LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA
PUBLIC PARTICIPATORY DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN MELALUI PENGADILAN
TIM PENGUSUSUL Kadek Sarna, SH.,M.Kn I Putu Rasmadi Arsha Putra, SH., MH
ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
i
ii
RINGKASAN Membicarakan hubungan manusia dengan lingkungannya secara kodrati memiliki pertalian yang sangat erat. Manusia dengan komunitasnya selain diberikan hak untuk memanfaatkan, juga mempunyai tanggung jawab untuk menyelamatkan, melestarikan dan menegakkan hak lingkungan. Hak ligkungan (environmental right) adalah salah satu hak yang perlu untuk kita perjuangkan mengingat lingkungan tidak dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri karena sifatnya yang in-animatif (tidak dapat berbicara) sehingga diperlukan pihak lain yang memperjuangkan, jadi advokasi manusia terhadap lingkungan merupakan satu kesatuan kehidupan sebagai biotic community. Peradilan perdata dilakukan dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan seperti HIR (Het Herzeine Indonesish Reglement), Rbg (Rechtsreglemeent Buitengewesten), Rv (Reglement op de burgerlijke recht Vordering), Undang-undang No. 20 Tahun 1947, Undangundang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada mulanya, pengajuan tuntutan hak yang dikenal hanya pengajuan tuntutan hak melalui gugatan biasa, dimana pada diri pihak yang mengajukan tuntutan hak (gugatan) mengalami kerugian langsung maupun kerugian meteriil sebagai akibatnya. Namun demikian, dalam perkembangannya, pengajuan tuntutan hak dapat diajukan melalui mekanisme class action, legal standing dan citizen lawsuit. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas beberapa permasalahan mengenai Bagaimana Peranan Masyarakat (Public Participatory) dalam penyelesaian sengketa lingkungan dan Bagaiamana Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Pengadilan. Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan apa yang terdapat di dalam tujuan penyusunan bahan analisis, maka dalam penulisan penelitian ini menggunakan metode pendekatan baik secara yuridis normatif. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah sejumlah instrument penyelesaian sengketa. Selanjutnya, Pendekatan sejarah (historical approach) diterapkan untuk mengetahui sejarah dan perkembangan penyelesaian sengketa. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan analisis (analytical or conceptual approach). Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi sejumlah instrumen nasional dan internasional, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang No. 20 Tahun 1947, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem kartu (card system). Untuk memenuhi hubungan hak dan kewajiban antara manusia dan lingkungan, manusia mimiliki peranan dalam pembelaan (Advokasi) lingkungan dengan salah satu cara proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan. Penyelesaian perkara perdata di pengadilan merupakan cara mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil yang dilanggar. Penyelesaian sengketa lingkungan di pengadilan dapat dilakukan dengan Pengajuan Gugatan Biasa/ Hak Gugat Orang Perorangan (Individual), Gugatan kelompok (Class Action) dan Pengajuan Gugatan oleh Lembaga Swadaya Mayarakat (Legal Standing).
iii
PRAKATA Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang HyangWidhiWaca/ Tuhan Yang Maha Esa Laporan Kegiatan Penelitian dengan judul “Public participatory dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Pengadilan” dapat terselesaikan pada waktunya. Kegiatan Penelitian ini dapat terlaksana dengan lancar berkat bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung, maupun tidak langsung dan secara moril maupun materiil. Untuk itu dalam kesempatan ini menyampaikan banyak terima kasih dengan segala hormat kepada: 1. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana; 2. Nyoman A. Martana, SH., MH. Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana. 3. Dr. I Ketut Tjukup, SH., MH, Selaku Dosen Pembimbing dalam peneltian ini. 4. Para informan dan responden yang telah memberi keterangan ataupun penjelasan sehingga penelitian ini dapat diselesaiakan; 5. Pihak-pihak lain yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini sampai dengan penyusunan laporan.
Semoga Laporan Penelitian ini dapat berguna sebagai pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum pidana, sebagai sarana mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Akhir kata demikianlah Laporan Penelitian ini dapat terselesaikan dengan segenap kekurangannya. Denpasar, Oktober 2015
Ketua Pelaksana
iv
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ..................................................................................................... HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................................... RINGKASAN ................................................................................................................... PRAKATA ........................................................................................................................ DAFTAR ISI ..................................................................................................................... BAB 1. PENDAHULUAN .............................................................................................. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ....................................................... BAB 4. METODE PENELITIAN .................................................................................... BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
v
i ii iii iv v 1 6 12 14 17 36
BAB. I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masyarakat Hindu di Bali memegang teguh ajaran Tri Hita Karana, selalu menjadi falsafah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di Bali. Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Hita” yang berarti kebahagiaan dan “Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti “Tiga penyebab terciptanya kebahagiaan”. Falsafah
tersebut
memiliki
ragaman budaya dan lingkungan di
konsep
tengah
yang
dapat
melestarikan
keaneka
hantaman globalisasi dan homogenisasi.
Pada
dasarnya hakikat ajaran tri hita karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi : 1.
Hubungan manusia dengan tuhan
2.
Hubungan manusia dengan sesama manusia, dan
3.
Hubungan manusia dengan alam sekitar (lingkungan).
Membicarakan hubungan manusia dengan lingkungannya secara kodrati memiliki pertalian yang sangat erat. Manusia dengan komunitasnya selain diberikan hak untuk memanfaatkan, juga mempunyai tanggung jawab untuk menyelamatkan, melestarikan dan menegakkan hak lingkungan. Hak ligkungan (environmental right) adalah salah satu hak yang perlu untuk kita perjuangkan mengingat lingkungan tidak dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri karena sifatnya yang in-animatif (tidak dapat berbicara) sehingga diperlukan pihak lain yang memperjuangkan, jadi advokasi manusia terhadap lingkungan merupakan satu kesatuan kehidupan sebagai biotic community. Dalam falsafah Hindu Bali manusia sebagai mikrikosmos dan alam merupakan bagian dari makrokosmos. Keberadaan keduanya merupakan satu kesatuan. Manusia memiliki tugas untuk memelihara dan memuliakan alam lingkungan yang kesemuanya bertujuan untuk kesejahteraan manusia sendiri. Permasalahan penelitian ini adalah manifestasi kekuatan otonomi masyarakat dalam melakukan pembelaan (advokasi) lingkungan, dan pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Masyarakat yang menjadi korban yang mengalami kerugian akibat pencemaran lingkungan dengan didukung lembaga swadaya masyarakat dan organisasi lingkungan berusaha melakukan pembelaan (advokasi) lingkungan, dan melakukan pilihan penyelesaian sengketa dengan mengajukan gugatan ke lembaga pengadilan. Dalam beberapa kasus penyelesaian vi
sengketa lingkungan yang dilakukan melalui lembaga pengadilan, keputusan pengadilan dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat dan keadilan lingkungan. Menurut Ton Dietz upaya yang dilakukan masyarakat pada mulanya murni lingkungan, yakni mereka yang memperjuangkan masalah lingkungan demi lingkungan sendiri. Dengan risiko apa pun lingkungan harus dilindungi. Di samping, itu terdapat kepentingan yang tidak untuk melindungi lingkungan itu sendiri, tetapi demi kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan penumpukan modal (kapitalisme) supaya terjamin keajegan pasokan bahan baku industri sehingga pertumbuhan ekonomi akan terus berlangsung. Selanjutnya berkembang keinginan untuk melakukan advokasi lingkungan yang didasarkan pada lingkungan kerakyatan (eco populisme). Advokasi yang dilakukan diprakarsai oleh aktivis lingkungan yang sangat memihak kepada kepentingan rakyat banyak dan lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat. 1 Menurut Kirkpatrick Sale advokasi lingkungan di Amerika Serikat memperlihatkan hasil gemilang, tertanam dalam kehidupan rakyat di bidang hukum dan adat kebiasaan, tulisan maupun citra, dan kesadaran pentingnya lingkungan. Kesadaran lingkungan terpateri dalam undang-undang nasional dan lembaga-lembaga negara. Undang-undang dan pengadilan telah melindungi kepentingan masyarakat akan lingkungan dengan anggaran besar setiap tahun dan dalam keputusan-keputusan fundamental pengadilan yang menjelaskan dan memutus sengketa lingkungan dari sudut pandang hukum melalui sarana dan arena publik yang tidak terbilang banyaknya.2 Indonesia merupakan Negara hukum, konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut merupakan “katup penekan” (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan “kebenaran” dan “keadilan”. Dalam hal ini tidak ada badan lain
1
Ton Dietz, 1998, Pengakuan Hak atas Sumber Daya Alam, Pengantar Dr. Mansour Faakih, Refleksi Gerakan Lingkungan, Yogyakarta: Remdec, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. ix-x. 2 Kirkpatrick Sale, 1996, Revolusi Hijau, Sebuah Tinjauan Historis-Kritis Gerakan Lingkungan Hidup di Amerika Serikat, Yayasan Obor Indonesia Jakarta, h 126-127.
vii
yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum. 3 Kekuasaan kehakiman adalah Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk penyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.4 Pengertian kekuasaan Negara yang merdeka, dimaksudkan, bahwa kekuasaan kehakiman terpisah dari kekuasaan pemerintahan dan Kekuasaan Perundang-undangan serta merdeka dari pengaruh kedua kekuasaan itu. Untuk hal tersebut dengan jelas dapat dijumpai dalam penjelasan resmi pasal 24 dan 25 UUD „45. Bahkan penjelasan tersebut masih menguraikan sebuah harapan yakni: “…Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-undang tentang kedudukan para hakim”. Jaminan tentang kedudukan para hakim yang dimaksud dalam kaitan ini tidak lain adalah jaminan kemandirian hakim sebagai aparatur penyelenggaraan peradilan. Proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan telah diatur dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata atau hukum formil perdata adalah alat untuk menyelenggarakan hukum materiil, sehingga hukum acara itu harus digunakan sesuai dengan keperluan hukum materiil dan hukum acara tidak boleh digunakan apabila bertentangan dengan hukum materiil. 5 Berdasarkan pengertian tersebut, maka esensi hukum acara Perdata adalah mengatur cara bagaimana orang yang kepentingan privatnya dilanggar oleh orang lain itu dapat diselesaikan, cara bagaimana seseorang dipulihkan haknya apabila dilanggar orang lain dan cara bagaimana yang berwenang atau pengadilan menyelesaikan atau memulihkan sengketa perdata. Untuk memulihkan hak seseorang yang dilanggar, maka dilakukan upaya hukum melalui pengajuan tuntutan hak melalui pengadilan. Tugas pengadilan, dalam hal ini adalah hakim, yaitu untuk memeriksa, memutus, dan mengadili perkara perdata. Peradilan perdata dilakukan dengan
3
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung,h. 34 4
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, LNRI Tahun 2009 No.
5
G. Wijers, 2000, Het Gezag van Gewijsde in Burgerlijke Landraad zaken, dalam Supomo, Hukum Acara
5076
Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 10
viii
mendasarkan pada peraturan perundang-undangan seperti HIR (Het Herzeine Indonesish Reglement), Rbg (Rechtsreglemeent Buitengewesten), Rv (Reglement op de burgerlijke recht Vordering), Undang-undang No. 20 Tahun 1947, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada mulanya, pengajuan tuntutan hak yang dikenal hanya pengajuan tuntutan hak melalui gugatan biasa, yaitu pengajuan tuntutan hak oleh subjek hukum yang satu kepada subjek hukum lainnya atas suatu sengketa keperdataan, baik berupa wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum, dimana pada diri pihak yang mengajukan tuntutan hak (gugatan) mengalami kerugian langsung maupun kerugian meteriil sebagai akibatnya. Namun demikian, dalam perkembangannya, pengajuan tuntutan hak dapat diajukan melalui mekanisme class action, legal standing dan citizen lawsuit.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas beberapa permasalahan mengenai: 1. Bagaimana Peranan Masyarakat (Public Participatory) dalam penyelesaian sengketa lingkungan? 2. Bagaiamana pengaturan dan perbedaan karakteristik antara pengajuan tuntutan hak dalam persidangan perkara perdata melalui mekanisme pengajuan gugatan, class action, legal standing dan citizen lawsuit?
ix
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Sengketa Lingkungan Costintino dan Merchant6 mendefinisikan konflik Sebagai ketidak sepakatan mendasar antara dua pihak, dimana sengketa adalah satu bentuknya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Douglas Benang bahwa konflik adalah suatu keadaan, bukan proses. Orang yang menentang kepentingan, nilai, atau kebutuhan berada dalam keadaan konflik, yang mungkin laten (berarti tidak muncul ke permukaan, tidak ditindaklanjuti ataupun diselesaikan). Sedangkan konflik yang muncul ke permukaan yang ditindak lanjuti ataupun diselesaikan, salah satu bentuk prosesnya adalah (penyelesaian) sengketa ,"Konflik bisa saja terjadi tanpa perselisihan, tetapi perselisihan tidak bisa ada tanpa konflik."7 Dalam sebuah konflik tidak tertutup kemungkinan terdapat beberapa sengketa yang memungkinkan untuk diselesaikan satu persatu, yang pada akhirnya akan menyelesaikan konflik tersebut. Sengketa menurut Witanto adalah konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atau suatu objek kepentingan yang bisa menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain 8.
6
Costintino, C.A. and Merchant C.S. 1996, Designing Conflict Management Systems: A Guide to Creating Productive and Healthy Organizations. Jossey--‐Bass, San Francisco: h, 4-5 7 Douglas H. Yarn, ed. 1999,"Conflict" in Dictionary of Conflict Resolution,Jossey--‐Bass. San Francisco h115. 8 D. Y Witanto, 2011, Hukum Acara Mediasi (dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan), Alfabeta, Bandung, , h. 2
x
Sedangkan Ali Achmat berpendapat sengketa adalah pertentangan antara dua belah pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum keduanya 9. Berdasarkan kedua pengertian sengketa diatas, maka dapat diuraikan menjadi beberapa elemen antara lain:10 1. Adanya dua pihak atau lebih; 2. Adanya Hubungan atau kepentingan yang sama terhadap objek tertentu; 3. Adanya pertentangan dan perbedaan persepsi; 4. Adanya akibat hukum. Sengketa bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan antara siapa saja serta menyangkut persoalan yang bervariasi. Orang-orang atau kelompok yang ada dalam situasi konflik bisa mempunyai ide atau cara yang berbeda dalam hal bagaimana menyelesaikan konflik tersebut.11 Banyak cara dalam menyelesaikan suatu sengketa yang ada pada masyarakat namun pada umumnya di Indonesia menerapkan dua sistem penyelesaian sengketa Pada dasarnya salah satu fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa menghendaki bahwa proses penyelesaian sengketa tidak boleh dilakukan dengan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting).12 Soerjono Soekanto mengatakan bahwa fungsi hukum sebagai “sarana untuk memperlancar proses interaksi social (law as a facilitation of human interaction)”13 Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum, bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan dan penguasa tunduk kepada hukum. Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut merupakan “katup penekan” (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan “kebenaran” dan “keadilan”. Dalam hal ini tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari 9
Ibid, h. 3 Ibid, h. 3 11 I Made Widnyana, , 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business Law Center (IBLC) bekerjasama dengan Kantor Hukum Gani Djemat 7 Partners, Jakarta, h.53. 12 Sudikno Mertokusumo, 2008, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta h. 2. 13 Soerjono Soekanto, 1981, Fungsi hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, h. 4 10
xi
penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum.14 Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Sengketa lingkungan “environmental disputes” merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan: “Dispute. A conflict or controversy; a confllct of claims or rights; an assertion of a rlght, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other” Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan bahasa Inggrisnya pun beragam: “dispute resolution”, “conflict management”, conflict settlement”, “conflict intervention”.15 Dalam suatu sengketa, termasuk sengketa lingkungan, tidak hanya berdurasi ”perse1isihan para pihak ansich, tetapi perselisihan yang diiringi adanya “tuntutan” (claim). Tuntutan adalah atribut primer dari eksistensi suatu sengketa (konflik). Dengan demikian, rumusan Pasal 1 angka 19 UUPLH yang hanya mengartikan sengketa lingkungan sekedar “perselisihan antara dua pihak atau lebih…” tanpa mencantumkan “claim” adalah kurang lengkap dan tidak merepresentasikan secara utuh keberadaan suatu sengketa.
2. Model Penyelesaian Sengketa Lingkungan melalui Lembaga Pengadilan Sengketa lingkungan hidup di Indonesia dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu : a. sengketa yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan; b. sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam; dan c. sengketa yang muncul akibat pencemaran atau perusakan lingkungan. Sengketa yang berkaitan dengan upaya perlindungan lingkungan pada umumnya terjadi antara pihak yang ingin memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kepentingan ekonomi 14
M. Yahya Harahap, 2004, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, h. 34 15 TM. Lutfi Yazid, 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (environmental Dispute Resolution), Airlangga University Press-Yayasan Adikarya IKAPI-Ford Foundation, Surabaya,h. 9
xii
di satu sisi dan pihak yang berkepentingan atau berkewajiban untuk melindungi lingkungan dan suber daya alam di sisi lain. Sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam pada umumnya terjadi karena ada pihak yang merasa akses mereka terhadap sumber daya tersebut terhalangi, sedangkan sengketa akibat pencemaran atau perusakan lingungan pada umumnya terjadi antara pihak pencemar/perusak dengan pihak yang menjadi korban pencemaran/perusakan. Penyelesaian sengketa lingkungan di Indonesia dapat dilakukan di dalam dan di luar pengadilan. Hal ini diatur dalam Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyelesaian Lingkungan Hidup melalui Pengadilan (litigasi) Berdasarkan metode penafsiran (“interpretatie” methode), maka dapat di tentukan subyek sengketa lingkungan, yakni: “para pihak yang berselisih”. Meski disadari bahwa dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang paling penting adalah: “how to prevent dispute, not how to settle dispute” sesuai dengan adagium: “prevention Is better than cure”, dan pepatah yang tidak tersangkal kebenarannya: “an ounce of prevention is worth a pound of cure”. 16 Tujuan diaturnya penyelesaian sengketa lingkungan hidup antara lain adalah agar pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat di hentikan, ganti kerugian dapat diberikan, penanggung jawab kegiatan menaati peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup dan Pemulihan lingkungan dapat dilaksanakan. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui sarana hukum pengadilan dilakukan dengan mengajukan “gugatan lingkungan” berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyelesaian Lingkungan Hidup jo. Pasal 1365 BW tentang “ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum” (onrechtmatigedaad). Atas dasar ketentuan ini, masih sulit bagi korban untuk berhasil dalam gugatan lingkungan, sehingga kemungkinan kalah perkara besar sekali. Kesulitan utama yang dihadapi korban pencemaran sebagai penggugat adalah antara lain : 1. pembuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsur kesalahan (“schuld”) dan unsur hubungan kausal. Pasal 1365 BW mengandung asas tanggunggugat berdasarkan kesalahan (“schuld aansprakelijkheid”), yang dapat 16
Siti Sundari Rangkuti, 1996, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga Universityt Press, Surabaya.h. 247 12
xiii
dipersamakan dengan “Liability based on fault” dalam sistem hukum Anglo Amerika. Pembuktian unsur hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dengan kerugian 11 penderitaan tidak mudah. Sangat sulit bagi penderita untuk menerangkan dan membuktikan pencemaran lingkungan secara ilmiah, sehingga tidaklah pada tempatnya. 2. masalah beban pembuktian (bewijslast atau burde of proof) yang menurut Pasal 1865 BW/Pasal 163 HIR Pasal 283 R.Bg. merupakan kewajiban penggugat. Padahal, dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan seringkali berada pada posisi ekonomi lemah. Berdasarkan kelemahan tersebut, Hukum Lingkungan Keperdataan (privaatrechtelijk miliuerecht) mengenal asaa tanggunggugat mutlak (strick liability-risico aansprakelijkheid) yang dianut pula oleh Pasal 35 UUPLH. Tujuan penerapan asas tanggunggugat mutlak adalah untuk memenuhi rasa keadilan; menyesuaikan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya alam dan lingkungan; serta mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya. sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya.17 Hukum Lingkungan Keperdataan tidak saja mengenal sengketa lingkungan antara individu, tetapi juga atas nama kelompok masyarakat dengan kepentingan yang sama melalui “gugatan kelompok” (class action/ actio popularis). Sementara itu, di Amerika Serikat, class action diterapkan terhadap pencemaran lingkungan tidak hanya menyangkut hak milik atau kerugian, tetapi juga kepentingan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga masyarakat. “Class action”, penting dalam kasus pencemaran (perusakan) lingkungan yang menyangkut kerugian terhadap “a mass of people” yang awam dalam ilmu. Seseorang atau beberapa orang anggota kelompok dapat menggugat atau di gugat sebagai pihak yang mendapat kuasa atas nama semua, dengan syarat The class is so numerous that Joinder of all members is impracticable; There are guestions of law or fact common to the class; The claims or defenses of the representative parties are typical of the claims or defenaes of the class; The representative parties will fairly and adeguately protect the interestsof the class. 18Pasal 37 UUPLH memberikan pengaturan gugatan perwakilan yang menjadi simbol “kemajuan” UUPLH 17
Mas Achmad Santosa et al., 1997, Penerapan Atas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, ICEL, Jakarta. h. 59 18 Siti Sundari Rangkuti, op.cit, h. 296-297
xiv
dan merupakan pengakuan pertama atas class action dalam peraturan perundang-undanga nasional di Indonesia. Class action berbeda dengan lus standi lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Organisasi Lingkungan Hidup (OLH) sebutan UUPLH. Pasal 38 UUPLH memberi pengaturan mengenai hak menggugat – ius standi - standing to sue atau legal standing Organisasi Lingkungan Hidup. Definisi class action PERMA No 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Berdasarkan pengertian tersebut. Unsur-Unsur class action yaitu pertama, gugatan secara perdata gugatan dalam class action masuk dalam lapangan hukum perdata. Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang di berikan oleh pengadilan untuk menghindari adanya upaya main hakim sendiri (eigenechting). Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hak yang mengandung sengketa, pihak-pihaknya adalah pengugat dan tergugat. Pihak disini dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum. Umumnya tuntutan dalam gugatan perdata adalah ganti rugi berupa uang. Kedua, adanya wakil kelompok dan anggota kelompok. Wakil kelompok (class representatif) merupakan satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan, maka kedudukan dari wakil kelompok sebagai penggugat aktif. Anggota kelompok (class members) Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah sebagai penggugat pasif. Dengan demikian, atas sengketa lingkungan, masyarakat dapat mengajukan class action. Manfaat class action antara lain proses berperkara menjadi sangat ekonomis (judicial economy), mencegah pengulangan proses perkara dan mencegah putusan-putusan yang berbeda atau putusan yang tidak konsisten, akses terhadap keadilan (access to justice), mendorong bersikap hati-hati (behaviour modification) dan merubah sikap pelaku pelanggaran. Sebelum xv
proses persidangan dimulai, di lakukan proses Pemberitahuan (notifikasi). Pemberitahuan kepada anggota kelompok adalah mekanisme yang diperlukan untuk memberikan kesempatan bagi anggota kelompok untuk menentukan apakah mereka menginginkan untuk ikut serta dan terikat dengan putusan dalam perkara tersebut atau tidak menginginkan yaitu dengan cara menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok. Segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah (pada tahap ini harus juga memuat mekanisme pernyataan keluar), pemberitahuan wajib dilakukan oleh penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok kepada anggota kelompok. Proses pemeriksaan perkara sengketa lingkungan sama seperti dalam pemeriksaan perkara perdata pada umumnya, yaitu pertama, pembacaan surat gugatan oleh penggugat; kedua, jawaban dari tergugat; ketiga, replik (tangkisan penggugat atas jawaban yang telah disamapaikan oleh tergugat); keempat, duplik (jawaban tergugat atas tanggapan penggugat dalam replik); kelima, pembuktian yang ditujukan untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang apa yang telah didalilkan oleh para pihak, maka kedua belah pihak menyampaikan bukti-bukti dan saksi-saksi; keenam, kesimpulan, merupakan resume dan secara serentak dibacakan oleh kedua belah pihak; ketujuh, putusan hakim, putusan hakim dapat berupa dikabulkannya gugatan penggugat atau gugatan penggugat tidak dapat diterima (ditolak). Terhadap putusan ini pihak yang dikalahkan dapat mengajukan upaya hukum banding. Apabila hakim mengabulkan gugatan Ganti rugi penggugat, maka hakim akan memutuskan jumlah ganti rugi, penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelimpok dalam penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban kelompok; dan kedelapan, pendistribusian ganti rugi. Apabila gugatan dikabulkan, maka dilakukan tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti kerugian. Penanggung jawab usaha yang kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahanberbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Penanggung jawab usaha dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di berikut ini: adanya bencana alam atau peperangan; atau adanya keadaan terpaksa di luar xvi
kemampuan manusia; atau adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi. Selain mekanisme class action, Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) juga mengatur mekanisme pangajuan tuntutan hak oleh organisasi lingkungan hidup (OLH) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM), sebagai mana telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UUPLH yang menentukan Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup Hak mengajukan gugatan tersebut terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan tersebut (gugatan legal standing) apabila memenuhi persyaratan, pertama, berbentuk badan hukum atau yayasan; kedua, dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; ketiga, telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Tuntutan hak yang diajukan tidak dapat berupa permintaan ganti kerugian. Tuntutan hak yang diperbolehkan hanya berupa kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu, seperti reboisasi, memulihkan kondisi lingkungan seperti sediakala sebelum pencemaran dilakukan dan sebagainya. Proses pemeriksaan gugatan oleh organisasi lingkungan hidup (legal standing) maupun class action di pengadilan masih mengacu pada proses beracaranya perkara perdata yang bersumber pada HIR (het herzeine Indonesisch Reglement) Rbg (Reglement Buite Gewesten, serta Rv (Reglement op de burgerlijke recht Vordering). Isi surat gugatan dalam sengketa lingkungan tidak diatur dalam UUPLH. Oleh karena itu masih mengacu pada peraturan perundang-undangan sebelumnya, yaitu HIR, Rbg maupun Rv. Berkaitan dengan formulasi surat gugatan, HIR dan Rbg hanya mengatur tentang cara bagaimana mengajukan gugatan. Persyaratan mengenai gugatan terdapat dalam Ps. 8 no. 3 Rv. Pada dasarnya surat gugatan berisi : 1. identitas para pihak, berisi mengenai nama lengkap, umur/tempat tanggal lahir, pekerjaan dan alamat/domisili. Namun demikian, ada kalanya kedudukan sebagai
xvii
penggugat/tergugat dilakukan oleh cabang suatu badan hukum, oleh karenya harus dijelaskan mengenai BH tersebut. 2. posita/fundamentum petendi. Posita merupakan dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alas an-alasan dari tuntutan (middelen van den eis). Posita terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang menguraikan tentang kejadiankejadian/peristiwa hukum dan bagian yang menguraikan hukumnya, yaitu uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan. 3. petitum. Petitum merupakan bagian dari surat gugatan yang berisi hal-hal yang dimohonkan untuk diputuskan oleh hakim. Petitum terdiri dari dua bagian, yaitu: a. petitum pokok/Primer yang berisi hal-hal/tuntutan pokok yang dimohonkan untuk dikabulkan oleh pengadilan, seperti menuntut putusnya perjanjian dengan ditambah ganti rugi atau menuntut pelaksanaan perjanjian dengan uang paksa. b. petitum subsidair, yang berisi hal-hal yang memberi kebebasan pada hakim untuk mengabulkan lain dari petitum primair. Lebih dari itu, mengingat bagian terbesar dari Hukum Lingkungan adalah Hukum Administrasi, maka perlu diketahui bahwa penyelesaian sengketa lingkungan dapat pula berupa gugatan oleh seseorang atau badan hukum perdata ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena kepentingannya (atas lingkungan hidup yang baik dan sehat) dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN – izin) di bidang lingkungan berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PERATUN). Gugatan ke PTUN berisi tuntutan agar KTUN (izin) dinyatakan batal atau tidak sah, sehingga putusan (hakim PTUN) segera menghentikan pencemaran lingkungan akibat izin lingkungan yang tidak cermat
xviii
1.4. Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan rumusan masalah diatas dan di bagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Umum Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman mengenai praktek penjualan bahan bakar minyak tanpa ijin usaha yang diatur dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 2.Tujuan Khusus Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui dan menganalisa modus operandi yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana penjualan bahan bakar minyak tanpa ijin usaha. b. Untuk mengetahui dan menganalisa faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku penjualan bahan bakar minyak tanpa ijin usaha.
1.5. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Adapun manfaat teoritis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah dapat memberi masukan untuk pengembangan studi ilmu hukum terkait dengan penjualan Bahan Bakar Minyak xix
(BBM) tanpa ijin usaha yang diatur dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta mengetahui faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku penjualan bahan bakar minyak tanpa ijin usaha. Sehingga melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, khusnya pada bidang hukum pidana. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan secara praktis dapat menegakkan darma hukum, diantaranya: a. Bagi institusi penegak hukum, khususnya polisi, penelitian ini bermanfaat guna memberikan sumbangan pemikiran guna pengembangan studi di bidang hukum pidana, khususnya terkait dengan praktek penjualan bahan bakar minyak tanpa ijin usaha di tinjau dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. b. Bagi kalangan masyarakat termasuk mahasiswa, khususnya mahasiswa fakultas hukum dalam mendalami hukum pidana yang berkaitan dengan hal pemidanaan.
BAB IV METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan apa yang terdapat di dalam tujuan penyusunan bahan analisis, maka dalam penulisan penelitian ini menggunakan metode pendekatan baik secara yuridis normatif maupun secara yuridis empiris. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis norma hukum, baik hukum dalam arti Law as it is written in the books (dalam peraturan perUndang-Undangan), maupun hukum dalam
xx
arti Law as it is decided by judge through judicial process (putusan-putusan pengadilan).19 Secara yuridis normatif maka penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan data yang bersumber dari data sekunder, seperti peraturan-peraturan baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah yang mengatur tentang penyelesaian sengketa Lingkungan dan buku literatur terkait.“Dalam melengkapi data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, maka dilakukan pula penelitian lapangan karena sasaran penelitian hukum disamping kaedah atau das Sollen (penelitian hukum normatif), dapat berupa perilaku atau das Sein (penelitian lapangan)”.20 2. Jenis Pendekatan Dalam penelitian normatif dikenal beberapa metode pendekatan, yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan analisis /konsep (analytical or conceptual approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan kasus (case approach).21Adapun jenis pendekatan yang utamanya akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan analisis /konsep (analytical or conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah sejumlah instrument penyelesaian sengketa. Selanjutnya, Pendekatan sejarah (historical approach) diterapkan untuk mengetahui sejarah dan perkembangan penyelesaian sengketa. Pendekatan analisis/konsep (analytical or conceptual approach) dimaksudkan untuk menganalisis konsep-konsep hukum mengenaihak kolektif dalam perspektif penyelesaian sengketa.
3. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dapat dibedakan antara bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Kedua bahan hukum tersebut akan dipergunakan dalam penelitian ini. Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi sejumlah instrumen nasional dan internasional, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang19
Enid Campbell, et.al., 1988, legal Research, Materials and Methods, Sydney : The Law Book Company Limited, h.1 20
Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, h. 30 21 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet. 4, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 93 – 95
xxi
undang No. 20 Tahun 1947, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen atau bahan– bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel, jurnal, hasil penelitian, makalah dan bahan bacaan lainnya yang terkait dengan penyelesaian sengketa lingkungan serta bacaan lain yang menunjang penelitian ini. Selain bahan hukum primer dan sekunder, bahan hukum tersier juga akan digunakan dalam penelitian ini, Bahan hukum tersebut berupa kamus, baik kamus umum maupun kamus hukum dan dokumen-dokumen lainnya, serta bahan penunjang di luar bidang hukum, di antaranya bahan dari ilmu politik yang dapat mendukung dan memperjelas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 22
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah telaah pustaka dengan menggunakan sistem kartu (card system). Untuk mendapatkan data dari bahan hukum di atas, langkah awal yang akan dilakukan adalah kegiatan inventarisasi, kemudian dilakukan pengoleksian dan identifikasi bahan-bahan hukum ke dalam suatu sistem informasi yang komprehensif sehingga memudahkan untuk melakukan penelusuran kembali bahan-bahan yang diperlukan. 5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan sistemisasi terhadap bahan-bahan hukum. Dalam hal ini bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan diklasifikasikan untuk mempermudah menganalisa bahan-bahan tersebut. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap bahan hukum yang diolah untuk dapat melakukan penelitian terhadap bahan-bahan yang diperoleh, sehingga dapat mengkaji penyelesaian sengketa lingkungan. Dalam penelitian ini, analisis terhadap peraturan perundang-undangan akan diinterpretasikan secara tekstual dan kontekstual. Suatu sistemisasi bahan hukum akan dilakukan
22
Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, h.41
xxii
pada saat mengakitkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Peranan Masyarakat (Public Participatory) dalam penyelesaian sengketa lingkungan. Selama ini lembaga pengadilan sebagai lembaga negara penegak keadilan dalam melakukan penyelesaian sengketa lingkungan dinilai tidak memberi rasa keadilan masyarakat, dan keadilan lingkungan. Berbagai kasus penyelesaian sengketa pencemaran lingkungan yang diajukan ke pengadilan keputusannya amat mengecewakan masyarakat, dan jauh dari rasa keadilan. Lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa lingkungan selama ini masih berorientasi pada hukum formal. Analasis studi menunjukan bahwa dalam menyelesaikan sengketa lingkungan hakim masih belum mampu keluar dari pendekatan tek books yang memahami hukum sebatas aturan yang bersifat hitam putih. Menurut Satjipto Rahardjo, penanganan penyelesaian sengketa yang menempatkan masalah pada tataran yang simpel yang penyelesaiannya juga simpel, laksana menarik garis lurus antara dua titik. Karena itu, modus penanganannya menjadi linier, hitam putih, dan matematis. Dunia atau masyarakat dimasuk-masukan ke dalam rumusan peraturan, skema, atau bagan, dan pengotakan secara eksak. Di sini konstruksi mengabaikan realitas.23 Kegagalan hukum untuk membawa pelaku ke penghukuman oleh pengadilan disebabkan oleh sikap submisif terhadap kelengkapan hukum yang ada, seperti prosedur, doktrin dan asas. Sebagai akibatnya hukum bisa menjadi safe haven bagi para pelaku. Jika dilihat dari optik hukum progresif, maka caracara dan praktek berhukum seperti itu sudah tergolong kontraprogresif.24
23
Satjipto Rahardjo, 2004, “Formal dan Non Formal dalam Ketatanegaraan”, Kompas, 25 Oktober. 24 Sartjipto Rahardjo, 2004, “Hukum Progresif sebagai Dasar Bangunan Ilmu Hukum Indonesia”, Makalah Seminar Nasional Menggagas Ilmu Hukum Progresif Indonesia, Kerjasama IAIN Walisongo dengan IKA Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 8 Desember, h 5.
xxiii
Pendekatan progresif menempatkan paradigma manusia yang membawa pendekatan ini mempedulikan faktor perilaku (behavior, experience). Pendekatan hukum progresif adalah hukum untuk manusia, sedang pada ilmu hukum praktismanusia adalah untuk hukum dan logika hukum. Hukum dan ilmu hukum progresif lebih cenderung ke kreativitas dan menolak rutinitas logika peraturan. Di sinilah letak pencerahan pendekatan ilmu hukum progresif. 25 Penyelesaian sengketa lingkungan yang dilakukan lembaga formal, seperti pengadilan selama ini belum bergesar dari pendekaatan positifis formal dan prosedural. Aparat penegak hukum dalam merespon dan menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan menunjukan sikap yang formalis, deterministik, dan memberi peluang terjadinya perilaku eksploitatif di kalangan pelaku usaha (investor). Instrumen hukum yang dipakai hanya berorientasi prosedur dan tidak dapat diandalkan sebagai pilar utama untuk mengatasi problem lingkungan, sementara pencemaran lingkungan dalam proses waktu semakin sulit untuk dapat dikendalikan. Karena itu, pendekatan seperti itu kiranya perlu segera diakhiri, diganti dengan semangat pendekatan hukum progresif yang dimulai dari kesadaran yang tumbuh dari semua kalangan yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan untuk memahami bahwa persoalan lingkungan sudah mencapai tarap yang mengkhawatirkan. Karena itu, perlu ada terapi kejut yang segera digulirkan dalam berbagai upaya dan langkah dalam rangka memberikan dorongan yang lebih kuat lagi. Untuk mengatasinya perlu dilakukan gerakan penyadaran secara progresif dengan melibatkan pertisipasi masyarakat, aparat penegak hukum, dan pemerintah akan tugas dan tangung jawabnya dalam menyelesaikan dan memecahkan masalah-masalah lingkungan. Untuk dapat menjalankan hukum lingkungan di tengah masyarakat yang penuh dengan kompleksitas, dibutuhkan aparat penegak hukum yang mempunyai visi, komitmen yang kuat, dan pengetahuan yang memadai di bidang lingkungan. Karena itu, sudah saatnya perlu dilakukan rekrutmen dan pembinaan aparat penegak secara khusus, yang nantinya diharapkan dapat menjalankan tugas khusus dalam menangani sengketa ataupun pengaduan masyarakat masalah lingkungan, berupa perusakan atau pencemaran lingkungan. Hakim yang diangkat atau ditunjuk dapat saja direkrut dari kalangan akademisi atau pakar hukum lingkungan, praktisi yang mengetahui seluk-beluk masalah lingkungan, ataupun kalangan aktivis yang selama ini gigih memperjuangkan lingkungan.
25
Ibid, h 6.
xxiv
Masyarakat mimiliki peranan dalam pembelaan (Advokasi) lingkungan, selain itu kekuatan otonomi masyarakat dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja lembaga pengadilan sebenarnya mempunyai harapan untuk didayagunakan. Namun demikian kemampuan untuk memahami hak-haknya yang dimilikinya atas lingkungan hidup masih belum memadai, sehingga dalam berbagai kesempatan menyelesaiakan sengketa lingkungan di pengadilan, lebih banyak dipasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat dan organisasi lingkungan. Dalam hal ini menurut Mas Akhmad Santoso, masyarakat perlu meningkatkan kemampuannya, agar keterlibatanya di wilayah-wilayah publik, termasuk di bidang lingkungan menjadi lebih substansial dan terarah. Peran LSM dan Organisasi Lingkungan dituntut tidak hanya galak atau asal berbeda pandangan dengan pemerintah, akan tetapi diperlukan pemikiranpemikiran yang siap pakai untuk mengatasi berbagai masalah pembangunan dan lingkungan hidup26.
2. Pengaturan dan perbedaan karakteristik antara pengajuan tuntutan hak dalam persidangan perkara perdata melalui mekanisme pengajuan gugatan, class action, legal standing dan citizen lawsuit a. Pengajuan Gugatan Biasa/ Hak Gugat Orang Perorangan (Individual) Tuntutan hak dapat dilakukan dengan gugat individual dapat bersifat Voluntair ataupun Contensia. Gugatan voluntair yang bersifat sepihak (ex parte), yaitu permasalahan yang diajukan untuk diselesaikan pengadilan tidak mengandung sengketa (undisputed matters), bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party only), tanpa sengketa dengan pihak lain (without dispute or differences with another party), dan tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan (tergugat). Sedangkan gugatan contentiosa atau contentious jurisdiction adalah gugatan yang mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih. Pada dasarnya pihak yang bersengketa dalam perkara perdata terdiri dari dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Dalam hal ini, perkara tersebut mengandung sengketa, atau yang kemudian dikenal dengan peradilan contentiosa atau contentious jurisdiction, yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan (jurisdiction of court that is concerned with contested matters)
26
Mas Akhamd Santoso, 2001, Good Governace dan Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta, h. 55.
xxv
antara pihak yang bersengketa (between contending parties)27. Penggugat merupakan pihak yang merasa haknya telah dilanggar oleh pihak lain (tergugat). Pengajuan tuntutan hak dalam perkara perdata dapat diajukan secara lisan maupun tertulis. Bentuk tertulis inilah yang kemudian dikenal sebagai surat gugatan. HIR dan Rbg hanya mengatur tentang cara bagaimana mengajukan gugatan. Persyaratan mengenai gugatan terdapat dalam Pasal 8 no. 3 Rv, yang meliputi: Pertama, identitas para pihak, berisi mengenai nama lengkap, umur, tempat tanggal lahir, pekerjaan dan alamat atau domisili. Namun demikian, ada kalanya kedudukan sebagai penggugat/tergugat dilakukan oleh cabang suatu badan hukum, oleh karenya harus dijelaskan mengenai badan hukum tersebut. Kedua, posita/fundamentum petendi, posita merupakan dalildalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari tuntutan (middelen van den eis). Posita terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian/peristiwa hukum dan bagian yang menguraikan hukumnya, yaitu uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan. Ketiga, petitum yang merupakan bagian dari surat gugatan yang berisi hal-hal yang dimohonkan untuk diputuskan oleh hakim.28 Petitum terdiri dari dua bagian, yaitu petitum pokok atau primer yang berisi tuntutan pokok yang di mohonkan untuk dikabulkan oleh pengadilan, seperti menuntut putusnya perjanjian dengan ditambah ganti rugi atau menuntut pelaksanaan perjanjian dengan uang paksa. Bagian kedua, yaitu petitum subsidair, yang berisi hal-hal yang memberi kebebasan pada hakim untuk mengabulkan lain dari petitum primair. Pengajuan tuntutan hak melalui gugatan biasa merupakan suatu pengajuan tuntutan hak oleh subjek hukum yang satu kepada subjek hukum lainnya atas suatu sengketa keperdataan, baik berupa wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum, dimana pada diri pihak yang mengajukan tuntutan hak mengalami kerugian langsung maupun kerugian meteriil sebagai akibatnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka unsur-unsur pengajuan gugatan biasa yang dikenal dalam HIR, Rbg maupun Rv meliputi, pertama, adanya tuntutan hak. Tuntutan hak dalam hal ini disebabkan tidak dilaksanakannya kewajiban oleh pihak lain secara sukarela atau sesuai dengan kesepakatan para pihak, sehingga terdapat pelanggaran hak pada pihak satunya.
27
Henry Campbell Black, 1978, Black Law Dictionary, West Publishing, St Paul Minn, h. 289 28 Sudikno Mertokusumo. Op. cit. h.54
xxvi
Tuntutan hak dalam surat gugatan dimasukkan dalam petitum, yang dapat berupa petitum primer maupun subsidair. Petitum pokok atau primer yang berisi tuntutan pokok yang di mohonkan untuk dikabulkan oleh pengadilan, seperti menuntut putusnya perjanjian dengan ditambah ganti rugi atau menuntut pelaksanaan perjanjian dengan uang paksa. Bagian kedua, yaitu petitum subsidair, yang berisi hal-hal yang memberi kebebasan pada hakim untuk mengabulkan lain dari petitum primair. Tuntutan hak dalam suatu perkara perdata dapat disebabkan karena wanprestasi mau pun perbuatan melawan hukum. Wanprestasi terjadi manakala pada pihak debitur tidak melaksanakan kewajiban dan bukan karena keadaan memaksa. Debitur melakukan wanprestasi apabila tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan, melakukan apa yang di janjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan, melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.29 Namun pelanggaran terhadap lingkungan merupakan perbuatan melawan hukum dimana perbuatan melawan hukum terjadi apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum dalam hal ini, bukan saja berupa ketentuan-ketentuan tertulis, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu, antara lain kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung. Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak berbuat sesuatu. Dalam KUHP ditentukan pula bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Substansi dari perbuatan melawan hukum adalah yaitu pertama bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau melanggar hak subjektif orang lain, atau melanggar kaidah tata susila (goede zeden), atau bertentangan dengan azas “Kepatutan”, ketelitian serta sikap hati-hati dalam pergaulan hidup masyarakat. Subjek hukum dapat berupa orang maupun badan hukum. Badan hukum sendiri dapat di bedakan menjadi badan hukum publik maupun badan hukum privat.
29
Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h. 45
xxvii
Kedua, oleh subjek hukum yang satu kepada subjek hukum yang lain. Subjek hukum merupakan pemangku hak dan kewajiban. Subjek hukum dapat berupa orang maupun badan hukum. Badan hukum sendiri dapat di bedakan menjadi badan hukum publik maupun badan hukum privat. Dalam hukum acara perdata tidak dikenal istilah turut penggugat, melainkan turut tergugat. Di sebutkan sebagai turut tergugat dimaksudkan agar orang-orang, bukan para pihak yang bersengketa (penggugat dan tergugat) demi lengkapnya pihak-pihak, maka orang-orang bukan pihak yang bersengketa tersebut harus diikutsertakan dalam gugatan penggugat sekedar untuk tunduk dan taat terhadap putusan hakim. Hal ini telah menjadi suatu yurisprudensi sebagaimana diputus dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Januari 1976 No. 201 K/ Sip/ 1974.30 Ketiga mengalami kerugian secara langsung dan nyata. Kerugian secara langsung dan nyata dalam hal ini berarti bahwa pihak yang mengajukan tuntutan hak haruslah pihak yang mempunyai dasar hukum dan kepentingan yang cukup atas hubungan hukum yang terjadi.
1. Gugatan kelompok (Class Action) Negara- negara yang menganut sistem hukum Common Law System seperti Inggris sudah lama mengenal gugatan kelompok (class action). Class action merupakan sinonim dari class suit atau representative action,31 Class action memiliki karakteristik sebagai berikut: pertama, gugatan diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok, kedua, wakil kelompok bertindak atas nama mereka dan sekaligus untuk dan atas nama kelompok yang diwakili, ketiga, dalam gugatan tidak perlu disebutkan semua identitas anggota kelompok yang diwakili, akan tetapi cukup didefinisikan identifikasi anggota kelompok secara spesifik, keempat, anggota kelompok dengan wakil kelompok mempunyai kesamaan fakta dan dasar hukum yang melahirkan kesamaan kepentingan (common interest), kesamaan penderitan (common grievance), dan apa yang dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh anggota. Rumusan gugatan kelompok (class action) yang diberikan oleh para ahli hukum Indonesia pada prinsipnya memberikan pengertian dan rumusan yang hampir bersesuaian satu sama lain. Mas Achmad Santosa memberikan pengertian class actions (gugatan perwakilan) 30
Chidir Ali, 1985, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia, CV Nur Cahya, Yogyakarta, h. 218 Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 137 31
xxviii
adalah merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural bagi satu atau sejumlah orang (jumlah yang tidak banyak) bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan ratusan, ribuan atau jutaan orang lainnya yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian. Orang atau orang (lebih dari satu) yang tampil sebagai penggugat disebut sebagai wakil kelas (representative class), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya disebut dengan class members.32 Az. Nasution memberikan pengertian dan persyaratan gugatan kelompok (class actions) yang dapat diadili oleh Pengadilan apabila: (a) penggugatnya berjumlah besar, sehingga tidak praktis apabila digunakan secara perkara biasa, (b) seorang atau beberapa orang dari kelompok itu mengajukan gugatannya sebagai perwakilan, (c) terdapat masalah hukum dan fakta gugatan atau perlawanan bersama, dan (d) wakil yang bersidang harus mampu mempertahankan kepentingan kelompok.33 Class action menurut Black’s Law Dictionary adalah sekelompok besar orang yang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut mewakili kekompok besar orang tersebut tanpa perlu menyebut satu peristiwa satu anggota yang diwakili. Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan. Tujuan class action secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama. Di Indonesia, beberapa peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup yang memperbolehkan gugatan class action. Pertama adalah UUPPLH tentang khususnya Pasal 91 yang menyatakan bahwa “masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan sendiri dan/atau kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”. Kedua adalah Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dalam Pasal 71 ayat 1 berbunyi "masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap 32
Mas Achmad Santosa, et al, Civil Liability for Environmental Damage Indonesia, yang 1999, Makalah Topic 7, disampaikan dalam pelatihan hukum lingkungan di Indonesia bekerjasama dengan Australia, ICEL. 33 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Daya Widya, h. 237.
xxix
kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat". Sedangkan tata cara pengajuannya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (Selanjutnya disebut dengan PERMA No.1 Tahun 2002) yang garis besar terdiri dari ketentuan umum, tata cara dan persyaratan gugatan perwakilan kelompok, pemberitahuan, pernyataan keluar, putusan dan ketentuan umum. Berdasarkan pengertian tersebut, maka unsur-unsur class action terdiri dari: a.
class action merupakan mekanisme pengajuan gugatan. Class action merupakan mekanisme pengajuan tuntutan hak selain mekanisme pengajuan tuntutan hak yang diatur dalam HIR, Rbg maupun Rv. Tuntutan hak sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dapat disebabkan karena wanprestasi mapun perbuatan melawan hukum. Namun demikian, class action cenderung disebabkan oleh adanya perbuatan melawan hukum.
b. terdapat wakil Kelompok (Class Representatif). Wakil kelompok merupakan satu orang atau lebih yang menderita kerugian, yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Kedudukan dan kapasitas wakil kelompok adalah sebagai kuasa menurut hukum (legal mandatory) atau wettelijke vertegenwoordig, yaitu suatu kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundangundangan yang memberi hak dan kewenangan bagi wakil kelompok sebagai kuasa kelompok demi hukum. Dengan demikian, kuasa yang dimiliki oleh wakil kelompok tidaklah memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok yang diwakilinya, selain itu tidak di perlukan persetujuan dari anggota kelompok 13 Pasal 1 huruf a PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata 153 untuk mewakili mereka. Dalam hal ini, bagi anggota kelompok yang tidak setuju atau berkeberatan, dapat mengajukan hak opting out yang menyatakan dirinya keluar sebagai anggota kelompok. c. terdapat anggota kelompok (Class Member). Anggota kelompok merupakan sekelompok orang dalam jumlah banyak yang menderita kerugian, yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. PERMA No. 1 Tahun 2002 tidak menjelaskan batasan minimal jumlah anggota kelompok. Berkaitan dengan anggota kelompok, PERMA No. 1 Tahun 2002, hanya menjelaskan bahwa Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan. xxx
d. memiliki kesamaan peristiwa/ fakta dan dasar hukum (commonality). Wakil kelompok dengan anggota kelompok harus terdapat kesamaan fakta dan kesamaan hukum sebagai akibat tindakan tergugat. Namun demikian, kesamaan fakta dan dasar hukum harus persis serupa secara mutlak, akan tetapi di mungkinkan adanya perbedaan, dengan syarat perbedaan tersebut tidak substansial dan prinsipiil. e. terdapat kerugian. Pihak wakil kelompok (class repesentatif) maupun anggota kelompok (class members) harus benar-benar atau secara nyata mengalami kerugian atau diistilahkan concrete injured parties. f. terdapat tuntutan sejenis (typicallity). Tuntutan (bagi plaintiff class action) maupun pembelaan (bagi defedant class action) dari seluruh anggota yang diwakili (class members) haruslah sejenis. Pada umumnya dalam class action, jenis tuntutan yang dituntut adalah pembayaran ganti kerugian. Berdasarkan unsur-unsur tersebut, yang dapat mengajukan gugatan dengan mekanisme class action adalah sekelompok orang yang jumlahnya banyak dan memiliki kesamaan fakta dan dasar hukum, sehingga apabila diajukan secara biasa (mekanisme gugatan sebagaimana diatur dalam HIR/Rbg) mengakibatkan proses pemeriksaan menjadi tidak efektif dan efisien. Pihak yang digugat dalam class action (penggugat) dapat berupa orang maupun badan hukum (badan hukum publik maupun privat). Di Amerika Serikat, class action diterapkan terhadap pencemaran lingkungan tidak hanya menyangkut hak milik atau kerugian, tetapi juga kepentingan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga masyarakat. “Class action”, penting dalam kasus pencemaran (perusakan) lingkungan yang menyangkut kerugian terhadap “a mass of people” yang awam dalam ilmu. Seseorang atau beberapa orang anggota kelompok dapat menggugat atau di gugat sebagai pihak yang mendapat kuasa atas nama semua, dengan syarat The class is so nu-merous that Joinder of all members is imprac-ticable; There are guestions of law or fact common to the class; The claims or defenses of the representative parties are typical of the claims or defenaes of the class; The representa-tive parties will fairly and adeguately protect the interestsof the class. 34
2. Pengajuan Gugatan oleh Lembaga Swadaya Mayarakat (Legal Standing) 34
Siti Sundari Rangkuti, op.cit, h. 296-297
xxxi
3. Standing disebut juga standing to sue, locus standi atau legal standing. Bryan A. Garner memberikan pengertian standing sebagai: “A party’s right to make a legal claim or seek judicial enforcement of a duty or right. To have standing in federal court, a plaintiff must show (1) that the challenged conduct has caused the plaintiff actual injury, and (2) that the interest sought to be protected is within the zone of interest meant to be regulated by the statutory or constitutional guarantee in question.”35 Daniel Oran mengartikan standing sebagai A person’s right to bring (start) or join a lawsuit because he or she is directly affected by the issues raised. This is called “standing to sue.”18 Pada dasarnya legal standing dapat diartikan secara luas yaitu akses perorangan ataupun kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat. 19 Legal standing organisasi lingkungan hidup adalah kewenangan organisasi lingkungan hidup untuk bertindak sebagai penggugat dalam penyelesaian sengketa lingkungan. 20 Dalam ketentuan UUPPLH standing mencakup akses OLH dan pemerintah dan pemerintah daerah untuk tampil sebagai pihak penggugat dalam penyelesaian sengketa lingkungan baik di peradilan umum mapun di peradilan tata usaha negara. Standing warga negara atau citizen lawsuit yang telah diakui dalam praktek peradilan di Indonesia namun tidak terdapat pengaturannya dalam UUPPLH merupakan hasil perkembangan hukum.
Tidak sedikit praktisi hukum yang mencampuradukkan antara pengertian class action dan konsep hak gugat Legal Standing. Sesungguhnya class action dan Legal Standing memiliki perbedaan. Legal standing merupakan hak gugat yang di miliki oleh Lembaga Swadaya masyarakat. Hukum nasional, secara materiil, telah mengatur legal standing/ius standing), namun hukum acara yang ditunjuk sebagai hukum formil yang mempertahankan hukum materiil tersebut belum diatur. Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai penggugat bukan sebagai pihak korban atau yang mengalami kerugian nyata. Namun karena kepentingannya ia mengajukan gugatannya, misalnya lembaga swadaya masyarakat sebagai penggugat mewakili kepentingan perlindungan lingkungan hidup yang perlu diperjuangkan karena posisi lingkungan hidup sebagai ekosistem sangat penting. Karena lingkungan hidup tidak dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri karena tidak dapat berbicara sehingga perlu pihak yang memperjuangkan. Jadi pihak yang dapat
35
Bryan A. Garner (editor), Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Thomson West, St. Paul, 2004, h.1442.
xxxii
mengajukan Legal Standing hanyalah Lembaga Swadaya Masyarakat atau kelompok organisasi yang memiliki syarat-syarat tertentu. Legal standing dalam UUPPLH diistilahkan sebagai hak gugat organisasi lingkungan khususnya pada Pasal 92 yang menyatakan bahwa “dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”. Tidak semua organisasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang dapat Legal Standing. Untuk bidang lingkungan hidup menyebutkan bahwa hanya organisasi lingkungan hidup yang memenuhi beberapa persyaratan yang dapat mengajukan gugatan Legal Standing yaitu 36 :
a. Berbentuk badan hukum atau yayasan. b. Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. c. Telah melaksanakan kegiatan susuai dengan anggaran dasar. Perbedaan lain antara Class Actions dengan Legal Standing adalah perihal tuntutan ganti rugi dalam Class Actions pada umumnya adalah ganti rugi berupa uang sedangkan dalam Legal Standing tidak dikenal tuntutan ganti kerugian uang, tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bersifat deklaratif. Ganti rugi hanya dapat dimungkinkan sepanjang atau terbatas pada biaya yang dikeluarkan oleh organisasi tersebut. Hak gugat organisasi lingkungan merupakan salah satu bagian dari hukum standing yang berkembang di berbagai Negara yang dilatarbelakangi dengan teori yang dikemukakan oleh Christoper Stone, Dalam teori Stone ini memberikan hak hukum (legal right) kepada obyekobyek alam (natural objects). Menurut Stone hutan, laut atau sungai sebagai obyek alam, layak memiliki hak hukum, hanya karena sifatnya yang inanimatif maka perlu untuk diwakili. Teori ini sejalan dengan doktrin perwalian yang kita kenal, yang juga mengakui hak hukum obyek
36
Ibid. h. 9.
xxxiii
inanimatif, baik pada perorangan, Negara maupun anak dibawah umur. Dalam membela kepentingannya mereka di wakili oleh walinya. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diuraikan karakteristik mekanisme gugatan legal standing. Pertama, pihak penggugat. Pihak yang dapat mengajukan tuntutan hak dengan menggunakan mekanisme legal standing hanyalah Lembaga Swadaya Masyarakat. Hanya Lembaga Swadaya Masyarakat yang anggaran dasarnya meliputi perbuatan yang dilanggar oleh tergugat saja yang dapat mengajukan legal standing dan pelanggaran oleh tergugat tersebut merupakan bagian kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat yang diatur dalam anggaran dasar Lembaga Swadaya Masyarakat tersebut, sebagai contoh, dalam pencemaran lingkungan hidup, maka yang dapat mengajukan gugatan hanya Lembaga Swadaya Masyarakat yang menurut anggaran dasarnya bergerak dalam bidang lingkungan hidup. Kedua, pihak tergugat. Pihak yang dapat digugat melalui mekanisme legal standing pada dasarnya meliputi seluruh subjek hukum, baik orang perorangan dan badan hukum (badan hukum publik maupun privat). Ketiga, dalil tuntutan hak. Tuntutan hak yang dapat diajukan dalam mekanisme gugatan legal standing adalah terkait dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum. Dalam kasus lingkungan misalnya, sebuah perusahaan digugat karena telah membuang limbah yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan ini dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Keempat, petitum. Dalam legal standing tidak dikenal tuntutan ganti kerugian uang. Ganti rugi dapat dimungkinkan sepanjang atau terbatas pada ongkos atau biaya yang telah di keluarkan oleh organisasi tersebut. Subjek hukum yang digugat hanya diminta untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu. Dalam kasus lingkungan hidup tersebut di atas misalnya, pihak tergugat dituntut untuk tidak melakukan pencemaran lagi dan memulihkan kembali ekosistem yang telah rusak sebagai akibat pembuangan limbah.
d. Citizen Law Suit atau Actio Popularis Actio Popularis atau gugatan warga negara terhadap penyelenggara Negara, tidak dikenal dalam sistem hukum civil law sebagaimana yang diterapkan di Indonesia, melainkan lahir di negara-negara yang menganut sistem hukum common law seperti Amerika Serikat. Pada intinya merupakan mekanisme bagi warga negara untuk menggugat tanggung jawab xxxiv
penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai Perbuatan Melawan Hukum, sehingga actio popularis diajukan pada lingkup peradilan umum dalam perkara perdata.37 Beberapa sarjana berpendapat bahwa citizen law suit hampir sama dengan actio popularis yang dikenal di common law. Menurut Gokkel38, actio popularis adalah gugatan yang dapat diajukan oleh setiap orang, tanpa ada pembatasan, dengan pengaturan oleh negara. Menurut Kotenhagen-Edzes39, dalam actio popularis setiap orang dapat menggugat atas nama kepentingan umum dengan menggunakan Pasal Pasal 1365 KUHP. Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa action popularis adalah suatu gugatan yang dapat diajukan oleh setiap orang terhadap suatu perbuatan melawan hukum, dengan mengatasnamakan kepentingan umum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur adanya prosedur tersebut. Menurut Syahdeini,40 yang dimaksud dengan actio popularis adalah prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan kepentingan umum secara perwakilan. Dalam hal ini, pengajuan gugatan ditempuh dengan acuan bahwa setiap warga negara tanpa kecuali mempunyai hak membela kepentingan umum. Dengan demikian setiap warga negara atas nama kepentingan umum dapat menggugat Negara atau Pemerintah atau siapa saja yang dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dan nyata-nyata merugikan kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat luas. Citizen law suit sendiri merupakan akses orang perorangan warga negara untuk kepentingan publik termasuk kepentingan lingkungan mengajukan gugatan dipengadilan guna menuntut agar pemerintah melakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya atau untuk memulihkan kerugian publik yang terjadi. Pada dasarnya citizen law suit merupakan suatu hak gugat warga negara yang dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau pembiaran omisi dari negara atau otoritas negara. Menurut pendapat Michael D Axline 41, citizen law suit memberikan kekuatan kepada
37
Arko Kanadianto, Konsep Gugatan Citizen Lawsuit Di Indonesia, Jurnal Hukum Transportasi, http://jurnaltransportasi.blogspot.com/ , h. 1, diakses pada tanggal 15 Juli 2015 38 Sundari, 2002, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan penerapannya di Indonesia), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 12 39 Ibid 40 Sudikno Mertokusumo, Actio Popularis, http://sudikno.blogspot.com, diakses pada tanggal 7 Juli 2015. 41 Michael D Axline.h dalam www.legal-dailythouht. info/2009/02/antara-citizen-law-suit-dan-classaction/ 2, 29 Februari 2009, Antara Citizen Lawsuit dan Class Action, diakses pada tanggal 3 Juli 2015
xxxv
warga negara untuk menggugat pihak tertentu (privat) yang melanggar undang-undang selain kekuatan kepada warga negara untuk menggugat negara dan lembaga-lembaga (federal) yang melakukan pelanggaran Undang-undang atau yang gagal dalam memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan Undang-undang. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dapat diinterpretasikan, bahwa citizen law suit pada intinya adalah mekanisme bagi warga negara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan melawan hukum, sehingga citizen law suit diajukan pada lingkup peradilan umum dalam hal ini perkara Perdata. Oleh karena itu , atas kelalaiannya, dalam petitum gugatan, Negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat mengatur umum (regeling). Hal ini dimaksudkan agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui karakteristik dari gugatan citizen law suit. Pertama, pihak penggugat. Pihak penggugat dalam citizen law suit adalah warga negara, baik perorangan maupun sekelompok orang, yang bertindak mengatasnamakan warga negara. Penggugat dalam hal ini cukup membuktikan bahwa dirinya adalah warga Negara Indonesia. Berbeda halnya dengan gugatan biasa maupun class action, dalam citizen law suit, penggugat tidak harus merupakan kelompok warga negara yang dirugikan secara langsung oleh negara, oleh karena itu penggugat tidak harus membuktikan kerugian materiel apa yang telah dideritanya sebagai dasar gugatan. Penggugat dalam hal ini mewakili warga Negara Indonesia, tidak perlu dipisah menurut kelompok kesamaan fakta dan kerugian sebagaimana dalam gugatan class action. Dalam mekanisme pengajuan gugatan citizen law suit tidak memerlukan adanya suatu notifikasi option out setelah gugatan didaftarkan sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam prakteknya, di Indonesia yang didasarkan pada pengaturan di beberapa Negara common law, citizen law suit cukup hanya dengan memberikan notifikasi berupa somasi kepada penyelenggara negara. Isi somasi adalah bahwa akan diajukan suatu gugatan citizen law suit terhadap penyelenggara negara atas kelalaian negara dalam pemenuhan hak-hak warga negaranya dan memberikan kesempatan bagi negara untuk melakukan pemenuhan jika tidak ingin gugatan diajukan. Somasi tersebut harus diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
xxxvi
sebelum gugatan didaftarkan, namun karena belum ada satupun peraturan formal yang mengatur hal tersebut, maka ketentuan ini tidak berlaku mengikat.42 Kedua, pihak tergugat. Tergugat dalam citizen law suit adalah Penyelenggara Negara, mulai dari Presiden dan Wakil Presiden sebagai pimpinan teratas, Menteri dan terus sampai kepada pejabat negara di bidang yang dianggap telah melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya. Ketiga, dalil tuntutan hak. Perbuatan melawan hukum yang didalilkan dalam gugatan adalah kelalaian penyelenggara negara dalam pemenuhan hak-hak warga negara. Kelalaian negara dalam hal ini dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena negara telah lalai dalam melakukan kewajibannya untuk melindungi warga negaranya. Dalam hal ini harus diuraikan bentuk kelalaian apa yang telah dilakukan oleh negara dan hak warga Negara apa yang gagal dipenuhi oleh negara.. Keempat, petitum. Dalam gugatan tidak boleh meminta adanya ganti rugi materiel, karena dalam hal ini, pihak penggugat mengajukan gugatannya karena negara tidak melakukan kewajibannya untuk melindungi warga negaranya. Petitum harus berisi permohonan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (regeling) agar perbuatan melawan hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hak warga negara tersebut di masa yang akan datang tidak terjadi lagi.
42
Arko Kanadianto, 2008, Konsep citizen lawsuit di Indonesia, http://kanadianto.wordpress.com/2008/diakses pada tanggal 13 Juni 2015
xxxvii
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Akhamd Santoso, Mas ,2001, Good Governace dan Hukum Lingkungan, Jakarta Campbell, Enid et.al., 1988, legal Research, Materials and Methods, Sydney : The Law Book Company Limited Costintino, C.A. and Merchant C.S. 1996,Designing Conflict Management Systems: A Guide to Creating Productive and Healthy Organizations. San Francisco: Jossey‐Bass, D. Y Witanto, 2011, Hukum Acara Mediasi (dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan), Alfabeta, Bandung Dietz, Ton, 1998, Pengakuan Hak atas Sumber Daya Alam, Pengantar Dr. Mansour Faakih, Refleksi Gerakan Lingkungan, Yogyakarta: Remdec, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal ix-x. Model Penyelesaian Sengketa Lingkungan Douglas H. Yarn, ed. "Conflict" 1999, in Dictionary of Conflict Resolution, San Francisco: Jossey--‐Bass G. Wijers, 2000, Het Gezag van Gewijsde in Burgerlijke Landraad zaken, dalam Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita Harahap, M. Yahya,Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Kirkpatrick, Sale, 1996, Revolusi Hijau, Sebuah Tinjauan Historis-Kritis Gerakan Lingkungan Hidup di Amerika Serikat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Lutfi Yazid, TM. 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (environmental Dispute Resolution), Surabaya: Airlangga University Press-Yayasan Adikarya IKAPI-Ford Foundation Mahmud Marzuki, Peter, 2008, Penelitian Hukum, Cet. 4, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Mertokusumo, Sudikno , 1996, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, Mertokusumo, Sudikno, 2008, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta Rahardjo, Sartjipto, 2004, “Hukum Progresif sebagai Dasar Bangunan Ilmu Hukum Indonesia”, Siti Sundari Rangkuti, 1996, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya: Airlangga Universityt Press xxxviii
Soekanto, Soerjono, 1981, Fungsi hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung Widnyana, I Made , 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business Law Center (IBLC) bekerjasama dengan Kantor Hukum Gani Djemat 7 Partners, Jakarta 2. Majalah Rahardjo, Satjipto, 2004, “Formal dan Non Formal dalam Ketatanegaraan”, Kompas, Makalah Seminar Nasional Menggagas Ilmu Hukum Progresif Indonesia, Kerjasama IAIN Walisongodengan IKA Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 8 Desember, 3. Undang Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
xxxix