1 - Kacang 1 1 tanah - Kedelai 1 Lahan Kering- Perkebunan - Kakao - Karet - Kelapa Sawit - Tebu Jumlah 6 7
Jatim 3
Provinsi Lampung Sumut 2
Sulsel 2
Jambi -
Kalbar -
Jumlah 14
1
-
-
1
-
-
2 2
2 -
1 -
-
1 -
-
-
3 2 2
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
2 -
1 1
1 1
2 2 2
2 8
1
2
4
2
2
2 34
Tabel 2. Sebaran Rumahtangga Patanas Menuru Tipe Desa. Agroekosistem Petani Sawah irigasi-Padi Lahan Kering -Palawija Lahan Kering -Sayuran Lahan Kering -Perkebunan - Karet - Kelapa sawit - Kakao - Tebu Jumlah
350
62 53 55 50
Pekerjaan utama Buruh Tani &Non Pertanian 210
18 22 25 30
Jumlah 560 121 88 315 80 75 80 80 1084
3.5. Metoda Analisis dan Data 3.5.1. Sumber dan Jenis Data Data yang digunakan terdiri dari:
(1) data primer hasil survey
rumahtangga melalui wawancara langsung menggunakan kuesioner terstruktur, (2) data primer hasil wawancara kelompok dengan aparat desa dan key informan 27
menggunakan pedoman wawancara, (3) data sekunder yang berasal dari potensi desa dan sumber lain terkait. 3.5.2. Metoda Analisis Analisis dalam penelitian ini akan mencakup: (a) analisis perubahan antar waktu dan (b) analisis parameter. a. Analisis Perubahan Antar Waktu Analisis perubahan antar waktu untuk tipe desa dengan agroekosistem sawah berbasis padi dilakukan antara tahun 2007 dengan tahun 2010. Untuk desa dengan agroekosistem lahan kering berbasis sayuran dan palawija dilakukan antara tahun 2008 dengan tahun 2011, sedangkan untuk desa dengan agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan dilakukan antara tahun 2009 dengan tahun 2012 (Tabel 3). Tabel 3. Perbandingan antar waktu (Resurvey rumahtangga petani) Tahap kegiatan Survey dan Resurvey
Tipe desa
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1. Sawah-Padi 2. Lahan Kering – Sayuran 3. Lahan KeringPalawija 4. Lahan KeringPerkebunan
Validasi data
V
V V
V
V
V V
x
x
x
V x
x
x
x
b. Analisis Parameter Analisis
parameter
dilakukan
untuk
mengetahui
besaran
dari
variabel/indikator tertentu yang telah ditetapkan. Analisis data dilakukan secara statistik deskriptif dan tabulasi. Dalam melakukan analisis data melalui metode statistik deskriptif, digunakan formula sederhana dengan menghitung rata-rata (mean), tingkat partisipasi (participation rate), struktur atau susunan, dan sebaran atau distribusi. Selain itu untuk beberapa indikator tertentu (misalnya 28
ketimpangan distribusi pendapatan, tingkat kemiskinan dan sebagainya) dianalisis dengan menggunakan formula yang sudah tersedia. Metoda penghitungan rata-rata digunakan untuk menganalisis indikator dalam
bentuk
parameter
besaran,
misalnya
untuk
mengetahui
tingkat
pemilikan/penguasaan lahan per rumah tangga, tingkat produktivitas tenaga kerja sektor pertanian, tingkat pendapatan nominal/riil rumah tangga, tingkat pengeluaran nominal/riil rumah tangga, tingkat konsumsi energi, jumlah penduduk miskin, nilai tukar petani (NTP) dan profitabilitas usahatani. Rata-rata (mean) diformulasikan sebagai berikut:
x
X =
N
dimana: X
i
.......................................................................... (1)
= rata-rata (mean), misalnya rata-rata tingkat pemilikan lahan rumah tangga contoh
x
i
= total besaran variabel yang dianalisis untuk seluruh rumahtangga contoh
N
= total jumlah rumahtangga contoh
Metoda penghitungan tingkat partisipasi digunakan untuk mengetahui persentase jumlah rumahtangga yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tertentu, misalnya tingkat partisipasi petani dalam adopsi pupuk organik, tingkat partisipasi rumah tangga dalam konsumsi beras, tingkat partisipasi rumahtangga melakukan migrasi dan sebagainya. Tingkat pasrtisipasi dirumuskan sebagai berikut. TP =
n x 100 % .............................................................................(2) N
dimana: TP = tingkat partisipasi rumahtangga contoh dalam aktivitas ekonomi (misalnya dalam adopsi teknologi pupuk organik), dalam % n
= banyaknya rumahtangga contoh yang terlibat dalam aktivitas
ekonomi N
= total jumlah rumah tangga contoh
29
Untuk menganalisis indikator dengan bentuk parameter susunan atau struktur,
seperti struktur pendapatan rumah tangga menurut sumbernya
(pertanian dan non-pertanian), struktur penguasaan lahan menurut jenis lahan (tegal, sawah, kebun, pekarangan), dan struktur pengeluaran rumah tangga menurut jenisnya (pangan dan non-pangan), yang dapat disusun dalam nilai nominal atau persen (pangsa), digunakan formula sebagai berikut,
n n m Pm = X ki / X ij x 100 %....................................................(3) i 1 i 1 j 1 dimana: Pm = pangsa variabel ke-k terhadap total nilai variabel (misalnya pangsa pendapatan rumahtangga dari sector ke-k (pertanian) terhadap total pendapatan rumahtangga), dalam % n
X i 1
= nilai variabel ke-k dari seluruh contoh ke-I (i= 1,2,…,n)
ki
((misalnya jumlah pendapatan sector pertanian dari seluruh rumahtangga contoh) n
m
X i 1 j 1
ij
= total seluruh nilai variabel ke-j (j=1,2,3,…m) dari seluruh contoh ke-I (misalnya total pendapatan berbagai sumber dari seluruh rumah tangga contoh).
Untuk menganalisis indikator distribusi (sebaran), misalnya distribusi rumah tangga menurut klas pemilikan lahan, distribusi angkatan kerja menurut tingkat pendidikan dan sebagainya, digunakan formula sebagai berikut: Si =
xi x 100% ................................................................................ (4) X
dimana: Si = pangsa rumah tangga
dalam kelompok variabel ke-i (misalnya
pangsa rumah tamgga dalam klas lahan ke-i (%) xi = banyaknya rumah tangga dalam kelompok variabel ke-i X = jumlah rumah tangga contoh Untuk aspek-aspek seperti tingkat konsumsi energi, tingkat produktivitas tenaga kerja sektor pertanian dan tingkat profitabilitas usahatani, ketimpangan 30
distribusi pendapatan, insiden kemiskinan (headcount index, poverty gap index
dan poverty severity index) dilakukan penghitungan dengan menggunakan formula yang akan diuraikan dibawah ini. Untuk menghitung kecukupan energi (kalori) rumah tangga pertama-tama dihitung konsumsi kalori rumah tangga per kapita per hari (KR) dengan rumus sebagai berikut: n
Ki .Qi ..........................................................................
KR
(5a)
i
Tahap berikutnya dihitung kebutuhan kalori rumah tangga per kapita per hari (KBR) dengan formula sebagai berikut:
KBR Ajs.Njs ...................................................................... .(5b) Tahap terakhir dihitung tingkat kecukupan konsumsi kalori rumah tangga (TK) dengan rumus sebagai berikut:
TK
KR 100 ...........................................................................(5c) KBR
dimana: Ki
= nilai kalori produk pangan ke-i; i = 1, 2, .......n = produk pangan yang dikonsumsi rumah tangga
Qi
= kuantitas konsumsi produk pangan ke-i
Ajs
= anggota rumahtangga dengan jenis kelamin ke-j dan kelompok umur ke-s
Untuk menghitung produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian digunakan rumus sebagai berikut: Y W AK
dimana :
.................................................................................. (6) W
=
Produktivitas tenaga kerja rumahtangga di sektor pertanian
Y =total pendapatan rumahtangga di sektor pertanian AK
=jumlah anggota rumah tangga (ART) yang bekerja di sektor pertanian
Untuk menghitung profitabilitas usahatani digunakan rumus sebagai berikut: 31
= TR – TC ………………………………………………………………...(7a) = P.Q – TC …………………………………………………………….. (7b) dimana:
= keuntungan (penerimaan bersih) usahatani
TR
= penerimaan total/kotor usahatani
P
= harga hasil produksi per unit
Q
= jumlah produksi
TC
= total biaya usahatani
Untuk menghitung rasio penerimaan total (TR) terhadap biaya total (TC) digunakan rumus sebagai berikut: R/C = TR/TC ............................................................................(8) Insiden kemiskinan dihitung dengan menggunakan formula Foster-
Greer-Thorbecke (FGT) Sedangkan formula FGT poverty index dinyatakan sebagai berikut (Cockburn, 2001).
1 q z yi Pα(y;z) = n i 1 z
(α ≥ 0) ..................................... (9)
dimana yi = rata-rata nilai pengeluaran per kapita individu ke i dalam rumah tangga yang sudah diranking berdasarkan tingkat pengeluaran, n = total populasi, q = jumlah populasi, z = batas kemiskinan, sehingga poverty gap ratio adalah Gi = (z – yi)/z, dimana Gi = 0 pada saat yi > z. Nilai α ada tiga macam, yaitu: 1. Jika α = 0,
P0 menyatakan headcount index, merupakan proporsi populasi
yang berada dibawah garis kemiskinan. Formula diatas akan menjadi: P0(y;z) =
1 q z yi n i 1 z
0
,
atau P0 = q/n. ............................. (10)
2. Jika α = 1, menunjukkan ukuran poverty gap ratio dimana masing-masing penduduk miskin dibobot berdasarkan jarak relatif mereka dari garis kemiskinan. Formula (10) menjadi: P1 = 1/n
(z y
i
)/z. ......................................................... (11)
32
Misalkan besaran P1 = 0.2 artinya total kesenjangan kemiskinan seluruh populasi miskin terhadap garis kemiskinan adalah 20 persen. Sedangkan P1/P0 =1/q
(z y
i
)/z adalah rata-rata kesenjangan kemiskinan (poverty gap)
yang dinyatakan sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan. 3. Jika α = 2, formula (10) menjadi:
1 q z yi P2(y;z) = ...................................................... (12) n i 1 z 2
Indeks
tersebut
merupakan
ukuran
yang
sensitif
terhadap
perubahan
pendapatan atau distribusi pendapatan populasi miskin (distributionally sensitive
index). Ukuran ini dinamakan rasio ‘keparahan’ kemiskinan (poverty severity). Untuk menghitung NTP subsisten digunakan formula sebagai berikut:
NTP Qi PTi dimana:
X PBx ............................................................... (13) i
HT =harga yang diterima petani HB =harga yang dibayar petani PTi =harga komoditas i yang diproduksi petani PBx =harga produk yang dibeli petani =Kuantitas komoditas i yang diproduksi petani
Qi Xi
= Kuantitas produk yang dibeli petani
Untuk mengukur ketimpangan distribusi pemilikan/penguasaan lahan dominan antar rumah tangga dan ketimpangan distribusi pendapatan antar rumah tangga akan digunakan rumus sebagai berikut [ Glewwe (1986); Adams et.al (1995)]: G (y) = dimana
2 Cov ( yi , p( yi )) .............................................................(14) y
G (y) = koefisien gini distribusi pendapatan/lahan milik/lahan garapan rumah tangga
y rata-rata pendapatan/lahan milik/lahan garapan rumah tangga yi = total pendapatan/lahan milik/lahan garapan rumah tangga ke i 33
p( yi ) urutan pendapatan/lahan milik/lahan garapan rumah tangga , yaitu p = 1 untuk urutan rumah tangga berpendapatan terendah/dengan luas lahan milik terkecil/dengan luas lahan garapan terkecil
dan p = n untuk urutan rumah tangga
berpendapatan tertinggi/dengan luas lahan milik terluas/dengan luas lahan garapan terluas, dan n = jumlah populasi rumah tangga yang dianalisa. Nilai G berada pada selang 0 dan 1. lahan/penguasaan lahan
Distribusi pendapatan/pemilikan
rumah tangga masuk kategori ketimpangan berat
apabila G > 0,5, kategori ketimpangan sedang apabila 0,4 < G < 0,5, dan kategori ketimpangan ringan apabila G < 0,4. Cara lainnya untuk mengukur derajat ketimpangan pendapatan antar rumah tangga adalah dengan menggunakan konsep Bank Dunia (World Bank). Menurut konsep Bank Dunia apabila 40 persen populasi dengan pendapatan terbawah memiliki pangsa pendapatan kurang dari 12 persen dari total pendapatan seluruh rumah tangga maka distribusi pendapatan rumah tangga masuk kategori ketimpangan berat, apabila pangsa tersebut berkisar antara 12-17 persen masuk kategori ketimpangan sedang, dan apabila pangsa tersebut lebih dari 17 persen masuk kategori ketimpangan ringan. IV. ANALISIS RESIKO Dalam melakukan penelitian, resiko yang mungkin dihadapi mulai pelaksanaan awal sampai dengan akhir, penyebab serta kemungkinan dampak resiko terhadap penyelesaian penelitian dan penulisan akhir diantaranya sebagai berikut:
34
Daftar Resiko Pelaksanaan Penelitian, 2014 No. Resiko
Penyebab
Dampak
Solusi
1.
Susunan peneliti yang kurang sesuai dengan beban pekerjaan
Jumlah peneliti PSEKP terbatas
Menambah tenaga dari luar Tim
2.
Proses penyelesaian entry dan pengolahan data berpotensi terlambat dan tidak tepat waktu
Terkendala oleh keterbatasan jumlah tenaga operator komputer dan kedisiplinan peneliti menyerahkan kuesioner yang telah teredit baik
Penyelesaian validasi data dan penulisan laporan terlambat karena beban yang cukup besar Keterlambatan penyerahan kuesioner
3.
Kemungkinan ada penghematan anggaran lagi ditengah tahun penelitian
Kebijakan anggaran pemerintah pusat yang berubah sewaktu waktu
Tidak akan diperoleh data panel sesuai rancangan proposal penelitian
Mengurangi jumlah lokasi dan tidak mengurangi jumlah responden per lokasi
Penjadwalan secara ketat untuk penanganan data dan monitoring ketat kepada Tim dan pengolah data agar disiplin dalam menepati jadwal
V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN 5.1. Susunan Tim Pelaksana No.
Nama
Gol.
1
Dr. Bambang Irawan
IV/e
2
Prof Dr. I wayan Rusastra
IV/e
3 4
Dr. Hermanto Dr. Tri Pranaji
IV/d IV/e
5 6
Dr. Gatoet Sroe Hardono Ir. Tri Bastuti Purwantini
IV/a III/d
7
Dr. Ening Ariningsih
III/d
Jabatan Fungsional/ Bidang Keahlian Peneliti Utama/ Ekonomi Pertanian Profesor Riset/ Ekonomi Pertanian Peneliti Utama/ Sosiologi Peneliti Muda/ Ekonomi Pertanian Peneliti Muda/ Ekonomi Pertanian
35
Kedudukan Dalam Tim Ketua Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
5.2. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Bulan Jul Agu
Sep
Okt
No p
Des
Jan
1. Persiapan: Pembuatan Proposal Seminar Proposal Perbaikan Proposal Penyempurnaan Kuesioner 2. Pengumpulan Data Sekunder dan Studi Pustaka 3. Survei/Klarifikasi Issue 4. Pengolahan Data 5. Penulisan Laporan Kemajuan&Lap akhir Seminar Hasil Penelitian Perbaikan Laporan Finalisasi Laporan Akhir
DAFTAR PUSTAKA Ariani, M dan B. Sayaka. 2000. Ketahanan Pangan Rumahtangga Perdesaan. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Perdesaan dalam Era Otonomi Daerah. Penyunting : Rusastra,I.W; A.R.Nurmanaf; S.H.Susilowati; E.Jamal dan B. Sayaka. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Ariani,M; H.P.Saliem; S.Hastuti; Wahida dan M.H.Sawit. 2000. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Konsumsi Pangan Rumahtangga. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Arifin, M dan P. Simatupang. 1988. Pola Konsumsi dan Kecukupan Kalori dan Protein di Perdesaan Sumatera Barat dalam Prosiding PATANAS Perubahan Ekonomi Perdesaan Menuju Struktur Ekonomi Berimbang. Pusat Agro Ekonomi. Hlm.341 – 351. Berg, A. 1986. peranan Gizi dalam pembangunan Nasional . Terjemahan. CV Rajawali. Jakarta.
36
Bryant,W.K. 1990. Teh Economic Organization of Teh household. Cambridge University Press. New York. BPS. 2010. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2010. Berita Resmi Statistik No.45/07/Th.XIII, 1 Juli 2010. Jakarta. BPS. 2008. Berita Resmi Statistik. No. 56/11/Th. XI, 3 November 2008. Jakarta BPS. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Sosial Ekonomi Indonesia. BPS. Jakarta. Cockburn, J. 2002. Poverty/Distribution
[email protected]
Procedures with DAD.
for
Conducting Non-Parametric CREFA, Universite Laval,
Hadi, PU, Supriyati, A. K. Zakaria, T. Nurasa, F. B. M. Dabukke,dan E. Ariningsih. 2006. Kinerja Pembangunan Komoditas Perkebunan 2006 dan Prospek 2007. Seminar Nasional Kinerja Pembangunan Pertanian 2006 dan Prospek 2007. PSEKP. Irawan,B.,P.Simatupang.,R.Kustiari.,Sugiarto.,Supadi.,J.F.Sinuraya.,M.Iqbal.,M.Ari ani.,V.Darwis.,R.Elizabeth.,Sunarsih.,C. Muslim.,T.B.Purwantini dan T.Nurrasa. 2007. Panel Petani Nasional (PATANAS):Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Kasliwal, P. 1995. Development Economics. South-Western College Publishing, Ohio. Kementarian Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Startegis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Kustiari, R., Sugiarto., P.U. Hadi., A. Purwoto., B. Winarso., Supadi., Waluyo.,T.B. Purwantini., Sunarsih., J.F.Sinuraya.,Deri Hidayat.,M.Maulana dan R. Aldillah.2008. Panel Petani Nasional (PATANAS): Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian.Bogor Marisa, Y, dan B. Hutabarat. 1988. Ragam Sumber Pendapatan Rumahtangga di Pedesaan Sulawesi Selatan Dalam F, Kasryno dkk (eds). Prosiding Patanas: Perubahan Ekonomi Pedesaan menuju Struktur Ekonomi Berimbang. Puslit Agro Ekonomi. Hal: 314 -320. Martianto, D dan M. Ariani. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir. Prosiding WNPG VIII. Jakarta, 17-19 Mei. LIPI. Jakarta. Pakpahan, A., N. Syafaat, A. Purwoto, H.P. Saliem, dan G.S. Hardono. 1992. elembagaan lahan dan Konservasi Tanah dan Air. PSE. Bogor.
37
Purwoto, A., I.W. Rusastra, B. Winarso, T. B. Purwantini, A.K. Zakaria, T. Nurasa, D. Hidayat, C. Muslim, C.B. Adawiyah. 2011. Panel Petani Nasional (Patanas): Indikator Pembangunan Pertanian Dan Perdesaan di Wilayah Agroekosistem Lahan Kering Berbasis Sayuran Dan Palawija. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian . Bogor. Rusastra, IW, Supriyati, A. Zulham, S. Bahri, S. Mardianto dan Sunarsih. 1998. Perubahan Struktur Ekonomi Pedesaan: Dinamika Adopsi Teknologi Pola Usaha Tani dan Produktivutas Tenaga Kerja di Pedesaan. Analisis Sensus Pertanian 1983 dan 1993. Puslit Sosek Pertanian. Rusastra, I.W., Khairina M.N., Supriyati, Erma Suryani, Muhammad Suryadi, Roosgandha Elizabeth. 2005. Analisis Ekonomi Ketenagakerjaan Sektor Pertanian dan Pedesaan di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Simatupang, P., Rudy S. R., Mewa A. dan Azlinda Azahari. 1987a. Pola Produksi dan Penyerapan Tenaga Kerja di PIR-Perkebunan Karet : Studi Kasus di NES I Talang Jaya, Sumatera Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Simatupang, P., Jefferson Situmorang dan Wirawan. 1987b. Pengkajian Produksi dan Pemanfaatan Tenaga Kerja di PIR-Perkebunan Kelapa Sawit Besitang Sumatera Utara. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Susila R. Wayan, 2003. Industri Berbasis Perkebunan: Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi Dan Pemerataan. LRPI Bogor. Supadi dan Susilowati. 2004. Dinamika Penguasaan Lahan Pertanian Di Indonesia. Icaserd Working Paper No.41. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian, Bogor. Suryana, A. 1988. Konsumsi Rumahtangga Pedesaan dalam Prosiding PATANAS Perubahan Ekonomi Pedesaan Menuju Struktur Ekonomi Berimbang. Pusat Agro Ekonomi. Hlm.333 – 340. Susilowati, S, H, Sumaryanto, R.N. Suhaeti, S. Friyatno, H. Tarigan, N.K. Agustin dan C. Muslim. 2008. Konsursium Penelitian, Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Pada Berbagai Tipe Agroekosistem : Aspek Arah Perubahan Penguasaan Lahan dan Tenaga Kerja Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor Susilowati, S.H, P.U. Hadi, Sugiarto, Supriyati, W.K. Sejati, Supadi, A.K.Zakaria,T.B.Purwantini, D. Hidayat, M. Maulana. 2009. Panel Petani Nasional. Indikator Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. Laporan Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor Susilowati,S.H.,B.Hutabarat.,M.Rachmat.,Sugiarto.,Supriyati.,A.K.Zakaria.,H.Supriy adi.,A.Purwoto.,Supadi.,B.Winarso.,M.Iqbal.,D.Hidayat.,T.B.Purwantini.,R.El
38
izabeth.,C. Muslim.,T.Nurasa.,M.Maulana dan R.Aldillah. 2010. Indikator Pembangunan Pertanian Dan Pedesaan: Karakteristik Sosial Ekonomi Petani dan Usahatani Padi. Proposal Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor Syukur, M. 1988. Kajian Aktivitas Tenaga Kerja Rumahtangga Tani di Luar Sektor Pertanian. Studi Beberapa Desa di Jawa Barat. Tesis MS (tidak dipublikasikan) Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor. Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Terjemahan. Edisi Ketujuh. Erlangga, Jakarta.
39