ANALISIS KEBERLANJUTAN PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK DI KALANGAN PETANI (Kasus: Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah)
AERO WIDIARTA I34063414
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT AERO WIDIARTA. THE SUSTAINABILITY ANALYSIS OF ORGANIC FARMING PRACTICE AMONG FARMERS. Case: Ketapang Village, Susukan Subregency, Semarang Regency, Central Java. (Supervised by SOERYO ADIWIBOWO and WIDODO). The objectives of this research are: (1) to analyze the influence of organic farming practice to the economic sustainability of farmers; (2) to compare the complexity level of organic farming practice and conventional farming practice based on farmer’s perception; and (3) to investigate causal factors regarding why organic farming practice is not widely adopted by farmers. This research was conducted by using quantitative approach at Ketapang Village, Susukan Subregency, Semarang Regency, Central Java on November-December 2010. The number of respondents in this research was 79 people from the total population target of farmers. The selected respondents determined through stratified random sampling and simple random sampling technique afterwards. The respondents were devided into two groups: experimental group (organic farmers) and control group (conventional farmers). The kinds of data in this research were: primary quantitative data which collected by spreading questionnaire to the respondents; secondary data from AlBarokah’s document; and also supported with primary qualitative data which gathered from in depth interview technique. The data were analyzed by using Paired Samples T-test and Kolmogorov-Smirnov Test, supported with SPSS Program for Windows Version 17.0. The results of this research show that organic farming practice has significant positive influence to the economic sustainability of farmers. Nevertheless, organic farming practice is considered more complex or difficult significantly than conventional farming practice based on control group’s perception. Conversely, the fact above doesn’t valid for experimental group. There are several causal factors regarding why organic farming practice is not widely adopted by farmers, such as: pragmatic mindset of farmers in viewing organic farming practice and ecological sustainability; farmers are not satisfied if they only use organic fertilizers for rice that make its leaf green color become less visible; organic farming practice doesn’t ensure pest-free; the use of organic fertilizer is more difficult than synthetic fertilizer; and a large part of farmers have inadequate supply of manures. Socio-economic characteristic of farmers consisting of: education level, agricultural land ownership status, and livestock ownership are also revealed as influential factors to the organic farming decision process. Keywords: organic farming practice, farmers, sustainability, analysis.
RINGKASAN AERO WIDIARTA. ANALISIS KEBERLANJUTAN PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK DI KALANGAN PETANI. Kasus: Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah. (Di bawah bimbingan SOERYO ADIWIBOWO dan WIDODO). Pertanian organik merupakan suatu sistem usahatani yang memanfaatkan sumber daya alam organik secara alami, bijaksana dan holistik, sebagai “input dalam” pertanian tanpa “input luar” tinggi kimiawi untuk memenuhi kebutuhan manusia khususnya pangan. Pertanian organik dikembangkan sesuai budaya lokal setempat, sehingga mampu menjamin keseimbangan aspek lingkungan, ekonomi, sosial budaya, serta mendorong terwujudnya fair trade bagi petani secara berkelanjutan. Gerakan organik melalui pertanian organik telah lama diinisiasi oleh berbagai pihak di level internasional, sebagai salah satu wujud perlawanan dari pembangunan pertanian yang berorientasi pada pertumbuhan dan sering disebut sebagai “Revolusi Hijau”. Gerakan organik kemudian berkembang menjadi sebuah filosofi yang diimplementasikan dalam sistem pertanian secara holistik, sehingga muncullah istilah pertanian organik sebagai sebuah alternatif sistem pertanian yang berkelanjutan. Perkembangan pertanian organik cukup pesat di dunia bahkan praktik pertanian ini sudah diadopsi di Indonesia. Perkembangan pertanian organik di Indonesia banyak didukung oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), ilmuwan, hingga pemerintah melalui programnya “Go Organic 2010”. Banyak ilmuwan yang sudah membuktikan manfaat pertanian organik, baik dilihat dari aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya. Praktik pertanian organik dinyatakan oleh banyak kalangan mampu menjamin keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan keadilan sosial. Namun, ironisnya praktik pertanian organik di Indonesia belum berkembang cukup pesat yang terlihat dari data-data statistik tentang luas lahan pertanian organik dan jumlah produsen pertanian organik yang relatif sangat rendah dibandingkan negara-negara lain. Padahal, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi salah satu produsen organik terbesar di dunia. Realita yang menunjukkan bahwa sangat sedikit petani
iv
yang mengadopsi praktik pertanian organik inilah yang kemudian menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah pertanian organik memiliki keberlanjutan pada masa yang akan datang di kalangan petani, atau hanya merupakan sebuah retorika. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu analisis keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani dengan menguji pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani; membandingkan tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi petani, serta mengidentifikasi kendala atau faktor penyebab kurang berkembangnya praktik pertanian organik di kalangan petani. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif melalui metode survey eksperimen di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah pada bulan November sampai Desember 2010. Unit analisis penelitian ini adalah individu. Jenis data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif dan kualitatif, baik berupa data primer maupun sekunder. Data kuantitatif dikumpulkan melalui teknik pengisian kuesioner oleh para responden penelitian, sedangkan data kualitatif dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam dengan informan dan beberapa responden penelitian. Jumlah responden penelitian ini ditentukan melalui perhitungan rumus Slovin dan didapatkan 79 orang petani yang dijadikan sebagai responden penelitian dari total populasi petani sebanyak 372 orang di Paguyuban Petani Al-Barokah (populasi sasaran). Responden penelitian terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen (petani organik) dan kelompok kontrol (petani konvensional) dengan jumlah masing-masing: 14 orang dan 65 orang. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara acak distratifikasi (stratified random sampling) karena populasi tidak homogen, lalu responden dipilih melalui teknik simple random sampling (pemilihan acak sederhana). Data-data kuantitatif primer diolah dengan menggunakan program Microsoft Excell 2007 dan SPSS 17 for Windows. Data-data tersebut kemudian dianalisis secara statistik melalui uji Paired Samples T-test
untuk
mengetahui
pengaruh
praktik
pertanian
organik
terhadap
keberlanjutan ekonomi petani. Selain itu, data-data kuantitatif primer juga
v
dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui perbandingan tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi petani. Data kualitatif hasil wawancara mendalam, dianalisis secara kualitatif untuk dideskripsikan dalam laporan penelitian (skripsi). Berdasarkan
hasil
perhitungan
uji Paired
Samples
T-test
yang
membandingkan keuntungan rata-rata usahatani sebelum dan sesudah organik, diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut kurang dari 0,05 yang berarti, praktik pertanian organik berpengaruh secara signifikan terhadap keberlanjutan ekonomi petani. Pengaruh tersebut bersifat positif karena nilai rataan (mean) keuntungan usahatani sesudah organik lebih besar daripada nilai mean keuntungan usahatani sebelum organik yang diuji pada kelompok eksperimen. Selain itu, berdasarkan analisis finansial usahatani, didapatkan nilai B/C Rasio sebesar 1,7 pada usahatani sesudah organik dan 0,9 pada usahatani sebelum organik. Nilai B/C rasio tersebut membuktikan bahwa usahatani organik layak secara ekonomi, sedangkan usahatani sebelum organik (konvensional) tidak layak secara ekonomi karena nilai B/C Rasionya kurang dari 1. Dengan demikian, hipotesis pertama dari penelitian ini yang menyatakan bahwa praktik pertanian organik diduga berpengaruh positif secara signifikan terhadap keberlanjutan ekonomi petani terbukti benar dan diterima. Hasil analisis kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi kelompok petani organik, menunjukkan bahwa tingkat kompleksitas praktik pertanian organik tidak berbeda secara signifikan dengan tingkat kompleksitas praktik pertanian konvensional. Hal ini berdasarkan nilai signifikansi variabel praktik pertanian yang diuji, mayoritas lebih besar dari 0,05 dan berarti, hipotesis kedua dari penelitian ini yang menyatakan bahwa tingkat kompleksitas praktik pertanian organik diduga lebih tinggi secara signifikan daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani, tidak terbukti dan ditolak untuk kelompok eksperimen. Sementara itu, nilai signifikansi tingkat kompleksitas semua variabel praktik pertanian yang diuji pada kelompok kontrol, adalah 0,000 dan nilai ini lebih kecil dari 0,05. Selain itu, nilai mean tingkat kompleksitas semua variabel praktik pertanian organik lebih tinggi daripada praktik pertanian konvensional. Berdasarkan indikator-indikator tersebut, maka
vi
hipotesis kedua dari penelitian ini, yaitu: tingkat kompleksitas praktik pertanian organik diduga lebih tinggi secara signifikan daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani, terbukti benar dan diterima untuk kelompok kontrol. Hipotesis pengarah penelitian yang menyatakan: praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh para petani karena diduga memiliki tingkat kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan praktik pertanian konvensional dan dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi petani, juga terbukti benar berdasarkan hasil penelitian ini. Meskipun demikian, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan petani tidak banyak mengadopsi praktik pertanian organik di Desa Ketapang, antara lain: (1) pola pikir petani yang masih pragmatis terhadap praktik pertanian organik dan rendahnya kesadaran para petani terhadap kelestarian lingkungan; (2) petani tidak puas jika hanya menggunakan pupuk organik karena warna hijau daun tanaman padi kurang terlihat; (3) praktik pertanian organik tidak menjamin bebas hama; (4) penggunaan pupuk organik lebih sulit daripada pupuk kimia sintetik; (5) sebagian petani tidak memiliki pasokan pupuk kandang; (6) banyak petani di Desa Ketapang yang berstatus sebagai buruh tani, sehingga mereka harus mengejar target hasil panen dari petani pemilik lahan; (7) sumber air irigasi jauh dari lahan pertanian dan kemungkinan besar sudah tercemar oleh bahan kimia sintetik dari lahan pertanian konvensional di sekitarnya; (8) tingkat produktivitas pertanian organik lebih rendah daripada pertanian konvensional, sehingga jumlah hasil panen kurang memuaskan khususnya pada masa-masa awal bertani organik. Keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani khususnya petani di Desa Ketapang, masih rendah berdasarkan tingkat adaptasinya (adaptable), sehingga tidak banyak petani yang mengadopsi praktik pertanian organik. Hal ini terlihat dari hasil analisis kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi petani yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya.
ANALISIS KEBERLANJUTAN PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK DI KALANGAN PETANI (Kasus : Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah)
AERO WIDIARTA
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama
: Aero Widiarta
NRP
: I34063414
Departemen
: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul Skripsi
: Analisis Keberlanjutan Praktik Pertanian Organik di Kalangan Petani (Kasus: Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing 1
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Dosen Pembimbing 2
Dr. Ir. Widodo NIP. 19591115 198503 1 003
Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS KEBERLANJUTAN PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK DI KALANGAN
PETANI
(KASUS:
DESA
KETAPANG,
KECAMATAN
SUSUKAN, KABUPATEN SEMARANG, PROPINSI JAWA TENGAH)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN
RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Maret 2011
Aero Widiarta I34063414
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Probolinggo pada tanggal 17 September 1987 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Sarwiyono dan Ibu Nuniek Kartikowati. Penulis menyelesaikan pendidikannya di TK Dharma Wanita Gresik pada tahun 1993, SDN Manyarejo pada tahun 1993-1999, SLTPN 1 Gresik pada tahun 1999-2002, dan SMAN 1 Gresik pada tahun 2002-2005. Setelah lulus dari jenjang pendidikan SMA, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Pertanian di Universitas Udhayana, Bali pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada tahun kedua di IPB, penulis memilih Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) dengan program minor Kewirausahaan Agribisnis pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi, antara lain: fasilitator Dormitory English Community IPB (2006-2007), anggota Divisi Konservasi Reptil dan Amfibi Uni Konservasi Fauna IPB (20062007), bendahara Departemen Eksternal International Association of Students in Agricultural and Related Sciences (IAAS) Local Committee (LC) IPB (20072008), wakil ketua Divisi Pengembangan Masyarakat Samisaena IPB (2008), anggota Divisi Produksi Agrifarma IPB (2008), ketua panitia Communication and Community Development Expo (2009), manajer Divisi Jurnalistik Himasiera IPB (2009), Koordinator Volunteer for Climate Justice (2010), anggota Control Council Local Committee (CCLC) IAAS LC IPB (2011), dan lain-lain. Selain itu, penulis pernah menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Sosiologi Umum pada tahun ajaran 2008/2009 dan 2009/2010 serta Komunikasi Bisnis pada tahun ajaran 2008/2009. Beberapa prestasi yang pernah diraih oleh penulis, antara lain: lulusan terbaik dan pelajar teladan SDN Manyarejo (1999), juara 2 lomba diba’ dan puitisasi se- Kabupaten Gresik (2002), kandidat Chapter AFS Surabaya Year Program 2004-2005, kandidat nasional Mext Program Jepang (2004), pembaca
xi
berita bahasa Jawa terbaik se- SMAN 1 Gresik, grand finalis Cak Gresik (Duta Wisata Gresik) tahun 2004, juara 3 lomba presenter se- IPB tahun 2006, juara 1 lomba teater se- IPB tahun 2008, semifinalis Bayer Young Environmental Envoy Indonesia (2008), student paper presenter IASS (The 1st International Agricultural Students Symposium) di Universiti Putra Malaysia (2009), delegasi mahasiswa IPB untuk MYC (Miracle Youth Conference) di AIESEC LC Universiti Putra Malaysia (2009), student paper presenter Go Organic Symposium di Bangkok, Thailand (2009), dan lain-lain. Selain itu, penulis juga aktif menjadi presenter, moderator, pembicara, dan pengisi hiburan di beberapa acara, baik di dalam maupun di luar kampus IPB.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Keberlanjutan Praktik Pertanian Organik di Kalangan Petani (Kasus: Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah)” dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selain itu, skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani yang dilihat berdasarkan aspek ekonomi dan tingkat kompleksitas praktik pertanian organik menurut petani. Skripsi ini dapat digunakan sebagai referensi penelitian selanjutnya terkait pertanian organik. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang ikut membantu penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan skripsi ini. Penulis sadar bahwa skripsi ini belumlah sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat dan menambah pengetahuan bagi para pembaca secara umum, akademisi, dan aktivis pertanian organik yang memiliki visi mengembangkan pertanian organik di Indonesia.
Bogor, Maret 2011
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Analisis Keberlanjutan Praktik Pertanian Organik di Kalangan Petani (Kasus: Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah)” ini berhasil diselesaikan. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain: 1)
Bapak Sarwiyono dan Ibu Nuniek Kartikowati sebagai orang tua yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, semangat, dan dukungan kepada penulis, baik secara materi maupun non materi.
2)
Kakak tercinta, Adhi Tyan Wijaya beserta istri, Naimatus Sholichah yang selalu memberikan dorongan dan saran kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
3)
Om Darnoko yang telah membantu penulis selama proses pra penelitian.
4)
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS dan Dr. Ir. Widodo atas kesabarannya dalam membimbing penulis mulai dari awal penyusunan proposal penelitian hingga skripsi ini selesai.
5)
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA selaku dosen penguji utama dalam sidang skripsi.
6)
Ir. Hadiyanto, M.Si selaku dosen penguji perwakilan departemen dalam sidang skripsi.
7)
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS yang telah membuat jadwal sidang skripsi secara paksa kepada penulis, sehingga penulis termotivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
8)
Dr. Ir. Henny Mayrowani, M.Sc yang telah memberikan pandangan kepada penulis mengenai kriteria pertanian organik.
9)
Mas Ayip dari lembaga KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan) yang telah membantu penulis mencari lokasi penelitian yang tepat.
xiv
10) Mbak Nunung dari lembaga AOI (Aliansi Organis Indonesia) yang telah memberikan rekomendasi kontak rekan-rekannya dan pinjaman beberapa literatur kepada penulis terkait dengan pertanian organik. 11) Mas Andreas dari lembaga ELSPAT yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis. 12) Pak Ndindin, dan Kang Erik atas kesediaannya memberikan informasi kepada penulis mengenai perkembangan pertanian organik di Desa Cibatok,meskipun pada akhirnya penulis tidak melakukan penelitian di desa tersebut. 13) Pak Mustofa atas bimbingan dan data-data yang diberikan kepada penulis selama penelitian di Desa Ketapang. 14) Pak Muslikh Ma’sum sekeluarga yang telah berkenan mengizinkan penulis untuk tinggal dan makan seperti keluarga sendiri di rumah beliau selama penelitian di Desa Ketapang. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bapak sekeluarga. 15) Semua petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Al-Barokah atas informasi, keramahan, dan jamuan yang diberikan kepada penulis selama penelitian. 16) Mbak Maria, Mbak Icha, Mbak Dini, Bu Susi yang sering direpotkan oleh penulis terkait administrasi dan kesekretariatan. 17) Sahabat-sahabatku tercinta, seperti: Aliyatur Ropiah, Dedi Mulyana, Elhaq, Rinaldi, Yuli, Nova, Maulani, Dewi, Windarti, Ifah, Asri, Wulan, Ani, Isma, Ogi, dan Bedhil yang selalu memberikan semangat, dorongan, saran, dan bantuan teknis dalam pengerjaan skripsi ini. 18) Teman-teman seperjuangan mahasiswa Departemen SKPM 43 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas kebersamaan, perhatian, dan keceriaannya selama ini, sehingga hidup tidak terasa membosankan bagi penulis. 19) Rekan-rekan kerja di organisasi IAAS LC IPB atas kebersamaan dan suasana hangat yang diberikan selama ini, sehingga penulis tidak merasa sendirian. 20) Serta semua pihak yang ikut membantu terselesaikannya skripsi ini.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .........................................................................................................xv DAFTAR TABEL ............................................................................................ xviii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xxi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xxii BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang................................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah ........................................................................ 4 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5 1.4. Kegunaan Penelitian ........................................................................ 5 1.4.1. Kegunaan Teoretis ..................................................................5 1.4.2. Kegunaan Praktis ....................................................................5
BAB II
PENDEKATAN TEORETIS ................................................................7 2.1. Tinjauan Pustaka ..............................................................................7 2.1.1. Konsep dan Definisi Pertanian Organik .................................7 2.1.2. Prinsip-prinsip Pertanian Organik ........................................10 2.1.3. Pertanian Organik Versus Pertanian Berkelanjutan..............11 2.1.4. Praktik Pertanian Organik di Indonesia ................................13 2.1.5. Pengertian Keberlanjutan Ekologi ........................................17 2.1.6. Pengertian Keberlanjutan Ekonomi ......................................18 2.1.7. Pengaruh Praktik Pertanian Organik terhadap Keberlanjutan Ekologi dan Ekonomi Petani ........................20 2.1.7.1. Keberlanjutan Ekologi .............................................20 2.1.7.2. Keberlanjutan Ekonomi ...........................................23 2.1.8. Perkembangan dan Kondisi Pertanian Organik di Indonesia ...........................................................................26 2.1.9. Proses Pengambilan Keputusan Inovasi ...............................31 2.2. Kerangka Pemikiran .......................................................................32 2.3. Hipotesis Penelitian ........................................................................35 2.3.1. Hipotesis Uji .........................................................................35 2.3.2. Hipotesis Pengarah ...............................................................36 2.4. Definisi Operasional .......................................................................36
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ............................................................39 3.1. Metode Penelitian ..........................................................................39 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ..........................................................39 3.3. Teknik Pengumpulan Data .............................................................40 3.4. Teknik Pengambilan Responden dan Informan..............................40 3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ........................................... 42 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...............................44 4.1. Gambaran Umum Desa Ketapang ..................................................44
xvi
4.1.1. Kondisi Geografis .................................................................44 4.1.2. Kondisi Kependudukan dan Kehidupan Beragama ..............45 4.1.3. Tingkat Pendidikan Penduduk ..............................................46 4.1.4. Mata Pencaharian Penduduk .................................................46 4.1.5. Ketersediaan Fasilitas Umum ...............................................47 4.2. Profil Paguyuban Petani Al-Barokah .............................................51 4.2.1. Visi dan Misi .........................................................................53 4.2.2. Tujuan Strategis ....................................................................54 4.2.3. Tujuan Operasional ...............................................................54 4.2.4. Program Kerja Utama ...........................................................55 4.2.5. Kegiatan-kegiatan yang Telah Dilaksanakan .......................58 4.2.5.1. Kegiatan Fisik..........................................................58 4.2.5.2. Kegiatan Ekonomi ...................................................59 4.2.6. Produk Unggulan ..................................................................60 4.3. Karakteristik Responden Penelitian................................................61 4.3.1. Jenis Kelamin ........................................................................61 4.3.2. Tingkat Pendidikan ...............................................................62 4.3.3. Umur .....................................................................................63 4.3.4. Jenis Mata Pencaharian Selain Bertani .................................65 4.3.5. Status Petani dan Jumlah Anggota Keluarga ........................66 4.3.6. Kepemilikan Hewan Ternak .................................................68 4.3.7. Penggunaan Hasil Panen .......................................................69 4.3.8. Jenis Tanaman yang Dibudidayakan Selain Padi .................70 BAB V
PENGARUH PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK TERHADAP KEBERLANJUTAN EKONOMI PETANI ..................................... 72 5.1. Analisis Tingkat Input dan Output Usahatani Organik dan Konvensional ..................................................................................72 5.2. Analisis Finansial Usahatani Organik dan Konvensional ..............79 5.3. Analisis Akses Pasar Usahatani Organik dan Konvensional .........87 5.4. Pengaruh Praktik Pertanian Organik terhadap Keberlanjutan Ekonomi Petani ..............................................................................89
BAB VI ANALISIS KOMPLEKSITAS PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK DAN KONVENSIONAL MENURUT PERSEPSI PETANI ............................................................................................... 92 6.1. Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi Kelompok Petani Organik (Responden Eksperimen)................................................................96 6.2. Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi Kelompok Petani Konvensional (Responden Kontrol) .............................................100 BAB VII ANALISIS KEBERLANJUTAN PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK DI KALANGAN PETANI ............................................105
xvii
BAB VIII PENUTUP .........................................................................................113 8.1. Kesimpulan ..................................................................................113 8.2. Saran ............................................................................................116 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................119 LAMPIRAN ........................................................................................................121
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman Teks
Tabel 1. Perbandingan Anatomi Konsep Pertanian Organik dan Konvensional .. 9 Tabel 2. Perbandingan Ekonomi, Sosial serta Kesehatan Pertanian Organik dan Konvensional ................................................................................. 10 Tabel 3. Luas Area Pertanian Organik Menurut Region, Tahun 2007 ................28 Tabel 4. Daftar Negara dengan Luas Area Pertanian Organik Terbesar di Asia, Tahun 2007.............................................................................. 28 Tabel 5. Definisi Operasional untuk Analisis Pengaruh Praktik Pertanian Organik (Variabel X) terhadap Keberlanjutan Ekonomi Petani (Variabel Y) .......................................................................................... 37 Tabel 6. Definisi Operasional untuk Analisis Tingkat kompleksitas Praktik Pertanian Organik (Variabel X) Menurut Persepsi Petani ....................38 Tabel 7. Jumlah Populasi dan Responden Penelitian ..........................................42 Tabel 8. Luas dan Persentase Lahan Desa Ketapang Berdasarkan Penggunaannya, Tahun 2007 ................................................................ 44 Tabel 9. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Ketapang Berdasarkan Kelompok Umur, Tahun 2007 ............................................................ 45 Tabel 10. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Ketapang Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Tahun 2007.......................................................... 46 Tabel 11. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Ketapang Berdasarkan Mata Pencaharian, Tahun 2007 ..................................................................... 47 Tabel 12. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Transportasi Darat Desa Ketapang, Tahun 2007 .......................................................................... 48 Tabel 13. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Komunikasi Desa Ketapang, Tahun 2007 ........................................................................................... 48 Tabel 14. Ketersediaan Prasarana Air Bersih Desa Ketapang, Tahun 2007 .........49
xix
Tabel 15. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Peribadatan Desa Ketapang, Tahun 2007 ........................................................................................... 49 Tabel 16. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Olahraga Desa Ketapang, Tahun 2007 ........................................................................................... 49 Tabel 17. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Kesehatan Desa Ketapang, Tahun 2007 ........................................................................................... 50 Tabel 18. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Pendidikan Desa Ketapang, Tahun 2007 ........................................................................................... 50 Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Ketapang, Tahun 2010 .............................................. 62 Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Ketapang, Tahun 2010.......................................... 63 Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Kelompok Umur di Desa Ketapang, Tahun 2010 ................................ 65 Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Mata Pencaharian selain Bertani di Desa Ketapang, Tahun 2010 ................. 66 Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Status Petani di Desa Ketapang, Tahun 2010.................................................. 67 Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Kepemilikan Hewan Ternak di Desa Ketapang, Tahun 2010 .............. 69 Tabel 25. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Penggunaan Hasil Panen di Desa Ketapang, Tahun 2010 .................... 70 Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Tanaman yang Dibudidayakan selain Padi di Desa Ketapang, Tahun 2010 ........................................................................................... 71 Tabel 27. Perbandingan Input dan Output Usahatani Organik dan Konvensional per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok Petani Organik dan Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 ........................................................................................... 73 Tabel 28. Perbandingan Input dan Output Usahatani Organik dan Konvensional per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010................ 74
xx
Tabel 29. Perbandingan Analisis Biaya, Penerimaan dan Keuntungan Rata-rata Usahatani Organik dan Konvensional per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok Petani Organik dan Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 .......................................... 81 Tabel 30. Perbandingan Analisis Biaya, Penerimaan dan Keuntungan Rata-rata Usahatani Sebelum dan Sesudah Organik per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok Petani Organik dan Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 .......................................... 81 Tabel 31. Daftar Harga Jual Padi Organik dan Konvensional menurut Bentuk Padi di Desa Ketapang, Tahun 2010 ........................................ 84 Tabel 32. Nilai Signifikansi Tingkat Kompleksitas Masing-masing Variabel Praktik Pertanian menurut Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 .......................................... 97 Tabel 33. Nilai Signifikansi Tingkat Kompleksitas Masing-masing Variabel Praktik Pertanian menurut Kelompok Petani Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 ................................................. 102
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman Teks
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Keberlanjutan Praktik Pertanian Organik di Kalangan Petani ................................................................ 33 Gambar 2. Perbandingan Nilai Rataan (Mean) Tingkat Kompleksitas Variabel Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 ......................................................................................... 96 Gambar 3. Perbandingan Nilai Rataan (Mean) Tingkat Kompleksitas Variabel Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi Kelompok Petani Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010.......................................................................... 101
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman Teks
Lampiran 1. Hasil Uji Paired Samples T-test Pengaruh Praktik Pertanian Organik terhadap Keberlanjutan Ekonomi Petani.......................... 122 Lampiran 2. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 .................................................................................... 123 Lampiran 3. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi Kelompok Petani Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 .................................................................................... 125 Lampiran 4. Kerangka Sampling Penelitian ........................................................127 Lampiran 5. Daftar Nama Responden Penelitian.................................................137
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pertanian organik dipahami sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berazaskan daur ulang hara secara hayati (Sutanto, 2002). Menurut CAC (1999)1, pertanian organik merupakan keseluruhan sistem pengelolaan produksi yang mendorong dan mengembangkan kesehatan agro ekosistem, termasuk keanekaragaman hayati, siklus biologis dan aktivitas biologis tanah. Pertanian ini menekankan pada praktik-praktik pengelolaan yang mengutamakan penggunaan input off-farm dan memperhitungkan kondisi regional sistem yang disesuaikan secara lokal. Pertanian organik merupakan salah satu metode produksi yang ramah lingkungan, sehingga dapat menjamin keberlanjutan ekologi, sesuai dengan filosofi “kembali ke alam” atau “selaras dengan alam”. Pertanian organik pada mulanya merupakan sebuah gerakan yang dipopulerkan di Uni Eropa, sebagai wujud perlawanan dari pembangunan pertanian yang berorientasi pada pertumbuhan atau produktivitas yang sering disebut
sebagai
“Revolusi
Hijau”.
Sistem
pertanian
organik
berusaha
memperbaiki dampak negatif dari “Revolusi Hijau” dengan berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi yang memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian maupun lingkungan. Gerakan organik kemudian berkembang menjadi sebuah filosofi yang diimplementasikan dalam sistem pertanian secara holistik, sehingga muncullah istilah pertanian organik sebagai sebuah alternatif sistem pertanian yang berkelanjutan. Perkembangan pertanian organik di Indonesia dimulai pada awal 1980-an yang ditandai dengan bertambahnya luas lahan pertanian organik, dan jumlah produsen organik Indonesia dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI) yang diterbitkan oleh Aliansi Organis Indonesia (AOI) tahun 2009, diketahui bahwa luas total area pertanian organik di 1
Definisi berdasarkan CODEX Alimentarius Commission (CAC) yang dikutip dari http://melileafood.multiply.com/journal/item/6
2
Indonesia tahun 2009 adalah 231.687,11 ha. Luas area tersebut meliputi luas lahan yang tersertifikasi, yaitu 97.351,60 ha (42 persen dari total luas area pertanian organik di Indonesia) dan luas lahan yang masih dalam proses sertifikasi (pilot project AOI), yaitu 132.764,85 ha (57 persen dari total luas area pertanian organik di Indonesia). Luas total area pertanian organik tahun 2008 jauh lebih besar daripada tahun 2009, yaitu sekitar 235.078,16 ha. Sementara itu, total jumlah pelaku pertanian organik yang tercatat pada tahun 2009 adalah 12.101 produsen yang terdiri dari: 9.628 produsen tersertifikasi, sedangkan sisanya adalah 2.383 produsen non sertifikasi, 80 produsen dalam proses sertifikasi, dan 10 produsen PAMOR (Penjaminan Mutu Organis Indonesia yang merupakan salah satu bentuk sistem sertifikasi partisipasi). Perkembangan pertanian organik ternyata juga diikuti oleh perkembangan trend atau gaya hidup organik masyarakat yang mensyaratkan konsumsi produkproduk organik. Hal ini kemudian mendorong isu sertifikasi sebagai jaminan atas dipraktikkannya pertanian organik yang menjadi sebuah pembicaraan hangat dari tahun 2003. Semakin terbukanya pasar organik, ternyata masih belum membuat Indonesia cukup mampu menjadi produsen utama produk organik di dunia jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti: India, Amerika Serikat, dan Argentina. Padahal, Indonesia sebagai negara agraris sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi produsen organik di level internasional. Sementara itu, jumlah pelaku pertanian organik di Indonesia yang telah tersertifikasi relatif sedikit, demikian pula dengan jumlah total area pertanian organik di Indonesia yang masih perlu ditingkatkan lagi. Rendahnya jumlah produsen dan luas lahan organik di Indonesia khususnya di kalangan petani, ternyata tidak hanya sekedar isapan jempol yang dilaporkan dalam data-data statistik, tetapi juga diperkuat oleh bukti nyata di lapangan yang didapatkan oleh penulis selama survey pra penelitian. Berdasarkan survey lapang pada bulan Juni hingga Juli 2010 di wilayah Kota dan Kabupaten Bogor, diketahui bahwa jumlah petani organik di setiap desa yang dikunjungi, seperti: Desa Cibatok, Desa Cibereum Situleutik, Kelurahan Situgede, Kelurahan Mulyaharja, dan Kelurahan Sukaharja, sangat sedikit dibandingkan petani konvensional. Jumlah tersebut hanya berkisar antara tiga sampai tiga belas orang
3
petani organik per desa. Sedangkan jumlah petani konvensional, relatif lebih banyak dibandingkan petani organik, yaitu lebih dari dua puluh orang petani per desanya meskipun belum ada laporan statistik secara resmi di tiap desa mengenai hal ini. Realita tersebut sangat ironis atau bertolak belakang dengan teori pertanian organik yang dikemukakan oleh para ahli. Banyak referensi atau teori yang menyatakan bahwa pertanian organik berpengaruh positif terhadap keberlanjutan ekologi, dan ekonomi petani. Namun, pada kenyataannya masih banyak petani yang belum menjalankan praktik pertanian organik dan cenderung mempertahankan praktik pertanian konvensional. Perbedaan nyata antara teori dengan realita praktik pertanian organik di kalangan petani inilah kemudian menimbulkan pertanyaan besar yang penting untuk diteliti lebih lanjut. Analisis keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani kemudian menjadi salah satu hal yang dapat dilakukan untuk menjawab fenomena di atas. Keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani memang perlu dipertanyakan karena masih sedikitnya jumlah petani organik di Indonesia. Analisis keberlanjutan praktik pertanian organik, dapat dilihat dari aspek ekonomi, tingkat kompleksitas praktik budidayanya, dan alasan petani mengapa mereka belum menerapkan praktik pertanian organik secara luas, sehingga pertanian organik belum begitu berkembang di kalangan mereka. Analisis tersebut sangat memungkinkan dilakukan pada komunitas petani organik yang telah menjalankan praktik pertanian organik lebih dari tiga tahun di suatu desa, seperti Desa Ketapang, lalu membandingkannya dengan praktik pertanian konvensional di kalangan petani konvensional pada lokasi yang sama. Analisis keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani, menjadi penting untuk diteliti karena jika tidak segera diteliti, maka fenomena pertanian organik yang belum berkembang di kalangan petani Indonesia, akan terus menjadi pertanyaan besar yang tidak akan terjawab. Selain itu, ketersediaan data atau laporan penelitian mengenai pertanian organik di Indonesia masih kurang, sehingga dapat menghambat perkembangan informasi seputar pertanian organik khususnya di kalangan petani.
4
1.2. Perumusan Masalah Perkembangan pertanian organik di Indonesia selain diindikasikan oleh data statistik, juga didukung oleh kebijakan pemerintah dan gerakan-gerakan organik dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), khususnya yang berhubungan dengan sistem sertifikasi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari AOI, Indonesia termasuk negara yang sedang dalam proses penyusunan kebijakan. Pada praktiknya, telah dilakukan langkah-langkah penyusunan kebijakan untuk mendukung perkembangan pertanian organik di Indonesia. Di tingkat nasional, pemerintah telah membuat kebijakan
yang ditujukan untuk menumbuhkan,
memfasilitasi, mengarahkan, dan mengatur perkembangan pertanian organik (Sulaeman, 2006). Departemen Pertanian telah mencanangkan pertanian organik dengan slogan “Go Organic 2010”. Tahun 2010 merupakan titik puncak agenda nasional “Go Organic 2010” yang dicanangkan sejak tahun 2000 oleh Kementrian Pertanian Republik Indonesia. Lalu, bagaimanakah capaian program “Go Organic 2010”? Menurut laporan SPOI (2009), program “Go Organic 2010” belum mencapai sasaran dan tahapan yang diharapkan. Meskipun demikian, OKPO (Otoritas Kompeten Pangan Organik) sudah melakukan berbagai upaya dalam mendukung pengembangan pangan organik di Indonesia. Salah satu catatan kritis yang dikemukakan dalam SPOI (2009) pada poin nomor empat terkait dengan “Go Organic 2010” adalah ‘capaian lemah di aspek sosialisasi, penguatan sumberdaya manusia, pembangunan infrastruktur dan kelembagaan serta dukungan informasi dan promosi pasar’. Berdasarkan informasi tersebut, terlihat bahwa permasalahan di aspek sosialisasi dan dukungan informasi pertanian organik masih menjadi kendala utama. Oleh karena itu, dukungan yang kuat, baik dari pemerintah maupun stakeholders dalam penyediaan informasi, khususnya laporan penelitian mengenai mengapa pertanian organik belum berkembang di kalangan petani Indonesia sangat dibutuhkan, sehingga selanjutnya dapat menjadi bahan pertimbangan untuk proses pengambilan kebijakan pembangunan pertanian. Berdasarkan kondisi perkembangan dan permasalahan pertanian organik di Indonesia yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, maka penelitian ini berfokus pada analisis keberlanjutan praktik pertanian organik di aras petani lokal,
5
sebagai pembuktian dari salah satu pernyataan Rosenow, Soltysiak, dan Verschuur (1996), yaitu: pertanian organik berdasarkan sifat-sifat dan metodenya, mampu berkontribusi terhadap keseimbangan sosial, ekonomi, dan ekologi dengan memperhatikan budaya lokal setempat. Dengan demikian, perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1)
Bagaimana pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani?
2)
Seberapa tinggi tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dibandingkan dengan pertanian konvensional menurut petani?
3)
Mengapa praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh petani?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani. 2) Menganalisis tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dibandingkan dengan pertanian konvensional menurut petani. 3) Menjelaskan faktor-faktor penyebab praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh petani. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu ekologi manusia, khususnya perkembangan praktik pertanian organik di Indonesia beserta analisis keberlanjutannya di kalangan petani. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu menjawab kendala perkembangan pertanian organik di Indonesia, serta sebagai referensi atau rujukan pemikiran bagi peneliti yang akan melakukan penelitian tentang pertanian organik lebih lanjut. 1.4.2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi beberapa kalangan yang ingin mengembangkan pertanian organik di Indonesia, antara lain:
6
1) Bagi kalangan pemerintahan, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber infomasi yang bermanfaat dalam proses sosialisasi pertanian organik kepada petani di Indonesia, dan juga sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan pertanian pada masa yang akan datang. 2) Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan mampu mendorong berkembangnya penelitian pertanian organik lebih lanjut karena masih sangat sedikitnya laporan penelitian mengenai pertanian organik khususnya di bidang sosial. 3) Bagi kalangan aktivis yang berkecimpung dalam LSM, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu pelengkap data mengenai analisis keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi kampanye, sosialisasi atau bahan diskusi yang bermanfaat. 4) Bagi masyarakat dan pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan, serta dapat membuka pikiran mereka mengenai fenomena praktik pertanian organik di Indonesia yang masih membutuhkan partisipasi atau usaha pengembangan lebih lanjut dari masyarakat, khususnya kalangan petani.
BAB II PENDEKATAN TEORETIS
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep dan Definisi Pertanian Organik Sutanto (2002) menyatakan bahwa pertanian organik dipahami sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berazaskan daur ulang hara secara hayati. Sutanto selanjutnya dalam bukunya menyatakan:
‘Pakar pertanian barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik merupakan “hukum pengembalian (law of return)” yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman. Filosofi yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberi makanan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plants), dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman.’
Kegunaan budidaya organik pada dasarnya ialah membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi atau yang seringkali disebut sebagai pertanian konvensional. Meskipun sistem pertanian organik dengan segala aspeknya jelas memberikan keuntungan banyak kepada pembangunan pertanian rakyat dan penjagaan lingkungan hidup, termasuk konservasi sumber daya lahan, namun penerapannya tidak mudah dan akan menghadapi banyak kendala. Faktor-faktor kebijakan umum dan sosio-politik sangat menentukan arah pengembangan sistem pertanian sebagai unsur pengembangan ekonomi (Notohadiprawiro, 1992 dalam Sutanto, 2002). Sistem pertanian organik mengajak manusia kembali ke alam, sambil tetap meningkatkan produktivitas hasil tani melalui perbaikan kualitas tanah dengan tidak memakai atau mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia. Pertanian organik menghargai kedaulatan dan otonomi petani berdasarkan nilai-nilai lokal. Rosenow, Soltysiak, dan Verschuur (1996) menyatakan pertanian organik dalam versi lain, yaitu merupakan sistem pertanian yang mempromosikan aspek
8
lingkungan, sosial, ekonomi, dengan memproduksi pangan dan serat. Sistem ini memperhatikan kesuburan tanah sebagai dasar kapasitas produksi dan sifat alami tanaman, hewan, biofisik, landskap, sehingga mampu mengoptimalkan kualitas semua faktor-faktor yang saling terintegrasi atau tergantung tersebut. Pertanian organik menekankan praktik rotasi tanaman, daur ulang limbah-limbah organik secara alami tanpa input kimia. Tingkat persediaan optimal bahan-bahan organik tersebut dibutuhkan untuk mencapai siklus nutrisi unsur hara dalam tanah. Oleh karena itu, pertanian organik bisa dikatakan sebagai dasar produksi hasil pertanian, dasar untuk peternakan hewan, dasar untuk keseimbangan ekologi secara alami. Berdasarkan beberapa konsep dan definisi pertanian organik yang telah dijelaskan di atas, maka secara umum penulis dapat menyimpulkan bahwa pertanian organik merupakan suatu sistem usahatani yang mengelola sumber daya alam secara bijaksana dan holistik untuk memenuhi kebutuhan manusia khususnya pangan, dengan memanfaatkan bahan-bahan organik secara alami sebagai “input dalam” pertanian tanpa “input luar” tinggi yang bersifat kimiawi, dan dikembangkan sesuai budaya lokal setempat, sehingga mampu menjaga keseimbangan aspek lingkungan, ekonomi, sosial budaya, serta mendorong terwujudnya fair trade bagi petani secara berkelanjutan. Filosofi Pertanian organik adalah siklus kehidupan menurut hukum alam, kembali ke alam, selaras dengan alam, melayani alam secara ikhlas, utuh, holistik, sehingga alam pun akan memberikan hasil produksi pertanian yang maksimal kepada manusia. Jadi, hubungan ini bersifat timbal balik. Terdapat perbedaan yang mencolok antara pertanian organik dan konvensional, baik secara anatomi maupun ekonomi. Perbedaan antara pertanian organik dan konvensional secara anatomi, dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini:
9
Tabel 1. Perbandingan Anatomi Konsep Pertanian Organik dan Konvensional Uraian Perlakuan Pra produksi sampai Pasca produksi
Pertanian Organik
Pertanian Konvensional
Dilakukan secara tradisional tanpa menggunakan alat-alat mekanisasi yang dapat merusak kesuburan tanah.
Menggunakan alat-alat semi sampai full mekanis dalam setiap tahap pekerjaan.
Bibit
Berasal dari varietas bibit-bibit lokal.
Berasal dari bibit unggul, hibrida, dan transgenik (transformasi gen).
Pola tanam
Ditanam secara tumpangsari, pergiliran tanaman, dan sebagainya (mix cropping).
Monokultur (satu jenis tanaman pada satu hampar lahan).
Pengairan
Sederhana dan berkelanjutan
Bentuk fisik tanaman
Kokoh, tidak mengandung banyak air.
Umur tanaman Pertumbuhan
Panjang Agak lambat, karena tumbuh secara alami.
Resistensi hama penyakit
Tahan hama dan penyakit.
Pemupukan
Menggunakan bahan-bahan kimia organis (asli dan mudah terurai secara alami).
Hasil/kualitas produksi
Beraneka ragam, berkualitas tinggi, bebas residu kimia beracun, mengandung gizi yang seimbang, tahan disimpan lama, dan sebagainya.
Rasa
Enak (aromatik)
Mekanis, sehingga mempercepat pengurasan air yang tersedia pada lahan. Lemah, mengandung banyak air, sehingga mudah diserang hama dan penyakit. Pendek Cepat tumbuh Mudah diserang hama dan penyakit. Kimia non-organis (sintetis, sehingga sulit terurai dan menimbulkan timbunan senyawa baru yang merusak keseimbangan biokhemis tanah). Sejenis, kurang berkualitas, mengandung residu kimia berbahaya, kandungan gizi tidak berimbang, dan tidak tahan untuk disimpan lama. Kurang enak (tawar)
Sumber: Data-data perbandingan antara pertanian organik dan konvensional berdasarkan pada pengalaman dari petani-petani organik yang menjadi rekanan PAN Indonesia. Jakarta, 15 Maret 2000.
Perbedaan antara pertanian organik dan konvensional secara ekonomi, dapat dilihat pada Tabel 2.
10
Tabel 2. Perbandingan Ekonomi, Sosial serta Kesehatan Pertanian Organik dan Konvensional Uraian Pilihan konsumen Harga Risiko kegagalan usahatani Kerusakan ekosistem lahan
Pertanian Organik
Lebih adil, karena pola pasar dari produsen langsung ke konsumen.
Pertanian Konvensional Kurang disukai, karena kurang enak. Relatif, tergantung pedagang dan distribusi yang bertingkat-tingkat.
Sedikit, karena ada tumpang sari, rotasi.
Lebih besar dengan peningkatan input serta wabah hama/penyakit.
Disukai konsumen.
Tidak ada, dan berkelanjutan.
Resiko sosial
Terbebas dari ketergantungan.
Resiko budaya
Kreatif dan menjunjung tinggi nilainilai tradisi dan kekuatan alam.
Resiko kesehatan
Tidak ada
Lebih cepat, resistensi hama pada pestisida, polusi, daur ulang biokemis tanah tidak seimbang. Menciptakan ketergantungan pada petani dan lahan. Efisien, malas, dan menimbulkan sifat tamak dan serakah. Pasti , keracunan secara akut atau kronis.
Sumber: Data-data perbandingan antara pertanian organik dan konvensional berdasarkan pada pengalaman dari petani-petani organik yang menjadi rekanan PAN Indonesia. Jakarta, 15 Maret 2000.
2.1.2. Prinsip-prinsip Pertanian Organik Prinsip dasar pertanian organik berfungsi sebagai panduan posisi, program, dan standar. Menurut IFOAM2 (2006), ada empat prinsip yang bersifat normatif atau disusun sebagai etika dalam pengembangan pertanian organik. Keempat prinsip pertanian organik tersebut adalah prinsip kesehatan, ekologi, keadilan, dan kepedulian yang menjadi satu kesatuan dan digunakan secara ketergantungan. Prinsip-prinsip tersebut disusun untuk mengilhami tindakan dalam mewujudkan visi pertanian organik menjadi nyata. Berikut ini penjelasan untuk masing-masing prinsip pertanian organik: 1)
Prinsip Kesehatan Pertanian organik harus berkelanjutan dan mendorong kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia, dan planet sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Jadi,
pertanian
organik
berperan
dalam
menjaga
dan
meningkatkan kesehatan ekosistem serta organisme yang terlibat di dalamnya pada semua proses sistem usahataninya.
2
International Federation for Organic Agriculture Movement
11
2)
Prinsip Ekologi Pertanian organik harus diterapkan berdasarkan pada siklus dan sistem ekologi kehidupan. Bekerja, meniru, dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan sehingga dapat menjamin keberlanjutan ekologi.
3)
Prinsip Keadilan Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama.
4)
Prinsip Perlindungan Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup.
2.1.3. Pertanian Organik Versus Pertanian Berkelanjutan Keberlanjutan menurut Reijntjes, Haverkort, dan Bayer (2006) dapat diartikan sebagai “menjaga agar suatu upaya terus berlangsung”, atau “kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak merosot”. Dalam konteks pertanian, keberlanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan ketersediaan sumber daya. Technical Advisory Committee of The CGIAR (1988) dalam Reijntjes, Haverkort, dan Bayer (2006) menyatakan, “pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus
mempertahankan
atau
meningkatkan
kualitas
lingkungan
dan
melestarikan sumber daya alam.” Definisi lain tentang pertanian berkelanjutan sebagaimana yang diungkapkan Reijntjes (1999) dalam Indriana (2010), yaitu pertanian yang memenuhi syarat-syarat berikut ini: mantap secara ekologis, bisa berlanjut secara ekonomis, adil, manusiawi, dan luwes. Berdasarkan definisi pertanian berkelanjutan yang telah dikemukakan pada paragraf di atas, maka sistem pertanian berkelanjutan harus dievaluasi berdasarkan pertimbangan beberapa kriteria, antara lain3: 1)
Aman menurut wawasan lingkungan, berarti kualitas sumberdaya alam dan vitalitas keseluruhan agroekosistem dipertahankan, mulai dari kehidupan 3
Prof. Dr. Ir. H. Suntoro Wongso Atmojo, MS. n.d. Degradasi lahan & Ancaman bagi Pertanian. Solo: SOLO POS.
12
manusia, tanaman dan hewan sampai organisme tanah dapat ditingkatkan. Hal ini dapat dicapai apabila tanah dikelola dengan baik, kesehatan tanah dan tanaman ditingkatkan, demikian juga kehidupan manusia maupun hewan ditingkatkan melalui proses biologi. Sumberdaya lokal dimanfaatkan sedemikian
rupa
sehingga
dapat
menekan
kemungkinan
terjadinya
kehilangan hara, biomassa dan energi, serta menghindarkan terjadinya polusi. Pertanian ini juga menitikberatkan pada pemanfaatan sumberdaya terbarukan. 2)
Menguntungkan secara ekonomi, berarti petani dapat menghasilkan sesuatu yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, termasuk pendapatan, dan cukup memperoleh pendapatan untuk membayar buruh dan biaya produksi lainnya. Keuntungan menurut ukuran ekonomi tidak hanya diukur langsung berdasarkan hasil usaha taninya, tetapi juga berdasarkan fungsi kelestarian sumberdaya dan menekan kemungkinan resiko yang terjadi terhadap lingkungan.
3)
Adil menurut pertimbangan sosial, berarti sumberdaya dan tenaga tersebar sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi, demikian juga setiap petani mempunyai kesempatan yang sama dalam memanfaatkan lahan, memperoleh modal cukup, bantuan teknik dan memasarkan hasil. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan, baik di lapangan maupun dalam lingkungan masyarakat itu sendiri.
4)
Manusiawi terhadap semua bentuk kehidupan, berarti tanggap terhadap semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia). Prinsip dasar semua bentuk kehidupan adalah saling mengenal dan hubungan kerja sama antar makhluk hidup adalah kebenaran, kejujuran, percaya diri, kerja sama dan saling membantu. Integritas budaya dan agama dari suatu masyarakat perlu dipertahankan dan dilestarikan.
5)
Mudah diadaptasi (luwes), berarti masyarakat pedesaan atau petani mampu dalam menyesuaikan perubahan kondisi usaha tani, misalnya: pertambahan penduduk, kebijakan dan permintaan pasar. Hal ini tidak hanya berhubungan dengan masalah perkembangan teknologi yang sepadan, tetapi termasuk juga inovasi sosial dan budaya.
13
Pertanian berkelanjutan bisa diwujudkan melalui berbagai macam sistem usaha tani, termasuk pertanian organik yang menekankan daur ulang hara secara alami, sehingga penggunaan input luar pertanian menjadi rendah. Berdasarkan konsep dan definisi pertanian berkelanjutan, lalu setelah
membandingkannya
dengan konsep, definisi, dan prinsip-prinsip pertanian organik, maka dapat dianalisis bahwa pertanian organik termasuk dalam kategori pertanian berkelanjutan yang mampu menjamin kelangsungan atau keseimbangan ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Pertanian organik mampu menjamin kelangsungan ekologi karena sifatnya yang ramah lingkungan; menjamin keberlanjutan ekonomi karena dapat mengoptimalkan usaha tani, sehingga dapat mencukupi kebutuhan manusia khususnya petani sendiri; dan menjamin kehidupan sosial budaya karena memperhatikan aspek budaya lokal dalam menjalankan usaha tani. Dengan demikian, analisis terhadap keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani, dapat dilihat berdasarkan kriteria-kriteria dalam pertanian berkelanjutan. 2.1.4. Praktik Pertanian Organik di Indonesia Bentuk penerapan pertanian organik yang diterapkan di masing-masing negara dan wilayah memiliki ciri dan sistem yang berbeda, tergantung kondisi lokal atau budaya setempat. Hal ini mengingat bahwa penerapan pertanian organik sangat menekankan pada pengetahuan lokal petani, mulai dari pengelolaan tanah, pemilihan bibit lokal, sampai panen dan pasca panen. Semua sistem yang digunakan saling terintegrasi satu sama lain, namun tetap berprinsip sama, yaitu melarang penggunaan “input luar” tinggi yang bersifat kimiawi, atau penggunaan bibit transgenik. Banyak praktik yang bisa diterapkan atau diadopsi dalam pertanian organik berdasarkan kondisi dan budaya lokal setempat, apalagi Indonesia yang terkenal dengan keanekaragaman hayati serta budayanya. Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada data kuantitatif yang menggambarkan persentase jenis metode ataupun bentuk penerapan pertanian organik di daerah tertentu di Indonesia. Beberapa sistem budidaya organik sederhana sebagai bentuk penerapan pertanian organik yang bisa diadopsi oleh petani di Indonesia, antara lain4: 4
Informasi diperoleh dari Rachman Sutanto (2002) dalam bukunya yang berjudul “Penerapan Pertanian Organik, Pemasyarakatan dan Pengembangannya” . Yogyakarta: Kanisius.
14
1)
Penerapan Pupuk Organik Pupuk organik merupakan elemen penting dalam menjalankan sistem
pertanian organik sebagai pengganti pupuk kimia pada pertanian konvensional. Pupuk organik ramah terhadap lingkungan karena bahan-bahannya berasal dari limbah pertanian, peternakan (kotoran hewan), limbah penggergajian kayu, limbah cair, rumput laut, dan lain-lain. Limbah pertanaman sebagai pupuk organik bisa dibuat hingga menjadi pupuk yang siap pakai dengan komposisi atau campuran tertentu bersama bahan-bahan lainnya. Pemanfaatan kotoran dan limbah ternak sebagai sumber pupuk organik, biasa disebut sebagai pupuk kandang. Pupuk kandang bisa berbentuk kering atau cair. Pengolahan limbah organik bisa juga dimanfaatkan untuk kompos. Selama proses pengomposan, akan terjadi proses mikrobiologis yang nantinya akan muncul mikroba-mikroba aktif sehingga bisa diaplikasikan pada lahan untuk meningkatkan produktivitas dan kesuburan tanah. Teknik yang terkenal dalam pengelolaan kompos adalah Bokashi. Produktivitas tanah dapat ditingkatkan hanya melalui pengelolaan lahan, tanah, dan tanaman secara terpadu. Usaha untuk memperbaiki produktivitas tanah dengan memperhatikan semua faktor yang berpengaruh dikenal sebagai membangun tanah secara terpadu. Langkah-langkah yang dapat dilakukan terkait dengan hal tersebut adalah membangun kesuburan tanah, pengelolaan nutrisi/hara terpadu yang kemudian dikenal sebagai Sistem Gizi Tanaman Terpadu (SGTT). 2)
Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu Praktik pertanian organik bisa dikembangkan melalui pengelolaan
tanaman terpadu, misalnya: budidaya lorong (Alley Cropping) dan pertanian sejajar kontur (Contour Farming), perencanaan hutan desa melalui sistem agroforestry, usahatani terpadu LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture), intensifikasi pekarangan, pengendalian hama dan penyakit dengan menganekaragamkan tanaman budidaya dan tanaman pagar serta penggunaan pestisida nabati (tumbuhan) atau hayati (mikroba), konservasi sumber daya genetika, sistem pertanaman campuran dan pergiliran tanaman, sistem pertanaman surjan yang cocok untuk daerah pasang surut atau rawan banjir, pertanianperikanan terpadu, pertanian-peternakan terpadu, bahkan pertanian-peternakan-
15
perikanan terpadu. Limbah padat dan limbah cair sebagai sumber pupuk organik akan mendukung semua jenis pertanian terpadu. Limbah ini bisa berupa bagas tebu, blotong, fermentasi slop (limbah cair pabrik alkohol), macam-macam limbah agroindustri, sampah kota, biogas, atau limbah cair hasil fermentasi biogas. Selain itu, tumbuhan air seperti Azolla pinnata, eceng gondok, alga biru, ganggang hijau juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik. Untuk mendukung sistem usahatani organik dan LEISA, diperlukan tanaman pupuk hijau seperti Calliandra calothyrsus, Leucaena glauca yang mendukung di lahan karena hasil residu tanaman ini bisa dimanfaatkan sebagai pupuk hijau. 3)
Pemanfaatan Pupuk Hayati dan Pupuk Hijau Jenis pupuk lainnya yang ramah lingkungan adalah pupuk hayati yang
memanfaatkan
mikroorganisme
penambat
nitrogen,
yaitu
Rhizobium,
Azospirillum, Azotobakter, Cyanobakter. Mikroorganisme yang cukup penting dalam memanfaatkan fosfat di dalam tanah, adalah Bacillus polymyxa, Pseudomonas striata, Aspergillus awamori, Pencillium digitatum, Mikorisa, Ektomikoriza, dan masih banyak lagi. Pemanfaatan pupuk hayati dapat mempercepat penambatan nitrogen dalam tanah dan penyediaan unsur hara penting lainnya bagi tanaman. Semua mikroorganisme penting dalam pupuk hayati, bisa diinokulasi dalam jumlah yang cukup, sesuai kebutuhan dalam sistem pertanian organik. Pemupukan bisa juga didukung dengan pemanfaatan pupuk hijau. Metode ini bukan merupakan hal yang baru karena sudah lama dikenal oleh petani lahan kering dan lahan basah. Pupuk hijau atau disebut juga tanaman pembenah tanah karena merupakan bahan terbaik untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah (Sangatanan, 1989 dalam Sutanto, 2002). Pupuk hijau berarti memasukkan bahan yang belum terdekomposisi ke dalam tanah yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi tanaman. Pupuk hijau dimasukkan ke dalam lapisan olah, dan hasilnya dapat dilihat pada tanaman berikutnya. Manfaat pupuk hijau yang utama selain sebagai sumber bahan organik, juga sebagai sumber nitrogen. Tanaman pupuk hijau dapat ditanam dalam beberapa bentuk kombinasi dan konfigurasi berdasarkan ruang dan waktu. Penggunaan tanaman pupuk hijau
16
yang umum dilaksanakan di Indonesia adalah: perbaikan tanah selama periode pemberoan, budidaya lorong, memadukan legum pohon pada tanaman perkebunan, pemberoan terkendali, mulsa hidup, dan tanaman naungan. Beberapa jenis tanaman pupuk hijau yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kesuburan tanah, antara lain: Calliandra colothyrsus, Calopogonium mucunoides, Canavalia ensiformis, Canavalia gladiata, Centrocema pubescens, Crotalaria lanceolata, Dolichos lablab, Leucaena glauca, Mimosa invisa, Mucuna pruriens. Pupuk hijau biasanya merupakan alternatif terakhir sebagai sumber pupuk karena petani lebih senang memanfaatkan pupuk kandang atau membenamkan limbah panen. 4)
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu serta Pemanfaatan Pestisida Hayati Pengendalian hama dan penyakit terpadu, harus memahami prinsip-prinsip
perlindungan tanaman, melalui praktik budidaya sebagai berikut: pengetahuan agroekosistem; pertanaman campuran dan diversifikasi; pemanfaatan bentuk lahan sebagai habitat predator hama; pergiliran tanaman; irama alam dan saat tanam yang tepat; pemupukan dan kesehatan tanaman; pengolahan tanah; pemilihan varietas; kesehatan tanah; gatra sosial; pengendalian hama dan penyakit secara alami yang dapat dilakukan dengan pengendalian alami, perencanaan yang matang, penjaminan kebersihan kondisi lahan, belajar memahami hama yang ada, menggunakan teknik sederhana, menggunakan bahan beracun hanya dalam keadaan terpaksa dalam jumlah sangat terbatas, membuang tanaman yang lemah atau tumbuhnya kurang baik. Sementara itu, pemanfaatan pestisida hayati dapat dimulai dari bahan tumbuh-tumbuhan yang biasanya dikenal dengan baik, misalnya ramuan untuk obat tradisional, bahan yang diketahui mengandung racun, mempunyai kemampuan spesifik dalam menangani hama, dan lain-lain. Bahanbahan tersebut, selanjutnya diatur tingkat penggunaannya sesuai dengan kebutuhan. Beberapa jenis pestisida hayati yang sering digunakan, antara lain: bawang putih, jarak, jengkol, kecubung, lombok, mindi, nimba, pepaya, tembakau. 5)
Pertanian Olah Tanah Minimum dan Tanpa Olah Tanah Pertanian Olah Tanah Minimum (OTM) dan Tanpa Olah Tanah (TOT)
merupakan praktik pertanian masa depan sesuai dengan LEISA sehingga petani
17
tidak terlalu menghabiskan biaya untuk pengolahan tanah. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan apabila kondisi tanah sudah cukup baik atau stabil pasca perlakuan kimiawi sehingga terlepas dari ketergantungan penggunaan input luar kimiawi. Oleh karena itu, daur hara dalam tanah selanjutnya akan mengikuti alam secara alami (organik) sehingga keberlanjutan sistem pertanian terjamin dan OTM atau TOT bisa diterapkan. 2.1.5. Pengertian Keberlanjutan Ekologi ‘Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh Komisi Sedunia untuk Lingkungan dan Pembangunan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka’ (Soemarwoto, 2004). Keberlanjutan ekologi merupakan
prasyarat
untuk
pembangunan
dan
keberlanjutan
kehidupan
sebagaimana yang dinyatakan oleh Jaya (2004)5. Keberlanjutan ekologi akan menjamin keberlanjutan ekosistem bumi. Menurut Jaya (2004), untuk menjamin keberlanjutan ekologi, perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut: 1)
Memelihara integritas tatanan lingkungan agar sistem penunjang kehidupan di bumi tetap terjamin dan sistem produktivitas, adaptabilitas, dan pemulihan tanah, air, udara dan seluruh kehidupan berkelanjutan. Untuk melaksanakan kegiatan yang tidak mengganggu integritas tatanan lingkungan, maka hindarkan konversi alam dan modifikasi ekosistem, kurangi konversi lahan subur dan kelola secara bijaksana. Selain itu, limbah yang dibuang tidak melampaui daya asimilatif lingkungan.
2)
Memelihara keanekaragaman hayati pada keanekaragaman kehidupan yang menentukan
keberlanjutan
proses
ekologi.
Terdapat
tiga
aspek
keanekaragaman hayati, yaitu: keanekaragaman genetika, spesies, dan tatanan lingkungan. Untuk mengkonversikan keanekaragaman hayati tersebut, kita harus menjaga ekosistem alam dan area yang representatif tentang kekhasan sumberdaya hayati agar tidak dimodifikasikan, memelihara seluas mungkin area ekosistem yang dimodifikasikan untuk keanekaragaman 5
Askar, Jaya2004. Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) . Tugas Individu Semester Ganjil 2004, Pengantar Falsafah Sains. Program S3 IPB. Bogor: IPB.
18
dan keberlanjutan keanekaragaman spesies, konservatif terhadap konversi lahan pertanian. Upaya untuk menjamin keberlanjutan ekologi, sebaiknya tidak hanya menjadi suatu himbauan yang bersifat teoritis. Hal ini dapat diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari melalui praktik pertanian organik karena sesuai dengan definisi sebelumnya, bahwa pertanian organik menekankan pada proses produksi secara alamiah, dimana manusia melayani alam, dan alampun akan memberikan hasil positif kepada manusia. Sistem pertanian yang holistik tersebut, dinyatakan oleh banyak pihak mampu menjamin keberlanjutan ekologi. 2.1.6. Pengertian Keberlanjutan Ekonomi Keberlanjutan ekonomi dalam perspektif pembangunan memiliki dua hal utama, yaitu keberlanjutan ekonomi makro dan sektoral yang keduanya saling berkaitan dengan tujuan aspek keberlanjutan lainnya. Keberlanjutan ekonomi makro menjamin kemajuan ekonomi secara berkelanjutan dan mendorong efisiensi ekonomi melalui reformasi struktural dan nasional. Tiga elemen utama untuk keberlanjutan ekonomi makro, yaitu: efisiensi ekonomi, kesejahteraan ekonomi yang berkesinambungan, dan meningkatkan pemerataan serta distribusi kemakmuran. Hal tersebut dapat dicapai melalui reformasi fiskal, meningkatkan efisiensi sektor publik, mobilisasi tabungan domestik, pengelolaan nilai tukar, reformasi kelembagaan, kekuatan pasar yang tepat guna, ukuran sosial untuk pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan distribusi pendapatan dan aset (Jaya, 2004). Sementara itu, keberlanjutan ekonomi sektoral akan diwujudkan dalam bentuk kebijaksanaan sektoral yang spesifik. Kegiatan ekonomi sektoral ini mendasarkan pada perhatian terhadap sumber daya alam yang bernilai ekonomis sebagai kapital; koreksi terhadap harga barang dan jasa; serta pemanfaatan sumber daya lingkungan yang merupakan biosfer keseluruhan sumber daya6. Jaya (2004) selanjutnya menyatakan bahwa penyesuaian kebijakan yang meningkatkan keberlanjutan ekonomi makro secara jangka pendek akan mengakibatkan distorsi sektoral yang selanjutnya mengabaikan keberlanjutan ekologi. Hal ini harus diperbaiki melalui kebijaksanaan sektoral yang spesifik dan 6
http://www.gudangmateri.com/2010/07/harmonisasi-dankeseimbangankebudayaanhtml. Diakses pada tanggal 1 September 2010, pukul 12:44 WIB.
19
terarah. Oleh karena itu, keberlanjutan aktivitas dan ekonomi sektoral perlu diperhatikan. Untuk mencapai keberlanjutan ekonomi sektoral, dapat dilakukan melalui beberapa upaya. Pertama, sumberdaya alam yang nilai ekonominya dapat dihitung harus diperlakukan sebagai kapital yang tangible dalam kerangka akunting ekonomi. Kedua, secara prinsip harga sumberdaya alam harus merefleksi biaya ekstaksi, ditambah biaya lingkungan dan biaya pemanfaatannya. Pakar ekonomi harus mengidentifikasi dan memperlakukan sumber daya sebagai sumber daya yang terpulih, tidak terpulihkan, dan lingkungan hidup. Sumber yang terpulihkan seperti hutan dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan bila tidak memperlakukan produktivitas ekonomi sebagai fungsi yang pasif atau jasa yang mengalir sehingga perlu menggunakan prinsip pengelolaan yang berkelanjutan. Sedangkan sumber yang tidak terpulihkan, mempunyai jumlah absolut dan berkurang bila dimanfaatkan. Pembangunan berkelanjutan dalam konteks sumberdaya yang tidak dapat dipulihkan, berarti: pemanfaatan secara efisien sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi masa mendatang dan diupayakan agar dapat dikembangkan substitusi dengan sumberdaya terpulihkan; membatasi dampak lingkungan dengan pemanfaatannya yang sekecil mungkin. Prof. Dr. Emil Salim dalam Orasi Ilmiahnya yang berjudul “Sains dan Pembangunan Berkelanjutan” pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Tahun 2003 di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Baranangsiang, memberikan pemahaman sederhana tentang apa yang disebut keberlanjutan ekonomi seperti kutipan di bawah ini:
‘...kita meningkatkan kesejahteraan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan alam, masyarakat dan ekonomi untuk menaikkan kesejahteraan generasi masa depan. Jadi, jika generasi saat ini bisa maju, maka generasi anak-anak kitapun minimal bisa mencapai kesejahteraan yang setingkat, demikian pula dengan cucu-cucu kita. Sehingga kemudian terdapat alur ekonomi yang berjalan terus menerus, tanpa mengurangi tingkat kesejahteraan dari generasi ke generasi. Itulah yang dimaksud dengan keberlanjutan ekonomi.’
20
Keberlanjutan
ekonomi
dapat diwujudkan
melalui pengembangan
pertanian organik di Indonesia. Hal ini diperkuat karena pertanian organik mendasarkan pada perhatian terhadap sumber daya alam yang bernilai ekonomis sebagai kapital, dengan memanfaatkan sumber daya lingkungan secara holistik. Dengan demikian, praktik pertanian organik dapat dikategorikan sebagai salah satu kegiatan ekonomi sektoral. Aspek ekonomi dilihat dari bidang pertanian, dapat dikatakan berlanjut bila produksi pertanian mampu mencukupi kebutuhan pangan, dan memberikan pendapatan
yang layak untuk melaksanakan
keberlanjutan penghidupan, khususnya bagi para petani. 2.1.7. Pengaruh Praktik Pertanian Organik terhadap Keberlanjutan Ekologi dan Ekonomi Petani 2.1.7.1. Keberlanjutan Ekologi Kontribusi pertanian organik terhadap sistem ekologi telah banyak dimuat ke dalam berbagai buku atau publikasi. Meskipun demikian, namun hasil penelitian terdahulu mengenai sampai sejauh mana pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekologi dan ekonomi petani, khususnya di Indonesia masih sangat kurang. Oleh karena itu, penulis mencoba mensintesis berbagai rujukan atau referensi, baik dari dalam maupun luar negeri yang memungkinkan digunakan sebagai landasan teori dalam penelitian ini. Rosenow, Soltysiak, dan Verschuur (1996) menyatakan bahwa pertanian organik memperhatikan kesuburan tanah sebagai dasar kapasitas produksi dan sifat alami tanaman, hewan, biofisik, landskap, sehingga mampu mengoptimalkan kualitas semua faktor-faktor yang saling terintegrasi atau tergantung. Pertanian organik menggunakan daur ulang limbah-limbah organik secara alami tanpa input kimia. Tingkat persediaan optimal bahan-bahan organik tersebut dibutuhkan untuk mencapai siklus nutrisi unsur hara dalam tanah. Oleh karena itu, pertanian organik bisa dikatakan sebagai basis untuk keseimbangan ekologi secara alami. Pertanian organik tidak hanya mementingkan produk akhir yang organik tetapi semua proses secara holistik dalam sistem usahatani, mulai dari proses persiapan lahan hingga panen. Sebuah buku berjudul “What is Organic Farming?” yang diterbitkan oleh HDRA - The Organic Organisation juga
21
mengemukakan tentang keuntungan pertanian organik bagi manusia dan lingkungan dalam jangka panjang, sebagai berikut: 1)
Meningkatkan kesuburan tanah dalam jangka panjang.
2)
Mengontrol serangan hama dan penyakit tanaman tanpa merusak lingkungan.
3)
Menjamin air tetap bersih dan aman.
4)
Menggunakan sumber daya yang dimiliki oleh petani, sehingga dapat mengurangi biaya input produksi pertanian.
5)
Menghasilkan pangan yang bergizi, pakan untuk hewan, dan tanaman berkualitas tinggi yang dapat dijual dengan harga layak. Pendapat lain yang memperkuat dampak positif pertanian organik terhadap
ekologi adalah: ‘pollution of air and water is found to be reduced on organic farms, soil health improves, and the number and variety of wild species, such as plants, butterflies, and spiders is enhanced’ (ESRC Global Environmental Change Programme, 1999 dalam Soil Association dan SUSTA, 20017). Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dikatakan bahwa pertanian organik mampu mengurangi polusi udara dan air, meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah, dan menjaga keanekaragaman hayati baik tanaman maupun hewan seperti kupu-kupu, labalaba, dan lain-lain. Selain itu, terdapat lagi beberapa keuntungan dari praktik pertanian organik seperti yang ditulis oleh Dede Sulaeman (2008) dalam makalahnya yang berjudul “Mengenal Sistem Pangan Organik Indonesia”, antara lain: 1)
Dihasilkannya makanan yang cukup, aman, dan bergizi, sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat.
2)
Terciptanya lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani.
3)
Meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian.
4)
Meningkatkan produktivitas lahan pertanian dalam jangka panjang.
5)
Mempertahankan fungsi konservasi. Pengaruh positif pertanian organik secara lebih rinci telah dibuktikan oleh
beberapa hasil penelitian dari luar negeri, meskipun belum banyak dipublikasikan
7
Soil Association bekerjasama dengan SUSTA (Southern United States Trade Association), menerbitkan buku yang berjudul Organic Food and Farming Report 2000, Myth and Reality Organic Vs Non-organic: The Facts. Maret 2001.
22
di Indonesia. Maria Müller-Lindenlauf (2009) menguraikan beberapa pengaruh positif pertanian organik tersebut, melalui tulisannya yang berjudul “Organic Agriculture and Carbon Sequestration” dengan mengutip pernyataan para ilmuwan, seperti di bawah ini:
“Organic agriculture has various positive environmental effects, chiefly enhancing biodiversity (Hole et al., 2005; McNeely, 2001) and reducing the energy use for agricultural production (Ziesemer, 2007). Emissions from mineral fertilizers production, which contribute alone to 1% of global anthropogenic greenhouse gas emissions, are totally omitted (FAOSTAT; EFMA; Williams, 2006). Furthermore, organic agricultural practices show ways of efficient nutrient management, which is going to become even more important in times of limited resources. While agricultural productivity increased substantially during the last decades by using higher amounts of mineral fertilizers, the global efficiency of Nitrogen use decreased from 80 to 30% (Erismann et al., 2008). Organic agricultural practices can contribute to a more efficient use of nitrogen by planting legumes and catch crops and integrated livestock production. Integration of landscape elements and higher soil organic matter contents increase the water capturing capacity of the agricultural system and lower the risk of soil erosion. Hence, the risk of yield losses by extreme weather events is lowered (Lotter, 2003). Abstention from all chemical pesticides avoids the risk of health damage by chemicals for farmers and consumers. Water quality is increased both by lower nitrate leaching and abstention from agro-chemicals (Stolze et al., 2000).”
Hasil penelitian seperti yang telah dikutip oleh Maria dalam tulisannya di atas, sudah cukup membuktikan bahwa praktik pertanian organik berpengaruh positif terhadap beberapa bidang kehidupan khususnya ekologi. Kutipan tersebut secara umum dapat disimpulkan bahwa pertanian organik memberikan pengaruh positif terhadap lingkungan, seperti: menjaga keanekaragaman hayati, mengurangi penggunaan energi dan emisinya, mencegah polusi dan bahaya kesehatan dengan menghindari penggunaan bahan-bahan kimia, menjaga kebersihan dan kesehatan air, mengoptimalkan penggunaan nitrogen secara efisien melalui tanaman penambat nitrogen, dan meminimalkan resiko erosi serta biaya input tinggi. Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekologi berdasarkan beberapa referensi yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan
23
demikian secara umum dapat dibuktikan atau diukur melalui perubahan kualitas lingkungan, seperti: tingkat kesuburan tanah, keanekaragaman hayati, serangan hama dan penyakit, produktivitas pertanian secara berkelanjutan, serta kesehatan lingkungan dan petani yang dapat dilihat dari kualitas air maupun produk pertanian
organik.
Untuk
menganalisis
pengaruh
tersebut,
dibutuhkan
perbandingan hasil nyata pada aspek ini, yaitu perbandingan kondisi ekologi pada sistem pertanian konvensional (non organik) dengan kondisi ekologi pada pertanian organik. 2.1.7.2. Keberlanjutan Ekonomi Menurut Ho dan Ching (2006), pertanian organik menjamin keberlanjutan ekonomi yang terlihat dari: 1)
Produksi yang lebih efisien dan menguntungkan dihasilkan dari pertanian organik melalui peningkatan produktivitas, biaya rendah namun keuntungan tinggi.
2)
Pertanian organik dapat meningkatkan ketahanan pangan dan keuntungan bagi masyarakat lokal selain baik juga untuk kesehatan.
Rosenow, Soltysiak, dan Verschuur (1996) selanjutnya mengemukakan bahwa pertanian organik mampu memproduksi pangan yang bergizi tinggi dalam jumlah cukup, mengizinkan setiap orang terlibat dalam produksi organik dan proses peningkatan kualitas hidup sesuai dengan hak asasi manusia yang diutarakan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk mencukupi semua kebutuhan dasar dan mendapatkan kepuasan atau tingkat pengembalian yang memadai atas kerja mereka termasuk lingkungan kerja yang sehat. Sejumlah keuntungan dari praktik pertanian organik di bidang ekonomi diungkapkan oleh Dede Sulaeman (2008) sebagai dukungan atas praktik pertanian organik di Indonesia. Keuntungan pertanian organik terhadap bidang ekonomi tersebut, antara lain: 1)
Meningkatnya pendapatan petani
2)
Terciptanya lapangan kerja baru di pedesaan
3)
Meningkatnya daya saing dan nilai tambah produk agribisnis secara berkelanjutan.
24
Bukti lain yang menyatakan pengaruh positif praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi dimuat dalam sebuah buku yang berjudul “Science-Based Organic Farming 2008: Toward Local and Secure Food Systems”. Buku tersebut memiliki beberapa bab dan terdapat satu bab berjudul “Economics of Organic Agriculture” pada halaman 97 yang membahas tentang keunggulan pertanian organik secara ekonomi dibandingkan pertanian konvensional, seperti yang dikutip di bawah ini:
‘Producers transitioning to organic systems will likely experience a decline in yields during the first several years of conversion. However, once that conversion period ends, research shows that yields will rebound to levels approaching conventional levels. More importantly, premiums for organically produced crops and reduced production costs impact net return and profitability...A 1999 Wallace Institute review of six midwestern land-grant university studies found: Organic grain and soybean production systems are "competitive with conventional production systems." In fact, with current market premiums, producers of organic grain and soybeans earn higher profits than conventional growers. Without a price premium for organic crops, half of organic systems were still more profitable than the conventional systems...’
Berdasarkan pernyataan di atas, diketahui bahwa
pertanian organik
memberikan pengaruh positif terhadap ekonomi petani karena pertanian organik mampu memproduksi hasil panen setara, bahkan lebih besar daripada pertanian konvensioanl dalam jangka panjang. Produktivitas pertanian organik pada awal masa konversi memang sangat rendah dibandingkan pertanian konvensional. Namun, hasil panen akan terus meningkat setelah lahan mengalami konversi pada masa tanam berikutnya. Selain itu, produk organik dihargai lebih mahal di pasar dibandingkan produk pertanian konvensional, sehingga petani akan memperoleh keuntungan secara maksimal dengan harga premium ini. Petani juga diuntungkan dalam praktik pertanian organik dari segi biaya input yang lebih rendah melalui pemanfaatan sumber daya lokal yang tersedia di lingkungan sekitar. Penjelasan lebih lanjut mengenai keuntungan pertanian organik secara ekonomi masih dijabarkan dalam buku “Science-Based Organic Farming 2008: Toward Local and Secure Food Systems” pada halaman 97, seperti di bawah ini:
25
‘...Several recent studies in the U.S. report that organic price premiums are key in giving organic farming systems comparable or higher wholefarm profits than conventional systems. Other studies indicate that organic systems are more profitable even without organic premiums because of lower input costs. A study of organic soybeans in the Midwest revealed that they were more profitable than conventionally-grown soybeans because of higher yields in dry areas and periods of drought and lower associated input costs.’
Semua pernyataan atau bahasan di dalam buku “Science-Based Organic Farming 2008: Toward Local and Secure Food Systems” pada bab “Economics of Organic Agriculture”, sebagian besar memiliki pemahaman yang sama mengenai pertanian organik, yaitu: menguntungkan secara ekonomi bagi para petani, karena pertanian organik membutuhkan biaya input lebih rendah dibandingkan pertanian konvensional dengan produktivitas tinggi secara berkelanjutan pada kondisi apapun, misalnya musim kering; dan harga produk organik juga lebih tinggi di pasaran atau seringkali disebut sebagai harga premium yang dapat meningkatkan pendapatan petani secara material. Sumber referensi lain yang cukup kuat menyatakan bahwa pertanian organik berpengaruh positif terhadap ekonomi adalah Sustainable Agriculture Research and Education (SARE). SARE menyatakan bahwa hasil panen pada lahan organik akan mencapai 90 persen hingga 95 persen dari total hasil panen pada pertanian konvensional setelah tiga hingga lima tahun masa konversi lahan. Pada masa itu, tanah benar-benar terbebas dari residu kimia dan bisa dikatakan sebagai lahan organik8. Hal ini ditulis berdasarkan studi komparatif dari Organic Farming Research Foundation. Para petani organik sebagian besar tidak hanya melihat manfaat pertanian organik dari sisi produktivitas yang dibandingkan dengan pertanian konvensional saja, tetapi juga dari sisi nilai tambah produk organik dan harga premiumnya yang lebih tinggi daripada produk konvensional. Selain itu, biaya input operasional pertanian organik dinilai lebih rendah daripada pertanian konvensional.
8
http://www.sare.org/publications/organic/organic07.htm. Diakses pada tanggal 2 September 2010, pukul 14:51 WIB.
26
Jeff Moyer, seorang Farm Manager Rodale Institute di Kutztown menjelaskan bahwa pertanian organik berdampak baik bagi perekonomian petani karena dapat meminimalkan biaya input, memperluas pasar dan meningkatkan harga jual hasil pertanian. Berdasarkan data yang ada, penjualan produk organik pada tahun 2001 mencapai lebih dari $8 milyar di dalam negeri (Amerika Serikat) dan $27 milyar di seluruh dunia. Fakta ini mewakili dua puluh persen pertumbuhan pasar organik per tahun selama lima tahun terakhir. Permintaan terhadap produk organik hingga saat ini masih melebihi suplainya, sehingga kesempatan untuk mengembangkan pertanian organik beserta produknya masih terbuka lebar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masa depan pertanian organik sangat cerah untuk jangka panjang, apalagi didukung oleh lahan organik yang mampu berproduksi secara berkelanjutan tanpa merusak keseimbangan ekosistem. Potensi ekonomi yang tersembunyi tersebut, jika dihitung secara kuantitatif, maka jumlahnya jauh melebihi potensi ekonomi pada pertanian konvensional9. Berdasarkan beberapa teori, hasil penelitian, dan referensi pada paragraf sebelumnya, maka dapat dianalisis bahwa praktik pertanian organik terbukti mampu mempengaruhi keberlanjutan ekonomi secara positif. Pengaruh terhadap ekonomi ini dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain: kemampuan pertanian organik dalam mencukupi kebutuhan pangan keluarga dan permintaan konsumen (tingkat produktivitas); keuntungan total dari hasil penjualan produk organik per musim tanam; dan peluang atau akses pasar. Untuk menganalisis pengaruh tersebut, dibutuhkan perbandingan hasil nyata pada aspek ini, yaitu perbandingan analisis ekonomi antara sistem pertanian konvensional (non organik) dengan pertanian organik. 2.1.8. Perkembangan dan Kondisi Pertanian Organik di Indonesia Sejarah singkat yang dirangkum dari tulisan Oudejans (1999) dalam bukunya
yang berjudul “Perkembangan Pertanian di Indonesia”, telah
membuktikan bahwa pertanian di Indonesia sudah lama terlaksana terutama pada masa penjajahan Belanda. Hal yang perlu diperhatikan dalam pertanian di zaman 9
http://www.rodaleinstitute.org/transition_fact_sheet. Diakses pada tanggal 2 September 2010, pukul 15:27 WIB.
27
kolonial Belanda adalah sistem pelaksanaan pertanian itu sendiri yang lebih menekankan pada unsur-unsur alami tanpa penggunaan input luar kimiawi. Jadi, pertanian organik sebenarnya sudah lama diterapkan di Indonesia, yaitu zaman penjajahan Belanda tetapi belum disadari secara penuh baik manfaat maupun istilahnya pada masa itu oleh masyarakat. Hal yang melatarbelakangi berkembangnya pertanian organik selain sebagai aksi perbaikan atas dampak negatif yang ditimbulkan “Revolusi Hijau”, adalah: timbulnya kesadaran masyarakat akan pangan dan kesehatan. Rujukan buku “Silent Spring” yang ditulis oleh Carson (1962), menyatakan bahwa input luar kimiawi yang seringkali digunakan oleh manusia dalam meningkatkan produktivitas pertanian, dapat berdampak buruk bagi lingkungan10. Permasalahan lain yang selanjutnya memacu perkembangan pertanian organik adalah mahalnya harga pupuk dan rendahnya harga gabah kering giling sehingga tidak seimbang dengan pengeluaran petani. Pertanian organik mulai berkembang pesat di Indonesia sejak krisis moneter tahun 1997, yang dipicu oleh mahalnya harga pupuk dan pestisida, sehingga tidak terjangkau oleh kebanyakan petani. Meskipun demikian, isu pertanian organik di Indonesia sebenarnya telah mulai berkembang sejak sekitar tahun 1970-an dan perkembangannya hingga saat ini cukup menggembirakan, terbukti dari data SPOI tahun 2008 yang menunjukkan peningkatan luas area pertanian organik dari tahun sebelumnya, yaitu dari 41.431 ha menjadi 235.078,16 ha. Data pertanian organik global tahun 2008, berdasarkan buku The World of Organic Agriculture , Statistics and Emerging Trends 2009 sebagaimana dikutip dalam SPOI (2008), memperlihatkan angka 32,2 juta ha sebagai total luas area pertanian organik global yang merupakan 0,8 persen dari total luas area pertanian 141 negara yang disurvey. Berdasarkan data organik global tahun sebelumnya, luas area ini meningkat 1,5 juta ha. Tabel mengenai luas area pertanian organik menurut region tahun 2007 disajikan di bawah ini:
10
Irianto. 2003. Prosiding Seminar Sehari “Peluang dan Tantangan Pengembangan Pertanian Organik di Bogor”.
28
Tabel 3. Luas Area Pertanian Organik Menurut Region, Tahun 2007 Luas Lahan Pertanian Organik (ha)*
Region Afrika Amerika Utara Asia** Amerika Latin Eropa Oceania Total
870.329 2.197.077 2.893.079 6.402.875 7.758.526 12.110.758 32.232.644
Persentase dari Luas Total Area Pertanian (%)* 0,1 0,6 0,2 1,0 1,9 2,6 0,8
Sumber: SPOI 2008 Keterangan: * Tidak termasuk akuakultur dan area panen liar, termasuk area konservasi ** Diolah kembali oleh tim SPOI dengan penambahan data dari Indonesia
Dari Tabel 3, diketahui bahwa region dengan luas lahan pertanian organik terbesar adalah Oceania, lalu diikuti Eropa, dan Amerika Latin. Total luas area pertanian organik di dunia adalah 0,8 persen dari jumlah total luas lahan pertanian di seluruh dunia. Perkembangan pertanian organik di Asia, cukup menggembirakan. Benua Asia merupakan benua terbesar dengan populasi terpadat di dunia. Hampir semua pemerintah memiliki prioritas dalam sertifikasi dan akreditasi organik, meskipun perkembangan organik di Asia masih pada taraf produksi. Luas area pertanian organik di Asia dibandingkan area pertanian konvensional, baru sebesar 0,2 persen. Berikut ini disajikan tabel negara dengan luas area pertanian organik terbesar di Asia tahun 2007: Tabel 4. Daftar Negara dengan Luas Area Pertanian Organik Terbesar di Asia, Tahun 2007 Negara Cina India Indonesia Syria Pakistan Timor Leste Azerbaijin Thailand Sri Lanka Filipina
Luas Lahan Pertanian Organik (ha)*
Persentase dari Total Luas Area Pertanian (%)*
1.553.000,0 1.030.311,0 77.517,8 28.461,0 25.001,0 23.790,0 21.239,7 19.123,1 17.000,0 15.343,8
0,28 0,57 0,14 0,20 0,09 7,00 0,45 0,10 0,72 0,13
Sumber: SPOI 2008 Keterangan: * Tidak termasuk akuakultur dan area panen liar, termasuk area konservasi - Tidak ada data
Jumlah Produsen (Orang) 1.600 195.741 6.568 3.256 28 312 3.924 4.216 -
29
Tampak pada Tabel 4 bahwa Cina dan India memiliki luas area pertanian organik terbesar dengan selisih yang cukup tinggi dibandingkan negara-negara lainnya. Indonesia menempati urutan ketiga setelah India. Pada umumnya, produsen di Asia adalah petani kecil yang kemudian berkelompok untuk mendapatkan sertifikasi. Perkembangan pertanian organik di Indonesia selain diindikasikan oleh data statistik, juga didukung oleh kebijakan pemerintah dan gerakan-gerakan organik dari LSM, khususnya yang berhubungan dengan sistem sertifikasi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari AOI, Indonesia termasuk negara yang sedang dalam proses penyusunan kebijakan. Pada praktiknya, telah dilakukan langkah-langkah penyusunan kebijakan untuk mendukung perkembangan pertanian organik di Indonesia. Di tingkat nasional, pemerintah telah membuat kebijakan yang ditujukan untuk menumbuhkan, memfasilitasi, mengarahkan, dan mengatur perkembangan pertanian organik (Sulaeman, 2006). Departemen Pertanian telah mencanangkan pertanian organik dengan slogan “Go Organic 2010”. Sebelum munculnya pencanangan “Go Organic 2010”, Surono (2007) dalam presentasinya untuk Regional Conference On Organic Agriculture in Asia di Bangkok seperti yang dikutip dalam SPOI (2008), menguraikan bahwa sebenarnya penanda dimulai gerakan organik di Indonesia adalah berdirinya Bina Sarana Bakti (BSB) sebagai pusat pelatihan organik pertama di Indonesia, kemudian diikuti dengan terbentuknya jaringan petani dan nelayan (SPTN-HPS) di Yogyakarta tahun 1990. Delapan tahun kemudian, jaringan pertanian organik skala nasional pertama kali terbentuk yang saat ini dikenal sebagai Jaringan Kerja Pertanian Organik (Jaker PO). Hal ini lalu disusul dengan dibentuknya Koperasi SAHANI tahun 1999. Pada tahun 2000 dideklarasikan juga MAPORINA (Masyarakat Pertanian Organik Indonesia) dan gerakan ini kemudian diikuti dengan munculnya AOI (Aliansi Organis Indonesia) pada tahun 2002. APOI (Asosiasi Pertanian Organik Indonesia) ikut meramaikan dunia pertanian organik dan terbentuk pada tahun 2003. Pada tahun 2003, Departemen Pertanian juga secara resmi membentuk OKPO (Otoritas Kompeten Pertanian Organik). Pada tahun 2006, AOI mengukuhkan PT. BIOCert Indonesia sebagai lembaga sertifikasi pertama organik
30
di Indonesia. Tidak kalah pentingnya, pada tahun 2002 standar nasional untuk produk pangan organik (SNI 01-6729-2002) diluncurkan. Pada tahun 2007, Departemen Pertanian menganggarkan dana sebesar 4 juta USD untuk program organik dan pada tahun 2009 lalu, Menteri Pertanian menargetkan penggunaan pupuk organik di tahun 2014 (Surono, 2007 dalam SPOI, 2008). Standar dan pedoman pertanian organik lalu bermunculan dan IFOAM Basic Standards menjadi rujukan langsung maupun tidak langsung bagi para penggiat pertanian organik di Indonesia, baik dari kalangan pemerintah maupun LSM. Jaker PO pada tahun 2001 juga mengeluarkan standar pertanian organik. Perkembangan
pertanian
organik
di
Indonesia
meskipun
cukup
menggembirakan setiap tahunnya, namun masih perlu ditingkatkan lagi karena mengingat masih luasnya lahan potensial di Indonesia yang belum organik. Luas total area pertanian organik di Indonesia tahun 2009 adalah 231.687,11 ha. Luas area tersebut meliputi luas lahan yang tersertifikasi, yaitu 97.351,60 ha (42 persen dari total luas area pertanian organik di Indonesia) dan luas lahan yang masih dalam proses sertifikasi (pilot project AOI), yaitu 132.764,85 ha (57 persen dari total luas area pertanian organik di Indonesia). Sementara itu, berdasarkan hasil evaluasi lahan pada skala eksplorasi (skala 1 :1000000) untuk seluruh wilayah Indonesia, diperoleh data bahwa lahan-lahan yang sesuai untuk pertanian seluas 100,7 juta ha, terdiri dari lahan yang sesuai untuk tanaman pangan seluas 24,6 juta ha lahan basah dan 25,3 juta ha lahan kering, serta lahan seluas 50,9 juta ha sesuai untuk tanaman tahunan (Puslitbangtanak, 2002 dalam Mulyani, Agus, Subagyo, 2003). Jika diambil persentase, maka jumlah area pertanian organik hanya sekitar 0,23 persen dibandingkan dengan luas total lahan pertanian potensial di Indonesia. Jumlah ini relatif kecil dan artinya, masih banyak petani yang belum menerapkan pertanian organik di Indonesia. Luas area pertanian organik Indonesia cukup besar jika dibandingkan dengan negara lainnya di Asia tetapi luas area pertanian organik negara ini masih kalah jauh dibandingkan India dan Cina yang masing-masing mencapai 1.030.311 ha dan 1.553.000 ha pada tahun 2007 berdasarkan data SPOI (2008). Luas lahan pertanian organik terbesar di dunia sesuai yang dilaporkan dalam SPOI (2008), sampai saat ini masih dipegang oleh negara Australia (12.500.000 ha), Argentina
31
(2.777.959 ha), Brazil (1.765.793 ha), dan Amerika Serikat (1.640.836,4 ha), sedangkan jumlah produsen organik terbanyak berada di negara Uganda (206.803 orang), disusul India (195.741 orang), Etiopia (165.560 orang), dan Meksiko (128.819 orang). Indonesia masih berada pada posisi yang sangat jauh dalam hal perkembangan pertanian organik di tingkat dunia, baik dihitung berdasarkan luas lahan maupun jumlah produsen organik yang hanya berkisar 12.101 orang pada tahun 2009. Padahal, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi produsen organik di dunia mengingat luas lahan potensial yang masih terbuka lebar beserta faktor pendukung geografisnya. Negara pengekspor produk pertanian organik terbesar di dunia diduduki oleh Argentina, Meksiko, Brazil, Dominika, Cina, India, Afrika Selatan dan Turki. Negara-negara tersebut adalah eksportir utama produk-produk organik ke Eropa. Beberapa negara Afrika seperti Tunisia, Moroko, Mesir, Uganda dan Zambia juga adalah pemasok produk organik ke kawasan tersebut, meskipun nilai ekspornya lebih rendah daripada negara-negara yang disebutkan di awal. Sementara itu, Indonesia tidak termasuk dalam negara pengekspor produk organik terbesar di dunia. 2.1.9. Proses Pengambilan Keputusan Inovasi Rogers (1983) dalam Mugniesyah (2006) mengemukakan lima fungsi atau tahapan proses pengambilan keputusan inovasi, antara lain: (1) knowledge (pengenalan), (2) persuasion (pembentukan sikap), (3) decision (pengambilan keputusan), (4) implementation dan (5) confirmation (penegasan). Proses pengambilan keputusan inovasi dipengaruhi oleh beberapa variabel antesenden yang terdiri atas: (1) karakteristik individu, (2) karakteristik sosial ekonomi dan (3) kekuatan penerimaan akan kebutuhan inovasi. Semua variabel antesenden tersebut, akan mempengaruhi kelangsungan setiap tahapan proses pengambilan keputusan inovasi. Suatu inovasi akan diadopsi atau ditolak, tergantung dari keputusan masing-masing individu sasaran inovasi. Proses pengambilan keputusan tersebut, berada pada tahap decision. Proses pengambilan keputusan inovasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Mugniesyah (2006), juga dipengaruhi oleh persepsi unit pengambil keputusan inovasi terhadap karakteristik atau ciri-ciri inovasi. Karakteristik atau ciri-ciri
32
inovasi tersebut, antara lain: (1) keuntungan relatif (relative advantage), (2) kesesuaian (compatibility), (3) kerumitan (complexity), (4) kemungkinan dicoba (trialability) dan (5) kemungkinan diamati (observability). Karakteristik inovasi yang sesuai dan memungkinkan untuk diteliti dalam praktik pertanian organik berdasarkan kriteria pertanian berkelanjutan adalah keuntungan relatif secara ekonomi dan kerumitan atau tingkat kompleksitas praktik pertanian organik. Analisis terhadap keuntungan relatif akan menjawab bagaimana pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani. Sementara itu, analisis terhadap kerumitan atau tingkat kompleksitas praktik pertanian organik akan menjawab sampai sejauh mana tingkat fleksibilitas (adaptable) praktik pertanian organik di kalangan petani. 2.2. Kerangka Pemikiran Berdasarkan kriteria pertanian berkelanjutan, analisis keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani dapat dilakukan dengan mengidentifikasi pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani dan mengukur tingkat kompleksitas praktik pertanian organik menurut persepsi petani. Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani dianalisis dengan metode survey eksperimen, sehingga perubahan terhadap aspek ekonomi petani terlihat jelas. Metode ini berusaha membandingkan kondisi ekonomi petani yang dilihat dari keuntungan usahataninya pada saat sebelum dan sesudah adanya praktik pertanian organik melalui kuesioner. Responden penelitian meliputi control group, yaitu kelompok petani non organik (konvensional) yang dijadikan sebagai responden kontrol atau pembanding dan experimental group, yaitu kelompok petani organik yang dijadikan sebagai responden eksperimen. Jenis tanaman budidaya dalam sistem usahatani organik dan konvensional yang akan diteliti adalah padi sawah. Bentuk kerangka pemikiran penelitian ini, secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1.
33
Karakteristik Sosial Ekonomi Petani v Tingkat pendidikan v Status petani v Kepemilikan ternak
Experimental Group
Control Group
Keberlanjutan Ekonomi Petani (Y1) v Tingkat produktivitas pertanian v Keuntungan usahatani per musim tanam v Akses pasar
Sebelum Organik
Organik
Praktik Pertanian Organik (X)
v Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama ≥ 3 tahun. v Menggunakan pupuk organik. v Menggunakan bibit padi varietas lokal. v Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida organik. v Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari pertanian konvensional.
Keberlanjutan Ekonomi Petani (Y2) v Tingkat produktivitas pertanian v Keuntungan usahatani per musim tanam v Akses pasar
Analisis Tingkat Kompleksitas Praktik Pertanian Organik menurut Persepsi Petani
Apakah ada perbedaan?
Keberlanjutan Ekonomi Petani (Y1’) v Tingkat produktivitas pertanian v Keuntungan usahatani per musim tanam v Akses pasar
Sesudah Organik
Ada perbedaan
Keberlanjutan Ekonomi Petani (Y2) v Tingkat produktivitas pertanian v Keuntungan usahatani per musim tanam v Akses pasar
Mengapa praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh petani?
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Keberlanjutan Praktik Pertanian Organik di Kalangan Petani Keterangan: = Stimuli yang diberikan kepada experimental group.
= Perbandingan variabel Y antar kelompok responden
= Variabel X dianalisis secara komparatif dengan praktik pertanian konvensional. = Perbandingan variabel Y dalam satu kelompok responden = Mempengaruhi = Kontradiksi dengan keputusan menolak (tidak mengadopsi) praktik pertanian organik.
34
Praktik pertanian organik menurut Sutanto (2002), sangat tergantung dari pengetahuan lokal petani dan kondisi pertanian setempat. Namun, secara umum praktik pertanian organik yang paling mudah dilakukan dan diukur di kalangan petani, meliputi: penggunaan pupuk organik, penggunaan bibit varietas lokal, pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida organik, serta pemisahan lahan dan sumber air irigasi pertanian organik dari pertanian konvensional. Praktik pertanian organik seperti yang telah disebutkan di atas, merupakan ketentuan minimal yang harus dipenuhi oleh petani jika ingin diakui sebagai petani organik. Hal ini disebabkan karena pertanian organik, tidak hanya dilihat dari penggunaan pupuk organik saja, tetapi banyak aspek yang dinilai, termasuk sikap petani sendiri terhadap alam. Selain itu, suatu lahan pertanian organik benar-benar akan terbebas dari residu kimia sintetik dan mampu berproduksi secara stabil atau optimal, jika telah mengalami masa konversi dari lahan non organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama minimal tiga tahun atau lebih. Praktik pertanian organik dalam penelitian ini selanjutnya disebut sebagai variabel bebas atau variabel pengaruh (independent variabel) yang diberi lambang X. Variabel ini akan diuji pengaruhnya terhadap variabel lainnya, yaitu variabel tidak bebas atau terikat (dependent variabel). Variabel terikat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keberlanjutan ekonomi (Y) yang memiliki beberapa indikator, antara lain: tingkat produktivitas pertanian, keuntungan usahatani per musim tanam, dan akses pasar. Pengaruh X terhadap Y dapat diketahui dengan membandingkan nilai variabel Y1 dengan Y2 antar kelompok responden pada kondisi sebelum organik, Y1’ dengan Y2 antar kelompok responden pada kondisi sesudah organik dan Y1 dengan Y1’ dalam kelompok eksperimen. Hubungan antar variabel bersifat asimetris yang menunjukkan hubungan antara stimulus dengan respons dan merupakan hubungan bivariat, yaitu hubungan antara satu variabel bebas dengan satu variabel terikat. Pengaruh variabel X terhadap variabel Y menjadi penting untuk diuji agar dapat diketahui sampai sejauh mana praktik pertanian organik berpengaruh terhadap keberlanjutan ekonomi petani. Jika X terbukti berpengaruh terhadap Y, maka akan terjadi perbedaan nilai Y antara petani yang menjalankan sistem
35
usahatani organik dengan konvensional. Menurut tinjauan pustaka, praktik pertanian organik terbukti berpengaruh positif terhadap keberlanjutan ekonomi petani. Namun, ironisnya hal ini berkontradiksi dengan banyaknya keputusan para petani yang menolak atau tidak mengadopsi praktik pertanian organik. Analisis tingkat kompleksitas praktik pertanian organik (variabel X) menurut persepsi petani, juga penting diketahui karena bisa menjadi salah satu alasan kuat mengapa praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh petani di suatu daerah. Bentuk analisis terhadap variabel X, bersifat komparatif karena membandingkan tingkat kompleksitas antara praktik pertanian organik dengan praktik pertanian konvensional menurut dua kelompok responden. Meskipun demikian, masih terdapat kemungkinan adanya penyebab lain mengapa praktik pertanian organik belum berkembang di kalangan petani, seperti pengaruh variabel antesenden terhadap pengambilan keputusan inovasi, yaitu karakteristik sosial ekonomi petani yang terdiri dari: tingkat pendidikan, status petani dan kepemilikan ternak. Penyebab lain di luar analisis statistik, akan diinvestigasi lebih dalam secara kualitatif. Hasil penelitian ini secara keseluruhan, dapat digunakan sebagai referensi mengenai bukti keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani yang kemudian menjawab sebuah pertanyaan besar, yaitu mengapa pertanian organik masih belum banyak diadopsi oleh petani. Setelah mengetahui hasil penelitian ini, diharapkan akan ada tindak lanjut atau kebijakan pembangunan pertanian dari para stakeholders, khususnya pemerintah pada masa yang akan datang. 2.3. Hipotesis Penelitian 2.3.1. Hipotesis Uji Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, penelitian ini mempunyai beberapa hipotesis kerja yang akan diuji, antara lain: 1)
Praktik pertanian organik (X) diduga berpengaruh positif secara signifikan terhadap keberlanjutan ekonomi petani (Y).
2)
Tingkat kompleksitas praktik pertanian organik diduga lebih tinggi secara signifikan daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani.
36
2.3.2. Hipotesis Pengarah Praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh para petani karena diduga memiliki tingkat kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan praktik pertanian konvensional dan dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi petani. 2.4. Definisi Operasional Beberapa definisi operasional penelitian ini, dijelaskan dalam Tabel 5 dan Tabel 6 sebagai berikut:
37
Tabel 5. Definisi Operasional untuk Analisis Pengaruh Praktik Pertanian Organik (Variabel X) terhadap Keberlanjutan Ekonomi Petani (Variabel Y) Variabel/Indikator
Praktik Pertanian Organik (X):
a. Lahan pertanian harus dikonversi dari non organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama ≥ 3 tahun. b. Menggunakan pupuk organik.
Definisi Operasional Teknik budidaya pertanian yang menggunakan sumber daya alam secara organik atau terbebas dari penggunaan input kimia sintetik dan dilakukan oleh petani sesuai dengan pengetahuan dan kondisi lokal mereka.
Periode yang dibutuhkan untuk mengkonversi lahan dari non-organik menjadi organik, sehingga lahan terbebas dari residu bahan kimia sintetik secara ideal selama minimal 3 tahun. Petani menggunakan pupuk yang berasal dari bahan organik seperti pupuk kompos, kandang, hijau, dan lain-lain.
Kategori Organik = 1, jika indikator a-e terpenuhi. Konvensional = 2, jika salah satu dari indikator ae tidak terpenuhi. Ya = 1 Tidak = 2 Ya = 1 Tidak = 2 Ya = 1 Tidak = 2
Skala Pengukuran
Nominal
Nominal Nominal Nominal
c. Menggunakan bibit padi varietas lokal.
Petani menggunakan bibit padi varietas lokal, bukan hibrida atau hasil rekayasa genetika.
d. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida organik.
Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara alami yang dapat dilakukan oleh petani dengan memanfaatkan pestisida hayati atau nabati; serta predator hama alami tanpa bahan kimia sintetik.
Ya = 1 Tidak = 2
Nominal
e. Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari pertanian konvensional.
Pemisahan lahan dan sumber air irigasi antara pertanian organik dengan pertanian konvensional untuk menghindari kontaminasi bahan-bahan kimia sintetik.
Ya = 1 Tidak = 2
Nominal
Keberlanjutan Ekonomi Petani (Y):
Kondisi ekonomi petani yang ideal, yaitu jika petani mampu mencukupi kebutuhan mereka dan memperoleh pendapatan yang cukup untuk melaksanakan keberlanjutan penghidupan secara kontinu.
a. Tingkat produksi pertanian
Kemampuan sistem usahatani dalam menghasilkan panen per luas lahan pada musim tertentu dari tanaman yang dibudidayakan untuk menjamin kelangsungan hidup petani.
b. Keuntungan usahatani per musim tanam
Jumlah total pendapatan petani per musim tanam dikurangi jumlah total biaya input produksi pertanian.
c. Akses pasar
Kemampuan atau peluang petani dalam memasarkan atau menjual produk pertaniannya kepada konsumen melalui berbagai macam saluran distribusi berdasarkan permintaan konsumen. Akses pasar dinilai dari banyak dan terbukanya saluran distribusi yang bisa dijangkau oleh petani sendiri dengan otoritas harga jual produk dari petani.
Berlanjut secara signifikan jika ada perbedaan yang cukup nyata antara kondisi ekonomi petani sebelum dan sesudah melaksanakan pertanian organik, serta antara kondisi ekonomi petani organik dengan konvensional. Jumlah hasil panen dihitung per luas lahan yang digarap oleh petani per musim dengan satuan kg. Keuntungan dihitung dalam satuan Rupiah (Rp).
Rasio
Rasio
Rasio
38
Tabel 6. Definisi Operasional untuk Analisis Tingkat Kompleksitas Praktik Pertanian Organik (Variabel X) Menurut Persepsi Petani Variabel/Indikator
Definisi Operasional
Praktik Pertanian Organik (X):
Teknik budidaya pertanian yang menggunakan sumber daya alam secara organik atau terbebas dari penggunaan input kimia dan dilakukan oleh petani sesuai dengan pengetahuan dan kondisi lokal mereka.
a. Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama ≥ 3 tahun (v1)
Periode yang dibutuhkan untuk mengkonversi lahan dari non-organik menjadi organik, sehingga lahan terbebas dari residu bahan kimia sintetik secara ideal selama minimal 3 tahun.
b. Proses mendapatkan dan mengangkut pupuk organik ke sawah secara rutin setiap musim (v2)
Cara petani mendapatkan dan mengangkut pupuk yang berasal dari bahan organik seperti pupuk kompos, kandang, hijau, cair, dan lain-lain dari lokasi awal mereka menuju ke sawah secara rutin setiap musim.
c. Harga beli bibit padi varietas lokal (v3)
Harga yang harus dibayar oleh petani dalam menggunakan bibit padi varietas lokal, bukan hibrida atau hasil rekayasa genetika.
d. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida organik (v4)
Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara alami yang dapat dilakukan oleh petani dengan memanfaatkan pestisida hayati atau nabati; serta predator hama alami tanpa bahan kimia sintetik.
e.
Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari pertanian konvensional (v5)
Pemisahan lahan dan sumber air irigasi antara pertanian organik dengan pertanian konvensional untuk menghindari kontaminasi bahan-bahan kimia sintetik.
Kategori 1 = sangat mudah 2 = mudah 3 = biasa saja 4 = sulit 5 = sangat sulit 1 = sangat singkat 2 = singkat 3 = sedang 4 = lama 5 = sangat lama 1 = sangat mudah 2 = mudah 3 = biasa saja 4 = sulit 5 = sangat sulit 1 = sangat murah 2 = murah 3 = sedang 4 = mahal 5 = sangat mahal 1 = sangat mudah 2 = mudah 3 = biasa saja 4 = sulit 5 = sangat sulit 1 = sangat mudah 2 = mudah 3 = biasa saja 4 = sulit 5 = sangat sulit
Skala Pengukuran
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN
3.1. Metode Penelitian Penelitian
ini
merupakan
penelitian
yang
bersifat
menjelajah
(exploratory) karena bertujuan untuk mengenal pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu yang masih baru dan memuaskan keingintahuan peneliti untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik (Wahyuni dan Muljono, 2007). Berdasarkan jenisnya, penelitian ini secara umum termasuk penelitian survey eksperimental karena data dikumpulkan dari responden atau sampel suatu populasi dengan menggunakan kuesioner serta berusaha mengetahui hubungan sebab akibat variabel penelitian sebagai konsekuensi dari suatu tindakan/aksi dalam dua kelompok yang berbeda, yaitu experimental dan control group (Singarimbun dan Effendi, 2006). Selain itu, penelitian ini juga bisa dikatakan sebagai penelitian kausal komparatif yang bermaksud mencari kemungkinan hubungan sebab akibat dan mencari kesamaan atau perbedaan kelompok dengan menggunakan data yang ada (Usman dan Akbar, 2008). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Metode kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini, berperan sebagai landasan atau dasar penelitian untuk menguji hipotesis yang kemudian diperkuat dengan data kualitatif. Data kualitatif berfungsi untuk menjelaskan atau memperkuat fakta yang tidak bisa dijelaskan secara kuantitatif. Data kualitatif juga bertujuan untuk menjawab perumusan masalah penelitian yang bersifat mendalam, yaitu perumusan masalah ketiga dalam penelitian ini. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), yaitu di Paguyuban Petani Al-Barokah, Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Dimensi waktu penelitian ini adalah crosssectional karena penelitian ini hanya dilakukan pada bulan November hingga Desember 2010. Beberapa alasan pemilihan lokasi tersebut, antara lain: 1)
Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, merupakan salah satu desa di Jawa Tengah yang memiliki area pertanian organik dan
40
komunitas petani organik maupun konvensional cukup banyak sesuai dengan kebutuhan penelitian. Petani organik dan konvensional yang menjadi sasaran penelitian ini, tergabung dalam sebuah Paguyuban Petani bernama AlBarokah yang berada dalam satu desa. 2)
Praktik pertanian organik sudah dilakukan oleh para petani sejak tahun 1998 atau minimal telah lebih dari 3 tahun di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, sehingga pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani dapat diukur secara nyata. Paguyuban Petani Al-Barokah juga memiliki banyak prestasi, baik di tingkat propinsi maupun nasional terkait dengan pengembangan pertanian organik. Komoditas yang dibudidayakan oleh petani di desa tersebut adalah padi sawah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka lokasi penelitian ini sangat tepat dipilih.
3.3. Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan data kualitatif yang dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data sesuai dengan masing-masing jenis data. Sumber data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan langsung dari responden atau informan. Sebaliknya, data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung melalui pihak lain atau penelusuran dokumen. Teknik pengambilan data pada metode kuantitatif, dilakukan dengan cara menyebar kuesioner kepada responden penelitian. Sedangkan teknik pengambilan data kualitatif, dilakukan melalui wawancara mendalam dengan informan terkait dan responden; serta teknik dokumentasi dengan cara menganalisis atau menelusuri dokumen terkait penelitian. Berdasarkan teknik pengumpulan data yang telah dijelaskan, maka instrumen penelitian ini adalah instrumen non-tes berupa kuesioner dan pedoman wawancara. 3.4. Teknik Pengambilan Responden dan Informan Unit analisis penelitian ini adalah individu. Responden penelitian ini adalah petani organik yang telah melaksanakan praktik pertanian organik lebih dari tiga tahun dengan tanaman budidaya padi sawah dan petani konvensional sebagai responden kontrol yang berada pada lokasi dan tergabung dalam paguyuban petani yang sama dengan petani organik. Jumlah total populasi petani
41
di Desa Ketapang (populasi sampling) mencapai 2.347 orang (Tabel 11), sedangkan jumlah total populasi petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Al-Barokah (populasi sasaran) adalah 372 orang (terlampir). Populasi sasaran tersebut terdiri dari dua sub populasi (strata), yaitu: 14 orang petani organik, dan 358 orang petani konvensional. Penelitian ini menggunakan metode survey eksperimen yang membutuhkan sampel dari populasi, yaitu dua kelompok responden penelitian, yang terdiri dari: kelompok eksperimen (experimental group) dan kelompok kontrol (control group) dengan jumlah tertentu karena jumlah populasi terlalu besar jika diteliti. Banyaknya jumlah responden penelitian yang dapat mewakili populasi, ditentukan dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Slovin, sebagai berikut: n=
N 372 = = 78,8 1 + N. e 1 + (372 x 0,01)
Keterangan:
n = Jumlah sampel penelitian N = Jumlah populasi penelitian e = Nilai kritis yang digunakan (10%) Berdasarkan hasil perhitungan di atas, didapatkan 79 orang responden (pembulatan dari hasil perhitungan karena responden adalah manusia). Peneliti memiliki asumsi bahwa 79 orang merupakan jumlah minimal responden penelitian yang dapat mewakili populasi petani dalam Paguyuban Petani AlBarokah di Desa Ketapang. Teknik pengambilan responden pada penelitian ini dilakukan secara acak distratifikasi (stratified random sampling) karena populasi tidak homogen, yaitu terdiri dari dua sub populasi, seperti sub populasi petani organik dan konvensional. Dari semua sub populasi atau kelas tersebut, kemudian masingmasing diambil perwakilan respondennya dengan perhitungan sebagai berikut: 1)
Petani organik = 14 orang karena merupakan jumlah total sub populasi.
2)
Petani konvensional = 79 - 14 = 65 orang.
Responden dari masing-masing kelas, selanjutnya akan dipilih secara acak melalui teknik simple random sampling (pemilihan acak sederhana). Rincian mengenai jumlah populasi dan sampel penelitian, dapat dilihat dalam Tabel 7.
42
Tabel 7. Jumlah Populasi dan Responden Penelitian Petani Paguyuban Al-Barokah
Populasi Total* (Orang)
Petani Organik
Responden (Orang)
14
14
Petani Konvensional
358
65
Total
372
79
*Sumber: Data Paguyuban Petani Al-Barokah
Informan yang dipilih untuk penelitian ini adalah orang yang memahami Paguyuban Petani Al-Barokah dan telah ikut berkecimpung dalam perkembangan pertanian organik di Desa Ketapang. Pemilihan informan tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dan mereka adalah Pak Mustofa, mantan ketua Paguyuban Petani Al-Barokah; Pak Muslikh, Ketua Paguyuban Petani AlBarokah yang baru; Pak Basirun; serta beberapa tokoh masyarakat Desa Ketapang. Informan ini diperlukan sebagai pemberi informasi atau data tambahan terkait dengan penelitian yang tidak dapat diperoleh melalui kuesioner. 3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Teknik pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan perlakuan yang berbeda sesuai jenis data yang diperoleh dan jenis hipotesisnya. Menurut Miles and Huberman (1984) dalam Sugiyono (2009), data kualitatif akan diolah melalui tiga tahap analisis, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan (conclusion drawing). Penjelasan mengenai tahap-tahap tersebut, antara lain: 1)
Reduksi data: merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada halhal penting sesuai dengan kebutuhan penelitian.
2)
Penyajian data: menyajikan data dalam bentuk uraian singkat dan kutipan langsung untuk mendukung data kuantitatif.
3)
Penarikan kesimpulan yang menghasilkan temuan baru atas obyek penelitian. Data primer yang diperoleh melalui metode kuantitatif, yaitu hasil
penyebaran kuesioner di lapangan, terlebih dahulu akan dilakukan proses editing, pengkodean, selanjutnya dilakukan pemindahan dari daftar pertanyaan ke buku kode dalam bentuk tabel Microsoft Excell 2007 yang telah disiapkan. Data-data tersebut kemudian diolah menggunakan program SPSS 17.0 for Windows dan diuji secara statistik. Uji statistik yang digunakan adalah Paired Samples T-test yang bertujuan untuk menguji hipotesis pertama penelitian ini. Selain itu,
43
penelitian ini juga menggunakan uji non parametrik dua Independent Samples Test, yaitu Uji ji Kolmogorov Kolmogorov-Smirnov untuk menguji hipotesis kedua penelitian ini, sehingga tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dapat dibandingkan dengan praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani pada dua kelompok berbeda (Experimental Experimental Group dan Control Group). Rumus T-test test untuk dua sampel berpasangan (Paired Samples T-test) secara lengkap disajikan di bawah ini:
Keterangan: t
= Nilai t yang dihitung = Nilai rata-rata
s
= Simpangan baku sampel
n
= Jumlah anggota sampel
r
= Koefisien korelasi
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Desa Ketapang 4.1.1. Kondisi Geografis Desa Ketapang merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Desa ini memiliki suhu rata-rata harian sekitar 27°-29°C dengan curah hujan ratarata 21 mm per tahun. Batas wilayah Desa Ketapang adalah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Desa Sidoharjo; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Timpik-Tawang; sebelah barat berbatasan dengan Desa Susukan; dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Gentan-Bakalrejo. Desa Ketapang termasuk daerah dataran tinggi yang berada pada ketinggian 613 m di atas permukaan laut dengan jarak: 1 km dari Ibu Kota Kecamatan, 48 km dari Ibu Kota Kabupaten, 75 km dari Ibu Kota Propinsi dan 1000 km dari Ibu Kota Negara. Desa Ketapang terdiri dari 6 Rukun Warga (RW), 5 dusun, 31 Rukun Tetangga (RT) dengan luas total wilayah sebesar 327 ha. Sebagian besar luas wilayah desa digunakan untuk area persawahan, sedangkan sisanya digunakan untuk pemukiman dan bangunan, tegalan, fasilitas umum, lapangan olahraga, dan kuburan. Berikut ini disajikan tabel mengenai penggunaan lahan di Desa Ketapang secara lengkap beserta luas lahan dan persentasenya: Tabel 8. Luas dan Persentase Lahan Desa Ketapang Berdasarkan Penggunaannya, Tahun 2007 No.
Penggunaan Lahan
1.
Persawahan
2.
Luas Lahan (ha)
Persentase (%)
160
48,9
Pemukiman dan Bangunan
91
27,8
3.
Tegalan
60
18,4
4.
Tanah Fasilitas Umum
13
4
5.
Lapangan Olahraga
1
0,3
6.
Kuburan
2
0,6
327
100
Total
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
45
4.1.2. Kondisi Kependudukan dan Kehidupan Beragama Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Desa Ketapang pada tahun 2007 mencapai 1.176 KK dengan jumlah total penduduk sebanyak 4.559 jiwa yang terdiri dari 2.248 penduduk laki-laki dan 2.311 penduduk perempuan. Semua penduduk di Desa Ketapang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang beretnis Jawa, sehingga tidak ada satupun Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal di desa ini. Informasi lebih lengkap mengenai jumlah dan persentase penduduk Desa Ketapang berdasarkan kelompok umur tahun 2007, dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Kelompok Umur, Tahun 2007 Umur (Tahun)
Ketapang Berdasarkan
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
0-9
590
12,9
10-19
692
15,2
20-29
827
18,1
30-39
588
12,9
40-49
508
11,1
50-59
658
14,4
60-69
444
9,7
70 ke atas
252
5,5
4.559
100
Total
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
Berdasarkan Tabel 9, dapat diketahui bahwa kelompok umur dengan jumlah penduduk terbanyak di Desa Ketapang adalah kelompok umur 20-29 tahun. Jumlah penduduk pada kelompok umur ini relatif lebih banyak daripada kelompok umur lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa Desa Ketapang memiliki jumlah penduduk usia dewasa muda yang cukup tinggi. Kehidupan beragama penduduk di Desa Ketapang sampai saat ini berjalan dengan sangat baik karena semua penduduk di desa ini, yaitu sebanyak 4.559 jiwa beragama Islam. Jadi, tidak ada pemeluk agama lain di Desa Ketapang. Oleh karena itu, tidak heran jika nuansa Islam di Desa Ketapang sangat kuat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya acara-acara keagamaan, seperti: selametan, khol, bahkan pengajian yang sering diadakan oleh warga pada hari-hari tertentu. Pendidikan Agama Islam selalu ditanamkan oleh para orang tua kepada anakanaknya di Desa Ketapang sejak dini.
46
4.1.3. Tingkat Pendidikan Penduduk Tingkat pendidikan penduduk Desa Ketapang berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Kepala Desa cukup bervariasi, mulai dari tidak sekolah, belum sekolah, tidak tamat Sekolah Dasar (SD), belum tamat SD, tamat SD, belum tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat, tamat SMP sederajat, belum tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat, tamat SMA sederajat, belum tamat Perguruan Tinggi (PT), lulus S1, S2, dan S3. Gambaran lebih rinci mengenai tingkat pendidikan penduduk Desa Ketapang, diuraikan di dalam Tabel. 10. Tabel 10. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Ketapang Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Tahun 2007 No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
1.
Tidak Sekolah
347
7,6
2.
Belum Sekolah
467
10,2
3.
Tidak Tamat SD
341
7,5
4.
Belum Tamat SD
573
12,6
5.
Tamat SD
699
15,3
6.
Belum Tamat SMP/Sederajat
377
8,3
7.
Tamat SMP/Sederajat
676
14,8
8.
Belum Tamat SMA/Sederajat
355
7,8
400
8,8
95
2,1
9.
Tamat SMA/Sederajat
10.
Belum Tamat PT
11.
S1
217
4,8
12.
S2
7
0,2
13.
S3
5
0,1
4.559
100
Total
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
Tingkat pendidikan penduduk Desa Ketapang berdasarkan Tabel 10, sebagian besar masih tergolong rendah karena persentase tertinggi untuk tingkat pendidikan penduduk Desa Ketapang adalah tamat SD. 4.1.4. Mata Pencaharian Penduduk Jenis mata pencaharian penduduk Desa Ketapang cukup bervariasi, seperti: petani, nelayan, pengusaha industri besar/sedang, pengusaha industri kecil/pengrajin, buruh industri, buruh bangunan, pedagang, jasa pengangkutan, TNI/POLRI, PNS, pensiunan, peternak, pegawai swasta, dan TKI. Meskipun cukup banyak jenis mata pencaharian penduduk Desa Ketapang, tetapi ada satu
47
mata pencaharian yang paling dominan di desa ini. Berdasarkan Tabel 11, jenis mata pencaharian penduduk yang paling dominan adalah petani dengan persentase yang sangat besar dan jauh selisihnya dibandingkan jenis mata pencaharian lainnya, yaitu 69,71 persen. Tabel 11. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Ketapang Berdasarkan Mata Pencaharian, Tahun 2007 No.
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
2.347
69,7
1.
Petani
2.
Nelayan
2
0,1
3.
Pengusaha Industri Besar/Sedang
8
0,2
4.
Pengusaha Industri Kecil/Pengrajin
250
7,4
5.
Buruh Industri
54
1,6
6.
Buruh Bangunan
251
7,5
7.
Pedagang
31
0,9
8.
Jasa Pengangkutan
18
0,5
9.
TNI/POLRI
10
0,3
10.
PNS
74
2,2
11.
Pensiunan
30
0,9
12.
Peternak
13.
Pegawai Swasta
72
2,1
14.
TKI
17
0,5
3.367
100
Total
203
6
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
4.1.5. Ketersediaan Fasilitas Umum Desa Ketapang memiliki fasilitas umum seperti halnya desa-desa yang lain. Ketersediaan fasilitas umum tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan penduduk di berbagai bidang. Oleh karena itu, fasilitas umum berupa sarana dan prasarana di Desa Ketapang, terbagi dalam beberapa bidang, yaitu: transportasi darat, komunikasi, air bersih, peribadatan, olahraga, kesehatan, pendidikan, dan penerangan. Penjelasan lebih detail mengenai fasilitas umum untuk masingmasing bidang, disajikan dalam tabel di bawah ini:
48
Tabel 12. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Transportasi Darat Desa Ketapang, Tahun 2007 No.
Jenis Fasilitas Umum
Jumlah
1.
Jalan Aspal
10.110 m
2.
Jalan Makadam
1.250 m
3.
Jalan Tanah
3.670 m
4.
Jalan Konblok
5.100 m
5.
Jembatan Kelurahan
7 unit
6.
Jembatan Beton
7 unit
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
Sarana transportasi darat Desa Ketapang, sampai saat ini hanya dilalui bis umum dengan panjang jalan sekitar 1.500 m, dan ojek atau sepeda motor sebanyak 83 buah yang tercatat oleh pemerintah desa. Tabel 13. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Komunikasi Desa Ketapang, Tahun 2007 No.
Jenis Fasilitas Umum
Jumlah (Unit)
1.
Telepon Rumah
2.
Wartel
64 4
3.
Warnet
1
4.
Faximile
1
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
Fasilitas umum bidang komunikasi di Desa Ketapang memang tidak banyak tersedia karena sebagian besar penduduk saat ini sudah memiliki hand phone atau telepon genggam. Berdasarkan Tabel 13, jenis prasarana bidang komunikasi yang paling banyak tersedia dan digunakan oleh penduduk setempat adalah telepon rumah. Selain itu, desa ini juga telah memiliki satu unit Warung Internet (Warnet) yang terletak di sekretariat Paguyuban Petani Al-Barokah. Warnet ini pada awalnya dibangun untuk memenuhi kebutuhan petani akan akses informasi dan teknologi agar mereka bisa berdaya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Warnet ini kemudian dibuka untuk masyarakat umum.
49
Tabel 14. Ketersediaan Prasarana Air Bersih Desa Ketapang, Tahun 2007 No.
Jenis Prasarana Air Bersih
Jumlah (Unit)
1.
Sumur Pompa
2
2.
Sumur Gali
673
3.
Air Sungai
2
4.
PAM
5.
Toilet Umum
55 1
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
Prasarana air bersih yang paling banyak tersedia di Desa Ketapang adalah sumur gali dengan jumlah 673 unit (Tabel 14). Jumlah pengguna prasarana ini mencapai 790 KK dan merupakan jumlah pengguna prasarana air bersih terbanyak di Desa Ketapang. Kebutuhan air bersih penduduk Desa Ketapang dapat terpenuhi melalui ketersediaan sumur gali ini. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran masyarakat tentang pemakaian air bersih sudah sangat baik. Tabel 15. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Peribadatan Desa Ketapang, Tahun 2007 No.
Jenis Fasilitas Umum
Jumlah (Unit)
1.
Masjid
10
2.
Musholla/Surau
30
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
Berdasarkan Tabel 15, terlihat bahwa fasilitas umum bidang peribadatan yang tersedia di Desa Ketapang, hanya berupa masjid dan musholla atau surau karena semua penduduk di desa ini beragama Islam. Tabel 16. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Olahraga Desa Ketapang, Tahun 2007 No.
Jenis Fasilitas Umum
Jumlah (Unit)
1.
Lapangan Sepak Bola
1
2.
Lapangan Bulu Tangkis
5
3.
Lapangan Voli
1
4.
Meja Tenis Meja
3
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
Fasilitas umum bidang olahraga di Desa Ketapang terdiri dari: lapangan sepak bola, lapangan bulu tangkis, lapangan voli, dan meja tenis meja (Tabel 16). Semua fasilitas tersebut, ditujukan untuk memuaskan hasrat olahraga penduduk di Desa Ketapang. Prasarana olahraga yang paling banyak tersedia adalah lapangan bulu tangkis. Meskipun fasilitas umum bidang olahraga telah tersedia, tetapi pada
50
kenyataannya penduduk jarang memanfaatkan fasilitas tersebut karena setiap hari, mayoritas penduduk Desa Ketapang harus bekerja di sawah sebagai petani atau beternak mulai dari pagi hingga sore. Oleh karena itu, prasarana olahraga di Desa Ketapang sebagian besar dimanfaatkan oleh penduduk usia remaja atau dewasa muda yang belum bekerja. Tabel 17. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Kesehatan Desa Ketapang, Tahun 2007 No.
Jenis Fasilitas Umum
Jumlah (Unit)
1.
Poliklinik/Balai Pengobatan
1
2.
Posyandu
7
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
Ketersediaan fasilitas umum bidang kesehatan di Desa Ketapang relatif sangat kurang. Desa ini hanya memiliki 1 unit poliklinik atau balai pengobatan, dan 7 unit Posyandu (Tabel 17). Padahal, jumlah penduduk Desa Ketapang lebih dari 4.000 jiwa. Jauhnya akses menuju rumah sakit seringkali menjadi kendala bagi penduduk yang sangat membutuhkan perawatan kesehatan intensif. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan apotek sebenarnya juga tersedia meskipun tidak berada dalam kawasan desa, tetapi berada di pusat Kecamatan Susukan yang jaraknya tidak jauh dari Desa Ketapang. Tabel 18. Ketersediaan Fasilitas Umum Bidang Pendidikan Desa Ketapang, Tahun 2007 No.
Jenis Fasilitas Umum
Jumlah (Unit)
1.
Gedung SMA/Sederajat
1
2.
Gedung SMP/Sederajat
2
3.
Gedung SD/Sederajat
4
4.
Gedung TK
4
5.
Gedung TPA
3
6.
Pendidikan Keagamaan
5
7.
Perpustakaan
1
Sumber: Profil Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Tahun 2007
Fasilitas umum bidang pendidikan di Desa Ketapang cukup banyak tersedia yang terlihat dari adanya prasarana pendidikan berupa gedung sekolah, mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK), hingga SMA/sederajat dan prasarana untuk pendidikan keagamaan. Bangunan untuk kepentingan pendidikan yang paling banyak tersedia di Desa Ketapang adalah gedung SD/sederajat dan
51
TK, yaitu masing-masing berjumlah 4 unit (Tabel 18). Oleh karena itu, tidak heran jika saat ini telah banyak penduduk Desa Ketapang yang memiliki tingkat pendidikan minimal lulus SD. Selain bidang pendidikan, fasilitas umum lainnya yang tersedia di Desa Ketapang dan menjadi kebutuhan penting penduduk adalah penerangan. Desa Ketapang memiliki prasarana lampu penerangan jalan kampung, baik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) maupun swadaya masyarakat sendiri. Lampu tersebut hampir ada di sepanjang jalan, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Sebagai informasi, Desa Ketapang merupakan desa yang telah dialiri listrik dari PLN dan juga mempunyai diesel swadaya masyarakat untuk cadangan sumber listrik jika suatu saat terjadi pemadaman listrik dari PLN. 4.2. Profil Paguyuban Petani Al-Barokah11 Paguyuban Petani Al-Barokah merupakan sebuah organisasi masyarakat pedesaan yang berbasis pertanian dengan kegiatan utamanya adalah pertanian padi sawah organik. Al-Barokah secara resmi didirikan pada tanggal 6 September 1999 oleh para petani penggarap di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Paguyuban petani ini sebenarnya telah lama dirintis oleh para tokoh pertanian organik di Desa Ketapang sejak tahun 1989. Namun, realisasi resmi terbentuknya Paguyuban Petani Al-Barokah baru disahkan tahun 1999. Sejarah terbentuknya Al-Barokah dimulai pada saat pemerintah tidak memenuhi janjinya untuk memberikan Kredit Usaha Tani (KUT) kepada para petani sekitar akhir tahun 1980-an. Gagalnya janji pemerintah dalam memberikan dana segar kepada petani ini diketahui oleh beberapa tokoh masyarakat, seperti: Pak Muslikh, Pak Basirun, dan Pak Mustofa, lalu mereka sengaja menyembunyikan berita tersebut kepada para petani agar petani tidak merasa kecewa. Para petani sebelumnya telah menaruh harapan besar terhadap bantuan pemerintah dalam bentuk apapun, khususnya dana segar. Hal inilah yang membuat mereka menjadi tidak berdaya atau masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap pemerintah.
11
http://ukmsentral.com/mustofa/ dan hasil wawancara dengan ketua Paguyuban Petani Al-Barokah pada tanggal 19 November 2010
52
Beberapa tokoh masyarakat dan petani, seperti: Pak Basirun, Pak Muslikh, dan Pak Mustofa yang peduli dengan kondisi sesama petani di Desa Ketapang, tidak ingin melihat petani terjerat dalam ketergantungan dan kemiskinan yang berkepanjangan. Akhirnya, mereka mempunyai inisiatif untuk membentuk suatu organisasi petani berazaskan kekeluargaan. Pak Muslikh, Ketua Paguyuban Petani Al-Barokah dalam wawancaranya menambahkan:
“Kita para petani hanya bisa maju dan mandiri jika kita bersatu dalam kelompok karena kelompok inilah yang nantinya dapat menjawab kebutuhan petani sendiri. Jadi, organisasi ini dibentuk oleh petani dan untuk petani. Sudah saatnya petani hidup layak dan tidak tergantung lagi dari bantuan pemerintah.” Pada awalnya, paguyuban petani ini dibentuk di bawah naungan organisasi Islam, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan hanya diikuti oleh segelintir petani. Namun, perjuangan untuk memberdayakan petani terus dilakukan oleh beberapa tokoh penggerak petani tersebut, hingga akhirnya muncul sebuah ide untuk menerapkan praktik pertanian organik sebagai sebuah alternatif pertanian berkelanjutan dengan input rendah. Paguyuban Petani Al-Barokah telah berbadan hukum dengan akte notaris: “Muhammad Fauzan, SH Salatiga tanggal 14 September 2004 nomor 24”. AlBarokah saat ini telah memiliki beberapa kelompok tani yang diketuai oleh seorang petani terpilih dan tersebar di semua dusun Desa Ketapang, bahkan ada pula kelompok tani dari desa lain yang bergabung dengan Al-Barokah. Jadi, AlBarokah merupakan embrio klaster dengan jumlah anggota sekitar 372 petani, baik laki-laki maupun perempuan yang tersebar di dua Kecamatan (Susukan dan Kaliwungu). Total luas lahan yang dikelola oleh paguyuban ini melalui masingmasing kelompok tani adalah 63 ha, dan kemungkinan akan terus bertambah. Paguyuban Petani Al-Barokah dijalankan secara demokratis yang diawali dengan strategic planning untuk menghasilkan master plan organisasi dan setiap tahun diadakan RUBANI (Rapat Umum Anggota Paguyuban Petani) untuk pemilihan ketua serta penyusunan program tahunan. Kepengurusan paguyuban petani ini terdiri dari Dewan Pleno Paguyuban (legislatif) dan Ketua Pelaksana Paguyuban (eksekutif). Dewan Pleno Paguyuban dipilih secara mufakat melalui RUBANI,
53
sedangkan Ketua Pelaksana Paguyuban dipilih secara langsung oleh anggota (petani penggarap) melalui “pemilu paguyuban” dengan masa jabatan empat tahun. Sebagai organisasi akar rumput di komunitas, Al-Barokah menitikberatkan pengembangan sosial ekonomi anggotanya. Wadah yang digunakan dalam menjalankan usaha-usaha ekonomi kerakyatan Al-Barokah adalah lembaga ekonomi petani, yaitu dalam bentuk Koperasi Serba Usaha Gardu Tani AlBarokah, dan LKMA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis) yang telah berbadan hukum dari Deperindagkop, tanggal 15 November 2002 nomor 267/BH/KOK.II. 1/188.4/XI/2003. Al-Barokah bermitra dengan 35 paguyuban petani lainnya seJawa Tengah yang tergabung dalam Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thayyibah (SPPQT) untuk mewujudkan cita-cita pemberdayaan ekonomi petani penggarap. Seperti halnya organisasi yang berbadan hukum, Al-Barokah juga memiliki visi dan misi, tujuan strategis, tujuan operasional, program kerja utama, laporan kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan, dan produk unggulan pertanian yang telah dipasarkan secara luas. Penjelasan lebih lengkap mengenai masing-masing hal di atas, akan dibahas dalam sub bab tersendiri. 4.2.1. Visi dan Misi Visi Paguyuban Petani Al-Barokah adalah Membentuk masyarakat tani yang kuat, mandiri, adil, dan sejahtera yang mampu mengelola sumberdaya alam, dengan menjaga kelestarian lingkungan serta memperhatikan kesetaraan dan kebersamaan antara laki-laki dan perempuan. Misi Paguyuban Petani Al-Barokah, adalah: 1)
Membangun kesadaran kolektif petani (laki-laki dan perempuan) untuk mengelola dan menentukan pengelolaan sumber dayanya, dengan kesadaran untuk mengubah perilaku dan sistem kehidupan yang lebih bijak.
2)
Membangun organisasi yang kuat sebagai wadah perjuangan ekonomi petani.
3)
Mengembangkan sistem informasi yang berbasis petani dan jaringan kerja dengan pihak-pihak lain yang memiliki kesamaan visi dan misi.
4)
Mengembangkan pertanian organik terpadu sebagai alat perjuangan gerakan tani yang berpihak pada pemberdayaan masyarakat, dalam rangka memperkuat perekonomian petani berbasis keadilan dan kelestarian, serta
54
mampu menguasai dan mengembangkan tehnologi petani, dan menjunjung tinggi kearifan lokal serta kelestarian lingkungan. 5)
Mendesakkan perubahan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan benih, tanah, air, udara, dan harga dasar hasil pertanian, agar berpihak pada petani.
6)
Menguatkan organisasi gerakan tani yang efektif untuk mewujudkan visi dan misi gerakan pemberdayaan petani.
4.2.2. Tujuan Strategis Tujuan strategis Paguyuban Petani Al-Barokah adalah: 1)
Meningkatnya kapasitas dan kinerja gerakan tani yang efektif dalam mewujudkan tujuan bersama sesuai visi yang telah ditetapkan.
2)
Menguatnya serta berkembangnya pengorganisasian petani menuju gerakan tani yang kuat dan mandiri.
3)
Disikapinya penerapan corporate farming yang mengancam terampasnya hak-hak akses dan kontrol petani terhadap sumberdaya agraria untuk budidaya di lahan sendiri dan mengupayakan sistem pertanian ramah lingkungan (organik) yang berkeadilan, berpihak pada kepentingan petani.
4)
Berkembangnya sistem informasi dan komunikasi yang berbasis gerakan tani agar seluruh elemen gerakan termediasi dan bekerja secara terpadu.
4.2.3. Tujuan Operasional Tujuan operasional Paguyuban Petani Al-Barokah, adalah: 1)
Tersedianya pemimpin organisasi tani yang mampu menggerakkan dan mendampingi organisasi tani yang berkualitas.
2)
Berkembangnya Farming/IOF)
pertanian melalui
organik
kegiatan
terpadu
pertanian
(Integrated
berkelanjutan
Organic
(sustainable
agriculture) demi terwujudnya petani yang tangguh (suitable farmers). 3)
Berfungsinya lembaga ekonomi petani yang berbentuk KSU–LKMA Gardu Tani untuk mendukung implementasi pertanian organik.
4)
Menguatnya organisasi paguyuban petani sebagai organisasi gerakan tani yang maju.
55
5)
Tersedianya analisis data informasi (data base), sebagai media informasi,, komunikasi, dan advokasi kebijakan dalam penataan alat produksi pertanian (tanah, air, udara).
6)
Tersedianya media komunikasi petani yang layak sebagai pelayanan serta penyadaran publik.
7)
Terpenuhinya sarana dan prasarana organisasi dan gerakan pertanian organik yang memadai.
4.2.4. Program Kerja Utama Program utama Paguyuban Petani Al-Barokah yang telah direncanakan, meliputi: 1)
Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Program pengembangan SDM setiap tahun yang diadakan oleh Al-Barokah, terdiri dari: a) Peningkatan capacity bulding bagi para petani melalui pelatihan-pelatihan teknologi pertanian organik (IOF), kepemimpinan, Ansos (PRA dan PAR), administrasi keuangan, gender, Dikpol, dan kewirausahaan. b) Pengorganisasian kelompok yang kuat melalui strategic planning, penguatan status organisasi, Pemilu pada rapat umum anggota petani, pertemuan rutin dan audit. c) Pengembangan kesadaran aktif dari petani, oleh petani, dan bersama petani dalam proses pembelajaran tehnologi pertanian yang ramah lingkungan.
2)
Teknologi Pertanian Organik (IOF) Program kerja Al-Barokah yang berkaitan dengan pengembangan teknologi pertanian orgnaik (IOF) di kalangan petani adalah: a) Penerapan IOF (Integrated Organic Farming) b) Pemeliharaan ternak sebagai penghasil pupuk organik c) Pembuatan pupuk organik (lumbung pupuk organik) d) Pembuatan pestisida alami (agensi hayati) e) Biogas Degister f) Pengolahan pasca panen g) Strategi pemasaran hasil pertanian
56
3)
Sarana Produksi Pertanian (Saprodi) Beberapa program utama Al-Barokah dalam memenuhi Saprodi, antara lain: a) Penyediaan pupuk organik dan pestisida alami kepada anggota (sistem lumbung) b) Pengadaan benih padi kepada anggota (sistem lumbung) c) Pengolahan (penggilingan) gabah hingga pengemasan hasil pertanian beras organik oleh dan dari anggota d) Pengadaan sarana dan prasarana seperti traktor, alat angkut, dan laborat sederhana e) Penyediaan tangki semprot dan pedal trayser
4)
Usaha Ekonomi Kerakyatan Program usaha ekonomi kerakyatan Al-Barokah untuk meningkatkan perekonomian anggota, adalah: a) Mendirikan lembaga ekonomi kerakyatan dalam bentuk koperasi (KSU Gardu Tani Al-Barokah) dan LKM Agribisnis. b) Menyediakan kebutuhan anggota untuk berwirausaha. c) Upaya pemupukan modal usaha anggota koperasi melalui pinjaman kepada koperasi dan atau lembaga lain. d) Upaya menampung hasil pertanian atau usaha anggota yang dipasarkan melalui Koperasi Gardu Tani Al-Barokah. e) Mengupayakan informasi peluang pasar untuk memasarkan hasil produksi anggota. f) Menjalin kemitraan dengan pihak ketiga, promosi, temu usaha, lelang expo agribisnis, dan lain-lain.
5)
Pemuda Usaha dan Pemberdayaan Perempuan Program utama Al-Barokah di bidang pemuda usaha dan pemberdayaan perempuan, antara lain: a) Pengorganisasian pemuda wirausaha dalam meningkatkan ekonomi anggota dan mengurangi urbanisasi. b) Penguatan pemberdayaan perempuan dalam industri rumah tangga, dan pembuatan beras organik tumbuk melalui usaha simpan pinjam anggota kelompok.
57
6)
Advokasi Kebijakan Program utama advokasi kebijakan yang dimaksud Al-Barokah, adalah: a) Organisasi aktif dalam perencanaan pembangunan desa, mengawal masyarakat atau anggota organisasi dalam kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada petani. b) Sosialisasi Peraturan Daerah, Peraturan Desa, dan peraturan lainnya kepada petani anggota. c) Mengadakan pendidikan politik kebijakan baik pemerintah maupun non pemerintah.
7)
Pendidikan Anak Petani Paguyuban Petani Al-Barokah juga memiliki program untuk peningkatan pendidikan anak petani yang tercatat sebagai berikut: a) Mendirikan dan mengelola pendidikan alternatif Kejar Paket B dan C kepada putra-putri petani (anggota) yang tidak mampu mengenyam pendidikan di sekolah reguler karena keterbatasan ekonomi. b) Memfokuskan pendidikan lives skill kepada putra-putri petani agar mereka mampu mengatasi beban hidupnya sendiri di masa depan. c) Mengadakan berbagai macam pelatihan sebagai salah satu bentuk capacity building untuk remaja dan anak-anak. d) Mengelola PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) Qaryah Thayyibah yang terdiri dari: pendidikan kesetaraan (Kejar Paket B dan C), KBU (Kelompok Belajar Usaha), KBO (Kelompok Belajar Olahraga), kursus-kursus (komputer, internet, menjahit, akuntansi), dan kepramukaan.
8)
Penguatan Lumbung Masyarakat Program kerja utama Al-Barokah di bidang penguatan lumbung masyarakat, terdiri dari: a) Penguatan kembali lumbung tani anggota paguyuban dan masyarakat, seperti: penguatan Lumbung Pangan, Lumbung Benih (padi), Lumbung Pemasaran (organik), Lumbung Pupuk Organik (padat dan cair), dan Lumbung Pestisida Organik.
58
b) Memfasilitasi kebutuhan pertanian dari petani, oleh petani, dan untuk petani anggota Paguyuban Petani Al-Barokah khususnya, serta masyarakat tani pada umumnya. 4.2.5. Kegiatan-kegiatan yang Telah Dilaksanakan Paguyuban Petani Al-Barokah, telah melaksanakan berbagai macam kegiatan yang terkait dengan program kerja utamanya. Kegiatan-kegiatan tersebut secara umum dikategorikan ke dalam kegiatan fisik dan kegiatan ekonomi. Kegiatan fisik merupakan kegiatan yang difokuskan untuk penyediaan sarana produksi pertanian atau penguatan teknologi pertanian organik di kalangan petani. Sementara itu, kegiatan ekonomi merupakan kegiatan yang difokuskan untuk meningkatkan perekonomian para petani melalui sistem usahatani atau kewirausahaan. 4.2.5.1. Kegiatan Fisik Kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Paguyuban Petani AlBarokah dan termasuk dalam kategori kegiatan fisik, antara lain: 1)
Intensifikasi Padi Organik Salah
satu
kegiatan
pokok
Paguyuban
Petani
Al-Barokah
adalah
menghasilkan produk beras, baik non organik, maupun organik. Produkproduk tersebut dibudidayakan dalam dua area lahan yang berbeda, yaitu lahan organik untuk produksi padi organik seluas 14 ha dan lahan non organik untuk produksi padi non organik seluas 31,6 ha. 2)
Penyediaan Benih Paguyuban Petani Al-Barokah terus berusaha menyediakan pasokan benih organik untuk para petani organik yang tergabung sebagai anggota paguyuban. Usaha ini dilakukan dengan
mengembangkan benih-benih
unggul lokal, seperti: Pandan Wangi, Mentik Wangi, Mentik Susu, dan Beras Merah, serta varietas unggul lokal lainnya melalui metode “penangkaran sendiri”. Metode “penangkaran sendiri” yang dimaksud adalah petani memasukkan hasil penangkaran bibit padi di lumbung benih. Selain itu, AlBarokah juga menyediakan benih-benih unggul nasional (varietas padi hibrida) di dalam lumbung benih untuk mencukupi kebutuhan petani konvensional (non organik).
59
3)
Pengadaan Pupuk Para petani anggota Al-Barokah, menggunakan dua jenis pupuk untuk mencukupi kebutuhan usahataninya. Pupuk tersebut, yaitu: pupuk organik dan non organik. Kebutuhan pupuk organik telah disediakan di lumbung pupuk oleh organisasi dengan sistem kolektif, melalui pemeliharaan ternak anggota yang diolah bersama menjadi pupuk organik (bokashi), pupuk cair, pupuk hijau, dan pengembangan bakteri melalui proses fermentasi. Semua pupuk organik tersebut diproduksi sendiri oleh organisasi dan para petani anggota paguyuban. Sementara itu, penggunaan pupuk non organik oleh petani perlahan-lahan mulai dikurangi, seperti: Urea, SP36, KCL, dan lainlain untuk mendorong dipraktikkannya pertanian organik.
4)
Usaha Lain Usaha lain biasanya merupakan kegiatan yang dilaksanakan para wanita tani sepanjang hari selain memproduksi beras organik tumbuk, misalnya: pembuatan jamur, usaha di bidang industri tempe, makanan kecil, anyaman bambu, serta konfeksi.
4.2.5.2. Kegiatan Ekonomi Kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Paguyuban Petani AlBarokah dan termasuk dalam kategori kegiatan ekonomi, antara lain: 1)
Permodalan Paguyuban
Petani
Al-Barokah
telah
mempunyai
lembaga
ekonomi
kerakyatan dalam bentuk Koperasi Tani (KSU Gardu Tani Al-Barokah) dan LKMA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis). Koperasi ini memberikan bantuan kepada anggota melalui usaha simpan pinjam dan pengadaan sarana produksi kepada anggota dalam berwirausaha maupun bertani organik. Selain itu, koperasi juga mengusahakan hibah atau pinjaman modal bergulir melalui kerjasama dengan instansi lain yang terkait. 2)
Pemasaran Produk Pemasaran produk, dilakukan melalui: a) Penjualan langsung kepada pengecer untuk komoditi beras organik, jamur tiram, kerupuk, makanan kecil, kerajinan bambu dan sebagainya.
60
b) Kerjasama dengan pihak ketiga untuk komoditi khusus seperti beras organik
sebagai produk unggulan. Sehubungan dengan hal ini, telah
dilakukan kerjasama kemitraan dengan beberapa distributor di kota-kota besar yang berbadan hukum PT, CV, sektor usaha perdagangan lainnya dan dinas atau istansi lainnya (supermarket, grosir, dan lain-lain). 3)
Promosi Produk Upaya promosi produk terus dilakukan, baik melalui pameran, bursa lelang, media elektronik maupun cetak serta melalui media informasi dan komunikasi lainnya yang dilaksanakan di berbagai kota-kota besar.
4)
Pengembangan usaha Saat ini hasil usaha petani berupa beras organik dan produk lainnya telah mampu menembus pasar lokal maupun non lokal, bahkan dari waktu ke waktu, permintaan terus meningkat khususnya permintaan terhadap beras organik. Oleh karena itu, produksi pertanian akan terus dikembangkan melalui kerjasama dengan kelompok tani lain yang mempunyai visi dan misi sama dengan Al-Barokah.
4.2.6. Produk Unggulan Produk unggulan Paguyuban Petani Al-Barokah adalah beras organik. Beras Organik Al-Barokah adalah beras yang dihasilkan dari budidaya pertanian organik oleh anggota Paguyuban Petani Al-Barokah. Pengolahan dan pengemasan beras terpusat di pabrik beras Al-Barokah. Beras Organik Al-Barokah dijual dengan menggunakan kemasan plastik yang berkapasitas 5 kg, 10 kg, dan 25 kg. Kemasan tersebut berlogo Paguyuban Petani Al-Barokah yang berupa gambar sketsa dua petani dalam lingkaran berbentuk elips. Adapun jenis beras yang dijual ada dua, yaitu: beras slip (selep) dan beras tumbuk. Beras tumbuk adalah beras yang dihasilkan dengan cara ditumbuk memakai alat tumbuk berupa antan dan lesung (tradisional). Beras tumbuk inilah yang masih banyak mempunyai kandungan nutrisi, protein, dan kandungan serat yang lebih tinggi. Semua varietas beras yang diproduksi oleh Al-Barokah adalah varietas lokal, seperti: Mentik Wangi Super, Beras Merah, Pandan Wangi, Mentik Susu, Ketan, dan lain-lain. Beras Organik Al-Barokah mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: 1)
Mempunyai banyak kandungan nutrisi yang baik untuk kesehatan.
61
2)
Aman dari residu kimia sintetik yang berbahaya bagi kesehatan.
3)
Penanganan pasca panen secara profesional yang berpusat di Paguyuban Petani Al-Barokah untuk menjaga kualitas (keorganikan) beras.
4)
Berdasarkan hasil uji laboratorium dari BALITBIO No. 029/LB/III/03, telah terbukti bahwa dari lima zat aktif yang diuji, hanya terdeteksi residu dua zat aktif dalam taraf yang sangat rendah dan jauh dari batas maksimum residu yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa produk beras Al-Barokah aman bagi kesehatan dan layak untuk dikonsumsi.
5)
Rasa beras lebih enak, pulen, tahan lama dan tidak mudah basi.
6)
Ditanam dan diproduksi sendiri oleh petani anggota Paguyuban Petani AlBarokah yang memudahkan konsumen untuk ikut melakukan kontrol atau pengecekan di lapangan.
4.3. Karakteristik Responden Penelitian Penulis akan menjelaskan karakteristik responden secara khusus dalam Sub bab ini sesuai dengan kategori yang telah ditentukan dan berdasarkan hasil perhitungan olahan data primer melalui program Microsoft Excell 2007. Karakteristik responden tersebut, meliputi: jenis kelamin, tingkat pendidikan, umur, jenis mata pencaharian selain bertani, status petani dan jumlah anggota keluarga, kepemilikan hewan ternak, penggunaan hasil panen, serta jenis tanaman yang dibudidayakan selain padi. 4.3.1. Jenis Kelamin Jenis kelamin responden dalam penelitian ini, sebagian besar adalah lakilaki, yaitu 58 orang atau 73,4 persen dari jumlah total responden, sedangkan sisanya adalah responden perempuan sebanyak 21 orang atau 26,6 persen dari jumlah total responden (Tabel 19). Jenis kelamin semua responden dalam kelompok eksperimen (petani organik) adalah laki-laki, sedangkan proporsi lakilaki dan perempuan pada kelompok kontrol (petani konvensional) masing-masing adalah: 67,7 persen dan 32,3 persen dari jumlah total responden kontrol, yaitu 65 orang. Besarnya jumlah responden laki-laki dalam penelitian ini, disebabkan karena para petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Al-Barokah, rata-rata adalah laki-laki. Laki-laki memegang peranan penting dalam sistem usahatani
62
keluarga atau kelompok tani karena mereka lebih mengetahui pengelolaan lahan pertanian, mulai dari persiapan lahan, hingga panen dibandingkan perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh keterlibatan langsung mereka pada setiap proses pengelolaan lahan, seperti: mencangkul tanah, membajak sawah, menabur pupuk, dan lainlain. Perempuan juga memiliki peranan dalam sistem usahatani tetapi hanya sebatas pada tandur atau menanam padi, proses penyiangan (maton), dan pasca panen (penjemuran, pengolahan produk turunan pertanian, dan lain-lain). Oleh karena itu, tidak heran jika petani laki-laki lebih mengetahui sistem usahatani secara lebih detail daripada petani perempuan dan terlibat aktif dalam kegiatan kelompok tani. Meskipun demikian, ada kelompok tani yang anggotanya merupakan campuran dari petani laki-laki dan perempuan, bahkan ada pula kelompok tani yang hampir semua anggotanya adalah perempuan. Fakta ini terjadi pada dua dusun di Desa Ketapang karena pada dusun-dusun tersebut, perempuan memegang kendali lebih dominan daripada laki-laki atas manajemen keuangan sistem usahatani. Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Ketapang, Tahun 2010 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Petani Organik n = 14 Jumlah Persentase (Orang) (%) 14 100 0 0 14 100
Petani Konvensional n = 65 Jumlah Persentase (Orang) (%) 44 67,7 21 32,3 65 100
Total Responden n = 79 Jumlah Persentase (Orang) (%) 58 73,4 21 26,6 79 100
Sumber: Data Primer Diolah
4.3.2. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan responden cukup bervariasi, mulai dari tidak tamat Sekolah
Dasar
(SD),
tamat
SD,
tamat
Sekolah
Menengah
Pertama
(SMP)/sederajat, tamat Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat, dan tamat Perguruan Tinggi (PT) dengan gelar sarjana. Tingkat pendidikan responden masih rendah karena terbukti dari banyaknya responden yang hanya tamat SD dibandingkan dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jumlah responden dengan tingkat pendidikan terakhir tamat SD mencapai 45 orang atau 57 persen dari jumlah total responden (Tabel 20). Persentase tersebut merupakan persentase
63
tertinggi diantara persentase jumlah responden pada masing-masing tingkat pendidikan. Persentase jumlah responden eksperimen dan kontrol yang tidak lulus SD masing-masing sebesar 35,7 persen dan 18,5 persen dari jumlah total responden pada masing-masing kelompok. Sementara itu, persentase jumlah responden eksperimen dan kontrol yang tingkat pendidikannya termasuk dalam kategori sedang hingga tinggi (lulus SMP/Sederajat hingga Perguruan Tinggi), masingmasing adalah 42,9 persen dan 16,9 persen dari jumlah total responden pada masing-masing kelompok. Hal ini membuktikan bahwa tingkat pendidikan responden eksperimen (petani organik) lebih tinggi daripada responden kontrol (petani konvensional), meskipun persentase jumlah responden eksperimen yang tidak lulus SD lebih besar daripada responden kontrol. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai jumlah dan persentase responden penelitian berdasarkan tingkat pendidikan, dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Ketapang, Tahun 2010 Tingkat Pendidikan Tidak Lulus SD SD SMP/Sederajat SMA/Sederajat Sarjana Total
Petani Organik n = 14 Jumlah Persentase (Orang) (%) 5 35,7 3 21,4 2 14,3 3 21,4 1 7,1 14 100
Petani Konvensional n = 65 Jumlah Persentase (Orang) (%) 12 18,5 42 64,6 9 13,8 2 3,1 0 0 65 100
Total Responden n = 79 Jumlah Persentase (Orang) (%) 17 21,5 45 57 11 13,9 5 6,3 1 1,3 79 100
Sumber: Data Primer Diolah
4.3.3. Umur Umur responden berkisar antara 31 sampai 80 tahun. Dari Tabel 21, dapat diketahui bahwa para petani di Desa Ketapang yang masih terus melanjutkan usahataninya, rata-rata adalah petani usia dewasa tengah hingga dewasa tua. Tidak ada satupun responden dengan usia di bawah 31 tahun yang ditemui oleh penulis selama penelitian. Fakta ini menunjukkan bahwa sudah jarang sekali generasi muda yang menjadi petani di Desa Ketapang karena minat mereka terhadap pertanian telah menurun. Banyak penduduk dengan usia kerja produktif atau
64
dewasa awal yang beralih untuk bekerja di sektor industri, perdagangan, atau bahkan menjadi buruh ke daerah perkotaan. Salah satu informan penelitian, yaitu Bapak Msl (laki-laki, 55 tahun) menjelaskan:
“Ya beginilah Mas, pertanian di sini itu masih tetap ada karena orang-orang tuanya seperti saya terus bertani, sedangkan anakanak muda di sini sudah gak ada lagi yang mau bertani. Disuruh nyangkul aja saya yakin banyak yang ndak bisa!”
Informan lainnya mengatakan:
“Teman-teman saya lainnya dan anak-anak muda di sini sudah banyak yang pergi ke kota. Mereka bekerja atau dagang di kotakota, seperti Jakarta. Jadi, sudah jarang ditemukan anak-anak muda di desa ini. Makanya kebanyakan tinggal orang-orang tua saja atau anak-anak kecil.” (Msy, laki-laki, 16 tahun). Jumlah responden terbanyak berada pada kelompok umur 41-50 tahun, yaitu 25 orang atau 31,6 persen dari jumlah total responden penelitian. Selain itu, ada 24 orang responden (30,4 persen dari jumlah total responden penelitian) dengan kelompok umur 51-60 tahun. Jumlah responden pada kelompok umur lainnya, jauh di bawah kedua kelompok umur di atas. Kelompok umur dominan pada responden eksperimen adalah 41-50 tahun yang persentase jumlah respondennya mencapai 35,7 persen dari total jumlah responden eksperimen. Sementara itu, kelompok umur dominan pada responden kontrol adalah 51-60 tahun dengan persentase sebesar 32,3 persen dari total jumlah responden kontrol. Fakta penelitian menunjukkan bahwa ternyata masih ada petani berusia 71-80 tahun yang bekerja di sawah dan ikut terlibat langsung dalam proses pengelolaan lahan pertanian meskipun jumlahnya hanya empat orang (5,1 persen dari jumlah total responden penelitian). Padahal, usia tersebut merupakan usia senja dan bukan lagi usia kerja produktif yang seharusnya sudah tidak layak untuk bekerja. Informasi mengenai sebaran jumlah responden berdasarkan kelompok umur, dapat dilihat pada Tabel 21.
65
Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Kelompok Umur di Desa Ketapang, Tahun 2010 Petani Organik Kelompok Umur (Tahun)
n = 14 Jumlah Persentase (Orang) (%)
Petani Konvensional n = 65 Jumlah Persentase (Orang) (%)
Total Responden n = 79 Jumlah Persentase (Orang) (%)
31 - 40
2
14,3
7
10,8
9
11,4
41 - 50
5
35,7
20
30,8
25
31,6
51 - 60
3
21,4
21
32,3
24
30,4
61 - 70
4
28,6
13
20
17
21,5
71 - 80
0
0
4
6,2
4
5,1
Total
14
100
65
100
79
100
Sumber: Data Primer Diolah
4.3.4. Jenis Mata Pencaharian selain Bertani Semua responden penelitian adalah penduduk Desa Ketapang yang bekerja sebagai petani dan tergabung sebagai anggota Paguyuban Petani Al-Barokah. Penulis mencoba menggali lebih dalam jenis mata pencaharian responden selain bertani sebagai gambaran umum karakteristik mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain bertani, responden sebagian besar juga beternak. Ada beberapa responden yang memiliki mata pencaharian lebih dari dua, yaitu kombinasi antara bertani, beternak, dan menganyam bambu atau berdagang, menjahit, dan lain-lain. Meskipun demikian, jumlah dan persentase responden yang beternak jauh lebih tinggi diantara mata pencaharian selain bertani lainnya, yaitu sebanyak 28 orang atau 35,4 persen dari jumlah total responden. Data mengenai jumlah dan persentase responden berdasarkan mata pencaharian selain bertani, dijelaskan dalam Tabel 22.
66
Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Mata Pencaharian selain Bertani di Desa Ketapang, Tahun 2010 Jenis Mata Pencaharian Selain Bertani
Petani Organik
Petani Konvensional
n = 14 Jumlah Persentase (Orang) (%)
n = 65 Jumlah Persentase (Orang) (%)
Total Responden n = 79 Jumlah Persentase (Orang) (%)
Hanya Bertani
1
7,1
14
21,5
15
19
Beternak Beternak dan Menganyam Bambu Beternak dan Tukang Kayu-Batu
9
64,3
19
29,2
28
35,4
0
0
9
13,8
9
11,4
1
7,1
1
1,5
2
2,5
Beternak dan Jaga Selep
0
0
1
1,5
1
1,3
Beternak dan Berdagang
0
0
1
1,5
1
1,3
Beternak dan Menjahit
0
0
1
1,5
1
1,3
Berdagang
0
0
1
1,5
1
1,3
Menganyam Bambu
0
0
10
15,4
10
12,7
Menjahit dan Berdagang
1
7,1
0
0
1
1,3
Service Jam
1
7,1
0
0
1
1,3
Tukang Kayu
0
0
1
1,5
1
1,3
Tukang Batu
0
0
2
3,1
2
2,5
Buruh
0
0
2
3,1
2
2,5
Guru Agama Aktivis dan Fasilitator LSM
0
0
1
1,5
1
1,3
1
7,1
0
0
1
1,3
Pensiunan
0
0
2
3,1
2
2,5
Total
14
100
65
100
79
100
Sumber: Data Primer Diolah
4.3.5. Status Petani dan Jumlah Anggota Keluarga Status petani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah petani pemilik lahan, petani penggarap atau buruh tani dan petani pemilik lahan sekaligus penggarap atau petani berstatus ganda. Petani pemilik lahan adalah petani yang memiliki lahan pertanian (sawah) sendiri, baik sawah yang dikelola sendiri maupun dikelola oleh orang lain. Petani penggarap adalah petani yang tidak mempunyai lahan pertanian (sawah) tetapi menggarap atau mengelola sawah milik orang lain dengan sistem bagi hasil panen sebesar 50 persen. Semua biaya produksi pertanian ditanggung oleh petani penggarap. Petani berstatus ganda adalah petani yang selain memiliki lahan pertanian (sawah) tetapi juga menggarap sawah milik orang lain untuk menambah pemasukan usahataninya. Berdasarkan Tabel 23, sebagian besar responden memiliki lahan pertanian atau sawah sendiri,
67
yaitu sejumlah 50 orang dari jumlah total responden penelitian yang terbagi menjadi: 40 orang petani pemilik lahan, dan 10 orang petani berstatus ganda (pemilik lahan dan penggarap). Persentase jumlah responden eksperimen dan kontrol yang memiliki lahan pertanian atau sawah sendiri, masing-masing adalah 78,6 persen dan 60 persen dari jumlah total responden pada setiap kelompok. Sementara itu, persentase jumlah responden kontrol yang berstatus sebagai petani penggarap/buruh tani mencapai 40 persen dari jumlah total responden kontrol. Persentase tersebut lebih besar daripada persentase jumlah responden eksperimen yang berstatus sebagai petani penggarap/buruh tani (21,4 persen dari jumlah total responden eksperimen). Fakta ini membuktikan bahwa petani organik sebagian besar adalah petani pemilik lahan dan jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan petani konvensional menurut kelompok responden (eksperimen dan kontrol). Jumlah dan persentase responden berdasarkan status petani, selengkapnya disajikan dalam Tabel 23. Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Status Petani di Desa Ketapang, Tahun 2010 Status Petani Pemilik Lahan Penggarap/Buruh Tani Pemilik Lahan dan Penggarap Total
Petani Organik n = 14 Jumlah Persentase (Orang) (%) 6 42,9
Petani Konvensional n = 65 Jumlah Persentase (Orang) (%) 34 52,3
Total Responden n = 79 Jumlah Persentase (Orang) (%) 40 50,6
3
21,4
26
40
29
36,7
5 14
35,7 100
5 65
7,7 100
10 79
12,7 100
Sumber: Data Primer Diolah
Jumlah anggota keluarga responden penelitian cukup bervariasi, mulai dari satu hingga delapan anggota keluarga dalam satu rumah. Kepala keluarga responden semuanya adalah laki-laki dan bekerja sebagai petani. Meskipun jumlah anggota keluarga responden cukup bervariasi, tetapi rata-rata jumlah anggota keluarga responden penelitian ini adalah empat orang (berdasarkan hasil olahan data melalui program Microsoft Excell 2007). Hal ini membuktikan bahwa kesadaran para petani cukup tinggi dalam hal Keluarga Berencana (KB) yang mensyaratkan jumlah anggota keluarga ideal sebanyak empat orang. Oleh karena
68
itu, Desa Ketapang tidak mengalami ledakan jumlah penduduk yang besar secara signifikan. 4.3.6. Kepemilikan Hewan Ternak Berdasarkan Tabel 22, diketahui bahwa selain bertani, para responden sebagian besar juga beternak. Hal ini dapat terlihat dari kepemilikan hewan ternak responden dalam penelitian ini. Kepemilikan hewan ternak ternyata sangat mempengaruhi praktik pertanian organik di Desa Ketapang. Berdasarkan hasil penelitian, terbukti bahwa hampir semua petani organik memiliki hewan ternak. Hanya dua orang petani organik dari empat belas orang responden eksperimen (petani organik) yang tidak memiliki hewan ternak. Selain itu, keberadaan hewan ternak juga sangat membantu petani konvensional dalam memenuhi kebutuhan pupuk kandang sebagai pendukung pupuk kimia sintetik, sehingga dapat mengurangi biaya pemupukan pada lahan pertanian mereka. Para petani konvensional di Desa Ketapang saat ini telah mulai mengurangi penggunaan pupuk kimia sintetik secara perlahan-lahan dengan memanfaatkan pupuk kandang. Persentase jumlah responden eksperimen yang memiliki hewan ternak adalah 85,7 persen dari jumlah total responden eksperimen. Persentase tersebut lebih besar daripada persentase jumlah responden kontrol yang memiliki hewan ternak, yaitu hanya 53,8 persen dari jumlah total responden kontrol. Jumlah dan persentase responden yang memiliki hewan ternak, secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 24.
69
Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Kepemilikan Hewan Ternak di Desa Ketapang, Tahun 2010 Kepemilikan Ternak
Tidak Punya Kelinci Sapi Kambing Ayam Kerbau Sapi dan Kambing Kambing dan Ayam Sapi, Kambing, Ayam, Burung Merpati Total
Petani Organik n = 14 Jumlah Persentase (Orang) (%) 2 14,3 1 7,1 1 7,1 4 28,6 1 7,1 0 0 4 28,6 1 7,1 0 14
Petani Konvensional n = 65 Jumlah Persentase (Orang) (%) 30 46,2 1 1,5 3 4,6 18 27,7 8 12,3 3 4,6 0 0 1 1,5
0 100
1 65
1,5 100
Total Responden n = 79 Jumlah Persentase (Orang) (%) 32 40,5 2 2,5 4 5,1 22 27,8 9 11,4 3 3,8 4 5,1 2 2,5 1 79
1,3 100
Sumber: Data Primer Diolah
Sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki hewan ternak yang berlokasi di pekarangan rumah atau tidak jauh dari rumah mereka. Ada 47 orang responden yang memiliki hewan ternak dengan jenis sebagai berikut: sapi, kambing, kerbau, kelinci, ayam, dan burung merpati. Sementara itu, jumlah responden yang tidak memiliki hewan ternak adalah 32 orang atau 40,5 persen dari jumlah total responden penelitian (Tabel 24). 4.3.7. Penggunaan Hasil Panen Hasil panen petani yang menjadi responden penelitian ini adalah padi dalam bentuk gabah basah. Penggunaan hasil panen tersebut, antara lain dapat digunakan untuk: konsumsi keluarga, dijual, atau keduanya (dikonsumsi dan dijual). Kebutuhan petani akan pangan sangat penting, sehingga penggunaan hasil panen untuk konsumsi keluarga tidak mungkin dihindari dan menjadi suatu keharusan. Petani yang menggunakan hasil panen untuk konsumsi keluarganya sendiri, belum tentu menjual hasil panen tersebut kepada konsumen atau pasar. Sebaliknya, petani yang menjual hasil panennya kepada konsumen atau pasar, sudah pasti menyisakan sebagian hasil panennya untuk dikonsumsi keluarganya sendiri. Oleh karena itu, penggunaan hasil panen oleh responden yang akan ditampilkan dalam Tabel 25, hanya meliputi penggunaan untuk: konsumsi keluarga serta konsumsi keluarga dan dijual.
70
Tabel 25. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Penggunaan Hasil Panen di Desa Ketapang, Tahun 2010 Penggunaan Hasil Panen
Petani Organik
Petani Konvensional
Total Responden
n = 14 Jumlah Persentase (Orang) (%)
n = 65 Jumlah Persentase (Orang) (%)
n = 79 Jumlah Persentase (Orang) (%)
Konsumsi Keluarga Konsumsi Keluarga dan Dijual
4
28,6
47
72,3
51
64,6
10
71,4
18
27,7
28
35,4
Total
14
100
65
100
79
100
Sumber: Data Primer Diolah
Berdasarkan Tabel 25, diketahui bahwa jumlah responden yang menggunakan hasil panennya hanya untuk konsumsi keluarga adalah 51 orang atau 64,6 persen dari jumlah total responden penelitian. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dengan jumlah responden yang menggunakan hasil panennya untuk konsumsi keluarga dan dijual yang hanya mencapai 28 orang atau 35,4 persen dari jumlah total responden penelitian. Responden eksperimen ternyata lebih banyak memilih untuk mengkonsumsi dan menjual hasil panennya (71,4 persen dari jumlah total responden eksperimen) daripada hanya untuk konsumsi keluarga sendiri. Sebaliknya, responden kontrol cenderung menggunakan hasil panennya untuk konsumsi keluarga sendiri (72,3 persen dari jumlah total responden kontrol) daripada untuk konsumsi keluarga dan dijual. 4.3.8. Jenis Tanaman yang Dibudidayakan selain Padi Semua petani yang menjadi responden penelitian ini membudidayakan padi sebagai produk utama pertanian di desa mereka. Namun, ada beberapa petani yang juga membudidayakan jenis tanaman lain selain padi. Jenis tanaman tersebut, biasanya adalah tanaman palawija dan ditanam pada lahan-lahan kering yang sulit untuk ditanami padi atau pada saat musim kemarau tiba. Jadi, para petani dapat menikmati hasil panen selain padi jika terdapat lahan kering. Meskipun demikian, ternyata tidak banyak responden yang menanam tanaman budidaya selain padi di lahan mereka. Hal ini terlihat dari besarnya jumlah dan persentase responden yang tidak menanam tanaman budidaya selain padi di lahan mereka, yaitu mencapai 68 orang atau 86,1 persen dari jumlah total responden penelitian. Dengan demikian, hanya ada 11 orang responden dari 79 orang responden penelitian yang membudidayakan jenis tanaman selain padi (Tabel 26).
71
Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Tanaman yang Dibudidayakan selain Padi di Desa Ketapang, Tahun 2010 Jenis Tanaman Budidaya Selain Padi Tidak Ada Palawija Bawang Merah dan Kacang Panjang Total
Petani Organik n = 14 Jumlah* Persentase (Orang) (%) 13 92,9 1 7,1
Sumber: Data Primer Diolah Keterangan: * Jumlah petani yang menanam
0 14
0 100
Petani Konvensional n = 65 Jumlah* Persentase (Orang) (%) 55 84,6 9 13,8 1 65
1,5 100
Total Responden n = 79 Jumlah* Persentase (Orang) (%) 68 86,1 10 12,7 1 79
1,3 100
BAB V PENGARUH PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK TERHADAP KEBERLANJUTAN EKONOMI PETANI Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani, dapat diketahui melalui perbandingan analisis sistem usahatani organik dan konvensional. Pengaruh tersebut memiliki tiga kemungkinan, yaitu: berpengaruh positif, negatif, atau tidak berpengaruh. Analisis sistem usahatani dilakukan pada masing-masing kelompok (eksperimen dan kontrol) untuk mengetahui sampai sejauh mana keuntungan usahatani organik dibandingkan usahatani konvensional. Selain itu, penulis juga menganalisis sistem usahatani sebelum dan sesudah organik pada satu kelompok responden eksperimen, yaitu kelompok petani organik. Setelah sistem usahatani organik dan konvensional dianalisis dari segi tingkat input, output dan finansial, selanjutnya dilakukan analisis statistik mengenai pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani berdasarkan hasil uji Paired Samples T-test. Variabel sistem usahatani yang dianalisis dalam penelitian ini, antara lain: tingkat output atau produktivitas usahatani per musim; keuntungan usahatani per musim yang diketahui melalui hasil pengurangan penerimaan usahatani per musim dengan biaya input produksi usahatani per musim; dan akses pasar. Semua variabel di atas merupakan variabel yang mudah diukur untuk mengetahui keberlanjutan ekonomi petani dilihat dari sistem usahataninya. Penulis menggunakan asumsi harga yang berlaku saat ini untuk mempermudah analisis finansial pada masing-masing sistem usahatani (organik dan konvensional) dalam satu musim. Selain itu, petani juga tidak dapat mengingat biaya input produksi usahataninya secara detail maupun harga hasil panen mereka per kilogram beberapa tahun yang lalu, saat pertanian organik belum diadposi oleh petani. 5.1. Analisis Tingkat Konvensional
Input
dan
Output
Usahatani
Organik
dan
Jenis tanaman budidaya dalam usahatani organik dan konvensional yang dianalisis dalam penelitian ini adalah padi sawah. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai tingkat input dan output usahatani organik dan konvensional per
73
musim, berikut ini disajikan tabel perbandingan input dan output usahatani organik dan konvensional per rataan luas lahan responden (0,24 ha) per musim menurut kelompok petani organik dan konvensional, serta tabel perbandingan input dan output usahatani sebelum dan sesudah organik per rataan luas lahan responden (0,24 ha) per musim menurut kelompok petani organik di Desa Ketapang. Tabel 27. Perbandingan Input dan Output Usahatani Organik dan Konvensional per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok Petani Organik dan Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 Input dan Output
Organik n = 14
Pupuk2
Jenis Umbul, Menthik Wangi, Menthik Susu (kg) Pupuk kandang (kg) Pupuk cair (botol)
Pestisida3
Nabati (botol)
Bibit1
HOK4 Tingkat Produktivitas (Output)
Rata-rata 6,2 1.001,7 4,3 4,4
Konvensional n = 65 Jenis Rata-rata IR 64, Umbul, Intani, PP (kg) Urea (kg) TSP (kg) PONSKA (kg) Matador, Hamador, dan lain-lain (botol)
51 Gabah basah (kg)
1.814,3
6,3 120,4 71,8 68,6 5,7 49,1
Gabah basah (kg)
1856,1
Sumber: Data Primer Diolah Keterangan: 1 Tidak termasuk bibit Beras Merah yang digunakan oleh satu orang petani organik sebesar 2,6 kg. 2 Tidak termasuk pupuk kompos dan Bioton yang digunakan oleh satu orang petani organik dengan jumlah masing-masing sebesar 734,9 kg dan 0,9 botol, serta pupuk KCL dan NPK yang digunakan oleh dua orang petani konvensional dengan jumlah masing-masing sebesar 74,6 kg dan 72 kg. 3 Jenis pestisida kimia sintetik yang paling dominan digunakan oleh petani konvensional adalah Matador dan Hamador. 4 HOK merupakan hasil pembagian biaya tenaga kerja (Rp) dengan upah rata-rata harian petani, yaitu Rp. 12.500,00.
74
Tabel 28. Perbandingan Input dan Output Usahatani Sebelum dan Sesudah Organik per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 Sebelum Organik n = 14
Input dan Output Bibit1
Jenis IR 64 (kg)
Pupuk2 Pestisida3
Urea (kg) TSP (kg) KCL (kg) Matador, Hamador, dan lain-lain (botol)
4
HOK Tingkat Produktivitas (Output)
Sesudah Organik n = 14
Rata-rata 7,5 122,9 66,3 19,5 3,3
Ratarata
Jenis Umbul, Menthik Wangi, Menthik Susu (kg) Pupuk kandang (kg) Pupuk cair (botol)
6,2 1.001,7 4,3
Nabati (botol)
4,4
50,5 Gabah Basah (kg)
1.904,6
51 Gabah Basah (kg)
1.814,3
Sumber: Data Primer Diolah Keterangan: 1 Tidak termasuk bibit Beras Merah yang digunakan oleh satu orang petani organik sebesar 2,6 kg. 2 Tidak termasuk pupuk kompos dan Bioton yang digunakan oleh satu orang petani organik dengan jumlah masing-masing sebesar 734,9 kg dan 0,9 botol, serta pupuk SP 36, NPK dan ZA yang digunakan oleh satu orang petani sebelum organik dengan jumlah masing-masing sebesar 120 kg, 60 kg dan 21,8 kg. 3 Jenis pestisida kimia sintetik yang paling dominan digunakan oleh petani konvensional adalah Matador dan Hamador. 4 HOK merupakan hasil pembagian biaya tenaga kerja (Rp) dengan upah rata-rata harian petani, yaitu Rp. 12.500,00.
Input produksi usaha tani yang dibandingkan pada sistem pertanian organik dan konvensional, meliputi: penggunaan bibit padi, pupuk, pestisida dan HOK (Hari Orang Kerja). Tingkat produktivitas usahatani bisa diketahui melalui produksi gabah basah per musim dalam satuan kilogram. Berdasarkan Tabel 27, diketahui bahwa terdapat perbedaan input produksi antara usahatani organik dan konvensional, baik dalam hal jumlah maupun jenis input yang digunakan, seperti: jenis bibit padi, jenis pupuk dan jenis pestisida. Jenis bibit padi yang digunakan pada usahatani organik adalah: Umbul, Menthik Wangi, Menthik Susu dan Beras Merah. Semua bibit padi tersebut merupakan varietas lokal yang sangat dianjurkan dalam praktik pertanian organik. Jenis bibit padi yang digunakan pada usahatani konvensional secara umum adalah: IR 64, Umbul, Intani dan PP. Jumlah rata-rata bibit padi yang digunakan pada usahatani organik dan konvensional per 0,24 ha per musim tidak jauh berbeda. Petani organik rata-rata menggunakan bibit padi sebanyak 6,2 kg di luar penggunaan bibit Beras Merah yang tidak dihitung ke dalam Tabel 27 karena hanya satu responden yang
75
menggunakan bibit tersebut setiap musim secara rutin. Sementara itu, petani konvensional rata-rata menggunakan bibit padi sebanyak 6,3 kg. Selisih jumlah penggunaan rata-rata bibit padi antara kedua kelompok responden hanya 0,1 kg. Jenis pupuk yang digunakan pada usahatani organik adalah pupuk kandang; pupuk cair yang biasanya merupakan hasil fermentasi urine sapi, kelinci, manusia, atau bahkan bahan-bahan nabati; pupuk kompos dan Bioton. Sistem pertanian organik tidak mengizinkan penggunaan bahan-bahan kimia sintetik sedikitpun. Oleh karena itu, tidak ada input pupuk kimia sintetik dalam sistem usahatani ini. Sebaliknya, sistem usahatani konvensional menggunakan pupuk kimia sintetik untuk mempercepat proses pertumbuhan tanaman padi. Pupuk kimia sintetik yang umumnya digunakan dalam usahatani konvensional, antara lain: Urea, TSP dan PONSKA. Pupuk kimia sintetik lainnya yang juga digunakan dalam usahatani konvensional adalah KCL dan NPK meskipun jarang digunakan oleh responden kontrol penelitian ini. Jumlah penggunaan rata-rata pupuk pada usahatani organik dan konvensional per 0,24 ha per musim relatif berbeda berdasarkan masing-masing jenis pupuk yang digunakan. Petani organik menggunakan pupuk kandang hingga 1.001,7 kg dan pupuk cair sebanyak 4,3 botol setiap musimnya. Selain itu, adapula petani organik yang menggunakan pupuk kompos dan Bioton dengan jumlah masing-masing sebesar 734,9 kg dan 0,9 botol setiap musimnya. Jumlah penggunaan rata-rata pupuk kompos dan Bioton per 0,24 ha per musim tersebut, tidak dimasukkan dalam perhitungan Tabel 27 karena hanya digunakan oleh satu orang petani organik. Jumlah pupuk yang digunakan dalam usahatani konvensional per 0,24 ha per musim menurut kelompok petani konvensional, adalah sebagai berikut: pupuk Urea 120,4 kg, pupuk TSP 71,8 kg, pupuk PONSKA 68,6 kg. Selain itu, ada penggunaan jenis pupuk kimia sintetik lainnya, yaitu KCLdan NPK yang tidak dimasukkan ke dalam perhitungan Tabel 27 karena hanya digunakan oleh dua orang petani konvensional dengan jumlah masing-masing sebesar 74,6 kg dan 72 kg. Jenis dan jumlah pestisida yang digunakan dalam usahatani organik dan konvensional juga sangat berbeda. Praktik pertanian organik hanya menggunakan pestisida organik berupa pestisida nabati yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan
76
alami. Jumlah rata-rata pestisida nabati yang digunakan oleh petani organik per 0,24 ha per musim berdasarkan hasil penelitian ini adalah 4,4 botol. Praktik pertanian konvensional membutuhkan jenis pestisida kimia sintetik dengan jumlah tertentu berdasarkan penggunaan petani per musim. Jenis pestisida kimia sintetik yang paling banyak digunakan oleh petani konvensional adalah Hamador, Matador dan Regent. Selain itu, ada beberapa jenis pestisida kimia sintetik lainnya yang hanya digunakan oleh sebagian kecil petani, yaitu: Gandasil B, Kape Laut, Konfider, SPONTAN, Herbafarm, Decis dan T-Mec. Jumlah penggunaan rata-rata semua jenis pupuk kimia sintetik pada usahatani konvensional per 0,24 ha per musim menurut kelompok petani konvensional adalah 5,7 botol. Hari Orang Kerja (HOK) rata-rata per 0,24 ha per musim sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 27, terlihat berbeda antara sistem pertanian organik dan konvensional. Usahatani organik menghabiskan HOK rata-rata sekitar 51 hari, sedangkan usahatani konvensional HOK rata-ratanya adalah 49,1 hari. HOK Rata-rata tersebut didapatkan dari hasil perhitungan total biaya tenaga kerja dibagi upah rata-rata harian petani yang umumnya sebesar Rp. 12.500,00. HOK rata-rata pada pertanian organik ternyata lebih besar daripada pertanian konvensional dan oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pertanian organik membutuhkan tenaga kerja atau waktu kerja yang lebih besar dibandingkan pertanian konvensional. Setelah mengetahui perbandingan jenis dan jumlah penggunaan rata-rata input pada usahatani organik dan konvensional per 0,24 ha per musim menurut kelompok petani organik dan konvensional, maka perlu juga mengetahui perbandingan tingkat produktivitas rata-rata pertanian organik dan konvensional per 0,24 ha per musim dengan basis hitungan hasil panen gabah basah dalam satuan kilogram. Sistem pertanian organik mampu menghasilkan 1.814,3 kg gabah basah, sedangkan sistem pertanian konvensional mampu menghasilkan gabah basah sebesar 1.856,1 kg (Tabel 27). Berdasarkan rata-rata hasil panen tersebut, dapat dinyatakan bahwa tingkat produktivitas pertanian organik sedikit lebih rendah dibandingkan pertanian konvensional. Meskipun demikian, selisih tingkat produktivitas antara pertanian organik dan konvensional sangat tipis, sehingga baik pertanian organik maupun konvensional memiliki kemampuan yang hampir
77
sama dalam menghasilkan panen. Tingkat produktivitas pertanian konvensional yang sedikit lebih tinggi daripada pertanian organik, disebabkan oleh penggunaan input kimia sintetik yang cukup tinggi, khususnya pupuk. Penggunaan pupuk kimia sintetik pada sistem pertanian konvensional dapat merangsang atau mempercepat pertumbuhan tanaman, sehingga waktu panen menjadi lebih cepat dan hasil panen menjadi lebih banyak daripada sistem pertanian organik. Namun, penggunaan input kimia sintetik secara rutin pada usahatani konvensional, beresiko terhadap turunnya kualitas lingkungan. Tabel 28 berisi informasi mengenai perbandingan tingkat input dan output usahatani sebelum dan sesudah organik per 0,24 ha per musim, menurut kelompok petani organik. Usahatani sebelum petani organik mengadopsi praktik pertanian organik sama saja dengan usahatani konvensional. Berdasarkan Tabel 28, terdapat perbedaan jenis dan jumlah penggunaan input pada usahatani sebelum dan sesudah organik. Input yang dibandingkan, meliputi: penggunaan bibit padi, pupuk, pestisida, dan HOK (Hari Orang Kerja). Sebelum responden eksperimen (petani organik) mengadopsi praktik pertanian organik, jenis bibit padi yang biasanya digunakan adalah IR 64 dengan jumlah penggunaan rata-rata per 0,24 ha per musim sebesar 7,5 kg. Jenis bibit padi hibrida kemudian diganti dengan varietas lokal, seperti: Umbul, Menthik Wangi, Menthik Susu dan Beras Merah ketika responden sudah menjalankan praktik pertanian organik. Jumlah penggunaan rata-rata bibit padi varietas lokal tersebut per 0,24 ha per musim adalah 6,2 kg, tidak termasuk penggunaan bibit Beras Merah yang hanya digunakan oleh satu orang petani organik dalam penelitian ini. Pupuk yang digunakan oleh responden eksperimen sebelum menjalankan praktik pertanian organik adalah pupuk kimia sintetik dengan jenis: Urea, TSP, KCL, SP 36, NPK dan ZA. Jumlah penggunaan rata-rata masing-masing jenis pupuk tersebut per 0,24 ha per musim adalah: Urea 122,9 kg, TSP 66,3 kg, KCL 19,5 kg, SP 36 120 kg, NPK 60 kg dan ZA 21,8 kg. Jumlah penggunaan rata-rata pupuk SP 36, NPK dan ZA tidak dicantumkan ke dalam tabel 28 karena hanya digunakan oleh satu orang responden eksperimen. Semua jenis pupuk kimia sintetik tersebut tidak digunakan lagi oleh responden eksperimen saat mereka sudah mengadopsi pertanian organik secara penuh. Jenis pupuk yang digunakan
78
oleh petani setelah bertani organik adalah pupuk kandang, pupuk cair, pupuk kompos dan Bioton dengan jumlah penggunaan rata-rata per 0,24 ha per musim sebesar: 1.001,7 kg pupuk kandang, 4,3 botol pupuk cair, 734,9 kg pupuk kompos dan 0,9 botol Bioton. Jumlah penggunaan rata-rata pupuk kompos dan Bioton tidak dicantumkan ke dalam Tabel 28 karena hanya digunakan oleh satu orang responden eksperimen. Jenis pestisida yang digunakan pada usahatani sebelum dan sesudah organik relatif berbeda. Ada beberapa jenis atau merek pestisida kimia sintetik yang digunakan oleh petani sebelum mereka bertani organik. Sementara itu, usahatani sesudah organik tidak menggunakan pestisida kimia sintetik sama sekali tetapi menggunakan pestisida organik. Jenis pestisida kimia sintetik yang paling banyak digunakan oleh petani sebelum menjalankan usahatani organik adalah Matador dan Hamador. Selain itu, ada beberapa merek pestisida kimia sintetik lainnya yang juga digunakan oleh para petani sebelum bertani organik, seperti: Gandasil B, Gandasil Bubuk, Nakodan dan Regent. Jumlah penggunaan rata-rata semua jenis pestisida tersebut per 0,24 ha per musim menurut responden eksperimen adalah 3,3 botol. Setelah menjalankan usahatani organik, para petani kemudian meninggalkan penggunaan pestisida kimia sintetik, lalu menggantinya dengan pestisida nabati yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan alami. Jumlah penggunaan rata-rata pestisida nabati oleh petani organik per 0,24 ha per musim adalah 4,4 botol dan jumlah ini lebih banyak daripada jumlah penggunaan pestisida kimia sintetik sebelum mereka bertani organik. Perbedaan Hari Orang Kerja (HOK) juga terlihat antara sistem usahatani sebelum dan sesudah organik sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 28. Sistem usahatani sesudah organik ternyata menghabiskan HOK rata-rata lebih banyak, yaitu 51 hari daripada sistem usahatani sebelum organik yang menghabiskan HOK rata-rata sebesar 50,5 hari per 0,24 ha per musim. Selain perbedaan jenis dan tingkat penggunaan input, sistem pertanian organik dan konvensional ternyata memiliki perbedaan tingkat produktivitas (output). Perbandingan tingkat produktivitas pertanian antara sistem usahatani sebelum dan sesudah organik dalam penelitian ini, dinilai dari kemampuan masing-masing
79
sistem usahatani untuk menghasilkan panen rata-rata dalam bentuk gabah basah per 0,24 ha per musim dengan satuan kilogram. Berdasarkan Tabel 28, diketahui bahwa sistem usahatani sebelum organik mampu menghasilkan panen rata-rata sebesar 1.904,6 kg, sedangkan sistem usahatani sesudah organik menghasilkan panen rata-rata sebesar 1.814,3 kg. Dengan demikian, sistem usahatani sesudah organik terbukti memiliki produktivitas lebih rendah dibandingkan sistem usahatani sebelum organik. Meskipun demikian, nilai ekonomi produk organik dihargai lebih tinggi oleh para petani dan konsumen daripada produk non organik, sehingga berpengaruh terhadap penerimaan usahatani per musim. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan salah satu informan penelitian, sebagai berikut:
“Pertanian organik niku ngge luwih apik dibandingno non organik, dilihat saking gembure lemah lan hasil panene. Pas organik, tanah niku luwih remah timbangane sing ndok lahan non organik. Terus, hasil panen organik di waktu awal-awal memang turun drastis, tapi ngge lami-lami mbalek maneh, meh podo kale lahan non organik meskipun memang sedikit lebih rendah hasil panennya dibanding pertanian non organik, tapi selisihnya nggak banyak kok. Nek organik niku Mas, padine luwih abot, rapet masio hasil panene ketok mek titik, tapi pas ditimbang tibae luwih abot dibandingno karo padi biasa dan harganya itu juga jauh lebih tinggi Mas daripada padi biasa. Mangkane tetep luwih untung tani organik masio panene rodok titik.” (Rhy, laki-laki, 32 tahun). 5.2. Analisis Finansial Usahatani Organik dan Konvensional Analisis finansial usahatani organik dan konvensional dilakukan untuk mengetahui lebih jelas mengenai biaya input produksi, penerimaan usahatani, keuntungan dan nilai B/C Rasio per musim. Analisis finansial ini akan menjawab sampai sejauh mana pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani. Perhitungan finansial pada masing-masing kategori, seperti: biaya input produksi, penerimaan usahatani dan keuntungan merupakan nilai ratarata dari semua responden pada masing-masing kelompok (kontrol dan eksperimen) per rataan luas lahan responden (0,24 ha) per musim. Pertanian organik dapat dikatakan mampu menjamin keberlanjutan ekonomi petani jika nilai keuntungan rata-ratanya lebih besar daripada nilai keuntungan rata-rata usahatani
80
konvensional per 0,24 ha per musim dan demikian pula dengan nilai B/C Rasio pada usahatani organik yang lebih tinggi daripada konvensional. Suatu bisnis atau sistem usahatani dikategorikan layak jika nilai B/C Rasionya lebih besar dari 1. Sebaliknya, jika nilai B/C Rasio suatu usahatani lebih kecil dari 1, maka usahatani tersebut tidak layak secara ekonomi. Biaya input produksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah total biaya yang dikeluarkan oleh petani selama proses produksi dalam sistem usahatani, meliputi: biaya penggunaan bibit padi, pupuk, pestisida, biaya tenaga kerja dan upah panen. Penerimaan usahatani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah total hasil panen rata-rata gabah basah dalam satuan kilogram per 0,24 ha per musim kali harga jual gabah basah per kilogram, yaitu Rp. 2.700,00 dan dikurangi upah panen yang besarnya 1/5 dari jumlah total hasil panen gabah basah dalam satuan rupiah. Nilai keuntungan rata-rata usahatani per 0,24 ha per musim, baru dapat dihitung setelah nilai input produksi dan penerimaan usahatani diketahui karena keuntungan usahatani dalam penelitian ini didefinisikan sebagai hasil pengurangan antara penerimaan usahatani dengan biaya input produksi. Sementara itu, nilai B/C Rasio yang dijadikan sebagai acuan kelayakan usahatani merupakan rasio atau hasil bagi antara keuntungan (benefit) dengan biaya input produksi (cost). Analisis finansial usahatani organik dan konvensional menurut dua kelompok responden (petani organik dan konvensional) dan menurut satu kelompok responden (petani organik) di Desa Ketapang, selengkapnya disajikan dalam Tabel 29 dan Tabel 30.
81
Tabel 29. Perbandingan Analisis Biaya, Penerimaan dan Keuntungan Rata-rata Usahatani Organik dan Konvensional per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok Petani Organik dan Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 Organik (Rp)
Konvensional (Rp)
n = 14
n =65
Input Produksi: 1. Bibit1
44.455
2. Pupuk2
36.465,6
371.937,5
3.151,3
51.090,6
2.161.122,2
1.616.434,5
2.245.194
2.067.851,5
6.096.150,6
4.009.191,4
3.850.956,5
1.941.339,9
1,7
0,9
3. Pestisida 4. Tenaga Kerja dan Upah Panen3 Total Biaya Input Produksi Penerimaan Usahatani
4
Keuntungan B/C Rasio
28.388,8
Sumber: Data Primer Diolah Keterangan: 1 Termasuk biaya menggunakan bibit Beras Merah oleh satu orang petani organik. 2 Termasuk biaya menggunakan pupuk kompos dan Bioton oleh satu orang petani organik, serta pupuk KCL dan NPK oleh dua orang petani konvensional. 3 Upah panen dihitung 1/5 dari penerimaan usahatani dengan basis hitungan gabah basah (Rp). 4 Dihitung dari perkalian antara hasil panen dalam bentuk gabah basah (kg) dengan harga jual gabah basah per kg, yaitu Rp. 2.700,00 lalu dikurangi upah panen.
Tabel 30. Perbandingan Analisis Biaya, Penerimaan dan Keuntungan Rata-rata Usahatani Sebelum dan Sesudah Organik per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Input Produksi: 1. Bibit1 2. Pupuk
Sesudah Organik (Rp)
n = 14
n = 14
37.721,1
2
3. Pestisida 4. Tenaga Kerja dan Upah Panen3 Total Biaya Input Produksi Penerimaan Usahatani
Sebelum Organik (Rp)
4
Keuntungan B/C Rasio
44.455
393.217,8
36.465,6
47.463
3.151,3
1.659.626,9
2.161.122,2
2.138.028,8
2.245.194
4.113.909,7
6.096.150,6
1.975.880,9
3.850.956,5
0.9
1.7
Sumber: Data Primer Diolah Keterangan: 1 Termasuk biaya menggunakan bibit Beras Merah oleh satu orang petani organik. 2 Termasuk biaya menggunakan pupuk kompos dan Bioton oleh satu orang petani organik, serta pupuk SP 36, NPK dan ZA yang digunakan oleh satu orang petani sebelum organik. 3 Upah panen dihitung 1/5 dari penerimaan usahatani dengan basis hitungan gabah basah (Rp). 4 Dihitung dari perkalian antara hasil panen dalam bentuk gabah basah (kg) dengan harga jual gabah basah per kg, yaitu Rp. 2.700,00 lalu dikurangi upah panen.
82
Berdasarkan Tabel 29, diketahui bahwa biaya penggunaan rata-rata bibit padi per 0,24 ha per musim pada usahatani organik lebih besar daripada usahatani konvensional. Biaya penggunaan bibit padi pada usahatani organik mencapai Rp. 44.455,00 sedangkan usahatani konvensional menghabiskan biaya untuk bibit padi hanya sebesar Rp. 28.388,80. Lebih tingginya biaya penggunaan bibit padi pada usahatani organik disebabkan oleh harga bibit padi varietas lokal yang lebih mahal, yaitu Rp. 6.000,00 per kg daripada harga bibit padi varietas hibrida seperti IR 64, yang hanya Rp. 5.000,00 per kg. Pertanian organik mewajibkan penggunaan bibit padi varietas lokal. Biaya penggunaan pupuk pada usahatani organik, ternyata lebih rendah daripada usahatani konvensional. Sistem usahatani organik menghabiskan biaya penggunaan rata-rata pupuk sebesar Rp. 36.465,60 sedangkan usahatani konvensional menghabiskan biaya penggunaan rata-rata pupuk yang lebih tinggi, yaitu Rp. 371.937,50 per 0,24 ha per musim. Lebih rendahnya biaya penggunaan pupuk pada usahatani organik disebabkan karena usahatani organik hanya menggunakan pupuk organik yang biayanya relatif sangat rendah atau bahkan seringkali tidak perlu mengeluarkan biaya dan bahan bakunya pun mudah didapat di lingkungan sekitar petani. Sebaliknya, usahatani konvensional membutuhkan asupan pupuk kimia sintetik yang harganya jauh lebih mahal dan hanya bisa didapat dari toko-toko Saprodi (Sarana Produksi Pertanian) atau melalui subsidi kelompok tani. Biaya penggunaan rata-rata pestisida per 0,24 ha per musim pada usahatani organik juga lebih rendah daripada usahatani konvensional. Usahatani organik menghabiskan biaya penggunaan pestisida sebesar Rp. 3.151,30 sedangkan usahatani konvensional menghabiskan biaya penggunaan pestisida sebesar Rp. 28.388,80. Praktik pertanian organik tidak memperbolehkan penggunaan pestisida kimia sintetik, sehingga petani organik harus membuat pestisida alami yang pada umumnya berupa pestisida nabati untuk menggantikan fungsi pestisida kimia sintetik. Oleh karena itu, biaya input untuk penggunaan pestisida pada usahatani organik jauh lebih rendah dibandingkan usahatani konvensional yang menggunakan pestisida kimia sintetik. Harga pestisida kimia sintetik per botol berkisar antara Rp. 15.000,00 hingga Rp. 25.000,00 tergantung
83
pada jenis atau merek pestisida, sedangkan pestisida nabati seringkali tidak membutuhkan biaya dan jika memang petani terpaksa harus membelinya, harganya hanya Rp. 5.000,00 per botol. Biaya tenaga kerja dan upah panen rata-rata per 0,24 ha per musim pada usahatani organik mencapai Rp. 2.161.122,20 sedangkan biaya tenaga kerja dan upah panen rata-rata per 0,24 ha per musim pada usahatani konvensional adalah Rp. 1.616.434,50 (Tabel 29). Berdasarkan fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pertanian organik menghabiskan biaya tenaga kerja dan upah panen lebih besar daripada pertanian konvensional. Hal ini berbanding lurus dengan HOK yang dihabiskan pada masing-masing sistem usahatani seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Secara keseluruhan, total biaya input produksi rata-rata per 0,24 ha per musim pada usahatani organik dan konvensional masing-masing adalah Rp. 2.245.194,00 dan Rp. 2.067.851,50. Usahatani organik ternyata menghabiskan biaya input produksi lebih tinggi daripada usahatani konvensional. Penjelasan mengenai mengapa biaya input produksi pada usahatani organik lebih tinggi daripada usahatani konvensional adalah karena usahatani organik menghabiskan biaya tenaga kerja dan upah panen yang lebih tinggi daripada usahatani konvensional. Selisih biaya tenaga kerja dan upah panen antara usahatani organik dan konvensional cukup besar. Hal ini salah satunya disebabkan oleh tingginya harga jual gabah basah organik per kilogram dibandingkan gabah basah non organik yang kemudian mempengaruhi besarnya upah panen dalam satuan rupiah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, upah panen dihitung 1/5 dari total panen rata-rata gabah basah per 0,24 ha per musim. Meskipun terdapat perbedaan total biaya input rata-rata antara usahatani organik dan konvensional, namun jenis biaya input produksi yang paling tinggi dalam kedua sistem usahatani adalah sama, yaitu terletak pada biaya tenaga kerja dan upah panen. Penulis menggunakan beberapa asumsi dalam penelitian ini untuk mengetahui penerimaan usahatani rata-rata responden per 0,24 ha per musim secara mudah. Selain itu, hal ini juga untuk mempermudah perhitungan keuntungan usahatani rata-rata per 0,24 ha per musim. Beberapa asumsi tersebut, adalah:
84
1)
Semua petani yang menjadi responden penelitian ini dianggap menjual seluruh hasil panennya per musim dalam bentuk gabah basah karena sebagian besar hasil panen yang diperoleh responden hanya digunakan untuk konsumsi sendiri (Tabel 25).
2)
Penulis menggunakan acuan harga jual padi organik dan konvensional dalam bentuk gabah basah per kilogram yang berlaku saat ini, karena tidak banyak petani yang bisa mengingat harga jual padi beberapa tahun lalu. Penerimaan usahatani rata-rata per 0,24 ha per musim menunjukkan
perbedaan yang cukup besar antara pertanian organik dan konvensional. Penerimaan rata-rata usahatani organik mencapai Rp. 6.096.150,60 sedangkan usahatani
konvensional
menghasilkan
penerimaan
rata-rata
sebesar
Rp.
4.009.191,40. Lebih besarnya penerimaan usahatani organik dibandingkan konvensional disebabkan oleh harga jual produk pertanian organik yang lebih tinggi daripada produk pertanian konvensional. Oleh karena itu, meskipun tingkat produktivitas pertanian organik sedikit lebih rendah daripada pertanian konvensional, tetapi nilai penerimaan usahatani rata-ratanya jauh lebih besar. Petani organik telah memiliki standar kualitas dan harga jual sendiri untuk hasil panennya yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi daripada hasil panen pertanian konvensional. Perbandingan harga jual antara produk pertanian organik dan konvensional, dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Daftar Harga Jual Padi Organik dan Konvensional menurut Bentuk Padi di Desa Ketapang, Tahun 2010 Bentuk Padi yang Dijual
Harga Jual/kg (Rp) Organik
Konvensional
Gabah Basah
4.200,00
2.700,00
Gabah Kering
4.500,00
4.000,00
7.200,00 - 9.000,00
5.000,00 - 6.500,00
Beras Sumber: Data Primer
Penerimaan usahatani organik yang lebih besar daripada usahatani konvensional, ternyata mempengaruhi nilai keuntungan rata-rata usahatani organik per 0,24 ha per musim. Tabel 29 menunjukkan bahwa keuntungan ratarata usahatani organik yang mencapai Rp. 3.850.956,50 jauh lebih besar daripada keuntungan rata-rata usahatani konvensional yang hanya Rp. 1.941.339,90.
85
Selisih keuntungan rata-rata usahatani organik dengan konvensional tersebut, hampir dua kali lipat. Selain nilai keuntungan rata-rata usahatani, juga perlu diketahui nilai B/C Rasio masing-masing sistem usahatani agar dapat disimpulkan apakah sistem usahatani tersebut layak atau tidak secara ekonomi. Nilai B/C Rasio usahatani organik dan konvensional per 0,24 ha per musim secara berurutan adalah 1,7 dan 0,9 (Tabel 29). Berdasarkan nilai B/C Rasio tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem usahatani organik layak secara ekonomi, sedangkan sistem usahatani konvensional tidak layak secara ekonomi karena nilai B/C Rasionya kurang dari 1. Dengan demikian, sudah terbukti bahwa pertanian organik lebih menguntungkan secara ekonomi daripada pertanian konvensional, berdasarkan analisis finansial terhadap dua kelompok responden, yaitu kelompok petani organik dan konvensional. Perbandingan analisis finansial antara usahatani sebelum dan sesudah organik menurut kelompok responden eksperimen (petani organik), dapat dilihat pada Tabel 30. Berdasarkan tabel 30, dapat diketahui bahwa total biaya input produksi rata-rata usaha tani sesudah organik lebih besar daripada usahatani sebelum organik. Responden eksperimen menghabiskan total biaya input produksi rata-rata per 0,24 ha per musim ketika mereka sudah bertani organik sebesar Rp. 2.245.194,00. Biaya tersebut lebih besar dibandingkan total biaya input produksi rata-rata usahatani sebelum organik, yaitu Rp. 2.138.028,80. Lebih besarnya total biaya input produksi rata-rata pada usahatani sesudah organik disebabkan oleh biaya tenaga kerja dan upah panen yang lebih besar daripada usahatani sebelum organik, seperti yang telah dijelaskan pada analisis finansial di paragraf sebelumnya. Biaya tenaga kerja dan upah rata-rata per 0,24 ha per musim pada sistem usahatani sebelum organik adalah Rp. 1.659.626,90. Biaya tersebut meningkat menjadi Rp. 2.161.122,20 setelah para petani menjalankan usahatani organik. Perbedaan biaya input produksi rata-rata per 0,24 ha per musim pada usahatani sebelum dan sesudah organik tidak hanya terlihat dalam hal tenaga kerja dan upah panen, tetapi juga dalam hal penggunaan bibit padi, pupuk dan pestisida. Biaya penggunaan bibit padi usahatani sebelum dan sesudah organik, masingmasing adalah Rp. 37.721,10 dan Rp. 44.455,00 (Tabel 30). Biaya penggunaan
86
bibit padi lebih besar pada saat petani menjalankan pertanian organik karena seperti yang telah dijelaskan pada analisis finansial sebelumnya, pertanian organik mengharuskan penggunaan bibit padi varietas lokal yang harganya lebih mahal dibandingkan bibit padi varietas hibrida yang biasanya digunakan dalam sistem pertanian konvensional. Biaya penggunaan rata-rata pupuk per 0,24 ha per musim pada usahatani sebelum organik, jauh lebih tinggi daripada sesudah organik. Biaya tersebut mencapai Rp. 393.217,80 dan berbeda jauh dengan biaya penggunaan rata-rata pupuk pada usahatani sesudah organik yang hanya sebesar Rp. 36.465,60. Para petani harus membeli pupuk kimia sintetik yang harganya relatif mahal pada saat sebelum bertani organik. Namun, biaya penggunaan pupuk akhirnya dapat ditekan sesudah petani menjalankan praktik pertanian organik karena pertanian organik hanya memanfaatkan sumber daya pupuk yang langsung berasal dari limbah-limbah organik. Biaya penggunaan rata-rata pestisida per 0,24 ha per musim
pada
usahatani sebelum dan sesudah organik masing-masing adalah Rp. 47.463,00 dan Rp. 3.151,30. Hal ini berarti, usahatani sebelum organik mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk penggunaan pestisida daripada usahatani sesudah organik. Pada saat sebelum bertani organik, para petani menggunakan pestisida kimia sintetik yang harganya relatif mahal, yaitu berkisar antara Rp. 15.000,00 sampai Rp. 25.000,00 per botol tergantung jenis atau merek pestisida. Namun, setelah para petani mengadopsi
praktik
pertanian
organik,
mereka
secara
perlahan-lahan
meninggalkan pestisida kimia sintetik, kemudian menggantinya dengan pestisida nabati yang tidak perlu mengeluarkan biaya atau jika terpaksa harus membeli pestisida nabati dari tetangga, mereka hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp. 5.000,00 per botol. Itulah alasan mengapa biaya penggunaan pestisida pada usahatani sebelum organik jauh lebih tinggi daripada sesudah organik. Dari semua biaya input yang telah dijelaskan, dapat diketahui bahwa kategori biaya input yang paling besar pada sistem usahatani sebelum dan sesudah organik adalah biaya tenaga kerja dan upah panen. Analisis finansial berikutnya yang akan dibandingkan antara kedua sistem usahatani adalah penerimaan usahatani, keuntungan usahatani dan nilai B/C Rasio. Penerimaan rata-rata usahatani sebelum dan sesudah organik per 0,24 ha per musim seperti yang
87
tercantum dalam Tabel 30 secara berurutan adalah Rp. 4.113.909,70 dan Rp. 6.096.150,60. Penerimaan rata-rata usahatani sesudah organik ternyata lebihbesar daripada sebelum organik. Hal ini sama dengan yang terjadi pada perbandingan penerimaan rata-rata usahatani organik dan konvensional antara kedua kelompok responden (kontrol dan eksperimen). Nilai keuntungan rata-rata usahatani sesudah organik per 0,24 ha per musim juga lebih tinggi dibandingkan sebelum organik. Para petani biasanya mendapatkan keuntungan rata-rata per 0,24 ha per musim sebesar Rp. 1.975.880,90 sebelum bertani organik dan jumlah keuntungan rata-tersebut meningkat menjadi Rp. 3.850.956,50 setelah mereka bertani organik. Setelah mengetahui nilai keuntungan rata-rata usahatani sesudah organik yang lebih tinggi daripada sebelum organik, maka sudah dapat dikatakan bahwa usahatani sesudah organik lebih unggul secara ekonomi daripada usahatani sebelum organik (usahatani konvensional). Hal ini diperkuat oleh nilai B/C Rasio sebesar 1,7 pada usahatani sesudah organik yang berarti, usahatani tersebut layak secara ekonomi. Sebaliknya, nilai B/C Rasio pada usahatani sebelum organik hanya 0,9 yang berarti usahatani tersebut tidak layak secara ekonomi, karena suatu bisnis bisa disebut layak jika nilai B/C Rasio lebih besar dari 1. 5.3. Analisis Akses Pasar Usahatani Organik dan Konvensional Pengertian akses pasar dalam penelitian ini adalah kemampuan atau peluang petani dalam memasarkan atau menjual produk pertaniannya kepada konsumen melalui berbagai macam saluran distribusi berdasarkan permintaan konsumen. Akses pasar dinilai dari jumlah dan kemudahan saluran distribusi yang bisa dijangkau oleh petani sendiri dengan otoritas harga jual produk dari petani. Dengan demikian, akses pasar suatu sistem usahatani bisa dikatakan tinggi jika semakin banyak peluang pasar dan saluran distribusi yang bisa dijangkau oleh petani. Selain itu, petani juga merasa leluasa dalam menjual produknya kepada siapa saja, di mana saja, dengan posisi tawar yang lebih tinggi. Sebaliknya, akses pasar dikatakan rendah jika petani menghadapi keterbatasan peluang pasar dan saluran distribusi atas produk pertanian mereka; serta tidak memiliki posisi tawar atau bargaining position yang tinggi atas produk pertanian mereka di hadapan konsumen sehingga petani tidak berdaya.
88
Akses pasar usahatani organik menurut pengakuan semua responden eksperimen (petani organik) lebih tinggi daripada akses pasar usahatani konvensional karena para petani memiliki lebih banyak saluran distribusi untuk memasarkan produk-produk mereka setelah bertani organik. Para petani organik dapat membandingkan akses pasar pada sistem usahatani organik dan konvensional karena mereka telah melaksanakan kedua sistem usahatani tersebut sebelumnya. Produk-produk pertanian organik khususnya padi, dapat dijual langsung kepada konsumen dengan harga premium atau sesuai dengan standar harga dari petani. Selain itu, petani juga biasanya menjual padi organik dalam bentuk gabah basah atau gabah kering ke Koperasi Paguyuban Petani Al-Barokah dengan harga lebih tinggi daripada padi non organik. Saluran distribusi lainnya yang sudah bisa dijangkau petani, antara lain: grosir beras organik, distributor besar, bahkan gerai khusus produk organik yang tersebar di beberapa daerah, seperti: Jakarta, Bogor, Surabaya, Semarang, Solo, Salatiga, Kendal, dan lain-lain. Petani organik sekarang lebih bebas dalam menentukan kemana dan kepada siapa hasil panen padi organik mereka akan dijual. Tidak ada ketakutan sama sekali mengenai akses pasar pertanian organik karena saat ini, permintaan konsumen (demand) atas produk organik masih sangat tinggi bahkan lebih tinggi daripada ketersediaan produknya (supply). Oleh karena itu, seringkali para petani organik belum sanggup memenuhi semua permintaan tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut, Paguyuban Petani Al-Barokah kemudian menjalin kerjasama atau kemitraan dengan kelompok tani organik di daerah lain untuk memenuhi permintaan konsumen. Hal ini sangat berbeda dengan akses pasar pertanian konvensional yang rendah. Para petani konvensional hanya dapat menjual produk mereka di pasar lokal dalam bentuk beras atau di tempat penggilingan (selepan) dan sawah dalam bentuk gabah melalui tengkulak. Harga jual padi konvensional pun jauh lebih rendah daripada padi organik. Selain itu, sudah terdapat banyak pesaing produsen padi konvensional di pasaran. Fakta mengenai perbandingan antara akses pasar pertanian organik dan konvensional, diperkuat oleh pernyataan salah satu informan penelitian sebagai berikut:
“Sebelum organik, padi dalam bentuk gabah basah, gabah kering, atau beras biasanya dijual ke pasar lokal dan sebagian besar
89
lainnya langsung dijual di tempat penggilingan (selepan) atau sawah melalui tengkulak. Sedangkan setelah organik, padi bisa dijual ke Koperasi Paguyuban Petani Al-Barokah atau langsung kepada konsumen dan grosir beras organik, tergantung keputusan petani. Harga jual padi organik dalam bentuk apapun, tentu saja lebih tinggi daripada yang non organik. Sampai saat ini, kami masih kewalahan sekali memenuhi permintaan pasar atas beras organik karena tidak semua petani di sini bertani organik. Padahal, potensi lahan pertanian yang bisa diorganikkan masih besar. Jadi, Al-Barokah dalam hal ini terus menjalin kemitraan dengan kelompok tani organik di daerah lainnya yang juga tergabung dalam SPPQT (Serikat Paguyuban Petani Qorryah Thoyyibah). Kelompok tani tersebut sudah terbukti organik dan bisa dipercaya kualitas produknya karena kami sama-sama melakukan pengecekan atau inspeksi internal terhadap lahan pertanian organik.” (Mst, laki-laki, 43 tahun). 5.4. Pengaruh Praktik Pertanian Organik terhadap Keberlanjutan Ekonomi Petani Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani sebenarnya sudah dapat diketahui melalui analisis finansial usahatani yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Analisis terhadap Tabel 29 dan Tabel 30 memiliki kesimpulan sama bahwa usahatani organik jauh lebih menguntungkan dan lebih layak secara ekonomi daripada usahatani konvensional. Namun, untuk membuktikan kebenaran hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa praktik pertanian organik berpengaruh positif secara signifikan terhadap keberlanjutan ekonomi petani, dibutuhkan suatu analisis statistik. Analisis statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian tersebut adalah uji Paired Samples T-test dengan didukung oleh program SPSS 17 for Windows. Uji Paired Samples T-test dalam penelitian ini berguna untuk mengetahui tingkat perbedaan keuntungan usahatani sebelum dan sesudah organik pada kelompok eksperimen. Indikator diterima atau ditolaknya hipotesis penelitian secara statistik, tergantung dari besarnya nilai signifikansi dan nilai rata-rata (mean) keuntungan usahatani sebelum dan sesudah organik. Hipotesis penelitian akan diterima jika nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 dan nilai mean keuntungan usahatani sesudah organik lebih tinggi daripada sebelum organik. Setelah melakukan pengolahan data dengan menggunakan program SPSS 17 for Windows, didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,000 dan nilai tersebut lebih kecil
90
dari 0,05. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara keuntungan rata-rata usahatani sebelum dan sesudah organik. Berdasarkan Tabel 30 dan hasil olahan data melalui SPSS 17 for Windows (lampiran), dapat pula diketahui bahwa keuntungan rata-rata usahatani sesudah organik lebih tinggi daripadasebelum organik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa praktik pertanian organik berpengaruh positif secara signifikan terhadap keberlanjutan ekonomi petani yang dapat dilihat dari peningkatan keuntungan usahatani setelah para petani bertani organik. Jadi, hipotesis pertama dari penelitian ini diterima. Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani yang telah terbukti positif, ternyata menjadi alasan utama para petani untuk beralih dari pertanian konvensional menuju pertanian organik. Alasan kedua para petani mau bertani organik selain karena aspek ekonomi, adalah aspek ekologi. Semua responden eksperimen dalam penelitian ini menyatakan bahwa praktik pertanian organik berpengaruh positif terhadap keberlanjutan ekologi. Hal ini dapat dilihat dari perubahan tekstur tanah yang semakin gembur dan tingkat kesuburan tanah yang semakin tinggi setelah bertani organik. Selain itu, kualitas produk pertanian organik ternyata lebih baik daripada kualitas produk pertanian konvensional, misalnya: beras organik terbukti lebih tahan lama dan rasanya lebih enak dengan kandungan nutrisi lebih tinggi daripada beras konvensional. Keuntungan praktik pertanian organik secara ekonomi dan ekologi inilah yang membuat para petani organik masih bertahan untuk terus melanjutkan praktik pertanian organik di Desa Ketapang, meskipun tidak banyak petani yang mengadopsinya. Fakta tersebut diperkuat oleh pernyataan salah satu informan penelitian berinisial Bsr (laki-laki, 61 tahun), sebagai berikut:
“Kami mau bertani organik pada mulanya karena menguntungkan secara ekonomi. Biaya produksi lebih murah, harga jual produknya lebih tinggi. Jadi, ya untung Mas. Selain itu, pertanian organik ini bisa menggemburkan tanah, sehingga tanah lebih subur daripada pas dulu saat saya dan beberapa teman masih menjalankan pertanian non organik. Penggunaan pupuk sintetik yang berlebihan ternyata membuat tanah kering, pecah-pecah dan lama-lama nggak subur lagi. Saya bilangnya pupuk sintetik lo ya, bukan pupuk kimia soalnya semua pupuk, baik organik atau non organik kan mengandung bahan-bahan kimia. Terus, saya bertani organik juga karena alasan kesehatan. Beras organik dan lahan
91
organik kan lebih sehat Mas, soalnya nggak tercemar racun, daripada yang pertanian non organik. Memang susah sih bertani organik itu banyak sekali kendalanya, tapi saya masih mau bertahan karena beberapa keuntungan tadi dan peluang pasar organik masih terbuka lebar.”
BAB VI ANALISIS KOMPLEKSITAS PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK DAN KONVENSIONAL MENURUT PERSEPSI PETANI Praktik pertanian organik secara umum, tidak jauh berbeda dengan praktik pertanian konvensional. Namun, ada beberapa variabel yang menjadi perhatian utama apakah sistem pertanian tersebut dikategorikan sebagai pertanian organik atau bukan, yaitu: 1)
Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama ≥ 3 tahun.
2)
Menggunakan pupuk organik.
3)
Menggunakan bibit padi varietas lokal.
4)
Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida organik.
5)
Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari pertanian konvensional. Beberapa variabel di atas merupakan variabel sensitif yang telah banyak
disyaratkan dalam pertanian organik dan telah dilaksanakan oleh para petani organik di Desa Ketapang. Sementara itu, praktik pertanian konvensional merupakan kebalikan dari praktik pertanian organik. Jadi, beberapa variabel sensitif dari praktik pertanian konvensional yang dapat dibandingkan tingkat kompleksitasnya dengan praktik pertanian organik, antara lain: 1)
Lahan pertanian tidak perlu dikonversi menjadi lahan organik dan tetap diberikan input bahan-bahan kimia sintetik.
2)
Menggunakan pupuk kimia sintetik.
3)
Menggunakan bibit padi varietas hibrida (bibit unggul).
4)
Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida kimia sintetik.
5)
Lahan dan sumber air irigasi tidak dipisahkan dari sistem pertanian lainnya. Praktik pertanian organik harus saling terintegrasi antara satu dengan
lainnya selama proses bertani dalam satu musim. Praktik ini dimulai dari penyiapan lahan sebelum padi ditanam hingga pasca panen, yang meliputi:
93
1)
Pembajakan dengan menggunakan kerbau atau traktor yang diikuti dengan penyebaran pupuk organik basah berupa granul (pupuk kandang hasil fermentasi dan penggilingan) atau pupuk hijau berupa daun-daunan yang dibenamkan ke dalam tanah. Pembajakan dengan menggunakan dua ekor kerbau, biasanya membutuhkan waktu kurang lebih dua hari. Setelah tanah dibajak, tanah dibiarkan terdedah tanpa perlakuan agar gembur.
2)
Perataan tanah dengan menggunakan kerbau atau traktor. Perataan tanah biasanya membutuhkan dua ekor kerbau dan dapat diselesaikan sekitar satu hari.
3)
Pencangkulan tanah yang melibatkan petani secara langsung. Cangkul yang digunakan harus terbebas dari bahan-bahan kimia sintetik. Jika tidak, maka cangkul harus dicuci atau dibersihkan terlebih dahulu sampai steril atau higienis.
4)
Penanaman padi atau seringkali disebut “tandur” oleh petani di Desa Ketapang. Penanaman padi ini, melibatkan petani perempuan hingga masa tanam selesai.
5)
Pemupukan dengan menggunakan pupuk organik yang terdiri dari: pupuk kandang kering dan pupuk cair (terbuat dari urine hewan ternak atau urine manusia). Pupuk cair disemprotkan ke bagian daun hingga batang tanaman padi sebanyak empat sampai lima kali.
6)
Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menyemprotkan pestisida organik ke bagian daun hingga batang tanaman padi.
7)
Penyiangan dan pembersihan galengan. Proses penyiangan (maton) dimanfaatkan oleh petani untuk mendapatkan pupuk hijau tambahan dengan cara membenamkan sisa-sisa rumput atau daun-daunan yang telah dicabuti ke dalam tanah.
8)
Pemanenan padi yang mengikutsertakan petani laki-laki dan perempuan. Semua hasil panen dalam bentuk gabah basah harus disimpan ke dalam tempat atau wadah yang terbebas dari bahan kimia sintetik.
9)
Penjemuran padi untuk menghasilkan gabah kering yang siap digiling ke tempat penggilingan atau selepan. Jika padi dibawa ke tempat penggilingan, maka gudang tempat penyimpanan padi dan semua lingkungan penggilingan
94
harus terbebas dari bahan kimia sintetik. Oleh karena itu, penyemprotan pestisida sintetik di dalam gudang atau tempat penggilingan, dilarang keras. 10) Penggilingan padi yang dilakukan jika petani ingin menjual hasil panennya dalam bentuk beras. 11) Pengemasan padi dalam bentuk beras yang biasanya dilakukan di sekretariat Paguyuban Petani Al-Barokah. Pengemasan ini bertujuan untuk menambah nilai jual beras organik kepada konsumen. Pengemasan juga harus dilakukan secara hati-hati agar tidak tercemar bahan-bahan kimia sintetik. Semua proses bertani dalam sistem usahatani organik yang telah disebutkan di atas, sebenarnya sama dengan proses bertani dalam sistem usahatani konvensional. Namun, praktik pertanian organik membutuhkan ketelitian dan kerja keras yang lebih besar daripada praktik pertanian konvensional untuk menjaga agar lahan pertanian dan lingkungan sekitar sistem usahatani tersebut, tidak tercemar oleh bahan-bahan kimia sintetik. Selain itu, masa panen pertanian organik juga lebih lama daripada pertanian konvensional. Hal ini terjadi karena menurut penuturan salah satu informan penelitian, yaitu Bapak Msl (laki-laki, 55 tahun), pertanian organik mensyaratkan penggunaan bibit padi varietas lokal yang masa berbuahnya lebih lama daripada bibit padi hibrida. Selisih masa panen antara pertanian organik dengan konvensional adalah lima belas hari dan dalam waktu dua tahun, pertanian organik mampu panen sebanyak lima kali, sedangkan pertanian konvensional dalam waktu dua tahun bisa panen lebih dari lima kali. Pola tanam dalam sistem pertanian organik sama dengan pola tanam dalam sistem pertanian konvensional. Petani tidak merasakan perbedaan yang nyata mengenai pola tanam antara sebelum dan sesudah bertani organik. Tanaman budidaya yang ditanam sepanjang tahun oleh petani adalah padi sawah, kecuali beberapa petani yang memiliki lahan kering. Petani yang memiliki lahan kering, biasanya menanam tanaman palawija atau kacang-kacangan selain padi (Tabel 26). Beberapa tahun yang lalu, ketika musim hujan dan kemarau masih bisa diprediksi, mayoritas petani mulai bercocok tanam pada bulan Maret hingga masa panen tiba pada bulan Juni dan seterusnya. Suatu sistem usahatani konvensional membutuhkan waktu sekitar 105 hari untuk menghasilkan panen padi dalam satu musim. Sistem usahatani organik pada umumnya membutuhkan waktu sekitar 120
95
hari (15 hari lebih lama) untuk menghasilkan panen padi dalam satu musim. Saat ini, petani sudah tidak mampu memprediksi kapan datangnya musim hujan atau kemarau akibat anomali iklim, sehingga mereka mulai bercocok tanam pada bulan apapun. Jadi, tidak ada lagi ketentuan khusus mengenai kapan petani harus mulai bercocok tanam hingga panen. Analisis kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi petani dilakukan untuk mengetahui perbandingan tingkat kompleksitas dari kedua praktik pertanian tersebut. Analisis ini diperoleh setelah petani menilai sendiri sampai sejauh mana tingkat kompleksitas masing-masing variabel praktik pertanian organik dan konvensional yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya berdasarkan persepsi mereka. Semua responden sama-sama diminta untuk membandingkan tingkat kompleksitas masing-masing variabel praktik pertanian organik dan konvensional dengan kategori nilai yang telah ditentukan oleh penulis (Tabel 6). Data hasil penilaian tersebut, selanjutnya diolah dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS 17 for Windows melalui uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil pengolahan dan analisis data kemudian menjadi dasar diterima tidaknya hipotesis kedua dari penelitian ini yang menyatakan bahwa tingkat kompleksitas praktik pertanian organik diduga lebih tinggi secara signifikan daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani. Hipotesis penelitian akan ditolak jika nilai signifikansi semua variabel praktik pertanian yang dinilai oleh petani mayoritas lebih besar dari 0,05 dan nilai rataan (mean) kelima variabel praktik pertanian organik mayoritas lebih kecil daripada nilai rataan (mean) kelima variabel praktik pertanian konvensional. Sebaliknya, hipotesis penelitian akan diterima jika nilai signifikansi semua variabel praktik pertanian yang dinilai oleh petani mayoritas lebih kecil dari 0,05 dan nilai rataan (mean) kelima variabel praktik pertanian organik mayoritas lebih besar daripada nilai rataan (mean) kelima variabel praktik pertanian konvensional. Penjelasan lebih lengkap mengenai hasil analisis kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi petani, dijelaskan dalam sub bab tersendiri berdasarkan kelompok responden (eksperimen dan kontrol).
96
6.1. Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi Kelompok Petani Organik (Responden Eksperimen) Gambar 2 berisi informasi mengenai nilai rataan (mean) tingkat kompleksitas masing-masing variabel praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi kelompok petani organik: Gambar 2. Perbandingan Nilai Rataan (Mean) Tingkat Kompleksitas Variabel Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Sumber: Data Primer Diolah Keterangan: Variabel Praktik Pertanian Organik (diagram warna biru): v1 = Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama ≥ 3 tahun v2 = Menggunakan pupuk organik v3 = Menggunakan bibit padi varietas lokal v4 = Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida organik v5 = Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari pertanian konvensional Variabel Praktik Pertanian Konvensional (diagram warna hijau): v1 = Lahan pertanian tidak perlu dikonversi menjadi lahan organik dan tetap diberikan input bahan-bahan kimia sintetik v2 = Menggunakan pupuk kimia sintetik v3 = Menggunakan bibit padi varietas hibrida (bibit unggul) v4 = Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida kimia sintetik v5 = Lahan dan sumber air irigasi tidak dipisahkan dari sistem pertanian lainnya
97
Berdasarkan Gambar 2, diketahui bahwa nilai rata-rata tingkat kompleksitas semua variabel praktik pertanian organik (v1-v5) lebih besar daripada nilai ratarata tingkat kompleksitas semua variabel praktik pertanian konvensional (v1-v5). Hal ini berarti, menurut penilaian kelompok petani organik, praktik pertanian organik dirasakan lebih kompleks atau lebih sulit daripada praktik pertanian konvensional. Namun, keputusan untuk menerima atau menolak hipotesis penelitian masih ditentukan oleh nilai signifikansi tingkat kompleksitas pada masing-masing variabel praktik pertanian (v1-v5). Nilai signifikansi berguna untuk menunjukkan ada tidaknya perbedaan nyata antara tingkat kompleksitas masing-masing variabel praktik pertanian organik dan konvensional secara statistik. Nilai signifikansi tingkat kompleksitas untuk masing-masing variabel praktik pertanian hasil dari perhitungan uji Kolmogorov-Smirnov dengan menggunakan program SPSS 17 for Windows disajikan dalam Tabel 32. Tabel 32. Nilai Signifikansi Tingkat Kompleksitas Masing-masing Variabel Praktik Pertanian menurut Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 Variabel Praktik Pertanian
Nilai Signifikansi n = 14
v1
0,000
v2
0,334
v3
0,905
v4
0,905
v5
0,000
Sumber: Data Primer Diolah
Berdasarkan Tabel 32, dapat diketahui bahwa variabel 1 (v1) dan variabel 5 (v5) memiliki nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, yaitu 0,000. Hal ini berarti, terdapat perbedaan nyata antara tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional dalam hal praktik dan masa konversi lahan dari non organik menjadi organik (variabel 1) serta praktik pemisahan lahan dan sumber irigasi pertanian organik dari pertanian konvensional (variabel 5). Fakta tersebut diperkuat oleh Gambar 2 yang menunjukkan lebih besarnya nilai mean tingkat kompleksitas variabel 1 dan variabel 5 praktik pertanian organik dibandingkan praktik pertanian konvensional. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tingkat kompleksitas praktik pertanian organik terbukti lebih tinggi secara signifikan
98
daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi kelompok petani organik berdasarkan variabel 1 dan variabel 5. Tingkat kompleksitas untuk variabel praktik pertanian lainnya selain variabel 1 dan variabel 5 (v2-v4), memiliki nilai signifikansi lebih lebih besar dari 0,05 (Tabel 32). Hal ini berarti tidak ada perbedaan tingkat kompleksitas yang signifikan antara praktik pertanian organik dan konvensional berdasarkan variabel 2, variabel 3, dan variabel 4. Padahal, berdasarkan Gambar 2, terlihat jelas adanya perbedaan nilai mean tingkat kompleksitas yang cukup nyata pada variabel 2 hingga variabel 4 antara praktik pertanian organik dan konvensional. Namun, penarikan kesimpulan atas diterima tidaknya hipotesis penelitian tetap dilihat berdasarkan nilai signifikansi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kompleksitas secara signifikan antara praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi kelompok petani organik berdasarkan variabel 2, variabel 3, dan variabel 4. Hasil analisis statistik yang telah dijelaskan pada paragraf di atas, telah memperlihatkan bahwa praktik pertanian organik terbukti lebih kompleks atau lebih sulit secara signifikan daripada praktik pertanian konvensional hanya pada variabel 1 dan variabel 5. Sementara itu, perbandingan tingkat kompleksitas tiga variabel lainnya antara praktik pertanian organik dan konvensional, tidak berbeda secara signifikan. Berdasarkan hal tersebut, maka kesimpulan umum atas hipotesis penelitian kedua yang menyatakan bahwa tingkat kompleksitas praktik pertanian organik diduga lebih tinggi secara signifikan daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani, adalah ditolak. Jadi, tidak ada perbedaan tingkat kompleksitas secara signifikan antara praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi kelompok petani organik. Penjelasan lebih lanjut mengenai alasan para petani organik (responden eksperimen) menerima dan menolak hipotesis penelitian kedua berdasarkan setiap variabel praktik pertanian, adalah sebagai berikut: 1)
Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama ≥ 3 tahun (variabel 1) dinilai membutuhkan waktu yang sangat lama dan cenderung lebih sulit dilakukan daripada praktik pengolahan lahan pada pertanian konvensional. Jadi, petani
99
harus sabar menunggu hingga lahan pertanian dan hasil panennya bisa disebut organik. Oleh karena itu, hipotesis kedua dari penelitian ini diterima berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 1. 2)
Menggunakan pupuk organik (variabel 2) dinilai tidak sulit oleh para petani organik karena mereka sudah terbiasa membuat pupuk organik sendiri dan ketersediaan pupuk organik juga sangat melimpah di lingkungan sekitar mereka. Hal terpenting bagi petani organik adalah ulet dan sabar karena pupuk organik berbeda dengan pupuk kimia sintetik yang sudah siap pakai. Oleh karena itu, petani organik menganggap bahwa praktik menggunakan pupuk organik tidak lebih sulit dari praktik menggunakan pupuk kimia sintetik. Jadi, hipotesis kedua dari penelitian ini ditolak berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 2.
3)
Menggunakan bibit padi varietas lokal (variabel 3) dinilai mudah dan tidak ada perbedaan tingkat kompleksitas jika dibandingkan dengan praktik menggunakan bibit padi varietas hibrida pada pertanian konvensional. Hal ini disebabkan karena harga bibit padi varietas lokal hampir sama dengan varietas hibrida. Kalaupun harganya berbeda, selisih harga antara bibit padi varietas lokal dan hibrida tidak besar. Selain itu, secara teknis penanaman bibit padi varietas lokal sama dengan varietas hibrida. Oleh karena itu, hipotesis kedua dari penelitian ini ditolak berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 3.
4)
Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida organik (variabel 4) ternyata tidak lebih sulit daripada pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida kimia sintetik. Menurut petani, penggunaan pestisida baik pada saat sebelum maupun sesudah organik, sangat jarang dilakukan jika tidak ada serangan hama yang menakutkan. Selain itu, cara membuat pestisida organik pun dianggap sederhana oleh petani organik karena mereka sudah terbiasa memanfaatkan sumber daya nabati di sekitar lingkungan. Oleh karena itu, hipotesis kedua dari penelitian ini ditolak berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 4.
5)
Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari pertanian konvensional (variabel 5) dinilai lebih sulit daripada lahan dan
100
sumber air irigasi untuk pertanian konvensional yang tidak harus dipisahkan dengan sistem pertanian lainnya. Petani mengaku kesulitan untuk menghindari pencemaran bahan kimia sintetik dari lahan maupun sumber air irigasi di sekitar mereka karena terlalu banyak lahan-lahan pertanian dan sumber air irigasi untuk pertanian konvensional. Jadi, pertanian organik membutuhkan perlakuan yang sangat hati-hati dan harus terisolasi dari pencemaran bahan-bahan kimia sintetik, sehingga hipotesis kedua dari penelitian ini diterima berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 5. Penolakan atas hipotesis kedua dari penelitian ini yang diuji pada kelompok petani organik diperkuat oleh pernyataan salah satu informan penelitian, seperti di bawah ini:
“Menurut saya, praktik pertanian organik tidak sulit kok kalau dibandingkan dengan praktik pertanian yang non organik. Sebenarnya, secara umum praktiknya hampir sama tetapi pertanian organik ini kan harus terbebas dari bahan-bahan kimia sintetik jadi kita harus memperlakukannya dengan sangat hati-hati, mulai dari penggunaan pupuknya, pestisida, bibit, sumber irigasi, dan lain-lain. Praktik pertanian organik malah bisa saya katakan jauh lebih mudah daripada non organik karena saya sudah terbiasa berorganik mulai tahun 1998. Selain itu, biaya produksinya juga lebih murah dan menguntungkan secara ekonomis. Cuma, petani-petani di sini saja yang kurang rekoso istilahnya, opo males ngono lo Mas, kurang telaten.” (Mst, lakilaki, 43 tahun). 6.2. Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi Kelompok Petani Konvensional (Responden Kontrol) Analisis kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi kelompok petani konvensional, bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dibandingkan praktik pertanian konvensional menurut persepsi kelompok petani konvensional. Kesimpulan atas diterima atau ditolaknya hipotesis penelitian berdasarkan nilai signifikansi yang merupakan hasil perhitungan statistik dari uji KolmogorovSmirnov dengan menggunakan program SPSS 17 for Windows. Selain itu, untuk memperkuat kecenderungan mengenai manakah praktik pertanian yang tingkat kompleksitasnya lebih tinggi, maka penulis juga menyajikan perbandingan nilai
101
mean tingkat kompleksitas masing-masing variabel praktik pertanian organik dan konvensional dalam Gambar 3. Gambar 3. Perbandingan Nilai Rataan (Mean) Tingkat Kompleksitas Variabel Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi Kelompok Petani Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Sumber: Data Primer Diolah Keterangan: Variabel Praktik Pertanian Organik (diagram warna biru): v1 = Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama ≥ 3 tahun v2 = Menggunakan pupuk organik v3 = Menggunakan bibit padi varietas lokal v4 = Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida organik v5 = Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari pertanian konvensional Variabel Praktik Pertanian Konvensional (diagram warna hijau): v1 = Lahan pertanian tidak perlu dikonversi menjadi lahan organik dan tetap diberikan input bahan-bahan kimia sintetik v2 = Menggunakan pupuk kimia sintetik v3 = Menggunakan bibit padi varietas hibrida (bibit unggul) v4 = Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida kimia sintetik v5 = Lahan dan sumber air irigasi tidak dipisahkan dari sistem pertanian lainnya
Berdasarkan Gambar 3, dapat diketahui bahwa nilai mean tingkat kompleksitas semua variabel praktik pertanian organik lebih besar daripada praktik pertanian konvensional. Hal ini berarti, tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dinilai lebih tinggi daripada praktik pertanian konvensional oleh
102
responden kontrol. Selisih nilai mean terbesar antara praktik pertanian organik dan konvensional, berada pada variabel 1 dan variabel 5. Jadi, variabel 1 dan variabel 5 dianggap oleh petani sebagai variabel praktik pertanian organik yang tingkat kompleksitasnya paling tinggi dibandingkan variabel lainnya. Meskipun demikian, fakta ini masih belum dapat membuktikan kebenaran hipotesis penelitian kedua karena harus melihat nilai signifikansi tingkat kompleksitas masing-masing variabel praktik pertanian terlebih dahulu, seperti yang tercantum di dalam Tabel 33. Tabel 33. Nilai Signifikansi Tingkat Kompleksitas Masing-masing Variabel Praktik Pertanian menurut Kelompok Petani Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 Variabel Praktik Pertanian
Nilai Signifikansi n = 14
v1
0,000
v2
0,000
v3
0,000
v4
0,000
v5
0,000
Sumber: Data Primer Diolah
Nilai signifikansi tingkat kompleksitas semua variabel praktik pertanian seperti yang ditampilkan di dalam Tabel 33 adalah sama, yaitu 0,000 dan nilai ini kurang dari 0,05. Berdasarkan nilai signifikansi tersebut, maka dapat dianalisis bahwa terdapat perbedaan tingkat kompleksitas yang signifikan antara praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi petani konvensional. Hasil analisis ini diperkuat oleh perbedaan nyata nilai mean tingkat kompleksitas antara masing-masing variabel praktik pertanian organik dan konvensional (Gambar 3). Nilai mean tingkat kompleksitas semua variabel praktik pertanian organik lebih tinggi daripada semua variabel praktik pertanian konvensional. Setelah mengetahui hasil analisis statistik di atas, maka kesimpulan umum atas hipotesis kedua dari penelitian ini yang menyatakan bahwa tingkat kompleksitas praktik pertanian organik diduga lebih tinggi secara signifikan daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani, adalah diterima. Jadi, sudah jelas terbukti bahwa tingkat kompleksitas praktik pertanian organik lebih tinggi secara
103
signifikan daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi kelompok petani konvensional. Penjelasan lebih lanjut mengenai alasan para petani konvensional (responden kontrol) menerima hipotesis penelitian kedua berdasarkan setiap variabel praktik pertanian, adalah sebagai berikut: 1)
Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama ≥ 3 tahun (variabel 1) dinilai membutuhkan waktu yang sangat lama dan cenderung lebih sulit dilakukan daripada praktik pengolahan lahan pada pertanian konvensional. Jadi, petani harus sabar menunggu hingga lahan pertanian dan hasil panennya bisa disebut
organik.
Sebaliknya,
praktik
pertanian
konvensional
tidak
mensyaratkan adanya perlakuan terhadap lahan seperti ini. Oleh karena itu, hipotesis kedua dari penelitian ini diterima berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 1. 2)
Menggunakan pupuk organik (variabel 2) dinilai oleh para petani konvensional lebih sulit daripada menggunakan pupuk kimia sintetik. Pupuk organik yang biasanya digunakan di dalam pertanian organik, adalah: pupuk kandang, pupuk cair, pupuk kompos dan pupuk hijau. Petani konvensional merasa kesulitan untuk membuat pupuk organik yang membutuhkan waktu tertentu agar bisa siap digunakan ke lahan. Selain itu, pertanian organik juga membutuhkan pasokan pupuk organik yang tidak sedikit, yaitu sekitar 2,5 ton untuk satu hektar lahan pertanian. Jumlah kebutuhan pupuk organik ini sepuluh kali lipat lebih banyak daripada kebutuhan pupuk kimia sintetik pada pertanian konvensional. Oleh karena itu, transportasi pupuk organik menuju sawah petani sangat sulit dilakukan akibat terlalu beratnya pupuk yang harus diangkut dan sulitnya akses jalan menuju sawah (jalan becek, sempit dan jauh). Jadi, hipotesis kedua dari penelitian ini diterima berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 2.
3)
Menggunakan bibit padi varietas lokal (variabel 3) sebenarnya mudah dan tidak ada perbedaan tingkat kompleksitas jika dibandingkan dengan praktik menggunakan bibit padi varietas hibrida pada pertanian konvensional. Namun, menurut petani konvensional, penggunaan bibit padi varietas lokal
104
lebih sulit daripada varietas hibrida karena harga bibit padi varietas lokal lebih mahal dibandingkan dengan varietas hibrida. Harga satu kilogram bibit padi varietas lokal bisa mencapai Rp. 6.000,00, sedangkan harga bibit padi varietas hibrida per kilogramnya adalah Rp. 5.000,00. Oleh karena itu, hipotesis kedua dari penelitian ini diterima berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 3. 4)
Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida organik (variabel 4) ternyata lebih sulit daripada pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida kimia sintetik. Menurut petani konvensional, dibutuhkan kesabaran dan keuletan dalam membuat pestisida organik yang memanfaatkan sumber daya nabati di sekitar lingkungan. Petani konvensional lebih memilih menggunakan pestisida kimia sintetik yang sudah siap pakai, lebih praktis, dan jumlah pemakaiannya pun tidak banyak dalam satu musim. Oleh karena itu, hipotesis kedua dari penelitian ini diterima berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 4.
5)
Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari pertanian konvensional (variabel 5) dinilai lebih sulit daripada lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian konvensional yang tidak harus dipisahkan dengan sistem pertanian lainnya. Petani mengaku kesulitan untuk menghindari pencemaran bahan kimia sintetik dari lahan maupun sumber air irigasi di sekitar mereka karena terlalu banyak lahan-lahan pertanian konvensional. Hal ini akan lebih sulit lagi jika jarak sumber air irigasi sangat jauh dari sawah petani. Jadi, pertanian organik membutuhkan perlakuan yang sangat hati-hati dan harus terisolasi dari pencemaran bahan-bahan kimia sintetik, sehingga hipotesis kedua dari penelitian ini diterima berdasarkan tingkat kompleksitas variabel 5.
Kebenaran atas hipotesis kedua dari penelitian ini, diperkuat oleh pernyataan salah satu responden penelitian, seperti di bawah ini: “Saya nggak bertani organik soalnya lebih susah dibandingkan pertanian yang biasa. Bertani organik itu butuh tenaga lebih besar. Saya sudah ndak ada tenaga untuk ngangkut pupuk rabuk ke sawah yang kadang jalannya becek, mboten saget dilewati kendaraan niku lo. Dadi ngge males Mas kulo.” (Suy, perempuan, 55 tahun).
BAB VII ANALISIS KEBERLANJUTAN PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK DI KALANGAN PETANI Keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani dapat dianalisis menurut aspek ekonomi dan tingkat kompleksitas praktiknya. Berdasarkan hasil pembahasan Bab V, telah terbukti bahwa praktik pertanian organik berpengaruh positif terhadap keberlanjutan ekonomi petani. Selain aspek ekonomi, keberlanjutan praktik pertanian organik juga didukung oleh potensi pertanian lokal atau ketersediaan sumber daya alam yang memungkinkan petani untuk bertani organik. Desa Ketapang masih memiliki lahan pertanian yang luas (Tabel 8) dengan mayoritas mata pencaharian penduduknya sebagai petani (Tabel 11), sehingga masih ada kemungkinan untuk terus mengembangkan praktik pertanian organik di desa ini. Ketersediaan pupuk kandang juga cukup besar di Desa Ketapang yang terbukti dari tingginya kepemilikan hewan ternak di kalangan petani (Tabel 24). Para petani di Desa Ketapang, sebagian besar sudah menggunakan kombinasi antara pupuk organik (pupuk kandang) dan pupuk kimia sintetik, meskipun masih belum bisa bertani organik secara penuh. Mereka menyebut dirinya sebagai petani semi organik. Pengaruh positif praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani dan besarnya potensi sumber daya alam yang mendukung praktik pertanian organik di Desa Ketapang, seharusnya bisa membuat pertanian organik lebih berkembang di kalangan petani. Namun, tidak demikian kenyataannya. Praktik pertanian organik justru cenderung dihindari oleh para petani di Desa Ketapang. Hal ini terlihat dari lebih banyaknya jumlah petani konvensional daripada jumlah petani organik di Desa ini. Perbandingan jumlah responden kontrol dengan responden eksperimen yang cukup jauh (65:14) dalam penelitian ini sudah membuktikan bahwa praktik pertanian organik kurang berkembang. Alasan utama mengapa praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh petani di Desa Ketapang, adalah karena praktik pertanian organik tingkat kompleksitasnya lebih tinggi daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani khususnya kelompok petani konvensional. Hal ini sudah
106
dibuktikan melalui analisis kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi petani pada Bab VI. Faktor lain yang kemungkinan besar mempengaruhi pengambilan keputusan para petani untuk mengadopsi praktik pertanian organik atau tidak adalah karakteristik sosial ekonomi petani. Karakteristik sosial ekonomi petani merupakan variabel anteseden dalam penelitian ini yang sudah melekat pada diri petani sebelum pertanian organik mulai diperkenalkan di Desa Ketapang. Karakteristik sosial ekonomi petani yang dianalisis dalam penelitian ini, meliputi: tingkat pendidikan, status petani dan kepemilikan ternak. Berdasarkan Tabel 20, diketahui bahwa persentase jumlah petani organik yang memiliki tingkat pendidikan sedang hingga tinggi (lulus SMP/sederajat hingga sarjana) lebih besar daripada petani konvensional. Ada 42,8 persen petani organik dengan tingkat pendidikan lulus SMP/sederajat hingga sarjana dari jumlah total petani organik yang menjadi responden eksperimen penelitian ini, yaitu sebanyak empat belas orang. Sementara itu, persentase jumlah petani konvensional dengan tingkat pendidikan lulus SMP/sederajat hingga sarjana hanya 16,9 persen dari jumlah total petani konvensional yang menjadi responden kontrol penelitian ini, yaitu sebanyak 65 orang. Lebih tingginya persentase jumlah petani organik yang memiliki tingkat pendidikan sedang hingga tinggi dibandingkan petani konvensional, menjadi bukti nyata pengaruh tingkat pendidikan terhadap proses pengambilan keputusan atas praktik pertanian organik. Petani yang berpendidikan lebih tinggi dibandingkan petani lainnya, cenderung lebih mudah mengadopsi suatu inovasi seperti praktik pertanian organik. Petani konvensional masih tetap tidak mau mengadopsi pertanian organik karena tingkat pendidikan mereka lebih rendah dibandingkan kelompok petani organik, sehingga daya abstraksi mereka atas manfaat dan masa depan pertanian organik, baik untuk diri mereka sendiri maupun untuk lingkungan, sangat kurang. Hal ini berbeda dengan daya abstraksi atau pola pikir para petani organik yang lebih tinggi dan mampu berpikir secara jangka panjang mengenai manfaaat pertanian organik dari sisi ekonomi maupun ekologi. Oleh karena itu, para petani organik mengambil keputusan untuk mengadopsi praktik pertanian organik secara berkelanjutan.
107
Status petani seperti yang telah dijelaskan pada Bab IV adalah status kepemilikan petani terhadap lahan pertanian. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat tiga jenis status petani atas kepemilikan lahan pertanian, yaitu: petani pemilik lahan, petani penggarap atau buruh tani dan petani berstatus ganda (pemilik dan penggarap). Berdasarkan Tabel 23, ada 21,4 persen petani organik yang berstatus sebagai petani penggarap, sehingga 78,6 persen sisanya dari jumlah total responden eksperimen adalah petani organik yang memiliki lahan sendiri. Hal ini berbeda dengan persentase jumlah petani konvensional yang berstatus sebagai petani penggarap, yaitu sebesar 40 persen, sehingga ada 60 persen petani konvensional yang memiliki lahan pertanian sendiri dari jumlah total responden kontrol. Persentase kepemilikan lahan pertanian yang lebih tinggi pada kelompok petani organik daripada kelompok petani konvensional, menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi pertanian organik. Petani pemilik lahan cenderung lebih mudah mengadopsi pertanian organik dibandingkan petani penggarap karena resiko atas kegagalan atau periode panen yang lebih lama pada usahatani, bisa ditanggung sendiri tanpa merugikan pihak lain. Sebaliknya, petani penggarap jarang mau mengambil resiko atas kegagalan usahatani atau jarang mau bekerja keras mengkonversi lahan non organik menjadi organik karena merasa lahan pertanian tersebut bukan miliknya. Petani penggarap sebagian besar mengejar target panen yang diberikan oleh pemilik lahan. Mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menghasilkan panen sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka salah satu cara termudah yang bisa dilakukan oleh petani penggarap adalah bertani konvensional, karena sistem pertanian organik membutuhkan waktu panen lebih lama dan tingkat produktivitasnya pun lebih rendah daripada sistem pertanian konvensional, apalagi pada masa-masa awal bertani organik. Praktik pertanian organik yang mensyaratkan penggunaan pupuk organik, seperti pupuk kandang dan pupuk cair dari urine hewan ternak, membuat keberadaan hewan ternak di lingkungan petani menjadi sangat penting. Oleh karena itu, tingkat kepemilikan ternak di kalangan petani perlu dianalisis karena berpengaruh terhadap ketersediaan pupuk organik, sehingga berpengaruh pula
108
terhadap pengambilan keputusan petani untuk mengadopsi pertanian organik atau tidak. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 14,3 persen petani organik yang tidak mempunyai hewan ternak dan berarti ada 85,7 persen petani organik yang memiliki hewan ternak dari jumlah total responden eksperimen (Tabel 24). Sebagai perbandingan, persentase jumlah petani konvensional yang tidak memiliki hewan ternak adalah sebesar 46,2 persen dari jumlah total responden kontrol. Jadi, ada 53,8 persen petani konvensional yang memiliki hewan ternak dari jumlah total responden kontrol dan persentase tersebut, lebih rendah daripada persentase jumlah petani organik yang memiliki hewan ternak (Tabel 24). Persentase kepemilikan hewan ternak yang lebih tinggi pada kelompok petani organik daripada kelompok petani konvensional, mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap praktik pertanian organik. Para petani organik tidak ragu dalam mengadopsi pertanian organik karena mereka memiliki ketersediaan pupuk kandang yang lebih besar daripada petani konvensional berdasarkan tingkat kepemilikan ternak. Kelompok petani konvensional seringkali masih ragu apakah akan mengadopsi praktik pertanian organik atau tidak, karena mereka tidak yakin dapat menyediakan pupuk kandang dan pupuk cair sendiri dalam jumlah yang cukup besar untuk kebutuhan lahan pertanian mereka. Oleh karena itu, hingga saat ini belum banyak petani konvensional yang mengadopsi pertanian organik secara penuh di Desa Ketapang. Fakta mengenai pengaruh kepemilikan hewan ternak terhadap proses pengambilan keputusan bertani organik di kalangan petani, diperkuat oleh pernyataan salah satu responden penelitian, sebagai berikut: “Saya belum berorganik ya karena nggak punya pupuk kandang dan nggak punya ternak juga. Jadi, mau gimana lagi.” (Mur, perempuan, 70 tahun). Penjelasan semua paragraf sebelumnya mengenai faktor-faktor pengaruh atau penyebab mengapa banyak petani belum mengadopsi pertanian organik, ternyata sesuai dengan hipotesis pengarah penelitian ini yang menyatakan bahwa praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh para petani karena diduga memiliki tingkat kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan praktik pertanian konvensional dan dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi petani. Hipotesis pengarah tersebut, terus berkembang selama penelitian berlangsung secara kualitatif dan penulis menemukan beberapa alasan lain yang menyebabkan petani
109
tidak banyak mengadopsi praktik pertanian organik di Desa Ketapang, seperti yang dijelaskan sebagai berikut: 1)
Pola pikir petani yang masih pragmatis dan menganggap praktik pertanian organik lebih sulit daripada praktik pertanian konvensional. Padahal, mereka belum mencoba praktik pertanian organik terlebih dahulu. Para petani sudah terbiasa bertani secara instan melalui pertanian konvensional dan tidak mau bersusah payah untuk bertani organik, sehingga ketergantungan mereka masih tinggi terhadap bantuan pemerintah, khususnya subsidi pupuk kimia sintetik. Selain itu, rendahnya kesadaran para petani terhadap kelestarian lingkungan juga sangat menghambat perkembangan pertanian organik di Desa Ketapang. Salah satu informan penelitian, yaitu Bapak Msl (laki-laki, 55 tahun) menambahkan:
“Ya itulah susahnya mengajak para petani untuk berorganik, padahal kita sudah berusaha keras. Al-Barokah juga sudah mempunyai beberapa fasilitas yang mendukung, tapi tetap saja tidak banyak petani yang mau berorganik. Pola pikir mereka masih belum berubah dan ndak mau rekoso karena terbiasa manja atau serba instan ketika revolusi hijau mulai masuk hingga saat ini. Mereka tidak mikir masa depan untuk anak cucu kita yang juga ingin menikmati kondisi lahan pertanian yang baik. Saya bertani organik ini, karena jihad agar lingkungan tetap lestari, kesehatan tetap terjaga, dan anak cucu kita masih dapat menikmati kekayaan sumber daya alam ini dengan layak.” 2)
Petani tidak puas jika hanya menggunakan pupuk organik karena warna hijau daun tanaman padi kurang terlihat. Oleh karena itu, banyak petani yang enggan meninggalkan pertanian konvensional dan terus memupuk tanaman padinya dengan pupuk kimia sintetik untuk merangsang pertumbuhan tanaman padi agar warna hijau daunnya terlihat jelas. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu responden penelitian sebagai berikut:
“Saya itu yo mau lo Mas sebenarnya bertani organik karena memang sudah terbukti bagus hasil panennya dan kesuburan tanah tetap terjaga, tapi istri saya katanya masih belum puas sama ijonya daun padi. Jadi, kita sampai saat ini masih semi organik. Kalau cuma dipupuk organik, warna daun padinya kurang ijo, dadi yo kurang lego ndeloke.” (Myd, laki-laki, 44 tahun).
110
3)
Praktik pertanian organik tidak menjamin bebas hama. Petani tidak mau berspekulasi untuk mengadopsi praktik pertanian organik yang secara teknis lebih sulit, karena tidak ada jaminan bebas hama, khususnya hama tikus yang dianggap paling berbahaya. Alasan ini diperkuat oleh kesaksian salah satu responden sebagai berikut:
“Para petani di sini tidak mau bertani organik karena mereka mikir hama itu tetap ada, apalagi tikus yang paling ditakuti warga. Jadi, sama saja, mau bertani organik atau tidak, serangan hama tetap ada dan nggak ada jaminan bebas hama kalau berorganik. Daripada sudah susah-susah bertani organik yang butuh perjuangan lebih tinggi tapi masih saja dirusak tikus, ya mendingan nggak usah sekalian!” (Zuh, laki-laki 36 tahun).
4)
Penggunaan pupuk organik lebih sulit daripada pupuk kimia sintetik. Petani banyak yang mengeluh mengenai sulitnya proses pengangkutan pupuk organik ke lahan pertanian, karena pertanian organik membutuhkan asupan pupuk organik yang sangat banyak. Sementara itu, akses tranportasi menuju pematang sawah sulit dijangkau petani dengan kondisi jalan yang buruk (becek, licin). Proses pembuatan pupuk organik juga membutuhkan keuletan dan waktu tertentu, sehingga tidak jarang petani yang lebih memilih menggunakan pupuk kimia sintetik. Alasan ini diperkuat oleh pernyataan salah satu responden penelitian sebagai berikut:
“Saya belum bertani organik soale gak kuat Mas tenagane gawe ngangkut rabuk kandang nang sawah terus belum lagi kalo jalanan menuju sawah becek atau rusak. Jadi, jalan di sepanjang pematang itu gak bisa dilewati sepeda utowo kendaraan liyane, jauh lo Mas!” (Sum, perempuan, 55 tahun).
5)
Sebagian petani tidak memiliki pasokan pupuk kandang. Banyak petani konvensional yang masih belum mau bertani organik karena tidak mempunyai hewan ternak di sekitar rumah mereka, sehingga tidak ada persediaan pupuk kandang. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu responden penelitian sebagai berikut: “Saya belum berorganik ya karena
111
nggak punya pupuk kandang dan nggak punya ternak juga. Jadi, mau gimana lagi.” (Mur, perempuan, 70 tahun). 6)
Banyak petani di Desa Ketapang yang berstatus sebagai buruh tani. Tugas buruh tani adalah menggarap lahan pertanian milik orang lain dengan target hasil panen yang maksimal dalam waktu sesingkat-singkatnya. Masa panen pada pertanian organik lebih lama daripada pertanian konvensional. Hal inilah yang menghambat buruh tani untuk bisa mendapatkan hasil panen maksimal dalam waktu singkat, karena mereka harus memenuhi target dari petani pemilik lahan setiap musim. Pernyataan yang sama diutarakan oleh salah satu responden penelitian, sebagai berikut:
“Kebanyakan petani di sini itu kan buruh tani Mas, dan kita harus memenuhi target panen dari pemilik lahan. Kalau bisa, panen secepatnya dengan hasil sebanyak-banyaknya, jadi nggak rugi. Kalau kita berorganik kan lebih lama panennya dan hasil panennya juga belum tentu sebanyak pertanian yang non organik.” (Muh, laki-laki, 40 tahun).
7)
Sumber air irigasi jauh dari lahan pertanian dan kemungkinan besar sudah tercemar oleh air irigasi pada lahan pertanian konvensional lainnya. Petani masih kesulitan memisahkan sumber air irigasi untuk pertanian organik karena banyaknya lahan pertanian konvensional di sekitarnya. Jadi, kemungkinan besar air irigasi tercemar oleh bahan-bahan kimia sintetik dari lahan pertanian konvensional milik tetangga. Salah satu responden penelitian menambahkan:
“Sumber irigasi jauh dari sawah kita jadi nggak mungkin berorganik. Sementara kalau mau berorganik, segala sesuatunya kan harus terjamin, seperti ketersediaan air bersih untuk irigasi. Nah, kalau kayak gini, misalnya kekurangan air atau airnya tercemar bahan kimia dari lahan tetangga, gimana bisa berorganik Mas.” (Mjh, laki-laki, 58 tahun).
8)
Hasil panen pertanian organik jumlahnya lebih sedikit dan kurang memuaskan pada masa awal bertani organik. Banyak responden kontrol yang mengaku tidak sabar menunggu hasil panen maksimal dari pertanian organik.
112
Padahal, tingkat produktivitas lahan organik akan kembali normal seperti lahan konvensional pada umumnya setelah tiga tahun atau lebih. Kenyataan inilah yang membuat para petani tidak mau mengadopsi pertanian organik. Para petani hanya mau memikirkan bagaimana cara mendapatkan hasil panen yang banyak dalam waktu singkat, tanpa melalui sebuah proses panjang. Salah satu responden penelitian menyatakan keberatan hatinya untuk bertani organik, seperti kutipan lisan berikut ini: “Saya malas bertani organik soalnya hasil panennya sedikit, jadi kurang memuaskan. Padahal, saya butuh panen cepat dan banyak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” (Roh, perempuan, 53 tahun). Fakta mengenai tidak banyaknya petani yang menjalankan praktik pertanian organik di Desa Ketapang beserta alasannya, secara otomatis sudah membuktikan bahwa keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani masih rendah berdasarkan tingkat kompleksitas atau tingkat adaptasinya. Praktik pertanian organik dianggap kurang adaptable atau kurang adaptif oleh sebagian besar petani di Desa Ketapang. Padahal, berdasarkan analisis ekonomi dan potensi sumber daya alam di Desa Ketapang, praktik pertanian organik sebenarnya mempunyai prospek yang menjanjikan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, perjuangan untuk mengajak para petani beralih dari pertanian konvensional menuju ke pertanian organik harus terus dilakukan demi tercapainya pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
BAB VIII PENUTUP
8.1. Kesimpulan Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani dapat diketahui melalui analisis perbandingan tingkat input dan output serta finansial
antara
usahatani
organik
dan
konvensional.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jenis dan jumlah input yang digunakan pada usahatani organik dan konvensional. Usahatani organik tidak menggunakan bibit padi varietas hibrida, pupuk kimia sintetik dan pestisida kimia sintetik tetapi menggunakan bibit padi varietas lokal yang jumlahnya hampir sama dengan penggunaan bibit padi varietas hibrida; pupuk organik seperti: pupuk kandang dengan jumlah penggunaan lebih banyak daripada pupuk kimia sintetik, pupuk cair; pestisida nabati; dan HOK yang lebih banyak daripada usahatani konvensional. Usahatani konvensional menggunakan bibit padi varietas hibrida seperti IR 64 dengan jumlah pemakaian rata-rata sebesar 6,3 kg hingga 7,5 kg per 0,24 ha per musim dan input-input kimiawi, seperti pupuk kimia sintetik dengan jenis: Urea, TSP, KCL, PONSKA, SP 36, NPK dan ZA dengan jumlah pemakaian yang bervariasi untuk masing-masing jenis pupuk (Tabel 27 dan Tabel 28). Selain itu, usahatani konvensional juga menggunakan pestisida kimia sintetik dengan jumlah penggunaan rata-rata per 0,24 ha per musim sebesar 3,3 botol menurut responden eksperimen atau 5,7 botol menurut responden kontrol dan jenis yang cukup bervariasi, seperti: Matador, Hamador, Regent, Decis, SPONTAN, dan lain-lain. HOK pada usahatani konvensional lebih kecil daripada usahatani organik dengan selisih sangat tipis. Tingkat output pertanian organik lebih kecil daripada pertanian konvensional dilihat dari hasil panen rata-rata gabah basah per musim dengan selisih output antara kedua sistem usahatani yang sangat tipis. Analisis finansial usahatani menunjukkan bahwa total biaya input produksi rata-rata pada usahatani organik lebih besar daripada usahatani konvensional, karena usahatani organik menghabiskan biaya tenaga kerja kerja dan upah panen yang lebih besar. Kategori
114
biaya input produksi yang paling besar diantara biaya input lainnya pada usahatani organik dan konvensional terletak pada biaya tenaga kerja dan upah panen. Meskipun usahatani organik menghabiskan biaya input produksi rata-rata per musim yang lebih besar daripada usahatani konvensional, tetapi penerimaan usahatani organik jauh lebih besar daripada usahatani konvensional, sehingga keuntungan rata-rata usahatani organik per musim pun lebih besar dibandingkan usahatani konvensional. Lebih besarnya keuntungan rata-rata usahatani organik dibandingkan usahatani konvensional per musim, membuat nilai B/C Rasio usahatani organik jauh lebih besar, yaitu 1,7 daripada B/C Rasio pada usahatani konvensional yang hanya 0,9. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa usahatani organik layak secara ekonomi, sedangkan usahatani konvensional tidak layak secara ekonomi karena nilai B/C Rasionya kurang dari 1. Analisis pengaruh praktik pertanian organik terhadap kerberlanjutan ekonomi petani secara statistik melalui uji Paired Samples T-test dengan menggunakan program SPSS 17 for Windows dilakukan untuk memperkuat analisis finansial usahatani. Berdasarkan perhitungan statistik, didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut kurang dari 0,05 yang berarti, praktik pertanian organik berpengaruh secara signifikan terhadap keberlanjutan ekonomi petani. Pengaruh tersebut bersifat positif karena nilai rataan (mean) keuntungan dan B/C Rasio usahatani sesudah organik lebih besar daripada usahatani sebelum organik. Oleh karena itu, hipotesis pertama penelitian ini yang menyatakan bahwa paktik pertanian organik diduga berpengaruh positif secara signifikan terhadap keberlanjutan ekonomi petani diterima. Analisis kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut kelompok petani organik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional. Hal ini terbukti dari nilai signifikansi hasil uji statistik yang lebih besar dari 0,05 pada tiga variabel dari lima variabel praktik pertanian. Sementara itu, hanya ada dua variabel praktik pertanian yang nilai signifikansinya kurang dari 0,05. Oleh karena itu, hipotesis penelitian kedua yang manyatakan bahwa tingkat kompleksitas praktik pertanian organik diduga lebih tinggi secara signifikan daripada praktik
115
pertanian konvensional menurut persepsi petani tidak berlaku (ditolak) untuk kelompok responden eksperimen. Nilai signifikansi tingkat kompleksitas semua variabel praktik pertanian yang diuji pada kelompok petani konvensional, adalah 0,000 dan nilai ini lebih kecil dari 0,05. Selain itu, nilai mean tingkat kompleksitas semua variabel praktik pertanian organik lebih tinggi daripada praktik pertanian konvensional. Berdasarkan indikator-indikator tersebut, maka hipotesis penelitian kedua yang menyatakan bahwa tingkat kompleksitas praktik pertanian organik diduga lebih tinggi secara signifikan daripada praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani, berlaku (diterima) untuk kelompok responden kontrol. Hipotesis pengarah penelitian ini yang menyatakan bahwa praktik pertanian organik tidak banyak diadopsi oleh para petani karena diduga memiliki tingkat kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan praktik pertanian konvensional dan dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi petani, terbukti benar. Namun, ada beberapa alasan lain yang menyebabkan para petani tidak banyak mengadopsi praktik pertanian organik, antara lain: pola pikir petani yang masih pragmatis dan menganggap praktik pertanian organik lebih sulit daripada praktik pertanian konvensional serta rendahnya kesadaran para petani terhadap kelestarian lingkungan; petani tidak puas jika hanya menggunakan pupuk organik karena warna hijau daun tanaman padi kurang terlihat; praktik pertanian organik tidak menjamin bebas hama; penggunaan pupuk organik lebih sulit daripada pupuk kimia sintetik; sebagian petani tidak memiliki pasokan pupuk kandang; banyak petani di Desa Ketapang yang berstatus sebagai buruh tani, sehingga mereka harus mengejar target hasil panen dari petani pemilik lahan; sumber air irigasi yang bersih jauh dari lahan pertanian dan kemungkinan besar sudah tercemar oleh bahan kimia sintetik dari lahan pertanian konvensional di sekitarnya; hasil panen pertanian organik jumlahnya lebih sedikit dan kurang memuaskan pada masa awal bertani organik. Keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani masih rendah berdasarkan fakta mengenai banyaknya petani yang masih belum mengadopsi praktik pertanian organik dan hasil analisis kompleksitas atau tingkat adaptasi praktiknya. Sebuah sistem pertanian bisa dikatakan berkelanjutan jika telah
116
memenuhi semua kriteria pertanian berkelanjutan dan salah satunya adalah adaptable. Praktik pertanian organik masih belum memenuhi syarat adaptable menurut persepsi petani berdasarkan hasil penelitian ini. Meskipun demikian, masih terdapat kemungkinan lain mengapa praktik pertanian organik belum banyak diadopsi oleh petani, bukan hanya karena tingkat kompleksitas praktik pertanian organik atau faktor-faktor penyebab yang telah dibahas dalam penelitian ini. Kelemahan penelitian ini adalah tidak menganalisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi petani dengan proses pengambilan keputusan adopsi atas praktik pertanian organik melalui uji statistik. Penulis hanya menganalisis hubungan tersebut berdasarkan persentase jumlah petani menurut karakteristik sosial ekonominya, sehingga kajian kurang mendalam. Selain itu, ada beberapa variabel sosiologis, seperti: pengetahuan dan pengalaman bertani, keaktifan petani dalam kelompok tani, dan lain-lain yang mungkin berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi tetapi tidak diteliti oleh penulis. 8.2. Saran Beberapa saran yang dapat direkomendasikan oleh penulis terkait penelitian ini, antara lain: 1)
Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai analisis keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani selain dilihat dari aspek ekonomi dan tingkat kompleksitas praktik pertanian organik, dengan kasus wilayah pertanian lainnya di dataran rendah.
2)
Memperkuat jaringan dan kerjasama antara petani dengan pengusaha, petani dengan pemerintah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan petani. Hubungan ini akan sangat membantu perkembangan pertanian organik.
3)
Meningkatkan akses pasar petani dan memperkuat sistem kontrol internal untuk menjamin keorganikan sistem usahatani yang dijalankan. Para petani organik yang tergabung dalam Paguyuban Petani Al-Barokah dapat menerapkan Participatory Guarantee System (PGS). PGS merupakan sistem sertifikasi yang menekankan partisipasi para pemangku kepentingan. Pada pola PGS, keseluruhan pemangku kepentingan yang terdiri dari: produsen, kelompok tani, konsumen, pendamping, Lembaga Swadaya Masyarakat
117
(LSM), dan distributor terlibat secara aktif untuk membangun dan memberdayakan diri dalam proses produksi, pemasaran atau distribusi sesuai sistem pangan organik. Keikutsertaan aktif dari sejumlah pihak yang berkepentingan akan berdampak pada proses pemberdayaan dan adanya tanggung jawab dari seluruh komponen yang terlibat di dalam sistem penjaminan partisipatoris (PGS). 4)
Sarana dan prasarana yang mendukung pertanian organik di Desa Ketapang, seperti alat penggiling pupuk organik atau granul dan lain-lain hendaknya dimanfaatkan serta dirawat lebih maksimal secara berkelompok.
5)
Solusi atas kendala utama dalam praktik pertanian organik di Desa Ketapang, misalnya transportasi pupuk organik menuju lahan pertanian, sebaiknya mulai dibicarakan di tingkat kelompok. Petani sangat mengharapkan kerjasama
yang
kuat
dalam
bertani
organik
mengingat
tingkat
kompleksitasnya yang cukup tinggi dibandingkan praktik pertanian konvensional. 6)
Pola pikir petani yang masih pragmatis terhadap pertanian organik perlu segera diubah dengan frekuensi penyuluhan pertanian yang lebih intensif. Selain itu, para petani sebaiknya diajak untuk lebih bersabar dalam melewati masa konversi lahan non organik menjadi organik yang membutuhkan waktu relatif lama. Usaha meyakinkan petani untuk bertani organik, bisa dilakukan melalui demonstrasi lahan atau demonstrasi hasil dan bersama-sama merencanakan strategi, agar fasilitas irigasi untuk pertanian organik yang higienis dapat dinikmati secara bersama oleh petani.
7)
Kegiatan mengembangkan pertanian organik di Desa Ketapang, harus terus dipertahankan secara rutin, misalnya mengadakan pelatihan pembuatan pupuk organik. Selain itu, keuntungan pertanian organik secara ekonomi, perlu ditekankan lagi kepada petani dalam proses sosialisasi pertanian organik.
8)
Koperasi Paguyuban Petani Al-Barokah sebaiknya dikembangkan lebih lanjut dan dimaksimalkan peranannya terhadap pemberdayaan petani di Desa Ketapang. Pengembangan koperasi mungkin dapat diarahkan menuju
118
koperasi simpan pinjam usahatani, atau gerai khusus produk organik Desa Ketapang yang dibuka untuk masyarakat umum (konsumen organik). 9)
Publikasi penelitian tentang pertanian organik hendaknya diperbanyak lagi di kalangan pemerintah, LSM, bahkan petani sebagai pedoman atau bahan sosialisasi pertanian organik kepada masyarakat.
10) Keberlanjutan praktik pertanian organik perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, agar petani sedikit demi sedikit dapat mengurangi ketergantungannya terhadap pupuk dan pestisida kimia sintetik yang selama ini sering disubsidi oleh pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Science-Based Organic Farming 2008: Toward Local and Secure Food Systems. n.p. Ariesusanty, Lidya. 2009. Statistik Pertanian Organik Indonesia. Bogor: Aliansi Organis Indonesia. ___ ___ 2008. Statistik Pertanian Organik Indonesia. Bogor: Aliansi Organis Indonesia. HDRA-The Organic Organisation. 1998. What is Organic Farming?. United Kingdom: HDRA Publishing. Ho, Maewan dan Ching, Lim Li. Gerakan Menuju Dunia Berkelanjutan Bebas dari Rekayasa Genetik. 2006. n.p: Independent Science Panel. Indriana, Hana. 2010. ‘Kelembagaan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik’. Tesis. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. IFOAM. 2006. Organic Agriculture Worldwide Directory of IFOAM Member Organizations and Associates. Jerman: IFOAM. Lindenlauf, Maria Müller. 2009. Organic Agriculture and Carbon Sequestration. Roma: Natural Resources Management and Environment Department Food and Agriculture Organization of the United Nations. Mugniesyah, Siti. 2006. Materi Bahan Ajar: “Ilmu Penyuluhan (KPM 211)”. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Mulyani, Agus, dan Subagyo. 2003. ‘Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan’. Tabloid Sinar Tani. Jakarta: Sinar Tani. Oudejans & Martono, Edhi (Penerjemah). 2006. Perkembangan Pertanian di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Reijntjes, Haverkort, dan Bayer. 2006. Pertanian Masa Depan, Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Yogyakarta: Kanisius. Rosenow, Soltysiak, dan Verschuur. 1996. Organic Farming, Sustainable Agriculture Put Into Practice. Jerman: IFOAM. Salim, Emil. 2003. ‘Sains dan Pembangunan Berkelanjutan’. Orasi Ilmiah pada Peringatan Hari Lingkungan Hidup. Bogor: IPB. Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 2006. Metode Penelitian Survay. Jakarta: LP3ES. Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Edisi 10. Jakarta: Djambatan. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
120
Sulaeman, Dede. 2008. Mengenal Sistem Pangan Organik Indonesia. Jakarta: Departemen Pertanian. ___ ___ 2006. Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia. Jakarta: Asosiasi Produsen Organik Indonesia. Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik, Pemasyarakatan & Pengembangannya. Yogyakarta: Kanisius. Usman, Husaini dan Akbar, Setiady. 2008. Metodologi Penelitian Sosial. Edisi 2. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Wahyuni, Ekawati dan Muljono, Pudji. 2007. Metode Penelitian Sosial. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
122
Lampiran 1. Hasil Uji Paired Samples T-test Pengaruh Praktik Pertanian Organik terhadap Keberlanjutan Ekonomi Petani Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Sebelum Organik
1975880.879
14
989518.7636
264460.0137
Sesudah Organik
3850956.493
14
1.8509E6
494673.3140
Correlation
Sig.
Paired Samples Correlations N Pair 1
Sebelum Organik & Sesudah
14
.900
.000
Organik
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1
Sebelum Organik Sesudah Organik
-1.8751E6
Std. Deviation 1.0522E6
Std. Error Mean 281206.3207
Lower -2.4826E6
Upper -1.2676E6
t -6.668
df
Sig. (2-tailed) 13
.000
123
Lampiran 2. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 Frequencies Metode v1
v2
v3
v4
v5
N
organik
14
non organik
14
Total
28
organik
14
non organik
14
Total
28
organik
14
non organik
14
Total
28
organik
14
non organik
14
Total
28
organik
14
non organik
14
Total
28
124
Test Statisticsa v1 Most Extreme Differences
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Metode
v2
v3
v4
v5
Absolute
.929
.357
.214
.214
.857
Positive
.000
.071
.000
.000
.000
Negative
-.929 2.457 .000
-.357 .945 .334
-.214 .567 .905
-.214 .567 .905
-.857 2.268 .000
125
Lampiran 3. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Analisis Kompleksitas Praktik Pertanian Organik dan Konvensional menurut Persepsi Kelompok Petani Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010 Frequencies Metode v1
organik
65
non organik
65
Total v2
65
non organik
65 65
non organik
65 130
organik
65
non organik
65
Total v5
130
organik Total
v4
130
organik Total
v3
N
130
organik
65
non organik
65
Total
130
126
Test Statisticsa v1 Most Extreme Differences
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Metode
v2
v3
v4
v5
Absolute
.985
.723
.600
.600
.938
Positive
.000
.000
.000
.000
.000
Negative
-.985 5.613 .000
-.723 4.122 .000
-.600 3.421 .000
-.600 3.421 .000
-.938 5.350 .000
127
Lampiran 4. Kerangka Sampling Penelitian No.
Nama
Alamat
Keterangan
1.
Hasan Basri
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
2.
Hadi suparman
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
3.
Samroni
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
4.
Sulimah
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
5.
Wasito
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
6.
Suroso
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
7.
Subadi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
8.
Cokro
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
9.
Slamet W
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
10.
Muhdiar
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
11.
Muh parjo
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
12.
Salim
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
13.
Matahir
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
14.
Nasiran
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
15.
Romti
RT 03 RW 02
Petani Konvensional
16.
Towi rejo
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
17.
Rusman
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
18.
Tukiman
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
19.
Jumali
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
20.
Siswanto
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
21.
Riyanto
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
22.
Samsi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
23.
Sugiman
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
24.
Zainuddin
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
25.
Tukimin
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
26.
Pujo
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
27.
Joko winarno
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
28.
Sumardi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
29.
Akip
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
30.
Sutiman
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
31.
Suparti
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
32.
Sinem
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
33.
Rumini
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
34.
Tuminah
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
35.
Supriyatno
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
36.
Daryanto
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
37.
Marsono
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
38.
Ari
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
39.
Warsono
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
40.
Pardi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
128
Lanjutan Lampiran 4 No.
Nama
Alamat
Keterangan
41.
Murtiah
RT 03 RW 05
Petani Konvensional
42.
Mashuri
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
43.
Muhyiri
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
44.
Mushofa
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
45.
Munjemi
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
46.
Suliman
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
47.
Kumedi
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
48.
Basiroh
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
49.
Samidi
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
50.
Suyono
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
51.
Muh Umar
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
52.
Romi
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
53.
Maryamah
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
54.
Juhdi
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
55.
Pardi
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
56.
Mursito
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
57.
Bahrim
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
58.
Sururi
RT 04 RW 02
Petani Konvensional
59.
Sumadi
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
60.
Juwedi
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
61.
Anwar
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
62.
Sunarto
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
63.
Muslih Ma'sum
RT 02 RW 04
Petani Organik
64.
Juweri
RT 04 RW 04
Petani Organik
65.
Romli
RT 02 RW 04
Petani Organik
66.
Sulimin
RT 03 RW 04
Petani Konvensional
67.
Muhdi
RT 03 RW 04
Petani Konvensional
68.
Musroni
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
69.
Mansyur
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
70.
Suyadi
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
71.
Samijan
RT 01 RW 04
Petani Konvensional
72.
Wakiri
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
73.
Mufidi
RT 03 RW 04
Petani Organik
74.
Muhsony
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
75.
Mubasir
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
76.
Khoirun
RT 02 RW 04
Petani Organik
77.
Muh Saidun
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
78.
Darso
RT 04 RW 04
Petani Konvensional
79.
Munawir
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
80.
Juweni
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
129
Lanjutan Lampiran 4 No.
Nama
Alamat
Keterangan
81.
Mubakhin
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
82.
Musafa'
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
83.
Ikhwani
RT 04 RW 04
Petani Organik
84.
Bashoir
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
85.
Royani
RT 02 RW 04
Petani Organik
86.
Bp. Suharman
RT 04 RW 05
Petani Konvensional
87.
Muslih mukri
RT 03 RW 05
Petani Konvensional
88.
Sulimin
Petani Konvensional
89.
Dasimin
Petani Konvensional
90.
Musiri
Petani Konvensional
91.
Nur Ali
Petani Konvensional
92.
Slamet Riyanto
93.
Muhadi
Petani Konvensional
94.
Muniroh
Petani Konvensional
95.
Yatmo
Petani Konvensional
96.
Suwarni
97.
Dhopari H
Petani Konvensional
98.
Ngatman S
Petani Konvensional
99.
Sartono
Petani Konvensional
100.
Rofiq
101.
Sugimin
Petani Konvensional
102.
Sadirin
Petani Konvensional
103.
Sumarno
Petani Konvensional
104.
Sofrowi
Petani Konvensional
105.
Mukini
106.
Suratman
Petani Konvensional
107.
Eko
Petani Konvensional
108.
Sunaryo
Petani Konvensional
109.
Nawari
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
110.
Muntasir
RT 01 RW 05
Petani Konvensional
111.
Khasan
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
112.
Suparno
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
113.
Sumali
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
114.
Kusnan
RT 02 RW 06
Petani Organik
115.
Muji Zainal
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
116.
Daryanto
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
117.
Mahmudi
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
118.
F. Rohman
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
119.
Tanwir
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
120.
Sukiman
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
RT 04 RW 04
RT 06 RW 06
RT 03 RW 02
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
130
Lanjutan Lampiran 4 No.
Nama
Alamat
Keterangan
121.
Muhson
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
122.
Subardi
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
123.
Suwarno Sardi
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
124.
Mundiri
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
125.
Muhyidin
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
126.
Sutamam
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
127.
Sarengat
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
128.
Parsih
RT 02 RW 05
Petani Konvensional
129.
Nur Ali
RT 04 RW 05
Petani Konvensional
130.
Nursalim
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
131.
Sardi
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
132.
Juwahir
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
133.
Sukiman
RT 03 RW 05
Petani Konvensional
134.
Sumardi
RT 04 RW 03
Petani Konvensional
135.
M Sakiman
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
136.
Subandi
RT 04 RW 03
Petani Konvensional
137.
Sugimin
RT 04 RW 03
Petani Konvensional
138.
Sutikat
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
139.
Masturi D
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
140.
Jumadi
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
141.
Nurtanto
RT 05 RW 03
Petani Konvensional
142.
Munzayatun
RT 05 RW 03
Petani Konvensional
143.
Marso utomo
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
144.
Muh roji
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
145.
Suhut
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
146.
Sarjo
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
147.
Yahmin
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
148.
Darmo Sajad
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
149.
A Latif
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
150.
Musroni
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
151.
Japarin
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
152.
Samsi
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
153.
Bardi
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
154.
Bakir
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
155.
Sholeh
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
156.
Sumini
RT 05 RW 03
Petani Konvensional
157.
Slamet Pur
RT 04 RW 03
Petani Konvensional
158.
Sakirin
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
159.
Supandi
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
160.
Basri
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
131
Lanjutan Lampiran 4 No.
Nama
Alamat
Keterangan
161.
Mufid
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
162.
Murdingatun
RT 05 RW 03
Petani Konvensional
163.
Sugiman
RT 02 RW 03
Petani Konvensional
164.
Ngadni
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
165.
Basuki
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
166.
Suyati
RT 04 RW 05
Petani Konvensional
167.
Kadari
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
168.
Tamzis
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
169.
Slamet
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
170.
Suradi
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
171.
Kumanto
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
172.
Sukarman
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
173.
Musliman
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
174.
Basirun M
RT 02 RW 01
Petani Organik
175.
Sardi
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
176.
Suratman
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
177.
Iskak
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
178.
Teguh
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
179.
Abadi
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
180.
Jasman
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
181.
Slamet I
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
182.
Kasdirin
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
183.
Muhson
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
184.
Faizun
RT 06 RW 01
Petani Konvensional
185.
Siswo
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
186.
Musliman B
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
187.
Zuhri
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
188.
Ansor
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
189.
Solikhin
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
190.
Muhammad P
RT 03 RW 02
Petani Konvensional
191.
Sumanah
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
192.
Juhari
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
193.
Huri
RT 03 RW 02
Petani Konvensional
194.
Zuhri
RT 01 RW 02
Petani Organik
195.
Sumyani
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
196.
Ruslan
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
197.
Sunoto
Petani Konvensional
198.
Daryono
Petani Konvensional
199.
Suparno
200.
Tumejo
RT 02 RW 05
Petani Konvensional Petani Konvensional
132
Lanjutan Lampiran 4 No.
Nama
Alamat
Keterangan
201.
Kadi
Petani Konvensional
202.
Samin
Petani Konvensional
203.
Sakir
Petani Konvensional
204.
Suminem
205.
Karjono
Petani Konvensional
206.
Kardi
Petani Konvensional
207.
Sumar
Petani Konvensional
208.
Darmadi
209.
Urip
Petani Konvensional
210.
Marjono
Petani Konvensional
211.
Suroso
Petani Konvensional
212.
Sunar
Petani Konvensional
213.
Suwarti
214.
Sopawi
Petani Konvensional
215.
Sudir
Petani Konvensional
216.
Dalil
Petani Konvensional
217.
Waris
Petani Konvensional
218.
Maesuri
219.
Gino
Petani Konvensional
220.
Supad
Petani Konvensional
221.
Pono
Petani Konvensional
222.
Sukir
Petani Konvensional
223.
Sumang
224.
Marsih
Petani Konvensional
225.
Pandi
Petani Konvensional
226.
Sya roni
Petani Konvensional
227.
Irfani
Petani Konvensional
228.
Pramono
Petani Konvensional
229.
Usman
230.
Mustofa
231.
Zuhroni
Petani Konvensional
232.
Jumadi
Petani Konvensional
233.
Rohman
Petani Konvensional
234.
Nasikhi
Petani Konvensional
235.
Nasikun
Petani Konvensional
236.
Ahmadi
237.
Romlah
Petani Konvensional
238.
Munjamil .Muhdi
Petani Konvensional
239.
Suroto
Petani Konvensional
240.
Muntaha
Petani Konvensional
RT 05 RW 03
RT 04 RW 04
RT 04 RW 01
RT 01 RW 01
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional RT 05 RW 06
RT 05 RW 06
Petani Organik
Petani Organik
133
Lanjutan Lampiran 4 No.
Nama
Alamat RT 03 RW 04
Keterangan
241.
Waimin
Petani Konvensional
242.
Sumardi
Petani Konvensional
243.
Saebani
Petani Konvensional
244.
Fatkhurrohman
Petani Konvensional
245.
Jazuli
246.
Sumilah
247.
Abdul Khafidz
Petani Konvensional
248.
Samsuri
Petani Konvensional
249.
Parman Hasyim
Petani Konvensional
250.
Marman
Petani Konvensional
251.
Muhari
252.
Yahya
Petani Konvensional
253.
Abdul Azis
Petani Konvensional
254.
Ibnu Aqil
Petani Konvensional
255.
Munjamil Rusdi
Petani Konvensional
256.
Basirun Warti
RT 01 RW 01
Petani Konvensional
257.
Parto Diharjo
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
258.
Sholikhin
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
259.
Muh. Gatot
RT 01 RW 01
Petani Konvensional
260.
Wawan
RT 01 RW 01
Petani Konvensional
261.
Muh. Muslim
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
262.
M S. Mubin
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
263.
Mustofa
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
264.
Mahsun S
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
265.
Nur Kholis
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
266.
M.Rifa'i
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
267.
Busri
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
268.
Wulan dari
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
269.
Jawadi
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
270.
Slamet Ws
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
271.
M.Zamrodin
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
272.
Masinem
RT 05 RW 01
Petani Konvensional
273.
Nurul Anwar
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
274.
Ahadak
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
275.
M. Huda
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
276.
Iwan S
277.
Suyitno
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
278.
Irsadun
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
279.
Yasin
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
280.
Mundakir
Petani Konvensional RT 01 RW 03
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
134
Lanjutan Lampiran 4 No.
Nama
Alamat
Keterangan
281.
R. Binarso
Petani Konvensional
282.
Mitrorejo
Petani Konvensional
283.
Nur Salim
Petani Konvensional
284.
Siti Qomsiyah
285.
Djumadi
Petani Konvensional
286.
Muh Jumadi
Petani Konvensional
287.
Yoso Suwito
Petani Konvensional
288.
Teguh T
Petani Konvensional
289.
Sugiyono
290.
Baderun
Petani Konvensional
291.
Priyoparno
Petani Konvensional
292.
Narto W
Petani Konvensional
293.
Witarno
Petani Konvensional
294.
Suyamto
Petani Konvensional
295.
Sastrowiryo
Petani Konvensional
296.
Kasno
Petani Konvensional
297.
Sutono
Petani Konvensional
298.
Tholibatun
299.
Sarli
Petani Konvensional
300.
Ngadno
Petani Konvensional
301.
Surastri
Petani Konvensional
302.
Nasiri
Petani Konvensional
303.
Sutrisno
Petani Konvensional
304.
Nur Ichsan
Petani Konvensional
305.
Nur Aziz
306.
Mitro usup
Petani Konvensional
307.
Suparno
Petani Konvensional
308.
Sugeng
309.
Rohadi
Petani Konvensional
310.
Riyadi
Petani Konvensional
311.
Marlan
Petani Konvensional
312.
M. Thoyyib
313.
Jayin
Petani Konvensional
314.
Bainatun
Petani Konvensional
315.
Saomar
Petani Konvensional
316.
Diyar
Petani Konvensional
317.
Roekhan
Petani Konvensional
318.
Ahmadi
Petani Konvensional
319.
Thohir
Petani Konvensional
320.
Mujahid
RT 04 RW 05
RT 02 RW 05
RT 05 RW 06
RT 06 RW 06
RT 06 RW 05
RT 06 RW 06
RT 05 RW 06
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Organik
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Petani Konvensional
135
Lanjutan Lampiran 4 No.
Nama
Alamat
Keterangan
321.
Muhtar
Petani Konvensional
322.
Islami
Petani Konvensional
323.
Sopar
Petani Konvensional
324.
Musliman
Petani Konvensional
325.
Rohmi
Petani Konvensional
326.
Khotijah
Petani Konvensional
327.
Supinah
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
328.
Muhlisin
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
329.
Samroni
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
330.
Iman sumadi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
331.
Wasito
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
332.
Suroso
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
333.
Subadi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
334.
Cokro
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
335.
Slamet D.
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
336.
Muh ngadino
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
337.
Muh parjo
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
338.
Salim
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
339.
Matahir
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
340.
Nasiran
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
341.
Bejo
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
342.
Towi rejo
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
343.
Basoni
RT 04 RW 04
Petani Konvensional
344.
Tukiman
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
345.
Jumali
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
346.
Slamet S
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
347.
Riyanto
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
348.
Samsi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
349.
Sugiman
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
350.
Zainuddin
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
351.
Tukimin
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
352.
Samijan
RT 01 RW 04
Petani Organik
353.
Joko winarno
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
354.
Sumardi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
355.
Atmokimin
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
356.
Sulami
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
357.
Suparti
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
358.
Sinem
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
359.
Rumini
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
360.
Tuminah
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
136
Lanjutan Lampiran 4 No.
Nama
Alamat
Keterangan
361.
Supriyatno
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
362.
Slamet C
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
363.
Muhjalal
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
364.
Ari
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
365.
Warsono
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
366.
Pardi
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
367.
Mahbub Junaidi
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
368.
Rohyatun
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
369.
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
370.
Iman sumadi Trimorejo
371.
Rif'an
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
372.
Mulyati
RT 05 RW 05
Petani Konvensional
Petani Konvensional
Sumber: Data Paguyuban Petani Al-Barokah
137
Lampiran 5. Daftar Nama Responden Penelitian No.
Nama
Alamat
Keterangan
1.
Ahmadi
RT 05 RW 06
Petani Organik
2.
Nur Aziz
RT 06 RW 06
Petani Organik
3.
Kusnan
RT 02 RW 06
Petani Organik
4.
Royani
RT 02 RW 04
Petani Organik
5.
Romli
RT 02 RW 04
Petani Organik
6.
Samijan
RT 01 RW 04
Petani Organik
7.
Khoirun
RT 02 RW 04
Petani Organik
8.
Juweri
RT 04 RW 04
Petani Organik
9.
Mufidi
RT 03 RW 04
Petani Organik
10.
Ikhwani
RT 04 RW 04
Petani Organik
11.
Zuhri
RT 01 RW 02
Petani Organik
12.
Basirun
RT 02 RW 01
Petani Organik
13.
Mustofa
RT 05 RW 06
Petani Organik
14.
Muslikh Ma'sum
RT 02 RW 04
Petani Organik
15.
Muhyidin
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
16.
Nur Ali
RT 04 RW 05
Petani Konvensional
17.
Mujahid
RT 05 RW 06
Petani Konvensional
18.
Suparno
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
19.
Muhdiar
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
20.
Rohyatun
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
21.
Sumini
RT 05 RW 03
Petani Konvensional
22.
Basiroh
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
23.
Murdingatun
RT 05 RW 03
Petani Konvensional
24.
Mukini
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
25.
Munzayatun
RT 05 RW 03
Petani Konvensional
26.
Sugeng
RT 06 RW 05
Petani Konvensional
27.
Mansyur
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
28.
Muhsony
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
29.
Slamet Riyanto
RT 04 RW 04
Petani Konvensional
30.
Darso
RT 04 RW 04
Petani Konvensional
31.
Waimin
RT 03 RW 04
Petani Konvensional
32.
Juwahir
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
33.
Jasman
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
34.
Yahmin
RT 03 RW 03
Petani Konvensional
35.
Musroni
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
36.
Sugiyono
RT 02 RW 05
Petani Konvensional
37.
Munawir
RT 02 RW 04
Petani Konvensional
38.
Darmadi
RT 04 RW 04
Petani Konvensional
39.
Muntasir
RT 01 RW 05
Petani Konvensional
40.
Sumadi
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
138
Lanjutan Lampiran 5 No.
Nama
Alamat
Keterangan
41.
Maesuri
RT 01 RW 01
Petani Konvensional
42.
Juwedi
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
43.
Suyitno
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
44.
Akip
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
45.
Slamet Darmanto
RT 07 RW 02
Petani Konvensional
46.
M. Thoyyib
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
47.
Parto Diharjo
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
48.
Muhari
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
49.
Parsih
RT 02 RW 05
Petani Konvensional
50.
Suparno
RT 02 RW 05
Petani Konvensional
51.
Busri
RT 03 RW 01
Petani Konvensional
52.
Rofiq
RT 03 RW 02
Petani Konvensional
53.
Suwarno
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
54.
Siswanto
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
55.
Mahmudi
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
56.
Daryanto
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
57.
Sumang
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
58.
Zuhri
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
59.
Tholibatun
RT 05 RW 06
Petani Konvensional
60.
Basoni
RT 04 RW 04
Petani Konvensional
61.
Sarengat
RT 02 RW 06
Petani Konvensional
62.
Nursalim
RT 03 RW 05
Petani Konvensional
63.
Muhson
RT 03 RW 06
Petani Konvensional
64.
Sugiman
RT 08 RW 04
Petani Konvensional
65.
Muhjalal
RT 02 RW 02
Petani Konvensional
66.
Suyati
RT 04 RW 05
Petani Konvensional
67.
Romti
RT 03 RW 02
Petani Konvensional
68.
Suwarni
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
69.
Suwarti
RT 04 RW 01
Petani Konvensional
70.
Mulyati
RT 05 RW 05
Petani Konvensional
71.
Supinah
RT 02 RW 01
Petani Konvensional
72.
Murtiah
RT 03 RW 05
Petani Konvensional
73.
Sulami
RT 01 RW 02
Petani Konvensional
74.
Maryamah
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
75.
Sumilah
RT 01 RW 03
Petani Konvensional
76.
Sulimah
RT 06 RW 06
Petani Konvensional
77.
Siti Qomsiyah
RT 04 RW 05
Petani Konvensional
78.
Masinem
RT 05 RW 01
Petani Konvensional
79.
Suminem
RT 05 RW 03
Petani Konvensional