LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007
Dinamika Sosial Ekonomi Pedesaan: Analisis Perbandingan Antar Sensus Pertanian
Oleh : Erna Maria Lokollo I Wayan Rusastra Handewi P. Saliem Supriyati Supena Friyatno Gelar Setya Budi
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2007
RINGKASAN EKSEKUTIF
I.
PENDAHULUAN
1.
Permasalahan yang terjadi pada sektor pertanian sampai saat ini, antara lain adalah : (1) Semakin meningkatnya RTP (Rumah Tangga Pertanian), sementara lahan pertanian relatif tetap, atau bahkan menurun akibat adanya konversi lahan ke non pertanian. Hal ini mengakibatkan pemilikan lahan semakin menurun; (2) Tenaga kerja muda dan berpendidikan tinggi semakin enggan bekerja di sektor pertanian; (3) Peranan sektor pertanian pada PDB semakin menurun, namun tidak diikuti menurunnya penyerapan tenaga kerja. Hal ini mengakibatkan rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian; (4) Upaya-upaya peningkatan produksi masih menghadapi berbagai kendala.
2.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk : (1) Menganalisis penguasaan dan pengusahaan lahan di tingkat rumah tangga petani ; (2) Menganalisis sumber-sumber pendapatan rumah tangga petani; (3) Menganalisis ketenagakerjaan rumah tangga pertanian ; (4) Menganalisis pemanfaatan teknologi di tingkat petani (penggunaan benih dan pupuk); dan (5) Merumuskan kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan ke depan.
3.
Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah: (1) Data olahan hasil sensus pertanian (SP) tahun 1983, 1993 dan 2003 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS); (2) Data dan laporan hasil penelitian sebelumnya yang merupakan hasil survei yang dilakukan BPS maupun yang dilakukan oleh PSE-KP, yaitu Panel Petani Nasional (PATANAS); (3) Data dasar SP tahun 2003 serta profil rumah tangga pertanian yang telah dihasilkan oleh Pusat Data dan Informasi Pertanian (PUSDATIN) bekerjasama dengan BPS; (4) Data Survey Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan BPS pada titik tahun yang sama dengan Sensus Pertanian. Disamping itu, dilakukan verifikasi dan klarifikasi data pada aspek ketenagakerjaan, pendapatan, penguasaan lahan dan penggunaan teknologi di sektor pertanian pada empat provinsi. Secara purposive, lokasi penelitian adalah Provinsi Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan.
4.
Secara umum, dinamika sosial ekonomi pedesaan dianalisis dengan metoda statistik deskriptif. Komparasi antar titik tahun dilakukan sesuai dengan ketersediaan data sehingga diperoleh gambaran keragaan perubahan struktur dan indikator-indikator ekonomi pedesaan. Cakupan analisis: (1) Jawa, (2) Luar Jawa, dan (3) Indonesia. Data tahun 2003 ditampilkan lebih rinci, yaitu berdasarkan sub-sektor pertanian. Jenis komoditas masing-masing sub-sektor adalah : sub-sektor tanaman pangan r-8
(padi, jagung dan kedelai); sub-sektor hortikultura (kentang, bawang dan cabai merah); sub-sektor perkebunan (kelapa, kakao dan karet); sub-sektor peternakan (sapi, kambing/domba dan ayam buras). 5.
Untuk menganalisis dinamika sosial ekonomi pedesaan secara utuh dan melihat ke masa depan melalui alternatif-alternatif yang ada, maka digunakan metoda analisa prospektif partisipatif (participatory prospective analysis=PPA). Analisa ini menjadi penting karena dimungkinkan untuk mempertimbangkan alternatif masa depan dengan merancang tindakan saat ini yang terkait untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Secara umum, penggunaan kemampuan untuk melihat ke masa depan adalah suatu proses dimana seseorang dapat lebih memahami kekuatan yang membentuk masa depan berdimensi panjang, berdasarkan pemantauan terhadap faktor-faktor kunci dan berbagai indikator tentang tren dan perkembangan yang sedang berlangsung . II. HASIL ANALISIS
Penguasaan dan Pengusahaan Lahan 6.
Dalam dua periode antar sensus, konversi lahan pertanian di Indonesia tetap tinggi yaitu sekitar 1,3 juta hektar. Dalam dasawarsa pertama (19831993) sebagian besar konversi lahan terjadi di Jawa (79,3%) dan pada dasawarsa terakhir (1993-2003) sebagian besar terjadi di Sumatera (92,3%). Alih fungsi lahan dinilai mengkhawatirkan karena terjadi pada lahan sawah, khususnya di Jawa dengan proporsi sekitar 61 persen dari total konversi lahan, walaupun demikian, secara agregat nasional masih terdapat sekitar 71 juta hektar lahan di zona kultivasi yang belum dimanfaatkan.
7.
Dalam empat periode sensus (tiga dasawarsa) terjadi peningkatan ketimpangan distribusi penguasaan lahan yang semakin mengkhawatirkan. Gini rasio distribusi penguasaan lahan pertanian meningkat dari 0,5481 (1973) menjadi 0,7171 pada tahun 2003. Tingkat ketimpangan di Jawa nampak lebih serius dibandingkan dengan di luar Jawa, dimana dalam tahun 2003 nilai Gini Rasionya adalah 0,7227 vs 0,5816. Jadi ketimpangan di kedua wilayah ini termasuk dalam kategori tinggi (Gini rasio > 0,50), dan rumah tangga dengan luas penguasaan lahan < 0,10 hektar menjadi sumber utama ketimpangan distribusi penguasaan lahan.
8.
Dalam dasawarsa terakhir (1993-2003), proporsi petani kecil (penguasaan lahan < 0,50 ha) secara nominal meningkat dari 52,66 persen menjadi 56,20 persen. Secara absolut dan relatif eksistensi petani gurem di Jawa sangat mengkhawatirkan. Pada tahun 2003 populasinya mencapai 9.990 rumah tangga petani, dengan proporsi 74,68 persen terhadap total rumah tangga pengguna lahan. Pertumbuhan petani gurem secara nasional r-9
mencapai 2,39 persen dan melebihi pertumbuhan rumah tangga pengguna lahan yang besarnya hanya 1,73 persen/tahun. Keadaan ini merefleksikan tingginya permasalahan sektor pertanian dalam mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani, karena usahatani bukan sebagai usaha utama yang dapat dihandalkan. 9.
Dalam periode 1993-2003, dalam sub-sektor tanaman pangan terdapat pertumbuhan rumah tangga yang mengusahakan komoditas bernilai ekonomi tinggi (hortikultura) yang relatif tinggi yaitu 6,73 persen/tahun. Di luar sub-sektor tanaman pangan yang mengalami pertumbuhan relatif tinggi adalah bididaya tanaman kehutanan 14,44 persen dan budidaya ikan/biota lain di tambak dan air payau dengan laju pertumbuhan rumah tangga 4,22 persen/tahun. Perkembangan rumah tangga perkebunan dan peternakan/perunggasan cukup menonjol di luar Jawa dengan laju peningkatan 4,07 persen dan 3,08 persen/ per tahun.
Pendapatan Rumah Tangga Pertanian 10.
Dalam kurun waktu tiga dekade terakhir ini peran atau pangsa sektor pertanian tetap menjadi penyumbang terbesar dalam pendapatan rumah tangga. Di dalam sektor pertanian itu sendiri, peran atau pangsa subsektor tanaman pangan masih dominan, namun demikian peran subsektor perkebunan mengalami peningkatan yang sangat tajam, yaitu dari hanya di bawah 5 persen menjadi tiga kali lipat-nya atau hampir mencapai 15 persen.
11.
Dalam periode tersebut diamati pula bahwa telah terjadi tekanan ekonomi, sehingga peran atau share dari upah tenaga kerja/buruh menurun, baik yang bekerja di pertanian maupun non-pertanian, yaitu dari menjadi 10.66 menjadi 8,96 persen. Dalam pada itu terjadi penurunan peran atau pangsa dari sektor non-usahatani dari 23.38 menjadi 16.30 persen dari pendapatan rumah tangga secara keseluruhan. Pada sepuluh tahun terakhir, struktur pendapatan rumah tangga di dominasi oleh pendapatan yang berasal dari sektor pertanian (60,49 persen), sedangkan sektor nonpertanian menyumbang sebesar 16.30 persen, dan kegiatan/aktivitas ekonomi lainnya menyumbang sebesar 14.96 persen terhadap total pendapatan rumah tangga.
12.
Dari status pekerjaan, pada umumnya pendapatan rumahtangga pertanian berasal dari kegiatan yang dikategorikan sebagai bekerja sendiri (self-employment activities) dari kegiatan usahatani. Rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian Indonesia di tahun 2003 adalah sebesar Rp. 8-13 juta per tahun. Sumber terbesar berasal dari sektor pertanian, yaitu sekitar 69,47 persen, baik itu sebagai kegiatan bekerja sendiri maupun sebagi upahan dalam kegiatan usahatani. Tabel hasil analisis menunjukkan bahwa pada tahun 2003, sebanyak 70 persen dari r-10
total pendapatan rumah tangga pertanian berasal dari sektor pertanian, dan 24 persen berasal dari sektor lainnya (industri, perdagangan, angkutan dllnya), sedangkan 6 persen berasal dari pendapatan lainnya (berupa pensiun, sewa lahan, bunga, dan transfer). Ketenagakerjaan Rumah Tangga Pertanian 13.
Jumlah tenaga kerja pertanian di Indonesia pada tahun 2003 menyebar relatif sama di Jawa dan luar Jawa. Dalam periode 20 tahun, peningkatan tenaga kerja pertanian di Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan rumah tangga pertanian. Hal ini mengindikasikan semakin kecil rata-rata tenaga kerja pertanian per rumah tangga. Pertumbuhan tenaga kerja pertanian antar wilayah menunjukkan bahwa pertumbuhan di luar Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa.
14.
Dalam periode 20 tahun, terjadi pergeseran yang cukup signifikan, proporsi petani menurun, sementara proporsi buruh tani dan non pertanian meningkat baik di Indonesia, Jawa maupun luar Jawa. Proporsi buruh tani dan buruh non pertanian di Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan dengan luar Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian di luar Jawa masih merupakan kesempatan kerja utama, dan kesempatan kerja non pertanian masih relatif terbatas. Namun, dalam periode tersebut laju peningkatan buruh tani dan buruh non pertanian di luar Jawa lebih besar dibandingkan dengan Jawa.
15.
Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian sampai saat ini masih didominasi oleh subsektor tanaman pangan. Namun dalam periode 19712000, penyerapan tenaga kerja subsektor tanaman pangan menunjukkan gejala penurunan, sementara pada subsektor perkebunan dan peternakan cenderung meningkat.
16.
Pada subsektor tanaman pangan, pada periode 1971-2000 tiga komoditas utama yang menyerap tenaga kerja terbesar adalah padi, umbiumbian, sayuran dan buah-buahan. Proporsi penyerapan tenaga kerja pada komoditas padi pada periode 1971-1980 meningkat, sementara pada periode tahun 1980-2000 relatif tetap. Secara umum, penyerapan tenaga kerja pada komoditas palawija (jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian) cenderung menurun. Proporsi penyerapan tenaga kerja pada komoditas sayuran dan buah-buahan pada periode yang sama cenderung meningkat.
17.
Pada subsektor perkebunan, pada awal tahun 1970an komoditas yang menyerap tenaga kerja relatif besar adalah kelapa, karet, tembakau. Dalam perkembangannya, penyerapan tenaga kerja pada ketiga komoditas tersebut cenderung menurun. Penyerapan tenaga kerja tahun 2000 pada subsektor perkebunan relatif merata pada komoditas tebu,
r-11
kelapa, kelapa sawit, kopi, tembakau, karet, sementara utntuk komoditas lain masih relatif rendah. 18.
Pada periode tahun 1982-2003 golongan umur pekerja pertanian di wilayah pedesaan mengalami perubahan, pada tahun 1982 pekerja pertanian didominasi pekerja pada golongan umur di bawah 30 tahun dan pangsa pekerja usia lanjut mencapai sekitar 7 persen. Pada tahun 2003, pekerja pertanian didominasi pekerja berumur 30-44 tahun, sementara pekerja golongan usia muda menurun, sementara pekerja pertanian usia lanjut cenderung meningkat. Fenomena ini menunjukkan bahwa tenaga kerja usia muda mulai kurang tertarik bekerja di sektor pertanian.
19.
Dari data Sensus Pertanian tahun 2003, di Indonesia pekerja pertanian (petani) sebagian besar berumur 35-54 tahun, dan proporsi tenaga kerja usia lanjut (>60 tahun) sekitar 13 persen, dengan jumlah pekerja laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja perempuan. Gambaran pekerja pertanian di Jawa dan Luar Jawa agak berbeda, proporsi tenaga kerja usia lanjut di Jawa lebih tinggi dibandingkan Luar Jawa.
20.
Gambaran buruh pertanian menurut golongan umur berbeda dengan petani, secara agregat usia buruh tani antara 25-44 tahun, dan proporsi buruh tani usia lanjut berkisar 5-7 persen.. Proporsi buruh tani usia lanjut di Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan Luar Jawa.
21.
Perkembangan pendidikan selama 20 tahun terakhir (1983-2003), tampak telah terjadi pergeseran dari level pendidikan rendah kepada level pendidikan yang tinggi, paling tidak bagi anggota rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian baik di Jawa maupun di Luar Jawa sebagai implikasi dari kebijakan pembangunan dibidang pendidikan. Namun, tingkat pendidikan pekerja pertanian sebagian besar sampai dengan lulus SD. Ada indikasi tingkat pendidikan pria lebih dibandingkan dengan wanita.
22.
Secara agregat, pekerja pertanian sebagian besar termasuk kategori setengah pengangguran, dalam periode 1993-2003 proporsinya semakin menurun. Apabila diperinci menurut jenis kelamin, pekerja pertanian lakilaki sebagian besar termasuk kategori bekerja, dalam periode yang sama proporsinya semakin meningkat. Sementara itu, pekerja pertanian perempuan sebagian besar termasuk kategori setengah pengangguran dengan proporsi yang relatif tinggi dan dalam periode tersebut proporsinya semakin menurun.
Dinamika Adopsi Teknologi Pertanian 23.
Hasil analisis dinamika adopsi teknologi pertanian berbasis data sensus pertanian 1983,1993 dan 2003 secara umum dapat disimpulkan bahwa r-12
adopsi teknologi bervariasi menurut komoditas, jenis teknologi atau sarana produksi pertanian maupun lokasi atau wilayah serta antar waktu. Dalam hal ini adopsi teknologi pertanian direfleksikan oleh tingkat partisipasi rumah tangga dan rataan tingkat penggunaan masing-masing jenis teknologi. Jenis teknologi dibedakan berdasar penggunaan teknologi biologis yaitu benih; teknologi kimia yaitu pupuk menurut jenis dan khusus untuk sub sektor peternakan adalah pakan menurut jenis. 24.
Di sub sektor tanaman pangan (komoditas padi, jagung) tingkat adopsi teknologi biologis atau penggunaan benih masih dominasi oleh benih yang berasal dari produksi sendiri, namun untuk komoditas kedelai adopsi teknologi penggunaan benih yang berasal dari pembelian relatif dominan dibanding benih yang berasal dari produksi sendiri. Pada selang waktu 1983 – 1993 secara rataan nasional ada kecenderungan makin meningkatnya adopsi teknologi benih yang berasal dari pembelian untuk ketiga komoditas tersebut.
25.
Adopsi teknologi penggunaan pupuk di sub sektor tanaman pangan secara umum masih didominasi oleh relatif tingginya partisipasi petani dalam penggunaan pupuk Urea pada komoditas padi, jagung maupun kedelai dibanding partisipasi baik penggunaan pupuk TSP/SP36 dan KCL. Namun demikian dinamika adopsi teknologi penggunaan pupuk pada selang waktu 1983 – 1993 – 2003 menunjukkan ke arah yang lebih baik ditunjukkan oleh makin menurunnya partisipasi penggunaan pupuk Urea dan makin meningkatnya partisipasi penggunaan pupuk jenis yang lain. Rekomendasi pemupukan yang dianjurkan adalah pemupukan yang berimbang dan sesuai kebutuhan. Oleh karena itu dari sisi tingkat adopsi hal tersebut sudah mengarah ke pola yang lebih baik, namun demikian dari sisi tingkat penggunaan (dosis per hektar) masih memerlukan upaya ke arah perbaikan sesuai rekomendasi spesifik lokasi.
26.
Di sub sektor hortikultura, adopsi teknologi benih pada usahatani bawang merah sebagian besar petani menggunakan benih lebih dari 600 Kg/Ha. Rataan nasional tingkat partisipasi petani yang menggunakan benih lebih dari 600 Kg/Ha sebesar 74 persen. Sementara itu, pada tingkat penggunaan yang sama di empat provinsi penelitian bervariasi antara 75 93 persen. Untuk komoditas cabe merah, partisipasi rumah tangga tertinggi pada penggunaan benih antara 4 – 6 Kg/Ha dengan besaran partisipasi antara 72 (Provinsi Sumatera Barat) – 87 persen (rataan di tingkat nasional). Sedangkan pada kategori tingkat penggunaan benih cabe merah yang lainnya tingkat partisipasinya beragam dan relatif kecil.
27.
Untuk adopsi teknologi pengunaan pupuk Urea pada usahatani bawang merah, tingkat partisipasi rumahtangga bervariasi antar wilayah maupun antar jenis pupuk. Di antara empat provinsi penelitian, penggunaan pupuk Urea partisipasi rumah tangga relatif tinggi di Provinsi Nusa Tenggara r-13
Barat dan Sumatera Barat dengan penggunaan lebih dari 300 Kg/Ha. Pada usahatani cabe merah, secara umum tingkat partisipasi penggunaan pupuk Urea lebih dari 300 Kg/Ha cukup dominan dengan besaran partisipasi antara 31 – 67 persen, kecuali di Provinsi Sulawesi Selatan dominan pada penggunaan antara 101 – 200 Kg/Ha dengan tingkat partisipasi sebesar 40 persen. 28.
Adopsi teknologi di sub sektor perkebunan menunjukkan bahwa rataan penggunaan pupuk kimia jenis Urea relatif dominan digunakan oleh petani perkebunan dibanding jenis pupuk kimia lainnya. Namun demikian, pada empat komoditas yang diamati, petani pekebun juga menggunakan pupuk alam dengan rataan penggunaan yang cukup tinggi terutama pada tanaman kopi, kelapa dan cengkeh. Penggunaan pupuk TSP/SP36 pada komoditas karet bervariasi menurut wilayah namun secara umum dominan pada tingkat penggunaan kurang dari 0.26 Kg/pohon dengan tingkat partisipasi antara 94 – 98 persen. Pola serupa terjadi pada penggunaan pupuk KCL.
29.
Untuk komoditas kelapa, secara umum adopsi teknologi penggunaan pupuk untuk semua jenis pupuk kimia Urea, SP/SP36 maupun KCL di Indonesia relatif kecil. Hal ini terlihat dari partisipasi rumah tangga dalam penggunaan pupuk Urea dominan pada penggunaan kurang dari 0.36 Kg/pohon. Sementara itu, partisipasi penggunaan pupuk TSP/SP36 dan KCL masing-masing kurang dari 0.08 Kg/pohon dengan tingkat partisipasi 98 – 100 persen.
30.
Di sub sektor peternakan, adopsi teknologi pakan jadi pada pengusahaan sapi potong di Indonesia dominan pada penggunaan pakan jadi kurang dari 651 Kg/1000 ekor dengan tingkat partisipasi sekitar 97 – lebih dari 99 persen. Sebagai daerah sentra produksi ternak nasional, tingkat partisipasi rumah tangga tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada penggunaan pakan jadi kurang dari 651 Kg/1000 ekor sedangkan di Sulawesi Selatan tingkat partisipasi rumah tangga sekitar tiga persen pada penggunaan pakan jadi lebih dari 1950 Kg/1000 ekor.
31.
Untuk jenis pakan hijauan, tingkat partisipasi rumah tangga untuk sapi potong ternyata cukup tinggi ditunjukkan oleh dominannya tingkat partisipasi rumah tangga dalam penggunaan lebih 6000 ton/1000 ekor dengan tingkat partisipasi berkisar antara 79 – 94 persen. Di empat provinsi penelitian, 100 persen petani domba menggunakan pakan jadi kurang dari 501 Kg/1000 ekor. Sedangkan rata-rata di tingkat nasional partisipasi penggunaan pakan jadi untuk domba kurang dari 501 Kg/1000 ekor lebih dari 99 persen. Untuk penggunaan pakan dari limbah pertanian, secara umum tingkat penggunaan kurang dari 601 ton/1000 ekor dominan dilakukan oleh peternak, namun penggunaan pakan limbah pertanian tidak banyak dilakukan oleh peternak domba.
r-14
32.
Pada tahun 2003 populasi ayam buras di Indonesia sekitar 68 juta ekor. Di antara empat provinsi penelitian populasi ayam buras di Sumatera Barat memiliki populasi terbesar yaitu hampir empat juta ekor, diikuti oleh Provinsi Sulawesi Selatan sekitar 2.3 juta ekor, Kalimantan Selatan 1.4 juta ekor dan di Nusa Tenggara Barat sebesar 949 ribu ekor. Rataan penggunaan pakan konsentrat padat dan cair bervariasi menurut lokasi. Untuk pakan konsentrat padat rataan penggunaan pakan tersebut relatif rendah dibanding rataan nasional, sementara untuk jenis pakan konsentrat cair polanya tidak konsisten.
Karakteristik dan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Pertanian 33.
Ciri rumah tangga pertanian dalam kurun waktu 30 tahun telah mengalami perubahan-perubahan, baik dari sisi performa rumah tangga pertanian sebagai sumberdaya manusia, sarana dan maupun kesejahteraan mereka. Perubahan yang terjadi pada performa rumah tangga pertanian sebagai sumberdaya dicirikan oleh makin menurunnya jumlah anggota rumah tangga meningkatnya tingkat pendidikan. Pada periode yang sama, umur petani dijumpai semakin tua, akibat generasi muda pedesaan tidak tertarik untuk terjun pada sektor tersebut dan persentase penduduk perempuan juga berkurang. Dalam kondisi rumah tangga pertanian seperti di atas, masih banyak rumah tangga pertanian yang tidak mampu akses terhadap sarana penting bagi kehidupan mereka, seperti air bersih untuk minum dan listrik sebagai sumber enerji untuk penerangan.
34.
Rumah tangga pertanian pada tahun 2003 sekitar 24.8 juta, sekitar 55 persen di Jawa dan selebihnya di Luar Jawa. Dalam periode 20 tahun (1983-2003), rumah tangga pertanian di luar Jawa meningkat dengan laju yang lebih besar dibandingkan dengan di Jawa. rumah tangga pertanian sebagian merupakan Ruta Pengguna Lahan. Namun perkembangan dalam 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa proporsi Ruta Pengguna Lahan di Jawa meningkat dan di Luar Jawa menurun.
35.
Rumah tangga pertanian di Indonesia sebagian besar adalah rumah tangga padi dan palawija, serta perkebunan rakyat. Jumlah rumah tangga padi dan palawija di Indonesia pada periode 1983-2003 menunjukkan kecenderungan meningkat, peningkatan di luar Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa. Rumah tangga perkebunan rakyat agregat dalam 20 tahun terakhir menurun. Penurunan ini disebabkan penurunan rumah tangga perkebunan rakyat di Jawa yang relatif besar sementara di luar Jawa. Rumah tangga hortikultura di Indonesia tumbuh pesat, pertumbuhan di Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan luar Jawa. Proporsi rumah tangga peternakan di Jawa pada periode 1983-2003 cenderung menurun, sementara proporsi di luar Jawa cenderung meningkat.
r-15
36.
Selama kurun waktu 20 tahun (1983-2003) telah terjadi beberapa kecenderungan perubahan proporsi rumah tangga yang akses terhadap fasilitas kesehatan, diantaranya adalah rumah tangga pertanian yang akses ke pelayanan rumah sakit (hospital) dan paramedis (dokter) relatif stabil yaitu masing-masing berkisar antara 50 persen dan 23 persen, namun ada kecenderungan menurun dalam kurun waktu tersebut.
37.
Rumah tangga pertanian yang akses ke pelayanan praktek umum dan paramedis di Jawa lebih tinggi (masing-masing 14,20 persen dan 23,57 persen) di banding dengan di luar Jawa (masing-masing 8,10 persen dan 18,79 persen), sementara untuk yang akses ke pelayanan rumah sakit di luar Jawa lebih tinggi yaitu 55,30 persen di banding di Jawa sebesar 49,68 persen.
38.
Proporsi rumah tangga pertanian sebagian besar (>60%) berusaha mengelola kekurangan finansialnya berasal dari kredit. Dan jika melihat perkembangan selama 30 tahun terakhir, tampak bahwa yang berusaha untuk memenuhi kekurangan dari kredit dan mengambil tabungan cenderung meningkat yaitu untuk kredit dari 43,43 persen pada tahun 1983 menjadi 63,34 persen pada 2003 dan mengambil tabungan dari 1,94 persen pada 1983 meningkat menjadi 5,24 pada 2003. Sementara itu, untuk menggadaikan barang dan menjual aset lahan cenderung menurun. Hal ini memberikan gambaran bahwa dalam kurun waktu tersebut akses rumah tangga pertanian terhadap pelayanan perbankan dan skim kredit relatif meningkat.
39.
Dengan terjadinya peningkatan pada upaya pemenuhan kekurangan finansial dengan cara mengambil pinjaman dari bank, hal ini menunjukkan indikasi positif bahwa rumah tangga pertanian sudah melakukan alokasi pendapatanya untuk fungsi berjaga-jaga, dengan kata lain sudah melakukan cashflow management.
40.
Selama 30 tahun terakhir, proporsi rumah tangga pertanian yang kondisi ekonominya semakin meningkat menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun dari 50,09 persen pada 1983 menjadi 19,31 persen pada 2003, rumah tangga pertanian yang kondisi ekonomi stagnan, justru menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari 37,32 persen pada 1983 menjadi 58,02 persen pada 2003, dan menjadi lebih parah lagi, hal yang sama untuk rumah tangga pertanian yang kondisi ekonominya semakin menurun justru proporsinya semakin meningkat dari 9,08 persen pada 1983 menjadi 17,89 pada 2003 dan dari 2,02 persen pada 1983 menjadi 4,23 persen pada 2003 untuk yang kondisi ekonominya menurun dengan tajam.
41.
Pada lokasi penelitian yang dikunjungi, memberikan keyakinan bahwa indikator kesejahteraan dengan menggunakan kondisi bagian dari rumah r-16
tidak bisa dilihat satu persatu seperti kondisi dinding, lantai, dan atap. Namun apabila dilihat dari keseluruhan tampak bahwa Nusa Tenggara Barat menunjukkan kondisi kesejahteraan yang relatif rendah dibanding dengan propinsi lainnya seperti Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. 42.
Perolehan pendapatan rumah tangga pertanian dari lahan pertanian memberikan indikasi bahwa di Kalimantan Selatan dan Sulwesi Selatan relatif lebih baik dibanding dengan di Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat, bahkan dibanding dengan rata-rata nasional. Hal ini memberikan indikasi bahwa luasan penguasan lahan pertanian dan komoditas perkebunan lebih menentukan terhadap pemenuhan pendapatan dibanding dengan mengejar produktivitas saja.
Hasil Analisis PPA 43.
Penggunaan Participatory Prospective Analysis (PPA) untuk melihat keadaan tahun 2020 menghasilkan tiga skenario. Secara umum ketiga skenario tersebut dengan kondisi di mana peran pemerintah masih sangat diperlukan untuk pembangunan pertanian dan pedesaan. Peran pemerintah yang diperlukan baik dalam menciptakan kondisi yang kondusif terhadap kebijakan, investasi, pembangunan infrastruktur, konservasi lahan dan air, serta melakukan lobi pada negara-negara anggota WTO untuk melakukan perlawanan terhadap negara-negara maju, dalam rangka menciptakan keadaan yang kondusif untuk mencapai efesiensi produksi pertanian dan pembangunan pedesaan. III. IMPLIKASI KEBIJAKAN
Penguasaan dan Pengusahaan Lahan 44.
Kekhawatiran akan alih fungsi lahan pertanian cukup beralasan karena terjadi pada lahan pertanian produktif dan penggunaan di luar sektor pertanian, serta terjadi pada wilayah dengan infrastruktur baik. Dalam kompetisi global yang tinggi dan terbatasnya pilihan investasi sektor nonpertanian, eksistensi alih fungsi lahan pertanian tersebut tidak dapat dihindari. Pilihan kebijakan yang dapat dipertimbangkan untuk mengantisipasi permasalahan tersebut diantaranya adalah: (1) Pengembangan usahatani bernilai ekonomi tinggi (khususnya di Jawa) dengan aplikasi teknologi dan manajemen modern untuk mencapai produktivitas dan efisiensi yang tinggi; (2) Pengembangan sistem irigasi secara bertahap dan pemanfaatan potensi sistem irigasi yang ada secara maksimal; (3) Pengembangan lahan pertanian baru di luar Jawa, mengingat masih tersedianya lahan di zona kultivasi seluas 71 hektar.
45.
Permasalahan besar lainnya yang dihadapi pertanian Indonesia adalah
r-17
semakin meningkatnya ketimpangan distribusi penguasaan lahan, semakin menurunnya luas penguasaan lahan per rumah tangga petani, dan eksistensi petani kecil sebagai sumber ketimpangan penguasaan lahan. Dalam konteks ini dibutuhkan komitmen dan kapasitas pemerintah untuk menggalang dukungan dari berbagai pihak untuk memberikan fasilitasi kebijakan bagi pengembangan petani skala kecil. Kebijakan tersebut mencakup dukungan kebijakan publik (R&D, penyuluhan dan insentif usahatani), perbaikan efisiensi pemasaran, dan dukungan kelembagaan usahatani dan agribisnis. Kebijakan strategis lain yang perlu dipertimbangkan diantaranya adalah: (1) Peningkatan akses sumberdaya lahan bagi petani kecil melalui pengembangan kelembagaan dan pasar informal lahan khususnya di daerah dengan modal sosial tinggi; (2) Pengembangan kebijakan distribusi lahan pertanian (agricultural land allotment) yang dinilai lebih praktis bagi petani kecil dibandingkan dengan redistribusi penguasaan lahan; (3) kebijakan distribusi lahan ini (reformasi lahan) perlu didukung dengan kebijakan revitalisasi pertanian dan reformasi ekonomi pedesaan dengan keberpihakan pada petani kecil. 46.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini nampak terjadi pergeseran kegiatan usahatani oleh rumah tangga petani dari padi/palawija ke hortikultura, disamping kegiatan usaha perkebunan, budidaya tanaman kehutanan dan budidaya ikan. Perkembangan diversifikasi pertanian ini perlu terus didorong dan dipacu dengan dukungan teknologi, modal, perbaikan SDM pertanian, dan pengembangan pemasarannya. Disamping itu perkembangan juga perlu diarahkan pada pengembangan usahatani tidak berbasis lahan (non-land based agricultural development) seperti peternakan/perunggasan yang perkembangannya cukup menonjol di luar Jawa. Perkembangan pertanian yang berimbang antara “land based dan non-land based” akan semakin memperkokoh fondasi diversifikasi pertanian dan akan mengurangi ketergantungan yang tinggi dalam pengembangan dan perluasan kebutuhan lahan pertanian.
Pendapatan Rumah Tangga Pertanian 47.
Untuk meningkatkan pendapatan sektor pertanian adalah bahwa sektor tersebut tidak diberi beban yang besar untuk menyerap tenaga kerja pedesaan yang pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah (unskilled-labor) dan dukungan pemerintah terhadap sektor tersebut seharusnya lebih dapat di optimalkan terutama dalam infrastruktur pedesaan. Secara spesifik kebijakan pemerintah yang dapat ditempuh adalah (1) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, (2) mengembangkan infrastruktur di pedesaan, (3) meningkatkan aksesibilitas modal bagi petani, dan (4) mengembangkan industri pedesaan/agroindustri. Kebijakan-kebijakan itu bertujuan untuk meningkatkan pendapatan (tidak hanya nominal, tetapi juga riil) rumah tangga pertanian di pedesaan.
r-18
Ketenagakerjaan Rumah Tangga Pertanian 48.
Perluasan kesempatan kerja baik di sektor pertanian, lebih mengarah ke subsektor non tanaman pangan, maupun di luar pertanian sangat diperlukan untuk mengantisipasi peningkatan ketersediaan tenaga kerja pada rumah tangga pertanian, serta untuk menarik kelebihan tenaga kerja di sektor primer.
49.
Diperlukan terobosan teknologi di sektor pertanian terutama pada bagian hilirnya, agar mampu menampung kelebihan tenaga kerja di sektor prime (hilir), serta mampu menarik tenaga kerja muda yang berpendidikan untuk berusaha di sektor ini.
Dinamika Adopsi Teknologi Pertanian 50.
Tingkat adopsi teknologi yang direflleksikan oleh tingkat partisipasi rumah tangga dan rataan tingkat penggunaan masing-masing jenis teknologi atau sarana produksi di empat provinsi lokasi penelitian dibandingkan dengan rataan tingkat nasional bervariasi menurut sub sektor, jenis komoditas maupun jenis teknologi atau sarana produksi. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa dalam penyusunan rakitan paket teknologi perlu mempertimbangkan aspek spesifik lokasi. Hal ini penting mengingat beragamnya potensi dan keragaan sumberdaya yang tersedia di masingmasing wilayah Indonesia.
51.
Di sub sektor tanaman pangan, khususnya pada komoditas padi dan jagung, dinamika adopsi teknologi penggunaan benih menunjukkan pola ke arah yang lebih baik, namun demikian masih relatif tingginya proporsi penggunaan benih yang berasal dari produksi sendiri terutama untuk komoditas padi dan jagung berimplikasi pada pentingnya upaya mendorong ke arah penggunaan benih sesuai rekomendasi. Sesuai rekomendasi teknologi, penggunaan benih yang dianjurkan adalah benih unggul (berlabel) yang tentunya bukan berasal dari produksi sendiri. Dalam kaitan itu. Upaya yang diperlukan adalah melakukan penataan sistem perbenihan nasional meliputi penataan di sisi produksi, distribusi dan kelembagaan pelayanannya sampai di tingkat petani. Melalui penataan sistem perbenihan tersebut diharapkan prinsip lima tepat, yaitu tepat dalam jumlah, jenis, mutu, waktu dan harga dapat dipenuhi.
Karakteristik dan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Pertanian 52.
Bahwa dalam rangka melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga peranian dengan menggunakan indikator jenis dinding, jenis atap rumah, jenis lantai tidak bisa berlaku sama secara nasional, tetapi harus spesifik lokasi karena sangat tergantung perbedaan : budaya dan ketersediaan sumberdaya alam setempat. r-19
53.
Dengan adanya indikasi perbedaan tingkat kesejahteraan antar sub sektor yang notabene karena adanya perbedaan nilai komoditi (high value commodities vs low value commodities), maka implikasinya adalah bahwa pemerintah harus melakukan: asesmen peningkatan nilai tambah komoditas yang bernilai rendah (low value commodities) baik di sisi usahatani (perbaikan varitas, penemuan varitas) maupun pada sisi penciptaan kondisi bisnis komoditi yang kondusif, seperti menjaga kesimbangan suplai-demand.
54.
Dengan semakin menurunnya aksesibilitas rumah tangga pertanian terhadap pelayanan kesehaan yang lebih berkualitas, maka pemerintah patut memikirkan adanya kebijakan aspek kesehatan bagi rumah tangga pertanian. Bentuk kebijakan yang memungkinkan selain harga obat dan bahan baku obat, pelayanan kesehatan masyarakat (puskesmas) yang sudah relatif berjalan adalah menciptakan atau inventory obat-obat tradisional/alamiah yang notabene bahan bakunya melimpah di Indonesia, sekaligus memfasilitasi penelitian, asesmen, legal aspek dan menciptakan kondisi lingkungan usahanya.
55.
Dengan adanya indikasi bahwa semakin meningkatnya akses kredit untuk memenuhi kekurangan finansial baik untuk investasi, biaya operasional maupun konsumsi, menunjukkan adanya kesangupan dan kemampuan untuk membayar kredit, Maka hendaknya pemerintah segera melakukan kajian untuk memetakan segmentasi rumah tangga menurut kapasitas SDM, sehingga dapat dipetakan menurut jenis program pendekatannya siapa perlu program apa, karena pada kenyataannya tidak setiap rumah tangga pertanian perlu bantuan modal, tetapi ada yang tidak perlu modal tetapi perlu bimbingan teknis dan cashflow management (technical assistant), ada yang perlu bantuan modal dengan beban bunga ringan, ada yang perlu jaminan pasar, dan ada juga yang perlu bantuan sosial.
56.
Dengan adanya kecenderungan peningkatan kondisi ekonomi rumah tangga yang semakin melandai dan kondisi ekonomi stagnan dan menurun yang semakin meningkat, maka memiliki implikasi terhadap pemerintah untuk menyusun kebijakan (policy setting) yang memihak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat kecil, sehingga jargon kebijakan tersebut harus pro-poor, pro-village, pro-employment dan proequity.
57.
Dengan kecenderungan rata-rata luas pemilikan dan penguasan lahan yang semakin menurun sehingga porsi perolehan pendapatan dari lahan pertanian semakin kecil, maka pemerintah perlu pengambil langkahlangkah strategis seperti : program peningkatan luas garapan lahan melalui konsolidasi garapan, menekan fragmentasi lahan atau mendorong tumbuhnya sumber pendapatan sektor non-landbase, dan meningkatkan nilai tambah. Hal ini pemerintah dapat melakukan melalui fasilitasi agro
r-20
industri pedesaan mulai dari bimbingan teknis (technical assistant), legal aspek produk sampai kepada membuka peluang pasar. Hasil Analisis PPA 58.
Diperlukan adanya upaya-upaya pemerintah dari sekarang untuk memanfaatkan tren positif, serta melakukan usaha untuk mencegah terjadinya kondisi yang tidak mendukung, khususnya pada tahun 2020. Diperlukan sebuah roadmap pembangunan pertanian dan pedesaan pada tahun 2020 secara lebih rinci.
r-21