Nama Rumpun Ilmu:561/Ekonomi Pembangunan Tema: Pembangunan Manusia dan Daya Saing Bangsa
LAPORAN AKHIR PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL
DESAIN MODEL PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM MEWUJUDKAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN DI KABUPATEN GOWA DAN JENEPONTO SULAWESI SELATAN
KETUA: DR.NURSINI,SE.,MA/0017076601 ANGGOTA: PROF.DR.IR.RAHIM DARMA, MS/1045905 DR. SRI UNDAI NURBAYANI, SE., MSI/0011086601
UNIVERSITAS HASANUDDIN 2014
i
HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL JUDUL
Tema Isu Strategis Peneliti a. Nama Lengkap b. NIDN c. Jabatan Fungsional d. Program Studi e. Nomor HP f. Alamat Email Anggota Peneliti (1) a. Nama Lengkap b. NIDN c. Perguruan Tinggi Anggota Peneliti (2) a. Nama Lengkap b. NIDN c. Perguruan Tinggi Institusi Mitra a. Nama Institusi Mitra b. Alamat
: Desain Model Penguatan Kelembagaan PUG dalam Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender Bidang Pendidikan di Kab Gowa dan Jeneponto Sulawesi Selatan : Pembangunan Manusia dan Daya Saing Bangsa : Dr.Nursini, SE.,MA : 0017076601 : Lektor Kepala : Ilmu Ekonomi : 081381511306 :
[email protected] : Prof.Dr.Ir.Rahim Darma, MS : 1045905 : UNHAS : Dr.Sri Undai Nurbayani, SE.,Msi : 0011086601 : UNHAS
: Dinas Pendidikan Kab Gowa dan Jeneponto : Jl Mesjid Raya No.30 Gowa (Dinas Pendidikan Kab Gowa), Jl Abd Jalil Sikki No.29 Romanga Jeneponto (Dinas Pendidikan Kab Jeneponto) c. Penanggung Jawab : Kepala Dinas/Kepala Bidang Sosial Budaya/PUG Lama Penelitian : 2 Tahun Penelitian tahun ke :1 Biaya Tahun I yang diusulkan ke DIKTI : Rp 92.210.000 Biaya tahun I yang disetujui oleh DIKTI : Rp 75.000.000 Makassar, 18 Agustus 2014 Mengetahui Dekan Fakultas Ekonomi UNHAS
Ketua Peneliti
Prof. Dr.Gagaring Pagalung, SE, M.Si ,Ak Nip: 19631161988101001
Dr.Nursini,SE.,MA Nip: 196607171991032001
Menyetujui, Ketua LP2M UNHAS
Prof.Dr.Ir.Sudirman, M.Si Nip 196412121989031004 ii
Desain Model Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender Bidang Pendidikan Di Kabupaten Gowa dan Jeneponto Design Model for the Institutional Strengthening Gender Mainstreaming (PUG) in Creating Gender Equality and Justice in the Field of Education in Gowa and Jeneponto District, South Sulawesi Province Nursini, Rahim Darma, Sri Undai Nurbayani Abstrak Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender bidang pendidikan di Sulawesi Selatan. Tujuan jangka pendek adalah: (i) mengetahui faktor penyebab kesenjangan gender bidang pendidikan di Kabupaten Gowa dan Jeneponto, (ii) mengetahui rencana program dan kegiatan yang responsive gender di Dinas Pendidikan (iii) mengetahui pemahaman rumah tangga tentang pendidikan yang responsive gender, (iv) mengembangkan model yang tepat untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender bidang pendidikan. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder yang dianalisis melalui model analisis deskriptif. Data primer diperoleh dari hasil wawancara rumah tangga dan tenaga pendidik pada dua Desa Pesisir di Kabupaten Jeneponto dan satu desa di Kabupaten Gowa. Data sekunder diperoleh dari Dinas Pendidikan dan Sekolah Dasar. Hasilnya adalah: (i) Kesenjangan gender di bidang pendidikan disebabkan oleh faktor partisipasi dan faktor akses, dan secara eksternal penyebab kesenjangan gender adalah faktor budaya ―stereotype”. (ii) Pada umumnya rumusan kebijakan, program, dan kegiatan pada Dinas Pendidikan belum responsive gender, (iii) Secara umum, pemahaman responden tentang pendidikan yang responsive gender masih rendah, (iv) terciptanya model penguatan kelembagaan PUG yang bersinergi antara Tenaga Pendidik, Orang Tua Murid, dan Dinas Pendidikan. Manfaat dari penelitian ini adalah memperkuat kelembagaan PUG yang selanjutnya memperbaiki sistem penerapan perencanaan dan penganggaran yang responsive gender bidang pendidikan (PPRG). Kata Kunci: Pengarusutamaan Gender, bias gender, pendidikan, model, PPRG Abstract The long term objective of this research is to achieve gender equality in education in South Sulawesi. The short-term objectives are: (i) to determine the causes of gender gap in education at Gowa and Jeneponto District, (ii) to know whether the formulation of policies, programs, and activities are responsive gender in the Department of Education, (iii) to know the knowledge of household regarding to gender responsive education, (iv) develop a model of institutional strengthening gender mainstreaming (PUG) in order to obtain gender equality. The data used are primary data and secondary data and those are analyzed through descriptive analysis model. The primary data obtained from interviews of households and teachers at two in the Coastal Village Jeneponto and one village in Gowa. Secondary data were obtained from the Department of Education and Elementary School. iii
The result is: (i) Gender gap in education due to participation, access, and culture factors. (ii) In general, the formulation of policies, programs, and activities at the Department of Education has not been responsive to gender, (iii) the knowledge of household regarding to gender responsive education are still low, (iv) The model developed is institutional strengthening of PUG based on synergy between Teachers, Parents, and the Department of Education. The benefit of this research is to strong PUG institution and further to improve the system of gender responsive planning and budgeting in education. Key word: Gender Mainstreaming, gender bias, education, model, PPRG
iv
DAFTAR ISI
Bab I
Pendahuluan 1.1. Latar Belakang 1.2.Rumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Manfaat 1.5. Urgensi Penelitian 1.6. Luaran
1 3 3 4 4 5
Bab II
Tinjauan Pustaka 2.1. Pengertian Gender 2.2.Pengarusutamaan gender 2.3. Road Map
6 6 7 7
Bab III
Metode Penelitian 3.1. Jenis dan Desain penelitian 3.2. Jenis Data 3.3. Lokasi Penelitian 3.4. Metode Analisis
10 10 10 11 11
Bab IV
Pembahasan 4.1. Gambaran Umum Bidang Penelitian 4.2. Kebijakan, Program dan Kegiatan
13 13 31
4.3. Analisis Faktor Penyebab Kesenjangan Gender
26
4.4. Desain Model Penguatan Kelembagaan PUG Kesimpulan
66 72
Bab V
Lampiran
v
DAFTAR GAMBAR
Bab I
Pendahuluan 1.1. Latar Belakang 1.2.Rumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Manfaat 1.5. Urgensi Penelitian 1.6. Luaran
1 3 4 4 4 5
Bab II
Tinjauan Pustaka 2.1. Pengertian Gender 2.2.Pengarusutamaan gender 2.3. Road Map
6 6 7 7
Bab III
Metode Penelitian 3.1. Jenis dan Desain penelitian 3.2. Jenis Data 3.3. Lokasi Penelitian 3.4. Metode Analisis
11 11 11 12 12
Bab IV
Pembahasan 4.1. Gambaran Umum Bidang Penelitian 4.2. Kebijakan, Program dan Kegiatan
14 14 21
4.3. Analisis Faktor Penyebab Kesenjangan Gender
26
4.4. Desain Model Penguatan Kelembagaan PUG Kesimpulan
30 34
Bab V
Lampiran
vi
DAFTAR TABEL
Bab I
Pendahuluan 1.1. Latar Belakang 1.2.Rumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Manfaat 1.5. Urgensi Penelitian 1.6. Luaran
1 3 4 4 4 5
Bab II
Tinjauan Pustaka 2.1. Pengertian Gender 2.2.Pengarusutamaan gender 2.3. Road Map
6 6 7 7
Bab III
Metode Penelitian 3.1. Jenis dan Desain penelitian 3.2. Jenis Data 3.3. Lokasi Penelitian 3.4. Metode Analisis
11 11 11 12 12
Bab IV
Pembahasan 4.1. Gambaran Umum Bidang Penelitian 4.2. Kebijakan, Program dan Kegiatan
14 14 21
4.3. Analisis Faktor Penyebab Kesenjangan Gender
26
4.4. Desain Model Penguatan Kelembagaan PUG Kesimpulan
30 34
Bab V
Lampiran
vii
viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Sejak
dikeluarkan
Instruksi
Presiden
No.9
Tahun
2000
tentang
Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam seluruh bidang pembangunan dan Permendagri No.15 Tahun 2008, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah merespon secara positif program PUG yang tercermin pada salah satu dari 7 agenda penting dalam RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan (2010-2014) yaitu penguatan kelembagaan masyarakat. Salah satu kebijakan yang diprioritaskan dalam agenda tersebut adalah pemberdayaan perempuan yang substansinya adalah mendorong kesetaraan gender. Untuk mendukung kesetaraan gender, maka strategi PUG harus mampu terakomodir dalam seluruh program pembangunan di Sulawesi Selatan yang meliputi: (i) Pendidikan; (ii) Kesehatan; (iii) Ekonomi; (iv) Politik; (v) Kekerasan dan Perdagangan Perempuan dan Anak (trafikking). Gambar 1.1. Perkembangan GDI dan GEM Nasional dan Provinsi Sulawesi Selatan, 2008-2009
Sumber:Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2005-2006, BPS-Kementerian PP dan PA; Pembangunan Berbasis Gender 2006-2008, BPS-Kementerian PP dan PA; Tahun 2009 data proyeksi
Beberapa keberhasilan yang telah dicapai oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam mendorong kesetaraan gender terlihat pada perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), angka Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM).
1
IPM Provinsi Sulawesi Selatan cenderung membaik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, Provinsi Sulawesi Selatan berada pada urutan ke 21 dari 33 Provinsi, kemudian meningkat menjadi urutan ke 19 pada tahun 2010. Peningkatan
capaian IPM diiringi oleh peningkatan capaian indeks
pembangunan gender (GDI) dan indeks pemberdayaan gender (GEM) seperti terlihat pada Gambar 1. Meskipun kecenderungan, IPM, GDI dan GEM meningkat selama dua tahun terakhir namun posisinya masih berada dibawah rata-rata nasional. Rendahnya posisi tersebut (IPM, GDI dan GEM) di Sulawesi Selatan terutama disebabkan oleh rendahnya capaian indikator pada bidang pendidikan khususnya angka buta huruf perempuan yang tergolong sangat tinggi. Dengan tingkat pendidikan yang rendah selanjutnya akan mempengaruhi aspek
ekonomi dari sisi pendapatan dan aspek
kesehatan. Dengan mencermati indikator pendidikan yang responsive gender, Sulawesi Selatan masih ditemukan bias gender yaitu: (i) Jumlah anak laki-laki yang putus sekolah lebih tinggi daripada perempuan pada kedua golongan umur 7-12 dan 13-15 tahun yang tersebar pada seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Angka putus sekolah terbesar ditemukan di Kota Makassar, sebanyak 35 orang, kemudian Bone dan Tana Toraja. (ii) Jumlah penduduk perempuan yang lulus lebih tinggi daripada laki-laki pada tahun 2009 yang tersebar pada jenjang SD, SMP, MI dan MTs. (iii) Penduduk perempuan yang melek huruf (85,54) lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki (90,21) pada tahun 2010 atau dengan kata lain, perempuan yang buta huruf lebih banyak daripada penduduk laki-laki dan kenyataan ini tersebar di seluruh kabupaten/kota Sulawesi Selatan. Kesenjangan angka melek huruf tertinggi antara laki-laki dengan perempuan terjadi pada kelompok umur 60 tahun ke atas, (iv) Angka partisipasi sekolah (APS) perempuan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lakilaki pada semua kelompok umur menurut jenjang pendidikan. Akan tetapi pada tahun 2010, angka partisipasi murni laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Berbagai kenyataan ketimpangan gender di bidang pendidikan di Sulawesi Selatan, mensyaratkan masih perlu upaya yang serius bagi kepentingan
seluruh pemangku
untuk terus menggalakkan strategi pengarusutamaan gender secara
berkelanjutan. Salah satu upaya cukup signifikan untuk mengatasi
kesenjangan 2
gender di bidang pendidikan adalah
menemukenali lebih jauh apa faktor-faktor
penyebab kesenjangan gender yang berfokus pada 4 (empat) aspek yaitu akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pada tingkat rumah tangga. Keempat aspek tersebut menggambarkan apakah kesenjangan gender bidang pendidikan lebih didominasi oleh budaya masyarakat (steriotipe) ataukah kebijakan dan program pemerintah yang masih netral gender? Terkait dengan hal tersebut, untuk mengatasi ketimpangan gender di bidang pendidikan maka diperlukan pengembangan model pendidikan responsive gender yang berbasis pada sinergitas antara rumah tangga dan pemerintah.
1.2.
Rumusan permasalahan
1.2.1. Apa faktor penyebab kecenderungan bias gender bidang pendidikan di Kabupaten Gowa dan Jeneponto? Apakah karena akses, partisipasi, kontrol dan manfaat? 1.2.2. Faktor kesenjangan mana yang paling mendominasi bias gender di bidang pendidikan di Sulawesi Selatan khususnya di Kab Gowa dan Jeneponto, apakah akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat? 1.2.3.
Bagaimana model pendidikan responsive gender yang tepat diterapkan di Sulawesi Selatan agar kesetaraan gender dapat terwujud?
1.2.4. Apakah program dan kegiatan yang direncanakan oleh Dinas Pendidikan sudah responsive gender? 1.2.5. Bagaimana pemahaman keluarga dalam menerapkan konsep kesetaraan gender dalam lingkungan keluarga?
1.3.
Tujuan Khusus Penelitian Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1.3.1. Mengetahui faktor penyebab kesenjangan gender bidang pendidikan di Kabupaten Gowa dan Jeneponto 1.3.2. Membangun model pendidikan responsive gender yang tepat sesuai dengan akar permasalahan bias gender untuk mewujudkan kesetaraan gender 1.3.3. Meningkatkan kualitas aparat perencana dalam lingkup Dinas Pendidikan dalam menyusun perencanaan dan penganggaran responsive gender.
3
1.3.4. Meningkatkan pemahaman rumah tangga
dalam menerapkan konsep
kesetaraan gender dalam lingkungan keluarga
1.4.
Manfaat khusus Manfaat khusus penelitian ini adalah:
1.4.1. Bagi masyarakat adalah meningkatnya partisipasi penduduk laki-laki dan perempuan dalam setiap aspek pembangunan (pendidikan, kesehatan, ekonomi dan politik) dan menjadi pintu masuk untuk mencegah kerawanan sosial dimasyarakat. 1.4.2. Bagi pemerintah adalah memberi masukan kepada pemerintah daerah khususnya Dinas Pendidikan dalam menyusun program dan kegiatan yang responsive gender dalam rangka mendorong kesetaraan gender di bidang pendidikan. 1.4.3. Bagi rumah tangga sebagai peserta didik adalah meningkatkan pengetahuan dan pemahaman bagi keluarga yang berwawasan gender untuk mencapai kesetaraan gender khususnya di bidang pendidikan.
1.5.
Urgensi Penelitian Upaya pemerintah di Sulawesi Selatan untuk memacu pendidikan di semua jenjang pendidikan cukup signifikan dan patut diapresiasi. Namun dengan mencermati data yang ada, masih saja terjadi kesenjangan gender di bidang pendidikan. Pertanyaan yang sangat mendasar adalah apa akar penyebab kesenjangan gender tersebut? Apakah karena permasalahan akses, partisipasi, kontrol dan atau manfaat? Keempat aspek analisis gender tersebut dapat terjadi karena dalam lingkungan keluarga/budaya masyarakat yang masih kental dengan pemahaman stereotipe atau karena intervensi pemerintah dalam menyusun kebijakan dan program yang belum memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan pengalaman murid perempuan dan laki-laki atau kedua-duanya secara simultan. Implementasi
Pengarusutamaan
gender
(PUG)
di
segala
bidang
pembangunan sebagaimana amanah Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 sampai saat ini belum optimal. Selama ini, aparat pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan program dan kegiatan, masih saja terhambat pada permasalahan 4
kurangnya data dan informasi tentang isu-isu gender, sehingga rencana aksi yang disusun belum menyentuh akar masalah. Dukungan hasil penelitian tentang isuisu gender sangat terbatas. Ditinjau dari kajian/penelitian sebelumnya, belum banyak peneliti yang bergelut untuk mencari akar penyebab bias gender khususnya di bidang pendidikan. Untuk mengatasi permasalahan strategis isu gender di bidang pendidikan di Sulawesi Selatan, penelitian tahap pertama tentang akar penyebab terjadi isu gender bidang pendidikan menjadi sangat penting untuk dilakukan yang selanjutnya akan melahirkan model pendidikan responsive gender sesuai dengan akar permasalahan. Kejelasan informasi mengenai akar penyebab masalah bias gender di bidang pendidikan sangat mendukung kualitas para perencana Dinas Pendidikan dalam menyusun kebijakan, program dan kegiatan yang responsive gender.
1.6 Luaran yang dicapai Output yang dicapai adalah Draft Publikasi nasional terakreditasi dan Draft Model Pengembangan pendidikan berwawasan gender.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Gender Konsep gender dan jenis kelamin merupakan dua konsep yang berbeda namun sama-sama menjelaskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Berbagai referensi yang menjelaskan perbedaan antara jenis kelamin dengan gender, salah satu diantaranya adalah terdapat dalam Buku Pedoman Perencanaan dan Penganggaran yang responsive Gender, yang diterbitkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak, 2010 yaitu: (i) Jenis kelamin, merujuk pada perbedaan atribut fisik laki-laki dan perempuan seperti perbedaan kromoson, alat kelamin, dan reproduksi, hamil, melahirkan, menyusui, menstruasi serta perbedaan karakteristik fisik sekunder seperti rambut, pertumbuhan buah dada, perubahan suara, dan seterusnya. (ii) Konsep jenis kelamin menjelaskan mengenai kodrat Tuhan yang telah memberikan cirri fisik yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kodrat fisik tersebut tidak dapat dipertukarkan dan dimilik oleh laki-laki dan perempuan di seluruh tempat dan budaya, serta diiliki sejak lahir hingga meninggal dunia. (iii) Perbedaan jenis kelamin dalam masyarakat memberikan konsekwensi makna sosial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hal yang berbeda dengan pengertian gender yaitu: (i) Hasil konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia, yang sifatnya tidak tetap, berubah-ubah serta dapat dialihkan dan pertukarkan dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya menurut waktu, tempat dan budaya setempat. (ii) Konsep gender diciptakan oleh keluarga dan atau masyarakat, yang dipengaruhi oleh budaya, interpretasi pemuka agama, dan diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi. (iii) Perbedaan peran yang dijalankan oleh laki-laki dan perempuan menghasilkan perbedaan gender. Peran gender mempengaruhi pola relasi antara perempuan dan laki-laki yang disebut sebagai relasi gender.
6
2.2. Pengarusutamaan Gender Untuk memahami pengarusutamaan gender (PUG), perlu dipahami tujuan pembangunan millennium (MDGs). PUG ini merupakan sebuah strategi yang diterima secara global untuk mempromosikan kesetaraan gender (KPPKB, 2006). Keeratan hubungan antara PUG dan MDGs tercermin dari salah satu tujuan dari MDGs yaitu tujuan ketiga mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Didalam kerangka MDGs, PUG memiliki tujuan agar kesetaraan gender tercapai dalam dimensi-dimensi penting dan utaman yaitu: (i) pendidikan, yaitu pelenyapan kesenjangan gender peserta didik dalam pendidikan primer dan sekunder pada tahun 2004, dan dalam semua tingkatan pada tahun 2015. (ii) Kesehatan termasuk kesehatan seksual dan reproduksi untuk menekan angka kematian bayi dalam persalinan, serta menyediakan akses pada layanan dan informasi kesehatan seks dan reproduksi. (iii) Akses terhadap kesempatan memiliki asset, sumberdaya, dan pengambilan keputusan. Untuk asset ekonomi meliputi asset tanah, hak property, infrastruktur; untuk sumber daya meliputi sumber daya financial dan pekerjaan; serta pengambilan keputusan meliputi tingkat komunitas dan nasional terutama untuk politik. (iv) keamanan yaitu penurunan kerentanan perempuan dalam situasi konflik dan kekerasan (domestik, komunitas dan nasional).
2.3. Road Map Penelitian Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh pengusul terkait dengan topik ini adalah: 1. Model pemberdayaan
kepala rumah tangga miskin berperspektif gender di
Kabupaten Bone dan Soppeng.
Kegiatan ini melahirkan bentuk model
pemberdayaan khususnya kepala rumah tangga miskin perempuan dan laki-laki. Pada saat observasi dilapangan, ditemukan beberapa rumah tangga miskin yang memiliki jumlah anggota rumah tangga cukup banyak dan beberapa diantaranya putus sekolah atau tidak tammat sekolah dasar. 2. Analisis Gender dalam Pembangunan Per Sektor ( 9 sektor termasuk sektor Pendidikan) dan rencana Aksi di Kota Balikpapan Tahun 2006 – 2011, Balikpapan 2008.
Kegiatan ini menghasilkan rumusan rencana-rencana aksi 7
tahunan yang akan diimplementasikan oleh pemerintah daerah Balikpapan. Meskipun terdapat rencana aksi yang disusun namun, aparat pemerintah daerah (SKPD) mengalami kesulitan untuk menyusun rencana aksi karena keterbatasan informasi mengenai faktor penyebab kesenjangan gender, apakah disebabkan oleh kebijakan pemerintah netral gender atau karena budaya masyarakat setempat. 3. Evaluasi
Kebijakan Responsive
Gender bidang pendidikan pada Dinas
Pendidikan di Kabupaten Barru dan Pangkep Sulawesi Selatan, 2011. Penelitian ini dirangkaikan dengan kegiatan Peningkatan Kapasitas P3KG yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal PAUDNI.
Temuannya adalah
Dinas Pendidikan belum
menyusun perencanaan yang responsive gender yang tercermin dari hasil evaluasi Renstra masing-masing Dinas Pendidikan di kedua Kabupaten. Temuan lainnya adalah aparat perencana kesulitan untuk menyusun PPRG melalui metode analisis gender pathway karena kekurangan data dan informasi terutama pada data pembuka wawasan dan data penyebab kesenjangan. Berdasarkan fakta kesenjangan gender di bidang pendidikan di Sulawesi Selatan dan dikaitkan dengan kegiatan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, pengusul tertarik untuk membangun model pendidikan responsive gender dengan terlebih dahulu melakukan penelitian tentang faktor penyebab kesenjangan gender di bidang pendidikan di Sulawesi Selatan. Dengan demikian penelitian ini dirancang untuk dua tahapan: Tahapan I, kegiatan yang dilakukan adalah mengkaji lebih jauh faktor-faktor penyebab kesenjangan gender bidang pendidikan dari aspek analisis akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pada tingkat rumah tangga khususnya di wilayah pesisir; memetakan program dan kegiatan sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan rumah tangga; mengidentifikasi isu gender lainnya dalam lingkup keluarga, mengidentifikasi faktor penyebab isu gender
di
bidang
pendidikan
dalam
lingkup
Dinas
pendidikan,
dan
mengembangkan model pendidikan keluarga sesuai dengan kebutuhan rumah tangga atau model pendidikan guru yang responsive gender. Tahapan kedua, adalah menerapkan model pendidikan yang responsive gender
dalam bentuk
sosialisasi/pelatihan/pendampingan/ advokasi. Keluaran yang dihasilkan dalam tahapan I adalah: (i) Produk berupa model pendidikan responsive gender sesuai dengan akar permasalahan, (ii) Jurnal Ilmiah, 8
sementara luaran Tahapan II adalah modul pendampingan/pelatihan dan Rekomendasi kelayakan model yang tertuang dalam laporan penelitian. Outcome dari penelitian ini adalah meningkatknya pemahaman keluarga atau tenaga kependidikan tentang konsep gender dan PUG. Indikator manfaat adalah menurunnya kesenjangan gender di bidang pendidikan serta dampaknya adalah meningkatkan Indeks pembangunan manusia, indeks pembangunan gender dan indeks pemberdayaan gender.
Bagan 1 Road Map Penelitian
Penelitian tentang Kesetaraan Gender
PENELITIAN I: Analisis Gender 9 Sektor, 2011
PENELITIAN II: Pemberdayaan Rumah Tangga Miskin Responsif Gender, 2012
PENELITIAN III: Evaluasi Kebijakan Penganggaran responsif gender bidang pendidikan, 2012
Desain Model Penguatan PUG Bidang Pendidikan
KEGIATANKEGIATAN TAHAP I PENELITIAN OUTPUT I: MODEL PUBLIKASI
KEGIATANKEGIATAN TAHAP II PENELITIAN
KESETARAAN GENDER
OUTPUT II: MODUL
9
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Desain Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dirancang dalam waktu dua tahun. Pendekatan penelitian
yang digunakan adalah pendekatan penelitian kualitatif dengan
menggunakan kombinasi data sekunder dan data primer. Kegiatan dalam penelitian tahap I adalah mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kesenjangan gender dengan berfokus pada aspek akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat, faktor penyebab dari eksternal dan internal Dinas pendidikan, faktor yang lebih dominan. Target kunci yang dihasilkan dalam penelitian tahap I adalah model pendidikan berwawasan gender berbasis pada sinergitas antara orang tua murid dan pemerintah (aparat dalam lingkup Dinas Pendidikan). Objek yang diteliti adalah: (i) Kebijakan dan program serta kegiatan yang terdapat dalam dokumen perencanaan dan penganggaran Dinas Pendidikan, (ii) Guru SD, (iii) Kepala rumah tangga laki-laki dan perempuan (orang tua murid) di sekitar SD Inpres Cambaya Kecamatan Somba Opu Lompobang dan Lingk.Tanru Sampe Timur,Desa
Pabiringa
&
Lingk.Ujung
Loe
–
Pattotongan
Desa
BaratBiring
Kassi,Kec.Binamu Kab.Jeneponto Kegiatan penelitian tahap II yaitu mensosialisasikan model pendidikan dan selanjutnya uji coba model melalui sosialisasi/pelatihan kepada guru, UPT Dinas Pendidikan dan rumah tangga.
3.2. Jenis Data dan Sumber data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder seperti Renstra-SKPD, dan Renja-SKPD Dinas Pendidikan, APBD; Profile Gender, Kabupaten Dalam Angka; Laporan penelitian dari berbagai sumber yang terkait dengan isu gender bidang pendidikan. Sumber data sekunder dapat diperoleh di BPS dan SKPD terkait.
10
Data primer yaitu data yang diperoleh melalui interview mendalam kepada rumah tangga (orang tua murid) dan informan kunci pada Dinas Pendidikan. Informan kunci yang dimaksud adalah Kepala Bidang Program Pendidikan Luar Sekolah dan kepala Seksi Sekolah Dasar dalam lingkup Dinas Pendidikan dan Guru SD. Jenis data primer yang dibutuhkan antara lain; faktor-faktor penyebab kesenjangan gender di bidang pendidikan, factor anak didik putus sekolah, malas ke sekolah, dsb. 3.3. Lokasi Penelitian dan Penentuan Sampel Lokasi penelitian adalah Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Gowa. Kedua Kabupaten ini memiliki ketimpangan gender di bidang pendidikan relative lebih besar dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya misalnya angka partisipasi sekolah dan angka putus sekolah (2010). Selain itu, terdapat perbedaan jarak dari ibu kota provinsi dimana Kabupaten Gowa relative lebih dekat dari pusat perkotaan, sementara Kabupaten Jeneponto relative jauh. Terdapat dua unit analisis yaitu (i) Dinas Pendidikan masing-masing kabupaten sampel, (ii) Rumah tangga yang berdomisili di sekitar wilayah pesisir (Kabupaten Jeneponto) dan wilayah perkotaan untuk Kabupaten Gowa. Di Kabupaten Gowa dipilih satu lokasi yang berdekatan dengan sekolah SD Inpres Cambaya. Sampel rumah tangga dilakukan secara purporsive yaitu memilih rumah tangga atau kepala keluarga yang mempunyai anak yang bersekolah lebih dari 1 yakni ada lakilaki dan ada perempuan. Jumlah sampel rumah tangga setiap lokasi sebanyak 20 rumah tangga. Secara keseluruhan jumlah sampel rumah tangga 40 orang. 3.4.
Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan adalah: (i) metode analisis content untuk
mengetahui program dan kegiatan yang responsive gender, serta besaran anggaran. Langkah-langkah penerapan analisis content: (a) mengidentifikasi program atau kegiatan yang resposnive gender yang terdapat dalam dokumen perencanaan Dinas Pendidikan, (b) mengidentifikasi besaran anggaran untuk setiap program dan kegiatan. (ii) Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan data primer yang bersumber dari hasil wawancara mendalam kepada rumah tangga dan informan kunci. Jenis data yang digunakan antara lain: jumlah anggota rumah tangga, berapa anak yang sekolah, berapa banyak biaya yang dibutuhkan, apakah ada anak
11
yang putus sekolah, bagaimana peluang untuk bersekolah. Apakah ada perbedaan antara perempuan dan dan anak laki-laki dalam menempuh pendidikan? Siapa yang menentukan bahwa anak perlu untuk melanjutkan sekolah? Program apa yang selama ini diterima dari pemerintah dan sebagainya.
12
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Bidang Pendidikan Kabupaten Gowa dan Jeneponto 4.1.1. Deskripsi tentang Pendidikan Kabupaten Gowa Jumlah penduduk di Kabupaten Gowa menempati urutan ketiga tertinggi (setelah Kabupaten Bone dan Kota Makassar) di Sulawesi Selatan. Pada tahun 2012, jumlah penduduk sebesar 672.465 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yakni 659.513 pada tahun 2011 atau bertumbuh sekitar 1,96 persen. Ditinjau dari jenis kelamin, penduduk perempuan sedikit lebih tinggi daripada penduduk laki-laki yaitu sebanyak 331.673 dan perempuan sebanyak 340.792. Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir (2009-2012), penduduk di Kabupaten Gowa bertumbuh 2,6 persen rata-rata setiap tahunnya. Pada tahun 2012, jumlah penduduk terbesar berada pada kelompok umur 1014 tahun sebesar 72.771 (10,85 persen), kemudian kelompok umur 5-9 tahun sebesar 71.340 (10,64 persen) dan 9-4 tahun sebanyak 68.949 (10,28 persen). Hal ini mengindikasikan bahwa di Kabupaten Gowa jumlah anak usia sekolah usia dini dan usia sekolah SD cukup besar. Gambar 4.1. Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin, 2012
Sumber: Kabupaten Gowa dalam angka, 2013 Jumlah penduduk di Kabupaten Gowa tersebar pada 18 kecamatan dan kecamatan yang mempunyai jumlah penduduk terbesar ditempati oleh Kecamatan Somba Opu dan terkecil adalah Kecamatan Parigi. Besaran dari jumlah penduduk
13
masing-masing kecamatan adalah menjadi perhatian pemerintah daerah setempat untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan. Jumlah penduduk yang berstatus menempuh pendidikan cukup besar. Pada tahun 2008, jumlah penduduk yang menempuh pendidikan hingga sekolah lanjutan atas (SMA/sederajat) sebanyak 136.399 orang meningkat menjadi 153.785 orang pada tahun 2011. Ini berarti partisipasi penduduk usia sekolah untuk memperoleh pengetahuan yang lebih tinggi semakin membaik dari tahun ke tahun. Selama periode 2008-2011, jumlah penduduk yang menempuh pendidikan tingkat sekolah dasar mendominasi dibandingkan dengan sekolah lanjutan, namun besarannya cukup bervariasi setiap tahun. Jika dicermati berdasarkan jenis kelamin, nampaknya terdapat perbedaan menurut jenjang pendidikan. Tingkat partisipasi perempuan di Sekolah Dasar pada tahun 2011 lebih rendah daripada laki-laki, namun untuk TK, SLTP dan SLTA, jumlah perempuan lebih banyak daripada jumlah penduduk laki-laki. Untuk sekolah SLTA sepanjang periode 2008-2011, jumlah penduduk perempuan yang bersekolah lebih besar daripada laki-laki. Gambar 4.2. Jumlah murid menurut jenjang pendidikan, 2008-2011
Sumber: Kabupaten Gowa dalam angka, 2012. Meskipun Kabupaten Gowa berdekatan dengan ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, namun masih masih dijumpai penduduk yang tidak pernah bersekolah. Pada tahun 2012, jumlah penduduk yang berumur diatas 10 tahun dan tidak pernah bersekolah sebanyak 65.661 orang atau sekitar 12,224 persen dari seluruh penduduk
14
yang berumur diatas dari 10 tahun. Meskipun angka ini masih tergolong rendah, namun masih diperlukan sejumlah kebijakan untuk memperbaiki kinerja tersebut. Penduduk yang masih menempuh pendidikan baik pada SD, SLTP, SLTA, maupun Perguruan Tinggi berjumlah 113.397 orang (21,15 persen), dan selebihnya sebesar 66,63 persen penduduk yang berumur 10 tahun ke atas tidak bersekolah lagi. Dalam arti penduduk tersebut sudah menammatkan pendidikan dan sudah bekerja atau tammat pendidikan tetapi belum/tidak bekerja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di Kabupaten Gowa, penduduk yang berumur di atas 10 tahun didominasi oleh penduduk yang tidak bersekolah lagi. Jika dicermati penduduk yang masih bersekolah terlihat bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin sedikit jumlah penduduk yang bersekolah. Pada jenjang pendidikan SD, jumlah penduduk yang bersekolah sebanyak 44.491 yang terdiri atas laki-laki sebanyak 23.963 orang dan perempuan sebanyak 20.528 orang. Pada jenjang SLTP/sederajat, secara keseluruhan sebanyak 33.693 orang dan jenjang SLTA semakin sedikit berjumlah 21.290 orang, serta diploma semakin sedikit lagi yaitu 14.123 orang. Gambar 4.3. Penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut jenis kelamin dan status pendidikan, Kab Gowa, 2012
Sumber: Kabupaten Gowa dalam angka, 2013 Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, persentase penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang belum/tidak pernah bersekolah dan tidak tammat SD mengalami penurunan. Secara keseluruhan, penduduk yang belum pernah sekolah/tidak tammat SD sebanyak 64,23 persen di tahun 2010, namun menurun menjadi 39,83 persen di tahun 2012. Dari persentase tersebut, sebagian dikontribusi 15
oleh penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah. Pada tahun 2010, sekitar 10,31 persen Laki-laki yang tidak pernah bersekolah, dan 16,98 persen perempuan. Pada tahun 2011, sebesar 11,94 persen Laki-Laki dan 15,76 persen perempuan. Selebihnya adalah penduduk yang tidak/belum tammat SD. Ada dua kemungkinan sebagai faktor penyebab yaitu: (i) adanya dukungan kebijakan pemerintah, atau (ii) peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan sehingga umur usia sekolah diwajibkan untuk menempuh pendidikan. Ketika dibandingkan antara laki-laki dan perempuan, kecenderungan perempuan lebih banyak daripada laki-laki dan persentasenya menurun setiap tahun. Gambar 4.4. Persentase Penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah dan tidak tammat SD
Sumber: Kabupaten Gowa dalam Angka, 2013 Gambar 4.4 memperlihatkan bahwa di Kabupaten Gowa, penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum tammat SD masih mendominasi daripada yang tammat sekolah. Akan tetapi jika diperhatikan setiap tahunnya nampak terdapat penurunan drastis hingga tahun 2012 kecuali tahun 2011. Pada tahun 2010-2011, perempuan yang tidak tammat SD lebih tinggi daripada laki-laki, akan tetapi pada tahun 2012, laki-laki justru lebih banyak. Kondisi ini mengindikasikan bahwa perempuan lebih aktif untuk menempuh pendidikan daripada laki-laki. Sementara penduduk yang tammat SD menempati urutan terbesar dari seluruh jenjang pendidikan. Pada tahun 2012, penduduk perempuan yang berumur 10 tahun ke atas yang tammat SD lebih banyak daripada laki-laki, namun semakin tinggi jenjang pendidikan semakin sedikit jumlah penduduk perempuan. Hal ini berarti semakin 16
tinggi jenjang pendidikan semakin kurang penduduk perempuan yang menempuh pendidikan. Gambar 4.5. Penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut jenis pendidikan yang ditammatkan
Sumber: Kabupaten Gowa dalam angka, 2013 Seiring
dengan
kemajuan
pendidikan
di
Kabupaten
Gowa,
indeks
pembangunan gender (IPG) juga mengalami peningkatan setiap tahun. Peningkatan angka tersebut terjadi pada seluruh komposit pembentuk IPG. Namun secara umum jika diperhatikan peningkatannya seluruh pembentuk IPG baik laki-laki maupun perempuan masih sangat lambat bahkan ada beberapa kompositnya stagnan atau tidak mengalami perubahan seperti angka harapan hidup pada tahun 2010-2011. Dari aspek pendidikan, terdapat dua komposit pembentuk IPG yaitu rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf. Angka melek huruf dalam empat tahun terakhir (2009-2012) untuk jenis kelamin laki-laki mengalami peningkatan akan tetapi sangat lambat hanya berkisar 1,11 point hingga 0,1 point. Besaran angka melek huruf hanya berkisar pada 84,54 hingga 85,75. Kondisi yang sama untuk jenis kelamin perempuan dimana peningkatannya cukup lamban dan angka melek huruf hanya berada pada kisaran 79,37 hingga 80,75. Artinya dalam empat tahun tersebut, peningkatannya hanya 1,48. Secara keseluruhan angka
tersebut (Laki-laki dan perempuan) menggambarkan
bahwa masih banyak penduduk di Kabupaten Gowa yang masih buta huruf. Untuk laki-laki masih terdapat sekitar 14,25 persen dan perempuan sebesar 19,25 persen. Ini berarti perempuan yang buta huruf lebih tinggi daripada laki-laki. 17
Aspek pendidikan lainnya adalah rata-rata lama sekolah, secara umum mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun 2012. Artinya bahwa ada kecenderungan penduduk usia sekolah dan sedang bersekolah melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jika dibandingkan antara jenis kelamin lakilaki dan perempuan, perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Akan tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa penduduk yang menempuh pendidikan setara dengan sekolah lanjutan pertama tingkat pertama (kelas 1). Yang cukup menarik adalah peningkatan rata-rata lama sekolah perempuan lebih cepat daripada laki-laki yaitu 0,85 dan laki-laki sebesar 0,49. Tabel 4.1. Indeks Pembangunan Gender (IPG) menurut komposit Kabupaten Gowa Angka harapan Angka Melek Rata-Rata Lama Sumbangan hidup Huruf Sekolah Pendapatan(%) Tahun L P L P L P L P 2009 69,54 73,43 84,54 79,37 6,98 6,2 69,89 30,11 2010 69,72 73,6 85,65 80,13 7,42 6,59 69,64 30,36 2011 69,72 73,6 85,66 80,67 7,47 7,01 69,82 30,18 2012 69,9 73,79 85,75 80,75 7,47 7,05 68,81 31,19 Sumber: kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, series Semakin membaiknya kinerja perempuan di bidang pendidikan berjalan paralel dengan kontribusi perempuan terhadap pembangunan.
Pernyataan ini
ditunjukkan oleh angka indeks pemberdayaan gender (IDG) di Kabupaten Gowa. Keterlibatan perempuan di parlemen pada tahun 2012 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2009, namun dari tahun 2010 ke tahun 2011 mengalami penurunan. Perempuan yang menduduki peran/posisi strategis (pengambil keputusan) juga memperlihatkan perkembangan dari 30,28 persen pada tahun 2009 menjadi 48,46 persen pada tahun 2012. Peningkatan peran perempuan turut mempengaruhi pendapatan kerja. Semakin banyak perempuan yang terlibat dalam bidang ekonomi semakin banyak pula sumbangan pendapatan terhadap pendapatan keluarga. Pada tahun 2009, sumbangan perempuan terhadap pendapatan kerja sebanyak 30,11 persen meningkat menjadi 31,19 persen. Hanya saja, keterlibatan perempuan dalam bidang ekonomi diharapkan tetap memperhatikan atau menjaga rumah tangga agar tetap rukun.
18
Gambar 4.6. Perkembangan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) di Kabupaten Gowa, 2009-2012
Sumber: kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, series 4.1.2. Deskripsi Pendidikan di Kabupaten Jeneponto Kabupaten Jeneponto merupakah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan dengan luas wilayah 748,79 km2 yang terdistribusi pada 11 kecamatan. Tabel 4.2. memperlihatkan jumlah penduduk menurut kecamatan, kelompok umur, dan jenis kelamin. Jumlah penduduk di kabupaten ini sebanyak 348.138 jiwa yang tersebar pada 11 kecamatan. Dari 11 kecamatan, tiga diantaranya mempunyai penduduk diatas 50 ribu jiwa yaitu Kecamatan Binamu sebanyak 53.252 jiwa, Bangkala (50.650 jiwa), dan Kecamatan Tamalatea (40.991 jiwa). Jumlah penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Arungkeke sebanyak 18.552 jiwa. Dengan mencermati luas wilayah masing-masing kecamatan tersebut, Kecamatan Bangkala dan Bangkala Barat merupakan kecamatan yang terluas. Penduduk berdasarkan kelompok umur, jumlah penduduk terbanyak berada pada kelompok umur 7-12 tahun sebanyak 44.949 jiwa, kemudian disusul oleh kelompok umur 0-4 tahun sebanyak 33.346 jiwa, dan selebihnya terdistribusi pada kelompok umur 5-6 tahun, kelompok umur 13-15 tahun dan 16-18 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah penduduk untuk usia sekolah dasar (7-12 tahun) lebih mendominasi daripada kelompok usia sekolah lainnya.
19
Jika dianalisis berdasarkan jenis kelamin, secara umum jumlah penduduk lakilaki lebih tinggi daripada jumlah penduduk perempuan. Untuk kelompok usia sekolah dasar (umur 7-12), jumlah penduduk laki-laki 23.168 dan perempuan 21.781, sementara untuk usia sekolah 13-15 tahun atau usia sekolah menengah pertama lakilaki sebanyak 11.134 dan perempuan 10.537 dan usia sekolah menengah atas sebanyak 9.858 untuk laki-laki dan 9.749 jiwa. Tabel 4.2. menunjukkan bahwa jumlah sekolah dasar SD sebanyak 290 seiring dengan banyaknya penduduk pada kelompok usia 7-12 tahun. Dengan jumlah SD yang ada di Kabupaten Jeneponto, jumlah murid yang tertampung untuk SD secara keseluruhan sebanyak 48.243 murid yang tersebar pada 11 kecamatan. Jumlah sekolah dasar yang terbanyak terdapat di Kecamatan Bangkala (47) dengan jumlah siswa sebanyak 6.709, kemudian Kecamatan Binamu (36) dengan jumlah siswa sebanyak 7.361. Ini berarti jumlah penduduk dan usia sekolah SD di Kecamatan Binamu lebih banyak daripada Kecamatan Bangkala. Kondisi ini mengindikasikan bahwa
di Kecamatan ini seharusnya membutuhkan jumlah sekolah dasar lebih
banyak daripada kecamatan lainnya. Pada saat yang sama, ada kecamatan dengan jumlah sekolah SD cukup banyak namun jumlah siswanya relative lebih sedikit seperti di Kecamatan Rumbia dengan jumlah SD sebanyak 29 namun jumlah murid sekitar 3000 dibandingkan dengan kecamatan Tamalatea dengan jumlah SD sebanyak 30 unit dengan jumlah siswa sebanyak 5.965. Dengan demikian dapat dikatakan
20
Tabel 4.2. Jumlah Penduduk menurut Kecamatan, Kelompok Umur, dan Jenis Kelamin di Kabupaten Jeneponto, 2013 No (1)
Penduduk
Pe nduduk
Wilayah
Seluruhnya
0-4 tahun
Laki-laki
(3)
(4)
(5)
(6)
Kecamatan
(2)
Penduduk 7-12 tahun
Luas
Penduduk 5-6 tahun (Usia TK) Perem puan (7)
Penduduk 13-15 tahun
Penduduk
Jumlah
6-7 tahun
(8)
(9)
Penduduk 16-18 tahun Lakilaki (10)
Perem puan (11)
Jumlah (12)
LakiLaki (13)
Perem puan (14)
Jumlah (15)
Laki-laki (16)
Perem puan (18)
Jumlah (19)
01
Bangkala
121.82
50,650
4,837
1,082
1,030
2,112
2,145
3,364
3,212
6,576
1,624
1,559
3,183
1,507
1,452
2,959
02
Tamalatea
57.58
40,991
3,954
823
793
1,616
1,664
2,828
2,657
5,485
1,457
1,344
2,801
1,300
1,226
2,526
03
Binamu
69.49
53,252
5,298
1,171
1,094
2,265
2,291
3,643
3,291
6,934
1,715
1,600
3,315
1,532
1,541
3,073
04
Kelara
43.95
26,860
2,402
501
487
988
1,029
1,730
1,780
3,510
861
886
1,747
730
720
1,450
05
Batang
33.04
19,496
1,619
400
371
771
793
1,248
1,216
2,464
607
575
1,182
572
501
1,073
06
53.76
30,394
2,817
605
610
1,215
1,245
2,048
1,888
3,936
993
910
1,903
827
857
1,684
07
Turatea Bangkala Barat
152.96
26,758
3,024
632
587
1,219
1,212
1,851
1,668
3,519
836
777
1,613
741
751
1,492
08
Bontoramba
88.30
35,530
3,441
781
751
1,532
1,552
2,290
2,232
4,522
1,034
1,032
2,066
932
960
1,892
09
Arungkeke
29.91
18,522
1,741
370
362
732
740
1,208
1,042
2,250
576
495
1,071
491
492
983
10
Rumbia
58.30
22,993
2,057
406
421
827
852
1,458
1,371
2,829
749
690
1,439
649
639
1,288
11
Tarowang
40.68
22,692
2,156
485
457
942
957
1,500
1,424
2,924
682
669
1,351
577
610
1,187
749.79
348,138
33,346
7,256
6,963
14,219
14,480
23,168
21,781
44,949
11,134
10,537
21,671
9,858
9,749
19,607
Jumlah
Sumber: Dinas Pendidikan Kabuapaten Jeneponto, 2014
21
bahwa penyediaan gedung sekolah dasar belum mengacu pada banyak jumlah usia sekolah pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Jeneponto. Tabel 4.3. Jumlah Sekolah, Murid menurut jenjang pendidikan di Kabupaten Jeneponto, 2013/2014 SD Jumlah Sekolah
SMP/Madrasah
SMA/Mts
290
105
72
48243
17428
13318
Rasio Murid-Sekolah 166.36 165.98 Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto, BPS, 2013
184.97
Jumlah Murid
Dengan mencermati rasio murid sekolah dasar, dapat dikatakan bahwa setiap satu sekolah dapat menampung siswa sebanyak 166. Jika ditinjau berdasarkan kecamatan, nampaknya ada kecamatan yang menampung siswa lebih banyak dan lainnya lebih sedikit. Seperti kecamatan Binamu setiap sekolah menampung siswa ratarata 204 dibandingkan dengan di Kecamatan Arungkeke dimana setiap sekolah menampung 173 dan di Kecamatan Bangkala dengan jumlah SD terbanyak dengan jumlah siswa yang ditampung untuk setiap sekolah rata-rata 143 siswa. Gambar 4.7. Jumlah siswa putus sekolah menurut kecamatan di Kab Jeneponto, 2013/2014
Sumber: Dinas Pendidikan Kab Jeneponto, 2014 Di Kabupaten Jeneponto terlihat masih banyak siswa yang putus sekolah (Gambar 4.7). Angka putus sekolah untuk seluruh jenjang pendidikan pada tahun 2013/2014 sebanyak 425 siswa yang terdistribusi pada siswa SD sebanyak 293, siswa 22
SMP/SMP sederajat sebanyak 72 orang, dan SMA/SMA sederajat sebanyak 60 orang. Hal ini berarti jenjang pendidikan yang paling banyak putus sekolah adalah SD. Fakta ini mengindikasikan bahwa permasalahan pendidikan di Kabupaten Jeneponto masih cukup banyak. Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih meningkatkan perhatian terhadap permasalahan angka putus sekolah terutama pada jenjang pendidikan dasar. Jika dicermati berdasarkan kecamatan, dua kecamatan menempati posisi tertinggi angka putus sekolah untuk jenjang Sekolah Dasar yaitu Kecamatan Tamalatea dan Binamu masing-masing berjumlah 57 siswa dan 50 siswa. Kemudian disusul oleh Kecamatan Rumbia yang berjumlah 44 orang. Sementara angka putus sekolah untuk jenjang pendidikan SMP dan sederajat terbanyak di Kecamatan Bontoramba dan Tamalatea, dan untuk SMA terdapat di Kecamatan Turatea dan Bangkala. Pada dasarnya banyak faktor yang diduga penyebab siswa putus sekolah antara lain kurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya, faktor ekonomi, faktor budaya, dan faktor lingkungan, serta akses terhadap sarana pendidikan. Seperti kasus yang terjadi di lokasi survey Kecamatan Binamu ditemukan bahwa faktor penyebab kecenderungan anak putus sekolah adalah faktor ekonomi dan perhatian orang tua yang kurang terhadap anaknya. Selain itu, juga disebabkan oleh faktor stereotype bahwa yang perlu sekolah adalah anak perempuan sementara anak laki-laki membantu orang tua untuk mencari nafkah. Indeks pemberdayaan Gender dilihat dari komposit pembentuknya secara keseluruhan jauh lebih rendah daripada Kabupaten Gowa. Ini berarti pembangunan manusia dari perspektif gender masih rendah di Kabupaten Jeneponto. Dilihat dari aspek pendidikan, angka melek huruf hanya 80,07 untuk laki-laki dan perempuan 76,01. Demikian halnya dengan rata-rata lama sekolah yang hanya berkisar 6,5 untuk laki—laki dan 5,97 untuk perempuan.
Fakta ini menggambarkan bahwa
tingkat
pendidikan di Kabupaten Jeneponto masih sangat rendah yang terbukti bahwa diatas dari 20 persen penduduk yang masih buta huruf dan rata-rata lama waktu menempuh pendidikan hanya SD (sampai kelas 6) bahkan perempuan hanya setara dengan SD kelas 5. Secara umum jika dilihat secara terpilah, perempuan berada pada posisi kurang menguntungkan daripada laki-laki kecuali aspek kesehatan. Rendahnya
dejarat
pendidikan
memengaruhi
Rendahnya keterlibatan perempuan dibidang ekonomi
sumbangan
pendapatan.
berjalan linier dengan
pendapatan yang diperoleh. Meskipun tren perkembangannya meningkat dari tahun 23
2009 hingga tahun 2012. Namun sumbangan pendapatannya masih dibawah dari 30 persen dari total pendapatan kerja. Tabel 4.4. Indeks Pembangunan Gender (IPG) menurut komposit di Kabupaten Jeneponto Angka harapan Angka Melek Rata-Rata Lama Sumbangan Pendapatan(%) hidup Huruf Sekolah Tahun L P L P L P L P 2009 62,99 66,83 79,88 74,97 6,22 5,83 73,01 26,99 2010 63,14 66,98 80,03 75,94 6,48 5,96 70,69 29,31 2011 63,14 66,98 80,04 75,95 6,49 5,97 71,33 28,67 2012 63,29 67,15 80,07 76,01 6,5 5,97 70,78 29,22 Sumber: kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, series Keterlibatan perempuan dibidang politik di Kabupaten Jeneponto dalam kurun waktu 2009-2012 mengalami peningkatan. Yang paling menarik adalah keterlibatan perempuan sebagai manager, profesional, tenaga administrasi. Pada tahun 2009, keterlibatan perempuan sebanyak 40 persen dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 65,91 persen. Ini berarti dalam 4 tahun perkembangan perempuan untuk menduduki posisi strategis cukup meningkat. Hal ini mungkin diakibatkan oleh perbaikan tingkat pendidikan yang setiap tahun
semakin membaik meskipun peningkatannya cukup
lambat. Gambar 4.8. Perkembangan IDG di Kabupaten Jeneponto, 2009-2012
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, berbagai series 24
4.2. Kebijakan, Program, dan Kegiatan Yang Responsive Gender 4.2.1 Kebijakan, Program dan Kegiatan Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa Tahun 2012 Kebijakan, Program dan kegiatan yang terkait dengan bidang pendidikan diperoleh dari dokumen perencanaan SKPD terkait yang dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa. Program dan kegiatan tersebut tetap mengacu pada dokumen perencanaan jangka panjang di tingkat kabupaten (RPJMD) dan Renstra Dinas Pendidikan. Di dalam dokumen RPJMD termuat Visi dan Misi serta program prioritas pemerintah daerah. Visi pemerintah daerah
Kabupaten Gowa adalah
―Terwujudnya Gowa yang Handal dalam Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat dan Penyelenggaraan Pemerintahan‖. Ada dua kata kunci yang tertera ke dalam rumusan visi tersebut yaitu (i) handal terkait Kualitas hidup masyarakat, (ii) Handal terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan. Handal dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat mengandung arti Kabupaten Gowa dengan segenap potensi dan sumber daya yang berdaya saing kuat, bercita-cita menempatkan diri sebagai daerah yang handal dalam peningkatan kualitas kesehatan dan mutu pendidikan masyarakat serta peningkatan daya beli masyarakat. Sementara Gowa handal dalam penyelenggaraan pemerintahan mengandung makna bahwa Kabupaten Gowa dengan segenap potensi dan sumber daya yang berdaya saing, bercita-cita menempatkan diri sebagai daerah yang dalam membangun tata kelola pemerintahan yang baik berlandaskan prinsip-prinsip good governance dan handal dalam fungsi dan perannya sebagai koordinator, fasilitator, dan stimulator bagi lahirnya inisiatif-inisiatif penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Untuk menjabarkan rumsan visi tersebut, maka terdapat 5 (lima) rumusan misi yaitu: (i) Meningkatkan kualitas SDM dengan berbasis pada hak-hak dasar masyarakat, (ii) meningkatkan interkoneksitas wilayah dan keterkaitan sektor ekonomi, (iii) meningkatkan penguatan kelembagaan dan peran masyarakat, (iv) meningkatkan penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik, (v) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam yang mengacu pada kelestarian lingkungan hidup. Dinas Pendidikan memegang peran utama terhadap pencapaian visi, misi Kepala Daerah. Hal ini tercermin dari rumusan visi dan misi yang secara eksplisit menyebut 25
mutu dan kualitas pendidikan. Atas dasar itu, maka Dinas Pendidikan Olah Raga dan Pemuda merumuskan visi dan misinya sebagai berikut: Visi Dinas Pendidikan Olah Raga adalah ― Terwujudnya Sumber Daya Manusia yang Berkualitas, dan Berakhlak Mulia‖. Untuk mencapai visi tersebut didukung oleh 9 misi yaitu: (i)
Meningkatkan ketersediaan dan kualitas sarana prasarana pendidikan pada semua jenjang pendidikan formal dan non formal
(ii)
Menyiapkan semua kebutuhan dan fasilitas proses belajar mengajar yang sesuai dengan kebutuhan standar minimal
(iii) Meningkatkan mutu pendidikan melalui reflikasi model pembelajaran efektif (MPE) dan manajemen sekolah efektif sekolah unggulan ke sekolah lainnya pada tingkat pendidikan dasar dan menengah yang diintegrasikan dalam revolusi pembelajaran ―Punggawa Demba An Educatian Program‖ (iv) Meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan (v)
Menuntaskan anggota masyarakat dari buta aksara
(vi) Mengembangkan sekolah kejuruan sesuai
keunggulan lokal dan pelatihan
keterampilan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja (vii) Mengembangkan sistim pendidikan anak usia dini (viii) Meningkatkan pembinaan lembaga kepemudaan (ix) Meningkatkan pembinaan olah raga prestasi dan pengembangan olah raga unggulan. Dengan mencermati rumusan visi dan misi Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa dapat dikatakan bahwa rumusan visi Dinas Pendidikan telah konsisten dengan rumusan visi pemerintah Kabupaten Gowa dengan penekanan pada kualitas SDM. Dari kesembilan rumusan misi akan dijabarkan lagi ke dalam empat strategi yaitu: 1. Meningkatkan mutu dan akses pendidikan pada semua jenjang pendidikan formal dan non formal 2. Menuntaskan buta aksara 3. Meningkatkan pelayanan dan pembinaan pemuda 4. Menyiapkan sarana prasarana olah raga. Jika dikaitkan dengan kondisi riil di Kabupaten Gowa terkait dengan bidang pendidikan pada masa periode tersebut, masih ditemukan bias gender, sehingga seyogyanya perlu ada strategi yang terkait dengan pengarusutamaan gender (PUG). 26
Namun dalam dokumen perencanaan lima tahun (Renstra- Dinas Pendidikan), tidak terdapat strategi PUG. Oleh karena rumusan strategi Dinas Pendidikan tidak mengkaitkan masalah gender, hal itu terindikasi bahwa kebijakan yang dirumuskan masih netral gender. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat 11 rumusan kebijakan yang terkait dengan 4 strategi tersebut yaitu: 1. Meningkatkan kualitas sarana prasarana pendidikan terutama yang berkaitan langsung dengan perbaikan proses pembelajaran 2. Menyiapkan semua kebutuhan dan fasilitas proses belajar mengajar yang sesuai dengan kebutuhan standar minimal 3. Meningkatan mutu pendidikan melalui reflikasi model pembelajaran efektfi sekolah unggulan ke sekolah lainnya pada tingkat pendidikan dasar dan menengah yang diintegrasikan dalam revolusi sistem pembelajaran ― Punggawa Demba Education Program (pengembangan dan penyempurnaan atas pendidikan gratis dan wajib belajar) 4. Mengembangkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan 5. Membebaskan anggota masyarakat dari buat aksara latin 6. Mengembangkan sekolah kejuruan sesuai
keunggulan lokal dan pelatihan
ketrampilan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja 7. Mengembangkan program desa percontohan dan peningkatan angka melek huruf dan wajib belajar sembilan tahun 8. Mengembangkan sistem pendidikan anak usia dini (Revitalisasi SPAS menjadi PAUD SPAS) 9. Meningkatkan partisipasi pemuda pada semua jenjang
pembangunan terutama
pertanian dan industri 10. Membina lembaga kepemudaan 11. Meningkatkan kegiatan pembinaan olah raga prestasi dan pengembangan olahraga unggulan. Berdasarkan rumusan kebijakan tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan masih netral gender. Artinya bahwa tidak ada kebijakan yang mengarah kepada upaya untuk mengintegrasikan konsep gender ke dalam ranah perencanaan.
27
4.2.2. Kebijakan, Program dan Kegiatan yang Responsive Gender Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto Kabupaten Jeneponto masih menghadapi berbagai permasalahan di bidang pendidikan. Hingga akhir tahun 2012, masalah pendidikan yang dianggap cukup serius di Kabupaten Jeneponto adalah : (1) Ketersediaan sarana dan prasarana Pendidikan, (2) Angka Melek Huruf, (3) rata-rata Lama Sekolah, serta (3) Tingkat Partisipasi Sekolah. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto menetapkan
sejumlah rencana program dan kegiatan yang akan dilaksanakan setiap
tahunnya. Di dalam dokumen RPJMD 2009-2014, sejumlah kebijakan yang ditetapkan yang terkait dengan pembangunan bidang pendidikan. Kebijakan terkait dengan bidang pendidikan nampaknya cukup luas sehingga membutuhkan perhatian yang cukup serius dari pemerintah khususnya Dinas Pendidikan untuk mengoperasional sejumlah kebijakan tersebut. Dengan sejumlah kebijakan yang berjangka menengah tersebut telah direspon oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto dalam bentuk tujuan dan sasaran, kebijakan, program, dan kegiatan. Tabel 4.5 menguraikan kebijakan, tujuan, dan sasaran yang berjangka menengah sebagai berikut:
28
29
Tabel 4.5 Kebijakan, Tujuan, dan Sasaran yang ingin dicapai oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto Kebijakan Bidang Pendidikan di dalam Tujuan Yang ingin dicapai oleh Dinas RPJMD Kab Jeneponto 2009-2014 Pendidikan 2010-2014
Sasaran
Penerapan otonomi pendidikan pada Terwujudnya system pelayanan pendidkan tingkat satuan pendidikan melalui yang transparan, efektif, efisien, merata dan memiliki responsibilitas yang baik untuk manajemen berbasis sekolah memberikan pelayanan pendidikan formal maupun non formal. Perlunya ketegaran pelaksanaan peraturan Terciptanya system pembelajaran yang penerimaan siswa baru (PSB) khususnya mengintegrasikan IPTEK dan IMTAQ ditingkat Sekolah Dasar Dalam menentukan Unit Sekolah Baru Menghasilkan lulusan yang bermutu dan harus memperhatikan jarak dengan sekolah berdaya saing baik secara local maupun yang suda ada, kondisi geografis serta global jumlah anak usia sekolah diwilayah tersebut Menghilangkan hambatan biaya Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan pendidikan bagi anak yang berasal dari yang bermutu dan tepat fungsi pada setiap keluarga miskin dan menerapkan subsidi jenjang satuan pendidikan. silang diantara kelompok siswa Penerapan akuntabilitas sekolah, sekolah- Tersedianya pendidik dan tenaga kependidkan sekolah yang belum menerapkan prinsip- yang professional serta penyebarannya yang prinsip akuntabilitasi akan diberi prioritas merata pada setiap jenjang satuan pendidkan. rendah dalam pengalokasikan dana Meningkatkan daya tanggap terhadap Terimplementasinya gerakan budaya mutu kebutuhan satuan pendidikan, intervensi dalam pola fikir, perilaku, dan sikap pada dinas Pendidikan akan didasarkan pada semua aktivitas pendidikan. Rencana Kerja Sekolah (RKS) dan Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS)
Pendidikan Anak Usia Dini
Wajib Belajar Pendidikan Sembilan Tahun Pendidikan Lanjutan
Pendidikan Non formal
Peningkatan Pendidikan dan Kependidkan Manajemen Pendidikan
Mutu Tenaga
Pelayanan
30
Peningkatan professional guru yang berada Terciptanya masyarakat yang sadar dan peduli Pembinaan dan peningkatan Partisipasi Generasi Muda didaerah terpencil melalui diklat profesi terhadap pengembangan dunia pendidikan. guru untuk memenuhi kecukupan criteria penilaian fortofolio dunia pendidikan yang Pembinaan olahraga. Kebijakan tentang informasi public (i) jenis Terwujudnya informasi yang dapat diberikan pada public demokratis, berkeadilan dan inklusif serta secara pro-aktif dan (i) aturan-aturan terbuka atas kritik dan masukan yang sifatnya tentang bagaimana merespon permintaan konstruktif. informasi dari public Dukungan pada sekolah swasta yang menyelenggarakan pendidikan termasuk madrasah Mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat dalam peningkatan mutu layanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan Meningkatkan partisipasi pemuda dalam membangun dan menumbuhkan budaya olahraga dan prestasi Menumbuhkan jiwa kepemimpinan dan kewirausahaan pada generasi muda dalam menghadapi tantangan global Sumber: Renja Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto, 2014
31
32
Berdasarkan pencermatan kebijakan yang tertuang didalam dokumen RPJMD, terlihat bahwa tidak ada kebijakan yang diarahkan kepada terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Ini mengindikasikan bahwa rumusan kebijakan bidang pendidikan masih bersifat netral. Padahal permasalahan kesenjangan gender khususnya bidang pendidikan masih cukup besar sehingga sepatutnya perhatian pemerintah untuk mengurangi kesenjangan tersebut mutlak ada. Di sisi lain, Dinas Pendidikan juga merumuskan tujuan dan sasaran, akan tetapi tidak satupun tujuan dan sasarannya terkait dengan dimensi gender. Kondisi yang sama ketika dicermati program dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan pada tahun 2014. Berdasarkan hasil analisis program dan kegiatan yang termuat didalam dokumen Rencana Tahunan baik tahun 2014 maupun tahun 2015, tidak satupun program maupun kegiatan yang mengarah kepada upaya mengurangi kesenjangan gender di bidang pendidikan. Selain itu, tidak ada data dan informasi yang mendukung atau menjelaskan tentang pentingnya kegiatan tersebut yakni apakah kegiatan yang direncanakan akan dinikmati secara bersama-sama anak sekolah laki-laki
dan
perempuan. Beberapa kegiatan tidak menjelaskan secara detail siapa sasarannya apakah laki-laki atau perempuan. Misalnya adalah nomenklatur kegiatan yang berbunyi ―pelatihan guru tentang pendidikan inklusi, pendidikan keaksaraan, seleksi tenaga pendidik yang berprestasi, analisis kebutuhan diklat, dsb. Semua kegiatan ini muncul karena ada yang melatarbelakangi dan disitulah dapat diuraikan secara terpilah. Misalnya kebutuhan diklat bagi guru laki-laki dan perempuan mungkin saja berbeda. 4.3. Analisis Faktor Penyebab Kesenjangan Gender di Bidang Pendidikan Secara teori terdapat empat faktor penyebab kesenjangan gender pada seluruh aspek pembangunan yaitu (i) akses. Faktor akses artinya kemampuan penduduk (laki atau perempuan) memperoleh sumber daya pembangunan. Jika dihubungkan dengan bidang pendidikan berarti kemampuan penduduk memperoleh sumber daya pendidikan baik dari sumber daya finansial maupun sumber daya fasilitas (sarana dan prasarana) sekolah. Seperti kemampuan mendapatkan uang untuk membiayai anak sekolah, kemampuan untuk 33
menjangkau sekolah, kemampuan untuk memperoleh bantuan pendidikan. (ii) Partisipasi. Faktor partisipasi berarti kemampuan penduduk untuk berpatisipasi (ikut) terlibat didalam kegiatan pembangunan. Di bidang pendidikan berarti keterlibatan penduduk untuk menempuh pendidikan per jenjang seperti keterlibatan penduduk usia sekolah laki-laki dan perempuan memasuki pendidikan, keterlibatan untuk belajar, keterlibatan orang tua membantu atau memberi motivasi anak, dsb. (iii) Faktor kontrol. Ini berarti kemampuan penduduk dalam pengambilan keputusan. Di bidang pendidikan berarti kemampuan penduduk (orang tua) laki dan perempuan memutuskan anak untuk bersekolah. (iv) Manfaat. Ini berarti
manfaat yang diperoleh penduduk dari berbagai aktivitas
pembangunan yang terjadi.
Di bidang pendidikan berarti apakah fasilitas sekolah yang
disediakan bermanfaat bagi penduduk (anak laki-laki dan perempuan), apakah kebijakan pendidikan gratis bermanfaat secara sama oleh penduduk yang bersekolah baik laki-laki maupun perempuan. Untuk mengetahui faktor penyebab kesenjangan gender khususnya di bidang pendidikan dapat dilihat dari hasil wawancara kepada kurang lebih 50 responden yang terdistribusi pada dua lokasi penelitian yaitu Kabupaten Gowa dan Kabupaten Jeneponto. Untuk di Kabupaten Gowa telah dipilih lokasi yang berpotensi terjadinya anak-anak yang putus sekolah, anak-anak yang kurang berpartisipasi yaitu di Kecamatan Tompobalang di sekitar SD Inpres Cambaya dan di Kabupaten Jeneponto yaitu Desa Biringkassi dan Desa Pabiringa. Gambaran umum (karakteristik) seluruh responden meliputi: umur responden, status pendidikan anak, jumlah anak yang masih sekolah, tingkat pemahaman responden tentang gender, pembagian kerja anak di dalam rumah, pengambilan keputusan di dalam rumah tangga terutama terkait dengan anak di bidang pendidikan, jenis bantuan yang diterima dari pemerintah, faktor penyebab kesenjangan gender di bidang pendidikan (faktor akses, faktor partisipasi, faktor control, faktor manfaat, dan faktor-faktor lainnya misalnya faktor ekonomi, faktor budaya, dan faktor lingkungan. Data dan informasi yang terkait dengan hal tersebut diuraikan pada sub bagian berikut ini.
34
4.3.1. Karateristik Responden Kab. Gowa 4.3.1.1. Identitas Responden Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, hampir semua responden yang di temui di Kecamatan Somba Opu Kab. Gowa adalah
perempuan hanya 5,3 persen laki-
laki (yang bekerja sebagai Buruh harian). Hal ini disebabkan karena pada saat wawancara berlangsung kaum ibu yang berada di rumah sedangkan kaum bapak sedang bekerja. Status pekerjaan responden perempuan hampir semua hanyalah ibu rumah tangga (89,5 persen tidak pernah bekerja) dan hanya 10,5 persen yang masing – masing sebagai guru mengaji dan pernah bekerja sebagai buruh pabrik. Umur responden berkisar 30 sampai dengan 60 tahun. Gambar 4.9. Kelompok Umur Responden di Kabupaten Gowa, 2014
Sumber : Data Primer, diolah, 2014 4.3.1.2. Karateristik Rumah Tangga Jumlah anak responden yang sudah mengikuti pendidikan maupun yang sedang bersekolah pada berbagai jenjang pendidikan dapat dilihat pada Gambar 4.10.
Untuk
Kecamatan Somba Opu, Tompobalang Kab. Gowa, Pendidikan SD merupakan jumlah yang terbanyak, sebesar 23 anak
atau 30,7 persen sedang bersekolah pada tingkat ini. 35
Sebanyak 11 orang perempuan (14 persen) dan 12 orang laki-laki (16 persen). Mereka yang sedang bersekolah pada tingkat SMP sebesar 14 persen ( 6 persen perempuan dan 8 persen laki-laki). Gambar 4.10. Status Pendidikan Anak Responden, di Tompobalang Kab Gowa
Sumber : Data Primer, diolah 2014
Ada 5 orang yang sedang bersekolah di SMU dan sebanyak 4 orang tamat SMU dan yang berstatus sarjana sebanyak 2 orang dan sedang kuliah 4 orang. Hal ini mengindikasikan bahwa
masyarakat di wilayah penelitian ini telah menyadari arti
pentingnya pendidikan yang tercermin dari adanya kecenderungan masyarakat untuk menempuh pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi (sampai pada perguruan tinggi). Tuntutan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi nampaknya tidak selalu dihubungkan dengan faktor ekonomi. Karena jika dilihat dari mata pencaharian orang tua bagi peserta didik (responden) adalah didominasi oleh pekerjaan di sektor informal misalnya tukang becak, tukang batu, sopir mobil trek, dan sebagainya. Bahkan ada salah satu responden yang dijumpai mempunyai anak sebanyak 12 dan 2 diantara anaknya telah
bergelar S2
dan beberapa yang sedang duduk di bangku kuliah. Pekerjaan orang tua (bapak) sebagai tukang becak dan ibu berprofesi sebagai guru mengaji dengan jumlah anak didik mengaji kurang lebih 40 orang. Berdasarkan wawancara dari salah seorang responden mengatakan
36
bahwa pendidikan bagi anak sangat penting karena mereka tidak menginginkan anaknya nanti mengikuti jejak orang tuanya yang tidak pernah duduk dibangku sekolah. Tabel 4.6. Status Pendidikan anak responden menurut jenis kelamin, 2014 Kategori Sekolah
Perempuan S
T
TT
Laki-Laki BS
TK
T
TT
BS
1(1,3%)
SD
11 (14%)
SMP
5 (6,7%)
SMU
2(2,6%)
PT
3(4,0%)
2(2,6%)
2(2,6%)
1(1,3%)
12(16%)
1(1,3%)
6(8%)
7(9,3%)
3(4,0%)
3(4,0%)
1(1,3%)
1(1,3%)
1(1,3%)
1(1,3%)
Lainnya Jumlah
S
Jumlah
1)1,3%)
18(24%) 9(12%) 2(2,6%)
5(6,7%) 21(28%)
6(2,6%)
2(2,6%)
5(6,7%)
23(30,6%)
10(13%)
29(38%)
3(4,0%)
8(10,6%) 5(6,7%)
10(13%)
5(6,7%)
75(100%)
Sumber: Data Primer diolah, 2014 Keterangan : S= sedang bersekolah/kuliah, T = tamat, TT= Tidak Tamat, TS = Tidak Sekolah, BS= Belum Sekolah
Pada tabel di atas terlihat bahwa hanya 3 orang (4,0%) yang tidak menamatkan pendidikan dasar
SD ( 2 perempuan dan 1 laki-laki ). Alasannya bahwa dulu, biaya sekolah
mahal (belum gratis) sedangkan yang laki-laki meskipun terdapat kebijakan
pemerintah tentang pendidikan gratis, nampaknya belum sepenuhnya bermanfaat bagi anak didik laki-laki. Mereka lebih memilih untuk mencari nafkah daripada berpartisipasi untuk sekolah. Pada tingkat SMP lebih banyak laki-laki sedangkan pada tingkat SMU dan PT lebih banyak ditempuh oleh perempuan. Keputusaan untuk bersekolah di SD maupun melanjutkan pada SMP dan SMA, sebanyak 78,9 persen responden memberikan jawaban keputusan tersebut dilakukan secara bersama-sama oleh suami-istri. Hanya 15,9 persen keputusan dilakukan oleh istri dan 5,3 persen diputuskan oleh suami saja, sebagaimana data yang tersaji pada Gambar 4.10. Hal ini mengindikasikan bahwa sekelompok responden tersebut sudah mulai memahami pendidikan yang berwawasan gender, meskipun masih ada diantara mereka yang mengikuti pola budaya sehingga konstruksi sosial masih nampak. Pengambilan keputusan tentang tentang status pendidikan anak cukup penting untuk dianalisis karena berimplikasi terhadap proses pembelajaran di sekolah dan keberlanjutan anak pada jenjang pendidikan. Jika ada gejala anak mereka malas atau putus sekolah, maka keterlibatan orang menjadi sangat dibutuhkan. Jika bapak (suami) sebagai penentu pengambilan 37
keputusan maka sesungguhnya bapak dituntut untuk mengikuti perkembangan studi anak, dan sebaliknya. Jika suami-istri maka keduanya bertanggung jawab. Itulah sebabnya ke depan diharapkan suami dan istri secara bersama-sama terlibat didalam proses pendidikan anaknya. Gambar 4.11. Distribusi Respoden berdasarkan pengambilan keputusan
Sumber : Data Primer, diolah 201
Pengambilan keputusan yang hanya dilakukan oleh Istri disebabkan olah karena kesibukan suami mencari nafkah, sehingga waktu dalam rumah kurang sehingga keputusan sekolah anak diserahkan pada istri. Hal ini berlaku pada rumah tangga responden baik yang suami bekerja dalam kota (tinggal sama- sama) maupun di luar kota (tinggal di tempat lain). Sedangkan alasan kenapa suami yang memutuskan karena anggapan bahwa, suami adalah kepala keluarga. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa jika pemahaman suami bahwa istri yang memutuskan untuk dibidang pendidikan berarti pengetahuan suami-istri terkait dengan wawasan gender masih perlu ditingkatkan. Hambatan yang dihadapi dalam menempuh pendidikan sangat terkait dengan biaya pendidikan. Hal ini ditunjukkan oleh 100 persen responden menjawab faktor biaya. Meskipun sudah ada program pendidikan gratis, tetapi mereka masih tetap mengeluarkan biaya transportasi, biaya pakaian seragam, biaya buku tulis serta uang jajan anak. Jika
38
dicermati fakta tersebut berarti kemampuan ekonomi rumah tangga dapat dikatakan sangat memprihatinkan. Itu berarti perlu ada peningkatan keterampilan bagi ibu rumah tangga agar biaya tambahan sekolah anak mereka dapat dipenuhi. Namun untuk pakaian seragam, telah ada kebijakan pemerintah terkait dengan pakaian seragam akan tetapi tidak semua peserta anak didik memperolehnya setiap tahun. Pemerintah menggilir dalam arti jika tahun ini si A mendapat bantuan pakaian seragam, maka tahun depan dipindahkan ke peserta didik lainnya. Sekitar 15,8 persen responden mengatakan bahwa mencari nafkah adalah menjadi salah faktor penghambat dalam melanjutkan pendidikan, sebesar 5,3 persen yang mengatakan faktor jarak yang jauh serta masalah rumah tangga yang membuat anak malas sekolah. Pada umumnya anak didik yang malas ke sekolah adalah laki-laki. Ini berarti terdapat bias gender di bidang pendidikan yang disebabkan oleh faktor akses. Beberapa faktor penyebab anak didik bersekolah dengan jarak yang jauh dari rumah antara lain: (i) tidak diterima pada sekolah yang berada disekitar rumahnya, (ii) memilih sekolah yang pavorit. Oleh karena itu perlu ada kebijakan terkait dnegan pengarusutamaan anak usia sekolah diterima pada sekolah yang dekat dari tempat tinggal mereka.
4.3.1.3. Persepsi Responden tentang Konsep Gender di Bidang Pendidikan Berdasarkan hasil wawancara dari seluruh responden di Tompobalang, hanya 1,3 persen (laki-laki) yang ditemukan putus sekolah pada tingkat SD. Pada saat ditelusuri faktor penyebab putus sekolah, ternyata putus sekolah disebabkan oleh faktor ekonomi. Pada awalnya anak tersebut hanya membantu orang tua mencari nafkah ketika libur sekolah, namun kemudian anak bersangkutan karena ketertarikan
pendapatan (nilai
ekonomi) yang diperoleh sangat membuaskan pada waktu itu, maka anak tersebut lebih memilih untuk melanjutkan mencari nafkah daripada bersekolah. Jenis usaha yang dilakukan adalah menjual kantong plastik di Pelelangan Ikan dengan penghasilan rata-rata Rp 50 per hari. Meskipun tingkat pendapatan per hari yang diperoleh menurun menjadi Rp 15 ribu (karena tingkat persaingan), namun perhatian untuk bersekolah tidak ada. Jika dikaitkan dengan faktor kesenjangan gender, penyebab putus sekolah anak laki-laki tersebut lebih disebabkan oleh partisipasi anak di bidang pendidikan yang kurang 39
dan kontrol dari orang tua. Berdasarkan hasil wawancara, hanya ibu yang berupaya untuk selalu mendorong anak untuk bersekolah, sementara upaya bapak kemungkinan tidak ada karena anak tersebut setiap hari bersama-sama bapak untuk mencari nafkah. Berdasarkan informasi dari orang tua anak bahwa tidak pernah datang guru untuk mempertanyakan kondisi si anak. Ini berarti putus sekolah juga terindikasi kurangnya partisipasi guru (tempat anak tersebut bersekolah) terhadap anak. Semua responden setuju bilamana anaknya ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, meskipun dengan alasan yang berbeda. Dari perspektif gender, baik anak laki-laki maupun anak perempuan diberi hak yang sama dari orang tuanya untuk menempuh pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Selain itu, sebagian besar istri dan suami secara bersama-sama memutuskan ketika anaknya ingin memperoleh kejenjang yang lebih tinggi. Ada beberapa alasan yang dikemukan oleh orang tua terkait dengan keputusan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi yaitu tergambar didalam Tabel 4.7. No 1 2 3 4 5 6
Tabel 4.7 Alasan Responden Untuk Keberlanjutan Studi Anak Alasannya Demi masa depan anak Pendidikan anak harus melebihi orangtuanya Agar cita-cita anak bisa tercapai Karena ilmu tidak pernah habis Pendidikan sangat penting Agar mendapat pekerjaan yang lebih baik
Sumber : Data Primer, diolah 2014
Semua responden yang mempunyai anak perempuan dan laki-laki, tidak membedakan kesempatan siapa yang harus lanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Keduanya dianggap sama pentingnya. Jumlah responden yang mengatakan bahwa anak perempuan lebih rajin sebanyak 21,1 persen, sementara anak laki-laki yang rajin hanya 5,3 persen, Yang menarik adalah sebanyak 73,6 persen yang mengatakan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama rajin. Akan tetapi meskipun sama-sama rajin, namun anak perempuan
secara umum lebih banyak menduduki peringkat tertinggi didalam kelas
dibandingkan dengan anak laki-laki. Dari sisi partisipasi anak rajin belajar, rajin ke
40
sekolah, responden memberikan jawaban yang berbeda sebagaimana diuraikan pada tabel berikut ini:
Tabel 4.8. Persepsi responden terhadap tingkat partisipasi anak No Yang rajin Anak perempuan 1 Anak laki-laki 2 Keduanya 3 Sumber : Data Primer, diolah 2014
Jumlah ( persen) 21,1 5,3 73,6
4.3.1.4. Program Bantuan Pemerintah Terkait Bidang Pendidikan Terkait dengan bantuan pemerintah bidang pendidikan
yang diberikan pada
masyarakat/ anak sekolah, hanya 21 persen responden yang pernah mendapat bantuan ― Keluarga Harapan‖. Sedangkan 79 Responden yang menyatakan tidak mendapat bantuan. ― Bantuan Operasional Sekolah ( Dana BOS)‖ dan program pemerintan berupa ―Pendidikan Gratis‖ mereka anggap sebagai paket kebijakan yang memang harus dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat merasa belum cukup dengan bantuan BOS dan Pendidikan Gratis, karena mereka masih harus mengeluarkan biaya tranportasi tiap hari, pakaian seragam dan biaya buku tulis. Dalam hal partisipasi orangtua di sekolah melalui rapat, semua responden menyatakan tidak pernah diundang rapat. Mereka hanya datang atau dipanggil ke sekolah hanya pada saat penerimaan Rapor anak mereka dan bilamana ada hal yang berhubungan dengan anak bersangkutan, misalnya nakal atau malas ke sekolah. Semua responden tidak pernah mendengar istilah gender dan tidak paham terhadap apa yang dimaksud dengan gender. Namun di dalam mengerjakan tugas rumah sehari- hari umumnya dilakukan secara bersama- sama dan saling membantu.
4.3.1.5. Analisis faktor akses, partisipasi, manfaat dan kontrol Berdasarkan hasil analisis responden terutama terkait dengan status pendidikan anak responden, ada kecenderungan kesenjangan gender di bidang pendidikan khususnya
41
pada lokasi penelitian. Kesenjangan gender anak didik ditemukan adanya partisipasi anak perempuan cenderung lebih tinggi daripada anak laki-laki, ada juga kecenderungan anak perempuan lebih banyak yang putus sekolah dibandingkan dengan anak laki-laki. Temuan anak didik putus sekolah meskipun secara kuantitatif tidak banyak, namun cukup luas dampaknya terhadap kehidupan masa depan anak. Fenomena kesenjangan gender di bidang pendidikan khususnya terhadap anak didik dapat dicermati oleh berbagai faktor penyebab. Dalam teori yang dikembangkan oleh ahli gender bahwa ada 4 faktor penyebab kesenjangan gender yaitu faktor akses, partisipasi, control, dan manfaat. Apakah keempat faktor tersebut merupakan faktor penyebab adanya kecenderungan kesenjangan gender di lokasi penelitian di Kabupaten Gowa. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini melakukan wawancara kepada orang tua, guru wali kelas, dan guru mata pelajaran lainnya. Berbasis dari hasil wawancara dengan responden baik dari pihak sekolah, guru wali kelas maupun guru mata pelajaran lainnya serta orang tua siswa di Kab. Gowa secara umum dapat dikemukakan faktorfaktor yang terkait dengan kesenjangan gender yaitu: a. Akses Kesempatan yang diberikan sekolah misalnya SD Cambaya terhadap setiap siswa menunjukkan tidak adanya perbedaan perlakuan antara siswa perempuan maupun laki-laki. Hal ini berarti setiap siswa mempunyai aksessibilitas yang sama pada setiap fasilitas sekolah. Perpustakaan misalnya, kunjungannya berimbang antara siswa perempuan dan siswa laki-laki. Untuk fasilitas umum lainnya, toilet sekolah (WC) ada 2 buah secara terpilah (WC Laki-Laki dan WC Perempuan) yang disediakan oleh sekolah, sehingga setiap murid dapat mempergunakannya secara maksimal. Namun dari sisi jumlah ruang kelas nampaknya untuk SD Cambaya, terkhusus untuk kelas III perlu tambahan ruangan karena saat ini terbagi pada 3 kelompok kelas A, B dan C. Dari sisi program pendidikan gratis beserta program pemerintah lainnya (bantuan Keluarga Harapan, BOS) tentu saja sangat berguna untuk lebih mempermudah dan mendorong masyarakat dalam mengakses pendidikan. Program tersebut meringankan biaya pendidikan.
42
Hasil
wawancara
dari orang tua, informasi menunjukkan bahwa orangtua
memberikan kesempatan bersekolah pada setiap anak setinggi mungkin tanpa terkecuali, sepanjang sanggup membiayai. Hal ini sejalan dengan persepsi dan perlakuan orang tua terhadap pekerjaan dan tugas rumah yang dapat dikerjakan oleh anak. 87 persen responden menunjukkan dimana pekerjaan rumah diselesaikan secara bersama-sama ( mencuci piring, mencuci pakaian menyapu dan memasak, mengambil air dan menyapu halaman). Ada 13 persen yang menyatakan pekerjaan rumah dilakukan berdasarkan siapa yang sempat baik oleh anak perempuan saja maupun hanya oleh anak laki-laki saja. Tetapi berdasarkan informasi dari guru kelas, adanya beberapa anak
yang
memutuskan untuk tidak bersekolah (putus sekolah) lebih disebabkan oleh faktor yang lain, misalnya merasa paling besar diantara anak-anak lainnya, sehingga malu ke sekolah. Hanya 1,3 persen ( laki-laki) yang ditemukan putus sekolah pada tingkat SD saat ini. Dari sudut pandang orangtua, setiap orangtua memberikan kesempatan yang sama pada setiap anak tanpa kecuali. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa di wilayah penelitian ini, dapat disimpulkan dua hal: (i) tidak ada masalah dari aspek akses anak sekolah terhadap pelayanan publik, baik anak sekolah laki-laki maupun anak sekolah perempuan sama-sama diberi kesempatan yang sama untuk mengakses fasilitas sekolah seperti WC secara terpilah, Perpustakaan, dan akses terhadap sekolah. Meskipun ada responden yang mengatakan bahwa faktor jarak yang jauh juga menjadi salah satu faktor anak didik terkadang putus sekolah. Namun tidak berarti bahwa tidak ada sekolah disekitar rumah mereka, (ii) orang tua tidak membedakan anak mereka baik laki-laki maupun perempuan untuk menempuh pendidikan hingga pada jenjang yang lebih tinggi. Semua anak mereka diberi kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan. Hanya saja terkadang muncul juga ketidakadilan karena secara umum anak perempuan lebih rajin sehingga diberi dorongan untuk selalu ke sekolah, akan tetapi karena anak laki-laki tidak rajin maka perhatian orang tua terhadap anak laki-laki sedikit kurang.
b. Partisipasi
43
Faktor partisipasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kesenjangan gender di bidang pendidikan. Berdasarkan hasil survey di sekitar SD Cambaya, tingkat partisipasi anak perempuan lebih tinggi daripada anak didik laki-laki. Misalnya, siswa perempuan lebih rajin mengerjakan PR dibandingkan siswa laki-laki demikian juga dalam keaktifan dalam berinteraksi dengan guru (baik pada tingkat SD, SMP maupun SMA). Disamping itu, anak didik perempuan lebih aktif memanfaatkan ruang baca (perpustakaan) dibandingkan dengan anak didik laki-laki. Berdasarkan informasi guru wali, umumnya siswa perempuan lebih kritis, demikian juga dalam belajar kelompok, lebih banyak dilakukan oleh
siswa perempuan. Fenomena tingginya tingkat partisipasi anak didik
perempuan telah menyebabkan anak perempuan lebih banyak menduduki peringkat tertinggi (rangking 1-3) didalam kelas dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal ini dipertegas oleh guru bahwa keberadaan dalam kelas sebagai upaya untuk mendapatkan prestasi (rangking) juga lebih didominasi oleh siswa perempuan ( terutama pada tingkat SD kelas IV, kelas V dan kelas VI).
Hal ini menandakan bahwa kesenjangan gender
terjadi antara anak laki-laki dan anak perempuan. Tingginya tingkat partisipasi anak perempuan juga dikontribusi oleh tingginya partisipasi orang tua terhadap anak perempuan. Responden mengatakan bahwa karena anak perempuan lebih rajin sehingga orang tua lebih memberikan motivasi yang lebih banyak terhadap mereka dibandingkan dengan anak laki-laki. Padahal, jika kondisi itu terjadi sesungguhnya orang tua dan guru justru harus memberikan motivasi yang lebih banyak terhadap anak laki-laki disamping motivasi terhadap anak perempuan. Jika ini dilakukan maka itu berarti ada upaya untuk mengurangi kesenjangan gender. Namun demikian, berdasarkan hasil wawancara kepada salah satu guru di SD Cambaya bahwa sebenarnya upaya untuk mendorong motivasi lakilaki lebih tinggi telah dilakukan dengan berbagai cara, namun tantangannya cukup berat karena si anak bersangkutan tidak berubah sikap dan prilaku. Misalnya, ada salah seorang murid laki-laki yang putus sekolah dan guru wali kelas mendatangi tempat kerjanya (salah satu pasar tradisional), namun murid yang bersangkutan tetap memilih untuk bekerja bahkan awalnya ada upaya untuk menghindar dari gurunya. Ini menunjukkan bahwa faktor ekonomi dan lingkungan merupakan faktor penyebab utama anak tersebut putus sekolah.
44
c. Kontrol Faktor kontrol diartikan sebagai peran orang tua (bapak atau ibu) dan peran guru terhadap anak didik dalam proses belajar disekolah. Orang tua dapat mengontrol anak didik mereka baik anak didik laki-laki maupun anak didik perempuan untuk menempuh pendidikan mulai dari jenjang SD sampai perguruan tinggi. Selain itu, faktor kontrol dapat pula diartikan sebagai pengambilan keputusan untuk anak bersekolah menurut jenis kelamin, melanjutkan sekolah, dan sampai pada bekerja atau putus sekolah. Demikian halnya dengan guru terutama guru kelas harus mampu melakukan pengawasan kepada anak didik yang cenderung bermasalah (misalnya malas belajar, putus sekolah, malas ke sekolah, dsb). Berdasarkan hasil wawancara dari seluruh responden bahwa pengambilan keputusan untuk anak bersekolah baik anak laki-laki maupun anak perempuan adalah dilakukan secara bersama-sama (musyawarah) antara suami dan istri. Sekitar 78, 9 persen responden memberikan jawaban keputusan tentang pendidikan anak dilakukan secara bersama- sama oleh suami- istri. Hanya 15,9 persen keputusan dilakukan oleh istri saja, disebabkan olah karena kesibukan suami mencari nafkah, sehingga waktu dalam rumah kurang sehingga keputusan untuk sekolah anak diserahkan pada istri dan 5,3 persen hanya oleh suami saja. Dalam hal kontrol terhadap jalannya pendidikan anak, 38 persen orangtua yang menyatakan bersama memberikan motivasi agar anak lebih rajin belajar dan bersekolah serta 3.45 persen yang berupaya berhubungan dengan sekolah secara langsung tentang perilaku anak di sekolah. Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa peran orangtua terhadap pendidikan anak sangat besar terutama dalam hal pendidikan sehari-hari yang sedang digeluti maupun terhadap kelanjutannya. Akan tetapi perlu dicermati bahwa masih ada beberapa responden (istri) yang lebih dominan untuk memutuskan anak bersekolah atau memantau proses pendidikan anak dibandingkan
dengan
bapak
(suami).
Hal
ini
berarti
keberhasilan
ataupun
ketidakberhasilan pendidikan anak sangat ditentukan oleh ibu semata. Temuan di lokasi penelitian yaitu ada anak laki-laki yang putus sekolah yang disebabkan oleh ketidakmampuan ibu untuk mengontrol atau mengawasi ataupun membujuk anaknya untuk kembali bersekolah. Ini berarti pengawasan anak perlu dilakukan secara bersama-sama 45
dengan suami. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kasus anak laki-laki putus sekolah bukan semata-mata disebabkan oleh ibu tetapi juga oleh suami yang tidak mengawasi pendidikan anak. Bahkan setiap harinya bapak (suami) bersama-sama dengan anaknya untuk pergi mencari nafkah (menjual ikan dipasar). Pengawasan anak didik selama di sekolah juga dilakukan oleh guru. Kasus tentang anak laki-laki kurang termotivasi untuk belajar, kurang memanfaatkan ruang baca, nampaknya para guru telah melakukan beberapa upaya untuk mendorong anak laki-laki supaya setara dengan anak perempuan. Beberapa upaya yang dilakukan antara lain: memberikan tugas berkelompok, membimbing mereka yang malas, membujuk anak yang malas ke sekolah dan menghubungi orangtua murid yang bermasalah. Secara umum, faktor penyebab kesenjangan gender di bidang pendidikan terutama terkait dengan tingkat partisipasi anak perempuan dan adanya kasus anak laki-laki dan anak perempuan yang putus sekolah bukan disebabkan oleh faktor kontrol dari orang tua dan guru, tetapi lebih disebabkan oleh prilaku anak yang bersangkutan yang tidak mau lagi bersekolah karena sudah merasakan manfaat memperoleh penghasilan lebih cepat, namun ada juga indikasi dari kurangnya pengawasan dari suami (bapak).
d. Manfaat Temuan kesenjangan gender di bidang pendidikan seperti angka partisipasi sekolah anak perempuan lebih tinggi daripada anak laki-laki, anak laki-laki yang putus sekolah lebih dominan, anak perempuan lebih rajin daripada anak laki-laki, pemanfaatan ruang baca lebih didominasi oleh anak perempuan, kesemuanya itu nampaknya tidak disebabkan oleh faktor manfaat. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa dari akses tidak ada perlakuan secara berbeda baik dari guru maupun dari orang tua untuk memberikan pendidikan anak mereka. Ini berarti baik anak laki-laki maupun anak perempuan diberi akses yang sama untuk memanfaatkan fasilitas pendidikan. Adanya fasilitas WC secara terpisah cukup membuktikan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan dapat memanfaatkan fasilitas tersebut sesuai dengan kebutuhan masingmasing. Mungkin saja yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan air didalam WC dimana
46
WC perempuan harus tersedia air lebih banyak daripada WC laki-laki karena pengalaman dan kebutuhan perempuan untuk pemakaian air cenderung lebih banyak. Untuk fasilitas ruang baca yang selama ini lebih banyak dimanfaatkan oleh anak perempuan mungkin perlu diperhatikan kembali apakah karena kebutuhan anak laki-laki tidak sesuai dengan ruang baca tersebut, dsb.
4.3.2. Karakteristik Responden di Lingk.Tanru Sampe Barat-Timur, Desa Pabiringa & Lingk.Ujung Loe – Pattotongan Desa Biring Kassi, Kec.Binamu Kabupaten Jeneponto 4.3.2.1. Karateristik Responden Kab. Jeneponto 4.3.2.1.1. Identitas Responden Untuk wilayah Pabiringa dan Biringkassi, Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto setelah dilakukan proses wawancara maka ditemukan bahwa mayoritas responden adalah perempuan yakni sekitar 77 persen, selebihnya adalah laki-laki (23 persen). Pekerjaan utama responden perempuan pada umumnya adalah ibu rumah tangga dan beberapa diantaranya juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai pengikat rumput. Pekerjaan pada umumnya suami mereka adalah petani rumput laut dan petani jagung, namun pada saat wawancara berlangsung kaum bapak sedang tidak berada di rumah. Gambar 4.12. Kelompok Umur Responden di Kec Binamu
Sumber : Data Primer, diolah, 2014 Faktor ini yang menyebabkan alasan utama sehingga jumlah responden ibu-ibu lebih banyak daripada responden laki-laki. Gambar 4.12 memperlihatkan bahwa umur 47
respoden berkisar 25 sampai dengan 60 tahun, namun yang lebih dominan adalah umur 2540 tahun. Ini berarti responden berada pada kelompok umur yang produktif.
4.3.2.1.2. Karateristik Rumah Tangga Jumlah anak responden yang sudah mengikuti pendidikan maupun yang sedang bersekolah pada berbagai jenjang pendidikan bervariasi. Untuk Kecamatan Binamu, Kab. Jeneponto, Pendidikan SD merupakan jumlah yang terbanyak, sebanyak 32 anak sedang bersekolah pada tingkat ini. Sebanyak 18 orang perempuan 42,85 persen dan 24 orang lakilaki 57,14 persen. Mereka yang sedang bersekolah pada tingkat SMP sebanyak 9 orang dimana 3 laki-laki atau 33,33 persen dan 6 perempuan atau 66,66 persen. Ini menunjukkan bahwa karakteristik rumah tangga pada lokasi penelitian ini secara umum lebih banyak anak usia sekolah SD dibandingkan dengan SMP. Jika dicermati berdasarkan jenis kelamin dapat dikatakan bahwa anak didik laki-laki lebih banyak daripada anak didik perempuan. Berdasarkan pengamatan dilapangan, beberapa anak responden tidak tammat sekolah. Untuk Sekolah Dasar sebanyak 3 anak, dan SMP sebanyak 2 anak dan SMA sebanyak 2 anak. Beberapa faktor penyebab sehingga terdapat anak responden tidak tammat sekolah misalnya cepat menikah baik laki-laki maupun perempuan, mencari kerja untuk membantu orang tuanya, faktor lingkungan, dan sebagainya. Kondisi yang sama dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi misalnya SMA, terdapat 20 orang yang sedang bersekolah di SMU dan sebanyak 6 orang tidak tamat SMU serta sebanyak 6 orang sedang kuliah di tingkatan perguruan tinggi. Yang menarik adalah terdapat 6 anak dari responden yang menduduki bangku kuliah. Hal ini semakin membuktikan bahwa pendidikan memegang peran penting dalam rumah tangga. Jika diamati berdasarkan status anak responden berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa jumlah anak responden yang berjenis kelamin perempuan lebih sedikit daripada jenis kelamin laki-laki. Jika dipilah berdasarkan status anak yang sedang sekolah, tamat sekolah, tidak tammat sekolah dan belum sekolah terlihat bervariasi.
48
Pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar terdapat 42 anak yang sedang sekolah yang terdistribusi sebanyak 18 perempuan dan 24 anak didik laki-laki. Terdapat 3 (tiga) diantaranya anak laki-laki yang tidak tammat sekolah dasar atau putus sekolah.
Gambar 4.13. Status Pendidikan Anak Responden, di Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto
Sumber : Data Primer, diolah 2014
Penyebab terjadinya putus sekolah tersebut karena anak laki-laki lebih senang bekerja sebagai abo-abo atau pengumpul rumput laut dan juga terdapat seorang siswa yang merasa tidak pintar dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya sehingga merasa malu untuk melanjutkan sekolahnya. Fakta ini menandakan bahwa terdapat bias gender dibidang pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan dimana ada kecenderungan anak laki-laki yang putus sekolah dibandingkan dengan anak perempuan. Kondisi ini perlu mendapat perhatian dari guru dan orang tua. Tabel 4.9. Status Pendidikan anak responden menurut jenis kelamin, 2014 Kategori Sekolah
Perempuan
S SD
18
T
TT
Laki-Laki
BS
S 24
T
TT 3
Jumlah
BS 42
49
SMP
6
SMU
10
3
PT
5
1
Jumlah
39
4
3
3
3
7
2
18
10
1
2
20
1
1
38
9
6 7
Sumber: Data Primer diolah, 2014 Keterangan : S= sedang bersekolah/kuliah, T = tamat, TT= Tidak Tamat, TS = Tidak Sekolah, BS= Belum Sekolah
Pada jenjang pendidikan SMP, terdapat 18 jumlah anak responden yang berlatar belakang pendidikan SMP, 6 diantaranya adalah perempuan dan 12 anak laki-laki. Dari jumlah tersebut, 19 anak yang masih sekolah (6 perempuan dan 3 laki-laki), 7 (tujuh) orang yang telah menammatkan sekolah SMP, dan 2 (dua) orang yang tidak tammat SMP. Ini berarti pada jenjang pendidikan SMP, juga ditemukan ada bias gender pada lokasi penelitian. Untuk jenjang pendidikan SMA, dari seluruh responden, terdapat 20 anak yang berlatar belakang pendidikan SMA. Jumlah anak yang masih sedang sekolah seimbang antara anak laki-laki dan perempuan. Dari jumlah anak keseluruhan, ditemukan beberapa diantaranya anak responden yang tidak tammat sekolah yaitu 23 perempuan dan 2 laki-laki. Status anak responden yang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Perguruan Tinggi sebanyak 6 anak. Dari jumlah tersebut, 5 anak perempuan masih sedang kuliah dan 1 anak laki-laki. Meskipun penelitian ini terbatas sampelnya namun secara umum dapat dikatakan bahwa masih ada bias gender di bidang pendidikan khususnya di wilayah penelitian. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak sekolah yang tidak tammat sekolah (SD, SMP, SMA) sebanyak 10 orang, 7 diantaranya adalah anak laki-laki, selebihnya adalah anak perempuan. Jika diamati berdasarkan jenis kelamin, secara keseluruhan tingkat partisipasi sekolah perempuan (sedang sekolah) mulai dari tingkatan SD sampai perguruan tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Begitupun juga dengan tingkat putus sekolah terlihat bahwa jumlah siswa perempuan yang putus sekolah mulai dari SD sampai SMA lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Banyaknya anak laki-laki yang tidak tammat sekolah disebabkan oleh adanya kecenderungan anak laki-laki lebih memilih untuk bekerja membantu orang tua mereka karena
faktor ekonomi. Hal ini didukung oleh
kenyataan bahwa secara umum masyarakat pesisir adalah kelompok masyarakat rentang terhadap kemiskinan sehingga dengan penghasilan orang tua yang seadanya terkadang 50
menjadi faktor ketidakmampuan orang tua untuk melanjutkan pendidikan anaknya sehingga tidak heran beberapa anak putus sekolah dan memilih bekerja sebagai abo-abo untuk membantu orang tuanya. Hal ini berarti faktor ekonomi kembali lagi menjadi salah satu faktor penentu angka partisipasi sekolah. Walaupun pemerintah telah menghadirkan program pendidikan gratis namun itu tidak serta merta mengurangi angka putus sekolah secara keseluruhan karena keluarga miskin ternyata masih membutuhkan biaya-biaya lain seperti transportasi dan akomodasi untuk anaknya. Berkaitan tentang pengambilan keputusan orang tua terhadap pendidikan anak untuk bersekolah di SD maupun melanjutkan pada SMP dan SMA, sebanyak 14 orang atau 46 persen responden memberikan jawaban bahwa keputusan tersebut dilakukan oleh istri saja dibandingkan dilakukan secara bersama suami-istri sebanyak 13 orang atau 43 persen. Kondisi ini mengindikasikan bahwa peran istri terhadap pengambilan keputusan terkait pendidikan anak masih cukup besar. Hal ini tentu saja berpotensi munculnya bias gender. Ketika istri mempunyai pengetahuan yang terbatas dan tidak memahami arti pentingnya pendidikan, maka peluang untuk tidak menyekolahkan anak perempuan dan laki-laki cukup besar. Misalnya terjadi pernikahan dini bagi anak perempuan, bagi anak laki-laki dipaksa untuk bekerja lebih cepat, dan sebagainya. Akan tetapi diantara seluruh responden masih ada sekitar 43 persen yang memutuskan secara bersama. Ini berarti tingkat pemahaman responden tersebut terkait dengan pendidikan yang responsive gender cukup baik. Berdasarkan hasil wawancara, proses penentuan untuk anaknya melanjutkan pendidikan atau tidak adalah musyawarah dalam keluarga. Selanjutnya hanya 11 persen responden yang berpendapat bahwa hal tersebut diputuskan oleh suami saja karena suami merupakan kepala keluarga, sebagaimana data yang tersaji pada Gambar 4.14. Secara umum dapat disimpulkan bahwa faktor kontrol khususnya menyangkut tentang pendidikan anak untuk seluruh responden masih didominasi oleh istri. Ini berarti tingkat pemahaman responden tentang gender cukup rendah. Hal ini terutama masih dipengaruhi oleh faktor budaya dimana pekerjaan mengurus anak dipandang sebagai pekerjaan ibu rumah tangga saja dan suami berperan sebagai petani dan nelayan. Adanya dikotomi tentang peran orang tua tersebut sangat berpengaruh terhadap proses kontrol pendidikan anak dalam keluarga termasuk untuk meminimalisir terjadinya angka putus 51
sekolah itu sendiri. Keberhasilan pendidikan anak sangat ditentukan oleh keterlibatan peran orang tua baik istri maupun suami secara bersama-sama. Data tersebut diatas menyiratkan
perlunya pemahaman gender dalam keluarga tentang pentingnya secara
bersama-sama mengontrol pendidikan anak. Orang tua adalah guru pertama dalam keluarga yang membentuk lebih awal karakter anak yang selanjutnya diperkuat oleh guru ketika anak sedang memasuki jenjang pendidikan mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Gambar 4.14. Distribusi Responden berdasarkan pengambilan keputusan
Sumber : Data Primer, diolah 2014
4.3.2.1.3. Persepsi Responden tentang Konsep Gender di Bidang Pendidikan di Kab Jeneponto Pada umumnya pemahaman responden tentang konsep gender masih nihil. Hal ini terbukti dari pembagian kerja anak didalam kegiatan domestik. Dari seluruh responden, mayoritas anak perempuan mengerjakan pekerjaan domestik, sementara anak laki-laki cenderung tidak diberikan beban untuk menyapu, mencuci piring, memasak, ke pasar, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa beban kerja anak perempuan lebih tinggi daripada anak laki-laki. Akan tetapi sangat menarik karena meskipun anak perempuan lebih
52
dominan mengerjakan pekerjaan di rumah namun perempuan juga yang secara umum berprestasi di sekolah. Untuk ke depan, kondisi ini perlu dikurangi agar perempuan dan laki-laki sama-sama mengerjakan pekerjaan di dalam rumah. Yang lebih penting adalah perlu perhatian dari orang tua agar anak laki-laki tetap termotivasi untuk bersekolah dan lebih rajin agar sama-sama dapat menikmati hasil pembangunan khususnya di bidang pendidikan. Gambar 4.15. Pembagian kerja anak dalam keluarga berdasarkan gender
Sumber: Data primer diolah, 2014
Selain itu faktor lingkungan dan budaya juga berpengaruh terhadap persepsi responden terhadap pendidikan dan pembagian kerja dalam keluarga. Budaya patriarki yang masih kuat cenderung menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan sehingga menjadi faktor kesenjangan gender dalam masyarakat untuk menempuh pendidikan. Hal tersebut tergambarkan pada pola pendidikan anak yang bias gender dalam keluarga dimana mayoritas masyarakat setempat memandang bahwa pekerjaan rumah tangga hanya dikerjakan oleh perempuan, sementara laki-laki tidak diperkenakan untuk mengerjakannya.
53
Hasil wawancara responden tentang klasifikasi pekerjaan anak berdasarkan jenis kelamin di temukan bahwa pekerjaan menyapu adalah masih dominan dibebankan kepada anak perempuan yang tercermin dari hanya sekitar 6,6 persen orang tua mengatakan bahwa pekerjaan menyapu dapat dikerjakan oleh anak laki-laki, sementara sekitar 70 persen orang tua mengatakan bahwa menyapu dikerjakan oleh anak pekerjaan perempuan, selebihnya 23,3 persen yang memandang itu dapat dikerjakan secara bersama. Untuk pekerjaan mencuci piring, sebanyak 76,6 persen orang tua melihat itu sebagai pekerjaan perempuan dan hanya terdapat 23,3 persen yang berpendapat itu dikerjakan bersama dan pekerjaan mencuci piring sama sekali tidak dianggap sebagai pekerjaan yang dapat dikerjakan lakilaki. Kondisi yang sama terjadi untuk pekerjaan memasak. Sebanyak 76,6 persen orang tua mengatakan bahwa pekerjaan memasak adalah dikerjakan oleh perempuan, selebihnya dapat dikerjakan secara bersama. Pada jenis pekerjaan mencuci pakaian, yang memandang itu sebagai pekerjaan perempuan presentasinya jauh lebih tinggi yakni 80 persen sedangkan yang menganggap itu adalah pekerjaan bersama hanya sebesar 20 persen serta itu dipandang bukan sebagai pekerjaan laki-laki. Berbeda dengan pekerjaan membersihkan pekarangan rumah, terdapat 10 persen responden yang memandang itu adalah pekerjaan laki-laki namun tetap saja mayoritas yang mengatakan itu adalah pekerjaan perempuan dengan besaran presentase sebesar 66,6 persen dan hanya 23,3 persen yang memandang itu dikerjakan dapat dikerjakan secara bersama. Dan terakhir untuk jenis pekerjaan membantu ibu ke pasar sebanyak 76,6 persen responden berpendapat itu adalah pekerjaan perempuan dan hanya 23,3 persen yang berpendapat itu adalah pekerjaan bersama antara perempuan dan laki-laki. Data tersebut mengindikasikan bahwa budaya patriarki di wilayah pesisir khusunya di desa penelitian nampak masih kuat yaitu cenderung menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan sehingga menjadi faktor kesenjangan gender dalam masyarakat untuk menempuh pendidikan. Berdasarkan data dan informasi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendapat responden di kedua desa tentang pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, mencuci piring, memasak, mencuci pakaian, membersihkan pekarangan rumah dan membantu ibu ke pasar 54
mayoritas bertumpu pada perempuan karena adanya budaya dalam masyarakat yang memandang bahwa pekerjaan dalam rumah tangga adalah jenis pekerjaan perempuan saja sedangkan untuk pekerjaan diluar rumah merupakan pekerjaan laki-laki. Adanya pendikotomian antara peran anak laki-laki dan perempuan seperti itu dapat mempengaruhi proses transformasi nilai – nilai edukasi dalam keluarga. Banyaknya beban kerja yang harus dikerjakan oleh perempuan dalam keluarga dapat menjadikan peluang waktu belajar mereka lebih sedikit dibanding anak laki-laki sehingga akan mempengaruhi potensi pengembangan pengetahuan anak perempuan itu sendiri. Dan dilain hal, anak laki-laki justru memperoleh pelajaran tentang kemandirian dalam menyelesaikan pekerjaanpekerjaan rumah tangga yang lebih sedikit dibandingkan dengan anak perempuan dimana itu dapat berdampak negatif terhadap anak laki-laki yang dapat menciptakan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap perempuan begitupun juga terhadap penanaman nilainilai kemandirian karena salah satu subtansi nilai-nilai edukasi dalam keluarga adalah kemandirian. Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar responden setuju jika kelak anaknya akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, walaupun beberapa responden yang memandang bahwa itu tidak terlalu penting karena biasanya pada akhirnya perempuan akan menjadi ibu rumah tangga sehingga itu dianggap tidak terlalu urgen. Tabel 4.10 Alasan Responden Untuk Keberlanjutan Studi Anak No Alasannya Demi masa depan yang lebih baik. 1 Pendidikan anak harus melebihi orangtuanya 2 Agar mendapat pekerjaan yang lebih baik 3 Karena ilmu tidak pernah habis 4 Pendidikan sangat penting 5 Agar cita-cita anak bisa tercapai 6 Sumber : Data Primer, diolah 2014
Ketika anak diberi kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan baik anak laki-laki maupun anak perempuan, namun dari aspek partisipasi anak didik berdasarkan jenis kelamin adalah berbeda. Hasil wawancara responden menunjukkan bahwa anak
55
perempuan lebih rajin belajar, rajin ke sekolah dibandingkan dengan anak laki-laki. Akan tetapi sekitar 50 persen orang mengatakan bahwa kedua-duanya (anak laki-laki dan perempuan) sama-sama rajin belajar dan rajin kesekolah.
Fenomena ini mempunyai
persepsi yang sama dengan responden di Kabupaten Gowa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum di kedua lokasi tersebut anak perempuan dan anak laki-laki sama-sama rajian belajar, hanya saja yang sering mendapat peringkat 3 besar didalam kelas adalah pada umumnya anak perempuan.
Tabel 4.11. Persepsi responden terhadap tingkat partisipasi anak No Yang rajin Jumlah ( persen) Anak perempuan 26,6 1 Anak laki-laki 23,3 2 Keduanya 50 3 Sumber : Data Primer, diolah 2014 Hal ini menggambarkan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan disamping telah diberi akses yang sama untuk menempuh pendidikan juga berpartisipasi terhadap pendidikan. Disaat yang sama dilakukan wawancara terhadap guru-guru yang ada di SD 81 Tanrusampe, Kecamatan Binamu untuk mengetahui persepsi tenaga pendidik tentang pengarusutamaan gender dalam lingkungan sekolah. Respondennya adalah guru kelas 1 sampai kelas 6, ketika ditanya tentang kata gender 100 persen menjawab tidak tahu dengan istilah tersebut akan tetapi pada praktiknya para guru memberikan perlakuan yang sama kepada setiap murid perempuan dan laki-laki dalam proses pembelajaran dan tidak ada pembedaan antar satu dengan yang lain. Hal ini berarti pemahaman tentang gender secara tidak langsung telah dipahami. Akan tetapi masih perlu ditingkatkan wawasan mereka tentang pengarusutamaan gender karena terkadang ada prilaku anak didik yang harus diintervensi secara berbeda. Misalnya ketika anak didik laki-laki kurang memanfaatkan fasilitas perpustakaan, guru diharapkan melakukan pendekatan-pendekatan khusus agar anak didik laki-laki dapat pula memanfaatkan fasilitas tersebut sebagaimana terlihat pada Tabel 4.12 bahwa terdapat perbedaan tingkat partisipasi anak laki-laki dan perempuan terhadap pemanfaatan fasilitas sekolah yang ada. Tentu saja adanya perbedaan tingkat partisipasi anak akan berimplikasi terhadap manfaat yang diperoleh. Bagi anak didik yang
56
lebih rajin berperan untuk memanfaatkan fasilitas tersebut akan memperoleh manfaat yang lebih banyak dibandingkan dengan anak didik yang tidak rajin. Tabel 4.12. Persepsi guru terhadap tingkat partisipasi anak di sekolah No Yang rajin Anak perempuan 1 Anak laki-laki 2 Sumber : Data Primer, diolah 2014
Jumlah ( persen) 66,6 33,3
Tabel 4.12 memperlihatkan ada kecenderungan murid perempuan lebih rajin untuk berpartisipasi atau memanfaatkan ruang baca sehingga informasi yang diperoleh murid perempuan jauh lebih banyak daripada murid laki-laki. Walaupun sebenarnya guru memberikan peluang yang sama kepada setiap murid untuk mengakses fasilitas yang telah disiapkan. Namun sayangnya fasilitas tersebut masih dalam bentuk ruang baca saja dan pihak guru mengharapkan pemerintah menyiapkan perpustakaan yang dilengkapi bukubuku yang dapat menunjang proses pengajaran. Untuk itu, ke depan perlu mendapat perhatian agar ruang baca dilengkapi dengan buku-buku yang menarik minat anak didik laki-laki untuk berpartisipasi memanfaatkan fasilitas yang disediakan. Selain itu, menurut responden murid perempuan lebih penurut dan taat dengan nasehat guru-guru sedangkan murid laki-laki kecenderungannya lebih suka untuk bermain dan agak susah untuk diatur. Berikutnya adalah alasan responden mengapa murid malas untuk sekolah:
Tabel 4.13. Persepsi guru terhadap faktor penyebab anak malas sekolah No 1 2
Alasan Kurangnya perhatian orang tua Tidak adanya komunikasi orang tua dengan guru Sumber : Data Primer, diolah 2014
Jumlah ( persen) 66,6 33,3
Nampaknya kurangnya perhatian orang tua terhadap anak menjadi faktor penyebab yang terbesar sehingga anak malas untuk sekolah, sebanyak 33,3 persen diakibatkan oleh kurangnya komunikasi antara orang tua dengan guru. Fakta ini menjelaskan bahwa faktor
57
penyebab ketimpangan gender bagi anak sekolah bukan semata-mata disebabkan oleh faktor terbatasnya ketersediaan fasilitas sekolah dari pemerintah dan atau kebijakan netral gender tetapi lebih dominan disebabkan oleh faktor keluarga (orang tua) dan guru. Orang tua dan guru kedua-duanya adalah ikon pendidik bagi anak dan memiliki dampak yang besar bagi kecerdasan dan masa depan anak. Oleh karena itu, sentuhan pemahaman tentang strategi PUG bagi guru dan orang tua penting untuk dilakukan yang mana selama ini masih lebih banyak disentuh pada aparat pemerintah (Dinas Pendidikan).
4.3.2.1.3. Program Bantuan Pemerintah Terkait Bidang Pendidikan Peran pemerintah dan pemerintah daerah terhadap pendidikan anak sekolah cukup tinggi. Di tingkat pemerintah daerah, terdapat berbagai kebijakan yang sasarannya adalah anak sekolah mulai jenjang pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah, bahkan hingga sampai Perguruan Tinggi seperti kebijakan pembayaran SPP yang diterapkan oleh Gubernur Sulawesi Selatan periode 2014-2019. Kebijakan Gubernur tentang pendidikan Gratis di kabupaten/kota telah diimplementasikan sejak tahun 2008. Berdasarkan hasil wawancara responden bahwa 100 persen responden mengatakan bahwa anak mereka yang menempuh pendidikan mendapatkan bantuan pendidikan gratis, selain itu ada juga yang memperoleh bantuan beasiswa yang berprestasi, dan juga bantuan anak yang tidak mampu. Meskipun mendapat bantuan pendidikan gratis, namun nampaknya tidak semua anak didik memanfaatkan dengan baik bantuan tersebut. Hal ini terlihat dari beberapa anak didik yang putus sekolah bukan karena tidak ada biaya pendidikan tetapi lebih banyak disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor ekonomi keluarga yaitu membantu orang tua untuk mencari nafkah. Hal ini berarti tuntutan kebutuhan sehari-hari keluarga jauh lebih banyak sehingga membutuhkan pendapatan yang lebih tinggi tidak hanya untuk kebutuhan pendidikan anak. Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tentang pendidikan gratis, responden secara umum merespon secara positif dalam arti sangat membantu untuk mengurangi beban pendidikan yang bersumber dari orang tua. Tetapi perlu diingat bahwa kebutuhan orang tua tidak hanya pada pendidikan tetapi kebutuhan makan sehari-hari jauh sangat penting.
58
Selain bantuan pendidikan gratis, responden juga mendapatkan bantuan beras RASKIN yang dimaksudkan untuk menopang kebutuhan pangan keluarga. Semua bantuan tersebut diharapkan orang tua tidak lagi memanfaatkan anak mereka untuk mencari nafkah yang dapat mengganggu pendidikan. Selain itu, beberapa responden juga pernah mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) akan tetapi bantuan-bantuan tersebut masih jauh dari rasa cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama untuk membantu biaya-biaya operasional dan sekolah anaknya. Bentuk-bentuk bantuan pemerintah masih dirasakan belum cukup bagi responden dan untuk menutupi kekurangan mereka maka anak dijadikan sebagai salah satu alternative yaitu membantu orang tua untuk bekerja.
4.3.2.1.4.
Analisis secara umum faktor akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat
Berdasarkan analisis data sebelumnya ditemukan bahwa isu gender terhadap anak didik pada dua lokasi penelitian di Kabupaten Jeneponto adalah angka partisipasi sekolah perempuan lebih tinggi daripada laki-laki dan angka putus sekolah laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Secara garis besar faktor penyebab kesenjangan gender dicermati pada dua sisi yaitu sisi orang tua dan sisi pemerintah termasuk guru. Berikut ini akan diuraikan faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan gender di bidang pendidikan di Desa Pabiringa Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto sebagai berikut: a.
Akses Faktor akses dalam penelitian ini dicermati beberapa hal: (i) akses anak didik laki-
laki dan perempuan untuk memperoleh fasilitas sekolah yang tersedia, (ii) akses anak didik laki-laki dan perempuan terhadap kebijakan dari guru, dan akses anak didik dari orang tua untuk menempuh pendidikan. Dengan demikian, faktor akses disini lebih difokuskan pada adanya kesempatan anak didik laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pendidikan, kesempatan yang sama bagi anak didik untuk memperoleh fasilitas sekolah dan untuk menjangkau sekolah, dan kemampuan untuk memperoleh fasilitas sekolah yang tersedia. Dari segi aksesibilitas dapat dikatakan bahwa setiap siswa diberi akses yang sama oleh orang tuanya untuk mengenyam pendidikan baik laki-laki maupun perempuan. Ini
59
berarti tidak ada perlakuan secara berbeda terhadap anak untuk menempuh pendidikan. Hal ini didukung oleh hasil wawancara responden di Desa Pabiringa yaitu sebanyak 7 orang responden mengatakan bahwa setiap anak laki-laki dan perempuan memiliki akses yang sama untuk mengenyam pendidikan. Meskipun demikian, ada diantara responden yang masih kental dengan budaya partiarki yang dianggap anak perempuan cukup hanya di rumah karena meskipun telah menyelesaikan sekolah namun akhirnya kembali juga menjadi ibu rumah tangga.
Hal ini terlihat dari
4 responden berpendapat lebih
mengutamakan anak laki-laki untuk memperoleh pendidikan daripada perempuan dan 4 juga responden yang mengutamakan anak perempuan lebih diutamakan daripada anak lakilaki. Begitupun juga di Desa Biringkassi sebanyak 8 responden berpendapat bahwa setiap anak laki-laki dan perempuan memiliki akses yang sama untuk mengenyam pendidikan. Akan tetapi, terdapat 4 responden yang lebih mengutamakan pendidikan anak perempuan dibanding anak laki-laki dan hanya 3 orang saja yang lebih mengutamakan pendidikan anak laki-laki. Meskipun terdapat beberapa responden (orang tua) yang memberi akses atau kesempatan yang berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan, namun secara umum dari 30 responden di kedua desa memiliki pandangan bahwa baik anak laki-laki maupun anak perempuan diberi kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan. Siapa saja diantara mereka yang memanfaatkan peluang tersebut, sesungguhnya merekalah yang mendapat benefit dari pendidikan. Kesempatan yang diberikan dari orang tua semakin dipermudah dengan adanya dukungan kebijakan pendidikan gratis dari pemerintah setempat. Kebijakan pendidikan gratis yaitu bantuan secara gratis kepada anak didik. Salah satu yang mendasari kebijakan ini adalah untuk mencegah agar anak yang bersekolah tidak berhenti ditengah jalan karena alasan biaya pendidikan.
Selama ini pada umumnya yang menjadi alasan terjadinya
murid/siswa putus sekolah adalah ketidakmampuan membayar biaya pendidikan. Akan tetapi, pasca penerapan kebijakan tersebut ternyata itu tidak serta merta memecahkan masalah angka putus sekolah karena faktanya masih saja terdapat angka putus sekolah yang disebabkan oleh faktor non-biaya. Misalnya saja guru kelas 4 di SD 81 Tanrusampe melaporkan bahwa terdapat anak putus sekolah yang diakibatkan karena masalah 60
psikologis dimana si anak tidak ingin melanjutkan sekolahnya lagi karena merasa tidak pintar dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya sehingga malu untuk melanjutkan sekolahnya. Kemampuan anak didik untuk menjangkau sekolah khususnya anak usia sekolah dasar nampaknya tidak bermasalah karena kedua desa yang dijadikan sebagai sampel terdapat sekolah dasar. Ini berarti sarana sekolah yang disediakan oleh pemerintah telah memberikan akses bagi anak didik dan tergolong cukup dekat dari rumah anak didik, sehingga baik anak didik perempuan maupuan anak didik laki-laki dapat mengakses sekolah tersebut tanpa kekhwatiran terutama bagi anak perempuan. Dengan demikian, kasus adanya anak didik yang putus sekolah bukan disebabkan oleh tidak adanya akses dari pemerintah daerah. Demikian halnya dengan sarana dan prasarana sekolah lainnya seperti ruang baca, buku, semuanya diberi kesempatan yang sama bagi anak didik untuk memanfaatkannya baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Namun dalam kenyataan, ruang baca lebih banyak didominasi oleh anak perempuan sehingga anak laki-laki cenderung memilih untuk tidak mengakses ruang baca tersebut.
Mayoritas anak
perempuan memanfaatkan ruang baca mungkin disebabkan oleh kondisi ruang baca tersebut cocok atau sesuai dengan kebutuhan anak perempuan. Oleh karena itu, sekiranya perlu diperhatikan kebutuhan bagi anak laki-laki sehinga perlu kebijakan yang responsive gender. Fasilitas lainnya yang perlu dibuat secara terpisah adalah WC laki-laki dan WC perempuan bahkan mengenai jumlahnya perlu menjadi pertimbangan. Jika jumlah anak perempuan lebih banyak daripada anak laki-laki maka sesungguhnya WC bagi anak perempuan sedapat mungkin lebih dari 1 buah. Demikian halnya air yang ada di WC perempuan harus disediakan lebih banyak dibandingkan dengan air di WC laki-laki. Namun jika dicermati ruang belajar yang tersedia, nampak ada kekurangan dibandingkan dengan jumlah murid. Misalnya, di SD 81 Tanru sampe terdapat 6 ruang kelas dan setiap tingkatan kelas memiliki ruang belajar. Di Kelas 2 misalnya memiliki jumlah murid yang banyak, sehingga muridnya dibagi 2 dan memanfaatkan satu ruang kelas 2. Adanya bias gender dari sisi akses untuk ruang baca telah diperkuat oleh pendapat dari 2 guru masing – masing guru kelas 5 dan 6 juga membenarkan bahwa pemanfaatan 61
sarana dan prasarana tersebut terkadang bias gender dimana misalnya disekolah tersebut, ruang baca hanya di dominasi oleh perempuan saja dan menjadi tempat para murid perempuan berkumpul sehingga pada akhirnya akan berdampak pada kesenjangan pengetahuan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hasil analisis secara keseluruhan di kedua lokasi sampel penelitian, bahwa kesenjangan gender di bidang pendidikan khususnya anak didik laki-laki dan perempuan sebagian disebabkan oleh faktor akses baik yang berasal dari orang tua anak didik maupun dari kebijakan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan. Kesenjangan gender yang disebabkan oleh tidak adanya kesempatan anak didik dari orang tua anak didik
selanjutnya
berimplikasi terhadap munculnya kesenjangan dalam
perolehan ilmu pengetahuan secara adil dan setara. Ini berarti kesenjangan gender bidang pendidikan disebabkan oleh
lingkungan eksternal (masyarakat). Di sisi lain, jika
kesenjangan gender yang terjadi karena tidak adanya akses yang sama dari pemerintah (Dinas Pendidikan) misalnya tadi ruang baca, maka itu berarti masalah bias gender disebabkan oleh faktor internal pemerintah daerah setempat.
b.
Partisipasi Faktor partisipasi disini dicermati pada tiga hal yaitu: (i) partisipasi atau
keterlibatan orang tua (ibu dan ayah) terhadap pendidikan anak termasuk perannya didalam mendidik didalam rumah tangga, mengajar anak, dan memberi motivasi, (ii) keterlibatan guru terhadap anak didik, dan (iii) keterlibatan anak didik sendiri untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Berdasarkan informasi dari orang tua dan guru, bahwa anak perempuan lebih mendominasi pemanfaatan fasilititas sekolah seperti ruang baca, lebih rajin dan lebih aktif berkomunikasi didalam kelas (meskipun ada juga anak laki-laki tetapi porsinya sedikit), lebih rajin mengerjakan pekerjaan rumah, dan pada umumnya anak perempuan lebih rajin untuk ke sekolah. Demikian halnya di dalam rumah, dimana anak perempuan biasanya lebih rajin dibandingkan dengan anak laki-laki apalagi didalam mengerjakan pekerjaan domestik. Penjelasan ini mengindikasikan bahwa tingkat partisipasi anak perempuan lebih
62
tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki pada dua desa penelitian. Penyebab adanya perbedaan tingkat partisipasi anak perempuan dan anak laki-laki disamping disebabkan oleh prilaku anak sendiri, juga sebagian disebabkan oleh keterlibatan atau peran guru dan orang tua didalam mendidik anaknya. Dari aspek orang tua, beberapa responden (orang tua) telah terlibat didalam proses pendidikan anak, misalnya memberikan motivasi, membantu didalam mengerjakan pekerjaan rumah. Namun ada juga diantara responden tidak memberikan dorongan dan motivasi kepada anak untuk lebih aktif untuk belajar, kesekolah, memanfaatkan ruang baca, dan sebagainya sehingga anak yang malas ke sekolah semakin bertambah malas karena peran orang tua kurang menyikapi kondisi tersebut. Hal ini tentu saja berkontribusi terhadap ketertinggalan pendidikan apakah anak didik perempuan atau anak didik laki-laki. Ketika anak laki-laki malas, namun tidak ada upaya dari orang tua untuk terlibat memberikan motivasi kepada anak laki-laki bagaimana supaya anak laki-laki bisa menyamai anak perempuan. Peran guru ketika melihat anak perempuan lebih aktif berpartisipasi didalam memanfaatkan ruang baca, semestinya memberikan motivasi khusus kepada anak didik laki-laki. Tingkat partisipasi anak didik perempuan lebih tinggi daripada anak didik lakilaki ditunjukkan oleh jawaban responden di Desa Pabiringa yaitu pada jenjang SD jumlah siswa laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan yakni laki-laki sebanyak 15 sedangkan perempuan hanya 10 orang. Dari 15 anak didik siswa, 2 diantaranya putus sekolah dan tidak ada perempuan yang putus sekolah. Demikian halnya di Desa Biringkassi, jumlah anak putus sekolah laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan siswa perempuan. Kecenderungan penyebab terjadinya siswa putus sekolah pada dua lokasi ini disebabkan oleh faktor biaya ditambah dengan kurangnya keterlibatan orang tua dan guru. Jika disimak berdasarkan jenis kelamin bahwa anak laki-laki lebih banyak putus sekolah, hal itu dipengaruhi oleh kurangnya perhatian atau keterlibatan guru dan orang tua diperkuat oleh faktor biaya. Karena faktor biaya maka anak laki-laki cenderung menjadi salah satu pencari nafkah bagi rumah tangga dibandingkan dengan anak perempuan.
Kondisi
penyebab anak putus sekolah pada jenjang pendidikan SMP dan SMA sama dengan tingkat SD yaitu faktor biaya pendidikan ditambah dengan faktor budaya.
63
Masyarakat pesisir di Desa Pabiringa dan Desa Biringkassi mayoritas bekerja sebagai nelayan dan petani rumput laut dan banyak anak sekolah setelah pulang dari sekolah yang ikut bekerja sebagai abo-abo (pengumpul rumput laut pada saat panen rumput laut). Namun disayangkan, sebagaimana informasi yang disampaikan pihak guru kelas 6 di SD 81 Tanru sampe bahwa rata-rata anak putus sekolah tersebut setelah mereka bekerja menjadi abo-abo dan merasa telah mampu untuk menghasilkan uang, mereka tidak ingin melanjutkan sekolahnya lagi meskipun guru kelasnya telah mendatangi rumah yang bersangkutan agar dapat ikut bersekolah lagi.
c.
Kontrol Faktor kontrol didalam penelitian ini diartikan sebagai pengawasan orang tua dan
guru terhadap anak didik mulai sekolah hingga menyelesaikan pendidikan pada setiap jenjang pendidikan. Selain itu, kontrol dapat pula berarti siapa yang mengambil keputusan untuk anak didik tetap bersekolah atau melanjutkan sekolah, keputusan anak didik untuk bekerja atau sekolah, pengawasan orang tua terhadap anak didik laki-laki dan perempuan dalam proses pendidikan. Berdasarkan hasil wawancara dengan para orang tua anak didik, pengambilan keputusan terkait dengan pendidikan bagi anak bervariasi. Sebagian responden mengatakan bahwa bapak atau suami lebih berperan didalam menentukan anaknya untuk bersekolah baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Sebagian lainnya mengatakan ibu karena ibu tinggal di rumah, dan sebagian lainnya adalah sama-sama mengambil keputusan melalui musyawarah. Ketika dianalisis secara keseluruhan, terlihat bahwa porsi ibu sebagai penentu keputusan untuk anak bersekolah lebih tinggi daripada
bapak. Berdasarkan
jawaban responden dari Desa Pabiringa 7 orang menjawab bahwa pendidikan adalah urusan ibu dan 4 orang menjawab bahwa itu adalah urusan suami serta 4 orang lainnya menjawab bahwa itu adalah urusan bersama antara bapak dan ibu sedangkan di Desa Biringkassi juga memberikan respon yang sama dimana 7 orang berpendapat bahwa itu adalah urusan perempuan dan 9 orang berpandangan bahwa keputusan pendidikan anak adalah urusan bersama.
64
Dari data diatas tampak bahwa ibu rumah tangga lebih dominan dalam hal proses kontrol pendidikan anak. Oleh karena ibu lebih banyak menentukan anak untuk bersekolah maka didalam proses selanjutnya peran ibu sangat menentukan. Jika dikaitkan dengan kesenjangan gender di dua lokasi penelitian di Kab Jeneponto bahwa kecenderungan anak perempuan untuk berpartisipasi lebih tinggi daripada laki-laki dan anak laki-laki lebih banyak putus sekolah dibandingkan dengan anak perempuan. Ketika anak didik laki-laki lebih banyak putus sekolah maka kontribusi ibu cukup besar karena sesungguhnya ibulah yang harus memantau dan mengawasi perkembangan anak selama di sekolah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyebab kesenjangan gender tentang putus sekolah juga disebabkan oleh kurangnya pengawasan dari orang tua terutama ibu sebagai pengambil keputusan. Tentu saja bapak tidak memberikan lagi pengawasan karena pada umumnya jarang tingkat di rumah. Akan tetapi jika pengambilan keputusan dilakukan secara bersama-sama maka proses pendidikan anak dipantau oleh kedua-duanya sehingga dapat meminilisir anak didik untuk putus sekolah. Adanya perlakukan yang dominan tentang pengambil keputusan atau pengawasan apakah ibu atau ayah disebabkan oleh kurangnya pemahaman gender dalam keluarga tentang pentingnya secara bersama-sama mengontrol pendidikan anak. Selama ini di ke dua desa tersebut, pekerjaan mengurus anak dipandang sebagai pekerjaan ibu rumah tangga saja dan suami berperan sebagai petani dan nelayan. Adanya dikotomi tentang peran orang tua tersebut sangat berpengaruh terhadap proses kontrol pendidikan anak dalam keluarga termasuk untuk meminimalisir terjadinya angka putus sekolah itu sendiri. Wawancara yang dilakukan terhadap guru di SD 81 Tanrusampe di Desa Pabiringa yang dibagi atas 3 responden guru kelas 4,5 dan 6. Terkait dengan adanya kesenjangan gender terutama angka putus sekolah dan malas ke sekolah, 2 orang guru kelas masingmasing guru kelas 4 dan 6 membenarkan kurangnya kontrol yang dilakukan oleh orang tua menjadi penyebab siswa malas ke sekolah dan malas belajar serta 1 orang guru menjawab bahwa hal tersebut diakibatkan karena kurangya komunikasi orangtua terhadap guru. Guru sangat berperan penting dalam memberikan pemahaman urgensi pendidikan, semangat dan motivasi kepada si anak beserta kepada orang tuanya untuk tetap melanjutkan sekolahnya. Begitupun juga orang tua sebagai guru pertama dalam keluarga seharusnya melakukan 65
kontrol terhadap pendidikan anak dengan baik sehingga yang diperlukan adalah kerjasama antara orang tua dan guru dalam menyukseskan pendidikan anak. Namun demikian, jika melihat kasus adanya anak perempuan yang putus sekolah selain disebabkan oleh kontrol orang juga disebabkan oleh kurangnya perhatian guru. Misalnya saja, terdapat murid perempuan di kelas 4 yang putus sekolah diakibatkan si anak merasa terjadi perubahan fisik pada tubuhnya yang lebih cepat dibandingkan dengan teman perempuannya yang lain sehingga anak perempuan tersebut merasa seperti gadis dewasa dan mengakibatkan tidak ingin melanjutkan sekolahnya lagi. Di kelas 4 SD 81 Tanrusampe juga terdapat anak putus sekolah yang diakibatkan karena masalah psikologis dimana si anak tidak ingin melanjutkan sekolahnya lagi karena merasa tidak pintar dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya sehingga malu untuk melanjutkan sekolahnya. Dalam hal ini, guru sangat berperan penting dalam menyentuh sisi emosional anak didiknya dan memberikan pemahaman, semangat dan motivasi kepada si anak. Demikian halnya dengan peran orang tua terhadap anak ini sangat diperlukan. Orang tua sebagai guru pertama dalam keluarga seharusnya melakukan kontrol terhadap pendidikan anak dengan baik sebab faktanya mayoritas jawaban orang tua dalam memandang pendidikan bahwa kelanjutan pendidikan anak itu bergantung pada kemauan belajar anak itu sendiri. Jika, yang bersangkutan mau belajar maka mereka dapat melanjutkan pendidikan sedangkan anak yang dianggap malas belajar cenderung kurang mendapat motivasi, semangat dan dorongan serta perhatian khusus dari orang tua. d.
Manfaat Faktor lain yang diduga ikut mempengaruhi terjadinya kesenjangan gender adalah
faktor manfaat. Ini diartikan bahwa salah satu jenis kelamin tidak menikmati manfaat pembangunan. Kondisi ini bisa saja terjadi akibat dari adanya faktor akses yang tidak adil bagi anak didik laki-laki dan perempuan. Ketika salah satu dari anak didik tidak diberi kesempatan untuk menempuh pendidikan karena harus membantu orang tuanya maka segala fasilitas yang disediakan oleh pemerintah tidak bermanfaat bagi anak tersebut. Adanya kesenjangan manfaat yang diterima anak didik bisa juga berasal dari tidak terintegrasinya pengalaman, aspirasi, dan kebutuhan dari salah satu anak didik dengan 66
rencana program pemerintah yang terkait dengan penyediaan pelayanan public. Misalnya jika pemerintah menyediakan pelayanan publik tanpa memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan pengalaman salah satu jenis kelamin maka ketersediaan pelayanan publik tersebut hanya dinikmati bagi yang sesuai dengan kebutuhan dan pengalamannya. Dari aspek orang tua, jika orang tua memberikan fasilitas atau menyediakan fasilitas kepada anak mereka tanpa melihat kepada siapa fasilitas tersebut bermanfaat maka hal tersebut juga turut memengaruhi kesenjangan gender. Berdasarkan temuan dilapangan khususnya dilokasi penelitian di Kabupaten Jeneponto, nampaknya faktor manfaat relative kurang memengaruhi kesenjangan gender di bidang pendidikan. Penyediaan fasilitas WC sudah dilakukan secara terpisah antara lakilaki dan perempuan. Ini berarti baik anak laki-laki maupun anak perempuan telah memperoleh manfaat yang sama. Laki-laki memanfaatkan WC laki-laki dan Perempuan memanfaatkan WC perempuan. Kecenderungan anak putus sekolah di lokasi penelitian, berdasarkan hasil wawancara kepada orang tua murid dan guru, bukan disebabkan karena faktor manfaat pembangunan yang tidak tepat sasaran tetapi lebih disebabkan oleh faktor partisipasi orang tua
yang kurang dan faktor budaya. Selain keempat faktor tersebut diatas, terdapat pula
faktor-faktor lain yang secara umum menyebabkan masalah pendidikan seperti angka putus sekolah yaitu faktor biaya dan lingkungan. Sebagaimana data sebelumnya tentang angka putus sekolah dari kedua desa yaitu laki-laki sebanyak 7 orang dan perempuan sebanyak 3 orang dimana mayoritas penyebabnya adalah biaya pendidikan. Masyarakat pesisir adalah kelompok masyarakat rentan terhadap kemiskinan sehingga dengan penghasilan orang tua yang seadanya terkadang menjadi faktor ketidakmampuan orang tua untuk melanjutkan pendidikan anaknya sehingga tidak heran beberapa anak putus sekolah dan memilih bekerja sebagai abo-abo untuk membantu orang tuanya. Oleh karena masih adanya faktor budaya yang melekat pada orang tua bahwa anak laki-laki adalah pencari nafkah, sehingga ditemukan anak laki-laki lebih banyak bekerja sebagai abo-abo yang pada akhirnya anak laki-laki lebih banyak yang putus sekolah.
67
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan pada dua Kabupaten sebagai lokasi survey, faktor penyebab kesenjangan gender seperti angka partisipasi sekolah lebih tinggi perempuan daripada laki-laki dan angka putus sekolah lebih tinggi laki-laki daripada perempuan adalah faktor partisipasi, faktor akses, dan faktor budaya. Artinya bahwa ketersediaan sarana dan prasarana sekolah serta kebijakan pemerintah terkait pendidikan seperti pendidikan gratis semua dapat diakses oleh anak sekolah baik laki-laki maupun perempuan. Ini berarti faktor akses tidak menjadi masalah bagi anak sekolah pada lokasi penelitian di Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Gowa. Namun berdasarkan orang tua murid bahwa yang paling rajin untuk bersekolah adalah anak perempuan. Ini menunjukkan bahwa anak perempuan lebih berpartisipasi daripada anak sekolah laki-laki. Oleh karena anak murid perempuan lebih banyak berpartisipasi maka mereka pulalah yang memperoleh manfaat yang lebih banyak daripada laki-laki. Pada kasus anak putus sekolah dimana lakilaki cenderung lebih tinggi daripada anak perempuan, nampaknya ada kecenderungan faktor akses dari orang tua yaitu cenderung orang tua menempatkan anak laki-laki sebagai pencari nafkah sehingga peluang anak laki-laki untuk menempuh pendidikan berkurang seperti kasus di Kabupaten Jeneponto. Faktor lain yang menyebabkan anak sekolah tidak atau malas untuk kesekolah adalah faktor budaya. Beberapa orang tua ditemui dilapangan khususnya di wilayah pesisir di Kabupaten Jeneponto menyatakan bahwa anak-anak lakilaki lebih diperuntukkan untuk mencari nafkah dibandingkan dengan anak perempuan. Jika statement ini dikaitkan dengan konsep gender maka dapat dikatakan bahwa masih terdapat bias gender yang disebabkan oleh faktor budaya. Berdasarkan hasil wawancara 20 orang tua murid di sekitar lokasi SDI Cambaya dapat dikatakan bahwa upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sudah nampak. Hal ini ditandai dengan jawaban dari orang tua murid secara umum bahwa tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan dalam menuntut pendidikan. Semua anaknya diberi kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan. Ini berarti anak lakilaki dan anak perempuan mempunyai hak yang sama untuk mengakses pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Namun di Kabupaten Jeneponto terdapat perbedaan faktor penyebab kesenjangan gender dimana faktor budaya masih kuat ditengah masyarakat khususnya di wilayah pesisir sehingga anak laki-laki lebih diutamakan untuk membantu 68
orang tua mencari nafkah dibandingkan dengan anak perempuan. Di lokasi penelitian ditemukan lebih banyak anak laki-laki yang putus sekolah disebabkan oleh mereka bekerja sebagai abo-abo rumput laut. Ini berarti faktor akses masih ada, disamping faktor partisipasi baik partisipasi orang tua maupun partisipasi guru.
4.4.
Desain Model Penguatan Kelembagaan PUG di Bidang Pendidikan Berdasakan hasil
olahan data dan pengamatan dilapangan ditemukan bahwa
kesenjangan gender di bidang pendidikan pada kedua lokasi penelitian (Kabupaten Gowa dan Jeneponto) disebabkan oleh faktor partisipasi baik dari anak didik sendiri, partisipasi dari orang tua dan maupun dari guru). Selain itu, faktor lainnya yang juga terindentifikasi adalah faktor kontrol dari orang tua. Khusus untuk di Kabupaten Jeneponto, penyebab kesenjangan gender juga disebabkan oleh faktor akses yaitu adanya perlakuan yang tidak sama dari orang tua untuk memberikan kesempatan bagi anak perempuan dan anak lakilaki. Jika dilihat dari faktor penyebab kesenjangan secara internal dan eksternal, dapat dikatakan bahwa kesenjangan gender disebabkan dominan dipengaruhi oleh eksternal yaitu faktor budaya masyarakat. Dengan demikian, untuk mengatasi kesenjangan gender di Sulawesi Selatan pada ummnya dan lokasi penelitian pada khususnya, maka perlu dikembangkan model sinergitas antara orang tua murid, guru, dan Dinas Pendidikan. Model sinergitas tersebut selanjutnya akan memperkuat kelompok kerja PUG dalam menyusun perencanaan dan penganggaran yang responsive gender. Berikut ini ditemukan beberapa temuan dan sekaligus memperkuat pengembangan model. Beberapa temuan lainnya terkait dengan pengarusutamaan gender bidang pendidikan (PUG) yaitu: 1. Dari aspek dokumen perencanaan terlihat bahwa rumusan strategi dan kebijakan masih netral gender. Terdapat indikasi bahwa didalam proses perumusan perencanaan belum mengintegrasikan konsep PUG sehingga terlihat bahwa rumusan kebijakan belum responsive gender. Perbedaan aspirasi, kebutuhan, pengalaman, serta permasalahan laki-laki dan perempuan seyogyanya menjadi konsen bagi para perencana. Ini terjadi karena kurangnya ketersediaan data dan informasi pada saat perumusan perencanaan. Selain itu, tim penyusun perencanaan belum memahami arti pentingnya gender (peran
69
laki-laki dan perempuan) dalam pembangunan, sehingga mungkin saja ada data dan informasi yang tersedia pada saat proses penyusunan perencanaan namun tidak menjadi perhatian. 2. Dari aspek tenaga pendidik (sampel Guru SD), juga belum memahami gender dan belum pernah terlibat dalam kegiatan pelatihan perencanaan dan penganggaran yang responsive gender. Padahal salah satu yang berkontribusi utama dalam memberikan masukan terkait dengan prilaku anak didik di Sekolah baik laki maupun perempuan adalah guru. Oleh karena didalam proses penyusunan dokumen perencanaan, dimana guru tidak dilibatkan secara langsung, maka permasalahan yang terkait dengan isu gender tidak diintegrasikan kedalam perencanaan. Untuk memperkuat kelembagaan PUG berperan didalam menerapkan strategi PUG maka perlu sinergitas antara tim penyusun dokumen perencanaan dan guru, serta keterlibatan orang tua murid. 3. Dari aspek rumah tangga sasaran. Di dalam lingkup rumah tangga, orang tua sebagai orang yang paling mengetahui dan memahami karakter, sikap, dan prilaku anak di rumah. Setelah anak menempuh pendidikan ke Sekolah Dasar, maka orang kedua yang memahami prilaku mereka adalah guru kelas, dan setelah itu kepala sekolah. Ketiga komponen ini harus bersinergi ke dalam mengurus masalah pendidikan anak baik anak laki-laki maupun anak perempuan. 4. Dengan demikian, penyusunan perencanaan dan penganggaran yang responsive gender (PPRG), tidak hanya diberikan kepada orang-orang tertentu yang dalam hal ini aparat dinas pendidikan, namun perlu diikutsertakan para orang tua murid dan guru secara tidak langsung. Para orang tua dan murid secara intens melakukan pertemuan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada anak baik anak laki-laki maupun perempuan. Untuk itu, setiap sekolah perlu menyusun perencanaan yang responsive gender di sekolah masing-masing. Perencanaan yang disusun oleh setiap sekolah akan menjadi masukan bagi Dinas Pendidikan untuk mengintegrasikan ke dalam program dan kegiatan yang disusun setiap tahun anggaran. 5. Dinas Pendidikan perlu membuat regulasi dalam bentuk kebijakan yang bersyarat bahwa setiap sekolah harus menyusun perencanaan yang responsive gender yang
70
dipandu/dibina oleh vokal point dari Dinas pendidikan atau anggota Pokja dari Dinas Pendidikan. Gambar 4.16. memperlihatkan model sinergitas antar kelembagaan guru, orang tua, dan kelompok kerja PUG (Dinas Pendidikan) yang akan digunakan untuk menyusunan perencanaan dan penganggaran yang responsive gender di bidang pendidikan. Kelembagaan antar Guru dan Orang Tua Murid akan melahirkan sejumlah permasalahan dan kemungkinan alternative pemecahan. Demikian halnya antar guru dan Dinas Pendidikan juga akan menghasilkan sejumlah permasalahan dan kemungkinan alternative pemecahan, serta antara Dinas Pendidikan dan Orang Tua. Selanjutnya sinergitas antar ketiganya (lembaga PUG bidang pendidikan dari Dinas Pendidikan, Orang tua Murid, dan Guru) akan menghasilkan optimal solution dalam mengatasi kesenjangan gender di bidang pendidikan.
Gambar 4.16. Desain Model Penguatan Kelembagaan PUG Bidang Pendidikan
Sumber: Tim Peneliti, 2014 Untuk lebih mengoperasionalkan PUG melalui Perencanaan dan Penganggaran yang responsive gender, maka kelompok kerja PUG bersama vokal point harus lebih aktif menjalankan tugas dan fungsinya. Sebagai Vokal Point diberi insentif tersendiri untuk berkunjung ke sekolah (sesuai jenjang pendidikan) untuk melakukan pertemuan baik formal maupun informal kepada guru dan orang tua murid. Pertemuan antara guru dan
71
orang tua murid dapat dimanfaatkan pada saat pengambilan rapor untuk menekan biaya operasional. Vokal point dapat membagi diri ke masing-masing sekolah. Alternatif lain antara lain; vokal point dapat mengadakan pertemuan khusus untuk mengindentifikasi permasalahan anak didik baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah tangga terutama anak didik yang bermasalah dan berpotensi bermasalah (putus sekolah). Hasil pertemuan tersebut melahirkan sejumlah data dan informasi yang dituangkan ke dalam satu dokumen Daftar Masalah dan Kebutuhan Orang Tua dan Murid yang terkait dengan Gender. Daftar Kebutuhan yang dimaksud akan menjadi informasi bagi Pokja PUG bidang pendidikan dalam menjalankan tugas dan fungsinya yaitu menyusun program dan kegiatan yang responsive gender di bidang pendidikan. Program dan kegiatan ini sekaligus menjadi rancangan awal penyusunan renja yang responsive gender
dan yang berkontribusi
terhadap penerapan penyusunan Perencanaan dan Penganggaran yang responsive gender (PPRG). Gambar 4.17. Integrasi Perencanaan responsive Gender Bidang Pendidikan ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah (PPD) Integrasi Perencanaan Responsive Gender Bidang Pendidikan kedalam Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah (PPD) Proses Perencanaan Responsive Gender Bidang pendidikan
Orang Tua Murid/siswa (L/P) Vocal Poin PUG Guru Sekolah L/P
Daftar Masalah dan kebutuhan orang tua dan guru tentang wawasan gender/PUG
Proses Perencanaan Pembangunan Daerah
RKPD
Kelompok Kerja PUG Bidang Pendidikan
PPRG Bidang Pendidikan
Program/Kegia tan responsive gender bidang pendidikan
Rancangan Awal Rencana Kerja Tahunan (Renja) Responsive Gender Dinas Pendidikan
Musrenbang Kabupaten
Musrenbang Kecamatan
Musrenbang Desa/Kelurahan
Sumber: Tim Peleniti, 2014
72
Hasil dari proses ini akan tergambar bahwa apakah bias gender terjadi karena faktor budaya masyarakat (orang tua) atau karena lingkungan internal Guru atau Dinas Pendidikan yang menetapkan program dan kegiatan yang tidak responsive gender. Misanya di lokasi penelitian ditemukan bahwa kesenjangan gender disebabkan oleh faktor partisipasi dan secara eksternal disebabkan oleh budaya masyarakat. Implikasi dari temuan ini adalah munculnya kegiatan yang terkait dengan kegiatan sosialisasi tentang gender baik terhadap guru maupun terhadap orang tua murid, pelatihan tentang PPRG bagi guru-guru, dsb. Jika proses ini tidak dilakukan maka sulit untuk mengetahui penyebab kesenjangan gender khususnya di bidang pendidikan. Hal ini terbukti ketika pelatihan penyusunan PPRG, peserta pelatihan tidak mampu untuk menjabarkan setiap tahapan terutama faktor kesenjangan gender. Rancangan awal renja akan menjadi masukan terhadap rancangan awal RKPD. Dengan melalui proses dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah seperti Musrenbang Desa/kelurahan, Musrenbang Kecamatan, hingga Musrenbang Kabupaten yang selanjutnya akan menghasilkan dokumen RKPD yang konsisten dengan dokumen Renja dari SKPD Dinas Pendidikan. Untuk menerapkan model tersebut, maka ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan: i.
Memberikan pemahaman kepada orang tua murid/siswa tentang pentingnya pendidikan dan keluarga yang responsive gender
ii.
Melibatkan orang tua murid/siswa didalam menyusun perencanaan di tingkat sekolah. Peran dan keterlibatan orang tua sangat penting karena orang tua yang memahami karakter dan sikap serta prilaku anak mereka di rumah. Mungkin saja sejak dalam lingkungan di rumah terdapat perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan anak perempuan yang turut memengaruhi sikap dan prilaku anak di sekolah.
iii.
Identifikasi masalah yang terkait dengan gender dapat diperoleh melalui: (1) pertemuan formal yang dilakukan oleh pihak sekolah dengan mengundang orang tua murid/siswa, (2) pertemuan informal yang juga dilakukan oleh pihak sekolah yaitu mengunjungi rumah tangga khusus kepada anak sekolah yang bermasalah khususnya terkait dengan bidang akademik.
73
iv.
Semua permasalahan yang diperoleh baik dari guru maupun dari orang tua murid akan dituangkan ke dalam dokumen Daftar identifikasi masalah anak didik secara terpilah baik laki-laki maupun perempuan yang selanjutnya menjadi masukan kepada Dinas Pendidikan (Kelompok Kerja PUG). Masukan tersebut akan menjadi bahan bagi Dinas Pendidikan sendiri atau Pokja PUG dalam merumuskan perencanaan dan penganggaran yang responsive gender. Dengan demikian ketiga pihak tersebut bersinergi didalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender bidang pendidikan.
v.
Untuk menjadikan model ini terimplemtasi di tingkat daerah dan menjadi pengikat bagi Dinas Pendidikan, maka disarankan agar ada regulasi yang dibuat oleh Dinas Pendidikan agar setiap sekolah menyusun perencanaan yang responsive gender.
BAB V KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
5.1.1. Kesenjangan gender di bidang pendidikan pada lokasi penelitian meliputi kesenjangan antara partisipasi anak perempuan lebih tinggi daripada anak laki-laki dan anak laki-laki yang putus sekolah secara kuantitas lebih banyak. Penyebab kesenjangan gender tersebut adalah karena faktor partisipasi dan faktor akses. Misalnya tingginya angka putus sekolah laki-laki disebabkan oleh adanya perlakuan yang berbeda antara anak perempuan dan laki-laki untuk menempuh pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Kondisi ini secara eksternal dipengaruhi oleh faktor budaya stereotype khususnya di wilayah pesisir (Kab Jeneponto). Pada kondisi yang sama partisipasi anak perempuan lebih tinggi disebabkan oleh karena anak perempuan lebih rajin, lebih tekun, dan lebih agresif, sehingga ada kecenderungan peran dan keterlibatan orang tua untuk memberikan motivasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki.
74
5.1.2. Secara kualitatif, terdapat beberapa faktor yang cenderung berkontribusi terhadap terjadinya kesenjangan gender di lokasi survey, namun yang paling mendominasi adalah faktor partisipasi dan faktor akses. Secara eksternal kesenjangan gender dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat yaitu masih ada orang tua yang menganggap anak laki-laki adalah pencari nafkah sehingga pendidikan tidak dianggap penting dan karena perempuan lebih rajin maka justru perempuan yang lebih banyak di dorong untuk bersekolah. 5.1.3. Hasil analisis kebijakan, program, dan kegiatan pada Dinas Pendidikan di Kabupaten Gowa dan Jeneponto terdapat indikasi masih netral gender. Hal ini ditandai oleh tidak ada rumusan kebijakan maupun program/kegiatan yang mengarah kepada upaya untuk mengatasi kesenjangan gender, padahal disatu sisi ditemukan sejumlah data dan informasi yang terdapat di dalam dokumen perencanaan menjelaskan masih ada permasalahan kesenjangan gender di bidang pendidikan misalnya ditemukan angka melek huruf laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan, lama rata-rata sekolah anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan. 5.1.4. Tingkat pemahaman orang tua murid terkait dengan gender dan PUG secara umum masih sangat rendah. Rendahnya pemahaman mereka telah berimplikasi terhadap pentingnya pendidikan. Misalnya di Kabupaten Jeneponto masih ditemukan sejumlah responden yang memperlakukan secara berbeda antara anak laki-laki dan perempuan di bidang pendidikan. Akan tetapi di Kabupaten Gowa, beberapa responden meskipun secara konseptual mereka belum memahami gender namun secara operasional secara umum telah mempraktekkan tentang wawasan gender dalam lingkungan rumah tangganya. Selain orang tua murid, tingkat pemahaman guru terkait dengan gender dan PUG juga masih sangat rendah. 5.1.5. Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan kesenjangan gender di bidang pendidikan, maka perlu model penguatan kelembagaan kelompok kerja PUG bidang pendidikan yang bersinergi antara guru, orang tua murid dan Dinas Pendidikan. Model tersebut, selanjutnya berkontribusi terhadap kelompok kerja PUG dalam menyusun perencanaan dan penganggaran yang responsive gender di bidang 75
pendidikan. Model tersebut secara operasional diterapkan pada dua level yaitu (i) level orang tua murid tentang pendidikan rumah tangga yang berwawasan gender, dan (ii) penerapan pada level guru dan pokja PUG tentang penyusunan perencanaan dan penganggaran yang responsive gender. Pelibatan mereka secara bersinergi diharapkan semakin memperkuat kelembagan PUG dalam perencanaan dan penganggaran yang responsive gender.
5.2.
Rekomendasi
5.2.1. Untuk mengatasi kesenjangan gender di bidang pendidikan, maka perlu model bersinergi antara orang tua murid, guru, dan Dinas Pendidikan. Untuk mengoperasionalkan model tersebut, maka yang pertama dilakukan adalah perlunya peningkatan pendidikan wawasan keluarga yang responsive gender dan peningkatan pemahaman guru terkait dengan gender dan PUG. 5.2.2. Perlu ada kebijakan yang bersyarat dari Dinas Pendidikan agar setiap sekolah menyusun perencanaan yang responsive gender. 5.2.3. Pokja PUG dan Vocal point bidang pendidikan memegang peran penting didalam menyusun perencanaan dan penganggaran yang responsive gender. Oleh karena itu, tim vocal point harus secara rutin berinteraksi dengan orang tua siswa dan guru untuk memperoleh informasi tentang kebutuhan mereka yang akan diintegrasikan kedalam perencanaan dan penganggaran bidang pendidikan.
76
DAFTAR PUSTAKA Bulkis, 2008. Analisis Gender dalam Pembangunan Per Sektor dan Rencana Aksi di Kota Balikpapan Tahun 2006-2011, Balikpapan. ----------2009. Derita Karya dan Harapan Perempuan Papua, Buku. ----------, 2007. Pemberdayaan Perempuan Di Sulawesi Barat, Kerjasama Bappeda Sulawesi Barat dan Pusat Penelitian Gender UNHAS. Bulkis, Sitti; Tenriawaru, dan Nursini (2012) ―Model Pemberdayaan Kepala Rumah Tangga Miskin Berperspektif Gender dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Bone dan Soppeng. Laporan Penelitian tidak dipublikasi, LP2M UNHAS. David, W.Pits; Elizabeth; Vicky, and Sanjay.K.Pandey (2006) What do Women Want? Men, Women, and Job Satisafaction in the Public Service. Working Paper Georgia State University Andrew Young School of Policy Studies. Edy Budiharso, 2010. Pemberdayaan Kelompok Perempuan dalam Pengembangan Ekonomi
Perdesaan.
Http:
www.docstoc.com/docs/36711790/pemberdayaankelompokperempuan. 29/9/2011 Feldstein, Hilary Sims and Janice Jiggins (eds.) 1994. Tools for the Field: Methodologies Handbook for Gender Analysis in Agriculture. West Hartford: Kumarian Press. Moser, Caroline O. N. 1993. Gender Planning and Development: Theory, Practice, and Training. London: Routledge. Narayan, Deepa. November, 1995. Toward Participatory Research. World Bank Technical Paper No.307. Washington, D.C.:The World Bank. Nursini, dkk (2011). ―Evaluasi Kebijakan Responsive Gender Bidang Pendidikan pada Dinas Pendidikan di Kabupaten Barru dan Pangkep Sulawesi Selatan‖.Laporan Penelitian Puslitbang Kependudukan dan Gender UNHAS. Nurfitriah, 2011. Pemberdayaan Perempuan Pesisir Melalui Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir
di
Kab.
Bantul.
Retrived
29/9/2011.http:litabamas-
sb.info/pemberdayaanperempuanpesisir
77
Pierre-Richard Agenor Otaviano Canuto, (2013). “Gender Equality and Economic Growth in Brazil A Long-Run Analysis. The World Bank Poverty Reduction and Economic Management Network January 2013. Policy Working Paper 6348 Uche Udoko, (2010). Unpaid Care Work and Gender Inequality within Household in Africa. Gender Economics Vol.1 Wakeman, Wendy, 1995. Gender Issues Sourcebook for Water and Sanitation. UNDPWorld Bank Water and Sanitation Program/PROWWESS. Washington, D.C.: The World Bank. World Bank. 1994. Analyzing Gender Issues in the World Bank’s Country Economic Memoranda: An Example from Uganda. World Bank “Enhancing Women’s Participation in Economic Development”. World Bank Policy Paper. Washington, D.C.
78
Lampiran A. Matriks Kebijakan, Program dan Kegiatan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Gowa Kebijakan
Program kualitas Program
Meningkatkan
Kegiatan Pelayanan
Administasi
prasarana Perkantoran
sarana pendidikan
Pengadaan jasa surat menyurat Penyediaan jasa komunikasi, sumber daya air dan listrik
terutama
Penyediaan jasa administrasi keuangan
yang berkaitan langsung
Penyediaan jasa kebersihan kantor
dengan perbaikan proses
Penyediaan jasa perbaikan peralatan
pembelajaran
kerja Penyediaan alat tulis kantor Penyediaan
Menyiapkan
semua
barang
cetakan
penggandaan]penyediaan
dan
komponen
kebutuhan dan fasilitas
Instalasi Listrik
proses belajar mengajar
Penyediaan peralatan dan perlengkapan
yang
kantor
sesuai
dengan
kebutuhan
Bahan bacaan dan peraturan perundang-
standar
undangan
minimal
Penyediaan makanan dan minuman Rapat-rapat koordinasi dan konsultasi ke
Meningkatan
luar daerah
mutu
pendidikan
Administrasi umum operasional Cabang
melalui
Dinas
reflikasi
model
pembelajaran
efektfi
sekolah
unggulan
sekolah
lainnya
menengah
Operasional
pada Program Peningkatan Sarana dan Prasarana
Pembangunan gedung
AParatur
dinas
yang dalam
Pemeliharaan
revolusi
sistem
kantor
―
kantor cabang
Pengadaan peralatan gedung kantor
diintegrasikan pembelajaran
Umum
Sekolah SMP dan SMU
ke
tingkat pendidikan dasar dan
Administrasi
rutin/berkala
gedung
Pemeliharaan rutin berkala kendaraan dinas/operasional
Punggawa
Demba
Education
Program
Rehabulitasi sedang/berat gedung kantor cabang dinas
(pengembangan
dan Program Peningkatan disiplin Aparat
Pengadaan pakaian dinas
penyempurnaan
atas
Penyusunan
Laporan
Keuangan
79
pendidikan
gratis
semesteran
dan
wajib belajar)
Penyusunan LAKIP SKPD Program Pendidikan Anak Usia Dini
Pengadaan sarana mobilitas sekolah
Mengembangkan
Pengadaan alat permainan efektif
kompetensi pendidik dan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Pembangunan Gedung SMP
tenaga kependidikan
Penambahan
Sembilan Tahun
Ruang
Kelas
sekolah
SD/SMP
Membebaskan masyarakat
Pembangunan Laboratorium dan Ruang
anggota
dari
Praktekum sekolah SMP Lab IPA, Lab
buat
Bahasa dan Lab Komputer
aksara latin
Pembangunan
Perpustakaan
Sekolah
SD/SMP
Mengembangkan
Pengadaan Mebuler SD/SMP
sekolah kejuruan sesuai
Rehabilitasi sedang/berat SMP
keunggulan
Rehabilitasi
pelatihan
lokal
dan
sedang/berat
taman,
lapangan upacara dan fasilitas parker
ketrampilan
Penyediaan bantuan operasional sekolah
sesuai dengan kebutuhan
(BOS) menurut jenjang pendidikan
pasar kerja
Tim pengendali pendidikan gratis Program Pendidikan Menengah
Pembangunan gedung SMA/SMK
Mengembangkan program
Penambahan
desa
ruang
kelas
sekolah
SMA/SMK
percontohan
dan
Pembangunan laboratorium dan ruang
peningkatan
angka
praktekum SMA :lab IPA, Bahasa dan lab pembangununan perpustakaan SMA
melek huruf dan wajib
Pengadaan mobile SMA/SMK
belajar sembilan tahun
Rehabilitasi
bangunan
SMA/SMK
Mengembangkan sistem pendidikan anak
sedang/berat
Penyediaan akredirasi sekolah
usia
Monev
dini (Revitalisasi SPAS Program Pendidikan Non Formal
menjadi PAUD SPAS)
Pemberdayaan tenaga kependidikan non formal Penyediaan biaya operasional PAUD
Meningkatkan partisipasi
Pengembangan pendidikan keaksaraan (Buta Aksara)
80
pemuda
pada
jenjang
pembangunan
Pengembangan pendidikan kecakapan
semua
hidup Pengembangan kurikulum, bahan ajar
terutama pertanian dan
dan model pembelajaran pendidikan
industri
non formal (workshop Tutor PAUD) Monev
Membina
lembaga
Pelaksanaan hari aksara internasional
kepemudaan
Pelatihan tutor keaksaraan fungsional Penunjang
Meningkatkan pembinaan prestasi
kegiatan
olah
proses
belajar
mengajar
(SKB) Pelaksanaan ujian nasional Paket A, B.
raga
C
dan
Pelatihan tutor keaksaraan fumgsional
pengembangan olahraga
Pelaksanaan hari anak nasional
unggulan.
Penyelengggaraan Paket A,B, dan C Program Peningkatan Mutu dan tenaga
Sosialisasi
Kependidikan
Pengawas
Sertifikasi
Workshop Guru
Guru
dan
bidang Study
SD,
SMP, SMA/SMK Pembinaan KKg, Sd, MGMP, SMP MKPS, MKKS Pendidikan lanjutan bagi pendidikan untuk memenuhi standar kualifikasi Pengembangan system penghargaan dan perlindungan
terhadap
propesi
pendidikan Monev Sertfikasi Guru dan Pengawas Optimalisasi
mutu
pendidikan
dan
tenaga kependidikan Pelaksanaan pendidikan gratis SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA Pelatihan guru BK SMP.SMA/SMK Punggawa D Emba An Educational Program SD. SMP, SMA/SMK Sosialisasi
kurikulum
pendidikan
karakter dan bduaya bangsa melalui pembelajaran aktif dan kewirausahaan
81
Pelatihan IT
untuk guru pada semua
jenjang pendidikan Pelatihan komite sekolah pada semua jenjang pendidikan Program Manajemen Pelayanan Pendidikan
Pelaksanaan
evaluasi
hasil
kinerja
bidang pendidikan Pelaksanaan kerja secara kelembagaan di bidang pendidikan Pembinaan dewan pendidikan Pengembangan system pendataan dan pemetaan pendidik dan kependidikan (RAPORT) Penghargaan siswa, Guru, Pengawas dan kepala sekolah berprestasi Bina
kreatifitas
siswa
teladan
SMA/SMK Olimpiade sains nasional SMA/SMK Olimpiade sain nasional AD dan SMP Operasional UASBN SD Operasional Punggawa D Emba Penyusunan Profil Pendidikan Pembinaan Komite Sekolah Program
pengembangan
komunikasi,
informasi dan media massa
Pembinaan
dan
oengembangan
jariangan komunikasi dan informasi program DAK Kegiatan DAK Dinas Pendidikan
Program pendampingan Kegiatan
Pendamping rehabilitasi sedang.berat bangunan Sekolah (DAK_ Pendamping rintisan sekolah berstandar Internasional SBI Dana pendampingan USB SMK negeri 1 Pattalassang Biaya operasional district
core team
(DCT program bermutu Pendampingan
pembinaan
untuk
memenuhi standar ISO 2000
82
Program
Peningkatan
peran
serta
kepemudaan
Fasilitasi
Aksi
Bahkti
Sosial
Kepemudanaan Seleksi
calon
paskibraka
tingkat
provinsi Penyediaan dana pemuda Pembinaan kelompok usaha pemuda produktif Peningkatan sarana prasarana pemuda Program pembinaan dan pemasyarakatan
Penyelenggaraan kompetisi olah raga
Olah raga
Penyelesaian
lapangan
upacara
18
kecamatan Penyeidaan dana PORDA Penyediaan dana KONI Penyediaan dana KEJURDA Olimpiade olahraga siswa nasional SD, SMP, SMA Liga pendidikan Indonesia (Sepak Bola) SMP/SMA sederajat
83
Lampiran B
84
85