MODERNISASI PERTANIAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP SOSIAL EKONOMI PETANI DI DIY TAHUN 1968-1984
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Oleh: LESTARI EKA PRATIWI 11407141020
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016
i
MOTTO
“the only way to do great works is to love what you do” (Steve Jobs)
“manusia yang bijak itu layaknya seperti padi, semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu semakin rendah diri” (Penulis)
“masa lalu sudah terbiasa untuk dilupakan, masa kini sudah terbiasa untuk dilalui, namun masa depan biasanya tidak diketahui” (Penulis)
“sesuatu yang telah pergi tidak akan pernah datang kembali, seperti halnya dengan kesempatan yang tidak akan datang untuk kedua kalinya, maka pergunakanlah kesempatan yang ada dengan baik” (Penulis)
“forget what hurt you, but never forget what it taught you” (Penulis)
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Drs. H. Ukin Sukiman dan Rodiyah ♥ Kakek dan Nenekku ♥ Imam Prayogo dan Nur Hayati ♥ My Greatest Parents ♥
vi
ABSTRAK
MODERNISASI PERTANIAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP SOSIAL EKONOMI PETANI DI DIY TAHUN 1968-1984
Oleh: Lestari Eka Pratiwi NIM. 11407141020
Modernisasi pertanian merupakan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian khususnya padi. Produksi padi yang tinggi dapat menjamin ketahanan pangan masyarakat sehingga dapat mencapai swasembada pangan. Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Hal itu merupakan hasil nyata dari program modernisasi pertanian yang dilaksanakan oleh pemerintah. Modernisasi pertanian dibalik keberhasilannya juga berpengaruh terhadap sosial ekonomi petani khususnya petani kecil. DIY adalah salah satu daerah yang masyarakatnya bermata pencaharian petani khususnya di wilayah pedesaan. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui penerapan modernisasi pertanian dan pengaruhnya terhadap sosial ekonomi petani di DIY pada tahun 1968-1984. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah kritis. Pertama, heuristik yang merupakan tahap pengumpulan data atau sumber-sumber sejarah yang relevan. Kedua, kritik sumber, merupakan tahap pengkajian terhadap otentisitas dan kredibilitas sumber-sumber yang diperoleh yaitu dari segi fisik dan isi sumber. Ketiga, interpretasi yaitu dengan mencari keterkaitan makna yang berhubungan antara fakta sejarah yang telah diperoleh sehingga lebih bermakna. Keempat, historiografi atau penulisan yaitu penyampaian sintesis dalam bentuk karya sejarah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keadaan geografis, keadaan penduduk dan kondisi pertanian di DIY menyebabkan sektor pertanian menduduki peranan penting bagi masyarakat. Penerapan modernisasi pertanian yang merupakan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi padi dapat meningkatkan produksi padi di DIY secara signifikan. Modernisasi pertanian yang diterapkan di DIY telah memberi pengaruh baik di bidang sosial dan bidang ekonomi petani antara lain pengaruh terhadap pelapisan sosial masyarakat, pengaruh terhadap sistem pengolahan sawah, pengaruh terhadap ekosistem dan lingkungan, dan pengaruh terhadap pendapatan petani. Kata Kunci: Modernisasi Pertanian, Sosial Ekonomi, DIY.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan kita sepanjang zaman, sehingga penulis akhirnya mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Modernisasi Pertanian dan Pengaruhnya terhadap Sosial Ekonomi Petani di DIY Tahun 1968-1984” sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana sastra. Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang dalam kepada: 1.
Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial.
2.
H.Y. Agus Murdiyastomo, M. Hum selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah.
3.
Ririn Darini, M. Hum selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya dalam membimbing penulis guna menyelesaikan skripsi ini.
4.
Miftahuddin, M. Hum selaku narasumber yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya dalam membimbing penulis guna menyelesaikan skripsi ini.
5.
Danar Widiyanta, M. Hum selaku dosen pembimbing akademik angkatan 2011 yang selalu memberikan motivasi dan perhatian.
viii
6.
Seluruh dosen Prodi Ilmu Sejarah yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta wawasan kepada penulis agar bisa meraih sukses.
7.
Seluruh petugas Jogja Library Center, Perpustakaan Lembaga Pendidikan Perkebunan, Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Perpustakaan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, dan Perpustakaan Laboratorium Sejarah UNY, yang seluruhnya telah memberikan pelayanan dengan baik dalam proses pencarian sumber-sumber yang mendukung penulisan tugas akhir skripsi ini.
8.
Papaku Bapak Imam Prayogo, mamaku Ibu Nur Hayati, dan adikku Deni Dwi Gahari yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungan.
9.
Kakek dan Nenekku, Bapak Drs. H. Ukin Sukiman dan Ibu Rodiyah yang selalu berdoa untuk kesuksesanku.
10. Seluruh keluarga besarku yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan doa. 11. Sahabatku tercinta Moza yang tidak henti-hentinya menemani, menyemangati, memberi masukan dan bantuan atas memberi semangat.
ix
12. Teman-teman tersayang, Eva, Lina, Yuni, Beta, Enggar, Desi, dan Jay yang selalu memberi semangat dan masukan. Tidak lupa juga Yana, Dilla, Elly, Enggal, Fuad, Tio, dan Sena yang tidak pernah lelah untuk memberi semangat, masukan dan bantuan atas terselesaikannya skripsi ini. 13. Para teman-teman Prodi Ilmu Sejarah angkatan 2011 yang selalu memberi dukungan dan motivasi. 14. Teman-teman KKN ND 69, Yuri, Irma, Ratri, Diyanah, Nato, Danu, Erin, Gigih, dan Aldian yang selalu memberi semangat. 15. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih atas semua bantuannya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk hasil yang lebih baik dikemudian hari. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Yogyakarta, Januari 2016
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….. i HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………….. ii HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………....... iii PERNYATAAN ……………………………………………………………. iv MOTTO …………………………………………………………………….. v PERSEMBAHAN ………………………………………………………….. vi ABSTRAK ………………………………………………………………….. vii KATA PENGANTAR …………………………………………………....... viii DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. xi DAFTAR ISTILAH ………………………………………………………... xiii DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………....... xxi DAFTAR UKURAN ……………………………………………………….. xxii DAFTAR TABEL ………………………………………………………….. xxiii DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xxv BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………... B. Rumusan Masalah …………………………………………........ C. Tujuan Penelitian ……………………………………………….. D. Manfaat Penelitian ……………………………………………… E. Kajian Pustaka ………………………………………………….. F. Historiografi yang Relevan ……………………………………... G. Metode Penelitian dan Pendekatan …………………………….. H. Sistematika Penulisan …………………………………………...
1 7 8 9 9 12 16 24
BAB II : GAMBARAN UMUM WILAYAH DIY A. Keadaan Geografis ……………………………………………… 26 B. Keadaan Penduduk ……………………………………………... 40
xi
C. Kondisi Pertanian ………………………………………….......... 44 BAB III: KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI DI DIY A. Kebijakan Revolusi Hijau di Indonesia …………………………. 58 B. Penerapan Modernisasi Pertanian di DIY ………………………. 68 C. Pengaruh Modernisasi Pertanian terhadap Produksi Padi ………. 80 BAB IV: PENGARUH MODERNISASI PERTANIAN TERHADAP SOSIAL EKONOMI PETANI DI DIY A. Pengaruh dalam Bidang Sosial …………………………………. 89 B. Pengaruh dalam Bidang Ekonomi ……………………………… 111 BAB V : KESIMPULAN ………………………………………………... 112 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 116 LAMPIRAN ………………………………………………………………... 122
xii
DAFTAR ISTILAH
Adhol sendhe
: melakukan penggadaian sawah ke orang lain.
Alu
: alat berbentuk tongkat yang terbuat dari batu dan digunakan untuk menghaluskan padi.
Bawon
: sistem permberian upah berupa padi.
Bimas
: akronim dari “bimbingan massal” yaitu bimbingan yang diberikan kepada petani secara bersama-sama dalam program Revolusi Hijau.
Cost of living
: biaya hidup.
Delivery mechanism
: mekanisme distribusi.
Demonstrasi plot
: proyek percontohan atau percobaan.
Derep
: menuai padi.
Dibedhahi
: dibajak.
Diglidhibage
: diupahkan.
Dilebi
: diairi.
Dileremake
: dibiarkan.
Ditamping
: dicangkul dengan posisi miring.
Diwatun
: dicabut.
Ekstensifikasi
: usaha untuk melakukan peningkatan tanaman pertanian melalui peningkatan intensitas tanam, perluasan areal, dan pengembangan teknologi pertanian.
xiii
Gejlig
: potongan kayu yang runcing di bagian ujungnya, memiliki diameter ± 7 cm dan digunakan untuk membuat lubang di dalam tanah.
Gembor
: alat yang digunakan sebagai tempat penyimpan air untuk menyiram tanaman pertanian.
Grobog
: alat untuk menyimpan padi yang telah dipanen.
Hand sprayer
: alat penyemprot obat tanaman yang penggunaannya dilakukan dengan cara memompa secara berturut-turut.
Hand tractor
: traktor tangan.
High yield variety
: bibit padi varietas unggul.
Huller
: alat pertanian yang berupa mesin pengupas kulit gabah.
Ijon
: menjual tanaman ketika tanaman masih berusia muda atau belum siap untuk dipanen.
Ingerit
: penyebaran benih padi.
Intensfikasi
: usaha untuk memperbaiki tanaman pertanian secara terstruktur dengan melakukan meningkatkan dan memperluas penggunaan benih unggul bermutu, pupuk berimbang, air dan teknologi pasca panen, serta dengan menerapkan pengendalian hama terpadu.
Inmas
: akronim dari “intensifikasi massal” yaitu usaha untuk melakukan intensifikasi terhadap tanaman pertanian khususnya
tanaman
pangan
yang
terdiri
intensifikasi khusus dan intensifikasi umum.
xiv
dari
Intensifikasi khusus
: jenis intensifikasi padi yang dilakukan pada sawah irigasi yang pengairannya setahun penuh dalam sistem “panca usaha”, biasanya dilakukan secara bersamasama (melalui kelompok) dalam suatu lahan seluas 525 hektar.
Intensifikasi umum
: jenis intensifikasi padi yang dilakukan selain pada sawah irigasi yang pengairannya setahun penuh dalam sistem “panca usaha”, biasanya dilakukan tidak secara bersama-sama (tidak melalui kelompok).
Keronjot
: karung plastik.
Klehtek
: gerobak kecil.
Kuali
: alat berbentuk tabung dengan ukuran diameter ±30 cm dan tinggi ±35 cm yang terbuat dari tanah liat dan digunakan untuk merendam bibit padi yang akan ditanam.
Larikan
: sistem penanaman padi yang dilakukan dengan membuat garis lurus dengan alat pelurus dari bambu, bertujuan agar padi mendapat sinar matahari, udara dan nutrisi secara merata, serta mempermudah proses penyiangan.
Leptocorixa acuta
: walang sangit.
xv
Lumpang
: alat berbentuk kubus yang cekung di bagian atasnya yang terbuat dari batu dan digunakan sebagai tempat untuk menumbuk padi.
Lungka
: bongkahan tanah hasil pencangkulan.
Mara rolas
: sistem pembagian hasil berupa 1/12 bagian.
Mara sepuluh
: sistem pembagian hasil berupa 1/10 bagian
Mara telu
: sistem pembagian hasil berupa 1/3.
Mertelu
: kata lain dari “mara telu”.
Mara wolu
: sistem pembagian hasil berupa 1/8 bagian.
Maro
: sistem pembagian hasil berupa ½ bagian.
Malih tani
: kata lain dari “maro”.
Matun
: menyiangi rumput.
Mendangir
: membalik lapisan tanah.
Merkatak
: mekar.
Monopolistik
: bersifat monopoli.
Natura
: kredit.
Nephotetix apicalis
: wereng hijau.
Nezara viridula
: lembing hijau.
Ngrakal
: menyebarkan benih padi di tanah yang sudah lunak.
Nilapervata lugens
: wereng cokelat.
Nymphula depunctalis
: kupu-kupu.
Olie vlek
: tetesan minyak (dalam bahasa Belanda) adalah Program Rencana
Kesejahteraan
xvi
Kasimo
yang
pernah
dilaksanakan pada masa penjajahan Belanda dengan cara memilih lokasi-lokasi strategis untuk dijadikan “demonstrasi plot” tentang cara-cara pertanian modern, agar teknik baru dalam bercocok tanam dapat ditiru oleh masyarakat sekitarnya. Onderneming
: perkebunan besar.
Paceklik
: musim kemarau yang panjang.
Pachydiplosis oryzae
: ganjur.
Pacul
: cangkul (dalam bahasa jawa).
Padi gadhu
: jenis padi yang ditanam pada musim kemarau.
Padi gogo
: jenis padi yang ditanam di lahan kering atau yang dikenal dengan nama tegalan karena tidak terlalu banyak membutuhkan air, biasanya ditanam di daerah yang memiliki karakteristik tanah yang tandus atau gersang, serta memiliki keadaan hidrologi yang kurang memadai.
Pekuleh
: pribadi
Pengairan teknis
: sistem pengairan dengan sistem irigasi teknis yang dibangun setelah program Revolusi Hijau.
Petani gurem
: golongan petani miskin yaitu petani yang memiliki lahan pertanian dengan luas kurang dari 0,2 hektar
Petani lapisan atas
: golongan petani yang memiliki tanah lebih dari 1 hektar.
xvii
Petani sedang
: golongan petani yang memiliki tanah antara 0,5-1 hektar.
Pranata mangsa
: aturan tradisional Jawa mengenai periode-periode menanam padi.
R.r. Brevicaudutus
: tikus sawah.
R.r. Concolor ephipium : tikus huma. Receiving-mechanism
: mekanisme penerimaan.
Rice milling unit
: alat pertanian berupa mesin penggiling padi.
Sabit
: alat seperti pisau yang digunakan untuk memotong rumput.
Sawah oncoran
: adalah sawah yang pengairannya berasal dari saluran irigasi seperti sungai dan selokan.
Sawah tadah hujan
: sawah
yang pengairannya berasal penampungan,
penyebaran dan perluasan air hujan. Schunobius bipunctifer : ulat penggerek. Scirpophaga innotata
: ulat penggerek.
Sedentary
: sistem pertanian menetap.
Separo
: setengah (dalam bahasa Jawa).
Shifting
: sistem pertanian berpindah.
Srama
: sistem kontrak atau menyewa sawah bagi petani yang tidak memiliki sawah dengan pembayaran berupa uang atau setengah dari hasil panen kepada petani yang sawahnya akan dikontrak.
xviii
Tanah bengkok
: tanah yang dimiliki seseorang ketika bekerja sebagai perabot desa.
Tanah kas desa
: tanah yang dimiliki oleh kelurahan dan digunakan sebagai cadangan apabila kelurahan membutuhkan biaya
sewaktu-waktu,
misalnya
untuk
dana
pembangunan desa. Tanah lungguh
: istilah lain dari tanah bengkok.
Tanah pangarem-arem
: tanah yang dimiliki seseorang karena banyak berjasa terhadap desa, biasaya tanah tersebut hanya dapat dikuasai selama orang tersebut masih hidup, jika sudah meninggal tanah adalah milik kas desa.
Tanem
: kegiatan menanam di sawah maupun ladang.
Tandur
: kata lain dari “tanem”.
Tegalan
: kata lain dari ladang yaitu tanah yang diusahakan untuk menanam tanaman selain tanaman pangan, misalnya tanaman palawija dan tanaman sampingan lainnya tanpa dialiri air.
Threser
: alat perontok padi modern.
Tombong
: alat berbentuk balok yang dipisahkan menjadi dua bagian dengan ukuran tinggi 45 cm, panjang setiap sisi 30 cm, yang terbuat dari anyaman bambu dan digunakan sebagai tempat untuk mengangkut padi yang
xix
telah dipanen. Tombong biasanya diletakkan di belakang sepeda atau motor. Ulu-ulu
: seorang
pamong
desa
yang
bertugas
pengairan. Wiji dhautan
: benih padi yang sudah tumbuh ±25 hari.
xx
mengurus
DAFTAR SINGKATAN
BULOG : Badan Urusan Logistik BUUD
: Badan Usaha Unit Desa
FAO
: Food Association Organization
IGGI
: Inter-Governmental Group on Indonesia
IRRI
: International Rice Research Institute
KUD
: Koperasi Unit Desa
PB
: Peta Baru
PHT
: Pemberantasan Hama Terpadu
PPL
: Panitia Penyuluhan Lapangan
RT
: Rukun Tetangga
RW
: Rukun Warga
USAID
: United States Agency for International Development
xxi
DAFTAR UKURAN
1 bau
= 0,30 hektar atau 7.096 meter
1 kilometer = 100 meter 1 hektar
= 1.000 meter
1 kuintal
= 100 kilogram
1 ton
= 1.000 kilogram
Sumber: Khairuddin, Pembangunan Masyarakat: Tinjauan Aspek Sosiologi, Ekonomi, dan Perencanaan, Yogyakarta: Liberty, 1992.
xxii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pola Penggunaan Tanah di DIY ……………………………………. 38 Tabel 2 Jumlah Penduduk DIY Menurut Kotamadya/Kabupaten ………….. 40 Tabel 3 Persentase Pertumbuhan Penduduk DIY Menurut Kotamadya/Kabupaten ……………………………………………………… 41 Tabel 4 Persentase Penduduk DIY menurut Kotamadya/Kabupaten ……….. 42 Tabel 5 Persentase Penduduk Menurut Lapangan Pekerjaan di DIY ……….. 43 Tabel 6 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kotamadya Yogyakarta Tahun 1973 ………………………………………………………………….. 52 Tabel 7 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kabupaten Sleman Tahun 1973 ………………………………………………………………….. 53 Tabel 8 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kabupaten Bantul Tahun 1973 ………………………………………………………………….. 53 Tabel 9 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kabupaten Kulon Progo Tahun 1973 ………………………………………………………………...... 54 Tabel 10 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kabupaten Gunungkidul Tahun 1973 ………………………………………………………………….. 54 Tabel 11 Target dan Realisasi Bimas Padi Musim Penghujan di DIY Tahun 1968 ………………………………………………………………….. 71 Tabel 12 Target dan Realisasi Bimas Padi Musim Kemarau di DIY Tahun 1969 ………………………………………………………………….. 72 Tabel 13 Produksi Padi Sawah dan Padi Gogo di DIY Tahun 1968-1984 …
81
Tabel 14 Produksi Padi Sawah Per Kotamadya/Kabupaten di DIY Tahun 1968-1984 ……………………………………………………………. 86 Tabel 15 Produksi Padi Gogo Per Kotamadya/Kabupaten di DIY Tahun 1968-1984 ……………………………………………………………. 87
xxiii
Tabel 16 Produksi Rata-rata Padi Sawah dan Padi Gogo di DIY Tahun 1968-1984 ……………………………………………………………. 88 Tabel 17 Distribusi Pemilikan Tanah di Jawa dari 10 juta Kepala Keluarga
94
Tabel 18 Distribusi Pemilikan Tanah di Jawa dari 11,5 juta Kepala Keluarga 94 Tabel 19 Distribusi Pemilikan Tanah di Dusun Miri, Kelurahan Sriharjo Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY ……………………………….. 95 Tabel 20 Jumlah Usaha Tani dan Luas Garapan di Pulau Jawa Tahun 1973 .. 102 Tabel 21 Distribusi Pemilikan Tanah Sawah dari 164 Keluarga di Dusun Miri, Kelurahan Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY ………….. 103 Tabel 22 Rumah Tangga Petani (RTP) dan Kepemilikan Lahan Pertanian di DIY Tahun 1983 ………………………………………………………………….. 104
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Responden ………………………………………………. 123 Lampiran 2 Peta Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta ……………………. 124 Lampiran 3 Peta Pertanian Kotamadya Yogyakarta ………………………… 125 Lampiran 4 Peta Pertanian Kabupaten Sleman ……………………………… 126 Lampiran 5 Peta Pertanian Kabupaten Bantul ………………………………. 127 Lampiran 6 Peta Pertanian Kabupaten Kulon Progo ………………………… 128 Lampiran 7 Peta Pertanian Kabupaten Gunungkidul ………………………... 129 Lampiran 8 Produksi Bahan Makan Per Bulan di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1968 dan Perkembangannya Tahun 1959-1968 (Dalam Ton) ………………………………… 130
Lampiran 9 Produksi Bahan Makan Per Bulan di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1970 dan Perkembangannya Tahun 1960-1969 (Dalam Ton) ……………………………………………………
131
Lampiran 10 Produksi Bahan Makan Per Bulan di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1969 dan Perkembangannya Tahun 1961-1970 (Dalam Ton) …………………………………………………….. 132
Lampiran 11 Produksi Bahan Makan Per Bulan di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1972 dan Perkembangannya Tahun 1967-1972 (Dalam Ton) …………………………………………………….
133
Lampiran 12 Perkembangan Produksi Bahan Makan di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1968-1973 (Dalam Ton) ……………………………... 134
Lampiran 13 Produksi Bahan Makan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1974-1978 (Dalam Ton) ……………………………... 135
Lampiran 14 Produksi Bahan Makan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1979-1983 (Dalam Ton) ……………………………... 136
Lampiran 15 Produksi Bahan Makan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1982-1986 (Dalam Ton) ……………………………... 137
xxv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang berada di wilayah agraris. Sektor pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Keberadaan sektor pertanian telah memberikan kontribusi yang besar untuk pemerintah maupun masyarakat.1 Sekitar 55,5% masyarakat di Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, terutama masyarakat yang hidup di pedesaan dan bermata pencaharian sebagai petani.2 Keberadaan sektor pertanian selalu didukung oleh beberapa variabel penting yang ada di dalamnya seperti pengaturan produksi, tenaga kerja, teknologi, dan ekologi.3 Variabel penting dalam pertanian merupakan hal yang saling berkaitan. Pengaturan produksi sangat bergantung dari adanya tenaga kerja, teknologi dan ekologi yang digunakan dalam pertanian. Produksi pertanian dapat dihasilkan apabila adanya tenaga kerja sebagai pengelola lahan pertanian, teknologi pertanian yang digunakan, dan ekologi yang mendukung dengan memanfaatkan teknologi dan ekologi yang tersedia. Tenaga kerja pertanian memperoleh penghasilan dari produksi pertanian yang telah dihasilkan. Semakin tinggi produksi pertanian maka semakin besar penghasilan yang didapat.
1
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Pertumbuhan dan Pemerataan dalam Pembangunan Pertanian, (Jakarta: PERHEPI, 1983), hlm. 81. 2
Ibid.
3
Kaslan A. Tohir, Pengantar Ekonomi Pertanian, (Bandung: VorkinkVan Hoeve Gravenhage, t.t.), hlm. 17.
1
2
Produksi pertanian pada dasarnya berhubungan dengan luas lahan pertanian. Semakin luas lahan pertanian maka semakin besar produksi pertanian yang dihasilkan. Petani dengan lahan pertanian yang luas akan memperoleh hasil produksi yang besar, sementara petani dengan lahan pertanian sempit akan memperoleh hasil produksi yang relatif sedikit. Produksi pertanian khususnya produksi pangan pada kenyataannya tidak hanya mempengaruhi kehidupan petani saja, namun mempengaruhi masyarakat luas yang bermata pencaharian di luar petani. Produksi pangan khususnya padi merupakan tanaman yang terpenting di dunia selain gandum dan jagung. Perdamaian dunia dan kesejahteraan fisik umat manusia juga tergantung pada tercukupinya hasil budidaya ketiga tanaman bijibijian (cerealia) tersebut.4 Padi sebagai tanaman pangan tidak hanya sebagai komoditi ekonomi, namun pada kenyataannya sebagai komoditi politik. Padi merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia karena kalorinya tinggi apabila dibandingkan dengan makanan pokok lainnya seperti jagung, ketela, kentang, dan kedelai.5 Konsumsi beras di Indonesia yang tinggi membutuhkan persediaan beras yang memadai agar kebutuhan beras masyarakat dapat tercukupi. Indonesia pernah mengalami krisis pangan yang berat pada tahun 1960. Soekarno yang menjabat Presiden Indonesia pada masa itu menjelaskan bahwa dalam peperangan melawan kelaparan produksi beras meningkat dua kali lipat, tetapi pemerintah harus mengimpor beras lebih dari 1 juta ton per tahun
4
Jurgen H. Hohnholz, Geografi Pedesaan: Masalah Pengembangan Pangan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 134. 5
Sri Widodo, Efficiency of Rice Farmers in Java Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988), hlm. 2.
3
seharga hampir 1 juta dolar AS. Hal itu disebabkan karena jumlah penduduk tidak sesuai dengan pertambahan produksi beras.6 Hal lain yang juga menjadi penyebabnya adalah kemerosotan pertanian yang telah terjadi sejak 1950-an, tetapi tidak ditangani pemerintah. Produksi beras untuk jangka waktu 1950-1960 rata-rata bertambah sekitar 2,4% per tahun, dan untuk jangka waktu 1960-1967 rata-rata bertambah sekitar 1,5% per tahun. Masalah beras pada masa itu sangat berat, inflasi kelompok makanan mencapai 685,36% dan harga beras naik 900%.7 Soeharto yang menjabat Presiden Republik Indonesia pada tahun 1967 berusaha memperbaiki perekonomian Indonesia melalui kebijakan pertanian yaitu pembangunan pertanian. Kebijakan pertanian menjadi prioritas yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pembangunan pertanian tersebut meliputi tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan yang dilaksanakan secara terpadu melalui usaha intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi.8 Pembangunan pertanian dilakukan untuk meningkatkan produksi beras yang sangat sedikit pada tahun-tahun sebelumnya. Pembangunan pertanian juga bertujuan untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat Indonesia dengan terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat. Hasil nyata dari pembangunan pertanian sudah mulai terlihat sejak tahun 1968. Pembelian beras dalam negeri oleh pemerintah dapat mencapai lebih dari 6
Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm.127. 7
8
Ibid., hlm. 129.
Saafroedin Bahar, dkk, 50 Tahun Indonesia Merdeka: Selayang Pandang Hasil-hasil Pembangunan dalam Pelita I-Pelita V, (Jakarta: Sekretariat Negara, 1997), hlm. 72.
4
90% pada tahun 1968. Peningkatan jumlah produksi beras juga terjadi pada tahun 1969 yang mencapai 11,14 juta ton. Jumlah itu melebihi target awal yang ditetapkan pemerintah yaitu sebesar 10,5 juta ton. Kenaikan tersebut disebabkan oleh hujan yang dapat turun sepanjang tahun, sehingga para petani dapat menanam padi dua sampai tiga kali dalam periode itu.9 Peningkatan jumlah produksi beras sangat berpengaruh bagi ekonomi Indonesia yaitu dapat membantu mengurangi pemborosan devisa dan inflasi karena tekanan pada harga pangan yang pernah terjadi sebelumnya.10 Pemerintah dalam usahanya mengamankan persediaan pangan melaksanakan pembelian padi dan beras untuk memperbesar stok nasional, sekaligus menjaga kestabilan harga beras untuk melindungi petani produsen dari kemerosotan harga beras di waktu panen raya.11 Pembangunan pertanian yang dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia pada intinya bertujuan untuk meningkatkan produksi beras dan memperbaiki taraf hidup masyarakat khususnya masyarakat petani. Produksi beras yang tinggi akan berpengaruh pada ketahanan pangan masyarakat. Produksi pertanian yang tinggi juga akan menambah penghasilan yang diperoleh petani. DIY adalah salah satu daerah di Pulau Jawa yang ikut melaksanakan pembangunan pertanian. Produksi 9
Ahmad Nashih Luthfi, dkk, Pemikiran Agraria Bulaksumur: Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun, dan Mubyarto, (Yogyakarta: Sains Sajogyo Institute, 1980), hlm. 199. 10
Achmad Saubari, dkk, Presiden Soeharto dan Pembangunan Pertanian, (Jakarta: Citra Media Persada, 1992), hlm. 96. 11
Widjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm.154.
5
padi di DIY sebelum adanya kebijakan pembangunan pertanian pernah mengalami peningkatan pada tahun 1950-1958. Jumlah produksi padi tahun 1950 sekitar 132.954 ton dan tahun 1958 sekitar 224.664 ton.12 Peningkatan jumlah produksi padi tahun 1958 menunjukkan sekitar 52 persen lebih besar dibanding dengan tahun 1950. Perbandingan tersebut jauh melebihi tingkat pertambahan penduduk tahun 1950 sebesar 1.848.886 dan untuk tahun 1958 sebesar 2.096.519, menunjukkan kenaikan sekitar 13,5 persen. Hal itu menunjukkan bahwa hasil per bidang tanah cukup tinggi, tetapi berdasarkan hasil per tanah milik seorang petani penghasilan mereka tergolong rendah. Penyebabnya adalah terlalu banyak petani yang bekerja pada tanah-tanah yang subur. Program pembangunan pertanian di DIY dilaksanakan melalui program Bimbingan Massal (Bimas) yaitu Bimas Padi. Program Bimas Padi dilaksanakan di DIY tahun 1969-1970. Program Bimas Padi sukses dalam meningkatkan produksi beras di DIY. Kesuksesan tersebut dapat dilihat dari rata-rata produksi beras di DIY pada tahun 1981 yaitu sebesar 118,84 ton. Program Bimas merupakan program yang tidak berdiri sendiri, artinya berhubungan erat dengan hal lain seperti penyediaan pupuk dan obat pemberantas hama. Kebutuhan pupuk dalam negeri berkaitan dengan pengembangan industri pupuk dan masalah impor pupuk.13 Rata-rata pembelian dan distribusi beras di Jawa Tengah dan DIY
12
Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982), hlm. 196. 13
Biro Pusat Statistik, Peta Konsumsi Pangan di Indonesia 1981, (Jakarta: Biro Pusat Statistik, 1981), hlm. 58.
6
menunjukkan bahwa beras untuk distribusi lokal dapat dibeli 58 persen dari jumlah minimum yang dibutuhkan. Hal itu berarti 42 persen dari seluruh kebutuhan beras harus diimpor dari luar daerah,14 mengingat DIY merupakan daerah yang surplus berasnya 400 ribu ton ke bawah. Program pembangunan pertanian pada kenyataannya telah mampu meningkatkan produksi beras, namun tidak sepenuhnya dapat terhindar dari kendala terutama kendala yang disebabkan oleh alam. Krisis beras yang terjadi tidak dapat dihindari pada tahun 1972. Produksi beras yang sangat minim disebabkan oleh panjangnya musim kemarau yang melanda Indonesia. Hal itu menyebabkan lahan-lahan pertanian tidak dapat memproduksi padi dengan baik. Krisis menyebabkan daerah-daerah yang defisit beras harus mendapat bantuan impor beras dari daerah yang surplus beras. Program Bimas berhasil meningkatkan produksi beras di DIY, sehingga pemerintah tidak perlu mengimpor beras dari luar daerah. Pelaksanaan Bimas secara teknis tidak mengalami kendala, namun bagi peserta Bimas yang merupakan petani produsen beras program ini agak membebani mereka. Petani harus mengeluarkan biaya tambahan yang berupa biaya pengangkutan pupuk dan gabah yang diangkut dari ladang ke kantor Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Petani merasa terbebani karena penghasilan yang mereka dapatkan harus dipotong untuk biaya tersebut. Perkembangan kesejahteraan petani ditentukan oleh perkembangan tingkat harga riil padi dan tingkat produktivitas. Biro Pusat Statistik dalam 14
Mubyarto, Masalah Beras di Indonesia, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Ekonomi FEB UGM, 1975), hlm. 140.
7
kaitannya dengan batas garis kemiskinan menyebutkan bahwa laju perkembangan tersebut belum cukup mengangkat petani khususnya petani gurem atau petani kecil. Peningkatan produktivitas dan harga riil padi itu pun belum cukup menumbuhkan tingkat buruh tani dan buruh kasar di pedesaan.15 Pemilihan tema dan judul skripsi ini dilakukan untuk menggambarkan hubungan antara kebijakan pemerintah dan sasaran kebijakan tersebut yaitu petani padi. Skripsi ini menggunakan tahun 1968 sebagai titik awal kajian karena pada masa tersebut pemerintah Orde Baru mencanangkan program Revolusi Hijau di Indonesia. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri sekaligus mengurangi ketergantungan impor. Hasil beras dalam negeri yang sangat mampu mencukupi kebutuhan beras rakyat menandakan bahwa Indonesia telah berhasil melakukan swasembada beras pada 1984.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik beberapa rumusan yang dapat digunakan sebagai dasar penelitian yang akan dikaji. Rumusan masalah yang dapat dipaparkan adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana gambaran umum wilayah DIY?
2.
Bagaimana kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi padi di DIY?
3.
Bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi padi terhadap sosial ekonomi petani di DIY?
15
Agus Pakpahan, dkk, “Perkembangan Kesejahteraan Petani”, Prisma, No. 5/XXII/1993, hlm. 59.
8
C. Tujuan Penelitian Penulis dalam rangka pengerjaan penelitian, terdorong oleh beberapa tujuan yang akan dicapai. Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu : 1.
Tujuan Umum a.
Mencapai taraf praktek dalam keilmuan sejarah jenjang Strata-1 dengan menerapkan metodologi sejarah.
2.
b.
Melatih berpikir kritis dan sistematis dalam keilmuan sejarah.
c.
Menambah khasanah penulisan sejarah Indonesia.
Tujuan Khusus a.
Memaparkan gambaran umum wilayah Yogyakarta.
b.
Memaparkan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi padi di DIY.
c.
Memaparkan pengaruh kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi padi terhadap sosial ekonomi petani di DIY.
D. Manfaat Penelitian Penulis berharap tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan bagi penulis, yaitu: 1.
Bagi Pembaca a.
Memahami gambaran umum wilayah DIY.
b.
Memahami kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi padi di DIY.
9
c.
Memahami pengaruh kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi padi terhadap sosial ekonomi petani di DIY.
2.
Bagi Penulis a.
Menjadi tolok ukur penulis mengenai pemahaman pengetahuan kesejarahan.
b.
Menjadi tolok ukur penulis mengenai kemampuan terhadap cara berpikir kritis dan sistematis.
c.
Menjadi tolok ukur penulis terhadap peranannya dalam perkembangan kesejarahan.
E. Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka atau literatur yang menjadi landasan pemikiran dalam penelitian. Kajian pustaka dalam kaitannya dengan penelitian sejarah penting untuk merekonstruksi suatu peristiwa yang memerlukan rujukan agar karya tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Kajian pustaka dapat menambah informasi yang dibutuhkan dalam proses penulisan. Penulis memahami bahwa kajian pustaka sangat diperlukan dalam terciptanya sebuah karya sejarah yang baik. Penelitian ini menggunakan tiga buku yang berkaitan dengan tema yang akan dikaji. Kajian dalam skripsi ini adalah kondisi pertanian di DIY khususnya penerapan modernisasi pertanian serta pengaruhnya terhadap hasil pertanian dan kehidupan petani. DIY masih menggantungkan perekonomian daerah pada sektor pertanian di samping sektor industri, sektor perdagangan, dan sektor jasa. DIY memiliki keadaan geografis seperti letak wilayah, topografi, iklim, geohidrologi,
10
jenis tanah, dan komposisi tanah yang mendukung berkembangnya sektor pertanian sebagai sektor ekonomi. Pola penggunaan tanah di DIY yaitu tanah sawah, tanah tegalan, tanah pekarangan, dan hutan. Penggunaan lahan pertanian di DIY didominasi oleh sawah yaitu sekitar 70% dari luas tanah yang ada. Tanaman
pertanian yang ditanam di DIY antara lain palawija, padi,
jagung, ketela pohon, ketela rambat, ubi manis, ubi kayu, dan lain-lain. Tanaman pangan seperti padi adalah produk pertanian yang paling dominan karena paling banyak ditanam di berbagai daerah. Padi yang ditanam adalah padi sawah dan padi ladang. Padi sawah produksinya lebih banyak dibanding padi ladang, karena tingkat keberhasilan penanaman padi sawah lebih besar. DIY memiliki daerah penghasil padi di setiap kabupaten, apabila dilihat dari produktivitasnya Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo adalah penghasil padi sawah terbesar, sedangkan Kabupaten Gunungkidul adalah penghasil padi gogo terbesar di DIY.16 Pemerintah Orde Baru dalam melakukan pembangunan pertanian di Indonesia melaksanakan sebuah program yang disebut dengan Revolusi Hijau. Revolusi Hijau bertujuan untuk meningkatkan produksi padi dalam negeri agar persediaan beras cukup. Revolusi Hijau di Indonesia dilakukan dengan menerapkan modernisasi pertanian kepada semua usaha tani agar menciptakan pertanian yang lebih maju. Modernisasi pertanian dilakukan melalui sebuah program yang disebut Bimbingan Massal (Bimas) dengan menerapkan Panca Usaha Tani yang terdiri dari penggunaan bibit unggul, pemupukan, pengairan, 16
Kantor Pusat Data Propinsi DIY, Monografi DIY Tahun 1979, (Yogyakarta: Kantor Pusat Data, 1981), hlm. 98.
11
pemberantasan hama, dan teknik bercocok tanam. Mubyarto mengatakan Program Bimas padi pada 1968-1970 sukses dilaksanakan di Yogyakarta.17 Bimas merupakan model pembangunan pertanian karena segala aktivitas pembangunan desa berkisar pada program ini. Program Bimas telah berhasil mengkoordinir segala aktivitas yang diperlukan dalam usaha meningkatkan produksi padi. Produksi padi pada tahun-tahun pertama Repelita dapat dinaikkan lebih dari 10%. Kunci dari keberahasilan program ini adalah bantuan dan dukungan dari semua instansi yang ada. Modernisasi pertanian yang dilaksanakan melalui program Bimas berhasil meningkatkan produksi padi hampir di seluruh wilayah Jawa khususnya DIY. Program ini mendapat respon baik dari para petani karena pendapatan semakin meningkat semenjak digencarkan pada tahun 1969. Program Bimas dibalik keberhasilannya ternyata menimbulkan beberapa kerugian. Kerugian program Bimas secara umum antara lain menyebabkan pemborosan biaya tinggi terutama untuk mengimpor bibit dan pupuk buatan, merusak lingkungan akibat penggunaan pestisida dalam jumlah banyak, merendahkan para petani yang mempraktikkan pertanian tradisional khususnya dalam penggunaan bibit padi lokal dan pupuk kompos, selain itu padi Bimas banyak yang mengalami kegagalan.18 Modernisasi pertanian selain memberikan kerugian diatas juga memberikan pengaruh pada sosial ekonomi petani di DIY.
17
Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, (Jakarta: LP3ES, 1973),
hlm. 193. 18
Nor Huda, Revolusi Hijau dan Gerakan Petani di Magelang Pada Masa Akhir Orde Baru, Tesis, (Yogyakarta: Universitas Negeri Gadjah Mada, 2011), hlm 81.
12
Pengaruh dari adanya penerapan modernisasi pertanian di bidang sosial adalah semakin terlihatnya pelapisan sosial di masyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Pelapisan sosial di masyarakat pedesaan pada umumnya dilihat berdasarkan luas kepemilikan tanahnya. Pengaruh dari adanya penerapan modernisasi pertanian di bidang ekonomi adalah tidak meratanya keuntungan yang didapat dari program tersebut. Keuntungan dari adanya penerapan modernisasi pertanian hanya bisa dirasakan oleh petani kaya dan pamong-pamong desa, sementara petani miskin yang mengalami kekurangan modal tidak dapat merasakan keuntungan.19
F. Historiografi yang Relevan Historiografi yang relevan merupakan suatu karya sejarah yang mendahului penelitian yang akan ditulis.20 Karya sejarah terdahulu akan dibedah untuk mengetahui perbedaan antara tulisan tersebut dan karya penulis termasuk menelaah kekurangan peneliti terdahulu. Historiografi yang digunakan adalah skripsi tahun 2014 karya Dewi Ragil Pangesti mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul Modernisasi Pertanian di Kabupaten Gunungkidul Tahun 1960-1984: Dari Krisis Pangan Hingga Swasembada Pangan. Skripsi tersebut membahas modernisasi pertanian di Kabupaten Gunungkidul yaitu awal kemunculan krisis pangan, kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah
19
Frans Husken, Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa, 1830-1980, (Jakarta: PT Gramedia, 1998), hlm. 245. 20
Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, UNY, 2013), hlm. 6.
13
pangan, dan dampak modernisasi pertanian terhadap masyarakat di Kabupaten Gunungkidul. Masyarakat
Kabupaten
Gunungkidul
sebelum
adanya
program
modernisasi pertanian hanya mengkonsumsi ubi kayu. Program modernisasi pertanian yang diterapkan pada tahun 1970 menjadikan petani di daerah tersebut mencoba menanam bibit padi baru yang disesuaikan dengan kondisi tanah yang gersang untuk menanam padi selain padi gogo. Perubahan tersebut juga merubah persepsi tentang daerah Kabupaten Gunungkidul yang miskin dan tidak bisa berkembang. Modernisasi pertanian telah menghidupkan kembali kondisi pertanian yang buruk dan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Perbedaan antara karya Dewi Ragil Pangesti dan karya penulis adalah wilayah kajian dan periodisasi kajian. Wilayah kajian Dewi Ragil Pangesti adalah Kabupaten Gunungkidul sedangkan penulis menggunakan wilayah yang lebih luas yaitu DIY. Periodisasi kajian Dewi Ragil Pangesti diawali tahun 1960, sedangkan penulis mengawali periode penelitian tahun 1968. Penulis menggunakan skripsi tahun 2006 karya Trihapsari Nina Hadiastuti mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul Pengaruh Modernisasi Pertanian pada Kehidupan Masyarakat Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman 1970-1984. Skripsi tersebut membahas modernisasi pertanian yang ada di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman yaitu usaha pemerintah dalam memodernisasi pertanian, penerapan modernisasi pertanian, reaksi masyarakat terhadap modernisasi
14
pertanian, dan pengaruhnya pada produksi pertanian, bidang sosial, dan bidang ekonomi terhadap kehidupan masyarakat. Pemerintah
dalam
menerapkan
modernisasi
pertanian
di
Desa
Sendangagung melaksanakan program Bimas. Program tersebut memperkenalkan bibit baru, teknologi modern, dan penerapan Panca Usaha Tani. Revolusi hijau telah mengakibatkan perubahan pada hubungan sosial pedesaan. Penggarapan sawah dan pengolahan hasil panen di Desa Sendangagung sebelum adanya Revolusi Hijau masih relatif bersifat gotong royong, kemudian setelah adanya Revolusi Hijau sepenuhnya didasarkan pada nilai tukar uang yang merupakan ciri masyarakat individualistis. Revolusi Hijau juga menimbulkan dampak di bidang ekonomi terutama terhadap petani miskin dan buruh tani sebagai akibat meningkatnya biaya sarana produksi pertanian. Perbedaan antara karya Trihapsari Nina Hadiastuti dan karya penulis adalah fokus kajian, wilayah kajian, dan periodisasi kajian. Fokus kajian Trihapsari Nina Hadiastuti adalah pelaksanaan modernisasi pertanian, sedangkan penulis lebih memfokuskan kajian pada hasil produksi padi. Wilayah kajian Trihapsari Nina adalah wilayah Kecamatan Minggir, salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman, sedangkan penulis menggunakan wilayah yang lebih luas yaitu DIY. Periodisasi kajian Trihapsari Nina Hadiastuti diawali tahun 1970, sedangkan penulis diawali tahun 1968. Penulis menggunakan tesis tahun 2013 karya Dyah Ayu Anggraheni Ikaningtyas mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang berjudul Produksi Beras di Delanggu pada Masa Orde Baru 1968-1984. Tesis tersebut
15
membahas mengenai produksi beras di Delanggu yaitu penanaman padi varietas unggul menggantikan padi lokal di persawahan Delanggu, dan pengaruh usaha peningkatan produksi beras terhadap padi lokal Delanggu. Produksi beras di Delanggu pada 1968-1984 tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Orde Baru dalam meningkatkan produksi beras nasional. Petani Delanggu tidak serta merta mengikuti himbauan pemerintah, tetapi secara bertahap. Kebijakan pemerintah mengenai peningkatan produksi beras melalui intensifikasi pertanian berpengaruh terhadap petani dan pertanian di Delanggu, yaitu masuknya teknologi pertanian baru, berkurangnya varietas Rojolele di Delanggu, dan ketidakseimbangan ekologi. Pengaruh tersebut juga mempengaruhi kehidupan masyarakat Delanggu khususnya petani. Perbedaan antara karya Dyah Ayu Anggraheni Ikaningtyas dan karya penulis adalah wilayah kajian. Wilayah kajian Dyah Ayu Anggraheni Ikaningtyas adalah wilayah Kecamatan Delanggu, salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah sedangkan penulis menggunakan wilayah DIY. Penulis menggunakan tesis tahun 2011 karya Nor Huda mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang berjudul Revolusi Hijau dan Gerakan Petani di Magelang Pada Masa Akhir Orde Baru. Gerakan petani di Magelang pada masa akhir Orde Baru merupakan wujud gerakan yang dilakukan oleh petani terhadap dampak dari Revolusi Hijau. Pertanian organik digunakan sebagai ideologi gerakan, yang di dalamnya mengandung nilai-nilai kebebasan, kemandirian, dan keseimbangan alam.
16
Kemerdekaan petani yang digagas dengan ideologi pertanian organik pada kenyataannya tidak berjalan sesuai dengan harapan. Gerakan pertanian organik secara ekonomi politik dapat dikatakan gagal. Hambatannya bukan lagi terletak pada kebijakan pemerintah, tetapi mentalitas petani sendiri yang sudah berubah menjadi petani rasional, dalam arti petani modern. Perbedaan antara karya Nor Huda dengan karya penulis adalah wilayah kajian dan periodisasi kajian. Wilayah kajian Nor Huda adalah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah sedangkan penulis menggunakan wilayah DIY. Periodisasi kajian Nor Huda adalah masa akhir Orde Baru, sedangkan periodisasi yang akan dikaji dalam skripsi ini adalah tahun 1968-1984.
G. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian 1. Metode Penelitian Metode sejarah merupakan cara untuk merekonstruksi peristiwa masa lampau.
Sejarah
sebagai
disiplin
ilmu
mempunyai
metode
dalam
mengungkapkan peristiwa masa lalu agar menghasilkan karya sejarah yang ilmiah dan objektif. Penulisan ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.21 a. Heuristik Pengumpulan bahan-bahan memerlukan kemampuan berpikir dan strategi untuk mendapatkan sumber sejarah yang relevan. Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw material) sejarah yang mencakup
21
Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011), hlm. 43.
17
segala macam bukti atau evidensi yang telah ditinggalkan manusia yang menunjukkan segala aktivitasnya di masa lalu baik berupa tulisan maupun lisan.22 Penulis pada tahap ini berusaha mengumpulkan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dan sumber sekunder diperoleh melalui penelusuran di Laboratorium Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial UNY, Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Pedesaan dan Kawasan UGM, Yogyakarta, dan Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jogja Library Center, dan Perpustakaan Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP). Sumber lisan yang akan diperoleh melalui metode wawancara (interview) dengan informan terkait yang dapat memberikan informasi sesuai dengan judul yang dikaji. 1) Sumber primer Sumber primer berisi kesaksian seseorang dalam peristiwa sejarah yang bersangkutan.23 Sumber primer dapat dikatakan sebagai bukti yang sezaman dengan peristiwa yang terjadi. Sumber primer terdiri dari prasasti, manuskrip, transkripsi, rekaman pita, arsip, surat, koran, buku harian, sertifikat, peta, diagram, katalog, dan laporan penelitian. Jenis sumber primer yang digunakan dalam skripsi ini adalah sumber lisan (wawancara) dan arsip. 22
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm. 75. 23
Louis Gottschalck, “Understanding History: A Primer of Historical Method”, terj. Nugoroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm. 43.
18
a) Sumber lisan Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengumpulkan data keterangan tentang peristiwa yang diteliti. Wawancara merupakan metode utama dalam observasi. Teknik wawancara dipergunakan untuk tujuan tertentu, dari wawancara akan didapatkan keterangan dari seorang informan. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang berfokus sehingga didapat informasi yang cukup mendalam. Wawancara yang dilakukan untuk penyempurnaan skripsi ini dilakukan kepada petani yang terdapat di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul (lihat lampiran 1). b) Arsip Biro Pusat Statistik Daerah Istimewa Jogjakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Jogjakarta Tahun 1968 Bagian II, Jogjakarta: Biro Pusat Statistik, 1969. Biro Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1969 Bagian II, Yogyakarta: Biro Pusat Statistik, 1970. Biro Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1970 Bagian II, Yogyakarta: Biro Pusat Statistik, 1971. Biro Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1972 Bagian II, Yogyakarta: Biro Pusat Statistik, 1973. Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 Bagian I, Yogyakarta: Kantor Statistik, 1979. Pusat Pengolahan Data Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1983 Bagian II, Yogyakarta: Pusat Pengolahan Data, 1984.
19
Pusat Pengolahan Data Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta Dalam Trend Statistik 1982-1986, Yogyakarta: Pusat Pengolahan Data, 1985.
2) Sumber Sekunder Sumber sekunder merupakan sesuatu yang ditulis oleh sejarawan dengan menggunakan sumber primer. Sumber sekunder berisi kesaksian seseorang yang tidak hadir, namun melaporkan kejadian berdasarkan kesaksian orang lain dalam peristiwa sejarah yang bersangkutan.24 Sumber sekunder digunakan untuk memperdalam pemahaman mengenai latar belakang sumber-sumber atau arsip yang sezaman. Sumber tersebut terdiri dari karya-karya sejarah, seperti buku sejarah, dan karya ilmiah sejarah (skripsi, tesis, dan disertasi). Sumber sekunder yang digunakan dalam skripsi ini adalah: Achmad Saubari, dkk, Presiden Soeharto dan Pembangunan Pertanian, Jakarta: Citra Media Persada, 1992. Ahmad Nashih Luthfi, dkk, Pemikiran Agraria Bulaksumur: Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun, dan Mubyarto, Yogyakarta: Sains Sajogyo Institute, 1980. Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan, Jakarta: Kompas, 2009. Biro Pusat Statistik, Peta Konsumsi Pangan di Indonesia 1981, Jakarta: Biro Pusat Statistik, 1981. Frans Husken, Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa, 1830-1980, Jakarta: PT Gramedia, 1998. Hohnholz, Jurgen H., Geografi Pedesaan: Masalah Pengembangan Pangan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986.
24
Ibid.
20
Kantor Pusat Data Propinsi DIY, Monografi DIY Tahun 1979, Yogyakarta: Kantor Pusat Data, 1981. Kaslan A. Tohir, Pengantar Ekonomi Pertanian, Bandung: Vorkink-Van Hoeve Gravenhage, t.t. Mubyarto, Masalah Beras di Indonesia, Yogyakarta: Lembaga Penelitian Ekonomi FEB UGM, 1975. Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: LP3ES, 1973. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Pertumbuhan dan Pemerataan dalam Pembangunan Pertanian, Jakarta: PERHEPI, 1983. Saafroedin Bahar, dkk, 50 Tahun Indonesia Merdeka: Selayang Pandang Hasil-hasil Pembangunan dalam Pelita I-Pelita V, Jakarta: Sekretariat Negara, 1997. Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982. Sri Widodo, Efficiency of Rice Farmers in Java Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988. Widjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010. b.
Kritik Sumber Kritik terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan sangat
dibutuhkan untuk menguji kebenaran atau ketepatan (akurasi) sehingga karya sejarah
merupakan
produk
dari
suatu
proses
ilmiah
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Kritik sumber dalam metode sejarah dilakukan dengan cara melakukan kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal dilakukan dengan cara pengujian terhadap “aspekaspek luar” dari sumber sejarah yaitu keaslian dan relevansi sumber yang dapat dilihat dari bentuk fisik dokumen. Kritik internal dilakukan dengan
21
menguji kandungan data dalam sumber yang lebih menekankan “aspek-aspek dalam” yaitu isi dari sumber kesaksian (testimoni) untuk diperoleh fakta sejarah, sehingga fakta sejarah yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian sejarah. Kritik sumber mutlak dilakukan untuk menghindari unsur subjektivitas. c.
Interpretasi Interpretasi terdiri atas interpretasi analitis dan sintesis. Interpretasi
analitis adalah proses penguraian fakta-fakta yang terkandung dalam sumber sejarah, sedangkan interpretasi sintesis adalah proses penyatuan fakta-fakta yang terkandung dalam sumber sejarah. Peneliti harus memiliki kemampuan yang baik dalam mengangkat dan menguraikan sebab-akibat peristiwa yang dikaji. Tahap ini seringkali diwarnai oleh subjektivitas, padahal interpretasi tidak dapat dihilangkan dalam memahami suatu peristiwa sejarah. d.
Historiografi Penulisan sejarah merupakan tahap terakhir dalam metodologi
penelitian sejarah. Tahap penulisan mencakup interpretasi sejarah, eksplanasi sejarah, dan presentasi (pemaparan sejarah). Penulis diharapkan memiliki kemampuan yang baik dalam menguraikan fakta-fakta yang ada sehingga tercipta sebuah karya sejarah. Penyajian tulisan sejarah harus dilakukan secara sistematis dalam bentuk kalimat yang efektif sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) serta menggunakan model penulisan yang sesuai dalam metodologi sejarah.
22
2.
Pendekatan Penelitian Tulisan sejarah yang melibatkan penelitian suatu gejala sejarah
dengan jangka yang relatif panjang (aspek diakronis) dan melibatkan penelitian aspek ekonomi, masyarakat atau politik (aspek sinkronis) memakai pendekatan ilmu-ilmu sosial.25 Pendekatan penelitian digunakan untuk mempermudah pembaca dalam memahami hasil penelitian. Pendekatan penelitian dengan bantuan ilmu-ilmu bantu akan mempermudah penulis dalam proses penelitian sehingga hasil penelitian lebih relevan.26 Pendekatan penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah pendekatan ekonomi dan pendekatan sosial, antara lain sebagai berikut: a.
Pendekatan Ekonomi Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikosnamos atau
oikonomia yang artinya manajemen urusan rumah tangga, khususnya penyediaan administrasi pendapatan.27 Ilmu ekonomi menurut Samuelson dan Nordhaus adalah studi tentang perilaku orang dan masyarakat dalam memilih cara menggunakan sumber daya yang langka dan memilih beberapa alternatif penggunaan dalam rangka memproduksi berbagai komoditas, kemudian menyalurkan untuk saat ini dan masa depan kepada berbagai individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat. Ilmu ekonomi merupakan suatu 25
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Pustaka, 1995), hlm. 117. 26
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 3. 27
Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 366.
23
disiplin tentang aspek-aspek ekonomi dalam tingkah laku manusia yang mengkaji peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat. Tujuan dari ilmu ekonomi adalah mencari pengertian tentang hubungan kausal maupun fungsional dan menguasai masalah-masalah ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat. Penulis menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisis hubungan antara masalah pertanian dan kesejahteraan yang merupakan bidang kajian dari ilmu ekonomi yaitu ekonomi kesejahteraan dan ekonomi pertanian. Teori Paretian dalam ekonomi kesejahteraan menyatakan bahwa suatu kebijakan pada umumnya memberi keuntungan dan kerugian, sehingga peningkatan kesejahteraan tidak hanya merasakan kerugian ataupun keuntungan saja.28 Ekonomi pertanian memiliki masalah pokok yaitu memaksimalkan keuntungan pada setiap petani yang memiliki sumber daya dan teknologi tertentu dalam lingkungan ekonomi yang ditandai dengan kompetisi sempurna di semua pasar input dan outputnya. b.
Pendekatan Sosiologi Istilah sosiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu socius dan logos.
Socius berarti kawan, berkawan, ataupun bermasyarakat, sedangkan logos berarti ilmu atau dapat juga berbicara tentang sesuatu. Sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat. Pitirim Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu tentang hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial. Penulis menggunakan pendekatan sosiologi untuk
28
Mubyarto, op.cit, hlm. 4.
24
menganalisis pengaruh yang ditimbulkan dari adanya penerapan modernisasi pertanian terhadap sosial ekonomi petani. Modernisasi pertanian merupakan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi beras secara langsung berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi petani. Perubahan dari sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian modern tidak hanya mempengaruhi produksi pertanian saja, tetapi turut mempengaruhi kehidupan sosial petani khususnya petani di pedesaan.
H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam skripsi yang berjudul “Modernisasi Pertanian dan Pengaruhnya terhadap Sosial Ekonomi Petani di DIY Tahun 1968-1984” terdiri atas lima bab, yaitu: BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, historiografi yang relevan, metode penelitian dan pendekatan penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH DIY Bab ini menjelaskan gambaran umum wilayah DIY yaitu, keadaan geografis, keadaan penduduk, dan kondisi pertanian. BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI DI DIY Bab ini menjelaskan penerapan modernisasi perrtanian di DIY, yaitu kebijakan pemerintah dalam kebijakan revolusi hijau di Indonesia, penerapan
25
modernisasi pertanian, dan pengaruh modernisasi pertanian terhadap produksi padi. BAB IV PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI TERHADAP SOSIAL EKONOMI PETANI DI DIY Bab ini menjelaskan pengaruh modernisasi pertanian terhadap sosial ekonomi petani di DIY, yaitu pengaruh dalam bidang sosial dan pengaruh dalam bidang ekonomi. BAB V KESIMPULAN Bab ini menjelaskan simpulan jawaban atas pertanyaan pada bagian rumusan masalah.
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH DIY
A. Keadaan Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta secara astronomis terletak antara 7o30’8o15’ LS dan 110o-110o50’ BT,1 secara geografis terletak di tengah Pulau Jawa bagian selatan, dan secara geologis termasuk zone tengah dan selatan dari propinsi geologi Jawa Tengah dan Jawa Timur.2 Bentuk keseluruhan wilayah DIY menyerupai segitiga dengan puncak disebelah utara yaitu Gunung Merapi yang memiliki ketinggian 2.911 meter. DIY berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri di sebelah tenggara, Kabupaten Klaten di sebelah timur laut, Kabupaten Magelang di sebelah barat laut, Kabupaten Purworejo di sebelah barat, dan Lautan Indonesia di sebelah selatan. Luas wilayah DIY adalah 3.185,81 km2, terbagi dalam daerah kotamadya dan empat kabupaten yaitu Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul yang masing-masing memiliki wilayah administratif (lihat lampiran 2). Kotamadya Yogyakarta terletak pada 7o49’26’’-7o50’84’’ LS dan 110o23’79’’-110o8’53’’ BT.3 Kotamadya Yogyakarta berada pada ketinggian 114 m di atas permukaan laut. Kotamadya Yogyakarta memiliki luas wilayah 32,50 1
Soemargono, Profil Propinsi Republik Indonesia: Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, 1992), hlm. 44. 2
Kantor Pusat Data Propinsi DIY, Monografi DIY Tahun 1979, (Yogyakarta: Kantor Pusat Data, 1981), hlm. 3. 3
Biro Hubungan Masyarakat, Kotamadya Yogyakarta, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 19.
26
27
km2 terdiri dari 14 kecamatan, 45 kelurahan, 617 RW (Rukun Warga), dan 2.532 RT (Rukun Tetangga).4 Wilayah Kotamadya Yogyakarta berbatasan dengan Kabupaten Sleman di sebelah utara, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul di sebelah barat, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul di sebelah timur, dan Kabupaten Bantul di sebelah selatan (lihat lampiran 3). Kabupaten Sleman terletak pada 7o34’51’’-7o47’03’’ LS dan 107o15’03110o 28’30’’ BT.5 Kabupaten Sleman berada pada ketinggian 130-1.200 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian selatan merupakan tanah dataran dengan ketinggian 130 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian tenggara yang meliputi Kecamatan Prambanan dan Kecamatan Brebah merupakan tanah berbukit dengan ketinggian 140-145 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian barat daya berada pada ketinggian 140 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian timur berada pada ketinggian 200-600 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian utara yang merupakan daerah terjal berada pada ketinggian 600-1.200 m di atas permukaan laut.6 Kabupaten Sleman memiliki luas wilayah 547,82 km2 yang terdiri dari 17 kecamatan dan 86 kelurahan. Wilayah Kabupaten Sleman berbatasan dengan Kabupaten Magelang
4
Djoko Suryo, “Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 19001990, dalam Freek Colombijn, Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia Sesudah dan Sebelum Kemerdekaan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005), hlm. 2. 5
Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Sleman, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 6. 6
Sutrisno Kutoyo, Sejarah tentang Pengaruh Pelita di Daerah terhadap Kehidupan Masyarakat Pedesaan Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1981), hlm. 37.
28
dan Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Klaten disebelah timur, Kabupaten Kulonprogo di sebelah barat, serta Kabupaten Bantul dan Kotamadya Yogyakarta di sebelah selatan (lihat lampiran 4). Kabupaten
Bantul
terletak
pada
14o4’50’’-14o37’50’’
LS
dan
110o18’40’’-110o34’40’’ BT.7 Kabupaten Bantul berada pada ketinggian 100 m di atas permukaan laut.8 Kabupaten Bantul memiliki luas wilayah 506,85 km2 terdiri dari 17 kecamatan dan 75 kelurahan. Wilayah Kabupaten Bantul berbatasan dengan Kotamadya Yogyakarta di sebelah utara, Kabupaten Kulon Progo di sebelah barat, Kabupaten Gunungkidul di sebelah timur, dan Lautan Indonesia di sebelah selatan9 (lihat lampiran 5). Kabupaten Kulon Progo terletak pada 7o50’ LS dan 3o208’ BT.10 Kabupaten Kulon Progo berada pada ketinggian 160-583 di atas permukaan laut. Kabupaten Kulon Progo bagian utara dan sebagian sebelah barat yang membujur ke selatan yang merupakan bagian dari Pegunungan Menoreh memiliki ketinggian 160-572 m di atas permukaan laut. Kabupaten Kulon Progo bagian selatan dan timur yang berada di sebelah barat Sungai Progo merupakan daerah landai yang memiliki ketinggian sekitar 583 m di atas permukaan laut.11 Kabupaten Kulon
7
Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Bantul, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 1. 8
Sutrisno Kutoyo, op.cit., hlm. 37.
9
Biro Hubungan Masyarakat, op.cit., hlm. 1.
10
Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Kulon Progo, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 9. 11
Sutrisno Kutoyo, op.cit., hlm. 37.
29
Progo memiliki luas wilayah 586,28 km2 terdiri dari 12 kecamatan dan 88 kelurahan. Wilayah Kabupaten Kulon Progo berbatasan dengan Kabupaten Magelang di sebelah utara, Kabupaten Purworejo di sebelah barat, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul di sebelah timur, dan Samudra Hindia di sebelah selatan (lihat lampiran 6). Kabupaten Gunungkidul terletak pada 7o58’ LS dan 110o36’ BT.12 Kabupaten Gunungkidul berada pada ketinggian 100-700 m di atas permukaan laut. Kabupaten Gunungkidul bagian utara (zone utara) berada pada ketinggian 200-700 m di atas permukaan laut. Kabupaten Gunungkidul bagian tengah (zone tengah) atau yang dikenal dengan Ledok Wonosari berada pada ketinggian 150300 m di atas permukaan laut. Kabupaten Gunungkidul bagian selatan (zone selatan) atau yang dikenal dengan Gunung Seribu merupakan daerah berbukit dan berbatu karang yang berada pada ketinggian 100-300 m di atas permukaan laut.13 Wilayah Kabupaten Gunungkidul memiliki luas wilayah 1485,36 km2 terdiri dari 13 kecamatan dan 144 kelurahan. Wilayah Kabupaten Gunungkidul berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah utara, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman di sebelah barat, Kabupaten Wonogiri di sebelah timur, dan Samudra Hindia di sebelah selatan (lihat lampiran 7).
12
Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Gunungkidul, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 1. 13
Sutrisno Kutoyo, op.cit., hlm. 37.
30
Iklim adalah suatu keadaan yang menggambarkan suasana mengenai udara dan cuaca di sebuah wilayah dalam kurun waktu tertentu.14 Iklim meliputi temperatur, kecepatan angin, kelembaban udara, dan curah hujan. Temperatur harian di wilayah DIY berkisar 26,68o C dengan rata-rata maksimum 30,48o33,6oC dan rata-rata minimum 21,1o-23,0o C.15 Kecepatan angin sekitar 5-16 knot per jam (2,57-8,22 m/detik). Kelembaban udara di wilayah DIY berkisar antara 73%-77% dengan maksimum 95%-97% dan minimum 43%-45%. Curah hujan tahunan di wilayah DIY berdasarkan Peta Isohyet rata-rata berkisar dari 15003500 mm. Hidrologi di wilayah DIY terdiri dari hidrologi sungai dan air tanah yang berfungsi sebagai irigasi pertanian dan keperluan sehari-hari penduduk. DIY dialiri oleh beberapa sungai besar yang melewati Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Bantul serta langsung bermuara ke Lautan Indonesia. Sungai tersebut antara lain, Sungai Progo, Sungai Oyo dan Sungai Opak16 yang tergolong sungai besar berdasarkan luas daerah pengalirannya. Sungai Progo dengan daerah pengaliran yang berasal dari Pegunungan Kulon Progo, Gunung Merapi, dan lainnya terletak di luar DIY memiliki luas daerah pengaliran sebesar 69.460 ha. Sungai Opak dengan daerah pengaliran Sungai Oyo yang berasal dari Pegunungan Selatan dan daerah pengaliran yang berasal dari
14
Desi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amalia, 2003), hlm. 177. 15
Kantor Pusat Data Propinsi DIY, op.cit, hlm. 16.
16
Kantor Pusat Data Propinsi DIY, op.cit, hlm. 27.
31
lereng selatan Gunung Merapi memiliki luas daerah pengaliran sebesar 50.830 ha, sementara Sungai Oyo memiliki luas daerah pengaliran sebesar 72.710 ha. Tanah dalam kaitannya dengan pertanian memiliki fungsi yang sangat penting karena tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman pertanian. Tingkat kesuburan tanah sangat mempengaruhi produktivitas tanaman pertanian. Jenisjenis tanah yang ada di wilayah DIY pada umumnya adalah tanah yang subur sehingga sangat memungkinkan untuk dijadikan area persawahan. Jenis tanah yang terdapat di beberapa kabupaten di DIY memiliki sifat, kesuburan, dan kemampuan yang berbeda-beda. Jenis tanah yang ada di wilayah DIY antara lain, rendsina, mediteran, regosol, kambisol, aluvial, gleisol, latosol, dan gromusol.17 Keadaan geografis di suatu daerah pada dasarnya merupakan faktor utama atas berlangsungnya kehidupan manusia, salah satunya adalah bidang pertanian. Pertanian di DIY sangat dipengaruhi oleh keadaan geografisnya seperti iklim, kelembaban udara, hidrologi, dan jenis tanah yang telah dijelaskan diatas. Pertanian di DIY telah dimulai sejak masa prasejarah ketika masyarakatnya masih bersifat primitif. Pertanian hanya dilakukan dengan cara yang sederhana yaitu dengan mencari dan mengumpulkan bahan makanan dari beberapa tempat. Perkembangan masyarakat yang semakin maju menyebabkan kemajuan pertanian. Pertanian mulai dilakukan dengan cara menanam padi sehingga masyarakat tidak perlu lagi mencari dan mengumpulkan bahan makan dari beberapa tempat. Penanaman padi di DIY telah dimulai pada masa Kerajaan
17
Ibid., hlm. 40.
32
Mataram.18 Denys Lombard menyebutkan kepemilikan sawah di Kerajaan Mataram tidak hanya dikuasai oleh raja, tetapi para bangsawan berhak mengelola lahan yang kemudian dikerjakan oleh rakyat biasa.19 Kondisi produksi padi pernah dicatat oleh Residen Yogyakarta yaitu Matthias Waterloo pada tahun 1804.20 Matthias Waterloo mengatakan bahwa produksi padi pada masa itu lebih baik daripada 20 tahun sebelumnya. Thomas Stamford Raffles seorang Gubernur Jenderal yang pernah berkuasa di Jawa pada tahun 1811-1816, juga mengatakan dalam sebuah tulisan bahwa sedikit sekali negeri yang rakyatnya dapat makan nasi dengan baik seperti di Jawa. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa kondisi produksi padi di Yogyakarta pada masa itu dapat dikatakan baik. Padi adalah tanaman penting bagi Kesultanan Yogyakarta, karena tanaman tersebut merupakan komoditi ekspor utama, selain produk lainnya seperti tembakau, kain, dan batik.21 Penanaman padi di DIY juga tidak terlepas dari inovasi Pemerintah Jepang khususnya di bidang pertanian rakyat.22 Pemerintah Jepang mencoba
18
Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 24. 19
Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaankerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), hlm. 45. 20
Ibid.
21
Ibid.
22
Pemerintah Belanda dan Jepang telah mencoba meningkatkan produksi pertanian. Usaha-usaha tersebut terpusat pada pengenalan teknik-teknik pertanian yang lebih baik, penggunaan pupuk kandang dan pupuk impor, serta pemilihan bibit-bibit yang lebih baik.
33
memperkenalkan sistem penanaman bergaris23 sebagai teknik penanaman padi yang lebih baik. Pemerintah Jepang juga memperkenalkan pupuk kompos yang terbuat dari guguran daun, kotoran hewan, dan sampah-sampah yang dimasukkan ke dalam tanah, diairi, dan ditutup selama beberapa hari. Bibit padi yang diimpor dari Taiwan merupakan bibit padi unggul yang diperkenalkan oleh Pemerintah Jepang. Bibit tersebut dapat menghasilkan padi yang baik dan bisa dipanen sebanyak tiga kali dalam rentang waktu satu tahun, padahal dalam sistem tradisional padi hanya bisa dipanen sebanyak dua kali.24 Pertanian di DIY termasuk pertanian yang telah maju sehingga sistem pertanian yang diterapkan adalah sistem pertanian menetap (sedentary). Pertanian yang telah maju dilakukan secara teratur dan dicirikan oleh peralatan besi yang cukup seperti cangkul, bajak, dan traktor.25 Sistem pertanian menetap berbeda dengan sistem pertanian berpindah (shifting) yang dilakukan oleh pertanian primitif. Sistem pertanian menetap hanya mengolah tanah pada satu tempat yang telah ditentukan dan dilakukan secara berkelanjutan. Pertanian di DIY termasuk dalam pertanian rakyat sehingga pola penggunaan tanahnya terdiri dari sawah, ladang atau tegalan, pekarangan, hutan,
23
Sistem penanaman bergaris dilakukan dengan membuat suatu jalur penanaman yang ditentukan dengan merentangkan tali pada kedua sisi sawah, kemudian bibit padi ditanam menurut jarak yang sudah ditentukan. Sistem tersebut membutuhkan sedikit bibit dan tenaga kerja daripada yang dipakai dalam sistem tradisional. 24
Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982), hlm. 189. 25
Johara T. Jayadinata, Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah, (Bandung: Penerbit ITB, 1999), hlm. 70.
34
dan lain-lain. Sawah merupakan tanah yang diusahakan dan diberi pengairan untuk menanam padi. Sawah menurut jenis pengairannya terdiri dari sawah tadah hujan26 dan sawah oncoran.27 Sawah tadah hujan biasanya berada di daerah yang tidak memiliki pasokan air yang cukup untuk mengairi sawah, sehingga hanya dapat bergantung pada musim hujan.28 Sawah tadah hujan di DIY banyak terdapat di Kabupaten Bantul, Kulon Progo, Kabupaten dan Gunungkidul. Sawah oncoran biasanya berada di daerah yang memiliki pasokan air yang cukup untuk mengairi sawah. Sawah oncoran di DIY banyak terdapat di Kabupaten Sleman.29 Pengairan diurus oleh pamong desa yang ada di setiap kelurahan. Pamong desa yang bertugas mengurus pengairan biasanya disebut dengan ulu-ulu. Pengairan sawah di DIY terutama di daerah pedesaan juga diurus oleh pamong desa atau perabot desa.30 Pengairan untuk sawah selain melalui sistem tadah hujan dan oncoran, dapat juga diperoleh melalui pengairan teknis. Pengairan teknis mulai diadakan di DIY sekitar tahun 1960-an. Pengairan teknis merupakan pengairan yang diperoleh dari sistem irigasi teknis, yaitu terdapat pemisahan antara saluran pemberi dan saluran pembuang dalam jaringan irigasinya agar
26
Sawah tadah hujan adalah sawah yang pengairannya berasal penampungan, penyebaran dan perluasan air hujan. 27
Sawah oncoran adalah sawah yang pengairannya berasal dari saluran irigasi seperti sungai dan selokan. 28
Johara T. Jayadinata, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah, (Bandung: ITB, 1986), hlm. 71. 29
Depdikbud, Adat Istiadat Daerah Istimewa DIY, (Jakarta: Depdikbud, 1976), hlm. 41. 30
Ibid., hlm. 53.
35
penyediaan dan pembagian air dapat diatur dengan mudah. Jaringan irigasi teknis terdiri dari saluran induk yaitu saluran air sekunder dan saluran air tersier yang dibangun serta dipelihara oleh Dinas Pengairan atau Pemerintah.31 Sawah sebagai lahan pertanian dilakukan dalam beberapa tahap pengerjaan, antara lain pengolahan sawah, penanaman, pemeliharaan tanaman, pengambilan hasil tanaman, dan pengolahan hasil tanaman. Pengolahan sawah merupakan tahap awal pengerjaan lahan persawahan. Pengolahan sawah dilakukan dengan cara mengolah tanah yaitu membalik lapisan tanah kemudian diberi pupuk agar tanah memiliki kualitas yang baik sehingga siap untuk ditanami. Penanaman dilakukan setelah tahap pengolahan sawah. Penanaman biasanya dilakukan dengan cara menanam bibit tanaman yang akan ditanam pada lapisan tanah yang telah diolah dan diberi pupuk. Penanaman memerlukan alat pertanian seperti kuali, dandang, tombong, gembor, besek, ember, dan gayung. Pemeliharaan
tanaman
dilakukan
setelah
tahap
penanaman.
Pemeliharaan biasanya dilakukan dengan cara memberi pupuk dan obat pada tanaman agar
terhindar dari hama dan penyakit. Pemeliharaan tanaman
memerlukan alat pertanian seperti hand sprayer32 yang berfungsi sebagai alat penyemprot obat tanaman. Pengambilan hasil tanaman dilakukan setelah tahap pemeliharaan tanaman. Pengambilan hasil tanaman biasanya dilakukan dengan mengambil atau memetik tanaman yang sudah siap untuk dipanen. Pengambilan 31
Isni Herawati dan Sumintarsih, Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannnya di Daerah Istimewa DIY, (Jakarta: Depdikbud, 1989), hlm. 63. 32
Hand sprayer adalah alat penyemprot obat tanaman penggunaannya dilakukan dengan cara memompa secara berturut-turut.
yang
36
hasil tanaman memerlukan alat pertanian seperti sabit, keronjot (karung plastik), klehtek (gerobak kecil), grobog, dan genthong. Pengolahan dilakukan setelah tahap pengambilan hasil tanaman. Pengambilan hasil tanaman memerlukan alat pertanian seperti blungkang (pelepah daun kelapa), threser (alat perontok padi modern), huller atau rice milling unit, lumpang, dan alu. Ladang merupakan bagian dari lahan pertanian yang ada di DIY. Ladang atau tegalan adalah tanah yang diusahakan untuk menanam tanaman selain tanaman pangan, misalnya tanaman palawija dan tanaman sampingan lainnya tanpa dialiri air. Geertz menyebutkan tiga ciri pokok perladangan yaitu perladangan pada tingkat umum dicapai dengan meniru hutan tropis, kualitas yang tinggi antara zat makanan yang tersimpan dalam bentuk hidup dan dalam tanah, serta ladang dan hutan mengikuti arsitektur umum yaitu berstuktur pelindung tertutup.33 Gourou menyebutkan ciri-ciri ladang antara lain, diusahakan di tanah tropis yang gersang, teknik pertanian yang sederhana tanpa menggunakan alat kecuali kampak, kepadatan penduduk rendah, dan tingkat konsumsi rendah. Otto Soemarwoto seorang ahli ekologi mengatakan sistem perladangan ditandai dengan munculnya kerusakan hutan, erosi, banjir, dan kekeringan tanah. Zein mengatakan ladang sebagai suatu kegiatan ekonomi yang mempunyai akibat ekstern dan tidak tercermin di dalam harga produksi.34 Ladang memiliki persamaan dengan pekarangan dan hutan. Persamaan antara ketiganya adalah
33
Handojo Adi Pranowo, Manusia dan Hutan: Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merapi, (DIY: Gadjah Mada University, 1985), hlm. 33. 34
Ibid., hlm. 30.
37
tidak diberi pengairan secara khusus. Pola perladangan dilakukan dalam beberapa tahap pengerjaan, yaitu memilih tempat, menebas, menebang, membakar dan membersihkan, menanam, mendangir, menjaga dan mengetam.35 Tahap
memilih
tempat,
menebas,
menebang,
membakar
dan
membersihkan pada masa sekarang sudah tidak dilakukan lagi, mengingat sistem pertanian yang digunakan pada masa sekarang adalah sistem pertanian menetap (sedentary), sehingga tahap yang dilakukan hanya menanam, mendangir, dan mengetam. Menanam dilakukan dengan cara membuat lubang di dalam tanah ±5 cm dengan menggunakan gejlig.36 Tahap selanjutnya setelah menanam adalah mendangir. Mendangir dilakukan dengan membalik lapisan tanah dengan menggunakan pacul (cangkul) agar mempercepat proses pembusukan dari dedaunan
dan
juga
mematikan
rumput-rumput
liar
yang
mengganggu
pertumbuhan tanaman.37 Tahap selanjutnya setelah mendangir adalah mengetam. Mengetam dilakukan dengan memetik hasil tanaman yang telah siap panen. Pekarangan merupakan tanah yang diusahakan untuk menanam tanaman selain padi. Pekarangan dapat juga disebut sebagai kebun kecil yang biasanya terdapat di sekitar rumah. Jenis tanaman yang ditanam di pekarangan adalah sayur-sayuran, buah-buahan, bumbu, atau tanaman lain yang diperlukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Pekarangan juga dapat ditanami tanaman umbi-
35
Handojo Adi Pranowo, op.cit., hlm. 35.
36
Gejlig adalah potongan kayu yang runcing di bagian ujungnya, memiliki diameter ± 7 cm dan digunakan untuk membuat lubang di dalam tanah. 37
Handojo Adi Pranowo, op.cit., hlm. 42.
38
umbian seperti berbagai jenis ubi dan singkong.38 Hutan adalah tanah yang diusahakan untuk ditanami pohon-pohon tertentu. Hutan terdiri dari hutan lindung yang biasanya dilindungi dan dirawat oleh pemerintah melalui Dinas Kehutanan, sedangkan hutan liar merupakan hutan yang keberadaannya tidak dilindungi dan dirawat. Hutan dibuat untuk kegunaan tertentu yaitu mencegah bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Pola penggunaan tanah di DIY pada dasarnya memiliki kesamaan dengan pola penggunaan tanah di provinsi lain, namun yang membedakan adalah proporsi penggunaan dari setiap jenis lahan pertanian. Hal itu disebabkan oleh keadaan geografis yang berbeda di setiap kabupaten yang ada di DIY. Tabel 1 Pola Penggunaan Tanah di DIY (dalam hektar) Kotamadya/Kabupaten
Penggunaan Tanah Yogyakarta
Sleman
Bantul
Sawah Tegalan Pekarangan Hutan Lain-lain
27.387 6.915 16.110 1.545 5.609
17.769 6.428 18.092 918,4 7.477,6
543 42 1,447 101.9
Kulon Progo 7.746 84.093 24.493 13.378 18.826
Gunungkidul 11.043,34 28.047,81 10.797,19 1.021,10 7.718,10
Sumber: Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupatn Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul, hlm. 1. Pola penggunaan tanah di DIY paling besar digunakan untuk tanah tegalan yaitu seluas 125.525,81 ha, kemudian untuk tanah pekarangan seluas 69.493,637 ha, tanah persawahan seluas 64.488,34 ha, tanah lain-lain seluas 39.732,6, dan tanah hutan seluas 16.892,5 ha. Kabupaten Sleman dengan tanah
38
Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1984), hlm. 3.
39
persawahan seluas 27.387 ha merupakan areal persawahan terluas di DIY39, disusul dengan Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten dan Kabupaten Kulon Progo, dan Kotamadya Yogyakarta yang memiliki areal persawahan terkecil dari kabupaten lainnya yaitu seluas 543 ha. Kabupaten Kulon Progo dengan tanah tegalan seluas 84.093 ha merupakan areal tegalan terluas di DIY,40 disusul dengan Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kotamadya Yogyakarta yang memiliki luas tegalan terkecil dari kabupaten lainnya yaitu seluas 42 ha. Kabupaten Kulon Progo dengan tanah pekarangan seluas 24.493 ha merupakan areal pekarangan terluas di DIY,41 disusul dengan Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunungkidul, dan Kotamadya Yogyakarta yang memiliki areal pekarangan terkecil dari kabupaten lainnya yaitu seluas 42 ha. Kabupaten Kulon Progo dengan tanah hutan seluas 13.378 ha merupakan areal hutan terluas di DIY,42 disusul Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Bantul, sedangkan Kotamadya Yogyakarta tidak memiliki areal hutan.
39
Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Sleman, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 1. 40
Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Kulon Progo, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 1. 41
Ibid.
42
Ibid.
40
B. Keadaan Penduduk Penduduk merupakan jumlah orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah pada waktu tertentu dan merupakan hasil proses-proses demografi yaitu fertilitas, mortalitas, dan migrasi.43 Keadaan penduduk yang akan dibahas pada bagian ini adalah jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk, dan persebaran penduduk. Penduduk DIY tersebar di wilayah Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Kulon Progo.44 Tabel 2 Jumlah Penduduk DIY Menurut Kotamadya/Kabupaten Tahun 1961-1984 (dalam jiwa) Kotamadya/Kabupaten
Tahun
Yogyakarta
Sleman
Bantul
Gunungkidul
Kulon Progo
1961 1970 1980 1981 1982 1983
341.421 390.363 386.065 394.295 398.277 408.033
526.597 595.476 662.354 673.687 684.236 698.789
496.155 574.317 638.743 644.779 651.131 658.870
565.436 619.226 685.945 690.015 693.374 697.278
353.372 390.273 401.043 403.557 405.931 408.710
1984
411.405
708.658
664.511
704.204
407.937
Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1970-1972, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 Bagian I, dan Yogyakarta Dalam Trend Statistik 1982-1986, hlm. 47.
Pertambahan penduduk menurut sensus penduduk tahun 1961-1971 ratarata sebesar 1,19% per tahun, dan sensus penduduk tahun 1971-1980 rata-rata
43
Said Rusli, Pengantar Ilmu Kependudukan, (Jakarta: LP3ES, 1983),
hlm. 35. 44
Kantor Pusat Data Propinsi DIY, op.cit., hlm. 62.
41
sebesar 1,1% per tahun.45 Pertumbuhan penduduk di Kotamadya Yogyakarta lebih cepat dibanding ke empat kabupaten lainnya. Kotamadya Yogyakarta memiliki rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 1,5% per tahun sedangkan Kabupaten Sleman rata-rata 1,4% per tahun. Kabupaten Bantul pertumbuhan penduduknya rata-rata 1,3% per tahun, Kabupaten Gunungkidul rata-rata 1,2% per tahun, dan Kabupaten Kulon Progo merupakan kabupaten dengan pertumbuhan penduduk terendah yaitu rata-rata 0,7% per tahun. Pertumbuhan penduduk yang tinggi sangat mempengaruhi tingkat kepadatan penduduk di masing-masing kotamadya dan kabupaten. Kepadatan penduduk Kotamadya Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Kulon Progo. Tabel 3 Persentase Pertumbuhan Penduduk DIY Menurut Kotamadya/Kabupaten (dalam persen) Kotamadya/Kabupaten Tahun 1976 1977 1978 1979 1980
Yogyakarta
Sleman
Bantul
Gunungkidul
Kulon Progo
0,8 1,2 2,2 1,0 2,0
1,3 1,5 1,3 2,0 0,9
1,1 1,3 1,6 1,6 0,8
1,3 1,1 1,1 1,7 0,7
0,8 0,8 0,9 0,8 0,2
Sumber: Monografi Daerah Istimewa Yogyakarta, hlm. 55. Persebaran penduduk di DIY adalah sebagai berikut, Kotamadya Yogyakarta sebanyak 13,9%, Kabupaten Sleman 23,8%, Kabupaten Bantul sebanyak 23,0%, Kabupaten Gunungkidul sebanyak 24,7%, dan Kabupaten Kulon
45
Kantor Pusat Data Propinsi DIY, op.cit., hlm. 55.
42
Progo sebanyak 14,6%. Perubahan yang sedikit terlihat adalah penyebaran penduduk di Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulon Progo. Kotamadya Yogyakarta penyebaran penduduknya dari 13,79% menjadi 13,94%, Kabupaten Sleman dari 23,59% menjadi 23,81%, sedangkan Kabupaten Kulon Progo mengalami penurunan dari 14,92% menjadi 14,56%. Tabel 4 Persentase Penduduk DIY menurut Kotamadya/Kabupaten (dalam persen) Kotamadya/Kabupaten Tahun 1976 1977 1978 1979 1980 1981
Yogyakarta
Sleman
Bantul
Gunungkidul
Kulonprogo
13,79 13,75 13,75 13,86 13,79 13,94
23,59 23,64 23,71 23,69 23,81 23,81
22,93 22,93 22,94 22,99 23,00 28,98
24,77 24,80 24,77 24,70 24,74 24,71
14,92 14,88 14,83 14,76 14,56 14,56
Sumber: Monografi Daerah Istimewa Yogyakarta, hlm. 62. Penduduk DIY secara umum menganut agama atau kepercayaan yang diakui oleh negara secara sah, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Penduduk di DIY sebagian besar bekerja di sektor pertanian, karena wilayah DIY merupakan daerah agraris.46 Penduduk DIY yang bekerja di sektor pertanian sekitar 62,9%. Sektor perekonomian lain yang juga memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat adalah sektor industri, perdagangan, dan jasa. Sektor pertanian sebagai sektor perekonomian utama mengalami penurunan di tahun 1976-1979, namun hal tersebut diimbangi dengan kenaikan di sektor lainnya yaitu, sektor industri naik 2,3%, sektor perdagangan naik 2,5%, dan sektor jasa naik 1,2%.
46
Kantor Pusat Data Propinsi DIY, op.cit., hlm. 67.
43
Tabel 5 Persentase Penduduk Menurut Lapangan Pekerjaan di DIY (dalam persen) No.
Lapangan pekerjaan
1. 2. 3. 4.
Pertanian Industri Perdagangan Jasa
Tahun 1976 62,9 12,4 10,3 10,1
1979 55,1 14,7 12,8 11,3
Sumber: Monografi Daerah Istimewa Yogyakarta, hlm. 67. Penduduk
DIY
yang
bekerja
di
sektor
pertanian
mayoritas
bermatapencaharian sebagai petani. Petani dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat bergantung pada lahan pertanian, padahal tidak semua petani tergolong sebagai petani kaya yang dapat memenuhi semua kebutuhan hidup. Sajogyo membagi golongan petani di Jawa menurut kepemilikan tanahnya yaitu petani lapisan atas, petani sedang, dan petani lapisan bawah (petani gurem).47 Petani lapisan atas adalah petani yang memiliki tanah lebih dari 1 hektar. Petani sedang adalah petani yang memiliki tanah antara 0,5-1 hektar. Petani lapisan bawah (petani gurem) adalah petani yang memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar.48 Golongan petani di DIY terdiri dari petani kaya, petani kecil, petani gurem, dan buruh tani.49 Petani kaya adalah petani yang memilihi lahan pertanian dengan luas lebih dari dua hektar, dan biasanya menyediakan tanahnya kepada orang lain. Petani kaya cenderung menggunakan modalnya untuk mempekerjakan
47
Khairuddin, Pembangunan Masyarakat: Tinjauan Aspek Sosiologi, Ekonomi, dan Perencanaan, (Yogyakarta: Liberty, 1992), hlm. 143. 48
49
Ibid.
Djoko Suryo, Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial dan Ekonomi, (Jakarta: Depdikbud, 1985), hlm. 22.
44
orang lain di atas lahan pertaniannya. Petani golongan ini biasanya dipilih sebagai pimpinan desa. Petani kecil adalah petani yang memiliki lahan pertanian dengan luas sekitar satu hektar atau satu bau. Petani golongan ini biasanya memiliki hidup yang sangat sederhana, bahkan jauh dari kata mewah, karena hasil pertanian yang diperoleh juga sedikit. Petani gurem adalah petani yang memiliki lahan pertanian dengan luas kurang dari 0,2 hektar. Petani golongan ini biasanya melakukan usaha bagi hasil dengan petani kaya. Hal itu dilakukan karena petani gurem hanya memiliki lahan yang sangat terbatas. Buruh tani adalah golongan petani yang tidak memiliki lahan pertanian baik sawah maupun tegalan. Buruh tani biasanya bekerja di lahan pertanian milik orang lain sehingga memperoleh upah kerja. Petani baik petani kaya, petani kecil, petani gurem, dan buruh tani keberadaannya sangat berkontribusi di masyarakat. Mereka merupakan produsen beras yang dibutuhkan untuk konsumsi masyarakat. Petani yang mencapai tingkat “cukup” adalah petani yang dapat menghasilkan beras sekitar 1,2 ton per tahun. Hal itu merujuk pada anggapan umum bahwa petani kaya dan pemuka desa yang dapat menerima pendapatan sebesar itu.50 C. Kondisi Pertanian Kondisi pertanian dipengaruhi oleh faktor alam antara lain, iklim, jenis tanah, topografi, pengairan, dan angin. Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk dalam daerah tropik sehingga jenis pertaniannya adalah pertanian
50
Masri Singarimbun dan D.H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976), hlm. 31.
45
tropika. Pertanian tropika mendapat pengaruh langsung dari garis khatulistiwa yang membentang di beberapa daerah. Pengaruh yang paling mencolok adalah berlangsungnya dua musim yang berbeda dalam satu tahun, yaitu musim hujan dan musim kemarau.51 Pertanian di Indonesia termasuk dalam pertanian maju yang menurut sifatnya dibagi menjadi dua golongan, yaitu pertanian rakyat dan pertanian perkebunan besar (onderneming).52 Pertanian rakyat dan pertanian perkebunan besar memiliki persamaan yaitu sangat dipengaruhi oleh keadaan alam, namun yang menjadi perbedaan adalah faktor alam yang mempengaruhinya. Pertanian rakyat dipengaruhi oleh iklim, musim, jenis tanah dan bentuk tanah, sedangkan pertanian perkebunan besar hanya dipengaruhi oleh bentuk tanah. Pertanian di DIY sebagian besar dikerjakan di lahan pertanian milik pribadi (pekuleh).53 Lahan pertanian milik pribadi (pekuleh) di DIY ada yang penguasaannya dilakukan berdasarkan aturan tertentu, seperti yang terjadi di Kelurahan Tuksana, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo. Penguasaan tanah di daerah tersebut antara lain tanah lungguh atau bengkok, pangarem-arem,
51
Kaslan A. Tohir, Pengantar Ekonomi Pertanian, (Bandung: VorkinkVan Hoeve Gravenhage, t.t.), hlm. 38. 52
53
Ibid., hlm. 44.
Lahan pertanian yang berada di atas tanah milik pribadi (pekuleh) tidak hanya dikuasai selama orang tersebut memegang jabatan dalam masyarakat desa saja, tetapi dapat dikuasai selamanya bahkan dapat diwariskan, dijual, dan digadaikan.
46
dan kas desa.54 Tanah lungguh atau bengkok adalah tanah yang dimiliki seseorang ketika bekerja sebagai perabot desa. Tanah lungguh atau bengkok disebut juga gaduhan. Tanah tersebut hanya dapat dikuasai selama orang tersebut masih menjadi perabot desa. Tanah pangarem-arem adalah tanah yang dimiliki seseorang karena banyak berjasa terhadap desa. Tanah tersebut hanya dapat dikuasai selama orang tersebut masih hidup, jika sudah meninggal tanah adalah milik kas desa. Tanah kas desa adalah tanah yang dimiliki oleh kelurahan. Tanah tersebut digunakan sebagai cadangan apabila kelurahan membutuhkan biaya sewaktu-waktu, misalnya untuk dana pembangunan desa.55 Lahan pertanian yang dimiliki oleh petani di DIY pada dasarnya sangat beragam. Petani yang tidak memiliki lahan sawah atau tegalan biasanya melakukan sebuah cara agar tetap dapat bercocok tanam, antara lain dengan menyewa tanah, melakukan bagi hasil, menggadaikan tanah dan srama. Penyewaan tanah untuk lahan pertanian biasanya dilaksanakan secara tahunan. Menyewa tahunan atau menyewa oyodan berkisar 2-3 tahun. Tarif sewa tanah dalam satu tahun sekitar Rp250,-/hektar. Petani selain melakukan penyewaan tanah juga dapat melakukan bagi hasil. Petani dalam sistem bagi hasil dapat menggarap sawah milik orang lain dengan mendapat bagian separo (setengah) dari hasil panennya.
54
Depdikbud, Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1976), hlm. 50. 55
Ibid., hlm. 51.
47
Petani yang tidak memiliki sawah dapat bercocok tanam melalui sistem penggadaian tanah. Petani akan memperoleh sawah dari adhol sendhe.56 Adhol sendhe berlaku selama 2-5 tahun (menurut perjanjian), dan selama uang pinjaman belum lunas kepemilikan sawah belum kembali sepenuhnya. Penerimaan dan pengambalian dalam sistem penggadaian tanah berwujud uang yang diukur dengan harga emas atau beras yang setara pada saat pemberian awal.57 Petani yang tidak memiliki sawah dapat bercocok tanam juga melalui sistem srama.58 Petani yang tidak memiliki sawah dapat melalukan nyrama kepada sawah orang lain. Kelurahan Wanakarta, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman adalah salah satu desa yang melaksanakan sistem srama.59 Petani dapat bercocok tanam di sawah milik orang yang disrama dengan bayaran uang dan setengah hasil panen. Sistem srama biasanya dilakukan satu kali per tahun. Sistem ini sebenarnya agak merugikan petani, namun petani di daerah tersebut masih banyak yang melaksanakan. Petani yang ingin cepat mendapatkan uang dapat melakukan ijon yaitu menjual tanamannya ketika masih muda, dengan perjanjianperjanjian yang kurang menguntungkan petani.60 Penanaman padi di DIY masih bertumpu pada kepercayaan petani terhadap aturan tradisional mengenai periode-periode menanam yang biasanya
56
Adhol sendhe adalah menggadaikan sawah ke orang lain.
57
Ibid., hlm. 51.
58
Srama adalah semacam kontrak.
59
Ibid., hlm. 52.
60
Ibid.
48
disebut dengan pranata mangsa61. Para petani beranggapan bahwa padi harus ditanam pada saat yang tepat (waktu yang baik), apabila mereka tidak menanam pada saat yang tepat akan menderita kerugian. Pranata mangsa bagi petani di DIY sangatlah penting yaitu untuk menentukan waktu penanaman padi yang tepat. Pranata mangsa yang dipercayai petani terdiri dari mangsa kasa (Juni/Juli), mangsa karo (Agustus), mangsa ketelu (September), mangsa kapat (Oktober), mangsa kelima (November), mangsa kanem (Desember), mangsa kepitu (Januari), mangsa kewolu (Februari), mangsa kesanga (Maret), mangsa kesepuluh (April), destha (Mei), dan sada (Juni). Pranata mangsa dibagi berdasarkan bulan yang ada dalam satu tahun, namun usia mangsa satu dengan lainnya berbeda. Mangsa kasa dan sada berjumlah 41 hari, mangsa karo dan destha berjumlah 27 hari, mangsa ketelu dan mangsa kesepuluh berjumlah 24 hari, mangsa kapat dan mangsa kesanga berjumlah 25 hari, mangsa kelima dan mangsa kewolu berjumlah 21 hari, mangsa kanem dan mangsa kepitu berjumlah 47 hari.62 Penanaman padi yang dilakukan pada mangsa kewolu (Februari) tidak baik menurut pranata mangsa, sebab angin yang bertiup pada saat itu sangat besar. Mangsa kanem atau mangsa kapitu (Desember-Januari) merupakan waktu yang baik untuk menanam padi. Pekerjaan bercocok tanam di DIY biasanya dimulai dengan memperbaiki bagian dari sistem irigasi (pengairan), memperbaiki pematang, saluran pipa air
61
Pranata mangsa terdiri dari kata “pranata” dan “mangsa”. Kata “pranata” dalam bahasa jawa berarti pertanda dan “mangsa” yang berarti masa. 62
Ibid., hlm. 42.
49
yang terbuat dari bambu dan bendungan-bendungan.63 Petani mulai menggarap sawah mereka ketika waktu menanam padi sudah tiba yaitu sekitar bulan November-Desember. Pekerjaan yang dilakukan pertama adalah memperbaiki dan membersihkan pematang sawah, sehingga aliran air lancar. Pematang sawah yang sudah diperbaiki dan dibersihkan mulai diairi (dilebi), kemudian dibajak (dibedhahi) untuk yang pertama kali. Sawah diusahakan tidak terendam air dalamdalam sehingga tanah tidak menjadi berat dan mudah dibalik sewaktu dibajak atau dicangkul. Sawah selanjutnya diairi sebanyak-banyaknya dan dibiarkan selama satu minggu. Air diusahakan agar tetap mengalir supaya tanah yang subur dapat terbagi rata ke seluruh sawah. Sawah perlu diairi agar tanah menjadi lunak, selain itu agar rumput dan tumbuhan kecil dapat terendam air sehingga mati dan dapat digunakan sebagai pupuk. Sawah yang telah dibajak sebelumnya, kemudian digaru, dicangkul dengan posisi miring (ditamping) lalu dibajak untuk kedua kalinya. Sawah yang telah diairi sebelumnya, kemudian digaru sampai rata dan lunak, setelah itu dibiarkan (dileremake) kurang lebih selama sehari. Penanaman padi akan dilakukan setelah tanah sudah rata dan lunak. Benih padi yang ditanam adalah benih padi yang sudah tumbuh ±25 hari atau disebut wiji dhautan. Proses penanaman padi dengan cara seperti yang telah dijelaskan di atas pada dasarnya tidak dilakukan di semua wilayah di DIY. Wilayah yang memiliki sifat tanah yang lunak cukup melakukan pembajakan satu kali saja, namun jika sifat tanah keras harus melakukan pembajakan sawah lebih dari tiga kali sampai
63
Ibid.
50
tanah benar-benar lunak. Tanah di Kabupaten Gunungkidul pada umumnya bersifat keras karena merupakan campuran antara tanah liat dan kapur.64 Penanaman padi di Kabupaten Gunungkidul tidak dilakukan di sawah, tetapi dilakukan di tegalan. Proses penanaman padi harus melalui beberapa tahap, yang pertama adalah mencangkul tanah tegalan sesudah hujan turun. Pencangkulan tanah dapat dilakukan lebih dari satu kali apabila lungka (bongkahan tanah hasil pencangkulan) belum juga lunak. Tanah yang sudah lunak kemudian disebarkan benih padi atau oleh masyarakat disebut ngrakal. Tahap pengolahan sawah untuk penanaman padi memiliki kesamaan dengan tahap pengolahan sawah untuk persemaian (tempat untuk menyebar benih).65 Persemaian diusahakan berada di tempat yang mudah mendapat air dan subur. Tahap pertama adalah membajak tanah, kemudian tanah digaru. Pembajakan tanah dapat dilakukan lebih dari satu kali apabila tanah belum lunak. Tanah yang telah lunak kemudian dilakukan penyebaran benih padi (ingerit) dan dibiarkan sampai berumur 25-35 hari. Bibit padi yang telah berumur 25-30 hari telah siap untuk dicabut dan dipindahkan ke sawah yang sebelumnya telah selesai diolah. Penanaman padi di sawah harus dibuat teratur yaitu dengan sistem larikan.66 Larikan dilakukan dengan membuat garis lurus dengan alat pelurus dari bambu. Penanaman dengan sistem larikan bertujuan agar padi mendapat sinar
64
Ibid., hlm. 44.
65
Ibid.
66
Ibid.
51
matahari, udara dan nutrisi secara merata, serta mempermudah proses penyiangan. Padi yang telah ditanam di sawah juga membutuhkan perawatan sampai masa panen datang. Perawatan terhadap tanaman padi bertujuan untuk menjaga pertumbuhan tanaman sehingga hasil panen diperoleh dengan baik. Perawatan dilakukan pada saat padi berumur 20-35 hari dengan cara diwatun (mencabut) rumput yang tumbuh disekitar padi.67 Bibit padi yang ditanam tidak semuanya dapat hidup sampai masa panen. Bibit padi yang mati sebelum masa panen akan diganti dengan bibit padi yang baru. Pekerjaan ini disebut menyulam yang dilakukan setelah padi berumur 2-3 minggu. Proses watun (pencabutan) dikerjakan dengan alat carok atau malothok khususnya oleh petani yang telah maju. Lahan pertanian di DIY pada umumnya menghasilkan beberapa jenis tanaman, khususnya tanaman pangan antara lain padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, dan lain-lain. Padi yang ditanam di DIY terdiri dari padi sawah dan padi gogo68. Padi yang ditanam di musim hujan disebut padi rendengan, dan padi yang ditanam di musim kemarau disebut padi gadhu. Padi gadhu biasanya ditanam di daerah yang irigasinya baik, sehingga dalam musim kemarau padi dapat ditanam untuk kedua kalinya yaitu sekitar bulan Juni-Juli, sedangkan untuk masa panen akan datang pada bulan Oktober-November. Mayoritas petani di DIY menanam padi yang merupakan makanan pokok masyarakat dan harga jualnya lebih tinggi 67
68
Ibid., hlm. 45.
Padi gogo merupakan jenis padi yang ditanam di lahan kering atau yang dikenal dengan nama tegalan, karena tidak terlalu banyak membutuhkan air. Padi gogo biasanya ditanam di daerah yang memiliki karakteristik tanah yang tandus atau gersang, serta memiliki keadaan hidrologi yang kurang memadai.
52
daripada tanaman pertanian lainnya. Tanaman lain yang ditanam antara lain kacang-kacangan, buah-buahan, sayuran, obat-obatan, bumbu dan bunga. Padi yang telah merkatak (mekar) perlu dilakukan penyemprotan agar tidak terserang hama. Padi yang ditanam di DIY terdiri dari padi yang ditanam di musim penghujan dan musim kemarau. Padi yang ditanam di musim hujan disebut padi rendengan, dan padi yang ditanam di musim kemarau disebut padi gadhu. Padi gadhu biasanya ditanam di daerah yang irigasinya baik, sehingga dalam musim kemarau padi dapat ditanam untuk kedua kalinya yaitu sekitar bulan JuniJuli, sedangkan untuk masa panen akan datang pada bulan Oktober-November. Beberapa wilayah di DIY dapat menghasilkan padi dengan baik. Lahan persawahan di DIY yang ditanami padi antara lain: Tabel 6 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kotamadya Yogyakarta Tahun 1973 (dalam hektar) No. Kecamatan Luas Areal 1. Tegalrejo 715 2. Mantijeron 41 3. Kotagede 212 4. Mergangsan 72 5. Umbulharjo 1,072 Sumber: Statistik Beberapa Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 Bagian I, hlm. 172.
53
Tabel 7 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kabupaten Sleman Tahun 1973 (dalam hektar) No.
Kecamatan
Luas Areal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Sleman Mlati Gamping Godean Moyudan Minggir Seyegan Tempel Turi Pakem Cangkringan Ngemplak Ngaglik Depok Kalasan Berbah Prambanan
2.367 2.213 2.953 718 4.923 3.140 3.636 4.222 3.668 2.353 1.891 2.852 3.410 1.246 3.864 3.254 3.526
Sumber: Statistik Beberapa Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 Bagian II, hlm. 373. Tabel 8 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kabupaten Bantul Tahun 1973 (dalam hektar) No.
Kecamatan
Luas Areal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 15. 16.
Bantul Sewon Pundong Bambanglipuro Kretek Jetis Kasihan Sedayu Pajangan Srandakan Pandak Sanden Imogiri Kotagede Piyungan
1.507 3.981 1.616 1.714 1.585 2.224 1.723 2.192 315 440 1.574 1.625 934 681 2.274
Sumber: Statistik Beberapa Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 Bagian I, hlm. 268.
54
Tabel 9 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kabupaten Kulon Progo Tahun 1973 (dalam hektar) No.
Kecamatan
Luas Areal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Wates Temon Kokap Pengasih Panjatan Galur Lendah Sentolo Nanggulan Girimulyo Kalibawang Samigaluh
3.470 1.109 185 698 1.223 2.683 1.081 748 1.420 1.139 3.828 1.272
Sumber: Statistik Beberapa Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 Bagian II, hlm. 560. Tabel 10 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kabupaten Gunungkidul Tahun 1973 (dalam hektar) No.
Kecamatan
Luas Areal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Wonosari Karangmojo Semanu Ngawen Paliyan Tepus Panggang Patuk Playen Rongkop Nglipar Ponjong Semin
2.796 3.191 3.020 1.451 2.429 5.177 3.975 1.222 3.579 3.503 2.775 4.403 3.271
Sumber: Statistik Beberapa Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 Bagian II, hlm. 484. Penanaman padi di DIY secara aktif dikerjakan oleh petani sendiri, khususnya golongan petani kecil. Hal itu disebabkan oleh kepemilikan tanah yang
55
sempit. Pembagian kerja antara petani pria dan wanita juga dilakukan dalam penggarapan sawah, namun dalam bercocok tanam lokal (yang tidak bermekanisasi) tidak membutuhkan pembagian kerja yang khusus. Hal itu disebabkan karena petani tidak hanya mahir dalam satu jenis pekerjaan, tetapi mahir dalam semua jenis pekerjaan di sawah. Pembagian kerja biasanya diukur berdasarkan sifat pekerjaan dan tingkat kesulitan pekerjaan. Pekerjaan yang berat akan dikerjakan oleh kaum pria, sedangkan pekerjaan yang ringan dikerjakan oleh kaum wanita. Pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum pria antara lain memperbaiki saluran air (pematang, pipa air, bendungan), mencangkul, membajak dan menggaru.69 Pekerjaan yang dikerjakan kaum wanita lebih ringan daripada kaum pria, antara lain tanem atau tandur (menanam), matun (menyiangi rumput), mendangir (membalik lapisan tanah), derep (menuai padi). Pekerjaan yang dikerjakan kaum wanita tidak selalu ringan, ketika pekerjaan sedang banyak mereka juga ikut mengerjakan pekerjaan pria seperti mencangkul. Hal itu juga terjadi pada kaum pria, pekerjaan menyiangi tanaman dapat dikerjakannya. Pengerjaan sawah bagi golongan petani kaya yang kekurangan waktu dan tenaga dapat diglidhibage (diupahkan) kepada buruh tani.70 Pembagian hasil akan dilakukan secara maro atau malih tani yaitu pembagian hasil panen menjadi dua bagian. Pembagian hasil juga dapat dilakukan secara mara telu atau mertelu yaitu pembagian hasil sebesar 2/3 bagian untuk buruh tani yang menggarap dan 1/3
69
Ibid., hlm. 48.
70
Ibid., hlm. 47.
56
bagian untuk pemilik sawah. Buruh tani juga mendapat uang sebagai upahnya dalam mengerjakan sawah. Upah yang diberikan kepada buruh tani di DIY pada tahun 1972 sebesar Rp400,- hingga Rp500,- untuk pekerjaan seperti membajak dan menggaru, sedangkan upah sebesar Rp200,- untuk pekerjaan seperti mencangkul, mendangir, dan matun. Pekerjaan menanam padi yang dilakukan buruh tani dibayar dengan upah sebesar Rp150,-. Pekerjaan yang dilakukan buruh tani tersebut dikerjakan selama 4 jam dalam satu hari, lebih tepatnya pukul 06.30-11.00.71 Pekerjaan lain yang dapat dikerjakan oleh buruh tani adalah pekerjaan memanen padi. Pekerjaan memanen biasanya dilakukan oleh kaum wanita dengan sebuah alat pemotong padi yang disebut ani-ani72. Pekerjaan tersebut disebut juga dengan istilah derep (menuai padi).73 Derep dilakukan dengan memotong tangkai padi secara satu per satu sehingga pekerjaan ini tidak dapat dilakukan sendiri. Pemberian upah dalam pekerjaan ini dapat berupa bagian hasil padi yang dipotong oleh buruh tani. Upah yang berupa bagian hasil padi tersebut disebut dengan bawon.74 Hasil bawon yang didapat antara buruh tani satu dengan lainnya jumlahnya tidak sama. Bawon yang diberikan antara lain, mara wolu (1/8 bagian), mara sepuluh (1/10 bagian), dan mara rolas (1/12 bagian) dari hasil padi yang
71
Ibid.
72
Ani-ani adalah alat yang digunakan untuk memotong tangkai padi yang sudah siap dipanen. 73
Ibid., hlm. 48.
74
Ibid., hlm. 49.
57
dipotong dengan ketentuan seperti berikut.75 Bawon mara wolu (1/8 bagian) diberikan kepada buruh tani yang ikut menanam padi namun tidak diberi upah pada saat tahap penanaman. Bawon mara sepuluh (1/10 bagian) diberikan kepada buruh tani yang ikut menanam padi dan diberi upah pada saat tahap penanaman. Bawon mara rolas (1/12 bagian) diberikan kepada buruh tani yang tidak ikut menanam padi, tetapi menjadi buruh derep pada saat panen.
75
Ibid.
BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI DI DIY
A. Kebijakan Revolusi Hijau di Indonesia Revolusi Hijau adalah istilah yang pertama kali digunakan pada tahun 1968 oleh mantan presiden USAID (United States Agency for International Development) yaitu William Gaud yang tercatat telah menyebarluaskan teknologiteknologi baru dalam bidang pertanian.1 Perkembangan dalam bidang pertanian menurut William Gaud adalah sebuah revolusi sehingga beliau menyebutnya sebagai Revolusi Hijau yaitu perkembangan hebat yang terjadi dalam bidang pertanian. Revolusi Hijau juga tidak lepas dari peran Norman Borlaug seorang penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970 yang dijuluki sebagai Bapak Gerakan Revolusi Hijau. Norman Bourlog setelah menyelesaikan studinya pernah terlibat dalam pengembangan pertanian di Meksiko. Beliau berhasil menemukan bibit gandum “batang pendek” sebagai hasil persilangan antara bibit gandum Meksiko dan Jepang (Norin-10). Bibit gandum “batang pendek” tersebut dapat menghasilkan gandum yang lebih banyak, tahan terhadap terpaan angin, dan lebih responsif terhadap pemakaian pupuk.2 Penemuan bibit gandum baru membuat Norman Bourlog memulai sebuah gerakan yang disebut Revolusi Hijau.
1
Migas Bauman, Bisnis Kehidupan, (Yogyakarta: Yayasan Kaheti Indonesia, 1996), hlm. 18. 2
Nor Huda, Revolusi Hijau dan Gerakan Petani di Magelang Pada Masa Akhir Orde Baru, Tesis, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2011), hlm. 64.
58
59
Program Revolusi Hijau selanjutnya didukung dan didanai secara besarbesaran oleh Rockfeller Foundation dan Ford Foundation. Berkat dukungan dari dua yayasan ini dibangunlah proyek IRRI (International Rice Research Institute) di Los Banos, Filipina pada tahun 1960. Lembaga riset ini berhasil menemukan varietas-varietas padi baru yang tingkat produktivitasnya lebih tinggi dari varietas yang ada sebelumnya.3 Pemerintah Indonesia sangat antusias menyambut penemuan teknologi baru melalui Revolusi Hijau. Presiden Soeharto yang menjabat sebagai Presiden Indonesia
pada
1967
mulai
melakukan
pemulihan
kondisi
ekonomi.
Konsentrasinya ditujukan untuk mengendalikan harga setelah kekacauan pasca peristiwa G 30 S/PKI.4 Program pemerintah melalui Kabinet Ampera semata-mata diarahkan kepada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama untuk memberantas inflasi, penyelamatan keuangan negara, dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pemerintah memprioritaskan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi akibat terjadinya kenaikan harga yang menunjukkan tingkat inflasi sekitar 650% pada awal 1966.5 Presiden Soeharto dalam upayanya melakukan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi membuat suatu program yang disebut dengan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Rencana Pembangunan Lima Tahun
3
Ibid., hlm. 65.
4
Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 134. 5
Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 565.
60
dilaksanakan berdasarkan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang disusun berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Nasional. Pembangunan Jangka Panjang memiliki arah dan strategi yang meliputi waktu 25-35 tahun.6 Repelita bertujuan untuk mewujudkan pembangunan di berbagai sektor seperti sektor pertanian, pertambangan, industri dan prasarana. Repelita terdiri dari Repelita 1-5 yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap jangka waktu lima tahun. Repelita 1 dilaksanakan pada 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974. Repelita 1 dititikberatkan pada pembangunan pertanian dengan tujuan mendobrak keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena sebagian besar penduduk bergantung pada hasil pertanian. Pembangunan pertanian tersebut meliputi tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan yang dilaksanakan secara terpadu melalui usaha intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi.7 Kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi dilakukan dalam bidang pertanian pangan. Intensfikasi dilakukan dengan meningkatkan dan memperluas penggunaan benih unggul bermutu, pupuk berimbang, air dan teknologi pasca panen, serta dengan menerapkan pengendalian hama terpadu, sedangkan kegiatan ekstensifikasi dilakukan dengan meningkatkan intensitas tanam, perluasan areal, dan pengembangan teknologi pertanian yang sesuai dengan lahan tadah hujan.8
6
Ibid., hlm. 577.
7
Saafroedin Bahar, dkk, 50 Tahun Indonesia Merdeka: Selayang Pandang Hasil-hasil Pembangunan dalam Pelita I-Pelita V, (Jakarta: Sekretariat Negara, 1997), hlm. 72. 8
Ibid.
61
Perluasan jaringan pertanian dan pengembangan kelembagaan petani juga dilakukan untuk mendukung kegiatan tersebut. Pembangunan pertanian yang menjadi titik berat Repelita membuat Soeharto berinisiatif untuk meningkatkan produksi tanaman pangan khususnya padi, dan pada saat yang bersamaan di kalangan dunia pertaninan tengah muncul upaya yang disebut Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi padi. Revolusi Hijau dilatarbelakangi oleh kelangkaan beras di pasaran kota-kota besar sepanjang masa Orde Lama. Impor beras yang terutama ditujukan untuk kepentingan kota-kota besar telah meningkat dari sekitar 0,3 hingga mencapai 1 juta ton (atau sekitar 10% konsumsi domestik) sejak masa kemerdekaan sampai awal tahun 1960-an dan penurunan secara drastis hingga 0,2 juta ton pada akhir masa Orde Lama.9 Hal tersebut juga merupakan andil bagi berkembangnya pergolakan politik di perkotaan. Pemerintah Orde Baru menyadari pentingnya ketersediaan bahan pangan khususnya beras dan perlu melakukan sebuah pembaharuan melalui program Revolusi Hijau.10 Revolusi Hijau adalah suatu program untuk meningkatkan produksi pertanian khususnya produksi pangan secara cepat. Peningkatan ini diperoleh melalui penggunaan varietas unggul, penggunaan input modern yang tepat, dan cara bercocok tanam yang baik. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan secara cepat dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan yang 9
Tim Lapera, Prinsip-prinsip Reformasi Agraria: Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001), hlm. 204. 10
Ibid., hlm. 205.
62
sangat mendesak, terutama akibat pertambahan penduduk di negara-negara berkembang.11 Revolusi Hijau secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis untuk meningkatkan produksi padi secara besar-besaran melalui pemakaian bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, irigasi, dan teknologi pasca panen. Revolusi Hijau mengubah dari sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian modern yang berbasis teknologi. Revolusi Hijau dalam konteks ini adalah sebutan yang tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada 1950-1980 di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Revolusi Hijau mendasarkan diri pada tiga pilar penting yaitu penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia dan pestisida untuk menjamin produksi, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan baku berkualitas.12 Peningkatan hasil tanaman pangan dan kemungkinan penanaman padi tiga kali dalam setahun merupakan hasil yang diharapkan dari program ini sehingga tidak dapat dimungkinan tanpa adanya tiga pilar tersebut. Usaha-usaha pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri sebenarnya telah ada sejak awal kemerdekaan. Rencana Kesejahteraan Kasimo merupakan usaha pemerintah untuk berswasembada pangan yang diumumkan pada 1952.
11
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: Insist, KPA, dan Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 213. 12
David Jary dan Julia Jary, The Harper Collins Dictionary, (New York: Harper Collins Publisher, Ltd., 1991), hlm. 200.
63
Program Rencana Kesejahteraan Kasimo mengadopsi sistem olie vlek (tetesan minyak) yang pernah dilaksanakan pada masa penjajahan Belanda.13 Cara kerja program ini adalah memilih lokasi-lokasi strategis untuk dijadikan “demonstrasi plot” tentang cara-cara pertanian modern. Hal ini diharapkan agar teknik baru dalam bercocok tanam dapat ditiru oleh masyarakat sekitarnya. Program ini akhirnya mengalami kegagalan karena kurangnya dana dan tenaga ahli, serta kegagalan panen pada 1955. Pemerintah Orde Lama telah meluncurkan gagasan untuk swasembada pangan pada 1959. Gagasan tersebut terdiri dari tiga program yaitu, intensifikasi penanaman padi, penanaman padi pada lahan kering dengan mesin, dan penanaman padi pada area pasang surut, namun rencana ini tidak dapat berjalan lancar.14 Program pertama dapat terwujud pada 1959 dengan mendirikan Padi Sentra, yang masing-masing mengkoordinasi program intensifikasi pada sekitar 1.000 ha lahan sawah. Target dari program ini adalah melakukan intensifikasi pertanian terhadap 1.500.00 ha sawah pada 1964. Intensifikasi dilakukan di setiap Padi Sentra dengan melakukan pelatihan dan penyaluran berbagai macam kredit untuk pupuk, obat-obatan, dan benih padi lokal yang baik yang akan dibayar ketika panen dalam bentuk gabah kering. Program tersebut akhirnya juga mengalami kegagalan karena beberapa faktor yaitu kurangnya tenaga ahli, penyalahgunaan kredit, kesalahan pengelolaan,
13
Moeljarto Tjokrowinoto, “The Human of Technological Diffusion: The Green Revolution in Eight Villages”, Disertasi, (University of Pittsburgh, 1978), hlm. 86. 14
Ibid., hlm. 87.
64
reaksi negatif dari para petani untuk mengumpulkan padi kering, dan kondisi politik yang tidak mendukung karena persoalan batas teritorial Irian Barat. Kenyataan historis pada rezim sebelumnya sangat disadari oleh pemerintah Orde Baru. Slogan pun telah berubah dari “politik sebagai panglima” menjadi “ekonomi sebagai panglima”. Meningkatkan kesejahteraan penduduk dengan tahapantahapan ekonomi dan stabilitas politik, konsolidasi, dan rehabilitasi menjadi simbol identitas politik dari pemerintahan Orde Baru. Beras dan sembilan kebutuhan pokok (sembako) lainnya menjadi “komoditas politik” yang harus dijual dengan dukungan dan legitimasi politik. Revolusi Hijau merupakan suatu istilah yang telah dikenal Indonesia sejak 1960-an. Revolusi Hijau khususnya di Jawa dirintis lebih dahulu oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan pelayanan penyuluhan pertanian pada tahun 1963-1964.15 Bibit padi unggul dari IRRI Filipina telah dikirim ke Bogor pada tahun 1966. Penandatanganan kontrak dengan perusahaan kimia (CIBA) dilakukan pada tahun 1967 dengan mewujudkan kesatuan antara revolusi biologi berupa varietas bibit padi unggul dan revolusi kimiawi berupa pupuk buatan serta obat-obatan anti hama. Pemerintah Orde Baru mencanangkan program Bimbingan Massal (Bimas) yang diadopsi dari program Revolusi Hijau pada tahun 1968.16 Program Revolusi Hijau mulai dilaksanakan di Indonesia mulai tahun 1970.17
15
Francis Wahono, “Dinamika Ekonomi Sosial Desa Sesudah 25 Tahun Revolusi Hijau”, Prisma, No. 3/XVII/1974, hlm. 3. 16
17
Andreas Maryoto, op.cit., hlm. 137.
Loekman Soetrisno, Pertanian pada Abad ke-21, (Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud, 1998), hlm. 13.
65
Program tersebut bertujuan untuk mewujudkan swasembada pangan khususnya beras.18 Varietas padi unggul yang digunakan antara lain Bengawan, Sigadis, Synta, dan Dewi Tara yang mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit padi lokal.19 Program Bimas yang dilaksanakan pemerintah menyediakan paket Bimas yang terdiri dari natura (kredit) pupuk buatan, obat-obatan, bibit unggul, dan biaya hidup petani (cost of living)20 dan prasarana penunjang lainnya seperti rehabilitasi pembangunan irigasi. Revolusi Hijau pada kenyataannya telah mengubah sikap para petani khususnya petani sub sektor pangan yang awalnya “anti” terhadap teknologi menjadi “sigap” teknologi modern seperti pupuk kimia, obat-obatan pelindung tanaman, dan bibit padi unggul. Perubahan sikap petani sangat berpengaruh terhadap kenaikan produktivitas sub sektor pertanian pangan sehingga diharapkan Indonesia dapat mencapai swasembada pangan. Revolusi Hijau menurut Giffron21 termasuk suatu penemuan (varietas baru dan bibit tanaman baru), pengenalan modal dalam sistem-sistem pertanian, kebijakan sukarela dan pendanaan yang kuat untuk mendorong perubahan dan 18
Noer Fauzi, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 164. 19
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Pertumbuhan dan Pemerataan dalam Pembangunan Pertanian, (Jakarta: Perhepi, 1983), hlm. 85. 20
Sediono M.P. Tjondronegoro, “Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa”, Prisma, No. 2/XIX/1990, hlm. 5. 21
Francois Ruf dan Frederic Lancon, Dari Sistem Tebas dan Bakar ke Peremajaan Kembali: Revolusi Hijau di Dataran Tinggi Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2005), hlm. 270.
66
inovasi baik pada pertanian maupun lingkungannya, dan pengakuan bahwa inovasi dapat berasal dari petani sendiri. Revolusi Hijau menurut Giffron harus memiliki kriteria yang merujuk ke empat perubahan utama yaitu:22 transformasi menyeluruh
suatu
sistem
pertanian,
kebijakan-kebijakan
sukarela
pada
infrastruktur, kebijakan sukarela tentang lingkungan keseluruhan sistem-sistem pertanian, dan konteks pertumbuhan populasi penduduk yang berkesinambungan. Perubahan utama berupa transformasi menyeluruh suatu sistem pertanian meliputi adopsi varietas baru dan bibit tanaman, meningkatkan kepadatan penebaran (penanaman), dan mekanisasi. Kebijakan sukarela pada infrastruktur meliputi peningkatan luas area yang dapat diairi, pembangunan jaringan listrik yang dapat menurunkan biaya pemompaan air, serta pembangunan jalan dan transportasi yang memudahkan akses terhadap input produksi dan pemasaran. Perubahan utama mengenai kebijakan sukarela tentang lingkungan keseluruhan meliputi sistem-sistem pertanian, termasuk kondisi jaringan pemasaran yang tidak monopolistik, tetapi terdapat peraturan pemasaran dan harga, baik untuk petani maupun konsumen, khususnya fasilitas penyuluhan perkebunan/pertanian, kebijakan harga, persediaan, kredit, dan subsidi input produksi untuk mengurangi resiko. Konteks pertumbuhan populasi penduduk yang berkesinambungan sehingga menjamin pasar untuk produsen kebutuhan pokok. Revolusi Hijau memperoleh dukungan besar dari sumber-sumber pembiayaan anggaran pembangunan (sumber pembiayaan negara) yaitu pinjaman
22
Ibid.
67
dan hibah internasional serta pendapatan dari minyak bumi.23 Pendapatan dari minyak bumi merupakan hasil lonjakan harga minyak per barrel dari US$ 3 menjadi US$ 12 dalam tahun 1974, dan selanjutnya naik hingga US$ 36 di tahun 1982. Pembangunan pertanian mendapat dana 20% dari anggaran pembangunan yang
dibuat
berdasarkan
penerimaan-penerimaan
tersebut.
Pembangunan
pedesaan baik berupa sarana fisik maupun program pengadaan produksi beras yang luar bisa dapat didanai dari sumber tersebut. Revolusi Hijau dalam meningkatkan produksi beras tidak perlu diragukan lagi keberhasilannya. Varietas padi baru yang digunakan dalam program Revolusi Hijau telah dapat meningkatkan produksi beras pada tahuntahun pelaksanaan program itu, walaupun tidak terlalu responsif terhadap pemupukan. Varietas unggul baru seperti PB-5 dan PB-8 (IR-5 dan IR-8) yang dijuluki “miracle rice” diperkenalkan secara besar-besaran melalui program Bimas pada permulaan Pelita I.24 Peningkatan produksi pangan terutama beras menjadi prioritas pembangunan pada masa Orde Baru. Perjuangan petani dengan mengadopsi Revolusi Hijau telah membuahkan prestasi besar, yakni bisa keluar dari predikat negara pengimpor beras terbesar dunia. Prestasi mengenai meningkatnya produksi pangan semakin lengkap dengan predikat swasembada beras yang mengantarkan Indonesia menerima penghargaan dari organisasi pangan dunia PBB yaitu FAO (Food Association Organization) pada 1984. Keberhasilan ini di samping secara akademik telah
23
Tim Lapera, op.cit., hlm. 205.
24
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, op.cit., hlm. 85.
68
menggugat kemapanan teori dualisme J. Boeke dan teori involusi pertanian Clifford Geertz juga telah membuka mata dunia karena Indonesia dalam waktu relatif singkat dapat meningkatkan produksi pangan secara signifikan, yaitu hanya dalam tempo 14 tahun (1970-1984) produksi padi bisa dinaikkan dari 1,8 ton per hektar menjadi 3,01 ton per hektar.25
B. Penerapan Modernisasi Pertanian di DIY Produksi pertanian dapat ditingkatkan melalui tiga cara
yaitu
mempertinggi produksi dengan memperluas tanah, mempertinggi produktivitas tanah, dan memperbanyak pemakaian tanah. Peningkatan produksi menurut Palacpac dapat diperoleh melalui dua cara yaitu memperluas lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman yang bersangkutan dan mengintensifikasi pembudidayaan yaitu meningkatkan hasil panen per satuan luas lahan.26 Revolusi Hijau merupakan transformasi dari sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian modern. Transformasi ini dibangun di atas ketersediaan tiga faktor yaitu revolusi biologi berupa bibit padi varietas unggul (high yield variety), revolusi kimiawi berupa macam-macam produk pupuk buatan serta obat-obatan anti hama.27 Pemerintah dalam usahanya meningkatkan produksi padi di DIY melaksanakan program intensifikasi pertanian. Pelaksanaan program Revolusi
25
Khudori, Ironi Negeri Beras, (Yogyakarta: Insist Press, 2008), hlm. 32.
26
Jurgen H. Hohnholz, Geografi Pedesaan: Masalah Pengembangan Pangan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), 136. 27
Khudori, op.cit., hlm. 32.
69
Hijau di DIY yang telah dimulai pada tahun 1964 kemudian dilanjutkan kembali dalam pelaksanaan Bimas Nasional pada tahun 1970. Pemerintah meluncurkan program intensifikasi yang dikenal dengan nama Bimas (Bimbingan Massal) dan Inmas (Intensifikasi Massal). Bimas adalah bimbingan yang diberikan kepada petani dengan menyediakan kredit produksi di dalamnya, sedangkan Inmas adalah program intensifikasi padi yang dilaksanakan atas dasar swadaya dengan metode Panca Usaha Tani, modal dan alat berasal dari perseorangan. Bimas dan Inmas bertujuan agar petani ikut serta secara aktif dalam meningkatkan produksi pangan terutama padi. Pengembangan sarana di tingkat desa seperti Petugas Penyuluhan Lapangan (PPL), BRI-Unit Desa, Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Koperasi Unit Desa (KUD), dan kios mulai dilakukan sejak adanya program Bimas. Mekanisme penerimaan (receiving-mechanism) dan mekanisme distribusi (delivery mechanism) teknologi baru di kalangan petani pada awal pelaksanaan program Bimas berjalan dengan sukses. Strategi yang dianut dalam peningkatan produksi pangan adalah peningkatan penggunaan input yang disubsidi, investasi yang besar di bidang prasarana (pengairan, perhubungan, penelitian, dan pengukuhan) dan adanya kebijaksanaan harga dasar.
Mekanisme penerimaan
(receiving-mechanism) dan mekanismen distribusi (delivery mechanism) untuk teknologi dan sarana produksi dikembangkan melalui kelompok tani. Pemerintah dalam pelaksanaan program Bimas lebih memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi tanaman pangan. Faktorfaktor tersebut antara lain penggunaan teknologi baru, sarana produksi yang lebih
70
produktif, insentif yang diciptakan oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi (subsidi sarana produksi, harga dasar, dan lain-lain), serta faktor-faktor yang berada di luar jangkauan seperti bencana alam.28 Inmas yang dilaksanakan di DIY terdiri dari beberapa jenis intensifikasi yaitu Intensifikasi Khusus, Intensifikasi Umum. Intensifikasi Khusus adalah jenis intensifikasi padi yang dilakukan pada sawah irigasi yang pengairannya setahun penuh.29 Panca Usaha dalam Intensifikasi Khusus dilakukan secara bersama-sama (melalui kelompok) dalam suatu lahan seluas 5-25 hektar. Intensifikasi Umum adalah jenis intensifikasi padi yang dilakukan selain pada sawah irigasi yang pengairannya setahun penuh. Panca Usaha dalam Intensifikasi Umum dilakukan tidak secara bersama-sama (tidak melalui kelompok). Intensifikasi Khusus dan Intensifikasi Umum terdiri dari Bimas Biasa, Bimas Baru, Inmas Biasa, dan Inmas Baru. Bimas Biasa pelaksanaannya melalui Panca Usaha dan jenis padi yang ditanam bukan padi varietas unggul. Dosis pupuk yang digunakan dalam Bimas Biasa adalah 100 kg pupuk urea dan 35 kg TSP per hektar dari musim tanam sampai musim panen. Petani dalam usaha penanamannya mendapatkan kredit dari pemerintah. Bimas Baru pelaksanaannya melalui Panca Usaha dan jenis padi yang ditanam adalah padi varietas unggul baru. Dosis pupuk yang digunakan dalam Bimas Baru adalah 200 kg pupuk urea dan 50 kg TSP per hektar dari musim
28
29
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, op.cit., hlm. 85.
Pusat Data Propinsi DIY dan Kantor Statistik Propinsi DIY, Kondisi Sosial Ekonomi Petani Kecil/Buruh Tani di 4 Kabupaten DIY Tahun 1982, (Yogyakarta: t.p., 1983), hlm. 1.
71
tanam hingga musim panen. Inmas Biasa pelaksanaannya sama seperti Bimas Biasa, namun petani tidak mendapat kredit dari pemerintah. Inmas Baru pelaksanaannya sama seperti Bimas Baru, namun petani tidak mendapat kredit dari pemerintah. Pemerintah kemudian melaksanakan Bimas Gotong Royong pada tahun 1968-1970. Istilah “Gotong Royong” diambil dari sistem yang dipakai dalam pelaksanaan program ini adalah bentuk kerja sama antara pemerintah dan swasta (nasional dan asing).30 Kerja sama yang dilakukan dengan pengusaha-pengusaha swasta asing antara lain, CIBA, COOPA, HOECHT, dan MITSUBISHI.31 Pemerintah dalam melaksanakan Bimas menargetkan areal sawah sekitar 52.500 hektar pada tahun 1968 dan 23.000 hektar pada tahun 1969.32 yang terdiri dari Bimas Nasional, Bimas Baru, Inmas Nasional, dan Inmas Baru. Tabel 11 Target dan Realisasi Bimas Padi Musim Penghujan di DIY Tahun 1968 (dalam hektar) Jenis Bimas
Target
Realisasi
Bimas Nasional 7.500 8.484 Bimas Baru 10.000 2.730 Inmas Nasional 30.000 22.802 Inmas Baru 5.000 2.669 Jumlah 52.500 36.685 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Jogjakarta Tahun 1969, hlm. 86. 30
Mubyarto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 36. 31
Pemerintah memandang perlu mengadakan kerja sama dengan pengusaha-pengusaha swasta asing karena kekurangan dana baik berupa kredit, sarana produksi seperti pupuk dan obat-obatan hama dan penyakit. 32
Program Bimas tahun 1968 dilaksanakan saat musim penghujan, sedangkan program Bimas tahun 1969 dilaksanakan saat musim kemarau. Pemerintah menargetkan program Bimas yang terdiri dari Bimas Nasional, Bimas Baru, Inmas Nasional, dan Inmas Baru.
72
Tabel diatas merupakan target dan realisasi pelaksanaan program Bimbingan Massal (Bimas) padi di DIY pada musim penghujan tahun 1968. Realisasi Bimas Nasional mampu melebihi dari jumlah yang ditargetkan yaitu sebesar 12,9%, namun untuk Bimas Baru realisasinya hanya 27,3%. Inmas Nasional realisasinya sebesar 76,3%, sedangkan untuk Inmas Baru realisasinya sebesar 53,4%. Target seluruh Bimas pada masa itu sejumlah 52.500 hektar, namun yang dapat terealisasi hanya sebesar 36.685 hektar atau 69,9%. Tabel 12 Target dan Realisasi Bimas Padi Musim Kemarau di DIY Tahun 1969 (dalam hektar) Jenis Bimas
Target
Realisasi
Nasional 11.250 3.344 Baru 3.750 2.064 Inmas Nasional 7.000 12.715 Inmas Baru 1.000 2.282 Jumlah 23.000 20.405 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1970, hlm. 86. Tabel diatas merupakan target dan realisasi pelaksanaan program Bimbingan Massal (Bimas) padi di DIY pada musim kemarau tahun 1969. Bimas Nasional realisasinya hanya sebesar 2,9%, namun untuk Bimas Baru realisasinya sebesar 55,2%. Inmas Nasional realisasinya mampu melebihi dari jumlah yang ditargetkan yaitu 81,9%, sama halnya dengan Inmas Baru realisasinya juga mampu melebihi dari jumlah yang ditargetkan yaitu sebesar 134%. Target seluruh Bimas pada masa itu sejumlah 23.300 hektar, dan mampu terealisasi sebesar 20.504 hektar atau 89,2%.
73
Pemerintah dalam usahanya melaksanakan modernisasi pertanian menerapkan Panca Usaha Tani yang terdiri dari penggunaan bibit unggul, pemupukan, pengairan, pemberantasan hama, dan teknik bercocok tanam. 1.
Penggunaan Bibit Unggul Program Bimas yang bertujuan untuk meningkatkan produksi padi dalam
waktu yang relatif cepat membutuhkan penggunaan bibit padi unggul agar produktivitas padi semakin baik. Padi yang ditanam di DIY sebelum adanya bibit padi unggul adalah padi Jawa, Rojolele, Ketan, dan sebagainya.33 Bibit padi unggul yang diperkenalkan di Indonesia adalah padi Peta Baru (PB) yaitu PB 5 dan PB 8.34 Petani di DIY pada umumnya menanam jenis padi Pelita, P.B., Bengawan, Cempa, C4, Serang, dan Slamet, sedangkan jenis padi yang ditanam di tegalan adalah padi Gaga, Cempa, Lombok, Mayangan, Molog, Langap, dan lainlain. Padi varietas unggul yang ditanam adalah padi PB5, IR36, Sentani, Cisedani, Kruing, Holing dan Numpangkarya.35 Jenis padi unggul tersebut lebih produktif dari padi lokal karena panennya lebih awal dan hasilnya lebih tinggi. Pemerintah memperkenalkan jenis padi PB 20, 26, 28, 30 pada tahun 1974, jenis padi PB 34 diperkenalkan pada tahun 1976, dan jenis padi PB 36, PB 38,
Cilacum
diperkenalkan
pada
tahun
1978.
Pemerintah
kemudian
33
Isni Herawati dan Sumintarsih, Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannya di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1989), hlm. 68. 34
35
Mubyarto, op.cit., hlm. 37.
Depdikbud, Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1977), hlm. 46.
74
memperkenalkan jenis padi Cisade, Cimande, Agung, dan PB 42 pada tahun 1980.36 2.
Pemupukan Pemupukan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi
produktivitas tanaman. Pupuk dapat diibaratkan sebagai makanan bagi tanaman sehingga tanaman dapat hidup subur terutama pada lahan pertanian yang gersang. Penggunaan pupuk secara massal melalui program Bimas telah bertambah dari areal intensifikasi 1,1991 juta hektar pada 1970 menjadi 5,925 juta hektar pada 1981. Jenis pupuk di DIY secara umum terdiri dari pupuk kandang, pupuk hijau dan pupuk pabrik (pupuk kimia).37 Pupuk kandang dan pupuk hijau pembuatannya dilakukan oleh petani dengan bahan dan cara pembuatan yang masih sederhana, sedangkan pupuk pabrik (pupuk kimia) pembuatannya dilakukan oleh pabrik dengan bahan yang mayoritas adalah bahan kimia dan cara pembuatannya lebih terstruktur dengan menggunakan mesin. Pupuk yang diperkenalkan dalam program modernisasi pertanian adalah pupuk pabrik (pupuk kimia). Pupuk yang digunakan di DIY pada tahun 1979-1983 antara lain pupuk urea, TSP, DAP, dan ZA.38
36
Wawancara dengan Bapak Adi di Kecamatan Depok pada tanggal 10 Oktober 2015. 37
38
Ibid., hlm. 45.
Biro Statistik DIY, Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1973 Bagian II, (Yogyakarta: Biro Statistik, 1974), hlm. 27.
75
3.
Pengairan Program modernisasi pertanian yang dilaksanakan juga merujuk pada
pembangunan sarana irigasi. Pembangunan sarana irigasi dilakukan dengan perbaikan secara menyeluruh terhadap sistem irigasi yang ada, penyelesaian proyek irigasi yang sudah dimulai, serta penilaian survei, perencanaan dan permulaan pelaksanaan proyek irigasi yang baru.39 Pengairan teknis adalah salah satu sistem pengairan yang dibangun setelah program Revolusi Hijau. Pengairan teknis berarti sawah memperoleh pengairan dengan sistem irigasi teknis.40 Sistem irigasi teknis merupakan jaringan irigasi yang didalamnya terdapat pemisah antara saluran pemberi dan saluran pembuang, agar penyediaan dan pembagian air dapat sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah. Sistem irigasi teknis terdiri dari saluran induk berupa dam sekunder, tersier, dan distribusi yang secara keseluruhan dibangun dan dipelihara oleh Dinas Pengairan atau Pemerintah.41 Sistem tersebut apabila mengalami kerusakan pada saluran-saluran
pengairannya
biasanya
menjadi
tanggung
jawab
bagian
pembinaan pengairan, akan tetapi apabila membutuhkan swadaya masyarakat maka biaya ditanggung bersama oleh pengguna air. Perubahan dari sistem tadah hujan ke sistem irigasi memberi banyak keuntungan bagi petani. Sistem irigasi memberikan pengaruh yang baik terhadap 39
Widjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 169. 40
Biro Statistik DIY, op.cit., hlm. 62.
41
Ibid., hlm. 63.
76
frekuensi penanaman padi di sawah dan hasil produksi padi. Keduanya semakin meningkat sejak adanya sistem irigasi. Sistem irigasi juga mengurangi resiko adanya bahaya paceklik.42 4.
Pemberantasan Hama Hama merupakan jenis hewan yang keberadaannya mengganggu lahan
pertanian karena dianggap merusak tanaman. Hama tanaman harus dengan cepat diberantas karena jika dibiarkan terlalu lama, akan menghambat produktivitas tanaman. Peningkatan penggunaan obat-obatan sangat diperlukan karena pada kenyataannya varietas padi unggul lebih peka terhadap hama dan penyakit dibandingkan varietas padi biasa.43 Jenis hama yang biasanya merusak tanaman padi antara lain tikus sawah (R.r. Brevicaudutus), tikus huma (R.r. Concolor Ephipium) ulat penggerek (Scirpophaga Innotata dan Schunobius Bipunctifer), kupu-kupu (Nymphula Depunctalis), wereng cokelat (Nilapervata Lugens), wereng hijau (Nephotetix Apicalis), walang sangit (Leptocorixa Acuta), lembing hijau (Nezara Viridula), dan ganjur (Pachydiplosis Oryzae).44 Pemberantasan hama padi jenis tikus sawah dan wereng cokelat membutuhkan obat-obatan khusus, sedangkan jenis hama padi lainnya hanya membutuhkan insektisida biasa. Obat-obatan yang dibutuhkan untuk memberantas hama tikus sawah antara lain CS2, cyanodust, fosfor, warfarin, dan zinkoksida, 42
Ibid.
43
A. G. Kartasapoetra, Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1987), hlm. 17. 44
A. G. Kartasapoetra, op.cit., hlm. 19.
77
sedangkan untuk memberantas wereng cokelat antara lain agrotihion, sumithion, karphos, DDVP, nogos, sevin, diazinon,45 furadan, dan basudin.46 Pemerintah dalam rangka kerja samanya dengan pengusaha-pengusaha swasta asing juga memperkenalkan teknologi terbaru yang dinilai efisien yaitu berupa alat-alat pemberantas hama yang disemprotkan melalui udara dengan bantuan pesawat dan penggunaan light-trap.47 Departemen Pertanian dalam hal pengaturan penggunaan obat-obatan pemberantas hama telah aktif mengumumkannya melalui media komunikasi seperti radio, televisi, surat kabar serta melalui Petugas Penyuluhan Lapangan (PPL)48. Pemberantasan hama tanaman padi di DIY dilakukan dengan penyemprotan tekanan rendah dan tinggi serta sistem emposan. Obat-obatan tanaman yang digunakan di DIY pada tahun 1979-1983 antara lain diphosin, zphospide, insektisida, rodentisida, dan fungisida.49 5.
Teknik Bercocok Tanam Teknik pengolahan sawah sejalan dengan usaha pembangunan di sektor
pertanian secara tidak langsung maupun langsung maka beralih dari teknik pengolahan sawah secara tradisional ke sistem modern. Teknik pengolahan sawah
45
Jenis obatan-obatan ini merupakan jenis insektisida cair yang digunakan untuk pembasmian wereng cokelat. 46
Jenis obatan-obatan ini merupakan jenis insektisida butiran yang digunakan untuk pembasmian wereng cokelat. 47
Mubyarto, op.cit., hlm. 37.
48
A. G. Kartasapoetra, op.cit., hlm. 18.
49
Biro Statistik DIY, op.cit., hlm. 27.
78
yang lama diganti dengan teknik pengolahan sawah yang baru. Teknik baru tersebut menurut petani adalah penggunaan alat-alat baru dalam mengolah sawah. Pengolahan sawah dibantu dengan teknologi mekanis seperti penggunaan mesin pengolah tanah, alat-alat panen, dan alat-alat pengolah hasil pertanian.50 Penggunaan alat-alat pertanian modern di DIY pada tahun 1973 meliputi alat pengolahan tanah, pengolahan padi, dan penggilingan padi. Pengolahan tanah terdiri dari alat-alat seperti traktor roda dua atau traktor tangan (hand tractor) dan traktor roda empat (traktor besar). Pengolahan padi terdiri dari alat-alat seperti perontok padi, pengering padi, dan penyosohan padi. Penggilingan padi terdiri dari alat-alat seperti huller, rice milling, dan penggilingan besar.51 Penggunaan alat-alat pertanian modern pada dasarnya bertujuan untuk mempermudah pengolahan lahan pertanian, namun tidak sepenuhnya mendapat respon yang baik dari petani. Petani di Desa Wijimulyo, Kulon Progo menuturkan bahwa penggunaan traktor untuk pengolahan sawah memberikan hasil yang kurang baik terhadap tanahnya. Tanah sawah yang diolah menggunakan traktor hasilnya kurang baik, kurang dalam, dan kurang gembur.52 Pengolahan tanah menggunakan traktor jelas lebih efektif namun tidak efisien, sebab tanah masih harus digaru. Pengolahan tanah menggunakan traktor menyebabkan pemborosan
50
Isni Herawati dan Sumintarsih, op.cit., hlm. 61.
51
Biro Statistik DIY, op.cit., hlm. 104.
52
Wawancara dengan Bapak Sariyanto di Kecamatan Nanggulan pada 10 Oktober 2015.
79
karena petani harus membayar biaya sewa traktor sebesar Rp50.000,- untuk tanah seluas 1 hektar.53 Petani beranggapan bahwa pengolahan tanah dengan menggunakan hewan ternak (kerbau) biayanya lebih murah. Pengolahan tanah dengan menggunakan kerbau hanya memerlukan biaya sekitar Rp40.000,- untuk biaya meluku yang dilakukan sekitar 10 kali. Biaya untuk satu kali meluku adalah Rp4.000,- dan dikerjakan dari pukul 06.00 pagi sampai 12.00 siang.54 Penerapan modernisasi pertanian di DIY juga diupayakan untuk memberantas kemiskinan di masyarakat, seperti yang terjadi di Desa Sriharjo, Kabupaten Bantul, DIY. Program Bimas di Desa Sriharjo mengalami kemajuan yang pesat. Luas areal sawah yang sudah diterapkan program Bimas sekitar 145 ha, sedangkan luas areal sawah secara keseluruhan sekitar 195 hektar.55 Program Bimas terbukti dapat meningkatkan produksi padi di desa tersebut. Produksi padi sebelum adanya program Bimas hanya sekitar 60 kuintal per hektar, sedangkan setelah adanya program Bimas mengalami kenaikan hingga 80-90 kuintal per hektar. Program Bimas juga membuat petani di Desa Sriharjo lebih tergugah untuk menggunakan pupuk terhadap sawahnya. Program Bimas telah menciptakan sarana penggilingan padi bagi petani sebanyak 3 unit, padahal sebelum adanya 53
Wawancara dengan Bapak Sugito di Kecamatan Nanggulan pada 10 Oktober 2015. 54
Wawancara dengan Bapak Sariyanto di Kecamatan Nanggulan pada 10 Oktober 2015. 55
Masri Singarimbun dan D.H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976), hlm. 180.
80
program tersebut Desa Sriharjo tidak memiliki sarana penggilingan padi. Pengadaan penggilingan padi tersebut membuat petani merasa terbantu dan memberikan keuntungan karena ongkosnya lebih murah, lebih efektif, dan beras yang dihasilkan lebih bersih. Program Bimas di Desa Sriharjo tidak hanya memberikan keuntungan bagi petani saja, namun juga masyarakat yang berprofesi selain petani.
C. Pengaruh Modernisasi Pertanian terhadap Produksi Padi di DIY Program Revolusi Hijau yang diterapkan pemerintah sejak tahun 1968 telah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan pertanian di Indonesia. Pengaruh tersebut antara lain menyangkut hasil produksi pertanian dan sistem produksi pertanian Revolusi Hijau telah mampu meningkatkan hasil produksi pertanian yang tidak pernah terbayangkan pada masa sebelumnya. Indonesia dengan citra negara pengimpor beras, akhirnya mampu melaksanakan swasembada beras pada tahun 1984.56 Penurunan jumlah impor beras yang terjadi sejak tahun 1982 ternyata juga diimbangi dengan kenaikan produksi beras sejak diadakannya program Revolusi Hijau. Produksi beras di Indonesia pada tahun 1959 hanya sebesar 8,3 juta ton, pada tahun 1969 sebesar 12,2 juta ton, dan puncaknya pada tahun 1984 sebesar 25,8 juta ton.57 Produktivitas padi pada masa sebelum Revolusi Hijau atau selama 12 tahun dapat dikatakan tidak mengalami peningkatan yang signifikan, 56
Khairuddin, Pembangunan Masyarakat: Tinjauan Aspek Sosiologi, Ekonomi, dan Perencanaan, (Yogyakarta: Liberty, 1992), hlm. 146. 57
Achmad Saubari, Presiden Soeharto dan Pembangunan Pertanian, (Jakarta: PT Citra Media Persada, 1992), hlm. 84.
81
sementara setelah adanya program Revolusi Hijau produktivitas padi meningkat sebesar empat kali lipat.58 Peningkatan produksi padi yang terjadi di Indonesia juga berpengaruh terhadap provinsi yang ada, salah satunya adalah DIY. Modernisasi pertanian yang diterapkan sejak dilaksanakannya Bimbingan Massal (Bimas) telah meningkatkan produksi padi dan rata-rata produksi padi per hektar di masingmasing kotamadya/kabupaten di DIY. Produksi padi di DIY mengalami peningkatan setelah adanya program Bimas. Produksi padi sawah setelah adanya program Bimas selalu di atas 200.000 ton setiap tahunnya, namun produksi padi gogo hanya mengalami sedikit peningkatan yang tidak terlalu signifikan. Tabel 13 Produksi Padi Sawah dan Padi Gogo di DIY Tahun 1968-1984 (dalam ton) Tahun
Padi Sawah
Padi Gogo
1968 345.445,57 28.159,72 1969 327.949,50 24.160,00 1970 360.920,37 40.771,70 1971 430.973,99 28.932,22 1972 428.418,58 31.552,07 1973 527.237,48 40.961,45 1974 504.424,00 56.164,00 1975 493.783,00 71.606,00 1976 421.316.44 65.883,55 1977 420.237,08 65.971,26 1978 492.687,55 68.646,21 1979 395.450,76 10.079,64 1980 454.958,86 67.083,45 1981 533.521,99 122.892,97 1982 542.671,42 88.223,45 1983 516.667,00 107.102,00 1984 590.883,00 129.182,00 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1972 Bagian II, hlm. 61, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 Bagian I, hlm. 237, dan Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1983 Bagian II, hlm. 9 dan Yogyakarta Dalam Trend Statistik 1982-1986, hlm. 36. 58
Ibid.
82
Tabel di atas merupakan produksi padi sawah dan padi gogo di DIY pada tahun masa penerapan modernisasi pertanian khususnya tahun 1968-1978. Produksi padi sawah di DIY pada tahun 1968-1978 berkisar 300.000-500.000 ton lebih, sedangkan untuk padi gogo berkisar 20.000-60.000 ton lebih. Produksi padi sawah dan padi gogo selama 10 tahun tersebut masih terjadi fluktuasi. Produksi padi sawah dan padi gogo masih mengalami
peningkatan dan penurunan
produksi. Produksi padi sawah dan padi gogo terendah terjadi pada tahun 1969. Produksi padi sawah dan padi gogo yang rendah disebabkan karena belum beradaptasinya jenis padi yang ditanam pada masa penerapan modernisasi pertanian. Produksi padi sawah tertinggi terjadi pada tahun 1973, sedangkan produksi padi gogo tertinggi terjadi pada tahun 1978. Produksi padi sawah berkisar 300.000-500.000 ton lebih, sedangkan produksi padi gogo berkisar 10.000-100.000 ton lebih. Produksi padi sawah dan padi gogo selama pada tahun-tahun tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Produksi padi sawah pada tahun 1979-1982 mengalami peningkatan, namun pada tahun 1983 mengalami penurunan yang tajam. Produksi padi sawah mengalami peningkatan terbesar terjadi pada tahun 1984. Produksi padi gogo terendah terjadi pada tahun 1979. Produksi padi gogo pada tahun 1979-1981 mengalami peningkatan, dan mengalami penurunan pada tahun 1982. Produksi padi gogo mengalami peningkatan kembali pada tahun 1983-1984. Produksi padi gogo tertinggi juga terjadi pada tahun 1984. Hal tersebut membuktikan bahwa DIY mengalami swasembada beras pada tahun 1984, seperti yang dialami oleh Indonesia.
83
Tabel 14 Produksi Padi Sawah Per Kotamadya/Kabupaten di DIY Tahun 1968-1984 (dalam ton) Kotamadya/Kabupaten Tahun
Kulon Gunungkidul Progo 1968 5.306,50 174.086,53 110.073,54 46.973,00 9.006,00 1969 6.464,00 155.866,00 111.872,00 43.900,00 9.848,00 1970 8.235,40 179.563,12 115.935,50 46.726,00 10.460,20 1971 8.781,80 209.041,72 141.030,50 55.314,87 16.805,90 1972 7.437,50 215.101,48 136.870,60 57.003,73 12.005,27 1973 9.508,89 282.020,83 154.895,05 66.270,26 14.542,45 1974 7.310,00 267.854,00 143.603,00 58.818,00 26.839,00 1975 7.412,00 255.743,00 133.292,00 72.189,00 25.147,00 1976 6.625,43 204.607,00 119.975,16 69.601,19 20.507,66 1977 7.705,44 213.778,66 125.851,21 69.748,97 13.153,52 1978 8.840,89 228.549,90 172.733,82 70.024,23 12.538,71 1979 4.972,27 219.146,57 109.687,85 54.106,24 7.357,83 1980 6.085,24 221.292,53 131.943,22 70.036,75 25.601,13 1981 5.391,70 290.713,89 123.201,69 92.930,39 21.284,32 1982 5.517,27 291.126,26 138.357,71 83.213,00 24.457,18 1983 5.537,00 295.972,00 147.308,00 91.368,00 21.527,00 1984 5.507,00 307.719,00 149.705,00 99.854,00 28.098,00 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 19701972, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 Bagian I, dan Yogyakarta Dalam Trend Statistik 1982-1986, hlm. 74. Yogyakarta
Sleman
Bantul
Tabel di atas merupakan hasil produksi padi sawah yang ada di kotamadya dan kabupaten di DIY pada masa-masa penerapan modernisasi pertanian. Produksi padi sawah di setiap kotamadya dan kabupaten juga mengalami peningkatan berkat adanya penerapan modernisasi pertanian. Produksi padi sawah terbesar terdapat di Kabupaten Sleman, sedangkan produksi padi sawah terkecil terdapat di Kotamadya Yogyakarta. Hal itu dipengaruhi oleh jumlah areal persawahan yang ada di daerah tersebut. Produksi padi sawah di masing-masing kotamadya/kabupaten di DIY mengalami fluktuasi. Produksi padi sawah di Kotamadya Yogyakarta pada tahun
84
1968-1984 berkisar 4.000-9.000 ton lebih. Produksi padi sawah di Kotamadya Yogyakarta mengalami peningkatan pada tahun 1968-1971, lebih tepatnya pada masa awal diterapkannya modernisasi pertanian. Penurunan produksi padi di Kotamadya Yogyakarta terjadi pada tahun 1972, namun pada tahun 1973 mengalami peningkatan kembali. Produksi padi sawah kembali mengalami penurunan pada tahun 1974-1976, namun pada tahun 1977-1978 mengalami peningkatan kembali. Penurunan produksi padi sawah terjadi pada tahun berikutnya yaitu tahun 1979, 1981, dan 1984. Produksi padi sawah di Kabupaten Sleman pada tahun 1968-1984 berkisar 100.000-300.000 ton lebih. Produksi padi sawah di Kabupaten Sleman mengalami peningkatan pada tahun 1969-1973, namun mengalami penurunan pada tahun 1974-1976. Produksi padi sawah kembali mengalami peningkatan pada tahun 1977-1978, namun kembali mengalami penurunan pada tahun 1979. Produksi padi sawah mengalami peningkatan kembali pada tahun 1980-1984. Produksi padi sawah di Kabupaten Bantul pada tahun 1968-1984 berkisar 100.000-140.000 ton lebih. Produksi padi sawah di Kabupaten Bantul mengalami peningkatan pada tahun 1968-1971, namun mengalami penurunan pada tahun 1972. Produksi padi sawah kembali mengalami peningkatan pada tahun 1973, namun kembali mengalami penurunan pada tahun 1974-1976. Produksi pada sawah mengalami peningkatan kembali pada tahun 1977-1978, namun mengalami penurunan kembali pada tahun 1979. Produksi pada sawah kembali mengalami peningkatan pada tahun 1980-1984.
85
Produksi padi sawah di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 1968-1984 berkisar 40.000-90.000 ton lebih. Produksi padi sawah di Kabupaten Kulon Progo mengalami peningkatan pada tahun 1969-1973, namun mengalami penurunan pada tahun 1974. Produksi padi sawah kembali mengalami peningkatan pada tahun 1975, namun kembali mengalami penurunan pada 1976. Produksi padi sawah mengalami peningkatan kembali pada tahun 1977-1978, namun mengalami penurunan kembali pada tahun 1980. Produksi padi sawah pada tahun 1981 mengalami peningkatan, namun mengalami penurunan pada 1982, kemudian terjadi peningkatan produksi sawah pada tahun 1983-1984. Produksi padi sawah di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 1968-1984 berkisar 7.000-20.000 ton lebih. Produksi padi sawah di Kabupaten Gunungkidul mengalami peningkatan pada tahun 1968-1971, namun mengalami penurunan pada tahun 1972. Produksi padi sawah kembali mengalami peningkatan pada tahun 1973-1974, namun kembali mengalami penurunan pada tahun 1975-1979. Produksi padi sawah mengalami peningkatan kembali pada tahun 1980, namun mengalami penurunan kembali pada tahun 1981. Produksi padi sawah kembali mengalami peningkatan pada tahun 1982, namun mengalami penurunan kembali pada 1983. Produksi padi sawah kembali mengalami peningkatan pada tahun 1984. Produksi padi sawah di masing-masing kotamadya/kabupaten di DIY mengalami hasil yang maksimal pada tahun 1984. Produksi padi sawah pada tahun 1984 lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya, artinya sebelum tahun 1984 produksi padi sawah tidak pernah mengalami peningkatan yang sangat
86
tinggi. Produksi padi sawah pada tahun 1984 yang sangat tinggi membuktikan bahwa DIY mampu melakukan swasembada beras. Tabel 15 Produksi Padi Gogo Per Kotamadya/Kabupaten di DIY Tahun 1968-1984 (dalam ton) Kotamadya/Kabupaten Tahun
Kulon Gunungkidul Progo 1968 144,60 563,40 269,60 27.182,12 1969 291,00 607,00 155,00 23.407,00 1970 622,20 494,00 6.660,00 39.588,90 1971 250,12 552,90 124,40 28.004,80 1972 293,10 399,40 48,00 30.812,20 1973 332,80 343,18 38,69 40.246,78 1974 223,00 300,00 34,00 55.607,00 1975 117,00 236,00 69,00 71.184,00 1976 566,35 65.317,20 1977 140,40 2,07 65.828,79 1978 24,01 430,65 51,27 68.140,28 1979 16,68 51,09 9.571,12 1980 440,75 22,21 66.191,08 1981 870,16 50,98 121.971,83 1982 497,08 76,03 87.650,34 1983 1.165,00 117,00 105.820,00 1984 1.087,00 633,00 537,00 126.925,00 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 19701972, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 Bagian I, dan Yogyakarta Dalam Trend Statistik 1982-1986, hlm. 75. Yogyakarta
Sleman
Bantul
Tabel di atas merupakan hasil produksi padi gogo yang ada di kotamadya dan kabupaten di DIY pada masa-masa penerapan modernisasi pertanian. Produksi padi gogo di setiap kotamadya dan kabupaten juga mengalami peningkatan berkat adanya penerapan modernisasi pertanian. Produksi padi gogo terbesar terdapat di Kabupaten Gunungkidul, sedangkan Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo memproduksi padi gogo lebih sedikit dari Kabupaten Gunungkidul. Kotamadya Yogyakarta sama sekali tidak
87
memproduksi padi gogo. Hal itu dipengaruhi oleh kemampuan tanah yang ada di kotamadya dan kabupaten di DIY berbeda-beda. Kabupaten Gunungkidul merupakan penghasil padi gogo terbesar di DIY karena tanahnya bersifat gersang atau kering. Kabupaten Sleman tidak menghasilkan padi gogo pada tahun 1976, 1977, 1980, 1981, 1982, dan 1983. Kabupaten Bantul tidak menghasilkan padi gogo pada tahun 1979. Kabupaten Kulon Progo tidak menghasilkan padi gogo pada tahun 1976, sementara Kabupaten Gunungkidul mampu menghasilkan padi gogo secara baik pada tahun 1968-1984. Tabel 16 Produksi Rata-rata Padi Sawah dan Padi Gogo di DIY Tahun 1968-1984 (dalam kuintal) Tahun Padi Sawah Padi Gogo 1968 40,78 8,16 1969 39,68 6,62 1970 41,90 10,80 1971 45,08 7,43 1972 45,98 7,79 1973 52,04 10,54 1974 48,26 13,96 1975 45,44 16,35 1976 46,78 15,63 1977 49,42 18,53 1978 50,18 15,35 1979 49,82 7,80 1980 59,96 29,30 1981 61,04 36,81 1982 57,75 34,42 1983 59,46 39,84 1984 56,68 30,40 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1972, hlm. 73, Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1973 Bagian II, hlm. 107, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 1981 Bagian I, hlm. 184, dan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Trend Statistik 1979-1983, hlm. 68.
88
Tabel diatas merupakan hasil produksi rata-rata padi sawah dan padi gogo di DIY. Penerapan modernisasi pertanian di DIY tidak hanya meningkatkan produksi padi sawah dan padi gogo secara keseluruhan, namun juga meningkatkan produksi rata-rata padi sawah dan padi gogo. Produksi rata-rata padi sawah per hektar sebelum adanya penerapan modernisasi pertanian di DIY lebih tepatnya sebelum tahun 1968 selalu berada di bawah 30 kuintal, namun setelah adanya penerapan modernisasi pertanian produksi rata-rata padi sawah meningkat atau lebih tepatnya berada di atas 30 kuintal.59 Produksi rata-rata padi sawah dari tahun 1968-1984 paling rendah terjadi pada tahun 1969 yaitu sebesar 40,78 kuintal per hektar, sedangkan rata-rata produksi padi gogo paling rendah juga terjadi pada tahun 1969 yaitu sebesar 6,62 kuintal per hektar. Produksi rata-rata tersebut lebih kecil dibandingkan dengan produksi rata-rata setelah 1969.60 Hal itu disebabkan oleh produksi padi yang rendah karena belum beradaptasinya bibit padi unggul dengan tanah yang ada sehingga tidak dapat tumbuh secara sempurna. Produksi rata-rata padi sawah per hektar tertinggi terjadi pada tahun 1980 yaitu sebesar 59,96 kuintal per hektar, sedangkan produksi rata-rata padi gogo per hektar tertinggi terjadi pada tahun 1983 yaitu sebesar 39,84 kuintal per hektar.61
59
Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1972, (Yogyakarta: Biro Statistik, 1973), hlm. 107. 60
61
Ibid.
Pusat Data Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Trend Statistik 1979-1983, (Yogyakarta: Pusat Data Propinsi DIY, 1984), hlm. 68.
BAB IV PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI TERHADAP SOSIAL EKONOMI PETANI DI DIY
A. Pengaruh dalam Bidang Sosial Penerapan modernisasi pertanian merupakan salah satu bagian dari program Revolusi Hijau di Indonesia telah memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat baik dalam bidang sosial maupun bidang ekonomi. Modernisasi pertanian tidak hanya memberikan pengaruh yang positif, tetapi juga memberikan pengaruh yang negatif kepada masyarakat terutama masyarakat pedesaan. Pengaruh positif yang diberikan dari adanya penerapan modernisasi pertanian adalah pengaruh terhadap produksi pertanian berupa meningkatnya produksi padi dalam waktu yang relatif singkat. Pengaruh negatif yang diberikan dari adanya penerapan modernisasi pertanian adalah munculnya masalah mengenai kerusakan lingkungan, masalah hak asasi petani, dan melemahnya fungsi institusi lokal.1 Masalah mengenai kerusakan lingkungan pada umumnya terjadi di pedesaan. Para petani selama masa pelaksanaan modernisasi pertanian selalu didera oleh kebijakan peningkatan produktivitas pertanian melalui pupuk dan obat-obatan kimiawi yang bukan hanya menciptakan ketergantungan, melainkan juga merusak lahan pertanian. Lahan pertanian merupakan bagian dari ekosistem sehingga masalah kerusakan pertanian telah menciptakan degradasi dan
1
Sunyoto Usman, Esai-esai Sosiologi: Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 263-264.
89
90
pencemaran lingkungan.2 Pengaruh negatif dari adanya modernisasi pertanian selain masalah kerusakan lingkungan adalah masalah mengenai hak asasi petani. Petani telah berkorban untuk biaya produksi pertanian yang tidak murah. Petani merasa tereksploitasi karena harga gabah yang murah dan dikontrol pemerintah. Hak asasi petani terinjak-terinjak karena tidak adanya santunan yang memadai atas pengorbanannya selama ini.3 Masalah melemahnya fungsi institusi lokal merupakan pengaruh dalam bidang sosial akibat pembangunan pertanian. Institusi-institusi lokal yang ada menjadi tidak berfungsi karena petani diwajibkan terhimpun dalam kelompok tani yang dibentuk dan dikontrol oleh pemerintah. Penerapan modernisasi pertanian di DIY belum sepenuhnya tepat, terutama di wilayah Kabupaten Gunungkidul yang sifat tanahnya kering dan gersang.4 Petani di Kabupaten Gunungkidul yang mayoritas menanam jagung dan ketela merasa dipaksa untuk menanam padi. Penanaman padi yang gencar dilakukan pada pelaksanaan modernisasi pertanian tidak sepenuhnya merugikan masyarakat di Kabupaten Gunungkidul, namun juga memberikan keuntungan. Keuntungan tersebut terlihat pada perubahan gaya hidup masyakarat yang semula hanya mengkonsumsi ketela menjadi nasi. Perubahan
sosial
merupakan
pengaruh
dari
adanya
penerapan
modernisasi pertanian di bidang sosial masyarakat. Perubahan sosial yang terjadi
2
Pencemaran lingkungan yang terjadi antara lain pencemaran terhadap air sawah serta terganggunya kehidupan flora dan fauna. 3
4
Ibid., hlm. 264.
P.J. Suwarna, Gunungkidul-Teknologi dan Lingkungan, (Yogyakarta: Yayasan B.P. Basis, 1979), hlm. 16.
91
di masyarakat pedesaan antara lain munculnya diferensiasi agraria dan kesenjangan sosial di kalangan petani.5 Diferensiasi agraria merupakan suatu pergeseran kelompok-kelompok sosial sebagai akibat masuknya unsur baru di sektor pertanian. Hal ini disebabkan oleh adanya program Revolusi Hijau yang tidak sepenuhnya memberikan keuntungan kepada seluruh masyarakat pedesaan, artinya hanya beberapa rumah tangga petani yang mendapatkan keuntungan dari adanya program ini. Petani yang mendapatkan keuntungan dari program Revolusi Hijau berhasil menjadi petani kaya, sedangkan petani yang tidak mendapatkan keuntungan dari program ini tidak berhasil menjadi petani kaya. Petani kaya yang telah diuntungkan dari adanya program Revolusi Hijau bukanlah petani yang independen atau tidak mandiri, artinya petani masih bergantung pada subsidi negara (perlindungan ekonomi negara).6 Petani tersebut memanfaatkan subsidi negara untuk mengkonsentrasikan sejumlah tanah bahkan seluruh lahan pertaniannya dengan menggunakan teknologi modern untuk proses produksinya. Hal tersebut memicu petani menjadi kapitalis-kapitalis pertanian yang mempekerjakan petani miskin dan buruh tani untuk mengolah lahan pertaniannya yang cukup luas.7 Petani miskin dan buruh tani yang dipekerjakan oleh petani kaya tidak dapat berbuat banyak selain hanya menerima keadaan. Diferensiasi agraria yang merupakan dampak dari adanya program Revolusi Hijau telah menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial pada masyarakat
5
Khudori, Ironi Negeri Beras, (Yogyakarta: Insist Press, 2008), hlm.
206. 6
Ibid.
7
Ibid.
92
pedesaan di Indonesia. Partisipasi petani dalam mengikuti program Revolusi Hijau mutlak diperlukan, namun hal ini hanya berlaku bagi petani kaya yang dapat dikatakan mampu secara perekonomian (memiliki cukup modal). Petani miskin yang tidak mampu secara perekonomian (tidak memiliki cukup modal), tidak dapat mengikuti program Revolusi Hijau karena merasa tidak mampu membayar kredit yang disediakan melalui paket Bimas. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kesenjangan sosial terjadi di masyarakat pedesaan yaitu terdapat “jurang pemisah” antara petani kaya dan petani miskin yang kehidupannya sangat bertolak belakang. Perbedaan yang terjadi antara petani kaya dan petani miskin secara tersirat menjelaskan bahwa masyarakat pedesaan tidak bisa terlepas dari stratifikasi masyarakatnya (sistem pelapisan masyarakat). Sistem pelapisan masyarakat pedesaan biasanya digolongkan berdasarkan pada kepemilikan tanah.8 Sistem pelapisan masyarakat terutama masyarakat pedesaan agraris terdiri dari empat golongan, yaitu golongan kuli kenceng, golongan kuli kendho, golongan kuli tumpang, dan golongan tumpang slasar.9 Golongan kuli kenceng adalah golongan masyarakat desa yang memiliki rumah, tanah, pekarangan, dan sawah. Kuli kenceng disebut juga wong baku, kuli ngarep, kuli kuwat, kuli gogol, dan kuli sikep. Golongan kuli kenceng memiliki hak dan kewajiban penuh atas segala kegiatan desa dan pemerintahan yang ada di
8
Djoko Suryo, dkk, Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya, (Jakarta: Depdikbud, 1985), hlm. 20. 9
Ibid.
93
atasnya serta memiliki kedudukan sosial paling tinggi di masyarakat.10 Golongan kuli kendho adalah golongan masyarakat desa yang memiliki rumah dan pekarang tanpa memiliki sawah. Kuli kendho disebut juga kuli mburi dan kuli setengah kenceng. Golongan kuli kendho pada umumnya bekerja sebagai petani penggarap dan penyakap (penyewa). Golongan kuli kendho kedudukannya lebih rendah dari kuli kenceng. Golongan kuli tumpang adalah golongan masyarakat desa yang hanya memiliki rumah, namun didirikan di atas pekarangan milik orang lain. Kuli tumpang disebut juga indung dan pandhak karang. Golongan kuli tumpang pada umumnya bekerja sebagai buruh tani yang sangat bergantung pada petani kaya.11 Golongan tumpang slasar atau pandhak slasar adalah golongan masyarakat desa yang tidak memiliki rumah, pekarangan, atau sawah. Kedua golongan di atas merupakan golongan terendah dalam sistem pelapisan masyarakat desa, karena kedudukan hak dan kewajibannya yang paling rendah.12 Golongan kuli kenceng, golongan kuli kendho, golongan tumpang, dan golongan tumpang slasar juga merujuk pada golongan petani secara umum yang dibedakan berdasarkan jumlah kepemilikan tanahnya. Sensus Pertanian di Jawa tahun 1963 menjelaskan, dari 10 juta kepala keluarga yang termasuk dalam
10
Ibid., hlm. 21.
11
Ibid., hlm. 22.
12
Ibid.
94
golongan petani hanyalah kepala keluarga yang memiliki tanah dengan luas lebih dari 0,1 hektar.13 Tabel 17 Distribusi Pemilikan Tanah di Jawa dari 10 juta Kepala Keluarga (Berdasarkan Sensus Pertanian Tahun 1963) Luas Tanah
Jumlah Kepala Keluarga
Rata-rata Luas Tanah
> 0,5 ha
3,8 juta
1,2 ha
0,1-0,49 ha
4,1 juta
0,2 ha
Sumber: Masri Singarimbun dan D.H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976, hlm. 16. Tabel di atas menjelaskan bahwa kepemilikan tanah di Jawa untuk golongan kurang dari 0,5 ha rata-rata seluas 1,2 ha, sedangkan untuk golongan 0,1-0,49 ha rata-rata seluas 0,2 hektar. Rata-rata keseluruhan dari kepemilikan tanah adalah sebesar 0,57 ha (termasuk golongan petani yang memiliki tanah kurang dari 0,1 ha), namun jika tidak termaasuk golongan petani yang memiliki tanah kurang dari 0,1 ha, rata-rata keseluruhan dari kepemilikan tanah adalah sebesar 0,71 ha. Tabel 18 Distribusi Pemilikan Tanah di Jawa dari 11,5 juta Kepala Keluarga (Berdasarkan Sensus Pertanian Tahun 1963) Luas Tanah
Jumlah Kepala Keluarga
Persentase
> 0,5 ha
3,2 juta
33%
< 0,2 ha
4,7 juta
40%
< 0,1 ha
3,6 juta
31%
Sumber: Masri Singarimbun dan D.H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976, hlm. 16. 13
Masri Singarimbun dan D.H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976), hlm. 16.
95
Tabel di atas menjelaskan bahwa dari 11,5 juta kepala keluarga di Jawa yang memiliki tanah lebih dari 0,5 hektar sebanyak 3,2 juta kepala keluarga, 4,7 juta kepala keluarga memiliki tanah kurang dari 0,2 hektar (termasuk di dalamnya tunakisma14), dan 3,6 juta kepala keluarga memiliki tanah kurang dari 0,1 hektar (termasuk di dalamnya tunakisma). Tunakisma atau golongan petani tak bertanah di Jawa sebanyak 13%. Kedua tabel di atas menyimpulkan bahwa mayoritas petani di Jawa adalah petani kecil dan petani gurem. Sistem pelapisan masyarakat pedesaan yang telah dijelaskan diatas juga masih berlaku pada masyarakat pedesaan di DIY. Penerapan modernisasi pertanian di DIY menyebabkan semakin terlihatnya perbedaan antara petani kaya, petani miskin, dan buruh tani. Petani kaya dalam sistem pelapisan masyarakat pedesaan termasuk dalam golongan kuli kenceng, petani miskin termasuk dalam golongan kuli kendho, dan buruh tani termasuk dalam golongan kuli tumpang atau tumpang slasar. Hal ini dapat dilihat dari luas rata-rata kepemilikan tanah baik sawah maupun pekarangan, seperti yang terjadi di Dusun Miri, Kelurahan Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY. Tabel 19 Distribusi Pemilikan Tanah di Dusun Miri, Kelurahan Sriharjo Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY Jumlah Keluarga
Persentase
Sawah
104
63%
Luas Rata-rata Setiap Pemilik 0,20 ha
Pekarangan
123
75%
0,09 ha
Tanah lainnya
128
78%
0,24 ha
Jenis Tanah
Sumber: Masri Singarimbun dan D.H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976, hlm. 35. 14
Tunakisma: petani yang tidak memilki tanah untuk lahan pertanian.
96
Tabel di atas menjelaskan bahwa pemilikan tanah di Dusun Miri paling banyak digunakan untuk keperluan selain sawah dan pekarangan (tanah lainnya). Jumlah keluarga dan persentase yang memiliki tanah sawah dan pekarangan lebih sedikit daripada jumlah keluarga yang memiliki tanah untuk keperluan selain sawah dan pekarangan. Hal ini juga dapat dilihat dari luas rata-rata pemilikan tanah yang menjelaskan bahwa luas rata-rata terbesar terdapat pada tanah selain sawah dan pekarangan, sedangkan luas rata-rata pemiliki sawah dan pekarangan berada di bawahnya. Luas rata-rata pemilikan tanah di Dusun Miri menunjukkan bahwa 63% dari jumlah keluarga memiliki tanah sawah seluas 0,20 hektar, 75% dari jumlah keluarga memiliki tanah pekarangan seluas 0,09 hektar, dan 78% dari jumlah keluarga memiliki tanah seluas 0,24% yang digunakan untuk keperluan lain.15 Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Dusun Miri terdiri dari golongan petani kecil dan petani gurem atau buruh tani. Buruh tani sebagai golongan petani paling bawah kedudukannya selalu dianggap rendah oleh masyarakat pedesaan yang kedudukannya berada di atasnya, namun hal tersebut selalu dilandasi dengan sikap nrimo (menerima) dan pasrah.16 Pengaruh dari adanya penerapan modernisasi pertanian terhadap pelapisan masyarakat seperti yang telah dijelaskan di atas dapat dikatakan sebagai patron dan klien. Patron merupakan istilah untuk masyarakat yang hidupnya sudah jauh melampaui garis kecukupan, sedangkan klien merupakan istilah untuk 15
16
Ibid.
Wawancara dengan Bapak Slamet di Kecamatan Imogiri pada 10 Oktober 2015.
97
masyarakat yang hidupnya di ambang atau di bawah kecukupan.17 Penerapan modernisasi pertanian secara tidak langsung semakin menimbulkan pola patron dan klien dalam pelapisan masyarakat pedesaan. Pengaruh yang lain dari adanya penerapan modernisasi pertanian adalah dibatasinya wewenang petani.18 Petani dalam penerapan modernisasi pertanian dianggap sebagai bagian dari paket input19, lebih tepatnya sebagai obyek atau sasaran sehingga petani dapat dibujuk atau dipaksa untuk mengadopsi berbagai teknologi baru di sektor pertanian. Pengaturan kerja termasuk pengaturan hasil panen yang selalu ditangani oleh petani menjadi diambil alih oleh pemerintah karena sistem penyuluhan dan perlindungan hasil panen dilakukan secara terpusat dan efektif. Hal itu diperparah lagi dengan adanya pembatasan terhadap pencapaian hasil panen potensial dari varietas bibit unggul.20 Pembatasan wewenang petani sebagai pengelola dan pembuat keputusan dilakukan agar pencapaian hasil panen yang potensial hanya ditujukan untuk pencapaian target pemerintah, bukan semata-mata untuk kesejahteraan petani itu sendiri. Petani apabila tidak dibatasi wewenangnya, jelas akan melakukan kontrol
17
Francis Wahono, “Dinamika Ekonomi Sosial Desa Sesudah 25 Tahun Revolusi Hijau”, Prisma, No. 3/XXIII/1994, hlm. 8. 18
John Pontius, “Revolusi Hijau di Indonesia Selama Ini”, Prisma, No. 2/XXIV/1995, hlm. 61. 19
Input dalam pertanian merupakan sebuah bahan mentah yang digunakan dalam produksi panenan, seperti bibit, pupuk, pestisida, dan air. Tenaga kerja, khususnya tenaga kerja upahan dianggap juga sebagai input. Petani berkat kesediaannya dalam hal tenaga dan menjalankan berbagai teknologi pertanian dapat dipandang sebagai input dalam pertanian. 20
Ibid.
98
atas pencapaian hasil panen yang berimbas kepada kehidupan mereka sendiri. Mendukung peran petani sebagai pembuat keputusan bukanlah tujuan utama dari adanya penerapan modernisasi pertanian. Petani dalam mengikuti pelaksanaan modernisasi pertanian memang diberi kebebasan untuk mengatur serta mengelola lahan pertaniannya, tetapi dalam mengatur hasil panen secara langsung mendapat pembatasan dari pemerintah.21 Hal itu dilakukan agar penerapan modernisasi pertanian dapat berjalan dengan efektif, tidak dilakukan secara sembrono atau ngawur, sehingga petani tidak asal mengambil keuntungan dari hasil panen yang tidak seluruhnya menjadi milik petani. Penerapan modernisasi pertanian di DIY telah memperkenalkan serta menyebarluaskan teknologi pertanian modern kepada petani. Penggunaan teknologi pertanian yang berbasis mesin canggih menyebabkan penggunaan tenaga
manusia
semakin
berkurang.
Penggunaan
mesin
canggih
pada
kenyataannya memang membuat pekerjaan di sawah semakin efektif dan efisien, tetapi di sisi lain menimbulkan pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang ditimbulkan dari adanya penggunaan mesin canggih adalah semakin berkurangnya interaksi sosial yang ada di masyarakat pedesaan, khususnya interaksi antara petani dan petani lainnya. Petani sebelum adanya penerapan modernisasi pertanian lebih bersifat sosialis, artinya rasa kekeluargaan yang terbangun antara petani dan petani lainnya masih ada, sedangkan setelah adanya penerapan modernisasi pertanian lebih 21
Wawancara dengan Bapak Bariman di Kecamatan Piyungan pada 10 Oktober 2015.
99
bersifat individualistis atau menghilangnya rasa kekeluargaan yang pernah terbangun dengan sesama petani. Rasa kekeluargaan di antara petani biasanya terbentuk karena kebiasaan yang mereka lakukan secara bersama, seperti bergotong-royong membersihkan saluran air, makan bersama di waktu istirahat kerja, dan saling bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing.22
B. Pengaruh dalam Bidang Ekonomi Penerapan modernisasi pertanian tidak hanya memberikan pengaruh di bidang sosial, tetapi juga di bidang ekonomi masyarakat khususnya petani. Pengaruh
positif
dari
adanya
penerapan
modernisasi
pertanian
adalah
meningkatnya pendapatan petani sebagai akibat dari meningkatnya produksi pertanian selama masa pelaksanaan modernisasi pertanian. Pendapatan petani sangat ditentukan oleh produksi pertanian yang dihasilkan, semakin tinggi produksi pertanian semakin tinggi pendapatan yang diperoleh petani. Penggunaan bibit padi unggul selama masa pelaksanaan modernisasi pertanian memberikan dampak positif terhadap produksi padi. Penggunaan bibit padi unggul jenis PB 5 yang menggantikan bibit padi IR 64, telah memberikan dampak positif terhadap produksi padi. Produksi padi semakin meningkat setelah digunakannya bibit padi unggul jenis baru tersebut.23
22
Wawancara dengan Bapak Ngatimo Rejo di Kecamatan Nglipar pada 10 Oktober 2015. 23
Wawancara dengan Bapak Suhardi di Kecamatan Ngemplak pada 10 Oktober 2015.
100
Pengaruh negatif dari adanya program modernisasi pertanian antara lain terjadinya permasalahan dalam sistem kredit Bimas,24 dan kerugian ongkos produksi sebagai akibat dari kerusakan ekosistem (lingkungan). Sistem kredit dalam program Bimas diadakan untuk membantu petani dalam memenuhi sarana produksi pertanian seperti pupuk, obat-obatan, dan peralatan pertanian. Pembayaran kredit dapat dilakukan dengan cara memberikan angsuran secara tunai kepada BRI Unit Desa.25 Petani dalam menghadapi hal tersebut harus mempunyai cukup uang agar tidak terjadi tunggakan pembayaran kredit pada masa selanjutnya, namun yang terjadi justru sebaliknya. Petani setelah menerima uang kontan seringkali menggunakannya untuk keperluan lain yang lebih mendesak daripada untuk kepentingan sarana produksi seperti untuk membayar biaya sekolah anak-anaknya, membantu tetangga yang sedang kesulitan keuangan, dan untuk melunasi hutang lain.26 Tim Survei Bank Dunia menyimpulkan penyebab utama menurunnya tingkat partisipasi petani dalam program Bimas adalah adanya penolakan pemberian kredit oleh BRI kepada petani-petani yang memiliki tunggakan
24
Anne Booth dan Peter McCawley (ed.), Ekonomi Orde Baru, (Jakarrta: LP3ES, 1985), hlm. 47. 25
Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai pihak pemberi kredit dalam hal ini harus benar-benar yakin bahwa kredit yang mereka berikan dapat dikembalikan pada waktunya dengan bunga yang sudah ditetapkan. Salah satu cara untuk menjamin kembalinya kredit adalah petani harus memberikan jaminan (borg) seharga 125-150% dari besarnya hutang. Jaminan ini dapat berupa sawah yang ditanami padi, pekarangan, atau rumah. 26
Wawancara dengan Bapak Mursito di Kecamatan Ngemplak pada tanggal 10 Oktober 2015.
101
pembayaran kredit.27 Penolakan dalam pemberian kredit dilakukan setelah sebelumnya BRI telah memberikan waktu perpanjangan pengembalian kredit, namun hal ini rupanya tidak mendapat respon dari petani sendiri. Kredit Bimas tetap tidak dapat dikembalikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan hingga akhirnya BRI menutup jasa pengkreditan ini. Kredit BRI yang telah ditutup karena
masalah
penunggakan
pembayaran
membuat
petani
kembali
menggantungkan keperluan kreditnya dari sistem ijon yang sebetulnya lebih membebani petani. Sistem ini banyak merugikan petani karena harga tanaman yang dijual jauh lebih rendah dan bunga yang diberikan sangat tinggi melebihi tingkat bunga yang berlaku pada masa itu.28 Partisipasi petani dalam program Bimas yang semakin menurun menyebabkan pemerintah memperluas jangkauan sasaran dari program ini. Program Bimas yang semula hanya ditujukan untuk petani berlahan luas menjadi diperluas kepada petani berlahan sempit (kurang dari 0,5 hektar) dan petani penggarap.29 Hal tersebut menjadi beban tersendiri bagi petani miskin dan petani penggarap yang lemah secara perekonomian. Petani miskin dan petani penggarap seringkali mengalami kesulitan keuangan, dan tidak menutup kemungkinan mereka sampai menggadaikan atau menjual tanahnya kepada petani kaya pada 27
Pihak Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada akhirnya melakukan penghentian pemberian kredit yang disebabkan oleh penyalahgunaan kredit untuk kepentingan selain sarana produksi yang mengakibatkan produksi padi tidak sempurna sehingga petani tidak dapat dikembalikan tepat pada waktunya atau dengan kata lain terjadi tunggakan kredit di kalangan petani. 28
Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, (Jakarta: LP3ES, 1973),
hlm. 32. 29
Ibid., hlm. 49.
102
saat musim paceklik.30 Petani miskin dan petani penggarap lebih menggunakan uangnya untuk kebutuhan hidup rumah tangganya daripada membayarnya sebagai angsuran kredit program Bimas. Penerapan modernisasi pertanian menurut R.M. Sundrum dan Anne Booth telah memberikan keuntungan kepada petani kaya yang mampu secara perekonomian,31 sedangkan petani miskin merasa agak terbebani atas adanya program tersebut. Petani miskin seperti yang telah disinggung diatas merupakan golongan petani yang lemah secara perekonomian baik dalam kehidupannya maupun di luar kehidupannya. Tabel 20 Jumlah Usaha Tani dan Luas Garapan di Pulau Jawa Tahun 1973 Luas Tanah (hektar)
Jumlah Usaha Tani
Jumlah Luas Garapan (hektar)
0-0,50
4.974.821
1.251.003
0,50-1,00
2.150.847
1.467.866
1,00-5,00
1.489.573
2.640.039
5,00-15
40.205
149.207
Jumlah
8.664.446
5.505.115
Sumber: Bambang Tri Cahyono, Masalah Petani Gurem, Yogyakarta: Liberty, 1983, hlm. 33. Tabel diatas merupakan gambaran mengenai jumlah usaha tani beserta luas garapannya di Pulau Jawa tahun 1973. Jumlah usaha tani yang terdapat di Pulau Jawa pada tahun 1973 sebesar 8.664.446 jiwa, sedangkan jumlah luas garapannya sebesar 5.505.115 hektar. Jumlah usaha tani apabila dilihat dari luas kepemilikan tanahnya mayoritas memiliki tanah seluas 0-0,5 hektar yaitu 30
Francis Wahono, op.cit., hlm. 10.
31
Francis Wahono, op.cit., hlm. 11.
103
sebanyak 4.974.821 jiwa, sedangkan tanah seluas 5,00-15 hektar hanya dimiliki oleh 40.205 jiwa. Usaha tani yang memiliki tanah seluas 0,50-15 hektar jumlahnya lebih sedikit apabila dibandingkan dengan usaha tani yang memiliki tanah seluas 0-0,50 hektar. Keuntungan dari modernisasi pertanian tidak dapat diserap secara merata oleh petani di DIY karena hanya petani kaya yang dapat merasakan, seperti yang terjadi di Dusun Miri, Kelurahan Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY. Tabel 21 Distribusi Pemilikan Tanah Sawah dari 164 Keluarga di Dusun Miri, Kelurahan Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY Persentase Persentase Luas Tanah Keluarga dalam Tanah dalam Jumlah Keluarga (ha) Setiap Kategori Setiap Kategori (%) (%) Tidak bertanah 60 37 0 0-0,05 21 13 3,6 0,05-0,10 28 17 10,5 0,10-0,20 28 17 19,2 Sub-total 137 84 33 0,20-0,40 18 11 23,1 0,40-0,80 6 3,6 16,3 0,80 dan lebih 3 1,8 27 Sub-total 27 16 67 Jumlah 164 100 100 Sumber: Masri Singarimbun dan D.H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976, hlm. 36. Tabel di atas merupakan gambaran pemilikan tanah sawah di Dusun Miri berdasarkan luas tanahnya. Seluruh masyarakat di Dusun Miri memiliki tanah seluas kurang dari 1 hektar atau lebih tepatnya kurang dari 0,80 hektar. Tanah seluas 0,05-0,20 hektar dimiliki oleh 137 keluarga, sedangkan tanah seluas 0,20-
104
0,80 hektar dimiliki oleh 27 keluarga.32 Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Dusun Miri mayoritas memiliki tanah kurang dari 0,20 hektar. Masyarakat yang memiliki tanah kurang dari 0,10 hektar berjumlah 109 keluarga, sedangkan masyarakat yang memiliki tanah lebih dari 0,10 hektar berjumlah 55 keluarga. Masyarakat yang memiliki tanah kurang dari 0,10 hektar termasuk dalam golongan petani gurem, sedangkan masyarakat yang memiliki tanah lebih dari 0,10 hektar termasuk dalam petani kecil. Kedua golongan ini merupakan golongan petani yang tidak mendapat keuntungan dari adanya penerapan modernisasi pertanian di DIY. Penerapan modernisasi pertanian lebih menguntungkan petani kaya daripada petani miskin karena petani kaya lebih mampu memperbaiki nasibnya berdasarkan aset yang dimiliki (tanah dan modal) dibandingkan petani miskin dan petani kaya menanggung resiko gagal panen yang diakibatkan oleh faktor-faktor yang tidak dikuasai oleh petani miskin.33 Tabel 22 Rumah Tangga Petani (RTP) dan Kepemilikan Lahan Pertanian di DIY Tahun 1983 (dalam persen) Luas Tanah Kabupaten < 0,5 ha
> 0,5 ha
Sleman 82,39 17,61 Bantul 81,25 18,75 Kulon Progo 61,45 38,55 Gunungkidul 31,91 68,09 Sumber: Muryanti, Pedesaan dalam Putaran Zaman: Kajian Sosiologis Petani, Pertanian dan Pedesaan, (Yogyakarta: SUKA Press UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 37. 32
Masri Singarimbun dan D.H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976), hlm. 36. 33
Muryanti, Pedesaan dalam Putaran Zaman: Kajian Sosiologis Petani, Pertanian dan Pedesaan, (Yogyakarta: SUKA Press UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 47.
105
Tabel diatas menjelaskan bahwa rumah tangga petani di beberapa kabupaten di DIY berdasarkan kepemilikan lahan pertanian pada tahun 1983 didominasi oleh petani gurem yang memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar. Petani yang memiliki tanah lebih dari 0,5 hektar jumlah lebih sedikit daripada petani yang memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar.34 Hal itu membuktikan bahwa dari masa penerapan modernisasi pertanian tahun 1970-1983, jumlah petani yang diuntungkan hanya sedikit. Pengaruh negatif yang lain dari adanya penerapan modernisasi pertanian adalah terjadi kerusakan ekosistem (lingkungan). Penerapan modernisasi pertanian yang merupakan bagian dari program Revolusi Hijau, terbukti membawa kerusakan pada ekosistem. Kerusakan ekosistem khususnya terjadi pada tanah antara lain, tanah semakin tidak responsif terhadap pemupukan, hilangnya cacing penggembur tanah dan ular sawah, hilangnya predator berbagai hama, keseimbangan alam berubah sehingga berbagai hama bermunculan dengan intensitas serangan yang tinggi dan menerapa kawasan yang luas. Intensitas serangan hama padi semakin meluas pada tahun 1970 seperti penggerek batang, wereng cokelat, ganjur, tikus, walang sangit, dan blast terutama di daerah yang asupan kimiawinya tinggi seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Timur, dan DIY.35 Kerusakan ekosistem yang memicu munculnya serangan hama padi memberikan dampak yang tidak baik terhadap produksi padi. Kerusakan
34
Ibid.
35
Anne Booth dan Peter McCawley (ed.), op.cit., hlm. 49.
106
ekosistem36 yang memicu terjadi kerusakan tanaman di DIY terjadi di beberapa wilayah di Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul. Wilayah di Kotamadya Yogyakarta yang mengalami kerusakan ekosistem antara lain wilayah Kecamatan Tegalrejo, Kecamatan Mantijeron, Kecamatan Kotagede, Kecamatan Mergangsan dan Kecamatan Umbulharjo,37 di Kabupaten Sleman antara lain wilayah Kecamatan Tempel, Kecamatan Pakem, Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Depok, Kecamatan Kalasan, dan Kecamatan Berbah,38 di Kabupaten Bantul antara lain wilayah Kecamatan Sewon, Kecamatan Bambanglipuro, Kecamatan Kasihan, Kecamatan Sedayu, Kecamatan Sanden, Kecamatan Imogiri, dan Kecamatan Piyungan.39 Wilayah di Kabupaten Kulon Progo yang mengalami kerusakan ekosistem antara lain Kecamatan Temon, Kecamatan Kokap, Kecamatan Sentolo, Kecamatan Nanggulan, Kecamatan Girimulyo, Kecamatan Kalibawang, dan
36
Kerusakan ekosistem yang terjadi pada masa pelaksanaan Revolusi Hijau disebabkan oleh penggunaan pupuk kimia yang terlalu banyak pada tanah, sehingga unsur-unsur hara di dalam tanah menjadi hilang. Hal itu menyebabkan tanah kurang responsif lagi terhadap pupuk, sehingga tanaman tidak mampu menyerap nutrisinya dengan baik. 37
Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Beberapa Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 Bagian I, (Yogyakarta: Biro Statistik, 1974), hlm. 172. 38
Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Beberapa Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 Bagian II, (Yogyakarta: Biro Statistik, 1974), hlm. 373. 39
Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Beberapa Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 Bagian I, (Yogyakarta: Biro Statistik, 1974), hlm. 268.
107
Kecamatan Samigaluh,40 dan di Kabupaten Gunungkidul hampir seluruh kecamatan yang ada mengalami kerusakan ekosistem, kecuali Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Panggang.41 Kerusakan tanaman yang menyebabkan kegagalan panen tersebut mengakibatkan produksi padi menurun dan berpengaruh terhadap pendapatan petani. Kerugian tersebut harus ditanggung oleh petani sebagai ongkos produksi yang dikeluarkannya secara swadaya.42 Pemborosan dana yang dikeluarkan oleh petani untuk biaya produksi akan terus terjadi seiring dengan tidak menguntungkannya paket Bimas yang disediakan. Pemerintah telah menetapkan harga maksimum pupuk dan harga minimum gabah sehingga petani memperoleh hasil bersih sebesar 100% dari investasi produksi tambahannya.43 Hal itu justru tidak sesuai dengan kenyataannya, petani seringkali mendapat keuntungan yang lebih rendah daripada tingkat perhitungan pemerintah karena petani harus mengeluarkan biaya pengangkutan pupuk dan gabah. Pupuk harus diangkut sampai ke ladang, sedangkan gabah harus diangkut dari ladang ke kantor BUUD. Petani yang lebih menggantungkan pada paket-paket teknologi pertanian produk industri akan menjadi obyek dari permainan harga-harga produk tersebut. 40
Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Beberapa Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 Bagian II, (Yogyakarta: Biro Statistik, 1974), hlm. 560. 41
Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Beberapa Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 Bagian II, (Yogyakarta: Biro Statistik, 1974), hlm. 484. 42
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Pertumbuhan dan Pemerataan dalam Pembangunan Pertanian, (Jakarta: Perhepi, 1983), hlm. 56. 43
Anne Booth dan Peter McCawley (ed.), op.cit., hlm. 50.
108
Hal ini dapat menggangu proses produksi pangan karena apabila harga pupuk naik maka petani akan mengurangi pemakaian pupuk yang berakibat menurunnya produksi. Para petani dalam mengurangi ketergantungan terhadap produk-produk pertanian modern memunculkan gerakan-gerakan dengan cara menanam bibit padi lokal dan melakukan cara Pemberantasan Hama Terpadu (PHT).44 Lumbung padi yang telah lama tidak digunakan sejak adanya program Revolusi Hijau dapat digunakan kembali dengan adanya penanaman bibit padi lokal. Penerapan modernisasi pertanian di DIY menyebabkan bibit padi unggul dipergunakan secara luas oleh para petani, karena bibit unggul dianggap dapat meningkatkan produksi padi secara signifikan. Bibit padi unggul yang diperkenalkan
melalui
modernisasi
pertanian
pada
kenyataannya
telah
meningkatkan produksi padi yang ada di DIY seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Peningkatan produksi padi di DIY menyebabkan hasil panen padi menjadi berlimpah. Hasil panen padi yang berlimpah mendorong pemilik modal untuk membeli padi dari pemilik sawah atau disebut dengan sistem tebasan. Sistem tebasan merupakan sistem yang lebih efisien dari sistem derep, karena penggunaan tenaga kerjanya lebih terkontrol. Sistem tebasan menyebabkan petani derep yang sebelumnya telah bekerja pada lahan persawahan menjadi menganggur (tidak bekerja), karena pada sistem tebasan pihak penebas juga membawa tenaga derep. Hal ini terjadi pada sebuah daerah di DIY yaitu Dusun Sompok, Kelurahan Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Tenaga 44
Loekman Soetrisno, Pertanian pada Abad ke-21, (Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud, 1998), hlm. 15.
109
derep yang dibawa oleh penebas dirasa dapat bekerja lebih efektif karena panen padi tidak menggunakan ani-ani tetapi menggunakan alat arit (sabit).45 Penggunaan ani-ani untuk memetik hasil panen justru akan memperlama pekerjaan, sehingga pekerjaan tidak efisien. Sistem tebasan mulai dipergunakan seiring dengan adanya penerapan modernisasi pertanian di DIY. Sistem tebasan secara teknis lebih efektif dan efisien dari sistem derep jika dilihat dari penggunaan tenaga kerja dan peralatan yang digunakan. Sistem tebasan di sisi lain menyebabkan pengangguran di masyarakat, seiring tidak terpakainya petani derep yang ada. Sistem tebasan yang mulai berkembang sejak tahun 1980 terbukti telah menyebabkan pengangguran di kalangan masyarakat.46 Munculnya pengangguran merupakan pengaruh dari adanya penerapan modernisasi pertanian. Munculnya pengangguran selain disebabkan oleh pergantian cara panen dari sistem derep ke sistem tebasan, juga disebabkan oleh memudarnya sistem panen lama atau sistem bawon. Sistem bawon membuat petani khususnya petani di desa miskin memiliki pekerjaan yaitu memanen padi.47 Pergantian cara panen dari sistem bawon ke sistem tebasan tidak sepenuhnya memberikan pengaruh negatif kepada petani, namun pengaruh positif juga dapat dirasakan. Pengaruh positif dari adanya pergantian sistem panen tersebut adalah petani mendapat keuntungan dari hasil panen yang tidak dijual. Petani yang memiliki lahan sempit 45
Pande Made Kutanegara, “Kemiskinan, Mobilitas Penduduk, dan Aktivitas Derep”, Humaniora, No. 1/XV/2003, hlm. 5. 46
Ibid.
47
Ibid., hlm. 6.
110
tidak memungkinkan untuk menjual hasil panennya kepada penebas, sehingga petani dapat menyimpan hasil panennya sebagai persediaan pangan (food saving) dibandingkan sebagai sumber pendapatan. Sistem bawon yang memberikan pengaruh negatif sekaligus pengaruh positif terhadap petani pelaksanaannya semakin berkurang. Sistem bawon lebih tepat digunakan untuk petani yang memiliki lahan sempit, sedangkan sistem tebasan lebih tepat digunakan untuk petani yang memiliki lahan luas. Sistem tebasan bagi masyarakat yang miskin keberadaannya justru memberikan keuntungan yaitu memberikan peluang kerja baru. Sistem bawon hanya membuat masyarakat yang miskin menjadi seorang pengasak48, karena akses mereka untuk bekerja di sektor pertanian telah ditutup oleh rekruitmen dalam sistem bawon. Sistem bawon lebih mengangkat tenaga kerja dari kerabat atau tetangga sehingga penggunaan tenaga kerja lebih tertutup, sedangkan sistem tebasan penggunaan tenaga kerjanya dapat diambil dari daerah lain (terbuka). Penerapan modernisasi pertanian di DIY juga telah mengubah sistem derep yang lebih terarah. Sistem derep setelah adanya penerapan modernisasi pertanian lebih profesional karena penggunaan tenaga penderep hanya sekitar 4-6 orang, padahal sebelum adanya penerapan modernisasi pertanian penggunaan tenaga derep sekitar 10-20 orang untuk satu hektar sawah. Sistem derep terbagi
48
Pengasak adalah orang yang tidak bisa ikut serta dalam proses panen karena berbagai keterbatasan yang dimiliki seperti tidak ada hubungan kekerabatan, berasal dari luar wilayah atau bisa juga dianggap tidak mampu bekerja keras, karena sudah tua, cacat, dan sebagainya. Mereka boleh memungut bulir-bulir padi yang masih tertinggal di area persawahan maupun mengambil sisa-sisa padi yang masih melekat di batang padi. Tukang ngasak dalam strata sosial masyarakat desa merupakan kelompok paling miskin di desa.
111
menjadi dua tipe yaitu derep gabah dan derep damen. Derep gabah merupakan sistem derep yang memberikan penderep hasil berupa gabah, sedangkan dalam derep damen petani akan diberi hasil berupa damen.49 Pendapatan dari sistem derep berbeda-beda sesuai dengan musim pada saat melakukan derep.50 Sistem derep dilakukan saat musim hujan dan musim kemarau. Derep yang dilakukan saat musim hujan disebut derep gadhu, sedangkan derep yang dilakukan saat musim kemarau disebut derep rendhengan. Derep musim hujan masa kerjanya lebih lama dari derep musim kemarau. Derep gadhu masa kerjanya sekitar 14-24 hari, sedangkan derep rendhengan masa kerjanya sekitar 10-14 hari. Perbedaan masa kerja antara derep gadhu dan derep rendhengan juga mempengaruhi penghasilan yang petani dapatkan dari pekerjaan menderep. Hasil bawon yang diperoleh dalam derep gadhu dan derep rendhengan juga berbeda. Derep gadhu memperoleh bawon sebesar 1:9, sedangkan derep rendhengan memperoleh bawon sekitar 1:10. Hasil bawon tersebut juga tergantung dari alat yang petani miliki dan fasilitas yang diterima dari penebas. Rata-rata jumlah bawon yang diperoleh petani selama dua minggu bekerja sebagai penderep sekitar 400-500 kg gabah kering. Gabah yang diperoleh dari hasil bawon biasanya tidak dijual karena dipergunakan untuk konsumsi pribadi. Gabah yang dijual biasanya sedikit jumlahnya karena sisanya digunakan untuk biaya sewa transportasi dari tempat derep ke daerah tempat tinggal petani. 49
Damen merupakan batang padi kering yang biasanya digunakan untuk makanan ternak seperti sapi atau kambing. 50
Ibid., hlm. 7.
BAB V KESIMPULAN
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang terletak di Pulau Jawa. DIY terletak secara astronomis terletak antara 7o30’- 8o15’ LS dan 110o-110o50’ BT, dan secara geografis terletak di tengah Pulau Jawa bagian selatan, dan secara geologis termasuk zone tengah dan selatan dari propinsi geologi Jawa Tengah dan Jawa Timur. DIY berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri di sebelah tenggara, Kabupaten Klaten di sebelah timur laut, Kabupaten Magelang di sebelah barat laut, Kabupaten Purworejo di sebelah barat, dan Lautan Indonesia di sebelah selatan. Luas wilayah DIY adalah 3.185,81 km2, terbagi dalam daerah kotamadya dan empat kabupaten yaitu Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul yang masing-masing memiliki wilayah administratif. Temperatur harian di wilayah DIY berkisar 26,68o C dengan rata-rata maksimum 30,48o-33,6oC dan rata-rata minimum 21,1o-23,0o C. Kecepatan angin sekitar 5-16 knot per jam (2,57-8,22 m/detik). Kelembaban udara di wilayah DIY berkisar antara 73%-77% dengan maksimum 95%-97% dan minimum 43%-45%. Curah hujan tahunan di wilayah DIY berdasarkan Peta Isohyet rata-rata berkisar dari 1500-3500 mm. DIY dialiri oleh beberapa sungai besar yang melewati Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Bantul serta langsung bermuara ke Lautan Indonesia. Sungai tersebut antara lain, Sungai Progo, Sungai Oyo dan Sungai Opak yang tergolong sungai besar berdasarkan luas daerah pengalirannya.
112
113
Penduduk DIY tersebar di wilayah Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Kulon Progo. Penduduk DIY secara umum menganut agama atau kepercayaan yang diakui oleh negara secara sah, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Penduduk di DIY sebagian besar bekerja di sektor pertanian, karena wilayah DIY merupakan daerah agraris. Penduduk DIY yang bekerja di sektor pertanian sekitar 62,9%.
Penduduk
DIY
yang
bekerja
di
sektor
pertanian
mayoritas
bermatapencaharian sebagai petani. Golongan petani di DIY terdiri dari petani kaya, petani kecil, petani gurem, dan buruh tani. Pertanian di DIY sebagian besar dikerjakan di lahan pertanian milik pribadi (pekuleh), selain itu ada yang dikerjakan di lahan pertanian bukan milik pribadi yaitu tanah lungguh atau bengkok, pangarem-arem, dan kas desa. Lahan pertanian yang dimiliki oleh petani di DIY pada dasarnya sangat beragam. Petani yang tidak memiliki lahan sawah atau tegalan biasanya melakukan sebuah cara agar tetap dapat bercocok tanam, antara lain dengan menyewa tanah, melakukan bagi hasil, menggadaikan tanah dan srama. Lahan pertanian di DIY pada umumnya menghasilkan beberapa jenis tanaman, khususnya tanaman pangan antara lain padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, dan lain-lain. Padi yang ditanam di DIY terdiri dari padi sawah dan padi gogo. Pembangunan pertanian yang menjadi titik berat Repelita membuat Soeharto berinisiatif untuk meningkatkan produksi tanaman pangan khususnya padi, dan pada saat yang bersamaan di kalangan dunia pertaninan tengah muncul upaya yang disebut Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi padi. Revolusi
114
Hijau dilatarbelakangi oleh kelangkaan beras di pasaran kota-kota besar sepanjang masa Orde Lama. Pemerintah Indonesia sangat antusias menyambut penemuan teknologi baru melalui Revolusi Hijau yang bertujuan untuk meningkatkan produksi padi di Indonesia. Revolusi Hijau merupakan suatu istilah yang telah dikenal Indonesia sejak 1960-an. Revolusi Hijau khususnya di Jawa dirintis lebih dahulu oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan pelayanan penyuluhan pertanian pada tahun 1963-1964. Bibit padi unggul dari IRRI Filipina telah dikirim ke Bogor pada tahun 1966. Penandatanganan kontrak dengan perusahaan kimia (CIBA) dilakukan pada tahun 1967 dengan mewujudkan kesatuan antara revolusi biologi berupa varietas bibit padi unggul dan revolusi kimiawi berupa pupuk buatan serta obat-obatan anti hama. Pemerintah Orde Baru mencanangkan program Bimbingan Massal (Bimas) yang diadopsi dari program Revolusi Hijau pada tahun 1968. Program Revolusi Hijau mulai dilaksanakan di Indonesia mulai tahun 1970. Program tersebut bertujuan untuk mewujudkan swasembada pangan khususnya beras. Pemerintah dalam usahanya meningkatkan produksi padi di DIY melaksanakan program intensifikasi pertanian. Pembangunan pertanian di Indonesia pada umumnya dilaksanakan pada tahun 1968. DIY turut melaksanakan Bimas Nasional pada tahun 1970. Pemerintah meluncurkan program intensifikasi yang dikenal dengan nama Bimas (Bimbingan Massal) dan Inmas (Intensifikasi Massal).
115
Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi padi di Indonesia merupakan langkah yang tepat, namun tidak berpengaruh pada kesejahteraan petani miskin dan buruh tani di pedesaan. Kesejahteraan petani miskin dan buruh tani hanya bisa diperbaiki pada tingkat yang sangat lamban. Hal ini disebabkan karena program hanya bisa dijangkau oleh petani yang memiliki tanah dan modal. Perubahan dan hubungan yang buruk antara petani miskin dan buruh tani dengan para pemilik tanah sebagai akibat penggunaan bibit unggul dan teknologi pertanian telah menyebabkan memburuknya distribusi pendapatan di kalangan petani itu sendiri. Penerapan modernisasi pertanian merupakan salah satu bagian dari program Revolusi Hijau di Indonesia telah memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat baik dalam bidang sosial maupun bidang ekonomi. Modernisasi pertanian tidak hanya memberikan pengaruh yang positif, tetapi juga memberikan pengaruh yang negatif kepada masyarakat terutama masyarakat pedesaan. Pengaruh positif yang diberikan dari adanya penerapan modernisasi pertanian adalah pengaruh terhadap produksi pertanian berupa meningkatnya produksi padi dalam waktu yang relatif singkat. Pengaruh negatif yang diberikan dari adanya penerapan modernisasi pertanian adalah terjadinya perubahan di masyarakat pedesaan yaitu semakin terlihatnya stratifikasi sosial seperti golongan petani lapisan atas (petani kaya), petani lapisan sedang, dan petani miskin (petani gurem).
DAFTAR PUSTAKA
Arsip: Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah DIY Tahun 1969, Yogyakarta: Biro Statistik, 1970. , Statistik Pemerintah Daerah DIY Tahun 1970, Yogyakarta: Biro Statistik, 1971. , Statistik Pemerintah Daerah DIY Tahun 1971, Yogyakarta: Biro Statistik, 1972. , Statistik Pemerintah Daerah DIY Tahun 1972, Yogyakarta: Biro Statistik, 1973. , Statistik Beberapa Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 Bagian I dan Bagian II, Yogyakarta: Biro Statistik, 1974. Biro Pusat Statistik, Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1974, Yogyakarta: Biro Pusat Statistik DIY, 1975. Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah DIY Tahun 1976, Yogyakarta: Biro Statistik, 1977. Kantor Statistik Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 Bagian I, Yogyakarta: Kantor Statistik, 1979. Pusat Data Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Propinsi DIY Dalam Angka 1981 Bagian I, Yogyakarta: Pusat Data Propinsi DIY, 1982. , DIY dalam Trend Statistik 1976-1980, Yogyakarta: Pusat Data Propinsi DIY, 1982. , DIY dalam Trend Statistik 1979-1983, Yogyakarta: Pusat Data Propinsi DIY, 1984. , DIY dalam Trend Statistik 1981-1985, Yogyakarta: Pusat Data Propinsi DIY, 1986. Buku: Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2011.
116
117
Achmad Saubari, dkk, Presiden Soeharto dan Pembangunan Pertanian, Jakarta: PT Citra Media Persada, 1992. Ahmad Nashih Luthfi, dkk, Pemikiran Agraria Bulaksumur: Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun, dan Mubyarto, Yogyakarta: Sains Sajogyo Institute, 1980. Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan, Jakarta: Kompas, 2009. Arifin Hutabarat, Usaha Mengatasi Krisis Beras, Jakarta: Lembaga Pendidikan Dan Konsultasi Pers, 1974. Bambang Tri Cahyono, Masalah Petani Gurem, Yogyakarta: Liberty, 1983. Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Bantul, Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t. _______, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t. _______, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t. _______, Kabupaten Sleman,Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t. _______, Kotamadya Yogyakarta, Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t. Bustanul Arifin, Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia: Telaah Struktur, Kasus, dan Alternatif Strategi, Jakarta: Erlangga, 2001. Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural, Jakarta: Bumi Aksara, 2011. David Jary dan Julia Jary, The Harper Collins Dictionary, New York: Harper Collins Publisher, Ltd., 1991. Depdikbud, Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Depdikbud, 1976. Desi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Amalia, 2003. Djoko Suryo, Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial dan Ekonomi, Jakarta: Depdikbud, 1985. Francois Ruf dan Frederic Lancon, Dari Sistem Tebas dan Bakar ke Peremajaan Kembali: Revolusi Hijau di Dataran Tinggi Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2005.
118
Gottschalck Louis, Understanding History: A Primer of Historical Method, terj. Nugoroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogyakarta: Insist, KPA, dan Pustaka Pelajar, 2000. Handojo Adi Pranowo, Manusia dan Hutan: Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merapi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985. Helius Sjamsudin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2012. Husken Frans, Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa, 1830-1980, Jakarta: PT Gramedia, 1998. Johara T. Jayadinata, Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah, Bandung: Penerbit ITB, 1999. Jurgen H. Hohnholz, Geografi Pedesaan: Masalah Pengembangan Pangan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986. Kantor Pusat Data Propinsi DIY, Monografi DIY Tahun 1979, Yogyakarta: Kantor Pusat Data, 1981. Kartasapoetra, A.G., Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan, Jakarta: Bumi Aksara, 1987. Kaslan A. Tohir, Pengantar Ekonomi Pertanian, Bandung: Vorkink-Van Hoeve Gravenhage, t.t. Khairuddin, Pembangunan Masyarakat: Tinjauan Aspek Sosiologi, Ekonomi, dan Perencanaan, Yogyakarta: Liberty, 1992. Khudori, Ironi Negeri Beras, Yogyakarta: Insist Press, 2008. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang, 2005. Loekman Soetrisno, Pertanian pada Abad ke-21, Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud, 1998. Lombard, Denys, Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008. Masri Singarimbun dan D.H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976.
119
Mubyarto, Ekonomi Pertanian dan Pedesaan, Yogyakarta: Aditya Media, 1996. _______, Masalah Beras di Indonesia, Yogyakarta: Lembaga Penelitian Ekonomi FEB UGM, 1975. _______, Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: LP3ES, 1973. _______, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1983. Muryanti, Pedesaan dalam Putaran Zaman: Kajian Sosiologis Petani, Pertanian dan Pedesaan, Yogyakarta: SUKA Press UIN Sunan Kalijaga, 2011. Noer Fauzi, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 1999. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Pertumbuhan dan Pemerataan dalam Pembangunan Pertanian, Jakarta: Perhepi, 1983. Pusat Data Propinsi DIY dan Kantor Statistik Propinsi DIY, Kondisi Sosial Ekonomi Petani Kecil atau Buruh Tani di 4 Kabupaten DIY Tahun 1982, Yogyakarta: Pusat Data Propinsi DIY dan Kantor Statistik Propinsi DIY, 1983. Saafroedin Bahar, dkk, 50 Tahun Indonesia Merdeka: Selayang Pandang Hasilhasil Pembangunan dalam Pelita I-Pelita V, Jakarta: Sekretariat Negara, 1997. Said Rusli, Pengantar Ilmu Kependudukan, Jakarta: LP3ES, 1983. Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982. Soemargono, Profil Propinsi Republik Indonesia: Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, 1992. Soeyanto dan Titi Soentoro, Sosiologi Pertanian, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990. Sri Sadaah S. Herutomo, Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Depdikbud, 1989.
120
Sri Widodo, Production Efficiency of Rice Farmers in Java Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988. Sunyoto Usman, Esai-esai Sosiologi: Perubahan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015. Sutrisno Kutoyo, Sejarah tentang Pengaruh Pelita di Daerah terhadap Kehidupan Masyarakat Pedesaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Depdikbud, 1981. Tim Lapera, Prinsip-prinsip Reformasi Agraria: Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001. Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, UNY, 2013. Widjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010.
Artikel: Agus Pakpahan, dkk, “Perkembangan Kesejahteraan Petani”, Prisma, No. 5/XXII/1993. Francis Wahono, “Dinamika Ekonomi Sosial Desa Sesudah 25 Tahun Revolusi Hijau”, Prisma, No. 3/XXIII/1994. John Pontius,“Revolusi Hijau di Indonesia Selama Ini”, Prisma, No. 2/XXIV/1995. Pande Made Kutanegara, “Kemiskinan, Mobilitas Penduduk, dan Aktivitas Derep”, Humaniora, No. 1/XV/2003.
Skripsi dan Tesis: Dewi Ragil Pangesti, “Modernisasi Pertanian di Kabupaten Gunungkidul Tahun 1960-1984: Dari Krisis Pangan Hingga Swasembada Pangan”, Skripsi, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2014. Dyah Ayu Anggraheni Ikaningtyas, “Produksi Beras di Delanggu pada Masa Orde Baru 1968-1984”, Tesis, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2013.
121
Nor Huda, “Revolusi Hijau dan Gerakan Petani di Magelang Pada Masa Akhir Orde Baru”, Tesis, Yogyakarta: Universitas Negeri Gadjah Mada, 2011. Trihapsari Nina Hadiastuti, “Pengaruh Modernisasi Pertanian pada Kehidupan Masyarakat Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman tahun 1970-1984”, Skripsi, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2006.
122
Lampiran 1 DAFTAR RESPONDEN
No.
Nama
Usia
Pekerjaan Dulu
Sekarang
Alamat
1.
Ngatimo Rejo
75 tahun
Petani
Petani
Dusun Tengklek, Nglipar, Gunungkidul
2.
Sumandi
68 tahun
Petani
Wirausaha
Dusun Garotan, Semin, Gunungkidul
3.
Sugito
72 tahun
Petani
Petani
Kembang, Nanggulan, Kulon Progo
4.
Sariyanto
59 tahun
Petani
Petani
Kembang, Nanggulan, Kulon Progo
5.
Slamet
65 tahun
Petani
Petani
Karangtalun, Imogiri, Bantul
6.
Bariman
69 tahun
Petani
Pedagang
Sitimulyo, Piyungan, Bantul
7.
Suhardi
55 tahun
Petani
Wiraswasta
Krajan, Wedomartani, Ngemplak, Sleman
8.
Mursito
65 tahun
Petani
Petani
9.
Adi
39 tahun
Pegawai Dinas Pertanian
Pegawai Dinas Pertanian
123
Bakungan,Wedomartani, Ngemplak, Sleman Karangploso, Maguwoharjo, Depok, Sleman
Lampiran 2
PETA WILAYAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Skala 1 : 100 Legenda: Batas Provinsi Batas Kabupaten
Sumber: www.google.com
124
Lampiran 3
PETA PERTANIAN WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Skala 1 : 100 Legenda: Batas Kabupaten Batas Kecamatan
Keterangan: areal persawahan
Sumber: Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Beberapa Segi Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 (Bagian I).
125
Lampiran 4 PETA PERTANIAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Skala 1 : 100 Legenda: Batas Provinsi Batas Kabupaten Batas Kecamatan
Keterangan: areal persawahan
Sumber: Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Beberapa Segi Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 (Bagian I). 126
Lampiran 5 PETA PERTANIAN WILAYAH KABUPATEN BANTUL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Skala 1 : 100 Legenda: Batas Kabupaten Batas Kecamatan
Keterangan: areal persawahan
Sumber: Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Beberapa Segi Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 (Bagian I).
127
Lampiran 6 PETA PERTANIAN WILAYAH KABUPATEN KULON PROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Skala 1 : 100 Legenda: Batas Provinsi Batas Kabupaten Batas Kecamatan
Keterangan: areal persawahan
Sumber: Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Beberapa Segi Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 (Bagian II). 128
Lampiran 7 PETA PERTANIAN WILAYAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Skala 1 : 100 Legenda: Batas Provinsi Batas Kabupaten Batas Kecamatan
Keterangan: areal persawahan
Sumber: Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Beberapa Segi Sosial dan Ekonomi Tahun 1973 (Bagian II). 129
Lampiran 8
PRODUKSI BAHAN MAKAN PERBULAN DI DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA TAHUN 1968 DAN PERKEMBANGANNJA TAHUN 1959 S/D 1968 (DALAM TON) Bulan
Padi Sawah
Padi Gogo
Djagung
Ubi Kaju
Ubi Djalar
Katjang Tanah
Kedelai
Tjantel
Keterangan
Djanuari 7.286,00 3.761,18 3.902,50 2.838,70 209,40 100,70 270,00 Sumber Pebruari 7.818,80 900,80 10.242,00 5.057,50 540,50 649,40 850,52 474,80 Dari Maret 15.213,70 21.148,80 1.139,65 2.661,50 1.303,00 1.033,88 1.053,16 618,80 Dinas April 64.814,10 5.913,62 102,32 3.568,33 1.316,82 381,70 399,25 35,40 Pertanian Mei 76.598,10 56,00 340,00 4.386,20 1.001,72 239,31 1.355,91 2,00 Daerah Djuni 30.422,04 134,50 464,90 7.331,18 558,18 2.572,50 2.587,43 3,10 Istimewa Djuli 8.475,30 459,10 19.080,80 919,50 1.624,70 277,88 Jogjakarta Agustus 20.089,90 367,42 61.249,10 1.437,82 282,47 890,54 11,95 September 41.606,56 3,60 170,30 49.656,81 1.368,96 339,42 114,35 1,20 Oktober 29.897,20 138,20 12.816,30 2.099,00 597,19 56,24 3,20 Nopember 17.580,76 2,40 597,40 6.691,70 3.406,20 1.490,20 201,12 10,90 Desember 25.643,11 1.842,30 6.149,50 2.581,80 842,37 359,95 4,20 Tahun 1968 345.445,57 28.159,72 19.624,77 182.551,42 19.372,20 10.262,54 8.247,05 1.435,55 1967 251.362,75 23.056,48 14.946,85 164.753,30 18.675,30 10.992,70 9.477,12 1.503,30 1966 245.943,00 25.749,60 25.061,40 221.497,30 22.105,30 14.373,00 8.394,00 2.269,50 1965 240.717,35 27.178,80 13.672,65 215.848,40 16.846,05 6.912,30 8.234,40 1.502,90 1964 217.297,60 17.585,60 18.975,75 203.527,10 33.274,50 5.937,60 8.119,60 2.045,90 1963 218.938,97 29.247,70 25.237,20 189.680,66 28.272,83 5.124,25 8.449,50 1.357,80 1962 239.035,50 40.654,80 18.663,07 230.999,80 57.249,75 5.317,60 10.389,05 1.527,80 1961 217.853,30 59.567,66 16.192,60 232.205,58 17.989,85 7.469,23 12.105,89 2.402,25 1960 248.597,79 45.058,15 16.863,04 271.029,66 17.480,10 8.235,40 11.486,91 1.647,06 1959 197.515,49 31.185,59 12.698,93 244.861,93 19.711,67 7.513,83 9.192,56 1.386,21 Keterangan: Produksi menondjol disebabkan oleh: a) karena lebih panjanganja musim hudjan dari tahun2 lalu, b) pengerjaannja lebih intensip dan areal Bimasnja lebih luas. Sumber: Biro Pusat Statistik Daerah Istimewa Jogjakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Jogjakarta Tahun 1968 (Bagian II), Jogjakarta: Biro Pusat Statistik, 1969, hlm. 73.
130
Lampiran 9
PRODUKSI BAHAN MAKAN PERBULAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 1970 DAN PERKEMBANGANNYA TAHUN 1960 S/D 1969 (DALAM TON) Bulan
Padi Sawah
Padi Gogo
Jagung
Ketela Pohon
Ketela Rambat
Kacang Tanah
Kedelai
Cantel
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Tahun 1969 1968 1967 1966 1965 1964 1963 1962 1961 1960
18.437,60 12.072,40 9.559,30 65.089,38 89.129,36 25.983,13 15.606,80 14.286,11 24.479,78 21.696,00 17.390,84 14.218,60 327.949,50 345.445,57 251.362,75 245.943,00 240.717,35 217.297,60 218.938,97 239.035,50 217.853,30 248.597,79
548,10 12.406,67 10.955,40 437,16 11,30 3,54 5,00 32,50 60,70 24.460,00 28.159,72 23.056,48 25.749,60 27.178,80 17.585,60 29.247,70 40.654,80 59.567,66 45.058,15
6.693,44 2.309,67 57,95 91,40 222,99 286,97 75,86 226,32 181,48 195,70 728,90 778,32 11.849,00 19.624,77 14.946,85 25.061,40 13.672,65 18.975,75 25.237,20 18.663,07 16.192,60 16.863,04
4.354,39 4.888,87 3.974,90 5.004,61 7.814,00 15.101,40 32.858,60 59.213,30 16.240,34 4.869,20 3.048,30 3.673,80 161.061,71 182.551,42 164.753,30 221.497,30 215.848,40 203.527,10 189.680,66 230.999,80 232.205,58 271.029,66
1.081,10 865,50 598,20 680,00 589,54 741,71 827,20 753,47 1.141,71 1.133,80 3.167,66 3.141,20 14.723,09 19.372,20 18.675,30 22.105,30 16.846,05 33.274,50 28.272,83 57.249,75 17.989,85 17.480,10
1.045,34 1.845,05 93,90 880,36 2.367,17 1.123,73 158,00 717,60 517,10 863,40 2.338,00 635,70 12.585,35 10.262,54 10.992,70 14.373,00 6.912,30 5.937,60 5.124,25 5.317,60 7.469,23 8.235,40
536,95 646,60 36,30 1.439,12 2.279,84 282,99 1.389,70 1.840,35 167,13 73,10 216,72 793,30 9.702,12 8.247,05 9.477,12 8.394,00 8.234,40 8.119,60 8.449,50 10.389,05 12.105,89 11.486,91
415,03 293,67 57,60 21,44 13,68 2,90 7,60 161,96 13,70 2,50 21,80 28,50 1.040,38 1.435,55 1.503,30 2.269,50 1.502,90 2.045,90 1.357,80 1.527,80 2.402,25 1.647,06
Keterangan Sumber Dari Dinas Pertanian dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta
Sumber: Biro Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1969 (Bagian II), Yogyakarta: Biro Pusat Statistik, 1970, hlm. 75.
131
Lampiran 10 PRODUKSI BAHAN MAKAN PERBULAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 1969 DAN PERKEMBANGANNYA TAHUN 1961 S/D 1970 (DALAM TON) Bulan
Padi Sawah
Padi Gogo
Jagung
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Kacang Tanah
Kedelai
Cantel
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Tahun 1970 1969 1968 1967 1966 1965 1964 1963 1962 1961
7.829,30 9.769,70 25.991,90 71.957,40 74.131,87 33.828,60 12.981,50 33.577,20 37.118,80 27.579,60 19.871,20 16.283,40 360.920,37 327.949,50 345.445,57 251.362,75 245.943,00 240.717,35 217.297,60 218.938,97 239.035,50 217.853,30
253,20 13.526,90 24.252,70 2.572,60 34,50 63,50 6,00 12,00 51,30 40.771,70 24.460,00 28.159,72 23.056,48 25.749,60 27.178,80 17.585,60 29.247,70 40.654,80 59.567,66
24.072,00 4.519,00 187,20 32,60 193,70 234,60 147,20 200,10 184,10 149,50 195,35 2.113,17 22.227,52 11.849,00 19.624,77 14.946,85 25.061,40 13.672,65 18.975,75 25.237,20 18.663,07 16.192,60
3.329,40 3.384,80 3.654,88 5.353,42 2.952,20 9.438,80 30.084,90 95.087,20 23.267,40 8.086,40 2.749,00 2.263,00 189.651,30 161.061,71 182.551,42 164.753,30 221.497,30 215.848,40 203.527,10 189.680,66 230.999,80 232.205,58
837,90 651,80 507,50 673,30 713,80 330,20 609,00 689,90 730,10 1.024,30 1.928,60 1.261,00 9.957,40 14.723,09 19.372,20 18.675,30 22.105,30 16.846,05 33.274,50 28.272,83 57.249,75 17.989,85
274,60 1.794,80 375,75 215,50 1.896,98 3.739,60 462,40 662,40 643,00 887,60 2.358,50 1.188,00 14.499,13 12.585,35 10.262,54 10.992,70 14.373,00 6.912,30 5.937,60 5.124,25 5.317,60 7.469,23
705,60 1.283,60 62,58 1.049,58 2.360,70 1.720,02 497,25 2.892,89 249,50 154,40 248,95 263,00 11.488,07 9.702,12 8.247,05 9.477,12 8.394,00 8.234,40 8.119,60 8.449,50 10.389,05 12.105,89
232,70 976,20 298,76 5,40 7,80 26,00 8,50 27,85 141,56 19,20 0,70 8,30 1.751,97 1.040,38 1.435,55 1.503,30 2.269,50 1.502,90 2.045,90 1.357,80 1.527,80 2.402,25
Keterangan Sumber Dari Dinas Pertanian dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta
Sumber: Biro Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1970 (Bagian II), Yogyakarta: Biro Pusat Statistik, 1971, hlm. 74.
132
Lampiran 11
PRODUKSI BAHAN MAKAN PERBULAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 1972 DAN PERKEMBANGANNYA TAHUN 1967 S/D 1972 (DALAM TON) Bulan
Padi Sawah
Padi Gogo
Jagung
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Kacang Tanah
Kedelai
Cantel
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Tahun 1972 1971 1970 1969 1968 1967
11.562,06 13.120,57 24.330,69 97.352,78 87.336,39 28.882,67 20.025,74 40.819,29 45.451,48 21.254,56 19.976,64 12.225,71 422.328,58 424.918,39 360.920,37 327.949,50 345.445,57 251.362,75
119,00 19.645,50 11.681,70 16,50 90,00 31.552,70 29.632,22 40.771,70 24.460,00 28.159,72 23.056,48
7.914,50 309,50 40,40 39,28 189,90 175,30 238,40 234,50 138,15 187,29 419,30 220,75 10.107,27 11.529,90 22.227,52 11.849,00 19.624,77 14.946,85
6.517,00 3.396,80 3.727,00 3.593,60 4.384,00 9.952,00 49.507,50 77.898,30 15.979,40 13.720,70 3.941,10 2.712,20 195.527,60 166.806,95 189.651,30 161.061,71 182.551,42 164.753,30
529,50 266,50 583,50 361,20 560,00 407,80 459,10 733,60 822,70 1.953,50 3.488,00 2.328,00 12.493,40 8.844,80 9.957,40 14.723,09 19.372,20 18.675,30
770,40 1.309,30 46,10 184,70 3.240,30 1.048,55 176,40 303,80 500,40 961,85 1.506,80 427,90 10.476,50 11.065,50 14.499,13 12.585,35 10.262,54 10.992,70
877,80 629,30 621,90 909,70 3.719,10 364,67 1.248,20 2.472,76 168,40 255,05 526,20 159,05 11.952,13 9.497,53 11.488,07 9.702,12 8.247,05 9.477,12
29,50 581,20 32,40 18,90 4,00 2,40 425,80 42,50 0,60 0,60 1.137,90 1.132,20 1.751,97 1.040,38 1.435,55 1.503,30
Keterangan Sumber Dari Dinas Pertanian dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta
Sumber: Biro Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1972 (Bagian II), Yogyakarta: Biro Pusat Statistik, 1973, hlm. 61.
133
Lampiran 12
PERKEMBANGAN PRODUKSI BAHAN MAKAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 1968 S/D 1973 (DALAM TON) Padi Tahun
Jagung
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Kac. Tanah
Kedele
Cantel
373.605,29
19.624,77
182.551,42
19.372,20
10.262,54
8.247,05
1.435,55
28.159,72
356.109,22
11.849,00
161.061,71
14.723,09
12.585,35
9.702,12
1.040,38
360.920,37
40.771,70
401.629,07
22.227,52
189.651,30
9.957,40
14.499,13
11.488,07
1.751,97
1971
424.918,39
29.632,22
454.550,61
11.529,90
166.806,95
8.844,80
11.065,50
9.497,53
1.132,20
1972
422.328,58
31.552,70
453.881,28
10.107,27
195.527,60
12.493,40
10.476,50
11.952,13
1.137,90
1973
527.237,02
41.243,91
568.480,93
25.757,52
414.777,04
16.965,04
13.414,52
14.813,80
1.833,98
Sawah
Gogo
Jumlah
1968
345.445,57
28.159,72
1969
327.949,50
1970
Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 (Bagian I), Yogyakarta: Kantor Statistik, 1979, hlm. 237.
134
Lampiran 13
PRODUKSI BAHAN MAKAN DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 1974 s/d 1978 (Dalam Ton)
No.
Jenis Produksi Bahan Makan
1
2
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Padi Sawah Padi Gogo Jumlah Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Kacang Tanah Kedelai Cantel
1974
1975
1976
1977
1978
Produksi Ton
Indeks %
Produksi Ton
Indeks %
Produksi Ton
Indeks %
Produksi Ton
Indeks %
Produksi Ton
Indeks %
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
504.254,00 56.414,00 560.668,00 53.039,00 515.979,00 9.540,00 22.304,00 20.246,00 1.372,00
100 100 100 100 100 100 100 100
493.783,00 71.606,00 565.389,00 45.550,00 402.747,00 15.554,00 18.056,00 15.242,00 1.144,00
98 127 101 86 78 163 81 75 83
486.316,88 65.883,55 487.200,43 29.464,35 324.336,65 14.573,24 18.038,74 13.772,39 1.004,08
83 117 87 55 63 153 81 68 73
430.237,82 65.971,26 496.209,08 54.264,86 598.358,65 38.189,82 20.500,55 26.606,41 3.151,64
85 117 88 102 116 400 92 131 230
492.687,567 68.646,210 561.333,777 124.941,825 694.536,179 16.182,106 29.715,556 29.177,154 2.192,450
97 121 100 235 134 169 133 144 160
Keterangan : 1. Sumber dari Diperta Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2. Tahun 1974 Dasar Index 100% 3. Padi Kering Lumbung Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 (Bagian I), Yogyakarta: Kantor Statistik, 1979, hlm. 237.
135
Lampiran 14
PRODUKSI BAHAN MAKAN DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 1979 s/d 1983 (Dalam Ton)
No.
Jenis Produksi Bahan Makan
1
2
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Padi Sawah Padi Gogo Jumlah Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Kacang Tanah Kedelai Cantel Kacang Hijau
1979
1980
1981
1982
1983
Produksi Ton
Indeks %
Produksi Ton
Indeks %
Produksi Ton
Indeks %
Produksi Ton
Indeks %
Produksi Ton
Indeks %
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
504.254,00 56.414,00 560.668,00 53.039,00 515.979,00 9.540,00 22.304,00 20.246,00 1.372,00 284,00
100 100 100 100 100 100 100 100 100
493.783,00 71.606,00 565.389,00 45.550,00 402.747,00 15.554,00 18.056,00 15.242,00 1.144,00 369,00
98 127 101 86 78 163 81 75 83 130
486.316,88 65.883,55 487.200,43 29.464,35 324.336,65 14.573,24 18.038,74 13.772,39 1.004,08 323,00
83 117 87 55 63 153 81 68 73 114
430.237,82 65.971,26 496.209,08 54.264,86 598.358,65 38.189,82 20.500,55 26.606,41 3.151,64 209,00
85 117 88 102 116 400 92 131 230 74
492.687,567 68.646,210 561.333,777 124.941,825 694.536,179 16.182,106 29.715,556 29.177,154 2.192,450 276,007
97 121 100 235 134 169 133 144 160 97
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi DIY Sumber: Pusat Pengolahan Data Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1983 (Bagian II), Yogyakarta: Pusat Pengolahan Data, 1984, hlm. 9.
136
Lampiran 15
PRODUKSI BAHAN MAKAN DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 1982-1986 (TON)
No.
Jenis Produksi Bahan Makan
1
2
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Padi Sawah Padi Gogo Jumlah Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Kacang Tanah Kedelai Cantel
1982
1983
1984
1985
1986
Produksi Ton
Indeks %
Produksi Ton
Indeks %
Produksi Ton
Indeks %
Produksi Ton
Indeks %
Produksi Ton
Indeks %
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
430.237,82 65.971,26 496.209,08 54.264,86 598.358,65 38.189,82 20.500,55 26.606,41 3.151,64
85 117 88 102 116 400 92 131 230
492.687,567 68.646,210 561.333,777 124.941,825 694.536,179 16.182,106 29.715,556 29.177,154 2.192,450
97 121 100 235 134 169 133 144 160
619.064 129.182 748.246 137.629 696.050 10.110 32.318 47.230 955
114 146 119 363 126 60 96 168 43
577.378 123.692 701.070 117.509 628.602 9.728 31.828 33.015 1.224
106 140 111 302 114 57 94 117 55
568.907 126.792 695.699 121.190 609.787 7.963 31.807 31.832 1.237
105 144 110 319 110 47 94 113 56
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi DIY Sumber: Pusat Pengolahan Data Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta Dalam Trend Statistik 1982-1986, Yogyakarta: Pusat Pengolahan Data, 1985, hlm. 36.
137