Kesejahteraan Rakyat atas Papan Akselerasi Pemenuhan Kebutuhan Papan Kerja sama antara Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dengan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
2012 1
TIM BUKU Pengarah Indroyono Soesilo, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Adang Setiana, Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat Panut Mulyono, Dekan Fakultas Teknik UGM ♦ Penanggung Jawab Nyoman Shuida, Asisten Deputi Urusan Perumahan dan Permukiman Bakti Setiawan, Ketua Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM ♦ Penulis Budi Prayitno Alfredo Sani Fenat Mahditia Paramita ♦ Penyunting Endang Sri Rahayu Erlia Rahmawati Endah Dwi Fardhani Galih Prasetyo Hellatsani Widya Ramadhani Pratiwi Utami ♦ Tata Grafis Lailia Rachmani Yuhendra ♦ ISBN : 978-602-9476-23-1 KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2012
2
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
SAMBUTAN
SEKRETARIS KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh, Salam sejahtera untuk semua,
Kondisi pembangunan perumahan di Indonesia berada pada tataran krisis sehingga perlu mendapat perhatian serius dari seluruh pemangku kewajiban. Hal ini tergambar dari terdapatnya jumlah kekurangan rumah (backlog) yang terus meningkat sekitar 700.000 rumah setiap tahunnya. Demikian pula dengan luasan kawasan kumuh yang terus meningkat dari sekitar 54.000 ha pada tahun 2004, telah mencapai 57.000 ha pada tahun 2009. Menurut prediksi UN Habitat (2007), seiring dengan kenaikan urbanisasi, diperkirakan sekitar 2 juta masyarakat perkotaan di Indonesia akan tinggal di kawasan kumuh pada 2030. Data dan proyeksi tersebut memicu pesimisme terhadap misi pemerintah yang menargetkan bahwa pada tahun 2020 seluruh kota di Indonesia bebas kumuh. Meskipun krisis tersebut terjadi dan diketahui banyak pihak, namun pembangunan perumahan terkesan berjalan seadanya tanpa diiringi de ngan sense of crisis. Ini karena sektor perumahan selama ini mungkin belum mendapat prioritas pembangunan sehingga anggaran yang dialokasikan untuk sektor ini relatif rendah dan para pemangku kewajiban kurang memberikan fokus dan perhatian yang memadai terhadap sektor ini. Karena rumah merupakan kebutuhan pokok, maka sudah selayaknya rumah diletakkan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dinikmati oleh semua warganegara tanpa kecuali, terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang selama ini kesulitan mengakses rumah. Pendekatan berbasis hak (right-based paradigm) inilah yang selama ini absen dalam setiap upaya intervensi di bidang perumahan.
3
Rumah selayaknya dijadikan sebagai satu dari prioritas utama pembangu nan karena mampu memberikan multiplier effect, baik bagi penghuni rumah maupun pembangunan nasional secara keseluruhan. Dari perspektif ekonomi misalnya, sektor perumahan mampu menggerakkan tidak kurang dari 120 industri yang terkait dengan perumahan. Selain itu, mengingat rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, maka ketiadaan penanganan yang serius terhadap krisis perumahan akan menjadi ancaman bagi pembangunan dan ke tahanan nasional, yang pada akhirnya akan memicu ketidakstabilan nasional. Buku ini berusaha memaparkan secara komprehensif tantangan dan peluang yang dihadapi dalam mewujudkan pembangunan perumahan berbasis hak, juga langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mewujudkannya. Langkahlangkah tersebut dipertimbangkan dengan terukur melalui rangkaian tahapan peta jalan (roadmap), yang setiap tahapan mengeksplorasi dimensi-dimensi krusial dari sektor perumahan, baik dalam tataran regulasi, kelembagaan, pendanaan, dan sebagainya. Peta jalan yang ditawarkan tersebut bukanlah rumusan tunggal yang dipreskripsikan untuk seluruh wilayah Indonesia. Mengingat luasnya wilayah Indonesia serta beragamnya karakter penduduk dan permasalahan perumahan yang dihadapi oleh setiap daerah, maka peta jalan sengaja didesain dalam suatu kerangka dasar yang fleksibel dan memberikan ruang bagi beberapa opsi housing system. Apabila rekomendasi dan pertimbangan yang dimuat dalam buku ini dijadikan sebagai pegangan bagi para pembuat kebijakan dan pemangku kepenting an lainnya secara konsekuen, maka kita dapat optimis bahwa krisis yang melanda sektor perumahan saat ini akan segera teratasi. Rumusan di dalamnya bersifat visioner, sehingga melampaui keprihatinan akan krisis dalam tataran kuantitatif melainkan bergerak menuju pembangunan perumahan yang lebih substantif berupa peningkatan kualitas dan keragaman mode rumah. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Jakarta, Oktober 2012 Sekretaris Kemenko Kesra
Indroyono Soesilo
4
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera untuk semua, Rumah adalah objek yang dibutuhkan oleh semua warga sebagai tempat berlin dung dan berkeluarga. Namun lebih daripada kebutuhan yang sifatnya pragmatis fungsional tersebut, rumah sesungguhnya juga merupakan objek yang memiliki makna simbolis yang tinggi. Rumah adalah tempat di mana manusia berakar dan menambatkan identitasnya. Ini menunjukkan, bahwa rumah memiliki makna eksistensial yang sangat dalam; rumah menjadi simbol dari sumber rasa kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan. Ironisnya, banyak pihak yang seolah lupa dengan manfaat rumah yang kaya bagi kehidupan nasional tersebut. Kelupaan dan pengabaian ini terjadi bahkan ketika pembangunan perumahan di Indonesia mengalami krisis berupa ba nyaknya jumlah backlog dan permukiman kumuh. Selain akibat tidak diberikannya prioritas, energi, dan fokus yang cukup bagi sektor perumahan, ketersendatan dalam pembangunan perumahan juga diakibatkan oleh karena belum adanya tata kelola yang mapan dan efektif dalam delivery kebijakan. Ini ditandai dengan kurangnya koordinasi antar kementerian/ lembaga (K/L), dimana masing-masing K/L seolah berjalan sendiri-sendiri. Selain itu, belum ada pula pembagian tugas (role sharing) yang jelas dan tegas di antaranya. Dengan kata lain, belum tersedia sistem kebijakan perumahan yang terpadu, integratif, dan koheren. Dalam kondisi demikian, kita patut bersyukur dengan diluncurkannya buku ini. Semoga buku ini hadir sebagai jawaban atas apa yang dibutuhkan selama ini, yaitu pegangan dan panduan yang jelas dan komprehensif tentang percepatan dan peningkatan kinerja pembangunan perumahan. Memang, buku tersebut bukan panacea atau obat yang mujarab untuk mengatasi segala masalah. Namun demikian, buku tersebut setidaknya mampu menjadi panduan dasar yang mengerangkai kebijakan perumahan di masa depan agar lebih efektif dan berhasil.
5
Kami mengapresiasi tim penyusun buku beserta pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunannya, di antaranya seluruh peserta dari rangkaian diskusi, karena kami menyadari bahwa penyusunan buku tersebut bukanlah hal yang sederhana. Membuat analisis kebijakan tentang perumahan merupakan kerja yang multidimensi karena melibatkan lintas aktor, lintas disiplin, dan lintas sektor juga membutuhkan usaha, energi, dan dana yang tidak sedikit. Selamat atas diluncurkannya buku ini. Kami harapkan para pemangku kepentingan dapat menjadikan buku yang ada sebagai acuan dalam bertindak dan melakukan evaluasi dalam pembangunan perumahan. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Jakarta, November 2012
Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat
Adang Setiana
6
DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN___8 PROLOG ___11 BAB I PARADIGMA DAN AKSELERASI KEBIJAKAN PERUMAHAN__13 A. B. C. D. E.
Paradigma Kebijakan Perumahan Berbasis Hak___14 Periodisasi Pemenuhan Hak atas Papan___18 Kebijakan Perumahan di Luar Negeri ___35 Benchmark Kebijakan Perumahan di Indonesia___52 Akselerasi Pembangunan Perumahan___54
BAB II SISTEM PERUMAHAN BERPARADIGMA NEGARA KESEJAHTERAAN___57 A. B. C. D. E.
Negara Kesejahteraan dan Kebijakan Sosial___58 Dampak Ekonomi Negara Kesejahteraan___63 Tiga Model Negara Kesejahteraan___64 Prinsip Pemberian Subsidi___68 Desain Sistem Perumahan___71
BAB III PEMBIAYAAN PERUMAHAN___75 A. B. C. D. E.
Pembiayaan bagi Kebijakan Sosial ___76 Tipe-tipe Subsidi dan Inovasi Pembiayaan Perumahan___80 Pembiayaan Perumahan di Indonesia___82 Pembiayaan Berbasis Komunitas ___84 Desain Pembiayaan Perumahan ___88
BAB IV PENYEDIAAN TANAH UNTUK PERUMAHAN___91 A. B. C. D. E.
Tanah dan Rumah ___92 Fungsi Sosial Tanah dan Land Reform___94 Tantangan Pembangunan Perumahan di Perkotaan ___95 Bank Tanah dan Community Land Trust___98 Desain Penyediaan Tanah untuk Perumahan ___109
BAB V PETA JALAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI INDONESIA___115 A. B. C.
Peta Jalan Kebijakan Perumahan ___116 Kerangka Sistem Kebijakan Perumahan ___130 Strategi Implementasi Kebijakan Perumahan ___135
EPILOG ___138 DAFTAR PUSTAKA ___140
7
DAFTAR SINGKATAN
8
ADB
Asian Development Bank
APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Apersi
Asosiasi Pengembang Permukiman Seluruh Indonesia
AS
Amerika Serikat
Bapertarum
Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil
BIC
Building Information Centre
BKPN
Badan Kebijakan Perumahan Nasional
BKP4N
Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional
BLU
Badan Layanan Umum
BMN/D
Barang Milik Negara/Daerah
BPJS
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BPN
Badan Pertahanan Nasional
BPS
Badan Pusat Statistik
BTN
Bank Tabungan Negara
BUMN
Badan Usaha Milik Negara
CODI
Community Organizations Development Institute
CLT
Community Land Trust
CPF
Central Provident Fund
CSR
Corporate Social Responsibility
DPRD
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DUHAM
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
FLPP
Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan
GBHN
Garis Besar Haluan Negara
GHLC
Government Housing Loan Corporation
GNPPS
Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat
GNPSR
Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah
GTZ
Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit
HAM
Hak Asasi Manusia
DAFTAR SINGKATAN
HDB
Housing Development Board
HPF
Housing Provident Fund
ILO
International Labor Organization
IUIDP
Integrated Urban Infrastructure Development Programme
Jamsostek
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
JIEP
Jakarta Industrial Estate Pulogadung
Kemenpera
Kementerian Perumahan Rakyat
Kepres
Keputusan Presiden
KIP
Kampung Improvement Programme
KNHC
Korea National Housing Corporation
KPR
Kredit Perumahan Rakyat
KSB
Kapling Siap Bangun
KTP
Konsolidasi Tanah Perkotaan
LPMB
Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan
LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat
MBM
Masyarakat Berpenghasilan Menengah
MBR
Masyarakat Berpenghasilan Rendah
MBT
Masyarakat Berpenghasilan Tinggi
MCK
Mandi Cuci Kakus
MDGs
Millennium Development Goals
MK
Mahkamah Konstitusi
ODA
Official Development Assistance
PBB
Perserikatan Bangsa-Bangsa
Perda
Peraturan Daerah
PHA
Public Housing Authorities
PKRLT
Program Konstruksi Rumah Lima Tahunan
PNS
Pegawai Negeri Sipil
PPN
Pajak Pertambahan Nilai
9
10
PSU
Pusat Sarana Umum
PTKU
Pengadaan Tanah Pembangunan Kepentingan Umum
REI
Real Estate Indonesia
Rusun
Rumah Susun
RTRW
Rencana Tata Ruang Wilayah
RPJPN
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
SDA
Sumber Daya Alam
SDM
Sumber Daya Manusia
SIER
Surabaya Industrial Estate Rungkut
SJSN
Sistem Jaminan Sosial Nasional
SKPD
Satuan Kerja Perangkat Daerah
SVO
Stadsvormings Ordonantie
SVV
Stadsvorming Verordening
Tapera
Tabungan Perumahan Rakyat
TWP
Tabungan Wajib Perumahan
UCDO
Urban Community Development Office
UDC
Urban Design Center
UNEP
United Nations Environment Programme
UNICEF
United Nations Children’s Fund
UNESCAP
United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific
UNRHC
United Nations Regional Housing Centre
UNRISD
United Nations Research Institute for Social Development
UPDF
Urban Poor Development Fund
UU
Undang-Undang
UUPA
Undang-Undang Pokok Agraria
UURS
Undang-Undang Rumah Susun
VOC
Vereenigde Oostindische Compagnie
WNI
Warga Negara Indonesia
YKP
Yayasan Kas Pembangunan
YKPP
Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan
PROLOG
Kondisi pembangunan perumahan di Indonesia berada pada tataran krisis. Permasalahan ini perlu mendapat perhatian serius dari seluruh pemangku kepentingan. Tanpa ada penanganan yang serius akan membahayakan, mengingat rumah merupakan kebutuhan primer bagi semua manusia. Jika krisis melanda sektor perumahan, ketahanan nasional akan rapuh sehingga memicu munculnya ketidakstabilan nasional. Mengapa masalah tersebut dapat terjadi? Jawaban tegas yang bisa diberikan adalah fakta bahwa selama ini kebijakan perumahan didekati secara parsial dan jangka pendek, paradigma yang digunakan masih saja tentang suplai, bukan hak masyarakat untuk memiliki tempat tinggal. Tidak ada tahapan yang jelas dalam perencanaan kebijakan perumahan, tidak pula dinaungi suatu desain penciptaan sistem perumahan yang jelas dan terukur. Praktik selama ini, berbagai kementerian dan lembaga terkait mempunyai program perumahan masingmasing sehingga mengakibatkan tumpang tindih, disharmoni, dan mencuatnya ego sektoral. Perubahan atas kondisi tersebut mutlak dilakukan, situasi krisis tidak dapat diatasi hanya menggunakan pendekatan normatif business as usual, apalagi pendekatan berorientasi proyek dan penghabisan anggaran. Pemerintah menemui jalan buntu dalam menangani masalah perumahan, usaha-usaha yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan belum mampu menjawab permasalahan tersebut. Dalam kondisi krisis seperti yang telah diuraikan, maka kehadiran buku ini menjadi penting karena dapat berkontribusi dalam menghadapi permasalahan tersebut. Ide-ide dalam buku ini dijabarkan dalam lima bab yang berkesinambungan. Bab I akan membahas paradigma kebijakan perumahan dan menjabarkan periodisasi masa pemerintahan dalam usahanya menangani perumahan. Dilanjutkan bab II yang membahas tataran paradigmatis yang disebut negara kesejahteraan (welfare state). Dalam paradigma kesejahteraan, kebutuhan rakyat akan perumahan dipandang sebagai bagian dari hak, melekat pada setiap warga negara. Oleh karenanya, paradigma negara kesejahteraan juga akan disebut paradigma berbasis hak (rights-based paradigm). Negara kesejahteraan ditandai oleh kebijakan sosial, negara memberlakukan pajak progresif dan memberi
11
jaminan sosial pada orang miskin. Jaminan diberikan karena negara ingin memenuhi hak-hak dasar rakyatnya. Berbekal paradigma ini, akan disusun suatu penciptaan sistem kebijakan perumahan yang integratif, merentang dari hulu ke hilir, sehingga seluruh tahap an dan elemen dari sistem perumahan (prinsip, norma, regulasi, institusi, mekanisme, pendanaan, pengadaan, dan lain-lain) dapat dilakukan dengan efektif dan harmonis, yang akan dibedah pada bab III dan IV. Untuk mendukung agar sistem tersebut dapat berjalan baik, dibutuhkan pembagian peran (role sharing) yang jelas. Berbagai kementerian dan lembaga terkait perumahan harus bekerja sama dalam semangat sinergitas sektoral, tidak ada lagi kerancuan langkah karena masing-masing memiliki orientasi yang jelas dan spesifik dalam tugas, fungsi, dan wewenang. Dengan demikian, tidak terjadi lagi tumpang tindih dan langkah disharmoni dalam pelaksanaan kebijakan. Maka, pada bab terakhir buku ini akan membahas peta jalan sistem kebijakan perumahan yang pada masing-masing tahapannya merefleksikan proyeksi dan kondisi masa depan pembangunan perumahan di Indonesia, sehingga diharapkan berbagai skema pemicu (trigger) untuk mendorong dilakukannya percepat an pembangunan rumah, khususnya bagi MBR, dapat dilakukan. Kata-kata kunci dalam keseluruhan langkah ini adalah koordinasi, kooperasi, dan konsultasi.
12
PARADIGMA DAN AKSELERASI KEBIJAKAN PERUMAHAN
1
Peran rumah sangat penting dalam menopang kehidupan individu dan keluarga, hingga lembaga seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menobatkan hak akan rumah sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana dicantumkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diumumkan oleh Majelis Umum PBB tanggal 10 Desember 1948, melalui Resolusi 217 A, Pasal 25 Ayat (1). Indonesia, sebagai bangsa beradab memiliki kewajiban untuk menjamin hak asasi seluruh warga negaranya, termasuk hak akan rumah. Perlu dilakukan strategi alternatif untuk menggerakkan pemerintah agar bertindak strategis untuk memenuhi kebutuhan akan Sudahkah papan bagi seluruh warga negara, caranya adalah dengan seluruh memberikan data empiris untuk menunjukkan kondisi objektif dan tingkat kekritisan dari suatu sektor. Tujuannya, warga negara memberikan kesadaran akan krisis (sense of crisis) yang semendapat cara impulsif akan memaksa pemerintah untuk melakukan jaminan tindakan progresif. Untuk itu, perlu dilakukan perbandingan akan papan antara ketentuan dengan praktik, antara yang legal dan yang empiris. Lalu bagaimanakah realitas dari perumahan di Indosebagaimana nesia? Sudahkah seluruh warga negara mendapat jaminan diamanatkan akan papan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan oleh konstitusi berbagai produk hukum?
dan berbagai
Bab ini akan membahas tentang paradigma kebijakan produk hukum? perumahan yang memungkinkan untuk diaplikasikan di Indo nesia, konsep paradigma kesejahteraan bisa menjadi angin segar, prinsip negara kesejahteraan yaitu solidaritas dan perlindungan hak asasi dianggap mampu mengatasi segala masalah perumahan yang terjadi selama ini. Negara kesejahteraan memberikan perhatian serius pada isu perumahan karena salah satu kebutuhan dasar selain pangan dan sandang adalah rumah. Maka dari itu, untuk melihat keseriusan pemerintah Indonesia dalam menjawab masalah perumahan, bab ini akan menjabarkan periodisasi hak akan papan yang selama ini telah dijalankan.
13
A. Paradigma Kebijakan Perumahan Berbasis Hak Sebagai bagian dari bangsa beradab dan negara anggota PBB, Indonesia mempunyai tanggung jawab moral untuk menjamin hak akan rumah bagi warga negaranya, hal ini juga untuk memberi daya afirmatif yang lebih kuat. Negara telah mengundangkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dalam konsiderannya menyebut bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota PBB, mengemban tanggung jawab moral dan hukum, untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan DUHAM, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai HAM yang telah diterima oleh Republik Indonesia. Dalam kaitannya dengan perumahan, Pasal 40 dari UU tersebut bahkan jelas mengatakan: “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.” Pada dasarnya, seruan untuk memberikan hak akan perumahan bagi seluruh rakyat tidak hanya diderivasikan dari konsensus universal akan HAM, yang kemudian secara unilateral dituntutkan kepada seluruh negara di dunia. Para pendiri negara pun sesungguhnya telah memiliki visi serupa, dirumuskan secara mandiri dan berkesadaran, bahkan sebelum dideklarasikannya DUHAM. Terbukti jika menengok pada konstitusi negara, yaitu UUD 1945, dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4, disebutkan bahwa, “Pemerintah Negara Indonesia dibentuk untuk memajukan kesejahteraan umum…” Meski tidak dinyatakan secara eksplisit, namun jelas bahwa yang disebut sebagai kesejahteraan umum salah satu elemennya adalah rumah. Sementara dalam Batang Tubuh, tepatnya Pasal 28 H amandemen ke-4 UUD 1945, di nyatakan bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Sayangnya, pelaksanaan di lapangan selama ini acap kali berbeda dengan tuntutan dan kewajiban yang telah tertuang secara normatif dan legal. Sebagai norma fundamental (grundsnorm), dokumen-dokumen induk semacam itu wajar untuk dikutip dan dirujuk sebagai legitimasi dan justifikasi, sebagai penyokong hampir semua isu. Akibatnya, karena rumusan normatif yang termuat dalam dokumen-dokumen tersebut terlalu sering diwacanakan tanpa adanya tindak lanjut, maka tidak mampu menggerakkan pemangku kepentingan, terutama pemerintah, untuk melakukan tindakan serius. Kinerja pembangunan perumahan di Indonesia selama ini masih belum memuaskan, baik dari sisi kebutuhan maupun pasokan. Berdasarkan data BPS tahun 2012, dari sisi kebutuhan, data menunjukkan bahwa jumlah kekurangan rumah (backlog) setiap tahun semakin meningkat, yaitu dari 5,8 juta unit pada 2004 menjadi 7,4 juta unit tahun 2009, dan mencapai 13,6
14
juta unit pada 2010. Setiap tahun, jumlah permintaan rumah meningkat sebanyak 900.000 dengan kemampuan membangun yang hanya 200.000 sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap tahun jumlah backlog meningkat sebanyak 700.000, maka tahun ini diperkirakan jumlah tersebut telah mencapai 15 juta. Selain itu, data lain yang menunjukkan buruknya kondisi perumahan di Indonesia, yakni jumlah luasan kawasan kumuh yang terus meningkat. Pada tahun 2004, luas kawasan kumuh sekitar 54.000 ha dan tahun 2009 telah mencapai 57.000 ha. Tren kenaikan ini terus akan terjadi ke depannya, sesuai prediksi BPS bahwa urbanisasi akan mencapai 68% pada tahun 2025. UN Habitat (2007) pun memperkirakan, tidak kurang dari dua juta masyarakat perkotaan di Indonesia akan tinggal di kawasan kumuh pada 2030. Masih banyaknya jumlah backlog dan kawasan kumuh adalah konsekuensi nyata dari problem pembangunan yang lebih luas, yakni urbanisasi dan gagalnya redistribusi pendapatan. Urbanisasi muncul karena pemerintah belum maksimal untuk melakukan pemerataan pembangunan antara wilayah perkotaan dengan pedesaan. Sayangnya, kecenderungan ini diperkirakan akan semakin mencolok di masa depan. Berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), urbanisasi akan mencapai 68% pada 2025. Sementara itu, gagalnya redistribusi pendapatan adalah efek dari kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada sektor riil ekonomi rakyat dan penciptaan struktur ekonomi, sehingga memicu lebarnya kesenjangan antarkelas. Pada gilirannya, ini membuat daya beli Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) stagnan, mereka tetap tidak mampu membeli rumah meski pun butuh, sehingga tinggal di kawasan kumuh menjadi satu-satunya solusi. Senada dengan perkiraan UN Habitat (2007) bahwa pada tahun 2030, dua juta masyarakat perkotaan di Indonesia akan tinggal di kawasan kumuh. Sedangkan pada sisi pasokan, problem yang dihadapi adalah pemerintah kurang mengembangkan jenis-jenis kebijakan yang bervariasi dan progresif. Jika itu dilakukan, maka dapat merangsang perbaikan kinerja aktor di sisi suplai seperti pengembang, misalnya melalui pemberian kredit konstruksi yang lebih besar atau insentif perizinan dan perpajakan. Dengan melihat data dan fakta yang terjadi pada bidang perumahan tersebut, dapat dikatakan bahwa perumahan adalah sektor pembangunan yang tingkat kekritisannya sudah masuk level sangat kritis. Untuk itu, tidak ada cara lain selain pemerintah harus melakukan langkah-langkah inovatif secara cepat namun tetap terencana. Apabila pendekatan dan sikap dalam menyikapi perumahan yang ada selama ini tidak diubah maka keadaan akan bertambah parah, pada titik yang paling ekstrem akan menimbulkan kere-
15
sahan sosial dalam skala masif, yang mampu menciptakan ketidakstabilan nasional. Sebagai langkah awal untuk meretas pendekatan baru dalam menangani masalah perumahan, perlu dilakukan pemahaman persepsi dan kesadaran bersama bahwa isu perumahan sejatinya merupakan isu besar yang kompleks. Terdapat keterkaitan antarsektor yang seringkali memberikan pengaruh secara tak terduga pada sektor perumahan. Dengan pemahaman ini di tangan, maka sudah seharusnya apabila pemerintah mendekati problem perumahan dalam cara pandang yang holistik dan komprehensif. Artinya, kebijakan perumahan hendaknya tidak didekati secara parsial dan isolatif, melainkan perlu memperhatikan kondisi kompleks yang berada di luar sistem perumahan. Untuk itu, dibutuhkan koordinasi lintas kementerian dan kerja sama lintas aktor yang dilakukan secara terpadu.
Untuk mewujudkan pembangunan sistem perumahan yang terintegrasi dan berjangka panjang, langkah pertama yang harus diambil adalah menentukan paradigma yang tepat.
Untuk melakukan hal tersebut, dibutuhkan peningkatan dalam hal koordinasi, sinkronisasi, pengendalian, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi. Dalam sektor perumahan, persis hal-hal itulah yang paling dibutuhkan saat ini. Hal ini mengingat bahwa pembangunan perumahan selama ini tidak dilakukan secara sistemik, terencana, terkoordinir, dan terkontrol. Penyebab utama dari hal tersebut adalah cara pandang yang kurang komprehensif atas perumahan, di mana perumahan dipandang sebagai subsektor pembangunan yang dapat ditangani secara parsial. Hal ini perlu diubah karena pandangan demikian menimbulkan berbagai ekses dalam pembangunan perumahan, seperti terjadinya tumpang tindih dan kurang fokusnya masing-masing pihak yang mengurusi perumahan. Konsekuensi lebih lanjutnya, masalah-masalah yang lebih urgen pada sektor perumahan menjadi kurang cepat tertangani. Untuk mewujudkan pembangunan sistem perumahan yang terintegrasi dan berjangka panjang, langkah pertama yang harus diambil adalah menentukan paradigma yang tepat. Ini karena penciptaan sistem kebijakan yang komprehensif dalam bidang apapun harus dipandu oleh suatu paradigma tertentu. Paradigma akan memberikan suatu sistem kebijakan pendasaran filosofis dan konseptual yang jelas. Dengan mengadaptasi pengertian paradigma Thomas Kuhn (1962), paradigma dapat dipahami sebagai kerangka dari konsep-konsep dan prosedur-prosedur tertentu di mana suatu sistem tertentu terstrukturkan secara sistemis. Suatu paradigma tidak memaksakan pendekatan yang rigid dan teknis, melainkan dapat diadopsi secara fleksibel dan kreatif. Dalam konteks kebijakan publik, paradigma kebijakan adalah seperangkat pandangan dan prinsip fundamental yang
16
menjadi acuan dan perspektif dasar dari seluruh elemen, program, dan strategi yang dilakukan untuk menjalankan suatu kebijakan tetentu. Dalam sistem kebijakan perumahan, paradigma tersebut akan digunakan sebagai prinsip pemandu dalam mengoordinasikan, mengarahkan, dan me ngontrol seluruh kementerian dan lembaga yang terkait dengan perumahan demi menjamin agar seluruh langkah yang dilakukan bersifat koheren dan berjalan sesuai dengan jalur paradigma yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, konsep negara kesejahteraan (welfare state) adalah paradigma yang paling tepat untuk memandu penciptaan sistem kebijakan perumahan yang berjangka panjang. Ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, konsep negara kesejahteraan adalah konsep yang paling reliabel dan meyakinkan dalam meresepkan peran-peran apa yang paling tepat dilakukan oleh negara dalam rangka menjamin kesejahteraan seluruh warganya. Hal ini telah dibuktikan tidak hanya dalam tataran teoretis, melainkan juga dalam tataran historis. Secara historis, negara yang menganut sistem ke sejahteraan rakyat adalah negara yang memiliki indikator-indikator kesejahteraan yang memuaskan, dengan distribusi kesejahteraan tersebar secara merata pada seluruh penduduk. Dalam kebangkrutan sistem sosialis dan delegitimasi besarbesaran sistem pasar bebas kapitalisme di era kontemporer, negara kesejahte raan diakui sebagai pilihan yang paling rasional dan prospektif dewasa ini karena mampu menghindari ekses-ekses negatif dari sistem sosialis dan kapitalis tanpa mengorbankan hasrat masyarakat untuk berkembang dan beraktualisasi. Kedua, negara kesejahteraan adalah visi dan ide besar yang selama ini se sungguhnya telah dicitakan dengan jelas dan artikulatif oleh para pendiri bangsa. Konstitusi UUD 1945, baik dalam bagian Mukadimah maupun Batang Tubuh, adalah bukti tertulis yang tak tersangkal dari hal tersebut. Sayangnya, seiring dengan perjalanan sejarah bangsa, visi akan negara kesejahteraan tersebut mulai dilupakan. Dalam hal ini, penciptaan sistem kebijakan perumahan dalam paradigma kesejahteraan adalah salah satu langkah inisiasi untuk menggali dan menghidupkan kembali warisan bangsa yang terlupakan tersebut. Negara kesejahteraan selama ini kerap disalahpahami. Sebagian orang menyatakan bahwa penyelenggaraan negara dengan berdasar pada model negara kesejahteraan akan berpotensi membawa kepada pelemahan ekonomi negara tersebut karena negara harus memberikan subsidi yang besar kepada seluruh rakyatnya dalam rentang pelayanan yang luas: kesehatan, pensiun, kecelakaan kerja, jaminan pengangguran, dan lain-lain. Bagi kalangan tersebut, Indonesia yang masih giat membangun dan mengejar pertumbuhan ekonomi tidak selayaknya dibebani de ngan kewajiban tambahan untuk menggelontorkan dana besar bagi penyelenggaraan negara kesejahteraan yang komprehensif. Fenomena terkini di mana negaranegara dengan tradisi kesejahteraan yang lama menyurutkan komitmennya pada prinsip-prinsip negara kesejahteraan akibat krisis ekonomi akut karena banyaknya
17
utang yang dideritanya, misalnya Yunani, menjadi amunisi kuat yang seringkali dikemukakan pihak yang menentang negara kesejahteraan. Sesungguhnya, hal tersebut merupakan asumsi yang keliru dan tak berdasar. Negara kesejahteraan bukanlah negara yang rentan untuk bangkrut atau mengalami krisis ekonomi. Kebangkrutan atau krisis ekonomi yang dialami oleh suatu negara tidak disebabkan karena negara tersebut menganut model penyelenggaraan pemerintahan tertentu, melainkan karena adanya salah kelola dalam penyelenggaraan negara. Dalam hal ini, negara kesejahteraan justru merupakan model yang lebih andal untuk menghalau krisis ekonomi, bahkan dipercaya mampu memperkuat fondasi kesejahteraan ekonomi di suatu negara. Negara kesejahteraan sejatinya merupakan sebentuk program investasi manusia secara nasional. Dengan meningkatnya kesejahteraan dan rasa aman warga, maka geliat dan keberhasilan ekonomi suatu negara di masa depan akan terjamin. Buku ini menempatkan diskusi tentang negara kesejahteraan dengan menggunakan alat bantu teoretis berupa tiga model negara kesejahteraan se bagaimana dirumuskan sosiolog Gosta Esping-Andersen. Teori tersebut digunakan karena melaluinya, dapat diperoleh seperangkat kriteria yang padat untuk mengevaluasi seberapa besar komitmen dari suatu negara untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip negara kesejahteraan. Evaluasi tersebut dapat dilakukan tidak hanya terbatas kepada negara-negara yang telah mengaku sebagai negara kesejahteraan, namun juga pada negara-negara yang selama ini tidak dipandang sebagai negara kesejahteraan dan negara yang belum mengimplementasikan paradigma negara kesejahteraan meskipun secara normatif-konstitusional telah diamanatkan untuk menjalankan negara berdasar paradigma negara kesejahteraan, suatu kondisi yang terjadi di Indonesia.
B. Periodisasi Pemenuhan Hak atas Papan Semua manusia membutuhkan rumah. Memiliki rumah berarti aspirasi manusia untuk mendapatkan tempat tinggal yang aman dan nyaman dapat dipenuhi. Tidak hanya sebagai tempat tinggal, rumah berfungsi terlebih sebagai basis dari kehidupan manusia itu sendiri. Pemenuhan hak atas papan adalah tanggung jawab pemerintah. Mulai dari periode kolonial, orde lama, orde baru, hingga periode reformasi kini, terdapat banyak sekali produk kebijakan terkait perumahan. Berikut akan dibicarakan periodisasi tersebut.
18
a. Periode Kolonial/Pra Kemerdekaan Pada periode kolonial, lebih daripada yang mungkin diperkirakan, orientasi kesejahteraan dalam bidang perumahan ternyata telah mulai dirintis. Mulanya, pada abad ke-15, yaitu pada masa awal kolonialisme memang komitmen peme rintah kolonial untuk menjamin hak rakyat akan rumah dapat dikatakan rendah. Terlihat melalui statuta tahun 1642 yang menyebutkan bahwa pemerintah hanya bertanggung jawab atas prasarana umum, sedangkan pembangunan perumahan diserahkan sepenuhnya pada swasta. Akan tetapi, kemudian terlihat bahwa pemerintah kolonial mulai memikirkan masalah perumahan rakyat dengan serius. Namun pada tahun 1926, didirikan Perusahaan Pembangunan Perumahan Rakyat (N.V. Volkshuis-vesting) yang bertugas untuk mengadakan rumah sewa bagi masyarakat.
Sumber: www.unpad.ac.id Gambar 1.1. Kondisi perumahan di era kolonial/prakemerdekaan
19
Berikut peristiwa-peristiwa penting dalam periode kolonial. Tahun 1642 Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mengeluarkan sta tuta yang menetapkan bahwa Dewan Kota Batavia bertanggung jawab atas prasarana umum, baik jalan maupun saluran. Sedang pembangunan perumahan diserahkan kepada pengusaha swasta, terutama bagi kelompok masyarakat mampu. Regeringsreglement 1845 menetapkan bahwa kampung kota boleh bertahan namun berada di luar wewenang pemerintah kota. Kampung selanjutnya diatur oleh pemerintah pusat dengan perantara para bupati. Gedenkboek van Nederlandsch Indie 1889-1923. Pada periode ini pemerintah membangun perumahan untuk rakyat banyak, pemerintah pusat (Batavia) juga memikirkan keadaan kampung kota yang dianggap amat menyedih kan. Sasaran kebijakan ini adalah kampung yang dibangun oleh penghuni nya sendiri. Sistem pengadaan perumahan kota sampai Perang Dunia II dibagi dalam tiga pola: a) Pertama, perumahan yang dibangun oleh swasta; bermutu baik, mahal, dan diperuntukkan bagi penduduk berpenghasilan menengah ke atas, utamanya bagi orang Eropa dan Timur asing. Sebagian dijual untuk dimiliki, sedang sisanya disewakan; besar sewa diatur oleh pemerintah. Rumah ini memiliki bentuk dasarnya sama dan mencolok, rumah-rumah ini mudah dikenal. b) Kedua, pengadaan untuk dipakai sendiri; baik pribadi maupun oleh sebuah badan usaha. Termasuk di dalam pola ini adalah perumahan dinas untuk pegawai negeri maupun perusahaan swasta. Pola ini dianjurkan pemerintah untuk meringankan kekurangan rumah yang ada tiap tahun. Bentuk dari perumahan pola ini lebih bervariasi. c) Ketiga, pola perumahan di kampung; jumlahnya mencapai dua pertiga rumah yang ada, ditinjau dari jumlah penghuninya. Umumnya perumahan ini dibangun penghuninya sendiri, menurut pola dan bentuk yang berkembang secara inkremental (sedikit demi sedikit), oleh karenanya selalu berubah secara dinamis. Sejak pembentukan pemerintahan kota (1904), pemerintah pusat mengi ngatkan dewan kota untuk memperhatikan kesehatan masyarakat kampung dan mengusahakan perbaikannya di kota masing-masing. Surat pertama (tertanggal 30/5/1917) tentang hal ini ditujukan ke Dewan Kota Semarang dan Surabaya yang mengusulkan agar dilakukan perbaikan keadaan perkampungannya (Kampoeng Verbetering).
20
Tahun 1926 Pemerintah Hindia Belanda memprakarsai pendirian Perusahaan Pembangunan Perumahan Rakyat (N.V. Volkshuisvesting). Perusahaan ini merupakan perusahaan campuran antara Pemerintah Pusat (Hindia Belanda) dan Pemerintah Daerah (Gementee) dengan perbandingan saham 75% : 25%. Tugas dari N.V Volkshuisvesting tersebut adalah mengadakan rumah sewa bagi masyarakat. Daerah yang telah mendirikan N.V Volkshuisvesting adalah Jakarta, Bogor, Sukabumi, Cirebon, Semarang, Madiun, Surabaya, Pasuruan, Mojokerto, Jember, Padang, Ujung Pandang, dan Manado. Tanggal 20 Maret 1934 Burgelijke Woning Regeling/BWR ditetapkan untuk mengatur pembangunan perumahan bagi pegawai pemerintah oleh peme rintah Hindia Belanda, yang disebut sebagai Rumah Negeri. Rumah-rumah negeri tersebut dibagi dalam sebelas kelas berdasarkan tingkat penghasilan dan disewakan kepada pegawai negeri sipil yang menempatinya. Besarnya sewa adalah 9% sampai 15% dari gaji pegawai negeri yang bersangkutan. Stadsvormings Ordonantie (SVO) 1948 dan Stadsvorming Verordening (SVV) 1949. Kedua peraturan ini hendak menanggapi perkembangan kota yang mendesak, yaitu mengatasi kerusakan akibat perang; termasuk pembangu nan perumahan yang masih terus diperhatikan pemerintah. SVO dan SVV hanya berlaku bagi lima belas dari lima puluh kotapraja yang ada. Pada pelaksanaannya juga sebatas pemeliharaan kota, bukan pembangunan. Pada periode ini, kebijakan perumahan berparadigma universal, yakni memberikan hak rumah bagi seluruh penduduk tentu tidak dilakukan. Sebagai penjajah, wajar apabila perkara kesejahteraan dan hak dari rakyat selalu dikebawahkan oleh kepentingan kaum kolonial sendiri. Kebijakan perumahan untuk rakyat, yang dikeluarkan selama periode kolonial lebih bersifat parsial dan dilatarbelakangi oleh kemurahan hati semata.
b. Orde Lama Pembangunan perumahan di Orde Lama (Orla) ditandai dengan pembentukan institusi-institusi negara yang terkait dengan bidang perumahan, di antaranya adalah Jawatan Perumahan Rakyat, Badan Pembantu Perumahan Rakyat, Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, Yayasan Kas Pembangunan, dan Bank Pembangunan. Sebagai Negara yang baru merdeka, ini merupakan langkah rasional. Pembangunan institusi yang mempunyai kapasitas untuk mengimplementasikan kebijakan merupakan fondasi dari penciptaan sistem kebijakan yang solid di bidang perumahan. Selain itu, periode ini juga ditandai dengan bermunculannya rancangan dan rencana pembangunan perumahan secara strategis, yakni desain kebijakan perumahan yang diproyeksikan untuk jangka panjang, seperti yang termuat
21
dalam Garis-garis Besar Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956–1960 dan Rancangan Dasar Undang-Undang dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana oleh Dewan Perancang Nasional. Berikut merupakan peristiwaperistiwa penting yang terjadi pada Orde Lama. Kongres Perumahan Rakyat Sehat (25-30 Agustus 1950) di Bandung. Tahun 1951 tepatnya tanggal 1 Januari dibentuk Jawatan Perumahan Rakyat dalam lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga. Instansi ini kemudian diresmikan melalui Keppres No. 65 Tahun 1952. Tugas pokok Jawatan Perumahan Rakyat meliputi empat bidang: melakukan penelitian teknistekonologis, membuat konsep-konsep pemikiran kebijaksanaan peruma han, mengadakan penyuluhan dan bimbingan teknis kepada masyarakat, dan mengatur penyelenggaraan pembiayaan pembangunan perumahan. Tanggal 22 Maret 1951 dibentuk Badan Pembantu Perumahan Rakyat. Badan ini merupakan badan penasihat yang bertugas memberikan pertimbanganpertimbangan yang diperlukan oleh Jawatan Perumahan Rakyat. Tahun 1952 pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Pembiayaan Perumahan Rakyat yang mencantumkan konsep: a) Dasar-dasar pembentukan Yayasan Kas Pembangunan (YKP) di Daerahdaerah Otonom Tingkat II, yang mempunyai ciri-ciri Koperasi Rakyat. • Tugas YKP sebagai badan nonprofit adalah membangun rumah yang harganya lebih rendah dari harga pasaran dan menyewabelikannya kepada para anggota penabung selama 20 tahun. • Sebagai modal kerja, YKP menerima kredit 25 tahun tanpa bunga dari pemerintah, dengan jaminan dari DPRD. • Periode sekitar dua tahun terbentuk lebih kurang 200 YKP di seluruh Indonesia. d) Pembentukan suatu Bank Pembangunan yang kegiatannya antara lain mengeluarkan pinjaman obligasi, yang pembayarannya dijamin oleh pemerintah. Tahun 1953 melalui Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1953, Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian urusan mengenai pekerjaan umum kepada pemerintah provinsi. Tanggal 1 Maret 1955 dibentuk Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (LPMB) di Bandung yang juga menjalankan fungsi sebagai pelaksana United Nations Regional Housing Centre (UNRHC) untuk kawasan Asia Tenggara.
22
Sumber: Dok. HRC, 2006 Gambar 1.2. Kondisi Perumahan Nasional Tahun 1956 Biro Perancang Negara merumuskan Garis-garis Besar Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956 – 1960. Program pemerintah di bidang perumahan meliputi : •
Penyelidikan-penyelidikan mengenai teknik pembuatan rumah.
•
Penyuluhan kepada rakyat mengenai hasil penyelidikan tersebut.
•
Penyederhanaan prosedur-prosedur administrasi serta pemberian fasilitas mengenai pembuatan rumah.
•
Dorongan untuk memperbesar produksi bahan bangunan.
•
Pengumpulan bahan-bahan keterangan mengenai hal perumahan.
Tahun 1957 pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 72 Tahun 1957 tentang Penjualan Rumah-rumah Negeri kepada Pegawai Negeri, menga-
23
tur penyelenggaraan penjualan rumah negeri golongan III kepada pegawai negeri. Tahun 1958 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1958 tentang Penyerahan Urusan Perumahan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Peraturan tersebut berisi tentang : •
Sebagian urusan perumahan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I.
•
Pada setiap daerah dibentuk panitia perumahan yang anggotanya terdiri dari para ahli yang diangkat oleh Kepala Daerah yang dikepalai oleh Kepala Kantor Urusan Perumahan (Kepala KUP). Dalam Lembaran Negara dari bagian peraturan pemerintah ini lebih ditekankan pada ketentuan sewa menyewa perumahan bagi perumahan.
Tahun 1960 Dewan Perancang Nasional menyusun Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang antara lain memasukkan pemikiran Bank Perumahan. Tahun 1962 pemerintah menerbitkan Perppu No. 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan. Tahun 1964 pemerintah menerbitkan UU No. 1 Tahun 1964 tentang Penetapan Perppu No. 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan menjadi UU. Dalam Pasal 3 UU tersebut, menyebutkan bahwa pemerintah memberikan bimbingan, berbagai fasilitas, bantuan dan perangsang lainnya, baik dalam pembangunan maupun pembiayaannya, tanpa meninggalkan semangat gotong royong yang hidup di dalam masyarakat. Kebijaksanaan umum peme rintah dalam urusan perumahan pada saat UU ini diterbitkan dijalankan oleh menteri sosial. Dalam perspektif paradigma kesejahteraan, dapat dikatakan bahwa corak kebijakan perumahan di era Orde Lama telah mengadopsi sebagian prinsip-prinsip negara kesejahteraan, meskipun hal itu belum dapat dilakukan secara penuh dan paripurna. Hal ini wajar karena negara waktu itu masih memiliki keterbatasan dana, pengalaman, dan kapasitas. Untuk mengantisipasi keterbatasan tersebut, pemerintah menyerukan bahwa rakyat juga harus terlibat aktif untuk menyediakan kebutuhan perumahannya secara gotong-royong.
24
c. Orde Baru Pembangunan kebijakan perumahan di Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto dapat dibagi ke dalam dua sub-tahap: era rehabilitasi (1966-1980) dan era pembangunan (1981-1997). Era rehabilitasi menandai suatu tahap di mana kebijakan perumahan difokuskan untuk menangani gagalnya penanganan masalah-masalah perumahan dasar yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya. Sementara itu, era pembangunan menandai arah baru kebijakan perumahan di te ngah iklim percepatan pembangunan ekonomi nasional. Secara umum, dapat dikatakan bahwa pemerintah Orde Baru sesungguhnya memiliki orientasi dan komitmen yang cukup kuat terhadap perumahan rakyat. Salah satu faktor yang turut melatarbelakanginya adalah ideologi pembangunan yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru. Pembangunan ekonomi besar-besaran memberikan perhatian yang besar bagi pemenuhan kesejahte raan dasar rakyat, salah satunya perumahan. Berikut merupakan peristiwa-peristiwa penting terkait perumahan di Orde Baru. Dalam rencana pembangunan nasional lima tahunan Pelita I yang berlaku dari 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, perumahan rakyat (papan) dinya takan sebagai salah satu sektor dari 17 sektor pengendalian operasional pembangunan lima tahun. Tahun 1970 pemerintah membentuk empat Building Information Centre (BIC) di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar. Tanggal 6 Mei 1972 pemerintah mengadakan Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman I. Lokakarya tersebut menghasilkan tiga keputusan pokok tentang: sistem pembiayaan perumahan, sistem kelembagaan perumahan, dan sistem penunjang perumahan. Tanggal 11 Februari 1972 lahir asosiasi Real Estate Indonesia (REI). Pemerintah membentuk Badan Kebijaksanaan Nasional Perumahan melalui Keputusan Presiden No. 35 Tahun 1974. Tahun 1974 pemerintah membentuk Perum Perumnas melalui Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1974. Peran Perumnas saat itu adalah: pertama, melayani kebutuhan perumahan rakyat sebagai kebutuhan publik. Kedua, mengembangkan aset publik untuk menunjang perannya. Ketiga, menye lenggarakan kegiatan-kegiatan produktif dengan mengacu pada prinsipprinsip ekonomi dan prinsip menjamin keamanan dan pemanfaatan asetaset negara. Keempat, menerapkan kebijakan perumahan sesuai arahan kebijakan dan program pemerintah.
25
Tahun 1974 melalui Surat Menkeu, Bank Tabungan Negara (BTN) ditugaskan sebagai wadah pembiayaan proyek perumahan rakyat. Menindaklanjuti tugas tersebut, sejak 1976 Bank BTN menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Selain memberikan KPR subsidi, BTN juga memberikan berbagai skema KPR nonsubsidi seperti KPR Komersil, KP Ruko, Kredit Swagriya, dan lain-lain. Pada mulanya BTN hanya memberikan bantuan pinjaman untuk membeli perumahan yang dibangun oleh Perum Perumnas saja, akan tetapi sejak 1976 bantuan tersebut diperluas hingga mencakup perumahan yang dibangun oleh REI. BTN menyediakan pinjaman sebesar 95% dari harga rumah yang dapat dicicil selama 20 tahun dengan bunga yang rendah karena disubsidi pemerintah. Pada masa ini, pembagian pasar perumahan secara umum dibagi menjadi dua: REI melayani kelompok yang memiliki pendapatan lebih tinggi daripada masyarakat yang membeli rumah yang dibangun Perum Perumnas. Tahun 1974 pemerintah menandatangani kesepakatan bantuan pinjaman dengan bank Dunia sebesar 18,2 juta dollar AS. Atas dasar kesepakatan itulah maka Program Perbaikan Kampung atau Kampung Improvement Project (KIP) mulai diluncurkan secara nasional. Program Perbaikan Kampung dilakukan dalam tiga bentuk. Pertama, KIP yang diinisiasi komunitas (KIP-Community Initiated). Kedua, KIP-UNICEF (United Nation Childen’s Fund) yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan dari ibu dan anaknya. Ketiga, KIP-UNEP (United Nation Environment Programme) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hunian dari masyarakat berpendapatan rendah dengan melakukan konservasi dan peningkatan terhadap kualitas lingku ngan, juga melakukan partisipasi komunitas secara aktif untuk memastikan keberlanjutan dari upaya tersebut. Dalam waktu pendek, program KIP kemudian diperluas menjadi bagian dari Program Pembangunan Infrastruktur Kota Terintegrasi (Integrated Urban Infrastructure Development Programme/IUIDP). Ini adalah program untuk meningkatkan infrastruktur kota secara keseluruhan dalam rangka untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari KIP. Dengan memanfaatkan kebijakan pemerintah yang mendesentralisasikan tanggung jawab akan perencanaan kota, pembangunan infrastruktur, dan pembangunan perumahan, pemerintah daerah di bawah IUIDP diizinkan untuk merencanakan dan mengimplementasikan program investasi infrastruktur terintegrasi multitahun dalam kaitannya dengan utilitas seperti jalan, drainase, saluran air, dan fasilitas komunitas seperti sekolah, pasar, klinik, tempat parkir, dan taman bermain.
26
Tahun 1976 pemerintah melakukan perluasan BIC di seluruh provinsi. Tahun 1978 pemerintah membentuk Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat dengan Cosmas Batubara sebagai menteri pertama. Pada akhir tahun 70-an, pemerintah mulai mencitakan sistem perumahan yang disebut sebagai dua sistem penyerahan perumahan (two systems for the delivery of housing). Sistem yang pertama disebut dengan sistem rumah tangga atau rakyat. Sistem ini berlaku bagi sebagian besar dari rakyat Indonesia, di mana mereka mendapatkan kebutuhan akan rumah menggunakan sumber daya mereka sendiri. Para rumah tangga ini secara umum memiliki pendapatan yang relatif rendah dan banyak di antaranya yang tinggal di area kota yang mendapat keuntungan dari program KIP melalui peningkatan kualitas lingkungan perumahan tempat mereka tinggal. Sistem yang kedua disebut dengan sistem formal yang ditujukan bagi rumah tangga berpendapatan menengah dan tinggi. Kebutuhan mereka akan perumahan dibantu melalui aktivitas-aktivitas yang dijalankan oleh Perumnas dan pengembang real estat swasta, selain juga dibantu melalui subsisi pemerintah. Tahun 1981 terbit Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 1981 tentang Hubu ngan Sewa Menyewa Perumahan. Dinyatakan bahwa penentuan besarnya harga sewa sebesar 4% dari harga bangunan, dengan pertimbangan ekonomis dan keadilan sosial. Pemerintah daerah diberikan peluang untuk mene ntukan besarnya harga sewa bagi kelompok-kelompok perumahan tertentu dan golongan tertentu yang standarnya lebih rendah. Tahun 1985 pemerintah menerbitkan UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Tahun 1985 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No.8 Tahun 1985 tentang Badan Kebijakan Perumahan Nasional (BKPN). Badan ini bertugas memecahkan persoalan yang timbul di bidang perumahan dan membantu merumuskan kebijaksanaan pemerintah secara lebih terarah dan terpadu. BKPN juga menyelenggarakan fungsi meneliti dan mengkonsultasikan pemecahan berbagai masalah yang berkaitan dengan pembinaan, pengembangan dan pembangunan beserta prasarana lingkungannya, memadukan kebijaksanaan sektoral dalam rangka perumusan kebijaksanaan baru. Tahun 1987 pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan. Peraturan ini memudahkan pembangunan perumahan sederhana melalui fasilitas kredit kepemilikan rumah dari BTN.
27
Tahun 1987 pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Koperasi dan Menteri Perumahan Rakyat No.02/SKB/M/X/87–No.01/SKB/10/87 tentang Penyediaan Perumahan dan Permukiman melalui Koperasi. Kegiatan usaha koperasi adalah penyediaan dana, produksi, dan distribusi perumahan serta jasa konstruksi dan jasa konsultan serta pengadaan industri bahan bangunan. Skema ini diutamakan bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan tidak tetap dan sangat rendah yang belum memiliki kesempatan memiliki rumah. Dilakukan pembinaan untuk pengembangan usaha bersama dalam penyediaan perumahan yang layak huni dalam lingkungan permukiman yang teratur dan sehat, diharapkan koperasi dapat mampu dalam penyiapan lahan, penyusunan rencana, pembangunan fisik dan pengembangan rumah tumbuh, penyediaan dan pengelolaan dana, industri dan pengadaan bahan bangunan serta pengelolaan lingkungan permukiman. Tahun 1988 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 1988 tentang Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional. Badan ini bergerak di bidang pembangunan perumahan rakyat dan prasarana lingkungan sesuai dengan peraturan yang berlaku serta melakukan pemupukan dana guna pembangunan perumahan. Sifat usaha dari badan ini harus memperhatikan aspek profit, yang secara tegas dinyatakan pada pasal 5. Laba bersih hasil profit tersebut digunakan untuk dana pembangunan semesta sebesar 55%, cadangan umum 20%, cadangan tujuan 20% digunakan untuk dana sosial, pendidikan, jasa konstruksi dan sumbangan dana pensiun. Tahun berikutnya, 1989 pemerintah menerbitkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.7 Tahun 1989 tentang Pengaturan dan Pengendalian secara Proporsional Pembangunan Rumah Tinggal di Wilayah Perkotaan Tahun 1989 pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No.11/KPTS/89 tentang Pedoman Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Fasilitas KPR–BTN oleh Koperasi Tahun 1989 terbit Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.01/KPTS/1989 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Kapling Siap Bangun. Kapling Siap Bangun (KSB) adalah lahan matang yang terencana dalam suatu lingkungan perumahan dengan prasarana lingkungan berupa jalan setapak berkonstruksi sederhana dengan daerah manfaat jalan 2,80 meter serta dilengkapi dengan utilitas umum dan fasilitas sosial berupa jaringan listrik, air bersih, MCK umum, tempat bermain dan warung. KSB merupakan kesempatan bagi masyarakat golongan berpenghasilan rendah yang belum mampu menjangkau harga rumah sederhana dengan fasilitas KPR-BTN. Tahun 1990 pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No.2/KPTS/1990 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan
28
29
Periodisasi Kebijakan Perumahan
Dukungan Fasilitas Kredit Pemilikan Kapling Siap Bangun dan Kredit Kepemilikan Rumah dalam Repelita V. Peraturan ini dikeluarkan dalam upaya pening katan dan pengembangan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah. Tahun 1990 presiden mengeluarkan Keppres No. 5/1990 yang mempromosikan program perbaikan kawasan kumuh dan hunian liar di area perkotaan. Program ini dijalankan tidak melalui penggusuran tetapi melalui pendekatan konsensus berbasis komunitas. Sebagai bagian dari pendekatan ini, flat sewa sebagai alternatif hunian bagi penduduk perkotaan mulai dipromosikan. Tahun 1991 terbit Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No.3/KPTS/1991 tentang Pembangunan Perumahan Sangat Sederhana dengan Dukungan Fasilitas KPR. Lingkungan perumahan sangat sederhana khususnya diperuntukkan bagi MBR. Kategori MBR adalah kelompok masyarakat yang memiliki penghasilan keluarga setinggi-tingginya Rp 150.000 per bulan. Mulai Agustus 1991, mulai disalurkan KPR yang dilakukan oleh BTN serta bank pelaksana lainnya yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Tahun 1992 pemerintah menerbitkan Undang-Undang No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Di dalamnya dinyatakan bahwa rumah merupakan hak bagi setiap warga negara, yang juga memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Peran pemerintah adalah melakukan pembinaan di bidang perumahan dan permukiman dalam bentuk pengaturan dan pembimbingan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan, serta pengawasan dan pengendalian. Pemerintah juga melakukan pembinaan badan usaha di bidang perumahan dan permukiman. Pemerintah melakukan upaya pemupukan dana, memberikan bantuan dan atau kemudahan kepada masyarakat dalam membangun rumahnya sendiri atau dalam memiliki rumah. Tahun 1992 BKPN mengeluarkan edisi kedua dari Kebijakan dan Strategi Perumahan Nasional. Dalam dokumen tersebut, selain menyatakan posisi lama bahwa perumahan pada dasarnya adalah tanggung jawab dari masyarakat sendiri, dilakukan penekanan baru bahwa pemerintah akan memainkan pe ran yang lebih melancarkan (enabling) dalam rangka membantu masyarakat mendapatkan kebutuhan akan rumah. Tahun 1992 terbit Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No.8/KPTS/1992 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Dukungan Fasilitas Kredit Pemilikan Rumah Siap Bangun, Kredit Kepemilikan Rumah Sederhana dan Kredit Pemilikan Rumah Susun Sederhana Tahun 1992 terbit Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perumahan Rakyat No.648 – 384 Tahun 1992,
30
739/KPTS/1992, dan 09/KPTS/1992, tanggal 16 November tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan Hunian yang Berimbang. Di dalamnya ditentukan bahwa pembangunan kawasan perumahan dan permukiman oleh suatu badan usaha sifatnya wajib mewujudkan perumahan dan permukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang, dengan perbandingan jumlah rumah sederhana dengan rumah menengah dan rumah mewah sebesar 6:3:1. Tahun 1992 diselenggarakan Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukim an dan Pencanangan Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat (GNPPS). Tahun 1993 kebijakan baru terkait pembiayaan perumahan diluncurkan untuk pengadaan perumahan bagi pegawai negeri sipil diluncurkan. Melalui nya ditetapkan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) wajib untuk menyimpan tabungan agar mereka mampu mendapatkan pinjaman untuk memenuhi kebutuhan akan rumah. Akan tetapi, tidak hanya terbatas bagi PNS, bantuan juga bisa diberikan kepada pegawai swasta yang berpenghasilan rendah. Ini dilakukan melalui sarana kerjasama pembangunan rumah yang melibatkan pemerintah dan swasta. Tahun 1994 pemerintah memberikan kekuasaan yang lebih besar pada BKPN untuk mengontrol dan mengoordinasikan aktivitas pembangunan perumahan, BKPN ditransformasi menjadi Badan Kebijaksanaan dan Pe ngendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional (BKP4N) melalui Keppres No. 37/1994. Tahun 1995 terbit Keputusan Menpera No.4/KPTS/BKP4/1995 tentang Klasifikasi Rumah Tidak Bersusun. Tipe rumah tinggal/hunian digolongkan ke dalam 4 tipe: rumah mewah, rumah menengah, rumah sederhana, dan rumah sangat sederhana. Dari uraian tersebut terlihat bahwa banyak program perumahan rakyat dan keterlibatan lembaga terkait perumahan rakyat yang diluncurkan pada periode ini. Namun demikian, jumlah penduduk yang belum mempunyai rumah dan menghuni rumah layak huni sehingga masih banyak yang tinggal di permukiman kumuh. Fakta tersebut barangkali disebabkan pembangunan perumahan rakyat di era Orde Baru tidak dikerangkakan sebagai hak dasar seluruh rakyat yang wajib dipenuhi negara, melainkan lebih sebagai elemen dari pengejaran pembangun an ekonomi. Dengan kata lain, pembangunan perumahan tidak dilandaskan pada prinsip negara kesejahteraan.
31
d.
Reformasi Orde Reformasi dipimpin oleh beberapa presiden yang masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda atas isu perumahan dan permukiman. Di dalam orde ini fokus pemerintah pada dasarnya masih sama dengan era sebelumnya, yaitu memenuhi backlog perumahan yang jumlahnya justru meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu, faktor dari dunia internasional juga mulai berperan melalui tuntutan untuk mencapai target Millennium Development Goals (MDG’s) tahun 2015 yang beberapa tuntutannya terkait dengan penyediaan perumahan dan permukiman yang memadai. Seiring dengan era demokratisasi, era Reformasi juga ditandai dengan fenomena otonomi daerah, yakni pelimpahan sebagian besar wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Salah satu sektor yang dilimpahkan wewenangnya kepada daerah adalah perumahan.
Sumber : Dok. HRC, 2010 Gambar 1.3. Permukiman kumuh yang menjadi ciri khas kemajuan kota di era reformasi
32
Berikut merupakan peristiwa penting yang terjadi di era Reformasi. Tahun 1998 pemerintah mengubah Menteri Negara Perumahan Rakyat menjadi Menteri Negara Perumahan dan Permukiman. Tanggal 10 November 1998, dibentuk Asosiasi Pengembang Rumah Sederhana Seluruh Indonesia (Apersi). Pada tahun 2004 organisasi ini kemudian berubah menjadi Asosiasi Pengembang Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi). Tahun 1999 melalui Keppres No.63 Tahun 2000, Menteri Negara Perumahan dan Permukiman dan Departemen Pekerjaan Umum dilebur menjadi Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah. Dalam lembaga baru tersebut, penanganan perumahan dan permukiman dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengembangan Permukiman dan Direktorat Jenderal Perkotaan dan Perdesaan. Tahun 2001 terbit Keputusan Menteri Kimpraswil No.172/KPTS/2001. Peraturan ini mengatur pola fasilitas KPR bagi golongan masyarakat menengah ke bawah. Di dalamnya, dilakukan perubahan atas plafon kredit perumahan berupa kenaikan kredit sebesar 15-60% pada rumah sederhana/sangat sederhana tipe 21, 27, dan 36 pada 5 wilayah. Tahun 2002 pemerintah mengubah Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah menjadi Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, dan Direktorat Jenderal Pengembangan Permukiman diubah menjadi Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman. Tahun 2002 pemerintah mengenalkan Rumah Sederhana Sehat sebagai pengganti Rumah Sangat Sederhana dan Rumah Sederhana. Tahun 2002 Presiden Megawati Soekarnoputri mencanangkan Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah (GNPSR) di Denpasar dalam rangka peringatan Hari Habitat Dunia. Tahun 2002 diselenggarakan Semi Lokakarya Nasional dengan tujuan untuk mencari sistem kelembagaan, pembiayaan, dan penyediaan tanah untuk perumahan. Tahun 2004 pemerintah membentuk Kementerian Negara Perumahan Rak yat. Tahun 2004 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 2004 tentang Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional. Tahun 2005 terbit UU No 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mulai berlaku. Salah satu hak dari seperangkat hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah hak akan rumah.
33
Tahun 2006 pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden No.22 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan yang ditindaklanjuti dengan Program Pembangunan 1.000 Tower Rumah Susun Sederhana bagi masyarakat menengah ke bawah. Tanggal 18-20 Mei 2009 diselenggarakan Kongres Nasional Perumahan dan Permukiman II tahun 2009 di Jakarta untuk mendorong masyarakat mening katkan perannya dalam mendukung pembangunan perumahan dan perlunya negara menjaga amanat dari kongres sebelumnya yaitu untuk mengurus persoalan rakyat dan tidak hanya menyerahkan pada mekanisme pasar. Rentang tahun 2009-2011. Pada era Kabinet Indonesia Bersatu II, Kemenpera menghasilkan beberapa kebijakan dan program antara lain: lahirnya UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, lahirnya terminologi Rumah Sejahtera, kebijakan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), bantuan fisik pembangunan rusunawa, Pusat Sarana Umum (PSU), rumah murah, dan lainlain. Pada tahun 2010, dikeluarkan Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2010 yang mengganti nama Kementerian Negara Perumahan Rakyat menjadi Kemen terian Perumahan Rakyat. Jika dipandang dari perspektif prinsip-prinsip negara kesejahteraan, kebijakan pembangunan perumahan di era Reformasi dapat dikatakan belum mampu menerjemahkan prinsip-prinsip kesejahteraan ke dalam berbagai kebijakan perumahannya. Dalam tataran normatif, para pemegang kekuasaan sering kali menegaskan bahwa rumah merupakan bagian dari HAM. Namun demikian, ber bagai kebijakan, program, strategi, dan pendekatan yang dilakukan mayoritas masih bersifat parsial dan tambal sulam. Hal ini dapat dimengerti mengingat cepatnya pergantian presiden pada periode ini. Batasan masa kepemimpinan yang singkat mengakibatkan setiap peme rintahan terkendala dalam menyelesaikan rencana kebijakan perumahannya hingga tuntas. Hal ini diperparah dengan dihapusnya cetak biru kebijakan pembangunan nasional dalam Repelita atau GBHN dan meluasnya otonomi daerah. Pada kebijakan pembangunan perumahan ini, adanya otonomi daerah menimbulkan ekses negatif seperti lemahnya koordinasi dan ignoransi atau pengabaian daerah atas isu perumahan di daerahnya. Sebagai jalan keluar atas situasi yang chaos ini, pembuatan desain sistem kebijakan yang komprehensif dan berjangka panjang penting untuk dilakukan. Dari tiap periode yang dijabarkan, nampak bahwa negara kurang progresif dalam memenuhi kebutuhan akan papan bagi masyarakat, begitu pun pada awal masa reformasi hingga sekarang. Kebijakan, pendekatan, dan strategi terkait perumahan yang selama ini dilakukan cenderung belum menyeluruh. Paradigma
34
suplai yang selama ini diterapkan belum mampu menjawab permasalahan dan problem perumahan berada dalam tahap krisis. Dengan demikian, pendekatan berbasis hak dianggap lebih mampu mengatasi krisis tersebut, menggantikan pendekatan berbasis suplai.
c. Kebijakan Perumahan di Luar Negeri Setiap negara memiliki cara masing-masing dalam menerapkan kebijakan dan menata perumahan. Belajar dari negara-negara lain menjadi sangat penting karena memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia, meski tidak serta merta diadopsi begitu saja, perlu ada penyesuaian dan modifikasi agar sesuai dengan kondisi di Indonesia. Negara-negara yang dapat menjadi acuan penataan kebijakan perumahan adalah sebagai berikut.
1. Singapura Pemerintah Singapura tidak memandang kebutuhan rakyat akan rumah sebagai bagian dari hak yang dijamin oleh negara. Pemerintah mendesain agar tatanan sosial masyarakatnya didasarkan kepada tanggung jawab pribadi. Ja ring pengaman ditujukan hanya untuk warga yang paling membutuhkan. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa pada sebagian besar sejarahnya, Singapura menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi yang diiringi dengan full employment. Sistem politik Singapura bersifat negara-sentris (state-centred), di mana pemerintah memegang peranan besar dalam berbagai hal. Negara menguasai empat per lima dari keseluruhan tanah yang ada. Perusahaan publik (BUMN) Si ngapura bergerak dalam sektor yang luas dan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Ada dua institusi utama bentukan pemerintah yang berperan membentuk desain kebijakan perumahan: Housing Development Board (HDB) dan Central Provident Fund (CPF). HDB adalah pengembang perumahan terbesar yang sejak 1964 mulai menawarkan unit rumah yang dibangun di atas tanah milik negara. Sementara itu, CPF memiliki fungsi untuk memicu permintaan rumah yang besar dari warga. Ini dilakukan dengan mengatur dan mengarahkan agar tabungan yang disimpan di CPF ditarik untuk membeli rumah. Konkretnya, penarikan dana hanya dibolehkan untuk tujuan spesifik tertentu, di mana tujuan untuk membeli rumah menjadi dominasi. Di sisi lain, CPF juga merupakan skema pendanaan untuk pelayanan kesejahteraan warga. Selain membiayai perumahan, dana yang ditabung di CPF juga digunakan untuk membiayai berbagai pelayanan kese jahteraan warga, mulai dari layanan kesehatan, asuransi,pendidikan tinggi, dan dana pensiun.
35
Sumber : Dok.HRC ,2012 Gambar 1.4. Permukiman di Singapura Orientasi kebijakan perumahan Singapura diarahkan pada sistem kepemilikan rumah. Untuk menjamin naiknya tingkat kepemilikan rumah, pemerintah mendayagunakan berbagai sarana dan mengharapkan berbagai hal: menyediakan rumah HDB yang disubsidi, pinjaman gadai oleh HDB, mewajibkan tabungan agar digunakan untuk membeli rumah. Dengan strategi semacam ini, tak heran jika kemudian rumah sewa hanya sedikit jumlahnya. Rumah sewa bagi MBR di Singapura terutama adalah rumah sewa publik. Ini karena kontrol harga sewa untuk sektor rumah privat telah dicabut oleh pemerintah. Secara umum, dapat dikatakan bahwa sektor perumahan di Singapura diletakkan sebagai sektor privat yang dikelola secara publik. Ini karena pemilik rumah biasanya membiayai pembelian rumahnya dengan pinjaman gadai HDB, dan administrasi serta pemeliharaan dari kompleks menjadi tanggung jawab dewan kota. Negara tetap terlibat secara dalam, bahkan setelah flat HDB dijual. Penjualan flat yang sudah dibeli diizinkan untuk dilakukan melalui mekanisme pasar, meskipun HDB tetap melakukan regulasi atas kelayakan dan kondisi kredit.
36
2. Korea Selatan Untuk memberikan pelayanan kepada warganya yang berpendapatan rendah, pemerintah membuat kebijakan penyediaan rumah publik dan kontrol atas pasar. Ada dua tipe tenur rumah publik, yakni rumah milik dan sewa. Rumah publik sewa biasanya dianggap sebagai tipe tenur yang paling cocok untuk MBR. Korea National Housing Corporation (KNHC) adalah badan publik yang diciptakan untuk menyediakan rumah publik bagi rumah tangga miskin. Meski demikian, KNHC menjalankan bisnis layaknya perusahaan privat. Dalam membangun rumah, dana didapat dari pembeli rumah. Oleh sebab itu KNHC tidak dapat menyediakan rumah sewa dengan jumlah yang banyak karena menghadapi masalah finansial. KNHC juga diberikan kekuasaan untuk mengambil alih lahan jika peruntukannya ditujukan untuk membangun rumah bagi keluarga miskin. Akan tetapi, KNHC tetap merugi karena memiliki kewajiban untuk membangun rumah berukuran kecil bagi keluarga miskin, yang jelas tidak menguntungkan. Untuk mengimbangi defisit ini, KNHC berusaha mencari untung dengan bergerak di sektor keluarga kelas menegah, proyek-proyek di kota besar yang banyak permintaan pembangunan rumah, dan pembangunan permukiman dan kabupaten baru. Dengan demikian, pengadaan rumah bagi keluarga miskin dapat tetap dipertahankan melalui subsidi silang antar-regional dan antarkelas.
Sumber : UN Habitat, 2010 Gambar 1.5. Public housing di Seoul, Korea Selatan
37
Meski demikian, pengadaan rumah yang disediakan KNHC masih terlampau kecil untuk memenuhi kekurangan rumah. Untuk mengatasinya, pemerintah mempromosikan pembangunan perumahan oleh perusahaan swasta. Ini dapat dilakukan dengan mudah karena pada tahun ‘60 dan ‘70-an, negara memiliki kekuatan untuk membentuk pembangunan nasional secara keseluruhan, termasuk mengontrol pasar rumah dan pengembang swasta. UU Promosi Kontruksi Rumah diciptakan sebagai hukum organik tentang kebijakan perumahan di Korea, memberikan regulasi tentang operasi dari pendanaan rumah publik dan tata cara persetujuan akan proyek pembangunan rumah. Keseluruhan proses pembangunan mulai dari perencanaan situs sampai penjualan rumah harus disetujui oleh otoritas. Untuk mengontrol pasar, pemerintah mewajibkan pengembang swasta untuk menyediakan rumah dengan harga rendah untuk memfasilitasi akses rumah untuk rumah tangga berpendapatan rendah. Sarana yang digunakan adalah kontrol harga dan ukuran rumah. Pada mulanya kontrol harga diterapkan pada rumah publik, lalu sejak 1977 juga diterapkan ke rumah privat. Sementara itu, rencana pembangunan perumahan dengan jumlah lebih dari 50 rumah juga harus mendapatkan persetujuan pemerintah, tidak hanya perencanaan fisik namun juga penjualan rumah berikut harga yang harus disetujui. Dalam kontrol ukuran rumah, berbagai agensi pemerintah hanya menyediakan rumah dengan ukuran tertentu. Sementara itu, pengembang swasta juga dipaksa untuk menyediakan unit rumah yang kecil. Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa sistem rumah publik di Korea didesain dengan dasar investasi privat, akan tetapi diarahkan oleh kontrol administratif dari pemerintah.
3. Jepang Kondisi perumahan di Jepang telah sejak lama beranjak dari keprihatin an pada kuantitas menuju kepada kualitas. Jika pada saat pasca perang (1945) kekurangan rumah sebanyak 4,2 juta, pada tahun 1968 jumlah rumah yang ada sudah melebihi jumlah rumah tangga secara nasional. Pada tahun 1978, jumlah hunian sudah melebihi jumlah rumah tangga di setiap prefektur. Tahun 1998, jumlah total rumah sebesar 1,13 kali lebih banyak dari jumlah rumah tangga. Keberhasilan Jepang untuk menyelesaikan problem kuantitas rumah disebabkan karena kebijakan perumahan mumpuni yang ditetapkan melalui Program Konstruksi Rumah Lima Tahunan (PKRLT), yang pertama kali dikeluarkan pada ta-
38
hun 1966. Program ini merupakan kebijakan komprehensif tentang perumahan yang direncanakan untuk dilakukan selama lima tahun, mencakup standar rumah yang harus dicapai, peramalan tentang jumlah rumah yang dikonstruksi dalam 5 tahun, target konstruksi rumah yang didanai menggunakan dana publik, dan tindakan-tindakan penting terkait perumahan. Sepanjang sejarahnya, pemerintah membuat berbagai standar yang harus dipenuhi oleh rumah yang ideal. Pada tahun 1950, diundangkan UU Standar Bangunan yang berusaha menyelesaikan problem rawan kebakaran dari rumah yang ada saat itu karena kebanyakan masih menggunakan kayu. Caranya yaitu dengan mengganti bangunan kayu dengan bangunan apartemen beton yang diperkuat. Kemudian, ketika Jepang menjadi semakin modern dan masalah kuantitas rumah sudah teratasi, PKRLT 1976-1980 menetapkan standar rumah minimum, yakni standar minimal yang harus ada dalam rumah untuk menciptakan kehidupan yang sehat dan beradab. PKRLT yang sama juga menetapkan standar rumah rata-rata, yang mendesak untuk dipenuhi oleh rumah tangga rata-rata. Selanjutnya, pada PKRLT yang dimulai tahun 1986, diciptakan standar baru: standar rumah yang ditargetkan. Standar ini adalah garis pedoman untuk meningkatkan standar rumah dari perspektif jangka panjang. Berbagai standar tersebut belum termasuk beberapa UU yang dibentuk khusus untuk menjamin kualitas rumah, di antaranya UU Standar Bangunan yang menentukan level performa minimum dari sebuah rumah dalam kaitannya dengan struktur, fasilitas, pencegahan bencana, keamanan, sanitasi, dan lain-lain. Selain itu, ada juga UU Rasionalisasi Konsumsi Energi dan UU tentang Promosi Rehabilitasi Seismik Bangunan. Untuk melayani MBR, Jepang menciptakan sistem perumahan publik. Rumah publik adalah rumah sewa dengan harga rendah yang dikembangkan dan dikelola oleh pemerintah lokal dengan bantuan subsidi nasional. Mekanisme ini dilakukan sejak tahun 1951 seiring dengan disahkannya UU Perumahan yang Dioperasikan Publik. Sistem rumah publik di Jepang terdiri dari tiga pilar: rumah publik (rumah yang dioperasikan publik), rumah Urban Design Center (UDC), dan rumah publik pinjaman. Pada 2003, terdapat 2 juta unit rumah publik yang berfungsi sebagai jaring pengaman bagi pasar rumah. Skema lain yang dijalankan untuk membantu rumah tangga miskin yaitu dengan cara Government Housing Loan Corporation (GHLC) memberikan pinjaman jangka panjang berbunga rendah bagi individu yang mau membeli rumah.
39
Sumber : Institute for Futures Studies, 2003 Gambar 1.6. Perumahan di Jepang Seiring dengan terjaminnya kuantitas rumah dan kesejahteraan ekonomi, kebijakan perumahan di Jepang yang secara tradisional bertumpu pada sektor publik bergeser ke sektor privat. Pada era ini, dapat dikatakan bahwa pemikiran dasar dari kebijakan perumahan di Jepang adalah penggunaan pasar perumahan untuk menciptakan stok rumah dengan kualitas yang tinggi, dengan pemerintah melalui kebijakan publiknya berperan untuk menciptakan kondisi pasar yang kondusif, memberi arahan bagi pasar, dan melakukan suplementasi atas pasar. Kebijakan perumahan kini lebih berfokus pada kualitas dan likuiditas rumah. Pemerintah mempromosikan agar pasar perumahan mampu memberikan ber bagai pilihan kepada masyarakat.
40
4. Cina Kebijakan perumahan di Cina dapat secara umum dibagi ke dalam dua periode, yaitu periode sosialisme (1949-1978) dan pragmatisme (1978-sekarang). Periode sosialis menandai sejarah awal negara Cina modern yang memandang kepemilikan rumah secara privat sebagai hal yang kapitalistik dan karenanya ditentang. Ini berkaitan dengan masih kuat bercokolnya ideologi sosialisme yang keras dalam pandangan para pemimpin Cina masa itu. Pada periode ini, melalui kebijakan “pendapatan rendah, sewa rendah” rumah yang ada di kota kebanyakan disediakan oleh dan wei atau unit kerja, yakni rumah yang disediakan oleh perusahaan negara untuk disewakan dengan harga yang murah kepada para pekerjanya. Distribusi rumah oleh unit kerja ini didasarkan pada senioritas dan jabatan dari kepala keluarga. Sementara itu, rumah yang ada di daerah rural memenuhi kebutuhan rumahnya dengan cara membangun sendiri. Meskipun luasannya lebih besar dari rumah yang ada di kota, namun rumah rural amatlah sederhana dan miskin fasilitas. Kebijakan “pendapatan rendah, sewa rendah” mengakibatkan timbulnya fenomena kurangnya suplai rumah dan banyak rumah yang tak terawat. Penguasa melihat fenomena ini sebagai potensi akan kerusuhan sosial. Akhirnya, sejak 1978 seiring dengan kepemimpinan Deng Xiaoping kebijakan perumahan di Cina mulai bergeser menjadi lebih liberal. Pada mulanya pergeseran ini dilakukan secara hati-hati, dengan negara masih memegang kontrol langsung atas produksi dan alokasi rumah melalui unit kerja dan otoritas lokal sambil di sisi lain harga sewa di rumah milik unit kerja ditingkatkan secara gradual agar sama dengan level harga pasar. Harga sewa yang lebih tinggi ini akan mengurangi beban subsidi peme rintah dan sekaligus menyiapkan warga agar kelak mereka siap membeli rumah milik. Baru akhirnya pada tahun 1988, pemerintah mengakui bahwa reformasi perumahan adalah hal strategis yang dapat membawa keuntungan ekonomi dan sosial. Pada tahun 1994, diluncurkan reformasi kebijakan perumahan yang cukup drastis pada level nasional dengan diberlakukannya “Keputusan Departemen Negara tentang Pendalaman Reformasi Perumahan di Kota dan Kota Kecil (township).” Ada lima langkah yang diterapkan melalui keputusan tersebut: pertama, pembagian peran dalam tanggung jawab perumahan, di mana negara, unit kerja, dan individu membentuk tripartit kemitraan; kedua, membentuk Housing Provident Fund (HPF) sebagai badan yang berfungsi secara eksklusif untuk memberi bantuan pendanaan rumah. Sumber pendanaan HPF didapat dari unit kerja dan individu yang bersama-sama melakukan kontribusi pada rekening umum. Selain itu, bank yang ditunjuk juga memberi dana tambahan dengan pinjaman individual yang didapat melalui hipotek; ketiga, sosialisasi dan profesionalisasi manaje-
41
men perumahan: penyusutan peran dari negara dan unit kerja dalam produksi dan alokasi rumah dengan memberikan peran yang besar pada agen profesional untuk mengelola rumah; keempat, menjual rumah sewa publik kepada penghuni yang mendiaminya; dan kelima, rumah untuk rumah tangga berpendapatan menengah dan rendah tetap disediakan oleh negara, dengan jumlah tidak lebih dari 20% total jumlah rumah di suatu kota. Pada tahun 1998 sistem subsidi rumah mulai diganti dari penyediaan rumah subsidi ke subsidi yang langsung diberikan dalam bentuk uang. Dalam skema yang baru, pemerintah memberikan uang kepada pekerja agar digunakan untuk membeli atau menyewa rumah. Akan tetapi, pekerja yang telah mendapat subsidi uang ini tidak boleh lagi membeli atau menyewa rumah subsidi. Pada tahun yang sama pemerintah juga menerapkan sistem suplai rumah tiga tingkat yang disesuaikan dengan kelas yang dilayani: kelompok berpendapatan rendah dilayani dengan rumah dengan harga sewa rendah atau subsidi uang untuk meminjam rumah, kelompok berpendapatan menengah dilayani dengan rumah ekonomi (economy housing) yang dijual dengan harga yang ditetapkan peme rintah, dan kelompok berpendapatan tinggi kebutuhan rumahnya diserahkan murni pada pasar.
Sumber : New World China Land, 2009 Gambar 1.7. Permukiman di Chongwen, Cina
42
Reformasi kebijakan perumahan di Cina tidak dilakukan serentak secara nasional, melainkan diujicobakan terlebih dahulu di beberapa kota besar (Shanghai dan Guangdong) sebelum diaplikasikan ke kota-kota lain. Ujicoba dilakukan di beberapa kota besar yang menjadi percontohan dengan tujuan agar kemajuan dan hasilnya bisa dimonitor, juga mencegah terjadinya instabilitas nasional. HPF adalah tulang punggung dari kebijakan reformasi perumahan Cina. Latar belakang pembentukan dari institusi yang dimodelkan dari institusi serupa yang ada di Singapura ini adalah keadaan tahun 1980-an di mana kebijakan meningkatkan harga sewa rumah sesuai dengan harga pasar ternyata tidak berhasil dengan baik karena tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan warga yang menjadi kelompok sasaran. HPF memberikan bantuan dana kepada kelompok warga yang membutuhkan. Shanghai adalah kota tersukses yang menerapkan skema HPF. Kebijakan perumahan di Cina masih mengalami berbagai hambatan, di antaranya keterjangkauan harga rumah, akses masyarakat berpendapatan rendah, kenaikan harga sewa yang tak diimbangi dengan kenaikan gaji pekerja, gagalnya pembersihan rumah kumuh atau rumah yang tak terawat dengan baik, dan hak properti yang belum sepenuhnya dijamin keamanannya. Di antara masalahmasalah tersebut, tiga yang pertama patut mendapatkan perhatian lebih karena adanya keterkaitan yang erat. Problem pokoknya, advokasi pemerintah untuk membuat kebijakan yang berkeadilan (pro pasar dengan tetap memperhatikan rumah tangga lemah) belum dapat terlaksana secara maksimal karena kemauan politik yang kurang tinggi untuk membantu warga miskin. Contohnya, meskipun telah ditetapkan kebijakan perumahan yang disesuaikan dengan kategori kelas sejak 1998, namun ternyata di beberapa kota skema rumah sewa dengan harga yang rendah tidak disediakan. Bahkan pada kota yang telah menyediakan skema tersebut, jumlah orang yang membutuhkan masih jauh lebih besar daripada stok rumah yang tersedia. 5. Amerika Serikat Sebelum tahun 1940, mayoritas rumah tangga di Amerika Serikat (AS) menempati rumah sewa. Baru pada 20 tahun terakhir tingkat kepemilikan rumah naik dari 44% ke 62%. Puncak rasio kepemilikan rumah terjadi pada 2004 sebesar 69%, sebelum kemudian turun karena kenaikan harga rumah yang terjadi akibat gelembung pada pasar rumah dan penyitaan rumah besar-besaran setelah gelembung meletus. Terdapat kesenjangan yang besar antara rumah tangga yang tinggal di rumah milik dengan mereka yang tinggal di rumah sewa. Pendapatan ratarata pemilik rumah yaitu USD 61.700 pada tahun 2007, lebih dari dua kali lipat
43
pendapatan rata-rata penyewa. Dalam hal jumlah kekayaan, rata-rata kekayaan penyewa yaitu USD 5.300 hanya sebesar 2% dari rata-rata kekayaan pemilik yaitu sebesar USD 234.200. Isu kritis dalam pembangunan perumahan adalah keterjangkauan rumah bagi rumah tangga berpendapatan rendah. Meskipun hanya tinggal tersisa kurang dari 2% dari semua rumah tangga yang tinggal dalam kondisi rumah yang buruk dan kurang dari 4% yang tinggal dalam kondisi terlalu padat, namun ada lebih dari 30% pemilik rumah dan lebih dari 45% penyewa rumah yang persentase pengeluarannya untuk perumahan lebih besar dari standar umum, yakni sebesar 30% dari pendapatan. Bantuan pemerintah bagi rumah tangga miskin sangat minim. Setengah dari penyewa rumah yang berpendapatan sangat rendah dan tidak mendapatkan subsidi rumah membayar lebih dari setengah pendapatan mereka untuk biaya sewa dan hidup dalam rumah dengan kondisi mempriha tinkan.
Sumber : Ali Madanipour, 2007 Gambar 1.8. Perumahan di Virginia, Amerika Serikat
44
Problem keterjangkauan tersebut disebabkan oleh kurangnya langkah responsif atas permintaan rumah dari keluarga miskin. Selain itu, manakala penyewa berpendapatan rendah semakin meningkat jumlahnya, mereka justru mendapati turunnya suplai rumah yang terjangkau. Faktor lain yang juga memengaruhi munculnya masalah keterjangkauan bagi warga yang membutuhkan adalah pengurangan stok rumah yang disubsidi pemeritah federal (jumlah rumah publik turun sebanyak 250.000 unit atau 18% dari 1997-2007) dan berbagai regulasi pemerintah yang tidak produktif (aturan kode bangunan dan standar zonasi misalnya, menetapkan persyaratan tentang ukuran minimum rumah yang justru membuat warga miskin tak dapat menjangkaunya). Sejarah kebijakan perumahan Amerika mencatat terjadinya suatu pergeseran arah kebijakan. Dari sejak tahun 1930-an ketika pemerintah meng institusikan untuk pertama kalinya program perumahan nasional sampai de ngan pertengahan 1970-an, pemerintah federal merencanakan, mendanai, dan mengimplementasikan hampir seluruh program perumahan. Memang, pada masa itu kota dan kabupaten di Amerika mendirikan Agensi Perumahan Publik atau Public Housing Authorities (PHA) untuk memgembangkan dan mengelola rumah publik dan program voucher, akan tetapi PHA hanya memiliki otonomi yang kecil. Lalu mulai pada tahun 1970-an (dan berlanjut sampai sekarang), pola ini mulai berubah. Negara bagian dan pemerintah lokal semakin berperan besar dalam dinamika kebijakan perumahan. Ini terjadi setelah pemerintah meluncurkan untuk pertama kalinya program block grant, sebagai ganti dari skema categorical grant yang lebih tegas. Saat ini, pemerintah federal memang tetap mendanai mayoritas dari program subsidi, akan tetapi negara bagian dan pemerintah lokal mempunyai keleluasaan yang tinggi dalam kebijakan perumahan lokal, mencakup mulai dari menentukan jenis rumah yang disubsidi, target rumah tangga yang harus diprioritaskan, di mana rumah harus dibangun, menentukan sejauh mana pengembang nonprofit atau profit dapat terlibat, sampai pada tipe subsidi yang diberikan. Dalam hal program subsidi, terdapat empat tipe umum dari subsidi perumahan nasional, yaitu subsidi pajak dan finansial, Kredit Pajak Perumahan Berpendapatan Rendah, Perumahan Publik, dan voucher perumahan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa alih-alih memberikan bagian subsidi terbesar bagi me reka yang membutuhkan, pemerintah federal justru memberikan subsidi terbesar bagi mereka yang berkecukupan, yakni melalui benefit pajak untuk kepemilikan rumah. Pada tahun 2008, pengeluaran pemerintahan federal untuk bantuan pengeluaran langsung hanya sebesar USD 40,2 miliar; sementara pemotongan bunga hipotek berikut benefit pajak untuk pemilik rumah, yang notabene meng untungkan rumah tangga mampu, justru mencapai USD 200 miliar. Sebuah kajian menyebutkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan USD 250.000 per tahun
45
menerima manfaat subsidi sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga berpendapatan USD 40.000 sampai USD 75.000 setahun. Bahkan tanpa mempertimbangkan bantuan yang diberikan melalui sistem finansial oleh Fannie Mae dan Freddie Mac (dua agensi kredit yang disponsori pemerintah) sekalipun, bantuan perumahan masih tetap lebih condong menguntungkan pemilik rumah berpendapatan tinggi. Sejak akhir 70-an, negara bagian, pemerintah lokal, dan organisasi nonpro fit juga mulai berperan besar dalam pengembangan dan implementasi dari program perumahan lokal. Ada empat instrumen yang paling umum yang dilakukan oleh negara bagian dan pemerintah lokal untuk melayani kebutuhan perumahan dari rumah tangga berpendapatan rendah dan menengah, yakni block grant fe deral, pendanaan obligasi dengan pembebasan pajak, pendanaan trust perumah an, dan zona inklusi. Namun, apa yang penting untuk dicatat di sini adalah luasnya keterlibatan organisasi nonprofit dalam berbagai kebijakan perumahan lokal tersebut. Agensi pemerintah sangat jarang membangun atau merenovasi rumah atau menyediakan pelayanan perumahan secara langsung. Alih-alih, mereka lebih sering bekerjasama dengan kelompok lain untuk menjalankan programprogramnya, terutama dengan organisasi nonprofit. Untuk membantu organisasi nonprofit tersebut agar lebih maksimal dalam menjalankan pelayanannya, beberapa program perumahan utama seringkali mengharuskan negara bagian dan pemerintahan lokal untuk memberikan minimum sejumlah persentase tertentu dari pendanaan yang dimiliki agar dialokasikan kepada organisasi nonprofit.
6. Belanda Belanda adalah salah satu negara perintis di Eropa yang mengakui bahwa rumah merupakan hak sosial dan sekaligus kewajiban seluruh masyarakat. UU Perumahan di Belanda yang diterbitkan pada tahun 1901 adalah UU tentang perumahan yang pertama di Eropa. UU tersebut mewajibkan pemerintah daerah untuk secara aktif mengatasi persoalan perumahan pada waktu itu, yang di antaranya berisi peraturan yang mewajibkan pemerintah daerah mengeluarkan peraturan tentang baku mutu bangunan, rehabilitasi, dan kewenangan untuk menyatakan layak tidaknya suatu rumah untuk dihuni. Rumah tinggal di Belanda dapat dibagi dalam tiga sektor: sektor sewa-sosial, sektor sewa swasta, dan sektor milik. Sektor sewa-sosial disediakan oleh organisasi perumahan sosial dan pemerintah daerah. Sedangkan sektor sewa-swasta terdiri atas perumahan yang dimiliki oleh swasta perseorangan dan swasta-institusio nal seperti dana pensiun dan perusahaan asuransi. Kebanyakan rumah di Belanda adalah rumah milik organisasi sosial atau rumah pribadi. Keduanya cenderung bertambah banyak, sedangkan rumah milik pemerintah cenderung turun jumlahnya.
46
Sumber : www.wikipedia.com Gambar 1.9. Perumahan di Belanda Memang, beberapa tahun belakangan ini, pemerintah Belanda menggiatkan agar sebagian besar penduduknya memiliki rumah milik. Untuk itu, organi sasi perumahan sosial didorong untuk menjual sebagian dari stok rumahnya dalam jumlah cukup besar (sekitar 30.000 unit per tahun). Para tuan tanah pemilik rumah sewa swasta juga dianjurkan untuk menjual rumah-rumah sewa mereka. Selain itu sistem perpajakan pun menawarkan insentif kepemilikan rumah de ngan memberikan potongan pajak yang cukup besar untuk pembayaran cicilan rumah. Pemerintah Belanda memiliki tradisi penyediaan rumah dengan kinerja yang baik. Pada tahun 1980-an pada waktu terjadi pertumbuhan penduduk yang tinggi, Belanda telah mampu meningkatkan produksi perumahan dengan produktivitas yang tertinggi di Eropa. Hal ini bisa terjadi karena besarnya pengaruh sektor publik dalam pembangunan dan pengelolaan perumahan, baik pada level pemerintah nasional, provinsi, dan daerah. Hasil dari intervensi negara yang
47
besar tersebut terlihat dari data dan fakta berikut ini: persentase dari perumahan sewa sosial di Belanda lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Eropa Barat lainnya. Lebih dari 37% dari semua unit rumah yang ada merupakan rumah sewa sosial, sedangkan perumahan sewa swasta hanya 13%; harga sewa termasuk untuk rumah sewa swasta dikendalikan negara melalui mekanisme penetapan yang dilakukan oleh Forum Persewaan; persentase lahan milik pemerintah lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Eropa Barat lain. Pada awal tahun 2000-an sekitar 80% lahan perkotaan dimiliki oleh negara. Penguasaan pemerintah yang besar atas lahan tersebut pada gilirannya membuat perumahan sosial di Belanda tetap berada di lokasi yang sentral. Pemerintah Belanda mengembangkan sistem perumahan sosial yang solid sebagai strategi unggulan untuk menyediakan perumahan bagi MBR. Sejak UU Perumahan 1901, upaya pembangunan perumahan sosial sudah dipikirkan dengan pemberian kemungkinan bagi organisasi swasta untuk bekerjasama dengan pemerintah. Organi sasi perumahan sosial adalah organisasi swasta independen yang membangun, menyewakan, dan mengelola sejumlah rumah untuk MBR. Agar dapat beroperasi, suatu organisasi perumahan sosial harus terdaftar sehingga mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Pada mulanya organisasi perumahan sosial tidak dapat bergerak secara leluasa karena dikontrol ketat oleh pemerintah. Organisasi perumahan sosial menjadi semacam dinas perumahan di bawah pemda. Sebagai penyandang dana terbesar, pemda menentukan pengalokasian rumah bagi penghuni. Selain itu, apabila organisasi perumahan sosial menghasilkan keuntungan dari pengelolaan rumah, keuntungan tersebut harus disetor kembali ke negara. Akibatnya, semua organisasi perumahan sosial sangat lemah secara nasional. Belum lagi kelemahan lain dalam hal sistem manajemen karena kegiatannya yang tergantung dari kerja para sukarelawan. Situasi ini mulai berubah pada awal tahun 1990-an ketika pemerintah mengurangi turut campurnya dalam urusan perumahan sosial. Perubahan ini dilatari oleh situasi tahun 1980-an, di mana terjadi defisit anggaran yang sangat besar sehingga memaksa pemerintah untuk melakukan penghematan dalam berbagai hal, termasuk dalam bidang perumahan sosial. Pendekatan baru dari pemerintah tersebut yaitu berupa pengurangan subsidi modal sambil di sisi lain menaikkan subsidi sewa. Hal ini dilakukan mengingat bahwa banyak orang berpenghasilan tinggi menempati rumah dengan harga sewa yang rendah, sementara mereka yang berpenghasilan rendah justru membayar sewa yang tinggi. Kedepannya, pemerintah semakin mendorong pengurangan perumahan sosial sewa dan menambah pembangunan rumah milik (yang boleh dibangun oleh organisasi perumahan sosial).
48
Seiring dengan perubahan pendekatan pemerintah pada era 1990-an itu, sistem perumahan sosial di Belanda kemudian menjadi semakin mandiri. Kemandirian ini diciptakan melalui dua sistem, yaitu penyetaraan dan pembangun an tanpa subsidi. Brutering yang diinisiasi pada 1993 adalah suatu sistem subsidi dan pembayaran antara pemerintah dengan asosiasi perumahan sosial. Brutering didasarkan pada sebuah perhitungan kebutuhan subsidi negara yang masih perlu diberikan pada asosiasi perumahan sosial dan perhitungan uang yang harus dibayarkan oleh asosiasi kepada pemerintah. Skema ini dilakukan untuk menyelesaikan kewajiban pemerintah dan asosiasi perumahan yang masih tersisa secepatnya. Ini dilakukan agar pemerintah tidak perlu lagi memberikan subsidi kepada asosiasi perumahan. Skenario ini dipertimbangkan dengan pemikiran bahwa organisasi perumahan sosial harus memikul tanggung jawab yang lebih besar dan mandiri. Sistem kedua yang diciptakan untuk mengembangkan sistem perumahan sosial yang mandiri adalah pembangunan tanpa subsidi. Belanda merupakan negara yang tidak memberikan subsidi untuk merangsang investasi sektor swastamelalui peningkatan keuntungan. Inti sistem pengadaan perumahan adalah pengendalian biaya dan pengaturan harga. Untuk menegakkan sistem ini secara prima, intervensi dari pemerintah diterapkan di semua bidang yang mempengaruhi biaya pembangunan dan pengelolaan dari tempat tinggal, dimulai dari perencanaan, pembangunan, pendanaan, administrasi, sampai pada penge lolaan kompleks perumahan dan pengendalian harga sewa. Hasil dari upaya intervensi tersebut dapat dikatakan berhasil. Biaya pembangunan sebuah rumah sewa sosial di Belanda misalnya, adalah yang terendah di Eropa. Intervensi terhadap pasar perumahan di Belanda dilakukan untuk mening katkan efisiensi pasar dan menghindari spekulasi dan kenaikan harga tidak wajar di satu pihak, tetapi di lain pihak tetap menjaga agar tingkat produksi yang dibutuhkan tetap dapat dipenuhi. Intervensi negara tersebut tidak dimaksudkan untuk mengambil alih peran sektor swasta maupun inisiatif masyarakat, namun tetap memberi hak hidup kepada berbagai sistem pengadaan perumahan yang ada secara adil. Dengan cara-cara yang dilakukan pemerintah tersebut, tercapai harga sewa yang terjangkau bagi semua lapisan sosial, kualitas rumah yang tinggi, integrasi sosial yang kuat, dan partisipasi penghuni yang kuat. Di sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan negara di sektor perumahan berangkat di satu sisi dari kebutuhan masyarakat akan perumahan, tetapi di sisi lain juga negara tidak pernah mengambil alih tanggung jawab masyarakat atas perumah an. Negara selalu berusaha meningkatkan kemampuan para pelaku perumahan baik organisasi perumahan sosial maupun sektor swasta.
49
Di era sekarang, dominasi rumah sewa dalam pasar perumahan di Belanda sudah semakin berkurang. Penguatan dan pemandirian asosiasi perumahan sosial adalah bagian dari rencana pemerintah untuk meningkatkan jumlah rumah milik. Pasar perumahan akan diarahkan pada sistem ganda yang terdiri dari perumahan sewa-sosial dan perumahan milik yang dibiayai melalui mekanisme pasar. Akibatnya perumahan sewa nonsosial yang dibiayai oleh swasta menjadi semakin berkurang, karena semakin banyak yang dijual oleh pemiliknya.
7. Jerman Pembangunan perumahan bagi MBR di Jerman bertumpu pada mekanisme tabungan perumahan yang solid, yang dikenal dengan nama Bausparen (tabungan perumahan). Pada tahun 1928, didirikan Bausparkasse (Bank Tabungan Perumahan) yang pertama di Jerman. Sejak 1934 dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, Bausparkasse memperoleh perlakuan khusus pemerintah, antara lain keringanan pajak bagi penabung untuk membangun rumah dan kepastian hukum bagi nasabah untuk memperoleh kredit perumahan bertahap. Salah satu faktor determinan yang membuat pembangunan rumah di Jerman berhasil adalah cara pandang yang strategis terhadap rumah. Usai Perang Dunia II, secara sadar sektor perumahan dijadikan sebagai salah satu lokomotif pertumbuhan ekonomi. Pandangan demikianlah yang turut mendorong perkembangan Bausparen di Jerman.
Sumber : www.wikipedia.com
Gambar 1.10. Perumahan di Jerman 50
Bunga Bausparen sedikit lebih rendah dari bunga komersial. Namun bukan hanya bunga rendah keuntungan yang didapatkan oleh para penabung. Bila tabungan mencapai 40-50% harga bangunan plus tanah yang akan dibeli, maka penabung berhak memperoleh kredit sesuai dengan kebutuhannya untuk mendapatkan (membangun, merenovasi, dan/atau memperluas) rumah, yang disebut dengan Bauspardarlehen (kredit perumahan). Selain itu, dengan memiliki uang tabungan ditambah dengan Bauspadarlehen, seseorang masih dapat memperoleh kredit untuk menutupi kekurangan dana yang dibutuhkan untuk mendapatkan rumah dan kebutuhan terkait. Bausparen adalah skema tabungan perumahan umum, di dalamnya ditawarkan berbagai alternatif pelayanan dan program. Terdapat berbagai skema tarifalternatif yang berbeda-beda atas dasar jangka waktu pengembalian, tingkat suku bunga tabungan, dan cicilan pokok. Selain itu, para penabung juga berkesempatan untuk mengubah kontrak tabungan perumahannya secara fleksibel. Sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan penabung, jumlah cicilan, waktu pencicilan, dan waktu pengambilan kredit bisa diubah di tengah waktu. Melalui tabungan perumahan, negara memberikan insentif bagi warganya untuk memiliki rumah dengan cara menabung. Ada berbagai cara yang dilakukan oleh negara untuk mendukung pengembangan dan keberlanjutan dari Tabung an Perumahan, di antaranya insentif pembangunan perumahan, pemotongan pajak bagi pengeluaran yang diperuntukkan bagi perumahan, insentif tabungan perumahan bagi pekerja, dan lain-lain. Dengan menggunakan tabungan sebagai cara untuk memperoleh rumah, akan didapatkan beberapa keuntungan. Pertama, bisa dihindari kenaikan harga dan bunga kredit dalam sektor properti. Kedua, dapat dihindari skenario kenaikan jumlah subsidi yang disalurkan oleh peme rintah yang tidak ditunjang oleh tabungan warga. Ketiga, sistem Bausparen tidak tergantung pada fluktuasi bunga di pasar modal, dan karenanya juga berakibat pada stabilisasi sektor perumahan. Dari segi kelembagaan, kebijakan yang dipilih oleh Pemerintah Jerman untukmembantu MBR dalam mendapatkan rumah adalah mengembangkan koperasi perumahan. Pembangunan rumah yang dilakukan dengan menggunakan mekanisme perumahan biasanya berupa perumahan kecil yang sehat dengan harga sewa terjangkau yang dibangun oleh pengembang nonprofit. Penggiatan koperasi perumahan mulai terjadi sejak tahun 1880, sebagai kebijakan negara yang ditujukan untuk mengurangi konflik antara pemilik modal dan kaum buruh. Pada saat itu, intervensi negara dalam bidang sosial dan kesejahteraan secara luas menggantikan konsep self-help yang cenderung liberal. Ini adalah embrio dari kemunculan ideologi negara kesejahteraan yang diterapkan di Jerman. Hal ini diperkuat pada tahun 1881 dengan dilaksanakannya asuransi sosial yang
51
membuka jalan bagi pemberian subsidi bagi perumahan ukuran kecil. Kemudian pada tahun 1889, ditetapkan peraturan yang menjadikan status koperasi sebagai Perseroan Terbatas, di mana dengan status tersebut koperasi bisa memperoleh berbagai keuntungan seperti peluang untuk menggunakan dana jangka panjang berbunga rendah dari asuransi sosial. Sudah sejak sebelum Perang Dunia II, kinerja koperasi perumahan begitu baik sehingga seringkali mendapatkan tugas atas nama pemerintah untuk membangun rumah. Campur tangan negara dalam upaya menggerakkan koperasi perumahan dilakukan melalui penetapan UU Bantuan Membayar Rumah Kecil (1873) dan UU Bantuan Pembangunan Perumahan Kecil (1902). Keduanya merupakan dasar hukum yang mewajibkan pemerintah untuk mengalokasikan bantuan bagi para pengembang rumah kecil. Kedua UU tersebut juga bertujuan untuk menjamin keterjangkauan harga sewa dari pengembangan rumah kecil tanpa memberikan efek distortif pada pasar perumahan. Untuk itu, pemerintah memberikan tanah negara dengan harga murah dan cara pembayaran yang lunak kepada pengembang agar mereka tetap bergairah membangun rumah bagi MBR.
D. Benchmark Kebijakan Perumahan di Indonesia Dalam rangka membangun sistem kebijakan perumahan berparadigma kesejahteraan yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi Indonesia, maka Indonesia dapat belajar dari sistem kebijakan perumahan yang ada di luar negeri. Proses pembelajaran yang dilakukan tersebut tidak dilakukan dengan cara meng adopsi sistem kebijakan perumahan yang ada di suatu negara yang dirasa paling baik di antara yang lain. Alih-alih melakukan hal tersebut, akan lebih bermanfaat apabila Indonesia mengambil referensi dari banyak negara secara sekaligus. Apa yang diadopsi adalah elemen-elemen terkuat yang ada dalam sistem kebijakan perumahan suatu negara, entah dalam hal pembiayaan, tata kelola, atau institusi. Secara makro, desain sistem kebijakan perumahan di Indonesia mirip de ngan apa yang terjadi di Cina dalam hal pengurangan jumlah subsidi. Dalam sejarah kebijakan perumahannya, Cina mengalami peralihan dari sistem kebijakan yang condong kepada pemberian subsidi rumah yang besar untuk warga negara nya menuju ke pengurangan jumlah subsidi. Hal ini dilakukan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan warga negara dan meningkanya pertumbuhan ekonomi selama hampir tiga dekade terakhir. Demikian pula halnya yang terjadi di Indonesia. Proyeksi masa depan yang diperkirakan akan terjadi di negeri ini adalah fenomena berupa semakin banyak dan kuatnya jumlah kelas menengah di Indonesia. Kelas menengah tersebut tidak akan memiliki kesulitan lagi dalam
52
menjangkau rumah yang layak huni. Dalam pada itu, wajarlah apabila subsidi pemerintah untuk pembangunan rumah bagi MBR akan semakin dikurangi. Apabila skenario tersebut benar-benar terjadi, maka arah kebijakan kese jahteraan Indonesia di bidang perumahan akan merujuk pada apa yang terjadi di Jepang. Di negeri itu, intervensi pemerintah di bidang perumahan sudah tidak lagi diarahkan pada pembangunan kuantitas rumah untuk menutup jumlah backlog, melainkan pada peningkatan kualitas hunian melalui berbagai perangkat seperti standar kualitas dan keamanan hunian, pembangunan Pusat Sarana Umum (PSU) di lingkungan permukiman, fasilitas untuk orang cacat dan orang tua, dan lain-lain. Dalam hal penyediaan moda-moda perumahan, Indonesia dapat mencontoh pada apa yang terjadi di Amerika. Di sana, penduduk mempunyai opsi berhuni yang banyak karena sistem perumahan yang ada menawarkan macammacam jenis rumah sesuai dengan kebutuhan dari penduduk. Tidak hanya rumah milik, di Amerika pengembangan rumah sewa, sosial, dan komunitas juga dilakukan secara simultan. Skema multimoda demikian sangatlah sesuai dengan Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang banyak, maka secara otomatis preferensi dan idealitas mereka akan rumah juga bermacam-macam. Penyediaan jenis-jenis rumah yang bervariasi adalah sistem yang mampu mengakomodasi kebutuhan penduduk dengan memuaskan. Untuk mengontrol perilaku pasar yang tak sehat, Indonesia dapat mena rik pelajaran dari Belanda. Pemerintah Belanda sudah sejak lama menanamkan prinsip fundamental berikut dalam sejarah kebijakan perumahannya, yakni pe ngendalian biaya dan pengaturan harga. Kedua macam prinsip tersebut diejawantahkan melalui berbagai macam program dan skema. Dengan mengontekstualisasikannya sesuai dengan kondisi Indonesia, dapat dihindari terjadinya ekses pasar perumahan yang memberikan efek negatif massal. Ada pun dalam hal pembiayaan, pemerintah dapat meniru Jerman yang memiliki Bausparen atau Singapura yang memiliki CPF. Keduanya merupakan sistem tabungan yang didesain sedemikian rupa agar warga negara mempergunakan tabungannya untuk dapat memiliki rumah secara pribadi. Meski demikian, apabila pemerintah Indonesia mau menggunakan sistem tabungan perumahan sebagai referensi, hal yang jangan sampai luput untuk diperhatikan adalah pen tingnya perhatian kepada para warga negara yang tidak mampu menabung karena tidak mempunyai pendapatan rutin atau pendapatannya sangat sedikit. Pada warga negara semacam ini, pemerintah masih harus tetap memberikan subsidi.
53
Tabel 1.1. Benchmark Kebijakan Perumahan Indonesia Negara
Aspek yang diadopsi atau diadaptasi
China
Pengurangan jumlah subsidi secara bertahap
Jepang
Peralihan fokus intervensi dari kuantitas menuju kualitas rumah
AS
Variasi yang beragam atas moda perumahan
Belanda
Penanaman prinsip pengendalian biaya dan pengaturan harga rumah demi melindungi MBR dalam kebijakan publik
Jerman
Tabungan perumahan (Bausparen)
Singapura
Tabungan perumahan (CPF)
E. Akselerasi Pembangunan Perumahan Nasional Upaya melakukan akselerasi pembangunan sistem perumahan nasional berparadigma kesejahteraan harus dipadankan dengan Rencana Jangka Panjang Nasional (RJPN) yang telah ditetapkan. Ini agar pembangunan sistem perumahan berada di jalur yang searah dengan visi strategis pembangunan nasional secara keseluruhan. Untuk hal ini, UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangun an Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 harus menjadi acuan bersama. Dengan mengontekstualisasikan isi dari UU RPJPN dalam kaitannya dengan halhal strategis di bidang perumahan, maka capaian kinerja perumahan dalam semangat pencapaian tujuan pembangunan hendaknya diarahkan pada hal-hal berikut ini : a) Peningkatan kualitas hidup melalui sektor papan •
Memprioritaskan pengeluaran rumah tangga untuk rumah
•
Kecepatan pembangunan sistem massal dengan industri perumahan (prefabrikasi/pracetak bangunan)
•
Peningkatan kesehatan, pendidikan, dan pangan
b) Kota tanpa permukiman kumuh •
Sistem livelihood/distribusi pertumbuhan ekonomi yang merata
•
Sistem pembiayaan perumahan terjangkau jangka panjang
c) Perumahan yang pro-poor, pro-growth, pro-job
54
•
Perumahan untuk pekerja, bagi masyarakat yang produktif, belum produktif, dan tidak produktif (vulnerable)
•
Jaminan sosial pada perumahan
Satu hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai target-target tersebut adalah pentingnya menggunakan alat ukur yang adil. Berkaitan dengan alat ukur tersebut, apa yang disebut dengan indikator kesejahteraan dapat dijadikan sebagai pegangan pengambil kebijakan. Indikator kesejahteraan merupakan parameter pengukuran kesejahteraan yang diciptakan sebagai respon atas tiadanya parameter yang jelas dalam menilai tingkat kesejahteraan masyarakat. Karena tiadanya alat ukur yang jelas tersebut, penilaian terhadap tingkat kesejahteraan menjadi bias. Memang, ketidakjelasan tersebut terkait pula dengan perbedaan persepsi antar instansi. Indikator kese jahteraan memerlukan asumsi makro yang memuat pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga, nilai tukar rupiah, dan lain sebagainya. Asumsi makro tersebut harus melekat pada indikator kesejahteraan. Indikator kesejahteraan ekonomi yang diusulkan oleh pemerintah antara lain nilai tukar petani dan nela yan, rasio gini, serapan tenaga kerja setiap 1% pertumbuhan ekonomi, dan angka kemiskinan (Kompas, 11 September 2012). Indikator kesejahteraan masyarakat juga tidak mungkin jika menggunakan parameter global karena setiap kelompok masyarakat memiliki kemampuan yang berbeda dalam mewujudkan kesejahteraan. Indikator yang digunakan sebagai acuan dalam penilaian taraf hidup masyarakat dapat terlihat jika diukur melalui aspek-aspek yang terlihat. Di luar hal-hal yang diusulkan pemerintah, indikator kesejahteraan yang komprehensif juga mestinya memuat aspek-aspek kependudukan, gizi, kesehatan, pendidikan, dan pola konsumsi. Dalam kaitannya de ngan bidang perumahan, perluasan indikator kesejahteraan mutlak diperlukan agar upaya pembangunan sistem perumahan berparadigma kesejahteraan dapat terjangkau, di antaranya perumahan yang terjangkau, sehat, aman, dan dikelilingi dengan akses yang mudah atas prasarana, sarana, utilitas (PSU) dan pelayanan publik yang vital. Dalam jangka pendek, upaya akselerasi dilakukan untuk mengatasai masalah-masalah perumahan yang paling mendesak. Untuk saat ini, yang menjadi prioritas adalah pengurangan jumlah backlog dan pengurangan kawasan kumuh. Tentu, strategi ini juga harus diimbangi secara simultan dengan strategi lain yang menyentuh sektor-sektor pembangunan yang tak tekait langsung dengan perumahan, misalnya pencegahan peningkatan urbanisasi melalui pemerataan pembangunan.
55
Sumber : Dok.HRC, 2012
Gambar 1.11. Rumah merupakan hak konstitusional setiap warga negara karena sifatnya sebagai kebutuhan dasar
56
SISTEM PERUMAHAN BERPARADIGMA NEGARA KESEJAHTERAAN
2
Kebijakan perumahan di masa depan dirancang sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam berbagai kebijakan dan program yang ada saat ini. Namun, lebih dari upaya perbaikan parsial yang bersifat tambal sulam dan spontan, kebijakan perumahan di masa depan harus dilandaskan kepada sikap dasar dan nilai-nilai yang jelas sebagai fondasinya. Selain itu, kebijakan perumahan haruslah dikonstruksikan sebagai suatu sistem. Sebagai sebuah sistem, maka sudah selayaknya apabila sistem kebijakan perumahan me ngandung ciri-ciri dari sebuah sistem, seperti: keterkaitan antar unsur-unsur yang bersifat fungsional, integrasi antar elemen yang diikat melalui tujuan, nilai, dan norma-norma dasar, kemampuan untuk beradaptasi menghadapi perubahan dan tekanan, dan mekanisme pengolahan input dari lingkungan secara efektif. Salah satu kriteria evaluatif terpenting untuk menilai keberhasilan dari suatu sistem adalah kemampuannya untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks sistem kebijakan perumahan, tujuan utama yang ingin dicapai adalah teraktualisasikannya hak seluruh rakyat akan perumahan. Apabila seluruh warga negara yang membutuhkan rumah mampu mengakses rumah, maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari sistem kebijakan perumahan tercapai. Jika kemudian level tersebut telah tercapai, maka sistem kebijakan perumahan akan digerakkan untuk menjaga keberlanjutan dari kondisi tersebut agar tidak mengalami penurunan kondisi ke arah lama. Agar rancangan sistem kebijakan perumahan mampu mengatasi krisis yang terjadi saat ini sekaligus menghadapi tantangan di masa depan, maka dibutuhkan paradigma dan landasan teoretis yang kuat. Dalam hal ini, konsepsi mengenai kebijakan perumahan dalam konsepsi negara kesejahteraan dan paradigma berbasis hak. Selain perancangan sistem kebijakan perumahan yang solid, juga dibutuhkan pula informasi dan pemetaan yang lengkap atas kondisi yang saat ini terjadi. Bagian ini membicarakan tentang rancangan sistem perumahan nasional berparadigma kesejahteraan. Untuk itu, pertama pemaparan tentang seluk beluk dari negara kesejahteraan beserta konsep ikutannya, yakni kebijakan sosial, untuk memberikan pemahaman yang terang mengenai apa yang dimaksud de ngan negara kesejahteraan. Selain mencakup pengertian dasar tentang negara
57
kesejahteraan dan kebijakan sosial, akan dipaparkan pula latar historis negara kesejahteraan dan dampak ekonomi dari negara kesejahteraan. Selanjutnya, akan ditelaah model atau paradigma kesejahteraan yang paling tepat untuk Indonesia.
A. Negara Kesejahteraan dan Kebijakan Sosial Sebagai kebutuhan dasar yang tercakup sebagai salah satu prasyarat minimal untuk dapat hidup dengan layak dan bermartabat, rumah dibutuhkan oleh semua keluarga. Meski demikian, pengadaan dan pemenuhan kebutuhan perumahan bukanlah sesuatu yang sederhana sehingga dapat di kerjak an dengan pola kerja business as usual. Isu perumahan merupakan hal yang kompleks karena di dalamnya terdapat banyak variabel yang datang dari berbagai aktor dalam suatu lingkungan yang fluktuatif. Bagaimana kompleksitas tersebut dapat dikelola dengan mekanisme yang efektif akan bergantung pada perspektif yang diadopsi pemerintah dalam memandang rumah itu sendiri?
Apabila rumah dipandang sebagai komoditas yang tak ada bedanya dengan barang konsumsi lain, maka pemenuhan akan kebutuhan perumahan diserahkan kepada warga negara sendiri yang memiliki kemampuan berbeda-beda untuk mengaksesnya. Sebaliknya apabila rumah dipandang sebagai hak konstitusional yang dimiliki oleh setiap warga negara karena bersifat sebagai kebutuhan dasar, maka pemerintah mempunyai kewajiban konstitusional dan moral untuk meletakkan isu perumahan sebagai salah satu prioritas utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Asumsi rumah yang demikianlah yang dianut oleh negara kesejahtera an. Negara kesejahteraan memberikan perhatian serius pada isu perumahan karena disadari bahwa perumahan memberikan dampak ekonomi yang signifikan sehingga apabila negara lepas tangan akan isu perumahan, maka kondisi ekonomi negara tersebut menjadi tak terkontrol. Sebagai salah satu
58
Sumber : Dok. HRC, 2007 Gambar 2.1. Rumah toko di pinggir jalan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi sebuah kawasan kebutuhan dasar selain pangan dan sandang, rumah adalah basis dan landasan bagi perkembangan ekonomi itu sendiri. Apabila suatu keluarga telah memiliki rumah, keluarga tersebut mendapatkan jaminan keamanan dan kepastian dalam melakukan kegiatan sehari-harinya, termasuk kegiatan ekonomi. Dengan memiliki rumah, setiap anggota keluarga akan yakin bahwa usaha ekonominya tidak akan berakhir dengan sia-sia karena diterpa goncangan atau kebutuhan mendadak. Melalui perannya sebagai penjamin keamanan bagi kegiatan ekonomi tersebut, rumah sesungguhnya dapat dipandang sebagai unit dasar dari dunia ekonomi.
59
Tidak hanya memberikan faktor keamanan psikologis bagi keluarga, rumah juga mampu memberikan manfaat ekonomi dalam cara yang lebih langsung dan objektif. Rumah yang terletak di daerah strategis misalnya, akan meningkatkan peluang bagi penghuninya untuk mengakses lapang an pekerjaan karena terletak di dekat rumahnya. Selain itu, juga akan mendekatkan penghuni rumah kepada sumber-sumber ekonomi primer yang vital, misalnya pangan. Sementara dalam perspektif ekonomi yang lebih makro, rumah dapat dikatakan sebagai aset tak bergerak yang paling umum. Di sisi lain, rumah adalah investasi utama yang mengkonstitusikan kekayaan personal individu. Karenanya, dalam pasar perumahan, aliran uang yang besar mengalir masuk dan keluar secara cepat di dalamnya. Maka tak heran jika seringkali pasar perumahan dapat memengaruhi dinamika ekonomi di suatu negara secara signifikan, bahkan tak jarang menimbulkan kekacauan. Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika tahun 2008 lalu dan kemudian merembet ke seluruh dunia misalnya, pada mulanya disebabkan oleh gejolak yang terjadi di pasar perumahan. Rumah juga dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai kondisi perekonomian dari warga negara. Namun, ini dengan catatan bahwa pasar perumahan berjalan secara transparan dan adil. Misalnya, apabila penetap an harga rumah dilakukan secara wajar dan obyektif, maka harga rumah dapat dijadikan sebagai indikator akurat yang mencerminkan pengeluaran utama dari rata-rata anggaran rumah tangga. Selain itu, sektor perumahan juga memberikan dampak besar pada industri karena sektor ini mampu menggerakkan setidaknya 120 industri yang terkait dengan perumahan. Dengan dampak yang luas dari segi ekonomi tersebut, maka perumah an secara otomatis memengaruhi kondisi kesejahteraan rakyat. Inilah yang membuat negara kesejahteraan memberikan perhatian luas atas perumahan. Kemudian, apakah yang sesungguhnya dimaksud dengan negara kesejahteraan? Esensi dari negara kesejahteraan terletak pada komitmen institusional untuk menyeimbangkan isu kesetaraan dengan operasi yang efisien dari ekonomi pa sar. Untuk menjalankan hal tersebut, negara kesejahteraan mengembangkan berbagai instrumen kebijakan dalam rangka mengintegrasikan upaya untuk melakukan redistribusi keuntungan pasar dengan tujuan sosial yang lebih luas dari pemerintah. Karena faktor inilah, negara kesejahteraan sering disebut sebagai ekspresi institusional dari solidaritas sosial. Negara kesejahteraan terdiri atas seperangkat luas institusi, kebijakan, dan program yang ditujukan untuk mengamankan standar kehidupan yang layak bagi mayoritas populasi. Tentu, dalam kenyataannya, negara kese-
60
jahteraan berbeda-beda dalam hal rentang dan kedalaman dari komitmennya untuk menjalankan prinsip-prinsip negara kesejahteraan secara penuh. Karena latar belakang gerakan buruh yang kuat dan lamanya kelompok sosi al demokrat memegang luas, negara-negara Skandinavia menampilkan diri sebagai negara kesejahteraan yang paling ekstensif dan radikal. Meski demikian, di tengah perbedaan karakter, tipe, dan kedalaman, pada dasarnya setiap negara kesejahteraan berbagi satu hal yang sama, yaitu bahwa setiap negara kesejahteraan lahir sebagai akibat dari modernisasi yang sukses. Modernisasi ditandai oleh pembagian kerja masyarakat (division of labor) yang semakin kompleks dan industrialisasi. Perubahan struktural tersebut seringkali mengakibatkan biaya-biaya sosial yang memberikan kerugian bagi sebagian anggota masyarakat. Dalam kondisi sedemikian, maka perlulah untuk menciptakan kebijakan politik dalam rangka inklusi semua individu dalam ranah-ranah kehidupan, tanpa ada satu pun yang tersingkir. Dengan pola sosiologis inti yang dialami oleh semua negara kesejahteraan tersebut, maka derivasi biasanya dilakukan setelah mempertimbangkan hubungan negara kesejahteraan dengan sistem ekonomi. Dalam hal ini, seringkali dibedakan antara sosialisme negara (contoh: Uni Soviet sebelum bubar), kapitalisme kesejahteraan (AS), dan negara kesejahteraan atau “model Eropa”, yang dicirikan oleh kompromi antarkelas dan tensi berkesinambungan antara intervensi negara dengan tekanan pasar.
1. Perspektif Historis Negara Kesejahteraan Ide dasar tentang negara kesejahteraan pada dasarnya telah muncul sejak zaman pramodern. Waktu itu di Eropa, raja dan pangeran bertanggung jawab atas keamanan, kesejahteraan, dan kebahagiaan dari kawulanya. Misalnya, Inggris sudah sejak zaman Ratu Elizabeth I (1559-1601) memunculkan UU untuk orang miskin yang berisi fitur-fitur dasar dari apa yang dikenal seba gai kebijakan sosial, mencakup mulai dari definisi masalah (“kemiskinan”), klasifikasi penerima berikut pendekatan selektifnya, implementasi kebijakan pada birokrasi, dan aturan pendanaan. Dalam pengertiannya yang lebih modern, negara kesejahteraan berikut kebijakan sosial yang mengiringinya muncul pada abad ke-19. Introduksi dari negara kesejahteraan modern tersebut merupakan respon dari perubaha n sosial dramatis yang terjadi pada masa transisi menuju skala industrialisasi penuh, dan juga sebagai respon atas maraknya gerakan buruh yang menuntut pelayanan negara. Britania Raya dan Swiss menjadi pelopor dari negara kesejahteraan modern, yang lalu kemudian menyebar ke negara-negara lainnya. Berturut-turut berbagai persetujuan dalam tataran
61
nasional yang menegakkan prinsip negara kesejahteraan diberlakukan, mulai dari Persetujuan September di Denmark (1899), berlanjut ke Jerman (1918), Perancis (1936, 1968), Swiss (1937), Swedia (1938). Dalam berbagai kesepakatan tersebut, dicapai persetujuan antara majikan, serikat buruh, dan negara untuk menjamin diciptakannya perlindungan kerja, asuransi sosial, dan pemenuhan hak-hak pekerja lainnya. Jika pada mulanya institusionalisasi negara kesejahteraan ditujukan untuk menjamin agar kelas pekerja (buruh) mendapat kemanfaatan pertumbuhan ekonomi secara layak, maka pasca Perang Dunia II negara kesejahteraan telah melakukan ekspansi baik dalam hal rentangan maupun tujuan yang lebih luas. Meski demikian, pergeseran orientasi dari kebijakan sosial untuk buruh menuju rangkaian komprehensif kebijakan kesejahteraan untuk seluruh anggota masyarakat sesungguhnya telah dicanangkan sejak tahun 1944 melalui Deklarasi Philadeplhia oleh International Labor Organization (ILO), yang kemudian dimasukkan dalam konstitusi ILO tahun 1946. Ide yang terdapat di dalam dokumen tersebut kemudian digemakan kembali dalam Artikel 55 dari Piagam PBB, dan berpuncak pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 yang menegaskan imperatif akan hak ekonomi, sosial, dan budaya di samping hak-hak sipil dan politik. Sejak tahun 1980-an, seiring dengan dilakukannya deregulasi pasar finan sial dan berjayanya paradigma ekonomi neoklasik dengan naiknya Margaret Thatcher dan Ronald Reagan sebagai pemimpin negara, gagasan tentang negara kesejahteraan mulai digoyang dan diragukan. Skema negara kesejahteraan dianggap memicu terjadinya disinsentif ekonomi dan kerja. Paradigma negara kesejahteraan mengalami krisis. Meski demikian, ide dasar dan optimisme negara kesejahteraan masih bertahan. Mayoritas warga negara dari negara kesejahteraan menyuarakan harapan bahwa skema lama tetap dipertahankan. Bagaimanapun, gugatan yang sempat diarahkan kepada negara kese jahteraan menyebabkan terjadinya transformasi dan evolusi dalam gagasan dan praksis tentang negara kesejahteraan. Kini, titik tekan mulai digeser dari negara redistributif (redistributive state) ke negara pemberdaya (enabling state) (Gilbert 2002). Demikian pula isu tentang kelas sosial kehilangan sentralitasnya, digantikan oleh isu-isu lain seperti kependudukan berupa perubahan struktur demografi, kesenjangan serta konflik antar regional dan antar generasi, dan lain-lain. Dalam hal sektor yang diintervensi, terjadi pergeseran dari jaminan sosial ke kebijakan pendidikan dan keluarga, juga dari proteksi pekerja menjadi proteksi pengangguran. Adapun dari perspektif pengemban tanggung jawab, kini penyelenggara kebijakan sosial tidak lagi eksklusif dijalan kan oleh pemerintah sebab mulai dilibatkan pula pihak swasta, baik profit maupun nonprofit. Skema ini disebut dengan “pluralisme kesejahteraan”.
62
B. Dampak Ekonomi Negara Kesejahteraan Negara yang mengadopsi model negara kesejahteraan dalam menyelenggarakan pemerintahannya memberikan dampak yang besar pada perekonomian negara, baik pada level mikro maupun makro. Dengan memberikan bantuan pendapatan bagi orang-orang yang membutuhkan dan membiayainya melalui skema pajak progresif, negara kesejahteraan melakukan redistribusi pendapatan dari penduduk kaya ke miskin dan dengan demikian mampu mengurangi kemiskinan dan menjamin tersedianya kebutuhan hidup standar bagi seluruh populasi. Kondisi ini memberikan efek ekonomi berupa menurunnya jumlah penduduk miskin dan menurunnya kesenjangan pendapatan antarpenduduk. Meski demikian, harus didasari pula bahwa redistribusi dalam negara kesejahteraan tidak secara eksklusif dinikmati oleh penduduk miskin belaka. Kebijakan redistributif dalam negara kesejahteraan juga mendorong semakin banyaknya alokasi pengerahan usaha-usaha ekonomi. Hal ini bertentangan dengan tuduhan kaum liberal yang menyatakan bahwa penarikan pajak dalam jumlah besar yang digunakan untuk membiayai programprogram kesejahteraan akan memberikan disinsentif kerja bagi mereka yang diuntungkan dan insentif untuk menghindari pajak bagi rumah tangga berpendapatan tinggi. Secara empiris, pada negara-negara kesejahteraan universal seperti Swedia contohnya, tingkat partisipasi kerja justru sama dengan negara liberal seperti AS. Meski negara kesejahteraan memberikan berbagai macam jaminan sosial yang menguntungkan warga negara, ini tidak lantas mengurangi motivasi warga untuk bekerja. Ada beberapa hal yang melatari masih kuatnya semangat untuk bekerja tersebut, di antaranya: bagi kebanyakan orang kerja-pada-dirinya mempunyai nilai intrinsik sehingga patut untuk terus dilakukan apapun yang terjadi, struktur ekonomi industrial dan kapitalis yang diadopsi oleh kebanyakan negara kesejahteraan secara psikologis mendorong warga untuk terus bersemangat bekerja, pekerja bersedia untuk memberikan pajak pendapatan karena menganggapnya sebagai premi asuransi, dan berbagai syarat sebelum seseorang mendapatkan bantuan negara (syarat mencari kerja, periode minimum pemberian bantuan, dll) menghindarkan warga untuk menjadi parasit dari sistem negara kesejahteraan yang meng untungkannnya. Manfaat ekonomi lain dari negara kesejahteraan berkaitan dengan meningkatnya kapasitas dari warga negara. Negara kesejahteraan biasanya melakukan investasi sumber daya manusia melalui berbagai bantuan dan instrumen (pemberian pelatihan dan keterampilan, konseling pekerjaan, program pe-
63
nyegaran atau retraining, dan lain-lain) yang jarang untuk diusahakan oleh majikan dan pekerja melalui inisiatif pribadi. Upaya-upaya yang dilakukan negara tersebut secara sistematis meningkatkan potensi ekonomi dari individu dan rumah tangga. Demikian pula berbagai tindakan afirmatif seperti hukum anti diskriminasi dan regulasi pasar kerja yang mensyaratkan perlakuan setara bagi berbagai macam kelompok pekerja akan mempromosikan kesempatan ekonomi bagi pihak yang selama ini terpinggirkan seperti perempuan dan kaum minoritas. Berbagai upaya ini tentu akan meningkatkan kekuatan individu untuk mendapat penghasilan. Ini pada gilirannya akan menghalau efek disinsentif potensial dari negara kesejahteraan dan menyebabkan terciptanya redistribusi dalam pasar kerja melalui pemerataan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan.
C. Tiga Model Negara Kesejahteraan Tiga model negara kesejahteraan menurut Esping-Andersen
Tipe Residual
Tipe Korporativis
Tipe Universalistik
Keuntungan 1. Tiga tipe model tersebut mengkonstitusikan alat yang mampu mengatasi kompleksitas dari keadaan empiris negara-negara kesejahteraan. 2.
Penilaian tentang kespesifikan dari negara kesejahteraan dilakukan dengan cakupan yang luas, tidak hanya melalui data pengeluaran sosial yang dikeluarkan oleh negara untuk kebijakan sosialnya melainkan juga mencakup data-data kualitatif dari negara kesejahteraan yang merefleksikan bagaimana negara kesejahteraan digunakan sebagai sarana untuk menata relasi sosial berdasarkan keyakinan ideologis dan prinsip normatif yang spesifik.
Sejak akhir 1980-an, diskursus tentang negara kesejahteraan mulai dibicarakan dalam kosakata “model” untuk mengkomparasikan antara negara kese jahteraan satu dengan lainnya. Melalui bukunya The Three Worlds of Welfare Capitalism, sosiolog Denmark Gosta Esping-Andersen mengonsepsikan secara sistematis tipe-tipe negara kesejahteraan yang ada dari perspektif
64
keterkaitan yang erat antara kerja dengan kesejahteraan dalam masyarakat kapitalis maju. Untuk itu, negara kesejahteraan yang ada dinilai bermanfaat untuk mereduksi ketergantungan warga negara pada pasar (“dekomodifikasi”) dan berimplikasi dalam struktur ketidaksamaan sosial (“stratifikasi”). Esping-Andersen membagi tiga model negara kesejahteraan menjadi tiga varian tipe ideal: liberal, konservatif, dan sosial demokratis. Tiga model tersebut kelak dalam karyanya tahun 1999 berjudul Social Foundations of Postindustrial Economies direformulasikan menjadi tipe residual, korporativis, dan universalistik setelah mempertimbangkan kritik-kritik terhadap modelnya yang terdahulu. Dengan menggunakan tipologi model negara kesejahteraan tersebut, ada dua keuntungan yang bisa didapatkan dalam penelitian tentang negara kesejahteraan. Pertama, tiga tipe model tersebut mengkonstitusikan alat yang mampu mengatasi kompleksitas dari keadaan empiris negara-negara kesejahteraan. Kedua, penilaian tentang kespesifikan dari negara kesejahteraan dilakukan dengan cakupan yang luas, tidak hanya melalui data pengeluaran sosial yang dikeluarkan oleh negara untuk kebijakan sosialnya melainkan juga mencakup data-data kualitatif dari negara kesejahteraan yang merefleksikan bagaimana negara kesejahteraan digunakan sebagai sarana untuk menata relasi sosial berdasarkan keyakinan ideologis dan prinsip normatif yang spesifik. Bagi Esping-Andersen, hakikat dari negara kesejahteraan adalah fokusnya pada konsep hak sosial dan aktivitas negara. Dia menawarkan konsep kewarganegaraan sosial yang memiliki hak-hak sosial yang tidak dapat dicabut dan dilanggar. Dengan status sebagai hak, maka kesejahteraan didapatkan warga negara semata-mata atas dasar bahwa mereka adalah warga negara, dan bukannya didasarkan atas kategori prestasi atau kinerja. Ini terkait dengan apa yang disebut sebagai dekomodifikasi pekerja. Dekomodifikasi terjadi ketika pelayanan dipandang sebagai perkara hak dan ketika seseorang dapat mempertahankan penghidupannya tanpa perlu bergantung kepada pasar. Asumsi di balik gagasan ini adalah bahwa membiarkan warga bertarung secara bebas di pasar untuk mendapatkan penghidupan niscaya akan menghasilkan ketidakadilan dan kesetaraan, karena tidak semua warga mempunyai kesempatan atau akses yang setara dan kemampuan atau sumber daya yang selevel. Untuk mengaplikasikan kebijakan perumahan yang bersesuaian de ngan ideal negara kesejahteraan, klasifikasi Esping-Andersen (1990) tentang tiga tipe model negara kesejahteraan dapat membantu untuk menawarkan pilihan kebijakan. Tiga model tersebut adalah sebagai berikut.
65
1.
Negara Kesejahteraan Liberal Dalam model ini, negara memberlakukan kebijakan sosial minimal, di mana bantuan diberikan setelah sebelumnya para pihak yang akan menuai keuntungan diperiksa kelayakannya melalui jumlah kekayaan yang dimiliki, dan juga diberikan melalui kontribusi yang diberikan sebelumnya oleh mereka. Kesejahteraan hanya dipandang sebagai bantuan minimal yang memampukan para pekerja untuk berkompetisi kembali di dalam pasar agar kelak mereka tidak lagi mendapatkan bantuan. Model ini menghindari pemberian beban pajak yang tinggi bagi warga negara. Akan tetapi, kesempatan akan akses yang setara untuk berkompetisi di dalam pasar bagi semua warga negara tidak dapat dijamin melalui model ini. Contoh negara yang menerapkan pendekatan ini adalah AS, Kanada, dan Australia.
2.
Negara Kesejahteraan Konservatif/Korporatis Model ini menempatkan negara sebagai pihak yang melakukan intervensi minimal dengan alokasi kesejahteraan yang diorientasikan untuk menegakkan dan melestarikan stratifikasi dan hierarki sosial yang ada di masyarakat. Hak dipandang melekat kepada kelas dan status yang disandang oleh individu. Akan tetapi, berbeda dengan pendekatan liberal, pendekatan ini masih melakukan intervensi kepada pihak-pihak yang tidak dapat meraih sukses dalam persaingan pasar. Model ini cenderung ke arah etatisme dan patronialisme, di mana negara menggantikan pasar sebagai penyedia kesejahteraan bagi individu yang dipandang sebagai klien. Meski tekanan yang melanda individu yang tak beruntung menjadi diringankan, aspirasi akan kesetaraan kurang dipromosikan secara radikal. Contohnya adalah Austria, Perancis, Jerman, dan Italia.
3.
Negara Kesejahteraan Sosial-Demokrat Pendekatan ini mempercayai bahwa kesejahteraan akan melenyapkan pembagian sosial. Hak sosial diberikan secara universal kepada semua warga tanpa membeda-bedakan status dan posisi mereka dalam masyarakat. Kriteria seperti means testing ditolak karena bantuan diberikan tanpa syarat. Dekomodifikasi pekerja dilakukan secara ekstensif melalui kebijakan kesejahteraan yang universal dan komprehensif. Ideologi sosialdemokrat mengusahakan tidak ada pengangguran (full employment) dan mempromosikan kesamaan melalui pembentukan jaring pengaman yang memastikan tak seorang pun mengalami kejatuhan sosio-ekonomi. Kesamaan yang dipromosikan dalam model ini adalah kesamaan dalam standarnya yang tertinggi, bukan sekadar kesamaan dalam tataran kebutuhan minimal. Tidak hanya ditujukan kepada orang miskin, bantuan juga mencakup golongan kelas menengah sehingga gaya hidup mereka
66
dapat dipertahankan. Dengan menggabungkan kesejahteraan dengan kerja, orientasi terhadap pasar lenyap karena warga telah memupuk solidaritas universal dalam rangka mendukung keberlanjutan negara kesejahteraan. Pendekatan ini berpegang pada prinsip: “Semuanya mendapat keuntungan; semuanya tergantung; semuanya memiliki kewajiban untuk membayar/ memberi kontribusi.” Contoh terbaik dari praktik ini adalah yang dilakukan oleh negara-negara Skandinavia. Tabel 2.1. Karakteristik model-model negara kesejahteraan Tipe NEGARA kesejahteraan
Liberal
konservatif/ korporatis
nilai
Stigma etika kerja
Instrumen
Bantuan diberikan Jaminan/asuransi setelah memeriksa privat dijamin oleh kekayaan (means negara tested)
Negara menjadi aktor pendukung utama; keuntungan dengan level yang tinggi
Tujuan
Memperkuat pasar Memperkuat masyarakat sipil, membatasi pasar
Menggabungkan kesejahteraan dengan kerja, tidak ada pengangguran (full employment)
Dekomodifikasi
Rendah
Sedang
Tinggi
implikasi kelas
Kelas menengah curiga pada negara
Lapisan kelas dipertahankan tetapi distabilisasikan
Kelas menengah mengubah orientasinya dari pasar ke negara
Contoh negara
Amerika, Kanada, Australia, Inggris Raya (UK)
Austria, Perancis, Jerman, Italia
Negara-negara Skandinavia
Hak atas dasar kelas dan status
Sosial Demokratik Kesamaan, universalisme dengan standar tinggi
Untuk menentukan hubungan antara tiga model negara kesejahteraan Esping-Andersen dengan kebijakan perumahan, dibutuhkan kontekstualisasi dan modifikasi. Tiga model Esping-Andersen adalah tipe ideal (dalam pengertian Weberian) dan tidak direferensikan kepada berbagai variasi kebijakan perumahan dalam negara-negara yang dibandingkannya. Lagipula, peranan negara dalam isu perumahan sedemikian kompleks sehingga tidak mudah untuk mengkuan-
67
tifikasi dan melakukan tes statistik tentang hubungan antara perumahan dan negara kesejahteraan. Memang, isu rumah menempati posisi yang ambigu dalam sistem negara kesejahteraan secara luas. Di satu sisi, bersama dengan keamanan sosial dan pelayanan pendidikan serta kesehatan, rumah adalah salah satu dari pilar utama negara kesejahteraan. Akan tetapi, di sisi lainnya rumah juga terpisah dengan pilar-pilar utama yang lain karena rumah terutama disediakan oleh pemasok dari pasar. Keunikan ini juga ditambah dengan fakta bahwa bahkan pada rumah yang bersifat dekomodifikasi sekalipun, seperti rumah sewa-sosial, biaya nya seringkali dibebankan kepada konsumen—jadi masih berorientasi pasar. Untuk menghadapi problematika ini, teori Kemeny tentang model-model sistem perumahan dapat membantu.
D. Prinsip Pemberian Subsidi Salah satu isu penting dalam wacana mengenai hak akan rumah adalah subsidi. Hal ini menjadi semakin penting dalam negara di mana situasi perumahannya dicirikan oleh masih banyaknya jumlah backlog, seperti Indonesia. Banyaknya jumlah backlog adalah refleksi dari fenomena laten yang meluas, yaitu masih banyaknya jumlah MBR yang kesulitan mengakses rumah karena keterbatasan daya beli. Dalam konstruksi hak akan rumah sebagai hak kesejahteraan yang melekat pada setiap warga negara, kondisi demikian memiliki konsekuensi bahwa negara harus memberikan subsidi dalam jumlah yang banyak untuk sejumlah besar warga negara. Dalam jangka pendek, pemberian subsidi merupakan hal yang tidak terelakkan mengingat bahwa masih banyak jumlah MBR yang membutuhkan rumah. Pada titik ini, negara perlu menggali sumber dana yang cukup untuk menyalurkan subsidi dalam jumlah yang mencukupi. Selain itu, dukungan institusi dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal juga diperlukan untuk mengawal dan memastikan agar subsidi dapat disalurkan dengan tepat dan akuntabel. Namun, pencanangan sistem kebijakan perumahan yang baik harus lah memfokuskan diri tidak hanya untuk mengatasi masalah-masalah jangka pendek, namun juga jangka menengah dan panjang. Dalam hal ini, langkah berupa pemberian subsidi yang besar untuk MBR agar mereka bisa mendapatkan rumah bukanlah langkah yang memiliki kontinuitas panjang. Sebaliknya, langkah tersebut hanyalah merupakan langkah prioritas yang didahulukan untuk memecahkan sumber krisis yang paling mendesak dan kritis saat ini.
68
Dalam jangka waktu yang lebih lama, pemberian subsidi oleh pemerintah kepada MBR yang membutuhkan rumah akan dikurangi secara perlahan-lahan. Ini sejalan dengan prediksi sosial-ekonomi Indonesia di masa depan, yang menyatakan bahwa kelas menengah akan menjadi golongan masyarakat mayoritas. Saat ini, Indonesia sudah termasuk ke dalam golong an negara berpendapatan menengah. Pada tahun 2011, pendapatan per kapita Indonesia naik sebesar 17,7% menjadi USD 3.542 atau setara dengan Rp 31,8 juta. Menurut laporan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), kelompok kelas menengah di Indonesia menunjukkan perkembangan jumlah menakjubkan dalam satu dasawarsa terakhir. Dengan menggunakan definisi Bank Dunia bahwa kelas menengah merupakan orang dengan rentang pengeluaran harian sebesar 2-20 dollar AS, jumlah kelompok sosial ini di Indonesia meningkat dari 81 juta jiwa pada tahun 2003 menjadi 131 juta jiwa pada tahun 2010. Dengan kata lain, lebih dari separuh jumlah penduduk di Indonesia saat ini sesungguhnya termasuk ke dalam golongan kelas menengah. Peningkatan kelas menengah ini disebabkan oleh pulihnya ekonomi Indonesia sejak krisis tahun 1998. Selain itu, aktivitas ekonomi yang terus tumbuh di atas 5% juga membuat pendapatan masyarakat meningkat dan akhir nya status mereka pun naik kelas (Kompas, 8 Juni 2012). Lebih jauh, pertumbuhan kelas menengah ini diperkirakan akan berlanjut hingga periode bonus demografi tahun 2040 di mana struktur demografi Indonesia didominasi oleh usia produktif sementara rasio ketergantungan semakin menurun. Atas dasar prospek inilah, maka subsidi pemerintah di masa depan sudah sewajarnya jika semakin berkurang. Ini bukan berarti bahwa pemerintah melepaskan komitmennya untuk menyelenggarakan negara dengan berbasis pada
A
B
C
D
E
Gambar 2.3 Prinsip Pemberian Pubsidi Berdasar Kelompok Sasaran
69
paradigma kesejahteraan, melainkan semata-mata merupakan tindakan logis menyesuaikan diri de ngan perubahan sosial ekonomi pada penduduk Indonesia di masa depan. Memang, dengan rata-rata pendapatan per kapita dan jumlah kelas menengah yang semakin tinggi di masa depan, bukan berarti bahwa tidak ada lagi MBR yang tidak mampu menjangkau rumah. Betapa pun sedikitnya, akan selalu ada MBR yang membutuhkan intervensi langsung dari pe merintah. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang jumlah orang miskinnya nol.
Pendekatan kesejahteraan di masa depan tidak lagi dititikberatkan pada penyediaan unit rumah bagi MBR, melainkan ditujukan kepada hal-hal yang lebih substansial seperti peningkatan kualitas hunian dan penyediaan infrastruktur perumahan serta permukiman yang memadai.
Dengan meningkatnya kemampuan dan kapasitas sebagian besar warga negara, relevansi dari pendekatan kesejahteraan masihlah tinggi. Akan tetapi, pendekatan kesejahteraan di masa depan tidak lagi dititikberatkan pada penyediaan unit rumah bagi MBR, melainkan ditujukan kepada hal-hal yang lebih substansial seperti peningkatan kualitas hunian dan penyediaan infrastruktur perumahan serta permukiman yang memadai. Inilah pola pendekatan kesejahteraan terkait rumah yang dilakukan di negara-negara maju.
MBT (Subsidi Silang)
MBM
Keterangan : MBT : Masyarakat Berpenghasilan Tinggi MBM : Masyarakat Berpenghasilan Menengah MBR : Masyarakat Berpenghasilan Rendah Gambar 2.3 Skema Pemberian Subsidi
70
MBR (akses & kapasitas)
E. Desain Sistem Perumahan Sistem Perumahan dalam Negara Kesejahteraan Kemeny melakukan pembagian pasar rumah (sewa) menjadi dua, yaitu sistem dualis dan unitaris. Sistem dualis dikarakteristikkan melalui dua jenis sewa (sektor privat dan publik/sosial) dan preferensi yang kuat pada sektor rumah milik pribadi. Pasar untuk rumah sewa privat dijalankan dengan prinsip-prinsip pasar sehingga berorientasi pada profit, sebagian besar tidak diregulasi, dan hanya menyediakan keamanan penyewaan minimal. Sementara itu, rumah sewa sosial adalah sistem rumah sewa sehingga perumahan disediakan melalui kontrol publik dan diregulasi secara kuat. Dia berfungsi secara eksklusif sebagai jaring pengaman untuk orang miskin. Sistem dualis ini diberlakukan di negara-negara Anglo-Saxon. Sistem alternatif selain sistem dualis disebut Kemeny sebagai sistem unitaris. Dalam sistem ini, pemilik tanah yang berorientasi nonprofit berkompetisi dengan firma yang berorientasi profit dalam pasar terbuka. Ide ini berasal dari konsep ekonomi pasar sosial yang dikembangkan di Jerman pada tahun 1930-an. Kemeny berpendapat bahwa integrasi firma nonprofit ke dalam pasar terbuka akan dilakukan seiring dan melalui kematangan finansial dan pelepasan subsidi secara bertahap oleh pemerintah. Asumsi yang ada di balik strategi ini adalah bahwa integrasi akan membawa terciptanya kompetisi di antara semua jenis pemilik tanah dengan segala orientasinya. Ini pada akhirnya akan membawa kepada terciptanya harga yang rendah pada sektor rumah sewa sehingga dapat menjadi alternatif kompetitif bagi sektor rumah milik. Selain itu, strategi ini juga membuat pasar rumah sewa menjadi lebih luwes jika dihadapkan kejutan eksternal, juga meningkatkan standar kualitas bagi semua hunian. Contoh negara yang menerapkan sistem unitaris ini adalah Jerman, Belanda, dan negara-negara Skandinavia kecuali Norwegia. Perumahan tertanam secara dalam pada struktur sosial dan berperan sebagai variabel kunci yang turut menstrukturasi masyarakat secara umum dan negara kesejahteraan secara khusus. Berdasarkan pada tesis ini, Kemeny berpendapat bahwa posisi dominan dari salah satu model penempatan rumah akan berimplikasi luas bagi negara kesejahteraan. Apabila rumah milik adalah modus yang dominan dalam suatu negara, maka kesejahteraan akan diredistribusikan dari kaum muda kepada golongan tua. Sementara rumah tangga muda dibebani pembayaran hipotek dan pajak yang besar untuk membiayai program jaminan kesejahteraan negara yang lebih besar manfaatnya bagi rumah tangga tua. Biasanya masyarakat semacam ini bersifat privatis dan individualis dan negara kesejahterannya bersifat residual, di mana rumah sosial sewa hanya digunakan bagi rumah
71
tangga miskin semata. Sedangkan dalam masyarakat yang di dalamnya rumah sewa menjadi modus dominan, maka biaya akan didistribusikan secara setara dalam seluruh kelompok usia. Masyarakat penyewa adalah masyarakat yang karakternya bersifat kolektif sehingga karakter negara kesejahteraannya bersifat ekstensif dan maksimal. Berbagai variasi dalam sistem pasar rumah sewa dapat dianalisis dengan melihat berbagai struktur kekuasaan dan organisasi politik yang ada dalam suatu komunitas kebijakan. Dalam hubungannya dengan tiga pendekatan negara kesejahteraan Esping-Andersen, Kemeny merevisi pendekatan tersebut menjadi dua saja, yakni pendekatan liberal dan korporatis. Negara kesejahteraan liberal berkorespondensi dengan model perumahan dualis yang dikarakteristikkan dengan dominasi rumah milik dan sektor rumah sewa sosial yang residual (eksklusif untuk orang miskin) sedangkan negara kesejahtera an korporatis serta sosial demokrat berkorespondensi dengan model perumahan unitaris. Bagi Kemeny, hanya ada dua rezim negara kesejahteraan, yakni rezim korporatis dan nonkorporatis (2001: 62). Model konservatif dan sosial-demokrat Esping-Andersen digabungkan ke dalam satu kategori sebagai model korporatis karena menurut Kemeny, Esping-Andersen merancukan pengertian korporatisme sebagaimana dipahami secara konvensional dalam ilmu politik. Korporatisme bagi Kemeny lebih tepat apabila dipahami sebagai “representasi politik yang terinstitusionalisasikan dari berbagai kelompok kepentingan yang dibangun atas dasar kompromi dan akomodasi di antara kelompok yang saling berkonflik, entah atas dasar kelas, agama, atau etnis itas.” Meski demikian, Kemeny lebih lanjut membagi rezim negara kesejahteraan korporatis ke dalam berbagai subdivisi, bergantung kepada posisi kekuasaan relatif dari negara dan pengelompokan kepentingan yang lebih condong dominan pada pihak buruh atau pemodal. Demikianlah maka apabila gerakan buruh memiliki pengaruh yang besar dalam sejarah suatu nega ra, maka rezim tersebut dapat dikategorikan sebagai rezim korporatis yang dipimpin buruh (labour-led corporatist regime). Inilah ekuivalensi dari rezim sosial-demokrat menurut Esping-Andersen. Sementara itu, dalam suatu negara di mana pemodal memiliki posisi yang relatif kuat dan kepentingan pekerja adalah inferior, rezim tersebut disebut dengan korporatisme yang dipimpin modal (capital-led corporatism). Selain itu, ada pula model rezim korporatis ketiga, yakni rezim di mana kekuatan modal dan buruh memiliki kekuatan yang seimbang.
72
Kemeny (2006) lebih jauh juga merefleksikan berbagai kemungkinan hubungan antara sistem sewa unitaris dengan negara kesejahteraan korporatis. Ada tiga hipotesis yang dikemukakannya. Pertama, semakin kuat posisi dari kaum pemodal, maka akan semakin kecil peran dari sektor nonprofit berikut dampak yang dihasilkannya bagi pengadaan rumah sewa. Contoh untuk kasus ini adalah Jerman dan Austria. Kedua, apabila kekuatan pekerja dan pemodal relatif seimbang, maka pemilik tanah yang berorientasi nonprofit akan memegang peranan pemimpin dalam pasar rumah sewa dan penentuan kualitas. Contohnya yaitu negara Denmark dan Swedia. Ketiga, apabila kekuatan pekerja memegang pengaruh dominan dalam negara, maka firma nonprofit akan mendominasi pasar secara besar dan standar yang ditetapkannya hanya akan mampu diikuti oleh sedikit perusahaan saja. Dalam hal ini, diakui bahwa memang belum ada contoh negara yang mengalami skenario ini. Belanda adalah kasus yang unik: pasar rumah sewanya didominasi aktor nonprofit meskipun dia bukan jenis negara kesejahteraan yang dipimpin buruh. Tabel berikut menunjukkan pola-pola hubungan antara karakter politik suatu negara dengan sistem perumahan sewanya: Tabel 2.2. Sistem kekuasaan dan sistem perumahan sewa (Kemeny, 2006) STRUKTUR KEKUASAAN Hegemoni sayap kanan Korporatisme yang dipimpin pemodal Korporatisme dengan kekuatan seimbang Korporatisme yang dipimpin pekerja
SISTEM PERUMAHAN SEWA Sistem perumahan dualis Aktor nonprofit memengaruhi pasar rumah sewa unitaris Aktor nonprofit memimpin pasar rumah sewa unitaris Aktor nonprofit mendominasi pasar rumah sewa unitaris
CONTOH NEGARA Negara-negara AngloSaxon Jerman, Austria
Denmark, Swedia, Belanda -
73
Prinsip Mendesain Sistem Perumahan Berbasis Kesejahteraan Dengan menggunakan tiga model negara kesejahteraan sebagaimana dipaparkan di atas sebagai tipe-tipe ideal yang menjadi rujukan bagi pengembangan negara kesejahteraan di Indonesia, model manakah yang akan diadopsi dan diterapkan di negeri ini? Ini bukan pertanyaan yang mudah. Sebagian berpendapat bahwa sistem korporasi merupakan model yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia. Sebagian lagi berpendapat bahwa model sosial-demokratlah yang paling tepat. Dalam persilangan ini, dapat disimpulkan bahwa semua pihak tidak setuju dengan model liberal. Artinya, terdapat konsensus yang luas bahwa sektor perumahan tidak dapat diserahkan sepenuhnya pada kekuatan pasar. Konsensus ini kiranya dilatari oleh keyakinan kolektif bahwa bagaimanapun kebijakan perumahan Indonesia di masa depan, prinsip-prinsip negara kesejahteraan berupa solidaritas dan kesetaraan harus menjadi nilai-nilai pemandu. Namun demikian, disadari pula bahwa kondisi Indonesia yang kompleks tidak dapat didekati semata-mata dengan mengadopsi rumusan-rumusan teoretis untuk kemudian diterapkan secara bulat dan naif. Semua pihak memahami bahwa model-model negara kesejahteraan hendaknya ditempatkan sebagai referensi teoretis yang perlu ditatapkan secara kontekstual dengan kondisi dan kontur masalah yang ada di Indonesia. Untuk itu, diperlukan pengolahan, dialog, dinamisasi, dan pengembangan lebih lanjut apabila kebijakan perumahan akan diputuskan dan dijalankan dengan menggunakan kerangka negara kesejahteraan. Sesuai dengan preferensi para peserta dan pembacaan yang seksama akan kondisi lapangan, ikhtiar yang perlu untuk diformulasikan lebih lanjut adalah bagaimana caranya mengombinasikan dan mengembangkan antara model korporasi dengan sosial-demokrat. Bentuk kombinasi tersebut nantinya haruslah mengambil bentuk sistem rantai nilai ekonomi (economic value chain) yang andal. Dalam skema rantai nilai tersebut, sistem perumahan berparadigma kesejahteraan akan dijalankan dalam suatu sistem operasi yang didesain untuk menghasilkan nilai tambah pada setiap tahapan, dari hulu sampai hilir. Dalam sistem rantai nilai, rantai aktivitas yang terstruktur dan terkoordinasi dalam sistem memberikan nilai tambah yang lebih besar daripada penjumlahan aktivitas-aktivitas independen yang tidak dihimpun dalam satu sistem terpadu (Porter 1998). Inilah yang disebut dengan emergence. Tentu, untuk menyokong sistem perumahan nasional dalam bentuk rantai nilai ini, dibutuhkan juga kehadiran regulasi dan institusi yang sesuai dan handal.
74
PEMBIAYAAN PERUMAHAN
3
Setelah membahas mengenai paradigma sistem kebijakan perumahan yang berlandaskan pada prinsip negara kesejahteraan dan kebijakan sosial, langkah yang harus dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana mengaplikasikan paradigma tersebut ke dalam praktik nyata melalui berbagai kebijakan, program, dan mekanisme yang memungkinkan untuk dilakukan di Indonesia, baik untuk masa ini maupun masa depan. Pada tataran ini, perlu diidentifikasi dua pokok isu yang dirasa paling krusial dalam pembangunan sektor perumahan. Selanjutnya, melalui pokok-pokok isu tersebut, prinsip-prinsip yang telah dicanangkan sebagai panduan kebijakan diterapkan dan dikontekstualkan, sesuai dengan anatomi masalah yang dihadapi dan potensi yang dimiliki. Dalam buku ini, dua pokok isu dalam sektor perumahan yang akan dikaji adalah aspek pembiayaan perumahan dan tanah untuk perumahan. Kedua isu tersebut dipandang sebagai isu yang penting karena keterkaitannya yang erat dengan pembangunan perumahan secara umum. Sebaik apapun kebijakan dan skema yang telah dibuat, hal itu akan menjadi percuma apabila tidak didukung dengan sumber daya finansial yang kuat dan memadai. Demikian pula halnya dengan aspek tanah. Tanah merupakan prasyarat dari setiap usaha pembangun an rumah karena tidak ada rumah yang tidak dibangun di atas tanah. Untuk memastikan agar desain sistem kebijakan perumahan dapat berjalan dengan efektif, dibutuhkan keterpautan dan korespondensi yang kuat dengan manajemen dan penatakelolaan sektor tanah. Bab ini membahas isu-isu di seputar pembiayaan perumahan dalam kerangka paradigma negara kesejahteraan berbasis hak. Pembahasan atas masing-masing pokok isu dimulai dengan landasan teoretis dan konsep-konsep kunci yang terkait. Selanjutnya, akan diberikan rekomendasi kebijakan untuk Indonesia, baik dalam hal kelembagaan, regulasi, institusi, serta tata kelola. Juga didiskusikan peluang dan tantangan untuk menerapkan best practices yang ada di negara lain untuk diterapkan di Indonesia. Setelah membahas pembiayaan perumahan dalam bagian A, tulisan dilanjutkan dengan diskusi tentang tanah untuk perumahan di bagian B.
75
Pembiayaan perumahan berkaitan dengan upaya setiap warga negara dalam membangun maupun memiliki rumah. Sayangnya, tidak setiap warga negara dengan mudah mampu membangun dan memiliki rumah, bagi MBT maupun MBM tentu bukanlah hal yang merepotkan, tetapi bagi MBR jelas menjadi masalah yang krusial. Di sinilah peran pemerintah selaku pengambil kebijakan dapat memainkan perannya dalam mencukupi kebutuhan warganya akan papan, di samping peran swasta dan masyarakat itu sendiri. Berikut akan dipaparkan berbagai strategi dan model pembiayaan perumahan.
A. Pembiayaan bagi Kebijakan Sosial Salah satu hambatan terbesar dalam upaya untuk menerapkan kebijakan sosial yang mencakup bagian besar warga negara adalah keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah, baik pusat maupun daerah. Memang, tantangan utama dari kebijakan sosial adalah pembangunan sistem kebijakan sosial yang dibangun atas dasar basis finansial yang berkelanjutan. Untuk menjamin kinerja dan kredibilitas dari kebijakan sosial, dibutuhkan sumber pendanaan yang cukup, stabil, dan dapat diprediksi. Dari perspektif pemerintah, tantangan tersebut biasa dirumuskan sebagai pertanyaan tentang cara untuk menggali sumber-sumber pendapatan negara secara maksimal sehingga pembiayaan untuk kebijakan sosial dapat diamankan dan dijamin. Dari segi pendanaan, sistem jaminan sosial bisa didasarkan atas prinsip Beveridge, prinsip Bismarck, atau prinsip pasar (Wisnu, 2012: 25-26).
Prinsip Beveridge
Prinsip Bismarck
76
Dalam prinsip Beveridge (yang diambil dari nama ekonom Inggris yang mereformasi sistem jaminan sosial di sana), jaminan sosial didanai oleh pemerintah lewat pajak. Karena mengandalkan pajak, proporsi upah yang dipotong pajak pun relatif besar (20-50%). Sistem seperti ini dianut oleh Inggris, Spanyol, Selandia Baru, dan negara-negara Skandinavia. Dalam prinsip Bismarck, yang diambil dari nama kanselir Jerman yang pertama mendirikan sistem jaminan kesehatan di negeri itu, jaminan sosial didanai oleh iuran dari berbagai pihak, yakni pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Dalam sistem ini, pelayanan publik yang tercakup dalam jaminan sosial, misalnya pelayanan kesehatan, dapat diselenggarakan oleh pihak swasta. Meski demiki-
an, pemerintah mengaturnya secara ketat sehingga dapat dipastikan bahwa penyelenggara swasta tersebut tidak berorientasi profit. Dalam sistem ini, subsidi iuran biasanya diberikan kepada kelompok atau kalangan tertentu yang dianggap penting oleh negara, misalnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan anggota militer. Sistem seperti ini dianut di Jerman, Perancis, Belanda, Swiss, dan beberapa negara Amerika Selatan. Sistem Pasar
Sistem yang ketiga adalah sistem pasar, di mana jaminan sosial didanai melalui iuran pekerja dan pengusaha saja. Lembaga-lembaga swasta berperan sebagai pengelola jaminan sosial dan pemerintah hanya bertindak sebagai pembuat regulasi yang dijadikan sebagai patokan penge lolaan jaminan sosial. Sistem ini dianut oleh Amerika Serikat.
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam diskursus tentang pembiayaan perumahan dalam kerangka kebijakan sosial adalah adanya bahaya untuk berpikir secara simplistis. Persoalannya bukan sesederhana bahwa pemerintah harus meningkatkan pendapatan untuk membiayai kebijakan sosial yang luas, tetapi acapkali pendapatan negara yang besar tidak sertamerta berkorelasi dengan investasi kebijakan sosial atau peningkatan kesejahteraan rakyat yang membaik. Contohnya adalah negara-negara yang dalam khazanah ekonomi mengidap gejala yang disebut dengan penyakit Belanda (Dutch disease) dan kutukan sumber daya (resource curse). Negaranegara tersebut memperoleh pemasukan yang besar dengan mengekspor SDA ekstraktif, namun seringkali justru menunjukkan indikator kesejahtera an warga yang buruk. Apa yang lebih penting bukan sekadar kuantitas, melainkan kualitas sumber daya fiskal yang alokasinya dirancang untuk menciptakan dan memperkuat umpan balik yang sinergis dengan sistem kebijakan sosial. Sumber daya harus dimobilisasi tidak hanya untuk meningkatkan, melainkan juga memperkuat ruang fiskal bagi kebijakan sosial. Di sini, perlu diperhatikan rekomendasi dari United Nations Research Institue for Social Development (UNRISD) yang ditarik dari temuan-temuan riset empiris bahwa untuk dapat memajukan kesejahteraan rakyat, kebijakan sosial hendaknya dikembangkan seiring dengan kebijakan ekonomi, baik dalam tataran mikro maupun makro.
77
Karena itulah, kebijakan sosial lunak seperti jaring pengaman (atau “manajemen risiko sosial”) adalah hal yang tidak mencukupi dan tidak tepat, terutama dalam negara di mana proporsi MBR masih besar dan ekonomi pasarnya kurang fungsional. Sokongan dari pihak luar semacam skema Official Development Assistance (ODA) seringkali memberikan beban utang yang besar bagi negara penerima dan pada gilirannya membatasi ruang dan pilihan kebijakan yang pro kebijakan sosial komprehensif. Lagipula, ada bahaya bahwa pembiayaan kebijakan sosial yang didapat dari bantuan dana negara donor hanya akan menciptakan ketergantungan yang berefek pada pemburukan kualitas demokrasi, di mana para pembuat kebijakan lebih tunduk pada syarat dan mekanisme yang ditetapkan dari pihak luar daripada aspirasi rakyat.
Sumber daya harus dimobilisasi tidak hanya untuk meningkatkan, melainkan juga memperkuat ruang fiskal bagi kebijakan sosial.
Terdapat beberapa sumber pembiayaan utama yang dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mempertahankan dan memperluas kebijakan sosialnya. Pertama, yakni pajak, secara umum, diakui bahwa desain sistem pajak yang paling kondusif bagi kebijakan sosial adalah pajak yang bersifat progresif dan berbasis solidaritas. Indonesia patut menghindari tren reformasi pajak yang terjadi di banyak negara berkembang selama beberapa dekade terakhir, di mana pengumpulan lebih banyak diarahkan dalam bentuk pajak tak langsung berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ini merupakan skema pengumpulan pajak yang cenderung bersifat regresif. Padahal, apa yang lebih tepat adalah pengumpulan pajak yang berbasis perdagangan dan komoditas. Sumber kedua dari pembiayaan kebijakan sosial adalah pemasukan dari penambangan SDA yang dimiliki oleh suatu negara. Apabila negara mampu mengombinasikan manajemen sumber daya secara arif dengan tujuan-tujuan kebijakan sosial jangka panjang, maka pemasukan dari penambangan SDA dapat berkontribusi maksimal bagi pembiayaan kebijakan sosial sehingga menghindari sindrom kutukan sumber daya. Contohnya adalah Norwegia dengan kebijakan dana pensiunnya yang didanai menggunakan pemasukan minyak bumi. Dana pensiun milik Norwegia sebagian diinvestasikan di luar negeri. Dengan cara itu, tekanan bagi nilai tukar dapat diredakan, insentif patologis yang memicu praktik rent seeking oleh aktor-aktor domestik dapat dieliminasi, dan diversifikasi risiko dapat dilakukan, meskipun tak dimungkiri kadang pasar modal internasional juga bisa menyebabkan instabilitas. Melalui kombinasi kebijakan anggaran surplus, pembayaran utang dari luar negeri, dan kebijakan moneter tentang target inflasi yang cermat, Norwegia mampu menjaga stabilitas indikator makroekonominya
78
meskipun di sisi lain kebijakan sosial universal juga digelontorkan dengan menggunakan dana yang didapatkan dari kekayaan minyaknya. Apa yang patut digarisbawahi di sini adalah pentingnya sinergitas kebijakan sosial dengan kebijakan ekonomi yang dimediasi melalui konsensus politik. Norwegia mampu menciptakan hubungan yang eksplisit antara kekayaan mine ral dan SDA yang dimilikinya dengan visi kontrak sosial lintas generasi yang prihatin akan kesejahteraan warga secara menyeluruh. Sumber lain bagi pendanaan kebijakan sosial adalah asuransi sosial. De ngan dasar kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), skema ini dipilih oleh Indonesia untuk membiayai kebijakan sosialnya. Tantangan utama dari skema ini adalah bagaimana menyeimbangkan keberlanjutan finansial skema asuransi dengan tuntutan untuk memastikan diperolehnya surplus yang cukup melalui pengelolaan dana asuransi. Skema SJSN di Indonesia mereservasi Sumber lain bagi suatu langkah pengecualian berupa bantuan pendanaan kebijakan cuma-cuma bagi sekelompok warga yang tidak mempunyai kemampuan untuk memasok sosial adalah asuransi premi secara rutin. Klausul demikian menyesosial. Dengan dasar babkan pelaksanaan SJSN di Indonesia menjadi kebijakan Sistem semakin berisiko. Mesa-Lago dalam Hujo & McJaminan Sosial Nasional Clanahan (2009) mendalilkan bahwa semakin deregulatif pasar kerja di suatu negara, maka (SJSN), skema ini dipilih semakin minim asuransi sosial mampu menca oleh Indonesia untuk kup warga negara. Namun, karena pemerintah membiayai kebijakan berkomitmen bahwa mereka yang benar-benar sosialnya. tak mampu akan dilayani dengan penuh tanpa perlu memberikan kontribusi, ada risiko bahwa anggaran negara akan tersedot untuk membiayai segmen warga tersebut. Terutama apabila suatu waktu negara mengalami krisis sehingga jumlah penduduk miskin meningkat tajam. Dengan menyadari hal tersebut, maka tak heran apabila asuransi sosial nasional di negara-negara berkembang seringkali hanya dapat dijalankan dengan subsidi pemerintah yang besar, karenanya menjadi segmen yang paling bersifat regresif dalam struktur pembiayaan nasional.
79
B. Tipe-tipe Subsidi dan Inovasi Pembiayaan Perumahan Subsidi adalah uang yang dibayarkan, biasanya oleh pemerintah, untuk mempertahankan harga di bawah yang seharusnya di pasar bebas, atau untuk mempertahankan bisnis yang terancam bangkrut, atau membuat aktivitas yang seharusnya tak bisa berlangsung menjadi terwujud (Bishop, 2010: 302). Ada beberapa macam subsidi yang dapat disalurkan dalam bidang perumahan. Carlo del Ninno (2002) mencatat bahwa ada tiga jenis subsidi perumah an yang paling umum. Pertama, hibah modal, yakni subsidi yang diberikan sebanyak satu kali, di mana rumah tangga dapat menggunakan modal itu untuk membeli, membangun ataupun melengkapi unit rumah atau merehabilitasi rumah yang sudah ada. Namun untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan dan pemborosan dana, hibah juga dapat diberikan secara bertahap mengikuti perkembangan yang terjadi atau seberapa jauh pekerjaan telah diselesaikan dari pembangunan sebuah rumah. Kedua, tunjangan perumahan, merupakan jenis subsidi berkala yang diberikan secara terus-menerus kepada pemilik rumah atau kepada pemberi sewa rumah untuk menggantikan sejumlah biaya atas pembelian rumah mereka atau jasa-jasa perumahan. Tunjangan ini dapat terdiri dari dua bentuk. Dalam bentuk pertama, rumah tangga menerima subsidi yang bersifat tetap dan rumah tangga tersebut harus membayar selisih antara subsidi yang diberikan dengan total biaya yang dikeluarkan untuk menyewa atau membeli rumah. Pendekatan ini dapat dikatakan pendekatan berbasis norma (norm based) yang memberikan keleluasaan bagi rumah tangga untuk mencari komponen pengeluaran perumahan yang se suai dengan kebutuhannya. Pada pendekatan yang kedua, pemerintah menentukan sejumlah dana tetap yang harus diberikan oleh sebuah rumah tangga bila ia ingin memiliki rumah sendiri tanpa memperhitungkan keseluruhan biaya dari sebuah rumah. Penentuan jumlah dana ini biasanya dikelompokkan berdasar persentase pendapatan rumah tangga. Pemerintah kemudian membayar selisih antara dana yang diberikan oleh rumah tangga dengan biaya sewa atau pembelian rumah yang harus dibayar semestinya. Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah batas beban (burden limit). Jenis tunjangan perumahan ketiga yang paling umum adalah tunjangan perumahan, ditujukan untuk pengeluaran terkait dengan perumahan seperti biaya utilitas (penggunaan) dan pemeliharaan. Program tunjangan itu didasarkan pada konsep pengeluaran kotor untuk perumahan. Tunjangan ini merupakan komponen tambahan dalam membiayai pengeluaran sewa rumah, biasanya termasuk juga biaya untuk energi, air, saluran air, dan pembuangan limbah.
80
Program subsidi perumahan yang ditujukan pada kelompok sasaran de ngan jumlah yang besar biasanya akan menyulitkan negara-negara dengan kemampuan keuangan yang terbatas. Demikian pula halnya dengan Indonesia, jumlah MBR yang membutuhkan rumah tidak diimbangi dengan politik peng anggaran yang cukup di tengah banyaknya sektor pembangunan lain yang lebih menjadi prioritas pemerintah. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan inovasi pembiayaan perumahan yang memungkinkan pemerintah mampu melakukan percepatan pengadaan rumah bagi MBR.
Sumber : Doc. HRC, 2006 Gambar 3.3. Rumah sejahtera tapak
81
C. Pembiayaan Perumahan di Indonesia Salah satu masalah utama dari pembangunan perumahan di negara berkembang adalah pembiayaan. Pengadaan perumahan membutuhkan sumber daya finansial yang tidak sedikit dan seringkali menguras perekonomian suatu negara, maka tak heran jika masalah pembiayaan seringkali menjadi dalih di balik kurangnya komitmen pemerintah pada hak rakyat akan perumahan. Hal ini tidak akan menjadi masalah bagi MBT karena tanpa komitmen pemerintah pun mereka dapat memenuhi sendiri kebutuhan akan perumahan dengan cara membeli rumah di pasar komersial yang disediakan oleh pengembang privat. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Mereka membutuhkan jaminan berupa bantuan pembiayaan perumahan karena dengan kemampuan daya beli yang dimiliki, hampir mustahil bagi mereka untuk mengakses rumah dengan harga pasar. Untuk mengatasi hal ini, maka pemerintah sejak tahun 2010 meluncurkan program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebagai program pembiayaan perumahan yang ditujukan terutama kepada MBR dan masyarakat berpenghasilan menengah (MBM). Program ini merupakan pembaruan dari program pembiayaan dari sebelumnya berbasis subsidi menuju pada skema yang berbasis likuiditas. Ada beberapa perubahan penting yang terjadi dengan diluncurkannya skema FLPP. Perubahan-perubahan ini dilakukan sedemikian rupa agar MBR dan MBM semakin diringankan dalam mengakses kredit perumahan. Dana FLPP dari pemerintah digabungkan dengan dana dari bank pelaksana. Ada dua jenis bantuan pembiayaan perumahan yang disediakan melalui mekanisme FLPP, yaitu pembiayaan rumah sejahtera dan pembiayaan rumah sejahtera murah. Dana FLPP dikelola oleh Badan Layanan Umum Kementerian Perumahan Rakyat (BLU-Kemenpera) yang berwenang untuk menetapkan mekanisme pengelolaan dan penyaluran dana FLPP. Untuk melakukan kerjasama ope rasional penyaluran, Kemenpera menandatangani perjanjian kerjasama dengan bank-bank pelaksana. Melalui skema FLPP pula, dimungkinkan untuk melakukan mobilisasi dana di luar APBN, misalnya dari investor institusional (dana pensiun, perusahaan asuransi), dana tabungan (Taperum, TWP, YKPP, pekerja swasta), dan pasar modal. Meskipun FLPP merupakan terobosan yang cukup berarti dalam rangka menyediakan pengadaan perumahan bagi MBR dan MBM, namun kebijakan tersebut sampai saat ini belum terbukti mampu menjawab permasalahan kekurangan rumah secara cepat. Sejak pertama kali diinisiasi sampai dengan pertengahan tahun 2011, FLPP baru berhasil membiayai 14.000 unit Rumah Sejahtera Tapak dan 1.600 unit Rumah Sejahtera Susun. Lalu BLU-Kemenpera beberapa waktu
82
lalu merilis, sejak awal tahun ini sampai 27 Maret 2012, penyerapan kredit rumah melalui skema FLPP baru sebesar 4.895 unit untuk rumah tapak dan 1 unit untuk rumah susun. Dengan kuantitas penyaluran yang masih dalam level rendah seperti itu, tentu bukanlah ritme yang tepat untuk dapat secepatnya menutup backlog sebesar 13,6 juta unit (2010) dan kawasan kumuh seluas 57.000 ha (2009). Prospek ini diperparah dengan fakta bahwa hampir pasti jumlah backlog dan kawasan kumuh tersebut akan semakin bertambah banyak di masa depan seiring dengan makin pesatnya urbanisasi dan pertambahan penduduk, serta lahan yang semakin langka dan mahal harganya. Diperkirakan bahwa laju kekurangan rumah setiap tahun bertambah 700.000 unit (Kompas, 16 Juli 2012). Selain rendahnya tingkat penyerapan, kelemahan lain dari skema FLPP adalah ketentuannya yang bertumpang tindih atau bertentangan dengan peraturan lain. Akibatnya peraturan dalam FLPP menjadi tidak dapat dijalankan di lapangan. Hal ini terlihat pada peraturan tentang harga dan luas minimal dari rumah tapak. Dalam Permenpera No. 7 Tahun 2012, ditetapkan bahwa harga patokan maksimum rumah tapak bersubsidi naik dari Rp 70 juta per unit menjadi kisaran Rp 88 juta-Rp 145 juta per unit seturut dengan zonasi wilayah. Juga ditetapkan di dalamnya bahwa bangunan rumah tapak minimal seluas 36 meter persegi. Ketentuan tersebut berseberangan dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 31/ PMK/03/2011 tentang Batasan Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana. Di dalamnya disebutkan, luas bangunan rumah tapak bersubsidi tidak melebihi 36 meter persegi dan harga jual tidak boleh melebihi Rp 70 juta per unit. Karena adanya peraturan yang bertentangan tersebut, maka banyak ketentuan dalam FLPP yang sejatinya dibuat untuk memudahkan konsumen menjadi tidak berlaku. Misalnya, konsumen yang membeli rumah di atas harga Rp 70 juta tetap dibebani pajak, yang seharusnya dalam skema FLPP dibebaskan dari pajak. Ketentuan dalam FLPP yang menetapkan bahwa rumah tapak harus memiliki luas minimal 36 meter persegi justru memberikan efek kontraproduktif bagi percepatan pengadaan perumahan bagi kelompok sasaran. MBR sesungguhnya sudah cukup terpenuhi kebutuhannya akan perumahan layak sederhana dengan luas kurang dari 36 meter persegi. Namun apabila mereka ingin membeli rumah dengan spesifikasi seperti itu, ironisnya mereka justru harus membelinya de ngan pola kredit komersial karena FLPP tidak memberikan bantuan subsidi untuk rumah yang ada di luar ketentuan resmi. Dengan kelemahan-kelemahan tersebut, tentu ikhtiar untuk melakukan percepatan pengadaan perumahan bagi MBR tidak dapat sepenuhnya dilakukan dengan mengandalkan diri pada FLPP. FLPP mempunyai keterbatasan untuk dijadikan sebagai solusi tunggal yang mampu untuk menyelesaikan problem
83
pengadaan perumahan bagi MBR. Tentu, ini bukan berarti lalu menghapuskan program FLPP yang sesungguhnya telah didesain dengan cukup baik. Perbaikan, reformasi, dan penyempurnaan gradual dari FLPP masih perlu untuk dilakukan secara berkesinambungan agar ke depannya FLPP mampu menggulirkan dana yang lebih besar dari berbagai macam pihak serta mampu untuk melakukan penyaluran secara cepat pada lebih banyak warga yang membutuhkan. Akan tetapi, skema FLPP perlu dilengkapi dengan model-model program lain yang inovatif. Strategi multiprogram dan multisolusi menjadi pendekatan yang paling tepat untuk melakukan percepatan pengadaan perumahan secara lebih progresif. Hal itu lebih sesuai dengan karakteristik kebutuhan perumahan berikut karakter komunitas penerima manfaat di Indonesia yang beragam antara daerah satu dengan yang lain. Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan dalam berbagai skema pendanaan perumahan yang direncanakan adalah bahwa berba gai perencanaan tersebut seyogianya memanfaatkan sumber pendanaan yang beragam, sehingga tidak terlalu tergantung kepada dana pemerintah.
D. Pembiayaan Berbasis Komunitas Salah satu inovasi pembiayaan perumahan yang dapat dijadikan contoh adalah yang dilakukan oleh pemerintah Thailand. Pemerintah Thailand mempu nyai program pengadaan perumahan bagi masyarakat miskin perkotaan, sebagai bagian dari program lebih luas yang disebut dengan Dana Pembangunan Komunitas Miskin Kota atau Urban Poor Development Fund (UPDF). Dalam program ini, pemerintah menyalurkan dana kepada organisasi komunitas yang mengajukan proposal bantuan pinjaman untuk melakukan berbagai macam proyek pembangunan komunitas. Organisasi komunitas tersebut adalah sekelompok warga yang mengorganisasi diri mereka dengan cara membuat program tabungan komunitas atau kelompok simpan pinjam. Dana dari UPDF disalurkan dengan skema sebagai dana bergulir sehingga keberlanjutannya dapat dijamin. Komunitas memainkan peran sentral dalam program UPDF ini karena mere kalah yang bertanggung jawab dalam mengelola dan menyalurkan dana pada anggota-anggota komunitas. Komunitas dapat mengakses dana secara langsung tanpa perlu melakukan negosiasi atau berurusan dengan birokrasi pemerintah. Syarat untuk mengajukan proposal permintaan dana pinjaman adalah bahwa organisasi komunitas tersebut telah mengorganisasikan suatu aktivitas menabung yang didukung oleh sistem manajemen akuntansi dan finansial yang reliabel selama sekurangnya 6 bulan. Semakin lama komunitas tersebut telah membangun sistem tabungan bersama dengan manajemen yang baik, semakin besar plafon pinjaman dana yang dapat diperoleh.
84
Meskipun pinjaman diberikan dengan bunga rendah dan di bawah tingkat suku bunga pasar, namun pengembalian pinjaman tetap dapat menutup biaya administratif dan operasional dari pihak pengelola dana UPDF, yakni Kantor Pembangunan Komunitas Kota atau Urban Community Development Office (UCDO). Namun di luar dari bunga yang telah ditetapkan, biasanya komunitas penerima pinjaman juga menambah marjin bunga sebesar 5% untuk menutup biaya manajemen pengelolaan dana dan juga digunakan sebagai jaring pengaman untuk membantu anggotanya yang tidak mampu membayar cicilan pengembalian pinjaman. Pada mulanya ketika terbentuk tahun 1992, UCDO memberikan pinjama n untuk empat tujuan, yaitu pertama, dana bergulir yang digunakan oleh kelompok simpan pinjam. Kedua, income generation yang digunakan untuk investasi individu dan kelompok. Ketiga, proyek perumahan untuk komunitas yang membutuhkan lahan dan rumah. Keempat perbaikan rumah untuk memperbaiki dan memperluas perumahan serta utilitas. Sejak tahun 2004, empat tahun setelah UPDF berganti nama menjadi Institut Pembangunan Organisasi-organisasi Komunitas atau Community Organizations Development Institute (CODI) setelah dimerger dengan Dana Pembangunan Desa atau Rural Development Fund, dilakukan pembaruan tentang jenis-jenis pinjaman yang dapat disalurkan melalui skema UPDF, yakni pertama, pinjama n untuk perumahan dan tanah; kedua, pinjaman untuk usaha komunitas; ketiga, pinjaman untuk pembangunan holistik, dan keempat, pinjaman bergulir untuk jangka pendek. Pinjaman perumahan sendiri terbagi menjadi empat kategori: membeli lahan di wilayah baru atau wilayah yang telah ditempati, relokasi, konstruksi rumah di atas tanah sewa, dan perbaik an infrastruktur. Selain itu, dilakukan pula pembaruan tata kelola (governance) dalam pengelolaan dan implementasi penggunaan dana UPDF. Pemerintah melalui CODI tidak lagi memberikan tanggung jawab dan otonomi utama pada komunitas tunggal yang mengajukan dana, melainkan pada jaringan komunitas. Untuk membangun tata kelola baru ini, CODI mengorganisasikan agar setiap komunitas yang terdapat dalam suatu kota untuk bekerja bersama-sama dalam suatu jaringan. Melalui tata kelola model jaringan ini, tanggung jawab pengembalian pinjaman menjadi tanggung jawab jaringan komunitas alih-alih tanggung jawab bilateral antara UCDO dengan komunitas tunggal. Jaringan komunitas tersebut menghubungkan masing-masing komunitas untuk bekerja bersama dan berbagi beban atas dasar kesepakat an bersama. Mereka mengadopsi aturan main dan norma yang sama de ngan struktur koordinasi yang sederhana dan pembagian peran yang juga
85
disepakati bersama. Struktur jaringan bersifat longgar dan fleksibel alih-alih ketat dan birokratis. Melalui pembangunan tata kelola jaringan, terjadi perubahan dalam mekanisme persetujuan proposal. Dalam mekanisme yang lama, setelah UCDO menerima proposal pinjaman yang diajukan komunitas, maka UCDO akan menilik cara yang paling tepat untuk memberikan bantuan dan fasilitasi. Setelah proposal peminjaman disetujui, biasanya dalam waktu satu bulan, maka komunitas dan UCDO akan membuat kesepakatan bersama (mutual agreement) tentang rencana pembangunan komunitas yang juga mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan pinjaman. Dengan skema CODI, peran jaringan komunitas dalam memberikan persetujuan pinjaman menjadi lebih besar. Sejak tahun 1997, operasional isasi CODI telah didesentralisasikan secara luas pada jaringan komunitas di daerah. Jaringan komunitas juga membangun relasi yang setara dengan aktor-aktor pembangunan lainnya, baik publik maupun swasta, untuk membentuk Komite Pembangunan Lokal di setiap kota sebagai forum untuk mengoordinasi pembangunan kota secara keseluruhan. Dalam kaitannya dengan jaminan pinjaman, semua anggota komite dari jaringan komunitas menjadi pihak yang menjadi penjamin pinjaman. Namun dalam proyek perumahan, lahan dan rumah yang dibangun juga dapat digunakan sebagai jaminan. Sementara dalam kaitannya dengan pengembalian pinjaman, komunitas diberikan keleluasaan yang luas untuk menentukan jumlah dan periode pengembalian pinjaman, asalkan tidak melebihi jangka waktu maksimum yang telah ditetapkan. Pinjaman yang disalurkan pada jaringan komunitas dapat dibayarkan kembali per hari, minggu, bulan an, dua bulanan, atau bahkan setengah tahun. Apabila terjadi kegagalan atau keterlambatan pengembalian, akan dikenakan sanksi berupa denda. Sedangkan komunitas yang konsisten untuk membayar secara tepat waktu akan diberikan penghargaan dan sertifikat. Dana yang telah didapatkan komunitas dikelola sebagai pinjaman grosir (wholesale loan) yang dapat disalurkan untuk jenis-jenis pinjaman yang berbeda. Peran UCDO adalah memberikan bantuan teknis dan menghubungkan serta mengintegrasikan suatu kelompok pada jaringan kelompok dalam suatu distrik. Melalui jaringan tersebut, masing-masing kelompok dapat membantu satu sama lain dan saling belajar untuk melakukan pembangunan kapasitas. Sementara itu, setiap kelompok atau komunitas mempunyai tanggung jawab untuk mengumpulkan pengembalian pinjam an dari anggotanya dan mengawasi proses pembangunan yang sedang dilakukan anggotanya.
86
Contoh inovasi pembiayaan yang datang dari Thailand melalui kasus tersebut dapat menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia yang masih membutuhkan berbagai inspirasi untuk melakukan mekanisme pembiayaan yang tepat untuk melakukan percepatan pengadaan perumahan bagi MBR. Tentu, pengalaman tersebut tidak dapat ditiru dengan persis karena setiap negara memiliki karakteristik dan konteks yang berbeda. Untuk itu, perlu didiskusikan rencana inovasi pembiayaan yang tepat untuk Indonesia.
Sumber : UN-Habitat. 2009.
Gambar 3.4. Skema Pelaksanaan Pembangunan Komunitas CODI
87
E. Desain Pembiayaan Perumahan Salah satu skema pembiayaan perumahan yang telah ada namun membutuhkan pengembangan agar tepat sasaran di Indonesia adalah model kebijakan pembiayaan berbasis komunitas. Model ini mempunyai peluang untuk dikembangkan di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan kebijakan sosial untuk perumahan yang selama ini belum terjamah dalam desain sistem kebijakan sosial yang telah ada, yakni Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pengalaman program CODI di Thailand dapat dijadikan sebagai contoh sukses yang patut untuk dijadikan pembelajaran bagi Indonesia. Namun demikian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan apabila skema pengadaan perumahan berbasis komunitas akan dijalankan. Pertama, komunitas harus disokong oleh perangkat kelembagaan yang kuat untuk menjamin integritas dan kinerja dari komunitas. Dalam hal ini, pemerintah dapat berperan sebagai pendamping dan pemonitor untuk meningkatkan kualitas kelembagaan komunitas. Kedua, kualitas dari SDM yang menjadi anggota komunitas perlu dijamin. Kualitas tersebut dapat dilihat misalnya dari kemampuan mereka untuk menyusun proposal, mengelola aliran uang (cash flow), membuat laporan pertanggungjawaban, kemampuan melakukan resolusi konflik, dan lain-lain. Ketiga, program kebijakan sosial perumahan berbasis komunitas hendaknya dilakukan tidak dengan orientasi proyek (project oriented), melainkan berorientasi multitahun (multiyears program oriented) untuk menjamin keberlanjutan dan dukungan penuh komitmen dari setiap pihak yang terlibat. Pembiayaan untuk program berbasis komunitas tersebut dapat dilakukan dalam berbagai skema, misalnya koperasi, arisan perumahan, dan tabungan komunal. Sementara itu, pembangunannya dapat dilakukan secara swadaya, baik dengan cara bergotong-royong maupun menggunakan jasa pengembang. Bagi anggota komunitas yang paling miskin, kemudahan-kemudahan dapat diberikan, misalnya dengan memberikan kontribusi selain uang seperti material atau tenaga. Namun demikian, agar skema berbasis komunitas tersebut tetap dapat dikatakan sebagai praktik dari kebijakan sosial, maka pemerintah bagaimanapun juga harus melakukan intervensi, misalnya melalui pemberian dana yang tanggung jawab pengelolaan dan penggunaannya diserahkan kepada komunitas, atau melakukan pendampingan dalam rangka penguatan kapasitas kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM). Semua ini dilakukan dengan tanpa mengorbankan prinsip subsidiaritas: apabila komunitas dapat melakukan suatu usaha secara mandiri dan bekelanjutan, pemerintah hendaknya tidak merecoki.
88
Apabila pembiayaan berbasis komunitas ini menjadi salah satu pendekatan arus utama dalam kebijakan perumahan Indonesia di masa depan, maka akan semakin banyak pihak yang bersedia untuk menyalurkan dananya kepada komunitas untuk kemudian dikelola secara mandiri sekaligus akuntabel oleh komunitas-komunitas. Tidak hanya digunakan sebatas untuk membangun rumah, bantuan dan sokongan yang diberikan oleh berbagai pihak tersebut juga dapat digunakan untuk hal-hal lain seperti pembangunan infrastruktur atau pelaksanaan pelatih an untuk peningkatan kapasitas. Berikut merupakan skematik sumber-sumber pendanaan yang dapat digali oleh lembaga berbasis komunitas, berikut dengan manfaat yang dapat dihasilkannya : Tabel 3.1 Skema sumber-sumber pendanaan pembangunan perumahan berbasis komunitas
SUMBER DANA APBN
Hibah: Stimulan (1-3 tahun)
APBN
Subsidi
Swasta
CSR/Donor: Uang
Swasta
MANFAAT
BENTUK DANA
bahan bangunan
Pinjaman bank
• Pendampingan • Penguatan kelembagaan • Peningkatan SDM • • • •
Infrastruktur Uang muka Modal usaha Tanah
Pembangunan rumah dan infrastruktur
Pembangunan rumah dan pengembangan usaha
89
Pembiayaan berbasis komunitas merupakan skema pengguliran dana kepada MBR dan warga miskin untuk mendapat tempat tinggal yang layak. Skema tersebut bisa diterapkan namun dengan pertimbangan dan dalam kondisi tertentu, yaitu berintegrasi dengan kebijakan ekonomi yang dimediasi konsensus politik. Indonesia telah memiliki undang-undang yang mengatur tentang pembangunan sistem jaminan sosial yaitu SJSN, tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial diatur sistem ini. Oleh karena itu, untuk mengimplementasikan skema pembiayaan tentu harus berdasarkan SJSN. Skema pembiayaan reformatif dan inovatif yang akan dirumuskan dan dilakukan untuk membiayai kebijakan sosial harus memperhatikan pokokpokok berikut, demi menjamin rezim finansial yang kondusif bagi pembangunan berbasis kebjiakan sosial. Pertama, pembuat kebijakan, dengan berdialog secara demokratis dengan warga, harus mengidentifikasi dan mengartikulasi prinsipprinsip normatif dasar yang akan memandu pelaksanaan kebijakan sosial. Ke dua, perlunya dilakukan penilaian ruang fiskal secara cermat, tidak hanya dalam kaitannya dengan realokasi pengeluaran pemerintah melainkan juga mobilisasi pemasukan tambahan sebagai sumber dana untuk mempertahankan dan memperluas penyelenggaraan kebijakan sosial. Ketiga, aspek tata kelola seperti pembangunan kapasitas dan kemampuan melakukan implementasi kebijakan juga perlu diperhatikan. Ini untuk menjamin agar kebijakan yang telah diputuskan dapat dilaksanakan dengan baik di lapangan.
90
PENYEDIAAN TANAH UNTUK PERUMAHAN
4
Tanah merupakan sumber daya yang vital dan dibutuhkan untuk hampir semua kegiatan manusia. Sebagai basis untuk tempat berlindung, produksi makanan, dan berbagai aktivitas ekonomi, tanah berperan sebagai fondasi yang penting untuk merealisasikan hak asasi manusia dan mengurangi kemiskinan (UN-Habitat 2008: 3). Karena sifatnya yang sangat strategis tersebut, maka tak heran apabila pemanfaatan atasnya menjadi arena pertarungan antaraktor de ngan segala kepentingan dan kekuatannya masing-masing. Tanah juga merupakan sumber daya yang bersifat unik. Kuantitasnya yang relatif bersifat tetap (kecuali bila dilakukan reklamasi) dibutuhkan oleh populasi yang justru semakin banyak jumlahnya. Kepelikan ini begitu terasa di Indonesia, yang merupakan negara dengan populasi terbesar nomor empat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika. Data resmi sensus penduduk yang dikeluarkan BPS tahun 2010 menyebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia lebih dari 237 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk yang sedemikian besar, maka kebutuhan tanah untuk pembangunan perumahan juga semakin tinggi. Jika tidak ada kendali dan perencanaan yang matang akan menimbulkan berbagai persoalan di masyarakat seperti menjamurnya permukiman kumuh, sengketa lahan, dan alih fungsi lahan yang serampangan. Untuk itu pemahaman tentang tanah dan perumahan harus tepat. Berikut dipaparkan fungsi tanah untuk perumahan dan upaya pemerintah dalam penyediaan tanah untuk perumahan, khususnya bagi mereka yang berpenghasilan rendah dan upaya-upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan tanah.
91
A.
Tanah dan Rumah
Apabila kita menghubungkan isu tentang tanah dengan perumahan, maka peta permasalahan yang dihadapi akan semakin kompleks. Rumah merupakan kebutuhan yang, sama seperti tanah, bersifat strategis. Pada saat yang sama, pengadaan dari rumah itu sendiri niscaya membutuhkan tanah sebagai prasyarat dari keberadaannya. Semua rumah dibangun di atas tanah, kecuali bagi beberapa rumah istimewa seperti rumah di atas laut. Demikianlah maka dapat dipahami bahwa isu tentang rumah selalu berkelindan erat dengan isu akan tanah. Membicarakan tentang strategi pembangunan perumahan yang menyejahterakan dan berkeadilan, dengan demikian, terlebih dahulu mengandaikan diurainya permasalahan tentang tanah itu sendiri.
Salah satu karakter yang paling mencolok dari keadaan tanah di Indonesia adalah struktur penguasaan yang timpang, baik menyangkut masalah penguasaan formal (status kepemilikan) maupun penguasaan efektif (garapan/operasional) atas tanah.
Ketimpangan tersebut diindikasikan dari fakta bahwa mayoritas penduduk hanya menempati proporsi tanah yang sempit dan sebaliknya, minoritas penduduk mengokupasi luasan tanah yang sedemikian besar. Data yang ada menunjukkan bahwa sebanyak 16% penduduk menguasai 69% tanah, sedangkan 40% sisanya menguasai hanya kurang dari 10%. Dari perspektif yang lain, berdasarkan data BPN (2010), sekitar 0,2% penduduk Indonesia kini menguasai 56% aset nasional, yang 87% di antaranya berupa tanah. Padahal, pada saat yang sama ternyata ada tanah swasta seluas 7,2 juta hektar yang sengaja ditelantarkan (Kompas, 14 Januari 2012).
92
Sumber : Doc.HRC, 2009/2010 Gambar 4.1. Kontradiktif : rumah dengan lahan luas dan rumah di lahan sempit. Ketimpangan dalam struktur tanah tersebut bukanlah kondisi yang meng untungkan apabila diingat bahwa masih banyak jumlah kekurangan rumah (backlog) di Indonesia (tahun 2010 mencapai 13,6 juta unit, dengan laju pertambahan 700.000 setiap tahun). Penyediaan tanah dengan jumlah besar yang dibutuhkan untuk membangun rumah terancam untuk sulit dilakukan karena akses atas sebagian besar tanah justru dimiliki oleh orang-orang kuat. Dalam pandangan yang lebih luas, kondisi ketimpangan struktur tanah tersebut juga merupakan hal yang tidak kondusif apabila kita berusaha menempatkan kebijakan perumahan dalam kerangka negara kesejahteraan. Salah satu ciri dari negara kesejahteraan adalah terpenuhinya kebutuhan dasar untuk hidup layak bagi semua warga negara tanpa kecuali. Maka apabila sebagian golongan warga kesulitan untuk mengakses tanah dikarenakan ada nya ketidakadilan dalam struktur penguasaan tanah, maka hal itu akan berakibat pada sulitnya golongan warga tersebut untuk mendapatkan salah satu kebutuh an dasarnya berupa rumah, mengingat bahwa seperti yang telah dikatakan sebelumnya, tidak ada akses akan rumah tanpa akses akan tanah. Untuk memperbaiki dan mengubah keadaan yang ada saat ini, perlu dilakukan redefinisi dan reinterpretasi dari pembuat kebijakan dalam memandang hakikat dari tanah. Apabila tanah akan dibingkai dalam keprihatinan dasar me ngenai terbentuknya negara kesejahteraan, maka tanah hendaknya dipandang bukan dari perspektif ekonomi. Sebab cenderung memperlakukan tanah semata sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan secara bebas dan mengakibat-
93
kan munculnya monopoli atas tanah pada segelintir pihak yang memiliki modal untuk membelinya. Pandangan yang lebih tepat dan adil adalah mendudukkan sumber daya tanah sebagai hak yang dimiliki oleh setiap manusia. Dengan posisi ini, isu akan pentingnya jaminan untuk mendapatkan tanah menjadi hal yang penting. Dengan hak akan tanah yang terjamin, maka pemilik hak akan terdorong untuk melakukan investasi dan pengembangan, baik terhadap bangunan yang didirikan di atas tanah maupun tanah itu sendiri; juga lebih mudah dalam meng akses pelayanan publik dan dana kredit.
B. Fungsi Sosial Tanah dan Land Reform Sebagai cerminan dari nilai-nilai solidaritas dan kepublikan, setiap hak akan tanah selalu dilekati oleh fungsi sosial. Fungsi sosial dari hak atas tanah inilah yang ditegaskan dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA merupakan sumber hukum tanah nasional. Untuk itu, segala pembicaraan tentang tanah, termasuk tanah untuk kebutuhan pembangun an perumahan, haruslah menjadikan ketentuan, prinsip, dan roh yang termuat dalam UUPA sebagai referensi. Falsafah dari UUPA yang dilandaskan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 ditujukan untuk tercapainya keadilan sosial bagi masyarakat dalam kaitannya de ngan perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya tanah. Visi akan keadilan tersebut tertuang secara gamblang dalam Pasal 9 Ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa: “Tiap WNI, baik pria maupun wanita mempunyai kesempat an yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya bagi diri sendiri maupun keluarganya”.
Dalam UUPA, hak atas tanah yang dimiliki oleh semua warga negara secara inheren mengandung fungsi sosial. Dengan demikian, tanah tidak dipandang sebagai komoditas yang dapat diakumulasi secara bebas tanpa batas dan menjadi obyek investasi serta spekulasi demi meraih keuntungan pribadi di masa depan. Fungsi sosial dari hak atas tanah ini bersesuaian dengan paradigma dari negara kesejahteraan, yang menjadikan asas sosialitas sebagai batu penjuru dari kehidupan bangsa.
94
Perwujudan keadilan sosial di bidang pertanahan juga dapat dilihat dari prinsip-prinsip dasar yang dikandung dalam UUPA, di antaranya prinsip “negara menguasai”, prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial semua hak atas tanah, prinsip land reform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya pelestariannya, dan prinsip nasionalitas (Sumardjono 2005: 42). Apabila kita melihat kondisi saat ini di mana ketidakadilan dalam bidang pertanahan masih terlihat mencolok, falsafah dan prinsip-prinsip dasar dari UUPA kiranya masih amat relevan dan bahkan perlu ditegaskan kembali. Untuk itu, UUPA kiranya masih tepat untuk dijadikan sebagai acuan dan panduan dalam mengarahkan kebijakan pertanahan nasional. Tentu saja, seiring dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi pasca dibuatnya UUPA, penyesuaian dan penyempurnaan tetap perlu dilakukan melalui pembuatan kebijakan baru yang responsif terhadap perkembangan baru. Meski demikian, roh dan semangat inti dari UUPA harus tetap dipertahankan, termasuk ketika kita berusaha merumuskan pendekatan, kebijakan, dan strategi yang tepat untuk memberikan akses yang luas atas tanah dalam rangka mendirikan rumah, terutama bagi MBR. Salah satu prinsip dasar dari UUPA yang masih relevan untuk saat ini adalah asas land reform. Asas land reform mencuatkan kesadaran akan pentingnya peme rataan penguasaan tanah. Dengan menjadikan asas ini sebagai alat evaluasi, maka dapat secara tegas dikatakan bahwa fakta terjadinya ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah secara nasional adalah hal yang bertentangan dengan UUPA. Sebagai tindakan yang paling tepat untuk mengoreksi hal ini, maka diperlukan pembatasan mengenai penguasaan tanah yang dapat dimiliki oleh perseorangan dan badan hukum, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.
C. Tantangan Pembangunan Perumahan di Perkotaan Penyediaan tanah merupakan kegiatan pemerintah untuk memperoleh tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan, khususnya bagi kepentingan umum. Pada prinsipnya penyediaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antara pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan. Lokasi spasial yang memberikan tantangan terbesar dalam upaya pembangunan perumahan bagi MBR adalah daerah perkotaan, di mana jumlah penduduk yang meningkat dan pembangunan infrastruktur yang masif tidak diimbangi dengan peningkatan ketersediaan tanah. Dibandingkan dengan pedesaan, lebih sulit bagi MBR mendapatkan tanah untuk membangun rumah di perkotaan.
95
Sesuai dengan hakikat sosio-demografis dari kota yang padat dan dinamis, tanah di perkotaan telah banyak dikapling untuk jenis-jenis peruntukan yang sangat bervariasi, sehingga sulitlah menemukan tanah lowong yang dapat secara leluasa untuk dibangun rumah di atasnya. Terlebih lagi apabila ingin membangun rumah bagi MBR yang spesifikasinya sederhana, kesulitan akan semakin berat karena adanya kepercayaan dan sentimen yang kuat bahwa proyek perumahan bagi MBR tidak akan sesuai dengan kriteria kehidupan kota kapitalis yang mengukur segala sesuatunya dengan kalkulasi profit. Sesungguhnya, prakarsa untuk “memaksa” pengembang agar turut berkontribusi dalam membangun perumahan untuk MBR juga telah digalakkan melalui ketentuan yang mensyaratkan pembangunan perumahan dengan proporsi tertentu untuk tiap-tiap kelasnya, misalnya berupa skema 1:3:6. Namun seringkali ketentuan tersebut tidak dapat dijalankan dengan efektif di lapangan karena berbagai hal. Untuk memberikan daya dorong yang lebih kuat, pemerintah mungkin dapat membuat ketentuan yang lebih tegas dengan memberikan batas waku penyelesaian pembangunan rumah sederhana dengan jumlah sesuai dengan proporsi yang telah disepakati, dengan sanksi tertentu apabila batas waktu tersebut telah terlewati (Sumardjono 2005: 33). Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperbesar peluang MBR dalam memiliki rumah di perkotaan adalah melalui efisiensi atau intensifikasi pemanfaatan tanah dengan membangun perumahan vertikal, baik berupa rusunami maupun rusunawa. Selain itu, pemerintah juga dapat mencabut izin yang diberikan pemegang hak atas tanah dan mengalihkannya ke pihak lain dalam kasus tanah yang dikuasai untuk pembangunan perumahan ternyata tidak digunakan sesuai dengan peruntukan dan syarat pemberiannya (Ibid: 34). Namun, di luar hal-hal tersebut, faktor utama yang menyebabkan sulitnya MBR mengakses tanah untuk membangun rumah adalah harga tanah yang mahal. Hal tersebut terkait dengan karakteristik dari tanah perkotaan itu sendiri. Ciri khas utama dari tanah perkotaan adalah sifatnya yang kebal dari dinamika hukum penawaran dan permintaan. Permintaan dan penawaran tanah selalu dihubungkan dengan lokasi tanah. Lokasi berpengaruh terhadap nilai tanah sesuai dengan jenis penggunaannya. Namun, dalam hal tanah perkotaan, terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran karena tanah dalam lokasi tertentu terbatas kuantitasnya sedangkan di sisi lain, perilaku tidak menggunakan tanah untuk sementara waktu tidak dikenai sanksi. Kasus seperti ini tercermin dari tingginya persentase tanah kosong di perkotaan meskipun terdapat permintaan yang tinggi akan tanah (Sumardjono 2008: 222).
96
Sumber : Dok.HRC, 2009
Gambar 4.2. Permukiman di pinggiran kota yang melahap lahan pertanian menjadi permukiman karena mahalnya harga tanah/perumahan di kota Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan harga tanah di perkotaan. Harga tanah yang tinggi di suatu daerah akan memengaruhi pula harga tanah di sekitarnya. Lebih jauh, kenaikan harga tanah tersebut dapat semakin melambung apabila praktik spekulasi marak dilakukan. Dalam situasi seperti ini, MBR yang belum mempunyai rumah tak pelak lagi merupakan kelompok masyarakat yang paling dirugikan. Bagi mereka hanya ada dua pilihan yang sama-sama negatifnya, yakni terpaksa pindah ke daerah yang lebih rendah kelas tanahnya di lokasi yang jauh dari lapangan kerja, atau tinggal berdesakan dalam rumah dengan mutu bawah standar yang rawan kebakaran. Upaya pencarian tanah untuk merumahkan kelompok ini seringkali juga dilakukan melalui alih fungsi tanah, dari tanah pertanian menjadi permukiman walaupun di dalam kota masih banyak tanah yang belum terbangun (Ibid).
97
Untuk mengatasi masalah penyediaan tanah perkotaan, dapat ditempuh melalui berbagai kebijakan, pertama, Konsolidasi Tanah Perkotaan (KTP) yang bertujuan untuk mengatur kembali bidang tanah dalam bentuk yang serasi untuk kemudian dibangun perumahan yang dilengkapi dengan fasilitas umum. Kedua, pembentukan badan hukum yang bertugas menyediakan tanah, mematangkan, dan kemudian menyalurkannya untuk berbagai keperluan, termasuk untuk permukiman (lembaga bank tanah). Ketiga, perolehan tanah dengan cara penukaran dengan sebidang tanah yang setara nilainya atau berupa keikutsertaan dalam saham perusahaan yang mengambil alih bidang-bidang tanah itu (landswapping) (Sumardjono 2005: 32).
Untuk menjamin agar MBR mampu mendapatkan tanah yang terjangkau untuk membangun rumah, maka mau tak mau dibutuhkan intervensi pemerintah untuk mengendalikan harga tanah di perkotaan.
Untuk menjamin agar MBR mampu mendapatkan tanah yang terjangkau untuk membangun rumah, maka mau tak mau dibutuhkan intervensi pemerintah untuk mengendalikan harga tanah di perkotaan. Tanpa intervensi pemerintah, harga tanah akan mencapai level yang memberatkan MBR untuk mengaksesnya. Lebih jauh, harga tanah yang tinggi akan menyebabkan timbulnya berbagai efek komplikasi lanjutan sebagaimana telah dipaparkan di atas. Di dalam upaya untuk mengendalikan harga tanah, setidaknya ada lima cara intervensi yang dapat dilakukan oleh pemerintah, di antaranya penyediaan tanah, regulasi/pengaturan penatagunaan tanah, institusionalisasi bank tanah (land banking), kebijakan perpajakan, dan kebijakan pembatasan pemilikan tanah (Sumardjono 2008: 222225). Dalam bagian berikut, tulisan akan diarahkan pada strategi intervensi harga tanah melalui pembentukan bank tanah.
D. Bank Tanah dan Community Land Trust Tidak ada definisi tunggal yang baku atas konsep bank tanah. Konsep ini dapat digunakan dalam berbagai cara tergantung pada konteks dan aktor yang menjalankannya. Secara umum, dapat dikatakan bahwa bank tanah merupakan praktik pemerolehan tanah dengan maksud untuk mendiamkannya selama beberapa saat sampai ketika pelepasan dari tanah tersebut dirasa berguna dan menguntungkan dalam rangka pembangunan perumahan atau tujuan lainnya. Dari perspektif agensi, bank tanah adalah instrumen yang dapat digunakan tidak hanya oleh institusi publik melainkan juga oleh investor privat yang mengguna kannya untuk melalukan spekulasi atas harga tanah demi keutungan pribadi.
98
Apabila dijalankan oleh institusi publik, penggunaan istilah bank tanah di negara-negara maju biasanya didiskusikan sebagai strategi yang berkenaaan dengan tiga hal, yaitu pembaruan kota (urban renewal), preservasi ruang terbuka, dan stabilisasi harga properti dan tanah dalam suatu area tertentu. Sementara dalam negara-negara berkembang, istilah bank tanah biasanya diasosiasikan dengan akses tanah untuk tujuan-tujuan publik seperti perumahan, pengelolaan pasar tanah, dan mengontrol spekulasi tanah. Penjelasan dari UNESCAP (1993) memberikan pengertian akan bank tanah yang dirasa lebih sesuai dengan aspirasi negara berkembang, yaitu bahwa bank tanah mengimplikasikan adanya usaha pemerintah untuk mendapatkan tanah melampaui pertimbangan kebutuhan aktual. Hal tersebut dilakukan sebagai cara agar pemerintah dapat memperoleh tanah dengan harga yang relatif murah untuk kepentingan publik dan dengannya menyediakan instrumen untuk memengaruhi pola perkembangan wilayah yang berselaras dengan tujuan perencanaan secara keseluruhan.
Sumber: Dok. HRC, 2009 Gambar 4.3. Tanah kosong/tanah dijual untuk keperluan permukiman/pertokoan
99
Seturut dengan lembaga donor Internasional dari Jerman, GTZ (1998: 1), prinsip-prinsip pemandu dari bank tanah di negara berkembang adalah sebagai berikut: menyediakan akses bagi kaum miskin dan kelompok sasaran spesifik lainnya akan tanah, mendukung implementasi proyek pembangunan kota, me ngurangi inflasi dalam harga tanah dan mereduksi spekulasi tanah, mempromosikan kemitraan pemerintah-swasta, dan meningkatkan struktur kepastian hak atas tanah. Secara normatif dapat dikatakan bahwa bank tanah merupakan lembaga dari masyarakat untuk masyarakat. Ini karena tanah yang diperoleh sebagian berasal dari masyarakat dan peruntukan selanjutnya kemudian dikembalikan lagi untuk kepentingan masyarakat (Sumardjono 2008: 239).
Optimalisasi pemanfaatan bank tanah membutuhkan sinergi di antara perangkat hukum, SDM, instrumen teknis, dan pendanaan yang memadai agar tercapai efisiensi alokatif dan keadilan distributif atas tanah.
Kriteria untuk mengukur manfaat dari keberadaan bank tanah, menurut Lichfield (1965), adalah tercapainya efisiensi alokatif dan keadilan distributif atas tanah. Latar belakang di balik tujuan ideal ini adalah kepercayaan bahwa apabila pemerintah mempunyai akses terhadap sekumpulan luas tanah yang berharga, maka dia akan menjadi pengelola yang bertanggung ja wab atas sumber daya tersebut dan akan menga lokasikannya dengan lebih adil apabila diban dingkan dengan pihak swasta. Untuk menjamin terciptanya skenario tersebut, tentu dibutuhkan dukungan dalam berbagai bentuk, mulai dari perangkat hukum, SDM, instrumen teknis yang memadai, dan pendanaan yang cukup.
Melalui bank tanah, ada tiga tindakan strategis yang dapat dilakukan. Pertama, akuisisi tanah. Terdapat berbagai metode mengakuisisi tanah yang dapat dilakukan (Berrisford et al. 2003: 20), di antaranya akuisisi paksa (ekspropriasi), pemerintah membeli di pasar terbuka, pengembang membeli di pasar terbuka, otoritas legal membeli di pasar terbuka, akuisisi paksa yang dilakukan oleh pengembang yang menerima delegasi kekuasaan, otoritas legal yang diberi kuasa untuk melakukan akuisisi paksa, dan kemitraan pemerintah-swasta, misalnya melalui mekanisme pengelompokan (pooling) atau penyesuaian kembali (readjustment) atas tanah. Di antara berbagai cara akuisisi tersebut, akuisisi paksa merupakan pilihan yang paling berat untuk dilakukan secara politis. Meskipun biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh tanah dengan cara ini jauh lebih murah dibandingkan de ngan membeli di pasar terbuka, namun seringkali resistensi yang keras menyertai upaya akuisisi paksa, terlebih apabila alasan pemerintah demi kepentingan pu
100
blik tidak dapat meyakinkan pemegang hak tanah yang akan diakuisisi, bahkan dicurigai sebagai kedok untuk memuluskan kepentingan aktor-aktor gelap. Tindakan kedua yang dapat dilakukan oleh bank tanah adalah manajemen tanah. Bidang tanah luas yang dikuasai oleh pemerintah via bank tanah perlu dikelola dengan seksama dan cerdik agar dapat diperoleh nilai tambah yang besar. Untuk itu, diperlukan sumber daya, komitmen, dan usaha yang besar. Dalam hal ini, isu akan pemeliharaan dan keamanan bersifat vital, terutama pada lokasi di mana tanah berada pada tempat yang strategis seperti dekat dengan sumber dan sarana ekonomi, sosial, dan transportasi. Tindakan ketiga adalah pengembangan tanah. Salah satu fungsi inti dari bank tanah adalah mengelola pengembangan dari bidang tanah yang dikuasainya, misalnya dengan mendirikan infrastruktur. Dalam melaksanakan upaya tersebut, pemerintah dapat mentransfer tanah kepada pengembang swasta atau organisasi nonprofit. Bagaimanapun, mengingat bahwa bank tanah pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan publik, pemerintah perlu memastikan dan mengontrol bahwa upaya pengembangan tanah yang dilakukan didasarkan pada kepentingan dari komunitas lokal dan bersesuaian dengan tujuan-tujuan strategis komunitas tersebut. Hal lain yang patut diperhatikan apabila pemerintah melakukan transfer tanah kepada pihak lain adalah kemampuan negosiasi yang prima dari pemerintah agar tanah tidak diserahkan dengan harga di bawah standar yang akan menguntungkan pihak penerima. Terdapat dua kemungkinan bentuk yang dapat dijadikan sebagai wadah institusional untuk menjalankan tindakan-tindakan yang lazimnya dilakukan oleh bank tanah, yakni bank tanah dan community land trust. Jika bentuk yang pertama dijalankan oleh agensi publik, bentuk yang kedua dijalankan oleh masyarakat sendiri. Dalam rangka menciptakan sistem yang solid untuk menciptakan peluang yang besar bagi masyarakat dalam mengakses tanah untuk perumahan, hendaknya kedua bentuk institusi tersebut dikembangkan secara simultan. Berikut penjelasan dari kedua bentuk institusi tersebut.
a) Bank Tanah (Sumardjono 2008: 228-239) Gagasan untuk membentuk lembaga bank tanah di Indonesia muncul pertama kali pada tahun 1980-an. Selain itu, telah pula dilakukan berbagai kegiatan yang dapat disebut sebagai embrio bank tanah, yakni Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP) di Jakarta, Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) di Surabaya, dan lain-lain. Secara umum bank tanah dipahami sebagai setiap kegiatan peme rintah untuk menyediakan tanah, yang akan dialokasikan penggunaannya di kemudian hari.
101
Bank tanah umum
Bank tanah umum
Bank tanah dibentuk untuk memenuhi berbagai tujuan. Di antara berbagai tujuan yang ada, pada umumnya prioritas diletakkan di antara mengembangkan penggunaan tanah dan mempengaruhi harga tanah. Pada umumnya, kedua tujuan tersebut tidak dapat dicapai sekaligus dalam satu kegiatan. Untuk itu, suatu lembaga bank tanah perlu memastikan terlebih dahulu tujuan manakah yang lebih diutamakannya. Dilihat dari fungsinya, terdapat 2 macam bank tanah: bank tanah umum dan bank tanah khusus. Seturut penjelasan Flechneer (1974), melalui bank tanah umum, dilakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh badan pemerintah untuk menyelenggarakan penyediaan, pematangan, dan penyaluran tanah untuk semua jenis penggunaan tanah (publik atau privat) tanpa ditentukan terlebih dahulu penggunaannya, dengan tujuan untuk mengawasi pola perkembangan daerah perkotaan dan/atau mengatur harga tanah dan/atau memperoleh capital gains dari nilai lebih sebagai akibat investasi publik dan/atau mengatur penggunaan tanah, termasuk mengenai waktu, lokasi, jenis, dan skala pengembangannya.
Sementara itu, kegiatan bank tanah khusus meliputi: penyediaan tanah untuk pembaruan daerah perkotaan, pengembangan industri, pembangunan perumahan menengah/sederhana/sangat sederhana dan pembangunan berbagai fasilitas umum. Sesuai dengan fokus dari buku ini yang berbicara tentang pembangunan sistem perumahan berparadigma kesejahteraan, dengan demikian jenis bank tanah yang layak untuk dikembangkan adalah bank tanah khusus ini. Secara konstitusional, bank tanah merupakan jenis lembaga yang dapat dipandang sebagai upaya untuk melaksanakan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Oleh karenanya, penyelenggara bank tanah seharusnya berbentuk badan hukum publik. Sementara berkaitan dengan pembiayaannya, bank tanah dapat dibiayai melalui berbagai cara, misalnya dana berwujud pinjaman jangka panjang de ngan bunga rendah, penjualan saham kepada publik, dana dari sumber-sumber yang berasal dari jasa-jasa pelayanan di bidang pertanahan, dan pajak-pajak di bidang pertanahan (pajak atas Nilai Tanah, pajak atas Nilai Lebih Tanah, pajak atas keuntungan transaksi tanah). Objek dari lembaga bank tanah adalah tanah negara atau tanah hak. Tanah negara tersebut antara lain dapat berasal dari bekas hak erfpacht, bekas hak
102
partikelir, tanah Hak Guna Usaha yang Sebagai lembaga yang tidak diperpanjang lagi, tanah-tanah dianggap mampu melakukan terlantar, dan lain-lain. Mengenai cara perolehannya, ada beberapa alternatif amanat Pasal 33 Ayat (3) yang dapat dilakukan, di antaranya meUUD 1945, bank tanah lalui mekanisme jual-beli, penyediaan hendaknya berbentuk badan tanah/pencabutan hak atas tanah, atau hukum publik dengan ragam cara-cara lain. Untuk bank tanah khusus, mekanisme yang dipilih akan berkaitan skema pembiayaan yang erat dengan tujuan dari penggunaan mudah dijangkau MBR dan tanah yang diperoleh tersebut. Apabila warga miskin. akan digunakan untuk fasilitas umum, dapat digunakan mekanisme penyediaan tanah, atau pencabutan hak atas tanah. Namun bila tanah akan digunakan untuk kepentingan privat, dapat ditempuh mekanisme jual-beli. Untuk menjamin bahwa harga pembelian dilakukan secara wajar, dapat digunakan lembaga jasa penilai independen untuk menentukan harga yang wajar atas bidang tanah yang menjadi objek pengadaan bank tanah. Pertanyaannya, apabila tanah tersebut akan digunakan untuk membangun perumahan bagi MBR, mekanisme apakah yang seharusnya dilakukan? Apabila kita konsisten untuk menempatkan kebijakan perumahan sebagai kebijakan sosial dalam kerangka negara kesejahteraan, maka sudah selayaknyalah ikhtiar untuk membangun perumahan bagi MBR dikategorikan sebagai kepentingan publik, dan karenanya penyediaan tanahnya dapat dilakukan melalui penyediaan tanah/pencabutan hak atas tanah. Namun, apabila masalah pembiayaan tidak lagi menjadi kendala bagi pemerintah, mekanisme jual-beli bisa saja untuk dilakukan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam operasionalisasi bank tanah adalah bahwa dalam melakukan penyediaan tanah, maka perencanaannya haruslah se suai dengan RTRW daerah yang telah ditetapkan menjadi Perda. Dengan demikian, pembangunan yang dilakukan di atas bank tanah tidak menyebabkan terjadinya disintegrasi dan disharmoni yang merusak rencana pembangunan kota secara keseluruhan. Namun, apabila RTRW yang terdapat di suatu daerah tidak atau hanya memberikan sedikit ruang untuk pembangunan perumahan bagi MBR, maka terobosan kebijakan harus dilakukan karena usaha untuk memberikan keadilan bagi warga yang membutuhkan adalah prioritas utama. Dalam tahap penyaluran tanahnya, ada dua cara atau mekanisme yang dapat dipilih, yakni dijual atau disewakan. Dalam konteks Indonesia, baik alternatif menjual atau menyewakan kiranya merupakan hal yang sama-sama tepat
103
untuk dilakukan, tergantung dari situasi, kebutuhan, dan permintaan dari suatu daerah atau komunitas tempat bank tanah berada. Apa yang perlu diperhatikan adalah bahwa apabila dilakukan opsi penjualan, maka hendaknya harga jualnya dapat digunakan untuk menutup biaya operasi bank tanah secara berkesinambungan, sembari di sisi lain menghindari perilaku “beli murah, jual mahal” karena hal semacam itu akan mengesankan bahwa bank tanah tidak ada bedanya dengan spekulan tanah. Kebijakan yang berkenaan dengan lembaga bank tanah yang dibentuk sebagai instrumen untuk mendukung pembangunan, seyogianya bersifat transpa ran karena menyangkut kepentingan masyarakat. Paling tidak untuk kegiatan lembaga bank tanah, masyarakat harus diberi informasi tentang wilayah mana saja yang akan dikembangkan dan juga mengenai jenis penggunaannya di kemudian hari serta jangka waktu pengembangannya. Selain itu, pelaksanaan kegiatan lembaga bank tanah tidak dapat berjalan sebagaimana diharapkan tanpa dukungan administrasi yang memadai. Suatu sistem administrasi pertanahan yang multiguna dibutuhkan untuk mendukung kegiatan lembaga bank tanah. Dalam konteks bank tanah khusus yang ditujukan untuk membangun perumahan bagi MBR, perlu dipastikan juga bahwa tanah yang akan dijual atau di sewakan tersebut akan dipergunakan untuk membangun rumah.
b) Community Land Trust Mekanisme lain yang dapat dikembangkan untuk mengamankan terse dianya tanah bagi pembangunan perumahan yang ditujukan untuk MBR adalah melalui apa yang disebut sebagai Community Land Trust (CLT) yang dapat diterjemahkan sebagai Perserikatan Tanah Komunitas. CLT dikembangkan di Amerika sejak akhir 1960-an dan semakin besar jumlah dan pengaruhnya di era kontemporer, sebagai respon atas pendekatan yang memandang tanah sebagai barang privat. Meski demikian, konsep dari CLT sendiri sesungguhnya mempunyai akarnya pada sistem tenur tanah yang dianut oleh berbagai budaya pribumi di banyak bagian dunia, sebelum munculnya pandangan kapitalistik atas tanah di era industrial. Dalam batasannya yang paling dasar, CLT merupakan lembaga swadaya masyarakat berbasis komunitas yang dibebaskan dari pajak, dengan fungsi untuk memiliki tanah di suatu kawasan komunitas tertentu agar masyarakat lokal yang berpenghasilan rendah dan menengah dapat membeli atau menyewa rumah yang layak huni, mendirikan usaha bisnis kecil, mempraktikkan usaha pertanian dan kehutanan yang berkelanjutan, dan berbagai penggunaan tanah lainnya yang ramah secara ekologis, tanpa harus memiliki tanah (atau menyewa dengan
104
harga yang mahal) tempat di mana berba gai bangunan dan usaha tersebut didirikan dan dilakukan.
Keberadaan CLT berfungsi untuk memfasilitasi masyarakat lokal yang berpenghasilan rendah, dalam kawasan komunitas tertentu, agar dapat memiliki hunian yang layak tanpa harus memiliki tanah.
Ada beberapa tujuan dari didirikannya CLT, di antaranya menyediakan akses akan tanah dan rumah pada orang-orang yang selama ini tidak mempunyai akses, meningkatkan kontrol komunitas jangka panjang atas sumber daya yang ada di lingkungannya, memberdayakan anggota komunitas melalui keterlibatan dan partisipasi dalam organisasi, dan untuk menjamin keterjangkauan akan rumah secara permanen. Apabila CLT memfokuskan dirinya pada penyediaan tanah untuk membangun rumah bagi MBR, maka CLT mempunyai 3 fungsi sebagai berikut: memastikan MBR mempunyai akses akan tanah, mempertahankan keterjangkauan rumah, dan memfasilitasi kepemilikan rumah (Peterson, 1996). Alih-alih memiliki tanah, penyewa tanah yang mendirikan rumah atau bangunan lain membuat kontrak dengan CLT untuk menyewa tanah dengan harga yang murah dan berjangka panjang (seringkali sampai 99 tahun). Perjanjian sewa tersebut dapat diperbarui dan diteruskan kepada ahli waris penyewa. Melalui perencanaan pengurusan tanah, CLT mengelola penggunaan tanah secara keseluruhan dalam jangka panjang, tanpa peduli siapa pihak yang memiliki rumah atau tempat usaha yang didirikan di atas tanah milik CLT. Lebih jauh, CLT juga menjamin bahwa rumah dan objek-objek bangunan lainnya akan tetap terjangkau di masa depan. Ini dilakukan melalui perjanjian tentang batas harga dari penjualan kembali (resale) dan melalui opsi untuk membeli rumah yang dijual oleh pemilik awal. Di Amerika, CLT berkembang dengan sangat pesat dan membentuk jaringan LSM akar rumput berbasis komunitas dengan konsentrasi untuk mengatasi akar dari permasalahan tanah sekaligus perumahan. Kemapanan dari sistem CLT ini dibuktikan melalui hadirnya jaringan CLT nasional dengan lebih dari 200 CLT menjadi anggotanya, melayani komunitas urban, suburban, dan pedesaan di seluruh AS. Penyediaan dan penggunaan tanah yang dilakukan dengan menggunakan mekanisme CLT memberikan berbagai nilai lebih karena filosofi CLT meman dang tanah sebagai warisan bersama anugerah alam sehingga tidak bisa dimiliki secara privat. Apa yang bisa dimiliki secara privat hanyalah bangunan
105
dan usaha-usaha yang dikerjakan oleh manusia di atas tanah tersebut. CLT merupakan mekanisme yang mengejawantahkan kepemilikan demokratis atas tanah oleh komunitas lokal. Tanah dibebaskan dari ranah pasar dan di pisahkan dari nilai produktifnya sehingga dampak dari apresiasi nilai/harga tanah dapat diabaikan. Ini dilakukan untuk menjamin agar pembangunan lokal berkelanjutan yang berjangka panjang dan terjangkau (termasuk pembangunan rumah untuk MBR) dapat dimungkinkan. CLT memandang tanah sebagai warisan bersama karena para konseptor dan eksponennya meyakini tanah beserta sumber daya yang dihasilkannya merupakan komponen utama dalam penciptaan kesejahteraan. Kesenjangan yang lebar antara kaum kaya dengan kaum miskin dengan demikian sesungguhnya berakar pada fakta diperbolehkannya akumulasi privat tanpa batas atas sumber daya tanah. Keyakinan ini adalah cerminan dari pandangan ekonom Amerika abad ke-19, Henry George, yang menyatakan bahwa apabila tanah merupakan prasyarat untuk menjalankan kehidupan yang ditunjang dengan berbagai kebutuhan dasar (rumah, air, makanan), maka kepemilikan privat akan tanah dapat dipandang sebagai sebentuk ketidakadilan. Atas dasar filosofi tersebut, dirumuskan konstatasi bahwa tanah seharusnya dikuasai oleh komunitas atas dasar kepercayaan untuk jangka waktu yang tidak terbatas, sebagai aset milik komunitas, dan bahwa penggunaan dari tanah tersebut, termasuk pembangunan rumah, haruslah bersifat terjangkau dan tersedia bagi seluruh anggota komunitas. Sebagai pendekatan inovatif dalam membangun perumahan terjangkau yang menggunakan model kepemilikan ganda (tanah dimiliki oleh CLT se bagai representasi dari komunitas, bangunan dimiliki oleh pribadi), CLT memberikan beberapa keuntungan strategis yang berlipat. Kepentingan pemilik rumah akan jaminan keamanan, privasi, Karena statusnya pewarisan, dan keadilan dapat dipuaskan sebagai organisasi karena meskipun rumah atau bangunannya tidak didirikan di atas tanah yang dimiliki senonprofit, CLT tidak cara pribadi, rasa keamanan dan kepastian perlu bersaing tetap dirasakan sebab penyewaan akan tadengan investor nah tersebut dapat diperbarui dan diwarisdalam proses lelang kan sampai dengan jangka waktu 99 tahun. Sementara dengan CLT sebagai pengelola untuk mendapat tanah, penggunaan yang tepat dari tanah, intanah sitaan karena tegritas tanah, dan keterjangkauan bangunan pemerintah telah yang bekelanjutan dapat dipreservasi.
mentransfer sebagai bentuk insentif.
106
Struktur dari CLT bersifat demokratis dan partisipatif. Dewan direktur dari CLT biasanya terdiri atas komposisi sebagai berikut: sepertiga berasal dari penyewa tanah (yakni pemilik bangunan yang didirikan di atas tanah), sepertiga berasal dari komunitas yang berada di sekitar tanah milik CLT, dan sepertiga lainnya berasal dari pejabat publik, penyandang dana lokal, organisasi nonprofit, atau perwakilan publik lainnya. Sesuai dengan sifatnya sebagai lembaga berbasis komunitas, operasionalisasi dan upaya pembangunan dari CLT dapat dilakukan secara fleksibel. CLT bisa saja berperan sebagai pengembang dari perumahan dan bangunan lain yang didirikan di atas tanahnya, namun dapat juga bekerjasama dengan perusahaan pengembang dari luar, baik yang bersifat profit maupun nonprofit. CLT juga bisa memiliki beberapa bangunan yang didirikan di atas tanahnya untuk disewakan dengan harga terjangkau. Sementara itu, ada pula CLT yang fokusnya secara eksklusif diarahkan pada pemerolehan tanah dan isu keterjangkauan, dengan menyewakan tanahnya pada pengembang atau pemilik rumah. Ada berbagai variasi rumah yang dapat dibangun di atas tanah CLT, mulai dari rumah-milik keluarga tunggal sampai bangunan apartemen multiunit. Adapun penggunaan lain di luar tempat tinggal di antaranya tempat usaha, kantor organisasi nonprofit, taman dan tempat parkir komunitas, kantor agensi pelayanan sosial, dll. Salah satu karakter lain dari CLT adalah akuisisi tanahnya yang bersifat ekspansionis. Tanah yang dimiliki oleh suatu CLT biasanya tidak dipusatkan pada satu area atau zona, melainkan tersebar. Hal ini dilakukan untuk menghindari terciptanya ekses negatif berupa terciptanya segregasi kelas atau ghettoisasi dalam satu kawasan, sebagaimana kerap terjadi dalam proyek perumahan publik dan pembangunan perumahan berbasis pasar. Berkaitan dengan pembiayaannya, ada berbagai sumber yang dapat diperoleh CLT untuk membiayai operasionalisasi dan proyek-proyek yang dijalankannya. Setiap CLT memiliki strategi pendanaannya sendiri, di mana pendekatan tersebut seringkali menyertakan kombinasi dari sumber-sumber publik dan swasta, juga hibah dan pinjaman. Di Amerika, sebagai negara yang paling intensif menjalankan CLT, sumber dana tersebut dapat diperoleh dari berbagai skema dan sumber, seperti kredit pajak rumah bagi MBR, perbankan, dana pensiun, yayasan swasta, dana perserikatan perumahan, dana bergulir, agensi pendanaan perumahan negara, dan lain-lain. Untuk mendorong terciptanya CLT dalam jumlah yang banyak, beberapa kebijakan yang memberikan insentif untuk mendirikan CLT dapat dilaksanakan. Di Amerika, insentif tersebut dilakukan secara tidak langsung, yakni melalui ketentuan yang terdapat dalam Kode Pajak Pelayanan Pendapatan Internal,
107
yang menetapkan bahwa organisasi nonprofit seperti CLT akan mendapatkan perlakuan khusus dari negara. Salah satu perlakukan khusus tersebut adalah keringanan pajak. CLT tidak perlu membayar pajak penghasilan fede ral untuk operasi kesehariannya. Di beberapa wilayah yuridiksi tertentu, organisasi nonprofit juga dapat mengajukan keringanan atau penghapusan pajak properti. Dengan berstatus sebagai organisasi nonprofit, CLT juga dapat diberikan donasi dalam bentuk uang tunai, jaminan, dan real estat dari individu, kemitraan, maupun entitas lainnya di mana pihak-pihak yang telah memberikan donasi tersebut memperoleh potongan nilai yang dapat dipajaki (taxable value) dari donasi yang telah diberikannya ke suatu organisasi nonprofit. Selain itu, dana hibah untuk proyek perumahan terjangkau dari program block grant pemerintah federal dan yayasan swasta juga dapat diakses oleh CLT. Keuntungan lain yang dapat diperoleh oleh CLT, dan dengan demikian merupakan insentif untuk membentuk CLT, adalah pemberian akses yang lebih besar untuk mendapatkan transfer tanah yang diperoleh oleh pemerintah melalui penyitaan. Dengan keuntungan ini, CLT tidak perlu bersaing dengan investor dan pengembang yang berorientasi profit dalam proses lelang kompetitif untuk mendapakan tanah sitaan. Lebih jauh, dengan sifatnya sebagai organisasi nonprofit, CLT juga mendapatkan akses yang lebih besar untuk mendapatkan pinjaman berbunga rendah, terutama dari organisasi simpan pinjam komunitas seperti credit union dan yayasan komunitas. Tidak hanya terbatas memberikan manfaat positif bagi komunitas yang dilayani oleh CLT, kehadiran dari CLT juga memberikan dampak positif yang besar bagi pemerintah daerah. Dengan adanya CLT, pemerintah daerah dapat bekerjasama untuk menjalankan program perumahannya sebagai alternatif dari program konvensional seperti penyediaan rumah publik. Melalui kerjasama tersebut, pemerintah daerah dapat meluaskan pilihan dan fleksibilitas dalam menangani kebutuhan akan perumahan yang terjangkau di daerahnya. Selain itu, pemerintah daerah juga dapat menjadikan CLT sebagai model untuk memastikan tersedianya rumah terjangkau dalam jangka panjang melalui berbagai program dan kebijakan, dan meningkatkan partisipasi komunitas dalam proses pembuatan kebijakan. Model organisasi semacam CLT memberikan rujukan yang berharga dalam kaitannya dengan penggunaan yang lebih efisien atas dana untuk sektor perumahan. Berbagai fitur yang dimiliki oleh CLT, seperti pembatasan terhadap harga penjualan rumah oleh pemilik semula, dapat diadaptasi pemerintah untuk mereduksi maraknya motif profit dan spekulasi yang dapat muncul ketika rumah subsidi dijual ke pasar privat .
108
E. Desain Penyediaan Tanah untuk Perumahan Selain menggunakan strategi kreasi kelembagaan berupa penciptaan bank tanah dan CLT, perluasan akses akan tanah untuk membangun rumah bagi MBR juga perlu didukung dalam tataran regulasi. Regulasi yang mendukung upaya perluasan akses tanah bagi pembangunan rumah adalah instrumen yang berpe ran kunci karena melaluinya, para pemangku kepentingan akan diikat oleh suatu norma hukum yang berkekuatan memaksa sehingga tak dapat lagi mengelak atau menghindar dari upaya penyediaan tanah untuk pembangunan rumah de ngan berbagai alasan. Setidaknya terdapat dua UU yang seharusnya memuat ketentuan mengenai penyediaan tanah untuk rumah. Sayangnya, dalam kenyataannya justru hal tersebut tidak terjadi. Kedua UU tersebut adalah UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. UU Penataan Ruang merupakan landasan hukum yang menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang berperan vital dalam perencanaan dan pengarahan kebijakan pembangunan dari perspektif ketataruangan. Penyelenggaraan penataan ruang yang terencana tersebut bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, salah satunya dengan mewujudkan perlin dungan fungsi ruang (bdk. Pasal 3). Pada dasarnya, upaya perencanaan ruang merupakan instrumen untuk memajukan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya (bdk. Pasal 7). Dengan memperhatikan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya perencanaan tata ruang merupakan alat bantu yang sangat diperlukan untuk menyelenggarakan pembangunan berparadigma negara kesejahteraan, di mana kemakmuran rakyat juga menjadi orientasi utama dari paradigma tersebut. Salah satu ketentuan krusial yang termuat dalam UU Penataan Ruang berkenaan dengan penatagunaan tanah. Pasal 33 Ayat (3) dari UU tersebut menyebutkan bahwa: “Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pe ngalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah”. Untuk memperjelas hal tersebut, dalam bagian Penjelasan atas Pasal 33 Ayat (3) dinyatakan bahwa: “Hak prioritas pertama bagi pemerintah dan pemerintah daerah dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pembangunan kepentingan umum yang sesuai dengan rencana tata ruang dapat dilaksanakan dengan proses penyediaan tanah yang mudah. Adapun pembangunan bagi kepentingan umum yang dilaksanakan peme rintah atau pemerintah daerah meliputi: a) jalan umum dan jalan tol, rel kereta api, saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; b) waduk,
109
bendungan, bendungan irigasi, dan bangunan pengairan lainnya; c) pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal; d) fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; e) tempat pembuangan sampah; f ) cagar alam dan cagar budaya; dan g) pembangkit, transmisi, dan distribusi tenaga listrik”. Di sini, dapat dilihat bahwa ternyata pemba ngunan rumah bagi MBR tidak tercakup dalam jenis pembangunan bagi kepentingan umum sebagaimana ditentukan oleh UU Penataan Ruang. Hal ini menunjukkan secara gamblang akan persepsi dari pembuat kebijakan akan posisi rumah dalam sistem kesejahteraan umum nasional. Dengan mengesam pingkannya sebagai elemen dari kepenti ngan umum, pembuat kebijakan secara tersirat memandang rumah, beserta tanah di mana rumah tersebut dibangun, bukan sebagai kebutuhan dasar yang pemerolehannya menjadi hak dari semua warga bangsa. Apabila konstruksi berpikir demikian dikontekstualisasikan dengan upaya untuk menjalankan negara kesejahteraan, maka dapat dikatakan bahwa rumah tidak dipandang sebagai elemen dari jenis-jenis kebutuhan vital yang menjadi hak universal warga negara di mana negara wajib menyediakan pelayanan atasnya.
“Pembaruan UU diperlukan untuk mengatasi dilema dan kompleksitas pada intervensi pemerintah, contohnya masalah penyediaan tanah bagi MBR.”
Untuk menyediakan tanah untuk perumahan bagi MBR dibutuhkan intervensi pemerintah, salah satunya dengan penyediaan tanah oleh pemerintah. Namun, tanah yang telah dimiliki oleh pemerintah tidak berstatus hak milik. Konsekuensinya, penduduk yang tinggal di rumah yang dibangun di atas tanah milik pemerintah tersebut tidak mendapatkan keamanan bermukim karena statusnya hanya penyewa. Untuk itu dibutuhkan pembaruan UU yang mampu mengatasi dilema dan kompleksitas ini. Hal yang sama dapat dikatakan pada UU Pengadaan Tanah bagi Pemba ngunan untuk Kepentingan Umum (PTKU). Sebagai ketentuan hukum yang menentukan tata cara dan proses yang menjamin diadakannya penyediaan tanah bagi kepentingan umum, memang rumah bagi MBR telah ditentukan sebagai salah satu objek bangunan yang dikategorikan untuk kepentingan umum. Hal ini sebagaimana terlihat dalam Pasal 10 UU PTKU yang mengkategorikan 18 jenis pembangunan di mana penyediaan tanahnya dapat diamankan karena dikate gorikan sebagai kepentingan umum. Dari jumlah yang cukup banyak tersebut, salah satu yang termasuk di dalamnya adalah “penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk MBR dengan status sewa” (huruf o).
110
Meski demikian, masih ada yang kurang dari ketentuan tersebut, yaitu ketentuan yang menyatakan bahwa rumah bagi MBR hanya dapat ditempati de ngan status sewa. Ketentuan ini kurang memberikan jaminan keamanan bertempat tinggal yang langgeng karena jenis tenur sewa membuat individu atau keluarga yang bermukim di dalamnya dapat dikeluarkan setiap saat apabila terjadi ketidaklancaran dalam pembayaran sewa. Problem penting lain yang berkaitan dengan UU PTKU adalah indikasi bahwa sebagian dari apa yang dikategorikan sebagai jenis pembangunan untuk kepentingan umum justru adalah objek-objek yang nilai kemaslahatan publiknya secara luas diragukan, misalnya jalan tol, pelabuhan, dan dermaga peti kemas. Objek-objek pembangunan tersebut ditengarai lebih merefleksikan kepentingan bisnis privat daripada kepentingan umum karena tidak semua pihak dapat me ngakses atau tidak semua pihak mendapatkan manfaat dari kawasan tersebut. Pengamat kebijakan Andrinof Chaniago mengatakan bahwa besaran tarif untuk masuk jalan tol memperhitungkan perolehan keuntungan bagi perusahaan dan investor. Target keuntungan juga direncanakan untuk melakukan ekspansi usaha jalan tol. Sementara itu, pelabuhan dan dermaga peti kemas juga merupakan jenis pembangunan yang hanya melayani kalangan tertentu dengan pengelolaan secara bisnis. Ini tidak sama dengan pelabuhan atau dermaga penumpang kapal yang dimensi kepentingan umumnya lebih terlihat jelas dan konkret (www.hukumonline.com) Pembuat kebijakan dalam hal ini dirasa kurang memperhatikan Pasal 9 Ayat (1) UU PTKU yang mengamanatkan bahwa penyelenggaraan penyediaan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dengan kepentingan masyarakat, yang memang entah sengaja atau tidak definisi dari kepentingan umum dan kepentingan masyarakat tersebut justru tidak didefinisikan secara jelas dalam UU PTKU. Kelemahan lain dari UU tersebut adalah ditutupnya mekanisme musyawarah apabila terdapat keberatan dari pemegang hak tanah terkait penetapan lokasi. Keberatan hanya dapat diproses melalui jalur pengadilan tata usaha negara. Karena berbagai kritik itulah, beserta dengan kelemahan-kelemahan lainnya, maka tak heran apabila UU PTKU kemudian diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) belum lama ini. Para pemohon yang terdiri dari 14 LSM memohon untuk menguji 8 pasal dalam UU PTKU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Melalui dua kasus UU yang dijadikan pembahasan dalam tulisan ini, terlihat keengganan para pemegang kekuasaan untuk menyelenggarakan negara yang bersendikan pada asas dan prinsip negara kesejahteraan, padahal melin dungi dan menyejahterakan warga negara tanpa diskriminasi dan memberda yakan kelompok masyarakat yang paling lemah adalah hal yang paling penting. Pada kasus UU Penataan Ruang dan UU PTKU. Pada kasus UU Penataan Ruang dan
111
UU PTKU, disposisi sikap pemegang kekuaPraktik spekulan tanah, saan yang kontra paradigma kesejahteraan mafia tanah, dan mafia terlihat dari tidak digunakannya ruang dan tanah sebagai modal untuk menjalankan perizinan yang semakin kesejahteraan rakyat yang seluas-luasnya. marak tanpa kontrol oleh Bukannya memberikan hak atas tanah bagi pemerintah merugikan rakyat yang membutuhkan, pembuat kebikelompok masyarakat jakan justru lebih mengutamakan pihak yang selama ini sudah kuat dan memiliki posisi taberpenghasilan rendah war yang lebih tinggi, yakni kelompok bisnis. karena jaminan akses Pada tataran yang lebih spesifik, pendekatan akan tanah semakin atas tanah yang bertentangan dengan paraminim. digma kesejahteraan juga terlihat dari tidak dipertimbangkannnya perumahan sebagai bagian dari hak atau kebutuhan dasar yang harus disediakan oleh pemerintah, setidaknya bagi MBR. Sesungguhnya terdapat satu lagi UU yang patut untuk dibicarakan, yaitu UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU tersebut memang tidak terkait dengan kebutuhan akses akan tanah bagi pembangunan rumah, melainkan dengan pembangunan sistem jaminan sosial. Apa yang hendak ditawarkan di sini sebagai usulan korektif adalah melakukan revisi atas UU tersebut sehingga mencakup juga isu akan perumahan di dalamnya. Dalam konteks akan visi penyelenggaraan negara berbasis negara kesejahteraan, UU SJSN merupakan UU yang tingkat relevansinya paling besar karena di dalamnya dimuat rancangan pembangunan kebijakan sosial yang komprehensif, yang mana merupakan salah satu fitur utama dari profil negara kesejahteraan. Sayangnya, jaminan yang tercakup dalam SJSN baru menyentuh isu ketenagakerjaan dan kesehatan. Hendaknya ini diperluas sehingga mencakup pula isu perumahan untuk menjamin agar seluruh warga negara mampu menghuni rumah yang la yak. Untuk itu, tentunya dibutuhkan pembaruan pandangan yang mempersepsi rumah sebagai bagian dari hak atau kebutuhan dasar dan karenanya patut untuk disediakan oleh negara bagi seluruh rakyat. Mengenai bagaimana mekanisme, kelembagaan, syarat kesertaan, dan hal-hal teknis lainnya dari integrasi jaminan akan perumahan dalam bangunan SJSN secara keseluruhan, tentunya hal itu membutuhkan diskusi dan pemikiran lebih lanjut. Meski demikian, pandangan tersebut tentu bukanlah satu-satunya tawaran solusi yang diajukan. Sebagai alternatif dari integrasi ke dalam UU SJSN yang membutuhkan revisi yang bisa jadi terlalu kompleks, jaminan akan perumahan (dan dengan demikian juga mengimplikasikan jaminan akan tanah untuk perumahan) yang bersemangatkan negara kesejahteraan mungkin dapat dibuat
112
dasar hukumnya melalui RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang kini sedang dibahas. Apabila opsi ini yang akan dipilih, tentu dibutuhkan revisi atas naskah RUU Tapera yang ada sekarang ini sehingga prinsip-prinsip negara kese jahteraan dalam bentuk kebijakan sosial dapat terefleksikan secara jelas dalam RUU Tapera apabila disahkan nantinya. Upaya lain dalam level regulasi yang dapat dilakukan untuk mendukung pembentukan sistem kebijakan perumahan berbasis negara kesejahteraan secara umum dan menjamin akses akan tanah untuk pembangunan rumah secara khusus adalah mencegah terjadinya praktik spekulasi tanah, mafia tanah, dan mafia perizinan. Selama ini belum ada ketentuan yang memberikan larangan akan praktik-praktik yang merugikan kelompok masyarakat berdaya beli rendah ini, termasuk dalam UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim). Ini adalah hal yang urgen untuk segera dilakukan karena apabila praktik-praktik tersebut dilakukan secara marak tanpa kontrol oleh pemerintah, maka upaya perbaikan dan reformasi kebijakan perumahan sebaik apa pun akan menjadi tidak efektif. Untuk itu, UU Perkim hendaknya direvisi agar memuat ketentuan yang melarang spekulasi tanah, mafia tanah, dan mafia perizinan dengan sanksi yang tegas. Terakhir, tawaran revisi lain atas UU Perkim yang tidak berhubungan secara langsung dengan isu tanah untuk perumahan adalah ketentuan yang mewajibkan pemerintah daerah untuk membentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Badan Layanan Umum (BLU) khusus perumahan. Ini untuk menjamin agar semua pemerintah daerah mempunyai komitmen yang berkelanjutan untuk menyediakan rumah yang terjangkau bagi warganya yang membutuhkan.
113
Sumber : Dok.HRC, 2012 Gambar 4.4. Kebutuhan tanah untuk pembangunan perumahan semakin tinggi
114
PETA JALAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI INDONESIA
5
Kebijakan nasional perumahan dan kawasan permukiman dilandasi oleh tiga dasar kewajiban negara yang meliputi: kewajiban menghormati (obligation to respect), kewajiban melindungi (obligation to protect) dan kewajiban memenuhi (obligation to fulfill). Untuk itu, dibutuhkan kapasitas dan peran negara yang kuat untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Sayangnya, di Indonesia, kinerja pembangunan perumahan belum memuaskan, baik di sisi kebutuhan maupun pasokan. Indikasinya sebanyak 700.000 unit backlog meningkat tiap tahunnya. Dapat dikatakan bahwa problem perumahan sudah dalam fase kritis. Pemerintah harus membuat terobosan agar keadaan tidak memburuk, hingga menimbulkan keresahan sosial dan mengganggu stabilitas nasional. Pemerintah sebaiknya mendekati problem perumahan dalam cara pandang yang holistik dan komprehensif, bukan parsial dan isolatif. Untuk itu diperlukan peningk atan koordinasi, sinkronisasi, pengendalian, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi lintas aktor dan kementerian. Hal ini mengingat bahwa pembangunan perumahan selama ini tidak dilakukan secara sistemik, terencana, terkoordinir, dan terkontrol. Bab ini membahas mengenai peta jalan (roadmap) sistem kebijakan perumahan yang selayaknya dilakukan pemerintah Indonesia. Tiga tahapan peta jalan tersebut adalah tahap konsolidasi, tahap industrialisasi, dan tahap resiliensi. Masing-masing tahapan merefleksikan proyeksi dari kondisi masa depan dari pembangunan perumahan di Indonesia. Tahap konsolidasi merupakan tahap restrukturisasi dan reformasi tata kelola seiring dengan percepatan penanganan masalah-masalah perumahan yang paling kritis. Selanjutnya, tahapan industrialisasi merupakan percepatan dan peningkatan dari langkah-langkah yang telah dilakukan pada tahap konsolidasi. Sementara tahapan resiliensi adalah tahap ketika pembangunan sistem kebijakan perumahan telah menemukan titiknya yang stabil dan mapan. Diharapkan, dalam tahapan ini pembangunan perumahan di Indonesia beranjak dari kesulitan mengakses rumah bagi mereka yang membutuhkan ke pemilikan perumahan. Pada akhirnya, perhatian bisa lebih diarahkan pada upaya untuk mempertahankan kondisi yang telah ada sekaligus memperbaiki kualitas rumah.
115
Selain peta jalan, bab ini juga membahas mengenai kerangka sistem kebijakan perumahan. Kerangka ini merupakan garis besar dari langkah-langkah kunci strategis yang perlu untuk dilaksanakan dengan penuh komitmen dalam rangka mencapai keberhasilan dari sistem kebijakan perumahan, yaitu mewujudkan hak setiap rakyat akan rumah. Selanjutnya, bab ini akan ditutup dengan strategi implementasi. Dalam bagian ini, penekanan diberikan kepada pergeseran-pergeseran paradigma yang menjadi acuan bagi seluruh kebijakan dan program yang termuat dalam rancangan sistem kebijakan perumahan berparadigma negara kesejahteraan dan berbasis hak.
A. Peta Jalan Kebijakan Perumahan Paradigma kebijakan perumahan yang tepat dapat membantu mewujudkan pembangunan sistem perumahan yang terintegrasi dan berjangka panjang. Dalam menata kebijakan perumahan, konsep negara kesejahteraan adalah yang paling tepat. Konsep ini paling reliabel dan meyakinkan dalam meresepkan peran-peran yang paling tepat dilakukan oleh negara, dalam rangka menjamin kesejahteraan seluruh warganya. Penganut paradigma ini adalah negara-negara yang memiliki indikator kesejahteraan yang memuaskan, de ngan distribusi kesejahteraan tersebar merata pada seluruh penduduk. Jika dikaitkan dengan Indonesia, visi dan ide besar tentang negara kesejahteraan sesungguhnya dicitakan para pendiri bangsa yang tertuang dalam UUD 1945, baik dalam bagian Mukadimah maupun Batang Tubuh. Mekipun demikian, pembiayaan pembangunan perumahan masih menjadi kendala utama. Peta jalan kebijakan Pemerintah harus cerdik membantu MBR memperoleh atau mempertahankan rumahnya, se- perumahan bab beberapa program pembiayaan yang se- yang terdiri atas lama ini dilakukan pemerintah belum berhasil konsolidasi, menjawab tantangan tersebut. Peta jalan kebijakan perumahan yang terdiri atas konsolidasi, industrialisasi, hingga resi liensi harus selalu dibarengi monitoring dan eva luasi agar program berjalan maksimal. Dengan demikian, proses pemenuhan kebutuhan akan rumah yang berbasis hak, terhadap kesejahteraan, diharapkan bisa dimulai tahun 2014.
116
industrialisasi, hingga resiliensi harus selalu dibarengi monitoring dan evaluasi agar program berjalan maksimal.
1. Konsolidasi
2. Industrialisasi
3. Resiliensi
1. Tahap Konsolidasi Konsolidasi merupakan tahap restrukturisasi dan penguatan lembaga pemangku kewajiban pemenuhan papan. Tahap konsolidasi dijalankan dengan cara pandang yang meletakkan isu akan papan menempatkan papan secara komprehensif, bukan secara sektoral seperti yang selama ini dilakukan dalam kebijakan-kebijakan perumahan yang dilakukan beberapa kementerian dan lembaga. Terdapat dua pokok utama yang menandai tahap ini. Pertama, dibuatnya lembaga-lembaga dan regulasi-regulasi yang berfungsi menjadi pengawal dari pembangunan perumahan berbasis hak dan negara kesejahteraan. Lembaga dan regulasi tersebut tidak diciptakan untuk bertahan dalam jangka pendek atau untuk berfungsi sebagai “pemadam kebakaran” atas masalah-masalah perumahan yang paling mendesak, melainkan berfungsi sebagai basis yang melandasi penciptaan sistem kebijakan perumahan secara strategis dalam jangka waktu yang panjang. Kedua, tahap ini juga ditandai dengan struktur kesejahteraan yang masih berbentuk piramida. Dalam piramida pendapatan penduduk Indonesia, sekitar 40% penduduk ada di tengah dan 40% lainnya di bagian paling bawah (www.suarapembaruan.com). Dengan demikian, hanya 20% penduduk yang menempati bagian paling atas dalam struktur pendapatan. Meskipun struktur demikian lebih baik daripada dekade-dekade yang lalu, namun kesenjangan kesejahteraan antarpenduduk masih nyata. Memang, ada laporan yang menyebutkan bahwa kelas menengah telah menjadi mayoritas di negeri ini. Dengan menggunakan ukuran Bank Dunia yang menetapkan ukuran belanja per kapita 2 dollar AS hingga 20 dollar AS sebagai batas kelas menengah, maka ada 56,5% dari 237 juta penduduk Indonesia atau sekitar 134 juta orang masuk kelas menengah. Namun, besarnya angka itu harus diberi catatan karena hanya 14 juta orang saja yang punya kemampuan berbelanja 6-20 dollar AS per hari. Sisanya, rentan menjadi miskin kembali bila ada goncangan tak terduga, misalnya berupa kenaikan harga bahan makanan atau guncangan ekonomi (Pambudy,2012). Dengan kata lain, kelas menengah yang kuat dan mapan hanya ditempati oleh sebagian kecil penduduk. Kesenjangan kesejahteraan antarpenduduk juga dibuktikan melalui tingginya data indeks rasio gini, yang merupakan kriteria untuk mengukur ke timpangan pendapatan penduduk secara keseluruhan. Pada tahun 2011, angka rasio gini mencapai 0,41. Ini telah melewati batas angka psikologis 0,4, yang arti-
117
nya ketimpangan kesejahteraan antarpenduduk telah berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Tahap konsolidasi ditargetkan selesai pada 2013. Sebagai langkah awal, perlu ditetapkan suatu desk khusus yang berfungsi mengkoordinasikan kebijakan dan strategi intervensi terkait perumahan. Desk ini bekerja dengan basis pemecahan masalah agar masalah-masalah yang paling urgen dan kritis dapat diselesaikan dengan cepat dan efektif. Untuk itu, orientasi kerja diarahkan pada paradigma berbasis hak, di mana rumah merupakan hak seluruh warga negara yang pemenuhannya harus dijamin oleh negara. Langkah-langkah kunci yang dapat dilakukan dalam periode ini antara lain sebagai berikut. 1.
Pemerintah membuat program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada tahun 2010, untuk memudahkan MBR dan MBM mengakses kredit perumahan. Pembiayaan rumah sejahtera dan pembiayaan rumah sejahtera murah adalah dua jenis bantuan pembiayaan perumahan yang disediakan melalui mekanisme FLPP. Meski dipandang sebagai angin segar dalam pengadaan perumahan untuk MBR dan MBM, namun skema FLPP belum mampu menyelesaikan problem backlog dengan cepat. Penyebabnya adalah kredit rumah berjalan lamban dan ketentuan FLLP overlap dengan peraturan lain, akibatnya peraturan dalam skema FLPP tidak dapat dilakukan di lapangan. Oleh karena itu, reformasi skema FLPP perlu dilakukan. Model-model program lain dapat dijadikan referensi untuk menyempurnakan skema FLPP dengan menggunakan pendekatan strategi multiprogram dan multisolusi. Strategi pada pendanaan pun harus diubah, beragam sumber pendanaan harus lebih dimanfaatkan agar tidak terlalu tergantung kepada dana pemerintah. Catatan lain terkait perbaikan skema FLPP adalah badan penyelenggaranya. Pemerintah selaku regulator yang mengeluarkan kebijakan FLPP yang berorientasi pada peningkatan kepemilikan rumah kurang tepat apabila menyerahkan urusan ini kepada operator yang berbasis mekanisme pasar. Di masa depan, pelaksanaan skema FLPP harus melibatkan peran Perum Perumnas secara lebih intensif. Untuk mewujudkan hal itu, maka kapasitas dan peran dari Perum Perumnas haruslah diperkuat sebagai operator dengan basis paradigma kesejahteraan rakyat, bukan mekanisme pasar.
2. Pengintroduksian rumah inti tumbuh. Dalam rangka mempercepat penutupan jumlah backlog sekaligus meringankan pemberian bantuan bagi MBR untuk membangun rumahnya, konsep rumah tumbuh perlu dikembangkan kembali. Dengan aturan bahwa hanya rumah dengan luas minimum
118
36 meter persegi yang dapat memperoleh subsidi atau keringanan melalui skema FLPP, maka hal tersebut tidak dapat dikembangkan. Aturan tersebut bertentangan dengan cita-cita untuk menutup jumlah backlog secepatnya karena realitas menunjukkan, sesungguhnya banyak MBR yang dapat hidup dengan layak dengan rumah seluas kurang dari 36 meter persegi. Syukurlah, Mahkamah Konstitusi (MK) tahun ini telah membatalkan keputusan tersebut. Dengan demikian, pengadaan rumah bagi MBR tidak lagi dibatasi oleh ketentuan luas minimum sehingga MBR menjadi lebih mudah lagi untuk mendapatkan rumah karena luas rumah yang lebih kecil tentu berefek kepada harga penjualan yang lebih rendah. Seiring dengan kemampuan ekonomi yang semakin bertambah atau tabungan yang semakin besar, rumah di bawah 36 meter persegi tersebut lambat laun kemudian diperluas ukurannya sehingga menjadi lebih layak, misalnya diperluas menjadi 27 meter persegi lalu kemudian 36 meter persegi, dan demikian seterusnya. Inilah yang dimaksud dengan konsep rumah inti tumbuh. 3. Pembentukan sistem jaminan sosial perumahan melalui UU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). UU Tapera dapat mengadopsi sistem yang diadopsi dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), di mana kebutuhan akan suatu pelayanan tertentu didapatkan melalui mekanisme iuran rutin. Dalam konteks ini, para pekerja yang membutuhkan rumah diharapkan menabung secara rutin agar dapat membeli rumah. Pemerintah memberikan berbagai kemudahan dan insentif, baik untuk memicu masyarakat agar mau menabung maupun ketika masyarakat sedang memproses pengadaan dan pembangunan rumah. Namun demikian, bagi warga yang membutuhkan namun tidak mampu menabung secara rutin karena pendapatannya tidak menentu atau terlalu minim, maka pemerintah harus mensubsidi golongan ini sepenuhnya. Ini dapat dilakukan dengan menyediakan rumah sosial secara cuma-cuma bagi mereka. Sebagai sumber dana untuk memberikan subsidi penuh bagi golongan ini, maka pemerintah perlu memobilisasi sumber-sumber pendanaan yang selama ini belum dieksplorasi dan dikembangkan, misalnya dana oleh pihak usaha melalui CSR, dana yang diperoleh melalui skema pajak progresif, atau dana komunitas. 4. Memperluas bantuan perumahan tidak sekadar bantuan keuangan dan pemberian kredit tetapi mencakup pula bentuk-bentuk lain seperti pemba ngunan infrastruktur/utilitas/PSU di lingkungan perumahan dan permukiman, peningkatan kapasitas komunitas melalui program pelatihan, atau program peningkatan kapasitas kelembagaan.
119
5. Pembentukan skema perumahan komunitas. Community Land Trust (CLT) dapat dikembangkan untuk menjamin ketersediaan tanah untuk pemba ngunan perumahan bagi MBR. Sifatnya sebagai lembaga berbasis komunitas, membuat operasionalisasi dan upaya pembangunan dari CLT dapat dilakukan secara fleksibel. CLT bisa saja berperan sebagai pengembang dari perumahan dan bangunan lain yang didirikan di atas tanahnya, namun dapat juga bekerja sama dengan perusahaan pengembang dari luar, baik yang bersifat profit maupun nonprofit 6. Pengaplikasian konsep bank tanah untuk memperoleh tanah dengan harga yang relatif murah untuk kepentingan publik. Cara kerja konsep ini adalah tanah diperoleh dan disimpan hingga waktu yang dirasa tepat untuk melepaskannya, misalnya untuk pembangunan perumahan. Namun, operasionalisasi bank tanah perlu diperhatikan, dalam melakukan penyediaan tanah, perencanaannya harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) daerah yang telah ditetapkan menjadi perda. Dengan demikian, tidak terjadi disintegrasi dan disharmoni yang merusak rencana pembangunan kota secara keseluruhan. 7. Memberlakukan aturan yang mewajibkan pelaku usaha (baik BUMN maupun swasta) di bidang perumahan untuk memberikan pelayanan publik bagi MBR. Ini dapat dilakukan melalui skema kawasan hunian berimbang. Agar sungguh efektif untuk diterapkan, skema ini perlu disokong oleh peraturan yang jelas dan tegas, baik dalam tataran nasional maupun daerah. Untuk memberikan rangsangan agar pengembang mau mematuhi kewajiban tersebut, maka pemerintah meluncurkan berbagai insentif seperti keringanan pajak, pembebasan biaya perizinan, dan kemudahan dalam melakukan pengurusan dokumen di birokrasi terkait. Berbagai insentif tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya kerugian yang dialami pengembang. Melalui strategi demikian, pemerintah dapat membagi bebannya kepada pihak lain. 8. Merevisi UU yang memiliki implikasi terhadap kemudahan akses MBR akan tanah. Beberapa UU perlu direvisi karena ketentuan yang ada di dalamnya belum mampu menjamin hak rakyat untuk mendapatkan rumah secara mudah, di antaranya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 9 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepen tingan Umum, UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, dan UU No. 1 Tahun 2012 tentang Perumahan dan Permukiman. UU Penataan Ruang perlu menjadikan objek rumah bagi MBR sebagai bagian dari kepentingan umum yang perlu diprioritaskan dalam rencana alokasi keruangan wilayah, Undang-Undang Pengadaan Tanah Kepentingan Umum (UU PTKU) perlu
120
menghapuskan ketentuan bahwa penyediaan tanah untuk rumah bagi MBR hanya dapat diadakan melalui tenur sewa karena hal tersebut kurang memberikan keamanan bermukim dalam jangka panjang, UU Rusun perlu menghapuskan ketentuan maksimum penyewaan rusun selama tiga tahun untuk menjamin agar MBR dapat menempati rusun secara lama, dan UU Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) perlu memberikan amanat kepada pemerintah daerah untuk menyusun lembaga yang khusus menangani masalah perumahan (misalnya dalam bentuk Badan Layanan Umum), serta memasukkan peraturan-peraturan yang mampu untuk mencegah praktik mafia tanah dan mafia perizinan, dengan sanksi yang berat bagi para pelakunya. Demikian pula dengan UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, di dalamnya perlu mencantumkan kata-kata dan terminologi tentang perumahan sebagai elemen dari kesejahteraan sosial, karena hal tersebut sama sekali belum dicantumkan. Pencantuman tersebut penting karena dengan hal itu, berarti pemerintah mengakui perumahan sebagai obyek yang dibutuhkan untuk menjamin kesejahteraan sosial seluruh warga negara. Artinya, pemerintah memiliki kewajiban formal untuk mengusahakan dan me nyelenggarakan perumahan sebaik-baiknya. 2.
Dilakukannya reforma agraria sebagai solusi atas terjadinya ketimpangan tanah. Ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah merupakan salah satu faktor yang menghambat terpenuhinya hak MBR akan rumah. Data menunjukkan bahwa sebanyak 16 persen penduduk menguasai 69 persen tanah, sedangkan 40 persen sisanya menguasai hanya kurang dari 10 persen. Dari perspektif yang lain, berdasarkan data BPN (2010), sekitar 0,2% penduduk Indonesia kini menguasai 56% aset nasional, yang 87% di antaranya berupa tanah. Padahal, pada saat yang sama ternyata ada tanah swasta seluas 7,2 juta hektar yang sengaja ditelantarkan (Kompas, 14 Januari 2012). Reforma agraria sebagai program-program yang terkait dengan redistribusi tanah kepada warga tak bertanah merupakan solusi untuk mengatasi masalah ketimpangan ini. Indonesia telah memiliki modalitas legal berupa UUPA 1960 sebagai dasar hukum untuk melakukan reforma agraria. Namun demikian, perlu dicatat bahwa UUPA masih belum operasional karena belum ada aturan turunan yang mengatur mengenai mekanisme dari reforma agraria tersebut. Maka dari itu, pemerintah perlu segera membuat aturan turunan tersebut agar reforma agrarian dapat segera diimplementasikan. Suatu program reforma agraria tidak saja memerlukan political will yang diwujudkan oleh badan-badan pemerintah. Agar mampu mencapai tujuannya, program reforma agraria juga sangat memerlukan kekuatan pemerintah yang sanggup memaksa (compulsion). Maksudnya, pemerintah harus berani mencabut kekuasaan yang selama
121
ini dinikmati oleh para penguasa, pemilik, pengguna, dan pemanfaat tanah yang luas besarnya (Rachman, 2012: 2). Dengan melaksanakan reforma agraria, berbagai upaya perbaikan yang tidak hanya eksklusif terkait dengan pengadaan rumah bagi MBR dapat dilakukan. Ini karena reforma agraria merupakan konsep yang relevansinya mampu menembus berbagai sektor, bahkan dipercaya menjadi landasan dari upaya pembangunan nasional itu sendiri (Wiradi, 2000). Melalui reforma agraria, keuntungan lain yang dapat diperoleh misalnya semakin luasnya lahan pertanian yang diusahakan oleh MBR. Dengan hal ini, pemerintah memberikan solusi yang berkelanjutan dan berjangka panjang, tidak hanya berhenti sebatas memberikan tanah untuk mendirikan rumah. Dengan memberikan tanah untuk usaha pertanian maka mata pencaharian dan pendapatan MBR, terutama yang tinggal di daerah perdesaan, juga dapat diamankan. Meski demikian, upaya-upaya bantuan tambahan lain seperti pembangunan infrastruktur dan bantuan modal tentu juga masih diperlukan.
1. Konsolidasi
2. Industrialisasi
3. Resiliensi
2. Tahap Industrialisasi Pada tahap ini yang perlu dilakukan adalah mereplikasikan dan memperkuat beberapa program pilot project yang dimulai pada tahap konsolidasi. Tahap akselerasi ditargetkan berjalan selama lima tahun, yang dimulai sejak tahun 2014 hingga 2019. Tahap ini dicirikan oleh dua hal utama. Pertama, struktur distribusi kesejahteraan penduduk di era ini sudah tidak lagi berbentuk piramida. Ini disebabkan mayoritas penduduk telah menjadi kelas menengah dengan pendapatan mene ngah. Apa yang dimaksud dengan kelas menengah di sini adalah kelas mene ngah yang sesungguhnya, yakni yang mapan, relatif sejahtera, dan tidak rentan terhadap guncangan sesaat. Skenario ini mengasumsikan satu hal penting, yaitu bahwa Indonesia mampu memanfaatkan peluang dari bonus demografi. Bonus demografi adalah keadaan di mana jumlah penduduk produktif (15-64 tahun) lebih besar diban dingkan jumlah penduduk muda (di bawah 15 tahun) dan lanjut usia (65 tahun ke atas). Indonesia mulai menikmati bonus demografi tahun 2010 dan berakhir tahun 2050. Puncak bonus demografi terjadi tahun 2020-2030. Bonus demografi ini memberi peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang diharapkan dapat memberi peningkatan kesejahteraan tertinggi sehingga menurunkan angka kemiskinan (Kusumaningsih, 2012).
122
Dalam kaitan dengan membesarnya kelas menengah ini, maka jumlah subsidi dari pemerintah untuk papan turut dikurangi. Ini merupakan konsekuensi yang wajar karena apabila semakin banyak rakyat yang telah keluar dari kemiskinan, maka semakin sedikit usaha dan dana yang dibutuhkan untuk membantu golongan penduduk yang paling lemah. Sebagai ganti dari subsidi langsung kepada MBR, maka dana pemerintah untuk perumahan dialihkan untuk meningkatkan kapasitas institusional dari lembaga-lembaga yang terkait perumahan dan memperluas program-program unggulan dalam pengadaan perumahan. Beberapa langkah krusial dilakukan dalam periode industrialisasi ini adalah sebagai berikut : 1.
Pengurangan jumlah subsidi seiring naiknya jumlah dan daya beli kelas menengah. Proyeksi masa depan Indonesia dalam hal demografis adalah naiknya jumlah kelas menengah. Sesungguhnnya, kelas menengah seturut dengan definisi World Bank (penduduk yang pengeluarannya minimal 2 dollar per hari) telah menjadi kelompok mayoritas di negeri ini. Namun, di masa depan, kekuatan kelas menengah ini akan semakin besar, ditandai dengan naiknya jumlah pendapatan dan kemampuan daya beli. Sebagai konseku ensinya, maka kemampuan mereka untuk mengakses rumah yang layak huni pun akan terjamin. Dalam kondisi demikian, maka sudah sewajarnya apabila subsidi pemerintah untuk perumahan pun dikurangi.
2.
Subsidi diberikan hanya kepada MBR yang benar-benar tidak mampu. Meskipun jumlah kelas menengah akan menjadi semakin besar dan kuat, namun dapat diperkirakan bahwa akan tetap masih ada sebagian kecil penduduk yang kondisi sosial-ekonominya masih memprihatinkan. Bagi golongan penduduk ini, akses akan kebutuhan dasar, termasuk rumah, masih sulit untuk digapai. Khusus bagi golongan penduduk ini, pemerintah akan tetap mempertahankan skema lama berupa pemberian bantuan serta subsidi dalam berbagai bentuk (bantuan kredit, barang, kelembagaan, pelatihan) dan skema (rumah sosial, rumah komunitas, rusun, maupun rumah milik) sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka. Dengan adanya komitmen pela yanan yang kuat bagi mereka, maka negara menunjukkan bahwa kebijakan perumahannya tidak dibasiskan kepada mekanisme pasar sepenuhnya. Orientasi terhadap prinsip-prinsip negara kesejahteraan dan paradigma berbasis hak masih tetap dipertahankan, terutama bagi mereka yang kebutuhannya akan rumah tidak bisa dipenuhi secara mandiri.
3.
Menguatkan fungsi kelembagaan sehingga siap untuk diintegrasikan ke dalam tuntutan-tuntutan yang berlaku dalam pasar perumahan. Seiring dengan berkurangnya jumlah penduduk yang harus dilayani melalui model subsidi, maka kelembagaan terkait perumahan yang telah ada sampai tahap
123
ini mulai melakukan perluasan peran dan fungsi. Pelayanan untuk memberikan subsidi melalui berbagai skema bantuan bagi penduduk yang sampai tahap ini masih membutuhkan bantuan pemerintah diimbangi dengan operasi-operasi baru yang bertujuan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan dinamisasi sekaligus penguatan pasar perumahan yang efektif. Hal tersebut dapat dilakukan melalui berbagai macam cara dan strategi. Pertama, mendorong Perumnas menjadi BUMN yang lebih profitable dengan membangun rumah-rumah komersial yang mampu bersaing dengan pengembang-pengembang swasta. Kedua, seiring dengan semakin kuat dan mapannya CLT yang telah ada baik dari segi finansial maupun kapasitas, maka bank-bank tanah tersebut didorong untuk lebih giat bekerja sama dengan pihak pengembang dari luar yang berorientasi profit sehingga mampu memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, yaitu komunitas dan pihak swasta. 4.
Selain rekayasa fungsi dan peran kelembagaan, pengintegrasian ke dalam pasar perumahan juga disokong melalui perubahan pada tataran regulasi. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai hal. Pertama, pemerintah perlu membuat peraturan (entah dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, atau Surat Edaran) yang memberi stimulasi bagi pengembang untuk lebih giat membangun. Peraturan tersebut dapat berupa pelayanan pengurusan birokrasi yang lebih efisien, transparan, dan imparsial melalui sistem satu atap dan mekanisme pengaduan protes apabila terjadi penyimpangan pelayanan. Selain itu, perlu pula diberikan pemberian keringanan terhadap biaya perizinan dan biaya-biaya lain yang terkait dengan pembangunan perumahan oleh pengembang. Terakhir, bank-bank perlu mengucurkan kredit kepada para pengembang dengan syarat yang tidak terlalu memberatkan, meskipun dengan tanpa meninggalkan prinsip kehati-hatian.
5.
Perluasan skema CLT. Setelah dalam tahap konsolidasi dilakukan percobaan skema ini di beberapa daerah percontohan, maka skema ini kemudian dikembangkan sehingga mencakup tataran nasional. Masing-masing daerah tidak perlu mengembangkan CLT dengan level kapasitas yang selevel, karena bagaimanapun tiap-tiap komunitas memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda. Peningkatan kapasitas dan fungsi dari CLT yang ada di daerah dapat dilakukan secara bertahap dengan bantuan pendampingan dan fasilitasi dari pemerintah daerah.
6.
Penguatan fungsi dan wewenang pada program bank tanah dapat dilakukan seiring dengan meningkatnya kapasitas dan dukungan dana. Apabila pada tahap konsolidasi, operasionalisasi bank tanah difokuskan untuk memberi-
124
kan akses tanah untuk membangun rumah bagi MBR, maka pada tahap ini bank tanah dijalankan dengan kapasitas penuh sehingga mampu melakukan fungsi-fungsi yang lebih luas sebagaimana bank tanah yang ada di negaranegara maju. Fungsi-fungsi tersebut di antaranya pengelolaan pasar tanah, pembaruan kota (urban renewal), preservasi ruang terbuka, stabilisasi harga properti dan tanah dalam suatu area tertentu, dll.
1. Konsolidasi
2. Industrialisasi
3. Resiliensi
3. Tahap Resiliensi Tahap tangguh atau resiliensi berada pada tataran mencegah penurunan daya pemenuhan hak papan dan meningkatkan segi kualitas dan keragaman papan. Direncanakan tahun 2020 dan seterusnya, pembentukan sistem kebijakan perumahan telah memasuki periode resiliensi sehingga bisa dikembangkan untuk peningkatan kualitas dan keragaman pilihan berhuni. Selain mempertahankan program yang telah diinisiasi pada dua tahap sebelumnya, kebijakan perumahan yang dilakukan pada periode ini hendaknya dipandu oleh orientasi dasar berikut. 1.
Mekanisme pasar yang berkeadilan. Tahap resiliensi merupakan tahap di mana kebutuhan penduduk akan rumah telah diserahkan kepada pasar. Dengan semakin sejahteranya kelas menengah yang telah menjadi mayoritas sejak pada tahap industrialisasi, maka hal ini sudah sewajarnya dilakukan. Meski demikian, pengadaan rumah berbasis pasar ini bukan dalam arti pasar bebas laissez-faire yang sangat kapitalistis. Alih-alih, ini merupakan pasar ekonomi sosial, suatu sistem di mana meskipun pasar memegang pe ranan yang besar, namun negara tetap berperan aktif di dalamnya sebagai pengontrol dan pemberi regulasi untuk mencegah terjadinya ekses-ekses negatif dan kegagalan pasar seperti timbulnya monopoli, eksternalitas, diskriminasi, eksklusi, distorsi informasi, dan persekongkolan gelap. Lebih jauh, negara juga berperan sebagai pelindung bagi rakyat miskin tersisa yang masih kesulitan untuk berpartisipasi dalam aturan main pasar, yakni dengan cara menyediakan subsidi-subsidi konvensional seperti yang pernah diberikan pada tahap konsolidasi dan industrialisasi. Ini dilakukan sekadar sebagai bantuan penyangga atau bantuan darurat, sehingga menghindarkan risiko untuk membuat MBR menjadi tergantung pada bantuan atau pelayanan pemerintah. Dengan penciptaan mekanisme pasar yang berkeadilan ini, semangat sistem kesejahteraan yang berbasis hak masih tetap menonjol dan dipertahankan, meskipun kondisi mayoritas masyarakat sudah mapan.
125
2.
Housing delivery siap terhadap krisis yang dihadapi. Meskipun sistem dan kebijakan perumahan yang ada telah bersifat mapan, namun hal itu tidak niscaya akan menghindarkan sektor perumahan dari krisis. Krisis perumahan dapat terjadi secara mendadak dan tanpa diduga. Misalnya, ketika terjadi bencana alam seperti gempa bumi dahsyat yang melantakkan rumah dalam skala yang luas. Krisis juga dapat terjadi karena adanya mismanagement yang terlambat disadari, seperti krisis perumahan yang terjadi di Amerika beberapa tahun yang lalu. Terjadinya krisis perlu diantisipasi dengan kewaspadaan penuh bukan semata-mata karena krisis akan menimbulkan distorsi dalam sektor perumahan, melainkan karena krisis dapat merembet kepada sektor-sektor lain sehingga berakibat pada ketidakstabilan ekonomi dan pembangunan dalam skala yang luas. Ini mengingat karakter dari sistem perumahan yang berdimensi sistemik karena bersinggungan dengan banyak sektor-sektor lain dan behubungan dengan persepsi keamanan hidup dasar dari manusia. Antisipasi terhadap krisis dilakukan melalui pengembangan dan pemantapan sistem peringatan dini (early warning system) yang terinstalasi ke dalam sistem pembangunan perumahan. Pembentukan sistem peringatan dini ini dilakukan secara bertahap, yang dilakukan melalui proses pembelajaran atas dasar pengalaman, trial and error yang dialami sejak tahap konsolidasi. Dengan berdasar pada pengalaman tersebut, ditambah dengan peramalan dan kajian yang bersifat simulatif, selanjutnya dibuat pemetaan masalah dan rencana strategis yang mengidentifikasi daftar-daftar kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan yang dihadapi oleh sektor perumahan baik di masa kini maupun masa depan. Pemetaan dan rencana strategis tersebut, bersama dengan strategi kontinjensi yang dirumuskan secara seksama, menjadi elemen-elemen yang membentuk sistem peringatan dini atas krisis yang mungkin terjadi. Desk khusus yang mengkoordinir bidang perumahan yang telah dibentuk pada tahap konsolidasi bertugas untuk memastikan bahwa sistem peringatan dini tersebut terinstalasi dengan baik ke dalam sistem pembangunan perumahan. Untuk itu, sistem peringatan dini tersebut perlu memiliki kemampuan yang tinggi untuk mendeteksi tanda-tanda krisis, lalu kemudian memberikan peringatan yang cepat kepada elemen-elemen sistem agar gejala akan krisis dapat ditangani dengan segera.
3.
126
Kapasitas pemerintah daerah untuk mitigasi risiko. Mitigasi risiko merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak krisis, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi kerugian ketika krisis benar-benar terjadi. Dalam melakukan tindakan mitigasi risiko, langkah awal
yang harus dilakukan ialah melakukan kajian risiko bencana terhadap daerah tersebut. Dalam menghitung risiko bencana suatu daerah, harus diketahui bahaya, kerentanan, dan kapasitas suatu wilayah berdasarkan pada karakteristik kondisi fisik, ekonomi, sosial, dan budayanya. (p2mb.geografi.upi.edu) Upaya mitigasi risiko yang dilakukan di pemerintah daerah ini sama dengan sistem peringatan dini yang dikembangkan pada tataran nasional untuk mencegah terjadinya krisis perumahan, hanya saja berada pada tataran lokal. Meski demikian, buka berarti tidak ada persambungan di antara keduanya karena keduanya sesungguhnya berperan untuk saling melengkapi. Sistem peringatan dini nasional memberikan panduan langkah strategis atas dasar pemetaan yang komprehensif di setiap wilayah, sedangkan sistem yang ada di daerah merupakan upaya untuk menerjemahkan panduan dan garis besar tersebut ke dalam langkah-langkah yang lebih spesifik. Penekanan pada peran yang diemban oleh pemerintah daerah ini menjadi penting karena sejak era Reformasi, telah dilakukan desentralisasi sehingga wewenang sebagian besar sektor pembangunan daerah diserahkan kepada pemerintah daerah, termasuk urusan perumahan.
Sumber: Dok. HRC, 2007 Gambar 5.1 Salah satu potrait pemukiman kumuh di perkotaan yang memerlukan perhatian pemerintah
127
Di sisi lain, pemberian peran yang besar kepada pemerintah daerah juga merupakan hal yang strategis karena pemerintah daerah tentu lebih mengetahui tantangan, peluang, dan hambatan yang ada di daerahnya. Pemerintah daerah lebih memiliki sensitivitas untuk meraba situasi dan kondisi yang terjadi di wilayah yang menjadi cakupan otoritasnya dan lebih memiliki kapasitas untuk menjangkau serta mengatasi masalah yang ada secara lebih cepat dan efektif daripada pemerintah pusat. Lagipula, tidak semua daerah memiliki potensi risiko yang sama sehingga pendekatan tunggal yang dirumuskan pemerintah mustahil dapat digunakan untuk diterapkan di semua daerah. 4. Program-program berorientasi peningkatan kualitas, bukan kuantitas rumahnya. Seiring dengan makin banyaknya jumlah kelas menengah yang mampu mengakses rumah secara mandiri, maka jumlah backlog sudah bukan menjadi masalah besar. Menghadapi kondisi baru ini, maka kebijakan dan program pemerintah sudah selayaknya melampaui keprihatinan akan bagaimana cara membangun rumah sesuai dengan permintaan. Kebijakan dan program dengan demikian akan lebih diorientasikan pada peningkatan kualitas rumah. Dalam hal ini, apa yang dilakukan pemerintah Jepang dalam periode kematangan pembangunan perumahan dapat menjadi rujukan yang berharga. Setelah jumlah backlog dapat ditutup sepenuhnya, maka pemerintah mempromosikan peningkatan kualitas rumah melalui berbagai regulasi yang diiringi dengan bantuan pemerintah. Misalnya adalah dibuatnya UU Standar Bangunan yang menentukan level performa minimum dari sebuah rumah dalam kaitannya dengan struktur, fasilitas, pencegahan bencana, keamanan, sanitasi, dan lain-lain. Selain itu, ada juga UU Rasionalisasi Konsumsi Energi, UU tentang Promosi Rehabilitasi Seismik Bangunan, UU standar rumah minimum yang menetapkan standar minimal yang harus ada dalam rumah untuk menciptakan kehidupan yang sehat dan beradab, dan peraturan tentang standar rumah yang ditargetkan sebagai garis pedoman untuk meningkatkan standar rumah dari perspektif jangka panjang. Mengenai aturan-aturan dan standar-standar semacam inilah kebijakan sosial negara di bidang perumahan akan diselenggarakan. Ini merupakan upaya untuk menjaga kontinuitas komitmen terhadap prinsipprinsip negara kesejahteraan dan paradigma berbasis hak yang sesuai dan relevan dengan perkembangan dan perubahan yang ada.
128
129
Gambar 5.2. Peta jalan kebijakan perumahan
KONSOLIDASI
INDUSTRIALISASI
RESILIENSI
B. Kerangka Sistem Kebijakan Perumahan Mengerangkakan kebutuhan akan rumah dengan paradigma kesejahte raan dengan modal berupa perluasan sense of crisis yang disadari oleh seluruh pemangku kewajiban menjadi arus balik yang bisa dilakukan untuk menegaskan kembali komitmen pemerintah dalam menjamin hak rakyat akan rumah. Untuk menuju hal tersebut, perlu dilakukan kajian dan pemahaman yang seksama akan isu-isu krusial dalam bidang perumahan. Pemahaman yang jernih akan isu-isu krusial tersebut akan membantu perencanaan dengan matang dan sistematis. Dalam konteks perancangan sistem kebijakan perumahan berbasis kesejahte raan, setidaknya terdapat tiga pokok yang perlu diurai: paradigma kesejahteraan dalam kebijakan perumahan, pembiayaan perumahan, dan tanah untuk perumahan. Secara teoretis, terdapat tiga tipe ideal negara kesejahteraan, yakni model liberal, korporatis, dan sosial-demokrat. Masing-masing model mengindikasikan derajat kedalaman dan inklusivitas yang berbeda dari rentang intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjamin kesejahteraan dasar dari warganya. Berturut-turut mulai dari yang derajat intervensinya paling rendah menuju ke paling tinggi adalah model liberal, korporatis, dan sosial-demokrat. Dalam konteks Indonesia, model manakah yang paling tepat? Alih-alih memilih salah satu model untuk kemudian diterapkan secara kaku di seluruh wilayah Indonesia, akan lebih bijak apabila dilakukan kombinasi dari model-model yang ada. Hal ini mengingat kontur masalah perumahan Indonesia yang ada di Indonesia sangatlah kompleks dan variatif pada tiap wilayah sehingga sangat sulit untuk ditanggulangi dalam satu pendekatan tunggal. Satu hal yang jelas, model liberal bukanlah preferensi yang menarik bagi Indonesia sebab pada dasarnya negara yang menganut model tersebut adalah pseudo-negara kesejahteraan, karena secara keseluruhan prinsip-prinsip pro pasar lebih mengedepan bila dibandingkan dengan prinsip-prinsip sosial. Dalam hal ini, kombinasi dari model korporatis dan sosial-demokrat merupakan perpaduan yang strategis karena apabila diramu secara tepat, perpaduan tersebut dapat mengatasi berbagai jenis masalah yang ada secara fleksibel sambil tetap berpijak pada prinsip solidaritas yang otentik dari negara kesejahteraan. Penciptaan sistem kebijakan perumahan berparadigma kesejahteraan dengan demikian akan didasarkan bukan pada satu skema tunggal (single scheme), melainkan skema menu terbuka (open menu scheme) yang mampu menyasar ber bagai kondisi perumahan yang ada di daerah, sesuai dengan karakter wilayah dan masyarakatnya.
130
Berkaitan dengan kebijakan pembiayaan untuk perumahan, hal pertama yang perlu diklarifikasi adalah spesifisitas dari frasa “pembiayaan untuk perumahan” itu sendiri. Dalam upayanya untuk melakukan penjaminan atas kesejahteraan dasar dari seluruh warganya, negara kesejahteraan meluncurkan jenis kebijakan tertentu yang disebut dengan kebijakan sosial. Ini adalah istilah umum yang menandai intervensi politik dari pemerintah untuk menjamin setiap anggota masyarakat memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar yang diperlukan untuk dapat hidup secara layak, misalnya kesehatan, pendidikan, atau dana pensiun. Sesuai dengan posisi argumentatif dasar dari buku ini bahwa rumah adalah bagian dari kebutuhan dasar tersebut, maka jelaslah bahwa apa yang dimaksud dengan “pembiayaan untuk perumahan” di sini adalah “pembiayaan untuk kebijakan so sial dalam bidang perumahan”. Mirip dengan model-model negara kesejahteraan yang masing-masing mempunyai perbedaan dalam hal derajat inklusivitas dalam intervensi oleh ne gara, demikian pula halnya dengan model-model pembiayaan untuk kebijakan sosial. Berturut-turut mulai dari yang derajat keterlibatan dari pemerintahnya pa ling besar adalah model pembiayaan Beveridge, Bismarck, dan pasar. Dalam hal ini, desain sistem pembiayaan kebijakan sosial yang telah dipilih oleh pemerintah terlihat mendekati model Bismarck, sebagaimana dapat diamati dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam sistem ini, sumber dana untuk membiayai kebijakan sosial diperoleh terutama dari iuran pengusaha dan pekerja untuk kemudian iuran tersebut dikelola oleh suatu badan penyelenggara jaminan sosial yang mandiri dan bersifat nonprofit, sebagaimana dapat dilihat dalam UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sementara itu, pemerintah juga turut memberikan iuran melalui Untuk itu, SJSN subsidi khusus bagi mereka yang sangat miskin seperlu direvisi hingga tidak mampu menyetor iuran secara rutin.
sehingga
Perumahan bukanlah objek yang tercakup perumahan dapat dalam rancangan sistem kebijakan sosial yang sudiakomodasi dah ada, maka upaya untuk menyelenggarakan sistem kebijakan perumahan berbasis kesejahteraan sebagai bagian menjadi terhambat. Untuk itu, SJSN perlu direvisi sedari objek yang hingga perumahan dapat diakomodasi sebagai batercakup di gian dari objek yang tercakup di dalamnya. Sebagai dalamnya. alternatif lain, dapat pula kebijakan sosial untuk sektor perumahan dirancang di dalam RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang saat ini sedang dirumuskan. Apabila alternatif ini yang dipilih, maka harus dipastikan bahwa mekanisme pemerolehan rumah melalui tabungan tidak mengeksklusi orang-orang yang tidak mampu menabung seperti pengangguran atau pekerja informal. Un-
131
tuk itu, sama seperti SJSN, pemerintah harus melakukan subsidi kepada kelompok masyarakat tersebut. Bagaimanapun rancangan sistem pembiayaan bagi kebijakan sosial di bidang perumahan yang akan dipilih, tekanan yang lebih besar harus diberikan kepada kualitas daripada kuantitas dari pembiayaan. Ini karena kuantitas dana yang besar tidak dapat menjamin bahwa dana tersebut dapat dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Untuk menjamin kualitas tersebut, alokasi dana yang ada harus dikelola sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan dan memperkuat umpan balik yang sinergis dengan bangunan sistem kebijakan sosial secara keseluruhan. Di sisi lain, dana nasional (APBN) yang ada harus dimobilisasi tidak hanya untuk meningkatkan, melainkan juga memperkuat ruang fiskal bagi kebijakan sosial. Untuk itu, kebijakan sosial hendaknya disinergiskan dengan dikembangkan kebijakan ekonomi, baik dalam tataran mikro maupun makro, sehingga ke duanya saling mendukung. Isu pokok lain dalam pembangunan sistem kebijakan perumahan berparadigma kesejahteraan adalah ketersediaan tanah untuk membangun rumah. Salah satu hal yang menghambat masyarakat, khususnya kelompok MBR, untuk mendapatkan haknya akan rumah adalah mahalnya harga tanah, terutama di daerah perkotaan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mahalnya harga tanah yang tak terjangkau MBR, di antaranya adalah maraknya praktik spekulasi tanah dan mafia perizinan. Praktik tercela tersebut sangat menghambat upaya penciptaan sistem kebijakan perumahan berparadigma kesejahteraan karena penyediaan rumah untuk masyarakat tidak bisa dilakukan tanpa penyediaan tanah untuk membangun rumah. Pemerintah harus berkomitmen sungguh-sungguh untuk mewujudkan perumahan bagi MBR sebagai kewajiban negara untuk memenuhi hak MBR atas papan, sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Komitmen tersebut hendaknya dilandasi dengan upaya untuk: pertama, melakukan harmonisasi dan/ atau revisi terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan penyediaan tanah dan perumahan bagi MBR. Kedua, meningkatkan koordinasi antar sektor dan/atau instansi terkait yang mempunyai tugas dan wewenang dalam menyusun kebijakan dan mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan bagi MBR berikut prasarana dan sarananya. Ketiga, mengupayakan tersedianya anggaran untuk penyediaan tanah dan pembangunan perumahan bagi MBR berikut bentuk prasarana dan sarananya, yang dikelola secara transpa ran dan akuntabel. Keempat, memusatkan upaya pemenuhan kebutuhan perumahan bagi MBR dengan menjadikan MBR sebagai subjek, dan bukan objek pembangunan (perumahan).
132
Ada beberapa mekanisme yang dapat dilakukan untuk memberikan akses tanah yang luas untuk membangun rumah bagi MBR. Pertama, merevisi regulasi yang memiliki implikasi luas terhadap penyediaan tanah untuk pembangunan rumah bagi MBR, yaitu UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (PTKU). Di dalam UU Penataan Ruang, sama sekali tidak disebutkan tentang pengadaan rumah bagi MBR sebagai bagian dari sekumpulan hak prioritas pertama bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan kepentingan umum sehingga proses penyediaan tanahnya dapat dilakukan dengan mudah (Lih. Penjelasan Pasal 33 Ayat 3). Adapun dalam UU PTKU, meskipun dalam Pasal 10 huruf o telah dinyatakan bahwa perumahan untuk MBR merupakan bagian dari jenis objek yang penyediaan tanahnya dapat diamankan karena dikategorikan sebagai kepentingan umum, namun masih menyisakan problem berupa ketentuan yang menyatakan bahwa perumahan tersebut hanya dapat dimiliki dengan status sewa. Ketentuan ini kurang memberikan jaminan keamanan bertempat tinggal yang langgeng sehingga tidak dapat dikatakan menjamin hak rakyat akan rumah. Kedua, menciptakan dan mendorong dibentuknya lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi dan wewenang untuk menyediakan tanah untuk perumahan, yaitu bank tanah dan community land trust (CLT). Bank tanah yang dimaksud di sini adalah bank tanah khusus yang konsentrasi usahanya adalah penyediaan tanah untuk perumahan. Bentuk dari bank tanah tersebut adalah badan hukum publik. Untuk menjamin keberhasilannya, bank tanah tersebut perlu didukung dengan pendanaan yang memadai, mekanisme tata kelola yang menganut prinsip-prinsip good governance, perangkat legal yang memberikan kewenangan besar kepada bank tanah. Sebagai komplemen dari bank tanah, pembentukan CLT juga perlu digiatkan secara simultan. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong agar komunitaskomunitas berkenan melembagakan CLT dengan memberikan berbagai jenis insentif, misalnya melalui keringanan atau bahkan pembebasan pajak, pinjaman berbunga rendah, dan hibah. Untuk mengatasi kecenderungan pemilikan tanah secara berlebihan yang menyulitkan penyediaan tanah baik oleh bank tanah maupun CLT, dapat dilakukan disinsentif melalui pemberlakuan pajak progresif untuk tanah yang telah melampaui luas tertentu. Sementara berkaitan dengan praktik spekulasi tanah, hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisirnya adalah dengan melakukan tranparansi atas RTRW yang telah disahkan. Dengan adanya transparansi ini, masyarakat akan mengetahui peta peruntukan tata ruang yang ada di wilayahnya sehingga dapat
133
mengontrol apabila terjadi penyimpangan. Namun, tidak hanya berhenti pada hal tersebut, RTRW tersebut juga harus ditegakkan secara konsisten. Salah satu faktor yang memicu terjadinya spekulasi adalah adanya inkonsistensi antara peruntukan formal yang termuat dalam tata ruang dengan praktik yang terjadi di lapangan. Tindakan ini memicu harga tanah di suatu kawasan melambung dan tidak bisa diprediksi. Demikianlah pokok-pokok yang perlu diperhatikan dalam upaya untuk menciptakan sistem kebijakan perumahan berparadigma kesejahteraan. Rekomendasi-rekomendasi yang telah diberikan di atas adalah langkah-langkah kunci untuk meretas terwujudnya sistem yang diimpikan tersebut. Untuk itu, pemerintah bersama dengan seluruh pemangku kepentingan dalam bidang perumahan perlu secara giat mengarusutamakan isu perumahan sebagai kebijakan nasional yang urgen dan strategis. Dalam hal ini, dapat dilakukan sosialisasi yang masif mengenai fakta-fakta terkait perumahan yang selama ini kurang disadari, yaitu betapa gawatnya krisis yang terjadi di bidang perumahan yang apabila dibiarkan akan menyebabkan goyahnya ketahanan nasional. Di sisi lain, sosialisasi dalam rumusan yang lebih optimis juga dapat dilakukan bahwa perumahan memberikan pengaruh yang besar pada pembangunan bangsa secara umum dan pembangunan ekonomi makro maupun mikro secara khusus. Oleh karenanya, menjamin hak seluruh anggota masyarakat akan rumah merupakan sebentuk investasi nasional yang sangat strategis karena akan memberikan efek berganda dalam jangka panjang. Koordinasi adalah kata kunci dalam seluruh kerja besar dan panjang dari penciptaan sistem kebijakan perumahan berparadigma kesejahteraan ini. Ini mengingat sifat dasar dari sektor perumahan yang bersifat multisektor dan multidimensi sehingga pengembangannya membutuhkan keterlibatan berbagai pihak dan berbagai jenis sumber daya. Hal yang penting agar koordinasi dapat dilakukan dengan baik adalah adanya positioning yang jelas dari setiap kemen terian dan lembaga yang terkait perumahan. Berbagai kementerian dan lembaga tersebut perlu dibedakan ke dalam sifat dan fungsinya, apakah bersifat administratif atau eksekutif. Kementerian yang bersifat administratif adalah Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Keuangan. Adapun instansi atau lembaga yang bersifat eksekutif misalnya adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN), Jamsostek, Bapertarum, REI, dan Apersi, dan lain-lain. Untuk menjamin harmonisasi di antara semua pihak tersebut, dibutuhkan suatu institusi yang akan bertindak sebagai koordinator, konduktor, mediator, pengendali, dan pengawas dari berbagai kementerian yang terkait perumahan untuk memastikan agar kebijakan perumahan nasional dilakukan secara sistemik,
134
koheren, dan solid. Dengan membekali dirinya berupa cara pandang paradigmatis dalam wujud negara kesejahteraan, institusi tersebut akan akan memandu setiap langkah yang dilakukan setiap pemangku kepentingan dalam rangka penciptaan sistem kebijakan perumahan berparadigma kesejahteraan bergerak secara terpadu, harmonis, dan sinkronis.
C. Strategi Implementasi Kebijakan Perumahan Implementasi dari peta jalan sistem kebijakan perumahan berparadigma kesejahteraan perlu dipandu oleh apa yang disebut pendekatan berbasis hak. Pendekatan berbasis hak merupakan cara yang komprehensif dalam mengukur kemiskinan. Dengan cara ini, identifikasi atas warga negara yang membutuhkan jaminan sosial dapat dilakukan dengan tepat dan akurat sehingga menghindari terIndikator-indikator yang jadinya salah sasaran. Pendekatan berbasis hak mempengaruhi suatu menekankan bahwa identifikasi atas kelompendekatan berbasis hak pok warga yang membutuhkan perlu memdifokuskan bukan hanya pertimbangkan bukan saja kondisi sosial-ekonomi yang didapatinya, melainkan perlu pula pada input variables menyentuh hak-hak mereka dan pemangku yang mempengaruhi kewajiban yang memiliki tanggung jawab kehidupan orang memenuhi hak-hak tersebut.
miskin, melainkan juga
Indikator-indikator yang mempengaruhi outcome variables yang suatu pendekatan berbasis hak difokuskan bukan hanya pada input variables yang memmenunjukkan kualitas pengaruhi kehidupan orang miskin, melainhidup mereka. kan juga outcome variables yang menunjukkan kualitas hidup mereka. Selain mencakup konteks keberadaan orang miskin, seperti situasi sosial-ekonomi keluarga dan kualitas kehidupan komunitas mereka, pendekatan berbasis hak juga mengintegrasikan hak-hak orang miskin (rights holders) dengan tanggung jawab para pemangku kepentingan (duty bearers) (Suharto, 2009: 23). Pendekatan berbasis hak memperhatikan hubungan antara proses-proses makroekonomi dan strategi-strategi pengurangan kemiskinan yang menekan kan pentingnya investasi sosial, serta mencapai tujuan-tujuan pembangunan dan keadilan sosial dalam arti luas. Selain memberikan penegasan bahwa warga
135
negara yang membutuhkan mempunyai hak yang tak dapat dicabut, pendekatan ini juga menekan para pemangku kepentingan yang memiliki kewajiban untuk menjamin dipenuhinya hak-hak tersebut agar melaksanakan kewajibannya. Suharto (2009: 28) merumuskan suatu kerangka konseptual untuk menjalankan pendekatan berbasis hak di Indonesia, yaitu hak dasar dan instrumen legal beserta informasi mengenai faktor-faktor yang mempromosikan kehidupan orang miskin plus kebijakan-kebijakan yang ada, tujuan-tujuan dan standar pelayanan. Kerangka tersebut kemudian dijadikan dasar untuk tindakan intervensi yang diarahkan pada lima indikator: status kehidupan, lingkungan keluarga dan rumah tangga, lingkungan tetangga sekitar, akses ke pelayanan dasar, dan alokasi sumber publik pro poor. Inilah legitimasi dari kebijakan sosial pemerintah yang diberikan untuk bidang perumahan karena rumah termasuk bagian dari indikator lingkungan keluarga dan rumah tangga, yang terkait erat dengan indikator lingkungan tetangga sekitar seperti infrastruktur permukiman. Lebih jauh lagi, pendekatan berbasis hak sebagai aktualisasi dari sistem kesejahteraan yang tepat untuk Indonesia juga merepresentasikan pergeseran paradigma pelayanan publik. Dalam hal ini, setidaknya terdapat tiga pergeseran paradigma yang terjadi secara simultan (Suharto, 2009: 37) : 1. Dari problems-based services ke rights-based services. Pelayanan sosial yang dulu diberikan sekadar untuk merespon kebutuhan masyarakat kini diselenggarakan guna memenuhi hak-hak sosial masyarakat. 2. Dari rules-based approaches ke outcome-oriented approaches. Pendekatan pelayanan publik bergeser dari semata didasari peraturan legal dan normatif menjadi pendekatan yang berorientasi kepada hasil. Di sini, prinsip akun tabilitas, efektivitas, dan efisiensi memegang peranan penting. 3. Dari public management ke public governance. Dalam konsep manajemen publik, masyarakat dianggap sebagai klien, pelanggan atau sekadar pengguna layanan sehingga merupakan bagian dari market contract. Sedangkan dalam konsep governance, masyarakat dipandang sebagai warga negara yang merupakan bagian dari social contract. Tentu, realisasi dari sistem dan pendekatan yang telah direncanakan di atas akan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu variabel yang berperan menentukan adalah proses politik kebijakan yang terjadi di tingkat nasional. Seiring dengan diterapkannya demokrasi terbuka di negeri ini sejak tahun 1998, kebijakan yang telah dikonsepsikan oleh eksekutif, seberapa matang dan baiknya gagasan di balik kebijakan tersebut, tidak bisa lagi
136
diputuskan secara sepihak karena aturan main demokratis meniscayakan adanya mekanisme tawar-menawar dalam setiap legislasi. Inilah dilema dari demokrasi itu sendiri: kompetisi demokrasi yang terbuka pada dirinya sendiri tidak dapat menjamin terciptanya kebijakan berparadigma kesejahteraan, bahkan ketika populasi penduduk yang membutuhkan intervensi negara berjumlah besar. Kesempatan akan semakin tipis manakala hanya terdapat sedikit partai politik yang menjadikan program kebijakan sosial sebagai bagian dari orientasi kebijakannya (Kurtz 2002: 309). Namun, bagaimanapun rapuhnya prospek politik dari penciptaan sistem kebijakan perumahan nasional berparadigma kesejahteraan, hal tersebut dapat diantisipasi apabila pemerintah melalui pihak eksekutif de ngan didukung oleh elemen dari masyarakat sipil mampu secara konstan dan persisten mendiseminasikan kesadaran akan krisis kepada seluruh pemangku kepentingan di bidang perumahan, khususnya para pembuat kebijakan di legislatif. Dengan cara ini, maka semua pihak akan dengan tanpa ragu menjadikan isu perumahan sebagai hal yang serius, karena terbukti bahwa isu ini merupakan hal yang menarik secara politis selain menggugah secara etis.
137
EPILOG
Dalam rangka mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa sebagaimana tersirat dalam konstitusi, perhatian yang besar perlu diberikan pada isu kesejahteraan. Sebab hal inilah karakteristik utama dari paradigma negara kesejahteraan, yakni kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk memberikan kesejahteraan dasar kepada seluruh warga negaranya secara adil dan merata, lebih daripada tujuan-tujuan lain seperti pengejaran pertumbuhan ekonomi atau penaikan citra di forum internasional. Identifikasi atas kebutuhan-kebutuhan dasar yang vital bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat adalah hal yang harus dilakukan. Salah satu kebutuhan dasar tersebut adalah rumah. Sayangnya, kebutuhan akan rumah ini justru selama ini kurang diusahakan dan dijamin oleh pemerintah, setidaknya bagi MBR sebagai kelompok masyarakat yang paling membutuhkan hak tersebut. Hal ini terbukti dari banyaknya jumlah backlog dan hunian kumuh yang ada di Indonesia, dengan jumlah yang justru meningkat setiap tahunnya. Fakta ini cukup ironis mengingat bahwa sesungguhnya secara formal pemerintah telah mengakui rumah sebagai bagian dari hak asasi. Transformasi dari masalah dasar yang bersifat kritis tersebut menuju kepada penciptaan suatu kondisi perumahan nasional yang sejahtera merupakan tantangan besar yang membutuhkan kerja keras dan kerja cerdas dari semua pihak. Intervensi dan pendekatan yang tepat perlu diarahkan pada berbagai level dalam sistem perumahan, mulai dari hulu sampai ke hilir. Selain itu, dibutuhkan pula berbagai tahapan untuk menuju tercapainya situasi perumahan nasional yang diimpikan. Dalam semua tahapan yang ada, prinsip bahwa rumah merupakan hak warga negara yang patut dijamin oleh pemerintah merupakan prinsip yang tidak dapat direlativisasikan atau dikendurkan. Agar dapat mencapai kesuksesan, sistem perumahan harus diusahakan oleh koalisi kohesif yang terdiri dari berbagai macam aktor yang menjadi pemangku kepentingan perumahan. Sebab esensi dari negara kesejahteraan sesungguhnya adalah eksisnya solidaritas dan kerjasama yang kuat dari seluruh elemen bangsa. Dalam hal ini, pelibatan masyarakat dan komunitas dalam formulasi, implementasi, dan evaluasi dari setiap kebijakan perumahan adalah hal yang sangat krusial
138
EPILOG
karena merekalah pihak yang akan menerima dampak luas dari setiap kebijakan. Lebih jauh, koalisi tersebut hendaknya dipandu oleh visi jangka panjang agar sifatnya berkelanjutan. Untuk itu, masing-masing pihak perlu terlebih dahulu menyamakan persepsi sehingga dapat dicapai kesepahaman akan kepentingan dan tujuan bersama yang perlu diusahakan dengan penuh komitmen. Dalam kerjasama tersebut, perlu dijamin bahwa aspirasi yang disuarakan oleh para pemangku kepentingan sungguh-sungguh didengarkan dan dijadikan pertimbangan serius oleh pembuat kebijakan. Kemitraan dan koalisi yang dilakukan hendaknya tidak hanya bersifat formal apalagi seremonial, melainkan haruslah bersifat substantif. Dalam pada itu, seluruh pihak harus diperlakukan setara, dihormati kepentingannya, dan diakui haknya. Tanpa adanya kemauan dari pembuat kebijakan untuk mengakomodasi aspirasi, pihak-pihak yang terlibat dapat merasa tidak dihargai dan akibatnya mereka menjadi acuh tak acuh dengan inisiatif apapun yang ditawarkan pada mereka. Penciptaan sistem kebijakan perumahan berparadigma kesejahteraan lalu menjadi mustahil untuk diwujudkan. Satu hal penting lain yang patut untuk ditekankan di sini adalah kesadaran bahwa upaya pemberdayaan yang dilakukan tidak hanya menyasar publik, melainkan juga seluruh pihak, termasuk swasta dan pemerintah sendiri. Pemberdayaan timbal balik ini dilakukan melalui proses saling belajar, saling koreksi, dan saling kontrol dalam semangat solidaritas, kemitraan, dan komitmen yang kuat untuk mencapai kesejahteraan total.
139
DAFTAR PUSTAKA Abe, Aya K. 2002. “Social Security System and the Poor in Japan”, dalam http://www. econ.hit-u.ac.jp/~kokyo/sympo-feb07/paper/Abe-SocialSecurity%26Poor.pdf Bishop, Matthew. 2010. Economics: An A-Z Guide. London & New York: Bishop Proofbook. Buckley, Robert M & Alex F. Schwartz. Housing Policy in the U.S.: The Evolving Sub-National Role. International Affairs May 2011. May 2011. Castles, Francis G. dkk (eds). 2012. The Oxford Handbook of the Welfare State. New York: Oxford University Press. Coffey, Amanda. 2004. Reconceptualizing Social Policy. Berkshire: Open University Press. del Ninno, Carlo. 2002.“Subsidi Perumahan”, dalam http://siteresources.worldbank. org/SAFETYNETSANDTRANSFERS/Resources/281945-1124119303499/SSNPrimerNote3_Indo.pdf Esping-Andersen, Gosta. 1990. The Three Worlds of Welfare Capitalism. New Jersey: Princeton University Press. ____________________. 1999. Social Foundations of Postindustrial Economies. New York: Oxford University Press. Hall, Anthony & James Midgley. 2004. Social Policy for Development. London, Thousand Oaks & New Delhi: Sage. Harrison, Kirsten. 2007. “International Land Banking Practices”, dalam http:// www.urbanlandmark.org.za/downloads/Land_Banking_Paper_Harrison-1.pdf Hujo, Katja & Shea McClanahan, “Conclusion”, dalam Katja Hujo & Shea McClanahan (eds). 2009. Financing Social Policy. New York: Palgrave Macmillan. _____________________________, “Introduction and Overview”, dalam Katja Hujo & Shea McClanahan (eds). 2009. Financing Social Policy. New York: Palgrave Macmillan. Kemenpera. 2009. Perumahan dan Permukiman Indonesia Masa Lalu, Kini dan ke Depan. Jakarta: Kemenpera. Kemeny, Jim. 1991. Housing and Social Theory. New York & London: Rotledge. __________. 2001. “Comparative Housing and Welfare: Theorising the Relationship”. Journal of Housing and the Built Environment. 16, hal. 53-70.
140
DAFTAR PUSTAKA
__________. 2006. “Corporatism and Housing Regimes”. Housing, Theory and Society. 32(1), hal. 1-18. Koh, Chul. 2004. “Overview of Housing Policies and Programs in Korea”. Dalam http:// gsct3237.kaist.ac.kr/e-lib/Reasoning/OverviewofHousingPoliciesandProgramsinKorea.pdf Koo, Richard & Masaya Sasaki. 2008. “Obstacles to Affluence: Thoughts on Japanese Housing”. Dalam http://www.nri.co.jp/english/opinion/papers/2008/pdf/ np2008137.pdf Koto, Zulfi Syarif. 2012. Jas Merah: Kebersamaan dalam Memenuhi Kebutuhan Rumah untuk Rakyat (MBR)!!. Makalah tidak diterbitkan. Kristanto, Ignatius. 2012. “Mulai Tumbuh, tetapi Rapuh”. Kompas 8 Juni. Kuhn, Thomas S. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. London: The University of Chicago Press. Kurtz, Marcus J. 2002. “Understanding the Third World Welfare State after Neoliberalism.” Comparative Politics 34(3), hal. 293-313. Kusumaningsih, Widjajalaksmi. “Menyongsong Siklus Tujuh Abad Nusantara.” Kompas, 12 November 2012, hal. 7. Pambudy, Ninuk Mardiana. 2012. “Gaya Hidup Suka Mengonsumsi dan Meniru: Beranikah Berinovasi?” Prisma, 31(1), hal. 14-27. Phang, Sock-Yong. 2007. “The Singapore Model of Housing and the Welfare State”. Dalam http://ink.library.smu.edu.sg/soe_research/596 Porter, Michael E. 1998. Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. New York: Free Press. Pusat Pendidikan Mitigasi Bencana (P2MB) Universitas Pendidikan Indonesia. “Mitigasi”, dalam http://p2mb.geografi.upi.edu/Mitigasi_Bencana.html Prasetyantoko, A. “Paradoks Ekonomi dan Agenda Kesejahteraan Sosial.”, dalam Prasetyantoko, A. dkk (eds). Pembangunan Inklusif. Jakarta: LP3ES. Rachman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa. Sleman: Tanah Air Beta. Sabaruddin, Arief dkk. 2003. Perkembangan Perumahan Rakyat: Masa Lalu, Saat Ini, dan Masa Mendatang. Jakarta: Badan Penerbit Puskim.
141
Santoso, Jo dkk (eds). 2002. Sistem Perumahan Sosial di Indonesia. Jakarta: Center for Urban Studies Universitas Indonusa & Ikatan Ahli Perencanaan. Sidin, Fashbir Noor, “Indonesia”, dalam Mohammed Razali Agus dkk (eds). 2002. Housing Policy Systems in South and East Asia. New York: Palgrave Macmillan. Silas, Johan. 2004. Perjalanan Panjang Perumahan Indonesia: Dalam dan Sekitar Abad XX. Surabaya: Airlangga University Press. Suharto, Edi. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Bandung: Alvabeta. Sumardjono, Maria. 2005. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas. ________________. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta: Kompas. The Editors of Salem Press. 2011. The Effects of Poverty and the Welfare State. California & New Jersey: Salem Press. UN-Habitat. 2008. Secure Land Rights for All. Nairobi: UN-Habitat. _________. 2009. Community Development Fund in Thailand. Nairobi: UN-Habitat. _________. 2012. Community Land Trust. Nairobi: UN-Habitat. Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria. Yogyakarta: Insist Press, KPA & Pustaka Pelajar. Wisnu, Dinna. 2012. Politik Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta: Gramedia. Yudohusodo, Siswono. 1991. Rumah untuk Seluruh Rakyat. Jakarta: Bharakerta. Zenou, Yves. “Housing Policies in Cina: Issues & Options”. IFN Working Papers No. 824, 2010. Research Institute of Industrial Economics. Sumber Berita: “Indikator Kesejahteraan Diperdebatkan”, Kompas, 11 September 2012, hal. 18. www.hukumonline.com/berita/baca/lt501a441671d8e/uu-pengadaan-tanah-ibusiness-oriented-i (artikel tanggal 2 Agustus 2011: UU Pengadaan Tanah Business Oriented). Diakses 3 Agustus 2012. www.suarapembaruan.com/tajukrencana/kesenjangan-sosial-meningkat/2760 (artikel tanggal 17 Januari 2011: Kesenjangan Sosial Meningkat). Diakses 13 November 2012. p2mb.geografi.upi.edu/Mitigasi_Bencana.html (Artikel: Apakah mitigasi bencana itu?). Diakses tanggal 16 November 2012
142
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam diskusi yang diselenggarakan untuk merumuskan buku ini. Secara khusus terima kasih ditujukan kepada : 1.
Kedeputian Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Penanggulangan Kemiskinan, Sekretaris Wakil Presiden RI
2.
Kedeputian Bidang Sarana dan Prasarana, Bappenas
3.
Kedeputian Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan UKM, Bappenas
4.
Kedeputian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kemenko Perekonomian
5.
Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum
6.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum
7.
Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum
8.
Sekretariat Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Perumahan Rakyat
9.
Kedeputian Bidang Perumahan Swadaya, Kementerian Perumahan Rakyat
10. Kedeputian Bidang Perumahan Formal, Kementerian Perumahan Rakyat 11. Kedeputian Bidang Pembiayaa , Kementerian Perumahan Rakyat 12. Kedeputian Bidang Pengembangan Kawasan, Kementerian Perumahan Rakyat 13. Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 14. Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 15. Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 16. Pusat Pembiayaaan dan Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan 17. Sekretariat Jenderal, Kementerian Sosial 18. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kementerian Sosial 19. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri 20. Kedeputian Bidang Peningkatan Infrastruktur, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal 21. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan
143
22. Kedeputian Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kemenko Kesra 23. Kedeputian Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat, Kemenko Kesra 24. Sekretariat Utama, Badan Pertanahan Nasional 25. Kedeputian Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah, Badan Pertanahan Nasional 26. Kedeputian Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional 27. Kedeputian Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Pertanahan Nasional 28. Sekretariat Negara, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah 29. Direktorat Produksi, Perum PERUMNAS 30. Direktorat Korporasi dan Pertanahan, Perum PERUMNAS 31. Kedeputian Bidang Statistik Sosial, Badan Pusat Statistik 32. Sekretariat Tetap, Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil 33. Pusat Kajian Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Perkotaan, Universitas Gadjah Mada 34. Pusat Kajian Perumahan dan Permukiman, Universitas Gadjah Mada 35. Universitas Gadjah Mada 36. Universitas Diponegoro 37. Universitas Indonesia 38. Institut Teknologi Bandung 39. Universitas Tarumanegara 40. Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia (Housing Urban Development) 41. Badan Layanan Umum Daerah Griya Layak Huni, Kota Surakarta 42. AKPPI Jawa Barat 43. Direktorat Perencanaan, Pengembangan, dan Informasi, PT. Jamsostek 44. PT. Bank Rakyat Indonesia 45. BPR Kulon Progo 46. Yayasan Konsorsium Pembaruan Agraria 47. Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH, MCL, MPA. 48. Inne Sri B. Rifayanti 49. Dr. Ir. Yusuf Yuniarto, MA. 50. Ir. Zulfi Syarif Koto, M.Si.
144