Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007
ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIA
Oleh Tim Peneliti: Nyak Ilham Kedi Suradisastra Tri Pranadji Endang Lestari Hastuti Adang Agustian Gatoet Sroe Hardono
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2007
Ringkasan Untuk mengetahui profil petani dan persoalannya harus dilihat dari sudut pandang petani sendiri. Fasilitasi program dan kebijakan pembangunan pertanian yang dilaksanakan pemerintah akan berjalan efektif dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan yaitu peningkatan kesejahteraan petani. Untuk itu, diperlukan data dan informasi yang lengkap dan akurat sesuai dengan yang dialami dan dirasakan petani. Berdasarkan hal itu, penelitan ini bertujuan menganalisis profil petani dan pertanian di Indonesia yang menyangkut aspek demografi, ketenagakerjaan, penguasaan dan pengusahaan aset, pendapatan dan pengeluaran, serta aspek sosial budaya. Data yang digunakan dilevel makro adalah data Sensus Pertanian (SP) 2003, Susenas 2002 dan 2005 serta data level mikro diperoleh dari hasil penelitian (data primer 2007). Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan kriteria utamanya adalah berdasarkan agroekosistem dan komoditas mengikuti sampling frame Patanas dan SP 2003. Tiga provinsi yang dipilih adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan. Di setiap provinsi dipilih lokasi kabupaten yang mewakili agroekosistem dataran rendah dan dataran tinggi. Beberapa hasil penelitian yang penting antara lain: (1) Terdapat kecenderungan pelambatan trend penawaran tenaga kerja di sektor pertanian. Perubahan tersebut secara sosial disebabkan adanya pandangan di masyarakat desa bahwa bekerja sebagai petani itu sungguh berat dan rendah statusnya, terutama di kalangan generasi muda; (2) Sebagian besar petani menggunakan jumlah benih pada usahatani padi sawah jauh di atas dosis anjuran. Hal ini merupakan pemborosan dan menyulitkan perencanaan produksi benih. Akibatnya ketersediaan benih di pasar jauh di bawah kebutuhan dan petani menggunakan benih turunan dengan produktivitas rendah; (3) Masalah utama yang dihadapi petani dalam penerapan teknologi adalah ketersediaan air irigasi yang tidak memadai. Ketersediaan air, terutama pada usahatani padi, merupakan prasyarat untuk dapat menerapkan teknologi lain; (4) Data Susenas 2002-2005 menunjukkan trend penurunan konsumsi beras pada rumahtangga petani dan non petani. Pangsa pengeluaran pangan sebagian besar rumahtangga di lokasi penelitian menunjukkan peningkatan serta hubungan antara pangsa pengeluaran pangan dan tingkat pendapatan perkapita mengikuti Hukum Engel, kecuali pada rumahtangga di desa yang relatif miskin seperti di Grobogan dan Blora; (5) Data Sensus Pertanian tahun 2003 dan hasil penelitian menunjukkan bawa sebagian besar petani memiliki lahan kurang dari 0.5 hektar, kecuali di Desa Banyu Urip, Mulya Agung, Perdjito, Tugu, dan Gantar ; (6) Secara ageregat sumber pangan masyarakat dari hasil pembelian meningkat dari tahun 2002 ke 2005. Untuk beras, kebutuhan konsumsi yang bersumber dari pembelian mencapai sekitar 70 – 89 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat dan stabilitas harga pangan sangat menentukan ketahanan pangan rumahtangga. Khusus pada rumah tangga pertanian berpendapatan rendah, jumlah beras yang dibeli mengalami penurunan dari tahun 2002 ke 2005. Kecuali di desa lahan kering, persentase beras yang dibeli masih cukup tinggi sekitar 60%-94%; (7) Kegiatan revitalisasi kelompok tani masih dalam tahap pendataan potensi. Pemberdayaan Poktan menjadi Gapoktan telah mendorong terbentuknya kelompok-kelompok tani baru. Hambatan utama peningkatan kinerja Gapoktan adalah rendahnya kemampuan wirausaha petani, status badan hukum dan terbatasnya sarana-prasarana; dan (8) Banyak petani yang memenuhi kebutuhan modal usahataninya dari lembaga keuangan informal di desa dengan tingkat bunga tinggi, namun prosedurnya mudah. Di beberapa daerah ada juga petani yang akses kepada bank (BRI dan BPR) karena skim yang ditawarkan memudahkan petani. Kata Kunci: Profil petani, ketenagakerjaan, penguasaan asset, pendapatan rumahtangga.
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam rangka pelaksanaan pembangunan pertanian dilakukan regulasi dan fasilitasi melalui perumusan kebijakan dan program. Untuk merumuskan kebijakan dan program yang tepat perlu didukung oleh data dan informasi yang lengkap dan akurat (Ramdan, et al .2003). Data dan informasi tersebut diperlukan dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan yang sudah dilakukan, serta memprediksi kondisi pertanian yang akan datang, Kebijakan harga pangan, misalnya, mungkin tidak efektif karena penguasaan lahan petani yang semakin kecil (Ilham, 2006).
Kebijakan yang dilakukan justru
dinikmati oleh petani dan bukan petani, yang memiliki lahan luas. Petani kecil yang jumlahnya lebih banyak hanya menerima upah buruh atau bagi hasil yang kurang signifikan pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga mereka Rendahnya adopsi teknologi di tingkat petani antara lain disebabkan oleh: (1) lemahnya lembaga yang mendukung petani dalam melakukan kegiatan usahataninya seperti kelompok tani, lembaga penyuluhan, dan koperasi; (2) rendahnya insentif harga tidak mendorong petani untuk mengadopsi teknologi yang tersedia; dan (3) insentif selain harga seperti infrastruktur produksi, distribusi, dan pemasaran masih kurang mendukung. Uraian di atas menunjukkan bahwa pembangunan pertanian tidak semata-mata ditangani oleh Departemen Pertanian tetapi juga Departemen/Lembaga lain yang menangani sarana dan prasarana, kependudukan, pertanahan dan lain-lain. Agar kebijakan dan program peningkatan kesejahteraan masyarakat tani di pedesaan efektif, diperlukan dukungan data dan informasi yang lengkap dan akurat mengenai profil petani dan lembaga-lembaga pendukungnya. 1.2.
Permasalahan Karena suatu kebijakan dibuat untuk mengantisipasi permasalahan yang ada di
masyarakat maka selain membutuhkan data dan informasi yang lengkap dan akurat, pembuatannya harus didukung oleh seperangkat keputusan publik, sehingga kebijakan yang ditetapkan seharusnya merefleksikan pilihan-pilihan sosial. Karena target utama kebijakan pembangunan pertanian adalah petani, maka pilihan-pilihan sosial yang dilakukan haruslah sesuai apa yang dibutuhkan petani.
2
Selama ini kebijakan pembangunan pertanian menggunakan data yang dipublikasi secara reguler tiga tahunan, lima tahunan dan 10 tahunan sehingga informasi yang ada bukan merupakan informasi terkini.
Disamping itu, data yang
tersedia tersebut tidak dapat menjelaskan kenapa suatu keadaan mengalami perubahan atau tidak. Dengan berbekal data seperti itu pengambil kebijakan akan memformulasikan
kebijakan
bias
dari
kondisi
yang
sebenarnya
dihadapi
petani,
bahkan
kecenderungannya akan mengarah pada apa yang dirasakan dan dipelajari pengambil kebijakan yang bisa saja tidak sesuai dengan kondisi petani atau sudah tidak mencerminkan kondisi masyarakat petani pada saat ini. Seperti diketahui bahwa pada era komunikasi saat ini kondisi masyarakat sangat dinamik, termasuk masyarakat petani. Dalam kondisi demikian untuk meningkatkan efektivitas suatu kebijakan pembangunan pertanian diperlukan ketersediaan informasi tidak hanya lengkap tetapi akurat dan sesuai dengan kondisi terkini.
Dengan
mengetahui kondisi terkini, pengambil kebijakan dapat mengetahui apakah arah pembangunan yang dilakukan dari tahun ke tahun sudah sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang tidak harus menunggu setelah proses pembangunan jangka menengah dan jangka panjang tersebut terjadi, sehingga terlambat mengantisipasinya. Karena sebagian besar dari objek kebijakan pembangunan pertanian adalah petani, maka data dan informasi yang lengkap dan akurat tersebut tentunya berkaitan erat dengan personal petani, apa yang dilakukan petani, dan kelembagaan yang mendukung petani. Dengan adanya pemahaman yang lebih baik atas sifat usaha-usaha pertanian dan masyarakat pedesaan berdasarkan ekosistemnya, akan sangat bermanfaat bagi pengambilan kebijakan baik dari keragaman budaya, waktu dan tempat. 1.3.
Justifikasi Penelitian Upaya memantau dinamika sosial ekonomi masyarakat pertanian (pedesaan)
memiliki urgensi yang penting antara lain karena: (1) menjadi indikator penting untuk perbaikan perekonomian nasional utamanya dengan mencermati kondisi sosial ekonomi pedesaaan; (2) untuk memprediksi kondisi produksi sektor pertanian saat ini dan tahun mendatang; (3) menjadi basis data untuk kepentingan pelaksanaan program pembangunan pertanian tertentu misalnya penerima subsidi pertanian dan program spesifik lokasi lainnya; dan (4) menjadi wahana untuk mengukur seberapa jauh manfaat program-program yang ada atau pembangunan yang telah berjalan selama ini. Penelitian profil petani dan pertanian Indonesia ini memiliki urgensi penting yaitu disamping untuk menghimpun informasi dinamika sosial ekonomi rumah tangga petani
3
di pedesaan pada kondisi terkini juga terkumpulnya informasi/data akurat bagi pengambil kebijakan untuk penentuan suatu kebijakan/program pembangunan spesifik lokasi. Penelitian profil petani dan pertanian Indonesia yang bersinergi dengan penelitian dinamika sosial ekonomi pedesaan yang telah dilakukan selama ini dapat dilakukan secara seksama. Oleh karena itu, upaya memahami dinamika sosial ekonomi pedesaan secara komprehensif dan mendalam dengan memadukan data sekunder hasil sensus pertanian tahun 2003, data susenas 2002 dan 2003 dan data kajian primer tentang profil petani dan pertanian yang mewakili beberapa agroekosistem akan bermanfaat bagi pengambil kebijakan yang sering menghadapi kesulitan dalam kerangka penentuan sasaran penerima manfaat (program) bagi suatu kebijakan pertanian. Akibatnya, adakalanya berbagai program yang ada tidak tepat sasaran karena data tentang kondisi petani kita tidak lengkap dan kontinyu. Oleh karena itu, berbagai perubahan (dinamika) yang terjadi di pedesaan khususnya terkait masyarakat pertanian nasional sangat penting untuk diketahui secara baik untuk dijadikan sebagai basis perbaikan pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani kedepan. 1.4. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis profil petani dan pertanian di Indonesia yang menyangkut lima aspek yaitu aspek demografi, ketenagakerjaan, penguasaan dan pengusahaan aset, pendapatan dan pengeluaran, serta aspek sosial budaya. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: a. Menganalisis profil petani Indonesia secara agregat, mencakup lima aspek. b. Menganalisis profil petani saat ini berdasarkan agroekosistem. c. Menganalisis perkembangan kelembagaan pertanian yang mempengaruhi kegiatan petani dan usahataninya. d. Menganalisis berbagai faktor yang mempengaruhi dinamika demografi dan sosial ekonomi petani. 1.3. Keluaran Penelitian Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Data dan informasi profil petani dan pertanian secara agregat. b. Data dan informasi tentang profil petani dan pertanian di Indonesia menurut agroekosistem dan basis komoditas pertanian utama. c. Data dan informasi perkembangan kelembagaan pertanian yang mempengaruhi kegiatan petani dan usahataninya. 4
d. Berbagai faktor yang mempengaruhi dinamika demografi dan sosial ekonomi petani. e. Rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan pembangunan pertanian. II. METODA PENELITIAN 2.1. Kerangka Pemikiran Kondisi empiris mengenai petani dan sektor pertanian akan lebih dipahami oleh petani sendiri dibandingkan orang luar. Oleh karena itu, untuk menganalisis profil petani dan persoalannya harus dilihat dari sudut pandang petani sendiri. Karena petani sendiri, berikut keluarganya, usahanya, ternaknya kerjanya, konsumsinya, hartanya dan hutangnya, rencana-rencananya, harapan dan kekhawatirannya yang memberikan arah dan karakteristik kepada sistem pertanian saat ini (Egbert de Vries, 1985). Selanjutnya dengan fasilitasi kebijakan dan program yang dilaksanakan, pemerintah berperan mempengaruhi arah pembangunan atau mungkin merubahnya ke arah yang diinginkan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk tujuan tersebut, pemerintah memerlukan data dan informasi yang lengkap dan akurat sesuai dengan yang dialami dan dirasakan petani. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi dari petani dan lingkungannya. Data dan informasi yang dikumpulkan berkaitan dengan aspek ekonomi/uang (pecuniary) dan yang tidak berkaitan dengan uang yaitu variabel sosial dan budaya (non-pecuniary) seperti keamanan, kenyamanan, prestise, kejayaan dan kasih sayang (Stevens dan Jabara, 1988). Variabel-variabel sosial dan budaya tersebut berpengaruh sangat penting terhadap pembangunan pertanian. Karena keragaman rumah tangga pertanian yang cukup tinggi, maka kajian perlu dilakukan lebih mendalam yang berkaitan juga dengan peubah sosial-budaya. Berdasarkan hal tersebut, penelitian profil petani dan pertanian Indonesia ini akan menganalisis profil petani dengan ragamnya sesuai agroekosistem dan komoditas yang diusahakannya serta wilayah berdasarkan etnis. Diduga jenis komoditas yang diusahakan dan agroekosistem usahatani petani mempengaruhi profil petani yang meliputi aspek demografis, ketenagakerjaan, penguasaan aset, pendapatan dan pengeluaran dan sosial budaya. Namun, secara temporal tidak terjadi perbedaan yang signifikan.
5
Dengan mengetahui data dan informasi yang lengkap baik yang berhubungan dengan data yang berkaitan dengan elemen ekonomi dan elemen sosial-budaya pada berbagai kelompok petani diharapkan kebijakan dan program yang dirancang akan memberikan manfaat yang efektif dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Upaya tersebut hendaknya dilakukan secara kontinyu sesuai dengan dinamika masyarakat dengan pendekatan survey dan antropologis sosial.
Tahapannya disajikan pada
Gambar 1.
Kesejahteraan Masyarakat
Kesejahteraan Petani
PETANI Profil Petani dan Lembaga Pendukungnya
Survey dan Antroplogis-sosial Pengambil Kebijakan Gambar 1.
Alur Pikir Meningkatkan Efektivitas Kebijakan Guna Mensejahterakan Petani dan Masyarakat
2.2. Cakupan Penelitian Elemen-elemen profil terdiri dari: ekosistem, teknologi, orientasi kegiatan, dan sosial budaya (Suradisastra, et al 1990). Dengan memperhatikan elemen-elemen tersebut cakupan penelitian profil petani dan pertanian Indonesia, meliputi: a. Profil petani lingkup agregat nasional, provinsi dan kabupaten lokasi penelitian. Aspek yang dikaji meliputi demografi, penguasaan dan pengusahaan aset, serta teknologi yang diterapkan petani sesuai dengan data Sensus Pertanian tahun 2003. b. Membandingkan profil petani dan bukan petani dalam aspek: pola konsumsi, pengeluaran pangan, dan sumber
pangan utama (beras) sesuai data Susenas
lingkup nasional dan provinsi lokasi penelitian tahun 2002 dan tahun 2005.
6
c. Profil petani spesifik agroekosistem dan komoditas utama yang diusahakan. Aspek yang dikaji meliputi: demografi, ketenagakerjaan, penguasan dan pengusahaan aset, penerapan teknologi, sumber pendapatan, sumber
pangan utama (beras)
apakah dari produksi sendiri, membeli atau keduanya, serta pengeluaran rumah tangga petani. Kajian ini menggunakan data primer dari hasil survey. d. Perkembangan lembaga pendukung petani meliputi kelembagaan formal seperti Kelompok Tani, Gapoktan, KUD, dll serta kelembagaan yang berkaitan dengan aspek ketenagakerjaan, penguasaan dan pungusahaan aset, penerapan teknologi dan aspek konsumsi. Untuk analisis ini menggunakan data sekunder dan primer. e. Deskripsi tentang profil petani yang mencakup lima aspek dan perkembangan kelembagaan pertaniaan yang ada di sekitar petani ditambah dengan hubungan antara berbagai kelembagaan dengan aktivitas agribisnis di pedesaan diharapkan dapat menggambarkan profil pertanian Indonesia. 2.3. Data, Sumberdata dan Lokasi Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan primer. Data sekunder adalah Sensus Pertanian tahun 2003, Susenas tahun 2002 dan tahun 2005 yang bersumber dari Badan Pusat Statistisk (BPS) dan data lain dari berbagai instansi terkait. Data primer diperoleh melalui survey dengan wawancara langsung dengan petani menggunakan kuesioner, FGD (Focused Group Discussion), dan informan kunci. Lokasi provinsi ditentukan secara purposive. Kriteria utama lokasi sampling berdasarkan agroekosistem dan komoditas utama mengikuti sampling frame desa Patanas tahun 2006 dan juga merupakan desa Sensus Pertanian tahun 2003. Tiga provinsi yang dipilih adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan. Di setiap propinsi dipilih lokasi kabupaten yang dapat mewakili agroekosistem dataran rendah dan dataran tinggi.
Kemudian di setiap wilayah dataran tinggi dan dataran rendah
dikelompokkan lagi menjadi agroekosistem irigasi dan non irigasi. Dari hasil klasifikasi tersebut, dipilih tujuh desa padi, dua desa jagung, dua desa bawang merah, dan dua desa karet. Pada masing-masing desa contoh dipilih 15 rumah tangga contoh yang mewakili pemilikan lahan sempit, sedang, dan luas. Data dan informasi yang dikumpulkan dianalisis menggunakan statistik deskriptif dengan teknik tabulasi silang, grafik dan gambar.
7
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Profil Demografi Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa sebagian besar (45%-85%) keluarga mempunyai jumlah anggota rumahtangga antara 3-4 orang. Data ini tidak jauh berbeda dengan hasil survey dengan rataan jumlah anggota rumahtangga sekitar 2-4 orang. Ini mengindikasikan bahwa keluarga petani sudah mulai memperhatikan kualitas hidup
anggota
rumah
tangganya.
Dampaknya
terhadap
usahatani
adalah
kecenderungan terjadinya kekurangan tenaga kerja dalam keluarga sehingga penggunaan tenaga kerja luar keluarga dan mekanisasi pertanian semakin meningkat. Secara nasional, sebesar 69 persen petani masih berada dalam usia produktif (25-54 tahun), 26 persen berusia di atas 54 tahun dan hanya 5 persen yang berusia di bawah 25 tahun. Pola ini hampir sama pada petani: pangan, hortikultura, kebun dan ternak di lokasi penelitian. Petani yang berumur lebih 54 tahun sekitar 30 persen terdapat pada petani pangan di Jabar, 33 persen pada petani pangan di Jateng, dan 33 persen pada petani hortikultura di Jateng. Hasil survey profil petani di lokasi yang lebih terbatas menunjukan sebagian besar petani berusia di atas 40 tahun. Khusus pada petani karet, rataan umur petani relatif muda yaitu sekitar 36 tahun. Hasil survey juga menunjukkan bahwa banyak petani menyekolahkan anak ke sekolah umum dengan tujuan dapat bekerja di kota.
Kaum muda desa banyak
melakukan migrasi sebagai TKI atau pekerja bangunan di kota.
Sebagian petani
berpandangan bahwa bekerja sebagai petani adalah sengsara, rendah dan kotor. Fakta ini menunjukkan bahwa masih banyak penduduk usia muda yang enggan bekerja sebagai petani (di sektor pertanian). Jika tidak ada insentif yang menarik, karena harga produk yang relatif rendah, harga input yang mahal, dan pemilikan lahan yang sempit, dapat menyebabkan pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke non pertanian. Pergeseran yang tidak diikuti oleh pengalihan aset lahan dari pertanian ke non pertanian mungkin tidak masalah, bahkan akan meningkatkan produktivitas. Namun jika terjadi sebaliknya, aset lahan dijual untuk investasi non-pertanian diduga selain produktivitas tidak meningkat, produksi pangan juga akan semakin berkurang.
8
3.2. Profil Penguasaan Aset Data Sensus Pertanian 2003 dan hasil survey petani sama-sama menunjukkan bawa sebagian besar petani memiliki lahan kurang dari 0.5 hektar, kecuali di Desa Banyu Urip, Desa Mulya Agung Banyuasin, dan Desa Perdjito (Tabel 1). Luas lahan merupakan faktor yang menentukan keuntungan usaha dan kesejahteraan petani. Dari 13 desa contoh, terdapat enam desa yang pemilikan lahannya meningkat, 4 desa luas lahannya stabil, dan hanya dua desa yang luas lahannya menurun. Perubahan luas lahan tersebut dapat disebabkan oleh perubahan keuntungan usahatani, usaha luar pertanian atau peralihan ke aset lain. Sedangkan untuk asset lain yaitu sebanyak enam desa meningkat, empat desa stabil dan hanya tiga desa yang turun.
Jika dilihat dari kedua asset tersebut, terdapat tujuh desa yang meningkat
kesejahteraannya, empat desa stabil, dan dua desa menurun.
Dengan demikian,
secara umum ada indikasi terjadi peningkatan kesejahteraan petani. 3.3. Profil Teknologi a. Penggunaan Benih Padi Sawah Secara nasional penggunaan benih pada usahatani padi sawah mencapai 44 kg/ha. Di provinsi dan kabupaten lokasi penelitian kisarannya antara 41 – 46 kg/ha. Sebagian besar (92% - 99%) petani menggunakan benih padi sawah berkisar dengan tingkat pemakaian sebesar 26 – 50 kg/ha. Dalam hal ini, petani menggunakan benih jauh di atas dosis anjuran dengan viabilitas lebih dari 95% kebutuhan benih per hektar sekitar 30 kg (Sumaryanto, 2004). Jika dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian tahun 2003, maka rataan penggunaan benih di lokasi penelitian makin meningkat (47 – 60 Kg/ha), kecuali di Kabupaten Indramayu (20 – 30 Kg/Ha) sudah sesuai dengan dosis anjuran. Hal ini merupakan pemborosan dan dapat menyebabkan kegagalan perencanaan produksi benih. Akibatnya ketersediaan benih di pasar jauh di bawah yang dibutuhkan. Keterbatasan benih di pasar diantisipasi petani dengan menggunaan benih turunan. Penerapan teknologi seperti ini, dapat menurunkan produktivitas padi. Untuk mendapatkan benih, sebagian besar petani membeli di kios saprodi. Namun demikian banyak juga petani yang menggunakan benih hasil produksi sendiri, seperti di Desa Gantar Indramayu, Desa Sumber Agung Grobogan, dan Desa Tawang Rejo Blora. Mereka menggunakan benih turunan karena harga benih berlabel yang relatif mahal, sementara menurut mereka hasil benih turunan masih cukup baik.
9
Tabel 1.
Persentase Rumah Tangga Pertanian yang Menguasai Lahan Kurang dari 0.5 Ha Menurut Sensus Pertanian 2003 dan Rataan Penguasaan Lahan Menurut Survey Petani di Lokasi Penelitian Tahun 2007
Subsektor
Jenis lahan
Tanaman Pangan (padi)
Sawah NonSawah Pertanian Total
Tanaman Pangan (jagung)
Sawah NonSawah Pertanian Total
Hortikultura
Sawah NonSawah Pertanian Total
Perkebunan
Sawah NonSawah Pertanian Total
Muara Enim Sensus Profil Modus Rataan % Ha
Banyuasin Sensus Profil Modus Rataan % Ha 11.56 1.80 84.84 0.14 11.98 1.94 11.98 2.11
Cianjur Sensus Profil Modus Rataan % Ha 94.90 0.59 96.20 0.18 93.53 0.77 92.81 0.79
Indramayu Sensus Profil Modus Rataan % Ha 44.89 1.82 99.70 0.03 77.53 1.85 73.85 1.87
Grobogan Sensus Profil Modus Rataan % Ha 66.15 0.51 100.00 0.00 65.84 0.51 68.94 0.54
Blora Sensus Profil Modus Rataan % Ha 68.00 0.54 95.43 0.11 62.27 0.65 58.14 0.67
84.91
41.89 90.75 41.79 38.05
83.69 81.05 69.73 68.94
96.09 41.13 27.11 23.28
83.54 82.56
44.44 10.57 10.57 15
0.00 2.22 2.22 2.30
23.81 3.67 2.75 1.35
0.26 0.11 0.37 0.39
1.69 0.10 1.79 1.86
0.87 0.28 1.15 1.25
0.11 3.80 3.91 4.01
Brebes Sensus Profil Modus Rataan % Ha
0.21 0.60 0.81 0.85 79.99 71.43 78.95 80.18
0.97 0.00 0.97 1.02
75.5 73.77 71.76 75.69
0.55 0.01 0.56 0.58
Keterangan: Data cetak tebal Cianjur dan Indramayu lahan petani padi sawah non irigasi, dan Brebes data lahan petani bawang sawah non irigasi. Sumber : BPS (2003).
10
Hampir di semua lokasi penelitian, sebagian besar petani menggunakan benih padi varietas Ciherang dan hanya di Desa Sumber Agung Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan yang menggunakan benih varietas IR-64. Menurut petani di Desa Tugu Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu, varietas Ciherang lebih disukai karena produksinya tinggi, tahan hama-penyakit, umurnya pendek, dan nasinya pulen. Artinya varietas ini memenuhi selera produsen dan konsumen sekaligus. Dari fakta tersebut diatas diperlukan informasi yang jelas mengenai kebutuhan benih dan sistem distribusinya. Upaya penggunaan benih sesuai dosis anjuran masih perlu ditingkatkan.
Menghindari distribusi benih yang berkualitas rendah sehingga
membentuk pola pikir petani bahwa diperlukan dosis yang lebih banyak untuk menghindari ketidakcukupan bibit akibat daya tumbuh benih yang tidak sesuai dengan label.
b. Penggunaan Benih Jagung Data Sensus Pertanian 2003 menunjukkan rata-rata penggunaan benih jagung secara nasional sebanyak 26 kg/ha, sedangkan untuk Jawa Tengah sebanyak 24 kg/ha. Penggunaan benih yang dilakukan petani di kedua lokasi penelitian tidak jauh berbeda dengan yang dianjurkan yaitu antara 20 – 40 kg/ha (Anonimous, 1999). Dosis benih yang digunakan di lokasi penelitian (10 Kg/ha) jauh di bawah rekomendasi yang dianjurkan. Benih yang digunakan petani sebagian besar merupakan benih hibrida, namun ada juga yang menggunakan benih komposit. Di Desa Gedang Gobogan, walaupun petani menanam jagung hibrida namun hasilnya hanya mencapai 3.5 ton. Pada umumnya produksi yang dicapai di bawah 3.5 ton. Mereka menanam jagung lebih ditujukan untuk memanfaatkan lahan saat musim kemarau. Petani jagung sering menghadapi permasalahan kelangkaan benih di pasar, sehingga
harganya jauh lebih mahal dari harga normal.
Untuk membantu petani
menstabilkan pasar benih perlu peran pemerintah dan produsen benih sehingga petani tidak dirugikan oleh pedagang benih di pasar.
c. Penggunaan Benih/Bibit Bawang Merah Kebutuhan bibit yang berasal dari umbi bervariasi antara 900 - 1200 kg/ha. (Maryati dan Wiryatmi, 1996; Damiri, A, 1998; dan Anonimous, 2000). Berdasarkan data Sensus Pertanian tahun 2003, petani bawang merah secara nasional, di Jawa Tengah dan di Kabupaten Brebes menggunakan bibit di bawah yang direkomendasikan yaitu
11
antara 700 – 800 kg/ha. Petani Desa Tanjungsari menanam bawang di lahan sawah irigasi dengan dosis 942 – 1365 Kg/ha tergantung musim. Sementara itu, jumlah bibit yang digunakan di Desa Banjarharjo dengan pola polikultur hanya 883 Kg/ha. Bibit bawang yang ditanam petani di Desa Tanjungsari, 93 persen merupakan varietas Bangkok dan hanya tiga persen yang menanam varietas Bima. Walaupun mereka mengenal banyak varietas bawang, namun pemilihan varietas cenderung seragam. Di Desa Banjarharjo penggunaan varietas lebih beragam yaitu Kuning (40%), Filiphina (40%) dan jenis lainnya (20%). Petani bawang masih menghadapi masalah dalam pengadaan bibit. Saat ini masih belum ada lembaga yang melakukan penangkaran bibit bawang merah. Sebagian petani bawang di Brebes masih menggunakan bibit hasil produksi sendiri. Kalaupun mereka menggunakan bibit lain, umumnya berasal dari bawang impor untuk konsumsi. d. Penggunaan Benih/Bibit Tanaman Karet Jumlah bibit tanaman karet yang digunakan tergantung pada jarak tanam yang dipengaruhi oleh topografi kebun. Pada lahan relatif datar dibutuhkan 476 batang bibit/ha dan pada lahan bergelombang dibutuhkan 500 batang bibit/ha (Anwar,C, 2006). Hasil Sensus Pertanian 2003 tidak mengidentifikasi data jumlah penggunaan bibit karet yang di lakukan petani. Hasil survey menunjukkan banyak petani yang menggunakan bibit karet alam. Untuk melakukan peremajaan dibutuhkan modal yang besar, sedangkan program pemerintah selama ini belum mampu mencakup semua petani. Di Desa Mulya Agung Banyuasin petani menggunakan bibit klon unggul PB 260, jumlah bibit bervariasi 500 700 batang/ha. Aplikasi teknologi tersebut sesuai dengan anjuran. Di Desa Perdjito Jumlah bibit yang ditanam
peserta program Gerbang Serasan yang dikelola Dinas
Perkebunan Kabupaten Muara Enim sebanyak 450 batang per hektar, sedangkan yang menggunakan karet alam sekitar 700 batang per hektar.
e.
Penggunaan Pupuk pada Tanaman Padi Sawah Data Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan tiga jenis pupuk yang
digunakan petani padi sawah pada umumnya adalah: Urea, TSP/SP36 dan KCl. Petani padi sawah di Jawa sudah menggunakan pupuk urea mendekati anjuran antara 248 – 326 kg/ha, sedangkan di Provinsi Sumatera Selatan penggunaannya hanya 129 kg/ha, bahkan di Kabupaten Banyuasin hanya 80 kg/ha. Kecilnya dosis pemakaian pupuk urea
12
di Sumsel disebabkan bervariasinya tipe sawah yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah pasang surut dan sawah lebak. Rataan penggunaan pupuk TSP/SP 36 secara nasional adalah 122 kg/ha. Di Kabupaten Grobogan, dosis pemakaian pupuk TSP/SP36 diatas 200 kg/ha, daerah lainnya sekitar 150 kg/ha, kecuali Banyuasin hanya 63 kg/ha. Rataan penggunaan KCl secara nasional hanya 78 kg/ha. Kondisi ini tampaknya cukup bervariasi pada berbagai daerah, di Indramayu dan Banyuasin dosis pemakaiannya rata-rata kurang dari 100 kg/ha, sedangkan di Cianjur, Grobogan dan Blora diatas 100 Kg/ha. Dibanding dua jenis pupuk lainnya, penggunaan pupuk KCl lebih bervariasi karena harga KCl relatif tinggi, sedangkan dampaknya terhadap produksi tidak begitu tinggi atau pada sebagian lahan usahatani kebutuhan tanaman akan KCl dapat tercukupi dari dalam tanah yang berasal dari pemupukan sebelumnya, dan sisa pembakaran jerami. f.
Penggunaan Pupuk pada Tanaman Jagung Data Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa dibandingkan tingkat nasional
dan Provinsi Jawa Tengah, penggunaan pupuk di Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora relatif lebih intensif, terutama dalam hal penggunaan pupuk urea yang masingmasing sebesar 238 Kg/ha dan 217 Kg/ha. Sebaliknya dalam hal penggunaan pupuk TSP?SP36, dan KCL masih terbatas, yaitu untuk pupuk TSP/SP36 hanya sekitar 88 kg/ha dan 60 Kg/ha dan penggunaan pupuk KCl hanya sekitar 65 kg/ha dan 27 kg/ha. Bahkan untuk KCl, penggunaanya masih sangat bervariasi. Pada tanaman padi sawah dan jagung, dosis penggunaan pupuk urea dan TSP/SP36 tidak jauh berbeda dengan dosis rekomendasi (Tabel 2). Jika dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian tahun 2003 dosis penggunaan pupuk tidak mengalami perubahan. Penggunaan pupuk KCl yang masih relatif kecil dibanding dosis rekomendasi dan penggunaannya bervariasi antar wilayah.
13
Tabel 2. Dosis Penggunaan Pupuk Pada Usahatani Padi dan Jagung pada Berbagai Agroekosistem, Tahun 2007(Kg/Ha)
No
Komoditas/
Urea
TSP/SP36
KCl
ZA
Pupuk Lainnya
NPK
Agroekosistem 1
2
MH 274 278 310 275 364 241 241
MK1 295 273 293 249 367 241 241
MH 127 113 147 116 195 73 73
MK1 133 119 147 112 206 73 73
MH 27 31 36 59 0 26 26
MK1 32 32 36 57 0 26 26
b. Swh Non Irigasi b.1. Dtrn Rendah b.1.1. Indramayu b.1.2. Blora b.1.3. Banyuasin b.2. Dtrn Tinggi b.2.1. Cianjur
272 223 315 138 218 404 404
319 259 294 193
144 131 168 117 110 146 146
149 151 161 132
39 32 89 8 3 4 4
32 53 81 0
Jagung a. Swh Non Irigasi b. Lahan Kering
182
Padi a. Sawah Irigasi a.1. Dtrn Rendah a.1.1. Indramayu a.1.2. Grobogan a.2. Dtrn Tinggi a.2.1. Cianjur
182
400 400 200 235 160
96 96
146 146 116 142 86
7 7
MH 5 12 17 28 0 5 5 8 2 5 0 0 0 0
4 4 7 7 8
7 7
MK1 9 15 22 35 0 5 5
MH 15 23 21 35 0 26 26
MK1 14 22 19 30 0 26 26
2 3 5 0
14 14 10 33 0 0 0
7 11 10 14
0 0 7 7 8
0 0
MH 2 0 0 0 0 0 0 2 5 10 7 0 0 0
0 0 2 4 0
0 0
MK1 4 1 1 2 0 0 0 8 14 21 0 0 0 13 24 0
14
g.
Penggunaan Pupuk pada Tanaman Bawang Merah Berdasarkan teknologi anjuran, pupuk yang diberikan untuk tanaman bawang
merah yaitu: untuk pupuk urea sebesar 222-267 kg/ha, untuk pupuk ZA sebesar 476571 kg/ha ZA, untuk pupuk TSP sebesar 489 kg/ha dan untuk pupuk KCl sebesar 217 Kg/ha (Damiri,A, 1998). Dalam hal penggunaan pupuk tersebut, jika dibandingkan hasil Sensus Pertanian 2003 dengan dosis yang dianjurkan tidak terjadi perbedaan yang signifikan. Kalaupun ada variasi mungkin lebih disebabkan variasi kesuburan lahan di masing-masing daerah. Namun pola kombinasi antar jenis pupuk cenderung sama. Pada usahatani bawang merah, penggunaan pupuk urea dan TSP/SP36 tidak jauh berbeda (Tabel 3). Penggunaan pupuk KCl masih relatif kecil dibanding dosis rekomendasi. Namun demikian, penggunaan pupuk saat ini jauh lebih bervariasi. Selain urea, TSP/SP36 dan KCl, petani di lokasi penelitian juga menggunakan pupuk ZA, NPK dan Ponska.
h.
Penggunaan Pupuk pada Tanaman Karet Sebagian besar petani menggunakan berbagai jenis pupuk dalam jumlah yang
sangat kecil. Hal ini terlihat dari persentase petani yang menggunakan pupuk < 0,26 Kg/pohon lebih tinggi dibandingkan persentase petani dengan penggunaan pupuk > 0,26 kg/pohon. Kondisi ini berlaku secara umum baik pada tingkat nasional maupun di lokasi penelitian. Penggunaan pupuk di tingkat petani menurut hasil Sensus Pertanian 2003 masih lebih rendah dari
dosis anjuran (Tabel 4, 5 dan 6).
Data ini menunjukan
pentingnya kegiatan penyuluhan untuk mendampingi petani dalam menerapkan teknologi budidaya karet yang baik. Apalagi jika penggunaan klon unggul diintroduksikan kepada semua petani. Penggunaan pupuk pada petani karet di Desa Mulya Agung Banyuasin lebih tinggi dibandingan dengan petani karet di Desa Perdjito Muara Enim (Tabel 7). Hal itu disebabkan petani di Mulya Agung sudah banyak yang menggunakan klon unggul dibandingkan petani Desa Perdjito. Di Desa Perdjito, petani yang menggunakan klon unggul terbatas pada petani peserta program pemerintah, sedangkan di Mulya Agung sudah banyak petani secara swadana membeli klon unggul.
15
Tabel 3.
No 1
2
3
4
5
6
7
Partisipasi dan Dosis Penggunaan Berbagai Jenis Pupuk pada Usahatani Bawang Merah Berdasarkan Agroekosistem di Kabupaten Brebes, Tahun 2007 (%). Jenis Pupuk/ Partisapasi (%) Dosis (Kg/Ha) Musim Non Irigasi Sawah Non Irigasi Non Irigasi Sawah Non Irigasi Tanam (monokultur) (polilultur) (monokultur) (polilultur) Urea MT-1 38 85 60 230 MT-2 100 185 MT-3 92 144 TSP/SP36 MT-1 25 92 30 148 MT-2 80 107 MT-3 75 100 KCL MT-1 50 92 56 110 MT-2 80 85 MT-3 87 67 ZA MT-1 88 92 210 235 MT-2 80 110 MT-3 83 96 NPK MT-1 50 92 68 138 MT-2 80 134 MT-3 75 108 Pupuk Kandang MT-1 0 0 0 tad MT-2 0 0 MT-3 0 0 Pupk Lainnya MT-1 25 30 33 178 MT-2 53 77 MT-3 50 78
16
Tabel
4. Penggunaan Pupuk Anorganik pada Tanaman Padi, Jagung dan Bawang Merah di Tingkat Nasional dan Lokasi Penelitian Berdasarkan Data Sensus Pertanian Tahun 2003. No Wilayah Padi sawah Jagung Bawang Merah Karet (Kg/Ha) (Kg/Ha) (Kg/Ha) (Kg/100 pohon) 1 Nasional a. Urea 221,78 149,63 332,74 11,68 b. TSP/SP36 121,65 38,51 235,19 2,19 c. KCl 78,34 61,76 175,85 1,52 2 Sumsel 7,38 a. Urea 129,01 3,16 Xx xx b. TSP/SP36 100,04 2,29 c. KCl 43,72 3 Banyuasin 0.00 a. Urea 80,15 0.00 Xx xx b. TSP/SP36 62,98 0.00 c. KCl 46,80 4,09 4 Muara Enim xx a. Urea 2,72 Xx xx b. TSP/SP36 1,93 c. KCl 4 Jawa Barat a. Urea 265,30 Xx xx xx b. TSP/SP36 148,65 c. KCl 84,33 5 Cianjur a. Urea Xx 248,67 xx xx b. TSP/SP36 144,36 c. KCl 176,08 6 Indramayu a. Urea 299,63 Xx xx xx b. TSP/SP36 147,29 c. KCl 71,37 7 Jawa Tengah a. Urea 285,69 185,29 281,00 xx b. TSP/SP36 151,19 52,41 210,00 c. KCl 89,99 49,99 159,00 8 Grobogan a. Urea 304,68 237,77 xx xx b. TSP/SP36 214,61 88,07 c. KCl 108,55 65,17 9 Blora a. Urea 326,24 216,91 xx xx b. TSP/SP36 172,44 60,11 c. KCl 113,60 27,04 10 Brebes a. Urea xx Xx 268,00 xx b. TSP/SP36 152,00 159,00 c. KCl Sumber: BPS, 2003.
17
Tabel 5. Rekomendasi Umum Pemupukan Tanaman Karet Belum Menghasilkan. Umur Tanaman (tahun) 0 1 2 3 4 5 Sumber: Anwar (2006)
Urea (Kg/100/tahun) 0 25 25 25 30 30
SP36/TSP (Kg/100/tahun) 12,5 15 25 25 25 25
KCl (Kg/100/tahun) 0 10 20 20 25 25
Tabel 6. Rekomendasi Umum Pemupukan Tanaman Karet Menghasilkan Umur Tanaman Urea (tahun) (Kg/100/tahun) 6 – 15 35 16 – 25 30 > 25 – 30 20 Sumber: Anwar (2006)
Tabel 7.
SP36/TSP (Kg/100/tahun) 26 19 0
KCl (Kg/100/tahun) 30 25 15
Partisipasi Petani Menggunakan Berbagai Jenis Pupuk pada Usahatani Karet Berdasarkan Agroekosistem/Etnis di Provinsi Sumatera Selatan, Tahun 2007 (%).
No Jenis Pupuk Partisipasi (%)
Lahan Kering (eks trans Jawa)
Lahan Kedring (etnis lokal)
Agregat
1
Urea
73
33
53
2
TSP/SP36
53
33
43
3
KCL
60
33
47
4
ZA
0
0
0
5
NPK
13
0
7
Dosis (Kg/Ha) 1
Urea
110
110
110
2
TSP/SP36
80
90
87
3
KCL
20
60
49
4
ZA
0
0
0
5
NPK
10
0
7
18
i.
Permasalahan dalam Aplikasi Teknologi. Permasalahan yang dihadapi petani berkaitan dengan aplikasi teknologi adalah
karena terbatasnya fasilitas irigasi. Ketersediaan air, terutama pada usahatani padi, merupakan prasyarat untuk dapat mengaplikasikan teknologi lain yaitu penggunaan benih unggul, penggunaan pupuk, pengendalian hama, dan pengolahan lahan. Pemecahan masalah irigasi tidak dapat dilakukan oleh petani secara individual. Upaya petani menggunakan pompa air untuk mengatasi ketersediaan air membutuhkan biaya tinggi dan hasilnya pun tidak optimal. Disamping itu, jika tidak dikendalikan, teknologi tersebut dapat mengganggu sistem air tanah. Oleh karena itu, sistem irigasi harus menjadi investasi pemerintah, atau kemitraan pemerintah dan swasta. Ketersediaan air yang cukup mempermudah pengendalian gulma sehingga penggunaan herbisida dapat ditekan guna mempertahankan kualitas air dan lahan. Ketersediaan air juga menyebabkan luas tanam meningkat dalam waktu yang sama. Hal itu akan mengurangi tekanan serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) sehingga mengurangi penggunaan pestisida. Serangan OPT serta gulma pada tanaman merupakan fenomena alam di luar kendali petani dan pemerintah. Ketersediaan air dapat menekan serangan OPT dan gulma dengan tidak menurunkan kualitas lingkungan, biaya relatif murah, dan sekaligus meningkatkan produksi pangan. Pada daerah yang ketersediaan airnya cukup tinggi, pengendalian OPT dan gulma dapat dikendalikan sehingga penggunaan pestisida dan herbisida berkurang. Ketersediaan air yang cukup dengan kualitas yang baik mendukung teknologi budidaya terintegrasi seperti mina-padi atau usaha budidaya ikan air tawar di kolam seperti yang dilakukan petani di Cianjur. Dengan cara ini diversifikasi usaha dan pendapatan petani dapat meningkat dengan risiko kegagalan usaha yang menurun. Penggunaan pupuk merupakan salah satu faktor penting dalam proses produksi. Efektifitas penggunaan pupuk juga ditentukan oleh ketersediaan air. Disamping itu, penggunaan pupuk juga dipengaruhi oleh harga dan ketersediaannya. Namun tanpa pupuk petani masih dapat berproduksi walaupun dengan resiko menurunnya produksi. Khusus untuk pupuk KCl, selama ini penggunaannya masih di bawah rekomendasi. Masalah ketersediaan pupuk di luar kendali petani sehingga memerlukan intervensi pemerintah. Faktor penting lain yang menentukan produksi pangan adalah benih, namun bagi petani aspek tersebut bukan masalah utama. Untuk mengantisipasi mahalnya harga
19
benih dan ketersediaannya yang terbatas, petani menggunakan benih yang dihasilkan sendiri dengan hasil produksi yang masih memadai. Pemerintah dapat memfasilitasi petani dengan memberikan penyuluhan intensif dalam aspek budidaya untuk menghasilkan benih yang berkualitas. Mekanisasi pertanian pra panen juga mendukung upaya peningkatan produksi pangan, namun bagi petani hal ini juga bukan merupakan masalah. Bahkan pada pada pengolahan tanah untuk usahatani bawang petani sama sekali tidak menggunakan traktor.
Di beberapa daerah, petani juga masih dapat menggunakan bajak dengan
tenaga ternak. Penggunaan teknologi tidak semuanya spesifik menurut agroekosistem. Pada tanaman jagung di Blora terdapat perbedaan penggunaan varietas di lahan kering dan lahan sawah non irigasi. Demikian juga penggunaan varietas bawang di agroekosistem sawah irigasi Desa Tanjungsari dengan agroekosistem sawah non irigasi Desa Banjarharjo (Kabupaten Brebes).
Namun, dalam hal penggunaan varietas padi
tampaknya tidak unik, karena varietas Ciherang hampir ditanam di seluruh lokasi penelitian, kecuali di Desa Sumber Agung Kabupaten Grobogan. Selain agroekosistem, faktor budaya dan etnis serta sistem kelembagaan penunjang (lembaga penyuluhan) juga menentukan tingkat adopsi teknologi. Petani di Jawa Barat yang berada di sentra produksi utama (Indramayu) masih menggunakan gebotan untuk merontokkan padi, padahal power tresher yang menggunakan mesin sudah cukup tersedia. Petani Karet eks trans Jawa di Banyuasin lebih responsif dalam menggunakan klon unggul dibanding petani etnis lokal Melayu di Kabupaten Muara Enim. Sebagai sistem penunjang, penyuluhan berpengaruh besar terhadap kinerja usahatani di masing-masing lokasi. Ketidakaktifan PPL di wilayah kerja bukan semata kesalahan petugas. Karena kinerja penyuluh sangat dipengaruhi oleh jumlah penyuluh dalam satu wilayah, biaya operasional, sistem insentif, kepastian kerja, kesempatan meningkatkan keterampilan dan pengetahuan. Faktor-faktor itu selama ini terabaikan, sehingga banyak penyuluh yang tidak berada di lokasi kerjanya. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan sistem penyuluhan (salah satu unsur Panca Yasa) perlu dilakukan secara berkelanjutan.
20
3.4. Profil Ketenagakerjaan Kelembagaan upah tenaga kerja umumnya menggunakan sistem: borongan, harian, dan bagi hasil/bawon.
Upah borongan banyak dilakukan pada pengerjaan
pengolahan lahan dengan menggunakan traktor. Namun di beberapa daerah masih banyak petani yang menggunakan ternak dan tenaga manusia. Upah harian umumnya dilakukan pada pekerjaan penanaman dan perawatan tanaman. Pada kegiatan tanam dan dangir lebih banyak dilakukan tenaga wanita, sedangkan pemupukan dan penyemprotan hama dilakukan oleh tenaga pria. Kelembagaan tenaga kerja yang sudah mulai langka adalah sistem sambatan, bahkan sistem ceblokan sudah tidak ditemui lagi. Kasus di Desa Banyu Urip, lembaga sambatan dilakukan pada kegiatan penanaman dan penyulaman tanaman. Di Desa Gedang, sistem sambatan dilakukan untuk kegiatan tertentu, seperti membuat rumah. Di Tanjungsari, sistem sambatan banyak dilakukan oleh petani berlahan sempit terutama dalam membuat selokan diantara bedengan untuk penanaman bawang merah. Sejalan dengan menurunnya sistem sambatan, sistem upah harian semakin meningkat. Perubahan tersebut disebabkan perilaku masyarakat yang sudah banyak menilai sesuatu dengan uang (monetisasi). Kisaran pangsa curahan jam kerja pada sektor pertanian di berbagai desa dan agroekosistem antara 49 – 82 persen. Sejalan dengan pangsa pendapatan, pangsa curahan jam kerja petani padi (49%-73%) memiliki nilai terkecil dibandingkan bawang merah (75%-79%) dan karet (77%-79%). Kesempatan petani padi bekerja di luar sektor pertanian relatif lebih besar dibandingkan petani bawang dan karet. Hal ini disebakan petani bawang bekerja intensif sedangkan petani karet tidak setiap saat, kecuali musim hujan harus melakukaan penderesan. 3.5. Profil Pendapatan dan pengeluaran a. Pendapatan dan Sumber Pendapatan Pangsa pendapatan petani diberbagai jenis komoditas dan agroekosistem berkisar antara 40 – 81 persen, bervariasi menurut jenis tanaman dan intensitas tanam. Pada petani padi baik pada agroekosistem irigasi maupun non irigasi, pangsanya sebesar 45 – 69 persen, pada petani jagung pangsanya hanya 57 – 77 persen, pada petani bawang merah monokultur di sawah irigasi pangsanya sampai 81 persen, pada petani dengan usahatani polikultur di sawah non irigasi pangsa pendapatan
21
usahataninya hanya 57 persen, serta pada petani karet pangsa pendapatan usahatani hanya 40-50 persen (Tabel 8). Tingginya intensitas tanam tanaman bawang merah di Desa Tanjung Sari Brebes yaitu rata-rata empat kali tanam tanam (padi-bawang-bawang-bawang) bahkan ada satu responden yang melakukan lima kali tanam (padi-bawang-bawang-bawang-bawang) menyebabkan tingginya pangsa pendapatan dari usahatani ini. Berbeda dengan di desa Tawang Rejo, diman kondisi lahannya relatif sempit dan tanpa irigasi menyebabkan produktivitas lahan rendah sehingga banyak petani yang mengisi waktunya untuk berburuh bangunan ke Jakarta dan kota besar lain. b. Konsumsi dan Pengeluaran Petani dan Bukan Petani Secara umum pangsa pengeluaran secara nasional dan di lokasi penelitian baik berdasarkan wilayah desa kota, kelas pendapatan
baik penduduk yang bekerja di
pertanian dan non pertanian dari tahun 2002 ke 2005 mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan kesejahteraan masyarakat mengalami penurunan (Tabel 9). Secara nasional dan di lokasi penelitian, konsumsi beras menunjukkan penurunan (Tabel 10). Konsumsi energi dan protein pada kelas pendapatan menengah ke atas sudah diatas kecukupuan menurut AKE (Angka Kecukupan Energi) dan AKP (Angka Kecukupan Protein). Namun tidak demikian bagi penduduk berpendapatan rendah baik pada petani mapun non petani (Tabel 11). Pada tahun 2005 tingkat partisipasi rumah tangga pertanian dalam konsumsi beras secara nasional dan di lokasi penelitian berkisar antara 96-100 persen tidak jauh berbeda dengan rumah tangga non pertanian antara 96 – 99 persen. Dibanding tahun 2002, tampaknya terjadi peningkatan dan juga penurunan yang bervariasi antar lokasi. Secara umum, pangan yang dikonsumsi rumah tangga baik petani maupun non petani sebagian besar berasal dari pembelian dengan kecenderungan yang meningkat dari tahun 2002 ke 2005. Untuk kasus beras, ketergantungan rumah tangga terhadap beras mencapai 70 – 89 persen. Kondisi ini dapat mengganggu kecukupan pangan bila terjadi lonjakan harga. Secara intertemporal proporsi perolehan beras dari membeli cenderung menurun untuk Rumah Tangga Pertanian (RTP) berpendapatan rendah dan sebaliknya untuk RTP berpendapatan menengah keatas. Pada Rumah Tangga Non Pertanian (RTNP) terjadi peningkatan justru pada rumah tangga yang berpendapatan rendah.
22
Tabel 8.
No 1
2
3
4
1
2
3
4
Profil Pangsa Curahan Jam Kerja dan Pendapatan Rumah Tangga Petani menurut Agroekosistem, Tahun 2007 (%). Komoditas/ Agroekosistem Jam Kerja Pendapatan Pertanian a. Padi sawah irigasi a.1. Dtrn Rendah a.1.1. Indramayu 51.94 54.10 a.1.2. Grobogan 73.40 49.10 a.2. Dtrn Tinggi a.2.1. Cianjur 61.22 45.48 b. padi Swh Non Irigasi b.1. Dtrn Rendah b.1.1. Indramayu 65.63 68.74 b.1.2. Blora 54.97 49.16 b.1.3. Banyuasin 48.85 49.28 b.2. Dtrn Tinggi b.2.1. Cianjur 55.39 58.43 Jagung a. Swh Non Irigasi 54.52 59.74 b. Lahan Kering 78.34 78.96 Bawang Merah a. Sawah irigasi 74.72 81.05 b. Sawh non irigasi 81.53 57.21 Karet a. Eks Trans 79.01 50.19 b. Etnis Lokal 76.83 40.40 Non Pertanian a. Padi sawah irigasi a.1. Dtrn Rendah a.1.1. Indramayu 48.06 45.90 a.1.2. Grobogan 26.60 50.09 a.2. Dtrn Tinggi a.2.1. Cianjur 38.78 54.52 b. padi Swh Non Irigasi b.1. Dtrn Rendah b.1.1. Indramayu 34.37 31.26 b.1.2. Blora 45.03 50.48 b.1.3. Banyuasin 51.15 50.72 b.2. Dtrn Tinggi b.2.1. Cianjur 44.61 41.57 Jagung a. Swh Non Irigasi 45.48 40.26 b. Lahan Kering 21.66 21.04 Bawang Merah a. Sawah irigasi 25.28 18.95 b. Sawh non irigasi 18.47 42.79 a.Karet eks trans 20.99 49.81 b. Karet etnis lokasl 23.17 59.80
23
Tabel 9. Sebaran pangsa pengeluaran pangan rumahtangga menurut wilayah, 2002- 2005 (%) Sumsel Jabar Uraian 2002 2005 2002 2005 Pertanian Kota 67.5 78.3 63.2 68.4 Desa 71.9 84.3 65.9 76.7 Kota+Desa 71.6 83.8 65.4 74.9 Non pertanian Kota 57.6 69.4 55.8 65.0 Desa 65.5 79.4 64.5 75.5 Kota+Desa 59.5 72.4 58.9 69.3 Sumber: SUSENAS 2002 dan 2005, diolah
Jateng 2002 2005
Indonesia 2002 2005
63.3 65.3 64.9
76.7 77.4 77.3
64.4 69.2 68.6
72.9 81.1 80.1
56.8 62.7 59.3
69.6 75.0 72.1
54.4 64.3 57.7
66.0 76.5 70.3
Tabel 10.
Konsumsi Beras Keluarga Petani dan Non Petani Tingkat Nasional, Tahun 2002 dan 2005. 2002 2005 Kelompok Masyarakat (kg/kap/th) (kg/kap/th) Petani Wilayah 112.65 113.37 a. Desa 96.73 104.28 b. Kota 110.30 112.22 c. Desa + Kota Pendapatan 99.70 108.99 a. Rendah 117.19 114.51 b. Sedang 131.64 116.20 c. Tinggi Non-Petani Wilayah 104.53 106.34 a. Desa 83.24 85.43 b. Kota 91.98 92.33 c. Desa + Kota Pendapatan 88.27 93.63 a. Rendah 93.26 92.80 b. Sedang 94.93 89.40 c. Tinggi Sumber: Susenas 2002 dan 2005.
Jika dilihat dari pangsa pengeluaran pangan, pada tahun 2007 kesejahteraan petani menunjukkan peningkatan dan hubungan antara pangsa pengeluaran pangan dan tingkat pendapatan per kapita masih mengikuti kaidah hukum Enggel, kecuali pada daerah desa yang relatif miskin di Grobogan dan Blora walaupun pendapatannya relatif rendah, namun pengeluaran pangannya juga relatif rendah. Petani di daerah miskin ternyata menunjukkan keinginan untuk mengubah tingkat kehidupannya. Karena itu, pengeluaran non pangan yang meraka utamakan adalah
24
untuk kesehatan dan pendidikan. Tujuannya agar dapat bekerja lebih baik
guna
membiayai kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak agar kelak dapat bekerja di luar sektor pertanian. Sementara itu, infrastruktur jalan dan sarana transportasi yang minim di pedesaan menyebabkan banyak petani yang membeli sepeda motor untuk sarana transportasi pendidikan anak, usaha dan keluarga. Petani membeli sepeda motor dengan cara kredit, arisan, atau tabungan. Akibatnya beberapa petani mengurangi biaya untuk pangan dan biaya usahatani. Tingginya biaya pendidikan bukan hanya untuk biaya perlengkapan sekolah dan SPP, tetapi juga untuk jajan anak agar mau berangkat ke sekolah. Kondisi demikian menyebabkan walau pendapatan mereka rendah tetapi pengeluaran non pangan lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk pangan. Biaya non pangan lain yang jumlahnya juga besar adalah biaya untuk menghadiri hajatan (pernikahan dan/atau persunatan). Terdapat tiga bentuk pengeluaran untuk hajatan, pertama biaya saat pesta yang umumnya dikeluarkan oleh pria dengan memberi amplop berisi uang. Kedua, sebelum pesta para kaum ibu mengirim berbagai keperluan pesta terutama dalam bentuk natura dengan nilai yang lumayan besar, dan ketiga di beberapa daerah terdapat sejenis arisan untuk hajatan dimana setiap peserta memberikan sejumlah barang atau senilai uang saat peserta lain melakukan hajatan. Besarnya biaya hajatan dan pendidikan di hampir semua kelas pendapatan dapat menyebabkan seseorang masuk dalam kelas pendapatan rendah, namun pengeluarannya non pangannya relatif besar. hukum Engel.
Hal ini tentu tidak mengikuti kaidah
Budaya hajatan tersebut sudah sejak dahulu berlangsung.
Bagi
masyarakat desa atau petani, sebenarnya tidak semua sepakat dengan budaya tersebut, tetapi mereka merasa malu dan/atau akan dikucilkan jika tidak mengikuti budaya demikian.
Di sisi lain, sebagian masyarakat merasa terbantu dengan pola
tersebut, namun secara umum pola tersebut cenderung mengarah pada belanja konsumtif yang sebenarnya tidak diperlukan. Pola ini terlihat jelas pada masyarakat Perdjito dan Banyu Urip dimana salah satu bentuk arisannya adalah mengadakan orkes yang membutuhkan biaya besar.
25
Tabel 11. Konsumsi energi dan protein rumahtangga menurut kelas pendapatan, 2002-2005. Sumsel Jabar Jateng Uraian Agregasi 2002 2005 2002 2005 2002 2005 Energi Pertanian (Kkal/kap/hr) Rendah 1775.4 1669.9 1915.4 1973.4 1731.3 1735.2 88.8 83.5 95.8 98.7 86.6 86.8 Sedang 2264.1 2276.3 2473.2 2523.2 2191.1 2182.0 113.2 113.8 123.7 126.2 109.6 109.1 Tinggi 2861.5 3237.9 2917.7 3215.8 2641.0 2672.6 143.1 161.9 145.9 160.8 132.1 133.6 Non pertanian Rendah 1507.6 1456.6 1726.3 1754.9 1619.3 1622.2 75.4 72.8 86.3 87.7 81.0 81.1 Sedang 1972.0 2007.2 2158.2 2189.9 1952.3 1961.8 98.6 100.4 107.9 109.5 97.6 98.1 Tinggi 2394.4 2749.7 2525.8 2727.6 2345.0 2359.2 119.7 137.5 126.3 136.4 117.3 118.0 Protein Pertanian (Gr/kap/hr) Rendah 41.9 42.0 49.9 52.3 45.1 46.3 80.6 80.7 96.1 100.6 86.8 89.0 Sedang 56.0 60.2 67.4 71.5 58.6 60.0 107.7 115.8 129.7 137.4 112.7 115.4 Tinggi 76.1 93.7 84.5 99.3 72.9 74.1 146.3 180.2 162.4 191.1 140.2 142.6 Non pertanian Rendah 38.4 39.3 46.5 47.7 43.0 43.4 73.8 75.6 89.3 91.8 82.8 83.5 Sedang 53.3 57.4 60.5 63.5 53.9 55.4 102.6 110.4 116.3 122.1 103.6 106.4 Tinggi 68.7 83.4 74.9 83.6 69.5 71.8 132.1 160.5 144.1 160.7 133.7 138.0 Keterangan: angka tercetak miring menunjukkan tingkat kecukupan.
Sumber
Indonesia 2002 2005 1987.7 99.4 2222.0 111.1 2336.0 116.8
1870.2 93.5 2420.8 121.0 3114.4 155.7
1905.4 95.3 2065.0 103.3 2292.6 114.6
1726.6 86.3 2098.3 104.9 2585.0 129.3
51.1 98.2 59.2 113.8 63.9 122.8
48.7 93.6 66.0 127.0 89.7 172.5
52.0 100.1 58.4 112.2 68.7 132.1
47.1 90.5 60.6 116.6 81.0 155.7
: Susenas 2002 dan 2005, diolah.
3.6. Profil Kelembagaan Berdasarkan informasi dari instansi terkait di kabupaten lokasi penelitian, terjadi penurunan jumlah kelompok tani, kecuali di Kabupaten Indramayu yang justru meningkat. Hal tersebut merupakan efek dari upaya pemerintah merevitalisasi kelompok tani. Kelompok yang tidak aktif dihilangkan atau dilebur dengan kelompok lain. Peningkatan jumlah kelompok tani di Indramayu disebabkan adanya pemecahan kelompok besar yang beranggotakan 100 orang menjadi kelompok kecil yang hanya beranggotakan sekitar 25 orang. Di sebagian besar daerah penelitian, jumlah Gapoktan relatif tetap.
Secara
konsepsi pembentukan Gapoktan cukup baik. Namun karena kemampuan personal 26
dalam jiwa wirausaha dan kemampuan modal yang masih terbatas, serta status badan hukum, maka dalam jangka pendek perannya masih sulit diharapkan. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah jiwa wirausaha. Karena itu, disarankan pola pembentukan Gapoktan diintegrasikan dengan LUEP dengan beberapa poktan di wilayah kerja LUEP. Jumlah PPL bervariasi ada yang meningkat, menurun dan stabil.
Namun
walaupun terjadi peningkatan jumlahnya masih kurang dibandingkan dengan rentang wilayah kerjanya.
Jika di rasiokan antara jumlah PPL dengan jumlah desa maka
seorang PPL rata-rata harus membina lebih dari satu desa.
Bahkan di Kabupaten
Brebes, satu orang PPL harus mengcover 3 – 4 desa. Rasio yang kecil, fasilitas yang terbatas, sistem insentif dan jaminan kerja yang tidak pasti menyebabkan banyak PPL yang jarang berkunjung ke wilayah kerjanya. Apalagi tempat PPL berkumpul yaitu BPP kondisinya banyak yang tidak memadai. Di beberapa daerah jumlah BPP lebih sedikit dibandingkan jumlah kecamatan yang ada (Tabel 12 dan 13). Selain lembaga yang dibentuk pemerintah seperti di atas, ada juga lembaga bentukan pemerintah seperti KUD, UPJA, dan Lumbung. KUD yang ada umumnya sudah tidak melakukan peran pertanian tetapi lebih ke arah pelayanan jasa umum seperti pelayanan listrik dan sembako. UPJA perlu terus dibina dan sebaiknya semua program mekanisasi di desa dikelola oleh UPJA yang berintikan kelompok tani. Keberadaan dan keberhasilan Lumbung ditentukan oleh kebutuhan dan lokasi desa.
Kasus di Desa Tugu Indramayu, menunjukkan bahwa keberadaan lumbung
kurang berfungsi karena pembangunannya merupakan hadiah atas kemenangan lomba desa. Sementara itu, Lumbung di Desa Banyu Urip berjalan lancar karena memang dibentuk oleh anggota masyarakat, kemudian diberi penguatan fasilitas berupa mesin penggilingan padi. Model seperti ini perlu dicontoh untuk pengembangan lumbung spesifik lokasi agar lebih efektif. Sebagian besar petani mengandalkan modal sendiri untuk usahatani. Namun banyak juga petani yang tidak memiliki kecukupan modalnya, sehingga harus meminjam dari kios saprodi dengan sistem yarnen. Jika dihitung, tingkat bunga yang dikenakan kios terhadap petani mencapai 10%/bulan. Walaupun mahal petani merasa terbantu karena pelayanan tersebut selalu tersedia saat dibutuhkan dan tanpa syarat yang menyulitkan.
27
Tabel 12. Kekuatan dan Kelemahan PPL pada KIPP Indramayu dan PPL pada Dinas Pertanian Indramayu, tahun 2007 PPL - KIPP
Indikator
PPL/KCD Distan
-
Sarana
+
+
SDM
-
-
Keuangan
+
-
Apresiasi petani
+
-
Jaminan kerja
+
-
Insentif
+
+
Tanggung jawab
-
Tabel 13. Hubungan antara Keberadaan PPL dengan Kinerja Poktan di Desa Penelitian, Tahun 2007. Lokasi
Tanaman
PPL
Poktan
Banyu Urip-Banyuasin
Padi
-/+
+
Mulya Agung-Banyuasin
Karet
-
-
Perdjito-Muara Enim
Karet
-
-
Bunijaya-Cianjur
Padi
-
-
Karang Tengah-Cianjur
Padi
-
-
Tugu-Indramayu
Padi
-
+
Gantar-Indramayu
Padi
-
-
Tanjungsari-Brebes
Bawang merah
-
-
Banjarharjo-Brebes
Bawang merah
+
-/
Sumber Agung-Grobogan
Padi
-
-
Gedang-Grobogan
Jagung
+
+
Bangoawan-Blora
Jagung
-
-/+
Tawang Rejo-Blora
Padi
+
-/+
Sebagian kecil petani ada juga yang menggunakan jasa bank. Kasus di Indramayu, petani meminjam dana bank BRI dengan sistem yarnen setahun dua kali yaitu saat panen rendeng dan gadu. Pola ini ternyata memudahkan petani dalam memperoleh modal secara cepat dibandingkan dengan meminjam mengikuti pola bank konvensional. Namun tidak semua bank menggunakan pola ini. Kasus di Desa Gedang
28
dan Tawang Rejo, keberadaan bank BPR dengan sistem jemput bola langsung keliling desa dan dengan persyaratan yang mudah menyebabkan petani akses terhadap bank. Sementara, Skim SP3 pada saat penelitian dilakukan masih pada taraf sosialisasi di tingkat provinsi dan kabupaten. Belum banyak petani yang mendengar program tersebut. Kalaupun ada, persyaratan yang diperlukan masih memberatkan bagi sebagian besar petani. Seperti halnya pada petani di Ciwidey, Jawa Barat, hanya kelompok tani hortikultura yang sudah memanfaatkannya. Kelompok tersebut sudah maju dengan tingkat komersialisasi usaha yang tinggi. Lembaga yang bukan bentukan pemerintah baik di Desa maupun yang dari luar desa banyak terlibat dalam mendukung pembangunan pertanian. Semua lembaga tersebut melakukan aktivitas sesuai segmen agribisnis sejak dari saprodi, jasa mekanisasi pra panen dan pasca panen, dan pedagang hasil. 3.7. Profil Pembangunan Pertanian dan Dampaknya pada Petani Secara umum, berbagai kegiatan yang dilakukan instansi pemerintah untuk mendukung program peningkatan produksi dan pendapatan petani padi sudah terumuskan secara holistik. Kegiatan pada subsektor tanaman pangan lebih banyak dan lengkap dibandingkan dengan kegiatan
pada subsektor hortikultura dan
perkebunan. Namun demikian, masih dijumpai masalah yang berkaitan dengan administrasi, penafsiran, dan sinkronisasi. Karena terkendala oleh prosedur administrasi, maka kegiatan subsidi benih belum berjalan. Masalah lain berkaitan dengan subsidi benih adalah: (a) alokasi benih tidak sesuai dengan kebutuhan dan (b) harga benih dalam DIPA masih di bawah harga pasar. Program SP3 mengalami hambatan karena pihak bank tetap meminta agunan. Dengan demikian, program ini belum bisa memecahkan masalah kesulitan akses petani terhadap perbankan. Seperi halnya di Jawa Tengah, alokasi pupuk berdasarkan SK Menteri Pertanian jumlahnya lebih kecil dari yang dibutuhkan. Hal ini terjadi setiap tahun, sehingga kalau musim tanam terjadi serentak maka timbul masalah kekurangan pupuk. Pada tahun 2007, musim tanam tidak serentak sehingga tidak ditemui masalah tersebut. Salah satu masalah yang dihadapi dalam pengembangan padi hibrida adalah berkaitan dengan pemasaran. Sampai saat ini konsumen belum mengenal beras hasil padi hibrida sehingga kurang populer, padahal rasanya enak. Dinas Pertanian juga 29
belum berani menganjurkan petani untuk menanam padi hibrida karena risikonya tinggi yaitu sangat peka terhadap hama dan penyakit, kekurangan air, dan pupuk. Sebagian besar petani sampel masih mengharapkan adanya kebijakan dan program yang meliputi subsidi benih, subsidi pupuk, peningkatan ketrampilan petani, dan peningkatan peran kelompok tani. Mekanisme penyaluran subsidi sebaiknya ditujukan langsung kepada petani atau kelompok tani. Persentase petani yang merasakan manfaat positif dari program pembangunan yang sedang berjalan tampaknya masih relatif kecil. Perkecualian terjadi di Kabupaten Grobogan, baik pada petani jagung di sawah non irigasi maupun petani padi sawah irigasi.
Perolehan
manfaat tersebut sangat terkait erat dengan peran PPL di daerah masing-masing. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1) Terdapat kecenderungan pelambatan trend penawaran tenaga kerja di sektor pertanian.
Perubahan tersebut secara sosial disebabkan adanya pandangan di
masyarakat desa bahwa bekerja sebagai petani itu sungguh berat dan rendah statusnya, terutama di kalangan generasi muda. 2) Sebagian besar petani menggunakan jumlah benih pada usahatani padi sawah jauh di atas dosis anjuran. Hal ini merupakan pemborosan dan menyulitkan perencanaan produksi benih. Akibatnya ketersediaan benih di pasar jauh di bawah kebutuhan dan petani menggunakan benih turunan dengan produktivitas yang rendah. 3) Masalah utama yang dihadapi petani dalam penerapan teknologi adalah ketersediaan air irigasi yang tidak memadai. Ketersediaan air, terutama pada usahatani padi, merupakan prasyarat untuk dapat menerapkan teknologi lain. 4) Data Susenas tahun 2002-2005 menunjukkan trend penurunan konsumsi beras baik petani maupun non petani. Konsumsi beras untuk rumahtangga petani turun dari 112,22 menjadi 110,30 kg/kap/th, sedangkan untuk rumahtangga non petani turun dari 92,33 menjadi 91,98 kg/kap/th. Pada masyarakat kelas pendapatan rendah baik petani maupun non petani terjadi pula penurunan Angka Kecukupan Energi dan Angka Kecukupan Protein. 5) Data Sensus Pertanian tahun 2003 dan hasil survey di beberapa propinsi menunjukkan bawa sebagian besar petani memiliki lahan kurang dari 0.5 hektar, kecuali di Desa Banyu Urip, Mulya Agung, Perdjito, Tugu, dan Gantar.
Dalam
30
periode 2004 – 2007 asset lahan dan asset lain yang dimiliki petani pada beberapa lokasi penelitian meningkat baik disebabkan dari usahatani, usaha luar pertanian, maupun peralihan asset. Indikasi ini sejalan dengan indikasi pangsa pengeluaran pangan yang juga menurun dibandingkan tahun 2005. 6) Secara ageregat sumber pangan masyarakat dari hasil pembelian meningkat dari tahun 2002 ke 2005.
Untuk
beras, kebutuhan konsumsi yang bersumber dari
pembelian mencapai sekitar 70 – 89 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat dan stabilitas harga pangan sangat menentukan ketahanan pangan rumahtangga. Khusus pada rumah tangga pertanian berpendapatan rendah, jumlah beras yang dibeli mengalami penurunan dari tahun 2002 ke 2005. Perkecualian terjadi di desa lahan kering dimana persentase beras yang dibeli masih cukup tinggi sekitar 60 – 94 persen. 7) Pelaksanaan otonomi daerah telah berdampak negatif terhadap kinerja lembaga penyuluhan pertanian di daerah.
Terkait kegiatan penyuluhan tersebut, ada
hubungan positif antara intensitas kunjungan PPL dengan dinamika kelompok tani. Namun kasus di Desa Tugu menunjukkan bahwa, walaupun PPL tidak aktif kepemimpinan kepala desa yang transparan mampu mengaktifkan kelompok tani di desanya.
Sebaliknya terjadi pada desa yang jarang didatangi PPL dan krisis
kepemimpinan masayarakat terhadap kepala desa. 8) Kegiatan revitalisasi kelompok tani masih dalam tahap pendataan potensi. Adanya informasi tentang kegiatan pemberdayaan Poktan menjadi Gapoktan telah mendorong terbentuknya kelompok-kelompok tani baru.
Kasus di desa Gantar,
setiap ketua RW ditetapkan sebagai ketua kelompok tani atas perintah kepala desa dengan struktur organisasi yang lengkap, namun operasionalnya tidak berjalan. Hambatan utama peningkatan kinerja Gapoktan adalah rendahnya kemampuan wirausaha petani, status badan hukum dan terbatasnya sarana-prasarana. 9) Banyak petani yang memenuhi kebutuhan
modal usahataninya dari lembaga
keuangan informal di desa dengan tingkat bunga tinggi, namun prosedurnya mudah. Di beberapa daerah ada juga petani yang akses kepada bank (BRI dan BPR) karena skim yang ditawarkan memudahkan petani, seperti sistem yarnen pada BRI dan sistem jemput bola serta tanpa agunan pada BPR.
31
Implikasi Kebijakan 1) Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja dan menarik minat generasi muda bekerja di sektor pertanian dengan produktivitas yang tinggi, mekanisasi pertanian perlu terus ditingkatkan. Kegiatan tersebut di beberapa daerah dilakukan sendiri oleh petani, sehingga bila difasilitasi pemerintah akan berkembang lebih cepat lagi. 2) Sistem jaringan irigasi merupakan infrastruktur utama dan prioritas untuk ditingkatkan secara terpadu meliputi irigasi primer, sekunder, tersier maupun irigasi desa. Program tersebut memerlukan koordinasi yang intensif dengan Departemen PU, Departemen Kehutanan dan pemerintah daerah. Peningkatan prasarana di tingkat desa dan tingkat usahatani (jides dan jitut) tidak akan berdampak optimal tanpa ada pengembangan pada sistem utamanya. 3) Mengingat sempitnya penguasaan lahan, upaya peningkatan kesejahteraan petani dapat dilakukan dengan meningkatkan akses petani terhadap lahan dan meningkatkan intensitas tanam. Disinilah peran strategis reforma agraria, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam konteks yang lebih luas, diperlukan pengembangan potensi ekonomi desa dalam berbagai sektor melalui diversifikasi baik off-farm maupun maupun non-farm. 4) Untuk mendukung peningkatan produksi dan pendapatan petani, revitalisasi sistem penyuluhan perlu terus ditingkatkan. Hal ini meliputi pemberian sistem insentif dan jaminan kerja, mobilitas kerja, sarana BPP yang memadai, dan peningkatan ketrampilan. 5) Kelembagaan kelompok tani perlu lebih diberdayakan lagi. Opsi jangka pendek adalah dengan meingintegrasikan LUEP dengan kelompok tani di sekitarnya. Bersamaan
dengan
itu
Gapoktan
terus
diberdayakan
dengan
orientasi
pengembangan berdasarkan: fungsionalisasi usaha, pemberdayaan ekonomi petani, akuntabilitas, dan transparansi. Langkah itu dilakukan untuk mengakomodir perilaku petani saat ini yang makin kritis dan menghindari krisis kepemimpinan serta kepercayaan diantara anggota dan pengurus Gapoktan.
Pada tahap awal
diperlukan inventarisasi potensi dan kelas Gapoktan. Model-model pengembangan spesifik lokasi perlu dikembangkan pada daerah lain yang hampir sama. 6) Untuk meningkatkan akses petani terhadap sumber pembiayaan, lembaga keuangan mikro bukan bank perlu terus dikembangkan sebagai kompetitor bagi para rentenir yang selama ini melayani petani. Pada saat yang sama, peningkatan akses
32
petani terhadap bank perlu terus dilakukan antara lain melalui: (a) peningkatkan kapasitas
kelompoktani
sehingga
dapat
mengelola
kebutuhan
dana
para
anggotanya secara kolektif dan (b) menggunakan apalis lokal (kios saprodi, penggilingan padi, dll ) sebagai penjamin petani kepada bank.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2000. Teknologi Budidaya Bawang Merah. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Ungaran. Anonimous. 1999. Budidaya Jagung Di Lahan Kering. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertaanian, Pertanian Kota Baru Jambi, Anonimous. 1991. Rekomendasi Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan. Departemen Perttanian, Balai Informasi Pertanian Kalimantan Barat, Pontianak. Anwar, C. 2006. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Makalah, disampaikan pada pelatihan ”Tekno Ekonomi Agribisnis Karet” tanggal 18 Mei 2006 di Jakarta oleh PT. FABA Indonesia Konsultan. Pusat Penelitian Karet, Medan. Bappenas. 2006. Gambaran Rumah Tangga dan Tenaga Kerja Pertanian: Pendekatan untuk mengetahui “Siapa Petani Indonesia”. Direktorat Pangan dan Pertanian, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. BPS. 2003. Sensus Pertanian 2003: Data Angka Nasional SP 2003 dalam bentuk CD. Jakarta-Indonesia. BPS. 2002 dan 2005. Survey Social Ekonomi Nasional 2002 dan 2005. Data dalam bentuk CD. Jakarta-Indonesia. Damiri, A. 1998. Budidaya Bawang Merah. Departemen Pertanian, BPTP Sukaramai, Instalasi Penelitian dan Penegkajian Teknologi Pertanian, Bengkulu. Egbert de Vries. 1985. Pertanian dan Kemiskinan di Jawa. Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia, Jakarta. Ilham, N. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan dan Dampaknya pada Stabilitas Ekonomi Makro. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Maryati dan Wiryatmi. 1996. Budidaya Bawang Merah di Yogyakarta. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, BPTP Ungaran, Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Yogyakarta.
33
Ramdan, H., Yusran dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah: Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Alqaprint, Bandung. Stevens, R. D. And J. L. Jabara. 1988. Agricultural Development Principles: Economic Theory and Empirical Evidence. The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London. Sumaryanto. 2004. Usahatani dan Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi: Studi Kasus di Persawahan DAS Brantas. Dalam: Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Penyunting: F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Suradisastra, K., M. Yusron, A. Saefudin, dan R. Hardianto. 1990. Analisis Agroekosistem Kabupaten Manokwari, Irian Jaya. Badan Litbang Departemen Pertanian bekerjasama dengan PSL Universitas Cenderawasih dan The Ford Foundation, Jakarta.
34