PENGARUH PROGRAM PENYULUHAN PERTANIAN ORGANIK TERHADAP SOSIAL EKONOMI PETANI Almaidafiani & Sudirman
Abstract The information is very important for development, such in industry, marketing, and agriculture. By information, the farmers can change their life, especially agriculture technology and process culture. The natural agriculture is not same with the traditional way. This research studied about the influence of organic agriculture extension program to the the farmers economic life. This program is very special, because through the green revolution the farmer had information about agriculture modernization. For the farmers agriculture modernization is the best way to change their life to make better. But, this research showed that tha information abot organic agriculture caused their life better. Keywords: organic agriculture, illumination, economy
Pendahuluan Negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia memasuki abad ke-21 terjadilah suatu perubahan paradigma pembangunan yang drastis. Seperti kita ketahui bersama ketika negara-negara yang sedang berkembang memulai upaya pembangunan negara mereka masing-masing sesudah mereka memperoleh kemerdekaan mereka, maka paradigma pembangunan yang dominan di negara-negara itu adalah industrialisasi. Industrialisasi diharapkan selain dapat mengangkat harkat hidup penduduk negaranegara yang sedang berkembang, juga secara politis akan mensejajarkan kedudukan negaranegara tersebut dengan negara-negara Barat, yang kebanyakan semua adalah negara-negara yang pernah menjajah mereka. Alangkah bangganya seorang kepala negara dari sebuah negara yang sedang berkembang apabila mereka dapat bertemu dengan seorang kepala negara dari negara Barat dan membicarakan industri pesawat terbang yang sama-sama mereka miliki (Soetrisno, 1999: 1) Akibat dominasi dari paradigma industrialisasi dalam proses pembangunan negara-negara yang sedang berkembang,
pembangunan dari sektor pertanian relatif ditelantarkan. Bahkan ada anggapan bahwa indikator keberhasilan suatu pembangunan adalah mengecilkan sumbangan sektor pertanian pada total pendapatan negara, dan sebaliknya apabila jumlah kontribusi sektor pertanian pada pendapatan nasional tetap tinggi, maka negara tersebut tetap dianggap sebagai negara yang terbelakang (Hidayat, 1999: 2). Kondisi negara-negara yang sedang berkembang di atas berubah saat memasuki abad ke-21. Negara-negara yang sedang berkembang tersebut seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan yang semula dibanggakan dan telah menjadi negara-negara industri baru, runtuh perekonomian mereka disebabkan karena dilanda krisis moneter yang dasyat. Industriindustri yang telah dibangun dengan investasi yang besar, runtuh bersama dengan timbulnya krisis ekonomi. Di Indonesia misalnya, ratusan industri dari berbagai jenis terpaksa menghentikan produksi mereka karena meningkatnya ongkos produksi dikarenakan menurunnya harga mata uang rupiah. Akibatnya jutaan buruh industri harus kehilangan pekerjaan mereka. Hal yang sama juga terjadi pada sektor bangunan dan perbankan mereka pun mengalami kehancuran.
Almaidafiani adalah Staf di Yayasan Lentera Indonesia, Sudirman adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU 287
Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...
Apabila sektor industri dan perbankan mengalami kehancuran maka tidak demikian halnya dengan sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan. Bila banyak buruh Industri yang menganggur, maka di Sulawesi para petani coklat mengalami kehidupan yang berlimpah karena naiknya harga coklat di pasar internasional (Kompas, 28 Juli 2001). Ketahanan sektor pertanian dalam menghadapi krisis menyebabkan perubahan pola pikir para perencana pembangunan di negaranegara yang sedang berkembang. Semua industrialisasi yang diandalkan sebagai suatu model pembangunan yang akan mampu memecahkan masalah keterbelakangan negaranegara yang sedang berkembang, maka ketika krisis menimpa negara-negara tersebut, pembangunan sektor pertanian kemudian menjadi harapan baru bagi para perencana pembangunan dunia ketiga (Hidayat, 1999: 4) Meskipun telah terbukti bahwa sektor pertanian telah mampu menjadi tumpuan kehidupan masyarakat yang sedang menghadapi krisis ekonomi, tetapi untuk menjadikan sektor pertanian menjadi “Leading Sector” dalam proses pembangunan bukanlah suatu hal yang mudah. Dibutuhkan investasi yang mahal untuk membangun sebuah agroindustri yang mampu menjadi mesin pendorong pembangunan ekonomi yang handal. Apabila kita berbicara perihal fungsi sektor pertanian dalam pembangunan nasional Indonesia dan kemampuan sektor tersebut untuk bersaing pada abad yang akan datang, maka kondisi sosial-budaya dari para petani Indonesia merupakan masalah yang utama. Persoalan petani merupakan persoalan bangsa yang selalu diperdebatkan, tidak hanya terbatas bagi negara agraris dan negara berkembang. Persoalan petani ini pun telah sekian lama menjadi konsentrasi kebijakan nasional pada banyak negara. Berdasarkan data statistik yang ada, sekitar 75% penduduk Indonesia pada saat ini tinggal di wilayah pedesaan. Dari jumlah tersebut lebih dari 54% menggantungkan hidup mereka dari sektor pertanian dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah, apabila dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah perkotaan (Soetrisno, 1999: 15). Perbedaan pendapatan tersebut berkaitan erat dengan produktivitas para petani Indonesia sementara hal itu tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor antara lain luas lahan yang dimiliki, kebijakan pemerintah dalam pemberian
insentif pada petani dan sebagainya. Dari segi pendidikan sebagian besar petani di Indonesia berpendidikan sekolah dasar 40,73% dan hanya 0,39% yang berpendidikan akademi/universitas, sementara yang berpendidikan SLTA sebesar 4,62%. Sedangkan kelompok yang termasuk dalam pendidikan tidak sekolah dan tidak tamat SD sebesar 47,33% (Jayadinata, 1999: 22) Data di atas menunjukkan kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki oleh sektor pertanian Indonesia di manasumberdaya petani yang rendah itu merupakan salah satu sebab utama dari rendahnya produktivitas para petani di Indonesia. Kondisi rendahnya mutu sumberdaya manusia itu, menjadi lebih memprihatinkan apabila kita melihat usia dari para petani kita. Sebagian besar para petani kita yakni sebesar 15,1 juta orang (76,2%) berusia sekitar 25 sampai dengan 54 tahun, dengan penyebaran yaitu 7.7 juta orang (50,9%) berada di pulau Jawa dan 7,3 juta orang (49,1%) berada diluar Jawa. Sementara petani yang berusia di atas 55 tahun mencapai 4,2 juta atau 21,46% dari jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia (Soetrisno, 1999: 24). Berbeda dengan petani yang berusia muda maka petani yang berusia tua biasanya cenderung sangat konservatif dalam menyikapi terhadap perubahan atau inovasi teknologi. Petani di Indonesia umumnya adalah petani gurem, dan harus mengusahakan usaha tani di dalam lingkungan tropika yang penuh resiko seperti banyaknya hama, tidak menentunya curah hujan dan sebagainya. Dalam kondisi yang telah penuh resiko ini para petani harus lebih berekstra hati-hati dalam menerima inovasi. Karena apabila mereka gagal memanfaatkan inovasi berarti seluruh keluarga mereka akan menderita. Sementara di Indonesia belum ada perlindungan asuransi yang dapat melindungi kegagalan para petani dalam mengembangkan usaha tani mereka (Soetrisno, 1999: 26). Hal-hal tersebut akan menempatkan para petani Indonesia dalam kondisi yang dilematis. Untuk bisa “survive” pada abad yang akan datang para petani Indonesia harus berani mengambil resiko untuk berinovasi, karena berinovasi akan menjamin peningkatan produktivitas mereka yang akan mempengaruhi tingkat “survival” mereka dalam bersaing dengan petani-petani dari negara-negara lain. Sebelum Indonesia memasuki krisis ekonomi dan moneter, Indonesia telah
288
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303
mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yakni antara 5% sampai dengan 7% per tahunnya. Dari segi teori pertumbuhan ekonomi makro yang relatif tinggi tersebut diharapkan pula akan memperbaiki kinerja sektor pertanian Indonesia, serta tingkat kesejahteraan masyarakat pertanian Indonesia. Tetapi kenyataan empiriknya tidaklah demikian. Dimana, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak banyak berpengaruh pada pembangunan sektor pertanian. Kurangnya insentif pada petani, dan banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi menyebabkan Indonesia tidak mampu mempertahankan program swasembada pangan. Pertumbuhan ekonomi juga belum mampu menaikkan kesejahteraan sosial ekonomi para petani (Raharjo, 2000: 117) Melihat kondisi pertanian yang memprihatinkan maka pemerintah Indonesia meluncurkan suatu program pembangunan pertanian yang dikenal secara luas dengan program Revolusi Hijau yang di masyarakat petani dikenal dengan program BIMAS. Tujuan utama dari program tersebut adalah menaikkan produktivitas sektor pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan, melalui penetapan paket teknologi pertanian modern. Paket tersebut terdiri dari pupuk non organik, obatobatan pelindung tanaman, dan bibit padi unggul dan juga pemerintah menyediakan prasarana kredit dan prasarana penunjang lain seperti rehabilitasi pembangunan prasarana irigasi (Jayadinata, 1999: 28) Revolusi hijau telah berhasil mengubah sikap para petani, khususnya para petani sub sektor pangan, dari “anti” teknologi ke sikap yang mau memanfaatkan teknologi pertanian modern seperti pupuk kimia, obat-obatan perlindungan, dan bibit padi unggul. Akan tetapi meskipun Revolusi Hijau mampu mencapai tujuan makronya yakni meningkatkan produktivitas sub sektor pertanian pangan, namun pada tingkat mikro Revolusi Hijau tersebut telah menimbulkan berbagai masalah tersendiri.Revolusi Hijau menyebabkan para petani harus membeli teknologi-teknologi pertanian baru dengan harga yang mahal sehingga hal ini menimbulkan ketergantungan bagi petani dan akan mempengarungi kondisi ketahanan pangan. Salah satu masalah yang sangat penting adalah terjadinya uniformitas bibit padi di Indonesia. Semua bibit padi yang boleh ditanam adalah bibit padi unggul yang disediakan
289
pemerintah, sementara pemerintah melarang petani menanam bibit padi local yang semula banyak ditanam petani. Uniformitas bibit padi itu berakibat timbulnya kerentaan dalam tubuh sub sektor pertanian pangan. Kerentaan itu muncul dalam dua bentuk. Pertama, Sub sektor pertanian pangan kita rentan akan berbagai hama, meskipun padi bibit unggul itu memiliki produktivitas yang tinggi mereka tidak memiliki ketahanan hidup lama. Sehingga sub sektor pangan Indonesia terserang penyakit hama wereng coklat yang mampu memusnahkan tanaman padi dan mengancam Indonesia menghadapi bahaya kelaparan. Kedua, Revolusi Hijau membuat petani Indonesia bodoh. Banyak pengetahuan lokal yang menyangkut pertanianan telah banyak dilupakan oleh petani. Para petani lebih menggantungkan pada paketpaket teknologi pertanian produk industri. Ketergantungan itu menimbulkan suatu kerentaan baru yakni petani Indonesia menjadi obyek dari permainan harga produk-produk itu. Maka hal ini dapat menganggu proses produksi pangan karena apabila harga pupuk naik maka petani mengurangi pemakaian pupuk yang berakibat menurunnya produksi (Soetrisno, 1999: 125 ) Bahaya penggunaan pestisida lambat laun menjadi jelas misalnya; Tahun 1990 sekitar 2 juta manusia menderita keracunan pestisida, dan 40.000 diantaranya berakibat fatal (ILEIA, 1999: 15), Pestisida juga dianggap sebagai pencetus timbulnya kanker, tingkat kesuburan dan kesehatan reproduksi menurun dan gangguan dari terhadap system kekebalan tubuh terutama bagi kaum perempuan. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pangan Dunia di perserikatan bangsa-bangsa (FAO), jumlah perempuan dalam sektor pertanian mengalami peningkatan hampir empat kali dari tahun 1960 sebanyak 7,43 juta menjadi 20,82 juta orang pada tahun 2000 yang sangat beresiko terpapar pestisida karena sehari-hari sebagai penyemprot pestisida di perkebunan (FSPI, 2004: 5). Di India, pestisida menjadi penyebab utama yang telah membinasakan hidup penduduk desa Kasargod, Kerala. Ditemukan bahwa selama dua setengah dekade, pestisida yang disemprotkan ke perkebunan kacang dan pohon jambu monyet dibeberapa desa yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan di Kerala mengakibatkan penduduk sekitar perkebunan menderita gangguan kesehatan terhadap system reproduksi perempuan seperti kanker rahim dan
Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...
kanker payudara.Ditemukan fakta anak-anak yang dilahirkan mengalami cacat fisik, keterlambatan mental, serta kekebalan tubuh rendah (FSPI, 2004: 30). Studi lain yang dilakukan di Amerika, bahwa perempuan yang tinggal didaerah yang penggunaan pestisidanya tinggi mempunyai resiko 1,9 sampai 2 kali lebih tinggi beresiko melahirkan bayi dalam keadaan cacat, dibandingkan perempuan yang bertempat tinggal di daerah yang tidak menggunakan pestisida,di Indonesia salah satu contoh kasus keguguran kehamilan yang dialami seorang petani dari Sumatera Barat akibat penggunaan pestisida yang dapat meracuni embrio bayi dalam kandungan ibunya. Kasus lain hasil penelitian PAN Indonesia terhadap petani perempuan di desa Bukit dan desa Sampun, Berastagi Sumatera Utara mengenai tingkat keracunan pestisida berdasarkan Indikator kelaziman aktivitas enzim Acetylcholinesterase (ACHE) dalam plasma darah, ditemukan bahwa tingkat pencemaran yang terjadi pada petani perempuan sudah melampui batas yang ditetapkan oleh World Health Organization (FSPI, 2004: 32). Menurut IFOAM (Internasional Federation of Organic Agriculture Movements), salah satu tujuannya adalah untuk memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian (terutama petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan pentingnya hak-hak petani, kerja, termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat (FSPI, 2004: 20). Gencarnya kampanye pertanian organik yang didengungkan pecinta-pecinta lingkungan hidup diberbagai negara, menjamurnya LSM-LSM yang memasukkan “issue” pertanian organik pada program kerjanya, dan aktifnya pemerintah Indonesia menjalankan program PHT (Pengendalian Hama Terpadu) menunjukkan bahwa “issue” pertanian organik telah menjadi suatu gerakan nasional dan internasional yang penting Pertanian organik sebagai bagian pertanian akrab lingkungan perlu segera dimasyarakatkan sejalan makin banyaknya dampak negatif terhadap lingkungan yang terjadi akibat dari penerapan teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan kimia pertanian. Di samping itu, makin meningkatnya jumlah konsumen produksi bersih dan
menyehatkan serta meluasnya gerakan “green consumer” merupakan pendorong segera disosialisasikan gerakan pertanian organik (Sutanto, 2002: 5). Kesadaran petani terhadap pentingnya mengembangkan pertanian organik nampaknya telah muncul dinegara-negara Asia Tenggara khususnya Thailand, dan Filipina. Jaringan antar Lembaga Swadaya Masyarakat di Asia yang memiliki program pengembangan pertanian organic telah terjalin melalui sebuah organisasi yang bernama ANGOC (Asian NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development). Salah satu program dari organisasi ini selain mensosialisasikan pertanian organik dikalangan masyarakat petani di Asia, organisasi ini juga melakukan advokasi terhadap pentingnya hakhak petani pada air dan bibit bagi ketahanan pangan dan masyarakat (FSPI, 2004: 21) Menurut Langerbein (seperti dikutip Sutanto, 2002: 180) meningkatkan perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan telah mendorong permintaan bahan pangan yang akrab lingkungan dan diklasifikasikan sebagai alami atau tanpa diolah. Pandangan masyarakat tentang issu lingkungan dan kualitas makanan yang menyebabkan meningkatnya ketidakpercayaan masyarkat terhadap pangan produk pertanian konvensional, meningkatnya kekecewaan terhadap kualitas pangan yang tersedia dan meningkatkan bahan nutrisi alam. Di Amerika industri makanan organik merupakan sektor yang berkembang dengan cepat. Tahun 1995 perdagangan makanan organik meningkat lebih dari 20%. Hasil survei menunjukkan bahwa ketertarikan konsumen untuk membeli produk organik adalah kesegaran produk. Hasil survei yang dilakukan pada tahun 1996 menyimpulkan bahwa kenampakan dan kesegaran adalah dua alasan utama konsumen membeli produk organik. Selanjutnya dari survei tersebut alasan yang lain membeli produk organik adalah menyehatkan, tidak mempunyai residu pestisida dan pupuk kimia. Rasa ternyata juga merupakan faktor yang mempengaruhi konsumen membeli produk organik. Seperti halnya di Eropa, harga makanan organik lebih tinggi daripada makanan konvensional, bahkan mencapaia 50% lebih tinggi (Sutanto, 2002: 184). Konsumen dan permintaan sayuran organik dari tahun ke tahun semakin meningkat. Meskipun pada saat ini konsumen hasil pertanian organik di Indonesia masih kalangan
290
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303
terbatas, tetapi prospeknya di masa mendatang cukup baik. Pada saat ini produsen pertanian organik dari Indonesia masih sangat terbatas. Belum banyak produk dari Indonesia yang dapat bersaing di pasar global dan ketersediaan produk organik yang masih terbatas sehingga Indonesia belum masuk perhitungan. Dengan pertimbangan ini maka diperlukan usaha yang cukup intensif untuk menghasilkan dan menggunakan pupuk organik (Suryadi, 2005). Di Indonesia, salah satu organisasi petani yang menerapkan pertanian organik pada kelompok-kelompok tani adalah Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). SPSU sebagai organisassi yang berbasiskan massa dari kalangan petani melihat pemasaran produk pertanian organik merupakan peluang pasar yang jarang tersentuh oleh kalangan praktisi bisnis di Indonesia. Berangkat dari keyakinan di atas dan berpengalaman uji coba yang dimulai dari kampanye dan penyuluhan tentang pentingnya pertanian organik sampai dengan pemasaran produk organik bersama kepada kelompok-kelompok tani SPSU. Menurut Leagan (1961:365) menunjukkan bahwa ‘kesuksesan pekerjapekerja penyuluhan akan tergantung pada kemampuannya untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide cemerlang kepada petan’. Seorang penyuluh harus berkompeten dan berpengetahuan luas akan teknologi, proses penyuluhan dan informasi. Menurut Waterson (1965:447) menyebutkan bahwa ‘suksesnya berbagai rencana, khususnya program pembangunan bergantung pada pengertian dan partisipasi dan dukungan dari pihak-pihak yang menjalankan program’ (dikutip dalam Sudrajat, 1994: 44). Menurut Umali (1962:397) juga mengatakan bahwa: “Kegagalan untuk memecahkan masalah pertanian yang sedang terjadi di negara tersebut pada dasarnya merupakan kegagalan untuk menyampaikan informasi penting kepada para petani mengenai adanya fasilitas-fasilitas kredit dan kerjasama, tekhnik-tekhnik produksi yang efisien dan efektif dan praktik pertanian yang telah direkomendasikan” (dikutip dalam Sudrajat, 1994: 45). Di Filipina dilaporkan bahwa salah satu penyebab rendahnya produksi padi adalah kurangnya pegawai-pegawai terlatih untuk mengimplementasikan program padi pada level propinsi, kotamadya dan pedesaan (Saiful, 1990:
291
13). Hasil penelitian yang dilakukan Situmorang menyebutkan di desa Siparmahan Tapanuli Utara dari 65 responden sebanyak 38.47% menyatakan persepsinya kurang baik terhadap penyuluh, juga ada kesan bagi petani mereka terlalu menggurui dengan sistem pertanian. Sekitar 46.51% petani yang apatis, mereka tidak mau ikut dalam proses penyluhan karana mendengar banyak kesan negatif tentang penyuluh dari sesama petani lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semuanya penyuluhan dapat diterima baik oleh masyarakat petani. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti pengaruh penyuluhan pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara dalam peningkatan kesejahteraan petani. Masalah ini layak untuk diteliti karena dengan adanya penyuluhan pertanian organik maka pengetahuan petani tentang pertanian organik semakin bertambah sehingga dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan otomatis dapat meningkatkan pendapatan petani sehingga akhirnya diharapkan kesejahteraan petani akan terwujud. Alasan penulis memilih lokasi di desa Pematang Jering adalah karena Desa Pematang Jering merupakan salah satu kelompok tani yang menjadi anggota Serikat Petani Sumatera Utara yang masih berpartisipasi aktif.
Metode Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit analisis yang diteliti. Dalam penelitian ini dilakukan pendekatan design eksperimen yaitu untuk mengetahui efek atau akibat yang ditimbulkan dari variabel yang dimanipulasi. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pematang Jering Kecamatan Sei Suka Kabupaten Asahan. Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian adalah: Penulis mendapatkan informasi dari Serikat Petani Sumatera Utara bahwa kelompok tani yang ada di Desa Pematang Jering telah mengikuti penyuluhan pertanian organik yang telah dilakukan oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). Kelompok tani yang ada di Desa Pematang Jering merupakan kelompok tani yang masih aktif dalam kegiatan peningkatan pertanian
Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...
organik di mana desa Pematang Jering merupakan salah satu desa penghasil beras di Kabupaten Asahan. Desa ini merupakan salah satu desa yang berada dalam kawasan jaringan Proyek Irigasi Bah Bolon dan desa ini merupakan salah satu pemasok beras organik ke pasar. Populasi adalah keseluruhan objek yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala, nilai-nilai atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakter tertentu dalam suatu penelitian (Nawawi, 1991: 141). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk yang memiliki aktivitas utama bercocok tanam secara organik dan sebagai sumber penghasilan utama dan yang menjadi angota kelompok tani yang ada di Serikat Petani Sumatera Utara yang berada di Desa Pematang Jering Kec.Sei Suka Kab.Asahan yang berjumlah 200 orang kepala keluarga. Menurut Arikunto, sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dalam penelitian ini peneliti mengambil 15% dari 200 KK yang mengikuti penyuluhan pertanian organik oleh SPSU. Dengan demikian sampel yang diambil berjumlah 30 KK. Sedangkan tekhnik pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel kuota, yaitu tekhnik sampling yang tidak mendasarkan diri pada strata atau daerah, tetapi mendasarkan diri pada jumlah yang sudah ditentukan. Biasanya yang dihubungi adalah subjek yang mudah ditemui (Arikunto, 1997: 119). Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Wawancara yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan penyebaran angket yang ditujukan kepada responden sekaligus wawancara dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang ada, dan etode Observasi yaitu mengumpulkan data tentang pengaruh penyuluhan pertanian organik terhadap peningkatan pendapatan petani yang dilakukan dengan mengamati dan memperhatikan kehidupan petani. Teknik analisa data mencakup analisa tabel tunggal yang dilakukan dengan cara interpretasi terhadap distribusi frekuensi dan kecendrungan data untuk mendapatkan ciri-ciri atau karakteristik variabel yang diteliti. Untuk tujuan menyatukan persepsi mengenai tekhnik analisis yang digunakan pada tabel silang, Uji hipotesa penelitian menggunakan tekhnik uji phi-cramer dengan batas signifikansi 95 persen
(0.05). Dalam hal ini apabila × hitung > ×=0,05, maka hipotesisi penelitian ditolak dan sebaliknya apabila × hitung <×=0.05, maka hipotesis penelitian diterima. Hipotesis adalah dugaan logis sebagai kemungkinan pemecahan masalah yang dapat diterima sebagai kebenaran di manadiuji ternyata fakta-fakta atau kenyataan sesuai dengan dugaan tersebut dalam hipotesis ini adalah: Ho : Tidak ada pengaruh program pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara terhadap pendapatan petani sehingga pendapatan petani yang sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik tidak berbeda dengan pendapatan petani yang sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik. Hi : Ada pengaruh program pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara yang meningkatkan pendapatan petani sesudah penyuluhan pertanian organik berbeda dengan pendapatan petani sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik. SPSU adalah organisasi berbentuk federasi yang terdiri dari organisasi-organisasi tani tingkat lokal yang berada di wilayah hukum Sumatera Utara dan organisasi yang bersifat perjuangan massa kader petani Sumatera Utara dan kader petani Sumatera Utara yang berdaulat dan mandiri yang berwatakan gerakan sosial. Tujuan berdirinya SPSU adalah: 1. Terwujudnya struktur agraria yang adil dan berpihak pada rakyat miskin dan tertindas, khususnya bagi petani dan keluarga. 2. Terwujudnya kedaulatan rakyat demi tercapainya kedaulatan politik rakyat khususnya kedaulatan petani dalam proses pengambilan keputusan baik dalam hal kebijakan negara, maupun dalam hal penataan produksi, distribusi dan penentu harga hasil-hasil pertanian. Program Kerja SPSU berupa pendidikan dan pelatihan, yaitu: 1. Pendidikan CO bagi pengurus dan anggota badan khusus CO SPSU, bekerjasama dengan Yayasan Sintesa, Yayasan Alam Tani, dan Baileo Maluku. 2. Pelaksanaan Latihan CO bagi pimpinan serikat tani di Pulau Sumatera. Diikuti oleh
292
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303
3.
4.
5.
6.
7.
8. 9.
293
petani dari Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dll. Pembuatan dan pengembangan Modul dan bahan pendukung pendidikan a. Modul Pendidikan CO khusus bagi konsulat daerah dari kalangan petani. b. Modul pendidikan CO khusus bagi konsulat SPSU dari kalangan nonpetani. c. Pengadaan bahan-bahan pendukung pendidikan. Latihan Kader Khusus Non – CO a. Lanjutan pendidikan Organik di Pematang Jering dan desa sekitarnya. b. Pendidikan Pendidikan Organik dan bekerjasama dengan SINTESA di desa Lobburapa c. Pelaksanaan Aksi Strategis bersama berbentuk demonstrasi d. Pelaksanaan pertemuan silang antar anggota SPSU, khususnya petani perempuan. Program Perempuan Petani, Budaya Tani dan Anak-anak Petani. a. Mendorong lahirnya organisasi petani perempuan local pada setiap desa anggota SPSU b. Pengadaan diskusi informal antar sesama anggota petani perempuan. c. Pengangkatan Relawan Perempuan Khusus untuk CO petani perempuan di Tapanuli Selatan. Latihan Kader Khusus Non – CO a. Lanjutan pendidikan PHT di Pematang Jering dan desa sekitarnya. b. Pendidikan PHT dan bekerjasama dengan SINTESA di desa Lobburapa c. Pelaksanaan Aksi Strategis bersama berbentuk demonstrasi d. Pelaksanaan pertemuan silang antar anggota SPSU, khususnya petani perempuan. Program Perempuan Petani, Budaya Tani dan Anak-anak Petani. a. Identifikasi calon kader petani perempuan yang pada periode yang akan datang akan dididik melalui pendidikan khusus. b. Pengadaan diskusi informal antar sesama anggota petani perempuan. Latihan Kader CO a. Kader CO b. Kader Co dan Petani Perempuan Latihan Kader Khusus a. Budidaya Pertanian Organik
b. c. d. e. f.
Lembaga Keuangan petani Pemasaran Politik multi partai dan latihan konsulat Pertanahan, investigasi pertanahan dan hokum pertanahan Teknologi Komunikasi
Berangkat dari program kerja maka SPSU melakukan pendampingan terhadap petani di desa pematang jering, kecamatan Sei Suka, kabupaten Asahan mendorong petani untuk beralih dari pertanian konvensional menuju pertanian organik. Masalah utama saat itu adalah mahalnya pupuk dan pestisida kimia, mewabahnya hama keong mas, merebaknya pupuk dan pestisida palsu serta lilitan hutang pada KUT. Sangat kompleks permasalahan petani, khususnya di desa pematang jering sehingga menjadi perhatian khusus bagi pemerhati petani terutama Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) dan Pensosialisasian pertanian organik dilakukan SPSU untuk menghindari petani dari ketergantungan akan pupuk kimia agar petani dapat mencapai perbaikan kehidupan sosial ekonominya. Tidak sedikit pula hambatan yang dihadapi yaitu menurunnya produksi hingga 50%, pengeluaran tenaga semakin besar, belum lagi rongrongan dari pemerintah dengan tidak membelinya petani akan pupuk dan pestisida kimia tersebut. Keuntungan yang diperoleh dari pertanian organik, tidaklah mudah untuk meyakinkan petani agar beralih ke pertanian organik, karena sudah puluhan tahun mereka terdoktrin bahwa pestisida adalah dewa penyelamat bagi petani keluar dari kegagalan panen. Dalam pendampingan ini diperlukan orang yang berkompeten dengan pertanian organik dan kehidupan petani.Karena disini dibutuhkan pendekatan emosional yang dalam, agar petani mau maka sistem pendampingan yang dilakukan adalah partisipatif yaitu semua orang adalah guru, semua orang adalah murid, semua tempat adalah sekolah, semua orang tidak tahu sesuatu tetapi setiap orang tahu sesuatu. Jadi dalam pendampingan ini semua orang adalah sahabat maka semua orang akan ikut berperan.
Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...
Hasil Penelitian dan Pembahasan Tabel 1 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan No. 1 2
Pekerjaan Petani Wiraswasta Total
F
%
29 1
96.7 3.3
30
100.0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa responden yang mengikuti penyuluhan pertanian organik mayoritas pekerjaan responden yaitu petani yaitu sebesar 96,7 persen dan wiraswasta 3,3 persen. Dalam hal ini wiraswasta yang dimaksud yang memiliki usaha lain selain dari usaha tani.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk jenis komoditi pertanian mayoritas responden yang mengikuti penyuluhan pertanian organik yaitu sebesar 90 persen komoditi pertanian mereka adalah padi, jenis komoditi pertanian buah-buahan yaitu sebesar 10 persen. Dari hasil wawancara dengan responden, palawija tidak cocok di desa ini karena apabila musim kemarau tanahnya sangat kering dan bila musim hujan tanahnya sangat lembek sehingga palawija tidak dapat berkembang di desa ini dan desa Pematang Jering merupakan salah satu pemasok beras di Asahan. Tabel 4 Distribusi Jawaban Responden Apakah Tahu tentang Pertanian Organik No. 1. 2.
Tabel 2 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Jawaban Tidak tahu Tahu Total
F 2 28 30
% 6.7 93.3 100,0
Sumber: Data Primer No. 1 2 3
F
%
SD SLTP SLTA
Pendidikan
10 14 6
33.3 46.7 20.0
Jumlah
30
100,0
Sumber: Data Primer
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk responden yang mengikuti penyuluhan pertanian organik mayoritas tamatan SLTP yaitu sebesar 46,7 persen, kemudian tamat SD yaitu sebesar 33,3 persen, tamatan SLTA yaitu sebesar 20 persen. Hal ini menunjukkan walaupun responden yang mengikuti penyuluhan mayoritas hanya tamatan SLTP tetapi responden mempunyai kemauan untuk memajukan usaha tani dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara dan mempunyai keinginan untuk mengikuti pembelajaran yang diberikan oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). Tabel 3 Karaktersitik Responden Berdasarkan Jenis Komoditi Pertanian No. 1 2
Pendidikan Padi Buah-buahan Jumlah
F 27 3 30
% 90,0 10,0 100,0
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas responden yaitu sebesar 93,3 persen mengetahui tentang pertanian organik, dan hanya 6,7 persen responden yang tidak mengetahui pertanian organik. Menurut responden sebelumnya mereka tidak mengetahui tentang adanya pertanian organik tetapi setelah mendapat informasi dari Serikat Petani Sumatera Utara barulah mereka mengetahui tentang pertanian organik Tabel 5 Distribusi Responden tentang Darimana Diperoleh Informasi Mengenai Pertanian Organik No. 1 2 3
Kategori Televisi Koran SPSU Jumlah
F 1 2 27 30
% 3.3% 6.7% 90% 100%
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas responden yaitu sebesar 90 persen memperoleh informasi mengenai pertanian organik dari sumber lain. Mereka memperolah informasi melalui Serikat Petani Sumatera Utara yang memberikan penyuluhan tentang pertanian organik kepada para petani di Desa Pematang Jering. Sedangkan 6,7 persen responden mengetahui informasi mengenai pertanian organik dari surat kabar (koran), dan
Sumber: Data Primer
294
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303
responden yang memperoleh informasi mengenai pertanian organik dari televisi hanya sebesar 3,3 persen. Dari hasil wawancara, responden mengetahui dan mengenal profil SPSU sebagai lembaga yang membela petani dan memperjuangkan hak-hak petani dan hal ini terbukti ketika petani desa Pematang Jering terlibat perebutan lahan dengan pengusaha perkebunan tetapi dengan ketulusan hati pihak SPSU membela petani dan akhirnya petani mendapat apa yang menjadi hak petani. Tabel 6 Pernah Tidaknya Mengikuti Penyuluhan Pertanian Organik yang Dilakukan SPSU No. 1.
Jawaban Pernah Jumlah
F
%
30
100
30
100
2.
Pernah Jumlah
27
90%
30
100%
Sumber: Data Primer
Dari data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas responden yaitu sebesar 90 persen yang mengikuti penyuluhan pertanian organik di Desa pematang Jering memberikan jawaban pernah mengikuti penyuluhan pertanian organik selain dari Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU), selain dari SPSU mereka mengikuti penyuluhan dari Pemerintah melalui Dinas Pertanian. Kemudian yang menjawab tidak pernah mengikuti penyuluhan selain dari SPSU hanya sebesar 10 persen. Tabel 9 Pemahaman Materi Mengenai Pertanian Organik yang Dilakukan oleh SPSU
Sumber: Data Primer
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa seluruh responden yaitu sebesar 100% memberikan jawaban pernah mengikuti penyuluhan pertanian organik yang dilakukan oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). Tabel 7 Frekuensi Mengikuti Penyuluhan Pertanian Organik No. 1. 2.
F
%
Satu kali > Dua Kali
Jawaban
2 28
6.7% 93.3%
Jumlah
30
100.0%
Sumber: Data Primer
Dari data di atas dapat diketahui bahwa frekuensi responden mengikuti penyuluhan pertanian organik lebih dari dua kali sebesar 93.3 persen, responden yang mengikuti satu kali penyuluhan pertanian organik sebesar 6.7 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering responden mengikuti penyuluhan pertanian organik maka semakin luas wawasan dan pengetahuan responden tentang pertanian organik. Tabel 8 Pernah Tidaknya mengikuti Penyuluhan Pertanian Selain SPSU
No.
Jawaban
F
%
1. 2. 3.
Kurang dimengerti Mudah dimengerti Sangat mudah dimengerti
2 6 22
6.7 20.0 73.3
30
100.0
Jumlah Sumber: Data Primer
Dari data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa 73,3 persen responden mengakui bahwa materi yang disampaikan SPSU mengenai pertanian organik sangat mudah dimengerti, 20 persen memberikan jawaban mudah mengerti dan hanya 6,7 persen yang memberikan jawaban kurang mengerti mengenai materi penyuluhan pertanian organik yang dilakukan oleh serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). Materi yang diberikan oleh Serikat Petani Sumatera utara misalnya mengenai bagaimana memanfaatkan racun tradisional dalam mengatasi penyakit tanaman, bagaimana cara meningkatkan jumlah hasil produksi dan cara meningkatkan kandungan nutrisi tanaman padi. Tabel 10 Cara Penyampaian Materi Penyuluhan Pertanian Organik yang Dilakukan SPSU No. 1. 2.
Jawaban Baik Sangat baik Jumlah
No. 1.
295
Jawaban Tidak pernah
F
%
3
10%
Sumber: Data Primer
F
%
4 26
13.3% 86.7%
30
100.0%
Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...
Dari data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa kebanyakan responden menilai bahwa cara penyampaian materi penyampaian yang dilakukan Oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) sangat baik sebesar 97,5 persen, dan hanya 13 persen saja yang menilai baik. Penyampaian materi yang baik dapat memudahkan petani untuk lebih memahami bagaimana langkah-langkah yang harus mereka lakukan dan gunakan di dalam proses penanaman dengan saatnya panen sehingga tidak mengalami kesulitan-kesulitan yang dapat menyebabkan kerugian akibat gagalnya panen. Tabel 11 Mudah Tidaknya Penyuluhan Pertanian Organik Diterapkan dalam Kegiatan Pertanian No. 1. 2. 3.
Jawaban
F
Tidak mudah Mudah Sangat mudah
1 6 23
3.3% 20.0% 76.7%
30
100.0%
Jumlah
%
Sumber: Data Primer
Tabel 12 Keterlibatan dalam Kelompok Tani yang Diterapkan SPSU 1. 2. 3.
Jawaban
Tabel 13 Penting Tidaknya Petani Melakukan Pertanian Organik No.
Dari data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa responden merasa sangat mudah untuk menerapkan materi yang diberikan oleh SPSU (Serikat Petani Sumatera Utara) yaitu sebesar 76.7 persen dan 20 persen yang menilai mudah untuk diterapkan dan hanya 3,3 persen saja yang menilai tidak mudah untuk diterapkan. Menurut responden materi yang diberikan dapat dengan mudah diterapkan karena cara-cara dalam pertanian organik yang sederhana dan butuh kesabaran dan ketelitian agar hasil pertanian yang diharapkan dapat maksimal. Menurut responden juga materi yang diberikan oleh Serikat Petani Sumatera Utara sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan responden di manadalam materi pertanian organik diberikan teknik pertanian organik yang memerlukan bahan dasar yang organik yang banyak tersedia di desa ini.
No.
Dari data di atas dapat diketahui bahwa responden aktif terlibat dalam kelompok tani yang dibuat oleh SPSU (Serikat Petani Sumatera Utara) yaitu sebesar 73.3 persen, responden yang terlibat sangat aktif sebesar 23.3 persen, kurang aktif sebesar 3.3 persen saja. Ini membuktikan bahwa semua responden yang mengikuti penyuluhan pertanian organik merupakan anggota kelompok tani yang masih berperan dan mengikuti semua kegiatan yang dibuat oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU seperti diskusi kelompok yang membahas tentang kemajuan usaha tani dan permasalahan yang dihadapi petani dalam melakukan proses produksi sampai dengan pemasaran produk organik yang langsung ditangani SPSU.
F
%
Kurang aktif Aktif Sangat aktif
1 22 7
3.3% 73.3% 23.3%
Jumlah
30
100.0%
1. 2. 3.
Jawaban
F
%
Kurang penting Penting Sangat penting
2 6 22
6.7% 20.0% 73.3%
Jumlah
30
100.0%
Sumber: Data Primer
Dari data di atas dapat diketahui bahwa responden merasa sangat penting untuk melakukan pertanian organik yakni sebesar 73.3 persen dan yang merasa penting sebesar 20 persen dan yang merasa kurang penting sebasar 6.7 persen. Ini membuktikan bahwa kesadaran responden tentang bahaya pertanian non organik semakin tinggi dan kesadaran akan kesehatan juga semakin tinggi. Menurut responden juga pertanian organik merupakan pertanian masa depan yang harus dari sejak dini diterapkan karena sangat bermanfaat untuk generasi di masa yang akan datang. Responden yang merasa kurang penting melakukan pertanian organik mengaku bahwa pertanian konvensional juga merupakan model pertanian yang harus dilestarikan dan dapat memberi keuntungan di masa yang akan datang tetapi responden tidak mengerti lebih mendalam bahwa pestisida dan pupuk kimia sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Sumber: Data Primer
296
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303 Tabel 14 Cocok Tidaknya Pertanian Organik Diterapkan di Desa Pematang Jering No. 1. 2. 3.
Jawaban
F
Kurang cocok Cocok Sangat cocok
2 16 12
6.7% 53.3% 40.0%
30
100.0%
Jumlah
%
Sumber: Data Primer
Dari data di atas dapat diketahui bahwa responden merasa cocok pertanian organik dapat diterapkan di desa ini yakni sebesar 53.3 persen, sangat cocok sebesar 40 persen dan kurang cocok hanya sebesar 6.7 persen. Responden merasa cocok karena materi yang diberikan Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) tentang cara pencegahan hama dan pembuatan pupuk organik bisa dimengerti dan juga kebutuhan bahan dasar untuk pembuatan pupuk organik banyak tersedia di desa ini seperti untuk mengatasi hama putih (ulat gulung) responden hanya memerlukan bunga sakura yang ditumbuk dan airnya disemprotkan. Dengan begitu responden sangat merespon setiap pembelajaran yang diberikan karena potensi desa juga bisa digali. Tabel 15 Apakah Penyuluhan Pertanian Organik Membantu Petani No.
Jawaban
F
1. 2.
Membantu Sangat Membantu
4 26
13.3% 86.7%
%
Jumlah
30
100.0%
Sumatera Utara memberikan penyuluhan yaitu untuk menghindari ketergantungan petani terhadap pupuk kimia dan pestisida dan juga dalam pemasaran produk organik Serikat Petani Sumatera Utara menghindari panjangnya jalur distribusi yang merugikan petani sehingga hal ini juga membuat petani percaya dan sadar bahwa dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik bisa membantu petani mengatasi masalah. Tabel 16 Pengetahuan tentang Bahaya Pertanian Non-Organik Sebelum Mengikuti Penyuluhan No. 1. 2.
Jawaban Tidak tahu Tahu Jumlah
F
%
17 13
56.7 43.3
30
100,0
Sumber: Data Primer
Dari data di atas dapat diketahui bahwa responden yang tidak mengetahui bahaya pertanian organik sebelum mengikuti penyuluhan sebesar 56.7 persen dan responden yang tahu tentang bahaya pertanian non organik sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) hanya sebesar 43.3 persen. Responden yang mengetahui bahaya dari pertanian non organik sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik dari Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) mendapat informasi dan pernah mengikuti pembelajaran tentang pertanian organik dari pemerintah yaitu melalui Dinas Pertanian Sumatera Utara tetapi Dinas Pertanian hanya menjelaskan pentingnya mengembangkan pertanian organik tetapi tidak sampai kepada pemecahan masalah yang dihadapi responden.
Sumber: Data Primer
Dari data di atas dapat diketahui bahwa responden yang mengikuti penyuluhan pertanian organik mayoritas mengatakan bahwa penyuluhan pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara sangat membantu yakni sebesar 86.7 persen dan membantu sebesar 13.3 persen. Menurut responden dengan adanya penyuluhan pertanian organik yang diberikan Serikat Petani Sumatera Utara dapat membuka wawasan dan kesadaran responden tentang bahaya pertanian non organik begitu juga dengan keuntungan dari pertanian organik. Dalam hal ini salah satu tujuan Serikat Petani
297
Tabel 17 Pengetahuan tentang Kelebihan Pertanian Organik Setelah Mengikuti Penyuluhan Pertanian Organik No. 1. 2.
Jawaban
F
%
Tidak tahu Tahu
5 25
16.7% 83.3%
Jumlah
30
100.0%
Sumber: Data Primer
Dari data di atas dapat diketahui bahwa responden mengetahui tentang kelebihan dari pertanian organik setelah mengikuti penyuluhan
Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...
pertanian organik yakni sebesar 83.3 persen dan tidak tahu sebesar 16.7 persen. Hal ini terbukti setelah mengikuti penyuluhan pertanian organik responden langsung menerapkan sistem pertanian organik dalam kegiatan pertanian responden karena responden merasa bahwa materi tentang pertanian organik dapat mudah diterapkan yang cocok dengan kondisi dan potensi yang ada di desa ini dan juga kesadaran responden tentang hidup sehat yang tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam kegiatan produksi pertanian juga tumbuh. Responden yang tidak tahu tentang pentingnya pertanian organik mengaku bahwa mereka tidak sering ikut berdiskusi dan mengikuti proses pembelajaran pertanian organik dan juga sewaktu materi diberikan responden yang tidak tahu tentang pentingnya pertanian tidak menguasai dan menerima pembelajaran dengan baik. Tabel 18 Keinginan untuk Kembali ke Pertanian Non-Organik No. 1. 2.
Jawaban
F
%
Tidak ingin Ingin
25 5
83.3% 16.7%
Jumlah
30
100.0%
Sumber: Data Primer
Dari data di atas menunjukkan bahwa responden yang tidak ingin kembali melakukan kegiatan produksi pertanian non organik setelah mengikuti penyuluhan pertanian oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) yakni sebesar 83.3 persen dan responden yang ingin tetap melakukan pertanian non organik hanya sebesar 16.7 persen. Responden yang tidak ingin kembali melakukan kegiatan produksi pertanian non organik karena responden mengerti tentang bahaya dan kerugian pertanian non organik sedangkan responden yang masih ingin melakukan pertanian non organik menganggap bahwa materi tentang pertanian organik yang diberikan oleh Serikat Petani Sumatera Utara tidak mudah diterapkan karena cara proses produksi yang tidak praktis yang membuat responden merasa bahwa pertanian yang menggunakan pupuk kimia dan pestisida merupakan cara yang praktis dan hasil pertanian yang optimal. Untuk lebih mengetahui pengaruh penyuluhan pertanian organik terhadap sosial
ekonomi masyarakat petani, berikut ini dilakukan perbandingan kondisi sosial ekonomi masyarakat petani sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: 1. Perbandingan luas lahan petani sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui bahwa setelah mengikuti penyuluhan pertanian organik adanya kenaikan sebesar 20 persen dari luas lahan satu hektar yang diusahai responden dan penurunan jumlah luas lahan < 1 ha sebesar 20 persen. Maka hal ini setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik yang diberikan oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) kemudian adanya keinginan dari responden untuk memperluas usaha tani dalam memproduksi pertanian organik di manadengan biaya produksi rendah sehingga ada kesempatan untuk membuka lahan yang lebih luas dan produktivitas lebih banyak didukung oleh pengelolaan yang terkoordinir dengan baik di manadi samping memberikan penyuluhan pertanian organik, SPSU juga memberikan fasilitas pemasaran produk organik seperti kilang padi dan pemasaran langsung ke konsumen (Direct Market) yang berusaha untuk memperpendek jalur distribusi agar responden dapat menerima keuntungan sehingga dapat memperluas lahan yang diusahai responden.Seperti hasil penelitian Helgar Willer dalam “ The World Of Agriculture,Statistic and Emerging Trends 2004” yang dipublikasikan oleh IFOAM disebutkan bahwa luas lahan yang ditanami secara organik di Indonesia sekitar 40.000 ha atau 0,09 persen dari total lahan pertanian dan Indonesia berada di peringkat ke 37 dunia (Surono, 2004). 2. Perbandingan status kepemilikan lahan yang diusahakan petani sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik adanya kenaikan sebesar 20 persen dari status lahan milik sendiri sebesar 20 persen dan adanya penurunan untuk status lahan yang disewa sebesar 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik maka
298
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303
pengetahuan dan wawasan responden terbuka dan berusaha bagaimana meningkatkan hasil produksi pertanian organik karena setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik maka responden mengetahui kualitas hasil produksi pertanian organik yang jauh lebih baik dan harga yang berbeda antara hasil produksi pertanian non organik dengan pertanian organik, sehingga hal ini yang mendorong responden untuk mengembangkan pertanian organik, dengan keuntungan yang diperoleh bisa dimanfaatkan untuk memperluas lahan sehingga status kepemilikan lahan sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik berbeda. 3. Perbandingan frekuensi panen petani sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik adanya kenaikan sebesar 16.7 persen responden panen dua kali dalam satu tahun dan hanya 3.3 persen saja responden yang panen satu kali dalam satu tahun. Hal ini dapat terjadi karena dalam penyuluhan pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) materi pertanian organik yang diberikan salah satunya mengajarkan tentang cara tanam padi yang menggunakan cara alamiah untuk meningkatkan hasil produksi yang sebelum responden mengikuti penyuluhan pertanian organik cara ini tidak dipakai seperti, seminggu sebelum tanam diadakan penyincangan lahan dengan menggunakan jetor, setelah itu penyerakan pupuk organik yang terbuat dari sekam padi, ampas teri, kotoran ternak yang diolah menjadi satu dan dibiarkan selama tiga hari. Kemudian selama delapan hari lahan dibolak balik dan diserak pupuk organik tersebut. Setelah diserak tinggal memilih tanam dengan cara memakai garis atau tanam acak. Kalau tanam garis akan mengurangi serangan hama sedangkan tanam acak akan meningkatkan hasil produksi dan mempersingkat masa tanam. Materi seperti inilah yang diberikan SPSU dalam mengembangkan pertanian organik di desa ini sehingga frekuensi panen sebelum
299
mengikuti penyuluhan pertanian organik dan berbeda setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik. Hal ini didukung dengan penelitian Pimenteel, Paul Hepperly dan Rita Sidel ahli agronomi dari Rodale Institute dan Davis Douds ahli mikrobiologi dari Agrcultural Research Service (Departemen Pertanian AS), mereka memabndingkan aktivitas tanah, hasil panen, effisiensi energi dan biaya , perubahan bahan organik sejalan dengan perubahan waktu, akumulasi nitrogen dan penyebaran nitrat dari lahan pertanian system organik maupun system konvensional dan menemukan bahwa panenan pertanian organik meningkat setelah empat tahun penelitiannya karena dalam proses menuju lahan pertanian organik, erosi tanah dan air semakin membaik bahan organiknya, kelembabannya, aktivitas mikrobiologinya, sistem pertanian organik juga menyerap dan menahan cukup banyak karbon penyebab pemanasan global didalam tanah sehingga mempercepat degradasi tanah pulih kembali. 4. Perbandingan besarnya modal petani sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: Berdasarkan perolehan data dapat diketahui bahwa setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik modal yang dikelurkan kurang dari Rp 500.000 mengalami kenaikan dari 56.7 persen menjadi 90 persen yakni sebesar 3.3 persen. Sedangkan modal yang dikeluarkan lebih dari Rp 500.000 mengalami penurunan dari 43.3 persen menjadi 10 persen yakni sebesar 33.3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik maka responden mengikuti pola pertanian organik yang tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida melainkan hanya menggunakan pupuk yang berasal dari kotoran hewan ternak dan racun racun tradisional yang banyak tersedia di desa ini sehingga modal yang dikeluarkan tidak terlalu besar dibandingkan sebelum mengikuti pola pertanian organik. Maka dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik dapat mengubah pola pertanian responden sehingga mempengaruhi modal yang dikeluarkan responden dalam memproduksi pertaniannya dan otomatis
Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...
dengan adanya penyuluhan ini modal yang dikeluarkan setelah mengikuti penyuluhan pertanian organik berbeda dengan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik. Hal ini juga didukung oleh pendapat Fukuoka (dikutip dalam Sutanto, 2002: 20). Yang menyatakan bahwa ‘Untuk menuju pertanian organik sama sekali tidak tergantung pada bahan kimia dan pestisida tetapi hanya dengan sinar matahari, hujan dan tanah merupakan kekuatan alam secara langsung akan mengatur keseimbangan hidup yang alami’. Sehingga dengan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa biaya produksi pertanian organik lebih rendah dibandingkan pertanian konvensional. 5. Perbandingan besarnya pendapatan petani sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik adanya kenaikan jumlah penghasilan yang diterima lebih dari Rp.1.500.000 yaitu dari 23.3 persen menjadi 46.7 persen dan penurunan jumlah pendapatan yang kurang dari Rp.1.000.000 yaitu dari 60 persen menjadi 16.7 persen. Hal ini menunjukkan dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik dan mengikuti pola pertanian organik yang tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam proses produksi sehingga biaya produksi rendah dan responden dapat membuka lahan yang lebih luas dan akan mendorong produktivitas yang lebih banyak dan didukung pemasaran yang lebih terjamin dan kompetitif dengan harga penjualan yang lebih tinggi sehingga keuntungan akan diperoleh responden dan hal ini yang mendorong penghasilan responden meningkat setelah mengikuti penyuluhan pertanian dan menerapkan pertanian orgnaik dari Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). 6. Perbandingan kemampuan memenuhi kebutuhan petani sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: Berdasarkan perolehan data dapat diketahui bahwa setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik, mayoritas cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok
sehari hari yakni sebanyak 90 persen dan hanya 10 persen saja yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seharihari. Sedangkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik sebanyak 66.7 persen sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan hanya 6.7 persen saja yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Hal ini menunjukkan dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik dan mengikuti pola pertanian organik yang tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam proses produksi sehingga bisa memperkecil modal yang dikeluarkan responden dan juga hasil pertanian organik yang masih langka sehingga harga jual produk organik lebih mahal dibandingkan produk non organik dan hal ini mempengaruhi penghasilan yang diterima responden sehingga jumlah penghasilan yang diterima lebih besar dibandingkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik. Maka dengan penghasilan yang lebih responden dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, sehingga dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik kebutuhan pokok seharihari dapat tercukupi. 7. Perbandingan kemampuan memenuhi biaya pendidikan anak petani sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: Berdasarkan perolehan data dapat diketahui bahwa setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik, mayoritas cukup untuk memenuhi biaya pendidikan anak yakni sebanyak 86.7 persen dan hanya 6.7 persen saja yang tidak cukup untuk memenuhi biaya pendidikan anak. Sedangkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik sebanyak 63,4 persen dan 23.3 persen sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan hanya 13.3 persen saja yang cukup untuk memenuhi biaya pendidikan anak. Hal ini menunjukkan dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik dan mengikuti pola pertanian organik yang tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam proses produksi sehingga bisa memperkecil modal yang dikeluarkan responden dan juga hasil pertanian organik yang masih langka sehingga harga jual produk organik lebih
300
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303
mahal dibandingkan produk non organik dan hal ini mempengaruhi penghasilan yang diterima responden sehingga jumlah penghasilan yang diterima lebih besar dibandingkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik. Maka dengan penghasilan yang lebih maka responden dapat memenuhi biaya pendidikan dibandingkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik modal yang dikeluarkan sangat besar karena harus membeli pupuk kimia dan pestisida dengan harga yang mahal sehingga tidak mempunyai keuntungan, ditambah lagi biaya pendidikan yang mahal sehingga tidak dapat mencukupi biaya pendidikan anak. 8. Perbandingan kemampuan menabung petani sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik, mayoritas cukup untuk menyisihkan tabungan keluarga yakni sebanyak 90 persen dan hanya 10 persen saja yang tidak cukup untuk menyisihkan tabungan keluarga. Sedangkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik sebanyak 20 persen kurang dan 70 persen sangat kurang untuk menyisihkan tabungan keluarga dan hanya 10 persen saja yang cukup untuk menyisihkan tabungan keluarga. Hal ini menunjukkan dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik dan mengikuti pola pertanian organik yang tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam proses produksi sehingga bisa memperkecil modal yang dikeluarkan responden dan juga hasil pertanian organik yang masih langka sehingga harga jual produk organik lebih mahal dibandingkan produk non organik dan hal ini mempengaruhi penghasilan yang diterima responden sehingga jumlah penghasilan yang diterima lebih besar dibandingkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik. Maka dengan penghasilan yang lebih maka responden dapat menyisihkan tabungan keluarga dibandingkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik modal yang dikeluarkan sangat besar karena harus membeli pupuk kimia dan pestisida dengan harga yang mahal sehingga tidak
301
mempunyai keuntungan, apalagi menyisihkan tabungan keluarga untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari saja belum cukup. Maka dengan hal ini sudah jelas dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik dapat memenuhi menyisihkan tabungan bagi keluarga responden.
Kesimpulan Untuk lebih akurasi pengaruh penyuluhan pertanian organik terhadap sosial ekonomi petani dapat dilakukan uji statistik sebagai berikut: Untuk melihat apakah ada pengaruh tingkat pendapatan responden sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara dapat diketahui dari tabel sebelumnya yaitu: Data yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan proporsi tingkat pendapatan petani sebelum dan sesudah mengikuti aktivitas penyuluhan pertanian organik oleh SPSU, yakni kecendrungan penghasilan petani semakin meningkat setelah ikut aktivitas penyuluhan pertanian organik oleh SPSU. Lebih jelasnya adalah sebagian besar penghasilan responden sebelum ikut aktivitas penyuluhan pertanian organik oleh SPSU berada pada kategori < 1 juta sedangkan setelah mengikuti penyuluhan justru mayoritas responden memiliki penghasilan > 1.5 juta. Dari uji statistik Phi Cramer terbukti bahwa meningkatnya pendapatan responden setelah mengikuti penyuluhan pertanian organik (menerapkan program pertanian organik) signifikan. (Phi = 0,614, œ = 0,023) Hasil ini membuktikan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa: ‘Ada Pengaruh Program Penyuluhan Pertanian Organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara terhadap Peningkatan Pendapatan Petani di Desa Pematang Jering Kec.Sei Suka Kab.Asahan’. Dari uraian 5.2, 5.3 dan 5.4 di atas dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan penghasilan petani setelah mengikuti penyuluhan pertanian organik oleh SPSU dan menerapkan pola pertanian organik adalah dimungkinkan dari bebrapa aspek, yakni pola pertanian organik telah mampu memeberikan peluang adanya:
Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...
1. Menurunnya harga produksi sehingga otomatis memberikan margin keuntungan yang lebih besar dari sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik dari SPSU dan menerapkan pola pertanian organik (lihat tabel 5.25). Hal ini juga di dukung oleh pendapat Fukuoka (dikutip dalam Sutanto, 2002: 19) yang menyatakan bahwa ‘pertanian organik dapat menghemat biaya produksi karena dengan pertanian organik yang tidak menggunakan asupan kimia dan pestisida tetapi menggunakan pupuk alami dan hanya tergantung kepada faktor alam seperti sinar matahari, hujan dan tanah merupakan kekuatan alam secara langsung akan mengatur keseimbangan alam. 2. Akibat semakin rendahnya biaya produksi beberapa responden memiliki peluang atau kesempatan untuk memperluas lahan pertanian (lihat tabel 5.26). Hal ini juga didukung hasil penelitian Helgar Willer dalam “The World Of Agriculture, Statistic And Emerging Trends 2004” yang dipublikasikan oleh IFOAM (International Federation For Organic Agriculture Movements) disebutkan bahwa luas lahan yang ditanami secara organik di Indonesia sekitar 40.000 ha atau 0,09 persen dari total lahan pertanian dan Indonesia berada di peringkat ke 37 dunia ( Surono, 2004). 3. Akibat meningkatnya luas lahan berpeluang untuk meningkatkan jumlah produksi. Hal ini didukung oleh Penemuan System Rice Of Intenfication (SRI) oleh Henri de Lauline, seorang Jesuit di Madagaskar, ternyata pertanian organik mampu meningkatkan produktivitas tanaman padi hingga mencapai 8 ton per ha dengan total luas lahan kurang lebih dari 320.000 hektar dikelola secara organik (dikutip Widiastuti, 2004).
Saran 1. Pemasaran produk organik yang lebih luas dan terjamin yang memberikan peluang adanya jaminan produksi laku dengan harga yang kompetitif. 2. Distribusi yang lebih pendek, pemberian harga premium kepada petani/produsen kecil di manaharga dihitung bukan saja didasarkan pada biaya produksi tetapi juga biaya lain seperti asuransi gagal panen, biaya penguatan dan pengembangan
kelompok tani dan produsen, juga terjalinnya hubungan yang personal antara produsen dan konsumen melalui pertemuan rutin antara produsen dan konsumen (Pranasari, 2004). Hal seperti ini juga sedang dilakukan SPSU dalam pemasaran produk organik di Desa Pematang Jering dengan prinsip ‘Gerakan sosial’ dan ‘Direct Market’ di manaresponden melakukan pengorganisasian kepada konsumen, buruh, nelayan, atau bahkan pemuda supaya gerakan pertanian organik menjadi gerakan yang lebih meluas.
Daftar Pustaka Koentjaraningrat, Metode Penelitian Sosial, Gajah Mada University, Press, Yogyakarta, 1990. Muhidin, Syarif, Pengantar Kesejahteraan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung, 1981. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Sosial, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1992. Purba, Komintasari, dkk, Modul Sekolah Lapang Polikultur, Bitra Indonesia, Medan, 2002. Reijntjs, Coen, dkk, Pertanian Masa Depan, Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah, Kainisius, Yogyakarta, 1992. Sadono, Sukirno, Pengantar Teori Makro Ekonomi, Grafika, Jakarta. Salim, Peter, Drs. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Modern English Press, Jakarta, 2002. Singarimbun, Masri, Metode Penelitian Survey, LP3ES, 1989. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 1987. Suharsimi, Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktis, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997.
302
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303
Suroto, Strategi Pembangunan dan Perencanaan Kesempatan Kerja, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
Sutanto, Penerapan Pertanian Organik (Menuju Alternatif dan Berkelanjutan), Kainisius, Jakarta, 2002. Wahyuni, Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Usaha Nasional, Surabaya, 1986.
303