LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007
Analisis Profil Petani dan Pertanian Indonesia
Oleh : Nyak Ilham Kedi Suradisastra Tri Pranadji Adang Agustian Gatoet Sroe Hardono Endang Lestari Hastuti
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2007
RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan
(1)
Kebijakan harga pangan dengan tujuan mensejahterakan petani menjadi tidak efektif. Karena manfaat kebijakan tersebut justru dinikmati oleh petani dan bukan petani, yang memiliki lahan luas. Petani kecil yang jumlahnya lebih banyak hanya menerima upah buruh atau bagi hasil yang kurang signifikan pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga mereka. Karena itu agar kebijakan dan program peningkatkan kesejahteraan masyarakat tani efektif, diperlukan dukungan data dan informasi yang lengkap dan akurat mengenai profil petani dan kelembagaan pendukungnya. Berdasarkan hal itu, penelitan ini bertujuan menganalisis profil petani dan pertanian di Indonesia yang menyangkut aspek demografi, ketenagakerjaan, penguasaan dan pengusahaan aset, pendapatan dan pengeluaran, serta aspek sosial budaya.
Metoda Penelitian
(2)
Untuk mengetahui profil petani dan persoalannya harus dilihat dari sudut pandang petani sendiri. Selanjutnya dengan fasilitasi kebijakan dan program yang dilaksanakan, pemerintah berperan mempengaruhi arah pembangunan atau mungkin merubahnya ke arah yang diinginkan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk itu, diperlukan data dan informasi yang lengkap dan akurat sesuai dengan yang dialami dan dirasakan petani, berkaitan dengan aspek ekonomi (pecuniary) dan yang berkaitan dengan bukan uang (non-pecuniary). Karena keragaman rumah tangga pertanian yang cukup tinggi maka penelitian ini menganalisis profil petani menurut agroekosistem dan komoditas utama yang diusahakan. Cakupan wilayahnya lingkup nasional, provinsi dan kabupaten.
(3)
Lokasi penelitian ditentukan secara purposive. Kriteria utamanya adalah berdasarkan agroekosistem dan komoditas mengikuti sampling frame Patanas dan Sensus Pertanian tahun 2003. Tiga provinsi yang dipilih adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan. Di setiap provinsi dipilih lokasi kabupaten yang mewakili agroekosistem dataran rendah dan dataran tinggi. Kemudian di setiap wilayah dataran tinggi dan dataran rendah dikelompokkan lagi menjadi agroekosistem irigasi dan non irigasi. Dari hasil klasifikasi itu, dipilih 7 desa padi, 2 desa jagung, 2 desa bawang merah, dan 2 desa karet. Pada masing-masing desa contoh dipilih 15 rumah tangga contoh mewakili pemilikan lahan sempit, sedang, dan luas. Data sekunder bersumber dari BPS berupa data Sensus Pertanian 2003, data Susenas 2003 dan 2005 serta dari instnasi terkait di lingkup Departemen Pertanian. Data dan informasi yang dikumpulkan dianalisis menggunakan statistik deskriptif dengan tabulasi silang, grafik dan gambar.
Hasil dan Pembahasan Profil Demografi
(4)
Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa sebagian besar (45%-85%) keluarga mempunyai jumlah anggota rumahtangga antara 3-4 orang. Data ini tidak jauh berbeda dengan hasil survey dengan jumlah anggota rumahtangga sekitar 24 orang. Fakta ini mengindikasikan bahwa keluarga petani sudah mulai memperhatikan kualitas hidup anggota rumah tangganya. Dampaknya terhadap usahatani adalah kekurangan tenaga kerja dalam keluarga sehingga penggunaan tenaga kerja luar keluarga dan mekanisasi pertanian semakin meningkat. Dengan demikian, pengembangan mekanisasi pertanian melalui UPJA dan berbagai skim lain semakin diperlukan. RE-1
(5)
Secara nasional, data sensus 2003 menunjukkan bahwa 69 persen petani masih dalam usia produktif (25-54 tahun). Petani yang berumur lebih 54 tahun masih banyak terdapat pada petani pangan di Jabar (30%), petani pangan di Jateng (33%), dan petani hortikultura di Jateng (33%). Hasil survey profil petani di lokasi yang lebih terbatas menunjukan sebagian besar petani berusia di atas 40 tahun. Ada kecenderungan banyak penduduk usia muda yang enggan bekerja sebagai petani. Itu disebabkan tidak adanmya insentif yang menarik di sector pertanian, karena harga produk yang relatif rendah, harga input yang mahal, dan pemilikan lahan yang semakin sempit. Jika pergeseran tersebut tidak diikuti oleh pengalihan aset lahan dari pertanian ke nonpertanian mungkin tidak masalah, bahkan akan meningkatkan produktivitas. Namun yang terjadi justeru sebaliknya. Akibatya dapat menurunkan produktivitas dan bahkan menurunkan produksi pangan.
(6)
Secara nasional,daya sensus 2003 menunjukkan bahwa kondisi rumah petani sebagian besar (85%) sudah cukup baik. Hanya pada beberapa daerah seperti petani di Kabupaten Cianjur (43%) yang dinding rumahnya masih terbuat dari bamboo dan sebagian besar petani di Kabupaten Grobogan (80,50%) dan Blora (78,68%) lantai rumah petani masih dari tanah. Mereka umumnya adalah petani tanaman pangan. Hasil survey di lokasi penelitian menunjukkan kondisi yang sama. Untuk menncukupi air minum sebagian besar masyarakat tani menggunakan air minum dari sumber yang layak (90%). Selebihnya (10%) petani menggunakan air minum yang bersunber dari air sungai dan air hujan. Daerah yang banyak menggunakan air hujan adalah di Kabupaten Banyuasin (52 %). Fasilitas lain, yaitu listrik sudah dapat dinikmati oleh sebagian besar (81%) petani di pedesaan, selebihnya menggunakan sentir/pelita,petromaks dan lainnya.
Profil Penguasaan Aset
(7)
Data Sensus Pertanian 2003 dan survey profil petani menunjukkan bawa sebagian besar petani memiliki lahan kurang dari 0.5 hektar, kecuali di Desa Banyu Urip eks daerah transmigrasi, Desa Mulya Agung Banyuasin dan Desa Perdjito daerah perkebunan karet. Pada ketiga daerah ini rataan pemilikan lahan pertanian berkisar 1.94 – 3.91 Ha per rumah tangga tani, atau menurut data sensus 2003 petani yang memiliki luas lahan kurang dari 0.5 ha hanya 3 – 12 persen dari populasi petani di daerah itu.
(8)
Dari 13 desa contoh, ada enam desa yang pemilikan lahannya meningkat, empat desa luas lahannya stabil, dan hanya dua desa yang luas lahannya menurun. Perubahan luas lahan tersebut dapat disebabkan oleh perubahan keuntungan usahatani, usaha luar pertanian atau peralihan antar ke aset lain. Sedangkan untuk asset lain enam desa meningkat, empat desa stabil dan hanya tiga desa yang turun. Jika dilihat dari kedua asset ada tujuh desa yang meningkat kesejahteraannya, empat desa stabil, dan dua desa menurun. Dengan demikian, secara umum ada indikasi terjadi peningkatan kesejahteraan petani.
Profil Teknologi
(9)
Secara nasional, data sensus 2003 menunjukkan bahwa penggunaan benih pada usahatani padi sawah (41 – 45 kg/ha) masih di atas dosis anjuran yaitu (30 kg/ha). Hasil survey profil 2007 bahkan cenderung meningkat (47-60 kg/ha), kecuali di Indramayu hanya 20 – 30 Kg/Ha. Perilaku ini menyebabkan ketersediaan benih di pasar kurang dari yang dibutuhkan sehingga harganya meningkat. Kondisi ini diantisipasi sebagian petani dengan menggunaan benih turunan yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas. Hampir di semua lokasi penelitian, petani
RE-2
menggunakan benih padi varietas Ciherang dengan alasan produksi tinggi, tahan hama-penyakit, umur pendek, dan nasinya pulen.
(10) Sensus Pertanian 2003 menunjukkan rata-rata penggunaan benih jagung secara nasional dan lokasi penelitian (25.94 kg/ha) tidak berbeda dengan yang dianjurkan yaitu 20 – 40 kg. Hasil survey profil 2007 menunjukkan bahwa dosis benih jagung di Desa Gedangan Grobogan hanya 10 Kg/ha. Ini disebabkan petani menanam jagung lebih ditujukan untuk memanfaatan lahan saat musim kemarau, bukan untuk tujuan produksi. Pada umumnya produksi yang dicapai di bawah 3.5 ton.
(11) Pada usahatani bawang merah, rekomendasi dosis bibit antara 900 - 1200 kg/ha. Secara nasional, Sensus Pertanian tahun 2003, menunjukkan bahwa petani bawang merah menggunakan bibit di bawah rekomendasi yaitu antara 700 – 800 kg/ha. Hasil survey profil menggunakan bibit antara 883 – 1365 kg/ha. Bibit bawang yang ditanam petani di Desa Tanjungsari lebih seragam yaitu 93 persen varietas Bangkok, sedangkan di Desa Banjarharjo penggunaan varietas lebih beragam yaitu Kuning (40%), Filiphina (40%) dan jenis lainnya (20%). Masalahnya adalah belum ada kejelasan lembaga yang melakukan penangkaran bibit bawang merah. Sebagian besar petani masih menggunakan benih hasil produksi sendiri dan benih impor yang sebenarnya dimaksudkan untuk konsumsi.
(12) Jumlah bahan tanam/bibit yang digunakan pada usahatani karet berkisar 476 – 500 batang/ha tergantung topografi lahan. Hasil Sensus Pertanian 2003 tidak mengidentifikasi data jumlah penggunaan bibit karet yang di lakukan petani. Hasil survey profil menunjukkan bahwa masih banyak petani menggunakan bibit karet alam. Di Desa Mulya Agung Banyuasin petani menggunakan bibit klon unggul PB 260 jumlah pohon per hektar bervariasi 500 - 700 batang. Di Desa Perdjito Jumlah bibit yang ditanam peserta program Gerbang Serasan yang dikelola Dinas Perkebunan Kabupaten Muara Enim sebanyak 450 batang per hektar, sedangkan yang menggunakan karet alam sekitar 700 batang per hektar.
(13) Data Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan petani padi sawah di Jawa sudah menerapkan penggunaan pupuk urea mendekati anjuran antara 248 – 326 kg/ha, sedangkan di Provinsi Sumatera Selatan 129 kg/ha, bahkan di Kabupaten Banyuasin hanya 80 kg/ha. Kecilnya dosis urea di Sumsel disebabkan bervariasinya tipe sawah yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah pasang surut dan sawah lebak. Rataan penggunaan TSP/SP 36 secara nasional adalah 122 kg/ha. Di Kabupaten Grobogan dosis TSP/SP36 lebih dari 200 kg/ha, daerah lainnya berkisar 150 kg/ha, kecuali Banyuasin hanya 63 kg/ha. Rataan penggunaan KCl secara nasional 78 kg/ha. Kondisi ini di berbagai daerah bervariasi karena harga KCl relatif tinggi, sedangkan dampaknya terhadap produksi tidak begitu tinggi.
(14) Pada tanaman padi sawah dan jagung dosis penggunaan pupuk urea dan TSP/SP36 antara hasil Sensus Pertanian tahun 2003 dan hasil survey profil 2007 tidak mengalami perubahan. Penggunaan pupuk KCl yang masih relatif kecil dibanding dosis rekomendasi dan penggunaannya bervariasi antar wilayah. Hal yang sama juga terjadi pada usahatani bawang merah, penggunaan pupuk saat ini dengan hasil sensus 2003 tidak jauh berbeda. Namun demikian, penggunaan pupuk saat ini jauh lebih bervariasi. Selain urea, TSP/SP36 dan KCl, petani di lokasi penelitian juga menggunakan pupuk ZA, NPK dan Ponska.
(15) Penggunaan pupuk pada usahatani karet menurut hasil Sensus Pertanian 2003 masih lebih rendah dari dosis anjuran. Data ini menunjukan pentingnya kegiatan
RE-3
penyuluhan untuk menerapkan teknologi budidaya karet yang baik. Apalagi jika penggunaan klon unggul diintroduksikan kepada semua petani. Hasil survey profil tahun 2007 di Desa Mulya Agung, penggunaan pupuk lebih tinggi dibandingan dengan petani karet di Desa Perdjito Muara Enim. Hal itu disebabkan petani di Mulya Agung sudah banyak yang menggunakan klon unggul dibandingkan petani Desa Perdjito. Di Desa Perdjito, petani yang menggunakan klon unggul terbatas pada petani peserta program pemerintah, sedangkan di Mulya Agung sudah banyak petani secara swadana membeli klon unggul.
(16) Permasalahan yang dihadapi petani padi berkaitan dengan aplikasi teknologi adalah karena terbatasnya fasilitas irigasi. Ketersediaan air, terutama pada usahatani padi, merupakan prasyarat untuk dapat mengaplikasikan teknologi lain yaitu penggunaan benih unggul, penggunaan pupuk, pengendalian hama, dan pengolahan lahan. Pemecahan masalah irigasi tidak dapat dilakukan oleh petani. Upaya petani menggunakan pompa air untuk mengatasi ketersediaan air membutuhkan biaya tinggi dan hasilnyapun tidak optimal. Disamping itu jika tidak dikendalikan, teknologi tersebut dapat mengganggu sistem air tanah. Oleh karena itu, sistem irigasi harus menjadi investasi pemerintah, atau kemitraan pemerintah dan swasta.
(17) Penggunaan teknologi tidak semuanya spesifik menurut agroekosistem. Pada tanaman jagung di Blora, ada perbedaan penggunaan varietas di lahan kering dan lahan sawah non irigasi. Demikian juga penggunaan varietas bawang di agroekosistem sawah irigasi Desa Tanjungsari dengan agroekosistem sawah non irigasi Desa Banjarharjo keduanya di Kabupaten Brebes. Namun penggunaan varietas padi tidak unik, karena varietas Ciherang hampir ditanam di seluruh lokasi penelitian, kecuali di Desa Sumber Agung Kabupaten Grobogan.
(18) Selain agroekosistem, faktor budaya dan etnis serta sistem penunjang (lembaga penyuluhan) juga menentukan tingkat adopsi teknologi. Petani Jawa Barat yang berada di sentra produksi utama (Indramayu) masih menggunakan gebotan untuk merontokkan padi, padahal power tresher yang menggunakan mesin sudah cukup tersedia. Petani Karet eks trans Jawa di Banyuasin lebih responsif dalam menggunakan klon unggul dibanding petani etnis lokal di Kabupaten Muara Enim. Profil Ketenagakerjaan
(19) Lembaga upah tenaga kerja umumnya menggunakan sistem: borongan, harian, dan bagi hasil/bawon. Kelembagaan tenaga kerja yang sudah mulai langka adalah sistem sambatan, bahkan sistem ceblokan sudah tidak ditemui lagi. Di Desa Banyu Urip, lembaga sambatan dilakukan pada kegiatan penanaman dan penyulaman tanaman. Di Desa Gedangan sistem sambatan dilakukan untuk kegiatan membangun rumah. Di Tanjungsari, sistem sambatan banyak dilakukan oleh petani berlahan sempit terutama dalam membuat selokan diantara bedengan untuk penanaman bawang merah. Sejalan dengan menurunnya sistem sambatan, sistem upah harian semakin meningkat. Perubahan tersebut disebabkan perilaku masyarakat yang sudah banyak menilai sesuatu dengan uang (monetisasi).
(20) Kisaran pangsa curahan jam kerja pada sektor pertanian di berbagai desa dan agroekosistem antara 49 – 82 persen. Sejalan dengan pangsa pendapatan, pangsa curahan jam kerja petani padi (49%-73%) memiliki nilai terkecil dibandingkan bawang merah (75%-79%) dan karet (77%-79%). Kesempatan petani padi bekerja di luar sektor pertanian relatif lebih besar dibandingkan petani bawang dan karet. Karena petani bawang bekerja intensif sedangkan petani karet setiap saat, kecuali musim hujan. RE-4
Profil Pendapatan dan Sumber Pendapatan
(21) Pangsa pendapatan petani pada berbagai jenis komoditas dan agroekosistem berkisar antara 40 – 81 persen, bervariasi menurut jenis tanaman dan intensitas tanam. Pada tanaman padi baik irigasi maupun non irigasi, hanya 45 – 69 persen, pada jagung hanya 57 – 77 persen, pada bawang merah monokultur di sawah irigasi sampai 81 persen dan pada usahatani polikultur di sawah non irigasi hanya 57 persen. Pada petani karet pangsa pendapatan usahatani hanya 40-50 persen.
(22) Tingginya intensitas tanam tanaman bawang merah di Desa Tanjung Sari Brebes yaitu rata-rata 4 kali tanam tanam (padi-bawang-bawang-bawang) bahkan ada satu responden yang melakukan 5 kali tanam (padi-bawang-bawang-bawangbawang) menyebabkan tingginya pangsa pendapatan dari usahatani ini. Berbeda dengan desa Tawang Rejo kondisi lahan relatif sempit dan tanpa irigasi menyebabkan produktivitas lahan rendah sehingga banyak petani yang mengisi waktu untuk berburuh bangunan ke Jakarta dan kota besar lain. Profil Konsumsi dan Pengeluaran Petani dan Bukan Petani
(23) Secara umum pangsa pengeluaran pangan secara nasional dan lokasi studi baik berdasarkan wilayah desa kota, kelas pendapatan baik penduduk yang bekerja di pertanian dan non pertanian dari tahun 2002 ke 2005 mengalami peningkatan. Ini mengindikasikan kesejahteraan masyarakat mengalami penurunan. Hasil survey profil tahun 2007 pangsa pengeluaran pangan cenderung menurun. Ini mengindikasikan kesejahteraan petani semakin meningkat.
(24) Petani di daerah miskin menunjukkan keinginan untuk mengubah tingkat kehidupannya. Karena itu pengeluaran non pangan yang mereka utamakan adalah untuk kesehatan dan pendidikan agar bekerja lebih baik guna membiayai kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak agar kelak dapat bekerja di luar sektor pertanian. Upaya itu dilakukan dengan mengurangi biaya untuk pangan dan biaya usahatani. Pola ini menyebabkan walau pendapatan mereka rendah tetapi pengeluaran non pangan lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk pangan.
(25) Biaya non pangan lain yang jumlahnya besar adalah biaya hajatan. Besarnya biaya hajatan dan pendidikan pada hampir semua kelas pendapatan menyebabkan walaupun seseorang masuk kelas pendapatan rendah, namun pengeluaran non pangannya relative besar. Hal ini tidak sesuai dengan Hukum Engel. Bagi masyarakat desa atau petani, sebenarnya tidak semua sepakat dengan budaya itu, tetapi mereka merasa malu dan/atau akan dikucilkan jika tidak mengikuti pola demikian. Namun, sebagian masyarakat terbantu dengan pola demikian..
(26) Secara nasional dan pada lokasi survey, konsumsi beras menurun. Umumnya pangan yang dikonsumsi rumah tangga baik petani maupun non petani sebagian besar berasal dari pembelian dan kecenderungan meningkat dari tahun 2002 ke 2005. Untuk kasus beras, ketergantungan rumah tangga terhadap pasar mencapai 70 – 89 persen. Kondisi ini dapat mengganggu kecukupan pangan bila terjadi lonjakan harga. Profil Kelembagaan
(27) Masih banyak kontroversi mengenai pembentukan Gapoktan di daerah. Secara konsepsi pembentukan Gapoktan cukup baik. Namun karena kemampuan personal dalam jiwa wirausaha dan kemampuan modal yang masih terbatas, serta RE-5
status badan hukum, maka dalam jangka pendek perannya masih sulit diharapkan. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah jiwa wirausaha. Karena itu disarankan pola pembentukan Gapoktan diintegrasikan dengan LUEP dengan beberapa poktan di wilayah kerja LUEP.
(28) Jumlah PPL bervariasi ada yang meningkat, menurun dan stabil.
Namun walaupun terjadi peningkatan jumlahnya masih kurang dibandingklan wilayah kerjanya. Jika dirasiokan antra jumlah PPL dengan jumlah desa maka seorang PPL rata-rata harus membina lebih dari satu desa. Bahkan di Brebes mencapai 3 – 4 desa. Rasio yang kecil, fasilitas yang terbatas, sistem insentif dan jaminan kerja yang tidak pasti menyebabkan banyak PPL yang jarang berkunjung ke wilayah kerjanya. Apalagi tempat PPL berkumpul yaitu BPP kondisinya banyak yang tidak memadai. Di beberapa daerah jumlah BPP lebih sedikit dibandingkan jumlah kecamatan.
(29) Selain lembaga di atas ada juga lembaga bentukan pemerintah seperti KUD, UPJA, dan Lumbung. KUD yang ada umumnya sudah tidak melakukan peran pertanian tetapi lebih ke arah pelayanan jasa umum seperti pelayanan listrik dan sembako. UPJA perlu terus dibina dan sebaiknya semua program mekanisasi di desa dikelola oleh UPJA. Keberadaan dan keberhasilan Lumbung ditentukan oleh kebutuhan dan lokasi desa. Ada lumbung yang kurang berfungsi karena pembangunannya merupakan hadiah. Sebaliknya, ada lumbung berjalan lancar karena memang dibentuk oleh anggota masyarakat, kemudian diberi penguatan fasilitas berupa mesin penggilingan padi. Selain lembaga bentukan pemerintah ada juga lembaga bukan bentukan pemerintah baik di desa maupun dari luar desa. Lembaga ini banyak terlibat dalam mendukung pembangunan pertanian sesuai segmen agribisnis sejak dari saprodi, jasa mekanisasi pra panen dan pasca panen, dan pedagang hasil.
(30) Sebagian besar petani mengandalkan modal sendiri untuk usahatani. Namun banyak juga yang tidak mencukupi sehingga harus meminjam dari kios saprodi dengan sistem yarnen. Jika dihitung, tingkat bunga yang dikenakan kios terhadap petani mencapai 10%/bln. Walaupun mahal petani merasa terbantu karena pelayanan tersebut selalu tersedia saat dibutuhkan dengan tanpa syarat yang menyulitkan. Sebagian kecil petani ada juga yang menggunakan jasa bank. Kasus di Indramayu petani meminjam dana bank BRI dengan sistem yarnen. Pola ini ternyata memudahkan petani dibandingkan pola bank konvensional. Namun tidak semua bank menggunakan pola ini. Kasus Desa Gedangan dan Tawang Rejo, keberadaan bank BPR dengan sistem jemput bola langsung keliling desa dan persyaratan mudah menyebabkan petani akses terhadap bank. Sementara Skim SP3 pada saat studi dilakukan masih pada taraf sosialisasi di provinsi dan kabupaten. Dampak Pembangunan Pertanian pada Petani
(31) Secara umum kegiatan-kegiatan yang dilakukan berbagai instansi pemerintah untuk mendukung program peningkatan produksi dan pendapatan petani padi sudah terumuskan secara holistik. Namun, masih dijumpai masalah yang berkaitan dengan administrasi, penafsiran, dan sinkronisasi. Dengan kondisi itu, sebagian besar petani masih mengharapkan adanya kebijakan dan program yang mendukung peningkatan kesejahteraan merekai. Karena persentase petani yang mendapat manfaat positif dari program pembangunan yang sedang berjalan relatif kecil. Mekanisme penyaluran bantuan pada mereka sebaiknya ditujukan langsung kepada petani atau kelompok tani.
RE-6
Kesimpulan
(32) Ada kecenderungan pelambatan trend penawaran tenaga kerja di sektor pertanian. Perubahan tersebut secara sosial disebabkan adanya pandangan di masyarakat desa bahwa bekerja sebagai petani itu sungguh berat dan rendah statusnya, terutama di kalangan generasi muda.
(33) Data Sensus Pertanian tahun 2003 dan survey profil 2007 menunjukkan bawa sebagian besar petani memiliki lahan kurang dari 0.5 hektar, kecuali di Desa Banyu Urip, Mulya Agung, Perdjito, Tugu, dan Gantar. Dalam periode 2004 – 2007 asset lahan dan asset lain yang dimiliki petani pada beberapa lokasi penelitian meningkat baik disebabkan dari usahatani, usaha luar pertanian, maupun peralihan asset. Indikasi ini sejalan dengan indikasi pangsa pengeluaran pangan yang juga menurun dibandingkan tahun 2005.
(34) Sebagian besar petani menggunakan jumlah benih pada usahatani padi sawah jauh di atas dosis anjuran. Hal ini merupakan pemborosan dan menyulitkan perencanaan produksi benih. Akibatnya ketersediaan benih di pasar jauh di bawah kebutuhan dan petani menggunaan benih turunan dengan produktivitas yang lebih rendah. Masalah utama yang dihadapi petani padi dalam penerapan teknologi adalah ketersediaan air irigasi yang tidak memadai. Padahal ketersediaan air merupakan prasyarat untuk dapat menerapkan teknologi lain.
(35) Kisaran pangsa curahan jam kerja pada sektor pertanian di berbagai desa dan agroekosistem masih cukup besar yaitu antara 49 – 82 persen. Sejalan dengan itu pangsa pendapatan petani pada berbagai jenis komoditas dan agroekosistem berkisar antara 40 – 81 persen, bervariasi menurut jenis tanaman dan intensitas tanam. Dalam sistem kerja, terjadi perubahan perilaku masyarakat yang sudah banyak menilai sesuatu dengan uang sehingga sistem sambatan dan ceblokan sebagai sistem pengaman yang ada di masyarakat desa cenderung menghilang.
(36) Berdasarakan pangsa pengeluaran pangan, secara nasional dan di lokasi studi baik berdasarkan wilayah desa-kota, kelas pendapatan, dan penduduk yang bekerja di pertanian dan nonpertanian dari tahun 2002 ke 2005 mengalami penurunan kesejahteraan. Namun hasil survey profil tahun 2007 menujukkan kecenderungan yang meningkat kembali. Konsumsi beras baik petani maupun non petani mengalami penurunan, sedangkan sumber pangan masyarakat dari hasil pembelian meningkat. Untuk beras, kebutuhan konsumsi yang bersumber dari pembelian mencapai sekitar 70 – 89 persen yang berarti bahwa tingkat dan stabilitas harga pangan sangat menentukan ketahanan pangan rumahtangga.
(37) Pelaksanaan otonomi daerah berdampak negatif terhadap kinerja lembaga penyuluhan pertanian daerah. Padahal ada hubungan positif antara intensitas kunjungan PPL dengan dinamika kelompok tani. Namun kasus di Desa Tugu menunjukkan bahwa, walaupun PPL tidak aktif kepemimpinan kepala desa yang transparan mampu mengaktifkan kelompok tani di desanya. Sebaliknya terjadi pada desa yang mengalami krisis kepemimpinan masayarakat terhadap kepala desa. Kegiatan revitalisasi kelompok tani untuk memberdayakan Poktan menjadi Gapoktan mendorong terbentuknya kelompok-kelompok tani baru yang belum operasional, sehingga diragukan kemampuannya. Disamping itu, hambatan utama peningkatan kinerja Gapoktan adalah rendahnya kemampuan wirausaha petani, status badan hukum dan terbatasnya sarana-prasarana.
RE-7
(38) Banyak petani yang memenuhi kebutuhan modal usahataninya dari lembaga keuangan informal di desa dengan tingkat bunga tinggi, namun prosedurnya mudah. Di beberapa daerah ada juga petani yang akses kepada bank (BRI dan BPR) karena skim yang ditawarkan memudahkan petani, seperti sistem yarnen pada BRI dan sistem jemput bola serta tanpa agunan pada BPR. Implikasi Kebijakan
(39) Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja dan menarik minat generasi muda bekerja di sektor pertanian dengan produktivitas yang tinggi, mekanisasi pertanian perlu terus ditingkatkan. Kegiatan tersebut di beberapa daerah dilakukan sendiri oleh petani, sehingga bila difasilitasi pemerintah akan berkembang lebih cepat lagi.
(40) Mengingat sempitnya penguasaan lahan, upaya peningkatan kesejahteraan petani dapat dilakukan dengan meningkatkan akses petani terhadap lahan dan meningkatkan intensitas tanam. Disinilah peran strategis reforma agraria, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam konteks yang lebih luas, diperlukan pengembangan potensi ekonomi desa dalam berbagai sektor melalui diversifikasi baik off-farm maupun maupun non-farm.
(41) Sistem jaringan irigasi merupakan infrastruktur utama dan prioritas untuk ditingkatkan secara terpadu meliputi irigasi primer, sekunder, tersier maupun irigasi desa. Program tersebut memerlukan koordinasi yang intensif dengan Departemen PU, Departemen Kehutanan dan pemerintah daerah. Peningkatan prasarana di tingkat desa dan tingkat usahatani (jides dan jitut) tidak akan berdampak optimal tanpa ada pengembangan pada sistem utamanya.
(42) Untuk mendukung peningkatan produksi dan pendapatan petani, revitalisasi sistem penyuluhan perlu terus ditingkatkan. Hal ini meliputi pemberian sistem insentif dan jaminan kerja, mobilitas kerja, sarana BPP yang memadai, dan peningkatan ketrampilan. Kelembagaan kelompok tani masih perlu diberdayakan. Opsi jangka pendek adalah dengan mengintegrasikan LUEP dengan kelompok tani di sekitarnya. Bersamaan dengan itu Gapoktan terus diberdayakan dengan orientasi pengembangan berdasarkan: fungsionalisasi usaha, pemberdayaan ekonomi petani, akuntabilitas, dan transparansi. Langkah itu dilakukan untuk mengakomodir perilaku petani saat ini yang makin kritis dan menghindari krisis kepemimpinan serta kepercayaan diantara anggota dan pengurus Gapoktan. Pada tahap awal diperlukan inventarisasi potensi dan kelas Gapoktan.
(43) Untuk meningkatkan akses petani terhadap sumber pembiayaan, lembaga keuangan mikro bukan bank perlu terus dikembangkan sebagai kompetitor bagi para rentenir yang selama ini melayani petani. Pada saat yang sama, peningkatan akses petani terhadap bank perlu terus dilakukan antara lain melalui: (a) peningkatkan kapasitas kelompoktani sehingga dapat mengelola kebutuhan dana para anggotanya secara kolektif dan (b) menggunakan apalis lokal sebagai penjamin petani kepada bank.
RE-8