KEBIJAKAN RISET-IPTEK-INOVASI MENUJU BANGSA YANG BERDAYA SAING
Dewan Riset Nasional 2013
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
KEBIJAKAN RISET-IPTEK-INOVASI MENUJU BANGSA YANG BERDAYA SAING Tim Penyusun Ketua : Iding Chaidir Anggota : Syarif Budiman Suyanto Pawiroharsono Dudi Iskandar Penyunting : Iding Chaidir Syarif Budiman Desain Sampul & Tata Letak : Syarif Budiman Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit. © 2013 Dewan Riset Nasional Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN : 978 - 979 - 9017 - 35 - 2
ii |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
KATA PENGANTAR KETUA DEWAN RISET NASIONAL Pertama-tama perkenankan kami memanjatkan Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya buku “Kebijakan Riset-Iptek-Inovasi Menuju Bangsa Yang Berdaya Saing” ini. Buku ini disusun sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban DRN kepada publik tentang kegiatan dan hasil yang dicapai selama tahun 2013. Sesuai dengan Kepres Nomor 16 Tahun 2006, Anggota Dewan Riset Nasional diangkat oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi untuk setiap periode 3 tahun. Pengukuhan anggota DRN periode 2012-2014 dilaksanakan pada awal tahun 2012, dan hingga saat buku ini disusun, 8 Komisi yang ada di DRN telah melaksanakan berbagai kegiatan di tahun kedua sesuai dengan tugas dan fungsinya. Pendapat dan pemikiran para anggota DRN menyangkut kebijakan pengembangan iptek dan inovasi menjadi dasar pembuatan buku ini. Bahan yang diperoleh adalah artikel yang disusun oleh para anggota DRN baik yang pernah disampaikan dalam FGD maupun Workshop selama kurun waktu tahun 2013. Topik yang dikemukakan pada umumnya berkaitan dengan isu lintas bidang yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan iptek memasuki RPJMN III dan Era Globalisasi Perdagangan ASEAN 2015. Penerbitan buku ini dapat terwujud setelah melalui kerjasama dari berbagai pihak terutama para Anggota DRN, Staf Profesional DRN, Tim Asistensi, dan Sekretariat DRN. Belum semua materi dapat dikumpulkan karena pada saat buku ini disusun, kegiatan DRN tahun 2013 masih berjalan. Atas jerih payah yang telah dilakukan, kami mengucapkan terima kasih.
| iii
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Kami berharap buku ini dapat bermanfaat sebagai referensi sekaligus pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan DRN pada periode 2013, khususnya dalam memberikan masukan bagi pembangunan iptek khususnya penguatan kegiatan riset, iptek dan inovasi menuju bangsa yang lebih berdaya saing. Jakarta, November 2013 Ketua Dewan Riset Nasional
Prof Dr Ir. Andrianto Handojo
iv |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Daftar Isi KATA PENGANTAR KETUA DEWAN RISET NASIONAL
iii
STRATEGI PENGEMBANGAN PERGURUAN TINGGI 1 MENJADI PUSAT KEUNGGULAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN RISET Oleh Dr.Eng. Ir. Zulfajri Basri Hasanuddin, M.Eng INOVASI : MASALAH, ISU, PELUANG DAN TANTANGAN Oleh Carunia Mulya Firdausy PENGUASAAN DAN KEMANDIRIAN IPTEK NASIONAL Oleh Dr. Ir. Arnold Soetrisnanto & Dr. Ir. Listyani Wijayanti KINERJA PEMBANGUNAN IPTEK NASIONAL DAN KESIAPAN MENGHADAPI ERA PERSAINGAN GLOBAL Oleh Dr. Ir. Iding Chaidir, M.Sc MENGGAGAS KESINERGISAN LITBANG BAHAN MAJU NASIONAL Oleh Prof Dr Ridwan RISET PENGEMBANGAN KAPASITAS SISTEM PRODUKSI (Dari Sudut Pandang Seorang Pekerja Di Lantai Produksi) Oleh Said Firman
21 53 75
91 131
PENINGKATAN SINERGI PENELITI DAN PENGUSAHA 137 UNTUK MENGGAIRAHKAN KEGIATAN PENELITAN DAN INDUSTRI MANDIRI DI INDONESIA Oleh Dr. Dudi Iskandar KETERPADUAN IPTEK DAN INDUSTRI Oleh Dr. Ir. Utama H. Padmadinata
145
BERKAWAN KITA DALAM RISET Oleh Prof. Dr. Ir. Andrianto Handojo
161
PEMBANGUNAN IPTEK Oleh Prof. Dr. Ir. Andrianto Handojo
165
|v
Dewan Riset Nasional
vi |
http://www.drn.go.id/
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
STRATEGI PENGEMBANGAN PERGURUAN TINGGI MENJADI PUSAT KEUNGGULAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN RISET Dr.Eng. Ir. Zulfajri Basri Hasanuddin, M.Eng 1,2
RINGKASAN Trend perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang begitu cepat dewasa ini merupakan suatu pembuktian bahwa tingkat peradaban manusia sudah sangat maju. Salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap pesatnya perkembangan tersebut adalah peran perguruan tinggi (PT) yang memberikan banyak ruang untuk pengembangan wawasan keilmuan. Disamping itu PT juga berperan menghasilkan skill and knowledge worker. Ciri-cirinya berupa penguasaan teknologi komunikasi dan informasi, kemampuan adaptasi yang tinggi, mobilitas yang tinggi, percaya diri, pantang menyerah dan menganut paham a never ending learning. Hampir seluruh negara maju di dunia diantaranya Jepang dan Amerika Serikat telah sukses dalam membangun sistem pendidikan tingginya dan mampu menghasilkan kualifikasi lulusan skill dan knowledge worker.Bagaimana dengan Indonesia? Apakah seluruh PT di Indonesia hanya berfungsi menghasilkan lulusan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja? Kebanyakan PT di Indonesia masih menganut paradigmateaching University padahal sudah seharusnya PT merubah paradigmanya dari sekedar teaching menjadi research and learning University. Tantangan bangsa Indonesia ke depan semakin berat untuk berkompetisi dalam penguasaan teknologi tinggi. Oleh sebab itu penulis akan memaparkan strategi pengembangan pendidikan tinggidan penguasaan IPTEK berbasis good research and learning Institution dengan prinsip good governance agar bangsa Indonesia bisa cepat tinggal landas menjadi negara industri maju. 1
Anggota Komisi Teknis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Dewan Riset Nasional 2012-2014
2
Dosen Teknik Elektro Universitas Hasanuddin
|1
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
PENDAHULUAN Trend robotics, Information and Communication Technology, Nuclear, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya telah menjadi bukti betapa tingginya peradaban dunia saat ini.Negara-negara industri maju yang banyak berkontribusi terhadap kemajuan ini seperti Jepang dan Amerika Serikat terus berlari kencang untuk tetap mengukuhkan diri sebagai negara yang leading dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.Bagaimana posisi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam kancah persaingan global?Untuk bisa memainkan peran juga di tengah persaingan global maka kuncinya adalah bangsa Indonesia harus mengembangkan dunia pendidikan dan penelitian untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menjawab tantangan global.Disinilah peran PT untuk menjawab tantangan tersebut. Memang harus diakui bahwa kondisi pendidikan tinggi di Indonesia masih menjadi sorotan terutama dalam hal kualitas dan kuantitas yang dihasilkan. Berdasarkan daftar peringkat PT terbaik di dunia tahun 2011 yang dilansir oleh Webometrics tidak satu pun PT di Indonesia yang mampu menembus 100 besar PT terbaik di dunia tahun 2011. Tentulah akan timbul pertanyaan tentang kriteria penilaian dan bagaimana cara mengukurnya? Tetapi kita tidak usah berpolemik karena kalau dilihat dalam konteks negara memang ada beberapa catatan bahwa kita memang belum optimal dalam mengembangkan dunia pendidikan Nasional kita, seperti anggaran pendidikan yang paling besar berkisar 20% dari total APBN padahal sebagian besar negara di dunia mengalokasikan anggaran pendidikan dan penelitian diatas kisaran itu. Kalaupun ada dana penelitian yang dialokasikan akan sangat sulit terserap karena perioda pelaporannya yang sangat singkat dan juga mekanisme pertanggungjawabannya yang sangat rumit. Catatan lainnya adalah dunia usaha dan industriyang belum mendukung pengembangan dunia pendidikan dan penelitian di tanah air.Kalau di Jepang dunia usaha dan industri menjalin kemitraan dengan PT dan memberikan kepercayaan untuk melakukan riset pengembangan prototype produk teknologi sesuai kebutuhan dunia 2|
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
industri dan dunia usaha. Jadi ada take and give dan juga saling membutuhkan antara dunia usaha dan industri dengan PT. Untuk mengejar ketertinggalan PT di tanah air maka dibutuhkan strategi untuk pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia.Pendidikan tinggi di Indonesia memiliki strategi jangka panjang yang dituangkan dalam HELTS (Higher Education Long Term Strategy) 2003-2020. Strategi pengembangan yang diambil bertumpu pada tiga strategi utama, yaitu: peningkatan daya saing bangsa, otonomi dan desentralisasi, serta kesehatan organisasi. Untuk mewujudkan strategi tersebut, maka PT harus menjadi good research and learning Institution, dan good governance. Ada banyak metode yang bisa diterapkan untuk mewujudkan strategi tersebut, yaitu 1) merubah paradigma sistem pendidikan kita dari sekedar teaching University menjadi Research and Learning University dengan menyusun kurikulum berbasis kompetensi sesuai kebutuhan masyarakat dan dunia industri dengan memberikan kuota praktikum dan penelitian secara proporsional agar mampu memberikan bekal skill dan knowledge yang memadai bagi peserta didik; 2) meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil penelitian untuk pengembangan IPTEK dan pengembangan sumber daya alam dan sosio kultural untuk pemberdayaan ekonomi; 3) melakukan inovasi dalam manajemen organisasi dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk efisiensi dan efektifitas organisasi serta menjalankan prinsip good governance, yaitu: partisipatif, transparan dan akuntabel; 4) menciptakan linkungan fisik dan psikologis yang mendorong terciptanya suasana akademik yang mampu memicu kreativitas warga kampus yaitu mahasiswa, dosen dan karyawan; 5) memanfaatkan secara optimal asset yang dimiliki oleh institusi untuk peningkatan kesejahteraan civitas akademika kampus; 6) membentuk networking kerjasama dengan institusi pendidikan dan penelitian lainnya, dunia usaha dan industri baik dalam maupun luar negeri. Untuk mewujudkan harapan di atas, berikut akan diuraikan arah pengembangan PT ke depan. Wujud ini akan digambarkan oleh atribut |3
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
luaran pada saat itu mencakup atribut lulusan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Juga akan dipaparkan prinsip dasar yang dapat dijadikan pegangan berikut program yang dapat dijalankan untuk mencapai atribut tersebut. ATRIBUT LUARAN YANG DIHARAPKAN PADA SUATU PERGURUAN TINGGI Atribut luaran ini bisa menjadi pembeda dari lulusan PT lainnya. Secara umum dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Memiliki landasan keimanan dan ketaqwaan yang kokoh. Karakter ini sejalan dengan cita-cita pendidikan nasional dan dimaksudkan untuk membentuk kepribadian lulusan. 2. Memiliki kompetensi pada disiplin ilmunya. Ini merupakan kompetensi akademik atau profesionalisme dan berkaitan dengan pembentukan identitas professional. 3. Memiliki kompetensi intelektual, yaitu sikap dan kemampuan untuk ikut memecahkan masalah yang tidak berada dalam lingkup disiplin ilmunya. 4. Memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi, yaitu kemampuan untuk melakukan adaptasi dalam proses pengembangan diri agar senantiasa dapat menjaga interkoneksitas dengan lingkungannya. 5. Menguasai bahasa Inggris dan komputer. 6. Memiliki kredibilitas dan integritas, yaitu dalam melakukan aktifitasnya selalu jujur dan terpercaya, cakap, kreatif, inovatif dan bertanggung jawab. 7. Memiliki leadership skill, yaitu kemampuan dalam mengambil keputusan bijak dan mengelola organisasi dan masyarakat. 8. Memiliki jiwa entrepreneurship, yaitu lulusan yang berwawasan pencipta lapangan kerja. 4|
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Atribut diatas dibutuhkan untuk menjawab tantangantantangan seperti globalisasi dan pasar bebas dimana keadaan tidak menentu; persaingan untuk mengisi kebutuhan professional yang semakin ketat; kemampuan berbahasa Inggris dan penguasaan komputer yang masih lemah sementara disisi lain sering dipersyaratkan oleh lapangan pekerjaan; trend kecenderungan perubahan paradigma dari teaching menjadi research and learning; dinamika pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kompleksitas permasalahan sosio kultural yang menuntut kompetensi keilmuan dan kompetensi intelektual bersinergi; dan lain-lain. PT dapat memainkan peran dalam menjemput peluang mengisi kebutuhan professional dalam berbagai bidang; menghasilkan produk inovasi teknologi tinggi; menjual jasa sesuai kapasitas dan kompetensi lulusannya kepada pihak swasta maupun perorangan; dan dengan jiwa entrepreneurship skill yang dimilikinya dapat menciptakan usaha mandiri seperti misalnya ahli mesin otomotif bisa membuka usaha service mobil; dan lain-lain. STRATEGI PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN PERGURUAN TINGGI Setiap PT seyogyanya memiliki visi dan misi agar memiliki arah dan orientasi yang jelas dalam pengembangannya. Adapun visi dan misi ideal yang dapat diadopsi oleh suatu PT sebagai berikut: VISI : Menjadikan Institusi PT yang unggul dalam berbagai bidang melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang adaptif dan inovatif; menjadikan kampus PT tempat belajar, berinspirasi dan berkarya; serta menjalankan peran regional, nasional dan internasional melalui pengembangan jaringan dan kemitraan.
|5
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
MISI : 1. Menjadikan pusat unggulan (center of excellence) dalam berbagai bidang dan pengembangan IPTEKS. 2. Menghasilkan lulusan yang kreatif, arif, professional, inovatif, adaptif dan mampu meningkatkan daya saing bangsa. 3. Menjadikan barometerpengembangan prototype produk teknologi unggulan hasil riset yang lahir dari dunia pendidikan tinggi. 4. Menjadikan simpul utama dari networking dan kemitraan dengan lembaga pendidikan tinggi, dunia usaha dan dunia industri di dalam dan luar negeri untuk kerjasama pendidikan dan penelitian. PROGRAM STRATEGIS Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut maka perlu menjadikan suatu PT menjadi: 1) good research and learning University, 2) good governance University, 3) good entrepreneur University, dan 4) harmonisasi kehidupan kampus (good social harmony University). Adapun langkah-langkah strategis untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Manajemen Organisasi Manajemen dikelola dengan prinsip good governance dengan menjunjung tinggi budaya kualitas dalam memberikan pelayanan.Terdapat empat sumberdaya utama yang harus dikelola dengan baik untuk mendukung pelaksanaan tridarma suatu PT. Keempatnya adalah: a) sumberdaya manusia; b) infrastruktur; c) finansial; dan d) sistem informasi dan komunikasi. Berikut ini adalah uraian dari keempat hal ini: Sumber Daya Manusia Sumberdaya manusia merupakan salah satu kunci kekuatan institusional. Ada beberapa program yang berhubungan dengan pengembangan 6|
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
kapasitas sumberdaya manusia yang disajikan berikut : • Penyusunan perencanaan sumberdaya manusia yang menyeluruh mulai dari rencana perekrutan, pengembangan, danpensiun. Untuk tujuan ini perlu memperkuat unit kerja yang menangani masalah ini. Pelatihan-pelatihan untuk peningkatan kapasitas manajerial dan perencanaan sumberdaya manusia bagi staf yang terlibat pada unit kerja ini perlu diintensifkan. Buku pegangan perencanaan perlu disusun dengan baik dan dapat menjadi acuan perencanaan yang akan disepakati pada rapat di tingkat PT. Buku pegangan ini harus bersinergi dengan ketentuan yang digariskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia karena berisi antara lain kebijakan perekrutan staf, tugas belajar, pelatihan, penyertaan seminar, studi banding, pemberian penghargaan, dan cuti panjang. • Meningkatkan kemampuan kerja kolektif (team work) melalui penyertaan staf dalam panitia-panitia ad-hoc maupun pelatihan-pelatihan pengembangan diri. Institusi akan berupaya mencarikan sumber pendanaan sehingga diharapkan kegiatan ini mampu meningkatkan kapasitas kerja kolektif para staf, misalnya pelatihan team building, dan lain-lain. • Institusi akan mendisain model atau sistem terbaik yang dapat meningkatkan etos kerja para stafnya (dosen dan pegawai administrasi). Sebagai langkah awal, Institusi akan mendisain sistem evaluasi yang dapat memprofilkan etos kerja para stafnya dan membangun strategi yang relevan. Pimpinan Institusi perlu memperjuangkan untuk dapat mengalokasikan dana sehingga ruang kerja para staf serta fasilitas pendukungnya dapat memenuhi standar ruangan yang dibutuhkan untuk bekerja dengan baik. • Output dari etos kerja diatas harus terus dievaluasi sehingga terefleksikan dalam perbaikan proses belajar mengajar, jumlah penelitian dan publikasi ilmiah internasional, dan jumlah pengabdian masyarakat yang mendapatkan pengakuan. |7
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
• Sistem ‘reward and punishment’dapat dikenalkan yang tentunya disinergikan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh peraturan dimana hal ini dilakukan untuk menjaga etos kerja diatas. Sistem ini akan dibahas dan diimplementasikan atas persetujuan rapat dan koordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Reward dimaksud harus secara nyata dikaitkan dengan perbaikan tingkat kesejahteraan staf terkait. Infrastruktur Masalah klasik yang sering dihadapi berkaitan dengan infrastruktur antara lain adalah keterbatasan dana pembangunan dan pemeliharaan serta budaya sense of belonging yang belum ada. Program penanganan infrastruktur yang perlu dilakukan adalah : • Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memprofil keadaan seluruh infrastruktur dan asset institusi. Profil ini sekaligus akan menggambarkan kebutuhan biaya investasi baru maupun biaya pemeliharaan. Dari profil ini, scheduling untuk pengembangan dan pemeliharaan dapat diketahui dengan pasti sehingga dapat disinergikan dengan perencanaan keuangan. • Meningkatkan sense of belonging warga kampus. Untuk maksud ini, institusiharus tegas dengan tidak akan mentolerir setiap kerusakan infrastruktur yang diakibatkan oleh kelalaian yang disengaja. • Sistem cleaning service harus didisain dengan baik untuk menjamin kebersihan dan keindahan kampus. Salah satu alternative adalah penggunaan cleaning service yang professional. • Jurusan atau program studi harus selalu difasilitasi untuk mendapatkan pendanaan dari Kementerian dan dari sumber lain. Pendanaan ini terutama untuk mendukung kelengkapan infrastruktur laboratorium. • Penataan kelas harus dijalankan dan diprioritaskan, sehingga seluruhnya memiliki alat bantu pembelajaran yang memadai (mis8|
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
alnya LCD Projector) dan juga AC untuk kenyamanan proses belajar mengajar. • Perpustakaan harus ditata sehingga menjadi ruang baca yang menyenangkan didukung dengan fasilitas bacaan (hard dan softcopy)maupun sistem perpustakaan digital yang memadai. Perpustakaan kampus harus memiliki koleksi yang memadai dan masuk menjadi salah satu simpul jaringan perpustakaan digital global. Perpustakaan perlu dipertimbangkan untuk buka lebih lama untuk memberikan kesempatan mahasiswa dapat lebih mengeksplorasi ilmu pengetahuan di perpustakaan. • Institusi perlu meningkatkan kualitas kerjasama dengan institusi lainnya terutama dalam pemanfaatan fasilitas laboratorium masing-masing. Dengan metode ini, kapasitas regional dapat dibangun secara bersama-sama termasuk dengan dunia usaha dan industri. • Penataan dan pemeliharaan fasilitas out-door harus dilakukan melalui program-program berikut : »» Membangun dan menata taman-taman kampus sehingga lebih kelihatan asri dan memberikan suasana kenyamanan warga kampus. »» Penataan sarana olah raga sehingga menjadi media untuk mempromosikan social and intercultural harmony baik antar sesama civitas akademika maupun dengan masyarakat luar. Finansial Untuk membawa suatu PT menjadi institusi yang mampu menghasilkan luaran yang berkualitas dan didambakan oleh stakeholder nya membutuhkanfinansial yang besar dan pengelolaan yang baik.Institusi harus secara konsisten mempromosikan terwujudnya pengelolaan anggaran berbasis kinerja yang ukuran-ukuran kinerjanya dapat merefleksikan kualitas luaran institusi ini. Program-program yang berkaitan dengan finansial yang harus dilakukan adalah : |9
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
• Penerapan sistem anggaran yang mampu menjamin terjadinya peningkatan kinerja secara berkelanjutan. Untuk itu, sistem yang akan dibangun akan membagi sistem pembiayaan ke dalam dua hal yaitu biaya tetap yang diberlakukan sama pada setiap unit kerja, dan yang kedua adalah biaya variable yang didasarkan pada janji kinerja dari unit kerja terkait. Dengan demikian, total biaya yang dialokasikan pada setiap unit kerja adalah biaya tetap ditambah biaya variable yang dapat saja berbeda dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya. Pola ini akan didiskusikan dan diharapkan mendapatkan persetujuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. • Biaya variable yang akan dialokasikan harus berdasarkan perencanaan yang baik yang diajukan oleh unit kerja terkait dan didasarkan pada evaluasi diri yang memadai. Untuk maksud ini, dapat dibentuk tim anggaran yang memiliki kapasitas untuk menjalankan evaluasi kelayakan perencanaan yang akan didanai. • Pengalokasian anggaran berikut pengelolaannya akan dilakukan secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Tujuan ini akan dicapai dengan cara membangun dan menerapkan sistem akuntansi standar pada setiap unit kerja termasuk pada tingkat PT sehingga seluruh pemanfaatan anggaran dapat dijamin tepat guna dan wajar tanpa syarat. • Institusi harus secara berkelanjutan mencari alternative sumber pendanaan dengan memaksimalkan (kalau memang ada) potensi asset-aset produktif. Institusi juga akan mengintensifkan usaha-usaha sehingga partisipasi stakeholder dalam mendukung pendanaan PT semakin tinggi. Selain itu juga dapat memanfaatkan jaringan kemitraan dengan dunia usaha dan industri. Pengelolaan dana-dana semacam ini akan dijamin transparan, efisien, dan efektif serta memenuhi standar akuntabilitas. • Sumber-sumber beasiswa perlu terus digali sehingga ketersediaan beasiswa semakin tinggi. 10 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Sistem Informasi dan Komunikasi Institusi PT perlu memiliki unit kerja Pusat Informasi dan Komunikasi yang sangat strategis dalam mendukung sistem pengelolaan Institusi termasuk dalam pengambilan keputusan, sistem manajemen sumberdaya manusia, sistem finansial, dan pengelolaan infrastruktur. Sistem informasi yang ada harus mampu menyediakan informasi secara real time sehingga pimpinan dapat memprofil segala sesuatunya yang terkait dengan kinerja institusi setiap saat.Dengan sistem seperti ini, pemantauan kinerja secara kontinyu untuk selanjutnya dapat dilakukan tindakan yang diperlukan. Disamping itu, sistem yang ada harus mampu mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar baik dalam bentuk web-based learning ataupun sebagai sumber informasi ilmu pengetahuan. Satu hal yang perlu dicatat adalah sistem yang dibangun harus friendly use sehingga mampu membangun animo setiap insan akademik khususnya dan masyarakat kampus pada umumnya untuk terbiasa dengan penggunaan sistem informasi semacam ini. Hanya dengan cara ini, keberadaan sistem yang dimaksud akan menjadi optimal dalam mendukung penciptaan luaran institusi PT yang bermutu sebagaimana yang diharapkan. Program utama dalam sistem informasi yang perlu dipikirkan adalah : • Mengembangkan pusat informasi dan komunikasi PT sehingga mampu mendukung pelaksanaan manajemen yang efisien dan efektif pada seluruh level unit kerja di PT tersebut. Untuk tujuan ini, sistem database yang mencakup seluruh program akademik dan sumberdaya (SDM, infrastruktur, dan financial) yang ada di PT akan dibangun. Sistem ini harus mampu menyediakan data agar pengambilan keputusan dapat dilakukan secara cepat dan akurat. • Seluruh pejabat structural di PT harus diberi pelatihan sehingga sistem informasi yang ada dapat dioperasikan secara optimal untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pada unit kerja dimana pejabat tersebut berada.
| 11
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
• Menjadikan sistem informasi dan komunikasi sebagai wadah promosi PT, sehingga memuat semua informasi tentang PT. Dengan demikian sistem ini dapat menjadi jendela bagi seluruh stakeholder untuk melihat kinerja PT. • Sistem informasi dan komunikasi yang ada akan dikembangkan untuk mendukung pelaksanaan akademik termasuk untuk keperluan web-base learning. Secara berangsur-angsur mata kuliah yang ditawarkan pada PT akan dimasukkan ke Website sehingga tersedia secara online bagi siapa saja. Hal ini merupakan perwujudan PT untuk mencerdaskan bangsa terutama bagi yang berkepentingan. • Seluruh dosen akan dipacu dengan menyediakan pelatihan yang memadai dengan harapan mampu menggunakan sistem ini dengan baik, efektif dan efisien. • Sistem registrasi dan transkrip online akan diterapkan dan diintegrasikan dengan sistem informasi ini. 2. Penataan Sistem Pendidikan Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan sistem pendidikan yang berbasis research and learning, adaptif-kreatif dan membangun kemampuan belajar seumur hidup. Penataan sistem pendidikan ini mempunyai dua sasaran, yaitu: a) penataan kurikulum; danb) penataan program studi, dimana keduanya sangat penting untuk meningkatkan relevansi dengan kebutuhan pasar kerja, dunia industri dan perkembangan IPTEK. 3. Mendorong pengembangan Perguruan Tinggi menjadi Research and Learning University Untuk menjalankan misi pengembangan IPTEK dan pemberdayaan masyarakat, menciptakan atmosfer akademik yang kondusif, maka haruslah memprioritaskan peningkatan kuantitas dan kualitas riset. 12 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Ada empat hal yang akan menjadi prioritas dalam pencapaian sasaran ini, yaitu: a) sumberdaya peneliti; b) infrastruktur riset; c) peningkatan jumlah publikasi hasil riset di jurnal nasional dan internasional; dan d) kerja sama riset dengan jaringan regional, nasional dan internasional dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Disamping empat sasaran di atas, perlu mendorong institusi PT dalam upaya penguasaan teknologi unggulan dalam bentuk memberikan peluang melakukan by-pass penguasaan teknologi tinggi yaitu melakukan riset membuat duplikasi produk teknologi tinggi dan memberikan inovasi serta nilai tambah terhadap produk tiruannya. Hasil pengembangan produk teknologi tinggi ini kemudian akan dibuatkan prototypenya. Untuk tahap finishingnya bisa menggandeng Lembaga Elektronika Nasional ataupun lembaga-lembaga terkait baik milik pemerintah ataupun swasta yang relevan.Hal ini mengadopsi langkah Jepang di awal penguasaan teknologi tinggi seperti mobil dan produk elektronika lainnya. Mereka melakukan bedah mobil buatan Amerika untuk mempelajari cara kerja mesin mobil, dan komponen-komponen mobil lainnya kemudian mempelajari kemungkinan celah-celah kelemahan dari mobil tersebut dan memberikan solusi yang akhirnya menjadi added value dari produk teknologi mobil yang ditiru tersebut (seperti aspek safety drivingnya, sensor, menambahkan sistem komputerisasi pada mobil, kenyamanan, kemampuan dan kapasitas engine ditingkatkan, dan sebagainya). Hampir semua produk teknologi tinggi bisa dibuat oleh Jepang dengan model seperti ini di awal kebangkitannya.Perlu ditambahkan disini adalah bahwa pemerintah, dunia usaha dan industri Jepang mendukung PT dan lembaga riset untuk mengembangkan produk teknologi tinggi.Perlu memperjuangkan institusi PT dan bangsa kita agar mampu menguasai teknologi tinggi dengan metode bypass penguasaan produk teknologi tinggi seperti yang dilakukan bangsa Jepang (diawal kebangkitannya) melalui riset produk teknologi unggulan.
| 13
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
4. Mengembangkan Jaringan dan Kerjasama Globalisasi merupakan tantangan sekaligus peluang bagi institusi PT untuk masuk ke arena internasional. Hal ini bisa dicapai dengan melakukan kerjasama pendidikan, riset dan pengabdian masyarakat dengan mitra lokal, regional, nasional dan internasional.Kerjasama ini dapat dijalin dengan institusi pendidikan, lembaga riset, dunia usaha dan industri.Sasaran yang ingin dicapai adalah a) meningkatnya kemampuan institusi PT mengelola kerjasama pendidikan dan riset, baik nasional maupun internasional; b) meningkatnya sarana dan prasarana pendidikan dan penelitian; c) terbangunnya budara saintifik dikalangan akademisi dan peneliti; dan d) meningkatnya daya saing PT di tingkat nasional dan internasional. 5. Manajemen Kampus Sehat Manajemen dan penataan lingkungan kampus diperlukan agar proses belajar mengajar, bekerja dan meneliti bisa dilaksanakan dengan optimal. Healthy Campus dapat dicapai melalui manajemen yang mampu menyediakan fasilitas fisik dan suasana psikologis yang menunjang terciptanya atmosfer akademik yang baik dan ideal. Ada beberapa sasaran yang ingin dicapai, yaitu: a) tersedianya fasilitas yang menjamin kesejahteraan mahasiswa, dosen dan karyawan; b) terwujudnya lingkungan kampus yang bersih, sehat dan indah; dan c) terciptanya hubungan yang harmonis antara mahasiswa, dosen dan karyawan.
14 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
PROGRAM KERJA Prinsip yang digunakan dalam menjalankan program kerja yang dapat diusulkan adalah good governance, dimana partisipasi, transparan dan akuntabilitas menjadi key words dalam mengelola program kerja. PROGRAM DAN TARGET YANG PATUT DIUSULKAN Jangka Pendek (1 tahun pertama) i. Penataan administrasi dan keuangan yang berbasis good governance (partisipatif, transparan dan akuntabel). ii. Desentralisasi pengelolaan keuangan yang berbasis anggaran kinerja baik yang bersifat biaya tetap maupun biaya variable di setiap unit kerja. iii. Penataan manajemen akademik dan administrasi yang mendukung strategi pembelajaran research dan learning. iv. Meningkatkan kapasitas dan jaringan IT untuk mendukung manajemen pendidikan, keuangan dan administrasi. v. Pemetaan dan penataan assetinstitusi untuk kesejahteraan warga kampus. vi. Menjalin kerjasama dengan mitra potensial untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan, riset dan pengabdian masyarakat. vii. Penataan lembaga kemahasiswaan untuk meningkatkan solidaritas, rasa kebersamaan, sense of belonging, dan leadership di kalangan mahasiswa. Jangka Menengah (1-2 tahun) i. Penataan program studi yang ada dengan meningkatkan kualitas dan kapasitas program studi ini, dan membuka program studi yang dibutuhkan masyarakat saat ini dan dimasa depan. ii. Mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi untuk menghasil| 15
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
kan luaran yang professional, adaptif, percaya diri dan mampu mengembangkan IPTEK. Mengembangkan metode pembelajaran dengan orientasi penguasaan komputer dan bahasa Inggris diluar kompetensi utama. iii. Meningkatkan kualitas hasil riset dan mendorong penerapan metode by-pass penguasaan produk teknologi tinggi. Mengundang expert luar negeri untuk tinggal selama masa waktu tertentu dan memberikan workshop serta pelatihan pada ahli kta agar terjadi proses peralihan penguasaan teknologi tinggi. iv. Meningkatkan kerjasama dengan dunia usaha, dunia industri dan pemerintah daerah untuk peningkatan kualitas riset, pemanfaatan hasil riset dan pengembangan sumberdaya manusia. v. Peningkatan kualitas dan perbaikan infrastruktur pendidikan dan riset terutama laboratorium-laboratorium, kelas-kelas perkuliahan serta modul-modul pembelajaran multimedia dan juga perpustakaan digital. vi. Penciptaan lingkungan kampus yang asri,nyaman, sehat dan bersahabat. vii. Pemanfaatan asset untuk kesejahteraan warga kampus. Jangka Panjang (1-4 tahun) i. Pengembangan kualitas dan sumberdaya manusia sehingga dapat meningkatkan jumlah staf berkualifikasi S2 dan S3. ii. Meningkatkan kualitas dan kuantitas publikasi ilmiah pada tingkat internasional dan paten yang diperoleh dari hasil riset dan kerjasama dengan dunia industri dan dunia usaha. iii. Meningkatkan kualitas institusi PT dan seluruh program studi yang ada agar dapat memperoleh akreditasi tertinggi. 16 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
iv. Membangun sarana umum yang menunjang proses pendidikan dan riset seperti listrik dan air. v. Evaluasi komprehensif pencapaian-pencapaian selama 5 tahunan untuk perbaikan manajemen dan pengelolaan ke depan. PENUTUP Untuk mewujudkan visi dan misi ideal institusi, maka institusi PT harus mampu menggerakkan seluruh potensi yang dimilikinya dan berinteraksi dengan masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan industri, serta pihak yang berkepentingan lainnya untuk pengembangan IPTEK. Sumberdaya manusia juga merupakan suatu asset yang jika dikelola dengan baik bisa ditransformasikan menjadi human capital. Kekuatan human capital ini apabila ditunjang oleh atmosfer akademik dan infrastruktur riset yang memadai akan mampu mendorong suatu institusi PT mencapai visi dan misinya. Mengelola human capital dan infrastruktur untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan suatu organisasi yang sehat yang berbasis pada good governance & dikemudikan oleh a powerful skill & knowledge leader dengan segala kapasitas dan integritasnya yang memadai, kreatif dan inovatif. Good Governance dapat menjamin dan meyakinkan bahwa visi dan misi dijalankan sesuai dengan kebutuhan stakeholders. Pelaksanaan prinsip good governance sangat penting dalam menjalankan peran Institusi PT dalam mencapai visi dan misinya. Manajemen partisipatif akan menjadi dasar legitimasi dari setiap keputusan dan dasar konsensus untuk mencapai keputusan terbaik bagi organisasi. Manajemen partisipasif juga menjadi dasar yang kuat bagi desentralisasi dan otonomi pengelolaan organisasi. Unsur good governance lainnya seperti transparansi menjadi dasar untuk melakukan evaluasi dan pengambilan keputusan di masa mendatang.Transparansi ini juga menjadi modal agar segala aktifitas or| 17
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
ganisasi bisa berlangsung secara efektif dan diketahui serta dipahami oleh stakeholders. Sedangkan unsur akuntablitas pada manajemen good governancetidak berarti otonomi dan desentralisasi yang diberikan membuat pimpinan akan melepaskan tanggungjawab tetapi justru akan membuat seluruh unit kerja otonom dan dapat memberikan laporan perencanaan program dan anggarannya yang akurat dan terukur. Perlu pula menjadi catatan bahwa akuntabilitas mutu penyelenggaraan pendidikan dan penelitian serta luarannya lebih kepada user tidak pada pada struktural institusi saja. Prinsip good governance tidak hanya penting untuk pelaksanaan otonomi manajerial dan keuangan, tetapi juga otonomi dalam bidang akademik yang mencakup kebebasan dan nilai-nilai akdemik yang harus menjadi prinsip dasar pengelolaan pendidikan. Lebih dari itu prinsip good governance dapat memberi ruang dan waktu bagi pimpinan institusi untuk berpikir hal-hal lain yang strategis untuk pengembangan PT. Diharapkan pengelolaan dengan prinsip ini akan membuat PT dimasa depan dapat menjadi unggul dalam bidang akademik, riset dan pengabdian pada masyarakat (tridarma) serta memiliki daya saing dan ikut memberi andil terhadap perkembangan peradaban dunia. REFERENSI 1. Universitas Hasanuddin, Buku Renstra Unhas 2010 – 2020 2. Dr.Ir. Zulfajri B. Hasanuddin, M.Eng, Seminar ICT Universitas Islam Makassar 2007, Makalah“Paradigma Ilmu, Peran dan Tantangan Mahasiswa Teknologi Informasi dan Komunikasi di Era ICT”. 3. Jun Oba, Seminar on Higher education, Istanbul and Ankara, Turkey, February 2005, “Higher Education in Japan – Incorporation of National Universities and the Development of Private Universities-”. 18 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
4. Leanne Richards, John O’Shea and Michael Connolly, Publish Online in Wiley InterScience, Strat. Change 13: 345-359 (2004), “Managing the Concept of Strategic Change Within a Higher Education Institution: the Role of Strategic and Scenario Planning Techniques”. 5. Daftar Peringkat Perguruan Tinggi Terbaik di Dunia Tahun 2011 (http://mediaanakindonesia.wordpress.com/2011/05/17/daftar-peringkat-perguruan-tinggi-terbaik-di-dunia-tahun-2011/) 6. Rober A. Scott, President Adelphi University, “The Challenges Facing Higher Education in America Today”. 7. Nicoline Frolich and Antje Klitkou, the Conference on Indicators on Science, Technology and Innovation, Lugano, 2006, “Strategic Management of Higher Education Institutions: Performance Funding and Research Output”.
| 19
Dewan Riset Nasional
20 |
http://www.drn.go.id/
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
INOVASI : MASALAH, ISU, PELUANG DAN TANTANGAN Carunia Mulya Firdausy 1 Abstract Innovation based development has been considered as one of the significant policies in sustaining development in both developed and emerging economies. However, a serious concern with this factor in Indonesia has not been shown yet. This paper, using data and information advanced in literatures, aims at discussing problems, issues, opportunities and challenges to establish innovation based development in Indonesia. It was suggested that difficulties for this country to promote innovation based development do not lie solely on the quality of human resources, but also due to many factors. Therefore, policies and actions to minimize and to solve those factors are important to be formulated and implemented by the government as well as by other stakeholders. These policies and actions need to be in accordance with the stage of economic development, size of domestic markets and natural resurces and regional as well as global innovation demand.
Key words: Innovation, development, emerging economies, the quality of human resources, global innovation demand. Pendahuluan Inovasi adalah darah dalam pembangunan ekonomi di dunia. Berdasarkan analisis statitistik yang dilakukan Srholec (2007) didapatkan bahwa inovasi berkaitan erat dengan pendapatan per capita suatu negara secara signifikan (R2=0.86). Temuan ini bukan barang baru. Robert Solow (1957) melalui penelitiannya telah secara tegas menyatakan bahwa diantara faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, factor total produktivitas atau yang lebih dikenal dengan Total Factor Productivity (TFP) atau inovasi merupakan faktor yang paling penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini karena Solow (1957) menemukan bahwa 4/5 pertumbuhan ekonomi di Amerika 1
Ketua Komisi Teknis Teknologi Transportasi, Dewan Riset Nasional 2012-2014
| 21
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Serikat pada awal paruh kedua abad 20 ditopang oleh tingginya kontribusi Total Factor Productivity (TFP). Kontribusi TFP atau inovasi yang besar tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi terus berlanjut dan tidak pernah tergantikan sampai saat ini. Bahkan dalam kondisi krisis yang masih terjadi saat ini, peran factor TFP telah menjadi katup pengaman (safety valve) menjaga ketahanan perekonomian negara adi daya tersebut. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara lainnya terutama Jerman, Jepang, Cina dan Korea Selatan. Akibat temuan itu, pendulum strategi pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh berbagai negara maju berpindah dari model Smith yang menekankan pentingnya sumber daya manusia dan modal saja ke model Solow sampai kini. Pada gambar 1 dapat diperhatikan hubungan antara kapabilitas inovasi dan pembangunan ekonomi di beberapa negara. Gambar 1. Kapabilitas Inovasi & Pembangunan Ekonomi
Tentu saja tinggi rendahnya TFP dari modal dan tenaga kerja tidak datang dengan sendirinya. Menurut Paul Romer (1986) dan Stiglizt (2005), hal tersebut dipengaruhi dari hasil-hasil penelitian dan pengembangan (R&D) di satu pihak dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) di lain 22 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
pihak. Besarnya peran penelitian dan pengembangan serta kualitas SDM yang relatif tinggi tersebut merupakan buah dari kebijakan investasi yang padu dalam bidang sains, teknologi, inovasi dan human capital yang dilakukan negara-negara maju tersebut. Tulisan ini dengan menggunakan sumber literatur & beberapa data sekunder bertujuan utama untuk mendiskusikan masalah, isu, peluang, dan tantangan dalam membangun inovasi di Indonesia. Namun sebagai latar belakang analisis, bagian ke dua berikut ini terlebih dahulu menjelaskan konsep dan definisi inovasi dan sistim inovasi. Kemudian, bagian ke tiga diungkapkan beberapa pengalaman dan pelajaran negara-negara berkembang khususnya di Asia Timur dalam membangun inovasi. Bagian ke empat mengungkapkan potret kemampuan inovasi dan daya saing serta masalah, isu-isu, peluang dan tatangan dalam membangun inovasi nasional. Selanjutnya, di bagian ke lima didiskusikan kebijakan penting yang diperlukan dalam membangun inovasi dan sistim inovasi nasional. Akhirnya, pada bagian ke enam diberikan catatan penting dalam membangun ekonomi berbasis sistim inovasi sebagai penutup tulisan ini. 2. Inovasi dan Sistim Inovasi Inovasi memiliki banyak definisi. Fagerberg, Mowery and Nelson ( 2005), misalnya, mendefinisikan inovasi sebagai suatu kegiatan yang menyangkut cara bagaimana invensi diwujudkan dalam suatu bentuk kenyataan Definisi ini berbeda dengan pengertian inovasi yang didasarkan perspektif produk dan proses yang baru (Toivanen and Mani, 2010). Begitu pula dengan definisi yang melihat inovasi secara lebih umum termasuk dalam eksploitasi pasar baru, bentuk baru organisasi, dan sumber pasokan baru (Stam and Van Stel, 2010; Voeten, de Haan and de Groot, 2010).
| 23
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Selanjutnya OECD (2005) dalam Oslo Manual of Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data mendefinisikan inovasi secara luas sebagai:
“the implementation of a new or significantly improved product (good or service), or process, a new marketing method, or a new organizational method in business practices, workplace organisation or external relations”. Selain itu, ada pula definisi yang membedakan inovasi berdasarkan kebaruan pada tingkat dunia dengan pasar domestik maupun pada tingkat perusahaan (Fagerberg, 2005). Untuk definisi yang disebut pertama, inovasi berdasarkan kebaruan pada tingkat dunia pada umumnya dihasilkan di negara maju. Inovasi ini tercipta sebagai realisasi dari perhatian yang besar terhadap pentingnya kegiatan R&D. Seperti yang dikatakan Cohen dan Levinthal (1989) bahwa : R& D itself has two faces: innovations and learning. Sedangkan definisi inovasi dalam kelompok kedua lebih banyak merefleksikan keadaan di negara berkembang yang minim dalam kegiatan R&D. Dengan adanya berbagai keterbatasan dalam kegiatan R&D, inovasi di negara-negara berkembang tersebut terjadi sebagai akibat adanya difusi dan absorbsi teknologi yang berasal dari luar negeri ke dalam pasar domestik yang kemudian diadopsi oleh perusahaan domestik (Rogers , 2003). Oleh karena itu, inovasi di negara berkembang umumnya bukan merupakan sesuatu yang baru pada tingkat global. Negara berkembang dapat berhasil membangun inovasi jika memiliki kapasitas absorbsi tinggi terhadap teknologi yang ada di pasar global. Szirmai ( 2011 ) menyatakan : “For developing countries, innovation is generally not something brand new but something new to the society in question, which, if broadly disseminated, brings significant economic, social, or environmental change”. 24 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Dari uraian definisi diatas, sangat jelas bahwa terbentuknya inovasi bukan hanya sebatas bagaimana mengintroduksikan, menghasilkan, mengimplementasikan dan memasarkan barang dan atau jasa yang baru saja, melainkan yang juga penting adalah bagaimana barang dan jasa yang baru tersebut diterima masyarakat dan mampu memberikan peluang kegiatan baru bagi kemaslahatan umat manusia. Lebih tegasnya, Bank Dunia (2010) menyatakan : ”Innovation should be understood as something new to a given context that improves economic performance, social well-being, or the environmental setting. It can be new to the firm (or the organization), new to the economy, or new to the world“. Dengan demikian, inovasi tercipta tidak dengan sendirinya dan/ atau sesederhana sebagai akibat tarik menarik antara supply and demand factors ataupun karena tarik menarik antara push and pull factors secara linier, melainkan terbentuk dari sekumpulan faktor, aktor, dan berbagai komponen lainnya yang sering kita sebut sebagai sistim inovasi (Uriarte Jr, 2008 dan Wong, 2013). Lantas, apa yang dimaksud sistim inovasi dan bagaimana membangun sistim inovasi ? Seperti halnya konsep dan definisi inovasi yang beragam di atas, konsep sistim inovasi juga bermacam-macam. Dari bacaan literatur yang ada, secara umum konsep sistim inovasi dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, konsep sistim inovasi secara makro atau nasional. Kedua, konsep sistim inovasi secara mikro atau pada lingkup perusahaan (industri). Secara makro, Bank Dunia (2009, p. 8) mendefinisikan sistim inovasi sebagai :
“private and public organizations and actors that connect in various ways and bring together the technical, commercial, and financial competencies and inputs required for innovation”.
| 25
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Dari definisi tersebut dapat diperhatikan bahwa sistim inovasi pada level makro tidak hanya melibatkan institusi dan pelaku yang ada dalam pemerintahan dan pihak swasta atau industri saja, melainkan juga menekankan pentingnya faktor konektivitas dari kedua institusi dan aktor tersebut dalam berbagai cara untuk menghasilkan inovasi. Dengan kata lain, sistim inovasi pada dasarnya merupakan sistem yang terdiri dari sehimpunan aktor, kelembagaan, jaringan, kemitraan, hubungan interaksi dan proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya serta proses pembelajaran. Dengan demikian sistim inovasi mencakup basis ilmu pengetahuan dan teknologi (termasuk didalamnya aktivitas pendidikan dan penelitian, pengembangan dan rekayasa), basis produksi (meliputi aktivitas-aktivitas nilai tambah bagi pemenuhan kebutuhan bisnis dan nonbisnis serta masyarakat umum) dan pemanfaatan dan difusinya dalam masyarakat serta proses pembelajaran yang berkembang (Taufik dan Yuliar, 2009 ; Wong, 2013). Berbeda dengan definisi makro di atas, Harvard Business School (2003) mendefinisikan sistim inovasi pada level mikro perusahaan sebagai suatu proses perubahan gagasan atau ideas menjadi sesuatu barang, jasa, dan proses serta metoda yang berguna bagi pasar di satu pihak dan memberikan laba bagi perusahaan di lain pihak. Adapun tahapan proses dimaksud meliputi: (1) proses penggalian ide; (2) proses pengenalan peluang pasar; (3) proses pengembangan; dan (4) proses komersialisasi. Dari ke empat proses tersebut dapat diperhatikan bahwa sistim inovasi pada level mikro dapat dibentuk tidak saja sebatas adanya gagasan atau ide baru, melainkan juga yang terpenting adalah ide tersebut mendapat dukungan pasar dan perusahaan yang kemudian berlanjut pada upaya pengembangan dan komersialisasi. Dengan kata lain : “what is not diseminated and used is not an innovation” (Bank Dunia, 2010). Detail pembahasan dari masing-masing tahapan dalam proses di atas 26 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
dapat dibaca dalam Harvard Business School (2003). Dengan memahami kedua pengertian sistim inovasi di atas, jelas bahwa sistim inovasi bukan merupakan sistim yang hanya melibatkan satu lembaga atau satu aktor saja, melainkan melibatkan berbagai lembaga dan aktor. Bank Dunia (2010) mengindentifikasi pada level makro paling tidak 6 sektor atau komponen agar sistim inovasi nasional berfungsi yakni pendidikan, penelitian, perdagangan, industri, keuangan dan lain-lainnya. Keenam sektor tersebut dapat berkembang sangat tergantung paling tidak pada empat faktor yakni faktor kondisi umum ekonomi, pemerintahan, pendidikan, dan infrastruktur. Wong (2013) secara eksplisit menjelaskan elemen kunci dari Sistim Inovasi Nasional sebagai berikut (Gambar 2). Gambar 2. Elemen Kunci dari SINAS
Sumber : Wong, 2013. | 27
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Sedangkan pada level mikro perusahaan, Porter dan Stern (2001) menekankan pentingnya tiga elemen pembentuk kemampuan perusahaan-perusahaan di suatu lokasi tertentu untuk berinovasi dan membangun reputasi di tingkat global. Tiga elemen tersebut adalah: • Infrastruktur inovasi umum (common innovation infrastructure): yang merupakan sehimpunan investasi dan kebijakan “terobosan” yang mendukung inovasi dalam ekonomi secara keseluruhan. • Klaster - lingkungan spesifik untuk inovasi (the cluster-specific environment for innovation): yang tercerminkan dalam the “four diamond” framework. • Kualitas keterkaitan (the quality of linkages): yaitu hubungan antara infrastruktur inovasi umum dengan lingkungan klaster industri bersifat timbal-balik. Klaster yang kuat akan turut mendorong berkembangnya infrastruktur inovasi umum dan mendapatkan manfaat darinya. Beragam organisasi dan jaringan formal maupun informal (kelembagaan kolaborasi) dapat menghubungkan keduanya. Oleh karena itu, inovasi dan sistim inovasi merupakan suatu proses yang kompleks yang tidak saja dapat dihasilkan dari proses R&D di satu pihak, melainkan juga dapat diperoleh dari kepekaan perusahaan atau organisasi melakukan adopsi dan adaptasi yang dilakukan secara sistematis mengikuti perkembangan dinamika kebutuhan masyarakat. Lebih konkritnya :
“Innovation activities include not only research and experimental development (R&D), but also acquisitions of external technology (for example purchases of patents and non-patented inventions, licenses, know how, trademarks and design from other firms), acquisition of capital goods, both those embodying improved technological performance and those with no improvement but which are required for the implementation of new or improved products or processes, and a wide range of other activities needed to prepare an innovation, such as industrial design, engi28 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
neering and set up, trial production, patent and license work, production start up and testing (OECD, 2005). 3. Pengalaman dan Pelajaran Negara Berkembang Asia Timur Seperti diungkapkan di atas bahwa inovasi bagi negara berkembang nyaris tidak berasal dari hasil penelitian dan pengembangan. Kontribusi inovasi dari hasil penelitian dan pengembangan di negara berkembang diperkirakan hanya mencapai 20 persen, sedangkan 80 persen sisanya bersumber dari negara maju (Brahmbhatt dan Hu, 2007). Di antara negara berkembang khususnya di Asia Timur yang relative maju inovasi yang bersumber dari hasil R & D adalah Korea Selatan, Singapore dan Cina. Bahkan ketiga negara ini telah memiliki institusi R&D dan jumlah paten sekelas negara maju. Hal ini antara lain karena dana untuk pengembangan R&D di ketiga negara ini telah menyamai negara maju yang berkisar antara 1,5 sampai 2 per sen dari total Pendapatan Nasional Bruto (PDB). Oleh karena itu, tidak aneh jika ketiga negara ini mampu mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi dan penduduk yang relative sejahtera dibandingkan negara berkembang Asia Timur lainnya. Sebagai contoh, peningkatan inovasi Korea Selatan yang sangat pesat dalam kurun waktu tiga dekade (1960-an sampai dengan 1980an) yang kemudian menempatkan Korea Selatan sebagai bangsa yang berdaya saing tinggi, lebih banyak ditentukan oleh pembentukan berbagai institusi pengembang pendidikan dan pelayanan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung sektor industri dalam melakukan pembelajaran teknologi melalui alih teknologi asing. Korea Selatan yang baru pada awal tahun 1990-an bertumpu pada kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung kemampuan inovasi, perkembangannya sangat menakjubkan, meskipun tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungan kepada teknologi luar, terutama dari Amerika dan Jepang.
| 29
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Demikian pula dengan pengalaman China dalam peningkatan kemampuan inovasinya. Cina juga menunjukkan pola yang serupa dimana peningkatan kemampuan inovasi diperoleh melalui pembelajaran teknologi pada awalnya, dilanjutkan dengan peningkatan aktivitas litbang yang mendukung kemampuan inovasi. Pentingnya R&D dalam menghasilkan inovasi dan pembelajaran didukung oleh pemikiran Cohen and Levinthal (1989) seperti disebutkan di atas bahwa : R&D itself has two faces: Innovation and learning. Sebaliknya, bagi negara berkembang di Asia Timur yang belum memiliki kemampuan membangun inovasi melalui R&D, sumber inovasinya terutama berasal dari proses adoption dan adaptation dari produk, proses dan metoda yang ada. Ini artinya semua inovasi di negara berkembang merupakan produk baru di negara itu sendiri, tetapi tidak merupakan produk baru pada tingkat global. Adapun sumber dari produk baru tersebut yakni dari perusahaan maupun industri negara-negara maju. Eaton dan Kortum (1996) memperkirakan sekitar 80 persen dari inovasi yang dihasilkan negara berkembang dalam kelompok tersebut berasal dari teknologi negara-negara dalam kelompok OECD, diluar Jepang dan Amerika. Oleh karena itu, terobosan inovasi di negara berkembang sangat tergantung dari perkembangan teknologi negara maju. Bottazi dan Peri (2005) memperkirakan bahwa setiap kenaikan satu per sen R&D di Amerika menghasilkan 0.35 persen kenaikan paten bagi negara-negara anggota OECD. Adapun akses masuk dari inovasi teknologi negara maju ke negara berkembang tersebut tergantung antara lain dari perdagangan, investasi dan bentuk kerjasama ekonomi lain baik yang dilakukan oleh perusahaan swasta, publik, perguruan tinggi maupun lembaga litbang lainnya (Brahmbhatt dan Hu, 2007). Penelitian Bank Dunia (2005) menemukan bahwa bagi negara-negara yang tingkat kemajuan R&Dnya relatif lemah, maka upaya yang dilakukan dalam membangun inovasi di negara tersebut yakni dengan 30 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
cara memperkenalkan produk baru atau dengan melakukan perbaikan produk yang ada maupun dengan cara menghasilkan produk baru dari produk lama yang dihasilkan sebelumnya. Diperkirakan perusahaan swasta atau industri yang melakukan cara ini yakni sebanyak 40 persen baik di negara negara berkembang Asia Timur maupun negara berkembang lainnya. Perusahaan swasta di negara berkembang Asia Timur khususnya (Cambodia, Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand dan Vietnam) dominan dalam melakukan perbaikan produk dari produk yang ada. Hal ini sebagai akibat ketergantungan pasar ekspornya di satu pihak dan kebutuhan untuk merespon perubahan yang cepat dari spesifikasi produk yang diminta oleh pembeli di luar negeri. Selain itu, perusahaanperusahaan ini juga cenderung melakukan outsourcing beberapa bagian dari kegiatan operasi usahanya untuk mengurangi biaya produksi agar menjadi lebih kompetitif. Perusahan dalam kelompok ini diidentifikasi berasal dari Kamboja dan Thailand, sedangkan perusahaan di Indonesia dan Malaysia relatif lebih sedikit yang melakukan cara inovasi seperti ini (lihat http://iresearch.world bank.org/Investment climate/main html). Ayyagari et.al. (2006) mendapatkan beberapa korelasi dari perusahaan dalam kelompok ini di negara-negara berkembang. Pertama, inovasi dengan cara menghasilkan produk baru dari produk yang telah ada maupun metoda inovasi di atas cenderung dominan pada perusahan yang baru berkembang maupun perusahaan besar. Kedua, cara inovasi yang dilakukan seperti ini tidak memiliki korelasi yang positif dengan pendapatan per kapita negara tersebut. Dengan kata lain, perusahaan yang berada di negara dengan pendapatan per kapita yang relatif rendah umumnya melakukan cara inovasi seperti ini, sedangkan perusahaan yang berada di negara dengan pendapatan per kapita yang relatif tinggi cenderung melakukan inovasi dari hasil R&Dnya. Ketiga, tingkat inovasi perusahaan memiliki korelasi kuat dengan jenis dan besar sumber pendanaan eskternal perusahaan. | 31
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Keempat, tingkat inovasi memiliki korelasi yang positif dengan besar kecilnya tingkat persaingan yang dihadapi perusahaan. Adapun cara perusahaan di negara dengan pendapatan rendah dan sedang di Asia Timur khususnya dalam menyerap pengetahuan atau teknologi yang berasal dari luar negeri umumnya didominasi dengan cara memasukan teknologi dalam pembuatan mesin atau peralatan baru yang berasal dari sumber impor. Sedangkan cara dominan kedua yakni dengan melakukan kerjasama bersama perusahaan dari negara maju maupun dengan cara menyewa para ahli yang berasal dari negara maju tersebut. Cara membangun inovasi ketiga yaitu dengan melakukan adaptasi di masing-masing perusahaan. Detail persentase dari perusahaan yang menjadi sample penelitian di negara Asia Timur dengan pendapatan rendah dan sedang berdasarkan cara inovasi yang dilakukan diberikan pada Tabel .1.1.
32 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Tabel 1.1 Cara inovasi yang dilakukan di beberapa negara Asia Timur dengan pendapatan Sedang dan Rendah (persentase) Cara Inovasi Cambo- Indone- Malaysia Philipina yang dilaku- dia sia kan
Embodied in new machinery Cooperation with clients By hiring key personnel Developed within the firm locally Transferred from parent Developed with supplier Other
T h a i - Rataland rata
42.1
48.7
49.9
43.0
33.1
43.4
11.9
15.1
8.6
9.7
17.2
12.5
14.5
17.9
11.4
14.2
3.0
12.2
16.1
4.7
7.2
8.3
19.4
11.1
6.0
2.7
11.0
4.3
11.8
7.2
1.6
7.0
5.2
5.0
7.2
5.2
7.8
3.9
6.7
15.5
8.2
8.4
Sumber: Bank Dunia, 2005. Investment Climate Surveys dalam Brahmbhatt and Hu, 2007; Wong, 2013.
Selain metoda membangun inovasi di atas, terdapat empat cara lain yang dilakukan dalam membangun inovasi yang dilakukan di negara Asia Timur. Ke empat cara dimaksud adalah dengan cara memanfaatkan teknologi impor, pembelajaran untuk produk ekspor, lisensi dan pemanfaatan investasi asing langsung. Cara memanfaatkan teknologi impor dilakukan antara lain dengan reverse engineering dari teknologi impor. Sedangkan metoda inovasi yang bersumber dari pembelajaran ekspor dilakukan antara lain dengan melakukan kerjasama dengan konsumen di negara-negara maju khususnya dalam ekspor peralatan mesin dan transportasi. | 33
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Di bawah system OEM (Original Equipment Manufacturing) perusahaan pemasok yang berasal dari negara berkembang melalukan produksi sesuai dengan spesifikasi rancangan yang diminta pembeli dari luar negeri. Produk yang dihasilkan ini kemudian dieskpor dengan menggunakan merek sendiri melalui saluran distribusi international. Korea Selatan dan Taiwan merupakan dua negara di Asia Timur yang banyak melakukan inovasi seperti ini. Di Korea selatan, misalnya, sebanyak 7080 per sen dari produk ekspor elektronik melakukan cara inovasi seperti ini. Sedangkan di Cina (Taiwan) persentase produk ekspor dengan cara inovasi seperti ini diperkirakan lebih dari 40 per sen. Cara inovasi seperti ini semakin gencar juga diikuti oleh perusahan manufaktur Cina belakangan ini (Hobday, 2005). Pengembangan inovasi dengan memanfaatkan masuknya investasi asing di negara Asia Timur juga tidak kalah pentingya. Singapura, misalnya, membuka penanaman modal asing (PMA) dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan teknologi di negaranya. Hal yang sama juga dilakukan Cina dengan penekanan melalui cara usaha patungan (joint ventures). Begitu pula dengan negara Asia Timur lainnya seperti Malaysia, Philipina, Indonesia dan Thailand. Namun khusus untuk keempat negara ini, tingkat inovasi yang dilakukan lebih rendah dan nyaris seluruhnya berasal dari teknologi luar negeri tanpa sentuhan teknologi domestik (Firdausy, 2010). Dari uraian singkat tentang pengalaman dan pelajaran di atas jelas bahwa negara-negara berkembang dengan pendapatan per kapita rendah dan sedang di Asia Timur belum banyak menghasilkan inovasi yang bersumber dari R&D. Oleh karena itu, masuk akal tingkat pertumbuhan ekonomi di negara ini sangat rentan terhadap krisis ekonomi yang terjadi di dalam negeri dan apalagi terhadap krisis global.
34 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
4. Potret, Masalah, Isu, Peluang dan Tantangan Inovasi 4.1. Potret Inovasi dan Daya Saing Seperti diuraikan di atas, potret umum kemampuan inovasi di Indonesia masih tergantung pada proses adopsi dan adaptasi teknologi dari luar sehingga inovasi yang dihasilkan menjadi bersifat baru hanya di pasar domestik, tetapi tidak di lingkungan pasar global. Akibatnya, tidak mengherankan jika daya saing produk teknologi nasional belum menggembirakan di tingkat global. Berdasarkan kajian yang dilakukan World Economic Forum (2011), posisi daya saing produk teknologi pada lingkungan global (Global Competitiveness Index-GCI) yang dimuat dalam The Global Competiveness Report 2010-2011 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-44 dari 139 negara yang disurvey. Peringkat ini jauh lebih baik dibandingkan posisi daya saing pada tahun 2009-2010 yang berada di peringkat 54 dari 133 negara yang di survey (Tabel 1. 2). Terlebih lagi jika peringkat daya saing periode 2010-2011 tersebut dibandingkan dengan peringkat daya saing yang dicatat pada periode 2005-2006. Pada periode 2005-2006 peringkat daya saing Indonesia berada pada posisi 74 dari 117 negara yang disurvey. Dengan demikian, peringkat daya saing Indonesia hanya bisa berbangga terhadap negara Filipina dan Vietnam, tetapi masih tetap tertinggal jauh dibelakang negara Thailand, Malaysia, dan apalagi Singapura yang berada pada peringkat 3 dari 139 negara yang disurvey pada tahun 2010-2011. Namun jika perhitungan peringkat daya saing global tersebut dipecah menjadi tiga komponen yang lebih spesifik yakni index kebutuhan dasar (basic requirements), index efisiensi (efficiency enhancers) dan index inovasi (innovation and sophistication), maka khusus untuk index inovasi peringkat Indonesia relatif jauh lebih baik dibandingkan negara Thailand, Vietnam dan Philipina. Peringkat Indonesia dalam indeks inovasi tahun 2009 berada pada posisi 47, sedangkan Thailand di peringkat 54, Vietnam di posisi 57 dan Philipina di posisi 76 dari 134 negara yang | 35
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
disurvey. Kenaikan peringkat inovasi Indonesia terus meningkat sejak tahun 2007 dari ke-54 (dari 131 negara) menjadi urutan ke-36 pada tahun 2010 (lihat Global Competitiveness Report, World Economic Forum). Tabel 1. 2. Peringkat Indonesia dalam Global Competitiveness Index 2009–2010 dan 2008–2009
Country / Economy Switzerland United States Singapore Sweden Denmark Finland Germany Japan Canada Netherlands Taiwan, China France Korea, Rep. Malaysia Israel China Brunei Darussalam Thailand Kuwait Puerto Rico 36 |
GCI 2009 - 2010 Rank 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12 16 19 24 27 29 32
Score 5.60 5.59 5.55 5.51 5.46 5.43 5.37 5.37 5.33 5.32 5.20 5.13 5.00 4.87 4.80 4.74 4.64
GCI 2008 2009 Rank* 2 1 5 4 3 6 7 9 10 8 17 16 13 21 23 30 39
36 39 42
4.56 4.53 4.48
34 35 41
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
South Africa India Indonesia
45 49 54
4.34 4.30 4.26
45 50 55
Sumber : modifikasi dari WEF, 2010.
Walaupun perkembangan peringkat terkini menyangkut hal di atas belum diketahui, kemampuan inovasi nasional tentu belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Dengan demikian perlu terus ditingkatkan agar dapat memberikan sumbangan nyata bagi pembentukan keunggulan posisi (positional advantage) Indonesia di tengah dinamika perdagangan global saat ini. Apalagi pada tahun 2015, Indonesia bersama dengan 9 negara di ASEAN lainnya akan membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) sehingga persaingan di pasar domestik akan semakin terpengaruh dengan membanjirnya produk-produk substitusi dari ASEAN dan negara lainnya dengan basis teknologi yang lebih kompetitif (Zamroni, 2012). 4.2. Masalah, Isu, Peluang dan Tantangan Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa inovasi atau TFP (Total Factor Productivity) memegang peranan utama dalam pertumbuhan ekonomi, disamping peranan modal (physical capital) dan sumberdaya manusia (human capital). Untuk mendorong kemampuan inovasi nasional tersebut, maka beberapa masalah, isu, peluang dan tantangan berikut ini penting diperhatikan agar terbagun sistim inovasi. Pertama, menyangkut pilihan inovasi yang penting dilakukan. Dalam konteks nasional, penekanan inovasi untuk memperbaiki TFP tidak dapat difokuskan hanya untuk memperoleh atau menghasilkan produk, proses, dan metoda baru pada tingkat global, melainkan juga dalam pengertian yang lebih sempit pada tingkat perusahaan, masyarakat atau konteks tertentu. Hal ini karena seperti diuraikan diatas bahwa potret kemampuan inovasi atau daya saing teknologi nasional masih relatif ren| 37
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
dah sehingga upaya menghasilkan inovasi pada tingkat global relatif perlu lebih dikurangi. Inovasi yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah inovasi yang dihasilkan dengan lebih memanfaatkan produk, proses dan metoda yang berbeda dengan pengetahuan dan teknologi yang ada dan dapat dimiliki. Dari hasil evaluasi komponen dalam menetapkan indeks daya saing global (Global Competiveness Index) tahun 2009-2010, tercatat tiga indikator yang relatif sangat buruk dalam hal ini ketiga indeks tersebut berada pada ranking di atas 80 dari 134 negara yang disurvey. Ketiga indeks dimaksud terdiri dari indeks infrastruktur (ranking 86), indeks pendidikan dan kesehatan (ranking 87) dan indeks kesiapan teknologi (technology readiness) yang berada pada posisi 88. Sedangkan, Malaysia telah jauh meninggalkan Indonesia di peringkat 37, dan bahkan Indonesia berada di bawah Vietnam (73). Oleh karena itu perhatian untuk memperbaiki ketiga indikator di atas diperlukan agar kemampuan inovasi dan posisi daya saing nasional meningkat. Kedua, menyangkut bagaimana membangun kondisi kemitraan inovasi secara institusional antara kalangan akademisi dan pemerintah dengan pihak industri. Kondisi kemitraan inovasi semacam ini di Indonesia belum banyak tergali. Diduga saat ini industri di Indonesia cenderung lebih mengandalkan hubungan individual daripada institusional. Fakta ini didukung oleh hasil survei inovasi industri manufaktur di Indonesia yang menunjukkan bahwa sebagian besar kegiatan inovasi tersebut dilakukan oleh pihak perusahaan, dan anggaran litbang sebagian besar bersumber dari perusahaan itu sendiri (94.9%). Lihat Papiptek LIPI (2010). Dengan kegiatan dan proporsi anggaran demikian, maka perusahaan tampak lebih memilih menggunakan tenaga profesional lepas dari akademisi untuk melakukan kegiatan inovasi di perusahaannya. Meskipun demikian, tetap masih ada beberapa kelompok industri yang melakukan kegiatan litbang dengan memberikan dana litbang secara institusional kepada pihak akademisi. Indikasi ini ditunjukkan oleh rata-rata anggaran 38 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
litbang perusahaan yang dialokasikan untuk pihak lain (anggaran extramural) yang rata-rata kurang dari 25 %. Ketiga, berkaitan dengan rendahnya atau terbatasnya kualitas pendidikan sumberdaya manusia di litbang swasta atau industri dibandingkan dengan kualitas SDM litbang publik. Tingkat pendidikan sumberdaya manusia (SDM) di litbang publik jauh lebih baik daripada tingkat pendidikan SDM di litbang perusahaan swasta. Tercatat lebih dari 34 persen peneliti di litbang publik berpendidikan minimum magister (strata 2), sementara itu hanya 3,7 persen peneliti di litbang perusahaan swasta yang berpendidikan minimum magister. Sementara itu, investasi sumberdaya manusia di litbang perusahaan/swasta relatif kecil sehingga salah satu strategi yang berpotensi untuk dilakukan adalah difusi ilmu pengetahuan diantara kedua sektor tersebut. Kondisi tersebut seharusnya mendorong terjadinya mobilitas sumberdaya manusia antara dua sektor tersebut untuk mendukung difusi ilmu pengetahuan. Namun fakta dilapangan menunjukkan bahwa hal tersebut sulit terjadi (lihat Meininingsih, 2010). Dengan kondisi sumberdaya manusia litbang perusahaan yang terbatas di atas, maka tiga implikasi berikut ini telah terjadi: (1) industri yang dikembangkan bukanlah industri yang membutuhkan inovasi dengan dukungan litbang yang handal; (2) kegiatan litbang di perusahaan dilakukan dengan memanfaatkan tenaga-tenaga akademisi secara personal, dan hanya 25% perusahaan swasta manufaktur yang melakukan hubungan secara institusional dengan kalangan akademisi (universitas dan litbang publik); dan (3) perusahaan lebih memanfaatkan litbang di luar negeri atau perusahaan prinsipalnya untuk melakukan kegiatan litbang. Fenomena ini dikenal sebagai open innovation, dimana inovasi yang dihasilkan tidak saja mengandalkan kemampuan inovasi dari dalam perusahaan tetapi juga dari luar perusahaan. Dalam era globalisasi saat ini dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, kecenderungan ‘open innovation’ ini semakin menguat. | 39
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Keempat, menyangkut rendahnya kemampuan inovasi industri dalam negeri. Selama 10 tahun terakhir tercatat kemampuan inovasi industri dalam negeri belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dari hasil survei Pappiptek-LIPI (2009) di industri manufaktur tercatat bahwa intensitas teknologi di industri manufaktur didominasi oleh industri teknologi rendah, yakni lebih dari 50 persen dari total luaran yang dihasilkan industri manufaktur. Kondisi ini menunjukkan betapa rendahnya anggaran litbang yang dikeluarkan pihak industri, sementara upaya untuk membentuk kondisi kemitraan inovasi antara sumberdaya manusia di litbang publik dan litbang industri juga belum optimal. Kelima, menyangkut sinergi.antara kegiatan penelitian dengan kebutuhan industri pengguna. Interaksi yang efektif dua arah antara pihak peneliti dan industri merupakan modal utama terbentuknya sinergi dalam meningkatkan difusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Merujuk pada konsep SINas, dimana interaksi antar elemen-elemen inovasi menjadi fokus utama (Lundvall, 1992; Nelson, 1993; Metcalfe, 1995), maka interaksi yang efektif tersebut berperan penting dalam penguatan SINas di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti dan pengguna (industri/ masyarakat) diharapkan mengembangkan mekanisme untuk meningkatkan koordinasi, komunikasi dan kolaborasi dengan pihak terkait kegiatan inovasi dan penguatan SINas. Keenam, menyangkut masalah dan isu terkait dengan penguatan SINas. Dalam hal ini agar penguatan SINas terwujud dibutuhkan penguatan serta integrasi kebijakan-kebijakan terkait dengan kegiatan penelitian di Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung. Salah satu caranya yakni dengan menetapkan kebijakan kuota pemanfaatan riset dalam negeri. Hal ini bertujuan untuk secara halus ‘memaksa’ industri pengguna untuk berinteraksi dengan peneliti yang terkait dengan pengembangan produk melalui kegiatan riset dan teknologi. Kebijakan kuota tersebut juga diharapkan mampu membuat peneliti bersemangat untuk melakukan riset yang aplikatif dan bermanfaat di pengguna (industri / masyarakat). Dengan demikian, diharapkan akan terwujud kondisi 40 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
kebergantungan antara pengguna dengan peneliti (Taufik, 2010). Masalah, isu, peluang dan tantangan yang juga harus menjadi perhatian yakni berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pendukung kegiatan riset dan pengembangan. Hamelink (1983) mencatat bahwa penyusun regulasi atau kebijakan seringkali mengabaikan aspek sosial. Salah satunya adalah dalam rumusan kebijakan pendidikan. Pentingnya perhatian terhadap kebijakan pendidikan ini mempengaruhi iklim kegiatan pembelajaran dan penelitian di Indonesia. Tak hanya di tingkat universitas, kebijakan pendidikan ini harus diperbaiki dari tingkat pendidikan dasar, untuk menumbuhkan budaya inovasi dan pembelajaran yang lebih baik, terutama dalam hal peningkatan difusi ilmu pengetahuan serta penguatan kapasitas absorpsi inovasi. 5. Upaya Membangun Ekonomi berbasis Sistim Inovasi Nasional Upaya untuk membangun ekonomi berbasis sistim inovasi telah banyak didiskusikan dalam literatur. Bank Dunia (2010) dalam bukunya berjudul Innovation Policy :A guide for Developing Countries menggaris bawahi pentingnya integrasi visi inovasi dalam strategi pembangunan jangka panjang. Dengan adanya visi tersebut, berbagai prioritas dapat ditentukan dan memudahkan implementasi di lapangan yang sesuai antara kebijakan inovasi dan investasi .yang diperlukan. Untuk mendukung kebijakantersebut diperlukan berbagai upaya lainnya. Bank Dunia (2010) menyarankan 6 cara untuk mendukung kebijakan dimaksud. Pertama, melalui kebijakan yang menyangkut perdagangan dan investasi. Kedua, kebijakan yang menyangkut pengembangan industri. Ketiga, kebijakan menyangkut keuangan. Keempat, kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan. Kelima, kebijakan yang berhubungan dengan penelitian. Dan keenam, kebijakan lainnya (termasuk desentralisasi). | 41
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Berbeda dengan Bank Dunia (2010), Brahmbhatt dan Hu (2007) dari hasil studinya di negara Asia Timur menekankan hanya tiga kebijakan yang penting dilakukan dalam membangun ekonomi berbasis sistim inovasi. Ke tiga kebijakan dimaksud yakni pertama berkaitan dengan penciptaan lingkungan bisnis yang kondusif bagi perkembangan inovasi dan sistim inovasi. Kedua, kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan sumberdaya manusia. Dan ketiga yakni kebijakan yang berkaitan dengan penyediaan dukungan pemerintah terhadap kegiatan inovasi. Dalam kelompok kebijakan penciptaan lingkungan bisnis yang kondusif, antara lain meliputi kebijakan stabilisasi kondisi makro ekonomi, penyediaan dana inovasi dan kemajuan sistem keuangan, keterbukaan (openness), persaingan (competition), dan penyediaan fasilitas infrastruktur merupakan bagian pokok dari kebijakan yang diperlukan dalam kategori ini. Kebijakan stabilitas makro ekonomi, misalnya, diperlukan karena instabilitas ekonomi makro yang berkepanjangan dapat menghambat masuknya investasi asing dan berdampak pada menurunnya intensitas untuk melakukan R&D (Lederman dan Maloney, 2003). Demikian pula, kondisi makro ekonomi yang baik dengan inflasi stabil dan atau rendah mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan R&D (Jaumotte and Pain, 2005). Selain kondisi makroekonomi yang stabil, ketersediaan dana/ kredit inovasi dan sektor finansial yang maju dilengkapi dengan pasar modal yang memadai diidentifikasi membantu mempertemukan beragamnya kebutuhan investor baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek untuk membangun proyek-proyek inovasi. Bahkan juga telah diidentifikasi dimana ketersediaan dana/kredit dan berkembangnya sektor keuangan dapat membantu perusahaan dalam kondisi ekonomi makro yang buruk. Demikian pula dengan kebijakan perdagangan dan investasi yang terbuka (open trade and investment policies) maupun kebijakan persaingan. Kedua kebijakan ini diperlukan agar inovasi teknologi 42 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
yang berasal dari luar dapat dengan mudah diserap di dalam negeri di satu pihak dan meningkatkan intensitas inovasi di lain pihak. Dalam hal kebijakan pembangunan SDM, pelatihan dan pendidikan merupakan dua kegiatan yang tidak boleh dilupakan dalam upaya membangun inovasi. Peran pemerintah harus ada dalam segala kegiatan pengembangan SDM ini mulai dari yang bersifat pendidikan dasar sampai pelatihan informal dan mobilitas penduduk yang berbakat. Apalagi belakangan ini strategi pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan semakin penting untuk diterapkan dibandingkan srategi pembangunan yang berbasis sumberdaya alam. Kebijakan pemerintah untuk mendukung kegiatan inovasi juga mutlak diperlukan. Bank Dunia (2010) menekankan pentingnya peran pemerintah tidak hanya sebatas penyediaan dana, institusi pendidikan dan penelitian serta laboratorium untuk inovasi maupun fasilitas fisik lainnya, melainkan juga dalam penetapan atau perubahan peraturan, kebijakan fiskal (pajak, subsidi dan pinjaman) dan moneter (kredit dan suku bunga), serta kebijakan investasi dan perdagangan maupun insentif dan disinsentif lainnya. Tugas pemerintah dalam mendukung kegiatan inovasi tersebut di atas memang perlu, walaupun dalam penerapannya tidak mudah dilakukan. Dalam hal undang-undang atau peraturan untuk mendongkrak kemampuan inovasi diakui memang relatif sudah memadai. Sebut saja UUD 1945, misalnya, jelas dikatakan didalamnya bahwa masyarakat dijamin atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, serta jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Demikian pula, dalam Undang-undang No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Pengembangan, Penelitian dan Penerapan Iptek | 43
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
ditekankan pula bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk berperan serta dalam melaksanakan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan masyarakat wajib memberikan dukungan serta turut membentuk iklim yang dapat mendorong perkembangan sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Bahkan beberapa waktu lalu diterbitkan Intruksi Presiden (Inpres) No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai bagian penting dari upaya mendongkrak kemampuan inovasi masyarakat maupun dibentuknya Komite Inovasi Nasional (KIN) dan Komite Ekonomi Nasional (KEN). Kedua komite yang disebut terakhir ini selayaknya wajib bekerja giat untuk mendorong perkembangan inovasi di Indonesia. Namun harus diakui keberadaan undang-undang dan Inpres tersebut diyakini tidak akan mudah untuk mendongkrak kemampuan inovasi masyarakat. Hal ini karena kualitas sumber daya manusia masih relatif rendah. ILO (2013) mencatat dari total tenaga kerja yang berkerja pada tahun 2010, lebih dari 50 persen pekerja memiliki tingkat pendidikan dibawah Sekolah Dasar. Sedangkan pekerja dengan kualitas diploma dan perguruan tinggi sangat rendah. Sektor informal merupakan sector yang paling dominan dilakukan oleh para pekerja ini (Widarti dan Firdausy, 2013). Potret ini mengindikasikan bahwa kualitas tenaga kerja Indonesia masih sangat rendah. Bahkan juga diidentifikasi banyak dari jumlah lulusan perguruan tinggi mempunyai kualifikasi dalam bidang ilmu-ilmu sosial, dan hanya sedikit lulusan yang memiliki disiplin ilmu dasar, engineering dan aplikasi teknologi. Akibatnya, para lulusan tersebut menjadi kurang percaya diri, tidak kritis dan tidak peka terhadap perubahan kehidupan, dan apalagi untuk meningkatkan kemampuan inovasinya. Jikapun ada, umumnya mereka hanya mampu menghasilkan produk barang dan jasa baru yang telah tersedia di pasar. 44 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Dalam hal kelembagaan, mudah kita temui lembaga litbang yang melakukan penelitian yang outputnya jarang dapat langsung digunakan. Bahkan banyak penelitian di lembaga penelitian dan pengembanganpun belum diarahkan untuk riset-riset yang dapat memproduksi barang/jasa yang riil yang dibutuhkan pasar. Selain itu hasil litbang masih merupakan riset-riset dasar yang memerlukan pengembangan lanjutan dan belum dilengkapi dengan analisa keekonomiannya, tetapi lebih banyak pada riset yang ditujukan pada pure conceptual knowledge. Selain masalah di atas, terbatasnya infrastruktur komersialisasi dan diseminasi pengetahuan dan teknologi baru seperti taman teknologi (technology parks), inkubator bisnis, dan modal operasi kegiatan juga merupakan masalah yang perlu disebutkan di sini. Hal ini semakin diperburuk dengan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam mengembangkan inovasi maupun karena adanya kelemahan di lingkungan pemerintahan (public authorities), yang umumnya belum menghargai pentingnya kewirausahaan (Kompas, 7 January 2010). Belum lagi bicara soal keterkaitan pelaku usaha (private sector) dengan perguruan tinggi maupun lembaga penelitian dan pengembangan yang belum dibangun secara baik. Hal ini jauh dari kenyataan yang dapat diamati di beberapa Negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Korea Selatan. Di Negara-negara ini para peneliti dan akademisi menjadikan pelaku usaha sebagai mitra kerja yang aktif. Oleh karena itu, persoalan dalam membangun inovasi di Indonesia bukan hanya sebatas menetapkan kebijakan ekonomi dan nonekonomi apa yang harus dilaksanakan dalam membangun inovasi, tetapi yang lebih penting yakni bagaimana kebijakan tersebut dapat dijalankan secara efektif dan efisien. Inilah sebenarnya masalah dan tantangan utama Indonesia dalam membangun inovasi.
| 45
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
6. Penutup Inovasi merupakan suatu keharusan dalam upaya meningkatkan kemampuan daya saing dan pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut peningkatan kualitas SDM dan ketersediaan modal serta iklim investasi dan perdagangan yang kondusif merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam meningkatkan Total Factor Productivity sebagi proxy mengukur inovasi. Namun karena kondisi ekonomi nasional masih belum mampu mengandalkan R&D sebagai basis terbentuknya inovasi pada level global, maka upaya keras dan cerdas yang harus dilakukan dalam membangun inovasi di Indonesia perlu lebih difokuskan pada kemampuan sumberdaya lokal dan teknologi yang dapat dikembangkan dan mudah diperoleh. Transfer technology baik melalui penanaman modal asing, lisensi, bantuan teknis, copying dan reverse engineering, studi ke luar negeri, kerjasama dalam latihan kemitraan dan pembelajaran jarah jauh merupakan beberapa cara yang dapat dilakukan dalam membangun inovasi nasional. Demikian pula dengan kebijakan keterbukaan perdagangan dan investasi dengan negara-negara maju perlu digalakkan sedemikian rupa agar dapat mengembangkan pengetahuan dan teknologi domestik. Kebijakan ini tidak hanya terbatas pada kegiatan usaha besar, melainkan harus juga diterapkan bagi usaha kecil dan menengah yang jumlahnya dominan. Efektifitas kebijakan ini sangat tergantung pula dari upaya yang sungguh-sungguh dalam meningkatkan kualitas SDM dari usaha kecil dan menengah. Tanpa peningkatan kualitas SDM dipastikan kemampuan dalam melakukan adopsi dan adaptasi teknologi impor sulit untuk dicapai. Selain itu, adanya peningkatan kualitas SDM ini juga dapat mendorong para pekerja untuk think outside the box dan menerapkan the scientific method. Singkatnya, peningkatan kualitas pendidikan dan ketrampilan SDM sangat diperlukan bagi usaha kecil dan menengah khususnya untuk mengoptimalkan inovasi. 46 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Selain cara di atas, Indonesia juga harus melakukan diseminasi dan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi yang tersedia di dalam negeri, Pentingnya cara membangun inovasi dengan cara ini selain dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing , juga relatif lebih murah dan dapat mudah dilakukan. Hasil inovasi dengan cara ini selanjutnya perlu didiseminasikan baik melalui pembentukan pusat informasi teknis dan program perbaikan teknologi berbasis kluster. Namun karena kebijakan dan program untuk melakukan hal tersebut di atas tidak sesederhana seperti halnya membalikkan telapak tangan, mahal, membutuhkan waktu yang panjang, maka perlu disesuaikan dengan tipologi inovasi serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dan perkembangan pasar domestik dan global. Oleh karena itu, kebijakan dan program tersebut perlu dirumuskan dan dilakukan dalam dua kelompok kebijakan dan program. Pertama, kebijakan dan program dasar. Kedua yaitu kebijakan dan program pendukung. Kebijakan dan program dasar dalam meningkatkan inovasi yang harus dirumuskan dan dilakukan yakni merubah sistem pendidikan nasional formal berbasis ilmu dasar (science), engineering, dan aplikasi pengetahuan dan teknologi. Untuk tujuan ini keseimbangan antara pengembangan disiplin ilmu sosial dan pengembangan ilmu-ilmu dasar, engineering dan aplikasi teknologi menjadi mutlak penting. Hal yang sama juga mutlak diperlukan dalam pengembangan dan pembangunan penelitian nasional yang tidak hanya memfokuskan pada murni conceptual knowledge saja, melainkan juga riset yang diarahkan untuk memenuhi kemajuan ekonomi, kesejahteraan dan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat serta menghasilkan paten dan publikasi internasional. Namun mengingat kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang beragam, maka kebijakan pendidikan non-formal yang diarahkan pada kemampuan teknis dan atau kejuruan penting dikembangkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk masuk dalam sistem pendidikan formal maupun | 47
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
pemuda yang tidak memiliki lapangan kerja. Untuk yang disebut terakhir ini, program yang dilakukan oleh kementerian tenaga kerja melalui Balai latihan kerja menjadi penting untuk diperluas dan dikembangkan dengan berkerjasama dengan kementerian lain seperti dengan kementerian pemuda, kementerian pendidikan, kementerian pariwisata, kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, kementerian sosial, kementerian riset dan teknologi. Bahkan tidak saja dengan institusi pemerintah, keterlibatan institusi non-pemerintah yang terakreditasipun perlu dilakukan. Namun pengembangan investasi inovasi melalui pendidikan non-formal di atas perlu memperhatikan komposisi masyarakat berdasarkan lokasi perdesaan dan perkotaan. Jika tidak, berbagai masalah sosial dan ekonomi akan menganggu stabilitas pembangunan nasional baik dalam arti ideologi, sosial, ekonomi dan politik yang diperlukan dalam kesinambungan pembangunan nasional. Tegasnya, investasi inovasi dan kreativitas melalui balai latihan kerja atau mungkin kini perlu disebut balai latihan inovasi dan kreativitas yang didorong berkembang dan atau diberikan kepada pemuda di daerah perdesaan perlu lebih berorientasi pada optimalisasi ketersediaan sumber daya spesifik yang dimiliki di kedua lokasi ini, baik yang menyangkut kegiatan pertanian (on farm innovation) maupun kegiatan yang dapat diturunkan dari sumberdaya pertanian (off-farm innovation) lainnya. Sebaliknya bagi pemuda yang tinggal di perkotaan, dorongan investasi inovasi dan kreativitas yang difokuskan nampaknya perlu lebih dominan pada sektor manufaktur dan jasa serta berbagai turunannya. Dalam hubungannya dengan kebijakan dan program pendukung, penciptaan lingkungan yang kondusif untuk meningkatkan kemampuan dalam berinovasi mutlak diperlukan dalam mendukung kebijakan dan program dasar di atas. Beberapa kebijakan dan program pendukung yang diperlukan tersebut antara lain peningkatan dana litbang dan pembiayaan inovasi, terus menerus melakukan kebijakan pasar terbuka dan 48 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
kebijakan pengembangan kelembagaan dan jejaring inovasi masyarakat. Akhirnya, peningkatan kemampuan inovasi masyarakat yang dibangun dan dikembangkanpun tidak harus selalu diarahkan pada inovasi yang menggunakan banyak modal (capital-intensive innovation) untuk menghasilkan terobosan teknologi tinggi berkelas dunia, melainkan juga harus diarahkan pada jenis inovasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dalam proses produksi dan cara baru yang menghasilkan kemanfaatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Singkatnya, pilihan kebijakan pengembangan inovasi sangat tergantung pada tingkat pembangunan ekonomi, ukuran pasar dometik dan sumberdaya alam yang dimiliki dan disesuaikan perkembangan ekonomi regional maupun global.
Pustaka Acuan Arrow , kenneth., 1962. Economic Welfare and the allocation of resources for invention, in Richard R. Nelso, (ed), The rate and Direction of Inventive Activity: Economic and Social Factors, Princeton, NJ, Princeton University Press, hal. 609-626. Ayyagari, M., Asli Demiurgic-Kunt and V. Maksimovic, 2006. Firm Innovation in Emerging Markets: Role of Government and Finance, the World Bank. Bottazi and Peri, 2005. The International Dynamics of R&D and Innovation in the Short Run and the long run, NBER Working Paper 11524. Brahmbhatt, M. Dan Albert Hu, 2007. “Ideas and Innovation in East Asia”,The World Bank, Policy Research Working Paper no. 4403, Washington D.C. Cohen, W.M dan Daniel A. Levinthal, 1989. Innovation and Learning:The two faces of R&D, The economic Journal, 99, hal. 569-596. September.
| 49
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Eaton, J. Dan Samuel Kortum, 1996. Trade in Ideas: patenting and productivity in theOECD, Journal of International Economics, vol. 40, no. ¾ May 1996, hal. 251-278. Fagerberg, J. ,2005. Innovation : A guide to the Literature. In J. Fagerberg, D.C. Mowery and R.R. Nelson (eds). The Oxford Handbook of Innovation. Oxford University Press. Firdausy, CM., 2010. The development of Foreign Direct Investment and Its Impact on Firm’s Productivity, Employment and Export in Indonesia, Edward Elgar. Greenhalgh, C & Mark Rogers, 2010 Innovation, Intellectual Property & Economic Growth, Princentorn University Press, 2010. Hobsay, M., 1995. Innovation in East Asia: the Challenge to Japan., London, Edward Elgar. Habibie, B.J., 2010, Pidato: Filsafat dan Teknologi untuk Pembangunan Nasional, Universitas Indonesia, www.habibiecenter.or.id/download/Filsafah dan Teknologi untuk Pembangunan.pdf Harvard Business Essential, 2003. Managing Creativity and Innovation, Hravard Business School Press, Boston, Massachusets. Idris, Kamil: Intellectual Property – A Power Tool for Economic Growth, WIPO, 2003, 2’nd ed., WIPO Publication no 888.1. ILO, 2013. Trade and Employment, Country Report for Indonesia, ILO, Jakarta. Intellectual Property and Commercialisation, http://www.usyd.edu.au/ learningsolutions / research/intellectual_property.shtml Jaumotte, F. dan Nigel Pain, 2005. From Ideas to development:the determinants of R&D and Patenting, OECD Eco/WKP, no. 44. _________, 2005. An Overview of Public Policies to support Innovation, OECD ECO/WKP, no. 44. 50 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Kuncoro, Mundrajat Kuncoro, 2011, MP3EI: Mitos atau Realitas?, http:// cetak.kompas.com/read/2011/08/01/0415106/mp3ei.mitos.atau.realitas Lall, S dan Shujiro Urata (eds). 2003. Competitiveness, FDI and technological activity in East Asia, In Association with the World Bank, Edward Elgar. Materi ALAF Indonesia, Training of Trainer (ToT), 2010: Peningkatan Daya Saing UKM Indonesia melalui Komersialisasi Teknologi dan Promosi Inovasi, Brisbane, Februari – Maret 2010 Naskah Akademis Fasilitasi Proses Perolehan Hal Paten dan Kepemilijan HKI Produk Teknologi dan Produk Kreatif, Jakarta , KRT 2010 OECD, 2005. Oslo Manual. Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data, 3rd Edition. Porter, M.E., 1968., On Competition, Boston: Harvard Business Review. Powering Ideas, 2009, Commonwealth of Australia, gov.a/ innovationreview/
www.innovation.
Rodriguez, A., 2008. Knowledge and Innovation for Competitiveness in Brazil, World Bank development Studies, Washington D.C. Rogers, E.M., 2003. Diffusion of Innovations, 5th Edition, New York, The Free Press. Romer, Paul. 1990. Endogenous Technological Change, Journal of Political Economy, vol. 98, october, hal. S71-S102. SK Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia, No. 193/M/Kp/ IV/2010, Kebiajakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tahun 2010 -2014. Szirmai, A. , Wim Naude and M. Goedhuys, 2010. Entrepreneurship, innovation and Economic Development: An Overview, Makalah yang disampaikan dalam seminar intern di Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI, Jakarta. | 51
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Taufik, T dan Sony Yuliar, 2008. Pengembangan Sistim Inovasi Nasional, makalah yang disampaikan dalam Seminar Intern Kementerian Ristek, Jakarta. Verspagen, B., 2005. Innovation and Economic Growth, In J. Fagerberg, D.C. Mowery and R.R. Nelson (eds). The Oxford Handbook of Innovation. Oxford University Press. Wong, Poh Kam, 2013. Innovation: Opportunities and Challenges, Paper presented at 1st ADB Think Tank Development Forum, Innovation and Inclusion for a Prosperous Asia, Beijing, 29-31 October 2013. World Bank, 2010. Innovation Policy : A Guide for Developing Countries. Wsahington D.C.
52 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
PENGUASAAN DAN KEMANDIRIAN IPTEK NASIONAL Dr. Ir. Arnold Soetrisnanto 1 Dr. Ir. Listyani Wijayanti 2 Iptek dan Kehidupan Manusia Dalam sebuah pidatonya pada hari peringatan ulang tahun kemerdekaan RI di tahun 1963, Bung Karno (BK) sebagai founding fathers negara Republik Indonesia menyatakan bahwa tanpa budaya ilmu pengetahuan dan teknologi nasional (ipteknas) yang mandiri dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri, maka bangsa Indonesia hanya akan menjadi bangsa buruh dan kuli. Pernyataan BK disampaikan pada 16 Agustus 1963 adalah sebagai berikut:
”Dan sejarah akan menulis di sana antara
Benua Asia dan Benua Australia, antara Lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup suatu bangsa yang mula-mula hidup sebagai bangsa, akhirnya hidup menjadi kuli di antara bangsa-bangsa, kembali menjadi “Een natie van koelies en een koelies onder natie“. Sungguh bisa jadi kenyataan, yang membuat bangsa Indonesia sebagai bangsa pencari upah belaka, bangsa sebagai pemakan upah di antara bangsa-bangsa”.
“
Een natie van koelies en een koelies onder natie“. Sungguh bisa jadi kenyataan, yang membuat bangsa Indonesia sebagai bangsa pencari upah belaka, bangsa sebagai pemakan upah di antara bangsa-bangsa (Soekarno, 1963)
”
Negarawan lain yakni Jawaharlal Nehru pernah memberikan pernyataan senada tentang betapa pentingnya iptek dalam kehidupan manusia : 1
Anggota Komisi Teknis Energi,Dewan Riset Nasional 2012-2014;Senior Advisor PT. Medco Power Indonesia.
2
Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi
| 53
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
”Hanya ilmu pengetahuan sajalah yang dapat memecahkan masalah-masalah kelaparan dan kemiskinan, insanitasi dan ......Masa depan manusia ditentubuta aksara, takhayul dan hilangnya adat kan oleh iptek dan orang-orang istiadat, serta habisnya sumber daya yang bersahabat dengannya alam, atau sebuah negeri kaya yang didiami oleh penduduk miskin…. Siapakah (Jawaharlal Nehru) sesungguhnya yang sanggup mengabaikan iptek sekarang ini? Pada setiap kesempatan kita pasti membutuhkan bantuannya.... Masa depan manusia ditentukan oleh iptek dan orang-orang yang bersahabat dengannya”.
“
”
Kedua pernyataan tersebut sungguh menginspirasi dan semakin meyakinkan kita bahwa iptek dan kehidupan manusia adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Kemampuan manusia dalam olah pikir secara sistematis, disertai analisis secara mendalam dan menyeluruh dalam jangka waktu panjang akan menghasilkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini merupakan cikal bakal teknologi, yakni rangkaian metodologi yang dipergunakan untuk menghasilkan produk berupa barang atau jasa. Teknologi dipergunakan oleh manusia untuk mendapatkan manfaat di dalam penyempurnaan proses-proses perolehan nilai tambah suatu produk. Proses-proses dimaksud adalah merubah raw material atau bahan baku menjadi half-processed atau barang setengah jadi, lalu menjadikannya sebagai end-product atau produk akhir yang memiliki nilai tambah yang semakin tinggi. Selama ini, telah terbukti bahwa teknologi merupakan penggerak utama proses untuk menghasilkan nilai tambah yang tinggi tersebut.
Perkembangan teknologi suatu negara merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemajuannya. Bahkan dengan leadership dan koordinasi yang baik, iptek pun diyakini merupakan bagian integral dan tak terpisahkan dengan permasalahan martabat bangsa. Untuk itu, menjadi kewajiban kita semua untuk mempersiapkan Indonesia sebagai negara berbasis iptek yang kuat dan memiliki penguasaan dan kemandirian sistem ipteknas. Hal ini akan menjadikan kita, 54 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
bukan hanya sekadar sebagai technology user, namun juga menjadi technology provider. Dengan dukungan kekayaan sumber daya alam (SDA) dan kekuatan sumber daya manusianya (SDM) serta ketersediaan sistim pendanaan yang cukup dan baik, ipteknas diharapkan dapat menjadikan Indonesia sebagai negara industri dalam arti luas yang meliputi sektor sosial-budaya-ekonomi. Sehingga nantinya Indonesia akan menjadi negara kuat yang akan diperhitungkan dalam percaturan ekonomi global, dan akan menempatkan bangsa kita sebagai mitra sejajar negara-negara maju. Untuk itu dibawah leadership yang kuat dan koordinasi yang baik, iptek harus menjadi politik negara, yang secara bersama-sama dikembangkan, dengan tetap mempertimbangkan kultur sosial-budaya lokal dan kearifan lokal (local wisdom) yang telah dimiliki masyarakat sejak dahulu kala, serta selalu memperhatikan faktor dampak perubahan lingkungan.
Secara yuridis formal, iptek telah menjadi bagian dari politik negara, yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945, Amandemen pasal 31 ayat 5. Undang-Undang ini mengamanatkan bahwa “Pemerintah memajukan ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan menjunjung tinggi | 55
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Amandemen ini menjadi landasan penting bagi bangsa Indonesia untuk mencapai kemandirian ipteknas, dan menjadikan iptek sebagai salah satu motor penggerak dari sisi sosial-budaya, ekonomi-lingkungan maupun politik-keamanan, serta senantiasa mengembangkannya guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam salah satu laporannya, Bank Dunia menunjukkan bahwa perkembangan teknologi suatu bangsa akan mampu meningkatan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat serta tentu saja akan mengurangi angka kemiskinan. Di bawah ini suatu contoh beberapa negara yang di kawasan Asia yang dapat menunjukkan kecenderungan tersebut.
Nampak jelas bahwa Korea Selatan dan Singapura yang menggunakan anggaran litbang lebih besar dan mempunyai jumlah peneliti yang cukup, memiliki pendapatan per kapita yang tinggi dan angka kemiskinan yang kecil. 56 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Sementara itu pengaruh teknologi terhadap produk ekspor dunia juga mengalami perubahan orientasi. Dalam kurun waktu hingga tahun 2000, produk yang dihasilkan dari teknologi medium masih mendominasi. Sementara itu produk yang berbasis sumberdaya alam mengalami kecenderungan penurunan dan sebaliknya untuk produk yang dihasilkan dari teknologi tinggi justru menunjukkan kecenderungan kenaikan. Hal ini menunjukkan bahwa di masa depan faktor teknologi akan semakin memainkan peranan yang sangat penting dalam memproduksi barang dan jasa seperti ditunjukan pada grafik di bawah ini.
Pengaruh teknologi terhadap produk ekspor dunia (Sumber : UNCTD,2003) Ket : RB : Resource-based; LT : Low-technology; MT : Medium-technology; HT : High-technology
Kemelut Pengembangan Iptek di Indonesia Apa yang menjadi keprihatinan Bung Karno di tahun 1963 tentang belum berkembangnya budaya “ iptek dalam masyarakat Indonesia, Hingga saat ini Iptek belum masih relevan untuk kita bicaraberkembang menjadi budaya kan, mengingat bahwa saat ini yang bangsa Indonesia. diprediksikan oleh beliau sudah ter” bukti. Permasalahan TKI di negara | 57
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
tetangga sudah menjadi problem yang sangat merendahkan harkat dan martabat bangsa. Disamping itu budaya iptek masih menjadi permasalahan cukup mendasar, mengingat hingga saat ini Iptek, yang notabene merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan umat manusia, belum berkembang menjadi budaya bangsa Indonesia. Disamping belum membudayanya iptek secara nasional, saat ini masih kita jumpai sejumlah tantangan, yang terkait dengan belum mandirinya ipteknas yang ditandai dengan berbagai permasalahan. Sebagaimana disampaikan di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, permasalahan pembangunan iptek bersumber dari sisi penelitian dan pengembangan (litbang), dan sisi pengguna teknologi, serta integrasi dari kedua sisi penyedia dan pengguna teknologi. Dari sisi penyedia teknologi ada beberapa elemen terkait yakni permasalahan sumberdaya iptek, kelembagaan iptek serta jaringan iptek. Sumberdaya iptek mencakup beberapa elemen yakni sumberdaya manusia (jumlah, kepakaran, kekayaan intelektual), sumberdaya fasilitas (sarana dan prasarana) serta sumberdaya finansial (anggaran). Sementara itu kelembagaan iptek meliputi pengorganisasian, regulasi, koordinasi dan intermediasi. Jaringan iptek terkait erat dengan permasalahan jaringan intersektor, antarsektor, antarpemangku kepentingan, antar institusi, antarpusat dan daerah. Dari sisi pengguna teknologi, ketergantungan pada impor masih tinggi dan minat serta kontribusi dunia usaha dalam penggunaan iptek nasional masih belum menggembirakan. Mengingat upaya pemerintah dalam bentuk insentif pajak dan penyediaan infrastruktur untuk mendorong penggunaan ipteknas, belum dilakukan dengan sepenuh hati. Sementara itu pada sisi integrasi penyedia dan pengguna teknologi, secara umum dijumpai sejumlah permasalahan antara lain lemahnya sinergi kebijakan iptek, lemahnya koordinasi antar sektor dan antar kementerian, lemahnya sistem regulasi antar sektor, serta lemahn58 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
ya budaya iptek dalam kehidupan masyarakat luas. Penyedia Teknologi: Sumberdaya Iptek Masih Terbatas Salah satu tantangan bangsa Indonesia untuk mampu bersaing di arena global adalah belum tersedianya sumber daya manusia yang mampu berkompetisi dan memiliki kemampuan inovasi dengan daya kreativitas tinggi. Data UNDP menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia Nasional pada tahun 2006, Indonesia “ menduduki peringkat 108 dari 177 negara. Rendahnya kualitas sumber Rasio anggaran iptek terhadap daya manusia ini memicu timbulnya GDP tahun 2009 hanya 0,08 %. permasalahan dalam pembangunan. Jauh lebih kecil dibanding Malaysia yang mencapai 0,63 %. Ditengarai dengan sejumlah permasalahan besar nasional yang be” lum terpecahkan seperti meluasnya kemiskinan, makin bertambahnya angka pengangguran, merosotnya pelayanan publik serta situasi keamanan yang dipenuhi konflik di sejumlah daerah. Dalam hal sumberdaya finansial, rasio anggaran iptek terhadap GDP sejak tahun 2000 hanya mengalami sedikit peningkatan, dari 0,052 % menjadi 0,08 % pada tahun 2009. Rasio tersebut jauh lebih kecil dibandingkan rasio serupa di ASEAN, seperti Malaysia sebesar 0,63 % dan Singapura sebesar 2,43 % (tahun 2009). Sementara itu menurut rekomendasi UNESCO, rasio anggaran iptek yang memadai adalah sebesar 2 persen. Minimnya anggaran iptek berakibat pada terbatasnya jumlah peneliti dan fasilitas riset, kurangnya biaya untuk operasi dan pemeliharaan, serta rendahnya insentif untuk peneliti. Lemahnya sumber daya iptek diperparah oleh belum adanya lembaga keuangan modal ventura dan start-up capital yang diperlukan untuk sumber pembiayaan inovasi-inovasi baru, sebagai jembatan untuk pemanfaatan iptek nasional ke dalam sektor industri nasional. | 59
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Penyedia Teknologi: Kelembagaan Iptek Belum Mantap Ada dua elemen penting terkait kelembagaan, yakni permasalahan intermediasi dan sinergi antar pemangku kepentingan (stakeholders) iptek. Kita temukan bahwa mekanisme intermediasi iptek belum optimal. Infrastruktur iptek belum tertata, terlihat dari belum optimalnya institusi yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan iptek menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi di industri nasional. Disamping itu, sistem komunikasi antara lembaga litbang dan pihak industri belum efektif. Keberpihakan terhadap pemanfaatan ipteknas belum berhasil diciptakan, sehingga mengakibatkan minimnya keberadaan industri kecil, menengah, dan besar yang berbasis ipteknas. Sinergi dan koordinasi kebijakan Iptek yang masih lemah. Kebijakan bidang pendidikan, iptek, dan industri belum terintegrasi sehingga mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna yaitu industri. Disamping itu kebijakan insentif fiskal juga dirasakan belum kondusif bagi pengembangan kemampuan ipteknas.
60 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Pengguna Teknologi : Kemampuan Ipteknas Rendah Permasalahan dari sisi pengguna teknologi ditandai dengan tingginya ketergantungan pada iptek impor. Rendahnya kandungan iptek dalam negeri karena kemampuan ipteknas belum dioptimalkan. Tidak adanya sistem insentif bagi pengguna ipteknas. Hal ini memicu dissinkronisasi antara iptek yang dikembangkan oleh lembaga litbang dengan kebutuhan pengguna (industri). Ipteknas yag masih kanak-kanak / kecil harus bersaing dan bertanding dengan iptek impor yang sudah matang dan dewasa / besar dengan daya saing yang kuat. Kemampuan implementasi ipteknas yang masih rendah menyebabkan iptek belum mampu menjadi penghela perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan dengan Indeks Pencapaian Teknologi (IPT) dalam laporan UNDP tahun 2001, dimana “ tingkat pencapaian teknologi IndoIndeks Pencapaian Teknologi nesia masih berada pada urutan ke 60 dari 72 negara. Sementara Indonesia tahun 2001 masih itu, menurut World Economic Forum berada pada urutan ke 60 dari 72 negara. (WEF) tahun 2004, indeks daya saing pertumbuhan (growth compet” itiveness index) Indonesia hanya menduduki peringkat ke-69 dari 104 negara. Dalam indeks daya saing pertumbuhan tersebut, teknologi merupakan salah satu parameter selain parameter ekonomi makro dan institusi publik. Dalam Indikator Iptek Indonesia 2008 (LIPI, 2008) memberikan gambaran berbagai variabel yang dapat menunjukkan kuantitas maupun kualitas perkembangan iptek di Indonesia. Apabila dilihat dari kemampuan untuk melakukan komersialisasi iptek melalui paten, maka dari tahun 1994-2004, paten yang terdaftar baik dari dalam maupun luar negeri secara berurutan berjumlah 154 dan 15.030. Sedangkan pada tahun 2005, jumlah paten maupun paten sederhana yang disetujui berjumlah 84 dari dalam negeri dan 1.647 | 61
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
dari luar negeri. Angka-angka di atas memperlihatkan betapa rendahnya kemampuan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan penguasaan ipteknas secara legal. Masih rendahnya kontribusi iptek pada perekomian nasional dapat dilihat dari kandungan teknologi dari komoditas yang di ekspor. Walaupun mengalami perbaikan, tetapi masih di dominasi produk yang kandungan teknologinya rendah sebesar 60,32 persen pada 2005 jika dibandingkan pada tahun 1990 sebesar 78,45 persen. Pada teknologi tinggi terjadi fluktuasi, walaupun terjadi kenaikan yang signifikan pada tahun 1990 sebesar 2,24 persen dan pada tahun 2004 sebesar 19,81 dan mengalami penurunan dibandingkan tahun 2000 sebesar 22,29 persen. Dengan catatan, bahwa kandungan teknologi yang dimaksud, bukanlah kandungan ipteknas, melainkan sebagian besar berupa teknologi impor. Dari hasil survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2000 yang berkaitan dengan tingkat kejadian inovasi, menunjukkan bahwa 43 persen dari industri manufaktur tidak melakukan inovasi, sedangkan 28 persen melakukan inovasi produk, dan “ masing-masing sebesar 16 persen Dapat dikatakan bahwa sebagian melakukan inovasi manajemen dan proses. Alasan yang dikemukakan besar teknologi yang digunakan oleh responden sebagian besar untuk melakukan inovasi tersebut adalah teknologi impor. menyatakan inovasi yang dilakukan karena strategi perusahaan serta ” informasi pasar yang berorientasi kepada kebutuhan konsumen, serta dalam upaya meningkatkan daya saing. Juga dapat dikatakan bahwa sebagian besar teknologi yang digunakan untuk melakukan inovasi tersebut adalah teknologi impor. Lain daripada itu, kontribusi ipteknas di sektor produksi berbasis teknologi yang juga belum begitu nyata, dapat ditunjukkan oleh rendahnya efisiensi dan produktivitas, serta minimnya kandungan teknologi dalam kegiatan ekspor. Pada tahun 2002, menurut indikator iptek Indonesia tahun 2003, ekspor produk industri manufaktur didominasi oleh produk 62 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
dengan kandungan teknologi rendah yang mencapai 60 persen; sedangkan produk teknologi tinggi hanya mencapai 21 persen. Sementara itu produksi barang elektronik yang dewasa ini mengalami peningkatan ekspor, pada umumnya merupakan kegiatan perakitan yang komponen impornya mencapai 90 persen. Kendati kemajuan di bidang iptek mengalami peningkatan, namun harus diakui bahwa ipteknas belum mampu menunjukkan kontribusinya di sektor produksi apalagi sebagai motor penggerak perekonomian. Sejalan dengan paradigma baru di era globalisasi yakni berkembangnya “Techno-Economy Paradigm” yang menjadikan teknologi sebagai faktor penting yang memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan kualitas hidup bangsa, maka implikasi yang terjadi adalah adanya transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya alam (Resource Based Economy) menjadi perekonomian berbasiskan pengetahuan (Knowledge Based Economy). Konsep ini meletakkan dasar pemikiran bahwa kekuatan bangsa diukur dari kemampuan iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan kekayaan sumber daya alam untuk peningkatan daya saing. Integrasi Penyedia dan Pengguna: Koordinasi Kebijakan Nasional Integrasi antar pelaku iptek dalam bentuk koordinasi yang baik melalui sinergi kebijakan secara nasional masih sangat lemah. Program-program belum terintegrasi dengan baik, koordinasi dan harmonisasi kegiatan, dukungan anggaran serta intermediasi yang terjadi antara pelaku iptek maupun antara penghasil dan pengguna iptek belum berjalan. Regulasi yang telah disusun oleh masing-masing pelaku iptek juga belum terkomunikasikan dengan baik. Masalah lain dalam integrasi ini adalah lemahnya masalah budaya iptek. Secara umum, pola pikir | 63
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
meningkatkan daya saing bangsa “ dan menjadikan iptek sebagai budaya bangsa belum dapat terwujud. Pola pikir masyarakat belum Hal ini disebabkan karena pola pik- berkembang ke arah “lebih suka ir masyarakat industri yang belum mencipta daripada sekadar meberkembang ke arah “lebih suka makai” dan “lebih suka membuat dari pada membeli”. mencipta daripada sekadar memakai” dan “lebih suka membuat ” dari pada membeli” serta “lebih suka belajar dan berkreasi daripada sekadar menggunakan teknologi yang ada”. Mencermati beberapa kemelut dalam pengembangan iptek nasional di atas, maka sejumlah langkah progresif harus dilaksanakan secara sinergis dan terintegrasi agar peran iptek menjadi lebih signifikan dan efektif di dalam membawa bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki kemandirian iptek nasional. Menuju Negara Industri: Dua Pilihan Bangsa Dalam menuju negara industri, bangsa Indonesia dihadapkan pada dua pilihan yakni menjadi bangsa pengimpor teknologi dan bergantung sepenuhnya secara teknologis kepada bangsa lain ataukah memperkuat ipteknas dengan secara aktif melibatkan partisipasi industri nasional (Parinas). Kedua pilihan tersebut, tentu saja memiliki konsekuensinya masing-masing, seperti ditunjukkan dalam gambar di bawah ini.
64 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Pilihan pertama adalah pilihan mudah, tidak perlu menguasai teknologi apalagi mengembangkan dan menerapkannya, cukup dengan mengimpor teknologi sebagai dasar pengembangan ekonomi dan industri. Konsekuensi dari pilihan tersebut adalah bangsa kita memperoleh nilai tambah kecil dengan ciri-ciri pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang tidak optimal, SDM rapuh sehingga banyak terjadi brain-drain, ketergantungan terhadap negara asing sangat kental, sehingga posisi tawar (bargaining position) negara menjadi sangat lemah. Sementara itu, pilihan kedua adalah pilihan yang memerlukan upaya keras dan penuh perjuangan menuju kemandirian ipteknas. Dalam proses mencapai kemandirian tersebut, dapat saja digunakan jalan pintas technology transfer sebagai langkah awal. Melalui kemandirian ipteknas akan diperoleh suatu nilai tambah besar yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat pesat, karena terjadinya aktivitas penerapan teknologi maupun transfer teknologi. Penyerapan tenaga kerjapun menjadi meningkat karena dalam proses penerapan teknologi akan diperlukan tenaga kerja di berbagai sektor dalam jumlah yang tidak sedikit. Upaya-upaya kemandirian ipteknas harus didukung oleh SDM berkualitas yang akan menentukan kualitas teknologi yang dihasilkan. | 65
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Teknologi yang unggul akan memperkokoh ketahanan nasional. Sehingga posisi tawar negara dalam kancah dunia akan menjadi semakin kuat. Secara umum jalan pintas transfer teknologi memiliki beberapa tahapan yang harus dilalui secara “step by step” sesuai urutan, yakni dimulai dengan alih teknologi, integrasi teknologi, pengembangan teknologi dan penelitian dasar.
Tahap yang paling mendasar adalah tahapan alih teknologi melalui penggunaan lisensi untuk menghasilkan suatu produk atau melalui satu tahapan yang lebih advanced yakni melalui turn-key project. Dalam hal ini ada baiknya kita mengingat kembali ajaran Ki Hadjar Dewantoro tentang filosofi Jawa “Niteni, Niroake, Nambahake”, yang pada masa sekarang dapat disejajarkan dengan reverse engineering. Pada tahap pertama ini, para periset melakukan “bedah teknologi”, mencermati, mencontoh lalu menambahkan dengan hal-hal baru yang disesuaikan dengan keperluan. Dalam hal reverse engineering ini, Jepang dan Korea Selatan dapat dijadikan contoh. Misalnya, dalam memproduksi elektronika dan otomotif, pada tahap-tahap awal mereka banyak berkiblat kepada teknologi Amerika namun memberikan langkah “plus” melalui pengem66 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
bangan-pengembangan teknologi secara spektakuler sehingga produk yang dihasilkan memiliki kelebihan dalam hal kualitas maupun harga yang lebih bersaing. Demikian pula dengan industri otomotif Korea Selatan yang melakukan “meniru plus” atas teknologi Jepang, saat ini Korea nyaris menyaingi negeri Sakura tersebut. Pada tahapan ini dilaksanakan pemanfaatan teknologi produksi dan manajemen yang telah dilakukan Tahapan kedua adalah pengintegrasian teknologi yang telah ada, yang digunakan untuk menghasilkan produk baru yang belum beredar di pasaran. Hal-hal baru yang dimasukkan tadi dapat berupa desain atau bahkan blueprint atau cetak biru. Dalam hal ini jelas ada elemen baru berupa inovasi. Tahapan selanjutnya adalah pengembangan teknologi, dimana dilakukan pengembangan lebih lanjut teknologi yang telah ada. Bukan hanya itu teknologi yang telah ada dan mutakhir saja yang dikembangkan namun juga dikembangkan teknologi-teknologi baru dengan tujuan menghasilkan produk-produk baru untuk kepentingan masa depan. Tahapan terakhir sebuah transfer teknologi adalah dikembangkannnya riset dasar secara menyeluruh guna menopang ketiga tahapan untuk menjaga keunggulan teknologi yang telah dicapai. Dalam keseluruhan proses pada setiap tahapan diperlukan dukungan Pemerintah dalam kebijakan administratif, legal dan fiskal agar kemandirian ipteknas dapat dicapai. Kemandirian IptekNas: Iptek Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri Kemandirian iptek nasional dapat dicapai melalui penciptaan peluang pasar bagi ipteknas sehingga ipteknas dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Terciptanya peluang pasar bagi ipteknas ini akan sangat dipengaruhi oleh tiga elemen yakni penguasaan iptek dasar, penguasaan Iptek Terapan dan diterapkannya hasil-hasil iptek oleh industri.
| 67
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Pengembangan iptek dasar melalui suatu proses penguatan beberapa ilmu dasar dimulai dari matematika, fisika, kimia, biologi, ilmu-ilmu teknik lain, dan ekonomi serta sosial kemanusiaan. Iptek terapan di dalam perkembangannya harus dapat menjadi peluang pasar bagi iptek dasar dan harus “nyambung” untuk dikembangkan ke level yang lebih hilir. Penguasaan iptek dasar tidak terlepas dari peran sektor pendidikan dan juga proses-proses penelitian, pengembangan dan perekayasaan (litbangyasa). Kedua elemen pendidikan dan litbangyasa ini akan sangat mempengaruhi terbentuknya SDM berkualitas dan kreatif-inovatif. Proses downstreaming atau menghilirkan iptek dasar menuju terapan sangat dipengaruhi oleh pola pikir knowledge based society yaitu sebuah tatanan masyarakat yang pemikiran dan tindakannya yang didasarkan pada iptek. Sementara dalam upaya penerapan iptek oleh dunia industri harus dilakukan dengan sepenuhnya berdasarkan pola pikir knowledge worker yakni masyarakat pekerja berbasis iptek. Dunia industri harus dapat menjadi peluang pasar bagi hasil-hasil iptek terapan yang telah dihasilkan para periset.
68 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Grand Design Program Iptek 2050 Untuk memenuhi amanah Undang-Undang Dasar 1945 dan juga Undang-Undang No. 18 Tahun 2002, maka sebuah grand design program iptek jangka panjang perlu disusun hingga tahun 2050. Suatu visi dan misi pencapaian program iptek harus ditentukan secara comprehensive dan konsisten. Misalnya dengan menyusun dan menjabarkan program ipteknas masa kini yang bisa disebut sebagai Dasa Fokus Iptek Terapan dan program ipteknas masa depan yang bisa kita sebut sebagai Panca Karsa Iptek Unggulan.
| 69
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada, juga berdasarkan berbagai input yang ada di masyarakat baik dari organisasi pemerintahan, pendidikan dan industri, maka pilihan bidang-bidang keilmuan iptek yang dapat dikembangkan sebagai Dasa Fokus Iptek program ipteknas masa kini adalah: 1. Iptek Pertanian/Peternakan/Kehutanan 2. Iptek Kelautan dan Perikanan/Biota Laut 3. Iptek Lingkungan dan Kebumian 4. Iptek Kesehatan dan Obat-Obatan 5. Iptek Bahan/Material Dasar, Komponen & Permesinan(Material Nano, Plasma dan Superkonduktor) 6. Iptek Energi dan Kelistrikan (Mix: Fosil, Baru dan Terbarukan) 7. Iptek Otomotif dan Transportasi Darat, Laut dan Udara 8. Iptek Elektronika, Informasi dan Komunikasi 9. Iptek Bangunan Sipil, Arsitektur dan Planologi 10. Iptek Sistem Pertahanan dan Peralatan Militer. Sedangkan pilihan bidang-bidang keilmuan iptek yang dapat dikembangkan sebagai Panca Karsa Iptek program ipteknas masa depan adalah: 1. Iptek Genetika dan Bio-Teknologi 2. Iptek Cyber, Laser dan Nano Teknologi 3. Iptek Peroketan, Satelit dan Ruang Angkasa 4. Iptek Geologi dan Laut Dalam 5. Iptek Fusi dan Baterai Nuklir. 70 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Peran Pemerintah Melalui Kementrian Negara Riset dan Teknologi Untuk tercapainya kemandirian ipteknas, diperlukan dukungan kuat dari Pemerintah di setiap tahapan proses mulai dari penyelenggaraan program-program pendidikan, hingga pelaksanaan litbangyasa guna menghasilkan SDM berkualitas yang kreatif dan inovatif dan pada gilirannya akan memperkuat pelaksanaan iptek dasar dan terapan. Dukungan Pemerintah dapat diberikan dalam bentuk-bentuk: penyiapan grand strategy, sistem dan struktur; melakukan koordinasi antar sektor; menyediakan insentif dan memberikan komitmen; penyiapan infrastruktur, kebijakan fiskal yang menguntungkan; serta dukungan kebijakan keberpihakan yang kondusif dan konsisten. Salah satu pemangku kepentingan yang terkait erat dengan upaya kemandirian ipteknas adalah Kementerian Riset dan Teknologi (KRT). Sebagaimana tertuang dalam Perpres No. 9/2005, KRT memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang riset, ilmu pengetahuan dan teknologi. Terkait dengan pelaksanaan program-program iptek, Pemerintah melalui KRT sebenarnya telah menetapkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Keberadaan undang-undang tersebut bermanfaat untuk: 1. Memberikan landasan hukum bagi pertumbuhan semua unsur kelembagaan yang berkaitan dengan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek. 2. Mendorong pertumbuhan dan pendayagunaan sumber daya iptek secara lebih efektif. 3. Menggalakkan pembentukan jaringan yang menjalin hubungan interaktif semua unsur kelembagaan iptek sehingga kapasitas dan kemampuannya dapat bersinergi secara optimal. | 71
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
4. Mengikat semua pihak, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk berperan serat secara aktif. Disamping itu undang-undang ini meningkatkan kepada semua pihak bahwa penyimpangan dalam penelitian, pengembangan iptek yang membahayakan kehidupan manusia dan bangsa Indonesia mendapat sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. Guna mengefektifkan pelaksanaan UU 18/2002, telah dikeluarkan 2 produk hukum terkait berupa PP, yakni PP 20/2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil penelitian dan pengembangan oleh perguruan tinggi dan lembaga Penelitian dan Pengembangan serta PP 35/2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan kemampuan Perekayasaan Inovasi dan Difusi teknologi. Namun demikian, efektivitas UU maupun kedua PP tersebut memang masih belum memenuhi harapan dan harus diperjuangkan realisasinya. Penguasaan dan kemandirian ipteknas merupakan sebuah keniscayaan yang tidak lagi boleh ditunda-tunda pelaksanaannya. Orkestrasi seluruh elemen pemangku kepentingan sangat diperlukan melalui suatu koordinasi yang dilakukan secara sungguh-sungguh, oleh Kementerian Koordinator yang membawahkan pengembangan iptek. Lain dari itu konsistensi pelaksanaan sebuah kebijakan juga menjadi kunci penting bagi tergapainya cita kemandirian ipteknas. Koordinasi yang merupakan barang termahal di negeri ini harus dapat kita “beli” dengan upaya maksimal seluruh komponen bangsa melalui alokasi peran masing-masing. Referensi • Bahan Presentasi dan Diskusi Forum IptekIndo, Kongres Indonesia 21, Dr. Ir. Arnold Soetrisnanto, Jakarta, 12 Agustus 2009. • The Dancing Leader, Dr. Ir. Listyani Wijayanti, Penyelia Jusuf Sutanto, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2011. • UNCTD, 2003, Investment and Technology Policies for Competitiveness: Review of successful country experiences, 72 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
United Nation, New York. • World Bank, 2008, Global Economic Prospects 2008: Technology Diffusion in the Developing World, Washington DC • Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pembangunan Bangsa. Himpunan Pidato 1985-1987. Prof. Dr. Ing. BJ Habibie. BPPT, 1987. • Perpres RI No 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Bab IV. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. 2010. • Kepmen Ristek No 193/M/Kp/IV/2010 tentang Kebijakan Strategis Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. KRT. 2010 • UU No 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Biodata # Dr. Ir. Arnold Soetrisnanto Menyelesaikan studi doktornya (Ph.D) di “ Ecole Nationale Superieure des Industries Chimiques - Institut Nasional Polytechnique de Lorraine” (ENSIC-INPL), Nancy, Prancis, pada tahun 1992. Memulai karir di bidang penelitian pengembangan energi nuklir sejak tahun 1982 di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Pada tahun 2002 menjadi Direktur Pusat Pengembangan Energi Nuklir BATAN. Sejak tahun 2007 sampai sekarang bekerja di PT. Medco Power Indonesia sebagai Senior Advisor, yang melakukan ekspansi ke bisnis energi yang lebih luas, dengan mengembangkan energi baru dan terbarukan. Selain kerja formal, juga beraktifitas di beberapa asosiasi kemasyarakatan, antara lain sebagai Anggota Dewan Riset Nasional - Komtek Energi, Wakil Ketua Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI), Wakil Ketua Bidang Energi Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Anggota Dewan Energi Dunia - Komite Nasional Indonesia (KNI-WEC), dll. | 73
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
# Dr. Ir. Listyani Wijayanti Mengabdikan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil sejak tahun 1983 di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Kariernya dimulai sebagai staf peneliti (1983-1999), Direktur Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Farmasi dan Medika (2000-2005), Staf Technology Marketing- BPPT Engineering (1996-2007). Diperbantukan di Kementerian Riset dan Teknologi sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Pangan dan Kesehatan (2008-2010). Sejak Juni 2010 dipercaya sebagai Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi. Pendidikan Tinggi ditempuhnya di Institut Pertanian Bogor (1978-1982) dan dilanjutkan di Saitama University (1993-1996) hingga meraih gelar Doktor dalam bidang Biological Sciences (Flowering Physiology).
74 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
KINERJA PEMBANGUNAN IPTEK NASIONAL DAN KESIAPAN MENGHADAPI ERA PERSAINGAN GLOBAL Dr. Ir. Iding Chaidir, M.Sc 1 ABSTRAK Tidak dapat dipungkiri bahwa kemampuan suatu bangsa mengembangkan, menguasai, dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) merupakan kunci keberhasilan bangsa tersebut memenangkan persaingan di tingkat global. Suatu kajian sederhana menunjukkan bahwa ada korelasi postif antara alokasi anggaran R&D dengan peringkat daya saing negara tersebut. Evaluasi terhadap 12 pilar yang digunakan sebagai alat ukur daya saing menunjukkan bahwa di antara negara ASEAN, Indonesia paling unggul di ukuran pasar (peringkat 15). Sementara itu secara umum Indonesia berada pada posisi ke 5 di bawah Singapura, Malaysia, Brunai, Thailand. Rendahnya daya saing tesebut sangat ditentukan oleh tingkat kemajuan di bidang iptek yang masih perlu ditingkatkan.
I. Pendahuluan Sesuai dengan Undang-Undang No 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025, tujuan pembangunan jangka panjang adalah mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, dan adil sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945. Untuk mencapai Indonesia yang maju, mandiri, dan adil, maka pembangunan nasional diarahkan antara lain pada terwujudnya bangsa yang berdaya saing. Penguatan daya saing bangsa diarahkan pada (a) pembangunan sumber daya manusia; (b) penguatan perekonomian domestik berbasis keunggulan wilayah; (c) peningkatan penguasaan, pemanfaatan, dan penciptaan iptek; dan (d) pembangunan infrastruktur yang maju; serta (e) melakukan reformasi di bidang hukum dan aparatur negara. 1
Sekretaris Dewan Riset Nasional / Anggota Komisi Teknis Pangan & Pertanian Dewan Riset Nasional 2012-
2014
| 75
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Daya saing bangsa dalam bentuk nyata terlihat pada kemampuan bangsa memproduksi barang dan jasa, termasuk produk pertanian dan pangan, yang mampu bersaing dengan produk sejenis yang dihasilkan bangsa-bangsa lain. Kemampuan bersaing tersebut dapat dilihat pada produk siapa yang menguasai pasar domestik, atau bahkan mampu menembus pasar ekspor. Kemampuan daya saing Indonesia nampaknya perlu ditingkatkan karena dewasa ini banyak produk-produk pertanian impor yang “menguasai” pasar dalam negeri, sedangkan ekspor kita masih lebih pada produk mentah. Makalah ini akan mengupas beberapa permasalahan yang dihadapi dan upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan daya saing, terlebih dengan akan berlakunya persaingan global, khususnya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015. II. Riset sebagai Basis Keunggulan Daya Saing Tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) melalui riset dan penerapannya di dunia usaha (inovasi) merupakan elemen utama daya saing. Melalui penguasaan iptek maka produksi barang dan jasa dapat dilakukan secara lebih efisien, terstandar, sehingga harga dapat lebih murah dengan kualitas yang lebih baik. Untuk produk dengan konten teknologi tinggi (misalnya elektronik) maka hasil riset akan menghasilkan inovasi berupa fitur-fitur baru dari produk yang merupakan daya tarik bagi konsumen untuk membeli. Sekarang ini, siklus suatu produk demikian cepatnya berganti akibat pesatnya dunia riset (perusahaan) menghasilkan inovasi. Dengan kata lain, product life cycle semakin singkat dengan pesatnya riset yang menghasilkan inovasi. Untuk produk pangan dan produk pertanian pada umumnya, kemampuan untuk bersaing juga ditentukan oleh ketersediaan inovasi yang dihasilkan oleh dunia riset. Kemampuan untuk meningkatkan produktivitas budidaya pertanian sangat ditentukan oleh keberhasilan para periset menghasilkan inovasi berupa benih unggul yang berproduktivitas tinggi, tahan penyakit, dan tahan kekeringan dan cekaman lingkungan lainnya. Di samping itu, 76 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
dengan kemajuan teknologi maka produksi benih dapat dilakukan dalam jumlah besar dan seragam dalam waktu yang singkat. Kita dapat melihat betapa para periset di bidang pemuliaan tanaman dan rekayasa genetik terus menghasilkan benih unggul padi baru yang tahan terhadap hama tanaman baru, yang terus muncul dalam fenotipe hama baru. Kegiatan riset tidak dapat berhenti, karena terhentinya riset di bidang pemuliaan tanaman akan berakibat fatal pada produksi pangan nasional. Situasi ini mirip dengan yang dihadapi oleh industri barang dan jasa yang untuk mempertahankan keberlanjutan usahanya, harus terus menerus menghasilkan inovasi untuk menghasilkan produk atau fitur baru untuk mempertahankan daya saingnya agar konsumen tetap setia untuk membeli produknya. Hal ini menunjukkan bahwa pada era sekarang ini, apabila kita ingin “survive” maka kita harus mengutamakan kegiatan riset dan pengembangan. Dalam tataran makro, kemajuan (baca: daya saing) suatu bangsa sangat berkaitan erat dengan jumlah dana R&D yang dialokasikan. Ada korelasi positif antara kemampuan daya saing dengan jumlah anggaran R&D yang dialokasikan. Hal ini dapat dilihat dari Gambar berikut. Gambar 1. Korelasi Antara Pengeluaran R&D/GDP dan Ranking Daya Kompetisi 39 Negara.
| 77
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Negara-negara yang memiliki komposisi alokasi dana R&D terhadap GDP tertinggi (tahun 2007) adalah Israel (4,68%), Swedia (3,60 %), Korea Selatan (3,47%), Finland (3,46%), Jepang (3,44%), dan Switzerland (2,90%) dan Singapura (2,61%). Apabila dilihat dari rangking daya kompetisi, maka Switzerland, Singapura, Finland, Jerman, dan Amerika Serikat yang merupakan lima besar, merupakan negara yang termasuk 13 besar negara dengan komposisi alokasi dana terbesar. III. Daya Saing Indonesia di Negara ASEAN Untuk dapat melangkah ke depan, kita terlebih dahulu mengetahui sudah sampai seberapa jauhkan kemampuan bersaing negara kita di kalangan negara di dunia. Salah satu referensi yang digunakan adalah The Global Competitiveness Report dari World Economic Forum yang setiap tahun mengukur tingkat daya saing setiap negara. Tabel 1 berikut ini menunjukkan perkembangan tingkat kompetisi Indonesia selama tahun 2008 hingga 2013. Tabel 1. Peringkat dan Skor Daya Saing Indonesia Menurut Laporan World Economic Forum.
Indikator
Tahun Pengukuran 2008- 2009- 2010- 2011- 2012- 20132009 2010 2011 2012 2013 2014 Keseluruhan 55 54 44 46 50 38 K e b u t u h a n 76 70 60 53 58 45 Dasar - Kelembagaan 68 58 61 71 72 57 - Infrastruktur 86 84 82 76 78 61 - Lingkungan 72 52 35 23 25 26 Makroekonomi
78 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
-Kesehatan dan Pendidikan Dasar Pendorong Efisiensi - Pendidikan Tinggi dan Training - Efisiensi Pasar Barang - Efisiensi Pasar Kerja - Perkembangan Pasar modal - Kesiapan teknologi - Ukuran Pasar Faktor Inovasi dan Sofistikasi - Sofistikasi Bisnis - Inovasi
87
82
62
64
70
72
49
50
51
56
58
52
71
69
66
69
73
54
37
41
49
67
63
50
43
75
84
94
120
103
57
61
62
69
70
60
88
88
91
94
85
75
17
16
15
15
16
15
45
40
37
41
40
33
39
40
37
45
42
37
47
39
36
36
39
33
Sumber: Laporan WEF, 2008/2009 s/d 2013/2014.
Berdasarkan laporan tersebut, terlihat bahwa peringkat daya saing Indonesia secara keseluruhan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan, meskipun sedikit merosot pada tahun 2011/2012 dan 2012/2013. Pada laporan terakhir (2013/2014) ternyata peringkat Indonesia meningkat cukup signifikan, dari peringkat 50 ke peringkat 38. | 79
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Memperhatikan perkembangan indeks daya saing Indonesia selama 6 tahun terakhir, maka dapat dilihat bahwa ukuran pasar merupakan indikator yang nilainya tertinggi untuk Indonesia dengan rangking 17 hingga 15. Indikator kedua yang cukup baik adalah lingkungan makroekonomi pada peringkat 26 hingga 23 pada 3 tahun terakhir. Selanjutnya diikuti oleh inovasi, sofistikasi bisnis, dan efisiensi pasar barang. Sementara itu, indikator yang memiliki peringkat terendah adalah efisiensi pasar kerja, kesiapan teknologi, dan infrastruktur. Pilar kesiapan teknologi merupakan salah satu pilar yang erat kaitannya dengan kegiatan riset dan pengembangan. Menurut penjelasan, pilar ini mengukur kelincahan suatu ekonomi mengadopsi teknologi yang sudah ada untuk meningkatkan produktivitas industrinya. Dalam dunia global saat ini, teknologi telah semakin menjadi elemen penting bagi perusahaan untuk bersaing dan sejahtera. Khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah berkembang menjadi “general purpose technology”, mengingat pengaruh pentingnya terhadap sektor ekonomi lainnya dan peran mereka dalam meningkatkan efisiensi transaksi komersial. Oleh karena itu akses (termasuk adanya kerangka regulasi ICT) dan penggunaan TIK dimasukkan dalam pilar ini sebagai komponen penting dari keseluruhan tingkat ekonomi kesiapan teknologi. Dalam konteks ini, apakah teknologi yang digunakan telah atau belum dikembangkan dalam batas-batas negara tidak relevan untuk efek pada daya saing. Pokok utamanya adalah bahwa perusahaan yang beroperasi di negara itu memiliki akses ke produk canggih dan cetak biru dan kemampuan untuk menggunakannya. Di tingkat negara ASEAN yang terdiri dari 10 negara, daya saing Indonesia berada pada peringkat ke 5 setelah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand (Tabel 2). Dari ke 12 pilar yang dinilai, maka Dapat dilihat bahwa satu-satunya keunggulan Indonesia adalah di pilar Ukuran Pasar (15). Hal ini cukup beralasan karena dilihat dari GDPnya, Indonesia merupakan negara terbesar dengan komposisi GDP sebesar 38,06% dari GDP ASEAN (2010), diikuti oleh Thailand (17,14%), Ma80 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
laysia (12,78%), Singapura (11,46%), Phillipines (10,73%), Vietnam (5,72%), Myanmar (2,44%), Brunei Darussalam (0,67%) dan Cambodia (0,60%). Dari 12 pilar yang dinilai, ternyata pilar “labor market eficiency” untuk Indonesia berada pada peringkat terendah diantara negara ASEAN (peringkat 103). Pasar tenaga kerja menunjukkan efisiensi apabila para pekerja dialokasikan untuk penggunaan yang paling efisien dalam perekonomian dan diberi insentif untuk memberikan upaya terbaik mereka dalam pekerjaan mereka. Oleh karena itu pasar tenaga kerja harus memiliki fleksibilitas untuk mengalihkan pekerja dari satu kegiatan ekonomi yang lain dengan cepat dan dengan biaya rendah, tanpa mengakibatkan gangguan sosial. Pasar tenaga kerja yang efisien juga harus memastikan hubungan yang jelas antara insentif pekerja dan usaha mereka, serta penggunaan terbaik dari bakat yang tersedia yang juga mencakup kesetaraan tenaga kerja perempuan dan laki-laki. Tabel 2. Kinerja 12 Pilar CGI Negara-negara ASEAN 2013-2014.
Sumber: The Global Competitiveness Report 2013-2014.
| 81
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
IV. Kinerja Riset Indonesia dan Negara ASEAN Anggaran Riset Investasi Indonesia untuk penelitian dan pengembangan (R&D) masih sangat rendah. Selama periode 1987-1997, total pengeluaran untuk R & D (GERD) sebesar 0,07% dari PDB. Komposisi ini turun ke 0,05% pada tahun 2005 namun naik menjadi 0,06% pada tahun 2006 dan mencapai 0,08% pada tahun 2009. Tingkat ini sebanding dengan tingkat pengeluaran di Kamboja (0,05% dari PDB pada tahun 2002), tetapi sangat rendah dibandingkan dengan Singapura (2,2% pada tahun 2009), Malaysia (0,64% pada tahun 2006 dan meningkat menjadi 0,82% pada tahun 2008), Viet Nam (0,19% di tahun 2002) dan Thailand (0,21% di tahun 2007). Gambar 2. Jumlah pengeluaran untuk R&D Beberapa Negara, dilihat dari persentasenya terhadap total GDP masing-masing negara.
Sumber Dana Riset Komposisi Pengeluaran R & D di Indonesia yang berasal dari pemerintah selama periode 2001-2006 sebasar 84,5% (Pappiptek LIPI, 2009a), se82 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
dangkan sektor bisnis menyumbang 14,7% dan 0,8% yang berasal dari sumber lain (OECD, 2010d). Dibandingkan dengan beberapa pesaing utama di Asia Tenggara, proporsi pengeluaran untuk R&D yang berasal dari industri masih sangat rendah. Pangsa sektor swasta di Singapura, misalnya, 85% pada tahun 2006, sedangkan pangsa di Malaysia pada tahun 2006 adalah 85%. Mengenai pengeluaran dalam sektor pemerintahan di Indonesia, yaitu dalam lembaga penelitian pemerintah, saham pemerintah Indonesia sebesar 88,5% pada tahun 2005, dengan sektor bisnis yang bertanggung jawab untuk 5% dan lain 5% berasal dari dana asing (RISTEK, 2010b). Gambar 3. Jumlah pengeluaran untuk R&D Berbagai negara dilihat dari proporsi sumber pendanaan (%).
Komposisi anggaran riset di Indonesia yang sebagian besar disediakan oleh pemerintah memperlihatkan kesenjangan hubungan antara dunia riset dan dunia usaha. Berbeda dengan negara yang anggaran risetnya sebagian berasal dari dunia usaha, maka topik-topik riset yang dikembangkan sudah dapat dipastikan sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Unuk kasus indonesia masih diperlukan intermediator antara dunia riset | 83
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
dan dunia usaha agar riset yang dikembangkan sesuai kebutuhan dunia nyata. Jumlah Tenaga Riset dan Lembaga Riset Ketersediaan sumberdaya manusia yang bekerja di bidang riset merupakan penentu utama kemampuan daya saing suatu negara. Perbandingan SDM riset di berbagai negara, khususnya di ASEAN dapat dilihat pada Gambar 4. Dapat dilihat bahwa dilihat dari jumlah tenaga riset per 1000 penduduk yang bekerja (employment), Indonesia (0,2) berada di peringkat bawah, tetapi masih di atas Laos, Myanmar dan Kamboja. Angka ini masih jauh di bawah angka rata-rata OECD yaitu sebesar 7,6 periset per 1000 employment, atau Singapura dengan 12 periset per 1000 employment. Gambar 4. Jumlah tenaga riset di negara ASEAN dan OECD untuk setiap 100 employment.
Jumlah tenaga riset di Indonesia yang relatif sedikit ini sebagian besar bekerja di lembaga litbang pemerintah. Berdasarkan data dari LIPI, pada tahun 2013 ini terdapat 8.272 peneliti, sedangkan jumlah perekayasa sebanyak 2100. Jumlah tenaga peneliti dan perekayasa ini tersebar di 84 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
199 satuan kerja lembaga litbang Non Kementerian, lembaga litbang kementerian, lembaga litbang BUMN, dan Lembaga Litbang Daerah. Tenaga riset lainnya yang tidak kalah penting adalah tenaga akademis yang melaksanakan riset sebagai salah satu dharma perguruan tinggi. Jumlah tenaga edukatif pada tahun 2009/2010 ada sebanyak 233.390 orang, 65.751 di perguruan tinggi negeri dan 167.639 di Perguruan Tinggi Swasta, apabila sekitas seper empatnya melakukan riset, maka terdapat sekitar 50.000 tenaga riset dari perguruan tinggi. Publikasi Ilmiah Kinerja publikasi di Indonesia meningkat secara stabil selama periode 2000-2010 (Gambar 5), tumbuh dari basis yang rendah sekitar 1.000 publikasi per tahun menjadi sekitar 4.000 publikasi per tahun pada 2010. Publikasi tumbuh di semua disiplin ilmu utama selama 2000-2009, dengan ilmu dan teknologi informasi, teknik (engineering) dan kedokteran menjadi tiga sumber utama pertumbuhan. Namun, tingkat pertumbuhan ini dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya masih relatif rendah – kecuali Singapura, yang mulai dari basis yang jauh lebih tinggi, mengalami pertumbuhan yang lebih lambat. Selama periode yang sama, jumlah publikasi dalam jurnal berbahasa Inggris juga tumbuh walaupun ada penurunan pangsa publikasi diterbitkan dalam bahasa Inggris. Penurunan ini terjadi karena publikasi bersama mitra Jepang meningkat lebih cepat daripada publikasi bersama mitra EU-27, Amerika Serikat dan mitra Australia. Secara keseluruhan, 74% dari publikasi melibatkan kerjasama internasional, dengan Jepang sebagai sumber terbesar.
| 85
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Gambar 5. Perkembangan Publikasi Ilmiah di Asia Tenggara 2000-2010.
V. Tantangan Riset Untuk Kemandirian Pangan dan Menghadapi MEA 2015 ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negaranegara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. AFTA dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Tantangan terbesar bagi Indonesia dalam menghadapi Pasar Bebas ASEAN 2015 adalah kemampuan untuk memanfaatkan pasar dalam negeri yang demikian besar dengan produk dalam negeri. Sebagaimana diketahui bahwa dari jumlah penduduk saja, Indonesia memiliki 245,6 juta jiwa 86 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
memegang porsi 43,88% dari jumlah populasi penduduk di 10 Negara ASEAN (559,8 Juta Jiwa). Hal ini berarti hampir separuh pasar di ASEAN dimiliki Indonesia. Demikian pula halnya dengan besaran perekonomian yang dilihat dari tingkat GDP. Indonesia pada tahun 2010 menduduki peringkat 16 dunia dalam hal GDP, jauh di atas Thailand (25), Malaysia (30) atau Singapura (41). Besarnya pasar dan perekoniomian Indonesia jangan sampai hanya dijadikan sebagai ajang bagi pemasaran produk-produk negara ASEAN lainnya ke Indonesia. Sementara itu, apabila kita melihat kemampuan Indonesia memproduksi barang dan jasa masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Hal ini juga termasuk untuk bidang pertanian dan pangan. Untuk itu perlu strategi untuk menghadapi situasi ini, terutama dibidang pengembangan riset ilmu pengetahuan dan teknologi agar hasilnya dapat memperkuat keunggulan kita di bidang pangan dan pertanian. Strategi tersebut harus berangkat dari apa keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia, dan bagaimana menjadikan keunggulan ini ditranformasikan menjadi keunggulan kompetitif. Dalam bidang pertanian, negara kita memiliki keunggulan komparatif sebagai berikut: • Sumberdaya genetik yang sangat beragam • Lahan pertanian di daerah tripoka (equatorial) • Perairan laut yang kaya akan biota laut; • Garis pantai yang sangat panjang; • Lahan gambut tropika dan lahan sub optimal yang masih sangat luas • Jumlah penduduk yang besar sebagai pasar • Produsen komoditi pertanian terbesar untuk sawit, kakao, rumput laut • Produk pertanian spesifik lokasi (Genetic Inheritance) • Lama penyinaran matahari | 87
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Selain keunggulan komparatif, Indonesia juga meiliki berbagai kelemahan yang dapat menjadi penghambat daya saing, yaitu: • Merupakan negara kepulauan yang mempersulit transpotrasi antar lokasi, sehingga cenderung biaya tinggi; • Merupakan negara tropis dengan kelembaban tinggi yang megakibatkan cepat rusaknya produk pertanian; • Pemilikan lahan petani yang sempit sehingga sulit mencapai skala ekonomi komersial; Strategi peningkatan daya saing nasional melalui penguatan riset, iptek dan inovasi perlu dilaksanakan dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan tersebut. Dengan demikian kita dapat mengeksploitasi kekuatan yang dimiliki dan meminimalisir kelemahan yang ada. Berdasarkan kondisi ini maka riset dan pengembangan yang perlu dilaksanakan untuk meningkatkan daya saing Indonesia adalah sebagai berikut: • Inventarisasi dan pembangunan gene bank untuk plasma nutfah yang ada di Indonesia, yang akan dijadikan sebagai basis pengembangan produk unggulan Indonesia; • Pemuliaan tanaman, ternak, dan ikan melalui teknik konvensional maupun bioteknologi untuk menghasilkan produk pertanian berdaya saing tinggi. • Pengembangan budidaya pertanian, ternak dan ikan pada lahan sub optimal (lahan masam, rawa, kering) di luar Jawa untuk peningkatan produksi pangan nasional. • Pengembangan teknologi penanganan hama dan penyakit yang ramah lingkungan (tanpa menggunakan bahan kimia) • Pengembangan teknologi pasca panen, pengemasan dan pengolahan hasil pertanian untuk meningkatkan mutu sesuai standar perdagangan.
88 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
• Diversifikasi dan hilirisasi produk-produk pertanian berorientasi ekspor (Kelapa Sawit, Kakao, Karet, Kopi, Rumput Laut, Perikanan); • Riset peningkatan daya kompetitif pertanian lahan sempit, yang mampu menghasilkan produk pertanian untuk pasar global. Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah berkaitan dengan koordinasi riset. Banyak sekali kegiatan riset di bidang pangan dan pertanian yang dilaksanakan baik oleh Lembaga Litbang Kementerian, Lembaga Litbang Non Kementerian, Perguruan Tinggi, maupun Swasta yang nampaknya tidak saling berkoordinasi satu sama lain. Untuk meningkatkan koordinasi agar kegiatan riset dapat dilaksanakan sefara lebih efisien dan efektif dalam mencapai tujuan, diperlukan instrumen yaitu Agenda Riset Nasional yang disusun bersama oleh seluruh stakeholder dan dikoordinasikan oleh Dewan Riset Nasional. VI. Penutup Tantangan terbesar bagi Indonesia dalam menghadapi Pasar Bebas ASEAN 2015 adalah kemampuan untuk memanfaatkan pasar dalam negeri yang demikian besar dengan produk dalam negeri. Bagaimana mencegah masuknya produk dari luar dengan menghasilkan produk untuk kebutuhan sendiri dengan mutu dan harga yang lebih baik dari produk impor. Kesemuanya ini dapat dicapai apabila para pengusaha memanfaatkan kemajuan iptek yang dihasilkan oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi. Tantangan yang lebih berat lagi adalah bagaimana produk pertanian Indonesia mampu memasuki pasaran ekspor. Hal ini dimungkinkan untuk produk perkebunan yang selama ini telah berorientasi ekspor seperti kelapa sawit, kakao, kopi, karet, rumput laut, dan produk perikanan. Fokus pengembangan untuk produk ini adalah dalam hal hilirisasi produk untuk memperoleh nilai tambah yang lebih tinggi. Dengan demikian riset ke arah hilirisasi produk menjadi fokus utama. Untuk dapat bersaing di pasar bebas ASEAN tahun 2015, maka perlu ditingkatkan efisiensi produksi dan mutu produk pertanian kita dengan | 89
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi. Kesemuanya ini dapat dilakukan apabila kegiatan riset dan pengembangan dilakukan secara terkoordinasi, sehingga hasil riset dapat benar-benar dimanfaatkan oleh para palaku usaha. Untuk dapat mengkoordinasikan kegiatan riset oleh lmbaga litbang dan perguruan tinggi, maka disusunlah Agenda Riset Nasional. Dokumen ini dapat menjadi acuan bagi para periset, pengambil kebijakan, dan pengguna teknologi, sehingga riset yang dihasilkan dapat benar-benar ditujukan untuk peningkatan daya saing nasional. REFERENSI Anonim, 2013. Review on Innovation Policy. Innovation in Souteast Asia. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Anonim, Agenda Riset Nasional 2006 -2009. Dewan Riset Nasional Anonim, Agenda Riset Nasional 2010-2014. Dewan Riset Nasional. SCHWAB K , M. E. PORTER, 2008. The Global Competitiveness Report 2008–2009, World Economic Forum. Geneva. SCHWAB K, 2009. The Global Competitiveness Report 2009–2010, World Economic Forum. Geneva. SCHWAB K, 2010. The Global Competitiveness Report 2010–2011, World Economic Forum. Geneva SCHWAB K, 2011. The Global Competitiveness Report 2011–2012, World Economic Forum. Geneva SCHWAB K, 2012. The Global Competitiveness Report 2012–2013, World Economic Forum. Geneva SCHWAB K, 2013. The Global Competitiveness Report 2013–2014, World Economic Forum. Geneva Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 90 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
MENGGAGAS KESINERGISAN LITBANG BAHAN MAJU NASIONAL Prof. Dr. Ridwan 1 PENGANTAR Ilmu bahan dapat dipandang sebagai simpul dari berbagai disiplin ilmu dasar yang telah berkembang sejak lama. Fenomena fisika, kimia, optik, magnet yang muncul pada suatu bahan tidak mungkin dapat dijelaskan tanpa penguasaan ilmu dasar yang mendalam. Mengingat fenomena yang muncul pada suatu bahan kadang-kadang sangat kompleks, maka untuk menjelaskannya dibutuhkan kerjasama sinergis dari berbagai disiplin secara komprehensif. Kompleksitas fenomena yang muncul dapat merupakan hasil gabungan dari beberapa elemen bahan, yang masing-masing berfungsi secara sinergis untuk tujuan tertentu. Kondisi seperti ini banyak ditemukan pada bahan-bahan yang digunakan untuk tujuan medis, misalnya bahan-bahan untuk dapat menghancurkan sel-sel tumor yang tumbuh pada organ tertentu dari bagian tubuh. Pemahaman mengenai rangkaian mekanisme fungsi kerja sel-sel tumbuhan dan organisme lainnya, merupakan model yang banyak dikembangkan untuk dapat menciptakan bahan-bahan baru yang fungsional dan efektif. Sebagaimana layaknya ditemukan pada sel tumbuhan, dengan memanfaatkan sumber energi matahari (sumber energi yang terbarukan), oksigen di udara dan unsur-unsur yang terdapat di dalam tanah diolah secara sistematis tanpa menghasilkan limbah berbahaya dapat menghasilkan produk tertentu secara akurat. Pemahaman mengenai bahan mulai dari pengetahuan tentang struktur atom, mekanisme interaksi atom di dalam molekul yang tersusun secara priodik dan teratur membentuk struktur kristal bahan. Ditambah dengan pengetahuan ilmu fisika dan kimia klasik fenomena makroskopik 1
Anggota Komisi Teknis Teknologi Material Maju, Dewan Riset Nasional 2012-2014
| 91
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
bahan sudah dapat dijelaskan dengan baik. Namun perkembangan lebih lanjut dalam ilmu bahan saat ini sudah masuk ke era nanoscience dan nanotechnology dimana mekanisme interaksi melebihi jarak inter-atomik. Dalam selang ukuran nanometer terjadi perubahan sifat bahan secara drastis yang jauh berbeda dari kondisi bulknya. Hal ini membuka tantangan baru bagi peneliti di bidang ilmu bahan. Penguasaan ilmu bahan terkait kristalit dalam selang ukuran nanometer, akan dapat mempercepat proses aplikasi bahan nano sampai pada tahap produk berskala industri. Pusat penelitian serta perguruan tinggi yang melakukan penelitian ilmu bahan di Asia, Eropha, Amerika dan Afrika tumbuh dan berkembang dengan cepat. Investasi yang sangat besar telah ditanamkan untuk melengkapi fasilitas riset hingga pilot plant untuk menghasilkan bahan-bahan fungsional yang unggul. Perkembangan ilmu bahan yang demikian pesat hingga kadang-kadang jauh melampaui prediksi banyak ahli. Kolaborasi telah dibangun antara pusat penelitian, perguruan tinggi dan pihak industri baik bersifat lokal maupun internasional untuk pencapaian target secepatnya. Implikasi dari kemajuan di bidang ilmu bahan ini, juga seyogyanya dapat memotivasi kita untuk dapat menghimpun semua sumber daya yang telah dimiliki guna secara sinergis dapat mengembangkan ilmu bahan untuk memenuhi kebutuhan Nasional. Oleh sebab itu suatu perencanaan yang strategis berdasarkan kajian yang menyeluruh mulai dari segi manajemen, sarana dan prasarana, kapasitas SDM dan pendefinisian secara jelas mengenai tantangan dan target yang akan dicapai perlu disusun secara sistematis dan dilaksanakan dengan kontrol yang ketat dan diikuti dengan sistem pelaporan yang praktis sehingga hasil penelitian ilmu bahan dapat ditindaklanjuti ke tahap industrialisasi. Hasil penelitian ilmu bahan tidak mempunyai dampak secara signifikan terhadap pembangunan ekonomi Nasional tanpa dapat ditingkatkan pada tahap produksi. Sebaliknya tanpa ditunjang dengan penelitian dasar, serta sistem modeling yang kuat, maka pemikiran-pemikiran inovatif yang mendorong ditemukannya bahan-bahan baru sekaligus melahirkan produk-produk 92 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
baru yang sesuai dengan kebutuhan pengguna akan sulit diperoleh. Sehingga tujuan utama dari tulisan ini pada akhirnya diharapkan dapat diambil langkah-langkah antara lain : 1. Identifikasi jenis penelitian dan teknologi yang akan diterapkan dalam rangka mendukung industri Nasional MANDIRI, dengan membuat suatu produk ataupun pelayanan maupun proses produksi yang baru sehingga dapat unggul dalam bersaing dengan institusi riset lainnya di sekitar kawasan maupun regional 2. Penetapan program prioritas dalam penelitian bahan yang benar-benar di butuhkan oleh industri berbasis pada penelitian dan pengembangan serta inovasi anak bangsa 3. Pengambilan inisiatif riset dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum terkait tantangan dalam pemenuhan kebutuhan energi, makanan, air, lingkungan, kesehatan, wabah penyakit dan pertahanan. Tulisan ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai keterkaitan dengan hal-hal sebagai berikut. : • Status penelitian bahan di tingkat Nasional maupun dunia pada umumnya • Perlunya suatu langkah terobosan untuk meningkatkan mutu penelitian bahan maju Nasional untuk mengejar ketinggalan dibandingkan pencapaian ditingkat regional maupun dunia pada umumnya • Identifikasi advance technology yang dibutuhkan untuk mendukung kebutuhan industri ataupun start up company Nasional • Identifikasi kemungkinan kerjasama sinergik antara litbang-litbang terkait untuk mendukung program prioritas yang bersifat tematik
| 93
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
PENTINGNYA PENELITIAN ILMU BAHAN Kemajuan yang sangat pesat di bidang ilmu bahan secara nyata terlihat dari perkembangan industri telekomunikasi dan informasi, maupun bioteknologi sehingga mendorong lahirnya suatu paradigma baru di bidang industri. Ini dicirikan dari meningkatnya pemahaman mengenai karakter bahan hingga berdampak pada menurunnya penggunaan bahan baku guna membuat suatu produk teknologi , serta memungkinkan dibuatnya suatu bahan spesifik untuk keperluan tertentu pula. Terlihat dari perkembangan alat komunikasi dan pengolah informasi yang semakin mengecil dalam ukuran namun meningkat dalam kapabiltas. Di bidang bioteknologi ditemukan bibit-bibit unggul yang tahan penyakit dengan tingkat produksi dengan kandungan kulitas nutrisi yang tinggi. Pemahaman yang mendasar mengenai bagaimana munculnya sifat fisika, kimia, biologi serta penguasaan teknologi proses, memungkinkan kita untuk memperoleh suatu bahan yang berfungsi sesuai kebutuhan. Hal ini mendorong ditemukannya bahan-bahan baru, komposisi kimia baru atau bahan maju (advanced material) yang memiliki sifat-sifat tertentu yang ditujukan untuk kegunaan tertentu pula. Pendekatan lain untuk memperoleh bahan maju adalah melalui proses modifikasi sifat bahan baik terbatas dipermukaan, ataupun melalui sistem pencampuran, misalnya yang sering ditemui pada bahan komposit ataupun menggunakan teknik iradiasi. Dari segi pemrosesan bahan dipertimbangkan juga aspek penghematan energi, dampak lingkungan dan keamanan dalam packaging. Di tinjau dari unsur bahan baku juga dipertimbangkan untuk memanfaatkan unsur-unsur yang berlimpah di alam, maupun yang berasal dari pengolahan kembali (recycle) dari limbah produksi. Sehingga pemahaman mengenai bahan maju selalu dikaitkan dengan tujuan untuk peningkatan kualitas hidup manusia tanpa menyebabkan peningkatan konsumsi energi, unsur bahan baku yang digunakan dan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Gambaran di atas menunjukkan bahwa kemajuan di bidang ilmu bahan akan sangat mempengaruhi perkembangan industri secara global. Kemajuan yang pesat juga mendorong persaingan yang ketat baik secara 94 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
ekonomi maupun kualitas produk. Oleh sebab itu penelitian bahan umumnya menjadi prioritas di banyak negera maju dan negara berkembang. Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah dengan jumlah penduduk yang besar mempunyai peluang untuk tumbuh kembangnya industri berbasis bahan baku lokal untuk mengurangi ketergantungan akan produk import dan sekaligus dapat menyerap tenaga kerja, sehingga dapat memberikan manfaat dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat. TANTANGAN DALAM PENELITIAN ILMU BAHAN Tantangan dalam penelitian ilmu bahan umumnya bermula dari keinginan untuk memperoleh suatu bahan dengan sifat tertentu guna memenuhi tuntutan teknologi. Suatu pendekatan fundamental untuk memperoleh sifat tertentu dari bahan adalah diawali dengan pemahaman dan kemampuan mendisain konfigurasi struktur bahan. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai mekanisme interaksi interatomik maupun intermolekular yang mempengaruhi sifat fisika maupun kimia bahan. Pemahaman yang mendalam dari sistem mikrostruktur ini membuka peluang untuk diperoleh bahan baru (new material) dengan sifat-sifat yang diinginkan. Dalam usaha menghindari pemborosan waktu dan bahan baku karena pengulangan percobaan ataupun percobaan yang sifatnya trial and error, maka dukungan perangkat lunak maupun kemampuan analisis teoritik sangat diperlukan untuk pradisain struktur bahan. Mengingat analisis yang dilakukan dalam rentang jarak antar atom maupun molekul, maka peralatan untuk pengambilan data dengan resolusi tinggi sangat dibutuhkan. Peralatan high resolution XRD dengan dilengkapi Position Sensitive Detector (PSD) untuk sistem cuplikan berupa serbuk maupun koloid sangat membantu untuk identifikasi fasa maupun analisis struktur kristal secara cepat. Mengingat dengan teknik difraksi sinar-X jumlah cuplikan yang dibutuhkan sedikit serta tidak memerlukan perlakuan khusus. Sedangkan morpologi, ukuran partikel | 95
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
dapat diidentifikasi menggunakan peralatan SEM maupun TEM. Untuk bahan-bahan yang bersifat polimerik, ataupun biomaterial sistem ikatan molekular dapat dianalisis menggunakan alat spektoskopi Raman yang dikombinasikan dengan FTIR. Peralatan difraktometer maupun spektrometer neutron yang berada di Batan misalnya sangat berguna untuk menganalisa struktur kimia bahan, tetapi lebih jauh lagi mengingat neutron walaupun tidak bermuatan namun masih mempunyai spin momen magnet maka struktur magnet bahan juga dapat ditentukan dengan teknik difraksi neutron tersebut. Selain itu, karena mekanisme interaksi neutron dengan materi bersifat unik, maka dengan teknik difraksi neutron posisi atom-atom ringan juga dapat ditentukan; dimana dengan teknik difraksi sinar-X hal ini sangat sulit dan kadang-kadang mustahil untuk di tentukan. Dengan peralatan hamburan neutron, juga dapat dipelajari dinamika atom dibawah pengaruh luar seperti temperatur, medan magnet maupun pengaruh konsentrasi, pH larutan dalam proses pembentukan molekul (molecule assembly) menggunakan SANS dan HRSANS. Peralatan lain yang juga sangat dibutuhkan untuk pengembangan bahan-bahan baru (new materials) adalah peralatan uji komposis seperti XRF, AAS maupun AAN. Tidak kalah pentingnya dalam pengembangan bahan-bahan baru ini adalah dukungan perangkat lunak untuk analisis data serta rekonstruksi paramater struktur dan mapping dari data-data hasil ananlisis yang telah dilakukan. Pendekatan yang kedua adalah, memahami fenomena-fenomena spektakuler yang muncul dari bahan seperti sifat superkonduktivitas, superionik konduktor, ataupun sifat-sifat lainnya yang muncul akibat ukuran kristalit bahan menjadi sangat kecil mendekati nanometer. Sebagai contoh sifat bahan yang menunjukkan tahanan listrik mendekati nol sekitar suhu titik didih nitrogen pada bahan superkonduktor seramik dan fenomena konduktivitas yang tinggi untuk sistem bahan superionik glass pada suhu sekitar 200 0C masih terus dikaji peneliti, karena apabila munculnya sifat-sifat ini dapat dipahami sepenuhnya maka bukan tidak mungkin dapat didisain suatu material baru yang mempunyai sifat yang sama 96 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
pada suhu ruang. Demikian pula dengan fenomena yang muncul pada bahan-bahan dalam ukuran nanometer yang sangat berbeda dari sifat bahan yang sama pada kondisi bulk, masih menjadi topik penelitian yang terus dilakukan dibanyak pusat-pusat penelitian di dunia. Inti persoalan pada pendekatan kedua ini adalah terkait dengan penguasaan mekanisme kontrol dari sifat bahan sehingga dapat dimanfaatkan secara praktis sesuai kebutuhan. Guna memahami fenomena-fenomena tersebut, dibutuhkan peralatan uji dan karakterisasi yang sangat presisi dan dapat dikondisikan pada suhu, medan magnet, ataupun medan listrik selama pengukuran (in-situ). Peralatan seperti Squid, alat ukur tahanan listrik versus perubahan suhu dari suhu rendah hingga beberapa ratus derajat celcius mungkin sangat membantu untuk memhami fenomena yang terjadi di dalam bahan. Pendekatan ketiga terhadap pemenuhan kebutuhan bahan adalah diperolehnya bahan menggunakan unsur-unsur bahan baku yang berlimpah, murah ataupun menggunakan bahan baku sedikit, sehingga konsumsi energi menjadi rendah. Sebagai contoh klasik, adalah ditemukannya bahan magnet keras seri Nd-Fe-B. Penemuan bahan magnet unggul ini merupakan contoh usaha untuk mengurangi ketergantungan akan unsur Co dalam pembuatan magnet unggul. Mengingat ketersediaan unsur Co yang sangat sedikit di alam dan hanya terdapat di daerah tertentu, mengakibatkan harga Co menjadi sangat tinggi, sehingga produk magnet yang menggunakan Co menjadi tidak ekonomis. Sebaliknya unsur Fe tersedia melimpah di alam, namun sifat korosif yang ditunjukkan oleh Nd mempunyai tantangan sendiri untuk pemanfaatan bahan magnet tersebut untuk keperluan industri. Sifat magnet bahan Nd-Fe-B yang sangat unggul ditunjukkan oleh kandungan energi magnet yang sangat besar, maka banyak komponen peralatan yang menggunakan bahan magnet permanen dapat diperkecil ukurannya, namun dengan kapasitas unjuk kerja yang sama bila dibuat dengan bahan magnet lain dengan ukuran yang lebih besar. Dari aspek industri hal ini tentu akan sangat menarik, karena selain menggunakan bahan yang lebih sedikit juga energi yang | 97
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
dibutuhkan berkurang jauh, sehingga produk yang dihasilkan akan sangat bersaing secara ekonomi. Dari ke-tiga hal yang telah diuraikan di atas, maka tujuan utama dari penelitian ilmu bahan tidak lain adalah untuk memperoleh bahan-bahan fungsional (functional materials) dengan sifat-sifat tertentu untuk keperluan yang spesifik pula. Pemahaman yang mendalam mengenai mikrostruktur maupun konsfigurasi molekular akan sangat membantu dalam pengembangan bahan-bahan baru yang mempunyai sifat-sifat yang diinginkan. Penguasaan teknik pemrosesan dari bahan baku hingga diperoleh komposisi tertentu, termasuk pula modifikasi dari bahan sangat menentukan langkah pengembangan berikutnya. Pengembangan teknik pemrosesan bahan telah mendorong kemajuan yang pesat dalam penelitian ilmu bahan. Dengan teknik tertentu ukuran partikel bahan dapat diperoleh dalam ukuran yang kecil, hingga hanya dalam beberapa nanometer. Perubahan yang sangat drastis dari sifat bahan dalam skala nanometer, menyebabkan penelitian ke arah ilmu dan teknologi nano bahan menjadi sangat intensif dilakukan.
NANOSCIENCE DAN NANOTECHNOLOGY Nanoscience dan Nanotechnology adalah kata-kata yang sering digunakan untuk menggambarkan mengenai perkembangan metode sintesis, karakterisasi, identifikasi sifat-sifat bahan dan modeling serta proses pabrikasi functional nanomaterials, nanostructures, nanodevices dan nanosystems. Aplikasi dari bahan fungsional ini diperkirakan dapat secara radikal menggantikan produk-produk yang sekarang ada dipasaran diantaranya, untuk penyimpanan energi, medical diagnostics, drug delivery, alat uji dan karakterisasi, robotics dan masih banyak lagi. Sedangkan sektor industri yang memperoleh keuntungan dengan penerapan nanoscience dan nanotechnology diantaranya adalah yang bergerak di bidang energi, lingkungan, air, makanan, kesehatan, transportasi, industri kimia dan biokimia, pertahanan dan keamanan, elektronik dan teknologi informasi. 98 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Paling tidak ada 3(tiga) aspek menarik perhatian yang berkaitan dengan teknologi nano. Pertama, penelitian yang dilakukan adalah dalam usaha untuk mengisi kesejangan pengetahuan yang bersifat fundamental mengenai bahan. Pemahaman mengenai bangun atom maupun molekul telah dapat dikuasai menggunakan conventional tolls dari fisika maupun kimia. Sedangkan sifat-sifat bahan dalam kondisi bulk, juga sudah banyak dieksploitasi dari sistem kimia, biologi, engineering bahan. Namun demikian, pemahaman mengenai bahan dalam ukuran skala nano masih banyak yang belum dikuasai. Walaupun sistem dalam skala nano ini diyakini mempunyai peranan penting dalam menggerakkan mekanisme kehidupan pada mahluk hidup dan tumbuh-tumbuhan. Sifat-sifat dasar, fungsi dan struktur material mudah sekali berubah bergantung pada konfigurasi sistem molekul bahan tersusun melalui mekanisme interaksi lemah (weak interaction) dibangun dari sistem seperti ikatan hidrogen, elektrostatik dipole, gaya van der Waals, gaya permukaan, gaya electro-fluidic dsb). Aspek kedua yang menarik perhatian dari nanotechnology adalah adanya fenomena apabila dapat dimanfaatkan akan berpengaruh secara radikal produk-produk industri selama ini telah dikenal. Perubahan sifat bahan dalam ukuran nanometer, sangat mungkin terkait dengan konsfigurasi atomik bahan. Dalam ukuran skala nanometer jumlah fraksi atom dipermukaan menjadi lebih besar dibandingkan dalam ukuran bulk. Hal ini menyebabkan bahan menjadi sangat reaktif terhadap pengaruh luar. Ukuran partikel yang sangat halus juga membuat total luas permukaan bahan menjadi sangat besar, sehingga sangat sensitif terhadap perubahan kondisi disekelilingnya. Oleh sebab itu bahan seperti ini banyak dimanfaatkan juga sebagai sensor kimia atau biogent, regenerating tissue dan nerves, katalis, maupun sebagai bahan pembersih untuk lingkungan tanah terkontaminasi unsur-unsur yang membahayakan maupun unsur-unsur bersifat radioaktif. Aspek ketiga yang menjadi perhatian dalam bidang teknologi nano adalah proses pembuatan prototipe industri, sehingga teknologinano secepatnya dapat masuk pada tahapan komersialisasi. Seperti | 99
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
telah disebutkan di atas, sifat reaktif yang ditunjukkan bahan dalam skala nano selain menguntungkan juga memberikan permasalahan tersendiri apabila bahan akan diproses dalam skala industri. Bahan dalam ukuran skala nanometer menjadi tidak stabil secara kimia dan untuk bahan yang berbentuk serbuk gaya elektrostatik cukup besar sehingga bahan cenderung menggumpal (aglomerat), apalagi untuk bahan yang bersifat magnetik. Selain itu suhu reaksi sangat pengaruh terhadap pertumbuhan kristalit sehingga apabila suhu pembentukan kristalit tidak dapat dikontrol dengan baik, maka sangat sulit diperoleh bahan dengan ukuran kristalit yang seragam. Lebih jauh lagi kristal dapat tumbuh menjadi lebih besar sehingga berpengaruh terhadap sifat-sifat bahan yang dihasilkan. Ukuran partikel yang sangat halus juga menyulitkan dalam penanganan agar tidak terlepas ke atmosfir, terlebih apabila bahan bersifat toksit dapat menyebabkan pencemaran linkungan dan membahayakan kehidupan disekitarnya. Oleh sebab itu pengembangan teknologi pemrosesan bahan nano ini sangat giat dilakukan, karena apabila faktor-faktor penghalang untuk memperoleh bahan nano secara massal dapat diatasi dan ongkos produksi dapat ditekan serendah mungkin, serta aman terhadap lingkungan, maka dapat diperkirakan produk yang dihasilkan akan mempunyai ekonomis yang tinggi, sehingga dipastikan dapat bersaing dengan produk-produk yang dihasilkan secara konvensional. NANOSINTESIS, NANOANALISIS DAN NANOPABRIKASI Kata nanosintesis yang dimaksudkan disini adalah terkait metodologi proses untuk mendapatkan bahan dengan ukuran kristalit dalam skala nanometer. Kristal sendiri dapat didefinisikan sebagai susunan atom-atom yang mempunyai keteraturan dalam arah 3-D. Bahan logam misalnya, apabila dilihat tanpa menggunakan mikroskop dengan pembesaran yang tinggi, seolah-olah bersifat kontinyu dan serba sama disetiap bagian. Namun pada kenyataannya setiap bahan dibangun dari susunan kristalit yang dengan keteraturan dalam rentang sangat terba100 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
tas yang disebut dengan grains. Ukuran grain sangat bervariasi, dapat mencapai ukuran mikrometer dan sangat ditentukan oleh parameter-parameter proses. Pengontrolan parameter proses penumbuhan kristalit dengan sangat presisi akan dapat menghasilkan bahan dalam keadaan mono grain atau disebut juga dengan mono kristal (kristal tunggal). Atom-atom bahan yang tersusun secara sempurna dapat menghasilkan sifat bahan dengan unjuk kerja yang maksimal. Namun untuk membuat bahan kristal tunggal dalam ukuran yang sangat besar, tidak mudah dan kadang-kadang hampir mustahil pada jenis bahan- bahan tertentu. Dilain pihak sejak lama ditemukan bahwa sifat-sifat (mekanik, optik, listrik, magnet dan biologik) bahan tertentu dapat dimodifikasi sehingga lebih baik dari sebelumnya apabila selama proses pabrikasi ukuran grain dapat dipertahankan tetap kecil. Struktur mikro untuk bahan-bahan tertentu dapat dibuat sangat halus hingga dalam skala nanometer melalui proses pendinginan yang sangat cepat dari fasa cair ke fasa padatnya. Cara lain adalah dengan menggunakan proses mekanik, yakni dengan metode ball milling. Namun metode milling ini mempunyai kelemahan, bahan sering terkontaminasi akibat adanya abrasi dari vial maupun bola-bola yang digunakan. Metode yang banyak dikembangkan dalam proses sisntesis bahan nano saat ini adalah apa yang disebut dengan molecule assembly. Dengan teknik ini bahan “true nano” dapat diperoleh dengan susunan molekul dan ukuran yang sangat homogen. Untuk dapat menguasai teknik ini, maka pemahaman mengenai kinetika reaksi dan kontrol terhadap parameter-parameter yang berpengaruh seperti, pelarut temperatur, dalam pembentukan bahan menjadi sangat penting. Oleh sebab itu pengadaan alat yang dapat mengamati proses kinetika reaksi pembentukan molekular secara ‘in situ’ menjadi sangat penting. Berdasarkan pembahasan mengenai metode sintesis bahan nano di atas, maka secara garis besar proses pembentukan bahan nano dapat dikategorikan menjadi metode top down dan metode bottom up. Metode top down, adalah proses pembentukan bahan nano melalui me| 101
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
kanisme pengecilan ukuran kristalit dari sistem bulk menjadi mikrograins, dan metode bottom up adalah proses sintesis bahan nano dengan penyusunan atom-atom membentuk molekul dan selanjutnya dengan kontrol parameter reaksi diperoleh bahan dengan ukuran nanometer. Kata Nanoanalisis yang digunakan disini adalah untuk menjelaskan metodologi pengamatan, pengukuran, dan analisis data hasil eksperimen untuk dapat menentukan ukuran, morfologi, sifat kimia, fisika bahan nano baik secara statis maupun dinamis. Suatu bahan dengan ukuran kristalit < 100 nm, sudah dapat digolongkan sebagai bahan nano. Namun ukuran kristalit bukanlah satu-satunya parameter yang menentukan, perubahan radikal sifat-sifat fisika, kimia, optik, listrik, magnet yang ditunjukkan oleh bahan dalam ukuran kristalit < 100 nm merupakan faktor utama dalam nanoscience dan nanotechnology . Seperti telah dijelaskan sebelumnya, aspek utama yang membedakan bahan nano dengan bulknya adalah peningkatan total luas permukaan seiring dengan pengurangan ukuran partikel bahan. Luas permukaan ditentukan berdasarkan perata-rataan hasil pengukuran per-satuan berat bahan (m2/g), misalnya menggunakan BET (Brunauer, Emmett and Teller) ataupun ESA( Envelope Surface Area Analyser). Mengingat pada bahan ukuran nano jumlah fraksi atom di permukaan jauh lebih besar dari fraksi atom di bagian dalam, maka bahan menjadi sangat reaktif. Guna menghindarkan kesalahan dalam penentuan ukuran partikel maka persiapan pengukuran menjadi penting, yakni agar bahan benar-benar terdistribusi secara homogen (mono disperse). Sedangkan untuk mengetahui ukuran partikel dan morfologi bahan peralatan yang dapat digunakan misalnya SEM dan TEM. Sedangkan untuk identifikasi sistem fasa bahan, teknik yang banyak digunakan adalah dengan metode difraksi sinar-X. Dengan teknik ini selain sistem fasa dapat ditentukan dengan mudah, ukuran kristalit bahan dapat juga dianalisis semi kuantitatif berdasarkan lebar puncak difraksi hasil pengukuran. Salah satu teknik nuklir yang sangat bermanfaat untuk memahami kinetika pembentukan bahan nano, adalah dengan menggunakan teknik hamburan neutron sudut kecil, SANS. Menggunakan alat ini 102 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
proses molecular assembly dapat ditentukan secara in-situ, dengan melakukan analisa data hasil hamburan neutron menggunakan model-model yang ada. Beberapa penelitian mengenai molecular assembly ini telah dilakukan oleh Batan, terutama terkait dengan soft materials. Setelah ukuran dan morfologi bahan nano dapat ditentukan, maka analisis sifat-sifat fisika seperti, sifat magnetik, listrik, termal dan optik, maupun sifat mekanik menjadi sangat penting, untuk membuktikan bahwa bahan nano yang diperoleh tidak hanya sebatas pengurangan ukuran partikel/ kristalit. Data-data pengukuran sifat-sifat bahan nano ini akan menjadi lebih menarik apabila pengukuran tidak hanya dilakukan dalam kondisi statis, juga sangat diharapkan dapat dilakukan dalam kondisi dinamis sesuai parameter sintesis, ataupun parameter lain yang terkait dengan perubahan sifat bahan pada saat akan diaplikasikan. Berdasarkan data hasil analisis tersebut, maka secara mendalam dapat dipahami mekanisme pembentukan molekular, serta mekanisme interaksi dalam skala nano dengan penelaahan teoritis. Kata Nanopabrikasi yang digunakan dalam tulisan ini lebih ditekankan pada proses untuk memperoleh bahan nano dengan kapasitas industri. Keberhasilan dalam proses sintesis bahan nano dalam skala lab, tidak selalu menjamin bahwa bahan yang sama dengan mudah dapat diproduksi dalam jumlah besar. Sifat bahan nano yang reaktif, akan menimbulkan kesulitan tersendiri apabila bahan akan diproduksi secara massal. Kontrol parameter reaksi untuk jumlah produksi yang besar jauh lebih sulit dari pada dalam skala laboratorium. Hal ini menjadi tantangan utama yang harus dapat diatasi untuk memproduksi bahan nano. Pengetahuan ilmu bahan tidak akan memberikan dampak yang penting terhadap teknologi apabila proses produksi bahan dalam skala pilot pun tidak dapat dikuasai dengan baik. Bahan-bahan nano dalam aplikasinya berupa suatu senyawa yang sangat kompleks, mengingat fungsi dan lingkungan tempat bahan nano ini akan difungsikan juga sangat kompleks. Misalnya, bahan-bahan nano yang digunakan sebagai contras agent untuk tujuan diagnostik | 103
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
menggunakan MRI ataupun drug delivery untuk tujuan terapi kanker maupun tumor. Bahan-bahan ini selain diharapkan dapat ditujukan pada tempat yang spesifik (jaringan yang sakit) misalnya, menggunakan medan magnet eksternal, juga gugus fungsional yang dicangkokkan pada partikel tersebut diharapkan dapat menghancurkan sel-sel tumor maupun kaknker, tanpa berakibat fatal pada sel-sel sehat lainnya. Namun demikian permasalahan awal yang harus dapat diatasi adalah bagaimana partikel-partikel nano yang digunakan dapat dikenali/ diterima sehingga tidak mendapat hambatan dari sel pertahanan tubuh. Selain itu bahan contrast agent misalnya, dapat dikeluarkan kembali setelah tidak berpfungsi melalui sistem pembuangan, ataupun apabila diserap oleh tubuh tidak menyebabkan keracunan. KETERKAITAN INTERDISIPLIN DAN TREND KEGIATAN BIDANG PENELITIAN Berdasarkan peta hasil bibliometrics studies oleh Leydesdorff dan Rafols berdasarkan publikasi ilmiah yang menyangkut nanotechnology, dapat dilihat keterkaitan antara bidang-bidang penelitian di dalam ilmu bahan (lihat Gambar 1). Pada peta tersebut, terlihat bahwa penelitian di bidang ilmu bahan semakin kompleks dan bersifat multi disiplin. Berdasarkan Gambar 1, jelas terlihat bahwa bidang penelitian ilmu bahan merupakan topik utama yang paling banyak dilakukan, diikuti oleh penelitian di bidang kimia dan fisika. Hal ini sangat wajar, karena ketiga cabang ilmu ini merupakan dasar dari pengembangan cabang-cabang kegiatan penelitian di bidang lainnya. Namun perlu diperhatikan disini, penelitian di bidang ilmu biomedik tumbuh dan berkaitan dengan banyak disiplin ilmu. Ini menunjukkan bahwa penelitian di bidang ini memiliki standar mutu yang tinggi dan relatif lebih rumit. Persyaratan demikian dapat dipahami, karena produk riset dari bidang biomedik berkaitan langsung dengan manusia. Oleh sebab itu penelitian di bidang ini akan memakan waktu yang cukup lama sebelum produk yang diperoleh dapat diujicobakan kepada manusia. 104 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Catatan : a) Diameter lingkaran = jumlah publikasi b) Jarak antar disiplin berbanding terbalik dengan keterkaitan antar dipilin Gambar 1. Relatif jumlah publikasi dari bidang nanotechnology dari berbagai disiplin (2008)
Gambar bibliometric di atas, dapat dijadikan sebagai petunjuk mengenai perkembangan kegiatan penelitian yang sedang banyak dilakukan oleh berbagai pusat penelitian di seluruh dunia. Hal ini tercermin dari jumlah publikasi yang besar dari masing-masing disiplin keilmuan terutama dikaitkan dengan pengembangan nanoscience dan nanotechnology. Untuk cabang-cabang keilmuan lain yang terlihat cukup kecil, dapat memberikan gambaran apakah cabang disiplin ilmu tersebut sudah cukup mapan, atau penelitian di bidang tersebut sebagian besar dapat diselesaikan dengan metode-metode yang konvensional. Untuk melihat trend kegiatan topik penelitian dikaitkan dengan perkembangan ekonomi kawasan, dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
| 105
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Gambar 2. Trend kegiatan penelitian terkait dengan kegiatan ekonomi kawasan.
Gambar 2, dapat juga diartikan sebagai kecenderungan dari negara-negara yang berada di satu kawasan menanamkan dana investasi di bidang penelitian. Terlihat bahwa di kawasan Asia dana investasi banyak ditanamkan untuk kegiatan dibidang manufacturing, energi, transportasi, informasi dan telekomunikasi, serta lingkungan. Bidang-bidang yang menjadi fokus kegiatan di kawasan Asia tersebut, sangat beralasan mengingat pertumbuhan ekonomi dunia dikawasan ini yang tertinggi di dunia saat ini. Industrialisasi tumbuh seiring kegiatan manufacturing, dengan demikian membutuhkan pasokan energi yang cukup dan didukung sistem infrastruktur yang baik, sehingga transportasi barang dan jasa menjadi lancar, selain itu agar sistem networking terjaga dengan baik, maka jaringan pertukaran informasi dan pengolahan data haruslah dapat terjamin, namun harus selalu tetap menjaga kelestarian lingkungan. Rangkaian aktivitas demikian sangat sesuai dengan perkembangan ekonomi di kawasan Asia saat ini.
106 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA PENCAPAIAN TARGET Pada bahagian yang terdahulu telah dibahas dengan panjang lebar mengenai pentingnya penelitian di bidang ilmu bahan, tantangan dan perkembangan ilmu bahan hingga memasukki tahap nanoscience dan nanotechnology. Juga telah dibahas mengenai pentingnya kerjasama interdisplin dalam pelaksanaan kegiatan penelitian yang semakin kompleks serta fokus kegiatan yang menjadi prioritas kawasan maupun internasional pada umumnya. Namun beberapa faktor iyang juga harus mendapat perhatian diantaranya : • Walaupun manajemen riset kompetitif telah diagendakan oleh Ristek secara berkala, namun masih terdapat kelemahan dalam langkah implementasinya antara lain : »» Penjabaran dari pokok-pokok pikiran yang tertuang di dalam ARN ke dalam bentuk rencana aksi sinergis belum secara optimal dilakukan »» Review terhadap program kegiatan yang akan dilakukan masih bersifat normatif, belum sampai tingkat korektif dan deduktif. »» Evaluasi dan monitoring terhadap kegiatan yang telah dan sedang berjalan masih hanya terbatas pada pelaporan, namun belum bersifat antisipatif, misalnya kegiatan yang dipandang tidak akan mencapai target tidak segera dihentikan dan diganti dengan alternatif lain yang telah ditentukan sebelumnya. • Walaupun program prioritas telah ditetapkan di dalam garis-garis besar ARN, namun beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk mempertajam prioritas, antara lainnya : »» Membuat suatu paper akademik untuk masing-masing program prioritas yang merupakan hasil kajian yang komprehensif dengan melibatkan dewan pakar yang sesuai bidangnya. »» Melakukan kajian yang menyeluruh mengenai pencapaian pro| 107
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
gram litbang Nasional, terutama untuk dapat mengukur penguasaan ilmu dan teknologi oleh anak Bangsa dalam bidang-bidang prioritas yang telah ditentukan. »» Menjaring isu-isu penting dari sektor swasta yang berpotensi memanfaatkan hasil litbang Nasional »» Memperketat akuntabilitas dari kegiatan yang dilakukan dan menyiapkan laporan hasil kegiatan yang bersifat praktis sehingga dapat dijadikan pedoman bagi sektor swasta apabila ingin memanfaatkan hasil litbang yang telah dilakukan, misalnya menggunakan manajemen ‘tool’ TRL (Technology Readiness Level). • Walaupun faktor pendanaan sering menjadi kendala, namun untuk kegiatan yang memberikan dampak nyata pada kepentingan Nasional haruslah diutamakan, apabila kegiatan tersebut telah memenuhi kriteria sebagai berikut : »» Hasil kegiatan merupakan langkah terobosan baik berupa produk maupun teknologi yang dapat diaplikasikan untuk menunjang pembangunan Nasional »» Hasil kegiatan yang dilakukan telah dikaji dari segala aspek, baik keilmuan maupun dampak ekonomi yang dapat diberikan, dan merupakan program yang cukup besar dengan melibatkan interdisiplin secara faktual dan hasil dari kegiatan tersebut dapat mengangkat citra Bangsa baik dalam skala kawasan maupun regional dan internasional FAKTOR-FAKTOR BERPENGARUH TERHADAP PROGRAM PRIORITAS Faktor yang mendukung untuk suatu program dapat dijadikan prioritas, adalah dengan mempertimbangkan kertersediaan bahan baku di dalam negeri. Hampir semua bahan baku pembentukan bahan terse108 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
dia di dalam negeri, sehingga teknologi pengembangan material dengan memanfaatkan bahan baku lokal akan memberikan nilai kompetitif secara ekonomi. Oleh sebab itu langkah terobosan dalam pengembangan bahan adalah mencari komposisi bahan yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi serta banyak terpakai di industri dengan melakukan proses substitusi elemen-elemen tertentu dengan unsur-unsur yang melimpah di dalam negeri. Faktor lingkungan juga merupakan salah satu topik yang menjadi fokus perhatian di hampir semua negara. Teknologi pengolahan limbah baik nuklir, maupun non-nuklir merupakan program yang dapat diangkat menjadi prioritas. Pengembangan bahan dan teknologi untuk pengolahan limbah dengan menggunakan bahan baku yang murah (karena tersedia melimpah di dalam negeri) dan mudah/sederhana, akan mempunyai nilai ekonomis sekaligus bersifat strategis. Proses dekontaminasi air dan tanah yang tercemar oleh bahan-bahan bersifat radioaktif merupakan tema yang strategis untuk diangkat terkait dengan kecelakaan nuklir yang terjadi sebagai efek tsunami di Jepang. Beberapa faktor yang dapat dijadikan kriteria untuk mengangkat suatu program penelitian bahan menjadai prioritas, diantaranya adalah : • Teknologi yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan bahan dapat dikategorikan sebagai teknik baru yang memberikan dampak besar baik ditinjau dari aspek keilmuan maupun ekonomi • Bahan-bahan yang diteliti bersifat strategis, adalah bahan-bahan yang banyak digunakan di dalam perangkat dengan sistem pertahanan negara, nuklir, atau perangkat-perangkat lain yang membutuhkan presisi dan kehandalan yang tinggi • Bahan yang diteliti merupakan bahan fungsional yang mempunyai sifat-sifat unggul dibandingkan bahan-bahan yang sudah ada selama ini, misalnya bahan drug delivery, contras agent atau bahan-bahan senyawa bertanda lainnya. | 109
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
• Bahan baku yang digunakan banyak tersedia di dalam negeri dan dapat memberi nilai tambah sehingga menjadikan produk akhir bahan lebih kompetitif • Bahan yang diteliti bersifat ramah lingkungan. • Program penelitian bahan yang diajukan telah mempertimbangkan dari segala aspek, sehingga membentuk suatu kerjasama sinergis interdispliner dan dilaksanakan dalam rentang waktu terbatas dengan hasil yang terukur. LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS DALAM PENYUSUNAN PROGRAM PRIORITAS Ilmu bahan merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat pesat perkembangannya dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu lainnya. Hal ini didorong untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang menginginkan kehidupan yang lebih nyaman, murah, dan ramah lingkungan. Agar supaya program prioritas di bidang ilmu bahan dapat memberikan manfaat yang maksimal dalam pemenuhan kebutuhan nasional, maka beberapa langkah perlu dilakukan : • Membentuk tim ahli yang mengadakan pertemuan secara reguler untuk melakukan review secara global mengenai kemajuan perkembangan ilmu bahan Nasional, dengan melihat kemajuan yang telah dicapai oleh institusi riset maupun perguruan tinggi di tingkat Nasional serta melakukan kajian mengenai state-of the-art kemajuan penelitian di bidang ilmu bahan • Mengadakan pertemuan-pertemuan untuk mengumpulkan data-data pendukung guna menyusun langkah-langkah strategis dalam penelitian dan pengembangan ilmu bahan dengan mengundang pembicara ahli baik dari dalam maupun luar negeri
110 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
• Membuat suatu “Position Paper” hasil penelaahan tim ahli, yang berisikan kajian ilmiah mengenai perkembangan penelitian ilmu bahan berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai selama ini, dan merekomendasikan langkah-langkah strategis dalam penelitian ilmu bahan yang perlu diambil dalam periode tertentu (lima tahunan) untuk memenuhi kebutuhan Nasional dan berusaha menempatkan hasil riset Nasional menjadi terdepan di kawasan maupun regional. TOPIK PENELITIAN ILMU BAHAN YANG DAPAT DIJADIKAN PRIORITAS Walaupun telah digambarkan cukup luas di depan mengenai langkah-langkah untuk dapat sampai pada keputusan suatu topik untuk dijadikan prioritas, namun pengambilan keputusan bukan suatu yang mudah. Dengan mempertimbangkan keterbatasan sarana dan prasarana penelitian, SDM serta masih rendahnya kompensasi yang diberikan ke peneliti, dan komitmen pihak swasta untuk membangun industri berdasarkan hasil riset yang dikembangkan oleh institusi riset pemerintah, maka proses seleksi harus dapat dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Sebagai gambaran, disini diberikan topik-topik prioritas dalam ilmu bahan yang akan dilakukan oleh kumpulan masyarakat Eropa. Berlandasakan kepada kepentingan Nasional, maka topik-topik penelitian ini dapat saja dijadikan dasar untuk pengembangan di dalam negeri. Pertambahan Nilai Material (VAMs) Pemilihan topik penelitian juga harus mempertimbangkan perkembangan teknologi dan prospek pasar dalam jangka panjang. Prospek pasar tersebut dapat dilihat dari besarnya kemungkinan investasi yang akan ditanamkan dalam sektor industri terkait. Bahan maju yang memberikan dampak ekonomi besar seperti ini dipandang dari persepektif pasar adalah apa yang disebut dengan Value Added Materials (VAMs). | 111
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Penggunaan istilah VAMs dikalangan dunia science belum begitu populer dibandingakan dengan istilah new material ataupun advanced materials. Bahan Maju (advance materials) lebih dicirikan oleh sifat-sifatnya, antara lain : • Menunjukkan karakteristik yang superior dibandingkan dengan bahn-bahn komoditas pada umumnya, tidak mudah rusak seperti yang ditunjukkan oleh advanced steels; • Bahan dan sistem yang dibangun menggunakan bahan ini menunjukkan sifat yang unik dan memberikan peningkatan unjuk kerja yang signifikan dipandang dari segi sifat fisika, kimia, biologi maupun dari segi fenomena dan prosesnya. • Mampu menyerap energi dengan kapasitas yang tinggi • Dapat direkayasa sehingga memberikan unjuk kerja yang tinggi • Memberikan fungsi-fungsi baru sehingga meningkatkan unjuk kerja sistem dengan kandungan teknologi dalam proses produksinya. Sehingga dari karakteristik tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahan maju diperoleh dari proses rekayasa teknologi yang berdasarkan pada pemahaman yang mendalam mengenai bidang ilmu secara indispliner sehingga meningkatkan unjuk kerja bahan yang berpotensi untuk menciptakan teknologi dan membuka pasar baru. Dengan demikian VAMs, haruslah menjadi bagian dari bahan maju yang berlandaskan pada bahan baru, lihat Gambar 3 (www.oxfordresearch.eu).
Gambar 3. VAMs merupakan bagian dari bahan baru dan bahan maju 112 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Pengertian VAMs akan lebih jelas apabila dipandang dari persepektif pasar. Suatu bahan maju akan dapat dikatagorikan sebagai VAMs apabila mempunyai nilai strategik baik dipandang dari segi pasar maupun teknologi. Oleh sebab itu VAMs akan selalu berkaitan dengan penguasaan hak intelektual. Suatu bahan dimasukkan sebagai golongan VAMs, apabila pengetahuan yang dibutuhkan untuk menciptakan bahan tidak mudah ditemukan di pasar. Penguasaan VAMs akan menyebabkan adanya kemampuan untuk mengendalikan dan sekaligus menguasai pasar suatu produk. Oleh sebab itu berbagai pusat penelitian secara intensif berusaha untuk meningkatkan unjukkerja suatu bahan sehingga dapat dihasilkan bahan-bahan yang dapat dikategorikan sebagai VAMs. Perkembangan VAMs sangat bergantung pada peluang pasar yang tumbuh akibat meningkatnya kebutuhan produk barang dan jasa dengan kandungan teknologi yang tinggi. Sesuai dengan hukum ekonomi, investasi disuatu bidang akan meningkat seiring dengan terbukanya peluang pasar di sektor terkait. Pada Gambar 4, ditunjukkan bidang-bidang terkait dengan VAMs dimana pelaku industri menanamkan modalnya sampai sesuai survey yang telah dilakukan adalah (www.oxfordresearch. eu) :
Gambar 4. Prospek penanaman modal sesuai sektor
| 113
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Dua sektor utama dimana investasi secara bertahap akan meningkat hingga tahun 2050 adalah sektor energi dan yang berkaitan dengan lingkungan. Dua sektor utama ini menjadi penting dimasa mendatang, mungkin dapat dipahami sebagai berikut; seiring dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan taraf hidup, industrialisasi, mobilitas manusia dan barang akan sangat membutuhkan dukungan energi yang cukup. Oleh sebab itu investasi di bidang energi akan terus meningkat dimasa mendatang. Sektor-sektor terkait bidang energi yang banyak diminati oleh investor dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Arah investasi VAMs terkait sektor energi
Dari Gambar 5, investasi energi terkait VAMs meliputi sektor penghematan energi dan bahan penyimpan energi sangat besar yakni sekitar 52 %, melebihi investasi sektor pembangkit energi itu sendiri. Hal ini tercermin dari intensifnya R& D pada penghematan energi seperti untuk penerangan maupun penyimpanan energi seperti baterai. Sebagai contoh, hal ini tercermin dari pertambahan nilai yang diperoleh industri di Eropa terkait dengan photonics ecosystem, lihat Gambar 6 ( Materials for Keys Enabling Technologies, www.european-mrs.com, 21 Oktober 2013)
114 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Gambar 6. Pertambahan nilai industri Eropa terkait penerangan dan bahan penyimpanan energi
Sedangkan untuk bidang lingkungan, yang banyak menarik investor adalah pada sektor pengelolaan limbah termasuk disini proses daur ulang (recycle), pengambilan kembali komponen-komponen yang berharga dari limbah (waste recovery) dan sektor pengolahan air bersih termasuk pengolahan air limbah. Hal ini, seperti terlihat pada Gambar 7. Teknologi daur ulang merupakan salah satu program utama di negara maju, terutama dikaitkan dengan kesulitan dalam memperoleh bahan baku utamanya unsur RE akibat pembatasan ekspor oleh Cina. Selain itu pertumbuhan industri yang tidak ramah lingkungan telah menyebabkan kerusakan lingkungan dalam jangka panjang, sehingga proses penanganan kerusakan lingkungan tersebut akan membutuhkan biayai dan teknologi maju.
| 115
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Gambar 7. Arah investasi VAMs terkait lingkungan
Sektor penyediaan air bersih dan pengolahan limbahnya, merupakan hal yang prioritas untuk ditangani dimasa depan. Berdasarkan studi diketahui bahwa, kebutuhan air untuk industri pada negara dengan pendapat yang tinggi jauh lebih besar dibandingkan dengan negara yang belum berkembang, lihat Tabel 1. Sehingga kebutuhan untuk proses penyedian air dan pengolahan limbah air industri sangat dibutuhkan agar tidak merusak lingkungan. Teknologi nano dalam penanganan limbah cair industri ini menjadi salah satu topik riset yang banyak dilakukan diantaranya mencari bahan aktif yang dapat menyerap partikel kontaminan. Sistem komposit magnet-adsorber adalah satu bahan yang sangat efektif untuk pengolahan limbah cair. Dengan sistem komposit magnet adsorber ini, proses pengambilan kembali adsorber dari cairan yang telah diolah tidak membutuhkan penyaringan mekanis sehingga lebih menghemat biaya dan hemat energi.
116 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Tabel 1. Kebutuhan air sesuai dengan tingkat pendapatan suatu negara
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Tim Oxford University (www.oxfordresearch.eu), keinginan investor menanamkan modal dibidang terkait dengan VAMs akan berubah dengan waktu seiring dengan perkiraan pertumbuhan GDP di kalangan negara Eropa, dapat di lihat pada Gambar 8. Oleh sebab itu Indonesia, perlu menyusun suatu perencanaan strategis untuk mengantisipasi perubahan pasar global terkait dengan VAMs.
Gambar 8. Perubahan arah investasi sesuai pertumbuhan pasar dalam jangka waktu panjang | 117
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Perubahan arah investasi jangka panjang VAMs, sangat terkait dengan peluang pasar yang tumbuh disetiap sektornya. Peluang pasar untuk setiap sektor yang sesuai Gambar 5, seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Prospek Pasar VAMs per Sektor Hingga Tahun 2050
Sedangkan khusus untuk lingkungan dan energi prospek pasar VAMs di Eropa, sampai dengan jangka menengah, dapat dilihat seperti pada Gambar 9.
Gambar 9. Peluang VAMs di sektor Energi dan lingkungan
118 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Ketersediaan Bahan Baku Dalam Negeri dan Material kritis Dasar untuk penetuan arah kegiatan penelitian di dalam negeri juga harus mempertimbangkan ketersediaan bahan baku lokal. Hal ini, untuk mencegah arah pemebangunan industri masa depan yang terus bergantung pada bahan baku impor yang sampai saat ini sudah sangat tinggi yakni sekitar 70%. Dengan kondisi demikian dapat dijelaskan bahwa produk industri Indonesia masih dapat mampu bersaing dikarenakan oleh upah buruh dan infrastruktur yang relatif masih murah. Oleh sebab itu kebijakan pengembangan industri Indonesia ke depan haruslah dipacu untuk menghasilkan produk bahan dengan nilai tambah yang tinggi berdasarkan ketersedian bahan baku lokal. Berdasarkan Gambar 10, kekayaan alam Indonesia sangat menjanjikan. Tambang-tambang mineral Indonesia seperti tembaga (Cu), Nikel (Ni), timah putih (Sn), timah hitam (Pb) dan aluminium (Al), sangat mungkin mengandung bahan-bahan ikutan yang bernilai strategis namun belum mendapat perhatian dari Pemerintah. Oleh sebab itu, penerapan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 tahun 2012 haruslah diikuti dengan penelitian yang terstruktur terhadap kandungan mineral dari hasil tambang yang selama ini masih di ekspor dalam bentuk mineral mentah. Penerapan peraturan Pemerintah terkait pengelolaan mineral ini juga harus diikuti dengan kebijakan untuk mendorong program Penelitian dan Pengembangan material maju di dalam negeri yang berbasis unsur-unsur strategis tersebut sehingga benar-benar dapat memberikan nilai tambah bagi industri dalam negeri.
| 119
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Gambar 10. Unsur-unsur ikutan yang strategis yang mungkin dapat diolah sebagai produk samping penambangan logam dasar
Dari Gambar 10, nampak bahwa dari proses penambangan logam-logam utama seperti Cu, Al, Ni dan Sn sangat banyak unsur-unsur ikutan lainnya yang sepenuhnya belum diusahajan secara maksimal di dalam negeri. Unsur-unsur ikutan tanha jarang (RE) misalnya, tergolong dalam unsur kritis dan mahal saat ini setelah Cina membatasi ekspor bahan-bahan tersebut akhir-akhir ini. Pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa hampir semua produk yang terkait dengan pengembangan teknologi bersih sangat bergantung pada bahan RE ini.
120 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Tabel 3. Beberapa elemen kritis terkait pengembangan teknologi bersih
Penelitian bahan yang juga sangat strategis dan dengan bahan baku utama tersedia dalam jumlah yang besar di Indonesia adalah karet. Bahan olahan dari karet alam dapat berupa ban untuk kendaraan bermotor, gaskets, dan sealing bagian dari komponen pompa vacuum ataupun bertekanan, sambungan pipa dan sebagainya merupakan salah satu bahan maju yang terus berkembang penelitiannya terutama untuk | 121
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
penggunaan pada kondisi-kondisi yang ekstrem. Pada bagian akhir dari proses untuk pemilihan topik penelitian yang menjadi prioritas ada baiknya melihat bagaimana hasil analisis Departemen Pertahanan Amerika (DoD) terkait dengan bahan-bahan yang digolongkan startegis dan beberapa diantaranya dianggap kristis. Tingkat kristis ini dapat saja akibat adanya pembatasan ekspor oleh negara produsen, ataupun akibat situasi politik global. Berdasarkan data-data yang terdapat di dalam Tabel 4 (Strategic and Critical Materials 2013 Report on Stockpile Requirements, DoD-USA, Januari 2013)maka pertimbangan arah penelitian prioritas sesuai dengan ketersediaan bahan baku lokal dapat disusun lebih sistematik. Tabel 4. Strategik Material Report dari Departemen Pertahanan Amerika 2013
122 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Sambungan...
| 123
Dewan Riset Nasional
Sambungan...
124 |
http://www.drn.go.id/
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Sambungan...
| 125
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
PENUTUP Tulisan ini disusun sebagai sumbang pemikiran untuk dapat dibuat suatu rencana startegis penelitian dan pengembangan ilmu bahan Nasional khususnya dalam rangka penyusunan ARN 2015-2019. Pemikiran ini masih sangat sederhana, dengan data-data yang sangat terbatas maka pada kertas kerja ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Kemajuan ilmu bahan yang sangat pesat, menuntut setiap pemikiran tentang kemajuan dalam bidang penelitian dan pengembangan ilmu bahan memungkin untuk di up-date dengan berjalannya waktu. Mengingat perkembangan ilmu bahan terintegrasi dengan pasar sangat erat maka konsep yang dikenal dengan Accelerated Radical Innovation (ARI) sangat tepat untuk diterapkan.
Gambar 11. Skematik diagram Accelerated Radical Innovation (ARI)
126 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Konsep ARI dalam perkembangan ilmu bahan dapat diartikan bahwa setiap penemuan akan menyebabkan persaingan yang sangat ketat di pasar. Penerapan strategi ARI, dapat mempercepat suatu hasil riset mencapai tahapan rekayasa engineering berupa produk sehingga dapat unggul dan menguasai pasar. Kecepatan dan ketepatan waktu untuk suatu produk dapat sampai di tingkat konsumen merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dari kegiatan industri. Pola pembinaan litbang baik di lembaga riset maupun perguruan tinggi perlu lebih diperinci, terutama terkait dengan penelitian bahan-bahan yang sudah dapat digolongkan sebagai bahan komoditi atau yang bersifat bahan maju dengan pertambahan nilai yang besar. Bahan-bahan yang bersifat komoditi umumnya dari segi teknologi proses sudah tidak dilindungi oleh paten. Oleh sebab itu penelitian dibidang bahan-bahan ini selayaknya sudah sangat dibatasi kecuali hanya bersifat kontrol kualitas produksi. Titik fokus kegiatan yang harus dicapai untuk bahan-bahan yang sudah dapat digolongkan pada bahan komoditi adalah volume produksi, waktu proses produksi, dan kesediaan bahan baku yang murah tanpa merusak lingkungan. Inisiatif kegiatan selayaknya berasal dari sektor swasta dengan tenaga ahli yang berasal dari lembaga litbang maupun perguruan tinggi. Sedangkan penelitian terkait bahan maju dengan nilai tambah yang besar dan bersifat strategis haruslah direncanakan secara sistematik dan mendetail dalam jangka waktu yang terukur. Seperti telah dijelaskan sebelumnya penelitian terkait bahan maju bersifat pioneering, maka kerjasama multidisiplin untuk pengembangan bahan mutlak diperlukan. Disamping itu untuk proses sintesis dan karakterisasi bahan membutuhkan peralatan yang spesifik dan relatif modern, maka kerjasama antara institusi riset, perguruan tinggi dalam sharing peralatan riset mutlak dibutuhkan untuk menghemat pengeluaran negara. Kebijakan lain yang sangat diperlukan agar hasil riset benar-benar dapat berkontribusi dalam industri Nasional, maka langkah pembinaan dan penerapan kebijakan yang tepat sangat diperlukan. Sudah sangat disadari bahwa terdapat perbedaan persepsi yang sangat besar | 127
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
antara pelaku litbang dan industri. Pelaku litbang umumnya sudah merasa cukup puas sampai dengan pengembangan teknologi dan implentasi dari teknologi yang dikembangkan dianggap merupakan tanggungjawab sepenuhnya pada pengguna teknologi. Pada hal teknologi baru masih mengandung resiko kegagalan yang cukup besar bila diimplementasikan. Sehingga umumnya pelaku litbang kurang memperhatikan aspek bisnis dan hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip yang berlaku di industri. Pelaku industri sangat memperhitungkan setiap pengeluaran ongkos dari setiap aspek implementasi teknologi. Selain itu menuntut waktu yang singkat untuk suatu produk masuk ke pasar juga perkembangan pasar secara umum. Oleh sebab itu banyak sekali hasil kegiatan penelitian yang berhasil baik ditingkat laboratorium namun gagal di dalam proses transformasi industri, masuk ke dalam jurang apa yang disebut Valley of Death. Dari paparan di atas, jelas terlihat bahwa keunggulan dapat diperoleh adalah apabila kita dapat me-manage setiap inovasi hingga menjadi kenyataan, yang pada akhirnya dapat memberikan keuntungan pada semua pihak. Oleh sebab itu masukkan, tambahan data-data guna melengkapi analisis untuk penyusunan langkah strategis agar penelitian di bidang ilmu bahan dapat memberikan sumbangan yang nyata untuk mensejahterakan kehidupan bangsa.
128 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
SUMBER BACAAN Materials for Key Enabling Technologies, report of a joint effort of the European Materials Research Society (E-MRS, Strasbourg, www.european-mrs.com) Advanced Materials, Key Technology Area, 2008-2011 (www.innovateuk. org) Technology and market perspective for future Added Materials, Final Report from Oxford Research AS(www.oxfordresearch.eu) The Mineral Industry of Indonesia, by Chin s. Kuo, U.S. Geological Survey Mineral Yearbook-2011 Potensi dan Prospek Peningkatan Nilai Tambah Mineral Logam di Indonesia (Suatu Kajian Terhadap Upaya Konservasi Mineral), H. Djamaluddin dkk, Prosiding 2012, Hasil Penelitian Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. A Review of National Resource Strategies and Research, March 2012, Departement for Environment Food and Rural Affairs, UK (http://www. defra.gov.uk/environment/) Pengembangan Teknik Separasi Magnetik in Situ Untuk Pengolahan Limbah Cair Industri nuklir dan non Nuklir, 2010, Ridwan, PTBIN Batan, Jakarta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia,Nomor 23 Tahun 2010 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Nomor 7 tahun 2012
| 129
Dewan Riset Nasional
130 |
http://www.drn.go.id/
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
RISET PENGEMBANGAN KAPASITAS SISTEM PRODUKSI (Dari Sudut Pandang Seorang Pekerja Di Lantai Produksi) Said Firman 1 Dari kacamata manufaktur , produksi adalah suatu proses yang dibutuhkan untuk mengubah bahan baku menjadi barang jadi , produksi dibutuhkan untuk menghasilkan keluaran berupa barang jadi atau produk dalam jumlah yang banyak dan sama , sama bentuk dan ukurannya , sama fungsinya , sama kualitasnya , ..ya sesederhana itu. Prosesnya biasanya selalu berulang yang dilakukan terus menerus , disitu ada manusia wpekerja, ada bahan baku dan ada proses / mesin produksi . Kalau Cuma bisa membuat satu atau dua buah saja belum bisa kita sebut sebagai mampu memproduksi. Proses produksi biasanya menggunakan cara atau metodologi tertentu dan didalamnya selalu ada teknologi tertentu , kita menyebutnya teknologi proses , untuk dibedakan dengan teknologi produk . Produknya boleh saja sama misalnya mobil , tapi teknologi proses untuk membuatnya bisa sangat berbeda antara satu pabrikan dengan pabrikan yang lain , ada pabrik yang masih menggunakan teknologi (cara) manual , atau semi otomatis atau ada juga yg sudah menggunakan teknologi robotik. Untuk merencanakan suatu proses produksi , di pabrik ada yang namanya Dokumen Produksi , dan didalamnya ada elemen yang penting yaitu Production Plan and Control (PPC). Sebuah Prototype barang yang dihasilkan dari suatu proses riset , misalnya Riset Terapan , belum dapat langsung diproduksi , prototype tersebut barulah bersifat proof of concept , semua fungsinya telah sesuai , untuk dapat masuk kedalam proses produksi, biasanya dibuatkan dulu Protype Produksinya . Prototype Produksi dibutuhkan supaya parts atau bagian-bagian dari produk tersebut nantinya bisa diproduksi secara efisien 1
Anggota Komisi Teknis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Dewan Riset Nasional 2012-2014
| 131
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
dengan menggunakan mesin-mesin yang ada. Bila prototype produksi sudah bisa dibuat, barulah dokumen produksi termasuk dokumen Production Plan and Control bisa dihasilkan . Sekarang coba kita simak bahan baku , untuk mengawali proses produksi dan untuk memastikan bahwa bahan baku yang ada itu sama bentuk , fungsi dan kualitasnya, biasanya ada proses memeriksa kualitas bahan baku , yang disebut Incoming Good Inspection , hanya bahan baku yang lolos pemeriksaan ini yang boleh masuk ke lantai produksi . Bahan baku yang sudah dibeli biasanya disimpan di gudang , bila jumlahnya banyak , menumpuk karena ketidaksesuaian atau kesalahan jadual produksi maka hal ini berakibat menyandera keuangan perusahaan ,kemudian orang mengembangkan metode atau teknologi Just In Time ,dimana bahan baku yang dibeli dari perusahaan pemasok tidak lagi disimpan digudang tapi langsung didrop di mesin produksi dan langsung masuk proses produksi , lebih efisien kan? , namun hal ini menuntut perencanaan produksi yang benar-benar matang, tepat waktu, tepat jumlah dan tepat kualitas , antara perusahaan pemasok bahan baku dan perusahaan pembeli . Perusahaan pemasok bahan baku sekarang bertanggungjawab untuk melaksanakan pemeriksaan kualitas bahan baku. Nah , sekarang kita lihat Production Plan and Control, didalam dokumen ini sudah ditentukan teknologi proses yang seperti apa yang akan diterapkan, untuk mudahnya kita lihat saja gambaran sebagai berikut ,misalnya untuk memproduksi 100 buah menara telekomunikasi, dengan target waktu hanya 1 bulan, bila hanya menimbang kualitas , maka teknologi proses dengan menggunakan mesin Numerical Controlled (NC) yang paling baik, karena mesin ini mempunyai tingkat presisi yang paling baik namun sangat lambat dan mahal , sedangkan untuk mengejar target waktu produksi , maka bisa digabungkan dengan cara copy punched , dimana hanya satu buah menara saja yang dibuat dengan mesin numerical controlled , kemudian bilah-bilah menara tersebut diperbanyak dengan cara Copy Punched , kualitasnya sedikit lebih rendah, namun masih 132 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
didalam batas toleransi kualitas , dan lebih murah . Jadi proses produksi bukanlah semata masalah state of the art technology saja, tapi banyak pertimbangan yang lain , tujuannya satu, menghasilkan produk yang tepat kualitasnya dan harganya dapat bersaing dipasaran. Contoh lain , produk handphone, jumlahnya sangat banyak dan selalu berganti model setiap saat , supaya handphone bisa dibuat lebih kompak namun mengusung fungsi yang lebih kompleks maka dikembangkan Printed Circuit Board dengan multi layer , dan komponen elektronik dengan Surface Mounted Technology , namun untuk memasangnya diperlukan tenaga robotic dan hampir mustahil dikerjakan secara manual oleh tangan manusia . Dengan robotic dapat dihasilkan produk yang jumlahnya massal dan sering berganti model . Dari sisi biaya tenaga robot sangat mahal investasi awalnya namun murah dalam operational costnya , sebaliknya tenaga manusia mahal dalam operational costnya. Untuk memproduksi barang dalam jumlah yang banyak bisa dilakukan secara serial, kita sebut ban berjalan , atau dapat dilakukan secara parallel dimana seorang pekerja mengerjakan semua pekerjaan , atau kombinasi dari kedua cara tersebut , pilihan tersebut akan mempengaruhi jenis dan kualifikasi pekerja dan jenis mesin produksi yang dibutuhkan , dan tentunya pada gilirannya akan mempengaruhi production cost . Kapasitas produksi adalah ukuran berapa jumlah produk yang dihasilkan per satuan waktu. Kapasitas produksi sangat dipengaruhi oleh production plan and control , didalamnya sudah terencana bahan baku seperti apa yang dibutuhkan , mesin produksi apa yang akan dipakai, jumlah dan kualifikasi pekerja yang dibutuhkan , berapa jumlah produk yang akan dihasilkan , bagaimana memeriksa kualitasnya , dan sebagainya. Dilantai produksi , biasanya pada saat jam istirahat siang atau sore hari, para pekerja duduk dan mengobrol, mereka membicarakan hal-hal kecil dan sepele, misalnya bagaimana caranya memasang baut supaya lebih | 133
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
cepat , ada yang mengusulkan supaya menggunakan baut lebih pendek dan ulirnya lebih kasar , setelah dicoba ternyata hasilnya memang lebih cepat, dan kekuatannya ternyata masih tetap baik, dari obrolan seperti ini muncullah konsep Total Quality Control dan Continous Improvement , dimana produk yang dihasilkan terus menjadi lebih baik dari hari ke hari. Maka pabrik bagaikan senyawa hidup , ia terus berkembang dan selalu ingin menghasilkan produk yang makin banyak , makin baik, makin berkualitas , makin murah. Satu pabrik selalu bersaing dengan pabrik yang lain untuk menghasilkan barang yang lebih baik dan lebih murah , biasanya persaingan itu kemudian menjurus kepada teknologi proses apa yang akan digunakan, , bila payloadnya sama, akhirnya pabrik yang mempunyai kapasitas produksi yang lebih besar yang akan memenangkan persaingan , karena production cost per unit nya bisa lebih rendah. Dari kenyataan ini, kita lihat bagaimana Negara China membangun kekuatan disektor manufacturing , dengan memberikan segala kemudahan investasi , sebagai contoh untuk sektor IT , hampir seluruh vendor dunia sekarang membangun pabriknya di China , walau produk tersebut di riset di Eropa atau di Amerika, namun produksinya dilakukan oleh pabrikan di China , sehingga kapasitas produksi China demikian besarnya seolah-olah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dunia dan menjadi demikian murahnya cost per unit sehingga akan sulit disaingi oleh pabrikan lain di Negara manapun. Dari beberapa pengertian diatas , nampaknya ada beberapa hal yang seharusnya menjadi objektif dari Riset Pengembangan Sistem Kapasitas Produksi , yaitu : 1. Mencari model proses produksi yang paling tepat , sehingga dapat dihasilkan produk yang tepat jumlah, tepat waktu dan tepat kualitas sehingga produk bisa cepat masuk pasar. 2. Memperbaiki proses produksi yang ada, sehingga dapat dihasilkan 134 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
produk yang harga cost per unitnya lebih murah dari waktu ke waktu dan dapat bersaing di pasar. Untuk itu seorang periset tidak dapat hanya duduk dibelakang meja mengerjakan risetnya, namun semestinya juga turun kelapangan dan ke lantai produksi , melihat dan merasakan langsung proses produksi yang ada , sehingga tahu dimana kekurangannya dan tahu apa-apa saja yang bisa diperbaiki kedepannya. Riset Pengembangan Kapasitas Sistem Produksi mustinya tidak hanya sekedar riset yang menghasilkan prototype alat, namun justru esensinya adalah bagaimana menemukan suatu metoda agar alat tersebut bisa diproduksi secara masal ,lebih efisien dan lebih murah , kata kuncinya adalah Improvement. Di tahun 90-an pabrik mobil di Jepang memerlukan waktu hanya 12 detik untuk memasang mesin kedalam bodinya , dan dari tahun ke tahun mereka selalu memperbaiki rekor waktu tersebut, untuk selalu lebih cepat lagi . Di lantai produksi , kelompok-kelompok pekerja berlomba untuk menghasilkan waktu yang lebih cepat lagi dan lebih cepat lagi. Di dalam negeri kita lihat bagaimana pabrik tekstil yang masih menggunakan teknologi alat tenun bukan mesin harus jalan terseok seok atau bahkan gulung tikar , terlepas dari ketersediaan bahan baku tekstil disain produk dan pengenaan kuota ekspor, yang jelas dari segi kapasitas produksi saja sudah kalah dibandingkan pesaingnya pabrik-pabrik yang sudah menggunakan alat tenun mesin. Contoh lain, kita tahu cara membuat batik tulis secara tradisional yang memakan waktu yang sangat panjang , apakah sudah ada yang meriset agar batik tulis tidak mesti harus memakan waktu yang lama untuk memproduksinya , tanpa mengurangi kualitas dan nilai seni budayanya?. Apakah sudah ada Improvement cara kita membuat dan memproduksi batik tulis ? .Apabila ada periset dari Negara lain yang menemukan cara memproduksi batik tulis lebih cepat , ini merupakan ancaman serius agar | 135
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
pabrik batik tulis kita tidak gulung tikar. Untuk bisa unggul di pasar, kita membutuhkan bukan saja produk yang unggul, namun juga cara kita membuat produk itu juga harus unggul, sehingga secara keseluruhan kita bisa menghasilkan produk yang unggul dan selalu lebih murah . Produk dan Proses , ini adalah satu kesatuan , kita harus punya dua-duanya.
136 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
PENINGKATAN SINERGI PENELITI DAN PENGUSAHA UNTUK MENGGAIRAHKAN KEGIATAN PENELITAN DAN INDUSTRI MANDIRI DI INDONESIA Dr. Dudi Iskandar 1
Masalah Sudah menjadi pembicaraan sejak lama adanya jarak antara peneliti dan pengusaha, antara lembaga peneliti penghasil konsep dan teknologi dengan pengguna teknologi, adanya kesenjangan antara hasil penelitian dan penggunaanya oleh kalangan industri. Dalam berbagai forum, seperti juga dalam dialog prospek bisnis hasil penelitian yang diadakan oleh DRN pada bulan Oktober 2013 ini, masih diungkapkan oleh peneliti tentang kesulitan membina hubungan dengan pengusaha. Banyak hasil penelitian perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian yang belum dikomersilkan, kurang diadopsi dan dimanfaatkan oleh industri nasional. Sering diungkapkan oleh peneliti bahwa kalangan industri tidak mau membantu dana untuk penelitian,disisi lain pengusaha menuduh hasil penelitian tidak aplikatif & belum berorientasi pada kebutuhan industri, sehingga masih sedikit berlanjut pada proses produksi barang atau jasa. Di satu sisi peneliti fokus pada idealisme melakukan penelitian berdasarkan keingintahuan yang kadang lupa pada proses aplikasi dan produksi masal nya, di sisi lain pengusaha Indonesia sepertinya lebih suka menggunakan teknologi hasil penelitian yang sudah jadi, siap pakai, dari negara lain walaupun dengan mengeluarkan biaya tinggi tapi lebih tidak beresiko. Terkesan masing-masing kubu peneliti ataupun lembaga penelitian dengan pengusaha sebagai pengguna hasil penelitian mempunyai “bahasa” yang sulit dimengerti oleh pihak lainnya, misalnyapeneliti menggunakan bahasa ilmiah sedangkan praktisimenggunakan bahasa praktis (Amalia, dkk. 2011). Selain itu komponen birokrasi pemerintah seringkali dianggap sebagai faktor penghambat baik oleh peneliti 1
Staff Profesional Dewan Riset Nasional 2012-2014 bidang Hubungan Internasional
| 137
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
maupun oleh pengusaha ketika mereka akan bekerjasama. Strategi Salah satu strategi yang perludilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan hasil penelitian oleh pengusaha serta dukungan pengusaha bagi para peneliti adalah dengan meningkatkan komunikasi dan sinergi anatara lembaga penelitian dan industri. Dari kajian yang dilakukan oleh DRN pada 3 studi kasus (Industri barang konsumsi, energi terbarukan dan industri kreatif) terungkap bahwa interaksi dan komunikasi baik antara peneliti dengan pengguna hasil penelitian/industri maupun antar peneliti tersebut masih sangat minim (Amalia,.dkk, 2011). Padahal Komunikasi dan interaksi yang efektif antara peneliti sebagai penghasil teknologi dengan industri sebagai pengguna teknologi adalah faktor penting agar hasil hasil riset dapat dimanfaatkan oleh industri untuk pengembangan produk dan jasa yang dihasilkan (Halpert, 1966). Untuk itu perlu keterbukaan komunikasi dan aliran informasi antara peneliti dan pengusaha serta upaya kedua belah pihak untuk secara sadar membuka diri untuk bersinergi. Disamping itu peneliti dan pengusaha diharapkan bisa meningkatkan kapasitas dan perannya masing sebagai penghasil dan pengguna hasil penelitian. Dengan kata lain perlu adanya , keterbukaan atau keinginan dari pihak pengguna untuk berbagi informasi tentang kebutuhan dan persoalan teknologi; dan sensitivitas peneliti dalam mengamati kebutuhan realita teknologi dan persoalan teknologi yang dibutuhkan pengusaha (Lakitan, 2012). Peneliti diharapkan bisa lebih merencanakan dan mengembangan penelitan yang berkualitas dan berorientasi pada teknologi atau produk yang dibutuhkan oleh industri dan prospektif dalam pemasarannya. Sehingga bisa tumbuh dan berkembang budaya penelitian yang tidak hanya berbasis dan untuk penelitian tapi mulai mengarah kepada penelitian yang bisa menciptakan teknologi ataupun produk yang dibutuhkan oleh pasar dan industri. Peningkatan kemampuan untuk menjadi seorang entrepreneur juga menjadi tantangan tersendiri bagi para peneliti. Jika mendapatkan 138 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
dukungan industri seperti dalam pendanaan riset yang sering menjadi kendala karena kecilnya alokasi pemerintah untuk litbang, maka peneliti akan lebih bergairah untuk melakukan pemnelitian dan pengembangan teknologi. Demikian pula dari pihak pengusaha perlu kesadaran penuh untuk mengubah paradigma terhadap penelitian nasional dan hasilnya. Pengusaha harus mempunyai kemauan untuk mengapresiasi hasil penelitian bangsa sendiri dan turut berperan serta dalam kegiatan penelitian sehingga bisa mem-follow up hasil penelitian dan pengembangan menjadi produk industri. Jika diperlukan pengusaha secara terbuka memberikan informasi tentang kebutuhan teknologi untuk industrinya. Kerjasama peneliti dan pengusaha sebaiknya dimulai sejak awal penelitian sehingga kedua belah pihak dapat saling memahami hak dan kewajiban, dapat saling memenuhi kebutuhan satu sama lain dan menghindar permasalahan. Jika terjalin, diakhir kerjasama ini, temuan konsep dan produk teknologi yang siap dikomersialkan dan dipasarkan merupakan hasil kegiatan sinergi antara lembaga penelitian dan industri, hasil kerja keras para peneliti dan pengusaha. Jika diperlukan untuk memperlancar komunikasi dan sinergi antara peneliti dan pengusaha maka bisa dilakukan intermediasi oleh lembaga terkait seperti Kemenristek, DRN atau lembaga lainya. Lembaga intermediasi dapat berperan sebagai fasilitator sehingga terjadi komunikasi dan interaksi yang efektif dan sebagai mediator yang menjembatani sinergi antara lembaga penelitian dan industri Peningkatan hubungan sinergi antara lembaga penelitian dan industri, antara peneliti dan pengusaha, upaya bersama menjadikan produk penelitian menjadi produk industri mempunyai peran yang sangat stratejik dalam peningkatan daya saing dan kemandirian industri nasional.Pemanfaatan teknologi berkualitas hasil penelitian mendukung upaya pembentukan industri berbasis penelitian dan pengembangan yang mampu menghasilkan produk-produk berkualitas dan berdaya saing tinggi dalam | 139
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
pasar global. Selanjutnya, secara bertahap industri nasional bisa mengurangi atau memutus ketergantungan terhadap teknologi ataupun produk luar negeri sehingga bisa membuat industri nasional yang mandiri dan terbebas dari penjajahan teknologi luar. Peran DRN Posisi DRN dalam tatanan kelembagaan riset di Indonesia tidak seperti peran National Research Council (NRC) di negara-negara lain terutama negara maju yang mempunyai peranan yang sangat strategis dan posisi yang paling tinggi dalam pengembangan riset di negara. Tugas utama DRN berdasarkan Peraturan Presiden No 16 Tahun 2005 pasal 4, salah satunya adalah membantu menteri dalam merumuskan arah dan prioritas utama pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekalipun DRN mempunyai tugas pokok untuk merumuskan Agenda Riset Nasional (ARN) sebagai salah satu fokus tugas DRN Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi No. 72/M/ Kp/I/2012 yang dinilai sangat penting dan potensial untuk mengarahkan program riset nasional menjadi lebih fokus, terarah, terukur dan berhasil guna, akan tetapi DRN tidak mempunyai kekuatan untuk menjadikan ARN sebagi acuan kegiatan riset oleh semua stakeholder riset di Indonesia. Salah satu keunggulan DRN sehingga bisa berperan dalam peningkatan sinergitas antar peneliti dan pebisnis adalah kekuatan pada jaringan komunikasi antar anggota DRN yang terdiri dari para pakar di bidangnya yang berasal dari kalangan akademisi, lembaga peneliti, birokrat dan pebisnis/pengusaha. DRN juga mempunyai jaringan yang luas dengan berbagai instansi terkait di bidang riset dan secara fleksibel dapat menjalin hubungan kerjasama formal dan informal dengan berbagai stakeholders karena DRN merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugasnya (Perpres 16 Tahun 2005 Pasal 2 ayat 2). DRN bisa berperan dalam turut serta menumbuhkembangkan motivasi, menciptakan iklim yang kondusif bagi penelitan, pengembangan Iptek dan penerapan Iptek di Indonesia. Melalui peran tersebut DRN bisa menjadi mediator untuk 140 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
mewujudkan hubungan kerja sinergis antara lembaga-lembaga penelitian dengan lembaga industri, sinergitas antara para peneliti penghasil konsep dan teknolog dengan para pengusaha sebagai pengguna hasil penelitian dan teknologi. Meningkatkan sinergi antara peneliti dan pengusaha memang tidak mudah, perlu waktu dan proses. Akan tetapi upaya nyata yang sedang dan akan dilakukan oleh DRN bisa menjadi bagian dari solusi, seperti: 1. Selama ini DRN telah menyusun ARN yang terus diupayakan supaya bisa merepresentasikan kebutuhan riset untuk kalangan industri dan masyarakat Indonesia di masa kini dan masa mendatang. Bidang yang dipilih merupakan bidang yang dinilai sangat stratejik bagi peningkatan daya saing dan kemandirian bangsa yang telah diagendakan oleh DRN dalam Agenda Riset Nasional (ARN) sebagai salah satu output DRN. DRN memberikan arahan pada pengembangan iptek dalam bidang (1) Pangan dan pertanian Kelautan dan Perikanan, (2) Energi, (3) Transportasi, (4) Teknologi informasi dan Komunikasi (5) Kesehatan dan Obat, (6) Hankam, (7) Material Maju, dan (8) Sosial Humaniora. Pemilihan bidang fokus ini merupakan representasi kebutuhan Riset sekaran dan dalam waktu ke depan yang dirumuskan bersama oleh berbagai stakeholders baik itu para peneliti, akademisi, birokrasi & para pengusaha yang dilakukan dalam lingkup nasional serta dengan memperhatikan perkembangan riset & teknologi di dunia luar. Jika ARN ini dijadikan sebagai acuan nasional dan secara konsistensi dijalankan diharapkan adanya sinergi antara riset dan aplikasinya pada industri dan kebutuhan masyarakat lainya. Sehingga yang diperlukan adalah bagaimana ARN bisa diteriam dan dilaksanakan. Agar hal tersebut tercapai bisa diupayakan sejak penyusunan ARN yang menyertakan dan menyerap aspirasi semua stakeholders Ristek, industri dan masyarakat, dijadikan komitment bersama dan dilaksanakan oleh bersama pula. Jika agenda riset ini jelas dan diterima semua stakeholder akan mendorong interaksi antara peneliti, pengguna dan stakeholder lainya meningkat | 141
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
karena mereka akan bersinergi dengan baik untuk mencapai agenda tersebut. 2. Dewan Riset Nasional (DRN) melakukan intermediasi dengan menyelenggarakan acara dialog Riset-Industri dengan tema-tema sesuai dengan bidang prioritas iptek yang tercermin dalam komisi teknis. Seperti dialog yang pertama dilaksanakan mengambil tema Prospek Bisnis Hasil Riset & Inovasi : Bidang Pertanian dan Bioteknologi. Dialog yang dilaksanakan secara periodik ini diharapkan dapat menjadi jembatan penghubung dan peningkatan komunikasi anatara para peneliti penghasil konsep teknologi dengan para pelaku usaha/pebisnis sebagai pengguna teknologi. Dengan adanya forum komunikasi ini bisa secara jelas diketahui bersama gambaran terkini tentang hasil riset dan prospek inovasinya yang dilakukan oleh para peneliti untuk pengembangan industri yang berdaya saing, dan sekaligus mengetahui kebutuhan teknologi dari pihak pengusaha sebagai pengguna teknologi. Dengan komunikasi itu pula bisa dibahas bersama permasalahan baik di pihak periset maupun di pihak pengusaha. 3. DRN juga telah dan terus melakukan intermediasi online dengan membuat aplikasi Open Method of Research Coordination/OMRC (Metode Koordinasi Riset Terbuka) yang dibuat sebagai sarana komunikasi dan pertukaran informasi untuk meningkatkan interaksi antara peneliti dengan industri maupun antar peneliti itu sendiri. Dengan database interactive ini diharapkan terjalin hubungan anatara para peneliti dan pengusaha melalui dunia maya yang bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun seiring dengan bertambah mudahnya akses internet dan akses interaksi dengan berbagai bentuk gadget. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana mensosialisasikan dan mendayagunakan saran ini secara berkelanjutan sehingga secara efektif bisa meningkatkan interaksi para peneliti dan pengusaha. Pustaka : 142 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
1. Mirta Amalia, Irsan Aditama Pawennei, Rachmat A. Anggara Jimmy Tanaya, Yanuar Nugroho. 2011.INTERAKSI PENELITI DAN INDUSTRI DALAM RANGKA IMPLEMENTASI HASIL RISET. Penerbit Dewan Riset Nasional Penyunting: Tusy A.Adibroto. 2. Halpert, H.P. (1966) Communication as a Basic Tool in Promoting Utilization of Research Findings. Community Mental Health Journal, 2(3):231-236. 3. Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 193/M/Kp/IV/2010, Lampiran 2. Agenda Riset Nasional 2010-2014. 4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, pengembangan, dan penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 5. Peraturan Presiden No 16 Tahun 2005 6. Benyamin Lakitan. 2012. Strategi Peningkatan Peran dan Kontribusi Iptek dalam Kerangka SINas untuk Mendukung Keberhasilan MP3EI . MAINSTREAMING IPTEK DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL. Dewan Riset nasional.
| 143
Dewan Riset Nasional
144 |
http://www.drn.go.id/
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
KETERPADUAN IPTEK DAN INDUSTRI Dr. Ir. Utama H. Padmadinata 1,2 PENDAHULUAN Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, pembangunan iptek nasional disusun secara bertahap untuk mencapai kemandirian, maju, adil dan makmur. Dalam tahapan itu, maka disusunlah Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan target-target yang telah ditentukan. Pada RPJM ke 2, tahun 2010-2014 yang ingin dicapai adalah Memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan iptek dan memperkuat daya saing ekonomi. Pada RPJM ke 3, tahun 2015-2019 yang ingin dicapai adalah Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif, perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas serta kemampuan iptek. Dari dua RPJM tersebut mengindikasikan kualitas SDM ditingkatkan pada RPJM ke 2 dan pada RPJM ke 3 sudah tersedia SDM yang berkualitas, hal serupa dalam membangun kemampuan iptek yang terus dimantapkan agar dapat dicapai kemandirian, maju, adil dan makmur pada tahun 2025. Visi pembangunan nasional tahun 2005-2025 adalah “Indonesia yang mandiri, maju adil dan makmur”. Visi pembangunan nasional tahun 2005–2025 itu mengarah pada pencapaian tujuan nasional, seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Visi pembangunan nasional tersebut harus dapat diukur untuk dapat mengetahui tingkat kemandirian, kemajuan, keadilan dan kemakmuran yang ingin dicapai. 1
Ketua Komisi Teknis Teknologi Material Maju, Dewan Riset Nasional 2012-2014
2
Deputi Kepala BPPT Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi, tahun 2005-2010
| 145
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Serpong 20 Januari 2010 menyatakan “Untuk menjadi bangsa yang menguasai iptek, kita harus bisa menempatkan inovasi sebagai urat nadi kehidupan bangsa Indonesia. Kita harus bisa menjadi Innovation Nation – bangsa inovasi. Rumah bagi manusia-manusia yang kreatif dan inovatif. Dalam bidang Industri, Visi 2020 Perindustrian adalah “Indonesia menjadi Negara Industri Maju Baru” dan Visi 2025 Perindustrian adalah “Membangun Indonesia menjadi sebuah Negara Industri yang tangguh di Dunia” Untuk dapat mencapai Visi-visi tersebut diatas diperlukan tahapan dan langkah nyata didukung dengan kebijakan yang tepat dan berkelanjutan dengan memperhatikan unsur kelembagaan, unsur sumber daya dan jejaring yang bersinergi secara utuh dalam kerangka Sistem Inovasi dengan alokasi anggaran yang memadai. Kemandirian adalah hakikat dari kemerdekaan, yaitu hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi diri bangsanya. Oleh karena itu, pembangunan, sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan, haruslah pula merupakan upaya membangun kemandirian. Kemandirian bukanlah kemandirian dalam keterisolasian. Kemandirian mengenal adanya kondisi saling ketergantungan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam suatu negara maupun bangsa. Terlebih lagi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas ketergantungan antarbangsa semakin kuat. Kemandirian yang demikian adalah paham yang proaktif dan bukan reaktif atau defensif. Kemandirian merupakan konsep yang dinamis karena mengenali bahwa kehidupan dan kondisi saling ketergantungan senantiasa berubah, baik konstelasinya, perimbangannya, maupun nilai-nilai yang mendasari dan mempengaruhinya. Dalam pembahasan “Keterpaduan Iptek dan Industri” dalam tulisan ringkas ini akan disajikan berdasarkan landasan bagi pelaksanaan Iptek dan landasan pelaksanaan industri secara nasional. Landasan pelaksanaan 146 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Iptek yaitu Undang-undang 18 tahun 2002 Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan Kebijakan Strategis Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakstranas Iptek). Sedang landasan pelaksanaan industri adalah Undang-undang Perindustrian yang dewasa ini sedang dalam proses revisi, dan Kebijakan Industri Nasional (KIN). Melalui bahasan landasan peraturan perundang-undang ini akan dilihat bagaimana benang merah antara iptek dan industri. Selain itu akan dilihat bagaimana cara negara lain mewujudkan visi negaranya melalui perencanaan dan penerapan iptek untuk membangun industrinya. PEMBAHASAN LANDASAN IPTEK Menurut Undang-undang 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3 Iptek), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan unsur kemajuan peradaban manusia yang sangat penting karena melalui kemajuan iptek, manusia dapat mendayagunakan kekayaan dan lingkungan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa untuk menunjang kesejahteraan dan meningkatkan kualitas kehidupannya. Kemajuan iptek juga mendorong terjadinya globalisasi kehidupan manusia semakin mampu mengatasi dimensi jarak dan waktu dalam kehidupannya. Negara yang mampu menguasai , memanfaatkan dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi akan memperkuat posisinya dalam pergaulan dan persaingan antar bangsa di dunia. Negara dengan keunggulan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dimungkinkan penetrasi pasar di negara-negara lain dan akan akan sulit diterobos oleh bangsa lain yang kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologinya tertinggal. Dengan kemampuan yang tinggi dalam penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat memberikan nilai tambah yang tinggi dari sumberdaya alam dan sumberdaya hayati yang ada.
| 147
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Keberhasilan negara-negara maju menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi karena negara itu mampu mensinergikan perkembangan kelembagaan dan sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi dengan faktor-faktor lain secara bersistem. Faktor Pertama adalah kemampuan menumbuhkan jaringan antara unsur-unsur kelembagaan ilmu pengetahun dan teknologi untuk membentuk rantai yang mengaitkan kemampuan melakukan pembaruan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kemampuan memanfaatkan kemajuan yang terjadi ke dalam barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomis. Melalui jaringan sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan secara efektif. Faktor kedua adalah kemampuan menumbuhkan iklim usaha yang kompetitif, sehingga persaingan antar pelaku ekonomi tidak hanya ditentukan oleh penguasaan pasar atau sumber daya alam saja, tapi lebih ditentukan oleh kemampuan inovatif dalam menghasilkan produk barang dan jasa yang bermutu. Hal ini mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan untuk terus mencari terobosan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menghasilkan invensi yang memiliki ekonomi yang tinggi. Faktor ketiga adalah kemampuan menumbuhkan daya dukung, yang berkaitan dengan dengan pengembangan profesionalisme, pengalokasian sumberdaya, permodalan, standarisasi, lingkungan hidup dan lain sebagainya. Ketiga faktor inilah yang membentuk lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi serta pendayagunaannya dalam kegiatan ekonomi. Dengan penjelasan diatas jelas bahwa sangat diperlukan penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperkuat posisi daya saing Indonesia dalam kehidupan global. Untuk itu bangsa Indonesia harus dapat membangun sistem yang memadukan unsur-unsur kelembagaan dan sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam jaringan yang saling bersinergi, sehingga seluruh potensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada dap148 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
at didaya gunakan secara efisien dan efektif dalam mencapai kemajuan ekonomi Indonesia. Disinilah hakekat diperlukannya landasan peraturan perundangan-undangan yang memberikan kepastian hukum yang dapat mendorong dan mengikat semua pihak ke dalam kesatuan tujuan dan gerak. Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi berfungsi membentuk pola hubungan yang saling memperkuat antara unsur kelembagaan penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut terdiri dari unsur perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha dan lembaga penunjang. Sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas keahlian, kepakaran, kompetensi manusia dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan informasi, serta sarana dan prasaranan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemerintah mendorong kerjasama antara semua unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengembangan jaringan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih lanjut Pemerintah wajib merumuskan arah, prioritas utama dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam menetapkan prioritas utama dan mengembangakan berbagai aspek kebijakan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, Menteri Riset dan Teknologi wajib memperhatikan antara lain penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi serta memperkuat tarikan pasar bagi hasil kegiatan penelitian dan pengembangan. Amanat undang-undang 18 tahun 2002 tentang Sisnas P3 Iptek ini sangat jelas menugaskan Menteri Riset dan Teknologi wajib memperhatikan penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi.
| 149
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Untuk mendukung Menteri dalam merumuskan arah, prioritas utama dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pemerintah membentuk Dewan Riset Nasional yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebijakan Stategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi atau Jakstranas Iptek adalah dokumen Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional yang berlaku untuk periode 5 tahun diturunkan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Undang-undang 18 tahun 2002 dan Peraturan perundangundangan yang berlaku. Penyusunan Jakstranas Iptek diatur melalui Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2003 tentang Pengkoordinasian Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Inpres ini ditujukan kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi. Pasal Pertama berbunyi : Mengkoordinasikan perumusan dan pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai arah prioritas utama dan kerangka kebijakan Pemerintah di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan instansi terkait. Pasal Kedua berbunyi antara lain Menteri Negara Riset dan Teknologi memberikan perhatian secara khusus kepada aspek Penguatan kemampuan dan inovasi pada kegiatan industri yang daya saing produksinya sangat dipengaruhi oleh faktor teknologi; Penguatan kemampuan audit teknologi yang dilaksanakan sejalan dengan pemberdayaan standarisasi nasional Indonesia serta penumbuhan kecintaan produk dalam negeri. Pasal Ketiga berbunyi Dalam mengkoordinasikan perumusan dan pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Menteri Negara Riset dan Teknologi dapat membentuk Tim Koordinasi. Pasal Keempat berbunyi Melakukan pemantauan dan Evaluasi atas pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang hasilnya dilaporkan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan kepada Presiden.
150 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Dengan kata lain Jakstranas Iptek yang diturunkan dari Undang-undang 18 tahun 2002 dan Rencana Jangka Panjang Menengah merupakan arah prioritas utama dan kerangka kebijakan Pemerintah di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan instansi terkait. Dari penjelasan tentang Undang-undang Sisnas P3 Iptek dan Jakstranas Iptek diatas sangat jelas menugaskan Menteri Riset dan Teknologi wajib memperhatikan penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi dan diwajibkan melakukan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan Jakstranas Iptek yang harus dilaporkan kepada Presiden. Maka sangat jelas bahwa Menteri Riset dan Teknologi mempunyai peran yang besar dalam mensuplai teknologi bagi industri guna memperkuat posisi daya saing Indonesia dalam kehidupan global secara sistemik melalui sistem inovasi. PEMBAHASAN LANDASAN INDUSTRI Dewasa ini Undang-undang Nomor 5 tahun 1984 tentang Perindustrian sedang dalam tahap penggantian, mengingat undang-undang tersebut sudah berusia 29 tahun dan sudah perlu disesuaikan. Pembahasan disini akan disampaikan berdasarkan draft RUU Perindustrian dan Naskah akademik RUU Perindustrian. Sasaran perubahan undang-undang yang lama antara lain meningkatnya kemampuan dan penguasaan teknologi dan pembangunan industri yang efisien, yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dua faktor ini, sangat erat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam RUU Perindustrian aspek Teknologi dimuat dalam Bab III “Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri” Bagian Kedua “Teknologi Industri”. Pasal 24 Pemerintah bertanggung jawab melakukan peningkatan kemampuan pengembangan teknologi industri yang dilakukan oleh Menteri yang berkoordinasi dengan menteri yang membidangi urusan riset dan teknologi, asosiasi industri, asosiasi profesi dan instansi terkait. Dalam pasal 26 Pemerintah dapat melakukan pengadaan teknologi industri, dilakukan melalui penelitian dan pengembangan teknologi, kontrak penelitian dan pengembangan, usaha bersama, serta pengalihan hak melalui | 151
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
lisensi dan akuisisi teknologi. Dalam pasal 28 dalam melakukan audit teknologi , Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang riset dan teknologi. Dari bahan Naskah Akademik RUU Perindustrian sebagai implikasi pada Substansi Pengaturan maka : Peningkatan penguasaan iptek sebagai landasan bagi pengembangan kemampuan inovasi dan produktivitas industri, terutama melalui peningkatan dan perluasan konektivitas (kerjasama, komunikasi dan sinergi) para pelaku industri dan pengembang iptek dengan : • Memastikan berlangsungnya proses alih teknologi dalam kegiatan investasi asing dalam rangka mempercepat penguasaan iptek bagi industri nasional. • Memberikan insentif bagi industri yang melakukan pengembangan dan penerapan teknologi. • Meningkatkan kegiatan promosi bagi penyebarluasan hasil-hasil pengembangan dan penerapan teknologi. • Mendorong dan memfasilitasi proses difusi dari hasil-hasil pengembangan dan penerapan teknologi bagi pengembangan industri. • Mendorong dan memfasilitasi kerjasama universitas, lembaga riset dan industri dalam memecahkan permasalahan industri. • Menyediakan dukungan program dan dana riset bagi universitas dan lembaga-lembaga riset bagi pengembangan industri Dengan penjelasan diatas sangat jelas Pemerintah bertanggung jawab melakukan peningkatan kemampuan pengembangan teknologi industri yang dilakukan oleh Menteri yang berkoordinasi dengan menteri yang membidangi urusan riset dan teknologi. Secara implisit ada sinergi yang diatur undang-undang antara Menteri Perindustrian dan Menteri Riset dan Teknologi dalam pengembangan kemampuan inovasi dan produktivitas industri. 152 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
PEMBAHASAN KEBIJAKAN DI NEGARA LAIN Dalam pembahasan ini akan disampaikan beberapa contoh kebijakan di Vietnam dan Jerman. Contoh Vietnam merupakan hasil mereka belajar dari Korea bagaimana menyusun kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Sedang di Jerman bagaimana membangun sistem inovasi, agar dapat terhubung antara sumber iptek dan pengembangan industrinya. Weaknesses of the current 5 year S&T plan VIETNAM 1. It is viewed as the general statements which cannot be efficiently reflected in the action of planning and budgeting. 2. Lack of critical diagnoses of S&T conditions and capabilities, little emphasis on technological activities in the private sector. 3. The R&D priority setting does not have sufficient rationale and lack of priority concept because the real industrial needs and technological demands are not clearly reflected in the S&T plan. So, their requirements are not connected enough to the S&T planning and R&D priority settings. 4. Incomprehensiveness of planning documents: no action plan for implementation, little consideration of resource mobilization, limited inclusion of S&T policies of related ministries, 5. Consequently, the S&T plan cannot be an efficient platform through which the policy-driven R&D investments and other related innovation policies can contribute to the economic development of Vietnam. Strategies to overcome weaknesses in S&T planning Firstly, We have to identify: what kind of industries to promote first and then determine who will be the main actor to do that. Secondly, in S&T planning, policy direction should be envisioned at least three policy areas: HRD, R&D, and Transfer and S&T | 153
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
planning should assign a key actor and facilitate the building of this kind of policy models. 1. In HRD policy direction, vocational education should be given a high priority with the intensive support for quality vocational education. Higher education in engineering should be focused on a number of elite institutes to keep quality of education. 2. In R&D, industry-linked research should be given high priority. And sophisticated methods should be designed further to encourage industry-oriented research. Such sophistication should include who dimension; that is, what institution will be assigned as a key actor to perform a certain role. 3. In R&D, prioritization is another strategic issue to take into account. Instead of simply collecting and categorizing bottom-up needs, they need to finalize a limited number of priority research areas and have to channel enough money into it. 4. Technology transfer is strongly recommended to expedite technological development. But rather than a simple liberalization approach, more elaborated TT mechanism through which technology transfer is motivated and realized should be designed. 5. Select and focus is the key point in strategy to be setup in case of the limited resources. (Sumber : Ta Doan Trinh, Ministry of Science and Technology, Vietnam)
Kebijakan Sistem Inovasi di Jerman, dengan membuka interface antara Litbang dan industri dan didukung kebijakan yang komprehensif dari makro, messo sampai mikro.
154 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Sumber : Gerd Meier zu Kocker, VDI/VDE Innovation+Technik GmbH
Pengalaman Vietnam diatas rasanya juga sama dirasakan di Indonesia, adanya undang-undang atau Jakstranas Iptek dan undang-undang perindustrian serta kebijakan industri nasional bersifat umum tidak ada langkah tindak yang jelas dan tidak ada alokasi anggaran, sehingga implementasinya menjadi sulit. Dokumen perencanaan tidak lengkap, dukungan sumberdaya sangat terbatas, keterkaitan kebijakan iptek antar kementerian juga mungkin tidak ada. Akibatnya perencanaan iptek tidak bisa menjadi platform dimana kebijakan pendorong investasi riset dan kebijakan inovasi lain dapat berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi. Kebijakan sistem inovasi di Jerman sangat komprehensif dimulai dari makro sampai ke mikronya, berikut semua aktor yang terlibat. Kebijakan yang lengkap ini harus dilengkapi dengan rencana tindak yang jelas dan didukung dengan alokasi anggaran.
| 155
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
DISKUSI Dari penjelasan diatas dimulai dengan Pembahasan Landasan Iptek, Pembahasan Landasan Industri dan Pembahasan Kebijakan di Negara lain akan membuka mata kita kenapa Iptek belum dapat dirasakan manfaatnya oleh industri. Jika dilihat dari undang-undang Sinas P3 Iptek dan undang-undang Perindustrian terlihat sekali benang merah pentingnya iptek bagi pengembangan industri dalam meningkatkan daya saing. Disisi lain, Visi yang mulia dari RPJP dan Perindustrian apakah sudah diurai menjadi rencana tindak yang kongkrit, bagaimana mencapainya Pengalaman Vietnam dan Jerman seharusnya menyadarkan kita bahwa pernyataan yang termuat dalam undang-undang atau peraturan seperti inpres atau perpres belum membawa kita bisa melakukan implementasi mencapai tujuan. Pengalaman Vietnam mengajarkan perlu adanya rencana tindak yang lengkap, melibatkan aktor yang terlibat dengan alokasi anggarannya. Selain itu, dari aspek yang lain adanya amanat undang-undang atau instruksi Presiden belum dilaksanakan dengan baik. Sebagai contoh amanat RUU Perindustrian Pasal 24 Pemerintah bertanggung jawab melakukan peningkatan kemampuan pengembangan teknologi industri yang dilakukan oleh Menteri Perindustrian yang berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi urusan riset dan teknologi. Apakah hal ini sudah dilakukan dengan baik, dengan dibuat mekanisme sinergi dan koordinasi, dengan sharing budget dan sharing program. Contoh lain, Penyusunan Jakstranas Iptek yang diatur melalui Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2003 tentang Pengkoordinasian Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pasal Kedua berbunyi antara lain Menteri Negara Riset dan Teknologi memberikan perhatian secara khusus kepada aspek Penguatan kemampuan dan inovasi pada kegiatan industri yang daya saing produksinya 156 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
sangat dipengaruhi oleh faktor teknologi; Penguatan kemampuan audit teknologi. Apakah mekanisme sinergi dan koordinasi dengan Menteri Perindustrian sudah pernah dibuat dan dilaksanakan dengan baik dan benar. Pasal Ketiga berbunyi Dalam mengkoordinasikan perumusan dan pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Menteri Negara Riset dan Teknologi dapat membentuk Tim Koordinasi. Untuk dapat merumuskan dan melaksanakan Jakstranas Iptek apakah telah dibentuk Tim Koordinasi yang memadai dengan anggaran yg cukup. Pasal Keempat berbunyi Melakukan pemantauan dan Evaluasi atas pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang hasilnya dilaporkan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan kepada Presiden. Apakah instruksi ini juga sudah dilakukan dengan baik dan benar. Salah satu contoh agar iptek dapat dirasakan manfaatnya oleh industri adalah Lembaga Litbang atau Perguruan Tinggi terjun langsung ke kawasan industri untuk membantu persoalan teknologi di industri, seperti terlihat dalam skema sistem inovasi di Jerman. Dengan cara seperti itu, maka Litbang akan dapat memahami persoalan yang dihadapi oleh industri. Cara ini menjadi bentuk lain kerjasama iptek dan industri melalui kontak langsung, tidak melalui Kementerian Perindustrian. Tentu masih banyak aspek lain yang dapat kita perbaiki dan dijalankan untuk membangun sinergi iptek dan industri. Disinilah pentingnya melakukan monitoring dan evaluasi dari setiap rencana yang dibuat.
| 157
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
KESIMPULAN DAN SARAN Sebagai kesimpulan dengan memperhatikan pengalaman Indonesia dalam menjalankan undang-undang nomor 18 tahun 2002 dan Jastranas Iptek dikaitkan dengan undang-undang perindustrian dan kebijakan industri nasional serta Kebijakan negara lain, maka kesimpulannya sebagai berikut : 1. Peraturan perundang-undang baik undang-undang dan inpres atau perpres sudah dibuat dengan baik. Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi berfungsi membentuk pola hubungan yang saling memperkuat antara unsur kelembagaan penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk industri. Namun demikian implementasinya belum dijalankan dengan baik dan benar 2. Berdasarkan pengalaman dari Vietnam dan Jerman rencana tindak harus cukup detil, termasuk aktor yang terlibat dengan alokasi anggaran yang disediakan dalam setiap kegiatan. Dalam implementasi tersebut fokus atau prioritas sangat penting agar anggaran yang jumlahnya sedikit bisa lebih efektif dan efisien 3. Contoh implementasi sistem inovasi di Jerman bisa dijadikan model dalam menyusun unit-unit implementator yang perlu dibuat 4. Mengingat eratnya hubungan antara iptek dan industri, maka perlu dibuat mekanisme sinergi antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Riset dan Teknologi, agar Iptek benar-benar dirasakan manfaatnya bagi peningkatan dayasaing industri melalui sharing budget dan sharing program 5. Hubungan langsung antara iptek dan industri dapat juga dilaksanakan melalui kontak langsung dengan industri di kawasan-kawasan industri 6. Dewan Riset Nasional yang bertugas mendukung Menteri Riset dan Teknologi dalam merumuskan arah, prioritas utama, dan kerang158 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
ka kebijakan pemerintah di bidang penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilibatkan dalam menjalankan instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2003 dalam melakukan pemantauan dan Evaluasi atas pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
| 159
Dewan Riset Nasional
160 |
http://www.drn.go.id/
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
BERKAWAN KITA DALAM RISET Prof. Dr. Ir. Andrianto Handojo 1 Pertanyaan ”Mana hasil riset kita?” kerap dilontarkan. Jika hanya mengenai jumlah, jawaban dapat mengacu, misalnya, pada publikasi hasil riset dalam forum-forum bergengsi.
Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Indikator Iptek Indonesia, 2009), pada 2008 terdapat 1.416 artikel ilmuwan Indonesia yang dimuat dalam jurnal internasional, dibandingkan 766 pada 1999. Namun, jawaban menjadi lebih sukar jika ditinjau aspek riset sebagai pemicu dan pendorong teknologi. Kementerian Riset dan Teknologi (Indikator Ekonomi Berbasis Pengetahuan Indonesia, 2010) menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun persentase teknologi tinggi dalam ekspor manufaktur kita tidak melebihi 16,3 persen, dibandingkan Thailand (31 persen) atau Filipina (74 persen). Menurut Dirjen Industri Kecil dan Menengah Euis Saedah (April 2012), dari 10 mobil yang berlintasan di Malaysia, tujuh di antaranya mobil nasional. Ini berbeda dengan Indonesia yang tak menunjukkan satu pun mobil nasional dari 10 yang terlihat. Di samping kemungkinan penyebab lain, pengamatan ini mengisyaratkan kurangnya dukungan riset kita ke arah teknologi.
Lembaga Intermediasi Artinya pula, hanya sedikit hasil penelitian yang diindustrikan. Situasi ini sudah banyak diketahui dan lemahnya mata rantai antara riset dan industri dipandang sebagai masalah utama. Maka, sosialisasi hasil penelitian digelar sebagai salah satu usaha remedial. Ketua Dewan Riset Nasional 2012-2014 / Anggota Komisi Teknis Teknologi Pertahanan dan Keamanan, Dewan Riset Nasional 2012-2014 1
| 161
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Lembaga intermediasi, yang mempertemukan industriawan dengan peneliti beserta karyanya, didorong untuk dibentuk. Program pendanaan riset tertentu mensyaratkan kemitraan dengan industri yang harus dibuktikan dengan tanda tangan industriawan dalam proposal riset.
Semua upaya tersebut perlu, tetapi agaknya harus dilengkapi. Tak sedikit peneliti yang dengan segenap keahlian dan ketekunannya membuahkan hasil riset yang patut dibanggakan dari segi ilmiah, kebaruan, atau inovasi. Namun, ketika ditawarkan, tidak jarang pihak industri menanggapi: ”Bukan itu yang kami butuhkan”. Pihak industri mempunyai alasan sendiri. Mereka mempertimbangkan kelangsungan pasokan bahan baku, peluang pemasaran, keandalan produk nantinya, neraca keuangan, dan sebagainya yang biasanya bermuara pada kesimpulan singkat: terlalu besar risikonya. Di pihak lain, peneliti terlatih secara akademik mengutamakan salah satunya sintesis pemikiran sebagai ukuran kualitas. Kedua kutub cara pendekatan yang berbeda ini tidak mudah dicairkan dalam wadah intermediasi. Dapat saja peneliti ikut mempelajari persoalan industri. Namun, sebagaimana orang tidak bisa menjadi peneliti hebat hanya dengan belajar dari buku atau kursus singkat, ketangguhan menangani masalah industri pun memerlukan pula kesaratan pengalaman. Di sini kita berbicara tentang kedalaman pandang (insight) dan kepekaan rasa (sense), belum tentang jenis dan jenjang pendidikan masing-masing. Tidak berlebihan jika kedua ”kubu”, peneliti dan industriawan, dikatakan memiliki kultur yang berbeda. Saling Menyesuaikan Timbul kesulitan jika hasil dari kultur yang satu mesti langsung diaplikasikan oleh kultur yang lain. Apalagi jika tanda tangan industriawan baru dibubuhkan pada proposal riset saat terakhir, gara-gara perkenalannya mungkin baru berusia dua minggu.
162 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Sesungguhnya yang penting ialah membentuk kemitraan peneliti-industriawan jauh sebelum hasil riset dicapai, sebelum penelitian dimulai, sebelum proposal disusun, bahkan sebelum ide digagas.
Dibutuhkan pemahaman timbal balik tentang keinginan, jalan pikiran, dan cara pendekatan. Bukan dengan maksud meleburnya, melainkan untuk saling menyesuaikan dan memberikan masukan. Mulai dari topik riset harus dipilih dengan serius dan disepakati bersama.
Jika pertemanan dapat diwujudkan, pertama, pihak industri semestinya tak segan memberikan dukungan karena ada rasa ikut memiliki sejak awal, bukan kesan mendadak disodori hasilnya. Kedua, kepentingan yang sama menjurus pada saling mengoreksi secara kontinu, ditambah ikhtiar yang padu untuk mengatasi pembiayaan. Ketiga, manakala kemitraan sudah menjadi persahabatan, hambatan psikologis, seperti tentang latar belakang pendidikan, kalau ada, niscaya akan pudar. Namun, syaratnya, perkawanan harus kental, tidak segan meniru kaum bisnis yang fasih menjalin relasi. Misalnya, saling mengundang pada seminar atau acara peluncuran produk pabrik, kunjung-mengunjungi, sore bersama ke kafe. Tidak lupa rajin bertukar bicara lewat telepon, mengirim pesan singkat (SMS), e-mail, atau media komunikasi lain, sekaligus membuat pemakaiannya yang marak menjadi lebih produktif. (Kompas, 31 Mei 2012)
| 163
Dewan Riset Nasional
164 |
http://www.drn.go.id/
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
PEMBANGUNAN IPTEK Prof. Dr. Ir. Andrianto Handojo 1 Dua butir utama dapat diringkas dari tulisan berjudul ”Pembangunan Iptek Dikritik” di Kompas terbitan 10 Mei 2013. Pertama, iptek di Tanah Air belum terlihat hasil dan efeknya karena dilakukan berdasarkan kompilasi, bukan integrasi, sehingga tidak mengerucut jelas. Pernyataan ini dipetik dari ucapan Wakil Presiden Boediono dalam pembukaan sebuah seminar nasional yang diselenggarakan Lemhannas dan Ikatan Alumni Lemhannas. Sebagai butir yang kedua, riset dan iptek di Indonesia belum menjadi bagian yang utuh dalam pembangunan sebab dilakukan tersebar oleh banyak lembaga tanpa satu komando yang tegas. Tidak ayal, hasilnya melebar dan tidak kunjung terasa. Pendapat tersebut dirangkum dari Ketua Komite Inovasi Nasional dan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang hadir pada acara itu. Butir kedua tersebut mencerminkan langkanya koordinasi, kemitraan, kerja sama, atau apa pun namanya sebagai hambatan kronis yang tidak kunjung diperbaiki pada bangsa kita. Tentang hal ini, seorang rekan sedemikian gemas sehingga memaksa-maksa dirinya paham dengan menunjuk ”koordinasi” sebagai kata yang dipungut dari bahasa Inggris, ”coordination”. Dengan membolak-balik kamus pun tidak ditemui padanan kata asli Indonesia. Ini mengisyaratkan, sejak zaman nenek moyang, kita pada dasarnya memang abai dalam koordinasi. Usaha remedial bukannya tak ada. Selama beberapa periode, Agenda Riset Nasional (ARN) telah diterbitkan. Sekarang ini, ARN periode 2015Ketua Dewan Riset Nasional 2012-2014 / Anggota Komisi Teknis Teknologi Pertahanan dan Keamanan, Dewan Riset Nasional 2012-2014 1
| 165
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
2019 mulai disiapkan penyusunannya oleh Dewan Riset Nasional. Dokumen itu mencantumkan prioritas-prioritas nasional riset yang dijabarkan dalam rincian tema riset, serta dimaksudkan menjadi acuan bersama bagi para peneliti. Mesti Fokus Dengan sangat minimnya dana riset dan pengembangan, aktivitas riset memang mesti difo- kuskan ke dalam jumlah tema yang lebih terbatas dan terarah. Apabila dengan anggaran yang ciut segala jenis penelitian dilakukan, ibarat ingin membuat martabak, hasilnya mungkin sekadar telur dadar yang amat tipis menyerupai keripik. Dalam kenyataannya, setiap peneliti atau lembaga belum mengikuti ARN. Kementerian Riset dan Teknologi sedang melakukan evaluasi yang akan dimanfaatkan untuk menyempurnakan Kebijakan Strategis Nasional Iptek dan pada gilirannya ARN mendatang.
Kalaupun ARN dipatuhi, tidak serta-merta persoalan riset dan iptek selesai. Perhatikan, mulai dari masyarakat awam, bisnis, sampai anggota DPR tidak jemu-jemunya menanyakan ”Mana hasil riset kita?” meskipun para peneliti sudah jatuh bangun berupaya agar riset bisa berjalan meski tertatih-tatih, yang hasilnya sesungguhnya dapat diamati pada jurnal termasuk yang bergengsi tinggi, seminar, pameran, daftar perolehan paten, dan sebagainya.
Perhatikan pula regulasi keringanan pajak bagi perusahaan yang melakukan litbang sudah diundangkan, tetapi pelaksanaannya masih belum lancar. Di pihak lain, ketika kita mencanangkan akan menuju knowledge based economy atau knowledge based society, seberapa banyak semboyan itu tercermin dan muncul sebagai rubrik iptek dalam media cetak atau acara dalam siaran televisi dibandingkan dengan pemberitaan yang bersuasana politik, ekonomi, atau selebritas? Jangankan pihak keuangan dan pihak pers, kalangan penyusun kebijakan agaknya memperlihatkan gejala yang mirip. Dalam suatu pertemuan yang penulis hadiri, pejabat datang dari berbagai instansi atas undangan Bappenas untuk menyiapkan, waktu itu, Rencana Pembangunan Jangka 166 |
Kebijakan Riset - Iptek - Inovasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing
Menengah Nasional 2010-2014. Diskusi berkisar pada bagian sains dan teknologi. Mendadak ada yang mengangkat tangan dan berkata, ”Janganlah kita terlalu lama membahas teknologi karena teknologi hanyalah subsistem pendukung”. Sudah subsistem, pendukung lagi, bukan yang amat penting. Bukan semata-mata dalam koordinasi kita belum mahir, apresiasi terhadap iptek pun tampaknya masih belum memadai. Padahal, apresiasi itu menentukan apakah industriawan menaruh perhatian untuk memproduksi hasil riset teman sebangsa ketimbang mengimpor dari luar yang mungkin lebih mudah. Atau, mendorong pihak yang kompeten membantu hitung aspek ekonomi yang cenderung tidak dikuasai peneliti. Apresiasi memengaruhi apakah instansi keuangan bergegas menggulirkan pelaksanaan keringanan pajak. Atau, secara umum membuat mulus terbitnya kebijakan dan keputusan pemerintah yang menguntungkan inisiatif riset dan iptek. Berbekal uraian di atas, penulis mencermati kembali tulisan dalam Kompas, 10 Mei 2013, yang judulnya mengandung kata kritik. Pantas saja tidak ditemui di dalamnya alamat yang khusus dan eksplisit kepada siapa kritik itu ditujukan karena pengingatan yang disampaikan sesungguhnya berlaku bagi siapa saja. (Kompas, 15 Mei 2013)
| 167
Dewan Riset Nasional
http://www.drn.go.id/
Dewan Riset Nasional 2013
168 |