KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Provinsi Nusa Tenggara Timur
Kantor Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur
“Menyongsong Pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang Berkualitas” Februari 2017
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Tim Advisory dan Pengembangan Ekonomi KPW BI Provinsi NTT Jl. El Tari No. 39 Kupang
NTT
[0380] 832-364/827-916 ; fax : [0380] 822-103 www.bi.go.id
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
|
Februari 2017
Kata Pengantar
Sejalan dengan salah satu tugas pokok Bank Indonesia, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur di daerah memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan kontribusi secara optimal dalam proses formulasi kebijakan moneter. Secara triwulanan KPw BI Provinsi NTT melakukan pengkajian dan penelitian terhadap perkembangan perekonomian daerah sebagai masukan kepada Kantor Pusat Bank Indonesia dalam kaitan perumusan kebijakan moneter tersebut. Selain itu kajian/analisis ini dimaksudkan untuk memberikan informasi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi eksternal
stakeholder setempat, yaitu Pemda, DPRD, akademisi, masyarakat serta stakeholder lainnya. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Nusa Tenggara Timur ini mencakup Ekonomi Makro Regional, Perkembangan Inflasi, Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran, Keuangan Pemerintah, Kesejahteraan serta Prospek Perekonomian Daerah pada periode mendatang. Dalam menyusun kajian ini digunakan data yang berasal dari internal Bank Indonesia maupun dari eksternal, dalam hal ini dinas/instansi terkait. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan kajian ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan masukan dari semua pihak untuk meningkatkan kualitas isi dan penyajian laporan. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik dalam bentuk penyampaian data maupun dalam bentuk saran, kritik, dan masukan sehingga kajian ini dapat diselesaikan. Kami mengharapkan kerjasama yang telah terjalin dengan baik selama ini, kiranya dapat terus berlanjut di masa yang akan datang.
Kupang, Februari 2017 Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur
Naek Tigor Sinaga Deputi Direktur
ii
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
|
Februari 2017
Daftar Isi
Halaman Judul ------------------------------------------------------------------------------------------Kata Pengantar -----------------------------------------------------------------------------------------Daftar Isi --------------------------------------------------------------------------------------------------Daftar Grafik --------------------------------------------------------------------------------------------Daftar Tabel ---------------------------------------------------------------------------------------------Daftar Gambar -----------------------------------------------------------------------------------------Ringkasan Umum ---------------------------------------------------------------------------------------Tabel Indikator Ekonomi Terpilih Provinsi Nusa Tenggara Timur ------------------------------
i ii iii vi x xi xii xvi
BAB I EKONOMI MAKRO REGIONAL 1.1 Kondisi Umum ----------------------------------------------------------------------------1.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT Tahun 2016 ------------------------1.1.2. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT Triwulan-IV 2016------------------1.2 Perkembangan Ekonomi Sisi Penggunaan ------------------------------------------1.2.1. Konsumsi --------------------------------------------------------------------------1.2.2. Pembentukan Modal Tetap Bruto/Investasi --------------------------------1.2.3. Ekspor dan Impor ----------------------------------------------------------------1.2.3.1 Ekspor dan Impor Antar Daerah-------------------------------------1.2.3.2 Ekspor dan Impor Luar Negeri ---------------------------------------1.3 Perkembangan Ekonomi Sisi Sektoral------------------------------------------------1.3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan & Perikanan --------------------------------1.3.2. Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial --1.3.3. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Motor ---1.3.4. Sektor Konstruksi ----------------------------------------------------------------1.3.5. Sektor-Sektor Lainnya ------------------------------------------------------------
1 1 2 4 4 9 12 12 13 14 15 18 20 22 23
BAB II KEUANGAN DAERAH 2.1 Kondisi Umum ---------------------------------------------------------------------------2.2 Pendapatan Daerah ---------------------------------------------------------------------2.3 Belanja Daerah --------------------------------------------------------------------------2.3.1. Belanja APBN -------------------------------------------------------------------2.3.2. Belanja Pemerintah provinsi NTT ---------------------------------------------2.3.3. Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota ---------------------------------------2.4 Dana Pemerintah di Perbankan ------------------------------------------------------
43 44 46 48 49 50 52
BOKS 1. Karakter Ekonomi Provinsi NTT dan Kontribusi Terhadap Perekonomian Indonesia --------------------------------------------------------- 28 BOKS 2. Kajian Growth Diagnostic Provinsi NTT --------------------------------------- 32 BOKS 3. Distribusi Bahan Bakar Minyak di Provinsi NTT ------------------------------ 35 BOKS 4. Kondisi Konektivitas Transportasi Laut Barang di Provinsi NTT ---------- 38
BAB III PERKEMBANGAN INFLASI 3.1. Kondisi Umum -------------------------------------------------------------------------- 55 3.1.1. Inflasi Bulanan -------------------------------------------------------------------- 58 3.2. Inflasi Berdasarkan Komoditas ------------------------------------------------------- 60 iii
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
|
Februari 2017
3.2.1. Bahan Makanan -----------------------------------------------------------------3.2.2. Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan ----------------------------3.2.3. Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau ----------------------------------3.2.4. Komoditas Lainnya --------------------------------------------------------------3.3. Disagregasi Inflasi NTT ----------------------------------------------------------------3.3.1 Volatile foods ---------------------------------------------------------------------3.3.2 Administered prices--------------------------------------------------------------3.3.3 Inflasi Inti (Core) ------------------------------------------------------------------3.4. Inflasi NTT Berdasarkan Kota --------------------------------------------------------3.4.1 Inflasi Kota Kupang --------------------------------------------------------------3.4.2 Inflasi Kota Maumere -----------------------------------------------------------3.5. Proyeksi Inflasi Provinsi NTT Triwulan I-2017 -------------------------------------3.6. Aktivitas Pengendalian Inflasi oleh TPID -------------------------------------------BOKS 5. Komoditas Utama Penyumbang Inflasi NTT dalam 6 Tahun Terakhir -BOKS 6. Pola Perdagangan Antar Wilayah di Provinsi NTT ---------------------------
61 62 63 64 65 65 66 66 67 67 69 70 72 75 78
BAB IV STABILITAS KEUANGAN DAERAH 4.1. Kondisi Umum ------------------------------------------------------------------------4.2. Asesmen Kebutuhan Rumah Tangga --------------------------------------------4.2.1. Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga -------------4.2.2. Eksposur Rumah Tangga di Perbankan ----------------------------------4.3. Perkembangan Akses Keuangan dan UMKM -----------------------------------4.3.1. Kondisi Saat Ini dan Prospek Usaha ---------------------------------------4.3.2. Perkembangan Penyaluran Kredit UMKM -------------------------------4.3.3. Perkembangan Risiko Kredit UMKM--------------------------------------4.4. Asesmen Ketahanan Korporasi-----------------------------------------------------4.4.1. Eksposur Perbankan Pada Sektor Korporasi -----------------------------4.5. Asesmen Perbankan ------------------------------------------------------------------4.5.1. Kinerja Bank Umum ----------------------------------------------------------4.5.2 Kinerja Bank Perkreditan Rakyat --------------------------------------------BOKS 7. Penyusunan Regional Finance Accounts Provinsi NTT ---------------------
83 84 84 86 89 89 90 92 93 93 95 95 96 98
BAB V PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH 5.1. Kondisi Umum --------------------------------------------------------------------------103 5.2. Transaksi Pembayaran Tunai ---------------------------------------------------------104 5.2.1. Aliran Uang Masuk (Inflow) dan Aliran Uang Keluar (Outflow) -----104 5.2.2. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) --------------------------105 5.2.3. Perkembangan Uang Palsu (UPAL) -----------------------------------------107 5.2.4. Penerbitan Uang NKRI Tahun Emisi 2016 --------------------------------107 5.3. Transaksi Pembayaran Non Tunai --------------------------------------------------108 5.4. Perkembangan Layanan Keuangan Digital ---------------------------------------109 BAB VI KESEJAHTERAAN DAN KETENAGAKERJAAN 6.1 Kondisi Umum ----------------------------------------------------------------------------111 6.2. Kondisi Kesejahteraan ------------------------------------------------------------------111 6.2.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan ----------------------------------------111 6.2.2 Perkembangan Nilai Tukar Petani -------------------------------------------115 6.2.3 Survei Konsumen (SK) dan Indeks Tendensi Kosumen (ITK) -----------116 6.3. Kondisi Ketenagakerjaan --------------------------------------------------------------116 6.3.1 Kondisi Ketenagakerjaan Secara Umum -----------------------------------116 6.3.2 Kondisi Tenaga Kerja Sektor Manufaktur Besar & Sedang ------------117
iv
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
|
Februari 2017
6.3.3 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) --------------------------------118 --------------------------------------------------------------------------------------------BAB VI PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH 7.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT -------------------------------------------------119 7.1.1 Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan II 2017 ----------------------------119 7.1.1.1 Pertumbuhan Sisi Penggunaan ------------------------------------120 7.1.1.2 Pertumbuhan Sisi Sektoral -----------------------------------------121 7.1.2 Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017 ---------------------------------122 7.2 Inflasi ----------------------------------------------------------------------------------------123 7.2.1 Inflasi Triwulan-II Tahun 2017 -----------------------------------------------123 7.2.2 Inflasi Tahun 2017 --------------------------------------------------------------124 BOKS 8. Perhitungan Potensi Inflasi 2017 -----------------------------------------------125
v
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
|
Februari 2017
DAFTAR GRAFIK Grafik 1.1 PDRB (ADHB) & Pertumbuhan PDRB Tahunan Provinsi NTT dibandingkan Nasional -----------------------------------------------Grafik 1.2 PDRB & Pertumbuhan PDRB Tahunan Beberapa Provinsi di Indonesia------ -------------------------------------------------------------Grafik 1.3 PDRB (ADHB) & Pertumbuhan PDRB Provinsi NTT dibanding Nasional Triwulanan (%yoy) ----------------------------------------------Grafik 1.4 PDRB & Pertumbuhan PDRB Triwulanan NTT, Bali dan Nasional (% yoy) -------------------------------------------------------------Grafik 1.5 Survei Konsumen---- --------------------------------------------------------Grafik 1.6 Survei Penjualan Eceran ----------------------------------------------------Grafik 1.7 Indeks Tendensi Konsumen -----------------------------------------------Grafik 1.8 Indeks Kegiatan Dunia Usaha ---------------------------------------------Grafik 1.9 Perkembangan Konsumsi BBM -------------------------------------------Grafik 1.10 Perkembangan Konsumsi Listrik Rumah Tangga ---------------------Grafik 1.11 Penyaluran Kredit Konsumsi ----------------------------------------------Grafik 1.12 Perkembangan Survei Konsumen ----------------------------------------Grafik 1.13 Perkembangan Survei Penjualan Eceran --------------------------------Grafik 1.14 Proyeksi Indeks Tendensi Konsumen ------------------------------------Grafik 1.15 Perkembangan Realisasi Investasi di Provinsi NTT --------------------Grafik 1.16 Realisasi Konsumsi Semen di Provinsi NTT -----------------------------Grafik 1.17 Perkembangan Peti Kemas ------------------------------------------------Grafik 1.18 Aktivitas Bongkar Muat ----------------------------------------------------Grafik 1.19 Perkembangan Ekspor dan Impor----------------------------------------Grafik 1.20 Negara Tujuan Ekspor ------------------------------------------------------Grafik 1.21 Perkembangan Nilai Tukar Petani ----------------------------------------Grafik 1.22 Data Pengiriman Ternak dari Pelabuhan Tenau -----------------------Grafik 1.23 Perkembangan Kredit Pertanian------------------------------------------Grafik 1.24 Perkembangan SKDU Pertanian ------------------------------------------Grafik 1.25 Proyeksi SKDU Pertanian ---------------------------------------------------Grafik 1.26 Realisasi Belanja Konsumsi Pemerintah Tahun 2016 ----------------Grafik 1.27 Realisasi Belanja Konsumsi Pemerintah Triwulan IV-2016 ----------Grafik 1.28 Perkembangan Simpanan Pemerintah di Perbankan ----------------Grafik 1.29 Perkembangan SKDU Sektor Perdagangan ----------------------------Grafik 1.30 Perkembangan Survei Konsumen ---------------------------------------Grafik 1.31 Perkembangan Kredit Sektor Perdagangan ---------------------------Grafik 1.32 Proyeksi SKDU Perdagangan ---------------------------------------------Grafik 1.33 Perkembangan Tamu Hotel ----------------------------------------------Grafik 1.34 Perkembangan Penumpang Bandara -----------------------------------Grafik 1.35 Perkembangan NTB Perbankan-------------------------------------------Grafik Boks 1.1. Rangking PDRB dan Jumlah Penduduk 34 Provinsi Indonesia Grafik Boks 1.2. Rangking PDRB Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi 34 Provinsi di Indonesia -----------------------------------------------Grafik Boks 1.3. Struktur Ekonomi Provinsi NTT Berdasarkan Sektoral ---------Grafik Boks 1.4. Struktur Ekonomi Provinsi NTT Berdasarkan Penggunaan ----Grafik Boks 1.5. Andil Pertumbuhan Ekonomi Sektoral di Provinsi NTT --------Grafik Boks 1.6. Andil Pertumbuhan Ekonomi Penggunaan di Provinsi NTT --Grafik Boks 1.7. Rangking PDRB dan Jumlah Penduduk 22 Kab/Kota di NTT --
2 2 3 3 6 6 7 7 7 7 7 9 9 9 11 11 13 13 14 14 17 17 17 17 18 19 19 19 21 21 21 22 24 24 25 28 28 29 29 30 30 30
vi
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
|
Februari 2017
Grafik Boks 1.8. Rangking PDRB Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi 22 Kab/ Kota di NTT -------------------------------------------------------------- 30 Grafik Boks 2.1. Kondisi Pendidikan Angkatan Kerja -------------------------------- 33 Grafik Boks 2.2. Angka Partisipasi Sekolah Provinsi NTT ---------------------------- 33 Grafik Boks 3.1. Penyaluran BBM di Provinsi NTT ------------------------------------- 35 Grafik Boks 3.2. Pangsa Penyaluran BBM di Provinsi NTT --------------------------- 35 Grafik Boks 3.3. Rasio Penyaluran BBM dengan PDRB Sektor Transportasi dan Komunikasi -------------------------------------------------------- 37 Grafik Boks 3.4. Rasio Penggunaan BBM Berdasarkan Rumah Tangga dan Kendaraan---------------------------------------------------------------- 37 Grafik Boks 4.1. Arus Barang Berdasarkan Perdagangan dan Distribusi di Pelabuhan Tenau ---------------------------------------------------- 40 Grafik Boks 4.2. Arus Barang Berdasarkan Perdagangan dan Distribusi di Pelabuhan NTT ------------------------------------------------------- 40 Grafik Boks 4.3. Kapasitas Muatan Sapi Per Tahun ---------------------------------- 41 Grafik 2.1 Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT -------------------------------------- 43 Grafik 2.2 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBN ------------------------------ 44 Grafik 2.3 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBD Provinsi/Kab-Kota ------ 44 Grafik 2.4 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Komponennya Triwulan-IV 2016 ------------------------------------------- 45 Grafik 2.5 Pangsa Belanja Kabupaten/ Kota ------------------------------------------ 46 Grafik 2.6 Perkembangan Realisasi Belanja Daerah ---------------------------------- 47 Grafik 2.7 Perkembangan Realisasi Belanja Modal ----------------------------------- 47 Grafik 2.8 Pertumbuhan Realisasi Belanja (% yoy) ----------------------------------- 47 Grafik 2.9 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kab/Kota di NTT ---- 48 Grafik 2.10 Pangsa Realisasi Belanja Konsumsi APBN Pemerintah dan APBD -- 49 Grafik 2.11 Realisasi Belanja dan Komponennya Pemerintah Provinsi, dan Kab/Kota di NTT --------------------------------------------------------- 51 Grafik 2.11 Dana Pihak Ketiga Pemerintah di Perbankan NTT --------------------- 52 Grafik 3.1 Inflasi Tahunan Provinsi NTT dan Nasional 2001-2016 ---------------- 56 Grafik 3.2 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Sepanjang 2016 di NTT ----- 56 Grafik 3.3 Inflasi Tahunan Provinsi NTT dan Nasional Secara Triwulanan ------- 57 Grafik 3.4 Perbandingan Inflasi 5 regional di Indonesia ----------------------------- 60 Grafik 3.5 Perbandingan Inflasi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara -------------- 60 Grafik 3.6 Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan ----------------------------------------- 61 Grafik 3.7 Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan per Sub Kelompok Komoditas ---------------------------------------------------------- 61 Grafik 3.8 Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan ------ 63 Grafik 3.9 Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan per Sub Kelompok Komoditas -------------------- 63 Grafik 3.10 Inflasi Kelompok Komoditas Makanan Jadi,Minuman dan Tembakau secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan ---------------- 64 Grafik 3.11 Inflasi Kelompok Komoditas Komoditas Makanan Jadi,Minuman Dan Tembakau per Sub Kelompok Komoditas------------------------- 64 Grafik 3.12 Disagregasi Inflasi dan Sumbangan Inflasi Tahunan Provinsi Nusa Tenggara Timur --------------------------------------------- 65 Grafik 3.13 Ekspektasi Harga Konsumen 3 dan 6 Bulan ke Depan --------------- 67 Grafik 3.14 Inflasi Tahunan Kota Kupang --------------------------------------------- 68 vii
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
|
Februari 2017
Grafik 3.15 Inflasi Tahunan Kota Maumere ------------------------------------------- 70 Grafik Boks 5.1. Korelasi Pergerakan Gabungan 10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi dan Deflasi di Kota Kupang 6 tahun Terakhir dengan Inflasi Kota Kupang ------------------------------ 75 Grafik Boks 5.2. Korelasi Pergerakan Gabungan 10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi dan Deflasi di Kota Maumere 6 tahun Terakhir dengan Inflasi Kota Maumere ---------------------------- 75 Grafik Boks 5.3. Pola Pergerakan Inflasi 19 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi di Kota Kupang 6 Tahun Terakhir -------------------------- 76 Grafik Boks 5.4. Pola Pergerakan Inflasi 25 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi di Kota Maumere 6 Tahun Terakhir ------------------------ 76 Grafik 4.1 Kontribusi Konsumsi RT terhadap Agregat ------------------------------- 84 Grafik 4.2 IKK, IKE dan IEK ---------------------------------------------------------------- 84 Grafik 4.3 Indeks Pengeluaran Berdasarkan Kelompok Komoditas --------------- 85 Grafik 4.4 Indeks Sikap Masyarakat Terhadap Kasus Kejahatan Perbankan ---- 85 Grafik 4.5 Pangsa DPK Rumah Tangga dan Non Rumah Tangga ----------------- 86 Grafik 4.6 Pertumbuhan DPK ------------------------------------------------------------- 86 Grafik 4.7 Preferensi DPK Rumah Tangga ---------------------------------------------- 87 Grafik 4.8 Pertumbuhan DPK Rumah Tangga ----------------------------------------- 87 Grafik 4.9 Kredit Konsumsi Rumah Tangga -------------------------------------------- 88 Grafik 4.10 Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga ------------------------------------- 88 Grafik 4.11 Perkembangan Dunia Usaha ----------------------------------------------- 90 Grafik 4.12 Kondisi Keuangan ------------------------------------------------------------ 90 Grafik 4.13 Pertumbuhan Kredit UMKM ----------------------------------------------- 91 Grafik 4.14 NPL UMKM -------------------------------------------------------------------- 91 Grafik 4.15 Pertumbuhan Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha --------------- 91 Grafik 4.16 Pertumbuhan Kredit UMKM 7 Sektor Ekonomi------------------------ 92 Grafik 4.17 NPL UMKM Berdasarkan Jenis Usaha ------------------------------------ 93 Grafik 4.18 NPL UMKM 3 Sektor --------------------------------------------------------- 93 Grafik 4.19 Pertumbuhan Tahunan Kredit Korporasi -------------------------------- 94 Grafik 4.20 NPL Kredit Sektor Korporasi ------------------------------------------------ 94 Grafik 4.21 NPL Kredit 4 Sektor Korporasi --------------------------------------------- 94 Grafik 4.22 Pertumbuhan DPK (yoy) dan Kredit (yoy) -------------------------------- 95 Grafik 4.23 Perkembangan LDR ---------------------------------------------------------- 95 Grafik 4.24 BOPO dan ROA Bank Umum ----------------------------------------------- 96 Grafik 4.25 LDR dan CAR BPR ------------------------------------------------------------ 97 Grafik 4.26 BOPO, ROA, NPL BPR -------------------------------------------------------- 97 Grafik 5.1 Perkembangan Inflow/Outflow di Provinsi NTT --------------------------103 Grafik 5.2 Perkembangan Transaksi Tunai ---------------------------------------------104 Grafik 5.3 Perkembangan Transaksi Kliring --------------------------------------------104 Grafik 5.4 Share Setoran Bank 2016 ----------------------------------------------------105 Grafik 5.5 Share Bayaran Bank 2016 ----------------------------------------------------105 Grafik 5.6 Perkembangan Inflow, Outflow dan UTLE --------------------------------106 Grafik 5.7 Perkembangan UTLE di Provinsi NTT ---------------------------------------106 Grafik 5.8 Perkembangan UPAL di Provinsi NTT --------------------------------------107 Grafik 5.9 5 Daerah Terbesar Tujuan SKNBI NTT -------------------------------------109 Grafik 5.10 5 Daerah Terbesar Asal SKNBI NTT ---------------------------------------109 Grafik 6.1 Perbandingan Prosentase Kemiskinan Provinsi NTT dan Nasional ---112 Grafik 6.2 Sepuluh Provinsi dengan Jumlah Prosentase Penduduk Miskin Tertinggi --------------------------------------------------------------------------112
viii
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
|
Februari 2017
Grafik 6.3 Prosentase Penduduk Miskin di NTT ---------------------------------------113 Grafik 6.4 Gini Ratio Nasional dan NTT -------------------------------------------------113 Grafik 6.5 Perkembangan Garis Kemiskinan -------------------------------------------113 Grafik 6.6 Sepuluh Peringkat Terendah Garis Kemiskinan --------------------------113 Grafik 6.7 Indeks Kedalaman Kemiskinan ----------------------------------------------114 Grafik 6.8 Indeks Keparahan Kemiskinan ----------------------------------------------114 Grafik 6.9 Perkembangan Nilai Tukar Petani-------------------------------------------115 Grafik 6.10 Perkembangan Nilai Tukar Petani Per Sektor ---------------------------115 Grafik 6.11 Perkembangan Survei Konsumen-BI dan Indeks Tendensi Konsumen BPS ----------------------------------------------------------------116 Grafik 6.12 Perkembangan Tenaga Kerja di NTT -------------------------------------117 Grafik 6.13 Perkembangan Status Pekerja ---------------------------------------------117 Grafik 6.14 Porsentase Penyerapan Tenaga Kerja Industri Manufaktur Besar dan Sedang ------------------------------------------------------------117 Grafik 6.15 Perkembangan Produktivitas Industri Manufaktur Besar dan Sedang --------------------------------------------------------------------------117 Grafik 6.16 Perkembangan Indeks Tenaga Kerja SKDU -----------------------------118 Grafik 7.1 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan-II 2017 ---------------120 Grafik 7.2 Survei Konsumen --------------------------------------------------------------121 Grafik 7.3 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017 ----------------------123 Grafik 7.4 Prediksi Inflasi Tw II 2017 dan 2017 ---------------------------------------124
ix
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
|
Februari 2017
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Pengeluaran 2016 -------------------- 4 Tabel 1.2 PDRB Komponen Konsumsi Rumah Tangga Provinsi NTT 2016 ----- 6 Tabel 1.3 PDRB Komponen Konsumsi Pemerintah Provinsi NTT 2016 ---------- 8 Tabel 1.4 PDRB Komponen PMTB/Investasi Provinsi NTT 2016 ------------------ 11 Tabel 1.5 Lokasi dan Sektor Utama Investasi di NTT Tahun 2016 --------------- 11 Tabel 1.6 PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Sektor Ekonomi 2016 ---------------- 15 Tabel 1.7 Perkembangan Pengiriman Sapi -------------------------------------------- 17 Tabel Boks 2.1 Matriks Hambatan Utama Perekonomian di Provinsi NTT ------- 32 Tabel Boks 2.2 Matriks Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja -------------------------------------------------------------- 34 Tabel 2.1 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten /Kota di Provinsi NTT ------------------------------------------------------------------ 48 Tabel 2.2. Komposisi DPK Pemerintah di NTT ---------------------------------------- 52 Tabel 2.3 Ringkasan Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT ------------------- 53 Tabel 3.1 10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Tahunan di Provinsi NTT 57 Tabel 3.2 Komoditas Penyumbang Inflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT ---- 59 Tabel 3.3 Komoditas Penyumbang Deflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT -- 59 Tabel 3.4 Inflasi di NTT Berdasarkan Kelompok Komoditas ----------------------- 61 Tabel 3.5 Inflasi di Kota Kupang berdasarkan Kelompok Komoditas ---------- 68 Tabel 3.6 Inflasi di Kota Maumere berdasarkan Kelompok Komoditas -------- 70 Tabel 4.1 Komposisi Kredit Rumah Tangga di Provinsi NTT ----------------------- 89 Tabel 4.2 Perkembangan Indikator Utama Bank Umum di NTT ------------------ 95 Tabel Boks 7.1 Regional Financial Accounts -------------------------------------------100 Tabel Boks 7.2 Aliran Perpindahan Aset & Kewajiban Antar Pelaku Ekonomi -101 Tabel 5.1 Perkembangan Kegiatan KPw BI Provinsi NTT ---------------------------106 Tabel Boks 8.1 Perhitungan Potensi Inflasi di Kota Kupang dan Kota Maumere Menggunakan Pendekatan Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Daerah --------------------------------------------126
x
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
|
Februari 2017
DAFTAR GAMBAR Gambar Boks 3.1 Peta Distribusi BBM Per Kab/Kota di Provinsi NTT ------------- 36 Gambar Boks 4.1 Peta Alur Transportasi Laut Barang ------------------------------- 39 Gambar 2.1 Realisasi Belanja Modal Kab/Kota di Provinsi NTT -------------------- 52 Gambar 3.1 Kegiatan TPID Provinsi NTT 2016 & Sebaran Pembentukan TPID - 74 Gambar Boks 6.1 Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Beras ----------- 78 Gambar Boks 6.2 Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Gula Pasir ----- 79 Gambar Boks 6.3 Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Cabai Merah - 80 Gambar Boks 6.4 Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Bawang Merah-------------------------------------------------------- 81 Gambar Boks 7.1 Kerangka Integrated Economic Accounts ----------------------- 99 Gambar Boks 7.2 Konsep Penyusunan FABS ------------------------------------------100
xi
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Februari 2017
Ringkasan Umum
KER Provinsi Nusa Tenggara Timur Februari 2017 EKONOMI MAKRO REGIONAL Produk Domestik Bruto (PDRB) Provinsi NTT pada tahun 2016 mencapai Rp 84,17 triliun (harga berlaku) dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,18% (yoy) meningkat dibandingkan pertumbuhan tahun 2015 yang sebesar 5,03% (yoy) dan nasional yang sebesar 5,02% (yoy). Komponen pendorong utama pertumbuhan ekonomi NTT pada tahun 2016 terutama adalah konsumsi rumah tangga yang tumbuh mencapai 6,80% (yoy). Perbaikan daya beli masyarakat timbul karena peningkatan pendapatan seiring adanya gaji ke-13 & 14 PNS, peningkatan pendapatan sektor pertanian dan dorongan kegiatan proyek-proyek Pemerintah dan Swasta. Selain itu, kegiatan bersifat regional maupun nasional di NTT, seperti Hari Keluarga Nasional (Harganas), Alor Expo, Sunda
Kecil Expo, Pameran Pembangunan, dan Tour De Flores juga mendorong tumbuhnya konsumsi masyarakat di NTT. Sementara itu, PDRB NTT pada triwulan IV-2016 mencapai Rp 22,09 triliun (ADHB) dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,19% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan III yang sebesar 5,11% (yoy) dan nasional yang sebesar 4,94% (yoy). Dari sisi penggunaan, pertumbuhan juga didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga yang mencapai 7,27% (yoy) dan Pembentukan Modal Tetap Bruto sebesar 4,45% (yoy), meningkat dibandingkan pertumbuhan tahunan pada periode triwulan III2016. Peningkatan ini ditengarai disebabkan oleh musim panen komoditas perkebunan seperti jambu mete, kopra dan kakao dan telah masuknya panen komoditas padi, serta adanya momen natal, libur sekolah dan menjelang akhir tahun. Sementara itu, peningkatan kegiatan investasi didorong oleh beberapa kegiatan proyek pemerintah dan swasta, diantaranya bendungan, sarana irigasi dan perairan, gedung pemerintahan, pasar, pos lintas batas negara, rumah sakit, sarana perbelanjaan dan hotel. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan I-2017 diperkirakan akan cukup stabil dengan kisaran 5-5,4% (yoy) yang didorong oleh pertumbuhan sektor perdagangan dan administrasi pemerintahan seiring penyelenggaraan pemilu di 3 (tiga) daerah dan kegiatan konstruksi seiring adanya proyek multiyears, seperti bendungan dan Pos Lintas Batas Negara serta perpanjangan proyek tahun 2016 selama 50 hari di tahun 2017. Selain itu, panen komoditas padi yang masih terjadi juga menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi lainnya.
xii
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
|
Februari 2017
KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH Berdasarkan data sementara per 30 Desember 2016, realisasi pendapatan pemerintah di Provinsi NTT pada hingga akhir tahun 2016 telah mencapai Rp 25,99 triliun atau 104,27% dari total rencana pendapatan tahun 2016 sebesar Rp 24,92 triliun. Sementara itu, realisasi belanja pemerintah mencapai Rp 30,95 triliun atau 87,11% dari pagu belanja tahun 2016 sebesar Rp 35,52 triliun, jumlah tersebut meningkat dibandingkan realisasi tahun 2015 yang sebesar Rp 24,98 triliun yang terutama didorong oleh peningkatan realisasi belanja konsumsi di tengah penurunan realisasi belanja modal. Upaya pemerintah dalam merealisasikan anggaran sejak paruh pertama 2016 tampaknya cukup efektif, sehingga secara kumulatif realisasi APBN, APBD provinsi dan kabupaten/kota lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi Provinsi NTT tahun 2016 mengalami penurunan signifikan dibanding tahun sebelumnya, yaitu dari 4,92% (yoy) di tahun 2015 menjadi 2,48% (yoy) di tahun 2016, lebih rendah dibanding inflasi nasional yang sebesar 3,02% (yoy) atau rata-rata inflasi NTT dalam 3 tahun terakhir yang sebesar 5,05% (yoy). Hal ini menjadikan inflasi tahunan NTT menjadi capaian inflasi terendah setidaknya dalam 15 tahun terakhir. Besarnya penurunan tersebut, selain disebabkan oleh kondisi pasokan yang relatif lebih terjaga dibanding tahun sebelumnya, juga disebabkan oleh kenaikan inflasi di triwulan IV 2016 yang tidak setinggi tahun sebelumnya, sehingga secara tahunan mengalami penurunan. Komoditas padi-padian, sayur-sayuran serta daging dan hasil-hasilnya yang pada tahun sebelumnya menjadi penyumbang utama inflasi NTT, cenderung relatif stabil dan bahkan untuk komoditas padi-padian mengalami penurunan di tahun 2016. Penurunan inflasi juga didorong kelompok komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan yang mengalami deflasi seiring adanya penurunan tarif penerbangan sebagai dampak positif bertambahnya jumlah penerbangan di NTT. Di sisi lain, inflasi pada triwulan I-2017 diperkirakan mengalami peningkatan yang terutama disebabkan oleh kenaikan tarif listrik untuk rumah tangga 900VA pada bulan Januari dan potensi kenaikan kembali pada bulan Maret 2017. Dorongan inflasi juga terjadi dari kenaikan biaya perpanjangan STNK dan kenaikan harga bahan makanan seiring kondisi cuaca yang kurang baik di awal tahun.
xiii
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
|
Februari 2017
PERKEMBANGAN STABILITAS KEUANGAN Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Provinsi NTT pada triwulan laporan masih cukup terjaga yang terindikasi pada masih positifnya pertumbuhan indikator perbankan berupa aset dan kredit. Di sisi lain meskipun terjadi perlambatan pada komponen kredit UMKM, namun pertumbuhan yang masih cukup tinggi sebesar 16,71% (yoy) dan rasio kredit bermasalah yang masih terjaga sebesar 2,97% menunjukkan perkembangan kredit yang masih cukup baik. Sementara itu, adanya peningkatan rasio NPL kredit korporasi perlu untuk menjadi perhatian perbankan agar lebih mencermati profil debitur dan model bisnis debitur selain mengejar pencapaian pertumbuhan kredit kepada korporasi. PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN Selama tahun 2016, transaksi sistem pembayaran tunai di NTT cenderung mengalami perlambatan. Jumlah uang yang beredar di masyarakat atau net-outflow pada tahun 2016 sebesar Rp.1.407,97 miliar, menurun jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang mencapai Rp.1.896,83 miliar. Sementara itu, transaksi sistem pembayaran tunai di triwulan IV 2016 tercatat cukup stabil yang didorong oleh aliran net-outflow pada triwulan IV 2016 yang mencapai Rp.1.566,87 miliar, lebih tinggi dibandingkan triwulan III 2016 yang hanya sebesar Rp.394,56 miliar. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi NTT pada komponen konsumsi rumah tangga yang berkaitan dengan momen hari raya natal dan tahun baru 2017. Sementara itu dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat terkait kebutuhan uang layak edar, pada tahun 2016 Bank Indonesia telah meresmikan penambahan kas titipan di 3 (tiga) daerah yaitu Ende, Ruteng (Kab. Manggarai) serta Lewoleba (Kab. Lembata). Di sisi lain, transaksi non tunai yaitu kliring di NTT juga mengalami perlambatan. pada triwulan IV 2016 baik secara nominal maupun volume warkat yang ditengarai seiring dengn perlambatan investasi pemerintah. Sementara itu, dalam upaya menjaga kelancaran transaksi pembayaran non tunai, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT terus mendorong Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) melalui Layanan Keuangan Digital (LKD) dan elektronifikasi serta melakukan monitoring pada bank Koordinator Pertukaran Warkat Debit (KPWD). PERKEMBANGAN KESEJAHTERAAN DAN KETENAGAKERJAAN Persentase penduduk miskin di Provinsi NTT pada bulan September 2016 menunjukkan perbaikan walaupun tidak terlalu signifikan menjadi 22,01% dibandingkan dengan Maret 2016 yang sebesar 22,19% dan September 2015 (22,58%). Menurunnya xiv
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
|
Februari 2017
presentase penduduk miskin ini juga dibarengi dengan menurunnya angka indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan yang mengindikasikan adanya perbaikan kondisi sosial masyarakat NTT pada tahun 2016 dibandingkan 2015 dan potensi penurunan penduduk miskin di masa datang. Dari sisi ketenagakerjaan, terjadi perbaikan kondisi tenaga kerja yang terlihat pada penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulan Agustus 2016 yang tercatat sebesar 3,25% dibandingkan bulan Februari yang 3,59%. Perbaikan juga terindikasi dari peningkatan porsi tenaga kerja formal yang menunjukkan adanya perbaikan kualitas SDM di NTT. Kondisi tenaga kerja yang positif juga terindikasi pada indikator Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia triwulan IV-2016. PROSPEK PEREKONOMIAN Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2017 diperkirakan berada pada kisaran 5,15,5% (yoy) yang didorong oleh peningkatan pendapatan masyarakat dari sektor pertanian seiring panen Perdana padi musim 2017 serta pencairan gaji ke-13 dan 14 PNS. Adanya libur keagamaan (Idul Fitri) dan libur sekolah pada bulan Juni diperkirakan turut mendorong belanja masyarakat. Sementara itu pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2017 diperkirakan juga berada pada kisaran 5,1-5,5% (yoy) yang masih didorong oleh sektor konstruksi, perdagangan besar dan eceran serta administrasi pemerintahan. Selain juga didukung pertumbuhan sektor pertanian sebagai sektor utama. Dari sisi perkembangan inflasi, pencapaian inflasi pada triwulan-II 2017 diperkirakan berada pada rentang 4-4,4% (yoy) yang disebabkan oleh adanya penyesuaian tarif pada komponen harga yang diatur pemerintah (listrik dan STNK) serta kondisi cuaca awal tahun. Sementara pencapaian inflasi sepanjang tahun 2017 diperkirakan berada pada rentang 4,8-5,2% (yoy) yang dipengaruhi oleh cukup rendahnya harga komoditas bahan makanan di tahun sebelumnya serta kenaikan harga komponen yang diatur pemerintah.
xv
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Februari 2017
Tabel Indikator Ekonomi Terpilih Provinsi Nusa Tenggara Timur I. EKONOMI MAKRO REGIONAL INDIKATOR
2015
Berdasarkan Sektor/ Lapangan Usaha (Harga Berlaku) Produk Domestik Regional Bruto (Harga Berlaku) Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya Berdasarkan Permintaan / Penggunaan (Harga Berlaku) Produk Domestik Regional Bruto (Harga Berlaku) 1. Konsumsi Rumah Tangga 2. Konsumsi Lembaga Non Profit (LNPRT) 3. Konsumsi Pemerintah 4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 5. Perubahan Inventori 6. Ekspor Luar Negeri 7. Impor Luar Negeri 8. Net Ekspor Antar Daerah (Impor)
2016 %yoy*)
2016
2015 IV
III
IV
2016 % qtq**) %yoy***)
76,190.9 22,765.5 1,073.5 940.9 43.6 47.2 7,908.2 8,272.3 3,986.6 487.1 5,477.4 2,995.5 2,054.3 235.5 9,375.0 7,303.2 1,585.5 1,639.5
84,172.6 24,315.8 1,166.8 1,034.3 59.4 49.0 9,095.3 9,321.8 4,528.3 586.1 5,878.5 3,362.9 2,209.5 257.2 10,665.0 8,103.3 1,768.0 1,771.4
5.18 20,299.5 21,875.2 22,096.6 2.23 5,627.5 6,417.8 6,094.6 5.66 292.4 301.7 309.4 4.98 259.3 265.2 279.2 14.61 13.7 15.3 16.0 0.38 12.3 12.7 12.8 8.46 2,244.0 2,389.2 2,465.0 6.77 2,217.5 2,456.3 2,487.9 6.73 1,089.8 1,186.1 1,210.7 14.46 137.0 154.6 159.8 6.76 1,462.3 1,511.0 1,569.3 8.47 799.2 838.7 899.0 3.41 550.9 567.4 577.5 2.83 62.3 66.4 69.5 5.63 2,628.6 2,731.1 2,827.9 4.18 2,041.2 2,068.0 2,182.0 6.19 432.9 443.9 473.6 3.55 428.6 449.9 462.3
0.28 -6.05 2.43 4.17 3.72 1.10 2.80 0.40 2.07 2.72 3.23 5.90 1.72 4.13 2.15 4.88 5.89 1.90
5.19 4.53 3.19 3.41 11.52 1.27 8.48 7.57 5.48 13.01 7.23 8.38 3.53 5.57 1.60 2.51 5.20 4.32
76,190.9 57,361.6 2,539.4 21,765.7 30,996.1 967.6 1,592.0 261.5
84,172.6 64,246.5 2,636.9 22,518.3 35,725.0 458.3 1,287.6 274.8
5.18 20,299.5 21,875.2 22,096.6 6.80 15,875.4 16,073.1 17,390.2 0.41 727.6 677.2 744.9 -0.36 7,289.5 6,946.7 7,359.4 5.06 8,827.5 9,341.9 10,143.2 -55.80 352.4 136.7 166.7 -20.81 349.5 330.6 315.3 5.91 72.6 93.4 51.9
0.28 4.01 8.95 3.08 6.41 19.70 5.01 -44.96
5.19 7.27 -0.29 -3.08 4.42 -55.29 -1.86 -29.03
-38,770.0 -42,425.1
2.00 -13,049.8 -11,537.6 -13,971.3
12.15
0.99
Data Ekspor Impor di Provinsi NTT Ekspor Nilai Ekspor Nonmigas (ribu USD)
21,194
21,393
0.94
5,655
5,042
6,074
20.46
7.40
Volume Ekspor Nonmigas (ton)
78,589
102,733
30.72
24,964
32,105
25,575
-20.34
2.45
5,465 3,633
12,367 22,401
126.32 516.68
1,439 760
3,388 614
652 1,518
-80.75 147.25
-54.67 99.60
III
IV
2017 JAN
126.10 127.42 117.47
124.48 125.41 118.41
128.12 129.07 121.86
129.07 130.09 122.35
5.02 5.23 3.57
3.07 3.18 2.28
2.48 2.31 3.62
2.48 2.32 3.61
Impor Nilai Impor Nonmigas (ribu USD) Volume Impor Nonmigas (ton) Ket: Dalam Rp Miliar (ADHB) *) Total Pertumbuhan 2016 dibandingkan 2015 **) Pertumbuhan Q4 2016 dibandingkan Q3 2016 ***) Pertumbuhan Q4 2016 dibandingkan Q4 2015 ****) Untuk mengukur pertumbuhan digunakan PDRB Harga Konstan
II. INFLASI INDIKATOR Indeks Harga Konsumen NTT - Kota Kupang - Maumere Laju Inflasi Tahunan (yoy %) NTT - Kota Kupang - Maumere
2014 I
II
2015 III
IV
I
II
2016 III
IV
125.02 124.56 126.15 125.64 117.60 117.50
112.52 112.91 110.00
113.27 113.63 110.93
113.15 113.50 110.85
119.15 120.06 113.20
118.59 119.47 112.81
120.07 121.09 113.42
120.78 121.54 115.77
7.78 7.99 6.39
8.10 8.31 6.70
4.13 4.27 3.19
7.76 8.32 4.00
5.39 5.81 2.55
6.01 6.57 2.24
6.74 7.08 4.44
4.92 5.07 3.89
I
5.04 5.16 4.16
II
xvi
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Februari 2017
II. PERBANKAN INDIKATOR
2015
2014
2016
I A. Bank Umum Konvensional dan Syariah (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain) 1. Total Aset 28,602 29,757 23,316 2. DPK 21,478 21,466 16,804 - Giro 4,372 3,722 3,954 - Tabungan 11,933 12,819 8,515 - Deposito 5,173 4,924 4,336 3. Kredit Berdasarkan Lokasi Proyek 20,284 22,837 15,695 - Modal Kerja 6,110 7,121 4,385 - Investasi 1,650 1,659 1,343 - Konsumsi 12,524 14,057 9,968 4. Kredit Berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 19,492 21,913 15,071 - Modal Kerja 5,922 6,813 4,322 - Investasi 1,381 1,474 1,115 - Konsumsi 12,189 13,627 9,634
D. Pangsa BPR Terhadap Grand Total 1. Total Aset (%) 2. Dana Pihak Ketiga (%) 3. Pembiayaan berdasarkan Lokasi Kantor Cabang (%)
1.8% 1.7% 1.8%
2.0% 2.1% 2.0%
I
II
2016
III
IV
26,398 18,465 5,310 8,475 4,680 16,587 4,822 1,443 10,322 15,947 4,742 1,201 10,004
27,114 18,895 5,015 8,959 4,922 17,153 5,061 1,443 10,649 16,532 5,008 1,235 10,289
25,600 18,367 3,634 10,306 4,427 17,698 5,261 1,536 10,900 17,094 5,252 1,309 10,534
29,877 19,648 5,412 9,046 5,190 17,843 5,260 1,533 11,049 17,226 5,218 1,318 10,690
32,778 21,581 6,290 9,106 6,186 18,908 5,698 1,641 11,569 18,198 5,626 1,359 11,212
32,750 22,341 6,537 9,644 6,159 19,742 6,072 1,570 12,100 18,897 5,848 1,338 11,710
28,602 21,478 4,372 11,933 5,173 20,284 6,110 1,650 12,524 19,492 5,922 1,381 12,189
86.4% 4,922
87.5% 5,176
93.1% 5,329
87.7% 5,422
84.3% 84.6% 5,814 6,180
355 257 294 85.6%
374 275 306 84.1%
415 309 319 79.4%
23,660 17,055 15,341
26,753 18,723 16,241
27,487 19,170 16,838
1.5% 1.5% 1.8%
1.3% 1.4% 1.8%
I
II
LDR (%) 90.8% 102.1% 89.7% Kredit UMKM 6,301 7,358 4,324 B. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain) Total Aset 510 620 343 Dana Pihak Ketiga 381 469 250 Kredit Berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 366 449 270 LDR (%) 76.7% 75.2% 82.6% C. Grand Total (A+B) (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain) 1. Total Aset 29,112 30,377 2. Dana Pihak Ketiga 21,859 21,935 3. Pembiayaan berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 19,858 22,362
2015
II
III
IV
I
II
III
IV
30,931 21,945 5,604 10,449 5,893 20,525 6,127 1,567 12,830 19,556 5,748 1,317 12,491
32,321 23,829 6,429 11,150 6,250 21,731 6,693 1,696 13,342 20,845 6,409 1,442 12,995
30,327 22,405 5,059 11,063 6,283 22,383 7,050 1,661 13,672 21,508 6,764 1,472 13,272
29,757 21,466 3,722 12,819 4,924 22,837 7,121 1,659 14,057 21,913 6,813 1,474 13,627
90.8% 6,301
89.1% 6,395
87.5% 6,933
96.0% 102.1% 7,308 7,358
437 311 330 80.5%
454 482 510 331 353 381 349 354 366 82.4% 80.5% 76.70%
535 403 368 77.6%
545 412 389 79.8%
572 434 421 77.9%
620 469 449 75.2%
26,016 18,676 17,413
30,314 19,959 17,556
33,233 33,232 21,912 22,694 18,546 19,250
29,112 21,859 19,858
31,466 22,348 19,924
32,866 24,241 21,235
30,900 22,839 21,929
30,377 21,935 22,362
1.4% 1.4% 1.8%
1.6% 1.7% 1.8%
1.4% 1.6% 1.9%
1.4% 1.5% 1.9%
1.4% 1.6% 1.8%
1.8% 1.7% 1.8%
1.7% 1.8% 1.8%
1.7% 1.7% 1.8%
1.9% 1.9% 1.9%
2.0% 2.1% 2.0%
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
III. SISTEM PEMBAYARAN INDIKATOR
2015
2016
2014
Transaksi Tunai Inflow (Rp. Triliun) 3.7 4.2 1.4 0.7 Outflow (Rp. Triliun) 5.6 5.6 0.3 0.8 Uang Palsu (lembar) 1,098 178 14 11 Transaksi Non Tunai BI-RTGS* To NTT Nominal Transaksi BI-RTGS (Rp. Triliun) 135.76 15 14.18 13.05 Volume Transaksi BI-RTGS (lembar warkat) 21,758 658 7,809 7,868 Kliring Nominal Kliring Penyerahan (Rp. Triliun) 6.32 12.66 0.84 0.85 Volume Perputaran Kliring Penyerahan (lembar warkat) 201,975 302,914 34,677 36,188 Cek/BG Kosong 1,203 1,020 179 175 *Data Triwulan III dan IV 2016 tidak tersedia karena adanya perubahan sistem di Bank Indonesia
2015
2016
0.8 1.3 39
0.5 2.1 8
1.8 0.4 27
0.5 0.9 966
0.8 1.7 52
0.5 2.6 53
1.8 0.3 25
0.7 1.7 89
0.9 1.3 38
0.7 2.3 26
29.84 8,776
35.63 9,294
34.61 5,984
43.75 6,086
41.55 5,877
15.84 3,811
8.69 323
6.76 335
0.00 0.00
0.00 0.00
0.91 37,809 276
1.19 43,610 267
0.99 39,971 300
0.93 1.38 40,708 48,453 254 342
3.01 72,843 307
3.11 67,315 229
3.36 75,723 247
2.81 73,560 244
3.38 86,316 300
xvii
EKONOMI MAKRO REGIONAL Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada tahun 2016 mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun 2015. Pendorong utama pertumbuhan ekonomi terutama berasal dari peningkatan daya beli masyarakat yang terlihat dari komponen konsumsi rumah tangga. Sementara pertumbuhan sisi sektoral terutama berasal dari sektor 1) Konstruksi serta 2)Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor. Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada tahun 2016 tercatat sebesar 5,18% (yoy) lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 5,03% (yoy) ataupun nasional yang tumbuh sebesar 5,02% (yoy) pada tahun 2016. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi NTT pada triwulan IV-2016 tercatat sebesar 5,19% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan III yang sebesar 5,11%(yoy). Sumber pertumbuhan terutama berasal dari peningkatan pertumbuhan sektor pertanian sebagai sektor utama dan didukung pertumbuhan yang cukup tinggi pada sektor konstruksi serta sektor perdagangan besar dan eceran. Dari tracking pertumbuhan ekonomi triwulan I-2017 diperkirakan cukup stabil seiring dorongan pertumbuhan tahunan pada sektor perdagangan, konstruksi dan administrasi pemerintahan.
1.1 Kondisi Umum 1.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT tahun 2016 PDRB NTT pada tahun 2016 mencapai Rp 84,17 triliun (harga berlaku) dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,18% (yoy) meningkat dibandingkan pertumbuhan tahun 2015 yang sebesar 5,03% (yoy) dan nasional yang sebesar 5,02% (yoy). Komponen pendorong utama pertumbuhan ekonomi NTT pada tahun 2016 terutama adalah konsumsi rumah tangga yang tumbuh mencapai 6,80% (yoy). Perbaikan daya beli masyarakat timbul karena peningkatan pendapatan seiring adanya gaji ke-13 & 14 PNS, peningkatan pendapatan sektor pertanian dan dorongan kegiatan proyek-proyek Pemerintah dan Swasta. Selain itu, kegiatan bersifat regional maupun nasional di NTT, seperti Hari Keluarga Nasional (Harganas), Alor Expo, Sunda Kecil Expo, Pameran Pembangunan, dan Tour De Flores juga mendorong tumbuhnya konsumsi masyarakat di NTT. Dari sisi sektoral, tingginya pertumbuhan beberapa sektor utama seperti sektor konstruksi dan perdagangan juga menggambarkan adanya perbaikan daya beli dan kegiatan proyek yang meningkat sepanjang tahun 2016. Secara spasial, pertumbuhan ekonomi NTT tahun 2016 cenderung masih lebih rendah apabila dibandingkan beberapa Provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Provinsi NTT hanya berada diatas Provinsi Papua Barat. Pertumbuhan yang cukup tinggi | Bab I - Ekonomi Makro Regional
1
di KTI sendiri terutama disebabkan oleh adanya relaksasi ekspor pertambangan, relaksasi moratorium perikanan, produksi pengolahan tambang yang meningkat seiring beroperasinya smelter serta peningkatan produksi pertanian dan perkebunan. Masih tingginya tingkat kunjungan wisatawan juga mendorong perekonomian KTI terutama Provinsi Bali. Grafik 1.1. PDRB (ADHB) dan Pertumbuhan PDRB Tahunan Provinsi NTT dibanding Nasional
Sumber : BPS, diolah
Grafik 1.2. PDRB dan Pertumbuhan PDRB Tahunan Beberapa Provinsi di Indonesia
Sumber : BPS, diolah
1.1.2 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT Triwulan-IV 2016 Di sisi lain, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi NTT pada triwulan IV-2016 mencapai Rp 22,09 triliun (ADHB) dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,19% (yoy). Pertumbuhan ekonomi NTT pada triwulan IV tercatat meningkat apabila dibandingkan triwulan III yang sebesar 5,11% (yoy). Dari sisi penggunaan, pertumbuhan juga didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga yang mencapai 7,27% (yoy) dan Pembentukan Modal Tetap Bruto sebesar 4,45% (yoy), meningkat dibandingkan pertumbuhan tahunan pada periode triwulan III-2016. Peningkatan kedua sektor tersebut juga tercermin pada pertumbuhan sisi sektoral. Sektor pertanian sebagai sektor utama tercatat tumbuh sebesar 4,53% (yoy) lebih tinggi apabila dibandingkan triwulan III yang hanya tumbuh 3% (yoy). Peningkatan ini ditengarai disebabkan oleh musim panen komoditas perkebunan seperti jambu mete, kopra dan kakao serta telah masuknya panen komoditas padi. Dampak positif meningkatnya pasokan air karena La Nina dan perbaikan irigasi, serta berkurangnya serangan hama menjadi beberapa pendorong peningkatan produksi. Pertumbuhan cukup tinggi juga terlihat pada sektor perdagangan besar dan eceran yang mencapai 7,57% (yoy) seiring perbaikan daya beli dan pendapatan masyarakat serta adanya momen natal, libur sekolah dan menjelang akhir tahun. Adanya peningkatan kegiatan investasi juga melalui proyek pemerintah dan swasta juga terlihat pada tingginya pertumbuhan sisi konstruksi yang mencapai 8,48% (yoy). Beberapa proyek yang berjalan diantaranya bendungan, sarana irigasi dan perairan,
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
2
gedung pemerintahan, pasar, pos lintas batas negara, rumah sakit, sarana perbelanjaan dan hotel. Dari sisi spasial, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT triwulan IV-2016 yang sebesar 5,19% (yoy) tercatat masih lebih tinggi apabila dibandingkan nasional dan Prov. Nusa Tenggara Barat. Pertumbuhan nasional tercatat hanya sebesar 4,94% (yoy) melambat dibandingkan triwulan III yang sebesar 5,01% (yoy) seiring perlambatan pertumbuhan sektor industri pengolahan serta pertambangan dan penggalian. Sementara itu pertumbuhan ekonomi NTB tercatat sebesar 3,77% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan III yang sebesar 3,43% (yoy) seiring peningkatan pada sektor pertambangan yang ditopang oleh produksi tembaga dan industri pengolahan seiring beroperasinya pabrik gula di Kab. Dompu. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali tercatat sebesar 5,47% (yoy) melambat dibandingkan triwulan III yang sebesar 6,61% (yoy). Perlambatan pada sektor akomodasi dan penyediaan makan minum (Hotel dan Restoran) sebagai sektor utama menjadi salah satu penyebab utama. Grafik 1.3. PDRB (ADHB) dan Pertumbuhan PDRB Provinsi NTT dibanding Nasional Triwulanan (%yoy)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 1.4. PDRB dan Pertumbuhan PDRB Triwulanan NTT, Bali, NTB dan Nasional (% yoy)
Sumber : BPS, diolah
Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan I-2017 diperkirakan akan cenderung stabil dengan kisaran 5-5,4% (yoy). Adanya penyelenggaraan pilkada di 3 (tiga) daerah, yaitu Kota Kupang, Kab. Flores Timur dan Kab. Lembata diperkirakan dapat mendorong sektor perdagangan seiring kebutuhan untuk kegiatan kampanye dan penyelenggaraan pemilu. Selain itu, penyelenggaraan pemilu juga diperkirakan dapat mendorong sektor administrasi pemerintahan seiring adanya penggunaan dana hibah untuk kegiatan pemilu. Pertumbuhan triwulan I juga diperkirakan didorong oleh peningkatan sektor konstruksi seiring adanya kegiatan proyek yang belum selesai pada tahun 2016 dan diundur hingga 50 hari di tahun 2017 serta pengerjaan proyek
multiyears seperti bendungan, Pos Lintas Batas Wini dan Motamasin serta Pengembangan Infrastruktur Pemukiman di Motaain dan Motamasin. Di sisi lain,
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
3
pertumbuhan sektor pertanian juga diperkirakan masih positif seiring dengan panen komoditas padi yang masih terjadi hingga awal tahun 2017.
1.2 Perkembangan Ekonomi Sisi Penggunaan Secara tahunan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang mencapai 6,80% (yoy) menjadi pendorong utama pada tahun 2016. Pertumbuhan tersebut terutama berasal dari sub komponen konsumsi restoran dan hotel serta konsumsi makanan dan minuman yang ditengarai turut didorong adanya kegiatan bersifat nasional di NTT dan momen-momen libur sekolah serta libur keagamaan. Selain itu, adanya perbaikan daya beli masyarakat seiring peningkatan produksi sektor pertanian, tambahan gaji ke-13 dan 14 PNS, serta dorongan proyek menjadi penyebab lainnya. Pada triwulan IV 2016 pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga juga tercatat menjadi pendorong utama dengan pertumbuhan mencapai 7,27% (yoy). Pertumbuhan tersebut tercatat cukup stabil dibandingkan triwulan-III yang sebesar 7,22% (yoy). Faktor pendorong ditengarai berasal dari konsumsi masyarakat di akhir tahun seiring masa liburan sekolah dan libur keagamaan serta akhir tahun. Perbaikan pendapatan masyarakat seiring panen komoditas pertanian juga mendorong kenaikan daya beli masyarakat. Sementara itu, komponen PMTB tercatat tumbuh meningkat menjadi 4,42% (yoy) dibandingkan triwulan III yang sebesar 3,87% (yoy) seiring dengan adanya peningkatan kegiatan proyek pemerintah di akhir tahun. Tabel 1.1. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Pengeluaran 2016 Uraian 1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
YOY 2015
2016
Thn (yoy)
2015
TW IV
2016
TW III
TW IV
Bobot
qtq
Tw IV (yoy)
57,361,610
64,246,464
6.80
15,875,399
16,073,052
17,390,210
78.70
4.01
7.27
2,539,408
2,636,946
0.41
727,600
677,222
744,944
3.37
8.95
-0.29
3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
21,765,744
22,518,264
(0.36)
7,289,527
6,946,749
7,359,416
33.31
3.08
-3.08
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto
30,996,063
35,724,984
5.06
8,827,478
9,341,925
10,143,179
45.90
6.41
4.42
967,562
458,340
(55.80)
352,370
136,664
166,701
0.75 19.70 -55.29
1,592,015
1,287,553
(20.81)
349,505
330,630
315,296
1.43
261,549
274,813
5.91
72,579
93,436
51,931
2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT
5. Perubahan Inventori 6. Ekspor Luar Negeri 7. Impor Luar Negeri 8. Net Ekspor Antar Daerah
PDRB Sumber: BPS Provinsi NTT (diolah)
(38,769,998)
(42,425,100)
2.00
(13,049,790)
(11,537,570)
(13,971,251)
76,190,854
84,172,637
5.18
20,299,511
21,875,236
22,096,563
5.01
-1.86
0.24 -44.96 -29.03 -63.23 12.15 100.00
0.99
0.28
5.19
1.2.1 Konsumsi Pengeluaran konsumsi secara umum pada tahun 2016 tercatat tumbuh 4,70% (yoy) melambat dibandingkan tahun 2015 yang tumbuh 6,63% (yoy). Penyebab perlambatan terutama berasal dari belanja konsumsi pemerintah yang tercatat kontraksi -0,36% (yoy) walaupun berdasarkan data APBN, APBD Kab/Kota dan APBD Provinsi realisasi belanja konsumsi pada tahun 2016 mencapai Rp 23,29 triliun atau meningkat sebesar 15% (yoy) dibandingkan 2015 yang sebesar Rp 20,19 triliun. Namun | Bab I - Ekonomi Makro Regional
4
di sisi lain terdapat beberapa indikator penurunan belanja tahun 2016, diantaranya penurunan pagu belanja APBN di Provinsi NTT yang mencapai 23,9% (yoy) (Rp 11,34 triliun di tahun 2015 menjadi Rp 8,63 triliun pada tahun 2016) seiring upaya penghematan anggaran APBN oleh Pemerintah Pusat serta adanya penundaan realisasi Dana Alokasi Umum (DAU) pada rentang September sd. Desember 2016 untuk 5 (lima) Pemerintah Daerah, yaitu Provinsi NTT, Kab. Kupang, Kab. Ende, Kab. Sumba Timur dan Kab. Manggarai Barat, meskipun untuk bulan Desember akhirnya terjadi pencairan. Untuk komponen konsumsi sendiri, pertumbuhan pada tahun 2016 terutama terbantu oleh peningkatan pertumbuhan sektor konsumsi rumah tangga dari 6,21% (yoy) tahun 2015 menjadi 6,80% (yoy) di tahun 2016 seiring peningkatan daya beli masyarakat, dorongan kegiatan bersifat nasional, pameran, momen libur sekolah serta keagamaan. Sementara itu komponen pengeluaran konsumsi secara umum (Gabungan antara sub komponen konsumsi rumah tangga, Konsumsi LNPRT dan konsumsi pemerintah) untuk triwulan IV-2016 tercatat sedikit meningkat menjadi 3,83% (yoy) dari triwulan III yang 3,68%(yoy). Sektor konsumsi rumah tangga masih menjadi pendorong utama peningkatan. Sementara konsumsi pemerintah dan konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) cenderung masih tumbuh pada trend negatif seperti triwulan IV-2016. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan IV tercatat 7,27% (yoy) sedikit meningkat dibandingkan triwulan III yang sebesar 7,22% (yoy). Pertumbuhan sendiri didorong oleh beberapa faktor, diantaranya libur natal dan libur sekolah di akhir tahun, peningkatan pendapatan seiring mulainya panen padi dan komoditas perkebunan (jambu mete, kakao dan kopra), serta peningkatan kegiatan proyek-proyek pemerintah di akhir tahun. Selain itu, adanya program dana desa dengan alokasi mencapai Rp 1,84 triliun pada tahun 2016 juga diperkirakan mendorong penciptaan kegiatan ekonomi di pedesaan. Di sisi lain, peningkatan sisi konsumsi tertinggi berasal dari pertumbuhan komponen restoran dan hotel yang mencapai 70,9% (yoy) seiring momen akhir dan kegiatan bersifat nasional, seperti Hari Nusantara di Kab. Lembata. Hal ini terindikasi dari data BPS yang juga menunjukkan peningkatan jumlah tamu hotel di NTT tahun 2016 sebesar 35,7% (yoy) dibandingkan 2015. Peningkatan juga terjadi pada konsumsi pakaian dan alas kaki seiring momen libur sekolah dan perayaan keagamaan, konsumsi perumahan dan perlengkapan rumah tangga yang turut didukung pameran perumahan dan peningkatan biaya listrik, serta konsumsi transportasi dan komunikasi yang turut didorong penambahan rute pesawat serta kapal laut selain tingginya frekuensi perjalanan | Bab I - Ekonomi Makro Regional
5
masyarakat dan penggunaan sarana telekomunikasi di akhir tahun. Sementara itu, komponen konsumsi makanan dan minuman sebagai komponen utama konsumsi dengan bobot mencapai 43% masih tumbuh positif sebesar 5,7% (yoy). Tabel 1.2. PDRB Komponen Konsumsi Rumah Tangga Provinsi NTT 2016 Uraian Kons Makanan dan Minuman
YOY 2015 24,081,155
2016 27,349,820
Thn (yoy) 5.23
2015
2016
TW IV
TW III
TW IV
6,726,088
6,718,367
7,476,732
Bobot
Tw IV (yoy)
43.0
5.70 4.52
Kons Pakaian & Alas Kaki
2,775,990
3,104,885
0.75
797,041
833,572
889,303
5.1
Kons Perumahan & Perl RT
10,073,481
10,341,297
-1.42
2,757,343
2,744,537
2,895,669
16.7
4.43
4,053,827
4,905,624
18.24
1,121,180
1,293,448
1,325,072
7.6
17.66
12,928,430
13,351,581
8.81
3,502,821
3,138,881
3,350,726
19.3
4.89
2,038,602
3,894,964
72.81
559,594
994,088
1,099,524
6.3
70.90
1,410,124
1,298,292
-13.98
411,333
350,160
353,184
2.0
-14.68
57,361,610
64,246,464
6.80 15,875,399
16,073,052
17,390,210
100.0
7.27
Kesehatan & Pendidikan Transportasi & Komunikasi Restoran & Hotel Konsumsi Lainnya
Konsumsi RT Sumber: BPS (diolah)
Indikasi pertumbuhan ekonomi yang positif pada triwulan-IV juga terlihat dari hasil Survei Konsumen-Bank Indonesia yang meningkat dari sisi Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE). Selain itu, indikator Survei Penjualan Eceran (SPE)-Bank Indonesia juga masih menunjukkan pertumbuhan angka omset yang positif sebesar 27,13% (yoy). Pertumbuhan terutama berasal dari perdagangan suku cadang & aksesori sepeda motor, peralatan elektronik serta tembakau. Peningkatan penjualan barang dagangan non pokok tersebut, kembali mengindikasikan peningkatan daya beli masyarakat. Grafik 1.5. Survei Konsumen
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 1.6. Survei Penjualan Eceran
Sumber : Bank Indonesia
Pertumbuhan positif juga terlihat pada beberapa indikator seperti Indeks Tendensi Konsumen (ITK)-Badan Pusat Statistik dan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)-Bank Indonesia. Indikator ITK menunjukkan peningkatan pada triwulan IV termasuk pada komponen pendapatan rumah tangga, yang mengindikasikan adanya perbaikan pendapatan masyarakat NTT. Hal serupa juga terjadi pada indeks kegiatan dunia usaha-SKDU yang menunjukkan peningkatan dan mengindikasikan adanya peningkatan kegiatan usaha terutama dari sektor perdagangan, hotel dan restoran, | Bab I - Ekonomi Makro Regional
6
sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa. Peningkatan juga terjadi pada penjualan BBM (Minyak Tanah, Solar, Premium, Pertamax dan Pertalite) yang tumbuh sebesar 9,5% (yoy) pada triwulan IV, meningkat dibandingkan triwulan III yang tumbuh sebesar 3,56% (yoy). Di sisi lain, indikator konsumsi listrik rumah tangga cenderung mengalami perlambatan walaupun secara tahunan masih tumbuh 1,77% (yoy). Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya beberapa kali gangguan distribusi pada akhir tahun yang disebabkan oleh kondisi cuaca dan persiapan koneksi jaringan untuk penambahan daya melalui kapal listrik. Pertumbuhan cukup tinggi juga terjadi pada penyaluran kredit konsumsi pada triwulan IV yang sebesar 12,2% (yoy) dan menunjukkan positifnya indikator perekonomian di NTT. Hal ini juga terlihat dari angka Non Performing
Loan (NPL)/Kredit Macet kredit konsumsi yang hanya 0,71% di triwulan-IV 2016 membaik dibandingkan triwulan III yang sebesar 0,82%. Grafik 1.7. Indeks Tendensi Konsumen
Sumber : BPS, diolah
Grafik 1.8. Indeks Kegiatan Dunia Usaha
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.9. Perkembangan Konsumsi BBM
Sumber : PT Pertamina (Persero), diolah
Grafik 1.10. Perkembangan Konsumsi Listrik Rumah Tangga
Sumber : PT PLN, diolah
Grafik 1.11. Penyaluran Kredit Konsumsi
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
7
Komponen Konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) tercatat masih berada pada tren kontraksi sebesar -0,29% (yoy). Adanya kontraksi/penurunan tersebut diperkirakan disebabkan oleh menurunnya kegiatan organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial ataupun LSM pada triwulan IV 2016 dibandingkan periode yang sama tahun 2015. Ketiadaan kegiatan pemilu yang baru akan terjadi pada tahun 2017 diperkirakan menjadi salah satu penyebab. Pertumbuhan negatif/kontraksi masih terjadi pada sub kelompok konsumsi pemerintah di triwulan IV-2016. Pertumbuhan konsumsi pemerintah tercatat -3,08% (yoy) dan masih berada pada trend negatif seperti angka revisi pertumbuhan konsumsi pemerintah triwulan III yang sebesar -3,25%(yoy). Kontraksi masih terjadi pada konsumsi individu pemerintah sebesar -15,32% (yoy). Berdasarkan data APBN, APBD Kab/Kota dan APBD Provinsi secara umum masih terjadi peningkatan realisasi belanja konsumsi pemerintah tahun 2016 menjadi Rp 23,3 triliun, meningkat 15,3% (yoy) dibandingkan tahun 2015 yang sebesar Rp 20,2 triliun. Namun terdapat penurunan pada realisasi belanja konsumsi APBN dari Rp 5,07 triliun (2015) menjadi Rp 5,03 triliun (2016). Hal ini diperkirakan turut dipengaruhi oleh program penghematan anggaran yang dicanangkan pemerintah pusat sehingga terjadi penurunan pagu belanja yang berimbas pada penurunan belanja pemerintah pusat di Provinsi NTT. Di sisi lain, terdapat pula penundaan Dana Alokasi Umum (DAU) pada beberapa Pemerintah Daerah dan hanya dilakukan pencairan untuk bulan Desember sehingga menyebabkan kurang optimalnya realisasi anggaran pada daerah tersebut. Menurut informasi, penundaan DAU yang belum dicairkan pada tahun 2016 akan dikompensasikan pada penganggaran tahun 2017. Sementara untuk kinerja triwulan IV, realisasi belanja konsumsi tercatat sebesar Rp 8,23 triliun, sedikit meningkat dibandingkan triwulan IV-2015 yang sebesar Rp 8,04 triliun. Namun, terdapat beberapa komponen yang mengalami penurunan dibanding triwulan IV-2015 seperti belanja barang dan jasa, bantuan sosial dan belanja bagi hasil. Tabel 1.3. PDRB Komponen Konsumsi Pemerintah Provinsi NTT 2016 Uraian Kons Kolektif Pemerintah Kons Individu Pemerintah Konsumsi Pemerintah Sumber: BPS (diolah)
YOY 2015
2016
Thn (yoy)
2015
2016
TW IV
TW III
TW IV
Bobot
Tw IV (yoy)
12,815,032
14,222,574
9.22
4,315,054
4,461,147
4,724,563
64.2
7.46
8,950,713
8,295,690
(11.35)
2,974,472
2,485,602
2,634,853
35.8
(15.32)
21,765,744
22,518,264
(0.36)
7,289,527
6,946,749
7,359,416
100.0
(3.08)
Di sisi lain, tracking pertumbuhan komponen konsumsi pada triwulan-I 2017 diperkirakan cenderung stabil. Pertumbuhan terutama diperkirakan terjadi pada seluruh komponen konsumsi seiring dengan adanya dorongan belanja untuk kegiatan Pemilu di tiga daerah yaitu Kota Kupang, Kab. Lembata dan Kab. Flores Timur. | Bab I - Ekonomi Makro Regional
8
Pertumbuhan tersebut didorong penjualan alat-alat kampanye dan kegiatan pemilu, serta belanja hibah pemerintah. Pertumbuhan juga diperkirakan turut didorong oleh Pendapatan masyarakat seiring panen pada bulan Desember yang sebagian dibelanjakan pada Januari serta perpanjangan kegiatan proyek pemerintah yang belum selesai 2016 selama 50 hari pada tahun 2017 dan membuka lapangan kerja bagi pegawai proyek. Indikasi pertumbuhan juga terlihat pada Survei Konsumen-Bank Indonesia pada bulan Januari yang menunjukkan peningkatan Indeks Ekspektasi Konsumen, walaupun Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menunjukkan perlambatan, namun dengan angka masih >100 maka masih terjadi optimisme pada masyarakat. Indikasi pertumbuhan positif juga terlihat pada proyeksi Survei Penjualan Eceran (SPE)-Bank Indonesia bulan Januari yang masih berada pada trend pertumbuhan. Indikasi yang sama juga terlihat pada proyeksi Indeks Tendensi Konsumen-Badan Pusat Statistik yang menunjukkan adanya peningkatan proyeksi indeks dan pendapatan rumah tangga di triwulan-I 2017. Grafik 1.12. Perkembangan Survei Konsumen
Sumber : SK
Bank Indonesia
Grafik 1.13. Perkembangan Survei Penjualan Eceran
Sumber: SPE
Bank Indonesia
Grafik 1.14. Proyeksi Indeks Tendeksi Konsumen
Sumber : BPS Provinsi NTT
1.2.2 Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)/ Investasi Pertumbuhan
PMTB/Investasi
pada
tahun
2016
tercatat
mengalami
pertumbuhan yang positif sebesar 5,06% (yoy) walaupun cenderung melambat apabila dibandingkan 2015 yang sebesar 11,88% (yoy). Perlambatan lebih | Bab I - Ekonomi Makro Regional
9
disebabkan oleh tingginya lonjakan pembangunan proyek pemerintah di tahun 2015 dibandingkan tahun 2014 terutama di bidang aksesbilitas perhubungan (pelabuhan dan dermaga serta aksesbilitas air (bendungan,jaringan irigasi dan embung). Sementara itu, PMTB/Investasi pada tahun 2016 sendiri masih berasal dari pembangunan infrastruktur publik, seperti proyek Multiyears Bendungan Raknamo dan Bendungan Rotiklot, jalan jalur sabuk perbatasan, Program Pengembangan Infrastruktur Permukiman (PIP) di Perbatasan, gedung pemerintahan dan Pos Lintas Batas Negara. Selain itu, masih terus pula dilakukan proyek perbaikan jalan, sarana irigasi, embung, pembangunan rumah sakit dan pasar. Dari sisi swasta dan BUMN, investasi yang dilakukan diantaranya pembangunan pembangkit listrik, jaringan kelistrikan, Base Transceiver Station (BTS), hotel, sarana perbelanjaan dan investasi lainnya. Adanya pemakaian anggaran dana desa untuk pembangunan infrastruktur pedesaan (jalan,jembatan dan irigasi) juga diperkirakan membantu pertumbuhan komponen PMTB/Investasi. Sementara itu, berdasarkan data BKPMD Provinsi NTT sendiri, realisasi investasi pada tahun 2016 mencapai Rp 3,15 triliun meningkat dibandingkan 2015 yang sebesar Rp 3 triliun. Realisasi investasi sepanjang tahun 2016 terbesar berada di sektor telekomunikasi sebesar Rp 738,2 miliar walaupun dari sisi jumlah, sektor pariwisata atau pembangunan hotel berbintang menjadi yang terbanyak yaitu 22 investasi. Sementara dari sisi wilayah, Kota Kupang menjadi daerah dengan nominal investasi terbesar (Rp 1,47 triliun) sedangkan dari banyaknya investasi baru, Kab. Manggarai Barat menjadi yang terbanyak dengan 48 investasi dan mayoritas merupakan investasi sektor penunjang pariwisata. Di sisi lain, pertumbuhan PMTB/ Investasi di NTT pada triwulan IV-2016 tercatat tumbuh sebesar 4,42% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan III yang tumbuh 3,87% (yoy). Peningkatan terutama berasal dari PMTB bangunan yang tumbuh mencapai 14,72% (yoy). Pertumbuhan ini diperkirakan berasal dari peningkatan kegiatan proyek pemerintah di akhir tahun, terutama jalan, gedung pemerintahan, rumah sakit, pasar dan sarana perhubungan (dermaga), pos lintas batas negara. Selain itu, terdapat pula investasi sebagai dampak alokasi dana desa seperti pembangunan jalan pedesaan, pipanisasi untuk akses air, sarana irigasi dan jembatan. Di sisi lain terdapat pula pembangunan sektor swasta, berupa pembangkit listrik Tenaga Surya (Independent
Power Producer), pusat perbelanjaan dan hotel serta BUMN diantaranya perbaikan bandara. Sementara sektor non bangunan tercatat tumbuh negatif sebesar -32,87% (yoy) walaupun tercatat masih terdapat beberapa realisasi investasi yang dilakukan seperti penambahan dua unit Electric Rubber Tyred Gantry (E-RTG) baterei senilai Rp 36 miliar | Bab I - Ekonomi Makro Regional
10
dan truk trailer pada PT. Pelindo III cabang Tenau serta telah tibanya kapal listrik MVPP Gokhan Bey berkapasitas 60 MW yang akan disewa PT. PLN (Persero) guna meningkatkan kapasitas listrik di Pulau Timor. Tabel 1.4. PDRB Komponen PMTB/Investasi Provinsi NTT 2016
Uraian
YOY 2015
2016
24,089,547 28,518,052 PMTB Bangunan 6,906,516 7,206,932 PMTB Non Bangunan 30,996,063 35,724,984 PMTB
Thn (yoy)
2015
TW IV
2016
TW III
Tw IV (yoy)
Bobot
TW IV
11.94
6,800,994
7,683,971
8,393,027
82.75
14.72
-19.15
2,026,485
1,657,954
1,750,152
17.25
-32.87
8,827,478
9,341,925
10,143,179 100.00
4.42
5.06
Sumber: BPS (diolah)
Data realisasi BKPM Menunjukkan adanya peningkatan realisasi investasi pada triwulan-IV 2016. Berdasarkan data BKPMD Provinsi NTT dan tracking data sebelumnya, pada triwulan-IV 2016 telah terealisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mencapai Rp 1,44 triliun. Angka ini meningkat dibandingkan realisasi triwulan-III yang diperkirakan mencapai Rp 391 miliar. Peningkatan realisasi pada triwulan IV terutama di bidang Telekomunikasi Tanpa Kabel oleh PT. Telkomsel dan PT. XL Axiata, wisata tirta, hotel, restoran, perumahan, serta kelistrikan. Sementara itu, pertumbuhan penjualan semen di Provinsi NTT cenderung melambat walaupun masih menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 6,5% (yoy). Grafik 1.15. Perkembangan Realisasi Investasi di Provinsi NTT
Tabel 1.5. Lokasi dan Sektor Utama Investasi di NTT Tahun 2016 Lokasi Investasi Jumlah Realisasi
Nominal
Kab. Manggarai Barat (48) Kab. Sumba Timur (13) Kota Kupang (12) Kab. Kupang (7) Kab. Sumba Barat (5)
Kota Kupang (Rp 1,47 T) Kab. Sumba Timur (Rp 724,3 M) Kab. Manggarai Barat (Rp 299,5 M) Kab. Flores Timur (Rp 210,1 M) Kab. Rote Ndao (Rp 125,5 M)
Investasi Sektoral Jumlah Realisasi Hotel Bintang (22) Wisata Tirta (22) Restoran dan Penyediaan Makanan (10) Ketenagalistrikan (6) Peternakan, Hotel Melati (4)
Sumber : BKPMD NTT, diolah
Nominal Telekomunikasi (Rp 738,2 M) Pertanian Tanaman Serelia (Rp 361,1 M) Real Estate (Rp 341,8 M) Hotel Bintang (Rp 273 M) Penangkapan Ikan di Laut (Rp 210,1 M)
Sumber: BKPMD NTT, diolah
Grafik 1.16. Realisasi Konsumsi Semen Provinsi NTT
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia, diolah
Sementara itu, berdasarkan tracking pada triwulan I-2017 pertumbuhan PMTB/investasi secara tahunan diperkirakan sedikit meningkat dibandingkan | Bab I - Ekonomi Makro Regional
11
triwulan IV-2016. Secara historis, nominal investasi/PMTB pada triwulan I cenderung selalu menurun dibandingkan triwulan IV pada setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena belum masifnya kegiatan proyek pemerintah di awal tahun. Namun apabila dilihat dari sisi pertumbuhan tahunan (%yoy), tracking investasi pada triwulan I-2017 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahunan investasi triwulan IV-2016. Dorongan investasi terutama berasal dari adanya perpanjangan kegiatan proyek pemerintah yang belum selesai pada tahun 2016 selama 50 hari di tahun2017, adanya tambahan proyek
multiyears (bendungan raknamo dan rotiklot), rencana penyelesaian proyek pembangkit listrik dan kegiatan pembangunan pusat perbelanjaan di Kota Kupang investasi di sektor non bangunan seperti pembelian mesin dan kendaraan. 1.2.3 Ekspor
Impor
1.2.3.1 Ekspor-Impor Antar Daerah Secara tahunan, kinerja net impor antar daerah Provinsi NTT mengalami perlambatan dari 14,31% (yoy) pada tahun 2016 menjadi 2% (yoy) pada tahun 2015. Apabila dilihat dari sisi komponen, penurunan terjadi pada ekspor antar provinsi yang mencapai -50,99% (yoy) dan impor antar provinsi yang sebesar -9,45% (yoy). Penurunan diperkirakan terjadi seiring dengan melambatnya kegiatan PMTB/investasi yang mengurangi kebutuhan barang investasi dari Provinsi lain. Sementara itu secara triwulan pertumbuhan net impor antar daerah mencatatkan peningkatan dari kontraksi sebesar -2,46%(yoy) pada triwulan III-2016 menjadi tumbuh 0,99% pada triwulan IV-2016. Pertumbuhan juga terindikasi dari adanya peningkatan perputaran peti kemas di Pelabuhan Tenau yang mencapai 22,6% (yoy) atau 33.100 teus selama triwulan IV. Sementara itu, kondisi bongkar muat juga mencatatkan adanya pertumbuhan net bongkar sebesar 62.386 ton untuk komoditas yang bersifat curah. Peningkatan pada triwulan IV tersebut ditengarai terkait dengan pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan masyarakat untuk persiapan perayaan hari keagamaan serta peningkatan kegiatan proyek/investasi di akhir tahun.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
12
Grafik 1.17. Perkembangan Peti Kemas
Sumber : Pelindo III, diolah
Grafik 1.18. Aktivitas Bongkar Muat
Sumber : Pelindo III, diolah
Pada triwulan I-2017 diperkirakan net impor akan mengalami perlambatan. Perlambatan diperkirakan terjadi karena menurunnya kebutuhan masyarakat paska perayaan hari raya keagamaan di akhir tahun 2016. Selain itu, dengan kondisi cuaca buruk dan gelombang tinggi yang secara historis selalu terjadi di awal tahun diperkirakan telah diantisipasi oleh para pedagang dengan pengiriman stok barang dagangan dan kebutuhan proyek pada periode sebelumnya. 1.2.3.2 Ekspor-Impor Luar Negeri Secara tahunan, net ekspor luar negeri mengalami kontraksi sebesar -25,8% (yoy). Menurut data BPS, nilai ekspor NTT pada tahun 2016 mencapai US$ 23,65 Juta menurun dibandingkan 2015 yang mencapai US$ 23,94 juta. Sementara itu, nilai impor meningkat dari US$ 7,87 juta (2015) menjadi US$ 29,09 juta (2016). Penurunan ekspor terutama terjadi pada komoditas kendaraan dan komponennya serta bahan bakar mineral ke Timor Leste. Sementara komoditas lokal cukup terbantu dengan peningkatan ekspor garam, belerang dan kapur. Sementara itu, peningkatan impor terutama berasal dari impor beras di awal tahun dari Thailand serta bahan bakar mineral dan aspal dari Singapura yang dipergunakan bagi kegiatan proyek dan bahan bakar kendaraan. Dilihat dari kinerja pertumbuhan di setiap triwulannya, terjadi peningkatan net ekspor pada triwulan-IV menjadi 5,2% (yoy) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencatat kontraksi. Peningkatan terutama pada ekspor semen, besi dan baja, kendaraan dan komponennya ke Timor Leste serta didukung oleh ekspor komoditas garam dan ikan (tuna dan cakalang). Angka net ekspor triwulan IV sendiri mencapai US$ 5,86 Juta (tidak termasuk BBM), sementara impor non BBM tercatat sebesar US$ 208 ribu yang terutama merupakan komoditas kopi dan biji-bijian dari Timor Leste. Di sisi lain, berdasarkan data Exim Bank Indonesia, terdapat ekspor buah olahan ke Vietnam dan India yang mencapai US$ 9,8 juta yang diperkirakan merupakan
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
13
komoditas jambu mete dan tidak tercatat sebagai sumbangan PDRB untuk NTT karena pengiriman ke luar negeri yang berasal dari luar daerah NTT. Grafik 1.19.Perkembangan Ekspor dan Impor
Sumber : Cognos BI, diolah
Grafik 1.20. Negara Tujuan Ekspor
Sumber : Cognos BI, diolah
Aktivitas ekspor luar negeri NTT pada triwulan-I 2017 diperkirakan mengalami perlambatan. Perlambatan diperkirakan turut didorong oleh penurunan kebutuhan dari negara lain, terutama Timor Leste sebagai negara tujuan utama ekspor NTT. Penurunan kegiatan masyarakat paska perayaan hari raya Natal juga diperkirakan menjadi faktor utama. Selain itu, kondisi cuaca yang kurang baik juga diperkirakan berpengaruh pada penurunan produksi lokal NTT seperti ikan tuna dan cakalang.
1.3 Perkembangan Ekonomi Sisi Sektoral Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi NTT pada tahun 2016 terutama didorong oleh sektor konstruksi serta sektor perdagangan besar & eceran, reparasi mobil dan sepeda motor. Sektor kontruksi tercatat tumbuh sebesar 8,46% (yoy) yang didorong oleh peningkatan kegiatan proyek di Provinsi NTT, termasuk bendungan Raknamo yang telah memasuki tahap konstruksi serta penyelesaian Pos Lintas Batas serta program infrastruktur pemukiman (PIP) berupa pembangunan sumur bor serta infrastruktur pendukung akses lainnya di . Sementara itu pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran mencapai 6,77% (yoy) yang didukung oleh peningkatan daya beli masyarakat seiring peningkatan produksi sektor pertanian dan perkebunan, peningkatan kegiatan proyek dan pendapatan gaji ke-13 serta 14 PNS. Pertumbuhan ekonomi secara tahunan juga didukung pertumbuhan positif pada sektor pertanian, Kehutanan dan Perikanan sebagai sektor utama serta sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib yang masih terus tumbuh walaupun mengalami perlambatan dibandingkan pertumbuhan tahun 2015.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
14
Dari sisi triwulan, peningkatan pertumbuhan pada triwulan IV-2016 terutama terjadi pada sektor pertanian sebagai sektor utama dan didukung oleh pertumbuhan yang cukup tinggi pada sektor konstruksi serta sektor perdagangan besar dan eceran. Sektor Pertanian tercatat tumbuh 4,53% (yoy) pada triwulan IV atau meningkat dibandingkan triwulan III yang sebesar 3% (yoy). Peningkatan tersebut didukung oleh adanya panen komoditas pertanian seperti padi serta komoditas perkebunan (jambu mete, kakao dan kopra), dari sektor peternakan tercatat adanya pengiriman sapi yang meningkat dari 30% (yoy) atau dari 8.524 ekor pada triwulan IV- 2015 menjadi 11.129 ekor di periode yang sama tahun 2016. Selain itu, terjadi pula pertumbuhan cukup tinggi pada sektor konstruksi yang mencapai 8,48% (%) seiring dengan peningkatan kegiatan proyek pemerintah seperti jalan, rumah sakit, gedung pemerintahan, pasar dan sarana irigasi di akhir tahun, serta swasta melalui pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan. Peningkatan juga didukung oleh sektor perdagangan besar dan eceran yang tumbuh 7,57% (yoy) seriring perbaikan daya beli masyarakat memasuki momen perayaan libur sekolah, keagamaan dan akhir tahun. Tabel 1.6. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Sektor Ekonomi 2016 2016 YOY Thn 2015
Kategori
Uraian
A
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
B
Pertambangan dan Penggalian
C
Industri Pengolahan
D
Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan
E F G H
2015
2016
(yoy)
TW IV
TW III
TW IV
Bobot qtq
Tw IV (yoy)
22,765,546
24,315,826
2.23
5,627,528
6,417,780
6,094,647
27.58 -6.05
4.53
1,073,475
1,166,764
5.66
292,383
301,698
309,436
1.40
2.43
3.19
940,862
1,034,289
4.98
259,276
265,244
279,169
1.26
4.17
3.41
43,569
59,409
14.61
13,747
15,331
15,975
0.07
3.72 11.52
47,150
48,990
0.38
12,305
12,691
12,841
0.06
1.10
1.27
7,908,227
9,095,349
8.46
2,243,992
2,389,245
2,464,950
11.16
2.80
8.48
8,272,331
9,321,848
6.77
2,217,468
2,456,270
2,487,909
11.26
0.40
7.57
3,986,583
5.48
4,528,290
6.73
1,089,803
1,186,069
1,210,726
5.48
2.07
487,091
586,079
14.46
137,030
154,603
159,845
0.72
2.72 13.01
J
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi
5,477,449
5,878,513
6.76
1,462,281
1,511,013
1,569,272
7.10
3.23
7.23
K
Jasa Keuangan dan Asuransi
2,995,475
3,362,944
8.47
799,178
838,662
898,971
4.07
5.90
8.38
L
Real Estate
2,054,341
2,209,476
3.41
550,863
567,351
577,531
2.61
1.72
3.53
235,528
257,185
2.83
62,344
66,388
69,530
0.31
4.13
5.57
O
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
9,374,991
10,664,989
5.63
2,628,642
2,731,064
2,827,864
12.80
2.15
1.60
P
Jasa Pendidikan
7,303,246
8,103,265
4.18
2,041,237
2,067,982
2,181,982
9.87
4.88
2.51
Q
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
1,585,475
1,767,997
6.19
432,868
443,925
473,595
2.14
5.89
5.20
1,639,515
1,771,425
3.55
428,566
449,919
462,317
2.09
1.90
4.32
5.18 20,299,511 21,875,236 22,096,563 100.00 0.28
5.19
I
M,N
Jasa Perusahaan
R,S,T,U Jasa lainnya
PDRB
76,190,854 84,172,637
Sumber: BPS Provinsi NTT (diolah) *Dalam Juta Rp
1.3.1 Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Pada tahun 2016, pertumbuhan sektor pertanian mencapai 2,73% (yoy) melambat apabila dibandingkan tahun 2015 yang tumbuh sebesar 3,40% (yoy). | Bab I - Ekonomi Makro Regional
15
Berdasarkan refleksi kinerja sepanjang tahun 2016, perlambatan sektor pertanian terutama terjadi pada triwulan I dan triwulan II seiring dengan kondisi kekeringan, serangan hama serta proses perbaikan irigasi yang sempat mengganggu produksi pertanian dan perkebunan, serta menurunnya harga komoditas (jambu mete, kakao dan rumput laut) di tingkat global. Namun, produksi pertanian mulai meningkat pada semester 2 seiring selesainya perbaikan irigasi dan peningkatan curah hujan, serta penambahan luas tanam yang mendorong peningkatan produksi jagung dan padi. Adanya pengiriman sapi melalui kapal ternak dan produksi garam di Sabu Raijua dan Kab. Kupang juga turut mendorong pertumbuhan secara tahunan. Pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan IV-2016 tercatat sebesar 4,53% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan III yang sebesar 3% (yoy). Peningkatan ini diperkirakan terjadi seiring dengan adanya panen ke-2 padi pada akhir tahun 2016 terutama di beberapa sentra padi NTT (Kab Ngada, Kab. Manggarai Barat dan Kab. Manggarai). Selain itu, panen komoditas jambu mete, kopra dan kakao juga diperkirakan turut mendorong pertumbuhan pada triwulan IV. Indikasi ini terlihat dari adanya peningkatan Nilai Tukar Petani pada triwulan IV-2016 dibandingkan triwulan III yang terutama berasal dari sub sektor tanaman padi-palawija. Di sisi lain, pertumbuhan juga masih ditopang oleh pengiriman ternak ke luar Provinsi NTT. Tercatat pertumbuhan pengiriman dari pelabuhan Tenau secara tahunan meningkat 35,8% (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun 2015 atau sebanyak 7.232 ternak. Untuk keseluruhan NTT, menurut data Dinas Peternakan Provinsi NTT tercatat telah dikirimkan 12.755 ternak pada triwulan IV yang terdiri dari Sapi (11.129 ekor), Kerbau (975 ekor) dan Kuda (651 ekor). Jumlah ini meningkat sebesar 11,75% (yoy) dibandingkan triwulan IV-2015 yang sebanyak 11.414 ternak. Untuk ternak sendiri pengiriman dilakukan ke DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan IV juga terbantu oleh produksi perdana garam sebanyak 300 ton di Bipoli, Kab. Kupang. Di sisi lain, kondisi subsektor perikanan diperkirakan melambat pada triwulan IV yang disebabkan kondisi cuaca dan gelombang tinggi.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
16
Grafik 1.21. Perkembangan Nilai Tukar Petani
Sumber : BPS, diolah
Grafik 1.22. Data Pengiriman Ternak dari Pelabuhan Tenau
Sumber : Pelindo II, diolah
Tabel 1.7. Perkembangan Pengiriman Sapi
Ternak (Ekor) Sapi Kerbau Kuda Total
2015
2016
I II III IV I II III IV 5,836 14,013 24,402 8,524 9,992 24,825 17,483 11,129 308 840 876 1,207 490 2,023 1,250 975 593 2,357 2,166 1,683 1,052 2,780 1,089 651 6,737 17,210 27,444 11,414 11,534 29,628 19,822 12,755
Sumber : Dinas Peternakan Provinsi NTT, diolah
Pertumbuhan sektor pertanian juga tercermin dari peningkatan kredit pertanian dan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)-Bank Indonesia. Pertumbuhan kredit pertanian pada triwulan IV-2016 mencapai 40,6% (yoy) atau sebesar Rp 278,25 miliar meningkat dibandingkan pertumbuhan triwulan III sebesar 37,9% (yoy) atau sebesar Rp 259,5 miliar. Hal ini juga terindikasi dari trend SKDU yang menunjukkan perbaikan kegiatan usaha masyarakat di sektor pertanian meskipun masih berada di level negatif karena rendahnya harga komoditas dan potensi produksi yang negatif karena kondisi cuaca (terutama di sub sektor perikanan). Grafik 1.23. Perkembangan Kredit Pertanian
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.24. Perkembangan SKDU Pertanian
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
Pada triwulan-I 2017, kinerja sektor pertanian diperkirakan mengalami perlambatan. Indikasi ini terlihat pada hasil indeks proyeksi SKDU yang menunjukkan trend penurunan. Kondisi ini diperkirakan terjadi akibat telah lewatnya musim panen ke-
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
17
2 padi di triwulan IV dan produksi komoditas yang cenderung terbatas akibat kondisi cuaca dan gelombang (terutama untuk perikanan dan sayur-sayuran). Selain itu juga, permintaan ternak yang masih terbatas dari daerah lain dan pengoperasian kapal ternak (KM Camara Nusantara I) yang sempat terhenti karena kontrak yang telah selesai antara Kementerian Perhubungan dan PT. Pelni. Namun, potensi pertumbuhan secara tahunan masih dapat terjadi seiring panen komoditas padi yang masih terjadi hingga awal tahun 2017 dan komoditas perkebunan (jambu mete). Grafik 1.25. Proyeksi SKDU Pertanian
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
1.3.2 Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial
Wajib Secara tahunan, pertumbuhan sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib tumbuh sebesar 5,63% (yoy) di tahun 2016. Pertumbuhan tersebut tercatat melambat apabila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2015 yang sebesar 6,81% (yoy). Secara tahunan sendiri, terjadi peningkatan realisasi belanja pegawai (10,1%-yoy), belanja barang dan jasa (16,3%), hibah (16,7%) dan bantuan keuangan (85,6%) dengan total realisasi mencapai Rp 22,84 triliun. Pertumbuhan sendiri diperkirakan didorong oleh peningkatan realisasi alokasi dana desa dan gaji pegawai negeri sipil seiring adanya THR atau gaji ke-14 di tahun ini. Di sisi lain, adanya perlambatan pertumbuhan sektor administrasi pemerintahan pada tahun 2016 diperkirakan disebabkan oleh adanya perlambatan pertumbuhan secara tahunan pada realisasi belanja hibah dan bantuan sosial dibandingkan pertumbuhan tahun 2015. Pertumbuhan sektor Administrasi Pemerintahan pada triwulan IV tercatat sebesar 1,60% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan III yang sebesar 4,56% (yoy). Perlambatan dari sisi triwulan IV diperkirakan diperkirakan terjadi seiring adanya langkah penghematan belanja pemerintah pusat di Provinsi NTT dan penundaan DAU pada periode triwulan IV-2016 yang hanya direalisasikan selama satu bulan di Bulan | Bab I - Ekonomi Makro Regional
18
Desember dan sisanya akan dikompensasikan pada tahun 2017. Apabila dilihat dari indikator realisasi anggaran pemda terlihat bahwa pertumbuhan relisasi belanja pegawai untuk triwulan IV 2016 dibandingkan triwulan IV 2015 hanya sebesar 0,9% (yoy) bahkan untuk belanja barang dan jasa cenderung tumbuh negatif (-2,7%), sementara belanja hibah dan bantuan keuangan masih tumbuh cukup tinggi. Total realisasi keempat komponen belanja konsumsi pemerintah tersebut tercatat sebesar Rp 8,17 triliun pada 2016. Indikasi Penghematan anggaran pemerintah pusat dan penundaan DAU menjadi penyebab perlambatan terlihat dari adanya kontraksi pada pertumbuhan realisasi belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja bantuan sosial di tingkat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Sementara dari indikator perbankan, simpanan pemerintah di perbankan tercatat sebesar Rp 2,01 triliun pada akhir 2016 atau tumbuh negatif sebesar -26,6% (yoy) dibandingkan tahun 2015 yang Rp 2,74 triliun. Penurunan ini ditengarai karena adanya peningkatan realisasi pemerintah di akhir tahun yang dibarengi penghematan anggaran pemerintah pusat di daerah sehingga simpanan pemerintah cenderung terkontraksi di akhir tahun 2016. Grafik 1.26. Realisasi Belanja Konsumsi Pemerintah Tahun 2016
Sumber : Ditjen Perbendaharaan+Biro Keuangan NTT
Grafik 1.27. Realisasi Belanja Konsumsi Pemerintah Triwulan IV-2016
Sumber: Ditjen Perbendaharaan+Biro Keuangan NTT
1.28. Perkembangan Simpanan Pemerintah di Perbankan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
19
Pada
triwulan
I-2017
diperkirakan pertumbuhan
sektor
administrasi
pemerintahan akan meningkat. Peningkatan ini lebih disebabkan oleh realisasi anggaran hibah untuk kegiatan pilkada pada 3 Kota/Kabupaten di Provinsi NTT, yaitu Kota Kupang, Kab. Lembata dan Kab. Flores Timur. Pemilu yang terjadi di awal tahun dan tidak terjadi pada tahun sebelumnya diperkirakan mendorong pertumbuhan sektor administrasi pemerintah yang meningkat. Sementara itu, untuk realisasi anggaran lainnya diperkirakan masih terbatas seiring tahapan konsolidasi anggaran, baru dimulainya proses lelang barang dan jasa serta reorganisasi di pemerintah daerah. 1.3.3 Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda
Motor Secara tahunan, sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor tumbuh sebesar 6,77% (yoy) pada tahun 2016 meningkat dibandingkan
tahun
2015
yang
tumbuh
6,07%
(yoy).
Peningkatan
ini
menggambarkan adanya perbaikan daya beli masyarakat NTT pada tahun 2016 yang diperkirakan turut ditopang oleh peningkatan penghasilan di sektor pertanian dan perkebunan, dorongan gaji ke-13 dan ke-14 PNS dan peningkatan kegiatan proyekproyek pemerintah dan swasta pada tahun 2016. Selain itu, kegiatan bersifat nasional seperti Hari Keluarga Nasional (Harganas) dan Alor Expo, serta pameran-pameran yang dilakukan di daerah (Pameran Pembangunan) diperkirakan turut mendorong kinerja penjualan komoditas di Provinsi NTT. Momen keagamaan dan liburan, seperti Natal, Paskah, Idul Fitri dan Idul Adha juga turut mendorong sektor perdagangan. Sementara itu pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran pada triwulan IV-2016 tercatat 7,57% (yoy) melambat apabila dibandingkan triwulan III yang sebesar 8,10% (yoy). Perlambatan lebih disebabkan oleh tingginya pertumbuhan sektor perdagangan secara historis setiap triwulan-IV seiring momen natal, liburan sekolah dan menjelang tahun baru di triwulan IV. Namun, angka pertumbuhan yang cukup tinggi mencapai 7,57% (yoy) menggambarkan masih terjaganya daya beli masyarakat di akhir tahun 2016. Adanya panen komoditas pertanian (padi dan jambu mete), kegiatan proyek-proyek, dorongan alokasi dana desa yang digunakan untuk kegiatan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat di pedesaan sehingga membuka lapangan kerja baru serta kegiatan Hari Nusantara di Kab. Lembata diperkirakan menjadi faktor yang menjaga konsistensi daya beli masyarakat NTT di akhir tahun. Pertumbuhan
positif juga terlihat dari beberapa indikator survei Bank
Indonesia, yaitu Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) dan Survei Konsumen (SK). | Bab I - Ekonomi Makro Regional
20
Indikator SKDU berupa Indeks Kegiatan Dunia Usaha dan Indeks Harga Jual menunjukkan adanya trend meningkat yang menggambarkan peningkataan kegiatan usaha yang dirasakan oleh para pelaku usaha pada triwulan IV-2016. Selain itu indikator Survei Konsumen juga menunjukkan adanya peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang menggambarkan adanya kenaikan optimisme konsumen dalam melihat kondisi ekonomi NTT di triwulan IV yang menandakan adanya kecenderungan potensi kenaikan belanja konsumen. Di sisi lain, indikator perbankan berupa kredit perdagangan menunjukkan adanya perlambatan pertumbuhan dari 18,2% (yoy) di triwulan III menjadi 15,3% (yoy) di triwulan IV dengan nominal kredit mencapai Rp 5,84 triliun. Namun, pertumbuhan kredit yang masih cukup tinggi ini menunjukkan pergerakan sektor perdagangan yang masih terjaga cukup tinggi di akhir tahun. Grafik 1.29. Perkembangan SKDU Sektor Perdagangan
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.30. Perkembangan Survei Konsumen
Sumber : SK-Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.31. Perkembangan Kredit Sektor Perdagangan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Pada triwulan I-2017, perkembangan sektor perdagangan diperkirakan cukup stabil dibandingkan triwulan IV-2016. Secara historis, pertumbuhan sektor perdagangan pada triwulan I cenderung selalu mengalami perlambatan karena ketiadaan momen-momen keagamaan yang dapat mendorong kenaikan konsumsi masyarakat | Bab I - Ekonomi Makro Regional
21
secara umum. Namun, untuk triwulan I-2017 terdapat momen Pemilu Kepala Daerah yang diperkirakan dapat menjaga pertumbuhan penjualan tahunan terutama untuk alatalat kampanye seperti spanduk, sandang dan keperluan konsumsi. Selain itu, keperluan alat tulis untuk kegiatan pemilu juga diperkirakan mendorong sektor perdagangan. Di sisi lain, berdasarkan hasil SKDU-Bank Indonesia terdapat trend penurunan pada indikator kegiatan dunia usaha dan harga jual. Namun dengan angka yang masih positif (>0), maka masih terdapat potensi optimisme pelaku usaha akan terjadinya pertumbuhan kegiatan dunia usaha pada triwulan I-2017. Grafik 1.32. Proyeksi SKDU Perdagangan
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
1.3.4 Sektor Konstruksi Pertumbuhan sektor konstruksi sepanjang 2016 mencapai 8,46% (yoy) meningkat dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 5,22% (yoy). Peningkatan pertumbuhan ini diperkirakan turut ditopang oleh kegiatan proyek multiyear pemerintah yang telah memasuki tahap kontruksi seperti bendungan raknamo,jalan sabuk perbatasan, dan pos lintas batas negara. Proyek-proyek lainnya yang dilakukan pemerintah diantaranya pembangunan dan perbaikan jalan di berbagai kabupaten-kota, pembangunan jembatan, jaringan irigasi, pasar, embung, dermaga, rumah sakit dan gedung pemerintahan. Sementara pembangunan dari pihak swasta dan BUMN, diantaranya hotel, pusat perbelanjaan, jaringan BTS dan pembenahan bandara. Pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan-IV 2016 tercatat 8,48% (yoy) melambat dibandingkan triwulan-III yang sebesar 9,30% (yoy). Perlambatan lebih disebabkan oleh tingginya kegiatan konsentrasi pembangunan pemerintah pada triwulan III karena didukung kondisi cuaca yang menyebabkan banyak investor swasta lebih memilih memulai proses pembangunan dan percepatan kegiatan proyek yang akan diresmikan pada triwulan IV (Gedung Pemerintahan dan Pos Lintas Batas Negara). Namun, pertumbuhan konstruksi tercatat tetap terjaga (>8%-yoy) pada triwulan IV yang
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
22
didukung oleh penyelesaian proyek multiyear yang masih dilakukan (bendungan, PLBN Motamasin dan PLBN Wini) serta kelanjutan proyek jalur sabuk perbatasan dan Proyek Pengembangan Infrastruktur pemukiman (PIP) di Motaain dan Motamasin. Selain itu, pengembangan proyek konstruksi pada triwulan IV juga diperkirakan masih didorong oleh percepatan kegiatan proyek single year pemerintah seperti pembangunan dan perbaikan jalan, sarana irigasi dan gedung pemerintahan. Selain juga pembangunan dari BUMN dan swasta, seperti sarana komunikasi tanpa kabel (BTS), pengembangan bandara, hotel dan pusat perbelanjaan yang masih dilakukan.
Tracking pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan I-2017 diperkirakan masih tumbuh cukup stabil. Kegiatan konstruksi di awal tahun terjadi pada proyekproyek multiyears pemerintah yang terus berlanjut dan telah memasuki masa kontruksi serta kegiatan proyek 2016 yang diperpanjang jangka waktu penyelesaian hingga 50 hari di tahun 2017. Selain itu, kegiatan proyek lainnya juga diindikasikan akan dimulai pada awal tahun, seperti pembangunan RSUD, perbaikan jalan dan jembatan serta proyek swasta seperti pembangunan perumahan. 1.3.5 Sektor-sektor Lainnya Sektor penyediaan akomodasi dan makan minum tumbuh cukup tinggi pada tahun 2016 yaitu sebesar 14,46% (yoy) jauh meningkat dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 6,17% (yoy). Peningkatan pertumbuhan sektor akomodasi pada tahun 2016 diperkirakan turut didorong oleh kegiatan-kegiatan bersifat nasional dan regional yang mendorong kenaikan tingkat okupansi hotel dan restoran. Beberapa kegiatan bersifat nasional diantaranya Hari Keluarga Nasional (Harganas), Alor Expo, Sunda Kecil
Expo, Hari Nusantara, dan Tour De Flores. Selain itu, dorongan juga berasal dari kegiatan rapat yang diadakan di hotel seperti Rapat Koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah (Rakor Pusda) di Kota Kupang dan rapat intra pemerintah lainnya. Pada triwulan IV-2016, sektor penyediaan akomodasi dan makan minum mengalami pertumbuhan sebesar 13,01% (yoy) melambat dibandingkan triwulanIII yang sebesar 16,51% (yoy). Perlambatan terutama disebabkan oleh menurunnya kegiatan bersifat nasional serta pameran-pameran. Tercatat hanya terdapat satu even nasional yaitu Hari Nusantara di Kab. Lembata, selain itu kondisi cuaca dan gelombang tinggi di akhir tahun juga menghambat kegiatan wisata alam yang banyak terdapat di NTT sehingga berdampak pada penurunan kunjungan wisatawan di triwulan IV. Namun, adanya kenaikan permintaan dari internal NTT terutama memasuki momen natal dan menjelang tahun baru diperkirakan menjadi penyangga pertumbuhan yang masih cukup | Bab I - Ekonomi Makro Regional
23
tinggi. Hal ini terindikasi dari tidak begitu signifikannya penurunan jumlah tamu hotel dari 65.360 orang (triwulan III) menjadi 65.320 orang (triwulan IV). Namun secara pertumbuhan, terjadi perlambatan cukup tajam untuk kunjungan tamu hotel dari 28,6% (yoy) di triwulan III menjadi 6,7% (yoy) di triwulan IV. Indikasi lainnya adalah penurunan perputaran penumpang bandara yang cukup besar. Pada triwulan IV tercatat penumpang berangkat dan pulang dari bandara-bandara di NTT mencapai 88.750 orang atau tumbuh 13,9% (yoy) namun menurun dibandingkan triwulan III yang sebesar 924.015 orang atau tumbuh mencapai 29,1% (yoy). Di sisi lain, tracking pertumbuhan sektor akomodasi dan makan minum pada triwulan I-2017 diperkirakan mengalami perlambatan. Hal ini diperkirakan terjadi karena ketiadaan even bersifat nasional dan momen liburan keagamaan ataupun hari besar di awal tahun. Selain itu, kondisi cuaca yang masih cukup buruk menjadi penghambat antusiasme kunjungan wisatawan ke NTT. Namun, pertumbuhan positif masih terjadi seiring kegiatan-kegiatan rapat koordinasi pemda dan timses pilkada di hotel atau restoran. Grafik 1.33. Perkembangan Tamu Hotel
Sumber : BPS, diolah
Grafik 1.34. Perkembangan Penumpang Bandara
Sumber : BPS, diolah
Sektor Jasa Keuangan dan Asuransi tercatat tumbuh sebesar 8,47% (yoy) pada tahun 2016. Sementara itu pertumbuhan triwulan IV meningkat menjadi 8,38% (yoy) dari triwulan sebelumnya yang 4,45% (yoy). Peningkatan kegiatan jasa keuangan dan asuransi terindikasi dari pertumbuhan indikator Nilai Tambah Bank (NTB) untuk Bank Umum yang mencapai 15,7% (yoy) pada tahun 2016. Pertumbuhan didorong oleh adanya perkembangan pada pendapatan FISIM (Financial Intermediation
Services Indirectly Measured) atau pendapatan bank dari margin suku bunga, Pendapatan Provisi/Komisi dan Pendapatan Sekunder Bank yang mencapai Rp 2,14 triliun (2016) dibandingkan 2015 yang sebesar Rp 1,86 triliun. Hal ini terlihat pula pada tingginya kredit Bank Umum di Provinsi NTT hingga akhir tahun 2016 yang tercatat sebesar Rp 22,84 triliun atau tumbuh 12,59% (yoy).
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
24
Sementara itu secara triwulanan, pertumbuhan NTB Bank Umum juga mengalami kenaikan dari 7,07% (yoy) pada triwulan III menjadi 15,2% (yoy) pada triwulan IV. Adanya peningkatan nominal kredit yang mencapai Rp 454,6 miliar pada triwulan IV dibanding triwulan III diperkirakan menjadi salah satu penyebab. Di sisi lain, perkembangan jasa keuangan dan asuransi pada triwulan I-2017 diperkirakan tumbuh cukup stabil. Pertumbuhan diperkirakan terjadi karena masih tingginya kebutuhan masyarakat akan jasa keuangan dan asuransi di NTT, selain itu pertumbuhan juga ditopang kredit masyarakat seiring kebutuhan pendanaan untuk musim tanam dan pengiriman pendanaan untuk kegiatan perusahaan dan pemerintah di awal tahun. Grafik 1.35. Perkembangan NTB Perbankan
Sumber : Bank Indonesia, diolah
Sektor transportasi dan pergudangan tumbuh sebesar 6,73% (yoy) pada tahun 2016 dan tumbuh 5,48% (yoy) di triwulan IV. Pertumbuhan sepanjang tahun 2016 diperkirakan turut ditopang oleh adanya pembukaan beberapa rute penerbangan baru seperti Garuda (Denpasar-Maumere dan Jakarta-Kupang (direct)), Airfast (Labuan Bajo-Ruteng), Trans Nusa (Ngada-Kupang), Nam Air (Denpasar-Labuan Bajo), serta Lion Air (Kupang-Alor dan Kupang-Atambua) Selain itu, terdapat pula penambahan rute kapal laut, seperti Kapal Motor Tilongkabila (Rinca dan Komodo) serta 18 rute baru ASDP dan mulai beroperasinya taksi argo (Go Go Taxi) di Kota Kupang. Selain itu juga, peningkatan penumpang pesawat hingga 20% dan kapal laut (10%) pada libur perayaan Idul Fitri menjadi indikasi peningkatan lainnya. Secara
triwulanan,
pertumbuhan
triwulan
IV
cenderung
melambat.
Perlambatan disebabkan oleh minimnya pembukaan rute baru pesawat yang tercatat hanya Lion Air tujuan Kupang-Lombok dan Wings Air tujuan Kupang-Tambolaka-Ende, serta kondisi cuaca yang menyebabkan penurunan penggunaan kapal laut untuk
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
25
perjalanan di akhir tahun, walaupun pertumbuhan masih tetap terjadi seiring adanya perayaan hari raya natal dan tahun baru di akhir tahun. Di sisi lain, pertumbuhan pada triwulan I-2017 diperkirakan juga melambat. Ketiadaan momen libur hari besar dan libur keagamaan diperkirakan mengurangi frekuensi penggunaan pesawat terbang dan kapal laut di awal tahun. Selain itu, kondisi cuaca yang kurang baik juga diperkirakan mengurangi pengiriman stok barang dagangan dari daerah lain, sehingga berdampak pada terbatasnya pertumbuhan sektor pergudangan. Sektor real estate tercatat tumbuh 3,41% (yoy) pada tahun 2016 dan tumbuh sebesar 3,53% (yoy) pada triwulan IV-2016. Pertumbuhan sektor real estate pada tahun 2016 turut terbantu oleh beberapa kegiatan pameran perumahan seperti kegiatan
Real Estate Indonesia (REI) Expo 2016 dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Sementara itu pertumbuhan triwulan IV turut ditopang pameran BTN Expo 2016 pada bulan Oktober dan REI-Bank NTT Expo di akhir tahun 2016. Tracking pertumbuhan sektor real estate pada triwulan I-2017 diperkirakan sedikit meningkat karena adanya tindak lanjut penyediaan rumah sebagai hasil kegiatan pameran sepanjang tahun 2016. Sektor industri pengolahan tercatat tumbuh 4,98% (yoy) di tahun 2016 dan tumbuh sebesar 3,41% (yoy) di triwulan IV-2016. Sepanjang tahun 2016 belum terdapat lonjakan pertumbuhan berarti pada sektor industri pengolahan karena belum adanya penambahan industri besar di NTT. Tercatat hanya terdapat beberapa pabrik kelas menengah kecil, seperti air kemasan dan rumput laut di Sabu Raijua. Pengembangan industri cukup besar seperti semen kupang III dan pabrik gula (Sumba Timur) baru akan mulai dibangun pada tahun 2017. Minimnya produksi pengolahan juga terjadi pada triwulan-IV 2016 yang diperkirakan lebih didorong oleh peningkatan industri makan minum memasuki momen natal dan akhir tahun. Sementara itu, prospek pada triwulan I-2017 diperkirakan masih cukup stabil dan belum tumbuh terlalu besar karena baru akan dimulainya pembangunan pabrik skala besar. Pada tahun 2016, sektor pengadaan Listrik dan gas tumbuh sebesar 14,61% (yoy) dan 11,52% (yoy) pada triwulan IV 2016. Pertumbuhan tahunan yang cukup tinggi diperkirakan turut didorong oleh penambahan kapasitas melalui pasokan mesin (diantaranya Kab. Sikka, Sumba dan Kab. Flores Timur), Gardu Induk, dan Saluran Udara Tegangan Extra Tinggi (SUTET). Sementara itu pertumbuhan triwulan IV cenderung melambat karena masih terbatasnya penambahan infrastruktur ketenagalistrikan. Kedatangan Kapal Pembangkit Listrik Marine Vessel Power Plant (MVPP) Gokhan Bey | Bab I - Ekonomi Makro Regional
26
berkapasitas 60 MW baru akan dioptimalisasikan pada tahun 2017. Sementara itu dengan adanya kapal MVPP dan rencana penambahan kapasitas melalui PLTU IPP Bolok (2 x 15 MW) pada bulan Maret, diperkirakan pertumbuhan triwulan I-2017 akan meningkat. Sektor informasi dan komunikasi tercatat tumbuh 6,76% (yoy) pada tahun 2016 dan sebesar 7,23% (yoy) pada triwulan IV-2016. Sepanjang tahun 2016 pertumbuhan turut didorong penguatan layanan melalui pengembangan jaringan oleh PT. Telkomsel dan PT. XL Axiata. Selain itu, dilakukan pula proses migrasi dan promosi pengguna layanan Telkomsel ke 4G di tahun 2016 serta adanya kenaikan tarif pulsa ponsel di bulan September. Sementara itu, pertumbuhan triwulan IV-2016 diperkirakan turut ditunjang peningkatan trafik data internet dan telepon di akhir tahun. Pertumbuhan pada triwulan I-2017 diperkirakan melambat karena belum adanya langkah promosi paket dari provider dan ketiadaan momen keagamaan atau hari besar yang dapat meningkatkan penggunaan trafik data dan telepon secara signifikan. Namun, potensi peningkatan terjadi dari adanya kenaikan tarif pulsa ponsel di awal tahun. Secara tahunan sektor lainnya, jasa pendidikan mengalami perlambatan pertumbuhan yang kemungkinan disebabkan oleh terhambatnya penyaluran tunjangan sertifikasi guru.Sementara sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang, sektor jasa perusahaan dan sektor jasa lainnya cenderung mengalami perlambatan. Sementara itu, sektor pertambangan dan penggalian serta sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial cenderung meningkat. Di sisi lain secara pertumbuhan triwulan IV dibandingkan triwulan III , sektor pertambangan serta jasa kesehatan dan kegiatan sosial cenderung melambat, sementara sektor jasa pendidikan, sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang, sektor jasa perusahaan dan sektor jasa lainnya cenderung meningkat di akhir tahun. Peningkatan sektor pengadaan air diperkirakan turut ditopang oleh kegiatan PDAM Kota Kupang untuk pemasangan 2.000 sambungan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) pada tahun 2016 yang telah mencapai target di bulan Desember. Sementara itu, pencairan DAU pada bulan Desember diperkirakan turut berpengaruh bagi pencairan untuk kegiatan tunjangan sertifikasi guru. Sementara itu,
tracking untuk sektor lainnya pada triwulan I-2017 secara umum diperkirakan mengalami peningkatan yang ditopang oleh percepatan kegiatan dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
27
PDB Indonesia pada tahun 2016 mencapai 12.407 triliun rupiah, meningkat 5,02% (yoy) dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 11,531 triliun rupiah. Provinsi DKI Jakarta menjadi provinsi dengan PDRB terbesar mencapai 2,122 triliun rupiah, diikuti oleh Provinsi Jawa Timur dengan PDRB sebesar 1.855 triliun, Jawa Barat (1.653 triliun), Jawa Tengah (1.095 triliun) dan Provinsi Riau (682 triliun). Total PDRB Provinsi NTT pada tahun 2016 sebesar 84 triliun rupiah, atau sebesar 0,66% dari total PDB Indonesia, menempatkan PDRB Provinsi NTT pada ranking 9 terendah di Indonesia. Dengan jumlah penduduk sebesar 5,2 juta (estimasi 2016), membuat PDRB perkapita di NTT menempati urutan terbawah dengan nilai sebesar 16 juta perkapita per tahun, cukup jauh dibandingkan rata-rata PDB perkapita nasional yang sebesar 45 juta perkapita per tahun atau Provinsi DKI Jakarta dengan PDRB per kapita mencapai 212 juta perkapita per tahun. Grafik Boks 1.1. Ranking PDRB dan Jumlah Penduduk 34 Provinsi di Indonesia
Sumber : BPS, diolah
Grafik Boks 1.2. Ranking PDRB perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi 34 Provinsi di Indonesia
Sumber : BPS, diolah
Pertumbuhan PDRB Provinsi NTT tahun 2016 mencapai 5,18% (yoy), cukup meningkat bila dibandingkan PDRB tahun 2015 yang sebesar 5,03% (yoy) atau PDB Nasional yang sebesar 5,02% (yoy). Secara keseluruhan, terdapat 26 Provinsi yang memiliki pertumbuhan di atas pertumbuhan nasional atau hanya 8 provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Provinsi Kalimantan Timur menjadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi negatif -0,38% (yoy) terutama disebabkan oleh masih belum pulihnya kinerja pertambangan yang juga berdampak pada menurunnya kinerja konstruksi di Kalimantan Timur. Berdasarkan pangsa sektoral, sektor pertanian masih menjadi penyumbang utama PDRB, diikuti oleh sektor administrasi pemerintah, perdagangan besar dan eceran, konstruksi dan jasa pendidikan. Berdasarkan rincian sub sektor pertanian, tanaman pangan dan peternakan memiliki pangsa terbesar ke-3 dan ke-4, setelah administrasi pemerintahan dan konstruksi. Dibanding pangsa nasional, subsektor tanaman pangan memiliki nilai bobot relatif terbesar ke-3 di Indonesia setelah Provinsi Gorontalo dan Provinsi Lampung. Bahkan, subsektor peternakan memiliki pangsa terbesar dibanding rata-rata nasional yang terlihat dari nilai LQ peternakan yang mencapai 3,11 dan pangsa terhadap total PDRB NTT mencapai 9,57%. Subsektor peternakan NTT juga memiliki kontribusi terbesar ke-8 nasional dengan | Boks 1
Karakter Ekonomi Provinsi NTT dan Kontribusi Terhadap Perekonomian Indonesia
28
besar pangsa terhadap PDB Indonesia mencapai 3,76% yang terutama disumbang oleh peternakan sapi. Adapun sektor lain yang memberikan sumbangan cukup besar terhadap perekonomian NTT relatif dibanding nasional antara lain sektor informasi dan komunikasi (LQ2,01, bobot 7,48%), jasa pendidikan (LQ-2,89%, bobot 9,57%) dan administrasi pemerintahan (LQ-3,16, bobot 12,23%). Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan pertumbuhan ekonomi di NTT masih sangat dipengaruhi oleh tumbuhnya sektor pertanian dan pengeluaran pemerintah. Grafik Boks 1.3. Struktur Ekonomi Provinsi NTT Berdasarkan Sektoral
Sumber : BPS, diolah
Grafik Boks 1.4. Struktur Ekonomi Provinsi NTT Berdasarkan Penggunaan
Sumber : BPS dan Bank Indonesia, diolah
Berdasarkan pendekatan pengeluaran, didapatkan bahwa 32,5% pengeluaran rumah tangga digunakan untuk konsumsi makanan dan minuman, dan 43,83% digunakan untuk konsumsi non makanan dan minuman, dengan pengeluaran terbesar pada konsumsi untuk keperluan transportasi (15,86%) dan perumahan (12,29%). Konsumsi pemerintah menyumbang 26,75% dari total PDRB NTT. Pengeluaran besar lainnya didapatkan dari investasi pembangunan fisik dengan pangsa hingga 33,88% dari total PDRB NTT, diikuti investasi non bangunan (8,56%). Namun demikian, tingginya belanja domestik ini tidak sepenuhnya dinikmati masyarakat di NTT yang terlihat dari besarnya impor antar daerah yang mencapai 64,77% dari total PDRB NTT. Hal ini berarti terdapat lebih dari 54 triliun rupiah uang keluar NTT yang digunakan untuk keperluan konsumsi dan investasi di NTT. Tingginya impor antar daerah tersebut berdampak negatif terhadap PDRB NTT yang secara langsung mengurangi potensi total pendapatan atau pengeluaran yang bisa dihasilkan Provinsi NTT dalam waktu satu tahun. Ekspor antar daerah di NTT juga masih relatif kecil dengan pangsa hanya 14, 37% terutama berasal dari ekspor peternakan, perikanan, garam, dan hasil perkebunan di NTT. Adapun kegiatan ekspor dan impor antar negara masih didominasi oleh kegiatan ekspor jasa luar negeri terutama disumbang oleh pengiriman TKI walaupun pertumbuhannya mengalami penurunan seiring dengan adanya moratorium pengiriman TKI ataupun banyaknya ditemukan praktek pengiriman TKI ilegal dari Provinsi NTT. Sektor pariwisata belum terlalu berkontribusi besar walaupun pada tahun 2016, jumlah kunjungan wisatawan sudah mencapai 1 juta orang. Walaupun pangsa terhadap perekonomian masih sangat kecil, sektor pariwisata berpotensi untuk berkontribusi lebih terhadap perekonomian di NTT yang terlihat dari pertumbuhan ekonomi sektor penyediaan akomodasi dan makan minum yang tumbuh hingga 14,46% (yoy) dan menjadi pertumbuhan sektoral terbesar di Indonesia. Tingginya potensi sumbangan pariwisata terhadap perekonomian NTT juga terlihat dari banyaknya investasi pembangunan hotel, restoran dan jasa pariwisata di NTT yang mencapai lebih dari 50% dari total 104 komitmen investasi di tahun 2016. | Boks 1
Karakter Ekonomi Provinsi NTT dan Kontribusi Terhadap Perekonomian Indonesia
29
Grafik Boks 1.5. Andil Pertumbuhan Ekonomi Sektoral di Provinsi NTT
Grafik Boks 1.6. Andil Pertumbuhan Ekonomi Penggunaan di Provinsi NTT
Berdasarkan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi didapatkan bahwa sektor pertanian mengalami perlambatan pertumbuhan terutama disebabkan oleh adanya El Nino di awal tahun yang mempengaruhi turunnya produksi pertanian tanaman pangan. Gejala La Nina di tengah dan akhir tahun juga menurunkan produksi tanaman perkebunan dan hasil tangkap ikan. Di tengah perlambatan tersebut, sektor konstruksi mampu memberikan sumbangan pertumbuhan ekonomi terbesar, disusul oleh sektor perdagangan dan administrasi pemerintah. Kegiatan administrasi pemerintah juga mengalami perlambatan terutama disebabkan oleh adanya penghematan belanja yang dilakukan oleh satker pemerintah pusat di NTT. Perlambatan investasi juga terlihat dari rendahnya realisasi investasi di NTT terutama disebabkan oleh penurunan belanja modal pemerintah pusat di NTT. Turunnya investasi juga langsung berimbas terhadap turunnya impor antar daerah yang dilakukan. Grafik Boks 1.7. Ranking PDRB dan Jumlah Penduduk 22 Kabupaten Kota di NTT
Grafik Boks 1.8. Ranking PDRB Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi 22 Kabupaten Kota di NTT
Apabila kembali dirinci berdasarkan data kabupaten kota tahun 2015, PDRB terbesar dihasilkan oleh Kota Kupang dengan total nilai PDRB mencapai 16,62 triliun rupiah, diikuti kabupaten Timor Tengah Selatan (5,52 T), Kabupaten Kupang (5,44 T), Ende (4,58T) dan Sumba Timur (4,56T). Masih terdapat 2 kabupaten yang memiliki PDRB kurang dari satu triliun yaitu Kabupaten Sumba Tengah dan Sabu Raijua. Dengan jumlah penduduk yang besar, dan di sisi lain nilai nominal PDRB yang dihasilkan relatif rendah membuat PDRB perkapita di NTT juga sangat rendah, bahkan terendah di Indonesia. Hanya Kota Kupang yang memiliki nilai | Boks 1
Karakter Ekonomi Provinsi NTT dan Kontribusi Terhadap Perekonomian Indonesia
30
PDRB per kapita mendekati rata-rata nasional, selebihnya berada di kisaran 12 juta rupiah per kapita per tahun dengan Kabupaten Manggarai Timur dan Sumba Barat Daya sebagai daerah dengan pendapatan perkapita terendah di NTT dengan nilai hanya 8,35 juta dan 8,43 juta per kapita per tahun. Berdasarkan total pangsa ekonomi per sektor, didapatkan bahwa Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Kupang menjadi sentra pertanian terbesar di NTT dengan pangsa masing-masing sebesar 11,45% dan 10,99% dari total PDRB Sektor pertanian di NTT. Subsektor peternakan menjadi komoditas utama penyumbang pertanian di kedua daerah tersebut, selain juga disumbang oleh sub sektor tanaman pangan. Berdasarkan pangsa sektoral, didapatkan bahwa 15 kabupaten di NTT masih sangat tergantung pada sektor pertanian dan 12 kabupaten juga menggantungkan ekonominya dari belanja pemerintah. Tingginya ketergantungan terhadap sektor pertanian tersebut berdampak pada tren rendahnya PDRB di daerah-daerah tersebut. Dengan kondisi ekonomi yang terlalu tergantung pada pertanian dan pengeluaran pemerintah, maka pertumbuhan ekonomi akan sangat dipengaruhi oleh besarnya pengeluaran pemerintah atau inovasi pertanian yang dilakukan. Dengan karakter ekonomi di Provinsi NTT yang masih dominan digerakkan oleh sektor primer dan pengeluaran pemerintah, maka dengan kondisi pengetatan anggaran yang terjadi, pertumbuhan ekonomi di Provinsi NTT diperkirakan akan cenderung rendah pada kisaran 5% dalam beberapa tahun ke depan. Akselerasi ekonomi diperkirakan baru akan terjadi setelah pembangunan waduk, industri semen, garam dan gula selesai dilakukan. Potensi pertumbuhan sebenarnya juga masih dapat diraih apabila kelebihan pasokan daya listrik yang saat ini terjadi benar-benar dapat dimanfaatkan dengan mengupayakan industrialisasi ekonomi yang sudah direncanakan dalam Kawasan Industri Bolok. Apabila peluang industrialisasi ekonomi dapat segera ditangkap, maka pertumbuhan ekonomi di atas 6% dapat segera diraih.
| Boks 1
Karakter Ekonomi Provinsi NTT dan Kontribusi Terhadap Perekonomian Indonesia
31
Boks 2. Kajian Growth Diagnostic Provinsi NTT Pertumbuhan ekonomi provinsi NTT selama periode 2010-2016 cenderung stabil dalam kisaran 5% (yoy) dan belum mengalami lonjakan pertumbuhan yang cukup tinggi. pangsa perekonomian provinsi NTT yang cenderung bertumpu pada sektor pertanian dengan peningkatan produksi yang terbatas menjadi salah satu penyebab terjadinya trend tersebut. Apabila dilihat dari satu sisi, pencapaian tersebut merupakan hal yang positif karena menunjukkan keberhasilan Provinsi NTT dalam menjaga stabilitas perekonomiannya. Namun disisi lain perlu adanya reformasi struktural guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Sebagai landasan perumusan strategi pembangunan, maka Bank Indonesia Provinsi NTT bersama Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter telah melakukan kajian mengenai faktor-faktor penghambat pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan pendekatan Growth Diagnostic melalui metode HRV Tree (Hausmann, Rodrik, dan Velasco, 2005) yang mencakup analisis hambatan utama perekonomian NTT. Sebagai langkah kuantifikasi terhadap dampak simulasi kebijakan, juga digunakan Model Computable General Equilibrium (CGE)-INDOTERM yang dibangun oleh Bappenas, CoPS Australia, CEDS UNPAD, ADB dan USAID. Dalam metode HRV Tree dilakukan analisis untuk menentukan prioritas hambatan utama yang dapat memberikan efek pertumbuhan ekonomi paling besar (most binding constraint). Dalam metode ini terdapat dua hal utama penghambat investasi sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi di suatu daerah, yaitu 1) Tingkat pengembalian dari aktivitas ekonomi yang rendah (didalamnya terdiri dari: rendahnya kualitas SDM, kurangnya infrastruktur, geografis yang buruk, manajemen SDA yang buruk, serta kegagalan pemerintah dan kegagalan pasar), dan 2) Ongkos dari pembiayaan yang tinggi (ketidakcukupan pembiayaan domestik dan internasional karena tabungan yang rendah atau fungsi intermediasi yang buruk). Data yang digunakan merupakan data-data sekunder dari BPS ataupun lembaga lainnya. Dari hasil analisis ditemukan beberapa faktor penghambat utama investasi di NTT, diantaranya adalah Kualitas Sumber Daya Manusia dan kurangnya infrastruktur terutama listrik. Tabel Boks 2. 1. Matriks Hambatan Utama Perekonomian di Provinsi NTT Kompetisi
Penjelasan Rasio Kredit/PDRB dan Simpanan/PDRB masih cukup rendah (<30%) Loan to Deposit Ratio (LDR) masih tergolong rendah (sekitar 80%) Pangsa Kredit Konsumsi sangat tinggi (rata-rata 63%) Suku Bunga Investasi tinggi (rata-rata >14%) Geografis Terdiri dari 8 musim kemarau dan 4 musim hujan dengan curah hujan rendah. Manajemen Produktivitas Pertanian dan alokasi pupuk subsidi yang rendah SDA Buruk Rasio Elektrifikasi masih rendah (58,6%) dengan konsumsi perkapita sangat rendah 139 Kwh/Kapita Jumlah jalan beraspal masih rendah Masih banyak terjadi sengketa lahan. Namun rasio penyelesaian cukup tinggi 80% Akses sanitasi dan air bersih masih rendah
Mikro
Makro
SDM
Infrastruktur
Domestik Pendapatan Sosial Resiko Makro Resiko Mikro
Pendapatan dari Aktivitas Ekonomi
Keuangan
Analisis
Biaya kirim logistik masih cukup tinggi Tenaga kerja mayoritas tidak terididik (>60%), IPM masih rendah peringkat ke 31 dari 34 Provinsi Produktivitas masih rendah 33,6 Juta/tahun dengan sektor terendah industri (Rp 8,2 juta/kapita) Pangsa pengangguran terdidik selalu meningkat setiap tahun (miss match lapangan kerja) Akses pendidikan dan kesehatan masih cukup rendah Inflasi masih searah dengan nasional Alokasi belanja modal Pemda masih sangat rendah Indeks Tata Kelola Daerah, Indeks Persepsi Korupsi, Indeks Tata Ekonomi Daerah dan Daya Saing masih rendah Persentase penyelesaian kasus masih cukup tinggi Jumlah tindak pidana masih rendah Jumlah kasus sengketa lahan rendah dan persentasi penyelesaian cukup tinggi
Boks 2 | Kajian Growth Diagnostic Provinsi NTT
32
Sesuai temuan awal tersebut kemudian dilakukan Focus Group Discussion dengan Pemerintah Daerah, Akademisi dan Pelaku Usaha di Provinsi NTT dalam rangka pengayaan informasi dan masukan tambahan mengenai faktor-faktor penghambat investasi di NTT. Sehingga akhirnya ditemukan 6 hal (permasalahan dan potensi ekonomi) yang dapat menghambat perekonomian NTT, diantaranya: 1) Kurangnya Kualitas SDM, 2) Kurangnya akses listrik, 3) Kurangnya akses air, 4) Permasalahan pembebasan lahan, 5) Permasalahan akses jalan dan 6) Potensi pariwisata sebagai alternatif pendorong ekonomi di Provinsi NTT. Rendahnya kualitas SDM sendiri terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT yang berada di peringkat ke-32 dari 34 Provinsi di Indonesia. Di sisi lain, tenaga kerja di NTT juga masih didominasi oleh tingkat Sekolah Dasar ke bawah (>60%). Hal ini juga tergambar dari tingginya tingkat partisipasi murni sekolah untuk tingkat SD yang mencapai 94,56%. Sementara itu tingkat SMP baru mencapai 65,86% dan SMA (52,15%). Konsentrasi tenaga kerja yang berada di sektor pertanian sehingga tidak terlalu membutuhkan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang tinggi ditengarai menjadi salah satu faktor penyebab. Grafik Boks 2. 1. Kondisi Pendidikan Angkatan Kerja
Sumber : BPS, diolah
Grafik Boks 2.2. Angka Partisipasi Sekolah Provinsi NTT
Sumber : BPS, diolah
Di sisi lain, ketersediaan infrastruktur yang masih kurang baik seperti rendahnya kapasitas listrik, akses sanitasi dan kelayakan jalan dapat menjadi kendala kritikal lainnya bagi pengembangan investasi di Provinsi NTT. Rasio elektrifikasi Provinsi NTT pada tahun 2015 baru mencapai 58,38% atau ke-2 terendah diatas Provinsi Papua yang sebesar 45,6%. Kondisi NTT yang merupakan daerah kepulauan mendorong pembangunan pembangkit listrik yang isolated dan tidak terkoneksi antar pulau. Akses air bersih sendiri baru mencapai 52,7% lebih rendah daripada nasional yang 68,1%. Dari sisi konektivitas, jumlah ketersediaaan jalan aspal baru 56,2% dari total panjang jalan di NTT, kondisi jalan yang buruk dapat menyebabkan terhambatnya kegiatan sirkulasi barang antar daerah. Sementara itu, permasalahan pembebasan lahan juga menghambat beberapa rencana investasi BUMN/ swasta, seperti Pabrik Semen Kupang dan PT. Gulf Mangan, serta proyek pemerintah seperti bendungan Kolhua. Berdasarkan temuan tersebut maka dilakukan simulasi dengan model CGE-INDOTERM untuk mengkuantifikasikan dampak pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja apabila dilakukan pembenahan terhadap faktor-faktor tersebut. Adapun asumsi yang dilakukan menggunakan dokumen RPJMN, RPJMD, dan informasi dari media massa dan FGD terkait rencana pemerintah hingga tahun 2020. Asumsi yang digunakan diantaranya 1) peningkatan lama sekolah dari 7,35 tahun (2014) menjadi 8,82 tahun (2020) untuk perbaikan kualitas SDM, 2) Peningkatan kapasitas listrik sebesar 313,6 MW, 3)Peningkatan kategori jalan baik dari 54,4% (2014) menjadi 70% (2018), 4) Pembangunan 7 bendungan di NTT, 5) Penyelesaian permasalahan lahan untuk investasi PT. Semen Kupang dan PT. Gulf Mangan dan 6) Peningkatan kunjungan wisatawan mancanagera ke NTT hingga 2011 ribu orang (2020). Boks 2 | Kajian Growth Diagnostic Provinsi NTT
33
Tabel Boks 2. 2. Matriks Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja No
Kebijakan
1 Peningkatan Rata-Rata sekolah 2 Peningkatan Kapasitas Listrik 3 Perbaikan Jalan 4 Pembangunan Bendungan 5 Permasalahan Lahan 6 Diversifikasi Pariwisata
ASUMSI Peningkatan rata-rata lama sekolah dari yang semula selama 7,35 tahun menjadi 8,82 tahun. Kenaikan kapasitas terpasang listrik di NTT dari 249 MW (2015) menjadi 474 MW (2020). Peningkatan jalan kategori baik dari 54,4% menjadi 70% Pembangunan 7 Bendungan, peningkatan produksi Pertanian 10,09% (2020) dan akses air Penyelesaian proyek mangan dan semen di NTT Peningkatan jumlah Kunjungan Wisman Total
Dampak Makro Ekonomi PDRB
Tenaga Kerja
0.35
0.41
0.39
0.18
0.06
0.03
0.22
0.08
0.2 0.39 1.61
0.08 0.25 1.03
Berdasarkan hasil simulasi CGE-INDOTERM diketahui bahwa peningkatan rata-rata lama sekolah di NTT dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun sebesar 0,35% dari kondisi normal (baseline) dan peningkatan penyerapan tenaga kerja 0,41%. Hal ini menggambarkan pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia bagi pengembangan ekonomi di NTT. Sementara prioritas kedua adalah pengembangan pariwisata yang memberikan dampak peningkatan pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun sebesar 0,39% dan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,25%. Prioritas ketiga yang dapat dilakukan adalah peningkatan kapasitas listrik yang berdampak peningkatan rata-rata pertumbuhan ekonomi pertahun sebesar 0,39% dan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,18%. Kebijakan selanjutnya yang dapat dilakukan secara berturut-turut adalah peningkatan akses terhadap air dengan pembangunan bendungan, penyelesaian masalah lahan dan perbaikan kondisi jalan. Adapun beberapa masukan yang dapat dilakukan dalam pengembangan ekonomi dan investasi di Provinsi NTT, diantaranya: 1. Upaya pengembangan Sumber Daya Manusia: a) Peningkatan pembentukan pendidikan non formal (kepelatihan/ kursus) terutama di bidang pariwisata, b) Peningkatan sarana penunjang di sekolah pedesaan, seperti internet dan komputer, c) Perlunya peningkatan kualitas guru dan dosen melalui pemberian beasiswa atau pelatihan, serta e) Upaya pengiriman SDM NTT secara massif untuk bersekolah di Pulau Jawa yang kemudian harus kembali ke NTT untuk mengembangkan daerahnya. 2. Upaya Pengembangan Pariwisata: a) Dukungan terhadap rencana pembangunan kawasan Strategis Pariwisata Nasional di NTT, b)Pembenahan SDM dan kemudahan investasi sektor pariwisata, c) Promosi melalui media sosial dan elektronik, d)Pembenahan akses dan fasilitas penunjang (seperti WC Umum) di daerah wisata. 3. Upaya Pengembangan Tenaga Listrik: a) Pengembangan energi alternatif seperti hidro, arus laut, surya dan bayu, dan b) Pendirian Pembangkit Listrik Kapasitas besar >500 MW. 4. Upaya Peningkatan Akses terhadap Air dan Produktivitas Padi: a) Dukungan terhadap pembangunan 7 bendungan di NTT, b) Penggunaan teknologi pengolahan air laut menjadi air tawar, dan c) Konservasi daerah-daerah serapan air di NTT. 5. Upaya Mengatasi Permasalahan Lahan: a)Perlunya melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan investasi, b) Pembenahan dokumen administrasi dan pertanahan oleh BPN, serta c) Peningkatan koordinasi pusat dan daerah sehingga tidak terjadi tumpang tindih izin. 6. Upaya Perbaikan Konektivitas/Jalan: 1)Evaluasi status jalan menjadi jalan negara, dan b) pembenahan transportasi alternatif seperti kapal laut dan sarana penunjangnya. Boks 2 | Kajian Growth Diagnostic Provinsi NTT
34
Boks 3. Distribusi Bahan Bakar Minyak di Provinsi Nusa Tenggara Timur Pada tahun 2016, PT Pertamina telah berhasil menyalurkan 550 ribu kilo liter BBM1 di Provinsi NTT dengan total nilai omset lebih kurang mencapai 3 triliun rupiah. Secara tahunan, penyaluran BBM mengalami pertumbuhan hingga 9,08% (yoy), lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang relatif tetap, ataupun dibanding pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT yang tumbuh 5,18%. Tingginya pertumbuhan konsumsi BBM kemungkinan besar lebih disebabkan oleh membaiknya kondisi perekonomian di Provinsi NTT, yang membuat konsumsi masyarakat juga mengalami peningkatan. Selain itu, Penurunan harga BBM yang terjadi di tahun 2016 mampu meningkatkan gairah masyarakat untuk beraktivitas yang terlihat dari tingginya konsumsi transportasi dan komunikasi masyarakat terutama pada triwulan I dan II 2016. Gejala peningkatan konsumsi BBM mulai terlihat di triwulan IV 2015 yang disebabkan oleh menurunnya harga BBM. Pada triwulan I hingga III 2015, penggunaan BBM cenderung mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang disebabkan oleh sentimen negatif paska kenaikan harga BBM di akhir tahun 2014. Berdasarkan pangsa penyaluran BBM, penjualan BBM di tahun 2016 masih didominasi oleh penjualan BBM bersubsidi berupa premium, solar dan minyak tanah dengan total pangsa mencapai 95,84%. Namun demikian, penjualan BBM Non Subsidi di tahun 2016 menunjukkan lonjakan yang sangat signifikan, dengan pertumbuhan mencapai lebih dari 10 kali lipat, terutama disebabkan oleh mulai dijualnya beragam BBM Non subsidi lainnya seperti pertalite di 8 kota, Dexlite dan pertamina dex di Kota Kupang dan Timor Tengah Utara, solar non subsidi di 12 kabupaten/kota di NTT, dan pertamax plus Kota Kupang. Pangsa BBM non subsidi juga meningkat signifikan, dari hanya 0,40% di tahun 2015 menjadi 4,16% di tahun 2016. Grafik Boks 3. 1. Penyaluran BBM di Provinsi NTT
Sumber: PT Pertamina, diolah
Grafik Boks 3.2. Pangsa Penyaluran BBM Di Provinsi NTT
Sumber: PT Pertamina, diolah
Berdasarkan jaringan distribusi, PT Pertamina saat ini memiliki 8 depot distribusi yang tersebar di Pulau Timor, Flores dan Sumba. Adapun dalam pendistribusiannya, TBBM Tenau Kupang, akan mendapat BBM dari Kilang Balikpapan atau Termintal Transit Utama (TTU) Tuban, Bali, untuk didistribusikan ke TBBM Sumba Timur, Ende dan Atapupu. Adapun TBBM Maumere, BBM yang disalurkan adalah realisasi lembaga penyalur ritel yaitu data agen minyak tanah dan penyaluran Pertamina ke SPBU, APMS, dan SPDN dimana lembaga penyalur tersebut melayani sektor ritel yaitu kendaraan, usaha mikro, sektor pertanian, dan layanan umum seperti rumah sakit tipe C dan D, tempat ibadah, dll 1
Boks 2 | Distribusi BBM di Provinsi Nusa Tenggara Timur
35
akan mendapatkan suplai BBM dari TTU Bau-Bau untuk didistribusikan ke TBBM Reo, TBBM Larantuka dan TBBM Kalabahi. Apabila terdapat kekurangan pasokan, TT Manggis, Bali akan melakukan suplai ke 5 TBBM, sedangkan TBBM Tenau akan disuplai dari TT Tanjung Wangi. Sebagai cadangan, TBBM Atapupu dapat disuplai via jalur darat dari TBBM Tenau. Gambar Boks 3.1. Peta Distribusi BBM Per Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
Sumber: PT Pertamina, diolah
Dari total 550 ribu kilo liter yang didistribusikan, 118 ribu kilo liter didistribusikan di Kota Kupang, terdiri dari 111 kilo liter BBM bersubsidi dan 7 ribu KL BBM non subsidi. Besarnya pendistribusian di Kota Kupang lebih disebabkan oleh besarnya jumlah penduduk dan skala ekonomi yang dilakukan. Kabupaten Sikka menjadi daerah dengan penggunaan BBM terbesar ke-3 dengan jumlah mencapai 40 ribu kl, disusul oleh Kabupaten Manggarai (37 ribu kl), Belu (36 ribu kl), Sumba Timur (31 ribu kl) dan Ende (29 ribu kl). Kabupaten Sabu Raijua, Sumba Tengah, Rote Ndao, dan Lembata menjadi daerah dengan penggunaan BBM terendah di Provinsi NTT dengan penggunaan masing-masing sebesar 4 ribu kl, 5 ribu kl, 9 ribu kl dan 10,5 ribu kl. Berdasarkan volume penggunaan BBM, hanya Kota Kupang yang menggunakan BBM lebih dari 100 ribu kl, 10 kabupaten dengan rentang penggunaan antara 20 hingga 50 ribu kl, 8 Kabupaten dengan penggunaan antara 10 hingga 20 ribu kl, dan 3 kabupaten dengan penggunaan kurang dari 10 ribu kl. Apabila besar penyaluran BBM tersebut dibandingkan dengan PDRB sektor transportasi dan komunikasi ataupun dengan sebaran jumlah penduduk, didapatkan bahwa nilai distribusi BBM bersubsidi berkorelasi positif signifikan dengan nilai PDRB sektor transportasi dan komunikasi serta dengan jumlah penduduk. Baik bahan bakar premium, solar maupun minyak tanah menunjukkan nilai korelasi (R2) di atas 90% yang artinya besaran jumlah BBM yang didistribusikan ke masing-masing kabupaten/kota sudah mengikuti penyebaran jumlah penduduk dan kapasitas ekonomi di masing-masing wilayah. Arah sebaran grafik cenderung bias ke kanan yang menunjukkan bahwa semakin besar kapasitas ekonomi, maka peningkatan kebutuhan BBM akan bertambah lebih besar dibanding pertumbuhan ekonomi yang ada. Hanya Kota Kupang yang terlihat keluar dari sebaran normal yang kemungkinan lebih disebabkan oleh fungsi Kota Kupang sebagai pusat ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur, sehingga untuk beberapa moda transportasi seperti kapal dan pesawat dimungkinkan mendapat pasokan dari luar daerah. Boks 2 | Distribusi BBM di Provinsi Nusa Tenggara Timur
36
Grafik Boks 3. 3. Rasio Penyaluran BBM dengan PDRB Sektor Transportasi dan Komunikasi
Sumber: PT Pertamina, diolah
Grafik Boks 3.4. Rasio Penggunaan BBM Berdasarkan Rumah Tangga dan Kendaraan
Sumber: PT Pertamina, diolah
Apabila dilihat lebih detil, Rasio penggunaan minyak tanah di Kota Kupang terlihat paling besar dibanding daerah lain. Rata-rata tiap rumah tangga menggunakan 0,6 liter minyak tanah per hari, lebih besar dibanding daerah lainnya. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh tidak adanya alternatif bahan bakar lain sebagaimana biasa digunakan oleh penduduk pedesaan. Secara rata-rata, rumah tangga di Provinsi NTT menggunakan 1 liter minyak tanah untuk 4 hari memasak. Rasio penggunaan minyak tanah per rumah tangga terendah di Kabupaten Sabu Raijua, Manggarai Timur, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya yang kemungkinan besar lebih disebabkan oleh penggunaan bahan bakar lain dalam memasak makanan seperti menggunakan kayu bakar atau arang bakar. Setiap rumah tangga di Provinsi NTT dalam sehari rata-rata menggunakan 0,7 liter premium untuk kendaraannya. Tingkat konsumsi premium tertinggi terjadi di Kota Kupang, dengan rata-rata per hari mengkonsumsi 2 liter premium atau setara dengan 3 kali lipat ratarata konsumsi premium di NTT. Hal ini dinilai wajar mengingat cakupan nilai PDRB per kapita Kota Kupang yang juga mencapai 3 kali lipat dibanding rata-rata NTT. Berdasarkan rasio jumlah kendaraan per rumah tangga juga terbukti bahwa rumah tangga di Kota Kupang rata-rata memiliki 2 buah kendaraan bermotor, bandingkan dengan Kabupaten Manggarai Timur yang di tiap 4 rumah tangga baru memiliki 1 kendaraan bermotor. Rasio penggunaan premium per jumlah kendaraan juga menunjukkan bahwa rata-rata penggunaan premium per kendaraan di Kota Kupang justru paling rendah dibanding kota lainnya di Nusa Tenggara Timur. Temuan yang cukup menarik adalah tingginya rasio penggunaan premium di Kota Sabu Raijua yang mencapai 218 km/ per kendaraan yang menunjukkan bahwa pasokan premium yang dikirimkan sudah sangat memenuhi kebutuhan, walaupun di sisi lain, konsumsi premium per rumah tangga menunjukkan nilai yang rendah. Tingginya rasio penggunaan premium ataupun solar di Sabu Raijua kemungkinan besar disebabkan oleh adanya kendaraan dari luar NTT yang tidak tercatat dan juga penggunaan untuk bahan bakar kapal nelayan yang juga cukup tinggi. Permasalahan lain yang teridentifikasi adalah tingginya minat masyarakat untuk membeli kendaraan dari luar daerah dikarenakan bea balik nama kendaraan yang relatif lebih rendah. Kondisi tersebut selain menyebabkan pemerintah tidak mendapatkan pendapatan pajak, kendaraan dari luar NTT yang tidak tercatat juga berpotensi membuat perhitungan rasio penggunaan BBM per kendaraan menjadi bias yang dapat berpengaruh pada sulitnya menentukan kebijakan distribusi yang diambil.
Boks 2 | Distribusi BBM di Provinsi Nusa Tenggara Timur
37
Boks 4. Kondisi Konektivitas Transportasi Laut Barang di Provinsi NTT Sebagai negara kepulauan, pembenahan sektor logistik menjadi agenda penting Indonesia untuk menurunkan biaya transportasi barang serta meningkatkan daya saing. Sampai dengan tahun 2016, kinerja sektor logistik Indonesia masih tergolong tertinggal dibandingkan negara tetangga di Asia termasuk Asia Tenggara. Berdasarkan data Logistic Performance Index oleh Bank Dunia (2016), Indonesia masih menempati posisi cukup rendah yakni peringkat 63 dari 160 negara. Sementara dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat 4 dari 10 negara. Posisi tersebut masih kalah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebagai provinsi kepulauan dengan 1.192 pulau (44 pulau di antaranya berpenghuni) merupakan representasi penting Indonesia sebagai negara kepulauan, sehingga dengan mempelajari karakteristik logisitik yang ada di provinsi ini maka dimungkinkan dapat membantu menggambarkan karakteristik logistik di Indonesia pada umumnya. Transportasi laut memegang peranan sangat penting di Provinsi NTT sebagai sarana perpindahan barang antara pulau satu ke pulau yang lain maupun dari dan ke Provinsi NTT. Terdapat 5 pelabuhan laut komersial di NTT, yaitu Pelabuhan Laut Tenau (Kupang), Waingapu (Sumba), Kalabahi (Alor), Maumere (Sikka) dan Ende. Selain itu, terdapat pelabuhan non komersial yang juga melayani transportasi barang di antaranya Pelabuhan Reo, Labuan Bajo, Aimere, Larantuka, Lewoleba, Baranusa, Atapupu, Rote, Sabu dan Waikelo. Pelabuhan Laut Tenau (Kupang) masih menjadi satu-satunya pelabuhan yang dapat disandari kapal besar hingga 10.000 dead weight ton (DWT), sementara pelabuhan lain berkapasitas relatif kecil atau kurang dari 2.000 DWT dan sebagai pelabuhan pengumpan. Dengan demikian, sebagian besar logistik dengan tujuan Provinsi NTT melalui Pelabuhan Laut Tenau sebagai pelabuhan pengumpul, serta sebagian melalui Pelabuhan Maumere untuk daratan Flores. Peran Pelabuhan Laut Tenau sebagai hub sentral atau pintu masuk dan keluar utama transportasi laut barang menyebabkan kinerja pelabuhan tersebut berpengaruh besar terhadap keseluruhan kinerja transportasi laut barang di Provinsi NTT. Sampai saat ini ketergantungan Provinsi NTT terhadap wilayah lain di Indonesia masih sangat tinggi, terutama Surabaya. Banjarmasin, Makassar dan sekitarnya juga memasok barang ke Provinsi NTT berupa general cargo, namun dengan jumlah yang jauh lebih kecil. Pola ketergantungan Provinsi NTT berupa pusat-pinggiran. Artinya, sebagian besar barang yang datang ke Provinsi NTT mengarah ke Pelabuhan Laut Tenau di Kupang baru kemudian diantar ke wilayah-wilayah lain menggunakan kapal yang lebih kecil. Namun berdasarkan hasil survei pola perdagangan antar wilayah di Provinsi NTT, diketahui bahwa antara Tenau (Timor) dan Flores tidak terhubung dalam jalur distribusi untuk 5 komoditas perdagangan penyumbang inflasi terbesar di Provinsi NTT yakni beras, gula pasir, cabai merah dan bawang merah. Masing-masing distributor atau pedagang lebih memilih untuk mengambil sendiri barang-barang komoditas dari pemasok dan mengirimkannya langsung ke tujuan tanpa melalui Pelabuhan Laut Tenau sebagai hub sentral untuk menekan biaya transportasi. Setelah Tenau, pelabuhan dengan aktivitas bongkar-muat barang relatif ramai di antaranya Waingapu (Sumba), Kalabahi (Alor), Atapupu (Timor), Maumere, Ende dan Aimere (tiga pelabuhan di Flores). Boks 4 | Kondisi Konektivitas Transportasi Laut Barang di NTT
38
Berdasarkan sebaran rute pelayaran sebagaimana Gambar Boks 2.1, terlihat bahwa jalur Surabaya-Kupang menjadi jalur utama kapal laut antarprovinsi, sementara Surabaya-Labuan Bajo menjadi jalur masuk terdekat untuk barang ke Flores yang dilayani dengan truk-feri. Jalur Surabaya-Maumere juga menjadi jalur masuk barang ke Flores yang dilayani dengan kapal laut dan truk-feri. Selain itu, terlihat pula bahwa jalur laut barang antarpulau di Provinsi NTT cukup ramai dengan hampir seluruh pelabuhan terhubung satu sama lain dengan peran sebagai hub utama dipegang Pelabuhan Laut Tenau di Kupang. Gambar Boks 4.1. Peta Alur Transportasi Laut Barang
Sumber : Dirjen Perhubungan Laut Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kupang, diolah
Saat ini terjadi tren peningkatan arus barang masuk ke Provinsi NTT, sementara pengiriman barang keluar masih sangat rendah. Berdasarkan data agregat tahun 2016, volume barang yang dimuat di seluruh pelabuhan Provinsi NTT hanya 3,5% dari total volume barang yang dibongkar. Ketidakseimbangan volume bongkar-muat tidak hanya terjadi pada pengiriman barang antarprovinsi namun juga pada pengiriman barang antarpulau dalam provinsi. Volume barang yang dimuat di Kupang jauh lebih rendah dibandingkan barang yang masuk ke Kupang dengan data agregat 2016 menunjukkan bahwa barang yang dimuat hanya 4,89% dari total volume barang yang dibongkar. Hal tersebut menyebabkan biaya transportasi per satuan berat di Provinsi NTT menjadi lebih tinggi dan waktu tunggu pengumpulan barang yang akan dikirim menjadi lebih lama karena harus menunggu muatan penuh. Dalam rangka mengurangi ketidakseimbangan perdagangan antarprovinsi dan antarpulau tersebut, maka peningkatan kinerja perekonomian daerah serta peningkatan kualitas dan pengelolaan infrastruktur sejalan dengan fokus pemerintah pusat saat ini perlu menjadi prioritas pemerintah Provinsi NTT.
Boks 4 | Kondisi Konektivitas Transportasi Laut Barang di NTT
39
Grafik 4.1. Arus Barang berdasarkan Perdagangan dan Distribusi di Pelabuhan Tenau
Grafika. 4.2. Arus Barang berdasarkan Perdagangan dan Distribusi di Pelabuhan NTT
b.
Sumber: PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero), diolah
Sumber: PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero), diolah c.
Selain menggunakan kapal laut, pengiriman barang di Provinsi NTT juga dilakukan melalui truk dan feri. Namun demikian, pengiriman barang antarprovinsi di Provinsi NTT lebih dominan menggunakan kapal laut karena selain jarak Surabaya-Kupang yang jauh, juga karena biaya yang lebih rendah dan kapasitas lebih besar meskipun waktu yang diperlukan lebih lama. Sementara pengiriman barang menggunakan truk dan feri umumnya banyak dimanfaatkan untuk pengiriman barang antarpulau dalam provinsi dan dari/ke Flores barat, dengan pertimbangan volume barang yang rendah dan waktu tempuh yang lebih singkat. Karakteristik barang yang dimuat dan dibongkar secara keseluruhan berbeda dan tercermin dari struktur ekonomi Provinsi NTT. Banyaknya barang primer berupa hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan yang dimuat tercermin dari distribusi sektor pertanian terhadap PDRB menurut lapangan usaha yang terbesar dibandingkan sektor lain, yaitu 28,89% (triwulan IV 2016). Di sisi lain, barang sekunder dan tersier dengan nilai tambah tinggi mendominasi barang-barang yang dibongkar, menunjukkan Provinsi NTT sebagai hilir dalam perdagangan kategori barang tersebut. Sementara itu, transportasi ternak di Provinsi NTT khususnya sapi berdasarkan hasil pencatatan diangkut menggunakan kapal khusus ternak sebanyak 11 buah yang beroperasi mengangkut sapi dari Provinsi NTT ke daerah lain. Kapasitas angkut tiap kapal mulai dari 2.42013.200 ekor sapi per tahun dan secara total seluruh kapal dapat mengangkut sebanyak 53.500 sapi. Dapat diketahui bahwa rata-rata sapi yang diangkut dari Provinsi NTT sebesar 53.00054.000 ekor per tahun. Akan tetapi pada tahun 2016 total jumlah sapi yang diangkut lebih besar daripada kapasitas maksimal kapal ternak tersebut, yakni 63.429 ekor sapi, sehingga sisanya sebanyak 9.929 ekor sapi diangkut dengan kapal cargo biasa. Hal tersebut menunjukkan peningkatan permintaan sapi dari Provinsi NTT sebagai salah satu penghasil utama di Indonesia, sehingga kebutuhan akan kapal pengangkut sapi dan skema rute perjalanan yang lebih efisien dibutuhkan agar mampu menekan biaya pengiriman dan dapat menekan harga sapi serta turut berperan dalam menekan inflasi nasional.
Boks 4 | Kondisi Konektivitas Transportasi Laut Barang di NTT
40
Grafik 4.3. Kapasitas Muatan Sapi per Tahun
Sumber: PELNI, ASDP, PT Flobamora, diolah
Mengingat pentingnya transportasi laut barang di Provinsi NTT yang memiliki kondisi geografis kepulauan, peningkatan kinerja transportasi ini mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing dengan daerah lain, baik dari segi pembangunan infrastruktur, sistem pengelolaan yang menekankan optimalisasi waktu bongkar-muat dan rute kapal sejalan dengan fokus pemerintah pusat saat ini, serta ketersediaan data dan informasi yang memadai. Ketidakseimbangan perdagangan yang berdampak pada tingginya biaya transportasi laut barang di Provinsi NTT dapat diatasi antara lain dengan peningkatan aktivitas perekonomian termasuk pemerataan pertumbuhan ekonomi antara Kupang dengan daerah lain yang didukung dengan kualitas infrastruktur, pelabuhan dan iklim usaha yang baik diantaranya regulasi dan kemudahan akses modal.
Boks 4 | Kondisi Konektivitas Transportasi Laut Barang di NTT
41
KEUANGAN DAERAH
Berdasarkan data sementara per 30 Desember 2016, realisasi pendapatan pemerintah di Provinsi NTT pada triwulan IV-2016 telah mencapai Rp 25,99 triliun atau 104,27% dari total rencana pendapatan tahun 2016 sebesar Rp 24,92 triliun. Sementara itu, realisasi belanja pemerintah mencapai Rp 30,95 triliun atau 87,11% dari pagu belanja tahun 2016 sebesar Rp 35,52 triliun, meningkat dibandingkan tahun lalu didorong oleh peningkatan realisasi belanja konsumsi di tengah penurunan realisasi belanja modal.
2.1 Kondisi Umum Berdasarkan data sementara per 30 Desember 2016, realisasi pendapatan pemerintah di Provinsi NTT pada triwulan IV 2016 sebesar Rp 25,99 triliun atau 104,27% dari total rencana pendapatan tahun 2016 yang sebesar Rp 24,92 triliun. Secara persentase, realisasi pendapatan APBN Pemerintah Pusat di Provinsi NTT menjadi yang tertinggi yakni sebesar 446,51% atau Rp 2,81 triliun yang terutama diperoleh dari Pajak Penghasilan (PPh). Sementara realisasi belanja pemerintah di Provinsi NTT sebesar Rp 30,95 triliun atau 87,11% dari total pagu belanja tahun 2016 sebesar Rp Rp 35,52 triliun yang disertai adanya peningkatan pagu belanja pada triwulan IV sebesar Rp 1,42 triliun. Pencapaian realisasi belanja tersebut lebih tinggi dibandingkan pencapaian triwulan IV tahun 2015 yang sebesar Rp 29,48 triliun atau 85,44% dari pagu anggaran 2015. Upaya pemerintah dalam merealisasikan anggaran sejak paruh pertama 2016 tampaknya cukup efektif, sehingga secara kumulatif realisasi APBN, APBD provinsi dan kabupaten/kota lebih baik dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Secara agregat pencapaian realisasi belanja tertinggi oleh Pemerintah Provinsi sebesar 97,41%. Grafik 2.1. Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Bab II |Keuangan Daerah
43
2.2 Pendapatan Daerah Pendapatan pemerintah di Provinsi NTT sampai dengan triwulan IV 2016 tercatat sebesar Rp 25,99 triliun. Komposisi pendapatan terdiri dari pendapatan APBN sebesar Rp 2,81 triliun atau di atas target sebesar 446,51% dengan sumber pendapatan terutama dari Pajak Penghasilan sebesar Rp 1,20 triliun atau 42,76% dari total pendapatan APBN, Pajak Pertambahan Nilai (Rp 807,80 miliar) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Rp 739,14 miliar) terutama dari Bagian Pemerintah atas Laba BUMN (Rp 304,66 miliar). Pada triwulan IV 2016, realisasi pendapatan tingkat provinsi mencapai Rp 3,86 triliun atau 104,92% dengan sumber utama dari Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 1,41 triliun disusul oleh Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 1,34 triliun. Masih dominannya DAK dan DAU didukung derajat otonomi fiskal (DOF) APBD Provinsi NTT, yaitu perbandingan antara rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap total pendapatan yang masih rendah sebesar 9,33%. Di samping itu, realisasi pendapatan pemerintah Kabupaten/Kota mencapai Rp 19,32 triliun atau 93,72% dengan dominasi masih berasal dari pendapatan DAU sebesar Rp 11,67 triliun dan pencapaian sebesar 101,00%. Pencairan kembali DAU yang sempat tertunda pada bulan November dan Desember 2016 sesuai pagu anggaran awal oleh pemerintah pusat untuk Kab. Kupang, Kab. Ende, Kab. Sumba Timur dan Kab. Manggarai Barat membantu pencapaian pendapatan Kabupaten/Kota tersebut yang pada akhirnya berkontribusi terhadap pendapatan daerah. Grafik 2.2 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan
Grafik 2.3 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan
APBN
APBD Provinsi/ Kab-Kota
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT
Sumber: Biro Keuangan Provinsi NTT
Secara spasial, Kab. Manggarai Barat dan Kab. Manggarai Timur menjadi kabupaten yang memiliki pencapaian realisasi pendapatan di atas 100%, yaitu masing-masing sebesar 106,91% dan 100,34% dari rencana 2016. Pencapaian tinggi Kab. Manggarai Barat disumbangkan terutama oleh realisasi dana perimbangan yakni Dana Alokasi Umum Bab II |Keuangan Daerah
44
sebesar Rp 499,05 miliar atau 116,94% dari rencana 2016. Peringkat realisasi pendapatan tertinggi selanjutnya diikuti oleh Kab. Flores Timur (98,19%), Kab. Sumba Tengah (97,43%) dan Kab. Sabu Raijua (97,19%). Sementara itu, Kab. Manggarai (85,58%), Kab. Malaka (86,99%) dan Kab. Sumba Barat Daya (89,67%) menjadi daerah dengan realisasi pendapatan terendah sampai dengan Triwulan IV 2016. Dominasi DAU dalam realisasi pendapatan di masing-masing daerah pada triwulan laporan masih cukup tinggi dengan rata-rata mencapai 56,12%, meskipun sedikit turun dibandingkan triwulan III 2016 sebesar 67,7%. Sementara itu, komposisi PAD tertinggi masih dipegang oleh Kota Kupang sebesar 12,26%, komposisi DAK tertinggi oleh Kab. Nagekeo (23,33%) dan pendapatan lain-lain tertinggi oleh Kab. Timor Tengah Utara (17,64%) terutama disumbangkan pendapatan Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus sebesar Rp 144,14 miliar. Di sisi lain, realisasi pendapatan DAK terendah terjadi di Kab. Malaka, Kab. Timor Tengah Utara dan Kab. Ngada masing-masing sebesar 42,86%, 47,28% dan 56,95%. Di Kab. Malaka, realisasi pendapatan DAK rendah salah satunya karena keterlambatan rencana pelaksanaan pengadaan per paket proyek. Di Kab. Timor Tengah Utara penyebabnya hampir sama yakni karena keterlambatan perencanaan proyek yang baru dilakukan pada bulan April hingga Juni dengan target selesai bulan Desember 2016. Sementara di Kab. Ngada, rendahnya realisasi pendapatan DAK terutama dipengaruhi adanya pemotongan DAK oleh pemerintah pusat senilai lebih dari Rp 14,32 miliar sehingga pemerintah daerah mempertimbangkan kembali kemampuan untuk pendanaan proyek yang bersumber dari DAK dengan mengurangi paket pekerjaan dari 210 paket menjadi 179 paket. Grafik 2.4. Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Komponennya Triwulan -IV 2016
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
Bab II |Keuangan Daerah
45
2.3 Belanja Daerah Pada triwulan IV 2016, perkembangan realisasi belanja APBN dan APBD Pemerintah di Provinsi NTT mencapai Rp 30,95 triliun atau 87,11% dari pagu belanja tahun 2016 sebesar Rp 35,52 triliun. Pagu belanja pemerintah meningkat dibandingkan triwulan III 2016 sebesar 4,15% atau Rp 1,42 triliun. Realisasi belanja pemerintah tersebut lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2015 yang sebesar Rp 29,48 triliun (85,44%). Pencairan kembali DAU 4 (empat) daerah yaitu Kab. Kupang, Kab. Ende, Kab. Sumba Timur dan Kab. Manggarai Barat yang sempat tertunda pada November dan Desember 2016 membantu pencapaian realisasi belanja kabupaten-kabupaten tersebut dan berkontribusi pada realisasi belanja daerah secara umum. Secara pertumbuhan year-
on-year, terdapat perlambatan pertumbuhan realisasi belanja pada triwulan III dan IV 2016 yang terjadi di semua pos terutama APBN karena terkait dengan isu penghematan anggaran oleh pemerintah pusat pada periode tersebut sehingga pemerintah pusat cukup menahan diri untuk mendorong realisasi belanja. Dari sisi komponen belanja, Kota Kupang (57,75%), Kab. Timor Tengah Utara (47,16%) dan Kab. Belu (45,09%) masih menjadi tiga daerah dengan komponen belanja pegawai tertinggi. Adapun untuk komponen belanja modal, Kab. Sabu Raijua (41,66%), Sumba Barat (35,16%) dan Nagekeo (33,44%) masih menjadi tiga daerah tertinggi. Grafik 2.5. Pangsa Belanja Kabupaten/Kota
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
Secara kumulatif, sampai dengan triwulan IV 2016 realisasi belanja pemerintah mencapai 87,11%, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2015 sebesar 85,44%. Realisasi belanja secara umum lebih baik dibandingkan dengan tahun 2015 dengan didorong oleh berbagai upaya percepatan realisasi anggaran pemerintah dalam mendorong aktivitas ekonomi masyarakat sejak awal tahun. Meskipun pada triwulan laporan realisasi belanja modal sedikit menurun menjadi 81,72% dibandingkan triwulan Bab II |Keuangan Daerah
46
IV 2015 sebesar 84,57%, realisasi belanja secara umum meningkat karena didorong oleh belanja konsumsi terutama belanja pegawai (93,50%) dan belanja bantuan sosial (88,25%). Sementara turunnya realisasi belanja modal terjadi terkait dengan adanya penghematan dari pemerintah pusat dalam rangka mengembalikan neraca keuangan negara agar lebih realistis di tengah perekonomian global yang cenderung stagnan. Realisasi belanja modal Pemerintah Provinsi menjadi yang tertinggi dengan pencapaian sebesar 106,41% (Rp 598,15 miliar) dari total pagu sebesar Rp 562,14 miliar. Grafik 2.6. Perkembangan Realisasi Belanja Daerah
Sumber: Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT & Biro Keuangan
Grafik 2.7. Perkembangan Realisasi Belanja Modal
Sumber: Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT & Biro Keuangan
Grafik 2.8. Pertumbuhan Realisasi Belanja (yoy)
Sementara itu, realisasi belanja konsumsi tertinggi oleh Pemerintah Provinsi sebesar 97,28% atau Rp 3,10 triliun dari total pagu Rp 3,18 triliun. Berdasarkan komposisi belanja konsumsi, realisasi belanja pegawai pada triwulan laporan meningkat menjadi 93,50% dibanding triwulan IV 2015 yang sebesar 90,15%. Peningkatan realisasi belanja konsumsi lebih besar terjadi pada belanja bantuan sosial yang meningkat menjadi 88,25% dibandingkan triwulan IV 2015 sebesar 82,12%. Hal ini sejalan dengan rencana belanja Pemerintah Provinsi NTT yaitu bahwa belanja bantuan sosial sebagai manifestasi pemerintah dalam memberdayakan masyarakat dan mengurangi risiko sosial.
Bab II |Keuangan Daerah
47
Tabel 2.1 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Grafik 2.9. Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT dan
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT dan Biro
Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Keuangan Provinsi NTT, diolah (*Miliar Rp)
Perkembangan realisasi belanja dari masing-masing tingkat pemerintahan dapat dijabarkan sebagai berikut :
2.3.1 Belanja APBN Sampai dengan triwulan IV 2016, realisasi belanja APBN tercatat sebesar 83,83% (Rp 7,24 triliun) dari total pagu sebesar Rp 8,63 triliun. Realisasi tersebut lebih rendah dibandingkan triwulan yang sama tahun 2015 sebesar 89,17%. Penurunan realisasi belanja APBN terutama disumbang oleh penurunan realisasi belanja modal tahun 2016 menjadi 78,10% (Rp 2,21 triliun) dibandingkan tahun 2015 sebesar 92,75% (Rp 5,04 triliun) disebabkan adanya upaya penghematan dari pemerintah pusat dalam rangka mengembalikan neraca keuangan negara agar lebih realistis di tengah perekonomian global yang cenderung stagnan. Penghematan pemerintah pusat ditunjukkan dengan penurunan pagu belanja modal APBN tahun 2016 sebesar 48,05% dibandingkan pagu tahun 2015, yakni sebesar Rp 5,44 triliun menjadi hanya Rp 2,82 triliun sehingga hal tersebut cukup menghambat pencapaian realisasi belanja yang optimal. Pangsa realisasi belanja APBN di triwulan IV 2016 tertinggi masih dipegang oleh belanja barang dan jasa sebesar Rp 2,53 triliun (34,96%), diikuti oleh belanja pegawai sebesar Rp 2,48 triliun (34,26%) dan belanja modal sebesar Rp 2,21 triliun atau 30,49%. Ke depan pangsa realisasi belanja modal dapat terus ditingkatkan untuk dapat lebih mendorong aktivitas ekonomi di Provinsi NTT, seperti yang saat ini mulai terlihat dengan pembangunan beberapa infrastruktur utama yaitu bendungan, irigasi dan jalan raya.
Bab II |Keuangan Daerah
48
2.3.2 Belanja Pemerintah Provinsi NTT Realisasi belanja Pemerintah Provinsi NTT sampai dengan triwulan IV 2016 tercatat sebesar Rp 3,69 triliun atau 97,41% dari total pagu sebesar Rp 3,79 triliun. Sebelumnya penundaan pencairan DAU oleh pemerintah pusat pada Agustus 2016 sebesar Rp 242 miliar sedikit menghambat pencapaian realisasi yang optimal pada triwulan III 2016. Namun demikian keputusan pencairan DAU yang tertunda tersebut oleh Menkeu pada bulan November dan Desember 2016 serta upaya dari Pemerintah Provinsi meningkatkan pendapatan daerah melalui penagihan wajib pajak, wajib retribusi dan kontrak sewa bangunan yang cukup gencar di triwulan IV 2016 untuk membantu pendanaan belanja mampu membantu pencapaian realisasi triwulan IV 2016 sehingga mencapai 97,41% atau lebih tinggi dari triwulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 95,42%. Dari segi komposisi, pangsa realisasi belanja Pemerintah Provinsi pada triwulan IV 2016 tetap didominasi oleh belanja hibah yang mencapai 39,84% atau Rp 1,47 triliun untuk penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) serta program Desa Mandiri Anggur Merah yang masih terus berjalan sesuai strategi kebijakan pemberdayaan masyarakat Pemerintah Provinsi NTT. Selain itu, belanja pegawai memiliki pangsa realisasi sebesar 17,20% atau Rp 635,64 miliar diikuti oleh belanja barang dan jasa sebesar 16,51% atau Rp 610,08 miliar. Sementara pangsa realisasi belanja modal masih perlu untuk ditingkatkan dimana saat ini baru sebesar 16,19% atau Rp 598,15 miliar. Grafik 2.10. Pangsa Realisasi Belanja Konsumsi APBN Pemerintah dan APBD
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Bab II |Keuangan Daerah
49
2.3.3 Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota Hingga triwulan IV 2016, realisasi belanja Pemerintah Kabupaten/Kota tercatat Rp 20,02 triliun atau 86,65% dari total pagu belanja sebesar Rp 23,10 triliun. Realisasi tersebut meningkat dibandingkan triwulan yang sama tahun 2015 yang tercatat sebesar 81,50% dari total pagu belanja. Realisasi belanja terbesar yakni belanja pegawai yang mencapai Rp 8,67 triliun atau 91,54% dari total pagu belanja sebesar Rp 9,47 triliun, dengan pangsa realisasi sebesar 43,30% terhadap total realisasi belanja Pemerintah Kabupaten/Kota. Selain itu, bantuan keuangan juga mencatatkan pencapaian realisasi yang tinggi yakni 98,12% (Rp 2,92 triliun) dari total pagu Rp 2,97 triliun. Sementara itu, realisasi belanja modal masih perlu ditingkatkan karena sampai dengan triwulan IV 2016 baru mencapai Rp 4,85 triliun atau 81,11% dari total pagu belanja sebesar Rp 5,99 triliun dengan pangsa 24,25%. Begitu pula dengan belanja barang dan jasa yang baru mencapai Rp 3,33 triliun atau 76,98% dari total pagu belanja sebesar Rp 4,32 triliun. Di sisi lain, rata-rata realisasi belanja di tiap Kabupaten/Kota mencapai 86,94% dengan ratarata realisasi belanja pegawai sebesar 91,88% dan modal kerja baru tercatat 81,59%. Secara spasial, Kab. Manggarai Timur menjadi daerah di Provinsi NTT dengan realisasi belanja terbesar yakni 94,42% atau Rp 862,44 miliar, diikuti oleh Kab. Manggarai Barat dengan realisasi sebesar 94,27% atau Rp 902,80 miliar dan Flores Timur sebesar 94,18% atau Rp 1,07 triliun. Sebaliknya, Kab. Malaka, Kab. Sumba Barat Daya dan Kab. Ende menjadi daerah dengan realisasi belanja terendah yakni masing-masing 75,48%, 81,48% dan 82,06%. Dilihat dari pangsa realisasi belanja modal terhadap total realisasi belanja, Kab. Sabu Raijua, Kab. Sumba Barat Daya dan Kab. Nagekeo memiliki pangsa realisasi belanja modal yang tertinggi yakni 39,08%, 35,54% dan 31,23%. Sebaliknya, pangsa realisasi belanja modal terendah di Kab. Flores Timur (16,2%), Kab. Timor Tengah Selatan (16,3%) dan Kab. Lembata (18,2%). Sampai dengan triwulan IV 2016, sebagian besar realisasi belanja masih digunakan untuk belanja pegawai dengan pangsa tertinggi adalah Kota Kupang sebesar 58,7% terhadap total realisasi belanjanya. Sementara itu, pencapaian realisasi belanja Kab. Rote sebesar 91,20% (tertinggi ke-5) didukung oleh komposisi belanja yang relatif berimbang, yakni belanja pegawai (39,6%), belanja modal (29,8%), belanja barang dan jasa (18,5%) dan belanja lainnya (12,0%). Hal ini menggambarkan bahwa Pemda cukup mempertimbangkan kebutuhan belanja produktif untuk kemajuan ekonomi daerah setempat.
Bab II |Keuangan Daerah
50
Grafik 2.11. Realisasi Belanja dan Komponennya Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
Keputusan pencairan seluruh DAU empat daerah yang sempat ditunda pemerintah pusat pada bulan November dan Desember 2016 mampu mendorong pencapaian realisasi empat daerah tersebut pada triwulan IV 2016, yakni Kab. Kupang (87,94%), Kab. Ende (82,06%), Kab. Sumba Timur (85,03%) dan Kab. Manggarai Barat (94,27%). Hanya pencapaian realisasi belanja Kab. Sumba Timur yang tercatat sedikit lebih rendah dibandingkan triwulan yang sama tahun 2015 sementara tiga daerah lainnya meningkat. Hal ini tidak lepas dari upaya Pemerintah Provinsi berkoordinasi dengan Kementrian Keuangan terkait pencairan DAU tertunda serta
upaya
meningkatkan pendapatan daerah melalui penagihan wajib pajak, wajib retribusi dan kontrak sewa bangunan yang cukup gencar di triwulan IV 2016 untuk membantu pendanaan belanja Kota/Kabupaten dalam rangka mengejar realisasi belanja yang optimal. Hal ini ditunjukkan dengan realisasi pajak daerah yang melebihi target baik di tingkat Provinsi NTT maupun Kabupaten masing-masing sebesar 102,16% (Rp 745,44 miliar) dan 113,66% (Rp 337,28 miliar).
Bab II |Keuangan Daerah
51
Gambar 2.1. Realisasi Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
2.4 Dana Pemerintah Di Perbankan Dana Pihak Ketiga (DPK) Pemerintah yang disimpan di perbankan pada triwulan IV 2016 tercatat sebesar Rp 2,01 triliun. Jumlah tersebut turun 64,75% (qtq) dibandingkan triwulan III 2016 yang sebesar Rp 5,70 triliun. Berdasarkan jenis simpanan, giro turun sebesar 64,97% (qtq) dari sebelumnya Rp 3,89 triliun, tabungan meningkat sebesar 38,16% (qtq) dari sebelumnya Rp 143,97 miliar dan deposito turun sebesar 73,14% (qtq) dari sebelumnya Rp 1,67 triliun. Simpanan pemerintah terbanyak dalam bentuk giro sebesar Rp 1,36 triliun. Penurunan DPK pemerintah terutama giro adalah dalam rangka meningkatkan realisasi anggaran pada triwulan IV 2016. Penurunan DPK pemerintah terjadi terutama di Kabupaten/Kota yakni 68,72% (qtq) dari triwulan sebelumnya Rp 4,73 triliun. Grafik 2.11. Dana Pihak Ketiga Pemerintah di Perbankan NTT
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Tabel 2.2. Komposisi DPK Pemerintah di NTT
Sumber : Bank Indonesia, diolah
Bab II |Keuangan Daerah
52
Tabel 2.3 Ringkasan Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Bab II |Keuangan Daerah
53
Laju Inflasi Provinsi NTT pada tahun 2016 cukup rendah mencapai 2,48% (yoy) dan menjadi capaian inflasi terendah dalam 15 tahun terakhir. Adanya penurunan harga BBM, beras, bahan bangunan, angkutan udara dan beberapa komoditas bahan makanan mampu menahan inflasi pada angka yang cukup rendah. Penurunan harga tersebut terutama disebabkan oleh rendahnya harga minyak dunia, cukup berlimpahnya pasokan beras, tersedianya pasokan bahan bangunan serta adanya penambahan rute dan frekuensi penerbangan di NTT sehingga mampu membuat inflasi tahun 2016 terjaga rendah.
Berdasarkan disagregasi inflasi, hampir semua kelompok komoditas mengalami penurunan inflasi walaupun komoditas volatile food kembali meningkat pada triwulan IV 2016 seiring dengan buruknya cuaca di Provinsi NTT. Komoditas administered price mampu menjadi penahan inflasi utama di NTT terutama disebabkan oleh turunnya harga bensin, solar dan angkutan udara. Namun demikian, tingginya harga rokok menahan penurunan inflasi yang terjadi. Inflasi pada triwulan I 2017 diperkirakan akan mengalami peningkatan terutama disebabkan oleh kenaikan harga komoditas yang diatur oleh pemerintah seperti biaya perpanjangan STNK, kenaikan tarif listrik rumah tangga golongan 900VA, kenaikan cukai rokok yang berimbas pada kenaikan biaya rokok dan tembakau serta adanya kenaikan tarif pulsa ponsel seiring tingginya biaya investasi yang telah dilakukan.
3.1. Kondisi Umum Inflasi Provinsi NTT tahun 2016 mengalami penurunan signifikan dibanding tahun sebelumnya, yaitu dari 4,92% (yoy) di tahun 2015 menjadi 2,48% (yoy) di tahun 2016, lebih rendah dibanding inflasi nasional yang sebesar 3,02% (yoy) atau rata-rata inflasi NTT dalam 3 tahun terakhir yang sebesar 5,05% (yoy). Hal ini menjadikan inflasi tahunan NTT menjadi capaian inflasi terendah setidaknya dalam 15 tahun terakhir. Besarnya penurunan tersebut, selain disebabkan oleh kondisi pasokan yang relatif lebih terjaga dibanding tahun sebelumnya, juga disebabkan oleh kenaikan inflasi di triwulan IV 2016 yang tidak setinggi tahun sebelumnya, sehingga secara tahunan mengalami penurunan. Komoditas padi-padian, sayur-sayuran serta daging dan hasil-hasilnya yang pada tahun sebelumnya menjadi penyumbang utama inflasi NTT, di tahun 2016 sudah relatif stabil dan bahkan mengalami penurunan untuk komoditas padi-padian. Komoditas makanan jadi, minuman dan tembakau menjadi penyumbang utama inflasi terutama disebabkan oleh adanya peningkatan cukai rokok, selain juga kenaikan harga minuman dan makanan jadi. Inflasi komoditas perumahan, listrik dan bahan bakar, sandang, kesehatan dan pendidikan pada tahun 2016 juga 55 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
55
relatif stabil, bahkan kelompok komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan mengalami deflasi yang
terutama disebabkan
oleh
adanya penurunan
tarif
penerbangan seiring dengan bertambahnya jumlah penerbangan di NTT. Grafik 3.1. Inflasi Tahunan Provinsi NTT dan Nasional 2001-2016
Grafik 3.2. Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Sepanjang Tahun 2016 di Provinsi NTT
Berdasarkan komoditas utama penyumbang inflasi dan deflasi di Provinsi NTT di sepanjang tahun 2016, didapatkan 21 komoditas yang secara terus menerus menjadi penyumbang inflasi utama di Provinsi NTT terdiri dari 16 Komoditas bahan makanan, 2 komoditas makanan jadi, minuman dan tembakau, 2 komoditas perumahan, listrik, gas dan bahan bakar serta 1 komoditas transportasi. Komoditas sawi putih menjadi komoditas utama yang paling bergejolak di sepanjang tahun 2016 dengan total sebanyak 12 kali menjadi penyumbang inflasi dan deflasi utama di NTT, diikuti oleh komoditas angkutan udara sebanyak 11 kali, kangkung, daging ayam ras dan tomat sayur (10 kali), bayam dan ikan kembung (9 kali), kentang (8 kali), tongkol, ayam hidup, cabai merah, tarif listrik, dan gula pasir (7 kali), bawang merah dan cabai rawit (6 kali), rokok kretek filter, ikan tembang, telur ayam ras, beras, daun singkong dan semen masing-masing sebanyak 5 kali. Fluktuasi
harga
sayur-sayuran,
bumbu-bumbuan
dan
ikan-ikanan
lebih
disebabkan oleh adanya keterbatasan pasokan terutama pada saat cuaca buruk, begitu pula dengan komoditas ayam yang mengalami keterbatasan DOC. Komoditas angkutan udara walaupun mengalami deflasi, namun besarnya fluktuasi harga yang terjadi masih menunjukkan adanya keterbatasan daya angkut pesawat, sehingga adanya sedikit kenaikan permintaan langsung berimbas terhadap kenaikan harga. Kenaikan harga komoditas rokok lebih disebabkan oleh kenaikan bea cukai yang dibebankan bertahap di tiap bulannya, demikian juga dengan tarif listrik yang meningkat mengikuti kenaikan biaya bahan bakar. Secara umum, besarnya fluktuasi inflasi yang terjadi tersebut mencerminkan adanya keterbatasan pasokan, sehingga 56 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
56
menjaga keseimbangan neraca konsumsi dengan menyediakan pasokan yang berimbang menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan. Rendahnya inflasi tersebut selain disebabkan oleh relatif rendahnya nilai inflasi bulanan, juga pada tahun 2016 terjadi 5 kali deflasi di bulan Februari, Maret, Juli, Agustus dan September 2016, sehingga nilai inflasi relatif dapat terkendali. Berdasarkan pergerakan inflasi di tiap triwulan, terlihat bahwa inflasi mulai mengalami penurunan signifikan pada triwulan III dan berlanjut di triwulan IV 2016. Dengan nilai inflasi sebesar 2, 48% (yoy), Provinsi NTT menjadi provinsi dengan nilai inflasi terendah ke-10 di Indonesia. Grafik 3.3. Inflasi Tahunan Provinsi NTT dan Nasional Secara Triwulanan
Tabel 3.1. 10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Tahunan di Provinsi NTT komoditas Inflasi Bawang Merah
Sumber : BPS, diolah
y oy
sum y oy
komoditas Deflasi
sum y oy
y oy
137.29
0.63 Bensin
(11.52)
(0.31)
Rokok Kretek Filter
19.56
0.37 Beras
(3.55)
(0.24)
Sawi Putih
29.93
0.27 Kembung
(24.03)
(0.20)
Cabai Merah
72.68
0.22 Semen
(6.95)
(0.17)
Pisang
43.37
0.20 Angkutan Udara
(3.22)
(0.08)
Tahu Mentah
44.93
0.19 Daun Singkong
(45.82)
(0.07)
Kangkung
25.49
0.17 Besi Beton
(6.21)
(0.05)
Rokok Kretek
24.14
0.17 Solar
(23.03)
(0.05)
Bawang Putih
45.00
0.15 Wortel
(49.35)
(0.05)
Tongkol
28.05
0.15 Daging Ayam Ras
(3.39)
(0.04)
Sumber : BPS, diolah
Komoditas bawang merah menjadi komoditas penyumbang inflasi utama di tahun 2016 seiring dengan tingginya inflasi yang terjadi pada bulan Januari, Mei dan Desember 2016 karena gangguan pasokan. Pada bulan Desember, bahkan terdapat pengiriman ke luar daerah dikarenakan tingginya harga di luar NTT yang berdampak pada meningkatnya harga di NTT. Komoditas rokok kretek dan kretek filter menjadi komoditas terbesar ke-2 penyumbang inflasi di NTT yang lebih disebabkan oleh adanya kenaikan cukai rokok. Tingginya inflasi sawi putih, cabai merah, kangkung dan ikan tongkol lebih disebabkan oleh penurunan pasokan di pasar. Sedangkan tingginya inflasi tahu mentah dan bawang putih lebih disebabkan oleh adanya kenaikan harga bahan baku kedelai dan impor bawang putih dari pemasok. Rendahnya harga minyak dunia di tahun 2016 juga direspon oleh penurunan harga BBM yang terjadi. Harga komoditas beras juga relatif stabil di sepanjang tahun 2016 yang lebih disebabkan oleh lancarnya pasokan dari Makasar, Sumbawa dan Surabaya seiring dengan adanya pelonggaran proteksi | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
57
57
cadangan pangan di daerah tersebut. Penurunan harga bahan bangunan lebih disebabkan oleh kondisi ketersediaan barang yang cukup, disertai dengan kondisi permintaan yang tidak sebesar tahun sebelumnya. Penambahan rute dan frekuensi penerbangan telah mampu menurunkan harga tiket walaupun ketersediaan armada masih relatif terbatas yang terlihat dari tingginya fluktuasi yang terjadi, sedangkan penurunan harga daging ayam lebih disebabkan oleh tingginya posisi harga di tahun sebelumnya. 3.1.1 Inflasi Bulanan Secara triwulanan, inflasi di triwulan IV 2016 mengalami peningkatan yang sangat signifikan dibanding 3 triwulan sebelumnya. Secara total, inflasi triwulanan pada triwulan IV mengalami peningkatan sebesar 2,92% (qtq), terutama disebabkan oleh buruknya kondisi cuaca di NTT, peningkatan permintaan karena hari raya Natal dan tahun baru, serta tingginya permintaan angkutan udara seiring dengan adanya acara nasional Hari Nusantara yang diadakan di Kabupaten Lembata. Pada bulan Oktober 2016, NTT mengalami inflasi sebesar 0,19% (mtm). Terbatasnya pasokan DOC membuat pasokan ayam ras berkurang dan harga ayam ras mengalami kenaikan cukup tinggi. Harga sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan juga mulai mengalami peningkatan setelah mengalami deflasi dalam 3 bulan terakhir. Ketersediaan pasokan ikan masih relatif melimpah yang berkontribusi dalam menahan laju inflasi bulan Oktober 2016. Pada bulan November, inflasi mulai meningkat cukup besar hingga 0,79% (mtm) terutama disebabkan oleh turunnya pasokan sayur-sayuran, bumbu-bumbuan dan daging ayam ras yang disebabkan oleh buruknya kondisi cuaca yang berdampak pada menurunnya pasokan komoditas dan gangguan distribusi. Dari 10 komoditas utama penyumbang inflasi, hanya komoditas rokok kretek filter yang bukan merupakan komoditas bahan makanan. Namun demikian, adanya penurunan tarif angkutan udara mampu membantu menahan inflasi yang terjadi.
58 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
58
Tabel 3.2. Komoditas Penyumbang Inflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT Oktober Komoditas
November
Inflasi (% )
Andil (% )
Komoditas
Daging Ayam Ras
12.95
0.14 Sawi Putih
Sawi Putih
20.16
0.11 Daging Ayam Ras
Inflasi (% ) 43.98 9.68
Desember Andil (% )
Komoditas
Inflasi (% )
Januari Andil (% )
Inflasi (% )
Komoditas
Andil (% )
0.27 Angkutan Udara
16.23
0.41 Tarip Listrik
6.51
0.18
0.11 Kembung
32.59
0.27 Tarip Pulsa Ponsel
9.18
0.16
Beras
0.79
0.05 Tomat Sayur
50.67
0.09 Ayam Hidup
28.45
0.19 Cabai Rawit
58.00
0.13
Buncis
74.74
0.05 Cabai Merah
38.77
0.08 Sawi Putih
19.40
0.18 Tembang
39.95
0.12
0.05 Bawang Merah
17.46
0.07 Kangkung
24.51
0.17 Perpanjangan STNK
102.93
0.10
0.03 Tongkol
13.43
0.07 Bawang Merah
26.75
0.12 Mobil
7.58
0.10
79.19
0.06 Cabai Rawit
66.99
0.09 Kangkung
8.52
0.07
1.89
0.04 Tomat Sayur
20.19
0.06 Kakap Merah
34.56
0.07
0.03 Tongkol
10.20
0.06 Daging Babi
10.59
0.07
0.02 Cakalang/Sisik
47.66
0.05 Cakalang/Sisik
34.32
0.06
1.64
Tarip Listrik
12.96
Bayam Ayam Hidup
4.03
0.03 Cabai Rawit
Tembang
9.58
0.02 Rokok Kretek Filter
Bawang Putih
7.73
0.02 Pepaya
33.81
Kubis
36.97
0.02 Telur Ayam Ras
3.13
Sumber : BPS, diolah
Pada bulan Desember, Provinsi NTT mengalami kenaikan inflasi yang signifikan hingga mencapai 1,92% (mtm). Tingginya inflasi yang terjadi tersebut, membuat capaian inflasi NTT mengalami lonjakan dari posisi 0,55% (ytd) hingga bulan November 2016 menjadi 2,48% (ytd/yoy) di bulan Desember 2016. Tingginya inflasi tersebut terutama disebabkan oleh tingginya inflasi angkutan udara seiring dengan adanya even nasional Hari Nusantara dan libur Natal dan tahun baru. Harga komoditas ikan-ikanan juga mengalami kenaikan luar biasa terutama disebabkan oleh buruknya kondisi cuaca, sehingga banyak dari nelayan yang tidak bisa melaut. Pasokan komoditas sayur-sayuran juga mengalami penurunan dikarenakan petani khawatir mengalami gagal panen sehingga lebih memilih untuk menanam dengan tanaman pangan. Demikian pula dengan komoditas bawang merah dan cabai rawit yang juga mengalami kenaikan, selain karena adanya penurunan pasokan, juga disebabkan oleh tingginya harga komoditas tersebut secara nasional, sehingga membuat pedagang dan petani turut menaikkan harga sesuai dengan kenaikan yang terjadi secara nasional. Tabel 3.3. Komoditas Penyumbang Deflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT Oktober Komoditas
Deflasi (% )
November Andil (% )
Komoditas
(11.39)
(0.09)
Angkutan Udara
Angkutan Udara
(2.92)
(0.08)
Kakap Merah
Kembung
(5.61)
(0.05)
Kangkung
Kakap Merah
(15.62)
(0.04)
Tomat Sayur
(18.87)
Deflasi (% )
Desember Andil (% )
Komoditas
Deflasi (% )
Januari Andil (% )
Komoditas
Deflasi (% )
Andil (% )
(5.69)
(0.15)
Cabai Merah
(25.91)
(0.08)
Angkutan Udara
(10.48)
(0.30)
(22.33)
(0.05)
Daging Ayam Ras
(4.59)
(0.06)
Sawi Putih
(25.45)
(0.27)
(5.42)
(0.04)
Air Minum Pikulan
(9.05)
(0.04)
Ayam Hidup
(10.04)
(0.08)
Sepatu
(13.30)
(0.03)
Tempe
(5.60)
(0.02)
Bawang Merah
(7.34)
(0.04)
(0.04)
Ekor Kuning
(17.21)
(0.02)
Daun Singkong
(14.34)
(0.02)
Daging Ayam Ras
(3.25)
(0.04)
(2.01)
(0.04)
Beras
(0.37)
(0.02)
Labu Siam/Jipang
(28.98)
(0.02)
Tomat Sayur
(9.38)
(0.03)
Wortel
(22.85)
(0.03)
Kembung
(1.98)
(0.02)
Merah
(19.99)
(0.02)
Bunga Pepaya
(17.70)
(0.03)
Ekor Kuning
(12.39)
(0.02)
Cakalang
(12.11)
(0.01)
Jeruk
(11.79)
(0.02)
Beras
(0.38)
(0.03)
Telur Ayam Ras
(2.30)
(0.02)
Daging Ayam Kampung (8.74)
(0.01)
Gula Pasir
(1.47)
(0.01)
Pucuk Labu
(16.64)
(0.02)
Gula Pasir
(1.92)
(0.02)
Jagung Manis
(19.60)
(0.01)
Minyak Goreng
(0.91)
(0.01)
Sepatu
(4.07)
(0.01)
Kangkung
Tarip Pulsa Ponsel
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan kawasan, regional Sulampua mampu menjadi daerah dengan capaian inflasi terendah di Indonesia, diikuti wilayah Jawa, Balinusra, Kalimantan dan Sumatera. Secara triwulanan, inflasi di Wilayah Balinusra mengalami inflasi terbesar kedua setelah Sumatera. Tingginya inflasi di Balinusra secara triwulanan terutama | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
59
59
disebabkan oleh tingginya inflasi di Provinsi NTT yang disebabkan oleh adanya peningkatan permintaan jelang hari raya Natal dan tahun baru. Namun demikian, secara tahunan, inflasi Provinsi NTT menjadi inflasi terendah di kawasan, diikuti oleh NTB (2,60% - yoy) dan Bali (3,34% - yoy). Grafik 3.4. Perbandingan Inflasi 5 regional di Indonesia
Sumber : BPS, diolah
Grafik 3.5. Perbandingan Inflasi di Wilayah Balinusra
Sumber : BPS, diolah
3.2. Inflasi Berdasarkan Kelompok Komoditas Konsistensi kenaikan harga rokok dan tembakau di sepanjang tahun 2016 dan kenaikan harga makanan jadi dan minuman tak beralkohol telah membuat kelompok komoditas makanan, minuman dan tembakau menjadi penyumbang utama inflasi di Provinsi NTT tahun 2016. Adapun komoditas bahan makanan menjadi penyumbang terbesar ke-2 terutama disebabkan oleh tingginya harga bumbu-bumbuan. Beberapa kelompok komoditas lainnya seperti perumahan, listrik, gas dan bahan bakar, sandang, kesehatan dan pendidikan cenderung stabil di sepanjang tahun 2016, dengan hanya beberapa komoditas yang mengalami kenaikan. Bahkan, kelompok komoditas transportasi, rekreasi dan olah raga justru mengalami deflasi secara tahunan, walaupun secara bulanan mengalami fluktuasi inflasi yang cukup tinggi terutama disebabkan oleh fluktuasi tarif angkutan udara. Adanya peningkatan rute dan tarif berhasil menjaga nilai inflasi tetap rendah. Namun demikian, jumlah angkutan dirasa masih kurang mencukupi pada saat-saat tertentu yang terlihat dari lonjakan tarif yang cukup besar terutama menjelang hari raya atau even-even nasional yang diselenggarakan di Provinsi NTT.
60 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
60
Tabel 3.4. Inflasi di Provinsi NTT berdasarkan Kelompok Komoditas IHK 2016
Komoditi
2017
YOY
Oct
Nov
Dec
Jan
INFLASI UMUM
124.7
125.7
128.1
129.1
Tw IV 2.48
Jan 2.48
Bahan Makanan
116.5
2.25
120.4
126.7
128.5
3.86
143.7 144.4 Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau Perumahan, Air, Listrik, Gas dan123.2 Bahan 123.6 Bakar
144.5
145.1
8.83
7.69
123.6
124.9
0.77
0.55 3.42
Sandang
124.3
123.7
125.0
124.1
3.84
Kesehatan
115.3
115.4
115.7
115.9
2.72
3.00
126.1 Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga 127.8 Transportasi, Komunikasi dan Jasa Sumber : BPS, diolah
126.2
127.0
127.5
2.82
3.15
126.8
130.1
130.7
(2.52)
0.71
3.2.1 Bahan Makanan Nilai inflasi bahan makanan pada akhir tahun 2016 sebesar 3,86% (yoy) jauh lebih rendah dibanding rata-rata inflasi bahan makanan dalam 3 tahun terakhir yang sebesar 6,12% (av-yoy). Rendahnya posisi harga bahan makanan hingga triwulan III 2016 cukup membantu menahan kenaikan harga yang cukup tinggi di triwulan IV 2016 yang mencapai 9,62% (qtq), lebih tinggi dibanding kenaikan tahun sebelumnya yang sebesar 8,79% (qtq). Tingginya inflasi bahan makanan di triwulan IV 2016 lebih disebabkan oleh adanya anomali musim La-Nina, yang berdampak pada buruknya kondisi cuaca di NTT. Hal ini menyebabkan adanya penurunan produksi beberapa produk hortikultura karena serangan hama, penurunan produktivitas ataupun perubahan tanaman ke tanaman pangan untuk menghindari serangan hama. Selain itu, banyak nelayan tidak berani melaut seiring dengan tingginya ombak di perairan NTT yang mencapai 5 meter, sehingga pasokan ikan mengalami penurunan. Tingginya gelombang juga membuat distribusi barang terganggu seiring dengan ditutupnya beberapa pelabuhan penyeberangan utama di NTT. Semua hal tersebut membuat pasokan secara umum mengalami penurunan dan meningkatkan harga jual. Grafik 3. 6. Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 3.7. Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan per Sub Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah
61 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
61
Adanya perayaan hari raya Natal dan tahun baru juga telah meningkatkan permintaan komoditas bahan makanan secara cukup signifikan. Berdasarkan sub kelompok komoditas, komoditas bumbu-bumbuan menjadi komoditas dengan kenaikan inflasi tertinggi mencapai 41,70% (yoy) terutama disebabkan oleh kenaikan harga bawang merah, bawang putih, cabai merah dan cabai rawit karena adanya penurunan pasokan dan gangguan distribusi akibat dari gangguan cuaca yang terjadi. Komoditas kacang-kacangan dan sayur-sayuran menjadi komoditas lainnya yang menjadi penyumbang utama inflasi bahan makanan dengan nilai inflasi masing-masing sebesar 17,58% (yoy) dan 3,73% (yoy). Tingginya inflasi kacang-kacangan lebih disebabkan oleh tingginya kenaikan harga tahu mentah pada awal triwulan II 2016, sedangkan inflasi sayur-sayuran disebabkan oleh tingginya kenaikan harga sawi putih, kangkung, seledri, sawi putih, tomat sayur, buncis dan bayam di triwulan IV seiring dengan adanya penurunan pasokan karena kondisi cuaca. Beberapa komoditas sayur lainnya cenderung memiliki inflasi yang rendah bahkan deflasi terutama disebabkan oleh tingginya kenaikan harga di tahun sebelumnya sehingga dibandingkan dengan posisi harga tahun sebelumnya, harga komoditas sayur lainnya cenderung lebih rendah. Kenaikan harga daging dan hasil-hasilnya lebih disebabkan oleh lonjakan permintaan menjelang hari raya Natal dan di sisi lain juga terjadi keterbatasan pasokan karena terbatasnya jumlah DOC yang ada di pasar. Komoditas ikan segar mengalami kenaikan secara triwulanan sebesar 13,34% (qtq) terutama dikarenakan kondisi nelayan yang tidak dapat melaut seiring dengan buruknya cuaca. Namun demikian, secara tahunan, harga komoditas ikan segar tidak mengalami kenaikan berarti.
3.2.2 Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan Komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan pada tahun 2016 justru menjadi satu-satunya kelompok komoditas yang mengalami deflasi (-2,52% - yoy), melanjutkan tren di tahun sebelumnya yang juga mengalami deflasi sebesar -1,04% (yoy). Adanya penurunan harga BBM bersubsidi seiring dengan masih rendahnya harga minyak dunia dan kecenderungan penurunan tarif angkutan udaran seiring penambahan rute dan frekuensi angkutan udara menjadi penyebab utama deflasi di kelompok komoditas ini. Dampak positif perluasan runway bandara masih dirasakan hingga saat ini yang terlihat dari banyaknya penambahan rute dan frekuensi pesawat di sepanjang tahun 2016. Penambahan rute baru tersebut berdampak positif dalam meningkatkan persaingan dan pelayanan angkutan udara yang terlihat dari 62 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
62
turunnya tarif angkutan udara di NTT. Namun demikian, jumlah tersebut dirasakan masih kurang mencukupi yang terlihat dari besarnya fluktuasi harga yang terjadi, sehingga di sepanjang tahun 2016, angkutan udara hampir selalu menjadi komoditas penyumbang inflasi dan deflasi utama di NTT. Sinergi kebijakan perlu terus dilakukan oleh pemerintah seperti halnya terkait pengembangan kebijakan pariwisata. Selain berpotensi meningkatkan ekonomi, investasi dan lapangan kerja seiring dengan datangnya wisatawan, peningkatan pariwisata juga dapat menambah frekuensi penerbangan, sehingga fluktuasi inflasi dapat lebih terjaga seiring dengan adanya peningkatan pasokan angkutan udara. Grafik 3. 8. Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 3.9. Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan per Sub Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah
Kenaikan harga secara tahunan juga terjadi pada komoditas jasa keuangan yang disebabkan oleh adanya kenaikan biaya administrasi di awal tahun, sedangkan inflasi pada komoditas komunikasi dan pengiriman, serta komoditas sarana dan penunjang transportasi pada triwulan IV 2016 cenderung tetap.
3.2.3 Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau Makanan jadi, minuman dan tembakau pada tahun 2016 menjadi penyumbang utama inflasi di Provinsi NTT dengan nilai inflasi mencapai 8,83% (yoy), lebih tinggi dibanding rata-rata inflasi komoditas dalam 3 tahun terakhir yang sebesar 7,74% (avyoy). Tingginya inflasi sub kelompok komoditas tembakau dan minuman beralkohol terutama disebabkan oleh dikeluarkannya peraturan menteri keuangan nomor 198/PMK.010/2015 yang isinya tentang perubahan pengenaan tarif cukai rokok dengan rata-rata kenaikan sebesar 11,5%. Kenaikan cukai rokok tersebut ditanggapi produsen dengan menaikkan harga rokok secara bertahap di tiap bulannya hingga total mengalami inflasi sebesar 18,31% (yoy) dengan kenaikan harga terbesar pada rokok kretek yang mencapai 24,14% (yoy) dan rokok kretek filter yang mencapai 19,56% 63 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
63
(yoy). Inflasi pada sub kelompok komoditas minuman yang tidak beralkohol terutama disebabkan oleh kenaikan harga gula hingga 10,54% (yoy), sedangkan inflasi pada sub kelompok komoditas makanan jadi disebabkan oleh adanya kenaikan inflasi komoditas mie, kue kering, ikan bakar, dan roti manis. Secara keseluruhan, hampir semua komoditas makanan jadi mengalami kenaikan, walaupun tren pergerakannya mengalami penurunan yang terlihat dari rata-rata inflasi 3 tahun terakhir yang mencapai 6,17% (av-yoy), lebih tinggi dibanding inflasi inflasi komoditas makanan jadi tahun 2016 yang sebesar 5,44% (yoy). Tingginya posisi harga makanan jadi di Provinsi NTT sekiranya dapat diturunkan dengan terus membuka pusat kuliner baru di Kota Kupang pada khususnya. Grafik 3. 10. Inflasi Kelompok Komoditas Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 3.11. Inflasi Kelompok Komoditas Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau per Sub Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah
Secara triwulanan, deflasi hanya terjadi pada komoditas minuman yang tidak beralkohol yang disebabkan oleh mulai lancarnya pasokan gula pasir di NTT, sehingga harga gula pasir berangsur-angsur mengalami penurunan.
3.2.4 Komoditas Lainnya Inflasi pada kelompok komoditas lainnya seperti komoditas perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar, komoditas sandang, kesehatan maupun pendidikan masih relatif stabil. Kenaikan inflasi pada triwulan IV 2016 hanya terjadi pada beberapa komoditas seperti kenaikan biaya sewa rumah, upah pembantu rumah tangga pada kelompok komoditas perumahan, serta kenaikan harga sandang laki-laki pada kelompok komoditas sandang. Penurunan harga justru terjadi pada komoditas sandang wanita, anak-anak serta barang pribadi dan sandang lain walaupun tidak terlalu besar.
64 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
64
3.3. Disagregasi Inflasi Berdasarkan disagregasi, pada triwulan IV 2016 terjadi peningkatan inflasi komoditas volatile food yang cukup tinggi seiring dengan memburuknya kondisi cuaca di NTT. Namun demikian, kondisi peningkatan masih relatif terjaga dibanding tahun sebelumnya, sehingga inflasi masih relatif terjaga. Komoditas inti menunjukkan adanya perlambatan inflasi, demikian pula halnya dengan komoditas
administered price . Grafik 3. 12. Disagregasi Inflasi dan Sumbangan Inflasi Tahunan Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber : BPS, diolah
3.3.1 Kelompok Volatile foods Setelah mengalami penurunan yang cukup signifikan pada triwulan III 2016, inflasi kelompok komoditas volatile foods kembali mengalami kenaikan signifikan terutama pada bulan November dan Desember yang disebabkan oleh tingginya permintaan menjelang hari raya Natal dan tahun baru, serta memburuknya kondisi cuaca yang mengganggu distribusi barang dan menurunkan pasokan komoditas. Namun demikian, secara tahunan, nilai inflasi volatile foods masih dapat terjaga seiring dengan nilai kenaikan inflasi triwulan IV yang tidak sebesar tahun sebelumnya. Nilai inflasi volatile food pada triwulan IV sebesar 3,62% (yoy), meningkat dibanding posisi inflasi triwulan sebelumnya yang sebesar 2,86% (yoy), namun lebih rendah dibanding nilai inflasi pada triwulan yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 8,86% (yoy). Relatif tingginya posisi harga di tahun sebelumnya berhasil meredam kenaikan inflasi di tahun 2016. Beberapa komoditas sayur-sayuran mengalami deflasi, demikian pula dengan komoditas daging dan hasil-hasilnya, maupun komoditas ikan segar. Pasokan beras yang cukup lancar dan melimpah juga berhasil menurunkan inflasi padi-padian sebesar -3,02% (yoy).
65 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
65
Berdasarkan pergerakan harga yang terjadi, inflasi volatile food mengalami titik terendah pada triwulan III 2016. Pada triwulan IV 2016, harga komoditas volatile food berangsur-angsur mengalami peningkatan seiring dengan mulai datangnya musim penghujan dan mencapai titik inflasi tertinggi pada bulan Desember dengan nilai inflasi mencapai 5,38% (mtm) yang disebabkan oleh tingginya permintaan komoditas bahan makanan untuk merayakan hari raya Natal dan tahun baru.
3.3.2 Kelompok Administered prices Walaupun pada bulan Desember inflasi administered price mengalami kenaikan seiring dengan tingginya kenaikan tarif angkutan udara menjelang hari raya Natal dan tahun baru maupun adanya perayaan Hari Nusantara, Secara tahunan inflasi administered price relatif rendah bahkan hanya tumbuh sebesar 0,79% (yoy) dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan cukai rokok masih menjadi penyebab utama inflasi komoditas administered price. Namun demikian, adanya penurunan tarif angkutan udara, bensin dan solar mampu menahan kenaikan inflasi pada komoditas tembakau dan minuman beralkohol.
3.3.3 Kelompok Inti (core ) Inflasi kelompok inti pada triwulan IV 2016 hanya sebesar 2,63% (yoy), menurun dibanding posisi triwulan sebelumnya yang sebesar 3,58% (yoy) atau tahun sebelumnya yang mencapai 4,69% (yoy). Rendahnya inflasi komoditas inti lebih disebabkan oleh adanya penurunan biaya tempat tinggal, perlengkapan rumah tangga dan perlengkapan pendidikan. Dibanding tahun sebelumnya, hampir semua komoditas pembentuknya juga mengalami penurunan inflasi. Dari 22 kelompok komoditas pembentuknya, hanya 5 komoditas yang mengalami kenaikan inflasi yaitu penyelenggaraan rumah tangga, rekreasi, olah raga, barang pribadi dan jasa kesehatan. Berdasarkan andil inflasi, komoditas makanan jadi masih menjadi pendorong utama inflasi,
diikuti
oleh
komoditas
minuman
tidak
beralkohol,
pendidikan
dan
penyelenggaraan rumah tangga. Kenaikan harga makanan jadi dan minuman yang tidak beralkohol lebih disebabkan oleh ketersediaan pusat kuliner yang masih kurang, walaupun membaik dibanding tahun sebelumnya. Tingginya harga jual makanan jadi diharapkan dapat menarik pengusaha makanan untuk berinvestasi di NTT. Kenaikan biaya penyelenggaraan rumah tangga lebih disebabkan oleh kenaikan upah pembantu rumah tangga yang mengalami kenaikan 7,94% (yoy). Rata-rata kenaikan tersebut masih sangat wajar mengikuti kenaikan UMP yang terjadi. 66 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
66
Ekspektasi harga konsumen dalam 3 dan 6 bulan mendatang menunjukkan adanya penurunan setelah bulan Januari 2017. Kenaikan diperkirakan akan terjadi pada bulan Mei, melambat di bulan Juni dan kembali meningkat di bulan Juli. Namun demikian, arah ekspektasi inflasi ini sepertinya masih dipengaruhi kondisi historis yang cenderung meningkat di bulan Juli karena adanya hari raya Idul Fitri dan libur sekolah. Dengan kondisi hari raya Idul Fitri yang di tahun 2017 terjadi di akhir bulan Juni, maka kenaikan inflasi diperkirakan terjadi pada bulan Juni dan Juli 2017. Grafik 3.13. Ekspektasi Harga Konsumen 3 dan 6 bulan ke Depan
Sumber : Bank Indonesia, diolah
3.4. Inflasi NTT Berdasarkan Kota 3.4.1 Inflasi Kota Kupang Pada tahun 2016, Kota Kupang mengalami inflasi terendah dalam 15 tahun terakhir dengan nilai inflasi sebesar 2,31% (yoy), jauh lebih rendah dibanding inflasi pada tahun sebelumnya yang sebesar 5,07% (yoy). Deflasi yang terjadi pada komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan sebesar -2,4% (yoy) menjadi pendorong utama rendahnya inflasi di Kota Kupang. Selain itu, komoditas perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar, sandang, kesehatan, pendidikan, rekreasi dan olah raga juga menunjukkan nilai yang rendah dan stabil. Inflasi bahan makanan juga relatif rendah dengan nilai inflasi hanya sebesar 3,88% (yoy), jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 9,55% (yoy). Komoditas makanan jadi, minuman dan tembakau pada tahun 2016 ini menjadi penyumbang inflasi tertinggi di Kota Kupang dengan nilai inflasi sebesar 9,10% (yoy), lebih tinggi dibanding nilai inflasi tahun sebelumnya yang sebesar 8,63% (yoy). Tingginya kenaikan cukai rokok ditambah dengan kenaikan biaya dan keuntungan lainnya pada komoditas tembakau dan minuman beralkohol membuat inflasi pada komoditas ini mengalami peningkatan signifikan hingga 18,88% (yoy) di sepanjang tahun 2016. 67 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
67
Berdasarkan komoditas, adanya penurunan harga beras, BBM, angkutan udara, ikan segar dan biaya tempat tinggal telah mampu menahan inflasi dengan andil deflasi mencapai -0,94% (sum - yoy). Adapun kenaikan harga bumbu-bumbuan, tembakau dan minuman beralkohol, makanan jadi dan minuman tak beralkohol, sayur-sayuran, kacang-kacangan dan pendidikan telah menyebabkan inflasi dengan andil mencapai 2,94% (sum - yoy). Walaupun secara triwulanan harga ikan segar mengalami peningkatan yang cukup besar, namun dikarenakan tingginya posisi harga di tahun sebelumnya, membuat secara tahunan, harga ikan segar masih mengalami penurunan. Kenaikan harga signifikan pada komoditas bawang merah, bawang putih, cabai merah dan cabai rawit telah menjadi penyumbang utama inflasi di Kota Kupang yang terutama disebabkan oleh adanya penurunan pasokan maupun perdagangan barang ke luar daerah yang disebabkan oleh harga barang yang lebih tinggi di daerah lain, sehingga harga di Kota Kupang juga bergerak naik. Kenaikan harga sandang anak-anak dan laki-laki juga mampu menyumbang inflasi, namun masih dalam batas wajar. Grafik 3.14. Inflasi Tahunan Kota Kupang
Tabel 3.5. Inflasi di Kota Kupang berdasarkan Kelompok Komoditas Komoditi
Sumber : BPS, diolah
IHK 2016 Oct
Nov
2017 Dec
YOY
Jan Tw IV
INFLASI UMUM
125.6 126.6 129.1 130.1
2.31
Bahan Makanan
Jan 2.32
118.1 122.1 128.7 130.9
3.88
1.92
Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau 143.4 144.2 144.2 144.9
9.10
8.06
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan123.8 Bahan 124.1 Bakar 124.2 125.5
0.10
0.18
Sandang
126.2 125.5 126.9 125.7
3.86
3.47
Kesehatan
115.6 115.6 115.9 116.0
2.63
2.95
Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga 123.6 123.7 124.6 125.2
3.04
3.41
Transportasi, Komunikasi dan Jasa 130.2 128.9 132.6 132.9 (2.40) Sumber : BPS, diolah
0.70
Selain ikan segar, beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga yang cukup besar pada triwulan IV antara lain sayur-sayuran (28,27% - qtq), bumbu-bumbuan (25,67% - qtq), serta daging dan hasil-hasilnya (11,86
qtq).
Kenaikan harga komoditas sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan lebih disebabkan oleh memburuknya cuaca seiring dengan datangnya musim penghujan. Kenaikan harga daging lebih disebabkan oleh terbatasnya pasokan daging ayam ras dan ayam hidup yang disebabkan oleh terbatasnya pasokan DOC secara nasional, sehingga berdampak pada terbatasnya pasokan ayam di pasar. Di sisi lain, adanya peningkatan permintaan yang cukup tinggi untuk perayaan hari raya Natal dan tahun baru membuat harga jual melonjak dikarenakan kekurangan pasokan komoditas yang ada. 68 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
68
3.4.2
Inflasi Kota Maumere Berbeda dengan pola pergerakan inflasi di Kota Kupang, ketika inflasi di
Kota Kupang bergerak menurun, inflasi di Kota Maumere justru menunjukkan adanya kenaikan terutama di triwulan IV 2016 yang mengalami inflasi sebesar 3,61% (yoy). Walaupun masih tergolong rendah, adanya kenaikan harga bahan makanan yang tinggi di triwulan IV 2016 telah membuat inflasi bergerak naik dibanding posisi triwulan III yang hanya sebesar 2,28% (yoy). Kenaikan inflasi tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya inflasi komoditas daging dan hasil-hasilnya (25,29% - yoy) dan buah-buahan (23,14% - yoy). Kenaikan harga daging dan hasilhasilnya terutama disebabkan oleh tingginya kenaikan harga ayam hidup dan daging ayam ras masing-masing sebesar 25,65% (yoy) dan 8,37% (yoy). Kelangkaan penyediaan DOC menjadi masalah utama penyediaan pasokan ayam ras di Pulau Flores, dikarenakan pemenuhan bibit ayam tersebut harus dipenuhi dari Kupang, Bali atau Surabaya, sehingga adanya gangguan distribusi langsung berdampak pada kelangkaan penyediaan DOC di Maumere. Permasalahan distribusi juga menjadi penyebab utama berkurangnya pasokan buah-buahan dari Jawa, sehingga harga buah mengalami kenaikan yang cukup besar. Secara triwulanan, selain komoditas ayam ras hidup dan buah-buahan, kenaikan inflasi juga terjadi pada komoditas sayur-sayuran (19,89
qtq) dan ikan segar (16,14
qtq). Setelah cenderung mengalami penurunan harga hingga triwulan III 2016, harga komoditas sayur-sayuran dan ikan segar meningkat pada triwulan IV 2016 disebabkan oleh memburuknya cuaca yang berdampak pada penurunan pasokan ikan segar dan sayur-sayuran di pasar. Meskipun demikian, secara tahunan harga masih relatif terkendali bahkan cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan andil komoditas terhadap inflasi di Kota Maumere, komoditas perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar menjadi komoditas penyumbang utama inflasi dengan nilai inflasi sebesar 5,55% (yoy) dan memiliki andil terhadap inflasi hingga sebesar 1,34% (sum-yoy). Tingginya sumbangan kelompok komoditas ini lebih disebabkan oleh meningkatnya biaya kontrak rumah sejak awal tahun 2016 dan sewa rumah yang kembali meningkat pada triwulan IV 2016 yang mampu memberikan andil pada inflasi Maumere hingga 0,90% (sum
yoy). Kenaikan tarif air minum PAM hingga
sebesar 19,80% (yoy) pada bulan September 2016 juga menyumbang inflasi hingga 0,20% (sum-yoy). Komoditas makanan jadi menjadi komoditas penyumbang inflasi terbesar kedua di Maumere dengan andil hingga 1,2% (sum-yoy) terutama disebabkan 69 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
69
oleh meningkatnya harga rokok dan tembakau mengikuti kenaikan cukai rokok yang ada. Grafik 3.15. Inflasi Tahunan Kota Maumere 9.02 8.02 7.02 6.02 5.02 4.02 3.02 2.02 1.02 0.02
Grafik 3.6. Inflasi Inflasi di Kota Maumere berdasarkan Kelompok Komoditas Komoditi
Maumere NTT
2.48
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 1 2012
2013
Sumber : BPS, diolah
2014
2015
2016 2017
Nov
Dec
YOY
Jan Tw IV
Jan
3.62
3.61
105.9 108.7 113.7 113.2
3.70
4.89
Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau 145.4 145.6 146.0 146.5
7.14
5.30
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan119.3 Bahan 120.0 Bakar 120.1 121.1
5.55
3.08
Sandang
111.8 111.9 113.0 113.1
3.70
3.06
Kesehatan
113.4 113.8 115.0 115.4
3.34
3.33
Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga 142.6 142.6 142.7 142.8
1.57
1.69
Transportasi, Komunikasi dan Jasa 112.8 112.8 113.8 116.5 (3.44) Sumber : BPS, diolah
0.75
Bahan Makanan 3.61 2.48
Oct
2017
118.7 119.9 121.9 122.4
INFLASI UMUM 3.62
IHK 2016
Adapun sektor transportasi, komunikasi dan jasa keuangan mampu menjadi komoditas utama yang menahan laju inflasi di Kota Maumere. Deflasi pada komoditas ini terutama disebabkan oleh turunnya harga bensin hingga -11,45% (yoy), angkutan udara hingga -35,63% (yoy), dan solar sebesar -23,13% (yoy). Penurunan tarif angkutan udara kemungkinan disebabkan oleh turunnya jumlah penumpang yang berangkat dari bandara Frans Seda Maumere pada bulan Desember 2016 sebesar 0,55% (mtm) dan di sisi lain, frekuensi penerbangan justru mengalami penambahan.
3.5. Proyeksi Inflasi Provinsi NTT Triwulan I 2017 Inflasi pada triwulan I 2017 diperkirakan akan mengalami peningkatan, terutama disebabkan oleh kenaikan tarif listrik untuk rumah tangga 900VA pada bulan Januari dan Maret 2017. Adanya kenaikan listrik hingga dua kali tersebut, berpotensi menyebabkan inflasi tarif listrik hingga 14,5% dan memberikan andil terhadap inflasi triwulan I 2017 hingga 0,42%. Adanya kenaikan cukai rokok dengan kenaikan harga eceran rata-rata hingga 12,26% diperkirakan juga akan membuat kenaikan harga rokok dilakukan rutin setiap bulannya sebagaimana terjadi pada tahun 2016. Kondisi cuaca diperkirakan membaik yang berdampak pada turunnya harga bahan makanan. Harga komoditas transportasi diperkirakan masih cenderung rendah seiring dengan masih rendahnya mobilitas antar wilayah menggunakan angkutan udara, namun adanya kenaikan biaya perpanjangan STNK hingga 102,09% (mtm) pada bulan Januari dan kenaikan tarif pulsa ponsel diperkirakan menahan potensi deflasi yang terjadi.
70 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
70
Berdasarkan perkembangan inflasi triwulan I 2017 di bulan Januari, Provinsi NTT mengalami inflasi sebesar 0,74% (mtm) terutama disebabkan oleh kenaikan harga bahan makanan seiring dengan kondisi cuaca yang memburuk dan berdampak pada adanya himbauan dilarang melaut bagi nelayan, ditutupnya pelabuhan penyeberangan dan berhentinya kegiatan pelayaran lainnya yang mengganggu penyediaan pasokan di NTT. Dampak buruknya cuaca tersebut terlihat dari tingginya nilai inflasi ikan segar pada bulan Januari yang mencapai 14,19% (mtm), seiring dengan kosongnya persediaan ikan di pasar. Pada bulan ini juga terjadi kelangkaan penyediaan cabai rawit yang menyebabkan kenaikan harga hingga 58,00% (mtm), sehingga dibanding triwulan sebelumnya, harga cabai rawit telah mengalami kenaikan hingga 367,70% (qtq). Dibanding nasional yang mengalami inflasi 0,97% (mtm), inflasi Provinsi masih relatif lebih terjaga. Adanya penurunan permintaan di bulan Januari 2017 dinilai mampu meredam permintaan komoditas yang juga mengalami penurunan pasokan, sehingga inflasi tidak naik signifikan. Kenaikan inflasi yang cukup signifikan adalah adanya kenaikan tarif listrik rumah tangga dengan 900VA dan biaya perpanjangan STNK yang naik lebih dari 100%. Pada bulan Februari, inflasi diperkirakan akan lebih stabil seiring dengan kondisi cuaca yang membaik. Namun demikian, adanya La Nina yang terjadi diperkirakan akan memperpanjang musim hujan di NTT yang terlihat dari hasil survei pemantauan harga minggu ke-1 Februari 2017 yang masih menunjukkan adanya inflasi pada nilai yang rendah. Komoditas cabai rawit sudah mulai menunjukkan adanya penurunan harga di pasar, demikian pula dengan penurunan harga telur dan daging ayam ras seiring mulai tersedianya pasokan di pasar dan kondisi distribusi komoditas yang mulai membaik. Harga ikan segar juga sudah berangsur menurun, begitu juga dengan harga tahu mentah, gula pasir dan emas perhiasan. Hingga akhir bulan Februari 2017, inflasi diperkirakan rendah dan cenderung deflasi walaupun tidak terlalu besar.
71 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
71
3.6. Aktivitas Pengendalian Inflasi oleh TPID Sebagai upaya untuk terus menjaga inflasi yang rendah dan stabil di Provinsi NTT, TPID telah melakukan beberapa kegiatan pengendalian inflasi di triwulan IV 2016 dengan berbagai macam kegiatan sebagai berikut : 1. Telah dilakukan penyusunan dan pembahasan draft final Roadmap TPID Provinsi NTT untuk panduan kegiatan hingga tahun 2018 dengan program unggulan dilakukan TPID yang sudah diupdate dan direvisi ditambah dengan 10 program penguatan TPID hasil kompilasi RKPD yang telah disusun oleh masing-masing dinas. 2. Telah dilakukan sosialisasi TPID di Kabupaten Rote Ndao pada tanggal 29 Oktober 2016. 3. Telah dilakukan rapat koordinasi daerah TPID Provinsi NTT yang dipimpin oleh sekretaris daerah provinsi NTT dan dihadiri oleh seluruh anggota TPID Kabupaten Kota di Provinsi NTT. Adapun beberapa hasil rapat koordinasi tersebut meliputi : a. Telah dilakukan penandatanganan Roadmap TPID NTT tahun 2016-2018 dengan program yang diangkat yaitu JUPE RUN 10 K. b. Permasalahan yang teridentifikasi dalam rapat, diantaranya 1) Belum adanya standarisasi ukuran di level pedagang eceran dan konsumen, 2) Kendala cuaca terhadap kestabilan pasokan dan bibit penyakit pada ternak. 3) Pemasalahan struktural seperti biaya distribusi yang mahal dan pasar yang Oligopoli. 4) Minimnya industri pengolahan di Provinsi NTT. 5) Sulitnya penyerapan beras oleh Bulog akibat harga pasar di petani dan penggilingan lebih tinggi dari harga penetapan pemerintah 6) Pasokan minyak tanah dan BBM yang masih terbatas di beberapa daerah sehingga harga meningkat di tingkat pengecer. Di NTT sendiri masih terdapat 13 wilayah yang belum memiliki penyalur c. Hal-hal yang disepakati dalam rapat diantaranya:
72 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
72
1) Perlunya penyelarasan roadmap TPID dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan program kerja Provinsi/Kab-Kota di NTT tahun 2017-2018. 2) Peningkatan keaktifan TPID Kab/kota dengan diketuai Sekretaris Daerah yang juga Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), sehingga diharapkan kebijakan bisa lebih efektif dan sejalan dengan perencanaan anggaran. 3) Perlunya koordinasi antar sektor melalui rapat koordinasi dan peningkatan kerjasama antar kabupaten/kota. 4) Perlu adanya monitoring dan pemeriksaan di gudang-gudang bekerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan untuk menghindari penimbunan di akhir tahun. 5) Perlunya pengembangan sektor pariwisata masyarakat melalui alokasi anggaran di daerah bagi pengembangan usaha kecil di daerah guna mendukung pariwisata. 6) Perlunya dibentuk sub penyalur resmi di kabupaten yang kesulitan mendapatkan distribusi minyak tanah maupun bbm. Adanya dana desa dapat menjadi salah satu sumber pendanaan bagi pembentukan sub penyalur resmi tersebut. 7) Perlunya kerjasama yang berkelanjutan dengan BPS untuk kegiatan perhitungan inflasi di setiap daerah sehingga data historis dapat dimiliki guna mendukung identifikasi pengendalian inflasi di setiap daerah. 8) Perlu dilaksanakannya hasil pembahasan rakorwil TPID di Ternate oleh seluruh kab/kota. 4. Dalam rangka menjaga inflasi menjelang hari raya Natal dan Tahun Baru di NTT, TPID Provinsi NTT bersama dengan TPID Kota Kupang telah melakukan beberapa kegiatan penanggulangan dan pemantauan harga diantaranya inspeksi mendadak bersama dengan Gubernur NTT di gudang BULOG divre NTT dan pelabuhan peti kemas PELINDO 3, operasi pasar BULOG dan pasar murah oleh BMPD di Pasar Kasih Naikoten.
73 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
73
Gambar 3.1. Kegiatan TPID Provinsi NTT 2016 dan Sebaran Pembentukan TPID
Sumber : Sekretariat TPID, diolah
5. Pada tanggal 11 Januari 2017 telah dilakukan rapat HLM TPID Provinsi NTT dan dipimpin oleh sekretaris daerah Provinsi NTT dengan bahasan utama berupa langkah-langkah pengendalian harga cabai rawit di Kota Kupang. Dalam rapat tersebut disepakati untuk dibentuk satgas pengendalian harga cabai rawit merah dengan dinas pertanian sebagai koordinator. Dalam pelaksanaannya, satgas telah menjual lebih dari 1 ton cabai rawit merah, dengan harga 60 ribu rupiah. Adapun harga cabai rawit juga menunjukkan adanya penurunan, dari 120 ribu pada minggu kedua dapat turun hingga mencapai 60 ribu di minggu ke-5 Januari 2017.
74 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
74
Boks 5. Komoditas Utama Penyumbang Inflasi di NTT dalam 6 tahun terakhir Secara konseptual, Inflasi pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai rata-rata pergerakan harga-harga komoditas yang dikonsumsi oleh suatu rumah tangga. Dengan pendekatan Laspeyres sebagaimana digunakan di Indonesia, inflasi dihitung menggunakan indeks harga yang disusun di tiap tahun dasar melalui survei biaya hidup yang dilakukan oleh BPS. Pendekatan ini juga mengatur bahwa bobot masing-masing komoditas menggunakan bobot yang dihasilkan pada saat survei di tahun dasar, sehingga yang dihitung tiap bulannya hanyalah perubahan harga yang terjadi. Adapun komoditas yang diperhitungkan adalah komoditas yang secara signfikan memiliki proporsi nilai konsumsi lebih dari 0,02% dari total pengeluaran rumah tangga, atau bisa kurang dari 0,02% namun signifikan dibutuhkan oleh suatu rumah tangga seperti pembelian saus tomat, sikat gigi atau popok bayi di Kota Kupang. Dari ribuan komoditas yang disurvei, dengan menggunakan prasyarat di atas, didapatkan 430 komoditas yang akan disurvei secara rutin oleh BPS di tiap bulannya di Provinsi NTT. Grafik Boks 5. 1. Korelasi Pergerakan Gabungan 10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi dan Deflasi di Kota Kupang 6 Tahun Terakhir dengan Inflasi Kota Kupang
Grafik Boks 5.2. Korelasi Pergerakan Gabungan 10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi dan Deflasi di Kota Maumere 6 Tahun Terakhir dengan Inflasi Kota Maumere
Dari 430 komoditas yang disurvei tiap bulannya, secara rata-rata 220 komoditas tidak mengalami perubahan harga dan hanya sekitar 210 komoditas yang berubah dengan besar kenaikan/penurunan yang beraneka ragam. Perubahan harga tersebut yang berpengaruh terhadap terjadinya inflasi. Berdasarkan pola pergerakan inflasi, didapatkan bahwa secara ratarata hanya terdapat 20 komoditas yang berpengaruh signifikan terhadap inflasi di suatu daerah atau setara dengan hanya 10% dari total komoditas yang mengalami perubahan harga. Apabila andil inflasi dari komoditas terbesar tersebut dijumlahkan, maka nilai inflasi bulanan akan mendekati hasil penjumlahan 10 komoditas penyumbang inflasi dan deflasi utama tersebut dengan korelasi di kisaran 90%. Maka berdasarkan kecenderungan tersebut, telah dilakukan light research / penelitian ringkas terhadap 10 komoditas utama penyumbang inflasi dan deflasi bulanan utama di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang dan Kota Maumere. Adapun jumlah sampel per masing-masing kota sebanyak 1.440 sampel meliputi total 20 komoditas utama penyumbang inflasi dan deflasi utama pada 3 daerah tersebut di tiap bulannya dalam jangka waktu 6 tahun terakhir dan didapatkan hasil sebagai berikut: Berdasarkan data 10 komoditas penyumbang inflasi dan deflasi utama di Provinsi NTT selama 6 tahun terakhir, didapatkan bahwa dari 1.440 sampel, ternyata hanya terdapat 140 Boks 5 | Komoditas Utama Penyumbang Inflasi NTT dalam 6 Tahun Terakhir
75
komoditas yang menjadi penyumbang utama inflasi di provinsi NTT dalam 6 tahun terakhir, 146 komoditas di Kota Kupang dan 141 komoditas di Kota Maumere. Apabila dalam 72 bulan pencacahan tersebut diambil komoditas yang secara persisten setidaknya 10 kali menjadi penyumbang inflasi utama dalam 6 tahun terakhir, maka didapatkan bahwa hanya terdapat 41 komoditas yang secara persisten menyumbang inflasi di Provinsi NTT dan Kota Maumere, serta 44 komoditas yang secara persisten menyumbang inflasi di Kota Kupang. Apabila dilihat dari 10 komoditas utama yang secara persisten menyumbang fluktuasi inflasi di Kota Kupang dan Kota Maumere, didapatkan bahwa terdapat 6 komoditas yang samasama menjadi penyebab utama inflasi di Kota Kupang dan Maumere, antara lain angkutan udara, kangkung, ikan kembung, bawang merah, cabe rawit dan tongkol. Adapun komoditas lainnya yang menjadi penyumbang utama inflasi di Kota Kupang adalah daging ayam ras, sawi putih, tomat sayur dan beras. Sedangkan komoditas lainnya yang secara persisten menjadi 10 besar penyumbang inflasi utama di Maumere adalah ikan selar, ikan layang, sawi hijau dan bayam. Di Kota Kupang, setidaknya terdapat 4 komoditas yang menjadi penyumbang fluktuasi tertinggi hingga di atas 55 kali dalam 6 tahun atau berarti setidaknya dalam 12 bulan, keempat komoditas tersebut minimal 9 kali menjadi penyumbang inflasi atau deflasi utama di Kota Kupang, yaitu komoditas angkutan udara, kangkung, daging ayam ras dan sawi putih. Di Kota Maumere juga terdapat 4 komoditas yang setidaknya dalam 1 tahun menjadi penyumbang inflasi dan deflasi utama dengan frekuensi lebih dari 9 kali antara lain komoditas ikan selar, ikan layang, sawi hijau dan komoditas kangkung. Dengan tingginya frekuensi komoditas tersebut dalam menyumbang fluktuasi inflasi di NTT, maka proses menjaga pasokan komoditas tersebut menjadi hal yang mutlak harus dilakukan dalam menanggulangi inflasi di NTT. Grafik Boks 5. 3. Pola Pergerakan Inflasi 19 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi di Kota Kupang 6 Tahun Terakhir
Grafik Boks 5.4. Pola Pergerakan Inflasi 25 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi di Kota Maumere 6 Tahun Terakhir
Dalam rangka mencari komoditas utama yang secara persisten menjadi penyumbang inflasi NTT dalam 6 tahun terakhir, maka diambil 10 komoditas yang menjadi penyumbang fluktuasi inflasi utama di masing-masing kota, ditambah dengan beberapa komoditas dari 44 dan 41 komoditas yang memiliki korelasi positif terbesar terhadap pergerakan inflasi di masingmasing daerah. Dari hal tersebut dihasilkan kesimpulan bahwa untuk mengetahui dan mengendalikan pergerakan inflasi di Kota Kupang sebenarnya dapat dilakukan dengan hanya menjaga harga dan pasokan pada 19 komoditas saja, antara lain komoditas angkutan udara, kangkung, daging ayam, sawi putih, tomat sayur, ikan kembung, beras, bawang merah, cabe rawit, ikan tongkol, bensin, ikan tembang, pasir, tarif listrik, telur ayam ras, cabai merah, wortel, bayam, dan semen. Ke-19 komoditas tersebut sudah dapat memprediksi arah inflasi dengan tingkat korelasi mencapai 98%, artinya baik arah dan besaran inflasi dapat diprediksi dengan hanya melihat pergerakan harga ke-19 komoditas tersebut dengan ketepatan mencapai 98%. Boks 5 | Komoditas Utama Penyumbang Inflasi NTT dalam 6 Tahun Terakhir
76
Adapun untuk pengendalian inflasi di Kota Maumere, terdapat 25 komoditas yang paling mempengaruhi pergerakan inflasi antara lain komoditas ikan selar, ikan layang, sawi hijau, kangkung, cabai rawit, ikan tongkol, angkutan udara, bawang merah, ikan kembung, bayam, bensin, pisang, beras, ayam hidup, telur ayam ras, daging ayam ras, kubis, tarif listrik, rokok kretek filter, daun singkong, rokok putih, ikan tembang, ketela pohon, dan tauge. Dengan hanya mengetahui pergerakan harga ke-25 komoditas tersebut, maka nilai inflasi bisa diprediksi dengan tingkat korelasi mencapai 90%. Dari semua komoditas di atas, ternyata terdapat 14 komoditas yang menjadi penyumbang utama fluktuasi inflasi baik di kota Kupang maupun Maumere, yang berarti program pengendalian inflasi untuk ke-14 komoditas tersebut dapat saling disinergikan. Hasil analisa di atas juga sesuai dengan hasil analisa dalam roadmap TPID yang menunjukkan bahwa dari 16 komoditas prioritas dalam pengendalian inflasi, 10 diantaranya menjadi 10 komoditas dengan fluktuasi inflasi tertinggi, sehingga apabila pemerintah ingin mengendalikan inflasi di daerah, maka pengendalian harga dan stabilisasi pasokan terhadap ke19 dan 25 komoditas tersebut di atas sekiranya dapat menjadi perhatian utama TPID di kota perhitungan inflasi. Bentuk pengendalian yang dilakukan cukup mengikuti roadmap TPID yang telah ditandatangani bersama oleh TPID Provinsi NTT. Semoga dengan penanganan pengendalian inflasi yang lebih terfokus, inflasi di Provinsi NTT dapat semakin dijaga rendah dan stabil.
Boks 5 | Komoditas Utama Penyumbang Inflasi NTT dalam 6 Tahun Terakhir
77
Boks 6. Pola Perdagangan Antar Wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur Selain memastikan pasokan komoditas tersedia dalam jumlah yang cukup, pemahaman terkait pola perdagangan komoditas antar wilayah menjadi hal yang mutlak dipahami oleh pemangku kebijakan dalam upaya menjaga pasokan dan mengendalikan harga di daerah. Dalam upaya memetakan pola perdagangan komoditas pangan strategis di Nusa Tenggara Timur (NTT), telah dilakukan penelitian pola perdagangan antar wilayah terhadap 5 komoditas penyumbang inflasi terbesar di NTT yaitu komoditas beras, gula pasir, cabai merah, bawang merah, dan daging ayam ras. Adapun pembahasan hanya akan difokuskan pada 4 komoditas yaitu beras, gula pasir, cabai merah dan bawang merah, sedangkan komoditas daging ayam ras, lebih kurang sudah dibahas pada triwulan sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan pola perdagangan yang cukup besar antara pola perdagangan di Pulau Timor dan Pulau Flores bagian timur. Pola perdagangan di Pulau Timor terpusat di Kota Kupang, sedangkan di Pulau Flores bagian timur tidak ada daerah yang terlalu menonjol sebagai pusat perdagangan. Pola perdagangan tiap-tiap komoditas juga relatif berbeda tergantung dari karakteristik masingmasing komoditas, kemudahan sarana transportasi, kedekatan dengan sentra produksi, ketersediaan modal usaha dan ukuran pasar, serta efisiensi persaingan yang terjadi. Hasil penelitian juga tidak menunjukkan adanya hubungan perdagangan antar wilayah yang kuat antara Pulau Timor dan Flores bagian timur, bahkan dengan Flores bagian barat dan Pulau Sumba.
Gambar Boks 6.1. Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Beras
Berdasarkan jenis komoditas, konsumsi beras di Provinsi NTT setiap tahun sebesar 600 ribu ton beras, sedangkan produksinya hanya sebesar 450 ribu ton beras sehingga mengalami defisit hingga sekitar 150 ribu ton per tahun yang pemenuhan kekurangan pasokan dilakukan melalui penyediaan beras BULOG ataupun melalui mekanisme pasar. Total penyaluran beras BULOG di tahun 2016 mencapai 110 ribu ton beras dengan rincian 76 ribu ton beras sejahtera dan sekitar 35 ribu ton beras disalurkan untuk pemenuhan kebutuhan beras PNS dan operasi Boks 6 | Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT
78
pasar. Adapun pemenuhan beras melalui mekanisme pasar per tahun lebih kurang disalurkan 55 ribu ton beras, dengan Sulawesi Selatan sebagai pemasok beras utama dengan pangsa mencapai 62,3%, disusul oleh Provinsi Jawa Timur dengan pangsa mencapai 23,8% dan Provinsi NTB dengan pangsa sebesar 7,0%. Fokus distribusi beras hanya pada Pulau Timor dan Flores bagian timur dikarenakan kondisi produksi beras di Flores Bagian Barat dan Sumba yang mengalami surplus, sehingga tidak membutuhkan pasokan dari luar. Perdagangan beras di Pulau Timor sangat terkonsentrasi di Kota Kupang sebagai hub perdagangan ke semua Kabupaten di daratan Timor, Alor, Rote Ndao dan Sabu Raijua. Di sisi lain, pola perdagangan antar wilayah di Pulau Flores bagian timur cenderung tersebar dengan Kabupaten Sikka sebagai hub utama perdagangan antar wilayah. Adanya perbaikan pelabuhan membuat kebanyakan pengusaha di masing-masing kota langsung mengambil barang dari produsen atau distributor besar di Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Sumbawa karena adanya perbedaan harga yang cukup material.
Gambar Boks 6.2. Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Gula Pasir
Pola perdagangan gula pasir lebih terkonsentrasi dibanding beras, dengan lebih dari 90% pasokan berasal dari Jawa Timur. Hal ini terutama disebabkan oleh 60% pasokan gula pasir nasional diproduksi oleh pabrik-pabrik di Jawa Timur. Pola perdagangan di Pulau Timor masih terkonsentrasi di Kota Kupang dengan pola perdagangan lebih kurang sama dengan pola perdagangan beras. Adapun pola perdagangan di Pulau Flores lebih tersebar dengan masingmasing daerah langsung mengambil pasokan gula pasir dari pedagang besar di Surabaya dengan beberapa diantaranya memanfaatkan fasilitas tol laut yang melewati daerah mereka. Pemain besar hanya terdapat di Ende yang juga melakukan distribusi di Ende dan daerah sekitarnya, namun sebagian besar pasokan tetap didatangkan dari Surabaya. Konsumsi komoditas cabai merah sebenarnya tidak terlalu besar. Namun karena hasil produksi juga relatif rendah, menjadikan provinsi NTT sebagai daerah yang mengalami defisit pasokan cabai. Berdasarkan hasil penelitian, Kota Kupang masih menjadi hub utama distribusi cabai merah di daratan Timor, walaupun terbatas di Kabupaten TTU, Belu, Alor dan Sabu Raijua. Suplai komoditas cabai merah paling banyak diperoleh dari Provinsi NTT sendiri seperti Kabupaten Belu dan Kupang, disusul oleh suplai dari Surabaya dan Makasar. Kabupaten Kupang bahkan juga memasok ke daerah lain seperti Kota Kupang, Kabupaten Flores Timur
Boks 6 | Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT
79
dan Timor Tengah Selatan. Adapun struktur pasar pada komoditas ini masih cenderung oligopoli lemah, dengan beberapa pedagang besar yang tidak mengendalikan harga.
Gambar Boks 6.3. Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Cabai Merah
Kondisi perdagangan antar wilayah yang berbeda ditunjukkan oleh peta distribusi di Pulau Flores. Daerah Sikka yang seharusnya surplus, ternyata mendapatkan pasokan cabai merah dari Makasar, Ende, Sikka sendiri dan Kabupaten Ngada, baru didistribusikan di Kabupaten Sikka dan Lembata. Kabupaten Ende yang seharusnya defisit cukup besar ternyata justru dapat memproduksi cabai merah dan mendistribusikannya ke Kabupaten Sikka. Adapun pasokan komoditas selain dari Kabupaten Ende sendiri, juga mendapat pasokan dari Kabupaten Nagekeo. Pasokan cabai merah di Kabupaten Flores Timur terutama berasal dari Kabupaten Ende, selain juga mendapatkan pasokan dari Kabupaten Kupang atau Makasar terlebih ketika harga mengalami kenaikan. Temuan penelitian yang cukup menarik adalah mulai adanya interaksi perdagangan antara Flores bagian barat dan Flores bagian timur seiring dengan adanya kegiatan perdagangan dengan Kabupaten Ngada. Pola perdagangan antar wilayah komoditas bawang merah justru menunjukkan luasnya rantai distribusi komoditas ini. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa 65% pasokan bawang merah dapat diperoleh dari NTT sendiri antara lain Pulau Semau di Kabupaten Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Sabu Raijua dan Kabupaten Manggarai Timur. Selebihnya, pasokan diperoleh dari Kabupaten Bima, NTB dan Brebes, Jawa Tengah. Sebagian kecil pasokan juga diperoleh dari Makasar, terutama hanya di Kabupaten Sikka dan ketika terjadi kelangkaan pasokan.
Boks 6 | Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT
80
Gambar Boks 6.4. Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Bawang Merah
Pola perdagangan antar wilayah di Pulau Timor menunjukkan pola yang terkonsentrasi di Kota Kupang. Pasokan dari daerah penghasil utama seperti Kabupaten Rote Ndao, dan Pulau Semau, ditambah dengan pasokan dari Brebes, Jawa Tengah dan sebagian kecil dari Surabaya dikumpulkan terlebih dahulu di Kota Kupang untuk kemudian kembali didistribusikan ke 11 kabupaten/kota baik di Provinsi NTT maupun di luar NTT. Bawang Merah dari Pulau Rote selain didistribusikan ke Kota Kupang, juga langsung didistribusikan ke Kabupaten Flores Timur, Alor dan Timor Tengah Selatan. Berbeda dengan pola perdagangan di Pulau Timor, perdagangan antar wilayah di Pulau Flores juga relatif terdistribusi walaupun konsentrasi perdagangan utama masih terjadi di Kabupaten Sikka. Suplai utama bawang merah di Pulau Flores dari luar NTT didapatkan dari Kabupaten Bima, NTB yang disebabkan oleh kedekatan personal para pedagang besar yang sebagian besar berasal dari daerah tersebut. Luasnya distribusi juga terlihat dari rantai pasokan yang juga berasal dari Flores bagian barat dan Kabupaten Sabu Raijua. Penjualan di Kabupaten Sikka juga mencapai daerah Ambon walaupun dalam nilai yang tidak terlalu besar. Harga beli dan harga jual akan cenderung rendah pada daerah yang menjadi pusat distribusi per masing-masing komoditas. Tidak ditemukan pula adanya keterkaitan harga yang membentuk suatu klaster antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Adapun biaya pengiriman di NTT relatif besar, dengan jarak pengangkutan, moda transportasi, dan tonase angkutan menjadi variabel utama yang mempengaruhi besarnya biaya pengiriman. Sebagian besar pengusaha memiliki fasilitas pergudangan, namun daya simpan komoditas tidak terlalu besar. Pembentukan harga jual sangat dipengaruhi oleh harga pembelian dan besarnya biaya transportasi yang timbul. Selain itu, gangguan cuaca dan keterbatasan moda transportasi masih menjadi faktor penghambat utama dalam distribusi barang di Provinsi NTT yang berpotensi menyebabkan fluktuasi harga yang cukup besar. Oleh karena itu, untuk menjaga pasokan, pertama-tama diharapkan untuk dapat dilakukan peningkatan produksi komoditas. Adanya rencana pembangunan pabrik gula di Sumba Timur perlu dukungan ekstra pemerintah agar neraca konsumsi tidak selalu negatif. Adanya hasil penelitian ini, sekiranya dapat dijadikan alat bagi pemangku kebijakan dalam menjaga pasokan komoditas penyumbang inflasi ke depan, agar harga dan pasokan barang dapat senantiasa terjaga.
Boks 6 | Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT
81
STABILITAS KEUANGAN DAERAH Walaupun terjadi perlambatan pada kinerja kredit di sektor konsumsi dan UMKM, Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Provinsi NTT pada triwulan laporan masih cukup terjaga. Kredit sektor rumah tangga secara agregat tumbuh sebesar 6,80% (yoy) dengan rasio NPL terjaga sebesar 1,15%. Walau melambat, kredit UMKM masih dapat tumbuh sebesar 16,71% (yoy) dengan rasio NPL masih relatif terjaga sebesar 2,97%. Meskipun porsi kredit korporasi relatif kecil, perbankan perlu lebih mencermati peningkatan risiko kredit bermasalah dengan adanya peningkatan rasio NPL dari triwulan sebelumnya menjadi di atas 5% yaitu sebesar 8,04%. Industri perbankan masih menunjukkan kinerja yang cukup positif dengan aset meningkat 4,04% (yoy), sementara kredit tumbuh sedikit melambat sebesar 12,59% (yoy) dan penghimpunan dana mengalami kontraksi -0,06% (yoy) terutama karena penarikan dana oleh pemerintah.
4.1 Kondisi Umum Walaupun terjadi perlambatan pada kinerja kredit di sektor konsumsi dan UMKM, Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Provinsi NTT pada triwulan laporan masih cukup terjaga. Sampai dengan triwulan laporan, adanya relaksasi ketentuan rasio Loan To Value (LTV) atau Financing To Value (FTV) pada bulan Agustus 2016 belum cukup mampu mendorong fungsi intermediasi perbankan NTT terutama di sektor properti, meskipun terdapat sedikit peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Rumah tangga tetap optimis terhadap kondisi ekonomi ke depan sehingga terdapat prospek peningkatan kinerja kredit konsumsi pada periode selanjutnya. Perlambatan kinerja kredit UMKM disebabkan terutama oleh melambatnya pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran yang memegang porsi dominan kredit UMKM di Provinsi NTT. Sementara kredit sektor pertanian dan penyediaan akomodasi masih mampu tumbuh di tengah perlambatan sektor-sektor lain. Tekanan risiko kredit UMKM cukup rendah melihat rasio NPL yang membaik di tengah perlambatan. Perbankan perlu lebih mencermati tekanan risiko kredit pada sektor korporasi sebagaimana tercermin dari rasio NPL yang meningkat. Kinerja industri perbankan di Provinsi NTT secara umum masih cukup positif. Posisi aset terpantau meningkat pada triwulan laporan, sementara penyaluran kredit cukup kondusif. Hal yang perlu dicermati yaitu posisi rasio LDR yang menunjukkan tren | Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
83
meningkat seiring dengan penghimpunan dana dari masyarakat yang masih melambat. Selain itu kinerja intermediasi Bank Perkreditan Rakyat juga masih cukup terjaga dengan rasio permodalan CAR (Capital Adequacy Ratio) yang cukup kuat.
4.2 Asesmen Ketahanan Rumah Tangga 4.2.1 Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga Rumah tangga memiliki dua fungsi dalam sistem keuangan, yakni sebagai penyedia dana dan sebagai penerima dana. Jika rumah tangga menempatkan kelebihan dana kepada institusi keuangan atau instrumen keuangan yang kemudian digunakan sebagai sumber dana pelaku ekonomi lainnya, maka disebut sebagai penyedia dana. Sedangkan apabila rumah tangga meminjam dana dari institusi keuangan yang dananya berasal dari pelaku ekonomi yang mengalami surplus, maka disebut sebagai penerima dana. Oleh karena itu, semakin besar peran rumah tangga dalam aktivitas ekonomi dan keuangan suatu daerah maka semakin penting peran ketahanan sektor rumah tangga dalam menjaga stabilitas keuangan daerah tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan rumah tangga di antaranya tingkat pendapatan, tingkat konsumsi, lapangan kerja dan stabilitas harga. Konsumsi sektor Rumah Tangga (RT) sebagai kontributor utama dalam PDRB mengalami pertumbuhan sebesar 7,27% (yoy) di triwulan laporan atau meningkat cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 4,77% (yoy), sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan yang tercatat 5,18% (yoy) dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 5,03% (yoy). Sementara apabila dibandingkan triwulan sebelumnya, konsumsi RT tumbuh melambat yakni sebesar 3,94% (qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,37% (qtq). Grafik 4.1. Kontribusi Konsumsi RT Terhadap Konsumsi Agregat
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik 4.2. IKK, IKE, dan IEK
Sumber: Bank Indonesia, diolah
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
84
Perlambatan konsumsi RT triwulanan pada akhir tahun juga tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), yang menggambarkan keyakinan konsumen terhadap kondisi perekonomian, serta pengeluaran membeli barang tahan lama yang mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. IKK juga menurun bila dibandingkan tahun lalu, didukung ekspektasi konsumen dengan kondisi ekonomi enam bulan ke depan yang juga menurun. Namun demikian, tingkat keyakinan konsumen masih terjaga di level optimis. Grafik 4.2 juga menunjukkan kecenderungan pergeseran puncak keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi dari tahun ke tahun, dengan tahun 2016 puncaknya telah terjadi pada Triwulan III dari sebelumnya Triwulan IV tahun 2015 dan seterusnya. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumen memiliki ekspektasi bahwa dalam setiap triwulan terdapat peningkatan kondisi ekonomi. Selain itu, berdasarkan hasil Survei Konsumen bulan Desember 2016 didapatkan informasi bahwa pertumbuhan konsumsi secara tahunan menunjukkan adanya peningkatan, di antaranya disebabkan oleh peningkatan indeks pengeluaran rumah tangga untuk makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau dan biaya sandang. Peningkatan tersebut salah satunya karena adanya perayaan Hari Raya Natal dan Tahun Baru 2017 yang didukung meningkatnya daya beli masyarakat. Di sisi lain, kepercayaan masyarakat terhadap jasa perbankan pada triwulan laporan sedikit menurun yang tercermin dari peningkatan nilai indeks dari 1,56 di triwulan III 2016 menjadi 1,60 yang berarti masyarakat masih meyakini tingkat keamanan dananya di perbankan, terutama karena jumlah simpanan yang masih dalam batas penjaminan pemerintah. . Grafik 4.3. Indeks Pengeluaran Berdasarkan Kelompok Komoditas
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Grafik 4.4. Indeks Sikap Masyarakat Terhadap Kasus Kejahatan Perbankan
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Indeks lain yang menggambarkan tingkat ketahanan keuangan sektor rumah tangga juga menunjukkan kondisi yang relatif stabil meskipun sedikit mengalami penurunan ketahanan. Pada triwulan ini, ada sedikit kenaikan keterlambatan | Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
85
pembayaran cicilan yang lebih disebabkan oleh kelalaian konsumen. Namun demikian, secara umum masih relatif lancar yang ditunjukkan oleh nilai indeks sebesar 1,78, walaupun lebih tinggi dibandingkan tahun lalu dan triwulan sebelumnya yang masingmasing sebesar 1,30 dan 1,74. Indeks kepemilikan dana cadangan rumah tangga untuk kebutuhan tak terduga pada triwulan laporan turun menjadi 1,21 dari triwulan III 2016 yakni 1,24, menunjukkan bahwa mayoritas (hampir 80%) rumah tangga masih memiliki dana cadangan sampai dengan 1 bulan pendapatan namun terdapat kecenderungan penurunan penyimpanan dana yang dapat berpotensi mengganggu pembayaran cicilan. Penurunan simpanan kemungkinan besar disebabkan oleh adanya peningkatan konsumsi menjelang hari raya dan tahun sebagaimana ditunjukkan oleh kenaikan indeks pengeluaran konsumen.
4.2.2 Eksposur Rumah Tangga di Perbankan Sektor rumah tangga masih mendominasi penghimpunan Dana Pihak Ketiga di bank umum dengan porsi sebesar 72,63% (Rp 15,71 triliun) dari seluruh DPK terhimpun di NTT, atau meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 62,08% dan lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2015 sebesar 67,95%. Sebagian besar simpanan dana rumah tangga dalam bentuk tabungan (73,12%), diikuti deposito (22,34%) dan sebagian kecil giro (4,54%). Porsi tabungan rumah tangga mencapai 89,63% dari dana terhimpun, sementara deposito tercatat 71,29%, sehingga peran rumah tangga sebagai penyedia dana di perbankan NTT cukup tinggi. Grafik 4.5. Pangsa DPK Rumah Tangga dan Non Rumah Tangga
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Grafik 4.6. Pertumbuhan DPK
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Pada triwulan IV 2016, penghimpunan DPK rumah tangga kembali mengalami perlambatan. DPK tumbuh sebesar 6,61% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 15,05% (yoy). Perlambatan pertumbuhan DPK rumah tangga | Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
86
berkontribusi terhadap penurunan DPK bank umum di Provinsi NTT sebesar 0,24% (yoy) dibandingkan triwulan III 2016 yang tumbuh 0,26% (yoy). Hal tersebut dikonfirmasi pula oleh indeks simpanan rumah tangga yang menurun menjadi 1,21 dibandingkan triwulan III 2016 yakni 1,24. Grafik 4.7. Preferensi DPK Rumah Tangga
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Grafik 4.8. Pertumbuhan DPK Rumah Tangga
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Perlambatan DPK rumah tangga terjadi pada seluruh jenis simpanan, yaitu tabungan, giro dan deposito. Tak berbeda jauh dengan giro pemerintah daerah yang mengalami penurunan karena realisasi anggaran di akhir tahun, giro rumah tangga juga mengalami penurunan cukup dalam dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Giro mengalami kontraksi menjadi -12,35% (yoy) dari 11,69% (yoy) di triwulan III 2016 karena adanya perbaikan daya beli masyarakat sehingga konsumsi untuk perayaan Natal dan Tahun Baru menjadi meningkat. Sementara tabungan melambat menjadi 7,68% (yoy) dari 15,63% (yoy) serta deposito menjadi 7,85% (yoy) dari 14,09% (yoy). Kecenderungan rumah tangga tiap tahun masih sama yaitu menjelang akhir tahun lebih meningkatkan simpanan dalam bentuk tabungan dan giro yang lebih mudah dicairkan untuk mencukupi kebutuhan dana akhir tahun dengan mengurangi atau mencairkan simpanan deposito.Sementara itu, pada triwulan laporan penyaluran kredit ke rumah tangga mencapai Rp 8,62 triliun atau 37,75% dari total kredit yang disalurkan ke NTT. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 6,98 triliun atau 80,91% disalurkan dalam bentuk kredit multiguna, sementara Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sebesar Rp 1,31 triliun (15,19%) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) sebesar Rp 324 miliar (3,76%). Kredit rumah tangga pada triwulan laporan secara agregat mengalami pertumbuhan yakni sebesar 6,80% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya 5,92% (yoy). Pertumbuhan terutama didorong oleh Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) yang meningkat dari sebelumnya 3,14% (yoy) menjadi 28,57% (yoy) dan Kredit Perlengkapan | Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
87
dan Peralatan Rumah Tangga dari sebelumnya 34,93% (yoy) menjadi 53,63% (yoy). Kredit Multiguna masih menunjukkan perlambatan namun relatif lebih stabil dari 6,97% (yoy) menjadi 5,95% (yoy). Grafik 4.9. Kredit Konsumsi Rumah Tangga
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Grafik 4.10. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Meskipun kredit sektor properti menunjukkan perbaikan kinerja pada triwulan laporan dengan tumbuh sebesar 6,26% (yoy) dibandingkan tahun lalu sebesar 5,34% (yoy), namun relaksasi ketentuan rasio Loan To Value (LTV) atau Financing To Value (FTV) pada Agustus 2016 masih belum mampu mendorong fungsi intermediasi perbankan NTT. Hal ini terkonfirmasi pula dari hasil survei konsumen dalam indeks pengeluaran membeli barang tahan lama yang sedikit menurun dibanding triwulan sebelumnya. Selain itu, implementasi paket kebijakan ekonomi pemerintah dalam percepatan izin pembangunan perumahan, program sejuta rumah serta insentif pembangunan rumah sederhana masih perlu terus digencarkan untuk lebih mendorong kredit rumah tangga. Risiko gagal bayar KKB, KPR dan kredit multiguna masih terjaga dengan rasio NPL berkisar antara 0,68%-1,5%. Secara agregat NPL kredit pada sektor rumah tangga juga masih rendah sebesar 1,15% atau membaik dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 1,35%. Dengan masih rentannya perekonomian domestik saat ini, maka NPL masih tetap perlu dicermati terutama bagi perbankan agar dalam mendorong pertumbuhan penyaluran kredit tetap menerapkan prinsip kehati-hatian. Secara spasial, kredit rumah tangga mayoritas disalurkan di Kota Kupang, dengan pertumbuhan terbesar di Kab. Sabu Raijua, Kab. Nagekeo dan Kab. Manggarai Barat. Kredit yang disalurkan di Kota Kupang sebesar Rp 2,44 triliun atau 28,27% dari total Provinsi NTT dengan pertumbuhan 11,46% (yoy) pada triwulan IV 2016. Pertumbuhan kredit di Kab. Sabu Raijua meningkat signifikan sebesar 93,87% (yoy), sementara Kab.
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
88
Nagekeo sebesar 46,24% (yoy) dan Kab. Manggarai Barat sebesar 24,02% (yoy). Hal ini mengindikasikan peningkatan akses kredit pada tiga wilayah tersebut. Tabel 4.1 Komposisi Kredit Rumah Tangga di Provinsi NTT
Sumber: Bank Indonesia, diolah
4.3 Perkembangan Akses Keuangan Dan UMKM 4.3.1 Kondisi Saat Ini dan Prospek Usaha Kredit yang disalurkan untuk UMKM di Provinsi NTT terus meningkat meskipun tumbuh melambat, dengan kualitas yang terjaga cukup baik. Pada triwulan IV 2016 kredit UMKM mencapai Rp 7,36 triliun. Hal ini didukung oleh dunia usaha yang menilai kondisi ekonomi saat ini masih cukup kondusif, ditunjukkan dengan masih meningkatnya kegiatan usaha yang didorong oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan SBT sebesar 6,18% dan sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 4,89%.
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
89
Grafik 4.11. Perkembangan Dunia Usaha
Sumber: Bank Indonesia, 2016
Grafik 4.12. Kondisi Keuangan
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Kondisi usaha yang kondusif pada triwulan laporan juga didukung kondisi keuangan yang masih terjaga cukup baik. SBT kondisi keuangan meskipun sedikit menurun menjadi 39,28% pada triwulan laporan dari sebelumnya sebesar 43,06%, namun risiko keterlambatan pemenuhan kewajiban dunia usaha terutama kepada perbankan relatif kecil karena NPL tetap terjaga di bawah 5% bahkan membaik menjadi 2,97% dari sebelumnya 3,27%.
4.3.2 Perkembangan Penyaluran Kredit UMKM Kredit UMKM kembali melambat meskipun masih tumbuh 2 digit dibandingkan triwulan III 2016 yakni menjadi sebesar 16,71% (yoy) dari sebelumnya 18,21% (yoy). Pertumbuhan tersebut juga lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2015 yang tercatat sebesar 18,24% (yoy). Perlambatan kredit UMKM diikuti perbaikan rasio NPL triwulan berjalan yang berada di angka 2,97% dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 3,27%. Hal ini menunjukkan perbankan cukup berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya. Tercatat penyaluran kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada triwulan laporan sebesar Rp 7,36 triliun atau mencapai 32,13% dari total penyaluran kredit perbankan di NTT. Pertumbuhan kredit UMKM yang tetap berada di kisaran 2 digit mengindikasikan pergerakan sektor riil yang terus konsisten di Provinsi NTT dengan dukungan dari perbankan yang juga tetap menjaga prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dananya.
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
90
Grafik 4.13. Pertumbuhan Kredit UMKM
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Grafik 4.14. NPL UMKM
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Perlambatan kredit terutama disumbang oleh perlambatan Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI). KMK mencatatkan pertumbuhan sebesar 17,73%, melambat dibandingkan triwulan III 2016 yang sebesar 17,89%. Sementara KI mencatatkan pertumbuhan sebesar 12,02%, melambat dibandingkan triwulan III 2016 yang sebesar 19,77%. Selain itu berdasarkan jenis usaha, kredit menengah mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya dan periode yang sama di tahun sebelumnya. Pertumbuhan kredit ditopang oleh kenaikan pertumbuhan kredit usaha mikro dan kecil yang tumbuh masing-masing sebesar 27,57% (yoy) dan 16,74% (yoy), lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 14,55% (yoy) dan 6,86% (yoy). Grafik 4.15. Pertumbuhan Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Berdasarkan sektor ekonomi, perlambatan pertumbuhan kredit UMKM terjadi terutama di sektor perdagangan besar dan eceran (pangsa 70,65%) dari total kredit UMKM) yang melambat di triwulan laporan menjadi 16,62% (yoy) dari triwulan sebelumnya 20,08% (yoy). Beberapa sektor yang meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya antara lain sektor pertanian dan penyediaan akomodasi. Adapun sektor lain yang mengalami perlambatan antara lain sektor konstruksi, transportasi dan real estate. | Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
91
Grafik 4.16. Pertumbuhan Kredit UMKM 7 Sektor Ekonomi
Sumber: Bank Indonesia, diolah
4.3.3 Perkembangan Risiko Kredit UMKM Pada triwulan laporan, rasio NPL gross sedikit membaik menjadi 2,97% dari 3,27% pada triwulan sebelumnya. Perbaikan rasio NPL disebabkan menurunnya kredit bermasalah pada kredit mikro dan kecil menjadi masing-masing 1,39% dan 2,01% dari triwulan sebelumnya sebesar 1,58% dan 2,64%, sementara NPL kredit menengah sedikit meningkat menjadi 5,61% dari 5,57% pada triwulan sebelumnya. Dibandingkan triwulan sebelumnya, sektor yang mengalami peningkatan NPL terbesar adalah sektor listrik, gas dan air bersih yang naik menjadi 31,38% dari sebelumnya 23,44%. Sementara sektor lain yang memiliki NPL tinggi yaitu sektor konstruksi (9,94%). Kredit bermasalah sektor listrik, gas dan air hampir seluruhnya disumbangkan oleh subsektor ketenagalistrikan lainnya yang mencatatkan rasio sebesar 46,43% di triwulan laporan, atau meningkat dari triwulan sebelumnya 31,18%. Sementara dari sektor konstruksi, kredit bermasalah disumbang terutama oleh subsektor bangunan jalan raya (pangsa 25,37% terhadap total kredit konstruksi) dengan rasio NPL sebesar 15,55%, atau meningkat dari triwulan sebelumnya sebesar 12,05%.
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
92
Grafik 4.17. NPL UMKM Berdasarkan Jenis Usaha
Grafik 4.18. NPL UMKM 3 Sektor
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Secara umum risiko kredit UMKM masih cukup terjaga. Meskipun demikian perbankan perlu lebih cermat dan selektif dalam menyalurkan kredit terutama pada sektor-sektor penyumbang rasio NPL di atas 5%.
4.4 Asesmen Ketahanan Korporasi 4.4.1 Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi Badan usaha/korporasi secara umum berfungsi sebagai penerima dana, yang selanjutnya menggunakan dana pinjaman dari institusi keuangan atau pemilik modal untuk kegiatan produksi. Semakin besar aktivitas badan usaha dalam aktivitas ekonomi suatu daerah, maka perlu dilakukan pemantauan kondisi ketahanan badan usaha di daerah tersebut dalam rangka menjaga stabilitas keuangan daerah. Kategori badan usaha dengan porsi kredit terbesar di Provinsi NTT yaitu perdagangan, konstruksi dan penyediaan akomodasi. Kredit korporasi menyumbang sebesar 6,49% dari total penyaluran kredit di Provinsi NTT. Kredit korporasi pada triwulan laporan tumbuh sebesar 0,08% dari triwulan III 2016 sebesar -3,24%. Pertumbuhan kredit korporasi disumbangkan oleh kredit modal kerja yang tumbuh sebesar 13,30% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 6,93% (yoy). Meskipun demikian, pertumbuhan penyaluran kredit modal kerja disertai dengan peningkatan risiko kredit, ditunjukkan dengan rasio NPL yang meningkat di triwulan berjalan menjadi 10,47% dari triwulan sebelumnya 5,48% sehingga rasio NPL kredit korporasi juga turut meningkat menjadi 8,04% dari triwulan sebelumnya 4,28%. Hal ini perlu menjadi perhatian perbankan agar lebih mencermati profil debitur dan model bisnis debitur selain mengejar pencapaian pertumbuhan kredit kepada korporasi.
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
93
Grafik 4.19. Pertumbuhan Tahunan Kredit Korporasi
Grafik 4.20. NPL Kredit Sektor Korporasi
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Kredit perbankan kepada sektor korporasi pada triwulan laporan secara umum meningkat pada hampir seluruh sektor. Peningkatan disumbangkan terutama oleh sektor-sektor antara lain konstruksi sebesar 78,92% (yoy) dan perdagangan sebesar 10,06% (yoy) dengan pangsa kredit masih didominasi oleh sektor perdagangan sebesar 46,40%, diikuti konstruksi 16,89% dan sektor penyediaan akomodasi 13,32%. Peningkatan
oleh
sektor-sektor
tersebut
terutama
berkaitan
dengan
realisasi
pembangunan pada akhir tahun oleh kontraktor serta libur panjang Natal dan tahun baru yang mendorong kegiatan konsumsi masyarakat. Grafik 4.21. NPL Kredit 4 Sektor Korporasi
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Potensi risiko gagal bayar sektor korporasi yang perlu dicermati antara lain di sektor konstruksi, perdagangan, pertambangan dan real estate. Di sektor konstruksi, NPL terbesar disumbang oleh subsektor konstruksi bangunan elektrikal dan komunikasi lainnya yang menyumbang 62,19% dari keseluruhan posisi NPL. Di samping itu, sektor perdagangan disumbang terutama oleh subsektor perdagangan dalam negeri semen sebesar 70,06% dari total posisi NPL. Sementara tingginya NPL di sektor pertambangan terkonsentrasi sepenuhnya di Kabupaten Kupang kemungkinan terkait aktivitas pertambangan galian C yang sampai saat ini masih bermasalah terkait izin dari | Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
94
pemerintah setempat dan masyarakat. NPL di sektor real estate, usaha persewaan dan jasa perusahaan sebesar 10,23% didominasi oleh perusahaan swasta di subsektor jasa perusahaan.
4.5 Asesmen Perbankan 4.5.1 Kinerja Bank Umum Tabel 4.2 Perkembangan Indikator Utama Bank Umum di NTT
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Total aset industri perbankan di Provinsi NTT pada akhir triwulan laporan tercatat sebesar Rp 29,76 triliun (pangsa 0,36% terhadap nasional), mengalami peningkatan pertumbuhan dibandingkan triwulan III 2016 yaitu dari -7,40% (yoy) menjadi 4,04% (yoy). Peningkatan aset dialami baik oleh bank pemerintah maupun bank swasta yang masing-masing meningkat sebesar 3,80% (yoy) dan 5,66% (yoy). Grafik 4.22. Pertumbuhan DPK (yoy) dan Kredit (yoy)
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Grafik 4.23. Perkembangan LDR
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Kredit perbankan tumbuh melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, sementara penghimpunan dana dari masyarakat masih menurun sehingga rasio LDR di triwulan laporan kembali meningkat menjadi 106,39% dari triwulan sebelumnya 99,90%. Pertumbuhan kredit melambat menjadi 12,59% (yoy) dari triwulan
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
95
sebelumnya 13,37% (yoy). Pertumbuhan DPK pada triwulan laporan tercatat kontraksi sebesar -0,06% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 0,29% (yoy). Berdasarkan jenis simpanan, hanya tabungan yang masih mampu untuk tumbuh meskipun melambat menjadi 7,43% dari triwulan IV 2015 sebesar 15,79%. Sementara giro dan deposito seluruhnya turun signifikan masing-masing menjadi -14,85% dan 4,81% dibandingkan triwulan IV 2015 sebesar 20,31% dan 16,84%. Penurunan giro agregat terutama disebabkan turunnya giro pemerintah daerah sebesar -66,15% (yoy). Grafik 4.24. BOPO dan ROA Bank Umum
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Dari sisi kredit, tercatat kredit investasi dan konsumsi mengalami perlambatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, sementara kredit modal kerja mampu tumbuh tipis. Perlambatan kredit secara agregat pada triwulan laporan menyebabkan efisiensi bank umum secara industri mengalami cukup tekanan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni BOPO meningkat dari 66,56% menjadi 68,95% karena peningkatan beban operasional (12,04% yoy) lebih besar dibandingan peningkatan pendapatan operasional (8,15% yoy). Hal tersebut menurunkan rentabilitas perbankan yang tercermin dari rasio ROA yang menurun menjadi 4,17% dari triwulan IV 2015 sebesar 4,31%.
4.5.2 Kinerja Bank Perkreditan Rakyat Pada triwulan IV 2016, BPR di Provinsi NTT mengalami peningkatan kinerja. Permodalan menguat ditunjukkan dengan rasio Capital Adequacy Ratio (CAR) yang meningkat menjadi 29,92% dari triwulan sebelumnya 29,47%, sementara operasional sedikit lebih efisien ditunjukkan dengan rasio BOPO yang turun menjadi 81,18% dari sebelumnya 82,00%. Kemampuan BPR menghasilkan laba relatif stabil dan sedikit meningkat pada triwulan laporan menjadi 2,60% dari triwulan sebelumnya 2,59%. Hal tersebut juga didukung dengan rasio NPL yang membaik menjadi 5,82% dari sebelumnya | Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
96
6,56%. Namun demikian, tren rasio NPL yang relatif konsisten di angka 5% dengan kecenderungan meningkat patut menjadi perhatian oleh BPR terutama dalam rencana penyaluran kreditnya. Selain itu, penurunan LDR menunjukkan intermediasi BPR menurun disebabkan penyaluran kredit yang melambat sementara penghimpunan dana relatif stabil di triwulan IV 2016. Penghimpunan dana BPR yang relatif stabil di triwulan laporan didukung dengan peningkatan kemampuan BPR membayar kembali simpanan nasabah, ditunjukkan Cash Ratio (CR) yang naik menjadi 18,86% dari triwulan sebelumnya 15,90%. Grafik 4.25. LDR dan CAR BPR
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Grafik 4.26. BOPO, ROA, NPL BPR
Sumber: Bank Indonesia, diolah
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
97
Boks
7.
Penyusunan
Regional
Financial
Accounts Provinsi Nusa Tenggara Timur Kegiatan perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Timur saat ini telah berkembang sangat pesat dan kompleks. Kompleksitas sistem perekonomian dan keuangan menuntut pemahaman yang cukup atas interaksi dan keterkaitan di antara unit/ sektor dalam perekonomian yang memiliki beragam fungsi, motivasi, jenis aktivitas, serta karakteristik dan perilaku. Di sisi lain, indikator makro ekonomi utama untuk mengetahui kegiatan perekonomian yang ada saat ini hanyalah PDRB yang lebih menitikberatkan pada aktivitas menghasilkan pendapatan atau pengeluaran yang dilakukan oleh suatu wilayah dalam satu tahun, tetapi tidak menyentuh bagaimana proses pemenuhan aktivitas tersebut. Indikator yang menerangkan tentang bagaimana harta dan kepemilikan modal digunakan untuk memenuhi aktivitas ekonomi tersebut hingga saat ini belum ada. Bahkan indikator yang menerangkan tentang bagaimana menempatkan penambahan/pengurangan aset, modal ataupun peningkatan pinjaman karena pengeluaran yang lebih besar dari pendapatan juga belum ada hingga sekarang, sehingga Bank Indonesia berinisiatif untuk membuat suatu indikator yang bisa digunakan untuk menerangkan posisi aset suatu perekonomian, aktivitas ekonomi yang dilakukan, sumber pembiayaan, hingga proses netting/ penyesuaian nilai aset, modal dan hutang yang dimiliki oleh suatu perekonomian. Dengan adanya indikator yang mampu mengukur perpindahan uang tersebut, maka adanya potensi kerentanan sektor riil dan keuangan, hingga potensi kerentanan yang menimbulkan efek menular terhadap entitas ekonomi yang lain dapat diketahui. Adapun indikator tersebut antara lain adalah penyusunan statistic National dan Regional Financial accounts and Balance Sheet (FABS). Melalui statistik FABS diharapkan dapat diketahui keterkaitan, ketidak-seimbangan keuangan dan potensi terjadinya krisis maupun jalur efek menular yang menimbulkan risiko sistemik sehingga tindakan dan kebijakan yang lebih bersifat preventif dapat segera dilakukan. Penyusunan FABS, khususnya National FABS, mengacu pada Standar Internasional yakni System of National Account (SNA) 2008 yang berisi tentang pedoman pencatatan aktivitas ekonomi bedasarkan prinsip ekonomi dan akuntansi. Dalam pedoman tersebut, aktivitas ekonomi dan keuangan suatu negara/ daerah yang terintegrasi digambarkan melalui akun ekonomi yang terintegrasi /Integrated Economic Account. Dalam buku Konsep dan Metodologi Penyusunan Financial account and Balance Sheet oleh Departemen Statistik Bank Indonesia (terbit tahun 2015), dijelaskan bahwa akun ekonomi yang terintegrasi (Integrated Economic Account) menyajikan data posisi dan arus (flows) uang yang menggambarkan keterkaitan antar unit institusi dalam perekonomian baik domestik maupun internasional, antar sektor finansial dan non finansial guna mengetahui konsistensi kegiatan antar berbagai sektor. Lebih lanjut, akun ekonomi yang terintegrasi tersebut dapat menjadi alat dalam menganalisis hubungan antara sektor riil (aktivitas produksi, konsumsi, dan investasi) dan sektor finansial (arus dana dan pembiayaan antar institusi.
Boks 7 | Penyusunan RFA Provinsi NTT
98
Gambar Boks 7.1. Kerangka Integrated Economic Accounts
Sumber: Paparan Departemen Statistik, Overview of Integrated Economic Accounts Cakupan akun ekonomi yang terintegrasi /Integrated Economic Account: - Current Account: neraca berjalan yang mencatat produksi barang dan jasa, pendapatan yang tercipta dari aktivitas produksi, distribusi dan redistribusi pendapatan di antara unit institusi, serta penggunaan pendapatan untuk tujuan konsumsi atau tabungan. Berada di dalamnya meliputi akun produksi berupa PDB dan akun distribusi dan penggunaan pendapatan. - Accumulation Account: mencatat perubahan aliran aset dan kewajiban yang memengaruhi posisi neraca yang terdiri atas akun modal (capital account), akun keuangan (financial account), perubahan aset lainnya (other changes in asset), dan akun penyesuaian nilai kekayaan (revaluation account). - Balance Sheet: posisi neraca non keuangan, neraca keuangan, dan hutang, serta selisih antara aset dan hutang/kewajiban.
Boks 7 | Penyusunan RFA Provinsi NTT
99
Gambar Boks 7.2. Konsep Penyusunan FABS
Sumber: Paparan Departemen Statistik, Financial accounts And Balance Sheet Secara terpisah, konsep akun keuangan regional/ Regional Financial account (RFA) mencatat transaksi aset dan kewajiban finansial antar sektor yang menunjukkan aliran keuangan antar sektor institusi. RFA disajikan dalam dua sisi yakni: perubahan aset dan kewajiban dan perubahan aset dan kewajiban bersih, dengan penyajian sebagai berikut: Tabel Boks 7.1. Regional Financial accounts PROVINSI NTT
Luar NTT
XXX
XXX
XXX
Rumah Tangga (HH) XXX
XXX
Luar Negeri (ROW) XXX
Monetary and gold SDRs
X
X
X
X
X
X
X
Currency and deposits
X
X
X
X
X
X
X
Debt Securities
X
X
X
X
X
X
X
Loans
X
X
X
X
X
X
X
Equity
X
X
X
X
X
X
X
Insurance and pension
X
X
X
X
X
X
X
Financial derivatives
X
X
X
X
X
X
X
Other accounts receivable
X
X
X
X
X
X
X
Instrumen Financial Asset
Financial Liabilities
Korporasi Nonfinansial (NFC) XXX
Bank (ODC)
IKNB (OFC)
Pemda (LG)
Total Domestik
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
Monetary and gold SDRs
X
X
X
X
X
X
X
Currency and deposits
X
X
X
X
X
X
X
Debt Securities
X
X
X
X
X
X
X
Loans
X
X
X
X
X
X
X
Equity
X
X
X
X
X
X
X
Insurance and pension
X
X
X
X
X
X
X
Financial derivatives
X
X
X
X
X
X
X
Other accounts Payable
X
X
X
X
X
X
X
Net Assets, atau Net Liabilities
Financial Aset > Financial Liabilities Financial Aset < Financial Liabilities
Untuk mengetahui aliran perpindahan aset dan kewajiban antar sektor ekonomi, maka dilakukan perhitungan dengan template sebagai berikut :
Boks 7 | Penyusunan RFA Provinsi NTT
100
Tabel Boks 7.2. Aliran Perpindahan Aset dan Kewajiban Antar Pelaku Ekonomi
Closing Position
Liabilities TOTAL
Assets
TOTAL
NTT
NFC ODC OFC LG HH ROI ROW
xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
NFC xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
ODC xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
OFC xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
LG xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
HH xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
ROI xxx xxx xxx xxx xxx xxx -
ROW xxx xxx xxx xxx xxx xxx -
Berdasarkan hasil penyusunan RFA Provinsi NTT untuk tahun 2015, diperoleh gambaran sebagai berikut: -
-
-
-
-
Secara agregat di akhir tahun 2015, provinsi NTT mengalami net hutang (net liabilities) sebesar Rp.2,19 triliun atau sedikit meningkat dibandingkan tahun 2014 yang tercatat sebesar Rp.2,18 triliun. Adapun pembiayaan berasal dari domestik sebesar 53,47% dan dari luar negeri sebesar 46,53%. Sumbangan peningkatan hutang terbesar diperoleh dari sektor korporasi non finansial disusul oleh sektor perbankan, dan sektor rumah tangga. Kenaikan pinjaman yang terjadi di sektor korporasi disebabkan antara lain karena peningkatan modal dan hutang. Peningkatan pinjaman bersih terjadi seiring meningkatnya pinjaman keuangan berupa peningkatan mata uang dan simpanan atau Dana Pihak Ketiga (DPK) sedangkan di sektor rumah tangga disebabkan oleh peningkatan kredit kepada perbankan. Sementara itu, di sektor Industri Keuangan Non Bank (IKNB) terpantau mengalami peningkatan aset bersih disebabkan oleh penurunan hutang dan peningkatan jumlah kas/setara kas. Demikian pula halnya dengan sektor Pemerintah Daerah yang mengalami net assets karena peningkatan jumlah antara lain kas/setara kas. Dari hasil analisis RFA, diketahui bahwa sektor yang memiliki keterkaitan paling besar dari segi nilai adalah Rumah Tangga dan Perbankan karena perbankan memberikan kredit kepada rumah tangga, dan sebaliknya rumah tangga menyimpan dana di perbankan.
Data RFABS tersebut masih dalam tahap penyempurnaan karena ke depan melalui data tersebut dapat diperoleh informasi yang lebih baik mengenai kondisi perekonomian dan sistem keuangan. Selain itu, dengan adanya RFABS dapat menggambarkan aktivitas perekonomian secara terintegrasi melalui identifikasi keterkaitan antara sektor riil dan sektor keuangan. Lebih lanjut, RFABS dapat menggambarkan sinyal risiko di sektor keuangan sebagai bahan penyusunan analisis dan kebijakan ekonomi di level regional.
Boks 7 | Penyusunan RFA Provinsi NTT
101
Aktivitas sistem pembayaran di Provinsi NTT pada triwulan IV 2016 mengalami perlambatan. Sistem pembayaran tunai pada triwulan IV 2016 relatif baik karena ditopang oleh daya beli/konsumsi masyarakat NTT yang tinggi pada hari raya natal dan tahun baru.
5.1. KONDISI UMUM Selama tahun 2016, transaksi sistem pembayaran tunai di NTT mengalami perlambatan. Jumlah uang yang beredar di masyarakat atau net-outflow pada tahun 2016 sebesar Rp.1.407,97 miliar, menurun jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang mencapai Rp.1.896,83 miliar. Sementara itu, transaksi sistem pembayaran tunai di triwulan IV 2016 juga masih relatif stabil. Hal ini didorong oleh aliran net-outflow pada triwulan IV 2016 yang mencapai Rp.1.566,87 miliar, lebih tinggi dibandingkan triwulan III 2016 yang hanya sebesar Rp.394,56 miliar. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi NTT pada komponen konsumsi rumah tangga yang berkaitan dengan momen hari raya natal dan tahun baru 2017. Grafik 5.1 Perkembangan Inflow/Outflow di Povinsi NTT 3.000
160%
2.500 2.000
80%
1.500 1.000
0%
500 0
-80%
Inflow (Rp. Miliar)
Outflow (Rp. Miliar)
yoy inflow
yoy outflow
Jumlah Uang Tidak Layak Edar (UTLE) di NTT juga tercatat melambat, tercermin dari pertumbuhan UTLE triwulan IV 2016 yang sebesar 14,11% (yoy) dari 60,79% pada triwulan III 2016. Secara nominal jumlah setoran UTLE pada triwulan IV 2016 sebesar Rp.309,61 miliar, sedangkan triwulan sebelumnya sebesar Rp.459,04 miliar. Temuan
| Bab V
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
103
uang palsu di NTT juga mengalami penurunan yang cukup signifikan, sebesar -50,94% (yoy), dengan total jumlah uang palsu sebesar 26 lembar. Seiring dengan perlambatan investasi pemerintah, transaksi non tunai yaitu kliring di NTT juga mengalami perlambatan. Transaksi kliring pada triwulan IV 2016 baik secara nominal maupun volume warkat tumbuh melambat. Dalam upaya menjaga kelancaran transaksi pembayaran non tunai, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT mendorong Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) melalui Layanan Keuangan Digital (LKD) dan elektronifikasi serta melakukan monitoring pada bank Koordinator Pertukaran Warkat Debit (KPWD). Grafik 5.2 Perkembangan Transaksi Tunai
Grafik 5.3 Perkembangan Transaksi Kliring
2.000,00
700% 600%
1.000,00
500%
Inflow
1.500,00
500,00
400%
400,00%
Volume Kliring
Nominal Kliring
Nominal Cek/BG Kosong
Volume Cek/BG Kosong
Y-o-Y
80,00%
60,00%
300,00%
40,00%
200,00%
20,00%
100,00%
0,00%
300%
0,00
200%
Outflow
-500,00 -1.000,00 -1.500,00
100% 0% -100%
-2.000,00
0,00%
-20,00%
-100,00%
-40,00%
-200%
-2.500,00
-300% Net In/Out (Rp. Miliar)
5.2.
500,00%
qtq
yoy
Transaksi Pembayaran Tunai
5.2.1. Aliran Uang Masuk ( inflow ) dan Aliran Uang Keluar ( Outflow) Aktivitas peredaran uang pada triwulan IV mengalami kenaikan yang cukup signifikan dibanding triwulan III 2016, namun cenderung melambat bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Adanya peningkatan konsumsi rumah tangga jelang hari raya Natal dan tahun baru serta pembayaran realisasi proyekproyek pemerintah dan swasta telah meningkatkan aliran uang keluar bersih ( net
outflow ) Bank Indonesia. Namun demikian, apabila dibandingkan triwulan IV 2015, jumlah uang keluar bersih cenderung mengalami perlambatan yang terlihat dari penurunan nilai net outflow dari Rp.2,1 triliun di triwulan IV 2015 menjadi Rp.1,6 triliun pada triwulan IV 2016, atau menurun sebesar 24,12%. Penurunan aktivitas peredaran uang rupiah ini diduga disebabkan oleh adanya perlambatan ekonomi, seiring dengan adanya beberapa investasi yang sudah terealisasi sebelumnya yang terlihat dari tingginya kegiatan pertukaran uang antar bank TUKAB pada triwulan I dan | Bab V
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
104
III 2016. Sementara di triwulan IV 2016, kegiatan pertukaran uang antar bank (TUKAB) menunjukkan adanya penurunan sebesar -6,01% (yoy). Namun demikian secara tahunan, pertukaran uang antar bank masih bertumbuh sebesar 9,70% (yoy). Grafik 5.4 Share Setoran Bank 2016
- Buka n bank 0,04%
- Ba nk s wasta 32,02%
- Ba nk pemerintah 67,94%
Grafik 5.5 Share Bayaran Bank 2016
- Buka n bank 0,23%
- Ba nk s wasta 0,50% - Ba nk pemerintah 99,27%
Berdasarkan jenis bank, kegiatan setoran (inflow) ke Bank Indonesia masih dominan dilakukan oleh bank pemerintah, namun terdapat 32,02% bank swasta yang juga melakukan kegiatan setoran. Hal ini berbeda dibanding kegiatan bayaran yang 99,27% (outflow) didominasi oleh bank pemerintah. Hal ini menunjukkan pola perputaran dan penyimpanan uang yang sebagian besar pembayaran transaksi proyek atau belanja dilakukan melalui bank pemerintah, untuk kemudian kembali ditabung di bank swasta. 5.2.2. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) Setoran UTLE selama tahun 2016 tercatat sebesar Rp.1.776,78 miliar atau tumbuh 69,70% (yoy) lebih tinggi dari tahun 2015 yang sebesar Rp.1.047,04 miliar. Sementara itu, pada triwulan IV 2016 setoran UTLE mencapai Rp.309,61 miliar atau mengalami perlambatan sebesar 52,88% (yoy) lebih rendah dibanding triwulan III 2016 yang tumbuh 86,79% (yoy). Uang Tidak Layak Edar (UTLE) yang telah dimusnahkan di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT pada triwulan IV 2016 tercatat sebesar Rp.304,75 miliar, atau tumbuh 20,55% (yoy) lebih rendah dari triwulan III 2016 yang sebesar Rp.456,75 miliar. Sedangkan total pemusnahan UTLE selama tahun 2016 mencapai Rp.1.788,92 miliar dari Rp.1.066,73 miliar atau tumbuh 67,70% (yoy) lebih tinggi dari tahun 2015.
| Bab V
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
105
Grafik 5.6 Perkembangan Inflow, Outflow dan UTLE
Grafik 5.7 Perkembangan UTLE di Provinsi NTT
3.000
3.000
1600% 1400%
2.500
2.500 1200%
2.000 2.000
1.500
1000% 800%
1.000
1.500
500
1.000
600%
400%
0
200% 500
-500
0% 0
-1.000
-200%
-1.500 -2.000
Inflow (Rp. Miliar)
UTLE
Outflow (Rp. Miliar)
Inflow (Rp. Miliar)
NetOutFlow
Outflow (Rp. Miliar)
UTLE
QtQ UTLE
YoY UTLE
Dalam upaya Bank Indonesia untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya penggunaan uang rupiah yang baik dan benar serta pengenalan terhadap keaslian uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT selalu memberikan sosialisasi pada saat kegiatan penukaran uang/kas keliling di berbagai tempat. Tabel 5.1.Perkembangan Kegiatan KPw BI Provinsi NTT
Periode Kota/Kab Indikator *) Kas Keliling Kas Titipan Total
Triwulan III 2016 Sumba
Timor 1 3 4
17 5 22
Flores 6 4 10
Triwulan IV 2016 Jumlah 24 12 36
Sumba
Timor 1 4 5
Flores 4 4 8
Jumlah 3 6 9
8 14 22
*) Frekuens i Sumber : KPw BI Provi ns i NTT di ol a h
Selain itu, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT juga bekerjasama dengan perbankan di daerah untuk membuka Kas Titipan Bank Indonesia demi kelancaran distribusi uang rupiah layak edar hingga pelosok-pelosok di daerah NTT. Hingga saat ini Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT telah mempunyai 6 kantor kas titipan yang tersebar di beberapa daerah, diantaranya Kabupaten Sikka, Sumba Timur, Belu (Atambua), Ende, Manggarai dan Lembata. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka kas titipan diantaranya melakukan dropping Uang Layak Edar (ULE) dan menarik Uang Tidak Layak Edar (UTLE) dari wilayah kas titipan. Selama tahun 2016, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT telah melaksanakan 48 kali kegiatan dropping dan penarikan UTLE di kas titipan. Walaupun telah mempunyai beberapa kas titipan didaerah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT juga tetap melakukan kegiatan Kas Keliling untuk penukaran uang di daerah-daerah. Kegiatan kas keliling
| Bab V
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
106
tersebut dilakukan di dalam kota Kupang maupun di daerah-daerah, dan selama tahun 2016 sudah sebanyak 83 kali kegiatan kas keliling dilakukan. 5.2.3. Perkembangan Uang Palsu (UPAL) Pada triwulan IV 2016, pertumbuhan uang palsu di Provinsi NTT terus mengalami penurunan, dari 38 lembar pada triwulan III 2016 menjadi 26 lembar. Dari sisi pertumbuhan, pada triwulan IV 2016 uang palsu mengalami penurunan signifikan sebesar 50,95% (yoy), atau lebih rendah dari triwulan III 2016 yang hanya sebesar 26,92% (yoy). Pecahan uang palsu yang ditemukan pada triwulan IV 2016 dominan seperti periode-periode sebelumnya yaitu uang kertas pecahan Rp.100.000,- dan Rp.50.000,-. Untuk mencegah beredarnya uang palsu, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT juga terus melakukan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah (CIKUR) kepada masyarakat, akademisi maupun aparat di Provinsi NTT. Grafik 5.8 Perkembangan UPAL di Povinsi NTT 950 850
UPAL
750 650
550 450 350
250 150
Tw1-12 Tw2-12 Tw3-12 Tw4-12 Tw1-13 Tw2-13 Tw3-13 Tw4-13 Tw1-14 Tw2-14 Tw3-14 Tw4-14 Tw1-15 Tw2-15 Tw3-15 Tw4-15 Tw1-16 Tw2-16 Tw3-16 Tw4-16
50 -50
Pada tahun 2016 Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT telah melakukan sosialisasi CIKUR sekitar 20 kali kegiatan, yang diadakan di Kota Kupang, Kabupaten Sumba Timur, Ngada, TTU, Sikka, Alor, Belu dan Kabupaten Manggarai Timur. 5.2.4. Penerbitan Uang NKRI Tahun Emisi 2016 Pada tanggal 19 Desember 2016, Bank Indonesia telah menerbitkan uang NKRI tahun emisi 2016. Penerbitan uang baru tersebut merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang No.7 tahun 2011 tentang mata uang yang mengatur ciri-ciri umum dan khusus yang dimuat dalam uang rupiah. Adapun ciri-ciri khusus yang ada dalam | Bab V
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
107
mata uang NKRI adalah adanya tanda tangan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan, dibanding mata uang lama yang hanya ditanda tangani oleh Gubernur Bank Indonesia, gambar utama adalah pahlawan yang telah meninggal, memuat gambar Indonesia. Beberapa ciri umum yang terdapat dalam mata uang kertas adalah adanya gambar pahlawan nasional, tari daerah, obyek wisata alam unggulan dan bunga khas nusantara. Adapun ciri umum mata uang logam adalah gambar pahlawan nasional, Terdapat 11 pecahan yang dikeluarkan, meliputi 7 uang kertas pecahan Rp 1.000, Rp 2.000, Rp 5.000, Rp 10.000, Rp 20.000, Rp 50.000 dan Rp 100.000, serta 4 uang logam pecahan Rp 100, Rp 200, Rp 500, dan Rp 1.000. Terkait dengan penerbitan uang baru tersebut, Provinsi NTT patut berbangga karena dapat menyumbang 2 ikon dalam penerbitan uang baru tersebut, yaitu Pahlawan Nasional Prof. Dr. Ir. Herman Johanes yang diabadikan dalam uang logam Rp 100,- dan Taman Nasional Komodo yang diabadikan dalam mata uang pecahan Rp 50.000,-. Dari sisi keamanan, tingkat keamanan uang baru juga mengalami penambahan dengan total fitur keamanan mencapai 9-12 unsur pengamanan antara lain cetak kasar, tanda air, benang pengaman, tulisan mikro, tinta berubah warna, gambar tersembunyi, gambar saling isi, pewarnaan yang cukup unik, intaglio, dll. Dengan diterbitkannya uang baru ini diharapkan tingkat keamanan uang akan semakin bagus, sehingga menekan pemalsuan uang. Desain yang lebih bagus diharapkan juga dapat meningkatkan kebanggaan masyarakat terhadap rupiah, yang pada akhirnya juga dapat meningkatkan kebanggan masyarakat terhadap Negara Indonesia. 5.3. Transaksi Pembayaran Non Tunai 5.3.1. Transaksi Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) Penggunaan transaksi kliring di NTT pada triwulan IV 2016 mengalami perlambatan. Nominal transaksi kliring tercatat sebesar Rp.3.382,88 miliar, atau tumbuh melambat 12,29% (yoy), jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan III 2016 yang mencapai 102,94% (yoy). Sementara itu, dari sisi volume pada triwulan ini sebanyak 86.316 warkat atau tumbuh 18,50% (yoy) lebih rendah dari pertumbuhan triwulan III 2016 yang mampu tumbuh 51,82% (yoy). Ini artinya bahwa fasilitas kliring di NTT pada triwulan IV 2016 penggunaannya masih stabil namun peningkatannya tidak setinggi pertumbuhan pada awal tahun 2016. Selain itu, sejak | Bab V
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
108
triwulan I 2015 hingga triwulan II 2016 batas maksimal transfer dana menggunakan SKNBI tidak dibatasi, namun mulai tanggal 1 Juli 2016 atau masuk triwulan III 2016 maksimal nominal transaksi menggunakan SKNBI adalah Rp.500 juta. Hal ini juga disinyalir menjadi penyebab perlambatan transaksi SKNBI di NTT. Pertumbuhan penyerahan Cek/BG kosong di NTT mengalami penurunan. Pada triwulan IV 2016, volume penyerahan Cek/BG kosong sebesar 300 warkat, atau menurun 2,28% (yoy). Kendati demikian, secara qtq mengalami peningkatan 22,95% atau dari 244 warkat menjadi 300 warkat. Dengan demikian masih perlu adanya sosialisasi dari perbankan kepada nasabahnya terkait transaksi dengan warkat Cek/BG untuk memperhatikan dana simpanannya. Grafik 5.9 5 Daerah Terbesar Tujuan SKNBI NTT
Grafik 5.10 5 Daerah Terbesar Asal SKNBI diNTT
1 DKI JAKARTA 98,24%
NTT *) 69,51%
2 NTT *) 0,65%
DKI JAKARTA 27,15%
3 JAWA TIMUR 0,61%
JAWA TIMUR 2,37%
4 JAWA BARAT 0,50%
BALI 0,67%
5 BALI 0,00%
5.4.
SULAWESI SELATAN 0,29%
Perkembangan Layanan Keuangan Digital
Jumlah agen Layanan Keuangan Digital (LKD) di Provinsi NTT pada triwulan IV 2016 mengalami peningkatan yang signifikan. Pada triwulan IV 2016, jumlah agen LKD berjumlah 3.170 agen atau tumbuh 185,33% (qtq), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan triwulan III 2016 yang hanya mencapai 10,11% (qtq). Selain itu, jumlah transaksi yang dilakukan selama triwulan IV 2016 mencapai Rp.440,78 juta. Beberapa kegiatan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT dalam usaha meningkatkan jumlah LKD didaerah diantaranya adalah : a. Melakukan sosialisasi penggunaan Uang Elektronik kepada Ikatan Wanita Perbankan NTT. b. Melakukan koordinasi dengan bank penyelenggara LKD terkait perkembangan transaksi agen LKD. c. Melakukan pemantauan data dan perkembangan proram LKD Bank. | Bab V
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
109
KESEJAHTERAAN & KETENAGAKERJAAN Persentase penduduk miskin di Provinsi NTT mengalami penurunan dari 22,19% (Maret 2016) menjadi 22,01% (September 2016). Sementara itu dari sisi ketenagakerjaan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada bulan Agustus menunjukkan penurunan dan ditandai peningkatan porsi tenaga kerja formal. 6. 1. Kondis i Umum Persentase penduduk miskin di Provinsi NTT menunjukkan perbaikan walaupun tidak terlalu signifikan. Presentase penduduk miskin di Provinsi NTT tercatat menurun menjadi 22,01% pada bulan September 2016 dibandingkan dengan Maret 2016 yang sebesar 22,19% dan September 2016 (22,58%). Menurunnya presentase penduduk miskin ini juga dibarengi dengan menurunnya angka indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2) yang menggambarkan makin mendekatnya pengeluaran rata-rata penduduk miskin dengan garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk yang makin rendah. Hal ini mengindikasikan adanya perbaikan kondisi sosial masyarakat NTT pada tahun 2016 dibandingkan dengan tahun 2015 dan potensi penurunan penduduk miskin di masa datang. Di sisi lain, permasalahan struktural seperti minimnya akses bahan bakar layak, akses sumber penerangan, akses air bersih dan sanitasi (IRGSC, 2016) serta pendidikan menjadi tantangan utama dalam upaya pengurangan jumlah penduduk miskin di Provinsi NTT. Dari sisi ketenagakerjaan, terjadi perbaikan kondisi tenaga kerja yang terlihat pada penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulan Agustus 2016. TPT NTT tercatat sebesar 3,25% dibandingkan bulan Februari yang 3,59%. Perbaikan juga terlihat dari peningkatan porsi tenaga kerja formal yang menunjukkan adanya perbaikan kualitas SDM di NTT. Hal serupa juga terindikasi pada indikator Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia triwulan IV-2016 yang menunjukkan perkembangan positif. 6. 2. K ondi s i K e se j a ht e r aa n 6. 2. 1 P e r k e m ba n ga n T i ngk at K e m i sk i na n Secara nasional, persentase penduduk miskin Provinsi NTT masih lebih tinggi dibandingkan nasional. Persentase penduduk miskin NTT pada bulan
111 | Bab VI
Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan
111
September 2016 mencapai 22,01% atau diatas nasional yang sebesar 10,70% dengan jumlah 27,76 juta orang. Apabila dilihat dari segi konsentrasi penduduk miskin terbanyak masih berada di pedesaan dengan jumlah sebesar 17,28 juta jiwa dibandingkan perkotaan yang 10,49 juta jiwa. Di sisi lain, secara historis terjadi perkembangan positif dimana persentase penduduk miskin pada tingkat nasional dan NTT cenderung berada pada trend menurun sejak tahun 2015. Dari sisi peringkat nasional sendiri, persentase penduduk miskin NTT (22,01%) berada pada peringkat ke-32 dari 34 Provinsi di Indonesia atau berada di atas Provinsi Papua Barat (24,88%) dan Provinsi Papua (28,4%). a
Grafik D6.1 Perbandingan Prosentase Kemiskinan Provinsi NTT dan Nasional
Grafik 6.2 Sepuluh Provinsi dengan Jumlah Prosentase Penduduk Miskin Tertinggi
r i s i Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
s
Dari komposisi jumlah penduduk miskin, mayoritas penduduk miskin di NTT pada bulan September 2016 masih berada di daerah pedesaan sebanyak 1,04 juta jiwa sementara penduduk miskin di perkotaan mencapai 112,5 ribu jiwa. Hal yang cukup menarik adalah persentase penduduk miskin di perkotaan yang menunjukkan adanya peningkatan dari 9,41% (September 2015) menjadi 10,17% (September 2016) dan berbanding terbalik dengan persentase penduduk miskin di pedesaan yang mengalami penurunan. Hal ini dapat mengindikasikan adanya migrasi penduduk dari daerah
pedesaan
ke perkotaan
untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak supaya dapat lepas dari kemiskinan, namun adanya keterbatasan keterampilan yang dimiliki justru menyulitkan untuk mendapatkan pekerjaan yang memadai. Sementara itu, dari sisi ketimpangan pengeluaran, gini ratio di NTT pada tahun 2016 sebesar 0,34 cenderung berada pada level ketimpangan menengah dan lebih baik dibandingkan dengan nasional yang sebesar 0,40. Hal ini mengindikasikan bahwa pengeluaran masyarakat di NTT cenderung lebih merata apabila dibandingkan dengan nasional.
112 | Bab VI
Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan
112
Grafik 6.3. Presentase Penduduk Miskin di NTT
Grafik 6.4. Gini Ratio Nasional dan NTT
D i s i s
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
Dari sisi garis kemiskinan, terdapat peningkatan pada bulan September 2016 menjadi Rp 327.003,- apabila dibandingkan Maret 2016 yang sebesar Rp 322.947,-. Peningkatan terutama berasal dari komoditas bukan makanan yang mencapai 1,97% yaitu biaya pendidikan dan angkutan. Di sisi lain, komoditas makanan juga meningkat sebesar 1,07% yang terutama berasal dari komoditas rokok kretek filter, daging sapi, daging babi serta ikan segar (tongkol dan kembung). Untuk peringkat nasional, garis kemiskinan NTT berada di peringkat ke-7 terbawah setelah Provinsi Jawa Timur. Provinsi dengan garis kemiskinan terendah sendiri berada di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp 275.361,- yang mengindikasikan rendahnya tingkat harga di Provinsi tersebut. Sementara itu, garis kemiskinan tertinggi berada di Bangka Belitung sebesar Rp 564.391,-. Grafik 6.5. Perkembangan Garis Kemiskinan
Grafik 6.6. Sepuluh Peringkat Terendah Garis Kemiskinan
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
Dari sisi indikator indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2) tercatat adanya perbaikan pula untuk kondisi NTT. P1 tercatat sebesar 3,83 jauh menurun dibandingkan Maret 2016 yang sebesar 4,69 ataupun September 2015 yang sebesar 4,62. Sementara itu, angka P2 tercatat 0,96 atau menurun dibandingkan Maret 2016 (1,30) dan September 2015 (1,44). 113 | Bab VI
Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan
113
Penurunan P1 mengindikasikan bahwa terjadi perbaikan untuk pengeluaran ratarata penduduk miskin yang semakin mendekati garis kemiskinan, sementara penurunan P2 menunjukkan bahwa ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin semakin rendah. Hal ini menunjukkan adanya potensi yang cukup besar bagi banyaknya penduduk NTT untuk dapat keluar dari kategori miskin. Grafik 6.7. Indeks Kedalaman Kemiskinan
Grafik 6.8. Indeks Keparahan Kemiskinan
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
Kondisi kemiskinan di NTT sendiri berdasarkan penelitian Institute of
Resource Governance and Social Change (IRGSC) tahun 2016 didorong oleh kurangnya akses terhadap beberapa kebutuhan primer masyarakat, diantaranya bahan bakar layak, akses sumber penerangan, akses air bersih dan sanitasi. Dalam hal tersebut, IRGSC memberikan masukan untuk peningkatan akses masyarakat terhadap hal-hal tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (2016) yang menyebutkan bahwa untuk memutus rantai kemiskinan, maka keluarga miskin harus mampu menikmati apa yang disebut dengan pelayanan dasar yaitu pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi. Selain itu, disebutkan pula bahwa peningkatan kualitas SDM menjadi hal yang penting karena dapat mewujudkan masyarakat produktif, inovatif dan berdaya saing. Apabila dilihat dari Provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi, permasalahan SDM terjadi di Provinsi Papua, Papua Barat dan NTT sehingga program-program pengembangan SDM (aksesibilitas, kesehatan, pendidikan serta keterampilan) perlu dikedepankan dalam upaya mengurangi kemiskinan. Di sisi lain, untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat NTT dari sisi perekonomian dan daya beli, perlu adanya dukungan terhadap pengembangan investasi di daerah yang dapat membuka lapangan pekerjaan secara luas. Adanya program dana desa perlu untuk dioptimalkan melalui bimbingan dan pengawasan yang berkesinambungan sehingga dapat bermanfaat dan bernilai tambah 114 | Bab VI
Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan
114
ekonomi tinggi. Selain itu, rencana-rencana investasi swasta atau BUMN hendaknya dapat didukung. Dengan adanya peningkatan lapangan kerja di pedesaan, sisi positif yang didapat lainnya adalah berkurangnya migrasi masyarakat pedesaan ke perkotaan. Selain itu, dalam upaya mendukung kualitas SDM NTT, perlu adanya program-program pelatihan keterampilan dan wirausaha masyarakat. Dari sektor unggulan NTT, diharapkan adanya keseriusan dalam pengembangan sektor pariwisata. Karena sektor tersebut dapat mendorong lapangan kerja bagi semua lapisan masyarakat, baik dari sisi perdagangan, tour
guide, penyewaan kendaraan dan hal-hal lainnya. Hal ini terbukti pada Provinsi Bali yang menjadi Provinsi ke-2 terendah dari sisi jumlah penduduk miskin. 6 . 2 . 2 P e r k e m b a n g a n N i l a i Tu k a r P e ta n i ( N TP ) Berdasarkan kinerja triwulanan, tingkat kesejahteraan Pedesaan Provinsi NTT yang digambarkan oleh Nilai Tukar Petani (NTP) menunjukkan Perlambatan. NTP tercatat melambat dari 102,03 (triwulan III-2016) menjadi 101,31 (triwulan IV-2016). Namun dengan nilai masih diatas 100 maka secara umum masih terjadi pertumbuhan pendapatan bagi petani. Penurunan NTP sendiri terjadi karena adanya kenaikan indeks yang dibayar (IB) yang lebih tinggi dibandingkan indeks yang diterima (IT). Hal ini disebabkan adanya peningkatan biaya konsumsi rumah tangga yang harus dibayar petani, terutama untuk bahan makanan, sandang dan biaya perumahan. Dari sisi sektoral, peningkatan hanya terjadi pada tanaman padi-palawija yang disebabkan adanya panen ke-2 komoditas padi di akhir 2016. Sementara kondisi cuaca berpengaruh pada penurunan pendapatan sektor-sektor lain seperti holtikultura dan perikanan. Grafik 6.9. Perkembangan Nilai Tukar Petani
Grafik 6.10. Perkembangan Nilai Tukar Petani Per Sektor
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
115 | Bab VI
Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan
115
6. 2. 3 S ur v e i K on s um e n (S K ) da n I nde k s Te nde ns i Kons um e n ( I T K) Berdasarkan Survei Konsumen (SK)-Bank Indonesia dan Indeks Tendensi Konsumen (ITK)-Badan Pusat Statistik (BPS) masih menunjukkan indikasi positif. Angka indeks penghasilan saat ini dibandingkan 6 bulan lalu mengalami kenaikan dari 142 (TW-III 2016) menjadi 143.5 (TW IV) yang mengindikasikan adanya perbaikan pendapatan pada triwulan IV apabila dibandingkan triwulan II. Sementara itu, ITK meningkat dari 106,14 (TW-III) menjadi 109,62 (TW-IV) yang mengindikasikan adanya perbaikan daya beli masyarakat di triwulan IV. Adanya momen liburan sekolah, libur keagamaan dan disertai pendapatan dari sektor pertanian (panen ke-2) serta kegiatan proyek pemerintah ditengarai menjadi beberapa penyebab peningkatan. Grafik 6.11 Perkembangan Survei Konsumen-BI dan Indeks Tendensi Konsumen-BPS
Sumber : BPS, diolah
6. 3. K ondi s i K e t e na ga ke r j aa n 6 . 3 . 1 K o n d i s i K e t e n a g a ke r j aa n S e c a ra U m u m Berdasarkan data BPS, angka pengangguran pada bulan Agustus 2016 tercatat sebesar 76.580 orang menurun dibandingkan Februari 2016 yang sebesar 87.699 orang. Sementara itu tingkat pengangguran terbuka (TPT) tercatat mengalami penurunan menjadi 3,25% (Agustus 2016) dibandingkan Februari 2016 (3,59%) dan Agustus 2015 (3,83%). Perkembangan positif pada sektor tenaga kerja juga terjadi pada peningkatan jumlah pekerja formal mencapai 98 ribu orang pada Agustus 2016 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan kualitas tenaga kerja NTT sehingga terjadi pergeseran tenaga kerja ke sektor formal yang tentunya mengisyaratkan kompetensi SDM sebagai salah satu syarat perekrutan. Berdasarkan
data
BPS,
peningkatan
tertinggi
berasal
dari
sektor
jasa
kemasyarakatan yang mencapai 79.725 orang yang diperkirakan terjadi sebagai 116 | Bab VI
Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan
116
salah satu dampak positif adanya alokasi dana desa yang dapat membuka lapangan kerja bagi pendamping dana desa dan tenaga administrasi. Di sisi lain, adanya perbaikan kualitas tenaga kerja yang dapat bekerja di sektor formal juga dapat memberikan peningkatan pendapatan yang pada akhirnya mengurangi jumlah penduduk miskin di masyarakat karena standar pendapatan yang tetap dan berada di kisaran Upah Minimum. Sementara itu, masih banyaknya tenaga kerja informal yang bersifat pekerja tidak dibayar ditengarai berperan pula pada tingginya angka kemiskinan di NTT karena status pendapatan yang kurang jelas. Grafik 6.12. Perkembangan Tenaga Kerja di NTT
Sumber : BPS, diolah
Grafik 6.13. Perkembangan Status Pekerja
Sumber : BPS, diolah
6. 3. 2 K ondi s i T e na ga K e r j a S e k t or I ndus t r i M a nuf a k t ur Be s a r da n Se da ng Data sektor Industri Manufaktur Besar dan sedang (IBS) menunjukkan tingginya porsi penyerapan tenaga kerja untuk barang galian bukan logam (32,62%) pada triwulan IV-2016 yang diperkirakan turut disumbangkan oleh masih tingginya kebutuhan barang galian untuk kegiatan proyek-proyek pemerintah. Sementara itu untuk perkembangan produktivitas, industri makanan dan minuman mengalami peningkatan pada triwulan IV yang diperkirakan turut didorong oleh kebutuhan masyarakat dalam merayakan hari libur keagamaan dan libur sekolah. Grafik 6.14. Porsentase Penyerapan Tenaga Kerja Industri Manufaktur Besar dan Sedang
Sumber : BPS, diolah
Grafik 6.15. Perkembangan Produktivitas Industri Manufaktur Besar dan Sedang
Sumber : BPS, diolah
117 | Bab VI
Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan
117
6 . 3 . 3 H a s i l S u r v e i K e g i a ta n D u n i a U s a h a ( SK D U ) Dari Hasil SKDU Bank Indonesia, indeks tenaga kerja pada triwulan IV-2016 cenderung menunjukkan
angka positif sebesar 0,97,
sedikit meningkat
dibandingkan triwulan III-2016. Peningkatan terutama pada sektor keuangan, pengangkutan dan komunikasi serta listrik,gas dan air bersih yang diperkirakan turut didorong oleh adanya peningkatan kegiatan masyarakat di akhir tahun dan masih berjalannya kegiatan proyek pemerintah dan swasta. Grafik 6.16. Perkembangan Indeks Tenaga Kerja SKDU
Sumber : SKDU-BI, diolah
118 | Bab VI
Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan
118
PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH Berdasarkan perkembangan survei dan informasi anekdotal perekonomian terkini, pertumbuhan ekonomi NTT triwulan II-2017 diperkirakan berada pada rentang 5,15,5% (yoy), sementara itu pertumbuhan ekonomi NTT sepanjang tahun 2017 diperkirakan juga berada pada rentang yang sama sebesar 5,1-5,5% (yoy) atau sedikit meningkat dibandingkan pencapaian tahun 2016 yang sebesar 5,18% (yoy). Di sisi lain, pertumbuhan inflasi pada triwulan II-2017 diperkirakan berada pada rentang 4-4,4% (yoy) dan inflasi akhir tahun 2017 akan berada pada kisaran 4,8-5,2% (yoy) atau lebih tinggi dibanding 2016 yang 2,48% (yoy). Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2017 diperkirakan didorong oleh peningkatan pendapatan masyarakat dari sektor pertanian seiring panen Perdana padi musim 2017 serta pencairan gaji ke-13 dan 14 PNS. Adanya libur keagamaan (Idul Fitri) dan libur sekolah pada bulan Juni diperkirakan turut mendorong belanja masyarakat. Sementara itu pertumbuhan ekonomi tahun 2017 diperkirakan masih didorong oleh sektor konstruksi, perdagangan besar dan eceran serta administrasi pemerintahan. Selain juga didukung pertumbuhan sektor pertanian sebagai sektor utama. Dari sisi perkembangan inflasi, pencapaian inflasi pada triwulan-II 2017 diperkirakan berada pada rentang 4-4,4% (yoy) yang disebabkan oleh adanya penyesuaian tarif pada komponen harga yang diatur pemerintah (listrik dan STNK) serta kondisi cuaca awal tahun. Sementara pencapaian inflasi sepanjang tahun 2017 diperkirakan berada pada rentang 4,8-5,2% (yoy) yang dipengaruhi oleh cukup rendahnya harga di tahun sebelumnya serta kenaikan harga komponen yang diatur pemerintah.
7.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT 7.1.1 Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan II
2017
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan II-2017 diperkirakan berada pada kisaran 5,1-5,5% (yoy) atau mengalami sedikit peningkatan dari kisaran pertumbuhan triwulan I yang berada pada rentang 5-5,4% (yoy). Secara umum kondisi pertumbuhan ekonomi triwulan II dipengaruhi oleh potensi peningkatan penghasilan masyarakat seiring tibanya panen komoditas padi, tambahan penghasilan gaji ke-13 dan ke-14 PNS serta adanya kegiatan bersifat internasinal seperti Tour De Flores. Di sisi lain, kegiatan investasi pemerintah juga diperkirakan tumbuh seiring rencana dimulainya pembangunan beberapa sarana publik, seperti dermaga, gedung pemerintahan, perbaikan jalan, tempat pembuangan akhir sampah serta kegiatan proyek multiyears (bendungan raknamo dan rotiklot). Selain itu terdapat pula rencana dimulainya pembangunan pabrik semen Kupang III oleh BUMN. | Bab VII
Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
119
Grafik 7.1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan II 2017 5.60%
11%
5.40%
9%
5.20%
7%
5.00%
5%
4.80%
3%
4.60%
1%
4.40% 4.20%
-1%
4.66%
5.13%
5.17%
5.15%
5.07%
5.35%
5.11%
5.19%
5-5.4%
5.1-5.5%
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I*
II*
2015
PDRB (yoy) Perdagangan Besar & Eceran (yoy)
-3%
2016
Pertanian, Kehutanan & Prkn (yoy) Konstruksi (yoy)
2017
Administrasi Pemerintahan (yoy) Jasa Pendidikan (yoy)
Sumber : BPS dan Bank Indonesia (diolah)
7.1.1.1 Pertumbuhan Sisi Penggunaan
Apabila dilihat dari sisi pengunaan, dorongan pertumbuhan terutama berasal dari konsumsi rumah tangga. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, dorongan konsumsi rumah tangga diperkirakn berasal dari peningkatan pendapatan masyarakat di sektor pertanian seiring dengan potensi panen perdana padi di akhir triwulan II 2017. Selain itu, adanya potensi realisasi gaji ke-13 dan ke-14 PNS secara bersamaan dapat mendorong konsumsi masyarakat dan konsumsi pemerintah seiring kenaikan realisasi belanja. Di sisi lain, adanya momen libur Idul Fitri dan libur sekolah juga diperkirakan mendorong rencana belanja masyarakat. Dorongan lainnya adalah rencana kegiatan Tour De Flores pada bulan Mei yang akan diikuti peserta dari 24 negara dan diperkirakan dapat menopang sisi konsumsi masyarakat terutama pada sub komponen konsumsi restoran dan hotel. Sementara itu, konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) diperkirakan masih tumbuh seiring potensi pilkada tahap ke-2 di Kabupaten Flores Timur. Indikasi pertumbuhan sendiri telihat dari Survei Konsumen Bank Indonesia Bulan Desember yang menunjukkan angka diatas 100 untuk Ekspektasi Penghasilan 6 bulan yang akan datang (yad), ketersediaan lapangan kerja 6 bulan yad dan Kondisi Ekonomi Indonesia 6 bulan yad yang menggambarkan optimisme masyarakat untuk triwulan II-2017.
| Bab VII
Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
120
Grafik 7.2. Survei Konsumen 160.0
140.0
120.0
100.0 I
II
III
IV
I
II
2014
III
IV
2015
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Ekspektasi penghasilan 6 bulan y.a.d. Ketersediaan Lapangan Kerja 6 bulan y.a.d
I
II
III
IV
2016 Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) Kondisi ekonomi Indonesia 6 bulan y.a.d.
Sumber :Bank Indonesia (diolah)
Kinerja Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)/ investasi diperkirakan masih tumbuh meskipun melambat pada triwulan II-2017. Pertumbuhan sektor investasi pada triwulan II diperkirakan didorong oleh mulai berjalannya kegiatan proyek pemerintah pada awal tahun. Beberapa kegiatan proyek diantaranya pembangunan bendungan, jalan, dermaga dan gedung pemerintahan. Selain itu, potensi investasi swasta terjadi pada rencana pembangunan pabrik semen kupang III. Namun demikian, terjadinya perlambatan pada triwulan II lebih disebabkan proyeksi pertumbuhan sektor investasi di triwulan I yang cukup tinggi seiring adanya proyek multiyears dan penambahan waktu kegiatan proyek pemerintah yang belum selesai pada tahun 2016 selama 50 hari di triwulan I-2017 serta potensi investasi non bangunan
seperti
penambahan mesin kelistrikan (optimalisasi kapal listrik dan rencana peresmian PLTU IPP Bolok pada bulan Maret) pada triwulan I-2017. Kinerja net impor antar daerah dan ekspor luar negeri NTT pada triwulan II juga diperkirakan akan meningkat. Dari sisi impor antar daerah, peningkatan terutama terjadi seiring meningkatnya pasokan bahan pangan dan komoditas lainnya dari daerah lain guna menambah stok milik pedagang. Selain itu, potensi peningkatan kegiatan proyek, seiring selesainya proses tender dan konsisi gelombang serta cuaca yang mendukung juga diperkirakan mendorong para kontraktor dan pengusaha untuk memasok barang-barang keperluan proyek dari daerah lain. Sementara itu, kondisi cuaca yang baik juga diperkirakan menopang produksi komoditas ikan tangkap untuk ekspor (tuna dan cakalang). 7.1.1.2 Pertumbuhan Sisi Sektoral Dari sisi sektoral, pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan-II 2017 diperkirakan masih mengalami sedikit peningkatan. Peningkatan ditunjang oleh adanya panen ke-2 komoditas padi, potensi peningkatan pengiriman ternak sapi ke Pulau Jawa seiring peningkatan permintaan memasuki masa Bulan Suci Ramadhan,
| Bab VII
Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
121
serta peningkatan produksi perikanan yang ditunjang membaiknya kondisi cuaca dan gelombang. Selain itu, dorongan produksi garam di Kab. Kupang dan Kab. Sabu Raijua serta panen komoditas kakao diprediksi menunjang peningkatan sektor pertanian. Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib diperkirakan juga mengalami peningkatan. Peningkatan diperkirakan terutama ditunjang oleh realisasi gaji ke-13 dan ke-14 Pegawai Negeri Sipil serta realisasi dana desa tahap pertama yang sudah mulai dapat dicairkan pada bulan Maret dan diperkirakan masih berlangsung hingga triwulan-II. Di sisi lain, peningkatan juga diperkirakan terjadi seiring percepatan kegiatan realisasi belanja paska selesainya penyesuaian reorganisasi di beberapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor diperkirakan masih mengalami pertumbuhan positif pada Triwulan II-2017. Pertumbuhan diprediksi turut ditopang oleh adanya momen libur keagamaan (Idul Fitri) dan libur sekolah serta peningkatan pendapatan sektor pertanian dan pegawai negeri sipil yang mendorong daya beli masyarakat pada triwulan II-2017. Sektor
konstruksi
diperkirakan
meningkat
pada
triwulan-II
2017.
Peningkatan turut ditunjang oleh proyek multiyears (bendungan dan jalan sabuk perbatasan) juga adanya proyek-proyek konstruksi yang ditargetkan dimulai pada triwulan II seperti dermaga, jalan, tempat pembuangan akhir sampah dan gedung pemerintahan. Selain itu, adanya kegiatan proyek swasta seperti pembangunan hotel dan sarana perbelanjaan menjadi faktor pendorong lainnya. 7.1.2 Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017
Pertumbuhan ekonomi NTT sepanjang tahun 2017 diperkirakan berada pada kisaran rentang 5,1-5,5% (yoy). Faktor pendorong utama pertumbuhan ekonomi tahun 2017 diperkirakan masih berasal dari konsumsi rumah tangga dan investasi. Pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga turut didorong oleh kenaikan pendapatan sektor pertanian yang ditopang perbaikan sarana irigasi yang dilakukan sepanjang tahun 2016, peningkatan Upah Minimum Provinsi, peningkatan aktivitas proyek yang dapat membuka lapanan kerja dan pendapatan Pegawai Negeri Sipil. Sementara itu pertumbuhan sisi investasi masih ditopang oleh proyek-proyek pemerintah, seperti penyelesaian bendungan raknamo (target akhir 2017), bendungan rotiklot, rencana groundbreaking Bendungan Nappunggete, pembangunan gedung | Bab VII
Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
122
pemerintahan, perbaikan jalan, sarana pembuangan sampah, rumah sakit, jembatan, dermaga, pasar dan pos lintas batas negara. Sementara itu sektor BUMN dan swasta akan terus melakukan investasi dalam pembangunan Pembangkit Listrik (PLTU dan PLTG), hotel, pusat perbelanjaan, terminal penumpang untuk Pelabuhan, dermaga dan perumahan. Beberapa investasi cukup besar juga direncanakan dimulai pada tahun 2017, diantaranya pembangunan pabrik tebu PT. Muria Sumba Manis (MSM) di Sumba Timur, pusat perbelanjaan Trans Mart di Kota Kupang, pembangunan Hotel Ayana dan Hotel Alila di Labuan Bajo, Kab. Manggarai Barat, pembangunan pabrik Semen Kupang III dan pengembangan terminal penumpang serta dermaga PT. Pelindo III. Sementara itu, pertumbuhan juga terjadi di sisi konsumsi pemerintah melalui peningkatan alokasi dana desa hingga 27,6% dari Rp 1,85 Triliun (2016) menjadi Rp 2,36 triliun (2017). Grafik 7.3. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017 10 5.4
9
5.2
8 7
5.0
6 4.8
5
4.6
4 3
4.4
2 4.2 4.0
5.46%
5.41%
5.05%
5.03%
5.18%
5.1-5.5%
2012
2013
2014
2015
2016
2017*
PDRB (yoy) Perdagangan Besar & Eceran (yoy)
Pertanian, Kehutanan & Prkn (yoy) Konstruksi (yoy)
1 0
Administrasi Pemerintahan (yoy) Jasa Pendidikan (yoy)
Sumber : BPS dan Bank Indonesia (diolah)
7.2 Inflasi 7.2.1 Inflasi Triwulan-II Tahun 2017
Pertumbuhan inflasi pada triwulan-II 2017 diperkirakan berada pada kisaran 4-4,4% (yoy) atau meningkat dibanding triwulan I-2017 yang diperkirakan berada pada rentang 3,5-3,9% (yoy). Peningkatan diperkirakan terjadi karena dorong infasi
administered prices (harga yang diatur pemerintah) yaitu kenaikan listrik sering pengurangan subsidi listrik pelanggan 900 VA yang direncanakan kembali dilakukan pada bulan Mei 2017. Kenaikan juga diperkirakan terjadi pada bulan Juni seiring libur sekolah dan libur keagamaan yang mendorong adanya kenaikan permintaan dari masyarakat. Selain itu, momen Idul Fitri juga diperkirakan mendorong harga-harga komoditas terutama yang dipasok dari pulau Jawa dan Sulawesi, seperti gula pasir dan beras seiring tingginya permintaan di daerah asal. Momen libur panjang dan Tour De
Flores juga diperkirakan turut mendorong kenaikan tarif angkutan udara.
| Bab VII
Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
123
7.2.2 Inflasi Tahun 2017
Secara tahunan, pertumbuhan inflasi pada akhir tahun 2017 diperkirakan berada pada kisaran 4,8-5,2% (yoy). Proyek inflasi tahun 2017 tersebut meningkat dibandingkan realisasi tahun 2016 yang sebesar 2,48% (yoy). Peningkatan terutama didorong oleh adanya penyesuaian tarif listrik hingga 123% seiring pengurangan subsidi pada pelanggan berkapasitas 900 VA. Kenaikan sendiri dilakukan secara bertahap pada bulan Januari, Maret dan Mei. Faktor lainnya adalah adanya kenaikan tarif biaya STNK dan BPKB, cukai rokok dan tarif ponsel serta potensi kenaikan harga pada komoditas bahan makanan, terutama beras, sayuran, daging dan hasil-hasilnya serta ikan segar seiring telah rendahnya tingkat harga pada tahun 2016 dan diperkirakan menyebabkan penyesuaian harga di tingkat pedagang. Sementara itu, potensi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) juga dapat terjadi terutama dari faktor eksternal yaitu adanya kenaikan harga minyak dunia akibat rencana penurunan produksi minyak dari negara-negara anggota Organization of Petroleum Exporting
Countries (OPEC) serta kenaikan nilai tukar dolar terhadap rupiah seiring ketidakpastian perekonomian global dan potensi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat. Namun, adanya perbaikan jaringan irigasi, perbaikan konektivitas melalui tol laut dan perbaikan dermaga, bantuan benih dan alsistan, program-program operasi pasar Bulog serta koordinasi TPID diharapkan dapat menjaga tingkat inflasi di kisaran target 4±1%. Grafik 7.4. Prediksi Inflasi TW II-2017 dan 2017
Sumber: BPS & BI (diolah)
| Bab VII
Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
124
Boks 8. Perhitungan Potensi Inflasi 2017 Potensi Inflasi tahun 2017 baik secara nasional maupun regional menunjukkan adanya kecenderungan meningkat dibanding inflasi tahun 2016. Dengan nilai inflasi yang rendah di tahun 2016, beberapa komoditas berpotensi mengalami peningkatan harga seiring dengan sudah cukup rendahnya harga komoditas tersebut di tahun 2016. Berdasarkan hasil inflasi bulan Januari 2017 dan ketetapan pemerintah, didapatkan bahwa pada tahun 2017, setidaknya terdapat 4 komoditas yang mengalami kenaikan yaitu biaya perpanjangan STNK, tarif pulsa ponsel, tarif listrik dan bea cukai rokok. Tingginya kenaikan biaya perpanjangan STNK hingga 102% tersebut tertuang dalam PP No. 60 tahun 2016 menggantikan PP No. 50 tahun 2010 dan efektif diterapkan pada tanggal 6 Januari 2017. Tujuan dari kenaikan tarif lebih disebabkan oleh adanya komitmen perbaikan pelayanan di kepolisian dan sudah 6 tahun biaya perpanjangan STNK tidak mengalami perubahan. Tingginya kenaikan biaya pulsa telepon kemungkinan besar disebabkan oleh mahalnya biaya investasi komunikasi di NTT, sehingga kenaikan biaya pulsa diduga digunakan untuk mengkompensasi tingginya biaya investasi yang terjadi. Berdasarkan data realisasi ijin investasi BKPMD didapatkan tingginya nilai investasi telekomunikasi yang mencapai 738 miliar dan dilakukan oleh 2 perusahaan telekomunikasi. Dari komoditas tarif listrik, kenaikan tarif listrik akan terjadi pada tarif listrik rumah tangga dengan daya 900 watt. Di NTT, saat ini terdapat lebih dari 130 ribu pelanggan listrik dengan daya 900 watt yang terdampak kebijakan pengalihan subsidi tersebut. Dengan pangsa pelanggan mencapai 20% dari total 643 ribu pelanggan, maka dengan dilepasnya subsidi menyebabkan tarif listrik pada golongan ini akan mengalami kenaikan hingga akhir tahun mencapai 123,47%, yaitu dari Rp 605,- per kwh menjadi Rp 1.352,- per kwh. Kenaikan tersebut diperkirakan akan meningkatkan total tarif listrik hingga 25% dan memberikan andil inflasi tarif listrik hingga sebesar 0,72% (sum-yoy) pada akhir tahun 2017. Kenaikan tarif tersebut akan dilakukan bertahap yaitu pada bulan Januari, Maret, dan Mei 2017. Pada komoditas tembakau, potensi kenaikan harga juga terjadi setelah pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.010/2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/3012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa secara rata-rata akan terjadi kenaikan tarif cukai rokok sebesar 10,54% dan kenaikan harga eceran penjualan rokok sebesar 12,26%. Kenaikan tarif cukai rokok tersebut sedikit menurun dibandingkan kenaikan tarif cukai rokok tahun sebelumnya yang sebesar 11,5%, sehingga kenaikan harga rokok diperkirakan mengalami perlambatan dibanding tahun 2016 namun masih tetap tinggi seiring dengan tingginya kenaikan cukai rokok yang dilakukan pemerintah.
Boks 8 | Perhitungan Potensi Inflasi 2017
125
Tabel Boks 8.1. Perhitungan Potensi Inflasi di Kota Kupang dan Kota Maumere Menggunakan Pendekatan Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Daerah Andil Andil Kupang Inflasi Maumere Inflasi Inflasi Inflasi Tarip Pulsa Ponsel 9.18 0.16 Tarip Pulsa Ponsel 11.93 0.20 Biaya Perpanjangan STNK 102.93 0.10 Biaya Perpanjangan STNK 102.09 0.10 Tarif Listrik 25.03 0.72 Tarif Listrik 25.03 0.80 Rokok 16.78 0.61 Rokok 13.52 0.73 Sumbangan Inflasi 4 Komoditas 1.60 Sumbangan Inflasi 4 Komoditas 1.83 Inflasi 19 Komoditas 3.47 Inflasi 25 Komoditas 3.67 Perkiraan Inflasi Kupang 5.06 Perkiraan Inflasi Maumere 5.50 Inflasi NTT 5.12 Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan bahwa kenaikan tarif keempat komoditas tersebut untuk kota Kupang berpotensi memberikan andil inflasi hingga 1,60% (sum-yoy) dan 1,83% (sum-yoy) untuk Kota Maumere. Apabila ditambahkan dengan potensi kenaikan harga 19 komoditas utama penyumbang inflasi dan deflasi di Kota Kupang, didapatkan perkiraan inflasi kota Kupang pada tahun 2017 mencapai 5,06% (yoy) dan inflasi Kota Maumere mencapai 5,50% (yoy). Total potensi inflasi Provinsi NTT berdasarkan komoditas unggulan penyumbang inflasi menjadi sebesar 5,12% (yoy) masih dalam rentang proyeksi inflasi provinsi NTT 2017 yang sebesar 4,8% 5,2% (yoy) dengan kecenderungan bias ke atas. Apabila dalam tahun 2017 terjadi kenaikan harga BBM mengikuti tren kenaikan minyak dunia yang terjadi, maka inflasi diperkirakan dapat meningkat lebih tinggi. Dengan kondisi perkiraan kenaikan harga tersebut, maka pengendalian harga komoditas menjadi langkah besar yang harus dilakukan oleh pemerintah agar dampak tingginya potensi inflasi yang terjadi dapat diminimalisir. Berdasarkan hasil penelitian di awal sudah didapatkan bahwa pengendalian pasokan dan harga pada 19 komoditas penyumbang utama fluktuasi inflasi dapat mengendalikan inflasi di Kota Kupang, demikian pula dengan pengendalian pasokan dan harga pada 25 komoditas penyumbang inflasi utama Kota Maumere.Oleh karena itu, upaya pengendalian inflasi di tahun 2017 sekiranya dapat terfokus pada tercukupinya penyediaan komoditas utama tersebut, agar langkah aksi TPID dapat lebih tepat sasaran dengan usaha yang relatif lebih terkendali.
Boks 8 | Perhitungan Potensi Inflasi 2017
126