KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
TRIWULAN I
2016 website : www.bi.go.id email :
[email protected]
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
VISI BANK INDONESIA : kredibel dan terbaik di regional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil
MISI BANK INDONESIA : 1. Mencapai stabilitas nilai rupiah dan menjaga efektivitas transmisi kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas; 2. Mendorong sistem keuangan nasional bekerja secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal untuk mendukung alokasi sumber pendanaan/pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional; 3. Mewujudkan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar yang berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan dengan memperhatikan aspek perluasan akses dan kepentingan nasional; 4. Meningkatkan dan memelihara organisasi dan SDM Bank Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai strategis dan berbasis kinerja, serta melaksanakan tata kelola (governance) yang berkualitas dalam rangka
NILAI-NILAI STRATEGIS ORGANISASI BANK INDONESIA : -nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan pegawai untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas Trust and Integrity, Professionalism, Excellence, Public Interest, dan Coordination and Teamwork
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kata Pengantar
KATA
PENGANTAR
BUKU Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Riau ini merupakan terbitan rutin triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau. Terbitan kali ini memberikan gambaran perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau pada triwulan I 2016 dengan penekanan kajian pada kondisi ekonomi makro regional (PDRB dan Keuangan Daerah), Inflasi, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Ketenagakerjaan dan Prakiraan Perkembangan Ekonomi Daerah pada triwulan II 2016. Analisis dilakukan berdasarkan data laporan bulanan bank umum, data ekspor-impor yang diolah oleh Kantor Pusat Bank Indonesia, data PDRB dan inflasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau, serta data dari instansi/lembaga terkait lainnya. Tujuan dari penyusunan buku KEKR ini adalah untuk memberikan informasi kepada stakeholders tentang perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau, dengan harapan kajian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber referensi bagi para pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak lain yang membutuhkan. Kami menyadari masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menyempurnakan buku ini. Oleh karena itu kritik, saran, dukungan penyediaan data dan informasi sangat diharapkan.
Pekanbaru, 17 Mei 2016 Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
Ismet Inono Deputi Direktur
iii
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kata Pengantar
duduk di rumah memegang amanah duduk di tanah memegang petuah duduk di kampung menjadi payung duduk di banjar bertunjuk ajar duduk di ladang tenggang menenggang duduk di negeri tahukan diri duduk di dusun ia penyantun duduk beramai elok perangai apa tanda Melayu bertuah, tahu berguru pada yang sudah tahu berbuat pada yang ada tahu memandang jauh ke muka apa tanda Melayu terbilang, dada lapang pandangan panjang
iv
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Isi
DAFTAR
ISI
HALAMAN Kata Pengantar .....................................................................................................
iii
Daftar Isi ...............................................................................................................
iv
Daftar Tabel .........................................................................................................
vii
Daftar Grafik ........................................................................................................
viii
Daftar Gambar......................................................................................................
xii
Tabel Indikator Ekonomi Terpilih............................................................................
xiii
RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................
1
BAB 1.
KONDISI EKONOMI MAKRO REGIONAL ..............................................
9
1.
Kondisi Umum...........................................................................
9
2.
PDRB Sisi Penggunaan...............................................................
11
2.1.
Konsumsi .....................................................................
12
2.2
Investasi (PMTB).............................................................
15
2.3
Ekspor dan Impor .........................................................
16
2.3.1. Ekspor ................................................................
16
2.3.2. Impor .................................................................
19
PDRB Sektoral ...........................................................................
20
3.1.
Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan..................
21
3.2.
Sektor Pertambangan dan Penggalian ..........................
23
3.3.
Sektor Industri Pengolahan ...........................................
24
3.4.
Sektor Perdagangan, Besar dan Eceran, dan Reparasi
3.
3.5.
Mobil dan Sepeda Motor...............................................
26
Sektor Konstruksi..........................................................
27
Boks 1
Pemanfaatan CPO Supporting Fund
Boks 2
Strategi & Implementasi Dalam Pengembangan Kota Cerdas
iv
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Isi
HALAMAN BAB 2.
BAB 3.
PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH ...................................................
29
1.
Kondisi Umum...........................................................................
29
2.
Perkembangan Inflasi
30
2.1. Inflasi Kota.........................................................................
35
2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru..............................................
35
2.1.2. Inflasi Kota Dumai....................................................
36
2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan............................................
37
2.2. Disagregasi Inflasi...............................................................
38
2.2.1. Inflasi Inti (Core)........................................................
39
2.2.2. Inflasi Volatile Foods.................................................
40
2.2.3. Inflasi Administered Price..........................................
41
PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DAERAH
43
1.
Kondisi Umum Perbankan...........................................................
43
2.
Perkembangan Bank Umum........................................................
44
2.1. 2.2.
.................................... Perkembangan Dana Pihak
46
2.3. 3.
47
Intermediasi dan Risiko Perbankan
49
4.
51 4.1.
51
4.2.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah.......................
52
4.3.
..........
54
5.
56
6. 7.
44
Perkembangan Transaksi Pembayara
.
58
......
60
7.1.
60
7.2.
60 7.2.1.
Aliran
Uang
Masuk
dan
Keluar
(Inflow60 61 61
v
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Isi
HALAMAN 7.3.
Perkembangan
Transaksi
Non ............
62
..
62
KONDISI KEUANGAN DAERAH ...........................................................
64
1.
Kondisi Umum ..........................................................................
64
2.
Realisasi APBD 2015..................................................................
65
2.1.
Realisasi Pendapatan.....................................................
65
2.2.
Realisasi Belanja.............................................................
67
7.3.1 BAB 4
Pembayaran ..
Boks 3.
Percepatan Penyerapan APBD Riau Tahun 2016
BAB 5
Perkembangan Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Daerah................
70
1.
.......
70
.......
71
2.
Ketenagakerjaan...
3.
Kesejahteraan Daerah.............................................................
75
3.1. Nilai Tukar Petani..............................................................
75
BAB 6
76 1.
Prospek Makro
2.
Perkiraan Inflasi......
.......
76
................
79
3.
81
Daftar Istilah
xv
vi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Tabel
DAFTAR
TABEL
HALAMAN
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy) ........................... 12 Tabel 1.2. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Riau ............................ 13 Tabel 1.3. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton) ............... 16 Tabel 1.4. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%) ....... 21 Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan di Provinsi Riau (RpJuta) ............ 44 Tabel 3.2. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (RpMiliar) .. 47 Tabel 3.3. Kredit Lokasi Bank Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau ............. 52 Tabel 3.4 Kredit UMKM di Provinsi Riau Tw.IV-2015 Menurut Sektor Ekonomi . 55 Tabel 4.1. Ringkasan Realisasi APBD Riau Tw I-2015 dan Tw-I 2016 .................. 65 Tabel 4.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau ........................ 66 Tabel 4.3. Ringkasan Realisasi belanja Daerah Provinsi Riau............................... 68 Tabel 5.1. Tingkat Pengangguran Terbuka Pulau Sumatera (%)......................... 71 Tabel 5.2. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama ........................................................... 72 Tabel 6.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Aktual dan Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I 2016 (dalam%, yoy) ...... 77 Tabel 6.2. Outlook Perekonomian Global ........................................................ 78 Tabel 6.3. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Riau Tw.I-2016 ...... 79
vii
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
DAFTAR
GRAFIK
HALAMAN
Grafik 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy,%) .... 10 Grafik 1.2.Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen Provinsi Riau ....................12 Grafik 1.3.Pergerakan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini ........................................13 Grafik 1.4.Pergerakan Harga CPO Internasional dan TBS Lokal .............................13 Grafik 1.5. Perkembangan Kredit Perumahan .......................................................14 Grafik 1.6. Perkembangan Kredit Durable Goods ..................................................14 Grafik 1.7. Perkembangan Kredit Multiguna ........................................................14 Grafik 1.8. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor .........................................14 Grafik 1.9. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN di Provinsi Riau ............................15 Grafik 1.10.Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Provinsi Riau ............................15 Grafik 1.11. Perkembangan Industrial Production Amerika Serikat ........................17 Grafik 1.12. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau ......................17 Grafik 1.13. Perkembangan Volume Ekspor Pulp and Paper Riau ..........................17 Grafik 1.14. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau ...................................18 Grafik 1.15. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau ............................18 Grafik 1.16. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan ..............................................................................................18 Grafik 1.17. Growth Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan ....19 Grafik 1.18. Perkembangan Impor Non Migas Riau ...............................................20 Grafik 1.19. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau ...........20 Grafik 1.20. Perkembangan Volume Impor Barang Intermedier ............................20 Grafik 1.21. Perkembangan Impor Barang Konsumsi ...........................................20 Grafik 1.22. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Pertanian.............................22 Grafik 1.23. Perkembangan Kredit Perkebunan Kelapa Sawit ................................22 Grafik 1.24. Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Penggalian .........................23 Grafik 1.25. Perkembangan Lifting Minyak Bumi Provinsi Riau .............................23 Grafik 1.26. Perkembangan Usaha Sektor Pertambangan dan Penggalian ...........23
viii
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
Grafik 1.27. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan ........... 25 Grafik 1.28. Perkembangan Kegiatan Usaha Sektor Industri Pengolahan ............. 25 Grafik 1.29. Pertumbuhan Sektor Perdagangan Berdasarkan Subsektor ............. 26 Grafik 1.30. Realisasi Perkembangan Kegiatan Usaha Sektor Perdagangan ......... 26 Grafik 1.31. Perkembangan Kredit Perdagangan Besar dan Eceran Makanan Minuman dan Tembakau di Riau ....................................................... 27 Grafik 1.32. Perkembangan Kredit Perdagangan Besar dan Eceran Komoditi Lainnya di Riau .................................................................................. 27 Grafik 1.33. Konsumsi Semen Riau ....................................................................... 27 Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan Nasional (yoy) .............................. 32 Grafik 2.2. Perkembangan Inflasi Ketiga Kota di Riau (yoy) ................................ 32 Grafik 2.3. Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa (yoy) .................. 33 Grafik 2.4. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq) ............ 33 Grafik 2.5. Historis Inflasi selama Tw I di Provinsi Riau (qtq) ............................... 34 Grafik 2.6. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa Tw I 2016 di Riau (qtq) ............................................................................. 35 Grafik 2.7. Perkembangan Inflasi Kota Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw I (2011-2015) .................................................................................... 36 Grafik 2.8. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Pekanbaru Tw I 2016 ......................................................................................... 36 Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis Tw I (2011-2015) .............................................................................. 37 Grafik 2.10. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai Tw I 2016 .......................................................................................... 37 Grafik 2.11. Perkembangan Inflasi Kota Tembilahan ............................................. 38 Grafik 2.12. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Tembilahan Tw I 2016 ........................................................................ 38 Grafik 2.13. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy) .............................................. 39 Grafik 2.14. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy) .................................... 40 Grafik 2.15. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD ............................. 40 Grafik 2.16. Perkembangan Harga Emas Dunia .................................................... 40 Grafik 2.17. Perkembangan Inflasi Tradables Goods dan Non Tradable Goods (yoy) ...................................................................................... 40 Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy) .............................. 41
ix
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
Grafik 2.19. Perkembangan Harga Komoditas Bumbu-bumbuan di Kota Pekanbaru ................................................................................41 Grafik 2.20. Perkembangan inflasi Administered Price
.......42
Grafik 3.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau ............................ 45 Grafik 3.2. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kelompok ................ 45 Grafik 3.3. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank ......... 45 Grafik 3.4. Pangsa Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank ..................... 45 Grafik 3.5. Perkembangan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan ............. 46 Grafik 3.6. Pertumbuhan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan ............... 46 Grafik 3.7. Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan...................... 48 Grafik 3.8. Pertumbuhan KRedit Berdasarkan Jenis Penggunaan ...................... 48 Grafik 3.9. Perkembangan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta ................ 48 Grafik 3.10. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta .................. 48 Grafik 3.11. Perkembangan LDR di Provinsi Riau ................................................ 49 Grafik 3.12. Perkembangan Non Performing Loan (NPL) di Provinsi Riau ............ 50 Grafik 3.13. Perkembangan NPL Sektoral di Provinsi Riau Triwulan I-2016............ 50 Grafik 3.14. Pangsa NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Tw I-2016 ........... 50 Grafik 3.15. Growth NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Tw I-2016 ......... 50 Grafik 3.16. Perkembangan Harga TBS dan CPO Dunia ..................................... 51 Grafik 3.17. Perkembangan Harga Karet Dunia ................................................... 51 Grafik 3.18. Growth Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016 .............. 52 Grafik 3.19. Pangsa Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016 ................ 52 Grafik 3.20. Perkembangan Kredit Perumahan .................................................... 53 Grafik 3.21. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor .................................... 53 Grafik 3.22. Perkembangan Kredit Multiguna ..................................................... 53 Grafik 3.23. Perkembangan Kredit Durable Goods ............................................. 53 Grafik 3.24. Perkembangan dan Pertumbuhan Kredit UMKM ............................ 54 Grafik 3.25. Pangsa Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha ............................... 54 Grafik 3.26. Perkembangan NPL Kredit UMKM .................................................. 55 Grafik 3.27. NPL Sektoral UMKM Triwulan I-2016 (%) ....................................... 55 Grafik 3.28. Perkembangan Aset Perbankan Syariah .......................................... 56 Grafik 3.29. Perkembangan DPK Perbankan Syariah Menurut Jenis Simpanan ... 56
x
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
Grafik 3.30. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah Menurut Jenis Penggunaan ................................................................................... 57 Grafik 3.31. Penyaluran Pembiayaan Perbankan Syariah Secara Sektoral ............ 57 Grafik 3.32. Perkembangan NPL Perbankan Syariah ........................................... 58 Grafik 3.33. Perkembangan FDR Perbankan Syariah .......................................... 58 Grafik 3.34. Perkembangan Aset BPR/S ............................................................. 58 Grafik 3.35. Perkembangan DPK BPR/S .............................................................. 58 Grafik 3.36. Perkembangan Kredit BPR/S ........................................................... 59 Grafik 3.37. Penyaluran Kredit Sektoral ............................................................. 59 Grafik 3.38. Perkembangan NPL BPR/S .............................................................. 59 Grafik 3.39. Perkembangan LDR BPR/S .............................................................. 59 Grafik 3.40. Perkembangan Inflow dan Outflow di Provinsi Riau ........................ 60 Grafik 3.41. Perkembangan Inflow dan Outflow Bulanan
Tw.I-2016 .............. 60
Grafik 3.42. Perkembangan UTLE yang Dimusnahkan ........................................ 61 Grafik 3.43. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Riau .............. 62 Grafik 3.44. Perkembangan Nilai dan Volume Transaksi Kliring di Riau .............. 63 Grafik 3.45. Growth Nilai dan Volume Transaksi Kliring di Riau ......................... 63 Grafik 4.1. Realisasi APBD Riau Tw I-2016 dan Tw I-2015 ................................. 66 Grafik 5.1. Perkembangan TPAK Riau Feb-2016 ............................................... 71 Grafik 5.2. Tingkat Pengangguran Terbuka Feb-2016 ........................................ 72 Grafik 5.3. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja ............................... 72 Grafik 5.4. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja ................................ 73 Grafik 5.5. Jumlah Jam Kerja Per Minggu Feb-2016 .......................................... 74 Grafik 5.6. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan ............................................. 74 Grafik 5.7. Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan ....................... 74 Grafik 5.8. Perkembangan NTP Riau ................................................................. 75 Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen .................................... 77 Grafik 6.2. Perkembangan Indeks Ekspektasi Konsumen .................................... 77 Grafik 6.3. Perkembangan Harga Bumbu-bumbuan di Pekanbaru ..................... 80 Grafik 6.4. Perkembangan Harga Daging Segar dan Hasilnya di Pekanbaru. ....... 80
xi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar
DAFTAR
GAMBAR
HALAMAN
Gambar 2.1.
Inflasi Riau dan Nasional Tw I 2016 dibandingkan dengan Historisnya (yoy).....................................
31
xii
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Tabel Indikator
TABEL INDIKATOR
EKONOMI TERPILIH
A. INFLASI DAN PDRB INDIKATOR
2014 I
II
2015 III
IV
I
II
2016 III
IV
I
Indeks Harga Konsumen*) : - Provinsi Riau
111,51
112,42
115,00
119,90
118,39
120,73
121,55
123,08
123,63
- Kota Pekanbaru
111,13
111,89
114,51
119,56
117,98
120,31
121,04
122,80
123,16
- Kota Dumai
111,27
112,62
115,02
119,60
118,50
120,83
122,16
122,75
124,23
- Kota Tembilahan
116,05
117,61
120,11
124,06
122,58
124,94
125,77
126,62
127,48
- Provinsi Riau
7,75
6,59
5,81
8,65
6,17
7,39
5,70
2,65
4,42
- Kota Pekanbaru
7,38
6,17
5,50
8,53
6,16
7,53
5,70
2,71
4,39
- Kota Dumai
7,26
6,78
5,88
8,53
6,50
7,29
6,21
2,63
4,84
12,59
10,64
8,91
10,06
5,63
6,23
4,71
2,06
4,00
4,05
2,83
2,61
1,39
(0,01)
(2,13)
(1,38)
4,45
2,34
Nilai Ekspor Non Migas (Juta USD)
2.988,85
2.833,27
3.075,96
3.162,66
2.596,67
3.009,71
2.558,21
2.670,62
2.220,87
Volume Ekspor Non Migas (ribu Ton)
4.442,86
4.119,36
4.548,42
5.196,40
4.348,07
5.124,68
4.697,82
5.378,39
4.183,82
Nilai Impor Non Migas (Juta USD)
407,21
351,21
380,77
299,12
304,74
280,97
303,32
195,42
264,90
Volume Impor Non Migas (ribu Ton)
542,25
585,34
602,44
686,66
723,88
531,30
482,82
390,43
670,17
Laju Inflasi Tahunan (yoy, %) :
- Kota Tembilahan Pertumbuhan PDRB (yoy %, dengan migas)
B. PERBANKAN INDIKATOR
2014 I
II
2015 III
IV
I
II
2016 III
IV
I
Bank Umum Total Aset (dalam Rp Juta)
73.201.701
82.036.875
86.572.336
85.652.213
90.534.888
98.451.429
95.323.470
81.686.208 84.514.141
DPK (dalam Rp Juta)
62.050.178 62.588.183
54.466.287
60.795.211
63.383.834
64.143.197
66.525.297
70.420.859
69.189.487
- Giro
12.556.764
16.863.613
14.828.129
13.723.591
15.108.109
15.301.001
14.785.606
9.874.611 11.909.735
- Tabungan
27.363.917
26.936.859
27.586.835
29.478.220
27.139.376
27.688.804
28.427.087
31.117.804 28.694.078
- Deposito
14.545.606
16.994.736
20.968.870
20.941.386
24.277.812
27.431.054
25.976.795
21.057.764 21.984.370
Kredit (dalam Rp Juta)
48.487.679
50.668.252
50.978.867
52.283.437
52.401.716
54.012.485
54.946.577
56.538.247 56.252.232
- Modal Kerja
14.871.302
15.620.041
15.971.702
16.318.273
16.078.784
16.801.235
16.801.524
17.653.632 17.488.673
- Investasi
15.482.142
16.292.777
16.080.635
16.621.249
16.716.814
17.125.784
17.428.770
17.480.648 17.203.391
- Konsumsi
18.134.236
18.755.434
18.926.530
19.343.915
19.606.118
20.085.465
20.716.283
21.403.968 21.560.168
- LDR (%)
89,02
83,34
80,43
81,51
78,77
76,70
79,41
91,12
89,88
- NPL (%)
3,32
3,54
3,57
3,46
3,64
4,16
4,34
3,71
4,07
Kredit UMKM (dalam Rp Juta)
18.094.921
19.753.458
19.687.770
20.032.690
19.809.940
20.212.276
19.894.360
- Mikro
4.424.699
5.210.241
4.940.401
5.402.536
5.461.112
5.531.045
5.465.328
5.645.990
5.835.773
- Kecil
7.030.433
7.279.402
7.669.811
7.531.647
7.439.193
7.775.301
7.771.320
7.687.958
7.791.884
- Menengah
6.639.789
7.263.815
7.077.558
7.098.507
6.909.635
6.905.929
6.657.713
6.550.721
6.277.711
5,12
5,82
5,99
5,49
6,20
6,71
7,41
6,76
7,65
1.102.376
1.091.313
1.106.417
1.160.162
1.189.489
1.185.757
1.186.762
1.228.315
1.246.785
748.775
744.336
770.216
809.748
847.560
857.250
881.188
877.171
895.393
- Tabungan
336.569
345.835
352.030
356.075
364.632
349.230
353.742
348.011
347.972
- Deposito
412.206
398.502
418.186
453.673
482.929
508.020
527.447
529.160
547.421
762.700
782.561
815.127
836.111
864.307
911.096
916.504
907.081
916.870
15,47
15,78
15,56
13,75
14,45
13,84
14,39
12,92
14,08
101,86
105,14
105,83
103,26
101,98
106,28
104,01
103,41
102,40
NPL MKM (%)
19.884.668 19.905.368
BPR Total Aset (dalam Rp Juta) DPK (dalam Rp Juta)
Kredit (dalam Rp Juta) - berdasarkan lokasi proyek Rasio NPL (%) LDR (%)
xiii
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Tabel Indikator
TABEL INDIKATOR
EKONOMI TERPILIH
C. SISTEM PEMBAYARAN INDIKATOR
2014
2015
II
III
IV
247.524
2.250.641
2.610.379
3.154.898
Inflow (dalam Rp Juta)
1.884.781
1.135.202
2.330.869
Outflow (dalam Rp Juta)
2.132.305
3.385.843
380.769
Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) *) Volume Transaksi RTGS (lembar) *)
Posisi Kas Gabungan (dalam Rp Juta)
Pemusnahan Uang (Jutaan lembar/keping)
Rata-rata Harian Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) Rata-rata Harian Volume Transaksi RTGS (lembar) Nominal Transaksi Kliring (Rp miliar) Volume Transaksi Kliring (lembar) Rata-rata Harian Nominal Transaksi Kliring (Rp miliar) Rata-rata Harian Volume Transaksi Kliring (lembar)
I
I
2016
II
III
IV
(111.261)
2.575.811
1.801.608
3.405.622
(868.335)
721.361
1.798.608
1.405.848
2.414.612
1.224.352
2.434.651
4.941.248
3.876.259
1.687.347
3.981.659
4.216.220
4.629.974
1.566.316
317.520
196.336
249.464
185.727
303.590
171.823
185.255
185.727
73.538
97.703
90.461
104.120
89.640
109.603
88.477
68.937
-
47.244
48.670
48.509
52.078
31.363
32.636
30.853
13.564
-
1.226
1.656
1.413
1.578
1.446
1.797
1.404
1.094
-
787
825
758
789
506
535
490
215
-
7.742
7.672
8.070
8.438
7.881
5.163
8.684
7.366
7.367
261.889
257.996
256.661
274.715
254.005
135.164
237.984
206.110
223.872
129
130
135
128
127
85
138
117
121
60
59
60
66
62
61
63
63
61
xiv
I
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
GE
Ringkasan Eksekutif
RINGKASAN
EKSEKUTIF
I. GAMBARAN UMUM Perekonomian Riau pada triwulan I-2016 melambat dibandingkan periode sebelumnya
Perekonomian Riau pada triwulan I 2016 tercatat melambat jika dibandingkan dengan triwulan IV 2015, yaitu dari 4,45% (yoy) menjadi 2,34% (yoy), namun lebih baik jika dibandingkan triwulan awal 2015 yang mengalami kontraksi 0,01% (yoy). Perlambatan ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang juga tercatat melambat dari 5,02% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 4,92% (yoy) pada triwulan I 2016. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau tanpa migas juga tercatat
1
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Ringkasan Eksekutif
mengalami perlambatan dibandingkan triwulan IV 2015 yaitu dari 6,20% (yoy) menjadi 3,52% (yoy). Perbaikan harga komoditas internasional yang masih terbatas, belum optimalnya realisasi APBD pemerintah daerah, dan kinerja lifting minyak bumi yang masih melanjutkan kontraksi menjadi penyebab utama melambatnya pertumbuhan ekonomi di triwulan I 2016.
II. ASSESMEN MAKROEKONOMI REGIONAL Perlambatan ekonomi Riau pada triwulan I 2016 utamanya berasal dari penurunan konsumsi pemerintah dan net ekspor.
Perlambatan ekonomi dari sisi penggunaan pada triwulan I 2016 utamanya disebabkan oleh menurunnya konsumsi pemerintah dan ekspor serta melambatnya investasi. Menurunnya konsumsi pemerintah dipengaruhi oleh pola musiman belanja yang relatif terbatas pada awal tahun. Sedangkan menurunnya kinerja net ekspor utamanya dipicu oleh gejolak ekonomi negara tujuan ekspor yang berdampak terhadap menurunnya permintaan komoditas ekspor unggulan baik migas dan non migas. Perlambatan kegiatan investasi ini dipengaruhi oleh perilaku investor yang masih cenderung menunggu perbaikan kondisi ekonomi (wait and see) sehingga turut menjadi faktor yang menahan laju pertumbuhan ekonomi Riau triwulan I 2016.
Konsumsi rumah tangga cenderung meningkat seiring dengan perbaikan harga komoditas global.
tercatat meningkat jika dibandingkan triwulan IV 2015. Meningkatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga di awal tahun 2016 didorong oleh perbaikan daya beli masyarakat seirig dengan peningkatan upah/gaji dan perbaikan harga komoditas internasional, meskipun masih terbatas.
Perlambatan ekonomi dari sisi sektoral didorong oleh perlambatan kinerja sektor pertanian dan sektor industri pengolahan.
Di sisi lain, konsumsi rumah tangga Provinsi Riau pada triwulan I 2016
Kinerja sektor utama perekonomian Provinsi Riau pada triwulan I 2016 secara umum menunjukkan perlambatan. Perlambatan kinerja terjadi dari tiga sektor utama yaitu sektor pertanian, industri pengolahan dan konstruksi. Selain itu, beberapa sektor tersier seperti sektor transportasi dan pergudangan, sektor penyediaan akomodasi makanan dan minuman, sektor informasi dan komunikasi juga mengalami perlambatan. Sementara itu, sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial mengalami kontraksi sehingga menahan laju pertumbuhan pada triwulan laporan. Namun demikian, perlambatan yang lebih dalam tertahan oleh kontraksi yang semakin melandai di sektor pertambangan dan penggalian, serta
2
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
GE
Ringkasan Eksekutif
peningkatan yang terjadi pada sektor pengadaan listrik dan gas, sektor perdagangan besar, eceran, reparasi mobil dan motor dan sektor jasa keuangan.
Perlambatan kinerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada triwulan laporan terindikasi dari melambatnya subsektor pertanian,
Perlambatan kinerja subsektor perkebunan kelapa sawit di awal tahun sebagai dampak asap di akhir tahun 2015 lalu.
peternakan, perburuan dan jasa pertanian yang memiliki kontribusi terbesar mencapai 0,94% terhadap total pertumbuhan. Salah satu faktor yang mendorong perlambatan kinerja di
sektor
pertanian berasal
dari
perlambatan perkebunan kelapa sawit sebagai dampak dari kabut asap yang terjadi pada akhir tahun 2015 sehingga menyebabkan proses pemupukan tertunda. Akibatnya, produktifitas sawit pada awal tahun 2016 mengalami penurunan.
Masih berlanjutnya gejolak ekonomi global berpengaruh terhadap penurunan kinerja sektor industri pengolahan Riau.
Perlambatan kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan laporan utamanya didorong oleh perlambatan subsektor industri makanan dan minuman. Perlambatan kinerja industri makanan dan minuman diperkirakan terutama bersumber dari industri pengolahan kelapa sawit yang disebabkan oleh gejolak ekonomi di Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok yang masih berlanjut sehingga mengakibatkan menurunnya permintaan ekspor. Selain itu, belum stabilnya harga komoditas global turut menggoncang kinerja perusahaan pada triwulan laporan.
Kinerja sektor pertambangan Riau pada triwulan I 2016 relatif membaik dibandingkan triwulan IV 2015, namun masih mencatatkan kontraksi. Kontraksi pada sektor pertambangan utamanya didorong oleh kontraksi
Pertambangan migas relatif membaik namun masih mencatatkan kontraksi.
pada subsektor pertambangan minyak bumi dan gas bumi akibat semakin berkurangnya cadangan minyak bumi dan keterbatasan perusahaan untuk melakukan eksplorasi dan investasi ditengah melemahnya harga minyak yang tidak memenuhi nilai keekonomisannya.
III. ASSESMEN INFLASI Inflasi Provinsi Riau pada triwulan I 2016 tercatat sebesar 2,65% (yoy).
Tekanan inflasi Riau pada triwulan I 2016 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, yaitu dari 2,65% (yoy) menjadi 4,42% (yoy). Peningkatan tekanan inflasi terutama bersumber dari kelompok volatile food akibat kenaikan harga pada kelompok bahan
3
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Ringkasan Eksekutif
makanan, terutama berasal dari subkelompok bumbu-bumbuan, padipadian, ikan segar dan sayur-sayuran. Komoditas utama penyumbang inflasi dari kelompok tersebut ialah cabai merah, bawang merah, bawang putih, beras, jengkol, cabai rawit, patin dan buncis. Kota Dumai tercatat mengalami inflasi tertinggi yaitu sebesar 4,84% (yoy) diikuti Kota Pekanbaru dan Kota Tembilahan masing-masing 4,39% dan 4,00% (yoy)
Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota Dumai yaitu mencapai 4,84% (yoy), diikuti oleh Pekanbaru dan Tembilahan masing-masing 4,39% (yoy) dan 4,00% (yoy). Tekanan inflasi pada ketiga kota tersebut menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Namun demikian, pencapaian inflasi tersebut juga menunjukkan disparitas inflasi antar ketiga kota (terutama Tembilahan dengan Pekanbaru dan Dumai) relatif mengecil.
IV. ASSESMEN KEUANGAN Perbankan
Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yang tercermin dari menurunnya
Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan I2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan IV2015.
pertumbuhan Aset, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) maupun Kredit. Pada triwulan I-2016 aset perbankan tercatat mencapai Rp85,76 triliun, mengalami penurunan dari kontraksi 4,49% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi lebih dalam sebesar 6,50% (yoy). Sementara, DPK pada triwulan laporan tercatat sebesar Rp63,48 triliun, juga menurun dari kontraksi 3,12% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi lebih dalam sebesar 5,77% (yoy) pada triwulan laporan.
Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, namun masih lebih baik jika dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Menurunnya fungsi intermediasi tercermin dari nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) yaitu sebesar 89,88% yang sebelumnya di triwulan IV2015 tercatat sebesar 91,12%. Namun demikian, nilai LDR tersebut masih dibawah 100% yang menunjukkan bahwa risiko likuiditas pada kondisi yang masih terjaga dan adanya sikap kehati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit.
4
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
GE
Ringkasan Eksekutif
Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan I 2016 masih didominasi oleh sektor pertanian dan sektor perdagangan
Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan I 2016 masih didominasi oleh sektor pertanian dan sektor perdagangan yang memiliki pangsa masingmasing 22,30% dan 21,65% dengan nilai kredit masing-masing sebesar Rp12,54 triliun dan Rp12,18 triliun. Penyaluran kredit kepada sektor pertanian masih didominasi oleh subsektor perkebunan kelapa sawit, sedangkan subsektor perdagangan didominasi oleh subsektor perdagangan eceran makanan, minuman dan tembakau.
Pertumbuhan kredit konsumsi di triwulan I2016 melambat jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penyaluran kredit UMKM pada triwulan I 2016 meningkat dibandingkan triwulan IV 2015.
Pertumbuhan kredit konsumsi di triwulan I-2016 melambat jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Melambatnya pertumbuhan kredit konsumsi tercermin dari melambatnya pertumbuhan kredit perumahan dan kredit kendaraan bermotor di Provinsi Riau. Menurunnya realisasi kredit konsumsi pada triwulan laporan diperkirakan didorong oleh daya beli masyarakat yang belum membaik ditengah perbaikan harga komoditas yang masih terbatas.
Total kredit yang disalurkan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) oleh bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp19,91 triliun pada triwulan I
2016, meningkat 0,48% (yoy) jika dibandingkan triwulan
sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 0,74%. Porsi kredit yang diserap UMKM dari total kredit yang diberikan bank umum di Provinsi Riau juga mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 35,17% menjadi 35,39%.
Kinerja perbankan syariah di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 tercatat membaik dibandingkan triwulan sebelumnya.
Kondisi ini tercermin dari
meningkatnya pertumbuhan aset, DPK dan pembiayaan dibandingkan Kinerja perbankan syariah tercatat membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara, kinerja BPR/S menunjukkan perlambatan.
triwulan IV-2015. Aset perbankan syariah tercatat sebesar Rp4,93 triliun meningkat sebesar 6,78% (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan triwulan IV2015 yang tumbuh sebesar 6,16% (yoy).
Aset BPR/S di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 tercatat sebesar Rp1,24 triliun, melambat dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yaitu dari 5,87% menjadi 4,82% (yoy). Sementara, DPK BPR/S pada triwulan I-2016 tercatat sebesar Rp895 miliar, tumbuh 5,64% (yoy) atau melambat dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yang tumbuh sebesar 5,64% (yoy). Melambatnya
5
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Ringkasan Eksekutif
DPK BPR/S didorong oleh perlambatan Deposito (pangsa 61,14%) dari 16,64% menjadi 13,35% (yoy), serta terkontraksinya Tabungan (pangsa 38,86%) lebih dalam sebesar 4,57% (yoy).
Keuangan Daerah
Alokasi anggaran pendapatan daerah Provinsi Riau pada tahun 2016 secara umum mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015. Dari sisi pendapatan, APBD Provinsi Riau tercatat menurun sebesar 13% (yoy), yaitu
Realisasi anggaran pendapatan pemerintah Riau di triwulan I 2016 meningkat dibandingkan triwulan I 2015.
dari Rp8,7 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp7,6 triliun pada 2016. Di sisi lain, anggaran belanja pemerintah daerah pada tahun 2016 relatif meningkat dibandingkan tahun 2015. Peningkatan utamanya berasal dari anggaran belanja transfer pemerintah Provinsi kepada pemerintah Kabupaten/Kota.
Perkembangan Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau pada awal tahun 2016 secara umum meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hingga triwulan I 2016 Anggaran Pendapatan Daerah telah terealisasi sebesar 22,74% dari total yang dianggarkan, sementara itu realisasi Anggaran Belanja Daerah masih sangat terbatas yaitu mencapai 4,61% dari total yang dianggarkan.
Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Daerah Perkembangan ketengakerjaan dan kesejahteraan daerah di awal tahun 2016 terindikasi membaik.
Perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi Riau pada awal
tahun
2016
menunjukkan
perkembangan
yang
cukup
menggembirakan. Dari indikator terkait menunjukkan terjadi peningkatan kualitas
ketenagakerjaan
antara
lain
menurunnya
angka
Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) Riau dari 6,72% di tahun 2015 menjadi 5,94% di tahun 2016. Sementara perkembangan kesejahteraan di Provinsi Riau juga membaik terlihat dari indikator Nilai Tukar Petani (NTP) pada triwulan I-2016 meningkat jika dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yakni dari 95,03 menjadi 97,36.
6
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
GE
Ringkasan Eksekutif
V. PROSPEK Perekonomian Daerah
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan II-2016 secara umum diperkirakan tumbuh meningkat, berada pada kisaran 2.51+0.5%(yoy)
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan II2016 diperkirakan tumbuh meningkat pada kisaran 2.51+0.5%(yoy).
dengan tendensi ke arah batas atas. Sumber pertumbuhan dari sisi penggunaan diperkirakan berasal dari seluruh komponen baik konsumsi, investasi, maupun ekspor yang mengalami perbaikan kinerja dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara itu, secara sektoral peningkatan kinerja diperkirakan berasal dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, sektor perdagangan besar dan eceran. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi Riau tertahan oleh berlanjutnya penurunan
produksi
sektor
pertambangan
dan
penggalian
yang
diperkirakan lebih dalam dari kontraksi yang terjadi pada triwulan I 2016.
Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak pertumbuhan pada triwulan II 2016 diperkirakan ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga. Sementara itu konsumsi pemerintah juga diperkirakan akan meningkat jika dibandingkan triwulan sebelumnya, terkait dengan mulai
Dari sisi penggunaan, peningkatan diperkirakan berasal dari konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan ekspor. Sementara dari sisi sektoral diperkirakan bersala dari sektor pertanian dan sektor industri pengolahan.
meningkatnya realisasi APBD pada triwulan II 2016. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor pada triwulan II 2016 diperkirakan membaik namun masih terbatas.
Dari sisi sektoral, kinerja sektor pertanian di triwulan mendatang diperkirakan akan membaik dibandingkan triwulan I 2016. Faktor pendorong meningkatnya pertumbuhan diperkirakan berasal dari subsektor perkebunan sawit. Sejalan dengan peningkatan kinerja sektor pertanian Riau, perkembangan sektor industri pengolahan juga diperkirakan akan meningkat yang didorong oleh meningkatnya industri pengolahan CPO dan produk turunannya termasuk biodiesel, serta industri pengolahan pulp and paper. Di sisi lain, menurunnya kinerja industri pengilangan migas menjadi faktor yang menahan laju pertumbuhan.
Inflasi
Inflasi Riau pada triwulan II-2016 diperkirakan akan cenderung menurun yaitu kisaran 2.66+0.5% (yoy).
7
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Ringkasan Eksekutif
Inflasi Provinsi Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan cenderung mengalami perlambatan, yaitu berada pada kisaran 2.66+0.5% (yoy). Sedangkan secara triwulanan, inflasi diperkirakan berkisar 0.26+0.5% (qtq). Adapun capaian inflasi hingga akhir tahun berada pada kisaran 3,62-4,62% (yoy) 2015, masih berada di dalam sasaran inflasi nasional tahun 2016 sebesar 4±1% (yoy).
Faktor pendorong inflasi Riau pada triwulan II 2016 diperkirakan terutama berasal dari inflasi volatile food, bersumber dari kenaikan harga bahan makanan akibat keterbatasan pasokan seiring dengan berakhirnya masa panen raya dan gangguan panen di beberapa sentra produksi yang banyak memasok kebutuhan ke wilayah Riau. Inflasi kelompok administered price, meski mengalami penurunan tekanan pada awal triwulan II 2016 akibat penurunan harga BBM bensin dan solar, diperkirakan akan mulai meningkat didorong oleh rencana peningkatan tarif listrik bulan Mei dan Juni. Sementara itu, meskipun relatif stabil tekanan inflasi inti diperkirakan sedikit meningkat akibat mulai membaiknya daya beli masyarakat karena meningkatnya penghasilan (akibat mulai meningkatnya harga TBS lokal).
Beberapa faktor yang diidentifikasi berpotensi membawa inflasi melewati batas atas kisaran proyeksi (downside risk) antara lain, El Nino yang berpotensi menganggu produksi daerah sentra pertanian dan meningkatkan inflasi bahan makanan. Sementara itu, terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi ke batas bawah (upside risks) proyeksi, yaitu perkembangan harga minyak dunia yang masih belum membaik sehingga meminimalisir tekanan inflasi dari kelompok administered prices.
8
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Bab 1 KONDISI EKONOMI MAKRO REGIONAL
1. KONDISI UMUM Perekonomian Riau pada triwulan I 2016 mengalami pertumbuhan positif, yaitu sebesar 2,34% (yoy). Pertumbuhan ini mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan triwulan IV 2015 yang tercatat sebesar 4,45% (yoy), namun lebih baik jika dibandingkan triwulan awal 2015 yang mengalami kontraksi 0,01% (yoy). Perlambatan ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang juga tercatat melambat dari 5,02% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 4,92% (yoy) pada triwulan I 2016. Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi provinsi Riau tanpa migas
9
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
juga tercatat mengalami perlambatan dibandingkan triwulan IV 2015 yaitu dari 6,20% (yoy) menjadi 3,52% (yoy). Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy,%)
Sumber: BPS
Melambatnya perekonomian Provinsi Riau pada triwulan I 2016 utamanya disebabkan oleh perlambatan kinerja sektor pertanian, industri pengolahan dan konstruksi. Selain itu, beberapa sektor tersier seperti sektor transportasi dan pergudangan, sektor penyediaan akomodasi makanan dan minuman, sektor informasi
dan komunikasi juga mengalami
perlambatan.
Seiring dengan
pelambatan sektor-sektor tersebut di atas, sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial juga mengalami kontraksi sehingga mendorong perlambatan pada triwulan laporan. Di sisi lain, perlambatan yang lebih dalam tertahan oleh kontraksi yang semakin melandai di sektor pertambangan dan penggalian, serta peningkatan yang terjadi pada sektor pengadaan listrik dan gas, sektor perdagangan besar, eceran, reparasi mobil dan motor dan sektor jasa keuangan. Faktor yang mendorong perlambatan kinerja di sektor pertanian berasal dari perlambatan perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, perlambatan kinerja sektor industri pengolahan terutama bersumber dari subsektor industri pengolahan kelapa sawit, subsektor pengolahan pulp dan kertas serta subsektor industri pengolahan karet. Di sisi lain, perlambatan di sektor konstruksi terindikasi dari realisasi konsumsi semen yang belum menunjukkan peningkatan yang signifikan pada awal tahun 2016.
10
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Dari sisi penggunaan, perlambatan kinerja ekonomi utamanya disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan konsumsi pemerintah dan pertumbuhan ekspor serta melambatnya investasi selama triwulan I 2016. Pelemahan konsumsi pemerintah utamanya disebabkan oleh pola musiman belanja pemerintah di awal tahun yang masih relatif terbatas. Sementara itu, kontraksi pertumbuhan ekspor dipengaruhi oleh gejolak ekonomi negara mitra dagang yang berdampak terhadap menurunnya permintaan ekspor. Disamping itu, perilaku investor yang masih cenderung menunggu (wait and see) berdampak terhadap melemahnya kegiatan investasi.
2. PDRB SISI PENGGUNAAN Perlambatan ekonomi dari sisi penggunaan pada triwulan I 2016 utamanya disebabkan oleh menurunnya konsumsi pemerintah dan ekspor serta melambatnya investasi. Konsumsi pemerintah pada triwulan laporan tercatat mengalami kontraksi, demikian juga dengan kinerja ekspor yang menunjukkan kontraksi lebih dalam dibandingkan triwulan sebelumnya. Menurunnya konsumsi pemerintah dipengaruhi oleh pola musiman belanja yang relatif terbatas pada awal tahun. Sedangkan menurunnya kinerja net ekspor utamanya dipicu oleh gejolak ekonomi negara tujuan ekspor yang berdampak terhadap menurunnya permintaan komoditas ekspor unggulan baik migas dan non migas. Namun pertumbuhan ekspor yang lebih dalam mampu tertahan oleh ekspor antar daerah yang tercatat tumbuh positif. Selain itu, kegiatan investasi masih tercatat tumbuh namun melambat dibandingkan triwulan IV 2015. Perlambatan kegiatan investasi ini dipengaruhi oleh perilaku investor yang masih cenderung menunggu perbaikan kondisi ekonomi (wait and see) sehingga turut menjadi faktor yang menahan laju pertumbuhan ekonomi Riau triwulan I 2016. Di sisi lain, konsumsi rumah tangga, yang memiliki pangsa terbesar kedua PDRB dari sisi penggunaan, tercatat mengalami peningkatan pada triwulan laporan.
11
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy) Kontribusi Pertumbuhan (%)
Growth (% yoy) Komponen Pengeluaran 2014
2015
2015
2016
2015
I
Tw 4
2016
2015
I
II
III
IV
7,23
6,00
6,36
5,92
5,56
5,95
6,41
1,88
2,04
2,31
2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT
15,44
(0,07)
(1,61)
0,70
2,09
0,29
2,89
0,01
0,00
0,01
3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
(3,08)
2,27
1,17
3,30
7,39
3,75
(7,29)
0,32
0,14
-0,22
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto
1,81
1,61
2,40
5,31
6,79
4,06
5,17
2,07
1,23
1,65
5. Ekspor Luar Negeri
4,82
(30,63)
(17,75)
(9,55)
1,96
(15,27)
(4,68)
0,64
-4,96
-1,24
6. Impor Luar Negeri
(13,01)
(7,10)
(8,25)
(17,42)
4,17
(7,65)
(3,47)
0,15
-0,29
-0,14
7. Net Ekspor Antar Daerah
26,49
(83,04)
(63,82) (983,21)
15,62
(59,89)
(10,81)
0,15
-0,95
-0,46
2,70
(0,01)
4,45
0,22
2,34
4,45
0,22
2,34
1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
PDRB
(2,13)
(1,38)
Tw 1
Sumber: BPS Provinsi Riau
2.1. Konsumsi Grafik 1.2. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen Provinsi Riau
Konsumsi rumah tangga Provinsi Riau pada triwulan I 2016 tercatat meningkat
jika
dibandingkan
Indeks 170 150 130
triwulan IV 2015, yakni dari 5,56% (yoy)
menjadi
6,41%
(yoy).
110 90 70
Meningkatnya
pertumbuhan
50 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3
konsumsi rumah tangga terindikasi pula
dari
meningkatnya
Indeks
Ekspektasi Konsumen (IEK) pada
2013
2014
2015
2016
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK)
Garis 100
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
level 110,8% pada triwulan I 2016 yang mengindikasikan optimisme konsumen terhadap ekonomi ke depan (diatas batas 100) (Grafik 1.2). Meningkatnya IEK didorong oleh peningkatan komponen Indeks Penghasilan Konsumen dan Indeks Kegiatan Usaha seiring dengan adanya kenaikan upah/gaji di awal tahun dan perbaikan harga komoditas pada triwulan I 2016.
12
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.3. Pergerakan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Grafik 1.4. Pergerakan Harga CPO Internasional dan TBS Lokal
Indeks
TBS (Rp/Kg)
180
CPO (USD/MT)
1,900
160
1,200
1,800
140
1,000
1,700
120
1,600
100
800
1,500
80
600
1,400
60
1,300
400
40
1,200
20
200
1,100
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 2013
2014
2015
1,000
2016
Indeks Penghasilan Konsumen
Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja
INDEKS EKSPEKTASI KONSUMEN ( IEK )
Garis 100
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
2012
2013
2014
2015
2016
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Hingga triwulan I 2016 pergerakan harga CPO Internasional menunjukkan peningkatan sehingga mendorong perkembangan harga TBS lokal. Pada triwulan I 2016, harga CPO rata-rata mencapai $576 USD/MT atau naik sebesar 14,21% (yoy) jika dibandingkan rata-rata harga triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar $504 USD/MT. Kondisi ini juga mendorong kenaikan harga TBS lokal yang tercatat mencapai Rp1.387/Kg atau naik sebesar 13,05% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp1.227/Kg (Grafik 1.4). Peningkatan harga komoditas tersebut berpengaruh terhadap peningkatan penghasilan masyarakat setempat yang tercermin dari meningkatnya indeks penghasilan konsumen pada level 109,2 dan indeks kegiatan usaha sebesar 115,4. Faktor lainnya yang mendorong masih baiknya tingkat konsumsi masyarakat pada triwulan I 2016 tercermin dari penyaluran kredit konsumsi pada triwulan laporan yang tercatat mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Total kredit konsumsi yang disalurkan oleh bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp21,56 triliun atau tumbuh sebesar 9,97% (yoy). Peningkatan penyaluran kredit konsumsi utamanya didorong oleh peningkatan penyaluran kredit konsumsi untuk kredit durable goods dan kredit multiguna.
13
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.5. Perkembangan Kredit Perumahan
4 3
2 1 0 I
II
III
IV
I
II
2013
III
IV
I
II
2014
III
IV
2015
Perumahan
150
40
100
30
50
20
0
10
-50
0
-100
I
I
II
III
IV
I
II
2013
2016
III
IV
I
50
IV
I 2016
g - yoy (kanan)
Grafik 1.8. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor
45
12
III
2015
Durable goods
14
II
2014
g - yoy (kanan)
Grafik 1.7. Perkembangan Kredit Multiguna
600
25 20 15 10 5 0 -5 -10 -15 -20 -25
40 35
8
30 25
6
20
4
15 10
2
5
0
0 I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014 Multiguna
IV
I
II
III
2015 g - yoy (kanan)
IV
I 2016
500
Persen (%)
10
Persen (%)
5
200
50
400 300
200 100
0 I
II
III
IV
2013
I
II
III
IV
2014 Kendaraan
I
II
III
2015
IV
Persen (%)
6
60
Rp. Miliar
Rp Triliun
7
Rp Miliar
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 -2
8
Grafik 1.6. Perkembangan Kredit Durable Goods
Persen (%)
9
Rp. Triliun
GE
I 2016
g - yoy (kanan)
Di sisi lain, kredit konsumsi untuk perumahan tercatat melambat dibandingkan triwulan sebelumnya, sementara pertumbuhan kredit kendaraan bermotor tercatat masih terkontraksi. Tabel 1.2. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Riau
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Sementara itu, perkembangan konsumsi pemerintah pada triwulan laporan tercatat mengalami kontraksi dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu dari 7,39% (yoy) menjadi -7,29% (yoy). Kondisi pelemahan konsumsi pemerintah ini dipengaruhi oleh pola musiman belanja pemerintah di awal tahun yang masih relatif terbatas. Realisasi APBD pemerintah secara total tahun 2015 mencapai 67,41% (yoy) atau mencapai Rp 7,6 triliun pada Triwulan IV-2015. Jika dilihat secara triwulanan, porsi realisasi tersebut mencapai 6,36% (yoy) dari seluruh realisasi anggaran belanja
14
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
pemerintah Provinsi Riau pada tahun 2016. Sementara itu, bila dibandingkan dengan realisasi triwulan I tahun-tahun sebelumnya, realisasi APBD Riau pada triwulan laporan tercatat paling rendah sebesar 4,61% (yoy). Sedangkan realisasi tertinggi triwulan I terjadi pada tahun 2010 yang mencapai 10,62% (yoy).
2.2. Investasi (PMTB) Perkembangan investasi (PMTB) di Riau pada triwulan I 2016 tercatat melambat jika dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 6,79% (yoy) menjadi 5,17% (yoy). Kondisi ini disebabkan oleh menurunnya realisasi investasi baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) pada triwulan I 2016. Realisasi PMDN Riau triwulan I 2016 tercatat sebesar Rp42,46 miliar, menurun signifikan dibandingkan triwulan IV 2015 yang mencapai Rp265,27 Miliar. Sedangkan realisasi PMA triwulan laporan tercatat sebesar Rp.1,34 triliun, lebih rendah dibandingkan realisasi PMA triwulan sebelumnya yang mencapai Rp2,78 triliun. Jika dilihat dari pertumbuhan, PMDN Riau triwulan I 2016 mengalami kontraksi sebesar 15,91% (yoy), menurun signifikan dibandingkan dengan PMDN triwulan sebelumnya yang tercatat tumbuh mencapai 93,63%. Sementara itu, PMA menunjukkan kontraksi yang lebih dalam dari 0,86% (yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi kontraksi 20,05% (yoy) pada triwulan laporan. Kondisi ini dipengaruhi oleh perilaku investor swasta yang masih cenderung menunggu (wait and see) berdampak pada masih lemahnya kegiatan investasi, di tengah upaya untuk mempercepat proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Adapun pendorong PMDN di Riau utamanya bersumber dari kegiatan investasi konstruksi dan properti, sedangkan PMA di provinsi Riau didominasi oleh investasi di bidang industri kimia dasar, barang kimia dan farmasi. Grafik 1.9. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN di Provinsi Riau Rp Juta
Realisasi PMDN
Grafik 1.10. Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Provinsi Riau % yoy
growth (yoy)
USD Ribu
Realisasi PMA
% yoy
growth (yoy)
4.500.000
600
700.000
3500
4.000.000
500
600.000
3000
3.500.000
400
500.000
2500
300
400.000
3.000.000 2.500.000
200
2.000.000
100
1.500.000
0
1.000.000
-100
500.000
-
-200 I
II
III
2013
IV
I
II
III
IV
I
2014
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal
II
III
2015
IV
I 2016
2000 1500
300.000
1000
200.000
500
100.000
0
-
-500 I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
IV
I
II
III
2015
IV
I 2016
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
15
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
2.3.
Ekspor dan Impor
2.3.1. Ekspor Kinerja net ekspor Provinsi Riau pada triwulan I 2016 tercatat mengalami kontraksi sebesar 4,18% (yoy), lebih dalam dibandingkan kontraksi triwulan IV 2015 sebesar 0,42% (yoy). Sejalan dengan kinerja net ekspor, perkembangan ekspor luar negeri Provinsi Riau pada triwulan laporan mengalami kontraksi sebesar 4,68% (yoy), menurun jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat tumbuh sebesar 1,96% (yoy). Kontraksi kinerja ekspor pada triwulan laporan didorong oleh perlambatan ekspor migas dan perbaikan kinerja sektor pertambangan dan penggalian batubara yang belum menunjukkan perbaikan signifikan. Selain itu, kinerja ekspor non migas juga tercatat melambat seiring dengan melambatnya kinerja ekspor utama non migas Provinsi Riau yaitu minyak dan lemak nabati. Berdasarkan komoditasnya, rendahnya pertumbuhan ekspor non migas Riau pada triwulan laporan didorong oleh perlambatan ekspor CPO, pulp dan kertas serta penurunan ekspor karet. Tabel 1.3. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton) Jenis Makanan dan Hewan Bernyawa Tembakau dan Minuman Barang Mentah Bahan Bakar Mineral dan Pelumas
2015 (ribu ton) II III
I
IV
2015
Pangsa (%)
2016 I
IV-15
yoy (%)
I-16
IV-15
I-16
426,03
378,30
398,85
530,07
1.733,24
385,27
9,85
9,21
10,48
6,89
9,54
5,53
5,97
27,93
7,47
0,11
0,18
(9,56)
8,38
741,56
711,78
737,73
729,47
2.920,53
685,76
13,56
16,39
(14,52)
(7,52)
15,37
22,16
119,06
40,08
0,41
0,96
10,79
42,10
3.004,55 3.541,13 12.563,28 2.455,28
65,84
58,69
11,22
(6,07)
(46,35)
44,81
(9,57)
28,20
53,34
2.613,93
3.403,66
Bahan Kimia
118,96
171,17
114,89
136,84
541,85
172,27
2,54
4,12
Barang Manufaktur
412,50
396,91
420,91
413,11
1.643,43
437,40
7,68
10,45
(1,06)
6,04
Mesin dan Peralatan
-
0,00
0,00
0,00
0,01
0,29
0,00
0,01
(96,31)
0,00
0,00
0,00
0,01
0,00
0,01
-
0,00
-
(98,95)
(100,00)
4.348,07
5.124,70
4.697,83 5.378,75 19.549,34 4.183,82
100,00
100,00
Minyak dan Lemak Nabati
Hasil Olahan Manufaktur Koin, bukan mata uang Total
-
-
3,11
16
(3,78)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional Grafik 1.11. Perkembangan Industrial Production Amerika Serikat
Sumber: Recent Economic Development Bank Indonesia
Berdasarkan hasil survei dan liaison, perlambatan kinerja subsektor industri pengolahan kelapa sawit dipengaruhi oleh gejolak ekonomi di Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok yang masih berlanjut sehingga mengakibatkan menurunnya permintaan ekspor. Selain itu, belum stabilnya harga komoditas global turut menggoncang kinerja perusahaan pada triwulan laporan. Sejalan dengan subsektor industri makanan dan minuman, kinerja komoditas pulp dan kertas juga mengalami perlambatan karena menurunnya permintaan kertas dari luar negeri sehubungan dengan masih berlanjutnya politik dumping negara-negara kawasan Amerika terhadap produk kertas Indonesia. Sementara itu, komoditas karet cenderung melanjutkan tren penurunan sebagai dampak dari harga komoditas yang belum menunjukkan perbaikan yang signifikan.
80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 (10,0) (20,0)
yoy (kanan)
3.000
ribu ton
2.500 2.000
1.500 1.000
500 0 I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
2013
2014
2015
2016
900,0
40,00 Vol (kiri)
800,0
yoy (kanan) 30,00
700,0
600,0 ribu ton
Vol (kiri)
%
3.500
Grafik 1.13. Perkembangan Volume Ekspor Pulp and Paper Riau
20,00
500,0
10,00
400,0 300,0
%
Grafik 1.12. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau
-
200,0
(10,00)
100,0
-
(20,00) I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
IV
I
II
III
2015
IV
I 2016
17
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.14. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau
Grafik 1.15. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau
60,0 Vol (kiri)
450,0
yoy (kanan)
4,0
40,0
400,0
20,0
350,0
%
250,0 (40,0)
200,0
ribu ton
(20,0)
(60,0)
-
150
2,5
100
2,0
50
1,5
0 -50
0,5
(100,0)
50,0
200
1,0
(80,0)
100,0
-
-100
(120,0) I
II
III
IV
I
2013
II
III
IV
I
II
2014
III
IV
2015
250
yoy (kanan)
3,0
300,0
150,0
Vol (kiri)
3,5
%
500,0
ribu ton
GE
I
I
II
III IV
I
2013
2016
II
III IV
I
2014
II
III IV
2015
I 2016
Berdasarkan negara tujuan ekspornya, perlambatan ekspor non migas pada triwulan laporan utamanya berasal dari penurunan ekspor ke Eropa yang tercatat sebesar 501 ribu ton. Volume ekspor tersebut mengalami kontraksi sebesar 15,36% (yoy), lebih rendah jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat kontraksi 0,38% (yoy). Grafik 1.16. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan 6.000 5.000 2.228 1.433
4.000
1.667
1.457 1.830
1.343 1.257
3.000 734 2.000 1.000
600 842
563 733
511
481
786
762
I
II
787
1.558
1.617
922 675
1.078
1.034
III
IV
851
585
658
662
814
920
1.892
1.985 759
573
589
432
691 920
1.890
1.717
609 644
783
1.657
901
1.928
1.988
598
518
592
990
580
651
548
538
651 869
942
III
IV
835
818
635
678
759
766
1.024
965
780
I
II
III
IV
I
II
756 570
587
637
606
1.638
787
501
720
622
798
644
681
891
971
1.188
I
II
III
IV
524
510
773
2012
2013 Cina
2014 India
ASEAN
MEE
2015
I 2016
Lainnya
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
18
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.17. Growth Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan growth per tujuan (% yoy) 100
Total
Cina
India
ASEAN
MEE
growth total (% yoy) 40
Lainnya
80
20
60
0
40
-20
20
-40
0
-60 I
II
-20
III 2013
IV
I
II
III
IV
I
2014
II
III 2015
IV
I 2016
-80
-40
-100
-60
-120
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Menurunnya pertumbuhan ekspor non migas ke Eropa utamanya tertahan oleh peningkatan ekspor ke India. Volume ekspor ke India pada triwulan I 2016 mencapai 524 ribu ton, lebih tinggi jika dibandingkan volume ekspor triwulan yang sama periode sebelumnya yang tercatat sebesar 510 ribu ton. Kinerja ekspor ke India pada triwulan laporan mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dari kontraksi sebesar 27,30% (yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi 2,80% (yoy) pada triwulan laporan seiring dengan pertumbuhan ekonomi India yang menunjukkan peningkatan.
2.3.2. Impor Perkembangan impor Riau pada triwulan I 2016 tercatat meningkat dari 3,38% (yoy) pada triwulan sebelumnya, menjadi 4,89% (yoy) pada triwulan laporan. Peningkatan impor luar negeri Provinsi Riau pada triwulan laporan bersumber dari peningkatan impor non migas yang mengalami perbaikan kinerja dari kontraksi sebesar 43,14% (yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi kontraksi 7,40% (yoy) pada triwulan laporan. Jika dilihat dari jenis barang non migas yang diimpor, impor barang konsumsi mengalami peningkatan yang sangat signifikan, utamanya bersumber dari peningkatan barang konsumsi durable goods. Hal ini juga terindikasi dari peningkatan volume impor durable goods dan kredit konsumsi durable goods. Sementara itu, peningkatan kinerja impor juga didorong oleh perbaikan kontraksi impor barang modal dan impor barang intermedier pada triwulan laporan yang masing-masing tercatat sebesar 69,59% (yoy) dan 9,13%
19
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
(yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2015 yang masing-masing tercatat kontraksi 93,11% (yoy) dan 36,34% (yoy). Kondisi ini juga dipengaruhi oleh penguatan nilai tukar rupiah yang pada triwulan I 2016 secara rata-rata tercatat sebesar Rp13.527,00/USD, membaik jika dibandingkan rata-rata nilai tukar rupiah pada triwulan IV 2015 sebesar Rp13.773,00/USD. Grafik 1.18. Perkembangan Impor Non Migas Riau
ribu Ton
Ribu Ton yoy,% Volume (ribu ton) growth (rhs) 900 50 40 800 30 700 20 600 10 500 0 400 -10 300 -20 200 -30 100 -40 0 -50 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I 2012
2013
2014
2015
Grafik 1.19. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau
Barang intermedier (lhs)
80 60
40 20 -
I
%
yoy (rhs)
800 700 600 500
400 300 200 100 II
III IV
2012
3.
I
II
III IV
2013
I
II
III IV
I
2014
II
III IV
2015
II
III IV
I
II
2012
60 50 40 30 20 10 (10) (20) (30) (40) (50) I
800 700 600 500 400 300 200 100 (100) (200)
2016
900
I
2016
%
yoy (rhs)
100
Grafik 1.20. Perkembangan Volume Impor Barang Intermedier ribu Ton
Barang Modal(lhs)
120
III IV
I
2013
II
III IV
I
2014
II
III IV
2015
I 2016
Grafik 1.21. Perkembangan Impor Barang Konsumsi Barang Konsumsi (lhs)
ribu Ton
%
yoy (rhs)
40
600
35
500
30
400
25
300
20
200
15
100
10
-
5
(100)
-
(200) I
II
III IV
2012
I
II
III IV
2013
I
II
III IV
2014
I
II
III IV
2015
I 2016
PDRB SEKTORAL
Kinerja sektor utama perekonomian Provinsi Riau pada triwulan I 2016 secara umum menunjukkan perlambatan. Perlambatan kinerja terjadi dari tiga sektor utama yaitu sektor pertanian, industri pengolahan dan konstruksi. Selain itu, beberapa sektor tersier seperti sektor transportasi dan pergudangan, sektor penyediaan akomodasi makanan dan minuman, sektor informasi dan komunikasi juga mengalami perlambatan. Sementara itu, sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial mengalami kontraksi sehingga menahan laju pertumbuhan pada triwulan laporan. Namun demikian, perlambatan yang lebih
20
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
dalam tertahan oleh kontraksi yang semakin melandai di sektor pertambangan dan penggalian, serta peningkatan yang terjadi pada sektor pengadaan listrik dan gas, sektor perdagangan besar, eceran, reparasi mobil dan motor dan sektor jasa keuangan. Tabel 1.4. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%) Growth (% yoy) Uraian 2014
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Kontribusi Pertumbuhan (%)
2015 I
II
III
IV
2015
2016 I
2015 IV
2015
2016 I
6,21
7,28
-4,54
-7,62
8,24
0,35
3,26
1,85
0,08
-5,28
-8,43
-7,62
-6,07
-5,50
-6,91
-2,92
-1,64
-2,12
0,94
Industri Pengolahan
5,63
-0,48
0,94
4,28
9,58
3,61
5,48
2,32
0,86
-0,29
Pengadaan Listrik, Gas
6,81
8,32
8,67
8,51
1,18
6,43
19,55
0,00
0,00
0,00
Pengadaan Air
1,06
-2,90
3,10
2,55
7,01
2,41
2,00
0,00
0,00
-0,85
Konstruksi
8,46
4,59
5,07
8,06
7,69
6,39
3,84
0,63
0,51
-0,61
Perdagangan Besar, Eceran, Rep. Mobil Motor
3,82
1,36
0,57
0,58
3,97
1,63
4,61
0,36
0,14
-0,06
Transportasi dan Pergudangan
7,99
4,29
4,58
5,69
6,85
5,38
4,52
0,05
0,04
0,00
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
6,97
1,08
-2,17
-0,03
8,75
1,89
5,47
0,05
0,01
-0,13
Informasi dan Komunikasi
5,64
8,88
7,70
5,26
6,90
7,15
4,21
0,04
0,04
1,33
Jasa Keuangan
4,93
5,84
-3,44
-0,11
-0,69
0,35
1,72
-0,01
0,00
0,04
Real Estate
5,32
7,04
7,91
8,38
9,98
8,34
1,91
0,08
0,07
1,02
12,84
6,98
7,09
8,31
8,25
7,67
0,19
0,00
0,00
0,00
Adm Pemerintahan, Pertahanan & Jam. Sos.
1,53
1,38
6,08
5,92
4,21
4,39
-5,07
0,07
0,07
0,00
Jasa Pendidikan
5,90
6,29
6,47
8,91
3,94
6,35
0,63
0,02
0,03
0,00
Pertambangan dan Penggalian
Jasa Perusahaan
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
0,75
8,40
11,68
8,92
11,06
8,26
9,94
0,17
0,02
0,02
0,00
11,14
8,41
9,55
11,20
11,24
10,14
5,65
0,05
0,04
0,23
PDRB
2,70
-0,01
-2,13
-1,38
4,45
0,22
2,34
4,45
0,22
0,01
PDRB Tanpa Migas
5,92
2,83
-0,57
-0,28
6,20
2,01
3,52
6,20
2,01
0,02
Jasa lainnya
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan Provinsi Riau pada triwulan I 2016 masih tercatat mengalami pertumbuhan positif sebesar 3,26% (yoy) namun melambat jika dibandingkan triwulan IV 2015 yang tercatat sebesar 8,24% (yoy). Perlambatan kinerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada triwulan laporan terindikasi dari melambatnya subsektor pertanian, peternakan, perburuan dan jasa pertanian yang memiliki kontribusi terbesar mencapai 0,94% terhadap total pertumbuhan. Pada triwulan I 2016, pertumbuhan subsektor pertanian, peternakan, perburuan dan jasa pertanian tercatat sebesar 6,01% (yoy), lebih
21
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
rendah dibandingkan triwulan IV 2015 sebesar 10,88% (yoy). Berdasarkan informasi dari contact liaison, faktor yang mendorong perlambatan kinerja di sektor pertanian berasal dari perlambatan perkebunan kelapa sawit sebagai dampak dari kabut asap yang terjadi pada akhir tahun 2015 sehingga menyebabkan proses pemupukan tertunda. Akibatnya, produktifitas sawit pada awal tahun 2016 mengalami penurunan. Selain itu, faktor lain yang turut menekan pertumbuhan sektor pertanian adalah musim hujan yang terjadi pada awal triwulan laporan yang berdampak terhadap gagal panennya ribuan hektar padi. Grafik 1.22. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Pertanian % yoy
14
60
15,00
12
50
10,00
10
5,00 0,00 -5,00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
30 6
2
-15,00
0
Kehutanan dan Penebangan Kayu
Perikanan
10 0 I
II III IV 2012
I
II III IV
I
2013
Kredit Kelapa Sawit
Sumber: BPS Provinsi Riau
Perlambatan kinerja
20
4
-10,00 Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian
40
8
Persen (%)
Grafik 1.23. Perkembangan Kredit Perkebunan Kelapa Sawit
Rp Triliun
GE
II III IV 2014
I
II III IV 2015
I 2016
g - yoy (kanan)
Sumber : LBU Bank Indonesia
juga dikonfirmasi oleh perkembangan kredit berdasarkan
lokasi bank yang disalurkan ke sektor pertanian yang tumbuh dari 10,88% (yoy) di triwulan IV 2015 melambat menjadi 9,57% (yoy) pada triwulan I 2016, atau secara nominal mencapai Rp. 12,54 triliun. Kredit pertanian tersebut sangat didominasi oleh kredit yang disalurkan ke perkebunan kelapa sawit (pangsa 91,37%), yang mengalami perlambatan pertumbuhan dari 15,09% (yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi 13,47% (yoy) pada triwulan laporan. Demikian juga dengan kredit yang disalurkan ke perkebunan karet tercatat mengalami kontraksi yang semakin dalam dari kontraksi 8,92% (yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi kontraksi 14,01% (yoy) pada triwulan I 2016. Hal tersebut mengindikasikan melambatnya kinerja perkebunan kelapa sawit dan kinerja perkebunan karet di Provinsi Riau yang masih melanjutkan tren penurunan. Sejalan dengan subsektor pertanian, peternakan, perburuan dan jasa pertanian, kinerja subsektor kehutanan dan penebangan kayu turut menekan laju pertumbuhan karena masih mengalami kontraksi sebesar 7,10% (yoy), lebih dalam
22
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
dibandingkan triwulan sebelumnya yang terkontraksi sebesar 0,01% (yoy). Disisi lain, subsektor perikanan juga mengalami perlambatan dari 3,01% (yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi 0,09% (yoy) pada triwulan laporan. Perlambatan tersebut diperkirakan karena cuaca ekstrim pada awal triwulan laporan akibat musim hujan yang menimbulkan gelombang tinggi sehingga menjadi faktor penghambat untuk melaut.
3.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian Kinerja sektor pertambangan Riau pada triwulan I 2016 relatif membaik dibandingkan triwulan IV 2015, yaitu dari kontraksi
sebesar
5,50%
(yoy)
Grafik 1.24. Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Penggalian
menjadi % yoy
kontraksi 2,92% (yoy). Kontraksi pada sektor pertambangan kontraksi
utamanya
pada
subsektor
didorong
40,00
20,00
oleh
0,00 -20,00
pertambangan
dan
liaison,
penurunan
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
-60,00
minyak bumi dan gas bumi. Berdasarkan hasil survei
1
-40,00
-80,00 -100,00
tersebut
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Pertambangan Batubara dan Lignit Pertambangan Bijih Logam Pertambangan dan Penggalian Lainnya
disebabkan semakin berkurangnya cadangan
Sumber: BPS Prov. Riau (diolah)
minyak bumi dan keterbatasan perusahaan
untuk melakukan eksplorasi dan investasi ditengah melemahnya harga minyak yang tidak memenuhi nilai keekonomisannya. Kondisi ini juga tercermin dari pencapaian lifting minyak bumi Provinsi Riau yang hingga triwulan I 2016 masih cenderung melanjutkan tren penurunan. Pada bulan Januari 2016, total produksi minyak kondesat di Provinsi Riau sebesar 263,07 ribu barrel per hari, menurun jika dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 302,81 ribu barrel per hari. Grafik 1.25. Perkembangan Lifting Minyak Bumi Provinsi Riau
Grafik 1.26. Perkembangan Kegiatan Usaha di Provinsi Riau SBT 60
40 20 0 -20
-40
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
IV
I
II
III
2015
IV Tw-I 2016
-60 -80
Sumber: Kementerian ESDM
Sumber: SKDU Bank Indonesia
23
12
13
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Kinerja lifting minyak bumi di Riau ke depannya diperkirakan akan semakin menurun akibat penurunan produktivitas sumur minyak yang sudah tua (natural declining) dan minimnya penemuan sumber cadangan minyak baru yang produktif di Provinsi Riau. Beberapa perusahaan pertambangan minyak berusaha menahan laju penurunan produksi melalui penggunaan alat-alat drilling berteknologi tinggi, seperti injeksi uap dan mulai melakukan uji coba bahan-bahan kimia seperti injeksi kuman serta bahan kimia lainnya agar dapat mengambil sisa-sisa minyak bumi namun tingginya biaya investasi tidak sebanding dengan harga minyak saat ini sehingga tidak memenuhi nilai keekonomisannya. Selain itu, perusahaan minyak juga dihadapkan pada permasalahan perijinan antara lain meliputi ijin eksploitasi, ijin pengembangan sumur dan fasilitas produksi, serta ijin lingkungan (AMDAL) termasuk terkait pembuangan limbah, dimana terjadi tumpang tindih antara peraturan beberapa pihak berwenang. Di sisi lain, perbaikan kontraksi di sektor pertambangan dan penggalian bersumber dari perbaikan kinerja pertambangan batu bara yang tercatat kontraksi sebesar 24,44% (yoy), membaik dibandingkan kontraksi triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 73,19% (yoy). Berdasarkan informasi dari contact liaison, kondisi ini didorong oleh perkembangan harga batubara dunia yang mulai menunjukkan peningkatan, sehingga perusahaan berupaya untuk terus mempertahankan produksi dalam rangka menjaga eksistensi perusahaan dan memenuhi kontrak dengan buyer pada triwulan laporan.
3.3.
Sektor Industri Pengolahan
Kinerja sektor industri pengolahan dengan migas pada triwulan I 2016 tumbuh 5,48% (yoy), namun melambat jika dibandingkan triwulan IV 2015 yang tercatat sebesar 9,58% (yoy). Perlambatan kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan laporan didorong oleh perlambatan subsektor industri makanan dan minuman, subsektor industri kertas dan barang dari kertas, dan subsektor industri karet, barang dari karet dan plastik. Pertumbuhan kinerja subsektor industri makanan dan minuman pada triwulan I 2016 tercatat sebesar 5,77% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 10,38%. Perlambatan kinerja industri makanan dan minuman diperkirakan terutama bersumber dari industri pengolahan kelapa sawit. Berdasarkan hasil survei dan liaison, perlambatan kinerja subsektor industri pengolahan kelapa sawit dipengaruhi oleh gejolak
24
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
ekonomi di Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok yang masih berlanjut sehingga mengakibatkan menurunnya permintaan ekspor. Selain itu, belum stabilnya harga komoditas global turut menggoncang kinerja perusahaan pada triwulan laporan. Sejalan dengan subsektor industri makanan dan minuman, subsektor industri kayu dan barang dari kayu juga mengalami perlambatan dari 10,36% (yoy) pada triwulan laporan menjadi 7,70% (yoy) pada triwulan laporan. Berdasarkan informasi dari contact liaison, perlambatan tersebut disebabkan oleh menurunnya permintaan kertas dari luar negeri sehubungan dengan masih berlanjutnya politik dumping negara-negara kawasan Amerika terhadap produk kertas Indonesia. Pertumbuhan subsektor industri karet, barang dari karet dan plastik juga tercatat melambat 3,65% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan IV 2015 sebesar 15,74%. Perlambatan ini utamanya disebabkan oleh harga komoditas yang belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Berdasarkan hasil survei dan liaison, minimnya pasokan bahan baku mengakibatkan kinerja perusahaan di subsektor industri pengolahan karet juga semakin menurun. Di sisi lain, perlambatan kinerja sektor industri pengolahan tertahan oleh peningkatan kinerja subsektor industri batubara dan pengilangan migas seiring dengan perbaikan kinerja perusahaan batubara untuk menjaga eksistensinya dengan meningkatkan produksi untuk memenuhi kontrak pada triwulan laporan. Perlambatan kinerja sektor industri pengolahan juga dikonfirmasi oleh hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia yang menunjukkan perkembangan kegiatan usaha sektor industri pengolahan pada triwulan I 2016 relatif melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Grafik 1.27 Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan SBT
% yoy 30,00 25,00 20,00 15,00
10,00 5,00 0,00 -5,00
Grafik 1.28. Perkembangan Kegiatan Usaha Sektor Industri Pengolahan
I
II
III
IV
I
2013
II
III 2014
IV
I
II
III
IV
2015
-10,00 -15,00 Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik Industri Makanan dan Minuman Industri Kertas dan Barang dari Kertas, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman Industri Batubara dan Pengilangan Migas
Sumber : BPS Provinsi Riau
I 2016
4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
IV
I
II
III
IV Tw-I
2015
2016
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
25
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
3.4. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Kinerja sektor perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor pada triwulan I 2016 tercatat perbaikan dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu dari 3,97% (yoy) menjadi 4,61% (yoy). Peningkatan pada sektor ini terutama didorong oleh peningkatan kinerja subsektor perdagangan mobil, sepeda motor dan reparasinya yang pada triwulan IV 2015 tercatat kontraksi sebesar 0,03% (yoy), meningkat menjadi 0,14% (yoy) pada triwulan laporan. Kondisi ini sejalan dengan peningkatan konsumsi rumah tangga yang tercermin dari peningkatan Indeks Rata-rata Penggunaan Penghasilan Konsumen untuk pengeluaran barang transpor. Grafik 1.29. Pertumbuhan Sektor Perdagangan berdasarkan subsektor
Grafik 1.30. Jenis Pengeluaran Rumah Tangga Indeks 210
% yoy 14,00
190
12,00
170
10,00
150
8,00
130
6,00
110
4,00
90
2,00
70
0,00 -2,00
I
II
III
IV
I
II
2013
III
IV
2014
I
II
III 2015
IV
I 2016
-4,00
50 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 2013
-6,00 Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasinya
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Sumber: BPS Provinsi Riau
2014
2015
2016
Perdagangan Besar dan Eceran
Pengeluaran Konsumsi
Pengeluaran Barang Transpor
Sumber: Survei Konsumen BI
Disisi lain, pertumbuhan kinerja subsektor perdagangan besar dan eceran triwulan I 2016 tercatat sebesar 4,27% (yoy), lebih rendah jika dibandingkan triwulan IV 2015 yang tercatat sebesar 6,11% (yoy). Faktor yang menahan perbaikan kinerja subsektor tersebut diperkirakan akibat penguatan nilai tukar rupiah yang masih terbatas hingga triwulan laporan, sehingga harga barang-barang impor dan bahan baku relatif tinggi. Selain itu, perkembangan perekonomian yang melambat juga mensinyalir penurunan daya beli masyarakat sehingga kegiatan jual-beli tidak dapat berjalan optimal.
26
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
3,5
Grafik.1.32. Perkembangan Kredit Perdagangan Besar & Eceran Komoditi Lainnya di Riau 0,9
200
150
50
Rp Triliun
1,5
Persen (%)
100
2
1
0,6
5
0,5
0
0,4 0,3
-5
0,2
0
0,5
10
0,7
2,5 Rp Triliun
15
0,8
3
-10
0,1
0
-50
I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
2012
2013
2014
2015
Persen (%)
Grafik.1.31. Perkembangan Kredit Perdagangan Besar dan Eceran Makanan, Minuman dan Tembakau di Riau
0
-15 I
2016
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
2012
2013
2014
2015
2016
Perdagangan eceran komoditi lainnya (bukan makanan, minuman dan tembakau)
Perdagangan eceran didominasi makanan, minuman dan tembakau
g - yoy (kanan)
g - yoy (kanan)
Sumber: LBU Bank Indonesia
Sumber: LBU Bank Indonesia
Namun demikian, jika dilihat dari kredit perbankan, peningkatan pertumbuhan sektor perdagangan juga tercermin dari membaiknya kontraksi kredit subsektor perdagangan besar dan eceran makanan, minuman, dan tembakau serta meningkatnya pertumbuhan penyaluran kredit untuk subsektor perdagangan eceran komoditi lainnya (bukan makanan, minuman, dan tembakau) berdasarkan lokasi bank di Provinsi Riau. Pada triwulan I 2016, jumlah kredit yang disalurkan ke subsektor perdagangan besar dan eceran makanan, minuman, dan tembakau mencapai Rp2,42 triliun, tumbuh 3,18% atau lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat kontraksi sebesar 2,11% (yoy). Sementara itu, penyaluran kredit ke subsektor perdagangan besar dan eceran komoditi lainnya juga
mencapai
Rp728,6
miliar
atau
tumbuh
13,06%
(yoy),
meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 7,93% (yoy).
3.5. Sektor Konstruksi Grafik 1.33. Konsumsi Semen Riau
Kinerja sektor konstruksi pada triwulan I
2016
melambat
dibandingkan
triwulan IV 2015. Pertumbuhan sektor di
Provinsi
Riau
pada
% 50
500
40 30
400
ribu Ton
konstruksi
600
20 300 10 200
triwulan
laporan
tercatat
sebesar
3,84%
(yoy),
lebih
rendah
dibandingkan
triwulan
sebelumnya
yang mencapai 7,69% (yoy).
0
100
-10
-
-20 I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Konsumsi Semen (kiri)
2016
g.yoy (kanan)
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia
27
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Melambatnya pertumbuhan konstruksi pada triwulan laporan diindikasikan dengan perlambatan realisasi konsumsi semen yaitu dari 546 ribu ton pada triwulan IV 2015 menjadi 374 ton pada triwulan laporan. Secara tahunan, pertumbuhan konsumsi semen di Riau tercatat tumbuh sebesar 6,28% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 3,29% (yoy). Perlambatan investasi PMDN dan PMA di bidang konstruksi diperkirakan mendorong perlambatan kinerja sektor ini pada triwulan laporan. Selain itu, belum terealisasinya proyek-proyek pemerintah seiring dengan pola musiman belanja pemerintah di awal tahun yang masih relatif terbatas turut menjadi faktor yang menahan pertumbuhan sektor konstruksi1.
1
Pembahasan terkait realisasi APBD dapat dilihat pada Bab IV Buku KEKR ini.
28
BOKS 1 PEMANFAATAN CPO SUPPORTING FUND
Kelapa sawit merupakan komoditas strategis penyumbang cadangan devisa non migas terbesar. Provinsi Riau merupakan provinsi yang memiliki areal perkebunan terluas di Indonesia. Total areal perkebunan sawit di Provinsi Riau tercatat sekitar 5,5 juta Ha, terdiri dari 1,5 juta Ha kebun petani rakyat dengan komposisi 134.212 Ha merupakan kebun plasma petani. Sebagian besar (80%) dari kebun plasma petani tersebut telah memasuki usia replanting. Kegiatan replanting seharusnya sudah mulai dilakukan sejak tahun 2006. Namun realisasi sampai dengan 2016, baru sekitar 60.000 Ha yang sudah direplanting. Pada awal tahun 1990, para petani berinisiatif untuk melakukan penanaman tanpa memperoleh bimbingan/bantuan teknis dari pemerintah daerah dan menggunakan sumber daya yang kurang memadai sehingga 65% dari bibit yang digunakan bukan merupakan bibit unggul (Hasil FGD KPw.Bank Indonesia dengan asosiasi dan pelaku usaha industri sawit, Februari 2016. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain. Untuk mendukung kebijakan tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No.113 Tahun 2105 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ini bertugas untuk mengumpulkan dan mengelola dana pungutan atau yang dikenal dengan CPO Supporting Fund (CSF) dalam rangka mendukung pengembangan industri kelapa sawit berkelanjutan. Tabel Mandatori Biodiesel
Sektor Transportation (PSO) Transportation (Non PSO) Industri Kelistrikan Sumber : Kementerian ESDM
Mandatori Biodiesel Permen ESDM No.32/2008 2015 2020 2025 5% 10% 20% 7% 10% 20% 10% 15% 20% 10% 15% 20%
Mandatori Biodiesel Permen ESDM No.12/2015 2015 2020 2025 15% 20% 30% 15% 20% 30% 15% 20% 30% 25% 30% 30%
Mempertimbangkan kondisi saat ini, pungutan tersebut dinilai cukup memberatkan petani, bahkan pada saat produksi mengalami penurunan dan belum stabilnya harga komoditas dunia, petani tetap dikenakan pajak TBS sebesar 10%. Selain pajak yang dikenakan terhadap Tandan Buah Segar (TBS), pelaku usaha juga dibebankan dengan pungutan termasuk pajak ekspor CPO dan turunannya. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang diberlakukan sejak 10 Juli 2015, menetapkan dana pungutan sebesar US$ 50 per ton produk ekspor CPO dan US$ 30 per ton ekspor produk turunan CPO. Apabila harga patokan ekspor melampaui US$ 750 ton, pengekspor wajib membayarkan bea keluar sebesar 7,5%. Tabel Kinerja Crude Palm Oil (CPO) Dunia
Sumber : USDA, Maret 2016 Total CPO Supporting Fund yang dihimpun selama tahun 2015 tercatat sekitar Rp.6,9 Triliun, dengan alokasi sekitar sekitar Rp.544 Miliar untuk subsidi biodiesel. Pada tahun 2016, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) akan mengucurkan dana sebesar Rp.9,5 Triliun dengan rencana alokasi penggunaan Rp.8 Triliun untuk subsidi pembayaran selisih kurang antara HIP BBM Jenis Minyak Solar dengan HIP BBN Jenis Biodiesel, sisanya sebesar Rp.1,5 Triliun digunakan untuk kegiatan riset, replanting, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau dengan pelaku usaha dan asosiasi kelapa sawit pada tanggal 29 Februari 2016 lalu, pengenaan pajak pungutan ekspor CPO dibebankan kembali kepada petani kelapa sawit, namun petani hanya menerima sebagian kecil dari dana pungutan yang telah terhimpun tersebut. Dalam ekonomi kerakyatan, pungutan ekspor yang dikembalikan kepada masyarakat akan menghasilkan multiplier effect yang cukup signifikan bagi perekonomian setempat. Oleh sebab itu, penggunaan alokasi CPO Fund tersebut perlu direview kembali dan diharapkan dapat dialihkan ke alokasi dana untuk membantu kebutuhan replanting dan pengembangan petani swadaya serta petani plasma kelapa sawit. Disisi lain, kebutuhan biaya replanting tercatat sekitar Rp.60 juta/Ha, namun dana yang disalurkan kepada petani dari Badan Layanan Umum (BLU) hanya sebesar Rp.35 juta, sedangkan sisanya ditanggung sendiri oleh pihak petani. Selain itu, dana hibah untuk replanting sampai dengan tanam dan pemeliharaan 1 tahun pertama tercatat sebesar Rp.25 juta/Ha, sedangkan yang dibutuhkan adalah sebesar Rp.43,5 juta/Ha sehingga terdapat kekurangan dana sebesar Rp.18,5 juta/Ha. Kekurangan biaya tersebut diharapkan dapat ditutup melalui bantuan dari pemerintah baik pusat maupun daerah, termasuk support dari alokasi CPO Fund. Demikian juga dengan masalah pembiayaan bagi petani kelapa sawit, sejumlah petani kelapa sawit mengharapkan agar mekanisme pemberian kredit perbankan lebih dipermudah. Untuk mendukung optimalisasi pemanfaatan CPO Supporting Fund diperlukan pula regulasi terkait proteksi harga sawit setempat agar kesejahteraan petani kelapa sawit tidak terganggu, serta mengingat besarnya kontribusi subsektor perkebunan kelapa sawit terhadap perekonomian Provinsi Riau.
BOKS 2 STRATEGI & IMPLEMENTASI DALAM PENGEMBANGAN KOTA CERDAS Secara garis besar, kota cerdas merupakan pengembangan, penerapan, dan implementasi tatanan kota yang menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan kualitas kehidupan, mengurangi biaya dan konsumsi sumber daya. Selain itu, implementasi kota cerdas ini dapat membantu meningkatkan interaksi antar kota dan warganya secara lebih efektif sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Pada dasarrnya, sebuah kota/wilayah diklasifikasikan sebagai kota cerdas jika memiliki 6 kriteria sebagai berikut:
Tabel Kriteria Kota Cerdas
Smart Economy (Competitiveness)
Smart People (Social and Human Capital)
•Innovative spirit •Entrepreneurship •Economic image & trademarks •Productivity •Flexibility of labour market •International embeddedness •Ability to transform
•Level of qualification •Affinity to life long learning •Social and ethnic plurality •Flexibility •Creativity •Cosmopolitan/Openmindedness •Participation in public life
Smart Mobility (Transport and ICT)
Smart Environment (Natural Resources)
•Local accessibility •(Inter-) national accessibility •Availability of ICTinfrastructure •Sustainable, innovative and safe transport systems
•Attractivity of natural conditions •Pollution •Environmental protection •Sustainable resource management
Smart Governance (Participation) •Participation in decision making •Public and social services •Transparent governance •Political strategies & perspectives
Smart Living (Quality of Life)
•Cultural facilities •Health conditions •Individual safety •Housing quality •Education facilities •Touristic attractivity •Social cohesion
Pengembangan kota cerdas meliputi beberapa tahapan, antara lain;
Ad.Hoc
: Pengembangan dasar atau tahap rencana
Opportunistic
: Kolaborasi secara proaktif antar departemen dan stakeholder
Repeatable
: Terintegrasi, fokus untuk peningkatan hasil pelayanan
Managed
: Sistem yang diperuntukkan mendukung aliran data/informasi dan proses kerja serta memiliki standar
Optimis : Implementasi yang berkelanjutan dalam mencapai pertumbuhan yang Berkelanjutan
Berdasarkan hasil pemetaan implementasi di Sumatera, perkembangan kota cerdas masih terfokus pada smart government. Hal ini mengindikasikan cukup besarnya gap implementasi kota cerdas antar kota di wilayah Sumatera. Sementara itu, jika dilihat dari tahapan pengembangan kota cerdas, Pekanbaru berada pada tahapan Opportunistic yang merupakan kolaborasi secara proaktif antar departemen dan stakeholder.
Tabel Klasifikasi Tahapan Kota Cerdas Pekanbaru dan Sumatera
Pekanbaru Smart Living
Smart Economy 5,0 3,0 1,0 -1,0
Smart Environ…
SUMATERA Smart People
Smart Economy 5,00 3,00 Smart Living Smart People 1,00 (1,00)
Smart Govern…
Smart Environment
Smart Mobility
Smart Government Smart Mobility
Untuk mendukung implementasi Kota Cerdas di Pekanbaru, terdapat beberapa rekomendasi yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah daerah, sebagai berikut:
Penyediaan sarana dan prasarana transportasi dan infrastruktur yang memadai
Pemberdayaan masyarakat termasuk UMKM dan Koperasi
Peningkatan kualitas pelayanan publik dan perbaikan prosedur perizinan
Percepatan masterplan pengembangan kota cerdas
Membentuk komitmen dan dasar hukum pengembangan kota cerdas
Melakukan kerjasama dengan vendor (mitra kerja) pendukung melalui Memorandum of Understanding
Pengintegrasian dan konektivitas antar aplikasi.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Bab 2 PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
1. KONDISI UMUM Perkembangan inflasi Provinsi Riau pada triwulan I 2016 berada pada level di bawah perkiraan sebelumnya. Meski demikian tekanan inflasi Riau pada triwulan I 2016 (yoy)1 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan tekanan inflasi terutama bersumber dari kelompok volatile food akibat kenaikan harga pada kelompok bahan makanan, terutama berasal dari subkelompok bumbu-bumbuan, padi-padian, ikan segar dan sayur-sayuran. Komoditas utama penyumbang inflasi dari kelompok tersebut ialah cabai merah, bawang merah, bawang putih, beras, jengkol, cabai rawit, patin dan buncis. Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan gangguan produksi selama musim 1
yoy (year on year) atau inflasi tahunan merupakan perbandingan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada bulan laporan dengan IHK di bulan yang sama tahun sebelumnya
29
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
hujan di wilayah sentra produksi di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Jawa, serta berakhirnya masa panen padi. Namun demikian, peningkatan laju inflasi tertahan oleh penurunan harga komoditas pada akhir triwulan seperti daging ayam ras, telur ayam ras, ikan gabus, daging sapi, kentang dan wortel karena meningkatnya pasokan sehingga mendorong penurunan harga pada komoditas tersebut. Sejalan dengan inflasi kelompok volatile food, kelompok administered price juga mengalami peningkatan inflasi secara tahunan akibat koreksi harga pada kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan yang tidak sedalam awal tahun lalu. Sebaliknya, pergerakan inflasi kelompok core tercatat mengalami penurunan sebagai dampak relatif terjaganya nilai tukar rupiah yang mulai menunjukkan trend penurunan sejak awal tahun 2016. Disamping itu, penurunan tingkat inflasi ini juga turut dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat akibat perlambatan ekonomi Riau yang menyebabkan penurunan permintaan secara umum. Selain itu, pada akhir bulan triwulan laporan perlambatan tekanan inflasi inti didorong oleh penurunan harga beberapa bahan bangunan seperti batu bata, semen, dan seng, serta beberapa obat-obatan. Di sisi lain, hal utama yang menahan laju penurunan inflasi inti adalah kenaikan harga komoditas emas perhiasan dan kenaikan harga sepeda motor seiring dengan kenaikan harga emas di pasar global dan kenaikan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) hingga 30%.
2. PERKEMBANGAN INFLASI PROVINSI RIAU Inflasi Riau pada triwulan I-2016 tercatat sebesar 4,42% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan triwulan IV-2015 yang tercatat sebesar 2,65%. Kondisi ini sejalan dengan perkembangan inflasi nasional yang juga menunjukkan peningkatan dari 3,35% pada triwulan IV-2015 menjadi 4,45% pada triwulan I-2016. Namun, jika dibandingkan dengan rata-rata historisnya 5 tahun terakhir 2011-2015, inflasi Riau pada triwulan I-2016 masih tercatat lebih rendah.
30
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Gambar 2.1. Inflasi Riau dan Nasional Tw I 2016 dibandingkan dengan Historisnya (yoy)
Riau
Nasional
6.23
4.42
3.35
6.04
4.45
2.65
Tw IV
Tw I
Avg Tw I
2015
2016
2011 - 2015
Tw IV
Tw I
Avg Tw I
2015
2016
2011 - 2015
Sumber : BPS, diolah
Secara tahunan, peningkatan inflasi Riau bersumber dari kelompok volatile food akibat kenaikan harga cabai merah, bawang merah, bawang putih dan beras pada akhir triwulan. Kenaikan tersebut terjadi seiring dengan gangguan produksi selama musim hujan di wilayah sentra produksi di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Jawa, serta berakhirnya masa panen padi. Disamping itu, tekanan inflasi juga terjadi pada kelompok administered price bersumber dari kenaikan harga tarif listrik akibat penyesuaian harga tarif listrik rumah tangga golongan 1.300VA-2.200VA pada bulan Januari 2016 (meskipun menurun pada 2 bulan berikutnya) dan penurunan harga BBM yang tidak sedalam dengan penurunan harga pada awal tahun lalu. Disisi lain, tekanan inflasi inti terutama bersumber dari kenaikan harga komoditas emas perhiasan yang didorong oleh kenaikan harga emas di pasar global seiring dengan ketidakpastian peningkatan Fed Fund Rate (FFR) dan kenaikan harga sepeda motor akibat kenaikan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) hingga 30%. Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota Dumai yaitu mencapai 4,84% (yoy), diikuti oleh Pekanbaru dan Tembilahan masing-masing 4,39% (yoy) dan 4,00% (yoy). Tekanan inflasi pada ketiga kota tersebut
menunjukkan
peningkatan
bila
dibandingkan
dengan
triwulan
sebelumnya. Namun demikian, pencapaian inflasi tersebut juga menunjukkan disparitas inflasi antar ketiga kota (terutama Tembilahan dengan Pekanbaru dan Dumai) relatif mengecil.
31
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan
Grafik 2.2. Perkembangan Inflasi Ketiga Kota
Nasional (yoy)
di Riau (yoy)
% (yoy)
Nas
10
Riau
Smt
Pekanbaru
% (yoy)
Dumai
Tembilahan
8
Riau
4.42
6
4.84 4.39
4
4.00
2
0 I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
2012
2013
2014
2015
2016
I
II
III
IV
I
II
2014
III 2015
IV
I 2016
Sumber : BPS, diolah
Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei di Provinsi Riau, sumber peningkatan tekanan inflasi secara tahunan pada triwulan I 2016 terutama berasal dari peningkatan inflasi kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi, kelompok perumahan, kelompok transportasi dan komunikasi, serta kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga dengan kontribusi masing-masing sebesar 2,34%, 1,00%, 0,49%, 0,33% dan 0,25% terhadap inflasi Riau. Kelompok bahan makanan, kelompok transportasi dan komunikasi, kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga serta kelompok sandang mengalami peningkatan kontribusi dibandingkan triwulan sebelumnya. Sebaliknya kelompok perumahan, kelompok makanan jadi dan kelompok kesehatan mengalami penurunan kontribusi dibandingkan triwulan sebelumnya. Adapun kelompok barang dan jasa yang memberikan kontribusi terkecil adalah kelompok kesehatan dan kelompok sandang masing-masing memberikan kontribusi sebesar 0,09% dan 0,15%. Apabila dilihat level inflasinya, tingkat inflasi tertinggi pada triwulan I-2016 dialami oleh kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau masing-masing sebesar 9,27% (yoy) dan 4,89% (yoy), diikuti kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga sebesar 2,32% (yoy).
32
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Grafik 2.3. Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa (yoy)
Sementara itu, perkembangan inflasi Riau secara triwulanan menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 1,25% menjadi 0,45% (qtq). Angka inflasi Riau pada triwulanan laporan juga lebih turun jika dibandingkan dengan rata-rata historisnya dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir yang tercatat sebesar 0,77% (qtq). Grafik 2.4. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Menurunnya tekanan inflasi Riau secara triwulanan didorong oleh menurunnya harga subkelompok daging dan hasil-hasilnya; telur, susu dan hasil-hasilnya; bahan bakar, penerangan dan air; sayur-sayuran dan transpor. Dilihat dari komoditasnya,
33
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
penurunan harga utamanya bersumber dari penurunan daging ayam ras, telur ayam ras, tarip listrik dan ikan gabus. Penurunan harga daging ayam ras dan telur ayam ras diperkirakan seiring dengan panen Day Old Chick (DOC) dan meningkatnya impor jagung yang mampu meredam peningkatan harga pakan ternak. Selain itu beberapa upaya pengendalian inflasi di Provinsi Riau juga mulai diintensifkan pelaksanaannya, antara lain operasi pasar oleh Bulog Divre Riau-Kepri, monitoring tata niaga LPG (dikoordinir oleh Pertamina dan Disperindag), upaya peningkatan produksi pangan lokal melalui pencetakan sawah baru di beberapa lokasi dan program urban farming di bebebrapa wilayah perkotaan. Lebih lanjut, TPID Riau juga memiliki beberapa rencana kegiatan intervensi dalam rangka stabilisasi harga pangan 2016, antara lain operasi pasar dan pasar murah, sidak distributor/gudang dengan melibatkan seluruh unsur antar Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)/Instansi swasta di tingkat Kabupaten/Kota. Grafik 2.5. Historis Inflasi selama Tw I di Provinsi Riau (qtq) Historis 2011-2015
% (qtq)
Tw I-2016
1.5 1.21 1.00
0.88
0.87
0.77
0.68
0.62 0.45
0.5
0.29
Nasional
Riau
Pekanbaru
0.18
Dumai
Tembilahan
-0.5
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan kota yang disurvei di Provinsi Riau, maka inflasi triwulanan terbesar terjadi di kota Dumai sebesar 1,21% (qtq), sementara inflasi di Tembilahan dan Pekanbaru masing-masing sebesar 0,68% (qtq) dan 0,29% (qtq). Inflasi triwulanan di Pekanbaru tercatat lebih rendah jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 1,45% (qtq), sebaliknya inflasi di Dumai tercatat lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 0,48% (qtq). Sementara itu jika dibandingkan dengan historis 5 tahun terakhir, inflasi triwulanan
Pekanbaru dan Tembilahan pada triwulan
laporan lebih rendah, sedangkan Dumai menjadi satu-satunya daerah yang mengalami inflasi lebih tinggi dibandingkan historis 5 tahun terakhir yang sebesar 0,18% (qtq).
34
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei, kelompok transportasi & komunikasi dan kelompok perumahan merupakan kelompok yang mengalami deflasi sebesar -1,24% (qtq) dan -0,07% (qtq). Kedua kelompok tersebut memberikan andil pada inflasi triwulan laporan masing-masing sebesar 0,19% dan -0,02%. Sementara itu, kelompok bahan makanan merupakan kelompok yang mengalami inflasi triwulanan tertinggi yaitu 1,49% (qtq) sehingga memberikan andil inflasi secara keseluruhan 0,38%. Grafik 2.6. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa Tw I 2016 di Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
2.1.
Inflasi Kota
2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru Pada triwulan I-2016, Kota Pekanbaru mengalami inflasi sebesar 4,39% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 2,71% (yoy). Peningkatan tekanan inflasi terutama terjadi pada kelompok volatile food, akibat peningkatan harga komoditas bumbu-bumbuan terutama cabai merah, bawang merah dan bawang putih seiring dengan gangguan produksi selama musim hujan di wilayah sentra produksi di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Jawa. Sumber peningkatan inflasi juga bersumber dari kelompok core akibat kenaikan harga emas perhiasan, biaya pendidikan dan harga sepeda motor. Laju tekanan inflasi tertahan oleh penurunan harga daging ayam ras dan telur ayam ras pada kelompok volatile food, serta kelompok administered price akibat menurunnya tarif listrik, angkutan udara dan bensin pada triwulan laporan.
35
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Dilihat berdasarkan kelompok barang jasa, inflasi tertinggi dialami oleh kelompok bahan makanan (10,09%, yoy) dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok, tembakau (4,42%, yoy), selanjutnya diikuti oleh inflasi pada kelompok pendidikan, rekreasi, olahraga (2,94%, yoy), kelompok perumahan (2,37%, yoy), kelompok transportasi & komunikasi (2,11%, yoy) dan kelompok sandang dan kesehatan yang masing-masing tercatat sebesar 1,91% (yoy) dan 1,51% (yoy). Sebagian besar kelompok komoditas mengalami inflasi yang lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya, dengan peningkatan terbesar terjadi pada kelompok bahan makanan dari 5,79% (yoy) menjadi 10,09% (yoy), kelompok transportasi & komunikasi dari -3,05% (yoy) menjadi 2,11% (yoy), serta kelompok pendidikan, rekreasi, olahraga dari 1,75% (yoy) menjadi 2,94% (yoy),. Sebaliknya, kelompok komoditas yang mengalami penurunan laju inflasi yaitu kelompok kesehatan dari 2,51% (yoy) menjadi 1,51% (yoy), kelompok perumahan dari 3,31% (yoy) menjadi 2,37% (yoy) dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok tembakau dari 4,96% (yoy) menjadi 4,42% (yoy). Grafik 2.7 Perkembangan Inflasi Kota Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw I (20112015) % (yoy)
Inflasi Triwulanan
Inflasi Tahunan
avg yoy
Grafik 2.8. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Pekanbaru Tw I 2016
% (qtq)
10
5 4
8 3 6
2 1
4
0 2 -1 0
-2 I
II
III IV
2012
I
II
III IV
2013
I
II
III IV
2014
I
II
III IV
2015
I 2016
Sumber : BPS, diolah
2.1.2. Inflasi Kota Dumai Sejalan dengan perkembangan inflasi kota Pekanbaru, inflasi kota Dumai juga mengalami peningkatan dari 2,63% (yoy) menjadi 4,84% (yoy). Peningkatan inflasi kota Dumai terutama bersumber dari peningkatan inflasi volatile food akibat keterbatasan pasokan cabai merah, beras dan bawang merah akibat keterbatasan
36
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
pasokan, serta peningkatan inflasi kelompok core yang berasal dari kelompok makanan jadi, minuman, rokok & tembakau akibat kenaikan harga bahan baku. Peningkatan inflasi juga terjadi pada kelompok administered price akibat kenaikan tarip parkir, rokok kretek filter dan bahan pelumas/oli. Apabila dilihat per kelompok komoditas, peningkatan inflasi tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan dari -2,23% (yoy) menjadi 5,84% (yoy), diikuti kelompok transportasi & komunikasi dari -3,23% (yoy) menjadi 2,08% (yoy), serta kelompok kesehatan dari 3,69% (yoy) menjadi 5,40% (yoy). Sebaliknya penurunan tekanan inflasi terjadi pada kelompok perumahan dari 4,00% (yoy) menjadi 1,77% (yoy), kelompok makanan jadi dari 10,45% (yoy) menjadi 8,32% (yoy), kelompok sandang dari 5,27% (yoy) menjadi 4,39% (yoy) dan kelompok pendidikan, rekreasi, olahraga dari 7,89% (yoy) menjadi 7,58% (yoy). Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis Tw I (2011-2015) % (yoy)
Inflasi Triwulanan
Inflasi Tahunan
avg yoy
Grafik 2.10. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai Tw I 2016
% (qtq)
10
5 4
8 3 6
2 1
4
0 2 -1 0
-2 I
II
III IV
2012
I
II
III IV
2013
I
II
III IV
2014
I
II
III IV
2015
I 2016
Sumber : BPS, diolah
2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan Inflasi yang terjadi di Kota Tembilahan tercatat sebagai inflasi terendah di Provinsi Riau yaitu mencapai 4,00% (yoy) pada triwulan I 2016. Searah dengan kedua kota lainnya, tekanan inflasi Kota Tembilahan pada triwulan laporan mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 2,06% (yoy), terutama akibat kenaikan harga komoditas volatile food seperti bawang merah dan cabai merah, beras, cabai rawit dan bawang putih. Kenaikan harga ini menyebabkan peningkatan tekanan inflasi yang signifikan terhadap inflasi kelompok bahan makanan dari 2,72% (yoy) menjadi 7,51% (yoy).
37
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Selain itu, tekanan inflasi dari kelompok core berasal dari kenaikan harga emas perhiasan yang dipengaruhi oleh kenaikan harga emas di pasar global. Disisi lain tekanan inflasi juga terjadi pada kelompok administered price yang bersumber dari kelompok transportasi & komunikasi sehingga meningkatkan tekanan inflasi dibandingkan dari -3,02% (yoy) menjadi 1,89% (yoy). Kelompok komoditas lainnya yang mengalami peningkatan inflasi adalah kelompok sandang dari 1,63% (yoy) menjadi 2,19% (yoy) dan kelompok makanan jadi dari 2,83% (yoy) menjadi 3,26% (yoy). Sedangkan penurunan tekanan inflasi terjadi pada kelompok perumahan dari 4,15% (yoy) menjadi 2,08% (yoy), kelompok kesehatan 4,69% (yoy) menjadi 4,14% (yoy) dan kelompok pendidikan, rekreasi, olahraga dari 4,88% (yoy) menjadi 4,84% (yoy). Grafik 2.11. Perkembangan Inflasi Kota Tembilahan
Grafik 2.12. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Tembilahan Tw I 2016
Sumber : BPS, diolah
2.2.
Disagregasi Inflasi2 (yoy)
Peningkatan tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan, utamanya didorong oleh kelompok volatile food akibat kenaikan harga yang terjadi pada kelompok bahan makanan, terutama berasal dari subkelompok bumbu-bumbuan, padi-padian, ikan segar dan sayur-sayuran. Komoditas utama penyumbang inflasi dari kelompok tersebut ialah cabai merah, bawang merah, bawang putih, beras, jengkol, cabai rawit, patin dan buncis. Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan gangguan
2
Disagregasi dilakukan dengan pendekatan subkelompok
38
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
produksi selama musim hujan di wilayah sentra produksi di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Jawa dan berakhirnya masa panen padi. Sejalan dengan inflasi kelompok volatile food, peningkatan juga terjadi pada kelompok core akibat kenaikan harga komoditas emas perhiasan seiring dengan kenaikan harga emas di pasar global, serta kenaikan harga kendaraan bermotor akibat kenaikan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) hingga 30% namun peningkatan tersebut tidak setinggi triwulan sebelumnya. Sebaliknya, peningkatan laju inflasi tertahan oleh penurunan harga dari kelompok administered price akibat penurunan tarif listrik dan harga bensin sebagai lanjutan koreksi harga pada triwulan laporan. Grafik 2.13. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy)
2.2.1. Inflasi Inti (Core) Laju inflasi inti pada triwulan I 2016 mengalami penurunan dibandingkan triwulan IV 2015 sebagai dampak relatif terjaganya nilai tukar rupiah yang mulai menunjukkan trend penurunan sejak awal tahun 2016. Penurunan tingkat inflasi ini juga turut dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat akibat perlambatan ekonomi Riau yang menyebabkan penurunan permintaan secara umum. Selain itu, pada akhir periode triwulan laporan perlambatan tekanan inflasi inti didorong oleh penurunan harga beberapa bahan bangunan seperti batu bata, semen, dan seng, serta beberapa penurunan harga obat-obatan.
39
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Di sisi lain, hal utama yang menahan laju penurunan inflasi inti adalah kenaikan harga komoditas emas perhiasan yang didorong oleh kenaikan harga emas di pasar global seiring dengan ketidakpastian peningkatan Fed Fund Rate (FFR). Selain emas perhiasan, penyumbang inflasi inti terbesar lainnya adalah kenaikan harga sepeda motor seiring dengan kenaikan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) hingga 30%. Jika dilihat berdasarkan kota yang disurvei, maka inflasi inti tertinggi terjadi di kota Dumai yaitu sebesar 4,69% (yoy), lebih tinggi dibandingkan 2 (dua) kota lainnya yaitu kota Pekanbaru dan Tembilahan masing-masing sebesar 2,67% (yoy) dan 2,44% (yoy). Apabila dilihat pergerakannya, inflasi inti di ketiga kota tersebut mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Grafik 2.14. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy)
Grafik 2.15. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD 14,000 12,000 10,000
6,000
Sumber : BPS, diolah
20 May 2013 11 July 2013 09 September… 1 November 2013 27 December… 21 February 2014 17 April 2014 16 June 2014 14 August 2014 6 October 2014 26 November… 21 January 2015 16 March 2015 8 May 2015 2 July 2015 31 Agust 2015 23 Okt 2015 15 Des 2015 10-Feb-16 5-Apr-16
8,000
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 2.16. Perkembangan Harga Emas Dunia Harga Emas (LHS)
Grafik 2.17. Perkembangan Inflasi Tradables Goods dan Non Tradable Goods (yoy) % (yoy)
growth (RHS)
1600
10
1400
5
1200
0
1000
-5
8
800
-10
6
600
-15
400
-20
200
-25
0
-30 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 2014
2015
2016
Sumber : Bloomberg, diolah
Tradeable
Non Tradeable
12 10
4 2
0 1
3
5
7
9
11
1
3
2013
5
7 2014
9
11
1
3
5
7 2015
9
11
1
3
2016
Sumber : BPS, diolah
2.2.2. Inflasi Volatile Food Perkembangan harga kelompok volatile food pada periode laporan juga mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Meningkatnya
40
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
tekanan inflasi volatile food tersebut didorong oleh inflasi yang terjadi pada kelompok bahan makanan, terutama berasal dari subkelompok bumbu-bumbuan, padi-padian, ikan segar dan sayur-sayuran. Komoditas utama penyumbang inflasi dari kelompok tersebut ialah cabai merah, bawang merah, bawang putih, beras, jengkol, cabai rawit, patin dan buncis. Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan gangguan produksi selama musim hujan di wilayah sentra produksi di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Jawa dan berakhirnya masa panen padi. Namun demikian, beberapa harga komoditas mulai menunjukkan penurunan harga pada akhir triwulan sehingga menahan penurunan laju inflasi kelompok volatile food pada triwulan laporan. Beberapa komoditas tersebut antara lain daging ayam ras, telur ayam ras, gabus, daging sapi, kentang dan wortel. Penurunan harga ini didorong oleh panen Day Old Chick (DOC), meningkatnya impor jagung yang mampu meredam peningkatan harga pakan ternak dan meningkatnya pasokan dari daerah sentra produksi sehingga mendorong penurunan harga pada komoditas tersebut. Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy) % (yoy) 28
Pekanbaru
Dumai
Tembilahan
Grafik 2.19. Perkembangan Harga Komoditas Bumbu-bumbuan di Kota Pekanbaru
RIAU
Rupiah
24 20 16 12 8
MIV
4
-8
MV
MIV
MIV
MV
MIV
MIV
MIV
Aug-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16
0 -4
80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 -
I
II III IV 2012
I
II III IV 2013
Sumber : BPS, diolah
I
II III IV 2014
I
II III IV 2015
I 2016
Cabe Merah
Cabe Rawit
Bawang Merah
Bawang Putih
Sumber: Survei Pemantantauan Harga BI
2.2.3. Inflasi Administered Prices Jika dibandingkan dengan triwulan IV 2015, inflasi kelompok administered prices Riau pada triwulan laporan mengalami peningkatan akibat koreksi harga pada kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan yang tidak sedalam koreksi yang terjadi pada awal tahun lalu. Jika dilihat per kota, peningkatan inflasi
41
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
administered price terjadi pada semua kota yang disurvei di Provinsi Riau. Inflasi administered price tertinggi dialami oleh Kota Dumai sebesar 4,39% (yoy), diikuti Tembilahan dan Pekanbaru masing-masing tercatat sebesar 3,31% (yoy) dan 3,24% (yoy). Grafik 2.20. Perkembangan Inflasi Administered Price (yoy) % (yoy) 28
Pekanbaru
Dumai
Tembilahan
RIAU
24 20 16 12
8 4 0 -4
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
IV
I
II
III
2015
IV
I 2016
Sumber : BPS, diolah
42
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Bab 3 PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DAERAH
1. Kondisi Umum Perbankan Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yang tercermin dari menurunnya pertumbuhan Aset, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) maupun Kredit. Pada triwulan I-2016 aset perbankan tercatat mencapai Rp85,76 triliun, mengalami penurunan dari kontraksi 4,49% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi lebih dalam sebesar 6,50% (yoy). Sementara, DPK pada triwulan laporan tercatat sebesar Rp63,48 triliun, juga menurun dari kontraksi 3,12% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi lebih dalam sebesar 5,77% (yoy) pada triwulan laporan.
43
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Sejalan dengan perkembangan aset dan DPK yang mengalami penurunan, penyaluran kredit pada triwulan I-2016 juga melambat dibandingkan triwulan IV2015, yaitu dari 8,14% (yoy) menjadi 7,33% (yoy) dengan nilai mencapai Rp57,16 triliun. Disisi lain, kualitas kredit yang disalurkan oleh perbankan semakin turun. NPL perbankan di triwulan I-2016 tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan NPL di triwulan IV-2015 dari 3,86% menjadi 4,23%. Sejalan dengan penurunan pertumbuhan DPK yang diikuti pertumbuhan kredit yang melambat, LDR perbankan berada pada level 90,05% yang mencerminkan bahwa masih cukup terjaganya likuiditas perbankan di Provinsi Riau. Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan di Provinsi Riau (RpJuta) 2015
Indikator
2016
(yoy, %)
(yoy, %)
I
Tw IV 2015
Tw I 2016
I
II
III
IV
Aset (Rp Juta)
91.724.376
99.637.187
96.510.233
82.914.524
85.760.926
(4,49)
(6,50)
- Bank Umum
90.534.888
98.451.429
95.323.470
81.686.208
84.514.141
(4,63)
(6,65)
1.189.489
1.185.757
1.186.762
1.228.315
1.246.785
5,87
4,82
Kredit (Rp Juta)
53.266.023
54.923.581
55.863.081
57.445.328
57.169.102
8,14
7,33
- Bank Umum
52.401.716
54.012.485
54.946.577
56.538.247
56.252.232
8,14
7,35
864.307
911.096
916.504
907.081
916.870
8,49
6,08
Kredit UMKM (Rp Juta)
19.809.940
20.212.276
19.894.360
19.884.668
19.905.368
(0,74)
0,48
Dana Pihak Ketiga (Rp Juta)
67.372.858
71.278.108
70.070.676
62.927.349
63.483.576
(3,12)
(5,77)
- Bank Umum
66.525.297
70.420.859
69.189.487
62.050.178
62.588.183
(3,26)
(5,92)
847.560
857.250
881.188
877.171
895.392,67
8,33
5,64
LDR
79,06%
77,06%
79,72%
91,29%
90,05%
NPL
3,82%
4,33%
4,50%
3,86%
4,23%
3,64%
4,16%
4,34%
3,71%
4,07%
14,45%
13,84%
14,39%
12,92%
14,08%
- BPR/S
- BPR/S
- BPR/S
- Bank Umum - BPR/S
Sumber : Bank Indonesia
2. Perkembangan Bank Umum 2.1. Perkembangan Aset Pada triwulan I 2016, aset bank umum di Provinsi Riau tercatat sebesar Rp84,51 triliun mengalami kontraksi sebesar 6,65% (yoy) menurun dibandingkan triwulan IV 2015 yang mengalami kontraksi sebesar 4,63% (yoy). Namun jika dilihat secara triwulanan aset bank umum mengalami ekspansi sebesar 3,46% (qtq).
44
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
120 100 80 60 40 20 0
30 25 20 15 10 5 0 -5 -10
Grafik 3.2. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kelompok Rp Triliun 80 70 60 50 40 30 20 10
Persen (%)
Rp Triliun
Grafik 3.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013
2014
2015
Aset
120 100 80 60
40 20 I
2016
II
III
IV
I
2013
g - yoy (kanan)
II
III
I
2014
Pemerintah
Sumber : Bank Indonesia
IV
II
III
IV
2015
Swasta
I 2016
Total (kanan)
Sumber : Bank Indonesia
Berdasarkan kepemilikannya, menurunnya pertumbuhan aset bank umum pada triwulan laporan terutama bersumber dari terkontraksinya aset kelompok bank umum pemerintah sebesar 9,64% (yoy), terkontraksi lebih dalam dibanding triwulan sebelumnya sebesar 6,51% (yoy). Sementara pertumbuhan aset bank swasta mengalami pertumbuhan sebesar 1,40% (yoy) dibanding triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 0,13% (yoy). Pangsa aset bank umum pemerintah masih tetap mendominasi dengan share 70,57% meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya dengan share 69,19%. Grafik 3.4. Pangsa Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank
110
6
90
5
70
4
2016
Grafik 3.3. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank
I
50
3
30
2
10
1
2015
III II I IV
2014
Rp Triliun
IV
III
II I
II
III IV
I
II
III IV
2013
2014
Konvensional
Total
I
II
III IV
2015
I 2016
Syariah (kanan)
2013
I
IV III II I 0
10
20
30
40
50
Konvensional
Sumber : Bank Indonesia
60
70
80
90
100
Syariah
Sumber : Bank Indonesia
Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan kegiatannya, aset bank umum konvensional (pangsa 94,19%) pada triwulan I-2016 tercatat mengalami kontraksi sebesar 7,37% (yoy) dengan nilai mencapai Rp79,61 triliun. Namun berbeda dengan kinerja bank umum syariah (pangsa 5,81%), dimana ditengah perlambatan pertumbuhan aset bank umum konvensional, kinerja bank umum syariah masih tercatat cukup baik
45
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
dengan aset yang tumbuh sebesar 6,84% (yoy) dengan nilai mencapai Rp4,91 triliun, dibanding dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 6,19% (yoy).
2.2. Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) Penghimpunan DPK oleh bank umum di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 tercatat mengalami kontraksi sebesar 5,92% (yoy). Penurunan kinerja tersebut melanjutkan perlambatan pertumbuhan DPK yang terjadi mulai triwulan I sampai dengan triwulan IV 2015. Terkontraksinya DPK pada triwulan laporan bersumber dari Deposito (pangsa 35,13%) yang terkontraksi lebih dalam yaitu dari tumbuh 0,56% (yoy) di triwulan IV-2015 menjadi kontraksi sebesar 9,45% (yoy) di triwulan I-2016, dan komponen Giro (pangsa 19,03%) mengalami kontraksi sebesar 21,17% (yoy), sedikit membaik dibanding triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 28,05% (yoy). Sementara itu komponen Tabungan (pangsa 45,85%) mengalami peningkatan walaupun belum signifikan yaitu tumbuh 5,56% (yoy) pada triwulan IV2015 menjadi 5,73% (yoy) di Triwulan I-2016.
80 70 60 50 40 30 20 10
Grafik 3.6. Pertumbuhan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan
35
80
30
60
25 20 15 10
5 I
II III IV 2013
DPK
I
II III IV
I
2014 Giro
Sumber : Bank Indonesia
Tabungan
II III IV 2015
Persen (%)
RpTriliun
Grafik 3.5. Perkembangan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan
40 20 0
I
-20
2016
-40
Deposito
I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
2012
2013
2014
2015
Giro
Tabungan
Deposito
2016
DPK
S Sumber : Bank Indonesia
Deposito yang terkontraksi lebih dalam disebabkan oleh Deposito milik Badan Usaha Milik Negara yang terkontraksi cukup signifikan yaitu dari tumbuh 6,15% (yoy) di triwulan IV-2015 menjadi kontraksi sebesar 49,21% (yoy) di triwulan I-2016. Kondisi ini menunjukkan Badan Usaha Milik Negara melakukan penarikan sejumlah dana yang disimpan dalam bentuk deposito. Sementara itu membaiknya pertumbuhan Giro disebabkan oleh tumbuhnya Giro sektor Swasta sebesar 7,17% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 4,09% dan membaiknya pertumbuhan giro pemerintah daerah yang pada triwulan sebelumnya mengalami kontraksi sebesar 54,44% (yoy), membaik pada triwulan I-2016 dengan
46
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
mengalami kontraksi sebesar 44,81% (yoy). Terjadinya kontraksi giro pemerintah daerah pada triwulan IV-2015 dan triwulan I-2016 merupakan efek dari diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan No.235/PMK.07/2015 perihal Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau Dana Alokasi Umum Dalam Bentuk Non Tunai dimana sejak PMK tersebut diberlakukan, Dana Bagi Hasil (DBH) atau Dana Alokasi Umum (DAU) yang selama ini disalurkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana tunai berubah kedalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Di sisi lain, Tabungan menunjukkan tren pertumbuhan dari triwulan I-2015 hingga triwulan I-2016 meskipun pertumbuhan di triwulan laporan relatif belum signifikan. Kondisi ini mencerminkan masih cukup rendahnya daya beli masyarakat dan ekspektasi kondisi perekonomian yang masih rendah sehingga masyarakat cenderung berjaga-jaga menyimpan dananya dalam bentuk tabungan di perbankan. Tabel 3.2. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (RpMiliar) RpMiliar Pemerintah Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Badan/ Lembaga Pemerintah Badan Usaha Milik Negara Badan Usaha Milik Daerah Swasta Perusahaan Asuransi Perusahaan Swasta Yayasan dan Badan Sosial Koperasi Lainnya Perorangan
2014 10.846 245 8.987 56 1.485 72 9.313 119 8.241 767 186 3 43.981
2015 I 16.103 291 13.832 106 1.820 53 8.093 84 7.001 793 214 3 42.326
II
III
IV
17.859 294 15.818 102 1.602 43 9.256 67 8.189 783 218 3 43.302
16.726 335 14.341 114 1.768 168 8.165 80 7.051 820 214 3 44.295
6.254 360 4.094 130 1.525 144 9.133 85 7.836 922 290 2 46.661
2016
g - yoy
9.396
-41,65
431 7.634 165 1.038 129 7.734 82 6.561 848 242 3 45.455
47,92 -44,81 55,07 -42,99 143,71 -4,43 -2,04 -6,29 6,98 13,04 -3,99 7,39
Sumber : Bank Indonesia
2.3. Perkembangan Penyaluran Kredit Pada triwulan I 2016, kredit yang disalurkan oleh bank umum di Provinsi Riau tercatat sebesar Rp56,25 triliun. Jumlah ini tumbuh sebesar 7,35% (yoy), sedikit turun jika dibandingkan dengan triwulan IV 2015 yang tumbuh sebesar 8,14%(yoy). Penurunan penyaluran kredit menunjukkan masih terbatasnya permintaan kredit pada triwulan laporan.
47
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.7. Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan
Grafik 3.8. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan
60
40
Persen (%)
Rp Triliun
50
30 20
10 0 I
II
III
IV
I
II
2013
III
IV
I
II
2014
Modal kerja
Investasi
III
IV
I
2015
Konsumsi
Produktif
35 30 25 20 15 10 5 0 -5 -10
I
II
2016
Total
Sumber : Bank Indonesia
III
IV
I
II
2013
III
IV
I
II
2014
III
IV
I
2015
Modal kerja
Investasi
Produktif
Total
2016
Konsumsi
S Sumber : Bank Indonesia
Melambatnya penyaluran kredit pada triwulan I-2016 bersumber dari melambatnya penyaluran kredit pada sektor pemerintah yang tumbuh sebesar 13,65% (yoy) lebih rendah jika dibandingkan triwulan IV-2015 sebesar 15,15 (yoy). Perlambatan kredit yang lebih dalam tertahan oleh membaiknya penyaluran kredit di sektor swasta yang mengalami kenaikan walaupun masih mengalami kontraksi sebesar 4,50% (yoy) pada triwulan laporan, namun masih sedikit lebih baik jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 4,55% (yoy). Sementara itu melambatnya pertumbuhan kredit menurut jenis penggunaannya bersumber dari melambatnya kredit investasi (pangsa 30,58%) yaitu dari 5,17% (yoy) di triwulan IV 2015 menjadi 2,91% (yoy) di triwulan I-2016 dengan nilai mencapai Rp21.56 triliun. Diikuti dengan melambatnya kredit konsumsi (pangsa 38,33%) yaitu dari 10,65% (yoy) di triwulan IV-2015 menjadi 9,97% (yoy) di triwulan I-2016 dengan nilai mencapai Rp21,56 triliun. Berdasarkan kondisi tersebut, maka penyaluran kredit produktif di triwulan IV-2015 mencapai Rp34,69 triliun atau tumbuh sebesar 5,78% (yoy). Grafik 3.9. Perkembangan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta
Grafik 3.10. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta
Rptriliun 60
3
50 40
2
30 20
1
10 0
0 I
II
III
2013 Pemerintah
IV
I
II
III
IV
I
2014 Swasta
Sumber : Bank Indonesia
II
III
2015 Rupiah
IV
25
30
20
20
15
10
10
0
5
I
-5
2016
-10
Valas (kanan)
-10
0
-20 I
II
III
2013 Pemerintah
IV
I
II
III
IV
I
2014 Swasta
II
III
2015 Rupiah
IV
I
2016
-30 -40
Valas (kanan)
S Sumber : Bank Indonesia
48
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Berdasarkan valutanya penyaluran kredit masih didominasi oleh mata uang rupiah yaitu mencapai Rp55,35 triliun, tumbuh 7,99% (yoy) walaupun relatif menurun jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 8,55% (yoy). Sejalan dengan itu, pemberian kredit mata uang asing mengalami kontraksi cukup dalam sebesar 21,52% (yoy) jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang terkontraksi sebesar 10,16% (yoy).
3. Intermediasi dan Risiko Perbankan Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, namun masih lebih baik jika dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Menurunnya fungsi intermediasi tercermin dari nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) yaitu sebesar 89,88% yang sebelumnya di triwulan IV-2015 tercatat sebesar 91,12%. Namun demikian, nilai LDR tersebut masih dibawah 100% yang menunjukkan bahwa risiko likuiditas pada kondisi yang masih terjaga dan adanya sikap kehati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit. Grafik 3.11. Perkembangan LDR di Provinsi Riau 80
94 92 90 88 86 84 82 80 78 76 74
70
60 50 40 30
20 10 I
II
III
IV
2013
I
II
III
2014
DPK
Kredit
IV
I
II
III
2015
IV
I 2016
LDR (kanan)
Sumber : Bank Indonesia
NPL kredit bank umum pada periode laporan menunjukkan peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 3,71% menjadi 4,07%. Tingkat NPL kredit bank umum yang meningkat menunjukkan trend penurunan kualitas kredit yang disalurkan bank umum di Provinsi Riau dalam kurun 3 bulan terakhir. Meskipun memburuknya kualitas kredit di Provinsi Riau masih berada di bawah batas kewajaran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (5%) namun perlu menjadi perhatian oleh perbankan, mengingat kecenderungan NPL yang semakin meningkat.
49
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
RpTriliun
Grafik 3.12. Perkembangan Non Performing Loan (NPL) di Provinsi Riau 1,80 1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 -
Grafik 3.13. Perkembangan NPL Sektoral di Provinsi Riau Triwulan I-2016
5
9,48
3
%
4
2 1 I
II
III IV
I
2013 0
II
III IV
I
2014
2
4
6
Kurang lancar
II
III IV
2015 8
Diragukan
10
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Macet
2,33
1,09
1,04
0,64
14 NPL (kanan)
S Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.15. Growth NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Triwulan I-2016 80
21,99
60,46 60
7,59 3,11
Pengangkutan, pergudangan
40 37,32
Perdagangan, resto dan hotel
28,62
23,93
20
2,84
7,18
Konstruksi
0
Listrik, gas dan air 0,06 Perindustrian 1,10
-20
Pertambangan 0,17
-40 -60
0
5
10
1,79
-0,16
-13,39 -30,63 -42,71
21,47
Pertanian
4,62
2016 12
Grafik 3.14. Pangsa NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Triwulan I-2016
Jasa
4,87
I
Sumber : Bank Indonesia
Lainnya
7,01 3,92
15
20
25
30
35
Sumber : Bank Indonesia
40
Axis Title
S Sumber : Bank Indonesia
Dilihat dari sektor ekonominya, NPL tertinggi masih dialami oleh sektor konstruksi yaitu sebesar 9,48%, meningkat dibandingkan triwulan IV 2015 yang sebesar 8,67%. Beberapa sektor lain yang memilki NPL cukup tinggi pada periode laporan ini adalah sektor perdagangan sebesar 7,01% dan sektor pengangkutan 4,87%. Pada kedua sektor tersebut angka NPL juga tercatat menunjukkan peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Rata-rata harga TBS dan CPO dunia masing-masing sebesar Rp1.387/kg dan 579 USD/MT, membaik dibandingkan triwulan IV-2015 masing-masing sebesar Rp1.190/kg dan 504 USD/MT. Di sisi lain, harga karet di triwulan I-2016 sebesar 1,40 USD/kg lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV-2015 sebesar 1,56 USD/kg.
50
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.16. Perkembangan Harga TBS dan CPO Dunia 2.000 1.800 1.600 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200 -
900
Grafik 3.17. Perkembangan Harga Karet Dunia 3,29 3,09
800
2,73
700
2,67 2,44
600
2,37
2,20 1,93
500
1,83
1,96
1,79
400
1,56
300
1,40
200 100 I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
TBS (Rp/Kg)
IV
I
II
III
2015
IV
I 2016
CPO (USD/MT)
I
II
III
IV
I
II
2013
III 2014
IV
I
II
III 2015
IV
I 2016
Sumber : Bloomberg dan Disbun Provinsi Riau S Sumber : Bloomberg
4. Stabilitas Sistem Keuangan 4.1. Ketahanan Sektor Korporasi Daerah Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan I 2016 masih didominasi oleh sektor pertanian dan perdagangan yang memiliki pangsa masing-masing 22,30% dan 21,65% dengan nilai kredit masing-masing sebesar Rp12,54 triliun dan Rp12,18 triliun. Tingginya penyerapan kredit pada sektor tersebut tidak terlepas dari masih prospektifnya sektor tersebut di Provinsi Riau. Penyaluran kredit kepada sektor pertanian masih didominasi oleh subsektor perkebunan kelapa sawit dengan pangsa 92,37%dari total kredit sektor pertanian atau sebesar Rp11,59 triliun. Sedangkan subsektor perdagangan didominasi oleh subsektor perdagangan eceran makanan, minuman dan tembakau dengan pangsa 19,87% dari total kredit sektor perdagangan atu sebesar Rp2,42 triliun. Penyaluran kredit kepada sektor pertanian melambat dari 10,88% (yoy) pada TWIV-2015 menjadi 9,57% (yoy) pada TWI-2016 berbeda dengan sektor perdagangan yang tumbuh dari 7,39% (yoy) menjadi 8,71% (yoy).
51
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Tabel 3.3. Kredit Lokasi Bank Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (RpTriliun) RpTriliun
2015
2014
Pertanian
I
II
III
2016
IV
11,39
11,45
11,87
12,14
12,62
Pertambangan
0,38
0,39
0,50
0,42
0,45
Perindustrian
2,03
2,14
2,26
2,28
2,31
Listrik, gas dan air
0,12
0,11
0,10
0,11
0,22
Konstruksi
1,78
1,76
1,88
2,14
1,90
Perdag, resto dan hotel
11,21
11,20
11,47
11,48
12,04
Pengangkutan, pergud
1,59
1,62
1,57
1,55
1,51
Jasa Lainnya Total
4,30
4,08
4,24
4,08
4,05
19,48 52,28
19,65 52,40
20,11 54,01
20,74 54,95
21,43 56,54
Pangsa
12,54 0,36 2,43 0,21 1,73 12,18 1,46 3,76 21,58 56,25
g - yoy
22,30
9,57
0,64
(8,28)
4,32
13,42
0,37
83,88
3,08
(1,32)
21,65
8,71
2,60
(9,62)
6,68
(7,89)
38,36 100,00
9,82 7,35
Sumber : Bank Indonesia
Disisi lain, meningkatnya penyaluran kredit sektor perdagangan utamanya didorong oleh peningkatan subsektor perdagangan eceran komoditi lainnya (bukan makanan, minuman dan tembakau) (pangsa 5,98% dari kredit sektor perdagangan) dari 7,93% (yoy) di triwulan IV-2015 menjadi 13,06% (yoy) di triwulan I-2016. Grafik 3.18. Growth Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016
Grafik 3.19. Pangsa Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016
20 15
Hotel bintang
14,91
13,47
8,48
13,06 Perdagangan eceran bahan konstruksi
5,21
Persen (%)
10
3,18
5
1,60
0
5,98
Perdagangan kelapa dan kelapa sawit
5,23
Perdagangan eceran didominasi makanan..
19,87
-1,09
-5
Perkebunan karet dan getah lainnya
-10 -15
Perdagangan eceran komoditi lainnya..
3,07
Perkebunan kelapa sawit
92,37
0
-14,01
40
60
80
100
Persen %
-20
Sumber : Bank Indonesia
20
S Sumber : Bank Indonesia
4.2. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah Pertumbuhan kredit konsumsi di triwulan I-2016 melambat jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Namun masih lebih baik jika dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya.
52
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Rp Triliun
7 6 5
4 3 2 1 0 I
II
III
IV
I
II
2013
III
IV
I
2014
II
III
IV
400 300 200 100 0 I
II
III
IV
I
II
2013
2016
III
IV
I
II
2014
III
IV
2015
Kendaraan
g - yoy (kanan)
I 2016
g - yoy (kanan)
S Sumber : Bank Indonesia
Sumber : Bank Indonesia
Melambatnya
25 20 15 10 5 0 -5 -10 -15 -20 -25
500
I
2015
Perumahan
600
Rp. Miliar
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 -2
8
Persen (%)
9
Grafik 3.21. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor
Persen (%)
Grafik 3.20. Perkembangan Kredit Perumahan
pertumbuhan
kredit
konsumsi
tercermin
dari
melambatnya
pertumbuhan kredit perumahan dan kredit kendaraan bermotor di Provinsi Riau. Pada triwulan I-2016, kredit perumahan tercatat sebesar Rp7,77 triliun, menurun dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yaitu dari 8,33% (yoy) menjadi 5,22% (yoy). Hal ini bersumber dari penurunan kredit rumah tangga kepemilikan rumah tinggal tipe 22 s.d 70 sebesar 14,55% (yoy) dan kredit Ruko atau Rumah Toko yang terkontraksi lebih dalam dari triwulan sebelumnya yaitu dari 2,44% (yoy) menjadi 8,26% (yoy). Menurunnya realisasi kredit perumahan pada triwulan laporan diperkirakan didorong masih rendahnya permintaan kredit di awal tahun. Grafik 3.22. Perkembangan Kredit Multiguna 14
50
60
200
50
150
40
100
30
50
20
0
10
-50
8
30 25
6
20 15
4
10
2
Rp Miliar
35
Persen (%)
40
10
Persen (%)
45
12
Rp. Triliun
Grafik 3.23. Perkembangan Kredit Durable Goods
5
0
0 I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014 Multiguna
Sumber : Bank Indonesia
IV
I
II
III
2015 g - yoy (kanan)
IV
I 2016
0
-100 I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014 Durable goods
IV
I
II
III
2015
IV
I 2016
g - yoy (kanan)
S Sumber : Bank Indonesia
Sementara kredit kendaraan bermotor pada triwulan I-2016 tercatat sebesar Rp373,33 miliar, mengalami kontraksi yang lebih dalam jika dibandingkan triwulan sebelumnya yakni kontraksi 6,21% (yoy) menjadi 12,05% (yoy). Melambatnya pertumbuhan di sektor kendaraan bermotor bersumber dari menurunnya kredit kendaraan roda empat yang mengalami kontraksi lebih dalam dari kontraksi
53
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
triwulan sebelumnya yaitu 5,71% (yoy) menjadi 12,73% (yoy). Perlambatan kredit konsumsi sedikit tertahan oleh kredit durable goods yang mengalami peningkatan yang signifikan yaitu dari 128,46% (yoy) di triwulan IV-2015 menjadi 182,40% (yoy) di triwulan I-2016 dengan nilai mencapai Rp55,60 miliar. Meningkatnya kredit durable goods sejalan dengan kredit multiguna yang pertumbuhannya meningkat dibanding triwulan sebelumnya yaitu dari 11,99% (yoy) menjadi 12,62% (yoy) dengan nilai kredit sebesar Rp12,70 triliun.
4.3. Ketahanan Sektor UMKM Total kredit yang disalurkan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) oleh bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp19,91 triliun pada triwulan I
2016,
meningkat 0,48% (yoy) jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 0,74%. Porsi kredit yang diserap UMKM dari total kredit yang diberikan bank umum di Provinsi Riau juga mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 35,17% menjadi 35,39%. Penyaluran kredit skala usaha mikro memiliki pertumbuhan tertinggi pada triwulan I 2016 yaitu sebesar 6,86% (yoy), diikuti oleh kredit skala usaha kecil yang memiliki pangsa terbesar kredit UMKM Riau (39,14%) pada triwulan 1 2016 dengan pertumbuhan sebesar 4,74% (yoy), sementara kredit skala usaha menengah mengalami kontraksi sebesar 9,15%, lebih dalam dari kontraksi pada triwulan sebelumnya yakni sebesar 7,72%.
25
25
20
20 15
15
10 10
5
5
Grafik 3.25. Pangsa Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha
Persen (%)
Rp Triliun
Grafik 3.24. Perkembangan dan Pertumbuhan Kredit UMKM
Mikro 29%
Menengah 32%
0
0
-5 I
II III IV 2013
I
II III IV 2014
Kredit UMKM
Sumber : Bank Indonesia
I
II III IV 2015
I 2016
g - yoy (kanan)
Kecil 39%
S Sumber : Bank Indonesia
Jika dilihat porsinya, kredit UMKM lebih banyak disalurkan pada usaha kecil sebesar Rp7,79 triliun (pangsa 39,14%), kemudian diikuti oleh kredit usaha menengah
54
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
(pangsa 31,54%) dan kredit usaha mikro (pangsa 29,32%) masing-masing sebesar Rp6,28 triliun dan Rp5,84 triliun. Tabel 3.4. Kredit UMKM di Provinsi Riau TwIV-2015 Menurut Sektor Ekonomi (RpMiliar) RpMiliar
2015
2014
Tw I 2016
I
II
III
IV
6.589
6.658
6.956
6.952
6.772
Pertambangan
128
158
186
150
161
Perindustrian
393
466
391
390
432
Listrik, gas dan air
113
107
99
105
38
Konstruksi
1.137
1.060
1.060
1.023
1.046
Perdagangan
8.639
8.456
8.634
8.563
8.831
749
719
708
662
640
2.199
2.166
2.168
2.041
1.945
86
21
12
9
20
20.033
19.810
20.212
19.894
19.885
Pertanian
Pengangkutan Jasa Lainnya Total
6.693 92 415 89 1.078 9.056 580 1.888 17
Tw I 2016 pangsa
g. yoy
33,62
0,52
0,46
-41,72
2,08
-10,94
0,45
-17,25
5,41
1,71
45,49
7,09
2,91
-19,31
9,48
-12,84
0,08
19.905
-21,42
100
0,48
Sumber : Bank Indonesia
Secara sektoral, penyerapan kredit UMKM yang disalurkan oleh bank umum di Provinsi Riau masih didominasi oleh sektor perdagangan (pangsa 45,49%) dan pertanian (pangsa 33,62%). Pada triwulan I-2016, kredit UMKM yang disalurkan ke sektor perdagangan mencapai Rp9,05 triliun atau tumbuh sebesar 7,09% (yoy) di triwulan I-2016, lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 2,23% (yoy). Sementara itu, kredit UMKM yang disalurkan ke sektor pertanian mencapai Rp6,69 triliun atau tumbuh melambat 0,52% (yoy) dari 2,77% (yoy). Grafik 3.26. Perkembangan NPL Kredit UMKM 25
9 8
20
12
7 6
15
5 4
10
3 2
5
1 0
0 I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Kredit UMKM
Sumber : Bank Indonesia
IV
I
II
III
2015
IV
10,56
10
Persen (%)
Rp Triliun
Grafik 3.27. NPL Sektoral UMKM Triwulan IV-2015 (%)
8 6
8,26 6,68
7,80 6,06
6,00
4,64
3,78
4 2
1,49
0
I 2016
NPL (kanan)
S Sumber : Bank Indonesia
NPL UMKM tercatat mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yaitu dari 6,76% menjadi 7,65%. Masih tingginya NPL tersebut didorong oleh NPL sektor konstruksi dan sektor perdagangan yang tercatat cukup tinggi yaitu masingmasing sebesar 10,56% dan 8,26%. Masih tingginya NPL kedua sektor tersebut
55
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
sejalan dengan masih rendahnya daya beli masyarakat sehingga berpengaruh terhadap kemampuan membayar hutang jatuh tempo. Di sisi lain, angka NPL tersebut telah jauh melampaui batas aman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yaitu sebesar 5%. Oleh karena itu, perlu menjadi perhatian serius perbankan untuk semakin meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit UMKM.
5. Perkembangan Perbankan Syariah Kinerja perbankan syariah di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 tercatat membaik dibandingkan triwulan sebelumnya.
Kondisi ini tercermin dari meningkatnya
pertumbuhan aset, DPK dan pembiayaan dibandingkan triwulan IV-2015. Aset perbankan syariah tercatat sebesar Rp4,93 triliun meningkat sebesar 6,78% (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan triwulan IV-2015 yang tumbuh sebesar 6,16% (yoy). Sementara, dana yang dihimpun oleh perbankan syariah tercatat sebesar Rp3,82 triliun atau tumbuh 12,18% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 10,90% (yoy). Peningkatan DPK perbankan syariah didorong oleh meningkatnya jenis simpanan tabungan (pangsa 53,74%) dibandingkan triwulan III2015. Tabungan meningkat dari 0,49% menjadi 5,45% (yoy). Sementara pertumbuhan giro (pangsa 10,67%) dan Deposito (pangsa 35,39%) masing-masing tumbuh melambat dari 42,15% (yoy) menjadi 19,16% (yoy) dan dari 22,72% (yoy) menjadi 21,79% (yoy).
5,60 5,40 5,20 5,00 4,80 4,60 4,40 4,20
Grafik 3.29. Perkembangan DPK Perbankan Syariah Menurut Jenis Simpanan
40 20 10 0 -10 -20 I II III IV I II III IV I II III IV I 2013
2014 Aset
Sumber : Bank Indonesia
2015 g - yoy (kanan)
2016
Rp Miliar
30 Persen (%)
Rp Triliun
Grafik 3.28. Perkembangan Aset Perbankan Syariah
9.000 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 -
I
II
III IV
I
2013 Giro
Tabungan
II
III IV
2014 Deposito
I
II III IV 2015
I 2016
Total
S Sumber : Bank Indonesia
56
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
2.000 1.800 1.600 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200 -
Grafik 3.31. Penyaluran Pembiayaan Perbankan Syariah Secara Sektoral
4.000 3.500 2.500 2.000
1.500
RpMiliar
3.000
Rp Miliar
Rp Miliar
Grafik 3.30. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah Menurut Penggunaan
1.000 500 I
II
III IV
2013
Modal Kerja
I
II
III IV
2014
Investasi
I
II
III IV
2015
Konsumsi
I 2016
Total Kanan
Sumber : Bank Indonesia S Sumber : Bank Indonesia
Sementara disisi pembiayaan, perbankan syariah pada triwulan I-2016 tercatat sebesar Rp3,66 triliun meningkat dibandingkan triwulan IV-2015 dari tumbuh 2,32% (yoy) menjadi 6,22% (yoy). Meningkatnya pembiayaan perbankan syariah didorong oleh peningkatan pembiayaan konsumsi (pangsa 50,67%) dan modal kerja (pangsa 20,20% (yoy). Pembiayaan konsumsi meningkat dari 7,22% menjadi 11,63% (yoy) dan pembiayaan modal kerja mengalami perbaikan yang pada triwulan sebelumnya kontraksi sebesar 17,98%, pada triwulan I 2016 mengalami kontraksi sebesar 9,38%. Secara sektoral, pembiayaan perbankan syariah masih terkonsentrasi pada sektor pertanian (pangsa 14,08%) dan perdagangan (pangsa 12,58%). Pembiayaan sektor pertanian dan perdagangan pada triwulan IV-2015 masing-masing tercatat sebesar Rp513 miliar dan Rp458 miliar mengalami peningkatan dibandingkan triwulan III-2015. Pembiayaan sektor pertanian meningkat dari tumbuh sebesar 7,80% menjadi 18,87% (yoy), sementara pembiayaan sektor perdagangan meningkat dari 12,32% (yoy) menjadi 16,12% (yoy).
57
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.32. Perkembangan NPL Perbankan Syariah 250 200
Grafik 3.33. Perkembangan FDR Perbankan Syariah 7
4.500
6
4.000
5
3.000
4
2.500
100
3
2.000
2
0 I
II
III
IV
I
2013
II
III
IV
I
2014 Nominal
II
III
IV
2015
100
3.500
150
50
105
95 90
1.500
85
1.000
1
500
0
-
80 75 I
I
II
III
IV
I
II
2013
2016
Sumber : Bank Indonesia
IV
I
II
2014
DPK
NPL (kanan)
III
III
IV
2015
Pembiayaan
I
2016
FDR (Kanan)
S Sumber : Bank Indonesia
Selanjutnya, kualitas pembiayaan oleh perbankan syariah pada triwulan laporan tercatat membaik, hal ini tercermin dari menurunnya NPF yaitu dari 5,70% di triwulan IV-2015 menjadi 5,53% di triwulan I-2016. Namun demikian, perbankan syariah tetap perlu meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran pembiayaan. Di sisi lain, FDR perbankan syariah tercatat sebesar 95,80% yang menunjukkan bahwa risiko likuiditas berada pada kondisi yang masih terjaga.
6. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S) Aset BPR/S di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 tercatat sebesar Rp1,24 triliun, melambat dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yaitu dari 5,87% menjadi 4,82% (yoy). Sementara, DPK BPR/S pada triwulan I-2016 tercatat sebesar Rp895 miliar, tumbuh 5,64% (yoy) atau melambat dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yang tumbuh sebesar 5,64% (yoy). Melambatnya DPK BPR/S didorong oleh perlambatan Deposito (pangsa 61,14%) dari 16,64% menjadi 13,35% (yoy), serta terkontraksinya Tabungan (pangsa 38,86%) lebih dalam sebesar 4,57% (yoy). Grafik 3.34. Perkembangan Aset BPR/S 1400
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
1200 1000 800 600 400
200 0 I
II
III
IV
I
2013
II
III
2014 Aset
Sumber : Bank Indonesia
IV
I
II
III
2015 g - yoy (kanan)
IV
I 2016
Grafik 3.35. Perkembangan DPK BPR/S 600
1.000
500
800
400
600
300 400
200
200
100 -
I
II
III
IV
2013 Tabungan
I
II
III
IV
2014 Deposito
I
II
III
2015
IV
I
2016
DPK (kanan)
S Sumber : Bank Indonesia
58
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
1.000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 -
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 I
II
III
IV
I
II
2013
III
IV
I
II
2014 Kredit
III
IV
2015
Grafik 3.37. Penyaluran Kredit Sektoral 343
350 300
259 233
250
Rp Miliar
Grafik 3.36. Perkembangan Kredit BPR/S
200 150 100 50
5
1
39
22
13
3
-
I
2016
g - yoy (kanan)
Sumber : Bank Indonesia
S Sumber : Bank Indonesia
Perlambatan juga terjadi dari sisi penyaluran kredit, pada triwulan I-2016 kredit yang disalurkan oleh BPR/S tercatat sebesar Rp917 miliar atau tumbuh 6,08% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan IV-2015 yang sebesar 8,49% (yoy). Melambatnya penyaluran kredit utamanya bersumber dari perlambatan sektor pertanian (pangsa 28,22%) dari 0,77% (yoy) di triwulan IV-2015 menjadi mengalami kontraksi sebesar 1,82% (yoy) di triwulan I-2016. Sementara penyaluran kredit ke sektor perdagangan (pangsa 25,37%) tercatat tumbuh melambat dari sebesar 14,93% (yoy) di triwulan IV2015 menjadi 12,78% (yoy) pada triwulan I 2016. Melambatnya pertumbuhan kredit yang disalurkan oleh BPR/S tercermin pula dari kualitas kredit yang tercatat memburuk yakni sebesar 14,08% pada triwulan I 2016, dibandingkan dengan triwulan III-2015 yang tercatat sebesar 12,92%. Selain itu, risiko likuiditas BPR/S juga perlu menjadi perhatian dimana angka LDR BPR/S pada triiwulan IV2015 mencapai 102,40% yang menunjukkan bahwa DPK BPR/S tidak dapat menutupi jumlah kredit yang disalurkan. Grafik 3.38. Perkembangan NPL BPR/S 140
18 16
120
14 100
12
Grafik 3.39. Perkembangan LDR BPR/S 112 110 108
80
10
106
60
8
104
6
40
102
4 20
2
-
0 I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014 Nominal
Sumber : Bank Indonesia
IV
I
II
III
2015 NPL (kanan)
IV
I 2016
100 98 96 I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
IV
I
II
III
2015
IV
I 2016
S Sumber : Bank Indonesia
59
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
7. Perkembangan Transaksi Pembayaran 7.1. Kondisi Umum Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan I 2016 mengalami net inflow, tidak jauh berbeda dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Hal ini utamanya didorong oleh penurunan outflow dan peningkatan inflow. Menurunnya outflow Riau pada triwulan laporan diperkirakan karena masih minimnya realisasi anggaran di awal tahun. Di sisi lain, transaksi non tunai melalui kliring mengalami peningkatan baik dari sisi nominal maupun volume.
7.2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai 7.2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow
Outflow)
Pada triwulan laporan, terjadi peningkatan sisi inflow dari Rp1,22 triliun menjadi Rp2,43 triliun atau meningkat dibanding triwulan sebelumnya sebesar 98,85% (qtq). Sementara itu sesuai dengan historisnya, jumlah outflow pada triwulan I 2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu Rp4,63 triliun menjadi Rp1,56 triliun atau turun 66,17% (qtq). Penurunan jumlah outflow merupakan kondisi musiman dimana setelah pada triwulan sebelumnya terjadi permintaan yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada hari besar keagamaan dan tahun baru. Tingginya peningkatan inflow dan rendahnya jumlah outflow pada triwulan laporan telah mendorong terjadinya net inflow sebesar Rp868 miliar. Relatif rendahnya jumlah outflow dalam kurun 1 (satu) triwulan diperkirakan karena minimnya realisasi APBD pada triwulan I 2016. Grafik 3.40. Perkembangan Inflow dan Outflow di Provinsi Riau 6.000
Grafik 3.41. Perkembangan Inflow dan Outflow Bulanan Triwulan I-2016
6.000 5.000
5.000
2.435
4.000
3.000
3.000
2.500
2.000 1.000
2.000
1.000
(1.000)
-
(2.000) I
II
III IV
I
II
III IV
2013
2014
Inflow
Outflow
Sumber : Bank Indonesia
I
II
III IV
2015
I 2016
Net Outlflow
1566
2.000 1.500
Rp. Miliar
Rp Miliar
4.000
1.000 500 (500)
Inflow
Outflow
Net Outflow (868)
(1.000)
S Sumber : Bank Indonesia
60
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
7.2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar Sebagai salah satu bentuk upaya Bank Indonesia dalam memenuhi uang kartal layak edar (fit for circulation) kepada masyarakat, maka secara berkala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau melakukan kegiatan pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE). Uang tidak layak edar tersebut diterima dari setoran bank maupun penukaran uang dari masyarakat.
3.000
400 350 300 250 200 150 100 50 0 -50 -100 -150
2.500
Rp Miliar
2.000 1.500 1.000 500
-
Persen (%)
Grafik 3.42. Perkembangan UTLE yang Dimusnahkan
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I 2012
2013
UTLE
Inflow
2014 Rasio
2015
2016 g - yoy
Sumber : Bank Indonesia
Jumlah UTLE yang dimusnahkan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau pada triwulan I-2016 tercatat sebesar Rp770 miliar meningkat dibanding triwulan sebelumnya sebesar 146% (qtq) dengan rasio UTLE terhadap inflow sebesar 31,63%. Meningkatnya pemusnahan uang tidak layak edar pada triwulan I - 2016 sejalan dengan meningkatnya jumlah inflow pada triwulan laporan sejalan dengan kebijakan clean money policy Bank Indonesia.
7.2.3. Uang Rupiah Tidak Asli Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengidentifikasi keaslian uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara rutin melakukan sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat termasuk kalangan perbankan melalui prinsip 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang). Dengan adanya sosialisasi ciri keaslian uang rupiah, masyarakat diharapkan terhindar dari penyebaran uang rupiah tidak asli. Jumlah uang rupiah tidak asli yang ditemukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau pada triwulan I-2016 tercatat meningkat dibandingkan dengan triwulan IV-2015. Pada triwulan laporan, jumlah uang rupiah
61
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
tidak asli sebanyak 369 lembar, sementara pada triwulan sebelumnya sebanyak 132 lembar. Grafik 3.43. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau 600
600 500
500
Lembar
300
300
100
200
369
346
100 0
200
543
84 89 94 86 100 I
II
III IV
179
I
0 -100
126 132
-200 II
2012
125 106 104 87 123
202
Persen (%)
400
400
III IV
I
2013
II
III IV
2014
Uang Rupiah Tidak Asli
I
II
III IV
2015
I 2016
g - yoy (kanan)
Sumber : Bank Indonesia
Uang rupiah tidak asli yang dikonfirmasi oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau terdiri dari 143 lembar menyerupai pecahan Rp100 ribu, 211 lembar menyerupai pecahan Rp50 ribu dan 15 lembar menyerupai pecahan Rp20 ribu. Penemuan tersebut berdasarkan permintaan klarifikasi perbankan dan masyarakat serta setoran bank-bank ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau. Selanjutnya,
dalam
upaya
meningkatkan
kesadaran
masyarakat
dalam
mengidentifikasi keaslian uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara rutin melakukan sosialisasi keaslian uang rupiah kepada masyarakat termasuk kalangan perbankan melalui prinsip 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang).
7.3. PERKEMBANGAN TRANSAKSI PEMBAYARAN NON TUNAI 7.3.1. Transaksi Kliring Transaksi pembayaran dengan kliring pada triwulan I 2016 tercatat meningkat baik dari segi nominal transaksi maupun jumlah warkat yang digunakan. Nilai transaksi kliring pada triwulan I 2016 tercatat sebesar Rp7,367 triliun dengan volume transaksi mencapai 223.872 lembar, meningkat sedikit jika dibandingkan dengan triwulan IV 2015 yang nilainya tercatat sebesar Rp7,366 triliun dengan volume transaksi 206.110 lembar. Meskipun terjadi kenaikan transaksi pembayaran dengan kliring baik dari segi nominal transaksi maupun jumlah warkat yang digunakan, namun nilai rata-rata
62
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
transaksi per warkat tercatat menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari Rp35,74 juta menjadi Rp32,90 juta per warkat.
Warkat
250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 I
II III IV I 2012
II III IV I 2013 Warkat
Sumber : Bank Indonesia
II III IV I
II III IV I
2014
2015
yoy - lembar
2016
10.000
40
9.000
30
8.000
Rp. Miliar
10 5 0 -5 -10 -15 -20 -25 -30 -35 -40 -45
300.000
Persen (%)
350.000
Grafik 3.45. Perkembangan Nilai Transaksi Kliring di Provinsi Riau
7.000
20
6.000
10
5.000 4.000
0
3.000
-10
2.000
Persen (%)
Grafik 3.44. Perkembangan Volume Transaksi Kliring di Provinsi Riau
-20
1.000 -
-30 I
II III IV
2012
I
II III IV
I
2013 Nominal
II III IV
I
2014
II III IV
2015
I
2016
yoy - nominal
S Sumber : Bank Indonesia
63
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
Bab 4 KONDISI KEUANGAN DAERAH
1. Kondisi Umum Perkembangan Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau pada awal tahun 2016 secara umum meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hingga triwulan I 2016 Anggaran Pendapatan Daerah telah terealisasi sebesar 22,74% dari total yang dianggarkan, sementara itu realisasi Anggaran Belanja Daerah masih sangat terbatas yaitu mencapai 4,61% dari total yang dianggarkan.
64
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
2. Realisasi APBD Triwulan I 2016 Alokasi anggaran pendapatan daerah Provinsi Riau pada tahun 2016 secara umum mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015. Dari sisi pendapatan, APBD Provinsi Riau tercatat menurun sebesar 13% (yoy), yaitu dari Rp8,7 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp7,6 triliun pada 2016. Kondisi ini didorong oleh penurunan ratarata harga minyak internasional yaitu dari USD 48,68/barel di tahun 2015 menjadi USD 34,27/ barel di tahun 2016. Penurunan harga minyak dunia tersebut berdampak terhadap penurunan Dana Bagi Hasil Provinsi Riau hingga 65% (yoy), disamping karena adanya penurunan lifting minyak bumi akibat natural declining. Di sisi lain, anggaran belanja pemerintah daerah pada tahun 2016 relatif meningkat dibandingkan tahun 2015. Peningkatan utamanya berasal dari anggaran belanja transfer pemerintah Provinsi kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Tabel 4.1. Ringkasan Realisasi APBD Riau Triwulan I 2015 dan Triwulan I 2016 Triwulan I 2015 Anggaran (Rp Miliar) Realisasi Pendapatan 8,721.57 1,719.83 Belanja 10,683.97 487.76 Pembiayaan Daerah 1,962.40 0.07 Surplus/ (Defisit) (1,962.40) 1,232.07 Uraian
Triwulan I 2016 % Anggaran (Rp Miliar) Realisasi 19.72 7,588.65 1,725.50 4.57 10,972.07 506.08 0.00 3,383.43 3,383.43 (3,383.43) 1,219.42
% 22.74 4.61 100.00
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Realisasi APBD pemerintah Provinsi Riau pada awal tahun 2016 relatif meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari realisasi pendapatan dan belanja pemerintah Provinsi Riau yang masing-masing mencapai 22,74% dan 4,61% pada triwulan I 2016. Realisasi tersebut relatif meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 19,72% dan 4,57% dari total yang dianggarkan. Peningkatan
realisasi
APBD
didorong
oleh
adanya
program
percepatan
pembangunan melalui percepatan realisasi APBD yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Provinsi Riau sejak awal tahun 2016. Selain itu, rendahnya realisasi belanja pemerintah selama dua tahun terakhir disinyalir juga menjadi dorongan bagi pemerintah daerah untuk mempercepat realisasi APBD khususnya dari sisi belanja daerah.
65
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
2.1. Realisasi Pendapatan Realisasi pendapatan daerah
Grafik 4.1.Realisasi Pendapatan Berdasarkan Kelompok Pendapatan Tw I 2016 dan Tw I 2015
Provinsi Riau hingga triwulan I 2016 tercatat sebesar 22,74%, lebih
besar
dibandingkan
periode yang sama pada tahun sebelumnya
yang
tercatat
sebesar 19,72%. Peningkatan realisasi pendapatan didorong oleh
peningkatan
kelompok Sumber: Biro Perekonomian Prov. Riau
realisasi
pendapatan
asli
daerah (PAD).
Komponen utama yang mendorong peningkatan realisasi PAD berasal dari peningkatan realisasi retribusi daerah, yaitu mencapai Rp305,03 miliar, jauh melebihi target pendapatan retribusi yang dianggarkan sebesar Rp11 miliar. Peningkatan ini diperkirakan berkenaan dengan peningkatan target pungutan pajak kepada objek pajak yang selama ini belum membayarkan pajak atau kurang bayar, seperti pajak sewa gedung pernikahan, ATM, dsb. Hal ini juga merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah Provinsi Riau dalam rangka menekan penurunan pendapatan yang berasal dari dana bagi hasil sumber daya alam di tahun 2016. Tabel 4.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau Tw I 2015 dan Tw I 2016 Uraian (Miliar Rupiah) PENDAPATAN DAERAH PENDAPATAN ASLI DAERAH Pajak Daerah Retribusi Daerah
Tw I 2015 Anggaran Realisasi % 8,722 1,720 19.72
Anggaran 7,581
Tw I 2016 Realisasi 1,726
% 22.76
3,495.55 2,765.55
817.14 424.45
23.38 15.35 2,773.01
3,656.36 2,924.92
614.52 577.32
16.81 19.74
24.37
5.33
21.85
11.00
305.03
-
218.00
1.70
0.78
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
208.54
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
498.52
31.87
6.39
501.00
85.96
17.16
4,196.34
888.03
21.16
4,085.27
908.37
22.24
559.67
190.24
33.99
877.34
219.83
25.06
2,903.25
479.72
16.52
1,015.83
204.95
20.18
Pendapatan Dana Alokasi Umum
654.22
218.07
33.33
737.74
184.44
25.00
Pendapatan Dana Alokasi Khusus
79.20
1,454.36
299.15
20.57
PENDAPATAN TRANSFER LAINNYA
868.88
217.28
25.01
-
-
-
-
-
-
-
868.88
217.28
25.01
5.00
-
-
2.83
-
-
DANA PERIMBANGAN Pendapatan Dana Bagi Hasil Pajak Pendapatan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam
Dana Otonomi Khusus Dana Penyesuaian LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH
-
-
-
N/A
5.00 -
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
66
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
Selanjutnya, realisasi pendapatan yang berasal dari pajak daerah hingga triwulan I 2016 mencapai Rp424,45 miliar atau sebesar 15,35% dari total yang dianggarkan di tahun 2016. Realisasi ini lebih rendah jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp577,32 miliar atau sebesar 19,74% dari total yang dianggarkan. Penurunan realisasi pendapatan pajak daerah diperkirakan bersumber dari penurunan realisasi pajak restoran dan perhotelan di awal tahun 2016. Hal ini diperkirakan akibat aktivitas ekonomi lokal yang masih terbatas di tengah perbaikan harga komoditas internasional dan perekonomian nasional yang belum optimal. Sementara itu, pendapatan yang berasal dari pendapatan transfer hingga triwulan I 2016 tercatat mencapai Rp908,37 miliar atau sebesar 22,24% dari total yang dianggarkan. Realisasi ini relatif meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp888,03 miliar atau 21,16% dari total yang dianggarkan. Peningkatan realisasi pendapatan transfer berasal dari komponen pendapatan dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak. Adanya peningkatan pendapatan dari dana alokasi khusus sejalan dengan beberapa proyek pemerintah pusat di Provinsi Riau, diantaranya proyek jalan tol Pekanbaru-Dumai dan pembangunan jalur lintas kereta api trans-sumatera. Sementara itu, peningkatan dana bagi hasil pajak diperkirakan merupakan peningkatan alokasi dari pemerintah pusat sebagai kompensasi menurunnya dana bagi hasil sumber daya alam yang terus turun akibat penurunan harga minyak dunia. Penurunan pendapatan daerah yang berasal dari dana bagi hasil sumber daya alam diperkirakan mencapai 65% pada tahun 2016 dibandingkan tahun 2015. Kondisi ini terjadi akibat penurunan harga minyak dunia dan faktor penurunan produksi yang disebabkan oleh kondisi sumur yang semakin tua (natural declining).
2.2. Realisasi Belanja Alokasi anggaran belanja langsung pada tahun 2016 secara umum menurun dibandingkan tahun 2015, khususnya pada komponen belanja barang dan jasa dan belanja modal. Belanja barang dan jasa pada tahun 2016 dianggarkan sebanyak Rp2,7 triliun, lebih rendah dibandingkan tahun 2015 yang dianggarkan sebanyak Rp3,11 triliun. Sementara itu, belanja modal yang dianggarkan pada tahun 2016 ialah sebesar Rp2,53 triliun, juga menurun dibandingkan tahun 2015 yang
67
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
dianggarkan sebesar Rp2,90 triliun. Penurunan alokasi anggaran diperkirakan akibat penyesuaian terhadap menurunnya pendapatan di tahun 2016. Di sisi lain, rencana anggaran kelompok belanja tidak langsung pada tahun 2016 cenderung meningkat dibandingkan tahun 2015, yaitu dari Rp4,4 triliun menjadi Rp5,4 triliun. Peningkatan ini didorong oleh peningkatan pada belanja hibah, belanja bagi hasil kepada pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa serta belanja pegawai. Kondisi ini diperkirakan akibat adanya peningkatan UMP dan UMK di tahun 2016 serta fokus pemerintahan di tahun 2016 yang lebih menitikberatkan pada percepatan pembangunan di pedesaan. Tabel 4.3. Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau Tw I 2015 dan Tw I 2016 Triwulan I 2015 Anggaran Realisasi 10,683.97 487.76
Uraian (Miliar Rupiah) BELANJA DAERAH
% 4.57
Triwulan I 2016 Anggaran Realisasi 10,972.07 506.08
% 4.61
BELANJA TIDAK LANGSUNG
4,402.19
418.06
9.50
5,388.35
409.96
7.61
Belanja Pegawai Belanja Bunga Belanja Subsidi
1,122.75 -
160.77 -
14.32 -
1,202.95 -
111.67 -
9.28
Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial
1,070.65 7.18
217.22 -
-
1,293.61 10.00
298.30 -
23.06 -
Belanja Bagi Hasil Kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa
1,159.15
-
-
1,283.58
-
-
Belanja Bantuan Keuangan Kepada Provinsi/Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan Partai Politik
1,032.47
40.07
3.88
1,580.21
-
-
Belanja Tidak Terduga BELANJA LANGSUNG Belanja Pegawai
10.00
-
-
18.00
-
-
-
6,281.78 272.81
69.70 21.32
1.11 7.82
5,583.72 340.56
96.12 17.53
1.72 5.15
Belanja Barang dan Jasa
3,107.85
47.93
1.54
2,711.04
74.89
2.76
Belanja Modal
2,901.12
0.44
0
2,532.12
3.70
0
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Realisasi anggaran belanja pemerintah Provinsi Riau pada awal tahun 2016 tercatat sebesar Rp506,08 miliar atau 4,61% dari total belanja sebesar Rp10,97 triliun yang dianggarkan dalam APBD 2016. Meskipun mengalami peningkatan dari realisasi di awal tahun 2015 yang tercatat sebesar 4,57%, namun penyerapan anggaran belanja relatif belum optimal. Hal ini tercermin dari realisasi belanja langsung yang baru mencapai 1,72%. Sementara itu, realisasi belanja tidak langsung hingga Maret 2016 mencapai 7,61% dari total yang dianggarkan dan cenderung menurun dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 9,50%. Realisasi belanja modal dan belanja barang dan jasa di awal tahun 2016 tercatat relatif meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hingga
68
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
maret 2016, realisasi belanja modal pemerintah Provinsi Riau tercatat mencapai Rp3,7 miliar, relatif menigkat dibandingkan periode yang sama pada tahun 2015 yang mencapai Rp440 juta. Selanjutnya, realisasi belanja barang dan jasa pada awal tahun 2016 mencapai Rp74,89 miliar, lebih besar dibandingkan realisasi pada periode yang sama di tahun sebelumnya yang mencapai Rp47,93 miliar. Adanya program percepatan realisasi APBD yang dilakukan pemerintah Provisi Riau berdampak terhadap peningkatan realisasi belanja di awal tahun 2016 meskipun belum optimal. Selanjutnya pada kelompok belanja tidak langsung, anggaran belanja yang baru terealisasi berasal dari komponen belanja pegawai dan belanja hibah, yaitu masingmasing sebesar 9,28% dan 23,06% dari total yang dianggarkan. Realisasi belanja pegawai dalam komponen belanja tidak langsung pada triwulan I 2016 tercatat lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun 2015 yang mencapai 14,38%. Hal ini diperkirakan merupakan tindakan efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Riau terkait penyesuaian pendapatan daerah. Selanjutnya, realisasi belanja hibah relatif meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu mencapai Rp298,30 miliar.
69
BOKS 3 PERCEPATAN PENYERAPAN APBD RIAU TAHUN 2016
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Riau, realisasi APBD dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir terus tercatat lebih rendah dibandingkan ketersediaan anggaran. Pada tahun 2010, anggaran yang tersedia mencapai Rp.4,26 Triliun dengan realisasi mencapai 95,31% atau sebesar Rp.4,06 Triliun. Jika dibandingkan dengan realisasi anggaran tahun 2015 sebesar Rp7,38 Triliun, persentase realisasi anggaran tahun 2010 tercatat lebih tinggi dibandingkan 2015 yang hanya mencapai 64,76% dari total anggaran sebesar Rp11,38 Triliun. Grafik Anggaran dan Realisasi APBD Riau Tahun 2010-2015 Rp Triliun 15 13
11,38
11 8,08
8,84
7,88
6,84
7 5
8,91
8,37
9
4,26
4,79 4,06
5,73
4,54
3 1
-1
2010
2011
2012
Anggaran (Rp Triliun)
2013
2014
2015
Realisasi (Rp Triliun)
Sumber : Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Riau
Pada tahun 2016, Pemerintah Provinsi Riau menetapkan 5 langkah Percepatan Penyerapan Anggaran 2016 sebagai berikut: 1. Mempersiapkan perangkat pelaksana (SK Pejabat Pengelola, Susun RUP, Rencana Kas dan Identifikasi Paket. 2. Memperhatikan jadwal proses pelelangan. 3. Memperhatikan sembilan titik kritis tahapan pelaksanaan APBD. 4. Percepatan realisasi anggaran harus tetap memperhatikan akuntabilitas dan kualitas. 5. Melaporkan secara berkala dan mengambil tindakan perbaikan setiap bulannya.
Skema Percepatan Penyerapan Anggaran
Sumber : Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Riau Dengan asumsi telah disahkannya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau, pemerintah rencana penyerapan anggaran sebagaimana yang tercantum pada skema diatas dapat dilakukan. Untuk itu, Tim Evaluasi dan Pengawasan Realisasi Anggaran (TEPRA) juga terus melakukan pemantauan terhadap setiap tahapan pelaksanaan anggaran karena perlambatan pada setiap fase akan berdampak pada keterlambatan fase selanjutnya.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
Bab 5 PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN DAERAH
1. Kondisi Umum Perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi Riau pada awal tahun 2016 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Dari indikator terkait menunjukkan terjadi peningkatan kualitas ketenagakerjaan antara lain menurunnya angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Riau dari 6,72% di tahun 2015 menjadi 5,94% di
tahun 2016. Sementara perkembangan
kesejahteraan di Provinsi Riau juga membaik terlihat dari indikator Nilai Tukar Petani (NTP) pada triwulan I-2016 meningkat jika dibandingkan dengan triwulan IV2015 yakni dari 95,03 menjadi 97,36.
70
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
2. Ketenagakerjaan Grafik 5.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Feb - 2016 Aceh
Grafik 5.2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Feb - 2016 Bengkulu
3,84
Sumatera Selatan
3,94
64,24
Kepulauan Riau
65,58
Riau
Lampung
67,01
Indonesia
68,06
Jambi
Bangka Belitung
68,06
Indonesia
Jambi
68,53
Sumatera Barat
Lampung
68,63
Riau
Sumatera Utara
Bengkulu 62
64
66
68
70
5,94
72
6,17 6,49
74
8,13
Kepulauan Riau
73,59 60
5,81
Aceh
70,34
58
5,5
Sumatera Utara
70,01
Sumatera Barat
4,66
Bangka Belitung
68,87
Sumatera Selatan
4,54
9,03 0
76
2
4
6
8
10
Sumber : BPS
Sumber : BPS
Provinsi Riau pada periode Februari 2016 menunjukkan bahwa 2,98 juta dari 4,4 juta jiwa penduduk dengan usia 15 tahun ke atas atau 67,01% merupakan angkatan kerja. Angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami penurunan dari periode Februari 2015 yang tercatat sebesar 6,72% menjadi 5,94%. Hal tersebut menunjukkan terjadi peningkatan kondisi ketenagakerjaan Riau yang mengindikasikan terjadinya penurunan angka pengangguran. Trend penurunan TPT Riau yang searah dengan pergerakan TPT Indonesia yang tercatat 5,81% pada Februari 2015 menjadi 5,50% di periode Februari 2016 mengindikasikan terjadinya peningkatan ketenagakerjaan secara nasional. Di tingkat regional, Riau merupakan provinsi dengan angka TPT kelima tertinggi di Sumatera. Sementara Bengkulu menjadi daerah dengan angka TPT terendah di Sumatera dengan angka 3,84%. Jika dibandingkan dengan periode Agustus 2015, Kepulauan Riau, merupakan satu-satunya provinsi di Sumatera yang mengalami peningkatan TPT di tahun 2016, yang diperkirakan akibat perlambatan ekonomi khususnya sektor industri, sehingga banyak pegawai yang di phk atau dirumahkan. Tabel 5.1 Tingkat Pengangguran Terbuka Pulau Sumatera (%) Provinsi
Aceh
Sumut Sumbar
Riau
Jambi Sumsel BengkuluLampung Babel
Kepri
Agt 2014
9,02
6,23
6,50
6,56
5,08
4,96
3,47
4,79
5,14
6,69
Feb 2015
7,73
6,39
5,99
6,72
2,73
5,03
3,21
3,44
3,35
9,05
Agt 2015
9,93
6,71
6,89
7,83
4,34
6,07
4,91
5,14
6,29
6,20
Feb 2016
8,13
6,49
5,81
5,94
4,66
3,94
3,84
4,54
6,17
9,03
Sumber: BPS.
71
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
Tabel 5.2 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Februari
Lapangan Pekerjaan Utama
2014
Pertanian Perkebunan Kehutanan Perburuan dan Perikanan
2015
2016
42,41
46,09
41,44
Pertambangan dan Penggalian
1,73
1,32
1,91
Industri
5,51
4,91
6,06
Listrik Gas dan Air Minum
0,31
0,12
0,32
Konstruksi
5,54
4,84
5,39
Perdagangan Rumah Makan dan Jasa Akomodasi
20,5
16,04
22,04
Transportasi Pergudangan dan Komunikasi
3,79
3,85
2,14
Lembaga Keuangan Real Estate Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan
2,29
2,98
2,44
17,91
19,85
18,26
100
100
100
Jasa Kemasyarakatan Sosial dan Perorangan Total
Sumber: BPS
Berdasarkan sektor ekonomi, penyerapan tenaga kerja masih didominasi oleh sektor pertanian yaitu mencapai 41,44% dari total tenaga kerja, diikuti oleh sektor perdagangan rumah makan dan jasa akomodasi dan sektor jasa kemasyarakatan sosial dan perorangan dengan penyerapan tenaga kerja masing-masing mencapai 22,04% dan 18,26%. Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian tercatat menurun dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yaitu 46,09% menjadi 41,44%. Disisi lain, penyerapan tenaga kerja pada sektor perdagangan rumah makan dan jasa akomodasi mengalami peningkatan, yaitu dari 16,04% menjadi 22,04%. Grafik 5.3 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Jasa Kemasyarakatan Lembaga Keuangan Transportasi, Per.. Perdagangan, ru.. Konstruksi Listrik, Gas.. Industri Pertambangan dan.. Pertanian, Pekerbunan..
0
10 2016
2015
20 2014
30
40
50
%
72
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
Sebagian besar penduduk bekerja di Provinsi Riau memiliki status pekerjaan sebagai buruh/karyawan/pegawai yaitu sebesar 41,20%. Angka ini cenderung menurun dibandingkan tahun 2015 yang tercatat sebesar 44,15%. Penurunan penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai diperkirakan karena terjadinya perlambatan ekonomi khususnya di sektor migas yang menyebabkan terjadinya pengurangan karyawan di sektor usaha tersebut. Sedangkan penduduk yang bekerja dengan berusaha sendiri mengalami peningkatan dari 18,63% di tahun 2015 menjadi 21,01% di tahun 2016, hal ini mengindikasikan bahwa penduduk dituntut untuk kreatif menciptakan lapangan kerja yang sendiri pasca terjadinya pengurangan karyawan di sektor usaha tersebut. Grafik 5.4 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Berusaha Sendiri
13% 3% 5%
Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap / Buruh Tidak Dibayar
21%
12% 41%
5%
Berusaha Dibantu Buruh Tetap / Buruh Dibayar Buruh /Karyawan/Pegawai
Pekerja Bebas di Pertanian
Dilihat dari jumlah jam kerja perharinya, mayoritas tenaga kerja di Riau menghabiskan waktu jam kerjanya selama 0 dan lebih dari 35 jam seminggu, yaitu sebanyak 62,05%. Pekerja dengan waktu lebih dari 35 jam seminggu merupakan pekerja penuh, sementara pekerja dengan waktu kurang dari 35 jam seminggu merupakan pekerja tidak penuh. Dengan demikian, mayoritas angkatan kerja yang bekerja di Riau pada Februari 2015 merupakan pegawai penuh. Hal ini sesuai dengan jumlah status pekerja terbesar di Riau yang berprofesi sebagai buruh/karyawan/pegawai. Pekerja tidak penuh di Riau didominasi oleh pekerja yang berprofesi sebagai wirausaha, pekerja keluarga dan buruh bebas.
73
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
Grafik 5.5. Jumlah Jam Kerja per Minggu Februari - 2016
Grafik 5.6. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Diploma 3%
Universitas 9%
SMK 9%
3% 7%
SD kebawah 37%
1-7
13%
SMA
15 - 24
15%
62%
SD kebawah SMP
8 - 14
SMK
25 - 34
Diploma
0 dan 35+
Universitas
SMA 23%
SMP 19%
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Grafik 5.7 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan 20 18 16 13,54
14
12 10
8,48
7,70
8
8,05
6,23
6 4
2,79
2 0 SD KEBAWAH
SMP
SMA
SMK
Feb 2015
Feb 2016
DIPLOMA
UNIVERSITAS
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh tenaga kerja di Riau mayoritas merupakan tamatan SMP kebawah atau sebesar 56,40%. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya yang mencapai 58,58%dari total angkatan kerja yang bekerja. Pekerja dengan tingkat pendidikan diploma dan universitas hanya mencapai 11,43%, sementara pekerja yang menamatkan tingkat pendidikan SMA dan SMK mencapai 32,17%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan tenaga kerja di Riau masih tergolong rendah. Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terbesar berada pada kelompok penduduk dengan tingkat pendidikan
74
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
Diploma dan Universitas, yaitu mencapai 21,59%kondisi ini menunjukkan bahwa lapangan kerja yang tersedia di Provinsi Riau belum optimal dalam menyerap tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
3. Kesejahteraan Daerah 3.1 Nilai Tukar Petani Nilai Tukar Petani pada triwulan I-2016 meningkat jika dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yakni dari 95,03 menjadi 97,36. Kenaikan NTP pada triwulan I2016 disebabkan oleh kenaikan indeks harga yang diterima petani sebesar 3,81%, lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan indeks harga yang dibayar petani sebesar 0,73%. Nilai NTP dibawah 100 secara umum memberikan gambaran bahwa kegiatan pertanian di Provinsi Riau belum berjalan efisien dan kurang bernilai tambah untuk meningkatkan taraf hidup petani, tercermin dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan petani dibanding pendapatan yang diperoleh. Peningkatan nilai tukar petani dicatatkan oleh seluruh sub sektor kecuali sub sektor tanaman pangan yang menurun dari 115,45 di triwulan IV-2015 menjadi 112,56 di triwulan I-2016. Nilai tukar petani terendah dicatatkan oleh subsektor tanaman perkebunan rakyat sebesar 103,80. Sementara nilai tukar petani tertinggi dicatatatkan oleh subsektor tanaman pangan sebesar 112,56. Grafik 5.8 Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Riau 125 120 115 110 105 100 95 90 Mar
Jun
Sep
Des
Mar
Juni
2014
Sep
Des
2015
Tanaman Pangan
Hortikultura
Tanaman Perkebunan Rakyat
Peternakan
Perikanan
Indeks yang diterima
Indeks yang dibayar
Nilai Tukar Petani Umum
Mar 2016
Sumber : BPS Provinsi Riau, data diolah.
75
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
Bab 6 PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
1. PROSPEK MAKROREGIONAL
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan II-2016 secara umum diperkirakan tumbuh meningkat, berada pada kisaran 2.51+0.5%(yoy) dengan tendensi ke arah batas atas. Sumber pertumbuhan dari sisi penggunaan diperkirakan berasal dari seluruh komponen baik konsumsi, investasi, maupun ekspor yang mengalami perbaikan kinerja dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara itu, secara sektoral peningkatan kinerja diperkirakan berasal dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, sektor perdagangan besar dan eceran. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi Riau tertahan oleh berlanjutnya penurunan produksi sektor pertambangan dan penggalian yang diperkirakan lebih dalam dari kontraksi yang terjadi pada triwulan I 2016.
76
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
Tabel 6.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Aktual dan Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II-2016 serta 2016 (Dalam %) Komponen
2015**
2014*
PDRB
2.70
2015**
I
II
III
IV
-0.01
-2.13
-1.38
4.45
0.22
2016 I
IIP
2.34
2.0-3.0
2016P 1.9-2.9
*: Data Sementara; ** Data Sangat Sementara:P Proyeksi Bank Indonesia
Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak pertumbuhan pada triwulan II 2016 diperkirakan ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga. Kondisi ini sejalan dengan perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan April 2016 di Provinsi Riau yang tercatat meningkat. Peningkatan optimisme konsumen tersebut diperkirakan karena ekspektasi perbaikan ekonomi sampai dengan 6 bulan yang akan datang, terutama espektasi terhadap penghasilan dan konsumsi durable goods meskipun masih sangat terbatas. Selain itu prakiraan pengeluaran 3 bulan yang akan datang juga relatif meningkat terutama pengeluaran pada kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi, minuman, rokok, tembakau, kelompok perumahan, dan kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga. Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen
Grafik 6.2. Perkembangan Indeks Ekspektasi Konsumen
Indeks
Indeks
160
180
140
160
120
140
100
120 100
80
80
60
60
40
40
20
20
0 1
3
5
7
9
11
1
3
2013
5
7
9
11
1
3
5
2014
7
9
11
1
0
3
2015
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4
2016
2013
2014
2015
2016
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
Indeks Penghasilan Konsumen
Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK)
Garis 100
Indeks Konsumsi Durable Goods
Garis 100
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Sementara itu konsumsi pemerintah juga diperkirakan akan meningkat jika dibandingkan triwulan sebelumnya, terkait dengan mulai meningkatnya realisasi APBD pada triwulan II 2016. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor pada triwulan II 2016 diperkirakan membaik namun masih terbatas. Ekspor luar negeri diperkirakan masih mengalami kontraksi
77
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
sejalan dengan masih menurunnya kinerja sektor pertambangan dan penggalian dari sisi migas, serta masih terbatasnya perbaikan kinerja sektor perkebunan sawit dan industri CPO (non migas). Selain itu faktor yang menahan pertumbuhan ekonomi Riau adalah perbaikan pertumbuhan ekonomi global terutama negara mitra dagang utama yang diperkirakan masih terbatas pada triwulan mendatang. Tabel 6.2 Outlook Perekonomian Global Realisasi Dunia Negara Maju Amerika Serikat Kawasan Eropa Jepang Negara Berkembang Negara Berkembang Asia Tiongkok India Volume Perdagangan Dunia (barang dan jasa) Harga Komoditas (U.S.Dollars) Minyak (Minas&ICP, USD per barel) Non bahan bakar (rata-rata berdasarkan bobot ekspor komoditas dunia)
2015 3,1 1,9 2,5 1,5 0,6 4,0 6,6 6,9 7,3 2,6
WEO IMF Consensus Forecast Bank Indonesia Januari 2016 April 2016 Februari 2016 Maret 2016 Januari 2016 Februari 2016 2016 2017 2016 2017 2016 2017 2016 2017 2016 2017 2016 2017 3,4 3,6 3,2 3,5 3,4 3,7 3,5 4,0 3,50 3,80 3,40 3,60 2,1 2,1 1,9 2,0 1,9 2,1 2,2 2,4 2,2 2,2 2,1 2,1 2,6 2,6 2,4 2,5 2,1 2,5 2,1 2,4 2,7 2,8 2,6 2,5 1,7 1,7 1,5 1,6 1,6 1,7 1,5 1,6 1,6 1,7 1,7 1,7 1,0 0,3 0,5 -0,1 1,3 0,7 0,7 0,6 1,0 0,4 1,0 0,4 4,3 4,7 4,1 4,6 4,7 5,2 4,8 5,4 4,5 4,9 4,3 4,7 6,3 6,2 6,4 6,3 6,3 6,0 6,5 6,2 6,4 6,4 6,4 6,2 6,3 6,0 6,3 6,0 7,5 7,5 7,5 7,5 7,7 7,8 7,6 7,7 7,5 7,5 7,5 7,5 3,4 4,1 3,1 3,8 3,4 3,8 2,9 3,3
50,9
42,0
48,2
34,8
41,1
48
-17,4
-9,5
0,4
-9,4
0,7
-9,90
52
37
46
0,50 -10,10
0,40
Sumber: Recent Economic Development Bank Indonesia, April 2016
Dari sisi sektoral, kinerja sektor pertanian di triwulan mendatang diperkirakan akan membaik dibandingkan triwulan I 2016. Faktor pendorong meningkatnya pertumbuhan diperkirakan berasal dari subsektor perkebunan sawit. Kurang optimalnya produksi sawit di triwulan I 2016 akibat tertundanya pemupukan pada saat kondisi asap, diperkirakan akan mulai membaik pada triwulan II 2016. Selain itu mulai meningkatnya harga TBS lokal dan meningkatnya permintaan domestik CPO (termasuk penyerapan untuk produk turunan), serta mulai berproduksinya beberapa lahan replanting mendorong laju pertumbuhan sektor pertanian. Sejalan dengan peningkatan kinerja sektor pertanian Riau, perkembangan sektor industri pengolahan juga diperkirakan akan meningkat yang didorong oleh meningkatnya industri pengolahan CPO dan produk turunannya termasuk biodiesel, serta industri pengolahan pulp and paper. Di sisi lain, menurunnya kinerja industri pengilangan migas menjadi faktor yang menahan laju pertumbuhan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 secara keseluruhan diperkirakan berada pada kisaran 1,9
2,9% (yoy), lebih tinggi dibandingkan
78
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
tahun 2015 yang tercatat sebesar 0,22% (yoy), dengan perbaikan yang diperkirakan terjadi mulai triwulan II 2016. Peningkatan kinerja ekonomi didorong oleh peningkatan kinerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dan sektor industri pengolahan. Meningkatnya permintaan ekspor ke negara tujuan utama dan permintaan domestik terutama produk CPO, pulp dan kertas serta turunannya. Di sisi lain faktor yang menghambat laju pertumbuhan adalah penurunan kinerja sektor pertambangan dan penggalian disebabkan oleh penurunan kinerja lifting minyak bumi akibat natural declining sehingga tingkat produksi turun pada kisaran 6-8%. Dari sisi penggunaan, peningkatan ekonomi pada tahun 2016 utamanya disebabkan oleh meningkatnya konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi akibat mulai meningkatnya kondisi perekonomian, serta perbaikan kontraksi kinerja ekspor Riau. Meskipun demikian, terdapat risiko yang berpotensi membawa pertumbuhan ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside risks). Kondisi ini utamanya terkait dengan kondisi sumur minyak yang tidak produktif (natural declining), tidak optimalnya penggunaan teknologi injeksi untuk optimalisasi produksi, serta eksplorasi sumur baru yang terkendala proses perizinan sehingga diperkirakan berpotensi mengakibatkan kontraksi yang lebih dalam pada sektor pertambangan migas. Selain itu, potensi pemulihan kinerja sektor pertanian masih cukup rendah, terutama terhadap subsektor perkebunan kelapa sawit sehubungan dengan dampak el nino dan la nina yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan, serta kondisi banjir sehingga produksi pertanian relatif terganggu.
2. PERKIRAAN INFLASI Tabel 6.3. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Riau Triwulan II 2016 Keterangan Inflasi Tahunan (% yoy) Inflasi Triwulanan (% qtq)
2016P
2015 I
II
III
IV
IIP
I
6.17
7.40
5.70
2.65
4.42
(1.26)
1.97
0.68
1.25
0.45 -0.24 - 0.76
2.16 - 3.16
2016P 3.62 - 4.62
Inflasi Provinsi Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan cenderung mengalami perlambatan, yaitu berada pada kisaran 2.66+0.5% (yoy). Sedangkan secara triwulanan, inflasi diperkirakan berkisar 0.26+0.5% (qtq). Adapun capaian
79
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
inflasi hingga akhir tahun berada pada kisaran 3,62-4,62% (yoy) 2015, masih berada di dalam sasaran inflasi nasional tahun 2016 sebesar 4±1% (yoy). Faktor pendorong inflasi Riau pada triwulan II 2016 diperkirakan terutama berasal dari inflasi volatile food, bersumber dari kenaikan harga bahan makanan akibat keterbatasan pasokan seiring dengan berakhirnya masa panen raya dan gangguan panen di beberapa sentra produksi yang banyak memasok kebutuhan ke wilayah Riau. Beberapa komoditas seperti beras, cabe merah, bawang merah, daging sapi mulai menunjukkan peningkatan karena keterbatasan pasokan. Selain itu tekanan inflasi volatile food juga didorong oleh meningkatnya permintaan masyarakat memasuki bulan Ramadhan pada akhir triwulan. Inflasi kelompok administered price, meski mengalami penurunan tekanan pada awal triwulan II 2016 akibat penurunan harga BBM bensin dan solar, diperkirakan akan mulai meningkat didorong oleh rencana peningkatan tarif listrik bulan Mei dan Juni. Sementara itu, meskipun relatif stabil tekanan inflasi inti diperkirakan sedikit meningkat akibat mulai membaiknya daya beli masyarakat karena meningkatnya penghasilan (akibat mulai meningkatnya harga TBS lokal). Faktor yang menahan peningkatan tekanan inflasi inti adalah penguatan nilai tukar rupiah sehingga menurunkan imported inflation. Grafik 6.4. Perkembangan Harga Daging Segar & Hasilnya di Kota Pekanbaru
80,000
40,000
145,000
70,000
35,000
140,000
60,000
30,000
50,000
25,000
40,000
130,000
20,000
30,000
15,000
20,000
10,000
10,000
5,000
-
135,000
125,000 120,000 115,000
-
MIV
MV
MIV
MIV
MV
MIV
MIV
MV
MIV
Aug-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Cabe Merah
Cabe Rawit
Bawang Merah
Bawang Putih
Rupiah
Rupiah
Rupiah
Grafik 6.3. Perkembangan Harga BumbuBumbuan di Kota Pekanbaru
110,000 MIV
MV
MIV
MIV
MV
MIV
MIV
MV
MIV
Aug-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16
Daging Ayam Ras (RHS)
Telur Ayam Ras
Daging Sapi (LHS)
Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia
Beberapa faktor yang diidentifikasi berpotensi membawa inflasi melewati batas atas kisaran proyeksi (downside risk) antara lain, El Nino yang berpotensi
80
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
menganggu produksi daerah sentra pertanian dan meningkatkan inflasi bahan makanan. Sementara itu, terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi ke batas bawah (upside risks) proyeksi, yaitu perkembangan harga minyak dunia yang masih belum membaik sehingga meminimalisir tekanan inflasi dari kelompok administered prices. Pada tingkat regional, koordinasi aktif forum Tim Pengendalian Inflasi Daerah terus ditingkatkan baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota dengan beberapa fokus program pengendalian inflasi daerah antara lain: (1) dalam rangka persiapan menjelang bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri akan dilaksanakan pertemuan dengan mengundang beberapa distributor besar untuk memantau kecukupan stok dan memberikan himbauan untuk tidak melakukan tindakan spekulatif, melakukan koordinasi terkait rencana program operasi pasar, serta sidak pergudangan; (2) Perbaikan tata niaga dan pasar tradisional di beberapa daerah; (3) penertiban perizinan pasar modern yang menjamur di kota Dumai dan Pekanbaru; (4) kota Dumai dan Tembilahan menyepakati untuk menyediakan data harian yang akan di upload dalam PIHPS nasional sebagai bagian program Pokjanas TPID 2016; (5) peningkatan kegiatan urban farming di beberapa daerah dan monitoring kegiatan pencetakan lahan pertanian baru dalam rangka peningkatan produksi pangan lokal (mengurangi ketergantungan dari daerah lain).
3. REKOMENDASI Sehubungan dengan upaya pengendalian inflasi, dan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi, maka diusulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Jangka pendek a. Monitoring dan evaluasi perbaikan infrastruktur pertanian terutama sarana irigasi yang banyak (sekitar 80%) mengalami kerusakan. b. Dukungan Kepala Daerah untuk melakukan monitoring dan evaluasi tindak lanjut Hasil Rapat Koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Riau dan Kabupaten/Kota yang telah disepakati.
2. Jangka panjang a. Fokus pengembangan kawasan industri dan infrastruktur yang mendukung industrialisasi seperti sarana jalan, pelabuhan dan
81
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
kelistrikan dengan terus melakukan monitoring progress dan evaluasi secara intensif terutama untuk mendukung program hilirisasi sawit (menciptakan nilai tambah produk kelapa sawit); b. Merumuskan rencana pengembangan sektor ekonomi yang berpotensi untuk menggantikan laju penurunan sektor pertambangan dan penggalian (natural declining), antara lain sektor pariwisata, jasa dan perdagangan.
Perlu
pembuatan
blueprint
dan
milestone
pengembangan yang terperinci yang dimasukkan dalam RPJMD dan RPJP c. Meningkatkan
kerjasama
dengan
stakeholder
dalam
rangka
menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) khususnya dalam sektor pariwisata.
82
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
DAFTAR
ISTILAH
Aktiva Produktif Adalah penanaman atau penempatan yang dilakukan oleh bank dengan tujuan menghasilkan penghasilan/pendapatan bagi bank, seperti penyaluran kredit, penempatan pada antar bank, penanaman pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan surat-surat berharga lainnya. Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) Adalah pembobotan terhadap aktiva yang dimiliki oleh bank berdasarkan risiko dari masing-masing aktiva. Semakin kecil risiko suatu aktiva, semakin kecil bobot risikonya. Misalnya kredit yang diberikan kepada pemerintah mempunyai bobot yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit yang diberikan kepada perorangan. Kualitas Kredit Adalah penggolongan kredit berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur dan kelancaran pembayaran bunga dan pokok. Kredit digolongkan menjadi 5 kualitas yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Capital Adequacy Ratio (CAR) Adalah rasio antara modal (modal inti dan modal pelengkap) terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Dana Pihak Ketiga (DPK) Adalah dana yang diterima perbankan dari masyarakat, yang berupa giro, tabungan atau deposito.
xv
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
Financing to Deposit Ratio (FDR) Adalah rasio antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah terhadap dana yang diterima. Konsep ini sama dengan konsep LDR pada bank umum konvensional. Inflasi Kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus (persistent). Inflasi Administered Price Inflasi yang terjadi pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam kelompok barang yang harganya diatur oleh pemerintah (misalnya bahan bakar). Inflasi Inti Inflasi yang terjadi karena adanya gap penawaran aggregat and permintaan agregrat dalam perekonomian, serta kenaikan harga barang impor dan ekspektasi masyarakat. Inflasi Volatile Food Inflasi yang terjadi karena pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam kelompok barang yang harganya bergerak sangat volatile (misalnya beras). Kliring Adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. Kliring Debet Adalah kegiatan kliring untuk transfer debet antar bank yang disertai dengan penyampaian fisik warkat debet seperti cek, bilyet giro, nota debet kepada penyelenggaran kliring lokal (unit kerja di Bank Indonesia atau bank yang memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring lokal)
xvi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
dan hasil perhitungan akhir kliring debet dikirim ke Sistem Sentral Kliring (unit kerja yang menangani SKNBI di KP Bank Indonesia) untuk diperhitungkan secara nasional. Kliring Kredit Adalah kegiatan kliring untuk transfer kredit antar bank yang dikirim langsung oleh bank peserta ke Sistem Sentral Kliring di KP Bank Indonesia tanpa menyampaikan fisik warkat (paperless).
Loan to Deposit Ratio (LDR) Adalah rasio antara jumlah kredit yang disalurkan terhadap dana yang diterima (giro, tabungan dan deposito). Net Interest Income (NII) Adalah antara pendapatan bunga dikurangi dengan beban bunga. Non Core Deposit (NCD) Adalah dana masyarakat yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Dalam laporan ini, NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro, 30% tabungan dan 10% deposito berjangka waktu 1-3 bulan. Non Performing Loans/Financing (NLPs/Ls) Adalah kredit/pembiayaan yang termasuk dalam kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP) Adalah suatu pencadangan untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin timbul dari tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Besaran PPAP ditentukan dari kualitas kredit. Semakin buruk kualitas kredit, semakin besar PPAP yang dibentuk. Misalnya, PPAP untuk kredit yang tergolong Kurang Lancar adalah 15% dari jumlah kredit Kurang Lancar (setelah dikurangi agunan), sedangkan untuk kredit Macet, PPAP yang harus dibentuk adalah 100% dari total kredit macet (setelah dikurangi agunan).
xvii
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
Rasio Non Performing Loans/Financing (NPLs/Fs) Adalah rasio kredit/pembiayaan yang tergolong NPLs/Fs terhadap total kredit/pembiayaan. Rasio ini juga sering disebut rasio NPLs/Fs gross. Semakin rendah rasio NPLs/Fs, semakin baik kondisi bank ysb. Rasio Non Performing Loans (NPLs)
Net
Adalah rasio kredit yang tergolong NPLs, setelah dikurangi pembentukan Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP), terhadap total kredit Sistem Bank Indonesia Real Time Settlement (BI RTGS) Adalah proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang
dilakukan
seketika (real time) dengan mendebet maupun mengkredit rekening peserta pada
saat
bersamaan
sesuai
perintah
pembayaran
dan
penerimaan
pembayaran. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI) Adalah sistem kliring Bank Indonesia yang meliputi kliring debet dan kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Adalah persentase jumlah angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Adalah persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja.
xviii