LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012
PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) : DINAMIKA INDIKATOR PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN DI WILAYAH AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN
Oleh : Sri H. Susilowati Tri B. Purwantini Deri Hidayat Mohamad Maulana Ahmad M. Ar-Rozi Rangga D. Yofa
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012
RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan 1.
Pembangunan merupakan proses yang berkelanjutan sejalan dengan perubahan lingkungan strategis. Sektor pertanian memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional dan peran strategis sektor pertanian dimaksud sejalan dengan tujuan pembangunan perekonomian nasional yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, serta memelihara keseimbangan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Untuk mengetahui hasil dan dampak dari pembangunan pertanian khususnya yang berkaitan dengan target utama berupa peningkatan kesejahteraan petani, dan guna melakukan penyempurnaan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan perdesaan lebih lanjut, pemerintah membutuhkan informasi dalam bentuk indikator-indikator pembangunan pertanian.
2.
Penelitian PATANAS (Panel Petani Nasional) merupakan kajian yang bersifat panel, dirancang untuk memantau dan memahami berbagai perubahan jangka panjang profil rumahtangga di daerah perdesaan. Kajian PATANAS menghasilkan data panel mikro, gabungan data time series dan cross section yang memiliki kandungan data dan informasi yang rinci serta memiliki spektrum ekonomi dan sosial yang sangat luas mencakup berbagai variasi agroekosistem dan wilayah serta komoditas basis. Tahun 2009 telah dilakukan penelitian PATANAS di agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan. Untuk dapat memperoleh data yang bersifat panel, maka pada tahun 2012 perlu dilakukan resurvei di agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan. Dengan demikian, dinamika pembangunan pertanian dan perdesaan di wilayah agroekostem lahan kering berbasis perkebunan akan dapat dikaji melalui perubahan kondisi sosial ekonomi perdesaan dalam rentang waktu 2009 – 2012. Dari kajian ini akan dihasilkan sejumlah indikator pembangunan pertanian dan perdesaan.
Tujuan 3.
Tujuan umum penelitian adalah mengkaji dinamika sosial ekonomi perdesaan di agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan dalam periode 2009-2012 guna menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan kapasitas produksi usahatani dan kesejahteraan rumahtangga di wilayah agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan.
4.
Secara spesifik tujuan penelitian adalah sebagai berikut: a. Menganalisis dinamika struktur dan distribusi pengusaaan lahan rumah
tangga dalam periode 2009-2012.
xiii
b. Menganalisis dinamika struktur tenaga kerja, tingkat pengangguran,
produktivitas tenaga kerja dan migrasi tenaga kerja dalam periode 2009-2012.
c. Menganalisis
dinamika tingkat adopsi teknologi profitabilitas usahatani dalam periode 2009-2012.
pertanian
dan
d. Menganalisis dinamika tingkat, struktur dan distribusi pendapatan rumah
tangga dalam periode 2009-2012.
e. Menganalisis
dinamika struktur pengeluaran dan dan konsumsi rumahtangga, kecukupan kalori dan pola pangan harapan rumah tangga dalam periode 2009-2012.
f. Menganalisis dinamika insiden kemiskinan dalam periode 2009-2012. g. Menganalisis dinamika nilai tukar petani dalam periode 2009-2012. h. Menganalisis dinamika kelembagaan agribisnis dalam periode 2009-
2012.
Metodologi Kerangka Pemikiran 5.
Dalam konteks pembangunan pertanian dan perdesaan, indikator yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan pembangunan ekonomi dalam kajian ini terdiri dari indikator ekonomi maupun indikator sosial dengan fokus sasaran adalah petani, usahatani dan wilayah perdesaan. Sasaran akhir pembangunan pertanian dan perdesaan adalah kesejahteraan petani. Dinamika ekonomi perdesaan yang terjadi bukan hanya sebagai dampak dari pembangunan pertanian, namun juga dampak dari kebijakan pembangunan dan program-program lintas sektoral. Dengan perkataan lain pendapatan rumah tangga petani maupun non petani di wilayah pedesaan dipengaruhi baik oleh kebijakan dan program sektor pertanian maupun sektor di luar pertanian.
Lokasi Penelitian dan Responden 6.
Mengingat penelitian PATANAS mupakan penelitian panel, maka survei dilakukan pada lokasi dan rumah tangga yang sama dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yaitu pada agroekositem lahan kering berbasis perkebunan sehingga dapat dianalisis dinamika periode 20092012. Basis komoditas perkebunan dipilih komoditas kelapa sawit, karet, kakao.
7.
Dasar pemilihan propinsi lokasi penelitian adalah berdasarkan konsep sentra produksi dengan metoda LQ (Loqation Qoution). Provinsi contoh adalah Sulawesi Selatan (untuk kakao), Jawa Timur (untuk tebu), Kalimantan Barat (untuk kelapa sawit dan karet), dan Jambi (untuk kelapa sawit dan karet) Jumlah responden di masing-masing desa lokasi penelitian adalah 40 rumah tangga, xiv
Analisis Data 8.
Analisis yang digunakan adalah melalui metode statistik deskriptif. Analisis data menggunakan formula sederhana dengan menghitung rata-rata (mean), dan ukuran tingkat partisipasi (participation rate). Untuk mengetahui distribusi pemilikan dan penguasaan lahan serta distribusi pendapatan rumahtangga digunakan Indeks Gini dan konsep Worldbank. Untuk menghitung tingkat kemiskinan digunakan formulasi Foster-GreerThorbecke (FGT) poverty index dengan menggunakan Garis Batas Kemiskinan yang ditetapkan BPS.
HASIL PENELITIAN Dinamika Penguasaan Lahan Pertanian 9.
Rata-rata luas penguasaan lahan pertanian selama periode 2009-2012 menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2009, rata-rata luas penguasaan lahan berkisar antara 0,42-3,59 ha per rumahtangga responden. Rata-rata luas penguasaan lahan ini meningkat pada 2012 menjadi 0,54-4,21 ha per rumahtangga responden.
10. Distribusi penguasaan lahan tahun 2012 pada desa-desa berbasis komoditas Karet dan Kelapa Sawit, terkonsentrasi pada kelompok luas lahan (klas lahan) diatas 3 ha/KK dan dominan klas lahan ini tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan hasil survey Patanas 2009. Untuk komoditas tebu, persentase luas penguasaan lahan terbesar tahun 2012 adalah pada kelompok klas lahan 0,01-0,50 ha/KK, yang juga tidak mengalami perubahan klas pengelompokan dominan dibanding 2009. Untuk komoditas kakao, luas penguasaan lahan pada 2012 terkonsentrasi pada klas 0,51-1,0 ha/KK, namun distribusi pada tahun 2009 dominan pada kelompok luas 0,01-0,50 ha/KK. 11. Indeks Gini sebagai indikator tingkat ketimpangan penguasaan lahan, secara umum berada pada katagori ketimpangan ringan sampai sedang, kecuali untuik komoditas basis tebu berada pada ketimpangan berat (6,08,7). Dinamika ketimpangan lahan selama periode 2009-2012 bervariasi menurut lokasi dan komoditas basis, namun secara umum cenderung meningkat dari katagori ringan ke sedang. 12. Perolehan lahan di desa-desa berbasis komoditas tebu sebagian besar berasal dari lahan yang pada awalnya berjenis lahan sawah tadah hujan dan tegalan. Sedangkan untuk komoditas karet, kakao dan sawit perolehan lahan utamanya berasal dari lahan perkebunan. Sementara itu, pelepasan lahan dengan cara di jual, diwariskan atau di tukar dengan lahan lain pada periode 2009-2012 tidak ditemukan pada resurvey Patanas 2012. Kondisi ini berbeda dari hasil penelitian tahun 2009 yang mencatat adanya pelepasan lahan meskipun jumlahnya sangat kecil.
xv
Penduduk dan Ketenagakerjaan 13. Jumlah Angkatan Kerja di wilayah basis perkebunan berdasarkan dua titik waktu (2009 dan 2012) secara rataan sebanyak 68,56 persen dan 72,19 persen, kesempatan kerja sebanyak 49,10 persen dan 55,08 persen. Kesempatan kerja terendah berada di wilayah komoditas basis kakao 41,731 persen dan 55,08 persen. Tingkat partisipasi kerja secara rataan sebanyak 71,62 persen dan 76,30 pesen. Dengan tingkat partisipasi kerja sebesar tersebut, tingkat pengangguran sekitar 16 - 19 persen, terendah di wilayah komoditas basis karet dan tertinggi di wilayah komoditas basis kelapa sawit (19,26%). 14. Tingkat pendidikan tenaga kerja baik di sektor pertanian dan non pertanian pada tahun 2009 dan 2012, dominan berada pada kelompok pendidikan < 6 tahun dengan kisaran antara 33 - 65 persen, sedangkan setara SLTA hanya sekitar 15 - 32 persen, sedangkan dari tingkat SLTA (Perguruan Tinggi) sekitar 1 - 15 persen. Tenaga kerja yang berpendidikan perguruan tinggi secara umum lebih banyak terdapat di sektor non pertanian 15. Struktur tenaga kerja menurut umur menunjukkan dari rataan 71 persen tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian, sekitar 69,05 persen (2009) dan 65 persen (2012) termasuk usia produktif (15 tahun – 44 tahun) dan yang termasuk dalam kelompok usia ‘tua’ (> 45 tahun) sekitar 31 persen (2009) dan 24 persen (2012). Mengamati komposisi umur tenaga kerja tersebut dikhawatirkan di masa depan akan kekurangan tenaga kerja pertanian. Sektor pertanian menunjukan trend aging agriculture , yaitu suatu kondisi dimana tenaga kerja yang berada di pertanian adalah tenaga kerja yang berusia lanjut 16. Sektor pertanian masih merupakan sumber pekerjaan utama bagi angkatan kerja di wilayah agroekosistem lahan kering berbasis tanaman perkebunan. Kontribusi sektor pertanian, terutama pertanian, terhadap sumber mata pencaharian secara rataan sebesar 71 persen (2004), dan 64 persen (2012). Kontribusi penyerapan tenaga kerja pertanian terbesar di agroekosistem komoditas basis sawit, diikuti oleh agroekosistem perkebunan karet. 17. Secara agregat produktivitas (proporsi total pendapatan pertanian dan non pertanian) mengalami peningkatan yang sangat signifikan antara tahun 2009 dan 2012. Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya tingkat pendapatan tahun 2012 adalah terjadi lonjakan harga produk perkebunan, yang sebelumnya (2009) mengalami penurunan harga secara drastis karena krisis global finansial. 18. Secara agregat menunjukkan bahwa jumlah angkatan kerja yang bekerja dengan bermigrasi mencapai 16 persen (2009) dan 22 persen (2012). jumlah tenaga kerja yang bermigrasi tertinggi terdapat di wilayah basis tanaman kakao 32 persen (2009) dan 38 persen (2012), berikutnya pada basis tanaman tebu 19 prsen (2009) dan 28 persen (2012). Migrasi dengan cara komutasi paling banyak dilakukan rumahtangga di wilayah basis komoditas kelapa sawit 100 persen (2009) dan 62 persen (2012). xvi
Sedangkan migrasi permanen tertinggi di wilayah basis kakao (kabupaten Pinrang dan Luwu) 75 persen (2009) dan 58 persen (2012). Teknologi dan Profitabilitas Usahatani 19. Umur tanaman dominan pada komoditas basis berada pada umur yang produktif. Namun perlu di lakukan peremajaan karena umurnya relatif tua, terutama tanaman tebu yang idealnya hanya di kepras 3 kali. Status pengusahaan yang dominan adalah Petani Non-PIR/Mandiri. Ini terjadi pada petani komoditas Karet dan Kakao, serta petani komoditas Kelapa Sawit di Muaro Jambi. Sedangkan Status Pengusahaan Petani Kelapa Sawit di Kabupaten Sanggau dan petani komoditas Tebu di dominasi dengan sistem Kemitraan di mana petani terikat untuk menjual hasil panennya ke perusahaan mitra. Lahan di desa Patanas relatif subur, sumber air terutma berasal dari sungai dan air hujan, dan pola tanam cenderung monokultur. 20. Secara umum, penggunaan herbisida pada proses penyiangan tanaman perkebunan telah banyak dilakukan petani. Kegiatan penyulaman pada semua tanaman dilakukan terutama pada awal penanaman untuk mengganti tanaman yang mati/rusak. Pemberantasan hama dan penyakit dilakukan terutama pada tanaman Kakao. Hal ini karena hama pada komoditas Kakao sangat merusak dan menyerang dalam jumlah yang banyak. 21. Anjuran dari dinas terkait dosis dan frekwensi penggunaan pupuk mengalami peningkatan pada komoditas Karet dan Kakao. Namun secara umum petani relatif tidak mengikuti anjuran yang diberikan sehingga trendnya menurun dibandingkan tahun 2009. 22. Secara umum panen sawit dilakukan setiap 2 pekan sekali, sedangkan pada Kakao mengalami penurunan frekwensi panen menjadi 10-11 kali setahun. Pada komoditas Karet, panen pada musim kemarau jauh lebih besar frekwensinya dibandingkan musim hujan. Dan secara umum, petani belum melakukan pengolahan pasca panen dan biasanya menjual hasil panennya secara langsung. Kecuali petani Karet yang sebagiannya sudah mengolah hasil panen menjadi press sheet. 23. Secara umum terjadi peningkatan penerimaan petani di tiga komoditas yaitu Karet, Kakao, dan Tebu. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan produktivitas dan perbaikan harga jual. Petani yang mengalami penurunan penerimaan adalah petani Kakao dimana tahun ini terjadi penurunan penerimaan hingga 57%. Rendahnya produktivitas petani Kakao menjadi sebab utama penurunan penerimaan, terutama petani Kakao di Kabupaten Pinrang yang produktivitasnya menurun hingga 70% sehingga saat ini rata-ratanya hanya 149 Kg/tahun. Sedangkan pada komponen biaya, secara umum terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2009, hal ini disebabkan terutama karena meningkatnya biaya tenaga kerja. xvii
24. Secara umum keuntungan yang di peroleh petani mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2009. Peningkatan tertinggi terjadi pada komoditas Tebu sebesar 256%. Peningkatan penerimaan akibat kebijakan nilai minimal rendemen menjadi penyebab utama peningkatan keuntungan petani tebu. Namun, terdapat kerugian yang cukup besar pada petani komoditas Kakao dimana penurunan keuntungannya mencapai 114%. Produktivitas yang sangat rendah akibat serangan hama terutama Penggerek Batang Kakao (PBK) dan kurang intensifnya dalam pemeliharaan. Pendapatan Rumahtangga 25. Rata-rata nilai total pendapatan per rumahtangga diseluruh desa Patanas pada tahun 2012 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2009. Ratarata nilai total pendapatan per rumahtangga pada tahun 2012 adalah sebesar Rp. 49,8 juta/tahun, meningkat 43% dibandingkan pendapatan tahun 2009 yang hanya sebesar Rp. 21,3 juta/tahun. Namun, persentase sumber pendapatan dari sektor pertanian dan non pertanian pada periode tersebut cenderung tidak berubah, kecuali pada desa-desa berbasis komoditas tebu. Rata-rata persentase sumber pendapatan sektor pertanian adalah 64 persen sementara non pertanian adalah 36%. 26. Struktur pendapatan dari sektor pertaniannya di desa-desa Patanas berbasis komoditas kelapa sawit dan karet dominan berasal dari usaha perkebunan, 18% – 76% dari total pendapatan setahun. Tambahan pendapatan lainnya dari sektor pertanian berturut-turut berasal dari berburuh tani, usahatani sawah dan beternak sapi. Untuk struktur pendapatan rumahtangga yang berasal dari sektor non pertanian didominasi oleh pendapatan yang berasal dari berburuh non pertanian. Rata-rata pendapatan dari berburuh non pertanian mencapai 17% – 21% dari total pendapatan setahun. tambahan penghasilan non pertanian lainnya berturut-turut berasal dari berdagang, pekerjaan lainnya dan kiriman. 27. Analisis sumber pendapatan berdasarkan kelas lahan menunjukkan bahwa sampai dengan memiliki atau mengusahakan lahan pertanian seluas 0,5 hektar, rumahtangga di perdesaan berbasis komoditas perkebunan akan mengandalkan sumber pendapatan yang berasal dari sektor non pertanian. Sampai dengan pengusahaan atau pemilikan lahan 0,5 hektar, rumahtangga basis perkebunan karet, kakao, kelapa sawit dan tebu persentase sumber pendapatan dari sektor non pertanian pada tahun 2012 berturut-turut mencapai 100%, 80%, 54% dan 67%. Pola ini sama dengan yang terjadi pada tahun 2009. Setelah pemilikan dan pengusahaan lahan lebih dari 0,5 hektar maka rumahtangga akan mengandalkan sumber pendapatannya dari sektor pertanian. 28. Nilai indeks Gini pendapatan total di desa-desa Patanas tahun 2009 berkisar 0,26-0,51. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan total di desa-desa Patanas mempunyai tingkat ketimpangan rendah sampai xviii
berat. Tahun 2012 nilai indeks Gini di desa-desa Patanas berkisar 0,340,59, yang berarti bahwa distribusi pendapatan total di lokasi yang sama mempunyai ketimpangan rendah sampai berat. Dengan demikian selama kurun waktu 2009-2012 distribusi pendapatan total di desa-desa Patanas cenderung semakin timpang. Pengeluaran dan Konsumsi 29. Pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumahtangga berkisar 57-67 persen tahun 2009 dan 55-66 persen pada tahun 2012, secara agregat pangsa pengeluaran pangan cenderung menurun. ini mengindikasikan adanya perbaikan kesejahteraan, kondisi ini juga didukung dengan meningkatknya pendapatan (proksi pengeluaran), baik secara absulut maupun secara riil setara beras. 30. Pangsa pengeluaran kelompok pangan pokok cukup besar namun cenderung menurun, dari 22,9 persen (2009) menjadi 19,7 persen (2012). Sebaliknya pangsa pengeluaran pangan hewani meningkat, ini mengindikasikan perbaikan pola konsumsi. Sementara pangsa pengeluaran pangan jenis sayuran dan buah-buahan umumnya relatif tetap. 31. Struktur pengeluaran non pangan terbesar adalah pengeluaran untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) , selama 2009-2012 menurun 28,2 persen menjadi 26,7 persen, pangsa kedua terbesar adalah untuk pendidikan, bila dibandingkan pangsa pengeluaran untuk pendidikan meningkat dari 26,0 persen (2009) menjadi 27,8 persen (2012), selanjutnya pengeluaran lain-lain yang meliputi sumbangan hajatan/sosial, pajak kendaraan dan lain-lain. 32. Tingkat partisipasi konsumsi beras di semua lokasi 100 persen demikian juga tingkat konsumsinya relatif cukup besar, artinya seluruh rumahtangga masih mengandalkan beras sebagai pangan pokoknya. Konsumsi pangan pokok umumnya masih bertumpu pada beras, walaupun tingkat konsumsi pangan tersebut cenderung menurun, namun di wilayah basis kelapa sawit dan tebu tingkat konsumsi berasmeningkat. Meningkatnya konsumsi beras di wilayah basis tebu, diikuti dengan menurunnya konsumsi jagung, dikawatirkan diversifiaksi pangan (yang semula beras+jagung) akan tergeser, sementara program percepatan diversifikasi pangan ini sedang digalakkan oleh pemerintah. Oleh karena itu penyuluhan dan sosialisasi tentang pentingnya diversifikasi pangan dengan kearifan lokal yang ada harus terus digulirkan. 33. Selama 2009-2012 konsumsi energi dan protein menurun, peningkatan pendapatan tidak digunakan untuk perbaikan pola konsumsi pangan. Ratarata konsumsi energinya masih dibawah standar kecukupan. Secara agregat pola konsumsi pangan rumahtangga contoh mengalami penurunan dari 70,6 (2009) menjadi 66,6 (2012), data agregat nasional menunjukkan PPH sebesar 77,3 sedangkan untuk wilayah perdesaan 75,8. Indikasi ini menunjukkan, bahwa belum tercapainya kecukupan energi dan rendahnya xix
skor PPH (masih lebih rendah dibanding rata-rata wilayah perdesaan secara nasional). Secara umum dapat disarankan bahwa pangan hewani, kacang-kacangan, sayur dan buah perlu dipacu bak dari sisi produksi (persediaan) maupun konsumsinya. 34. Nilai skor PPH mencapai 71,18 persen, hal ini mencerminkan kualitas pangan yang rendah dan kurang beragam, karena pangsa energi hanya terkonsentrasi di beberapa kelompok pangan tertentu seperti padi-padian, sementara untuk sayur dan buah masih jauh dibawah skor ideal. Kelompok sayur dan buah defisitnya mencapai sekitar 27 persen. Untuk itu konsumsi sayur dan buah perlu ditingkatkan. Insiden Kemiskinan 35. Dinamika insiden kemiskinan selama 2009 – 2012 cenderung menurun, kecuali untuk wilayah komoditas basis Karet di Sanggau dan wilayah komoditas basis tebu di Lumajang insiden keimiskinan cenderung meningkat. Meningkatnya insiden kemiskinan di dua wilayah tersebut juga diikuti dengan meningkatnya poverty gap dan poverty severity, yang berarti kesenjangan pendapatan rumahtangga miskin dengan garis batas kemiskinan semakin lebar dan distribusi pendapatan antar rumahtangga miskin juga semakin melebar. Secara rataan insiden kemiskinan (headcount index) berkisar 5,0% - 15,0%, kecuali untuk kabupaten Pinrang yang mewakili agroekosistem lahan kering perkebunan berbasis komodiats kakao sebesar 59,0% tahun 2009, menurun menjadi 35,9% tahun 2012. 36. Persepsi masyarakat setempat mengenai komponen yang digunakan sebagai indikator untuk mengukur kemiskinan, secara umum setuju pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, perumahan, dan sumber pendapatan sebagai indikator kemiskinan. Namun indikator pendidikan dan kesehatan kurang mendapat dukungan untuk digunakan sebagai indikator kemiskinan, karena adanya fasilitasi pemerintah bagi masyarakat golongan pendapatan rendah melalui dana bantuan sekolah (BOS) dan program sekolah gratis serta adanya askeskin, puskesmas, polindes serta fasilitasi kesehatan lainnya. 37. Rata-rata rumahtangga yang pernah mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, kesehatan, pendidikan dan rumah tinggal selama setahun terakhir pada tahun 2012 adalah sebesar 11,3%, atau turun sebanyak 7% dibandingkan tahun 2009. Hal ini terjadi seiring karena peningkatan pendapatan total rata-rata rumahtangga responden yang meningkat 43% dibandingkan perolehan pendapatan total pada tahun 2009. 38. Strategi dalam menghadapi kemiskinan oleh rumahtangga bervariasi. Strategi dominan yang ditempuh agar tidak mengalami kesulitan dalam hal pemenuhan pangan yaitu meminjam uang pada orang lain, berhutang di warung dan mengatur frekuensi makan. Strategi dominan untuk memenuhi xx
kebutuhan pakaian yaitu tidak membeli pakaian kecuali untuk seragam sekolah anak, mengurangi kuantitas pembelian sandang dan menurunkan kualitas sandang yang dibeli. Strategi dominan untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan yaitu meminjam uang pada orang lain, memilih tidak berobat untuk menekan pengeluaran dan menggunakan pelayanan askeskin. Strategi dominan untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan pendidikan adalah meminjam uang pada pihak lain dan drop out. Strategi dominan yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal yaitu menumpang atau bergabung dengan keluarga besar, dan meminjam uang dari pihak lain. Dinamika Nilai Tukar Petani (NTP) 39. NTP didekati dengan menggunakan indikator Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Petani merupakan rasio antara total pendapatan terhadap total pengeluaran. Secara agregat, NTP di pedesaan Patanas berbasis perkebunan pada periode tahun 2009-2012 meningkat dari 0,90 menjadi 1,56. Artinya di perdesaan Patanas berbasis perkebunan, pendapatan rumahtangga pada tahun 2012 di atas pengeluaran rumahtangga, ini mengindikasikan terjadi peningkatan kesejahteraan petani perkebunan. 40. Rataan NTP perkebunan dengan berbagai komoditas basis terhadap total pengeluaran berkisar antara antara 0.70 – 1.10 pada tahun 2009, sedangkan pada tahun 2012, rataan NTPRP perkebunan dengan berbagai komoditas basis berkisar antara 1,31 – 1,71 (terrendah pada komoditas kakao dan tertinggi pada komoditas kelapa sawit). Keragaman NTP disebabkan karena pendapatan dan pengeluaran antar komoditas dan antar wilayah yang beragam. 41. Beragamnya biaya produksi antar komoditas basis karena beragamnya tingkat penggunaan input produksi dan pemeliharaan. Pada usahatani karet, pada umumnya petani tidak melakukan pemupukan dan pemeliharaan secara intensif, namun melakukan penyadapan hampir setiap hari. Sebaliknya pada usahatani tebu penggunaan input produksi dilakukan secara intensif. Kelembagaan Agribisnis 42. Kelembagaan sarana produksi pada dasarnya digunakan untuk meningkatkan aksesibilitas petani secara fisik maupun secara finansial terhadap input yang dibutuhkan. Secara agregat hampir 50% petani menyatakan bahwa kios sarana produksi tersedia di wilayah desa penelitian, meskipun keberadaan kios saprodi di Jawa jauh lebih tinggi dibanding luar Jawa. 43. Ketersediaan bibit tanaman kebun hampir tidak dijumpai di semua desa penelitian, kecuali bibit kakao di Luwu dan tebu di Malang. Jenis sarana produksi yang paling banyak tersedia di kios saprodi adalah pupuk kimia, yang secara agregat terlihat sebanyak 47%. Upaya yang dilakukan petani xxi
apabila sarana produksi tidak tercukupi di desa, yaitu dengan membeli di luar desa atau di luar kecamatan, kecuali untuk bibit, pembelian dilakukan di luar kecamatan dan luar kabupaten. 44. Dibanding tahun 2009, secara agregat tahun 2012 telah terjadi penurunan penjualan jasa tenaga kerja, baik tenaga kerja kelompok maupun perorangan. Pada kelembagaan pemasaran menunjukkan bahwa dari dua titik waktu nampak bahwa pada tahun 2012, penjualan per satuan meningkat dibanding tahun 2009. Hal ini terjadi karena pendapatan yang diperoleh petani dari hasil penjualan per satuan bisa lebih besar. Persentase penjualan dengan cara tebasan yang paling besar terlihat pada petani tebu. 45. Keberadaan kelompok tani pada lokasi penelitian, secara agregat relatif sama antara tahun 2009 dan 2012. Namun demikian, dari jumlah petani yang mengetahui keberadaan kelompok tani, tidak seluruhnya menjadi anggota kelompok tani. Dinamika keanggotaan kelompok tani pada tahun 2009 dan 2012 terlihat beragam antar wilayah. 46. Sumber informasi yang paling dominan digunakan oleh petani yaitu dari sesama petani sendiri, meskipun menurun dari 58 % pada tahun 2009 menjadi 42% pada tahun 2012. Sumber informasi kedua adalah kelompok tani. Hal ini sangat menggembirakan karena kelompok tani dapat berperan aktif dalam menyampaikan program-program dari Pemerintah. Sementara itu peran PPL sebagai sumber informasi hanya sebesar 14%, jumlah ini berkurang dibadingkan tahun 2009. IMPLIKASI KEBIJAKAN 47. Pemerintah perlu mengupayakan perbaikan distribusi lahan, terutama pada wilayah yang mengalami ketimpangan pemilikan lahan cukup serius (wilayah komoditas basis tebu di Kabupaten Malang dan Lumajang). Upaya pemilikan skala usaha perkebunan dan pemilikan lahan bagi rumahtangga diperdesaan harus terus dilakukan melalui pelaksanaan reforma agraria dengan mempertimbangkan faktor kelestarian lingkungan. Guna meningkatkan status pemilikan lahan, proses sertifikasi lahan perlu segera didorong penyelesainnya. 48. Untuk meningkatkan kualitas kemampuan sumberdaya manusia (SDM) di perdesaan, diperlukan program peningkatan ketrampilan dan pengetahuan agar tenaga kerja pertanian memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan, dan teknologi, serta kapasitas manajemen yang lebih tinggi serta mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan dapat bersaing di pasar tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan. Perlu diberi prioritas pengembangan sumberdaya manusia perdesaan Selain itu juga perlu memperlancar mobilitas penduduk melalui perbaikan infrastrukrur prasarana jalan dan transportasi sehingga diversifikasi usaha dapat berkembang dengan baik. xxii
49. Perlu penanganan lebih serius dalam mengatasi penyakit PBK pada kakao guna memperbaiki produktivitas kakao yang sangat rendah sehingga pendapatan usahatani kakao dapat kembali dijadikan sumber pendapatan rumahtangga yang diharapkan akan dapat mengurangi laju migrasi di wilayah tersebut. Sangat mendesak untuk melakukan peremajaan kebun sehubungan umur tanaman yang sebagian besar mendekati masa tua (tidak produktif). Program Revitalisasi perkebunan perlu ditingkatkan dan dipantau pelaksanaannya agar dapat secara nyata dinikmati oleh pekebun melalui kredit KKPE untuk membantu peremajaan kebun. Penyediaan bibit unggul menjadi prioritas untuk meningkatkan produktivitas usahatani, selain ketersediaan sarana produksi pada tingkat harga yang terjangkau oleh petani dan dapat diperoleh secara mudah. Dinas Perkebunan dan perusahaan inti berkewajiban utuk menyediakan bibit unggul bagi petani yang mengusahakan kebun secara mandiri. 50. Agar terjadi diversifikasi pendapatan dan usaha serta mengurangi ketimpangan pendapatan rumahtangga, pemerintah harus mengupayakan ragam sumber pendapatan melalui peningkatan nilai tambah produk perkebunan dan pengembangan industri pertanian sekaligus memperbesar kesempatan kerja di sektor pertanian dan luar pertanian. Dengan demikian pengembangan infrastruktur pertanian dan perdesaan perlu dilakukan secara pararel dalam rangka keseimbangan pembangunan sektoral dan wilayah dengan sasaran peningkatan kesejahteraan petani. 51. Untuk meningkatkan keragaman pangan dan pangan lokal serta peningkatan kualitas konsumsi pangan rumahtangga maka peran pemerintah dalam mengubah konsumsi pangan masyarakat terutama beras dan mie sangat diperlukan. Juga dibutuhkan peran semua lapisan masyarakat dalam mengkampanyekan keragaman konsumsi pangan lokal. Perlu didukung pula upaya peningkatan daya beli masyarakat untuk meningkatkan konsumsi pangan masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, penyadaran masyarakat akan pangan dan gizi serta kesehatan perlu ditingkatkan, sehingga jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan. Kampanye pembatasan merokok di tempat umum perlu lebih disosialisasikan di perdesaan untuk mengurangi pengeluaran rokok yang cukup tinggi. Secara umum dapat disarankan bahwa pangan hewani, kacang-kacangan, sayur dan buah perlu dipacu bak dari sisi produksi (persediaan) maupun konsumsinya. 52. Strategi utama untuk mengatasi tingginya tingkat kemiskinan di wilayah agroekosistem perkebunan kakao di kabupaten Pinrang adalah melalui perbaikan budidaya tanaman. Bantuan dari Dinas Perkebunan setempat dalam pemberantasan hama PBK dan pemberian bibit unggul untuk mengganti tanaman yang mati diharapkan akan memperbaiki produktivitas sehingga pendapatan dari usahatani kakao dapat ditingkatkan. Sedangkan untuk mengatasi kemiskinan di agroekosistem tebu lahan kering di kabupaten Lumajang adalah selain melalui perbaikan budidaya yaitu dengan bongkar ratoon yang umumnya sudah melebihi kepras 6, juga melalui perbaikan system pemasaran agar tidak dikuasai oleh pedagang xxiii
pengumpul sebagai pemborong sehingga petani dapat memperoleh harga lebih baik melalui penjualan langsung ke Pabrik Gula. Selain itu fasilitasi pemerintah bagi masyarakat golongan pendapatan rendah melalui dana bantuan sekolah (BOS) dan program sekolah gratis serta adanya askeskin, puskesmas, polindes serta fasilitasi kesehatan lainnya masih sangat diperlukan. 53. Perlu fasilitasi pemerintah dalam penyediaan sarana produksi secara tepat sampai ke lokasi desa perkebunan untuk mengurangi tingginya biaya angkut sehingga harga pupuk dan sarana produksi lain di tingkat desa dan kecamatan tidak terlalu tinggi. Dengan demikian biaya input dapat ditekan dan akan meningkatkan Nilai tukar petani terhadap biaya produksi yang selama periode 2009-2012 cenderung meningkat. Untuk itu perlu ditumbuhkan kios sarana produksi di tingkat desa melalui fasilitasi kredit program KUR dari perbankan. 54. Kelembagaan kelompok tani perlu dilakukan penataan agar tetap berperan dalam manajemen usahatani kebun. Peningkatan peran penyuluh dalam pendampingan alih teknologi serta pembinaan dari instansi terkait perlu terus dilakukan untuk perbaikan teknologi usahatani serta upaya memperkuat kelembagaan petani dalam memperkuat usahatani dan pemasaran hasil.
xxiv