KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis Desa Raya Huluan atau yang biasa disebut dengan nama lokal adalah Nagori Raya Huluan yang menjadi lokasi penelitian merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara. Desa ini terletak ± 30 km dari kota Siantar. Kabupaten Simalungun merupakan kabupaten yang dikelilingi oleh gunung-gunung yaitu di sebelah timur dikelilingi oleh gunung Simbolon, di sebelah tenggara dikelilingi oleh Bukit Barisan, di sebelah selatan dikelilingi oleh gunung Simarjarunjung, di sebelah barat dikelilingi oleh gunung Sipiso-piso dan gunung Sibayak, di sebelah utara dikelilingi oleh gunung Simasi dan Simeluk, dan di sebelah timur laut dikelilingi oleh gunung Simarsolpa dan Simarsupit. Sebelah utara Nagori Raya Huluan berbatasan dengan Kecamatan Purba, di sebelah barat juga berbatasan dengan Kecamatan Purba, di sebelah selatan berbatasan dengan desa Dolok Huluan, dan di sebelah timur berbatasan dengan desa Raya Usang. Luas keseluruhan Nagori Raya Huluan adalah 1020 ha dan terletak pada ketinggian ± 800 meter diatas permukaan laut.
Gambar 1. Desa Raya Huluan/Nagori Raya Huluan
21
22
Topografi
wilayah
Nagori
Raya
Huluan
adalah
dataran
bergelombang/berbukit dengan tingkat kesuburan tanah sedang (tak basah dan tak kering). Nagori Raya Huluan memiliki kemiringan tanah 15°-45°, pH tanah = 4,5– 6,7 dan tingkat drainase sedang. Desa ini memiliki curah hujan rata-rata 1467,5 mm per tahun dan banyaknya hari hujan tahunan adalah 143 hari (data instansi pemerintahan desa tahun 2007).
Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Tata guna lahan di Nagori Raya Huluan didominasi oleh perladangan, yaitu tanaman-tanaman pertanian (tanaman pangan semusim) seperti padi, palawija, jagung, dan tanaman hortikultura lainnya. Selain itu ditanami juga dengan tanaman kopi dan sebagian besar penduduk di desa ini memiliki kebun kopi. Selebihnya tata guna lahan di desa ini digunakan untuk pekarangan dan hutan rakyat. Pekarangan ini biasanya ditanami dengan berbagai komposisi jenis tanaman, seperti tanaman pangan semusim, kopi, dan sedikit tanaman keras (jati, dan suren). Jumlah penduduk Nagori Raya Huluan berdasarkan data terbaru tahun 2007 adalah sebanyak 1575 orang mencakup 387 KK, terdiri dari 778 laki-laki (49,39%) dan 797 perempuan (50,60 %). Berdasarkan informasi yang sudah diperoleh mengenai keadaan penduduk, jumlah penduduk Nagori Raya Huluan untuk usia 10–17 tahun adalah sebanyak 425 orang (27 %), usia 18–35 tahun sebanyak 155 orang (10 %), usia 36–60 tahun sebanyak 570 orang (36 %), dan usia 60 tahun ke atas sebanyak 425 orang (27 %). Agama kepercayaan penduduk di Nagori Raya Huluan mayoritas adalah pemeluk agama Kristen Protestan
23
sebanyak 378 Kepala Keluarga (97,67 %) dan sisanya adalah pemeluk agama Islam sebanyak 9 Kepala Keluarga (2,32 %). Seperti pada umumnya di daerah-daerah pedesaan, warga Nagori Raya Huluan mayoritas mata pencahariannya adalah bertani, baik sebagai petani sebanyak 689 orang (95 %) maupun sebagai buruh tani sebanyak 7 orang (1%), sedangkan petani yang menyewa tanah adalah sebanyak 29 orang (4 %). Tingkat pendidikan penduduk di Nagori Raya Huluan pada usia produktif (18–35 thn) sebagian besar adalah tamat SLTA, yaitu sebanyak 58 orang. Selebihnya adalah tamat SD sebanyak 13 orang, tamat SLTP sebanyak 35 orang, tamat D1 (Diploma 1) sebanyak 15 orang, tamat D2 (Diploma 2) sebanyak 10 orang, tamat D3 (Diploma 3) sebanyak 17 orang, tamat S1 (Strata 1) sebanyak 5 orang, dan tamat S2 (Strata 2) sebanyak 2 orang. Kondisi demikian menunjukkan masyarakat di Nagori Raya Huluan ini berusaha dan berjuang menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi atau akademi, minimal sampai ke tingkat Sekolah Lanjutan Atas (SLTA). Diagram 1. Persentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia
27%
27%
425 10 s/d 17 th 155 18 s/d 35 th 570 36 s/d 60 th
10% 36%
425 > 60 th
24
Diagram 2. Persentase jumlah penduduk usia produktif (18- 35 thn) berdasarkan tingkat pendidikan
1% 3%
8%
11% 6%
23%
10%
13 SD 35 SLTP 58 SLTA 15 D1 10 D2 17 D3 5 S1 2 S2
38%
Sarana dan Prasarana Beberapa sarana dan prasarana umum yang terdapat di Nagori Raya Huluan antara lain adalah sarana ekonomi seperti 1 unit koperasi yang bernama C.U. Saroha. Untuk sarana produksi terdiri dari industri kecil kerajinan tangan dan industri kecil non-kerajinan tangan yang memproduksi podium Gereja dan peti mati dari bahan-bahan kayu gergajian atau papan.
Gambar 2. Industri Kecil Non-Kerajinan Tangan di Nagori Raya Huluan
Prasarana perhubungan berupa jalan darat atau jalan utama (beraspal) memiliki panjang ± 5 km yang menghubungkan dusun Marihat–Sihapalan–Raya Huluan–Gotting. Jalan utama ini biasa disebut dengan jalan protokol. Selain itu,
25
tersedia juga prasarana perhubungan jalan dusun yang menghubungkan dari jalan protokol ke dusun, seperti misalnya jalan yang menghubungkan dari protokol ke dusun Huta Bayu (2200 meter), dari protokol ke dusun Jandi Raya (2 km), dari protokol ke dusun Haban (4 km), dan dari protokol ke dusun Gunung Pane (1 km). Sebagian besar jalan-jalan ini masih jalan berbatu. Nagori Raya Huluan memiliki sarana perhubungan angkutan darat misalnya mobil angkutan umum yang memiliki rute perjalanan Siantar–Saribu Dolok melalui jalan utama. Jalan utama ini merupakan suatu aksesibilitas penting yang memperlancar kegiatan ekonomi maupun sosial-budaya di Kabupaten Simalungun, terutama di Nagori Raya Huluan. Nagori Raya Huluan belum memiliki sarana komunikasi seperti telepon, telegram, dan kantor pos. Tetapi
pada umumnya penduduk di Nagori Raya
Huluan sudah memiliki dan menggunakan telepon genggam (ponsel) pribadi karena bagi mereka sangat praktis dan cepat sehingga sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan komunikasi mereka. Sarana kesehatan terdiri dari PUSKESMAS dan POSYANDU, dan sarana ibadah seperti Gereja dan Mesjid juga tersedia di desa ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengelolaan Hutan Rakyat Pembuatan hutan rakyat di Nagori Raya Huluan sudah dimulai sejak tahun 1975. Pada tahun 1975, hutan rakyat di desa ini dimulai karena adanya Program Inpres Penghijauan dari pemerintah, yaitu berupa pemberian bibit Pinus merkusii dan bantuan dana untuk pengelolaan kepada petani pemilik lahan. Menurut Awang (2001), salah satu model pembentuk hutan rakyat berasal dari hasil kegiatan penghijauan yang dilaksanakan sejak tahun 1970-an, dan sampai sekarang masih terus berlangsung. Demikian juga halnya dengan hutan rakyat di Jawa pada tegalan, perkembangannya mulai nampak pada tahun 1970-an. Berarti, pada tahun 1970-an, secara nasional di seluruh Indonesia dilaksanakan program penghijauan, dimana dalam Instruksi Presiden No.8 tahun 1978 pengertian penghijauan adalah penanaman tanaman tahunan atau rumput-rumputan serta bangunan pencegah erosi di areal yang tidak termasuk areal hutan negara atau areal lain yang berdasarkan tata guna tanah tidak diperuntukkan sebagai hutan. Penghijauan itu dilakukan setelah melihat lahan-lahan terlantar dan lahan kritis, terkhususnya lahan-lahan masyarakat yang berada dengan kemiringan yang cukup tinggi (45°) sehingga tidak dapat ditanami tanaman-tanaman pangan. Bantuan berupa bibit dan dana itu selanjutnya dikelola petani. Mulai dari penanaman, pemeliharaan, pemanenan sampai dengan pemasaran semuanya diserahkan kepada petani/masyarakat bagaimana untuk mengelola dan melakukan yang terbaik sehingga kegiatan ini dapat berhasil. Maka dari itu, pola pengembangan hutan rakyat di Nagori Raya Huluan ini adalah dengan pola swadaya.
25
26
Dengan terlaksananya pembuatan hutan rakyat ini, maka akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat pemilik lahan hutan rakyat tersebut. Manfaat itu antara lain dapat merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas lahan-lahan kritis/terlantar, memanfaatkan secara maksimal dan lestari lahan yang tidak produktif agar berfungsi sebagai lahan produktif, membantu masyarakat dalam menyediakan kayu bahan bangunan, kayu bakar dan bahan baku industri, memperbaiki tata air dan lingkungan, mencegah terjadinya banjir dan erosi permukaan, dan dapat membantu perbaikan pendapatan masyarakat/menambah kontribusi pendapatan masyarakat pemilik/penggarap hutan rakyat. Hal ini didukung oleh pernyataan Jaffar (1993), yang menyatakan bahwa tujuan pembangunan hutan rakyat adalah : a. meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari; b. membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat; c. membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku industri serta kayu bakar; d. meningkatkan
pendapatan
masyarakat
tani
di
pedesaan
sekaligus
meningkatkan kesejahteraannya; e. memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS.
Kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Nagori Raya Huluan dimulai dengan kegiatan pendaftaran peserta dan persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.
27
1. Pendaftaran peserta dan persiapan lahan Tahap pertama adalah dengan pendaftaran para peserta program penghijauan/hutan rakyat kepada petugas penyuluh kehutanan (fasilitator). Setelah semua terdaftar, lalu ditetapkan atau dipilih ketua kelompok tani peserta penghijauan berdasarkan kesepakatan bersama para peserta. Kemudian daftar peserta yang diketahui oleh kepala desa dibawa ke Dinas Kehutanan, dan kesepakatanpun dilakukan. Adapun bentuk kesepakatan atau perjanjian antara petani dan Dinas Kehutanan adalah dalam bentuk Surat Perjanjian Kerja (SPK). SPK ini berisi kesepakatan bahwa hasil dari kayu kegiatan penghijauan ini menjadi hak milik dari yang punya lahan dan lahan yang ditanami ini tetap menjadi milik petani. SPK ini ditandatangani oleh peserta program penghijauan, ketua kelompok, kepala desa dan Dinas Kehutanan. Adapun kewajiban dari para peserta (petani) adalah menanam dan memelihara bibit Pinus merkusii yang telah diberikan dengan sebaik-sebaiknya. Kewajiban pemerintah (Dinas Kehutanan) adalah : •
memberikan bantuan berupa bibit pinus dan biaya/dana kepada para peserta melalui ketua kelompok, dan besarnya dana ini sudah ditentukan oleh Dinas Kehutanan.
•
Dinas Kehutanan berkewajiban mengawasi dan memberikan bimbingan teknis di lapangan melalui petugas teknis lapangan (penyuluh) bagi para peserta penghijauan selama kegiatan berlangsung mulai dari pembibitan, cara pembuatan larikan, jarak tanam, piringan, lubang tanam, dan penanaman. Setelah SPK selesai diurus, maka dilakukan pengukuran dan pemetaan
lokasi oleh BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) pada setiap lahan
28
yang akan ditanami. Adapun tujuan dari pengukuran lokasi ini adalah untuk mengetahui batas-batas dari masing-masing pemilik lahan dan memetakannya sehingga diketahui dengan jelas lokasi yang akan ditanami menjadi hutan rakyat. Setelah itu, dilakukan pembuatan larikan tanaman sebagai arah acuan penanaman sesuai dengan garis kontur sekaligus pemasangan ajir dengan jarak tanam 5 m x 5 m. Kemudian dilakukan pembuatan piringan tanaman dengan diameter 1 meter. Setelah itu dilakukan pembuatan lubang tanaman, lalu dibiarkan selama 1-2 minggu dengan tujuan supaya tanahnya gembur. Kemudian Dinas Kehutanan mengadakan pembibitan pinus di lokasi desa yang bersangkutan. Dinas Kehutanan melalui petugas teknis lapangan (penyuluh kehutanan) berperan memberikan bimbingan teknis dan mengawasi pembibitan ini. Tenaga kerja dalam pembibitan ini adalah penduduk/warga setempat, dan biasanya juga ada mandor yang mengawasi kegiatan ini. Upah yang diberikan oleh Dinas Kehutanan kepada para tenaga kerja dalam pembibitan ini sesuai dengan UMR (Upah Minimum Relatif) pada saat itu.
2. Persemaian 2.1. Pemilihan tempat persemaian Tempat – tempat persemaian harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Lapangan harus datar dan bila tempatnya miring maka derajat kemiringan tempat jangan melampaui 5 %. b. Mudah memperoleh air sepanjang tahun. c. Sebaiknya iklim dan ketingian tempat dari permukaan laut harus sesuai dengan persyaratan jenis yang akan disemai.
29
d. Tanahnya yang subur, tidak liat dan bebas dari batu kerikil. e. Jangan dipilih tempat penggembalaan atau bekas tanah pertanian/areal yang telah terjangkit hama/penyakit tanaman. f. Letak persemaian sebaiknya di tengah-tengah atau dekat dengan lapangan penanaman. g. Dipinggir
jalan angkutan untuk
memudahkan pengangkutan dan
pengawasan. h. Dekat dengan desa untuk memudahkan mendapat tenaga kerja dan bahanbahan yang diperlukan. 2.2. Pembuatan bedeng persemaian a. Standar bedengan penaburan dan penyapihan adalah 5 x 1 m pada tempattempat yang memungkinkan. Adanya ketentuan ini akan memudahkan dalam pengaturan pekerjaan dan dalam pengaturan perhitungan banyaknya bibit. Untuk beberapa jenis tanaman berbiji halus, diperlukan bak–bak penaburan berukuran 1 x 1 m atau 2 x 1 m. b. Lapangan untuk keperluan bedengan harus dicangkul dan digebrus beberapa kali agar tanahnya menjadi halus dan ringan bila perlu tanah yang lebih halus lagi (untuk bedeng tabur) dapat dilakukan pengayakan tanah dengan ayakan yang dibuat dari kawat, semua akar-akar atau batu yang ada didalamnya dibuang. c. Bentuk bedengan empat persegi panjang dimana pinggirnya diperkuat dengan bamboo, batu merah, kayu atau bahan lain yang dapat digunakan agar tanah didalamnya tidak berhamburan keluar.
30
d. Permukaan bedengan ditinggikan 10 cm–15 cm sehingga lebih tinggi dari permukaan tanah. e. Letak bedengan memanjang ke arah Utara Selatan dan antar jalur bedengan lainnya harus ada jalan kecil selebar 0,45 m untuk bekerja. f. Setiap 5–10 m bedengan harus dibuat jalan pemeriksaan selebar 60–100 m. g. Saluran–saluran air umumnya dibuat sepanjang kanan kiri jalan pemeriksaan. Pembuatannya harus memudahkan penyaluran air ke setiap bagian persemaian. h. Bagi benih yang perkecambahannya membutuhkan naungan, maka bedengan–bedengan
penaburan
perlu
diberi
atap,
tiap–tiap
atap
menghadap ke arah timur dengan tiang yang tingginya 75 cm dan tiang yang menghadap ke Barat tingginya 50 cm. 2.3. Pemeliharaan bibit persemaian Bibit–bibit didalam bedeng sapih harus dipelihara sampai bibit tersebut siap untuk ditanam di lapangan. Pemeliharaan tersebut meliputi penyiraman, penyiangan, pemupukan serta pencegahan dan pemberantasan hama/penyakit.
3. Penanaman Sebelum penanaman dilakukan, adapun kegiatan yang harus dipersiapkan dahulu di lokasi penanaman adalah pembuatan larikan sesuai garis kontur dan sekaligus pemasangan ajir. Lalu dilakukan pembuatan piringan tanaman dengan diameter 1 meter. Setelah itu dilakukan pembuatan lubang tanaman, lalu dibiarkan selama 1-2 minggu dengan tujuan supaya tanahnya gembur.
31
Pada pelaksanaan pembuatan hutan rakyat, penanamannya dapat dilaksanakan dengan berbagai cara tergantung dari jenis tanaman yang akan dikembangkan. Pada umumnya setiap jenis tanaman mempunyai persyaratan tumbuh, hal ini tergantung pada kondisi tempat tumbuhnya. Pinus merkusii merupakan tanaman yang dipilih dalam penghijauan di desa ini dan sangat mendominasi. Hal ini disebabkan karena pinus merupakan jenis yang sangat cocok dengan kondisi tempat tumbuh di desa ini dan sangat mudah dalam pemeliharaannya. Menurut Dinas Kehutanan Simalungun (1997), Pinus merkusii memiliki persyaratan tumbuh sebagai berikut : -
dapat tumbuh pada ketinggian 200–2000 meter diatas permukaan laut
-
tidak meminta persyaratan tempat tumbuh yang tinggi
-
Curah Hujan antara 1500 mm–4000 mm / tahun
Kondisi lingkungan di Nagori Raya Huluan sangat sesuai dengan persyaratan tempat tumbuh pinus ini, sehingga pada umumnya hutan rakyat pada program penghijauan di Nagori Raya Huluan ini adalah tanaman hutan rakyat pinus (Pinus merkusii) atau tanaman yang ditanam didominasi oleh tanaman pinus sehingga menjadi suatu hutan rakyat yang memiliki manfaat yang cukup tinggi, baik itu manfaat ekonomis (menambah pendapatan petani hutan rakyat, sebagai bahan bangunan untuk membangun rumah petani, sebagai bahan untuk kayu pertukangan/industri) maupun manfaat ekologis (mencegah erosi/degradasi lahan). Namun demikian, sumber pendapatan para petani ini tidak hanya dari hutan rakyat. Mereka juga bertani dengan menanam tanaman-tanaman pertanian
32
dan tanaman pangan semusim, (jagung, padi, cabai, kunyit, dll) dan juga berkebun kopi, baik untuk dijual maupun untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Penanaman pinus dilakukan ke dalam lubang–lubang yang telah dibuat dengan jarak tanam 5 m x 5 m. Dengan demikian, maka per hektarnya ada terdapat 400 batang tanaman pinus dan ini merupakan suatu kebijakan dan ketetapan dari pemerintah (Dinas Kehutanan). Pada pelaksanaan pembuatan tanaman, teknik penanaman dapat dilaksanakan dengan berbagai cara tergantung dari jenis tanaman yang akan dikembangkan. Menurut Dishut Simalungun (1997), teknik penanaman pinus dapat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: 3.1. dengan cara puteran Cara ini dilakukan dengan menanam bibit di lapangan berikut tanah asal dari pembibitan, akar tidak telanjang. Umumnya semua jenis tanaman dapat dengan cara puteran. 3.2. dengan bumbung Cara ini hampir sama dengan puteran, hanya bibit masih dalam bumbung. Pada waktu menanam hendaknya bumbung dilepas/disobek supaya tidak mengganggu pertumbuhan selanjutnya, khususnya untuk tanaman berbiji kecil baik dilakukan dengan cara ini.
4. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi : 4.1. Penyiangan, pendangiran, dan penyulaman. Penyiangan dan pendangiran adalah upaya untuk membebaskan tanaman dari jenis – jenis tanaman pengganggu (rumput liar). Penyiangan adalah upaya
33
pembebasan tanaman dari jenis–jenis pengganggu atau gulma seperti rumput– rumputan dan semak. Pendangiran adalah upaya penggemburan tanah disekeliling tanaman dengan maksud memperbaiki kondisi fisik tanah. Penyiangan dilakukan dengan jarak 50 cm, sedangkan penggemburan tanah minimum jarak 25 cm disekeliling tanaman agar dapat tumbuh dengan baik. Sedangkan penyulaman adalah upaya atau usaha penanaman untuk mengganti tanaman yang rusak/mati. 4.2. Pengawasan terhadap api Pengawasan terhadap timbulnya api merupakan salah satu hal yang paling penting dalam pemeliharaan pinus karena pinus merupakan tanaman yang sangat mudah terbakar. Hal ini juga menjadi kewajiban para petani peserta program penghijauan, jadi sangat diperlukan perhatian dan pengawasan terhadap api. Kebakaran di hutan pinus bisa dengan mudah terjadi bila kurangnya kesungguhan perhatian terhadap pohon–pohon pinus dari gangguan api. Gangguan api/titik–titik api bisa ditimbulkan oleh beberapa hal, misalnya pembakaran ampas–ampas padi dalam kegiatan–kegiatan pertanian di lembah–lembah atau jurang–jurang yang lokasinya berdekatan dengan pohon–pohon pinus. Faktor lain yang dapat menyebabkannya adalah faktor ketidaksengajaan, misalnya puntung–puntung rokok yang dibuang dengan sembarangan oleh orang–orang yang tidak bertanggungjawab, dan lain sebagainya. Selain kegiatan–kegiatan tersebut, tidak ada lagi kegiatan pemeliharaan yang lain seperti pemupukan, penjarangan maupun pemberantasan hama penyakit.
5. Pemanenan
34
Pada umumnya, pinus dapat dipanen pada umur ± 20 tahun. Kayu pinus ditebang petani hutan rakyat hanya ketika dibutuhkan saja, baik untuk keperluan membangun rumah/bangunan sendiri maupun untuk dijual guna mendapatkan uang tunai. Para petani akan memanen atau menjual kayu pinus tersebut di lahan miliknya masing-masing disaat mereka memang benar-benar membutuhkannya (untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak). Salah satu kebutuhan yang mendesak itu adalah keperluan untuk biaya melanjutkan pendidikan/sekolah anakanaknya, khususnya ke jenjang perguruan tinggi. Sistem penebangan di desa ini dilakukan dengan sistem tebang habis. Biasanya di desa ini, petani menjual kayu pinusnya kepada pembeli (pengusaha) dalam keadaan pohon berdiri dan diborongkan. Pemanenan kayu gelondongan ini biasanya dilakukan oleh pembeli, karena mereka telah mempunyai modal dan peralatan yang lebih memadai seperti gergaji mesin (chain saw) dan sarana pengangkutan. Sistem pemanenan yang tebang habis menyebabkan banyak tegakan yang memiliki diameter kurang dari 16 cm (syarat minimal industri pembeli) ditebang dan tidak bisa dijual sehingga hanya dijadikan kayu bakar. Sistem penebangan seperti ini juga bisa kita jumpai di hutan rakyat pinus desa Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara, dimana di desa ini (hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Aek Nauli tahun 2006) memiliki sistem penebangan yang sama dengan Nagori Raya Huluan. Hal ini juga bisa kita bandingkan dengan sistem penebangan kayu hutan rakyat (jati, akasia dan mahoni) di kawasan pegunungan Kapur Selatan pulau Jawa yang berbeda dengan di Nagori Raya Huluan. Perbedaannya adalah sistem penebangan hutan rakyat di kawasan pegunungan Kapur Selatan ini memakai sistem tebang pilih.
35
6. Pemasaran Kayu yang dijual oleh masyarakat/pemilik hutan rakyat di Nagori Raya Huluan biasanya melalui agen kayu terlebih dahulu. Agen kayu adalah seseorang yang profesinya/pekerjaannya adalah mencari dan menyediakan kayu (dalam hal ini kayu pinus) dari lahan-lahan petani hutan rakyat kepada pengusaha–pengusaha pinus rakyat (pembeli kayu), baik pengusaha industri kecil maupun besar untuk keperluan sumber bahan baku bagi industri–industri tersebut. Agen kayu di Nagori Raya Huluan dalam hal ini adalah seorang penduduk yang berdomisili di desa tersebut. Agen
kayu
ini
memiliki
keahlian
dalam
mencari
kayu
dan
menaksir/menghitung berapa kira–kira volume kayu yang dapat dihasilkan dari suatu lahan hutan rakyat yang benar–benar layak untuk dikomersilkan. Dengan demikian, agen kayu ini dapat memberikan keterangan/informasi kepada pengusaha kayu pinus rakyat yang sedang mencari kayu pinus, yaitu berapa jumlah pohon dan volume kayu yang dapat dihasilkan di pabrik/kilang kayu. Agen kayu ini dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan dari pengusaha kayu atau dengan perkataan lain agen kayu merupakan penyedia jasa bagi para pengusaha kayu yang memang benar–benar membutuhkan jasanya. Tentu saja pengusaha kayu harus membayar jasa kepada agen kayu tersebut, dan besarnya nilai/nominal jasa yang harus dibayarkan tersebut adalah tergantung kesepakatan dan negosiasi diantara mereka. Sistem penjualan kayu pinus di Nagori Raya Huluan ada 2 macam, yaitu : 6.1. Diborongkan (sistem borong)
36
Sistem ini dikatakan sistem borong bila pengusaha (pembeli) melalui agen kayu datang dan berminat membeli kayu–kayu pinus kepada si pemilik kayu. Kemudian agen kayu akan menaksir/memperkirakan berapa kira–kira kubikasi kayu yang dapat dihasilkan dari kayu–kayu tersebut. Pembeli kayu membeli kayu –kayu pinus tersebut dalam keadaan pohon berdiri lalu dihitung jumlahnya dan dikalikan dengan harga per pohonnya sesuai dengan kesepakatan antara pembeli dan pemilik. Kemudian transaksipun dilakukan antara pembeli kayu dengan pemilik kayu. Cara penjualan seperti ini banyak dilakukan petani karena dianggap mudah dan praktis, sehingga tidak menyusahkan petani. Bila kesepakatan harga sudah didapat, maka pemanenanpun segera dilaksanakan. Biasanya di desa ini, pemilik lahan hanya tinggal terima bersih, yang berarti si pengusaha/pembeli yang mengurus semua kegiatan operasional dan mengeluarkan biaya yang diperlukan dalam kegiatan penebangan, penyaradan, pengangkutan, pemasaran, dan termasuk perijinan. Perijinan dalam menebang pohon, mengangkut, dan memasarkan kayu dari hutan tanah milik harus dimiliki. Perijinan yang dimaksud adalah Ijin Pemanfaatan Kayu pada Tanah Milik (IPKTM). IPKTM merupakan surat ijin atau
wewenang tertulis untuk kegiatan
penebangan pohon, pengumpulan, pengangkutan dan pemasaran kayu yang menjadi suatu bukti kelegalitasan kayunya, atau surat keterangan yang menyatakan sahnya pengangkutan, penguasaan, atau kepemilikan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat. IPKTM dapat diberikan pada setiap orang atau badan hukum atau koperasi yang melakukan kegiatan pemanfaatan kayu pada tanah milik yang tumbuh hasil tanaman.
37
Adapun prosedur penjualan dan sekaligus perijinan (IPKTM) yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Seseorang yang memiliki pinus dan mau menjualnya, harus terlebih dahulu mengurus Surat Keterangan Tanah (SKT) dari Kepala Desa (Penghulu). SKT ini berisikan bahwasannya si pemilik benar memiliki suatu tanah/lahan yang disertai dengan luasnya, dan di atasnya ditumbuhi jenis pohon yang disertai dengan jumlahnya. b.
Kemudian kepala desa meninjau ke lokasi untuk mengecek kebenaran keberadaan lahan dan kayu (pohon) di lahan pemilik tersebut.
c. Setelah SKT selesai diurus dan sudah diperoleh si pemilik, lalu diurus akte tanah dari camat setempat. d. Setelah akte tanah selesai diurus, maka SKT diserahkan kepada si pembeli/pengusaha, lalu si pembeli mengusulkan permohonan penebangan kayu ke Dinas Kehutanan dengan menyertakan SKT, surat jual beli yang sudah ditandatangani oleh si pemilik lahan dan si pembeli, dan KTP. e. Setelah itu, Dinas Kehutanan akan datang ke lokasi/lahan hutan rakyat yang bersangkutan untuk melakukan cruising (peninjauan resmi ke lokasi). f. Setelah cruising, maka IPKTM dapat dikeluarkan lalu penebangan kayu bisa dikerjakan. Biaya yang dikenakan dalam IPKTM ini adalah sebesar Rp 100.000 per meter kubik.
38
Gambar 3. Sebuah Surat Keterangan Tanah (SKT) yang Diurus melalui Penghulu (Kepala Desa) di Nagori Raya Huluan
6.2. Sistem Kubik ( Kubikasi ) Cara perhitungan besarnya harga kayu pinus berikut ini adalah dengan sistem kubik atau berdasarkan jumlah volume kayu pinus yang diperoleh. Di lokasi penelitian ini, masyarakat menjual pinusnya berdasarkan volume kayu pinus dan biasanya mereka juga menjual kayu pinusnya kepada pengusaha kayu berdasarkan truk engkel. Truk engkel adalah sejenis truk/transportasi alat angkut kayu, dan pengusaha kayu menggunakan truk engkel ini untuk mengangkut kayu bulat pinus hasil tebangan. Satu truk engkel itu sudah ditetapkan bermuatan 10 m³ kayu bulat, dimana 1 m³ kayu pinus dihargai sebesar Rp 100.000, sehingga 1 truk engkel itu (10 m³) berharga Rp 1.000.000. Tentu saja perijinan (IPKTM) tidak terlepas dalam kegiatan ini. Kemudian pemanenanpun dilakukan, dan setelah pemanenan dilakukan, kayu bulat pinus hasil tebangan dimuat ke dalam truk engkel, dan transaksi antara si pemilik kayu dan pembeli (pengusaha kayu) pun dilakukan dan kemudian besarnya harga yang harus dibayar pengusaha kayu kepada si pemilik kayu adalah
39
tergantung dari kubikasi/volume kayu yang diperoleh. Semua biaya operasional penebangan, pengangkutan dan IPKTM dilakukan dan ditanggung oleh pengusaha (pembeli) kayu. Setelah itu, pemasaran kayu hasil tebangan inipun selanjutnya dilakukan oleh pengusaha kayu. Pengusaha–pengusaha
kayu
tersebut
adalah
dapat
berupa
pengusaha/pengumpul/pembeli pinus rakyat dan pengusaha industri-indusri kayu baik skala kecil maupun menengah. Pengusaha pinus rakyat menjual kayu (pinus) dari hasil hutan rakyat ke panglong (usaha dagang kayu) maupun industri pengolahan kayu skala kecil dan menengah, (misal industri kayu gergajian, industri meubel lokal, dsb) yang berada di Pematang Siantar, dsb. Kayu tersebut diolah untuk berbagai kegunaan seperti bahan pertukangan, papan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Harga kayu yang dijual oleh pengusaha pinus rakyat ini di pabrik/industri pengolahan kayu adalah Rp 700.000 per meter kubik. Industri pengolahan kayu akan mengolah kayu-kayu pinus tadi sebagai bahan baku. Industri kayu gergajian misalnya, akan mengolah kayu pinus itu menjadi menjadi kayu–kayu gergajian, kemudian kayu-kayu gergajian ini akan dibeli oleh industri–industri meubel lokal sebagai bahan baku. Adapun saluran pemasaran hasil hutan rakyat di Nagori Raya Huluan kira – kira dapat digambarkan melalui ilustrasi gambar 4 berikut ini : Hasil Hutan Rakyat
agen kayu
Industri Penggergajian
Pengusaha pinus rakyat
Panglong
Industri Meubel Lokal
Gambar 4. Saluran Pemasaran Hasil Hutan Rakyat Nagori Raya Huluan
40
Manfaat Ekonomis yang Diperoleh dari Hutan Rakyat Manfaat ekonomis yang diperoleh dari hutan rakyat di Nagori Raya Huluan adalah berupa penambahan pendapatan petani dan penyerapan tenaga kerja. a. Penambahan pendapatan petani Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan di Nagori Raya Huluan terhadap 15 Kepala Keluarga (KK) pemilik hutan rakyat (petani hutan rakyat), ternyata pada tahun 2007 terdapat 8 KK yang sudah memanen pinusnya, dan 7 KK lagi belum memanen pinusnya. Adapun kontribusi penambahan pendapatan petani dari hutan rakyat (hasil hutan kayu dan non kayu) pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 76.600.000 atau berkisar 15,02 % dari seluruh sumber-sumber pendapatan petani. Kontribusi yang diperoleh hasil hutan kayu (pinus) adalah sebesar Rp 52.100.000 (10,21%), hasil hutan non kayu (HHNK) berupa kulit manis (Cinamomum burmanni) sebesar Rp 11.530.000 (2,26%), bambu (Bambusa sp) sebesar Rp 6.800.000 (1,34%) dan aren (Arenga pinata) sebesar Rp 6.120.000 (1,20%). Kulit manis kering dijual petani ke pedagang pengumpul dengan harga Rp 3.000 per kg, dan biasanya petani mengemasnya dalam bentuk ikatan. Bambu yang kecil dimanfaatkan petani untuk patok-patok tomat/tiang untuk menahan tanaman tomat. Selain untuk keperluan sendiri, bambu yang kecil ini juga dijual ke petani tomat. Biasanya satu batang bambu ini dipotong menjadi 3 bagian dengan panjang per potongnya adalah 2 meter dengan harga Rp 700, sehingga totalnya menjadi Rp 2.100. Petani biasanya juga mengemas potongan-potongan bambu ini dalam bentuk ikatan, dan jumlah potongan bambu dalam satu ikatan
41
tidak ada ketentuan, dalam arti petani mengikatnya dengan tujuan agar tidak berserak dan mudah dalam pengangkutannya. Bambu yang besar dimanfaatkan petani sebagai bahan untuk membuat keranjang. Keranjang yang sudah selesai siap untuk dijual dengan harga Rp 6.000 per keranjang. Petani biasanya menjual keranjang-keranjang ini ke pedagang pengumpul.
Gambar 5. Hasil Hutan Non Kayu (Bambu) yang Berada di Sekitar Kawasan Hutan Rakyat di Nagori Raya Huluan
HHNK berupa aren dimanfaatkan petani untuk membuat minuman atau yang lebih dikenal dengan nama tuak. Petani menjualnya dengan harga Rp 6.000 per teko, dimana 1 teko bisa menghasilkan sebanyak 6 gelas (Rp 1.000/gelas). Dengan demikian, petani mempunyai peluang usaha untuk membuka kedai minuman tuak. Hal ini sangat mendukung dalam menambah pendapatan petani, apalagi minuman tuak ini laris dijual karena minuman ini juga menjadi kebutuhan bagi masyarakat untuk menghangatkan tubuh di tengah-tengah suhu yang dingin di desa ini, khususnya pada malam hari. Selain itu, petani di desa ini juga memanfaatkan aren untuk membuat gula merah. Petani menjual gula merah dengan harga Rp 8.000 per kg. Dengan demikian, berdasarkan pemaparan diatas, berarti hutan rakyat dapat memberikan manfaat ganda dan dampak yang cukup
42
besar dalam menambah pendapatan petani baik itu berupa kayu maupun non kayunya. Kontribusi yang diberikan hutan rakyat di desa ini dapat kita perhatikan dalam tabel 1 berikut. Tabel 1. Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani tahun 2006 – 2007 HutanRakyat (Rp/th)
Pertanian (Rp/th)
Perkebunan (Rp/th)
Gaji (Rp/th)
Jumlah (Rp/th)
76.600.000 (15,02 %)
203.175.000 (39,83 %)
171.572.727 (33,63 %)
58.800.000 (11,53 %)
510.147.727 (100 %)
Berdasarkan tabel 1, hutan rakyat memiliki peringkat ke-3 setelah sektor pertanian dan perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa petani belum menggantungkan penghidupannya dari sektor kehutanan (hutan rakyat), terkhususnya dari hasil kayunya. Adapun kontribusi dari hutan rakyat yang 15 % (kecil), hal ini disebabkan karena : a. pengusahaan pinus yang panjang/lama Pada umumnya, Pinus merkusii memiliki umur 15-20 tahun baru bisa ditebang. Bagi pemilik lahan, pinus yang sudah masak tebang merupakan tabungan. Namun ketika pinus dipanen dengan sistem tebang habis, ada kecenderungan dari petani untuk mengusahakan jenis tanaman yang tidak membutuhkan waktu lama untuk menghasilkan seperti kopi, jagung, padi gogo, dan sebagainya dibandingkan jenis kayu-kayuan yang memerlukan waktu lama. Sementara tanaman pertanian/pangan semusim bisa menghasilkan lebih dari sekali dalam setahun. Tanaman padi misalnya, biasanya dapat menghasilkan 2 kali dalam setahun, jagung 2-3 kali dalam setahun, dan sebagainya. Dengan demikian,
43
selama dalam jangka waktu 15-20 tahun ini secara ekonomis sektor pertanian dapat menjadi sumbangsih yang terbesar. b. luas lahan yang semakin berkurang Budidaya hutan rakyat yang dilakukan oleh masing-masing petani tidak dapat menjamin kelestarian hasil, dimana sistem penjualan tegakan sering dilakukan secara borongan dan penebangan sering dilakukan secara tebang habis. Hal ini salah satunya disebabkan karena kondisi ekonomi petani yang rendah sehingga sering petani menjual tegakan hutan rakyat yang belum masak tebang (
Kabupaten Tapanuli Utara (hasil penelitian Balai Penelitian
Kehutanan Aek Nauli 2006). Hutan rakyat pinus di Tarutung juga menerapkan sistem pemanenan tebang habis dengan borongan. Petani hutan rakyat di Tarutung lebih menyukai menjual kayunya dengan sistem tebang habis kepada pengusaha yang kemudian dijual oleh pengusaha kepada industri-industri kayu baik di Pematangsiantar, Tebing Tinggi, Medan, dan sebagainya. Sistem pemanenan yang tebang habis menyebabkan banyak tegakan yang berdiameter kurang dari 16 cm (syarat minimal industri pembeli) ditebang dan tidak bisa dijual, sehingga hanya dijadikan kayu bakar.
44
Hutan rakyat pinus yang ditanam ± 10-20 tahun yang lalu oleh generasi sebelumnya merupakan tabungan bagi generasi sekarang dan begitu seterusnya. Sehingga pengusahaan pinus dapat dijadikan sebagai tabungan bagi ekonomi rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan di masa yang akan datang. Keputusan petani untuk menjual kayu hutan rakyatnya sebagian besar didasarkan karena adanya kebutuhan uang tunai yang pada saat itu dihadapi. Yang menjadi ancaman bagi keberadaan hutan rakyat pinus di masa mendatang adalah adanya kecenderungan petani untuk tidak menanam lahannya kembali dengan pinus atau jenis kayu lainnya. Petani lebih menyukai menanam lahannya dengan tanaman semusim seperti jagung, kopi, cabai, dan sebagainya dengan alasan lamanya jangka pengusahaan pinus.
Gambar 6. Salah satu kegiatan pertanian (cabai) yang dikelola petani
Berdasarkan pemaparan di atas, kondisi seperti ini ternyata tidak hanya dijumpai di hutan rakyat pinus Nagori Raya Huluan, tetapi juga di hutan rakyat pinus di Tarutung. Masyarakat pemilik hutan rakyat di Tarutung tidak terdorong untuk segera menanam kembali areal bekas tebangan dengan pinus atau jenis kayu
45
lainnya. Alasan yang dikemukakan petani diantaranya adalah harga kayu yang relatif rendah dan kecenderungan masyarakat lebih menyukai mengusahakan jenis-jenis
tanaman
jangka
pendek/semusim
yang
cepat
menghasilkan
dibandingkan mengusahakan pinus (alasan ekonomis). Oleh karena itu luas lahan hutan rakyatpun semakin berkurang. c. akses terhadap pasar lemah Petani hutan rakyat biasanya menjual hasil kayunya dalam bentuk pohon berdiri dengan sistem borongan. Pengusaha yang berminat membeli mendatangi lokasi hutan rakyat, kemudian melakukan inventarisasi untuk menentukan volume kayu. Sistem penjualan seperti ini banyak dilakukan oleh petani karena dianggap lebih praktis. Harga borongan ditentukan dengan memperhatikan beberapa faktor diantaranya adalah volume/kubikasi, kualitas kayu, aksesibilitas, topografi, dan sebagainya yang sangat menentukan biaya penebangan. Posisi tawar petani dalam hal ini cenderung lemah karena pengusaha mempunyai kewenangan yang cukup besar sebagai penentu harga dengan adanya faktor-faktor tersebut. Kondisi ini diperparah dengan terbatasnya kesempatan petani untuk memasarkan sendiri karena pengusaha pinus rakyat terbatas (harus memegang IPKTM), sehingga posisi tawar petani dalam hal ini sangat lemah. Secara teori petani akan mendapat nilai ekonomi yang lebih besar jika mampu mengolah sendiri kayu tersebut karena produksi kayu dari hutan rakyat pinus cukup besar. Meskipun hal ini perlu ditunjang oleh beberapa hal seperti kelembagaan petani, modal, dan keterampilan yang memadai yang pada dasarnya hal tersebut masih bisa diusahakan jika ada kemauan dari semua pihak. Selain itu,
46
petani hutan rakyat memiliki ketergantungan kepada pengusaha lokal. Hal ini berkaitan dengan lemahnya akses pasar dimana petani tidak mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam memasarkan hasil kayunya. Hal ini terkait dengan lemahnya petani terhadap akses pasar terutama harga, terbatasnya pengusaha sebagai pembeli, serta kemudahan dan kepraktisan yang diperoleh petani dengan sistem pemasaran yang ada sehingga petani tidak bisa memasarkan kayu langsung kepada konsumen. Berdasarkan tabel 1, terlihat bahwa sektor pertanian mempunyai kontribusi terbesar terhadap pendapatan petani sebesar Rp 203.175.000 atau berkisar 39,83 %, lalu diikuti oleh sektor kebun kopi sebesar Rp 171.572.727 atau berkisar 33,63 %.
Adapun komoditi-komoditi yang
dihasilkan
sebagai
sumber-sumber
pendapatan dari sektor pertanian adalah jagung (18,11%), padi gogo (1,91%), andaliman (1,76%), jahe (3,92%), kunyit (0,39%), cabai (4,52%), pokat (0,12%) dan jeruk (9,10%). Untuk lebih jelasnya komposisi sumber-sumber pendapatan petani dapat dilihat pada lampiran 1. Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab sektor pertanian merupakan kontributor terbesar bagi pendapatan petani di desa ini adalah : a. jenis komoditi pertanian yang beragam (banyak) Dengan banyaknya ragam jenis komoditi pertanian ini, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa komoditi-komoditi ini dapat memberikan sumbangsih dan penyokong terbesar bagi penghasilan rumah tangga petani. Apalagi selain untuk dijual dapat digunakan untuk kebutuhan sendiri sehari-hari. b. sesuai dengan kondisi alam/tempat tumbuh
47
Hasil-hasil pertanian di desa ini memiliki perkembangan yang baik karena didukung oleh kondisi lahannya. Kondisi lahan di desa ini sangat sesuai bagi pertumbuhan sektor pertanian ini, baik ketinggian tempat, curah hujan, iklim, maupun topografinya. Padi (Oryza sativa) misalnya, para petani di desa ini menanam padi dengan jenis padi darat/padi gogo. Padi ini sangat tergantung pada air hujan. Menurut Suparyono (1997) biasanya padi gogo yang baik adalah yang berumur 90-135 hari dan sangat cocok ditanam di Indonesia karena musim hujannya sangat pendek (4-5 bulan). Kondisi seperti ini sangat sesuai dengan desa ini, dimana banyaknya hari hujan tahunan adalah 143 hari (± 4 bulan) dan memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Ini sangat mendukung bagi pertumbuhan padi gogo. Demikian juga halnya dengan jagung. Jagung (Zea mays) dapat tumbuh di daerah yang beriklim tropik ataupun subtropik. Menurut Rukmana (1997), secara umum tanaman jagung dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi (± 1300 m dpl), kisaran suhu udara antara 130 C - 380 C dan mendapat sinar matahari penuh. Hal ini sangat cocok dengan kondisi iklim dan ketinggian tempat di desa ini (± 800 m dpl). Maka dari itu, tanaman jagung juga merupakan salah satu komoditas penting dari pertanian sebagai kontributor bagi penghasilan petani. c. lebih cepat menghasilkan Seperti yang telah kita ketahui, tanaman-tanaman pertanian lebih cepat menghasilkan dibandingkan dengan tanaman kehutanan. Jagung misalnya, dapat dipanen
2-3
kali
dalam
setahun,
tanaman-tanaman
hortikultura
dapat
menghasilkan 3 kali dalam setahun (4 bulan sekali). Hal ini membuat para petani lebih cenderung dan menyukai menanam dan mengusahakan tanaman-tanaman
48
pertanian yang memiliki jangka waktu pengusahaan yang lebih pendek dan lebih cepat menghasilkan. Hal ini juga membuat para petani lebih intensif untuk mengusahakan/mengembangkan sektor pertaniannya, apalagi hasil-hasil pertanian ini juga merupakan kebutuhan pangan bagi kehidupan masyarakat sehari-hari. Menurut Rukmana (1997), umur optimum varietas unggul tanaman jagung pada saat pemanenan adalah 92-96 hari setelah tanam atau tergantung varietas. Ini menunjukkan bahwa tanaman jagung dapat menghasilkan 2-3 kali dalam setahun. Demikian juga dengan padi, padi dapat dipanen 2 kali dalam setahun. Menurut Suparyono (1997), panen padi dapat dilaksanakan berdasarkan umur tanaman sesuai dengan deskripsi varietas, sekitar 105-125 hari setelah tanam. Tanaman hortikultura seperti jeruk, jahe, cabai, dan sebagainya memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, karena waktu yang dibutuhkan untuk produksi singkat. Hal ini didukung dengan pernyataan Lakitan (1995), bahwa beberapa jenis tanaman sayuran dan buah-buahan dapat ditanam beberapa kali dalam setahun, terutama di daerah tropis dimana musim tanam tidak dibatasi oleh musim dingin. d. harga yang relatif stabil Komoditi-komoditi pertanian ini memiliki harga yang relatif stabil dan terkadang cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan kebutuhan masyarakat (konsumen) akan hasil-hasil pertanian ini tetap berkesinambungan, karena hasilhasil pertanian ini merupakan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari, terkhususnya dari hasil pertanian tanaman pangan. Menurut Rukmana (1997), prospek usaha tani untuk tanaman jagung cukup cerah bila dikelola secara intensif dan komersial berpola agribisnis. Permintaan pasar dalam negeri dan peluang
49
ekspor komoditas jagung cenderung meningkat dari tahun ke tahun, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan. Berdasarkan hasil penelitian agroekonomi tahun 1981-1986, menunjukkan bahwa permintaan terhadap jagung terus meningkat. Hal ini berkaitan erat dengan laju pertumbuhan penduduk, peningkatan konsumsi per kapita, perubahan pendapatan, dan pemenuhan kebutuhan benih. Sehingga dengan demikian, prospek usaha tani jagung amat baik. Menurut Lakitan (1995), potensi ekonomi beberapa tanaman hortikultura (cabai, jahe, jeruk, dsb) sangat besar karena harganya yang tinggi dan juga karena waktu yang dibutuhkan untuk produksinya singkat. Selain hal tersebut di atas, para petani dapat langsung menjual/memasukkan hasil-hasil pertaniannya kepada konsumen melalui pasar tradisional/pekan (sistem pemasaran yang langsung). Hasil tanaman hortikultura baik sayur-sayuran maupun buah-buahan dapat langsung diangkut dari lahan produksi ke pasar agar tersedia bagi konsumen. Pengangkutan hasil dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari cara tradisional sampai pada cara yang lebih maju dengan menggunakan fasilitas pengangkutan yang lebih canggih. Petani kecil umumnya memasarkan hasil tanamannya di pasar terdekat. Melalui sistem pemasaran yang langsung ini, petani dapat memperoleh informasi mengenai harga, jumlah permintaan, waktu permintaan, dan berbagai informasi pasar yang lain. Akses pasar yang kuat ini, membuat petani berada dalam posisi tawar yang tinggi dalam memasarkan hasil pertaniannya sehingga membuat petani cenderung untuk mengembangkan sektor pertaniannya.
50
Kopi memiliki peringkat ke-2 sebagai kontributor bagi pendapatan petani dengan kontribusi sebesar Rp 171.572.727 atau berkisar 33,63 %. Hal yang menjadi penyebab adalah harga kopi yang tinggi. Harga kopi untuk 1 tumba (± 1,1 kg) adalah Rp 14.000. Ini menjadi peluang bagi petani dalam menambah pendapatannya, apalagi prospek kopi sangat baik. Menurut Najiyati (1997), selain sebagai komoditi ekspor, kopi juga merupakan komoditi yang dikonsumsi di dalam negeri, dan bila melihat perolehan devisa dan jumlah kopi yang dikonsumsi di dalam negeri, tampaknya prospek kopi telah cukup menggembirakan. Disamping harganya yang tinggi, penyebab yang lain adalah jangka waktu pengusahaan kopi yang cepat. Jenis kopi yang ditanam di desa ini adalah kopi arabica (Coffea arabica). Menurut Najiyati (1997), waktu yang diperlukan kopi arabica sejak terbentuknya bunga hingga buah menjadi matang adalah 6-8 bulan, sehingga umumnya berbuah sekali dalam setahun. Selain itu, kondisi lingkungan tempat tumbuh di desa ini sangat cocok bagi pertumbuhan kopi arabica mengingat sifat kopi arabica yang menghendaki daerah dengan ketinggian antara 700-1700 m dpl, dan yang mempunyai iklim kering atau bulan kering 3 bulan/tahun secara berturut-turut yang sesekali mendapat hujan kiriman (Najiyati,1997). Untuk selengkapnya, komposisi sumber-sumber pendapatan petani di Nagori Raya Huluan dapat kita perhatikan pada lampiran 1. Namun demikian, hutan rakyat masih dapat menjadi sumber penghasilan yang cukup dalam menambah pendapatan petani. Atau dengan perkataan lain, hutan rakyat sudah sangat membantu dalam perekonomian petani. Hal ini didukung kuat oleh pernyataan Jaffar (1993), yang menyatakan bahwa salah satu tujuan pembangunan hutan rakyat adalah meningkatkan produktivitas lahan kritis
51
atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari dan meningkatkan pendapatan
masyarakat
tani
di
pedesaan
sekaligus
meningkatkan
kesejahteraannya. Hal ini juga menunjukkan keberhasilan Program Inpres Penghijauan yang diprogramkan pemerintah dalam membangun hutan rakyat di lahan milik masyarakat, berupa bantuan pemberian bibit Pinus merkusii secara gratis pada tahun 1975. Bila kita cermati dengan seksama, berarti hutan rakyat pinus di Nagori Raya Huluan ini proses terjadinya adalah dibuat oleh manusia dan ditanam sebagai salah satu upaya untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis dan terlantar milik masyarakat agar dapat berfungsi sebagai lahan produktif. Hal ini didukung oleh pernyataan Hardjosoediro (1980) dan Jaffar (1993) yang menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan hutan rakyat karena ada dukungan program penghijauan dan kegiatan pendukung seperti demplot dan penyuluhan, dan hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, namun dimiliki oleh masyarakat dan proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat juga terjadi secara alami dan dapat juga karena upaya merehabilitasi tanah/lahan kritis.
b. Penyerapan Tenaga Kerja Kegiatan pengelolaan hutan rakyat ternyata juga mampu menyerap tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja ini adalah pada saat kegiatan penanaman dan pemeliharaan. Curahan tenaga kerja kegiatan pengelolaan hutan rakyat ini mencapai 8 HOK/ha/petani dengan rincian kegiatan meliputi : 1) Penanaman, terdiri dari 6 HOK dengan kegiatan :
52
•
pemasangan ajir, biasanya membutuhkan pekerja 1 HOK per ha
•
pembuatan piringan, biasanya membutuhkan 2 HOK per ha
•
pembuatan lubang tanaman, biasanya membutuhkan 2 HOK per ha untuk membuat sebanyak 400 lubang
•
penanaman, biasanya membutuhkan 1 HOK per ha untuk menanam 400 bibit pinus
2) Pemeliharaan (4 bulan setelah tanam), dilakukan cuma sekali, terdiri dari 2 HOK dengan kegiatan : •
penyiangan, hanya membutuhkan 1 HOK per ha
•
penyisipan, hanya membutuhkan 1 HOK per ha
Curahan tenaga kerja sebesar ini masih belum banyak melibatkan masyarakat yang bukan pengelola/pemilik hutan rakyat, artinya masih didominasi oleh pemilik/petani hutan pengelola hutan rakyat dan keluarganya. Meskipun demikian, kegiatan ini ternyata sudah memberikan dampak positif berupa terbukanya kesempatan kerja bagi penduduk desa selain petani pengelola hutan rakyat. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa dalam Program Inpres Penghijauan tahun 1975, pemerintah memberikan bantuan berupa bibit Pinus merkusii yang akan ditanam dan dana untuk kegiatan pengelolaan hutan rakyat mulai dari penanaman sampai pemeliharaan. Besarnya dana yang diberikan pada saat itu untuk kegiatan ini adalah sebesar Rp 7.500 per ha. Dengan perkataan lain, upah yang diberikan kepada tenaga kerja dalam kegiatan ini adalah Rp 7.500 per
53
ha, dan sistem upah adalah berdasarkan atau tergantung kepada luas lahan yang dikerjakan (per ha). Namun, khusus untuk kegiatan pemeliharaan, petani (pemilik) berhak mendapat bantuan dana lagi bila penanaman berhasil, dalam arti bahwa bibit-bibit pinus yang sudah ditanam berhasil tumbuh baik diatas 60 % dari keseluruhan bibit yang ditanam di setiap lahan pemilik, sehingga kegiatan pemeliharaanpun dilakukan. Sebaliknya bila bibit-bibit pinus tumbuh dibawah 60 % dari keseluruhan bibit yang ditanam, maka tidak diberikan bantuan dana pemeliharaan kepada petani (pemilik).
Potensi Hutan Rakyat Taksiran potensi tegakan hutan rakyat pinus pada setiap lahan responden dilakukan terhadap 7 KK petani hutan rakyat yang masih memiliki hutan rakyat pinus (belum memanen kayunya). Penelitian yang dilakukan untuk mentaksir potensi tegakan hutan rakyat pinus ini adalah dengan melakukan inventarisasi hutan rakyat pada setiap lahan responden sesuai dengan metode yang telah direncanakan, dan secara umum dapat dikatakan bahwa hutan rakyat di desa ini adalah hutan homogen (hutan pinus).
54
Gambar 7. Kegiatan Inventarisasi yang dilakukan di Hutan Rakyat Pinus Nagori Raya Huluan Pada umumnya, berdasarkan Program Inpres Penghijauan, hutan rakyat di desa ini memiliki jarak tanam yang sama, yaitu 5 m x 5 m, sehingga rata-rata terdapat 400 batang pohon pinus untuk tiap hektarnya. Taksiran volume total (potensi) hutan rakyat pinus di Nagori Raya Huluan dapat kita perhatikan dalam tabel 2 berikut. Tabel 2. Taksiran Potensi Tegakan Pinus pada Setiap Lahan Responden No.
Nama
1 2 3 4 5 6 7
Sarmulia Damanik Benson Sialoho Japitan Saragih Sudin Saragih Jayman Sitopu Januaer Purba Lawasen Saragih Total
Luas lahan (ha) 0.06 0.04 0.48 0.32 0.16 0.04 0.04 1.14
Volume Setiap Kelas Diameter (m3) 18 - 34,99 35 - 51,99 52 - 70 > 70 13.52 37.22 129.58 9.48 54.16 15.26 8.87 268.09
156.96 78.41 431.31 13.66 146.58 0 28.87 855.79
0 0 0 35.97 211.44 137.32 39.29 424.02
0 0 0 42.58 0 0 0 42.58
Volume Total (m3) 170.48 115.63 560.89 101.69 412.18 152.58 77.03 1590.48
Berdasarkan tabel 2, taksiran volume total (potensi) tegakan hutan rakyat pinus yang diperoleh adalah sebesar 1.590,48 m3 dengan total luas lahan 1,14 ha. Total luas lahan hutan rakyat pinus di desa ini dapat dikatakan kecil, demikian juga pada masing-masing luas lahan responden yang juga bisa dikatakan kecil.
55
Tetapi inilah luas hutan rakyat pinus yang masih ada atau tersisa di Nagori Raya Huluan ini. Hal yang menjadi penyebab adalah sebagian besar masyarakat pemilik hutan rakyat pinus di desa ini sudah memanen kayunya sejak dulu. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Kepala Desa (Penghulu), masyarakat/petani hutan rakyat pinus di Nagori Raya Huluan sebenarnya sudah mulai memanen dan menjual kayu hutan rakyatnya (Pinus merkusii) semenjak tahun 1990-an. Masa 1990-an adalah masa panen pinus besar– besaran. Sehingga Nagori Raya Huluan yang dulu katanya dipenuhi dengan hutan rakyat pinus, apalagi bila kita melintasi jalan utama desa ini maka kita akan melihat di sebelah kiri dan kanan jalan dipenuhi dengan pohon–pohon pinus, namun setelah musim panen besar–besaran itu selesai , maka sekarang hutan rakyat pinus di desa ini semakin berkurang/sudah sedikit. Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat/petani hutan rakyat di desa ini benar–benar memanfaatkan program penghijauan yang diberikan pemerintah ini dan memang benar–benar dirasakan manfaatnya dalam membantu menambah pendapatan petani, sekaligus meningkatkan kesejahteraannya selain manfaat ekologis merehabilitasi lahan–lahan kritis dan terlantar (Jaffar, 1993). Diameter tegakan hutan rakyat pinus berdasarkan tabel 2 diatas, dapat dibagi menjadi 4 kelas diameter. Rata-rata dari 4 kelas diameter ini dapat dikatakan bahwa tegakan hutan rakyat pinus ini sudah layak tebang/panen, karena minimal sudah memiliki diameter 18 cm (sangat memenuhi syarat minimal industri pembeli), bahkan ada yang memiliki diameter sampai 74 cm. Untuk lebih lengkapnya, kita dapat melihat taksiran potensi tegakan ini pada lampiran 3 (tabel plot contoh pada masing-masing lahan responden).
56
Andaikan sekarang pemilik/petani hutan rakyat pinus ini memanen kayunya, maka dengan total luas lahan 1,14 ha dapat diperoleh nilai total tegakan yang mencapai Rp 159.048.000. Untuk lebih jelasnya, dapat kita lihat pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Taksiran Nilai Tegakan Hutan Rakyat Pinus di Nagori Raya Huluan Kelas Diameter (cm)
Volume Total (m3)
18 - 34,99 35 - 51,99 52 - 70 > 70
268,09 855,79 424,02 42,58 Jumlah
Harga Kayu (Rp)
Nilai Tegakan (Rp)
100.000 100.000 100.000 100.000
26.809.000 85.579.000 42.402.000 4.258.000 159.048.000
57
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan • Hutan rakyat di Nagori Raya Huluan terbentuk dari hasil Program Inpres Penghijauan tahun 1975 dengan jenis hutan homogen (Pinus merkusii) • Sistem pengelolaan hutan rakyat di Nagori Raya Huluan meliputi pendaftaran peserta dan persiapan lahan, persemaian, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran • Sistem pemanenan di Nagori Raya Huluan adalah dengan sistem tebang habis, dimana sistem penjualan kayu dalam bentuk pohon berdiri (sistem borongan) dan sistem kubikasi (volume kayu) • Pemanenan kayu dilakukan oleh pengusaha/pembeli dan dipasarkan ke panglong maupun ke industri-industri pengolahan kayu • Hutan rakyat pinus di Nagori Raya Huluan memiliki peringkat ke-3 dalam menambah pendapatan petani dengan kontribusi sebesar Rp 76.600.000 (15,02%) pada tahun 2007 • Sektor pertanian merupakan kontributor terbesar dalam menambah pendapatan petani dengan kontribusi sebesar Rp 203.175.000 (39,83%) • Kebun kopi memiliki peringkat ke-2 dalam menambah pendapatan petani, dengan kontribusi sebesar Rp 171.572.727 • Gaji memiliki peringkat terakhir dalam menambah pendapatan petani dengan kontribusi sebesar Rp 58.800.000 (11,53%) • Curahan tenaga kerja dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat pinus di Nagori Raya Huluan mencapai 8 HOK/ha/petani
58
• Potensi tegakan pinus rakyat di Nagori Raya Huluan adalah 1590,48 m3 dengan luas lahan 1.14 ha • Nilai total tegakan hutan rakyat pinus di Nagori Raya Huluan mencapai Rp 159.048.000
Saran • Perlu diatur sistem pemanenan yang tebang habis dengan sistem tebang pilih, agar kelestarian hasil-hasil tahun mendatang dapat terjaga • Sistem penjualan dalam bentuk pohon berdiri kiranya perlu dipertimbangkan lagi untung dan ruginya. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai sistem pemasaran yang paling menguntungkan bagi petani • Secara teori petani akan mendapat nilai ekonomi yang lebih besar jika mampu mengolah sendiri kayu tersebut karena produksi kayu dari hutan rakyat pinus cukup besar. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya pembentukan kelembagaan petani yang dapat memangku keberadaan dan kepentingan para petani hutan rakyat melalui modal, pelatihan, dan pembinaan dalam meningkatkan keterampilan yang memadai • Semakin
ditingkatkan
lagi
kegiatan
penyuluhan
tentang
pentingnya
penghijauan/penanaman hutan rakyat kepada para petani, khususnya dalam hal tujuan menjaga lingkungan/merehabilitasi lahan–lahan terlantar, lahan kritis, dan mencegah erosi
59
DAFTAR PUSTAKA
Awang, S.A., Santoso, H., Widayanti, W.T., Nugroho, Y., Kustomo,Sapardiono.2001. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. Pustaka Kehutanan Masyarakat, Yogyakarta: DEBUT 2001 Awang, S.A., Andayani, W., Himmah, B., Widayanti, W.T., Affianto, A. 2002. Hutan Rakyat, Sosial Ekonomi dan Pemasaran. BPFE-Yogyakarta. Yogyakarta Brower, J.E. and Zar, J.H. 1977. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Brown Co Publisher, Iowa, USA Danoesastro, H. 1977. Peranan Pekarangan Dalam Usaha Meningkatkan Ketahanan Nasional Rakyat Pedesaan. Pidato Dies Natalais ke XXVIII UGM. Gadjah Mada University Press Darusman, D dan Didik Suharjito, 1998. Kehutanan Masyarakat: Beragam Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Buku Panduan Kehutanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta Dinas Kehutanan, 1997. Hutan Rakyat. Kabupaten Daerah Tingkat II Simalungun Fandeli, C. 1985. Keanekaragaman Flora Berkayu di Pekarangan Penduduk Desa Daerah Tingkat II Sieman dan Bantul dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi. Tesis S-2, Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Hardjosoediro, S. 1980. Pemilihan Jenis Tanaman Reboisasi dan Penghijauan Hutan Alam dan Hutan Rakyat. Lokakarya Pemilihan Jenis Tanaman Reboisasi. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta Helms, J.A. (editor). 1998. The Dictionary of Forestry. The Society of American Forester and CAB International Publishing, Wallingford, United Kingdom Jaffar, E.R. 1993. Pola Pengembangan Hutan Rakyat Sebagai Upaya Peningkatan Luasan Hutan dan Peningkatan Pendapatan Masyarakat di Propinsi DIY. Makalah pada Pertemuan Persaki Propinsi DIY tanggal 17 Juli 1993, Yogyakarta Lakitan, B. 1995. Hortikultura : Teori, Budidaya, dan Pasca Panen. P.T.Raja Grafindo Persada. Jakarta
60
Munawar, A. 1986. Hutan Rakyat….Skripsi. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta Munggoro, W. Dhani. 1998. Sejarah dan Evolusi Pemikiran Komuniti Forestri, Seri Kajian Komuniti Forestri, Seri 1 Tahun 1 Maret 1998 Najiyati, S. dan Danarti, 1997. Kopi, Budidaya, dan Penanganan Lepas Panen. P.T.Penebar Swadaya. Jakarta Prabowo, S.A. 1998. Hutan Rakyat : Sistem Pengelolaan dan Manfaat Ekonomis. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Bogor Reksohadiprodjo, S. 1988. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi. Penerbit BPFE. Yogyakarta Rukmana, R. 1997. Usaha Tani Jagung. Kanisius. Yogyakarta Sanudin, 2006. Kajian Kelembagaan Social Forestry Pada Hutan Rakyat di Sumatera Utara. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Aek Nauli. Pematang Siantar Suparyono, dan Agus.S, 1997. Mengatasi Permasalahan Budi Daya Padi. P.T.Penebar Swadaya. Jakarta Zain, A.S. 1998. Aspek Pembinaan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Rineka Cipta. Jakarta
61
62
48
Adapun saluran pemasaran hasil hutan rakyat di Nagori Raya Huluan kira–kira dapat digambarkan melalui ilustrasi gambar berikut ini : Hasil Hutan Rakyat
agen kayu
Industri Penggergajian
Pengusaha pinus rakyat
Industri Meubel Lokal
Panglong
Tabel Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Rumah Tangga tahun 2006 – 2007 HutanRakyat (Rp/th)
Pertanian (Rp/th)
kebun kopi (Rp/th)
Gaji (Rp/th)
Jumlah (Rp/th)
76.600.000 (15,02 %)
203.175.000 (39,83 %)
171.572.727 (33,63 %)
58.800.000 (11,53 %)
510.147.727 (100 %)
Petani
Adapun kontribusi dari hutan rakyat yang 15,02 % (kecil), hal ini disebabkan karena : a. pengusahaan pinus yang panjang/lama b. luas lahan yang semakin berkurang c. akses terhadap pasar lemah
Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab sektor pertanian merupakan kontributor terbesar bagi pendapatan petani di desa ini adalah : a. jenis komoditi pertanian yang beragam (banyak) b. sesuai dengan kondisi alam/tempat tumbuh c. lebih cepat menghasilkan d. harga yang relatif stabil
Penyerapan Tenaga Kerja Kegiatan pengelolaan hutan rakyat ternyata juga mampu menyerap tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja ini adalah pada saat kegiatan penanaman dan pemeliharaan. Curahan tenaga kerja kegiatan pengelolaan hutan rakyat ini mencapai 8 HOK/ha/petani dengan rincian kegiatan meliputi : 1) Penanaman, terdiri dari 6 HOK dengan kegiatan : •
pemasangan ajir, biasanya membutuhkan pekerja 1 HOK per ha
•
pembuatan piringan, biasanya membutuhkan 2 HOK per ha
•
pembuatan lubang tanaman, biasanya membutuhkan 2 HOK per ha untuk membuat sebanyak 400 lubang
•
penanaman, biasanya membutuhkan 1 HOK per ha untuk menanam 400 bibit pinus
2) Pemeliharaan (4 bulan setelah tanam), dilakukan cuma sekali, terdiri dari 2 HOK dengan kegiatan : •
penyiangan, hanya membutuhkan 1 HOK per ha
•
penyisipan, hanya membutuhkan 1 HOK per ha
Curahan tenaga kerja sebesar ini masih belum banyak melibatkan masyarakat yang bukan pengelola/pemilik hutan rakyat, artinya masih didominasi oleh pemilik/petani hutan pengelola hutan rakyat dan keluarganya. Meskipun demikian, kegiatan ini ternyata sudah memberikan dampak positif berupa terbukanya kesempatan kerja bagi penduduk desa selain petani pengelola hutan rakyat.
Lampiran 3. Tabel Plot Contoh Pada Setiap Lahan Responden dengan Petak Contoh 0,1 ha
Nama Lokasi : Desa : Raya Huluan Kec : Raya Kab : Simalungun Luas Lahan Plot ke- Jumlah Pohon (Ha) (batang) 1 Sarmulia Damanik 0,06 1 10 2 9 3 12 2 Benson Sialoho 0,04 1 10 2 4 3 8 3 Japitan Saragih 0,48 1 25 2 40 3 35 4 Sudin Saragih 0,32 1 5 2 3 3 4 5 Jayman Sitopu 0,16 1 21 2 18 3 26 6 Januaer Purba 0,04 1 9 2 5 3 6 7 Lawasen Saragih 0,04 1 6 2 4 3 5 1,14 21 265 Total
No Nama Responden
Volume (m3) 56,82 58,2 55,46 58,84 18,56 38,23 122,34 251,67 186,88 42,24 25,56 33,89 133,63 137,38 141,17 54,19 47,18 51,21 30,07 22,48 24,48 1590,48
Taksiran volume total (potensi) hutan rakyat pinus di Nagori Raya Huluan dapat kita perhatikan dalam tabel 2 berikut. Tabel Taksiran Potensi Tegakan Pinus pada Setiap Lahan Responden No.
1 2 3 4 5 6 7
Nama Sarmulia Damanik Benson Sialoho Japitan Saragih Sudin Saragih Jayman Sitopu Januaer Purba Lawasen Saragih Total
Luas lahan (ha)
18 - 34,99
35 - 51,99
52 - 70
> 70
Volume Total (m3)
0.06
13.52
156.96
0
0
170.48
0.04 0.48 0.32 0.16 0.04 0.04 1.14
37.22 129.58 9.48 54.16 15.26 8.87 268.09
78.41 431.31 13.66 146.58 0 28.87 855.79
0 0 35.97 211.44 137.32 39.29 424.02
0 0 42.58 0 0 0 42.58
115.63 560.89 101.69 412.18 152.58 77.03 1590.48
Volume Setiap Kelas Diameter (m3)
Tabel Taksiran Nilai Tegakan Hutan Rakyat Pinus di Nagori Raya Huluan Kelas Diameter (cm)
Volume Total (m3)
18 - 34,99 35 - 51,99 52 - 70 > 70
268,09 855,79 424,02 42,58 Jumlah
Harga Kayu (Rp)
Nilai Tegakan (Rp)
100.000 100.000 100.000 100.000
26.809.000 85.579.000 42.402.000 4.258.000 159.048.000
Lampiran 1. SUMBER - SUMBER PENDAPATAN PETANI TAHUN 2006-2007 NAGORI RAYA HULUAN
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama Responden Pinus merkusii Menson Haloho 300.000 Almer Purba 800.000 Sarmulia Damanikbelum panen Lasmartua Saragih belum panen Januaer Purbabelum panen Lawasen Saragihbelum panen Erwin Sinaga 3.000.000 Jatukoh Purba belum panen Drs.Japitan Saragihbelum panen Lindon Damanik 30.000.000 Polman Purba 2.000.000 Sahdiratman Haloho 2.000.000 Wellington Saragih 6.000.000 Jesayas Damanik 8.000.000 Jayman Sitopubelum panen Sub Total 52.100.000 Persentase (%) 10,21 Total Persentase (%)
Hutan Rakyat Kulit Manis Bambu Aren Jagung 7.200.000 50.000 6.000.000 500.000 3.000.000 7.000.000 500.000 4.000.000 6.000.000 250.000 8.000.000 6.000.000 200.000 5.000.000 500.000 ######## 150.000 5.000.000 30.000 ######## ######## ######## ######## 5.000.000 8.000.000 ######## 7.500.000 ######### ######## ######## ######## 2,26 1,34 1,20 18,11 ######### 15,02
Sumber - Sumber Pendapatan Petani (Rp/tahun) Pertanian Padi Andaliman Jahe Kunyit 9.000.000 6.000.000 2.000.000 8.000.000 6.000.000 ######## ######## ######## ######## 9.000.000 ######## 2.000.000 1,91 1,76 3,92 0,39 ######### 39,83
Cabai 3.980.000 1.900.000 1.425.000 950.000 2.375.000 5.000.000 3.000.000 1.425.000 3.000.000 ######## 4,52
Pokat ###### ###### ###### 0,12
Jeruk ######## 400.000 ######## ######## 9,10
Perkebunan Kopi 22.500.000 20.160.000 916.364 7.280.000 1.680.000 8.400.000 4.200.000 63.636.363 7.000.000 7.000.000 5.600.000 2.800.000 8.400.000 12.000.000 ######### 33,63 ######### 33,63
Gaji 9.600.000 ######## ######## ######## 11,53 ######## 11,53
Jumlah 30.000.000 36.010.000 28.716.364 18.560.000 11.780.000 32.800.000 27.150.000 17.625.000 93.586.363 58.875.000 19.150.000 27.000.000 26.320.000 58.075.000 24.500.000 ######### 100,00 ######### 100,00