Policy Brief
PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA Pendahuluan 1. Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal tentang pentingnya peningkatan daya saing pertanian. Di tingkat regional, Indonesia akan dihadapkan dengan implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang konsekuensinya adalah semakin tajamnya tingkat persaingan antar negara ASEAN. Peningkatan daya saing produk pertanian akan semakin dibutuhkan mengingat pertumbuhan penduduk Indonesia yang diperkirakan mencapai lebih dari 255 juta yang berpotensi sebagai pasar yang besar bagi produk sejenis dari negara lain. 2. Daya saing pertanian dan kebijakan yang mendukungnya belum sepenuhnya mendorong kekuatan untuk memasuki pasar global. Oleh karena itu, isu daya saing pertanian di setiap daerah menarik untuk dikaji. Faktor-faktor yang menentukan daya saing antar daerah perlu diidentifikasi serinci mungkin. Selanjutnya, faktor-faktor yang menentukan tersebut perlu dikondisikan untuk meningkatkan perbaikan ekonomi nasional. Badan Litbang Pertanian memiliki peranan penting dalam menyusun peta daya saing pertanian seluruh provinsi di Indonesia, sehingga kebijakan peningkatan daya saing sektor pertanian, dapat dirumuskan secara terstruktur dan komprehensif. Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan untuk memetakan posisi daya saing sektor pertanian dalam dimensi pembangunan pertanian secara nasional. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah untuk (a) Mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan daya saing pertanian, (b) Memetakan posisi daya saing sektor pertanian nasional dan provinsi, dan (c) Mengidentifikasi faktor-faktor pengungkit daya saing pertanian di masing-masing provinsi. Permasalahan 3. Posisi Indonesia dalam perdagangan pertanian dunia semakin tergeser oleh negara-negara ASEAN lainnya. Pergeseran tersebut disebabkan oleh menurunnya daya saing komoditas pertanian Indonesia relatif dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya dan oleh keterbatasan kapasitas produksi pertanian di dalam negeri. Sampai saat ini, sektor pertanian Indonesia masih dihadapkan dengan berbagai tantangan, antara lain: konversi lahan, kompetisi pemanfaatan serta degradasi sumberdaya lahan dan air, menurunnya jumlah tenaga kerja di sektor peranian, dampak perubahan iklim global, serta persaingan perdagangan internasional dan liberisasi yang makin terbuka. Selain itu, kebijakan pemerintah daerah yang kurang berpihak pada sektor semakin menambah deretan tantangan pembangunan sektor pertanian. Temuan-Temuan Pokok
Faktor-faktor yang Menentukan Peringkat Daya Saing Pertanian 4. Secara umum, pilar makroekonomi memberikan bobot 29,50 persen dalam memengaruhi daya saing pertanian, diikuti secara berturut-turut oleh pilar
1
kondisi keuangan, bisnis dan tenaga kerja (25,38%), pilar pemerintahan dan kelembagaan (23,95%), serta pilar kualitas hidup dan infrastruktur (21,17%). 5. Hasil analisis bobot dalam pilar makroekonomi menunjukkan bahwa pilar makroekonomi dengan aspek keterbukaan perdagangan dan jasa menempati prioritas utama (40,71%) dibandingkan kedua lainnya yaitu aspek kekuatan makroekonomi (32,86%) serta aspek daya tarik investor pertanian (26,43%). 6. Pilar pemerintahan dan kelembagaan menempati prioritas kedua, dengan aspek penguatan lembaga, pemerintahan dan kepemimpinan menempati urutan utama (bobot prioritas sebesar 41,11%). Aspek kompetisi, peraturan standar dan aturan hukum mengikuti pada urutan berikutnya (32,78%) dan aspek kebijakan pemerintah dan keberlanjutan fiskal (26.11%). 7. Dalam pilar kondisi keuangan, bisnis dan tenaga kerja, aspek kelenturan pasar tenaga kerja menempati bobot prioritas utama sebesar 41,11 %, diikuti oleh aspek urutan kedua, yaitu kecukupan keuangan dan efisiensi bisnis (32,78%) dan aspek kinerja produktivitas dipengaruhi oleh indikator produktivitas perkebunan dimana mencapai bobot (26,11%) pada urutan ketiga. 8. Pada pilar kualitas hidup dan infrastruktur, aspek kecukupan infrastruktur fisik menempati bobot utama dengan kontribusi sebesar 41,11 persen, sedangkan kedua aspek lainnya hanya berkisar 26,11-32,78 persen. Urutan kedua dan ketiga masing-masing ditempati oleh aspek kecukupan standar hidup dan stabilitas pendidikan dan sosial (32,78%) dan aspek kecukupan infrastruktur teknologi (26,11%).
Peta Daya Saing Pertanian Indonesia 9. Hasil kajian menunjukkan bahwa lima provinsi utama yang memiliki daya saing pertanian utama adalahProvinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Lampung. Seberapa jauh tingkat daya saing pertanian ini memiliki daya saing atau kurang memiliki daya saing, maka posisi tersebut diperoleh dengan melihat skor yang di atas rata-rata nasional adalah provinsi yang memiliki daya saing pertanian dengan skor positif sebanyak 15 provinsi, sedangkan selebihnya adalah provinsi kurang berdaya saing dengan skor negatif. Adapun ke 15 provinsi yang memiliki daya saing adalah: (1) Jatim, (2) Jateng, (3) Jabar, (4) Sulsel, (5) Lampung, (6) Riau, (7) Sumut, (8) Sumsel, (9) Kalsel, (10) Sumbar, (11) Jambi, (12) Kaltim, (13) Bali, (14) Kalbar dan (15) Kalteng, sedangkan provinsi yang kurang berdaya saing : (1) Bengkulu, (2) NAD, (3) Sulteng, (4) DIY, (5) NTB, (6) Babel, (7) Sulut, (8) Banten, (9) Sultra, (10) Sulbar, (11) Kepri, (12) NTT, (13) Malut, (14) Papua, (15) Papua Barat, (16) Gorontalo, (17) Maluku, dan (18) DKI Jakarta. 10. Jika digabungkan antara data hasil analisis daya saing pertanian dan wilayah dengan membentuk kuadran, maka jelas tergambarkan bahwa kebijakan pembangunan pertanian untuk masing-masing 33 provinsi di Indonesia berbeda. Kuadran I adalah provinsi yang memiliki daya saing wilayah dan daya saing pertanian, yakni 7 provinsi (Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, Riau, Kalsel, dan Kaltim), kuadran II yang memiliki daya saing pertanian tetapi kurang memiliki daya saing wilayah berjumlah 8 provinsi (Lampung, Sumut, Sumsel, Bali, Jambi, Sumbar, Kalbar, dan Kalteng), kuadran III yang 2
menunjukkan kurang memiliki daya saing wilayah dan daya saing pertanian berjumlah 13 provinsi (Bengkulu, Aceh, Sulteng, Kep. Babel, NTB, Sultra, Sulbar, NTT, Malut, Papua Barat, dan Papua), sedangkan yang terakhir kuadaran IV, yaitu provinsi yang memiliki daya saing wilayah dan kurang memiliki daya saing pertanian berjumlah 5 provinsi DIY, Banten, Sulut, Kepri, dan DKI Jakarta).
Pengungkit Daya Saing Pertanian analisis secara multidimensi (multidimensional scaling/MDS) menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan daya saing pertanian saat ini (existing condition) adalah: (1) tingkat kepercayaan 95 persen dan (2) Semua atribut yang dikaji, cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Hasil analisis menunjukkan nilai Stress model MDS sekitar 17,21 persen hingga 24,75 persen (atau di bawah 25 persen) dan nilai koefisien determinasi (R2)adalah antara 86,43 persen hingga 93,85 persen atau cukup mendekati 100 persen. Nilai R2 diharapkan mendekati nilai 1 yang berarti bahwa atributatribut yang terpilih saat ini dapat menjelaskan mendekati 100 persen dari model yang ada.
11. Hasil
Rancangan Kebijakan Peningkatan Daya Saing Pertanian 12. Secara rinci hasil analisis PPA menunjukkan terdapat perbedaan arah kebijakan daya saing untuk masing-masing kuadran dan nasional. Kebijakan daya saing pertanian terfokus kebijakan penentu atau input, kebijakan penghubung atau stakes, dan kebijakan terikat atau output. Perbedaan ketiga jenis kebijakan tersebut terletak pada tingkat ketergantungan dan pengaruhnya. Kebijakan penghubung memiliki tingkat ketergantungan yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan penentu, sedangkan kebijakan terikat lebih rendah pengaruhnya dibandingkan dengan kebijakan penentu dan penghubung.
Kebijakan Daya Saing Pada Provinsi yang Memiliki Daya Saing Pertanian 13. Kebijakan daya saing pertanian kuadran I yang memiliki daya saing pertanian dan wilayah memiliki arah kebijakan penentu (input) hanya dari Pilar 2 (tenaga PPL/pemandu pertanian, kesesuaian komoditas, aksesibilitas litbang dan subsidi) dan Pilar 4 (aksesibilitas transportasi). Arah kebijakan penghubungnya berasal dari Pilar 1 (investasi dan impor), Pilar 3 (keuntungan, tenaga kerja, pendapatan petani, upah, tenaga kerja pengolahan/pemasaran), dan Pilar 4 (kesenjangan produktivitas perkebunan dan tanaman pangan/ hortikultura, IPM dan ketersediaan pasar). Dengan demikian, fokus output dalam kuadran I terdapat pada ekspor produk pertanian dan penerimaan sektor pertanian. Artinya, kebijakan input dan penghubung provinsi dalam kuadran I hanya untuk peningkatan penerimaan negara dan ekspor pertanian.
Kebijakan Daya Saing Pertanian Nasional 14. Kebijakan daya saing pertanian nasional secara agregat memiliki arah kebijakan penentunya (input) pada Pilar 1 (pinjaman), Pilar 2 (regulasi dayasaing dan alokasi anggaran pertanian), Pilar 3 (upah), dan Pilar 4 (irigasi yang baik dan akses internet), sedangkan arah kebijakan penghubungnya dari Pilar 2 (aksesibilitas litbang dan aksesibilitas diklat), Pilar 3 (tenaga kerja 3
pemasaran/pengolahan), serta Pilar 4 (kesenjangan produktivitas perkebunan dan peternakan). Dengan demikian, fokus output dalam agregat nasional terdapat pada Pilar 1 (rasio ekspor/impor, nilai tukar petani dan pendapatan petani), Pilar 2 (penerimaan pemerintah dari sektor pertanian) dan Pilar 3 (produktivitas petani tanaman pangan/hortikultura dan keuntungan usahatani). Artinya, penerapan kebijakan input dan penghubung secara agregat nasional adalah juga untuk peningkatan pendapatan petani, penerimaan negara, dan produktivitas, termasuk perimbangan antara ekspor dan impor pertanian. Implikasi Kebijakan 15. Keterkaitan (linkages) antara suatu desa dan berbagai daerah lain, merupakan mata rantai ekonomi yang perlu dikembangkan dalam menunjang peningkatan daya saing pertanian. Transportasi yang baik akan memudahkan terjadinya interaksi antara penduduk lokal dengan dunia luar serta mendukung pelayanan ekspor. Oleh karena itu, upaya peningkatan daya saing pertanian memerlukan adanya pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana transportasi, terutama pada daerah-daerah yang masih terisolasi. 16. Pendamping merupakan aktor penting yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan “tindakan” kolektif kolegial untuk mempercepat proses pembangunan pertanian di perdesaan. Kerja pendampingan berupaya meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya untuk kamajuan pertanian. Kebijakan merekrut dan mendelegasikan pendamping pertanian harus mengacu pada standar kompetensi pendamping, yaitu sekurang-kurangnya memenuhi unsur kualifikasi, antara lain (a) memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam pemberdayaan masyarakat; (b) memiliki pengalaman dalam pengorganisasian petani/kelompok tani; (c) mampu melakukan pendampingan usaha ekonomi masyarakat desa; dan (d) mampu melakukan berbagai teknik pertanian dan memfasilitasi kelompok-kelompok tani dalam usaha meningkatkan daya saing pertanian. 17. Inovasi teknologi pertanian sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas, namun kemampuan aksesibilitas petani terhadap informasi teknologi masih rendah. Oleh karena itu, upaya peningkatan daya saing pertanian memerlukan adanya pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam bidang pertanian. Sementara itu, investasi penelitian dan pengembangan di Indonesia saat ini masih rendah, sekitar 0,3% dari PDB pertanian. Diperlukan peningkatan intensitas litbang (termasuk diseminasinya) yang didukung anggaran yang memadai pada seluruh aspek dari rantai pasok komoditas strategis. Penerapan inovasi yang berasal dari kegiatan litbang diorientasikan berdampak langsung terhadap peningkatan produktivitas dan kualitas produk pertanian. 18. Upaya peningkatan daya saing pertanian membutuhkan adanya pengembangan subsidi pertanian terpadu. Subsidi seperti ini merupakan penyatuan semua instrumen kebijakan subsidi dalam satu paket, baik dalam rancang bangun maupun dalam pelaksanaannya. Komponen utama yang diperlukan dalam subsidi tersebut, yaitu pertama, subsidi sarana produksi 4
seperti benih, pupuk dan pestisida; kedua, subsidi modal kerja untuk membayar upah. Subsidi tersebut diberikan kepada petani secara terpadu dalam satu paket sesuai dengan kebutuhan lahan, bukan kebutuhan petani, dan diikuti oleh kebijakan dukungan harga output. Selanjutnya, perluasan pengolahan hasil dapat meningkatkan nilai tambah yang membuka kesempatan kerja baru dan meningkatkan pendapatan penduduk pedesaan. 19. Indonesia tidak hanya mempertimbangkan isu daya saing pertanian dalam konteks peningkatan volume dan nilai ekspor semata, tetapi juga di lingkup dalam negeri agar impor pertanian tidak semakin mendesak produk dalam negeri. Untuk itu upaya-upaya penyelarasan kebijakan di bidang produksi, politik perdagangan dan perdagangan luar negeri juga perlu dilakukan. Penyelarasan peraturan-peraturan ini di antar fihak pengambil kebijakan di tingkat pusat, antar tingkat pusat dan daerah serta antar fihak pengambil kebijakan di tingkat daerah (provinsi/kabupaten/kota). 20. Pada umumnya, petani tidak bankable sehingga diperlukan penguatan modal kerja berusahatani dibutuhkan dan kebijakan penyediaan modal/investasi untuk usaha pertanian perlu disiapkan agar petani memperoleh kesempatan menikmati fasilitas kredit perbankan. Kredit Usaha Rakyat (KUR) model baru dengan suku bunga rendah masih dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sumber penyedia modal usaha pertanian kedepan, misalnya dengan menyediakan paket kredit dengan subsidi bunga yang berasal dari KUR. Dalam kaitan ini perlu diprioritaskan strategi penyediaan modal kerja untuk usaha pertanian melalui lembaga keuangan mikro di perdesaan. Penguatan lembaga keuangan mikro, seperti LKM-A yang dibentuk atas kebijakan Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP) sejak 2008 dengan bantuan modal sebesar Rp. 100 juta per Gapoktan dan telah diterima oleh lebih dari 55.000 Gapoktan dapat dievaluasi dan didorong menjadi lembaga keuangan mikro yang mandiri. Hal ini juga sejalan dengan amanat UU No. 19/2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani. 21. Peningkatan daya saing pertanian memerlukan kebijakan terintegrasi antar sektor dan multidisiplin, baik teknis maupun manajemen dan sosial-ekonomi. Dalam konteks ini, diperlukan mekanisme untuk mensinergikan dan mengkoordinasikan kebijakan antar sektor oleh Kementerian Koordinator Perekonomian sebagai focal point. Mengingat pertanian dan perdagangan adalah urusan pemerintahan kongruen pilihan dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah pusat seyogianya mengawasi secara ketat penyelenggaraan urusan ini sesuai dengan azas akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah. Upaya-upaya penyelarasan kebijakan di bidang produksi, politik perdagangan dan perdagangan luar negeri juga perlu dilakukan, termasuk penyesuaian komoditas antara program pertanian dengan RTRW/RUTR Daerah. Penyelarasan peraturan-peraturan diperlukan pengambil kebijakan di tingkat pusat, antara instansi tingkat pusat dan daerah serta antar instansi tingkat daerah (provinsi/kabupaten/kota).
5