Mei 2017
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Pulau Padar, Taman Nasional Komodo
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Tim Advisory dan Pengembangan Ekonomi KPW BI Provinsi NTT Jl. El Tari No. 39 Kupang – NTT [0380] 832-364 / 827-916 ; fax : [0380] 822-103 www.bi.go.id
KATA PENGANTAR Sejalan dengan salah satu tugas pokok Bank Indonesia, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur di daerah memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan kontribusi secara optimal dalam proses formulasi kebijakan moneter. Secara triwulanan KPw BI Provinsi NTT melakukan pengkajian dan penelitian terhadap perkembangan perekonomian daerah sebagai masukan kepada Kantor Pusat Bank Indonesia dalam kaitan perumusan kebijakan moneter tersebut. Selain itu kajian/analisis ini dimaksudkan untuk memberikan informasi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi eksternal stakeholder setempat, yaitu Pemda, DPRD, akademisi, masyarakat serta stakeholder lainnya. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Nusa Tenggara Timur ini mencakup Ekonomi Makro Regional, Realisasi Keuangan Pemerintah, Perkembangan Inflasi, Perkembangan Stabilitas Sistem Keuangan, Sistem Pembayaran, Kesejahteraan serta Prospek Perekonomian Daerah pada periode mendatang. Dalam menyusun kajian ini digunakan data yang berasal dari internal Bank Indonesia maupun dari eksternal, dalam hal ini dinas/instansi/asosiasi/pelaku usaha terkait. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan kajian ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan masukan dari semua pihak untuk meningkatkan kualitas isi dan penyajian laporan. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik dalam bentuk penyampaian data maupun dalam bentuk saran, kritik, dan masukan sehingga kajian ini dapat diselesaikan. Kami mengharapkan kerjasama yang telah terjalin dengan baik selama ini, kiranya dapat terus berlanjut di masa yang akan datang.
Kupang, Mei 2017 Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur
Naek Tigor Sinaga Deputi Direktur
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
iii
DAFTAR ISI Halaman Judul
I
Kata Pengantar
iii
Daftar Isi
iv
Daftar Grafik
viii
Daftar Tabel
xii
Daftar Gambar
xiii
Ringkasan Umum
xiv
Tabel Indikator Ekonomi Terpilih Provinsi Nusa Tenggara Timur
xvi
BAB I EKONOMI MAKRO REGIONAL
2
1.1 Kondisi Umum
2
1.2 Perkembangan Ekonomi Sisi Penggunaan
3
1.2.1. Konsumsi
4
1.2.2. Pembentukan Modal Tetap Bruto/Investasi
6
1.2.3. Ekspor dan Impor
8
1.2.3.1 Ekspor dan Impor Antar Daerah
8
1.2.3.2 Ekspor dan Impor Luar Negeri
8
1.3 Perkembangan Ekonomi Sisi Sektoral
9
1.3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan & Perikanan
10
1.3.2. Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial
11
1.3.3. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Motor
12
1.3.4. Sektor-Sektor Lainnya
13
BOKS 1. Perkembangan Industri Gula di Indonesia dan Potensi Investasi Industri Gula di NTT
17
BAB II KEUANGAN DAERAH
22
2.1 Kondisi Umum
22
2.2 Pendapatan Daerah
23
2.3 Belanja Daerah
24
2.3.1. Belanja APBN
25
2.3.2. Belanja Pemerintah provinsi NTT
25
2.3.3. Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota
25
iv
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
DAFTAR ISI 2.4 Dana Pemerintah di Perbankan
27
BOKS 2. Pembangunan Infrastruktur Utama di NTT
29
BAB III PERKEMBANGAN INFLASI
34
3.1. Kondisi Umum
34
3.1.1. Inflasi Bulanan
35
3.2. Inflasi Berdasarkan Komoditas
36
3.2.1. Bahan Makanan
37
3.2.2. Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan
38
3.2.3. Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau
38
3.2.4. Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar
39
3.2.5. Komoditas Lainnya
39
3.3. Disagregasi Inflasi NTT
40
3.3.1 Volatile foods
40
3.3.2 Administered prices
41
3.3.3 Inflasi Inti (Core)
41
3.4. Inflasi NTT Berdasarkan Kota
42
3.4.1 Inflasi Kota Kupang
42
3.4.2 Inflasi Kota Maumere
43
3.5. Proyeksi Inflasi Provinsi NTT Triwulan II 2017
44
3.6. Aktivitas Pengendalian Inflasi oleh TPID
45
BOKS 3. Pola Inflasi Menjelang Hari Raya Idul Fitri dan Komoditas Utama Penyumbang Inflasi di NTT
46
BOKS 4. Korelasi Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Hari Raya Idul Fitri di NTT dengan Kota Lain di
48
Indonesia BAB IV STABILITAS KEUANGAN DAERAH
52
4.1. Kondisi Umum
52
4.2. Asesmen Ketahanan Rumah Tangga
52
4.2.1. Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga
52
4.2.2. Eksposur Rumah Tangga di Perbankan
53
4.3. Perkembangan Akses Keuangan dan UMKM
55
4.3.1. Kondisi Saat Ini dan Prospek Usaha
55
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
v
DAFTAR ISI 4.3.2. Perkembangan Penyaluran Kredit UMKM
56
4.3.3. Perkembangan Risiko Kredit UMKM
57
4.4. Asesmen Ketahanan Korporasi
58
4.4.1. Eksposur Perbankan Pada Sektor Korporasi
58
4.5. Asesmen Perbankan
59
4.5.1. Kinerja Bank Umum
59
4.5.2 Kinerja Bank Perkreditan Rakyat
61
BAB V PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH
64
5.1. Kondisi Umum
64
5.2. Transaksi Pembayaran Tunai
64
5.2.1. Aliran Uang Masuk (Inflow) dan Aliran Uang Keluar (Outflow)
64
5.2.2. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) dan Uang Palsu (UPAL)
65
5.3. Transaksi Pembayaran Non Tunai
66
5.4. Perkembangan Layanan Keuangan Digital
67
BAB VI KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
70
6.1 Kondisi Umum
70
6.2. Kondisi Ketenagakerjaan
70
6.2.1 Kondisi Ketenagakerjaan Secara Umum
70
6.2.2 Kondisi Ketenagakerjaaan Berdasarkan Lapangan Pekerjaan Utama
71
6.2.3 Kondisi Ketenagakerjaaan Berdasarkan Tingkat Pendidikan
71
6.2.4 Kondisi Ketenagakerjaan Menurut Status Pekerjaan
72
6.2.5 Kondisi Tenaga Kerja Sektor Industri Manufaktur Besar dan Sedang
72
6.2.6 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)
73
6.3. Kondisi Kesejahteraan
73
6.3.1 Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP)
73
6.3.2 Survei Konsumen (SK) dan Indeks Tendensi Konsumen (ITK)
74
vi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
DAFTAR ISI BAB VI PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
76
7.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT
76
7.1.1 Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan III 2017
76
7.1.1.1 Pertumbuhan Sisi Penggunaan
76
7.1.1.2 Pertumbuhan Sisi Sektoral
77
7.1.2 Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017
78
7.2 Inflasi
78
7.2.1 Inflasi Triwulan-I Tahun 2017
78
7.2.2 Inflasi Tahun 2017
79
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
vii
DAFTAR GRAFIK Grafik 1.1 PDRB (ADHB) & Pertumbuhan PDRB Provinsi NTT dibandingkan Nasional
2
Grafik 1.2 PDRB & Pertumbuhan PDRB Provinsi NTT, Bali, NTB & Nasional
2
Grafik 1.3 Survei Konsumen
5
Grafik 1.4 Survei Penjualan Eceran
5
Grafik 1.5 Indeks Tendensi Konsumen
5
Grafik 1.6 Indeks Kegiatan Dunia Usaha
5
Grafik 1.7 Perkembangan Konsumsi BBM
5
Grafik 1.8 Perkembangan Konsumsi Listrik Rumah Tangga
5
Grafik 1.9 Penyaluran Kredit Konsumsi
6
Grafik 1.10 Perkembangan Realisasi Investasi di Provinsi NTT
7
Grafik 1.11 Realisasi Konsumsi Semen Provinsi NTT
7
Grafik 1.12 Perkembangan Peti Kemas
8
Grafik 1.13 Aktivitas Bongkar Muat
8
Grafik 1.14 Perkembangan Ekspor dan Impor
9
Grafik 1.15 Negara Tujuan Ekspor
9
Grafik 1.16 Perkembangan Nilai Tukar Petani
10
Grafik 1.17 Data Pengiriman Ternak dari Pelabuhan Tenau
10
Grafik 1.18 Perkembangan Kredit Pertanian
10
Grafik 1.19 Perkembangan SKDU Pertanian
10
Grafik 1.20 Proyeksi SKDU Pertanian
11
Grafik 1.21 Realisasi Belanja Konsumsi Pemerintah
12
Grafik 1.22 Perkembangan Simpanan Pemerintah di Perbankan
12
Grafik 1.23 Perkembangan SKDU Sektor Perdagangan
13
Grafik 1.24 Perkembangan Kredit Sektor Perdagangan
13
Grafik 1.25 Proyeksi SKDU Perdagangan
13
Grafik 1.26 Perkembangan Tamu Hotel
14
Grafik 1.27 Perkembangan Penumpang Bandara
14
Grafik 1.28 Perkembangan NTB Perbankan
15
Grafik Boks 1.1. Nilai Konsumsi dan Produksi Gula di Indonesia beserta Pertumbuhannya
17
Grafik Boks 1.2. Negara Asal Impor Utama Gula ke Indonesia
17
viii
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
DAFTAR GRAFIK Grafik Boks 1.3. Pangsa Produksi Gula Nasional
19
Grafik Boks 1.4. Produksi Gula (ton) per ha Lahan
19
Grafik 2.1 Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
22
Grafik 2.2 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBN
23
Grafik 2.3 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBD Provinsi/Kab-Kota
23
Grafik 2.4 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Komponennya Triwulan-I 2017
24
Grafik 2.5 Perkembangan Realisasi Belanja Daerah
25
Grafik 2.6 Perkembangan Realisasi Belanja Modal
25
Grafik 2.7 Pertumbuhan Realisasi Belanja Modal
25
Grafik 2.8 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kab/Kota NTT
25
Grafik 2.9 Pangsa Realisasi Belanja Konsumsi APBN Pemerintah dan APBD
26
Grafik 2.10 Realisasi Belanja dan Komponennya Kabupaten/ Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
27
Grafik 2.11 Dana Pihak Ketiga Pemerintah di Perbankan NTT
28
Grafik Boks 2. 1. Perkembangan Pagu Belanja Modal Pemerintah di Provinsi NTT
29
Grafik Boks 2.2. Akumulasi Realisasi Belanja Modal Pemerintah di Provinsi NTT
29
Grafik 3.1 Inflasi Tahunan Provinsi NTT dan Nasional
34
Grafik 3.2 Perbandingan Inflasi 5 regional di Indonesia
36
Grafik 3.3 Perbandingan Inflasi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara
36
Grafik 3.4 Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan
37
Grafik 3.5 Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan per Sub Kelompok Komoditas
37
Grafik 3.6 Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan secara Triwulanan,
38
Tahunan dan Bulanan Grafik 3.7 Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan per Sub Kelompok
38
Komoditas Grafik 3.8 Inflasi Kelompok Komoditas Makanan Jadi,Minuman dan Tembakau secara Triwulanan, Tahunan
39
dan Bulanan Grafik 3.9 Inflasi Kelompok Komoditas Komoditas Makanan Jadi,Minuman Dan Tembakau per Sub
39
Kelompok Komoditas Grafik 3. 10. Inflasi Kelompok Komoditas Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar secara Triwulanan,
39
Tahunan dan Bulanan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
ix
DAFTAR GRAFIK Grafik 3.11. Inflasi Kelompok Komoditas Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar per Sub Kelompok
39
Komoditas Grafik 3.12 Disagregasi Inflasi dan Sumbangan Inflasi Tahunan Provinsi Nusa Tenggara Timur
40
Grafik 3.13 Ekspektasi Harga Konsumen 3 dan 6 Bulan ke Depan
42
Grafik 3.14. Disagregasi Inflasi Tahunan Kota Kupang
42
Grafik 3.15. Disagregasi Inflasi Tahunan Kota Maumere
44
Grafik Boks 3. 1. Pergerakan Inflasi NTT dalam 8 tahun Terakhir
46
Grafik Boks 3.2. Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Jelang Hari Raya Idul Fitri
46
Grafik Boks 4. 1. Korelasi Pergerakan Inflasi antar Kawasan dengan Inflasi Indonesia
48
Grafik 4.1 Kontribusi Konsumsi RT terhadap Agregat
53
Grafik 4.2 IKK, IKE dan IEK
53
Grafik 4.3 Indeks Pengeluaran Membeli Barang Tahan Lama
53
Grafik 4.4 Pangsa DPK Rumah Tangga dan Non Rumah Tangga
53
Grafik 4.5 Pertumbuhan DPK
53
Grafik 4.6 Preferensi DPK Rumah Tangga
54
Grafik 4.7 Pertumbuhan DPK Rumah Tangga
54
Grafik 4.8 Kredit Rumah Tangga
55
Grafik 4.9 Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
55
Grafik 4.10 Perkembangan Dunia Usaha
56
Grafik 4.11 Kondisi Keuangan
56
Grafik 4.12 Pertumbuhan Kredit UMKM
56
Grafik 4.13 NPL UMKM
56
Grafik 4.14 Pertumbuhan Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha
57
Grafik 4.15 Pertumbuhan Kredit UMKM 7 Sektor Ekonomi
57
Grafik 4.16 NPL UMKM Berdasarkan Jenis Usaha
57
Grafik 4.17 NPL UMKM 3 Sektor
57
Grafik 4.18 Pertumbuhan Tahunan Kredit Korporasi
58
Grafik 4.19 NPL Kredit Sektor Korporasi
58
Grafik 4.20 NPL Kredit 4 Sektor Korporasi
59
Grafik 4.21 Pertumbuhan DPK (yoy) dan Kredit (yoy)
60
x
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
DAFTAR GRAFIK Grafik 4.22 Perkembangan LDR
60
Grafik 4.23 BOPO dan ROA Bank Umum
60
Grafik 4.24 LDR dan CAR BPR
61
Grafik 4.25 BOPO, ROA, NPL BPR
61
Grafik 5.1 Perkembangan Inflow/Outflow di Povinsi NTT
64
Grafik 5.2 Perkembangan Transaksi Tunai
64
Grafik 5.3 Perkembangan Transaksi Kliring
64
Grafik 5.4 Share Setoran Bank Triwulan I 2017
65
Grafik 5.5 Share Bayaran Bank Triwulan I 2017
65
Grafik 5.6 Perkembangan UTLE di Provinsi NTT
66
Grafik 5.7 Perkembangan UPAL di Provinsi NTT
66
Grafik 5.8 Pertumbuhan Jumlah Agen LKD
67
Grafik 6.1. Perkembangan Tenaga Kerja di NTT
71
Grafik 6.2. Perkembangan Status Pekerja
71
Grafik 6.3. Struktur Tenaga Kerja di NTT Bulan Februari 2017
71
Grafik 6.4. Perkembangan Tenaga Kerja menurut Lapangan Usaha
71
Grafik 6.5. Perkembangan Status Pekerjaan Masyarakat
72
Grafik 6.6. Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Industri Manufaktur Sedang dan Besar
73
Grafik 6.7. Perkembangan Produktivitas Industri Manufaktur Besar dan Sedang
73
Grafik 6.8. Perkembangan Indeks Tenaga Kerja SKDU
73
Grafik 6.9. Perkembangan Nilai Tukar Petani
74
Grafik 6.10. Nilai Tukar Petani Per Sektor
74
Grafik 6.11. Perkembangan Survei Konsumen-BI dan Indeks Tendensi Konsumen-BPS
74
Grafik 7.1 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan-III 2017
76
Grafik 7.2 Survei Konsumen
77
Grafik 7.3. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017
78
Grafik 7.4 Prediksi Inflasi Tw III 2017 dan 2017
79
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
xi
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Pengeluaran Triwulan I 2017
3
Tabel 1.2 PDRB Komponen Konsumsi Rumah Tangga Provinsi NTT Triwulan I 2017
4
Tabel 1.3. PDRB Komponen Konsumsi Pemerintah Provinsi NTT Triwulan I 2017
6
Tabel 1.4. PDRB Komponen PMTB/Investasi Provinsi NTT Triwulan I 2017
6
Tabel 1.5. Lokasi dan Sektor Utama Investasi di NTT s.d. April 2017
7
Tabel 1.6. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Sektor Ekonomi Triwulan I 2017
9
Tabel 2.1. Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten /Kota di Provinsi NTT
25
Tabel 2.2. Komposisi DPK Pemerintah di NTT
28
Tabel 2.3. Ringkasan Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di
28
Provinsi NTT Tabel 3.1. 10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Tahunan di Provinsi NTT
34
Tabel 3.2. Komoditas Penyumbang Inflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT
35
Tabel 3.3. Komoditas Penyumbang Deflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT
36
Tabel 3.4. Inflasi di Provinsi NTT berdasarkan Kelompok Komoditas
37
Tabel 3.5. Komoditas Volatile Food Penyumbang Utama Inflasi
40
Tabel 3.6. Komoditas Administered Prices Penyumbang Utama Inflasi
41
Tabel 3.7. Komoditas Core Penyumbang Utama Inflasi
41
Tabel 3.8. Inflasi di Kota Kupang berdasarkan Kelompok Komoditas
43
Tabel 3.9. Inflasi di Kota Maumere berdasarkan Kelompok Komoditas
44
Tabel Boks 3.1. Pola Inflasi Hari Raya Idul Fitri di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Prospek Pengaruh Inflasi
47
di tahun 2017 Tabel Boks 4.1. Peta Korelasi Inflasi di Indonesia
48
Tabel Boks 4.2. Tingkat Korelasi Inflasi Antar Kawasan Berdasarkan Komoditas Utama Penyumbang Inflasi
49
Hari Raya Idul Fitri di NTT Tabel Boks 4.3. Perhitungan Tingkat Korelasi Inflasi Komoditas dengan Daerah Lain di Indonesia
50
Tabel 4.1 Komposisi Kredit Rumah Tangga di Provinsi NTT
55
Tabel 4.2 Perkembangan Indikator Utama Bank Umum di NTT
58
Tabel 5.1.Perkembangan Kegiatan KPw BI Provinsi NTT
66
xii
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
DAFTAR GAMBAR Gambar Boks 1.1. Sebaran Daerah Penghasil Tebu di Indonesia
18
Gambar Boks 1.2. Rantai Nilai Produk Tebu dan Turunannya
19
Gambar 2.1. Realisasi Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
27
Gambar Boks 2.1. Ringkasan Pembangunan Infrastruktur Utama di Nusa Tenggara Timur
30
Gambar 3.1. Peta Analisis Curah Hujan April 2017
44
Gambar 3.2. Peta Analisis Curah Hujan Mei 2017
44
Gambar 3.3. Peta Analisis Curah Hujan Juni 2017
44
Gambar 3.4 Kegiatan TPID Provinsi NTT Triwulan III 2016 dan Sebaran Pembentukan TPID
45
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
xiii
RINGKASAN UMUM EKONOMI MAKRO REGIONAL Pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur pada triwulan I 2017 mengalami perlambatan jika dibandingkan triwulan IV 2016, begitu pula apabila dibandingkan triwulan I 2016. Adanya peningkatan produksi sektor pertanian, kehutanan dan perikanan serta peningkatan kegiatan perdagangan besar dan eceran belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dikarenakan oleh menurunnya pengeluaran pada sektor jasa pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib. Dari sisi pengeluaran, perlambatan ekonomi terlihat dari pertumbuhan investasi yang tidak setinggi triwulan yang sama tahun sebelumnya dikarenakan perpanjangan proyek yang hanya 50 hari, lebih kecil dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 90 hari. Lebih rendahnya nilai proyek pemerintah diduga turut berkontribusi terhadap perlambatan yang terjadi. Nilai konsumsi yang tumbuh lebih rendah juga menahan pertumbuhan ekonomi yang terlihat dari peningkatan DPK rumah tangga. Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT triwulan I 2017 mencapai 4,98% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan IV 2016 yang sebesar 5,19% (yoy) begitu pula dibandingkan periode yang sama tahun 2016 yang tumbuh 5,07% (yoy). Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT tercatat berada di bawah nasional yang sebesar 5,01% (yoy). Pertumbuhan ekonomi triwulan II 2017 diperkirakan mengalami peningkatan yang didorong oleh pertumbuhan pada sektor perdagangan seiring tibanya momen bulan Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri serta mulai meningkatnya sektor konstruksi dan administrasi pemerintahan seiring berjalannya proyek-proyek pemerintah dan swasta.
KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH Berdasarkan data per 31 Maret 2017, realisasi pendapatan pemerintah di Provinsi NTT pada triwulan I-2017 tercatat Rp 5,99 triliun atau 23,38% dari total rencana pendapatan tahun 2017 sebesar Rp 25,67 triliun, meningkat apabila dibandingkan triwulan I 2016 yang sebesar 20,73%. Peningkatan lebih disebabkan oleh realisasi dana alokasi umum yang meningkat cukup besar pada beberapa kabupaten, sehingga meningkatkan realisasi pendapatan pemerintah secara total. Di sisi lain, realisasi belanja pemerintah mencapai Rp 3,13 triliun atau 8,91% dibandingkan pagu belanja tahun 2017 sebesar Rp 35,19 triliun, sedikit meningkat dibandingkan triwulan I 2016 yang sebesar 8,70%. Namun demikian secara nominal, realisasi belanja hanya meningkat 1,39%.
PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi Provinsi NTT pada triwulan I 2017 masih relatif terkendali. Adanya kenaikan inflasi di bulan Januari dan Februari dapat diredam oleh deflasi yang cukup besar di bulan Maret 2017. Kenaikan inflasi lebih disebabkan oleh kenaikan inflasi komoditas administered prices seiring dengan kenaikan tarif listrik untuk rumah tangga dengan daya 900VA, kenaikan biaya perpanjangan STNK ataupun kenaikan tarif cukai rokok. Adapun inflasi komoditas volatile food dan inflasi inti masih relatif terjaga. Inflasi pada triwulan II 2017 diperkirakan mengalami kenaikan yang cukup besar terutama disebabkan oleh adanya kenaikan listrik rumah tangga dengan daya 900VA yang ketiga serta adanya Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada bulan Juni 2017.
xiv
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
PERKEMBANGAN STABILITAS KEUANGAN Stabilitas sistem keuangan di provinsi NTT masih menunjukkan kinerja positif yang terindikasi dari adanya pertumbuhan kredit sektor rumah tangga dan UMKM pada triwulan-I 2017 yang masih positif meskipun melambat. Di sisi lain, adanya peningkatan rasio Non Performing Loan (NPL) pada kedua sektor tersebut perlu dijadikan perhatian walaupun masih berada di bawah ambang batas toleransi sebesar 5%. Berdasarkan pelaku ekonomi, Kredit sektor rumah tangga pada triwulan laporan tercatat tumbuh sebesar 6,51% (yoy) melambat dibandingkan triwulan IV-2016 yang sebesar 6,84%. Rasio NPL pada triwulan laporan tercatat sebesar 1,32%. Pertumbuhan kredit UMKM mencapai 14,86% (yoy) melambat dibandingkan triwulan IV-2016 yang sebesar 16,71% (yoy). Sementara itu, rasio NPL tercatat sebesar 3,58% (yoy). Kredit korporasi juga tumbuh tinggi hingga 44,27% (yoy). Namun rasio NPL yang masih cukup tinggi sebesar 6,18% perlu untuk menjadi perhatian perbankan. Kinerja industri perbankan di Provinsi NTT menunjukkan kinerja positif dengan pertumbuhan kredit mencapai 12,51% (yoy) sedang kinerja Dana Pihak Ketiga (DPK) masih tumbuh melambat sebesar 2,82% (yoy). Di sisi lain, pertumbuhan aset mengalami kontraksi -1,15% (yoy) yang terutama disebabkan strategi bank seperti peralihan aset antar kantor dan pengurangan penempatan pada bank lain.
PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN Perlambatan sistem pembayaran masih terus berlanjut semenjak melambat di triwulan III 2016. Indikator ekonomi menunjukkan adanya perlambatan yang lebih besar, terlihat dari indikator net setoran yang mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Penggunaan fasilitas Non Tunai (SKNBI) di NTT pada Triwulan I 2017 juga mengalami penurunan seiring dengan menurunnya transaksi SKNBI secara Nasional. Terjadi pengungkapan kasus uang palsu yang cukup besar di Kabupaten Kupang pada triwulan I 2017.
KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN Perkembangan sektor kesejahteraan dan ketenagakerjaan menunjukkan peningkatan di awal tahun 2017. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulan Februari 2017 tercatat turun menjadi 3,21% atau sebanyak 80,25 ribu jiwa dibandingkan Februari 2016 yang sebesar 3,59% atau 87,70 ribu jiwa. Secara sektoral, peningkatan terbesar terjadi pada sektor pertanian seiring masa panen yang lebih panjang di awal tahun 2017.
PROSPEK PEREKONOMIAN Ke depan, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh pada rentang 5,0-5,4% (yoy). Sementara perkembangan pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT sepanjang tahun 2017 diperkirakan masih berada pada rentang proyeksi sebelumnya sebesar 5,1%-5,5% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan pertumbuhan tahun 2016 sebesar 5,18% (yoy). Adapun inflasi pada triwulan III 2017 diperkirakan berada pada rentang 5,0-5,4% (yoy) dan pada akhir tahun 2017 berkisar 4,4-4,8% (yoy) atau lebih tinggi daripada 2016 yang sebesar 2,48% (yoy). Pertumbuhan ekonomi triwulan III 2017 diperkirakan didorong oleh peningkatan investasi dan realisasi anggaran belanja pemerintah yang mendorong pertumbuhan sektor konstruksi serta administrasi pemerintahan. Sementara itu, tekanan inflasi pada triwulan III 2017 diperkirakan sedikit mereda seiring penurunan konsumsi masyarakat pasca libur sekolah dan perayaan Hari Raya Idul Fitri
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
xv
Tabel Indikator Ekonomi Terpilih Provinsi Nusa Tenggara Timur I. EKONOMI MAKRO REGIONAL INDIKATOR
2015
2016
Produk Domestik Regional Bruto (Harga Berlaku)
76.190,9
84.172,6
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
22.765,5
24.315,8
1.073,5
2016 %YOY,
2016
2017
I
IV
I
%QTQ,,
%YOY,,,
5,18
19.604,4
22.096,6
21.040,9
-5,08
4,98
2,23
5.781,9
6.094,6
6.211,0
1,29
5,50
1.166,8
5,66
268,5
309,4
280,8
-8,81
3,45
940,9
1.034,3
4,98
239,1
279,2
262,3
-6,67
5,90
43,6
59,4
14,61
14,0
16,0
15,1
-11,53
-1,89
Berdasarkan Sektor/ Lapangan Usaha (Harga Berlaku)
Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas
47,2
49,0
0,38
11,4
12,8
11,9
-7,60
1,78
Konstruksi
7.908,2
9.095,3
8,46
2.041,2
2.465,0
2.181,6
-12,26
5,09
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
8.272,3
9.321,8
6,77
2.114,8
2.487,9
2.356,7
-6,65
7,34
Transportasi dan Pergudangan
3.986,6
4.528,3
6,73
1.046,5
1.210,7
1.117,3
-6,16
4,61
487,1
586,1
14,46
128,0
159,8
140,1
-12,76
7,38
Informasi dan Komunikasi
5.477,4
5.878,5
6,76
1.383,6
1.569,3
1.491,2
-5,76
6,72
Jasa Keuangan dan Asuransi
2.995,5
3.362,9
8,47
781,7
899,0
870,4
-4,13
6,90
Real Estate
2.054,3
2.209,5
3,41
526,1
577,5
551,5
-5,17
5,06
235,5
257,2
2,83
59,8
69,5
65,1
-7,15
3,98
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
9.375,0
10.665,0
5,63
2.471,1
2.827,9
2.508,9
-9,92
-0,57
Jasa Pendidikan
7.303,2
8.103,3
4,18
1.900,8
2.182,0
2.068,2
-3,98
5,71
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
1.585,5
1.768,0
6,19
414,0
473,6
449,4
-4,85
5,45
Jasa lainnya
1.639,5
1.771,4
3,55
421,8
462,3
459,4
-1,69
5,43
Produk Domestik Regional Bruto (Harga Berlaku)
76.190,9
84.172,6
5,18
19.604,4
22.096,6
21.040,9
-5,08
4,98
1. Konsumsi Rumah Tangga
57.361,6
64.246,5
6,80
15.069,2
17.390,2
16.355,1
-5,51
5,85
2.539,4
2.636,9
0,41
583,5
744,9
655,7
-13,47
9,31
3. Konsumsi Pemerintah
21.765,7
18.357,2
-18,26
2.971,5
4.883,1
3.285,5
-33,40
5,72
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto
30.996,1
35.725,0
5,06
7.732,5
10.143,2
8.508,4
-15,42
5,89
967,6
458,3
-55,80
23,5
166,7
101,6
-39,11
322,07
1.592,0
1.287,6
-20,81
297,8
315,3
380,2
8,57
25,03
261,5
274,8
5,91
55,2
51,9
208,2
318,06
284,38
-38.770,0
-38.264,0
-7,04
-7.018,3
-11.494,9
-8.037,5
-27,59
7,78
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
Jasa Perusahaan
Berdasarkan Permintaan / Penggunaan (Harga Berlaku)
2. Konsumsi Lembaga Non Profit (LNPRT)
5. Perubahan Inventori 6. Ekspor Luar Negeri 7. Impor Luar Negeri 8. Net Ekspor Antar Daerah (Impor) Data Ekspor Impor di Provinsi NTT Ekspor Nilai Ekspor Nonmigas (ribu USD)
24.018
45.099
87,77
5.886
25.566
16.198
-36,64
175,21
Volume Ekspor Nonmigas (ton)
83.016
113.307
36,49
21.759
33.475
26.137
-21,92
20,12
Nilai Impor Nonmigas (ribu USD)
5.352
12.435
132,36
8.289
277
769
177,20
-90,73
Volume Impor Nonmigas (ton)
3.042
22.615
643,50
20.199
474
18
-96,30
-99,91
Impor
Ket:*) dalam Miliar Rupiah (ADHB) **) Pertumbuhan Q4 2016 dibandingkan Q3 2016 ***) Pertumbuhan Q4 2016 dibandingkan Q4 2015 ****) Untuk mengukur pertumbuhan digunakan PDRB harga konstan
II, INFLASI Indikator
2015
2016
2017
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
APR
NTT
118,59
120.07
120,78
125,02
124,56
126.10
124.48
128.12
128,24
128,54
- Kota Kupang
119,47
121.09
121,54
126,15
125,64
127.42
125.41
129.07
129,19
129,57
- Maumere
112,81
113.42
115,77
117,60
117,50
117.47
118.41
121.86
122,01
121,80
NTT
5,39
6.01
6,74
4,92
5,04
5.02
3.07
2.48
2,95
3,15
- Kota Kupang
5,81
6.57
7,08
5,07
5,16
5.23
3.18
2.31
2,83
3,04
- Maumere
2,55
2.24
4,44
3,89
4,16
3.57
2.28
3.62
3,84
3,96
Indeks Harga Konsumen
Laju Inflasi Tahunan (yoy %)
xvi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
III. PERBANKAN INDIKATOR
2015
2015
2016
2016
II
III
IV
2017
II
III
IV
A. Bank Umum Konvensional dan Syariah (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain) 1. Total Aset
28.602
29.757
29.877
32.778
32.750
28.602
30.931
32.321
30.327
29.757
30.575
2. DPK
21.478
21.466
19.648
21.581
22.341
21.478
21.945
23.829
22.405
21.466
22.565
4.372
3.722
5.412
6.290
6.537
4.372
5.604
6.429
5.059
3.722
5.330
11.933
12.819
9.046
9.106
9.644
11.933
10.449
11.150
11.063
12.819
11.311
- Giro - Tabungan
5.173
4.924
5.190
6.186
6.159
5.173
5.893
6.250
6.283
4.924
5.924
20.284
22.837
17.843
18.908
19.742
20.284
20.525
21.731
22.383
22.837
24.425
- Investasi
6.110
7.121
5.260
5.698
6.072
6.110
6.127
6.693
7.050
7.121
7.463
- Modal Kerja
1.650
1.659
1.533
1.641
1.570
1.650
1.567
1.696
1.661
1.659
2.015
12.524
14.057
11.049
11.569
12.100
12.524
12.830
13.342
13.672
14.057
14.947
- Deposito 3. Kredit Berdasarkan Lokasi Proyek
- Konsumsi
19.492
21.913
17.226
18.198
18.897
19.492
19.556
20.845
21.508
21.913
22.153
- Investasi
5.922
6.813
5.218
5.626
5.848
5.922
5.748
6.409
6.764
6.813
6.694
- Modal Kerja
1.381
1.474
1.318
1.359
1.338
1.381
1.317
1.442
1.472
1.474
1.531
12.189
13.627
10.690
11.212
11.710
12.189
12.491
12.995
13.272
13.627
13.929
90.8%
102.1%
87.7%
84.3%
84.6%
90.8%
89.1%
87.5%
96.0%
102.1%
98.2%
6.301
7.358
5.422
5.814
6.180
6.301
6.395
6.933
7.308
7.358
7.352
4. Kredit Berdasarkan Lokasi Kantor Cabang
- Konsumsi LDR (%) Kredit UMKM
B. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain). Total Aset
510
620
437
454
482
510
535
545
572
620
624
Dana Pihak Ketiga
381
469
311
331
353
381
403
412
434
469
467
Kredit Berdasarkan Lokasi Kantor Cabang
366
449
330
349
354
366
368
389
421
449
461
76.7%
75.2%
80.5%
82.4%
80.5%
76.70%
77.6%
79.8%
77.9%
75.2%
77.6%
1. Total Aset
29.112
30.377
30.314
33.233
33.232
29.112
31.466
32.866
30.900
30.377
31.199
2. Dana Pihak Ketiga
21.859
21.935
19.959
21.912
22.694
21.859
22.348
24.241
22.839
21.935
23.032
3. Pembiayaan berdasarkan Lokasi Kantor Cabang
19.858
22.362
17.556
18.546
19.250
19.858
19.924
21.235
21.929
22.362
22.615
1. Total Aset (%)
1.8%
2.0%
1.4%
1.4%
1.4%
1.8%
1.7%
1.7%
1.9%
2.0%
2.0%
2. Dana Pihak Ketiga (%)
1.7%
2.1%
1.6%
1.5%
1.6%
1.7%
1.8%
1.7%
1.9%
2.1%
2.0%
3. Pembiayaan berdasarkan Lokasi Kantor Cabang (%)
1.8%
2.0%
1.9%
1.9%
1.8%
1.8%
1.8%
1.8%
1.9%
2.0%
2.0%
II
III
IV
I
II
III
IV
I 2.1
LDR (%) C. Grand Total (A+B)
D. Pangsa BPR Terhadap Grand Total
IV. SISTEM PEMBAYARAN INDIKATOR
2015
2016
2017
2015
2016
Inflow (Rp. Triliun)
3.7
4.2
1.8
0.5
0.8
0.5
1.8
0.7
0.9
0.7
Outflow (Rp. Triliun)
5.6
5.6
0.4
0.9
1.7
2.6
0.3
1.7
1.3
2.3
0.4
Uang Palsu (lembar)
1.098
178
27
966
52
53
25
89
38
26
403
Transaksi Non Tunai BI-RTGS To NTT Nominal Transaksi BI-RTGS (Rp. Triliun)
135.76
15
34.61
43.75
41.55
15.84
8.69
6.76
0.00
0.00
0.00
Volume Transaksi BI-RTGS (lembar warkat)
21.758
658
5.984
6.086
5.877
3.811
323
335
0.00
0.00
0.00
Kliring Nominal Kliring Penyerahan (Rp. Triliun) Volume Perputaran Kliring Penyerahan (lembar warkat) Cek/BG Kosong
6.32
12.66
0.99
0.93
1.38
3.01
3.11
3.36
2.81
3.38
2.43
201.975
302.914
39.971
40.708
48.453
72.843
67.315
75.723
73.560
86.316
67.677
1.203
1.020
300
254
342
307
229
247
244
300
189
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
xvii
01
Ekonomi Makro Regional
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur pada triwulan I 2017 mengalami perlambatan jika dibandingkan triwulan IV 2016, begitu pula apabila dibandingkan triwulan I 2016. Pertumbuhan Investasi dan konsumsi yang tidak setinggi triwulan yang sama tahun sebelumnya diduga menjadi penyebab melambatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Perpanjangan pekerjaan proyek hingga 50 hari masih menjadi penyebab utama peningkatan investasi, namun kenaikannya tidak sebesar tahun sebelumnya seiring dengan perpanjangan proyek hingga 90 hari kerja. Relatif lebih rendahnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga lebih disebabkan oleh aktivitas menahan diri dalam melakukan konsumsi yang terlihat dari adanya peningkatan tabungan rumah tangga. Dari sisi sektoral, pertumbuhan ekonomi terutama berasal dari sektor 1) pertanian, kehutanan dan perikanan serta 2) perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor. Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT triwulan I 2017 mencapai 4,98% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan IV 2016 yang sebesar 5,19% (yoy) begitu pula dibandingkan periode yang sama tahun 2016 yang tumbuh 5,07% (yoy). Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT tercatat berada di bawah nasional yang sebesar 5,01% (yoy). Pertumbuhan ekonomi triwulan II 2017 diperkirakan mengalami peningkatan yang didorong oleh pertumbuhan pada sektor perdagangan seiring tibanya momen bulan Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri serta mulai meningkatnya sektor konstruksi dan administrasi pemerintahan seiring berjalannya proyek-proyek pemerintah dan swasta.
1.1 Kondisi Umum Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Nusa Tenggara Timur pada triwulan-I 2017 tercatat sebesar Rp 21,04 triliun (ADHB) dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,98% (yoy). Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan-I 2017 mengalami perlambatan apabila dibandingkan triwulan-IV 2016 yang sebesar 5,19%, begitu pula jika dibandingkan triwulan I 2016 yang sebesar 5,07% (yoy). Perlambatan ekonomi dibandingkan periode yang sama tahun lalu lebih disebabkan oleh aktivitas konsumsi dan investasi yang tidak seaktif tahun sebelumnya, yang terlihat dari pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)/Investasi sebesar 5,89% (yoy) lebih rendah dari pertumbuhan triwulan I 2016 yang sebesar 10,65% (yoy) ataupun konsumsi rumah tangga yang tumbuh sebesar 5,85% (yoy) di triwulan I 2017, tidak lebih besar dari pertumbuhan triwulan I 2016 yang sebesar 6,06% (yoy). Dari sisi sektoral pertumbuhan terutama didorong oleh sektor pertanian, kehutanan dan perikanan yang tumbuh sebesar 5,50% (yoy) serta perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor yang tumbuh 7,34% (yoy). Pertumbuhan pada sektor pertanian, kehutanan dan perikanan di antaranya disebabkan oleh panen raya komoditas padi pada awal tahun 2017 di daerah produsen utama Provinsi NTT yakni Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, Sumba Barat dan Sumba Timur yang terbantu salah satunya oleh meningkatnya pasokan air sebagai dampak adanya La Nina Barat. Pengiriman ternak juga mulai menunjukkan adanya peningkatan walaupun sempat terhenti hingga bulan Februari 2017 karena belum keluarnya ijin operasional kapal. Sementara itu, pertumbuhan pada sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor dibandingkan periode yang sama tahun lalu meningkat terutama disebabkan oleh adanya momen Tahun Baru Imlek, Hari Raya Paskah dan Pilkada sehingga mendorong konsumsi masyarakat. Secara spasial, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT triwulan I-2017 sebesar 4,98% (yoy) tercatat lebih rendah dibandingkan nasional dan Provinsi Bali. Pertumbuhan nasional mencapai 5,01% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan I 2016 dan triwulan IV 2016 yang sebesar 4,92% (yoy) dan 4,94% (yoy) seiring perbaikan harga komoditas utama non migas Indonesia, terutama pertanian seperti beras, kedelai dan ikan serta komoditas tambang seperti bijih besi, alumunium dan tembaga, yang didukung pula penguatan pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang Indonesia seperti Tiongkok, Amerika Serikat dan Singapura. Sementara pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali tercatat sebesar 5,75% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 yang sebesar 5,47% (yoy), didorong terutama oleh pariwisata yang tercermin dari peningkatan pertumbuhan sektor penyediaan akomodasi dan makan minum dari 6,31% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 7,78% (yoy) pada triwulan I 2017. Kunjungan liburan Kerajaan Arab Saudi, hari libur Imlek serta hari besar keagamaan seperti Nyepi, Galungan dan Paskah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Bali di triwulan I 2017 dari sektor penyediaan akomodasi dan makan minum. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTB mengalami kontraksi ekonomi sebesar -4,18% (yoy) terutama disebabkan oleh penurunan ekspor hasil tambang hingga 38,19% (yoy). GRAFIK 1.1. PDRB (ADHB) DAN PERTUMBUHAN PDRB PROVINSI NTT DIBANDING NASIONAL (%YOY)
GRAFIK 1.2. PDRB DAN PERTUMBUHAN PDRB NTT, BALI, NTB DAN NASIONAL (% YOY)
22 TRILIUN RP
6.5
20
6
18
5.5
PDRB ADHB (TRILIUN)
5,01 20.37 NTT
26.13 NTB
46.23 BALI
2.945 NAS
4,98
16
5
14
-0,34
-1,34
I
II III 2013
IV
I
II III 2014
IV
I
II III 2015
IV
I
II III 2016
22,10
10
21,04
5,01
12
IV
I 2017
4.5 -4,18
-5,08
4
-6,26 NAS
NTT
NTB QTQ
PDRB NTT (TRILIUN RP)
NTT (%YOY)
NASIONAL (%YOY)
Sumber:BPS (diolah)
2
5,75
4,98
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
Sumber : BPS (diolah)
BALI
NAS
NTT
NTB YOY
BALI
Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan II 2017 diperkirakan akan meningkat dengan kisaran 5-5,4% (yoy). Pertumbuhan diperkirakan didorong terutama oleh sektor konstruksi seiring berjalannya proyek-proyek pembangunan pemerintah yang telah selesai dilakukan penandatanganan paket proyek pada Mei 2017, sektor informasi dan komunikasi seiring penambahan 600 BTS 4G di Provinsi NTT oleh Telkomsel dan momen libur Hari Raya Idul Fitri serta sektor jasa pendidikan, sejalan peningkatan aktivitas kursus, pelatihan kerja dan pengembangan balai pelatihan kerja.
1.2 PERKEMBANGAN EKONOMI SISI PENGGUNAAN Konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi NTT yang tumbuh sebesar 5,85% (yoy), diikuti oleh pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto (PMTB)/investasi tercatat mencapai 5,89% (yoy). Sektor lain yang mengalami pertumbuhan cukup besar yaitu konsumsi lembaga non privat yang lebih disebabkan oleh adanya pilkada serentak di 3 kabupaten/kota. Dibandingkan triwulan IV yang tumbuh sebesar 4,42% (yoy), pertumbuhan PMTB/investasi pada triwulan I 2017 tersebut cukup meningkat, meskipun melambat apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2016 yang tumbuh sebesar 10,65% (yoy). Peningkatan terutama didorong oleh dispensasi penyelesaian proyek tahun 2016 yang terlambat selama 50 hari seperti pembangunan jalan dan jembatan, serta investasi swasta berupa perumahan yang tersebar di empat kabupaten/kota (Kab. Manggarai Barat, Kota Kupang, Kab. Timor Tengah Selatan dan Kab. Kupang), hotel bintang di tiga kabupaten/kota seperti Kab. Kupang, Kota Kupang dan Kab. Manggarai Barat serta perkebunan tebu di Kab. Sumba Timur. Namun demikian pertumbuhan investasi tidak setinggi periode yang sama tahun 2016 lebih disebabkan oleh periode perpanjangan proyek yang tidak selama tahun sebelumnya yang mencapai 90 hari kerja, juga disebabkan oleh adanya perubahan numenklatur dan pergantian pejabat yang cukup menghambat realisasi anggaran. Dari sisi konsumsi rumah tangga, meskipun masih menjadi penopang utama perekonomian Provinsi NTT dari sisi penggunaan dan tumbuh sebesar 5,85% (yoy), namun demikian terjadi perlambatan dibandingkan triwulan IV 2016 dan triwulan I 2016 yang tumbuh masing-masing sebesar 7,27% (yoy) dan 6,06% (yoy). Hal ini sejalan dengan penurunan indeks tendensi konsumen pada triwulan I 2017 menjadi 97,03 dari sebelumnya triwulan IV 2016 dan triwulan I 2016 masing-masing sebesar 109,62 dan 98,15, yang mengindikasikan penurunan ekonomi konsumen yang di antaranya disebabkan menurunnya pendapatan rumah tangga dan pengaruh inflasi terhadap total pengeluaran rumah tangga, selain juga pengaruh faktor siklikal/musiman. Sementara dari sisi lain, net impor antar daerah yang masih tumbuh cukup tinggi 7,78% (yoy) tetap menjadi salah satu penghambat utama dalam mendorong perekonomian Provinsi NTT untuk tumbuh lebih tinggi. Tabel 1.1. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Pengeluaran Triwulan I 2017 2016
TOTAL
URAIAN
17,390,210
16,355,133
77.73
-5.51
5.85
583,485
744,944
655,700
3.12
-13.47
9.31
22,518,264
2,971,465
7,359,416
3,285,516
15.61
-33.40
5.72
30,996,063
35,724,984
7,732,454
10,143,179
8,508,420
40.44
-15.42
5.89
967,562
458,340
23,514
166,701
101,620
0.48
-39.11
322.07
1,592,015
1,287,553
297,752
315,296
380,179
1.81
8.57
25.03
261,549
274,813
55,159
51,931
208,166
0.99
318.06
284.38
(38,769,998)
(42,425,100)
(7,018,272)
(13,971,251)
(8,037,464)
-38.20
-27.59
7.78
76,190,854
84,172,637
19,604,391
22,096,563
21,040,939
100.00
-5.08
4.98
64,246,464
2,539,408
2,636,946
PENGELUARAN KONSUMSI PEMERINTAH
21,765,744
PEMBENTUKAN MODAL TETAP BRUTO
PENGELUARAN KONSUMSI LNPRT
PERUBAHAN INVENTORI EKSPOR LUAR NEGERI IMPOR LUAR NEGERI NET EKSPOR ANTAR DAERAH PDRB
I yoy
qtq
15,069,152
57,361,610
PENGELUARAN KONSUMSI RUMAH TANGGA
Bobot
I
2016
I
2017 IV
2015
Sumber: BPS Provinsi NTT (diolah)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
3
1.2.1 Konsumsi Pengeluaran konsumsi pada triwulan I 2017 tercatat tumbuh sebesar 5,94% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 yang terkontraksi sebesar -6,04% (yoy). Peningkatan konsumsi terutama didorong oleh adanya pilkada di 3 kabupaten kota yang terlihat dari pertumbuhan konsumsi lembaga non privat hingga 9,31% (yoy) dan juga konsumsi rumah tangga yang masih cukup kuat walaupun tidak sebesar periode sebelumnya. Kecenderungan menahan konsumsi terlihat dari pertumbuhan DPK rumah tangga sebesar 7,13% (yoy) yang lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2016 yang sebesar 6,79% (yoy). Tabel 1.2. PDRB Komponen Konsumsi Rumah Tangga Provinsi NTT Triwulan I 2017 YOY
URAIAN KONS MAKANAN DAN MINUMAN
2016
2015
2016
I
2017 IV
I
Bobot
I yoy
24,081,155
27,349,820
6,718,367
7,476,732
6,984,429
42.7
4.76
KONS PAKAIAN & ALAS KAKI
2,775,990
3,104,885
833,572
889,303
783,801
4.8
13.25
KONS PERUMAHAN & PERL RT
10,073,481
10,341,297
2,744,537
2,895,669
2,706,236
16.5
9.42
4,053,827
4,905,624
1,293,448
1,325,072
1,670,970
10.2
42.81 -6.36
KESEHATAN & PENDIDIKAN TRANSPORTASI & KOMUNIKASI
12,928,430
13,351,581
3,138,881
3,350,726
2,948,945
18.0
RESTORAN & HOTEL
2,038,602
3,894,964
994,088
1,099,524
951,947
5.8
6.30
KONSUMSI LAINNYA
1,410,124
1,298,292
350,160
353,184
308,805
1.9
-1.00
57,361,610
64,246,464
16,073,052
17,390,210
16,355,133
100.0
5.85
KONSUMSI Sumber: BPS (diolah)
Terdapat perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga menjadi 5,85% (yoy) pada triwulan I 2017 dari sebelumnya triwulan IV 2016 sebesar 7,27% (yoy). Berdasarkan komponen pembentuknya terlihat bahwa perlambatan pertumbuhan konsumsi lebih disebabkan oleh tingginya pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan dan pendidikan, konsumsi perumahan dan konsumsi pakaian dan alas kaki yang membuat rumah tangga harus menahan pengeluaran lainnya seperti penurunan konsumsi transportasi dan melambatnya pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman. Pengeluaran pendidikan dan kesehatan mampu tumbuh hingga 42,81% (yoy) terutama di triwulan I 2017, Begitu pula halnya dengan pengeluaran untuk konsumsi perumahan dan peralatan rumah tangga yang tumbuh hingga 9,42% (yoy). Tingginya konsumsi pada komoditas tersebut di atas membuat rumah tangga mengurangi konsumsi pada komoditas lainnya seperti transportasi dan komunikasi yang terkontraksi menjadi -6,36% (yoy) dari sebelumnya triwulan IV 2016 sebesar 4,89% (yoy) ataupun konsumsi makanan dan minuman yang tumbuh melambat sebesar 4,76% (yoy) dibanding konsumsi triwulan sebelumnya yang sebesar 7,27% (yoy) atau triwulan yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 4,87% (yoy). Adanya kecenderungan perlambatan konsumsi makanan di triwulan I lebih disebabkan oleh perilaku menahan konsumsi setelah konsumsi cukup besar pada saat perayaan hari raya Natal dan tahun baru. Pertumbuhan konsumsi restoran dan hotel yang melambat lebih disebabkan oleh kegiatan rapat/ even nasional yang tidak sebanyak tahun sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2017 juga terlihat dari pertumbuhan Survei Konsumen (SK) dan Survei Penjualan Eceran (SPE) Bank Indonesia. SK menunjukkan penurunan pada sisi Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE). Selain itu, SPE juga menunjukkan penurunan pertumbuhan omzet menjadi 11,15% (yoy) dari sebelumnya triwulan IV 2016 27,13% (yoy). Perlambatan terutama berasal dari perdagangan bahan makanan, tembakau, BBM, semen dan bahan konstruksi logam. Penurunan penjualan barang dagangan tersebut juga mengindikasikan penurunan daya beli masyarakat yang sering terjadi setiap triwulan I.
4
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
GRAFIK 1.4. SURVEI PENJUALAN ECERAN
GRAFIK 1.3. SURVEI KONSUMEN
60,000
160 150
35% 30%
50,000
25%
140 40,000
130
20% 15%
30,000
120 110
10%
20,000
5%
100
0%
10,000
90 80
-5%
0 II
III 2013
IV
I
II III 2014
IV
II III 2015
I
INDEKS KEYAKINAN KONSUMEN (IKK)
IV
I
II III 2016
IV
-10% I
I 2017
II
III
IV
I
II
2014
INDEKS KONDISI EKONOMI SAAT INI (IKE)
III
IV
I
II
2015
III
IV
2016
SURVEI PENJUALAN ECERAN (RP JUTA)
I 2017
PERTUMBUHAN (%YOY)
INDEKS EKSPEKTASI KONSUMEN (IEK) Sumber : Bank Indonesia
Sumber : Bank Indonesia
Pola siklikal penurunan secara triwulanan juga terlihat dari angka Indeks Tendensi Konsumen (ITK) yang menurun. Pendapatan rumah tangga yang menurun menjelaskan penurunan ITK tersebut. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah ITK pada triwulan I 2017 tercatat lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2016, yakni 97,03 dibandingkan 98,15 pada triwulan I 2016. Hal ini menunjukkan adanya penurunan ekonomi selain dari faktor siklikal/musiman, di antaranya pengaruh dari inflasi yang disumbang terutama oleh administered prices di awal tahun, seperti kenaikan biaya STNK dan BPKB, pengurangan subsidi listrik 900 MW, naiknya cukai rokok serta cenderung lesunya ekonomi daerah di awal tahun. Masih lesunya ekonomi daerah di awal tahun terkonfirmasi dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang menunjukkan penurunan kegiatan usaha di triwulan I 2017 bila dibandingkan triwulan I 2016 sementara harga jual meningkat. Perlambatan juga tercermin dari konsumsi listrik yang menurun secara triwulanan sebesar -7,35% (qtq) meskipun secara tahunan mengalami pertumbuhan sebesar 1,26% (yoy). Sementara itu, penyaluran kredit konsumsi pada triwulan I 2017 mencapai Rp 14,95 triliun atau tumbuh 6,33% (qtq), meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 yang sebesar 2,82% (qtq) dan secara tahunan sebesar 16,50% (yoy) kemungkinan besar untuk pendanaan kesehatan dan pendidikan serta perumahan dan perlengkapan rumah tangga. GRAFIK 1.5. INDEKS TENDENSI KONSUMEN
GRAFIK 1.6. INDEKS KEGIATAN DUNIA USAHA
115
60
110
50 40
105
30
100
20 95
10
90
0
85
-10 -20
80 I
II
III
IV
I
II
2014
III
IV
I
II
2015 ITK
PENDAPATAN RT
III
IV
2016
I 2017
I
II III 2013
IV
I
II III 2014
IV
KEGIATAN USAHA
PROYEKSI ITK
I
II III 2015
HARGA JUAL
IV
I
II III 2016
IV
TENAGA KERJA
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
Sumber:BPS (diolah)
GRAFIK 1.8. PERKEMBANGAN KONSUMSI LISTRIK RUMAH TANGGA
GRAFIK 1.7. PERKEMBANGAN KONSUMSI BBM 850
12%
800
10%
140000
30%
120000
25%
8% 6%
700 650
4%
80000
2%
60000
0%
600
100000
-2% -4%
20000
500
-6%
0
III
IV
2014
I
II
III 2015
PENJUALAN BBM HK-2016 (RP JUTA)
Sumber : PT Pertamina (Persero), diolah
IV
I
II
III 2016
IV
I 2017
10%
40000
550 II
20% 15%
5%
I
II III 2012
IV
I
II III 2013
IV
I
II III 2014
KONSUMSI (RIBU KWH)
PERTUMBUHAN (%-YOY)
IV
I
II III 2015
IV
I
II III 2016
IV
I 2017
750
I
I 2017
0%
GROWTH (YOY)
Sumber : PT PLN, diolah
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
5
Komponen Konsumsi Lembaga Non Profit yang
GRAFIK 1.9. PENYALURAN KREDIT KONSUMSI 16
17%
TRILIUN
14
16%
12
15% 14%
10
13%
8
12%
6
11%
4
10%
2
9%
0
Melayani Rumah Tangga (LNPRT) tumbuh 9,31% (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2016 yang terkontraksi -0,29% (yoy). Pertumbuhan terjadi seiring adanya Pilkada serentak di tiga daerah yaitu Kota Kupang, Kab. Lembata dan Kab. Flores Timur.
8% I
II
III
IV
I
2014
II
III
IV
I
2015 KONSUMSI
II
III
IV
2016
I 2017
KONSUMSI (YOY)
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Komponen Konsumsi Pemerintah pada triwulan I 2017 tumbuh sebesar 5,72% (yoy) namun melambat dibandingkan triwulan I 2016 yang sebesar 7,11% (yoy). Perlambatan konsumsi pemerintah tersebut lebih disebabkan oleh belum normalnya roda birokrasi karena dampak adanya perubahan numenklatur dan pergantian pejabat yang cukup sering, sehingga menghambat realisasi anggaran di awal tahun. Adanya anjuran untuk memangkas belanja tak langsung di semester 2 2016 juga langsung terlihat dari perlambatan realisasi anggaran belanja konsumsi pemerintah pada triwulan III 2016 hingga saat ini. Tabel 1.3. PDRB Komponen Konsumsi Pemerintah Provinsi NTT Triwulan I 2017 YOY
URAIAN
2016
2017
Bobot
I yoy
2015
2016
KONS KOLEKTIF PEMERINTAH
12,815,032
11,198,391
1,815,320
2,920,500
1,941,821
59.10
2.11
KONS INDIVIDU PEMERINTAH
8,950,713
7,158,788
1,156,145
1,962,560
1,343,695
40.90
10.41
21,765,744
18,357,179
2,971,465
4,883,060
3,285,516
100.0
5.72
KONSUMSI PEMERINTAH
I
IV
I
Sumber: BPS (diolah)
Di sisi lain, tracking pertumbuhan komponen konsumsi pada triwulan II 2017 diperkirakan masih cenderung stabil. Pertumbuhan diperkirakan terjadi pada seluruh komponen konsumsi seiring dorongan belanja pemerintah untuk pembayaran gaji ke-13 dan 14 serta belanja rumah tangga dalam rangka pemenuhan kebutuhan bulan Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Indikasi pertumbuhan juga terlihat dari Survei Konsumen Bank Indonesia pada bulan Maret yang menunjukkan peningkatan di seluruh indeks yakni Indeks Ekspektasi Konsumen, Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) serta berada di angka > 100 yang menunjukkan masih terjaganya optimisme masyarakat. Indikasi pertumbuhan positif juga terlihat pada proyeksi Survei Penjualan Eceran (SPE) Bank Indonesia bulan April yang menunjukkan peningkatan pada hampir semua kelompok barang. Indikator lain yang mencerminkan pertumbuhan adalah proyeksi Indeks Tendensi Konsumen-Badan Pusat Statistik yang menunjukkan adanya peningkatan proyeksi indeks dan pendapatan rumah tangga.
1.2.2 Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)/Investasi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)/investasi di Provinsi NTT pada triwulan I 2017 mengalami pertumbuhan sebesar 5,89% (yoy), atau meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 yang sebesar 4,42% (yoy). Peningkatan terutama disumbang oleh investasi berupa bangunan yang tumbuh sebesar 15,74% (yoy) sementara investasi non bangunan tumbuh negatif -32,88% (yoy). Tabel 1.4. PDRB Komponen PMTB/Investasi Provinsi NTT Triwulan I 2017 YOY
URAIAN PMTB BANGUNAN PMTB NON BANGUNAN PMTB Sumber: BPS (diolah)
6
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
2016
2017
Bobot
I yoy
2015
2016
24,089,547
28,518,052
5,959,887
8,393,027
7,102,013
83.47
15.74
6,906,516
7,206,932
1,772,567
1,750,152
1,406,407
16.53
-32.88
30,996,063
35,724,984
7,732,454
10,143,179
8,508,420
100.0
10.04
I
IV
I
Pertumbuhan terutama didorong oleh perpanjangan kegiatan proyek pemerintah yang belum selesai di tahun 2016 selama 50 hari di tahun 2017, seperti pembangunan jalan dan jembatan serta investasi swasta di antaranya pembangunan perumahan di empat kabupaten/kota yakni Kab. Manggarai Barat, Kota Kupang, Kab. Timor Tengah Selatan dan Kab. Kupang, yang mencapai Rp 364,05 miliar, investasi perkebunan tebu di Sumba Timur sebesar Rp 79,06 miliar dan pembangunan hotel bintang di tiga kabupaten/kota yakni Kab. Kupang, Kota Kupang dan Kab. Manggarai Barat senilai Rp 62,34 miliar. Selain itu juga terdapat proyek-proyek multiyears yang masih berjalan seperti pengembangan Pos Lintas Batas Negara Wini dan Motamasin, Bendungan Raknamo dan Rotiklot. Di sisi lain, meskipun investasi non bangunan mencatatkan pertumbuhan negatif, namun demikian masih terdapat realisasi investasi cukup besar seperti investasi angkutan udara untuk penumpang sebesar Rp 308 miliar berupa peningkatan daya tampung pesawat dan penumpang di bandara El Tari, ataupun peningkatan keamanan dan keselamatan bandara. Sementara itu, indikator konsumsi semen di Provinsi NTT menunjukkan adanya penurunan konsumsi pada triwulan I 2017 dibandingkan triwulan IV 2016. Hal ini menunjukkan kecenderungan penurunan konsumsi di awal tahun seiring dengan baru akan berjalannya proses tender dan penunjukkan pemenang. Adapun penurunan konsumsi bila dibandingkan dengan triwulan I 2016 lebih disebabkan oleh tenor perpanjangan penyelesaian pekerjaan fisik pemerintah yang lebih lambat (50 hari) bila dibandingkan tenor perpanjangan pengerjaan fisik tahun 2016 yang mencapai 90 hari kerja. Secara umum, pertumbuhan investasi pada triwulan I 2017 tidak setinggi periode yang sama tahun 2016 sebesar 10,65% (yoy). Tenor perpanjangan proyek yang lebih pendek menjadi penyebab utama perlambatan pertumbuhan investasi, selain disebabkan pula oleh adanya hambatan dalam realisasi proyek-proyek pemerintah sehubungan dengan perubahan numenklatur dan pergantian pejabat. GRAFIK 1.10. PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI PROVINSI NTT 2,500
GRAFIK 1.11. REALISASI KONSUMSI SEMEN PROVINSI NTT
RP MILIAR
2,101 2,000
1,444
1,500 1,000 500
932
819
501 232
253
445
50%
350 300
40%
250
30%
200
20%
150
10%
100
0% -10%
50
391
-20%
0
0 I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
2014 2015
2016
II
III
I
II
III
IV
2016
RIBU TON
2017
Sumber : BKPMD NTT, diolah
IV
2015
I 2017
YOY
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia, diolah
Tabel 1.5. Lokasi dan Sektor Utama Investasi di NTT s.d. April 2017 LOKASI INVESTASI JUMLAH REALISASI
INVESTASI SEKTORAL NOMINAL
JUMLAH REALISASI
NOMINAL
KAB. MANGGARAI BARAT (19)
KOTA KUPANG (RP 517,36 M)
REAL ESTATE (13)
REAL ESTATE (RP 364,05 M)
KAB. KUPANG (12)
KAB. MANGGARAI BARAT (RP 175,9 M)
PERKEBUNAN TEBU (2)
ANGKUTAN UDARA (RP 308 M)
KOTA KUPANG (11)
KAB. SUMBA TIMUR (RP 102,29 M)
HOTEL BINTANG (8)
PERKEBUNAN TEBU (RP 79,06 M)
KAB. SUMBA TIMUR (8)
KAB. KUPANG (RP 81,18 M)
INDUSTRI PENGOLAHAN (3)
HOTEL BINTANG (RP 62,34 M)
KAB. SUMBA BARAT DAYA (4)
KAB. SIKKA (RP 19,68 M)
ANGKUTAN UDARA (1)
INDUSTRI PENGOLAHAN (RP 37,43 M)
Sumber: BKPMD NTT, diolah
Berdasarkan tracking triwulan II 2017, pertumbuhan PMTB/investasi secara tahunan diperkirakan meningkat dibandingkan triwulan I 2017. Pertumbuhan kemungkinan didorong oleh selesainya penandatanganan paket proyek pemerintah untuk tahun 2017 pada bulan Mei sehingga dapat segera dilakukan pengerjaan pembangunan. Dampak perubahan numenklatur diperkirakan juga sudah mereda seiring dengan sudah selesainya permasalahan administrasi dan penyesuaian tugas pokok dan jabatan di satuan kerja. Pengerjaan pembangunan infrastruktur tetap akan menjadi kontributor utama terhadap investasi di Provinsi NTT triwulan II 2017 seperti pembangunan jalan dan jembatan, PLBN
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
7
Winni dan Motamasin serta Bendungan Napun Gete yang mulai proses pembangunan, ataupun investasi pada sektor informasi dan komunikasi terutama oleh Telkomsel terkait target penambahan 600 BTS 4G di Provinsi NTT tahun ini.
1.2.3 Ekspor – Impor 1.2.3.1 Ekspor-Impor Antar Daerah Provinsi NTT masih tercatat sebagai provinsi importir komoditas dari daerah lain, sebagaimana tercermin dari pertumbuhan net impor pada triwulan I 2017 yang mencapai 7,78% (yoy) dan aktivitas bongkar muat di pelabuhan yang masih sangat didominasi oleh aktivitas bongkar. Sementara secara triwulanan net impor mengalami penurunan -27,59% (qtq) yang lebih disebabkan oleh pengaruh siklikal (musiman) penurunan aktivitas ekonomi di awal tahun, sebagaimana juga terlihat dari pertumbuhan peti kemas yang turun -17,85% (qtq). Secara tahunan, terjadi perlambatan pertumbuhan net impor menjadi 7,78% (yoy) dibandingkan triwulan I 2016 yang sebesar 11,08% (yoy). Hal tersebut terkonfirmasi pula dari pertumbuhan peti kemas yang melambat menjadi 7,9% (yoy) dari triwulan I 2016 sebesar 32,5% (yoy) serta pertumbuhan net-unloading bongkar yang melambat menjadi 79,51% (yoy) dari triwulan I 2016 sebesar 97,81% (yoy). Perlambatan net impor secara tahunan sejalan dengan perlambatan konsumsi karena memang impor yang dilakukan dari daerah lain mayoritas ditujukan masih untuk kegiatan konsumsi. Keterbatasan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan rumah tangga masih menjadi penyebab utama ketergantungan Provinsi NTT terhadap daerah lain. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengundang investasi terkait peningkatan pangan dan kebutuhan rumah tangga. GRAFIK 1.12. PERKEMBANGAN PETI KEMAS 35,000
GRAFIK 1.13. AKTIVITAS BONGKAR MUAT 70%
TEUS
60%
30,000
50%
25,000
40%
20,000
30% 15,000
20%
10,000
10%
5,000
0%
0
-10% I
II III 2013
IV
I
II III 2014 TEUS
IV
I
II III 2015
IV
I
II III 2016
IV
I 2017
100,000 80,000 60,000 40,000 20,000
1800% 1600% 1400% 1200% 1000% 800% 600% 400% 200% 0% -200%
TON
0 -20,000 -40,000 -60,000 -80,000 -100,000 I
II III 2013
PERTUMBUHAN (% YOY)
Sumber : Pelindo III, diolah
IV
BONGKAR
I
II III 2014 MUAT
IV
NET
I
II III 2015
IV
I
II III 2016
IV
I 2017
NET UNLOADING (% YOY)
Sumber : Pelindo III, diolah
Pada triwulan II 2017 net impor diperkirakan akan meningkat. Peningkatan diperkirakan seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat pada saat Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Di samping itu, mulai masuknya musim kemarau disertai gelombang yang cukup tinggi bagi kapal nelayan akibat angin kencang dapat mengurangi pasokan produksi pangan Provinsi NTT sehingga turut meningkatkan kecenderungan mendatangkan barang dari daerah lain.
1.2.3.2 Ekspor-Impor Luar Negeri Aktivitas ekspor luar negeri NTT pada triwulan I 2017 mengalami peningkatan baik secara tahunan maupun triwulanan. Peningkatan ekspor secara tahunan mencapai 25,03% (yoy) dan triwulan mencapai 8,57% (qtq). Berdasarkan data ekspor-impor Bank Indonesia, pada triwulan I 2017 Provinsi NTT mengalami net ekspor sebesar US$5,55 juta. Ekspor terbesar Provinsi NTT berupa garam, belerang dan kapur yang ditujukan ke Timor Leste sebesar US$1,09 juta. Sementara impor terbesar terutama barang hasil industri lainnya yakni mesin/pesawat mekanik sebesar US$1,54 juta dari Tiongkok dan Uni Emirates Arab masing-masing US$978,70 ribu dan US$559,74 ribu. Di samping itu, berdasarkan data
8
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
ekspor-impor Bank Indonesia terdapat ekspor buah olahan ke Vietnam sebesar US$2,92 juta yang kemungkinan adalah komoditas jambu mete namun tidak tercatat sebagai sumbangan PDRB untuk Provinsi NTT karena pengiriman ke luar negeri yang melalui luar daerah Provinsi NTT. GRAFIK 1.14.PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR
GRAFIK 1.15. NEGARA TUJUAN EKSPOR
13 JUTA USD 11 9 7 5 3 1 -1 -3 -5 -7 I
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 II
III
IV
I
II
2014
III
IV
I
2015 EKSPOR
IMPOR
II
III 2016
IV
JUTA USD
I
I 2017
II
III
IV
NET EKSPOR
II
III
IV
I
II
2015
USA
Sumber : Cognos BI, diolah
I
2014 INDIA
AUSTRALIA
III
IV
2016
JAPAN
RRC
TIMOR LESTE
I 2017
SINGAPURA
Sumber : Cognos BI, diolah
Aktivitas ekspor luar negeri Provinsi NTT pada triwulan II 2017 diperkirakan mengalami perlambatan. Perlambatan diperkirakan disebabkan oleh turunnya kebutuhan dari negara tujuan utama yakni Timor Leste seiring masa rekonsiliasi ekonomi pasca Pemilihan Umum di negara tersebut sehingga kegiatan ekonomi sedikit melambat, sementara dari sisi internal diperkirakan komoditas ekspor seperti garam, belerang dan kapur akan lebih diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan domestik Provinsi NTT yang meningkat seiring Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri serta mulainya proyek-proyek infrastruktur.
1.3. PERKEMBANGAN EKONOMI SISI SEKTORAL Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi triwulan I 2017 didorong terutama oleh sektor pertanian, kehutanan dan perikanan yang tumbuh sebesar 5,50% (yoy). Pertumbuhan pada sektor pertanian terjadi seiring masa panen yang lebih panjang hingga memasuki awal tahun 2017 di tempat-tempat produsen utama padi seperti Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, Sumba Barat dan Sumba Timur yang terbantu oleh meningkatnya pasokan air sebagai dampak adanya La Nina Barat. Pertumbuhan juga didorong oleh sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor yang tumbuh 7,34% (yoy) seiring adanya Tahun Baru Imlek, Hari Raya Paskah dan Pilkada sehingga mendorong konsumsi masyarakat. Tabel 1.6. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Sektor Ekonomi Triwulan I 2017
A
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
B
Pertambangan dan Penggalian
C
Industri Pengolahan
D
Pengadaan Listrik dan Gas
2016
YOY
URAIAN
I
2017 IV
I
Bobot
qtq
I yoy
2015
2016
22,765,546
24,315,826
5,781,853
6,094,647
6,211,010
29.52
1.29
5.50
1,073,475
1,166,764
268,514
309,436
280,812
1.33
-8.81
3.45
940,862
1,034,289
239,111
279,169
262,286
1.25
-6.67
5.90
43,569
59,409
14,049
15,975
15,124
0.07
-11.53
-1.89
E
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
47,150
48,990
11,405
12,841
11,924
0.06
-7.60
1.78
F
Konstruksi
7,908,227
9,095,349
2,041,236
2,464,950
2,181,566
10.37
-12.26
5.09
G
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
8,272,331
9,321,848
2,114,826
2,487,909
2,356,733
11.20
-6.65
7.34
H
Transportasi dan Pergudangan
3,986,583
4,528,290
1,046,523
1,210,726
1,117,290
5.31
-6.16
4.61
487,091
586,079
128,017
159,845
140,092
0.67
-12.76
7.38
I
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
J
Informasi dan Komunikasi
5,477,449
5,878,513
1,383,555
1,569,272
1,491,165
7.09
-5.76
6.72
K
Jasa Keuangan dan Asuransi
2,995,475
3,362,944
781,661
898,971
870,399
4.14
-4.13
6.90
L
Real Estate
2,054,341
2,209,476
526,120
577,531
551,478
2.62
-5.17
5.06
235,528
257,185
59,801
69,530
65,070
0.31
-7.15
3.98
M,N
Jasa Perusahaan
O
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
9,374,991
10,664,989
2,471,111
2,827,864
2,508,902
11.92
-9.92
-0.57
P
Jasa Pendidikan
7,303,246
8,103,265
1,900,800
2,181,982
2,068,244
9.83
-3.98
5.71
Q
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
1,585,475
1,767,997
414,036
473,595
449,413
2.14
-4.85
5.45
Jasa lainnya
1,639,515
1,771,425
421,774
462,317
459,431
2.18
-1.69
5.43
76,190,854
84,172,637
19,604,391
22,096,563
21,040,939
100.00
-5.08
4.98
R,S,T,U
PDRB Sumber: BPS Provinsi NTT (diolah) *Dalam Juta Rp
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
9
1.3.1 Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan secara tahunan mengalami peningkatan dibandingkan triwulan IV 2016 maupun triwulan I 2016. Pertumbuhan tercatat sebesar 5,50% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 yang sebesar 4,53% (yoy) dan triwulan I 2016 yang sebesar 0,26% (yoy). Secara triwulanan, sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pun juga mengalami peningkatan sebesar 1,29% (qtq). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pertumbuhan di antaranya terutama didorong oleh masa panen yang lebih panjang hingga memasuki awal tahun 2017 di kabupaten-kabupaten produsen utama padi seperti Kabupaten Manggarai, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, Sumba Barat dan Sumba Timur yang terbantu adanya peningkatan pasokan air sebagai dampak adanya La Nina Barat. Pengoperasian kembali kapal ternak KM. Camara Nusantara I setelah perpanjangan kontrak antara Kementerian Perhubungan dengan PT Pelni juga telah kembali memulihkan pengiriman ternak terutama di bulan Maret 2017. Dengan pangsa sebesar 27,58% dari keseluruhan PDRB Provinsi NTT dari sisi sektoral, maka peningkatan sektor ini cukup mampu menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan I 2017. Sementara itu, indeks nilai tukar petani (NTP) menunjukkan sedikit penurunan dari 101,85 di triwulan IV 2016 menjadi 101,02 di triwulan I 2017. Penurunan tersebut tercermin dari peningkatan indeks harga yang dibayar petani yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan indeks harga yang diterima petani, sehingga secara keseluruhan indeks nilai tukar petani menjadi menurun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa biaya hidup dan produksi pertanian cenderung mengalami kenaikan. Peningkatan biaya hidup untuk perumahan dan biaya produksi untuk pengadaan bibit menjadi dua komponen biaya terbesar yang meningkat sehingga cukup menggerus pendapatan petani. Inflasi administered prices yang terjadi pada triwulan I 2017 seperti pengurangan subsidi pelanggan listrik 900 Watt, kenaikan cukai rokok dan biaya pengurusan kendaraan (STNK dan BPKB) serta kenaikan tarif pulsa telepon diperkirakan cukup banyak berpengaruh terhadap penurunan indeks nilai tukar petani. GRAFIK 1.16. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI
GRAFIK 1.17. DATA PERKEMBANGAN PENGIRIMAN TERNAK
130
104
125
103 102
120
35
80,00
RIBU EKOR
60,00
30
101
25
40,00
115
100
20
20,00
110
99 98
105
97
15
-
10
(20,00) (40,00)
100
96
5
95
95
0
I
II
III
IV
I
II
2014
III
IV
I
II
2015 IT
III
IV
2016
I 2017
II
III
IV
I
II
2015
III
IV
2016
NTP-AXIS KANAN
IB
SAPI
Sumber :BPS, diolah
KERBAU
(60,00)
I 2017
GROWTH
KUDA
Sumber : Dinas Peternakan, diolah
GRAFIK 1.19. PERKEMBANGAN SKDU PERTANIAN
GRAFIK 1.18. PERKEMBANGAN KREDIT PERTANIAN 350
I
MILYAR RP
300 250
200%
30
150%
20
100%
200
10 0
50% 150
-10 0%
100
-20
50
-50%
-30
0
-100%
-40
I
II
III
IV
2014
I
II
III
IV
2015 PERTANIAN, PERBURUAN DAN KEHUTANAN
I
II
III
I 2017
I
II III 2013
IV
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
I
II III 2014
KEGIATAN USAHA
PERTANIAN (%YOY)
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
10
IV
2016
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
IV
I
HARGA JUAL
II III 2015
IV
TENAGA KERJA
I
II III 2016
IV
I 2017
Berdasarkan kredit pertanian dan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia, sektor pertanian masih relatif stabil. Kredit pertanian pada triwulan I 2017 masih mengalami pertumbuhan tinggi sebesar 32,53% (yoy) atau menjadi Rp 290,28 miliar walaupun sedikit melambat dibanding triwulan IV 2016 yang tumbuh sebesar 40,58% (yoy) atau senilai Rp 278,25 miliar. Sementara itu SKDU pertanian menunjukkan adanya perbaikan kegiatan usaha. Pada triwulan II 2017, kinerja sektor pertanian diperkirakan mengalami peningkatan. Hal tersebut terlihat dari hasil indeks proyeksi kegiatan usaha SKDU pertanian yang menunjukkan tren peningkatan seiring peningkatan tenaga kerja dan permintaan ternak sapi dari daerah lain untuk memenuhi kebutuhan daging saat Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Selain itu, puncak panen raya jagung yang jatuh pada bulan April 2017 di kabupaten-kabupaten seperti Kupang, Sikka, SBD, Malaka, Timor Tengah Selatan, Flores Timur dan Alor juga turut mendorong peningkatan kinerja sektor pertanian. Pertumbuhan diperkirakan akan sedikit tertahan oleh perikanan seiring berkurangnya nelayan yang melaut karena angin dan gelombang yang cukup tinggi sehingga produksi ikan tangkap berkurang. GRAFIK 1.20. PROYEKSI SKDU PERTANIAN 30 20 10 0 -10 -20 -30 -40 I
II
III
IV
I
2014
II
III
IV
2015 KEGIATAN USAHA
HARGA JUAL
I
II
III 2016
IV
I
II 2017
TENAGA KERJA
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
1.3.2 Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Pertumbuhan sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib secara tahunan pada triwulan I 2017 melambat dibandingkan periode yang sama tahun 2016, begitu pula dibandingkan triwulan IV 2016. Pada triwulan I 2017, sektor administrasi pemerintahan terkontraksi sebesar -0,57% (yoy) atau menurun dibandingkan triwulan I 2016 yang sebesar 7,49% (yoy) dan triwulan IV 2016 yang sebesar 1,60% (yoy). Secara triwulanan, pertumbuhan pun juga tercatat menurun -9,92% (qtq), lebih rendah dari triwulan I 2016 yang sebesar -7,95% (qtq). Penurunan sektor administrasi pemerintahan dipicu diantaranya oleh turunnya realisasi belanja Pemerintah Provinsi baik untuk belanja modal maupun belanja konsumsi menjadi 13,26% dari triwulan I 2016 yang sebesar 14,17%. Selain itu juga disebabkan oleh penurunan realisasi belanja konsumsi Pemerintah Kabupaten/Kota yang menurun menjadi 9,47% dari triwulan I 2016 yang tercatat 9,57%. Hal tersebut diperkirakan sebagai imbas dari adanya perubahan numenklatur dan pergantian pejabat di tubuh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sehingga memerlukan adanya penyesuaian dan cukup menghambat realisasi anggaran.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
11
GRAFIK 1.22. PERKEMBANGAN SIMPANAN PEMERINTAH DI PERBANKAN
GRAFIK 1.21. REALISASI BELANJA KONSUMSI PEMERINTAH TRIWULAN I 2017 2,50 2,00
*RP TRILIUN
2,02
1,50 1,00
0.8% 0,46 0,53 15.4%
0,50 0,00 BELANJA PEGAWAI
8,000 110%
7,000
2,03
BELANJA BARANG DAN JASA TW I-2016
0,33
0,27 -17.6%
BELANJA HIBAH
90%
6,000
70%
5,000
50%
4,000
30%
3,000
10% -10%
2,000
-49.9% 0,03 0,02 BANTUAN KEUANGAN
-30%
1,000
-50%
0 I
II
III 2014
I
II
III
IV
I
2015 SIMPANAN (RP MILIAR)
TW I-2017
Sumber : Ditjen Perbendaharaan+Biro Keuangan NTT
IV
II
III
IV
2016
I 2017
-70%
PERT (%YOY)
Sumber: Cognos Bank Indonesia, diolah
Di sisi lain, simpanan pemerintah di perbankan menunjukkan peningkatan 152,45% (qtq) atau menjadi Rp 5,07 triliun dari triwulan IV 2016 sebesar Rp 2,01 triliun. Besarnya peningkatan tersebut selain disebabkan oleh sudah cukup rendahnya posisi DPK pemerintah bulan sebelumnya, juga mengindikasikan bahwa pada triwulan I 2017 dana pemerintah yang masih berada di perbankan dan belum direalisasikan dalam bentuk belanja daerah (belanja modal dan konsumsi) lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2016, di antaranya kemungkinan terhambat oleh adanya perubahan numenklatur dan rotasi pejabat. Namun demikian, posisi dana pemerintah yang relatif lebih rendah dibanding triwulan I 2016 tersebut juga menunjukkan cukup berhasilnya himbauan kementrian keuangan untuk mengoptimalkan SILPA yang ada. Pada triwulan II 2017, pertumbuhan sektor administrasi pemerintahan diperkirakan akan meningkat. Peningkatan diperkirakan didorong oleh realisasi anggaran belanja pegawai dan hibah serta belanja modal seiring dimulainya proyek-proyek pembangunan pemerintah. Faktor risiko yang dapat menghambat pertumbuhan sektor administrasi pemerintahan di antaranya keterlambatan lelang barang dan jasa untuk proyek tahun berjalan.
1.3.3 Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor pada triwulan I 2017 masih menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat dan terjaga. Pertumbuhan tercatat sebesar 7,34% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan IV 2016 sebesar 7,57% (yoy), namun demikian meningkat dibandingkan triwulan I 2016 yang tumbuh 4,97% (yoy). Pertumbuhan sektor perdagangan Provinsi NTT tercatat lebih tinggi cukup signifikan. Hal ini didorong oleh musim panen yang lebih panjang hingga masuk awal tahun 2017 sehingga meningkatkan kegiatan perdagangan komoditas hasil pertanian. Banyaknya curah hujan akibat dari anomali musim secara positif membantu meningkatkan hasil produksi pertanian tanaman pangan, walaupun di sisi lain juga menurunkan produksi hortikultura. Namun demikian, secara nilai peningkatan produksi yang terjadi lebih besar dibanding penurunan produksi yang terjadi. Sektor perikanan juga menunjukkan pemulihan produksi terutama di bulan Maret 2017 yang terlihat dari besarnya deflasi komoditas ikan segar. Perdagangan sapi antar daerah juga sudah menunjukkan adanya peningkatan seiring dengan telah dikeluarkannya ijin pengoperasian KM ternak Cemara Nusantara 1. Namun demikian secara triwulanan tetap mengalami penurunan karena sempat berhentinya operasional kapal hingga bulan Februari 2017. Perlambatan sektor perdagangan juga tercermin dari indikator Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) dan Survei Konsumen (SK). Indikator SKDU berupa indeks kegiatan usaha menunjukkan penurunan yang mengindikasikan perlambatan kegiatan perdagangan di awal tahun sebagaimana terjadi setiap triwulan I. Indikasi yang sama juga tampak pada hasil SK Bank Indonesia yang menunjukkan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Kondisi
12
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
Ekonomi Saat Ini (IKE). Namun demikian hasil SK seluruhnya masih menghasilkan angka di atas 100 yang menunjukkan masih terjaganya optimisme konsumen. Sementara itu, kredit yang disalurkan untuk sektor perdagangan sampai dengan triwulan I 2017 tercatat sebesar Rp 6,37 triliun atau tumbuh 23,26% (yoy) yang juga menjelaskan bahwa secara tahunan kegiatan perdagangan tumbuh cukup signifikan. GRAFIK 1.24. PERKEMBANGAN KREDIT SEKTOR PERDAGANGAN
GRAFIK 1.23. PERKEMBANGAN SKDU SEKTOR PERDAGANGAN
7.0
10 8 6 4 2 0 -2 -4 -6 -8 -10
45%
TRILIUN
40%
6.0
35% 5.0
30%
4.0
25% 20%
3.0
15%
2.0
10%
1.0
5% 0%
III
IV
I
2014
II
III
IV
I
II
2015 KEGIATAN USAHA
III
IV
2016
HARGA JUAL
I
IV 2013
II
I 2017
II III 2014
IV
I
II III 2015
IV
PERDAGANGAN BESAR DAN ECERAN
TENAGA KERJA
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
I
II III 2016
IV
I 2017
0.0 I
PERT (%YOY)
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Pada triwulan II 2017, sektor perdagangan diperkirakan cukup stabil dibandingkan triwulan I 2017 dengan kecenderungan sedikit meningkat. Telah habisnya masa panen padi pada triwulan I 2017 serta kurang kondusifnya gelombang laut bagi kapal nelayan pada triwulan II 2017 akan sedikit menahan pertumbuhan sektor perdagangan. Namun demikian, momen panen raya jagung yang jatuh pada bulan April 2017 dan permintaan sapi ternak dari daerah lain serta kebutuhan pangan dan rumah tangga yang meningkat seiring datangnya bulan Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri akan mampu mendorong peningkatan kinerja sektor perdagangan. Hal tersebut juga didukung oleh proyeksi SKDU Bank Indonesia untuk triwulan II 2017 yang menunjukkan peningkatan sektor perdagangan pada sisi kegiatan usaha. GRAFIK 1.25. PROYEKSI SKDU PERDAGANGAN 10 8 6 4 2 0 -2 -4 -6 -8 -10 I
II
III
IV
I
2014
II
III
IV
2015 KEGIATAN USAHA
HARGA JUAL
I
II
III 2016
IV
I
II* 2017
TENAGA KERJA
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
1.3.4 Sektor-sektor Lainnya Sektor konstruksi tumbuh sebesar 5,09% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh 8,48% (yoy) dan triwulan I 2016 sebesar 8,69% (yoy). Perlambatan pertumbuhan sektor konstruksi terutama disebabkan oleh lebih panjangnya waktu tambahan penyelesaian proyek pada tahun 2016 yang mencapai 90 hari kerja dibanding tahun 2017 yang sebanyak 50 hari kerja. Selain itu, nilai investasi pemerintah tahun 2016 juga relatif menurun yang berdampak pada turunnya aktivitas konstruksi.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
13
Sektor penyediaan akomodasi dan makan minum pada triwulan I 2017 tumbuh sebesar 7,38% (yoy) atau melambat dibandingkan periode yang sama tahun 2016 yang tumbuh 12,53% (yoy), begitu pula dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh 13,01% (yoy). Perlambatan sektor ini tercermin dari perkembangan tamu hotel yang tumbuh melambat menjadi 20,63% (yoy) dari triwulan I 2016 sebesar 70,76% (yoy). Selain itu, perlambatan juga tampak dari jumlah penumpang angkutan udara pada triwulan I 2017 yang tumbuh melambat 12,01% (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun 2016 sebesar 44,24% (yoy). Perlambatan terjadi selain karena telah tingginya pertumbuhan pada triwulan I 2016 sehubungan ramainya acara pemerintah seperti Rapat Koordinasi Pusat dan Daerah di Kota Kupang dan penyelenggaraan rapat-rapat koordinasi pemerintah yang mendorong tingkat okupansi hotel, juga karena kondisi cuaca dan gelombang tinggi hingga bulan Januari 2017 yang menghambat kegiatan wisata alam sebagai objek andalan Provinsi NTT. GRAFIK 1.26. PERKEMBANGAN TAMU HOTEL 70
GRAFIK 1.27. PERKEMBANGAN PENUMPANG BANDARA 80%
RIBU ORANG
70%
60
60%
50
50%
40
40% 30 20,63% 20
30% 20%
10
10%
0
0% I
II
III 2014
IV
I
II
III
IV
I
2015 TAMU HOTEL
II
III 2016
IV
I 2017
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
RIBU ORANG
12,01%
I
II
III 2014
I
II
III
IV
I
2015 PENUMPANG
PERT (%YOY)
Sumber : BPS, diolah
IV
II
III 2016
IV
50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
I 2017
PERT (%YOY)
Sumber : BPS, diolah
Pertumbuhan sektor akomodasi dan makan minum pada triwulan II 2017 diperkirakan mulai mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi dibandingkan triwulan I 2017 seiring dengan kondisi cuaca yang mulai kondusif yang diprediksi dapat meningkatkan arus kunjungan wisatawan ke NTT. Kegiatan pemerintah diperkirakan juga sudah mulai stabil seiring dengan mulai normalnya kegiatan birokrasi paska pergantian numenklatur dan mutasi pegawai dan pimpinan SKPD yang ada. Namun demikian secara tahunan, pertumbuhan ekonomi pada sektor ini tidak setinggi tahun sebelumnya yang disebabkan oleh selain cukup tingginya posisi pertumbuhan di tahun sebelumnya, juga disebabkan oleh tibanya bulan Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada akhir bulan Juni 2017, sehingga wisatawan wisatawan domestik diprediksi akan sedikit lebih menahan diri untuk melakukan kegiatan wisata. Sektor Jasa Keuangan dan Asuransi tumbuh sebesar 6,90% (yoy) pada triwulan I 2017 atau melambat dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh 8,38% (yoy), namun meningkat dibandingkan triwulan I 2016 yang tumbuh sebesar 5,24% (yoy). Perlambatan pertumbuhan kegiatan jasa keuangan dan asuransi tercermin dari pertumbuhan indikator Nilai Tambah Bank (NTB) untuk bank umum yang tumbuh melambat menjadi 12,62% (yoy) dari triwulan IV 2016 sebesar 15,20% (yoy). Perlambatan dikontribusikan oleh penurunan pendapatan Financial Intermediation Services Indirectly Measured (FISIM) atau pendapatan bank dari margin suku bunga, Pendapatan Provisi/Komisi dan Pendapatan Sekunder Bank menjadi Rp 655,71 miliar dari sebelumnya triwulan IV 2016 sebesar Rp 684,84 miliar. Perkembangan jasa keuangan dan asuransi pada triwulan II 2017 diperkirakan tumbuh cukup stabil. Pertumbuhan didorong oleh tingginya kebutuhan masyarakat terutama berupa pendanaan dari jasa keuangan untuk kegiatan konsumsi rumah tangga seiring tibanya musim libur sekolah, bulan Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri serta kebutuhan produksi terutama pertanian seiring dimulainya masa tanam kedua.
14
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
GRAFIK 1.28. PERKEMBANGAN NTB PERBANKAN 700
NTB (RP MILIAR)
% (YOY)
35 30
600
25
500
20
400
15
300
10 5
200
0
100
-5
0
-10 I
II
III
IV
I
II
2014
III
IV
2015 NTB
I
II
III 2016
IV
I 2017
% (YOY)
Sumber : Bank Indonesia, diolah
Sektor transportasi dan pergudangan tercatat tumbuh sebesar 4,61% (yoy), atau melambat dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh 5,48% (yoy) dan triwulan I 2016 sebesar 6,97% (yoy). Perlambatan pertumbuhan disebabkan oleh minimnya pembukaan rute baru pesawat, sementara investasi tercatat sebesar Rp308 miliar oleh PT. Transnusa Aviation Mandiri terkait angkutan udara untuk penumpang diperkirakan baru akan memberikan dampak terhadap pertumbuhan pada triwulan depan seiring bertambahnya jadwal penerbangan. Selain itu, cuaca dan gelombang laut yang buruk di periode awal triwulan I 2017 juga cukup menyebabkan penurunan penggunaan kapal laut dan angkutan udara untuk perjalanan. Pertumbuhan pada triwulan II 2017 diperkirakan masih cukup stabil didorong oleh momen libur Hari Raya Idul Fitri yang dimanfaatkan untuk kembali ke kampung halaman dan meningkatnya kebutuhan tempat penyimpanan komoditas terutama pangan dan keperluan rumah tangga seiring kebutuhan konsumsi di triwulan II 2017. Sektor real estate tercatat tumbuh 5,06% (yoy) pada triwulan I 2017 atau meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh 3,53% (yoy). Pertumbuhan sektor real estate terutama didorong oleh investasi pembangunan perumahan sebesar Rp 364,05 miliar di empat kabupaten/kota yakni Kab. Manggarai Barat, Kota Kupang, Kab. Timor Tengah Selatan dan Kab. Kupang yang mencapai Rp364,05 miliar. Pertumbuhan sektor real estate pada triwulan II 2017 diperkirakan meningkat seiring upaya REI Provinsi NTT menyelesaikan target 3.000 unit rumah bersubsidi di tahun 2017. Sektor industri pengolahan tumbuh 5,90% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan IV yang sebesar 3,41% (yoy) maupun triwulan I 2016 yang tumbuh 4,98% (yoy). Pertumbuhan positif didukung beberapa pabrik kelas menengah kecil seperti air kemasan dan rumput laut di Sabu Raijua. Investasi pada sektor industri pengolahan pada triwulan I 2017 masih tercatat cukup rendah sebesar Rp 37,43 miliar untuk industri pengolahan dan pengawetan ikan di Kabupaten Flores Timur dan Sikka serta sebagian kecil industri pengolahan lainnya di Kota Kupang. Porsi dan pertumbuhan sektor industri pengolahan saat ini masih belum cukup berkontribusi terhadap total perekonomian Provinsi NTT. Untuk itu, pemerintah perlu terus mendorong pengembangannya baik bersama dengan sesama Pemerintah Daerah maupun masyarakat melalui model industri pengolahan yang memberdayakan masyarakat lokal dan tetap menjaga kelestarian lingkungan alam Provinsi NTT. Pembentukan industri pengolahan juga penting untuk memenuhi kebutuhan internal daerah dan mengurangi ketergantungan dari daerah lain. Dari hasil Focus Group Discussion yang pernah dilakukan antara Bank Indonesia dengan Satuan Kerja Pemerintah Daerah mengenai diskusi sumber diversifikasi pertumbuhan ekonomi daerah, sektor agroindustri terutama agroindustri lahan kering dapat menjadi salah satu industri utama yang dapat didorong mengingat ketersediaan lahan yang masih begitu besar dan karakter cuaca yang sangat menunjang untuk tanaman lahan kering. Beberapa investasi yang sudah masuk seperti industri gula, garam, tembakau, kakao, serat rami, kopi dan rumput laut sekiranya dapat terus didukung dan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
15
dikembangkan agar industrialisasi pertanian di NTT dapat berjalan. Sementara itu, prospek pada triwulan II 2017 diperkirakan masih akan cukup stabil dan belum tumbuh terlalu besar dikarenakan belum adanya perubahan signifikan dalam struktur perekonomian. Sektor informasi dan komunikasi tercatat tumbuh 6,72% (yoy) atau sedikit melambat dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh 7,23% (yoy). Walaupun melambat, pertumbuhan ekonomi di sektor ini masih cenderung di atas rata-rata NTT ataupun nasional yang lebih disebabkan oleh masih tumbuhnya sektor komunikasi terutama komunikasi data di NTT. Untuk meningkatkan layanan, saat ini sedang dilakukan realisasi pengembangan 600 BTS 4G oleh Telkomsel dengan perkembangan terkini telah mencapai 40%. Dengan terus tumbuhnya penggunaan telepon seluler dan paket data di Provinsi NTT, prospek pertumbuhan sektor ini diperkirakan akan terus progresif dan pada triwulan II diperkirakan meningkat didorong adanya momen Hari Raya Idul Fitri serta didukung pula oleh pembangunan jaringan fiber optik oleh Telkom dari Makassar menuju Flores untuk mengantisipasi gangguan jaringan dari sebagaimana beberapa kali telah terjadi.
16
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
Boks 1. Perkembangan Industri Gula di Indonesia dan Potensi Investasi Industri Gula di NTT Konsumsi gula di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa. Sejak tahun 2011, konsumsi gula mengalami pertumbuhan di atas 10%. Penurunan pertumbuhan hanya terjadi pada tahun 2014 dan kembali meningkat sebesar 7,18% (yoy) di tahun 2015. Pada tahun 2016, konsumsi gula diperkirakan mengalami kenaikan signifikan yang terlihat dari kenaikan impor raw sugar yang cukup tinggi1 hingga 39,8%, yaitu dari 3,3 juta ton di tahun 2015 menjadi 4,6 juta ton di tahun 2016. Dengan asumsi produksi tahun 2016 mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 2,3 juta ton2 dikarenakan masalah cuaca ekstrim, maka total penyediaan gula nasional pada tahun 2016 mencapai 6,9 juta ton, atau tumbuh 16,9% dibanding posisi tahun 2015 yang sebesar 5,9 juta ton. Tingginya konsumsi gula yang cukup signifikan tersebut dan tidak diimbangi dengan peningkatan produksi dalam negeri membuat defisit neraca perdagangan gula menjadi semakin lebar. Dengan nilai impor 2016 hingga 4,6 juta ton, setidaknya dibutuhkan 26 triliun rupiah untuk mendatangkan gula dari luar negeri. Pada triwulan I 2017, sudah dilakukan impor raw sugar sebanyak 0,9 juta ton atau setara dengan 6 triliun rupiah untuk memenuhi kebutuhan gula industri di dalam negeri. GRAFIK BOKS 1.1. NILAI KONSUMSI DAN PRODUKSI GULA DI INDONESIA BESERTA PERTUMBUHANNYA 7
GRAFIK BOKS 1.2. NEGARA ASAL IMPOR UTAMA GULA KE INDONESIA
80
JUTA TONS
6
60
5
40
4
20
3
0
2
(20)
1
(40)
0,33 7% 0,90 20%
2,12 46%
(60)
0 2007
2008
2009
2010
PRODUKSI
2011
IMPOR
Sumber : BPS, diolah
2012
TOTAL
2013
2014
2015
1,26 27%
BRAZIL THAILAND AUSTRALIA LAINNYA
G TOTAL Sumber : Bea Cukai, diolah
Rendahnya harga gula internasional diperkirakan masih menjadi alasan utama tingginya impor raw sugar di Indonesia. Hal ini terlihat dari rata-rata harga impor raw sugar yang hanya 0,43 USD atau setara dengan Rp 5.676,-, jauh lebih rendah dibanding harga gula lokal di pasar yang tidak pernah lebih rendah dari angka Rp 13.000,- atau harga pokok petani (HPP) tahun 2016 yang sebesar Rp 9.100,-3. Berdasarkan negara asal barang, Thailand menjadi supplier raw sugar terbesar untuk Indonesia dengan nilai mencapai 2,12 juta ton atau setara 46,2%, disusul oleh Brasil dengan pangsa mencapai 27,3% dan Australia dengan pangsa sebesar 19,5%. Rendahnya harga yang hanya sebesar Rp 5.148,- 4 menjadi alasan utama importir membeli gula dari Thailand. Bersama-sama, ketiga negara tersebut berkontribusi terhadap 92,9% impor gula rafinasi di Indonesia.
1. 2. 3. 4.
Menggunakan metode SITC (Standard Industrial Trade Clasification) Asosiasi Gula Indonesia Permendag Nomor 42/M-DAG/PER/5/2016 tentang penetapan harga patokan petani gula kristal putih tertanggal 31 Mei 2016 Asumsi nilai kurs Rp 13.200 per dolar
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
17
GAMBAR BOKS 1.1. SEBARAN DAERAH PENGHASIL TEBU DI INDONESIA
Sumber : BPS, diolah
Beberapa roadmap pengembangan gula sudah disusun untuk mengembalikan produksi gula nasional, namun produksi juga belum menunjukkan adanya peningkatan dan justru semakin menurun. Sejak tahun 2008, rata-rata produksi gula nasional justru mengalami penurunan hingga -0,23% (av-yoy), dan bahkan apabila produksi gula 2016 benar mengalami penurunan, maka rata-rata penurunan justru semakin besar. Saat ini, total luas lahan tebu di Indonesia mencapai 455,8 ribu ha, menurun 3,57% (yoy) dari luas lahan tahun sebelumnya yang sebesar 472,7 ribu ha. Adapun produksi tebu dan gula di Indonesia saat ini masih hanya terfokus di 9 Provinsi antara lain Jawa Timur, Lampung, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Gorontalo dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 2016, sebenarnya sudah ada beberapa wilayah yang juga mengembangkan tebu seperti Nusa Tenggara Barat yang sudah mulai operasi sejak akhir tahun, Aceh dan Nusa Tenggara Timur yang sedang dalam tahap ujicoba. Tingginya harga jual gula di Indonesia sebenarnya sangat menarik bagi investor untuk berinvestasi di sektor ini terutama dikarenakan oleh potensi balik modal yang besar. Berdasarkan pangsa produksi gula nasional, 48,7% produksi masih didominasi oleh Provinsi Jawa Timur, disusul oleh Lampung (29,8%), Jawa Tengah (8,1%), Jawa Barat (4,0%) dan Gorontalo (3,5%). Namun demikian, apabila dilihat dari besar produksi gula per hektar, Gorontalo justru menjadi daerah dengan tingkat produktivitas tertinggi hingga 6,37 ton gula/ha, diikuti Lampung (6,07 ton/ha), Jawa Timur (5,97 ton/ha) sedangkan 6 Provinsi lainnya memiliki produktivitas kurang dari 5 ton/ha. Rendahnya produktivitas tersebut baik disebabkan oleh rendahnya produksi tebu per hektar ataupun rendahnya rendeman gula membuat petani cenderung mengalihkan produksi ke komoditas lain yang lebih menguntungkan.
18
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
GRAFIK BOKS 1.3. PANGSA PRODUKSI GULA NASIONAL
GRAFIK BOKS 1.4. PRODUKSI GULA (TON) PER HA LAHAN 6,37
GORONTALO
6,07
LAMPUNG
5,97
JAWA TIMUR
8,1% 48,7%
29,8%
JAWA TIMUR LAMPUNG JAWA TENGAH SUMATERA SELATAN JAWA BARAT GORONTALO SULAWESI SELATAN D.I.YOGYAKARTA SUMATERA UTARA
JAWA TENGAH
4,38
D.I.YOGYAKARTA
4,37 4,14
JAWA BARAT
3,83
SUMATERA UTARA
3,33
SULAWESI
Sumber : BPS, diolah
4,59
SUMATERA SELATAN
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan rantai nilai produksi tebu, olahan tebu dapat diproses menjadi beberapa produk turunan. Pada prosesnya, kebun tebu yang sudah berproduksi akan menghasilkan tebu yang nantinya akan digunakan untuk produksi gula. Hasil turunan dari pabrik gula sendiri terdiri dari beberapa jenis seperti tetes/molases, blothong/filter cake, ampas/bagasses ataupun gula itu sendiri. Adapun pucuk tebu juga dapat digunakan untuk pakan ternak untuk peternakan sapi. Produk tetes dapat diolah lebih lanjut menjadi bioethanol, blothong dapat digunakan sebagai pupuk dan ampas dapat digunakan sebagai sumber energi untuk pembangkit energi biomasa. GAMBAR BOKS 1.2. RANTAI NILAI PRODUK TEBU DAN TURUNANNYA
1 SUGARCANE (Tebu)
ESTATE (Tebu)
3 POWER PLANT
BARGASSES
ELECTRICITY PLN
FILTE CAKE
2a
2b
SUGAR MILL
BREEDING PROJECT
MOLASSES
4
5
ORGANIC FERTILIZER
BIOETHANOL
SUGAR
Sumber : berbagai sumber, diolah
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
19
Berdasarkan karakteristiknya, tanaman tebu akan sangat baik ditanam pada daerah kering dengan penyinaran matahari yang tinggi. Tingginya intensitas penyinaran akan dapat meningkatkan proses fotosintesa yang pada akhirnya akan membantu peningkatan sukrosa tebu. Penanaman tebu juga membutuhkan perbedaan suhu siang dan malam yang tidak lebih dari 10ºC sehingga proses penimbunan sukrosa dapat menjadi lebih efektif dan dapat dihasilkan rendeman yang tinggi. Tanaman tebu paling baik ditanam pada tanah dengan ketinggian kurang dari 500 meter, kemiringan lahan kurang dari 8%, tingkat kelembaban lebih dari 70%, suhu ideal pada 24ºC-34ºC, kecepatan angin kurang dari 10 km/jam, PH tanah antara 6-7,5, dan cocok ditanam pada tanah aluvial, grumosol, latosol ataupun regusol. Pada masa vegetatif, tanaman tebu sangat membutuhkan air, tetapi menjelang panen penggunaan air menurun sangat signifikan. Tanaman tebu bisa ditanam pada daerah dengan musim kering minimal 3 bulan, dan membutuhkan penyinaran antara 12-14 jam setiap harinya. Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, Provinsi NTT jelas memiliki keunggulan komparatif dibanding daerah lain di Indonesia. Sebagai daerah yang relatif kering dengan musim kering mencapai 7-8 bulan dan penyinaran matahari yang relatif lama, serta kecocokan kondisi tanah yang mayoritas berupa tanah mediteran, latosol dan gramosol potensi untuk meningkatkan rendeman juga sangat tinggi. Hasil penelitian BPPG (1985) yang meneliti 9 varietas gula di NTT juga menunjukkan hasil rendeman rata-rata sebesar 12,5%, sedikit di atas rata-rata rendeman di Thailand yang mencapai 12%, sedikit di bawah Brasil yang memiliki rendeman 14-16% dan jauh di atas rata-rata rendeman nasional yang hanya di kisaran 7,26%. Apabila dilihat dari potensi hasil tanam tebu mencapai lebih dari 100 ton per hektar, maka potensi hablur gula yang dihasilkan bisa mencapai lebih dari 10 ton per ha, bahkan lebih tinggi dibanding Brasil sebagai produsen gula terbesar dunia yang secara rata-rata memiliki hablur gula 9,5-9,8 ton per ha. Berdasarkan data peta zona agroekologi BPPT NTT (2007), terdapat 439.203 ha lahan potensial yang tersebar di Pulau Sumba, Flores dan Pulau Timor. Besarnya lahan tersebut sangat memungkinkan bagi provinsi NTT untuk mengembangkan agroindustri gula berskala nasional. Oleh karena itu, DPMPTSP telah menjembatani beberapa investor untuk melakukan investasi di NTT. Beberapa daerah yang cukup berprospek yang sudah ditawarkan antara lain Sumba Timur, Manggarai Timur, Malaka dan Timor Tengah Utara. Bahkan investasi pembangunan agroindustri gula sudah dilakukan di Sumba Timur dan saat ini sedang menunggu proses kerjasama lainnya di beberapa daerah. Namun demikian berdasarkan hasil FGD, masih terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama antara lain permasalahan perijinan, infrastruktur dan pembebasan lahan. Oleh karena itu, peran kita bersama dalam mensukseskan investasi yang ada baik berupa kemudahan dalam membantu pengurusan hak ulayat tanah, perijinan-perijinan hingga pembangunan infrastruktur pendukung dirasa sangat penting dalam mendorong tumbuhnya investasi di NTT. Dengan adanya dukungan dari semua pihak, maka diharapkan investor agroindustri gula berminat masuk untuk berinvestasi di NTT. Sehingga, ke depan diharapkan, NTT dapat menjadi salah satu provinsi produsen gula di Indonesia dan dengan potensi luas lahan yang ada, diharapkan NTT dapat masuk menjadi 5 besar provinsi penghasil gula di Indonesia.
20
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
02
Keuangan Daerah Berdasarkan data per 31 Maret 2017, realisasi pendapatan pemerintah di Provinsi NTT pada triwulan I-2017 tercatat Rp 5,99 triliun atau 23,38% dari total rencana pendapatan tahun 2017 sebesar Rp 25,67 triliun, meningkat apabila dibandingkan triwulan I 2016 yang sebesar 20,73% Di sisi lain, realisasi belanja pemerintah mencapai Rp 3,13 triliun atau 8,91% dibandingkan pagu belanja tahun 2017 sebesar Rp 35,19 triliun, sedikit meningkat dibandingkan triwulan I 2016 yang sebesar 8,70%.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
21
2.1 KONDISI UMUM Total anggaran belanja fiskal Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2017 sebesar Rp 35,19 triliun, terdiri dari belanja APBD Provinsi sebesar Rp 4,66 triliun (pangsa 13,25%), belanja APBD kabupaten/kota sebesar Rp 21,43 triliun (pangsa 60,90%) dan belanja APBN sebesar Rp 9,10 triliun (pangsa 25,85%). Anggaran belanja APBD kabupaten/kota tertinggi dibuat oleh Kabupaten Timor Tengah Selatan yang mencapai Rp 1,51 triliun, sementara terendah Kabupaten Sumba Tengah sebesar Rp 555,26 miliar. Sampai dengan triwulan I 2017, secara keseluruhan realisasi anggaran pendapatan daerah mencapai 23,38% atau lebih tinggi dibandingkan realisasi periode yang sama tahun 2016 yang sebesar 20,73%. Realisasi APBD Provinsi Nusa Tenggara Timur mencapai 23,56%, lebih rendah daripada pencapaian triwulan I 2016 dan 2015 yang sebesar 26,50% dan 25,62%. Rendahnya realisasi pendapatan terutama disebabkan masih terbatasnya aktivitas ekonomi di awal tahun yang sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, realisasi pendapatan APBD Kabupaten/Kota sebesar 21,03%, lebih tinggi dibandingkan pencapaian triwulan I 2016 yang sebesar 18,07%. Tingginya realisasi pendapatan APBD Kabupaten/Kota terutama didorong oleh realisasi pendapatan transfer Dana Alokasi Umum dan PAD yang tinggi. Dari sisi belanja, realisasi belanja ketiga anggaran tersebut cukup baik. Secara keseluruhan, realisasi anggaran belanja daerah mencapai 8,91% atau lebih tinggi dibandingkan realisasi triwulan I 2016 dan triwulan I 2015 yang sebesar 8,70% dan 7,30%. Pencapaian tersebut didorong oleh realisasi anggaran belanja APBD kabupaten/kota yang lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2016 dan 2015, yakni sebesar 7,67% dibandingkan periode yang sama tahun 2016 dan 2015 sebesar 7,31% dan 7,49%. Di samping itu, realisasi anggaran belanja APBD Provinsi Nusa Tenggara Timur mencapai 13,26% dengan realisasi terbesar pada belanja konsumsi yang mencapai 14,94%, sementara belanja APBN sampai periode laporan terealisasi 9,60%. Secara spasial, Kabupaten Flores Timur menjadi kabupaten dengan realisasi belanja terbesar di triwulan laporan, yakni sebesar 12,33% seiring realisasi belanja pegawai yang mencapai 17,40%. Di sisi lain, realisasi terendah terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya yakni hanya 4,85% seiring belum adanya realisasi belanja modal di triwulan laporan. GRAFIK 2.1. REALISASI PENDAPATAN DAN BELANJA PEMERINTAH PUSAT, PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Total Pendapatan dan Belanja Pemerintah
Realisasi Pendapatan Pemerintah
Realisasi Belanja Pemerintah Triliun Rp
TRILIUN RP
18%
25 ANGGARAN
35.19 20
13%
9%
25 ANGGARAN
REALISASI
Triliun Rp
2%
16%
REALISASI
ANGGARAN
20.48
ANGGARAN
20
26%
20%
28%
21.43
REALISASI
ANGGARAN
25.67 80%
15
APBN
75% KAB
PROV
61%
15
APBN
PORSI REALISASI PENDAPATAN
10
10
5.04
5
4.72
3.13 BELANJA DAERAH
0.47 0
APBN
4.66
5
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
22
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
1.11
0.58 KAB
PROV
PROV
9.10
6.74
PENDAPATAN DAERAH
52% KAB
PORSI REALISASI BELANJA
1.64
0.87
0.62
0 APBN
KAB
PROV
2.2 PENDAPATAN DAERAH Total pendapatan pemerintah di Provinsi Nusa Tenggara Timur sampai dengan triwulan I 2017 mencapai Rp 5,99 triliun atau 23,38% dari rencana pendapatan tahun 2017 yang sebesar Rp 25,65 triliun. Persentase pendapatan tersebut lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2016 sebesar 20,73%. Komposisi pendapatan daerah tersebut terdiri dari pendapatan APBD Provinsi sebesar Rp 1,11 triliun atau 23,56% dari total rencana pendapatan sebesar Rp 4,72 triliun. Pendapatan tertinggi Pemerintah Provinsi berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 535,84 miliar (30,05%) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp 327,02 miliar (17,88%). Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota mencapai Rp 4,30 triliun atau 21,03% didominasi pula oleh DAU sebesar Rp 3,71 triliun (31,32%) dan DAK sebesar Rp 212,40 miliar (5,35%). Komposisi pendapatan tersebut menunjukkan bahwa sampai saat ini pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota masih sangat tergantung pada dana subsidi dari Pemerintah Pusat, sehingga perlu terus dilakukan upaya peningkatan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang salah satunya melalui pembangunan infrastruktur pendukung investasi swasta di Provinsi NTT. Sementara itu, pendapatan APBN di Provinsi NTT tercatat sebesar Rp 582,21 miliar atau 123,05% dari total rencana pendapatan sebesar Rp 473,16 miliar dengan porsi terbesar berasal dari pajak penghasilan sebesar Rp 234,04 miliar. GRAFIK 2.2 PANGSA REALISASI SUMBER PENDAPATAN APBN
GRAFIK 2.3 PANGSA REALISASI SUMBER PENDAPATAN APBD PROVINSI/ KAB-KOTA 0,9% 2,5% 25,5% 5,1%
36,5%
0,04% 37,57% 1,32% 20,36% 40,20% 0,40% 0,10%
9,5% 5,1% 9,5%
12,9%
5,2%
KAB/ KOTA
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PENDAPATAN PAJAK LAINNYA
67,4%
PENDAPATAN BEA MASUK PAJAK BUMI & BANGUNAN
34,6%
CUKAI PAJAK PENGHASILAN PAD
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT
DAU
DAK
OTSUS
LAINNYA
Sumber: Biro Keuangan Provinsi NTT
Secara spasial, Kota Kupang menjadi kabupaten/kota dengan pencapaian realisasi pendapatan tertinggi pada triwulan I 2017 yaitu 28,55% atau Rp 311,83 miliar dari target sebesar Rp 1,09 triliun. Pendapatan tertinggi berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) dari Pemerintah Pusat sebesar Rp 220,39 miliar atau 70,68% dari total realisasi pendapatan. Realisasi pendapatan cukup tinggi (>20%) juga dicapai oleh 16 kabupaten/kota lainnya, sementara lima kabupaten masih mencatat realisasi pendapatan yang cukup rendah (<20%), yaitu Kab. Sumba Timur (19,61%), Kab. Lembata (16,98%), Kab. Nagekeo (15,79%), Kab. Ngada (14,90%) dan Kab. Sabu Raijua (10,38%). Rendahnya realisasi pendapatan kelima kabupaten tersebut terutama dipengaruhi oleh penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) dari Pemerintah Pusat yang masih rendah. Dominasi DAU dalam realisasi pendapatan di tiap kabupaten/kota pada triwulan laporan masih tinggi dengan rata-rata 86,09%, meskipun sedikit menurun dibandingkan triwulan I 2016 yang sebesar 89,35%. Sementara itu, komposisi PAD tertinggi dipegang oleh Kab. Sumba Barat sebesar 17,61%, DAK tertinggi oleh Kab. Kupang sebesar 22,05% dan pendapatan lain-lain tertinggi oleh Kab. Manggarai Barat sebesar 10,75% terutama disumbang oleh dana penyesuaian dan otonomi khusus sebesar Rp 22,75 miliar.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
23
GRAFIK 2.4. REALISASI PENDAPATAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DAN KOMPONENNYA TRIWULAN-I 2017 100%
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
80% 60% 40% 20%
PENDAPATAN ASLI DAERAH
BAGI HASIL
DANA ALOKASI UMUM
DANA ALOKASI KHUSUS
PENDAPATAN LAIN-LAIN
SABU RAIJUA
NGADA
NAGEKEO
LEMBATA
SUMBA TIMUR
MANGGARAI
SBD
MATIM
MALAKA
SIKKA
MABAR
ENDE
ALOR
BELU
TTS
TTU
ROTE
FLOTIM
SUMBA TENGAH
SUMBA BARAT
KOTA KUPANG
KAB. KUPANG
0%
REALISASI (LINE KANAN)
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
2.3 BELANJA DAERAH Realisasi anggaran belanja APBN dan APBD Pemerintah di Provinsi NTT hingga triwulan I 2017 mencapai Rp 3,13 triliun atau 8,91% dari total pagu belanja tahun 2017 sebesar Rp 35,19 triliun. Pencapaian realisasi belanja sebesar 8,91% tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2016 yang sebesar Rp 3,09 triliun atau 8,70% dari total pagu belanja tahun 2016 sebesar Rp 35,52 triliun. Berdasarkan kategori pemerintahan, realisasi belanja Pemerintah Provinsi masih menjadi yang tertinggi sebesar 13,26%. Sementara menurut realisasi belanja modal, realisasi APBN menjadi yang tertinggi sebesar 4,38% meskipun turun dibandingkan pencapaian periode yang sama tahun 2016 sebesar 6,12%. Penurunan realisasi belanja modal pada APBN diperkirakan dipengaruhi oleh proyek-proyek strategis multiyears, seperti Bendungan Raknamo dan Pos Lintas Batas Negara Motaain dan Motamasin yang telah memasuki tahap penyelesaian, serta menyisakan proyek yang masih berjalan seperti pembangunan jalan perbatasan Sabuk Merah Sektor Timur sepanjang 104 km pada tahun ini, dari tahun sebelumnya telah tersambung 48,19 km dan sisanya dikerjakan pada 2018 (total panjang 176,19 km). Di sisi lain, proyek baru seperti Bendungan Napunggete di Kabupaten Sikka yang telah ditandatangani kontraknya pada Desember 2016 senilai Rp 849,9 miliar, pengerjaannya baru mencapai 0,7% dari target selesai 2020 dan Bendungan Temef di Kab. Timor Tengah Selatan yang masih dalam tahap perencanaan. Secara tahunan, peningkatan realisasi belanja didorong oleh realisasi belanja kabupaten/kota terutama belanja modal yang meningkat menjadi 1,41% dibanding triwulan I 2016 yang sebesar 0,85%. Sedangkan realisasi belanja APBN dan APBD Provinsi melambat masing-masing menjadi 9,60% dan 13,26% dari triwulan I 2016 sebesar 10,02% dan 14,17%. Melambatnya realisasi belanja APBD Provinsi dibanding triwulan I 2016 disebabkan rendahnya realisasi investasi yang baru mencapai 1%, terutama disebabkan oleh adanya perubahan numenklatur dan pergantian pejabat yang menghambat pencapaian target anggaran. Dari sisi komponen belanja, Kab. Timor Tengah Selatan (95,31%), Kab. Sumba Barat Daya (92,96%) dan Kab. Timor Tengah Utara (91,59%) menjadi tiga daerah dengan komponen belanja pegawai tertinggi. Sementara untuk komponen belanja modal, Kab. Sabu Raijua (30,51%), Kab. Ende (23,37%) dan Kab. Sikka (11,72%) menjadi tiga daerah tertinggi sampai dengan triwulan laporan.
24
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
GRAFIK 2.5. PERKEMBANGAN REALISASI BELANJA DAERAH
GRAFIK 2.6. PERKEMBANGAN REALISASI BELANJA MODAL 120
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
100 80 60 40 20 I
II
III 2015 APBN
IV
I
II
KAB/KOTA
III 2016
PROVINSI
IV
0
I 2017
I
II
III 2015
TOTAL
APBN
Sumber: Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT & Biro Keuangan
IV
I
KAB/KOTA
II
III 2016
PROVINSI
IV
I 2017
TOTAL
Sumber: Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT & Biro Keuangan
GRAFIK 2.7. PERTUMBUHAN REALISASI BELANJA (YOY) 45 %
40,64%
40 35 30 25
23,55%
20
21,23% 22,69%
15
4,97%
10
1,39%
5 0
IV 2016
I
II
III
IV
I 2017
2016
Secara umum, realisasi belanja tertinggi pada triwulan laporan masih dipegang oleh belanja konsumsi yang mencapai 11,07%, sementara belanja modal baru mencapai 2,60%. Komponen belanja konsumsi tertinggi berada pada belanja pegawai sebesar 64,87% atau Rp 2,03 triliun. Berdasarkan kewenangan, realisasi belanja konsumsi tertinggi berada pada Pemerintah Provinsi sebesar 14,94% terutama diperuntukan bagi belanja pegawai sebesar Rp 227,20 miliar atau meningkat dibandingkan periode yang sama tahun 2016 seiring dengan adanya pengalihan kewenangan pembayaran gaji guru SMA ke Provinsi. Realisasi belanja hibah Pemerintah Provinsi pada triwulan I 2017 juga masih cukup tinggi sebesar Rp 227,08 miliar, meskipun menurun dari periode yang sama tahun 2016 yang sebesar Rp 319,81 miliar, dalam rangka melanjutkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Desa Mandiri Anggur Merah dan bantuan alat produksi masyarakat seperti alat tangkap nelayan dan alat produksi pertanian. Tabel 2.1 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
GRAFIK 2.8. REALISASI BELANJA APBN DAN APBD PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI NTT
14,9
%
13,3
13,0
NOMINAL
11,1 9,6
9,5
8,9
BELANJA DAERAH
3.134,1
8,91
100
8.964,4
234,0
2,61
7,47
26.202,4
2.900,1
11,07
92,53
12.660,9
2.033,2
16,06
64,87
BELANJA BARANG DAN JASA
7.777,5
532,1
6,84
16,98
BELANJA HIBAH
1.572,4
271,0
17,24
8,65
BELANJA BANTUAN SOSIAL
120,5
5,3
4,37
0,17
BELANJA BAGI HASIL
427,1
32,4
7,59
1,03
3.572,5
17,0
0,48
0,54
KONSUMSI LAINNYA
71,6
9,0
12,58
0,29
BELANJA LAINNYA
20,7
-
-
-
BELANJA KONSUMSI BELANJA PEGAWAI
4,4 1,5
1,4
PROV
KAB
BELANJA DAERAH
BELANJA MODAL
BELANJA KONSUMSI
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
2,6
TOTAL
PANGSA (%)
%
35.187,4
BELANJA MODAL
7,7
APBN
REALISASI RENCANA
URAIAN
BANTUAN KEUANGAN
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah (*Miliar Rp)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
25
Perkembangan realisasi belanja dari masing-masing tingkat pemerintahan dapat dijabarkan sebagai berikut :
2.3.1 Belanja APBN Hingga triwulan I 2017, realisasi belanja APBN tercatat baru mencapai Rp 873,42 miliar (9,60%) dari total pagu sebesar Rp 9,10 triliun. Realisasi tersebut lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2016 sebesar 10,02% disebabkan oleh masih berlangsungnya penyesuaian pos anggaran dengan adanya perubahan numenklatur dan pergantian pejabat di tingkat Provinsi, sehingga menghambat realisasi anggaran. Pangsa realisasi belanja APBN tertinggi pada triwulan I 2017 dipegang oleh belanja pegawai sebesar Rp 479,55 miliar (54,90%) diikuti belanja barang dan jasa sebesar Rp 235,89 miliar (27,01%), sementara belanja modal hanya sebesar Rp 157,98 miliar (18,09%). Pangsa realisasi belanja modal masih perlu terus ditingkatkan agar lebih berdampak produktif terhadap perekonomian Provinsi NTT, misalnya dengan mendorong percepatan realisasi pembangunan infrastruktur utama seperti saluran irigasi dan jalan raya.
2.3.2 Belanja Pemerintah Provinsi NTT Sampai dengan triwulan I 2017 realisasi belanja Pemerintah Provinsi NTT tercatat sebesar Rp 618,18 miliar atau baru
GRAFIK 2.9. PANGSA REALISASI BELANJA KONSUMSI APBN PEMERINTAH DAN APBD 100% 90%
mencapai 13,26% dari total pagu anggaran sebesar Rp 4,66 triliun. Pencapaian tersebut lebih rendah
7.10 27,01
80%
36,73
70%
KONSUMSI LAINNYA
60%
dibandingkan periode yang sama tahun 2016 yang sebesar
50%
14,17%. Hal tersebut dipengaruhi oleh rendahnya realisasi
30%
anggaran investasi yang hingga triwulan I baru terealisasi
10%
BANTUAN KEUANGAN
54,90
19,76
40%
BELANJA BANTUAN SOSIAL BELANJA HIBAH
36,75
20%
18,09
numenklatur dan pergantian pejabat di tingkat
BELANJA BARANG DAN JASA BELANJA PEGAWAI
0%
sekitar 1%, terutama disebabkan oleh adanya perubahan
BELANJA BAGI HASIL
BELANJA MODAL
APBN
PROV
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
kelembagaan Provinsi NTT yang menghambat pencapaian target anggaran. Secara komposisi, pangsa realisasi belanja Pemerintah Provinsi pada triwulan I 2017 terutama disumbang oleh belanja pegawai sebesar Rp 227,20 miliar (36,75%) dan belanja hibah sebesar Rp 227,08 miliar (36,73%). Pencapaian belanja pegawai pada triwulan laporan lebih tinggi dibandingkan triwulan yang sama terutama didorong oleh pengalihan kewenangan pembayaran gaji guru SMA ke Provinsi mulai tahun ini. Belanja hibah juga masih cukup tinggi terutama dipergunakan untuk penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan program Desa Mandiri Anggur Merah sesuai kebijakan pemberdayaan masyarakat oleh Pemerintah Provinsi NTT. Sementara itu realisasi belanja barang dan jasa pada triwulan laporan sebesar Rp 122,17 miliar (19,76%) atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2016. Hal ini berbeda dengan realisasi belanja modal yang lebih rendah yakni Rp 8,55 miliar (1,47%) dibandingkan Rp 17,76 miliar (3,16%) pada triwulan I 2016 sehingga perlu terus dipercepat realisasinya demi mengejar target pencapaian tahun 2017.
2.3.3 Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota Pada triwulan I 2017, realisasi belanja Pemerintah Kabupaten/Kota mencapai Rp 1,64 triliun atau 7,67% dari total pagu belanja Rp 21,43 triliun. Secara persentase, pencapaian tersebut lebih tinggi dibandingkan triwulan yang sama tahun 2016 yang tercatat sebesar 7,31% (Rp 1,69 triliun) dari total pagu. Lebih tingginya pencapaian realisasi belanja tersebut selain dipengaruhi pagu anggaran tahun 2017 yang lebih kecil yakni Rp 21,43 triliun dari sebelumnya tahun 2016 sebesar Rp 23,10 triliun, juga didorong oleh realisasi belanja modal kabupaten/kota yang lebih tinggi dibandingkan triwulan yang sama tahun 2016, yakni mencapai Rp 67,51 miliar (1,41%) dari sebelumnya Rp 50,80 miliar (0,85%).
26
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
Realisasi belanja Pemerintah Kabupaten/Kota terbesar berada pada belanja pegawai sebesar Rp 1,33 triliun dengan pangsa 80,76% dari total belanja, diikuti belanja barang dan jasa sebesar Rp 174,07 miliar (10,60%) dan belanja modal sebesar Rp 67,51 miliar (4,11%). Secara spasial, rata-rata realisasi belanja di tiap Kabupaten/Kota mencapai 7,58% dengan rata-rata realisasi belanja pegawai sebesar 17,22% dan belanja modal sebesar 1,53%. Persentase realisasi belanja tertinggi berada di Kab. Flores Timur yakni sebesar Rp 131,55 miliar (12,33%), diikuti Kab. Manggarai Timur sebesar Rp 91,34 miliar (9,63%) dan Kab. Rote Ndao sebesar Rp 68,28 miliar (9,54%). Di sisi lain, realisasi belanja terendah terjadi di Kab. Sumba Barat Daya yang baru mencapai Rp 43,13 miliar (4,85%), diikuti oleh Kab. Sumba Barat Rp 37,04 miliar (5,29%) dan Kab. Sumba Tengah Rp 32,33 miliar (5,82%), terutama disebabkan oleh masih rendahnya belanja langsung pegawai dan belanja modal. GRAFIK 2.10. REALISASI BELANJA DAN KOMPONENNYA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20%
BELANJA PEGAWAI
BELANJA BARANG DAN JASA
BELANJA MODAL
BELANJA LAINNYA
SBD
SUMBA BARAT
SUMBA TENGAH
SABU RAIJUA
TTS
NAGEKEO
NGADA
SUMBA TIMUR
MABAR
MANGGARAI
BELU
TTU
SIKKA
LEMBATA
KAB. KUPANG
KOTA KUPANG
ENDE
ALOR
MALAKA
ROTE
MATIM
0%
FLOTIM
10%
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
% REALISASI
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
GAMBAR 2.1. REALISASI BELANJA MODAL KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Sumber: Dinas Pendapatan dan Aset Provinsi NTT, diolah
2.4 DANA PEMERINTAH DI PERBANKAN Pada triwulan I 2017, dana milik pemerintah yang disimpan di perbankan tercatat sebesar Rp 5,07 triliun. Jumlah tersebut meningkat 152,45% (qtq) dibandingkan triwulan IV 2016 yang sebesar Rp 2,01 triliun. Peningkatan tersebut sejalan dengan telah ditransfernya sebagian besar dana dari Pemerintah Pusat ke rekening Pemerintah Daerah untuk anggaran tahun 2017. Peningkatan DPK terutama terjadi di Kabupaten/Kota sebesar 157,92% (qtq) dari triwulan sebelumnya sebesar Rp 1,67 triliun untuk pembiayaan belanja Kabupaten/Kota di tahun 2017. Berdasarkan jenis simpanan, giro meningkat sebesar 200,02% (qtq) dari sebelumnya Rp 1,36 triliun, tabungan turun sebesar 33,96% (qtq) dari sebelumnya Rp 198,92 miliar dan deposito meningkat sebesar 90,48% (qtq) dari sebelumnya Rp 447,28 miliar. Simpanan pemerintah terbesar masih dalam bentuk giro sebesar Rp 4,09 triliun.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
27
GRAFIK 2.11. DANA PIHAK KETIGA PEMERINTAH DI PERBANKAN NTT 8
TABEL 2.2. KOMPOSISI DPK PEMERINTAH DI NTT
TRILIUN RP
GIRO
PEMERINTAH
7
TABUNGAN
DEPOSITO
TOTAL DPK
6 5
73,58
0,33
-
73,91
PROVINSI
448,85
5,63
229,89
684,38
KOTA
185,79
16,89
84,93
287,61
KABUPATEN
3.378,28
108,51
537,14
4.023,93
TOTAL
4.086,51
131,37
851,96
5.069,83
PUSAT
4 3 2 1 0
I
II
III
IV
I
2014
II
III
IV
I
2015 PUSAT
PROVINSI
PEMKOT
II
III
IV
2016 PEMKAB
I 2017
TOTAL
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Sumber : Bank Indonesia, diolah
Tabel 2.3 Ringkasan Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur APBN / APBD APBN
REALISASI
KAB
PROV
TOTAL
473.159
20.452.365
4.722.737
25.648.260
582.211
4.301.524
1.112.800
5.996.535
BELANJA DAERAH
9.096.099
21.428.151
4.663.191
35.187.440
873.416
1.642.500
618.183
3.134.099
Belanja Modal
3.604.587
4.797.674
562.136
8.964.397
157.982
67.506
8.550
234.038
Belanja Konsumsi
5.491.512
16.630.477
4.080.399
26.202.388
715.435
1.574.994
609.632
2.900.061
Belanja Pegawai
2.670.623
8.621.451
1.368.796
12.660.870
479.547
1.326.449
227.199
2.033.195
Belanja Barang dan Jasa
2.802.153
4.053.221
922.141
7.777.515
235.888
174.066
122.171
532.126
-
223.974
1.348.420
1.572.394
-
43.973
227.076
271.049
18.737
78.572
23.151
120.460
-
4.127
1.138
5.264
Belanja Bagi Hasil
-
20.103
406.968
427.071
-
377
32.042
32.418
Bantuan Keuangan
-
3.569.084
3.423
3.572.507
-
17.005
-
17.005
Konsumsi Lainnya
-
64.071
7.500
71.571
-
8.997
7
9.003
Belanja Lainnya
-
-
20.655
20.655
-
-
-
-
(8.622.940)
(975.786)
59.546
(9.539.181)
(291.205)
2.659.024
494.618
2.862.436
Penerimaan
1.209.620
122.954
1.332.574
520.398
284.165
804.563
SILPA Tahun Lalu
1.196.235
115.383
1.311.619
520.113
282.889
803.002
13.385
7.570
20.955
285
1.276
1.561
106.550
182.500
289.050
39.500
50.000
89.500 89.500
PENDAPATAN DAERAH
Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial
SURPLUS/DEFISIT
APBN
KAB
PROV
TOTAL
PEMBIAYAAN DAERAH
Lainnya Pengeluaran Penyertaan Modal
76.550
82.500
159.050
39.500
50.000
Lainnya
30.000
100.000
130.000
-
-
-
1.103.070
(59.546)
1.043.524
480.898
234.165
715.063
127.284
-
127.284
3.878.659
728.783
4.607.442
PEMBIAYAAN NETTO SILPA SEKARANG Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
28
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
Boks 2. Pembangunan Infrastruktur Utama di NTT Pada tahun 2017, Provinsi NTT kembali mengalami penurunan alokasi belanja modal dari Rp 9,4 triliun tahun menjadi Rp 9,0 triliun di tahun 2017 atau turun 4,13%. Penurunan alokasi belanja modal pada tahun ini lebih disebabkan oleh turunnya belanja pemerintah kabupaten/kota hingga sebesar -19,84%, diikuti oleh penurunan belanja modal pemerintah provinsi sebesar -4,42%. Belanja pemerintah pusat pada tahun ini kembali menunjukkan peningkatan 27,62% yang disebabkan oleh mulai dilakukannya pembangunan fisik bendungan sehingga cukup menahan penurunan belanja modal yang terjadi. Berdasarkan data realisasi penyerapan belanja modal juga terlihat bahwa potensi penurunan penyerapan belanja modal sebenarnya sudah terlihat sejak triwulan III 2016 yang mulai menunjukkan adanya perlambatan realisasi belanja dan mencapai puncaknya pada triwulan IV 2016. Pada triwulan I 2017, realisasi belanja modal terlihat masih mengalami perlambatan, namun sudah menunjukkan adanya pola perbaikan yang ditunjukkan oleh nilai penurunan realisasi belanja modal yang relatif kecil. GRAFIK BOKS 2. 1. PERKEMBANGAN PAGU BELANJA MODAL PEMERINTAH DI PROVINSI NTT 12000
MILYAR
10,983 9,872
10000 8000
8,985
7,223
6000 4000 2000 0
2014
2015
2016
2017
GRAFIK BOKS 2.2. KUMULASI REALISASI BELANJA MODAL PEMERINTAH DI PROVINSI NTT 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
MILLIONS
2014
I
II
III
IV
I
2015 BONGKAR Sumber : BPS diolah
MUAT
APBN
II
III
IV
2016 APBN PROVINSI
APBD KAB/KOTA
I 2017
TOTAL
Sumber : BPS diolah
Anomali penganggaran belanja modal terjadi pada alokasi belanja modal pemerintah kabupaten/kota yang turun cukup signifikan. Setelah menjadi pendorong utama investasi infrastruktur di tahun 2016, pada tahun 2017, alokasi belanja modal pemerintah kabupaten/kota justru mengalami penurunan menjadi sebesar Rp 4,8 triliun, atau turun Rp 1,2 triliun dari alokasi anggaran tahun 2016 yang sebesar Rp 6,0 triliun, bahkan lebih kecil dibanding realisasi belanja modal tahun 2016 yang Rp 4,9 triliun. Adanya penurunan alokasi pendapatan kabupaten/kota sebesar Rp 134,4 miliar yang diikuti dengan rasionalisasi belanja daerah hingga Rp 1,7 triliun tidak mampu menjelaskan penurunan alokasi belanja modal yang terjadi. Bahkan penurunan belanja yang cukup besar tersebut justru disebabkan oleh penurunan alokasi belanja modal. Adanya pilkada 2017 dan 2018 di 13 daerah yang diduga menurunkan alokasi belanja modal karena adanya pengalihan alokasi belanja untuk pilkada juga tidak terbukti yang ditunjukkan oleh tetap adanya peningkatan alokasi belanja modal pada Kota Kupang, Kabupaten TTS dan Kabupaten Sikka, di sisi lain, 7 kabupaten yang tidak melaksanakan pilkada juga justru mengalami penurunan anggaran belanja modal. Hasil FGD yang menyatakan bahwa penurunan anggaran terutama disebabkan oleh adanya pergantian numenklatur pemerintah daerah dan rotasi pejabat yang cukup sering, ataupun ketakutan pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam merealisasikan proyek karena banyaknya PPK yang ditangkap oleh kepolisian atau kejaksaan, juga belum bisa dijadikan rujukan karena tidak relevan dengan data yang ada.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
29
Hal yang cukup menggembirakan adalah kembali meningkatnya belanja modal APBN setelah di tahun sebelumnya mengalami penurunan yang cukup besar. Kenaikan anggaran terutama didorong oleh besarnya alokasi belanja jalan terutama konstruksi jalan dan jembatan baru di daerah perbatasan maupun peningkatan kelas jalan dan jembatan di NTT. Adanya program pemerintah Jokowi yang menyatakan akan membangun negara dari pinggiran, benar-benar dirasakan Provinsi NTT yang terlihat dari besarnya alokasi belanja modal yang diberikan. Peningkatan signifikan juga terjadi pada alokasi belanja sumber daya air (SDA) dengan alokasi anggaran mencapai Rp 1,25 triliun rupiah. Tingginya alokasi anggaran tersebut terutama diperuntukkan bagi penyelesaian fisik bendungan Raknamo yang ditargetkan pada akhir tahun 2017 sudah dapat beroperasi, ataupun pembangunan fisik bendungan Rotiklot yang sudah mulai berjalan dan pembuatan lanskap bendungan Napunggete. Pada tahun 2017, Pemerintah juga memfokuskan pada pembangunan daerah irigasi (DI) Wae Dingin dan Gising di Manggarai Timur dengan luas daerah irigasi mencapai 3.200 ha, DI Kodi Sumba Barat Daya (607ha) dan DI Raknamo (1.323 ha), sehingga total pembangunan daerah irigasi baru lebih dari 5.000ha, belum termasuk perbaikan DI Malaka yang mencapai 6.000ha. Investasi pemerintah lainnya adalah berupa peningkatan layanan, keamanan dan keselamatan bandara sebesar Rp 150 miliar dan peningkatan kapasitas bandara di bawah Kementrian Perhubungan sebesar Rp 85 miliar. Peningkatan infrastruktur laut yang dilakukan lebih berupa peningkatan layanan kepelabuhan dengan nilai investasi mencapai Rp 132 miliar. Terkait pembangunan perumahan, maka pemerintah pada tahun 2017 telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 141 miliar, terutama untuk pembangunan rumah susun sebesar Rp 39 miliar ataupun infrastruktur permukiman seperti jaringan penanganan persampahan, penataan bangunan dan perpipaan air baku dengan total investasi mencapai Rp 109 miliar. GAMBAR BOKS 2.1. RINGKASAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UTAMA DI NUSA TENGGARA TIMUR
Sumber : Ditjen Perbendaharaan, PLN, Angkasa Pura, PT. Telkomsel, Pelindo III, diolah
Selain investasi pemerintah, swasta dan BUMN juga melakukan investasi infrastruktur di tahun 2017. Pembangunan infrastruktur yang cukup besar dilakukan oleh PT PLN di tahun 2017 adalah berupa pembangunan jaringan listrik untuk 640 desa di NTT dengan nilai investasi sebesar Rp 900 miliar. Selain itu, PLN juga sedang membangun jaringan kelistrikan Timor yang sudah terkoneksi sejak bulan Mei 2017, jaringan kelistrikan Flores dari Labuan Bajo – PLTPB Ulumbu, serta
30
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
pembangunan PLTU IPP Kupang yang saat ini sudah operasi 1 unit dan menunggu penyelesaian 1 unit. PT Angkasa Pura juga melakukan pengembangan bandara El Tari Kupang dengan total nilai investasi mencapai Rp 178 miliar. Pembangunan akan difokuskan pada pembangunan 2 garbarata, penambahan 3 apron pesawat, maupun perluasan kapasitas bandara, dari saat ini seluas 7.500 m2 menjadi 20.000 m2 dan diperkirakan dapat menampung lebih dari 2 juta orang per tahun. Investasi akan dimulai pada bulan Juli 2017 dan selesai pada triwulan III 2018. Pembangunan lain yang juga cukup signifikan adalah berupa penarikan jaringan kabel fiber optik Makasar – Flores. Dengan adanya dua sumber fiber optik, maka potensi putusnya kabel fiber optik sebagaimana sering terjadi pada jaringan Bali – NTB – NTT yang dapat mengganggu semua aktivitas ekonomi dapat dimitigasi. Investasi besar lainnya adalah peningkatan kualitas dan kapasitas jaringan internet melalui pembangunan 600 BTS jaringan 4G di NTT. Cukup besarnya investasi pemerintah pusat dan swasta yang terjadi tersebut selain diharapkan dapat menahan penurunan investasi pemerintah daerah, juga dapat terus meningkatkan konektivitas dan kapasitas ekonomi di NTT. Dukungan masyarakat terlebih dalam mempermudah pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur sangat diperlukan agar kualitas infrastruktur di NTT menjadi semakin baik ke depan.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
31
03
Perkembangan Inflasi Inflasi Provinsi NTT pada triwulan I 2017 masih relatif terkendali. Adanya kenaikan inflasi di bulan Januari dan Februari dapat diredam oleh deflasi yang cukup besar di bulan Maret 2017. Kenaikan inflasi terutama lebih disebabkan oleh kenaikan inflasi komoditas administered prices seiring dengan kenaikan tarif listrik untuk rumah tangga dengan daya 900VA, kenaikan biaya perpanjangan STNK ataupun kenaikan tarif cukai rokok. Adapun inflasi komoditas volatile food dan inflasi inti masih relatif terjaga. Berdasarkan komoditas, makanan jadi menjadi penyumbang inflasi utama terutama disebabkan oleh masih tingginya harga rokok dan tembakau walaupun mulai mengalami perlambatan. Inflasi Kota Maumere masih relatif lebih tinggi dibanding inflasi Kota Kupang terutama disebabkan oleh relatif lebih tingginya inflasi pada komoditas bahan makanan, makanan jadi, minuman dan tembakau serta perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar. Inflasi pada triwulan II 2017 diperkirakan mengalami kenaikan yang cukup besar terutama disebabkan oleh adanya kenaikan listrik rumah tangga dengan daya 900VA yang ketiga serta adanya Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada bulan Juni 2017
3.1. KONDISI UMUM Inflasi Provinsi NTT pada triwulan I 2017 masih terjaga rendah dengan nilai inflasi sebesar 2,95% (yoy), lebih rendah dibanding rata-rata inflasi dalam 3 tahun terakhir yang sebesar 4,46% (yoy) atau inflasi nasional yang sebesar 3,60% (yoy). Nilai inflasi NTT yang masih relatif terjaga ini terutama disebabkan oleh rendahnya inflasi bahan makanan dan transportasi. Kenaikan yang cukup tinggi hanya terjadi pada komoditas makanan jadi, minuman dan tembakau yang terutama disebabkan oleh kenaikan cukai rokok, sedangkan inflasi kelompok komoditas lainnya relatif stabil, bahkan lebih rendah dari rata-rata inflasi dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan pergerakan inflasi, penurunan inflasi yang terjadi sebenarnya tidak sebesar tahun sebelumnya yang
GRAFIK 3.1. INFLASI TAHUNAN PROVINSI NTT DAN NASIONAL 9,01 INFLASI TAHUNAN (%)
disebabkan oleh beberapa hal seperti kondisi anomali
8,01
cuaca La Nina yang membuat produksi sayur-sayuran dan
6,01
bumbu-bumbuan terganggu, pasokan ikan berkurang
4,01
karena nelayan tidak bisa melaut ataupun gangguan
2,01
distribusi karena tingginya ombak di perairan NTT.
7,01 5,01
3,60
3,01
2,95
1,01
3,15
0,01 I
II
III
IV
I
II
2014
III
IV
I
2015
Tingginya kenaikan harga terlihat dari inflasi bulan Januari dan Februari. Namun demikian, ketika cuaca membaik di
4,17
II
III 2016
IV
I
4 2017
NTT
NASIONAL Sumber : BPS, diolah
bulan Maret, NTT dapat mengalami deflasi yang cukup besar, sehingga menahan laju inflasi yang terjadi. Adanya kenaikan tarif listrik rumah tangga dengan daya 900 VA pada bulan Januari dan Maret 2017, biaya perpanjangan STNK, biaya pulsa telepon dan cukai rokok juga menjadi penyebab utama inflasi di triwulan I 2017. Tabel 3.1. 10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Tahunan di Provinsi NTT PENYUMBANG INFLASI UTAMA KOMODITAS INFLASI
PENYUMBANG DEFLASI UTAMA
YOY
SUM YOY
KOMODITAS DEFLASI
CABAI RAWIT
150.44
YOY
SUM YOY
0.50
KEMBUNG
(34.09)
TARIP LISTRIK
(0.37)
15.60
0.45
DAGING AYAM RAS
(17.87)
(0.20)
ROKOK KRETEK FILTER
12.65
0.24
BERAS
(2.62)
(0.17)
CABAI MERAH
94.55
0.23
BENSIN
(6.42)
(0.17)
KANGKUNG
22.67
0.22
SEMEN
(4.58)
(0.11)
102.93
0.20
SAWI HIJAU
(28.22)
(0.04)
ROKOK KRETEK
23.36
0.16
DAGING AYAM KAMPUNG
(22.51)
(0.03)
BAYAM
40.07
0.16
BESI BETON
(3.48)
(0.03)
TAHU MENTAH
29.38
0.14
TEMPE
(6.68)
(0.02)
DAGING BABI
19.52
0.14
SEPATU
(12.09)
(0.02)
PERPANJANGAN STNK
Sumber : BPS diolah
Komoditas cabai rawit menjadi penyumbang inflasi utama di NTT di triwulan I 2017 dengan inflasi mencapai 150,44% (yoy) dan memberikan sumbangan inflasi hingga 0,50% (sum-yoy), diikuti oleh kenaikan tarif listrik, rokok kretek filter, cabai merah, kangkung dan biaya perpanjangan STNK. Kenaikan cabai rawit lebih disebabkan oleh adanya penurunan pasokan secara nasional yang disebabkan oleh kondisi curah hujan yang tinggi, sehingga panen yang dihasilkan berkurang. Masalah yang sama juga dialami oleh komoditas cabai merah dan sayur-sayuran yang mengalami kenaikan cukup tinggi. Adapun beberapa komoditas administered prices pada triwulan ini menjadi penyumbang inflasi utama seperti tarif listrik seiring dengan pencabutan subsidi bertahap oleh pemerintah, biaya perpanjangan STNK maupun kenaikan cukai rokok yang berdampak pada kenaikan inflasi rokok kretek dan rokok kretek filter. Adapun komoditas yang menjadi pendorong utama deflasi antara lain ikan kembung yang disebabkan oleh cukup besarnya hasil tangkapan ikan terutama di bulan Maret 2017, daging ayam yang disebabkan oleh mulai pulihnya pasokan
34
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
setelah tahun sebelumnya mengalami kenaikan seiring dengan adanya kekurangan DOC, ataupun stabilnya pasokan beras di pasar yang membuat harga relatif stabil dan cenderung mengalami penurunan. Adapun deflasi bensin, besi beton dan semen lebih disebabkan oleh adanya deflasi yang cukup besar di tahun sebelumnya.
3.1.1 Inflasi Bulanan Inflasi di Provinsi NTT secara triwulanan menunjukkan nilai yang masih relatif terjaga sebesar 0,10% (qtq). Namun demikian, apabila dibandingkan rata-rata inflasi dalam 3 tahun terakhir yang mengalami deflasi 0,25% (av-qtq), nilai tersebut relatif besar. Kondisi cuaca akibat anomali alam La Nina masih menjadi penyebab utama inflasi yang terlihat dari tingginya inflasi sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan di triwulan I 2017. Adanya kenaikan beberapa komoditas administered prices seperti tarif listrik dan biaya perpanjangan STNK di awal tahun juga menjadi penyebab utama Inflasi di triwulan I 2017. Secara bulanan, inflasi pada bulan Januari mengalami kenaikan yang cukup tinggi hingga 0,79% (mtm), sedikit lebih tinggi dari rata-rata inflasi 3 tahun terakhir yang sebesar 0,70% (av-mtm). Tingginya inflasi terutama disebabkan oleh adanya kenaikan harga ikan segar dikarenakan tidak adanya pasokan ikan di pasar seiring dengan buruknya cuaca yang terjadi. Adanya kenaikan tarif listrik rumah tangga dengan daya 900 VA, kenaikan tarif pulsa ponsel ataupun biaya perpanjangan STNK hingga 102,93% (mtm) juga meningkatkan inflasi di bulan ini. Bahkan, kenaikan cabai rawit yang cukup tinggi hingga 58,00% (mtm) membuat pemerintah harus melakukan operasi pasar untuk menstabilkan harga. Di sisi lain, adanya penurunan tarif angkutan udara seiring dengan sepinya penumpang di awal tahun serta penurunan harga daging ayam ras dan beberapa bahan makanan lainnya mampu menahan inflasi yang terjadi. Tabel 3.2. Komoditas Penyumbang Inflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT JANUARI Komoditas
FEBRUARI
Inflasi (%) Andil (%)
Komoditas
Tarip Listrik
6.51
0.18
Bayam
Tarip Pulsa Ponsel
9.18
0.16
Kangkung
Cabai Rawit
58.00
0.13
Tembang
39.95
MARET
Inflasi (%) Andil (%)
Komoditas
APRIL
Inflasi (%) Andil (%)
Komoditas
Inflasi (%) Andil (%)
26.66
0.08
Tarip Listrik
3.46
0.10
Angkutan Udara
12.83
0.35
6.85
0.06
Sawi Putih
10.19
0.08
Kangkung
20.82
0.16
Ekor Kuning
39.14
0.06
Angkutan Udara
3.03
0.08
Wortel
31.35
0.05
0.12
Tomat Sayur
17.54
0.05
Cabai Rawit
15.77
0.05
Tahu Mentah
8.58
0.04
102.93
0.10
Daun Singkong
37.53
0.04
Terong Panjang
46.87
0.03
Pucuk Labu
45.79
0.04
Mobil
7.58
0.10
Kayu Balokan
10.00
0.04
Beras
0.49
0.03
Daun Seledri
85.60
0.03
Kangkung
8.52
0.07
Celana Panjang Jeans
14.61
0.03
Tomat Sayur
9.04
0.03
Rokok Kretek Filter
1.36
0.03
Kakap Merah
34.56
0.07
Tahu Mentah
7.12
0.03
Perbaikan Ringan Kendaraan 17.35
0.02
Besi Beton
2.93
0.02
Daging Babi
10.59
0.07
Sawi Hijau
23.05
0.03
Kol Putih
15.04
0.02
Terong Panjang
19.07
0.02
Cakalang/sisik
34.32
0.06
Kakap Merah
10.81
0.03
Sandal Kulit
17.91
0.01
Celana Panjang Jeans
7.92
0.02
Perpanjangan Stnk
Sumber : BPS diolah
Pada bulan Februari 2017, Provinsi NTT masih mengalami inflasi namun melambat dibanding bulan sebelumnya. Adanya kenaikan harga sayur-sayuran seperti bayam, kangkung, tomat sayur, daun singkong, sawi hijau, dll serta kenaikan biaya tempat tinggal menjadi penyebab utama inflasi yang terjadi. Adanya deflasi pada kelompok komoditas daging dan hasilhasilnya, bumbu-bumbuan, ikan segar serta biaya tempat tinggal mampu menahan laju inflasi yang terjadi. Pada bulan Maret, NTT mengalami deflasi yang cukup tinggi sebesar -0,79% (mtm). Membaiknya kondisi cuaca menjadi penyebab utama deflasi yang terjadi, terutama disebabkan oleh meningkatnya pasokan komoditas ikan segar seperti ikan kembung, kakap merah, tongkol dan cakalang, meningkatnya pasokan ayam ras maupun tersedianya pasokan sayursayuran di pasar. Adanya kenaikan tarif listrik kedua di bulan ini, serta kenaikan harga sawi putih dan angkutan udara tidak terlalu berdampak terhadap deflasi yang terjadi.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
35
Tabel 3.3. Komoditas Penyumbang Deflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT JANUARI
FEBRUARI
Deflasi (%) Andil (%)
Komoditas Angkutan Udara
(10.48)
(0.30)
Daging Ayam Ras
Sawi Putih
(25.45)
(0.27)
Ayam Hidup
(10.04)
Bawang Merah
MARET
Deflasi (%) Andil (%)
Komoditas
Komoditas
APRIL
Deflasi (%) Andil (%)
Komoditas
Deflasi (%) Andil (%)
(6.76)
(0.08)
Daging Ayam Ras
(21.32)
(0.24)
Kembung
(10.16)
(0.10)
Tembang
(17.62)
(0.07)
Kangkung
(21.76)
(0.21)
Ekor Kuning
(41.57)
(0.08)
(0.08)
Bawang Merah
(13.27)
(0.07)
Kembung
(11.57)
(0.13)
Beras
(1.06)
(0.07)
(7.34)
(0.04)
Tarip Pulsa Ponsel
(3.31)
(0.06)
Cakalang
(36.59)
(0.09)
Cabai Rawit
(14.62)
(0.06)
Daging Ayam Ras
(3.25)
(0.04)
Kembung
(4.09)
(0.05)
Kakap Merah
(26.29)
(0.08)
Daging Ayam Ras
(6.12)
(0.05)
Tomat Sayur
(9.38)
(0.03)
Televisi Berwarna
(12.03)
(0.04)
Tongkol
(10.04)
(0.06)
Tembang
(11.96)
(0.04)
(17.70)
(0.03)
Telur Ayam Ras
(4.50)
(0.04)
Bayam
(14.02)
(0.06)
Cakalang/Sisik
(21.56)
(0.03)
(0.38)
(0.03)
Ayam Hidup
(4.04)
(0.03)
Tarip Pulsa Ponsel
(1.88)
(0.04)
Tomat Sayur
(8.45)
(0.03)
(16.64)
(0.02)
Bunga Pepaya
(21.62)
(0.03)
Labu Siam
(40.67)
(0.03)
Semen
(0.97)
(0.02)
(4.07)
(0.01)
Bawang Putih
(7.01)
(0.03)
Telur Ayam Ras
(3.70)
(0.03)
Daging Ayam Kampung (16.22)
(0.02)
Bunga Pepaya Beras Pucuk Labu Sepatu Sumber : BPS diolah
Pencapaian inflasi Balinusra pada triwulan ini mencapai 3,73% (yoy) atau mencapai peringkat ketiga tertinggi setelah wilayah Kalimantan dan Sumatera. Secara triwulanan, pencapaian inflasi Balinusra menduduki peringkat kedua tertinggi dengan nilai mencapai 1,41% (qtq) setelah wilayah Sulampua yang inflasi sebesar 1,49% (qtq). GRAFIK 3.2. PERBANDINGAN INFLASI 5 REGIONAL DI INDONESIA 4,19 3,45
3,73
GRAFIK 3.3. PERBANDINGAN INFLASI DI WILAYAH BALINUSRA
3,92
4,50
4,48
3,43
3,50 2,58
2,96
2,50 1,37
1,49
1,41
1,96
1,40
1,50
1,04
0,37
TAHUNAN
SUMATERA
JAWA
BALINUSRA
SULAMPUA
KALIMANTAN
SUMATERA
JAWA
BALINUSRA
SULAMPUA
0,50 KALIMANTAN
4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 -
(0,50)
0,10 BALI
NTB
NTT
BALI
NTB
NTT
(1,50) TAHUNAN
TRIWULANAN
TRIWULANAN
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
Di regional Balinusra, Inflasi tahunan Provinsi NTT menduduki posisi kedua terendah setelah NTB yang mencapai inflasi sebesar 2,58% (yoy). Namun demikian, secara triwulanan, inflasi di Provinsi NTT menduduki posisi terendah dengan nilai sebesar 0,10% (qtq), jauh lebih rendah dibanding Provinsi Bali dan NTB yang memiliki inflasi di atas 1%. Buruknya kondisi cuaca di awal tahun menjadi penyebab utama tingginya inflasi Provinsi Bali dan NTB di awal tahun 2017.
3.2. INFLASI BERDASARKAN KELOMPOK KOMODITAS Berdasarkan kelompok komoditas, komoditas makanan jadi, minuman dan tembakau masih menjadi pendorong utama inflasi di Provinsi NTT. Tingginya kenaikan harga rokok masih menjadi penyebab utama inflasi meskipun mengalami perlambatan. Inflasi kelompok komoditas bahan makanan menunjukkan adanya penurunan yang cukup besar setelah meningkat di akhir tahun 2016. Kenaikan inflasi terlihat pada komoditas perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar serta pendidikan dan rekreasi dan olah raga, sedang komoditas lainnya cenderung stabil atau bahkan mengalami sedikit penurunan.
36
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
Tabel 3.4. Inflasi di Provinsi NTT berdasarkan Kelompok Komoditas 2017
KOMODITI JAN
FEB
YOY MAR
APR
I
APR
INFLASI UMUM
0.7
0.1
(0.8)
0.2
2.95
3.15
BAHAN MAKANAN
1.4
(0.0)
(3.5)
(0.8)
2.66
0.72
MAKANAN JADI, MINUMAN DAN TEMBAKAU
0.4
0.3
0.1
0.2
6.30
6.07
PERUMAHAN, AIR, LISTRIK, GAS DAN BAHAN BAKAR
1.1
0.5
0.2
0.1
2.38
2.72
SANDANG
(0.8)
1.7
(0.1)
0.9
3.80
3.93
KESEHATAN
0.2
(0.3)
(0.0)
(0.1)
1.98
1.39
PENDIDIKAN, REKREASI DAN OLAH RAGA
0.4
(0.4)
0.0
0.3
3.08
3.33
TRANSPORTASI, KOMUNIKASI DAN JASA
0.5
(0.2)
0.3
1.9
1.39
5.02
Sumber : BPS diolah
3.2.1 Bahan Makanan Inflasi bahan makanan pada triwulan I 2017 mengalami penurunan dengan nilai inflasi hanya sebesar 2,66% (yoy), jauh lebih rendah dibanding rata-rata inflasi dalam 3 tahun terakhir yang sebesar 4,35% (av-yoy). Rendahnya inflasi lebih disebabkan oleh turunnya harga kelompok komoditas ikan segar, padi-padian dan daging dan hasil-hasilnya seiring dengan adanya peningkatan pasokan. Namun demikian, adanya anomali cuaca La Nina masih berdampak terhadap tingginya harga bumbu-bumbuan, sayur-sayuran maupun ikan diawetkan yang disebabkan oleh penurunan hasil produksi dan produktivitas akibat dari buruknya kondisi cuaca. Penurunan inflasi bahan makanan sangat terlihat pada pergerakan harga triwulanan dan bulanan yang menunjukkan penurunan yang sangat signifikan terutama di triwulan I 2017. GRAFIK 3.4. INFLASI KELOMPOK KOMODITAS BAHAN MAKANAN SECARA TRIWULANAN, TAHUNAN DAN BULANAN
GRAFIK 3.5. INFLASI KELOMPOK KOMODITAS BAHAN MAKANAN PER SUB KELOMPOK KOMODITAS
15.00
PADI-PADIAN, UMBI-UMBIAN DAN HASILNYA 40 DAGING DAN HASIL-HASILNYA 30 20 10 IKAN SEGAR LEMAK DAN MINYAK 0 -10 -20 BUMBU - BUMBUAN IKAN DIAWETKAN
QTQ YOY
BAHAN MAKANAN LAINNYA
10.00 5.00 -
2,66 (2,23)
0,72 (0,84)
(5.00)
(3,55)
(4,39)
(10.00) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 2015 2016 2017 YOY
QTQ
BUAH - BUAHAN KACANG - KACANGAN
MTM
Sumber : BPS, diolah
TELUR, SUSU DAN HASIL-HASILNYA SAYUR-SAYURAN
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan rincian komoditas dapat diketahui bahwa tingginya inflasi bumbu-bumbuan hingga 25,57% (yoy) terutama disebabkan oleh tingginya kenaikan harga cabai rawit hingga 150,44% (yoy), cabai merah (94,55%-yoy) dan bawang merah (20,13%-yoy). Adanya anomali cuaca La Nina membuat tanaman tersebut rentan terkena hama yang menyebabkan produktifitas mengalami penurunan serta banyak petani yang mengalihkan produksinya ke tanaman yang lebih tahan air, sehingga pasokan komoditas tersebut mengalami penurunan secara nasional dan berdampak pada kenaikan harga yang signifikan. Komoditas sayur-sayuran juga mengalami inflasi yang cukup tinggi sebesar 12,43% (yoy) terutama disebabkan oleh kenaikan harga beberapa komoditas sayur seperti bayam, kangkung, sawi putih, kentang, terong panjang, buncis, kacang panjang maupun pucuk labu. Kenaikan harga komoditas ini cukup menarik dikarenakan walaupun tingkat kerentanan terhadap cuaca tidak sebesar komoditas cabai ataupun bawang merah, namun fluktuasi harga beserta kenaikan yang terjadi masih relatif cukup tinggi. Dengan struktur pasar mayoritas berupa persaingan sempurna, maka kelangkaan pasokan sepatutnya dapat dihindarkan.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
37
Kelompok komoditas ikan segar mengalami deflasi cukup besar hingga -10,83% terutama disebabkan oleh meningkatnya pasokan ikan kembung di pasar yang menyebabkan penurunan harga hingga 34,09% (yoy). Lancarnya pasokan beras seiring adanya peningkatan produksi secara nasional juga telah menurunkan harga padi-padian sebesar 2,38% (yoy), demikian pula dengan harga daging dan hasil-hasilnya yang mengalami penurunan sebesar 1,64% (yoy). Penurunan inflasi terutama disebabkan oleh menurunnya harga daging ayam ras dan daging ayam kampung. Namun demikian, adanya fluktuasi harga yang sangat tinggi dalam satu tahun terakhir sekiranya dapat menjadi peringatan akan kecukupan ketersediaan pasokan di NTT.
3.2.2 Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan Komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan mulai menunjukkan adanya kenaikan inflasi pada triwulan I 2017 setelah hampir sepanjang tahun 2016 cenderung mengalami deflasi. Kenaikan biaya perpanjangan STNK hingga sebesar 102,93% (yoy) di awal tahun 2017 mampu menyumbang inflasi transportasi, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 0,10% (sum-yoy). Selain itu, kenaikan harga mobil hingga 8,42% (yoy) di awal tahun, kenaikan tarif pulsa ponsel serta angkutan udara di bulan Maret turut menyebabkan kenaikan inflasi di triwulan I 2017. GRAFIK 3.6. INFLASI KELOMPOK KOMODITAS TRANSPORTASI, KOMUNIKASI DAN JASA KEUANGAN SECARA TRIWULANAN, TAHUNAN DAN BULANAN
GRAFIK 3.7. INFLASI KELOMPOK KOMODITAS TRANSPORTASI, KOMUNIKASI DAN JASA KEUANGAN PER SUB KELOMPOK KOMODITAS
18,00
25%
13,00
20%
TAHUNAN
15%
8,00 1,39 0,64 0,35
3,00 (2,00)
5,02 2,10 1,94
10% 5%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 2015 2016 2017 YOY
QTQ
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 2014
2016
TRANSPOR, KOMUNIKASI DAN JASA KEUANGAN KOMUNIKASI DAN PENGIRIMAN TRANSPOR JASA KEUANGAN SARANA DAN PENUNJANG TRANSPOR
MTM
Sumber : BPS, diolah
2015
2017 1
0% -5%
(7,00)
Sumber : BPS, diolah
Adapun yang tetap perlu diperhatikan adalah besarnya fluktuasi harga angkutan udara terlebih di Maumere yang menunjukkan adanya keterbatasan pasokan angkutan udara di NTT.
3.2.3 Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau Walaupun dalam tren melambat, Kelompok komoditas makanan jadi, minuman dan tembakau pada triwulan I 2017 masih menjadi penyumbang utama inflasi di Provinsi NTT dengan nilai inflasi mencapai 6,30% (yoy). Tingginya harga rokok akibat kenaikan tarif cukai rokok masih menjadi penyebab utama tingginya inflasi. Kenaikan inflasi rokok di kawasan Balinusra bahkan menjadi kawasan dengan kenaikan tertinggi mencapai 14,76% (yoy), dengan Kota Denpasar sebagai kota dengan inflasi rokok kretek filter terbesar di Indonesia hingga 21,34% (yoy). Adapun komoditas lain yang juga menjadi penyumbang inflasi utama antara lain rokok kretek dan rokok putih, mie, gula pasir, kopi bubuk, kue kering dan roti manis. Adanya pasokan baru gula pasir dari Kabupaten Dompu mulai bulan Maret 2017 diprediksi dapat menekan inflasi komoditas tersebut.
38
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
GRAFIK 3. 8. INFLASI KELOMPOK KOMODITAS MAKANAN JADI, MINUMAN DAN TEMBAKAU SECARA TRIWULANAN, TAHUNAN DAN BULANAN
GRAFIK 3.9. INFLASI KELOMPOK KOMODITAS MAKANAN JADI, MINUMAN DAN TEMBAKAU PER SUB KELOMPOK KOMODITAS 25%
12.00 10.00
YOY
20%
8.00
6,30
6,07 15%
6.00 4.00
0,81 0,10
2.00
0,57 0,19
10% 5%
(2.00)
0% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2015 YOY
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 2016 2017
QTQ
1
2
3
4
5
6 7 8 2015
9 10 11 12 1
MAKANAN JADI, MINUMAN, ROKOK & TEMBAKAU MINUMAN YANG TIDAK BERALKOHOL
MTM
Sumber : BPS, diolah
2
3 4
5
6 7 8 2016
9 10 11 12 1
2 3 4 2017
MAKANAN JADI TEMBAKAU DAN MINUMAN BERALKOHOL
Sumber : BPS, diolah
3.2.4 Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar Inflasi kelompok komoditas perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar menunjukkan adanya peningkatan sebesar 2,38% (yoy) setelah dalam 2 tahun terakhir terus mengalami tren penurunan. Adanya kenaikan tarif listrik rumah tangga dengan daya 900 VA pada bulan Januari dan Maret 2017 menjadi penyebab utama kembali meningkatnya inflasi kelompok komoditas ini. Selain itu, kenaikan harga pasir, seng, sewa rumah, kayu balokan dan upah pembantu menjadi komoditas utama lainnya yang mendorong inflasi. Buruknya cuaca diduga menjadi penyebab utama penurunan pasokan pasir dan kayu balokan. Adapun penurunan harga semen, besi beton dan keramik karena penurunan permintaan, serta penurunan harga perlengkapan rumah tangga dan beberapa peralatan elektronik mampu menghambat terjadinya inflasi yang lebih tinggi. GRAFIK 3.10. INFLASI KELOMPOK KOMODITAS PERUMAHAN, AIR, LISTRIK, GAS DAN BAHAN BAKAR SECARA TRIWULANAN, TAHUNAN DAN BULANAN 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00
2,38
2,72
2,00 1,00 (1,00)
1,72
0,74
0,18
0,08
(2,00) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2015 YOY
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 2016 2017 QTQ
MTM
Sumber : BPS, diolah
GRAFIK 3.11. INFLASI KELOMPOK KOMODITAS PERUMAHAN, AIR, LISTRIK, GAS DAN BAHAN BAKAR PER SUB KELOMPOK KOMODITAS 16% 14% 12% 10% 8% 6% 4% 2% 0% -2% -4%
YOY
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2015 PERUMAHAN,AIR,LISTRIK,GAS & BB BAHAN BAKAR, PENERANGAN DAN AIR
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 2016 2017
BIAYA TEMPAT TINGGAL PERLENGKAPAN RUMAH TANGGA
PENYELENGGARAAN RUMAHTANGGA
Sumber : BPS, diolah
3.2.5 Komoditas Lainnya Inflasi pada kelompok komoditas lainnya menunjukkan adanya kenaikan pada komoditas pendidikan, dan perlambatan pada komoditas sandang dan kesehatan. Inflasi komoditas pendidikan mengalami kenaikan 3,86% (yoy) terutama disebabkan oleh kenaikan biaya pendidikan dari SD hingga perguruan tinggi. Inflasi komoditas sandang masih menunjukkan cukup tingginya inflasi sebesar 3,80% (yoy) terutama disebabkan oleh tingginya inflasi komoditas sandang laki-laki. Biaya kesehatan menunjukkan adanya perlambatan inflasi menjadi 1,98% (yoy) yang terutama disebabkan oleh relatif stabilnya harga obat-obatan.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
39
3.3. DISAGREGASI INFLASI Berdasarkan disagregasi, pada triwulan I 2017, inflasi administered prices mengalami peningkatan yang cukup signifikan menjadi 4,96% (yoy), diikuti oleh inflasi volatile food yang sebesar 2,87% (yoy) dan inflasi komoditas inti sebesar 2,30% (yoy). Kenaikan inflasi terutama disebabkan oleh meningkatnya tarif listrik, cukai rokok, dan perpanjangan STNK, sedangkan pada
GRAFIK 3.12. DISAGREGASI INFLASI DAN SUMBANGAN INFLASI TAHUNAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 14 12 10 8 6 4 2 0 1
2
3
4
5
komoditas volatile food lebih dipengaruhi oleh kondisi
6 7 2015
8
SUM_VF
9 10 11 12 1 SUM_AP
2
SUM_CORE
3 4
5
6 7 2016
INFLASI
VF
8
AP
9 10 11 12 1
2 3 4 2017
CORE
Sumber : BPS, diolah
cuaca yang sempat memburuk di awal tahun.
3.3.1 Kelompok Volatile food Inflasi komoditas volatile food masih melanjutkan tren melambat setelah pada triwulan I 2017 mengalami inflasi 2,87%, menurun dibanding inflasi triwulan IV 2016 yang sebesar 4,12%. Perlambatan inflasi terutama disumbang oleh adanya deflasi 31 komoditas pembentuknya, sedangkan 52 komoditas lainnya mengalami inflasi. Kondisi cuaca yang membaik terutama di bulan Maret berhasil menurunkan harga beberapa komoditas. Namun demikian, perlambatan harga tidak terjadi secepat tahun-tahun sebelumnya yang cenderung mengalami penurunan sejak bulan Februari terutama disebabkan oleh bertambah panjangnya musim penghujan di NTT karena anomali cuaca La Nina. Dampak dari adanya anomali cuaca tersebut terlihat dari tingginya kenaikan harga beberapa komoditas bumbu-bumbuan dan sayur-sayuran seperti cabai rawit, cabai merah, sawi putih, bawang merah, tahu mentah dan kentang yang mengalami kenaikan harga secara signifikan karena penurunan produksi. Komoditas sayur lainnya seperti kangkung, bayam, pisang dan terong panjang juga turut mengalami kenaikan harga walaupun tidak terlalu dipengaruhi oleh cuaca. Komoditas lainnya yang juga mengalami kenaikan antara lain daging babi yang lebih disebabkan oleh adanya kenaikan harga pakan dan permintaan. Tabel 3.5. Komoditas Volatile food Penyumbang Utama Inflasi KOMODITAS INFLASI
YOY
SUM YOY
KOMODITAS DEFLASI
YOY
SUM YOY
150.77
0.24
Kembung
(37.78)
(0.60)
Kangkung
22.88
0.14
Daging Ayam Ras
(18.60)
(0.20)
Daging Babi
21.39
0.13
Beras
(2.59)
(0.18)
Cabai Merah
94.84
0.13
Daging Ayam Kampung
(22.49)
(0.04)
Tahu Mentah
30.53
0.11
Jeruk
(29.54)
(0.03)
Cabai Rawit
Penurunan inflasi juga terjadi terutama disebabkan oleh menurunnya harga ikan kembung seiring dengan adanya peningkatan pasokan paska membaiknya kondisi cuaca di bulan Maret 2017. Harga daging ayam ras maupun ayam kampung juga kembali mengalami penurunan setelah di tahun sebelumnya cenderung mengalami kenaikan karena kelangkaan pasokan. Melimpah dan lancarnya pasokan beras dari Makasar, Jawa ataupun Sumbawa juga mampu menjaga harga beras tetap rendah, demikian juga dengan menurunnya harga komoditas buah-buahan yang lebih disebabkan oleh tidak adanya permasalahan pasokan. Harga tempe bisa mengalami penurunan lebih disebabkan oleh bahan baku tempe yang menggunakan kedelai impor yang relatif tidak ada gangguan pasokan dibanding tahu yang lebih menggunakan bahan baku kedelai lokal.
40
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
3.3.2 Kelompok Administered prices Inflasi administered prices pada triwulan I 2017 justru mulai menunjukkan peningkatan yang cukup besar terutama disebabkan oleh naiknya tarif listrik 900 VA di bulan Januari dan Maret 2017, serta adanya kenaikan biaya perpanjangan STNK hingga lebih dari 100%. Adanya kenaikan tarif cukai rokok yang cukup tinggi di tahun 2016-2017 juga masih menjadi penyebab utama kenaikan inflasi komoditas rokok, namun demikian pengaruh kenaikan terlihat mulai mengalami perlambatan. Penurunan harga bensin, solar dan bahan bakar rumah tangga di tahun 2016 masih mampu menahan kenaikan inflasi yang terjadi. Berdasarkan pergerakan harga secara nasional dapat diketahui bahwa hampir semua komoditas administered prices memiliki pola perubahan inflasi yang sama kecuali pada komoditas rokok yang masing masing daerah memiliki pola pergerakan yang berbeda tergantung kebijakan distributor masingmasing rokok di daerah. Tabel 3.6. Komoditas Administered prices Penyumbang Utama Inflasi KOMODITAS INFLASI
YOY
SUM YOY
Tarip Listrik
15.61
0.42
Rokok Kretek Filter
12.63
0.22
Angkutan Udara Rokok Kretek Biaya Perpanjangan STNK
5.27
0.14
23.84
0.14
102.95
0.10
KOMODITAS DEFLASI
YOY
SUM YOY
Bensin
(6.43)
(0.19)
Solar
(8.09)
(0.02)
Bahan Bakar Rumah Tangga
(0.85)
(0.01)
3.3.3 Kelompok Inti (core) Kelompok inflasi inti menjadi kelompok inflasi dengan jumlah komoditas terbanyak di NTT dengan total 326 komoditas dan bobot terhadap total inflasi mencapai 57,70% (share). Inflasi kelompok komoditas ini mengalami inflasi paling rendah sebesar 2,30% (yoy) dibanding dua komoditas lainnya terutama disebabkan oleh relatif stabilnya harga komoditas pembentuknya. Inflasi terjadi pada 177 komoditas pembentuknya dengan sumbangan inflasi tertinggi disebabkan oleh adanya kenaikan harga mobil hingga 8,56% (yoy) yang mampu menyumbang inflasi hingga 0,11% (sum-yoy). Kondisi cuaca yang relatif buruk juga meningkatkan harga pasir dikarenakan oleh jumlah pasokan yang juga cenderung menurun. Kenaikan harga juga terjadi pada beberapa komoditas lainnya antara lain mie, tarif pulsa ponsel, sewa rumah, biaya pendidikan, gula pasir, upah pembantu, dll. Kenaikan inflasi lebih disebabkan oleh adanya penurunan pasokan, mengikuti pola kenaikan tahunan seperti biaya pendidikan, sewa rumah dan upah pembantu, ataupun karena adanya kenaikan biaya investasi dan operasional. Selain inflasi, deflasi juga dialami oleh 80 komoditas dalam kelompok inti dengan sumbangan deflasi tertinggi disebabkan oleh penurunan harga semen seiring dengan cukupnya pasokan dan mulai terjadi penurunan permintaan paska perpanjangan proyek fisik pemerintah di bulan Februari 2017. Penurunan permintaan bahan bangunan juga membuat harga besi beton, keramik, kain gorden dan batako mengalami penurunan. Adapun komoditas lainnya seperti sepatu, gelas, gaun, celana panjang, kulkas, ataupun kursi juga mengalami penurunan yang kemungkinan disebabkan oleh turunnya permintaan dan dalam rangka mengurangi stok lama yang ada. Tabel 3.7. Komoditas Core Penyumbang Utama Inflasi KOMODITAS INFLASI
YOY
SUM YOY
KOMODITAS DEFLASI
YOY
SUM YOY
Mobil
8.56
0.11
Semen
(4.75)
(0.12)
Pasir
8.37
0.09
Besi Beton
(3.67)
(0.03)
Mie
5.20
0.07
Sepatu
(12.59)
(0.03)
Tarip Pulsa Ponsel
3.74
0.07
Keramik
(3.62)
(0.03)
Sewa Rumah
2.97
0.06
Gelas Minum
(12.05)
(0.03)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
41
Ekspektasi harga konsumen dalam 3 dan 6 bulan
GRAFIK 3.13. EKSPEKTASI HARGA KONSUMEN 3 DAN 6 BULAN KE DEPAN
mendatang menunjukkan adanya penurunan hingga
3.00
200.00
2.50
bulan April 2017 dan berangsur mengalami kenaikan
190.00
2.00 1.50
hingga bulan Juni 2017. Penurunan ekspektasi inflasi
180.00
1.00
170.00
0.50
lebih disebabkan oleh kondisi permintaan yang relatif
-
160.00
(0.50)
stabil, sedangkan potensi kenaikan harga lebih disebabkan
150.00
(1.00) (1.50)
140.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2015 2016 2017
oleh adanya momen puasa, hari raya Idul Fitri maupun libur sekolah. Harga diperkirakan akan kembali mengalami
EKSPEKTASI HARGA 3 BLN YAD
penurunan setelah libur sekolah.
EKSPEKTASI HARGA 6 BLN YAD
INFLASI
Sumber : Bank Indonesia, diolah
3.4. INFLASI NTT BERDASARKAN KOTA 3.4.1 Inflasi Kota Kupang Inflasi Kota Kupang pada triwulan I 2017 mencapai 2,83% (yoy), jauh lebih rendah dibanding rata-rata inflasi Kota Kupang dalam 3 tahun terakhir yang sebesar 4,60% (av-yoy). Rendahnya inflasi bahan makanan, perumahan, transportasi dan kesehatan mampu menahan laju inflasi yang terjadi. Walaupun mengalami inflasi yang cukup tinggi pada bulan Januari dan Februari 2017 (0,79% dan 0,18% - mtm), Kota Kupang kembali mengalami deflasi di bulan Maret 2017 sebesar -0,87% (mtm) menjadikan inflasi hingga bulan Maret 2017 sebesar 0,09% (ytd) relatif rendah dibanding rata-rata inflasi nasional yang sebesar 1,18% (ytd). Berdasarkan disagregasi inflasi, kenaikan inflasi terutama disebabkan oleh meningkatnya inflasi kelompok administered prices sebesar 4,76% (yoy) terutama disumbang oleh kenaikan tarif listrik dan inflasi komoditas rokok. Komoditas BBM masih menjadi penahan utama inflasi seiring dengan adanya penurunan harga BBM di tahun 2016. Inflasi kelompok inti hanya sebesar 1,34% (yoy) terutama tertahan oleh deflasi komoditas bahan bangunan seperti semen, besi beton, keramik, dan batako. Inflasi kelompok inti terutama disebabkan oleh kenaikan harga mobil di Kota Kupang, diikuti oleh kenaikan harga pasir, mie, tarif pulsa ponsel, biaya pendidikan dari SD hingga perguruan tinggi, sewa rumah dan lainnya. Inflasi volatile food menjadi kelompok komoditas dengan inflasi terendah sebesar 0,58% (yoy) terutama disebabkan oleh adanya deflasi 31 komoditas pembentuknya. Ikan kembung, daging ayam ras dan ayam kampung serta beras dan buah-buahan menjadi sumber deflasi terbesar sedangkan kenaikan harga cabai rawit dan merah, kangkung, daging babi, tahu mentah, bayam dan sawi putih menjadi penyebab utama inflasi di Kota Kupang. GRAFIK 3.14. DISAGREGASI INFLASI TAHUNAN KOTA KUPANG 14
YOY
12 10 8 6 4 2 0 1
2
3
4
5
6 7 2015
8
9 10 11 12 1
SUM_VF SUM_CORE Sumber : BPS, diolah
42
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
2
SUM_AP INFLASI
3 4
5
VF CORE
6 7 2016
8
AP
9 10 11 12 1
2 3 4 2017
Tabel 3.8. Inflasi di Kota Kupang berdasarkan Kelompok Komoditas 2017
KOMODITI
YOY
JAN
FEB
MAR
APR
I
INFLASI UMUM
0.8
0.2
(0.9)
APR
0.3
2.83
BAHAN MAKANAN
1.6
0.2
3.04
(3.9)
(0.8)
2.42
MAKANAN JADI, MINUMAN DAN TEMBAKAU
0.4
0.29
0.2
0.1
0.2
6.62
PERUMAHAN, AIR, LISTRIK, GAS DAN BAHAN BAKAR
6.39
1.1
0.4
0.1
0.1
2.07
2.43
SANDANG
(0.9)
1.7
(0.2)
0.9
3.74
3.82
KESEHATAN
0.2
(0.4)
(0.0)
(0.1)
1.73
1.06
PENDIDIKAN, REKREASI DAN OLAH RAGA
0.5
(0.5)
0.1
0.3
3.29
3.59
TRANSPORTASI, KOMUNIKASI DAN JASA
0.2
(0.2)
0.4
2.1
1.38
5.26
Sumber : BPS diolah
Berdasarkan kelompok komoditas, makanan jadi, minuman dan tembakau menjadi penyumbang utama inflasi. Kenaikan cukai rokok menjadi penyebab utama kenaikan inflasi tembakau. Adapun penyumbang inflasi lainnya antara lain kenaikan biaya pendidikan dan sandang terutama kenaikan harga sandang laki-laki. Walaupun terjadi kenaikan inflasi yang cukup tinggi pada komoditas sarana dan penunjang transportasi, namun pengaruh terhadap inflasi transportasi dan komunikasi tidak terlalu besar yang disebabkan oleh cukup rendahnya inflasi komoditas transportasi yang memiliki bobot komoditas tertinggi.
3.4.2 Inflasi Kota Maumere Inflasi Kota Maumere pada triwulan I 2017 sebesar 3,84% (yoy), lebih besar dibanding inflasi Kota Kupang yang sebesar 2,83% (yoy). Secara umum, inflasi Kota Maumere mengalami sedikit kenaikan terutama disebabkan oleh cukup tingginya inflasi bahan makanan dan perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar. Secara bulanan, inflasi mengalami sedikit kenaikan sebesar 0,40% (mtm) pada bulan Januari, kemudian mengalami deflasi pada bulan Februari (-0,05%-mtm) dan Maret 2017 (-0,23%-mtm). Secara triwulanan, masih mengalami inflasi sebesar 0,12% (qtq), sedikit lebih rendah dibanding rata-rata inflasi triwulan I Kota Maumere dalam 3 tahun terakhir yang sebesar 2,20% (qtq). Berdasarkan disagregasi inflasi, inflasi kelompok administered prices menjadi kelompok dengan nilai inflasi tertinggi yaitu sebesar 7,12% (yoy), diikuti oleh kelompok volatile food yang sebesar 5,38% (yoy) dan kelompok inti dengan inflasi sebesar 2,23% (yoy). Tingginya inflasi kelompok administered prices terutama disebabkan oleh kenaikan tarif listrik yang meningkat hingga 14,84% (yoy), tingginya harga rokok, kenaikan air PAM ataupun biaya perpanjangan STNK. Inflasi volatile food terutama digerakkan 38 komoditas pembentuknya dengan sumbangan inflasi tertinggi disebabkan oleh inflasi pisang yang naik 44,55% (yoy), diikuti oleh inflasi ikan layang (29,46%-yoy), tongkol (15,35%-yoy), minyak goreng (10,28%-yoy) dan bawang merah (27,40%-yoy). Deflasi terjadi pada komoditas beras (-1,24%-yoy), daging ayam kampung (29,14%-yoy), tulang sapi (22,68%-yoy), bayam (7,33%-yoy) dan tauge (21,24%-yoy). Berbeda dengan penyebab inflasi di Kota Kupang, inflasi komoditas inti di Kota Maumere lebih disebabkan oleh kenaikan upah pembantu rumah tangga sebesar 7,38% (yoy), diikuti oleh inflasi tukang bukan mandor (6,30%-yoy), sewa rumah (5,97%-yoy), tarif pulsa ponsel (5,48%-yoy) dan kenaikan biaya SMA (3,96%-yoy). Berdasarkan kelompok komoditas, terdapat 4 kelompok komoditas dengan inflasi di atas 4% antara lain bahan makanan, makanan jadi, minuman dan tembakau, perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar, serta komoditas sandang. Adapun inflasi terendah terjadi pada komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan diikuti oleh inflasi pendidikan, rekreasi dan olah raga serta kesehatan.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
43
GRAFIK 3.15. DISAGREGASI INFLASI TAHUNAN KOTA MAUMERE 10 YOY 8 6 4 2 0 -2 -4 -6 -8 -10 1
2
3
4
5
6 7 2015
8
9 10 11 12 1
SUM_VF SUM_CORE
2
3 4
SUM_AP INFLASI
5
6 7 8 2016
VF CORE
9 10 11 12 1
2 3 4 2017
AP
Sumber : BPS, diolah
Tabel 3.9. Inflasi Inflasi di Kota Maumere berdasarkan Kelompok Komoditas 2017
KOMODITI JAN INFLASI UMUM
FEB
YOY MAR
APR
I
APR
0.4
(0.0)
(0.2)
(0.2)
3.84
3.96
(0.4)
(1.6)
(1.1)
(0.9)
4.50
4.12
MAKANAN JADI, MINUMAN DAN TEMBAKAU
0.3
0.7
0.0
(0.0)
4.32
4.04
PERUMAHAN, AIR, LISTRIK, GAS DAN BAHAN BAKAR
0.8
1.0
0.6
0.0
4.52
4.77
SANDANG
0.1
1.8
0.1
0.5
4.22
4.71
KESEHATAN
0.3
0.3
-
0.1
3.67
3.58
PENDIDIKAN, REKREASI DAN OLAH RAGA
0.1
0.3
(0.1)
(0.0)
1.89
1.81
TRANSPORTASI, KOMUNIKASI DAN JASA
2.4
(0.5)
(0.2)
0.6
1.44
3.21
BAHAN MAKANAN
Sumber : BPS diolah
3.5. PROYEKSI INFLASI PROVINSI NTT TRIWULAN II 2017 Inflasi pada triwulan II 2017 diperkirakan mengalami peningkatan cukup besar terutama disebabkan oleh adanya perayaan hari raya Idul Fitri dan kenaikan tarif listrik untuk rumah tangga 900VA yang ketiga pada bulan Mei 2017. Adanya kenaikan tarif listrik diperkirakan menjadi penyebab utama kenaikan inflasi di triwulan II 2017 selain kenaikan tarif angkutan udara seiring dengan tingginya permintaan angkutan udara jelang hari raya. Inflasi komoditas rokok diperkirakan juga akan terjadi namun tidak sebesar tahun sebelumnya. Adapun inflasi komoditas bahan makanan diperkirakan akan relatif lebih stabil seiring dengan baiknya kondisi cuaca di NTT paska musim hujan dan anomali cuaca La Nina yang terjadi. Potensi gangguan inflasi lebih disebabkan oleh adanya musim angin pada pertengahan tahun. GAMBAR 3.1. PETA ANALISIS CURAH HUJAN APRIL 2017
GAMBAR 3.2. PETA ANALISIS CURAH HUJAN MEI 2017
GAMBAR 3.3. PETA ANALISIS CURAH HUJAN JUNI 2017
Pada bulan April 2017, terjadi inflasi sebesar 0,24% (mtm) terutama disebabkan oleh kenaikan tarif angkutan udara seiring dengan adanya long weekend karena libur paskah ataupun hari raya Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada bulan April 2017. Komoditas bahan makanan juga mendominasi sebagai penyumbang inflasi tertinggi antara lain kangkung, wortel, tahu mentah, pucuk labu, daun seledri, dan terong panjang. Komoditas lainnya antara lain rokok kretek filter, besi beton dan tarif pulsa telepon. Deflasi pada sebagian besar komoditas ikan segar menjadi penahan utama inflasi di bulan April 2017, demikian juga dengan deflasi beras, cabai rawit dan daging ayam ras dan kampung.
44
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
Pada bulan Mei 2017, Inflasi Provinsi NTT diperkirakan sekitar 0,37% (mtm) walaupun posisi inflasi hingga minggu kedua masih menunjukkan adanya deflasi yang cukup tinggi. Potensi inflasi terutama terjadi pada komoditas bawang putih, wortel, jeruk, sawi hijau dan angkutan udara. Kenaikan harga diperkirakan akan terjadi pada minggu ke-4 dan ke-5 bulan Mei 2017. Pada bulan Juni, inflasi diperkirakan mengalami kenaikan cukup tinggi hingga lebih kurang 0,95% (mtm) terutama disebabkan oleh meningkatnya permintaan daging menjelang hari raya dan kenaikan tarif angkutan udara. Secara tahunan, inflasi di Provinsi NTT akan sedikit meningkat sebesar lebih kurang 3,28% (yoy), sedikit meningkat dibanding inflasi triwulan I 2017 yang sebesar 2,95% (yoy).
3.6. AKTIVITAS PENGENDALIAN INFLASI OLEH TPID Dalam rangka pengendalian inflasi di daerah, TPID telah melaksanakan dua kali rapat HLM TPID, 1 kali rapat teknis TPID, 1 kali pelaksanaan sidak dan operasi pasar cabai rawit serta pembentukan satgas pengendalian harga cabai rawit dengan ringkasan hasil sebagai berikut: 1. Dalam rangka penanggulangan inflasi cabai rawit di NTT, maka pada tanggal 11 Januari 2017 telah dilakukan HLM TPID dan dipimpin oleh sekretaris daerah Provinsi NTT dan disepakati untuk dibentuk satgas pengendalian cabai rawit dan diketuai oleh dinas pertanian Provinsi NTT. Dalam pelaksanaannya, satgas telah menjual lebih dari 1 ton cabai rawit merah, dengan harga 60 ribu rupiah. Adapun harga cabai rawit juga menunjukkan adanya penurunan, dari 120 ribu pada minggu kedua dapat turun hingga mencapai 60 ribu di minggu ke-5 Januari 2017. 2. Telah dilakukan pula pemetaan komoditas yang berpotensi menjadi penyumbang inflasi terbesar di tahun 2017 dan didapatkan 19 komoditas utama di Kota Kupang dan 25 komoditas utama di Kota Maumere yang berpotensi menjadi penyumbang inflasi utama. Oleh karena itu, kegiatan pengendalian inflasi oleh TPID diharapkan dapat fokus pada komoditas tersebut. 3. Rapat teknis terkait penyusunan program kerja TPID juga telah dilakukan pada bulan Maret 2017 dan hasilnya akan dibawa pada high level meeting untuk dibahas dan disepakati bersama 4. Pada tanggal 6 April 2017 telah dilakukan High Level Meeting yang langsung dipimpin oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur dan dihasilkan beberapa kesepakatan antara lain : perlunya peningkatan produksi tanaman pangan untuk mengurangi ketergantungan pangan dari daerah lain, perlunya dilakukan penambahan frekuensi penerbangan di NTT, jumlah stok beras BULOG dirasa masih cukup aman untuk 4 bulan ke depan, segera dijajagi pembuatan breeding farm di Pulau Flores untuk menjaga stabilitas harga daging ayam ras dan perlu untuk dilakukan sidak terutama pada hari besar Paskah, Lebaran dan Hari Raya Natal. GAMBAR 3.4. KEGIATAN TPID PROVINSI NTT TRIWULAN III 2016 DAN SEBARAN PEMBENTUKAN TPID
Sumber : Sekretariat TPID, diolah
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
45
Boks 3. Pola Inflasi Menjelang Hari Raya Idul Fitri dan Komoditas Utama Penyumbang Inflasi di NTT Setiap kali menjelang lebaran, setiap daerah pasti disibukkan dengan potensi ancaman inflasi yang cukup tinggi di masingmasing daerah. Tak terkecuali dengan Provinsi NTT yang juga mengalami kecenderungan yang sama. Berdasarkan pergerakan inflasi selama 10 tahun terakhir, didapatkan bahwa ada kecenderungan inflasi mengalami 3 periode kenaikan di NTT yaitu periode awal tahun yang lebih disebabkan oleh adanya gangguan cuaca yang cukup besar di NTT, periode tengah tahun bersamaan dengan adanya hari raya Idul Fitri dan momen libur sekolah, serta periode akhir tahun bersamaan dengan adanya perayaan Hari Raya Natal dan tahun baru. Setelah didalami, pada periode tengah tahun, inflasi tinggi cenderung terjadi terutama pada bulan Juli, baru kemudian pada periode saat atau 1 bulan menjelang hari raya Idul Fitri. Hal ini menunjukkan bahwa faktor libur sekolah justru lebih berpengaruh dibanding potensi inflasi hari besar keagamaan yang terjadi. Inflasi tinggi karena hari raya Idul Fitri hanya terjadi pada tahun 2009, selebihnya inflasi bulan Juli cenderung lebih tinggi yang menunjukkan bahwa adanya peningkatan permintaan karena libur sekolah lebih tinggi pengaruhnya dibandingkan hari raya Idul Fitri di NTT. Hal ini tidak mengherankan dikarenakan demografi penduduk yang mayoritas beragama non muslim. Beberapa anomali yang terjadi antara lain lebih disebabkan oleh adanya kenaikan harga BBM, angkutan dalam kota, ongkos tukang, air PAM, dan anomali harga beberapa bahan makanan. GRAFIK BOKS 3. 1. PERGERAKAN INFLASI NTT DALAM 8 TAHUN TERAKHIR
Sumber : BPS diolah
GRAFIK BOKS 3.2. KOMODITAS UTAMA PENYUMBANG INFLASI JELANG HARI RAYA IDUL FITRI
Sumber : BPS diolah
Berdasarkan pola tersebut, maka dapat dianalisa bahwa pergerakan inflasi akan cenderung meningkat menjelang hari raya Idul Fitri dan cenderung menurun atau bahkan deflasi setelah hari raya. Inflasi akan terjadi pada bulan pelaksanaan hari raya apabila hari raya Idul Fitri jatuh pada akhir bulan dan inflasi akan cenderung menguat di bulan sebelumnya apabila hari raya Idul Fitri jatuh pada awal bulan. Namun demikian, faktor libur sekolah tetap menjadi penyebab utama inflasi tengah tahun di NTT. Oleh karena itu, berdasarkan tren yang ada, diproyeksi bahwa inflasi menjelang hari raya Idul Fitri di NTT akan mencapai puncaknya pada bulan Juni 2017 dikarenakan periode hari raya yang jatuh pada akhir bulan Juni 2017. Pengaruh inflasi akan bertahan hingga bulan Juli dan harga kembali mengalami penurunan pada bulan Agustus 2017.
46
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
Tabel Boks 3.1. Pola Inflasi Hari Raya Idul Fitri di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Prospek Pengaruh Inflasi di tahun 2017 BULAN
TAHUN 1
2
2008
2.72%
-0.64%
2009
1.14%
2010
3.15%
2011
3
4
5
6
7
8
1.28%
0.44%
2.43%
2.31%
1.23%
-0.36%
-0.48%
0.11%
0.33%
-0.05%
0.19%
1.10%
-0.10%
0.06%
-0.15%
0.81%
0.94%
0.52%
2.49%
1.55%
1.33%
0.54%
0.21%
-0.22%
0.23%
0.27%
0.87%
0.46%
2012
0.59%
0.19%
0.26%
-0.06%
0.65%
1.06%
1.49%
2013
1.46%
0.24%
0.65%
-0.70%
-0.31%
1.38%
2014
0.42%
1.48%
-0.14%
-0.03%
0.08%
2015
0.61%
-1.28%
0.21%
0.21%
2016
0.74%
-0.34%
-0.76%
0.04%
2017
0.74%
0.15%
-0.79%
0.24%
9 0.58%
10
11
12
0.07%
0.46%
0.67%
1.87%
1.14%
0.17%
0.71%
-0.98%
-0.18%
0.24%
0.93%
-0.37%
0.01%
-0.66%
1.95%
0.63%
-0.96%
-0.26%
0.23%
1.43%
4.26%
0.31%
-0.85%
-0.27%
0.55%
1.48%
0.61%
0.96%
-0.71%
-0.35%
0.14%
1.69%
3.41%
0.45%
0.59%
1.06%
-0.73%
0.26%
0.32%
0.70%
2.46%
0.61%
0.58%
-0.32%
-0.80%
-0.17%
0.19%
0.79%
1.92%
Sumber : BPS, diolah
Apabila dilihat dari komoditas utama penyumbang inflasi, didapatkan bahwa setidaknya terdapat 17 komoditas utama yang secara persisten menjadi penyumbang inflasi utama pada saat perayaan hari raya Idul Fitri dan angkutan udara menjadi komoditas utama yang secara persisten menjadi penyumbang inflasi di NTT. Dari total 18 bulan pencacahan, angkutan udara 16 kali menjadi penyumbang inflasi utama di NTT, atau hanya dua bulan tidak menjadi penyumbang inflasi utama. Telur ayam ras menjadi komoditas kedua terbesar yang menjadi penyumbang inflasi utama jelang hari raya, diikuti oleh komoditas ayam hidup, daging ayam ras, ikan kembung, tongkol, kangkung, dan 10 komoditas lainnya di atas. Berdasarkan potensi inflasi bulanan, pada bulan Mei terdapat 6 komoditas yang berpotensi menjadi penyumbang inflasi utama antara lain angkutan udara, telur ayam ras, kangkung, bawang merah, ikan selar dan cabai merah. Pada bulan Juni, setidaknya terdapat 8 komoditas yang berpotensi menjadi penyumbang inflasi utama antara lain angkutan udara, ayam hidup, daging ayam ras, ikan kembung, ikan tongkol, kangkung, gula pasir, dan bawang putih. Pada bulan Juli, terdapat 7 komoditas yang berpotensi menjadi penyumbang inflasi utama antara lain angkutan udara, telur ayam ras, ayam hidup, ikan kembung, ikan tongkol, beras dan daun singkong. Tingginya inflasi angkutan udara lebih disebabkan oleh tingginya kebutuhan angkutan udara terutama oleh para perantau yang ingin kembali ke daerah asal atau warga yang ingin melakukan liburan ke luar daerah. Adapun inflasi telur ayam ras, ayam hidup dan daging ayam ras lebih disebabkan oleh tingginya permintaan selama memasuki bulan Ramadhan ataupun libur sekolah yang juga dikarenakan terbatasnya pasokan komoditas tersebut. Tingginya inflasi ikan kembung dan ikan tongkol lebih disebabkan oleh mulai datangnya musim angin barat yang membuat jumlah tangkapan berkurang. Dengan mengetahui pola inflasi dan komoditas utama penyumbang inflasi di NTT, diharapkan pemerintah dapat lebih fokus dalam mengendalikan harga terutama pada komoditas utama yang berpengaruh tersebut, agar tujuan pengendalian inflasi dapat tercapai.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
47
Boks 4. Korelasi Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Hari Raya Idul Fitri di NTT dengan Kota Lain di Indonesia Berdasarkan cakupan wilayah, secara garis besar permasalahan inflasi dapat dikategorikan dalam dua hal yaitu permasalahan yang terjadi secara lokal atau hanya terjadi pada daerah tersebut atau permasalahan inflasi yang dampak dan penyebabnya dapat digolongkan sebagai permasalahan nasional. Secara data, hal ini dapat dideteksi dari besar korelasi inflasi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain dan membandingkan korelasi tersebut dengan inflasi nasional yang terjadi. Semakin tinggi korelasi yang terjadi, maka semakin besar inflasi tersebut memiliki keterkaitan dengan daerah lainnya1. Dalam penelitian ini, kami mengidentifikasi korelasi inflasi komoditas utama penyumbang inflasi hari raya Idul Fitri pada box sebelumnya antara Kota Kupang dengan 81 kota perhitungan inflasi lainnya di Indonesia. Secara umum, korelasi inflasi antar daerah di Indonesia memiliki hubungan yang sangat kuat. Arah pergerakan inflasi secara nasional cenderung mengikuti arah yang sama di tiap bulannya. Hubungan korelasi yang sangat kuat terjadi pada kawasan Jawa, yang mana pergerakan inflasi antara kota yang satu dengan kota yang lain cenderung sama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh alur rantai distribusi yang semakin mudah dan terintegrasi, sehingga pemerataan barang dan harga dapat lebih terkontrol. Relatif kuatnya hubungan antara kawasan Jawa dengan daerah lainnya di Indonesia juga menunjukkan adanya potensi hubungan distribusi yang kuat antara daerah di kawasan Jawa dengan daerah lainnya di Indonesia, bahkan lebih kuat bila dibandingkan dengan hubungan di intra kawasan tersebut. Kawasan Sumatera menjadi kawasan dengan korelasi inflasi tertinggi kedua setelah Jawa yang menunjukkan konektivitas antar wilayah yang relatif lebih terhubung. GRAFIK BOKS 2. 1. PERKEMBANGAN PAGU BELANJA MODAL PEMERINTAH DI PROVINSI NTT 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0 (0.50) (1.00) (1.50)
TABEL BOKS 4.1. PETA KORELASI INFLASI DI INDONESIA
MILYAR
R = 84%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1112 1 2 3 4 2014 BALINURSA
2015 JAWA
KALIMANTAN
2016 SULAMPUA
SUMATERA
Sumber : BPS diolah
2017 INDONESIA Sumber : BPS diolah
Selanjutnya, ketika dilakukan pengujian korelasi terhadap 17 komoditas penyumbang inflasi utama jelang hari raya di NTT didapatkan bahwa hanya 9 komoditas yang memiliki korelasi kuat secara nasional yaitu komoditas gula pasir, telur ayam ras, bawang merah, bawang putih, cabai merah, angkutan udara, beras, daging ayam ras dan ayam hidup; serta terdapat 8 komoditas yang memiliki korelasi sangat lemah hingga sedang secara nasional antara lain komoditas ikan kembung, ikan tongkol, kangkung, ikan selar, bayam, daun singkong, sewa rumah dan ikan tembang. Hal ini berarti bahwa semakin
1. Dalam melakukan interpretasi, Sarwono (2006) menginterpretasikan korelasi dalam 6 kategori antara lain: 0 tidak ada korelasi Dalam tabel digambarkan oleh warna putih 0 – 0,25 korelasi sangat lemah Dalam tabel digambarkan oleh warna orange > 0,25 – 0,5 korelasi sedang Dalam tabel digambarkan oleh warna kuning > 0,5 – 0,75 korelasi kuat Dalam tabel digambarkan oleh warna hijau muda > 0,75 – 0,99 Korelasi sangat kuat Dalam tabel digambarkan oleh warna hijau tua > 0,99 Korelasi sempurna Dalam tabel digambarkan oleh warna biru *untuk nilai korelasi negatif maka dalam tabel digambarkan oleh warna merah
48
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
tinggi korelasi antar wilayah, maka penanganan masalah dapat langsung diatasi secara nasional, karena berdasarkan data pergerakan inflasi terbukti bahwa terdapat kesamaan pola inflasi dan deflasi secara nasional pada komoditas tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah korelasi maka pergerakan inflasi antar daerah semakin tidak berhubungan, yang berarti bahwa permasalahan inflasi komoditas tersebut hanya terjadi pada daerah tersebut dan tidak ada hubungannya dengan daerah lainnya. Tabel Boks 4.2. Tingkat Korelasi Inflasi Antar Kawasan Berdasarkan Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Hari Raya Idul Fitri di NTT 2 KOMODITAS
NAS
B-J
B-K
B - SL
B - SM
J-K
J - SL
J - SM
K - SL
K - SM
SL - SM
ANGKUTAN UDARA
0.67
0.68
0.58
0.84
0.77
0.65
0.77
0.67
0.66
0.44
0.68
TELUR AYAM RAS
0.81
0.67
0.85
0.79
0.75
0.82
0.76
0.92
0.91
0.86
0.80
AYAM HIDUP
0.53
0.49
0.38
0.65
0.35
0.53
0.75
0.58
0.49
0.59
0.51
DAGING AYAM RAS
0.60
0.69
0.55
0.65
0.60
0.44
0.62
0.84
0.58
0.46
0.54
KEMBUNG
0.29
0.38
0.14
0.26
0.33
0.20
0.09
0.36
0.39
0.21
0.50
TONGKOL
0.25
0.33
0.30
(0.05)
0.45
0.24
0.08
0.41
0.30
0.39
0.03
KANGKUNG
0.13
0.11
(0.18)
0.23
0.13
0.01
0.02
0.10
0.21
0.41
0.31
BAWANG MERAH
0.80
0.71
0.87
0.85
0.78
0.81
0.60
0.87
0.90
0.88
0.74
GULA PASIR
0.86
0.79
0.89
0.87
0.90
0.80
0.80
0.84
0.91
0.93
0.90
SELAR
0.14
0.23
0.21
(0.14)
0.22
0.17
0.09
0.16
0.15
0.29
0.08
BERAS
0.64
0.78
0.69
0.74
0.66
0.63
0.64
0.60
0.73
0.35
0.55
BAYAM
0.12
0.07
0.04
0.03
0.13
0.17
0.14
0.16
0.07
0.27
0.14
DAUN SINGKONG
0.19
0.05
0.01
0.30
0.04
0.05
0.18
0.47
0.19
0.28
0.29
SEWA RUMAH
0.29
0.29
0.50
0.46
0.17
0.03
0.68
0.21
0.25
0.06
0.25
TEMBANG
0.17
0.07
0.07
0.26
0.07
BAWANG PUTIH
0.78
0.70
0.74
0.72
0.81
0.71
0.74
0.85
0.88
0.82
0.87
CABAI MERAH
0.74
0.82
0.56
0.75
0.67
0.77
0.78
0.93
0.78
0.74
0.65
0.23
0.23
0.23
Berdasarkan komoditas yang berkorelasi tinggi dapat dilihat bahwa pada komoditas gula pasir, telur ayam ras, dan bawang putih, mayoritas pasokan memang terkonsentrasi dari wilayah Jawa dan Sumatera. Adapun pada komoditas bawang merah dan cabai merah, sentra produksi juga terkonsentrasi pada beberapa daerah saja, sehingga adanya keterkaitan harga antar daerah menjadi sangat besar. Pada komoditas beras, walaupun hampir semua daerah memproduksi beras, namun perdagangan beras antar daerah sudah jamak terjadi sehingga potensi keterkaitan harga antar daerah juga meningkat. Pada komoditas daging ayam ras dan ayam hidup, walaupun pembesaran sudah mampu dilakukan di wilayah masing-masing, namun ketersediaan pakan dan obat serta bibit juga masih didatangkan dari Jawa, sehingga adanya perubahan harga pakan akan sangat berpengaruh terhadap perubahan harga secara nasional. Relatif tingginya korelasi inflasi angkutan udara lebih dipengaruhi oleh faktor seasonal seperti libur nasional yang dampaknya juga dirasakan secara nasional. Adapun berdasarkan data dapat dilihat bahwa hampir semua komoditas ikan-ikanan memiliki korelasi yang sangat rendah dengan daerah lain yang berarti bahwa harga ikan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pasokan ikan di daerah tersebut, berdasarkan kondisi cuaca yang berlaku secara lokal. Selain itu, tidak seragamnya tingkat konsumsi ikan dikarenakan oleh perbedaan preferensi dan ketersediaan juga membuat tingkat konsumsi ikan berbeda-beda di masing-masing wilayah. Demikian juga dengan komoditas sayur-sayuran yang mana pergerakan inflasi juga sangat dipengaruhi oleh kondisi pasokan lokal, tidak secara nasional. Adanya kondisi ini sebenarnya sangat menguntungkan daerah dalam mengambil
2. Adapun singkatan dalam kolom dapat diartikan sebagai berikut: Nas : Nasional B : Balinusra J : Jawa K : Kalimantan SL : Sulawesi SM Sumatera “-“ menggambarkan hubungan/korelasi antar daerah
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
49
keputusan pengendalian inflasi, karena dengan cakupan masalah yang hanya terjadi secara lokal, maka usaha yang dilakukan untuk menangani permasalahan tersebut relatif tidak terlalu sulit, seperti dengan menjaga stabilitas pasokan sayur-sayuran di daerah ataupun mendatangkan ikan dari daerah lain yang mengalami kelebihan pasokan. Hal ini bisa dilakukan apabila kita bisa mengenali perbedaan pola yang terjadi atau dapat dideteksi dari adanya hubungan korelasi negatif antar daerah. Semakin negatif signifikan pola pergerakan inflasi, maka potensi perdagangan daerah untuk komoditas tersebut semakin besar. Di Kota Kupang, pola pergerakan inflasi cenderung lebih otonom dibanding rata-rata pergerakan inflasi nasional yang terlihat dari rendahnya korelasi inflasi Kota Kupang dengan daerah lain di Indonesia. Dari 17 komoditas penyumbang inflasi utama, tidak ada komoditas yang memiliki korelasi sangat kuat dan hanya terdapat 5 komoditas yang memiliki korelasi kuat dengan daerah lain yaitu gula, telur ayam, angkutan udara, bawang putih dan beras. Berdasarkan komoditas, gula pasir paling banyak menunjukan adanya korelasi tinggi dengan daerah lain yaitu sebanyak 65 daerah, disusul telur ayam ras yang berkorelasi tinggi terhadap 59 daerah, bawang putih yang berkorelasi tinggi terhadap 23 daerah, beras (16 daerah), angkutan udara dan bawang merah. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembentukan harga di kota Kupang sangat dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan pasokan dan permintaan yang terjadi di Kota Kupang sendiri, dengan hanya sedikit pengaruh dari daerah lain. Hal ini bisa disebabkan oleh struktur pasar yang cenderung oligopolistik, sehingga pedagang besar bisa menentukan harga jual sendiri tanpa dipengaruhi oleh daerah lain atau memang karena kondisi struktural permintaan dan penawaran yang berbeda. Dengan kondisi tersebut, maka pengendalian inflasi sebenarnya relatif lebih mudah, karena proses penentuan kebijakan pengendalian harga dan pasokan dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri. Hal ini dapat dilakukan melalui penyediaan pasokan yang seimbang atau menjalin hubungan yang intens dengan pedagang besar. Tabel Boks 4.3. Perhitungan Tingkat Korelasi Inflasi Komoditas dengan Daerah Lain di Indonesia KOMODITAS ANGKUTAN UDARA
TIDAK ADA
KORELASI TINGGI
KORELASI RENDAH
JUMLAH KORELASI
KOMODITAS
TIDAK ADA
KORELASI TINGGI
KORELASI RENDAH
JUMLAH KORELASI
30
15
36
81
SELAR
81
0
0
81
0
59
22
81
BERAS
0
16
65
81
24
0
57
81
BAYAM
0
0
81
81
1
3
77
81
DAUN SINGKONG
27
0
54
81
KEMBUNG
11
0
70
81
SEWA RUMAH
6
2
73
81
TONGKOL
10
0
71
81
TEMBANG
77
0
4
81
KANGKUNG
0
0
81
81
BAWANG PUTIH
0
23
58
81
BAWANG MERAH
0
15
66
81
CABAI MERAH
0
1
80
81
GULA PASIR
0
65
16
81
TELUR AYAM RAS AYAM HIDUP DAGING AYAM RAS
Dengan adanya pemetaan komoditas tersebut diharapkan TPID Provinsi maupun Kota/Kabupaten dapat mengidentifikasi komoditas yang bisa langsung ditangani atau komoditas yang perlu koordinasi dengan daerah lain atau pemerintah pusat, sehingga penanganan inflasi dapat lebih efektif dan efisien.
50
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
04
Stabilitas Keuangan Daerah Stabilitas sistem keuangan di provinsi NTT masih menunjukkan kinerja positif yang terindikasi dari pertumbuhan kredit sektor rumah tangga dan UMKM pada triwulan-I 2017 yang masih cukup positif meskipun melambat. Di sisi lain, adanya peningkatan rasio Non Performing Loan (NPL) pada kedua sektor tersebut perlu untuk dijadikan perhatian walaupun masih berada di bawah ambang batas toleransi sebesar 5%. Kredit sektor rumah tangga pada triwulan laporan tercatat tumbuh sebesar 6,51% (yoy) cenderung melambat dibandingkan triwulan IV-2016 yang sebesar 6,84%. Rasio NPL pada triwulan laporan tercatat sebesar 1,32%. Pertumbuhan kredit UMKM mencapai 14,86% (yoy) melambat dibandingkan triwulan IV-2016 yang sebesar 16,71% (yoy). Sementara itu, rasio NPL tercatat sebesar 3,58% (yoy) Pertumbuhan kredit korporasi juga tercatat cukup tinggi sebesar 44,27% (yoy). Namun rasio NPL yang masih cukup tinggi sebesar 6,18% perlu untuk menjadi perhatian perbankan. Secara umum, kinerja industri perbankan di Provinsi NTT masih menunjukkan kinerja positif yang tercermin dari pertumbuhan kredit sebesar 12,51% (yoy) atau masih diatas nasional yang 9,12% (yoy), serta Dana Pihak Ketiga yang tumbuh sebesar 2,82% (yoy). Di sisi lain, pertumbuhan aset mengalami kontraksi -1,15% (yoy) yang terutama disebabkan strategi bank seperti peralihan aset antar kantor dan pengurangan penempatan pada bank lain.
4.1 KONDISI UMUM Kinerja stabilitas sistem keuangan di Provinsi NTT masih cukup terjaga pada triwulan-I 2017 yang terindikasi dengan rendahnya rasio NPL secara umum di angka 2,16%. Kinerja pertumbuhan kredit secara umum sendiri sebesar 12,51% (yoy) sedikit melambat dibandingkan triwulan IV-2016 yang sebesar 12,59% (yoy). Hal yang sama juga terjadi pada kredit konsumsi yang melambat terbatas menjadi 12,20% (yoy) dari sebelumnya 12,24% (yoy). Perlambatan kinerja kredit tersebut cenderung searah dengan pertumbuhan PDRB sisi konsumsi rumah tangga yang mengalami perlambatan dibandingkan triwulan IV-2016. Sementara itu, kredit UMKM yang memegang pangsa cukup tinggi di NTT (±31,8%) juga mengalami perlambatan pertumbuhan meskipun masih terjaga di level dua digit dengan pertumbuhan sebesar 14,86% (yoy). Dari indikator survei, optimisme masih hadir pada sektor rumah tangga yang terlihat dari peningkatan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) – Survei Konsumen Bank Indonesia. Di sisi lain, kinerja pertumbuhan kredit yang melambat dibarengi dengan peningkatan rasio NPL di Provinsi NTT. Rasio NPL perbankan umum tercatat sebesar 2,16% meningkat dibandingkan triwulan IV-2016 yang sebesar 1,91%. Dari sisi kategori debitur, rasio NPL untuk kredit UMKM juga mengalami peningkatan dari 2,97% (TW-IV 2016) menjadi 3,58% (TW-I 2017) yang terutama terjadi pada sektor perdagangan besar dan eceran. Namun, dengan rasio NPL yang cenderung masih rendah (<5%) kondisi stabilitas sistem keuangan di NTT dirasakan masih cukup terjaga walaupun perlu pula peningkatan kehati-hatian perbankan dalam melakukan penyaluran kredit. Sementara itu, terdapat perkembangan indikator perbankan umum lain yang cukup menarik yaitu penurunan angka Return On Asset (ROA) sebagai dampak keterlambatan gaji pegawai negeri sipil dan gaji guru SMA/SMK seiring adanya reorganisasi dan pengalihan wewenang pengelolaan SMA/SMK ke tingkat Provinsi. Hal ini menyebabkan terhambatnya pembayaran kredit dari pegawai negeri sipil yang jumlahnya cukup banyak di Provinsi NTT. Dari sisi kinerja Bank Perkreditan Rakyat, angka NPL tercatat masih cukup tinggi sebesar 6,65% walaupun kinerja intermediasi masih terjaga dengan rasio permodalan CAR (Capital Adequacy Ratio) yang cukup kuat.
4.2 ASESMEN KETAHANAN RUMAH TANGGA 4.2.1 Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga Rumah tangga merupakan salah satu komponen utama dalam alur perputaran arus dana. Rumah tangga berperan dalam dua fungsi, yaitu sebagai penyedia dana dengan menempatkan kelebihan dananya di institusi keuangan dan sebagai penerima dana dengan meminjam dana dari institusi keuangan apabila memerlukan tambahan dana untuk kegiatan konsumsi maupun investasi. Oleh karena itu, semakin besar peran rumah tangga dalam aktivitas ekonomi dan keuangan suatu daerah maka semakin penting peran ketahanan sektor rumah tangga dalam menjaga stabilitas keuangan daerah tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan rumah tangga di antaranya tingkat pendapatan, tingkat konsumsi, lapangan kerja dan stabilitas harga. Peran yang cukup signifikan juga terlihat dari pangsa konsumsi rumah tangga (RT) dalam pembentukan PDRB Provinsi NTT sebesar 77,7% (triwulan I-2017). Pertumbuhan sisi konsumsi RT sendiri pada triwulan I-2017 tercatat melambat menjadi 5,85% (yoy) dibandingkan periode triwulan IV-2016 yang sebesar 7,27% (yoy). Sementara itu secara triwulan konsumsi RT terkontraksi sebesar -5,51% (qtq). Apabila dilihat berdasarkan data historis, pertumbuhan konsumi RT Provinsi NTT secara triwulanan memang selalu terkontrasi pada periode triwulan I seiring menurunnya konsumsi masyarakat paska momen natal dan libur sekolah pada triwulan IV.
52
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
GRAFIK 4.1. KONTRIBUSI KONSUMSI RT TERHADAP KONSUMSI AGREGAT
GRAFIK 4.2. IKK, IKE, DAN IEK
25000 20000 15000 10000 5000 0 I
II
III
IV
I
II
2014
III
IV
I
II
2015 RT
LNRT
III
IV
2016 G RT(YOY)
PEMERINTAH
10%
170
8%
160
6%
150
4%
140
2%
130
132.9
0%
120
120.3
-2%
110
-4%
100
-6%
90
-8%
80
145.5
I 2017
I
II
III
IV
I
II
2014
III
IV
II
III
IV
2016
INDEKS KEYAKINAN KONSUMEN (IKK)
G RT (QTQ)
I
2015
I 2017
INDEKS KONDISI EKONOMI SAAT INI (IKE)
INDEKS EKSPEKTASI KONSUMEN (IEK)
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Di sisi lain, hasil survei konsumen-Bank Indonesia
GRAFIK 4.3. INDEKS PENGELUARAN MEMBELI BARANG TAHAN LAMA
cenderung menunjukkan adanya indikasi peningkatan
130
konsumsi yang berbeda dengan perhitungan PDRB pada
120
triwulan I-2017. Hal ini terlihat dari kenaikan angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). Angka yang berada di atas level optimis (>100) juga menunjukkan
110 101.5 100 90 80 70 I
II
III 2014
IV
I
II
III 2015
IV
I
II
III 2016
IV
I 2017
kecenderungan peningkatan konsumsi rumah tangga di masa datang. Kecenderungan peningkatan konsumsi
Sumber: Bank Indonesia, diolah
masyarakat juga terlihat dari kenaikan angka Indeks Membeli Barang Tahan Lama di triwulan I-2017.
4.2.2 Eksposur Rumah Tangga di Perbankan Pada triwulan I-2017, sektor rumah tangga masih mendominasi pangsa penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) di Provinsi NTT dengan porsi sebesar 63,65% atau Rp 14,46 Triliun. Porsi tersebut cenderung menurun dibandingkan triwulan IV-2016 yang sebesar 72,63%. Peningkatan simpanan pemerintah ke perbankan pada awal tahun menjadi penyebab menurunnya porsi sektor rumah tangga. Sementara itu, dari sisi pertumbuhan, terjadi peningkatan DPK Rumah Tangga sebesar 7,13% (yoy) yang mengindikasikan meningkatnya kepercayaan masyarakat untuk menyimpan dananya di perbankan. Di sisi lain, DPK untuk non Rumah Tangga masih cenderung berada pada trend kontraksi yang pada triwulan-I 2017 sebesar -6,05% (yoy). Hal ini disebabkan oleh adanya penurunan jumlah simpanan pemerintah baik berupa giro maupun deposito pada awal triwulan-I 2017 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. GRAFIK 4.4. PANGSA DPK RUMAH TANGGA DAN NON RUMAH TANGGA 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
GRAFIK 4.5. PERTUMBUHAN DPK 40% 30%
41.58
46.44
45.90
32.05
39.44
41.66
37.92
27.37
36.35
20% 10%
7.13%
0% 58.42
53.56
54.10
67.95
60.56
58.34
62.08
72.63
63.65
1.93%
-10% -6.05%
-20% -30%
I
II
III
IV
2015
II
III 2016
RT/ PERSEORANGAN Sumber: Bank Indonesia, diolah
I
IV
I 2017
I
II
III
IV
I
II
2015
NON RT
RT/ PERSEORANGAN
III 2016
NON RT
IV
I 2017
TOTAL DPK
Sumber: Bank Indonesia, diolah
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
53
Dari sisi preferensi DPK Rumah Tangga (RT) di NTT, jenis simpanan tabungan memiliki porsi tertinggi sebesar Rp 10,05 triliun atau 70%, dan diikuti deposito sebesar Rp 3,82 triliun (26,62%) serta giro sebesar Rp 484,49 miliar (3,38%). Ketiga jenis simpanan tersebut memiliki kinerja yang meningkat pada triwulan I-2017. Tabungan tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 7,91% (yoy), sementara deposito tumbuh 8,01% (yoy). Sementara itu, menurunnya giro pemerintah di perbankan NTT juga berpengaruh pada pertumbuhan giro yang terkontraksi sebesar -11,78% (yoy) walaupun angka tersebut masih lebih baik dibandingkan triwulan IV-2016 yang terkontraksi -12,35% (yoy). Secara umum DPK RT tercatat tumbuh sebesar 7,13%(yoy) meningkat dibandingkan triwulan IV-2016 yang sebesar 6,61% (yoy). Hal yang menarik adalah ketika melihat jumlah DPK RT dari sisi nominal, tercatat DPK pada triwulan IV-2016 sebesar Rp 15,71 Triliun lebih tinggi dibandingkan triwulan I-2017 yang sebesar Rp 14,36 triliun. Siklus DPK yang lebih tinggi pada triwulan IV dibandingkan triwulan I tersebut terjadi pada setiap tahunnya yang mengindikasikan adanya peningkatan pendapatan masyarakat di akhir tahun sehingga meningkatnya konsumsi masyarakat memasuki libur Natal dan Tahun Baru tidak terlalu berdampak pada jumlah simpanan di perbankan. GRAFIK 4.6. PREFERENSI DPK RUMAH TANGGA 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
GRAFIK 4.7. PERTUMBUHAN DPK RUMAH TANGGA 70%
26,91
26,52
25,82
22,08
26,40
25,42
25,60
22,34
26,62
60% 50% 40% 30%
69,57
69,08
69,55
72,40
69,50
69,88
69,90
73,12
70,00
20% 8.01% 7.91%
10% 0%
3,52
4,40
4,63
5,52
4,10
4,69
4,50
4,54
3,38
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I 2017
-10%
11.78%
-20% 2015
2016 GIRO
TABUNGAN
I
II
IV
I
2015
II
III 2016
GIRO
DEPOSITO
Sumber: Bank Indonesia, diolah
III
TABUNGAN
IV
I 2017
DEPOSITO
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Dari sisi kredit, penyaluran kredit ke rumah tangga pada triwulan I-2017 mencapai Rp 8,8 triliun atau 38,13% dari total kredit yang disalurkan di Provinsi NTT. Dari jumlah tersebut, porsi tertinggi penyaluran kredit rumah tangga terutama digunakan untuk kredit multiguna sebesar Rp 7,13 triliun (80,97%), dikuti oleh Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sebesar Rp 1,32 triliun (15,06%) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) sebesar Rp 338,9 miliar (3,85%). Pertumbuhan kredit rumah tangga pada triwulan laporan mencapai 6,51% (yoy) cenderung menurun dibandingkan triwulan IV-2016 yang sebesar 6,84% (yoy). Kredit multiguna sebagai pangsa kredit terbesar mengalami perlambatan pertumbuhan dari 5,98% (yoy) pada triwulan IV-2016 menjadi 5,89% (yoy) di triwulan I-2017. Perlambatan juga terjadi pada KKB dari 28,57% (yoy) menjadi 21,36% (yoy) pada triwulan I-2017 dan kredit perlengkapan dan peralatan rumah tangga yang melambat dari 53,63% (yoy) pada triwulan IV-2016 menjadi 35,59% (triwulan I-2017). Di sisi lain, untuk komponen KPR, kredit rumah tinggal mengalami peningkatan pertumbuhan dari 6,42% (yoy) pada triwulan IV-2016 menjadi 6,94% (yoy) di triwulan I2017. Adanya relaksasi ketentuan rasio Loan To Value (LTV) atau Financing To Value (FTV) serta adanya program subsidi rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diperkirakan menjadi salah satu pendorong peningkatan pertumbuhan khusus untuk sub komponen kredit rumah tinggal. Dari sisi kerentanan, risiko gagal bayar untuk KPR, KKB, Kredit Perlengkapan dan Peralatan Rumah Tangga serta Kredit Multiguna di Provinsi NTT cenderung masih cukup terjaga dengan rasio NPL 1,32%. Namun rasio NPL yang meningkat dari triwulan sebelumnya yang sebesar 1,15% harus menjadi perhatian perbankan untuk lebih memperhatikan prinsip kehatihatian dalam menyalurkan kredit. Dari sisi komposisi, NPL tertinggi terutama terdapat pada Kredit Perlengkapan dan Peralatan Rumah Tangga yang mencapai 5,06%.
54
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
GRAFIK 4.8. KREDIT KONSUMSI RUMAH TANGGA
GRAFIK 4.9. PERTUMBUHAN KREDIT RUMAH TANGGA 50
10.000 9.000 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0
40 30 20 6,51
10 0 -10
I
II
III
IV
I
2014
II
III
IV
I
2015 RUMAH TINGGAL
KKB
II
III
IV
2016 MULTIGUNA
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 -20 -40
I 2017
21,36 5,89 6,94
I
II
III 2014
G TOTAL
IV
I
II
III
G MULTIGUNA
Sumber: Bank Indonesia, diolah
IV
I
II
2015
III
IV
2016
G RUMAH TINGGAL
G KKB
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Dari sisi spasial, porsi kredit rumah tangga tertinggi pada triwulan-I 2017 terutama berada di Kota Kupang yang mencapai 29,05% atau Rp 2,56 triliun. Sementara pertumbuhan tertinggi berada di Kab. Sabu Raijua sebesar 87,27% (yoy) dan Kab. Nagekeo yang mencapai 44,37% (yoy). Tingginya pertumbuhan kredit rumah tangga di kedua daerah tersebut menunjukkan adanya peningkatan akses masyarakat terhadap produk perbankan terutama kredit. Sementara itu dari sisi stabilitas sistem keuangan, rasio NPL kredit rumah tangga tertinggi berada di Kab. Alor (2,87%) dan Kab. Sumba Barat (2,21%). Angka rasio NPL yang berada di bawah batas toleransi (<5) menunjukkan bahwa stabilitas sistem keuangan untuk kredit rumah tangga masih cukup terjaga. Tabel 4.1 Komposisi Kredit Rumah Tangga di Provinsi NTT NOMINAL KREDIT (RP MILIAR)
URAIAN KAB. KUPANG
KPR
KKB
PERALATAN RT MULTIGUNA
TOTAL
GROWTH (% YOY)
PANGSA (%)
169,20
93,45
1,97
347,83
612,45
4,68
6,96
KAB. TIMOR-TENGAH SELATAN
31,04
9,10
0,30
522,05
562,49
3,35
6,39
KAB. TIMOR-TENGAH UTARA
40,54
4,42
0,81
349,78
395,54
17,92
4,49
KAB. BELU
14,15
7,03
0,00
713,84
735,03
2,45
8,35
KAB. ALOR
7,03
0,39
0,02
267,47
274,91
6,09
3,12
KAB. FLORES TIMUR
81,55
2,29
1,10
376,99
461,93
-20,00
5,25
KAB. SIKKA
56,24
60,46
1,49
428,58
546,78
0,41
6,21
KAB. ENDE
43,77
18,68
0,63
417,87
480,96
17,23
5,46
110,11
2,30
0,68
261,20
374,29
8,28
4,25
KAB. MANGGARAI
15,70
3,02
0,26
399,16
418,15
4,98
4,75
KAB. SUMBA TIMUR
25,37
2,77
0,01
404,35
432,50
14,05
4,91
KAB. SUMBA BARAT
8,48
1,81
0,00
357,34
367,63
6,23
4,18
KAB. LEMBATA
2,31
0,40
0,00
189,73
192,43
7,52
2,19
KAB. ROTE
51,25
0,57
0,27
68,64
120,73
14,78
1,37
KAB. MANGGARAI BARAT
32,21
1,94
0,00
85,26
119,41
19,99
1,36
KAB. SUMBA TENGAH
0,00
0,53
0,00
11,54
12,07
13,13
0,14
KAB. SUMBA BARAT DAYA
1,76
1,03
0,00
32,60
35,40
35,99
0,40
KAB. MANGGARAI TIMUR
2,30
0,11
0,03
30,19
32,63
17,38
0,37
KAB. NAGEKEO
1,33
0,14
0,00
49,42
50,89
44,37
0,58
KAB. SABU RAIJUA
0,19
0,08
0,00
20,39
20,67
87,27
0,23
KOTA KUPANG
631,25
128,36
3,40
1.795,26
2.558,28
13,67
29,05
PROVINSI NTT
1.325,77
338,90
10,98
7.129,51
8.805,15
7,54
100,00
KAB. NGADA
Sumber: Bank Indonesia, diolah
4.3 PERKEMBANGAN AKSES KEUANGAN DAN UMKM 4.3.1 Kondisi Saat Ini dan Prospek Usaha Kredit UMKM masih menjadi salah satu pangsa kredit utama di NTT dengan jumlah penyaluran pada triwulan I-2017 Rp 7,35 triliun atau dengan porsi mencapai 31,8% dari total kredit di NTT. Pertumbuhan kredit UMKM yang cukup positif ini juga telihat dari indikator saldo bersih tertimbang (SBT)-Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia yang masih menunjukkan angka positif (>0) walaupun cenderung menurun pada triwulan I-2017 apabila dibandingkan triwulan sebelumnya. Kondisi yang sama juga terlihat pada SBT kondisi keuangan yang masih cukup baik diangka 26,76 yang
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
55
berarti mayoritas responden survei menyatakan kondisi keuangan saat ini berada dalam level cukup dan baik walaupun juga menurun dibandingkan triwulan IV-2016. Kondisi penurunan ini juga tercermin dari rasio NPL sektor UMKM yang meningkat (3,58%) walaupun masih dalam kategori terjaga di bawah 5%. GRAFIK 4.10. PERKEMBANGAN DUNIA USAHA
GRAFIK 4.11. KONDISI KEUANGAN
60
8
70
50
6
60
4
50
20
2
40
10
0
30
-2
20
-4
10
-6
0
40 30
0
1,97
-10 -20
4,5 4,0
3,45
3,5 3,0 2,5 2,0 26,76
1,0 0,5
-5,08
-30 I
II
III
IV
I
2014
II
III
IV
I
II
2015
III
IV
2016
SBT KEGIATAN USAHA (SKALA KIRI) %
0,0
I 2017
I
II
III
IV
I
II
2014
PDRB QTQ (SKALA KANAN) %
III
IV
I
II
2015
III
IV
2016
SBT KONDISI KEUANGAN % (SKALA KIRI)
Sumber: Bank Indonesia, 2016
1,5
I 2017
NPL % (SKALA KANAN)
Sumber: Bank Indonesia, diolah
4.3.2 Perkembangan Penyaluran Kredit UMKM Pertumbuhan kredit UMKM sendiri tercatat mengalami perlambatan pertumbuhan dari sebelumnya 16,71% (yoy) pada triwulan IV-2016 menjadi 14,86% (yoy) di triwulan I-2017. Walaupun melambat, angka pertumbuhan yang 2 digit mengindikasikan masih tumbuhnya sektor riil di Provinsi NTT. Pertumbuhan terutama didorong oleh serapan kredit investasi yang meningkat dari 12,02% (yoy) pada triwulan IV-2016 menjadi 22,07% (yoy) pada triwulan I-2017. Pertumbuhan kredit modal kerja juga masih cukup terjaga di angka 13,36% (yoy) walaupun melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 17,73% (yoy). Di sisi lain, melambatnya pertumbuhan kredit UMKM dibarengi oleh rasio NPL yang meningkat menjadi 3,58% dari sebelumnya 2,97% di triwulan IV-2016. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit UMKM di Provinsi NTT.
8.000
GRAFIK 4.13. NPL UMKM
RP MILIAR
%, YOY
7.000
60%
7,0%
50%
6,0%
6.000 22,07% 14,86% 13,36%
5.000 4.000 3.000
40%
20%
I
II III 2013 MODAL KERJA
IV
I
II III 2014
INVESTASI
IV
G KREDIT
I
II III 2015
IV
I
G MODAL KERJA
Sumber: Bank Indonesia, diolah
II III 2016
IV
I 2017
0
3,94% 3,58% 3,50%
4,0% 30%
2.000 1.000
5,0%
3,0% 2,0%
10%
1,0%
0%
0,0% I
II III 2013
IV
I
II III 2014
KREDIT UMKM
G INVESTASI
IV
I
MODAL KERJA
II III 2015
IV
INVESTASI
I
II III 2016
IV
I 2017
GRAFIK 4.12. PERTUMBUHAN KREDIT UMKM
BATAS
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Dari sisi jenis usaha, perlambatan kredit pada triwulan I-2017 terjadi pada kredit usaha kecil dari 16,74% (yoy) pada triwulan IV-2016 menjadi 15,41% (yoy) pada triwulan I-2017. Hal yang sama juga terjadi pada pertumbuhan kredit mikro dari 27,57% (yoy) menjadi hanya 19,9% (yoy). Di sisi lain, pertumbuhan kredit UMKM yang masih cukup baik ditopang oleh adanya peningkatan pertumbuhan pada kredit menengah yang meningkat dari 8,7% (yoy) menjadi 10,03% (yoy). Pencapaian pertumbuhan tiga kelompok kredit berdasarkan jenis usaha yang telah mencapai 2 digit tersebut menunjukkan masih positifnya ekspansi kegiatan UMKM di Provinsi NTT.
56
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
GRAFIK 4.14. PERTUMBUHAN KREDIT UMKM BERDASARKAN JENIS USAHA 8.000
GRAFIK 4.15. PERTUMBUHAN KREDIT UMKM 7 SEKTOR EKONOMI %, YOY
RPMILIAR
7.000
70% 60%
6.000
50%
5.000
200% 150% 100%
40%
4.000
46.05% 38.24%
50%
23.64%
30%
3.000
20%
2.000
0 I
II III 2013
IV
I
MIKRO
II III 2014
KECIL
IV
I
MENENGAH
II III 2015
IV
G MENENGAH
I
G KECIL
II III 2016
IV
I 2017
1.000
14.48%
0%
12.65% -18.95%
10%
-50%
0%
-100% I
II
III
IV
G MIKRO
Sumber: Bank Indonesia, diolah
I
II
2014
III
IV
I
II
2015
PERDAGANGAN REAL ESTATE
III
IV
2016
PERTANIAN
I 2017
KONSTRUKSI TRANSPORTASI
PENYEDIAAN AKOMODASI
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Dari sisi sektor ekonomi, perlambatan pertumbuhan kredit UMKM pada sektor utama yaitu sektor perdagangan besar dan eceran (pangsa 71,68% dari total kredit UMKM) di triwulan laporan menjadi 14,48% (yoy) dari triwulan sebelumnya yang sebesar 16,62% (yoy) dan kontraksi yang cukup tinggi pada kredit konstruksi yang mencapai -18,95% (yoy) sangat berperan pada perlambatan pertumbuhan kredit UMKM di triwulan I-2017. Perlambatan kredit hampir terjadi pada semua sektor ekonomi di NTT, tercatat hanya sektor transportasi, sektor perantara keuangan dan sektor transportasi yang mengalami pertumbuhan cukup positif di triwulan I-2017. Hal ini mengindikasikan adanya perlambatan kegiatan ekonomi masyarakat di awal tahun.
4.3.3 Perkembangan Risiko Kredit UMKM Pada triwulan laporan, rasio NPL gross kredit UMKM di Provinsi NTT masih cenderung terjaga sebesar 3,58% walaupun meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 2,97%. Peningkatan terjadi pada semua golongan kredit, diantaranya kredit mikro (2,19%) dan kredit kecil (2,83%) dari triwulan sebelumnya yang mencatat rasio NPL sebesar masing-masing 1,39% dan 2,01%, serta kredit menengah dari 5,61% (triwulan IV-2016) menjadi 5,71% di triwulan I2017. Namun dengan angka NPL cukup tinggi diatas 5% perlu adanya langkah-langkah dari perbankan guna memperbaiki kualitas penyaluran kredit terutama untuk golongan menengah di Provinsi NTT. Dari sisi sektoral, tiga sektor yang memiliki rasio NPL tertinggi terutama sektor listrik, gas dan air (16,01%), sektor konstruksi (15,04%) dan sektor jasa pendidikan (11,60%). Untuk sektor listrik, gas dan air sendiri terjadi perbaikan rasio NPL dari triwulan sebelumnya yang mencapai 31,38%. Porsi terbesar kredit bermasalah sektor listrik, gas dan air terutama berasal dari subsektor ketenagalistrikan lainnya dengan porsi mencapai 99,83%. Sementara itu, NPL kredit konstruksi terutama disumbang oleh subsektor bangunan jalan raya yang mencapai 37,17%. Untuk sektor jasa pendidikan, porsi NPL tertinggi terutama berasal dari Jasa Pendidikan Tinggi yang mencapai 78.67%. Sektor jasa pendidikan menjadi salah satu sektor yang mengalami peningkatan pertumbuhan NPL cukup tinggi dari triwulan sebelumnya yaitu 2,09%. GRAFIK 4.17. NPL UMKM 3 SEKTOR
10% 9% 8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0%
5,71%
2,92%
I
II III 2013
IV
I
II III 2014 MIKRO
Sumber: Bank Indonesia, diolah
IV
KECIL
I
II III 2015 MENENGAH
IV
I
BATAS
II III 2016
IV
I 2017
2,21%
45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% -5%
16,01% 15,04% 11,60%
I
II III 2013
IV
Jasa Pendidikan
I
II III 2014
IV
I
KONSTRUKSI
II III 2015
IV
I
LISTRIK, GAS DAN AIR
II III 2016
IV
I 2017
GRAFIK 4.16. NPL UMKM BERDASARKAN JENIS USAHA
BATAS
Sumber: Bank Indonesia, diolah
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
57
4.4 ASESMEN KETAHANAN KORPORASI 4.4.1 Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi Meskipun pangsa kredit sektor korporasi di Provinsi NTT hanya sebesar 6,03% dari total kredit di Provinsi NTT pada triwulan I-2017, peran badan usaha/korporasi masih menjadi salah satu komponen penting dalam aktivitas keuangan dan perekonomian di Provinsi NTT. Badan usaha/korporasi secara umum berfungsi sebagai penerima dana, yang selanjutnya menggunakan dana pinjaman dari institusi keuangan atau pemilik modal untuk kegiatan produksi. Kegiatan produksi yang dilakukan badan usaha/korporasi nantinya akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat dan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Dari sisi stabilitas keuangan daerah, semakin besar aktivitas badan usaha dalam mendorong perekonomian di suatu daerah maka diperlukan adanya pemantauan yang mendalam untuk ketahanan badan usaha tersebut, sehingga kedepan tidak menimbulkan permasalahan dalam stabilitas keuangan daerah. Dari sisi daerah, kategori badan usaha dengan porsi kredit terbesar di NTT adalah sektor perdagangan, penyediaan akomodasi dan kontruksi. GRAFIK 4.18. PERTUMBUHAN TAHUNAN KREDIT KORPORASI RPMILIAR
%, YOY
50% 40%
12% 10,95% 10%
30%
8,47%
8% 20%
I
II III 2013
IV
I
II III 2014
MODAL KERJA
IV
I
INVESTASI
II III 2015
IV
I
II III 2016
IV
6%
10% 0%
4%
-10%
2%
-20%
0%
1,67% I
II III 2013
GROWTH KREDIT
Sumber: Bank Indonesia, diolah
IV
I
II III 2014
MODAL KERJA
IV
I
INVESTASI
II III 2015
IV
KREDIT
I
II III 2016
IV
I 2017
5,28%
I 2017
2.000 1.800 1.600 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200 0
GRAFIK 4.19. NPL KREDIT SEKTOR KORPORASI
BATAS
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Pertumbuhan kredit korporasi di NTT pada triwulan laporan mencapai 5,28% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan IV2016 yang hanya sebesar 0,08% (yoy). Peningkatan terutama didorong oleh pertumbuhan kredit modal kerja yang mencapai 19,25% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 13,30% (yoy), sementara itu kredit investasi masih berada pada trend kontraksi dengan angka pertumbuhan pada triwulan I-2017 sebesar -20,30% (yoy). Peningkatan pertumbuhan yang signifikan terjadi pada dua sektor utama yaitu sektor perdagangan (19,41%), dan konstruksi (90,06%). Pangsa kredit korporasi sektor perdagangan terutama berasal dari kredit sub sektor perdagangan dalam negeri semen sebesar 10,25% dari total kredit korporasi sektor perdagangan, kredit konstruksi didominasi oleh sub sektor bangunan jalan raya (45,21%). Sementara itu, kredit penyediaan akomodasi sebagai salah satu sektor penunjang kegiatan wisata di Provinsi NTT cenderung mengalami kontraksi di triwulan I-2017 sebesar -10,28% (yoy) yang disebabkan adanya penurunan kredit, terutama untuk sub sektor hotel berbintang. Di sisi lain, peningkatan pertumbuhan kredit korporasi ternyata dibarengi dengan peningkatan rasio NPL dari 8,04% pada triwulan IV-2016 menjadi 8,47% pada triwulan I-2017. Peningkatan terjadi pada semua komponen kredit korporasi, yaitu kredit modal kerja dari 10,47% (triwulan IV-2016) menjadi 10,95% (triwulan I-2017) serta kredit investasi dari 1,35% menjadi 1,67%. Peningkatan rasio NPL dan angka rasio yang masih diatas 5% perlu untuk menjadi perhatian tambahan pada perbankan agar lebih mencermati profil debitur dan model bisnis debitur selain mengejar target pencapaian pertumbuhan kredit kepada korporasi.
58
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
GRAFIK 4.20. NPL KREDIT 4 SEKTOR KORPORASI 120% 100% 99,79% 80% 60% 40%
35,16%
20%
15,61% 9,41%
0% -20% I
II III 2012
IV
I
II III 2013
IV
I
II III 2014
IV
I
II III 2015
IV
I 2016
PERDAGANGAN BESAR DAN ECERAN BATAS
PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN KONSTRUKSI REAL ESTATE, USAHA PERSEWAAN, DAN JASA PERUSAHAAN Sumber: Bank Indonesia, diolah
Peningkatan risiko gagal bayar terutama terjadi pada rasio NPL sektor real estate dari 10,23% (triwulan IV-2016) menjadi 35,16% (triwulan I-2017) dengan pangsa kredit bermasalah tertinggi berasal dari sub sektor real estate gedung rumah toko (ruko) dan rumah kantor (rukan). Dari tingkat rasio paling mengkhawatirkan, rasio NPL tertinggi terdapat pada sektor pertambangan yang mencapai 99,79% yang terutama berasal dari subsektor pertambangan dan penggalian lainnya walaupun total kredit yang disalurkan cenderung rendah sebesar Rp 18,17 miliar. Adanya permasalahan kegiatan usaha pertambangan galian C di Kabupaten Kupang yang terhambat masalah izin dan penolakan warga diperkirakan menjadi salah satu penyebab tingginya NPL. Rasio NPL cukup tinggi lainnya berasal dari sektor kontruksi sebesar 15,61% yang terutama berasal dari sub sektor konstruksi bangunan elektrikal dan komunikasi lainnya dan sub sektor bangunan jalan raya. Trend rasio NPL tinggi juga terjadi pada sektor perdagangan sebesar 9,41% yang terutama berasal dari kredit bermasalah sub sektor perdagangan dalam negeri semen serta sektor perikanan sebesar 7,84% dengan pangsa kredit bermasalah tertinggi di subsektor penangkapan ikan lainnya. Sementara itu, NPL sektor lainnya cenderung masih terjaga di bawah 5%.
4.5 ASESMEN PERBANKAN 4.5.1 Kinerja Bank Umum Total asset perbankan di Provinsi NTT hingga akhir triwulan I-2017 tercatat sebesar Rp 30,57 triliun atau dengan pangsa 0,36% dari asset perbankan nasional. Nilai asset perbankan di NTT tersebut cenderung menurun sebesar -1,15% (yoy) dibandingkan tahun sebelumnya sebagai dampak dari strategi bank seperti peralihan aset antar kantor dan pengurangan penempatan pada bank lain. Penurunan aset terutama terjadi pada bank pemerintah yang mencapai -3,32% (yoy) sementara itu aset bank swasta nasional cenderung meningkat hingga sebesar 15,72%(yoy). Tabel 4.2 Perkembangan Indikator Utama Bank Umum di NTT NOMINAL (DALAM RP MILIAR)
INDIKATOR
2015
PERTUMBUHAN (%YOY)
2016
2017
2015
2016
I
IV
I
II
III
IV
I
III
IV
I
II
ASET
29.877,07
28,601.62
30,931.31
32,321.36
30,327.22
29,756.92
30,574.96
20.79
11.72
3.53
-1.39
DPK
19.648,08
21,477.98
21,945.14
23,828.93
22,405.34
21,465.81
22,564.99
18.23
16.94
11.69
GIRO
5.412,36
4,371.54
5,603.55
6,429.23
5,059.30
3,722.19
5,330.16
30.35
20.31
TABUNGAN
9.045,92
11,933.29
10,448.62
11,149.53
11,062.67
12,819.48
11,310.76
7.65
DEPOSITO
5.189,80
5,173.15
5,892.97
6,250.17
6,283.37
4,924.14
5,924.07
25.14
KREDIT
2017 III
IV
I
-70
4.04
-1.15
10.41
0.29
-0.06
2.82
3.53
2.22
-22.61
-14.85
-4.88
15.79
15.51
22.45
14.71
7.43
8.25
16.84
13.55
1.04
2.02
-4.81
0.53
17.842,68
20,283.78
20,524.71
21,730.69
22,382.83
22,837.49
24,425.42
15.10
14.61
15.03
14.93
13.37
12.59
19.00
MODA KERJA
5.260,39
6,109.97
6,127.34
6,692.83
7,050.03
7,120.99
7,462.89
19.99
16.13
16.48
17.46
16.10
16.55
21.80
INVESTASI
1.532,98
1,649.90
1,567.42
1,696.28
1,661.22
1,659.18
2,015.38
8.77
7.42
2.25
3.39
5.83
0.56
28.58
KONSUMSI
11.049,32
12,523.91
12,829.94
13,341.58
13,671.58
14,057.33
14,947.15
13.63
14.90
16.12
15.32
12.99
12.24
16.50
90,81
94.44
93.53
91.19
99.90
106.39
108.24
1,71
1.50
1.88
1.84
1.84
1.91
2.04
LDR % NPL (GROSS) Sumber: Bank Indonesia, diolah
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
58
Dari sisi kredit, pertumbuhan kredit perbankan di NTT sedikit melambat dari 12,59% (yoy) pada triwulan IV-2016 menjadi 12,51% (yoy) pada triwulan I-2017 dengan total kredit disalurkan mencapai Rp 23,09 triliun. Perlambatan kegiatan ekonomi yang terjadi pada triwulan-I seiring belum menggeliatnya kegiatan konsumsi masyarakat menjadi beberapa faktor terjadinya perlambatan. Di sisi lain, rasio NPL Bank Umum pada triwulan I-2017 mengalami peningkatan menjadi 2,16% dari triwulan sebelumnya yang hanya 1,91%. Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) mencatat pertumbuhan positif sebesar 2,82% (yoy) dibandingan triwulan IV-2016 yang terkontraksi sebesar -0,06% (yoy). Berdasarkan jenis simpanan, komponen tabungan menjadi pendorong pertumbuhan utama pada triwulan laporan sebesar 8,25% (yoy) dibandingkan triwulan-IV 2016 yang hanya sebesar 3,97% (yoy). Pertumbuhan juga terjadi pada deposito yang tumbuh terbatas sebesar 0,53% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan giro masih berada pada trend negatif sebesar -4,88% (yoy) yang terutama disebabkan turunnya giro pemerintah daerah. Dari sisi Loan to Deposit Ratio (LDR), angka LDR di NTT pada triwulan laporan mencapai 102,34% sedikit menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 106,39%. Namun, trend LDR diatas 100 yang telah terjadi di NTT sejak periode triwulan III-2016 tersebut menunjukkan penetrasi pertumbuhan kredit cukup tinggi di NTT. GRAFIK 4.21. PERTUMBUHAN DPK (YOY) DAN KREDIT (YOY)
GRAFIK 4.22. PERKEMBANGAN LDR 30.000
24%
102,34%
25.000
19% 14%
12,51%
120% 100%
20.000
80%
15.000
60%
9% 4%
10.000
40%
5.000
20%
2,82%
-1%
0 I
II
III
IV
I
II
III
2015
IV
DPK
0% I
I 2017
2016
II
III
IV
I
II
2015
KREDIT
DPK
Sumber: Bank Indonesia, diolah
III 2016
KREDIT
IV
I 2017
LDR
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Dari sisi efisiensi bank, kinerja tahunan beban operasional perbankan yang lebih tinggi dibandingkan pendapatan operasional menyebabkan adanya tekanan pada kegiatan efisiensi bank di triwulan I-2017. Tercatat rasio BOPO meningkat dari 68,95% pada triwulan IV-2016 menjadi 81,8% pada triwulan I-2017. Sementara itu, rasio Return on Asset (ROA) cenderung mengalami penurunan dari 4,17% (triwulan IV-2016) menjadi 2,5% di triwulan I-2017. Penurunan ROA ini salah satunya disebabkan adanya keterlambatan gaji pegawai negeri sipil dan gaji guru SMA/SMK seiring adanya reorganisasi dan pengalihan wewenang pengelolaan SMA/SMK ke Provinsi pada awal tahun yang menghambat pembayaran kredit, sehingga menyebabkan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) oleh perbankan di NTT. GRAFIK 4.23. BOPO DAN ROA BANK UMUM 81,8
90 80 70 60 50 40
2,5
30 20 10 0 I
II
III
IV
I
II
2015 BOPO (%) Sumber: Bank Indonesia, diolah
60
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
III 2016
ROA (%)
IV
I 2017
5,0 4,5 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0
4.5.2 Kinerja Bank Perkreditan Rakyat Dari kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Provinsi NTT pada triwulan I-2017, terdapat adanya peningkatan kinerja yang tercermin dari penguatan rasio permodalan atau Capital Adequacy Ratio (CAR) yang meningkat menjadi 31,05% dari triwulan sebelumnya yang sebesar 29,92%. Pembenahan kegiatan operasional perbankan yang lebih efisian juga terlihat dari penurunan rasio BOPO yang sebelumnya 81,18% menjadi 80,36% pada triwulan I-2017. Dari sisi kemampuan BPR menghasilkan laba juga tercatat sedikit meningkat yang tercermin dari meningkatnya ROA pada triwulan laporan menjadi 2,85% dari triwulan sebelumnya 2,60%. Namun, terdapat pula resiko peningkatan kredit bermasalah pada BPR yang terlihat dari rasio NPL yang meningkat menjadi 6,65% dari sebelumnya 5,82%. Angka NPL di NTT cenderung relatif konsisten di angka 5% sejak tahun 2015 dan diharapkan dapat menjadi perhatian BPR dalam kegiatan penyaluran kreditnya. Sementara itu, peningkatan LDR menunjukkan adanya peningkatan kegiatan intermediasi berupa penyaluran kredit BPR di NTT, tercatat LDR meningkat menjadi 77,61% dari triwulan sebelumnya yang 75,21%. Di sisi lain, adanya peningkatan penetrasi kredit BPR berdampak pada penurunan kemampuan BPR membayar kembali simpanan nasabah yang ditunjukkan oleh penurunan Cash Ratio (CR) menjadi 15,13%. Grafik 4.25. BOPO, ROA, NPL BPR
88
31,05
86
32 31
84
30
82
29
80
77,61
78
28 27
74
26
72
25
70
24
I
II III 2013
IV
I
II III 2014
IV
I
% CAR (SKALA KANAN) Sumber: Bank Indonesia, diolah
II III 2015
IV
I
II III 2016
IV
I 2017
76
6,65
83 82 81 80 79 78 77 76 75 74 73
7 6 5
80,36
4 3 2,85
2 1
I
II III 2013
IV
I
II III 2014
% BOPO
% LDR
IV
% ROA
I
II III 2015
IV
I
II III 2016
IV
I 2017
Grafik 4.24. LDR dan CAR BPR
% NPL (SKALA KANAN)
Sumber: Bank Indonesia, diolah
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
61
0
05
Penyelenggaran Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Perlambatan sistem pembayaran masih terus berlanjut semenjak mengalami perlambatan di triwulan III 2016. Indikator ekonomi menunjukkan adanya perlambatan yang lebih besar, terlihat dari indikator net setoran yang mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya.
Penggunaan fasilitas Non Tunai (SKNBI) di NTT pada Triwulan I 2017 juga mengalami penurunan seiring dengan menurunnya transaksi SKNBI secara Nasional Terjadi pengungkapan kasus uang palsu yang cukup besar di Kabupaten Kupang pada triwulan I 2017
5.1. KONDISI UMUM Transaksi sistem pembayaran pada triwulan I 2017 menunjukkan indikasi perlambatan. Setelah mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan hingga triwulan II 2016, aktivitas sistem pembayaran berangsur menunjukkan perlambatan sejak triwulan III 2016 hingga triwulan I 2017. Besarnya perlambatan transaksi terlihat dari kontraksi peredaran uang yang menunjukkan adanya net inflow sebesar Rp 1,7 triliun, meningkat 16,0% dibanding net inflow tahun sebelumnya yang mencapai Rp 1,5 triliun. Besarnya konstraksi transaksi tunai tersebut mengindikasikan adanya perlambatan ekonomi di NTT, seiring dengan melambatnya perputaran uang yang terjadi, bahkan lebih besar dibanding posisi yang sama tahun sebelumnya. Perlambatan ekonomi juga terlihat dari penurunan aktivitas
GRAFIK 5.1 PERKEMBANGAN INFLOW/OUTFLOW DI POVINSI NTT
transaksi non tunai yang terlihat dari penurunan transaksi
3,000
kliring hingga -21,87% (yoy) dibanding tahun sebelumnya
2,500
yang mencapai Rp 3,11 triliun. Penurunan transaksi ini searah dengan penurunan transaksi kliring secara nasional yang juga menunjukkan adanya penurunan. Namun demikian dari sisi volume warkat kliring, pada Triwulan I
160%
2,000
80%
1,500 1,000
0%
500 0
-80% I
II III 2014
2017 menunjukkan sedikit peningkatan yang berarti nilai
IV
I
II
III
IV
I
II III 2016
2015
INFLOW (RP. MILIAR)
OUTFLOW (RP. MILIAR)
YOY INFLOW
IV
I 2017
YOY OUTFLOW
rata-rata transfer dana per warkat mengalami penurunan. Adapun data indikator sistem pembayaran lainnya menunjukkan adanya penurunan jumlah uang tidak layak edar (UTLE) di NTT yang menunjukkan adanya perbaikan kualitas yang yang beredar di masyarakat. Jumlah temuan uang palsu (UPAL) mengalami peningkatan signifikan hingga 403 lembar. Adapun motif peredaran belum diketahui dan masih dalam tahap penyelidikan oleh kepolisian. GRAFIK 5.3 PERKEMBANGAN TRANSAKSI KLIRING
GRAFIK 5.2 PERKEMBANGAN TRANSAKSI TUNAI 2000
700% 600% 500% 400% 300% 200% 100% 0% -100% -200% -300%
1500 1000 500 0 -500 -1000 -1500 -2000 -2500 I
II III 2013
IV
I
II III 2014
IV
I
NET IN/OUT (RP. MILIAR)
II III 2015 QTQ
IV
I
II III 2016
IV
I 2017
YOY
4.000,00
YOY
3.500,00
500,00% 400,00%
3.000,00
300,00%
2.500,00
200,00%
2.000,00 100,00%
1.500,00
0,00%
1.000,00
-100,00%
500,00 0,00
-200,00% I
II III 2014 KLIRING
IV
I
II
III
IV
2015 % KLIRING
% CEK/BG KOSONG
I
II III 2016
IV
I 2017
% RATIO CEK BG/KOSONG
5.1. TRANSAKSI PEMBAYARAN TUNAI 5.2.1. Aliran Uang Masuk (inflow) dan Aliran Uang Keluar (Outflow) Transaksi tunai pada triwulan I 2017 menunjukkan adanya perlambatan yang terlihat dari adanya peningkatan net aliran uang masuk dari perbankan yang lebih besar dibanding tahun sebelumnya. Besarnya net inflow menunjukkan tren perlambatan aktivitas ekonomi masyarakat. Adanya penurunan realisasi investasi pemerintah diduga menjadi penyebab utama melambatnya aliran uang di masyarakat. Penurunan aktivitas ekonomi juga terkonfirmasi oleh penurunan pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 4,98% (yoy). Besarnya net inflow terutama disebabkan oleh aliran uang masuk (Inflow) pada Triwulan I 2017 yang meningkat 13,99% (yoy) atau sebesar Rp 2,1 triliun. Di sisi lain, outflow hanya bertumbuh 4,94% (yoy) atau dengan nominal sebesar Rp 350,13 miliar.
64
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
Berdasarkan wilayah peredaran uang, inflow terbesar terjadi di Kota Kupang hingga Rp 993 milyar. Besarnya inflow ataupun aktivitas transaksi tunai di Kota Kupang lebih disebabkan oleh posisi Kota Kupang sebagai pusat perbankan di NTT. Berdasarkan daerah kas titipan, yang cukup menarik adalah tingginya aktivitas sistem pembayaran di Sumba Timur. Selain mengalami inflow tertinggi hingga Rp 317 miliar dibanding kas titipan lainnya, namun penarikan (outflow) uang tunai juga relatif paling tinggi dibanding daerah lainnya yaitu mencapai Rp 98 miliar rupiah. Hal ini menunjukkan tingginya aktivitas ekonomi di Pulau Sumba dibanding daerah lainnya di NTT. Adanya investasi industri pertanian besar seperti pabrik gula, kakao, tembakau, pariwisata dan lain-lain diduga menjadi penyebab utama meningkatnya aktivitas perekonomian di Pulau Sumba. GRAFIK 5.4 SHARE SETORAN BANK TRIWULAN I 2017
GRAFIK 5.5 SHARE BAYARAN BANK TRIWULAN I 2017
72,65% 27,34% 0,01%
BANK PEMERINTAH
BANK SWASTA
BUKAN BANK
97,73% 1,39% 0,88%
BANK PEMERINTAH
BANK SWASTA
BUKAN BANK
Berdasarkan jenis bank, kegiatan setoran (inflow) ke Bank Indonesia di Triwulan I 2017 masih dominan dilakukan oleh bank pemerintah, kemudian bank swasta dan bukan bank. Pada Triwulan I 2017 setoran bank pemerintah mencapai Rp.1.502,66 miliar atau meningkat 26,05% (yoy) lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Triwulan IV 2016 yaitu 18,87% (yoy). Sementara itu, bank swasta melakukan setoran sebesar Rp.565,54 miliar atau menurun 8,62% (yoy) lebih rendah dari Triwulan IV 2016 yang tumbuh mencapai 99,56% (yoy). Adapun setoran yang dilakukan oleh bukan bank hanya sebesar Rp.283,05 juta atau mengalami penurunan sebesar 63,27% (yoy). Dari sisi bayaran (outflow), juga masih didominasi oleh bank pemerintah, diikuti oleh bank swasta dan bukan bank. Pada Triwulan I 2017 bayaran kepada bank pemerintah sebesar Rp.321,88 miliar atau tumbuh 5,37% (yoy) lebih tinggi dibandingkan Triwulan IV 2016 yang tumbuh negatif 13,12% (yoy). Bayaran kepada bank swasta pada triwulan ini mencapai Rp.4,59 miliar atau tumbuh 26,96% (yoy), sedikit lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada Triwulan IV 2016 yang hanya sebesar 20,18% (yoy). Sementara itu, bayaran kepada bukan bank mencapai Rp.2,90 miliar dengan pertumbuhan negatif 16,17% (yoy) lebih rendah dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang mencapai 42,65% (yoy).
5.2.2. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) dan Uang Palsu (UPAL) Pada Triwulan I 2017 pertumbuhan setoran UTLE di NTT mengalami penurunan sebanyak 72,40% (yoy) dengan jumlah UTLE yang ditarik sebesar Rp.197,80 miliar. Tingginya penarikan UTLE terutama sejak awal tahun 2016 mulai berdampak pada membaiknya kondisi uang yang beredar di NTT. Pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) pada Triwulan I 2017 tercatat sebesar Rp.152,05 miliar, atau juga mengalami penurunan sebesar 70,17% (yoy) dibandingkan Triwulan IV 2016 yang mencapai 20,55% (yoy).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
65
GRAFIK 5.6 PERKEMBANGAN UTLE DI PROVINSI NTT
GRAFIK 5.7 PERKEMBANGAN UPAL DI POVINSI NTT
700
150,00%
600 100,00%
500
950 850 750 650
403
200,00%
800
550
400 300
50,00%
450
0,00%
350 250
200 -50,00%
100
-100,00%
0 I
II III 2014
IV
I
II
III
IV
I
2015 UTLE
II III 2016
IV
I 2017
150 50 -50
I
II
III
IV
I
II
2014
III
IV
I
2015
II
III
IV
2016
I 2017
UPAL
YOY UTLE
Pada Triwulan I 2017, jumlah UPAL yang berhasil diidentifikasi di NTT mengalami peningkatan signifikan dari 26 lembar menjadi 403 lembar. Namun demikian, UPAL yang sempat beredar relatif minim karena sudah berhasil diidentifikasi sebelum diedarkan. Peningkatan ini terjadi setelah ditemukan adanya uang palsu di wilayah Kabupaten Kupang. Temuan tersebut berawal dari laporan penggunaan 2 lembar uang palsu senilai 200 ribu yang setelah ditelusuri ternyata terdapat ratusan uang palsu yang belum diedarkan. Saat ini kasus tersebut masih dalam penyelidikan kepolisian. Untuk mencegah beredarnya uang palsu, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT juga terus melakukan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah (CIKUR) kepada masyarakat, akademisi maupun aparat di Provinsi NTT. Dalam rangka meningkatkan kualitas uang beredar di masyarakat, selain menambah jumlah dan plafon kas titipan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT juga melakukan kas keliling baik di Kota Kupang maupun di luar kota Kupang. Total kas keliling di triwulan I 2017 mencapai 22 kali kegiatan, sedangkan kas titipan sebanyak 4 kegiatan. Selain itu, juga dilakukan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah dan merawat uang yang baik pada kegiatan sosialisasi umum, Kas Keliling maupun pembinaan terhadap Kas Titipan. Tabel 5.1.Perkembangan Kegiatan KPw BI Provinsi NTT PERIODE
KAB/KOTA
IV - 2016
I - 2017
SUMBA
TIMOR
FLORES
JUMLAH
SUMBA
KAS KELILING
1
4
KAS TITIPAN
4
4
3
8
2
6
14
1
TOTAL
5
8
9
22
3
TIMOR
FLORES
JUMLAH
18
2
22
1
2
4
19
4
26
INDIKATOR*
*) Frekuensi Sumber : Kpw BI Provinsi NTT diolah
5.3. TRANSAKSI PEMBAYARAN NON TUNAI 5.3.1. Transaksi Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) Pada Triwulan I 2017 pertumbuhan penggunaan transaksi kliring secara Nasional maupun di NTT mengalami penurunan. Volume warkat kliring pada Triwulan I 2017 tercatat sebesar 67.677 warkat, atau tumbuh melambat sebesar 0,54% (yoy) dibandingkan pertumbuhan Triwulan IV 2016 yang mencapai 18,50% (yoy). Sementara itu dari sisi nominal kliring tercatat sebesar Rp.2.429,05 miliar atau menurun 21,87% (yoy) dibandingkan pertumbuhan Triwulan IV 2016 yang mencapai 12,29% (yoy). Perlambatan atau penurunan penggunaan transaksi ini juga disinyalir masih merupakan dampak dari perubahan ketentuan tentang batasan maksimal transaksi kliring mulai dari nominal transaksi kliring yang tidak dibatasi pada triwulan I 2015 hingga triwulan II 2016, menjadi maksimal Rp.500 juta pada awal Juli 2016. Hal ini terlihat dari rata-rata nilai kliring per warkat dari Rp 46,2 miliar pada triwulan I 2016 menjadi Rp 35,9 miliar di triwulan I 2017.
66
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
Pertumbuhan penyerahan Cek/BG kosong di NTT pada Triwulan I 2017 juga terus mengalami penurunan. Dari sisi volume mengalami penurunan sebesar 17,47% (yoy) atau hanya 189 warkat Cek/BG kosong, sementara dari sisi nominal menurun 83,53% (yoy) atau sebesar Rp.8,61 miliar.
5.4. PERKEMBANGAN LAYANAN KEUANGAN DIGITAL Jumlah agen Layanan Keuangan Digital (LKD) di NTT pada Triwulan I 2017 mengalami pertumbuhan yang cukup besar walaupun tidak sebesar pertumbuhan triwulan sebelumnya. Pada Triwulan I 2017 jumlah agen LKD di NTT berjumlah 3.655 agen, atau tumbuh 73,47% (yoy) lebih rendah dibandingkan Triwulan IV 2016 yang mampu tumbuh sebesar 166,61% (yoy). GRAFIK 5.8 PERTUMBUHAN JUMLAH AGEN LKD 4.000
180,00%
3.500
160,00%
3.000
140,00% 120,00%
2.500
100,00%
2.000
80,00%
1.500
60,00%
1.000
40,00%
500
20,00% 0,00%
0 I
II
III 2016
AGEN LKD
PERTUMBUHAN (YOY)
IV
I 2017
PERTUMBUHAN (QTQ)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
67
06
Ketenagakerjaan & Kesejahteraan Perkembangan sektor kesejahteraan dan ketenagakerjaan menunjukkan peningkatan di awal tahun 2017. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulan Februari 2017 tercatat turun menjadi 3,21% atau sebanyak 80,25 ribu jiwa dibandingkan Februari 2016 yang sebesar 3,59% atau 87,70 ribu jiwa. Secara sektoral, peningkatan terbesar terjadi pada sektor pertanian seiring masa panen yang lebih panjang di awal tahun 2017. Kesejahteraan masyarakat pedesaan yang diindikasikan melalui Nilai Tukar Petani (NTP) menunjukkan peningkatan pada triwulan I 2017 dibandingkan triwulan I 2016.
6.1.KONDISI UMUM Berdasarkan data Februari 2017, kesejahteraan masyarakat Provinsi NTT yang tercermin dari kondisi ketenagakerjaan menunjukkan peningkatan 1. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi NTT turun sebanyak 7.451 ribu orang menjadi 3,21% dibandingkan Februari 2016 yang sebesar 3,59%, sehingga saat ini tercatat angka pengangguran sebanyak 80.248 orang. Penurunan tersebut didorong terutama oleh peningkatan tenaga kerja di sektor pertanian dan industri masing-masing sebanyak 41.627 orang dan 36.220 orang, seiring musim panen pada awal tahun ini dan periode tangkap ikan yang lebih panjang didukung cuaca dan gelombang yang lebih kondusif, serta dibukanya beberapa industri pengolahan baru di triwulan I 2017. Penurunan TPT sejalan dengan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia pada triwulan I 2017 di Provinsi NTT yang menunjukkan peningkatan indeks ketenagakerjaan 2 (SBT 16,41). Di sisi lain, tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan yang diindikasikan oleh Nilai Tukar Petani (NTP) menunjukkan sedikit penurunan menjadi 100,84 dari triwulan IV 2016 yang mencapai 101,31 akibat peningkatan indeks harga dibayar lebih tinggi dibandingkan peningkatan indeks harga diterima, salah satunya pengaruh dari adanya inflasi administered prices di triwulan I 2017. Namun NTP triwulan I 2017 masih lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2016 dan terjaga di atas 100.
6.1. KONDISI KETENAGAKERJAAN 6.2.1 Kondisi Ketenagakerjaan Secara Umum Berdasarkan data BPS per Februari 2017, tingkat pengangguran terbuka (TPT) turun sebesar 7.451 ribu orang menjadi 3,21% dibandingkan Februari 2016 sebesar 3,59%, sehingga saat ini tercatat angka pengangguran sebanyak 80.248 orang. Peningkatan positif pada tenaga kerja terutama terjadi pada pekerja formal yang meningkat 38.065 orang, sementara pekerja informal meningkat 27.120 orang. Peningkatan pekerja formal yang lebih tinggi dibandingkan pekerja informal mengindikasikan peningkatan kualitas lapangan kerja di Provinsi NTT. pergeseran lapangan kerja ke sektor formal tersebut perlu terus didorong agar ketersediaan lapangan kerja di NTT menjadi lebih berkualitas. Peningkatan pekerja formal juga dapat membantu mengurangi jumlah penduduk miskin karena pendapatan yang diperoleh lebih jelas dan sesuai upah minimum provinsi. Peningkatan tenaga kerja tertinggi berasal dari sektor pertanian sebanyak 41.627 orang yang salah satunya didorong oleh musim panen pada awal tahun ini dan periode tangkap ikan yang lebih panjang, seiring cuaca dan gelombang yang lebih kondusif sehingga membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak. Masih cukup tingginya tenaga kerja yang bersifat pekerja tak dibayar sebesar 30,11% dari total tenaga kerja di Provinsi NTT atau sebanyak 729.543 orang disinyalir menjadi salah satu faktor yang juga berkontribusi terhadap angka kemiskinan NTT. Pekerja tak dibayar pada umumnya merupakan pekerja yang bekerja di sektor pertanian dalam konteks membantu keluarga menggarap ladang.
1. Analisis kesejahteraan pada bab ini akan selalu berbeda penekanan tergantung ketersediaan data terbaru yang ada pada saat dilakukan analisis. 2. Angka indeks dihitung dengan metode SBT (Saldo Bersih Tertimbang) yang merupakan selisih dari persentase jawaban ”naik” dengan jawaban ”turun” disesuaikan dengan bobot masing-masing sektor.
70
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
2.400.000 2.300.000 2.200.000 2.100.000 2.000.000 1.900.000 FEB
AGUST 2013
FEB
AGUST 2014
ANGKATAN KERJA
FEB
AGUST 2015
KERJA
FEB
AGUST 2016
100.000 90.000 80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 -
FEB 2017
FEBRUARI 2016
FEBRUARI 2017
FORMAL
PENGANGGUR
Sumber : BPS Diolah
546.910
80.248
2.500.000
508.845
2.600.000
1.875.899
GRAFIK 6.2. PERKEMBANGAN STATUS PEKERJA
1.848.779
GRAFIK 6.1. PERKEMBANGAN TENAGA KERJA DI NTT
INFORMAL
Sumber : BPS Diolah
6.2.2 Kondisi Ketenagakerjaan Berdasarkan Lapangan Pekerjaan Utama Per Februari 2017, tenaga kerja di sektor pertanian sebagai sektor dominan di Provinsi NTT meningkat menjadi 1,44 juta jiwa dari sebelumnya Februari 2016 sebanyak 1,40 juta jiwa, sehingga porsi tenaga kerja pertanian terhadap total tenaga kerja di Provinsi NTT meningkat menjadi 59,56%. Namun sejak Februari 2014, tren pertumbuhan tenaga kerja di bidang pertanian menunjukkan penurunan, dengan kecenderungan mulai adanya pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor lain yakni industri dan jasa-jasa. Sementara peningkatan tenaga kerja yang terjadi pada Februari 2017 diperkirakan sebagai dampak dari masa panen yang lebih panjang dibandingkan tahun sebelumnya sehingga menyerap lebih banyak tenaga kerja. Peningkatan juga terjadi pada sektor industri menjadi 148,81 ribu jiwa dari Februari 2016 sebanyak 119,95 ribu jiwa. Kecenderungan peningkatan tenaga kerja sektor industri telah terjadi setidaknya sejak tahun lalu seiring mulai bergeliatnya sektor industri di Provinsi NTT. Peningkatan juga terjadi pada sektor pertambangan, listrik, gas dan air menjadi 32,84 ribu jiwa dari Februari 2016 sebanyak 15,75 ribu jiwa sejalan dengan perkembangan pembangunan jaringan listrik oleh PLN tahun ini dengan target 700 desa teraliri listrik. GRAFIK 6.3. STRUKTUR TENAGA KERJA DI NTT BULAN FEBRUARI 2017
GRAFIK 6.4. PERKEMBANGAN TENAGA KERJA MENURUT LAPANGAN USAHA 400
RIBU ORANG
1.600
350
1.550
300 1.500
250
10% 60% 5% 1% 1% 6% 14% 3%
PERTANIAN PERTAMBANGAN INDUSTRI KONSTRUKSI PERDAGANGAN TRANSP, PERGUDANGAN & KOMUNIKASI KEUANGAN JASA KEMASYARAKATAN
Sumber : BPS Diolah
200
1.450
150
1.400
100 1.350
50 0
1.300
FEB-11 PERTANIAN PERTAMBANGAN
FEB-12
FEB-13
INDUSTRI KONSTRUKSI
FEB-14 PERDAGANGAN KEUANGAN
FEB-15
FEB-16
FEB-17
TRANSP, PERGUDANGAN & KOMUNIKASI JASA KEMASYARAKATAN
Sumber : BPS Diolah
6.2.3 Kondisi Ketenagakerjaan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Berdasarkan Tingkat Pengangguran Terbuka3, pada Februari 2017 pengangguran terbanyak berada pada tingkat pendidikan universitas dengan persentase 9,62% diikuti Diploma I/II/III 6,40%. Persentase TPT semakin kecil pada jenjang pendidikan lebih rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor ekonomi di Provinsi NTT belum cukup mendukung para lulusan pendidikan dengan jenjang pendidikan lebih tinggi sehingga masih kesulitan mencari pekerjaan. Sektor 3. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT): Jumlah Pengangguran dibagi Jumlah Angkatan Kerja
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
71
ekonomi Provinsi NTT masih didominasi oleh pertanian tradisional dengan porsi terhadap perekonomian per triwulan I 2017 sebesar 27,58%, sementara sektor-sektor yang memerlukan pengetahuan/keterampilan di NTT jumlahnya masih cukup terbatas, tercermin dari porsi yang masih rendah terhadap perekonomian seperti misalnya industri pengolahan (1,26%), informasi dan komunikasi (7,10%) dan jasa keuangan dan asuransi (4,07%). Dengan demikian diperlukan upaya perluasan lapangan kerja di Provinsi NTT, di antaranya melalui kemudahan berwirausaha dan menarik investor terutama sektor bernilai tambah lebih seperti industri, untuk lebih memberdayakan para lulusan jenjang pendidikan lebih tinggi sekaligus menyerap tenaga kerja lebih banyak.
6.2.4 Kondisi Ketenagakerjaan Menurut Status Pekerjaan Struktur tenaga kerja menurut status pekerjaan di Provinsi NTT setidaknya dalam selang waktu Februari 2016 dan Februari 2017 tidak banyak mengalami perubahan dan masih didominasi oleh pekerja di sektor informal dengan porsi 77,43%, meskipun sedikit menurun dari Februari 2016 yang sebesar 78,42%. Pekerja tidak dibayar menjadi pekerja di sektor informal yang terbesar yakni dengan porsi 30,11% dari total tenaga kerja NTT atau sebanyak 729,54 ribu jiwa. Porsi tersebut naik dari sebelumnya Februari 2016 sebesar 29,05%. Peningkatan tersebut diperkirakan terjadi seiring masa panen awal tahun 2017 yang lebih lama dibandingkan tahun lalu sehingga memerlukan tenaga kerja lebih banyak. Sementara pekerja di sektor informal yang berusaha dibantu buruh tidak tetap sedikit mengalami penurunan porsi menjadi 28,73% dari sebelumnya 29,08%, diikuti peningkatan porsi pekerja di sektor formal yang berusaha dibantu buruh tetap menjadi 1,74% dari sebelumnya 1,30%. GRAFIK 6.5. PERKEMBANGAN STATUS PEKERJAAN MASYARAKAT JIWA
42.190
104.862
31.564
100.000
92.481
200.000
357.901
300.000
335.529
400.000
504.720
477.281
500.000
FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2017
729.543
600.000
703.931
704.457
700.000
695.974
800.000
0 BERUSAHA SENDIRI
BERUSAHA DIBANTU BURUH TIDAK TETAP
PEKERJA BEBAS
INFORMAL
PEKERJA TAK DIBAYAR
BERUSAHA DIBANTU BURUH/KARYAWAN BURUH TETAP
FORMAL
Sumber : BPS Diolah
6.2.5 Kondisi Tenaga Kerja Sektor Industri Manufaktur Besar dan Sedang Data sektor Industri Manufaktur dan sedang (IBS) masih menunjukkan tingginya porsi penyerapan tenaga kerja untuk industri barang galian bukan logam sebesar 33,79% atau sedikit meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 dengan porsi 32,62%, diperkirakan karena didorong kebutuhan barang galian untuk proyek-proyek pemerintah yang masih tinggi. Di sisi lain, secara produktivitas industri furnitur menunjukkan pertumbuhan di tengah penurunan jenis industri lainnya menjadi Rp 8,17 juta per tenaga kerja dari sebelumnya triwulan IV 2016 Rp 8,07 juta per tenaga kerja. Hal tersebut ditengarai disebabkan oleh permintaan furnitur untuk renovasi atau pembangunan rumah/kantor di awal tahun 2017, sehingga cukup menahan penurunan produktivitas industri manufaktur besar sedang di triwulan I yang menjadi Rp17,02 juta per tenaga kerja seiring siklus musiman perlambatan ekonomi di awal tahun.
72
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
GRAFIK 6.7. PERKEMBANGAN PRODUKTIVITAS INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG 35
RP JUTA
32,61
GRAFIK 6.6. PERSENTASE PENYERAPAN TENAGA KERJA INDUSTRI MANUFAKTUR SEDANG DAN BESAR
30
MAKANAN
MINUMAN
FURNITUR
TRIWULAN IV 2016
BARANG GALIAN BUKAN LOGAM
8,17
19,55 MINUMAN
MAKANAN
8,07
0
7,86
5
8,45
15 10
14,26
20
20,05
25
29,88% 21,73% 15,60% 32,79%
FURNITUR
BARANG GALIAN BUKAN LOGAM
TRIWULAN I 2017
Sumber : BPS Diolah
Sumber : BPS Diolah
6.2.6 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia menunjukkan adanya peningkatan indeks tenaga kerja pada triwulan I 2017 menjadi 16,41, meningkat cukup signifikan dibandingkan triwulan IV 2016 yang sebesar 0,97. Peningkatan terutama terjadi pada sektor jasa-jasa yang diperkirakan salah satunya didorong aktivitas kampanye dan Pilkada di tiga daerah yakni Kota Kupang, Kab. Lembata dan Kab. Flores Timur. GRAFIK 6.8. PERKEMBANGAN INDEKS TENAGA KERJA SKDU 35
% SBT
30 25
INDEKS
20 15 10 5 0 -5
I
II III 2013
IV
I
II III 2014
IV
I
II III 2015
IV
I
II III 2016
IV
I II* 2017
-10 -15
PERKIRAAN
Sumber : BPS Diolah
AKTUAL
*PERKIRAAN
6.3. KONDISI KESEJAHTERAAN 6.3.1 Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Secara triwulanan, tingkat kesejahteraan pedesaan di Provinsi NTT yang tercermin dari Nilai Tukar Petani (NTP) menunjukkan penurunan, namun masih sedikit lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2016. NTP triwulan I 2017 tercatat turun menjadi 100,84 dari sebelumnya triwulan IV 2016 sebesar 101,31. Meskipun mengalami penurunan, angka NTP masih berada di atas 100 sehingga secara umum masih terjadi pertumbuhan pendapatan bagi petani. Penurunan NTP terjadi disebabkan kenaikan indeks yang dibayar (IB) lebih tinggi daripada indeks yang diterima (IT) yang berarti bahwa terjadi kenaikan biaya hidup/ongkos produksi yang lebih besar dibanding pendapatan yang diraih. Secara lebih rinci, hal tersebut dipengaruhi adanya peningkatan biaya konsumsi rumah tangga dan produksi terutama bahan makanan, sandang, bibit tanaman dan pupuk. Dilihat dari sisi sektoral, peningkatan nilai tukar petani terjadi pada tanaman padipalawija, hortikultura dan perikanan. Hal tersebut didorong oleh adanya musim panen pada triwulan IV 2016 yang terjadi hingga memasuki triwulan I 2017 dan hasil tangkapan nelayan pada periode laporan yang cukup melimpah seiring cuaca dan gelombang laut yang mendukung.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
73
GRAFIK 6.9. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI
GRAFIK 6.10. NILAI TUKAR PETANI PER SEKTOR
104
130
103
125
102 101
120
100
110 105 100
115
99
95 110 101,31
97 96 95 I
II
III 2014
IV
I
II
III
IV
I
II III 2016
2015 NTP-AXIS KANAN
IT
IV
100,84
98
90
105 100
85
I 2017
0.06
1.14
-1.53
-1.27
TANAMAN PADIPALAWIJA
HORTIKULTURA
TANAMAN PERKEBUNAN RAKYAT
PETERNAKAN
DESEMBER 2016
IB
Sumber : BPS Diolah
0.59 PERIKANAN
MARET 2017
Sumber : BPS Diolah
6.3.2 Survei Konsumen (SK) dan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Survei Konsumen (SK) Bank Indonesia dan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Badan Pusat Statistik (BPS) samasama menunjukkan indikasi penurunan. Indeks penghasilan saat ini dibandingkan 6 bulan lalu mengalami penurunan menjadi 129,67 dari sebelumnya triwulan IV 2016 sebesar 143,5 yang mengindikasikan adanya penurunan pendapatan dibandingkan triwulan IV 2016. Tren penurunan di triwulan I kerap terjadi sebagai efek musiman/siklikal dimana pada awal tahun kegiatan ekonomi melambat dan baru akan meningkat pada triwulan II dan III. Namun demikian indeks pendapatan triwulan I 2017 masih lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2016. Sejalan dengan Survei Konsumen, ITK juga mengalami penurunan menjadi 97,03 dibandingkan triwulan IV 2016 yang sebesar 109,62. Faktor musiman/siklikal juga tampak berpengaruh terhadap ITK. Lebih jauh lagi, ITK triwulan I 2017 tercatat lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2016 yang disebabkan di antaranya oleh pengaruh inflasi terhadap total pengeluaran rumah tangga seiring adanya peningkatan harga dari sisi administered prices seperti pengurangan subsidi listrik pelanggan 900 MW, kenaikan biaya STNK & BPKB dan kenaikan cukai rokok. GRAFIK 6.11. PERKEMBANGAN SURVEI KONSUMEN-BI DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN-BPS 160 150 140 130 120 110 100 90 80 70 60 I
II
III 2014
IV
I
II
III
IV
2015
PENGHASILAN SAAT INI DIBANDINGKAN 6 BLN YANG LALU Sumber : BPS Diolah
74
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
I
II
III 2016
IV
I 2017
INDEKS T ENDENSI KONSUMEN (ITK)
07
Prospek Perekonomian Daerah Ke depan, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh pada rentang 5,0-5,4% (yoy) berdasarkan perkembangan survei dan informasi anekdotal perekonomian terkini. Sementara perkembangan pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT sepanjang tahun 2017 diperkirakan masih berada pada rentang proyeksi sebelumnya sebesar 5,1%-5,5% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan pertumbuhan tahun 2016 sebesar 5,18% (yoy). Adapun inflasi pada triwulan III 2017 diperkirakan berada pada rentang 5,0-5,4% (yoy) dan pada akhir tahun 2017 berkisar 4,4-4,8% (yoy) atau lebih tinggi daripada 2016 yang sebesar 2,48% (yoy). Pertumbuhan ekonomi triwulan III 2017 diperkirakan didorong oleh peningkatan investasi dan realisasi anggaran belanja pemerintah yang mendorong pertumbuhan sektor konstruksi serta administrasi pemerintahan. Tekanan inflasi pada triwulan III 2017 diperkirakan sedikit mereda seiring penurunan konsumsi masyarakat pasca libur sekolah dan perayaan Hari Raya Idul Fitri.
7.1 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI NTT 7.1.1 Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan III – 2017 Perekonomian Provinsi NTT pada triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh pada rentang 5,0-5,4% (yoy) atau sedikit melambat dibandingkan kisaran pertumbuhan triwulan II yang tumbuh sekitar 5,1-5,5% (yoy). Kemungkinan perlambatan terjadi seiring usainya masa libur sekolah pada pertengahan tahun dan perayaan Hari Raya Idul Fitri. Secara umum kondisi pertumbuhan triwulan III diperkirakan didorong oleh peningkatan investasi dan realisasi anggaran belanja pemerintah yang tercermin dalam pertumbuhan sektor konstruksi dan administrasi pemerintahan. Pertumbuhan dua sektor tersebut diperkirakan dapat menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi seiring melambatnya komponen konsumsi rumah tangga pasca liburan sekolah dan perayaan Hari Raya Idul Fitri yang tercermin di antaranya pada sektor perdagangan besar dan eceran serta transportasi dan pergudangan. Kegiatan investasi pemerintah diperkirakan meningkat seiring realisasi pembangunan proyek-proyek untuk mengejar target pencapaian akhir tahun seperti pembangunan dan perbaikan jalan, saluran irigasi serta penyelesaian proyek bendungan dan pos lintas batas. Sementara sektor penyediaan akomodasi dan makan minum diperkirakan masih akan meningkat seiring kegiatan wisata yang memasuki puncaknya pada triwulan III 2017 terutama didukung oleh wisatawan mancanegara yang memanfaatkan waktu libur panjang musim panas dengan mendatangi lokasi wisata alam andalan seperti Labuan Bajo, Bajawa, Kelimutu, Sumba, Rote Ndao dan Alor. GRAFIK 7.1. PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI NTT TRIWULAN III 2017 5.60%
11%
5.40%
9%
5.20%
7%
5.00%
5%
4.40%
5.0-5.4%
1%
5.1-5.5%
3%
4.60% 4.98%
4.80%
II* 2017
III*
4.20%
-1% -3%
I
II
III 2015
IV
I
II
III 2016
IV
I
PDRB (YOY) PERTANIAN, KEHUTANAN & PRKN (YOY) ADMINISTRASI PEMERINTAHAN (YOY) PERDAGANGAN BESAR & ECERAN (YOY) KONSTRUKSI (YOY) JASA PENDIDIKAN (YOY)
Sumber : BPS dan Bank Indonesia (diolah)
7.1.1.1 Pertumbuhan Sisi Penggunaan Dorongan pertumbuhan ekonomi dari sisi penggunaan diperkirakan terutama berasal dari komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)/investasi dan konsumsi pemerintah. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, peningkatan investasi dan konsumsi pemerintah dalam bentuk realisasi anggaran belanja diperkirakan dapat menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan seiring perlambatan komponen konsumsi rumah tangga pasca liburan sekolah dan Hari Raya Idul Fitri yang tercermin pada sektor perdagangan besar dan eceran serta transportasi dan pergudangan. Sementara itu, konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) diperkirakan sedikit melambat dikarenakan telah usainya masa Pilkada. Indikasi perlambatan juga tampak pada Survei Konsumen bulan Maret 2017 yang menunjukkan tingkat ekspektasi penghasilan 6 bulan yang akan datang dalam kecenderungan penurunan. Namun demikian, baik indeks ekspektasi penghasilan 6 bulan yang akan datang maupun ketersediaan lapangan kerja 6 bulan yang akan datang masih berada pada angka di atas 100 yang menggambarkan bahwa masyarakat masih cukup optimis untuk triwulan III 2017.
76
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
GRAFIK 7.2. SURVEI KONSUMEN 170,0 160,0 150,0 140,0 130,0 120,0 110,0 100,0 I
II
III 2014
IV
I
INDEKS EKSPEKTASI KONSUMEN (IEK) EKSPEKTASI PENGHASILAN 6 BULAN Y.A.D.
II
III 2015
IV
I
II
III 2016
IV
I 2017
INDEKS KEYAKINAN KONSUMEN (IKK) KETERSEDIAAN LAPANGAN KERJA 6 BULAN Y.A.D
Sumber :Bank Indonesia (diolah)
Kinerja Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)/investasi diperkirakan tumbuh meskipun melambat pada triwulan III 2017. Pertumbuhan sektor investasi pada triwulan III diperkirakan masih didorong oleh investasi pemerintah, terutama kelanjutan pembangunan bendungan, sarana publik (pendidikan dan rumah sakit) dan fasilitas perhubungan (jalan, dermaga dan bandara). Investasi bandara diperkirakan akan dimulai pada Juli 2017 oleh Angkasa Pura I berupa proyek pengembangan terminal bandara El Tari menjadi dua lantai, penambahan 2 garbarata dan 3 apron pesawat serta perluasan bandara dari 7.500 m2 menjadi 20.000 m2 dengan anggaran tahun 2017 sebesar Rp 178 miliar dan selesai pada triwulan III 2018. Sementara itu kelanjutan investasi penambahan 600 BTS 4G oleh Telkomsel, perkebunan tebu oleh PT. Muria Sumba Manis dan perumahan di beberapa daerah masih menjadi pendorong investasi dari sisi swasta. Net impor antar daerah dan ekspor luar negeri Provinsi NTT pada triwulan III diperkirakan meningkat. Impor antar daerah diperkirakan meningkat seiring kebutuhan untuk kegiatan proyek yang meningkat dalam rangka mengejar target realisasi proyek tahun 2017, dimana selama ini sebagian besar kebutuhan proyek didatangkan dari daerah lain. Sementara kebutuhan pasokan bahan pangan pada triwulan III diperkirakan menurun seiring usainya perayaan Hari Raya Idul Fitri. Ekspor luar negeri diperkirakan meningkat seiring naiknya kebutuhan semen dan kapur dari negara tetangga Timor Leste untuk realisasi pembangunan di negara tersebut. Selain itu, kondisi cuaca diperkirakan masih akan cukup mendukung produksi ikan tangkap nelayan untuk keperluan ekspor seperti tuna dan cakalang.
7.1.1.2 Pertumbuhan Sisi Sektoral Secara sektoral, pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan tumbuh melambat. Perlambatan diperkirakan terjadi sejalan dengan telah usainya musim panen perdana padi pada triwulan II 2017 dan pengaruh El Nino yang menyebabkan kemarau panjang. Sektor pertanian masih tetap tumbuh ditopang oleh pengiriman ternak yang masih berlanjut dengan kemungkinan meningkat seiring kebutuhan ternak menjelang Hari Raya Idul Adha serta panen beberapa komoditas seperti jambu mete, kopi dan kakao. Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib diperkirakan mengalami peningkatan. Peningkatan diperkirakan didorong oleh peningkatan realisasi belanja barang dan jasa setelah proses lelang selesai pada triwulan II 2017 serta dana bantuan hibah dari Pemerintah Daerah. Diperkirakan akan dilakukan upaya percepatan realisasi belanja lebih intensif oleh pemerintah daerah sebagai dampak cukup terhambatnya realisasi belanja pada triwulan I dan II akibat perubahan numenklatur dan pergantian pejabat pada beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
77
Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor diperkirakan mengalami perlambatan. Pertumbuhan yang melambat diperkirakan juga dipengaruhi oleh usainya masa panen perdana padi pada triwulan II serta perlambatan konsumsi rumah tangga dengan jarangnya hari libur dan hari besar keagamaan. Sektor konstruksi diperkirakan meningkat sejalan dengan peningkatan kegiatan proyek pemerintah dan swasta. Peningkatan didorong oleh berjalannya pembangunan proyek-proyek pemerintah seperti pembangunan dan perbaikan jalan, jaringan sumber daya air serta peningkatan fasilitas bandara, pelabuhan, kesehatan dan pendidikan. Di samping itu, pembangunan oleh swasta meliputi perumahan, hotel berbintang dan pusat perbelanjaan turut mendorong pertumbuhan sektor konstruksi.
7.1.2 Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017 Sepanjang tahun 2017 pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT diperkirakan relatif stabil pada kisaran 5,1-5,5% (yoy). Faktor pendorong pertumbuhan ekonomi tahun 2017 diperkirakan masih bersumber dari konsumsi rumah tangga dan investasi. Pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga terutama disumbang oleh sektor pertanian yang tumbuh didukung kondisi cuaca dan iklim yang kondusif serta peningkatan fasilitas dan bantuan teknis sehingga pendapatan para petani meningkat serta peningkatan aktivitas proyek sehingga menyerap banyak tenaga kerja. Pertumbuhan dari sisi investasi masih didominasi investasi pemerintah dalam rangka pembangunan seperti penyelesaian Bendungan Raknamo, Rotiklot, dimulainya pembangunan Bendungan Napunggete, perbaikan jalan serta penyelesaian pembangunan Pos Lintas Batas Negara. Sementara investasi swasta terutama berasal dari pembangunan perumahan, pengembangan agroindustri perkebunan gula oleh PT. Muria Sumba Manis yang akan melakukan groundbreaking pabrik gula pada Juli 2017, pembangunan hotel bintang terutama di Manggarai Barat dan pusat perbelanjaan di Kota Kupang. Pertumbuhan konsumsi pemerintah juga diperkirakan terjadi seiring peningkatan realisasi dana desa. GRAFIK 7.3. PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI NTT TAHUN 2017 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
5.4 5.2 5.0 4.8 4.6 4.4 4.2 4.0 2012
2013
2014
2015
2016
2017*
PDRB (YOY) PERTANIAN, KEHUTANAN & PRKN (YOY) ADMINISTRASI PEMERINTAHAN (YOY) PERDAGANGAN BESAR & ECERAN (YOY) KONSTRUKSI (YOY) JASA PENDIDIKAN (YOY) Sumber : BPS dan Bank Indonesia (diolah)
7.2 Inflasi 7.2.1 Inflasi Triwulan-III Tahun 2017 Perkembangan inflasi di triwulan III 2017 diperkirakan pada kisaran 5,0-5,4% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan II 2017 yang diperkirakan pada kisaran 4-4,4% (yoy). Relatif tingginya inflasi pada triwulan III lebih disebabkan oleh faktor based effect yaitu rendahnya posisi harga di tahun sebelumnya yang pada saat tersebut justru mengalami deflasi cukup besar hingga -1,28 (qtq). Sektor pendidikan diperkirakan masih menjadi pendorong utama inflasi di triwulan III seiring dengan adanya tahun ajaran baru bagi siswa TK hingga universitas yang diperkirakan meningkatkan inflasi. Makanan jadi, minuman dan tembakau juga diperkirakan akan mengalami inflasi seiring dengan penyesuaian tarif cukai rokok dan tembakau yang dilakukan.
Adapun komoditas bahan makanan diperkirakan
mengalami penurunan harga seiring dengan membaiknya kondisi cuaca di triwulan tersebut.
78
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
7.2.2 Inflasi Tahun 2017 Secara tahunan, pertumbuhan inflasi pada akhir tahun 2017 diperkirakan pada kisaran 4,4-4,8% (yoy). Inflasi tahun 2017 diperkirakan meningkat dibandingkan realisasi tahun 2016 yang sebesar 2,48% (yoy). Dorongan utama inflasi di antaranya kebijakan pengurangan subsidi tarif listrik rumah tangga dengan daya 900 watt hingga 123% bagi para pelanggan 900 VA yang dilakukan bertahap pada Januari, Maret dan Mei, kenaikan tarif perpanjangan STNK dan BPKB, cukai rokok dan tarif ponsel. Potensi naiknya harga BBM seiring kesepakatan negara-negara Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) untuk mengurangi produksi minyak dan volatilitas nilai tukar rupiah sebagai akibat ketidakpastian kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat masih juga berpotensi mendorong inflasi nasional dan daerah. Koordinasi intensif TPID Provinsi NTT yang dijabarkan dalam eksekusi program-program kerja nyata diharapkan dapat membantu meredam tingginya tekanan inflasi sehingga pertumbuhan inflasi tahun ini dapat berada pada target 4±1%. GRAFIK 7.4. PREDIKSI INFLASI TW III-2017 DAN 2017 9% 8% 7% 6%
5.0-5.4%
5% 4%
4-4.4%
4.4-4.8%
3% 2%
2.95%
1% 0%
I
II III 2014
IV
I
II III 2015
IV
I
II III 2016
IV
I
II* III* IV** 2017
Sumber: BPS & BI (diolah)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
79
Daftar Istilah Administered Administered prices prices
Komponen inflasi berupa harga-harga barang dan jasa yang diatur pemerintah.
Barrel
Satuan pengukur volume yang biasa digunakan dalam perdagangan minyak internasional
BI rate
Suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
adalah rasio efisiensi bank yang mengukur beban operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin tinggi nilai BOPO maka semakin tidak efisien operasi bank.
Branchless banking
Strategi pemberian pelayanan jasa keuangan perbankan tanpa bergantung pada keberadaan kantor cabang
Capital Adequacy Ratio (CAR)
adalah rasio kecukupan modal yang berfungsi menampung risiko kerugian yang kemungkinan dihadapi oleh bank. Semakin tinggi CAR maka semakin baik kemampuan bank tersebut untuk menanggung risiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko.
Cikur Modified
adalah Kegiatan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah yang dilakukan bersamaan dengan kegiatan penukaran uang keliling.
Clean money policy
Kebijakan penggantian uang rusak dengan uang layak edar
Consensus forecast
Prediksi masa depan yang dibuat dengan menggabungkan bersama beberapa perkiraan terpisah yang sering dibuat menggunakan metodologi yang berbeda.
Core-deposit
Sumber dana andalan bank yang bersifat stabil sebagai basis pinjaman bank
Cost of capital
Biaya riil yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk memperoleh dana baik hutang, saham preferen, saham biasa, maupun laba ditahan untuk mendanai suatu investasi perusahaan
Cost push inflation
Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya
Credit Limit
Batas kredit
Credit rating
Sebuah penaksiran kelayakan kredit dari individu atau korporasi
Crisis management protocol
Prosedur manajemen krisis ini menetapkan protokol penggelaran tim manajemen dan mendefinisikan peran dan tanggung jawab anggota tim itu
Dana Alokasi Khusus (DAK)
adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Pemerintahan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Dana Alokasi Umum (DAU)
adalah Sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom (Provinsi/Kabupaten/Kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD.
Debt ceiling
Pagu hutang
Deflasi
Penurunan harga-harga barang dan jasa secara umum
Dependency ratio
Rasio ketergantungan penduduk usia nonproduktif terhadap penduduk yang produktif
80
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
Deposit facility
Fasilitas deposit untuk membuat deposito overnight dengan bank sentral
Deposito
Produk bank sejenis jasa tabungan yang memiliki jangka waktu penarikan, berdasarkan kesepakatan antara bank dengan nasabah
Deposit rate
Tingkat suku bunga simpanan
Depresiasi rupiah
Penurunan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
Devisa
Semua barang yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran internasional
Disposable income
Jumlah pendapatan pribadi individu memiliki setelah pajak dan biaya pemerintah, yang dapat dihabiskan pada kebutuhan, atau non-penting, atau diselamatkan
Down payment
Pembayaran awal sebelum melunasi pembelian
E-money
Uang elektronik
Giro
Simpanan pada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek atau surat perintah pembayaran lain atau dengan pemindahbukuan
Gerpultas
adalah Gerakan sapu uang lusuh di perbatasan.
Idle money
Uang yang tidak terpakai
Imported inflation
Inflasi yang disebabkan kenaikan harga barang-barang impor
Indeks kedalaman kemiskinan
Ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin
Indeks keparahan kemiskinan
Ukuran penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin
Inflasi
Kenaikan harga-harga barang dan jasa secara umum
Inflasi inti
Komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti interaksi permintaan-penawaran, nilai tukar, harga komoditas internasional, inflasi mitra dagang dan ekspektasi Inflasi
Inflow
adalah Setoran uang tunai di Bank Indonesia
Kas Keliling
adalah Kegiatan penukaran uang keliling.
Layanan Keuangan Digital (LKD)
adalah Kegiatan layanan jasa pembayaran dan keuangan yang menggunakan sarana teknologi digital seperti seluler atau web melalui pihak ketiga.
Lending facility
Sebuah mekanisme yang digunakan saat bank sentral meminjamkan dana kepada dealer utama
Less cash society
Masyarakat yang terbiasa memakai alat pembayaran nontunai
Loan To Value (LTV) / Financing To Value (FTV)
adalah rasio nilai kredit yang dapat diberikan bank terhadap nilai agunan di saat awal pemberian kredit.
Loan to Deposit Ratio (LDR)
adalah rasio antara besarnya seluruh volume kredit yang disalurkan oleh bank dan jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
81
M1
Uang dalam arti sempit (uang kartal dan giral)
M2
Uang dalam arti luas (uang kartal, giral, dan deposito)
Makroprudensial
Pendekatan regulasi keuangan yang bertujuan memitigasi risiko sistem keuangan secara keseluruhan
Margin
Selisih
Mikroprudensial
Kehati-hatian yang terkait dengan pengelolaan lembaga keuangan secara individu agar tidak membahayakan kelangsungan usahanya
Mtm
Month-to-month growth: perubahan atau pertumbuhan suatu besaran pada suatu titik waktu tertentu (hari, minggu, atau bulan) terhadap satu bulan sebelumnya
Net Outflow
adalah Uang yang beredar lebih banyak daripada setoran di Bank Indonesia
Nilai Tukar Petani (NTP)
adalah indikator proxy kesejahteraan petani yang membandingkan antara Indeks harga yg diterima petani (It) dengan Indeks harga yg dibayar petani (Ib)
Non Performing Loan (NPL)
adalah adalah kredit bermasalah yang terdiri dari kredit yang berklasifikasi kredit kurang lancar, kredit diragukan dan kredit macet.
Outflow
adalah Uang yang beredar di perbankan maupun masyarakat
Produk Domestik Bruto (PDRB)
adalah jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi.
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku
adalah PDRB yang merupakan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada tahun bersangkutan.
PDRB Atas Dasar Harga Konstan
adalah PDRB yang dengan menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai tahun dasar dan saat ini menggunakan tahun 2010.
Qtq
Quarter-to-quarter growth: perubahan atau pertumbuhan suatu besaran pada suatu titik waktu tertentu (hari, minggu, bulan, atau kuartal) terhadap titik waktu yang sama tiga bulan (1 kuartal) sebelumnya
Rasio gini
Suatu ukuran yang biasa digunakan untuk memperlihatkan tingkat ketimpangan pendapatan
Return On Asset (ROA)
adalah salah satu bentuk dari rasio profitabilitas untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan total aktiva yang ada dan setelah biaya-biaya modal.
Sistem pembayaran
Sistem yang berkaitan dengan pemindahan sejumlah nilai uang dari satu pihak ke pihak lain
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
adalah Suatu sistem transfer dana elektronik, baik menggunakan warkat (cek, Bilyet Giro, atau wesel dll) maupun transfer dana antar Bank.
Trump Effect
adalah Dampak ekonomi yang dapat dihasilkan akibat kebijakan-kebijakan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
TUKAB
Transaksi Uang Kartal Antar Bank
82
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
Unbanked
Orang-orang atau bisnis yang tidak memiliki akses terhadap layanan keuangan utama biasanya ditawarkan oleh bank-bank ritel
Volatile food
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional
Yoy
Year-on-year growth: perubahan atau pertumbuhan suatu besaran pada suatu titik waktu tertentu (hari, minggu, bulan, triwulan, semester, atau tahun) terhadap titik waktu yang sama satu tahun sebelumnya
Ytd
Year-to-date growth: perubahan atau pertumbuhan suatu besaran pada suatu titik waktu tertentu (hari, minggu, bulan, triwulan, semester) terhadap titik waktu terakhir pada tahun sebelumnya (31 Desember). Ytd biasanya untuk mengukur pertumbuhan secara akumulatif.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - MEI 2017
83