DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PEDESAAN: Analisis Perbandingan Antar Sensus Pertanian
Erna M. Lokollo, I.W.Rusastra, Handewi P. Saliem, Supriyati, Supena Friyatno dan Gelar S. Budhi
ABSTRAK Dinamika sosial ekonomi pedesaan di Indonesia, sama halnya dengan yang terjadi di negaranegara berkembang lainnya, sangatlah erat hubungan dan kaitannya dengan dinamika perekonomian makro nasional secara keseluruhan. Bagaimanakah perkembangan rumah tangga pertanian di Indonesia selama kurun waktu 3 dekade terakhir ini dan seberapa besar-kah perannya dalam perkembangan perekonomian makro dan bagaimanakah nanti keadaannya pada masa-masa mendatang?. Itulah yang akan dijawab dalam penelitian ini, dengan menggunakan data hasil Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 oleh BPS dan Pusdatin-DepTan. Hasil analisis terbagi dalam empat hal utama-yang berkaitan erat satu dengan lainnya, yaitu: (i) penguasaan dan pengusahaan lahan, (ii) pendapatan rumah tangga pertanian, (iii) ketenagakerjaan rumah tangga pertanian, dan (iv) adopsi teknologi pertanian. Analisis terhadap karakteristik dan tingkat kesejahteraan rumah tangga pertanian juga dilakukan untuk melengkapi dan mendapatkan gambaran utuh serta menyeluruh mengenai dinamika sosial ekonomi pedesaan Indonesia. Hasil analisis selain mengkonfirmasi secara sistematis sebahagian besar “common” dan “general knowledge” yang selama ini telah disinyalir dan diketahui umum, juga memberikan perspektif kedepan bagaimana sebenarnya yang diinginkan terjadi oleh para stakeholders. Konversi lahan pertanian tetap tinggi dan alih fungsi lahan sawah semakin mengkhawatirkan. Selama 3 dekade terakhir ini terjadi peningkatan ketimpangan distribusi lahan yang dicerminkan dari angka gini rasio yang semakin meningkat. Jawa memiliki ketimpangan yang lebih tinggi dari luar-Jawa. Proporsi petani kecil berlahan sempit meningkat dengan proporsi 75% dari total rumah tangga pengguna lahan. Struktur pendapatan rumah tangga di dominasi oleh pendapatan yang berasal dari sektor pertanian (50.15 persen), sedangkan sektor non-pertanian menyumbang sebesar 16.51 persen, dan kegiatan/aktivitas ekonomi lainnya menyumbang sebesar 14.96 persen terhadap total pendapatan rumah tangga. Di dalam sektor pertanian itu sendiri, peran atau pangsa sub-sektor tanaman pangan masih dominan, namun demikian peran sub-sektor perkebunan mengalami peningkatan yang sangat tajam, yaitu dari hanya di bawah 5 persen menjadi tiga kali lipat-nya atau hampir mencapai 15 persen. Terjadi peningkatan peran atau share dari upah tenaga kerja/buruh, baik yang bekerja di pertanian maupun non-pertanian, yaitu dari menjadi 10.66 menjadi 24.42 persen. Rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian Indonesia di tahun 2003 adalah sebesar Rp. 8-13 juta per tahun. Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian masih didominasi oleh sub-sektor tanaman pangan. Gambaran pekerja dan buruh pertanian mengalami perubahan dalam komposisi jender, umur, wilayah, tingkat pendidikan. Secara agregat, sebagian besar termasuk dalam kategori setengah pengangguran, meskipun yang memiliki jender laki-laki sebagian besar masuk dalam kategori bekerja dan yang wanita sebagian besar masuk dalam kategori setengah pengangguran. Adopsi teknologi pertanian selama 3 dekade mengalami peningkatan dan sangat bervariasi menurut komoditas , jenis teknologi maupun wilayah; namun didominasi oleh subsektor tanaman pangan dalam hal teknologi biologis dan kimia. Implikasi kebijakan dari hasil temuan sensus pertanian adalah pengembangan pertanian juga perlu diarahkan pada usahatani tidak berbasis lahan (non-land based agricultural development) yang akan memperkokoh fondasi diversikasi pertanian. Perluasan kesempatan kerja kearah yang sama juga diperlukan untuk menarik kelebihan atau ”excess” tenaga kerja di sektor hilir atau primer. Penataan sistem perbenihan diperlukan untuk meningkatkan adopsi teknologi sampai ke tingkat petani. Kesemuanya bertujuan meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian. Kata Kunci – Key Words : lahan, pendapatan, tenaga kerja, teknologi, sensus-pertanian
IV-1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Justifikasi Peranan pertanian dalam perekonomian suatu negara memang sangat kompleks dan berbeda-beda untuk masing-masing negara. Secara umum dapatlah dikatakan perubahan struktur perekonomian suatu negara merupakan suatu perjalanan proses yang harus dilalui dalam pembangunan negara tersebut. Timmer (1998,2005) mengelompokkan peranan sektor pertanian dalam perekonomian bangsa ke dalam 4 tahap, yaitu: (1) tahap “getting agriculture moving”–era Mosher , (2) tahap dimana sektor pertanian telah mempunyai banyak keterkaitan dengan sektor lainnya-era Johnston-Mellor, (3) tahap dimana income dari sektor pertanian jauh tertinggal dibanding sektor non-pertanian- era Schultz, dan (4) tahap dimana sektor pertanian telah terintegrasi penuh dengan sektor lainnya termasuk didalamnya pasar tenaga kerja dan pasar modal- era Johnson Gale. Ke empat tahap ini haruslah dipahami dengan benar apabila kita ingin melihat peranan sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian suatu negara. Dalam pada itu, Hugendon (1992) membandingkan pangsa sektor pertanian dalam PDB negara-negara sedang berkembang antara tahun 1960 dan 1987 yang menurun tajam dari 50% menjadi 33%, sementara sektor industri manufaktur meningkat dari 9% menjadi 21%. Sejak terjadinya reformasi ekonomi (1983) yang pada dasarnya telah melakukan perubahan prioritas pembangunan dari sektor pertanian ke sektor industri, maka telah menyebabkan terjadinya beberapa perubahan seperti terjadinya perubahan rasio pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian terhadap PDB sektor pertanian terus menurun, yaitu 8,7% pada PELITA IV menjadi 5,5 dan 3,6% pada PELITA V dan PELITA VI (World Bank, 1994). Todaro (2000) mengemukakan bahwa struktur perekonomian suatu negara tergantung kepada beberapa faktor baik faktor ekonomi, struktur politik, kekuatan (power) dan interest group yang meliputi faktor ekonomi seperti nature of economy, struktur ekonomi, dan tingkat ketergantungan antara sektor-sektor primer, sekunder dan tersier. Sektor primer meliputi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, sedangkan sektor sekunder adalah sektor manufaktur dan sektor tersier adalah sektor perdagangan, keuangan, transportasi dan jasa. Dinamika sosial ekonomi pedesaan di Indonesia, sama halnya dengan yang terjadi di negara-negara berkembang lainnya, sangatlah erat hubungan dan kaitannya dengan dinamika perekonomian makro nasional secara keseluruhan. Sebagai suatu negara yang sedang berkembang, maka peranan sektor pertanian di Indonesia, walaupun masih besar, akan mengalami kecenderungan yang makin menurun di tahun-tahun yang akan datang. Namun demikian, sektor pertanian di Indonesia, senantiasa mendapat perhatian yang besar dari Pemerintah, karena sektor tersebut adalah pemasok utama kebutuhan pangan nasional, dan sebagian besar penduduk masih berada di sektor ini. Peningkatan produksi dan produktivitas pertanian menjadi penting karena pembangunan ekonomi akan mengalami kesulitan dan stagnasi apabila tidak ditunjang oleh pembangunan pertanian itu sendiri. Perlu diingatkan bahwa penekanan pada pertumbuhan industri dengan mengesampingkan pertanian akan menyebabkan masalah neraca pembayaran negara. Pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan nasional sebagai akibat keberhasilan pembangunan industri akan mengakibatkan meningkatnya permintaan terhadap komoditas pertanian. Kalau produksi pertanian tidak meningkat, maka impor akan melonjak, dengan akibat timbulnya masalah neraca pembayaran (Rusastra, 1997). Bersamaan dengan negara-negara berkembang lainnya, Indonesia saat ini juga tengah berupaya dan berusaha menjawab tantangan pertama MDG’s (Millenium Development Goals), yaitu pengurangan angka kemiskinan pada tahun 2015 nanti. Dari tahun 1970-an sampai tahun 1996 terjadi penurunan angka kemiskinan dari 40 persen di tahun 1976 menjadi 11 persen di awal tahun 1996 (BPS). Tetapi adanya krisis perekonomian di tahun 1997-1998 lalu menyebabkan
IV-2
angka kemiskinan bertambah kembali. Kita ketahui bahwa kantong-kantong kemiskinan itu ada di daerah pedesaan, yang mayoritas penduduknya tergantung pada pertanian. Permasalahan yang terjadi pada sektor pertanian sampai saat ini, antara lain adalah : (1) Semakin meningkatnya RTP, sementara lahan pertanian relatif tetap, atau bahkan menurun akibat adanya konversi lahan ke non pertanian. Hal ini mengakibatkan pemilikan lahan semakin menurun; (2) Tenaga kerja muda dan berpendidikan tinggi semakin enggan bekerja di sektor pertanian; (3) Peranan sektor pertanian pada PDB semakin menurun, namun tidak diikuti menurunnya penyerapan tenaga kerja. Hal ini mengakibatkan rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian; (4) Upaya-upaya peningkatan produksi masih menghadapi berbagai kendala. Kondisi pertanian ke depan akan menghadapi permasalahan yang sama, atau bahkan permasalahan menyangkut lahan, tekonologi dan tenaga kerja akan semakin meningkat. Untuk itu diperlukan upaya-upaya terobosan kebijakan, pengembangan alsintan dan pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi. Di Indonesia, usaha pertanian sangat didominasi oleh usahatani rumah tangga. Boleh dikatakan, seluruh produksi bahan pangan domestik dihasilkan oleh usahatani rumah tangga. Andil perusahaan pertanian korporasi yang cukup signifikan hanyalah untuk beberapa komoditas perkebunan dan peternakan seperti kelapa sawit, teh dan ayam ras. Oleh karena itu, kinerja sektor pertanian secara umum dan khsususnya keberhasilan pembangunan pertanian dalam mewujudkan tujuan mantapnya sistem ketahanan pangan nasional dan meningkatnya pendapatan petani sangat ditentukan oleh kinerja usahatani rumah tangga. Determinan kapasitas kinerja usahatani rumah tangga adalah kualitas dan status kepemilikan aset produktif basis usahatani dan sumber pendapatan rumah tangga lainnya. Jumlah agregat dan distribusi kepemilikan dan penggunaan aset produktif tersebut juga merupakan determinan utama efisiensi, dan pertumbuhan produksi pertanian serta distribusi pendapatan di sektor pertanian dan wilayah pedesaan. Oleh karena itu, informasi dan pengetahuan yang akurat tentang evaluasi jangka panjang “state of the art” struktur kepemilikan aset, tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga pertanian sangatlah penting mengetahui keberhasilan pembangunan yang sudah diraih selama ini, serta kekuatan, tantangan dan peluang pembangunan dimasa mendatang. Untuk itu perlu dilakukan kajian komprehensif. Data komprehensif tentang kepemilikan aset, ketenagakerjaan dan pendapatan rumah tangga pertanian dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Sensus Pertanian setiap 10 tahun. Karena ketersediaannya, maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil dan Sensus Pertanian tahun-tahun 1983, 1993, dan 2003. Data deret waktu selama 20 tahun memadai untuk mengkaji perubahan struktur “state of the art” dan kecenderungan ke depan keadaan rumah tangga pertanian dan usahatani rumah tangga. 1.2. 1. 2. 3. 4. 5.
Tujuan Penelitian Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut : Menganalisis penguasaan dan pengusahaan lahan di tingkat rumah tangga petani Menganalisis ketenagakerjaan rumahtangga pertanian Menganalisis sumber-sumber pendapatan rumah tangga petani Menganalisis pemanfaatan teknologi di tingkat petani (penggunaan pupuk, benih, pestisida, alsintan) Merumuskan kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan ke depan.
IV-3
II. METODA PENELITIAN
2. 1. Kerangka Pemikiran Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam pembangunan pertanian ke depan utamanya dalam hal penyediaan bahan pangan antara lain adalah jumlah penduduk yang terus bertambah, diperkirakankan mencapai 238 juta jiwa pada tahun 2030. Selain dalam jumlah, tantangan penyediaan bahan pangan juga terkait dengan pertumbuhan pendapatan, perubahan preferensi konsumen dan pola hidup masyarakat yang akan mendorong pada perubahan pola permintaan pangan dalam hal ragam, jenis dan kualitas produk yang dihasilkan. Dalam kondisi demikian, tanpa upaya peningkatan produktivitas secara berkelanjutan disertai peningkatan kualitas produk pertanian sesuai kebutuhan konsumen maka pertumbuhan permintaan pangan yang pesat tidak dapat dipenuhi dari produksi pertanian bahan makanan domestik. Apabila hal itu terjadi maka ketergantungan Indonesia terhadap pasar dunia dalam pemenuhan pangan penduduk merupakan permasalahan serius dalam upaya memantapkan ketahanan pangan nasional. Permasalahan lain terkait dengan upaya peningkatan produksi bahan pangan di Indonesia adalah terjadinya stagnasi pertumbuhan produksi dan produktivitas padi secara nasional. Seperti diketahui, padi sebagai bahan baku pangan beras menempati posisi strategis dalam ekonomi pangan nasional. Posisi strategis tersebut terkait dengan kenyataan bahwa beras merupakan pangan pokok sebagian besar penduduk Indonesia, usahatani padi merupakan lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan sebagian besar petani di daerah pedesaan, pasar beras dunia merupakan pasar yang ‘tipis’, artinya suplai beras di pasar dunia hanya merupakan ‘sisa’ dari produksi negara produsen utama padi dunia setelah negara-negara tersebut memenuhi kebutuhan dalam negeri masing-masing. Dalam kondisi seperti itu maka apabila pemenuhan kebutuhan pangan beras Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pasar beras dunia dikawatirkan akan menyebabkan kerawanan pangan yang akan mengganggu stabilitas nasional. Isu penanganan masalah kerawanan pangan (kelaparan) dan penghapusan kemiskinan telah menjadi isu global seperti telah disepakati dalam Millenium Development Goals (MDGs). Bersamaan dengan itu, isu mengenai perubahan dan penurunan kualitas lingkungan juga menjadi isu yang banyak diangkat dalam perdagangan komoditas termasuk komoditas pertanian (bahan pangan) di pasar dunia. Dalam hal ini, produksi pertanian dalam persaingan pasar global perlu memperhatikan proses produksi yang ramah lingkungan. Dalam tataran domestik, pembangunan pertanian Indonesia dihadapkan pada berbagai perubahan kondisi sosial ekonomi petani dan usaha pertanian di pedesaan. Beberapa perubahan yang juga menjadi permasalahan dalam pembangunan pertanian di Indonesia antara lain adalah (1) Makin kecilnya pengusahaan dan penguasaan lahan pertanian per keluarga petani disebabkan ternyadinya fragmentasi dan tingginya laju konversi lahan ke penggunaan non pertanian, (2) Tenaga kerja pertanian didominasi oleh tenaga kerja usia tua serta tidak tertariknya tenaga kerja muda untuk bekerja di sektor pertanian, (3) Ada kecenderungan menurunnya penggunaan berbagai input produksi (pupuk dan pestisida) disebabkan daya beli dan nilai tukar petani yang makin menurun, dan (4) Produktivitas tenaga kerja pertanian relatif rendah dibanding sektor non pertanian mengakibatkan pendapatan rumah tangga petani yang rendah. Berbagai permasalahan tersebut secara simultan menyebabkan kondisi petani Indonesia yang secara ekonomi kurang beruntung. Dalam hal ini di antara penduduk miskin yang ada di Indonesia, jumlah terbesar merupakan penduduk di daerah pedesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian. Menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan pembangunan pertanian di Indonesia seperti telah diuraikan di atas, ke depan dituntut perlunya perubahan strategi pembangunan pertanian dan pedesaan yang mampu memecahkan permasalahan tersebut. Secara umum strategi pembangunan yang perlu dikembangkan adalah pendekatan yang mengedepankan kepentingan
IV-4
penduduk miskin termasuk di dalamnya rumah tangga petani (pro-poor growth strategy). Dalam kaitan tersebut, pola pemberdayaan petani dengan pendekatan partisipatif untuk menangkap kebutuhan petani sesuai dengan kapasitas sumberdaya yang ada merupakan pendekatan pembangunan pertanian dan pedesaan yang diduga akan terlanjutkan (sustainable). Bersamaan dengan itu, upaya peningkatan kualitas sumberdaya lahan melalui penerapan pupuk berimbang spesifik lokasi sesuai dengan kebutuhan diharapkan dapat menjamin kapasitas produksi sesuai dengan kaidah konservasi dan ramah lingkungan. Reforma agraria yang telah lama dijadikan wacana perlu dipertimbangkan implementasinya, dalam kerangka meningkatkan skala usahatani yang optimum dalam usaha produksi pertanian. Selain itu, untuk meningkatkan aksesibilitas wilayah serta memperlancar arus distribusi produk maupun input produksi, pengembangan sarana dan prasarana dan infrastruktur pertanian (sarana irigasi, jalan, pasar, sarana telekomunikasi) menjadi prasyarat pelancar pembangunan pertanian dan pedesaan. Hal penting lain yang diharapkan dapat memicu peningkatan produksi dan produktivitas pertanian adalah pengembangan dan pemasyarakatan sistem inovasi teknologi pertanian. Akselerasi program rintisan diseminasi teknologi pertanian (Prima Tani) merupakan strategi yang diharapkan mampu mengatasi masalah transfer teknologi dan pengembangan kelembagaan agribisnis di pedesaan. Dengan strategi pembangunan pertanian dan pedesaan seperti diuraikan di atas, ke depan diharapkan pendekatan tersebut mampu mencapai sasaran akhir dari pembangunan pertanian yaitu peningkatan kesejahteraan petani dengan mencapai ketahanan pangan yang mantap, masalah kemiskinan teratasi dan keberlajutan usahatani terjamin dengan mengedepankan masalah kelestarian sumberdaya dan ekologi pertanian. Secara diagramtis, kerangka pemikiran seperti diuraikan di atas dapat disimak pada Gambar 1.
IV-5
Dinamika Sosek (1973-2003): - Sosek Usahatani - Sosek ruta pertanian - Sosek Pedesaan/Wilayah
Isu Pembangunan : • Stagnasi ekonomi padi • Sumber pertumbuhan baru • Kemiskinan/perubahan lingkungan
Strategi Pembangunan Pertanian/ Pedesaan
Peningkatan Produksi Pertanian - Sumberdaya Lahan (luas & kualitas) - Infrastruktur (irigasi/jalan/telekomunikasi) - Sistem inovasi (R&D + Extension) - Pro-Poor Growth Strategy
Sasaran Akhir : • Ketahanan pangan • Pengentasan kemiskinan • Keberlanjutan ekologi/usaha tani
Gambar 1.
Keterkaitan antara Isu Pembangunan, Dinamika Sosial Ekonomi, Peningkatan Produksi Pertanian dan Sasaran Akhir Pembangunan Nasional
2.2.
Data dan Sumber Data Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data hasil sensus pertanian (SP) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data dan informasi yang digunakan adalah data olahan hasil SP tahun 1983, 1993 dan 2003. Selain menggunakan data tersebut sebagai data dasar, untuk mendukung analisis digunakan juga informasi terkait baik data maupun dari laporan hasil penelitian sebelumnya yang merupakan hasil survei yang dilakukan BPS maupun yang dilakukan oleh PSE-KP, seperti Panel Petani Nasional (PATANAS). Demikian pula, data dasar hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2003 serta profil rumah tangga pertanian yang telah dihasilkan oleh Pusat Data dan Informasi Pertanian (PUSDATIN) bekerjasama dengan BPS digunakan dalam penelitian ini. Untuk melihat aspek ketenaga kerjaan, karena data Sensus Pertanian tentang ketenaga kerjaan sangatlah terbatas maka dilengkapi dengan menggunakan data Survey Tenaga Kerja
IV-6
Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan BPS pada titik tahun yang sama dengan Pertanian.
Sensus
2.3. Metoda Analisis Secara umum data Sensus Pertanian dianalisis dengan menggunakan metoda statistik deskriptif. Komparasi antara titik tahun dilakukan sesuai dengan ketersediaan data sehingga diperoleh gambaran keragaan perubahan struktur dan indikator-indikator ekonomi pedesaan. Hal ini dilakukan agar dapat men ”assess” dan mempelajari secara tepat hasil-hasil pembangunan pertanian selama tiga dasawarsa terakhir ini. Untuk dapat melihat dinamika sosial ekonomi pedesaan secara utuh dan melihat ke masa depan melalui alternatif-alternatif yang ada, maka digunakan metoda analisa prospektif partisipatif (participatory prospective analysis=PPA). Analisa ini menjadi penting karena dimungkinkan untuk mempertimbangkan alternatif masa depan dengan merancang tindakan saat ini yang terkait untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Secara umum, penggunaan kemampuan untuk melihat ke masa depan adalah suatu proses dimana seseorang dapat lebih memahami kekuatan yang membentuk masa depan berdimensi panjang, berdasarkan pemantauan terhadap faktor-faktor kunci dan berbagai indikator tentang tren dan perkembangan yang sedang berlangsung (Bourgeois, R. 2007). Analisis prospektif dapat digunakan sebagai alat untuk mengeksplorasi, mengantisipasi perubahan melalui skenario atau sebagai alat normatif dari pendekatan normatif berorientasi pada tindakan yang dimulai dari visi terpilih mengenai masa depan dan menentukan jalur untuk mencapainya (Business Digest, 2002 dalam Bourgeois, R. 2007). Dengan demikian, analisis prospektif biasanya tidak berfokus pada optimisasi solusi, tetapi pada penyediaan berbagai macam pilihan dan tujuan bagi para pembuat keputusan dan turut merancang serangkaian alternatif ketimbang memilih alternatif terbaik di dalam suatu perangkat yang telah didefinisikan terlebih dahulu. Tahapan yang telah dilakukan tim penelitian Dinamika Sosial Ekonomi PedesaanAnalisis Perbandingan Antar Sensus Pertanian dalam menggunakan metoda Analisa Prospektif Partisipatif (APP) adalah sebagai berikut: (1) menetapkan atau mendefinisikan batas-batas sistem terlebih dahulu, (2) mengidentifikasi variabel-variabel, (3) menseleksi dan mendefinisikan variabel-variabel utama atau kunci, (4) menganalisis pengaruh timbal balik, termasuk di dalamnya interpretasi hubungan pengaruh/kebergantungan, dan (5) membangun dan menggunakan skenario.
Grafik 9. Signifikansi variabel menurut tempatnya dalam grafik I/D
IV-7
2.4. Cakupan Analisis dan Pemilihan Lokasi Penelitian Dinamika Sosial Ekonomi Pedesaan selama tahun 1983 dan 1993 ditampilkan dalam bentuk yang sederhana, yaitu dengan cakupan: (1) Jawa, (2) Luar Jawa, dan (3) Indonesia. Sedangkan untuk tahun 2003 karena memiliki ketersediaan data yang berbeda maka ditampilkan dengan lebih detail lagi, yaitu berdasarkan sub-sektor pertanian, yaitu (i) sub-sektor tanaman pangan, (ii) sub-sektor hortikultura, (iii) sub-sektor perkebunan, dan (iv) sub-sektor peternakan. Khusus untuk mengkaji aspek teknologi, diputuskan untuk ditampilkan menurut 3 komoditas utama untuk masing-masing sub-sektor. Untuk sub-sektor tanaman pangan, komoditasnya adalah padi, jagung dan kedelai; untuk sub-sektor hortikultura, cakupan komoditasnya adalah kentang, bawang dan cabai merah; untuk sub-sektor perkebunan, cakupan komoditasnya adalah kelapa, kakao dan karet; untuk sub-sektor peternakan, cakupan komoditasnya adalah sapi, kambing/domba dan ayam buras. Demikian pula untuk melihat aspek ketenaga kerjaan, karena data Sensus Pertanian tentang ketenagakerjaan sangatlah terbatas dan belum komprehensif, maka analisis telah dilengkapi juga dengan menggunakan data dan hasil Survey Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan BPS pada titik tahun yang sama dengan Sensus Pertanian. Lokasi penelitian yang ditujukan untuk verifikasi dan klarifikasi data pada aspek ketenagakerjaan, pendapatan, penguasaan lahan dan penggunaan teknologi di sektor pertanian. Hal ini juga dilakukan untuk memperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika sosial ekonomi pertanian (sebagai peubah kunci), termasuk wawancara dengan para stakeholders yang berkompeten di PemDa (seperti Kepala Dinas setempat yang mewakili expert/keahlian di bidangnya) untuk menggunakan alat APP (Analisa Prospektif Partisipatif). Secara purposive, lokasi penelitian adalah Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Sulawesi Selatan. Format tabel dan cakupan analisis Sensus Pertanian 2003 menampilkan juga keadaan atau keragaan ke empat Provinsi tersebut di atas.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pertanian Bahasan ini mencakup tiga hal pokok terkait dengan ekonomi lahan, yaitu: dinamika konversi lahan pertanian; dinamika distribusi penguasaan lahan; dan dinamika luas penguasaan lahan pertanian. Ketiga aspek ini akan dibahas secara spesifik dengan kemungkinan mempertimbangkan keterkaitan satu aspek dengan aspek lainnya. Ketiga aspek ekonomi lahan tersebut pada dasarnya memiliki keterkaitan. Semakin besar proporsi rumah tangga dengan status petani sempit akan mendorong distribusi penguasaan lahan yang semakin pincang, dan selanjutnya eksistensi petani sempit akan mendorong konversi lahan pertanian. 3.1.1. Dinamika Konversi Lahan Pertanian Selama periode 1983-2003, dalam periode sepuluh tahun pertama konversi lahan pertanian non-perkebunan besar mencapai 1,28 juta hektar. Sebagian besar konversi lahan terjadi di Jawa (79,3%), dan dilihat dari jenis lahan, 68,3% adalah lahan sawah (Anon, 1996). Pada dasawarsa berikutnya (1993-2003), besaran konversi lahan relatif tidak mengalami perubahan yang berarti, yaitu sebesar 1,26 juta hektar, dan sebagian besar terjadi di Sumatera (92,3%) (Tabel 4.2.1). Sejalan dengan dinamika pembangunan, nampaknya proporsi dominan konversi lahan pertanian bergeser dari Jawa ke luar Jawa, dalam hal ini Sumatera. Di Jawa sendiri menurut Nasution (2004) dalam periode 1998 – 2004 konversi lahan sawah mencapai 142 ribu hektar, atau sekitar 23,7 ribu hektar per tahun, atau sekitar 61,2% rataan konversi lahan periode 1993 – 2003 yang besarnya 38,7 ha/tahun. Jadi tampak bahwa konversi lahan pertanian produktif, khususnya di Jawa masih tetap tinggi.
IV-8
Tabel 3.1.1. Konversi Lahan Pertanian di Indonesia, 1983-2003 (Hektar) Wilayah
Total lahan pertanian SP 19831) SP 19932) SP 20033)
Konversi lahan 1983-1993 1993-2003
Jawa Bali & Nusa Tenggara
5.422.449
4.407.029
4.019.887
-1.015.420
-387.142
1.208.164
1.060.218
1.095.551
-147.946
+35.293
Sumatera
5.668.811
5.416.601
4.249.706
-252.210
-1.166.895
Sulawesi
1.637.811
1.772.444
2.184.508
+134.693
+412.064
Kalimantan
2.222.153
2.191.596
2.096.230
-30.557
-95.357
Maluku
378.662
400.339
351.970
+21.717
-48.369
Irian Jaya
166.322
175.777
142.043
+9.455
-33.734
16.704.272
15.424.004
16.704.272
-1.280.268
-1.264.140
INDONESIA Sumber:
Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta: 1) Sensus Pertanian Seri J3, 1983; 2) Sensus Pertanian Seri J3, 1993; 3) Sensus Pertanian Seri A3, 2003.
Tingginya konversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah produktif, menambah beban pencapaian swasembada pangan (beras) nasional. Pada kondisi pilihan terbuka bagi investor, maka konversi lahan pertanian di Jawa dengan infrastruktur fisik yang baik, sulit untuk dapat dihindari. Opsi kebijakan yang dapat dipertimbangkan adalah pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi, padat teknologi dan manajemen, dengan sasaran efisiensi dan daya saing yang tinggi (Kasryno, 1996). Kelangkaan lahan pertanian di Jawa, perlu dikompensasi dengan pengembangan lahan pertanian baru di luar Jawa. Pengembangan lahan pertanian ini secara ekonomis, dalam jangka pendek, perlu mempertimbangkan peningkatan kemampuan lahan pertanian yang telah ada dalam pemanfaatan sarana dan infrastruktur irigasi yang telah dibangun namun belum dimanfaatkan secara maksimal (Pasandaran, 1988). Pembahasan konversi lahan pertanian, tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan neraca penggunaan lahan. BPN (2001) dalam Silalahi (2006) menunjukkan bahwa dari 191 juta hektar lahan yang tersedia di Indonesia, proporsi peruntukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah adalah 35,4% (67 juta hektar) untuk zona konservasi, dan 64,6% (123 juta hektar) untuk zona kultivasi. Dalam kenyataannya, 18,4% atau 12 juta hektar lahan di zona konversi telah dimanfaatkan, dan 57,7% atau 71 juta hektar lahan di zona kultivasi belum dimanfaatkan. Dalam konteks konversi lahan pertanian, masih terbuka luas pengembangan lahan pertanian baru, dengan luasan tidak kurang dari 71 juta hektar. 3.1.2. Distribusi Penguasaan Lahan Dinamika distribusi penguasaan lahan pertanian selama tiga puluh tahun terakhir (19732003) di Indonesia memberikan beberapa informasi menarik (Tabel 4.2.2) sebagai berikut: (1) Gini rasio penguasaan lahan meningkat secara konsisten dari 0,5481 menjadi 0,7171; (2) Gini rasio di Jawa secara konsisten lebih tinggi dibandingkan dengan di luar Jawa, di mana pada tahun 2003 yaitu 0,7227 vs. 0,5816; (3) Rumah tangga dengan luas penguasaan lahan < 0,10 hektar adalah sumber ketimpangan distribusi penguasaan lahan, khususnya di Jawa; (4) Di Jawa, ketimpangan tinggi penguasaan lahan terjadi sejak 1993, sedangkan di luar Jawa terjadi sejak 2003 (Gini rasio > 0,50, menurut Oshima, 1976).
IV-9
Tabel 3.1.2. Gini Rasio Distribusi Penguasaan Lahan Pertanian (Total Lahan Sawah dan Lahan Kering) di Indonesia, 1973-2003 Deskripsi Jawa 1. Tanpa luas lahan < 0,10 hektar 1973a) 0,4371 1983a) 0,4557 b) 1993 0,2810 2003c) 0,3001 1. Total rumah tangga 1973a) 0,4479 1983a) 0,4901 1993b) 0,5588 2003c) 0,7227 Sumber:
Luar Jawa
Indonesia
0,4684 0,3123 0,4036
0,5368 0,4925 0,4995 0,4046
0,4786 0,4774 0,5816
0,5481 0,5047 0,6432 0,7171
Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta: a) Sensus Pertanian 1973 dan 1983 (Santoso, 1985, Sajogyo, 1988) b) Sensus Pertanian 1993 (Proses data) c) Sensus Pertanian 2003Seri A3 (Proses data).
Distribusi penguasaan lahan menurut jenis lahan dan wilayah, selama sepuluh tahun terakhir (1993-2003), memberikan beberapa indikasi (Tabel 3.1.3) sebagai berikut: (1) di Jawa, gini rasio lahan sawah vs. Lahan kering relatif sama, dan tidak ada perbaikan selama sepuluh tahun terakhir; (2) Di luar Jawa, giri rasio lahan sawah mengalami penurunnan secara konsisten dari 0,7154 menjadi 0,4784, sedangkan untuk lahan kering relatif konstan pada tingkat 0,5700; (3) Walaupun distribusi penguasaan lahan sawah di luar Jawa mengalami perbaikan pada tahun 2003, tetapi gini rasionya mendekati garis batas (threshold level) 0,50 (Oshima, 1976); (4) Secara umum dapat dinyatakan bahwa ketimpangan distribusi penguasaan lahan sawah dan lahan kering, di Jawa dan luar Jawa adalah relatif tinggi (Gini rasio > 0,50). Tabel 3.1.3. Deskripsi 1993
2003
Gini Rasio Distribusi Penguasaan Lahan Pertanian Menurut Indonesia, 1993-2003 Jawa Luar Jawa 1. Tanpa luas lahan < 0,10 hektar - Lahan sawah 0,2793 0,2357 - Lahan kering 0,2891 0,3318 - Total lahan 0,2809 0,3123 2. Total rumah tangga - Lahan sawah 0,5928 0,7154 - Lahan kering 0,6079 0,5791 - Total lahan 0,5580 0,4774 1. Tanpa luas lahan < 0,10 hektar - Lahan sawah 0,2225 0,3464 - Lahan kering 0,2601 0,4197 - Total lahan 0,3001 0,4036 2. Total rumah tangga - Lahan sawah 0,6323 0,4784 - Lahan kering 0,5544 0,5725 - Total lahan 0,7227 0,5816
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta : (data dalam proses) : 1) Sensus Pertanian 1993 2) Sensus Pertanian 2003
IV-10
Jenis Lahan di Indonesia 0,4470 0,5167 0,4495 0,8002 0,7089 0,6432 0,2626 0,4278 0,4046 0,5627 0,8462 0,7171
3.1.3. Dinamika Ruta dan Luas Penguasaan Lahan Perkembangan ruta (rumah tangga pertanian) menurut luas penguasaan lahan, 1983 2003, pada Tabel 3.1.4 menunjukkan bahwa: (1) Secara agregat, pada sepuluh tahun terakhir, 1993 - 2003, terdapat indikasi polarisasi penguasaan lahan yang semakin serius; (2) Fakta empirisnya adalah ruta dengan penguasaan lahan < 0,50 dan >2,0 hektar meningkat relatif tajam, masing-masing 31,95% dan 74,95%; (3) Sementara itu, katagori dengan luas 0,50 – 0,99 hektar dan 1,00 – 1,99 hektar, hanya meningkat sebesar 5,28% dan 10,48%; (3) Hal yang serupa juga terjadi di luar Jawa, yang diwakili oleh Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Tabel 3.1.4. Banyak Rumah Tangga Petani Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003
Propinsi
Golongan luas lahan
Jumlah rumah tangga 1983
1993
Jabar
2003
<0,50 2.305.065 2.557.823 1.630.281 0,50 – 0,99 674.801 544.761 465.297 1,00 – 1,99 393.820 242.540 194.910 >=2,00 173.595 90.853 76.317 Sumsel <0,50 156.152 186.860 39.00 0,50 – 0,99 79.176 192.596 135.616 1,00 – 1,99 144.026 245.753 257.892 >=2,00 185.122 179.812 323.995 Kalsel <0,50 85.787 143.009 180.449 0,50 – 0,99 67.735 92.150 98.953 1,00 – 1,99 72.108 69.259 87.031 >=2,00 53.464 35.061 77.062 Indonesia <0,50 6.412.246 10.631.887 14.028.589 0,50 – 0,99 3.671.243 4.348.303 4.578.053 1,00 – 1,99 2.922.294 3.132.145 3.460.406 >=2,00 2.168.315 1.601.409 2.801.627 Sumber: Sensus Pertanian 1983,1993 dan 2003, BPS, Jakarta.
19831993 41,39 (20,90) (38,41) (47,66) 300,39 143,25 70,63 (2,87) 66,70 36,04 (3,95) (34,42) 65,81 18,44 7,18 (26,15)
19932003 10,97 (12,83) (19,64) (16,00) 19,67 (29,59) 4,94 80,19 26,18 7,38 25,66 119,79 31,95 5,28 10,48 74,95
Dinamika ruta, luas lahan yang dikuasai dan rataan luas penguasaan lahan di Indonesia, selama dua dasawarsa terakhir (1983 - 2003), memberikan sejumlah informasi penting (Tabel 3.1.5) sebagai berikut: (1) Jumlah rumah tangga petani gurem mengalami peningkatan secara konsisten, yaitu untuk katagori penguasaan lahan < 0,10 hektar dari 7,30% menjadi 17,17%, dan untuk katagori 0,10 – 0,49 hektar dari 37,21% menjadi 39,24%; (2) Sementara itu petani dengan katagori penguasaan lahan > 2,0 hektar mengalami penurunan dari 13,46% menjadi 11,27%, namun luas lahan yang dikuasai sangat besar (mendekati 50,0%), walaupun sedikit menurun dari 49,42% menjadi 46,31%; (3) Rataan luas lahan yang dikuasai petani gurem untuk kedua jenis katagori, mengalami penurunan dari 0,05 hektar menjadi 0,02 hektar (untuk katagori ruta 0,01 ha) dan menurun dari 0,27 ha menjadi 0,09 ha untuk katagori ruta 0,10 – 0,49 ha; (4) Sementara itu, rataan luas penguasaan lahan petani luas (katagori ruta >2,0 ha) rataan penguasaan lahannya meningkat dari 2,80 hektar (1993) menjadi 3,26 hektar pada tahun 2003; (5) Katagori ruta dengan luas 0,50 – 0,99 hektar, rataan luas penguasaan lahannya juga mengalami peningkatan selama dua dasawarsa terakhir ini dari 0,66 hektar menjadi 1,00 ha; dan ruta dengan katagori 1,00 – 1,99 hektar, rataan luas penguasaan lahannya juga meningkat dari 1,29 hektar menjadi 1,44 hektar. Jadi secara umum distribusi penguasaan lahan antar kelompok petani nampak semakin timpang.
IV-11
Tabel 3..1..5. Jumlah Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan Menurut Luas Tanah yang Dikuasai, 1983, 1993 dan 2003 Tanah yang dikuas ai <0,10
0,10 – 0,49 0,50 – 0,99 1,00 – 1,99 >2,00
Keterangan:
1983 1 1.245.96 0 7,30 6.355.00 4 37,21 4.000.26 4 23,42 3.179.27 0 18,61 2.298.81 8 13,46 17.079.3 16 100,00
2
1993 3
1
63.722 0,38
0,0 5
1.703.67 8 10,12 2.655.35 2 15,77 4.087.77 0 24,27 8.331.72 6 49,47 16.842.2 48 100,00
0,2 7
1.594.37 5 7,54 7.986.51 0 37,75 4.373.20 3 20,67 4.422.49 3 20,90 2.779.39 0 13.14 21.155.9 71 100,00
0,6 6 1,2 9 3,6 2 0,9 9
2
2003 3
1
82.979 0,49
0,0 5
747.406 4,46
0,0 9
3.906.27 2 23,29 4.253.65 2 25,36 7.784.77 0 46,41 16.774.1 70 100,00
0,8 9
4.269.04 4 17,17 9.795.54 5 39,24 4.578.05 3 18,41 3.460.40 6 13,91 2.801.62 7 11,27 24.868.6 75 100,00
0,9 6 2,8 0 0,7 9
2*)
3
96.255 0,49
0,0 2
876.587 4,46
0,0 9
4.581.43 1 23,29 4.988.85 2 25,36 9.130.28 7 46,41 19.673.4 12 100,00
1,0 0 1,4 4 3,2 6 0,7 9
1=Jumlah rumah tangga; 2=luas tanah yang dikuasai; 3=Rata-rata luas tanah yang dikuasai *) Diperoleh dengan cara mengalikan total luas lahan yang dikuasai 2003 dengan proporsi 1993.
Informasi yang lebih detail tentang perkembangan rumah tangga pertanian, rumah tangga pengguna lahan, dan rumah tangga petani kecil (penguasaan lahan <0,50 ha) dalam sepuluh tahun terakhir (1993-2003) ditampilkan pada Tabel 3.1.6 dengan narasi ringkas (Tabel 3.1.6) sebagai berikut: (1) Di Jawa, proporsi ruta pengguna lahan terhadap rumah tangga pertanian mengalami penurunan dari 99,08% menjadi 95,79%; (2) Sementara itu proporsi ruta petani kecil terhadap ruta pengguna lahan meningkat dari 69,76% menjadi 74,68%; (3) Ruta petani gurem mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ruta pertanian dan ruta pengguna lahan pertanian, yaitu 2,16% vs. 1,81% dan 1,47%; (4) Di luar Jawa juga terjadi kecenderungan yang serupa, di mana proporsi petani kecil meningkat dari 30,57% menjadi 33,68%, dan bertumbuh dengan laju 3,05%; (5) Secara agregat nasional, proporsi petani kecil meningkat dari 52,66% menjadi 56,20%, dengan pertumbuhan 2,39%. Tabel 3.1.6. Proporsi dan Perkembangan Rumah Tangga Pengguna Lahan dan Petani Kecil (< 0,50 ha) Terhadap Total Rumah Tangga Pertanian, 1993-2003
1. 1993
2. 2003
Deskripsi a. Rumah tangga pertanian b. Rumah tangga pengguna lahan c. Rumah tangga petani kecil d. Proporsi ruta pengguna lahan terhadap ruta (%) e. Proporsi petani kecil terhadap ruta pengguna lahan (%) a. Rumah tangga pertanian
IV-12
Jawa 11.671 11.564 8.067
Luar Jawa 9.116 8.954 2.737
Indonesia 20.787 20,518 10,804
99,08
98,22
98,71
69,76
30,57
52,66
13.965
11.614
25.579
b. Rumah tangga pengguna lahan c. Rumah tangga petani kecil d. Proporsi ruta pengguna lahan terhadap ruta (%) e. Proporsi petani kecil terhadap ruta pengguna lahan (%) 3. Petani kecil terhadap pertumbuhan (%/thn) a. Rumah tangga pertanian b. Rumah tangga pengguna lahan c. Rumah tangga petani kecil
13.377 9.990
10.979 3.698
24.355 13.687
95,79
94,53
95,22
74.68
33,68
56,20
1,81 1.47 2.16
2,45 2,06 3,05
2,10 1,73 2,39
Sumber : Sensus Pertanian 1993 dan 2003. Angka Nasional Hasil Pendaftaran Rumah Tangga, Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta (2004)
Perkembangan jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan menurut jenis kegiatan, 1993-2003, memberikan beberapa informasi (Tabel 3.1.7), sebagai berikut: (1) Secara agregat, tahun 2003, rumah tangga dominan adalah ruta padi/palawija 39,09%, hortikultura 20,13%, dan perkebunan 16,61%; (2) Di luar ketiga sub sektor utama tersebut, proporsi ruta berikutnya adalah peternakan 14,05%, tanaman kehutananan 8,06%, ikan/biota di kolam air tawar/sawah 1,76%, dan ikan/biota di tambak air payau 0,36% dari total rumah tangga pertanian pengguna lahan yang besarnya 46,34 juta; (3) Pertumbuhan ketiga sub sektor dominan, 1993-2003, adalah 6,32%, 0,73% dan 2,36%/tahun; (4) Keempat subsektor lainnya bertumbuh dengan laju 1,76%, 14,44%, 0,36% dan 4,22%; (5) Di Jawa, ruta yang mengalami pertumbuhan relatif tinggi adalah budidaya tanaman kehutanan 13,05%, dan ruta hortikultura 7,06%; (6) Di luar Jawa, yang mengalami pertumbuhan tinggi adalah ruta budidaya tanaman kehutanan 19,79%, ruta ikan/biota di tambak air payau 7,70%, ruta hortikultura 6,35%, dan ruta perkebunan 4,07%/ tahun. Tabel 3.1.7. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan Menurut Jenis Kegiatan Antara ST93 dan ST03 (000) Uraian
Jawa
1. Sensus Pertanian 1993 a. Rumah tangga padi/palawija b. Rumah tangga hortikultura c. Rumah tangga perkebunan d. Rumah tangga budidaya tanaman kehutanan e. Rumah tangga peternakan/perunggasan f. Rumah tangga budidaya ikan/biota lain di kolam air tawar/sawah g. Rumah tangga budidaya ikan/biota lain di tambak air payau 2. Sensus Pertanian 2003 a. Rumah tangga padi/palawija b. Rumah tangga hortikultura c. Rumah tangga perkebunan d. Rumah tangga budidaya tanaman kehutanan e. Rumah tangga peternakan/perunggasan f. Rumah tangga budidaya ikan/biota lain di kolam air tawar/sawah g. Rumah tangga budidaya ikan/biota lain di tambak air payau 3. Rataan Pertumbuhan (%/tahun) a. Rumah tangga padi/palawija
IV-13
Luar Jawa
Indonesia
10.157 2.568 2.323 808 3.073 541
7.391 2,297 3,776 161 2.393 245
17.548 4.865 6.099 969 5.466 786
57
39
96
10.759 5.078 2.070 2.755 3.266 574
7.356 4.251 5.629 978 3.241 240
18.115 9.329 7.699 3.733 6.507 815
63
82
145
0,58
-0,05
0,32
b. c. d. e. f.
Rumah tangga hortikultura Rumah tangga perkebunan Rumah tangga budidaya tanaman kehutanan Rumah tangga peternakan/perunggasan Rumah tangga budidaya ikan/biota lain di kolam air tawar/sawah g. Rumah tangga budidaya ikan/biota lain di tambak air payau Sumber: Sensus Pertanian 1993 dan 2003,BPS, Jakarta
IV-14
7,06 -1,15 13,05 0,61 0,60
6,35 4,07 19,79 3,08 -0,20
6,73 2,36 14,44 1,76 0,36
1,06
7,70
4,22
3.2. Pendapatan 3.2.1. Struktur dan Dinamika Pendapatan Rumahtangga Selama kurun waktu 1983 ke 1993, terlihat adanya penurunan peran atau pangsa sektor pertanian dalam pendapatan rumahtangga, yaitu dari 54.97 menjadi 50 persen. Hal ini terutama disebabkan oleh menurunnya peran atau pangsa dari sub-sektor tanaman pangan terhadap total pendapatan rumah tangga pertanian, yaitu dari 29.07 menjadi 19.27 persen. Namun demikian, kecuali sub-sektor peternakan, peran atau pangsa sub-sektor pertanian lainnya (perkebunan, perikanan, dan kehutanan) mengalami peningkatan pada kurun waktu tersebut. Sumber pendapatan lainnya, seperti upah terlihat menurun cukup tajam dari 25 menjadi 9.43 persen; sedangkan pangsa dari kegiatan atau usaha nonpertanian meningkat dari 10.99 menjadi 23.38 persen. Dalam kurun waktu 1993 sampai 2003 terlihat bahwa peran atau pangsa sektor pertanian dalam pendapatan rumah tangga pertanian mengalami sedikit peningkatan menjadi 50.15 persen. Kita ketahui bahwa selama periode ini, perekonomian Indonesia mengalami krisis, sama seperti halnya negara-negara Asia Tenggara lainnya. Tetapi yang dapat disimak dari tabel di atas adalah bahwa peran atau pangsa sektor pertanian tetap menjadi penyumbang terbesar dalam pendapatan rumah tangga. Di dalam sektor pertanian itu sendiri, peran atau pangsa sub-sektor tanaman pangan masih dominan, namun demikian peran sub-sektor perkebunan mengalami peningkatan yang sangat tajam, yaitu dari hanya di bawah 5 persen menjadi tiga kali lipat-nya atau hampir mencapai 15 persen. Dari data Sensus Pertanian didapatkan juga hasil bahwa telah terjadi peningkatan peran atau share dari upah tenaga kerja/buruh, baik yang bekerja di pertanian maupun non-pertanian, yaitu dari menjadi 10.66 menjadi 24.42 persen. Dalam pada itu terjadi penurunan peran atau pangsa dari sektor non-usahatani dari 23.38 menjadi 16.51 persen dari pendapatan rumah tangga secara keseluruhan. Pada tahun 2003, struktur pendapatan rumah tangga di dominasi oleh pendapatan yang berasal dari sektor pertanian (50.15 persen), sedangkan sektor non-pertanian menyumbang sebesar 16.51 persen, dan kegiatan/aktivitas ekonomi lainnya menyumbang sebesar 14.96 persen terhadap total pendapatan rumah tangga. Tabel 3.2.1.
Struktur Pendapatan Rumah Tangga Menurut Region di Indonesia, 1983-2003 Persentase Pendapatan
Jawa
A. Aktivitas Usahatani - Tnm Pangan
Luar IndoLuar IndoJawa Jawa Jawa nesia Jawa nesia 47.84 61.76 54.97 40.65 58.85 50.00 24.95
20033) Luar Indo-nesia Jawa 53.67 50.15
29.01 29.12 29.07 22.20 23.12 47.36 12.71
35.91
37.00
- Perkebunan
7.72 19.72 13.86 6.48 23.04 4.81
4.81
29.52
16.09
- Peternakan
9.41
7.79
8.58
8.35
4.81
4.52
4.52
3.16
3.90
- Perikanan
1.23
3.82
2.56
2.39
6.47
1.94
1.94
4.13
2.94
- Kehutanan
0.47
1.32
0.90
1.23
1.41
1.38
1.38
0.28
0.87
B. Aktivitas NonUsahatani
12.65 9.41 10.99 14.08 7.58 23.38 23.38
8.52
16.30
Sumber Pendapatan
1)
19932)
1983
IV-15
C. Bukan Usaha
0.77
1.23
1.23
2.00
1.58
D. Buruh
30.71 19.56 25.00 26.11 18.09 9.43
9.43
4.94
7.38
E. Lainnya
8.03
8.53
8.29
13.96 12.55 13.24 15.96
11.55
14.24
TOTAL (Rp1,000 / 648 RumahTangga)
680
664
1,712 1,808 1,760 11,191 11,191
11,684
Sumber:
0.77
0.75
5.20
Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta:
2.93
1) Series I Sensus Pertanian 1983 2) Series D Sensus Pertanian 1993 3) Series C Sensus Pertanian 2003
Apabila di lihat menurut wilayah Jawa dan luar-Jawa, maka peran atau pangsa sektor pertanian dalam pendapatan rumahtangga di luar-Jawa didapatkan lebih besar dari pada di Jawa. Selama satu dekade terakhir ini telah terjadi pendapatan rumahtangga di luar-Jawa menjadi lebih dari dua kali lipat dari pendapatan rumahtangga di Jawa (24.95 versus 53.67 persen). Meskipun mengalami penurunan, namun demikian peran atau pangsa pertanian masih tetap dominan dalam struktur pendapatan rumahtangga, baik di Jawa maupun di luar-Jawa. Struktur pendapatan rumah tangga pertanian di empat propinsi contoh yang diambil pada tahun 2003 dapat diikuti pada tabel di bawah ini. Sama halnya dengan keadaan di Indonesia pada umumnya, di Provinsi Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan, sumber pendapatan rumah tangga yang dominan berasal dari aktivitas atau kegiatan usahatani. Walaupun tanaman pangan mendominasi kegiatan usahatani, namun di Provinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan terlihat bahwa aktivitas usahatani perkebunan memiliki kontribusi pangsa yang seimbang dengan aktivitas usahatani tanaman pangan. Hal ini berarti sumbangan pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari aktivitas menaman tanaman perkebunan sama besarnya dengan sumbangan pendapatan yang berasal dari tanaman pangan. Di Provinsi Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat, sumbangan aktivitas usahatani perkebunan terhadap total pendapatan rumahtangga masih lebih kecil dibandingkan sumbangan dari aktivitas tanaman pangan. Rata-rata pendapatan rumahtangga pertanian per tahun di ke empat propinsi contoh penelitian masing-masing adalah Rp 11,3 juta di Provinsi Sumatera Barat, Rp 8,6 juta di Provinsi Kalimantan Selatan, Rp 7,6 juta di Provinsi NTB; dan Rp 8,4 juta di Provinsi Sulawesi Selatan. Kecuali Provinsi Sumatera Barat, ke tiga Provinsi lainnya masih berada di bawah rata-rata pendapatan rumahtangga nasional (Rp 9,3 juta). Pendapatan rumah tangga yang terendah dari keempat propinsi contoh terdapat di Propinsi NTB yang hanya sebesar 80 persen dari pendapatan nasional Indonesia (Rp 7,6 juta). Tabel 3.2.2. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Pertanian Indonesia, 2003 Rata-rata Pendapatan per RT (2003) Sulsel
Indonesia
Sumbar
Kalsel
NTB
Sulsel
Indonesia
3.386
4.981
4.666
42,03
42,03
44,17
58,98
50,15
1.469
1.821
1.703
1.792
18,97
17,03
23,76
20,17
19,26
1.637
1.062
586
1.799
1.336
14,42
12,31
7,65
21,30
14,36
- Peternakan
516
351
469
438
338
4,55
4,07
6,12
5,19
3,63
- Perikanan
279
523
209
893
796
2,46
6,06
2,73
10,57
8,55
- Kehutanan
185
221
301
148
404
1,63
2,56
3,93
1,75
4,35
2.118
1.700
1.250
1.064
1.536
18,66
19,71
16,31
12,60
16,51
Sumbar
Kalsel
a. Aktivitas Usahatani
4.770
3.626
- Tanaman Pangan
2.153
- Tanaman Perkebunan
b. Usaha Non Usahatani
NTB
IV-16
c. Bukan Usaha/Buruh tani
1.476
679
493
d. Buruh (non Pertanian)
1.494
1.403
1087
e. Lainnya
1.491
1.219
1449
Total (Rp1000/Hh) ###### Sumber: BPS, Sensus Pertanian 2003.
8.627
7.665
297
691
13,01
7,87
6,43
3,52
7,43
1.109
1.581
13,16
16,26
14,18
13,13
16,99
994
1.392
13,14
14,13
18,90
11,77
14,96
8.445
9.305
######
######
######
######
Pertumbuhan pendapatan rumah tangga Indonesia selama kurun waktu 19831993 dan 1993-2003 secara rinci dapat diikuti pada Tabel 3.2.3 Pertumbuhan pendapatan rumahtangga yang disebabkan oleh pertumbuhan pendapatan dari sektor pertanian selama tahun 1993–2003 terlihat sangat pesat, yaitu sebesar 70.31 persen. Sangat pesat apabila dibandingkan dengan pertumbuhan pada satu dekade sebelumnya, yaitu periode 1983 – 1993 yang hanya sebesar 14.11 persen. Pertumbuhan pesat di dekade terakhir ini lebih banyak disebabkan oleh pertumbuhan yang sangat pesat dan nyata pada sub-sektor tanaman pangan, yaitu sebesar 116.46 persen. Pertumbuhan sub-sektor tanaman pangan di satu dekade sebelumnya (19831993) hanyalah 7.56 persen saja. Tabel 3.2.3. Pertumbuhan Pendapatan Rumah Tangga Pertanian Menurut Region dan Aktivitas di Indonesia, 1983-2003 Persentase Pertumbuhan Pendapatan 1983-1993 1)
Aktivitas Rumah Tangga Java
Off-Java
1993-2003 2) Indone-sia
Java
Off-Java
Indone-sia
A. Akt. Pertanian
12.45
15.33
14.11
107.72
66.78
70.31
- Tnman Pangan
10.21
11.11
7.56
160.12
86.14
116.46
- Perkebunan
12.20
21.12
18.70
49.19
69.31
61.21
- Peternakan
13.44
6.42
10.18
33.17
30.66
29.65
- Perikanan
41.25
35.00
36.47
54.73
29.51
33.47
- Kehutanan
60.00
17.78
28.33
79.47
2.29
2.24
B. Non-farm business
19.39
11.71
15.89
122.47
59.57
90.75
168.00
96.00
132.00
8.86
32.25
16.03
D. Workers (labours)
12.46
14.59
13.31
11.80
6.90
12.28
E. Others
35.96
29.14
32.36
81.17
46.97
61.40
TOTAL (Rp1,000 / Rumah Tangga)
16.42
16.59
16.51
69.74
51.90
56.39
C. Non business
Sumber: Diolah dari BPS, Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003.
Kegiatan non-pertanian juga mengalami peningkatan selama kurun waktu 1993-2003. Ini meningkat hampir dua kali lipat (90.75 persen), sedangkan pada periode 1983-1993 hanya meningkat sebesar 15.89 persen. Secara nominal, pendapatan rumahtangga pertanian meningkat lebih dari 50 persen selama periode 1993-2003. Pertumbuhan terlihat lebih cepat di Jawa (69.74 persen) daripada di
IV-17
######
luar Jawa (51.90 persen). Pada dekade terakhir pertumbuhan juga lebih cepat dibandingkan dekade sebelumnya. Namun demikian sektor pertanian tetap bertahan menjadi sumber utama pendapatan rumahtangga di pedesaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Hal yang sama juga dihasilkan oleh analisis Survei Pendapatan Petani, Sensus Pertanian 2003 (2004), sebanyak 2736 persen rumahtangga pedesaan di 6 Provinsi (Sumatera Barat, Banten, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan) menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian tanaman pangan sebagai sumber pendapatan yang utama. Namun demikian di 2 Provinsi lainnya (Sumatera Utara dan Sumatera Selatan), sub-sektor yang menjadi andalan atau sumber penghasilan utama adalah sub-sektor perkebunan. Suatu hal yang menarik yang ditelusuri dan dianalisis dari data Sensus Pertanian 2003 adalah bahwa peran atau pangsa dari upah (sebagai tenaga kerja pertanian) menjadi meningkat dalam satu decade terakhir, karena kegiatan ber buruh meningkat di beberapa Provinsi di Indonesia ( Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat). Ada sebanyak 2–11.5 persen rumahtangga pertanian yang merupakan buruh tani dan menggantungkan pendapatannya dari semata-mata kegiatan ber buruh tani saja karena tidak memiliki lahan pertanian ((SPP, SP. -2004). 2. Sumber Pendapatan dan Status Pekerjaan Rumah Tangga Pertanian Pada tahun 1983, sebesar 83 persen dari pendapatan rumahtangga pertanian bersumber dari sektor pertanian. Pada tahun 1993, persentase itu menurun menjadi 78 persen. Pada tahun 2003, persentase tersebut semakin menurun menjadi 69 persen. Tidak demikian halnya dengan peranan sektor non-pertanian yang semakin meningkat sepanjang waktu. Bila pada tahun 1983, peranan sektor non-pertanian adalah hanya sebesar 15 persen; maka pada tahun 1993, peranannya meningkat menjadi 20 persen. Pada tahun 2003, sektor non-pertanian menyumbang sebesar 24 persen atau kira-kira seperempat dari keseluruhan pendapatan rumahtangga pertanian di pedesaan Indonesia. Table 3.2.4. Sumber Pendapatan dan Status Pekerjaan Rumah Tangga Pertanian Indonesia, 1983-2003 A.
AGRICULTURAL SECTOR Status Pekerjaan 1983
Sumber Pendapatan
1993
2003
Labor
Self Empl
Total
Labor
Self Empl
Total
Labor
Self Empl
Total
A. Agricultural Sector
6.29
76.41
82.70
6.87
71.56
78.46
7.38
62.09
69.47
- Food crops
4.30
60.8
65.15
4.96
46.44
51.40
4.82
36.70
41.52
- Estate crops
1.27
9.94
11.21
1.26
1.26
13.96
0.99
16.10
17.09
- Livestock
0.03
1.91
1.94
0.04
0.04
8.23
0.80
3.90
4.70
- Fisheries
0.11
2.70
2.81
0.30
0.30
3.10
0.19
2.94
3.13
- Others
0.58
1.01
1.59
0.31
0.31
1.77
0.56
2.47
3.03
B.
NON-AGRICULTURAL SECTOR Status Pekerjaan 1983
Sumber Pendapatan Labor
Self Empl
1993 Total
Labor
IV-18
Self Empl
2003 Total
Labor
Self Empl
Total
B. Non-Agric. Sector 6.29
76.41
82.70
6.87
71.56
78.46
7.38
62.09
69.47
- Agric prod process. ind.
4.30
60.8
65.15
4.96
46.44
51.40
4.82
36.70
41.52
- Other Process. ind.
1.27
9.94
11.21
1.26
1.26
13.96
0.99
16.10
17.09
0.03
1.91
1.94
0.04
0.04
8.23
0.80
3.90
4.70
0.11
2.70
2.81
0.30
0.30
3.10
0.19
2.94
3.13
0.58
1.01
1.59
0.31
0.31
1.77
0.56
2.47
3.03
C. Income
1.74
0.00
1.74
1.41
0.00
1.41
6.04
0.00
6.04
TOTAL
15.56
84.94
100
17.08
82.92
100
23.98
76.02
100
- Trade - Transport, warehouse, commun. - Services (indiv., public, Social)
Sumber: Diolah dari BPS, Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003
Apabila ditelusuri dari status pekerjaan, maka terlihat bahwa pada umumnya atau kebanyakan pendapatan rumahtangga pertanian berasal dari kegiatan yang dikategorikan sebagai bekerja sendiri (self-employment activities) dari kegiatan usahatani. Rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian Indonesia di tahun 2003 adalah sebesar Rp. 8-13 juta per tahun. Sumber terbesar berasal dari sektor pertanian, yaitu sekitar 40-72 persen, baik itu sebagai kegiatan bekerja sendiri maupun sebagi upahan dalam kegiatan usahatani. Tabel 4.3.3. menunjukkan bahwa pada tahun 2003, sebanyak 69 persen dari total pendapatan rumah tangga pertanian berasal dari sektor pertanian, dan 24 persen berasal dari sektor lainnya (industri, perdagangan, angkutan dllnya), sedangkan 6 persen berasal dari pendapatan lainnya (berupa pensiun, sewa lahan, bunga, dan transfer). Peran dan pangsa kegiatan non-pertanian dalam memberikan sumbangan bagi pendapatan rumahtangga di pedesaan semakin meningkat dalam kurun 2 dekade terakhir ini. Jika pada tahun 1983, peran atau pangsa itu hanya sebesar 15 persen saja, maka pada tahun 1993 meningkat menjadi 20 persen, bahkan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 24 persen. Dari tabel tersebut dapat juga dilihat bahwa pendapatan rumahtangga pertanian yang berasal dari upah tenaga kerja meningkat dengan cepat dari tahun 1993 ke tahun 2003, yaitu dari 17 menjadi 24 persen. Komponen ini salah satunya berasal dari aktivitas transfer-income dari upah tenaga kerja. Sumber pendapatan rumah tangga pertanian di Propinsi lokasi contoh dapat diikuti pada Tabel 3.2.2 di atas tadi. Di Propinsi Sumatera Barat, 42 persen dari total pendapatan rumahtangga pertanian berasal dari kegiatan atau aktivitas usahatani. Hampir 20 persen dari total pendapatan rumah tangga berasal dari usaha non-pertanian. Pola yang sama juga dapat ditemui di Provinsi Kalimantan Selatan, NTB, dan Sulawesi Selatan. Namun apabila persentase di empat kegiatan selain aktivitas usahatani/pertanian tersebar merata di Provinsi Sumatera Barat, tidak demikian halnya fakta yang ditemukan di Provinsi NTB dan Kalimantan Selatan. Ke empat kegiatan lainnya tersebut (usaha non-usahatani, bukan usaha/buruh, buruh non-pertanian, dan lainnya) memiliki variasi persentase yang besar di Provinsi NTB dan Kalimantan Selatan, dimana pendapatan dari aktivitas/kegiatan buruh tani memiliki persentase terkecil, yaitu hanya sebesar 6 sampai 7
IV-19
persen saja menyumbang pada pendapatan rumahtangga di kedua Provinsi tersebut diatas. Dari Tabel 3.2.2 dapat ditelusuri pula bahwa lebih dari 50 persen sumber pendapatan rumahtangga pertanian berasal dari kegiatan usahatani, hampir 25 persen berasal dari kegiatan berburuh (baik buruh tani maupun non-pertanian) dan sisanya (sekitar 17-26 persen) berasal dari kegiatan non usahatani.
3.3. Dinamika Ketenagakerjaan Pertanian 3.3.1.
Dinamika Ketersediaan Tenaga Kerja Pertanian
Dinamika tenaga kerja pertanian terkait erat dengan dinamika rumah tangga pertanian, sebelum membahas tenaga kerja dibahas dinamika rumah tangga pertanian terlebih dahulu. Rumah tangga pertanian pada dua dasa warsa terakhir cenderung meningkat, dari 18.4 juta pada tahun 1983 menjadi 25.6 pada tahun 2003 atau meningkat sekitar 39 persen. Dalam periode 20 tahun tersebut, rumah tangga pertanian di luar Jawa meningkat dengan laju yang lebih besar dibandingkan dengan di Jawa, yaitu 28.4 vs 53.9 persen (Tabel 3.3.1). Hal ini antara lain disebakan karena lahan pertanian di Jawa semakin terbatas akibat pertambahan penduduk dan konversi lahan pertanian ke non pertanian. Seperti telah diuraikan sebelumnya, yang dimaksud dengan tenaga kerja di Indonesia adalah penduduk yang berumur 10 tahun lebih. Namun berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 1997, tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk berumur 15 tahun atau lebih. Namun dalam Sensus Pertanian, masih menggunakan batasan yang lama. Tenaga kerja (manpower) terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja (labor force) terdiri dari golongan yang bekerja, golongan menganggur dan mencari pekerjaan. Jumlah tenaga kerja pertanian di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 83.6 juta orang, menyebar relatif sama di Jawa dan luar Jawa (Tabel 3.3.1). Sementara itu, luas wilayah Jawa jauh lebih kecil dibandingkan dengan luar Jawa, dengan demikian kepadatan tenaga kerja per luasan lahan pertanian di Jawa jauh lebih tinggi dibandingkan luar Jawa. Dalam periode 20 tahun, tenaga kerja pertanian di Indonesia meningkat sekitar 26 persen, sementara peningkatan rumah tangga pertanian sebesar 39 persen. Hal ini mengindikasikan semakin kecil rata-rata tenaga kerja pertanian per rumah tangga, terutama di Jawa. Hal ini kemungkinan besar terkait dengan keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) pada tahun 1980an. Apabila dicermati antar wilayah, nampaknya pertumbuhan tenaga kerja pertanian di luar Jawa pada periode yang sama lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa, 50 persen vs 8 persen. Hal ini sesuai dengan pertumbuhan . rumah tangga pertanian di luar Jawa yang lebih tinggi. Tabel 3.3.1. Jumlah Rumah Tangga Pertanian dan Anggota Rumah Tangga Umur = 10 Tahun (Tenaga Kerja) , 1983-2003 Tahun/Wilayah 1983 1. Jawa 2. Luar Jawa 3. Indonesia 2003 1. Jawa 2. Luar Jawa
Rumah Tangga Pertanian
L
10,880 7,547 18,427
t.a.d t.a.d t.a.d
t.a.d t.a.d t.a.d
38,543 27,978 66,521
13.965 11.614
21,109 21,527
20,486 20,459
41,596 41,986
IV-20
ART = 10 tahun ke atas P Jumlah
3. Indonesia 25.579 42,637 Pertumbuhan 1983-2003 1. Jawa 28.35 2. Luar Jawa 53.89 3. Indonesia 38.81 Sumber : Sensus Pertanian, 1983 dan 2003, BPS Catatan: t.a.d :tidak ada data, data tahun 1993 tidak ada
40,945
83,582
-
7.92 50.07 25.65
Bahasan yang lebih rinci tentang tenaga kerja pertanian Indonesia tahun 2003 ditampilkan pada Tabel 3.3.2. .Proporsi tenaga kerja pertanian di Indonesia tahun 2003 sebesar 82 persen dari total anggota rumah tangga, sementara di Jawa sebesar 84 persen dan 79 persen di luar Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anggota rumah tangga adalah tenaga kerja. Proporsi tenaga kerja pertanian di Provinsi Sumatera Barat, NTB, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan relatif sama, berkisar antara 78-80 persen. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah tenaga kerja pertanian laki-laki dan perempuan. Tabel 3.3.2. Jumlah Anggota Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga Umur = 10 Tahun (Tenaga Kerja) Pertanian, 2003 (000 orang) Anggota Rumah Tangga Wilayah
Anggota Rumah Tangga = 10 tahun
Laki-laki
Perempuan
Total
Laki-laki
Perempuan
Total
Jawa
24,922
24,118
49,040
Luar Jawa
26,944
25,732
52,675
21,109 (84.70) 21,527 (79.90)
20,486 (84.94) 20,459 (79.51)
41,596 (84.82) 41,986 (79.71)
Sumatera Barat
1,391
1,413
2,804
NTB
1,113
1,122
2,235
1,104 (79.37) 869 (78.08)
1,133 (80.18) 901 (80.30)
2,238 (79.81) 1,770 (79.19)
869
841
1,710
698 (80.32)
681 (80.98)
1,379 (80.64)
Sulawesi Selatan
2,625
2,643
5,268
2,057 (78.36)
2,095 (79.27)
4,152 (78.82)
Indonesia
51,866
49,850
101,71 6
42,637 (82.21)
40,945 (82.14)
83,582 (82.17)
Kalimantan Selatan
Sumber : Sensus Pertanian 2003, BPS (dolah) Catatan: (....) : menunjukkan proporsi terhadap Anggota Rumah Tangga
3.3.2.
Dinamika Tenaga Kerja Pertanian yang bekerja di Sektor Pertanian Menurut Subsektor
Dari total tenaga kerja pertanian yang ditampilkan pada Tabel 3.3.1. ternyata tidak seluruhnya bekerja. Secara garis besar, jenis kegiatan dari tenaga kerja pertanian dibedakan
IV-21
menjadi tiga kelompok yaitu petani, buruh tani dan buruh non pertanian. Pada tahun 1983, dari jumlah tenaga kerja pertanian yang bekerja, sebagian besar bekerja sebagai petani (67%), buruh tani (21%) dan buruh non pertanian sebesar 11 persen. Di Jawa pada tahun yang sama, dibandingkan dengan gambaran nasional, proporsi petani lebih kecil, sementara proporsi buruh tani lebih tinggi, hal yang sebaliknya terjadi di Luar Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa daya dukung sektor pertanian di Jawa sudah semakin terbatas. Pada tahun 2003, secara nasional proporsi petani menurun (60%), sementara proporsi buruh tani (25%) dan buruh non pertanian (15%) meningkat. Kecenderungan yang sama juga terjadi di Jawa dan luar Jawa, namun di luar Jawa proporsi petani masih lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa, dan sebaliknya untuk proporsi buruh tani dan non pertanian. Tabel 3.3.3. Pekerja Pertanian Menurut Jenis Kegiatan, Tahun 1983-2003 Tahun/ Wilayah
000 orang
Petani Pangsa (%)
Buruh tani 000 Pangsa orang (%)
1983 Jawa 15,032 62.57 6,115 Luar Jawa 11,503 75.56 2,177 Indonesia 26,535 67.61 8,292 2003 Jawa 17,395 9,187 54.15 Luar 17,597 5,180 Jawa 68.03 Indonesia 34,992 14,367 60.34 Pertumbuhan 1983-2003 Jawa 15.720 50.237 52.977 137.942 Luar Jawa Indonesia 31.871 73.263 Sumber : Sensus Pertanian, 1983 dan 2003
Buruh Non Pertanian 000 Pangsa orang (%)
Total 000 orang
25.45
2,879
11.98
24,026
14.30 21.13
1,544 4,422
10.14 11.27
15,224 39,249
28.60
5,541 3,089
17.25
32,123
11.94 14.88
25,866 57,990
20.03 24.77
8,631 92.463 100.065
33.70 69.90
95.183
47.75
Dalam periode 20 tahun, terjadi pergeseran yang cukup signifikan, proporsi petani menurun dan buruh tani meningkat baik di Indonesia, Jawa maupun Luar Jawa. Ada gejala lain, yaitu meningkatnya proporsi buruh non pertanian di Indonesia, hal ini disebabkan karena meningkatnya proporsi buruh non pertanian di Jawa. Fenomena ini menunjukkan bahwa gi Jawa telah terjadi pergeseran tenaga kerja dari pertanian ke non pertanian. Kajian-kajian Malian et.al (2004); Rusastra dan Suryadi (2004), Rusastra et.al (2005), Bappenas (2006). menunjukkan kecenderungan yang sama. Hal ini antara lain disebabkan karena semakin terbatasnya lahan pertanian, semakin terbukanya kesempatan lerja non pertanian, serta semakin meningkatnya pendidikan. Sementara di Luar Jawa, proporsi buruh non pertanian relatif tetap. Kasus di Luar Jawa, dari provinsi contoh terlihat bahwa di Provinsi Sumatera Barat, NTB, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan jenis kegiatan petani masih dominan (77-88%) dibandingkan dengan kegiatan buruh pertanian (7-17%) dan non pertanian (4-6%), seperti terlihat pada Tabel 3.3.4. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian di luar Jawa masih merupakan kesempat-an kerja utama, dan kesempatan kerja non pertanian masih terbatas. Temuan dari Rusastra, et.al (2005) juga menunjukkan hal yang sama. Tabel 3.3.4. Anggota Rumah Tangga Umur = 10 Tahun Menurut Jenis Kegiatan, Jenis Kelamin, di Empat Provinsi Contoh Tahun 2003 (000 orang)
IV-22
Jenis Kegiatan
Sumatera Barat 82.84 1,391 1,413 2,804 11.82 243 157 400 5.35
NTB
1. Petani (%) Laki-laki Perempuan Total 2. Buruh Pertanian (%) Laki-laki Perempuan Total 3. Buruh Non Pertanian (%) Laki-laki 126 Perempuan 55 Total 181 Sumber : Sensus Pertanian 2003, BPS.
77.63 1,113 1,122 2,235 17.05 241 249 491 5.31
Kalimantan Selatan 81.47 869 841 1,710 12.48 150 111 262 6.05
Sulawesi Selatan 88.26 2,625 2,643 5,268 7.74 271 190 462 4.00
121 33 153
104 23 127
187 52 239
Apabila diperinci menurut jenis kelamin, terlihat bahwa pada semua jenis kegiatan dan di semua wilayah, pekerja laki-laki lebih besar dibandingkan dengan pekerja perempuan. Sementara jumlah tenaga kerja laki-laki dan perempuan relatif sama. Hal ini menunjukkan tingkat partisipasi kerja perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini diduga terkait dengan budaya di daerah-daerah tertentu, dimana perempuan diposisikan bukan sebagai angkatan kerja. Oleh karena ada keterbatasan data Sensus Pertanian, untuk membahas penyerapan tenaga kerja menurut sub sektor dan komoditas maka digunakan data dari Tabel I-O 1971-2000. Tabel IO hanya dapat memberikan gambaran penyerapan tenaga kerja di tingkat nasional. Pada sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja masih didominasi oleh sub sektor tanaman pangan dengan kisaran 75-91 persen (Tabel 3.3.5.). Dalam periode 1971-2000 menunjukkan gejala penurunan, dari 91 persen pada tahun 1971 menjadi 75 persen pada tahun 2000, namun masih dominan dibandingkan dengan sub sektor lainnya. Penyerapan tenaga kerja yang berkembang adalah subsektor perkebunan dan peternakan, sementara penyerapan tenaga kerja subsektor lainnya masih relatif kecil. Tabel 3.3.5. Distribusi Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian Menurut Sub Sektor , 19712000 (Persen) Subsektor 1971 1980 1990 Tanaman pangan 91.44 82.05 75.96 Tanaman perkebunan 4.63 9.7 10.51 Tanaman lainnya 0.11 0.39 0.61 Peternakan 1.23 4.05 8.05 Perikanan 2.12 2.77 3.13 Kehutanan 0.48 1.04 1.73 26,474 37,260 41,039 Total Tenaga Kerja (000 oang) Sumber: Tabel I-O 1971 – 2000, dalam Malian et. al, 2004 (diolah)
2000 74.76 11.67 0.65 8.08 3.27 1.57 40,971
Distribusi penyerapan tenaga kerja menurut komoditas pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan ditampilkan pada Tabel 3.3.6 dan 3.3.7. Pada subsektor tanaman pangan, pada periode 1971-2000 3 komoditas utama yang menyerap tenaga kerja terbesar adalah padi, umbi-
IV-23
umbian, sayuran dan buah-buahan. Proporsi penyerapan tenaga kerja pada komoditas padi meningkat, dari 31 persen pada tahun 1971 menjadi 36 persen pada 1980, sementara pada periode tahun 1980-2000 relatif tetap. Pada komoditas umbi-umbian, proporsi cenderung menurun dari 24 persen pada tahun 1971 menjadi 11 persen pada periode 1980-2000. Secara umum, penyerapan tenaga kerja pada komoditas palawija (jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian) cenderung menurun tajam pada periode 1971-1980, yaitu dari 36 persen menjadi 22 persen, dan terjadi peningkatan pada tahun 1990, dan akhir-akhir ini cenderung terjadi penurunan lagi. Proporsi penyerapan tenaga kerja pada komoditas sayuran dan buah-buahan pada periode yang sama cenderung meningkat (29% pda tahun 1971 menajdi sekitar 35 persen pada periode 19802000). Tabel 3.3.6. Distribusi Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Komoditas pada Subsektor Tanaman Pangan 1971 – 2000 (Persen) Sektor
1971
1980
Padi 30.94 36.32 Tanaman kacang-kacangan 7.09 0.54 Jagung 4.36 10.33 Tanaman umbi-umbian 24.60 11.26 Sayur-sayuran dan buah-buahan 29.00 34.73 Tanaman bahan makanan lain 4.01 6.82 Total (000Jiwa) 24,207 30,572 Sumber: Tabel I-O 1971 – 2000, dalam Malian et. al, 2004 (diolah).
1990
2000
36.11 7.01 10.40 11.23 34.74 0.51 31,174
36.96 7.43 7.57 11.69 35.78 0.57 30,631
Pada subsektor perkebunan, pada awal tahun 1970an komoditas yang menyerap tenaga kerja relatif besar (masing-masing sekitar 20% dari total tenaga kerja di subsektor perkebunan) adalah kelapa, karet, tembakau. Dalam perkembangannya, penyerapan tenaga kerja pada ketiga komoditas tersebut cenderung menurun. Penyerapan tenaga kerja tahun 2000 pada subsektor perkebunan relatif merata pada komoditas tebu, kelapa, kelapa sawit, kopi, tembakau, karet, sementara utntuk komoditas lain masih relatif rendah (kurang dari 10%). Tabel 3.3.7. Distribusi Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Komoditas pada Subsektor Perkebunan 1971 – 2000 (Persen) Sektor
1971 1980 Karet 19.78 9.04 Tebu 10.75 15.79 Kelapa 21.22 14.31 Kelapa Sawit 3.63 7.52 Tembakau 19.16 17.42 Kopi 9.79 15.17 The 8.92 7.10 Cengkeh 1.66 9.73 Hasil tanaman serat 0.48 1.91 Tanaman perkebunan lainnya 4.61 2.01 Total (000Jiwa) 1,225 3,614 Sumber: Tabel I-O 1971 – 2000, dalam Malian et. al, 2004 (diolah).
IV-24
1990 12.14 18.93 15.81 8.81 14.43 13.05 6.79 5.29 1.65 3.08 4,314
2000 11.23 17.21 15.26 13.30 12.89 13.25 5.69 5.99 0.79 4.39 4,781
3.3.3
Dinamika Pekerja Pertanian menurut Umur, Tingkat Pendidikan dan Jam Kerja
Pada periode tahun 1982-2003 golongan umur pekerja pertanian di wilayah pedesaan mengalami perubahan, pada tahun 1982 pekerja pertanian didominasi pekerja pada golongan umur di bawah 30 tahun dengan pangsa sekitar 38 persen, dan pangsa pekerja usia lanjut mencapai sekitar 7 persen atau sebesar 2.3 juta orang (Tabel 3.3.8.). Perkembangan selama 10 tahun, masih memberikan gambaran yang relatif sama, namun ada kecenderungan menurunnya pangsa pekerja usia muda dan meningkatnya pangsa pekerja usia lanjut. Pada tahun 2003, pekerja pertanian didominasi pekerja berumur 30-44 tahun yang mencapai 36 persen, sementara pekerja golongan usia muda menurun menjadi 27 persen. Fenomena ini menunjukkan bahwa tenaga kerja usia muda mulai kurang tertarik bekerja di sektor pertanian. Dan jumlah pekerja pertanian usia lanjut dalam periode 20 tahun terakhir meningkat menjadi 4.2 juta orang atau pangsanya mencapai 11 persen. Tabel 3.3.8.
Jumlah Pekerja Pertanian di Wilayah Pedesaan Indonesia Berdasarkan Golongan Umur (000 Orang), 1982 – 2003.
Gol. Umur 10 – 29 30 - 44 45 - 59 60 +
1982 11,776 (38.23) 9,743 (31.63) 6,988 (22.69) 2,293 (7.44)
1993 13,241 (35.07) 13,437 (35.59) 7,588 (20.10) 3,493 (9.25)
2003 10,074 (27.09) 13,651 (36.72) 9,212 (24.78) 4,245 (11.42)
T o t a l (000 Orang) 30,799 37,759 Sumber: Sakernas, BPS dalam Malian et. al, 2004 (diolah). Catatan: (...........) : menunjukkan proporsi terhadap total
37,181
Dari data Sensus Pertanian tahun 2003, di Indonesia pekerja pertanian (petani) sebagian besar berumur 25-44 tahun, dan proporsi tenaga kerja usia lanjut (>60 tahun) sekitar 13 persen, dengan jumlah pekerja laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja perempuan (Tabel 3.3.9.). Gambaran pekerja pertanian di Jawa dan Luar Jawa agak berbeda, proporsi tenaga kerja usia lanjut (>60 tahun) di Jawa lebih tinggi dibandingkan Luar Jawa (18% vs 9.8%). Tabel 3.3.9. Anggota Rumah Tangga sebagai Petani Menurut Golongan Umur, Tahun 2003 Golongan Umur (Tahun) Wilayah/Jenis Kelamin Sumatera Barat Laki-laki Perempuan Total NTB Laki-laki
10-24
25-44
45-60
>60
Total (000 orang)
9.1 5.6 5.6
42.7 32.7 32.4
34.8 54.2 54.0
13.4 7.5 8.0
619 584 1,581
4.8
33.1 25
53.6
8.5
840
Perempuan 8.8 Total 5.9 Kalimantan Selatan Laki-laki 5.5 Perempuan 7.3 Total 6.0 Sulawesi Selatan Laki-laki 7.4 Perempuan 8.8 Total 7.7 Jawa Laki-laki 4.3 Perempuan 7.1 Total 5 Luar Jawa Laki-laki 11.9 Perempuan 17.3 Total 13.5 Indonesia Laki-laki 7.8 Perempuan 12.8 Total 9.2 Sumber data : Sensus Pertanian, BPS
35.1 33.7
51.0 52.8
5.1 7.6
336 1,175
35.9 35.7 35.8
53.6 51.7 53.0
5.1 5.3 5.1
712 318 1,030
34.6 34.1 34.5
51.2 50.9 51.2
6.7 6.2 6.6
2,182 623 2,805
40.9 41.7 41.1
36.7 34.0 36
18.2 17.2 17.9
13,048 4,333 17,381
48 48.7 48.3
29.5 26 28.4
10.6 8 9.8
12,110 5,501 17,612
44.4 45.6 44.7
33.2 29.5 32.2
14.5 12.1 13.8
25,158 9,834 34,992
Gambaran buruh pertanian menurut golongan umur berbeda dengan petani, secara agregat usia buruh tani antara 25-44 tahun, dan proporsi buruh tani usia lanjut berkisar 5-7 persen (Tabel 3.3.10.). Usia buruh tani di Jawa dan Luar Jawa sebagian besar dalam kisaran 25-44 tahun. Proporsi buruh tani usia lanjut di Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan luar Jawa. Proporsi buruh tani usia lanjut di provinsi contoh relaif kecil, berkisar antara 3.5-5.2 persen, sementara usia buruh tani seperti halnya gambaran luar Jawa pada kisaran 25-44 tahun Tabel 3.3.10. Anggota Rumah Tangga sebagai Buruh Pertanian Menurut Golongan Umur, Tahun 2003 Wilayah/Jenis Kelamin Golongan Umur (Tahun) Total (000 10-24 25-44 45-60 >60 orang) Sumatera Barat Laki-laki 17.8 47.8 28.3 6.0 243 Perempuan 10.5 52.9 32.6 3.9 157 Total 15.0 49.8 30.0 5.2 400 NTB Laki-laki 27.3 46.3 21.9 4.6 241 Perempuan 30.0 50.2 17.3 2.5 249 Total 28.7 48.2 19.5 3.5 491 Kalimantan Selatan Laki-laki 23.7 52.8 20.0 3.5 150 Perempuan 17.6 55.5 22.5 4.4 111 Total 23.7 52.8 20.0 3.5 150 Sulawesi Selatan Laki-laki 31.9 46.1 18.0 3.9 271 26
Perempuan 28.0 Total 30.3 Jawa Laki-laki 12 Perempuan 9.2 Total 10.8 Luar Jawa Laki-laki 24.7 Perempuan 21 Total 23.3 Indonesia Laki-laki 16.8 Perempuan 13.2 Total 15.3 Sumber data : Sensus Pertanian, BPS
49.8 47.6
19.1 18.5
3.1 3.6
190 462
47.1 53.5 49.7
32.3 30.7 31.7
8.6 6.6 7.8
5,442 3,745 9,187
50.2 54.3 51.7
21 21.5 21.2
4.1 3.2 3.8
3,289 1,890 5,178
48.3 53.8 50.5
28 27.7 27.9
6.9 5.4 6.3
8,731 5,635 14,365
Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam membentuk kualitas dan kapasitas sumberdaya manusia. Segala upaya pembangunan akan berhasil dengan baik jika kualitas sumberdaya manusia sebagai pelaku pembangunan memiliki kapasitas yang lebih baik. Todaro (2000) mengemukakan bahwa negara-negara dunia ketiga telah meyakini bahwa pembangunan sektor pendidikan adalah kunci utama dalam pembangunan nasional. Hal ini dapat dipahami karena perkembangan kemampuan kapasitas sumberdaya manusia (skill and knowledge) ditentukan oleh pendidikan terutama lembaga pendidikan formal. Di Indonesia, upaya yang telah dilaksanakan pemerintah dalam dunia pendidikan, terutama pada masyarakat yang bergerak pada sektor pertanian, dapat digambarkan oleh keragaan anggota keluarga pertanian yang bekerja di sektor pertanian menururt level pendidikan (Tabel 3.3.11.). Table 3.3.11. Proporsi Anggota Rumah Tangga Pertanian (=10 tahun) yang Bekerja di Sektor Pertanian menurut Tingkat Pendidikan di Indonesia, 1983-2003
Tingkat Pendidikan
Persentase Anggota Rumah Tangga 1983 1993 2003 Jawa Luar Indo- Jawa Luar Indo- Jawa Luar IndoJawa nesia Jawa nesia Jawa nesia 31.99 24.85 28.42 22.79 15.93 19.36 14.42 10.02 8.08
1. Tidak sekolah 2. Tidak/belum Lulus 35.31 37.91 SD 3. SD 27.03 31.09
36.31
32.82 31.36
32.09
20.77 19.73
13.39
29.06
37.00 36.34
36.67
19.12 43.21
46.19
4. SLTP
3.82
4.17 10.19
7.18
7.52 13.82
10.67
6.44 11.45
8.95
1.73 11.73
1.73
17.01 17.07
34.08
3.39
4.25
5. SLTA 2.09 1.83 1.96 2.90 5.74 4.32 6. Diploma/Pergu0.20 0.06 0.13 0.32 0.44 0.38 ruan Tinggi Jumlah Angkatan 15.03 11.50 26.53 14.35 16.29 29.64 kerja (juta org) Source: BPS, Sensus Pertanian 1983 (Series I), 1993 (Series D1), dan 27
2003 (Series C).
Pada tahun 2003 proporsi persentase anggota rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian didominasi oleh anggota rumah tangga dengan level pendidikan Sekolah Dasar (SD) yaitu sebesar 46,19 persen dan anggota rumah tangga yang tidak tamat Sekolah Dasar sebesar 13,67 persen. Sementara anggota rumah tangga yang bekerja disektor pertanian dengan level pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) baru mencapai 10,67 persen dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) adalah 8,95 persen. Pada era globalisasi, untuk memenuhi permintaan barang-barang dari produk pertanian dituntut adanya respon yang inovatif terhadap perubahan baru sesuai permintaan. Konsekwensinya diperlukan sumberdaya manusia pertanian yang terdidik, karena hanya dengan pendidikan mereka akan menjadi lebih responsif, aspiratif, mudah menyikapi, memiliki ide dan nilai (Todaro, 2000). Dominansi anggota rumah tangga berpendidikan rendah yang bekerja disektor pertanian menunjukkan bahwa sektor ini kurang diminati oleh mereka yang yang berpendidikan lebih tinggi. Faktor penjelasannya adalah sebagai berikut : (a) Sektor pertanian secara inherent tidak mampu memberikan perbedaan upah (wage differential) dan tidak menuntut persyaratan level pendidikan tertentu. Sementara itu sektor non pertanian (modern sector) mampu memberikan perbedaan upah yang nyata dan level pendidikan secara jelas menjadi syarat untuk akses ke sektor modern; (b) Jaminan untuk sukses bekerja disektor pertanian lebih rendah dibanding dengan sektor non pertanian, baik dari sisi besaran upah yang diberikan maupun dari sisi prospek jenjang status pekerjaan. Di sektor pertanian hampir tidak ada penjenjangan pekerjaan, yang ada adalah jenis pekerjaan (mencangkul, menyiang, menyemprot, memanen, dll); dan (c) Rumah tangga pertanian dihadapkan dengan masalah biaya tunai pendidikan (direct cost of education), yang menyebabkan tingginya proporsi anggota rumah tangga dengan level pendidikan yang rendah. Hal ini diperparah dengan nilai tukar produk pertanian yang rendah. Perkembangan pendidikan selama 20 tahun terakhir (1983-2003), tampak telah terjadi pergeseran dari level pendidikan rendah kepada level pendidikan yang tinggi, paling tidak bagi anggota rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian baik di Jawa maupun di Luar Jawa, sebagai implikasi dari kebijakan pembangunan dibidang pendidikan. Tidak sekolah dan tidak tamat SD secara nasional menurun dari 28,42 persen dan 36,31 persen (1983) menjadi 8,08 persen dan 13,39 persen pada tahun 2003. Sementara untuk level pendidikan SLPT, SLTA dan Perguruan Tinggi (PT) yang bekerja di sektor pertanian meningkat dari 3,82 persen, 1,96 persen dan 0,13 persen (1983) menjadi 10,67 persen, 8,95 persen dan 1,73 persen pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan adanya perubahan minat ke sektor pertanian, atau terpaksa karena adanya krisis ekonomi sejak tahun 1998. Proporsi jumlah anggota rumah tangga dengan pendidikan SLTP dan SLTA bekerja di sektor pertanian, pada tahun 2003 di Luar Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa (7,52 persen dan 6,44 persen versus 13,82 persen dan 11,45 persen). Hal ini disebabkan oleh peluang lapangan pekerjaan non pertanian di Jawa lebih tinggi dibanding dengan di Luar Jawa, sehingga sebagian anggota rumah tangga di Jawa lebih memilih bekerja di sektor non pertanian. Gambaran lebih rinci tingkat pendidikan anggota rumahtangga yang bekerja sebagai petani dan buruhtani di empat provinsi contoh ditampilkan pada Tabel 3.3.12 dan 3.3.13. Pada tahun 2003 proporsi persentase anggota rumah tangga yang bekerja sebagai petani di empat provinsi contoh didominasi oleh anggota rumah tangga dengan level pendidikan tidak tamat Sekolah Dasar berkisar antara 28-48 persen dan lulus Sekolah Dasar (SD) yaitu berkisar antara 29-44 persen. Proporsi petani perempuan dengan pendidikan rendah lebih tinggi dibandingkan dengan petani laki-laki, sementara pada tingkat pendidikan SLTP ke atas proporsi petani perempuan lebih rendah.
28
Tabel 3. 3.12. Proporsi Anggota Rumah Tangga sebagai Petani menurut Ijazah Tertinggi yang Dimiliki di Empat provinsi Contoh, 2003.
Wilayah dan Jenis Kelamin
Belum/Tidak punya
SD/setara
Ijazah Tertinggi yang Dimiliki SLTP/setara SLTA/setara
1. Sumatera Barat Laki-laki
25.28
40.31
17.94
Perempuan
33.84
39.60
Total
28.44
40.05
Laki-laki
46.49
Perempuan
53.67
Total
Diploma/ Perguruan Tinggi
Jumlah (orang)
13.77
2.70
619
16.10
8.71
1.76
363
17.26
11.90
2.35
982
28.33
9.28
11.90
4.00
522
32.00
8.74
5.25
0.34
188
48.39
29.30
9.14
10.14
3.03
710
3. Kalimantan Selatan Laki-laki
31.52
45.02
14.39
7.75
1.32
418
Perempuan
42.27
42.84
9.75
4.53
0.62
181
Total
34.78
44.36
12.99
6.77
1.10
599
4. Sulawesi Selatan Laki-laki
35.27
36.15
13.98
12.11
2.49
1,265
Perempuan
44.69
34.75
12.10
7.10
1.36
356
Total
37.34
35.84
13.57
11.01
2.24
1,621
2. NTB
Sumber: Sakernas 2003, BPS
Pada tahun 2003 proporsi persentase anggota rumah tangga yang bekerja sebagai buruh tani di empat provinsi contoh didominasi oleh anggota rumah tangga dengan level pendidikan lulus Sekolah Dasar (SD) yaitu berkisar antara 35-48 persen dan tidak tamat Sekolah Dasar berkisar antara 29-44 persen. Proporsi petani perempuan dengan pendidikan rendah lebih tinggi dibandingkan dengan petani laki-laki, sementara pada tingkat pendidikan SLTP ke atas proporsi petani perempuan lebih rendah. Tabel 3. 3. 13
Wilayah dan Jenis Kelamin
Proporsi Anggota Rumah Tangga sebagai Buruh Tani Tertinggi yang Dimiliki di Empat provinsi Contoh, 2003.
Belum/Tid ak punya
1. Sumatera Barat Laki-laki 26.94 Perempuan 32.91 Total 29.28 2. NTB Laki-laki 43.00 Perempuan 46.51 Total 44.78 3. Kalimantan Selatan Laki-laki 27.06 Perempuan 40.78 Total 32.90 4. Sulawesi Selatan Laki-laki 35.48
menurut Ijazah
Ijazah Tertinggi yang Dimiliki SD/setara SLTP/ SLTA/ Diploma/ setara setara Perguruan Tinggi
Jumlah (orang)
44.17 45.05 44.52
18.69 15.52 17.44
9.12 5.00 7.50
1.08 1.52 1.25
242 157 399
34.41 37.13 35.79
12.80 10.32 11.54
9.31 5.78 7.51
0.49 0.26 0.37
241 249 491
49.72 45.72 48.02
16.79 10.03 13.91
5.98 3.28 4.83
0.44 0.20 0.34
150 111 262
39.57
15.41 29
8.59
0.95
271
Perempuan 40.52 Total 37.56 Sumber: Sakernas 2003, BPS
40.61 40.00
12.12 14.05
5.68 7.39
1.08 1.01
190 462
BPS mendefinisikan bahwa yang dimaksud setengah pengangguran yakni mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu, dan mereka yang bekerja lebih dari 35 jam seminggu disebut bekerja. Tabel 3.3.14 menunjukkan perkembangan pekerja si sektor pertanian pedesaan berdasarkan curahan waktu kerja, secara garis besar dibedakan atas setengah pengangguran dan bekerja. Tabel 3.3.14. Proporsi Pekerja di Sektor Pertanian pada Wilayah Pedesaan Berdasarkan Jam Kerja (%), 1993 – 2003. 1993 Perempuan
Uraian Laki-laki 2.12
Tidak bekerja 4.52 Setengah Pengangguran 42.83 67.96 Bekerja 55.06 27.52 Total (ooo orang) 22,830 14,928 Sumber: Sakernas 1993 dan 2003, BPS
Total 3.07
Lakilaki 1.92
52.76 44.17 37,759
41.74 56.34 34,283
2003 Perempuan
Total
3.59
2.58
63.67 32.74 22,600
50.45 46.96 56,883
Secara agregat, pekerja pertanian sebagian besar termasuk katagori setengah pengangguran, dalam periode 1993-2003 proporsinya semakin menurun. Apabila diperinci menurut jenis kelamin, pekerja pertanian laki-laki sebagian besar termasuk katagori bekerja, dalam periode 1993-2003 proporsinya semakin meningkat. Sementara itu, pekerja pertanian perempuan sebagian besar termasuk katagori setengah pengangguran dengan proporsi yang relatif tinggi ( sekitar 68% pada tahun 1993 dan 63% pada tahun 2003), dalam periode 19932003 proporsinya semakin menurun. Tingginya angka setengah pengangguran di sektor pertanian, selain sifat sektor pertanian yang bersifat musiman, diduga hal ini juga disebabkan karena semakin terbatasnya kesempatan kerja di sektor pertanian. Sektor pertanian dikenal sebagai sektor yang akomodatif terhadap masuknya tenaga kerja, dan sebenarnya secara internal sektor pertanian melakukan penyesuaian-penyusuaian, antara lain dengan mengurangi jam kerja, sehingga pekerjaan terbagi ke tenaga kerja yang lebih banyak. 3.4.
Dinamika Adopsi Teknologi Pertanian Pembahasan tentang dinamika adopsi teknologi mencakup penerapan dalam penggunaan benih/bibit, pupuk (menurut jenis), dan teknologi pakan (menurut jenis) untuk komoditas peternakan. Penerapan teknologi untuk masing-masing jenis input usahatani tersebut mencakup tingkat partisipasi rumah tangga dan rata-rata penggunaan menurut jenis, komoditas dan wilayah serta dinamikanya antar waktu (1983, 1993, dan 2003) sesuai dengan ketersediaan data yang ada. 3.4.1. Adopsi Teknologi Subsektor Tanaman Pangan Teknologi Biologis (Benih) Gambaran tingkat partisipasi penggunaan benih dan rataan tingkat penggunaanya pada tahun 1983 dan 1993 dapat disimak pada Tabel 3.4.1. Tingkat partisipasi penggunaan benih dari produksi sendiri masih relatif tinggi, secara nasional proporsi petani padi Bimas/Inmas yang menggunakan benih produksi sendiri masih sekitar 47 persen pada tahun 1983 dan 39 persen pada tahun 1993. Proporsi tersebut pada waktu yang sama untuk petani padi non-Bimas/Inmas bahkan mencapai 79 persen dan 85 persen. Hal tersebut menunjukkan 30
masih relatif rendahnya adopsi teknologi penggunaan benih padi di tingkat petani. Seperti diketahui, kualitas benih padi yang direkomendasikan untuk digunakan agar diperoleh hasil produksi yang tinggi adalah benih berlabel (yang identik dengan benih dari pembelian). Oleh karena itu upaya peningkatan partisipasi petani untuk menggunakan benih unggul/berlabel masih perlu mendapat perhatian. Tabel 3.4.1. Tingkat adopsi benih pada usahatani padi Bimas/Inmas dan padi nonBimas/Inmas di Indonesia, 1983 dan 1993*)
Wilayah
Pembelian (%)
1983 Produksi sendiri (%)
Jumlah (kg/ha)
Pembelian (%)
41,66 40,24 41,18
78,0 39,8 61,2
1993 Produksi sendiri (%)
Jumlah (kg/ha)
Bimas/Inmas 1. Jawa 2. Luar Jawa 3. Indonesia NonBimas/Inmas
61,4 36,4 53,1
38,6 63,6 46,9
22,0 60,2 38,8
37,31 35,14 36,33
4. Jawa 39,00 61,00 43,07 t.d t.d t.d 5. Luar Jawa 19,50 80,50 38,01 15,20 84,80 36.18 6. Indonesia 21,20 78,80 39,39 15,20 84,80 36,80 Sumber : Struktur Ongkos Padi dan Palawija, 1983, 1993. Biro Pusat Statistik, Jakarta *) Rusastra, et al. 1998 (diolah) Dinamika adopsi teknologi penggunaan benih padi menurut jenis perolehan maupun pola produksi tersebut tidak dapat dilihat perkembangannya pada tahun 2003, karena data tahun 2003 yang tersedia adalah partisipasi petani menurut tingkat penggunaan benih padi. Data pada Tabel 3.4.2. menunjukkan bahwa secara nasional partisipasi petani dengan tingkat penggunaan benih antara 26 – 50 Kg/Ha paling tinggi yaitu sekitar 81 persen untuk padi sawah dan 98 persen untuk padi ladang. Apabila dibedakan menurut wilayah (provinsi), pola rataan nasional konsisten dengan yang ada di empat provinsi contoh penelitian dengan besaran partisipasi rumah tangga lebih dari 98 persen menggunakan benih padi sawah pada selang antara 26 – 50 kg/Ha/MT (Tabel 3.4.2.). Partisipasi rumah tangga dalam penggunaan benih dalam usahatani padi ladang rataan nasional maupun di empat wilayah provinsi penelitian menunjukkan pola yang serupa. Dalam hal ini partisipasi rumah tangga dominan pada penggunaan benih antara 26 – 50 Kg/Ha dengan rataan partisipasi di tingkat nasional hampir 98 persen, dan di empat provinsi penelitian berkisar antara 94 – 100 persen. Tabel 3.4.2. Partisipasi Rumah Tangga dalam Menggunakan Benih Padi menurut Tingkat Penggunaan dan Wilayah, 2003 (persen) Komoditas/ Wilayah 1. Padi Sawah Indonesia Sumatera Barat Nusa Tenggara Barat
< 26 0.00 0.00 0.00
Penggunaan Benih (Kg/Ha) 26-50 51-75 > 75 Jumlah 81.29 98.15 98.55
18.71 1.85 1.45 31
0.00 0.00 0.00
100.00 100.00 100.00
Kalimantan Selatan 0.00 98.03 1.97 Sulawesi Selatan 0.00 99.28 0.72 2. Padi Ladang Indonesia 0.78 97.62 1.60 Sumatera Barat 0.00 98.03 1.97 Nusa Tenggara Barat 0.00 100.00 0.00 Kalimantan Selatan 0.00 93.81 6.19 Sulawesi Selatan 0.00 99.15 0.85 Sumber : Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPD 04-S)
0.00 0.00
100.00 100.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Besaran luas tanam padi dan rataan tingkat penggunaan benih dapat disimak pada Tabel 3.4.3. Dibandingkan dengan luas tanam padi sawah, maka luas tanam padi ladang secara nasional lebih tinggi, namun demikian apabila dilihat di masing-masing provinsi terutama di empat lokasi penelitian polanya bervariasi. Untuk Provinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan luas tanam padi ladang lebih rendah dari pada padi sawah, hal sebaliknya untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan. Bervariasinya luas tanam antara padi sawah dan padi ladang di masing-masing provinsi penelitian terkait dengan ketersediaan sumberdaya lahan dan infrastruktur pertanian utamanya sarana irigasi. Tabel 3.4.3. Luas Tanam Padi dan Rata-rata Penggunaan Benih menurut Wilayah, 2003
Wilayah
Padi Sawah Rata-rata Luas Penggunaan Benih Tanam (Ha) (Kg/Ha) 10,453,084 43.68 443,784 43.41
Padi Ladang Rata-rata Penggunaan Luas Benih Tanam (Ha) (Kg/Ha) 1,132,066 41.79 9,449 33.95
Nasional Sumatera Barat Nusa Tenggara Barat 46.38 47,057 270,589 Kalimantan Selatan 400,467 40.83 47,875 Sulawesi Selatan 735,598 44.53 4,315 Sumber : Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPD 04-S)
46.93 42.02 44.83
Pada tahun 2003, luas tanam padi sawah secara nasional mencapai 10.45 juta hektar dengan rataan penggunaan benih sebesar 43.68 kg/Ha/MT. Sementara itu, di empat provinsi penelitian luas tanam padi sawah pada tahun yang sama berkisar antara 271 ribu hektar di Provinsi Nusa Tenggara Barat sampai 736 ribu hektar di Provinsi Sulawesi Selatan. Rataan tingkat penggunaan benih padi sawah di empat provinsi penelitian berkisar antara 40.83 kg/Ha/MT di Provinsi Kalimantan Selatan sampai 46.38 kg/Ha/MT di Provinsi Nusa Tenggara Barat (Tabel 3.4.3.). Jagung merupakan salah satu komoditas unggulan di subsektor tanaman pangan di samping padi. Tingkat adopsi penggunaan benih jagung secara rata-rata juga masih menunjukkan tingkat adopsi teknologi yang relatif rendah. Hal ini ditunjukkan oleh relatif tingginya penggunaan benih dari produksi sendiri. Pada tahun 1983 di tingkat nasional menunjukkan partisipasi rumahtangga yang menggunakan benih jagung dari produksi sendiri sebesar 57 persen dan sedikit menurun menjadi 55.6 persen pada tahun 1993. Kondisi tersebut keadaanya makin kurang baik di wilayah luar Jawa dimana proporsi petani yang menggunakan benih jagung dari produksi sendiri pada periode waktu yang sama sebesar 77 persen dan 68 persen (Tabel 3.4.4.). 32
Tabel 3.4.4.
Tingkat adopsi benih pada jagung di Indonesia, 1983 dan 1993*)
Wilayah
Pembelian (%)
1. Jawa 2. Luar Jawa 3. Indonesia
50,6 23,1 43,0
1983 Produksi sendiri (%) 49,4 76,9 57,0
Jumlah (Kg/ha)
Pembelian (%)
26,03 20,89 24,37
56,6 32,3 46,4
1993 Produksi sendiri (%) 43,4 67,7 55,6
Jumlah (Kg/ha 24,43 19,75 23,03
Sumber : Struktur Ongkos Usahatani Padi dan Palawija 1983 dan 1993. Biro Pusat Statistik, Jakarta *) Rusastra, et al. 1998 Pada tahun 2003, secara rataan nasional maupun kondisi di empat provinsi penelitian menunjukkan pola serupa dalam partisipasi rumah tangga dalam penggunaan benih jagung, yaitu tersebar dalam penggunaan kurang dari 15 Kg/Ha dan antara 15 – 28 Kg/Ha. Di tingkat nasional, partisipasi rumahtangga dalam penggunaan benih jagung kurang dari 15 Kg/Ha sebesar 59 persen, sisanya 41 persen menggunakan benih jagung antara 15 – 28 Kg/Ha (Tabel 3.4.5.). Dengan tingkat partisipasi penggunaan benih seperti diuraikan di atas, luas tanam jagung pada tahun 2003 secara nasional mencapai 3.6 juta hektar dengan rataan penggunaan benih sebesar 26 Kg/Ha. Di empat provinsi penelitian, luas tanam jagung paling besar adalah di Sulawesi Selatan yaitu 216 ribu hektar dengan rataan penggunaan benih sebesar 24 Kg/Ha. Dinamika rataan tingkat penggunaan benih jagung secara nasional tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Hal ini terlihat bahwa pada tahun 1983 penggunaan benih jagung per hektar sebesar 24.37 menurun menjadi 23.03 Kg/ha dan pada tahun 2003 sebesar 25.94 Kg/ha (Tabel 3.4.4 dan Tabel 3.4.7). Tabel 3.4.5. Partisipasi rumah tangga dalam menggunakan benih jagung dan kedelai menurut tingkat penggunaan dan wilayah, 2003 (persen) Komoditas/ Wilayah Penggunaan Benih (Kg/Ha) 1. Jagung < 15 15-28 29-42 > 42 Indonesia 59.07 40.93 0 0 Sumatera Barat 65.45 34.55 0 0 Nusa Tenggara Barat 52.18 47.82 0 0 Kalimantan Selatan 42.65 57.35 0 0 Sulawesi Selatan 74.02 25.98 0 0 2. Kedelai < 20 20-38 57-76 > 76 21.1 78.9 0 0 Indonesia Sumatera Barat 0 100 0 0 Nusa Tenggara Barat 5.04 94.96 0 0 Kalimantan Selatan 88.24 11.76 0 0 Sulawesi Selatan 34.96 65.04 0 0 Sumber : Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPW 04-S)
Jumlah 100 100 100 100 100 Jumlah 100 100 100 100 100
Kedelai merupakan salah satu komoditas unggulan di sub sektor tanaman pangan selain padi dan jagung. Oleh karena itu telahaan terhadap adopsi teknologi pada usahatani kedelai diharapkan memberikan masukan bagi pengembangan kedelai di masa datang. Dari empat kategori tingkat penggunaan benih kedelai, rataan nasional menunjukkan bahwa 33
partisipasi rumah tangga dominan menggunakan benih kedelai antara 20 – 38 Kg/Ha dengan tingkat partisipasi hampir 79 persen (Tabel 3.4.5). Pola serupa ditemukan di empat provinsi penelitian kecuali Provinsi Kalimantan Selatan dominan menggunakan benih kedelai kurang dari 20 Kg/Ha dengan tingkat partisipasi sekitar 88 persen. Dinamika adopsi teknologi penggunaan benih kedelai relatif lebih baik dibanding padi dan jagung. Hal ini dapat dilihat dari relatif tingginya partisipasi rumah tangga yang menggunakan benih kedelai dari pembelian (walaupun tidak diperoleh data secara baik apakah hasil pembelian benih tersebut merupakan benih unggul berlabel atau tidak). Setidaknya kondisi tersebut mengindikasikan adanya keinginan petani untuk memperoleh benih yang lebih baik dari pada hasil produksi sendiri. Secara nasional, rataan adopsi penggunaan benih kedelai yang bersumber dari pembelian sekitar 72 persen pada tahun 1983 meningkat menjadi 81 persen di tahun 1993 (Tabel 3.4.6.) dan pada tahun 2003 partisipasi rumahtangga petani yang menggunakan benih kedelai pada tingkat penggunaan benih antara 20 -38 Kg/ha hampir 80 persen (Tabel 4.5.5.). Tabel 3.4.6. Tingkat adopsi benih kedelai di Indonesia, 1983 dan 1993*) 1983 1993 Produksi Produksi Wilayah Pembelian Pembelian Jumlah Jumlah sendiri sendiri (%) (%) (Kg/Ha) (Kg/Ha) (%) (%) 1. Jawa 75,6 24,4 44,46 83,8 16,2 50,43 2. Luar Jawa 60,6 39,4 38,39 76,3 23,7 34,56 3. Indonesia 72,4 27,6 43,01 81,0 19,0 42,89 Sumber : Struktur Ongkos Usahatani Padi dan Palawija 1983 dan 1993. Biro Pusat Statistik, Jakarta *) Rusastra, et al. 1998 Pada tahun 2003 luas tanam kedelai secara nasional sekitar 596 ribu hektar. Di empat provinsi penelitian luas tanam kedelai terluas adalah di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang mencapai hampir 86 ribu hektar dan terendah di Provinsi Sumatera Barat sekitar 1300 hektar (Tabel 3.4.7). Bervariasinya luas tanam kedelai (dan juga jagung) antar wilayah terkait dengan ketersediaan sumberdaya lahan di masing-masing wilayah dan tingkat kompetisi penggunaannya dengan komoditas lain utamanya padi serta ketersediaan sarana pengairan di lahan tersebut. Tabel 3.4.7. Luas tanam dan rata-rata penggunaan benih jagung kedelai dan kedelai menurut wilayah, 2003 Jagung Wilayah
Luas Tanam (Ha)
3,650,969 Indonesia Sumatera Barat 28.90 Nusa Tenggara Barat 26.17 Kalimantan Selatan 25.84 Sulawesi Selatan 24.18 Sumber : Sensus Pertanian, 2003.
Penggunaan Benih (Kg/Ha) 25.94 28.90 26.17 25.84 24.18
34
Kedelai Penggunaan Luas Tanam Benih (Ha) (Kg/Ha) 596,475 41.23 1,304.00 58.82 85,813.00 45.97 4,424.00 26.09 17,413.00 34.91
Teknologi Kimia (Pupuk) Dinamika adopsi teknologi penggunaan pupuk menurut jenis pada tanaman padi sawah dapat disimak pada tabel 3.4.8 untuk tahun 1983 dan 1993, sedangkan keragaannya pada tahun 2003 disajikan pada Tabel 3.4.9 sampai dengan Tabel 3.4.12. Terlihat bahwa di antara jenis pupuk yang ada, tingkat adopsi teknologi pupuk Urea yang paling tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh relatif tingginya tingkat partisipasi rumahtangga yang menggunakan pupuk Urea baik pada usahatani padi sawah pada program Bimas/Inmas maupun non-Bimas/Inmas. Pada tahun 1983 tingkat partisipasi penggunaan pupuk Urea bervariasi antara 66,5 – 87,1 persen, dan pada tahun 1993 berkisar antara 57,5 – 62,1 persen. Penurunan adopsi penggunaan pupuk Urea pada tanaman padi tersebut meningkatnya adopsi teknologi penggunaan pupuk TSP/DAP dan pupuk lainnya. Hal ini mengindikasikan kesadaran petani untuk menggunakan pupuk secara berimbang. Tabel 3.4.8. Tingkat adopsi pemupukan usahatani padi sawah Bimas/Inmas dan non Bimas/Inmas di Indonesia, 1983 dan 1993*) Wilayah Bimas/Inmas 1. Jawa 2. Luar Jawa 3. Indonesia Non-Bimas/Inmas 4. Jawa 5. Luar Jawa 6. Indonesia
Urea (%) 1983 1993
TSP/DAP (%) 1983 1993
Lainnya (%) 1983 1993
Jumlah (kg/ha) 1983 1993
73,4 66,5 71,5
62,1 57,5 60,5
26,2 29,2 27,0
29,1 32,3 30,2
0,4 4,3 1,5
8,8 0,2 9,3
350,52 246,37 315,38
403,64, 236,61 329,04
87,1 69,3 72,8
t.d 61,9 61,9
12,9 25,2 22,7
t.d 26,2 26,2
t.d 5,5 4,5
t.d 11,9 11,9
30,68 10,12 11,66
1,26 t.d 1,26
Sumber : Struktur Ongkos Usahatani Padi dan Palawija, 1983-1993. Biro Pusat Statistik *) Rusastra, et al. 1998. Untuk tahun 2003, rataan di tingkat nasional menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga dengan penggunaan kurang dari 101 kg/Ha menempati porsi terbesar (sekitar 59 %), diikuti dengan penggunaan antara 101 – 200 kg/Ha dengan tingkat partisipasi sebesar 25 persen. Sementara itu untuk penggunaan antara 201 – 300 kg/Ha dan lebih dari 300 kg/Ha masing-masing dengan tingkat partisipasi sekitar sembilan dan tujuh persen. Pola tingkat partisipasi penggunaan pupuk Urea menurut wilayah bervariasi dan berbeda dengan rataan nasional. Di empat provinsi penelitian partisipasi rumahtangga dalam menggunakan pupuk Urea tertinggi pada selang penggunaan antara 101 – 200 kg/Ha dengan tingkat partisipasi antara 32 – 41 persen (Tabel 3.4.9.). Tabel 3.4.9. Partisipasi Rumah Tangga dalam Menggunakan Pupuk Urea pada Komoditas Padi Sawah dan Padi Ladang menurut Tingkat Penggunaan dan Wilayah, 2003 (persen) Komoditas/Wilayah 1. Padi Sawah Indonesia Sumatera Utara Nusa Tenggara Barat Kalimantan Selatan
< 101 59.04 33.8 9.22 49.37
Rata-rata Penggunaan Urea (Kg/Ha) 101-200 201-300 > 300 25.1 8.96 6.9 34.41 20.36 11.44 31.77 27.5 31.51 40.34 7.88 2.42 35
Jumlah 100 100 100 100
Sulawesi Selatan 20.54 40.74 22.97 2. Padi Ladang < 81 81-160 161-240 Indonesia 44.7 28.43 12.15 Sumatera Barat 57.58 26.97 9.27 Nusa Tenggara Barat 0 100 0 Kalimantan Selatan 87.29 9.28 0.69 Sulawesi Selatan 44.74 7.89 47.37 Sumber : Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPD 04-S)
15.75 > 240 14.72 6.18 0 2.75 0
100 Jumlah 100 100 0 100 100
Untuk komoditas padi ladang, partisipasi rumah tangga dominan pada tingkat penggunaan kurang dari 81 Kg/Ha, dalam hal ini rataan di tingkat nasional dan di Kalimantan Selatan sekitar 87 persen dan Sumatera Barat hampir 58 persen. Sementara itu data partisipasi penggunaan pupuk Urea di Provinsi Nusa Tenggara Barat berada pada selang penggunaan 81 – 160 Kg/Ha dengan partisipasi mencapai 100 persen. Data cukup menarik keragaan di Provinsi Sulawesi Selatan, dimana partisipasi rumah tangga tertinggi pada selang penggunaan pupuk Urea antara 161 – 240 Kg/Ha dengan tingkat partisipasi sekitar 47 persen, diikuti dengan penggunaan pupuk Urea kurang dari 81 persen dan tingkat partisipasi hampir 45 persen. Untuk jenis pupuk TSP/SP36, data pada Tabel 4.5.10. menunjukkan bahwa secara nasional partisipasi rumah tangga dalam menggunakan pupuk tersebut tertinggi pada selang penggunaan antara 51-100kg/Ha/MT dengan proporsi sekitar 66 persen, diikuti dengan penggunaan kurang dari 51 persen dengan proporsi hampir 33 persen. Seperti halnya pada penggunaan pupuk Urea, pola partisipasi rumah tangga dalam penggunaan pupuk TSP/SP36 bervariasi menurut wilayah. Di empat provinsi penelitian, polanya searah dengan pola rataan nasional hanya dengan besaran yang berbeda, kecuali di Provinsi Kalimantan Selatan partisipasi rumah tangga tertinggi (48 %) pada penggunaan pupuk TSP/SP36 kurang dari 51 kg/Ha/MT (Tabel 3.4.10.). Partisipasi rumahtangga dalam penggunaan pupuk TSP/SP36 pada usahatani padi ladang menunjukkan adanya variasi antar wilayah dan secara umum berbeda dengan pola yang ada di tingkat nasional. Rataan nasional menunjukkan penggunaan TSP/SP36 antara 41-60 Kg/Ha tingkat partisipasinya paling tinggi (sekitar 37 %), hal serupa terjadi di Provinsi NusaTenggara Barat bahkan mencapai 100 persen). Dengan besaran tingkat partisipasi yang berbeda, di Provinsi Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan pangsa terbesar rumah tangga berada pada tingkat penggunaan TSP/SP36 kurang dari 41 Kg/Ha. Tabel 3.4.10. Partisipasi Rumah Tangga dalam Menggunakan Pupuk TSP/SP36 pada Komoditas Padi Sawah dan Padi Ladang menurut tingkat Penggunaan dan Wilayah, 2003 (persen) Komoditas/Wilayah 1. Padi Sawah Indonesia Sumatera Barat Nusa Tenggara Barat Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan 2. Padi Ladang Indonesia Sumatera Barat Nusa Tenggara Barat
Rata-rata Penggunaan TSP/SP36 (Kg/Ha) < 51 51-100 101-150 > 150 Jumlah 32.51 66.31 0.82 0.37 100 19.6 47.38 14.51 18.51 100 19.04 41.67 13.15 26.13 100 48.44 24.1 21.7 5.76 100 23.15 57.24 6.22 13.39 100 < 41 41-60 61-80 > 80 Jumlah 30.09 36.81 20.21 12.89 100 35.96 23.74 21.49 18.82 100 0 100 0 0 0 36
Kalimantan Selatan 70.39 17.48 9.22 Sulawesi Selatan 100 0 0 Sumber : Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPD 04-S)
2.91 0
100 100
Partisipasi rumah tangga dalam penggunaan pupuk KCL pada komoditas padi sawah dapat disimak pada Tabel 3.4.11. Terlihat bahwa secara nasioanal partisipasi rumah tangga terbesar pada penggunaan pupuk KCL lebih dari 60 kg/Ha dengan tingkat partisipasi lebih dari 41 persen, diikuti dengan penggunaan antara 41-60 kg/Ha dengan partisipasi hampir 30 persen. Penggunaan pupuk KCL bervariasi menurut wilayah, di empat provinsi penelitian keragaan partisipasi rumah tangga di Provinsi Sulawesi Selatan searah dengan rataan nasional hanya dengan besaran yang berbeda. Sementara itu di tiga provinsi lainnya memiliki pola tingkat partisipasi yang bervariasi antar wilayah. Seperti halnya pupuk TSP/SP36, partisipasi rumah tangga dalam penggunaan pupuk KCL bervariasi menurut wilayah. Namun demikian di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan memiliki pola serupa yaitu partisipasi rumahtangga terbesar berada pada tingkat penggunaan kurang dari enam Kg/Ha, berturut-turut sebesar 100 persen, 59 persen dan 95 persen. Namun demikian keragaan di Provinsi Sumatera Barat serupa dengan pola di tingkat nasional, yaitu partisipasi rumah tangga terbesar berada pada selang penggunaan pupuk KCL lebih dari 15 Kg/Ha, berturut-turut partisipasinya sebesar 47 persen dan 44 persen. Dengan keragaan partisipasi rumah tangga dalam penggunaan pupuk seperti itu, luas areal tanam padi ladang dan rataan tingkat penggunaan pupuk menurut jenis dan wilayah dapat disimak pada Tabel 3.4.12. Berbeda dengan padi sawah, luas tanam padi ladang menurut tingkat penggunaan benih maupun pupuk menunjukkan luasan yang sama baik secara rataan nasional maupun di empat provinsi penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa semua petani yang mengusahakan padi ladang menggunakan pupuk dalam usahataninya. Tabel 3.4.11. Partisipasi Rumah Tangga dalam Menggunakan Pupuk KCL pada Komoditas Padi Sawah dan Padi Ladang menurut tingkat Penggunaan dan Wilayah, 2003 (persen) Komoditas/Wilayah Rata-rata Penggunaan KCL (Kg/Ha) 1. Padi Sawah < 21 21-40 41-60 > 60 Jumlah Indonesia 10.33 18.88 29.6 41.2 100 Sumatera Utara 4.48 16.49 19.18 59.86 100 Nusa Tenggara Barat 4.09 51.16 16.51 28.24 100 Kalimantan Selatan 26.72 31.71 16.51 25.06 100 Sulawesi Selatan 3.37 17.86 24.99 53.78 100 2. Padi Ladang <6 6-10 11-15 > 15 Jumlah Indonesia 14.36 19.69 21.72 44.23 100 Sumatera Barat 22.18 12.27 18.49 47.06 100 Nusa Tenggara Barat 100 0 0 0 0 Kalimantan Selatan 59.15 3.66 34.15 3.05 100 Sulawesi Selatan 94.74 5.26 0 0 100 Sumber : Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPD 04-S) Untuk penggunaan pupuk, rataan penggunaan menurut jenis pupuk disajikan pada Tabel 3.4.12. Untuk pupuk Urea secara nasional rataan penggunaannya pada padi sawah sekitar 222 Kg/ha dan 131 Kg/ha untuk padi ladang. Untuk pupuk KCL, penggunaannya sekitar 78 Kg/ha untuk padi sawah dan sekitar 63 Kg/ha pada padi ladang, sedangkan penggunaan TSP/SP36 masing-masing sekitar 122 Kg/ha untuk padi sawah dan 81 Kg/ha 37
pada padi ladang. Sementara itu, rataan penggunaan masing-masing jenis pupuk di empat provinsi penelitian bervariasi antar wilayah dan antarr jenis pupuk. Tabel 3.4.12. Luas Tanam dan Rata-rata Penggunaan Pupuk Padi Sawah dan Padi Ladang menurut Jenis dan Wilayah, 2003
Komoditas/Wilayah
Luas Tanam (Ha)
Rata-rata Penggunaan (Kg/Ha) Urea
KCL
TSP/SP36
1. Padi Sawah Indonesia 10,328,877 221.78 78.34 Sumatera Barat 443,784 130.77 48.5 Nusa Tenggara Barat 169,470 243.6 45.24 Kalimantan Selatan 400,467 103.07 33.25 Sulawesi Selatan 735,598 184.59 77.19 2. Padi Ladang Indonesia 1,132,066 131.24 63.22 Sumatera Barat 9,449 90.48 26.78 Nusa Tenggara Barat 47,057 136.38 5.45 Kalimantan Selatan 47,875 66.64 22.25 Sulawesi Selatan 4,315 106.9 67.24 Sumber : Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPD 04-S)
121.65 99.59 126.74 64.41 80.05 80.85 69.38 49.76 39.9 58.62
Untuk komoditas jagung dan kedelai, dinamika adopsi teknologi penggunaan pupuk menurut jenis dapat disimak pada Tabel 3.4.13. Seperti halnya pada komoditas padi, adopsi teknologi penggunaan pupuk Urea pada tanaman jagung dan kedelai partisipasinya juga relatif tinggi dibanding partisipasi penggunaan pupuk jenis yang lain. Pola dinamika yang ada relatif serupa dengan adopsi penggunaan pupuk pada tanman padi, dalam hal ini adopsi penggunaan pupuk Urea cenderung menurun pada periode 1983 -1993 diikuti oleh meningkatnya partisipasi adopsi penggunaan pupuk TSP/DAP dan jenis pupuk lainnya pada selang waktu yang sama. Tabel 3.4.13.
Tingkat adopsi pemupukan usahatani jagung dan kedelai di Indonesia, 1983 dan 1993 *)
Wilayah/komoditas Jagung 1. Jawa 2. Luar Jawa 3. Indonesia Kedelai 4. Jawa 5. Luar Jawa 6. Indonesia
Urea (%) 1983 1993
TSP/DAP (%) 1983 1993
Lainnya (%) 1983 1993
Jumlah (kg/ha) 1983 1993
89,8 65,3 87,8
80,6 56,8 69,1
10,1 29.3 11,7
17,6 35,9 21,3
0,1 5,4 0,5
1,8 7,3 9,6
150,73 28,60 111,28
178,21 96.14 153.56
56,5 40,5 55,0
53,2 44,8 50,8
41,2 45,7 41,5
42,9 43,7 43,1
2,3 13,8 3,0
3,9 11,5 6,1
85,35 18,08 69,38
144,36 63,89 106,10
Sumber : Struktur Ongkos Usahatani Padi dan Palawija, 1983-1993. Biro Pusat Statistik *) Rusastra, et al. 1998 Untuk tahun 2003, partisipasi rumah tangga dalam penggunaan pupuk Urea tingkat partisipasinya bervariasi menurut tingkat penggunaan maupun wilayah. Secara nasional, partisipasi rumah tangga pada penggunaan kurang dari 66 Kg/Ha menempati pangsa terbesar 38
yaitu 46 persen, diikuti oleh penggunaan antara 66-130 Kg/Ha sekitar 27 persen rumahtangga. Selanjutnya penggunaan benih antara 131-195 Kg/Ha dan lebih besar dari 195 kg/Ha masing-masing partisipasi rumah tangganya mencapai 18 persen dan sembilan persen (Tabel 4.5.14). Tabel 3.4.14.
Partisipasi rumah tangga dalam penggunaan pupuk Urea pada Jagung dan Kedelai menurut tingkat penggunaan dan wilayah, 2003 (persen)
Komoditas/Wilayah Rata-rata Penggunaan Pupuk Urea (Kg/Ha) 1. Jagung < 66 66-130 131-195 > 195 Jumlah Indonesia 45.96 26.74 18.1 9.2 100 Sumatera Barat 77.73 18.07 3.36 0.84 100 Nusa Tenggara Barat 60.79 17.37 12.89 8.95 100 Kalimantan Selatan 65.99 21.09 9.52 3.4 100 Sulawesi Selatan 46.3 27.06 14.21 12.43 100 2. Kedelai < 31 31-60 61-90 > 90 Jumlah Indonesia 70.15 20.08 6.55 3.22 100 Sumatera Barat 0 0 0 0 0 Nusa Tenggara Barat 81.17 12.56 5.83 0.45 100 Kalimantan Selatan 100 0 0 0 100 Sulawesi Selatan 28.46 42.31 23.85 5.38 100 Sumber : Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPW 04-S) Pada tanaman kedelai, secara nasional penggunaan pupuk Urea dominan pada tingkat penggunaan kurang dari 31 persen dengan tingkat partisipasi rumah tangga sekitar 70 persen. Penggunaan pupuk Urea pada tanaman kedelai bervariasi antar wilayah, namun di dua provinsi penelitian yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan memiliki pola serupa dengan rataan di tingkat nasional (Tabel 4.5.14). Tabel 3.4.15.
Partisipasi rumah tangga dalam penggunaan pupuk TSP/SP36 pada Jagung dan Kedelai menurut tingkat penggunaan dan wilayah, 2003 (persen)
Rata-rata Penggunaan Pupuk TSP/SP36(Kg/Ha) Komoditas/Wilayah 1. Jagung < 16 16-30 31-45 > 45 Jumlah Indonesia 63.29 34.27 1.81 0.63 100 Sumatera Barat 54.55 43.43 1.52 0.51 100 Nusa Tenggara Barat 95.91 4.09 0 0 100 Kalimantan Selatan 59.4 30.08 9.02 1.5 100 Sulawesi Selatan 87.98 10.74 1.13 0.15 100 2. Kedelai < 21 21-40 41-60 > 60 Jumlah Indonesia 52.33 35.07 2.38 0.21 100 Sumatera Barat 0 0 0 0 0 Nusa Tenggara Barat 94.74 4.21 0 1.05 100 Kalimantan Selatan 100 0 0 0 100 Sulawesi Selatan 41.38 58.62 0 0 100 Sumber : Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPW 04-S) Partisipasi rumah tangga pada penggunaan pupuk TSP/SP36 pada usahatani jagung juga menunjukkan variasi antar wilayah. Namun demikian secara umum pola nasional maupun di empat provinsi penelitian terdapat kesamaan. Dalam hal ini partisipasi dominan berada pada tingkat penggunaan kurang dari 16 Kg/Ha dengan besaran tingkat partisipasi yang bervariasi antara 55 – 96 persen (Tabel 3.4.15). 39
Seperti halnya penggunaan pupuk Urea, penggunaan pupuk TSP/SP36 pada tanaman kedelai bervariasi menurut wilayah. Secara nasional partisipasi petani mengelompok pada penggunaan pupuk TSP/SP36 kurang dari 21 Kg/Ha dan antara 21-40 Kg/Ha masing-masing dengan tingkat partisipasi rumah tangga sekitar 52 dan 35 persen. Di Provinsi Kalimantan Selatan bahkan 100 persen petani kedelai menggunakan pupuk TSP/SP36 kurang dari 21 Kg/Ha (Tabel 3.4.15.). Tingkat partisipasi penggunaan pupuk KCL bervariasi antar wilayah dan di empat provinsi penelitian tidak terdapat pola yang searah dengan pola yang terjadi di tingkat nasional. Rataan nasional menunjukkan bahwa partisipasi rumah tangga paling dominan pada penggunaan pupuk KCL lebih dari 15 Kg/Ha dengan tingkat partisipasi hampir 47 persen, diikuti dengan penggunaan antara 11-15 Kg/Ha sekitar 27 persen dan penggunaan antara 6-10 dan kurang dari enam kilogram/Ha masing-masing sebesar 18 dan delapan persen. Penggunaan pupuk KCL di Provinsi Sumatera Barat cukup beragam yang ditunjukkan oleh tingkat partisipasi sekitar 20 – 29 persen untuk keempat kategori tingkat penggunaan pupuk KCL pada usahatani jagung di wilayah tersebut. Pola hampir serupa terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan, namun untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat petani dominan menggunakan KCL antara 6-10 Kg/Ha dengan tingkat partisipasi hampir 85 persen. Sementara itu di Provinsi Sulawesi Selatan petani dominan menggunakan pupuk KCl antara 11-15 Kg/Ha dengan tingkat partisipasi sekitar 60 persen (Tabel 3.4.16). Tabel 3.4.16. Partisipasi rumah tangga dalam penggunaan pupuk KCL pada Jagung dan Kedelai menurut tingkat penggunaan dan wilayah, 2003 (persen Rata-rata Penggunaan Pupuk KCL(Kg/Ha) Wilayah <6 6-10 11-15 > 15 Jumlah 1. Jagung Indonesia 8.24 18.26 26.88 46.62 Sumatera Barat 27.11 28.94 24.18 19.78 Nusa Tenggara Barat 0 84.55 0 15.45 Kalimantan Selatan 23.7 27.01 32.23 17.06 Sulawesi Selatan 3.76 15.68 60.31 20.25 <5 5-8 9-12 > 12 Jumlah 2. Kedelai Indonesia 16.26 22.57 17.49 43.68 Sumatera Barat 0 0 0 0 Nusa Tenggara Barat 51.62 32.63 0.32 15.42 Kalimantan Selatan 100 0 0 0 Sulawesi Selatan 2.99 20.36 29.34 47.31 Sumber : Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPW 04-S)
100 100 100 100 100 100 0 100 100 100
Pola yang berbeda ditemukan pada penggunaan pupuk KCL pada tanaman kedelai, dalam hal ini rataan di tingkat nasional partisipasi dominan pada penggunaan pupuk lebih dari 12 Kg/Ha dengan tingkat partisipasi sekitar 44 persen. Namun di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan dominan pada penggunaan KCL kurang dari lima kilogram/hektar dengan tingkat partisipasi masing-masing sekitar 52 dan 100 persen (Tabel 3.4.16). Tabel 3.4.17 menunjukkan luas tanam jagung dan kedelai serta rata-rata penggunaan pupuk menurut jenis dan wilayah. Terlihat bahwa luas tanam jagung menurut penggunaan pupuk luasannya tidak berbeda dengan luas tanam menurut penggunaan benih baik secara rataan nasional maupun di empat provinsi penelitian. Hal ini dapat diartikan bahwa petani jagung tidak ada yang tidak melakukan pemupukan pada usahataninya. Namun demikian rata-rata penggunaan pupuk tersebut bervariasi menurut jenis maupun wilayah. 40
Tabel 3.4.17. Luas tanam dan rata-rata penggunaan pupuk Jagung dan Kedelai menurut jenis dan wilayah, 2003 Wilayah /komoditas
Luas Tanam (Ha)
Rata-rata Penggunaan Pupuk (Kg/Ha) Urea KCl TSP/SP36
1. Jagung Indonesia 3,650,969 149.63 Sumatera Barat 40,338 79.94 Nusa Tenggara Barat 41,404 115.57 Kalimantan Selatan 18,677 59.47 Sulawesi Selatan 216,445 148.53 2. Kedelai 596,475 57.30 Indonesia Sumatera Barat 1,304 0.00 Nusa Tenggara Barat 85,813 19.30 Kalimantan Selatan 4,424 17.39 Sulawesi Selatan 17,413 75.84 Sumber : Survei Rumah Tangga Usaha Padi (SPW 04-S)
61.76 26.70 38.40 34.15 49.48
38.51 30.61 8.23 33.37 14.00
53.15 0.00 30.14 8.70 68.36
28.74 0.00 3.32 13.04 17.61
Untuk tanaman kedelai, terlihat adanya variasi dalam penggunaan pupuk menurut jenis maupun wilayah, dalam hal ini secara umum rataan penggunaan pupuk Urea, TSP/SP36 maupun KCL di tingkat nasional rata-rata lebih tinggi dibanding rata-rata penggunaan pupuk di empat provinsi penelitian. Khusus data penggunaan pupuk untuk semua jenis Provinsi Nusa Tenggara Barat perlu dicermati kembali. Data partisipasi petani di provinsi ini dalam penggunaan pupuk menurut jenis maupun dalam rata-rata penggunaan semua bernilai nol. Jika data tersebut benar, padahal luasan tanam kedelai di Nusa Tenggara Barat cukup besar, artinya usahatani kedelai di wilayah ini diusahakan tanpa pemupukan sama sekali. 3.4.2. Adopsi Teknologi Sub Sektor Hortikultura Teknologi Biologis (Benih) Bawang merah merupakan salah satu komoditas penting di subsektor hortikultura, hal ini terkait dengan relatif tingginya fluktuasi harga yang terjadi antar musim dan kelembagaan pemasaran maupun pengelolaan usahatani bawang yang memiliki resiko relatif tinggi (Supriyati, et.al.2003). Keragaan adopsi teknologi pada usahatani bawang merah dilihat dari tingkat penggunaan benih/bibit menunjukkan bahwa sebagian besar petani bawang merah menggunakan benih lebih dari 600 Kg/Ha. Rataan nasional tingkat partisipasi petani yang menggunakan benih lebih dari 600 Kg/Ha sebesar 74 persen. Sementara itu pada tingkat penggunaan yang sama di provinsi Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan tingkat partisipasi masing-masing sebesar 75; 84; dan 93 persen (Tabel 3.4.18). Tabel 3.4.18.
Persentase rumah tangga menurut tingkat penggunaan benih pada komoditas Bawang Merah dan Cabe Merah di Indonesia, 2003
Lokasi Bawang Merah Indonesia Sumbar NTB Kalsel Sulsel Cabe Merah Indonesia
< 201 13 0 4 0 7 <4 3
Penggunaan Benih (Kg/Ha) 201-400 401-600 > 600 8 5 74 20 5 75 7 5 84 0 0 0 0 0 93 4-6 7-9 >9 87 3 8 41
Jumlah 100 100 100 0 100 Jumlah 100
Sumbar 1 72 11 16 NTB 4 86 0 10 Kalsel 5 83 2 10 Sulsel 6 78 3 13 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta
100 100 100 100
Selain bawang merah, komoditas cabe merah merupakan salah satu komoditas strategis di subsektor hortikultura mengingat fluktuasi harga maupun dinamika permintaan yang sangat bervariasi antar waktu. Di saat menjelang hari besar Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru umumnya permitaan cabe merah meningkat tajam dan harga pada saat yang sama meningkat cukup tajam (Saptana, et al.). Oleh karena itu penelaahan terhadap tingkat adopsi teknolgi pada komoditas cabe merah diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk pengembangan kmoditas cabe merah di masa datang. Tingkat partisipasi rumah tangga pada berbagai tingkat penggunaan benih dalam usahatani cabe merah dapat disimak pada Tabel 3.4.17. Data pada tabel tersebut menunjukkan tingkat partisipasi rumah tangga tertinggi pada penggunaan benih antara 4 – 6 Kg/Ha dengan besaran partisipasi antara 72 (Provinsi Sumatera Barat) – 87 persen (rataan di tingkat nasional). Sedangkan pada kategori tingkat penggunaan benih cabe merah yang lainnya tingkat partisipasinya beragam dan relatif kecil. Teknologi Kimia (Pupuk) Untuk adopsi teknologi pengunaan pupuk Urea ada usahatani bawang merah, dan cabe merah data pada Tabel 3.4.18. Terlihat bahwa tingkat partisipasi rumahtangga bervariasi antar wilayah maupun antar jenis pupuk. Di antara empat provinsi penelitian, usahatani bawang merah tidak ditemukan di Provinsi Kalimantan Selatan. Penggunaan pupuk Urea partisipasi rumah tangga relatif tinggi digunakan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat dengan penggunaan lebih dari 300 Kg/Ha masing-masing dengan partisipasi 62 dan 100 persen. Tabel 3.4.18.
Lokasi
Persentase rumah tangga menurut tingkat penggunaan pupuk Urea pada komoditas Bawang Merah dan Cabe Merah di Indonesia, 2003 Rata-rata Penggunaan Pupuk Urea (Kg/Ha) < 101 101-200 201-300 > 300 Jumlah
1. Bawang Merah Indonesia t.d t.d t.d t.d Sumbar 10 10 18 62 NTB 0 0 0 100 Kalsel 0 0 0 0 Sulsel 0 0 0 0 2. Cabe Merah Indonesia 16 24 17 43 Sumbar 21 30 18 31 NTB 4 9 21 67 Kalsel 23 34 3 39 Sulsel 16 40 18 26 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta
t.d 100 100 0 0 100 100 100 100 100
Partisipasi rumah tangga dalam penggunaan pupuk Urea pada usahatani cabe merah juga bevariasi antar tingkat penggunaan maupun wilayah. Namun demikian secara umum tingkat partisipasi penggunaan pupuk Urea lebih dari 300 Kg/Ha cukup dominan dengan 42
besaran partisipasi antara 31 – 67 persen, kecuali di Provinsi Sulawesi Selatan dominan pada penggunaan antara 101 – 200 Kg/Ha dengan t.ingkat partisipasi sebesar 40 persen (Tabel 3.4.18). Data partisipasi penggunaan pupuk TSP/SP36 perlu dicermati kembali mengingat di semua wilayah tingkat partisipasinya bernilai nol namun rata-rata penggunaan jenis pupuk tersebut bervariasi antara 50 – 176 Kg/Ha. Untuk penggunaan pupuk KCL terdapat variasi yang cukup tinggi dalam tingkat penggunaan jenis pupuk tersebut. Partisipasi rumah tangga yang menggunakan KCL kurang dari 15 Kg/Ha berkisar antara 11 – 35 persen untuk rataan nasional dan empat provinsi penelitian. Di wilayah yang sama, variasi partisipasi penggunaan antara 51 – 100 Kg/Ha sekitar 16 – 18 persen, penggunaan antara 101 - 150 Kg/Ha antara 10 – 18 persen, sedangkan pada penggunaan lebih dari 150 Kg/Ha berkisar antara 35 – 55 persen (Tabel 4.5.19 dan Tabel 3.4.20).. Tabel 3.4.19.
Persentase rumah tangga menurut tingkat penggunaan pupuk TSP/SP36 pada komoditas Bawang Merah dan Cabe Merah di Indonesia, 2003 Lokasi Rata-rata Penggunaan Pupuk (Kg/Ha) 1. Bawang Merah < 101 101-200 201-300 > 300 Jumlah Indonesia 0 0 0 0 0 Sumbar 0 0 0 0 0 NTB 0 0 0 0 0 Kalsel 0 0 0 0 0 Sulsel 0 0 0 0 0
2. Cabe Merah < 51 51-100 101-150 > 150 Indonesia 8 16 11 65 Sumbar 3 7 12 78 NTB 18 32 14 37 Kalsel 8 25 14 52 Sulsel 40 19 13 28 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta Tabel 3.4.20.
Lokasi
Jumlah 100 100 100 100 100
Persentase rumah tangga menurut tingkat penggunaan pupuk KCL pada komoditas Bawang Merah dan Cabe Merah di Indonesia, 2003 Rata-rata Penggunaan Pupuk (Kg/Ha) < 51 51-100 101-150 > 150
1. Bawang Merah Indonesia 11 17 18 54 Sumbar 35 18 12 35 NTB 26 16 15 43 Kalsel 0 0 0 0 Sulsel 19 16 10 55 2. Cabe Merah Indonesia 10 20 11 59 Sumbar 6 23 13 58 NTB 53 28 14 6 Kalsel 26 39 7 28 Sulsel 33 34 12 22 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta
43
Jumlah 100 100 100 0 100 100 100 100 100 100
Penggunaan pupuk TSP/SP36 pada usahatani cabe merah cukup intensif yang ditunjukkan dengan tingginya partisipasi rumah tangga pada penggunaan lebih dari 150 Kg/Ha di semua wilayah dengan rataan tingkat partisipasi sekitar 37 – 78 persen, kecuali di Provinsi Sulawesi Selatan dominan pada penggunaan kurang dari 51 Kg/Ha dengan tingkat partsisipasi mencapai 40 persen. (Tabel 3.4.19). Secara nasional partisipasi penggunaan pupuk TSP/SP36 pada penggunaan lebih dari 150 Kg/Ha mencapai 65 persen. Penggunaan pupuk KCL pada usahatani cabe merah bervariasi antar wilayah. Dalam hal ini secara nasional dan di Provinsi Sumatera Barat dominan pada penggunaan lebih dari 150 Kg/Ha dengan tingkat partisipasi masing-masing sebesar 59 dan 58 persen. Sementara itu di Provinsi Nusa Tenggara Barat dominan pada penggunaan kurang dari 51 Kg/Ha dengan tingkat partisipasi 53 persen, sedangkan di Provinsi Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan dominan pada penggunaan antara 51 – 100 Kg/Ha dengan tingkat partisipasi rumah tangga masing-masing sebesar 39 dan 34 persen (Tabel 3.4.20). Tabel 3.4.21. Luas tanam dan rata-rata penggunaan benih dan pupuk pada Bawang Merah dan Cabe Merah menurut jenis dan wilayah, 2003
Komoditas/Wilayah
Luas tanam (ha)
Rata2 Penggunaan (Kg/Ha)
Benih Urea TSP/SP36 1. Bawang Merah Indonesia 83,098 725 333 235 Sumbar 2,185 781 145 221 NTB 8,500 1,011 465 246 Kalsel Sulsel 2,161 511 234 192 2. Cabe Merah Indonesia 96,651 6 304 245 Sumbar 7,264 8 227 279 NTB 750 5 327 115 Kalsel 573 5 296 223 Sulsel 8,928 7 218 133 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta
KCl 176 154 149 144 192 199 71 190 116
Data pada Tabel 3.4.21 menunjukkan rataan luas tanam dan tingkat pengunaan benih dan pupuk menurut jenis dan wilayah untuk komoditas bawang dan cabe merah. Pada tahun 2003 luas tanam bawang merah sekitar 83 ribu hektar. Di empat provinsi penelitian, Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki luasan tanaman bawang merah terbesar yaitu 8500 hektar diikuti Provinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan masing-masing sekitar 2000 hektar. Sementara itu, luas tanam cabe merah pada tahun 2003 secara nasional lebih dari 96 ribu hektar. Di antara empat provinsi penelitian luas tanam cabe merah terbesar adalah di Provinsi Sulawesi Selatan hampir sembilan ribu hektar diikuti Sumatera Barat sekitar 7000 hektar. 3.4.3. Adopsi Teknologi Sub Sektor Perkebunan Teknologi Kimia (Pupuk) Dinamika adopsi teknologi pada sub sektor perkebunan hanya dibahas pada teknologi kimia yaitu penggunaan pupuk menurut jenis, sedangkan komoditas yang dapat dianalisis dinamika adopsi teknologinya adalah karet dan kelapa. Data rataan pemakaian pupuk menurut jenis dan komoditas pada tahun 1993 disajikan pada Tabel 3.4.22. Sementara itu 44
keragaan adopsi teknogi penggunaan pupuk menurut jenis dan komoditas di sub sektor perkebunan pada tahun 2003 disajikan pada Tabel 3.4.23 sampai Tabel 3.4.26. Tabel 3.4.22. Rata-rata pemakaian pupuk per ha usahatani perkebunan menurut jenis tanaman dan jenis pupuk di Indonesia, tahun 1993 Jenis pupuk 1. 2. 3. 4. 5.
Urea/ZA Phospate KCl NPK Pupuk alam
Karet
Kopi
Kelapa
Cengkeh
19,26 8,66 3,39 0,59 8,31
29,09 13,31 3,73 3,22 426,84
3,23 1,29 0,56 0,08 137,43
23,50 9,66 4,58 3,15 935,18
Sumber : Sensus Pertanian 1993. Biro Pusat Statistik, Jakarta dalam Rusastra et al (1998) Secara umum data pada Tabel 3.4.22 menunjukkan bahwa rataan penggunaan pupuk kimia jenis Urea relatif dominan digunakan oleh petani perkebunan dibanding jenis pupuk kimia lainnya. Namun demikian, pada empat komoditas yang diamati petani pekebun juga menggunakan pupuk alam dengan rataan penggunaan yang cukup tinggi terutama pada tanaman kopi, kelapa dan cengkeh. Komoditas karet merupakan salah satu komoditas unggulan di subsektor perkebunan dan pengembangannya berkepentingan dengan kehidupan masyarakat mengingat komoditas karet banyak diusahakan oleh rakyat. Data pada Tabel 3.4.23. menunjukkan bahwa tingkat penggunaan pupuk Urea pada komoditas karet relatif rendah yang ditunjukkan oleh tingginya partisipasi rumah tangga pada tingkat penggunaan kurang dari 0.26 Kg/pohon dengan partisipasi antara 71 – 98 persen. Tabel 3.4.23. Persentase rumah tangga menurut tingkat penggunaan pupuk Urea pada komoditas Karet, Kelapa dan Kakao di Indonesia, 2003 Lokasi 1. Karet Indonesia Sumbar NTB Kalsel Sulsel
< 0,26 84.76 93.02 97.8 0 70.79
Rata-rata Penggunaan Pupuk (Kg/100 Pohon) 0,26-0,50 0,51-0,75 > 0,75 9.79 1.89 3.56 4.98 0.34 1.66 1.1 0 1.1 0 0 0 18.93 3.83 6.45
2. Kelapa
< 0,36
0,36-0,70
0,71-1,20
> 1,20
Jumlah
Indonesia Sumbar NTB Kalsel Sulsel
95.77 99.44 99.44 95.64 93.47
0 0 0 0 0
0.01 0 0 0 0
4.22 0.56 0.56 4.36 6.53
100 100 100 100 100
3. Kakao Indonesia Sumbar
< 0,26 84.76 93.02
0,26-0,50 9.79 4.98
0,51-0,75 1.89 0.34
> 0,75 3.56 1.66
Jumlah 100 100
45
Jumlah 100 100 100 0 100
NTB 97.8 1.1 0 1.1 100 Kalsel 0 0 0 0 0 Sulsel 70.79 18.93 3.83 6.45 100 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta Untuk komoditas kelapa, secara umum adopsi teknologi penggunaan pupuk untuk semua jenis pupuk kimia (Urea, dan juga SP/SP36 maupun KCL pada Tabel 3.4.24 dan Tabel 3.4.25) pada tanaman kelapa di Indonesia relatif kecil. Hal ini ditunjukkan oleh partisipasi rumah tangga dalam penggunaan pupuk Urea dominan pada penggunaan kurang dari 0.36 Kg/pohon dengan tingkat partisipasi sekitar 93 – 99 persen. Sementara itu partisipasi penggunaan pupuk TSP/SP36 dan KCL masing-masing kurang dari 0.08 Kg/pohon dengan tingkat partisipasi 98 – 100 persen. Penggunaan pupuk TSP/SP36 pada komoditas karet bervariasi menurut wilayah namun secara umum dominan pada tingkat penggunaan kurang dari 0.26 Kg/pohon dengan tingkat partisipasi antara 94 – 98 persen (Tabel 4.5.24). Hal yang sama terjadi pada penggunaan pupuk KCL, namun dengan besaran tingkat partisipasi mencapai 96 – 100 persen (Tabel 3.4.25). Tabel 3.4.24. Persentase rumah tangga menurut tingkat penggunaan pupuk TSP/SP36 pada komoditas Karet dan Kelapa di Indonesia, 2003 Lokasi 1. Karet Indonesia Sumbar NTB Kalsel Sulsel
Rata-rata Penggunaan Pupuk (Kg/100 Pohon) < 0,26 0,26-0,50 0,51-0,75 > 0,75 Jumlah 95.76 2.83 0.73 0.68 100 95.68 1.33 1.33 1.66 100 96.7 3.3 0 0 100 0 0 0 0 0 93.92 4.29 0.99 0.8 100
2. Kelapa
< 0,08
0,08-0,14
0,15-0,22
> 0,22
Jumlah
Indonesia Sumbar NTB Kalsel Sulsel
0 99.22 99.9 98.41 98.61
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0.78 0.1 1.59 1.39
0 100 100 100 100 Jumlah
3. Kakao < 0,26 0,26-0,50 0,51-0,75 > 0,75 Indonesia 95.76 2.83 0.73 0.68 100 Sumbar 95.68 1.33 1.33 1.66 100 NTB 96.7 3.3 0 0 100 Kalsel 0 0 0 0 0 Sulsel 93.92 4.29 0.99 0.8 100 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta Keragaan luas tanam karet pada tahun 2003 sekitar enam juta pohon di Indonesia, sementara itu di empat provinsi penelitian luas tanam di Provinsi Sulawesi Selatan cukup tinggi dengan luasan sekitar 205 ribu hektar (Tabel 3.4.26). Luas tanam komoditas kelapa di Indonesia cukup besar, data tahun 2003 menunjukkan terdapat sekitar 215 juta pohon kelapa di Indonesia. Provinsi Sumatera Barat memiliki jumlah pohon kelapa terbanyak dibanding tiga provinsi penelitian lainnya yaitu mencapai sekitar 3.5 juta pohon (Tabel 3.4.26). Tabel 3.4.25. Persentase rumah tangga menurut tingkat penggunaan pupuk KCL pada komoditas Karet dan Kelapa di Indonesia, 2003 46
Lokasi 1. Karet
Rata-rata Penggunaan Pupuk (Kg/100 Pohon) < 0,26 0,26-0,50 0,51-0,75 > 0,75 Jumlah
Indonesia Sumbar NTB Kalsel Sulsel
96.89 97.67 100 0 95.84
2.24 0.67 0 0 3.13
0.41 0.66 0 0 0.41
0.46 1 0 0 0.62
100 100 100 0 100
2. Kelapa
< 0,08
0,08-0,14
0,15-0,22
> 0,22
Jumlah
Indonesia Sumbar NTB Kalsel Sulsel
0 99.93 100 98.92 97.84
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0.07 0 1.08 2.16
0 100 100 100 100 Jumlah
3. Kakao < 0,26 0,26-0,50 0,51-0,75 > 0,75 Indonesia 96.89 2.24 0.41 0.46 100 Sumbar 97.67 0.67 0.66 1 100 NTB 100 0 0 0 100 Kalsel 0 0 0 0 0 Sulsel 95.84 3.13 0.41 0.62 100 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta Kakao sebagai bahan baku produk coklat memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Oleh karenanya telaahan terhadap adopsi teknologi pada usahatani tanaman kakao di Indonesia diharapkan sebagai langkah awal dalam menetapkan kebijakan dan program pengembangan kakao di Indonesia di masa datang. Pada tahun 2003 jumlah tanaman kakao di Indonesia sekitar 637 juta pohon. Di antara empat provinsi penelitian pengembangan kakao di Provinsi Sulawesi Selatan sangat dominan dengan luasan mencapai lebih dari 205 juta pohon. Tabel 3.4.26. Luas tanam dan rata-rata penggunaan benih dan pupuk pada Karet dan Kelapa menurut jenis dan wilayah, 2003
Lokasi
1. Karet Indonesia Sumbar NTB Kalsel Sulsel 2. Kelapa Indonesia Sumbar NTB Kalsel
Luas tanam (000 pohon)
Rata2 Penggunaan (Kg/pohon)
Urea
TSP/SP36
KCl
636,637 3,728 1,484 205,116
11.68 6.72 5.11 16.87
3.96 5.41 1.15 5.42
3.72 4.7 4.61
214,767 3,569 1,742 1,066
1.8 0.71 0.59 2.55
0.63 0.48 0.15 1.84
0.5 0.1 0.8
47
Sulsel 2,443 7.48 1.18 2.92 3. Kakao Indonesia 636,637 11.68 3.96 3.72 Sumbar 3,728 6.72 5.41 4.7 NTB 1,484 5.11 1.15 Kalsel Sulsel 205,116 16.87 5.42 4.61 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta 3.4.4. Adopsi Teknologi Subsektor Peternakan Data adopsi teknologi untuk pengusahaan sapi potong hanya untuk penggunaan teknologi pakan jadi, pakan hijauan dan pakan dari limbah pertanian. Dari berbagai tingkat penggunaan pakan jadi pada pengusahaan sapi potong dan domba di Indonesia, partisipasi rumah tangga dominan pada penggunaan pakan jadi kurang dari 651 Kg/1000 ekor dengan tingkat partisipasi sekitar 97 – 99.83 persen (Tabel 4.5.27). Sebagai salah satu daerah sentra produksi ternak nasional, tingkat partisipasi rumah tangga tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada penggunaan pakan jadi kurang dari 651 Kg/1000 ekor. Sementara itu di Provinsi Sulawesi Selatan tingkat partisipasi rumah tangga sekitar tiga persen pada penggunaan pakan jadi lebih dari 1950 Kg/1000 ekor. Data pada Tabel 3.4.52 dan Tabel 3.4.53 menyajikan tingkat partisipasi rumah tangga pada berbagai tingkat penggunaan pakan hijauan dan pakan yang berasal dari limbah pertanian pada pengusahaan sapi potong. Sedangkan Tabel 3.4.53 menunjukkan jumlah ternak dan rata-rata penggunaan masing-masing jenis sarana produksi. Tingkat penggunaan pakan hijauan untuk sapi potong ternyata cukup tinggi ditunjukkan oleh dominannya tingkat partisipasi rumah tangga dalam penggunaan lebih dari enam ton/ekor atau 6000 ton/1000 ekor dengan tingkat partisipasi berkisar antara 79 – 94 persen. Di empat provinsi penelitian, 100 persen petani domba menggunakan pakan jadi kurang dari 501 Kg/1000 ekor. Sedangkan rata-rata di tingkat nasional partisipasi penggunaan pakan jadi kurang dari 501 Kg/1000 ekor sebesar 99.72 persen, sisanya menggunakan pakan jadi lebih dari 1500 Kg/1000 ekor (Tabel 3.4.27). Tabel 3.4.27. Persentase Rumah Tangga menurut Tingkat Penggunaan Pakan Jadi pada Komoditas Sapi Potong dan Domba di Indonesia, 2003 Wilayah dan Jenis Ternak Penggunaan Pakan Jadi per Tahun (Kg/1000 Ekor) 1. Sapi Potong < 651 651-1300 1301-1950 > 1950 Jumlah Indonesia 98.46 0.02 0.02 1.5 100 Sumbar 99.45 0.06 0 0.49 100 NTB 99.83 0.08 0 0.09 100 Kalsel 99.1 0.08 0 0.82 100 Sulsel 97.3 0.05 0 2.65 100 2. Domba < 501 501-1000 1001-1500 > 1500 Indonesia 99.72 0 0 0.28 Sumbar 100 0 0 0 NTB 100 0 0 0 Kalsel 100 0 0 0 Sulsel 100 0 0 0 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta
48
Jumlah 100 100 100 100 100
Jenis pakan hijauan banyak digunakan peternak dalam usaha ternak domba. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat partisipasi yang tinggi pada penggunaan lebih dari 1300 ton/1000 ekor dengan tingkat partisipasi antara 82 – 100 persen. Dari empat provinsi penelitian, penggunaan pakan hijauan dengan tingkat penggunaan relatif rendah masih banyak ditemukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat, dalam hal ini sekitar 18 persen peternak di provinsi ini menggunakan pakan hijauan kurang dari 401 ton/1000 ekor (Tabel 3.4.28). Tabel 3.4.33. Persentase Rumah Tangga menurut Tingkat Penggunaan Pakan Hijauan pada Komoditas Sapi Potong dan Domba di Indonesia, 2003 Wilayah dan Jenis Ternak Penggunaan Pakan Hijauan per Tahun (Ton/1000 Ekor) 1. Sapi Potong < 2001 2001-4000 4001-6000 > 6000 Jumlah Indonesia Sumbar NTB Kalsel Sulsel
5.39 7.99 16.65 5.95 20.1
0.12 0 0.58 0 0.48
0.14 0.12 0.83 0 0.7
94.34 91.89 81.94 94.05 78.73
2. Domba < 401 401-900 901-1300 > 1300 Indonesia 4.27 0.16 0.07 95.5 Sumbar 0 0 0 100 NTB 17.82 0 0 82.18 Kalsel 0 0 0 100 Sulsel 0 0 0 100 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta
100 100 100 100 100 Jumlah 100 100 100 100 100
Untuk penggunaan pakan dari limbah pertanian, data pada Tabel 3.4.28 menunjukkan bahwa secara umum tingkat penggunaan kurang dari 601 ton/1000 ekor dominan dilakukan oleh peternak. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat partisipasi rumah tangga pada tingkat penggunaan tersebut sekitar 59 – 89 persen, setelah itu penggunaan pakan limbah pertanian sebesar lebih dari 1800 ton/1000 ekor cukup banyak dilakukan oleh peternak dengan tingkat partisipasi sekitar 11 – 40 persen. Tabel 3.4.28. Persentase Rumah Tangga menurut Tingkat Penggunaan Pakan Limbah pada Komoditas Sapi Potong dan Domba di Indonesia, 2003 Wilayah dan Penggunaan Pakan Limbah Pertanian per Tahun Jenis Ternak (Ton/1000 Ekor) 1. Sapi Potong < 601 601-1200 1201-1800 > 1800 Jumlah Indonesia Sumbar NTB Kalsel Sulsel 2. Domba Indonesia Sumbar NTB Kalsel
59.49 89.38 61.16 88.23 63.6 < 26 87.27 100 60.54 100
0.02 0.05 0.08 0 0 26-50
0.02 0 0 0 0 51-75
0 0 0 0 49
40.47 10.58 38.77 11.77 36.4 > 75
0 0 0 0
12.73 0 39.46 0
100 100 100 100 100 Jumlah 100 100 100 100
Sulsel 100 0 0 0 100 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta Penggunaan pakan limbah pertanian tidak banyak dilakukan oleh peternak domba. Hal ini terlihat dari partisipasi penggunaan limbah pertanian kurang dari 26 ton/1000 ekor dengan tingkat partisipasi yang tinggi berkisar antara 60 – 100 persen. Namun demikian rataan nasional menunjukkan partisipasi rumah tangga yang menggunakan pakan limbah pertanian lebih dari 75 ton/1000 ekor mencapai hampir 13 persen dan di Provinsi Nusa Tenggara Barat mencapai hampir 40 persen (Tabel 3.4.28). Jumlah ternak sapi potong di Indonesia tahun 2003 sekitar sembilan juta ekor. Dari empat provinsi penelitian, populasi sapi potong terbesar adalah di Provinsi Sulawesi Selatan sekitar 520 ribu ekor diikuti Provinsi Nusa Tenggara Barat sebanyak 499 ribu ekor (Tabel 3.4.29). Dari tiga jenis pakan yang digunakan pada sapi perah, rata-rata penggunaan pakan hijauan paling intensif digunakan dibanding rata-rata penggunaan pakan jadi maupun pakan limbah pertanian. Jumlah ternak domba pada tahun 2003 di Indonesia hampir dua juta ekor dimana populasi ternak tersebut di Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 6.7 juta ekor dan merupakan jumlah terbesar di antara ke empat provinsi penelitian. Searah dengan uraian tentang tingkat partisipasi, rata-rata penggunaan pakan jenis pakan hijauan dominan digunakan oleh peternak domba di Indonesia maupun di empat provinsi penelitian dengan rataan penggunaan antara 11 – 2160 ton/1000 ekor (Tabel 3.4.29). Tabel 3.4.29. Jumlah Ternak dan Rata-rata Penggunaan Pakan pada Sapi Potong dan Domba menurut Jenis dan Wilayah di Indonesia, 2003 Wilayah dan Jenis Jumlah ternak Rata2 Penggunaan (ton/1000ekor) Ternak (000ekor) Pakan jadi Hijauan Limbah 1. Sapi Potong Indonesia Sumbar NTB Kalsel Sulsel
9,399 221 499 125 529
3.03 0.12 0.08 0.25 0.96
2,843 2,681 1,188 1,609 832
2. Domba Indonesia 1,967 0.41 1,033.53 Sumbar 0.12 2,160.00 NTB 6.66 302.36 Kalsel 2.38 575.1 Sulsel 0.78 10.53 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta
381 116 207 68 66
18.34 38.12 -
Untuk jenis unggas, ayam buras merupakan jenis unggas yang banyak diusahakan oleh peternak di Indonesia. Adopsi teknologi yang akan dilihat pada ayam buras adalah tingkat partisipasi dan rataan penggunaan jenis pakan konsentrat padat dan konsentrat cair. Tabel 3.4.30 dan Tabel 3.4.31 menyajikan persentase atau tingkat partisipasi rumah tangga peternak dalam berbagai tingkat penggunaan pakan masing-masing untuk konsentrat padat dan konsentrat cair. Sementara itu Tabel 3.4.32 menyajikan jumlah ternak ayam buras di Indonesia dan empat provinsi penelitian serta rataan penggunaan pakan konsentrat padat dan cair pada tahun 2003. Tabel 3.4.30. Persentase rumah tangga menurut tingkat penggunaan pakan konsentrat padat pada komoditas ayam buras di Indonesia, 2003 50
Lokasi
Penggunaan Pakan Konsentrat Padat per Tahun (Kg/1000 Ekor) < 1501 1501-3000 3001-4500 > 4500 Jumlah
Indonesia 95.05 2.37 0.73 Sumbar 90.23 3.60 1.81 NTB 94.27 3.64 0.13 Kalsel 95.06 2.71 1.16 Sulsel 95.55 2.25 0.46 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta
1.85 4.36 1.96 1.07 1.74
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Penggunaan pakan konsentrat padat maupun cair pada usaha ayam buras di Indonesia dan empat provinsi penelitian dominan pada penggunaan kurang dari 1501 Kg atau liter per 1000 ekor. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya tingkat partisipasi rumah tangga pada kategori tingkat penggunaan kurang 1501 Kg atau liter per 1000 ekor. Untuk jenis pakan konsentrat tingkat partisipasi tersebut berkisar antara 94 – 96 persen, sedangkan pada jenis pakan konsentrat cair tingkat partisipasi rumah tangga antara 99 – 100 persen (Tabel 3.4.31 dan Tabel 3.4.32). Pada tahun 2003 data pada Tabel 4.5.32 menunjukkan bahwa populasi ayam buras di Indonesia sekitar 68 juta ekor. Di antara empat provinsi penelitian populasi ayam buras di Sumatera Barat memiliki populasi terbesar yaitu hampir empat juta ekor, diikuti oleh Provinsi Sulawesi Selatan sekitar 2.3 juta ekor, Kalimantan Selatan 1.4 juta ekor dan di Nusa Tenggara Barat sebesar 949 ribu ekor. Rataan penggunaan pakan konsentrat padat dan cair bervariasi menurut lokasi. Untuk pakan konsentrat padat rataan penggunaan pakan tersebut relatif rendah dibanding rataan nasional, sementara untuk jenis pakan konsentrat cair polanya tidak konsisten. Tabel 3.4.31. Persentase rumah tangga menurut tingkat penggunaan pakan konsentrat cair pada komoditas ayam buras di Indonesia, 2003
Lokasi
< 1501
Penggunaan Pakan Konsentrat Cair per Tahun (Liter/1000 Ekor) 1501-3000 3001-4500 > 4500
Indonesia 99.84 0.07 0.05 Sumbar 99.55 0.09 0.36 NTB 100.00 0.00 0.00 Kalsel 100.00 0.00 0.00 Sulsel 98.84 0.73 0.06 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta
Jumlah
0.04 0.00 0.00 0.00 0.37
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Tabel 3.4.32. Jumlah ternak ayam buras dan rata-rata penggunaan pakan konsentrat menurut jenis dan wilayah di Indonesia, 2003
Lokasi
Indonesia Sumbar NTB Kalsel
Jumlah ternak (000ekor)
Rata2 Penggunaan (ton/1000ekor) Benih
67,673 3,977 949 1,441
51
Konsentrat padat
Konsentrat cair
818.64 611.04 378.24 480.23
10.60 18.21 0.02
Sulsel 2,351 270.33 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Pertanian (2003), Jakarta
27.04
3.5. Hasil Analisis Prosfektif Partisipatif (PPA) Berdasarkan metode PPA, beberapa tahap yang telah dilakukan adalah : (a) menetapkan batasan sistem yang akan dicapai, adalah suatu ungkapan verbal yang meliputi dimensi ruang dan waktu (spatial dimension and timeframe), untuk kegiatan analisis sensus pertanian maka ditetapkan sistem Apa yang mungkin terjadi pada perekonomian Pedesaan Indonesia Tahun 2020? Dengan definisi Perekonomian Pedesaan adalah segala usaha atau aktivitas pemanfaatan sumberdaya dalam upaya perolehan pendapatan masyarakat pedesaan pada tahun 2020. (b) mengidentifikasi variabel, memilih dan menetapkan variabel yang sekiranya terkait dengan sistem tersebut di atas, dari hasil partisipasi beberapa stakeholders, maka setelah dieliminir variabel yang duplikasi diperoleh sejumlah 31 variable yang sekiranya akan terkait dengan sistem yang telah ditetapkan tersebut, (c) menganalisis pengaruh timbal-balik dari seluruh variabel, dengan metode partisipasi maka masing-masing veriabel diberikan penilaian bobot pengaruh langsung terhadap variabel lain yang bobotnya berkisar antara 0-3, dimana 0=tidak berpengaruh, 1=berpengaruh rendah, 2=berpengarus sedang dan 3=sangat berpengaruh, (d) melakukan interpretasi hubungan pengaruh dan ketergantungan sehingga diperoleh variabel yang memberikan pengaruh kuat, variabel yang ketergantungan kuat, semua ini diperoleh setelah melakukan sorting nilai-nilai variable, (e) menetapkan variable kunci dan (f) membangun skenario, dari kombinasi variabel kunci. Secara rinci jumlah variabel adalah sebanyak 31 variabel dan nilai pengaruh langsung dari masing-masing variabel tertera pada Tabel 3.5.1. Variabel tersebut merupakan hasil proses eliminasi secara partisipatif dari para stakeholders yang mengajukan variabel dikoreksi oleh definisi variabel yang sebelumnya sudah disepakati. Setelah variabel tersebut diperoleh, maka dilanjutkan dengan pemberian nilai pengaruh langsung dari masing-masing variabel secara partisipatif juga untuk menyepakati berapa nilai pengaruh langsungnya 0, 1, 2 atau 3. Nilai 0 pada baris menunjukkan variabel tersebut (pada posisi baris) tidak berpengaruh langsung sama sekali terhadap variabel yang di depannya (kolomnya). Nilai 1 pada baris menunjukkan variabel tersebut (pada posisi baris) berpengaruh langsung rendah terhadap variabel yang di depannya (kolomnya). Nilai 2 pada baris menunjukkan variabel tersebut (pada posisi baris) berpengaruh langsung sedang terhadap variabel yang di depannya (kolomnya). Nilai 3 pada baris menunjukkan variabel tersebut (pada posisi baris) berpengaruh langsung kuat terhadap variabel yang di depannya (kolomnya). Setelah terpenuhi semua kolom dan baris,maka dari 31 variabel tersebut di tentukan urutan variabel yang memiliki penguruh global dari yang terkuat sampai terendah dan menentukan variabel yang memiliki ketergantungan global terkuat sampai terendah. Variabel yang memiliki urutan pengaruh kuat dan urutan ketergantungan kuat tertera pada Tabel 3.5.2. Dari tabel dapat dijelaskan bahwa 10 variabel urutan tertinggi yang memiliki pengaruh langsung global adalah : kebijakan, bencana alam, investasi, kelembagaan, infrastruktur, penerapan teknologi, air, agroindustri, aturan WTO dan pencemaran. Sementara 10 variabel teratas yang memiliki ketergantungan global adalah : Penerapan teknologi, investasi, pendapatan, kesempatan kerja, produktivitas tenaga kerja, agroindustri, harga komoditas, luas lahan, pasar, dan produktivitas modal. Selain itu, sebelum menentukan variabel kunci ditetapkan variabel yang memiliki kekuatan global dengan menggunakan rumus tertentu (telah diuraikan dalam metodologi) dan kekuatan global terbobot, hasilnya adalah tertera pada Tabel 3.5.3 Dari tabel tersebut, semakin mengkristal bahwa ada beberapa variabel yang memiliki pengaruh global dan ketergantungan global muncul lagi pada kekuatan global, seperti : bencana alam, kebijakan, aturan WTO, infrastruktur, kelembagaan, Air, Pencemaran dan Investasi 52
53
Tabel 3.5.1. Variabel dan pengaruh langsung antar variabel No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Dari - Terhadap Status Garap Luas Lahan Kualitas Lahan Penerapan Teknologi Ketersed. Teknologi Komposisi Umur Pendidikan Ketrampilan Akses Modal Upah Kerja Ketersed. TK Investasi Air Kesempatan Kerja Produktivitas Modal Produktivitas TK Bencana Alam Pencemaran Pendapatan Infrastruktur Harga Komoditas Tabungan Harg Saprodi Energi Kelembagaan Agroindustri Kebijakan Demografi Aturan WTO Kendala Biotik Pasar Global dependence Keterangan:
1
2
3
4 5 6 7
8
9 10 11 12 13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
0
0
3 0 0 0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
2 0 0 0
0
3
0
0
0
0
3
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1 0
0
0
0
31
3 0 0 0
0
0
0
0
2
0
0
3
3
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0 0 0
2
0
0
0
3
2
3
3
3
0
1
2
0
2
0
0
0
3
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
3
0
0
0
2 0
0 0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
3
0
0
3
0
0
0
0
3
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
0
2 1 0
0
0
0
3 0 0 0
3
0
0
0
3 0 0 0
0
0
0
0
2 0 0 0
0
1
1
2
0
0
2
0
3
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
1
2
2
1
0
3
0
3
0
0
2
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0 0
0
2
0
1 0 0 0
0
0
3
0
2
0
2 1 0 0
0
1
2
0
3
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
3
1
0
3
0
2
0
0
3
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
2 0
0
2
3
3 0 0 0
0
0
0
0
2
0
0
0
0 0 0 0
1
0
3
0
0
0
3
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
3
3
2
0
0
0
2
3
0
0
0
2
2
3
0
0
0
0
2
2 0
0
0
0
0 0 0 0
0
2
0
0
2
0
0
0
2
0
0 0 0 0
0
0
3
0
2
0
0
2
2
0
1
0
0
0
0
0
2
2
2
0
0
0
1
0
0
1
0
0
2
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0 0
0
3
3
2 0 0 0
0
0
0
1
2
3
3
1
1
0
2
3
2 0 0 0
0
0
0
0
3
2
1
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
2
2
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1 0
1
2
0
2 0 0 3
0
2
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
2
0
2 0 0 1
0
1
0
0
2
3
1
1
1
0
0
3
3
3
0
2
3
1
0
3
3
0
2
3
0
0
2
0
0
0
0
2
1
0
0
1
0
0 0
0
0
0
2 0 0 0
0
0
1
0
1
0
0
2
2
0
0
3
0
0
0
0
0 0 0 1
0
2
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
2
2
1
2
0
0
0
0
3
0 0
0
1
0
2 0 0 0
0
0
0
0
0
0
0
2
2
0
0
2
0
3
0
0
0
0
2 0 0 1
0
0
0
1
1
1
2
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
1
0
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
2
0
0
2 2 0 0
1
2
2
1
2
2
1
0
0
0
0
0
1
1
2
1
1
0
0
0
2 0 0 0
0
1
1
0
3
0
3
2
2
0
2
2
0
2
0
0
1
0
0
2
0
1
2
0
0
3
0
0
0
0
1
1 1
2
2
0
2 2 0 2
0
2
2
0
3
3
3
0
0
1
1
0
3
3
0
3
2
2
2
0
3
0
0 0 3 1
0
0
0
3
0
0
0
0
1
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
2
1
0
0
0
1
3 0
3
1
3
0
0
0
0
0
0
1 1 0 0
0
0
0
0
2
0
2
0
0
0
0
1
1
3
0
1
0
1
2
3
0
0
0
1
2 0 0 0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
1 0 0 0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
2
0
3
0
1
0
1
2
2
0
0
6 23 10 53 7 3 9 10 20 20 16 46 19 38 21 33 2 8 41 11 26 6 11 13 20 30 18 12 0 = Berarti tidak ada pengaruh, 3 = Pengaruhnya kuat, 2 = Pengaruhnya sedang, 1 = Pengarunya lemah
4
54
0 0
3 1
0
8 22
Tabel 3.5.2. Jumlah variabel dan nilai pengaruh serta ketergantungan global No Pengaruh Global Nilai No Ketergantungan Global 1 Kebijakan 50 1 Penerapan Teknologi 2 Bencana Alam 46 2 Investasi 3 Investasi 30 3 Pendapatan 4 Kelembagaan 28 4 Kesempatan Kerja 5 Infrastruktur 27 5 Produktivitas TK 6 Penerapan Teknologi 25 6 Agroindustri 7 Air 24 7 Harga Komoditas 8 Agroindustri 24 8 Luas Lahan 9 Aturan WTO 21 9 Pasar 10 Pencemaran 19 10 Produktivitas Modal 11 Pendidikan 18 11 Akses Modal 12 Ketrampilan 18 12 Upah Kerja 13 Harga Komoditas 17 13 Kelembagaan 14 Harg Saprodi 17 14 Air 15 Kualitas Lahan 16 15 Kebijakan 16 Komposisi Umur 16 16 Ketersed. TK 17 Upah Kerja 16 17 Energi 18 Ketersed. TK 15 18 Demografi 19 Pendapatan 15 19 Infrastruktur 20 Energi 14 20 Harg Saprodi 21 Pasar 14 21 Kualitas Lahan 22 Demografi 13 22 Ketrampilan 23 Luas Lahan 12 23 Pendidikan 24 Produktivitas TK 11 24 Pencemaran 25 Kendala Biotik 11 25 Kendala Biotik 26 Produktivitas Modal 10 26 Ketersed. Teknologi 27 Status Garap 9 27 Status Garap 28 Akses Modal 9 28 Tabungan 29 Kesempatan Kerja 9 29 Aturan WTO 30 Ketersed. Teknologi 7 30 Komposisi Umur 31 Tabungan 5 31 Bencana Alam Jumlah 566 Jumlah Sumber : Hasil pengolahan PPA.
Nilai 53 46 41 38 33 30 26 23 22 21 20 20 20 19 18 16 13 12 11 11 10 10 9 8 8 7 6 6 4 3 2 566
Sebelum ditetapkan variabel kunci yang akan dijadikan sebagai basis untuk menetapkan skenario, maka dianalisis masing-masing variabel yang sudah keluar pada variabel yang memiliki pengaruh dan ketergantungan global serta juga memiliki kekuatan global. Jika dari variabel-variabel tersebut ditemukan variabel yang tidak mungkin dapat dikelola (sebagai exogenous variable) dan hanya memiliki fungsi mempengaruhi ke dalam sistem, maka variabel tersebut dieliminir lagi secara partirsipatif. Setelah mengeliminir variabel tersebut, maka secara partisipatif juga menentukan keadaan-keadaan masing-masing variabel yang secara teknik dapat dilaksanakan (workable) untuk dijadikan sebagai pilihan dalam menentukan skenario untuk mencapai kondisi sitem yang kondusif sesuai dengan harapan yang telah disepakati semula. Dalam penetapatan keadaan variabel tersebut pemilihan terakhir adalah keadaan dalam satu variabel yang tidak terkait atau kontras (mutual exclusive). 55
Tabel 3.5.3. Variabel kekuatan global dan kekuatan terbobot No Kekuatan Global Nilai No Kekuatan Global Terbobot 1 Bencana Alam 0.077886 1 Bencana Alam 2 Kebijakan 0.064955 2 Kebijakan 3 Infrastruktur 0.033894 3 Infrastruktur 4 Aturan WTO 0.031166 4 Aturan WTO 5 Kelembagaan 0.028857 5 Kelembagaan 6 Komposisi Umur 0.023805 6 Komposisi Umur 7 Air 0.023667 7 Air 8 Pencemaran 0.023623 8 Pencemaran 9 Pendidikan 0.021201 9 Pendidikan 10 Investasi 0.020922 10 Investasi 11 Ketrampilan 0.020444 11 Ketrampilan 12 Agroindustri 0.018846 12 Agroindustri 13 Harg Saprodi 0.018236 13 Harg Saprodi 14 Kualitas Lahan 0.017396 14 Kualitas Lahan 15 Penerapan Teknologi 0.014157 15 Penerapan Teknologi 16 Energi 0.012826 16 Energi 17 Ketersed. TK 0.012823 17 Ketersed. TK 18 Upah Kerja 0.012564 18 Upah Kerja 19 Demografi 0.011943 19 Demografi 20 Harga Komoditas 0.011874 20 Harga Komoditas 21 Kendala Biotik 0.011252 21 Kendala Biotik 22 Pasar 0.009619 22 Pasar 23 Status Garap 0.009541 23 Status Garap 24 Luas Lahan 0.007269 24 Luas Lahan 25 Pendapatan 0.007099 25 Pendapatan 26 Ketersed. Teknologi 0.006184 26 Ketersed. Teknologi 27 Produktivitas Modal 0.005699 27 Produktivitas Modal 28 Akses Modal 0.004935 28 Akses Modal 29 Produktivitas TK 0.004859 29 Produktivitas TK 30 Tabungan 0.004015 30 Tabungan 31 Kesempatan Kerja 0.003045 31 Kesempatan Kerja Jumlah 0.574602 Jumlah Sumber : Hasil pengolahan PPA.
Nilai 4.201963 3.504361 1.828613 1.681421 1.556871 1.284293 1.276826 1.274445 1.143823 1.128773 1.102973 1.016732 0.983824 0.938522 0.763771 0.691943 0.691829 0.677821 0.644354 0.64063 0.607029 0.518957 0.514721 0.392168 0.382977 0.333615 0.307479 0.266235 0.262126 0.216633 0.164273 31
Secara rinci hasil akhir variabel kunci, setelah melakukan tapahan penghitungan dan tahapan diskusi secara partisipatif, maka variabel kunci terpilih adalah sejumlah 7 variabel yang dapat dijadikan sebagai basis alternatif penentuan skenario aktivitas dalam rangka mencapai keadaan yang diharapkan pada kondisi Perekonomian Pedesaan Indonesia Tahun 2020, variabel dan keadaan tersebut tertera pada Tabel 3.5.4. Dari tabel tersebut dapat diuraikan bahwa variabel, defisini variabel dan keadaan aksi mutual exclusive yang dapat dilaksanakan dalam menyusun skenario adalah sebagai berikut :
56
Tabel 3.5 4. Variabel kunci dan keadaan alternatif variabel sebagai bahan penyusunan skenario Keadaan No
Variabel Kunci
A
2
3
4
5
6
7
Aturan WTO
Penerapan Teknologi
D
Pemerintah membebaskan swasta untuk melakukan investasi di semua sektor
Pemerintah tidak mempuyai visi yang konsisten untuk jangka panjang tentang tata cara pengaturan perekonomian pedesaan
Tersedia investasi pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM pedesaan melalui pendidikan dan ketrampilan
Investasi di pedesaan, baik sumber pemerintah maupun swasta kurang memadai karena lebih banyak dialokasikan ke wilayah perkotaan dan peri-urban
Semua negara di dunia meratifikasi aturan WTO sehingga membuat pasar produk pertanian terintegrasi sehingga tidak ada batas negara
Negara berkembang bersatu melawan negara maju sehingga negara berkemang dapat meningkatkan efisiensi pertanian dan pembangunan pedesaan
Aturan WTO di suspend sehingga tiap negara berjalan sendiri-sendiri dengan aturan main sendiri dan beberapa komoditas dikuasai oleh beberapa negara pemain utama dunia
Penerapan teknologi pertanian dilakukan dengan baik, tepat guna, dan sesuai dengan permintaan pasar (appropriate technology adoption)
Penerapan teknologi pertanian sulit dilakukan karena tidak sesuai dengan kondisi fisik lahan dan sosial-ekonomi petani
Kebijakan
Investasi
C
Pemerintah menciptakan iklim yang kondusif melalui pembangunan infrastruktur agar terciptanya efisiensi di tingkat usaha tani Tersedia investasi swasta untuk meningkatkan produksi pangan di wilayah sentra produksi
Pemerintah melindungi usaha tani dari pengaruh liberalisasi .
1
B
Investasi tersedia secara cukup, bersumber dari masyarakat setempat dengan pengelolaannya oleh LSM (investasi di pedesaan mandiri)
Infrastruktur
Di Indonesai Bagian Timur tahun Kondisi infrastruktur memadai dan dapat Di Indonesia Bagian Tengah tahun 2020, di sebagian pedesaan yang laju 2020, pembangunan mendukung kegiatan ekonomi di pembangunannya cepat kondisi infrastruktur di pedesaan kurang pedesaan secara merata infrastrukturnya baik, sementara di memadai sehingga tidak pedesaaan yang laju mendukung aktivitas pembangunannya lambat kondisi perekonomian di pedesaan infrastrukturnya tidak memadai.
Air
Kuantitas dan kualitas air untuk pertanian dan non pertanan sesuai kebutuhan karena masyarakat mampu melestarikan SDA dengan teknologi yang ada (termasuk tersedianya teknologi pengolahan air tercemar/limbah cair)
Kualitas Lahan
Kualitas lahan menurun akibat intensitas Peningkatan kualitas lahan karena Kualitas lahan meningkat dan penggunaan prinsip konservasi penanaman yan tinggi menurun antar waktu karena dan pemupukan organik adanya pengaruh harga komoditas yang merubah komoditas yang diusahakan
Akses terhadap air untuk pertanian dan non pertanian sulit karena SDA tercemar dan semakin ketatnya persaingan penggunaan air antar sektor
57
Kualitas lahan menurun di daerah sentra produksi tanaman pangan karena adanya tuntutan untuk mencapai swasembada pangan
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KESIMPULAN A. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan 1. Dalam dua periode antar sensus konversi lahan pertanian di Indonesia tetap tinggi yaitu sekitar 1,3 juta hektar. Dalam dasawarsa pertama (1983-1993) sebagian besar konversi lahan terjadi di Jawa (79,3%) dan pada dasawarsa terakhir (1993-2003) sebagian besar terjadi di Sumatera (92,3%). Alih fungsi lahan dinilai mengkawatirkan karena terjadi pada lahan sawah, khususnya di Jawa dengan proporsi sekitar 61 persen dari total konversi lahan, walaupun demikian, secara agregat nasional masih terdapat sekitar 71 juta hektar lahan di zona kultivasi yang belum dimanfaatkan. 2. Dalam empat periode sensus (empat dasawarsa) terjadi peningkatan ketimpangan distribusi penguasaan lahan yang semakin mengkhawatirkan. Gini rasio distribusi penguasaan lahan pertanian meningkat dari 0,5481 (1973) menjadi 0,7171 pada tahun 2003. Tingkat ketimpangan di Jawa nampak lebih serius dibandingkan dengan di luar Jawa, dimana dalam tahun 2003 nilai Gini Rasionya adalah 0,7227 vs 0,5816. Jadi ketimpangan di kedua wilayah ini termasuk dalam katagori tinggi (Gini rasio > 0,50), dan rumah tangga dengan luas penguasaan lahan < 0,10 hektar menjadi sumber utama ketimpangan distribusi penguasaan lahan. 3. Dalam dasawarsa terakhir (1993-2003), proporsi petani kecil (penguasaan lahan < 0,50 ha) secara nominal meningkat dari 52,66 persen menjadi 56,20 persen. Secara absolut dan relatif eksistensi petani gurem di Jawa sangat mengkhawatirkan. Pada tahun 2003 populasinya mencapai 9.990 rumah tangga petani, dengan proporsi 74,68 persen terhadap total rumah tangga pengguna lahan. Pertumbuhan petani gurem secara nasional mencapai 2,39 persen dan melebihi pertumbuhan rumah tangga pengguna lahan yang besarnya hanya 1,73 persen/tahun. Keadaan ini merefleksikan tingginya permasalahan sektor pertanian dalam mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani, karena usahatani bukan sebagai usaha utama yang dapat dihandalkan. 4. Dalam periode 1993-2003, dalam sub-sektor tanaman pangan terdapat pertumbuhan rumah tangga yang mngusahakan komoditas bernilai ekonomi tinggi (hortikultura) yang relatif tinggi yaitu 6,73 persen/tahun. Di luar sub-sektor tanaman pangan yang mengalami pertumbuhan relatif tinggi adalah bididaya tanaman kehutanan 14,44 persen dan budidaya ikan/biota lain di tambak dan air payau dengan laju pertumbuhan rumah tangga 4,22 persen/tahun. Perkembangan rumah tangga perkebunan dan peternakan/perunggasan cukup menonjol di luar Jawa dengan laju peningkatan 4,07 persen dan 3,08 persen/ per tahun. B. 5.
6.
Pendapatan Rumah Tangga Pertanian Dalam kurun waktu tiga dekade terakhir ini peran atau pangsa sektor pertanian tetap menjadi penyumbang terbesar dalam pendapatan rumah tangga. Di dalam sektor pertanian itu sendiri, peran atau pangsa sub-sektor tanaman pangan masih dominan, namun demikian peran sub-sektor perkebunan mengalami peningkatan yang sangat tajam, yaitu dari hanya di bawah 5 persen menjadi tiga kali lipat-nya atau hampir mencapai 15 persen. Dalam periode tersebut diamati pula bahwa telah terjadi peningkatan peran atau share dari upah tenaga kerja/buruh, baik yang bekerja di pertanian maupun non-pertanian, yaitu dari menjadi 10.66 menjadi 24.42 persen. Dalam pada itu terjadi penurunan peran atau pangsa dari sektor non-usahatani dari 23.38 menjadi 16.51 persen dari pendapatan rumah tangga secara keseluruhan. Pada sepuluh tahun terakhir, struktur pendapatan rumah tangga di dominasi oleh pendapatan yang berasal dari sektor pertanian (50.15 persen), 58
7.
D. 8.
9.
10.
11.
12.
13.
sedangkan sektor non-pertanian menyumbang sebesar 16.51 persen, dan kegiatan/aktivitas ekonomi lainnya menyumbang sebesar 14.96 persen terhadap total pendapatan rumah tangga. Dari status pekerjaan, pada umumnya pendapatan rumahtangga pertanian berasal dari kegiatan yang dikategorikan sebagai bekerja sendiri (self-employment activities) dari kegiatan usahatani. Rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian Indonesia di tahun 2003 adalah sebesar Rp. 8-13 juta per tahun. Sumber terbesar berasal dari sektor pertanian, yaitu sekitar 40-72 persen, baik itu sebagai kegiatan bekerja sendiri maupun sebagi upahan dalam kegiatan usahatani. Tabel hasil analisis menunjukkan bahwa pada tahun 2003, sebanyak 69 persen dari total pendapatan rumah tangga pertanian berasal dari sektor pertanian, dan 24 persen berasal dari sektor lainnya (industri, perdagangan, angkutan dllnya), sedangkan 6 persen berasal dari pendapatan lainnya (berupa pensiun, sewa lahan, bunga, dan transfer). Ketenagakerjaan Rumah Tangga Pertanian Jumlah tenaga kerja pertanian di Indonesia pada tahun 2003 menyebar relatif sama di Jawa dan luar Jawa. Dalam periode 20 tahun, peningkatan tenaga kerja pertanian di Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan rumah tangga pertanian. Hal ini mengindikasikan semakin kecil rata-rata tenaga kerja pertanian per rumah tangga. Pertumbuhan tenaga kerja pertanian antar wilayah menunjukkan bahwa pertumbuhan di luar Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa. Dalam periode 20 tahun, terjadi pergeseran yang cukup signifikan, proporsi petani menurun, sementara proporsi buruh tani dan non pertanian meningkat baik di Indonesia, Jawa maupun luar Jawa. Proporsi buruh tani dan buruh non pertanian di Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan dengan luar Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian di luar Jawa masih merupakan kesempatan kerja utama, dan kesempatan kerja non pertanian masih relatif terbatas. Namun, dalam periode tersebut laju peningkatan buruh tani dan buruh non pertanian di luar Jawa lebih besar dibandingkan dengan Jawa. Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian sampai saat ini masih didominasi oleh subsektor tanaman pangan. Namun dalam periode 1971-2000, penyerapan tenaga kerja subsektor tanaman pangan menunjukkan gejala penurunan, sementara pada subsektor perkebunan dan peternakan cenderung meningkat. Pada subsektor tanaman pangan, pada periode 1971-2000 3 komoditas utama yang menyerap tenaga kerja terbesar adalah padi, umbi-umbian, sayuran dan buah-buahan. Proporsi penyerapan tenaga kerja pada komoditas padi pada periode 1971-1980 meningkat, sementara pada periode tahun 1980-2000 relatif tetap. Secara umum, penyerapan tenaga kerja pada komoditas palawija (jagung, kacang-kacangan dan umbiumbian) cenderung menurun. Proporsi penyerapan tenaga kerja pada komoditas sayuran dan buah-buahan pada periode yang sama cenderung meningkat. Pada subsektor perkebunan, pada awal tahun 1970an komoditas yang menyerap tenaga kerja relatif besar adalah kelapa, karet, tembakau. Dalam perkembangannya, penyerapan tenaga kerja pada ketiga komoditas tersebut cenderung menurun. Penyerapan tenaga kerja tahun 2000 pada subsektor perkebunan relatif merata pada komoditas tebu, kelapa, kelapa sawit, kopi, tembakau, karet, sementara utntuk komoditas lain masih relatif rendah. Pada periode tahun 1982-2003 golongan umur pekerja pertanian di wilayah pedesaan mengalami perubahan, pada tahun 1982 pekerja pertanian didominasi pekerja pada golongan umur di bawah 30 tahun dan pangsa pekerja usia lanjut mencapai sekitar 7 persen. Pada tahun 2003, pekerja pertanian didominasi pekerja berumur 30-44 tahun, sementara pekerja golongan usia muda menurun, sementara pekerja pertanian usia lanjut cenderung meningkat. Fenomena ini menunjukkan bahwa tenaga kerja usia muda mulai kurang tertarik bekerja di sektor pertanian. 59
14.
15.
16.
17.
E.
Dari data Sensus Pertanian tahun 2003, di Indonesia pekerja pertanian (petani) sebagian besar berumur 35-54 tahun, dan proporsi tenaga kerja usia lanjut (>60 tahun) sekitar 13 persen, dengan jumlah pekerja laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja perempuan. Gambaran pekerja pertanian di Jawa dan Luar Jawa agak berbeda, proporsi tenaga kerja usia lanjut di Jawa lebih tinggi dibandingkan Luar Jawa. Gambaran buruh pertanian menurut golongan umur berbeda dengan petani, secara agregat usia buruh tani antara 25-44 tahun, dan proporsi buruh tani usia lanjut berkisar 57 persen. Proporsi buruh tani usia lanjut di Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan Luar Jawa. Perkembangan pendidikan selama 20 tahun terakhir (1983-2003), tampak telah terjadi pergeseran dari level pendidikan rendah kepada level pendidikan yang tinggi, paling tidak bagi anggota rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian baik di Jawa maupun di Luar Jawa sebagai implikasi dari kebijakan pembangunan dibidang pendidikan. Namun tingkat pendidikan pekerja pertanian sebagian besar adalah sampai dengan lulus SD. Ada indikasi tingkat pendidikan pria lebih dibandingkan dengan wanita Secara agregat, pekerja pertanian sebagian besar termasuk katagori setengah pengangguran, dalam periode 1993-2003 proporsinya semakin menurun. Apabila diperinci menurut jenis kelamin, pekerja pertanian laki-laki sebagian besar termasuk katagori bekerja, dalam periode yang sama proporsinya semakin meningkat. Sementara itu, pekerja pertanian perempuan sebagian besar termasuk katagori setengah pengangguran dengan proporsi yang relatif tinggi dan dalam periode tersebut proporsinya semakin menurun. Dinamika Adopsi Teknologi Pertanian 18. Hasil analisis dinamika adopsi teknologi pertanian berbasis data sensus pertanian 1983,1993 dan 2003 secara umum dapat disimpulkan bahwa adopsi teknologi bervariasi menurut komoditas, jenis teknologi atau sarana produksi pertanian maupun lokasi atau wilayah serta antar waktu. Dalam hal ini adopsi teknologi pertanian direfleksikan oleh tingkat partisipasi rumah tangga dan rataan tingkat penggunaan masing-masing jenis teknologi. Jenis teknologi dibedakan berdasar penggunaan teknologi biologis yaitu benih; teknologi kimia yaitu pupuk menurut jenis dan khusus untuk sub sektor peternakan adalah pakan menurut jenis. 19. Di sub sektor tanaman pangan (komoditas padi, jagung) tingkat adopsi teknologi biologis atau penggunaan benih masih dominasi oleh benih yang berasal dari produksi sendiri, namun untuk komoditas kedelai adopsi teknologi penggunaan benih yang berasal dari pembelian relatif dominan dibanding benih yang berasal dari produksi sendiri. Pada selang waktu 1983 – 1993 secara rataan nasional ada kecenderungan makin meningkatnya adopsi teknologi benih yang berasal dari pembelian untuk ketiga komoditas tersebut. 20. Adopsi teknologi penggunaan pupuk di sub sektor tanaman pangan secara umum masih didominasi oleh relatif tingginya partisipasi petani dalam penggunaan pupuk Urea pada komoditas padi, jagung maupun kedelai dibanding partisipasi penggunaan pupuk TSP /SP36 maupun KCL. Namun demikian dinamika adopsi teknologi penggunaan pupuk pada selang waktu 1983 – 1993 – 2003 menunjukkan ke arah yang lebih baik ditunjukkan oleh makin menurunnya partisipasi penggunaan pupuk Urea dan makin meningkatnya partisipasi penggunaan pupuk jenis yang lain. Rekomendasi pemupukan yang dianjurkan adalah pemupukan yang berimbang dan sesuai kebutuhan. Oleh karena itu dari sisi tingkat adopsi hal tersebut sudah mengarah ke pola yang lebih baik, namun demikian dari sisi tingkat penggunaan (dosis per hektar) masih memerlukan upaya ke arah perbaikan sesuai rekomendasi spesifik lokasi. 60
21. Di sub sektor hortikultura, adopsi teknologi benih pada usahatani bawang merah sebagian besar petani menggunakan benih lebih dari 600 Kg/Ha. Rataan nasional tingkat partisipasi petani yang menggunakan benih lebih dari 600 Kg/Ha sebesar 74 persen. Sementara itu pada tingkat penggunaan yang sama di empat provinsi penelitian bervariasi antara 75 - 93 persen. Untuk komoditas cabe merah, partisipasi rumah tangga tertinggi pada penggunaan benih antara 4 – 6 Kg/Ha dengan besaran partisipasi antara 72 (Provinsi Sumatera Barat) – 87 persen (rataan di tingkat nasional). Sedangkan pada kategori tingkat penggunaan benih cabe merah yang lainnya tingkat partisipasinya beragam dan relatif kecil. 22. Untuk adopsi teknologi pengunaan pupuk Urea pada usahatani bawang merah, tingkat partisipasi rumahtangga bervariasi antar wilayah maupun antar jenis pupuk. Di antara empat provinsi penelitian, penggunaan pupuk Urea partisipasi rumah tangga relatif tinggi di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat dengan penggunaan lebih dari 300 Kg/Ha. Pada usahatani cabe merah, secara umum tingkat partisipasi penggunaan pupuk Urea lebih dari 300 Kg/Ha cukup dominan dengan besaran partisipasi antara 31 – 67 persen, kecuali di Provinsi Sulawesi Selatan dominan pada penggunaan antara 101 – 200 Kg/Ha dengan tingkat partisipasi sebesar 40 persen. 23. Adopsi teknologi di sub sektor perkebunan menunjukkan bahwa rataan penggunaan pupuk kimia jenis Urea relatif dominan digunakan oleh petani perkebunan dibanding jenis pupuk kimia lainnya. Namun demikian, pada empat komoditas yang diamati, petani pekebun juga menggunakan pupuk alam dengan rataan penggunaan yang cukup tinggi terutama pada tanaman kopi, kelapa dan cengkeh. Penggunaan pupuk TSP/SP36 pada komoditas karet bervariasi menurut wilayah namun secara umum dominan pada tingkat penggunaan kurang dari 0.26 Kg/pohon dengan tingkat partisipasi antara 94 – 98 persen. Pola serupa terjadi pada penggunaan pupuk KCL. 24. Untuk komoditas kelapa, secara umum adopsi teknologi penggunaan pupuk untuk semua jenis pupuk kimia Urea, SP/SP36 maupun KCL di Indonesia relatif kecil. Hal ini terlihat dari partisipasi rumah tangga dalam penggunaan pupuk Urea dominan pada penggunaan kurang dari 0.36 Kg/pohon. Sementara itu partisipasi penggunaan pupuk TSP/SP36 dan KCL masing-masing kurang dari 0.08 Kg/pohon dengan tingkat partisipasi 98 – 100 persen. 25. Di sub sektor peternakan, adopsi teknologi pakan jadi pada pengusahaan sapi potong di Indonesia dominan pada penggunaan pakan jadi kurang dari 651 Kg/1000 ekor dengan tingkat partisipasi sekitar 97 – lebih dari 99 persen. Sebagai daerah sentra produksi ternak nasional, tingkat partisipasi rumah tangga tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada penggunaan pakan jadi kurang dari 651 Kg/1000 ekor sedangkan di Sulawesi Selatan tingkat partisipasi rumah tangga sekitar tiga persen pada penggunaan pakan jadi lebih dari 1950 Kg/1000 ekor. 26. Untuk jenis pakan hijauan, tingkat partisipasi rumah tangga untuk sapi potong ternyata cukup tinggi ditunjukkan oleh dominannya tingkat partisipasi rumah tangga dalam penggunaan lebih 6000 ton/1000 ekor dengan tingkat partisipasi berkisar antara 79 – 94 persen. Di empat provinsi penelitian, 100 persen petani domba menggunakan pakan jadi kurang dari 501 Kg/1000 ekor. Sedangkan rata-rata di tingkat nasional partisipasi penggunaan pakan jadi untuk domba kurang dari 501 Kg/1000 ekor lebih dari 99 persen. Untuk penggunaan pakan dari limbah pertanian, secara umum tingkat penggunaan kurang dari 601 ton/1000 ekor dominan dilakukan oleh peternak, namun penggunaan pakan limbah pertanian tidak banyak dilakukan oleh peternak domba. 27. Pada tahun 2003 populasi ayam buras di Indonesia sekitar 68 juta ekor. Di antara empat provinsi penelitian populasi ayam buras di Sumatera Barat memiliki populasi terbesar yaitu hampir empat juta ekor, diikuti oleh Provinsi Sulawesi Selatan sekitar 2.3 juta ekor, Kalimantan Selatan 1.4 juta ekor dan di Nusa Tenggara Barat sebesar 949 ribu ekor. 61
Rataan penggunaan pakan konsentrat padat dan cair bervariasi menurut lokasi. Untuk pakan konsentrat padat rataan penggunaan pakan tersebut relatif rendah dibanding rataan nasional, sementara untuk jenis pakan konsentrat cair polanya tidak konsisten. Implikasi Kebijakan A. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan 1. Kekhawatiran akan alih fungsi lahan pertanian cukup beralasan karena terjadi pada lahan pertanian produktif dan penggunaan di luar sektor pertanian, serta terjadi pada wilayah dengan infrastruktur baik. Dalam kompetisi global yang tinggi dan terbatasnya pilihan investasi sektor non-pertanian, eksistensi alih fungsi lahan pertanian tersebut tidak dapat dihindari. Pilihan kebijakan yang dapat dipertimbangkan untuk mengantisipasi permasalahan tersebut diantaranya adalah: (a) Pengembangan usahatani bernilai ekonomi tinggi (khususnya di Jawa) dengan aplikasi teknologi dan manajemen modern untuk mencapai produktivitas dan efisiensi yang tinggi; (b) Pengembangan sistem irigasi secara bertahap dan pemanfaatan potensi sistem irigasi yang ada secara maksimal; (c) Pengembangan lahan pertanian baru di luar Jawa, mengingat masih tersedianya lahan di zona kultivasi seluas 71 hektar. 2. Permasalahan besar lainnya yang dihadapi pertanian Indonesia adalah semakin meningkatnya ketimpangan distribusi penguasaan lahan, semakin menurunnya luas penguasaan lahan per rumah tangga petani, dan eksistensi petani kecil sebagai sumber ketimpangan penguasaan lahan. Dalam konteks ini dibutuhkan komitmen dan kapasitas pemerintah untuk menggalang dukungan dari berbagai pihak untuk memberikan fasilitasi kebijakan bagi pengembangan petani skala kecil. Kebijakan tersebut mencakup dukungan kebijakan publik (R&D, penyuluhan dan insentif usahatani), perbaikan efisiensi pemasaran, dan dukungan kelembagaan usahatani dan agribisnis. Kebijakan strategis lain yang perlu dipertimbangkan diantaranya adalah: (a) Peningkatan akses sumberdaya lahan bagi petani kecil melalui pengembangan kelembagaan dan pasar informal lahan khususnya di daerah dengan modal sosial tinggi; (b) Pengembangan kebijakan distribusi lahan pertanian (agricultural land allotment) yang dinilai lebih praktis bagi petani kecil dibandingkan dengan redistribusi penguasaan lahan; (c) kebijakan distribusi lahan ini (reformasi lahan) perlu didukung dengan kebijakan revitalisasi pertanian dan reformasi ekonomi pedesaan dengan keberpihakan pada petani kecil. 3. Dalam sepuluh tahun terakhir ini nampak terjadi pergeseran kegiatan usahatani oleh rumah tangga petani dari padi/palawija ke hortikultura, disamping kegiatan usaha perkebunan, budidaya tanaman kehutanan dan budidaya ikan. Perkembangan diversifikasi pertanian ini perlu terus didorong dan dipacu dengan dukungan teknologi, modal, perbaikan SDM pertanian, dan pengembangan pemasarannya. Disamping itu perkembangan juga perlu diarahkan pada pengembangan usahatani tidak berbasis lahan (non-land based agricultural development) seperti peternakan/perunggasan yang perkembangannya cukup menonjol di luar Jawa. Perkembangan pertanian yang berimbang antara “land based dan non-land based” akan semakin memperkokoh fondasi diversifikasi pertanian dan akan mengurangi ketergantungan yang tinggi dalam pengembangan dan perluasan kebutuhan lahan pertanian.
4.
C. Pendapatan Rumah Tangga Pertanian Implikasi kebijakan untuk meningkatkan pendapatan sektor pertanian adalah bahwa sektor tersebut tidak diberi beban yang besar untuk menyerap tenaga kerja pedesaan yang pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah (unskilled-labor) dan dukungan pemerintah terhadap sektor tersebut seharusnya lebih dapat di optimalkan terutama dalam infrastruktur pedesaan. Secara spesifik kebijakan pemerintah yang dapat ditempuh adalah (i) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, (ii) mengembangkan infrastruktur 62
di pedesaan, (iii) meningkatkan aksesibilitas modal bagi petani, dan (iv) mengembangkan industri pedesaan/agro-industri. Kebijakan-kebijakan itu bertujuan untuk meningkatkan pendapatan (tidak hanya nominal, tetapi juga riil) rumah tangga pertanian di pedesaan. D. 5.
6.
E. 7.
8.
Ketenagakerjaan Rumah Tangga Pertanian Perluasan kesempatan kerja baik di sektor pertanian, lebih mengarah ke subsektor non tanaman pangan, maupun di luar pertanian sangat diperlukan untuk mengantisipasi peningkatan ketersediaan tenaga kerja pada rumah tangga pertanian, serta untuk menarik kelebiham tenaga kerja di sektor primer Diperlukan terobosan teknologi di sektor pertanian terutama pada bagian hilirnya, agar mampu menampung kelebihan tenaga kerja di sektor prime (hilir), serta mampu menarik tenaga kerja muda yang berpendidikan untuk berusaha di sektor ini. Dinamika Adopsi Teknologi Pertanian Tingkat adopsi teknologi yang direflleksikan oleh tingkat partisipasi rumah tangga dan rataan tingkat penggunaan masing-masing jenis teknologi atau sarana produksi di empat provinsi lokasi penelitian dibandingkan dengan rataan tingkat nasional bervariasi menurut sub sektor, jenis komoditas maupun jenis teknologi atau sarana produksi. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa dalam penyusunan rakitan paket teknologi perlu mempertimbangkan aspek spesifik lokasi. Hal ini penting mengingat beragamnya potensi dan keragaan sumberdaya yang tersedia di masing-masing wilayah Indonesia. Di sub sektor tanaman pangan khususnya pada komoditas padi dan jagung, dinamika adopsi teknologi penggunaan benih menunjukkan pola ke arah yang lebih baik, namun demikian masih relatif tingginya proporsi penggunaan benih yang berasal dari produksi sendiri terutama untuk komoditas padi dan jagung berimplikasi pada pentingnya upaya mendorong ke arah penggunaan benih sesuai rekomendasi. Sesuai rekomendasi teknologi, penggunaan benih yang dianjurkan adalah benih unggul (berlabel) yang tentunya bukan berasal dari produksi sendiri. Dalam kaitan itu. Upaya yang diperlukan adalah melakukan penataan sistem perbenihan nasional meliputi penataan di sisi produksi, distribusi dan kelembagaan pelayanannya sampai di tingkat petani. Melalui penataan sistem perbenihan tersebut diharapkan prinsip lima tepat, yaitu tepat dalam jumlah, jenis, mutu, waktu dan harga dapat dipenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank. 2006. Pathways Out of Rural Poverty and the Effectiveness of Poverty Targeting. Asian Development Bank, Metro Manila, Filipphiness. Anonimous. 1996. Statistik Dalam Rangka Lima Puluh Tahun Indonesia Merdeka. Badan Pusat Statistik, Jakarta. BPS.
Pusdatin-BPS. 2004. Survei Pendapatan Petani (SPP). Sensus Pertanian 2003. Pendapatan Rumah Tangga Pertanian. Kerjasama Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik. BPS. Jakarta.
Deininger, K. 2003. Land Policy for Growth and Poverty Reduction. A World Bank Policy Research Report. World Bank and Oxfor University Press.
63
Dye, Thomas. R. 1997. Understanding Public Policy. Prentice-Hall Inc. A Divison of Simon & Schuster. Englewood Cliffs, New Jersey 07632. Rusastra, I. W. et al. 1997. Perubahan Struktur Ekonomi Pedesaan: Analisis Sensus Pertanian 1983 dan 1993. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor Rusastra, I.W. Land and Household Economy: Policies for Poverty Reduction. CAPSA Flash Vol.5 No.7. July 2007. UNESCAP-CAPSA, Bogor, Indonesia. Janvry, A. and E. Sadoulet. 2001. Access to Land and Land Policy Reforms. Policy Brief No.3. World Institute for Development Economic Research. The United Nation University, Helsinki, Finlandia. Billah, M.M., L. Widjajanto, dan A. Kristianto. 1984. Segi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial dan Pedesaan Jawa. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa (Ed. SMP. Tjondronegoro dan G. Wiradi). PT. Gramedia, Jakarta. Kano, H. 1984. Pemilihan Tanah dan Differensiasi Masyarakat Desa.. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa (Ed. SMP. Tjondronegoro dan G. Wiradi). PT. Gramedia, Jakarta. Geertz, C. 1963. Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia. Berkley and Los Angeles. Univ. of California Press. Rusastra, I.W. dan T. Sudaryanto. 1999. Dinamika Ekonomi Pedesaan dalam Perspektif Pembangunan Nasional. Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian (Ed. IW. Rusastra, et.al. 1999). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Nasution, L.I. 2004. Kebijakan Pembangunan dalam Pengendalian Konvensi Penggunaan Tanah Pertanian. Round Table II Konvensi dan Pengembangan Tanah. Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, Deptan, Jakarta, 14 Desember 2004. Pasandaran, E. 1988. Strategi Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Air. Prisma No.2, Tahun XVII, Februari 1988. LP3ES, Jakarta. Kasryno, F. 1996. Arah Perkembangan Agribisnis di Pulau Jawa Abad XXI. Konvensi Nasional Masa Depan Pulau Jawa Abad Ke XXI. CIDES, Bappenas, Inkindo, dan PPM, 29 – 30 Oktober 1996. Jakarta. Kasryno, F., and ARDS/ADB Team. 2004. Structural Changes in Agricultural Production and Income of Rural Households in Indonesia. Paper presented on January 2004, Agency for Agricultural Research and Development (AARD), Ministry of Agriculture, Indonesia. Silalahi, S.B. 2006. Perkembangan Penggunaan dan Kebijakan Penyediaan Tanah Mendukung Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar: Revitalisasi Ketahanan Pangan: Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Pedesaan. PSEKP dan BKP, Deptan. Jakarta. Todaro, M.P. 2000. Economic Development. Seventh Edition. An Imprint of Addison Wesley Longman, Inc. New York.
64
Bourgeois, R and F. Jesus. 2004. Participatory Prospective Analysis: Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. CAPSA Monograph No.46, UNESCAP-CAPSA-CIRAD, Bogor. Malian, H. et.al. 2004. Analisis Perkembangan Aset, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Rumah Tangga di Sektor Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Rusastra, I W. el.al. 1997. Perubahan Struktur Ekonomi Pedesaan: Analisis Sensus Pertanian 1983 dan 1993. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sayogyo. 2002. Pertanian dan Kemiskinan. Makalah disampaikan pada Pertemuan II Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, YEA-Bina Swadaya. Bogor
65