BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Teori Kontrak Psikologi (Psychological Contract Theory) Rousseau (2000) teori kontrak psikologi (Psychological Contract Theory) diartikan sebagai keyakinan individu akan kewajiban timbal balik yang diperolehnya sebagai karyawan, juga termasuk pengharapan atau ekspektasi kedua belah pihak secara tertulis atau tidak tertulis. Ekspektasi yang dimaksud berkisar ditingkat imbalan, promosi, keamanan kerja dan juga prosedur lainnya. Rousseau (2000) menekankan kontrak psikologis mengacu pada syarat dan elemen yang terdiri dari spesifik kewajiban yang diberikan perusahaan terhadap karyawan seperti keamanan kerja karyawan. Psychological Contract Theory berfungsi untuk meredam kondisi ketidakpastian dengan mempertahankan sarana tertulis atau tidak tertulis yang diperlukan dalam menjalankan praktek kerja dalam organisasi Adkins et al. (2001) dikutip dari Yasadiputra dan Putra (2014). Giannikis dan Mihail (2011) menemukan studi dari Turnley dan Feldman (2000) serta Robinson (1996) menunjukkan bahwa secara umum kontrak psikologi merupakan kewajiban perusahaan terhadap harapan karyawan yang belum terpenuhi. Secara khusus, mereka menemukan bahwa terjadinya pelanggaran kontrak psikologis dapat menyebabkan menurunnya komitmen karyawan . Pemenuhan terhadap kontrak psikologi akan berdampak positif terhadap kepuasan kerja, komitmen dan loyalitas karyawan, sementara pelanggaran terhadap kontrak psikologi akan berkaitan dengan menurunnya komitmen, penurunan kepuasan kerja, peningkatan absensi dan tingkat turnover yang tinggi (Suazo, 2009). Dari beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan job insecurity adalah pandangan individu terhadap situasi yang ada dalam organisasi tempatnya
bekerja yang menimbulkan ketidakberdayaan seseorang untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam pekerjaan.
2.1.2 Karyawan Kontrak Karyawan kontrak merupakan karyawan yang bekerja di perusahaan dengan terikat perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Indah dkk. (2014) karyawan kontrak adalah karyawan yang bekerja paruh waktu, sementara, atau hanya sampai waktu yang telah ditentukan dalam kontrak tertentu. Pengertian yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Kepmenakertrans 100/MEN/IV/2004 Perjanjian kerja waktu tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu. Indah dkk. (2014) menyebutkan memperkerjakan karyawan sementara memungkinkan perusahaan mempertahankan efisiensi dari pengurangan biaya tenaga kerja sementara disisi lain cukup fleksible untuk menghadapi kebutuhan yang baru dan berubah. Secara tradisional, karyawan sementara sering mendapatkan pembayaran yang lebih sedikit dibandingkan dengan karyawan tetap dan mereka juga tidak mendapat berbagai tunjangan dan tidak mendapat akses untuk mendapatkan program dana pensiun yang disponsori oleh perusahaan. Indah dkk. (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa di antara para karyawan yang memiliki keterampilan tinggi, para pekerja sementara dapat menjadi alternatif yang menguntungkan dibandingkan ketenagakerjaan tradisional, karena para karyawan ini dapat melakukan negosiasi kontrak termasuk pemberian tunjangan atau gaji yang aman dan memadai untuk menutupi tunjangan yang dibayar sendiri.
2.1.3 Komitmen Organisasi
Muthuveloo dan Rose (2005) dikutip dari Srimulyani (2009) komitmen dikatakan sebagai “an employee level of attachment to some aspect of worf”, artinya, komitmen digambarkan sebagai suatu tingat ikatan karyawan atau pegawai pada beberapa aspek pekerjaan. Sopiah (2008 :154) menyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan suatu keinginan yang dimiliki oleh anggota untuk tetap bertahan dalam organisasi serta berusaha dengan keras untuk mewujudkan tujuan dari organisasi tersebut. Hasnain et al. (2014) mengemukakan bahwa komitmen organisasi dalam perilaku organisasi dan psikologi industri serta organisasi didefinisikan sebagai lampiran psikologis individu untuk organisasi. Mayer dan Allen (1991) mendefenisikan komitmen organisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Komitmen organisasi merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan (Luthans, 2006:248). Konsep komitmen organisasi dari Mowday, Porter, dan Steers dikutip dari (Luthans, 2006:249), merupakan pendekatan sikap dimana komitmen didefinisikan sebagai: 1)
Keinginan yang kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu
2)
Keinginan untuk bekerja keras sesuai keinginan organisasi
3)
Keyakinan tertentu dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi Dasar di balik banyak penelitian yang terkait dengan hal tersebut adalah untuk menemukan
cara-cara untuk meningkatkan bagaimana perasaan karyawan tentang pekerjaan mereka sehingga para karyawan akan menjadi lebih berkomitmen untuk organisasi mereka. Robbins dan Judge
(2008:100) menyatakan komitmen organisasi sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Komitmen organisasi mengacu pada orang yang tinggal dalam organisasi karena mereka ingin (afektif), karena mereka perlu (kelanjutan), atau karena mereka merasa mereka harus (normatif) (Bosman et al., 2005). Komitmen organisasi merupakan sikap kerja yang penting karena orang-orang yang memiliki komitmen diharapkan bisa menunjukan kesediaan untuk bekerja lebih keras demi mencapai tujuan organisasi dan memiliki hasrat yang lebih besar untuk tetap bekerja di suatu perusahaan (Kreitner dan Kinicki, 2014:165). Berdasarkan pendapat beberapa para ahli dapat dinyatakan Komitmen organisasi merupakan konstruk psikologis atau keinginan yang dimiliki oleh anggota untuk tetap bertahan dalam oganisasi karena mereka ingin (afektif), mereka perlu (kelanjutan), mereka harus melakukan (normatif) serta berusaha dengan keras untuk mewujudkan tujuan dari organisasi tersebut. Steers dan Porter (Sopiah, 2008: 164) mengemukakan ada sejumlah faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu : 1)
Faktor personal yang meliputi job expectations, psychological contract, job choice faktor, karakteristik personal. Keseluruhan faktor ini akan membentuk komitmen awal.
2)
Faktor organisasi, meliputi initial works experiences, job scope, supervision, goal consistency organizational. Semua faktor itu akan membentuk atau memunculkan tanggung jawab.
3)
Non-organizational faktor, yang meliputi availability of alternative jobs. Faktor yang bukan berasal dari dalam organisasi, misalnya ada tidaknya alternatif pekerjaan lain. Jika ada dan lebih baik, tentu pegawai akan meninggalkannya. Luthans (2006:250) memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem
manajemen yang membantu memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada diri karyawan, yaitu: 1)
Berkomitmen pada nilai utama manusia yakni dilakukan dengan membuat aturan tertulis, mempekerjakan manajer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi.
2)
Memperjelas dan mengkomunikasikan misi yakni menggunakan praktek perekrutan berdasarkan nilai dan memperjelas misi dan idiologi.
3)
Menjamin keadilan organisasi yakni memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komperhensif.
4)
Menciptakan rasa komunitas yakni membangun homogenitas berdasarkan nilai, keadilan, saling mendukung kerja tim.
5)
Mendukung perkembangan karyawan yakni melakukan aktualisasi, menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan.
Indikator untuk mengukur komitmen organisasi (Aydogdu dan Asikgil, 2011), (Allen dan Mayer, 1991) antara lain: 1)
Affective commitment, adalah keterkaitan emosional dari karyawan untuk melibatkan diri dalam organisasi, dengan kata lain seseorang merasa bangga menjadi anggota organisasi.
2)
Continuance commitment, adalah nilai ekonomi yang dirasakan apabila bertahan dalam suatu organisasi dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut.
3)
Normative Commitment, adalah keyakinan individu akan tanggung jawab terhadap organisasi dengan bersedia dilibatkan dalam kegiatan kerja demi kepentingan organisasi.
2.1.4 Job Insecurity Pada akhir tahun 1970-an, perekonomian dunia mengalami penurunan drastis yang menyebabkan munculnya perubahan-perubahan dalam organisasi, seperti restrukturisasi, merger, dan akuisisi. Perubahan organisasi tersebut mengakibatkan banyaknya pemutusan hubungan kerja pada tenaga kerja dalam jumlah besar (Noviarini, 2013). Hal tersebut tentunya menimbulkan perasaan tidak aman bagi tenaga kerja karena berkaitan dengan kelanjutan dan masa depan pekerjaan, yang dikenal dengan job insecurity. Menurut Rosenblatt dan Ruvio (1996) job insecurity didefinisikan sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam pekerjaan. Dengan timbulnya rasa tidak aman dalam bekerja dapat mempengaruhi psikologis karyawan (Yousef, 1998). Job insecurity mencerminkan derajat kepada karyawan yang merasakan pekerjaan mereka terancam dan merasakan tidak berdaya untuk melakukan segalanya tentang itu (Ashford et al., 1989). Sejak saat itu, job insecurity menjadi suatu konstruk yang penting untuk diteliti berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan job insecurity terhadap perilaku tenaga kerja dalam organisasi. Menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) job insecurity adalah ketidakberdayaan seseorang kehilangan kekuasaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam situasi kerja yang terancam. Sementara itu, Sverke et al. (2002) dikutip dari Noviarini (2013) mengatakan bahwa job insecurity adalah ketidakamanan yang dirasakan seseorang akan kelanjutan pekerjaan dan aspek-aspek penting yang berkatian dengan pekerjaan itu sendiri. Job insecurity mencerminkan derajat kepada karyawan yang merasakan pekerjaan mereka terancam
dan merasakan tidak berdaya untuk melalukan segalanya tentang itu (Ashford et al., 1989). Menurut Akpan (2013) job insecurity adalah harapan seseorang tentang kontinuitas dalam situasi pekerjaan mereka. Ini ada hubungannya dengan perasaan karyawan takut kehilangan pekerjaan. Job insecurity merupakan faktor penting dalam komitmen karyawan. Ito dan Brotheridge (2006) dalam Fatimah (2012) melihat efek dari ketidakamanan kerja atau job insecurity akan berdampak pada hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi sehingga timbul kecenderungan untuk meninggalkan organisasi. Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat dinyatakan bahwa job insecurity adalah pandangan individu terhadap situasi yang ada dalam organisasi tempatnya bekerja yang menimbulkan ketidakamanan akan kelanjutan pekerjaannya, dan hal ini menyebabkan individu merasa tidak berdaya. Ashford et al. (1989 ) mengungkapkan bahwa job insecurity terdiri dari dua aspek, yaitu aspek ancaman akan kehilangan pekerjaan itu sendiri dan aspek ancaman kehilangan fase-fase penting dalam pekerjaan, seperti gaji, kesempatan untuk promosi dan lain sebagainya. Berdasarkan pada kedua aspek job insecurity Asford et al. (1989) dalam mengembangkan indikator job insecurity menjadi : 1)
Keparahancaman (severity of threat) Keparahancaman meliputi seberapa besar individu mempersepsikan adanya ancaman
terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan dan ancaman terhadap pekerjaan secara keseluruhan. (1) Ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan Aspek-aspek yang berkatian dengan pekerjaan seperti kebebasan menentukan jadwal pekerjaan, dll. Persepsi seseorang mengenai besarnya ancaman aspek-aspek pekerjaan dapat diketahui melalui seberapa besar aspek-aspek itu dirasakan penting dan seberapa besar kemungkinan individu akan kehilangan aspek-aspek tersebut. Semakin penting dan
semakin tinggi aspek-aspek tersebut dipersepsikan mungkin hilang, maka semakin tinggi tingkat ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan yag dirasakan individu tersebut. (2) Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan merupakan persepsi seseorang mengenai adalanya kejadian-kejadian negatif yang dapat mempengaruhi pekerjaannya, seperti diberhentikan untuk sementara waktu. Ancaman tersebut dapat diketahui melalui seberapa penting dan seberapa mungkin kejadian-kejadian negatif tersebut dipersepsikan akan mempengaruhi pekerjaannya secara keseluruhan. 2)
Ketidakberdayaan (powerlessness) Ketidakberdayaan menujukkan ketidakmampuan seseorang untuk mencegah munculnya
ancaman yang berpengaruh terhadap aspek-aspek pekerjaan dan pekerjaan secara keseluruhan. Semakin individu merasa tidak berdaya, semakin tinggi tingkat job insecurity.
2.1.5 Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dimanamana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja merupakan cerminan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya (Handoko, 1998:45). Hasnain et al. (2014) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan karyawan tentang pekerjaan mereka serta sejauh mana seorang karyawan mengalami rasa kesatuan dengan organisasi mereka. Luthans (2006:243) menyatakan kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif atau emosi yang negatif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman seseorang. Kepuasan kerja juga ditentukan oleh beberapa faktor yakni kerja yang secara mental menantang serta kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan (Judith, 2011). Indikator dalam menilai kepuasan kerja karyawan mencakup kemampuan pekerjaan itu sendiri, gaji, peningkatan
karir, rekan kerja dan pengawasan atasan (Gunduz et al., 2012). Kreitner dan Kinicki (2014:169) kepuasan kerja adalah sebuah tanggapan afektif atau emosional terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang. Kreitner dan Kinicki (2014: 170) menyebutkan bahwa aspek kepuasan kerja adalah adanya pemenuhan terhadap kebutuhan, tercapai atau tidaknya tujuan yang ditetapkan, deviasi dari yang diharapkan dan yang diterima serta keadilan. Luthans (2006:244) menyatakan bahwa kepuasan timbul dari evaluasi terhadap suatu pengalaman, atau pernyataan secara psikologis akibat suatu harapan dihubungkan dengan apa yang mereka peroleh. Agu et al. (2012) menyatakan kepuasan kerja sebagai akibat dari persepsi karyawan dari seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal-hal yang dinilai penting oleh karyawan. Noviarini (2013) menyebutkan kepuasan kerja merupakan generalisasi sikap-sikap terhadap pekerjaannya yang didasarkan atas aspek-aspek pekerjaannya yang bermacam-macam atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa: 1)
Kepuasan kerja merupakan suatu perasaan seseorang yang timbul bila yang dirasakan dari pekerjaan yang dilakukan dianggap cukup memadai bila dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan atau pekerjaan yang dibebankan.
2)
Tingkat kepuasan kerja yang dialami oleh tiap-tiap orang akan berbeda-beda sesuai persepsi masing-masing individu. Singkatnya dinyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu perasaan seseorang yang timbul bila keuntungan yang diperoleh dianggap sesuai dengan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Indikator untuk mengukur kepuasan kerja dikembangkan oleh (Aydogdu dan Asikgil,
2011), (Boles et al. 2007 dalam Puspitawati 2013) antara lain:
1)
Beban kerja. Merupakan sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh karyawan. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai pekerjaan mereka sekarang ini sesuai dengan keahliannya.
2)
Gaji. Merupakan pemberian imbalan terhadap hasil kerja karyawan . Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai gaji yang diterima sudah sesuai dengan pekerjaan yang dibebankan oleh perusahaan.
3)
Kenaikan jabatan. Merupakan kesempatan bagi karyawan untuk terus maju dan berkembang sebagai bentuk aktualisasi diri. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai puas dengan kesempatan untuk memperoleh promosi kenaikan jabatan.
4)
Pengawas. Merupakan kemampuan atasan untuk menunjukan perhatian dan memberikan bantuan ketika karyawan mengalami kesulitan bekerja. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai atasan selalu bersikap adil terhadap karyawannya.
5)
Rekan kerja. Merupakan sejauh mana karyawan mampu menjalin persahabatan dan saling mendukung dalam lingkungan kerja. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai hubungan kerja sama dengan rekan kerja di tempat kerja sudah terjalin dengan baik.
2.1.6 Keadilan Organisasi Keadilan organisasi merupakan persepsi keseluruhan dari apa yang adil di tempat kerja Robbins dan Judge (2008:249). Keadilan organisasional berawal dari teori keadilan Adams. Teori ini menyatakan bahwa orang membandingkan rasio antara hasil dari pekerjaan yang mereka lakukan, misalnya imbalan dan promosi, dengan input yang mereka berikan dibandingkan rasio yang sama dari orang lain Robbins dan Judge (2008:249). Berdasarkan pendapat diatas dinyatakan keadilan organisasi merupakan suatu keadaan di mana seseorang merasa diperlakukan sama di organisasi tempat ia bekerja.
Robbins dan Judge (2008:248) mengatakan, ketika karyawan merasakan ketidakadilan, mereka bisa diperkirakan akan memilih satu dari enam pilihan berikut : 1)
Mengubah masukan-masukan mereka (misalnya, tidak mengerahkan usaha yang banyak).
2)
Mengubah hasil-hasil mereka (misalnya, individu yang dibayar berdasarkan tarif per bagian bisa meningkatkan imbalan kerja mereka dengan memproduksi kuantitas yang lebih tinggi dari unit kualitas yang lebih rendah).
3)
Mengubah persepsi-persepsi diri (misalnya, karyawan biasanya berpikir ia bekerja dengan kecepatan sedang, tetapi sekarang ia bekerja jauh lebih keras dari siapapun).
4)
Mengubah persepsi-persepsi individu lain (misalnya, pekerjaan individu lain yang sudah tidak begitu diinginkan seperti yang ia kira sebelumnya).
5)
Memilih rujukan yang berbeda (misalnya, mungkin karyawan tidak mendapatkan penghasilan sebanyak rekan/individu lainnya, tetapi ia bekerja jauh lebih baik daripada rekannya/individu tersebut).
6)
Meninggalkan bidang tersebut (misalnya, meninggalkan pekerjaan tersebut). Keadilan organisasional terdiri dari beberapa unsur utama. Noe et al. (2011) menyebutkan
bahwa keadilan organisasional terbentuk dari tiga unsur, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional. 1) Keadilan Distributif Noe et al. (2011) menyebutnya sebagai penilaian yang dibuat orang terkait penghargaan (reward) yang sesuai dengan kontribusi yang diberikan. 2)
Keadilan Prosedural
Noe et al. (2011) mendefinisikannya sebagai konsep keadilan yang berfokus pada metode yang digunakan menentukan apakah orang merasa prosedur yang dijalankan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3)
Keadilan Interaksional Robbins dan Judge (2008:250), didefinisikan sebagai persepsi individu tentang tingkat sampai dimana seorang karyawan diperlakukan dengan penuh martabat.
2.2
Hipotesis Penelitian Menurut Sugiyono (2013:93) hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan
masalah yang masih bersifat sementara. Karena masih bersifat sementara maka harus dibuktikan kebenarannya melalui data empirik yang terkumpul. Dari data diatas dapat ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut: 2.2.1 Pengaruh Job Insecutity terhadap Komitmen Organisasi Penelitian yang dilakukan oleh Chirumbolo dan Areni (2005) menyatakan bahwa job insecurity memilki hubungan yang negatif terhadap short-term organizational outcomes yang terdiri dari komitmen organisasi dan kepuasan kerja. Penelitian Noviarini (2013) mengenai karyawan kontrak di PLN Denpasar penelitian ini menunjukan ada pengaruh negatif antara job insecurity terhadap komitmen organisasi dan kepuasan kerja karyawan. Akbiyik et al. (2012) menyatakan karyawan kontrak merasakan job insecurity yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan tetap sehingga karyawan kontrak kurang berkomitmen terhadap organisasi. Berdasarkan landasan teori dan berbagai hasi penelitian tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut: H1 :
Job Insecurity berpengaruh negatif terhadap komitmen organisasi
2.2.2 Pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi
Penelitian yang dilakukan oleh Mohammed dan Eleswed (2013) Sampel dalam penelitian ini berjumlah 156 orang karyawan yang bekerja di lembaga keuangan swasta di Bahrain. Hasil penelitian ini menunjukan terdapat pengaruh positif kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi. Senada dengan penelitian yang dilakukan Surbakti (2011) juga menemukan hasil yang sama yaitu terdapat hubungan positif kepuasan kerja Guru MAN 2 Padangsidimpuan terhadap komimen organisasi. Selain itu terdapat pula penelitian dari Malik dan Nawab (2010) dengan jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 331 orang. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi guru. Berdasarkan landasan teori dan berbagai hasi penelitian tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut: H2 :
Kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi
2.2.3 Pengaruh keadilan organisasi terhadap komitmen organisasi Penelitian Jawad et al. (2012) dilakukan di sektor pendidikan Pakistan menemukan hasil bahwa keadilan organisasi berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi. Bakhshi et al. (2009) dalam penelitiannya bahkan menekankan bahwa keadilan distributif dan keadilan prosedural meningkatkan komitmen karyawan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi kerja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin karyawan merasakan keadilan dalam bekerja, maka semakin dia memiliki sikap bahwa dia berkomitmen terhadap organisasi. Akanbi et al. (2013) dalam penelitiannya yang dilakukan di perusahaan Nestle Nigeria dengan jumlah sampel sebanyak 215 orang karyawan menemukan hasil terdapat pengaruh yang signifikan antara keadilan distributif yang dirasakan dengan komitmen karyawan. Organisasi hendaknya memberi keadilan yang layak bagi masing-masing karyawan agar dapat
meningkatkan komitmen karyawan. Berdasarkan landasan teori dan berbagai hasi penelitian tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut: H3 :
Keadilan organisasi berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi
2.2.4 Model Penelitian Berdasarkan penelurusan kajian pustaka dan hasil-hasil penelitian sebelumnya maka model penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Model Penelitian Pengaruh Job Insecurity, Kepuasan Kerja, Dan Keadilan Organisasi Terhadap Komitmen Organisasi Karyawan Kontrak Di Dulang Café Kuta-Bali
Job Insecurity (X1)
H1 (-)
Kepuasan Kerja (X2)
Keadilan Organisasi (X3)
H2 (+)
Komitmen Organisasai (Y)
H3 (+)
Sumber : Akbiyik et al. (2014), Mohammed dan Eleswed (2013)