KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN
PROFIL
(Pusat Penelitian dan Pengembagan Perubahan Iklim dan Kebijakan)
BOGOR
|
September 2011
Daftar Isi Daftar Isi_________________________ 2
Penelitian dan Kerjasama_________ 8
Pengantar________________________ 3
Penelitian ......................................................................8
Latar Belakang___________________ 4
Kerjasama................................................................... 21
Misi.................................................................................5
Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Puspijak_________________________ 28
Struktur Organisasi.....................................................6
Jenis Publikasi PUSPIJAK..................................... 28
Visi .................................................................................5
Bidang Program dan Evaluasi Penelitian ...............6 Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian.......................................................................7
Foto Display Publikasi____________ 32 Seminar....................................................................... 32
Bagian Tata Usaha.......................................................7
Temu Lapang............................................................. 34
Kelompok Jabatan Fungsional..................................7
Focus Group Discussion......................................... 35
2
Pengantar Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan YME, karena atas perkenan-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan Profil Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak). Profil ini kami harapkan menjadi sarana untuk mengenal lebih dekat Puspijak, aktivitas, sumber daya manusia dan capaian kegiatan yang diraihnya selama ini.
manajemen lanskap hutan berbasis DAS, pengembangan hutan kota, ekonomi dan kebijakan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi, pengembangan perhitungan emisi GRK kehutanan, adaptasi bioekologi dan sosial ekonomi budaya masyarakat terhadap perubahan iklim, penguatan tata kelola kehutanan dan penguatan tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak) adalah salah satu institusi litbang kehutanan setingkat eselon II di bawah Badan Litbang Kehutanan. yang mengemban tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang perubahan iklim dan kebijakan berdasarkan kebijakan Kepala Badan. Dalam menunaikan tugasnya, Puspijak didukung oleh sumber daya manusia baik yang menjalankan tugas sebagai peneliti maupun staf.
Puspijak juga telah menjalin kerja sama penelitian dengan berbagai lembaga Riset kehutanan dari luar maupun dalam negeri. Diantaranya dengan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, KOICA, ACIAR, ITTO dan World Bank dalam berbagai topik kerjasama penelitian.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai institusi Litbang, Puspijak telah melaksanakan berbagai kegiatan dalam lingkup penelitian dan mendesiminasikan kepada masyarakat luas baik melaui seminar, peluncuran buku, forum group discussion maupun keikutsertaan dalam berbagai pameran. Beberapa kegiatan penelitian yang telah dilakukan meliputi kajian Penatausahaan Kayu Rakyat dan Hutan Alam, Tata Niaga HHBK (Rotan, Kayu Manis, Kayu Putih), Nilai dan Perdagangan Jasa Hutan (DAS Brantas Hulu), Kelembagaan Perdagangan Jasa Hutan, Kelembagan Pengelolaan Hutan Lindung Sebagai Penyedia Jasa Lingkungan, Kajian Perijinan IUPHHK, Kelembagaan Pengelolaan DAS, Pengembangan Ekoturisme di TN, Perhutanan Sosial, Kajian Evaluasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Di Pulau Jawa, Kajian Tenurial, Pola-pola Pemberdayaan Masyarakat, dan Skema Kredit Hutan Rakyat. Sejak tahun 2010 Puspijak juga banyak melakukan kajian terkait dengan
Akhirul kalam, kami menghaturkan terima kasih kepada para mitra kerja kami, yang telah membantu Puspijak dalam mengembangkan diri untuk menjadi lembaga penelitian perubahan iklim dan kebijakan yang semakin baik dan mampu menjawab tantangan dan dinamika pembangunan kehutanan yang semakin kompleks.
Bogor,
2011
Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan,
Dr. Kirsfianti L. Ginoga
Profil Puspijak
2011
•
3
1 Latar Belakang Kompleksnya permasalahan sosial ekonomi yang dihadapi dalam penyelenggaraan pembangunan kehutanan dirasakan dengan munculnya berbagai konflik di Indonesia. Saat ini permasalahan pemanasan global dan perubahan iklim telah dirasakan menyentuh berbagai aktivitas social ekonomi masyarakat yang memerlukan perhatian dan penyelesaian riset. Oleh karena itu Puspijak telah melaksanakan berbagai penelitian sosial ekonomi dan perubahan iklim yang dapat dijadikan dasar penyusunan kebijakan kehutanan. Sebelum tahun 1999, penelitian sosial ekonomi kehutanan dilaksanakan oleh Kelompok Peneliti Bidang Ekonomi Kehutanan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkembangan No.245/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999, dibentuklah Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
4
•
Latar Belakang
Kehutanan dan Perkebunan, yang merupakan salah satu pusat tersendiri pada lingkup Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan. Institusi ini dalam perkembangannya mengalami beberapa kali perubahan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 123/Kpts-II/2001 tanggal 4 April 2001 diubah menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan (P3SE) dan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.13/Menhut-II/2005 tanggal 6 Mei 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan selanjutnya dirubah lagi menjadi Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan (PUSLITSOSEK). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.40/menhut-II/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan tanggal 20 Agustus 2010 diubah menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (PUSPIJAK)
1.1 Visi Puspijak sebagai salah satu bagian dari struktur kelembagaan Badan Litbang Kehutanan, menetapkan visi dengan mengacu pada visi Badan Litbang Kehutanan, yaitu ”Menjadi lembaga penyedia IPTEK kehutanan yang terkemuka dalam mewujudkan pengelolaan sumberdaya hutan lestari bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat”.
Atas dasar visi tersebut, Puspijak menetapkan visi dengan mempertimbangkan potensi dan permasalahan ke depan untuk menjadikan Puspijak sebagai:
”Pusat Keunggulan IPTEK Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan 2014” 1.2 Misi Untuk dapat mencapai visi yang telah ditetapkan, PUSPIJAK melaksanakan misi sebagai berikut : 1. Meningkatkan kemanfaatan hasil penelitian perubahan iklim, lanskap dan kebijakan kehutanan. 2. Memantapkan perencanaan, pemantauan dan evaluasi hasil penelitian 3. Mengembangkan diseminasi hasil penelitian dan kerjasama. 4. Penguatan institusi dan kualitas SDM
Profil Puspijak
2011
•
5
Puspijak bertanggung jawab dan melaksanakan 3 (tiga) program litbang yaitu Program Lanskap, Program Perubahan Iklim, dan Program Kebijakan. Selain itu, Puspijak juga melaksanakan 3 (tiga) Program Pendukung yaitu Program Penguatan Institusi dan Peningkatan Kualitas SDM, Program Pemantapan Pelaksanaan Penelitian dan Komunikasi Hasil Litbang serta Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Litbang. Tiap program litbang selanjutnya dijabarkan menjadi 7 (tujuh) rencana penelitian intergratif (RPI) sebagai berikut: 1. Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 2. Pengembangan Hutan Kota 3. Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 4. Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan 5. Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat terhadap Perubahan Iklim 6. Penguatan Tata Kelola Kehutanan 7. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
1.3 Struktur Organisasi Puspijak bertanggung jawab dan melaksanakan 3 (tiga) program utama litbang yaitu Program Lanskap, Program Perubahan Iklim, dan Program Kebijakan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan terdiri dari Bidang Program dan Evaluasi Penelitian; Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian dan Bagian Tata Usaha.
1.4 Bidang Program dan Evaluasi Penelitian
Bidang Program dan Evaluasi Penelitian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan penyusunan rencana, program dan kegiatan, serta penyiapan evaluasi, sintesa hasil penelitian serta pelaporan kegiatan penelitian di bidang perubahan iklim dan kebijakan kehutanan. Bidang Program dan Evaluasi Penelitian menyelenggarakan fungsi: penyiapan penyusunan kebijakan teknis penyusunan rencana dan program serta kerja sama penelitian di bidang perubahan iklim dan kebijakan kehutanan; penyiapan pelaksanaan tugas di bidang penyusunan rencana dan program serta kerja sama penelitian perubahan iklim dan kebijakan kehutanan; dan penyiapan pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas di bidang penelitian perubahan iklim dan kebijakan kehutanan. Bidang Program dan Evaluasi Penelitian terdiri atas Sub bidang Program dan Anggaran dan Sub bidang Evaluasi dan Pelaporan. Sub bidang Program dan Anggaran Penelitian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan penyusunan rencana, program dan kegiatan penelitian di bidang perubahan iklim dan kebijakan kehutanan. Sub bidang Evaluasi dan Pelaporan mempunyai tugas melaksanakan pemantauan, evaluasi termasuk evaluasi umpan balik pemanfaatan iptek, sintesa penelitian serta pelaporan pusat.
1.5 Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian
Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan pengelolaan data dan informasi, publikasi dan diseminasi hasil penelitian, kerja sama, pembinaan dan pengendalian teknis penelitian dan pengembangan perubahan iklim dan kebijakan kehutanan pada unit pelaksana teknis, serta perlindungan hak atas kekayaan intelektual di bidang perubahan iklim dan kebijakan kehutanan. Dalam melaksanakan tugas Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian menyelenggarakan fungsi : penyiapan penyusunan kebijakan teknis pengelolaan data dan informasi, publikasi dan diseminasi hasil penelitian di bidang perubahan iklim dan kebijakan kehutanan; penyiapan pelaksanaan tugas di bidang pengelolaan data dan informasi, publikasi dan diseminasi hasil penelitian perubahan iklim dan kebijakan kehutanan dan penyiapan pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas di bidang pengelolaan data dan informasi, publikasi dan diseminasi hasil penelitian perubahan iklim dan kebijakan kehutanan dan penyiapan pembinaan dan pengendalian teknis pelaksanaan penelitian dan pengembangan perubahan iklim dan kebijakan kehutanan pada unit pelaksana teknis. Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian terdiri atas Sub bidang Data, Informasi dan Diseminasi dan Sub bidang Tindak Lanjut Hasil Penelitian. Sub bidang Data, Informasi dan diseminasi mempunyai tugas melaksanakan peng umpulan dan pengolahan b a ha n data da n inf orma s i , p u b l i k a s i da n dokumentasi, diseminasi hasil penelitian serta pelaksanaan seminar dan pameran. Sub bidang Tindak Lanjut Hasil Penelitian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan pengurusan perlindungan hak kekayaan intelektual hasil penelitian, kerja sama, serta pembinaan dan pengendalian teknis pelaksanaan penelitian dan pengembangan perubahan iklim dan kebijakan kehutanan pada unit pelaksana teknis.
1.6 Bagian Tata Usaha Bagian Tata Usaha mempunyai tugas melaksanakan urusan ketatausahaan dan rumah tangga, kepegawaian dan ketatalaksanaan, keuangan dan barang milik negara. Dalam melaksanakan tugas, Bagian Tata Usaha menyelenggarakan fungsi pelaksanaan urusan ketatausahaan dan kepegawaian serta ketatalaksanaan ; dan pelaksanaan urusan keuangan dan barang milik negara. Bagian Tata Usaha terdiri atas : Sub bagian Tata Usaha dan Kepegawaian dan Sub bagian Keuangan dan Perlengkapan. Sub bagian Tata Usaha dan Kepegawaian mempunyai tugas melakukan urusan ketatausahaan, ketatalaksanaan, kerumahtanggaan, dan penyiapan bahan laporan serta urusan kepegawaian. Sub bagian Keuangan dan Perlengkapan mempunyai tugas melakukan urusan administrasi keuangan, tindak lanjut hasil pemeriksaan, penyusunan laporan keuangan dan pengelolaan barang milik Negara.
1.7 Kelompok Jabatan Fungsional Kelompok jabatan fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan penelitian sesuai dengan jabatan fungsional masingmasing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelompok jabatan fungsional ini terbagi dalam berbagai kelompok peneliti (Kelti) beranggotakan para pejabat fungsional peneliti dan dibantu oleh beberapa teknisi. Ada 3 (tiga) kelompok peneliti di Puspijak yaitu Kelti Perubahan Iklim, Kelti Ekonomi Sumber Daya Hutan dan Kelti Industri Kehutanan.
Ada 3 (tiga) kelompok peneliti di Puspijak yaitu Kelti Perubahan Iklim, Kelti Ekonomi Sumber Daya Hutan dan Kelti Industri Kehutanan
2 Penelitian dan Kerjasama 2.1 Penelitian
2.1.2 Tata Niaga HHBK Kayu Putih
2.1.1 Penatausahaan Kayu Rakyat dan Hutan Alam
Kajian dan analisis terhadap aspek tata niaga, sosial dan ekonomi HHBK prioritas ini dilakukan dalam rangka memandu dan mendukung keberhasilan peningkatan produktifitas dan kualitas HHBK khususnya minyak kayu putih.
Penelitian ini memfokuskan pada penilaian efektifitas pelaksanaan penatausahaan hasil hutan (PUHH) yang dapat diindikasikan oleh pencapaian 3 (tiga) aspek penting dari PUHH itu sendiri, yaitu: (1) terjaganya hak-hak negara, (2) terpeliharanya kelestarian hutan, dan (3) terjadinya pengendalian illegal logging. Dengan dirubahnya dasar acuan dalam penatausahaan hasil hutan dari SK Menteri Kehutanan Nomor 126/2003 menjadi Permenhut Nomor P.55/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara, berdampak pada penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat menjadi tidak jelas, karena tidak mempunyai dasar acuan yang jelas demikian juga dalam pelaksanaannya. Penyempurnaan perlu dilakukan dan dapat dimulai dari pembuatan dan pengesahan LHC, penentuan quota tebangan, pengesahan RKT, serta perlu adanya berita acara pemeriksaan penebangan sebelum pengesahan LHP, sampai kepada pengangkutan hasil hutan yang dirasa perlu untuk disederhanakan tanpa mengurangi fungsi penatausahaan hasil hutan yang efektif.
8
•
Penelitian dan Kerjasama
Indonesia dilaporkan masih kekurangan pasokan minyak kayu putih (MKP) sehingga intervensi untuk meningkatkan kinerja usaha MKP perlu dilakukan antara lain: 1) peningkatan pendapatan petani; 2) peningkatan penerapan tenaga kerja; 3) penghematan devisa; 4) peningkatan efisiensi; dan 5) pemanfaatan lahan secara optimal. Di tahun 2006 : 1) total permintaan MKP nasional per tahun diduga antara 606 ton hingga 1212 ton, yang berarti perkiraan sebesar 1500 ton per tahun dipandang terlalu tinggi; 2) struktur pasar MKP nasional bukan monopoly atau persaingan sempurna, melainkan oligopoly; 3) daerah produsen MKP terbesar adalah Kabupaten Buru, kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, yang total produksinya mencapai 458 ton, dan; 4) fluktuasi harga MKP di pasar nasional selama ini lebih ditentukan oleh fluktuasi produksi MKP dan Kabupaten Buru dan stok MKP industri pengemas. Selain itu, sistem tataniaga MKP selama ini tidak efisien. Salah satu solusi adalah pengembangan budidaya daun kayu putih dengan bibit unggul dapat menolong menurunkan impor ekaliptus, karena kadar sineol kayu putihnya juga tinggi.
2.1.3 Nilai dan Perdagangan Jasa Hutan (DAS Brantas Hulu)
PDAM dan Rp 63.96 milyar/tahun untuk pemanfaatan oleh
Nilai jasa hutan yang dihitung adalah manfaat hidrologis hutan lindung di DAS Brantas Hulu di Jawa Timur, Sub DAS Cirasea di Jawa Barat dan Sub DAS Konto di Jawa Timur yaitu nilai manfaat hutan dalam mengatur ketersediaan dan kualitas air. Pemanfaatan air dari hutan lindung dapat berupa pemanfaatan yang berorientasi komersial dan non-komersial. Untuk pemanfaatan komersial, nilai ekonomi manfaat hidrologis didekati dari biaya penuh (full cost) dari pengadaan sumber air baku yang dilakukan oleh PT. Jasa Tirta I dan II dimana biaya penuh tersebut telah memasukkan nilai lingkungan untuk menjamin ketersediaan air secara berkesinambungan.
ideal pemanfaatan air baku yang telah menginternalisasikan nilai
Sedangkan untuk pemanfaatan non komersial manfaat air pertanian didekati dari kesediaan membayar petani berdasarkan biaya pengadaan air. Nilai Ekonomi Total diperoleh dari nilai kesediaan membayar petani digandakan dengan keseluruhan populasi petani atau kepala keluarga. Untuk pemanfaatan air non komersial bagi kebutuhan rumah tangga, nilai ekonomi didekati dari kesediaan membayar atas manfaat air rumah tangga dengan nilai ekonomi total merupakan hasil dari keseluruhan nilai populasi. Di DAS Brantas hulu, nilai kompensasi sebesar Rp 76,92 milyar/ tahun dari pemanfaatan oleh PLTA, Rp 42,95 milyar/tahun dari
Industri. Nilai ini merupakan selisih antara tarif normal atau tarif lingkungan untuk masing-masing pemanfaatan, dengan tarif yang saat ini berlaku. Untuk pengguna di hulu besarnya kompensasi ditunjukkan oleh besarnya surplus konsumen dalam pemanfaatan air. Surplus konsumen ini adalah manfaat yang diterima masyarakat dari fungsi ekologis hutan sebagai penyedia air. Disarankan untuk mengalokasikan kembali nilai lingkungan yang diperoleh dari penghitungan tarif normal untuk masing-masing pemanfaatan sumberdaya air kepada pengelola kawasan hutan sebagai bentuk cost benefit sharing di antara penyedia dan penerima manfaat hidrologis hutan lindung. Upaya konkret cost benefit sharing dapat berupa peningkatan tarif pemanfaatan sumberdaya air sehingga mencerminkan internalisasi eksternalitas dimana penerimaan dari peningkatan tarif tersebut dikembalikan ke pengelolaan hutan dalam bentuk realokasi anggaran pemerintah untuk merehabilitasi dan memelihara lingkungan. Alternatif peningkatan efisiensi jika peningkatan tarif tidak mungkin dilaksanakan adalah dengan membatasi penggunaan (kuota) di tingkat konsumen akhir.
Profil Puspijak
2011
•
9
2.1.4 Kelembagan Pengelolaan Hutan Lindung Sebagai Penyedia Jasa Lingkungan
Pengelolaan dan kebijakan hutan lindung akan berjalan secara efektif apabila pemahaman dan tingkat ketergantungan terhadap hutan lindung dari setiap stakeholder terkait dapat diketahui
Pengelolaan dan kebijakan yang menyangkut keberadaan fungsi hutan lindung tidak berjalan secara efektif, yang diindikasikan dengan luas hutan lindung di Indonesia turun secara drastis sejak 1997 sampai 2002 yang mencapai dua kali lebih besar dari kerusakan hutan produksi. Kajian komprehensif ini berusaha untuk mencari penyebab terjadinya kegagalan dalam pengelolaan kebijakan hutan lindung sebagai penyedia jasa lingkungan. Dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif serta pelibatan partisipasi aktif dari stakeholder diperoleh beberapa temuan, yaitu (1) aspek sosial-ekonomi: (i) kontribusi pada pendapatan asli daerah dari jasa ekowisata, (ii) penyediaan air bagi lahan pertanian, industri, rumah tangga, dan pengelola; (2) aspek peraturan perundangan tentang pengelolaan hutan lindung: (i) kebijakan pengelolaan hutan lindung belum jelas yang diindikasikan dengan tumpang tindihnya peraturan perundangan yang ada tersebut, sebagai misal perubahan penggunaan areal hutan lindung untuk pertambangan, (ii) tidak jelasnya mekanisme koordinasi diantara stakeholder terlibat. Pengelolaan dan kebijakan hutan lindung akan berjalan secara efektif apabila pemahaman dan tingkat ketergantungan terhadap hutan lindung dari setiap stakeholder terkait dapat diketahui. Dengan demikian masih diperlukan kajian yang difokuskan pada mekanisme koordinasi antar stakeholder terkait.
2.1.5 Kajian Perijinan IUPHHK Berubahnya dasar acuan atau aturan yang dikeluarkan dalam tata cara pemberian ijin IUPHHK (P.19/2007 menjadi P.11/2008, P.20/2007 menjadi P.12/2008) berdampak pada penolakan permohonan IUPHHK yang sudah masuk sebelum permenhut yang baru diterbitkan oleh Menteri Kehutanan karena kurangnya sosialisasi peraturan yang baru. Perbedaan dasar acuan (Kepmen Nomor 259/2000 tentang pengukuhan kawasan hutan dengan Kepmen Nomor 32/2001 tentang kriteria standar pengukuhan) dalam pemberian lahan 10
•
Penelitian dan Kerjasama
yang akan dijadikan lahan IUPHHK, berakibat pada penolakan permohonan IUPHHK, karena dianggap belum clean and clear antara kawasan hutan dengan tata batas yang ada. Saran usulan penanganan 1) Agar dilakukan sosialisasi secepatnya mengenai aturan atau kebijakan yang baru berkaitan dengan mekanisme proses perijinan IUPHHK. 2) Diperlukan suatu uji coba terhadap materi kebijakan dalam mekanisme proses pengurusan perijinan IUPHHK sebelum Surat Keputusan Menteri atau Permenhut diterbitkan 3) Tranparansi dalam pengurusan perijinan IUPHHK. 4) Diperlukan perlakuan khusus berkaitan dengan pengurusan ijin IUPHHK, yaitu dengan membuat “Pengurusan Ijin Satu Pintu” (one stop service).
2.1.6 Kelembagaan Pengelolaan DAS Penelitian ini difokuskan pada kajian kelembagaan DAS ciliwung karena Pengelolaan DAS Ciliwung belum optimal sehinga adanya perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi lahan pertanian, pemukiman dan industri telah mengganggu kelestarian sumberdaya air. Kelembagaan pengelolaan DAS Ciliwung dalam bentuk koordinasi dan kerjasama kelembagaan di tingkat propinsi sudah ada dengan indikasi kesadaran dan kesamaan pandangan mengenai Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis dan pengendalian banjir, tetapi di tingkat local/lapangan belum. Sistem pembiayaan alternative dari perhitungan kompensasi daerah hulu DAS dan daerah hilir dapat diterapkan sebagai upaya untuk melestarikan sumberdaya air. Kegiatan konservasi yang dilakukan di daerah hulu akan menimbulkan menurunnya pendapatan masyarakat dan PAD bagi daerah hulu. Oleh karena itu perlu ada kompensasi biaya dari daerah hilir ke hulu sebagai pengganti subsidi ekologis yang telah diberikan oleh daerah hulu ke hilir. Level alternatif mekanisme pembiayaan pengelolaan DAS yang ditawarkan adalah: (1) pengembalian pajak air yang telah dipungut oleh hilir ke daerah hulu, (2) pemberian subsidi dari daerah hilir ke hulu dan (3) kolaborasi program konservasi hulu hilir di daerah tangkapan air. Mekanisme insentif pengelolaan DAS yang ditawarkan adalah: (1) pemberian keringanan pajak bumi dan bangunan pada lahan yang telah sesuai pemanfaatannya dengan RT/RW, (2) pemberian insentif untuk pembangunan tanaman
konservasi pada lahan-lahan terlantar di daerah tangkapan air dan (3) pemberian insentif untuk perubahan pola tanam pada areal pertanian, pembangunan sumur resapan dan atau reloksi pemukiman pada areal pemukiman, dan pembangunan hutan yang rusak dan atau perubahan fungsi hutan di kawasan hutan.
2.1.7 Pengembangan Ekoturisme di Taman Nasional Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pengembangan ekowisata di kawasan Taman Nasioan (TN) adalah masih terbatasnya informasi tentang aspek permintaan ekowisata, penetapan sistem zonasi, sistem kelembagaan TN, kriteria dan indikator pengelolaan TN yang mandiri, aspek pemasaran dan pengembangan ekowisata tersebut. Kelembagaan TN dicirikan dengan pembiayaan yang relatif besar (Rp. 3-4 milyar/tahun), struktur organisasi yang relatif seragam, kuantitas dan kualitas SDM pengelola yang kurang memadai, dan pengelolaannya lebih berorientasi pada keamanan (security approach) daripada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Permasalahan lain dalam pengembangan ekowisata di TN adalah: (i) rendahnya aksesibilitas, (ii) fasilitas yang minim, (iii) kurangnya publikasi dan promosi, (iv) kualitas SDM pelaku ekowisata masih rendah, dan (v) rancang bangun pengelolaan ekowisata terpadu dan professional belum tersedia. Oleh karena itu strategi pengembangan ekowisata ke depan dapat dilakukan dengan berbagai upaya diantaranya: (1) membagi-bagi kawasan TN sesuai dengan zona pengembangan ekowisata, (2) menetapkan pola pengelolaan untuk masing-masing zona ekowisata, (3) membuat aturan main yang jelas dan tegas atas pengelolaan zona ekowisata yang diberikan ijin pengelolaanya kepada pihak ketiga, (4) melakukan pelelangan terhadap zona ekowisata yang ada, dan (5) melakukan monitoring dan evaluasi terhadap seluruh zona pengelolaan ekowisata. Kegiatan litbang tentang permintaan potensial dari taman nasional masih diperlukan sebagai upaya penentuan penetapan karcis masuk dan penghitungan efek berganda (Multiplier effect) dari kehadiran taman nasional. Wacana tentang taman nasional mandiri
dan penunjukan zonasi-zonasi untuk meningkatkan manfaat dan pengelolaan taman nasional menjadi wacana penelitian yang tidak kalah penting sebagai masukan bagi kebijakan dan peraturan perundangan yang akan dibuat, diperbaiki ataupun disempurnakan. Kriteria dan bentuk taman nasional mandiri belum jelas, sehingga definisi, pengertian, kriteria dan model pengelolaan taman nasional mandiri perlu dicari melalui pendekatan-pendekatan ilmiah dan penelitian.
2.1.8 Kajian Evaluasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Di Pulau Jawa Program PHBM (Pengelolalan Hutan Bersama Masyarakat) yang dikembangkan oleh Perum Perhutani merupakan salah satu program pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat. Dalam penerapannya di lapangan ternyata terdapat perbedaan pendekatan antara satu KPH dengan KPH lainnya. Di KPH Madiun dan KPH Ngawi, PHBM dilakukan dengan cara mengadopsi pedoman yang sudah dipersiapkan oleh KPH Madiun dalam hal tehnik manajemennya denggan menggunakan konsep Manajemen Regime (MR) atau system plong-plongan. Demikian pula dengan system sharing terhadap hasil kayunya mengikuti rumusan 75% untuk Perhutani dan 25% untuk masyarakat, sedangkan hasil taninya adalah 100% milik masyarakat. DI KPH Kuningan dan KPH Sumedang, konsep pengelolaan dan system sharing-nya merupakan hasil kesepakatan antara antara KPH Kuningan dan KPH Sumedang dengan forum PHBM (yang mewakili masyarakat). Harapan utama masyarakat terhadap program PHBM adalah : adanya jaminan kesinambungan lahan garapan, kemudahan permodalam usaha, adanya peningkatan produktivitas, adanya kemudahan pengadaan saprodi (pupuk, bibit dan obat-obatan), adanya bimbingan, pelatihan pendampingan dari pihak-pihak terkait. Diharapkan Perum Perhutani dapat memperhatikan berbagai aspek kelembagaan yang ada di tingkat bawah pada tingkat desa. Profil Puspijak
2011
•
11
Kriteria dan bentuk taman nasional mandiri belum jelas, sehingga definisi, pengertian, kriteria dan model pengelolaan taman nasional mandiri perlu dicari melalui pendekatanpendekatan ilmiah dan penelitian
2.1.9 Kajian Tenurial
2.1.11 Skema Kredit Hutan Rakyat
Kajian tenurial merupakan kajian kebijakan dan peraturan perundangan di bidang pertanahan, hutan adat, social ekonomi dari tanah sebagai factor produksi bagi usaha-usaha masyarakat.
Kredit Usaha hutan Rakyat (KUHR) masih belum berhasil dikarenakan beberapa kendala seperti (1) bank hanya berrfungsi sebagai channelling, (2) mitra usaha lebih banyak memperoleh keuntungan dari pada kelompok tani, (3) kontrak kerja belum berhasil memperkuat posisi tawar petani, (4) tidak ada jaminan harga jual kayu hasil hutan rakyat di tingkat petani.
Suku Dayak Benuaq memiliki kearifan lokal yang secara hakiki berpangkal pada sistem religi. Hakekat yang terkandung di dalamnya menuntun dan meneladani masyarakat untuk berperilaku serasi dengan dinamika alam semesta sehingga terwujud keseimbangan hubungan manusia dengan alam lingkungannya.
Hakekat berperilaku serasi dengan dinamika alam semesta akan terwujud keseimbangan hubungan manusia dengan alam lingkungannya
2.1.10 Pola-pola Pemberdayaan Masyarakat Sekitar 10% sampai dengan 20% masyarakat di desa-desa hutan masih hidup di bawah garis kemiskinan, dimana sektor kehutanan hanya memberikan kontribusi terhadap pendapatan masyarakat sekitar 11 sampai dengan 17%. Peranan Lembaga Pemerintah cukup besar dalam meningkatkan kinerja usaha masyarakat, yaitu melalui kegiatan pembinaan, penguatan kekompakan petani dan partisipasi petani dalam lembaga. Partisipasi masyarakat tertinggi pada kegiatan Taman Nasional (TN) dan terendah pada Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Namum kapasitas sosial pada HPH relatif tinggi dikarenakan tidak menghadapi masalah kesehatan dan pendidikan, sebaliknya kapasitas sosial di areal konversi (perkebunan sawit, pertanian tanaman pangan dan Hutan Tanaman Industri/ HTI) relatif rendah karena masalah pendidikan dan kesehatan cukup serius, sehingga dalam jangka panjang hilangnya sumber daya hutan cenderung akan meningkatkan kemiskinan, migrasi desa-kota dan pengangguran. Konversi hutan alam menjadi perkebunan sawit lebih memeratakan distribusi pendapatan masyarakat daripada konversi menjadi HTI dan budi daya pertanian pangan. Selain itu perkebunan sawit memiliki kepastian pasar hasil produksinya melalui pola pir-trans, pir susu, pir atau swadaya, daripada hutan rakyat. Hal ini pada gilirannya memacu persaingan dalam pemanfaatan hutan. 12
•
Penelitian dan Kerjasama
2.1.12 Status Riset Manajemen Lanskap Hutan Penelitian ini mengkaji dinamika lanskap hutan wilayah DAS Brantas, Jawa Timur. Pola penggunaan lahan yang ada dianalisis dalam hubungannya dengan fungsi tata air dari hutan. Sub DAS Lesti dipilih sebagai lokasi uji coba, dengan pertimbangan ketersediaan data, dan keragaman penggunaan lahan yang ada, serta pertimbangan aksesibilitas. Hasil perhitungan yang dilakukan menunjukkan bahwa kelas lahan tersebut seluas 47.046 hektar atau 80,5% berada di luar kawasan hutan, sedangkan seluas 11.348 hektar atau 19,4% berada di dalam kawasan hutan. Verifikasi yang dilakukan melalui pengecekan di lapangan menunjukkan bahwa lahan padi sawah, tegalan dan pekarangan merupakan garapan masyarakat dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian penduduk sebagai petani, yang tercatat sejumlah 76%. Pendapatan masyarakat dapat dikelompokkan menjadi tiga kelas, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Hasil analisa menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk yang tersebar di seluruh wilayah sub das Lesti tergolong dalam kelas tingkat pendapatan rendah, tingkat serapan tenaga kerja rendah. Selain itu, potensi tegakan pohon yang juga rendah, dikhawatirkan akan mengancam fungsi tata air dari hutan. Penelitian ini menyarankan pengembangan pola penggunaan landuse menggunakan kebun campuran atau agroforestry, seleksi jenis tanaman perlu dilakukan agar mampu memberikan pendapatan harian bagi masyarakat, melalui tanaman semusim atau kopi misalnya, sekaligus juga pendapatan jangka panjang dari hasil kayu dan buah-buahan yang diminati pasar. Pemodelan spasial dinamis mampu memberikan informasi
parameter yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Informasi tersebut memberikan landasan bagi pengambil keputusan untuk merencanakan pembangunan wilayah melalui perencanaan dan penatagunaan lahan yang selaras dengan karakteristik ekologi, sosial dan ekonomi wilayah.
2.1.13 Kajian Kebijakan Pengelolaan dan Pengembangan Hutan Kota di Pusat dan Daerah Keberadaan, fungsi dan peran Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan hutan kota di wilayah perkotaan terhadap penanggulangan lingkungan fisik kritis dan penyedia jasa lingkungan, kenyamanan dan kesehatan sudah tidak terbantahkan. Namun proses pembangunan RTH dan hutan kota masih mengalami berbagai kendala. Oleh karena itu kajian tentang kebijakan pembangunan RTH dan hutan kota di wilayah Jabodetabek sangat diperlukan. Tujuan kajian ini adalah untuk melihat sejauh mana pengaruh kebijakan terhadap pelaksanaan pembangunan RTH dan hutan kota. Hasil kajian menunjukkan bahwa ada sekitar 15 jenis peraturan perundangan yang menjadi dasar pertimbangan dalam penyusunan PP No. 63/2002 tentang Hutan Kota tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembangunan hutan kota dan 6 jenis peraturan perundangan telah berubah dan diganti dengan yang baru berikut dengan perihal dan isinya sehingga mendesak untuk dilakukan revisi atas PP No. 63/2002 tersebut. Pengertian RTH dalam UU No.
26/2006 terlihat lebih konsisten dijadikan acuan dan pedoman dalam penyusunan aturan pelaksanannya, yaitu PP No. 26/2007 dan Permen PU No. 05/PRT/M/2008 dibandingkan dengan pengertian hutan kota. Walaupun secara definisi hutan kota merupakan bagian dari kawasan RTH, tetapi manfaat hutan kota bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat lebih banyak dan beragam dibandingkan dengan manfaat dari RTH karena berkaitan dengan fungsi dan peran biologis pepohonan dalam hutan kota. Kondisi dan proporsi rata-rata RTH dan hutan kota di wilayah Jabodetabek masih berada dibawah level 13% kecuali kota Depok (47%), sehingga masih diperlukan upaya-upaya ekstra untuk memenuhi target yang telah ditetapkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan utama dalam pengembangan RTH dan hutan kota tidak saja meliputi aspek teknis, tetapi juga aspek kebijakan dan kelembagaan dalam pelaksanaan pembangunannya. Strategi pemecahan masalah dan perluasan RTH dan hutan kota di wilayah Jabodetabek dapat dilakukan melalui (i) pengembangan jalur hijau sepanjang jalan raya/tol, jalur kereta api, sepadan sungai, situ, waduk dan Danau; (ii) penanaman pohonpohon di areal pemakaman, lapangan-lapangan olah raga, lahanlahan kosong dan terlantar; (iii) penerapan sistem insentif bagi masyarakat yang memelihara pohon di lahan milik pribadinya. Kegiatan penelitian kebijakan pengelolaan dan pengembangan hutan kota di pusat (DKI Jakarta) dan daerah (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) tahun 2010 dapat dicapai sesuai target.
Permasalahan utama dalam pengembangan RTH dan hutan kota tidak saja meliputi aspek teknis, tetapi juga aspek kebijakan dan kelembagaan dalam pelaksanaan pembangunannya
2.1.14 Riset Perubahan Iklim
Pendanaan REDD dapat berdasarkan pendanaan pasar atau berdasarkan bantuan pendanaan
Beberapa aspek penting dalam riset perubahan iklim adalah mekanisme distribusi dan peran REDD+, ekonomi dan kebijakan pengurangan emisi dan deforestasi serta teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi serta identifikasi spesies untuk dikembangkan ekosistem pantai atau daerah kering, hutan dataran rendah dan ekosistem hutan pegunungan serta sebaran alaminya. 1. Analisis Distribusi dan Peran REDD dan REDD Plus
Pendanaan REDD bisa berdasarkan pada pendanaan berdasarkan pasar atau berdasarkan bantuan pendanaan. Pendanaan berdasarkan pasar terdiri atas compliance market dan voluntary market. Sebelum compliance market disetujui dalam konferensi para pihak (COP) maka voluntary market dapat dilaksanakan sebagai salah satu upaya mempersiapkan peraturan dan kelembagaan REDD+. Dalam skema voluntary market, pembeli yang dalam hal ini adalah entitas internasional bisa langsung melakukan pembayaran kepada pengelola berdasarkan sertifikat em isi peng urang an karbon (sertifikat RED D/Certified Emission Reduction (CER)) yang dihasilkan. Sedang kan untuk skema compliance market penerimaan atas CER yang dijual masuk ke pemerintah pusat sebelum akhirnya disalurkan kembali ke pengelola setelah dipotong iuran ijin usaha dan pungutan atas sertifikat REDD yang terjual. 14
•
Penelitian dan Kerjasama
Penerimaan yang bersumber dari hasil penjualan sertifikat REDD merupakan hak pengelola. Apabila lokasi REDD+ berada dalam kawasan hutan, maka pengelola memiliki kewajiban membayar rente ekonomi kepada negara berupa iuran ijin kegiatan REDD+ dan pungutan atas sertifikat REDD yang dijual. Iuran ijin kegiatan REDD ini dibayarkan sekali dalam jangka waktu pengusahaan. Sedangkan pungutan atas CER berdasarkan volume karbon yang dijual (per ton C equivalent). Mekanisme distribusi dan proporsi bagi hasil dari iuran ijin REDD ini mengikuti Peraturan Pemerintah (PP) No.55/2005 tentang Dana Perimbangan. Proporsi bagi hasil dari iuran ijin REDD antara pusat dan daerah adalah 20% untuk Pusat dan 80% untuk daerah, dengan rincian 16% untuk propinsi dan 64% untuk kabupaten penghasil. Bagian untuk pusat dialokasikan untuk dana jaminan REDD nasional. Sedangkan mekanisme distribusi dan proporsi bagi hasil untuk pungutan atas sertifikat REDD yang terjual, diusulkan mengikuti proporsi DBH dari Dana Reboisasi, sebesar 60% untuk pusat dan 40% untuk daerah. Proporsi tersebut diusulkan dengan dasar bahwa implementasi REDD+ berdasarkan pendekatan nasional yang melibatkan kelembagaan yang kompleks karena melibatkan lintas sektoral. Pengelola REDD+ juga memiliki kewajiban memberikan kontribusi terhadap masyarakat sekitar lokasi REDD+, sehingga perlu ada manfaat yang dialokasikan kepada masyarakat. Bagian dari penerimaan REDD+ untuk masyarakat dapat diberikan dalam bentuk alternatif sumber mata pencaharian, seperti bantuan pembibitan tanaman, perikanan, peternakan, handycraft dan sebagainya. Di samping itu bantuan juga dapat berupa pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Pemerintah Daerah (Pemda) juga memiliki kewajiban berkontribusi terhadap masyarakat dari penerimaan DBH REDD. Bantuan diberikan melalui pembiayaan program-program yang dialokasikan dalam anggaran di setiap satuan kerja lingkup Pemda. Program-program tersebut diarahkan pada pemberdayaan masyarakat sekitar lokasi REDD+.
2. Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi/Serapan GRK Kehutanan pada Hutan Rawa Gambut
Model persamaan penduga biomassa pohon hutan secara individu telah menjadi bagian penting dalam menghitung kandungan karbon komunitas hutan. Kandungan karbon hutan perlu diketahui dari berbagai tipe tapak, umur dan tipe hutan. Masing-masing komunitas hutan alam akan memiliki kandungan karbon berbeda-beda yang dipengaruhi oleh sifat jenis, tipe iklim, faktor edafis, dan kondisi ekologis dimana hutan tersebut tumbuh. Pengetahuan kandungan karbon hutan saat ini sangat diperlukan untuk mendata secara kuantitatif jumlah karbon baik yang diserap oleh hutan (Carbon sink) maupun yang diemisikan (Carbon source) karena hutan dapat berfungsi baik sebagai sink maupun source. Perhitungan tersebut akan menunjang keperluan penentuan dana konpensasi AR-CDM (Aforestation and reforestation-Clean Development Mechanism) dan REDD (Reducing emission from deforestation and forest degradation) untuk Indonesia. Untuk hutan rawa gambut, model persamaan allometrik penduga biomassa belum banyak diketahui. Model-model persamaan allometrik yang dipublikasi Brown (1997) umumnya digunakan untuk hutan tropis pada tanah mineral. Berbagai tipe site dalam hutan rawa gambut memerlukan penelitian pengembangan persamaan allometrik dengan menggunakan data biomassa atas (TAGB), diameter setinggi dada (DBH), tinggi kayu komersial (CBH), dan berat jenis kayu (WD) dari sampling destruktif. Untuk kepentingan kepraktisan, ukuran diameter pohon banyak digunakan untuk menduga biomassa pohon daripada tinggi dan berat jenis. Hasil-hasil data yang diperoleh belum dapat membangun model allometrik yang diharapkan akibat data kadar air, karbon, dan berat jenis kayu yang masih dalam proses analisis di Laboratotium Balitra Kalsel. Pada waktunya akan dibangun model-model persamaanpersamaan allometrik famili Dipterokarpa yang tumbuh di hutan rawa gambut Kalimantan Tengah khususnya jenis meranti putih (Shorea leprosula), Keruing (Dipterocarpus carnitus), dan Rasak (Vatica rassak). Model persamaan dasar yang dipilih sesuai saran Basuki et al (2009) yaitu : ln(TAGB)= c+ άln(DBH); ln(TAGB)= c + άln(DBH) + βln(CBH); ln(TAGB)= c + άln(DBH) + βln(WD),
dan Brown dengan Y= a(DBH)b, dan Y= a+b(DBH)+c(DBH)². Pengujian model akan menggunakan nilai korelasi dengan uji F, Koefisien Determinasi (R²), dan paired t-test. 3. Penaksiran Kerentanan dan Strategi Adaptasi Masyarakat di dalam dan Sekitar Hutan terhadap Perubahan Musim dan Cuaca Ekstrim pada Ekosistem Pantai atau Daerah Kering Pemodelan
Perubahan iklim terjadi di ketiga propinsi lokasi penelitian ( Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali) dengan adanya trend peningkatan suhu udara dan anomali curah hujan yang sangat beragam. Perubahan Iklim pada umumnya tidak merupakan hal baru bagi responden dari Pemerintah Daerah, Perum Perhutani, dan Balai Taman Nasional, namun tidak demikian halnya dengan masyarakat. Masyarakat pesisir pada umumnya tidak memahami perubahan iklim namun mereka memperhatikan bahwa terdapat perubahan cuaca yang sulit diduga. Pengamatan mereka terkait dengan perubahan lamanya musim penghujan dan musim kemarau yang secara langsung berpengaruh terhadap penentuan waktu tanam dan mereka. Pada umumnya musim kemarau menjadi lebih panjang daripada musim hujan, namun pada tahun 2010 terjadi cuaca ekstrim dimana tidak terjadi musim kemarau sepanjang tahun. Masyarakat seringkali mendapat kesulitan untuk menentukan saat yang tepat untuk bertani atau beternak ikan dan tidak tahu ke mana harus bertanya. informasi tentang cuaca yang ada di radio atau TV seringkali diragukan ketepatannya. Perubahan iklim memberikan dampak terhadap penghidupan masyarakat. Dampak perubahan iklim di Pamanukan berupa menurunnya penghasilan tambak (bandeng dan udang ) akibat munculnya berbagai penyakit. Tanaman padi banyak gagal mencapai 50%. Pengatasannya berupa memperluas tambak dengan cara mengurangi kawasan mangrove untuk memperluas areal untuk memelihara ikan, mematok tanah timbul untuk dijadikan tambak ikan, penggunaan pestisida untuk membasmi hama ikan dan hama padi, dan penyiasatan musim tanam.
Profil Puspijak
2011
•
15
Pengetahuan kandungan karbon hutan saat ini sangat diperlukan untuk mendata secara kuantitatif jumlah karbon
Kebijakan ekspor kayu bulat akan menaikkan harga kayu bulat hutan alam dan perolehan laba cukup untuk meningkatkan kinerja pengelolaan hutan alam secara berkelanjutan
Di Pemalang dampak perubahan iklim berupa bobolnya galengan karena meningkatnya permukaan air laut dan musim hujan yang berkepanjangan menyebabkan penurunan salinitas air tambak, menjadikan penurunan kualitas dan berat ikan bandeng (dari 3.3 ons/ekor menjadi 2 ons/kg hingga 2.5 ons/ekor pada umur 6 bulan). Adaptasi dilakukan dengan cara : i). peninggian galengan, ii). penanaman mangrove di galengan untuk memperkuat tanggul, penanaman mangrove di sepanjang pantai untuk mengurangi kekuatan ombak, pembuatan bangunan growing untuk daerah terabrasi iii). diversifikasi sumber penghasilan dengan beternak kapiting cangkang lunak (dengan bantuan LSM OISCA) dan penggemukan kepiting, dan iv). teknologi pemanenan ikan tanpa mengosongkan air dalam kolam. Di Bali perubahan iklim berpengaruh terhadap berkurangnya hasil tangkapan ikan di laut. Sebagai kawasan konservasi masyarakat tidak banyak bisa berharap dari sumber daya alam kecuali dengan pemanfaatan jasa lingkungan. Adaptasi dilakukan dengan cara pengalihan jenis mata pencaharian masyarakat ke jasa lingkungan (turis). Kegiatan ini dilakukan dengan bantuan dan bimbingan Balai Taman Nasional. Adaptasi berupa pembuatan growing didanai oleh APBD. Biaya pembuatan 2 buah growing dengan ukuran lebar 3 m dan panjang 25 m adalah Rp 125 juta. Growing diletakkan tiap 50 m. Sementara adaptasi yang dilakukan masyarakat bersifat i). antisipatif dan terencana (peninggian dan penguatan tanggul dengan penanaman mangrove, serta perlindungan pantai dengan penanaman tanaman mangrove); ii). Multisektoral dan terencana (pengembangan jasa lingkungan atau ecotourism) Type pengelolaan hutan berpengaruh terhadap kerentanan masyarakat. Masyarakat yang hidup di sekitar hutan lindung paling rentan kondisinya (57% untuk desa Muara dan 82% untuk desa Langensari), selanjutnya pada hutan konservasi (58% untuk desa Gilimanuk dan 55% untuk desa Sumber Klampok) dan yang paling tidak rentan adalah pada hutan hak (37% untuk Desa Mojo dan 30% untuk desa Nyamplungsari). 16
•
Penelitian dan Kerjasama
Pendampingan dan penguatan kelembagaan harus dilakukan untuk dapat suksesnya upaya masyarakat dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim. Perlu dilakukan adaptasi yang sekaligus menggabungkan dengan upaya mitigasi (penanaman daerah pesisir dengan tanaman mangrove, penguatan tanggul dengan mangrove) karena dalam jangka panjang lebih menguntungkan lingkungan dan lebih murah biayanya. 4. Kajian Kebijakan Ekspor Kayu Bulat
Kontribusi sektor kehutanan dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) tergolong kecil, yaitu hanya sekitar 1%. Kontribusi sektor kehutanan dapat mencapai lebih dari 2% apabila tidak terjadi illegal logging dan illegal trade serta inefisiensi pemanfaatan hutan dan pengolahan kayu serta harga kayu bulat di pasar dalam negeri tidak terdistorsi, khususnya oleh kebijakan larangan ekspor. Kajian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis kebijakan ekspor kayu bulat dan secara khusus menganalisis: (1) biaya produksi kayu bulat dan kelestarian hutan, (2) biaya produksi dan rendemen kayu olahan, (3) pajak ekspor optimal kayu bulat dan (4) dampak kebijakan ekspor kayu bulat. Hasil kajian diharapkan dapat berguna sebagai bahan rekomendasi kebijakan dalam meningkatkan nilai (harga) kayu untuk mendorong peningkatan kinerja pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan efisiensi pemanfaatan hutan dan pengolahan kayu. Hasil kajian menyimpulkan: 1. Kebijakan ekspor kayu bulat akan menaikkan harga kayu bulat hutan alam dan perolehan laba hampir 4 kali lipat sehingga cukup untuk meningkatkan kinerja pengelolaan hutan alam secara berkelanjutan. Jika kebijakan ekspor kayu bulat hutan alam diberlakukan, besarnya pajak ekspor optimal agar pengusahaan hutan alam dan industri kayu lapis sama-sama menguntungkan adalah 27.37%. 2. Kebijakan ekspor kayu bulat akan menaikkan harga kayu bulat hutan tanaman dan perolehan laba hampir 5 kali lipat sehingga cukup untuk meregerasi dan mengembangkan hutan tanaman baru. Jika kebijakan ekspor kayu bulat hutan tanaman diberlakukan,
besarnya pajak ekspor optimal kayu bulat hutan tanaman agar pengusahaan hutan tanaman dan industri pulp sama-sama menguntungkan adalah 44.82%. 3. Dari sisi kesejahteraan sosial dengan ukuran surplus konsumen dan produsen serta penerimaan pemerintah, kebijakan ekspor kayu bulat hutan tanaman lebih baik dibanding kebijakan larangan ekspor. Dari sisi kepentingan pelaku ekonomi industri terlihat bahwa kenaikan harga yang ditimbulkan tidak menguncang industri pulp, mengingat harga pulp yang sangat tinggi, yang kini mencapai USD 800 per ton. Dari sisi pengembangan hutan tanaman, peningkatan produksi kayu bulat sebesar 66.5% – 72.4% agar kesejahteraan pelaku ekonomi meningkat bukan merupakan target yang ambisius, mengingat luasan areal hutannya telah tersedia. 4. Dari sisi kesejahteraan sosial dengan ukuran surplus konsumen dan produsen serta penerimaan pemerintah, kebijakan ekspor kayu bulat hutan alam lebih baik dibanding kebijakan larangan ekspor. Dari sisi kepentingan pelaku ekonomi industri terlihat bahwa kenaikan harga akibat kebijakan ekspor tidak menguncang industri kayu lapis selama kenaikan harga yang terjadi dikendalikan melalui besaran pajak ekspor. Namun demikian dari sisi pengembangan hutan alam, peningkatan produksi kayu bulat hutan alam 58.10 – 76.10% agar kesejahteraan pelaku ekonomi meningkat merupakan target ambisius dan sulit dicapai, mengingat potensi hutan alam cenderung menurun. Hasil kajian merekomendasikan: 1. Penurunan biaya kelestarian hutan alam harus dicegah oleh pemerintah dengan cara menurunkan kewajiban terhadap negara melalui penurunan nilai pembayaran DR dan PSDH. Pembayaran DR dan PSDH perlu dimainkan sebagai instrumen kebijakan fiskal dalam menjaga kelestarian hutan, termasuk peningkatan efisiensi pemanfaatan hutan dan pengolahan kayu. 2. Kebijakan ekspor kayu bulat hutan tanaman perlu diberlakukan guna mendongkrak harganya, mengingat terlalu rendah dibanding harga pulp yang kini mencapai USD 800 per ton, sementara harga kayu bulat hutan tanaman hanya USD 33.33 per m3.
Kebijakan ekspor kayu bulat hutan tanaman tidak perlu diberlakukan hanya jika dapat dibangun kesepakatan penentuan harga kayu bulat hutan tanaman secara berkeadilan antara pengusaha hutan tanaman dan industri pulp. 3. Mengingat peningkatan harga kayu bulat hutan alam melalui pemberlakuan kebijakan ekspor tidak efektif dalam meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan, diperlukan kesepakatan antara pemerintah, pengusaha hutan alam dan industri, khususnya kayu lapis untuk menentukan tingkat harga kayu bulat hutan alam yang menjamin pengelolaan hutan alam secara berkelanjutan dapat diwujudkan di lapangan. 5. Kajian Implementasi Desentralisasi Urusan Kehutanan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis proses pembuatan peraturan menteri kehutanan (NSPK) dalam pemanfaatan hutan lindung, implementasi desentralisasi pemanfaatan hutan lindung oleh Pemerintah Kabupaten dan mencari bentuk pengelolaan hutan yang tepat. Kajian dilakukan selama satu tahun, dengan mengambil lokasi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Sarolangun dan Bungo (Provinsi Jambi), Kabupaten Solok Selatan (Provinsi Sumatera Barat) dan Kabupaten Lampung Barat (Provinsi Lampung). Pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan data sekunder, indepth interview, observasi lapangan dan FGD. Data yang terkumpul dianalisis dengan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif (dengan scoring). Dari hasil kajian diketahui : 1. Secara garis besar proses pembuatan Permenhut tentang pemanfaatan hutan lindung dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Hampir semua permenhut tidak melewati proses konsultasi publik. 2. Permenhut tentang pemanfaatan hutan lindung belum sepenuhnya memenuhi asas perundangan yang baik, karena ada ketidaksesuaian jenis dengan materi aturan (tidak ada kajian sebelumnya), kurang implementatif, kurang terbuka (tidak ada konsultasi publik) dan masih multi interpretasi. Profil Puspijak
2011
•
17
3. Pemanfaatan hutan lindung dalam bentuk ijin pemanfaatan kawasan (dalam bentuk HKm dan hutan desa) belum sepenuhnya bisa diimplementasikan di lapangan, karena keterbatasan kapabilitas pemerintah Kabupaten dan masyarakat sekitar hutan. 4. Pemanfaatan hutan lindung dalam pemungutan HHBK belum optimal dan tidak bisa termonitor. 5. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan lindung dalam bentuk berdagangan karbon sudah diatur dalam Permenhut, tetapi belum bisa diimplementasikan di tingkat Kabupaten, padahal hutan hutan lindung mempunyai potensi yang besar untuk menyerap dan menyimpan karbon. 6. Pemanfaatan hutan lindung dalam bentuk jasa aliran air/ air sudah disadari dan dirasakan manfaatnya oleh Pemda dan masyarakat sekitar hutan dalam bentuk air rumah tangga, mikro hidro, pengairan sawah dan air minum dalam kemasan. Pemanfaatan jasa aliran air/air di hutan lindung belum diatur dalam Permenhut. 7. Hutan lindung mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai wisata alam. Aksesbilitas yang jauh menjadi kendala dalam pengembangan wisata alam di hutan lindung. Pemanfaatan wisata alam di hutan alam belum diatur secara jelas dalam Permenhut. 8. Berdasarkan kapabilitas pemerintah kabupaten dan modal sosial yang ada di masyarakat, bentuk pengelolaan hutan yang sesuai adalah community based forest management. Hasil kajian menyimpulkan/merekomendasikan : 1. Proses pembuatan Permenhut sebaiknya melalui konsultasi publik terlebih dahulu, sehingga sesuai dengan kondisi lapangan. 2. Permenhut perlu memperhatikan asas perundangan yang baik seperti ada kesesuaian jenis dengan materi muatan, kejelasan rumusan dan keterbukaan. 3. Fasilitasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten dalam bentuk pelatihan, sosialisasi dan pendampingan perlu ditingkatkan agar implementasi HKm dan hutan desa sesuai target yang direncanakan. 4. Perlu pembenahan regulasi HHBK, terutama untuk monitoring peredaran dan harga jualnya. 18
•
Penelitian dan Kerjasama
5. Pemerintah Pusat perlu memfasilitasi pemanfaatan hutan lindung dalam bentuk jasa lingkungan (penyerap karbon, jasa aliran air/air dan wisata alam), sehingga masyarakat dan pemda setempat bisa lebih menikmati keberadaan hutan lindung yang ada di wilayahnya. 6. Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH
Kajian ini bertujuan untuk 1). mengkaji implementasi aturan mengenai KPH, 2). mengkaji struktur dan susunan organisasi dan peraturan yang mengaturnya, 3). bagaimana mekanisme pendanaan dalam pengelolaan KPH Kegiatan ini akan dilaksanakan pada tahun 2010 dengan lokasi beberapa KPH Model antara lain KPH Dampelas Tinombo Sulawesi Tengah, KPH Way Terusan Lampung Tengah dan KPH Batu Tegi Tanggamus. Hasil kajian menyimpulkan : 1. Kebijakan NSPK pengelolaan KPH telah diimplementasikan oleh KPH Dampelas Tinombo dan KPH Way Terusan dengan menyusun perencanaan pengelolaan hutan dan tata hutan antara lain inventarisasi potensi kawasan hutan dan pembuatan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang. 2. Bentuk organisasi KPH adalah UPTD. Sementara struktur organisasi dari masing-masing KPH Model menunjukkan adanya kesamaan dalam pembagian kerja, wewenang, rentang kendali dan departemenisasi. Tetapi terdapat sedikit perbedaan dalam pengelompokkan ”jenis/nama departemenisasi”. Hal ini disesuaikan dengan kondisi daerah, potensi kawasan serta kebijakan masing-masing daerah. 3. Struktur organisasi UPTD yang mengakomodir kepentingan pusat, dapat diketahui departementalisasi dengan pendekatan kriteria dalam NSPK pengelolaan KPH. KPH Way Terusan dan KPH Dampelas Tinombo telah memenuhi kriteria tersebut, sedangkan KPH Batu Tegi masih perlu penyempurnaan untuk dapat mencapai visi dan misi organisasi dalam kegiatan pemanfaatan dan penggunaan hutan serta rehabilitasi hutan.
4. Koordinasi dalam hal pendanaan telah mulai dilakukan baik dengan pemerintah pusat maupun daerah. 5. Bentuk organisasi KPH adalah UPTD, hal ini akan mempengaruhi keterbatasan sumber dana yang diperoleh dari APBD karena (1) Pendanaan harus melalui Dinas Kehutanan terlebih dahulu, dan (2) sektor kehutanan di daerah merupakan urusan pilihan. Hasil kajian merekomendasikan : 1. Dengan kondisi saat ini dimana peraturan bersama mengenai organisasi belum diterbitkan, maka sebaiknya pengelolaan KPH diserahkan kepada Pemerintah daerah. 2. Permenhut KPH telah ada, NSPK pengelolaan KPH telah ditetapkan, diharapkan selanjutnya terdapat kebijakan turunan mengenai tugas dan peran KPH secara detail mulai dari rencana pengelolaan, pemanfaatan, penggunaan dan rehabilitasi kawasan hutan. 3. Perlu penyiapan kondisi pemungkin dalam organisasi apabila terdapat perubahan-perubahan kebijakan terkait organisasi KPH. 4. Dari aspek pendanaan seyog yanya pemerintah pusat mengalokasikan dana untuk pengelolaan KPH melalui UPT terkait. 7. Kajian Good Corporate Governance di Bidang Kehutanan
Tujuan kajian ini adalah: (1) Mengetahui gambaran pelaksanaan prinsip-prinsip GCG pada perusahaan-perusahaan bidang kehutanan, (2) Menemukan kendala-kendala pelaksanaan prinsipprinsip GCG dan (3) Menemukan faktor-faktor kebijakan yang dapat mendukung penguatan GCG bidang kehutanan Metode yang digunakan adalah survei kepada 6 (enam) pemegang IUPHTI dan IUPHHK/HPH di Propinsi Riau dan Sumatera Selatan untuk mengetahui tingkat penerapan prinsip-prinsip GCG serta perusahaan non kehutanan. Wawancara dilakukan pada Dinas Kehutanan, UPT, dan lembaga otoritas yang terkait dengan corporate governance. Peraturan dan implementasinya dikaji melalui analisis content dan analisis diskursus.
Hasil kajian menyimpulkan : 1. Perusahaan BUMN dan perusahaan besar sudah mengenal konsep GCG secara resmi dari pemerintah dan sudah melaksanakannya sesuai pedoman dan peraturan yang berlaku, sementara bagi perusahaan kecil belum atau sudah mengenalnya dan melaksanakannya secara sukarela dengan dasar pertimbangan kerangka GCG sejalan dengan kepentingan pengelolaan perusahaan yang baik. 2. Semua responden perusahaan tidak keberatan bila GCG diwajibkan oleh pemerintah. Mereka meyakini bahwa penerapan GCG akan bermanfaat bagi perusahaan, namun mereka juga meyakini bahwa kebijakan dan tata kelola pemerintahan yang baik menjadi prasyarat bagi terwujudnya GCG. Hasil kajian merekomendasikan : 1. Pemerintah dan instansi terkait perlu segera menyusun kerangka kerja rencana penerapan GCG pada perusahaan-perusahaan kehutanan, yang mencakup tahapan sosialisasi, penerapan, dan evaluasi. Proses membangunnya dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan asosiasi perusahaan kehutanan dan pihakpihak terkait lainnya. Pemetaan terhadap permasalahanpermasalahan yang dihadapi untuk implementasi GCG, baik oleh pemerintah maupun perusahaan perlu kajian tersendiri. 2. Penyusunan kriteria dan indikator GCG bisa menjadi langkah awal yang mudah dilakukan untuk keperluan sosialisasi GCG. 8. Analisis Nilai Tegakan Hutan Tanaman
Upaya percepatan menuju penguatan tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan yang lebih baik khususnya nilai tegakan hutan tanaman memerlukan informasi nilai bahan baku hutan tanaman, aliran hasil hutan kayu mulai dari hutan, pengusaha kayu bulat, sampai ke industri pengolahan kayu. Kegiatan penelitian ”Analisis Nilai Tegakan (Stumpage Value) Hutan Tanaman” merupakan salah satu dari kegiatan penelitian yang dilaksanakan dalam payung RPI (Rencana Penelitian Integratif ) : “Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan”.
Profil Puspijak
2011
•
19
Penelitian ini difokuskan untuk menganalisis nilai tegakan kayu hutan tanaman dan faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi nilai tegakan hutan. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis besarnya nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman industri, 2) Mengidentifikasi dan merumuskan faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman, dan 3) Mengidentifikasi skema-skema dan mekanisme tata kelola industri pengolahan kayu hutan tanaman. Penelitian dilakukan di Propinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Tengah dan Banten pada tahun 2010. Untuk menganalisis besarnya nilai tegakan dilakukan dengan analisis kuantitatif melalui pendekatan harga penjualan kayu bulat dan biaya pembangunan hutan tanaman, sedangkan faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi nilai tegakan hutan tanaman didekati dengan model regresi berganda, kemudian untuk mengidentifikasi skema dan mekanisme dilakukan analisis ekonomi rantai pasokan bahan baku kayu ke industri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan hutan pada semua propinsi yang disurvey tidak dapat mengimbangi konsumsi pengguna hasil hutan kayu di wilayahnya. Hutan Tanaman Industri (HTI) ditujukan untuk penyedian bahan baku industri secara berkelanjutan. Nilai tegakan hutan tanaman antara pola mandiri dan pola kemitraan tidak jauh berbeda masing-masing sebesar Rp 5.665.081 per ha dan Rp 5.340.295 per ha. Hal ini menggambarkan HTI pola kemitraan lebih efisien karena profit margin terdistribusi minimal kepada 3 lembaga tata niaga yaitu petani, pedagang/pemegang IUPHHK dan industri pengolahan kayu, sedangkan pada HTI pola mandiri distribusi profit marjin hanya diperoleh oleh industri pengolahan kayunya sendiri. Nilai tegakan kedua pola tersebut lebih besar dari kewajiban pungutan kepada negara berupa PSDH dan iuran lainnya, sehingga dapat ditingkatkan hingga 280%. Faktor ekonomi yang berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai tegakan adalah Accessibility (kemudahan untuk dicapai), permintaan, sistem pembayaran, biaya transaksi (ketidakjujuran pedagang dalam 20
•
Penelitian dan Kerjasama
penimbangan), akumulasi modal pembangunan HTI, kemampuan teknologi budidaya HTI, dan skala produksi. Faktor kelembagaan yang sangat berpengaruh adalah kebijakan pengelolaan HTI baik dari Pusat maupun daerah, tata usaha kayu dan retribusi pemerintah daerah serta kelembagaan masyarakat desa hutan. Pengelolaan skema dan mekanisme tata kelola industri dan perdagangan kayu bulat dari hutan tanaman ke konsumen didasarkan pada P.55/Menhut-II/2006 dan Revisi SK Menhut No. 126/KptsII/2003. Penerapan P 55 cukup baik, efisien dan efektif dilaksanakan di lapangan hanya koordinasi antar pelaksana yang belum terbangun dengan baik. Pemberian ijin pemanfaatan hasil hutan dianggap masih belum efisien karena adanya tumpang tindih kewenangan yang berakibat biaya tinggi dan perijinan dirasakan panjang dan banyak biaya yang harus dikeluarkan baik di kabupaten maupun propinsi. Peraturan tersebut dapat mempermudah proses dan mekanisme tata kelola industri dan perdagangan kayu. Untuk merumuskan pelaksanaan tata kelola industri dan perdagangan kayu hutan tanaman, paling tidak ada 3 (tiga) hal yang perlu dicapai yaitu (a) adanya perbaikan pelayanan publik dengan melakukan efisiensi dari pemerintah, dan (b) dapat memaksimalkan atau melindungi penerimaan negara dari pungutan pengelolaan hasil hutan kayu, (c) peran serta kementrerian kehutanan dalam menentukan harga patokan kayu setempat (HPS), barangkali dapat digunakan harga ekspor kayu bulat atau harga internasional.
2.2 Kerjasama 2.2.1 Kerjasama Luar Negeri 1. Clean Development Mechanism (CDM) dengan ACIAR (2000-2005)
Tujuan kegiatan untuk mengidentifikasi model agroforestri yang ada di Indonesia yang potensial untuk kegiatan penyerapan karbon. Temuan yang diperoleh Indonesia mempunyai peluang dan potensi yang besar untuk berpartisipasi dalam kegiatan A/R CDM (Afforestation/Reforestation-Clean Development Mechanism) untuk sektor kehutanan. Dengan memasukan unsur serapan karbon dalam model agroforestry dapat meningkatkan nilai ekonomi dari model agroforestri tersebut sehingga berpeluang untuk berkontribusi dalam pengurangan angka kemiskinan. Rata-rata biomas karbon yang diserap mangium selama satu daur (delapan tahun) per hektar sekitar 240.8 (± 31.0) ton/ha (model Brown, 1997). Sedangkan untuk tanaman jati selama satu daur (delapan puluh tahun) masingmasing adalah 2270,43 ton/ha; Berdasarkan analisis pembuatan hutan tanaman mangium dan jati layak untuk diusahakan. Kelayakan mangium dan jati meningkat dengan memasukan serapan karbon dimana IRR naik sebesar 5% dan 1% dibandingkan dengan tanpa karbon sebesar 26% dan 10%, sedangkan NPV per ha akan naik sebesar 8% dari nilai awal sebesar adalah Rp. 2.906.000,-. Tanaman jati mempunyai IRR sebesar 10%, dengan NPV per ha sebesar Rp. 10.865.000,-. Apabila nilai karbon ditambahkan, IRR jati akan meningkat menjadi 11% dengan NPV per ha Rp. 26.630.000. Meskipun demikian masih terdapat hambatan yang dijumpai dalam implementasi A/R CDM: (1) kelembagaan A/R CDM masih belum efektif (2) pemahaman stakeholder tentang mekanisme A/R CDM dan perdagangan karbon masih terbatas; (3) Kebijakan dan peraturan prioritas yang diperlukan di setiap tingkat pemerintah berturut-turut adalah kelembagaan, sosial ekonomi, kepastian lahan dan tata cara serta mekanisme pelaksanaan MPB kehutanan.
2. Strategi Pengembangan Industri Kayu Lestari di Indonesia dengan International Tropical Timber Organization (ITTO) (2002-2004)
Tujuan umum proyek ini adalah menemukan strategi pengembangan industri kayu yang lestari di Indonesia Sedangkan tujuan khususnya meliputi: (1) mengevaluasi produksi kayu bulat dan pasokan kayu ke depan, kapasitas dan teknologi pengolahan kayu, dan pasar eksport dari produk-produk kayu, dan (2) merumuskan strategi untuk restrukturisasi dan pengembangan industri kayu lestari melalui serangkaian konsultasi publik dan workshop. Proyek ITTO ini telah menganalisa secara detail tentang tiga aspek penting dari pengembangan industri kayu yang lestari, yaitu: (i) pasokan bahan baku kayu, (ii) teknologi pengolahan kayu, dan (iii) pemasaran produk-produk. Pasokan bahan baku dapat dilakukan dengan menerapkan silvikultur intensif untuk hutan tanaman dan mulai menghentikan pasokan kayu dari hutan alam. Industri pengolahan kayu harus ditetapkan jenis industri kayu yang prioritas untuk dikembangkan ke depan, yaitu industri yang efisien penggunaan bahan bakunya dan menghasilkan produk-produk dengan nilai tambah tinggi. Pemasaran produk kayu harus dilakukan secara utuh dan menyeluruh dengan dukungan berbagai kebijakan yang kondusif terhadap peningkatan kinerja ekspor produk-produk kayu. Hasil kegiatan proyek ini menjadi acuan penting untuk membuat perencanaan makro sektor kehutanan Indonesia. Temuan-temuan dan rekomendasi strategis yang dibuat oleh proyek ITTO dapat dipakai dan diterapkan oleh para perencana kehutanan, pengambil keputusan demikian juga pihak swasta dalam pengembangan industri perkayuan di masa depan.
3. Rapid Assessment of Cajuput Oil Industry in Indonesia dengan ACIAR (2004)
Tujuan umum dari proyek ini adalah (i) menilai dampak sosial ekonomi dari industri minyak kayu putih (MKP) di Jawa, (ii) mengevaluasi kemungkinan mendirikan industri MKP sejenis di NTT, dan (iii) menyajikan data dan informasi tentang kelayakan mendirikan industri MKP di NTT. Kebanyakan produksi MKP dihasilkan oleh Perum Perhutani dan Dinas Kehutanan Yogyakarta sekitar 300-350 ton per tahun. Produksi MKP dari Jawa Barat dan Timur hanya sebesar 40-50 ton/ tahun. Maluku, Papua, dan NTT menghasilkan produksi MKP masing-masing sebesar 90 ton/tahun, 20 ton/tahun dan 3-4 ton/ tahun. Kebutuhan MKP domestik diperkirakan sebesar 1.500 ton/tahun dengan kemampuan produksi yang hanya sekitar 400-500 ton/tahun sehingga sisa kebutuhan MKP di impor dari China dengan total nilai ekspor Rp. 79,88 milyar (asumsi 1 kg MKP = Rp. 75.000). Kenyataannya ada sekitar 120.000 ha hutan kayu putih di Maluku dan luas tanaman kayu putih yang belum terinventarisir di provinsi Papua dan provinsi NTT (Sumba Timur, Timor Barat dan Kepulauan Rote). Namun luas tanaman kayu putih di Jawa sekitar 26.000 ha dengan produksi MKP sekitar 650 ton/ha. Di Timor Barat dan Kepulauan Rote terdapat pasokan daun kayu putih yang tidak mencukupi kebutuhan industri MKP skala rumah tangga. Namun ada tanaman kayu putih di Sumba Barat yang belum diekploitasi. Oleh karena itu kebijakan pemerintah NTT harus mendukung dan menyediakan insentif untuk pengembangan industri MKP skala kecil. Langkah-langkah lainnya yang perlu diwujudkan oleh pemerintah daerah NTT adalah: (i) melaksanakan program rehabilitasi hutan dan lahan dengan tanaman kayu putih, (ii) menyediakan bantuan teknis pengolahan daun kayu putih dengan teknologi peralatan yang tepat guna, (iii) memberikan insentif dan penyempurnaan infrastruktur dan komunikasi, dan (iv) pengembangan institusi lokal untuk peningkatan kapasitas dan posisi daya tawar dalam pemasaran MKP di NTT. 22
•
Penelitian dan Kerjasama
Pihak swasta tidak menunjukkan ketertarikannya untuk mengembangkan industri MKP karena pertimbangan teknis, fisik, dan keuntungan. Piha swasta hanya tertarik dalam menjual produkproduk MKP yang dihasilkan industri skala rumah tangga dan menjualnya ke desa-desa lainnya. Salah satu industri MKP modern yang dibangun sebagai hasil kerjasama pihak swasta dan Pemda Sumba Timur terpaksa berhenti karena alasan tidak efisien dan tidak layak dari segi ekonomi dan finansial, dan alasan politik dibelakang pendirian industri tersebut. 4. Forestry and Wood Industry on the Move (ILO, 2001)
Tujuan umum dari proyek ini adalah mendapatkan informasi terkait dengan kehutanan dan industri kayu yang dalam perubahan. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengevaluasi trend dan status kehutanan dan industri kayu terkait dengan perubahan-perubahan yang sedang terhadi di tingkat nasional dan global. Sektor kehutanan dan industri kayu serta sektor-sektor pendukung lainnya telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap GDP dan penyerapan tenaga kerja serta peningkatan devisi negara. Andil kehutanan dan industri kehutanan terhadap GDP telah mengingkat secara signifikan dari 4% tahun 1980an menjadi 8,7% pada pertengahan tahun 1990. Perkembangan penyerapan tenaga kerja lokal dan luar negeri yang langsung dan tidak langsung terkait dengan berabagi industri perkayuan seperti industri pulp dan paper, furniture, kayu gergajian dan kayu lapis diuraian secara detail dengan data-data yang utuh dan lengkap. Penerapan serifikasi dan ekolabeling bagi produk-produk kayu industri kehutanan dibahas berkaitan dengan prosedur dan teknis penilaiannya serta lembagalembaga independen penilainya (LEI dan FSC). Ada beberapa kebijakan terkait dengan pengelolaan hutan lestari yang dapat dicapai melalui pertumbuhan dan pemerataan, diantaranya: (i) memperbaiki efisiensi pemanfaatan sumber daya, (ii) mendorong daya saing (kompetisi) untuk pasokan bahan baku, (iii) melaksanakan rehabilitasi hutan dan mendorong partispasi kelompok-kelompok kepentingan dalam pengelolaan hutan lestari, (iv) menerapkan secara
konsiten sertifikasi hutan dan ekolabeling, dan (v) pemerintah daerah sebaginya menerima proporsi yang lebih besar terhadap pendapatan dan royalti yang dikumpulkan pemerintah. 5. Otonomi Daerah Bidang Kehutanan (CIFOR,2006)
Tujuan umum dari proyek ini adalah mengkaji perimbangan keuangan pusat dan daerah (PKPD) di sektor kehutanan. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengkaji berbagai peraturan perundangan terkait dengan PKPD dan mengevaluasi pelaksanaannya serta mengusulkan penyempurnaan atas kebijakan tersebut. Desentralisasi pengelolaan sumber daya hutan (SDH) di Indonesia pada dasarnya digagas untuk menyelamatkan hutan Indonesia yang semakin rusak dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah melalui sistem pemanfaatan hutan yang lestari. Namun dalam pelaksanaan pengelolaan hutan di era otonomi daerah memunculkan banyak persoalan dari mulai perebutan kewenangan, ekspolitasi SDH untuk tujuan sesaat (peningkatan Pendapatan Asli Daerah) yang berdampak kepada semakin luasnya hutan yang rusak (59,2 juta ha) Hasil penelitian ini menujukkan bahwa penarikan pungutan kehutanan belum berjalan sebagaimana mestinya yang ditandai masih banyaknya tunggakan-tunggakan DR dan PSDH oleh perusahaan-perusahaan di bidang kehutanan. Disamping itu, penerimaan dari pungutan tersebut yang dialokasikan ke daerahdaerah dalam bentuk DAK-DR yang berubah menjadi DBH (2005) belum dilakukan secara adil, transparan dan akuntabel. Pemanfaatan DBH sektor kehutanan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di daerah sangat rawan terhadap penyimpangan, kolusi, dan korupsi sehingga perlu dilakukan perubahan kebijakan yang dapat mempersempit ruang gerak penyimpangan tersebut. Kebijakan yang perlu dirumuskan adalah memperjelas aturan main (peraturan perundangan dan pedoman umum) tentang siapa berbuat apa, dimana dan kapan harus dilaksanakan serta apa tanggung jawabnya dalam pelaksanaan RHL tersebut serta Kementerian Kehutanan harus tegas dan berani mengembalikan DBH yang diterimanya apabila waktu turunnya anggaran tidak sesuai dengan rencana pelaksanaan RHL.
6. Pengeloaan Pola Kemitraan Hutan Penelitian Carita (JICA-FLB EU, 2005)
Penunjukan pengelolaan KHDTK Carita seluas 3000 yang sebelumnya sejak tahun 1955 hanya seluas 50 ha, membawa konsekuensi logis Badan Litbang Kehutanan menjadi pemangku kawasan tersebut dan berkewajiban untuk mengelola dan mengembangkannya. Memperhatikan kondisi nyata di lapangan, kawasan hutan tersebut berbatasan dengan 7 desa yang masyarakatnya telah memanfaatkan kawasan tersebut untuk kegiatan pertanian atau bercocok tanam guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Puslitsosek Badan Litbang Kehutanan mencoba menerapkan system perencanaan partisipatif yang lebih menekankan kepada perencanaan yang melibatkan berbagai pihak terkait (multistakeholder). Untuk mewujudkan system perencanaan partisipatif (yang diakui sebagai faktor penentu keberhasilan suatu pengelolaan), Badan Litbang menggunakan pendekatan desa partisipatif (Participatory Rural Appraisal) sebagai alat pendekatan yang tepat untuk menggali harapan dan aspirasi masyarakat, faktor-faktor yang menjadi penghambat, dan prioritas kebutuhan yang harus dipenuhi untuk mewujudkan harapannya. Hasil kristalisasi pembangunan 7 (tujuh) desa menunjukkan bahwa harapan masyarakat, hambatan dan kebutuhan dalam pengembangan desanya cukup beragam dan penekanannya juga berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Secara umum hasil kristalisasi dapat dikatakan cukup konsisten dimana harapan utama dari sebagian masyarakat tertumpu pada 3 (tiga) hal, seperti: (i) peningkatan ekonomi, (ii) peningkatan sumber daya manusia, dan (iii) pembangunan sarana dan parasarana desa. Dari ke-3 (tiga) harapan utama masyarakat tersebut, maka berbagai pihak terkait dituntut untuk memberikan peran dan kontribusinya masingmasing untuk keberhasilan pengelolaan kawasan hutan penelitian dalam kerangka pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Dari hasil workshop yang dihadiri oleh sejumlah stakeholder daerah Badan Litbang Kehutanan diharapkan dapat memberikan sumbangsihnya untuk menyediakan paket-paket teknologi tepat guna utnuk pengembangan tanaman kehutanan yang memang menjadi kebutuhan masyarakat dan menjadi unggulan serta Profil Puspijak
2011
•
23
andalan Kabupaten Pandeglang, seperti duren Silandak, rambutan, duku dan mangga, kopi, Nilam, Lada, Vanili, Lebah madu dan Coklat. Dinas Pendidikan terkait dengan pendidikan, Perguruan Tinggi dan LSM diharapkan peran dan bantuannya yang lebih besar terhadap peningkatan sumberdaya manusia di Kabupaten Pandeglang melalui berbagai upaya pelatihan, pendampingan, penyuluhan dan pemberdayaan sebagai tindakan nyata mengedepankan peran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pemda Kabupaten Pandeglang (eksekutif dan legislatif ) diminta juga komitmennya yang tinggi untuk memfasilitasi sarana dan prasarana desa sebagai bukti bahwa pemda bersungguh-sungguh melaksanakan otonomi daerah dalam bingkai meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan prima kepada masyarakatnya. Langkah awal yang perlu diwujudkan adalah penataan kawasan hutan penelitian yang disepakati bersama dengan tetap memperhatikan fungsi hutan melalui kegiatan pemetaan partisipatif (Participatory Mapping) dalam upaya memperoleh kepastian lahan usaha bagi masyarakat atas kawasan hutan tersebut dan akan dilanjutkan dengan proses penentuan aspek legalitasnya untuk dikukuhkan. Dephut, Pemda dan Lembaga Donor ( JICA & EU) diharapkan dapat memberikan bantuan berupa program kegiatan lanjutan sebagai upaya untuk mewujudkan pengelolaan hutan bersama masyarakat di areal kawasan hutan penelitian. 7. Kajian Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi pada Era Desentralisasi : Kasus TN Bantimurung-Buluseraung (DFID 2006)
Tujuan khusus dari kegiatan ini adalah menghasilkan rumusan kemungkinan peningkatan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi melalui penyempurnaan kebijakan Pemerintah dan/ atau penyempurnaan implementasi pengelolaan kawasan konservasi. Sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.398/MenhutII/2004 tanggal 18 Agustus 2004, kawasan hutan pada kelompok Hutan Bantimurung-Bulusaraung seluas +/- 43.750 Ha yang terletak di Kabupaten Maros dan pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan ditunjuk sebagai Taman Nasional Bantimurung-Bulussaraung (TN Babul).
Masyarakat desa-desa di sekitar kawasan mendukung penunujukan penunjukan TN, namun hal ini menutup akses mereka terhadap sumber daya hutan, sehingga mereka berharap agar dapat diijinkan mengambil kayu, hasil hutan bukan kayu (HHBK), mendapat kesempatan kerja sebagai pengganti mata pencaharian di dalam kawasan, serta pemukiman dan garapan, asyarakat dikeluarkan dari kawasan TN (di enclave). Diantara kawasan permukiman dan garapan masyarakat telah memiliki Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPPT) untuk Pajak bumi dan bangunan (PBB). Penunjukan kawasan TN juga mengurangi kesempatan Pemerintah Kabupaten dalam memanfaatkan potensi karst untuk pertambangan, sehingga pengelolaan kawasan TN diharapkan dilakukan dengann cara membuat zonasi sesuai potensi dan kondisi lingkungan, di tata batas secara koordinatif, mengakomodasi masukan dari sector lain, serta meningkat potensi wisata dan pendapatan daerah. Tindak lanjut yang diharapkan dari kajian ini adalah dari kajian ini adalah penarikan SPPT garapan masyarakat secara bertahap, sosialisasi tentang fungsi dan manfaat hutan, serta penyempurnaan Surat Edaran Dirjen Intag Nomor 724/A/VII-2/1994 tentang Penyelesaian Enclave Kawasan hutan (sementara). 8. Improving Governance, Policy and Institutional Arrangements to Reduce Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) (April 2008-Maret 2012).
Kerjasama ini bertujuan untuk mendukung pengembangan kebijakan dan pemantapan kelembagaan di tingkat propinsi dan kabupaten untuk memfasilitasi implementasi REDD & mencapai distribusi benefit yang adil dari pasar karbon internasional. Kegiatan yang dilakukan meliputi (1) mengidentifikasi penyebab deforestasi di propinsi Papua dan Riau serta REDD ; (2) memperbaiki tata kelola kehutanan ; (3) mengembangkan sistem tata kelola REDD yang terdesentralisasi dan (4) capacity building. Dalam kegiatannya, proyek ini telah mengadakan berbagai workshop dan menghasilkan banyak publikasi meliputi (1) Policy brief vol 4 no 5 tahun 2010 : Restrukturisasi Arsitektur Kelembagaan Kawasan Hutan di Indonesia; (2) Prosiding Ekspose Hasil-hasil penelitian pada Puslit Sosek dan Kebijakan Kehutanan tanggal 30 September 2010: 24
•
Penelitian dan Kerjasama
Perbaikan tata kelola kebijakan dan pengaturan kelembagaan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi, ringkasan hasil sementara penelitian; (3) Paper dipublikasikan pada Jurnal Internasional, Ecological Economics Journal : "compensated reductions of emissions vs compensated efforts to avoid deforestation" dan (4) Paper dipublikasikan pada International Forestry review : "Reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD) and decentralized forest management". 9. Tropical Forest Conservation for Reducing Emissions from Deforestation and Enhancing Carbon Stocks in Meru Beti-ri National Park, Indonesia (ITTO PD PD 519/08 Rev.1 (F))
Kerjasama ini bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap konservasi hutan tropika untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta meningkatkan stok karbon hutan melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam konservasi dan kelestarian pengelolaaan Taman Nasional Meru Betiri sebagai bagian integral landskap terbesar tempat merka tinggal. Kegiatan kerjasama meliputi (1) Meningkatkan taraf hidup mata pencaharian masyarakat lokal yang hidup di dalam maupun sekitar Taman Nasional Meru Betiri melalui partisipasi mengurangi kegiatan deforestasi dan degradasi serta penurunan biodiversitas, (2) Mengembangkan system monitoring pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi serta peningkatan stok karbon Taman Nasional Meru Betiri yang terukur dan dapat dipercaya, terlaporkan, dan terverifikasi. Proyek telah menerbitkan hasil penelitian dalam bentuk publikasi yag dibedakan untuk beberapa pengguna yaitu berupa laporan teknis, makalah pendukung dalam bahasa Indonesia, dan draft laporan dua kali setahun; dan pengembil keputusan berupa policy brief. Publikasi dapat diunduh pada Website: Http://ceserf-itto.puslitsosekhut.web. id dan mailing list yaitu,
[email protected].
Profil Puspijak
2011
•
25
10. Forest Carbon Partnership Facility (2011-2012)
Indonesia telah menandatangani "kesiapan" (persiapan) dana hibah dari Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF, Bank dikelola TF multi donor sebesar US $ 3,6 juta) dan REDD PBB (dikelola TF dilaksanakan oleh FAO, UNDP, dan UNEP, dengan dukungan dari Norwegia). Tujuan dari hibah FCPF adalah untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan kapasitas Indonesia untuk merancang strategi nasional REDD +, mengembangkan skenario referensi nasional dan sub-nasional dan sistem pengukuran, pelaporan dan verifikasi, sesuai dengan kondisi lokal / regional dan nasional. Negara-negara yang berpartisipasi dalam Mekanisme Kesiapan FCPF didorong untuk menggunakan Penilaian Sosial dan Lingkungan Strategis (SESA) untuk menilai dampak potensial dari nasional + program REDD dan kebijakan, merumuskan alternatif dan strategi mitigasi dan meningkatkan proses pengambilan keputusan seputar desain kerangka kerja REDD+ nasional, the SESA dianggap sebagai alat yang memadai untuk tujuan ini karena menawarkan platform untuk konsultasi untuk mengintegrasikan kepedulian sosial dan lingkungan ke dalam proses pembuatan kebijakan hulu. The SESA akan dilengkapi dengan Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMF), yang akan memandu investasi-investasi potensial dalam proyek-proyek REDD +, kebijakan dan kegiatan demonstrasi, menuju kepatuhan terhadap kebijakan upaya perlindungan.
2.2.2 Kerjasama Dalam Negeri 11. Kajian Pemenfaatan Kayu Karet Sebagai Bahan Baku Alternatif Industri Pengolahan Kayu dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan 2001
Proyek ini dilaksanakan tahun 2001 oleh Puslit Sosek Kehutanan yang didanai oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta.Tujuan dari proyek ini adalah menelaah potensi kayu karet sebagai bahan baku industri pengolahan kayu, infrastruktur yang ada, dan perkembangan diversifikasi pemakaian kayu karet.
“Kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan rotan perlu dievaluasi karena kebijakan pemerintah masa lalu seringkali kurang memperhatikan berbagai kepentingan yang terlibat”
Penurunan potensi kayu dari hutan alam dan ketidak berhasilan pembangunan hutan tanaman, mendorong industri perkayuan mencari bahan baku alternatif dari sektor perkebunan terutama perkebunan karet. Indonesia memiliki perkebunan karet terluas di dunia, yaitu sekitar 3 juta hektar atau sekitar 30% dari total luas kebun karet di dunia. Potensi kayu karet dari hasil peemajaan perkebunan besar dan perkebunan rakyat sekitar 2,5 juta m3/tahun. Dalam tahun 2002 dan 2003 peremajaan perkebunan karet di berbagai provinsi diperkirakan mampu memasok kayu sebanyak 5,22 juta m3 dan 6,53 juta m3. Kayu karet (Hevea brasiliensis) memiliki warna, tekstur, sifat fisik dan mekanik yang baik bahkan memiliki kesamaan karakeristik dengan kayu ramin (Gonystylus sp) yang sudah cukup dikenal di pasaran domestik dan international. Saat ini telah berkembang industri pengolahan kayu karet dengan diversifikasi produknya seperti moulding, finger jointing, furniture, kitchen utensil, dan veneer dengan nilai tambah produk yang lebih tinggi. Siklus tanaman karet relatif cukup panjang (25-20 tahun), namun secara finansial tanaman karet dengan daur panjang tersebut cukup menguntungkan jika produknya merupakan kombinasi antara lateks dan kayunya. Tingkat peremajaan perkebunan karet rakyat sekitar 1% dan perkebunan karet besar sekitar 4% cukup mendukung penyediaan kayu karet secara nasional. Namun permasalahan utamanya adalah aksesibilitas yang rendah karena angkutan jalan masih berupa tanah yang hanya dapat dilalui pada musim kemarau. Jarak pengangkutan kayu karet ke industri pengolahannya berjarak 26
•
Penelitian dan Kerjasama
antara 30 hingga 200 km sehingga diharapkan penggunaan mobile sawmill akan menurunkan biaya pengangkutannya dalam bentuk kayu gergajian. Dalam hal ini perlu digalang informasi terkait dengan lokasi penyebaran, jadwal dan luas areal peremajaan oleh Dirjen Perkebunan sehingga informasi tersebut akan ditindak lanjuti dan dimanfaatkan oleh para pemilik industri perkayuan untuk kerjasama memasok kayu karet untuk keberlangsungan industrinya. 12. Kebijakan Stabilisasi Harga Rotan dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan 2001
Proyek ini dilaksanakan tahun 2001 oleh Puslit Sosek Kehutanan yang didanai oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta. Tujuan dari proyek ini adalah mengkaji berbagai peraturan dan kebijakan terkait dengan stabilisasi harga rotan yang memiliki potensi dan nilai ekonomi yang cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan 1) mendukung kondisi harga stabil dan wajar di tingkat daerah produsen rotan dan 2)menciptakan kontinuitas suplay rotan yang cukup, distribusi yang lancar dan harga yang stabil sesuai dengan permintaan industri pengolahan rotan. Pada tahun 1985 produksi rotan hanya mencapai 120.000 ton per tahun yang semuanya berasal dari jenis rotan komersil. Rotan yang diproduksi selama ini (sebelum tahun 1986) diolah dan diproses oleh negara lain untuk dijadikan barang setengah jadi (semi-finished product) dan barang jadi (finished product) sehingga keuntungan terbesar berada dalam genggaman negara pengolah rotan lanjutan. Saat ini industri rotan menghadapi berbagai persoalan dari mulai ancaman kelangkaan bahan baku terutama untuk rotan yang berdiameter besar seperti rotan manau sehingga beberapa industri sudah beralih dengan menggunakan jenis-jenis alternatif lainnya yang kurang komersial. Disamping itu rendahnya daya saing produk rotan Indonesia di pasar internasional membawa dampak kepada penurunan permintaan atas produk-produk rotan.
Oleh karena itu berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan rotan perlu dievaluasi karena kebijakan pemerintah masa lalu seringkali kurang memperhatikan berbagai kepentingan yang terlibat di dalamnya, khususnya kelompok masyarakat kecil seperti petani dan pemungut rotan. Sebagai contoh pengenaan PSDH terhadap semua jenis rotan merupakan kebijakan yang disinsentif bagi para petani rotan yang memiliki kebun rotan sendiri karena rotan yang dibudidayakan tidak seharusnya dikenakan retribusi atau PSDH tersebut. Contoh lainnya adalah pemberlakukan SKSHH ( Surat Keterangan Sah Hasil Hutan) yang semula untuk memonitor lalu lintas perdagangan rotan tetapi dalam prakteknya sering disalahgunakan dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi bagi para pedagang perantara rotan sehingga dampaknya terasa di tingkat petani dan pemungut rotan dimana rotan yang dijualnya dihargai relatif rendah dari harga pasar yang seharusnya. Harga rotan dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang cukup signifikan dimana tahun 1981 harga rotan Rp. 1800,- per kg, tahun 1986 harga rotan sebesar Rp. 1600,- per kg, tahun 1990 harga rotan sebesar Rp. 740,- per kg, dan harga rotan menjadi Rp. 450,- per kg. Jadi pada dasarnya ada kaitan erat antara pemantapan supply dengan stabilisasi harga rotan. Ada beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan dalam upaya pemantapan supply dan stabilisasi harga rotan, diantaranya: (i) penentuan harga eceran tertinggi (HET) untuk rotan yang ditetapkan oleh pemerintah, (ii) rattan buffer stock, (iii) pengendalian harga rotan dengan metoda operasi pasar, (iv) kesepakatan pembagian rasio keuntungan, dan (v) kombinasi dari keempat metoda di atas.
Profil Puspijak
2011
•
27
3 Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Puspijak
Dalam perjalanannya Puspijak telah mendiseminasikan hasil-hasil penelitiannya dalam beberapa bentuk yaitu melalui publikasi hasil penelitian dan event-event ilmiah. Diseminasi hasil penelitian menjadi hal krusial agar hasil penelitian dapat bermanfaat bagi pengguna.
3.1.2 Prosiding
Publikasi PUSPIJAK terdiri atas majalah ilmiah, news letter, booklet serta leaflet dan pada tahun 2008 telah dibangun website khusus PUSPIJAK. Publikasi PUSPIJAK terbagi untuk memuat hasil penelitian social dan ekonomi kehutanan, hasil pemikiran konseptual/ide/gagasan ilmiah serta tinjauan/ulasan ilmiah, analisis dan rekomendasi kebijakan serta artikel popular terkait aspek social, ekonomi dan kebijakan sektor kehutanan.
3.1 Jenis Publikasi PUSPIJAK 3.1.1 Jurnal Nama Publikasi
Keterangan
Nama Publikasi
Keterangan
Pengembangan Hutan Rakyat Mendukung Kelestarian Produksi Kayu Rakyat
Tahun penyelenggaraan seminar: 2007
Peran Serta Para Pihak dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan DAS Cicatih Cimandiri
Tahun penyelenggaraan seminar: 2006
Kumpulan abstrak hasil penelitian
Tahun 2000 – 2005 Tahun 1999 – 2002 Tahun 2005
Jurnal Analisis Kebijakan
Terbit tiga kali dalam setahun
Kumpulan abstrak hasil penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan
Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan (Terakreditasi LIPI kategori B)
Terbit empat kali dalam setahun
Seminar Hasil Penelitian Acacia Mangium
Info Sosial Ekonomi Kehutanan (Terakreditasi LIPI kategori C)
Terbit empat kali dalam setahun
2006
Akreditasi LIPI
B 28
•
Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Puspijak
2007 2008 2009 2010
3.1.3 Flyer
3.1.5 Website
Nama Publikasi
Keterangan
Berita Sains dan Teknologi Hutan Lestari (Bestari):
Tahun 2007
Sludge Industri Kertas : Limbah atau Hasil Akhir yang Terpinggirkan
Tahun 2007
Nyamplung, Harapan Baru Biodiesel Indonesia
Tahun 2008
Nama Publikasi/Alamat www.puslitsosekhut.wed.id
Keterangan Tahun 2008
3.1.4 Policy Brief Nama Publikasi
Keterangan
Kayu Perkebunan : Potensi yang Masih Terlupakan
Tahun 2007
Air, Produk Hutan yang Menguap
Tahun 2007
Pengawetan Kayu: Menghemat Penggunaan Kayu Perumahan dan Mengurangi Tekanan Terhadap Hutan
Tahun 2007
Bibit Berkualitas: Solusi Keberhasilan Hutan Tanaman dan Rehabilitasi Lahan
Tahun 2008
3.1.6 Buku Ilmiah 1. Potensi Ekowisata di Taman Nasional
Nama Publikasi
Profil Puspijak
Keterangan
Potensi Ekowisata di Tahun 2009 Taman Nasional
2011
•
29
4. Cadangan Karbon
2. REDD+ and Forest
Nama Publikasi
Keterangan
REDD+ and Forest
Tahun 2010
Nama Publikasi Cadangan Karbon
Keterangan Tahun 2011
5. Panduan Penerapan REDD+
3. Social Forestry
Nama Publikasi Social Forestry
Keterangan Tahun 2010
30
•
Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Puspijak
Nama Publikasi Cadangan Karbon
Keterangan Tahun 2011
4 Foto Display Publikasi Event-event ilmiah yang telah dilaksanakan Puspijak terdiri atas seminar-seminar hasil penelitian dan seminar topic khusus, temu lapang, diskusi ilmiah, Focus Group Discussion (FGD), pelatihan, berpartisipasi dalam Gelar Teknologi Badan Litbang dan pameran ilmiah. Jenis Event ilmiah Puspijak sebagai berikut:
4.1 Seminar 1. Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembang unan Kehutanan Dilaksanakan pada tanggal 13 September 2005 bertempat di Hotel Pangrango II, Bogor. Seminar ini menyajikan makalah hasil penelitian sosial ekonomi kehutanan serta UPT Binaan. 2. Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium Untuk mengetahui research status/pencapaian IPTEK Acacia mangium dalam berbagai aspek dari hulu sampai hilir yang telah dilakukan oleh Badan Litbang kehutanan. Dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2005 di Ruang Rimbawan I Gedung Manggala Wanabakti Jakarta. Makalah yang disajikan meliputi aspek pemuliaan dan perbenihan, pembibitan, silvikultur, pengolahan dan pemanfaatan serta aspek ekonomi dan pemasarannya. 3. Seminar Peran Serta Para Pihak dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cicatih-Cimandiri Penyelenggaraan seminar ini merupakan hasil kerjasama dengan Lab Hidrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA-IPB. Seminar ini dihadiri seluruh pihak yang berkepentingan dengan pengelolan jasa lingkungan DAS Cicatih-Cimandiri yang meliputi: praktisi industri air kemasan, pengambil kebijakan/pemerintah daerah Kabupaten dan Kecamatan, dosen dan peneliti, serta Lembaga Swadaya Masyarakat. Acara dilaksanakan pada tangal 21 September 2006, bertempat di Hotel Pangrango Bogor. Profil Puspijak
2011
•
31
4. Seminar Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Pengembangan Industri Pulp di Indonesia Seminar ini diselenggarakan atas kerjasama dengan CIFOR. Dihadiri oleh para pihak yang terdiri dari para pengambil kebijakan lingkup Departemen Kehutanan, Peneliti, Kedutaan Besar Negara sahabat, Lembaga-lembaga penelitian dan Pergurunan Tinggi. Seminar ini dilaksanakan pada tanggal 28 Juni 2006 di Hotel Ibis Jakarta. 5. Seminar Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari Seminar ini dilaksanakan sebagai salah satu upaya untuk berbagi dan belajar dari pengalaman mengenai tata kelola kehutanan dalam konteks desentralisasi di tingkat daerah yang memiliki dimensi nasional bahkan global dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip good governance namun tetap mempertimbangkan nilai-nilai keindonesiaan serta kemamputerapan (applicability). Seminar dilaksanakan pada tanggal 23 November 2007 di Surakarta. 6. Pengembangan Hutan Rakyat Mendukung Kelestarian Produksi Kayu Rakyat Tujuan pelaksanaan seminar ini adalah sebagai upaya untuk mensosialisasikan hasil-hasil penelitian PUSLITSOSEK yang berkaitan dengan hutan rakyat dan kayu rakyat serta untuk berbagi informasi dan belajar dari pengalaman mengenai pengelolaan hutan rakyat dalam konteks kelestarian kayu rakyat dari pengguna dan masyarakat luas (stakeholders). Acara dilaksanakan pada tangal 3 Desember 2007 bertempat di Bogor. 7. Tinjauan Konsep, Regulasi dan Implementasi Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Pembangunan Kewilayahan dan Nasional Luaran yang diharapkan dari diskusi panel ini adalah diperolehnya rumusan/rekomendasi alternatif kebijakan perubahan fungsi kawasan hutan ke depan, yang telah mempertimbangkan dampak dan implementasi pembangunan lintas sektor, serta informasi kebutuhan riset yang mendukung perumusan dan implementasi kebijakan perubahan alih fungsi kawasan hutan.
32
•
Foto Display Publikasi
Diskusi Panel diselenggarakan pada tanggal 14 Agustus 2008 di Bogor. Dalam seminar ini disajikan 4 (empat) makalah utama yang akan didukung dengan beberapa makalah pendamping lainnya. Makalah Utama berasal dari Puslitsosek, Badan Planologi Kehutanan, Komisi IV DPR dan Forest Land Tenure Working Group yang akan memaparkan materi sebagaimana digariskan dalam tujuan
4.2 Temu Lapang 1. Temu Lapang Hasil Penelitian Untuk mensosialisasikan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan pengembangan hutan jati rakyat, dan pasokan serta permintaan mebel di Jawa Tengah. Dilaksanakan pada tanggal 14 Desember 2005 di Semarang.
4.3 Focus Group Discussion 1. Komunikasi Publik Riset Menjawab Tantangan Perubahan Iklim : Implementasi REDD+ di Indonesia Komunikasi publik diselenggarakan pada tanggal 1 Februari 2011 yang dibuka oleh Menteri Kehutanan dan bertujuan untuk mengkomunikasikan hasil riset perubahan iklim Puspijak kepada stakeholder terkait dan users. 2. Workshop Pendanaan dan Mekanisme Distribusi Insentif REDD+ Workshop yang merupakan kerjasama dengan ACIAR dilaksanakan pada 28 April 2011. Bertujuan menyampaikan hasil sementara kajian mengenai pendanaan dan mekanisme distribusi insentif REDD+ untuk mendapatkan masukan dari pihak-pihak terkait dalam rangka persiapan implementasi REDD+
Profil Puspijak
2011
•
33
3. Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama dengan tema REDD+ dan Implementasinya: “Peran Tokoh Agama dalam Pengurangan Dampak Perubahan Iklim” Komunikasi publik diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 15 Juni 2011 merupakan hasil kerjasama Kementerian Kehutanan dengan UN-REDD dan bertujuan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pemahaman dan pengertian para pihak khususnya para tokoh agama terhadap REDD+ sebagai upaya mengatasi dan mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim 4. Workshop Launching Kegiatan Kerjasama Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) Puspijak bekerja sama dengan World Bank pada tanggal 23 Juni 2011 menyelenggarakan workshop peluncuran FCPF, bertujuan untuk menyajikan proses FCPF dan mendapatkan masukan dalam pelaksanaan kerjasama.
34
•
Foto Display Publikasi
KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
PROFIL
(Pusat Penelitian dan Pengembagan Perubahan Iklim dan Kebijakan)
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email:
[email protected]; Website: http://www.puslitsosekhut.web.id