III.
3.1
KINERJA PDB HTR
Kinerja Penyaluran Sejak dicanangkan tahun 2007 sampai bulan November 2010 belum ada
satupun pemohon yang memperoleh PDB HTR (Pinjaman Dana Bergulir untuk pengembangan Hutan Tanaman Rakyat). Baru pada Desember 2010 terdapat 2 koperasi penerima PDB HTR yaitu Koperasi X di Kab.
Mandailing Natal
Propinsi Sumatera Utara dan Koperasi Y di Kab. Tebo Propinsi Jambi. Pada Desember tahun 2011 penerima dana PDB HTR mengalami peningkatan, tercatat 4 koperasi dan 27 KTH (Kelompok Tani Hutan) melakukan akad kredit walaupun 9 KTH dari 27 KTH belum memperoleh penyaluran PDB HTR karena berkas akad kredit yang harus diperbaiki dengan bantuan notaris belum diperbaiki dan dikembalikan pada BLU Pusat P2H.
Data target dan realisasi penyaluran
selengkapnya pada Tabel 3. Tabel 3
Target dan realisasi penyaluran dana dari BLU Pusat P2H
Thn
KTH dan Koperasi
Target Luas
Target penyaluran (Rp)
2008 2009 2010
2 koperasi
98.004 836.160.000.000 43.670 372.589.619.400 141.674 1.208.749.619.400
2011
s.d September 2011 terdapat 365 pemegang izin perorangan (dalam 27 KTH) dan 2 koperasi yang sudah akad kredit
1.063.550.000.000
Realisasi luas (Ha atau %) 0% 0% 600:141.674 atau 0.0042% 4370.1
Realisasi penyaluran (Rp atau %) 0% 0% 151.551.360 atau 0.039% 37.285.256. 190 atau 0.035%
Sumber: BLU Pusat P2H (Tahun 2008 sampai 2011, diolah) Lambatnya realisasi penyaluran dana PDB HTR menurut Kepala Pusat BLU Pusat P2H1 adalah karena panjangnya proses perizinan untuk memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu untuk HTR (IUPHHK HTR) di hutan produksi yang belum dibebani hak sebagai salah satu syarat petani untuk 1
Jakarta pada 22 Maret 2011
20
mengajukan PDB HTR.
IUPHHK HTR harus berada di areal yang sudah
dicadangkan oleh Menteri Kehutanan sebagai areal HTR, sementara pencadangan dilakukan melalui deliniasi makro hutan produksi, hasil sosialisasi dan verifikasi di kabupaten atau kota. IUPHHK HTR juga menghambat BLU Pusat P2H untuk melakukan proyek percontohan (pilot project) dari PDB HTR karena lokasi yang akan dijadikan sebagai lokasi proyek percontohan harus mempunyai IUPHHK HTR. Pada tahun 2009
terdapat
beberapa pemohon PDB HTR, yaitu:
3
pemohon berbadan hukum koperasi, 3 pemohon berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), dan 4 pemohon petani pemegang IUPHHK HTR. Pemohon PDB HTR berbadan hukum koperasi (Lampiran 5). Koperasi tersebut mengajukan proposal dengan nilai yang jauh dari ketetapan yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan yaitu masing-masing 300 Ha untuk koperasi dan KTH (Kelompok Tani Hutan). Ketiga koperasi tersebut memohon pinjaman dengan kisaran luas areal 3.107 Ha – 8.794 Ha, dan kisaran jumlah pinjaman yang diajukan adalah 26.6 milyar - 87.9 milyar.
Walaupun demikian BLU Pusat P2H hanya
mencairkan maksimum 300 Ha untuk masing-masing koperasi jika memenuhi syarat administrasi dan lolos verifikasi lapangan. Dana PDB HTR baru dicairkan pada bulan Desember 2010 terhadap Koperasi
X2
di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara, dan
Koperasi Y di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Jangka waktu pengajuan sampai pencairan menghabiskan waktu lebih dari satu tahun. Dana PDB HTR untuk Koperasi X tahun ke-1 hanya untuk luas areal 24 Ha [hasil verifikasi BLU Pusat P2H hanya 24 Ha yang lahannya dianggap bebas dari konflik dari luas 50 Ha per tahun (300 Ha : 6 tahun = 50 Ha per tahun) untuk jenis karet (Hevea braziliensis)], sedangkan dana PDB HTR tahun ke-1 yang cair untuk Koperasi Y seluas 50 Ha. BLU Pusat P2H mewajibkan Koperasi X untuk mencari lahan tambahan seluas 36 Ha untuk memenuhi jumlah 50 Ha per tahun, sampai November 2011 Koperasi X belum memenuhi kekurangan lahannya,
padahal berdasarkan
2 Lamanya waktu pencairan karena Koperasi X memerlukan waktu cukup lama untuk memenuhi persyaratan administrasi seperti yang diminta oleh Kapus melalui surat no S 248/Pusat P2H-2/2009 tanggal 24 Juli 2009
21
IUPHHK HTR yang dimilikinya luas areal koperasi tersebut adalah 8.794 Ha. Disini diduga ada itikad tidak baik dari penerima pinjaman untuk memperoleh PDB HTR atas areal yang tidak ada, selain proses pembuatan SK IUPHHK HTR yang tidak dilakukan dengan benar. Pemohon PDB HTR berbadan hukum PT sebagai developer ada 3 namun ketiganya ditolak dengan beberapa alasan, yaitu: (1) PT pertama ditolak oleh BLU Pusat P2H karena PT tersebut bukan sebagai pemegang IUPHHK HTR (Belum mempunyai SK IUPHHK-HTI definitive (Surat Balasan Kapus no S.459/Pusat P2H-2/2009 tanggal 8-4-2009), (2) PT kedua ditolak karena yang bersangkutan bukan pemegang IUPHHK-HTR, KTH yang diajukan sebagai mitra developer bukan sebagai pemegang izin sesuai surat Kapus no S.949/Pusat P2H-2/2009 tanggal 24-7-2009, dan (3) PT ketiga permohonannya belum dapat dilayani oleh BLU Pusat P2H karena sedang dilakukan revisi peraturan berkaitan dengan mekanisme penyaluran PDB HTR dan HTI. Selain PT diatas menurut Kepala Pusat BLU Pusat P2H banyak yang mengajukan dana pinjaman secara lisan menjelang Pemilu dan menurun sesudah Pemilu tetapi pada dasarnya mereka tidak mempunyai IUPHHK HTR atau HTI. Petani yang melakukan permohonan pada tahun 2009 ada 4 orang dengan luas masing-masing 6 Ha, 10 Ha, 13 Ha, dan 15 Ha, semua anggota KTH berasal dari Kabupaten Sorolangun Provinsi Jambi, namun semua pemohon ditolak karena tidak sesuai dengan pasal 2 huruf a Permenhut P.09/Menhut-II/2008 yang menyebutkan bahwa Kelompok Tani Hutan yang mengajukan permohonan paling sedikit beranggotakan 5 orang pemegang IUPHHK HTR, dengan demikian pemegang IUPHHK HTR di Kabupaten Sorolangun tersebut belum memenuhi ketentuan untuk memperoleh dana bergulir. Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa PDB HTR telah menarik minat para oportunis yang mempunyai itikad tidak baik terhadap penggunaan dana PDB HTR, namun BLU Pusat P2H berusaha meminimalkan resiko tersebut dengan berlaku selektif dan taat peraturan 3 sesuai dengan azas kehati-hatian (prudential), demi memenuhi 4 prinsip, yaitu: (1) tepat lokasi (lokasi sesuai 3
Walaupun telah memakan “korban” 4 orang petani, mengingat biaya yang sudah dikeluarkan untuk memperoleh IUPHHK HTR, biaya penyusunan proposal dan pengajuan permohonan ke Jakarta cukup besar
22
dengan areal pencadangan dan areal IUPHHK HTR), (2) tepat pelaku (pelaku masyarakat atau koperasi sekitar hutan produksi pemegang IUPHHK HTR), (3) tepat kegiatan (untuk kegiatan pembangunan HTR dan telah dinilai layak secara ekonomi, sosial, dan lingkungan oleh BLU Pusat P2H), dan (4) tepat penyaluran dan pengembalian (penyaluran dan pengembalian sesuai akad kredit). Di sisi lain pada tahun 2009 tersebut BLU Pusat P2H pada dasarnya belum siap menyalurkan dana PDB HTR karena terkendala revisi peraturan yang mengatur mekanisme penyalurannya. Program kerja BLU Pusat P2H pada tahun 2008 dan tahun 2009 lebih banyak diisi oleh kegiatan pelatihan staf BLU Pusat P2H (inhouse training) (Lampiran 7b dan 8), sosialisasi ke beberapa provinsi dan pemenuhan sarana dan prasana kantor termasuk melengkapi administrasi kantor di Jakarta (Lampiran 9 dan 10). Pada tahun 2008 pelatihan yang dilakukan meliputi: sistem akutansi, pelaporan keuangan pemerintah, penyegaran sistem akutansi dan manajemen pengadaan barang atau jasa dimana peserta pelatihan rata-rata hanya 1 orang. Tahun 2009 pelatihan diikuti oleh lebih banyak peserta dengan kisaran jumlah 2 sampai 25 orang dengan fokus pelatihan yang berbeda dengan tahun 2008. Latihan yang dimaksud meliputi pemahaman peraturan-perundangan kehutanan, pengenalan alat GPS, penyusunan laporan keuangan, penyusunan laporan barang inventaris, pembinaan pegawai, administrasi kepegawaian, teknik penilaian proposal PDB HTR, teknik penyusunan Rencana Bisnis Anggaran (RBA) dan pengenalan skim kredit pola syariah. Dari materi pelatihan terlihat bahwa pelatihan yang dilakukan adalah untuk peningkatan kapasitas staf BLU Pusat P2H walaupun materinya lebih banyak bersifat teknis administratif. Hal yang menjadi kendala untuk pelatihan adalah keberadaan materi pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan BLU Pusat P2H di Kementerian Kehutanan atau Kementerian lain. Biaya yang diperlukan untuk melakukan pelatihan sendiri menurut Kepala Pusat BLU Pusat P2H cukup tinggi. Sehingga ketersediaan dana untuk mengirimkan peserta pelatihan atau menyelenggarakan pelatihan secara mandiri menjadi kendala.
23
3.2
Kinerja Penilaian Proposal Penilaian proposal merupakan salah satu prosedur yang harus dilalui
sebelum persetujuan prinsip penyaluran PDB HTR dikeluarkan, hal ini dilakukan untuk mengurangi salah pilih penerima pinjaman.
Evaluasi proposal
menunjukkan tahapan kegiatan yang dilakukan oleh BLU Pusat P2H dalam upaya menentukan penerima pinjaman yang tepat. Adapun tahapan kegiatan dan jumlah koperasi yang diterima, ditolak ataupun ditunda selengkapnya pada Tabel 4. Tabel 4
Kinerja evaluasi proposal oleh BLU Pusat P2H (November 2011)
no Status Kegiatan 1 Cek Administrasi : pengecekan seluruh persyaratan administrasi 2 Melengkapi Administrasi : calon debitur melengkapi kekurangan syarat administrasi. 3 Tolak Administrasi : permohonan ditolak karena syarat adm tidak terpenuhi. 4 Penilaian Kelayakan : penilaian kelayakan berdasarkan proposal yang diajukan 5 Cek Lapangan : verifikasi & klarifikasi hasil penilaian adm dan kelayakan proposal 6 Ditolak : proposal ditolak 7 Persetujuan prinsip : pembuatan persetujuan prinsip 8 Akad Kredit : pelaksanaan Akad Kredit 9 Penyaluran : telah dilakukan penyaluran dana bergulir 10 Jumlah
Sumber: BLU Pusat P2H, 2011
Kop
KTH
Jml
-
-
-
2
56
58
-
2
2
-
2
2
4 6
42 6 9 18 135
42 6 9 22 141
Untuk calon penerima pinjaman yang aplikasinya ditunda, disetujui atau ditolak, ada beberapa penjelasan yang diberikan oleh pemberi pinjaman. Calon penerima pinjaman yang aplikasinya ditunda akibat ada kecurigaan dari pemberi pinjaman bahwa penerima pinjaman
akan melakukan ingkar janji, hal yang
menjadi pertimbangan pemberi pinjaman adalah: (a) anggota KTH tidak mengetahui batas areal IUPHHK-HTR sebagaimana tercantum dalam SK IUPHHK HTR, sehingga ada kecurigaan petani hanya dimanfaatkan namanya, (b) anggota KTH belum memahami rincian perubahan HTR sebagaimana tercantum dalam proposal pinjaman (ketentuan tanggung renteng, peraturan kelompok), ada kecurigaan pihak
yang membuat
proposal
adalah
orang
yang paling
berkepentingan, dan petani hanya digunakan sebagai pelengkap persyaratan (staf BLU Pusat P2H, di Jakarta pada September 2011).
24
Untuk calon penerima pinjaman yang disetujui, terdapat beberapa alasan diantaranya: (a) anggota KTH yang hadir dalam pertemuan dominan, dan paham apa yang mereka dan kelompoknya lakukan, dan (b) areal IUPHHK HTR yang diterbitkan, seluruhnya berada dalam areal pencadangan. Dalam kondisi tersebut pertimbangan yang dilakukan oleh pemberi pinjaman cukup sederhana yaitu dominasi yang hadir dan pemahaman anggota kelompok terhadap pekerjaan HTR serta verifikasi kebenaran anggota tersebut kepada kepala desa bahwa yang bersangkutan adalah benar merupakan penduduk di wilayahnya sesuai yang tercantum di KTP4, tanpa adanya pertimbangan karakter dan kapasitas dari calon penerima pinjaman yang akan mempengaruhi pengelolaan areal HTR dan pengembalian dana PDB HTR. Sedangkan untuk calon penerima pinjaman yang ditolak 5, adalah: (a) anggota KTH atau lokasi KTH saling tertukar (tidak sama antara lokasi di peta lampiran IUPHHK-HTR dengan lapangan, (b) anggota KTH berkeberatan dengan lokasi HTR sesuai peta lampiran IUPHHK-HTR karena tidak sama dan berjauhan dengan lokasi pemukiman dan lahan garapannya, (c) anggota KTH tidak menunjukkan keinginan yang kuat untuk membangun HTR, tidak paham dengan ketentuan pinjaman, aturan kelompok dan rencana HTR, serta tidak bersedia hadir pada pertemuan dengan tim cek lapangan dari BLU Pusat P2H, (d) kondisi fisik lapangan kurang mendukung (sebagian besar berbatu dan aksesibilitasnya rendah sehingga diperkirakan akan menghambat proses pembangunan HTR dan pemasaran hasil HTR, (e) areal IUPHHK HTR yang diterbitkan Bupati tidak sesuai dengan lokasi yang dimohonkan, atau masuk ke desa lain, dan (f) kondisi lokasi IUPHHK HTR yang diterbitkan oleh Bupati sebagian besar berada pada areal dengan kelerengan curam dan sangat curam. Berdasarkan pertimbangan tersebut para anggota KTH diminta BLU Pusat P2H untuk melakukan revisi IUPHHK HTR. Biaya untuk menverifikasi dan mendata ulang calon penerima pinjaman otomatis meningkat, demikian pula biaya yang harus dikeluarkan oleh calon penerima PDB HTR untuk merevisi IUPHHK HTR dan revisi administrasi permohonan PDB HTR juga ikut meningkat, dengan demikian upaya memperoleh 4 Kepala Sub Bidang Analisa Pinjaman di Jakarta pada November 2011 5 Nota Dinas Kepala Pusat BLU Pusat P2H No.27/P2H-2/2011 kepada Menteri Kehutanan, tanggal 17 Maret 2011
25
informasi yang sepadan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman telah menimbulkan biaya transaksi tinggi. 3.3
Evaluasi Kinerja Terdapat beberapa indikator keberhasilan kinerja debitur BLU Pusat P2H
dalam membangun HTR yang dibiayai dengan pinjaman PDB HTR, yaitu: (1) dapat mengembalikan PDB HTR secara tepat waktu dan jumlah, (2) dapat membangun HTR rotasi berikutnya, (3) memenuhi kewajiban kewajiban administratif (iuran kelompok maupun kewajiban terhadap negara), dan (4) memperoleh keuntungan yang wajar (BLU Pusat P2H 2011). Metode evaluasi penerima pinjaman sampai saat ini masih diperdebatkan. BLU Pusat P2H telah mengupayakan beberapa cara untuk menemukan metode evaluasi yang paling efektif (prosesnya akuntabel, transparan, hasilnya akurat sebagai dasar pengambilan keputusan) dan efisien (prosesnya reatif mudah, murah, cepat), termasuk melakukan lokakarya (workshop) tanggal 15 sampai 16 September di Yogyakarta) dengan beberapa narasumber, dan penggunaan konsultan. Namun semua upaya tersebut belum menemukan titik temu6. Metode evaluasi menggunakan sampel baik sampel KTH maupun areal evaluasi, banyak ditentang oleh para pakar, hal ini mengingat kinerja penerima pinjaman tidak bisa disamakan antara satu penerima pinjaman dengan penerima pinjaman yang lain sehingga perlu sensus, sementara biaya untuk melakukan sensus sangat tinggi dan waktu yang dibutuhkan sangat lama.
Terdapat beberapa kelemahan metode
penarikan contoh (sampling) untuk metode evaluasi kinerja penerima pinjaman menurut Nugroho (2011 b), yaitu: (1) informasi yang diperoleh adalah rata-rata populasi, sementara akad kredit dilakukan individual, (2) kinerja rata-rata tidak dapat digunakan sebagai bahan evaluasi kelanjutan pinjaman yang dilakukan secara individual, (3) gagal bayar terkait dengan kemampuan, motivasi, kejujuran, dan lain-lain tidak dapat dirata-ratakan Metoda evaluasi yang tepat perlu ditemukan untuk mengurangi ketidaksepadanan informasi antara penerima dan pemberi pinjaman sehingga resiko ingkar janji dapat dikurangi. Pada umumnya pihak penerima pinjaman menguasai 6
Kepala Sub Bidang Evalusi Pinjaman BLU Pusat P2H di Jakarta pada September 2011.
26
informasi tentang keragaan (work effort), keinginan-keinginan (preferences) dan motivasi (motives) yang ada pada dirinya, sedangkan informasi tentang keragaan, keinginan dan motivasi penerima pinjaman yang dimiliki oleh pemberi pinjaman umumnya sangat terbatas (Nugroho 2011a) sehingga diperlukan metode evaluasi yang sesuai dengan karakteristik PDB HTR. BLU Pusat P2H (2011) menyatakan bahwa metode evaluasi kinerja debitur terbentur dengan karakteristik lapangan HTR, yaitu: (1) belum dilakukan pengukuran/pemetaan areal kerja IUPHHK HTR (belum diketahui batas areal kerja dan petak, kondisi penutupan lahan (land cover), penanaman dengan pola pengkayaan (tanaman tersebar tidak teratur), (3) khusus KTH: (a) petak tanaman tersebar, (b) penanaman per debitur kecil (1 sampai 2 Ha), dan (c) jumlah debitur banyak, (4) tenaga evaluator BLU Pusat P2H terbatas, tidak ada perwakilan di lapangan, dan (5) lokasi areal HTR tersebar dan agak sulit dijangkau. Rancangan metode evaluasi yang dibuat oleh BLU Pusat P2H dalam lokakarya tersebut adalah sebagai berikut: (1) masalah kelembagaan meliputi: (a) adanya pertemuan atau rapat anggota atau rapat pengurus, (b) adanya rencana kerja KTH, (c) adanya surat kesepakatan antara penggarap lahan dengan pemegang IUPHHK HTR dalam hal pengelolaan HTR, (d) kepemilikan fotocopy struktur organisasi, dan (e) memiliki buku besar, neraca, neraca harian dan lainlain untuk pelaporan, (2) manajemen pembangunan HTR yang meliputi: (a) adanya gubuk kerja permanen, (b) adanya kegiatan terkait pembangunan HTR saat dilakukan evaluasi, (c) adanya persemaian tanaman HTR untuk KTH, (d) pembangunan HTR dilakukan oleh sebagian besar anggota KTH, dan (e) adanya pemetaan partisipatif areal kerja seperti adanya pal batas IUPHHK HTR masingmasing anggota, (3) tingkat keberhasilan tanaman dibagi menjadi kategori baik, cukup, sedang, dan sangat kurang.
Angka yang menjadi tolok ukur tingkat
keberhasilan masih diperdebatkan. Bobot nilai antara masalah kelembagaan, manajemen pembangunan HTR, dan tingkat keberhasilan tanaman adalah 10:10:80. Menurut Nugroho (2011 b), evaluasi kinerja penerima pinjaman PDB HTR harus mencakup beberapa hal sehingga resiko ingkar janji dan gagal bayar dapat dikurangi, yaitu: (1) evaluasi penggunaan PDB HTR
meliputi tanda terima
27
pinjaman dan bukti fisik kegiatan (kecocokan antara komponen biaya dengan aktifitas di lapangan), (2) prospek pengembalian dilihat dari sudut hutan tanaman yang dibangun dengan dana PDB HTR, (3) tanaman lain yang dapat menunjang pengembalian pinjaman, (4) pengelolaan dana PDB HTR secara hati-hati oleh penerima pinjaman, (5) dukungan kelembagaan PDB HTR yang dibangun oleh KTH dan koperasi dalam pengembalian pinjaman secara tepat waktu dan jumlah, (6) kebijakan peraturan pemerintah pusat dan daerah yang memperkuat atau melemahkan kemampuan pengembalian oleh penerima pinjaman, dan (7) identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang mendukung pengembalian PDB HTR. Namun metoda evaluasi menurut Nugroho (2011b) paling tidak harus mencakup 2 hal yaitu evaluasi terhadap proses dan output, dengan maksud: (1) penilaian terhadap proses dimaksudkan sebagai
bahan untuk perbaikan dan
pembinaan, mengambil langkah langkah penjadwalan ulang, menjawab persoalan pemberi dan penerima pinjaman, dan (2) penilaian terhadap output sebagai bahan untuk penetapan bentuk sanksi (punishment). Meskipun
bentuk
evaluasi
kinerja
penerima
pinjaman
masih
diperdebatkan, namun evaluasi tahun pertama untuk mengukur kinerja 2 koperasi yaitu: Koperasi X dan Koperasi Y telah dilakukan dengan menggunakan metoda penarikan contoh (sampling). Hasil evaluasi yang dilakukan oleh BLU Pusat P2H menunjukkan bahwa Koperasi X belum melakukan penananam, dana PDB HTR yang diterima untuk 24 Ha dipergunakan untuk mengurus masalah hukum pada areal IUPHHK HTR miliknya sehingga Koperasi X tidak berhak untuk memperoleh dana PDB HTR tahun ke-2 dan tahun pertama untuk blok berikutnya karena adanya ingkar terhadap kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu penanaman. Sedangkan hasil evaluasi untuk Koperasi Y menunjukkan bahwa pada bulan November 201I (hampir satu tahun setelah telah dilakukan akad kredit) baru dilakukan penanaman untuk 30 Ha, sedangkan 20 Ha sisanya belum ada aktivitas pembangunan HTR, sehingga Koperasi Y memperoleh dana PDB HTR tahun ke-2 untuk 30 Ha, sedangkan 20 Ha sisanya tidak dibiayai. Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa telah terjadi ingkar janji dari penerima PDB HTR terhadap ketentuan dalam kesepakatan pinjaman (offering letter) dan
28
akad kredit, karena dana PDB HTR digunakan untuk kegiatan selain pembangunan HTR7. 3.4
Kinerja Pengembalian Kinerja pengembalian belum dapat dievaluasi karena PDB HTR baru
tersalur selama satu tahun dan belum jatuh tempo. 3.5
Sintesis Kinerja PDB HTR Lambatnya penyaluran PDB HTR hakekatnya disebabkan karena
panjangnya prosedur yang harus dilalui untuk memperoleh IUPHHK HTR sebagai salah satu syarat untuk memperoleh PDB HTR, dan lamanya waktu yang diperlukan untuk melakukan verifikasi lapangan serta verifikasi calon penerima PDB HTR.
Selain itu rendahnya kinerja penyaluran PDB HTR akibat
ditemukannya: (1) ketidaksesuaian antara IUPHHK HTR dengan areal pencadangan, (2) areal IUPHHK HTR yang tidak sesuai untuk pengembangan HTR, (3) adanya kecurigaan dari pemberi pinjaman atas motivasi calon penerima pinjaman, (4) administrasi pemohon yang tidak lengkap, dan (5) masih banyak revisi peraturan-perundangan dari Kementerian Kehutanan yang berkaitan dengan mekanisme penyaluran.
Akibatnya banyak terjadi ketidaksesuaian antara
dokumen yang diajukan oleh calon penerima pinjaman dengan kondisi lapangan menyebabkan terjadi penolakan atas penyaluran PDB HTR oleh BLU Pusat P2H. Ketidaksesuaian dokumen dengan kondisi lapangan merupakan fenomena tidak adanya koordinasi yang baik antar unit di bawah Kementerian Kehutanan, maupun dengan Pemerintah Daerah. Dalam hal ini pemberi pinjaman berupaya untuk memperkecil ketidaksepadanan informasi yang dimilikinya melalui verifikasi administrasi, kondisi lapangan dan calon penerima pinjaman. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk mengurangi perilaku ingkar janji dan salah pilih penerima pinjaman, namun upaya tersebut belum berhasil karena berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh internal BLU Pusat P2H ditemukan adanya perilaku ingkar janji dari penerima dana PDB HTR. Munculnya perilaku ingkar janji merupakan wujud ketidaksepadanan informasi yang dimiliki oleh pemberi dan penerima pinjaman. Hal ini sejalan 7
Wawancara dengan staf BLU Pusat P2H di Jakarta pada November 2011
29
dengan pendapat Eisenhardt (1989); Gibbons (2005) bahwa dalam suatu hubungan agensi, kedua pihak (pemberi dan penerima pinjaman) akan berupaya memaksimumkan utilitasnya dengan asas saling menguntungkan. Namun karena salah satu pihak (khususnya penerima pinjaman) menguasai informasi yang lebih baik, sehingga terdapat resiko atau kemungkinan perilaku oportunis salah satu pihak untuk tidak selalu bertindak guna kepentingan pihak lain.
Situasi ini
menimbulkan munculnya godaan bagi satu atau lebih pelaku (khususnya penerima pinjaman) untuk berperilaku menyimpang dalam rangka memaksimumkan kesejahteraan-nya sendiri. Faktanya pemberi pinjaman tidak pernah tahu dengan penerima pinjaman mana seharusnya hubungan agensi dilakukan 8.
Pemberi
pinjaman tidak dapat mengamati secara sempurna perilaku yang dilakukan oleh penerima pinjaman serta bagaimana isi kontrak seharusnya dibuat (Maskin 2001). Solusinya adalah memformulasikan suatu mekanisme insentif berdasarkan ketersediaan dan keseimbangan informasi, manfaat dan nilai-nilai yang dimiliki oleh pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Insentif dapat mempengaruhi keputusan dan mengubah perilaku para pelaku ekonomi dengan menggunakan pertimbangan finansial atau non-finansial (Prihadi 2010). Upaya menjamin penerima pinjaman melakukan tindakan optimal guna kepentingan pemberi pinjaman adalah tidak mungkin tanpa biaya, sedangkan konflik kepentingan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman selalu terjadi.
Mekanisme
pemberian jasa dan pengawasan memerlukan biaya agensi atau agency costs (Jensen dan Meckling 1986). Biaya agensi diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan para pelaku yang bekerjasama untuk mengawasi atau meyakinkan pelaku lainnya. BLU Pusat P2H didirikan untuk mendukung keberhasilan hutan tanaman melalui fasilitasi pembiayaan pembangunan Hutan tanaman yang dilakukan oleh masyarakat. Salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh BLU Pusat P2H adalah mempercepat terealisasinya pelaksanaan pembiayaan pembangunan hutan tanaman yang tepat lokasi, tepat pelaku, tepat kegiatan, tepat penyaluran dan 8
Kesalahan memilih penerima pinjaman terindikasi sudah terjadi karena pemilihan Koperasi X dan Koperasi Y keduanya terbukti memiliki IUPHHK HTR yang lahannya bermasalah atau terjadi sengketa dengan penduduk yang sudah mengokupasi lahan, sehingga Kepala Bidang Analisa dan Evaluasi BLU Pusat P2H di Jakarta pada 17 Oktober 2011 menyatakan bahwa “HTR bukannya menjadi resoluasi konflik malah menambah konflik”.
30
pengembalian PDB HTR. Tujuan BLU Pusat P2H tersebut belum tercapai. Indikasi tidak tercapainya tujuan BLU Pusat P2H adalah: 1. Tepat lokasi.
BLU Pusat P2H belum tepat dalam memastikan lokasi
penerima dana PDB HTR yang bebas dari konflik, hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa penerima dana PDB HTR tahun 2010 yaitu Koperasi X dan Koperasi Y keduanya tidak bebas dari konflik penggunaan lahan dengan masyarakat yang sudah melakukan okupasi lahan terlebih dahulu, walaupun secara hukum koperasi tersebut pemegang hak yang sah sebagaimana yang tercantum dalam IUPHHK HTR. 2. Tepat pelaku. BLU Pusat P2H belum tepat dalam memilih pelaku atau penerima PDB HTR karena dari 2 koperasi yang sudah di pantau dan di evaluasi
semuanya tidak terbebas dari konflik9 sesuai dengan yang
tercantum dalam Ketentuan Pinjaman PDB HTR angka 3 huruf e yang dikeluarkan oleh BLU Pusat P2H kepada calon peminjam sebelum akad kredit dilakukan, namun secara prinsip sudah disetujui, dengan demikian BLU Pusat P2H kurang tepat memilih penerima pinjaman PDB HTR 3. Tepat kegiatan. Dana PDB HTR yang disalurkan oleh BLU tidak digunakan untuk melakukan penananam oleh penerima PDB HTR melainkan digunakan untuk mengurus
sengketa hukum dengan
masyarakat yang ada di lokasi PDB HTR (ketentuan pinjaman angka 8 huruf a), dengan demikian penerima pinjaman telah melakukan perilaku ingkar janji, dan 4. Tepat penyaluran dan pengembalian. Walaupun belum terbukti tentang kemampuan
kedua
koperasi
atau
penerima
pinjaman
dalam
mengembalikan dana PDB HTR yang sudah tersalur, namun sudah terindikasi, paling tidak salah satu dari ke-2 penerima pinjaman tersebut akan kesulitan mengembalikan dana
PDB HTR karena uang yang
diterima pada tahap 1 tidak dipergunakan untuk melakukan penanaman seperti yang diatur dalam akad kredit melainkan untuk penggunaan lain seperti mengurus masalah hukum.
9
Surat dari Kepala Pusat BLU Pusat P2H untuk Inspektorat Jenderal Kementerian Kehutanan, No S.489/P2H-2/2011 tanggal 12 Agustus 2010