KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DAN POTENSI APLIKASI KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan)
LENI ROSYLIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kebijakan Pembangunan Daerah dan Potensi Aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan)” adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan/atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2008
Leni Rosylin
3
ABSTRACT LENI ROSYLIN. Regional Development Policy And Potential Application of Strategic Environment Assessment (Case Study : Forest Policy at Pelalawan Regency). Supervised by : HARIADI KARTODIHARDJO and AWAL SUBANDAR.
Pelalawan Regency is a new regency in the Riau Province, and 994,299 ha or 76,94% of its jurisdiction consists of forest. The forest has been degraded quite seriously in the last few years, and one of the cause is attributed to the regional development policy adopted. As the result consideration of environmental aspect must be taken into account in policy formulation. In doing so, Strategic Environmental Analysis (SEA) becomes a potential tool as it contains a systematic and comprehensive mechanism in evaluating enviromental impacts potentially generated by policy, plan and program. The objectives of this research are as follow: (i) to understand the forest policy formulation process, (ii) to analyze the possibility of SEA application in the formulation process of forest policy sector in the Pelalawan Regency. Furthermore, the research is emphasized on regional development policy of the forest sector relating to licensing of forest resources utilization. In this context, 2 companies holding forest concession on planted forest were taken as case studies. Environmental aspect in law and regulation were identified using content analysis and stakeholder analysis techniques. From the result of content and stakeholders analysis can be disclosed that during the time the involvement socialize and environmental aspect not yet full considered in decision making process. It has been identified also problem relating to SEA application, in which reference regulating of regional development are insuffient and inconsistent. For example, discrepancies on space allocation were found among RTRWK (Regency Spatial Plan), RTRWP (Provincial Spatial Plan) and TGHK (Arrangement on Forest Area Use). Furthermore, inconsistency is also observed in the forest implementation among national, provincial and regency governments. Despite, the problem identified, SEA application is highly potential and necessary in the regional policy formulation in the Pelalawan Regency to decelarate environmental (i.e. forest) degradation. Keywords : Strategic Environment Assessment, policy process, regional development policy, forest resources.
4
RINGKASAN LENI ROSYILIN. Kebijakan Pembangunan Daerah dan Potensi Aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan). Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO dan AWAL SUBANDAR. Kabupaten Pelalawan merupakan pemekaran dari Kabupaten Kampar (Propinsi Riau) melalui Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999. Untuk mendorong kemajuan pembangunan daerah, pemerintah daerah merumuskan berbagai kebijakan berdasarkan potensi sumberdaya alam. Kabupaten Pelalawan memiliki luas 1.396.115 Ha, dengan luas daratan 1.299.264 Ha. Dari wilayah daratan tersebut, 994,299 Ha (76,94%) merupakan kawasan hutan berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Tahun 2001. Dalam pelaksanaannya, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam telah menyebabkan degradasi terhadap lingkungan khususnya hutan. Kondisi ini menjadi alasan penting untuk memulai menyadari bahwa pengelolaan yang baik dan benar harus dimulai dari kebijakan yang tepat. Dalam hal ini kebijakan pengelolaan hutan harus memperhatikan aspek lingkungan sebagai objek eksploitasi hutan dan aspek ekonomi berupa kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan. Identifikasi dampak lingkungan yang mungkin timbul dari suatu kebijakan dapat dilakukan dengan pendekatan metode Strategic Environment Assessment (SEA). SEA merupakan suatu proses yang sistematis dan komprehensif dalam evaluasi dampak lingkungan yang diperkirakan timbul dari suatu kebijakan, perencanaan atau program dan alternatif-alternatifnya, termasuk persiapan laporan secara tertulis terhadap temuan-temuan yang berguna untuk membuat keputusan publik yang bertanggung jawab (Therivel, 1996). Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup mengadopsi SEA dengan nama Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan dan potensi peran KLS dalam perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan. Dengan menggunakan metode content analysis dan stakeholders analysis, penelitian ini mencoba menjelaskan bagaimana proses perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan secara faktual dan mengetahui permasalahan aplikasi KLHS dalam perumusan kebijakan di Kabupaten Pelalawan. Hasil dan pembahasan memperlihatkan bahwa kebijakan yang berlaku normatif dan implementatif sudah mengintegrasikan lingkungan dalam arti, beberapa bagian sudah meyebutkan tentang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Dan lebih jauh lagi menyebutkan tentang inventarisasi data dan informasi, prakiraan dampak dengan penelitian dan kajian serta monitoring dan evaluasi. Namun ternyata integrasi aspek lingkungan diakui para stakeholders hanya pada level proyek (AMDAL) dan belum memperhatikan kondisi dan kebutuhan daerah. Hal ini disebabkan adanya inkonsitensi antar peraturan perundangan dan pemahaman terhadap peraturan perundangan yang berbeda-beda. Hasil dari studi kasus dua (2) perusahaan yang memiliki Izin
5
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman menunjukkan bahwa evaluasi dampak lingkungan yang dilakukan pada level proyek tidak efektif, sehingga evaluasi dampak lingkungan yang akan timbul harus dilaksanakan pada tahap perumusan kebijakan. Faktor penghambat dalam aplikasi KLHS adalah tarik ulur kewenangan tiap tingkatan pemerintah (pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten). Hambatan aplikasi KLHS lainnya adalah : peraturan perundangan yang belum konsisten dan lemahnya data dan informasi serta masih terbatasnya keterlibatan stakeholders. Aplikasi KLHS dapat berjalan baik bila peraturan perundangan yang menjadi acuan pembangunan daerah terlebih dahulu dibenahi dan disosialisasikan, didukung dengan regulasi dan optimalisasi peran dan kewenangan stakeholders serta ketersediaan data dan informasi yang baik.
6
©Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
7
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DAN POTENSI APLIKASI KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan)
LENI ROSYLIN
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
8
Judul Tesis
: Kebijakan Pembangunan Daerah dan Potensi Aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan)
Nama Mahasiswa
: Leni Rosylin
NRP
: P052050061
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo M.S Ketua
Dr. Ir. Awal Subandar, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 14 Juli 2008
Tanggal Lulus:
9
PRAKATA Bissmillahirromanirrahim,
Alhamdulillah dengan rahmat Allah SWT yang tak pernah putus, karena atas berkat rahmat dan karunia serta pertolongan-Nya, penelitian dengan judul Kebijakan Pembangunan Daerah dan Potensi Aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Studi Kasus Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan), dapat terselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan dan peran KLHS dalam perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan. Penulis menyadari penelitian ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat: 1)
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS., selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan serta seluruh staf atas kemudahan yang diberikan dalam penyelesaian studi di IPB.
2)
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan penelitian dan pembahasan mendalam berbagai aspek pada proses penulisan tesis.
3)
Dr. Ir. Awal Subandar, M.Sc., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan dan koreksi yang mendalam terhadap hasil penelitian dan proses penulisan tesis.
4)
Dr. Ir. Bramasto Nugroho, selaku Penguji Luar yang telah memberikan masukan demi penyempurnaan tesis.
5)
H. T. Azmun Djafar, SH Bupati Pelalawan dan H. Ir. Bambang P Suroto, MSi. Kepala Bapedalda Kabupaten Pelalawan yang telah memberi kesempatan dan dukungan untuk mengikuti pendidikan di Program Pascasarjana IPB.
6)
Jajaran staf Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan (Bagian Hukum, Pemerintahan, Kepegawaian Sekretariat Kabupaten Pelalawan, Dinas
10
Kehutanan, Bappeda, Dinas Perkebunan dan BPS Kabupaten Pelalawan yang membantu kelancaran penelitian. 7)
Kawan-kawan
dari
Organisasi
Non-Pemerintah
dan
Organisasi
Kemasyarakatan : Jikalahari, FKD Riau, WWF Riau, WALHI Riau, Yayasan Bangun Negeri Pelalawan, Majelis Pemuda Pelalawan, Forest Wacth Indonesia yang memberikan kesempatan pada peneliti untuk mengakses informasi seoptimal mungkin. 8)
Pepen, Sandy, Ipoel, Pak Jun, Indah, V3 & Pak Subhan dan semua temanteman PSL Angkatan 2005.
9)
Pita, Reni, Uci, Bu Ai dan teman-teman LQ, Eva Rahmawati, Mba Sudiani Pratiwi, Mba Osy dan Poppy.
10)
Bang Sam, Syawal, Romi, dan Iyul yang turut membantu dalam pengumpulan data.
11)
Ayahanda dan Ibunda tercinta, Adinda Laksmi Savitri, Lilfadli Jamil dan Ledyani yang telah memberikan dukungan kepada penulis.
Penulis mempersembahkan tesis ini untuk suami tercinta : Ady Candra dan kedua buah hati : Nasywa Fatimah dan Muhammad Abisali Abrisam yang telah menjadi semangat bagi penulis dan rela berbagi perhatian dengan perkuliahan dan tesis selama penulis menempuh pendidikan di IPB. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis mempersembahkan karya ini untuk pengembangan ilmu pengetahuan terutama bagi integrasi lingkungan hidup dalam perumusan kebijakan pembangunan guna tercapainya pembangunan berkelanjutan. Mohon maaf atas segala kekurangan dalam tesis ini. Sekian dan terima kasih.
Bogor, Juli 2008 Leni Rosylin
11
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pekanbaru, pada tanggal 5 Mei 1977 dari ayah bernama H. Mohd. Jamil. K, SH dan ibu bernama Hj. Rahima. Penulis merupakan putri sulung dari empat bersaudara. Pada Februari 2000, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Riau yang berlokasi di Pekanbaru. Di tahun 2000 juga, penulis diterima bekerja pada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau. Penulis menikah dengan Ady Candra Spi, Msi pada bulan Maret 2004, dan kini memiliki dua orang putra bernama Nasywa Fatimah (3 tahun) dan Muhammad Abisali Abrisam (1 tahun). Pada bulan Agustus 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa program Pasca Sarjana (S2) pada program Studi Ilmu Pengetahuan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.
12
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Bramasto Nugroho
13
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan merupakan salah satu unsur penting suatu organisasi atau lembaga sebagai landasan untuk tindakan-tindakan nyata di lapangan. Kebijakan dapat diturunkan dalam bentuk strategi, rencana, peraturan, kesepakatan, konsensus, kode etik, program, proyek dan sebagainya. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh proses pembuatan, pelaksanaan dan pengawasannya. Kebijakan yang tepat diperlukan dalam melaksanakan pembangunan daerah berkelanjutan. Untuk mendukung hal tersebut ada 3 faktor lingkungan yang perlu diperhatikan, yaitu : (1) terpeliharanya proses ekologi yang essensial, (2) tersedianya sumber daya yang cukup, dan (3) lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai (Soemarwoto, 2004). Terpeliharanya proses ekologi yang essensial berarti terjaminnya eksistensi bumi dengan sumber daya yang cukup dan potensial untuk dapat digunakan dalam meningkatkan produktivitas kegiatan sosial-budaya dan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Keberlanjutan ekonomi berarti terus berkembangnya produktivitas kegiatan ekonomi yang dicirikan oleh meningkatnya mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Demi keberlanjutan ekonomi, seringkali sumber daya alam dan lingkungan dilupakan. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan implikasinya menjadi isu yang serius untuk diamati karena, sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah laju degradasi sumber daya alam dan lingkungan semakin cepat. Salah satu sumber daya alam yang mendapat ancaman adalah hutan, walaupun dua abad terakhir para praktisi kehutanan terus berupaya melaksanakan prinsip-prinsip kelestarian dalam pengelolaan hutan. Realitas menunjukkan bahwa maraknya penggundulan hutan (degradation of forest) akibat perambahan maupun penebangan liar menyebabkan terganggunya ekosistem hutan bahkan sampai terbentuknya suatu padang pasir (desert of forest). Keadaan ini dikhawatirkan mengancam bahkan merusak sumber daya alam tersebut. Sebagai contoh,
14
Subandar (2004) menyatakan fakta di Provinsi Riau luas hutan menyusut 80% dalam 2 tahun sejak diberlakukannya otonomi daerah yang mengakibatkan banjir sangat parah dengan kerugian Rp. 1,12 triliyun. Menurut Elvida dan Sukadri (2002), prinsip pengelolaan hutan harus disesuaikan dengan karakteristik hutan tropis yang meliputi keterkaitan hulu dan hilir, keanekaragaman hayati sebagai stock product dan iptek. Pengelolaan tidak semata-mata untuk meningkatkan penerimaan daerah (termasuk PAD), tetapi dititikberatkan pada kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola hutan dengan arif dan bijaksana. Selain peningkatan produksi/ekonomi, hutan harus dilihat sebagai penyangga kehidupan (ekosistem) yang mendukung kesejahteraan rakyat. Kabupaten Pelalawan memiliki luas 1.396.115 ha, dengan luas daratan 1.292.264 ha, diantaranya berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) seluas 994.299 ha (76,94%) merupakan kawasan hutan konsesi. Kawasan hutan di luar konsesi seluas 297.965 ha (23,06%) berupa Taman Nasional (TN) Tesso Nilo yang berada di Kabupaten Pelalawan seluas 36.872 ha, Suaka Margasatwa (SM) 34.938 ha yang terbagi atas SM Kerumutan seluas 18.607 ha dan sisanya merupakan SM Tasik Metas, SM Tasik Belat, SM Tasik Serkap dan SM Tasik Sarang Burung. Areal di luar konsesi lainnya adalah hutan bakau seluas 8.567 ha. Areal lain yang termasuk pada kategori di luar areal konsesi adalah lahan terbuka dan semak belukar. Adapun kondisi areal di luar konsesi ini secara umum terdiri atas areal transmigrasi, kebun karet yang menjadi milik masyarakat, semak belukar, perkebunan kelapa sawit masyarakat, hutan sekunder dan kebun masyarakat (Tabel1). Tabel 1. Distribusi total penggunaan lahan di Kabupaten Pelalawan No 1.
Pemanfaatan Perusahaan Perkebunan Swasta
2. 3. 4. 5.
IUPHHK-HT IUPHHK-HA Hutan Rakyat Areal di Luar Konsensi Jumlah
Luas (Ha) 321.353
% 24.87
411.865 257.881 3.200 297.965
31.87 19.96 0.25 23.06
1.292.264
100.00
Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan dan PT. Tiara Kreasi Utama, 2007
15
Salah satu upaya untuk memacu pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pelalawan adalah dengan memanfaatkan sumber daya alam, berupa hutan dan pengembangan areal pertanian dan perkebunan dengan memanfaatkan areal hutan. Sejauh ini, pemanfaatan areal hutan telah dilakukan secara tidak terkendali dengan sistem tebang liar dan tanpa mengindahkan aturan tebang tanpa bakar (no burn policy) oleh pengusaha di bidang kehutanan, dan pada akhirnya menyebabkan berbagai kerusakan dan pencemaran, seperti polusi udara dan bencana banjir (Riau Pos Online, 16 Maret 2006). Selama periode Juli – Agustus 2005 di Kabupaten Pelalawan terdapat 309 titik api/hotspots (Eyes On The Forest, 2005). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Pelalawan sektor kehutanan dan perkebunan tahun 2006 mencapai Rp.3,299,564.16 (40,43%) dari total keseluruhan Rp.8,160,835.18 (BPS Kabupaten Pelalawan, 2007). Setiap tahun pemerintah daerah mengupayakan agar PDRB sektor perkebunan dan kehutanan mengalami peningkatan. Kebijakan pemerintah untuk menaikkan PDRB sektor kehutanan ini bisa berdampak negatif terhadap sumber daya hutan dan lingkungan. Hal ini perlu diantisipasi karena dari hasil analisis citra satelit, diperoleh kawasan yang memiliki izin pemanfaatan berada dalam kondisi areal tumpang tindih, di luar areal konsesi dan areal pengalihan fungsi kawasan (reskoring). (Dinas Kehutanan dan PT. Tiara Kreasi Utama, 2007). Berbagai perubahan kondisi hutan berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan dan hutan. Seharusnya dampak negatif akibat implementasi kebijakan sudah menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan. Menurut Gillespie dan McNeill, (1992) dalam Sutton (1999), dampak paling buruk terpisahnya kebijakan dan implementasinya adalah hilangnya tanggung jawab pembuat kebijakan terhadap hasil dari implementasi kebijakan. Keterpisahan tersebut dapat membuka pintu darurat (escape hatches), yaitu pembuat kebijakan bisa mengelak dari tanggungjawabnya terhadap implementasi kebijakan yang dibuatnya. Salah
satu
cara
yang
dapat
dilakukan
oleh
pemerintah
dalam
mempertimbangkan dampak yang akan timbul akibat implementasi kebijakan adalah dengan mengembangkan pendekatan metode SEA (Strategic Environment Assessment). Metode SEA merupakan suatu proses yang sistematis dan komprehensif dalam evaluasi dampak lingkungan yang diperkirakan timbul dari
16
suatu kebijakan, perencanaan atau program dan alternatif-alternatifnya, termasuk persiapan laporan secara tertulis terhadap temuan-temuan yang berguna untuk membuat keputusan publik yang bertanggung jawab (Therivel and Partidario, 1996). Kebijakan untuk menerapkan SEA telah banyak ditempuh oleh banyak negara di dunia, seperti di China untuk pembangunan berbagai sektor (Xiuzhen et al., 2002), Taiwan pada sektor pariwisata (Kuo et al., 2005) dan di Swedia pada sektor energi (Nilsson et al., 2005). IUCN/Nepal (1995) dalam Therivel and Partidario (1996) menerangkan untuk sektor kehutanan di Nepal, dimana SEA digunakan dalam menyusun OFMP (Operational Forest Management Plan) karena memprediksi dampak negatif yang menjadi konsekuensi pembangunan dapat dihindari atau diminimalisasi dengan mempertimbangkan alternatif dan memilih tindakan penanganan yang tepat dengan biaya efektif. Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2004 mengadopsi SEA dengan nama KLS (Kajian Lingkungan Strategis), namun karena persamaan istilah dengan Departemen Pertahanan yang juga punya KLS untuk maksud yang lain maka pada tahun 2007 berganti nama menjadi KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). Sementara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional juga mengadopsi SEA dengan nama SNREA (Strategic Natural Resources Environment Assessment). Karena baru diterapkan, tidak mengherankan bila penerapannya belum terlihat signifikan terhadap perumusan kebijakan. Padahal pendekatan yang digunakan dalam KLHS bukanlah hal baru, banyak pendekatan yang bisa dilakukan pemerintah untuk melibatkan aspek lingkungan dalam merumuskan kebijakan, seperti pendekatan Analisis Biaya dan Manfaat. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengapa perumusan kebijakan belum mengintegrasikan aspek lingkungan? Apa permasalahan aplikasi KLHS dalam perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan ? Sehingga penelitian ini perlu dilakukan.
17
1.2. Kerangka Pemikiran Tingkat kerusakan hutan yang tertinggi (sekitar 89 %) terjadi di hutan produksi yang dikelola oleh pemegang HPH (Kartodiardjo, 2003). Di Kabupaten Pelalawan terdapat industri pulp dan kertas yang pemenuhan bahan bakunya berasal dari hutan alam Pelalawan. Untuk memenuhi permintaan bahan baku, industri ini telah memanfaatkan jutaan hektar hutan alam untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku dan mengkonversi hutan tersebut menjadi perkebunan akasia. Dalam dua tahun terakhir, APRIL (induk PT. Riau Andalan Pulp dan Paper) sendiri telah mengkonversi 50 ribu hutan alam di hutan gambut di Kabupaten Pelalawan dan membuat jalan untuk memasuki kawasan Semenanjung Kampar (Noor, 2006). Terkait hal di atas, kebijakan pemerintah untuk konversi hutan atau melepas kawasan hutan menjadi kawasan non hutan (perkebunan, pertanian dan industri) harus dipertimbangkan secara bijaksana, tidak hanya memikirkan aspek ekonomi (keuntungan semata) tetapi harus memikirkan juga dampak negatif yang akan timbul. Disinilah potensi penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam perumusan kebijakan pembangunan. Teknik KLHS didefinisikan sebagai proses sistematis dan komprehensif dalam evaluasi dampak lingkungan yang diprakirakan akan muncul akibat pelaksanaan kebijakan, rencana atau program (KRP) yang dilakukan pada tahap awal dari proses pengambilan keputusan kegiatan pembangunan selain pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan sosial (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Penelitian – penelitian yang menggunakan pendekatan KLHS telah banyak memberikan kontribusi dalam memahami bahwa setiap kegiatan pembangunan sebagai implementasi suatu kebijakan tidak selalu menimbulkan dampak positif, namun bisa juga mengakibatkan kerugian (dampak negatif) akibat dari kegiatan atau kebijakan tersebut. Studi yang dilakukan Marzuki (2004) mengenai nilai ekonomi total hutan dalam wilayah PT. Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa dengan luas 12.638,56 hektar diperkirakan
sebesar Rp. 473,87
miliar/tahun (nilai terendah) sedangkan (nilai tertinggi) adalah sebesar Rp. 1.043 triliun per tahun. Pendapatan pemerintah dan masyarakat dari PT. NNT tahun
18
1997-2003 (secara keseluruhan adalah sebesar Rp. 2,278 triliun, kebijakan pengembangan
industri
pertambangan
terbuka
oleh
PT.
NNT
dengan
mengkonversi hutan lindung tidak layak secara ekonomi. Pengelolaan Sumber daya Hutan
Perencanaan Pembangunan
KLHS
Narasi
Aktor
Kepentingan
Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Degradasi Sumber daya Alam
Pembangunan Berkelanjutan
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian Maturana (2004) menyatakan PT. Riau Andalan Pulp and Paper, perusahaan industri bubur kertas dan kertas yang teletak di Kabupaten Pelalawan memiliki areal yang dapat dikonversi seluas 250.000 ha, mampu menghasilkan nilai manfaat ekonomi (economic benefit) US$ 1,336,119,511, sementara nilai biaya ekonomi (economic cost) US$ 3,547,376,172. Terlihat bahwa biaya-biaya ekonomi lebih tinggi dibandingkan manfaat-manfaat ekonomi yang terkait.
19
Selanjutnya menurut Heleosi (2006), di Kabupaten Kutai Kartanegara (dengan pendekatan KLHS dan Cost Benefit Analysis) ternyata diketahui bahwa estimasi nilai ekonomi kebijakan penebangan hutan (dengan volume kayu hasil penebangan 1.103.812,50 m3) selama lima tahun, menimbulkan kerusakan lingkungan sebesar Rp 14,023 trilyun, sedangkan manfaat yang diperoleh hanya sebesar Rp 6,516 trilyun. Hasil analisis biaya manfaat kebijakan penebangan hutan secara kuantitatif menunjukkan nilai kerugian ekonomi karena kerusakan lingkungan lebih besar daripada manfaat ekonomi yang diperoleh pemerintah daerah. Berdasarkan uraian di atas, yang perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana aspek lingkungan diintegrasikan dalam penyusunan kebijakan kehutanan di Kabupaten Pelalawan adalah melakukan analisis kebijakan terhadap produk kebijakan pemerintah daerah sektor kehutanan. Analisis ini meliputi aspek kelembagaan dan aturan mainnya, dalam hal ini adalah bagaimana melibatkan aspek lingkungan dalam setiap kebijakan sektor kehutanan.
1.3. Perumusan Masalah Pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan cenderung
dilatarbelakangi
oleh
kepentingan
ekonomi,
dalam
hal
ini
meningkatkan pendapatan daerah. Aspek lingkungan seharusnya juga menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan. Dengan demikian KLHS diharapkan dapat membantu pengambil keputusan dalam merumuskan kebijakan yang arif dan bijaksana tidak hanya dari aspek ekonomi tapi termasuk aspek lingkungan. Permasalahan degradasi sumber daya alam bukanlah permasalahan aspek biologis dan teknis, melainkan sangat berhubungan erat dengan aspek pengambilan keputusan individu-individu yang terlibat (Arifin, 1997 dalam Kartodihardjo, 2006). Sehingga stakeholders dan pengambil keputusan perlu menyadari pentingnya mempertimbangkan aspek lingkungan dalam setiap tingkatan perencanaan. Menurut KLH (2004) kajian dampak lingkungan pada tingkat perencanaan pembangunan belum melakukan prakiraan dampak yang akan terjadi sebagai akibat pelaksanaan rencana yang telah ditetapkan.
20
Sehingga berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengapa Pemerintah Kabupaten Pelalawan belum mengintegrasikan aspek lingkungan dalam produk kebijakan sektor kehutanan ? 2. Apa permasalahan aplikasi KLHS dalam perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan ?
1.4.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perumusan kebijakan
sektor kehutanan dan permasalahan aplikasi KLHS dalam perumusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan.
1.5.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai :
a. Rekomendasi bagi pemerintah dalam perumusan kebijakan. b. Dasar untuk penelitian lanjutan untuk berbagai sektor dan kawasan lain. c. Pengkayaan studi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
21
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan berbagai tinjauan pustaka sehubungan dengan maksud penelitian. Tinjauan pustaka dimulai dengan urutan sebagai berikut : pembuatan kebijakan, stakeholders analysis, content analysis dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Sub bab tentang Kajian Lingkungan Strategis akan dibagi menjadi : definisi, tahapan, implementasi, pendekatan dan model penerapan.
1.1. Pembuatan Kebijakan Sutton (1999) menyatakan bahwa segala sesuatu yang diputuskan oleh para pembuat keputusan dianggap sebagai perwujudan pemikiran umum dan pemisahan keputusan-keputusan tersebut dari implementasinya, padahal naskah suatu kebijakan dilahirkan oleh suatu proses yang “chaotic”. Lindayati (2003) menyatakan pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan tidak hanya didorong oleh kepentingan pemerintah; tetapi juga melibatkan proses ”pembelajaran” bagi pembuat kebijakan dimana gagasan kebijakan memainkan peranan utama. Arus utama dalam pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini disebut sebagai model liner. Model ini dikenal juga dengan model rasional atau commonsense. Urutan pembuatan kebijakan dalam model ini adalah sebagai berikut (Sutton, 1999) : 1.
Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah.
2.
Merumuskan tindakan untuk mengatasai masalah.
3.
Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi.
4.
Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat.
5.
Pelaksanaan kebijakan.
6.
Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan. Rangkaian tahapan tersebut di atas secara skematik dapat digambarkan
sebagai berikut (Gambar 2).
22
Tahap Penetapan Agenda
Tahap Penetapan Keputusan
Tahap Implementasi kebijakan
Tindakan Status Terpilih
Pelaksanaan Berhasil
Terpilih Formulasi Isu dan Masalah
Pelaksanaan Gagal Tindakan/Solusi Tidak Terpilih
Penguatan Lembaga Memperkuat “political will”
Tidak Rerpilih
Gambar 2. Tahap pembuatan kebijakan dengan model linier Sumber : Grindle and Thomas (1990) dalam Sutton (1999) Dalam model ini diasumsikan pembuat kebijakan bertindak rasional dalam mengikuti tahap demi tahap pelaksanaan pembuatan kebijakan dan dapat menggunakan seluruh informasi yang diperlukan. Apabila masalah tidak dapat dipecahkan melalui segenap tindakan yang telah ditetapkan, kesalahan biasanya tidak dialamatkan pada isi kebijakan itu sendiri melainkan pada pelaksanaannya. Kesalahan dalam pelaksanaan kebjakan biasanya dialamatkan pada lemahnya ‟political will‟, terbatasnya sumberdaya (anggaran, sumberdaya manusia), serta lemahnya manajemen. Kelemahan pendekatan rasional tersebut dapat dilihat, misalnya, apabila memang anggaran, sumberdaya dan manajemen pelaksanaan kebijakan lemah, mengapa. kelemahan-kelemahan tersebut tidak dipertimbangkan dalam tahap penetapan agenda? Bagaimana tindakan sebagai solusi diputuskan juga sangat tergantung siapa yang mempunyai kewenangan, dan oleh karenanya, pemegang kewenangan seharusnya dapat mengarahkan tindakannya untuk menjalankan solusi tersebut. Asumsi ini seringkali tidak dipenuhi. Disamping itu, informasi sebagai bahan untuk mendalami isu dan menetapkan masalah seringkali tidak mencukupi (Sutton, 1999). Di bidang kehutanan sendiri, Kartodihardjo (2006) menyatakan kerangka pemikiran yang dipergunakan untuk merumuskan kebijakan lebih bertumpu pada aspek-aspek teknis dan teknologi pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan. Sementara itu arah perilaku aktor-aktor yang terlibat sebagai unit-unit pengambil keputusan
belum
diperhatikan.
Lebih
jauh
lagi
Kartodihardjo
(2006)
23
menambahkan bahwa landasan strategi yang perlu digunakan pemerintah adalah bagaimana menetapkan keputusan atau menjalankan kebijakan sehingga dapat : (i) setidak-tidaknya mempertahankan kapasitas pengelolaan kawasan hutan yang ada saat ini, dan (ii) menarik investasi maupun peran masyarakat untuk turut serta mendukung tujuan pembangunan kehutanan pada umumnya dan khususnya meningkatkan kapasitas pengelolaan kawasan hutan. Proses pembuatan kebijakan mempunyai karakteristik sebagai berikut (Institute of Development Studies, 2006): 1.
Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai suatu proses politik yang sesungguhnya yaitu sesuatu yang bersifat analitis atau suatu pemecahan masalah. Proses pembuatan kebijakan sama sekali bukan semata-mata bersifat teknis, aktivitas rasional-lah yang sering dipertahankan.
2.
Pembuatan kebijakan adalah suatu proses yang kompleks dan tidak menentu, bersifat berulang-ulang dan sering juga didasarkan pada percobaan, kesempatan belajar dari kekeliruan, dan mengambil ukuran-ukuran yang bersifat perbaikan. Oleh karena itu tidak ada keputusan atau hasil kebijakan tunggal yang optimal.
3.
Selalu ada tumpang-tindih dan agenda yang berlawanan; disana mungkin tidak ada kesepakatan yang penuh antar stakeholders atas apa permasalahan kebijakan penting yang sebenarnya.
4.
Keputusan tidaklah bersifat teknis dan terpisah: nilai-nilai dan fakta-fakta saling terjalin. Pertimbangan-pertimbangan nilai memainkan peran utama.
5.
Implementasi melibatkan pertimbangan dan negosiasi oleh para pengambil keputusan dan pelaksana keputusan (memberi kesempatan untuk melakukan inovasi dan lebih dihargai).
6.
Tenaga ahli teknis dan penentu kebijakan bekerja sama „saling membangun‟ kebijakan. Kerja sama ini dikenal juga sebagai co-produksi (produksi bersama) antara kebijakan dan ilmu pengetahuan.
7.
Co-Produksi kebijakan dan ilmu pengetahuan sering dilakukan untuk mengurangi ketidaktahuan dan ketidakpastian ilmiah, dimana ilmuwan berusaha melengkapi dengan memberi jawaban untuk pembuat kebijakan, dan selanjutnya didiskusikan.
24
8.
Proses kebijakan meliputi beberapa perspektif atas biaya sebagai perspektif dari kemiskinan dan ketermarjinalan yang sering terabaikan. Proses pembuatan kebijakan dapat dikembangkan dan diuraikan dalam
suatu kerangka sederhana yang menghubungkan tiga tema yang saling berhubungan (Institute of Development Studies, 2006), yaitu : 1. Pengetahuan dan diskursus (apa yang merupakan „kebijakan naratif‟? Bagaimana hal tersebut dirangkai melalui ilmu pengetahuan, riset dan lain sebagainya ?); 2. Para pelaku dan jaringan kerja (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung ?); dan 3. Politik dan kepentingan ( apakah yang merupakan dasar dinamika kekuasaan ?)
Diskursus & Naratif
Politik & Kepentingan
Pelaku & Jaringan Kerja
Gambar 3. Kerangka hubungan antar faktor dalam proses perumusan kebijakan (Sumber : Institute of Development Studies, 2006) Sutton (1999) menjelaskan bahwa pengembangan narasi (narrative development) yaitu suatu keyakinan di masa lalu berisi penyederhanaan kompleksitas situasi yang seringkali digunakan oleh pembuat kebijakan. Mereka sering menetapkan keyakinan-keyakinan tersebut sebagai kearifan di masa lalu yang sulit sekali ditinggalkan. Keberadaan kelompok kepentingan, kekuasaan, dan kewenangan mempunyai kedudukan penting karena akan saling memberi pengaruh terhadap ‟kebenaran‟, asumsi, jalan keluar, berdasarkan argumentasi dari pengalaman, literatur, atau pasal-pasal dalam peraturan-perundangan. Kelompok-kelompok tersebut menentukan cakupan atau arena yang dibahas dalam pembuatan kebijakan. Narasi membatasi ruang untuk melakukan manuver atau membatasi ruang kebijakan (policy space), yaitu kemampuan pembuat
25
kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan baru. Narasi dilahirkan melalui
jaringan
pembuat
kebijakan
(policy
coalition/network)
dan
mengembangkan paradigmanya sendiri sehingga menjadi sangat berpengaruh.
1.2. Stakeholder Analysis Istilah stakeholders atau parapihak sudah banyak digunakan dalam hubungannya dengan proses pengambilan keputusan. Stakeholders bukan hanya kumpulan para pihak, tapi pelaku (kelompok atau individu) yang memiliki kewenangan dan kepentingan dalam pengambilan keputusan atau pelaku (kelompok atau individu) yang dapat mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu (Maryono et al., 2005). Stakeholders
analysis
adalah
sebuah
proses
sistematis
dalam
mengumpulkan dan menganalisis informasi yang bersifat kualitatif untuk menentukan siapa yang berperan atau mempunyai kepentingan dalam membuat, mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah kebijakan (Schmeer, 2000). Schmeer (2000) juga menambahkan bahwa stakeholders dalam suatu proses adalah para aktor (pribadi atau organisasi) yang mempunyai kepentingan dalam sebuah kebijakan. Stakeholders, atau " pihak-pihak yang berkepentingan," umumnya dikelompokkan ke dalam
kategori berikut : international/donors,
politisi nasional (lembaga legistatif, kepala daerah), masyarakat, pihak swasta dan LSM. Gavin and Pinder (1998) menyatakan stakeholders analysis bertujuan untuk: 1.
Mengidentifikasi dan menggambarkan karakteristik stakeholders kunci.
2.
Menilai
cara
mereka
yang
mungkin
akan
mempengaruhi
hasil
program/proyek. 3.
Memahami hubungan antar stakeholders, mencakup penilaian konflik atau potensi konflik kepentingan antar stakeholders.
4. Menilai kapasitas yang berbeda dari stakeholders untuk berpartisipasi. Overseas Development Administration (ODA) memanfaatkan stakeholders analysis untuk membantu pemimpin dan penasehat dalam menilai suatu lingkungan proyek, dan untuk menginformasikan posisi ODA dalam negosiasi
26
suatu proyek. Lebih rinci lagi, stakeholders analysis bermanfaat untuk (ODA, 1995) : 1) Meneruskan
kepentinganan
stakeholders
dalam
hubungan
terhadap
permasalahan yang akan diselesaikan dengan proyek (langkah identifikasi) atau tujuan proyek (pertama proyek dimulai). 2) Mengidentifikasi potensi konflik kepentingan antar stakeholders, yang akan mempengaruhi penilaian ODA'S terhadap resiko proyek sebelum pendanaan disetujui (merupakan hal yang penting dalam proses pengusulan proyek). 3) Membantu mengidentifikasi hubungan antar stakeholders yang mempunyai kekuatan dan memungkinkan koalisi dari pembiayaan proyek, kepemilikan dan bekerjasama. 4) Membantu menilai jenis partisipasi yang sesuai dari stakeholders yang berbeda, pada urutan langkah-langkah dalam alur proyek. Menurut Schmeer (2000) stakeholders analysis dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (1) merencanakan proses, (2) seleksi dan defenisi kebijakan, (3) identifikasi stakeholders kunci, (4) memilih peralatan, (5) mengumpulkan dan menyimpan informasi, (6) mengisi tabel stakeholders, (7) menganalisis tabel stakeholders, dan (8) menggunakan informasi. Meyers, 2005 menyatakan bahwa stakeholders mempunyai kekuatan yang sangat berbeda-beda untuk mengontrol keputusan yang berpengaruh pada kebijakan dan lembaga, dan mereka memiliki derajat potensi yang berbeda untuk disumbangkan atau derajat kepentingan yang berbeda untuk mencapai tujuan tertentu. 1. Kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan atau lembaga berakar dari kontrol keputusan dengan efek positif atau negatif. Kekuatan stakeholders dapat dimengerti pada tingkat kemampuan stakeholders untuk membujuk dan memaksa orang lain membuat keputusan, dan mengikuti serangkaian tindakan tertentu. Kekuatan dapat berasal dari sifat organisasi stakeholders, atau posis mereka dalam hubungannya dengan stakeholders lain. 2. Potensi untuk mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan dan lembaga berada pada karakteristik khusus yang spesifik terhadap konteks dan lokasi,
27
seperti halnya ilmu pengetahuan dan hak. Yang menjadi perhatian khusus disini adalah stakeholders yang mempunyai potensi besar tetapi kekuatan lemah. Persoalan kebutuhan dan kepentingan stakeholders ini yang paling penting dalam banyak inisiatif untuk meningkatkan proses kebijakan dan lembaga. 1.3. Content Analysis Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentuk-bentuk
tertulis
lainnya
(Henderson,
1991 dan
Krippendorf, 1980). Teknik penelitian ini bisa berupa teknik kuantitatf yang sistematis dan bisa direplikasi yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari (Riffe et al., 1998). Teknik ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari perilaku manusia secara tidak langsung melalui analisis cara mereka berkomunikasi (Fraenkel et al., 1996). Teknik analisis ini memiliki kelebihan karena sifatnya yang unobtrusive (tidak langsung dan tidak mengganggu obyek yang diteliti), ekonomis, bisa direplikasi serta tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian kelemahan dari metode ini diantaranya adalah sumber data yang terdokumentasi terbatas, dan sulit menentukan validitas jika ada ketidaksepakatan antar penguji (Fraenkel et al., 1996). Tahapan/prosedur dalam melakukan content analysis dimulai dari identifikasi permasalahan penelitian, review teori dan penelitian sebelumnya, menentukan fokus penelitian, mendefinisikan isi dokumen yang relevan, membuat desain yang lebih spesifik, membuat tabel contoh, membangun protokol untuk pengkodean, spesifikasi populasi, spesifikasi kerangka sample, melakukan analisis percobaan, memproses data dan melaporkan hasil (Borg et al., 1989; Riffe et al., 1998; Fraenkel et al., 1996, dan Krippendorff, 1980). Secara ringkas tahapan content analysis ini disajikan pada Gambar 4.
28
Identifikasi Problem Penelitian Review Theory dan Penelitian Sebelumnya
Konseptualisasi (Conceptualization)
Assert Research Questions
Penentuan Konteks yang relevan Spesifikasi Desain Formal Pembuatan Dummy Tables Rancangan (Design)
Pembangunan Protokol Pengkodean Spesifikasikan Populasi Spesifikasi Sampling Frame Pretest Tetapkan Reliability Proses pengolahan data : Analisis kualitatif, Analisis Kuantitatif atau gabungan keduanya
Analisis (Analysis)
HASIL
Gambar 4. Prosedur content analysis
2.4. Kajian Lingkungan Hidup Strategis 2.4.1.Latar Belakang KLHS Perkembangan KLHS dimulai sejak adanya kekecewaan terhadap kapasitas EIA (Environmental Impact Assessment) dalam membantu pengambilan keputusan. Dengan pertimbangan dan telah dibahas secara luas, ini disebabkan oleh (Partidario, 1999) : 1. Waktu pengambilan keputusan, terutama pada hambatan kecil di tingkat kebijakan dan perencanaan, tambahan keputusan terjadi dalam kekosongan pendekatan kajian dampak yang sistematik, akan berpengaruh pada tahapan berikutnya yaitu pada rancangan dan perencanaan proyek lingkungan.
29
2. Lingkup pengambilan keputusan. Kurangnya dasar dan ruang lingkup yang tidak jelas dari keputusan kebijakan dan perencanaan merupakan faktor pembatas utama untuk melaksanakan metode yang paragmatis dan teknologis seperti EIA. 3. Tahapan informasi. Disadari bahwa proyek EIA membutuhan informasi
tingkatan
dan kepastian dimana tidak tersedia dan tidak dapat diberikan
bersamaaan pada tahapan kebijakan dan perencanaan. Urutan peristiwa yang mendorong munculnya KLHS diuraikan dalam Tabel Tabel 2. Sejarah KLHS Tahun
Peristiwa
1969
The National Environmental Policy Act (NEPA) melalui Kongres US, memberi mandat pada para agen dan departemen pemerintah pusat untuk mempertimbangkan dan menilai efek proposal terhadap lingkungan untuk disahkan dan proyek utama lain. 1978 US Council for Environmental Quality (USCEQ) mengeluarkan peraturan untuk NEPA yang mana meminta USAID dan kebutuhan spesifik untuk penilaian program. 1989 Bank Dunia mengadopsi perintah internal (OD. 4.00) dalam EIA untuk mempertimbangkan persiapan penilaian sektor dan regional 1990 European Economic Community mengeluarkan proposal yang pertama untuk petunjuk Penilaian lingkungan dari Kebijakan, Rencana dan Program 1991 UNECE Convention pada EIA dalam konteks menyeluruh mempromosikan aplikasi EA untuk kebijakan, rencana dan program (diadopsi dari Espoo, Finlandia) 1991 The OECD Development Assistance Committee mengadopsi prinsip yang mengarah pada pengaturan spesifik untuk menganalisa dan memonitor dampak lingkungan dari program bantuan ( OECD, 1992) 1992 UNDP memperkenalkan peninjauan lingkungan sebagai alat perencanaan (UNDP, 1992) 1997 The European Commission mengeluarkan proposal Council Directive untuk menilai efek dari rencana dan program terhadap lingkungan (European Commission, 1997) Sumber : Partidario (2000)
Namun, kebutuhan akan KLHS tidak hanya karena
kelemahan EIA.
Penggagas KLHS mendesak dalam kapasitas KLHS sebagai instrumen untuk memperkenalkan
kepekaan
lingkungan
dan
mengintegrasikannya
dalam
kebijakan, rencana dan program. Peran KLHS sebagai penentu untuk memperkenalkan
prinsip pembangunan berkelanjutan dan menggunakannya
untuk pertimbangan efek kumulatif yang lebih baik. 2.4.2. Definisi KLHS Ada dua definisi KLHS yang lazim dilaksanakan dalam studi KLHS, yaitu definisi yang menekankan pada pendekatan evaluasi dampak lingkungan (EIA-
30
driven) dan pendekatan keberlanjutan (sustainability-driven). Definisi pertama, menempatkan KLHS pada posisi mengevaluasi dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan, seperti tertuang dalam definisi berikut (Sadler dan Verheem, 1996) : “KLHS adalah proses sistematis untuk menjamin bahwa konsekuensi atau dampak lingkungan akibat suatu usulan kebijakan, rencana atau program telah dipertimbangkan dan dievaluasi sedini mungkin dalam proses pengambilan keputusan, paralel dengan pertimbangan sosial dan ekonomi”. Sedangkan
definisi
kedua
lebih
menekankan
pada
keberlanjutan
pengelolaan sumberdaya seperti tertuang dalam definisi berikut : “Merupakan proses untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dalam pengambilan keputusan pada tahap kebijakan, rencana atau program, untuk menjamin prinsip keberlanjutan sedini mungkin”. Berdasarkan kedua definisi tersebut di atas serta mempertimbangkan kesesuaian dengan kebutuhan instrumen pengelolaan lingkungan di Indonesia, maka definisi KLHS yang digunakan di Indonesia adalah proses sistematis dan komprehensif
untuk
mengevaluasi
dampak
lingkungan
dengan
mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi serta prinsip-prinsip keberlanjutan dari usulan kebijakan, rencana atau program pembangunan. Prinsip-prinsip pokok yang harus menjadi pertimbangan dalam melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2004) : 1.
Aplikasi KLHS harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan proses dan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan.
2.
Teknik KLHS diaplikasikan terhadap kebijakan, rencana atau program (KRP) secara terpisah atau kombinasi dari ketiganya. Analisis pertimbanganpertimbangan lingkungan harus diintegrasikan secara penuh dan pada tahap awal dari proses perumusan KRP.
3.
Teknik KLHS diaplikasikan pada tingkat konsep dan bukan pada aktivitas fisik (lokasi dan rancang bangun) tertentu yang lazimnya menjadi domain studi AMDAL.
31
4.
Salah satu aspek kajian dalam melaksanakan KLHS adalah melakukan evaluasi dan membandingkan dampak lingkungan dari berbagai alternatif pilihan KRP yang menjadi kajian.
5.
Dalam suatu proses pengambilan keputusan pembangunan, KLHS seharusnya menjadi bagian dari pertanggungjawaban publik.
6.
Pendekatan pelaksanaannya bersifat ekosistemik, yang berlandaskan pada prinsip-prinsip eko-efisiensi dan pembangunan berwawasan lingkungan.
7.
Pelibatan seluruh stakeholders yang meliputi instansi pemerintah terkait, legislatif, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat termasuk lembaga adat, dan sektor swasta terkait. Teknis pelaksanaannya dilakukan secara partisipatif, antara lain, melalui diskusi kelompok terarah (focused group discussion) dan multi criteria decision making (contoh : metode Analytical Hierarky Process).
8.
Tidak menghambat pelaksanaan investasi di daerah.
9.
Difokuskan pada dampak tidak langsung, dampak kumulatif, dan dampak sinergistik, baik pada tingkat lokal, regional, nasional, dan global. Pendekatan yang digunakan dalam penerapan KLHS akan berbeda pada
setiap negara, baik dari segi metodologi maupun implikasinya. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2004), beberapa pendekatan KLHS
yang
ditempuh di berbagai negara dapat disajikan secara ringkas, sebagai berikut : 1.
Pendekatan KLHS secara formal (formal SEA), menyerupai metodologi AMDAL dengan memasukkan pertimbangan dan disusun dalam sebuah laporan untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Di negara Amerika Serikat, Belanda, dan Selandia Baru formal SEA diimplementasikan dalam peraturan.
2.
Penilaian Lingkungan (Environmental Appraisal), umumnya dibatasi pada isu-isu yang berkaitan dengan badan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan. Pendekatan ini biasanya tidak dilengkapi laporan implikasi lingkungan, kurang sistematis, dan umumnya tidak disertai diskusi dengan instansi lain maupun masyarakat.
32
3.
Penilaian Analisis Biaya Manfaat (Cost benefit Appraisal), difokuskan untuk mengurangi biaya (ekonomi dan lingkungan) dan meningkatkan keuntungan atas kegiatan-kegiatan yang strategic. Penyusunan formal SEA dilakukan secara komprehensif.
4.
Pendekatan Proyek yang dimodifikasi (Modified Project SEA), menggunakan metodologi AMDAL dan digunakan untuk kajian terhadap program sebagai dasar penyusunan rencana proyek.
5.
Pendekatan yang lebih mengarah pada rasionalisasi KRP, dimana prinsipprinsip kajian lingkungan cenderung dirancang dalam bentuk kebijakankebijakan dan rencana-rencana melalui identifikasi kebutuhan dan pilihan untuk pembangunan yang berkelanjutan.
6.
Pendekatan ekosistemik, menekankan pentingnya menempatkan obyek kajian dalam konteks keterkaitan dengan sistem lain yang lebih besar.
2.4.3. Tahapan KLHS Kerangka kerja dan metodologi KLHS diuraikan dalam Gambar 5. Dengan tahapan sebagai berikut (KLH, 2008) : 1. Penyaringan, tahapan ini dlakukan untuk mengetahui apakah diperlukan studi KLHS. Kegiatan pada tahapan ini meliputi : menentukan konteks dan data dasar, konteks kelembagaan, isu-isu permasalahan lingkungan hidup, keterkaitan KRP dengan persoalan lingkungan hidup, tujuan dan fokus KLHS. 2. Pelingkupan, tahapan ini dilakukan untuk mengetahui ruang lingkup KLHS melalui studi data dasar, isu-isu keberlanjutan pembangunan, sasaran KLHS dan sasaran KRP. 3. Alternatif KRP, pada tahapan ini dilakukan perumusan tujuan/sasaran KRP, identifikasi dan perbandingan alternative KRP, analisis KRP dan alternatifnya, KRP lain yang relevan, analisis system (bisa dengan sistem pemodelan, teknikekonomik). 4. Analisis Lingkungan (Evaluasi dan Valuasi Dampak KRP), dilakukan dengan : (a) interpretasi data; (b) evaluasi dan prakiraan dampak KRP; (c) memfokuskan pada dampak tidak langsung, kumulatif, dan sinergistik; (d) analisis: multikriteria, ketidakpastian, dan pembobotan; (e) mitigasi dampak.
33
5. Alternatif KRP dan Pengambilan Keputusan, bagian dari tahapan ini adalah : (a) proses dan mekanisme pengambilan keputusan; (b) keterlibatan publik dan stakeholders lain; (c) argumentasi pengambilan keputusan. Bisa dengan metode analisis multi-kriteria, survei publik, valuasi ekonomi, efektivitas biaya, analisis biaya-manfaat. 6. Rencana Pemantauan dan Pengelolaan KRP, yang dilakukan pada tahapan ini adalah : (a) implementasi mitigasi dampak; (b) perbaikan KRP; (c) tindaklanjut pengelolaan dampak KRP melalui pembentukan Sistem Pengelolaan Lingkungan Hidup Adaptif. Perbandingan aplikasi tahapan KLHS di berbagai negara dengan tahapan yang diterapkan di Indonesia disajikan dalam Tabel 3.
34 Tabel 3. Perbandingan tahapan aplikasi KLHS di beberapa negara dibandingkan dengan Indonesia Komponen Tahapan SEA Penyaringan Pelingkupan
Tipe dampak yang diperkirakan Partisipasi publik
Negara-negara lain (Canada, USA, UK, Belanda, Denmark) Semua dokumen yang ada sebagai dokumen strategis yang diajukan dan disetujui oleh kewenangan pusat di pemerintahan pusat Peraturan tentang level analisis yang digunakan dalam pengelolaan harus disetarakan dengan level dalam antisipasi dampak lingkungan, selanjutnya hal ini memberikan penekanan bahwa pedoman SEA merupakan rujukan degan kebijakan yang ada dalam hal bagaimana melaksanakan SEA Lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan kesehatan
Ya, untuk meningkatkan keberhasilan, analisis harus menentukan siapa saja yang terkena dampak, stakeholder, dan masyarakat umum yang menerima dampak Metode & tahap Sumber informasi bagi perhatian terhadap masyarakat : per data yang 1. analisis sosial dan ekonomi yang berjalan sesuai pada proposal ada 2. mekanisme konsultasi publik yang berjalan di departemen (tanggung jawab pihak berwenang memberi kesempatan partisipasi publik 3. departemen ahli, pakar dan organisasi lainnya Alternatif Alternatif dampak lingkungan harus dievaluasi dan dibandingkan untuk membantu identifikasi bagaimana cara PPP dapat mengurangi resiko lingkungan Pengajuan Sebagai bagian dari dokumen pembangunan daerah laporan
Mitigasi bencana Peninjauan SEA
Kebijakan perencanaan bahwa ”peninjauan dan monitoring merupakan aspek kunci dalam ”rencana, monitor dan mengatur” pendekatan sistem perencanaan Kebijakan dinilai dengan pengujian terhadap tujuan dan target berkelanjutan
Indonesia Menentukan konteks dan data dasar; konteks kelembagaan; isu-isu permasalahan LH; keterkaitan KRP dengan persoalan LH; tujuan dan fokus KLHS Ruang lingkup KLS; studi data dasar, isu-isu keberlanjutan pembangunan, sasaran KLHS dan sasaran KRP
Fokus dampak: tidak langsung, kumulatif, dan sinergistik;
Keterlibatan publik dan stakeholders lain;
Analisis multi-kriteria, efektivitas biaya, analisis manfaat-biaya, survei publik
Alternatif KRP dan Pengambilan Keputusan : hasil, proses dan mekanisme pengambilan keputusan; argumentasi pengambilan keputusan Bisa dilakukan di tiga tahapan : 1. dilaksanakan pada pembahasan Laporan Pendahuluan, yang dilakukan setelah tahap persiapan dan tahap review RTRW; 2. dilaksanakan pada pembahasan laporan Buku Data dan Analisis, yang dilakukan setelah tahap pengumpulan data dan tahap analisis; 3. dilaksanakan pada pembahasan laporan Buku Rencana, yang dilakukan setelah tahap konsepsi rencana. Implementasi mitigasi dampak; perbaikan KRP; Tindak lanjut pengelolaan dampak KRP melalui pembentukan Sistem Pengelolaan LH Adaptif
35
Analisis masalah, kelembagaan, stakeholders, analisis jaringan kerja kebijakan termasuk aspirasi publik
SIG/data dasar dan sasaran-sasaran LH 2. Pelingkupan Ruang lingkup KLS; Studi data dasar, Isu-isu keberlanjutan pembangunan; Sasaran KLS dan sasaran KRP Indikator, aliran dampak LH, analisis manfaat dan risiko LH 4. Analisis Lingkungan [Evaluasi dan Valuasi Dampak KRP] Interpretasi data; Evaluasi dan prakiraan dampak KRP; Fokus dampak: tidak langsung, kumulatif, dan sinergistik; Analisis: multikriteria, ketidakpastian, dan pembobotan; mitigasi dampak
Efektivitas biaya, analisis biayamanfaat
6. Rencana Pemantauan dan Pengelolaan KRP Implementasi mitigasi dampak; monev untuk perbaikan KRP; Tindaklanjut pengelolaan dampak KRP melalui pembentukan Sistem Pengelolaan LH Adaptif [Gambar 3.4]
1. Penapisan Apakah diperlukan studi KLS; Menentukan konteks dan data dasar; Konteks kelembagaan; Isu-isu permasalahan LH; Keterkaitan KRP dengan persoalan LH; Tujuan dan fokus KLS
3.Alternatif KRP Tujuan/sasaran KRP; Identifikasi dan perbandingan alternatif KRP; Analisis KRP dan alternatifnya; KRP lain yang relevan; Analisis sistem
5. Alternatif KRP dan Pengambilan Keputusan Hasil, proses dan mekanisme pengambilan keputusan; Keterlibatan publik dan stakeholders lain; Argumentasi pengambilan keputusan
Lokakarya skenario kebijakan
Model sistem-sistem teknik-ekonomik
Analisis multi-kriteria, survei publik, valuasi ekonomi
Gambar 5. Kerangka kerja dan metodologi KLHS (adaptasi dari Therivel dan Brown, 1999; ODPM, 2003; Nilsson, et al., 2005; Dalal-Clayton dan Sadler, 2005)
36
2.4.4. Elemen Penting dalam KLHS Menurut KLH (2008), elemen penting dalam KLHS adalah : sesuai kebutuhan (fit for the purpose), berorientasi pada tujuan (objective-led oriented), didorong motif keberlanjutan (sustainability-driven), ruang lingkup komprehensif (comprehensive scope), relevan dengan pengambilan keputusan (decisionrelevant),
terpadu
(integrated),
transparan
(transparent),
partisipatif
(participative), dapat dipertanggungjawabkan (accountable), efektif dalam pembiayaan (cost-effective). Secara substansial, KLHS merupakan suatu upaya sistematis dan logis dalam memberikan landasan bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan melalui proses pengambilan keputusan yang telah mempertimbangkan aspek lingkungan secara lebih proporsional selain aspek ekonomi dan sosial. Menurut Sheate et al., (2001), kunci keberhasilan aplikasi KLHS adalah sebagai berikut : 1. Memerlukan proses transparan, pertimbangan lingkungan terhadap kebijakan, rencana dan program yang strategis. 2. Menilai dampak kebijakan dengan memberi pilihan alternatif yang terbaik. 3. Pertikaian antar stakeholders, pembuat keputusan dan publik dibenahi. 4. Memerlukan proses sistematik, membenahi kekurangan antara institusi dalam kerangka kerja bersama. 5. Diatur oleh peraturan perundangan. 6. Data dan informasi yang baik. 7. Ada badan independen untuk menilai dan dapat dipertanggungjawabkan. 8. Integrasi dimulai dari awal sampai akhir dan sebagai katalisator pembangunan sebagai panduan dan pelatihan. 9. Secara aktif, partisipatif dan proses pendidikan bagi semua kelompok, stakeholders mampu mengambil keputusan yang mampu meningkatkan kesadaran untuk dimensi strategis (KRP). 10. Berkelanjutan dan proses belajar dimana pengambilan keputusan yang selama ini di perbaharui dengan konsekuensi untuk mengimplementasi KLHS. 11. Tergantung pada kualitas dan ketepatan yang tinggi dalam aplikasi metode penilaian, kualitatif dan kuantitatif.
37
2.4.5. Implementasi KLHS Chaker et al., (2005) menyatakan untuk mengimplementasikan KLHS ada banyak cara, tergantung pada keadaan, termasuk peraturan dan perundangundangan dan penyelenggaraan pemerintah yang ada. Selanjutnya untuk mengimplementasikan KLHS dibutuhkan pelatihan dan peningkatan kapasitas (capacity building). Tabel 4. Prosedur dan metodologi pelaksanaan KLHS di beberapa negara Negara Canada Amerika Serikat
Aplikasi Kebijakan dan Program Program dan Rencana
Inggris
Kebijakan, Rencana dan Program Kebijakan, Rencana dan Program Kebijakan, Rencana dan Program
Swedia, Denmark Belanda
Jerman, Prancis
Kebijakan, Rencana dan Program New Zealand Kebijakan, Rencana dan Program Australia Kebijakan, Rencana dan Program Sumber : Partidario (1995) dalam KLH (2004)
Prosedur Tidak ditentukan Programmatic Environmental Impact Studies (PEIS) Panduan
Metodologi Tidak ada panduan AMDAL
AMDAL
Matrik/Daftar Uji
AMDAL
AMDAL/Kriteria prinsip pembangunan berkelanjutan Tidak ada panduan
AMDAL UU Pengelolaan Sumberdaya Alam AMDAL
Matrik/Daftar Uji
Tidak ada panduan Tidak ada panduan
Di Cina, implementasi KLHS pada tahap kebijakan, rencana dan program sudah terlihat di berbagai sektor pembangunan. Konsep KLHS sudah diadopsi lebih dari 10 tahun untuk mendukung pengambilan keputusan di level kebijakan, antara lain : Strategi Energi Daerah (Strategi Propinsi Shanxi untuk Industri Batu Bara dan Listrik), Kebijakan Pengembangan Industri Automobil, Perencanaan Wilayah Pantai Timur Xiamen dan Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran Udara di RRC. Oleh karena itu, KLHS secepatnya akan diatur dengan peraturan perundangan di China (Xiuzhen et al., 2002). Penerapan KLHS berikutnya adalah sebagai alat pendukung perencanaan di Malaysia yang masih pada tahap persiapan. Di Malaysia KLHS digunakan untuk mengidentifikasi berbagai dampak lingkungan dari kebijakan, rencana dan program, yang berhubungan dengan Rencana Pembangunan Nasional untuk mendukung program pembangunan berkelanjutan (Briffett et al., 2003).
38 Tabel 5. Prosedur KLHS pada beberapa organisasi internasional No 1.
Agen AIDEnvironment bekerjasama dengan Netherlands Development Organization Development Assistance Committee (DAC)
Prosedur Strategic Environmental Analysis
Deskripsi - Mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dalam kebijakan dan strategi perencanaan. - Menerapkan pokok permasalahan untuk mendukung institusi pemerintahan dan LSM dalam analisis dan perencanaan lingkungan untuk menentukan kebijakan pembangunan berkelanjutan serta strategi perencanaan
KLHS
3.
European Commission (EC)
Dana Struktural
4.
Canadian Departemen of Foreign Affairs And International Trade (DFAIT)
Laporan : strategic environmental assessment
- Pada bulan November 2002, DAC bekerja pada perusahaan bidang pembangunan dan lingkungan untuk peningkatan ketetapan aturan KLHS dalam perusahan - Ketetapan yang dibuat difokuskan pada peragaan nilai tambah KLHS dalam pengambilan keputusan perusahaan pembangunan, seperti hubungan timbal balik dan sinergi di antara pendekatan berbeda yang digunakan oleh perusahaan pembangunan dan lembaga pendukung. Bertujuan untuk meningkatkan pembangunan dan perbaikan struktural daerah yang memiliki aktifitas ekonomi dan pembangunan berkelanjutan terbelakang, pengembangan sumberdaya manusia dan kesempatan kerja, perlindungan dan perbaikan lingkungan, perbaikan perbaikan, peningkatan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dengan mendukung adaptasi dan memperbaharui kebijakan dan sistem pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Tahapan; a. Penilaian kondisi lingkungan saat ini; b. Membuat tujuan, target dan prioritas; c. Membuat draft pengajuan pembangunan dan mengidentifikasi alternatifnya; d.Membuat indikator lingkungan; e. Mengintegrasikan hasil penilaian dalam keputusan akhir pada perencanaan dan program - Laporan lingkungan North American Free Trade Agreement (NAFTA); a. Perjanjian dagang pertama untuk menjalankan laporan lingkungan. Tiap negara berkewajiban untuk melakukan penilaian masing-masing. b. Menerapkannya untuk menjamin kesadaran lingkungan yang telah dilakukan selama proses negosiasi dan dokumen pengaruh lingkungan potensial NAFTA c. Memastikan kesimpulan perjanjian pada perusahaan lingkungan, yang disediakan bagi penetapan North American Commission on Environmental Co-operation. - Tiga fase berbeda dalam penilaian oleh Word Trade Organization (WTO), Negosiasi beberapa pihak; a. Tahap awal (berakhir tahun 1999) dimasukkan dalam analisis sebelumnya, laporan lingkungan tahun 1994 babak Uruguay. Analisis retrospektif dimaksudkan untuk membantu menentukan metode untuk menilai babak baru b. Tahap kedua (mulai Desember 1999 hingga Maret 2000) berfokus pada formulasi metodologi untuk babak baru yang digambarkan di kementerian Seattle. Komentar diterima pada analisis retrospektif akan dimasukkan dalam pembangunan pada metodologi tersebut
2.
39
Lanjutan Tabel 5. No.
Agen
Prosedur
5
UK Department for International Development (DFID)
Strategic environmental assessment
6
UNDP
Program/kegiatan peninjauan lingkungan hidup
7
United Nations Environment Programme (UNEP)
Integrasi strategis penilaian kebijakan dagang
Deskripsi c. Tahap ketiga KLHS (dari maret 2000) mencakup laporan rinci permasalahan lingkungan sesuai paremeter yang ditetapkan di metodologi, dan akan dikerjakan sesuai dengan hasil kesepakatan yang kerjakan selama beberapa tahun kedepan Pedoman kebijakan dan inisiasi pembangunan di daerah dan atau sektor pembangunan, diterapkan pada: - Aktivitas yang kegiatan pelaksanaannya bersifat umum (perbaikan subsidi pertanian, kebijakan perdagangan atau perbaikan perekonomian) - Investasi sektoral atau program pendukung lainnya (sumberdaya air atau pengelolaan limbah, pariwisata, perencanaan trasnportasi, sektor energi, penggalian barang tambang) - Strategi formulasi kebijakan dan perencanaan regional (manajemen perencanaan kawasan pesisir, rencana pembangunan kawasan industri/perkotaan, manajemen penyangga atau rencana pembangunan regional) - Kondisi mudah untuk pengaruh kumulatif - Kegiatan atau aktifitas yang dapat menyebabkan pembangunan diluar kendali (kawasan industri, program pembangunan kegiatan perkotaan dan jalan - Kegiatan dengan program dibuat jumlah besar dalam skala pembangunan yang kecil atau kegiatan skala masyarakat yang sangat kecil atau jumalhnya sangat banyak untuk dinilai satu per satu - Target kegiatan adalah staf, kunci pengambil keputusan dan pemangku kepentingan lainnya - Metodologi terbagi atas; a. Menentukan kondisi dasar program/kegiatan (biofisika lingkungan, lingkungan sosial, peningkatan ekonomi dalam pelaksanaan dan sekitar perencanaan/program, pelatihan manajemen dan kapabilitas) b. Penelitian pada dampak dan peluang utama terhadap alam dan sosial-ekonomi c. Memeriksa (kelayakan hasil modifikasi/alternatif) sejauhmana draft kegiatan /program dapat dituangkan dalam strategi operasional, dan kondisi awal kedalam laporan d. Mendampingi dalam pembuatan perangkat strategis lainnya termasuk perangkat program integrasi dan penilaian (IPAT) dan peninjauan pedoman manajemen lingkungan hidup (EMG) - Sasaran pada pembuat kebijakan lingkungan, pembuat kebijakan perdagangan, praktisi ekonomi lingkungan hidup, dan praktisi EIA - Kerangka kerja dalam menganalisa danpak nilai ekonomi, lingkungan hidup dan sosial dalam perdagangan liberal - Metodologi antisipasi; a. Diperoleh informasi dasar tentang aspek lingkungan hidup, sosial dan aspek ekonomi b. Integrasi tentang model pendugaan, teknik penilaian dan analisis keuntungan
40
Lanjutan Tabel 5. No. 8
Agen USAID
Prosedur Perencanaan pedesaan
-
9.
World Bank
Environmental Assessment (EA) - penilaian regional dan sektoral - analisis lingkungan hidup pedesaan - laporan energi dan lingkungan analisis dampak kemiskinan dan sosial Sumber : Chaker et al (2005)
-
-
-
Deskripsi Berfokus pada bantuan manajemen tujuan pembangunan berkelanjutan, mulai dari tahap kebijakan hingga kegiatan tertentu dan peninjauan kemajuan yang dicapai pada semua tahapan Dibutuhkan pada semua rencana strategi pedesaan digambarkan dengan agenda integratif aktifitas pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan dengan benar, sinergi sesuai substansi program yang ada. Rencana strategis perdesaan dikembangkan sejalan dengan misi kepala daerah; mitra tuan rumah dan USA EA merupakan salah satu dari 10 kebijakan pengamanan dari bank, dan digunakan untuk menilai resiko dan keuntungan lingkungan terkait dengan kegiatan peminjaman bank. Ini diterapkan di level strategi, perencanaan, program dan sektoral (Mercier, 2002) Strategi lingkungan 2001 dibuat untuk menerapkan SEA pada kegiatan perbankan untuk menempatkan lingkungan dalam semua kegiatan perbankan dan pengusahaannya. Hal ini dimungkinkan dengan mengaitkan perencanaan dengan proses pengambilan keputusan di tahap awal Program pendidikan diluncurkan tahun 2001 untuk meningkatkan efektivitas penerapan SEA Tahap keterlibatan jawatan pemerintahan dan fihak tertentu, mitra pembangunan, dan komunitas luas pembangunan berkelanjutan.
41
Tabel 6. Perbandingan matriks aplikasi KLHS di 12 negara Negara Canada
Dasar hukum (legislasi/ketetapan/pedoman) Instruksi pemerintah 1990, diamendemen 1999
Republik Czech
Environmental Impact Assesment Act No. 244/1992
Denmark
Edaran kantor kementrian tahun 1993 (diamandemen 1995 dan 1999 ketika persyaratan telah resmi ditetapkan)
Hong Kong SAR
Perintah langsung EIA Tahun 1998 dalam mengevaluasi sejumlah rencana dan program dan tahun 1999 kepala eksekutif kantor kebijakan menetapkan berbagai penilaian keberlanjutan yang efektif tahun 2002
Aplikasi KLHS (KRP) KRP
Konsep: proposal strategis diajukan dan disetujui oleh kewenangan pusat di kantor pusat Kebijakan, proposal, dan departemen anggaran
Undang-undang Kebijakan dan proposal strategis
Ruang lingkup (sektor) Tidak ditentukan sektor spesifik, namun KRP menekankan: 1. proposal dipersiapkan dengan jelas dengan batas waktu tertentu untuk melakukan KLHS (kementrian bertanggung jawab untuk menentukan batas waktunya) 2. hal pokok salah satunya adalah tingkat kepentingan, misalnya bagi perekonomian atau bagi sektor industri tertentu, dimana pada kondisi normal kabinet merupakan jembatan apabila KLHS tak dapat dibuat. 3. persoalan yang telah sebelumnya dilakukan penilaian dampak lingkungan hidup, misalnya inisiatif bahwa bagian tertentu KRP yang telah dinilai sebelumnya, atau persoalan yang ada telah dinilai berdasarkan proposal yang diajukan Kabinet sebagai kegiatan dalam Canadian Environmental Assessment Act. Energi, transpor, pertanian, pengolahan limbah, pengolahan mineral dan tambang, rekreasi, pariwisata, perencanaan wilayah, pengelolaan air
tujuan kebijakan sektor lingkungan (energi, transpor dan pertanian) rencana aksi ditangani oleh kementrian energi dan lingkungan (MEE) (energi, lingkungan akuatik, teknologi pembersihan, pengolahan limbah dan daur ulang) sektor yang dikaji adalah perlindungan lingkungan hidup : bidang pengembangan dan tata guna lahan, pengembangan transportasi, saluran pembuangan limbah, pembakaran limbah menjadi energi, produksi sumber daya
Skala administratif (lokal/nasional/regional) Regional dan nasional
Kewenangan pusat di kantor administrasi
Regional pemerintah kota
Nasional dan regional
42
Lanjutan Tabel 6. Negara Dasar hukum (legislasi/ketetapan/pedoman) Belanda Dekrit EIA 1987 (diamende men tahun 1994 dan 1999) memasukkan persyaratan KLHS dalam undangundang khusus- nya untuk perencanaan dan program tata guna lahan daerah Permintaan Kabinet tahun 1995 dalam implementasi uji lingkungan hidup/Environmental test yang disebut dalam teks, negara di Eropa berharap memastikan KLHS Eropa di bentuk pertengahan 2004 prosedurnya mungkin merupakan perbaikan. New Undang-undang pengelolaan Zealand sumberdaya tahun 1991 dan amandemenya Portugal Penyelarasan instruksi EC SEA Pedoman penilaian dampak sttratejik telah dipersiapkan secara spesifik oleh undang-undang regulasi penataan ruang (UU no 48/98 dan dekrit UU no 380/99) Slovenia Undang-undang perlindungan alam dan lingkungan hidup tahun 1993 yang menetapkan bahwa evaluasi strategis lingkungan dikerjakan di kerangka kerja perencanaan spasial (regulasi KLHS khususnya belum diadopsi)
Aplikasi KLHS (KRP) KLHS : daftar rencana dan program
Ruang lingkup (sektor) KLHS : manajemen limbah, pembangkit tenaga listrik, suplai air, pengembangan wilayah/lahan, rencana daerah yang memasukkan areal perumahan, industri dan rekreasi.
Skala administratif (lokal/nasional/regional) KLHS : daerah, nasional dan lokal
E-test : draft regulasi dan kebijakan
E-test : semua sektor
E-test : nasional
Kebijakan dan rencana
Semua
Lokal, nasional dan regional
Rencana spasial
Tata gunaLahan dan perencanaan spasial
Regional, didalam pemerintahan perkotaan, pemerintahan kota
Spasial dan sektor yang terkait dengan KRP
Spasial dan sektor yang terkait (perencanaan tata guna lahan)
Regional dan lokal
43
Lanjutan Tabel 6. Negara Dasar hukum (legislasi/ketetapan/pedoman) Afrika Tidak ada aturan khusus yang selatan dibutuhkan dalam KLHS kendati pada undang-undang nasional pengelolaan lingkungan tahun 1998 dan amandemennya, ketetapan dalam prosedur penilaian untuk menjamin perhatian terhadap lingkungan sesuai yang tertuang dalam KRP Swedia Kebijakan diterbitkan tahun 2004 untuk diadopsi seperlunya dalam amandemen dan diimplementasikan dan aturan perundang-undangan KLHS Eropa. Amandemen tahun 1999 kode lingkungan, tahun 1987 perencanaan dan pembuatan undang-undang (dan amandemennya) dan tahun 1977 undang-undang pada kewenangan lokal perencanaan energi menghasilkan ”EIS spesial” yang diambil dari proses perencanaan. Peraturan yang lebih detail sedang dibuat untuk mengakomodir persyaratan peraturan KLHS Eropa dan protokol KLHS UNECE UK Pedoman praktis penerapan peraturan KLHS Eropa 2001/42/EC
Aplikasi KLHS (KRP) KRP
Ruang lingkup (sektor) Tidak spesifik, dibuat berdasarkan atas prinsip sukarela
Skala administratif (lokal/nasional/regional) Regional dan nasional
Dengan harapan untuk mengakomodir pelaksanaan perencanaan dan program
Tidak ada ketetapan spesifik pada program atau perencanaan dengan persyaratan tambahan. Dengan harapan memenuhi ketentuan dalam KLHS Eropa
Regional, nasional, lokal
Peraturan KLHS : rencana dan program
Rencana lokal, rencana pengembangan kesatuan, rencana pembangunan, rencana penambangan lokal, rencana limbah lokal, pedoman perencanaan regional, strategi pengembangan spasial di London, dokumen pengembangn lokal, strategi spasial regional
Lokal dan regional
44
Lanjutan Tabel 6. Negara Dasar hukum (legislasi/ketetapan/pedoman) UK Pernyataan draft perencanaan kebijakan
Pedoman perencanaan kebijakan : perencanaan regional (2000)
Aplikasi KLHS (KRP) Penilaian kebijakan: rencana dan strategi
Ruang lingkup (sektor) Rencana pengambangan dan strategi spasial regional dalam hal untuk kemungkinan implementasi dalam sistem perencanaan (masalah regenerasi, ekonomi, pengembangan, pendidikan, perumahan, kesehatan, limbah, energi, keanekaragaman hayati, daur ulang, perlindungan alam, transportasi, kebudayaan dan sosial) Selama formulasi strategi spasial dan strategi pengembangan draft pedoman perencanaan regional
Penilaian keberlanjutan : KRP dikembangkan oleh agen perencanaan Amerika Undang-undang nasional kebijakan Level federal yang Semua proposal yang mempengaruhi dengan nyata kualitas lingkungan tahun 1969 (dan tinggi seperti lingkungan hidup manusia diperiksa pada level federal amandemennya) kebijakan, peraturan dan hukum publik Indonesia Kantor Kementerian Lingkungan Penilaian kebijakan Pengelolaan sumberdaya air, tata ruang Hidup tahun 2004 : KRP Sumber : Chaker et al (2005) dan Kementarian Lingkungan Hidup (2004)
Skala administratif (lokal/nasional/regional) Lokal dan regional
Regional
Federal
Propinsi, Kabupaten/Kota
45 2.4.6. Pendekatan dan Model Penerapan KLHS Terdapat berbagai pandangan dalam penerapan KLHS di berbagai belahan dunia, berbagai pendekatan dibuat agar perencanaan KLHS dapat berjalan dengan baik pada tataran politik, kultur, perangkat undang-undang, serta tatanan institusi. Secara umum, ketentuan KLHS dapat dikelompokkan dalam tiga pendekatan umum (Dalal-Clayton dan Sadler, 2003), yang disebut; a) memperkenalkan KLHS sebagai bahagian yang terpisah, memiliki tahapan yang jelas – yang khususnya merupakan perpanjangan dari EIA; b) menetapkan KLHS dalam dua tahap sistem, dengan persyaratan tertentu untuk sektor perencanaan tertentu dan program serta strategi kebijakan lainnya; c) memasukkan KLHS dalam bentuk penilaian kebijakan lingkungan dan perencanaan tata guna lahan. Evolusi dari pendekatan di atas, dikenali dengan dua pandangan yang menawarkan cara kerja dan prosedur pembelajaran setelah tahap pelaksanaan kebijakan atau evaluasi perencanaan (pendekatan top-down) atau setelah pelaksanaan kegiatan EIA (pendekatan bottom-up). Berikut adalah uraian singkat masing-masing pandangan : 1.
Pandangan top-down : mendorong KLHS dari tataran analisis kebijakan dan perencanaan dengan kegiatan dilakukan dengan pertimbangan keberlanjutan pembangunan. Formulasi perencanaan dan kebijakan memasukkan prinsip penilaian lingkungan, dimana kebutuhan dan pilihan dalam pembangunan merupakan langkah awal dan kemudian selanjutnya penilaian secara sistematis
2.
Pandangan bottom-up : KLHS dimasukkan dalam perencanaan, program dan dapat saja menggunakan prosedur dan persyaratan EIA yang ada, sebagai perpanjangan dari EIA. tahapan ini dilakukan dengan memperhatikan bartasan EIA, kegiatan tertentu dan memperhatikan kepentingan lainnya dalam proses pengambilan keputusan pada tingkatan atas.
46 Tabel 7. Contoh model KLHS (modifikasi dari Partidarion, 2003a,b) Model Dasar EIA (pendekatan serupa dengan EIA)
Keunggulan Secara langsung: tahapan secara tegas sama dengan yang dilakukan pada EIA
Dua arah (KLHS dijalankan secara pararel tapi bebas dari pembuatan perencanaan dan kebijakan)
- Prosedur dalam kegiatan KLHS jelas teridentifikasi - Memiliki struktur yang jelas dalam proses perencanaan yang dapat memaksimalkan keberhasilan hasil akhir
Terintegrasi (KLHS merupakan bagian integral dalam pembuatan perencanaan dan kabijakan)
- Menawarkan fleksibilitas; tanpa ada prosedur tertentu - Tergantung pada kebutuhan, prosedur penilaian dampak yang dimasukkan dalam prosedur yang KRP yang ada. - Berfokus pada nilai tambah pada prosedur KRP saat ini dan menghindari duplikasi pekerjaan. - Persyatan minimal pada sumberdaya manusia dan finansial - Memberikan fleksibilitas; proses perencanaan “mengatur” kerangka kerja KLHS (KLHS dibuat untuk sistem pengambilan keputusan yang dilakukan di perdesaan atau sektoril) - Pendekatan ini lebih transparan pada proses laporan hasilnya yang merupakan tahap kritis dalam pengambilan keputusan - Hal ini banyak digunakan - Membutuhkan aturan kebijakan lebih sedikit
Keputusanterpusat (KLHS dimasukkan dalam pembuatan perencanaan dan kebijakan)
Kelemahan - Tidak fleksibel : terbatas pada prosedur dasar EIA - Integrasi dalam proses pengambilan keputusan tidak secara langsung - Kadangkala lemah dalam strategi penilaian - Nilai tambahan sangat terbatas dalam proses pengambilan keputusan, dapat juga tidak sejalan dengan proses pengambilan keputusan - Pada struktur proses perencanaan yang kurang, model ini beresiko akan tidak dinamis dalam perencanaannya - Integrasi dalam proses pengambilan keputusannya krusial - Batasan nilai tambah dalam aplikasi KLHStidak sepenuhnya terintegrasi dalam proses pembuatan keputusan. - Tidak dapat mengukur atau menilai keefektifan KLHS sebagaimana halnya disini tak ada perubahan antara KLHS dan proses perencanaan dalam hal mengurangi persyaratan laporan KLHS - Fleksibilitas dapat menjadi bumerang dalam struktur proses perencanaan yang lemah.
Keistimewaan - Umumnya diterapkan pada level perencanaan dan program - Biasanya diadopsi ketika KLHS dibutuhkan dengan legislasi EIA yang ada
Contoh kasus Amerika Belanda
- Secara keseluruhan, proses perencanaannya terstruktur dengan baik dan memiliki komponen lingkungan yang kuat
UK, penilaian keberlanjutan
Tidak menetapkan prosedur KLHS; bagian dari “pengaruh dasar: pembuatan kebijakan -
New zealand
Saat ini, model ini belum secara luas diujicobakan dan belum diperagakan keakuratannya.
Saat ini, informasi dari penerapan terbaru model ini masih terbatas, ini konsep baru dan belum secara luas dilaksanakan.
Portugal Afrika selatan Kanada UK; penilaian kebijakan
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau pada bulan Juni dan September - Oktober 2007. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Peta lokasi penelitian
3.2. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif yang menekankan pada penggambaran, pemahaman dan penjelasan pada fenomena yang kompleks pada hubungan antar faktor yang berpengaruh. Secara keseluruhan validasi penelitian ini menggunakan metode triangulasi yaitu penelusuran data/informasi dari tiga sisi yaitu : pertama, data primer dari hasil perolehan observasi lapangan atau dari obyek penelitian secara langsung; kedua, dari data sekunder yang diperoleh dari studi literatur untuk memperkaya dimensi data; dan ketiga dari analisis data yang dilakukan secara subyektif oleh peneliti berdasarkan metode analisis data yang telah dipilih. Dengan memadukan sedikitnya tiga metode misalnya pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen, maka satu dan
47
lain metode akan saling menutup kelemahan sehingga tangkapan atas realitas sosial menjadi lebih valid (Sitorus, 1998).
3.2. 1. Metode Pengumpulan Data Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari obyek yang diteliti atau pengukuran langsung di lapangan. Dalam penelitian data primer diperoleh melalui pendekatan wawancara terstruktur menggunakan daftar pertanyaan untuk wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden. Responden dipilih dengan metode snowball, yaitu perolehan responden berikutnya berdasarkan informasi dari responden sebelumnya. Jumlah dan komposisi responden disajikan dalam Tabel 6. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi terkait, misalnya dalam bentuk dokumen dan publikasi. Data sekunder diinventarisasi dan ditelusuri dari Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, Bappeda Kabupaten Pelalawan, Bapedalda Kabupaten Pelalawan dan dinas/instansi terkait lainnya, serta hasil penelitian terdahulu. Tabel 8. Jumlah responden dalam penelitian No. 1.
Responden Pemerintah Daerah : - Bappeda
6.
3
-
Bapedalda
4
-
Dinas Kehutanan
2
-
Bagian Hukum
2
2. 3. 4. 5.
Jumlah
Bagian Pemerintahan DPRD Swasta Masyarakat LSM
1
Perguruan Tinggi Jumlah
1 25
1 2 3 6
Keterangan 1. Kabid. Fisik dan Prasarana 2. Kasubid. Tata Ruang dan 3. Kasubid. Lingkungan Hidup 1. Ka. Bapedalda, 2. Sekretaris, 3. Kabid. PP, dan 4. Kabid. AMDAL 1. Kadis Kehutanan dan 2. Kasubdin. Perencanaan 1. Kabag Hukum dan 2. Kasubag. Peraturan Perundang-undangan Kabag. Pemerintahan Perusahaan Bid. Kehutanan Tokoh Masyarakat 1. Jikalahari, 2. WALHI Riau, 3. WWF Riau, 4. FKD Riau, 5. Majelis Pemuda Pelalawan, 6. Yayasan Bangun Negeri Pelalawan Dosen Universitas Riau
48
3.2.2. Metode Analisis Data Data yang terkumpul, baik berupa data primer dan sekunder, kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Tujuan pertama yaitu mengetahui proses pengambilan keputusan yang ada menggunakan pendekatan IDS Environment Group, yaitu : Narasi, Aktor and Kepentingan. Masing masing tahapan akan dijelaskan menggunakan content analysis dan stakeholders analysis. Tujuan kedua yaitu mengetahui permasalahan aplikasi KLHS dalam merumuskan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan. Tujuan kedua akan dijelaskan dari hasil analisis tabulasi silang, yaitu antara dokumen pemerintah menyangkut peraturan perundangan tentang pembangunan daerah dengan permasalahan perumusan kebijakan yang ada selama ini. Analisis tabulasi silang menurut Singarimbun dan Effendi (1995) adalah metode analisis yang paling sederhana tetapi memiliki daya menerangkan cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antar variabel. 3.2.2.1. Content Analysis Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentuk-bentuk tertulis
lainnya
(Henderson,
1991 dan
Krippendorf, 1980). Teknik penelitian ini bisa berupa teknik kuantitatif yang sistematis dan bisa direplikasi yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari (Riffe et al. 1998). Content analysis dilakukan untuk mengetahui isi dari suatu produk kebijakan dan menganalisis proses serta aktor yang terlibat dalam perumusan. Menurut Fraenkel et al. (1996) langkah – langkah yang dilakukan mencakup : a. Menentukan objek; b. Mendefenisikan istilah; c. Spesifikasi unit analisis (kata, kalimat, paragraf atau gambar); d. Menetapkan sumber data; e. Memperkuat alasan pemikiran; f. Membuat rencana sampling; g. Membuat kode kategori; dan h. Analisa data.
49
Data yang diidentifikasi menggunakan content analysis berasal dari dokumen pemerintah berupa peraturan perundangan yang berkaitan dengan perizinan pemanfaatan hutan (IUPHHK-HT), ditambah dokumen-dokumen dari sumber lain yang bisa mendukung penelitian, termasuk hasil wawancara stakeholders. 3.2.2.2. Stakeholders analysis Stakeholders analysis dilakukan untuk menentukan aktor/stakeholders yang akan berpengaruh dalam pengambilan keputusan kebijakan sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan. Tahapan stakeholders analysis yang akan dilakukan adalah sebagai berikut (Schmeer, 2000) : 1.
Merencanakan proses, yang terdiri dari : a. Menentukan tujuan analisis dan mengidentifikasi kegunaanya untuk tujuan penelitian. b. Identifikasi dan melatih kelompok kerja. c. Menyusun rencana dan waktu pelaksanaan.
2.
Seleksi dan defenisi kebijakan, terdiri dari : a. Memilih kebijakan yang tepat. b. Mendefenisikan kebijakan.
3.
Identifikasi stakeholders kunci, terdiri dari : a. Mengumpulkan dan menelaah informasi yang ada. b. Membuat daftar semua stakeholders yang terlibat. c. Membuat daftar stakeholders utama dengan masukan dari para ahli.
4.
Memilih peralatan, terdiri dari : a. Defenisi karakteristik stakeholders. b. Tabel stakeholders. c. Daftar susunan pertanyaan untuk wawancara. d. Daftar referensi.
5.
Mengumpulkan dan menyimpan informasi, terdiri dari : a. Menelaah informasi yang ada. b. Membuat perjanjian wawancara. c. Memimpin jalannya wawancara dan membuat catatan.
50
6. Mengisi tabel stakeholders, terdiri dari : a. Menentukan posisi stakeholders. b. Mengisi kolom sumberdaya dan membuat suatu indeks kekuatan untuk setiap stakeholders. 7. Menganalisis tabel stakeholders, terdiri dari : a. Stakeholders mana yang paling penting, dilihat dari kekuatan dan analisis kepemimpinan. b. Bagaimana pengetahuan stakeholders terhadap suatu kebijakan. c. Bagaimana posisi stakeholders terhadap suatu kebijakan. d. Bagaimana stakeholders melihat bermanfaat atau tidaknya suatu kebijakan. e. Stakeholders mana yang membentuk aliansi. 8. Menggunakan informasi, terdiri dari : a. Format presentasi hasil. b. Presentasi hasil analisis kekuatan atau kepemimpinan. c. Presentasi posisi stakeholders. d. Presentasi data pengetahuan . e. Presentasi aliansi kunci. f. Presentasi hasil atau kesimpulan lain. g. Presentasi strategi yang direkomendasikan. Menurut Meyers (2005), informasi stakeholders analysis selanjutnya dapat digunakan untuk melakukan analisis kekuatan stakeholders yang bisa dipadukan dalam tabel dan diagram, untuk mengetahui antara lain : 1.
Kepentingan dan pengaruh stakeholders,
2.
Kekuatan dan potensi stakeholders. Potensi untuk berperan dalam aplikasi KLHS menggunakan skala 1 – 9 (9 =
paling besar, 1 = paling kecil), karena ada 9 (Sembilan) kelompok stakeholders yang dimasukkan dalam daftar stakeholders yang akan mengaplikasikan KLHS. Hasil stakeholders analysis yang kemudian digunakan untuk mengembangkan pemahaman tentang efek dari kebijakan dan lembaga yang diusulkan, mengidentifikasi siapa yang dapat mempengaruhi kebijakan dan lembaga dan bagaimana caranya.
51
IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Pelalawan terletak di pesisir Pulau Sumatera, dengan wilayah daratan yang terbentang di sepanjang Hilir Sungai Kampar serta berdekatan dengan Selat Malaka, antara 00° 46,24' LU sampai 00° 24,34 LS dan 101° 30,37' BT sampai dengan 103° 21,36'. Kabupaten ini memiliki luas 1.396.115 ha, dengan luas daratan 1.299.264 ha dan sisanya 103.851 ha merupakan perairan yang terdiri dari laut dan sungai. Kabupaten Pelalawan memiliki beberapa pulau yang relatif besar, diantaranya Pulau Mendul, Serapung, Lebuh, Muda dan beberapa pulau kecil, seperti Pulau Ketam, Tugau dan Labu. Batas wilayah Kabupaten Pelalawan adalah sebagai berikut : 1.
Sebelah utara
:
Kecamatan
Sungai
Apit
dan
Kecamatan
Siak
(Kabupaten Siak) dan Kecamatan Tebing Tinggi (Kabupaten Bengkalis). 2.
Sebelah timur
:
Propinsi Kepulauan Riau.
3.
Sebelah selatan
:
Kecamatan
Kateman,
Kecamatan
Gaung
Kecamatan
(Kabupaten
Mandah Indragiri
dan Hilir),
Kecamatan Rengat, Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Peranap
(Kabupaten Indragiri Hulu) serta,
Kecamatan Kuantan Hilir dan Kecamatan Singingi (Kabupaten Kuantan Singingi). 4.
Sebelah barat
:
Kecamatan Kampar Kiri dan Kecamatan Siak Hulu (Kabupaten
Kampar) dan Kecamatan Tenayan Raya
(Kota Pekanbaru). Kabupaten Pelalawan terdiri dari 12 kecamatan yaitu : 1.
Kecamatan Langgam
:
Luas 156.369 Ha
2.
Kecamatan Bunut
:
Luas
3.
Kecamatan Pangkalan Kuras
:
Luas 122.465 Ha
4.
Kecamatan Kuala Kampar
:
Luas
96.984 Ha
5.
Kecamatan Pangkalan Kerinci
:
Luas
17.670 Ha
41.035 Ha
52
6.
Kecamatan Ukui
:
Luas 132.185 Ha
7.
Kecamatan Pelalawan
:
Luas 119.681 Ha
8.
Kecamatan Pangkalan Lesung
:
Luas
46.394 Ha
9.
Kecamatan Kerumutan
:
Luas
96.319 Ha
10
Kecamatan Teluk Meranti
:
Luas 389.562 Ha
11.
Kecamatan Bandar Petalangan
:
Luas
40.970 Ha
12.
Kecamatan Bandar Sekijang
:
Luas
32.630 Ha
Sebagian besar daratan wilayah Kabupaten Pelalawan merupakan dataran rendah dan sebagian merupakan daerah perbukitan yang bergelombang. Secara umum ketinggian beberapa daerah/kota berkisar antara 3 - 6 meter, dengan kemiringan lahan rata-rata ± 0 - 15% dan 15 - 40%. Daerah/kota yang tinggi adalah Sorek I dengan ketinggian ± 6 meter dpl dan yang terendah adalah Teluk Dalam (Kecamatan Kuala Kampar) dengan ketinggian ± 3.5 meter. Di wilayah Kabupaten Pelalawan terdapat Sungai Kampar yang panjangnya ± 413.5 Km, dengan kedalaman rata-rata ± 7,7 meter dan lebar rata-rata ± 143 meter. Sungai ini dan anak sungainya berfungsi sebagai prasarana perhubungan, sumber air bersih, budi daya perikanan dan irigrasi. Wilayah dataran rendah Kabupaten Pelalawan pada umumnya merupakan dataran rawa gambut, dataran aluvium sungai dengan daerah dataran banjirnya. Dataran ini dibentuk oleh endapan aluvium muda dan aluvium tua yang terdiri dari endapan pasir, danau, lempung, sisa tumbuhan dan gambut. Dataran lain berikutnya memiliki tanah bergelombang termasuk jenis orgonosal (hostosal) dan humus yang mengandung bahan organik. Dataran rendah membentang ke arah Timur dengan luas wilayah mencapai 93 persen dari total keseluruhan. Secara fisik sebagian wilayah dataran rendah ini merupakan daerah konservasi dengan karakteristik tanah pada bagian tertentu bersifat asam dan merupakan tanah organik, air tanahnya payau, kelembaban dan temperatur udara agak tinggi. 4.2. Pemerintahan Kabupaten Pelalawan merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Kampar melalui UU Nomor 53 Tahun 1999, dengan Ibukota Pangkalan Kerinci. Pada awal berdirinya Kabupaten Pelalawan terdiri dari 4
53
kecamatan meliputi 83 desa dan 4 kelurahan, tetapi saat ini Kabupaten Pelalawan sudah terdiri dari 12 kecamatan meliptui 89 desa dan 12 kelurahan. Semenjak berdirinya Kabupaten Pelalawan sudah tiga kali terjadi pergantian bupati, dan yang pertama adalah Azwar AS. Setelah diadakan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati pada tahun 2001 oleh DPRD Kabupaten Pelalawan yang diketuai oleh M.Haris, terpilih T. Azmun Jaafar dan Abdul Anas Badrun. Pada Maret 2006, melalui pemilihan langsung terhadap Bupati dan Wakil Bupati, maka T. Azmun Jaafar kembali terpilih menjadi Bupati dengan Wakil Bupati Rustam Effendi untuk periode 2006-2010. Dengan susunan organisasi terdiri dari Sekretariat, Badan dan Dinas (Tabel 3). Tabel 9. Organisasi kelembagaan pemerintahan Kabupaten Pelalawan Sekretariat 1. Sekretariat DPRD 2. Sekretariat KPUD 3. Sekretariat Daerah : - Bagian Pemerintahan - Bagian Hukum - Bagian Ekonomi - Bagian Pembangunan - Bagian Bina Sosial - Bagian Kepegawaian - Bagian Keuangan - Bagian Organisasi - Bagian Hubungan Ma-syarakat - Bagian Umum
Badan 1. Perencanaan Pembangunan 2. Pengawas 3. Pengendalian Dampak Lingkungan 4. Koordinasi Penanaman Modal 5. Kesatuan Bangsa dan Linmas 6. Pemberdayaan Masyarakat 7. Informasi dan Komunikasi 8. Pertanahan 9. Ketahanan Pangan 10. Satuan Polisi Pamong Praja
Dinas 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Pasar Kehutanan Peternakan Perkebunan Perikanan dan Kelautan Kimpraswil Tenaga Kerja Perhubungan Pendidikan Kesehatan Pendapatan Kesejahteraan Sosial Koperasi dan UKM Tanaman Pangan dan Hortikultura 15. Perindustrian dan Perdagangan 16. Pariwisata, Seni dan Budaya 17. Transmigrasi dan Kependudukan
4.3. Perekonomian Implementasi kebijakan otonomi daerah yang berlandaskan Undangundang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian juga direvisi melalui Undang-undang No 33 tahun 2004, telah memberi ruang gerak yang leluasa bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan seluruh
54
kewenangan pemerintah daerah. Kewenangan tersebut salah satunya dalam mengelola sumberdaya alam daerah. Kabupaten Pelalawan memiliki sumberdaya alam yang berlimpah, seperti batubara, minyak mentah, gas bumi, hasil pertanian dan hasil hutan. Sumber perekonomian Kabupaten Pelalawan berasal dari sumberdaya alam tersebut yang dapat dibedakan menjadi dua, yakni sumberdaya alam yang terpulihkan (renewable resource) dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resource). Untuk sumberdaya alam yang terpulihkan Kabupaten Pelalawan memiliki empat jenis sumberdaya yang dominan, yaitu kehutanan, perkebunan, perikanan dan pertanian. Sedangkan batubara, minyak mentah, dan gas bumi merupakan kekayaan sumberdaya alam yang termasuk kedalam kelompok sumberdaya alam yang tidak bisa pulih. Seluruh sumberdaya alam tersebut adalah aset potensial untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal jika dikelola secara bijak. Untuk mencapai sasaran pembangunan daerah, kehandalan dan peranan para perencana pembangunan dan pengambil keputusan di daerah menjadi sangat penting karena akan menentukan arah dan prioritas pembangunan daerah hingga mencapai hasil yang optimal. Dari segi ekonomi, keberhasilan pembangunan daerah merupakan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan hasil-hasil kegiatan pembangunan. Hasil pembangunan regional biasanya diukur dengan besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dilihat dari distribusi persentase PDRB Kabupaten Pelalawan atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun 2001-2006 didominasi sektor kehutanan sebesar 37,88% kemudian disusul sektor industri pengolahan/manufacturing industry sebesar 26,46% (Tabel 4).
55
Tabel 10. PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Pelalawan tahun 2001-2006 (Miliar Rp) No
Sektor
2001
2002
2003
2004
2005
2006
1.
Pertanian (Tanaman Pangan, Perkebunan, Pertenakan, Kehu€tanan, Perikanan)
1,127,97
1,359,23
1,749,05
1,962,44
2,561,67
3,299,5
2.
Pertambangan
2,06
2,49
3,18
3,87
194,22
224,7
3.
Industri
1,140,61
1,767,23
2,333,90
2,986,63
3,649,66
4,303,8
4.
Listrik
2,87
3,39
4,70
5,70
6,37
7,2
5.
Bangunan
53,22
66,09
78,59
90,61
109,46
117,9
6.
Perdagangan
55,38
59,52
67,27
85,55
99,55
116,4
7.
Pengangkutan
36,67
41,83
51,63
63,62
68,34
77,2
8.
Keuangan dan Bank
26,47
36,54
46,03
58,58
67,04
79,0
9.
Jasa
71,13
77,03
87,86
110,57
125,45
154,4
2,516,38
3,413,35
4,422,21
5,367,57
6,881,76
8,380,3
PDRB
Sumber : BPS Kabupaten Pelalawan, 2007
4.4. Kebijakan Sektor Kehutanan Kabupaten Pelalawan memiliki luas 1.396.115 Ha, dengan luas daratan 1.299.264 Ha, diantaranya berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) seluas 994,299 Ha (76,94%) merupakan kawasan hutan konsesi. Areal di luar konsesi seluas 297,965 Ha (23,06%) berupa Taman Nasional (TN) Tesso Nilo yang berada di Kabupaten Pelalawan seluas 36.872 Ha, Suaka Margasatwa (SM) Kerumutan seluas 18.607 Ha dan Suaka Margasatwa (SM) Tasik Besar-Tasik Metas dan Tasik Serkap-Tasik Sarang Burung seluas 16.031 Ha. Areal di luar konsesi lainnya adalah hutan bakau seluas 8.567 Ha. Areal lain yang termasuk pada kategori di luar areal konsesi adalah lahan terbuka dan semak belukar. Adapun kondisi areal di luar konsesi ini secara umum terdiri atas areal transmigrasi, kebun karet yang menjadi milik masyarakat, semak belukar, perkebunan kelapa sawit masyarakat, hutan sekunder dan kebun masyarakat (Dinas Kehutanan dan PT. Tiara Kreasi Utama, 2007).
56
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2006-2010 Kabupaten Pelalawan, arah kebijakan kehutanan telah ditetapkan sebagai berikut : 1. Penyediaan data base dan rencana mikro kehutanan serta mendorong upaya penataan kawasan hutan sesuai dengan kondisi dan peruntukannya, sehingga dapat dioptimalkan pemanfaatan hutan dan menjamin kelestarian hutan. 2. Peningkatan mutu dan produktivitas sumberdaya hutan serta mengoptimalkan fungsi hutan sesuai dengan fungsi peruntukannya. 3. Peningkatan dan mengoptimalkan penyelenggaraan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem. 4. Peningkatan pemberdayaan potensi sumberdaya manusia masyarakat beserta keluarga
untuk
dapat
meningkatkan
keterampilan
dan
kesejahteraan
masyarakat. 5. Optimalisasi pengelolaan hutan produksi yang kurang produktif dan pengembangan hutan rakyat. 6. Revitalisasi potensi kawasan hutan menurut fungsinya dalam membangun ekonomi masyarakat di sekitar dan dalam hutan, sebagai satu kesatuan sistem dan manajemen yang berkelanjutan pada setiap jenis kawasan hutan. Untuk merealisasikan arah kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan menyusun program-program untuk pemantapan kawasan hutan,
prakondisi
pembangunan
pengelolaan
hutan
kota,
hutan,
keamanan
rehabilitasi hutan,
dan
reboisasi
pemberdayaan
hutan,
masyarakat,
pengembangan hutan rakyat, pengembangan aneka usaha kehutanan, optimaslisasi pemanfaatan hutan dan program industry agroforestri dengan kemampuan hutan alam dan HTI sebagai bahan baku, melalui pemulihan fungsi kawasan hutan.
57
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kebijakan pembangunan daerah untuk sektor kehutanan yang dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada kebijakan pemberian izin pengusahaan hutan yaitu Hutan Tanaman Industri (HTI), yang kemudian berganti nama menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Kebijakan HTI/IUPHHK-HT merupakan kebijakan nasional yang operasionalnya dimulai dengan : 1. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri; 2. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi; 3. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; 4. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan; 5. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Dari lima peraturan pemerintah ini yang akan dikaji adalah 2 peraturan pemerintah pada periode PP No. 6/1999 dan PP No. 34/2002. Kedua peraturan pemerintah ini dipilih karena memiliki perbedaan dalam wewenang pemberian izin HTI/IUPHHK-HT.
58 Tabel 11. Hubungan peraturan perundangan terkait kebijakan perizinan IUPHHK-HT dengan konsiderannya Periode
1999-2002
2002-2007
Kepmenhut Kepmenhut Kepmenhut Kepmenhut Kepmenhut Kepmenhut KepMenhut No. Permenhut No. Permenhut No. No.10.1/Kpts - No. 70/2001 No.21/ Kpts - No.32/ Kpts - No.32/ Kpts - No. 33/Kpts - 101/ MenhutP.03/ Menhut- P.05/ MenhutPeraturanPerundangan II/2000 II/2001 II/2001 II/2003 II/2003 II/2004 II/2005 II/2006 UU : √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
PP No. 33/1970
√
√
PP No. 28/1985
√
√
√
√
UU No. 5/1990 UU No. 41/1999
√
√
√
UU No. 23/1997
√
UU No. 24/1992
√
√
√
√
√
√
UU No. 22/1999
√
√
√ √
√
√
Peraturan Pemerintah :
PP No. 47/1997
√
PP No.68/1998
√ √
PP No. 6/1999
√ √
PP No. 27/1999 PP No. 25/2000
√
√
√
√
√
√
PP No. 4/2001 PP No. 34/2002
√
√
√
√
PP No. 44/2004
√
PP No. 45/2004
√
Kepres No.32/1990 Sumber : Peraturan perundangan diolah, 2008
√
59 5.1. Proses Perumusan Kebijakan Bagian ini menjelaskan proses perumusan kebijakan pada 2 (dua) periode berlakunya peraturan perundangan untuk menjelaskan perbedaan dan bagaimana perubahan peraturan perundangan tersebut mempengaruhi implementasinya. Perlu disampaikan, ada 9 (Sembilan) peraturan perundangan teknis terkait perizinan HTI/IUPHHK-HT yang akan dihubungkan dengan peraturan perundangan yang memiliki parameter isi sesuai elemen KLHS untuk mengintegrasikan lingkungan dalam proses perumusan kebijakan, rencana dan program (Tabel 11).
5.1.1 Periode Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999 berlaku sejak tanggal 27 Januari 1999 sampai dengan tanggal 7 Juni 2002. Pada periode ini, kebijakan perizinan pemanfaatan hutan merupakan kewenangan pemerintah daerah, namun pengukuhan dan penatagunaan hutan yang merupakan bagian dari kegiatan perencanaan hutan merupakan kewenangan Menteri Kehutanan. Sehingga yang akan dijelaskan dalam periode ini dimulai dari kegiatan perencanaa hutan (pengukuhan dan penatagunaan kawasan hutan) dan perizinan pemanfaatan hutan produksi (IUPHHK-HT). Pada periode ini juga dijelaskan tentang peraturan perundangan terkait pada masa berlakunya, walaupun sudah ada peraturan perundangan yang baru. 1.
Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Hasil content analysis untuk peraturan perundangan yang mengatur tentang
pengukuhan dan penatagunaaan hutan terlihat bahwa pemerintah pusat memiliki peranan yang sangat penting dalam urusan kehutanan di wilayah kabupaten/kota karena pengukuhan dan penatagunaan wilayah hutan di daerah melibatkan pemerintah pusat. Wilayah kabupaten dibagi menjadi kawasan dan non kawasan. Kawasan yang dimaksud disini adalah suatu wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan fungsi utama lindung dan fungsi budidaya lebih khusus lagi adalah kawasan hutan yang penetapannya wewenang pemerintah pusat. Non kawasan yaitu
60 kawasan pemukiman dan kawasan selain hutan negara, peruntukannya diatur oleh pemerintah daerah dengan Rencana Tata RuangWilayah (propinsi dan kabupaten) Dalam UU 41 Tahun 1999 Pasal 4 ayat 2 disebutkan tentang wewenang pemerintah pusat, yaitu : “Penguasaan hutan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk : (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan”. Ini juga didukung dengan UU No. 22 Tahun 19991 Pasal 7 ayat (1) Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain; (2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. PP No. 25 Tahun 2000 Pasal 2 juga menegaskan tentang wewenang tersebut, yaitu : (1) Kewenangan Pemerintah mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain; (2) Kewenangan bidang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional, dan pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi
1
UU No. 22/1999 sudah direvisi dengan UU No. 32/2003, namun yang dibahas tetap UU No. 22/1999 karena masa berlaku termasuk pada PP No. 6/1999.
61 dan standardisasi nasional; (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelompokan dalam bidang : Poin 4. Bidang Kehutanan dan Perkebunan, ditampilkan secara selektif sebagai berikut : a. Penetapan kriteria dan standar pengurusan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru, dan areal perkebunan. b. Penetapan kriteria dan standar inventarisasi, pengukuhan, dan penatagunaan kawasan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru. c. Penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsinya. d. Penetapan kriteria dan standar pembentukan wilayah pengelolaan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru. e. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru termasuk daerah aliran sungai di dalamnya. f. Penyusunan rencana makro kehutanan dan perkebunan nasional, serta pola umum rehabilitasi lahan, konservasi tanah, dan penyusunan perwilayahan, desain, pengendalian lahan, dan industri primer perkebunan. g. Penetapan kriteria dan standar tarif iuran izin usaha pemanfaatan hutan, provisi sumber daya hutan, dana reboisasi,dan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan. h. Penetapan kriteria dan standar produksi, pengolahan, pengendalian mutu, pemasaran dan peredaran hasil hutan dan perkebunan termasuk perbenihan, pupuk dan pestisida tanaman kehutanan dan perkebunan. i. Penetapan kriteria dan standar perizinan usaha pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan dan pemungutan hasil, pemanfaatan jasa lingkungan, pengusahaan pariwisata alam, pengusahaan taman buru, usaha perburuan, penangkaran flora dan fauna, lembaga konservasi dan usaha perkebunan. j. Penyelenggaraan izin usaha pengusahaan taman buru, usaha perburuan, penangkaran flora dan fauna yang dilindungi, dan lembaga konservasi, serta penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam taman buru, termasuk daerah aliran sungai di dalamnya.
62 k. Penyelenggaraan izin usaha pemanfaatan hasil hutan produksi dan pengusahaan pariwisata alam lintas propinsi. l. Penetapan kriteria dan standar pengelolaan yang meliputi tata hutan dan rencana pengelolaan, pemanfaatan, pemeliharaan, rehabilitasi, reklamasi, pemulihan, pengawasan dan pengendalian kawasan hutan dan areal perkebunan. m. Penetapan kriteria dan standar konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang meliputi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari dibidang kehutanan dan perkebunan. n. Penetapan norma, prosedur, kriteria dan standar peredaran tumbuhan dan satwa liar termasuk pembinaan habitat satwa migrasi jarak jauh. o. Penyelenggaraan izin pemanfaatan dan peredaran flora dan fauna yang dilindungi dan yang terdaftar dalam apendiks Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) of Wild Fauna and Flora. p. Penetapan
kriteria
dan
standar
dan
penyelenggaraan
pengamanan
dan
penanggulangan bencana pada kawasan hutan, dan areal perkebunan. Pasal 5 dan 6 dari Kepmenhut No. 70/2001 juga mengatur tentang penetapan kawasan, perubahan status dan fungsi hutan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, yaitu : Pasal 5, berisi pernyataan : (1) Penetapan kawasan hutan adalah tahap akhir dari proses pengukuhan kawasan hutan. (2) Pengukuhan kawasan hutan meliputi penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. (3) Pengukuhan kawasan hutan mengacu kepada Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Nomor 32/KptsII/2001 tanggal 12 Pebruari 2001 Pasal 6, melengkapi dengan : (1) Penetapan kawasan hutan ditetapkan dengan Keputusan Menteri dilampiri peta penetapan kawasan hutan skala minimal 1 : 100.000.
63 Pemerintah propinsi melalui PP No. 25/2000 pasal 3 poin 4. Bidang Kehutanan yang merujuk pada UU No. 22/1999 memberikan kewenangan kepada pemerintah Provinsi untuk melakukan hal-hal berkut: a.
Pedoman penyelenggaraan inventarisasi dan pemetaan hutan/kebun.
b.
Penyelenggaraan penunjukan dan pengamanan batas hutan produksi dan hutan lindung.
c.
Pedoman penyelenggaraan tata batas hutan, rekonstruksi dan penataan batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung.
d.
Penyelenggaraan pembentukan dan perwilayahan areal perkebunan lintas kabupaten/kota.
e.
Pedoman penyelenggaraan pembentukan wilayah dan penyediaan dukungan pengelolaan taman hutan raya.
f.
Penyusunan perwilayahan, desain, pengendalian lahan dan industri primer bidang perkebunan lintas kabupaten/kota.
g.
Penyusunan rencana makro kehutanan dan perkebunan lintas kabupaten/kota.
h.
Pedoman penyelenggaraan pengurusan erosi, sedimentasi, produktivitas lahan pada daerah aliran sungai lintas kabupaten/kota.
i.
Pedoman penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan produksi dan hutan lindung.
j.
Penyelenggaraan perizinan lintas kabupaten/kota meliputi pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan flora dan fauna yang tidak dilindungi, usaha perkebunan, dan pengolahan hasil hutan.
k.
Pengawasan perbenihan, pupuk, pestisida, alat dan mesin di bidang kehutanan dan perkebunan.
l.
Pelaksanaan pengamatan, peramalan organisme tumbuhan pengganggu dan pengendalian hama terpadu tanaman kehutanan dan perkebunan.
m. Penyelenggaraan dan pengawasan atas rehabilitasi, reklamasi, sistem silvikultur, budidaya, dan pengolahan. n.
Penyelenggaraan pengelolaan taman hutan raya lintas kabupaten/kota.
64 o.
Penetapan pedoman untuk penentuan tarif pungutan hasil hutan bukan kayu lintas kabupaten/kota.
p.
Turut serta secara aktif bersama pemerintah dalam menetapkan kawasan serta perubahan fungsi dan status hutan dalam rangka perencanaan tata ruang propinsi berdasarkan kesepakatan antara propinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah daerah juga melaksanakan pembagian kawasan hutan di wilayahnya
dengan kewenangannya dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Walaupun dalam UU No. 24/19922 pasal 21 ayat 1 ditegaskan bahwa RTRW propinsi merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah propinsi. Dan Pasal 22 ayat 1 (1) rencana tata ruang wilayah kabupaten/kotamadya merupakan penjabaran rencana tata ruang wilayah propinsi ke dalam strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kotamadya. Namun adanya otonomi daerah membuat pemerintah daerah membagi kawasan dengan tidak mengindahkan UU No. 24/1992. Untuk pengelolaan hutan dalam pembagian hutan mengacu pada Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Padahal antara TGHK dan RTRW propinsi terlihat adanya perbedaan peruntukan kawasan hutan, dan ini akan dijelaskan dengan contoh kasus di Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau pada sub bab berikutnya. 2.
Perizinan Pemanfaatan Hutan Pada periode PP No. 6/1999, pemberian izin pemanfaatan hutan (IUPHHK-HT)
menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota melalui bupati/walikota selaku kepada daerah namun ketentuan kriteria dan syarat perizinan tetap ditentukan oleh pemerintah pusat melalui Menteri Kehutanan. Sementara pemerintah daerah melalui dinas kehutanan menjadi pelaksana pemberian izin. Uraian tugas Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Pelalawan No. 27 Tahun 2002 bahwa Dinas 2
UU No. 24/1992 sudah direvisi dengan UU No. 26/2007
65 Kehutanan Kabupaten Pelalawan memiliki Sub Dinas yang terkait dengan perizinan pemanfaatan
hasil
hutan,
yaitu
Sub
Dinas
Perencanaan
Hutan
yang
menyelenggarakan fungsi : a. Membuat kegiatan pengumpulan data-data serta penganalisaan dalam rangka inventarisasi dan pemetaan hutan. b. Menyelenggarakan pengukuran, pengukuhan dan penatagunaan hutan. c. Menyelenggarakan perizinan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten. d. Menyelenggarakan kegiatan pengumpulan data kawasan hutan dalam rangka kegiatan kehutanan dan non kehutanan serta kegiatan pemerintah kabupaten. Gambar 7. Skema perizinan pemanfaatan hutan menurut Keputusan Menteri Kehutanan 10.1/Kpts-II/2000
Izin Usaha 1. Pemanfaatan Hasil Hutan
Yang mengajukan Izin
- Perorangan - Koperasi Masyarakat - BUMN - BUMD - BUM Swasta/Asing
Mengajukan permohonan
Syarat : a. Feasibitiy Study b. AMDAL c. UKL/UPL d. rekomendasi teknis dari instansi kehutanan tingkat kabupaten
Bupati
Menteri dan Gubernur (sebagai tembusan)
Dengan wewenang dan fungsi yang dimiliki oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan dan sejalan dengan PP No. 6/1999 dalam pemberian izin, maka tidak ada yang salah tentang wewenang (Gambar 7), hanya karena dalam pelaksanaannya, PP No. 6/1999 diatur dengan peraturan teknis terkait perizinan pemanfaatan hutan
66 dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/Kpts-II/2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 21/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman pada Hutan Produksi, maka yang menjadi penting adalah persyaratan dan kriteria untuk areal yang dibolehkan dalam IUPHHK-HT. Hasil content analysis terhadap peraturan perundangan terkait proses perizinan HTI/IUPHHK-HT pada periode ini mengindikasikan bahwa memang ada beberapa bagian tentang kajian lingkungan, inventarisasi data dan informasi termasuk peta, namun hanya pada tingkat kegiatan atau proyek dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL).
Sementara
selama
ini
berbagai
kekeliruan
yang
menyebabkan terjadi degradasi sumberdaya alam lebih disebabkan pada perumusan kebijakan yang tidak mempertimbangkan dampak yang akan terjadi. Kebijakan pembangunan daerah sektor kehutanan, melalui pemberian izin HTI/IUPHHK-HT
seharusnya
didukung
oleh
peraturan
perundangan
yang
mengisyaratkan adanya keinginan untuk mempertimbangkan aspek lingkungan dalam membuat keputusan. Namun tidak semua peraturan teknis terkait perizinan ini mengacu kepada peraturan perundangan yang lebih tinggi untuk mengakomodir keinginan ini. Pada Tabel 11 (halaman 46), bahwa konsideran Kepmenhut No. 10.1/2001 dan Kepmenhut No.21/2001 hanya terdapat UU No. 41/1999, UU No. 24/1992, UU No. 22/1999, PP No. 6/ 1999 dan PP No. 25/2000. Tidak terdapat peraturan perundangan
yang mendukung KLHS. Memang ada kewajiban
melaksanakan AMDAL, namun tidak pada level kebijakan, rencana dan program. Lebih jauh lagi dapat dilihat kriteria dan standar perizinan yang diatur dengan Kepmenhut No.21/2001, bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman dapat dilaksanakan pada : 1. Kawasan Hutan Produksi. a. Berdasarkan TGH dan/atau RTRWP termasuk kawasan hutan produksi. b. Diutamakan pada hutan tanah kering dataran rendah dan dataran tinggi dengan ketinggian 0 – 1000 meter dari permukaan laut.
67 c. Topografi datar hingga kelerengan maksimum 25%. Pada daerah dengan kelerengan 8 % s.d. 25% harus diikuti dengan upaya konservasi tanah. 2. Keadaan vegetasinya sudah tidak berupa hutan alam atau areal bekas tebangan. a. Lahan hutan telah menjadi lahan kosong/terbuka. b. Vegetasi alang-alang dan atau semak belukar. c. Vegetasi hutan alam yang tidak terdapat pohon berdiameter 10 cm untuk semua jenis kayu dengan potensi kurang dari 5 m3 per hektar, atau jumlah anakan jenis pohon dominan kurang dari 200 batang per hektar. 3. Tidak dibebani hak lain. Kawasan tidak dibebani hak-hak lain sesuai ketentuan yang berlaku seperti HPH, HPHT, HKM dan ijin penggunaan kawasan hutan yang mengubah bentang alam seperti pertambangan dengan pola tambang terbuka (open pit minning). Kriteria dan standar ini masih belum cukup karena dari konsideran juga tidak menyebutkan peraturan perundangan dengan parameter yang bisa menjamin dan mendukung kelestarian lingkungan. Masih ada parameter lain yang sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundangan (Tabel 11), antara lain : UU No. 23 tentang Lingkungan Hidup; PP No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan; PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan; PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan; PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan dan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Memang tidak harus semua peraturan perundangan di atas masuk dalam konsideran, tetapi yang perlu diperhatikan disini adalah keterkaitan antara peraturan perundangan, dimana harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Namun karena masih ada permasalahan pada tahapan
68 pengukuhan dan penatagunaan kawasan hutan, yang tentu saja berpengaruh pada perizinan yang akan diberikan. Perizinan yang diberikan memiliki beberapa tahapan dengan keterlibatan beberapa Stakeholders dipaparkan secara utuh pada Tabel 12. Pada tahapan awal kebijakan penentuan kriteria hutan produksi merupakan kewenangan pemerintah pusat, bahwa yang menjadi acuan bagi perizinan ini adalah Kepmen No. : 10.1/KptsII/2000 dan No. 21/Kpts-II/2001. Kedua Kepmen ini dalam konsideran mengingat tidak mencantumkan peraturan perundangan yang mengakomodasi perlindungan lingkungan seperti berikut : UU No. 23/1997, PP No. 33/1970, PP No. 28/1985, PP No. 68/1998, PP No. 27/1999, PP No.4/2001, PP No. 47/1997 dan Kepres No. 32/1990. Pada tahapan persetujuan prinsip, proses yang dilakukan pemerintah daerah menunjuk dinas kehutanan sebagai instansi yang mempunyai wewenang dalam urusan kehutanan di Kabupaten Pelalawan. Persetujuan prinsip ini merupakan bagaian awal proses pemberian izin yang menjadi kewenangan daerah, dalam hal ini bupati sebagai kepala daerah. Untuk pelepasan kawasan, diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 70 Tahun 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan, Pasal 17, 18, 19, 20, 21 dan 22. Dalam kepmen ini terlihat bahwa penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan sepenuhnya menjadi kewenangan Menteri Kehutanan. Dalam Pasal 18 permohonan perubahan fungsi kawasan hutan diajukan kepada Menteri dilampiri: a. Saran/pertimbangan teknis dari dinas kehutanan kabupaten/kota atau propinsi untuk yang lintas kabupaten/kota. b. Rekomendasi bupati/walikota atau gubernur untuk yang lintas kabupaten/kota. c. Persetujuan DPRD kabupaten/kota dan DPRD propinsi untuk yang lintas kabupaten/kota. d. Peta skala minimal 1:100.000.
69 Tabel 12. Peran Stakeholders dalam proses perizinan IUPHHK-HT Peran Stakeholders No
Proses Perizinan
1
Kriteria hutan produksi
2
Persetujuan prinsip : a. Permohonan b. Tinjau Lokasi c. Berita Acara d. Rekomendasi
3 4
5 6
Pelepasan kawasan Syarat-syarat perizinan : a. Feasibility Study
Pemerintah Pusat Pembuat kebijakan/ pedoman
Pemerintah Propinsi Riau -
Pemerintah Kab Pelalawan -
DPRD Kab Pelalawan -
-
-
Memproses
-
-
Pelaksana
-
-
-
Rekomendasi mengambil keputusan Rekomendasi
-
Pengambil keputusan
Rekomendasi
Masyarakat
LSM
PT
Swasta
-
-
-
-
-
-
-
-
Mengajukan permohonan mendampingi
-
-
Pelaksana
-
-
Penyusun
Anggota komisi penilai
Anggota komisi penilai
Penyusun
a. Mengetahui rencana peruntukan dan pemanfaatan hutan;
Koordinasi
-
-
Pengambil keputusan
-
b. Memberikan informasi, sarana pertimbangan dalam pengusahaan hutan
b. AMDAL
-
-
Pengambil keputusan
-
c. Penataan batas areal kerja & Penataan hutan IUPHHKHT
-
-
Pemeriksa/ menilai
-
-
-
Pendamping
Tembusan
Tembusan
-
-
-
Pelaksana
RK, RKL, RKT, BK UPHHK
Pemberi wewenang
Menilai/ mengesahkan
Pengambil keputusan Rekomendasi
-
-
-
Penyusun
Proses perizinan IUPHHK-HT disusun berdasarkan : 1 PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi 2 SK Menhut No. 10.1/Kpts-II/2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman 3 SK Bupati Pelalawan No. Kpts.284 Tahun 2002 tentang Tata Cara dan Prosedur Permohonan Izin Pemanfaatan Kayu, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman dan Izin Pemanfaatan Kayu Rakyat 4 SK KadisHut No. Kpts.522.1/PR/VII/2002/986 tentang Prosedur Tetap Dalam Rangka Permohonan Izin Pemanfaatan Kayu, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman dan Izin Pemanfaatan Kayu Rakyat
70
Syarat-syarat perizinan yang diatur dalam SK Menhut No. 10.1/Kpts-II/2000 adalah membuat kajian-kajian, antara lain : Feasibility study, AMDAL, Penataan Batas Areal Kerja dan Penataan Hutan. Dari tiga persyaratan kajian ini, AMDAL memiliki potensi dalam pelibatan masyarakat, peran Stakeholders dan peran lembaga swadaya masyarakat serta perguruan tinggi. Setelah persyaratan mendapat rekomendasi dari instansi berwenang, maka bupati wajib memberikan izin. Namun untuk beroperasinya kegiatan perusahaan, masih ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan, yaitu pembuatan Rencana Kerja, Rencana Kerja Lima Tahunan, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan Kerja yang penilaian dan pengesahannya menjadi wewenang propinsi melalui dinas kehutanan propinsi sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 6652/Kpts-II/2002 tentang Penugasan Penilaian dan Pengesahan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Izin Usaha Pemanfaatan Kayu pada Hutan Alam atau Hutan Tanaman.
5.1.2. Periode Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999 berlaku sejak tanggal 8 Juni 2002 sampai dengan tanggal 7 Januari 2007. Pada periode ini kewenangan daerah (kabupaten) dalam IUPHHK-HT dicabut sehingga ada beberapa peraturan perundangan teknis untuk mengaturnya. Pada periode ini juga terdapat peraturan teknis untuk mengatur verifikasi bagi IUPHHK-HT yang masih diterbitkan bupati/walikota pada periode ini dalam rangka memberikan kepastian usaha bagi pemegang izin.
1.
Perizinan Pemanfaatan Peraturan perundangan yang mengatur IUHPPH-HT pada periode ini adalah :
a. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, tanggal 8 Juni 2002.
71
b. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 541/Kpts-II/2002 tentang Pencabutan Kewenangan
Bupati/Walikota dan Gubernur
untuk
Mengeluarkan
Surat
Keputusan tentang Pemberian Izin Pemanfaatan Kayu, tanggal 21 Februari 2002 c. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 32/Kpts-II/2003 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam atau Hutan Tanaman Melalui Penawaran dalam Pelelangan, tanggal 5 Februari 2003 d.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 33/Kpts-II/2003 tentang Tata Cara Penyelesaian Hak Pengusahaan Hutan Alam atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman yang Telah Mendapat Persetujuan Prinsip Berdasarkan Pemohon, tanggal 5 Februari 2003
Gambar 8. Skema perizinan pemanfaatan hutan menurut PP No. 34 Tahun 2002
Izin 2. Usaha Pemanfaatan Hasil3.Hutan
Yang mengajukan Izin
-Perorangan -Koperasi -BUMN -BUMD -BUMS Indonesia
Syarat perpanjangan Izin: a. Untuk izin yang diperoleh melalui mekanise permohonan : Penilaian kinerja pemegang izin yang ditetapkan b. Untuk izin yang diperoleh melalui mekanisme lelang : Penilaian kinerja pemegang izin oleh menteri dan mendapat sertifikasi pemanfaatan hutan lestari dari menteri.
Penawaran lelang
Dilaksanakan Menteri
Dihapuskannya izin pemanfaatan hutan, karena : a. Jangka waktu izin berakhir b. Izin dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi kepada pemegang izin c. Izin diserahkan kembali oleh pemegang izin dengan pernyataan tertulis kepada pemberi izin sebelum jangka waktu berakhir d. Target volume atau berat yang diizinkan dalam izin pemungutan hasil hutan telah terpenuhi
72
Hasil content analysis terhadap peraturan perundangan terkait proses perizinan HTI/IUPHHK-HT pada periode ini mengindikasikan bahwa pengaturan tentang kajian lingkungan, inventarisasi data dan informasi termasuk peta, makin jelas. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 11 (halaman 46), bahwa konsideran peraturan teknis Kepmenhut No. 32/2003 dan No. 33/2003 sudah makin lengkap dalam arti bahwa sudah ada kejelasan isi proposal teknis yang menyangkut analisis dan valuasi lingkungan. Namun masih tetap pada tingkat kegiatan atau proyek dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dilihat dari status dan kriteria areal hutan yang boleh diberi izin tidak banyak perubahan. Diatur dengan Kepmenhut No.32/2003, Pasal 3 status areal hutan yang dapat dilelang untuk dapat dibebani IUPHHK pada hutan alam atau hutan tanaman adalah : a. Hutan negara yang mempunyai fungsi sebagai hutan produksi. b. Tidak dibebani hak/ izin lainnya. c. Tidak ada konflik kepentingan di dalamnya. Pasal 4 Ayat (2) kriteria areal hutan yang dapat dilelang untuk dibebani IUPHHK pada hutan tanaman adalah : a. Lahan kosong, padang alang-alang dan/atau semak belukar pada kawasan hutan produksi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan tentang kondisi hutan berupa lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar pada hutan produksi yang dapat diberikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman; b. Topografi dengan kelerengan maksimal 25% dan topografi pada kelerengan 8% - 25% harus diikuti dengan upaya konservasi tanah; c. Tidak ada konflik kepentingan di dalamnya atau tidak dibebani dengan izin di bidang kehutanan atau izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan usaha pertambangan dengan pola penambangan terbuka; d. Apabila telah ada hasil tata hutan pada hutan produksi, areal/lokasi yang dimohon berada pada blok/ pengelolaan yang peruntukannya bagi usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman.
Perubahan tentang kriteria ini adalah tidak diaturnya lagi tentang kubikasi dan diameter pohon seperti yang ada Kepmenhut No. 10.1/2001. Dalam kepmenhut itu dinyatakan bahwa kriteria areal yang dimohon adalah areal bekas tebangan yang
73
kondisinya rusak dengan potensi kayu bulat berdiameter 10 cm untuk semua jenis kayu dengan kubikasi tidak lebih dari 5 m3 per hektar.
2.
Verifikasi Demi kepastian hukum bagi IUPHHK-HT oleh bupati/walikota yang masih
dikeluarkan pada periode ini dilakukan verifikasi dengan :
1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Verifikasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman yang diterbitkan oleh gubernur atau bupati/walikota, tanggal 18 Januari 2005 2. Permenhut Nomor. P.05/Menhut-II/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.03/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Verivikasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan atau pada Hutan Tanaman yang diterbitkan oleh gubernur atau bupati/walikota Maksud verifikasi IUPHHK pada hutan alam dan atau hutan tanaman adalah dalam rangka memberikan kepastian hukum atas IUPHHK yang diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan tujuan agar pemanfaatan hutan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Permohonan IUPHHK pada hutan alam dan atau hutan tanaman yang dapat diverifikasi dengan peraturan ini adalah permohonan yang diterbitkan keputusan pemberian IUPHHK pada hutan alam dan atau hutan tanaman oleh gubernur atau bupati/walikota, yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 05.1/Kpts-II/2000 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001
sebelum
keputusan-keputusan
tersebut
dicabut.
Verifikasi
sebagaimana dimaksud diatas dilakukan dengan menggunakan 4 (empat) aspek, yaitu: 1. Kurun waktu penerbitan keputusan pemberian izin, yaitu sejak kewenangan diberikan kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 05.1/Kpts-II/2000 sampai dengan terbitnya Peraturan
74
Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002, yaitu sejak tanggal 1 Januari 2001 sampai dengan tanggal 7 Juni 2002. 2. Prosedur dan/atau kewenangan pemberian izin berpedoman pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 05.1/Kpts-II/2000 tentang Kriteria dan Standar Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Perizinan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Alam. 3. Status dan kondisi areal hutan, meliputi : a. Hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan/atau hutan produksi konversi. b. Areal tidak dibebani dengan izin/hak lain di bidang kehutanan. c. Memiliki potensi hutan untuk dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam. 4. Kelengkapan dokumen persyaratan permohonan meliputi : a. Surat pengajuan permohonan. b. Project proposal pemanfaatan hasil hutan kayu. c. Pencadangan areal dari pejabat yang berwenang. d. Laporan survei potensi hutan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang. e. Dokumen AMDAL yang telah disahkan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah. f. Peta areal kerja (WA) yang disiapkan oleh instansi kehutanan terkait dan ditandatangani oleh gubernur atau bupati/walikota. g. Bahan Penetapan Tebangan Tahunan (BPTT) yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang. h. Bukti pembayaran IIUPH apabila telah membayar dan melunasi IIUPH. Perubahan PP 6/1999 menjadi PP 34/2002 membawa perbaikan dalam hal persyaratan lingkungan. Walaupun dari segi investasi tidak terjadi perubahan karena izin yang sudah dikeluarkan pemerintah daerah tetap diberi kepastian hukum melalui verifikasi (Permenhut 03/2005 jo Permenhut 05/2006). Namun dengan wewenang yang sangat terbatas (wewenang kabupaten) pada periode ini, maka kebijakan yang mengatur memerlukan komitmen untuk mulai
75
mengkonservasi dan memelihara sisa hutan alam di Indonesia. Kriteria ini harusnya didukung dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi sehingga pertimbangan lingkungan yang dimaksud bisa menjiwai peraturan perundangan di bawahnya, memperhatikan kondisi lingkungan, sosial dan ekonomi daerah sehingga dalam implementasi menjadi memungkinkan untuk dilaksanakan. Pemerintah pusat harus membuat kebijakan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah sebagai pelaksana dari berbagai kebijakan tersebut. 5.2. Permasalahan Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan Permasalahan kebijakan kehutanan di Kabupaten Pelalawan dimulai dari tahapan perencanaan pembangunan daerah. Sebelum dimekarkan menjadi kabupaten baru, kondisi kabupaten ini memang sangat tertinggal dan bisa dijadikan contoh ketidakmerataan pembangunan nasional. Sehingga sangat banyak yang harus dilakukan Pemerintah Kabupaten Pelalawan untuk mengejar berbagai ketinggalan pembangunan tersebut. Pemerintah mulai menyusun kebijakan pembangunan daerah yang dimulai dengan penyusunan RTRW Kabupaten. Sebagai bagian dari Propinsi Riau, untuk pengelolaan kawasan hutan seharusnya mengacu pada Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan RTRW Propinsi Riau. Namun ternyata overlay antara kedua peta ini menunjukkan adanya perbedaan pembagian kawasan hutan (Gambar 9). Sampai sekarang memang belum ada peta padu serasi antara kedua peta ini. Diantara permasalahan-permasalahan yang akan ditangani secepatnya oleh Menteri Kehutanan dalam 5 tahun kepemimpinannya termasuk adalah penyelesaian paduserasi RTRWPTGHK Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau dan Provinsi Kalimantan Tengah.
76
Gambar 9. Peta overlay RTRW Propins Riau dan TGHK
77
Gambar 10. Peta overlay RTRW Propinsi Riau dan RTRW Kabupaten Pelalawan
78
Sebaran hutan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) membagi kawasan hutan menjadi beberapa fungsi yaitu Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Konversi (HPK), Areal Penggunaan Lain (APL) dan Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW).
Pembagian fungsi hutan tersebut
berdasarkan pada kriteria kelerengan, curah hujan dan jenis tanah. Sedangkan pembagian kawasan hutan dengan RTRW berdasarkan PP Nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional terdiri atas Hutan produksi (HP)/kawasan budidaya kehutanan, Hutan bakau (HB), Kawasan lindung setempat (KLS), Suaka Margasatwa (SM) dan Buffer zone (Buffer). Pembagian ini merupakan pembagian berdasarkan pemanfaatan kawasan, sehingga terminologi yang digunakan pun akan berbeda dengan terminologi dalam TGHK. Penyusunan RTRWK seharusnya juga mengacu pada RTRWP, namun dilihat dari peta (Gambar 10), terjadi tumpang tindih kawasan. Untuk kasus ini dilihat dari peruntukan kawasan lindung dan hutan produksi. Areal pada RTRW Propinsi yang merupakan kawasan lindung namun pada RTRW Kabupaten Pelalawan ternyata merupakan Hutan Produksi. Menurut UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Pasal 22 ayat (1) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat
I
ke
dalam
strategi
pelaksanaan
pemanfaatan
ruang
wilayah
kabupaten/kotamadya daerah tingkat II, yang meliputi: a. tujuan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan; b. rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II; c. rencana umum tata ruang wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II; d. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II. Berkaitan dengan perizinan pemanfaatan hutan (IUPHHK-HT), maka harus dibenahi dulu acuan bagi perizinan tersebut, karena menurut Pasal 21 ayat (3) Rencana Tata Ruang wilayah propinsi daerah tingkat I menjadi pedoman untuk: poin
79
d. penataan ruang wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II yang merupakan dasar dalam pengawasan terhadap perizinan lokasi pembangunan. Untuk perizinan ini, menurut mantan Kasubdin. Perencanaan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan menyatakan “Bahwa kita belum pernah melaksanakan perizinan ini sebelumnya dan tidak ada sosialisasi sehingga pertimbangan teknis yang dibuat pada waktu itu hanya 1 lembar kertas saja.” Ditambahkan lagi „bahwa dasar perizinan adalah RTRWK, sementara RTRWK yang ada dibuat hanya berdasarkan kesepakatan, bukan penelitian dan tidak melibatkan instansi pemerintah dan non pemerintah terkait lingkungan dalam penyusunannya”. Tabel 13. Peraturan perundangan daerah dengan konsiderannya. Peraturan Perundangan No. 1
Peraturan Daerah
Pemerintahan Daerah
Pola Dasar Pembangunan Daerah Kab Pelalawan Tahun 2001-2005 Rencana Strategis Kabupaten Pelalawan Tahun 2001-2005
UU No 22/1999, PP No. 25/2000 UU No. 22/1999
3
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pelalawan
UU No. 22/1999
4
Izin Pemanfaatan Kayu
5
Prosedur dan Tata Cara Permohonan IUPHHKHT
6
IUPHHK-HT An. PT. SAU dan PT. Madukoro
UU No. 22/1999, PP No. 25/2000 UU No. 22/1999, PP No. 25/2000 UU No. 22/1999, PP No. 25/2000
2
Tata Ruang
Lingkungan Hidup
Kehutanan
Peran serta Masyarakat
-
-
-
-
UU No. 24/1992, PP No. 47/1997 UU No. 24/1992, PP No. 47/1997 -
-
-
-
Kepres No. 32/1990
-
PP No. 69/1996
-
UU No. 41/1999, PP No. 34/2002
-
-
-
UU No. 41/1999, Kepmenhut No.10.1/2000
-
UU No. 24/1992, Perda No. 23/2001, Kepmenhut No. 70/1995 jo Kepmenhut No. 246/1996
UU No.23/1999, PP No. 27/1999, Kepmenhut No. 602/1998 jo Kepmenhut N0.622/1999
UU No.5/1990, UU No. 41/1999, PP No. 33/1970, PP No. 28/1985, PP No. 34/2002, Kepmenhut No. 10.1/2001, Kepmenhut No. 21/2001
-
Sumber : Peraturan Perundangan diolah (2008)
80
Pelaksanaan pembangunan daerah tidak terlepas dari peraturan daerah yang menjadi dasar pembangunan. Dalam konsideran peraturan perundangan yang ada di Kabupaten Pelalawan terlihat bahwa belum sepenuhnya mengintegrasikan lingkungan (Tabel 13). Studi Kasus Studi kasus yang akan dibahas pada bagian ini adalah prosedur perizinan dalam hubungan dengan integrasi lingkungan pada 2 perusahaan, yaitu : PT. Selaras Abadi Utama dan PT. Madukoro. Dua perusahaan ini dipilih karena terdapat inkonsistensi dengan peraturan perundangan yang mengatur tentang IUPHHK-HT. Tabel 14. Alur perizinan 2 (dua) perusahaan No
Tahapan Perizinan
PT. SAU
PT. Madukoro
1.
Izin Prinsip
Bupati Pelalawan
Bupati Pelalawan
2.
Izin :
SK Bupati Pelalawan No. 522.21/IUPHHKHT/XII/2002/ 005 dengan luas 13.600 Ha
SK Bupati Nomor 522.1 /Dishut/2001/675,dengan luas 15.000 ha Bapedalda Kab. Pelalawan
SK Menhut No. 10.1/KptsII/2000 3.
Persetujuan AMDAL
Bapedal Propinsi Riau
4.
RKT
- SK Gubernur Riau No. Kpts. SK Kadishut Prop. Riau 142/II/ 2004 No. Kpts./522.2/PK/2520 - SK Menhut No.2380/ Menhut-VI/ BPHT/2005 Surat Menhut No.S.382/ Menhut-IV/2004
SK. Menhut No. 6652/Kpts-II/ 2002 5.
Penguatan legalitas
6.
Verifikasi : Permenhut No. P.03/ MenhutII/2005 jo Permenhut No. P.05/ Menhut-II/2006
Lolos verifikasi
Tidak mendapat verifikasi karena tumpang tindih areal
Sumber : Olahan, 2008 PT. Selaras Abadi Utama Mendapat izin pengusahaan hutan pada tanggal 30 Desember 2002, SK No. 522.21/IUPHHKHT/XII/2002/005 dengan luas 13.600 ha. Wewenang bupati memberikan izin berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 10.1/KptsII/2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
81
Hutan Tanaman. Perizinan tersebut dikeluarkan setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002, tanggal 8 Juni 2002 tentang Tata Hutan dan RPH Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Pada pasal 42, bahwa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman diberikan oleh menteri berdasarkan rekomendasi bupati atau walikota dan gubernur. Namun Pasal 99 poin c dari PP ini disebutkan bahwa terhadap permohonan HPH kayu pada hutan alam dan hutan tanaman baik untuk perpanjangan maupun permohonan baru, yang sudah sampai pada tingkat persetujuan prinsip, proses penyelesaiannya dengan cara pengajuan permohonan. Izin prinsip PT. SAU telah dikeluarkan pada tanggal 12 Juli 2001 dengan Keputusan Bupati Pelalawan Nomor : 522.21/Dishut-PR/10/VII/2001/02. Menurut SK Menhut Nomor : 33/Kpts-II/2003 tentang Tata Cara Penyelesaian Hak Pengusahaan Hutan Alam atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman yang Telah Mendapat Persetujuan Prinsip Berdasarkan Pemohon, tanggal 5 Februari 2003 : Pasal 2 menyebutkan pada poin b dan c, yaitu : b. Permohonan yang belum diterbitkan keputusan pemberian IUPHHK pada hutan alam berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 05.1/KptsII/2000 dan permohonan pemberian IUPHHK pada hutan tanaman berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/Kpts-II/2000 jo Keputusan Menteri Kehutanan No. 21/Kpts-II/2001; atau c. Permohonan yang telah memenuhi semua persyaratan tetapi belum atau sudah membayar IIUPH. Pasal 10, Terhadap permohonan yang diajukan berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 05.1/Kpts-II/2000, dan Keputusan Menteri Nomor 10.1/Kpts-II/2000 jo Nomor 21/Kpts-II/2001: 1. Yang telah memenuhi semua persyaratan tetapi belum diterbitkan keputusan pemberian perizinan, diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6, pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9.
82
2. Yang sudah diterbitkan pemberian perizinan IUPHHK pada hutan alam atau hutan tanaman oleh Bupati/ Walikota atau gubernur tetapi belum diterbitkan SPP IIUPH, maka penerbitan SPP IIUPH oleh Direktur Jenderal. Surat Menteri Kehutanan No. SE.02/Menhut-II/2004 tanggal 11 Agustus 2004 tentang IUPHHK-HT poin 3 IUPHHK-HT yang diterbitkan oleh Gubernur, Bupati/Walikota sebelum tanggl 5 Februari 2003, dapat diakui dan dilayani administrasinya, apabila memenuhi persyaratan : a. Areal IUPHHK-HT berada pada hutan produksi yang tidak dibebani hak izin lainnya (tidak tumpang tindih hak/izin); b. Kondisi dan potensi hutan sesuai dengan kriteria areal hutan tanaman sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6 Nopember 2000 tentang Pedoman Pemberian IUPHHK-HT; c. Telah melunasi kewajiban iuran izin usaha pemanfaatan hutan; d. Jenis komoditas tanaman yang akan ditanam adalah jenis tanaman hutan. Terhadap izin PT. SAU ini Menteri Kehutanan juga mengeluarkan surat No. S.382/Menhut-IV/2004 tanggal 28 September 2004 yang menyatakan bahwa secara yuridis Keputusan bupati tersebut telah memenuhi persyaratan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Izin untuk PT. SAU sah secara hukum dan administrasi. Tapi dari segi perlindungan dan kelestarian lingkungan, izin yang dikeluarkan bertentangan dengan : 1.
SK Menhut 10.1/Kpts-II/2000 dan Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 21/Kpts-Ii/2001, Tentang Kriteria Dan Standar Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi karena masih tingginya potensi kayu (Tabel 15).
2.
Tentang target tebangan yang ada di RKT yang melebihi ketentuan juga berbeda dengan PP 34/2002 Pasal 30 ayat (1) bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu pada hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf
b
meliputi
kegiatan
penyiapan
lahan,
pembibitan,
penanaman,
83
pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan hasil, pengolahan dan pemasaran. Tabel 15. Rencana Kerja Tahunan (RKT) IUPHHKHT atau HTI yang dikeluarkan
Perusahaan
No
Nomor IUPHHK-HT
1
CV. Bhakti Praja Mulia
522.21/IUPHHKHT/I/2003/011
2
PT. Selaras Abadi Utama
522.21/IUPHHKHT/XII/2002/005
3
PT. Rimba Mutiara Permai
4
Target Areal (ha)
RKT/ BKT 2004 (ha)
Target Produksi (m3) 2004
5,8
3,7
572,38
13,6
10,3
923,53
522.21/IUPHHKHT/I/2003/008
9,0
800
37,65
PT. Mitra Taninusa Sejati
522.21/IUPHHKHT/I/2003/009
7,3
1,7
128,50
5
PT. Merbau Pelalawan Lestari
522.21/IUPHHKHT/XII/2002/004
5,6
2,6
179,74
6
PT. Putri Lindung Bulan
522.21/IUPHHKHT/I/2003/005
2,5
1,9
159,07
Total Sumber :
3.
43,8
21,01 2,000,86
PT. Tiara Kreasi Utama bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, 2007
PP 34/2002 Pasal 30 ayat (3)
Usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan
tanaman, dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar dihutan produksi. 4.
Keputusan Presiden Nomor 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, izin diberikan di atas lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3m, berada di sempadan Sungai Kampar dan 1,384 Ha kawasan merupakan buffer zone Suaka Margasatwa Kerumutan. (Gambar 11 dan Tabel 16 )
5.
Ada sanksi dalam UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang pasal 26 (1) bahwa izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II yang ditetapkan berdasarkan undangundang ini dinyatakan batal oleh Kepala Daerah yang bersangkutan. Karena data dari Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan kerjasama dengan PT. Tiara Kreasi Utama (2007) bahwa (Tabel 16 dan Tabel 18) terdapat penggunaan kawasan di
84
kawasan buffer suaka margasatwa (1.384 Ha) dan di kawasan Non Kehutanan (14,195 Ha). Tabel 16. Distribusi penggunaan kawasan buffer SM untuk IUPHHKHT di Kabupaten Pelalawan No. 1 2
NAMA PERUSAHAAN Buffer SM (Ha) PT. Selaras Abadi Utama 1,384 Perusahaan lainnya 6,292 TOTAL 7,676 Sumber : PT. Tiara Kreasi Utama Kerjasama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, 2007
WALHI Riau melalui Lembaga Kajian Hukum dan Demokrasi (LKHD) pernah menggugat izin yang dikeluarkan bupati untuk PT. SAU di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pada persidangan di PTUN Pekanbaru pada tanggal 27 Juli 2006, gugatan LKHD tidak diterima karena : 1. Maksud dan tujuan organisasi penggugat bukan untuk pelestarian fungsi hutan dan tidak ada bukti keterlibatan organisasi ini dalam hal lingkungan dan pelestarian fungsi hutan. 2.
Gugatan dianggap prematur, karena PT. SAU dalam proses verifikasi oleh Departeman Kehutanan.
PT. Madukoro, 1. Merupakan perusahaan mitra PT. RAPP, melalui izin dari Bupati Pelalawan IUPHHK-HT Nomor 522.1/Dishut/2001/675, tanggal 11 September 2001. Luas area konsesi 15.000 ha. Sama nasibnya dengan perizinan lain yang diterbitkan sejak tanggal 1 Januari 2001 sampai dengan tanggal 4 Februari 2003 harus dilakukan verifikasi oleh Departemen Kehutanan sesuai Permenhut No. P.03/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Verifikasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu
Hutan
Tanaman
yang
Diterbitkan
oleh
Gubernur
atau
Bupati/Walikota, tanggal 18 Januari 2005. 2. Nota Dinas Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. ND.130/VIBPHT/2006 tanggal 13 Juni 2006 ditujukan kepada Menteri Kehutanan, perihal
85
Telaahan Dispensasi RKT tahun 2006 terhadap 11 (sebelas) perusahaan mitra PT. RAPP, salah satunya adalah PT. Madukoro yang dalam proses verifikasi dan belum mendapat persetujuan dari Menteri Kehutanan.
86
Gambar 11. Peta overlay lahan gambut dan areal PT. SAU dan PT. Madukoro
99 3. Surat Menteri Kehutanan 17 Juli 2006 hanya menyetujui 8 dari 11 perusahaan HTI yang dikeluarkan oleh bupati yang dapat diberikan izin penebangan. Terdapat 3 perusahaan yang belum mendapat verifikasi dan diindikasikan tumpang tindih dengan izin pemanfaatan lainnya. Oleh karenanya tidak dapat diberikan pelayanan pengakuan administrasi seperti izin penebangan. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT. Triomas FDI, PT. Madukoro dan PT. Uniseraya. 4. Namun kepala Dinas Propinsi Riau mengeluarkan izin penebangan (RKT) terhadap PT.Madukoro pada 10 Juli 2006, ini bertentangan dengan 2 surat sebelumnya (surat dalam poin 2 dan 3). Tabel 17. Target produksi di areal land clearing penyiapan lahan penanaman (hutan alam) An. PT. Madukoro seluas 4.908 Ha. No 1. 2.
Jenis Kayu
Pohon (log) Ǿ ≥30cm
Volume Kayu Kategori KBK (m3) Pohon Pohon Kayu Cabang Ǿ20Ǿ10-19 pecah Ǿ≤30c 29cm cm (growing) m 21.350 26.06 5.18 3.455 22.136 37.64 4.39 2.926
Klp. Kayu Indah 12.09 Klp. Kayu 10.24 Meranti 3. Klp. Kayu 82.28 155.093 357.45 35.26 Campuran Jumlah 104.61 198.579 421.15 44.84 Sumber : Lampiran SK Kadishut Prop. Riau No. Kpts/522.2/PK/2520
Cabang Ǿ≥30c m -
Jumlah (m3)
24.334
-
654.42
30.715
-
779.89
68.14 77.33
5. Kondisi areal konsesi PT. Madukoro bertentangan dengan : a. SK Menhut No. 10.1/Kpts-II/2000 dan Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan No. 21/Kpts-Ii/2001, Tentang Kriteria Dan Standar Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi karena masih tingginya potensi kayu (Tabel 17). b. Keputusan Presiden Nomor 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, karena izin diberikan di atas lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3m dan berada di sempadan Sungai Kampar (Gambar 11). c. Ada sanksi di UU No. 24/1997 untuk izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWK. Bahwa IUPHHK-HT yang diberikan berada di kawasan Non Kehutanan sebesar 1,821 Ha (Tabel 18).
100 Tabel 18. Distribusi penggunaan kawasan non kehutanan untuk IUPHHKHT di Kabupaten Pelalawan No. 1. 2. 3.
NAMA PERUSAHAAN Kawasan Non Kehutanan (Ha) PT. Madukoro 1,821 PT. Selaras Abadi Utama 14,195 Perusahaan lainnya 35,960 TOTAL 51,976 Sumber : PT. Tiara Kreasi Utama Kerjasama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, 2007
Berbeda dengan PT. SAU yang memiliki keabsahan izin secara administrasi, PT. Madukoro bukan hanya dari segi perlindungan dan kelestarian lingkungan, namun dari segi proses perizinan juga memiliki kelemahan. Areal PT. Madukoro merupakan bekas HPH PT. Yos Raya Timber, yang menjadi alasan Departemen Kehutanan tidak meloloskan verifikasi. Namun PT. Madukoro tetap beroperasi sehingga Polda Riau melakukan penyitaan kayu dan penangkapan supir truk pengangkat kayu milik PT. Madukoro. Supir truk dibebaskan dan namun kayu dilelang. Sampai sekarang di Kabupaten Pelalawan masih terjadi berbagai kegiatan eksploitasi sumberdaya hutan, terlihat dari ditemukannya kayu yang ditimbun dalam tanah. Selain itu juga terjadi kekerasan antara pihak polisi dan karyawan PT. RAPP. Kejadian tersebut menambah daftar isu kerusakan lingkungan dan hutan yang ada di Kabupaten Pelalawan. Dari hasil wawancara mendalam terhadap stakeholders didapat informasi tentang pendapat stakeholders terhadap integrasi lingkungan dalam perumusan kebijakan kehutanan di Kabupaten Pelalawan. Hasil wawancara terhadap stakeholders, tidak saja menjawab pertanyaan siapa mereka, tapi juga sifat hubungan stakeholders tersebut dengan persoalan yang dihadapi. Sehingga bisa ditemukan stakeholders yang tepat dan relevan dalam pengambilan keputusan. Pendapat stakeholders tentang sudah atau belum adanya integrasi aspek lingkungan disajikan dalam Gambar 12.
101
Gambar 12.
Pendapat stakeholders tentang integrasi lingkungan dalam perumusan kebijakan
Stakeholders yang diidentifikasikan baik dari individu ataupun organisasi sebagai stakeholders dalam pengusahaan hutan (IUPHHK-HT) terbagi dalam 3 kelompok, yaitu: 1) Stakeholders kunci : merupakan stakeholders yang memiliki kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan (Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan). 2) Stakeholders utama : merupakan stakeholders yang mempunyai kaitan kepentingan langsung dengan suatu rencana atau proyek, karenanya mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam pengambilan keputusan (masyarakat lokal dan swasta). 3) Stakeholders pendukung : merupakan stakeholders yang tidak memiliki kepentingan langsung terhadap proyek tetapi memiliki kepedulian. Mereka turut berpengaruh terhadap pengambilan keputusan (LSM, akademisi/peneliti dan DPRD).
102 Di antara 3 klasifikasi stakeholders ini, terlihat bahwa stakeholders kunci yang merupakan Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan dan stakeholders utama yang terdiri dari masyarakat dan swasta memiliki persentase yang sama terhadap pernyataan bahwa sudah ada integrasi lingkungan dalam perumusan kebijakan kehutanan di Kabupaten Pelalawan yaitu sebesar 58%. Hanya 48% dari masing-masing stakeholders kunci dan utama yang menyatakan belum ada integrasi lingkungan. Sementara 68% dari pernyataan stakeholders pendukung menyatakan belum ada integrasi lingkungan. Hanya 32% yang menyatakan sudah ada integrasi lingkungan. Lebih lengkap lagi tentang alasan sudah atau belum integrasi lingkungan dari masing-masing stakeholders disajikan dalam Gambar 13, 14 dan 15.
Gambar 13. Diagram pendapat stakeholders kunci terhadap integrasi lingkungan dalam perumusan kebijakan
Hasil wawancara terhadap stakeholders kunci disajikan dalam Gambar 13, bahwa : 1) 21% menyatakan bahwa aspek lingkungan sudah dilibatkan dalam membuat keputusan yaitu dengan melalui proses persetujuan dokumen AMDAL. 2) 21% juga menyatakan bahwa aspek lingkungan sudah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan karena sudah mengacu pada RTRW yang
103 peruntukannya
sudah
mengacu
padaperaturan
perundangan
tentang
perlindungan hutan dan lingkungan. 3) 17%
menyatakan bahwa selama ini aspek lingkungan sudah ada dalam
proses pengambilan keputusan hanya perencanaan yang kurang matang dan pengawasan yang kurang karena keterbatasan sarana dan prasarana penunjang. 4) 13% dengan berani menyatakan bahwa aspek lingkungan belum dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan karena terjadi inkonsistensi peraturan. Yang dimaksud peraturan disini adalah antar RTRW yaitu propinsi dan kabupaten yang sampai sekarang belum memiliki peta paduserasi. 5) 8% menyatakan bahwa aspek lingkungan belum dilibatkan karena syarat yang berlaku untuk IUPHHK-HT dianggap tidak masuk akal (SK. 10.1 tahun 2001). 6) 8% menyatakan bahwa selama ini belum ada sosialisasi bagaimana melaksanakan pemberian izin (format laporan pertimbangan teknis dan sebagainya) namun sudah diperintahkan untuk melaksanakan. 7) 8% menyatakan bahwa aspek lingkungan tidak dipertimbangkan demi mendukung suksesnya program HTI yang merupakan kebijakan nasional. 8) 4% menyatakan bahwa aspek lingkungan ditinggalkan karena demi investasi guna mengejar ketinggalan daerah akan pembangunan.
104 Gambar 14. Diagram pendapat stakeholders utama terhadap integrasi lingkungan dalam perumusan kebijakan
Pendapat stakeholders utama terhadap integrasi lingkungan dalam perumusan kebijakan disajikan dalam Gambar 14. Responden yang termasuk kategori stakeholders utama memberi pernyataan bahwa : 1) aspek lingkungan sudah dilibatkan dalam pembuatan keputusan yaitu melalui proses persetujuan dokumen AMDAL (33%).aspek lingkungan sudah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan karena sudah mengacu pada RTRW yang peruntukannya sudah mengacu pada peraturan perundangan tentang perlindungan hutan dan lingkungan (17%). 2) selama ini aspek lingkungan sudah ada dalam proses pengambilan keputusan hanya perencanaan yang kurang matang dan pengawasan yang kurang karena keterbatasan sarana dan prasarana penunjang (8%). 3) aspek lingkungan belum dilibatkan karena bisa saja pemahaman terhadap peraturan perundangan perlindungan lingkungan yang berbeda-beda (8%). 4) demi memenuhi bahan baku untuk kebutuhan produksi dan syarat-syarat sambil jalan dipenuhi (8%). 5) pemerintah membutuhkan dana untuk pembangunan daerah (8%). 6) pembuat keputusan belum peduli terhadap lingkungan (8%) 7) pemerintah masih memikirkan keuntungan pribadi dalam membuat keputusan, kalau tidak mana mungkin Bupati Pelalawan sekarang ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (8%).
105
Gambar 15.
Diagram pendapat stakeholders pendukung terhadap integrasi lingkungan dalam perumusan kebijakan
Pendapat stakeholders pendukung terhadap integrasi lingkungan dalam perumusan kebijakan disajikan dalam Gambar 15. Responden yang termasuk kategori stakeholders utama memberi pernyataan bahwa : 1) aspek lingkungan sudah dilibatkan dalam membuat keputusan yaitu dengan melalui proses persetujuan dokumen AMDAL (14%).aspek lingkungan sudah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan karena sudah mengacu pada RTRW yang peruntukannya sudah mengacu pada peraturan perundangan tentang perlindungan hutan dan lingkungan (14%). 2) selama ini aspek lingkungan sudah ada dalam proses pengambilan keputusan hanya perencanaan yang kurang matang dan pengawasan yang kurang karena keterbatasan sarana dan prasarana penunjang (5%). 3) aspek lingkungan belum dilibatkan karena bisa saja pemahaman terhadap peraturan perundangan perlindungan lingkungan yang berbeda-beda (9%). 4) 9% menyatakan pemerintah masih butuh investasi untuk pembangunan daerah sehingga mengabaikan aspek lingkungan. 5) jawaban paling dominan pada kelompok ini adalah pembuat keputusan belum peduli terhadap lingkungan (23%)
106 6) senada dengan sebagian kelompok stakeholders utama, kelompok ini juga menyayangkan orang-orang yang terkait dalam perumusan kebijakan (pemerintah) masih memikirkan keuntungan pribadi, dan sebagian dari orang dikelompok ini sudah tahu kemungkinan Bupati Pelalawan akan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (14%). Diantara berbagai alasan akan jawaban sudah atau belum tentang integrasi lingkungan dalam membuat keputusan, sebenarnya pemerintah memiliki maksud dalam mengeluarkan ijin IUPHHK-HT di dalam kawasan hutan produksi hanya pada areal-areal non hutan (tanah kosong, alang-alang, semak belukar) adalah agar areal-areal tersebut tentunya tidak akan diterbitkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang selama ini seringkali dicurigai sebagai motivasi utama dari investor yang berinvestasi dalam usaha hutan tanaman. Namun yang terjadi selama ini tidak ada izin IUPHHK-HT tanpa IPK. Artinya areal yang diberi izin IUPHHKHT bukan merupakan lahan hutan kosong, vegetasi alang, semak belukar dan sebagainya. Ini terlihat dari Rencana Kerja Tahunan yang berisi target tebangan selalu melebihi syarat yang diperbolehkan. “Di Pelalawan, bisa dibayangkan areal dibawah 5 m3 per hektar untuk diameter yang 10 cm. Sedangkan areal penghijauan yang di pinggir jalan saja per hektarnya lebih dari 5 m3, bagaimana pengambil kebijakan pada saat itu kok bisa aturan itu dibuat, mungkin dibuat pada saat kondisi kurang baik. Dan tidak masuk akal bila diterapkan di tengah hutan. Di tengah kota saja tidak masuk akal. Secara kasar, sama saja tidak boleh terbitkan HTI. Dan tidak berpihak pada pejabat pada saat itu, karena aturan yang memang tidak rasional”. (Hasil wawancara dengan Kasubdin. Perencanaan Dinas Kehutanan Kab. Pelalawan) Walaupun kriteria dan syarat tidak bisa dipenuhi, namun pemerintah daerah tetap memberikan izin IUPHHK-HT, alasan stakeholders kunci adalah bahwa IUPHHK-HT yang dulunya adalah HTI merupakan kebijakan nasional yang harus didukung. Apalagi kondisi Kabupaten Pelalawan sebagai kabupaten baru hasil pemekaran memerlukan investasi guna meningkatkan pendapatan daerah. Alasan ini ditambah lagi dengan fakta bahwa di Propinsi Riau terdapat 2 perusahaan pulp dan kertas yang harus memenuhi kebutuhan produksi dengan kayu yang berasal dari hutan se Riau. Salah satu perusahaan tersebut berada di Pelalawan. Untuk
107 mendukung kegiatan kedua perusahaan ini, pemerintah membuat kebijakan yang sejalan dengan keinginan perusahaan maupun negara ini. Selain itu pemerintah daerah juga menyadari bahwa pemberian izin ini akan berdampak positif, melalui antara lain : pengembangan wilayah, menyerap tenaga kerja, menambah devisa negara melalui Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), menambah pendapatan daerah melalui pembagian PSDH dan DR sekian persen dari pemerintah pusat dan mampu menekan illegal loging dan penyerobotan lahan. Dari kesaksian Kepala Bapedalda Kabupaten Pelalawan yang merupakan mantan Kepala Dinas Kehutanan di Pengadilan Tipikor Jakarta, bahwa sampai saat ini di lahan yang tidak ada izin masih terjadi penyerobotan lahan dan penebangan tanpa izin. Sehingga kriteria dan syarat tidak bisa dipenuhi dimaklumi saja dan memang tidak berpihak pada kondisi dan kebutuhan daerah. Maksud kondisi dan kebutuhan daerah dari persepsi pemerintah daerah adalah kondisi geografis, sumberdaya alam, sosial dan ekonomi masyarakat serta kebutuhan akan sumber pendapatan daerah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan. Sementara bagi pemerintah pusat bahwa kriteria yang disyaratkan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu harus mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan dengan menyeragamkan semua kondisi geografis dan sumberdaya alam, tanpa memperhatikan aspek sosial dan ekonomi daerah. Melihat berbagai dampak lingkungan, sosial dan ekonomi dari implementasi kebijakan sehingga selanjutnya perlu untuk mengetahui potensi aplikasi KLHS dengan kondisi permasalahan di Kabupaten Pelalawan untuk penerapan yang efektif.
5.3. Analisis Masalah Aplikasi KLHS dalam Perumusan Kebijakan Belajar dari kasus di atas, maka perlu untuk menganalisis permasalahan bilamana KLHS diaplikasikan dalam proses perumusan kebijakan kehutanan di Kabupaten Pelalawan. Di tahapan awal perumusan kebijakan kehutanan yang harus dirapihkan lebih dahulu adalah peraturan perundangan yang akan dirujuk,
108 karena kebijakan kehutanan tidak terlepas dari kebijakan daerah dan penataan ruang. Tabel 19. Peraturan perundangan pembangunan daerah dengan masalah aplikasi KLHS No
Peraturan yang Didukung KLHS
Masalah Aplikasi KLHS
1.
Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pelalawan
Belum ada paduserasi antara RTRWK dengan RTRWP
2.
Peraturan Daerah Nomor 33 Tahun 2002 tentang Rencana Strategis Kabupaten Pelalawan Tahun 2001-2005
-
Peraturan Daerah Nomor 45 Tahun 2002 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Pelalawan Tahun 2001-2005
Strategi dan arah kebijakan tidak menyebutkan arah pengelolaan hutan & lingkungan
3.
-
Belum dilakukan analisis dan valuasi lingkungan Lemah data & informasi Belum melibatkan stakeholders dan publik
Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan dalam merumuskan kebijakan pembangunan daerah melalui beberapa tahapan (Tabel 19), dimulai dari penyusunan laporan rencana RTRW sebagai pedoman penyusunan RTRW, yang disahkan dengan Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pelalawan. Penyusunan RTRW mengacu pada UU No. 24 Tahun 1992. Secara rinci, kedudukan RTRW Kabupaten Pelalawan dalam perencanaan pembangunan sebagai berikut : 1. RTRW kabupaten mengacu kepada RTRW propinsi. 2. RTRW kabupaten menjadi dasar pertimbangan dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan dan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) pada wilayah yang lebih kecil. 3. RTRW Kabupaten Pelalawan merupakan pedoman untuk pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian pembangunan sesuai dengan program-program pembangunan. Kesenjangan yang dapat dilihat pada tahapan ini adalah bahwa RTRW Kabupaten Pelalawan yang seharusnya mengacu pada RTRW Propinsi Riau, kenyataannya masih inkonsisten. Sehingga sampai sekarang meskipun ada revisi RTRW, tetapi masih belum ada padu serasi antar RTRW tersebut. Metode yang
109 digunakan dalam penyusunan RTRW adalah mengacu pada peraturan, standar dan kriteria perencanaan, antara lain : 1. UU Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten/Kota Baru di Propinsi Riau, sebagai penetapan batas wilayah 2. Kepres RI Nomor 57 Tahun 1989 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang di Daerah dan Pedoman Teknis Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, sebagai dasar dalam hal penentuan criteria penetapan Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) 3. Standar dan Kriteria Perencanaan Sarana dan Prasarana. Standar perencanaan untuk mengetahui kebutuhan sarana dan prasarana di Wilayah Kabupaten Pelalawan didasarkan pada peraturan dan ketentuan berlaku. Kriteria perencanaan untuk penetapan lokasi sarana dan prasarana sesuai kebutuhan. Untuk Rencana Penggunaan Lahan, mengacu pada : Pengelolaan Kawasan Lindung (Kepres Nomor 32 Tahun 1990) dan metode overlay menggunakan petapeta : (1) peta topografi dan kemiringan lereng, (2) peta penyebaran dan ketebalan lahan gambut 1997, (3) peta TGHK, (4) peta profil lingkungan, (5) peta penggunaan lahan kini, (6) peta wilayah konsesi perkebunan, (7) peta wilayah konsesi pertambangan dan (8) peta permohonan izin lokasi. Sekali lagi terdapat inkonsistensi, karena setelah dilakukan overlay terhadap RTRW Kabupaten Pelalawan dengan TGHK ada bagian wilayah yang tumpang tindih. Untuk Peta Penyebaran dan Ketebalan Lahan Gambut ternyata di beberapa wilayah yang memiliki ketebalan gambut lebih dari 3 m, di RTRWK merupakan kawasan budidaya. Alasan stakeholders kunci untuk masalah ini adalah “Kalau semua sudah jadi kawasan lindung, kita dapat apa ?” Di sektor kehutanan, usulan kebijakan, rencana dan program sudah dimulai pada tahapan penyusunan RTRW untuk penentuan kawasan hutan dan peruntukannya,dan dilanjutkan pada alternatif kebijakan melalui penyusunan Rencana Strategis yang disahkan melalui Peraturan Daerah Nomor 33 Tahun 2002 tentang Rencana Strategis Kabupaten Pelalawan Tahun 2001-2005.
110 Dari Dokumen Renstra, sektor kehutanan masuk dalam kelompok bidang pertanian, memiliki arah kebijakan : 1) Meningkatkan pengelolaan hutan kurang produktif serta berkembangnya hutan rakyat dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat 2) Meningkatkan
mutu
dan
produktivitas
sumberdaya
hutan
serta
mengoptimalkan fungsi dan pengelolaan hutan. Arah kebijakan ini dijabarkan dalam program-program, ditampilkan secara selektif antara lain : 1. Rehabilitasi lahan kritis, dengan kegiatan : (1) Pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD) (2) Pembuatan Rancangan Hutan Rakyat (3) Pembuatan hutan/kebun rakyat, Pilot Project Hutan Kemasyarakatan (4) Penyusunan Master plan Rehabilitasi Lahan dan Reboisasi Hutan (5) Reboisasi, Rehabilitasi hutan dan lahan (6) Pembinaan aneka usaha kehutanan (7) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai 2. Optimalisasi fungsi dan pengelolaan hutan, dengan kegiatan : (1) Peningkatan pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan (2) Peningkatan efisiensi, pembalakan dan pengelolaan hasil hutan (3) Survei data produksi dan kebutuhan kayu (4) Studi banding penerapan sistem silvikultur, bioteknologi, kriteria dan indikator dalam proses sertifikasi pengelolaan hutan lestari (5) Pembangunan sarana dan prasarana pengamanan hutan, pengendalian kebakaran hutan (6) Perlindungan hutan dari pencurian hasil hutan, perambahan hutan, hama dan penyakit (7) Pengembangan kemitraan dalam pengelolaan hutan (8) Peningkatan pelayanan dan kontribusi kehutanan kepada masyarakat setempat (9) Penyuluhan, pelatihan, pembinaan dan pengelolaan hutan adat dan sosialisasi mutifungsi 3. Pemantapan prakondisi pengelolaan hutan, dengan kegiatan :
111 (1) Pembuatan peta tematik, Neraca Sumberdaya dan Inventarisasi Hutan. (2) Pemantapan Kawasan Hutan, Penyususnan
Perwilayahan Hutan,
Rencana Strategi dan Sistem Informasi Perpetaan Kehutanan. (3) Penyusunan Mekanisme Sistem Perencanaan Pembangunan Kehutanan dan Recalculasi Sumberdaya Hutan. (4) Pembangunan Taman Hutan Raya, Pengendalian Peredaran Flora dan Fauna (5) Pembangunan Pusat Informasi Kehutanan. Dari sekian banyak program dan kegiatan bidang kehutanan, sebenarnya ada beberapa poin yang sesuai dengan KLHS, yaitu pada tahapan pengumpulan data dasar (peta, sistem informasi, rekalkulasi sumberdaya hutan dan pelibatan publik) Tahapan berkutnya dalam penyusunan Pola Dasar Pembangunan yang disahkan dengan Perda Nomor 45 Tahun 2002 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Pelalawan Tahun 2001-2005. Namun disayangkan dari dokumen ini adalah inkonsistensi dengan kebijakan sebelumnya. Dimana, setelah menceritakan visi, misi, pembangunan daerah namun pada bagian strategi dan arah kebijakan tidak ada satupun yang menunjang ke arah pengelolaan hutan dan lingkungan. Setelah melihat berbagai kekurangan dalam tiga dokumen yang seharusnya sangat benar karena menjadi modal awal dalam penyusunan kebijakan berikutnya.
Bagaimana
mungkin
Pemerintah
Kabupaten
Pelalawan
menggantungkan diri dalam mengambil keputusan pada hal yang tidak konsisten. Demi persyaratan lingkungan akhirnya pemerintah jadi sangan bergantung pada rekomendasi AMDAL. Padahal AMDAL sifatnya dilaksanakan pada level proyek. Dalam kasus yang diceritakan sebelumnya adalah suatu kawasan lindung dalam peruntukan dijadikan kawasan hutan produksi. Ketika izin sudah diajukan oleh pihak investor, maka AMDAL menjadi tidak efektif. Memang dalam dalam implementasi kebijakan perizinan, ada persyaratan melakukan studi kelayakan dan AMDAL. Tapi kedua kajian ini bergantung pada RTRW. Dan suatu saat RTRW juga ditinggalkan demi investasi, dan untuk integrasi lingkungan, pemerintah hanya bergantung pada AMDAL. Disamping itu KLHS memiliki sifat “voluntary” (sukarela/tidak wajib/tidak harus dilakukan), artinya pihak yang melakukan kajian KLHS ini secara sukarela
112 untuk menjadikan KLHS sebagai intstrumen dalam perumusan kebijakan untuk memperhatikan aspek keberlanjutan, lingkungan selain sosial dan ekonomi. Beda halnya dengan AMDAl yang bersifat “mandatory” (perintah/wajib/harus dilakukan) sebagai syarat perizinan tetapi ternyata tidak efektif.
Hal itu
dikarenakan AMDAL dibuat berdasarkan keinginan investor untuk dapat segera beroperasi. Hal-hal yang menjadi penghambat atau berdampak negatif, dapat diatasi dengan teknologi dan sebagainya. Lebih ironis lagi ketika AMDAL seringkali dibuat ketika kegiatan telah beroperasi. Kartodihardjo (2007) menyatakan posisi AMDAL yang tidak dijadikan dasar perencanaan kegiatan pembangunan memang bukan barang baru. Kepala PPLH IPB mengatakan : “Ya…Inilah Indonesia. Lebih 90% AMDAL dilakukan setelah konstruksi pembangunan, tetapi tidak ada yang pernah mendapat sanksi”. Idealnya,
pemerintah
daerah
sebagai
penyelenggara
pemerintahan,
perencana dan pelaksana pembangunan sudah punya data dasar untuk selanjutnya dibuat kajian terhadap dampak negatif yang akan terjadi terhadap kebijakan, rencana dan program. Sehingga terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan di daerahnya, pemerintah sudah punya dasar yang jelas untuk melaksanakan suatu kegiatan, sebaliknya tidak melaksanakan (menolak) sejak awal sebelum para investor mengeluarkan ongkos yang akhirnya membuat pemerintah berat untuk menolak (gratifikasi). Ini menjadi pelajaran bagi kita karena sudah ada kasus yang menjadi contoh buruk dalam hal pengambilan keputusan di Kabupaten Pelalawan. Contoh ini juga bisa dimanfaatkan untuk memberi penjelasan kepada pembuat kebijakan di Kabupaten Pelalawan akan pentingnya pertimbangan lingkungan selain sosial dan ekonomi. Ini penting dalam proses aplikasi KLHS bagi pemerintah daerah. Karena prakiraan dampak dalam studi KLHS berkaitan dengan hal-hal berikut : dalam bentuk apa dan sejauhmana KRP diwujudkan menjadi kegiatan dan proyek; status dan kondisi lingkungan yang akan terjadi (setelah proyek dilaksanakan); dampak yang ditimbulkan oleh KRP atau proyek lain yang tidak menjadi kajian, daya dukung lingkungan dan perubahan teknologi, politik dan orientasi ekonomi di masa akan datang.
113 Pelaksanaan KLHS juga sangat berkaitan dengan kepentingan dan pengaruh stakeholders. Untuk mengetahui kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam aplikasi KLHS dilakukan pemetaan kekuatan stakeholders.
Kepentingan Tinggi a
a1 a4
a3
b
a2
b1 b3
b2
a5 Kepentingan Rendah c
c1
d
d1 d2
Pengaruh Rendah Keterangan : a1 : Bapedalda a2 : Masyarakat a3 : Swasta a4 : Bag. Hukum a5 : Bag. Pemerintahan b1 : Bupati
Pengaruh Tinggi
b2 : Dinas Kehutanan b3 : Bappeda c1 : LSM d1 : DPRD d2 : Universitas Riau
Gambar 16. Pemetaan kekuatan stakeholders Hasil stakedolders analysis untuk pemetaan kekuatan stakeholders (Gambar 16) didapat bahwa aktor yang paling berperan dalam proses aplikasi KLHS adalah Bupati Pelalawan selaku stakeholders kunci untuk pembuatan kebijakan pembangunan daerah. Namun dalam pelaksanaan KLHS di Kabupaten Pelalawan ada beberapa stakeholders yang memegang peranan penting selain dari stakeholders kunci dalam kebijakan kehutanan IUPHHK-HT. Karena kebijakan kehutanan merupakan penjabaran dari peraturan perundangan dalam hal pembangunan daerah termasuk penataan ruang. Sehingga dalam aplikasi KLHS harus dimulai dari pembenahan peraturan perundangan yang menjadi acuan dalam pembangunan daerah dan penataan ruang.
Stakeholders yang berperan dalam aplikasi KLHS antara lain : (1) Bappeda, sebagai badan yang memiliki tugas dan fungsi dalam perumusan kebijakan perencanaan pembangunan daerah, dimana semua kegiatan diseleksi untuk disetujui.
114 (2) DPRD, dukungan DPRD menjadi penting dalam hal regulasi yang menjadi pedoman dalam aplikasi KLHS. (3) Bapedalda, sebagai badan yang memiliki tugas dan fungsi dalam pengendalian dampak lingkungan dalam arti pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta pelaksanaan pelestarian dan pemulihan kualitas lingkungan. (4) Dinas Kehutanan, aplikasi KLHS untuk sektor kehutanan tentu memerlukan keterlibatan Dinas Kehutanan sebagai instansi yang memiliki tugas dan fungsi dalam pengurusan hutan di Kabupaten Pelalawan. (5) Masyarakat, peran dan keterlibatan masyarakat menjadi aspek penting dalam pelaksanaan
KLHS
guna
memperoleh
informasi
berkaitan
dengan
implementasi kebijakan, rencana dan program. Tabel 20. Stakeholders dan potensi dalam aplikasi KLHS di Kabupaten Pelalawan No. 1 2 3 4 5 6
Stakeholders Bupati Dinas Kehutanan Bappeda Bapedalda Swasta Masyarakat
Potensi peran 49 32 45 37 16 23
% 18% 12% 17% 14% 6% 9%
7 8 9
DPRD LSM Perguruan Tinggi
42 9 17
16% 3% 6%
Peran DPRD bukan pada tataran pelaksana, sehingga dari 5 (lima) stakeholders tersebut, yang dinilai tepat sebagai pelaksana KLHS adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) bekerjasama dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda). Bappeda dan Bapedalda mempunyai sumberdaya manusia bidang penataan ruang dan lingkungan sehingga diharapkan dapat membenahi kebijakan perencanaan pembangunan daerah dengan memanfaatkan KLHS. Kerja sama 2 (dua) badan ini
bisa berhasil karena
memiliki bentuk organisasi yang bersifat sebagai koordinator bagi dinas-dinas teknis. Setelah
mengetahui
kondisi
perumusan
kebijakan
kehutanan
dan
permasalahan aplikasi KLHS di Kabupaten Pelalawan, maka KLHS dapat berperan dalam perumusan kebijakan dengan beberapa catatan berikut :
115 1. Penyelesaian masalah inkonsistensi penataan ruang yang menjadi acuan bagi kebijakan pembangunan daerah. 2. Penyesuaian metode dengan kondisi daerah. Ini berhubungan dengan sumberdaya manusia, penyusun KLHS untuk menggunakan metode yang sesuai dengan sosial ekonomi masyarakat. Karena pada tahapan konsultasi publik, memilih metode yang sesuai menjadi penting untuk target informasi dan masukan yang didapat dari masyarakat tentang suatu kebijakan, rencana dan program. 3. Pemanfaatan pengalaman dalam melakukan analisis dan valuasi lingkungan. Bahwa metode yang digunakan dalam KLHS dalam hal analisis dan valuasi lingkungan sudah lama dikenal dan dilaksanakan. Walaupun untuk tahapan yang berbeda (AMDAL). Sehingga tidak terlalu sukar untuk dilaksanakan. 4. Optimalisasi peran dan kewenangan stakeholders. Tiap kelompok stakeholders (kunci, utama dan pendukung) dengan peran, kepentingan dan pengaruhnya menjadi hal penting untuk diperhatikan. 5. Pertimbangan lingkungan dengan konsisten dijadikan sebagai pertimbangan dalam perumusan kebijakan. Jika KLHS sudah dilaksanakan, maka penting untuk menjaga konsistensi dalam menggunakannya sebagai alat untuk membuat keputusan. 6. Perumusan regulasi, tidak harus wajib karena lebih penting kesadaran pembuat keputusan akan lingkungan. Di berbagai negara pelaksanaan KLHS bukan merupakan mandatory. Maka dalam aplikasinya di Kabupaten Pelalawan juga tidak harus wajib. Karena Pemerintah Kabupaten Pelalawan sudah punya pengalaman dengan AMDAL yang wajib dan hanya menjadi syarat yang harus dilengkapi. Karena yang paling penting adalah menjadikan KLHS sebagai instrumen dalam perumusan kebijakan, untuk mempertimbangkan aspek lingkungan selain aspek ekonomi dan sosial.
116 VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dengan content analysis dan stakeholders analysis terungkap bahwa : 1. Integrasi aspek lingkungan diakui para stakeholders hanya pada level proyek (AMDAL) dan belum memperhatikan kondisi dan kebutuhan daerah. Hal ini disebabkan adanya inkonsitensi antar peraturan perundangan dan pemahaman terhadap peraturan perundangan yang berbeda-beda. 2. Belajar dari kasus di atas, bahwa evaluasi terhadap dampak yang dilakukan pada level proyek tidak efektif, sehingga evaluasi terhadap dampak lingkungan yang akan timbul harus dilaksanakan pada tahap perumusan kebijakan. 3. Tarik ulur kewenangan tiap tingkatan pemerintah (pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten) merupakan faktor penghambat utama dalam aplikasi KLHS. 4. Hambatan aplikasi KLHS antara lain : peraturan perundangan yang belum konsisten dan lemahnya data dan informasi serta masih terbatasnya keterlibatan stakeholders. 6.2. Saran 1. Perlunya sosialisasi terhadap peraturan perundangan yang diterbitkan agar tidak menimbulkan perbedaan pemahaman. 2. Integrasi lingkungan dalam pengelolaan hutan berupa analisis dan valuasi lingkungan. 3. Keberhasilan KLHS perlu didukung dengan optimalisasi peran dan kewenangan stakeholders, data dan informasi serta regulasi. 4. Lembaga daerah yang bisa diberdayakan dalam melaksanakan KLHS adalah Bappeda dan Bapedalda.
117 DAFTAR PUSTAKA
BPLHD Propinsi Jawa Barat. 2001. Kajian Lingkungan Strategis Kawasan Cirebon dan Sekitarnya (Ciremai Watershed). Bandung. BPS Kabupaten Pelalawan. 2007. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Pelalawan. Pangkalan Kerinci. Borg, W.R., and M.D. Gall. 1989. Educational Research: An introduction. New York: Longman. Briffett, C., J.P. Obbard, and J. Mackee. 2003. Towards SEA for The Developing Nations of Asia. J. Environmental Impact Assessment Review. 23:171– 196 Chaker, A., K. El-Fadl, L. Chamas, and B. Hatjian. 2005. A Review of Strategic Environmental Assessment in 12 Selected Countries. J. Environmental Impact Assessment Review. 25:2, 8-9, 32-38 Dalal-Clayton, D.B., dan Sadler B. 1999. Strategic Environmental Assessment a Rapidly Evolving Approach. International Association for Impact Assessment. J. International Association for Impact Assessment. USA. Dalal-Clayton, D.B., dan Sadler B. 2003. The Status and Potential of Strategic Environmental Essessment (draft). Oxford : The United Nations Environment Programme. Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan dan PT. Tiara Kreasi Utama. 2007. Penyusunan Data Penunjang Data Base Kehutanan di Kabupaten Pelalawan. Pangkalan Kerinci. Dunn, W. 2003 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjahmada University Press Elvida, Y.S., dan D.S. Sukadri. 2002. Reformulasi Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Kehutanan. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Vol. 3 No. 1:33-40. Eyes On The Forest. 2005. Analysis of Forest and Land Fires Hotspots. www.eyesontheforest.or.id/eofnew/eof_hotspots__Aug222005.pdf (19 April 2006). Fraenkel, J.R., and E.W. Norman. 1996. How to Design and Evaluate Research in Education. New York. McGraw - Hill,Inc.
118 Gavin, T., and C. Pinder. 1995. Toolbox Stakeholder Analysis. "Stakeholder Participation & Analysis" DFID Social Development Division, 1995. www.dfid.gov.uk. (9 April 2007). Heleosi, S. 2006. Kajian Lingkungan Strategik Kebijakan Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005 (Studi Kasus Sektor Kehutanan). Tesis Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Henderson, K.A. 1991. Dimensions of Choice : A Qualitative Approach to Recreation, Parks, and Leisure Research. PA: Venture Publishing, Inc. Kartodihardjo, H. 2003. Masalah Struktural dalam Implementasi Kebijakan Baru Kehutanan. Di dalam : Resosudarmo. I.A.P dan C.J.P. Colfer, editor. Kemana Harus Melangkah ? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal.177-195. Kartodihardjo, H. 2006. Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan. Telaah Lanjut Analisis Kebijakan Usaha Kehutanan. Institute for Development Economics of Agriculture and Rural Areas. Bogor. Kartodiharjo, H. 2007. Di Balik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam. Masalah Transformasi Kebijakan kehutanan. KEHATI. Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Kajian Lingkungan Strategik (KLS). Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Penyelesaian Konflik Pengelolaan Sumberdaya Air. Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup. 2008. Panduan Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLHS) Tata Ruang. Jakarta. Kuo, N.W., T.Y. Hsiao, and Y.H. Yu. 2005. A Delphi–Matrix Approach to SEA and Its Application Within The Tourism Sector in Taiwan. J. Environmental Impact Assessment Review. 25:2-9 Krippendorff, K. 1980. Content Analysis : an introduction to its methodology. Beverly Hills: Sage Publications. Lindayati, R. 2003. Gagasan dan Kelembagaan dalam Kebijakan Perhutanan Sosial. Di dalam : Resosudarmo. I.A.P dan C.J.P. Colfer, editor. Kemana Harus Melangkah ? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal.43- 71.
119 Marzuki, M. 2004. Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Pertambangan di Kawasan Hutan Lindung (Studi Kasus Pengembangan Industri Pertambangan PT. Newmont Nusa Tenggara) Di Kabupaten Sumbawa Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tesis Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Maturana, J. 2005. Biaya dan Manfaat Ekonomi dari Pengalokasian Lahan Hutan untuk Pengembangan Hutan Tanaman Industri di Indonesia. CIFOR Working Paper No.30(i). Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor. Meyers, J. 2005. Analisis Kekuatan Stakeholders. Di dalam : Suproharjo, editor. Manajemen Kolaborasi, Memahami Pluralisme Membangun Konsesus. LATIN. Bogor. Nilsson, M., A. Bjorklund, G. Finnveden, dan J. Johansson. 2005. Testing a SEA Methodology for The Energy Sector : a Waste Incineration Tax Proposal, J. Environmental Impact Assessment Review. 25:1-32 Noor, R. 2006. Hutan Gambut Sumatera Terancam Punah, Harus Dilindungi. CAPPA. http://www.hutan.net/Sumatras_peat_swamp_forest_threatened with_collapse_must_be_protected.html (31 Januari 2007). Overseas Development Administration. 1995. Guidance Note on How To Do Stakeholders Analysis of AID Projects and Programs. Social Development Department. http://www.euforic.org/gb/stake1.htm Partidario M.R., 2000. Elements of an SEA Framework-Improving The AddedValue of SEA. J. Environmental Impact Assessment Review. 20 : 647 663 PPSDALH Universitas Padjajaran dan BPLHD Propinsi Jawa Barat. 2003. Kajian Lingkungan Strategis Kebijakan, Rencana dan Program Kawasan Bogor – Puntjak – Cianjur (KLS Bopunjur). Bandung. Riau Pos Online. 2006. Kebakaran Hutan dan Lahan Tanggung Jawab Bersama. www.riaupos.com (19 April 2006). Riffe, D., S. Lacy, and F.G. Fico. 1998. Analyzing Media Messages: Using Quantitative Content Analysis in Research. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates. Sadler B and Verheem R (1996). Strategic Environment Assessment : Status, Challenges and Future Directions. Ministry of Housing, Spatial and The Environment, The Hague.
120 Sheate, W., S.Dagg, J.Richardson, R.Aschemann, J.Palerm and U.Steen. 2001. SEA and Integration of the Environment into Strategic Decision-Making. European Comission Contract. London. Sianturi, A. 2003. Beberapa Aspek Penting dalam Rehabilitasi Sumberdaya Hutan Indonesia. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Vo. 4 No. 2:127-134 Sitorus, M.T.F. 1998. Penelitian Kualitatif : Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. Faperta IPB. Bogor. Soemarwoto, W. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta. Subandar, A. 2004. Urgensi dan Arah Pengembangan Natural Resources and Environmental Accounting di Indonesia. J. Ekonomi Lingkungan. Edisi ke 14:81-84. Sutton, R. 1999. The Policy Process : an Overview. Working Paper 118. Overseas Development Institute. Portland House House Stag Place, Chameleon Press Ltd, London SW1E 5DP. Therivel, R., and M.R. Partidario. 1996. The Practice of Strategic Environmental Assessment. Earthscan Publicaton Ltd. London, UK Xiuzhen, C., S. Jincheng, and W. Jinhu. 2002. Strategic Environmental Assessment and Its Development in China. J. Environmental Impact Assessment Review. 22:101-109
121 Lampiran 1. List Stakeholders dalam kebijakan perizinan IUPHHK-HT No
Sektor
1
Pemerintah Daerah
2
DPRD
3
LSM
4
Swasta
5
Tokoh Masyarakat Perguruan Tinggi Jumlah
6
Subsektor
Jlh yang diwawancarai
Dinas Kehutanan Bappeda
2
Bapedalda
4
Bag. Hukum
2
Bag. Pemerintahan
1
3
Alasan dipilih/hubungan dengan kebijakan Instansi teknis dalam IUPHHKHT Instansi terkait tata ruang
1
Intansi terkait lingkungan hidup (AMDAL) Instansi terkait persetujuan prinsip (tim9) Intansi terkait persetujuan prinsip (tim9) Lembaga pengesahan regulasi
Jikalahari
1
Lembaga pemerhati hutan Riau
FKD
1
Walhi Riau
1
Forum berhubungan dg sertifikasi LEI Lembaga advokasi lingkungan
WWF Riau
1
Lembaga konservasi
MPP
1
Bangun Negeri Pelalawan Perusahaan
1
Forum pemuda pemerhati pembangunan di Kab. Pelalawan Yayasan pemerhati lingkungan di Kabupaten Pelalawan Sebagai penerima izin
2 3
Universitas Riau
1 25
Sebagai penerima dampak/manfaat langsung Penelitian dan pengembangan
122
Lampiran 2. Tabel Panduan Wawancara No 1
Aktor
Identifikasi Aktor (jabatan & organisasi)
2.
Posisi Dalam Perumusan Kebijakan Posisi Terhadap Kebijakan Kepentingan
Internal/Eksternal
Sumber Informasi Pemda, Swasta, LSM, Tokoh Masyarakat, Perguruan Tinggi s.d.a
Support/Oposisi/Netral
s.d.a
Indepth interview
- Bentuk kepentingan aktor - Prioritas kepentingan - Cara pencapaian kepentingan - Hubungan antar aktor - Penggalangan formasi kekuasaan - Pilihan aliansi Opini terhadap permasalahan hutan Posisi tawar aktor Siapa yang mengontrol informasi Kekuatan logistik aktor -Tahu/tidak -Seberapa tahu -Apakah KLS bisa berperan -Siapa yang melaksanakan
s.d.a
Indepth interview,
s.d.a
Indepth interview
s.d.a
Indepth interview
s.d.a
Indepth interview
s.d.a s.d.a
Indepth interview Kuesioner
3. 4.
Topik
5.
Aliansi Antar Aktor
6.
Opini
7.
Kemampuan
8. 9.
Kekuatan Pengetahuan tentang KLS
Sub topic
Metode Wawancara Indepth interview
Indepth interview
123 Lampiran 2. (Lanjutan) Tema: Permasalahan/Isu-isu Kehutanan di Kabupaten Pelalawan 1. Apa saja permasalahan yang ada di sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan ? 2. Hal apa yang sangat mendesak untuk ditangani? 3. Siapa tokoh-tokoh/Apa organisasi yang Bapak/Ibu kenal berkaitan dengan permasalahan kehutanan di KabupatenPelalawan ? 4. Menurut anda apa solusi yang dapat diambil untuk hal tersebut Menurut Bapak/Ibu pejabat yang peduli dengan hal tersebut Tanggapan Tokoh masyarakat terhadap hal tersebut 5. Apa harapan Bapak/Ibu terhadap masalah tersebut 6. Bagaimana pandangan Bapak/Ibu dengan tujuan saya menganalisa kasus ini (tepat/ kurang tepat/tidak tepat).............ada manfaat untuk responden/daerah. Sikap responden positif terhadap peneliti Sikap responden resistant (bertolak belakang dengan niat peneliti) Sikap apatis (digali lebih mendalam sehingga hanya ada 2 kelompok yaitu positif atau resistant) 7. Bagaimana saran Bapak/Ibu terhadap masalah tersebut? (keterbatasan akses, keterbatasan pengetahuan, keterbatasan informasi) (Keterangan : informasi dalam kurung tidak ditanyakan tapi dikelompokkan untuk peneliti)
124
Lampiran 3. Persentase Jawaban Stakeholders tentang Integrasi Lingkungan dalam Perumusan Kebijakan Stakeholders Kunci
%
Stakeholders Utama
%
Stakeholders Pendukung
%
Sudah a. Sudah, karena melalui proses AMDAL
14
58%
7
58%
7
32%
5
21%
4
33%
3
14%
b.
Sudah, karena mengacu pada RTRW Kabupaten
5
21%
2
17%
3
14%
c.
Sudah, hanya perencanaan kurang matang & minim pengawasan
4
17%
1
8%
1
5%
10
42%
5
42%
15
68%
No. 1
2
Integrasi lingkungan
Belum a.
Belum, ada inkonsistensi peraturan perundangan
3
13%
0
0%
3
14%
b.
Belum, syarat tidak masuk akal
2
8%
0
0%
0
0%
c.
Belum, pemahaman yang berbeda terhadap peraturan perundangan Demi mendukung kebijakan nasional (HTI) Karena masih memerlukan investasi untuk pembangunan
2
8%
1
8%
2
9%
2
8%
1
8%
0
0%
1
4%
1
8%
2
9%
d. e. f.
Karena tidak ada Sense of interest thd lingkungan
0
0%
1
8%
5
23%
g.
Karena ingin memperkaya diri sendiri
0
0%
1
8%
3
14%
Jumlah total
24
100%
12
100%
22
100%
125
Lampiran 4. Stakeholders dan Kepentingan Utama serta Pengaruh dalam Pengelolaan Hutan di Kabupaten Pelalawan No.
Stakeholders
A. Stakeholders Kunci 1 Bupati
Kepentingan Utama
Kepentingan Keterlibatan
Pengaruh
Peluang Partisipasi
Pengelolaan wilayah administrasi
Tinggi, dukungan kebijakan
Tinggi, pengambil kebijakan pembangunan daerah
Policy support
2
Dinas Kehutanan
Pembangunan sumberdaya hutan
Tinggi, Pengurusan hutan
Tinggi, dukungan dalam proses pengambilan keputusan sektor kehutanan
Dukungan dan koordinasi pengelolaan kawasan hutan, perencanaan, implementasi
3
Bappeda
Pembangunan wilayah
Tinggi, penyusunan RTRW
Perencanaan wilayah dan kebijakan daerah
4
Bapedalda
Pengelolaan lingkungan
Tinggi, persetujuan AMDAL
Tinggi, berpengaruh dalam tataran kebijakan dan memiliki kekuatan intervensi Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
5
Bag. Hukum
Perumusan Peraturan
Tinggi, izin lokasi
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Regulasi
6
Bag. Pemerintahan
Pembinaan peningkatan sumber PAD
Tinggi, izin pencadangan lahan
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Program pembangunan
Kajian lingkungan
B. Stakeholders Utama 7
Perusahaan
Pemanfaat SD Hutan
Tinggi, pemanfaat SD hutan
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Kompensasi pemanfaatan hutan lestari
8
Masyarakat
kesejahteraan masyarakat
Tinggi, penerima dampak/ manfaat langsung
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Perlindungan dari bencana dan peningkatan kesejahteraan
126
Lanjutan Lampiran 4. C. Stakeholders Pendukung 9
DPRD
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
Rendah, tidak bergerak dalam tataran operaional
Tinggi, dukungan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan lokal
Regulasi
10
Jikalahari
Kelestarian lingkungan dan hutan
Rendah, tidak bergerak dalam tataran operaional
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Pelestarian hutan
11
FKD Riau
Sertifikasi lingkungan
Rendah, tidak bergerak dalam tataran operaional
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Pelestarian hutan
12
Walhi Riau
Kelestarian lingkungan dan hutan
Rendah, tidak bergerak dalam tataran operaional
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Pelestarian hutan
13
WWF Riau
Kelestarian lingkungan dan hutan
Rendah, tidak bergerak dalam tataran operaional
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Pelestarian hutan
14
Majelis Pemuda Pelalawan
kesejahteraan masyarakat
Rendah, tidak bergerak dalam tataran operaional
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Pembangunan daerah
15
Yayasan Bangun Negeri Pelalawan
Rendah, tidak bergerak dalam tataran operaional
Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi
Pelestarian hutan
16
Universitas Riau
Kelestarian lingkungan dan hutan dan kesejahteraan masyarakat Kajian lingkungan dan pengawal pembangunan
Rendah, tidak bergerak dalam tataran operaional
Tinggi, dapat bekerja sama dengan kekuatan intervensi
Penelitian & pengembangan
127
Lampiran 5. Stakeholders dan Potensi dalam Aplikasi KLHS untuk Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Pelalawan
No.
Stakeholders
Akademisi Pakar 1 Pakar 2 9 9
Praktisi Pakar 3 Pakar 4 8 7
Pemerintah Pakar 5 Pakar 6
Jumlah
%
1
Bupati
7
9
49
18%
2
Dinas Kehutanan
6
6
6
5
4
5
32
12%
3
Bappeda
8
8
7
6
9
7
45
17%
4
Bapedalda
7
7
5
4
8
6
37
14%
5
Swasta
2
4
3
3
3
1
16
6%
6
Masyarakat
3
3
2
8
5
2
23
9%
7
DPRD
5
5
9
9
6
8
42
16%
8
LSM
1
1
1
2
1
3
9
3%
9
Perguruan Tinggi
4
2
4
1
2
4
17
6%
270
100%
Jumlah Potensi untuk berperan dalam aplikasi KLHS (9=paling besar, 1=paling kecil)
128