Diskursus dan Kritik Kebijakan Penelitian:
Transformasi Penelitian bagi Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan 1
Hariadi Kartodihardjo2
Pengantar Dari berbagai faktor yang berperan untuk mewujudkan hasil-hasil pembangunan, kemajuan ataupun keberhasilan salah satunya adalah ilmu pengetahuan. Pengetahuan diproduksi dan direproduksi dari waktu ke waktu dan hasil penelitian menjadi alat produksi ilmu pengetahuan itu, termasuk sebagai alat untuk menyeleksi mana pengetahuan yang selayaknya diperlukan dan mana yang tidak. Demikian pula perkembangan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK), misalnya. Dibaliknya pastilah terdapat ilmu pengetahuan yang dapat menjelaskan mengapa perkembangan itu terjadi di suatu tempat sedangkan di tempat lain tidak. Sebagai suatu proses, program maupun kegiatan, pelaksanaan penelitian sangat tergantung pada kebijakan yang mengaturnya. Isi kebijakan itu ditentukan oleh diskursus dibaliknya. Oleh karena itu, memperbaiki kebijakan tidak akan berhasil tanpa memahami diskursus tersebut. Secara formal Hajer (1995) mendefinisikan diskursus adalah: Pernyataan secara spesifik mengenai ide, konsep, dan kategorisasi terhadap sesuatu, yang diproduksi dan diproduksi kembali, serta ditransformasikan ke dalam segenap tindakan khusus, melalui pemaknaan yang diberikan pada bendabenda3 maupun realitas sosial4. Dengan pengertian itu, Hajer menggunakan aliran pemikiran Foucauldian yangmana diskursus dan praktek-praktek sosial senantiasa berhubungan. Bagi Foucault (1994), diskursus dalam ilmu dan praktek sosial mendefinisikan identitas subyek dan praktek sosial yang diterima dan yang ditolak, seperti dalam kasus kesehatan (penetapan si A atau di B sakit/gila atau sehat/normal). Dengan kata lain, diskursus ada di belakang ilmu/disiplin dan kewenangan seseorang atau agensi untuk menentukan seperti apa yang normal dan seperti apa yang tidak. Sementara itu, Dryzek (2005) menyatakan bahwa diskursus adalah jalan untuk “menangkap dunia”. Definisi ini sampai pada kerangka pikir secara kolektif yang memungkinkan fakta-fakta diintrepetasikan dan kemudian 1
2
3
4
Naskah yang dipresentasikan sebagai keynote speaker seminar dalam acara Sewindu Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu dengan thema: Pengarus-utamaan Hasil Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai Lokomotif Pembangunan Berkelanjutan, di Mataram, 1 Oktober 2015. Sebagian isi naskah ini merupakan naskah keynote speakeroleh penulis pada seminar “Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat untuk Kesejahteraan Masyarakat“ tanggal 20 Oktober 2010, di Bandung. Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB; Ketua Presidium Dewan Kehutanana Nasional dan Nara Sumber GNSDA-KPK. Misalnya istilah hasil hutan bukan kayu (HHBK). Secara sadar atau tidak, istilah ini menunjukkan posisi HHBK minoritas dengan mayoritasnya ada pada kayu. Kayu dianggap hasil hutan dominan atau superior sepanjang masa, yangmana semua cara pikir tidak boleh mengubah pemaknaan itu termasuk tindakantindakan yang dilakukan. Diskursus ini bukan hanya menentukan cara pikir, tetapi juga secara sadar menentukan kategorisasi. Penelitian dan peneliti sesuatu mengenai yang bukan kayu,bisa jadi diam-diam dianggap bukanlah sesuatu yang utama. Misalnya sebutan “perambah hutan”. Secara sosial, tanpa ada suatu identifikasi yang lengkap, masyarakat ini dianggap bukan warga negara yang baik.
1
konsekuensinya tindakan diambil berdasarkan interpretasi itu. Berdasarkan pandangan ini, masalah-masalah dan solusi-solusi ada hanyalah dari interpretasi-interpretasi, dan tentu interpretasi-interpretasi ini bukanlah keseluruhan fakta itu sendiri. Kata kunci pertama dalam tema seminar ini, yaitu: “Pengarus-utamaan Hasil Litbang”.Mewujudkan kata kunci itusangat tergantung pada hasil penelitian yang kontekstual, melalui suatu proses yang mendapat legitimasi, dilakukan oleh peneliti atau sekelompok peneliti atau lembaga yang kredibel, serta mempunyai jaringan adopsi hasil penelitian itu bagi penggunanya. Kata kunci kedua, yaitu “sebagai lokomotif pembangunan berkelanjutan”. Ini berarti tujuan penelitian diarahkan untuk mendukung dicapainya keadilan sosial, ekonomi maupun terwujudnya peningkatan kualitas lingkungan hidup. Naskah ringkas ini mengupas persoalan‐persoalan yang dihadapi peneliti yang telah dan sedang berupaya menghasilkan pengetahuan baru dalam upaya mewujudkan tema seminar tersebut. Beberapa hal yang diungkap secara ringkas yaitu: bagaimana merumuskan masalah penelitian yang berperan sebagai dasar kebijakan, menjalankan proses penelitian yang kredibel dan mendapat legitimasi, serta mewujudkan jaringan kerja peneliti. Di ujung naskah ini semua disampaikan kritik terhadap kebijakan penelitian.
Masalah Penelitian Setiap penelitian dimulai dengan menentukan masalah penelitian. Di dalam ilmu kebijakan, menentukan masalah penelitian menjadi bagian sangat penting, terutama terkait dengan dua hal. Pertama, masalah penelitian tidak obyektif, melainkan subyektif. Kedua, apabila ada kesalahan dalam menentukan masalah penelitian—terutamauntuk penelitian yang dilakukan guna mengetahui solusi apa yang diperlukan—penelitiakan merumuskan solusi keliru. Mengapa masalah penelitian subyektif? Masalah itu abstrak, tergantung konsep/teori yang digunakan untuk mendefinisikannya. Seseorang yang menggunakan ilmu teknologi akan menemukan masalah teknologi, misalnya kegagalan membangun tegakan hutan tanaman disebabkan oleh tidak dikembangkannya teknologi benih, sehingga benih yang disemaikan kualitasnya rendah. Seseorang yang menggunakan ilmu ekonomi akan menemukan masalah harga dan pasar, untuk menjawab, misalnya, mengapa di suatu tempat lebah madu tidak berkembang walaupun potensinya ada. Demikian pula seseorang yang menggunakan ilmu kelembagaan (institusi) akan menemukan masalah hak atas tanah, kontrak, informasi yang asimetris untuk menjawab, misalnya, mengapa gaharu, tanaman energi, propolis, buah mimba tidak berkembang. Meskipun masalah penelitian subyektif, namun tetap dapat diketahui bahwa masalah yang dirumuskan dalam suatu penelitian, keliru. Misalnya, karena tidak dapat menjawab tujuan penelitian. Sebagai contoh, apabila tujuan penelitian akan mengembangkan buah mimba di suatu tempat. Perlu diketahui situasi dan kondisi di tempat itu yang menjadi hambatan mengapa tidak berkembang. Misalnya akses pasar atau kelembagaan lokal lebih penting untuk diperhatikan daripada teknologi. Dengan demikian, penetapan masalah itu kontekstual, artinya sangat tergantung pada situasi dimana masalah itu terjadi. Oleh karena itu bersifat subyektif. Hal‐hal tersebut sangat penting untuk difahami. Pada prinsipnya, masalah penelitian— terutamapenelitian yang menghasilkan pengetahuan untuk diadopsi pihak tertentu atau 2
membuat atau memperbaiki kebijakan—bukanlahir dari pertanyaan peneliti akibat ketidak‐tahuannya. Sebaliknya, peneliti bertanya dengan konsep dan pengetahuannya mengenai “keadaan sesungguhnya di lapangan” serta telah membaca berbagai publikasi dan jurnal di bidangnya, sehingga mengetahui pertanyaan‐pertanyaan yang belum terjawab oleh para peneliti lainnya, pertanyaan‐pertanyaan masyarakat yang segera memerlukan jawaban, atau pertanyaan para pembuat kebijakan. Maka, tidak dapat dihindari perlunya jaringan peneliti untuk mengetahui berbagai hal di bidangnya yang sedang dibicarakan pihak lain. Apa yang dimaksud mengetahui “keadaan sesungguhnya di lapangan”? Untuk memastikan apa yang dilihat peneliti itu benar, sebaiknya kita memahami apa yang dilakukan Parson (2005) dengan mensitir puisi anak‐anak Inggris yang ditulis Anthony Jay: ”Pussycat, pussycat, where have you been? I have been to London to see the Queen. Pussycat, pussycat what did you there? I saw a little mouse under a chair.” Apakah mungkin si Kucing dapat melihat kecantikan atau kemegahan singgasana sang Ratu? Tidak mungkin. Yang dilihat si Kucing seekor tikus kecil di bawah kursi. Mengapa? Karena kerangka‐pikir dan segenap isi kepala si Kucing hanyalah bisa melihat makanannya, yaitu tikus. Meskipun pancainderanya mampu melihat kecantikan sang Ratu, tetapi kecantikan itu tidak ada di dalam khasanah pemahaman dan penghayatan di dalam dirinya. Pertanyaan bagi peneliti: Apa yang sesungguhnya dapat dilihat peneliti di lapangan? Jawaban peneliti akan sangat tergantung seberapa banyak kerangka‐pikir yang dimilikinya. Seberapa tahu peneliti tentang konsep ekonomi, politik, kelembagaan, sosial sebagai suatu alat atau “kaca‐mata” untuk menafsirkan apa dibalik terjadinya , misalnya,tidak berkembangnyalebah madu di lapangan. Apabila tidak ada upaya untuk memperkaya teori dan konsep di dalam pikiran peneliti, maka seperti si Kucing dalam puisi tersebut. Jawabannya selalu sama: tikus. Terkait dengan hal ini ada pepatah: “When the only tool you have is a hammer, everythings looks like a nail”. Apa yang diungkap dalam analogi “Kucing gagal melihat Ratu” tersebut, yaitu bahwa masalah itu abstrak, dan tidak seperti yang ditangkap melalui panca indera. Masalah itu ada di balik peristiwa. Masalah itu ada di dalam perilaku orang‐orang dan bukan menempel pada benda‐benda. Misalnya—dalamilmu kebijakan—bukankualitas bibit rendah yang kita sebut sebagai masalah, masalah adalah perilaku orang yang menyebabkan produksi bibit berkualitas rendah. Kalau bibit kualitas rendah ditentukan sebagai masalah, solusinya adalah memproduksi bibit berkualitas tinggi. Dan hal ini tidak pernah bisa dilakukan tanpa ada jawaban atas pertanyaan: faktor-faktor apa yang menyebabkan orang‐orang memproduksi bibit berkualitas rendah? Kerangka pemikiran demikian itu juga berlaku dalam penelitian‐penelitian teknologi dan manajemen, misalnya teknologi pengolahan suatu hasil hutan dan manajemen habitat dari hasil hutan itu. Penelitian ini mempunyai setidaknya dua tujuan. Pertama, tujuan untuk menjawab pertanyaan “what”. Misalnya, perlakuan teknologi apa agar kualitas hasil hutan itu dapat meningkat?. Jawabnya, misalnya melalui perlakuan dengan bahan kimia atau dengan menggunakan cara tertentu lainnya. 3
Kedua, tujuan penelitian untuk menjawab pertanyaan “what shoud be done”. Pertanyaan ini bisa dijawab melalui pengenalan subyek atau pihak yang mempunyai kepentingan secara langsung dengan teknologi yang dibicarakan, misalnya petani di desa tertentu. Dalam hal ini, yang perlu diteliti adalah aliran informasi, interpretasi, pengetahuan‐pengalaman dan kapasitas petani tersebut. Petani setelah mendapat informasi tentang bahan kimia atau peralatan tersebut, ia akan menginterpretasikan informasi itu dan mengambil keputusan. Pengambilan keputusannya akan sangat tergantung pada pengetahuan‐pengalaman yang ia miliki, tingkat kepercayaan informasi yang ia terima, dan pertimbangan manfaat‐pengorbanan yang ia buat dan oleh karena itu sangat tergantung pada sumberdaya yang ia miliki, seperti ketersediaan waktu, tenaga dan uang. Dalam konteks inilah, teknologi bukanlah informasi dan perangkat yang netral. Seringkali teknologi hanya bisa diadopsi oleh yang kaya, tetapi tidak bisa diadopsi oleh yang miskin, sehingga aplikasi teknologi justru memproduksi kesenjangan sosial. Hal ini sebagai penegasan bahwa teknologi dan ilmu pengetahuan di baliknya itu tidak netral. Untuk memahami lebih jauh bagaimana menjawab tujuan penelitian yang kedua di atas, peneliti perlu mengetahui adanya ilmu‐ilmu sosial, seperti ekonomi, kelembagaan, kebijakan, (ekologi) politik, dengan berbagai metoda analisis seperti teori kontrak, principal‐agent, analisis diskursus (wacana), analisis aktor, dll. Ketika kita memasuki ranah penelitian ini, dengan menggabungkannya dengan pendekatan‐pendekatan teknologi, kita akan tahu betapa ilmu benar‐benar sedalam dan seluas samudra. Baru dapat dirasakan bahwa banyak hal yang tidak diketahui peneliti tentang latar‐belakang suatu peristiwa atau kejadian tertentu. Dan hal demikian ini sangat baik. Yang kurang baik adalah: (bahkan) peneliti tidak tahu apa yang tidak diketahuinya.
Kebenaran substantif Petani HHBK pastilah mempunyai pengertian sendiri, apa yang dimaksud peningkatan produktivitas HHBK dan bagaimana mencapainya. Mungkin upaya peningkatan volume hasil bukan jawabannya karena rumah tangga petani lebih mementingkan pendapatan dalan jangka pendek. Apabila produktvitas bukan dalam pengertian fisik melainkan finansial, maka perlu diketahui bagaimana transaksi antara petani dan pedagang yang menentukan harga jual HHBK yang diterima petani. Apakah mungkin dibentuk kelompok tani untuk menguatkan negosiasi harga ini. Apabila diperlukan upaya‐upaya khusus agar nilai jualnya meningkat, pertanyaannya apakah waktu yang dimiliki petani cukup untuk melakukan upaya‐upaya itu, sementara ia juga mempunyai pekerjaan lain. Pertanyaan itu semua dapat dijawab apabila peneliti mengetahui karakteristik ekonomi rumah tangga petani HHBK maupun hubungan‐hubungan sosial di dalam masyarakat, sebagai pihak yang akan mengambil keputusan untuk mencapai peningkatan produktivitas yang dimaksud. Dengan “cara melihat” persoalan petani sebagai faktor yang menentukan produktivitas HHBK, maka peneliti diarahkan untuk menggunakan “kacamata” penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah obyektif sebagai kriteria pengambilan keputusan. Keputusan terbaik, bukan ditentukan oleh standar‐standar kebenaran tunggal seperti rasio manfaat‐biaya, F test, dll, melainkan sangat tergantung pada kepentingan individu atau kelompok sejalan dengan keterbatasan masing‐masing, termasuk pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki serta nilai baik‐buruk yang dianut. Oleh 4
karenanya dalam penelitian kualitatif digunakan istilah inter‐subyektif untuk menentukan kriteria pengambilan keputusan. Kebenaran yang berlaku di masyarakat tidaklah mempunyai satu kriteria, melain multi kriteria. Misalnya, bukan hanya aspek teknis/teknologi saja dalam penetapan jenis HHBK yang dikembangkan, melainkan secara ekonomi layak, secara sosial diterima dan juga yang berlaku. tidak menyalahi norma atau peraturan‐perundangan Teknis‐ekonomi‐sosial‐norma/hukum ini adalah tolok ukur inter‐subyektif yang berlaku di masyarakat dan biasanya disebut sebagai kebenaran substantif. Untuk mewujudkan kebenaran substantif tersebut dilakukan proses transitif dan kolektif. Setiap orang perlu belajar dan menukar pengetahuan dan pengalamannya dengan orang lain sehingga terbentuk keputusan kolektif yang dapat diterima secara bersama‐sama. Persoalannya, kebenaran substantif dapat tidak sejalan dengan apa yang ditetapkan dalam peraturan‐perundangan. Disinilah tugas peneliti di perlukan, yaitu merekomendasikan bahwa suatu peraturan tertentu sebaiknya diperbaiki apabila tidak sejalan dengan kebenaran substantif itu.
SifatHHBK dan kredibilitas penelitian Upaya pengembangan HHBK dalam 20 tahun terakhir sebenarnya sudah seringkali dicanangkan, di tengah‐tengah rasa pesimis melihat kegagalan upaya pelestarian hutan alam. Setiap pernyataan hasil penelitian atau pejabat struktural hampir selalu menyebut tingginya potensi HHBK. Yang tidak disebutkan adalah sifat atau karakteristik HHBK sehingga kebijakan pengembangannya tidak berfungsi akibat tidak sesuai dengan karateristiknya itu. Beberapa hal yang mengkaitkan antara karakteristik dan kegagalan kebijakan pengembangan HHBK terkait dengan diskursus yang perlu menjadi perhatian. Diantarannya, pertama, pengembangan pemanfaatan hutan selalu dikaitkan dengan administrasi perizinan yang rumit dan hanya dapat dikerjakan oleh usaha besar, padahal subyek HHBK terutama adalah masyarakat lokal/adat. Kedua, inovasi dan kegiatan pemanfaatan HHBK hampir selalu dilaksanakan oleh masyarakat lokal/adat yang tidak diketahui sifat ekonomi dan sosialnya dalam penggunaan tenaga kerja, waktu, biaya maupun penggunaan informasi dari luar sebagai dasar pengambilan keputusan rumah tangganya. Dalam hal ini pertimbangan untung-rugi (B/C) ala perusahaan besar secara apa adanya tidak dapat digunakan. Ketiga, para peneliti dan pembuat kebijakan hampir selalu memperhatikan persoalan legalitas (rights), namun sedikit sekali memperhatikan persoalan akses (web of power). Usaha rumah tangga sangat tergantung pada akses pasar, informasi, pengetahuan, pelayanan, kebersamaan dengan kelompoknya, maupun transaksi keuangan sederhana (misal rentenir). Teori akses (Ribot dan Peluso, 2003) ini tidak banyak digunakan dalam penelitian pengembangan ekonomi rakyat maupun tidak digunakan dalam kebijakan penetapan program-program pemberdayaan masyarakat. Keempat, pengembangan HHKB tidak dapat dilepaskan dari pengembangan modal sosial masyarakat. Hal ini terkait dengan belum adanya upaya besar untuk membalik diskursus (counter discources) bahwa subyek pengembangan HHBK adalah masyarakat dan bukan teknologi. Kelima, kembali dikaitkan dengan penetapan masalah penelitian di atas, bahwa masalah penelitian dalam pengembangan HHBK bukan saja masalah peneliti atau masalah yang didefinisikan oleh peneliti, melainkan masalah masyarakat yang diketahui dari kehidupan rumah tangga. Ini disebabkan yang akan memperbaiki masalah adalah masyarakat itu sendiri dan bukan penelitinya. Dalam 5
konteks inilah peneliti mendapat kredibilitas penelitiannya. Kredibiitas itu bukan hanya soal kebenaran-kebenaran ilmiah, tetapi juga relevan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat sebagai subyek penelitian. Keenam, hasil-hasil penelitian saat ini yang sangat berharga bagi pengembangan HHBK— dapatdikatakan sebagai “upaya dari luar” petani—perluditindak‐lanjuti melalui segenap proses yang perlu dilakukan. Untuk memenuhi tema seminar ini, diperlukan penelitian untuk melengkapinya, yaitu penelitian yang bukan menjawab pertanyaan “what” melainkan “what shoud be done”. Hal ini mengingat pentingnya mengetahui respon subyek, dalam hal ini petani HHBK, terhadap “upaya dari luar” untuk meningkatkan produktivitasnya.
Kebijakan Penelitian Peneliti dan kecedekiawanan Perhelatan mengenai kebijakan pada akhirnya tidak terlepas dari peran pengetahuan, kerangka pikir, diskursus yang mempengaruhi penentu kebijakan. Diskursus itu tercermin dari logika tentang sebab-akibat yang digunakan, dan pada gilirannya menentukan pertimbangan benar-salah, baik-buruk, serta apa saja yang tercakup dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu diskursus mempunyai kekuatan. Foucault bahkan mengatakan bahwa diskursus sebagai sumber kekuasaan. Dari titik inilah peran intelektual dibicarakan. Peran intelektual yang ditulis Antonio Gramsci, misalnya, menjadi salah satu karya penting untuk melihat bagaimana para intelektual berfungsi di dunia nyata. Ia menggambarkan betapa penting peran intelektual sebagai bagian dari perubahanperubahan di dunia nyata, yang disebutnya sebagai intelektual organik (organic intellectuals).Peneliti atau intelektual organik diharapkan menjadi seseorang yang tidak hanya memahami teori dan pengetahuan yang terlepas kondisi dimana ia hidup, namun mewujudkan potensi pengetahuannya untukmengubah dunia nyata pada saat berhadaphadapan dengan rasa pesimis atau kebijakan-kebijakan yang menghadangnya. Sementara itu, jenis intelektual yang lain, sebut saja intelektual tradisional, berada hanya pada wilayah teori, laporan, publikasi dan berusaha mensterilkan diri dari hiruk-pikuk dunia nyata. Dunia nyata dianggapnya sebagai sesuatu “di luar sana” dan tidak akan pernah menjadi bagian dari dirinya. Ia menganggap punya kedudukan tersendiri dengan obyektivitas keputusan yang terpisah dari persoalan ketidak-adilan dan hegemoni kekuasaan. Kelompok intelektual seperti ini tidak mengenal istilah, misalnya “pro-rakyat” sebagai istilah ilmiah, karena tidak ingin dirinya disebut bias dalam mengambil keputusan. Mereka membangun diskursus mengenai “obyektif dan tidak bias” sebagai kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah itu harus dilepaskan dari nilai-nilai atau bebas nilai. Dengan kata lain, mereka lebih mengutamakan teks yang tertulis dan tidak mempedulikan konteksnya atau dunia nyata yang dihadapi. Gramsci juga menyebut peran intelektual dapat menjadi counter hegemony yang dilakukan oleh negara atau kelas dominan dalam rangka membela rakyat atau kelas tertindas. Dengan kata lain, tindakan kecedekiawanan bukan bebas nilai, melainkan sarat dengan nilai-nilai.Gramsci mengkritik pandangan Karl Marx ketika ia melihat bahwa dengan pemerintahan rezim otoritarianisme politik Benito Mussolini, ternyata tidak kunjung memunculkan revolusi sosial, seperti yang dikonsepkan oleh Marxisme klasik. Bahkan pada titik nadir, yang muncul justru diam. Diamnya kaum buruh dan proletar ini 6
akibat “didiamkan” oleh seperangkat kepentingan politik hegemonistik, yang diselundupkan ke dalam massa rakyat yang tertindas. Lebih ironis masyarakat yang tertindas justru menjadi kelompok sosial yang “tabah dalam penderitaan”, karena berasumsi bahwa kekuasaan yang hadir akan selalu menindas. Kelas masyarakat bawah ini bahkan tidak pernah berontak, meskipun yang terjadi adalah sebuah kekejaman. Belajar dari realitas seperti itu, maka ketika suatu masyarakat—termasukkaum profesional—yangtelah terbiasa hidup dalam kesalahan-kesalahan, keganjilan, bahkan kekejaman sekalipun, mereka tidak lagi punya kesempatan hanya untuk sekedar mengatakan apa yang sedang terjadi, karena semua itu sudah dianggap biasa. Seluruh cara memperhatikan dan menginterpretasikan sesuatu telah terkooptasi oleh hegemoni kekuasaan yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Jikapun ada perbincangan tentang apa yang sedang terjadi, tidak akan sampai pada tindakan nyata untuk memecahkannya, karena kedudukan dan keyakinannya tidak memungkinkan untuk itu. Pertimbangan yang dilakukan berdasarkan manfaat dan resiko yang akan dihadapi selalu menghasilkan resiko lebih tinggi daripada manfaat. Karena kebutuhan menyelamatkan diri secara perorangan selalu lebih utama daripada mempertimbangkan manfaat keseluruhan dalam jangka panjang. Hampir serupa dengan kelompok intelektual tradisional, kelompok masyarakat dan kaum profesional ini lebih membebaskan diri dari persoalan penindasan dan ketidak-adilan. Persoalan penindasan dan ketidak-adilan dianggap bukanlah “dunianya”. Mereka lebih mementingkan “kebenaran” berdasarkan apa yang biasa diyakininya, teks peraturanperundangan atau pernyataan kebijakan yang mengikat. Kebenaran lebih diletakkan pada alat yang digunakan bukan pada hasil akhir yang didapat. Mereka hampir selalu diawalnya diposisikan dan akhirnya berposisi pada fakta yang dapat dikomunikasikan dengan baik dan bukan pada fakta yang sesungguhnya.
Jaringan peneliti dan diseminasi penelitian Dalam pendekatan analisis jaringan kebijakan (policy network analysis, Pierre, 2000; Kickert et al, 1997), individu-individu dapat peneliti dianggap sebagai agen-agen sosial yang saling berinteraksi dan tergantung satu dengan lainnya dalam suatu jaringan dengan pihak lain. Berbagai keputusan, oleh karenanya, tidak ditentukan hanya oleh individu peneliti maupun ikatan struktural peraturan dan program-programnya, melainkan dibentuk oleh kehidupan dalam jaringan sosialnya. Dalam hal ini, segenap informasi yang menentukan apa yang harus diteliti dipengaruhi oleh saling-ketergantungan antara peneliti dan banyak pihak di luarnya. Misalnya, karena Pemerintah ingin mendapat dukungan teknis dan dukungan masyarakat lokal agar kebijakan pengembangan HHBK berjalan, maka penelitian dan pembuatan kebijakan secara partisipatif menjadi syarat keberhasilannya. Pengembangan jaringan peneliti dan penelitian menentukan seberapa besar hasil penelitian digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan ataupun praktek‐praktek di lapangan . Sejauh ini di Indonesia belum ada penelitian tentang pengaruh jaringan ini dengan pembuatan kebijakan. Namun demikian, di dunia nyata, secara umum pengetahuan baru dari hasil‐hasil penelitian tersebar melalui berbagai bentuk komunikasi, rapat‐rapat, maupun berbagai hubungan informal. Biasanya, para penentu kebijakan mempunyai jaringan tersendiri untuk mendapat informasi yang menjadi dasar keputusan yang di buat. Demikian pula praktek‐praktek di lapangan diubah 7
atau diperbaiki melalui segenap informasi dan interpretasi atas informasi itu oleh para pelaku di lapangan. Dalam kondisi demikian itu, hubungan antara peneliti, hasil penelitian dan pembuatan kebijakan atau para pelaku di lapangan tidaklah secara otomatis terjadi. Di balik hasil penelitian adalah kerangka pikir atau diskursus. Diskursus ini dibawa oleh banyak aktor selain peneliti, atau disebut epistemic community dengan jaringannya, yang mempunyai kepentingan atau politik sebagai dasar bertindak. Dalam kondisi demikian itulah terjadi proses penyaringan informasi dan pengetahuan. Ada informasi dan pengetahuan yang digunakan dan ada yang ditolak. Disadari atau tidak, proses penyaringan itu dilakukan untuk mempertahankan diskursus beserta aktor dan jaringannya,yang pada akhirnya untuk mempertahankan kekuasaan (Faucoult, 1980; IDS, 2006). Dengan realitas demikian itu, para peneliti perlu memahami bahwa informasi dan pengetahuan adalah bagian dari kekuatan atau (sumber) kekuasaan. Ia sama sekali tidak bersifat netral, karena setiap teori, dalil dan konsep lahir di dalam ruang dan waktu yang tidak bebas dari kepentingan. Seperti diuraikan di atas, penerapan teknologi dapat menimbulkan atau meningkatkan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Dalam kondisi tertentu, teknologi juga menimbulkan ketergantungan petani hutan terhadap sarana produksi, dan dalam kondisi demikian itu upaya meningkatkan produktivitas hutan patut dipertanyakan tujuannya. Namun, meskipun begitu, tanpa ada pengembangan teknologi, kapasitas manusia untuk dapat mendayagunakan sumberdaya alam dan kapasitas atau daya dukung sumberdaya alam untuk mendukung kehidupan manusia juga akan terbatas. Di sinilah di suatu titik, dimana peneliti perlu bertanya dimana ia sedang berdiri, apa yang sebenarnya ia lakukan, dan untuk siapa ia melakukan itu. Tantangan bagi peneliti bukan hanya menyelesaikan pergulatan untuk menentukan posisi dirinya, tetapi juga melayani tuntutan berbagai pihak yang memerlukan hasil ‐hasil penelitian. Untuk menghadapi tantangan yang kedua itu, dalam penetapan topik/tema penelitian sebaiknya dilaksanakan dengan menggali permasalahan dan pandangan dari berbagai pihak seperti masyarakat (lokal/adat), para birokrat Pemerintah/Pemda, kalangan bisnis, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pendekatan atau kerangka pikir yang digunakan untuk menelaah isu tertentu sejauh mungkin dilakukan secara komprehensif (teknologi, ekonomi, sosial, dan institusi). Dengan demikian, penelitian dilaksanakan berdasarkan pertimbangan yang cukup, baik dari segi pendekatan/substansi maupun representasi aktor yang dilibatkan. Untuk itu pelaksanaan penelitian perlu ditopang oleh manajemen penelitian secara progresif, agar terhindar dari status hasil penelitian dan Lembaga Penelitian yang dianggap sebagai kadaluarsa atau sulit berkembang. Disamping proses pelaksanaan penelitian, strategi diseminasi hasil penelitian juga sangat penting agar pengetahuan baru hasil penelitian masuk dan menjadi bagian dari diskursus para penentu kebijakan. Strategi diseminasi itu sendiri ditentukan oleh karakter aktor‐aktor yang menjadi sasaran utama hasil penelitian, misalnya cukup dilakukan secara formal dan tertutup atau secara terbuka agar masyarakat ikut memberi pertimbangan pentingnya diadopsi hasil penelitian tersebut. Disamping itu, strategi diseminasi hasil penelitian juga ditentukan oleh kekuatan argumen hasil penelitian apakah didasarkan pada landasan ilmiah yang kuat (rasional) dan/atau keberpihakan yang kuat (value). Pilihan bagi Lembaga Penelitian dalam melakukan diseminasi hasil penelitiannya dapat berupa: naskah populer untuk media, policy brief, lobby, aksi langsung misalnya bagi para 8
petani di lapangan, maupun membantu menguatkan substansi-substansi yang dibawa oleh gerakan-gerakan sosial. Strategi diseminasi ini semestinyadifikirkan secara matang termasuk diperoleh sumber pendanaannya secara tersendiri. Dalam kerangka analisis Reseach and Policy in Development (RAPID) oleh Overseas Development Institute (ODI) dan Global Development Network’s Bridging Research and Policy, pertanyaan yang coba dijawabnya: "Mengapa beberapa rekomendasi hasil penelitian diambil dan digunakan, sementara yang lain diabaikan dan menghilang? Ini mencerminkan adanya proses dua arah antara penelitian—kebijakan—praktek, yang dibentuk oleh berbagai jenis hubungan dan jaringan. Dalam kerangka RAPID, diuraikan tentang berbagai faktor yang saling terkait, yang menentukan apakah bukti berbasis penelitian secara politik digunakan oleh pembuat kebijakan berdasarkan saluran komunikasi yang tersedia (Gambar 1). Tiga faktor tersebut adalah: politik, bukti/pengetahuan, dan penghubung antara kebijakan dan penelitian, yang semuanya dikondisikan oleh dimensi keempat yaitu pengaruh eksternal, seperti konteks sosialekonomi, pengaruh lembaga donor ataupun kebijakan nasional dan internasional yang lebih luas.
Gambar 1. Kerangka Kerja RAPID (Court dan Young, 2003) Di satu sisi, jaringan dapat menjadi platform untuk tindakan yang memfasilitasi pengembangan hubungan-hubungan baru, ruang perubahan kebijakan (policy space), cara negosiasi, solusi lokal untuk masalah-masalah lokal, dan akhirnya cara yang efektif untuk mempengaruhi kebijakan secara keseluruhan. Dalam jaringan, ide-ide dipertukarkan lintas lembaga dan pembuat kebijakan dapat mudah menggunakan hasil penelitian apabilatergabung dalam jaringan itu. Di sisi lain, jaringan membantu memperkuat kapasitas peneliti serta keterampilan dan posisinya di suatu daerah. Penelitian dapat menjadi lebih relevan dengan kebijakan dan cara mengkomunikasikan temuan penelitian untuk kebijakan menjadi lebih efektif.
Cara pikir dan keterbukaan penentukebijakan 9
Semua orang, termasuk penentu kebijakan, pada dasarnya tidak pernah mengetahui suatu fakta secara utuh. Oleh karena itu tidak dapat diasumsikan bahwa para penentu kebijakan itu rasional, karena mereka tidak mengetahui keseluruhan faktor-faktor penting yang harus dipertimbangkan. Maka, pada umumnya, informasi/pengetahuan yang digunakan oleh penentu kebijakan didasarkan pada niat mereka sendiri, rencana yang telah ditetapkan dan pengalaman di masa lalu (Stein, 1988), sehingga tidak berhubungan dengan banyaknya ketersediaan informasi yang tersedia. Hal itu menyiratkan bahwa para penentu kebijakan lebih memilih untuk belajar dari pengalaman daripada mengambil informasi baru misalnya dari hasil penelitian, sehingga seringkali persoalan pembuatan kebijakan bukan karena kurangnya informasi/pengetahuan. Ada banyak literatur menunjukkan bahwa dalam proses pembuatan kebijakan umumnya resisten atau menolak informasi baru yang menentang keyakinan(policy narrative/diskursus) yang telah dimiliki. Rein dan Schon (1991) mengemukakan bahwa narasi kebijakan mencerminkan “frame” yang digunakan pembuat kebijakan untuk memilih, mengatur dan menginterpretasikan informasi. Narasi kebijakan itulah, oleh karenanya, harus menjadi pusat perhatian peneliti kebijakan. Suatu jenis analisis, yaitu analisis diskursus berusaha untuk memahami interaksi kekuasaan dan pengetahuan untuk memberi wawasan peneliti untuk mempengaruhi cara berpikir para pembuat kebijakan melalui counter-narrative hasil penelitiannya dan bagaimana cara menyampaikan ide-ide tertentu untuk dapat mempengaruhi orang lain (Brock et al, 2001). Sabatier mendefinisikan sistem kepercayaan sebagai 'seperangkat nilai-nilai dasar, asumsi kausal, dan masalah-masalah persepsi' yang mempengaruhi bagaimana individu memperoleh, memilih dan menggunakan informasi (Sabatier, 1998, dikutip dalam Schlager, 1999). Argumen terkait dikemukakan oleh Robert Lane dalam analisis psikologis fungsi ideologi bahwaseseorang dapat melawan kebingungan terhadap informasi yang berlebihan (stimulus fatigue) dilakukan dengan menggunakan logikanya sendiri (Lane, 1962). Dalam Gambar 2 dinyatakan beberapa faktor kunci yang mempengaruhi pengambilan keputusan oleh penentu kebijakan.
Gambar 2. Delapan faktor penentu pembuatan kebijakan dalam mengambil keputusan 10
Sementara itu (Roe, 1991) menyebutkan bahwa narasi kebijakan akan cenderung bertahan dan terus memandu pembuatan kebijakan, oleh karenana hasil penelitian akan dapat diadopsi apabila cocok dalam kisaran apa yang dapat dilihat sebagai 'nasihat yang baik'. Ide-ide baru harus sesuai dalam narasi yang ada dan secara sederhana dan meyakinkan dapat menggantikan mereka. Bukti-bukti yang dapat megkounter tidak akan dianggap serius kecuali berhasil terlibat dengan pembuat kebijakan dalam kerangka pemikiran mereka—atau mampu memberi tekanan yang cukup untuk mengubah kerangka kerja konseptual mereka (Suwarno, 2014). Pembaruan kebijakan terjadi tidak hanya melalui keputusan individu penentu kebijakan, tetapi pada umumnya sebagai akibat dari tindakan kolektif (Schlager, 1999). Pengambilan keputusan tidak sekedar menentukan masalah dan pengambilan keputusan. Mereka juga dipengaruhi pandangan yang menjadi keputusan kelompok.Hasil studi menunjukkan pengambilan keputusan kelompok dapat mempengaruhi keputusan individu. Juga ditemukan bahwa diskusi kelompok dapat mempengaruhi kesediaan pengambil kebijakan untuk mendukung strategi berisiko (Janis, 1982). Model tipe kepribadian juga mempengaruhi individu untuk menolak informasi baru. Kepribadian yang berpikiran tertutup dan dogmatis akan memegang dogmanya apabila menghadapi informasi-informasi yang bertentangan. Motivasi psikologis mereka tidak bekerja untuk dampak keputusan kebijakan yang mungkin merugikan (Douglas, 1987). Proses psikologis sangat erat terkait dengan kondisi di mana keputusan dibuat, interaksi interpersonal para pembuat keputusan (Aronson 1995), dan situasi organisasi dan sosial (termasuk aturan, norma, insentif dan kendala).
Administrasi dan Manajemen Penelitian Pada akhirnya peneliti adalah pelaku yang perilakunya juga ditentukan oleh regulasi yang mengaturnya. Bukan hanya itu, seorang peneliti dalam melaksanakan penelitian juga sangat ditentukan oleh pengetahuan awal sebelum ia melakukan penelitiannya. Di Indonesia pada umumnya, termasuk dosen di perguruan tinggi yang mendapat dana penelitian, hingga saat ini masih mendapat masalah tentang cara mempertanggungjawabkan dana penelitiannya itu. Masalah itu utamanya disebabkan oleh adanya berbagai standar biaya yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan, kegiatan atau tahapan penelitian yang juga dibuat standar padahal peneliti bisa berinovasi dalam menjalankan penelitiannya, kondisi yang dapat berubah pada saat penelitian berlangsung daripada kondisi pada saat perencanaan penelitian dibuat, maupun keterlambatan dana turun sementara waktu penelitian terbatas. Dengan informasi alternatif-alternatif pendanaan yang sangat terbatas, pelaksanaan penelitian yang lebih ideal adalah dengan kejelasan penggunaan hari kerja, dan jumlah hari kerja ini menjadi dasar biaya penelitian. Biaya lainnya dapat dibuat standar. Hal lainnya mengenai manajemen penelitian, yang dimaksud adalah pengaturan peneliti yang bukan hanya menghabiskan waktu untuk melaksanakan penelitian dan menulis hasil penelitiannya, tetapi juga mendapatkan dan menyerap seluruh informasi dan ilmu pengetahuan terkini yang terkait dengan bidangnya. Hal ini sangat penting, karena fungsi penelitian adalah memecahkan masalah secara tepat dan bahkan harus mampu mengantisipasi masalah yang belum hadir di dunia nyata. Maka, manajemen penelitian juga memberikan kebebasan peneliti untuk menggunakan waktunya di luar penelitiannya. Dalam kondisi iklim penelitian demikian ini, cara mengontrol peneliti yang utama bukan 11
dengan cara-cara administrasi dan keuangan, tetapi melalui ukuran kinerja yang berupa hasil penelitian dan peranannya dalam dunia nyata.
Catatan Akhir “Masalah bila dinyatakan dengan benar, menjawab separuh persoalan”, demikian John Dewey dalam karangannya berjudul “How We Think” yang dikutib Chae,dkk (2004). Einstein sekali waktu pernah ditanya apabila ia mempunyai 1 jam untuk menyelamatkan dunia, bagaimana ia memanfaatkan waktu tersebut? Ia mengatakan: “Saya akan menghabiskan 55 menit untuk merumuskan masalah dan 5 menit untuk memecahkannya”. Pernyataan Dewey dan Einstein tersebut sangat penting bagi pelaksanaan penelitian maupun pengambilan keputusan. Sayangnya, pertanyaan‐pertanyaan atau masalah-masalah yang keliru atau kadaluarsa masih sering dijumpai dalam pelaksanaan penelitian. Para peneliti seringkali menjawab pertanyaan mereka sendiri dan bukan pertanyaan di dunia nyata yang menjadi topik penelitiannya. Mereka seringkali tidak merasa perlu komunikasi dengan pelaku‐pelaku atau bahkan tidak merasa perlu membaca referensi dan langsung merumuskan pertanyaan penelitian sesuai apa yang dipikirkannya. William N Dunn, ahli kebijakan publik, menyatakan kondisi demikian itu sebagai “pemikiran logis tetapi tidak terpakai”. Karena perilaku peneliti sangat ditentukan oleh kebijakan penelitiannya, maka perbaikan kebijakan pelaksanaan penelitian menjadi sangat urgen untuk diperbaki dengan tujuantujuan sebagai berikut: 1. Membangun kapasitas penelitian memerlukan waktu dan membutuhkan ketekunan. Sebuah judul penelitian tunggal biasanya tidak dapat diharapkan untuk memecahkan masalah riil di lapangan—biasanya justru hanya terperangkap pada persoalan administrasi dan keuangan. Sebaliknya, dari waktu ke waktu, melalui beberapa judul penelitian yang dapat saling menguatkan satu sama lain, para peneliti dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan, perubahan peran mereka, permintaan masukan dari pihak lain kepada mereka meningkat, dan diharapkan dengan bertambahnya kapasitas, mereka dapat terlibat akitif dalam jaringan dan pembuat kebijakan; 2. Beberapa judul penelitian yang dapat saling menguatkan satu sama lain tersebut dimaksudkan adanya keterkaitan antara judul-judul dengan substansi teknologi, manajemen, sosial, ekonomi dan kebijakan dalam sebuah ikatan untuk menyelesaikan masalah tertentu di masyarakat. Judul penelitian kebijakan, dengan demikian,dilaksanakan dengan menggunaan telaah hasil penelitian lainnya sebagai acuan utama; 3. Skema pendanaan penelitian perlu memperjelas tujuannya, apabila diarahkan untuk diadopsi oleh pengguna atau memperbaiki kebijakan. Kegiatan agar hasil penelitian diadopsiharus menjadi bagian dari desain awal kegiatan dan anggaran, tidak ditambahkan kemudian. Hal itu membutuhkan pemahaman perencanaan keuangan di KLHK apa yang dimaksud dengan pengembangan penelitian untuk diadopsi dan memperbaki kebijakan. Dalam hal ini, kegiatan penelitian juga perlu dirancang untuk mengidentifikasi masalah dimana adopsi seharusnya dapat dilakukan; 12
4. Para peneliti biasanya mengalami kesulitan untuk mempublikasikan temuan mereka agar mudah diadopsi dalam format dan bahasa yang mudah. Para peneliti diharapkan mempunyai kemampuan lebih dari sekedar meneliti. Mereka diharapkan memahami efektivitas komunikasi, menyebarkan karya mereka dalam format yang sesuai, memahami cara berfikir pihak-pihak yang seharusnya dapat mengadopsi, serta membangun komunikasi dan menjalankan strategi advokasi. Ini membutuhkan dorongan baru dalam pengembangan kapasitas para peneliti dan anggaran penelitian seharusnya tersedia untuk mendukung kegiatan ini, sebagai bagian dari kegiatan penelitian; 5. Kegiatan penelitian pada umumnya didanai dengan proses linear berdasarkan cara berfikir: ada penelitian/temuan—ada penyebaran—ada perubahan kebijakan. Namun proses kebijakan seringkali tidak linear. Permintaan informasi untuk kebijakan dapat seketika diperlukan. Oleh karena itu setiap bidang penelitian perlu mempunyai jaringan dan disediakan anggaran dan waktu khusus untuk ini. Jaringan dengan anggota berbagai posisi dengan menggunakan media sosial untuk mempercepat komunikasi akan memungkinkan menjadi sumber pengetahuan sekaligus meningkatkan kapasitas peneliti.Kebijakan dan manajemen penelitian perlu diarahkan untuk mewujudkannya. ooo
13