KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA TRIWULAN III-2009
BANK INDONESIA MEDAN 2009
Visi Bank Indonesia: “Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya (kredibel) secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil”.
Misi Bank Indonesia: “Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan”.
Nilai-nilai Strategis Organisasi Bank Indonesia: “Nilai-nilai yang menjadi dasar organisasi, manajemen dan pegawai untuk bertindak dan atau berprilaku yang terdiri atas Kompetensi, Integritas, Transparansi, Akuntabilitas dan Kebersamaan”.
Visi Kantor Bank Indonesia Medan: “Menjadi Kantor Bank Indonesia yang dapat dipercaya di daerah melalui peningkatan peran dalam menjalankan tugas-tugas Bank Indonesia yang diberikan”.
Misi Kantor Bank Indonesia Medan: “Berperan aktif dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah melalui peningkatan pelaksanaan tugas bidang ekonomi moneter, sistem pembayaran, pengawasan bank serta memberikan saran kepada pemerintah daerah dan lembaga terkait lainnya”.
Kalender Publikasi Periode Publikasi KER Triwulan I KER Triwulan II KER Triwulan III KER Triwulan IV
Publikasi Pertengahan Mei Pertengahan Agustus Pertengahan November Pertengahan Februari
Penerbit: Kantor Bank Indonesia Medan Jl. Balai Kota No.4 MEDAN, 20111 Indonesia Telp : 061-4150500 psw. 1729, 1770 Fax : 061-4152777 , 061-4534760 Homepage : www.bi.go.id www.d-bes.net Email :
[email protected]
KATA PENGANTAR Pada triwulan III-2009 perekonomian Sumut diperkirakan tumbuh sebesar 4,17% (yoy). Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Sumut tersebut terutama didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga yang membentuk sekitar 65% PDRB Sumut. Masa persiapan pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri merupakan pendorong peningkatan konsumsi tersebut. Dari sisi penawaran, sektor pertanian diperkirakan relatif sedikit membaik seiring dengan peningkatan produksi padi pada Angka Ramalan (aram) III-2009 yang diperkirakan menjadi 3,48 juta ton atau naik 3,85% dari aram II-2009 sebanyak 3,46 juta ton. Sementara itu, perkembangan inflasi di Sumut pada triwulan III-2009 menunjukkan kenaikan yang disebabkan oleh pola musiman menghadapi Idul Fitri. Harga beberapa barang kebutuhan pokok masyarakat, khususnya bahan makanan yang harganya berfluktuasi (volatile food) dan makanan jadi, mengalami peningkatan signifikan, sehingga mendorong peningkatan laju inflasi di Sumut. Tingkat inflasi Sumut pada triwulan III-2009 tercatat 3,31% (qtq) atau 4,56% (yoy), lebih tinggi daripada inflasi pada triwulan sebelumnya. Di sisi pembiayaan, perekonomian Sumut didukung oleh peningkatan fungsi intermediasi perbankan. Hal ini tercermin dari pertumbuhan yang lebih pesat baik secara triwulanan (qtq) maupun tahunan (yoy), untuk beberapa indikator seperti aset, dana pihak ketiga (DPK) dan kredit selama periode triwulan III-2009. Total aset pada triwulan III-2009 naik 0,97% (qtq) mencapai posisi Rp110,58 triliun pada September 2009, atau secara tahunan tumbuh sebesar 13,46% (yoy). Posisi kredit yang disalurkan meningkat 3,32% (qtq) atau 5,37% (yoy) menjadi Rp69,41 triliun. DPK yang dihimpun juga meningkat 0,84% (qtq) atau 15,83% (yoy) menjadi Rp90,31 triliun. Kenaikan pertumbuhan kredit yang lebih tinggi daripada pertumbuhan DPK mengakibatkan LDR naik dari 75,01% menjadi 76,86% pada triwulan III2009. Seiring dengan berlanjutnya proses pemulihan perekonomian dan membaiknya intermediasi perbankan, perekonomian Sumut pada triwulan IV-2009 diperkirakan tumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Sementara itu, sejalan dengan kuatnya komitmen Bank Indonesia Regional Sumut/NAD dan Pemerintah Provinsi Sumut untuk pengendalian inflasi, pada triwulan IV-2009 laju inflasi diperkirakan akan menurun. Demikian sekilas gambaran perekonomian Sumut triwulan III-2009 dan prospek triwulan IV-2009. Kami menyadari bahwa cakupan serta kualitas data dan informasi yang disajikan dalam buku ini masih perlu terus disempurnakan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran membangun dari semua pihak yang berkepentingan dengan buku ini, serta mengharapkan kiranya kerjasama yang sangat baik dengan berbagai pihak selama ini dapat terus ditingkatkan di masa yang akan datang. Akhir kata, kami berharap semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Medan, November 2009 BANK INDONESIA MEDAN
Gatot Sugiono S. Pemimpin
i
TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH INFLASI DAN PDRB INDIKATOR MAKRO Indeks Harga Konsumen Medan Pematangsiantar Sibolga Padangsidempuan Laju Inflasi Tahunan (yoy %) Medan Pematangsiantar Sibolga Padangsidempuan PDRB ‐ harga konstan (Rp miliar) Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Jasa‐Jasa Pertumbuhan PDRB (yoy %) Nilai Ekspor Nonmigas (USD juta) Volume Ekspor Nonmigas (ribu ton) Nilai Impor Nonmigas (USD juta) Volume Impor Nonmigas (ribu ton) Ket.: Data Indeks Harga Konsumen‐September 2009 Data Ekspor‐Impor s.d Agustus 2009
2008 Tw. I
Tw. II
Tw. III
Tw. IV
Tw. I
2009 Tw. II
Tw. III
167,66 161,40 166,68 171,55
109,92 110,11 109,68 112,34
111,25 111,62 113,04 113,77
113,76 113,11 115,55 115,55
112,80 112,88 114,95 115,52
112,61 112,99 114,94 114,28
116,38 116,67 118,91 117,32
7,01 8,48 8,37 8,71
10,86 11,09 10,10 14,34
10,30 10,27 12,03 12,62
10,63 10,16 12,36 12,34
6,37 6,89 7,88 8,50
2,45 2,62 4,80 1,73
4,61 4,52 5,19 3,12
6.398,93 314,65 6.033,65 187,15 1.720,47 4.818,59 2.428,92 1.838,20 2.532,72 5,35 2.333,02 2.102,33 635,70 1.346,56
6.248,74 327,82 5.900,70 190,41 1.752,13 4.718,62 2.421,32 1.841,99 2.594,71 5,51 2.406,09 1.906,94 708,26 1.358,95
6.410,88 330,66 6.145,05 196,03 1.784,87 4.960,52 2.495,44 1.885,12 2.661,07 7,73 2.417,65 2.076,85 843,66 1.371,47
6.242,09 331,21 6.225,82 199,36 1.833,17 5.017,79 2.537,56 1.914,53 2.731,46 6,97 1.769,72 2.214,16 666,59 1.086,02
6.660,22 6.479,26 6.674,70 321,70 322,37 327,30 6.196,40 6.087,52 6.281,02 200,18 203,99 208,05 1.785,57 1.829,64 1.866,42 5.053,84 4.931,48 5.090,27 2.574,99 2.555,95 2.591,87 1.941,29 1.968,18 2.676,00 2.761,58 2.770,11 2.837,39 4,63 4,74 4,17 1.274,36 1.449,29 1.093,57 1.753,54 1.835,80 1.356,42 419,43 505,38 435,55 878,93 1.022,86 769,47
TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH PERBANKAN INDIKATOR PERBANKAN Bank Umum : Total Aset (Rp Triliun) DPK (Rp Triliun) ‐ Giro (Rp Triliun) ‐ Tabungan (Rp Triliun) ‐ Deposito (Rp Triliun) Kredit (Rp Triliun) berdasarkan lokasi proyek ‐ Modal Kerja ‐ Konsumsi ‐ Investasi ‐ LDR Kredit UMKM (Rp Triliun) Kredit Mikro ‐ Kredit Modal Kerja ‐ Kredit Investasi ‐ Kredit Konsumsi Kredit Kecil ‐ Kredit Modal Kerja ‐ Kredit Investasi ‐ Kredit Konsumsi Kredit Menengah ‐ Kredit Modal Kerja ‐ Kredit Investasi ‐ Kredit Konsumsi Total Kredit MKM (Rp Triliun) NPL MKM gross (%) BPR: Total Aset (Rp Triliun) DPK (Rp Triliun) ‐ Tabungan (Rp Triliun) ‐ Deposito (Rp Triliun) Kredit (Rp Triliun) Rasio NPL Gross (%) LDR Sumber: Laporan Bulanan Bank Umum (LBU), KBI Medan
2007
2008 Tw. I
Tw. II
Tw. III
Tw. IV
Tw. I
2009 Tw. II
Tw. III
87,49 90,20 92,87 97,46 108,08 114,55 109,52 110,58 71,30 72,08 75,72 77,97 84,29 88,82 89,56 90,31 14,48 15,08 16,09 14,87 15,07 16,25 17,04 17,19 26,41 27,18 28,73 28,58 30,58 31,08 31,97 33,10 30,42 29,82 30,90 34,52 38,64 41,49 40,55 40,02 30,98 11,17 12,06 76,01% 22,43 1,03 0,31 0,10 0,62 7,46 3,42 0,70 3,34 13,62 8,48 1,54 3,92 22,43 3,88%
30,90 10,74 13,14 76,01% 24,72 1,17 0,36 0,10 0,72 8,17 3,69 0,76 3,72 15,05 9,03 1,73 4,61 24,72 3,96%
36,69 11,17 14,48 82,33% 27,69 1,28 0,38 0,12 0,78 9,23 4,03 1,01 4,19 17,18 10,17 2,06 4,95 27,69 3,57%
37,72 12,16 15,99 84,48% 30,42 1,53 0,41 0,15 0,97 10,57 4,40 1,19 4,98 18,32 10,75 2,33 5,24 30,42 3,29%
36,03 14,38 16,31 79,03% 30,17 1,61 0,42 0,16 1,03 10,46 4,52 1,18 4,76 18,11 10,57 2,37 5,17 30,17 2,85%
34,49 16,48 14,82 73,94% 30,02 1,68 0,45 0,16 1,07 10,63 4,58 1,25 4,80 17,71 10,29 2,39 5,03 30,02 3,76%
35,10 17,14 14,94 75,01% 31,36 1,71 0,46 0,19 1,06 10,98 4,25 1,39 5,34 18,67 11,06 2,58 5,03 31,36 4,05%
36,56 17,55 16,00 76,86% 33,07 1,84 0,48 0,21 1,15 11,72 4,53 1,60 5,59 19,51 11,61 2,70 5,20 33,07 4,45%
0,42 0,31 0,13 0,18 0,32 8,49% 101,68%
0,45 0,33 0,15 0,18 0,33 8,67% 100,00%
0,43 0,31 0,13 0,18 0,33 7,88% 106,45%
0,49 0,34 0,14 0,20 0,38 6,61% 111,76%
0,53 0,35 0,14 0,21 0,38 7,26% 108,57%
0,51 0,37 0,16 0,21 0,39 7,95% 105,41%
0,53 0,39 0,17 0,22 0,40 7,75% 102,56%
0,55 0,41 0,18 0,23 0,43 7,21% 104,88%
Ringkasan Eksekutif
RINGKASAN EKSEKUTIF
RINGKASAN EKSEKUTIF
G GA AM MBBA ARRA AN NU UM MU UM M Perekonomian Sumut triwulan III-2009 diperkirakan tumbuh 4,17% (yoy).
Pada triwulan III-2009, perekonomian Sumut menunjukkan perkembangan yang positif sebesar 4,17% (yoy) meskipun tumbuh lebih lambat dibanding periode triwulan sebelumnya sebesar 4,57% (yoy). Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Sumut tersebut terutama didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga yang membentuk sekitar 65% PDRB Sumut. Masa persiapan pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri merupakan pendorong peningkatan konsumsi tersebut. Dari sisi penawaran, sektor pertanian diperkirakan relatif sedikit membaik seiring dengan peningkatan produksi padi pada Angka Ramalan (aram) III-2009 yang diperkirakan menjadi 3,48 juta ton atau naik 3,85% dari aram II-2009 sebanyak 3,46 juta ton. Namun demikian, terjadi penurunan kinerja ekspor Sumut seiring dengan menurunnya permintaan negara tujuan utama. Selain itu, investasi juga diperkirakan melambat seiring dengan kelesuan ekonomi global. Inflasi Sumut pada triwulan III-2009 menunjukkan peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Secara triwulanan, inflasi Sumut tercatat sebesar 3,31% (qtq), jauh lebih tinggi baik dibandingkan dengan inflasi Sumut pada triwulan II-2009, yang mengalami deflasi sebesar 0,18%, maupun inflasi pada triwulan I-2009, deflasi 0,73%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional pada triwulan III-2009 sebesar 2,07%. Dengan perkembangan tersebut, inflasi Sumut September 2009 secara tahunan juga lebih tinggi dibandingkan inflasi pada Juni 2009 yakni dari 2,52% menjadi 4,56% (yoy) dan di atas inflasi nasional sebesar 2,83% (yoy). Perkembangan perbankan di Sumut pada triwulan III-2009 menunjukkan bahwa adanya peningkatan dalam hal fungsi intermediasi perbankan. Hal ini tercermin dari meningkatnya penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran kredit. Sejalan dengan hal tersebut aset perbankan Sumut juga meningkat. Indikator lain, LDR yang menunjukkan perbandingan antara kredit yang disalurkan dengan DPK yang berhasil dihimpun perbankan juga menunjukkan peningkatan. Daya serap APBD 2009 hingga posisi akhir Juni berkisar Rp1,23 triliun (33,88%) dari total APBD Rp3,62 triliun, dengan masing-masing rincian belanja langsung Rp354,27 miliar dan belanja tidak langsung Rp743,16 miliar. Pemerintah Provinsi Sumut optimis pada akhir September 2009 daya serap APBD akan meningkat sampai 50%. Khusus belanja modal yang terkait dengan tender pengadaan barang dan jasa saat ini baru terserap sekitar 15,73% (Rp712,74 miliar) dan diperkirakan meningkat menjadi 35,57% pada akhir September viii
RINGKASAN EKSEKUTIF 2009. PPEERRKKEEM MBBA AN NG GA AN N EEKKO ON NO OM MII M MA AKKRRO O Pada triwulan III-2009, perekonomian Sumut menunjukkan perkembangan yang positif sebesar 4,17% (yoy) meskipun tumbuh lebih lambat dibanding periode triwulan sebelumnya sebesar 4,57% (yoy). Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Sumut tersebut terutama didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga yang membentuk sekitar 65% PDRB Sumut. Kegiatan konsumsi rumah tangga, yang merupakan penggerak utama ekonomi, masih mampu tumbuh dan menjadi pendorong ekonomi di tengah tekanan inflasi yang meningkat menjelang perayaan hari raya Idul Fitri. Aktivitas konsumsi terutama adalah belanja rumah tangga dalam mempersiapkan kebutuhan Lebaran dan masa liburan. Penjualan barang durable goods seperti elektronik juga masih tumbuh seiring dengan membaiknya keyakinan konsumen di triwulan ini. Untuk membiayai konsumsi, masyarakat menggunakan tabungannya dan memanfaatkan pinjaman perbankan (kredit konsumsi). Kegiatan investasi swasta masih tumbuh meskipun mulai menunjukkan gejala perlambatan. Investasi pemerintah pada triwulan laporan masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan yang terlihat dari masih rendahnya realisasi anggaran. Pertumbuhan ekspor dan impor mengalami perlambatan seiring penurunan permintaan internasional dan domestik. Perlambatan ekspor khususnya disebabkan oleh tren pelemahan ekonomi global yang menyebabkan turunnya permintaan dari negara-negara partner dagang Sumut. Dari sisi penawaran, sektor pengangkutan dan komunikasi mampu tumbuh paling tinggi khususnya pada triwulan laporan. Sektor pengangkutan, menyumbang pertumbuhan yang tinggi pada triwulan ini seiring maraknya aktivitas mudik masyarakat di masa libur lebaran. Sementara itu sektor komunikasi tumbuh semakin pesat di Kota Medan, terbukti dari masuknya sepuluh dari sebelas operator jaringan selular yang ada di Indonesia ke kota Medan. Sektor pertanian diperkirakan relatif sedikit membaik seiring dengan peningkatan produksi padi pada Angka Ramalan (aram) III-2009 yang diperkirakan menjadi 3,48 juta ton atau naik 3,85% dari aram II2009 sebanyak 3,46 juta ton. PPEERRKKEEM MBBA AN NG GA AN N IIN NFFLLA ASSII Inflasi Sumut pada triwulan III-2009 menunjukkan peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Secara triwulanan, inflasi Sumut tercatat sebesar 3,31% (qtq), jauh lebih tinggi baik dibandingkan dengan inflasi Sumut pada triwulan II-2009, yang mengalami deflasi sebesar 0,18%, maupun inflasi pada triwulan I-2009, deflasi 0,73%. ix
RINGKASAN EKSEKUTIF Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional pada triwulan III-2009 sebesar 2,07%. Dengan perkembangan tersebut, inflasi Sumut September 2009 secara tahunan juga lebih tinggi dibandingkan inflasi pada Juni 2009 yakni dari 2,52% menjadi 4,56% (yoy) dan di atas inflasi nasional sebesar 2,83% (yoy). Secara tahunan, inflasi pada akhir triwulan III-2009 mencapai 4,56% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 2,52%. Tekanan inflasi pada triwulan III-2009 terutama bersumber dari meningkatnya permintaan menjelang hari raya Idul Fitri dan pola tahunan kalender akademis. Meningkatnya tekanan faktor fundamental tidak terlepas dari meningkatnya ekspektasi inflasi menjelang hari raya Idul Fitri dan memasuki liburan, akan tetapi peningkatan ekspektasi ini masih dapat ditahan oleh meredanya tekanan eksternal seiring dengan penguatan rupiah, dan rendahnya inflasi impor. Sebagian besar inflasi kelompok pengeluaran masih menunjukkan tren menurun. Meskipun demikian, beberapa kelompok juga menunjukkan peningkatan seperti ditunjukkan oleh kelompok bahan makanan terkait dengan peningkatan permintaan sesuai dengan pola musimannya. Kelompok lain yang mengalami inflasi cukup tinggi adalah kelompok pendidikan terkait dengan pola tahunan kalender pendidikan. Namun, secara tahunan kelompok pendidikan masih menunjukkan kecenderungan yang menurun. PPEERRKKEEM MBBA AN NG GA AN N PPEERRBBA AN NKKA AN N Perkembangan perbankan di Sumut pada triwulan III-2009 menunjukkan bahwa adanya peningkatan dalam hal fungsi intermediasi perbankan. Hal ini tercermin dari meningkatnya penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran kredit. Sejalan dengan hal tersebut aset perbankan Sumut juga meningkat. Indikator lain, LDR yang menunjukkan perbandingan antara kredit yang disalurkan dengan DPK yang berhasil dihimpun perbankan juga menunjukkan peningkatan. Penghimpunan DPK Sumut hingga triwulan III-2009 mencapai Rp90,31 triliun, meningkat 0,84% dibandingkan triwulan sebelumnya atau meningkat 15,83% dibandingkan triwulan III-2008. Kredit Sumut triwulan III-2009 sebesar Rp69,41 triliun, mengalami peningkatan 3,32% dibandingkan triwulan II-2009 atau 5,37% dibandingkan triwulan III-2008. Penyaluran kredit UMKM pada triwulan III-2009 sebesar Rp33,07 triliun atau mengalami peningkatan 5,45% dibandingkan triwulan II-2009 atau 8,71% dibandingkan triwulan III-2008.
PPEERRKKEEM MBBA AN NG GA AN N KKEEU UA AN NG GA AN ND DA AEERRA AH H Daya serap APBD 2009 hingga posisi akhir Juni berkisar Rp1,23 triliun (33,88%) dari total APBD Rp3,62 triliun, dengan masing-masing x
RINGKASAN EKSEKUTIF rincian belanja langsung Rp354,27 miliar dan belanja tidak langsung Rp743,16 miliar. Pemerintah Provinsi Sumut optimis pada akhir September 2009 daya serap APBD akan meningkat sampai 50%. Khusus belanja modal yang terkait dengan tender pengadaan barang dan jasa saat ini baru terserap sekitar 15,73% (Rp712,74 miliar) dan diperkirakan meningkat menjadi 35,57% pada akhir September 2009. Pemerintah propinsi Sumatera Utara mengajukan RP-APBD (Rancangan Perubahan Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah) Propsu TA 2009 yang diproyeksikan menjadi Rp3,89 triliun lebih kepada DPRD Sumut. Pendapatan daerah pada P-APBD 2009 diproyeksikan Rp3,32 triliun atau naik sebesar Rp69 miliar dibanding dengan APBD 2009 sebesar Rp3,25 triliun. Perubahan pendapatan daerah itu terjadi akibat kenaikan PAD semula Rp2,10 triliun menjadi Rp2,11 triliun atau naik sekitar Rp4 miliar. Kenaikan ini bersumber dari retribusi daerah Rp10 juta, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp50 juta dan lain-lain PAD yang sah Rp4 miliar.
PPEERRKKEEM MBBA AN NG GA AN N SSIISSTTEEM M PPEEM MBBA AYYA ARRA AN N Pada triwulan III 2009 nilai transaksi pembayaran non tunai perbankan di wilayah Provinsi Sumatera Utara dengan media transaksi Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) mengalami peningkatan baik nilai transaksi maupun jumlah transaksi. Nilai transaksi BI-RTGS di Provinsi Sumatera Utara pada triwulan III 2009 tercatat sebesar Rp.117.985 milyar atau meningkat 5,04% bila dibanding periode sebelumnya yang tercatat sebesar Rp.112.324 milyar, dengan jumlah transaksi BI-RTGS yang juga meningkat sebesar 1,15% dari 146.310 transaksi pada triwulan II 2009, menjadi 147.990 transaksi. Meningkatnya nilai transaksi dan jumlah transaksi pada triwulan III 2009 dipengaruhi oleh meningkatnya transfer dana non tunai masyarakat dan pelaku usaha melalui BI-RTGS seiring dengan meningkatnya transaksi pembayaran masyarakat pada bulan Ramadhan dan memenuhi kebutuhan dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. Nilai transaksi kliring di Provinsi Sumatera Utara pada triwulan III 2009 tercatat sebesar Rp.27.147 milyar atau turun 0,18% bila dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp.32.944 milyar, dengan jumlah transaksi kliring yang juga mengalami penurunan sebesar 0,11% dari 1.157.592 warkat (transaksi) pada triwulan III 2008, menjadi 1.068.663 warkat (transaksi). Penurunan nilai transaksi kliring pada triwulan III 2009 ditengarai adanya perlambatan pada kegiatan dunia usaha sebagai pengaruh dari imbas krisis keuangan global dan adanya alternatif pilihan masyarakat dalam transaksi non tunai antara lain melalui BIRTGS yang memberikan waktu pelayanan yang lebih cepat dan aman. xi
RINGKASAN EKSEKUTIF
PPEERRKKEEM MBBA AN NG GA AN N KKEETTEEN NA AG GA AKKEERRJJA AA AN ND DA AN N KKEESSEEJJA AH HTTEERRA AA AN N Penduduk usia kerja Sumut yang bekerja sebanyak 5.800 ribu orang meningkat sebesar 8,13% dibandingkan Februari 2008. Penduduk usia kerja Sumut yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) atau setengah penganggur pada Februari 2009 sebanyak 1.652 ribu orang. Ditinjau lebih lanjut, sekitar 713,33 ribu orang atau 43,18% di antaranya merupakan setengah penganggur terpaksa, yaitu bekerja di bawah jam kerja normal, masih mencari pekerjaan, dan masih bersedia menerima pekerjaan. Sedangkan jumlah setengah penganggur sukarela, yaitu bekerja di bawah jam kerja normal, tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain sebanyak 938,67 ribu orang atau 56,82% dari jumlah penduduk setengah penganggur. Jumlah penduduk miskin di Sumut menujukkan kecenderungan yang terus menurun sejak tahun 2006. Jumlah penduduk miskin per Maret 2009 sebesar 1.499,70 ribu jiwa. Jumlah ini menurun 7,07% bila dibandingkan Maret 2008 sebesar 1.613,80 ribu jiwa. Kondisi nilai tukar petani sepanjang triwulan III-2009 menunjukkan nilai yang relatif sama dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada Agustus 2009, Nilai Tukar Petani (NTP) Sumut sebesar 101,16 atau mengalami penurunan sebesar -0,74% dibandingkan bulan Juli 2009 sebesar 101,91. Nilai Tukar Petani per sub sektor masing-masing sebesar 96,22 untuk subsektor padi dan palawija (NTPP), 113,21 untuk subsektor hortikultura (NTPH), 103,09 untuk subsektor perkebunan rakyat (NTPR), 100,23 untuk subsektor peternakan (NTPT), dan 99,84 untuk subsektor perikanan (NTN). PPRRO OSSPPEEKK PPEERREEKKO ON NO OM MIIA AN N Perkiraan Ekonomi Seiring dengan berlanjutnya proses pemulihan perekonomian dan membaiknya intermediasi perbankan, perekonomian Sumut pada triwulan IV-2009 diperkirakan tumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Dari sisi permintaan, kinerja konsumsi meningkat ditopang oleh pendapatan ekspor yang meningkat, keyakinan konsumen yang lebih kuat, serta faktor musiman menjelang akhir tahun. Kinerja investasi diperkirakan sedikit membaik, meski masih tumbuh rendah. Dari sisi eksternal, pertumbuhan ekspor diperkirakan lebih tinggi sejalan dengan ekonomi negara mitra dagang yang semakin membaik, serta harga komoditas global yang meningkat. Sementara, pertumbuhan impor diperkirakan masih minimal. Di sisi penawaran, sektor pengangkutan dan komunikasi dan perdagangan, hotel dan restoran tumbuh membaik pada triwulan IV2009. Sektor industri pengolahan diperkirakan masih tetap tumbuh. xii
RINGKASAN EKSEKUTIF Beberapa industri masih berproduksi normal untuk menyelesaikan kontrak pada tahun 2009. Sementara itu untuk sektor pertanian, sebagian besar lahan pertanian padi di Sumut mulai memasuki masa tanam 2009/2010 (minggu ketiga bulan Oktober sampai dengan minggu pertama bulan November) sehingga kinerja pada triwulan IV2009 tidak akan jauh berbeda dengan periode yang sama tahun 2008. Pada triwulan IV-2009, pertumbuhan ekonomi Sumut diproyeksikan akan tumbuh pada kisaran 4,50% - 4,70% (yoy). Dengan perkembangan tersebut, laju pertumbuhan ekonomi Sumut pada tahun 2009 diproyeksikan masih berada pada kisaran 5±1% (yoy).
Perkiraan Inflasi Daerah Sejalan dengan kuatnya komitmen Bank Indonesia Regional Sumut/NAD dan Pemerintah Provinsi Sumut untuk pengendalian inflasi, pada triwulan IV-2009, laju inflasi diperkirakan akan menurun. Hal ini sejalan dengan terjadinya penurunan harga komoditas di pasar internasional dan kembali normalnya permintaan domestik pasca Idul Fitri. Secara triwulanan, inflasi IHK di Sumut pada triwulan IV-2009 diperkirakan lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya dan memiliki potensi untuk kembali ke pola normalnya pada tahun 2010. Secara tahunan inflasi Sumut diperkirakan berkisar antara 3,20%-3,70% (yoy). Selain itu, menurunnya inflasi juga berasal dari cenderung menurunnya inflasi inti seiring dengan kecenderungan penurunan inflasi mitra dagang, dan membaiknya ekspektasi inflasi. Dari sisi volatile food, tekanan inflasi diprakirakan minimal karena dukungan kecukupan pasokan dan kelancaran distribusi.
xiii
BAB I Perkembangan Ekonomi Makro Regional
BBA ABB 11
PPEERRK KEEM MBBA AN NG GA AN N EEK KO ON NO OM MII M MA AK KRRO O RREEG GIIO ON NA ALL
1.1. KONDISI UMUM Perekonomian Sumut pada triwulan III-2009 mengalami pertumbuhan dengan laju pertumbuhan diperkirakan sebesar 4,17% (yoy). Pertumbuhan positif ini terutama didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga yang merupakan kontributor utama PDRB Sumut dari sisi permintaan (65%) terkait dengan adanya perayaan hari Idul Fitri. Dari sisi penawaran, sektor pertanian diperkirakan relatif sedikit membaik seiring dengan peningkatan produksi padi pada Angka Ramalan (aram) III-2009 yang diperkirakan naik dari 3,46 juta ton pada triwulan II-2009 menjadi 3,48 juta ton atau naik 3,85%.
Namun demikian, dampak krisis ekonomi global masih terasa yang terlihat dari penurunan kinerja ekspor seiring dengan menurunnya permintaan negara tujuan utama. Dampak di sisi penawaran terlihat dari penurunan kinerja sektor industri pengolahan yang berorientasi ekspor. Pada triwulan III-2009, perekonomian Sumut menunjukkan perkembangan yang positif sebesar 4,17% (yoy) meskipun tumbuh lebih lambat dibanding periode triwulan sebelumnya sebesar 4,57% (yoy). Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Sumut didorong oleh konsumsi dan investasi, yang tumbuh 9,30% dan 3,85% (yoy). Grafik 1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Sumut
Grafik 1.2. Perkembangan Kegiatan Usaha di Sumut
Kegiatan konsumsi rumah tangga, yang merupakan penggerak utama ekonomi, masih mampu tumbuh dan menjadi pendorong ekonomi di tengah tekanan inflasi yang meningkat menjelang perayaan hari raya Idul Fitri. Aktivitas konsumsi terutama adalah belanja rumah tangga dalam
1
Perkembangan Ekonomi Makro Regional | BAB 1
mempersiapkan kebutuhan Lebaran dan masa liburan. Penjualan barang durable goods seperti elektronik juga masih tumbuh seiring dengan membaiknya keyakinan konsumen di triwulan ini. Untuk membiayai konsumsi, masyarakat menggunakan tabungannya dan memanfaatkan pinjaman perbankan (kredit konsumsi). Kegiatan investasi swasta masih tumbuh meskipun mulai menunjukkan gejala perlambatan. Investasi pemerintah pada triwulan laporan masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan yang terlihat dari masih rendahnya realisasi anggaran. Pertumbuhan ekspor dan impor mengalami perlambatan seiring penurunan permintaan internasional dan domestik. Perlambatan ekspor khususnya disebabkan oleh tren pelemahan ekonomi global yang menyebabkan turunnya permintaan dari negara-negara partner dagang Sumut. Dari sisi penawaran, sektor pengangkutan dan komunikasi mampu tumbuh paling tinggi khususnya pada triwulan laporan. Sektor pengangkutan, menyumbang pertumbuhan yang tinggi pada triwulan ini seiring maraknya aktivitas mudik masyarakat di masa libur lebaran. Sementara itu sektor komunikasi tumbuh semakin pesat di Kota Medan, terbukti dari masuknya sepuluh dari sebelas operator jaringan selular yang ada di Indonesia ke kota Medan. Sektor pertanian sebagai sektor unggulan juga mengalami pertumbuhan yang positif setelah pada triwulan sebelumnya mengalami kontaraksi, pertumbuhan sektor pertanian terutama meningkatnya produktivitas hasil pertanian akibat sangat baiknya cuaca. Sementara itu, sektor pertambangan dan penggalian tumbuh paling rendah pada triwulan ini seiring tidak adanya aktivitas yang menyumbang pertumbuhan. Tabel 1.1. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Tahunan Provinsi Sumut (%)
BAB 1 | Perkembangan Ekonomi Makro Regional
2
1.2. SISI PERMINTAAN Perekonomian Sumut pada triwulan III-2009 diperkirakan tumbuh sekitar 4,17%, sedikit melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (4,57%). Sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari peningkatan konsumsi, sementara investasi tumbuh melambat. Sementara itu, untuk kegiatan ekspor impor juga menunjukkan penurunan sehingga sumbangan net ekspor impor terhadap pertumbuhan PDRB relatif rendah. 1. Konsumsi Pada triwulan III-2009, konsumsi Sumut tumbuh 9,30%, sedikit meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya 9,00%. Faktor yang mempengaruhi peningkatan pertumbuhan konsumsi antara lain adalah peningkatan permintaan masyarakat yang sangat tinggi dalam mempersiapkan kebutuhan lebaran dan keyakinan konsumen yang relatif optimistis. Sementara pembiayaan konsumsi dari bank tercatat masih tinggi. Realisasi konsumsi pemerintah daerah memasuki semester II-2009 diperkirakan masih seperti pola tahun sebelumnya. Indeks keyakinan konsumen masih berada pada level optimistis. Meningkatnya indeks tersebut didorong oleh keyakinan konsumen terhadap kondisi saat ini maupun ekspektasi terhadap kondisi ekonomi ke depan. Pertumbuhan indeks survei penjualan eceran menunjukkan bahwa pertumbuhan penjualan barang-barang lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya. Grafik 1.3. Indeks Keyakinan Konsumen
Grafik 1.4. Komponen Indeks Keyakinan Saat Ini
Sementara itu, hasil Survei Konsumen menunjukkan indeks ekspektasi konsumen maupun indeks kondisi perekonomian meningkat dibandingkan dengan posisi triwulan sebelumnya.
3
Perkembangan Ekonomi Makro Regional | BAB 1
Grafik 1.5. Komponen Indeks Ekspektasi
Grafik 1.6. Pertumbuhan Penjualan Elektronik
Konsumsi barang tahan lama (durable goods) seperti elektronik pada triwulan laporan mengalami sedikit penurunan. Hal ini diindikasikan oleh perkembangan penjualan elektronik di Sumut yang mulai menurun. Realisasi penjualan elektronik pada bulan September 2009 turun 0,85% dibandingkan dengan bulan Juni 2009. Grafik I.7. Pertumbuhan Penjualan BBM
Grafik I.8. Penjualan Makanan&Tembakau
Sementara itu, konsumsi non durable goods (makanan dan non makanan) menunjukkan peningkatan. Berdasarkan Survei Penjualan Eceran (SPE) di Kota Medan, penjualan kelompok makanan dan tembakau tumbuh 19,07% (qtq). Indikator konsumsi non makanan yang tercermin dari penjualan perlengkapan rumah tangga serta penjualan pakaian dan perlengkapannya tumbuh masing-masing sebesar 0,53% dan 33,46% (qtq) sementara itu penjualan BBM mengalami penurunan sebesar 5,73% (qtq). BAB 1 | Perkembangan Ekonomi Makro Regional
4
Grafik I.9. Penjualan Perlengkapan RT
Grafik I.10. Penjualan Pakaian&Perlengkapan
Dari sisi sumber pembiayaan yang berasal dari bank umum di Sumut, penyaluran kredit baru untuk jenis penggunaan konsumsi pada triwulan III-2009 mencapai Rp888,50 miliar, atau turun sekitar 0,56% dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar Rp893,47 miliar. Grafik I.11. Posisi Penyaluran Kredit Konsumsi oleh Bank Umum di Sumut
Grafik I.12. Penyaluran Kredit Baru untuk konsumsi oleh Bank Umum di Sumut
2. Investasi
Total investasi pada triwulan III-2009 diperkirakan tumbuh 3,85% (yoy), turun dibandingkan dengan triwulan II-2009 sebesar 6,28% (yoy). Berdasarkan data BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), dalam hal realisasi investasi dalam negeri sepanjang April 2009, Provinsi
5
Perkembangan Ekonomi Makro Regional | BAB 1
Sumatera Utara menduduki peringkat ketiga dengan total Rp146,6 miliar. Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat pertama dengan total Rp615,1 miliar, disusul oleh Jawa Barat Rp215 miliar, Jawa Tengah Rp125 miliar dan Sumatera Barat Rp113,1 miliar.
Sementara itu, dari data laporan Badan Penanaman Modal dan Promosi Provinsu Sumatera Utara, perkembangan jumlah realisasi investasi PMA (Penanam Modal Asing) tahun 2009 di Sumut mencapai USD409,65 juta. Jumlah tersebut berasal dari 3 perusahaan yang dimiliki investor Malaysia dan Belanda. Adapun daftar realisasi investasi negara asal berdasarkan izin usaha tetap PMA tahun 2009 itu, antara lain Malaysia dengan dua perusahaan dan nilai investasinya mencapai USD254,70 juta. Belanda satu perusahaan dengan nilai investasi USD154,95 juta yang masing-masing bergerak di bidang usaha industri dan jasa. Adapun jumlah tenaga kerja Indonesia yang diserap oleh tiga perusahaan tersebut mencapai 116 orang. Sementara rencana proyek perluasan PMA tahun 2009 berdasarkan bidang usaha tahun 2009 di Sumut total investasinya mencapai USD765,75 juta. Jumlah itu bersumber dari dua perusahaan yakni jasa dengan investasi USD531,25 juta dan pangan dengan nilai investasi USD234,50 juta. Ketiga perusahaan itu masing-masing dimiliki oleh Amerika Serikat dengan satu perusahaan dan jumlah nilai investasinya mencapai USD6,25 juta, Belanda satu perusahaan dengan jumlah investasi senilai USD234,50 juta dan Perancis satu perusahaan dengan jumlah nilai investasi USD525 juta.
Sedangkan rencana proyek PMA berdasarkan negara asal tahun 2009 masing-masing dari Maroko satu perusahaan dengan nilai investasi USD40 juta, Australia satu perusahaan dengan nilai investasi USD180 juta, Inggris satu perusahaan dengan nilai investasi USD40 juta, Belanda satu perusahaan dengan nilai investasi USD50 juta dan Malaysia satu perusahaan dengan nilai investasi USD25 juta. Total jumlah investasi dari semua negara itu mencapai USD335 juta. Adapun bidang usaha yang dimiliki kelima negara itu, antara lain bidang jasa sebanyak 4 perusahaan dengan investasi USD1.55 juta dan peternakan dengan jumlah investasi USD180 juta.
BAB 1 | Perkembangan Ekonomi Makro Regional
6
Grafik I.13. Pengadaan Semen di Sumut
Grafik I.14. Penjualan Bahan Konstruksi
Indikator investasi pada sektor bangunan tercermin pada penjualan semen di Sumut selama triwulan III-2009 yang mencapai 152 ribu ton, atau menurun 7,37% (yoy), penurunan ini juga tercermin dari penurunan penjualan bahan konstruksi sebesar 11,15% (yoy).
Grafik I.15. Posisi Penyaluran Kredit Investasi oleh Bank Umum di Sumut
Sementara itu, di sisi pembiayaan, penyaluran kredit untuk jenis penggunaan investasi naik 3,31% (yoy) dengan nilai Rp12,56 triliun lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan III-2008 dengan nilai Rp12,16 triliun. 3. Ekspor - Impor Di tengah perlambatan laju pertumbuhan ekonomi dunia yang disebabkan oleh gejolak perekonomian global, perkembangan ekspor produk asal Sumut, diperkirakan mengalami
7
Perkembangan Ekonomi Makro Regional | BAB 1
penurunan pertumbuhan. Kinerja ekspor Sumut triwulan III-2009 diperkirakan mengalami kontraksi sebesar 1,71% (yoy), setelah pada triwulan II-2009 terkontraksi sebesar 1,59%. Nilai ekspor selama periode Juli 2009 hingga Agustus 2009 tercatat sebesar USD1,09 miliar, sedangkan volume ekspor tumbuh 12,08% (yoy) mencapai 1,36 ribu ton. Ekspor terbesar disumbangkan oleh produk minyak hewan, nabati dan CPO, dengan nilai mencapai USD550,65 juta atau turun 21,95% (yoy), diikuti oleh ekspor karet Sumut yang mencapai USD174,34 juta atau mengalami penurunan pertumbuhan 42,97% (yoy). Faktor yang mempengaruhi perlambatan ekspor terutama adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional maupun pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya untuk produk manufaktur. Komoditi utama manufaktur Sumut antara lain adalah produk makanan dan minuman, barang kimia, logam dasar, produk karet serta produk tembakau. Impor Sumut diperkirakan tumbuh 5,60% (yoy), sejalan dengan meningkatnya permintaan dalam negeri, khususnya untuk pemenuhan kebutuhan investasi. Dilihat berdasarkan nilai, impor Sumut triwulan III-2009 (Juli-Agustus 2009) mencapai USD435,55 juta, atau turun sebesar 24,55% (yoy). Impor Sumut didominasi oleh impor barang modal. Kegiatan ekspor-impor Provinsi Sumut masih memberi andil yang signifikan terhadap perekonomian Sumut. Sumut memang memiliki posisi strategis dalam perdagangan dalam negeri khususnya dengan daerah-daerah di Indonesia Barat. Aktivitas perdagangan antar daerah ini terlihat dari tingginya volume muat barang yang melalui Pelabuhan Belawan. Di sisi lain, impor Sumut terus meningkat pada triwulan laporan, khususnya impor dari luar negeri/antar negara. Peningkatan volume dan nilai impor ini terkait dengan struktur ekonomi Sumut yang masih banyak tergantung pada pasokan dari luar negeri baik untuk barang konsumsi akhir maupun barang setengah jadi. Pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2009 yang relatif solid di kisaran 4-5% tidak hanya dicukupi oleh produksi maupun bahan baku yang berasal dari dalam negeri.
BAB 1 | Perkembangan Ekonomi Makro Regional
8
Grafik I.16. Perkembangan Nilai Ekspor & Impor
Grafik I.17. Perkembangan Volume Ekspor & Impor
Grafik I.18. Volume Muat Barang di Pelabuhan Belawan
Ekspor masih didominasi oleh produk manufaktur dengan pangsa hingga 79,22% dari total nilai ekspor. Komoditas ekspor produk manufaktur yang utama tetap berupa produk makanan dan minuman.
9
Perkembangan Ekonomi Makro Regional | BAB 1
Grafik I.19. Perkembangan Nilai Ekspor Produk Utama
Tabel I.2. Nilai Ekspor Triwulan III-2009*
Di sisi lain, impor masih didominasi oleh bahan baku untuk mendukung kegiatan produksi terutama pada industri yang mengandung komponen impor tinggi (high import content) seperti industri kimia dan industri barang dari logam. Produk dari industri-industri ini kemudian menjadi komoditas ekspor yang dikirim kembali ke luar negeri, seperti tampak pada produk ekspor utama Sumut. Produk-produk yang mendominasi impor Sumut pada triwulan III-2009 ini yaitu Kimia dan Bahan dari Kimia, Logam Dasar dan Produk Makanan dan Minuman. Tabel I.3. Nilai Impor Triwulan III-2009*
1.3. SISI PENAWARAN Perekonomian Sumut triwulan III-2009 pada sisi penawaran terutama didukung oleh tiga sektor non primer yaitu sektor keuangan dan jasa perusahaan, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa-jasa yang masing-masing tumbuh 7,58%, 7,24% dan 6,63 % (yoy). Sementara itu, sektor pertanian sebagai sektor unggulan pada triwulan laporan menunjukkan peningkatan BAB 1 | Perkembangan Ekonomi Makro Regional
10
pertumbuhan sebesar 4,12% (yoy) dikarenakan meningkatnya produktivitas hasil panen akibat cuaca yang sangat bagus. Di sektor perdagangan, hotel dan restoran, mengalami pertumbuhan positif karena mulai naiknya permintaan menyusul meningkatnya kebutuhan pokok masyarakat menjelang Idul Fitri dan tingkat hunian hotel yang meningkat selama musim liburan. Sektor industri pengolahan, listrik dan bangunan masih mencatat pertumbuhan positif. Secara keseluruhan perekonomian Sumut di triwulan III-2009 sedikit melambat dibanding triwulan sebelumnya. Sektor yang tumbuh relatif tinggi merupakan sektor yang padat modal, sementara sektor ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak tumbuh rendah. 1. Sektor Pertanian Setelah pada periode sebelumnya nilai tambah sektor pertanian mengalami penurunan pertumbuhan, pada triwulan ini sektor pertanian diperkirakan tumbuh meningkat yakni sebesar 4,12% (yoy). Sektor pertanian diperkirakan relatif sedikit membaik seiring dengan peningkatan produksi padi pada Angka Ramalan (aram) III-2009 yang diperkirakan menjadi 3,48 juta ton atau naik 3,85% dari aram II-2009 sebanyak 3,46 juta ton. Peningkatan sektor pertanian pada triwulan III-2009 sejalan dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan petani. Hal ini antara lain tercermin dari peningkatan nilai tukar petani (NTP) yang merupakan salah satu indikator kesejahteraan petani. Berdasarkan hasil pemantauan BPS Sumut terhadap perkembangan harga-harga di kabupaten/kota di Provinsi Sumut, NTP pada bulan Agustus 2009 sebesar 106,16, meningkat 4,25 poin dibandingkan angka NTP pada bulan Juli 2009 yang sebesar 97,42. Grafik I.20. Nilai Tukar Petani Sumut
11
Perkembangan Ekonomi Makro Regional | BAB 1
Dinas Pertanian Sumatra Utara memprediksikan produksi padi meningkat sebesar 3,85% pada tahun 2009 karena cuaca yang sangat mendukung musim tanam. Tidak terjadinya musim kemarau berkepanjangan seperti yang diprediksikan terjadi di sepanjang tahun 2009 sangat menguntungkan upaya peningkatan produksi padi di Sumut. Sebaliknya, intensitas curah hujan yang turun juga cukup sehingga tidak menimbulkan puso atau gagal panen, sehingga angka ramalan (aram) III-2009 produksi padi Sumut mengalami kenaikan sebesar 3,85%. Intensitas curah hujan yang turun juga memenuhi kebutuhan padi, yakni sebesar 200 milimeter.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Sumut, produksi padi pada aram III-2009 diperkirakan menjadi 3,48 juta ton atau naik 3,85% dari aram II sebanyak 3,46 juta ton. Peningkatan produksi didorong oleh meningkatnya produktivitas padi pada aram III diperkirakan sebesar 45,46%, naik dibandingkan dengan aram II sebesar 44,89%. Akan tetapi, luas panen padi mengalami penurunan menjadi 767.575 hektar pada aram III dari aram II seluas 772.927 hektar.
Selain curah hujan yang cukup kenaikan produksi didukung oleh tidak adanya keluhan kelangkaan pupuk urea bersubsidi di daerah sentra padi. Satu hektar lahan sawah membutuhkan 525 kg pupuk urea. Selain itu, program bantuan benih langsung unggul (BLBU) yang dicanangkan oleh pemerintah pusat mampu meningkatkan produktivitas padi. Berbagai program yang dicanangkan pemerintah tahun 2009 berjalan baik sehingga tidak mengganggu proses pertanaman.
Tidak adanya masalah pada masa tanam hingga memasuki panen karena penyaluran pupuk bersubsidi, khususnya urea tidak mengalami masalah. Penyaluran pupuk oleh PT. Pupuk Sriwijaya dilakukan sesuai dengan masa tanam dan didistribusikan sesuai dengan waktunya. Produktivitas Tanaman Pangan Sumut Tahun 2009
Pada tahun 2009, produktivitas tanaman pangan padi diperkirakan sebesar 44,89 Ku/Ha dengan produksi 3,47 juta Ku dan luas panen sebesar 772,93 ribu hektar. Sementara itu produktivitas
BAB 1 | Perkembangan Ekonomi Makro Regional
12
tanaman jagung diperkirakan sebesar 45,69 Ku/Ha dengan produksi 119,08 ribu Ku dan luas panen sebesar 260,60 ribu hektar. Peningkatan pertumbuhan sektor pertanian juga sejalan dengan penyaluran kredit perbankan ke sektor ini yang meningkat 0,41% (qtq). Nilai kredit ke sektor pertanian mencapai Rp9,80 triliun, lebih tinggi dibandingkan triwulan lalu sebesar Rp9,76 triliun. Grafik I.21. Penyaluran Kredit oleh Bank Umum di Sumut ke Sektor Pertanian
2. Sektor Industri Pengolahan Pada triwulan III-2009, sektor industri tumbuh 2,21% (yoy), menurun dibandingkan dengan triwulan II-2009 (3,17%). Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi penurunan pertumbuhan di sektor industri Sumut, antara lain adalah permintaan domestik dan internasional terhadap produk industri di Sumut yang menurun. Indikator menunjukkan bahwa impor bahan baku industri mengalami penurunan. Turunnya pertumbuhan sektor industri pengolahan terutama diakibatkan oleh subsektor industri kimia dan barang dari karet, industri semen dan barang galian bukan logam serta subsektor industri makanan, minuman dan tembakau. Hal ini dapat terlihat dari permintaan dunia terhadap produk makanan, minuman dan tembakau di Sumut yang mengalami penurunan pertumbuhan. Nilai ekspor produk ini Sumut selama Juli dan Agustus 2009 turun sebesar 23,78% (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2008.
13
Perkembangan Ekonomi Makro Regional | BAB 1
Grafik I.22. Nilai dan Volume Ekspor Plastik, Karet dan Produk Turunannya
Grafik I.23. Nilai dan Volume Ekspor Makanan, Minuman dan Tembakau
Sementara itu, dalam rangka mengantisipasi krisis listrik yang terjadi, industri di Sumut telah melakukan penghematan melalui pengalihan waktu kerja. Kebijakan mengalihkan hari kerja industri ke hari Minggu sudah dilakukan banyak pengusaha Sumatera Utara khususnya Kota Medan sejak tiga tahun lalu. Keputusan yang dilakukan menyusul krisis listrik yang terjadi di Sumatera Utara itu dilakukan tanpa melalui ketentuan pemerintah namun konsensus antara pengusaha dan pekerja. Grafik I.24. Penyaluran Kredit oleh Bank Umum di Sumut ke Sektor Industri Pengolahan
Penurunan pertumbuhan sektor industri pengolahan sejalan pula dengan penyaluran kredit perbankan ke sektor industri pengolahan yang menurun sebesar 3,32% (yoy). Nilai kredit ke sektor industri pengolahan mencapai Rp16,91 triliun, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp17,49 triliun. Penyaluran kredit ke sektor industri pengolahan masih didominasi oleh kredit subsektor tekstil, sandang, dan kulit.
BAB 1 | Perkembangan Ekonomi Makro Regional
14
3. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Sektor PHR pada triwulan III-2009 diperkirakan tumbuh 2,62% (yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan triwulan II-2009 (4,51%). Namun bila dilihat secara triwulanan, sektor PHR mengalami pertumbuhan positif sebesar 3,22% setelah pada triwulan II-2009 mengalami kontraksi 2,42% (qtq). Pertumbuhan sektor PHR terutama disumbang oleh subsektor perdagangan dan hotel. Meningkatnya pertumbuhan subsektor ini tidak terlepas dari tetap tingginya permintaan masyarakat khususnya tingkat hunian hotel memasuki liburan dan hari raya Idul Fitri. Hal ini diperkuat oleh data terakhir dari BPS, yang menunjukkan rata-rata tingkat hunian kamar (hotel bintang) di Sumut selama bulan Agustus 2009 mencapai 35,17%, lebih tinggi dibandingkan bulan Mei 2009 sebesar 31,77%. Beberapa prompt indikator pendukung pertumbuhan subsektor ini antara lain adalah perkembangan arus barang di pelabuhan Belawan. Tabel I.4. Tingkat Penghunian Kamar Hotel di Sumut (%)
Grafik I.25. Penyaluran Kredit oleh Bank Umum di Sumut ke Sektor PHR
Dari sisi pembiayaan, penyaluran kredit ke sektor perdagangan, hotel, dan restoran tumbuh 11,57% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan II-2009. Posisi kredit bank umum di Sumut ke
15
Perkembangan Ekonomi Makro Regional | BAB 1
sektor perdagangan, hotel, dan restoran pada September 2009 mencapai Rp17,36 triliun yang didominasi oleh kredit ke subsektor perdagangan eceran. Grafik I.26. Perkembangan Arus Barang di Pelabuhan Belawan (Ton)
4. Sektor Keuangan Sektor keuangan tumbuh 7,58% (yoy), meningkat dibandingkan dengan triwulan II-2009 (6,85%). Sektor ini merupakan sektor yang tumbuh paling tinggi dari seluruh sektor ekonomi Sumut. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan di sektor ini diperkirakan adalah nilai tambah sektor keuangan yang relatif meningkat karena peningkatan pendapatan kotor (gross output). Sejalan dengan itu, kegiatan intermediasi perbankan relatif meningkat yang terlihat dari peningkatan LDR menjadi 76,86%. Tabel I.5. Perkembangan Kegiatan Bank
Di tengah gejolak perekonomian dunia, stabilitas sistem keuangan di Sumut hingga triwulan III2009 masih tetap terkendali. Indikator kinerja perbankan masih menunjukkan perkembangan BAB 1 | Perkembangan Ekonomi Makro Regional
16
yang cukup baik (secara lengkap dibahas pada Bab 3). Meskipun tekanan inflasi mengalami peningkatan, NPL bank umum di Sumut masih terjaga pada level yang cukup rendah. 5. Sektor Bangunan Sektor bangunan dan konstruksi pada triwulan III-2009 tumbuh 4,57% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan II-2009 sebesar 4,42%. Pertumbuhan ini terutama dikonfirmasi oleh masih meningkatnya konsumsi semen dan pertumbuhan tinggi penjualan bahan konstruksi hasil survei penjualan eceran. Faktor lain yang mempengaruhi ialah masih maraknya pembangunan properti komersial di Sumut, terutama di kota Medan. Indikator lainnya adalah peningkatan kegiatan pembangunan infrastruktur, dan lain-lain. Grafik I.27. Realisasi Pengadaan Semen Sumut
%
40
Pengadaan Semen (kanan) Pertumbuhan (yoy)
Ribu Ton 250
35 200
30 25
150
20 15
100
10 5 0 ‐5
50 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2008 ‐10 Sumber : Asosiasi Semen Indonesia
2009
0
Akan tetapi dari hasil Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia (SHPR) perkembangan properti komersial pada triwulan III-2009 diperkirakan mengalami penurunan yang signifikan, terutama untuk jenis perumahan tipe besar.
17
Perkembangan Ekonomi Makro Regional | BAB 1
Tabel I.6. Perkembangan Pembangunan Perumahan di Kota Medan
Sejalan dengan perkembangan di atas, pembiayaan yang dilakukan oleh bank umum di Sumut ke sektor bangunan dan konstruksi tumbuh 14,08% (yoy)). Penyaluran kredit sektor ini mencapai Rp2,35 triliun, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp2,06 triliun. Sebagian besar kredit disalurkan ke subsektor konstruksi lainnya dan subsektor perumahan sederhana. Grafik I.28. Penyaluran Kredit Oleh Bank Umum di Sumut ke Sektor Konstruksi
6. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Sektor pengangkutan dan komunikasi tumbuh sebesar 7,24% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan II-2009 sebesar 7,04% (yoy). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan di sub sektor ini antara lain adalah relatif tingginya peningkatan angkutan jalan raya (antar kota dalam dan luar propinsi) dan angkutan laut. Lonjakan tersebut bertepatan saat masa liburan sekolah. Sementara sub sektor komunikasi diperkirakan tetap tumbuh tinggi, antara lain dipengaruhi oleh perilaku BAB 1 | Perkembangan Ekonomi Makro Regional
18
masyarakat yang sudah memasukkan sarana komunikasi sebagai kebutuhan pokok (gaya hidup), ditambah inovasi layanan sehingga mampu menjadikan harga lebih menarik dan terjangkau. Hal tersebut dapat menarik dan menjaring masyarakat mengkonsumsi sektor komunikasi menjadi lebih besar. Sementara itu, bersaingnya harga tiket maskapai penerbangan menyebabkan jumlah penumpang pesawat udara dengan tujuan domestik yang berangkat mengalami peningkatan. Sebaliknya, untuk rute international mengalami sedikit penurunan. Tabel I.7. Jumlah Penumpang Domestik dan Internasional Di Bandara Polonia
Tabel I.8. Jumlah Penumpang Dalam Negeri Di Pelabuhan Belawan
Dari sisi pembiayaan, penyaluran kredit ke sektor pengangkutan dan komunikasi tumbuh signifikan yakni sebesar 19,00% (yoy). Nilai kredit sektor ini mencapai Rp1,19 triliun, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1 triliun. Penyaluran kredit terbesar diperkirakan terutama terjadi di subsektor komunikasi.
19
Perkembangan Ekonomi Makro Regional | BAB 1
Grafik I.29. Penyaluran Kredit Oleh Bank Umum di Sumut ke Sektor Pengangkutan & Komunikasi
7. Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih Sektor listrik, gas, dan air bersih (LGA) pada triwulan III-2009 diperkirakan tumbuh 6,13% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan II-2009 (7,13%). Pertumbuhan kinerja sektor ini ditopang terutama oleh pertumbuhan subsektor gas kota dan listrik. Gejolak ekonomi dunia yang menyebabkan terguncangnya sektor industri tidak akan banyak berpengaruh pada permintaan gas di pasar domestik. Ini disebabkan anjloknya permintaan industri akan dikompensasi naiknya permintaan produsen listrik. Kondisi tersebut akan berdampak positif pada kinerja perusahaan distributor gas nasional PT.Perusahaan Gas Negara (PGN). Hasil sementara, belum ada pelanggan besar yang mengajukan pengurangan konsumsi gas di 2009. Jika kontrak baru penjualan gas ke sektor listrik sebesar 260 juta kaki kubik (MMScfd) terealisasi, maka minimal penjualan PGN di 2009 akan mencapai 700 MMScfd. Tahun 2008 subsidi PLN Sumut sekitar Rp8 triliun dan hingga posisi terakhir 2009 subsidi sudah mencapai Rp6 triliun. Kondisi kelistrikan di Sumut sudah berdaya sekitar 1300 MW, sedangkan kebutuhan sekira 1100 MW. Daya listrik akan bertambah dengan masuknya PLTA Asahan I sebesar 2 x 90 MW ke sistem awal Januari 2010. Kemudian PLTA Asahan III tiga tahun kemudian karena kini sedang proses. Kebutuhan listrik ibarat komoditi beras yang terus bertambah dikonsumsi masyarakat, jadi kalaupun tetap ada penambahan daya, kebutuhan listrik tak habishabisnya yang cenderung bertambah tiap tahun.
BAB 1 | Perkembangan Ekonomi Makro Regional
20
Secara nasional pemerintah menargetkan penambahan daya listrik 10.000 MW. Sumut akan merebut daya itu sebesar-besarnya. Kini PLN lebih mengutamakan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) karena ramah lingkungan dan biayanya jauh lebih murah dibanding pembangkit lain. Dari 10.000 MW secara nasional maka Sumut mendapat 1000 MW. Kini sedang tahap persiapan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara 2 x 200 MW di Pangkalan Susu milik PLN yang diharapkan
tiga
tahun
lagi
atau
tahun
2012
bisa
masuk
sistem.
PLTA Asahan I masuk sistem Januari 2010.
8. Sektor Jasa-Jasa Sektor jasa-jasa pada triwulan III-2009 tumbuh 6,63% (yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada triwulan II-2009 (6,76%). Dilihat dari subsektornya, nilai tambah sektor ini masih didominasi oleh nilai tambah yang bersumber dari subsektor jasa pemerintahan dan subsektor jasa sosial dan kemasyarakatan. Faktor yang mempengaruhi masih tingginya pertumbuhan di sektor ini terutama adalah terkait dengan datangnya musim liburan, sehingga arus wisatawan yang ke Sumut relatif meningkat. Grafik I.30. Penyaluran Kredit Oleh Bank Umum di Sumut ke Sektor Jasa-Jasa
Penyaluran kredit ke sektor jasa-jasa tumbuh 3,46%, meningkat dibandingkan triwulan II-2009. Nilai kredit sektor ini mencapai Rp4,19 triliun, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp4,05 triliun.
21
Perkembangan Ekonomi Makro Regional | BAB 1
KRISIS INDUSTRI PERKAYUAN DI SUMATERA UTARABOKS 5 EKSPOR UNGGULAN SUMATERA UTARA Bantuan Benih Padi Gratis Sebanyak 7.737 ton di Sumut
BOKS 1
Sumatera Utara (Sumut) dikenal sebagai daerah penghasil produk-produk perkebunan yang berkualitas. Produk perkebunan utama adalah kelapa sawit dan karet, di samping beberapa produk-produk lain seperti kakao, kelapa, dan lain-lain. Sejalan dengan hal tersebut, tidak mengherankan jika produk-produk tersebut menjadi andalan Sumut dalam ekspor ke mancanegara. Sepanjang
Januari-Agustus 2009, total ekspor Crude Palm Oil (CPO) mencapai
USD1.641,62 juta, sedangkan karet mentah mencapai USD434,33 juta. Jika digabungkan kedua produk tersebut, setara dengan 54.38 % dari total ekspor Sumut. Sementara pada tahun 2008, total ekspor kedua produk tersebut setara dengan 62,47 % ekspor Sumut.
Jika dilihat menurut negara tujuannya, maka ekspor CPO terutama ditujukan ke India, diikuti China, Mesir , Italia dan Belanda. India menjadi negara pembeli CPO terbesar dengan nilai mencapai lebih dari USD 900 juta. Sementara untuk produk karet mentah, tujuan utama ekspor ke China, Jepang, Amerika Serikat, India dan Malaysia. Jika diamati lebih lanjut, terlihat bahwa negara tujuan utama ekspor Sumut justru ke wilayah Asia, yaitu China dan India. Dalam situasi krisis ekonomi global yang terutama menghantam negara-negara di Amerika dan Eropa, pilihan ekspor ke negara-negara di luar wilayah tersebut akan cukup menguntungkan. Sebagaimana diketahui, pertumbuhan ekonomi India dan China relatif masih baik, sehingga diharapkan permintaan produk-produk unggulan Sumut ke negara-negara tersebut tetap akan tinggi. Meskipun demikian, ke depan diversifikasi tujuan ekspor secara lebih luas masih tetap diperlukan untuk menjaga stabilitas permintaan. Sumber data : Bank Indonesia
22
Ekspor Unggulan Sumatera Utara | Boks 1
BBO OKKSS 22
PUSAT PERTUMBUHAN SUMATERA UTARA
Selama beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara (Sumut) menunjukkan pencapaian yang cukup menggembirakan. Hal ini terlihat dari angka rata-rata pertumbuhan yang selalu berada di atas angka nasional. Namun jika ditelisik lebih mendalam, terdapat perbedaan yang cukup mendasar dalam distribusi pertumbuhan di tiap kabupaten dan kota. Medan, sebagai ibukota Sumut merupakan salah satu pusat pertumbuhan yang sangat dominan. Pada tahun 2008, pangsa PDRB Medan terhadap Sumut mencapai angka 29,51%. Sementara itu, angka pertumbuhannya mencapai 6,75% atau merupakan yang tertinggi dibandingkan seluruh kabupaten dan kota lainnya.
Skala ekonomi Medan yang besar ini, juga diikuti dengan konsentrasi dana perbankan dan penyaluran kredit. Pada triwulan III-2009, jumlah DPK yang dihimpun di Medan mencapai Rp69,79 triliun atau 78,21% dari total DPK Sumut. Demikian juga dengan penyaluran kredit yang mencapai Rp51,82 triliun atau 74,90% dari total kredit Sumut.
23
Pusat Pertumbuhan Sumatera Utara | Boks 2
Pola pertumbuhan yang masih terpusat di Medan, perlu mendapat perhatian serius agar terjadi distribusi yang semakin baik. Potensi sumberdaya alam yang relatif tersebar merata, harus menjadi pertimbangan dalam mengembangkan berbagai kawasan yang potensial. Selain itu percepatan pembangunan infrastuktur di daerah juga perlu mendapat perhatian, mengingat kesenjangan infrastruktur berpotensi menurunkan akselerasi pertumbuhan. Selain itu, dari sisi pembiayaan bisnis dan pembangunan, perlu dilakukan penyebaran yang lebih merata. Konsentrasi pembiayaan diharapkan tidak hanya terfokus pada sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dan sektor Industri Pengolahan saja, namun juga kepada sektor Pertanian yang banyak digeluti secara merata di Sumut. Diharapkan dengan konsentrasi perekonomian yang merata, pertumbuhan ekonomi juga akan tersebar secara lebih merata dan memberikan efek yang lebih baik kepada perekonomian daerah.
Boks 2 | Pusat Pertumbuhan Sumatera Utara
24
KRISIS INDUSTRI PERKAYUAN DI SUMATERA UTARABOKS 5 LIFTING MINYAK BUMI Bantuan Benih Padi Gratis Sebanyak 7.737 ton di Sumut
BOKS 3
Meskipun Sumatera Utara bukanlah penghasil migas utama, namun geliat sektor ini tidak dapat dilupakan begitu saja. Dalam 2 (dua) triwulan terakhir, sektor ini terus mengalami kontraksi, masing-masing sebesar -1,66% dan -1,02%. Sementara, pada triwulan I-2009 sektor ini masih mencatat pertumbuhan sebsar 2,24% (yoy).
Sejalan dengan perkembangan tersebut, berdasarkan hasil pemantauan terhadap lifting minyak bumi, terdapat persoalan pemenuhan target lifting baik pada tahun 2008 maupun tahun 2009 (data sampai dengan triwulan II-2009). Pada tahun 2008, dari target sebesar 416,51 ribu barel, hanya tercapai sebesar 322,27 ribu barel (77,37%). Sementara, sampai dengan triwulan III-2009, baru tercapai 36,08%.
Kondisi ini menyebabkan porsi pertambangan yang semakin menurun dalam perekonomian. Meskipun share pertambangan yang relatif rendah (kurang dari 2%) namun berlanjutnya kontraksi pertumbuhan akan membawa dampak bagi penurunan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sumber data : BPS dan Dirjen Migas
Boks 3 | Lifting Minyak Bumi
25
BAB II Perkembangan Inflasi Daerah
BBA ABB 22
PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
2.1. KONDISI UMUM Inflasi Sumut pada triwulan III-2009 menunjukkan peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Secara triwulanan, inflasi Sumut tercatat sebesar 3,31% (qtq), jauh lebih tinggi baik dibandingkan dengan inflasi Sumut pada triwulan II-2009, yang mengalami deflasi sebesar 0,18%, maupun inflasi pada triwulan I-2009, deflasi 0,73%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional pada triwulan III-2009 sebesar 2,07%. Dengan perkembangan tersebut, inflasi Sumut September 2009 secara tahunan juga lebih tinggi dibandingkan inflasi pada Juni 2009 yakni dari 2,52% menjadi 4,56% (yoy) dan di atas inflasi nasional sebesar 2,83% (yoy).
Grafik 2.1. Inflasi Bulanan Sumut dan Nasional
Grafik 2.2. Inflasi Tahunan Sumut dan Nasional
Sec ara tah una n, infl asi pad a akh ir triwulan III-2009 mencapai 4,56% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 2,52%. Tekanan inflasi pada triwulan III-2009 terutama bersumber dari meningkatnya permintaan menjelang hari raya Idul Fitri dan pola tahunan kalender akademis. Peningkatan laju inflasi pada triwulan III-2009 didorong baik oleh faktor fundamental maupun non-fundamental. Peningkatan tekanan inflasi IHK terutama berasal dari faktor non-fundamental sejalan dengan tidak adanya kebijakan strategis di bidang harga yang dikeluarkan oleh
BAB 2 | Perkembangan Inflasi Daerah
26
Pemerintah. Selain itu, produksi serta distribusi bahan makanan yang membaik menyebabkan terjaganya pasokan bahan pangan domestik.
Meningkatnya tekanan faktor fundamental tidak terlepas dari meningkatnya ekspektasi inflasi menjelang hari raya Idul Fitri dan memasuki liburan, akan tetapi peningkatan ekspektasi ini masih dapat ditahan oleh meredanya tekanan eksternal seiring dengan penguatan rupiah, dan rendahnya inflasi impor. Sebagian besar inflasi kelompok pengeluaran masih menunjukkan tren menurun. Meskipun demikian, beberapa kelompok juga menunjukkan peningkatan seperti ditunjukkan oleh kelompok bahan makanan terkait dengan peningkatan permintaan sesuai dengan pola musimannya. Kelompok lain yang mengalami inflasi cukup tinggi adalah kelompok pendidikan terkait dengan pola tahunan kalender pendidikan. Namun, secara tahunan kelompok pendidikan masih menunjukkan kecenderungan yang menurun. Secara tahunan penurunan tekanan inflasi inti masih berlanjut.
Survei Penjualan Eceran (SPE) mengkonfirmasi hal tersebut sebagaimana tercermin pada pertumbuhan riil SPE per Agustus 2009 yang meningkat menjadi 5,32% dari 3,97% pada Juni 2009. Peningkatan permintaan domestik mulai terlihat sejak awal triwulan II-2009 meski masih berada di bawah level sebelum krisis global. Kendati sisi permintaan mulai meningkat, sisi pasokan diperkirakan masih mencukupi sehingga tekanan dari kesenjangan output masih minimal. Perkembangan terkini indeks produksi sektor industri pengolahan menunjukkan tren yang meningkat. Kondisi tersebut sejalan dengan kapasitas produksi terpakai yang juga meningkat.
Seiring dengan pola musimannya, inflasi volatile food pada triwulan III-2009 secara triwulanan lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Meskipun sebagian besar komoditas pangan global seperti CPO, gandum, jagung dan kedelai mengalami penurunan, respons komoditas domestik atas penurunan harga tersebut masih terbatas. Hal itu ditengarai karena masih fluktuatifnya perkembangan harga pangan global dan meningkatnya permintaan terkait faktor musiman hari raya Idul Fitri. Namun, jika dilihat secara tahunan, laju inflasi volatile food masih terus menurun.
Tekanan inflasi pada bulan September tercatat sebesar 1,20% (mtm), meningkat signifikan dibandingkan dengan bulan lalu yang sebesar 0,93% (mtm). Peningkatan tersebut didorong terutama oleh pola musiman hari raya Idul Fitri. Dengan demikian, inflasi tahunan meningkat dibandingkan dengan Agustus 2009 menjadi 4,56% (yoy). Sampai dengan sisa akhir tahun 2009
27
Perkembangan Inflasi Daerah | BAB 2
tekanan inflasi diperkirakan dalam kecenderungan meningkat, namun masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Faktor administered prices diperkirakan menjadi pendorong kenaikan inflasi, terutama terkait dengan kenaikan tarif jalan tol dan harga rokok.
2.2. INFLASI TRIWULANAN Selama triwulan III-2009, Sumut mengalami inflasi sebesar 3,31% (qtq), setelah pada dua triwulan sebelumnya mengalami deflasi. Faktor utama inflasi selama triwulan III-2009 bersumber dari meningkatnya permintaan menjelang hari raya Idul Fitri dan pola tahunan kalender akademis. Di samping itu, penurunan harga berbagai bahan makanan, minyak tanah dan elpiji untuk rumah tangga sejak beberapa bulan sebelumnya, juga turut mendorong deflasi Sumut. Grafik 2.3. Inflasi Triwulanan Sumut & Nasional
Berdasarkan komoditas, sepuluh komoditas dengan inflasi tertinggi dan penyumbang inflasi terbesar selama triwulan III-2009 didominasi bahan makanan dan transportasi, komunikasi dan jasa keuangan.
BAB 2 | Perkembangan Inflasi Daerah
28
Tabel 2.1. Komoditas yang mengalami peningkatan harga tertinggi September 2009
Sumber : BPS, Sumut
Perkembangan nilai tukar Rupiah yang mulai menguat serta tekanan inflasi dari sisi ekspektasi tampaknya cukup mempengaruhi inflasi triwulan ini. Nilai tukar Rupiah secara rata-rata bulanan pada triwulan III-2009 sedikit menguat dibandingkan dengan triwulan III-2008. Di sisi ekspektasi, para pelaku ekonomi (khususnya pedagang eceran, dan konsumen) pada triwulan laporan tampaknya masih belum memperkirakan akan adanya kenaikan harga barang dan jasa. Perkembangan ekspektasi tersebut diindikasikan oleh hasil beberapa survei yang dilakukan oleh KBI Medan, yaitu Survei Penjualan Eceran (SPE), dan Survei Konsumen (SK). Grafik 2.4. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD
29
Perkembangan Inflasi Daerah | BAB 2
Grafik 2.5. Ekspektasi Pedagang Terhadap Nilai Jual Barang & Jasa
Grafik 2.6. Ekspektasi Konsumen Terhadap Harga Jual Barang & Jasa
Ekspektasi pedagang eceran responden SPE terhadap harga barang dan jasa menunjukkan arah yang sama dengan perkembangan inflasi bulanan pada triwulan III-2009. Mereka telah memperkirakan sebelumnya bahwa harga eceran masih akan bergerak naik dan cenderung menguat pada triwulan III-2009, dengan keyakinan yang semakin menguat. Hal ini diindikasikan oleh nilai indeks SB yang lebih besar dari 100. Hasil Survei Konsumen mengindikasikan ekspektasi konsumen terhadap harga barang dan jasa yang searah dengan pergerakan inflasi bulanan sepanjang triwulan III-2009. Namun, jumlah konsumen yang memperkirakan akan terjadi kenaikan harga barang dan jasa semakin meningkat di akhir triwulan III-2009. Menurut responden, kelompok barang dan jasa yang diperkirakan berpeluang paling besar mengalami kenaikan harga adalah kelompok bahan makanan; kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau; serta kelompok perumahan, listrik, air, gas, dan bahan bakar. 2.2.1. INFLASI MENURUT KELOMPOK BARANG DAN JASA Pada triwulan III-2009 inflasi terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa. Dari tujuh kelompok barang dan jasa, dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, peningkatan laju inflasi hanya terjadi pada kelompok sandang, yang juga merupakan inflasi kelompok tertinggi. Sementara itu kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar; kelompok kesehatan, kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga masih mengalami inflasi. BAB 2 | Perkembangan Inflasi Daerah
30
Tabel 2.2. Inflasi Triwulanan di Sumut Menurut Kelompok Barang & Jasa (%)
Kelompok
2007
BAHAN MAKANAN MAKANAN JADI,MINUMAN,ROKOK & TEMBAKAU PERUMAHAN, AIR, LISTRIK, GAS & BHN BAKAR SANDANG KESEHATAN PENDIDIKAN, REKREASI DAN OLAHRAGA TRANSPOR, KOMUNIKASI & JASA KEUANGAN Umum
6.77 1.82 1.35 5.61 0.19 0.49 0.58 3.06
2008 Tw.I 4.74 1.15 1.16 6.24 2.67 0.01 0.39 2.48
Tw.II 6.67 4.92 2.74 ‐1.38 3.19 0.84 2.84 4.09
Tw.III ‐1.16 2.19 3.12 0.57 1.73 6.33 ‐0.02 1.30
Tw.IV 6.93 2.46 1.16 3.64 0.40 0.19 ‐3.17 2.13
Tw.I ‐3.92 1.89 0.56 7.22 0.04 0.00 ‐3.50 ‐0.73
2009 Tw.II ‐0.97 1.81 0.06 ‐3.20 0.09 ‐0.05 0.06 ‐0.18
Tw.III 7.91 2.65 0.64 0.95 1.30 8.54 0.29 3.31
Sumber : BPS, diolah
a. Kelompok Bahan Makanan Inflasi kelompok bahan makanan pada triwulan III-2009 mencapai 7,91%, meningkat signifikan setelah pada triwulan sebelumnya mengalami deflasi sebesar 0,97%. Kelompok ini membentuk 50% dari inflasi Sumut yang sebesar 3,31%. Grafik 2.7. Inflasi Triwulanan Kelompok Bahan Makanan di Sumut
Berdasarkan subkelompok, subkelompok padi-padian adalah penyumbang terbesar inflasi kelompok bahan makanan. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2008 tentang Kebijakan Perberasan, harga gabah kering panen di tingkat petani ditetapkan Rp2.200/kg. Harga gabah kering giling di gudang Bulog menjadi Rp2.840/kg, sedangkan harga beras di gudang Bulog menjadi Rp4.300/kg.
31
Perkembangan Inflasi Daerah | BAB 2
b. Kelompok Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan Inflasi kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan mencapai 0,29%, meningkat dibandingkan inflasi triwulan sebelumnya yang sebesar 0,06%. Penyumbang inflasi terbesar adalah premium, solar, angkutan dalam kota, dan angkutan antar kota. Seperti telah disebutkan pada uraian-uraian sebelumnya, penyebab utama inflasi subkelompok ini adalah meningkatnya arus transportasi menjelang mudik lebaran. Grafik 2.8. Inflasi Triwulanan Kelompok Transportasi, Komunikasi & Jasa Keuangan di Sumut
c. Kelompok Sandang Kelompok sandang pada triwulan III-2009 mengalami inflasi sebesar 0,29% setelah pada triwulan sebelumnya mengalami deflasi sebesar 0,02%. Peningkatan inflasi pada triwulan ini disebabkan oleh peningkatan harga emas perhiasan, yang pada beberapa triwulan sebelumnya justru telah menurun. Emas perhiasan termasuk ke dalam subkelompok barang pribadi dan sandang lainnya.
BAB 2 | Perkembangan Inflasi Daerah
32
Grafik 2.9. Inflasi Triwulanan Kelompok Sandang di Sumut
d. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau Inflasi kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau pada triwulan III-2009 mencapai 2,65%, meningkat daripada triwulan sebelumnya yang 1,81%. Kelompok ini memberikan andil inflasi kedua terbesar, yakni sebesar 0,95% terhadap inflasi Sumut, atau membentuk 22% inflasi Sumut. Grafik 2.10. Inflasi Triwulanan Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau di Sumut
Seperti triwulan sebelumnya, dari tiga subkelompok, subkelompok makanan jadi mendominasi inflasi kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau. Inflasi subkelompok makanan
33
Perkembangan Inflasi Daerah | BAB 2
jadi menyumbang inflasi sebesar 0,68%, terutama karena kenaikan harga berbagai makanan jadi tersebut. e. Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar Inflasi kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya, yakni dari 0,06% menjadi 0,64% pada triwulan III-2009. Kelompok ini menyumbang 0,75% terhadap inflasi Sumut. Subkelompok penyumbang inflasi terbesar pada kelompok ini adalah subkelompok bahan bakar, penerangan, dan air. Pada subkelompok tersebut sumbangan inflasi terbesar berasal dari kenaikan harga elpiji dan minyak tanah, yang masing-masing naik 46,11%. Grafik 2.11. Inflasi Triwulanan Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar di Sumut
f. Kelompok Kesehatan Inflasi kelompok kesehatan mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu dari 0,09% menjadi 1,30%. Relatif rendahnya inflasi kelompok ini menyebabkan sumbangannya terhadap inflasi Sumut hanya sebesar 0,07%. Subkelompok penyumbang terbesar inflasi pada kelompok kesehatan adalah subkelompok perawatan jasmani dan kosmetik.
BAB 2 | Perkembangan Inflasi Daerah
34
Grafik 2.12. Inflasi Triwulanan Kelompok Kesehatan di Sumut
g. Kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga Inflasi kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga pada triwulan III-2009 merupakan inflasi tertinggi dari tujuh kelompok penyumbang inflasi Sumut. Pada triwulan II-2009, kelompok ini mengalami deflasi sebesar 0,05% kemudian naik signifikan menjadi 8,54% pada triwulan laporan. Diliaht berdasarkan andilnya, kelompok ini hanya menyumbang 0,06% terhadap inflasi Sumut. Dari lima subkelompok, inflasi tertinggi terjadi pada subkelompok perlengkapan pendidikan dan rekreasi. Grafik 2.13. Inflasi Triwulanan Kelompok Pendidikan, Rekreasi & Olahraga di Sumut
35
Perkembangan Inflasi Daerah | BAB 2
2.2.2. INFLASI MENURUT KOTA Empat kota di Sumut mengalami inflasi pada triwulan laporan setelah pada triwulan sebelumnya mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Kota Sibolga sebesar 3,45%, sedangkan terendah di Kota Padang Sidempuan 2,66%. Tabel 2.3. Inflasi Triwulanan di Sumut Menurut Kota (%)
Inflasi triwulanan tertinggi di empat kota perhitungan inflasi di Sumut berturut-turut yaitu Kota Sibolga
(3,45%),
Kota
Medan
(3,35%),
Kota
Pematangsiantar
(3,26%)
dan
Kota
Padangsidempuan (2,26%). 2.3. INFLASI TAHUNAN Secara tahunan, inflasi Sumut pada September 2009 mengalami peningkatan dibandingkan Juni 2009, yaitu dari 2,52% (yoy) menjadi 4,56%. Inflasi Sumut selama setahun terakhir didominasi oleh kenaikan harga bahan bakar, bahan makanan, emas perhiasan, dan makanan jadi. Barangbarang tersebut termasuk ke dalam sepuluh komoditas dengan inflasi tertinggi sekaligus penyumbang terbesar inflasi secara tahunan (yoy) pada September 2009. Kesepuluh komoditas penyumbang terbesar inflasi tersebut membentuk 45% inflasi Sumut. Faktor eksternal cukup besar pengaruhnya terhadap inflasi domestik selama setahun terakhir, tidak terkecuali di Sumut. Kenaikan harga komoditas di pasar internasional, terutama minyak bumi, CPO, emas, kedelai, jagung, gandum, memberikan pengaruh signifikan terhadap kenaikan harga BBM, berbagai bahan makanan dan emas perhiasan. Ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku impor merupakan salah satu faktor utama tingginya pengaruh kenaikan harga komoditas di pasar internasional terhadap harga produk nasional.
BAB 2 | Perkembangan Inflasi Daerah
36
2.3.1. INFLASI MENURUT KELOMPOK BARANG DAN JASA Inflasi setiap kelompok barang dan jasa selama periode September 2008 hingga September 2009, cukup tinggi. Dari tujuh kelompok, empat di antaranya mengalami inflasi di atas 7%, yaitu kelompok bahan makanan (9,69%), kelompok makanan jadi (9,27%), kelompok sandang (8,80%), serta kelompok pendidikan (8,81%). Peningkatan signifikan terjadi pada inflasi kelompok bahan makanan. Tabel 2.4. Inflasi Tahunan di Sumut Menurut Kelompok Barang & Jasa (%)
Berdasarkan sumbangannya terhadap inflasi Sumut, kelompok bahan makanan masih menjadi penyumbang terbesar inflasi di Sumut. Kelompok ini membentuk 37% inflasi Sumut pada September 2009. Selain kelompok bahan makanan, terdapat tiga kelompok barang dan jasa dengan penyumbang inflasi terbesar Sumut yaitu kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar, kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan (1,95%), serta kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau. Keempat kelompok penyumbang terbesar inflasi membentuk 86% inflasi tahunan di Sumut. Pembahasan lebih lanjut tentang inflasi per kelompok barang dan jasa diuraikan di bawah ini, secara berurutan dari kelompok inflasi terbesar. a. Kelompok Bahan Makanan Inflasi kelompok bahan makanan meningkat signifikan dari 0,44% (yoy) menjadi 9,69% pada September 2009. Kelompok ini merupakan penyumbang terbesar inflasi di Sumut dan membentuk 37% dari angka inflasi Sumut yang sebesar 4,56% (yoy). Di antara sebelas subkelompok pada kelompok bahan makanan, penyumbang inflasi terbesar adalah subkelompok
37
Perkembangan Inflasi Daerah | BAB 2
padi-padian, umbi-umbian, dan hasilnya. Komoditas pada subkelompok ini yang menyumbang terbesar inflasi adalah beras dan mie instan. Masih tingginya harga beras disebabkan oleh beberapa masalah distribusi. Meskipun produksi Sumut setiap tahun di atas volume kebutuhan beras penduduknya, sebagian kebutuhan penduduk dipenuhi dari beras impor asal Thailand, sementara sebagian produksi lokal Sumut dikirim ke DKI Jakarta dan daerah lain untuk memenuhi permintaan di kota-kota lain. Sementara itu, kenaikan harga mie instan disebabkan oleh kenaikan harga berbagai bahan bakunya, terutama gandum dan minyak sayur. Grafik 2.14. Inflasi Kelompok Bahan Makanan
b. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau Inflasi kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau pada September 2009 mencapai 9,27%, lebih tinggi dibandingkan inflasinya pada Juni 2009, yang sebesar 8,77% (yoy). Angka tersebut mulai menurun setelah pada triwulan IV-2008 kelompok ini mencapai inflasi tahunan tertinggi sejak November 2006. Kelompok ini membentuk 16% inflasi Sumut.
BAB 2 | Perkembangan Inflasi Daerah
38
Grafik 2.15. Inflasi Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau
Di antara tiga subkelompok, subkelompok makanan jadi masih merupakan penyumbang terbesar inflasi pada kelompk makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau, sama dengan triwulan sebelumnya. Subkelompok tersebut membentuk 70% inflasi kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau. Pada umumnya kenaikan harga berbagai makanan jadi disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakunya serta bahan bakar, seperti tepung terigu, sayuran, daging, gula pasir, minyak goreng, minyak tanah dan elpiji. Beberapa makanan jadi yang mengalami kenaikan harga adalah kue kering berminyak (gorengan), ayam goreng, dan sate. c. Kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga Inflasi kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga tercatat 8,81% (yoy), meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 6,52%. Pendorong utama penurunan inflasi kelompok pendidikan adalah mulai meningkatnya biaya jasa pendidikan pada setiap awal ajaran baru. Inflasi subkelompok jasa pendidikan menyumbang 0,48% terhadap total inflasi kelompok pendidikan. Subkelompok rekreasi juga menyumbang inflasi pada triwulan laporan seiring masuknya masa liburan menjelang perayaan hari raya Idul Fitri.
39
Perkembangan Inflasi Daerah | BAB 2
Grafik 2.16. Inflasi Kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga
d. Kelompok Sandang Kelompok sandang adalah kelompok yang juga mengalami peningkatan inflasi tahunan tertinggi dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu dari 8,39% pada Juni 2009 menjadi 8,80% pada September 2009. Sejak November 2007 inflasi kelompok sandang selalu tercatat dua digit dan menunjukkan tren meningkat kemudian menurun sejak triwulan II-2009. Meskipun laju inflasinya cukup besar, sumbangan kelompok ini relatif kecil, atau hanya membentuk 6% inflasi tahunan Sumut pada September 2009. Grafik 2.17. Inflasi Kelompok Sandang
Dari empat subkelompok, sumbangan terbesar inflasi kelompok sandang sejak tahun 2004 masih berasal dari subkelompok barang pribadi dan sandang lainnya. Oleh karena itu, perlambatan kelompok sandang tidak terlepas dari perlambatan inflasi subkelompok tersebut. Komoditas yang memiliki peranan besar dalam pembentukan inflasi subkelompok barang pribadi dan sandang BAB 2 | Perkembangan Inflasi Daerah
40
lainnya adalah emas perhiasan, yang selama setahun terakhir mengalami kenaikan dan mulai menurun sejak triwulan IV-2008 yang disebabkan oleh stabilnya harga emas dunia pada triwulan I-2009. e. Kelompok Kesehatan Inflasi kelompok kesehatan secara tahunan kembali mengalami penurunan, dari 2,74% (yoy) pada Juni 2009 menjadi 2,29% pada September 2009. Penyumbang terbesar inflasi kelompok kesehatan selama setahun terakhir adalah subkelompok jasa kesehatan dan menyumbang 0,20% terhadap inflasi kelompok kesehatan. Faktor pembentuk inflasi subkelompok jasa kesehatan adalah kenaikan tarif rumah sakit. Grafik 2.18. Inflasi Kelompok Kesehatan
f. Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan bakar Kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar mengalami inflasi sebesar 2,18% (yoy) pada September 2009, atau lebih rendah daripada inflasi Juni 2009 yang sebesar 4,70%. Kelompok ini adalah penyumbang inflasi ketiga terbesar setelah kelompok bahan makanan dan makanan jadi. Kelompok ini membentuk 17% dari total inflasi tahunan Sumut. Subkelompok penyumbang terbesar inflasi pada kelompok perumahan adalah subkelompok penerangan, dan air. Penyebab utama inflasi pada subkelompok ini adalah kenaikan gas elpiji, serta tarif air PAM.
41
Perkembangan Inflasi Daerah | BAB 2
Grafik 2.19. Inflasi Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar
Kenaikan harga gas antara lain adalah masalah kelangkaan. Adapun kelangkaan gas elpiji kemasan 12 kg (untuk rumah tangga) disebabkan oleh disparitas harga antara elpiji kemasan 12 kg dengan elpiji kemasan 50 kg (untuk pengguna komersial/non rumah tangga). g. Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan Pada triwulan laporan, kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan mengalami deflasi sebesar 6,24%. Dengan laju inflasi tersebut, kelompok ini membentuk 17% inflasi tahunan Sumut pada September 2009. Grafik 2.20. Inflasi Kelompok Transportasi, Komunikasi & Jasa Keuangan
BAB 2 | Perkembangan Inflasi Daerah
42
Subkelompok transpor adalah subkelompok yang memberikan sumbangan inflasi terbesar pada kelompok ini. Beberapa harga komoditas dengan persentase kenaikan terbesar pada subkelompok transpor adalah tarif angkutan dalam kota dan antarkota. 2.3.2. INFLASI MENURUT KOTA Berdasarkan kota, inflasi tahunan di keempat kota secara umum jauh mengalami penurunan dibandingkan September 2008. Inflasi tertinggi tercatat di Sibolga sebesar 5,19% (yoy), sedangkan yang terendah terjadi di Kota Medan, sebesar 4,61%. Inflasi di kedua kota tersebut terutama disumbang oleh inflasi kelompok bahan makanan serta kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau. Tabel 2.5. Inflasi Tahunan Empat Kota di Sumut
43
Perkembangan Inflasi Daerah | BAB 2
BBO OKKSS 44
PERKEMBANGAN HARGA GULA
Produksi gula nasional pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 3 juta ton, melampaui kebutuhan pasar sebesar 2,7 juta ton. Di Sumatera Utara stok gula pada Juli 2009 berada pada kisaran sekitar 58 ribu ton, bahkan Pengusaha Gula Antar Pulau Terdaftar (PGAPT) akan memasok sekitar 10.000 ton lagi dari Jawa sehingga pada triwulan III-2009 stok gula di Sumut akan mendekati 70.000 ton. Sementara itu, kebutuhan Sumut hanya sekitar 23.000 ton. Meskipun demikian, tekanan harga gula terus berlanjut. Pada akhir triwulan III-2009, harga gula mendekati Rp11.000 per/kg dari harga sebelumnya sekitar Rp8.000 per kg. Harga pasaran tersebut jauh di atas biaya produksi yang besarnya Rp5.000 per kg. Tabel. Harga Gula di Pasar Modern dan Tradisional Medan
Harga gula yang melambung di tengah kecukupan stok ditengarai dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: pengaruh harga gula internasional yang meroket hingga 50% dan aksi spekulasi. Distributor atau pedagang mungkin tergiur untuk mengekspor gula dan menahan pasokan untuk domestik.
Boks 4 | Perkembangan Harga Gula
44
Guna mengantisipasi kenaikan harga gula yang masih terus berlanjut, perlu dilakukan langkah-langkah strategis dalam jangka pendek
seperti pasar murah, operasi pasar, maupun
penurunan bea masuk impor jika memang sangat mendesak dan diperlukan. Selain itu, diperlukan kebijakan yang lebih mendasar dalam jangka menengah maupun panjang guna mengatasi gejolak harga gula. Kebijakan tersebut antara lain adalah 1. Pembangunan Industri Agro Pengembangan industri agro harus didasarkan pada potensi dan kapabilitas daerah, sehingga akselerasi dan kemandirian dapat tercapai dalam waktu yang bersamaan. Selama ini, input produksi industri agro masih banyak diimpor. 2. Pemantauan Stok Gula di Pedagang Harga gula akan sulit dibendung kendati pemerintah melakukan operasi pasar, bahkan membuka keran impor. Pasalnya stok gula tidak ada di pabrik tetapi di pedagang. Perlu ada pemantauan yang lebih luas kepada pedaganga sebagai pemegang stok di pasar. 3. Peningkatan Efektivitas Bulog sebagai Penyeimbang Distribusi Peran penyeimbang distribusi Bulog harus diefektifkan sehingga tidak sekedar sebagai agen pemasaran, tetapi sebaiknya Bulog juga berwenang dalam kuota distribusi gula. 4. Pemberantasan Perusahaan Pengijon Pemerintah perlu mengkaji tindakan perusahaan swasta yang membeli gula secara ijon agar tidak terjadi spekulasi harga yang berlebihan. Seperti lazimnya pola ijon pada berbagai komoditi pertanian, pola pada industri gula juga cenderung sangat merugikan petani.
Sumber data: Survei Pemantauan Harga, BI Medan
45
Perkembangan Harga Gula | Boks 4
BAB III Perkembangan Perbankan Daerah
BBA ABB 33
PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
3.1. KONDISI UMUM Secara umum perbankan Sumut pada triwulan III-2009 menunjukkan peningkatan kinerja yang terlihat dari adanya kenaikan total aset dari Rp109,52 triliun di triwulan II-2009 menjadi Rp110, 58 triliun. Kenaikan aset ini didukung oleh oleh peningkatan jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dihimpun perbankan Sumut.
Dari Rp90,31 triliun dana yang dihimpun pada posisi akhir triwulan III-2009, sebesar Rp 69,41 triliun disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Hal ini mendorong peningkatan Loan to Deposit Ratio (LDR).
Meskipun demikian, peningkatan jumlah kredit yang disalurkan diikuti oleh adanya kecenderungan kenaikan Non Performing Loan (NPL) dari 3,86% menjadi 3,89%. Hal ini patut mendapat perhatian dunia perbankan Sumut agar periode berikutnya dapat ditekan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit. Tabel 3. 1 Indikator Utama Perbankan Sumut
Sumber: LBU, diolah
3.2. INTERMEDIASI PERBANKAN Adanya peningkatan jumlah penyaluran kredit yang melebihi jumlah DPK pada triwulan III2009 telah mendorong peningkatan fungsi intermediasi perbankan Sumut yang terlihat dari adanya kenaikan LDR dari 75,01% pada triwulan II-2009 menjadi 76,86% pada triwulan III2009. 3.2.1. Penghimpunan Dana Masyarakat Penghimpunan DPK Sumut hingga triwulan III-2009 mencapai Rp90,31 triliun, meningkat 0,84% dibandingkan triwulan sebelumnya atau meningkat 15,83% dibandingkan triwulan III-2008. BAB 3 | Perkembangan Perbankan Daerah
46
Grafik 3. 1 Perkembangan DPK Sumut
Sumber: LBU, diolah
Ditinjau dari strukturnya, DPK Sumut didominasi oleh jenis simpanan deposito yang nilainya mencapai Rp40,02 triliun atau 44,31% dari total DPK. Sementara itu, tabungan dan giro masing-masing nilainya Rp33,10 triliun (36,65% dari total DPK) dan Rp17,19 triliun (19,03% dari total DPK). Struktur DPK yang didominasi oleh deposito ini cenderung tetap setiap triwulannya. Grafik 3. 2 Struktur DPK Sumut
Sumber: LBU, diolah
47
Perkembangan Perbankan Daerah | BAB 3
Meskipun demikian, pada triwulan ini terjadi penurunan nominal jenis simpanan deposito sebesar 1,31% dibandingkan triwulan II-2009 seiring dengan peningkatan yang cukup tajam untuk jenis simpanan tabungan sebesar 3,53% dibandingkan triwulan lalu. Beralihnya deposito ke tabungan ini diduga turut dipengaruhi oleh suku bunga deposito yang terkoreksi dan fleksibilitas jenis simpanan tabungan yang lebih tinggi dibandingkan jenis simpanan deposito. Suku bunga deposito pada akhir triwulan II-2009 sebesar 7,88% dan terkoreksi hingga mencapai level 7,13% pada akhir triwulan III-2009. Di sisi lain, jenis simpanan giro tetap tumbuh walaupun dalam level yang kecil sebesar 0,88% dibandingkan triwulan II-2009. 3.2.2. Penyaluran Kredit Kredit Sumut triwulan III-2009 sebesar Rp69,41 triliun, mengalami peningkatan 3,32% dibandingkan triwulan II-2009 atau 5,37% dibandingkan triwulan III-2008. Grafik 3. 3 Perkembangan Kredit Sumut
Sumber: LBU, diolah
Ditinjau dari strukturnya, kredit Sumut didominasi oleh kredit modal kerja yang nilainya mencapai Rp36,56 triliun (52,15%), sedangkan pangsa kredit konsumsi dan investasi masing-masing sebesar 25,03% dan 22,82%. Realisasi kredit modal kerja mengalami peningkatan 4,16% (qtq), namun menurun 3,08% bila dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan juga terjadi pada kredit investasi dan kredit konsumsi, yaitu masing-masing sebesar 7,10% (qtq) atau 31,58% (yoy) dan 2,39% (qtq) atau 9,76% (yoy).
BAB 3 | Perkembangan Perbankan Daerah
48
Grafik 3. 4 Struktur Kredit Sumut
Sumber: LBU, diolah
Penyaluran kredit menurut sektor ekonomi pada triwulan III-2009 cenderung meningkat bila dibandingkan triwulan II-2009. Pada triwulan III-2009, penyaluran kredit didominasi oleh sektor perdagangan, restoran, dan hotel, sektor industri pengolahan, dan sektor petanian. Dominasi penyaluran kredit untuk ketiga sektor ini cenderung tetap setiap triwulannya. Grafik 3. 5 Perkembangan Kredit Sumut menurut Sektor Ekonomi
Sumber: LBU, diolah
Pangsa penyaluran kredit untuk sektor perdagangan, restoran, dan hotel mencapai 25,12% dari total kredit yang disalurkan. Sedangkan pangsa kredit industri pengolahan dan pertanian masing-masing sebesar 24,46% dan 14,18%. Pangsa atau share kredit sektor perdagangan, restoran, dan hotel juga terus meningkat. Pada triwulan I-2009 pangsa kredit sektor perdagangan, restoran, dan hotel sebesar 24,75%, kemudian pada triwulan II-2009 sebesar 25,11%, hingga menyentuh level 25,12% dari total kredit yang
49
Perkembangan Perbankan Daerah | BAB 3
tersalurkan. Kredit industri pengolahan menyedot 24,46% dari total kredit yang tersalurkan. Sedikit berbeda dengan sektor perdagangan, restoran, dan hotel yang trennya terus meningkat. Sektor industri pengolahan pada triwulan I-2009 berpangsa 25,96%, namun sedikit menurun pada triwulan II-2009 menjadi 23,94%, dan menjadi 24,46% pada triwulan III-2009. Pangsa sektor pertanian pada triwulan III-2009 sebesar 14,18%, sedikit menurun bila dibandingkan dengan triwulan II-2009 sebesar 14,53%. Gambar 3. 1 Pangsa Kredit menurut Sektor Ekonomi
Sumber: LBU, diolah
Di samping 3 sektor yang mendominasi penyaluran kredit di Sumut, terdapat sektor yang pertumbuhannya sangat pesat, yaitu sektor listrik, gas, dan air. Sektor listrik, gas, dan air meningkat tajam dari Rp0,02 triliun pada triwulan II-2009 menjadi Rp0,08 triliun pada triwulan III-2009. 3.2.3. Kredit UMKM Penyaluran kredit UMKM pada triwulan III-2009 sebesar Rp33,07 triliun atau mengalami peningkatan 5,45% dibandingkan triwulan II-2009 atau 8,71% dibandingkan triwulan III-2008.
BAB 3 | Perkembangan Perbankan Daerah
50
Grafik 3. 6 Perkembangan Kredit UMKM Sumut
Sumber: LBU, diolah
Struktur kredit UMKM didominasi oleh kredit menengah yang nilainya mencapai Rp19,51 triliun atau 59,00% dari total kredit UMKM. Sementara itu kredit kecil nilainya mencapai Rp11,72 triliun atau 35,44% dari total kredit UMKM dan kredit mikro sebesar Rp1,84 triliun atau 5,56% dari total kredit UMKM. Bila ditelaah lebih lanjut, meskipun proporsi kredit mikro paling kecil namun pertumbuhannya dibandingkan triwulan yang sama tahun lalu paling tinggi atau sebesar 20,26% (yoy). Kredit kecil dan kredit menengah masing-masing meningkat 10,88% (yoy) dan 6,50% (yoy). Grafik 3. 7 Struktur Kredit UMKM Sumut
Sumber: LBU, diolah
Bila ditinjau lebih jauh, struktur kredit menengah didominasi oleh kredit modal kerja, kontradiktif dengan kredit mikro dan kecil yang justru didominasi oleh kredit konsumsi. Kredit mikro yang digunakan untuk konsumsi nilainya mencapai Rp1,15 triliun atau 62,50% dari total kredit mikro, kredit mikro yang digunakan untuk modal kerja sebesar
51
Perkembangan Perbankan Daerah | BAB 3
Rp0,48 triliun (26,09% dari total kredit mikro), dan kredit mikro yang ditujukan untuk investasi sebesar Rp0,21 triliun (11,41% dari total kredit mikro). Gambar 3. 1 Struktur Kredit Mikro, Kecil, dan Menengah
Sumber: LBU, diolah
Kredit kecil yang digunakan untuk konsumsi sebesar Rp5,59 triliun atau 47,70% dari total kredit kecil. Kredit kecil yang digunakan untuk modal kerja sebesar Rp4,53 triliun (38,65% dari total kredit kecil). Kredit kecil yang ditujukan untuk investasi sebesar Rp1,60 triliun (13,65% dari total kredit kecil). Kredit menengah yang digunakan untuk modal kerja sebesar Rp11,61 triliun atau 59,51% dari total kredit menengah. Kredit menengah untuk kredit konsumsi sebesar Rp5,20 triliun (26,65% dari total kredit menengah). Kredit menengah yang ditujukan untuk investasi sebesar Rp2,70 triliun (13,84% dari total kredit menengah). Grafik 3. 8 Perkembangan Kredit UMKM menurut Sektor Ekonomi
Sumber: LBU, diolah
Ditinjau dari sisi sektoral, kredit UMKM didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor industri pengolahan, dan sektor jasa dunia usaha. Pada triwulan II-2009 sektor lainnya mencapai Rp11,91 triliun atau 36,01% dari total kredit UMKM sebesar BAB 3 | Perkembangan Perbankan Daerah
52
Rp33,07 triliun. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran mencapai Rp11,48 triliun atau 34,71% dari total kredit UMKM. 3.3. STABILITAS SISTEM PERBANKAN 3.3.1. Risiko Kredit Risiko kredit perbankan yang tercermin dari Non Performing Loan (NPL) pada triwulan III-2009 sebesar 3,89%. Peningkatan NPL secara progresif terlihat sejak triwulan I-2009. Pada triwulan IV-2008, NPL gross Sumut sebesar 2,81%, triwulan I-2009 beranjak naik pada level 3,63%, triwulan II-2009 menjadi 3,86%, dan akhirnya menyentuh level 3,89%. Grafik 3. 9 NPL Gross
Sumber: LBU, diolah
Kendati NPL tersebut masih dalam batas aman karena nilainya di bawah 5%, namun tren kenaikan NPL gross Sumut perlu dicermati dunia perbankan sebagai peningkatan risiko penyaluran kredit. Perbankan perlu memperketat dan meningkatkan kehati-hatian dalam penyaluran kredit kepada nasabahnya. 3.3.2. Risiko Likuiditas Likuiditas perbankan Sumut mulai melonggar di akhir triwulan III-2009 seperti terlihat dari indikator cash ratio triwulan III-2009 yang meningkat dibandingkan triwulan II-2009 dari 5,26% menjadi 5,92%.
53
Perkembangan Perbankan Daerah | BAB 3
Grafik 3. 10 Cash Ratio
Sumber: LBU, diolah
Likuiditas perbankan mulai melonggar seiring dengan pemulihan perekonomian. 3.3.3. Risiko Pasar Risiko pasar perbankan tercermin dari suku bunga dan nilai tukar. Bagi perbankan Sumut, risiko pasar didekati dengan suku bunga. Suku bunga penghimpunan dan penyaluran dana perbankan mengalami kecenderungan menurun, kecuali suku bunga giro. Tabel 3. 2 Suku Bunga Perbankan
Bulan
Giro
Tabungan Deposito
Kredit
Jan 2008
2.36%
3.40%
6.87%
11.76%
Feb 2008
2.29%
3.34%
6.67%
11.63%
Mar 2008
2.30%
3.26%
6.53%
11.75%
Apr 2008
2.39%
3.24%
6.41%
11.61%
Mei 2008
2.43%
3.25%
6.56%
11.49%
Jun 2008
2.42%
3.22%
6.72%
11.50%
Jul 2008
2.40%
3.23%
6.94%
11.83%
Agt 2008
2.44%
3.24%
7.45%
11.89%
Sept 2008
2.47%
3.29%
8.54%
12.27%
Okt 2008
2.42%
3.34%
8.95%
12.84%
BAB 3 | Perkembangan Perbankan Daerah
54
Bulan
Giro
Tabungan Deposito
Kredit
Nov 2008
2.45%
3.39%
9.36%
13.11%
Des 2008
2.29%
3.36%
9.93%
13.43%
Jan 2009
2.36%
3.39%
9.71%
13.39%
Feb 2009
2.33%
3.33%
9.19%
13.35%
Mar 2009
2.34%
3.26%
8.91%
13.33%
Apr 2009
2.33%
3.14%
8.52%
13.40%
Mei 2009
2.37%
3.09%
8.26%
13.38%
Jun 2009
2.34%
3.05%
7.88%
13.20%
Jul 2009
2.23%
3.04%
7.58%
13.09%
Agt 2009
2.30%
3.02%
7.58%
12.89%
Sept 2009
2.23%
2.96%
7.13%
12.94%
Sumber: LBU, diolah
Pada akhir triwulan laporan, suku bunga giro, tabungan, deposito, dan kredit masingmasing sebesar 2,23%, 2,96%, 7,13%, dan 12,94%. Kecenderungan penurunan suku bunga perbankan dipicu oleh penurunan BI rate dari 7,00% pada 3 Juni 2009 menjadi menjadi 6,75% pada 3 Juli 2009. BI rate ini kembali diturunkan mencapai 6,50% pada 5 Agustus 2009. Hingga akhir triwulan III-2009, BI rate tetap dipertahankan pada level tersebut karena stance kebijakan saat ini dipandang masih kondusif bagi proses pemulihan perekonomian dan intermediasi perbankan. 3.4. PERBANKAN SYARIAH Aset perbankan syariah triwulan III-2009 sebesar Rp4,22 triliun, meningkat 11,35% dibandingkan triwulan II-2009. Pembiayaan perbankan syariah triwulan III-2009 sebesar Rp4,40 triliun meningkat 10,28% dibandingkan triwulan II-2009. DPK perbankan syariah triwulan III2009 sebesar Rp2,41 triliun atau meningkat 5,70% dibandingkan triwulan II-2009. Bila dibandingkan triwulan yang sama tahun lalu, aset, pembiayaan, dan DPK perbankan syariah masing-masing meningkat 60,46%, 41,48%, dan 75,91%.
55
Perkembangan Perbankan Daerah | BAB 3
Grafik 3. 11 Aset, Pembiayaan, dan DPK Perbankan Syariah
Sumber: LBUS, diolah
Financing to Deposit Ratio (FDR) yang mencerminkan fungsi intermediasi perbankan syariah mencapai 182,57%, meningkat 4,33% bila dibandingkan triwulan II-2009, namun bila dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya menurun 19,58% (yoy) . Perbankan syariah perlu memperhatikan struktur pembiayaan dan mengedepankan prinsip kehati-hatian mengingat FDR yang terlalu tinggi juga mengandung risiko. Grafik 3. 12 FDR Perbankan Syariah
Sumber: LBUS, diolah
3.5. BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) Aset BPR Sumut triwulan III-2009 mencapai Rp0,55 triliun meningkat 3,77% dibandingkan triwulan II-2009 atau 12,24% (yoy). Kredit BPR Sumut triwulan III-2009 sebesar Rp0,43 triliun, meningkat 7,50% dibandingkan triwulan II-2009 atau 13,16% (yoy). DPK BPR Sumut sebesar
BAB 3 | Perkembangan Perbankan Daerah
56
Rp0,41 triliun atau mengalami pertumbuhan 5,13% dibandingkan triwulan II-2009 atau 20,59% (yoy). Grafik 3. 13 Perkembangan Aset, Kredit, dan DPK BPR
Sumber: LBU BPR, diolah
Fungsi intermediasi BPR pada triwulan III-2009 yang salah satunya tercermin dari LDR BPR mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan dibandingkan triwulan lalu. LDR BPR triwulan III2009 sebesar 104,88% meningkat bila dibandingkan triwulan II-2009 sebesar 102,56%. Grafik 3. 14 LDR BPR
Sumber: LBU BPR, diolah
57
Perkembangan Perbankan Daerah | BAB 3
BAB IV Perkembangan Keuangan Daerah
BBA ABB 44
PERKEMBANGAN KEUANGAN DAERAH
4.1. RANCANGAN PERUBAHAN APBD Pemerintah propinsi Sumatera Utara mengajukan RP-APBD (Rancangan Perubahan Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah) Propsu TA 2009 yang diproyeksikan menjadi Rp3,89 triliun lebih kepada DPRD Sumut. Pendapatan daerah pada P-APBD 2009 diproyeksikan Rp3,32 triliun atau naik sebesar Rp69 miliar dibanding dengan APBD 2009 sebesar Rp3,25 triliun. Perubahan pendapatan daerah itu terjadi akibat kenaikan PAD semula Rp2,10 triliun menjadi Rp2,11 triliun atau naik sekitar Rp4 miliar. Kenaikan ini bersumber dari retribusi daerah Rp10 juta, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp50 juta dan lain-lain PAD yang sah Rp4 miliar.
Perubahan pendapatan daerah juga dari dana perimbangan yang semula Rp1,12 triliun menjadi Rp1,17 triliun lebih atau naik Rp56,65 miliar dan bersumber dari dana bagi hasil pajak Rp38,64 miliar dan bagi hasil bukan pajak Rp18 miliar. Sedangkan lain-lain pendapatan daerah yang sah semula Rp26,73 miliar menjadi Rp35,10 miliar lebih atau naik Rp8,37 miliar, bersumber dari annual fee Rp6,02 miliar dan alokasi biaya pemungutan PBB Rp2,35 miliar.
Untuk belanja daerah pada P-APBD 2009 diproyeksikan menjadi Rp3,89 triliun dari semula sebesar Rp3,62 triliun lebih atau naik Rp280,53 miliar didistribusikan untuk belanja tidak langsung Rp2,32 triliun (naik Rp113,86 miliar) dan belanja langsung dari Rp1,40 triliun menjadi Rp1,57 triliun atau naik Rp166,67 miliar lebih. Dari pendapatan daerah setelah P-APBD 2009 menjadi Rp3,32 triliun dan belanja daerah menjadi Rp3,89 triliun, terjadi defisit pada P-APBD 2009 sebesar Rp578,42 miliar yang akan ditutupi dari pembiayaan bersih, yaitu selisih penerimaan pembiayaan bersumber dari SiLPA TA 2008 sebesar Rp610,59 miliar dengan pengeluaran pembiayaan Rp32,17 miliar.
SKPD yang mengalami penurunan alokasi belanja sebanyak 12 SKPD disebabkan penurunan pada belanja pegawai kelompok belanja tidak langsung. Sedangkan SKPD mengalami peningkatan alokasi belanja juga 12 SKPD, diantaranya urusan wajib PU dari Rp577,51 miliar menjadi Rp626,34 miliar. Urusan wajib perencanaan pembangunan dari Rp16,52 miliar menjadi Rp17,60 miliar, wajib perhubungan dari Rp70,16 miliar menjadi Rp74,45 miliar, wajib lingkungan hidup dari Rp15,11 miliar menjadi Rp15,39 miliar. Untuk urusan wajib koperasi dan UKM dari Rp17,52 miliar menjadi BAB 4 | Perkembangan Keuangan Daerah
58
Rp17,73 miliar lebih, wajib penanaman modal dari Rp10,41 miliar menjadi Rp10,49 miliar, wajib kebudayaan dan pariwisata dari Rp21,01 miliar menjadi Rp21,95 miliar lebih.
4.2. REALISASI APBD Peranan keuangan daerah terhadap perkembangan perekonomian Sumut sampai dengan semester II-2009 relatif sama dibandingkan semester yang sama pada tahun sebelumnya. Daya serap APBD 2009 harus dipacu lebih signifikan untuk menggerakkan pembangunan dan pelayanan kebutuhan publik yang hingga posisi akhir Juni baru sekitar 33,88% dengan tetap taat azas dan taat prosedur.
Daya serap APBD 2009 hingga posisi akhir Juni berkisar Rp1,23 triliun (33,88%) dari total APBD Rp3,62 triliun, dengan masing-masing rincian belanja langsung Rp354,27 miliar dan belanja tidak langsung Rp743,16 miliar. Pemerintah Provinsi Sumut optimis pada akhir September 2009 daya serap APBD akan meningkat sampai 50%. Khusus belanja modal yang terkait dengan tender pengadaan barang dan jasa saat ini baru terserap sekitar 15,73% (Rp712,74 miliar) dan diperkirakan meningkat menjadi 35,57% pada akhir September 2009.
Untuk mencapai perkiraan tersebut, khusus untuk belanja modal yang berhubungan dengan tender proyek pengadaan barang dan jasa, SKPD memberikan uang muka kepada pemenang tender agar dapat segera realisasi proyek sehingga tidak ada lagi pembayaran proyek tahun 2009 di atas tanggal 31 Desember 2009 atau setelah tutup buku kas tahun berjalan. Oleh sebab itu, kedua belah pihak, yakni pimpinan SKPD mempercepat prosedur, sedangkan dunia usaha pemenang tender cermat melengkapi dokumen dan pelaksanaan proyek, sehingga semuanya tuntas sesuai tahun anggaran.
Selain dana APBD, terdapat 9 SKPD yang juga memperoleh bantuan dana tugas pembantuan dari pusat yang jumlahnya sekitar Rp106,61 miliar yang realisasi daya serapnya baru 18,91%. Sedangkan bantuan dana tugas pembantuan untuk 28 kabupaten dan kota sejumlah Rp787,30 miliar realisasinya hingga Juni 2009 sekitar 8,84%. Sembilan SKPD itu antara lain Dinas Bina Marga, Sumberdaya Air, Perkebunan, Sosial, Perikanan dan Kelautan, Pertanian, Peternakan dan Tenaga Kerja.
59
Perkembangan Keuangan Daerah | BAB 4
BBO OKKSS 55
PEMERIKSAAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH SUMATERA UTARA
Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan di lingkungan Pemerintah Daerah (Pemda) Sumatera Utara menunjukkan masih perlu adanya pembenahan. Opini penilaian meliputi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau unqualified opinion, Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau qualified opinion , Tidak Wajar (TW) atau adverse opinion, dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau disclaimer opinion.
**** Daerah Pemekaran Sumber: www.bpk.go.id, diolah Boks 5 | Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Sumatera Utara
60
Laporan keuangan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) tahun 2008 dinilai Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau qualified opinion. Opini tersebut diberikan karena BPK menilai bahwa meskipun ada kekeliruan, namun kesalahan atau kekeliruan tersebut secara keseluruhan tidak mempengaruhi kewajaran laporan keuangan Sumut. Sejalan dengan Prov. Sumut, 2 kota dan 5 kabupaten di Sumut juga dinilai WDP. Kota dan kabupaten tersebut adalah Kota Sibolga, Kota Tebingtinggi, Kab. Asahan, Kab. Dairi, Kab. Karo, Kab. Pakpak Bharat, dan Kab. Serdang Bedagai. Sementara itu, laporan keuangan Kab. Tapanuli Selatan dinilai TMP pada tahun 2008. Dengan demikian laporan keuangan Kab. Tapanuli Selatan tidak bisa diartikan sudah benar atau salah. Ini mungkin saja terjadi karena auditor dalam hal ini BPK tidak bisa memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk bisa menyimpulkan dan menyatakan apakah laporan sudah disajikan dengan benar atau salah. Beberapa Pemda Sumut menunjukkan kinerja yang meningkat terindikasi dari opini yang diberikan pada tahun sebelumnya TMP menjadi WDP. Pemda tersebut adalah Provinsi. Sumut, Kab. Asahan, Kab. Dairi, dan Kab. Karo. Sementara itu, Kab. Tapanuli Selatan semula dinilai WDP namun pada tahun 2008 justru menjadi TMP.
Sumber : BPK
61
Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Sumatera Utara | Boks 5
BAB V Perkembangan Sistem Pembayaran
BBA ABB 55
PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
5.1. Kegiatan Transaksi BI-RTGS Perbankan Sumatera Utara Pada triwulan III 2009 nilai transaksi pembayaran non tunai perbankan di wilayah Provinsi Sumatera Utara dengan media transaksi Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) mengalami peningkatan baik nilai transaksi maupun jumlah transaksi. Nilai transaksi BI-RTGS di Provinsi Sumatera Utara yang meliputi wilayah kerja KBI Medan, KBI Pematang Siantar dan KBI Sibolga pada triwulan III 2009 tercatat sebesar Rp.117.985 milyar atau meningkat 5,04% bila dibanding periode sebelumnya yang tercatat sebesar Rp.112.324 milyar, dengan jumlah transaksi BI-RTGS yang juga meningkat sebesar 1,15% dari 146.310 transaksi pada triwulan II 2009, menjadi 147.990 transaksi. Meningkatnya nilai transaksi dan jumlah transaksi pada triwulan III 2009 dipengaruhi oleh meningkatnya transfer dana non tunai masyarakat dan pelaku usaha melalui BIRTGS seiring dengan meningkatnya transaksi pembayaran masyarakat pada bulan Ramadhan dan memenuhi kebutuhan dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. Dibanding periode yang sama tahun sebelumnya nilai transaksi BI-RTGS perbankan Sumatera Utara meningkat tipis sebesar 0,10% dengan jumlah transaksi yang sedikit menurun yaitu sebesar 3,83%, dimana pada triwulan III 2008 tercatat nilai transaksi sebesar Rp.117.863 milyar dengan jumlah transaksi BI-RTGS sebanyak 153.882 transaksi. Besaran rata-rata per hari nilai transaksi BI-RTGS pada triwulan III 2009 adalah sebesar Rp.1.966 milyar dengan rata-rata jumlah transaksi sebanyak 2.467 transaksi per hari. Data perkembangan transaksi BI-RTGS terlihat pada tabel dibawah ini. Tabel 5.1. Transaksi BI-RTGS Perbankan di Wilayah Sumatera Utara
Meliputi wilayah kerja KBI Medan, KBI Pematang Siantar dan KBI Sibolga.
BAB 5 | Perkembangan Sistem Pembayaran
62
5.2. Transaksi Kliring Perkembangan transaksi non tunai lainnya melalui transaksi kliring di wilayah perbankan Sumatera Utara pada triwulan III 2009 menunjukan penurunan namun relatif kecil baik nilai transaksi maupun jumlah transaksi. Nilai transaksi kliring di Provinsi Sumatera Utara yang meliputi wilayah kerja KBI Medan, KBI Pematang Siantar dan KBI Sibolga pada triwulan III 2009 tercatat sebesar Rp.27.147 milyar atau turun 0,18% bila dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp.32.944 milyar, dengan jumlah transaksi kliring yang juga mengalami penurunan sebesar 0,11% dari 1.157.592 warkat (transaksi) pada triwulan III 2008, menjadi 1.068.663 warkat (transaksi). Penurunan nilai transaksi kliring pada triwulan III 2009 ditengarai adanya perlambatan pada kegiatan dunia usaha sebagai pengaruh dari imbas krisis keuangan global dan adanya alternatif pilihan masyarakat dalam transaksi non tunai antara lain melalui BIRTGS yang memberikan waktu pelayanan yang lebih cepat dan aman. Dibanding triwulan sebelumnya, nilai transaksi kliring pada triwulan III 2009 relatif tidak mengalami perubahan atau relatif sama dengan triwulan II 2009, dimana pada tirwulan II nilai transaksi tercatat sebesar Rp.27.569 milyar dengan jumlah transaksi sebanyak 1.074.845 warkat (transaksi). Besaran rata-rata per hari nilai transaksi kliring pada triwulan III 2009 adalah sebesar Rp.452 milyar, dengan rata-rata jumlah warkat yang diproses sebanyak 17.144 warkat (transaksi) per hari. Perkembangan transaksi kliring dapat dilihat pada grafik 5.1 dibawah. Grafik 5.1 Perkembangan Transaksi Kliring
Grafik 5.2 Grafik Penolakan Cek/BG Kosong
63
Perkembangan Sistem Pembayaran | BAB 5
Sementara itu, jumlah nilai transaksi atas penolakan cek dan bilyet giro kosong pada kliring retur di wilayah perbankan Sumatera Utara pada triwulan III 2009 tercatat sebesar Rp.315 milyar atau meningkat tipis sebesar 0,15% dibanding triwulan III 2008 yang tercatat sebesar Rp.275 milyar, dengan jumlah warkat cek dan bilyet giro kosong yang juga meningkat tipis sebesar 0,33 dari 11.241 warkat menjadi 14.984 warkat. Dibanding periode triwulan sebelumnya, perkembangan jumlah penolakan Cek dan Bilyet Giro Kosong relatif sama baik nilai transaksi maupun jumlah warkat penolakan cek dan bilyet giro kosong. Masih cukup tingginya jumlah penolakan cek dan bilyet giro kosong dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman dan ketaatan masyarakat dalam penggunaan akan fungsi dan tanggungjawab dalam penarikan cek maupun bilyet giro serta pemahaman petugas bank dalam pengelolaan administrasi dari penggunaan cek dan bilyet giro nasabahnya. Data perkembangan nilai transaksi kliring pada tabel 5.2 dibawah ini. Tabel 5.2. Perkembangan Transaksi Kliring dan Cek/BG Kosong
5.3. Perkembangan Aliran Uang Kartal (Inflow dan Outflow) Aliran uang kartal masuk (inflow) dan uang kartal keluar (outflow) ke/dari Kas Bank Indonesia yang meliptui kas KBI Medan, KBI Pematang Siantar dan KBI Sibolga) menunjukan posisi Netinflow atau jumlah uang kartal yang masuk ke Bank Indonesia melalui penyetoran tunai perbankan, lebih besar dibanding jumlah uang kartal yang keluar dari Bank Indonesia melalui pembayaran tunai ke perbankan. Posisi netinflow pada periode ini tercatat sebesar Rp.1.606 milyar atau 22,34% lebih kecil dari periode sebelumnya yang tercatat sebesar Rp.2.068 milyar. Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan jumlah outflow triwulan III 2009 sebesar 30,50%, jauh lebih tinggi dibanding dengan peningkatan jumlah inflow triwulan III 2009 yang hanya tumbuh sebesar 5,79%. BAB 5 | Perkembangan Sistem Pembayaran
64
Meningkatnya jumlah inflow maupun jumlah outflow pada triwulan III 2009 dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan uang kartal masyarakat dalam memenuhi kebutuhan barang pokok selama bulan ramadhan dan libur panjang dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri 1430 Hijriah. Perkembangan aliran uang kartal di Provinsi Sumatera Utara yang meliputi KBI Medan, KBI Pematang Siantar dan KBI Sibolga dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Grafik 5.3. Perkembangan Aliran Uang Kartal Provinsi Sumatera Utara
Rata-rata per hari jumlah aliran uang kartal inflow pada triwulan III 2009 mencapai Rp.78,0 milyar atau naik 11,08% dibanding rata-rata inflow triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp.70,2 milyar sedangkan rata-rata per hari jumlah outflow mencapai Rp.51,2 milyar atau turun 37,03% dibanding rata-rata outflow triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp.37,4 milyar. Tabel 5.3. Perkembangan Aliran Kas Provinsi Sumatera Utara (milyar rupiah)
65
Perkembangan Sistem Pembayaran | BAB 5
Posisi Kas Bank Indonesia yang meliputi posisi kas KBI Medan, KBI Pematang Siantar dan KBI Sibolga, sampai dengan akhir periode triwulan III-2009 tercatat sebesar Rp.6.863 milyar atau menurun sebesar 3,30% dibanding periode sebelumnya yang tercatat sebesar Rp.7.097 milyar. Besarnya jumlah kas yang ada saat ini menunjukan ketersediaan uang kartal yang ada cukup untuk memenuhi kebutuhan uang tunai masyarakat dalam sistem pembayaran tunai di Provinsi Sumatera Utara. Tabel perkembangan posisi Kas Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel 5.3 diatas. 5.4. Temuan Uang Palsu Jumlah temuan uang rupiah palsu yang tercatat di KBI Medan pada triwulan III 2009 tercatat sebanyak 232 lembar dengan nilai nominal sebesar Rp.12.370.000 atau rata-rata temuan uang palsu rupiah sebanyak 4 lembar per hari kerja. Dibanding periode sebelumnya, jumlah temuan uang rupiah palsu tersebut mengalami peningkatan baik jumlah lembar (42,33%) maupun nilai nominal (39,07%), dimana pada triwulan II 2009 tercatat sebanyak 163 lembar dengan nilai nominal sebesar Rp.8.895.000,00. Peningkatan tersebut disumbang pecahan uang Rp.50.000 sebanyak 142 lembar dengan nilai sebesar Rp.7.100.000,00 atau meningkat sebesar 115,15% dari periode sebelumnya dan pecahan Rp.5.000 sebanyak 10 lembar dengan nilai sebesar Rp.50.000,00 atau meningkat sebesar 233,33%. Berdasarkan sumber penerimaan atau laporan temuan uang palsu, sebagian besar berdasarkan laporan bank ke KBI Medan, sementara di wilayah KBI Pematang Siantar dan KBI Sibolga tidak ada laporan temuan uang palsu. Pada triwulan III, uang rupiah dengan denominasi Rp.50.000,00 adalah yang paling banyak dipalsukan sebanyak 142 lembar (61%), diikuti pecahan Rp.100.000,- (20%), pecahan Rp.20.000,- (12%), pecahan Rp.5.000,- (4%) dan pecahan Rp.10.000,- (3%) sedangkan uang pecahan Rp.1.000,- tidak ditemukan. Data perkembangan temuan uang rupiah palsu di wilayah Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel 5.4 dibawah ini. Tabel 5.4. Data Temuan Uang Palsu di Kantor Bank Indonesia (Satuan Lembar)
BAB 5 | Perkembangan Sistem Pembayaran
66
Selain faktor ekonomi yang menjadi motif terjadinya pemalsuan uang rupiah, canggihnya teknologi percetakan pada saat ini ditengarai sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi cukup meningkatnya peredaran uang palsu, antara lain penggunaan mesin photo copy maupun mesin printer. Untuk menekan peredaran uang palsu di wilayah Provinsi Sumatera Utara, Bank Indonesia tetap melakukan upaya penanggulangan secara kontinyu, baik preventif maupun represif. Langkah preventif dimaksud antara lain meningkatkan pemahaman masyarakat dengan melakukan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang Rupiah kepada kalangan pelajar, mahasiswa, akademisi, masyarakat, pelaku usaha, pegawai negeri, kepolisian serta penyebaran informasi kepada perbankan di wilayah Sumatera Utara. Upaya represif
yang dilakukan adalah dengan
meningkatkan koordinasi dengan pihak-pihak instansi pemerintah yang berwenang. Hal lainnya yang perlu dilakukan adalah dilakukannya pengawasan oleh instansi yang berwenang dan berkesinambungan terhadap penggunaan mesin-mesin percetakan dengan teknologi tinggi yang hasil pencetakannya menyerupai uang rupiah asli.
5.5. Penyedian Uang Yang Layak Edar Sebagai lembaga yang memiliki otoritas di sistem pembayaran, salah satu kebijakan Bank Indonesia berkaitan dengan transaksi pembayaran secara tunai
adalah memenuhi kebutuhan
masyarakat akan uang kartal baik dari jumlah maupun kualitas yang layak edar. Untuk merealisasikan tujuan dari kebijakan tersebut, Bank Indonesia senantiasa memantau dan menghitung jumlah uang yang berada di masyarakat dan perbankan. Selain itu, Bank Indonesia secara periodik dan berkesinambungan melakukan penyortiran dan peracikan uang kartal yang tidak memenuhi persyaratan uang yang layak edar. Uang yang termasuk dalam kategori tidak layak edar (lusuh/rusak) dan uang dengan emisi yang telah ditarik dari peredaran, kemudian dicatat sebagai Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB), yang selanjutnya dilakukan pemusnahan.
67
Perkembangan Sistem Pembayaran | BAB 5
Grafik 5.5. Perkembangan Jumlah PTTB di Sumatera Utara
Dari data statistik Bank Indonesia, pada triwulan III 2009 jumlah uang kartal yang telah dicatat sebagai PTTB tercatat sebesar Rp.339 milyar atau sebesar 7,25% dari jumlah Inflow uang kartal yang masuk kembali ke Bank Indonesia yang meliputi KBI Medan, KBI Pematang Siantar dan KBI Sibolga. Dibanding dengan periode triwulan sebelumnya, jumlah uang kartal yang dicatat sebagai PTTB mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu sebesar 152,99% dimana pada triwulan II 2009 tercatat sebesar Rp.134 milyar. Meningkatnya ratio PTTB pada periode laporan, dipengaruhi oleh banyaknya jumlah uang yang tidak layak edar dan masih cukup rendahnya tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat dalam menggunakan uang kertas rupiah sebagai alat pembayaran secara baik, sehingga kerusakan fisik uang kertas lebih terjaga dan waktu penggunaannya jadi lebih lama. 5.6. Transaksi Jual Beli UKA dan TC Pada PVA Non Bank Pada triwulan III 2009 nilai transaksi Pedagang Valuta Asing (PVA) Bukan Bank (PVA-BB) yang berjumlah 43 perusahaan di wilayah Provinsi Sumatera Utara mengalami pertumbuhan namun relatif kecil. Nilai transaksi pembelian UKA dan TC tercatat sebesar US$12,96 juta atau meningkat 1,25% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar US$12,80 juta dan nilai transaksi penjualan UKA dan TC tercatat sebesar US$12,90 juta atau meningkat 0,70% dari US$12,90 juta pada periode triwulan II 2008. Dibanding triwulan sebelumnya, nilai transaksi pembelian UKA dan TC tumbuh sebesar 22,26% dimana pada triwulan I 2009 tercatat sebesar US$10,60. Sedangkan nilai transaksi penjualan UKA dan TC meningkat sebesar 0,70% atau dari US$10,70 pada triwulan II 2009 menjadi US$12,99. Data perkembangan transaksi jual beli UKA dan TC PVA Bukan Bank dapat lihat pada tabel 5.5 dibawah ini.
BAB 5 | Perkembangan Sistem Pembayaran
68
Tabel 5.5. Perkembangan Transaksi Jual Beli UKA dan TC PVA Bukan Bank di Wilayah Provinsi Sumatera Utara
Jenis valuta asing yang cukup dominan diperhitungkan dalam transaksi jual beli UKA dan TC pada transaksi PVA Bukan Bank antara lain uang US Dollar, Singapura Dollar dan Malaysia Ringgit. Hal ini dipengaruhi cukup banyaknya masyarakat yang melakukan aktivitas ekonomi yang menggunakan jenis valuta US Dollar, Singapura Dollar dan Malaysia Ringgit. Aktivitas eknomi dimaksud antara lain masuknya wisatawan mancanegara (wisman) khususnya yang berasal dari negara Singapura maupun Malaysia ke Provinsi Sumatera Utara melalui Bandar Udara Polonia, Pelabuhan Laut Belawan dan Pelabuhan Laut Tanjung Balai Asahan. Aktivitas lain adalah transfer dana Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Remitansi, penggunaan UKA untuk keperluan medis (berobat) dengan negara tujuan utama adalah Malaysia dan Singapura, pendidikan, menunaikan ibadah haji, wisata rohani ke luar negeri.
69
Perkembangan Sistem Pembayaran | BAB 5
BAB VI Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
BBA ABB 66
PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAERAH DAN KESEJAHTERAAN
6.1. PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAERAH Penduduk usia kerja Sumut yang bekerja sebanyak 5.800 ribu orang meningkat sebesar 8,13% dibandingkan Februari 2008. Penduduk usia kerja Sumut yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) atau setengah penganggur pada Februari 2009 sebanyak 1.652 ribu orang. Ditinjau lebih lanjut, sekitar 713,33 ribu orang atau 43,18% di antaranya merupakan setengah penganggur terpaksa, yaitu bekerja di bawah jam kerja normal, masih mencari pekerjaan, dan masih bersedia menerima pekerjaan. Sedangkan jumlah setengah penganggur sukarela, yaitu bekerja di bawah jam kerja normal, tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain sebanyak 938,67 ribu orang atau 56,82% dari jumlah penduduk setengah penganggur. Tabel 6. 1 Penduduk Usia Kerja yang Bekerja dan Setengah Penganggur
Jumlah penduduk setengah penganggur pada Februari 2009 meningkat sebesar 11,66% dibandingkan Februari 2008. Jumlah penduduk setengah penganggur terpaksa meningkat 43,18% dibandingkan Februari 2008 dan jumlah penduduk setengah penganggur sukarela meningkat 56,82% dibandingkan Februari 2008. 6.2. KEMISKINAN 6.2.1. Penduduk Miskin Jumlah penduduk miskin di Sumut menujukkan kecenderungan yang terus menurun sejak tahun 2006. Jumlah penduduk miskin per Maret 2009 sebesar 1.499,70 ribu jiwa. Jumlah ini menurun 7,07% bila dibandingkan Maret 2008 sebesar 1.613,80 ribu jiwa.
BAB 6 | Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
70
Grafik 6. 1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
Persentase penduduk miskin tahun 2009 tercatat sebesar 11,51% menurun bila dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 12,55%. Tabel 6. 2 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin menurut Daerah Sumut
Jumlah (ribu jiwa)
Persentase (%)
2008
2009
2008
2009
Kota
761.7
688.0
12.85
11.45
Desa
852.1
811.7
12.29
11.56
Kota + Desa
1613.8
1499.7
12.55
11.51
Daerah
Jumlah penduduk miskin yang tinggal di daerah pedesaan sebesar 811,70 ribu jiwa menurun bila dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 852,10 ribu jiwa. Sejalan dengan itu, jumlah penduduk miskin di kota juga menurun dari 761,70 ribu jiwa pada tahun 2008 menjadi 688 ribu jiwa spada tahun 2009.
71
Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan | BAB 6
6.2.2. Garis Kemiskinan Jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada tahun 2009 garis kemiskinan daerah perkotaan di Sumut tercatat sebesar Rp234.712 per kapita per bulan atau meningkat sebesar 7,50% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp218.333 per kapita per bulan. Pada periode yang sama garis kemiskinan daerah pedesaan sebesar Rp189.306 per kapita per bulan atau meningkat sebesar 10,11% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp171.922 per kapita per bulan. Tabel 6. 3 Garis Kemiskinan Sumut (Rp/Kapita/Bulan)
Tahun
Kota
Desa
Kota + Desa
2004 142,966 114,214
122,214
2005 175,152 117,578
143,095
2006 184,694 142,095
155,810
2007 205,379 154,827
178,132
2008 218,333 171,922
193,321
2009 234,712 189,306
210,241
6.2.3. Tingkat Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Indeks kedalaman kemiskinan (P₁) dan indeks keparahan kemiskinan (P₂) merupakan dimensi lain guna mengetahui rata-rata jarak kesenjangan antara pengeluaran orang miskin dengan garis kemiskinan dan ketimpangan tingkat pengeluaran di antara orang miskin itu sendiri.
BAB 6 | Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
72
Tabel 6. 4 Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan
Indeks
Kota
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P₁)
Desa
Kota+Desa
2008
2.08
2.25
2.17
2009
1.86
1.97
1.92
Indeks Keparahan Kemiskinan (P₂)
2008
0.50
0.64
0.58
2009
0.49
0.50
0.50
Indeks kedalaman kemiskinan menurun dari 2,17 pada tahun 2008 menjadi 1,92 pada tahun 2009. Bila ditinjau lebih lanjut, indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan menurun dari 2,08 menjadi 1,86. Indeks kedalaman kemiskinan di pedesaan menurun dari 2,25 menjadi 1,97. Indeks keparahan kemiskinan juga menurun dari 0,58 menjadi 0,50. Bila ditinjau lebih lanjut, indeks keparahan kemiskinan di perkotaan menurun tipis dari 0,50 menjadi 0,49 dan indeks keparahan kemiskinan di pedesaan juga menurun dari 0,64 menjadi 0,50. 6.3. PERKEMBANGAN KESEJAHTERAAN 6.3.1. Nilai Tukar Petani Kondisi nilai tukar petani sepanjang triwulan III-2009 menunjukkan nilai yang relatif sama dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada Agustus 2009, Nilai Tukar Petani (NTP) Sumut sebesar 101,16 atau mengalami penurunan sebesar -0,74% dibandingkan bulan Juli 2009 sebesar 101,91. Nilai Tukar Petani per sub sektor masing-masing sebesar 96,22 untuk subsektor padi dan palawija (NTPP), 113,21 untuk subsektor hortikultura (NTPH), 103,09 untuk subsektor perkebunan rakyat (NTPR), 100,23 untuk subsektor peternakan (NTPT), dan 99,84 untuk subsektor perikanan (NTN).
73
Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan | BAB 6
Tabel 6. 5 Nilai Tukar Petani
Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sumatra Utara dan Perubahannya Desember 2008 (2007=100) Apr‐09 May‐09 Jun‐09 Jul‐09 Nilai Tukar Petani Sub Sektor It Ib NTP It Ib NTP It Ib NTP It Ib Subsektor Padi & Palawija (NTPP) 116.30 120.74 96.32 117.46 120.82 97.21 117.75 121.03 97.29 118.00 121.45 Subsektor Hortikultura (NTPH) 130.71 119.95 108.97 131.70 120.06 109.70 131.56 120.25 109.41 133.60 120.70 Subsektor Perkebunan Rakyat (NTPR) 123.16 118.85 103.62 121.35 119.00 101.98 123.51 119.03 103.76 126.00 119.41 Subsektor Peternakan (NTPT) 116.10 116.61 99.56 116.32 116.93 99.48 116.74 117.15 99.65 117.05 117.69 Subsektor Perikanan (NTN) 117.03 115.66 101.18 118.87 115.73 102.71 118.00 115.80 101.90 117.68 116.20 Gabungan/Provinsi Sumatra Utara 120.38 119.46 100.77 120.73 119.58 100.96 121.37 119.72 101.37 122.44 120.14
NTP 97.16 110.68 105.52 99.46 101.28 101.91
It 117.47 137.34 123.79 118.51 116.59 122.18
Aug‐09 Ib 122.08 121.31 120.08 118.24 116.77 120.77
Sumber: BPS, diolah
Subsektor
padi
dan
palawija
(NTPP)
mengalami
penurunan
sebesar
NTP 96.22 113.21 103.09 100.23 99.84 101.16
-0,97%
dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh perubahan indeks harga yang diterima petani (It) sebesar -0,45% yang lebih rendah dibandingkan perubahan indeks harga yang dibayar petani (Ib) sebesar 0,52%. Penurunan It terjadi karena penurunan subkelompok padi sebesar 0,11% dan subkelompok palawija sebesar 1,39%. Di sisi lain kenaikan Ib terjadi karena perubahan pada Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) naik sebesar 0,67% dan indeks Biaya Produksi dan Perubahan Barang Modal (BPPBM) naik sebesar 0,10%. Subsektor hortikultura mengalami kenaikan sebesar 2,28% dibandingkan bulan sebelumnya. Kenaikan ini disebabkan oleh perubahan It sebesar 2,80% yang lebih tinggi dibandingkan perubahan Ib sebesar 0,50%. Kenaikan It pada subsektor hortikultura dipicu oleh kenaikan indeks subkelompok sayur-sayuran sebesar 7,56% dan indeks subkelompok buah-buahan sebesar 1,29%. Kenaikan Ib dipicu oleh kenaikan IKRT sebesar 0,67%, sebaliknya indeks BPPBM menurun 0,14%. Subsektor perkebunan rakyat menurun sebesar 2,30%. Penurunan ini disebabkan oleh perubahan It (-1,76%) yang lebih rendah dibandingkan perubahan Ib (0,56%). Penurunan It karena indeks subkelompok tanaman perkebunan rakyat menurun sebesar 1,76%. Kenaikan Ib karena IKRT naik sebesar 0,71%. Subsektor peternakan meningkat 0,78% karena perubahan It (1,25%) lebih tinggi dibandingkan perubahan Ib (0,47%). Kenaikan It disebabkan oleh meningkatnya subkelompok ternak besar sebesar 2,05% dan subkelompok ternak kecil sebesar 0,41%, subekelompok unggas sebesar 0,84%, subkelompok hasil ternak sebesar 0,38%. Kenaikan Ib karena kenaikan IKRT sebesar 0,66% dan BPPBM sebesar 0,20%.
BAB 6 | Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
74
Subsektor perikanan menurun 1,42% karena perubahan It (-0,93%) lebih rendah dibandingkan perubahan Ib (0,50%). Penurunan It dipicu oleh menurunnya subkelompok penangkapan ikan sebesar 1,30%, di sisi lain budidaya ikan meningkat 2,53%. Kenaikan Ib disebabkan oleh kenaikan IKRT sebesar 0,67% dan BPPBM sebesar 0,19%. 6.3.2. Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) Pedesaan Perubahan Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) mencerminkan angka inflasi atau deflasi di wilayah perdesaan. Pada Agustus 2009, terjadi inflasi di wilayah perdesaan Sumut sebesar 0,68% yang disebabkan oleh kenaikan indeks kelompok bahan makanan sebesar 0,84%, kelompok makanan jadi, minuman & rokok (0,94%), kelompok perumahan (0,59%), kelompok kesehatan (0,12%), kelompok pendidikan, rekreasi & olah raga (0,67%), dan kelompok transportasi & komunikasi (0,13%). Di sisi lain terjadi penurunan pada kelompok sandang sebesar 0,20%.
75
Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan | BAB 6
BBO OKKSS 66
PERKEMBANGAN KESEJAHTERAAN
Menurunnya angka pengangguran terbuka dan angka kemiskinan, merupakan indikator perbaikan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, terdapat juga beberapa indikator lain yang perlu dicermati dalam kaitan upaya peningkatan kesejahteraan. Di Sumatera Utara, terdapat kecenderungan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang cukup baik. Jika pada tahun 2004, nilai IPM tercatat sebesar 71,4 maka pada tahun 2007 telah mencapai 72,8. Angka ini merupakan ranking ketiga di wilayah Sumatera, setelah Riau dan Kepri.
Peningkatan IPM di Sumut, tidak lepas dari semakin membaiknya angka melek huruf yang telah mencapai 98,30% pada laki-laki dan 95,21% pada perempuan. Rata-rata lama sekolah juga berada di atas rata-rata nasional, dengan angka mencapai 8,9 tahun pada laki-laki dan 8,1 tahun pada perempuan. Selain itu, angka harapan hidup yang menjadi salah satu cermin kesejahteraan juga telah berada pada level yang cukup baik, yaitu 70,25 tahun. Pada dasawarsa depan, diperkirakan angka ini akan kembali meningkat menjadi 71,64 tahun.
Boks 6 | Perkembangan Kesejahteraan
76
Selain itu, konsumsi masyarakat yang tergambar dalam pengeluran per kapita per bulan juga
mengalami
peningkatan.
Pada
tahun
2008,
total
konsumsi
telah
mencapai
Rp391.800/kapita/bulan dengan porsi terbesar untuk makanan, yaitu Rp211.700. Total konsumsi ini mengalami peningkatan sebesar 11,43% dibandingkan tahun sebelumnya. Tantangan upaya peningkatan kesejahteraan ke depan adalah upaya meningkatkan daya beli masyarakat, yang tercermin dalam kemampuan beli dan kestabilan harga. Selian itu, upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan kesehatan juga harus menjadi prioritas. Dengan pertumbuhan penduduk selama 3 (tiga) tahun terakhir rata-rata sebesar 1,6%, maka diperlukan peningkatan ketersediaan kebutuhan dasar yang lebih tinggi lagi. Sebagai contoh, produksi padi yang pada tahun 2008 hanya meningkat sebesar 1,65%, maka pada tahun 2009 diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 3,20%-3,80%. Sementara itu, untuk produksi jagung diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 5 %-6%.
77
Perkembangan Kesejahteraan | Boks 6
BAB VII Perkiraan Ekonomi dan Inflasi Daerah
BBA ABB 77
PERKIRAAN EKONOMI DAN INFLASI DAERAH
7.1. Perkiraan Ekonomi Seiring dengan berlanjutnya proses pemulihan perekonomian dan membaiknya intermediasi perbankan, perekonomian Sumut pada triwulan IV-2009 diperkirakan tumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Dari sisi permintaan, kinerja konsumsi meningkat ditopang oleh pendapatan ekspor yang meningkat, keyakinan konsumen yang lebih kuat, serta faktor musiman menjelang akhir tahun. Kinerja investasi diperkirakan sedikit membaik, meski masih tumbuh rendah. Dari sisi eksternal, pertumbuhan ekspor diperkirakan lebih tinggi sejalan dengan ekonomi negara mitra dagang yang semakin membaik, serta harga komoditas global yang meningkat. Sementara, pertumbuhan impor diperkirakan masih minimal.
Di sisi penawaran, sektor pengangkutan dan komunikasi dan perdagangan, hotel dan restoran tumbuh membaik pada triwulan IV-2009. Sektor industri pengolahan diperkirakan masih tetap tumbuh. Beberapa industri masih berproduksi normal untuk menyelesaikan kontrak pada tahun 2009. Sementara itu untuk sektor pertanian, sebagian besar lahan pertanian padi di Sumut mulai memasuki masa tanam 2009/2010 (minggu ketiga bulan Oktober sampai dengan minggu pertama bulan November) sehingga kinerja pada triwulan IV-2009 tidak akan jauh berbeda dengan periode yang sama tahun 2008.
Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) oleh Bank Indonesia mengindikasikan bahwa realisasi kegiatan usaha pada triwulan IV-2009 cenderung meningkat dibandingkan triwulan III-2009. Grafik 7.1. Ekspektasi Realisasi Kegiatan Dunia Usaha
BAB 7 | Perkiraan Ekonomi dan Inflasi Daerah
78
Di sisi fiskal, akselerasi belanja modal Pemerintah Provinsi Sumut pada semester II-2009 diperkirakan semakin meningkat khususnya untuk belanja infrastuktur. Sementara itu, upayaupaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk mengakselerasi sektor riil sebagai antisipasi dari krisis keuangan global, diharapkan mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi Sumut.
Pada triwulan IV-2009, pertumbuhan ekonomi Sumut diproyeksikan akan tumbuh pada kisaran 4,50% - 4,70% (yoy). Dengan perkembangan tersebut, laju pertumbuhan ekonomi Sumut pada tahun 2009 diproyeksikan masih berada pada kisaran 5±1% (yoy). 7.2. Perkiraan Inflasi Sejalan dengan kuatnya komitmen Bank Indonesia Regional Sumut/NAD dan Pemerintah Provinsi Sumut untuk pengendalian inflasi, pada triwulan IV-2009, laju inflasi diperkirakan akan menurun. Hal ini sejalan dengan terjadinya penurunan harga komoditas di pasar internasional dan kembali normalnya permintaan domestik pasca Idul Fitri. Secara triwulanan, inflasi IHK di Sumut pada triwulan IV-2009 diperkirakan lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya dan memiliki potensi untuk kembali ke pola normalnya pada tahun 2010. Secara tahunan inflasi Sumut diperkirakan berkisar antara 3,20%-3,70% (yoy). Selain itu, menurunnya inflasi juga berasal dari cenderung menurunnya inflasi inti seiring dengan kecenderungan penurunan inflasi mitra dagang, dan membaiknya ekspektasi inflasi. Dari sisi volatile food, tekanan inflasi diprakirakan minimal karena dukungan kecukupan pasokan dan kelancaran distribusi. Para pelaku usaha (produsen), pedagang eceran, dan konsumen di Sumut juga telah memperkirakan adanya perlambatan laju inflasi pada triwulan mendatang. Hal ini tercermin dari hasil survei yang dilakukan di wilayah Sumut. Sebagian besar responden SPE dan SK di Sumut meyakini bahwa terjadi kenaikan harga jual/tarif barang dan jasa pada triwulan IV-2009, namun tidak sebesar triwulan sebelumnya. Menurut konsumen, kenaikan harga diperkirakan terutama akan terjadi pada kelompok bahan makanan; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau; serta kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar.
79
Perkiraan Ekonomi dan Inflasi Daerah | BAB 7
Grafik 7.2. Ekspektasi Konsumen Terhadap Barang dan Jasa
Grafik 7.3. Perkiraan Nilai Penjualan Barang dan Jasa
Dari sisi non-fundamental, kenaikan tekanan inflasi diprakirakan bersumber dari kenaikan beberapa administered prices yang bersifat non-strategis. Sementara itu, inflasi volatile food diperkirakan cukup rendah sejalan dengan pasokan dan distribusi bahan pangan dan energi yang cukup terjaga.
BAB 7 | Perkiraan Ekonomi dan Inflasi Daerah
80
Lampiran
LAMPIRAN B Pertumbuhan PDRB Triwulanan Provinsi Sumatera Utara Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Persen) Growth Rate of Economy by Industrial Origin in North Sumatera Province (Million Rupiahs) LAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. K e h u t a n a n e. P e r i k a n a n
Trw.I
Trw.II
2008 Trw.III
Trw.IV
Trw.I
2009 Trw.II
Trw.III
6,75 19,05 0,97 0,40 -1,75 2,13
-2,35 -13,12 5,66 0,35 2,51 0,75
2,59 3,53 2,15 2,13 1,49 2,51
-2,63 -5,36 -3,48 2,54 1,76 1,83
6,70 19,20 1,14 1,27 -0,73 0,57
-3,55 -12,38 1,77 0,17 1,70 0,26
3,02
2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN a. Minyak dan gas bumi b. Penggalian.
1,95 2,63 1,34
4,19 4,95 3,49
0,87 0,16 1,53
0,17 -3,05 3,11
-4,38 -3,95 -4,76
0,13 0,15 0,11
1,53
3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri M i g a s b. Industri bukan Migas
2,15 1,20 2,15
-2,20 -0,80 -2,21
4,14 0,72 4,16
1,31 -1,86 1,33
-0,47 -0,99 -0,47
-0,22 0,31 -0,23
3,18
4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH a. L i s t r i k b. Gas Kota c. Air bersih
1,78 1,27 1,79 3,23
1,74 1,81 1,77 1,56
2,95 3,02 6,91 1,53
1,70 1,55 3,49 1,54
0,41 0,85 -4,68 0,87
-1,63 -1,71 -9,83 1,80
1,99
5. B A N G U N A N
0,80
1,84
1,87
2,71
-2,60
0,57
2,01
6. PERDAG, HOTEL DAN REST. a. Perdagangan Besar dan Eceran b. H o t e l c. R e s t o r a n
3,20 3,27 2,50 2,64
-2,07 -2,40 2,64 0,22
5,13 5,45 3,12 2,48
1,15 1,00 3,27 2,28
0,72 0,16 -1,02 6,15
-0,90 -1,20 2,23 1,27
3,22
7. PENGANGKUTAN DAN KOM. a. P e n g a n g k u t a n b. K o m u n i k a s i
4,28 4,16 4,81
-0,31 -0,57 0,76
3,06 2,97 3,43
1,69 1,92 0,73
1,47 1,70 0,54
-0,74 -0,96 0,19
3,25
8. KEUANGAN, & JASA PERSH. a. B a n k, Lemb. Keu. Lainnya. b. Sewa Bangunan c. Jasa Perusahaan
4,88 8,34 3,42 2,35
0,21 4,64 -1,84 -2,93
2,34 3,60 1,75 1,27
1,56 2,79 0,71 1,50
1,40 1,23 1,70 0,71
0,97 2,83 0,25 -1,22
3,04
9. JASA - JASA a. Pemerintahan Umum b. S w a s t a
4,64 4,05 5,78
2,45 3,49 0,47
2,56 3,12 1,47
2,65 3,53 0,90
1,10 0,30 2,74
0,70 0,72 0,66
2,43
3,96
-1,05
3,36
0,61
1,69
-0,98
2,96
PDRB
*Hasil Survei Indikator Ekonomi, Kerjasama antara Bank Indonesia Medan dengan BPS Sumatera Utara
Halaman ini sengaja dikosongkan This page is intentionally blank