TELAAH SOSIAL DAN EKONOMI PETANI PADI ORGANIK
YENI AGUSTIEN HARAHAP
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Telaah Sosial dan Ekonomi Petani Padi Organik adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2014 Yeni Agustien Harahap NIM I34090029
ABSTRAK YENI AGUSTIEN HARAHAP. Telaah Sosial dan Ekonomi Petani Padi Organik. Dibimbing oleh SATYAWAN SUNITO. Pertanian organik adalah cara bertanam berbasis pertanian yang menggunakan dan memanfaatkan bahan-bahan alami yang berasal dari alam. Dalam pertanian kerap dikenal dengan penggunaan pupuk hijau, pupuk hayati, peningkatan biomassa, penyiapan kompos yang diperkaya dan pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit secara hayati yang diharapkan mampu memperbaiki kualitas tanah sehingga hasil tanaman dapat ditingkatkan, aman dan menyehatkan manusia yang mengkonsumsi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif yang menggunakan kuesioner serta panduan wawancara mendalam. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis karakteristik dari petani padi organik; (2) mengidentifikasi peran organisasi yang terdapat dalam sistem pertanian organik; (3) menganalisis tingkat pendapatan petani padi organik; (4) mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung pertanian padi organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani padi organik akan mengalami peningkatan pendapatan jika memiliki lahan yang luas dan tergabung dengan organisasi petani organik. Kata Kunci: pertanian organik, sosial ekonomi petani, peningkatan pendapatan.
ABSTRACT YENI AGUSTIEN HARAHAP. Social and Economic Study of Rice Organic Farmers. Supervised by SATYAWAN SUNITO. Organic farming is a way of farming based on the utilization of natural ingredients derived from nature. Agricultural inputs and processes related to organic farming are green matures, bio-fertilizes, increased biomass, compostenriched land preparation and the implementation of integrated pest and disease control. Organic farming is expected to improve, safe and healthy food for humas who consume its products. This study uses both quantitative and qualitative approaches, such as using questionnaires and guides for in-depth interview. The purpose of this study are (1) to analyze the characteristics of organic rice farmers, (2) identify the role of the organizations contained in the organic farming system, (3) analyze the income levels of organic rice farmers, (4) identify the factors that inhibit and support organic rice farming. This study showed that in organic rice farming, farmers need larger land to increase their income. Another finding of this study is the importance of farmer organization for the success of organic farming and the increase of farmers’s income. Keywords: organic farming, social economy of farmers, increase in income.
TELAAH SOSIAL DAN EKONOMI PETANI PADI ORGANIK
YENI AGUSTIEN HARAHAP
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Telaah Sosial dan Ekonomi Petani Padi Organik Nama : Yeni Agustien Harahap NIM : I34090029
Disetujui oleh
Dr. Satyawan Sunito Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi : Telaah Sosial dan Ekonomi Petani Padi Organik Nama : Yeni Agustien Harahap NIM : 134090029
Disetujui oleh
----~-
Dr. Satyawan Sunito Pembirnbing
Tanggal Lulus:
27
c== ~ _, J
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 hingga Mei 2013 ini ialah pertanian organik terkait sosial dan ekonomi petani, dengan judul Telaah Sosial dan Ekonomi Petani Padi Organik. Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Bapak Dr. Satyawan Sunito sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan motivasi, masukan dan arahan yang luar biasa serta kesabaran dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada dosen penguji utama Dr. Ir. Saharuddin, MS, dosen penguji akademik Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orangtua tercinta, Ayahanda H.Sofyan Harahap dan Ibunda Hj.Delina Pulungan, SH, Kak Desty, Bang Hendra, Bang Boy, Bang Erwin dan Adikku Dikot yang sudah memberikan dukungan, semangat dan selalu mendoakan dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih juga diucapkan kepada kepala desa Mangunsari, kepala desa Madugondo, keluarga Mbak Siwi, keluarga Pak Widagdo, Mas iwan dan responden penelitian yang telah membantu pemberian data kepada penulis. Selain itu tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Azwar Hadi Nasution, Mas Ayip, Mas Yusuf, Mbak Atik, dan rekan-rekan di KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan) yang telah banyak memberikan masukan dan menempatkan penulis di Kabupaten Magelang. Terima kasih kepada Mbak Nunung dari Aliansi Organik Indonesia (AOI) yang telah memberikan bantuan meminjamkan referensi terkait penelitian penulis. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada teman SKPM 46 (Waisakzia, Cintya, Wawa, Indah, Lili, Kimel, Kibut), SKPM 45 (Kak Dian). Terima kasih kepada teman-teman IMATAPSEL Bogor khususnya angkatan 46 (Sahri, Novi, Adil, Aldi, Azis, Arman, Habibi, Putra dan Dedi), teman-teman di kosan 3RRR (Niwayan, Clara, Kiky, Nadia, Nadhiroh, Ami, dll), serta rekanrekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2014 Yeni Agustien Harahap
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang
ix i i 1 1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
4
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka
5 5
Kerangka Pemikiran
12
Hipotesis Penelitian
12
Definisi Operasional
13
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu
17 17
Penentuan Responden
17
Teknik Pengumpulan Data
18
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
18
GAMBARAN UMUM DESA Desa Mangunsari
19 19
Kondisi Geografis
19
Kondisi Sosial dan Budaya
20
Sarana dan Prasarana Desa
21
Desa Madugondo
22
Kondisi Geografis
22
Kondisi Sosial dan Budaya
23
Kondisi Ekonomi
23
Sarana dan Prasarana Desa
24
SEJARAH PENERAPAN PERTANIAN PADI ORGANIK Tokoh Masyarakat Yang Menjadi Pelopor Pertanian Organik
25 28
PENERAPAN PERTANIAN PADI ORGANIK Lama Bertani Organik
31 31
Proses Pengolahan Lahan
32
Proses Pembenihan
33
Proses Penanaman
34
Proses Pemeliharaan
35
Pengendalian Hama/Penyakit
36
Panen dan Pasca panen
37
KARAKTERISTIK PETANI ORGANIK Umur
41 41
Tingkat Pendidikan
41
Jumlah Anggota Keluarga
42
Status Penguasaan Lahan
43
Hubungan Umur Petani Padi Organik terhadap Pelatihan
44
Hubungan Umur Petani Padi Organik terhadap Penerapan Pertanian Padi Organik
45
Hubungan Luas Lahan Garapan Petani terhadap Penerapan Pertanian Padi Organik
46
PERAN KELOMPOK TANI DALAM SISTEM PERTANIAN PADI ORGANIK 47 Bantuan Modal Usahatani Organik 47 Kegiatan Pembinaan Petani Anggota
48
Pengorganisasian Kegiatan Distribusi
49
EKONOMI PERTANIAN PADI ORGANIK Penggunaan Hasil Panen
53 53
Permintaan dan Akses Pasar
53
Pendapatan dan Keuntungan Bertani Padi Organik
54
Pola Nafkah Rumah Tangga Petani
56
Jenis Tanaman yang Dibudidayakan Selain Padi
57
FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT DAN MENDUKUNG PERTANIAN ORGANIK Faktor-Faktor Yang Mendukung Faktor-Faktor Yang Menghambat SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
59 59 59 63 63 64 65 67 73
DAFTAR TABEL 1 Luas area pertanian organik Indonesia 2012. 2 2 Luas wilayah Desa Mangunsari menurut penggunaan 19 3 Jumlah penduduk menurut mata pencahariannya 21 4 Jumlah dan persentase responden menurut lama bertani organik 31 5 Karakteristik petani menurut umur 41 6 Karakteristik petani menurut tingkat pendidikan 42 7 Jumlah dan persentase petani menurut jumlah anggota keluarga 42 8 Jumlah dan persentase petani menurut status petani di Desa Mangunsari dan Desa Madugondo, tahun 2013. 43 9 Jumlah dan persentase petani menurut luas lahan 44 10 Hubungan umur petani padi organik terhadap pelatihan padi organik 44 11 Hubungan umur petani terhadap penerapan pertanian padi organik 45 12 Hubungan luas lahan garapan petani terhadap penerapan pertanian padi organik 46 13 Jumlah dan persentase petani menurut penggunaan hasil panen dalam satu musim tanam 53 14 Perbandingan input dan output usahatani konvensional dan organik per 0.1 Ha per musim menurut kelompok petani organik Desa Mangunsari dan Desa Madugondo, Jawa Tengah, Tahun 2013. 55 15 Jumlah dan persentase petani menurut pekerjaan sampingan 57 16 Responden menurut jenis tanaman yang dibudidayakan selain padi 57
DAFTAR GAMBAR 1 Peta Lokasi Desa Mangunsari 20 2 Peta Lokasi Desa Madugondo 22 3 Petani sedang membajak sawah 32 4 Petani melakukan pengolahan lahan 33 5 Persemaian Benih 34 6 Padi berumur 15 hari 35 7 Sistem Jajar Legowo 35 8 Petani sedang ngokrok 36 9 Alat Kokrok 36 10 Pestisida alami dan pupuk organik 37 11 Sebaran responden menurut akses mereka terhadap bantuan modal 48 12 Sebaran responden menurut peningkatan pengetahuan hasil pembinaan 49 13 Rantai distribusi beras organik yang dilakukan di tempat penelitian 50 14 Sebaran responden menurut pemilihan saluran pemasaran hasil produksi 51 pertanian
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Data kebutuhan pengiriman beras Daftar data responden penelitian Tabulasi frekuensi Photo penelitian 2013
67 69 70 71
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara penghasil padi terbesar di dunia, dengan hasil produksi rata-rata tahun 2002-2006 mencapai 53 juta ton per tahun dengan luas area yang ditanami lebih dari 11.6 juta hektar (BPS 2007). Beras menjadi makanan pokok bagi hampir 95 persen penduduk Indonesia, dengan ratarata konsumsi sekitar 133 kg per orang per tahun. Setiap penduduk rata-rata mengeluarkan 25 persen pendapatan mereka untuk beras, dan persentasenya semakin tinggi untuk masyarakat miskin. Selain itu, pertanian beras masih memegang peranan penting dalam menyediakan lapangan kerja di pedesaan dan sebagai mata pencaharian utama petani. Memasuki abad 21, masyarakat dunia mulai menyadari adanya bahaya dari pemakaian bahan kimia sintetik dalam bidang pertanian. Penggunaan bahan kimia sintetik tersebut menyebabkan berbagai kerusakan alam dan lingkungan khususnya, dalam ekosistem pertanian seperti: berkurangnya berbagai jasad renik dalam tanah, terbunuhnya berbagai musuh alami, meningkatnya populasi hama maupun penyakit tanaman, polusi pada tanah, air, dan udara. Penggunaan pupuk dan pestisida sintetik terhadap lingkungan mengakibatkan ketidakamanan hasil produksi sehingga Departemen Pertanian pada tahun 2001 meluncurkan program “Go Organik 2010” yang menjadi alternatif solusi dari pertanian konvensional. Program ini memiliki aspek peningkatan mutu, nilai tambah, efisiensi sistem produksi, serta kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang merupakan isu dan menjadi sasaran utama. Selain dapat menjaga kelestarian lingkungan, pertanian organik juga dapat meningkatkan perekonomian petani karena harga jual produk organik yang lebih mahal di pasaran. Disamping itu, status sosial pelaku pertanian organik meningkat yang ditandai dengan meningkatnya prestise yang mereka peroleh ketika menerapkan pertanian padi organik. Masyarakat saat ini semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Gaya hidup sehat dengan slogan “Back to Nature” telah menjadi trend baru meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan kimia, seperti pupuk, pestisida sintetik dan hormon tumbuh dalam produksi pertanian. Pangan yang aman dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan metode baru yang dikenal dengan pertanian organik. Menurut Sutanto (2002), pertanian organik sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang secara hayati. Daur ulang hara dapat melalui sarana limbah tanaman dan ternak, serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos, dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah yang selanjutnya setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Dengan kata lain, unsur hara didaur ulang melalui satu atau lebih tahapan bentuk senyawa organik sebelum diserap tanaman. Hal ini berbeda dengan pertanian konvensional yang memberikan unsur hara secara cepat dan langsung dalam bentuk larutan sehingga
2 segera diserap dengan takaran dan waktu pemberiaan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Departemen Pertanian memberikan introduksi dan bantuan untuk mendukung program “Go Organik 2010”, hal ini tidak didukung dengan banyaknya petani yang menerapkan pertanian organik. Merujuk pada penelitian Widiarta (2011) hanya 14 orang dari 374 petani yang menerapkan pertanian organik yaitu anggota paguyuban di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, sedangkan sebagian besar petani masih menerapkan pertanian konvensional. Alasan yang menyebabkan masih sedikitnya petani yang mengadopsi pertanian organik tersebut adalah sebagai berikut: 1) pola pikir petani yang masih pragmatis terhadap praktik pertanian organik dan rendahnya kesadaran para petani terhadap kelestarian lingkungan, 2) petani tidak puas jika hanya menggunakan pupuk organik karena warna hijau daun tanaman padi kurang terlihat, 3) praktik pertanian organik tidak menjamin bebas hama, 4) penggunaan pupuk organik lebih sulit daripada pupuk kimia sintetik, 5) sebagian petani tidak memiliki pasokan pupuk kandang, 6) banyak petani di Desa Ketapang yang berstatus sebagai buruh tani, sehingga mereka harus mengejar target hasil panen dari petani pemilik lahan, 7) sumber air irigasi jauh dari lahan pertanian dan kemungkinan besar sudah tercemar oleh bahan kimia sintetik dari lahan pertanian konvensional di sekitarnya, 8) tingkat produktivitas pertanian organik lebih rendah daripada pertanian konvensional, sehingga jumlah hasil panen kurang memuaskan khususnya pada masa-masa awal bertani organik. Pertanian organik mendorong perbaikan lima sumber daya yaitu perbaikan sumber daya manusia, perbaikan sumber daya alam, perbaikan sumber daya sosial, perbaikan sumber daya ekonomi, dan perbaikan sumber daya infrastruktur (Saragih 2008). Berdasarkan data Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI) yang diterbitkan oleh Aliansi Organik Indonesia (AOI) tahun 2012, diketahui bahwa total luas area pertanian Indonesia tahun 2012 adalah 213023.55 Ha, menurun 5 persen dari tahun sebelumnya. Angka ini termasuk luas area pertanian organik yang disertifikasi (organik dan konversi), dalam proses sertifikasi, dijamin PAMOR dan tanpa sertifikasi. Detail luas area setiap tipe lahan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Luas area pertanian organik Indonesia 2012. Tipe Area Pertanian Organik Area tersertifikasi Area dalam proses sertifikasi Area dengan sertifikasi PAMOR Area tanpa sertifikasi
Luas (Ha) 62127.82 1382.88 50.79 149462.06
Persentase (%) 29.16 0.65 0.02 70.17
Total
213023.55
100.00
Sumber: Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI) 2012.
Di Indonesia sentra produksi untuk padi organik berada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jogyakarta. Desa Mangunsari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah merupakan salah satu daerah yang menerapkan pertanian padi organik . Penerapan pertanian organik pada komoditas padi sawah dimulai kembali sejak tahun 2006 setelah sempat terputus dengan
3 adanya program intensifikasi pertanian. Adapun yang mendorong petani kembali menerapkan sistem pertanian organik karena meningkatkan nilai ekonomi bagi petani sehingga mereka beralih dari pertanian konvensional, selain itu petani mulai menyadari akan pentingnya hidup selaras dengan alam dan adanya keinginan untuk mewariskan pertanian organik kepada anak cucu kelaknya. Tujuan dari penerapan pertanian organik ini adalah guna menjaga ketersediaan pangan, kelestarian lingkungan, memproduksi hasil pertanian yang aman untuk dikonsumsi dan meningkatkan ekonomi petani. Merujuk pada uraian di atas pertanyaan utama penelitian yang muncul adalah bagaimana telaah sosial dan ekonomi petani padi organik di Desa Mangunsari, Kecamatan Sawangan, dan Desa Madugondo, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah? Alasan melihat Desa Mangunsari dan Desa Madugondo adalah dengan pertimbangan bahwa desa tersebut secara bertahap telah menerapkan sistem pertanian organik pada tahun 2006. Koperasi Lumbung Pangan Merapi Magelang merupakan koperasi yang mendukung perkembangan pertanian organik khususnya varietas padi menthik susu wangi yang merupakan produk unggulan yang dihasilkan oleh petani di Desa Mangunsari dan Desa Madugondo. Koperasi Lumbung Pangan Merapi Magelang juga bekerjasama dengan Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) untuk melakukan pelatihan dan sekolah lapang serta memberi jaminan pasar yang tetap untuk mendistribusikan panen petani. Hasil panen yang dihasilkan tidak mengandung pestisida sintetik dan pengolahannya masih bersifat tradisional yaitu dengan cara tuton. Sehingga menghasilkan kadar air yang lebih sedikit jika dikonsumsi dan tidak mudah basi. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian di lokasi tersebut. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, secara spesifik penelitian ini memusatkan perhatian pada permasalahan yang disebutkan di bawah ini: 1. Bagaimana karakteristik dari petani padi organik di desa penelitian? 2. Bagaimana peran organisasi/lembaga yang terdapat dalam sistem pertanian organik? 3. Bagaimana tingkat pendapatan petani padi organik? 4. Faktor-faktor apa sajakah yang menghambat dan mendukung pertanian padi organik? Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis karakteristik dari petani padi organik 2. Mengidentifikasi peran organisasi/lembaga yang terdapat dalam sistem pertanian organik. 3. Menganalisis tingkat pendapatan petani padi organik 4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung pertanian padi organik.
4 Manfaat Penelitian Penelitian ini semoga memiliki manfaat kepada berbagai pihak, yaitu sebagai berikut: 1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya mengenai pertanian padi organik. 2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan menjadi penambahan ilmu dalam melakukan pertanian padi organik dan senantiasa tetap berkeinginan tinggi dalam mengembalikan tradisi dalam bertani khususnya untuk menjaga kesuburan tanah dan keadaan lingkungan. 3. Bagi LSM dan pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran dan pola perubahan untuk sistem budidaya pertanian di Negeri ini serta membuka niat ikhlas dan kerja sama dari pemerintah dan LSM dalam pengembangan masyarakat serta menjadikan petani lebih berdaya.
5
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Perkembangan Sistem Pertanian Padi Sawah di Pedesaan Jawa Sebelum tahun 1960-an para petani di pedesaan Jawa menerapkan sistem pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh Suhirmanto (2003) yakni (1) usahatani tidak menggunakan fasilitas modal dari luar keluarga, (2) pekerjaan di sektor pertanian menjadi satu-satunya mata pencaharian, (3) cara produksi tradisional dengan digunakannya input yang berasal dari lokal (lingkungan sekitar), dan (4) penggunaan tenaga kerja tradisi dan menggunakan tenaga kerja keluarga dan sebagainya. Sejak tahun 1960-an, para petani di pedesaan Jawa menerapkan pertanian modern sebagai implementasi dari kebijakan revolusi hijau. Salah satunya mengenai kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan utama yang telah menghantarkan teknologi di daerah pedesaan, paket BIMAS, INMAS, INSUS, Supra INSUS dan sebagainya. Sampai tahun 1987 sudah jelas bahwa kebijakan tersebut dapat meningkatkan produksi padi. Bahkan mencapai swasembada beras setelah tahun 1984. Pembangunan pertanian yang didasarkan pada kebijakan revolusi hijau cenderung tidak menunjukkan adanya suatu keberlanjutan baik secara sosial, ekonomi maupun ekologi. Sehubungan dengan itu, pada pertengahan tahun 1980an, konsep keberlanjutan telah mendapat perhatian yang lebih besar sebagai kritik atas pendekatan industrial pada proses pembangunan pertanian. Dalam perkembangannya, sistem pertanian organik juga muncul sebagai salah satu istilah dari pembangunan berkelanjutan tersebut (Salikin 2003). Sistem pertanian organik muncul sebagai kritik atas sistem pertanian modern atau revolusi hijau. Memiliki sisi historis pertanian di seluruh pelosok dunia, sebelum sistem pertanian modern tersebut berkembang. Banyak sistem pertanian tradisional yang berlangsung dan bertahan selama berabad-abad dalam hal kemampuannya untuk mempertahankan tingkat produksi yang stabil dan berkelanjutan. Namun demikian, sistem tersebut terpaksa mengalami perubahan yang begitu cepat dengan berkembangnya berbagai mekanisme penerapan kebijakan revolusi hijau. Adapun pertanian organik yang dilakukan oleh petani-petani di Indonesia mulai berkembang di tahun 1999 dengan inisisasi oleh berbagai bentuk pendampingan oleh lembaga-lembaga swadaya (LSM) masyarakat. Masyarakat petani di beberapa pedesaan di Indonesia khususnya di Jawa sudah merubah sistem pertanian mereka dari sistem pertanian modern menjadi sistem pertanian organik (Wangsit dan Daniel 2003). Pada tahun 2001, pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian juga telah melakukan serangkaian tahapan sosialisasi mengenai pertanian organik kepada masyarakat1. Untuk memajukan pertanian organik, Departemen Pertanian menempatkan perencanaan dan 1
Dede Sulaeman. Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia. Diunduh pada tanggal 2013 Oktober 23, pukul 20.25. Tersedia pada: http://agribisnis.go.id/index.php?files=Berita_Detail&id=344
6 implementasi pertanian organik sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam program pembangunan pertanian di Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut ditujukan untuk menumbuhkan, memfasilitasi, mengarahkan dan mengatur perkembangan pertanian organik melalui adanya sinergi aktivitas dan pelaku usaha yang dapat mempercepat pencapaian tujuan dari slogan “Go Organic 2010” yaitu menjadikan “Indonesia sebagai salah satu produsen pangan organik utama dunia”. Pertanian organik dirancang pengembangannya dalam enam tahapan mulai dari tahun 2001 hingga tahun 2010. Konsep dan Definisi Pertanian Organik Keberhasilan pembangunan pertanian selama ini telah memberikan dukungan yang sangat tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia, namun demikian disadari bahwa dibalik keberhasilan tersebut terdapat kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki. Produksi tinggi yang telah dicapai banyak dan didukung oleh teknologi memerlukan input (masukan) bahan-bahan anorganik yang tinggi terutama bahan kimia pertanian seperti pupuk urea, TSP/SP-36, KCl, pestisida, herbisida, dan produk-produk kimia lainnya yang berbahaya bagi kesehatan dengan dosis yang tinggi secara terus-menerus, terbukti menimbulkan banyak pencemaran yang dapat menyumbang degradasi fungsi lingkungan dan perusakan sumberdaya alam, serta penurunan daya dukung lingkungan. Adanya kesadaran akan akibat yang ditimbulkan dampak tersebut, perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser ke pertanian yang berwawasan lingkungan. Dewasa ini masyarakat sangat peduli terhadap alam dan kesehatan, maka muncullah tekhnologi alternatif lain, yang dikenal dengan “pertanian organik”, “usaha tani organik”, “pertanian alami”, atau “pertanian berkelanjutan masukan rendah”. Pengertian tersebut pada dasarnya mempunyai prinsip dan tujuan yang sama, yaitu untuk mendeskripsikan sistem pertanian yang bergantung pada produk-produk organik dan alami serta total tidak termasuk penggunaan bahan-bahan sintetik. Sutanto (2002) menyatakan bahwa pertanian organik dipahami sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berazaskan daur ulang secara hayati. Istilah pertanian organik menghimpun seluruh imajinasi petani dan konsumen yang secara serius dan bertanggung jawab menghindarkan bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Petani juga berusaha untuk menghasilkan produksi tanaman yang berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan sumber daya alami seperti mendaur-ulang limbah pertanian. Dengan demikian pertanian organik merupakan suatu gerakan “kembali ke alam”. Dalam melaksanakan pertanian organik perlu menyertakan tanaman legum dalam pergiliran tanaman, meningkatkan kemampuan tanaman legum dalam menambat nitrogen, dan penggunaan pupuk hijau: rumput, gulma untuk bahan kompos sejauh limbah pertanaman dan limbah ternak selalu dimonitor. Karena berusaha selaras dengan alam, maka pertanian organik tidak bisa dilakukan secara multiculture dalam jumlah besar. Kegunaan budidaya organik pada dasarnya ialah membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi atau yang seringkali disebut sebagai pertanian konvensional. Meskipun sistem pertanian organik dengan segala aspeknya jelas memberikan keuntungan banyak kepada
7 pembangunan pertanian rakyat dan penjagaan lingkungan hidup termasuk konservasi sumber daya lahan, namun penerapannya tidak mudah dan akan menghadapi banyak kendala. Faktor-faktor kebijakan umum dan sosio-politik sangat menentukan arah pengembangan sistem pertanian sebagai unsur pengembangan ekonomi (Notohadiprawiro 1992 dalam Sutanto 2002). Sistem pertanian organik mengajak manusia kembali ke alam sambil tetap meningkatkan produktivitas hasil tani melalui perbaikan kualitas tanah dengan tidak memakai atau mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia. Pertanian organik menghargai kedaulatan dan otonomi petani berdasarkan nilai-nilai lokal. Prinsip-prinsip Pertanian Organik Prinsip dasar pertanian organik berfungsi sebagai panduan posisi, program dan standar. Menurut IFOAM2 (2006) ada empat prinsip yang bersifat normatif atau disusun sebagai etika dalam pengembangan pertanian organik. Keempat prinsip pertanian organik tersebut adalah prinsip kesehatan, ekologi, keadilan dan kepedulian yang menjadi satu kesatuan dan digunakan secara ketergantungan. Prinsip-prinsip tersebut disusun untuk mengilhami tindakan dalam mewujudkan visi pertanian organik menjadi nyata. Berikut ini penjelasan untuk masing-masing prinsip pertanian organik: 1) Prinsip Kesehatan Pertanian organik harus berkelanjutan dan mendorong kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia, dan planet sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jadi, pertanian organik berperan dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan ekosistem serta organisme yang terlibat di dalamnya pada semua proses sistem usahataninya. 2) Prinsip Ekologi Pertanian organik harus diterapkan berdasarkan pada siklus dan sistem ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan sehingga dapat menjamin keberlanjutan ekologi. 3) Prinsip Keadilan Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama. 4) Prinsip Perlindungan Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang serta lingkungn hidup. Sistem Pertanian Organik Merujuk pada Salikin (2003) bahwa sistem pertanian organik merupakan salah satu model dari sistem pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian organik pun paling tidak memiliki tujuh keunggulan dan keuntungan sebagai berikut: 1. Orisinil. Sistem pertanian organik lebih mengandalkan keaslian atau orisinalitas sistem budi daya tanaman ataupun hewan dengan menghindari rekayasa genetika ataupun introduksi teknologi yang tidak selaras alam. Intervensi budi daya manusia terhadap tanaman atau hewan tetap mengikuti kaidah-kaidah alamiah yang selaras, serasi, dan seimbang. Namun demikian, 2
International Federation for Organic Agriculture Movement
8
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pertanian organik tidak berarti anti teknologi baru, sejauh hal itu memenuhi azas selaras, serasi, dan seimbang dengan alam. Rasional. Sistem pertanian organik berbasis pada rasionalitas bahwa hukum keseimbangan alamiah adalah ciptaaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia sebagai bagian dari sistem jagad raya bukan ditakdirkan menjadi penguasa alam raya, tetapi bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikannya. Nilai-nilai rasionalitas harus digunakan secara seimbang dengan sistem nilai agama, etika, dan estetika yang menempatkan manusia sebagai makhluk paling mulia. Global. Saat ini, sistem pertanian organik menjadi isu global dan mendapat respon serius di kalangan masyarakat pertanian, terutama di negara-negara maju di mana masyarakat sudah sangat sadar bahwa pertanian ramah lingkungan menjadi faktor penentu kesehatan manusia dan kesinambungan lingkungan. Pada berbagai pertemuan ilmuwan lingkungan tingkat dunia, tema sistem pertanian organik selalu menjadi agenda utama dan menarik karena menyambut kepentingan global atau kepentingan bersama umat manusia di planet bumi ini. Aman. Sistem pertanian organik menempatkan keamanan produk pertanian, baik bagi kesehatan manusia ataupun bagi lingkungan, sabagai pertimbangan utama. Pertimbangan berikutnya adalah kualitas dan kuantitas komoditas pertanian, termasuk kecukupan kadar gizi dan volume yang mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia. Netral. Sistem pertanian organik tidak menciptakan ketergantungan atau bersifat netral sehingga tidak memihak pada salah satu bagian ataupun pelaku dalam sistem agroekosistem. Hubungan saling ketergantungan atau simbiosis yang terbina antarpelaku sistem lebih bersifat mutualisme atau saling menguntungkan. Sistem pertanian industrial telah menciptakan ketergantungan petani pada penggunaan bibit unggul, pestisida, dan pupuk kimia buatan pabrik. Eksistensi kemandirian petani tereduksi oleh hubungan ekonomi yang menempatkan nilai uang di atas segala-galanya. Internal. Sistem pertanian organik selalu berupaya mendayagunakan potensi sumber daya alam internal secara intensif. Artinya, introduksi input-input pertanian dari luar ekosistem (external inputs) pertanian sedapat mungkin dihindari untuk mengurangi terjadinya disharmoni siklus agroekosistem yang sudah berlangsung lama dan terkendali oleh kaidah hukum alam. Kontuinitas. Sistem pertanian organik tidak berorientasi jangka pendek, tetapi lebih pada pertimbangan jangka panjang untuk menjamin keberlanjutan kehidupan, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Bumi seisinya ini bukanlah milik kita tetapi merupakan titipan anak cucu kita.
Sistem Pertanian Masukan Luar Rendah Reijntjes et al. (1999) dalam bukunya yang berjudul “Pertanian Masa Depan” secara lugas dan komprehensif membahas pertanian berkelanjutan dengan menggunakan input luar rendah atau populer dengan istilah LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture). Kata “keberlanjutan” sekarang ini digunakan secara meluas dalam lingkup program pembangunan. Namun apa arti sesungguhnya kata ini? Keberlanjutan dapat diartikan sebagai “menjaga agar suatu upaya terus berlangsung”, “kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar
9 tidak merosot”. Dalam konteks pertanian, keberlanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan basis sumber daya. Metode LEISA mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut. 1. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal yang ada dengan mengombinasikan berbagai macam komponen sistem usaha tani, yaitu tanaman, ternak, ikan, tanah, air, iklim, dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar. 2. Pemanfaatan input luar dilakukan hanya bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam agroekosistem dan meningkatkan sumber daya biologi, fisik, dan manusia. Dalam memanfaatkan input luar, perhatian utama diberikan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi kerusakan lingkungan. Metode LEISA tidak bertujuan memaksimalkan produksi dalam jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang. LEISA berupaya mempertahankan dan sedapat mungkin meningkatkan potensi sumber daya alam serta memanfaatkannya secara maksimal proses-proses alami. Pada prinsipnya, hasil produksi yang keluar dari sistem atau dipasarkan harus diimbangi dengan tambahan unsur hara yang dimasukkan ke dalam sistem tersebut. Sekalipun implementasi model LEISA secara empiris lebih luwes dari pada sistem pertanian organik, namun pergeseran dari sistem pertanian industrial ke sistem pertanian hemat energi membutuhkan proses penyadaran dan penyesuaian yang tidak mudah dan dalam waktu yang lama. Dengan model LEISA, kekhawatiran penurunan produktivitas secara drastis dapat dihindari, sebab penggunaan input-input luar masih diperkenankan, sebatas hal tersebut sungguhsungguh penting atau mendesak dan tidak ada pilihan lain. Model LEISA masih menjaga toleransi keseimbangan antara pemakaian input internal dan input eksternal. Hubungan LEISA dengan Organik bisa dikelompokkan sebagai berikut: 1. Menjamin kondisi tanah yang mendukung bagi pertumbuhan tanaman, khususnya dengan mengelola bahan-bahan organik dan meningkatkan kehidupan dalam tanah. 2. Mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur hara, khususnya melalui pengikatan nitrogen, pemompaan unsur hara, daur ulang dan pemanfaatan pupuk luar sebagai pelengkap. Namun untuk pertanian organik tidak menggunakan pupuk luar berupa bahan kimia sintetis tetapi dengan memanfaatkan sumber daya alam. 3. Meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara, dan air dengan cara pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air, dan pengendalian erosi. 4. Meminimalkan serangan hama dan penyakit terhadap tanaman dan hewan melalui pencegahan dan perlakuan yang aman. 5. Saling melengkapi dan sinergi dalam penggunaan sumber daya genetik yang mencakup penggabungan dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat keanekaragaman fungsional yang tinggi.
10 Kelembagaan Pertanian Padi Sawah Uphoff dalam Indriana (2010), mendefenisikan kelembagaan yaitu seperangkat norma dan perilaku yang bertahap dari waktu ke waktu dengan melayani tujuan yang bernilai secara kolektif. Kelembagaan tersebut didasarkan pada sektor-sektor tingkat lokalitas terbagi menjadi tiga bidang yaitu (1) sektor publik (public sector), sektor partisipatoris (participatory sector), dan sektor swasta (private sector). Kelembagaan sektor publik di tingkat lokal mencakup administrasi dan pemerintah lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai bentuk organisasi yang mutakhir. Kelembagaan sektor partisipatoris tumbuh dan dibangkitkan oleh masyarakat secara sukarela. Sementara itu, kelembagaan sektor swasta, berorientasi pada upaya mencari keuntungan, yakni dalam bidang jasa, perdagangan, dan industri. Menurut Scott dalam Indriana (2010) menguraikan bahwa kelembagaan adalah gabungan dari elemen regulatif, normatif, dan pengetahuan budaya bersamaan dengan gabungan aktivitas dan sumber daya, menyajikan stabilitas dan makna untuk kehidupan sosial. Adanya sistem regulatif, normatif, dan pengetahuan budaya merupakan bahan dasar utama dalam suatu kelembagaan. Ketiga elemen membentuk suatu kontinum yang bergerak dari kebingungan menuju ketidakbingungan, dari tekanan legal menuju penerimaan apa adanya. Kelembagaan-kelembagaan pertanian sebagai lembaga kemasyarakatan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan mata pencaharian dapat diidentifikasi dari tulisan Indriana (2010), Suhirmanto (2003), Radandima (2003) yakni kelembagaan hubungan-hubungan kerja pertanian yang meliputi bentuk hubungan kerja (sistem gotong royong, sistem upah harian dan sistem upah borongan), dan biaya upah (mencangkul, sewa ternak, bajak dan sewa traktor); kelembagaan penguasaan lahan yang meliputi struktur kepemilikan tanah, cara penguasaan tanah, pola penyakapan, timngkat keeratan pemilik-pengarap serta arah dan cara peralihan hak milik atas tanah; kelembagaan panen, kelembagaan sewa lahan, kelembagaan bagi hasil, kelembagaan bagi hasil bibit, kelembagaan pinjaman modal, kelembagaan tebasan, kelembagaan diversifikasi, kelembagaan sistem pengaiaran. Kelembagaan-kelembagaan tersebut muncul dan berubah seiring dengan pengembangan sistem pertanian dari tradisional menjadi sistem pertanian modern atau konvensional. Selain itu dinamika kelembagaan tersebut juga terbentuk dari masuknya teknologi seperti halnya teknologi irigasi. Namun, faktor lain yang utama mempengaruhi dinamika kelembagaan pertanian tersebut adalah kebijakan revolusi hijau sebagai implementasi dari modernisasi pertanian. Sehubungan dengan itu, seiring dengan adanya perubahan sistem pertanian maka berubah pula kelembagaan pertanian pada masyarakat setempat. Demikian pula halnya dengan terjadinya perubahan darin sistem pertanian modern atau konvensional menjadi sistem pertanian organik. Pertanian Organik Dalam Kajian Sosial-Ekonomi Pengembangan pertanian organik juga berpotensi meningkatkan pendapatan petani terutama karena: (1) penerapan pertanian organik memungkinkan petani menghemat biaya operasional karena petani mampu mencukupi dan mengolahnya sendiri sarana produksi pertanian yang digunakan, dan (2) karena sifat premium pertanian organik, harga dari hasil pertanian yang dihasilkan lebih mahal sehingga pendapatan yang diterima petani lebih besar.
11 Seiring dengan perubahan pada tingkat petani, kesadaran akan bahaya atau residu bahan kimia yang terkandung dalam bahan pangan yang dihasilkan dengan menggunakan asupan kimia pada tingkat konsumen juga mulai meningkat. Produk organik mulai dicari dan telah menciptakan tren baru dalam pola konsumsi dan menjadi gaya hidup khususnya bagi konsumen kelas menengah keatas. Adanya tren tersebut akan menambah penghasilan dari petani. Perbedaan label atas pangan organik dan non organik pun dilakukan. Inilah yang kemudian membuat produk pangan organik harganya sedikit lebih mahal dibandingkan non organik. Pangan organik mahal, salah satu alasan mengapa petani pindah ke pertanian organik. Menurut Susanto (2005), partisipasi masyarakat setempat adalah esensial dalam penerapan setiap strategi pengembangan pertanian. Harus diusahakan kesadaran publik yang lebih besar atas peranan vital yang bisa dimainkan oleh organisasi-organisasi masyarakat setempat, kelompok-kelompok wanita, kelompok-kelompok tani, kelompok-kelompok masyarakat adat, dalam pengembangan pertanian organik. Partisipasi masyarakat setempat begitu ditekankan karena untuk mengatasi hama walang sangit. Keberlanjutan Ekonomi Menurut Ho dan Ching (2006), pertanian organik menjamin keberlanjutan ekonomi yang terlihat dari: 1) Produksi yang lebih efisien dan menguntungkan dihasilkan dari pertanian organik melalui peningkatan produktivitas, biaya rendah namun keuntungan tinggi. 2) Pertanian organik dapat meningkatkan ketahanan pangan dan keuntungan bagi masyarakat lokal selain baik juga untuk kesehatan. Sejumlah keuntungan yang dapat diperoleh dari aktivitas pertanian organik di bidang ekonomi diungkapkan oleh Sulaeman (2008) sebagai dukungan atas aktivitas pertanian organik, antara lain: 1) Meningkatkan pendapatan petani 2) Terciptanya lapangan kerja baru di pedesaan 3) Meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk agribisnis secara berkelanjutan.
12 Kerangka Pemikiran Faktor Sosial: Pengaruh organisasi Penghambat dan pendukung pertanian padi organik
Karakteristik petani: Usia Tingkat pendidikan Jumlah anggota keluarga Pelatihan Status penguasaan lahan
Pertanian Organik
Keterangan :
Faktor Ekonomi: Permintaan Keuntungan Akses pasar
Praktik Pertanian Organik: Penyiapan lahan Persiapan benih/ persemaian Penanaman Pengendalian hama dan penyakit Pemeliharaan tanaman Panen
: Mempengaruhi : Hubungan Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Diduga terdapat hubungan antara karakteristik petani yaitu umur dengan penerapan pertanian padi organik. 2. Diduga terdapat hubungan antara umur petani dengan pelatihan yang diikuti oleh petani dalam menerapkan pertanian padi organik. 3. Diduga terdapat hubungan pemilikan lahan pertanian dengan penerapan pertanian padi organik.
13
Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu: 1. Usia/umur adalah lama hidup responden dengan mengacu kepada pengelompokan usia responden dikategorikan menurut Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006) yang merinci masa usia dewasa, dibagi ke dalam 3 fase, yaitu: a. masa mula/ awal dewasa (18-30 tahun) b. masa usia pertengahan (31-55 tahun) c. masa tua (55 tahun ke atas) 2. Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh, pernah atau sedang dijalani. Dibedakan menjadi tiga kategori wajib belajar 9 tahun, yaitu: a. Rendah (Tidak sekolah-Tamat Sekolah Dasar) b. Sedang (Tamat Sekolah Menengah Pertama dan atau sederajat) c. Tinggi (Tamat Sekolah Menengah Atas-Perguruan Tinggi) 3. Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan responden sampai sekarang. a. 1-2 ( Rendah, skor 1) b. 3-4 (Sedang, skor 2) c. > 4 (Tinggi, skor 3) 4. Tingkat Pendapatan adalah ukuran taraf hidup yang dilihat dari jumlah penghasilan petani dari mata pencahariannya sebagai petani yang dilihat dari penghasilan hasil panen terakhir dikurangi dengan biaya-biaya produksi. Tingkat pendapatan dikategorikan menjadi tiga kategori berdasarkan sebaran data sesuai data lapang. Pengukuran ini dikaterogikan menjadi: d. Rendah (skor 1) : 400.000 ≤ x ≤ 700.000 e. Sedang (skor 2) : 700.000 ≤ x ≤ 1.000.000 f. Tinggi (skor 3) : ≥ 1.000.000 5. Penguasaan lahan merupakan suatu keadaan dimana petani dapat mengakses atau mempunyai daya untuk memanfaatkan lahan. Untuk penentuan kategori pengukuran dilakukan berdasarkan hasil rataan luas lahan menurut kondisi lapang. Luas lahan di lapang per-Keso (1000 m²) diubah dalam satuan hektar (ha). a. Sempit (skor 1) : (0.10-0.45) b. Luas (skor 2) : (0.46-0.81) 6. Pelatihan adalah suatu proses dimana orang-orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi dan individu. Dalam penelitiaan ini, dapat diukur dan dilihat dari jumlah petani mengikuti pelatihan yang diadaakan oleh kelompok per tahun. Pengukurannya: a. Rendah (skor 1) : 1-3 b. Sedang (skor 2) : 3-6 c. Tinggi (skor 3) : >6
14 7. Status kepemilikan lahan adalah suatu ukuran lahan yang dimiliki oleh responden dalam hal bentuk hubungan dengan tanah. Struktur agraria perdesan padi sawah di Jawa mempunyai lima ragam (Wiradi 2008) yaitu: a. Pemilik penggarap murni, yaitu bagi petani yang hanya menggarap lahan sendiri. b. Penyewa dan penyakap murni, yaitu bagi petani yang tidak memiliki lahan tetapi mempunyai lahan garapan melalui pola hubungan sewadan/atau bagi hasil (tunakism, tetapi penguasa lahan efektif). c. Pemilik penyewa dan/atau pemilik penyakap, yaitu bagi petani yang selain menggarap lahannya sendiri juga menggarap lahan milik orang lain. d. Pemilik bukan penggarap, yaitu bagi petani yang tidak menggarap lahan hanya mempekerjakan anak atau orang lain untuk mengolah lahannya. e. Tunakisma mutlak, yaitu petani yang tidak mempunyai lahan sama sekali dan tidak mempunyai garapan (umumnya buruh tani dengan pola hubungan kerja sistem buruh upahan lepas). 8. Pengalaman berusahatani/berorganisasi dalam penerapan pertanian padi organik yaitu lamanya petani menekuni usahatani padi organik dan keterlibatan dalam berorganisasi dengan kelompok tani organik yang disesuaikan dengan pernyataan setiap responden dan dinyatakan dalam tahun (Th). a. Baru, yaitu selama 2-7 tahun b. Lama, yaitu selama 8-13 tahun 9. Permintaan adalah sejumlah barang yang dibeli atau diminta pada suatu harga dan waktu tertentu. 10. Keuntungan usahatani per musim tanam adalah jumlah total pendapatan petani per musim tanam dikurangi jumlah total biaya input produksi pertanian, keuntungan dihitung dalam satuan rupiah (Rp). 11. Akses pasar yaitu kemampuan atau peluang petani dalam memasarkan atau menjual produk pertaniannya kepada konsumen melalui berbagai macam saluran distribusi berdasarkan permintaan konsumen. Akses pasar dinilai dari banyak dan terbukanya saluran distribusi yang bisa dijangkau oleh petani sendiri dengan otoritas harga jual produk dari petani. Adapun indikator yang digunakan yaitu: i. Terdapat tempat langganan menjual hasil panen. ii. Ada potensi menjual hasil panen di tempat lain. Pengukuran indikator ini meliputi jawaban “ya” (1) dan “tidak” (2) dan dikategorikan menjadi: a. Rendah (skor 1) : jika total nilai 2 b. Sedang (skor 2) : jika total nilai 3-4 c. Tinggi (skor 3) : jika total nilai 4 ke atas. 12. Pengaruh adalah kegiatan atau keteladanan yang baik secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan suatu perubahan perilaku dan sikap orang lain atau kelompok dalam mengambil suatu keputusan. 13. Penghambat adalah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai hal, keadaan atau penyebab lain yang menghambat (merintangi, menahan, menghalangi). 14. Pendukung adalah sesuatu hal yang mendorong untuk dapat mewujudkan suatu kegiatan yang ingin dicapai. 15. Penyiapan lahan:
15 a) kegiatan yang dilakukan dua minggu sebelum masa tanam dan dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pembajakan, penggaruan, dan pemerataan tanah. b) setelah pembajakan selesai, pupuk organik ditaburkan secara merata dengan dosis rata-rata 7.000 kg/ha atau sesuai dengan kebutuhan. Petani menggunakan pupuk yang berasal dari bahan organik seperti pupuk kompos, kandang, hijau, dan lain-lain. c) keadaan air macak-macak harus dipertahankan dengan cara menutup pintu masuk dan keluarnya air agar tanah dan unsur hara tidak terbawa hanyut. d) setelah perataan tanah selesai, dibuat saluran air tengah dan saluran air di pinggir di sekeliling pematang. 15. Persiapan benih/persemaian yaitu kegiatan dengan kebutuhan dan pola tanam yang akan digunakan, seperti: a) persemaian dilakukan pada baki/pipit/bak kecil yang terbuat dari kayu atau langsung membuat persemaian dilahan. b) benih = 10-15 kg/ha, benih bukan berasal dari hasil rekayasa dan tidak diperlakukan dengan bahan kimia sintetik ataupun zat pengatur tumbuh dan bahan lain yang mengandung zat adiktif. c) media = campuran tanah dengan pupuk organik dengan perbandingan 1:1. d) umur persemaian = 8-10 HSS. 16. Penanaman yaitu kegiatan dimana benih padi di tanam di lokasi dengan rincian sebagai berikut: a) umur benih = 8-10 HSS b) jumlah tanam/lubang = 1 batang/tunas c) jarak tanam yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat (20 cm × 20 cm, 22,5 cm × 22,5 cm, 25 cm × 25 cm). d) dianjurkan untuk menggunakan tanam sistem legowo 2:1, 3:1, atau 4:1. 17. Pengendalian hama tanaman yaitu kegiatan untuk menekan kerusakan dan kehilangan hasil, dengan rincian sebagai berikut: a) program rotasi tanaman yang sesuai. b) perlindungan musuh alami hama melalui penyediaan habitat yang cocok, seperti pembuatan pagar hidup dan tempat predator ekologi yang menjaga vegetasi asli dari hama predator setempat. c) pemberian musuh alami, termasuk pelepasan predator dan parasit. d) penggunaan pestisida nabati dan bahan alami lainnya. e)pengendaliaan mekanis, seperti penggunaan perangkap, penghalang cahaya dan suara. 18. Pemeliharaan tanaman yaitu kegiatan mempertahankan kelembaban tanah, yaitu dengan menggunakan pemberian air dengan menggunakan saluran pengairan keliling pematang dan saluran bedengan, sehingga keadaan tanah tidak tergenang. Serta, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang tidak menggunakan bahan kimia sintetik, tetapi berupa pengaturan sistem budidaya, pestisida nabati dan bahan kimia lainnya. 19. Panen yaitu kegiatan dimana pengelolaan produk harus dipisah dari produk non organik (jika disekitar produk organik terdapat produk non organik) dan tidak menggunakan bahan yang mengandung zat adiktif.
16
17
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif dan didukung dengan data kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survei kepada petani organik. Sedangkan data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam kepada informan. Data kuantitatif digunakan untuk memperoleh data mengenai karakteristik petani organik, sumber pengetahuan petani dalam penerapan pertanian organik, ekonomi petani dan kendala yang dihadapi petani dengan melakukan peralihan ke pertanian organik. Sedangkan data kualitatif digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam dari informan seperti tokoh adat, ketua RT, kepala desa, dan ketua kelompok tani. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di dua Desa yang berbeda berdasarkan keadaaan geografis, yaitu Desa Mangunsari, dan Desa Madugondo, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan dengan cara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa di Desa tersebut telah melakukan pertanian secara organik tanpa menggunakan pupuk kimia sintetik. Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2013. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal penelitian, pengambilan data di lapang, pengolah dan analisis data, penulisan laporan penelitian. Penentuan Responden Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data primer (Singarimbun dan Effendi 1989). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga petani yang benar-benar melakukan pertanian padi organik secara serius dan tanpa penggunaan bahan kimia sintetik. Dalam pendekatan kuantitatif, responden dipilih untuk menjadi target survei. Peneliti menggunakan metode sensus karena jumlah populasi yang tidak terlalu banyak sehingga lebih baik apabila teknik sensus yang dilakukan. Sensus ini dilakukan kepada 35 orang responden petani padi organik yang terdapat di dua Desa berbeda, yaitu Desa Mangunsari dan Desa Madugondo, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Responden di Desa Mangunsari sebanyak 15 orang petani organik dan di Desa Madugondo sebanyak 20 orang petani organik (Lampiran 2). Sementara pendekatan kualitatif dilakukan melalui observasi langsung dan wawancara mendalam kepada informan. Pemilihan informan dilakukan secara sengaja (purposive) sebagai sumber informasi primer untuk memperoleh data kualitatif. Informan kunci yang dipilih adalah Kepala Desa Mangunsari dan Desa Madugondo, Ketua Kelompok Tani, dan tokoh masyarakat.
18 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner kepada seluruh responden yang merupakan petani padi organik. Sementara untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui observasi serta wawancara mendalam dengan informan yang dipilih. Wawancara diarahkan dengan panduan pertanyaan wawancara mendalam. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berupa data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari kuesioner, wawancara, serta observasi langsung. Data sekunder sebagai data pendukung diperoleh melalui studi literatur berupa dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penerapan pertanian padi organik dan tanpa penggunaan pupuk kimia sintetik serta data demografi penduduk. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Pengelolaan data dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu pertama, melakukan pengkodean pada berbagai jenis pertanyaan, baik tertutup, terbuka, maupun semi terbuka, kemudian memasukkan data ke buku kode atau lembaran data (code sheet). Kedua, membuat tabel frekuensi atau tabulasi silang. Ketiga, mengedit yakni mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ditemui setelah membaca tabel frekuensi atau tabel tabulasi silang, baik pada saat mengisi kuesioner, mengkode, maupun memindahkan data dari lembaran kode ke komputer (Effendi et al. 1989). Analisis Deskriptif Statistik deskriptif merupakan statistik yang menggambarkan sekumpulan data secara visual dimana dapat dilakukan dalam dua bagian yaitu dalam bentuk gambar dan tulisan. Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan data berupa tabel frekuensi atau tabulasi silang (crosstab). Tabel frekuensi digunakan untuk menghitung jumlah pemilih atau responden dengan kategori tertentu sedangkan tabulasi silang digunakan untuk melihat jumlah responden berdasarkan hubungan antar variabel.
GAMBARAN UMUM DESA Desa Mangunsari Kondisi Geografis Desa Mangunsari merupakan salah satu desa di Jawa Tengah yang terletak di dekat objek wisata Gardu Pandang di desa Ketep dan Candi Borobudur. Secara administratif batas desa ini ialah sebagai berikut: Sebelah utara : Desa Podosoko kecamatan Sawangan Sebelah timur : Desa Butuh kecamatan Sawangan Sebelah selatan : Desa Gondowangi kecamatan Sawangan Sebelah barat : Desa Pagersari kecamatan Mungkid Desa Mangunsari dapat ditempuh dengan segala jenis kendaraan transportasi, baik kenderaan roda dua maupun roda empat. Kondisi jalan diaspal dan berada di sekitaran Pondok Pesantren Gontor 6. Jarak desa ke ibukota provinsi Jawa Tengah 90 km, jarak ke kabupaten Magelang 16 km dan jarak pusat pemerintah desa dengan ibukota kecamatan 1 km. Kondisi geografis Desa Mangunsari juga dapat dilihat dari letaknya di ketinggian 1500 m diatas permukaan laut dengan suhu rata-rata harian 23°-27° Celcius. Curah hujan rata-rata di Desa Mangunsari ialah sebesar 2.560 mm/th, sehingga kondusif menjadi areal persawahan dengan jenis sawah basah dan pembibitan ikan. Luas wilayah desa Mangunsari 266.88 ha yang terbagi menjadi enam dusun, dengan 29 Rukun Tetangga (RT) dan 8 Rukun Warga (RW), serta 6 dusun, diantaranya Dusun Mranggen, Dusun Wonolobo, Dusun Wonosari, Dusun Gadingsari, Dusun Beran, dan Dusun Glagahombo. Berikut merupakan tabel luas wilayah menurut penggunaan. Tabel 2 Luas wilayah Desa Mangunsari menurut penggunaan No 1 2 3 4 5 6
Penggunaan Luas Permukiman Luas Persawahan Luas Tegal/ladang Luas Kuburan Perkantoran Luas prasarana umum lainnya Total Luas
Sumber: data profil Desa Mangunsari (diolah).
Luas (ha) 4.95 210.52 46.81 1.30 0.50 2.80 266.88
20
Sumber: data profil Desa Mangunsari.
Gambar 1 Peta Lokasi Desa Mangunsari Kondisi Sosial dan Budaya Jumlah penduduk di Desa Mangunsari adalah 2629 orang, jumlah penduduk menurut jenis kelamin yaitu laki-laki 1247 orang dan perempuan 1382 orang. Jumlah kepala keluarga sebanyak 818 KK. Agama yang dianut dan dipercayai oleh masyarakat di desa adalah Islam, Katholik dan Kristen. Jumlah penduduk menurut pemeluk agama yaitu Islam 2460 orang, Katholik 125 orang dan Kristen 44 orang. Masyarakat di Desa Mangunsari saling menghargai antar umat beragama dan menjalin silaturrahmi yang baik. Solidaritas yang dimiliki masyarakat desa serta dapat dijumpai saat adanya kemalangan, pesta pernikahan, khitanan, dan panen. Kegiatan gotong-royong dan bahu membahu dalam melakukan suatu kegiatan masih sering dilakukan masyarakat di Desa Mangunsari.Kondisi sosial yang masih kental dimiliki masing-masing warga di desa. Masyarakat di desa Mangunsari menggunakan bahasa Jawa Tengah halus dalam kesehariannya disesuaikan dengan lawan berbicara, selain itu sebagian masyarakat juga menggunakan bahasa Indonesia. Ciri khas masyarakat desa Mangunsari yaitu dengan aktifitas kesehariannya yang berada di lahan pertanian dengan menggunakan caping, tas anyaman, sepatu bot dan cangkul. Bertani bagi petani di desa Mangunsari merupakan budaya yang mereka kenal dan lakukan sejak zaman dahulu. Pertanian organik telah lama melekat di paguyuban desa Mangunsari. Hal ini dibuktikan dengan pola penanaman yang dilakukan secara tradisional tanpa menggunakan pupuk sintetik sehingga terbentuk koperasi dan Badan Pelaksanaan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan di desa tersebut.
21 Kondisi Ekonomi Tabel 3 Jumlah penduduk menurut mata pencahariannya No Mata Pencaharian Jumlah 1 PNS 48 2 TNI/Polri 4 3 Pensiunan 30 4 Petani 412 5 Swasta 56 6 Pedagang 26 7 Buruh tani 214 8 Tukang 28 Total 818
Persentase (%) 5.87 0.48 3.67 50.37 6.85 3.18 26.16 3.42 100.00
Sumber: data profil Desa Mangunsari (diolah).
Mayoritas warga desa Mangunsari bekerja sebagai petani (50.37 persen) dari keseluruhan jumlah penduduk. Penduduk yang bekerja di sektor pertanian didukung oleh luas lahan pertanian yang lebih luas dibandingkan luas lahan non pertanian, yaitu 247.9 ha dan 19 ha. Dari luas lahan pertanian, 210 ha merupakan lahan sawah, dan 47 ha merupakan lahan non sawah. Komoditas utama tanaman pangan di Desa Mangunsari adalah padi jenis Mentik Wangi Susu, disusul dengan jenis Raja Lele dan IR 64. Jenis padi Mentik Wangi Susu merupakan salah satu jenis padi yang paling digemari oleh masyarakat, tidak hanya di Desa Mangunsari tetapi juga di Kabupaten Magelang. Jenis padi Mentik Wangi Susu terkenal dengan rasanya yang lebih manis, lebih pulen, dan lebih wangi dibandingkan jenis padi lainnya. Sementara itu, komoditas utama tanaman hortikultura di Desa Mangunsari adalah cabai merah, kacang panjang, dan ketimun. Selain potensial untuk pengembangan tanaman padi dan holtikultura, juga sangat potensial untuk mengembangkan perikanan air tawar. Pasokan air untuk persawahan tersedia sepanjang tahun. budidaya ikan air tawar dilakukan melalui pembuatan kolamkolam pembenihan dan pembesaran melalui mina padi. Sumber air yang digunakan untuk perikanan dan pertanian ini berasal dari mata air Sendang Mudal. Petani di desa melakukan budi daya tanaman padi dengan mengelola lahan milik sendiri maupun menggarap tanah milik orang lain dan sebagian buruh tani (26.16 persen). Selain itu matapencaharian penduduk juga digolongkan dalam bidang industri seperti handycraft, toko besi dan bangunan, perdagangan seperti warung makan, dagang beras, pupuk organik dan bibit padi dan jasa seperti bengkel motor, penggilingan padi, fotocopy dan counter HP. Sarana dan Prasarana Desa Kondisi bangunan dan sarana umum di desa cukup memadai yang dapat dilihat dengan adanya satu buah balai desa yang memiliki luas 72 m², satu kantor desa dengan luas 144 m². Memiliki tempat ibadah, seperti masjid sebanyak tujuh, musholla sebanyak delapan, dan satu gereja yang berada di dusun Glagahombo. Bidang kesehatan di Desa Mangunsari masih kurang memadai karena sarana yang dimiliki masih sangat sedikit. Hanya memiliki satu gedung Pos Kesehatan Desa, satu Polindes dan satu tenaga medis yaitu Bidan. Keadaan jalan di desa yang
22 beraspal memberikan akses ke daerah lain dengan mudah dan dapat melakukan perjalanan lebih cepat. Kenderaan yang dapat melewati desa berupa kenderaan roda dua maupun roda empat. Sarana untuk bidang pendidikan cukup memadai, dapat diketahui bersama terdapat dua Sekolah Dasar Negri yaitu SDN Mangunsari 1 dan SDN Mangunsari 3, satu sarana Play Group/PAUD, tiga bangunan TK, dan satu bangunan SMP. Sarana lainnya berupa gedung pertemuan, gedung olahraga dan makam umum sebanyak sepuluh tempat pemakaman. Pembangunan desa dari zaman ke zaman semakin mengalami perbaikan demi mempermudah akses masyarakat ke tempat lainnya. Desa Madugondo Kondisi Geografis Desa Madugondo merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang. Secara Administratif tata kepemerintahan terdiri dari dua Dusun, yaitu: Dusun Sepaten dan Dusun Klusen. Batas-batas wilayah Desa Madugondo sebagai berikut: Sebelah utara : Desa Kajoran Sebelah selatan : Desa Ngargosari Sebelah timur : Desa Wadas dan Ngendrosari Sebalah barat : Desa Bumiayu. Desa Madugondo termasuk topografi tanah berlereng dan terletak di perbukitan. Dengan ketinggian 482-2000 m dari permukaan laut dengan suhu ratarata harian 20°C. Curah hujan rata-rata di Desa ialah sebesar 2550 mm/tahun. Luas wilayah Desa Madugondo yaitu 83 ha, dengan luas lahan pertanian seluas 63 ha dan luas lahan non pertanian seluas 20 ha. Dari luas lahan pertanian, 60 ha adalah luas lahan sawah dan 3 ha adalah luas lahan non sawah. Kegiatan pertanian di Desa Madugondo sebagian besar didominasi oleh tanaman pangan padi. Selain tanaman pangan, tanaman holtikultura yang menjadi komoditas utama adalah cabe merah, cabe rawit, dan pisang. Desa Madugondo terdiri dari 2 Rukun Tetangga (RT) yang tergabung ke dalam 8 Rukun Warga (RW).
Sumber : data profil Desa Madugondo.
Gambar 2 Peta Lokasi Desa Madugondo
23
Kondisi Sosial dan Budaya Jumlah penduduk yang ada di Desa Madugondo adalah sebanyak 1111 orang. Jumlah tersebut tebagi kedalam 467 orang laki-laki dan 644 orang perempuan. Jumlah kepala keluarga 304 KK dengan RTM 64 KK (sumber: profil desa data s/d Desember 2012). Pendidikan terakhir yang ditempuh sebagian besar penduduk Desa Madugondo sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Badan Pelaksanaan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) menghimpun petani dalam suatu wadah berupa sekolah lapang yang memfasilitasi para petani untuk ikut serta dalam hal pelatihan dan penyuluhan sehingga menambah pengetahuan petani, mulai dari pengolahan lahan, pembenihan, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama/penyakit dan pemasaran hasil panen. Bahasa yang digunakan sehari-hari yakni bahasa Jawa Tengah dan bahasa Indonesia. Namun ada juga beberapa orangtua yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Masyarakat umumnya juga mengenal berbagai media massa seperti koran, televisi, radio, dan handphone. Kekerabatan di Desa Madugondo masih sangat erat dengan adanya perkumpulan ibu-ibu petani yang melakukan arisan. Arisan tersebut bertujuan untuk menjaga tali silaturrahmi antar petani dan menggalakkan tabungan petani. Kerjasama antar petani dapat dilihat pada saat panen padi, dimana ibu-ibu dengan tetangga membantu proses panen. Ibu-ibu bertugas memanen padi dengan menggunakan ani-ani, menjemur padi yang telah dipanen dan menggiling padi secara tradisional yang disebut dengan tuton. Masyarakat desa juga saling mengenal satu sama lainnya walaupun jarak rumah yang berjauhan. Jadwal pengajian di desa tersebut juga rutin dilaksanakan setiap hari Jum’at.
Kondisi Ekonomi Mata pencaharian masyarakat di Desa Madugondo cukup beragam, yaitu sebagai petani maupun di sektor lainnya. Mata pencaharian selain bertani di Desa Madugondo yakni PNS, karyawan, pertukangan, peternak, ojeg, pengrajin industri rumah tangga, dekorasi acara nikahan, pedagang keliling, montir dan sopir (sumber: profil desa). Pertanian yang dilakukan masyarakat di desa meliputi pertanian sawah irigasi dan pertanian holtikultura. Hasil pertanian holtikultura yaitu pisang, cabe merah, bawang daun, cabe rawit, kacang panjang, sawi hijau, bawang putih, kol dan buncis. Namun, sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani sehingga setiap keluarga memiliki lahan untuk diolah, baik lahan tersebut merupakan milik pribadi, bagi hasil, sewa, maupun tanah milik pemerintah desa. Petani di Desa Madugondo terdiri dari 278 orang. Sebanyak 20 orang petani di desa tersebut merupakan petani organik dan sisanya merupakan petani konvensional. Bertani merupakan mata pencaharian yang paling dominan di Desa Madugondo. Status kepemilikan lahan digolongkan menjadi tiga jenis yaitu petani pemilik lahan, petani penggarap lahan dan petani pemilik lahan sekaligus pelaku. Hal ini akan mempengaruhi cara petani dalam melakukan budi daya tanamannya. Besarnya upah tani di Desa Madugondo ±Rp 25.000 – 30.000/hari. Selain itu, petani berprofesi sebagai pembajak sawah dengan menggunakan hewan ternaknya
24 (sapi) sebagai alat pembajak dengan biaya berkisar Rp 30.000 – 50.000/keso (1000 m²). Sarana dan Prasarana Desa Letak desa Madugondo yang jauh dari daerah lainnya menyebabkan sarana dan prasarana desa masih sangat minim. Keadaan jalan utama masih sangat minim yaitu dengan keadaan jalan berlubang dan beraspal kasar. Hal ini menyebabkan hasil pertanian dari desa ke daerah lain mengalami keterbatasan dalam pemasarannya. Transportasi darat yang dimanfaatkan oleh petani adalah ojeg dan mobil pick up untuk menyalurkan hasil panen penduduk Desa Madugondo. Sarana yang dimiliki desa antara lain satu Balai Desa, kantor desa dan bangunan pos keamanan. Pendidikan di desa masih sangat minim, terdapat satu sekolah Madrasah Aliyah yang digunakan untuk pendidikan TPA, adanya dua bangunan Sekolah Dasar. Mayoritas masyarakat Desa Madugondo beragama Islam. Sarana peribadatan meliputi dua masjid dan empat mushollah yang berada pada dua dusun di Desa Madugondo.
SEJARAH PENERAPAN PERTANIAN PADI ORGANIK Sejarah awal pertanian sebelum adanya pupuk kimia yang diproduksi oleh pabrik pupuk beredar di desa dan dikenal serta dimanfaatkan penduduk, masyarakat Desa Mangunsari dan Desa Madugondo menerapkan sistem pertanian alami yang memanfaatkan limbah dari ternak dan daun-daunan yang ada di pekarangan rumah. Pertanian tradisional yang disesuaikan dengan iklim daerah setempat dan memakai kebiasaan masyarakat dapat memperoleh hasil panen yang maksimal dan lebih menjaga kesuburan tanah. Hasil panen biasanya dikonsumsi dan dibagi ke tetangga. Rasa kekeluargaan, gotong-royong juga masih sering dilakukan antar petani saat tiba panen raya. Tahun 1965 budi daya pertanian secara tradisional mulai tergeser dengan adanya kebijakan politik Orde Baru yang mengeluarkan berbagai paket teknologi seperti Bimbingan Massal (Bimas). Melalui Bimas dilakukan sosialisasi yang memberitahukan hal-hal yang bagus, gampang dan memberikan keuntungan kepada para petani, salah satunya adalah sistem perontokan mudah, harga panen dibayarkan lebih mahal, pengendalian hama dengan cara menyemprotkan pestisida endrim dan GDP. Pada masa ini banyak petani yang tergiur, mulai melirik serta melakukan budidaya sesuai keinginan pemerintah saat itu. Kemudian pada tahun 1970-an muncul lagi sistem pemerintah yaitu Intensifikasi Khusus (Insus) tahun 1979 dan Supra Insus tahun 1987. Pupuk dan benih diberikan secara gratis. Perlahan setelah petani memperoleh pupuk dan benih secara gratis kemudian pemerintah melalui Koperasi Unit Desa (KUD) memberikan subsidi pupuk dan benih untuk dipergunakan petani. Industrialisasi pertanian membawa dampak pula terhadap kualitas lingkungan. Revolusi hijau telah memberikan kontribusi pada degradasi daya dukung lingkungan. Lebih dari tujuh tahun, ratarata penggunaan pupuk kimia per hektar tanah meningkat hingga 50 persen, dan per hektarnya pestisida diberikan dua kali lebih banyak. Kondisi tersebut telah merusak ekosistem dan menciptakan ketergantungan lahan terhadap bahan kimia, dan memicu ledakan hama. Penggunaan pupuk kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, selain dapat menyebabkan ketidakseimbangan unsur hara tanah, residu N (Nitrogen) juga diketahui telah mencemari air tanah sebagai sumber air minum yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Dampak dari penggunaan pestisida adalah terjadinya resistensi dan resurgensi hama penyakit, serta ledakan hama kedua. Dampak negatif bagi kesehatan adalah terjadinya keracunan akut berupa kesakitan sampai kematian dan keracunan kronik berupa pembentukan jaringan kanker, kerusakan genetik generasi yang akan datang serta kelahiran bayi yang cacat. Seperti yang terjadi di desa Mangunsari pada tahun 2000, kelahiran bayi yang cacat akibat penggunaan bahan-bahan kimia untuk penyemprotan padi. Kejadian lain terjadi di desa Madugondo, seorang petani keracunan bahan-bahan kimia disaat selesai melakukan penyemprotan pestisida kimia untuk pemeliharaan padi. Semua itu tidak ada artinya karena Indonesia secara revolusioner sukses meningkatkan produksi beras sehingga menjadi negara swasembada beras. Swasembada berarti jumlah beras yang diproduksi selama setahun mencukupi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia pada tahun yang sama. Karena capaian
26 tersebut pada tahun 1984 Indonesia mendapat penghargaan dari FAO. Prestasi ini memang sangat mengagumkan karena sejak tahun 1960-an, Indonesia selalu kekurangan beras. Namun keberlanjutan swasembada beras Indonesia pun tidak berlangsung lama. Dalam kurun waktu tahun 1983-2002 Indonesia hanya mengalami swasembada beras pada tahun 1985, 1986, 1988, dan 1993. Namun kondisi tersebut hanya berlangsung sementara karena setelah itu Indonesia harus mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhannya. Sungguh sangat tragis dan menyisakan banyak dampak negatif terhadap pertanian masa depan. Salah seorang petani berpendapat seperti hal berikut ini: “Bimas saat itu penyampaiannya, tapi sebenarnya itu adalah Revolusi Hijau. Revolusi hijau memiliki tujuan sesaat tanpa memikirkan keadaan masa depan pertanian di Negeri ini. Bimas yang namanya intensifikasi massa menuntut agar manusianya atau petani harus berkelompok, melakukan pertanian secara serentak dengan sistem yang telah ditentukan oleh pemerintah. Dengan adanya BIMAS harus bimbingan masyarakat baik lahan maupun SDM nya. Saya tidak mau mengikuti program pemerintah tersebut, sampai saya kehilangan hak suara pada pemilu dan diberi cap OT (Organisasi Terlarang) pada KTP saya, alasan saya tidak mau mengikuti keinginan pemerintah karena saya sebagai petani merasa mempunyai hak atas tanah milik saya sendiri. Saya melakukan pertanian tidak harus dengan paksaan dari orang lain apalagi sistem pertanian yang dipaksakan pemerintah tidak sesuai dengan keadaan alam, akan merusak lingkungan dan membuat lahan tidak subur lagi” (Mbah S, 75 tahun). Silih berganti sejak tahun 1960-an sistem pertanian masih mengacu pada pemerintah. Memiliki tujuan memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia dan meningkatkan permintaan pasar global. Namun hal ini tidak bertahan lama karena petani-petani merasa terjerat oleh sistem pertanian revolusi hijau. Hargaharga input produksi pertanian yang semakin mahal dan susah diperoleh dipasaran mengakibatkan petani perlahan beralih ke pertanian tradisional yang sekarang ini dikenal sebagai pertanian organik. Di desa penelitian sejak tahun 2001, yaitu dengan adanya isu “Go Organic 2010”, pak Widakdo yang menjabat sebagai kepala desa bekerjasama dengan Dinas Pertanian untuk merintis secara bertahap untuk menerapkan pertanian organik di Desa Mangunsari. Ditambah lagi pada tahun 2003, petani mulai resah dengan keadaan tanah yang susah untuk dicangkul, struktur tanah keras, dilunguh dan digaruh tidak mengeluarkan air. Padahal pada saat menggunakan pupuk kandang dan dedaunan tanah begitu gembur, terdapat banyak mikroorganisme, dan produktivitas tanah tinggi. Banyak petani menyadari dampak negatif dari revolusi hijau, tetapi untuk keluar dari ketergantungan teknologi ini tidaklah mudah. Infrastruktur berupa bangunan fisik, sistem usaha tani, dan ketersediaan sarana produksi seperti benih dan pupuk, serta suprastruktur seperti keorganisasian, penyuluhan yang dibangun memang diciptakan untuk sistem pertanian revolusi hijau. Pertanian yang praktis terjadi pada masa revolusi hijau. Sedangkan masyarakat di kedua desa penelitian tersebut sudah mulai berfikir untuk memperbaiki kerusakan lingkungan.
27 Tahun 2006 petani mulai mengenal sistem pertanian organik secara bertahap dari Badan Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan (BP2K). Tidak semua petani berani beralih secara langsung karena masih proses adaptasi, dimana hasil panen akan mengalami penurunan dari hasil panen yang biasanya. Prinsip para petani untuk melakukan pertanian organik secara perlahan dan bertahap. Pada musim pertama, para petani masih mengaplikasikan pupuk kimia (Urea, TSP, KCL) sesuai anjuran. Namun sudah dimulai menambahkan 1,5 ton per hektar. Kombinasi ini dipertahankan sampai pada musim tanam kedua. Tahap ketiga dan keempat, pemakaian pupuk kimia diturunkan hingga 50 persen sedangkan penggunaan kompos dinaikkan menjadi 2 ton per hektar. Pada musim tanam kelima dan keenam aplikasi Urea tinggal 25 persen, TSP diturunkan hingga 5 persen dari penanaman sebelumnya, dan tanpa KCL. Pemakaian kompos ditambah menjadi 2.5 ton/ha. Seperti alasan yang disampaikan petani sebagai berikut. “Saya tidak berani sekaligus memberhentikan pemakaian pupuk kimia karena takut hasil panennya malah justru berkurang. Jika hasil panen saya berkurang nanti penjualannya akan semakin sedikit. Saya bertahap saja untuk menuju pertanian organik. Tetapi sekarang saya sudah hampir 3 tahun melakukan pertanian organik tanpa menggunakan pupuk kimia. Kalau benar-benar memakai pupuk kandang olahan sendiri dan pestisida alami. Alhasil panen saya makin meningkat dan lebih mencukupi kehidupan keluarga saya. Saya senang melakukan sistem pertanian organik” (KMN, 75 tahun). Dari tahun 2006 hingga sekarang cara bertani secara tradisional/organik di desa Mangunsari semakin dilirik oleh petani, semakin memberikan hasil yang baik dan mengurangi pemakaian pupuk kimia. Hal ini merupakan perbaikan untuk kesuburan lahan yang ditimbulkan pertanian konvensional di desa penelitian. Sedangkan di Desa Madugondo pada tahun 2005 petani mengikuti program ESP (Environment Social Program) yang diadakan oleh LSM Yogyakarta. Program tersebut mengadakan SL-PHT dengan mengamati setiap lahan petani yang luasnya 1000 m² hingga panen. Pada tahun 2008, petani melalui kelompok tani memproduksi pupuk kompos secara kontinyu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pupuk kompos petani. Petani mulai memiliki jaringan yang luas dan tersebar di wilayah Jawa Tengah. Pada tahun 2009, pertemuan rutin dilakukan di Joglo Tani Yogyakarta. Belajar bersama dengan petani padi organik dalam melakukan penerapan pertanian padi organik. Pada tahun 2010 hingga sekarang, petani melakukan demplot secara swadaya padi organik dan memasarkan hasil panen. Melakukan pertanian organik memerlukan masa transisi yang bertujuan untuk memulihkan tanah demi mewujudkan manfaat secara menyeluruh dari pertanian berkelanjutan (pertanian organik). Setelah sistem pulih, didapatkan panen yang setara atau yang lebih tinggi. Dengan pertanian tradisional yang berasupan rendah, perubahan ke pendekatan berkelanjutan biasanya langsung diikuti peningkatan panenan. Bahkan ladang kecil lebih produktif, lebih efisien dan memberikan sumbangan bagi pengembangan ekonomi di pedesaan dibandingkan dengan pertanian konvensional monokultur berskala besar.
28
Tokoh Masyarakat Yang Menjadi Pelopor Pertanian Organik Penerapan kegiatan pertanian di Desa Mangunsari dari waktu ke waktu semakin mengalami perbaikan yang lebih memikirkan kelestarian lingkungan dan semakin mengarah kepada pertanian organik. Berdasarkan penuturan dari salah satu tokoh masyarakat, sebelum program Panca Usaha Tani dipopulerkan pemerintah, para petani tidak pernah menggunakan pupuk kimia ataupun pengendali hama kimia. Akan tetapi, kegiatan penerapan pertanian mulai berubah saat pemerintah meluncurkan PELITA. Pada saat itu, petani dilarang menggunakan bahan-bahan alami. Petani diharuskan menggunakan pupuk Urea, pestisida, dan bibit hibrida yang diberikan oleh pemerintah melalui pemerintah desa. Pada tahun 1990-an, para tokoh penggerak pertanian mulai berusaha mengajak petani lainnya untuk mulai kembali berorganik. Penerapan pertanian organik di Desa Mangunsari mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, baik dari kalangan pemerintah, LSM, maupun tokoh masyarakat. Kalangan pemerintah desa, baik kepala desa Mangunsari maupun BP2K, rutin mengadakan penyuluhanpenyuluhan kepada petani. Selain mengadakan penyuluhan, diadakan juga pelatihan pertanian. Pelatihan pertanian yang pernah diadakan, seperti SL-PHT, pembuatan pupuk kompos, dan pengendali hama alami. Kalangan LSM, seperti lembaga KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan) yang membantu petani dalam pemasaran produk beras organik ke berbagai wilayah dan mengadakan diskusi terkait pertanian organik yang biasanya dihadiri oleh ketua kelompok tani. Dari kalangan tokoh masyarakat juga turut memberikan dukungan. Adapun Bapak WGD berumur 60 tahun dari kalangan sosial menengah ke atas selaku ketua kelompok tani Beras Tuton. Beliau juga pernah menjabat sebagai Kepala Desa Mangunsari selama 2 periode yaitu periode tahun 1993-2003. Kepercayaan masyarakat kepada beliau yang merupakan masyarakat asli desa Mangunsari menimbulkan Bapak WGD memiliki keinginan yang kuat untuk memulai pertanian organik di desa tersebut dengan memanfaatkan wawasan yang beliau miliki. Beliau juga memiliki semangat yang tinggi, dan tegas dalam memimpin suatu kelompok. Beliau mendirikan kelompok Beras Tuton karena untuk mewujudkan pertanian yang berkelanjutan tanpa menggunakan bahan kimia sintetik. Tidak sedikit dari petani yang ragu untuk menggunakan bahan-bahan input alami karena petani menyadari produksi tanaman tidak akan seoptimal dengan menggunakan bahan kimia sintetik. Pada saat masih menjabat sebagai kepala desa, beliau membuat lahan percontohan pertanian padi organik. Tetapi sangat disayangkan lahan percontohan padi organik tidak berjalan lancar karena perubahan masa kepemimpinan. Usaha beliau tidak berhenti sampai disitu. Setelah berhenti menjabat sebagai Kepala desa, beliau melakukan pertanian padi organik secara mandiri dan mengajak petani lainnya untuk menggarap lahannya dengan luas 0.81 Ha. Ditinjau dari luas lahan yang dimiliki beliau merupakan petani berkecukupan. Pada tahun 2011, beliau berhasil mengembangkan beras organik dengan nama Beras Tuton. Beras Tuton tersebut diolah dengan secara tradisional. Keberhasilannya ditandai dengan produk beras Tuton dapat diterima oleh pasar dan konsumen. Harga jual dari beras tuton mencapai Rp 15.000,-/kg. Selain keberhasilan dari segi ekonomi, dengan
29 melakukan pertanian organik juga dapat mengembalikan tingkat kesuburan tanah dan menjaga ekologi. Menurut Bapak WGD dengan menggunakan bahan-bahan alami dapat meningkatkan kualitas padi. Hal ini dapat dibuktikan melalui beras organik yang diakui oleh para konsumen memiliki rasa yang lebih manis dan pulen, aroma yang lebih wangi, dan memiliki ketahanan simpan lebih lama dibandingkan dengan beras lainnya. Penerapan pertanian padi organik yang dilakukan oleh kelompok tani Beras Tuton sama sekali tidak menggunakan bahan-bahan kimia sintetik. Hal ini dilakukan beliau untuk memberikan contoh kepada petani lainnya. Kegiatan bertani organik di Desa Madugondo tidak jauh berbeda dengan Desa Mangunsari. Memiliki kesamaan yang melakukan budidaya pertanian organik dengan memanfaatkan bahan-bahan alami. Salah satu tokoh masyarakat yang masih muda dan disegani di desa Madugondo adalah Pak NGK berusia 30 tahun merupakan pemuda asli berasal dari Desa Madugondo yang peduli dengan kehidupan petani di desanya. Pak NGK mengungkapkan bahwa hasil produksi padi di desanya selalu berlebih dan kegiatan pemasaran beras organik hanya di lingkungan desa Madugondo saja. Melihat hal ini, beliau berusaha memasarkan produk beras organik ke daerah-daerah diluar desa penelitian. Sebagai pemasaran, beliau mengaku tidak pernah memaksa petani untuk menjual beras kepadanya. Melainkan beliau membebaskan petani untuk menjual beras kepada siapa saja yang berminat untuk membeli. Akan tetapi, Pak NGK menegaskan kepada petani yang ingin menjual beras kepadanya haruslah beras organik murni yang tanpa ada campuran bahan-bahan kimia sintetik selama proses penanaman, panen hingga proses pemasaran. Pak NGK yang berpendidikan D3 jurusan Ekonomi memiliki keinginan untuk selalu dapat memberikan contoh kepada petani yang lebih tua sehingga memunculkan minat petani untuk beralih ke pertanian padi organik.
30
PENERAPAN PERTANIAN PADI ORGANIK Lama Bertani Organik Lama bertani organik merupakan pengalaman bertani. Pengalaman bertani adalah lamanya (tahun) petani sudah melakukan pekerjaannya dalam pertanian padi organik. Mayoritas responden sudah memulai pekerjaannya sejak usia muda, yaitu taraf usia SD. Bertani secara organik memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini dikarenakan pembangunan sektor pertanian tanaman pangan yang terlalu berorientasi pada pertanian kimia sintetik terbukti telah menimbulkan kerusakan sifat-sifat fisik dan biologi tanah, karena tidak diimbangi dengan penambahan bahan organik. Pengalaman dari setiap responden mempunyai perbedaan yaitu pertanian organik yang diolah sesuai kepemilikan lahan dan cara melakukan sistem pertaniannya. Merujuk pada Prayoga (2010) menjelaskan bahwa salah satu sistem pertanian organik yaitu sistem pertanian “absolut”. Sistem pertanian “absolut” adalah sistem pertanian yang sama sekali tidak menggunakan input kimia sintetik (anorganik), hanya menggunakan bahan alami berupa bahan organik atau pupuk organik. Sasaran utamanya adalah menghasilkan produk dan lingkungan (tanah dan air) yang bersih dan sehat. Sistem ini berlangsung cukup lama, mengutamakan nilai gizi, kesehatan, dan ekonomi produk, yang konsumennya adalah kalangan tertentu (eksklusif), dan kurang mengutamakan produktivitas. Kedua desa penelitian tersebut melakukan hal yang sama dengan sistem pertanian yang dikemukakan oleh Prayoga (2010). Berikut pada Tabel 4 disajikan data lama bertani organik responden di dua desa penelitian. Tabel 4 Jumlah dan persentase responden menurut lama bertani organik Waktu (Tahun) Jumlah Persentase (%) 1-3 2 11.43 4-6 5 2.86 7-9 7 8.57 >10 21 77.14 Total 35 100.00 Sumber: data primer penelitian, 2013.
Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa terdapat 21 orang responden dengan persentase sebesar 77.14 persen melakukan pertanian padi organik lebih dari 10 tahun. Adanya keinginan petani dalam meningkatkan hasil panen dan menjaga kesuburan tanah terlihat jelas dengan melakukan sistem usahatani padi organik. Sedangkan terdapat 5 orang yang berpengalaman antara 4-6 tahun dengan persentase sebesar 2.86 persen. Petani ini melakukan pertanian organik setelah memperoleh informasi dari Departemen Pertanian mengenai keuntungan bertani organik. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa semakin lama petani menerapkan sistem pertanian padi organik, maka lahan semakin subur dan fase untuk peningkatan hasil panen dapat diperoleh maksimal disesuaikan dengan luas lahan yang dikelola. Tabel 4 mengungkapkan bahwa mayoritas petani padi organik memiliki cukup pengalaman dalam berusahatani. Lamanya bertani
32 organik membuat para petani lebih menyukai bertani organik daripada bertani konvensional jenis tanaman padi. Proses Pengolahan Lahan Sebelum melakukan pengolahan lahan, lahan dibiarkan kosong tanpa tanaman apapun dengan melakukan pengolahan secara bertahap. Hal ini bertujuan untuk merelaksasikan kondisi tanah. Tanah yang dipaksa secara terus menerus akan merasa terpaksa dan kandungan hara tanah berkurang. Mengakibatkan kesuburan tanah berkurang dan memerlukan penanganan lebih untuk memberikan pupuk dasar berupa pupuk kompos dan pupuk dedaunan. Membajak sawah dengan menggunakan hewan ternak memiliki banyak manfaat, yaitu untuk menyuburkan kondisi tanah, menggemburkan tanah, dan mengembalikan kandungan air tanah. Kandungan air urine hewan ternak tersebut memberikan kesuburan tanah. Menambah mikroorganisme yang berada di dalam tanah.
Gambar 3 Petani sedang membajak sawah Kegiatan yang dilakukan dua minggu sebelum masa tanam dan dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pembajakan, penggaruan, dan perataan tanah. Syarat utama bertani organik di Desa tersebut adalah petani harus memasukkan bahan organik minimal sama volume dan bobotnya dengan yang dikeluarkan dari sawah (jerami dan padi) atau setara 5-10 ton kompos/ha. Jerami dan sekam harus dimasukkan kembali ke sawah, setelah dilakukan fermentasi (pengomposan) terlebih dahulu. Untuk mempercepat proses fermentasi / pengomposan, jerami ditumpuk berlapislapis dan diberikan kotoran hewan (kohe) dan dedaunan serta mikroba. Setiap lapisan jerami tebalnya 10-20 cm dikocor/disemprot dengan air yang diberi nutrisi buah 10 cc/liter, sebelum ditumpuk lapisan jerami berikutnya. Tumpukan jerami ditutup dengan plastik atau bahan lainnya agar tidak basah oleh air hujan atau kekeringan oleh terik sinar matahari. Setelah 15 hari atau lebih, fermentasi jerami selesai menjadi pupuk dasar.
33
Gambar 4 Petani melakukan pengolahan lahan Sambil menunggu proses pengomposan jerami, lahan disemprot memakai nutrisi buah 2 cc/liter air kemudian dilakukan pembajakan pertama dengan kedalaman 30-40 cm. Semakin dalam pengolahan lahan, semakin baik karena akar padi yang sehat dapat mencapai kedalaman 60 cm. Panjang malai padi akan sebanding dengan kedalaman akar tanaman padi. Nutrisi buah juga bisa dikocorkan melalui pintu air selama 4 jam setinggi 5 cm dengan dosis 1 ha 2 liter (melalui pengenceran 2 liter = 200 liter air, didiamkan sehari semalam terlebih dahulu). Sebarkan kompos jerami Nurlan, Tohar, Aceh dan Emulzion secara merata keseluruh petak sawah setelah proses pengomposan selesai (kira-kira 15 hari). Sesuai dengan pengamatan di lapangan, petani membuat parit kecil (paliran) sekeliling petak sawah dan melintang ditengah sawah. Parit ini fungsinya untuk mengendalikan air (drainase) dalam petak sawah. Lebar parit 20 cm dan kedalaman tidak kurang dari 30 cm. Proses Pembenihan Tahap persiapan benih/persemaian melalui dua kegiatan yaitu seleksi benih dan persemaian. Seleksi benih dilakukan agar dapat diperoleh benih yang benarbenar memiliki sifat unggul. Sementara, persemaian dilakukan agar benih dapat berproduksi dengan optimal. Cara-cara menyiapkan benih (persemaian) sesuai anjuran sebagai berikut: a) Persemaian dilakukan pada baki/pipiti/bak kecil yang terbuat dari kayu. b) Benih = 3-5 kg/ha, benih bukan berasal dari hasil rekayasa dan tidak diperlakukan dengan bahan kimia sintetik ataupun zat pengatur tumbuh dan bahan lain yang mengandung zat adiktif. c) Media = campuran tanah dengan pupuk organik dengan perbandingan 1:1. d) Umur persemaian = 10-12 Hari Setelah Semai (HSS). Petani di desa penelitian terbiasa dalam membuat benih secara mandiri. Cara pembuatan benih lokal tersebut aadalah sebagai berikut, petani menyediakan air ¾ ember dan melarutkan garam dapur satu gelas. Memasukkan satu butir telur
34 ayam/bebek, aduk perlahan sampai telur mengambang pertanda air bisa untuk seleksi benih, tambahkan garam bila telur belum mengambang. Masukkan gabah ke ember berisi air + garam tadi, gabah terapung dibuang. Gabah tenggelam diambil dan bilas sampai bersih. Gabah direndam kedalam air yang telah ditambah larutan bakteri perangsang tumbuh akar, minimal sehari (12 jam). Kemudian peram (tus) gabah yang telah direndam atau dengan kain basah sampai muncul tunas (lembaga) pertanda bibit siap disemai 2-3 hari, sisa air rendaman dipakai untuk disiramkan ke benih. Buatlah adukan tanah sawah + kompos/ pupuk kandang + sekam padi yang sudah lapuk dengan perbandingan 1:1:1. Masukkan adukan tanah + kompos tadi kedalam besek (ceting) atau buat persemaian disawah (kebun) setinggi 4 cm yang alasnya telah dilapisi plastik.
Gambar 5 Persemaian Benih Hal yang harus dilakukan yaitu menyiram persemaian sebelum benih ditebar, setelah ditebar tutup tipis dengan adukan tanah dan kompos lalu siram sekali lagi dengan nutrisi buah 2 cc/liter. Tutup benih yang ditebar tadi dengan dedauanan (kelapa atau jerami). Pada umur 4 hari siram benih dengan larutan bakteri perangsang tumbuh akar 2cc/liter. Setelah persemaian berumur antara 1012 hari (sejak hari pertama persemaian) bibit padi akan berdaun dua helai dan bibit padi sudah harus ditanam pada petak sawah. Proses Penanaman Pada saat penanaman yang dilakukan petani di desa penelitian yaitu dengan mengurangi volume air untuk mempermudah proses tanam. Memiliki jarak waktu mencabut bibit dan penanaman tidak boleh lebih dari 15 menit. Penundaan penanaman lebih dari 15 menit dapat menurunkan kemampuan pertumbuhan anakan rumput padi. Jarak tanam dianjurkan 30 cm x 30 cm (jajar legowo 2:1) atau sesuai kebutuhan dan keadaan lahan yang dimiliki petani.
35
Gambar 6 Padi berumur 15 hari
Gambar 7 Sistem jajar legowo
Petani menggunakan hanya satu bibit per tancap, penanaman bibit padi sangat dangkal, hampir tidak dibenam sama sekali, hanya sedalam 0.5-1.0 cm saja. Posisi akar bibit padi sejajar dengan permukaan tanah sehingga batang bibit padi dan akarnya berbentuk huruf “L”. Selain cara persemaian dan penanaman tersebut, petani di Desa juga menggunakan cara tanam benih langsung (tabela). Proses seleksi benih tetap sama, dan benih didiamkan selama 2 hari hingga keluar kecambah. Kemudian benih tersebut ditanam tunggal dengan jarak tanam tidak boleh kurang dari 30 cm. Setiap petani biasanya menyisakan bibit padi sekitar 2 persen dari kebutuhan seluruh bibit padi yang ditanam sebagai tanaman cadangan dan disemai dipinggir petak sawah. Dari berbagai pengalaman di lapangan, bibit yang mati karena berbagai sebab tidak akan melebihi angka 2 persen. Untuk menekan pertumbuhan gulma setelah penanaman, sawah agak direndam sedikit diatas nyemeknyemek/lembap (1-2 cm diatas pangkal batang padi) selama 10 hari. Proses Pemeliharaan Cara bersawah yang dilakukan petani di Desa tersebut sangat hemat pemakaian air (berkurang kebutuhan air lebih dari 50 persen). Air dijaga hanya ada di dalam parit sekitar dan tengah sawah saja. Kebiasaan petani yang rajin untuk memeriksa tanaman yang mati dengan benih cadangan yang disisakan selesai tanam. Penyiangan pertama harus dilakukan 10 hari setelah tanam (HST). Tujuan utama penyiangan adalah untuk meningkatkan aerasi udara bagi tanah sawah sehingga terjadi suplai udara (oksigen) yang cukup memadai ke dalam tanah, tanah akan lebih subur, dan gas-gas beracun di dalam tanah bisa keluar, sehingga tanah akan lebih gembur. Gulma pengganggu tanaman padi dicabut dan kemudian dibenamkan saja kedalam tanah.
36
Gambar 8 Petani sedang ngokrok
Gambar 9 Alat kokrok
Penyiangan dilakukan dengan menggunakan alat penyiang yang didorong berputar (alat kokrok), sekaligus menggali dan mengaduk tanah. Tujuan dari pengokrokan adalah untuk membalik tanah, memotong akar tanaman sehingga terjadi perpisahan antara tanaman satu dengan yang lainnya, memperbaiki sistem tanam dalam memperoleh unsur hara, dan sekaligus memberi lapangan kerja baru untuk petani lainnya. Proses ini dilakukan sebanyak 4 kali yang dimulai dari umur 0-10 hari tanaman padi, 10-20 dan sampai padi berumur 40 hari, dengan selang waktu melakukan pengokrokan per-10 hari. Penyiangan (matun) sangat penting dilakukan karena produksi gabah akan berkurang 1-2 ton untuk setiap kali kelalaian penyiangan. Penyiangan dilakukan setiap 10 hari sekali selama 3 atau 4 kali. Pengendalian Hama/Penyakit Pengendalian hama/penyakit dapat dilakukan dengan menyemprotkan pestisida alami pada tanaman padi. Sebelum disemprot, formula dioplos dengan air minimal 4 jam atau semalam sebelum diaplikasikan. Untuk tanaman umur 16 HST dengan menggunakan formula larutan bakteri perangsang tumbuh akar, 5 cc/liter. Selanjutnya tanaman umur 24 HST di lahan diairi, kemudian semprot dengan cairan pupuk daun dan cairan bakteri perangsang tumbuh akar, 5 cc/liter. Tanaman umur 32 HST dengan 3 formula ( larutan bakteri perangsang tumbuh akar, insektisida cair, dan pungisida cair) masing-masing 5 cc/liter, atau dikocor lewat pintu air dengan komposisi masing-masing 1 liter. Selanjutnya tanaman umur 40 HST dengan 2 formula (Insektisida cair dan pungisida cair) masingmasing 5 cc/liter. Setelah tanaman umur 56 HST dengan 2 formula (Insektisida cair dan pungisida cair) masing-masing 5 cc/liter + Omega 3. Yang perlu diperhatikan pada saat umur tanam 72 hari, boleh diaplikasikan lagi 3 formula (larutan bakteri perangsang tumbuh akar, insektisida cair, dan pungisida cair), masing-masing 5 cc/liter.
37
Gambar 10 Pestisida alami dan pupuk organik Pengendalian hama juga dapat dilakukan dengan cara penyiangan gulma pada lahan yang ditanami padi. Umumnya di lokasi penelitian penyiangan dilakukan sebanyak 3 kali. Penyiangan dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dan ada juga yang menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Petani yang melakukan pertanian organik beranggapan bahwa gulma akan tumbuh subur dengan pemakaian pupuk kompos. Tujuan dilakukan penyiangan adalah : 1) untuk mengurangi persaingan antara gulma dengan tanaman dalam hal kebutuhan akan unsur hara tanah, sinar matahari dan tempat tanam, 2) untuk memutuskan perputaran hidup gulma, 3) untuk mencegah terbentuknya tempat berkembang bagi serangga hama, penyakit dan tikus, dan 4) untuk mencegah tersumbatnya saluran dan aliran irigasi. Penyiangan sebaiknya dilakukan dengan mencabut dengan tangan, menggunakan alat arit dan menggunakan herbisida alami. Panen dan Pasca panen Panen Pemanenan padi yang dilakukan oleh petani di Desa setelah padi berumur 110-120 HST (Hari Setelah Panen). Saat 90-95 persen gabah dari malai sudah tampak menguning. Beberapa alat yang biasa digunakan petani di Desa ini untuk pemanenan padi di antaranya ani-ani dan sabit. Ani-ani digunakan untuk memanen padi lokal yang berpostur tinggi. Dilaksanakan oleh wanita, dengan menggunakan alat ani-ani. Dengan cara memotong pangkal malai dan mengumpulkannya ke satu tempat untuk dilakukan proses selanjutnya. Sabit/sabit bergerigi umumnya digunakan petani untuk memotong padi varietas unggul baru yang berpostur pendek seperti IR-64 dan Ketan hitam. Selain pemilihan alat panen, kelompok kerja pemanen juga harus dikendalikan dengan baik. Hal tersebut karena pada umumnya pemanenan dilakukan secara berkelompok. Setiap kelompok terdiri atas 5-7 orang dengan menggunakan 1 pedal thresher. Pascapanen Penanganan pascapanen yang baik akan sangat mendukung peningkatan produksi padi. Penanganan pascapanen yang didasarkan pada prinsip-prinsip good
38 handling practise (GHP) dapat menekan kehilangan hasil panen dan mempertahankan mutu hasil gabah/beras. Kegiatan pascapanen meliputi pemanenan, penumpukan atau pengumpulan, perontokan, pembersihan, pengangkutan, pengeringan, pengemasan, penyimpanan, penggilingan, dan pengiriman. Kegiatan pascapanen dilakukan sebagai berikut. Penumpukan dan pengumpulan Penumpukan dan pengumpulan dilakukan setelah padi dipanen. Dibutuhkan ketelatenan dan kehati-hatian dalam penumpukan dan pengumpulan. Karena ketidakseksamaan dalam penumpukan dan pengumpulan padi dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup tinggi. Untuk menghindari atau mengurangi terjadinya kehilangan hasil, penumpukan dan pengumpulan setelah panen sebaiknya diletakkan di atas terpal atau karung. Tujuannya untuk antisipasi kehilangan hasil. Perontokan Perontokan merupakan tahap penanganan pascapanen setelah pemotongan, penumpukan, dan pengumpulan padi. Alat perontokan yang digunakan masyarakat desa Mangunsari menggunakan power thresher. Kelebihan mesin perontok ini adalah kapasitas kerja lebih besar dan efisiensi kerja lebih tinggi. Penggunaan power thresher dalam perontokan dapat menekan kehilangan hasil padi sekitar 3,5%. Sedangkan di desa Madugondo masih menggunakan alat perontok padi tradisional. Nama alat yang digunakan adalah gebotan. Penggebotan yang dilakukan petani dilakukan hingga 5 kali. Memerlukan jumlah anggota yang cukup banyak dalam melakukan penggebotan. Gotong-royong antar petani dapat terlihat saat perontokan padi. Kemandirian petani tanpa harus ketergantungan dengan tekhnologi yang modern. Terciptanya solidaritas dan kerjasama petani membangun kemandirian pangan. Penjemuran Penjemuran gabah hasil panen dilakukan di lantai jemur. Waktu pengeringan dilakukan pagi hari pukul 08.00-11.00 dan siang hari pukul 14.0017.00. Penjemuran gabah juga harus melakukan pembalikan setiap 1-2 jam atau 45 kali/hari dengan menggunakan garukan. Hal ini bertujuan untuk membuat gabah menjadi kering secara keseluruhan. Penjemuran gabah juga bisa menggunakan alas terpal agar memudahkan dalam pengumpulannya, terutama bila turun hujan. Penjemuran dilakukan selama 2 hari tergantung dengan cuaca dan terik matahari. Semakin cerah dan terik mataharinya cukup akan menghasilkan gabah kering giling yang ideal. Ruang penyimpanan gabah juga harus senantiasa diperhatikan. Ruang penyimpanan akan mempengaruhi kualitas gabah. Penyimpanan Penyimpanan dapat dilakukan dengan menggunakan karung plastik, dan dengan menggunakan silo yang dirancang oleh petani sesuai kebutuhan. Kesalahan dalam penyimpanan menyebabkan terjadinya respirasi, tumbuh jamur, serangga, dan kutu beras, sehingga menurunkan mutu produk.
39 Penggilingan Penggilingan yang dilakukan di desa Mangunsari masih sangat bersifat tradisional. Dengan melakukan tuton menggunakan lumpang dan alu, bertujuan untuk memanfaatkan sekam/bekatul, pemisahan gabah bertahap dan menjaga kandungan rasa beras tetap enak. Perlu melakukan tahap selanjutnya untuk mendapatkan beras yang berkualitas unggul. Pengendalian Mutu dan Pemasaran Pengendalian mutu yang dilakukan sangat mengedepankan kualitas, dimana harus menyesuaikan dengan lidah para konsumen. Tahap pengemasan juga harus tetap memisahkan dari beras yang bukan organik, menjauhkan dari pupuk kimia dan jenis varietas yang berbeda agar tidak tercipta beras curah. Syarat kualitas mutu beras SNI 01-6128-1999 mengharuskan beras bebas penyakit, bebas bau, bebas bekatul, dan bebas bahan kimia. Hasil panen dipasarkan oleh petani langsung ke konsumen. Pemasaran untuk beras organik dapat dilakukan melalui kelompok tani yang menjadi wadah pemasaran beras. Kelompok tani menjadi pemasaran bersama, lebih kuat dalam tawar menawar.
40
KARAKTERISTIK PETANI ORGANIK Umur Petani di Desa Mangunsari dan Madugondo pada umumnya adalah orang tua. Tingkat umur petani merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kemampuan fisik petani tersebut dalam mengelolah usahataninya. Pengelompokan usia responden dikategorikan menurut Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006) yang membagi usia ke dalam tiga fase, yaitu masa mula/awal dewasa (1830 tahun), masa usia pertengahan (31-55 tahun), dan masa tua (55 tahun ke atas). Data primer di lapangan berjumlah 35 responden petani mewakili dari dua desa yang menunjukkan bahwa usia responden beragam antara 30 tahun hingga 80 tahun. Pengelompokan menurut usia responden dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Karakteristik petani menurut umur Kelompok Usia (Tahun) 18-30 31-55 > 55 Total
Jumlah (jiwa) 1 25 9 35
Persentase (%) 2.86 71.43 25.71 100.00
Sumber: data primer penelitian 2013.
Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa petani yang tergolong masa usia pertengahan (31-55 tahun) sebesar 71.43 persen. Usia tersebut dapat digolongkan sebagai usia produktif. Usia produktif adalah usia ketika seseorang masih mampu bekerja dan menghasilkan sesuatu secara maksimal. Dengan usia yang produktif dapat mempengaruhi petani dalam melakukan pertanian organik secara mandiri dan tepat dengan sasaran yang diinginkan. Petani yang berusia 55 tahun ke atas berjumlah sembilan orang sebesar 25.71 persen. Hal ini menandakan adanya keinginan dari kaum petani yang berusia tua untuk tetap memelihara keberlanjutan lingkungan dan meningkatkan kesuburan tanah. Para petani organik sekaligus berkeinginan agar anak dan cucunya kelak dapat melakukan pertanian padi organik. Tetapi karena keterbatasan kemampuan dengan fisik yang mulai tua menyebabkan hanya sedikit petani organik yang menggeluti pertanian. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendidikan formal, yaitu lamanya petani mengikuti pendidikan formal berdasarkan jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi yang dinyatakan dalam tahun. Pendidikan responden dibagi menjadi tiga kategori, yaitu tingkat pendidikan rendah (tidak sekolah, tamat SD/SMP sederajat), sedang (tamat SMA sederajat), dan tinggi (D3/S1). Hasil penelitian tentang tingkat pendidikan disajikan dalam Tabel 6.
42 Tabel 6 Distribusi petani menurut tingkat pendidikan Pendidikan Jumlah (Jiwa) Tidak Sekolah 2 Tamat SD/Sederajat 11 Tamat SMP/Sederajat 15 Tamat SMA/Sederajat 5 Tamat D3 dan S1 2 Total 35
Persentase (%) 5.71 31.43 42.86 14.29 5.71 100.00
Sumber: data primer penelitian, 2013.
Tabel 6 menunjukkan bahwa mayoritas tingkat pendidikan petani masih tergolong rendah. Tingkat pendidikan tidak menjadi pengaruh bagi petani dalam menerapkan pertanian organik. Petani justru menerima ide pertanian organik tidak musti berpendidikan tinggi. Tingkat pendidikan petani tamat SMP/Sederajat berjumlah 15 orang (42.86 persen). Jumlah Anggota Keluarga Keluarga didefenisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah karena perkawinan, kelahiran, adobsi dan lain sebagainya. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah disebut keluarga batin. Jumlah anggota keluarga responden penelitian cukup bervariasi, mulai dari satu hingga enam anggota keluarga dalam satu rumah. Kepala keluarga adalah laki-laki dan mayoritas bekerja sebagai petani. Meskipun demikian, rata-rata jumlah anggota keluarga adalah tiga hingga empat orang. Keluarga petani di desa penelitian tersebut terdiri atas seorang istri, anak dan menanggung diri sendiri sebagai kepala rumah tangga yang dapat dilihat dalam Tabel 7. Tabel 7 Jumlah dan persentase petani menurut jumlah anggota keluarga Jumlah Anggota Keluarga 1-2 3-4 >4 Total
Jumlah (KK) 11 20 4 35
Persentase (%) 31.43 57.14 11.43 100.00
Sumber: data primer penelitian, 2013.
Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa jumlah tanggungan rumah tangga paling banyak berada pada kategori tiga hingga empat tanggungan yakni sebesar 57.14 persen. Jumlah tanggungan satu hingga dua orang yakni sebesar 31.43 persen, dan sisanya sebesar 11.43 persen memiliki tanggungan lebih dari empat orang. Jumlah keluarga yang besar akan berpotensi menjadi penyedia tenaga kerja khususnya di kehidupan rumah tangga petani. Anggota keluarga dimanfaatkan untuk mengelola usahatani padi dan usahatani non padi.
43 Status Penguasaan Lahan Status petani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah petani pemilik lahan, petani penggarap dan petani pemilik lahan sekaligus pelaku yang berstatus ganda. Petani pemilik lahan adalah petani yang memiliki lahan pertanian (sawah) sendiri, baik sawah yang dikelola sendiri atau dikelola oleh orang lain. Petani penggarap adalah petani yang tidak mempunyai lahan pertanian (sawah) tetapi menggarap atau mengelola sawah milik orang lain dengan sistem bagi hasil panen sebesar 50 persen. Semua biaya produksi dan sistem budidaya pertanian ditanggung oleh petani penggarap. Petani pemilik sekaligus pelaku adalah petani yang memiliki lahan sendiri dan melakukan pengolahan dan budidaya pertanian organik secara sendiri. Petani pemilik sekaligus pelaku memanfaatkan anggota keluarga untuk melaksanakan budidaya padi organik. Untuk mengetahui status petani dapat melihat penjelasan dari Tabel 8. Tabel 8 Jumlah dan persentase petani menurut status petani di Desa Mangunsari dan Desa Madugondo, tahun 2013. Status Petani Pemilik Lahan (luar desa) Penggarap Pemilik Lahan sekaligus pelaku Total
Petani Organik Desa Mangunsari Jumlah Persentase (Orang) (%) 4 26.67 3 20.00
8
53.33
15
100.00
Petani Organik Desa Madugondo Jumlah Persentase (Orang) (%) 4 20.00 4 20.00 12 60.00 20 100.00
Sumber: data primer penelitian, 2013.
Berdasarkan Tabel 8 menjelaskan bahwa sebagian besar reponden menjadi pemilik lahan sekaligus pelaku yaitu sejumlah 20 orang dari jumlah total responden penelitian yang terbagi dari dua desa penelitian. Petani yang berstatus sebagai penggarap sejumlah 7 orang petani, dan petani pemilik lahan sejumlah 8 orang. Fakta ini membuktikan bahwa petani organik di dua desa tersebut sebagian besar adalah petani pemilik lahan sekaligus pelaku yang terdapat di dua desa penelitian. Tetapi dalam memanfaatkan lahannya ada yang menggunakan jasa buruh tani. Sedangkan untuk petani berstatus sebagai pemilik lahan sekaligus pelaku akan lebih menghemat tenaga kerja karena melakukan sendiri dan dibantu oleh anggota rumah tangga. Lahan yang dimiliki sendiri bagi petani memiliki penguasaan penuh atas lahan pertanian organiknya. Luas lahan pertanian yang dimiliki masing-masing petani sangat beraneka ragam. Luas lahan yang dimiliki petani juga mempengaruhi besar kecilnya pendapatan petani dalam usaha tani untuk melihat karakteristik sosial ekonomi petani. Semakin luas lahan pertanian yang ditanami, maka hasilnya juga akan semakin melimpah karena hasil panen akan semakin banyak dengan perawatan yang intensif dan sungguh-sungguh (Tabel 9).
44 Tabel 9 Jumlah dan persentase petani menurut luas lahan Sempit Luas
Luas lahan (ha) 0.10 – 0.45 0.46 – 0.81 Total
Jumlah 32 3 35
Persentase (%) 91.43 8.57 100.00
Sumber: data primer penelitian, 2013.
Tabel 9 memperlihatkan bahwa 32 orang dengan persentase 91.43 persen mengelolah luas lahan 0.10-0.45 Ha dan 3 orang dengan persentase 8.57 persen mengolah luas lahan 0.46-0.81 Ha. Luas lahan yang sempit maupun yang luas memiliki kecenderungan untuk melakukan pertanian padi organik. Dalam hal ini terdapat perbedaan pada jumlah produksi panen padi yang dihasilkan. Pada luas lahan 0.1 – 0.45 ha menghasilkan panen ± 400-1800 kg/musim berbeda dengan jumlah rata-rata produksi pada luas lahan 0.46 – 0.81 ha akan menghasilkan panen ± 2000-3200 kg/musim. Perbedaan hasil panen dengan luas lahan padi akan mempengaruhi pendapatan petani. Perbedaan sebaran luas lahan yang dimiliki oleh petani disebabkan karena sebagian masyarakat di desa tersebut memiliki keterbatasan modal untuk memiliki lahan milik sendiri dan mahalnya harga lahan, sebagaimana yang dihaturkan oleh salah seorang petani sebagai berikut: “Saya untungnya memiliki sawah warisan dari orangrtua saya yang sekarang menjadi milik sendiri. Saya ikut bertani organik karena melihat tetangga saya yang sebagai anggota paguyuban beras tuton memperoleh penghasilan berlebih dengan melakukan pertanian organik. Selain itu, juga karena ada bantuan benih, pembelajaran dalam membuatan pupuk kandang dan pestisida alami. Prinsipnya sih mbak harus ada bukti nyata untuk para petani baru bisa beralih ke pertanian organik kalo tidak begitu yah susah, kecuali ada penyadaran dari diri sendiri untuk memikirkan warisan alam yang subur kelaknya”. (GGK, 41 tahun). Hubungan Umur Petani Padi Organik terhadap Pelatihan Pelatihan menjadi indikator penting dalam melihat pelatihan yang diikuti oleh petani untuk melakukan penerapan pertanian padi organik. Pelatihan kemudiaan dihubungkan dengan umur. Tabel berikut merupakan tabel jumlah dan persentase umur pada kategori berapa dapat menunjukkan partisipasinya dalam mengikuti pelatihan dalam melakukan pertanian padi organik. Tabel 10 Hubungan umur petani padi organik terhadap pelatihan organik. Pelatihan Umur Rendah Sedang Tinggi Ʃ % Ʃ % Ʃ % Tinggi 0 0.00 0 0.00 0 0.00 Sedang 0 0.00 0 0.00 28 80.00 Rendah 1 2.86 6 17.14 0 0.00
pertanian padi Total Ʃ 0 28 7
% 100 100 100
45
Tabel 10 diatas menjelaskan mengenai persentase dari umur terhadap pelatihan yang diikuti oleh petani padi organik. Persentase terbesar pada baris umur kategori sedang dengan pelatihan kategori tinggi yaitu 80.00 persen. Kategori tinggi apabila responden pernah mengikuti 3-4 pelatihan atau lebih dari empat kali pelatihan. Kategori sedang pada umur yaitu 31-55 tahun. Petani padi organik memiliki tingkat pelatihan yang tinggi karena petani merasakan manfaat setelah mengikuti pelatihan, yaitu berupa tambahan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan penerapan pertanian padi organik. Kegiatan pelatihan tidak hanya dapat menambah pengetahuan dan keterampilan petani melakukan pertanian padi organik, tetapi juga dapat membantu petani dalam memecahkan masalah yang dihadapi secara bersama-sama, serta memperoleh bimbingan dan saran yang berkaitan dengan pertanian padi organik dari tim pelaksana pelatihan. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan dari kedua variabel tersebut. Hubungan ini menggambarkan bahwa dengan umur yang sedang, maka pelatihan yang dilakukan pada kategori tinggi. Hubungan Umur Petani Padi Organik terhadap Penerapan Pertanian Padi Organik Umur petani di desa penelitian dikategorikan menurut Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006) yang membagi usia ke dalam tiga fase, yaitu masa mula/awal dewasa (18-30 tahun), masa usia pertengahan (31-55 tahun), dan masa tua (55 tahun ke atas). Penerapan pertanian padi organik memiliki enam tahapan, yaitu penyiapan tanah/lahan, persiapan benih/perbenihan, penanaman, pengendalian hama dan penyakit tanaman, pemeliharaan tanaman, serta panen. Hubungan antara umur petani padi terhadap penerapan pertanian padi organik di kedua desa penelitian dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Hubungan umur petani terhadap penerapan pertanian padi organik Penerapan Pertanian Organik Total Umur Rendah Sedang Tinggi Ʃ % Ʃ % Ʃ % Ʃ % Rendah 0 0.00 2 5.71 6 17.15 8 100 Sedang 1 2.86 2 5.71 18 51.43 21 100 Tinggi 2 5.71 0 0.00 4 11.43 6 100 Tabel diatas menjelaskan persentase hubungan antara umur petani terhadap penerapan pertanian organik. Berdasarkan tabel diatas, persentase terbesar terdapat pada baris umur kategori sedang dengan penerapan pertanian organik kategori tinggi yaitu sebesar 51.43 persen. Keinginan petani yang berumur 31-55 tahun dalam melakukan penerapan pertanian padi organik disesuaikan dengan tata cara bertani yang telah dipraktekkan oleh EKD (Eka Kumala Dewi) dan disesuaikan dengan pelatihan yang telah diikuti oleh petani padi organik. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara kedua hal tersebut. Hubungan ini menggambarkan bahwa dengan umur yang sedang maka penerapan pertanian organik tinggi.
46
Hubungan Luas Lahan Garapan Petani terhadap Penerapan Pertanian Padi Organik Luas lahan garapan yang dikelola oleh petani merupakan salah satu aspek yang dapat digunakan untuk melihat karakteristik sosial ekonomi seseorang. Jumlah luas lahan yang digarap oleh petani diduga mempengaruhi penerapan pertanian organik yang dilakukan oleh petani padi organik. Tabel berikut merupakan tabel jumlah dan persentase luas lahan garapan petani terhadap penerapan pertanian padi organik. Tabel 12 Hubungan luas lahan garapan petani terhadap penerapan pertanian padi organik. Kategori luas lahan garapan Penerapan pertanian organik Sempit (%) Luas (%) Tinggi 75 0 Sedang 20 0 Rendah 5 100 Jumlah 100 100 N 33 2 Tabel 12 menunjukkan bahwa luas lahan yang sempit melakukan penerapan pertanian padi organik kategori tinggi. Penerapan pertanian organik kategori tinggi menunjukkan bahwa petani memiliki pengetahuan, rasa suka, dan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menerapkan pertanian padi organik. Penerapan pertanian organik yang tinggi menunjukkan pemahaman petani yang tinggi. Petani telah memiliki keyakinan akan manfaat dari penerapan pertanian organik yang tinggi. Melakukan pertanian padi organik tidak hanya memiliki manfaat bagi tanaman saja, tetapi juga bagi diri petani dan orang-orang disekitar. Hal ini terjadi karena adanya keinginan petani yang memiliki luas lahan sempit melakukan pertanian organik secara serius dan mengikuti tata cara yang telah diperoleh selama mengikuti pelatihan. Sehingga hasil panen yang diperoleh dari luas lahan yang sempit dapat memenuhi kebutuhan hidup petani dan memenuhi kebutuhan pasar. Akan tetapi, petani yang menggarap luas lahan sempit mengharapkan agar dapat mengakses tanah pertanian padi organik luas. Pada kategori luas lahan sempit dengan penerapan pertanian organik kategori tinggi yaitu 75 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan dari kedua variabel tersebut.
47
PERAN KELOMPOK TANI DALAM SISTEM PERTANIAN PADI ORGANIK Sitem pertanian padi organik di desa Mangunsari dan Madugondo melibatkan hubungan-hubungan antara petani padi setempat yang tampak melalui pembentukan kelompok tani. Saat ini di desa Mangunsari terdapat tiga kelompok tani yaitu Kelompok tani Pambudi Lestari, Tuton dan Ngudi Rejeki. Sedangkan di desa Madugondo terdapat satu kelompok tani yaitu Rahayu Makmur. Jadi total yang menjadi anggota kelompok tani berjumlah 137 orang yang terbagi kedalam empat kelompok tani di dua desa. Tetapi yang benar-benar melakukan pertanian secara organik hanya 35 petani yaitu dari kelompok tani Rahayu Makmur dan Tuton. Peran kelompok tani pada penelitian ini ialah kemampuan kelompok untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan faktor-faktor yang menunjang kegiatan produksi melalui pengorganisasian faktor-faktor tersebut agar dapat diakses oleh petani anggotanya. Sebagai unit usaha bersama diharapkan petani yang menjadi anggota kelompok tani Tuton dan Rahayu Makmur lebih akses terhadap faktorfaktor produksi yang dapat mendukung penerapan pertanian padi organik dibandingkan dengan petani non anggota kelompok tani. Faktor produksi yang dimaksud seperti, bantuan modal untuk penerapan pertanian padi organik, pembinaan petani anggota, serta pengorganisasian kegiatan distribusi. Kegiatan ini, akan mendorong terjadinya pengembangan penerapan pertanian padi organik bagi petani anggota. Bantuan Modal Usahatani Organik Dalam mendorong petani anggota untuk dapat mengembangkan usahataninya. Kelompok tani Tuton dan Rahayu Makmur mencoba untuk memfasilitasi petani anggota agar dapat akses pada sumberdaya finansial berupa modal. Peran kelompok tani sebagai unit usaha diharapkan mampu untuk mempermudah akses anggotanya dalam mendapatkan sumberdaya finansial berupa modal, tetapi pada kenyataannya hal tersebut belum dapat dijalankan dengan optimal oleh kelompok tani Tuton dan Rahayu Makmur. Akses anggota terhadap sumberdaya finansial berupa modal segar masih sangat terbatas. Berdasarkan temuan di lapang untuk kelompok tani Tuton 78.5 persen dari seluruh responden sampai saat ini belum akses kepada modal, sedangkan 21.5 persennya sudah pernah akses pada modal. Berbeda dengan kelompok tani Rahayu Makmur 57.3 persen dari seluruh responden sampai saat ini belum akses kepada modal, sedangkan 42.7 persennya sudah pernah akses pada modal. Dari kedua kelompok tani tersebut yang terdaftar, hanya 64.5 persen saja yang sudah pernah akses terhadap modal. Besarnya modal yang dipinjamkan oleh kelompok tani Tuton dan Rahayu Makmur pun terbatas, antara Rp 200.000 hingga Rp 600.000 per anggota. Pemberiaan dana pinjaman diperoleh dari iuran petani setiap bulannya dan ditambah dari hasil bantuan pemerintah daerah kepada kelompok tani.
48 Bantuan modal diharapkan dapat mendorong petani anggota untuk mengembangkan usahataninya. Berdasarkan pengakuan pengurus, mereka telah berupaya keras agar seluruh anggota dapat akses pada modal segar. Namun sampai saat ini keinginan tersebut terganjal karena sulitnya akses kelembagaan kelompok tani ini untuk akses paada lembaga ekonomi. Tujuan awal dibentuknya kelompok tani Tuton dan Rahayu Makmur ialah untuk menggalang kekuatan bersama. Ditambah lagi mereka memiliki sistem kekerabatan pertetanggaan yang masih erat. Kegiatan gotong-royong, saling membantu dan kebersamaan masih terlihat antar sesama anggota. Seperti halnya yang dilakukan oleh kelompok tani Rahayu Makmur di desa Madugondo yaitu mengadakan pertemuan rutin satu kali sebulan pada hari Jumat Wage, tiap 35 hari/slapanan membahas musim tanam yang sesuai. Melakukan sambatan atau gotong-royong dalam olah lahan bergilir dan pemanenan. Selain melakukan penerapan pertanian padi organik, petani juga saling membantu secara bersamasama dalam membangun rumah. Para kaum wanita tani juga mengadakan arisan. Hal ini dapat dijadikan potensi untuk menghimpun kekuatan bersama melalui pengakumulasian modal bersama untuk saling membantu sesama anggota. Salah satunya seperti yang dilakukan di kedua desa tersebut dengan melakukan arisan secara kelompok. Gambar 11 Sebaran responden menurut akses mereka terhadap bantuan modal (dalam persen)
Kegiatan Pembinaan Petani Anggota Kegiatan pembinaan yang dilakukan pada desa penelitian penting untuk dilakukan, mengingat petani di kedua desa penelitian merupakan petani tradisional yang memulai mengembangkan pertanian padi organik secara serius. Kegiatan pembinaan yang dilakukan selama ini pada petani anggota kelompok tani ialah dengan mendorong petani untuk menanam tanaman palawija, hortikultura, dan tanaman keras yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Tanaman keras yang diajarkan kepada petani ialah seperti tanaman rambutan, dukuh, sengon, mangga kelapa yang difasilitasi oleh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. Hasil kegiatan pembinaan ini ternyata meningkatkan pengetahuan petani, tetapi masih hanya sebagian anggota kelompok yang melaksanakannya. Hal ini mengalami kendala karena luas lahan petani yang tidak begitu luas. Sebahagian besar yang melakukan hal ini adalah petani yang berkecukupan
49 dengan luas lahan kategori luas atau dengan memanfaatkan tanah bengkok yang dimiliki oleh pejabat desa selama menjabat sebagai aparatur desa. Gambar 12 Sebaran responden menurut peningkatan pengetahuan hasil kegiatan pembinaan (dalam persen)
Berdasarkan gambar diatas menjelaskan bahwa 31.5 persen petani anggota di desa Mangunsari dan 42.67 persen petani anggota di desa Madugondo bertambah pengetahuannya mengenai tanaman keras. Sedangkan tidak terjadi peningkatan pengetahuan di desa Mangunsari sebesar 28.33 persen dan 42.5 persen di desa Madugondo pada kedua desa tersebut. Terdapat beberapa hal yang mengakibatkan tidak terjadi penambahan pengetahuan petani anggota yaitu karena faktor usia, lahan yang dimiliki masih tergolong sempit dan kurangnya akses modal serta ketidakhadirannya dalam kegiatan tersebut. Sedangkan terjadi peningkatan pengetahuan bukan dari kelompok tani hanya sebagai keahlian yang telah mereka miliki secara turun-temurun, seperti cara menanam singkong, jagung dan kacang-kacangan. Pengorganisasian Kegiatan Distribusi Peran kelompok tani sebagai suatu unit usaha bersama yang mandiri tidak saja ditunjukkan dengan akses terhadap faktor produksi juga ditentukan oleh akses terhadap jaringan distribusi atau pemasaran. Peningkatan kemampuan untuk menjangkau pasar (konsumen) secara langsung akan makin memperbesar nilai tambah yang diperoleh. Sebaliknya, makin panjangnya mata rantai pemasaran akan makin mempermahal harga yang dibayar konsumen dan memperkecil keuntungan produsen yaitu petani. Kondisi di mana petani tidak dapat menjangkau pasar (konsumen) secara langsung merupakan fenomena umum yang dijumpai pada usaha pertanian di desa Mangunsari dan di pedesaan Indonesia pada umumnya. Tetapi berbeda di desa Madugondo, petani lebih leluasa memasarkan hasil panen mereka kepada siapapun, namun mengalami kesulitan karena harus mengeluarkan biaya transportasi.
50 Padahal tingkat permintaan masyarakat terhadap komoditi hasil-hasil pertanian khususnya beras tergolong tinggi. Hal ini sesuai karakteristik produk yang merupakan kebutuhan dasar, sehingga keberadaan area pasar tidak terlalu bermasalah. Kebutuhan petani oleh karenanya adalah berupa akses pasar yang memungkinkan bagi mereka untuk keluar dari sistem pemasaran yang dikendalikan oleh tengkulak. Keberadaan kelompok tani diharapkan dapat membantu petani anggotanya dalam mengakses sistem pemasaran yang lebih menguntungkan, salah satunya dengan mendirikan koperasi atau badan penyaluran pemasaran lainnya. Kelompok tani Tuton dan Rahayu Makmur sampai saat ini belum membentuk koperasi atau badan penyaluran pemasaran hasil produksi pertanian anggotanya. Tetapi kelompok tani Tuton dan Rahayu Makmur sudah memiliki konsumen tetap sebagai pelanggan beras organik yang dihasilkan oleh petani. Gambar 13 Rantai distribusi beras organik yang dilakukan di tempat penelitian.
Petani
Kelompok tani
Konsumen
Gambar diatas menunjukkan adanya hubungan yang dilakukan antara petani dengan kelompok tani serta kelompok tani dengan konsumen. Petani menjual hasil panennya berupa beras pada kelompok tani seharga Rp 15.000,-. Tetapi kelompok tani menjual beras organik yang telah di kemas kepada konsumen dengan harga Rp 25.000,-. Keuntungan yang diperoleh oleh penyalur melalui kelompok tani menjadi milik penyalur. Petani masih terus bergabung dengan kelompok tani karena memperoleh bantuan sarana produksi pertanian berupa pupuk kompos dan pestisida nabati yang dibantu oleh EKD. Selain itu, petani juga merasa lebih terbantu dalam menyalurkan beras hasil panen karena telah memiliki konsumen yang pasti. Kegiatan distribusi oleh kelompok tani dalam menyalurkan hasil produksi pertanian anggota belum optimal namun telah menunjukkan kemajuan kearah yang lebih baik. Dimana adanya demplot pupuk kompos, ternak kambing, dan kerbau untuk membajak sawah dapat dimanfaatkan oleh petani anggota kelompok dalam penerapan pertanian padi organik. Pengorganisasian kegiatan distribusi oleh kelompok tani di dua desa tersebut dalam menyalurkan hasil produksi pertanian anggota belum optimal namun telah menunjukkan kemajuan kearah yang lebih baik. Persentase petani anggota kelompok tani Tuton yang telah bersama-sama menjual hasil produksi pertaniannya melalui kelompok sebesar 73.43 persen, sedangkan kelompok tani Rahayu Makmur sebesar 46.82 persen. Namun hal ini dirasakan sangat bermanfaat bagi mereka, karena keuntungan yang mereka dapat jauh lebih baik apabila melalui saluran pemasaran kelompok. Salah satunya karena biaya transfortasi yang lebih murah karena dapat ditanggung secara bersama.
51 Gambar 14 Sebaran responden menurut pemilihan saluran pemasaran hasil produksi pertanian
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa adanya peranan kelompok tani dalam distribusi hasil produksi pertanian. Selain adanya keikutsertaan kelompok tani untuk distribusi panen, petani juga diberikan kesempatan dan kebebasan untuk menjual hasil panennya ke pasar secara mandiri.
52
53
EKONOMI PERTANIAN PADI ORGANIK Penggunaan Hasil Panen Hasil panen petani yang telah diperoleh dalam bentuk gabah basah dijemur menjadi gabah kering dan proses terakhir adalah penggilingan menjadi beras. Kegiatan menjemur hasil panen juga dilakukan secara gotong-royong dan pemanfaatan hasil panen tersebut dapat digunakan untuk konsumsi keluarga, dijual atau keduanya (dikonsumsi dan dijual). Petani yang menggunakan hasil panen untuk konsumsi keluarganya sendiri belum tentu menjual hasil panennya kepada konsumen atau pasar. Sebaliknya, petani yang menjual hasil panennya kepada konsumen atau pasar sudah pasti menyisakan sebagian hasil panennya untuk dikonsumsi keluarga sendiri. Jumlah responden yang menggunakan hasil panennya hanya untuk konsumsi keluarga adalah 10 responden sebesar 28.57 persen dari jumlah total responden penelitian. Sedangkan untuk konsumsi keluarga dan dijual lebih banyak mencapai 25 responden atau 71.43 persen. Data ini dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Jumlah dan persentase petani menurut penggunaan hasil panen dalam satu musim tanam Penggunaan Hasil Panen Jumlah (Orang) Persentase (%) Konsumsi Keluarga 10 28.57 Konsumsi keluarga dan Dijual 25 71.43 Total 35 100.00 Sumber: data primer penelitian, 2013.
Permintaan dan Akses Pasar Harga premium merupakan salah satu daya tarik bagi petani untuk mengimplementasikan pertanian organik. Untuk mendapatkan harga premium tersebut dibutuhkan kualitas yang baik secara konsisten dan berkelanjutan. Dukungan terhadap aspek pasar dan pemasaran sangatlah diperlukan oleh petani. Hal ini bertujuan untuk peningkatan nilai tambah ekonomi (marjin keuntungan) yang didapat oleh petani, sehingga pendapatan keluarga petani bisa meningkat. Selain itu diharapkan petani akan mampu secara bertahap melakukan peningkatan mutu hasil panen dan mengurangi kehilangan akibat panen. Pengertian aspek pasar dalam penelitian ini adalah kemampuan dari para petani dalam memasarkan atau menjual produk pertaniannya kepada konsumen/pembeli melalui berbagai macam saluran distribusi yang bisa dijangkau oleh petani sendiri dengan ketentuan harga jual produk dari petani. Dengan demikian, akses pasar suatu sistem usahatani bisa dikatakan tinggi jika semakin banyak peluang pasar dan saluran distribusi yang dapat dijangkau oleh petani. Selain itu, petani juga merasa leluasa dengan menjual produknya kepada siapa saja, di mana saja dengan posisi tawar yang lebih tinggi. Sebaliknya, akses pasar dikatakan rendah jika petani menghadapi keterbatasan peluang pasar dan saluran distribusi atas produk pertanian mereka serta tidak memiliki posisi tawar yang
54 tinggi atas produk pertanian mereka di hadapan konsumen sehingga petani tidak berdaya. Akses pasar usahatani padi organik menurut pengakuan semua responden penelitian baik di desa Mangunsari dan desa Madugondo lebih tinggi daripada akses pasar usahatani konvensional karena para petani memiliki lebih banyak saluran distribusi untuk memasarkan produk-produk mereka berupa padi organik. Setelah melakukan sistem pertanian organik yang juga disesuaikan dengan tren zaman sekarang ini, petani merasa mudah untuk memasarkannya. Produk-produk pertanian padi organik dapat dijual secara langsung kepada konsumen dengan harga premium atau sesuai dengan standar harga dari petani. Selain itu, petani yang berada di desa Mangunsari menjual padi organik dalam bentuk gabah kering ke Kelompok Beras Tuton dengan harga lebih tinggi daripada padi non organik. Saluran distribusi lainnya yang dijembatani oleh Kelompok Beras Tuton tersebar di beberapa daerah, seperti: Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Salatiga, Kendal, Boyolali, dan Jogyakarta. Sedangkan petani yang berada di desa Madugondo bekerjasama dengan kelompok tani dan gapoktan di desa yang berbeda, yaitu gapoktan ngudi raharjo di desa Mbanjar Agung, gapoktan rukun tani di desa Bambu Sari, gapoktan Sido Makmur di desa Sawangargo dan non-kelompok tani dalam gabungan kelompok belajar pertanian organik di Joglo Lestantun Jogyakarta. Beras organik hasil petani disalurkan ke kota-kota di Jawa Tengah, seperti: Klaten, Kendal, Semarang dan Jogyakarta. Adapun data kebutuhan pengiriman beras dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel pada lampiran 1 menunjukkan bahwa jenis varietas yang menjadi unggulan dan paling banyak diminati konsumen adalah padi varietas mentik wangi susu. Dimana jumlah permintaan secara keseluruhan untuk varietas tersebut sebanyak 21.325 kg/bulan. Alasan konsumen untuk memilih jenis varietas mentik wangi susu karena memiliki rasa yang lebih pulen, enak, dan wangi. Jenis ini juga sangat membantu petani dalam meningkatkan penghasilan rumah tangga petani. Harga beras jenis varietas mentik wangi susu yaitu sebesar Rp 15.000/kg. Urutan kedua yang digemari oleh konsumen adalah varietas beras merah, umumnya yang menyukai jenis beras merah adalah kaum ibu yang memiliki anak bayi dan untuk menurunkan kolestrol. Cara pengolahan keempat varietas tersebut dilakukan secara alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetik. Memanfaatkan kekayaan alam dan bahan-bahan organik. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas dan rasa beras organik. Pendapatan dan Keuntungan Bertani Padi Organik Jika dilihat dari tingkat pendapatan yang diperoleh petani padi organik dapat disimpulakan bahwa peningkatan kesejahteraan yang terjadi belum cukup signifikan. Dari segi pendapatan, nilai yang didapat petani masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adapun posisi petani pemilik lahan sedikit lebih baik daripada petani penggarap karena untuk luasan lahan yang sama, tingkat pendapatan petani pemilik lahan relatif lebih tinggi daripada petani penggarap. Untuk petani penggarap dengan penguasaan lahan yang sempit dan dengan adanya kewajiban menyetor bagi hasil ke pemilik lahan, maka dampak usaha pertanian organik terhadap peningkatan kesejahteraan penggarap dinilai
55 tidak cukup signifikan. Untuk mengetahui perbandingan input dan output usahatani organik dan konvensional dapat melihat Tabel 14. Tabel 14 Perbandingan input dan output usahatani konvensional dan organik per 0.1 Ha per musim. Input dan Output Konvensional Organik Jenis Biaya Jenis Biaya Bibit IR 64 (3 kg) Rp 18.000 Menthik wangi Rp 24.000 susu (3 kg) Pupuk Urea (5 kg) Rp 10.000 Pupuk kandang Rp 87.500 (500 kg)
Pestisida
HOK
TSP (5 kg) Ponska (10 kg) KCL (5 kg) NPK (15 kg) Matador, Hamador dan lain-lain ( 4 botol) Perbaikan pematang (4 orang) Olah lahan (4 orang) Penyebaran pupuk (2 orang)
Rp 18.000 Rp 60.000 Rp 20.000 Rp 60.000 Rp 25.000
Pupuk organik Rp 20.000 cair (4 botol)
Nabati (4 botol)
Rp 20.000
Rp 100.000
Perbaikan pematang (2 orang) Olah lahan (4 orang) Penyebaran pupuk kompos (2 orang) Penanaman (5 orang) Penyiangan & penyemprotan pupuk organik cair (2 orang) Pengendalian & pestisida nabati (2 orang)
Rp 50.000
Rp 100.000 Rp 50.000
Penanaman (10 Rp 100.000 orang) Penyemprotan Rp 100.000 pestisida kimia (4 orang) Pengendalian hama (3 orang)
Rp 75.000
Total Biaya Rp 736.000 Input Produksi Nilai Pasar Gabah kering Rp 2.250.000 giling (500 kg) Total penerimaan petani
Rp 1.514.000
Keterangan: keuntungan = Nilai pasar – total biaya produksi. Sumber: data primer penelitian diolah, 2013.
Rp 100.000 Rp 50.000
Rp 50.000 Rp 50.000
Rp 50.000
Rp 501.500 Gabah kering Rp 3.500.000 giling (500 kg) Rp 2.998.500
56 Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa biaya penggunaan rata-rata bibit padi per 0.1 ha per musim pada usahatani organik lebih besar daripada usahatani konvensional. Biaya penggunaan bibit padi pada usahatani organik mencapai Rp 24.000,00 sedangkan usahatani konvensional menghabiskan biaya untuk bibit padi hanya sebesar Rp 18.000,00. Lebih tingginya biaya penggunaan bibit padi pada usahatani organik disebabkan oleh harga bibit padi varietas lokal yang lebih mahal, yaitu Rp 8.000,00 per kg daripada harga bibit padi varietas hibrida seperti IR64, yang hanya Rp 6.00,00 per kg. Pertanian organik mewajibkan penggunaan bibit padi varietas lokal. Tetapi hal ini dapat diminimalisir oleh petani dengan menciptakan bibit lokal secara mandiri. Penerimaan usahatani per 0.1 ha per musim menunjukkan perbedaan yang cukup besar antara pertanian organik dan konvensional. Penerimaan usahatani organik yang merupakan keuntungan petani mencapai Rp 2.998.500,00 untuk satu musim tanam dengan luas 1000 m², sedangkan usahatani konvensional menghasilkan penerimaan/keuntungan sebesar Rp 1.514.000,00 per musim tanam. Lebih besarnya penerimaan usahatani organik dibandingkan konvensional disebabkan oleh harga jual produk pertanian organik yang lebih tinggi daripada produk pertanian konvensional. Harga gabah kering giling (GKG) usahatani organik sebesar Rp 7.000,00 per kg. Harga beras usahatani organik sebesar Rp 15.000,00 per kg dengan jaminan pasar yang disediakan oleh kelompok tani dan dibantu oleh Koperasi Unit Desa. Sedangkan untuk harga gabah kering giling (GKG) usahatani konvensional sebesar Rp 4.500,00 per kg. Harga beras konvensional sebesar Rp 7.000,00 per kg. Adanya trend masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sehat dan berkualitas mengakibatkan harga beras organik lebih mahal. Kalangan ekonomi menengah keatas yang menjadi konsumen terbanyak dalam pemesanan beras organik. Hal ini dapat membantu petani untuk memperoleh pendapatan lebih dalam melakukan kegiatan pertanian. Pola Nafkah Rumah Tangga Petani Terkait dengan kepemilikan lahan petani yang sempit pada pertanian padi organik berdampak pada rendahnya pendapatan petani padi skala kecil. Hal inilah yang memaksa petani harus mencari alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seiring dengan perekonomian yang semakin tinggi, masyarakat di Desa Mangunsari dan Desa Madugondo mencari alternatif lain dalam mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup. Selain dari hasil pertanian padi organik, masyarakat juga ada yang memanfaatkan lahannya untuk membuka usaha non-pertanian. Lahan yang dibuka untuk usaha non-pertanian antara lain untuk membuka warung, kios, bengkel, dan usaha lainnya. Terdapat juga petani memanfaatkan air yang mengalir sepanjang tahun untuk membuat pembibitan ikan air tawar. Hasil dari usaha non-pertanian ini dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari (Tabel 15).
57 Tabel 15 Jumlah dan persentase petani menurut pekerjaan sampingan. Jenis Pekerjaan Sampingan Jumlah (Orang) Persentase (%) Hanya Bertani tidak ada sampingan 5 14.28 Peternak 10 28.57 Pembibit ikan 8 22.87 Pedagang 3 8.57 Tukang Ojek 2 5.71 Tukang Kayu 3 8.57 Tukang Rias Pengantin 1 2.86 Karyawan Pesantren 1 2.86 Karyawan Pabrik 2 5.71 Total 35 100.00 Sumber: data primer penelitian, 2013.
Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa sebagian besar petani yaitu 10 responden petani atau 28.57 persen memilih menjadi peternak untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Selain itu, petani sebanyak 8 orang atau sebesar 22.87 persen memilih untuk membudidayakan ikan air tawar. Dengan memanfaatkan air yang mengalir sepanjang tahun dapat menambah penghasilan sebagian petani di desa penelitian. Jenis Tanaman yang Dibudidayakan Selain Padi Semua petani yang menjadi responden penelitian di desa membudidayakan padi sebagai produk utama pertanian di desa penelitian. Tetapi, ada beberapa petani yang membudidayakan jenis tanaman lain selain padi. Jenis tanaman tersebut biasanya dijadikan tanaman tumpangsari, pagar tanaman dan tanaman tahunan yang ditanam di lahan-lahan kering atau pada musim kemarau tiba. Hal ini dilakukan dalam kurun waktu dua tahun sekali yang bertujuan untuk menjaga kesuburan tanah dan mengantisipasi perkembangan hama. Rotasi tanaman yang biasa dilakukan petani dengan menanam jenis tanaman seperti tanaman palawija, sayuran, cabe, bawang merah, dan kacang panjang. Jadi, para petani dapat menikmati hasil panen selain padi jika melakukan rotasi tanaman dan tumpangsari di lahan padi dapat melihat Tabel 16. Tabel 16 Responden menurut jenis tanaman yang dibudidayakan selain padi Jenis Tanaman Budidaya Selain Padi Jumlah (Orang) Persentase (%) Tidak Ada 16 45.71 Palawija (ubi, singkong, jagung) 2 5.72 Sayuran 12 34.28 Cabe 3 8.57 Bawang Merah dan Kacang Panjang 2 5.72 Total 35 100.00 Sumber: data primer penelitian, 2013.
Tabel 16 tersebut dapat menjelaskan bahwa jumlah responden yang tidak menanam tanaman budidaya selain padi di lahan mereka, yaitu sebanyak 16 orang atau 45.71 persen dari jumlah total responden penelitian. Hanya 19 orang
58 responden dari 35 orang responden penelitian yang membudidayakan jenis tanaman selain padi. Jenis tanaman yang paling banyak dibudidayakan petani adalah jenis sayuran di daerah desa Madugondo dengan keadaan daerah dataran tinggi dan memiliki suhu yang sesuai untuk menanam tanaman sayuran. Ada 12 orang atau 34.28 persen menanam tanaman sayuran. Selain menanam tanaman sayuran, petani juga menanam cabe dengan persentase 8.57 persen dan petani yang memiliki persentase yang berimbang dalam menanam tanaman palawija (ubi, singkong, jagung), bawang merah dan kacang panjang mencapai 5.72 persen. Hasil panen akan dijual ke pasar untuk menambah penghasilan petani. Serta ada juga yang dikonsumsi sendiri yang bertujuan menghemat pengeluaran untuk kebutuhan pangan sehari-hari.
59
FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT DAN MENDUKUNG PERTANIAN ORGANIK Faktor-Faktor Yang Mendukung
1. 2. 3. 4.
Beranjak dari dampak negatif itulah, maka petani mulai menyadari bahwa pola berproduksi yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap bahan-bahan kimia yang merusak kesuburan lahan, tidak lagi bisa dipertahankan. Kesadaran ini diimplementasikan dengan mulai diterapkannya pemakaian bahan-bahan organik yang banyak ditemukan dilingkungan sekitar untuk secara bertahap menggantikan ketergantungan kepada bahan-bahan kimia. Pembuatan bahan-bahan organik untuk pupuk ini pada awalnya difasilitasi oleh EKD (Eka Kumala Dewi), baik dalam bentuk pelatihan, penyediaan bahan baku, maupun tenaga ahli. Selanjutnya kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan pupuk organik ini difasilitasi oleh ketua kelompok tani Beras Tuton yang sudah memiliki kemampuan untuk membuat dan menggunakan pupuk organik. Untuk meningkatkan kemampuan petani dalam menerapkan PHT di lahannya, EKD memfasilitasi beberapa kegiatan seperti: berbagi pengalaman tentang pengembangan PHT dengan pihak terkait, pelatihan pembuatan pupuk dan pestisida alami, penanaman tanaman pestisida alami, dan sekolah lapang. Kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam kaitannya dengan mengembangkan pertanian organik. Dengan mengoptimalkan potensi lokal merupakan esensi/hakekat dari sistem pertanian organik menjadikan biaya produksi dapat ditekan, dikurangi, implikasinya keuntungan petani semakin bertambah. Selain itu secara psikologis mampu mendorong petani untuk kreatif dan inovatif, dan hal ini merupakan suatu modal untuk mengembangkan sumber daya manusia menuju petani yang mandiri. Sejumlah keuntungan yang sekaligus faktor yang mendukung bagi petani di desa penelitian dalam mengembangkan sistem pertanian organik adalah sebagai berikut: Kesadaran petani untuk menjaga produktivitas lahan pertanian dalam jangka panjang, serta memelihara kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Petani dapat menghasilkan sumber makanan yang sehat, aman dan cukup gizi sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat. Dapat menekan biaya produksi yang terlalu tinggi, sehingga petani dapat melakukan penghematan. Terwujudnya kemandirian petani, dimana sudah tidak tergantung pada pabrik dan pupuk kimia. Faktor-Faktor Yang Menghambat
Sampai saat ini pengembangan sistem pertanian organik masih jauh dari apa yang diharapkan, banyak tantangan dan hambatan yang merupakan faktor penghambat, antara lain: 1. Minimnya pengetahuan petani di desa penelitian tentang pertanian organik. Pengetahuan petani akan pertanian organik yang belum memadai menjadi salah satu hambatan dalam mengembangkan sistem ini. Bagaimana petani bisa melakukan pertanian yang ramah lingkungan, kalau mereka belum memahami
60
2.
3.
4.
5.
kenapa pertanian organik perlu dikembangkan dan manfaatnya seperti apa. Disamping itu juga belum ada keyakinan didalam diri petani, akan manfaat dan keuntungan apabila mereka melakukan budidaya tanaman secara organik. Hal ini disebabkan karena sebagian petani terbiasa menggunakan pupuk kimia sintetik yang akan memberikan respon cepat pada tanaman. Seperti misalnya pemupukan Urea akan menghasilkan tanaman yang pertumbuhannya cepat, sementara dengan pemupukan organik pengaruh perubahan pertumbuhan tanaman tergolong lambat. Baru pada musim ketiga dan seterusnya, efek pupuk organik tersebut menunjukkan hasil yang nyata perbedaannya dengan pertanian non organik. Sehingga dapat disimpulkan sesuai hasil wawancara dari tempat penelitian bahwa pertanian organik di tahun-tahun awal akan mengalami banyak kendala dan membutuhkan modal yang cukup untuk bertahan. Penyediaan pupuk organik Pertanian organik lebih mengutamakan pemanfaatan sumber daya alam yang ada disekitar kita dan salah satunya adalah penggunaan pupuk organik sebagai sumber hara utama. Dalam sistem pertanian organik, ketersediaan hara bagi tanaman harus berasal dari pupuk organik. Perlu diketahui bersama bahwa dalam pupuk organik tersebut kandungan hara yang tersedia jauh dibawah hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik, seperti Urea, TSP, KCl. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan tanaman cukup membuat petani kebingungan, karena kebutuhan pupuk organik yang cukup banyak. Pada desa penelitian umumnya petani bukan petani yang memiliki lahan dan ternak sekaligus, sehingga mereka mesti membeli dari sumber lainnya dan ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi disamping tenaga yang lebih besar. Tidak seimbangnya jumlah ternak yang menghasilkan pupuk kandang dengan luasan lahan yang memerlukannya, juga menjadi salah satu hambatan pengembangan pertanian organik. Teknologi pendukung Setelah masalah penyediaan pupuk organik, masalah utama yang lain yang ditemukan di tempat penelitian adalah teknologi budidaya pertanian organik itu sendiri. Teknik bercocok tanam yang benar seperti pemilihan rotasi tanaman dengan mempertimbangkan ketersediaan unsur hara yang ada dalam tanah dan pemutusan siklus hidup hama perlu diketahui. Berbeda dengan keadaan dilapang masih kurangnya pendampingan dan sekolah lapang yang diadakan BP2K dan EKD. Selain itu teknologi pencegahan hama dan penyakit juga sangat diperlukan, utamanya dengan teknik budidaya tanaman yang sehat dan pemanfaatan biopestisida. Pola tanam yang terus-menerus dengan satu jenis tanaman saja dapat menyebabkan kerawanan yang tinggi terhadap peledakan hama dan penyakit, sehingga penggunaan bahan-bahan alami cenderung kurang ampuh. Belum tersedianya pusat informasi dalam pengembangan pertanian organik di desa penelitian. Selama ini pengetahuan dan pengalaman petani di desa penelitian dalam pengembangan pertanian padi organik sudah cukup banyak, tetapi masih belum terdokumentasikan dengan baik. Kalaupun sudah ada yang terdokumentasikan, belum ada media yang bisa digunakan agar orang lain mengakses pengalaman tersebut. Artinya keberadaan lembaga yang bisa memberikan informasi terkait dengan perkembangan pertanian organik sangat dibutuhkan. Sedangkan pada lembaga yang ada di desa penelitian belum membuat rancangan seperti itu. Pemasaran
61 Pemasaran produk pertanian yang sehat sampai saat ini masih hanya sebatas pada kalangan menengah ke atas yang sudah memahami akan arti penting dari kesehatan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri agar arti dari sehat dari makanan yang dikonsumsi juga menjadi ideologi semua lapisan masyarakat. Karena apabila ini bisa terwujud maka secara langsung akan berpengaruh terhadap pasar dari pengembangan pertanian organik. Pemasaran di desa penelitian sudah memiliki pasar yang jelas penyaluran produknya. Tetapi untuk pemasaran ke supermarket dan pasar swalayan masih belum memiliki kesempatan karena belum adanya sertifikat untuk hasil panennya. Harga yang begitu tinggi menyebabkan pemasaran sedikit mengalami kesusahan untuk kalangan menengah kebawah. 6. Menghadapi persaingan dengan kepentingan lain untuk mendapatkan sisa pertanaman dan limbah organik Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menjaga kesuburan lahan adalah dengan mengembalikan sisa pertanaman ke dalam tanah, karena sisa tanaman akan terurai dan akan menjadi bahan organik yang bermanfaat bagi tanaman. Tetapi saat ini sisa pertanaman juga banyak dimanfaatkan untuk makanan ternak, hal ini disebabkan ketersediaan pakan ternak yang terbatas utamanya pada saat musim kemarau. Adanya perbedaan kepentingan dalam pemanfaatan sisa tanaman dimana satu sisi petani ingin menjaga kesuburan lahan dengan mengembalikan sisa tanaman ke lahan. 7. Dukungan pemerintah daerah yang minim Selain itu tantangan ke depan dalam pengembangan pertanian organik adalah minimnya dukungan pemerintah daerah terhadap sistem pertanian yang tetap menjaga keseimbangan alam. Hal ini terlihat dari tidak adanya kebijakan nasional dan daerah setempat yang mendukung pertanian organik khususnya di Indonesia. Indonesia belum memiliki strategi nasional pertanian organik yang sistematis dan integrasi yang bisa menjadi arahan bagi pengembangan pertanian di Indonesia. Pada desa penelitian, pemerintah daerah juga masih kurang dalam mengalokasikan dana untuk pengembangan pertanian organik. Petani lebih bersifat mandiri dan individual untuk modal pelaksanaan pertanian organik. Tidak adanya kebijakan tentang teknologi yang mengarah kepada sistem pertanian organik, serta untuk terwujudnya pasar, sebagai bagian dari pengembangan pertanian organik, perlu kerjasama semua pihak, mulai dari sisi produksi, pemasaran hingga kebijakan. Dan hal ini harus dilakukan secara sistematis, terpadu dan tidak instan. 8. Minimnya penelitian yang dilakukan oleh pihak akademisi dan lembaga penelitian ilmu pengetahuan di desa terkait pengembangan pertanian organik. Untuk itu diperlukan penelitian mendalam terhadap sistem pertanian organik ini. Seperti yang ditemukan di tempat penelitian dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman secara alami merupakan hal terberat dalam sistem pertanian. Kegagalan panen merupakan ancaman besar buat petani, sehingga sangat dibutuhkan riset tentang bahan alami yang mengandung bahan insektisida dan penerapannya dalam pertanian. Pengetahuan akan keuntungan yang diperoleh oleh para petani dapat dilakukan riset lebih lanjut yang secara rinci untuk mengetahui keuntungan petani dalam satu musim tanam.
62
63
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mayoritas petani tergolong masa usia pertengahan (31-55 tahun), berpendidikan formal rendah/SMP (yang sederajat), memiliki jumlah anggota keluarga 3-4 orang, memiliki pengalaman berusahatani padi organik yang cukup lama yaitu lebih dari 10 tahun, memiliki luas lahan usahatani padi organik sempit (0.10-0.45 Ha). 2. Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa tidak dapat melakukan sistem pertanian padi organik hanya di lahan sendiri dengan dikelilingi oleh lahan yang bukan organik, karena akan mempengaruhi pengolahan sawah dan menimbulkan perkembangan hama. 3. Keikutsertaan petani dalam kelompok tani akan mempengaruhi petani untuk melakukan pertanian padi secara organik. Karena dengan memiliki dan ikut menjadi anggota kelompok tani akan terbantu dalam mengolah lahan, penyediaan pupuk dan pemasaran beras organik. Dilihat dari hasil penelitian adanya kelembagaan untuk pengaturan input dan output yang dilakukan petani di desa penelitian. 4. Tingkat pendapatan petani organik lebih besar daripada petani konvensional. Dilihat dari harga beras organik yang diperoleh sangat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari petani, dengan harga Rp 15.000/ kg beras menjadikan perbedaan harga beras organik memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras yang biasa (non-organik). Hal ini menyebabkan petani di Desa Mangunsari dan Madugondo beralih untuk bercocok tanam secara organik disesuaikan dengan harga pasar. Titik aman petani untuk memproduksi beras adalah jika mampu menghasilkan 4 kuintal dalam luasan 1000m² atau 0.1 Ha. 5. Faktor-faktor yang mendukung petani melakukan pertanian padi organik adalah meningkatkan dan menjaga produktivitas lahan pertanian dalam jangka panjang, serta memelihara kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Menghasilkan makanan yang sehat, aman dan cukup gizi sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat. Dapat menekan biaya produksi yang terlalu tinggi, sehingga petani dapat melakukan penghematan. Terwujudnya kemandirian petani, dimana sudah tidak tergantung pada pabrik dan pupuk kimia. Sedangkan untuk faktor-faktor yang menghambat petani melakukan pertanian padi organik adalah minimnya pengetahuan petani dalam melakukan pertanian organik, tidak seimbangnya jumlah ternak yang dimiliki petani, belum adanya teknologi pencegahan hama dan penyakit yang bersifat pasti untuk digunakan petani, pemasaran yang belum bisa mencapai ke supermarket dan pasar swalayan karena produk beras organik yang diproduksi petani belum memperoleh sertifikat, dukungan pemerintah daerah yang rendah, dan kurangnya riset yang mengarah kepada pengembangan pertanian organik khususnya analisis ekonomi pertanian organik.
64
Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan masukan atau saran diantaranya sebagai berikut: 1. Perlu adanya bantuan dari pihak pemerintah daerah setempat berupa alat pengangkutan/angkutan pupuk kompos (kotoran hewan) dan limbah hasil ternak agar memunculkan minat petani beralih ke pertanian organik. Selain itu pemerintah juga harus melibatkan petani dalam andil penentuan harga hasil panen dan transparansi harga hasil pertanian padi organik. 2. Perlu adanya bantuan pemberian ternak kepada petani melalui kelompok tani untuk mendukung pemenuhan pupuk kompos dalam penerapan pertanian padi organik. 3. Perlu adanya bimbingan dan penyuluhan melalui kolaborasi melalui BP2KP dan LSM lokal kepada petani terkait budidaya dan usaha pertanian padi organik untuk meningkatkan nilai ekonomi bagi masyarakat petani. 4. Sikap jujur dari petani dalam hal pemasaran hasil padi organik kepada konsumen perlu ditingkatkan agar minat konsumen untuk membeli produk beras organik tetap terjaga.
65
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik.2007. Pertanian dan pertambangan tanaman pangan [internet]. [diunduh 2013 Agustus 21]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3. Effendi TN, Tukiran, Sucipto HP. 1989. Pengolahan Data. Di dalam: Singarimbun M, Effendi S, editor. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Perencanaan Ekonomi dan Sosial (LP3S). Ho, Maewan dan Ching, Lim Li. Gerakan Menuju Dunia Berkelanjutan Bebas dari Rekayasa Genetik. 2006. n.p: Independent Science Panel. Indriana H.2010. Kelembagaan berkelanjutan dalam pertanian organik (studi kasus komunitas petani padi sawah, Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. IFOAM 2006. Organic Agriculture Worldwide Directory of IFOAM Member Organizations and Associates. Jerman: IFOAM. Mugniesyah SS. 2006. Modul Pendidikan Orang Dewasa. Departemen SKPM, FEMA. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Prayoga A. 2010. Produktivitas dan Efisiensi Teknis Usahatani Padi Organik Lahan Sawah. Jurnal Agro Ekonomi. 28(1):1-19. Radandima N. 2003. Perubahan kelembagaan pertanian di kawasan irigasi kambaniru (studi kasus di desa Mauliru, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur) [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Reintjes C, Haverkort B, Bayer AW. 1999. Pertanian Masa Depan: Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah. Yogyakarta (ID): Kanisius. Sarwono J. 2009. Statistik Itu Mudah: Panduan Lengkap Untuk Belajar Komputasi Statistik Menggunakan SPSS 16. Yogyakarta: Andi Offset. Sulaeman D. 2008. Mengenal sistem pangan organik Indonesia. [internet]. [diunduh 2013 Juni 17]. Tersedia pada: http://agribisnis.deptan.go.id. Susanto 2005. Membangun Karakter Petani Organik Sukses Dalam Era Globalisasi. Yogyakarta (ID): Kanisius. Suhirmanto 2003. Perubahan preferensi ekonomi dan dampaknya terhadap stratifikasi masyarakat (studi kasus perubahan sosial di komunitas Tengger) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Salikin KA. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta (ID): Kanisius. Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik: Pemasyarakatan & Pengembangannya. Yogyakarta (ID): Kanisius. Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): LP3ES. Widiarta A. 2011. Analisis keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan Petani (studi kasus: Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wiradi G. 2008. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Dalam: Tjondronegoro. Edisi Revisi. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Wangsit St, Daniel S. 2003. Belajar dari petani: Kumpulan Pengalaman Bertani organik. Yogyakarta (ID): SPTN-HPS-Lesman-Mitra Tani.
66
67
LAMPIRAN Lampiran 1 Data kebutuhan pengiriman beras. No. 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Nama Pelanggan
Varietas
Mentik wangi susu Beras merah Beras merah Pak Slamet (Bandung) Beras hitam Bu Vien Suseno (Bogor) Mentik wangi susu Mentik wangi susu Beras merah KRKP (Bogor) Beras hitam Pandan wangi Mentik wangi susu Bu Anna (Bekasi) Beras merah Pak Rahayu Slamet Mentik wangi susu (Jogyakarta) Beras hitam Kukuh Haryadi (Jakarta) Mentik wangi susu Beras merah PIB (Bogor) Mentik wangi susu Pandan wangi Mentik wangi susu Bu atik (Bandung) Pandan wangi Beras hitam Mentik wangi susu Amirul (Jogyakarta) Beras merah Beras merah ELSPPAT Beras hitam Mentik wangi susu Beras merah Mbak Enjang (Bandung) Mentik wangi susu Pandan wangi Handoyo (Bandung) Mentik wangi susu Mentik wangi susu LSKBB (Jogyakarta) Beras Merah SPTN HPS (Jogyakarta) Mentik wangi susu Beras merah Beras hitam Am-Soleh (Jakarta) Mentik wangi susu Beras merah Ismaryani (Bogor) Mentik wangi susu Beras merah Bina Desa (Jakarta) Mentik wangi susu Beras merah Beras hitam Yayasan Kehati (Jakarta)
Volume (kg) 250 25 25 50 150 1000 50 50 100 25 25 150 400 150 400 100 150 500 150 100 250 10 100 100 100 50 100 600 4000 4000 600 2500 200 100 500 100 50 50 2000 150 50
68 Siwi Hasto (Magelang) 19. Dimas (Jogyakarta) 20.
Jumlah Sumber: Koperasi Lumbung Merapi.
Mentik wangi susu Beras merah Beras hitam Mentik wangi susu Beras merah Beras hitam Pandan wangi Mentik wangi susu Beras merah Beras hitam Pandan wangi
3500 250 625 2000 800 200 1000 21325 2835 1675 2000
69 Lampiran 2 Daftar data responden penelitian. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Nama WDD IWN MTY HSY KMN TGM ISY KRN KDN MHD ABD SKM JOK ADR NYD SKJ UTG DLM TRN MRN NGK AGS SGG MRD ADI WLY DLJ TRM WID PJN RHT IFH SRP KRO AHD
Jenis kelamin L L L L L L L L L L L L L L L L L L L P L L L L L L L L L L L P L L L
Desa Mangunsari (RT 14,15,16/RW 05) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Desa Madugondo (RT 07/ RW 02)
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
70 Lampiran 3 Pengolahan Data Tabulasi frekuensi Umur Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Rendah
1
2,9
2,9
2,9
Sedang
25
71,4
71,4
74,3
Tinggi
9
25,7
25,7
100,0
Total
35
100,0
100,0
Tingkat pendidikan Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Rendah
13
37,1
37,1
37,1
Sedang
15
42,9
42,9
80,0
Tinggi
7
20,0
20,0
100,0
Total
35
100,0
100,0
pengalaman Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Rendah
2
5,7
5,7
5,7
Sedang
14
40,0
40,0
45,7
Tinggi
19
54,3
54,3
100,0
Total
35
100,0
100,0
Status Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Rendah
7
20,0
20,0
20,0
Sedang
8
22,9
22,9
42,9
Tinggi
20
57,1
57,1
100,0
Total
35
100,0
100,0
71 Lampiran 4 Photo penelitian 2013.
Pegawai Pemerintah Desa
Wawancara Responden
Pupuk kandang yang sedang diolah petani
Lahan persemaian bibit oleh petani
Lahan padi yang menguning
Petani membajak sawah dengan menggunakan kerbau
Padi berumur ± 20 hari setelah semai
Gabah kering giling
72
Mesin pengering padi
Ibu-ibu yang sedang menampi gabah
Gabah kering yang sedang ditutuk menggunakan alu dan lumpang
Beras yang disimpan di gudang
Beras Tuton yang sudah dikemas
Lumbung beras tuton organik
73
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Yeni Agustien Harahap. Dilahirkan di Kota Padangsidimpuan, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 21 Agustus 1990. Penulis adalah anak kelima dari enam bersaudara, dari pasangan Bapak H.Sofyan M. Harahap dan Ibu Hj. Delina Pulungan, SH. Penulis menyelesaikan pendidikan formal Taman Kanak-kanak di TK Kartika pada tahun 1995-1996, SD Negeri 26 Kota Padangsidimpuan pada tahun 1997-2003, SMP Negeri 1 Kota Padangsidimpuan pada tahun 2003-2006, dan SMA Negeri 2 Kota Padangsidimpuan pada tahun 2006-2009. Pada tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam beberapa Organisasi kampus, seperti Organisasi Mahasiswa Daerah Tapanuli Selatan (OMDA IMATAPSEL) sebagai bendahara umum, Century Enterpreneurship (Century) sebagai staff divisi IT, dan Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) divisi Broadcast. Penulis juga aktif dalam kepanitian, seperti Masa Perkenalan Calon Anggota Baru Tapanuli Selatan, Pekan Ekologi Manusia (PEM 2011), Masa perkenalan fakultas, Massa perkenalan departemen, Communication Day, dan Himasiera Olah Talenta (HOT 2012). Penulis juga sebagai volunteer Gerakan Cinta Anak Tani IPB (GCAT) periode 2012-2013.