KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
TRIWULAN IV
2014 website : www.bi.go.id email :
[email protected]
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
VISI BANK INDONESIA : kredibel dan terbaik di regional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil
MISI BANK INDONESIA : 1. Mencapai stabilitas nilai rupiah dan menjaga efektivitas transmisi kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas; 2. Mendorong sistem keuangan nasional bekerja secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal untuk mendukung alokasi sumber pendanaan/pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional; 3. Mewujudkan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar yang berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan dengan memperhatikan aspek perluasan akses dan kepentingan nasional; 4. Meningkatkan dan memelihara organisasi dan SDM Bank Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai strategis dan berbasis kinerja, serta melaksanakan tata kelola (governance) yang berkualitas dalam rangka
NILAI-NILAI STRATEGIS ORGANISASI BANK INDONESIA : -nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan pegawai untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas Trust and Integrity, Professionalism, Excellence, Public Interest, dan Coordination and Teamwork
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
DAFTAR
ISTILAH
Aktiva Produktif Adalah penanaman atau penempatan yang dilakukan oleh bank dengan tujuan menghasilkan penghasilan/pendapatan bagi bank, seperti penyaluran kredit, penempatan pada antar bank, penanaman pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan surat-surat berharga lainnya. Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) Adalah pembobotan terhadap aktiva yang dimiliki oleh bank berdasarkan risiko dari masing-masing aktiva. Semakin kecil risiko suatu aktiva, semakin kecil bobot risikonya. Misalnya kredit yang diberikan kepada pemerintah mempunyai bobot yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit yang diberikan kepada perorangan. Kualitas Kredit Adalah penggolongan kredit berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur dan kelancaran pembayaran bunga dan pokok. Kredit digolongkan menjadi 5 kualitas yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Capital Adequacy Ratio (CAR) Adalah rasio antara modal (modal inti dan modal pelengkap) terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Dana Pihak Ketiga (DPK) Adalah dana yang diterima perbankan dari masyarakat, yang berupa giro, tabungan atau deposito.
xvii
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
Financing to Deposit Ratio (FDR) Adalah rasio antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah terhadap dana yang diterima. Konsep ini sama dengan konsep LDR pada bank umum konvensional. Inflasi Kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus (persistent). Inflasi Administered Price Inflasi yang terjadi pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam kelompok barang yang harganya diatur oleh pemerintah (misalnya bahan bakar). Inflasi Inti Inflasi yang terjadi karena adanya gap penawaran aggregat and permintaan agregrat dalam perekonomian, serta kenaikan harga barang impor dan ekspektasi masyarakat. Inflasi Volatile Food Inflasi yang terjadi karena pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam kelompok barang yang harganya bergerak sangat volatile (misalnya beras). Kliring Adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. Kliring Debet Adalah kegiatan kliring untuk transfer debet antar bank yang disertai dengan penyampaian fisik warkat debet seperti cek, bilyet giro, nota debet kepada penyelenggaran kliring lokal (unit kerja di Bank Indonesia atau bank yang memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring lokal)
xviii
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
dan hasil perhitungan akhir kliring debet dikirim ke Sistem Sentral Kliring (unit kerja yang menangani SKNBI di KP Bank Indonesia) untuk diperhitungkan secara nasional. Kliring Kredit Adalah kegiatan kliring untuk transfer kredit antar bank yang dikirim langsung oleh bank peserta ke Sistem Sentral Kliring di KP Bank Indonesia tanpa menyampaikan fisik warkat (paperless).
Loan to Deposit Ratio (LDR) Adalah rasio antara jumlah kredit yang disalurkan terhadap dana yang diterima (giro, tabungan dan deposito). Net Interest Income (NII) Adalah antara pendapatan bunga dikurangi dengan beban bunga. Non Core Deposit (NCD) Adalah dana masyarakat yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Dalam laporan ini, NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro, 30% tabungan dan 10% deposito berjangka waktu 1-3 bulan. Non Performing Loans/Financing (NLPs/Ls) Adalah kredit/pembiayaan yang termasuk dalam kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP) Adalah suatu pencadangan untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin timbul dari tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Besaran PPAP ditentukan dari kualitas kredit. Semakin buruk kualitas kredit, semakin besar PPAP yang dibentuk. Misalnya, PPAP untuk kredit yang tergolong Kurang Lancar adalah 15% dari jumlah kredit Kurang Lancar (setelah dikurangi agunan), sedangkan untuk kredit Macet, PPAP yang harus dibentuk adalah 100% dari total kredit macet (setelah dikurangi agunan).
xix
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
Rasio Non Performing Loans/Financing (NPLs/Fs) Adalah rasio kredit/pembiayaan yang tergolong NPLs/Fs terhadap total kredit/pembiayaan. Rasio ini juga sering disebut rasio NPLs/Fs gross. Semakin rendah rasio NPLs/Fs, semakin baik kondisi bank ysb. Rasio Non Performing Loans (NPLs)
Net
Adalah rasio kredit yang tergolong NPLs, setelah dikurangi pembentukan Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP), terhadap total kredit Sistem Bank Indonesia Real Time Settlement (BI RTGS) Adalah proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang
dilakukan
seketika (real time) dengan mendebet maupun mengkredit rekening peserta pada
saat
bersamaan
sesuai
perintah
pembayaran
dan
penerimaan
pembayaran. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI) Adalah sistem kliring Bank Indonesia yang meliputi kliring debet dan kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.
xx
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kata Pengantar
KATA
PENGANTAR
BUKU Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Riau ini merupakan terbitan rutin triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau. Terbitan kali ini memberikan gambaran perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 dengan penekanan kajian pada kondisi ekonomi makro regional (PDRB dan Keuangan Daerah), Inflasi, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Ketenagakerjaan dan Prakiraan Perkembangan Ekonomi Daerah pada triwulan I 2015. Analisis dilakukan berdasarkan data laporan bulanan bank umum, data ekspor-impor yang diolah oleh Kantor Pusat Bank Indonesia, data PDRB dan inflasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau, serta data dari instansi/lembaga terkait lainnya. Tujuan dari penyusunan buku KEKR ini adalah untuk memberikan informasi kepada stakeholders tentang perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau, dengan harapan kajian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber referensi bagi para pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak lain yang membutuhkan. Kami menyadari masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menyempurnakan buku ini. Oleh karena itu kritik, saran, dukungan penyediaan data dan informasi sangat diharapkan.
Pekanbaru, 20 Februari 2015 Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
Mahdi Muhammad Direktur
iii
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kata Pengantar
duduk di rumah memegang amanah duduk di tanah memegang petuah duduk di kampung menjadi payung duduk di banjar bertunjuk ajar duduk di ladang tenggang menenggang duduk di negeri tahukan diri duduk di dusun ia penyantun duduk beramai elok perangai apa tanda Melayu bertuah, tahu berguru pada yang sudah tahu berbuat pada yang ada tahu memandang jauh ke muka apa tanda Melayu terbilang, dada lapang pandangan panjang
iv
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Isi
DAFTAR
ISI
HALAMAN Kata Pengantar .....................................................................................................
iii
Daftar Isi ...............................................................................................................
iv
Daftar Tabel .........................................................................................................
vii
Daftar Grafik ........................................................................................................
ix
Daftar Gambar......................................................................................................
xiii
Tabel Indikator Ekonomi Terpilih............................................................................
xiv
RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................
1
BAB 1.
KONDISI EKONOMI MAKRO REGIONAL ..............................................
8
1.
Kondisi Umum...........................................................................
8
2.
PDRB Sisi Penggunaan...............................................................
9
3.
2.1.
Konsumsi .....................................................................
10
2.2
Investasi .......................................................................
12
2.3
Ekspor dan Impor .........................................................
13
2.3.1. Ekspor ................................................................
13
2.3.2. Impor .................................................................
16
PDRB Sektoral ...........................................................................
17
3.1.
Sektor Pertanian ...........................................................
19
3.2.
Sektor Pertambangan dan Penggalian ..........................
19
3.3.
Sektor Industri Pengolahan ...........................................
20
3.4.
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran ......................
22
3.5.
Sektor Konstruksi..........................................................
23
Boks 1
Perubahan Tahun Dasar PDB/PDRB Berbasis SNA 2008
Boks 2
Prospek Industri Kelapa Sawit Provinsi Riau
iv
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Isi
HALAMAN BAB 2.
Boks 3.
PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH ...................................................
26
1.
Kondisi Umum...........................................................................
26
2.
Perkembangan Inflasi Tahunan (yoy)
27
2.1. Inflasi Kota.........................................................................
31
2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru..............................................
31
2.1.2. Inflasi Kota Dumai....................................................
32
2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan............................................
33
2.2. Disagregasi Inflasi...............................................................
34
2.2.1.Inflasi Inti (Core)........................................................
35
2.2.2. Inflasi Volatile Foods.................................................
36
2.2.3. Inflasi Administered Price..........................................
37
Dampak Penyesuaian Harga BBM, Tarif Tenaga Listrik, dan harga LPG 12 Kg Terhadap Kinerja Perusahaan
BAB 3.
PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DAERAH
39
1.
39
Kondisi Umum...........................................................................
2.
41 2.1.
Perkembangan Bank Umum
... ....................................
2.1.1. Perkembangan Jaringan Kantor
......................
41 41
2.1.2. Perkembangan Aset .............................................
41
2.1.3. Kredit
......................................
42
2.1.3.1. Perkembangan Penyaluran Kredit...........
42
2.1.3.2. Konsentrasi Kredit .................................
43
2.1.3.3. Penyaluran Kredit UMKM
47
2.1.3.4. Kelonggaran Tarik (Undisbursed Loan)
49
2.1.3.5. Risiko Kredit
...
50
.
52
2.1.4. Dana Pihak Ketiga 2.1.5. Perkembangan Loan to Deposit Ratio (LDR) 2.1.6. Profitabilitas
55 ...
55
.
55
...
56
2.2.
Perbankan Syariah .........................................................
58
2.3
Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S)
59
2.1.6.1. Spread Bunga 2.1.6.2. Pendapatan dan Beban Bunga
..
v
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Isi
HALAMAN 3.Perkembangan Transaksi Pembayaran............................................. 3.1. Kondisi Umum
.....................................................
62
3.2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai.......................
62
3.2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow-Outflow)....
62
3.2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar
63
..
3.2.3. Uang Rupiah Tidak Asli
.
3.3. Perkembangan Transaksi Pembayaran Non Tunai
65
.
65
..
65
KONDISI KEUANGAN DAERAH ...........................................................
68
1.
Kondisi Umum ..........................................................................
68
2.
Realisasi APBD 2013..................................................................
69
2.1.
Realisasi Pendapatan.....................................................
69
2.2.
Realisasi Belanja.............................................................
70
3.3.2. Real Time Gross Settlement (RTGS)
BAB 5
64 .
3.3.1. Transaksi Kliring BAB 4
60
KESEJAHTERAAN DAERAH..................................
............................
72
1.
Kondisi Umum
.......
72
2.
Kemiskinan............
.......
73
2.1.
Penduduk Miskin Riau......................................................
73
2.2.
Garis Kemiskinan Riau .....................................................
74
2.3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2) Riau ................................................................. BAB 6
PROSPEK PEREKONOMIAN
77
1. 2.
Perkiraan Inflasi......
75
.......
77
................
79
Daftar Istilah
xvii
vi
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Isi
Halaman ini sengaja dikosongkan
vii
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Tabel
DAFTAR
TABEL
HALAMAN
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan Dengan Migas (yoy) ........................................................................ 10 Tabel 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Riau Triwulanan Sisi Penggunaan Dengan Migas(yoy) ..................................................... 10 Tabel 1.3. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton) .............................................................................. 14 Tabel 1.4. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%) ................................................................... 18 Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Riau Triwulanan Sisi Sektoral (yoy,%) (yoy,%) ............................................................................ 19 Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan Riau (dalam Rp Juta) ............................................................................. 40 Tabel 3.2. Perkembangan Jaringan Kantor Bank Umum di Riau Triwulan IV 2014 ..................................................................... 41 Tabel 3.3. Posisi Kredit Bank Umum Di Provinsi Riau (dalam Rp juta) .............................................................................. 42 Tabel 3.4. Kredit Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (Rp juta) ........................................................................................ 44 Tabel 3.5. Distribusi Penyaluran Kredit Lokasi Proyek Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau (Rp juta) ................. 46 Tabel 3.6. Perkembangan Kredit UMKM di Provinsi Riau (Rp juta) ...................... 47 Tabel 3.7. NPLs Kredit UMKM di Provinsi Riau Tw IV 2014 Menurut Sektor Ekonomi ................................................................ 48
vii
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Tabel
Tabel 3.8. Sebaran Kredit UMKM menurut Sektor Ekonomi (Rp juta) ........................................................................................ 48 Tabel 3.9. Sebaran Kredit UMKM menurut Jenis Penggunaan (Rp juta) ........................................................................................ 49 Tabel 3.10. NPLs Per Sektor Ekonomi di Provinsi Riau ........................................ 51 Tabel 3.11. NPLs Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau .......................... 51 Tabel 3.12. Perkembangan DPK di Provinsi Riau (Rp miliar) ............................... 52 Tabel 3.13. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (Rp juta) .................................................................... 53 Tabel 3.14. Penghimpunan DPK Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau .............................................................................. 54 Tabel 3.15. Indikator Kinerja Utama PerbankanSyariah di Provinsi Riau (Rp juta) .................................................................... 58 Tabel 3.16. Indikator Kinerja Utama BPR/S di Provinsi Riau (dalam Rp juta) ............................................................................. 60 Tabel 3.17. Perkembangan Penyaluran KUR di Riau .......................................... 61 Tabel 3.18. Perkembangan Nilai BI-RTGS di Provinsi Riau Triwulan IV 2014 (dalam Rp miliar) ................................................. 66 Tabel 3.19. Perkembangan Volume Warkat BI-RTGS di Riau Triwulan IV 2014 ........................................................................................ 67 Tabel 4.1. Ringkasan Realisasi APBD Riau Tahun 2013 dan 2014 ........................ 69 Tabel 4.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau Triwulan IV-2013 dan Triwulan IV 2014 (Rp miliar) ............................ 70 Tabel 4.3. Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau Triwulan IV-2013 danTriwulan IV 2014 (Rp miliar) ............................. 71 Tabel 6.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Aktual dan Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I-2015 .............................. 78 Tabel 6.2. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Riau Triwulan I 2015......................................................... 79
viii
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
DAFTAR
GRAFIK
HALAMAN
Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy,%) .... 9 Grafik 1.2. Perkembangan Kredit Durable Goods ................................................ 11 Grafik 1.3. Perkembangan Kredit Multiguna ........................................................ 11 Grafik 1.4. Perkembangan Kredit Perumahan ..................................................... 11 Grafik 1.5. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor ....................................... 11 Grafik 1.6. Pergerakan Indeks Keyakinan Konsumen Riau 2011-2014 ................ 12 Grafik 1.7. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah 2011-2014 Provinsi Riau ........... 12 Grafik 1.8. Perkembangan Nilai Realisasi PMA dan PMDN di Provinsi Riau ......... 13 Grafik 1.9 Perkembangan Jumlah proyek PMA dan PMDN di Provinsi Riau ....... 13 Grafik 1.10.Perkembangan Penjualan Ritel, Indeks Produksi, FAI-Sk Kanan Tiongkok ..................................................................... 15 Grafik 1.11. Ekspor CPO dan Turunan Riau ......................................................... 15 Grafik 1.12. Pulp and Paper Riau ........................................................................ 15 Grafik 1.13 Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau ................................. 16 Grafik 1.14. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau ............................ 16 Grafik 1.15. Perkembangan Nilai Ekspor Migas dan Non Migas Provinsi Riau ..... 16 Grafik 1.16. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan ................................................................ 16 17 Grafik 1.18. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau .......... 17 Grafik 1.19. Perkembangan Impor Barang Konsumsi .......................................... 17 Grafik 1.20. Perkembangan Volume Impor Barang Intermedier ......................... 18 Grafik 1.21. Kontribusi Volume Komponen Impor Triwulan IV 2014 ................... 18 Grafik 1.22. Perkembangan Usaha Sektor Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan .............................................................................. 20 Grafik 1.23. Pertumbuhan Subsektor dalam Sektor Pertanian ............................. 20
ix
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
Grafik 1.24. Perkembangan Volume Lifting Minyak Bumi di Provinsi Riau ........... 21 Grafik 1.25 Perkembangan Kredit Sektor Pertambangan Berdasarkan Lokasi Proyek di Provinsi Riau ......................................................... 21 Grafik 1.26. Perkembangan Konsumsi CPO Dunia .............................................. 22 Grafik 1.27. Perkembangan KapasitasTerpakai Indutri Pengolahan ..................... 22 Grafik 1.28. Perkembangan Harga TBS Domestik dan CPO Global ...................... 22 Grafik 1.29. Perkembangan Ekspor CPO dan Turunan Provinsi Riau .................... 22 Grafik 1.30. Perkembangan Kredit Perdagangan Besar dan Eceran Makanan, Minuman dan Tembakau di Riau ..................................................... 23 Grafik 1.31. Perkembangan Kredit Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit ......... 23 Grafik 1.32. Perkembangan Kredit Perdagangan Berdasarkan Lokasi Bank di Riau
23
Grafik 1.33. Konsumsi Semen Riau ...................................................................... 24 Grafik 1.34. Perkembangan Kredit Konstruksi Lokasi Proyek Riau ........................ 24 Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan Nasional (yoy) ................................ 28 Grafik 2.2. Inflasi dan Sumbangan KelompokBarang dan Jasa yang di Survey (yoy) ........................................................... 28 Gr afik 2.3. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq) ............. 29 Grafik 2.4. Historis Inflasi selama Tw IV di Provinsi Riau (qtq) .............................. 30 Grafik 2.5. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa yang di Survei Tw III-2014 di Riau (qtq)
31
Grafik 2.6. Perkembangan Inflasi Kota Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw IV (2009-2013) .............................................................. 32 Grafik 2.7. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Pekanbaru Tw IV- 2014 ....................................................... 32 Grafik 2.8. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis Tw IV (2009-2013) .............................................................. 33 Grafik 2.9. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai Tw IV-2014 ...................................................... 33 Grafik 2.10. Inflasi Kelompok Barang dan Jasa di Kota Tembilahan Tw IV-2014 Sumber : BPS, diolah .................................................. 33 Grafik 2.11. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy) ............................................ 34 Grafik 2.12. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy) .................................. 35 Grafik 2.13. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD ............................ 35
x
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
Grafik 2.14. Perkembangan Harga Emas Dunia ................................................... 35 Grafik 2.15. Perkembangan Inflasi Tradables Goods dan Non Tradable Goods (yoy) ...................................................... 35 Grafik 2.16. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy) ............................. 36 Grafik 2.17. Perkembangan Harga Komoditas Beras dan 37 Grafik 2.18. Perkembangan inflasi Administered Price
38
Grafik 3.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau ............................. 41 Grafik 3.2. Perkembangan Pangsa Aset Bank Umum Menurut Kelompok .......... 41 Grafik 3.3. Perkembangan Pangsa Kredit Menurut Jenis Penggunaan (%) .......... 45 Grafik 3.4. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (qtq) ... 45 Grafik 3.5. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (yoy) ... 45 Grafik 3.6. Perkembangan Jumlah Rekening Kredit Perbankan .......................... 46 Grafik 3.7. Perkembangan Jumlah Rekening Kredit Perbankan .......................... 49 Grafik 3.8. Perkembangan NPL Grossdi Provinsi Riau ......................................... 50 Grafik 3.9. Perkembangan Jumlah Rekening Dana ............................................. 54 Grafik 3.10. Perkembangan LDR Di Provinsi Riau ............................................... 55 Grafik 3.11. Perkembangan Suku Bunga Rata-Rata Tertimbang Kredit dan Deposito 3 Bulan .................................................................... 56 Grafik 3.12. Komposisi Pendapatan Bunga (Rp miliar) ........................................ 57 Grafik 3.13. Komposisi Beban Bunga (Rp miliar) ................................................ 57 Grafik 3.14. Perkembangan Pendapatan, Beban Bunga serta Pendapatan Bunga Bersih Bank Umum di Riau .............................. 58 Grafik 3.15. KUR menurut Sektor Ekonomi ........................................................ 61 Grafik 3.16. KUR menurut Jenis Penggunaan ..................................................... 61 Grafik 3.17. Perkembangan Inflow dan Outflow ................................................ 63 Grafik 3.18. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) yang Dimusnahkan Terhadap Inflow di Provinsi Riau .............................. 64 Grafik 3.19. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau . 64 Grafik 3.20. Perkembangan Transaksi Kliring di Provinsi Riau ............................. 65 Grafik 5.1. Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin ................. 73 Grafik 5.2. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin ......................................... 74 Grafik 5.3. Perkembangan Garis Kemiskinan (GK) Riau ...................................... 75 Grafik 5.4. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau .................. 76
xi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
Grafik 5.5. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau .................... 76 Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Perkiraan Pengeluaran Dibandingkan 3 Bulan yang Mendatang ................................................................ 78 Grafik 6.2. Perkembangan Harga Minyak WTI .................................................... 78 Grafik 6.3. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Riau Triwulan I 2015 .......................................................................................... 80
xii
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar
DAFTAR
GAMBAR
HALAMAN
Gambar 2.1.
Perkembangan
Inflasi
Riau,
Sumatera
dan
Nasional
dibandingkan dengan Historisnya (yoy).....................................
xiii
27
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar
Halaman ini sengaja dikosongkan
xiv
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Tabel Indikator
TABEL INDIKATOR
EKONOMI TERPILIH
A. INFLASI DAN PDRB INDIKATOR
2014 Tw I
Tw II
Tw III
Tw IV
Indeks Harga Konsumen*) : - Kota Pekanbaru
111.13
111.89
114.51
119.56
- Kota Dumai
111.27
112.62
115.02
119.60
- Kota Tembilahan
116.05
117.61
120.11
124.06
- Kota Pekanbaru
7.38
6.17
5.50
8.53
- Kota Dumai
7.26
6.78
5.88
8.53
12.59
10.64
8.91
10.06
3.93
2.90
2.67
1.05
Nilai Ekspor Non Migas (Juta USD)
2,988.85
2,833.27
3,075.96
3,162.66
Volume Ekspor Non Migas (ribu Ton)
4,442.86
4,119.36
4,548.42
5,196.40
Nilai Impor Non Migas (Juta USD)
407.21
351.21
380.77
299.12
Volume Impor Non Migas (ribu Ton)
542.25
585.34
602.44
686.66
Laju Inflasi Tahunan (yoy, %) :
- Kota Tembilahan Pertumbuhan PDRB (yoy %, dengan migas)
B. PERBANKAN INDIKATOR (dalam Rp juta)
2014 Tw I
Tw II
Tw III
Tw IV
Bank Umum Total Aset
73,201,701
82,036,875
86,572,336
85,652,213
DPK
54,466,287
60,795,211
63,383,834
64,143,197
- Giro
12,556,764
16,863,613
14,828,129
13,723,591
- Tabungan
27,363,917
26,936,859
27,586,835
29,478,220
- Deposito
14,545,606
16,994,736
20,968,870
20,941,386
67,020,254
72,391,925
71,441,476
74,731,969
123.05
119.08
112.71
116.51
Kredit - berdasarkan lokasi proyek LDR - Lokasi Proyek (%) Kredit
48,487,679
50,668,252
50,978,867
52,283,437
- Modal Kerja
14,871,302
15,620,041
15,971,702
16,318,273
- Investasi
15,482,142
16,292,777
16,080,635
16,621,249
- Konsumsi
18,134,236
18,755,434
18,926,530
19,343,915
- LDR (%)
89.02
83.34
80.43
81.51
- NPL (%)
3.32
3.54
3.57
3.46
Kredit UMKM
18,094,921
19,753,458
19,687,770
20,032,690
- Mikro
4,424,699
5,210,241
4,940,401
5,402,536
- Kecil
7,030,433
7,279,402
7,669,811
7,531,647
- Menengah
6,639,789
7,263,815
7,077,558
7,098,507
NPL MKM (%)
5.12
5.82
5.99
5.49
BPR Total Aset
1,102,376
1,091,313
1,106,417
1,160,162
748,775
744,336
770,216
809,748
- Tabungan (RpMiliar)
336,569
345,835
352,030
356,075
- Deposito (Rp )
412,206
398,502
418,186
453,673
762,700
782,561
815,127
836,111
DPK
Kredit - berdasarkan lokasi proyek Rasio NPL LDR
15.47
15.78
15.56
13.75
101.86
105.14
105.83
103.26
xv
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Tabel Indikator
TABEL INDIKATOR
EKONOMI TERPILIH
C. SISTEM PEMBAYARAN INDIKATOR Posisi Kas Gabungan
2014 I
II
III
IV
247,524
2,250,641
2,610,379
3,154,898
Inflow
1,884,781
1,135,202
2,330,869
721,361
Outflow
2,132,305
3,385,843
4,941,248
3,876,259
380,769
317,520
196,336
249,464
Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar)
73,538
97,703
90,461
104,120
Volume Transaksi RTGS (lembar)
47,244
48,670
48,509
52,078
1,226
1,656
1,413
1,578
787
825
758
789
199,841
251,359
189,004
182,239
Volume Tolakan Cek/BG Kosong
5,522
6,931
5,737
5,415
Rata-rata Harian Nominal Cek/BG Kosong
3,331
4,260
3,150
2,988
60
59
60
61
Pemusnahan Uang (Jutaan lembar/keping)
Rata-rata Harian Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) Rata-rata Harian Volume Transaksi RTGS (lembar) Nominal Tolakan Cek/BG Kosong
Rata-rata Harian Cek/BG Kosong
xvi
GE
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Ringkasan Eksekutif
RINGKASAN
EKSEKUTIF
I. GAMBARAN UMUM Kinerja ekonomi Riau pada tahun 2014 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2013. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pada tahun 2014 mencapai 2,62% (yoy), meningkat dibandingkan tahun 2013 yang tercatat sebesar 2,49% (yoy). Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau secara triwulanan pada triwulan IV 2014 mengalami perlambatan dibandingkan triwulan III 2014, yaitu dari 2,67% (yoy) menjadi 1,05% (yoy).
1
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Ringkasan Eksekutif
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 juga didorong oleh
Pertumbuhan ekonomi Riau di triwulan VI 2014 kembali mengalami perlambatan.
pertumbuhan sektor pertanian. Sementara pertumbuhan sektor industri pengolahan,
sektor
perdagangan,
dan
sektor
konstruksi
mengalami
perlambatan. Di sisi lain, kinerja sektor pertambangan mengalami kontraksi yang lebih dalam dibandingkan triwulan sebelumnya.
Penurunan pertumbuhan ekonomi didorong oleh melambatnya sektor industri pengolahan dan kontraksi yang lebih dalam pada sektor pertambangan.
Dari sisi penggunaan, peningkatan ekonomi utamanya disebabkan oleh masih kuatnya
perekonomian
domestik
yang
tercermin
dari
meningkatnya
pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Sementara pertumbuhan investasi masih tercatat positif meskipun cenderung mengalami perlambatan. Dari sisi eksternal, membaiknya kinerja ekspor dan menurunnya impor memberikan kontribusi yang positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau.
II. ASSESMEN MAKROEKONOMI REGIONAL
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 dari sisi penggunaan ditopang oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tercatat meningkat dibandingkan triwulan III 2014, yakni dari 7,11% (yoy)
Motor penggerak ekonomi Riau pada triwulan IV 2014 masih berasal dari konsumsi.
menjadi
8,59% (yoy). Berbeda dengan konsumsi rumah tangga,
perkembangan konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) mengalami perlambatan, sementara perkembangan konsumsi pemerintah masih mengalami kontraksi sebesar 3,25% (yoy). Dari sisi eksternal, perkembangan ekspor luar negeri Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 mengalami penurunan yaitu dari kontraksi sebesar 5,65% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi kontraksi sebesar 37,93% (yoy). Hal serupa juga terjadi pada perkembangan impor yang tercatat mengalami kontraksi sebesar 37,94% (yoy) dari tumbuh sebesar 0,99% (yoy) pada triwulan sebelumnya.
Secara sektoral, perlambatan ekonomi utamanya disumbang oleh sektor pertambangan.
Dari sisi sektoral, kondisi perekonomian Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 secara
sektoral
menunjukkan
perkembangan
yang
kurang
menggembirakan. Hal ini tercermin dari penurunan kinerja sektor utama dibandingkan triwulan sebelumnya. Sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi yang lebih dalam pada triwulan laporan, sementara itu perlambatan terjadi pada sektor industri pengolahan, dan sektor
2
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
GE
Ringkasan Eksekutif
perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor, dan sektor konstruksi. Sementara. Meningkatnya kinerja sektor pertanian menahan laju perlambatan pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan laporan.
III. ASSESMEN INFLASI
Inflasi Riau pada triwulan IV 2014 (yoy) tercatat sebesar 8,65%, meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 5,81%. Kondisi ini sejalan dengan perkembangan inflasi nasional yang juga menunjukkan
Faktor utama penyebab meningkatnya inflasi Riau pada triwulan IV 2014 didominasi oleh kenaikan BBM bersubsidi.
peningkatan dari 4,53% pada triwulan III 2014 menjadi 8,36% pada triwulan IV 2014. Namun demikian, bila dibandingkan dengan rata-rata historisnya sejak 2009-2013, inflasi Riau pada triwulan IV 2014 masih tercatat lebih rendah. Dengan perkembangan tersebut, inflasi Riau pada triwulan IV 2014 masih berada di luar sasaran inflasi nasional tahun 2014 yang ditetapkan sebesar 4,5% ± 1%. Secara tahunan, peningkatan inflasi Riau disebabkan oleh tekanan dari kelompok administered price. Faktor yang menyebabkan tingginya inflasi pada kelompok administered price, antara lain kenaikan harga BBM bersubsidi yang terjadi pada November 2014. Kenaikan tarif dasar listrik (TTL) yang terjadi pada November 2014 dan penyesuaian harga LPG pada September 2014 lalu juga memberi tekanan terhadap inflasi kelompok administered price.
Kota Pekanbaru tercatat mengalami inflasi sebesar 8,53% (yoy), Kota Dumai sebesar 8,53% (yoy), dan Kota Tembilahan sebesar 10,06% (yoy).
Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi masih terjadi di Kota Tembilahan yaitu mencapai 10,06% (yoy), diikuti oleh Kota Dumai dan Kota Pekanbaru masing-masing-masing berada pada level yang sama yaitu 8,53% (yoy). Tekanan inflasi pada ketiga kota tersebut menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sumber peningkatan inflasi Riau pada triwulan IV 2014 berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei, berasal dari peningkatan inflasi kelompok bahan makanan, kelompok transportasi, dan
kelompok
makanan jadi
3
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Ringkasan Eksekutif
IV. ASSESMEN KEUANGAN Perbankan
Kinerja perbankan Riau pada triwulan laporan relatif lebih baik bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini dapat terlihat dari
Kegiatan usaha perbankan Riau cenderung membaik tercermin dari peningkatan pertumbuhan aset, DPK dan kredit
pertumbuhan aset perbankan Riau yang mencapai Rp86,81 triliun atau meningkat dari 7,27% (yoy) menjadi 11,43% (yoy). Sejalan dengan pertumbuhan aset, kredit perbankan Riau juga tumbuh membaik dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 7,22% (yoy) menjadi 7,31% (yoy), atau secara nominal mencapai Rp53,12 triliun. Dana Pihak Ketiga (DPK) bank umum di provinsi Riau pada triwulan IV tercatat tumbuh sebesar
15,52%
(yoy)
menjadi
Rp64,14
triliun,
meningkat
jika
dibandingkan triwulan III yang tumbuh sebesar 11,44 % (yoy).
Intermediasi perbankan mengalami peningkatan disertai dengan meningkatnya kualitas kredit
Loan to Deposit Ratio (LDR) bank umum di Provinsi Riau pada triwulan laporan tercatat mengalami peningkatan dari 80,43% pada triwulan III 2014 menjadi 81,78%. NPLs kredit bank umum pada periode pelaporan menunjukkan penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 3,57% menjadi 3,23%.
Total kredit yang disalurkan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) oleh bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp20,03 triliun pada triwulan IV 2014, jumlah ini tumbuh meningkat dibandingkan triwulan
Penyaluran kredit kepada UMKM tumbuh meningkat dibandingk an triwulan sebelumnya
sebelumnya yaitu dari 13,51% (yoy) menjadi 13,73%(yoy). Porsi kredit yang diserap UMKM dari total kredit yang diberikan bank umum di Provinsi Riau tercatat stabil dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 38,32%. NPL tertinggi pada Kredit UMKM berada pada sektor konstruksi yaitu sebesar 8,53% yang diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 6,46% dan sektor jasa-jasa sebesar 5,69%.
Kinerja perbankan syariah pada triwulan IV 2014 di Provinsi Riau menunjukkan penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan aset dan dana masih menunjukkan arah negatif dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, namun pembiayaan masih tercatat tumbuh positif serta meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada triwulan IV 2014 aset perbankan syariah terkontraksi sebesar 4,34% (yoy) sehingga menjadi
4
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
GE
Ringkasan Eksekutif
Rp 4,89 triliun. Share asset bank umum syariah terhadap aset perbankan secara keseluruhan pada triwulan IV 2014 di Provinsi Riau adalah sebesar 5,63%, turun jika dibandingkan dengan kondisi triwulan sebelumnya yang mencapai 5,85%. Jumlah bank syariah maupun kantor cabang bank syariah di Provinsi Riau tidak berubah dibandingkan dengan periode yang lalu, tercatat beroperasi 13 bank syariah di lingkup wilayah Provinsi Riau yaitu11 bank umum dan 2 BPR.
Pada triwulan laporan, aset BPR/S tercatat tumbuh meningkat dari 4,00% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 7,84% (yoy). Peningkatan pertumbuhan aset didorong oleh adanya peningkatan pada pertumbuhan dana yang dihimpun yaitu dari 9,66% (yoy) menjadi 12,26% (yoy). DPK yang dihimpun BPR/S pada triwulan IV 2014 mencapai Rp809,75 miliar. Jumlah kredit yang disalurkan mencapai Rp836,11 miliar atau tumbuh 11,35% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 7,68% (yoy).
Keuangan Daerah Realisasi alokasi APBD daerah hingga triwulan IV 2014 mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau hingga akhir tahun 2014 tercatat lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Realisasi anggaran pendapatan Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 mencapai 106,39% atau sebesar Rp7,87 triliun. Sementara, realisasi anggaran belanjanya tercatat lebih rendah yaitu sebesar Rp5,54 triliun atau sekitar 62,59% dari total anggaran yang dialokasikan.
V. PROSPEK Perekonomian Daerah
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan I-2015 secara umum diperkirakan
relatif
meningkat
dibandingkan
triwulan
IV
2014.
Pertumbuhan ekonomi Riau secara tahunan diperkirakan berada pada kisaran 1,5-2,1% (yoy). Sumber pertumbuhan dari sisi penggunaan diperkirakan masih berasal dari konsumsi domestik, sementara perbaikan
5
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Ringkasan Eksekutif
kinerja sektor utama diperkirakan akan mendorong pertumbuhan perekonomian Riau pada triwulan I 2015.
Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak pertumbuhan diperkirakan masih ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah
Prospek perekonomian Riau pada triwulan I 2015 diperkirakan relatif meningkat yakni berada pada kisaran 1,5%-2,1% (yoy).
tangga, meskipun diperkirakan tumbuh melambat. Kondisi ini sejalan dengan perkembangan indeks perkiraan pengeluaran dibandingkan 3 bulan yang akan datang cenderung melambat berdasarkan survei konsumen Bank Indonesia. Konsumsi pemerintah diperkirakan masih akan mengalami kontraksi, terkait dengan realisasi anggaran yang masih minim di awal tahun, sementara investasi diperkirakan relatif stabil dibandingkan triwulan sebelumnya. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor diperkirakan belum membaik sejalan dengan penurunan harga komoditas global yang didorong oleh penurunan harga minyak dunia dan masih terbatasnya perbaikan perekonomian global.
Sementara itu, kinerja sektor pertanian diperkirakan akan mengalami perlambatan pada triwulan I 2015 terkait dengan tingkat curah hujan yang mulai
menurun
pada
bulan
Februari-Maret
2015.
Di
sisi
lain,
perkembangan sektor industri pengolahan diperkirakan akan relatif meningkat sehubungan dengan meningkatnya pasokan bahan baku yang tercermin dari peningkatan kinerja sektor pertanian pada triwulan IV 2014.
Meskipun
demikian,
terdapat
risiko
yang
berpotensi
membawa
pertumbuhan ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside risks). Kondisi ini utamanya terkait dengan kondisi sumur minyak yang tidak produktif yang diperkirakan berpotensi mengakibatkan pertumbuhan sektor pertambangan migas masih mengalami kontraksi. Di sisi lain, salah satu faktor yang berpotensi membawa pertumbuhan menyentuh batas atas (upside risks) adalah potensi pemulihan ekonomi negara mitra dagang utama Riau dan negara berkembang (emerging market) di kawasan Asia serta peningkatan harga komoditas internasional yang diperkirakan akan memberikan spill over positif bagi kinerja ekspor utama Riau.
6
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
GE
Ringkasan Eksekutif
Inflasi Proyeksi inflasi pada triwulan I20145 diperkirakan mencapai 6,5%7,5% (yoy)
Inflasi Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan cenderung menurun, yaitu berada pada kisaran 6,5-7,5% (yoy). Sedangkan secara triwulanan, inflasi diperkirakan berkisar (0,50)-0,05% (qtq). Inflasi Riau pada triwulan I 2015 diperkirakan masih akan berasal dari inflasi administered price dan inflasi volatile food. Inflasi kelompok administered price utamanya diperkirakan akibat belum meredanya dampak penyesuaian harga BBM bersubsidi, terutama pada tarif angkutan. Meskipun demikian, adanya penurunan harga solar sebesar Rp200 yang mulai diberlakukan sejak pertengahan Februari 2015 diperkirakan akan menahan laju peningkatan inflasi pada kelompok ini. Peningkatan inflasi volatile food diperkirakan bersumber dari rencana kenaikan harga beras di daerah Jawa sebesar 30% pada akhir Februari. Selain itu, adanya rencana kenaikan HPP (harga pokok produksi) beras diperkirakan juga akan berkontribusi terhadap peningkatan inflasi Riau.
Namun terdapat,beberapa faktor yang diidentifikasi berpotensi membawa inflasi melewati batas atas kisaran proyeksi (upside risks) antara lain, (i) nilai tukar rupiah yang kembali terdepresiasi mengingat perbaikan kondisi perekonomian global yang masih terbatas sehingga akan mendorong peningkatan inflasi pada barang-barang impor, dan (iii) rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik.
7
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Bab 1 KONDISI EKONOMI MAKRO REGIONAL
1. KONDISI UMUM Kinerja ekonomi Riau pada tahun 2014 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2013. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pada tahun 2014 mencapai 2,62% (yoy)1, meningkat dibandingkan tahun 2013 yang tercatat sebesar 2,49% (yoy). Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau secara triwulanan pada triwulan IV 2014 mengalami perlambatan dibandingkan triwulan III 2014, yaitu dari 2,67% (yoy) menjadi 1,05% (yoy). 1
Angka pertumbuhan berdasarkan ADHK 2010. Penjelasan terkait perubahan tahun dasar perhitungan PDRB terdapat pada box 1 buku kajian ini.
8
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy,%)
Sumber: BPS
Peningkatan ekonomi Riau pada tahun 2014 utamanya disebabkan oleh meningkatnya kinerja sektor pertanian dan sektor konstruksi. Sementara sektor industri pengolahan tercatat mengalami perlambatan dibandingkan tahun sebelumnya. Di sisi lain, sektor pertambangan mengalami kontraksi yang lebih dalam pada tahun 2014. Perkembangan perekonomian Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 tidak jauh berbeda dengan perkembangan total tahun 2014. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 juga didorong oleh pertumbuhan sektor pertanian. Sementara pertumbuhan sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor konstruksi mengalami perlambatan. Di sisi lain, kinerja sektor pertambangan mengalami kontraksi yang lebih dalam dibandingkan triwulan sebelumnya. Dari sisi penggunaan, peningkatan ekonomi utamanya disebabkan oleh masih kuatnya perekonomian domestik yang tercermin dari meningkatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Tingkat inflasi yang relatif menurun hingga awal triwulan IV 2014 diperkirakan mendorong perbaikan daya beli masyarakat Provinsi Riau. Sementara pertumbuhan investasi masih tercatat positif meskipun cenderung mengalami perlambatan. Kondisi ini disebabkan oleh perilaku investor yang bersifat wait and see untuk melakukan investasi di tahun politik ini. Dari sisi eksternal, membaiknya kinerja ekspor dan menurunnya impor memberikan kontribusi yang positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau.
2. PDRB SISI PENGGUNAAN Pertumbuhan ekonomi Riau tahun 2014 dan triwulan IV 2014 dari sisi penggunaan utamanya didorong oleh konsumsi rumah tangga. Meningkatnya pertumbuhan
9
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
konsumsi disebabkan karena masih kuatnya optimisme konsumen. Kondisi ini sejalan dengan tingkat inflasi yang cenderung menurun sejak awal tahun 2014, sehingga mampu mendorong daya beli masyarakat. Selain itu, membaiknya ekspor juga menjadi faktor yang menahan laju penurunan pertumbuhan ekonomi Riau pada tahun 2014. Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy) Kategori Konsumsi RT Konsumsi LNPRT Konsumsi Pemerintah PMTB
2010
2011
2012
2013
Sumber Pertumbuhan (%)
2014*
4,58
7,54
6,74
6,76
7,23
(1,12)
5,96
6,29
8,09
15,53
2,04 0,06
0,11
4,99
0,79
8,75
(3,58)
(0,13)
4,52
15,93
9,65
5,40
1,62
0,39
Perubahan Inventori
(4,67)
97,42
(16,94)
(6,98)
(3,99)
(0,17)
Ekspor Luar Negeri
(33,00)
7,80
38,21
(10,46)
2,92
1,16
Impor Luar Negeri
22,74
43,66
13,61
(6,30)
(13,01)
(0,61)
4,94
5,57
3,76
2,49
2,62
2,62
PDRB Sumber: BPS, diolah Ket: *) Data sangat sementara
Tabel 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Riau Triwulanan Tahun 2014 Sisi Penggunaan (yoy) Kategori Konsumsi RT
Tw I 2014*
Tw II 2014*
Tw III 2014*
Tw IV 2014*
6,46
6,72
7,11
8,59
Konsumsi LNPRT
19,81
20,10
12,88
10,22
Konsumsi Pemerintah
(1,68)
(3,24)
(5,91)
(3,25)
2,57
2,36
1,09
0,52
Perubahan Inventori
23,13
(13,56)
36,89
3,83
Ekspor Luar Negeri
45,11
41,89
(5,65)
(37,93)
Impor Luar Negeri
3,60
(10,22)
0,99
(37,94)
3,93
2,90
2,67
1,05
PMTB
PDRB Sumber: BPS, diolah Ket: *) Data sangat sementara
2.1. Konsumsi Pertumbuhan konsumsi rumah tangga Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 tercatat meningkat dibandingkan triwulan III 2014, yakni dari 7,11% (yoy) menjadi 8,59% (yoy). Meningkatnya konsumsi rumah tangga didorong oleh tingkat keyakinan konsumen yang masih bergerak di level optimis, meskipun cenderung mengalami penurunan pada akhir tahun yang disebabkan oleh faktor kenaikan harga BBM
10
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
bersubsidi. Kondisi ini diperkirakan juga didorong oleh meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat karena faktor libur akhir tahun dan libur sekolah serta perayaan natal dan tahun baru. Selain itu, masih kuatnya pertumbuhan konsumsi juga tercermin dari kegiatan konsumsi yang dibiayai melalui kredit perbankan, khususnya untuk kredit multiguna, dan kredit durable goods. Peningkatan pada kredit multiguna dan durable goods diperkirakan sebagai dampak dari faktor musim liburan menyambut akhir tahun. Namun demikian, kontraksi pertumbuhan penyaluran kredit perumahan dan kredit kendaraan bermotor menjadi faktor yang menahan laju pertumbuhan konsumsi, khususnya konsumsi rumah tangga. Penurunan ini diperkirakan merupakan dampak dari kebijakan Loan to Value (LTV) dan kenaikan suku bunga perbankan. Grafik 1.2. Perkembangan Kredit Durable Goods
Grafik 1.4. Perkembangan Kredit Perumahan
Grafik 1.3. Perkembangan Kredit Multiguna
Grafik 1.5. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor
Secara tahunan, perkembangan konsumsi rumah tangga Provinsi Riau juga tercatat mengalami peningkatan. Peningkatan kinerja konsumsi rumah tangga diperkirakan merupakan dampak dari tingkat inflasi yang cenderung turun hingga awal triwulan IV 2014. Kondisi ini tentunya mempengaruhi daya beli masyarakat. Meskipun
11
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
demikian, penurunan harga komoditas ekspor utama Riau sejak pertengahan tahun 2014 diperkirakan menjadi penghambat laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga untuk tumbuh lebih tinggi lagi. Berbeda dengan konsumsi rumah tangga, perkembangan konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) mengalami perlambatan. Sementara itu, perkembangan konsumsi pemerintah masih mengalami kontraksi sebesar 3,25% (yoy). Kondisi ini diperkirakan akibat realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)2 yang mengalami penundaan di awal tahun dan terdapat perubahan nomenklatur pemerintahan sehingga total realisasi pada akhir tahun mengalami penurunan yang siginifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari masih rendahnya realisasi anggaran belanja pemerintah pada akhir tahun 2014. Grafik 1.6. Pergerakan Indeks Keyakinan Konsumen Riau 2011-2014
Grafik 1.7. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah 2011-2014 Provinsi Riau 100 90
86,2
84,17
76,63
80 70
62,59
60
50 40 30 20
10 0
2011
Sumber : Survei Konsumen Bank Indonesia
2012
2013
2014
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
2.2. Investasi (PMTB) Secara tahunan, perkembangan investasi di Provinsi Riau pada tahun 2014 melambat dibandingkan tahun 2013, yaitu dari 5,40% (yoy) menjadi 1,62% (yoy). Perlambatan ini diduga akibat perilaku investor yang cenderung menunda investasi atau wait and see akibat penurunan harga komoditas global, terutama komoditas ekspor utama Riau. Selain itu, terlaksananya pemilu presiden dan wakil presiden pada tahun 2014 diperkirakan juga mempengaruhi perilaku investor dalam melakukan investasi. 2
Penjelasan terkait APBD dapat dilihat pada BAB 4 buku kajian ini
12
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Perkembangan investasi (PMTB) di Riau pada triwulan IV 2014 juga masih mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 1,09% (yoy) menjadi 0,52% (yoy). Kondisi ini diperkirakan karena masih terbatasnya perbaikan perekonomian global dan rendahnya harga komoditas global sehingga investasi pelaku usaha relatif terbatas. Perlambatan investasi di sektor migas diduga juga menjadi pemicu perlambatan ivestasi secara total. Melambatnya investasi di sektor migas diperkirakan karena sektor ini menjadi semakin kurang prospektif terkait minimnya penemuan sumur minyak baru yang produktif. Berdasarkan liaison3 Bank Indonesia sebagian besar pelaku usaha hanya melakukan investasi rutin untuk maintenance dalam rangka menjaga kualitas produksi. Namun demikian, pertumbuhan PMA dan PMDN di Provinsi Riau cenderung mengalami peningkatan.
300 250 200 150 100 50 0 -50 -100 I
II
III
IV
2012 Nilai PMA
I
II
III
IV
I
II
2013 Nilai PMDN
III
2014 Nilai (kiri)
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal
2.3.
IV
Grafik 1.9. Perkembangan Jumlah proyek PMA dan PMDN di Provinsi Riau 140
120
120
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
-
-20 I
II
III
IV
I
2012
g. Nilai (RHS)
yoy,%
9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
yoy,%
Rp Triliun
Grafik 1.8. Perkembangan Nilai Realisasi PMA dan PMDN di Provinsi Riau
PMDN
II
III
IV
I
2013 PMA
II
III
IV
2014 Proyek
g. Proyek (RHS)
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
Ekspor dan Impor
2.3.1. Ekspor Perkembangan ekspor luar negeri Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 mengalami penurunan yaitu dari kontraksi sebesar 5,65% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi kontraksi sebesar 37,93% (yoy). Meskipun demikian, perkembangan ekspor luar negeri Riau masih mengalami peningkatan di tahun 2014 dibandingkan tahun 2013 yang lalu. Perlambatan ekspor Riau pada triwulan
laporan diperkirakan
berasal dari perlambatan ekspor migas dan ekspor non migas. Kinerja ekspor migas Riau diperkirakan juga mengalami penurunan seiring dengan menurunnya kinerja sektor pertambangan dan penggalian pada triwulan laporan. Perlambatan pertumbuhan ekspor luar negeri non migas Riau pada triwulan laporan 3
Survei liaison Bank Indonesia kepada beberapa pelaku usaha di sektor utama Riau
13
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
diperkirakan akibat masih belum pulihnya permintaan negara tujuan ekspor utama Provinsi Riau, seperti Tiongkok dan Jepang. Berdasarkan komoditasnya, penurunan ekspor non migas Riau pada triwulan laporan didorong oleh penurunan ekspor batubara, karet, pulp dan kertas. Penurunan ekspor batubara disebabkan oleh pelaku usaha belum mendapatkan izin ekspor. Pada triwulan IV 2014, Provinsi Riau tidak mencatatkan ekspor batubara. Berdasarkan informasi contact liaison, penurunan kinerja ekspor batubara diperkirakan masih akan berlanjut hingga triwulan I 2015. Sementara itu, penurunan ekspor karet disebabkan oleh masih berlanjutnya penurunan harga karet internasional. Kondisi ini disebabkan oleh penurunan harga minyak dunia yang mempengaruhi harga karet olahan (karet sintetis), dalam hal ini merupakan komoditas substitusi dari karet olahan Riau. Selain itu, kondisi permintaan dari negara tujuan ekspor utama juga belum mengalami perbaikan, dalam hal ini yaitu Tiongkok. Hal ini juga tercermin dari pelemahan indeks produksi Tiongkok pada November 2014. Munculnya eksportir karet baru dari beberapa negara Indochina seperti Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar serta kondisi perkebunan karet Riau yang rata-rata telah memasuki usia tua juga mempengaruhi pernurunan kinerja ekspor karet lokal. Tabel 1.3. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton)
14
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.10. Perkembangan Penjualan Ritel, Indeks Produksi, FAI-Sk Kanan Tiongkok
Penjualan Ritel Indeks Produksi Fixed Asset Investment (FAI) Sk. Kanan
Sumber: RED Bank Indonesia, Januari 2015
Perkembangan ekspor pulp dan kertas pada triwulan IV 2014 tercatat mengalami penurunan, meskipun cenderung mengalami perbaikan dibandingkan triwulan sebelumnya. Berdasarkan informasi dari contact liaison, penurunan ekspor pulp dan kertas pada triwulan laporan disebabkan oleh penurunan produksi akibat terbatasnya bahan baku produksi. Selain itu, kondisi supply pulp dunia cenderung mengalami peningkatan, sehingga juga berpengaruh terhadap permintaan ekspor pulp lokal. Di sisi lain, kinerja ekspor komoditas unggulan Riau yaitu CPO dan turunannya mengalami peningkatan pada triwulan IV 2014. Kondisi ini utamanya dipengaruhi oleh peningkatan ekspor CPO. Penurunan harga komoditas diperkirakan tidak berpengaruh terhadap kinerja ekspor CPO Riau.
3.500
200,0
3.000
150,0
900,0
-
1.000
(50,0)
500 0
(100,0)
I IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIV 200620072008200920102011201220132014
ribu ton
600,0
50,0
1.500
150,0
700,0
100,0
2.000
200,0
800,0
%
ribu ton
2.500
Grafik 1.12. Perkembangan Volume Ekspor Pulp and Paper Riau
100,0
500,0
50,0
400,0 300,0
-
200,0
(50,0)
100,0 -
(100,0) I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Vol (kiri)
Vol (kiri)
%
Grafik 1.11. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau
yoy (kanan)
yoy (kanan)
15
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
1.600,0
700,0
1.400,0
600,0 500,0
1.200,0
ribu ton
400,0
1.000,0
300,0 800,0
%
ribu ton
Grafik 1.14. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau
200,0 600,0
100,0
400,0
-
200,0
(100,0)
-
(200,0)
10,0 9,0 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 -
2.500,0 2.000,0 1.500,0 1.000,0
%
Grafik 1.13. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau
500,0 (500,0) I IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIV
I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV
200620072008200920102011201220132014
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Vol (kiri)
Vol (kiri)
yoy (kanan)
yoy (kanan)
Dilihat dari negara tujuan ekspornya, volume ekspor non migas Riau secara umum mengalami perlambatan. Kondisi ini utamanya didorong oleh penurunan volume ekspor ke Tiongkok dan ASEAN.
Pada triwulan IV 2014, volume ekspor ke
Tiongkok, dan ASEAN masing-masing tercatat sebesar 942 ribu ton dan 518 ribu ton, atau tercatat mengalami kontraksi sebesar 8,02% (yoy) dan 43,73% (yoy). Sementara ekspor ke MEE dan India masih mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Grafik 1.15. Perkembangan Nilai Ekspor Migas dan Non Migas Provinsi Riau
Grafik 1.16. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan 6.000
2.000.000,00
1.500.000,00
1.800.000,00
1.400.000,00
1.667
5.000
1.300.000,00
1.600.000,00 1.400.000,00
1.100.000,00
1.000.000,00 3.000
1.000.000,00
900.000,00 800.000,00
600.000,00
400.000,00
500.000,00
600
734
563
842
2.000
1.000
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9101112
733
511
481
786
762
I
II
787
585
920
1.078 1.034
662
573 432 691
814 920
675
Lainnya
1.710 759
658
922 851
783
1.525 609
901 644
700.000,00
600.000,00
1.657 1.558 1.257
1.988 2.610
1.830
1.343
1.200.000,00
800.000,00
1.667
1.457 1.433
1.200.000,00 4.000 Ribu USD
Ribu USD
GE
835
818
635
678
759
766
I
II
III
651 598
1.024 967
538
589
MEE ASEAN
518
547
990
India Cina
651
780
869
942
II
III
IV
-
2012 Total Ekspor (LHS)
2013
2014 Ekspor Non Migas (LHS)
Ekspor Migas (RHS)
Sumber : BPS Provinsi Riau
III 2012
IV
2013
IV
I
2014
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
2.3.2. Impor Perkembangan impor Riau pada triwulan IV 2014 menunjukkan penurunan yang siginifikan yakni dari tumbuh 0,99% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi kontraksi sebesar 37,94% (yoy). Secara tahunan, total impor Riau pada tahun 2014 juga tercatat mengalami penurunan dibandingkan tahun 2013, yaitu dari kontraksi dari sebesar 6,30% (yoy) menjadi kontraksi sebesar 13,01% (yoy). Sumber penurunan
16
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
impor luar negeri Provinsi Riau pada triwulan laporan diperkirakan merupakan penurunan impor migas. Sementara kinerja impor non migas Riau pada triwulan laporan mengalami perlambatan, yang didorong oleh perlambatan komponen impor barang intermedier. Grafik 1.17. Perkembangan Nilai Impor Migas Provinsi Riau
Sumber: BPS Pada triwulan IV 2014, impor barang intermedier Riau tercatat tumbuh sebesar 2,36% (yoy), melambat dibandingkan triwulan III 2014 yang tercatat tumbuh sebesar 49,29% (yoy). Komposisi impor barang intermedier sebagian besar didominasi untuk pasokan industri seperti bahan makanan setengah jadi, dan bahan baku industri. Di sisi lain, pertumbuhan impor barang konsumsi dan barang modal pada triwulan IV 2014 mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Meskipun pangsa kedua komponen impor tersebut tidak begitu besar, namun peningkatan impor kedua komponen tersebut diperkirakan menjadi penahan laju perlambatan pertumbuhan impor non migas pada triwulan laporan. Grafik 1.19. Perkembangan Impor Barang Konsumsi
120
80060,00
350
700
300
600
250
50040,00
200
400
150
ribu Ton
ribu Ton
Grafik 1.18. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau 100 80
50,00
30030,00
60
100
200
20,00
40
50
100 -
20
10,00 (50)
(100) -
(200) I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV
2009
2010
2011
2012
2013
2014
-
(100) I
II
III IV
2009
I
II
III IV
2010
I
II
III IV
I
2011
Barang Konsumsi (lhs)
Barang Modal(lhs)
II
III IV
2012
I
II
III IV
2013
I
II
III IV
2014
yoy (rhs)
yoy (rhs)
17
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.20. Perkembangan Volume Impor Barang Intermedier ribu Ton
GE
900
Grafik 1.21. Kontribusi Volume Komponen Impor Triwulan IV 2014
150
800 100
700 600
50
500 400
-
300 200
(50)
100 -
(100) I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2009
2010
2011
Barang intermedier (lhs)
3.
2012
2013
2014
yoy (rhs)
PDRB SEKTORAL
Kondisi perekonomian Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 secara sektoral menunjukkan perkembangan yang kurang menggembirakan. Hal ini tercermin dari pertumbuhan sektor utama yang tercatat melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Perlambatan terjadi pada sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor, dan sektor konstruksi. Sementara sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi yang lebih dalam pada triwulan laporan dibandingkan triwulan sebelumnya. Meningkatnya kinerja sektor pertanian menahan laju perlambatan pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan laporan. Tabel 1.4. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%)
18
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Riau Triwulanan Sisi Sektoral (yoy,%)
3.1. Sektor Pertanian Pertumbuhan sektor pertanian Riau pada triwulan laporan mengalami peningkatan yaitu dari 4,5% (yoy) menjadi 5,3% (yoy). Peningkatan sektor ini juga terjadi secara tahunan, yaitu sebesar 4,40% (yoy) pada tahun 2013 menjadi 6,34% (yoy) pada tahun 2014. Peningkatan bersumber dari meningkatnya produksi sub sektor tanaman perkebunan yang berasal dari panen tanaman kelapa sawit yang berlangsung selama triwulan laporan. Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan hasil tanaman perkebunan tercatat sebesar 8,48% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,63% (yoy). Kondisi ini diperkirakan karena faktor curah hujan yang cukup dan mendukung produktivitas pada triwulan laporan. Selain itu, survei kegiatan dunia usaha (SKDU) yang dilakukan oleh Bank Indonesia mengkonfirmasi indikasi peningkatan pada sektor pertanian, perkebunan dan peternakan yaitu dari 0,81% pada triwulan sebelumnya menjadi 1,63% pada triwulan laporan.
19
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.22. Perkembangan Usaha Sektor Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan
Grafik 1.23. Pertumbuhan Subsektor dalam Sektor Pertanian
6 5 4 3 2 %
GE
1 0 -1 -2
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 2010
2011
2012
2013
2014
-3 -4 -5
Sumber : BPS Riau, data sementara
Sumber : Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
3.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian Kinerja sektor pertambangan Riau selama tahun 2014 tercatat mengalami kontraksi sebesar 5,47% (yoy), menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat mengalami
kontraksi
sebesar
4,44%
(yoy).
Sementara,
kontraksi
sektor
pertambangan dan penggalian pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar 6,4% (yoy), juga menurun dibandingkan triwulan III 2014 yang tercatat mengalami kontraksi sebesar 5,4% (yoy). Kontraksi pada sektor pertambangan utamanya didorong oleh kontraksi pada subsektor migas. Kondisi ini disebabkan karena kinerja lifting minyak bumi di Riau yang semakin menurun akibat penurunan produktivitas sumur minyak yang sudah tua dan minimnya penemuan sumur baru yang produktif di Provinsi Riau. Selain itu, kontraksi pada sektor pertambangan di triwulan laporan juga dipengaruhi oleh kinerja pertambangan batubara di Provinsi Riau yang cenderung menurun akibat terkendalanya izin usaha. Pada triwulan IV 2014 tidak terdapat ekspor batubara dari Provinsi Riau. Penurunan kinerja batubara diperkirakan masih akan berlangsung hingga triwulan I 2015. Penurunan kinerja sektor pertambangan dan penggalian juga dikonfirmasi oleh perkembangan penyaluran kredit kepada sektor ini yang tercatat mengalami kontraksi sebesar 10,48% (yoy) pada triwulan laporan. Penurunan penyaluran kredit berdasarkan lokasi proyek ke sektor pertambangan dan penggalian telah terjadi sejak akhir tahun 2013. Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangan sektor ini semakin tidak prospektif bagi investor dan pelaku usaha.
20
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.24. Perkembangan Volume Lifting Minyak Bumi di Provinsi Riau
Grafik 1.25. Perkembangan Kredit Sektor Pertambangan Berdasarkan Lokasi Proyek di Provinsi Riau
Sumber : http://lifting.migas.esdm.go.id
3.3. Sektor Industri Pengolahan Pertumbuhan sektor industri pengolahan dengan migas pada triwulan IV 2014 tercatat melambat signifikan dibandingkan triwulan III 2014 yaitu dari 6,8% (yoy) menjadi 2,4% (yoy). Sementara pertumbuhan sektor industri pengolahan pada tahun 2014 juga melambat dibandingkan tahun 2013, yaitu dari 6,95% (yoy) menjadi 5,63% (yoy). Penurunan diperkirakan terjadi pada industri pengolahan migas, sementara industri pengolahan non migas diperkirakan melambat. Penurunan pada industri pengolahan migas disebabkan oleh lifting minyak bumi yang semakin menurun. Di sisi lain, perlambatan industri pengolahan non migas diperkirakan karena penurunan harga komoditas global seperti CPO dan karet serta kondisi permintaan negara tujuan ekspor yang belum membaik sehingga pelaku usaha masih menahan produksi. Sementara produk industri pengolahan lainnya seperti pulp dan kertas juga mengalami perlambatan pada triwulan laporan karena terkendala oleh ketersediaan bahan baku.
21
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.26. Perkembangan Konsumsi CPO Dunia
Grafik 1.27. Perkembangan Kapasitas Terpakai Indutri Pengolahan
70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 2010
2011 Singapore
2012 Russia
2013
2014
Iran
Colombia
Egypt
Bangladesh
United States
Nigeria
Thailand
Pakistan
Malaysia
Europa Union
China
India
Indonesia
Sumber : Sumber: USDA
Sumber : Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Grafik 1.28. Perkembangan Harga TBS Domestik dan CPO Global 1.900
USD/MT
2.000
Grafik 1.29. Perkembangan Ekspor CPO dan Turunan Provinsi Riau
1.800 1.700 1.600
1.400
800
1.200
700
1.000
600
800
500
1.500 600
1.400 1.300
Juta Ton
Other
Rp/Kg
GE
Vol Turunan
Vol CPO
400 300
400
200
1.200 200
1.100 1.000
2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9101112 2011
2012
TBS Domestik (lh)
2013
100 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2014
CPO Dunia (rhs)
2011
2012
2013
2014
Sumber : Bloomberg, Dinas Perkebunan Riau
Melambatnya pertumbuhan sektor industri pengolahan terkonfirmasi oleh penurunan kapasitas terpakai sektor industri pengolahan hasil SKDU yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Meskipun demikian, perkembangan sektor industri pengolahan ke depannya, terutama industri kelapa sawit diperkirakan akan semakin prospektif seiring dengan semakin meningkatnya konsumsi CPO dunia pada grafik 1.25. Sementara perkembangan produk turunan CPO diperkirakan juga mengalami peningkatan, tercermin dari masih dominannya ekspor produk turunan CPO hingga triwulan laporan.
22
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
3.4. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Dalam perhitungan PDRB dengan tahun dasar 2010, sektor perdagangan, hotel, dan restoran dibagi menjadi 2 (dua) sektor besar yaitu sektor perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor, serta sektor penyediaan akomodasi dan makan minum. Kontribusi sektor perdagangan besar dan eceran dan reparasi mobil dan sepeda motor cukup besar terhadap perekonomian Provinsi Riau pada tahun 2014, yaitu mencapai 0,21%. Perkembangan sektor perdagangan besar, eceran dan reparasi mobil dan sepeda motor pada triwulan laporan tercatat melambat yaitu dari 1,4% (yoy) menjadi 0,2% (yoy). Perlambatan ini diperkirakan karena tingginya inflasi di akhir tahun akibat kenaikan BBM bersubsidi. Grafik.1.30. Perkembangan Kredit Perdagangan Besar dan Eceran Makanan, Minuman dan Tembakau di Riau
Ket: MK= Modal Kerja, I=Investasi
Grafik.1.31. Perkembangan Kredit Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit
Ket: MK= Modal Kerja, I=Investasi
Grafik.1.32. Perkembangan Kredit Perdagangan Berdasarkan Lokasi Bank di Riau
23
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Dilihat secara subsektor, perlambatan pertumbuhan sektor perdagangan juga diindikasikan oleh menurunnya kinerja ekspor dan melambatnya pertumbuhan penyaluran kredit berdasarkan lokasi bank di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014. Perlambatan tersebut didorong oleh masih berlanjutnya kontraksi penyaluran kredit pada subsektor perdagangan besar dan eceran makanan, minuman, dan tembakau. Pada triwulan IV 2014, jumlah kredit yang disalurkan ke subsektor perdagangan besar dan eceran makanan, minuman dan tembakau mencapai Rp2,41 triliun atau turun sebesar 17,08% (yoy). Selain itu, penyaluran kredit ke subsektor perdagangan kelapa dan kelapa sawit juga mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan penyaluran kredit terhadap sektor perdagangan kelapa dan kelapa sawit pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar 14,63% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat tumbuh sebesar 15,35% (yoy).
3.5. Sektor Konstruksi Secara umum kegiatan perkembangan sektor konstruksi dalam triwulan laporan tercatat melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan sektor konstruksi di Riau mencapai 6,8% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 7,6% (yoy). Meskipun demikian, pertumbuhan sektor konstruksi secara total pada tahun 2014 tercatat mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2013. Grafik 1.33. Konsumsi Semen Riau
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia
Grafik 1.34. Perkembangan Kredit Konstruksi Lokasi Proyek Riau
Sumber : SEKDA
24
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Perlambatan pertumbuhan konstruksi pada triwulan laporan diindikasikan dengan penurunan penyaluran kredit sektor konstruksi berdasarkan lokasi proyek secara tahunan. Pada triwulan IV 2014 penyaluran kredit konstruksi berdasarkan lokasi proyek tercatat mencapai Rp1,12 triliun atau mengalami kontraksi sebesar 17,73% (yoy).
Meskipun
demikian, pertumbuhan konsumsi semen yang relatif meningkat merupakan faktor pendorong pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan laporan.
25
Boks 1 PERUBAHAN TAHUN DASAR PDB/PDRB BERBASIS SNA 2008 Selama sepuluh tahun terakhir, banyak perubahan yang terjadi pada tatanan global dan lokal yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008, penerapan perdagangan bebas antara China-ASEAN (CAFTA), perubahan sistem pencatatan perdagangan internasional dan meluasnya jasa layanan pasar modal merupakan contoh perubahan yang perlu diadaptasi dalam mekanisme pencatatan statistik nasional. Salah satu bentuk adaptasi pencatatan statistik nasional adalah melakukan perubahan tahun dasar PDB Indonesia dari tahun 2000 ke 2010. Perubahan tahun dasar PDB/PDRB dilakukan seiring dengan mengadopsi rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tertuang dalam 2008 System of National Accounts (SNA 2008 ) melalui penyusunan kerangka Supply and Use Tables (SUT) 2010 sebagai dasar penghitungan PDB menurut tiga (3) pendekatan yaitu pendekatan produksi, pengeluaran, dan pendapatan. Perubahan Tahun Dasar juga menunjukkan penghitungan yang lebih akurat terkait level dan struktur ekonomi dengan memasukkan kegiatan ekonomi baru yang belum dicatat dalam penghitungan sebelumnya. Manfaat yang ingin diperoleh dari perubahan tahun dasar ini antara lain: a.
Memberikan gambaran perekonomian nasional terkini: 1) Pergeseran struktur ekonomi; 2) Pertumbuhan ekonomi.
b. Meningkatkan kualitas data PDB/PDRB yang dihasilkan; c.
Menjadikan data PDB dapat diperbandingkan secara Internasional.
Sumber data baru untuk perbaikan PDB/PDRB berasal dari data Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) dan Indeks Harga Produsen (IHP)/ Producer Price Index (PPI). Adapun implikasi dari perubahan tahun dasar ini meliputi: a.
Meningkatnya nominal PDB/PDRB, yang pada gilirannya akan berdampak pada pergeseran kelompok pendapatan suatu negara/wilayah dari rendah, menjadi menengah, atau tinggi;
b. Akan mengubah indikator makro seperti rasio pajak, rasio hutang, rasio investasi dan tabungan, nilai neraca berjalan, struktur dan pertumbuhan ekonomi;
c. Akan menyebabkan perubahan pada input data untuk modelling dan forecasting Lapangan Usaha
TABEL PENYEDIAAN
TOTAL PENYEDIAAN
Komoditi
Penyediaan Domestik Harga Produsen
KOMPONEN PENGGUNAAN Konsumsi Rumahtangga Konsumsi Lembaga Non Profit Melayani Rumahtangga (LNPRT) Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) Perubahan Inventori
TOTAL OUTPUT
Ekspor
Konsumsi Antara
Impor (-)
PDRB (Produksi)
PDRB (Pengeluaran) Nilainya sama
PDRB (Produksi) = Output dikurangi Konsumsi Antara
=
PDRB (Pengeluaran)=Konsumsi Rumahtangga+ LNPRT+Konsumsi Pemerintah+PMTB+Perubahan Inventori+Ekspor-Impor 10
Gambar Kerangka Matriks Supply Regional Terdapat 118 revisi dari SNA sebelumnya dan 44 revisi merupakan revisi utama dalam SNA2008. Adopsi revisi SNA tersebut meliputi beberapa konsep dan cakupan: 1. Adopsi Cultivated Biological Resources (CBR), Eksplorasi mineral dan evaluasi, produk original pada karya seni dan sastra, perlakuan software dan database, serta lisensi sebagai PMTB. 2. Metodologi: Perbaikan metode penghitungan output bank dari Imputed Bank Service Charge (IBSC) menjadi Financial Intermediation Services Indirectly Measured (FISIM). 3. Valuasi: Nilai tambah lapangan usaha dinilai dengan harga dasar/Basic Price 4. Klasifikasi: Update penggunaan klasifikasi KBLI2009 dan KBKI 2010 Tabel Contoh Perbandingan Perubahan Konsep dan Metode SNA sebelumnya vs SNA 2008 Variabel 1. Output pertanian
Konsep Lama Hanya mencakup output pada saat panen.
Konsep Baru Output saat panen ditambah nilai hewan dan tumbuhan yang belum menghasilkan.
2. Metode penghitungan Menggunakan metode output bank komersial. Imputed Bank Services Charge (IBSC) .
Menggunakan metode Financial Intermediation Services Indirectly Measured (FISIM).
3. Valuasi
Nilai tambah lapangan usaha dinilai dengan harga produsen.
Nilai tambah lapangan usaha dinilai dengan harga dasar.
4. Biaya eksplorasi mineral dan pembuatan produk original
Dicatat sebagai biaya antara. Dicatat sebagai biaya antara dan dikapitalisasi sebagai PMTB.
Perbandingan Klasifikasi PDB Menurut Lapangan Usaha
Perbandingan Klasifikasi PDB Menurut Pengeluaran
Boks 2 PROSPEK INDUSTRI KELAPA SAWIT PROVINSI RIAU Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang memiliki perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia dengan tingkat pertumbuhan luas areal kebun dan produksi yang meningkat setiap tahunnya. Hal ini terlihat dari data luas areal
kebun
dan
produksi
kelapa sawit yang dipublikasi oleh Provinsi
Dinas Riau.
Perkebunan Pada
tahun
2010 luas lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau tercatat seluas 2.103.174 Ha Grafik 1 Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Sumber: Statistik Perkebunan Provinsi Riau
dengan produksi 2.258.553 ton, terus meningkat sekitar 7,39% hingga tahun 2013 menjadi 2.399.172 Ha dengan
produksi 7.570.854 ton. Peningkatan produksi ini didukung oleh harga CPO yang relatif stabil dipasar internasional sehingga memberikan tingkat profit yang menguntungkan bagi petani dan produsen. Tahun ini, luas areal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau diperkirakan meningkat sekitar 4.000 ha seiring dengan alih fungsi lahan karet yang dilakukan oleh sebagian besar perusahaan di sektor perkebunan dan pengolahan kelapa sawit. Meningkatnya produksi juga diikuti oleh peningkatan permintaan baik dari dalam maupun luar negeri seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan konsumsi minyak sawit. Dibandingkan dengan minyak nabati lainnya seperti soybean, rapeseed dan sunflower oil, pangsa konsumsi minyak sawit jauh lebih tinggi bahkan mencapai 41,10% dari total konsumsi dunia. Hal ini dikarenakan kelapa sawit memiliki kualitas yang lebih bagus sehingga tidak mengherankan jika palm oil dijadikan sebagai bahan politik bisnis agar tidak menyaingi minyak nabati lainnya.
Grafik 2. Konsumsi Minyak Nabati Dunia Sumber: Oil World, 2014 Sementara itu, sejumlah contact liaison yang bergerak di sektor perkebunan dan pengolahan sawit menginformasikan bahwa kelapa sawit memiliki nilai keekonomisan yang tinggi. Saat ini sebagian besar perusahaan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau sudah
melakukan
hilirisasi
yang tidak hanya berupa CPO melainkan juga Oleochemical, Refined,
Bleached
and
Deodorised Palm Kernel Oil Grafik 3 Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Sumber: GAPKI, 2014
(RBD PKO), Refined, Bleached and Deodorised Palm Kernel
Cake (RBD PKC), Biodiesel, Minyak Goreng dan berbagai produk turunan lainnya yang tentunya memiliki harga lebih tinggi dibandingkan TBS dan CPO. Namun sebagian besar contact menyatakan lebih tertarik untuk menghasilkan produk turunan selain biodiesel karena nilai keekonomisannya yang relatif rendah. Hal ini dikonfirmasi oleh salah satu contact liaison yang menyatakan lebih tertarik mengolah CPO menjadi produk pangan dan kosmetik, serta melakukan pengembangan biogas sebagai sumber energi alternatif disamping penggunaan cangkang kelapa sawit yang saat ini menjadi primadona. Ke depannya, contact juga berencana untuk menghasilkan bahan bakar dari batang pohon sawit melalui kerjasama dengan Jepang. Melihat potensi yang dimiliki kelapa sawit maka jelas bahwa industri ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomis melainkan juga manfaat sosial dan lingkungan. Manfaat ekonomis yang dapat dirasakan oleh sejumlah pelaku usaha yang bergerak
disubsektor usaha ini adalah potensi CPO untuk diolah menjadi berbagai produk bahan pangan, sumber energi alternatif, kosmetik, dan lainnya. Sementara manfaat sosial yang dapat diperoleh dari industri ini antara lain adalah peranannya dalam menciptakan kesempatan kerja, pembangunan pedesaan dan pengurangan kemiskinan.
Grafik 4 Grafik 5 Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir Domestik Sumber: GAPKI, 2014 Sumber: GAPKI, 2014 Disamping itu, menurut GAPKI (2014) perkebunan kelapa sawit merupakan bagian penting dari pelestarian siklus karbondioksida (C02), oksigen (O2) dan air (H20). Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menyerap CO2 dan menghasilkan 02 lebih tinggi dari kemampuan hutan primer. Dengan demikian, meningkatkan produksi kelapa
sawit merupakan
salah
satu langkah
strategis
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan informasi dari Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (GAPKI) pusat, sehubungan dengan meningkatnya daya beli masyarakat global terhadap CPO dan produk turunannya, Indonesia sebagai salah satu produsen kelapa sawit terbesar akan diuntungkan. Pelaku usaha sawit nasional menargetkan produksi CPO sekitar 33 juta ton, meningkat sekitar 6% dari produksi tahun 2014 sekitar 31 juta ton. Lebih dari 60% dari produksi tersebut akan diekspor untuk target pasar besar dunia seperti India, Pakistan, Korea Selatan dan beberapa negara di Eropa Timur, sisanya sekitar 10 juta ton untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dengan faktor pendukung adanya komitmen dari Pertamina untuk menjalankan program biosolar. Searah dengan proyeksi produksi CPO nasional, beberapa contact liaison di provinsi Riau juga menyatakan produksi CPO di 2015 akan tetap tinggi seiring dengan mulai berproduksinya beberapa lahan replantasi yang sudah mulai produksi pada tahun ini sehingga diperkirakan akan meningkat pada kisaran 2-5%. Faktor pendorong peningkatan lainnya berasal dari perkembangan harga yang pada awal tahun 2015 ini mulai meningkat, dilihat dari
kontrak perdagangan di Bursa Malaysia yang mulai bergerak naik sekitar 2,7% atau sekitar Rp7,83 juta/ton untuk pengiriman bulan Maret dan April 2015. Disisi lain, GAPKI pusat menyampaikan beberapa tantangan perkembangan kelapa sawit mulai dari terbatasnya jumlah tenaga kerja terampil dengan kualifikasi khusus di bidang kelapa sawit, peningkatkan upah tenaga kerja setiap tahun, masalah pertanahan dan sulitnya
ijin usaha, sampai dengan minimnya infrastruktur sarana
prasarana pendukung industri kelapa sawit. Sementara itu, perkembangan industri kelapa sawit di Provinsi Riau menghadapi sejumlah kendala seperti keterbatasan bahan baku, masalah Rencana Tata Ruang Wilayah, pencurian buah sawit dan faktor cuaca yang ekstrim. Hal ini dikonfirmasi salah satu contact liaison yang menginformasikan bahwa pada tahun 2000an pabrik memiliki kapasitas produksi mencapai 90 ton/jam, namun seiring dengan semakin bertambahnya kompetitor industri sejenis maka pasokan bahan baku menjadi berkurang hingga rata-rata kapasitas produksi saat ini menjadi 60 ton/jam. Selain itu, masalah RTRW menjadi kendala utama bagi sejumlah perusahaan untuk menambah luas areal kebun sehingga sebagian besar perusahaan melakukan alih fungsi lahan dari karet ke kelapa sawit. Disisi lain, pencurian buah sawit dan faktor cuaca yang ekstrim juga menjadi kendala peningkatan produksi. Secara normal, pabrik dapat mengolah 600 ton TBS/hari namun akibat pencurian tersebut pabrik hanya dapat mengolah 450 ton TBS/hari. Demikian juga dengan terjadinya musim trek hingga 2 kali dalam 1 tahun akibat cuaca yang cukup ekstrim. Sebagai informasi, contact dapat memperoleh hasil TBS mencapai 1000 ton/hari namun karena terjadinya musim trek maka hasil TBS yang diperoleh hanya berkisar 500-600 ton/hari. Untuk mengatasi kendala yang dihadapi tersebut, pada tahun ini Dinas Perkebunan Provinsi Riau berupaya untuk meningkatkan produktivitas lahan sawit melalui pembelian bibit untuk 500 Ha kebun rakyat senilai Rp.9,61 Miliar. Disamping itu, contact juga menginformasikan bahwa Kementerian Pertanian bekerjasama dengan Perbankan untuk memberikan fasilitas pembiayaan revitalisasi kebun (revit bun) kepada petani swadaya. Saat ini, lebih dari 29 petani swadaya di Provinsi Riau telah mendapatkan fasilitas revit bun dari BRI Agro sekitar Rp.24-51 juta dengan tingkat suku bunga 12,75%. Revit bun ini merupakan bagian dari inovasi pembiayaan untuk meningkatkan produktivitas kebun sawit petani.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Bab 2 PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
1.
KONDISI UMUM
Perkembangan inflasi Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 berada di luar perkiraan sebelumnya. Tekanan inflasi Riau pada triwulan IV 2014 (yoy)1 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan inflasi bersumber dari kelompok administered prices karena kenaikan BBM bersubsidi yang terjadi pada November 2014 yang lalu. Dengan demikian, inflasi Riau pada triwulan laporan masih berada di luar sasaran inflasi nasional tahun 2014 yang ditetapkan sebesar 4,5%±1%.
1
yoy (year on year) atau inflasi tahunan merupakan perbandingan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada bulan laporan dengan IHK di bulan yang sama tahun sebelumnya
26
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
2.
PERKEMBANGAN INFLASI PROVINSI RIAU
Inflasi Riau pada triwulan IV 2014 (yoy) tercatat sebesar 8,65%, meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 5,81%. Kondisi ini sejalan
dengan
perkembangan
inflasi
nasional
yang
juga
menunjukkan
peningkatan dari 4,53% pada triwulan III 2014 menjadi 8,36% pada triwulan IV 2014. Namun
demikian, bila dibandingkan dengan rata-rata historisnya sejak
2009-2013, inflasi Riau pada triwulan IV 2014 masih tercatat lebih rendah. Dengan perkembangan tersebut, inflasi Riau pada triwulan IV 2014 masih berada di luar sasaran inflasi nasional tahun 2014 yang ditetapkan sebesar 4,5% ± 1%. Gambar 2.1. Inflasi Riau dan Nasional Tw IV 2014 dibandingkan dengan Historisnya (yoy)
Nasional
Riau
Sumber : BPS, diolah
Secara tahunan, peningkatan inflasi Riau disebabkan oleh tekanan dari kelompok administered price. Faktor yang menyebabkan tingginya inflasi pada kelompok administered price, antara lain kenaikan harga BBM bersubsidi yang terjadi pada November 2014. Selain itu, kenaikan tarif dasar listrik (TTL)2 yang terjadi pada November 2014 dan penyesuaian harga LPG pada September 2014 lalu juga memberi tekanan terhadap inflasi kelompok administered price. Sementara itu, perkembangan inflasi pada kelompok volatile food juga memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan inflasi. Penyumbang utama kenaikan inflasi volatile food di akhir tahun bersumber dari komoditas beras dan cabe merah yang terkendala pasokan. Di sisi lain, relatif stabilnya inflasi core (inti) pada triwulan laporan ditengah masih kuatnya tekanan eksternal juga menjadi penahan
2
Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dilakukan secara berkala sejak 1 Juli 2014 setiap dua bulan sekali hingga 1 November 2014
27
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
menurunnya tekanan inflasi Riau pada triwulan III 2014. Kondisi ini didorong oleh masih berlanjutnya penurunan harga emas dunia. Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi masih terjadi di Kota Tembilahan yaitu mencapai 10,06% (yoy), diikuti oleh Kota Dumai dan Kota Pekanbaru masing-masing-masing berada pada level yang sama yaitu 8,53% (yoy). Tekanan inflasi pada ketiga kota tersebut menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan Nasional (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Jika
dilihat
berdasarkan
kelompok barang dan jasa
Grafik 2.2. Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa yang di Survei (yoy)
yang disurvei di Provinsi Riau, sumber
peningkatan
inflasi
pada triwulan IV 2014 berasal dari
peningkatan
inflasi
kelompok
bahan
makanan,
kelompok
transportasi,
dan
kelompok makanan jadi, yaitu masing-masing
menyumbang
Sumber : BPS, diolah
sebesar 2,50%, 2,09%, dan 2,02% terhadap inflasi Riau. Peningkatan inflasi terjadi pada hampir seluruh kelompok inflasi, kecuali kelompok kesehatan dan kelompok pendidikan yang mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Inflasi tertinggi pada
28
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
triwulan laporan dialami oleh kelompok transportasi yaitu dari 2,62% (yoy) menjadi 12,99% (yoy), diikuti kelompok makanan dari 9,34% (yoy) menjadi 10,41% (yoy) dan kelompok bahan makanan dari 8,34% (yoy) menjadi 10,14% (yoy). Sebaliknya, inflasi terendah dialami oleh kelompok pendidikan yaitu sebesar 2,70% (yoy) dari 3,14% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Perkembangan inflasi Riau secara triwulanan menunjukkan tren meningkat bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 2,29% (qtq) menjadi 4,26% (qtq). Angka inflasi Riau pada triwulanan laporan juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata historisnya dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir yang tercatat sebesar 1,30% (qtq). Grafik 2.3. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Meningkatnya tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan tidak terlepas dari meningkatnya harga-harga pada sub kelompok transpor, sub kelompok bumbubumbuan, dan sub kelompok makanan jadi. Dilihat dari komoditasnya, maka peningkatan utamanya bersumber dari peningkatan harga bensin, cabe merah, tarif listrik, beras dan nasi dengan lauk.
29
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Grafik 2.4. Historis Inflasi selama Tw IV di Provinsi Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Namun demikian, penurunan harga daging dan hasil-hasilnya secara umum menjadi faktor yang menahan laju peningkatan inflasi pada triwulan laporan. Selain itu, langkah-langkah yang ditempuh TPID di Riau dalam melakukan pengelolaan ekspektasi harga, sedikit banyak juga mampu meredam inflasi Riau meningkat pada level yang lebih tinggi lagi. Sinergi antar lembaga/instansi untuk menjaga distribusi dan kecukupan stok menjadi salah satu kunci utama terjaganya ekspektasi masyarakat di Provinsi Riau. Berdasarkan kota yang disurvei di Provinsi Riau, maka inflasi tertinggi terjadi di Kota Pekanbaru yaitu mencapai 4,41% (qtq), meningkat cukup signifikan dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 2,34% (qtq). Selanjutnya inflasi Kota Tembilahan dan Kota Dumai tercatat masing-masing sebesar 3,98% (qtq) dan 3,29% (qtq), juga meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 2,13% (qtq). Secara umum, perkembangan inflasi ketiga kota yang disurvei
secara triwulanan
pada triwulan laporan
tercatat
lebih
rendah
dibandingkan dengan rata-rata historisnya (2009-2013). Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei, maka kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan tercatat mengalami inflasi tertinggi yaitu mencapai 10,63% (qtq). Kelompok ini juga memberikan andil terbesar pada tekanan inflasi triwulan laporan yaitu mencapai 1,69%. Kemudian, kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau, masing-masing tercatat mengalami inflasi sebesar 4,31% (qtq) dan 3,43% (qtq). Kedua kelompok tersebut tercatat mengalami peningkatan inflasi dibandingkan triwulan sebelumnya.
30
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Grafik 2.5. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa yang di Survei Tw IV 2014 di Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
2.1.
Inflasi Kota
2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru Pada triwulan IV 2014, Kota Pekanbaru mengalami Inflasi sebesar 8,53% (yoy), meningkat
dibanding triwulan sebelumnya yang mencapai
5,50% (yoy).
Peningkatan tekanan inflasi terjadi pada seluruh kelompok disagregasinya. Tekanan inflasi utamanya berasal dari kenaikan harga BBM bersubsidi pada 18 November 2014 lalu. Selain itu, kenaikan tarif dasar listrik secara bertahap sejak 1 Juli 2014 hingga akhir tahun juga berkontribusi positif terhadap peningkatan tekanan inflasi. Tren pelemahan nilai rupiah yang masih berlanjut hingga akhir tahun juga memberikan tekanan yang berarti terhadap peningkatan inflasi, terutama untuk komoditas dengan bahan baku tepung. Sebaliknya, penurunan harga emas dunia merupakan faktor yang menahan laju penurunan inflasi pada triwulan laporan. Sementara, kondisi pasokan yang belum stabil menyebabkan tekanan inflasi dari bahan makanan cukup tinggi. Peningkatan inflasi pada bahan makanan bersumber dari meningkatnya harga beras, cabe merah telur ayam ras dan beberapa jenis sayur. Terjadinya peningkatan pada komoditas tersebutdiperkirakan tidak terlepas dari pengaruh kenaikan harga BBM bersubsidi. Selain itu, faktor cuaca yang kurang kondusif di daerah sentra produksi, seperti di daerah Jawa, juga meyebabkan Kota Pekanbaru kekurangan pasokan. Dilihat berdasarkan kelompok barang jasa yang disurvei, maka inflasi tertinggi dialami oleh kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan (13,55%, yoy),
31
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
meningkat siginifikan dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat mengalami inflasi sebesar 2,94% (yoy). Selanjutnya, diikuti oleh inflasi pada kelompok makanan jadi (10,88%,yoy) dan kelompok bahan makanan (9,79%, yoy), juga meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Inflasi pada ketiga kelompok barang dan jasa ini tercatat memberikan kontribusi tertinggi terhadap inflasi Pekanbaru pada triwulan laporan. Sebaliknya, inflasi terendah dialami oleh kelompok pendidikan (2,18%,yoy) dan kelompok sandang (3,63%,yoy) yang memberikan kontribusi terendah pada triwulan laporan. Bahkan inflasi pada kelompok pendidikan tercatat mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya (2,25%,yoy). Grafik 2.6 Perkembangan Inflasi Kota Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw IV (20092013)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.7. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Pekanbaru Tw IV 2014
Sumber : BPS, diolah
2.1.2. Inflasi Kota Dumai Sejalan dengan perkembangan inflasi kota Pekanbaru, inflasi kota Dumai juga mengalami peningkatan dari 5,88% (yoy) menjadi 8,53%(yoy). Peningkatan tekanan inflasi kota Dumai didorong oleh peningkatan inflasi kelompok bahan makanan yang berasal dari subkelompok padi-padian, umbi-umbian & hasilnya, dan bumbu-bumbuan. Dilihat berdasarkan komoditasnya, tekanan inflasi pada kedua subkelompok tersebut utamanya berasal dari beras dan cabe merah. Kondisi ini disebabkan oleh kondisi cuaca yang kurang kondusif di daerah sentra pasokan sehingga mempengaruhi produksi dan kondisi pasokan di Kota Dumai. Sementara itu, kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan mengalami inflasi sebesar 10,98% (yoy), meningkat signifikan dibandingkan triwulan
32
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
sebelumnya yang tercatat mengalami inflasi sebesar 5,16% (yoy). Berdasarkan komoditasnya peningkatan inflasi pada kelompok ini didorong oleh kenaikan harga BBM bersubsidi, dan menyebabkan peningkatan pada tarif angkutan. Selain itu, masih berlanjutnya kenaikan tarif dasar listrik bertahap hingga triwulan IV 2014 juga memberikan andil terhadap peningkatan tekanan inflasi di Kota Dumai. Grafik 2.8. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis Tw IV (2009-2013)
Grafik 2.9. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai Tw IV 2014
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan Inflasi yang terjadi di Kota Tembilahan
Grafik 2.10. Inflasi Kelompok Barang dan Jasa di Kota Tembilahan Tw IV 2014
masih tercatat yang paling tinggi di Provinsi Riau yaitu mencapai 10,06% (yoy) pada triwulan IV 2014. Searah dengan dua kota lainnya, tekanan inflasi Kota Tembilahan pada triwulan laporan
mengalami
peningkatan
dibandingkan triwulan sebelumnya. Berdasarkan
kelompoknya,
maka
Sumber : BPS, diolah
inflasi tertinggi dialami oleh kelompok bahan makanan, kelompok transportasi dan kelompok perumahan. Inflasi pada ketiga kelompok tersebut juga tercatat memberikan kontribusi tertinggi terhadap inflasi kota Tembilahan. Selanjutnya, kelompok kesehatan tercatat mengalami inflasi terendah dialami oleh Kota Tembilahan, yaitu mencapai 3,13% (yoy) dan juga tercatat memberikan kontribusi terendah.
33
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Dilihat berdasarkan subkelompok, penyumbang inflasi pada kelompok bahan makanan
utamanya
berasal
dari
subkelompok
ikan
segar,
subkelompok
transportasi, subkelompok bumbu-bumbuan dan subkelompok padi-padian, umbiumbian & hasilnya. Komoditas penyumbang inflasi dari subkelompok ikan segar berasal dari udang, sementara penyumbang inflasi pada subkelompok transportasi berasal dari bensin. Cabe merah dan beras masing-masing menjadi penyumbang terbesar inflasi pada subkelompok bumbu-bumbuan dan subkelompok padipadian,umbi-umbian & hasilnya. Sebaliknya, deflasi pada subkelompok daging dan hasil-hasilnya serta subkelompok buah-buahan menahan laju peningkatan inflasi Kota Tembilahan pada triwulan IV 2014. Penurunan tekanan inflasi utamanya terjadi pada komoditas daging ayam ras, jeruk, dan pisang. Penurunan juga terjadi pada komoditas bawang merah, kangkung, dan ikan asin dibelah.
2.2.
Disagregasi Inflasi3 (yoy)
Grafik 2.11. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy)
Peningkatan tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan, utamanya didorong
oleh
tekanan
dari
meningkatnya kelompok
administered price, yang berasal dari
kenaikan
harga
BBM
bersubsidi pada 18 November 2014 Sumber : BPS, diolah
yang
lalu.
Selain
itu,
peningkatan tekanan inflasi juga
terjadi pada kelompok volatile food (kelompok makanan bergejolak) juga mengalami peningkatan yang dipicu oleh peningkatan harga bahan makanan seperti beras dan cabe merah karena keterbatasan pasokan. Sementara, tekanan inflasi kelompok core (inti) disebabkan oleh kenaikan beberapa harga komoditas makanan jadi sebagai dampak kenaikan BBM bersubsidi dan pelemahan nilai tukar rupiah yang masih berlangsung hingga akhir tahun .
3
Disagregasi dilakukan dengan pendekatan subkelompok
34
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
2.2.1. Inflasi Inti (Core) Laju inflasi inti pada triwulan IV 2014 mengalami peningkatan dibandingkan triwulan III 2014 karena dampak kenaikan harga BBM bersubsidi. Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah yang kembali terjadi pada akhir tahun diperkirakan memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan inflasi kelompok ini, terutama bersumber dari bahan baku yang diimpor seperti tepung. Di sisi lain, masih berlanjutnya penurunan harga emas global yang ditransmisikan ke harga emas perhiasan domestik menahan laju peningkatan inflasi inti pada triwulan laporan. Kondisi ini tercermin dari mulai menurunnya inflasi tradables goods4 pada triwulan laporan. Peningkatan inflasi kelompok non tradable goods5 menjadi faktor yang mendorong peningkatan inflasi inti Riau pada triwulan laporan. Grafik 2.12. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.14. Perkembangan Harga Emas Dunia
Sumber : Bloomberg, diolah
Grafik 2.13. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 2.15. Perkembangan Inflasi Tradables Goods dan Non Tradable Goods (yoy)
Sumber : BPS, diolah
4
Tradable goods merupakan barang atau jasa yang dapat diperjualbelikan di lokasi yang berbeda atau berjarak dari lokasi dimana barang atau jasa tersebut dihasilkan 5 Non tradable goods merupakan barang atau jasa yang tidak dapat diperjualbelikan di lokasi yang berbeda atau berjarak dari lokasi dimana barang atau jasa tersebut dihasilkan
35
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Jika dilihat berdasarkan kota yang disurvei, maka inflasi inti tertinggi terjadi di Kota Dumai. Inflasi inti yang terjadi di kota ini tercatat cukup tinggi dibandingkan 2 (dua) kota lainnya, dan menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan inflasi inti juga terjadi di Kota Pekanbaru. Sebaliknya, inflasi inti di Kota Tembilahan cenderung mengalami penurunan. Secara umum, sumber inflasi inti pada triwulan laporan berasal dari inflasi pada nasi dengan lauk, kue kering berminyak, dan kue basah yang didorong oleh kenaikan harga BBM bersubsidi. Selain itu, peningkatan harga kue kering berminyak dan kue basah juga disebabkan oleh trend pelemahan nilai tukar yang menjadi penyebab kenaikan harga tepung untuk kedua komoditas tersebut.
2.2.2. Inflasi Volatile Food Tekanan inflasi yang berasal dari kelompok volatile food pada periode
Grafik 2.16. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy)
laporan mengalami peningkatan yang berarti dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Meningkatnya tekanan inflasi volatile food
didorong oleh
inflasi yang terjadi pada kelompok bahan
makanan
yang
utamanya
berasal dari subkelompok padi-padian
Sumber : BPS, diolah
dan subkelompok bumbu-bumbuan. Komoditas utama penyumbang inflasi dari kedua kelompok tersebut ialah beras dan cabe merah. Selain itu, peningkatan harga pada beberapa jenis ikan segar dan sayuran-sayuran juga mendorong peningkatan inflasi pada kelompok volatile food. Namun demikian, laju peningkatan inflasi kelompok volatile food tertahan oleh deflasi yang terjadi pada subkelompok bumbu-bumbuan yaitu bawang merah, dan daun bawang, dan subkelompok daging dan hasil-hasilnya yaitu daging ayam ras dan ayam hidup.
36
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Grafik 2.17. Perkembangan Harga Komoditas Beras dan Cabe Merah di Kota Pekanbaru
Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia
Peningkatan tekanan inflasi volatile food terjadi pada seluruh kota yang disurvei dengan peningkatan tertinggi terjadi di Kota Tembilahan. Sementara penigkatan terendah terjadi di kota Dumai yang juga mengalami inflasi volatile food terendah dibandingkan dua kota lainnya.
2.2.3. Inflasi Administered Prices Inflasi kelompok administered prices Riau pada triwulan laporan kembali mengalami peningkatan setelah mengalami penurunan pada triwulan sebelumnya. Jika dilihat dari kota yang disurvei, maka peningkatan inflasi administered price terjadi pada semua kota yang disurvei di Provinsi Riau. Inflasi administered price tertinggi dialami oleh Kota Pekanbaru, diikuti oleh Kota Tembilahan dan Kota Dumai. Peningkatan tekanan inflasi pada kelompok administered price disebabkan oleh kenaikan harga BBM bersubsidi pada 18 November 2014 yang lalu. Kenaikan ini terjadi pada komoditas bensin dan solar. Peningkatan tersebut juga berdampak terhadap penyesuaian tarif angkutan umum, baik darat maupun sungai dan laut. Selain itu, kebijakan peningkatan tarif dasar listrik yang dilakukan secara bertahap setiap dua bulan sekali sejak tanggal 1 Juli 2014 juga mendorong peningkatan inflasi pada kelompok ini. Meskipun demikian, adanya kebijakan pemerintah dalam penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk LPG 3 kg pada akhir tahun menahan laju peningkatan inflasi kelompok administered price lebih tinggi.
37
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Administered Price (yoy)
Sumber : BPS, diolah
38
Boks 3 DAMPAK PENYESUAIAN HARGA BBM, TARIF TENAGA LISTRIK, DAN HARGA LPG 12 KG TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN Kebijakan Pemerintah Pusat untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada tanggal 18 November 2014 yang lalu, telah mendorong kenaikan harga tarif angkutan, diikuti dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, serta harga beberapa produk industri lainnya. Selanjutnya memasuki tahun 2015, sejalan dengan semakin menurunnya harga minyak dunia, pada tanggal 1 Januari 2015 Pemerintah Pusat menurunkan harga BBM bersubsidi yaitu premium turun menjadi Rp7.600,- dan solar turun menjadi Rp7.250,-. Penurunan harga BBM berlanjut pada tanggal 19 Januari 2015, harga BBM premium turun menjadi Rp6.600,- (luar Jawa), Rp6.700,- (jawa & Madura), Rp7.000,- (Bali), dan harga solar turun menjadi Rp6.400,-. Di bidang kelistrikan, melalui Peraturan Menteri ESDM No. 09 Tahun 2014, pemerintah per 1 Mei 2014 melakukan penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (TTL) untuk rumah tangga besar, kantor pemerintah skala menengah, bisnis skala menengah & besar, dan untuk industri skala menengah & besar (per 2 bulan sampai dengan November 2014). Selain harga BBM dan TTL, pemerintah juga menaikkan harga LPG 12 Kg menyusul meningkatnya harga LPG dp pasar internasional dan penurunan nilai tukar rupiah. Berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah di tahun 2014 tersebut memberikan dampak pada peningkatan harga barang dan jasa, yang disebabkan karena perubahan biaya bahan baku, biaya energi, maupun biaya distribusi. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau melakukan liaison untuk mendapatkan informasi singkat dampak penyesuaian harga BBM, TTL, dan LPG tersebut terhadap kinerja beberapa perusahaan.
Grafik B2.1 Sebaran Responden
Grafik B2.2 Respon Penyesuaian Harga BBM
Berdasarkan hasil liaison dengan 15 contact yang mewakili beberapa sektor ekonomi di Provinsi Riau (Grafik B2.1), diperoleh informasi bahwa secara umum kenaikan harga BBM pada 18 November 2014 mendorong
sebagian
besar
perusahaan di Provinsi Riau untuk menaikkan
harga
jual
dalam
jangka waktu 1 minggu sampai dengan
1,5
kenaikan
harga
B2.2).
bulan
Namun
BBM
setelah (Grafik
sebaliknya,
penurunan harga BBM per 1 Januari 2015 relatif tidak disertai
Grafik B2.3 Dampak Penyesuaian Harga BBM
dengan penurunan harga jual. Hal ini dikonfirmasi oleh sejumlah perusahaan yang bergerak di Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; Pengangkutan dan Bangunan. Namun demikian, penyesuaian harga tersebut relatif tidak berpengaruh terhadap penjualan, daya saing dan rencana investasi perusahaan melainkan berpengaruh terhadap penurunan margin yang diperoleh hingga 1-10%. Penurunan margin tersebut disebabkan oleh peningkatan biaya operasional perusahaan seiring dengan meningkatnya harga BBM (Grafik B2.3). Di sisi lain, sejumlah contact menginformasikan bahwa kenaikan TTL secara bertahap per 2 bulan terhitung bulan Mei 2014 tidak berpengaruh terhadap kenaikan harga jual meskipun kenaikan TTL ini turut menjadi faktor yang mempengaruhi peningkatan biaya operasional yang pada akhirnya menurunkan margin sekitar 1-5%. Meskipun demikian, sebagian besar contact menyatakan bahwa kenaikan/penurunan TTL tidak berpengaruh signifikan terhadap daya saing dan rencana investasi (Grafik B2.5).
Grafik B2.4 Proporsi Biaya BBM dan TTL
Grafik B2.5 Dampak Kenaikan/Penurunan TTL
Sementara itu, dampak penyesuaian kebijakan LPG sangat dirasakan oleh perusahaan yang bertindak sebagai distributor LPG 12 Kg. Hal ini tercermin dari kenaikan harga LPG 12 Kg yang berdampak terhadap penurunan permintaan konsumen mencapai 220%. Penurunan permintaan tersebut secara langsung menggerus margin perusahaan hingga 10%. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti selisih harga antara LPG 12 Kg dan 3 Kg yang cukup signifikan dan disertai pula dengan penambahan kuota LPG 3 Kg sehingga mengakibatkan konsumen beralih pada penggunaan LPG 3 Kg. Terkait dengan kebijakan harga BBM yang mengikuti perkembangan harga pasar, 73% menyatakan setuju sepanjang masih berada dalam rentangan harga yang wajar dan subsidinya hanya dinikmati oleh kalangan masyarakat menengah-bawah. Sementara itu, 60% contact menyatakan tidak setuju
terhadap
secara
perubahan
otomatis
TTL
mengikuti
pergerakan inflasi, harga minyak dunia,
dan
terhadap
nilai
dollar
tukar AS.
rupiah Hal
ini
dikarenakan TTL bukan seharusnya menjadi
prioritas
melainkan
pasokan listrik yang memadailah yang dahulu.
harus
dibenahi
terlebih
Grafik B2.6 Respon Kebijakan Perubahan Harga BBM dan TTL
Disamping itu, perubahan TTL tersebut dapat menyulitkan perusahaan dalam memproyeksikan biaya dan target keuntungan yang diperoleh karena berpotensi menyebabkan gejolak harga yang cukup tajam. Untuk meminimalisir dampak dari ketidakpastian harga BBM dan TTL tersebut, sebagian besar contact memutuskan untuk menentukan harga jual dengan mengikuti perkembangan harga pasar dan mengoptimalkan penggunaan cangkang kelapa sawit terutama bagi perusahaan di sektor industri pengolahan untuk dijadikan sebagai sumber energi alternatif.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Bab 3 PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DAERAH
1. Kondisi Umum Perkembangan perbankan Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 relatif lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya. Secara tahunan, pertumbuhan baik aset, dana, maupun kredit tumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Kualitas kredit juga masih relatif stabil, namun kualitas kredit yang disalurkan BPR perlu mendapat perhatian serius, mengingat tingginya NPL BPR dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
39
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
2. Perkembangan Perbankan Riau Kinerja perbankan Riau pada triwulan laporan relatif lebih baik bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini dapat terlihat dari pertumbuhan aset perbankan Riau yang mencapai Rp86,81 triliun atau meningkat dari 7,27% (yoy) menjadi 11,43% (yoy). Peningkatan aset perbankan utamanya didorong oleh peningkatan aset bank umum dari 7,31% pada triwulan sebelumnya menjadi 11,44% pada triwulan laporan. Sejalan dengan pertumbuhan aset, kredit perbankan Riau juga tumbuh membaik dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 7,22% (yoy) menjadi 7,31% (yoy). Posisi kredit perbankan Riau pada triwulan IV mencapai Rp 53,12 triliun. Namun, kredit yang disalurkan oleh perbankan Riau tercatat lebih tinggi bila dilihat berdasarkan lokasi proyek, yaitu mencapai Rp 74,73 triliun atau tumbuh 10,29% (yoy). Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan Riau juga tumbuh lebih tinggi yaitu sebesar 15,53% (yoy) dari 11,42% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Nilai DPK perbankan Riau saat ini mencapai Rp 64,95 triliun. Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan Riau (dalam Rp Juta)
Pertumbuhan kredit yang meningkat lebih besar secara triwulanan dibandingkan pertumbuhan dana menyebabkan peningkatan LDR perbankan Riau yaitu dari 80,73% menjadi 81,78%. Namun dengan memperhitungkan kredit berdasarkan
40
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
lokasi proyek, LDR perbankan Riau masih tercatat lebih tinggi yaitu mencapai 115,06%. Sementara itu, risiko kredit yang disalurkan relatif membaik yaitu sebesar 3,39%, dan tercatat masih berada dalam batas aman yang ditetapkan.
2.1. Perkembangan Bank Umum 2.1.1. Perkembangan Jaringan Kantor Tabel 3.2. Perkembangan Jaringan Kantor Bank Umum di Riau Triwulan IV 2014
Jumlah Bank Umum yang beroperasi di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 tidak mengalami
perubahan
triwulan
sebelumnya
sebanyak
49
Bank.
dibandingkan yaitu
tercatat
Jumlah
jaringan
kantor bank umum yang ada di Provinsi Riau baik Kantor Kas, Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu maupun yang Sumber: Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Riau
setingkat
juga
tidak
mengalami
perubahan yang siginifikan dibandingkan triwulan sebelumnya.
2.1.2. Perkembangan Aset Aset bank umum di Provinsi Riau tercatat sebesar Rp 85,65 triliun pada triwulan IV 2014, tumbuh 11,44% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan III 2014 yang tumbuh sebesar 7,31% (yoy). Pertumbuhan aset bank umum didorong oleh pertumbuhan dana yang dihimpun. Namun demikian, jika dilihat secara triwulanan aset bank umum justru mengalami kontraksi sebesar 1,06% (qtq). Grafik 3.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau
Grafik 3.2. Perkembangan Pangsa Aset Bank Umum Menurut Kelompok 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% I
II
III
IV
I
2012
II
III
IV
I
2013 Aset Pemerintah
II
III
IV
2014 Aset Swasta
41
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Berdasarkan kepemilikannya, maka pertumbuhan aset bank umum pada triwulan laporan utamanya didorong oleh pertumbuhan aset bank milik pemerintah yaitu sebesar 14,20% (yoy) sehingga menjadi Rp60,45 triliun. Sementara pertumbuhan aset bank milik swasta hanya meningkat sebesar 5,32% (yoy), sehingga jumlahnya mencapai Rp25,20 triliun. Pangsa aset bank umum pemerintah masih tetap mendominasi dengan share 70,58%, relatif stabil dibandingkan triwulan sebelumnya.
2.1.3. Kredit 2.1.3.1. Perkembangan Penyaluran Kredit Kredit yang disalurkan oleh bank umum di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar Rp52,28 triliun. Jumlah ini tumbuh sebesar 7,26% (yoy), relatif stabil jika dibandingkan triwulan III 2014 yang tumbuh sebesar 7,22% (yoy) Perlambatan penyaluran kredit pada triwulan IV 2014 terjadi pada bank milik pemerintah yaitu sebesar 7,81 (yoy) dari 8,42% (yoy) di triwulan sebelumnya. Sedangkan pada bank swasta, pertumbuhan penyaluran kredit justru meningkat dari 5,11% (yoy) menjadi 6,27% (yoy). Tabel 3.3. Posisi Kredit Bank Umum Di Provinsi Riau (dalam Rp juta)
Keterangan A. Kelompok Bank 1. Bank Pemerintah 2. Bank Swasta B. V a l u t a 1. Rupiah 2. Valas Total
2013 IV
2014
Pertumbuhan Tw IV-2014 yoy (%) qtq (%)
I
II
III
IV
31.241.365 17.504.103
30.819.077 17.668.602
32.527.892 18.140.360
32.798.861 18.180.006
33.681.037 18.602.399
7,81 6,27
2,69 2,32
47.378.560 1.366.907 48.745.468
47.233.118 1.254.562 48.487.679
49.421.211 1.247.042 50.668.252
50.009.977 968.890 50.978.867
51.138.174 1.145.263 52.283.437
7,94 -16,22 7,26
2,26 18,20 2,56
Berdasarkan valutanya penyaluran kredit masih didominasi oleh mata uang rupiah yaitu mencapai Rp51,14 triliun, tumbuh 7,94% (yoy) namun melambat dari triwulan sebelumnya (8,33% yoy). Disisi lain, penyaluran kredit dalam mata uang asing mengalami penurunan sebesar 16,62% (yoy), namun tidak sedalam triwulan sebelumnya yang tercatat mengalami kontraksi sebesar 29,92% (yoy).
42
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
2.1.3.2. Konsentrasi Kredit Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 masih didominasi oleh sektor pertanian dan sektor perdagangan yang memiliki pangsa masing-masing sebesar 21,78% dan 21,45% dengan nilai kredit masing-masing sebesar Rp 11,39 triliun dan Rp 11,21 triliun. Tingginya penyerapan kredit pada sektor tersebut tidak terlepas dari masih prospektifnya sektor tersebut di Provinsi Riau. Penyaluran kredit kepada sektor pertanian didominasi oleh subsektor perkebunan kelapa sawit dengan pangsa 88,58% dari total kredit sektor pertanian atau sebesar Rp. 10,08 triliun. Sedangkan sektor perdagangan didominasi oleh subsektor perdagangan eceran makanan, minuman dan tembakau dengan pangsa 21,50% dari total kredit sektor perdagangan atau sebesar Rp 2,41 triliun. Namun, penyaluran kredit kepada sektor pertanian dan sektor pedagangan melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan sektor pertanian melambat dari 16,33% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi 14,46% (yoy) pada triwulan IV 2014. Sejalan dengan sektor pertanian, sektor perdagangan juga melambat dari 5,57% (yoy) menjadi 3,46% (yoy). Pertumbuhan tertinggi penyaluran kredit pada triwulan IV 2014 disumbang oleh sektor pertambangan yang tercatat tumbuh hingga 30,50% (yoy) dan 38,66% (qtq). Pertumbuhan tersebut utamanya berasal dari subsektor jasa pertambangan minyak dan gas bumi yang tercatat tumbuh meningkat sebesar 58,56% (qtq). Meskipun pertumbuhan pada kredit sektor pertambangan cukup tinggi namun pangsa kredit pertambangan terhadap total kredit hanya sebesar 0,73% sehingga andil terhadap pertumbuhan kredit tidak terlalu besar. Sektor lain yang juga menyerap kredit cukup besar adalah sektor jasa-jasa yaitu mencapai Rp4,30 triliun dengan share yang meningkat dari 7,93% di triwulan sebelumnya menjadi 8,53% di triwulan IV 2014. Dari segi pertumbuhan, secara tahunan sektor jasa-jasa mengalami kontraksi sebesar 7,12% (yoy), namun tumbuh 6,37% (qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya. Di sisi lain, sektor industri pengolahan tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 16,93% (yoy) dan 7,81% (qtq), cenderung meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 13,66% (yoy) dan turun sebesar 3,65% (qtq). Penyerapan kredit pada sektor ini sebagian besar terkonsentrasi pada subsektor industri minyak mentah
43
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
(minyak makan) dari nabati dan hewan yang mengolah hasil dari perkebunan kelapa sawit yang banyak tersebar di Provinsi Riau, yaitu mencapai Rp 658,28 miliar atau 32,40% dari total kredit sektor industri pengolahan. Selanjutnya, penyaluran kredit kepada sektor konstruksi masih menunjukkan kontraksi yaitu sebesar 2,17% (yoy) namun tidak sedalam kontraksi pada triwulan sebelumnya yang sebesar 7,79% (yoy). Penyaluran kredit sektor listrik, gas, dan air tumbuh sebesar 19,79% pada triwulan IV 2014 membaik dibandingkan yang pada triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi 10,19% (yoy). Tabel 3.4. Kredit Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (Rp juta)
Berdasarkan jenis penggunaannya, penyaluran kredit pada triwulan IV 2014 sebagian besar disalurkan kepada sektor produktif yaitu mencapai Rp 32,94 triliun. Sementara penyaluran pada kredit konsumsi sebesar Rp 19,34 triliun. Komponen kredit produktif terdiri dari kredit modal kerja dan kredit investasi yang masingmasing memiliki pangsa sebesar 31,21% dan 31,79% dari total kredit yang disalurkan. Pertumbuhan kredit modal kerja mengalami sedikit perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 7,99% (yoy) menjadi 5,87% (yoy). Di sisi lain, pertumbuhan kredit investasi menunjukkan peningkatan dari sebesar 5,01% (yoy) menjadi 8,05% (yoy). Sementara,kredit konsumsi tercatat mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 8,49% (yoy) menjadi 7,77% (yoy) atau sebesar Rp 19,34 triliun.
44
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.3.Perkembangan Pangsa Kredit Menurut Jenis Penggunaan (%)
Perlambatan pada pertumbuhan Kredit Modal Kerja sebagian besar masih disumbang oleh subsektor perkebunan kelapa sawit yang tercatat sebesar Rp2,49 triliun yang tumbuh melambat dari 40,54% (yoy) menjadi sebesar 22,18% (yoy). Selain itu, kontraksi kredit modal kerja pada subsektor perdagangan eceran berbagai macam barang yang didominasi makanan, minuman dan tembakau juga mendorong perlambatan penyerapan kredit modal kerja pada triwulan laporan. Jumlah kredit modal kerja pada subsektor ini tercatat sebesar Rp1,98 triliun atau tercatat mengalami kontraksi sebesar 14,46% (yoy). Peningkatan kredit investasi utamanya
didorong
oleh
peningkatan
kredit
investasi
kepada
subsector
perkebunan kelapa sawit yang mencapai Rp7,59 triliun atau tumbuh meningkat dari 14,02% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi 14,54% (yoy) pada triwulan IV 2014. Grafik 3.4. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (qtq)
Grafik 3.5. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (yoy)
25,00 20,00 qtq,%
15,00 10,00 5,00 0,00 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2009
2010
2011
Modal Kerja (qtq) Konsumsi (qtq)
2012
2013
2014
Investasi (qtq) Total
Realisasi kredit berdasarkan lokasi proyek di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 tumbuh meningkat dibandingkan periode sebelumnya yaitu dari 9,23% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi 10,29% (yoy). Berdasarkan wilayahnya, penyerapan kredit 45
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
paling besar masih terpusat di Kota Pekanbaru yaitu mencapai Rp28,80 triliun, diikuti oleh Kabupaten Kampar yang mencatatkan serapan kredit hingga Rp8,83 triliun. Penyaluran kredit di Kota Pekanbaru tumbuh stabil yaitu sebesar 7,64% (yoy). Selanjutnya, penyaluran kredit di Kabupaten Kampar tumbuh 9,38% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 7,15% (yoy). Dilihat dari pertumbuhannya, penyaluran kredit di Kabupaten Indragiri Hilir mengalami peningkatan yang signifikan hingga mencapai 239% (yoy) yang utamanya berasal dari sektor pertanian. Di sisi lain, penyaluran kredit di Kota Dumai kembali menunjukkan kontraksi yang lebih dalam dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 39,86% (yoy) akibat melambatnya penyaluran kredit sektor perdagangan. Tabel 3.5. Distribusi Penyaluran Kredit Lokasi Proyek Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau (Rp juta) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2013 IV Pekanbaru 26.757.453 Bengkalis 3.785.837 Dumai 8.300.244 Indragiri Hilir 2.436.017 Indragiri Hulu 3.775.862 Rokan Hulu 3.559.387 Rokan Hilir 2.281.114 Kampar 8.072.888 Pelalawan 3.328.846 Siak 3.094.771 Meranti 347.921 Kuantan Singingi 2.020.429 Jumlah 67.760.769 Kab./Kota
I 26.520.104 3.771.437 8.359.329 2.484.726 3.702.339 3.487.928 2.566.084 8.050.638 3.253.929 3.051.732 303.975 2.034.995 67.587.218
2014 II III 27.742.506 27.885.963 3.947.862 3.891.743 6.708.876 5.478.910 6.181.447 6.428.477 3.904.106 3.942.846 3.648.069 3.784.887 2.615.149 2.628.794 8.447.262 8.472.008 3.531.341 3.233.269 3.226.964 3.238.054 339.516 345.026 2.098.826 2.111.501 72.391.925 71.441.476
IV 28.802.595 4.017.021 4.991.981 8.258.084 4.174.278 3.781.254 2.709.162 8.830.210 2.697.431 3.851.485 373.667 2.244.801 74.731.969
Pertumbuhan Tw IVyoy (%) qtq (%) 7,64 3,29 6,11 3,22 (39,86) (8,89) 239,00 28,46 10,55 5,87 6,23 (0,10) 18,76 3,06 9,38 4,23 (18,97) (16,57) 24,45 18,94 7,40 8,30 11,11 6,31 10,29 4,61
Total rekening kredit pada bank umum di triwulan IV 2014 berjumlah 512.588 rekening, meningkat 7.148 rekening dibandingkan periode sebelumnya. Berbeda dibandingkan triwulan sebelumnya, total rekening UMKM pada triwulan IV 2014 lebih besar dibandingkan jumlah rekening non UMKM. Kenaikan jumlah rekening berasal dari kategori debitur UMKM yang tumbuh sebesar 3,16% (qtq) dibandingkan periode sebelumnya atau menjadi 257.386 rekening, sedangkan rekening non-UMKM mengalami penurunan sebesar 0,28% menjadi 255.202 rekening. Grafik 3.6.Perkembangan Jumlah Rekening Kredit Perbankan 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% I
II
III IV
2010
I
II
III IV
2011
UMKM
I
II
III IV
2012
I
II
III IV
2013
I
II
III IV
2014
Non-UMKM
46
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
2.1.3.3. Penyaluran Kredit UMKM Total kredit yang disalurkan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) oleh bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp20,03 triliun pada triwulan IV 2014, meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 13,51% (yoy) menjadi 13,73%(yoy). Porsi kredit yang diserap UMKM dari total kredit yang diberikan bank umum di Provinsi Riau tercatat stabil dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 38,32%. Penyaluran kredit skala usaha mikro memiliki pertumbuhan tertinggi pada triwulan IV 2014 yaitu sebesar
25,12% (yoy). Di sisi lain,
perkembangan kredit skala usaha kecil yang memiliki pangsa terbesar kredit UMKM Riau (37,60%) pada triwulan IV 2014 tercatat melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Selanjutnya, pangsa kredit skala usaha menengah tercatat sebesar 35,43% dengan nilai kredit mencapai Rp7,1 triliun. Dilihat berdasarkan lokasinya, penyerapan kredit UMKM di Kota Pekanbaru merupakan yang tertinggi dengan pangsa 57,77% dari total kredit UMKM yaitu mencapai Rp11,57 triliun. Sementara, perkembangan kualitas kredit UMKM perlu mendapat perhatian karena meskipun NPL tercatat membaik dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 5,99% menjadi 5,49%, namun NPL masih berada di atas batas wajar yang ditentukan BI yaitu sebesar 5%. Tabel 3.6. Perkembangan Kredit UMKM di Provinsi Riau (Rp juta) Skala Usaha
2013 III
2014 IV
I
II
yoy,% III
IV
Tw III-14
Tw IV- 2014
Tw IV-14
qtq, %
Pangsa (%)
Mikro
4.287.628
4.317.958
4.424.699
5.210.241
4.940.401
5.402.536
15,22
25,12
9,35
26,97
Kecil
6.566.675
6.912.290
7.030.433
7.279.402
7.669.811
7.531.647
16,80
8,96
(1,80)
37,60
Menengah
6.490.190
6.384.535
6.639.789
7.263.815
7.077.558
7.098.507
9,05
11,18
0,30
17.344.493 17.614.783 18.094.921 19.753.458 19.687.770 5,38% 4,83% 5,13% 5,82% 5,99%
20.032.690 5,49%
13,51
13,73
1,75
Total Kredit 47.548.033 48.745.468 48.487.679 50.668.252 50.978.867 (% terhadap Total Kredit) 36,48% 36,14% 37,32% 38,99% 38,62%
52.283.437 38,32%
Kredit MKM NPL MKM
35,43 100,00
Ket : Kriteria UMKM mengikuti UU No.20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
NPL tertinggi pada Kredit UMKM berada pada sektor konstruksi yaitu sebesar 8,53% yang diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 6,46% dan sektor jasa-jasa sebesar 5,69%. Dilihat dari pangsanya, sektor Perdagangan, Hotel dan restoran merupakan sektor yang terbesar dalam penyaluran kredit UMKM di Riau, sehingga tingginya NPL pada kedua sektor tersebut perlu menjadi perhatian bagi pihak perbankan.
47
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Tabel 3.7. NPLs Kredit UMKM di Provinsi Riau Tw IV 2014 Menurut Sektor Ekonomi Sektor ekonomi
NPL (%)
Pertanian
3,87
Pertambangan
4,34
Industri Pengolahan
3,33
Listrik, Gas dan Air
1,53
Konstruksi
8,53
Perdagangan Hotel dan Restoran
6,46
Pengangkutan, Pergudangan dan Komunikasi
5,34
Jasa-jasa
5,69
Lain-lain
5,87
Total
5,49
Dilihat secara sektoral, penyerapan kredit UMKM masih didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan pangsa mencapai 43,12% dari total kredit UMKM. Subsektor yang memiliki porsi kredit terbesar adalah subsektor perdagangan eceran berbagai macam barang yang didominasi makanan, minuman dan tembakau, yaitu mencapai Rp2,32 triliun. Selanjutnya sektor pertanian juga menyerap kredit UMKM dalam jumlah yang besar yaitu sebesar Rp6,59 triliun (pangsa 32,89%) pada triwulan IV 2014 dengan porsi terbesar adalah kredit subsektor perkebunan kelapa sawit yaitu mencapai Rp 5,75 triliun. Tabel 3.8. Sebaran Kredit UMKM menurut Sektor Ekonomi (Rp juta) No.
Sektor Ekonomi
1 Pertanian 2 Pertambangan 3 Perindustrian 4 Listrik, Gas dan Air 5 Konstruksi 6 Perdag., Resto. & Hotel 7 Pengangkutan, Pergud. 8 Jasa-jasa 9 Lain-lain Jumlah
2013 III
2014 IV
I
II
yoy (%) III
IV
Tw III-2014 Tw IV-2014
Pangsa Tw IV2014 (%)
5.123.883
5.347.401
5.538.770
6.137.287
6.351.038
6.589.237
23,95
23,22
32,89
92.032
102.510
102.663
95.482
103.340
127.905
12,29
24,77
0,64
294.894
290.038
306.847
330.424
349.239
393.370
18,43
35,63
1,96
11.898
11.587
99.833
103.551
85.721
112.589
620,47
871,67
0,56
909.977
915.573
862.249
1.076.985
1.121.439
1.137.332
23,24
24,22
5,68
8.248.008
8.291.906
8.381.922
8.740.109
8.614.234
8.638.755
4,44
4,18
43,12
753.635
778.492
862.778
954.817
789.588
748.616
4,77
(3,84)
3,74
1.909.171
1.875.077
1.934.210
2.189.297
2.208.914
2.198.666
15,70
17,26
10,98
996
2.200
5.649
125.506
64.256
86.221
6.353,53
3.820,00
0,43
17.344.493
17.614.783
18.094.921
19.753.458
19.687.770
20.032.690
13,51
13,73
100,00
Porsi kredit yang diberikan kepada UMKM paling besar diserap dalam bentuk kredit modal kerja yaitu mencapai Rp11,80 triliun (pangsa 58,92%). Sementara jumlah kredit UMKM yang disalurkan dalam bentuk kredit investasi pada triwulan IV 2014 mencapai Rp8,23 triliun (pangsa 41,08%). Penyerapan kredit investasi memiliki pertumbuhan yang meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu dari 11,88% (yoy) menjadi 12,64% (yoy). Di sisi lain penyaluran kredit modal kerja tumbuh relatif stabil yaitu sebesar 14,50% (yoy). Secara umum, pertumbuhan
48
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
kredit UMKM tercatat lebih tinggi dari pertumbuhan kredit perbankan secara umum. Tabel 3.9. Sebaran Kredit UMKM menurut Jenis Penggunaan (Rp juta) 2013 III 7.224.688 10.119.805 17.344.493 47.548.033
Keterangan Investasi Modal Kerja Kredit UMKM Total Kredit Perbankan
IV 7.305.573 10.309.210 17.614.783 48.745.468
I 7.631.556 10.463.366 18.094.921 48.487.679
2014 II III 8.307.849 8.083.107 11.445.609 11.604.663 19.753.458 19.687.770 50.668.252 50.978.867
IV 8.228.757 11.803.933 20.032.690 52.283.437
yoy (%) Tw III-2014 Tw IV-2014 11,88 12,64 14,67 14,50 13,51 13,73 7,22 7,26
Jumlah rekening kredit UMKM pada bank umum di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 mengalami kenaikan sebesar 7.875 rekening sehingga jumlahnya meningkat dari 249.511 rekening menjadi 257.386 rekening. Peningkatan rekening kredit UMKM tersebut memperlihatkan perluasan askes keuangan dan layanan perbankan terhadap UMKM di Provinsi Riau semakin membaik.
2.1.3.4. Kelonggaran Tarik (Undisbursed Loan) Jumlah kredit yang belum dicairkan atau Undisbursed Loan triwulan IV 2014 mencapai Rp5,04 triliun meningkat tinggi sebesar16,62% (yoy). Porsi Undisbursed Loan di Provinsi Riau mencapai 9,63% dari total kredit yang diberikan bank umum Provinsi Riau. Pertumbuhan Undisbursed Loan bank umum di Provinsi Riau baik milik pemerintah maupun milik swasta tercatat meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu masing-masing tumbuh menjadi 35,96% (yoy) dan 7,51% (yoy). Pangsa terbesar Undisbursed Loan masih berada di bank milik swasta. Grafik 3.7. Perkembangan Undisbursed Loan Bank Umum di Riau 6,00
5,00
Rp Triliun
4,00 3,00 2,00 1,00
0,00
Tw I 11 Tw II 11 Pemerintah 1,72 1,50
Tw III 11 1,57
Tw IV Tw I 12 Tw II 11 12 1,83 1,88 1,67
Tw III 12 1,62
Tw IV Tw I 13 Tw II12 13 1,41 1,32 1,31
Tw III- Tw IV- Tw I-14 Tw II13 13 14 1,62 1,38 1,64 1,52
Tw III- Tw IV14 14 1,87 1,88
Swasta
1,65
1,97
2,19
2,00
2,01
1,96
2,24
2,34
2,44
2,69
3,12
2,94
2,85
3,07
3,21
3,16
Total
3,36
3,47
3,77
3,83
3,89
3,63
3,86
3,75
3,76
4,01
4,74
4,32
4,49
4,60
5,08
5,04
49
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Berdasarkan jenis penggunaan, kredit modal kerja mendominasi porsi undisbursed loan pada bank umum. Total undisbursed loan dalam bentuk kredit modal kerja mencapai Rp3,82 triliun, atau 75,89% dari total undisbursed loan di bank umum. Secara sektoral, undisbursed loan terbesar berada di sektor perdagangan yaitu mencapai Rp1,59 triliun, utamanya berasal dari subsektor perdagangan eceran berbagai macam barang yang didominasi makanan, minuman dan tembakau yang mencapai Rp169,29 miliar. Subsektor perkebunan kelapa sawit juga memiliki undisbursed loan yang tinggi yaitu hingga sebesar Rp 513,1 miliar. Tingginya angka Undisbursed Loan tersebut diperkirakan akibat dari pencairan kredit yang dilakukan secara bertahap, sehingga kredit yang diberikan bank belum digunakan seluruhnya oleh para pelaku usaha.
2.1.3.5. Risiko Kredit NPLs kredit bank umum pada periode pelaporan menunjukkan penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 3,57% menjadi 3,23%. Tingkat NPL kredit bank umum yang menurun menunjukkan membaiknya kualitas kredit yang disalurkan bank umum di Provinsi Riau dalam kurun waktu 3 bulan terakhir. Grafik 3.8. Perkembangan NPL Gross di Provinsi Riau Rp miliar 1.400
% 4,00
1.200
3,50
1.000 800
3,00
600
2,50
400 2,00
200
0
1,50 Tw I Tw II Tw III Tw Tw I Tw II Tw III Tw Tw I Tw II Tw III Tw Tw I Tw II Tw III Tw 11 11 11 IV 11 12 12 12 IV 12 13 13 13 IV 13 14 14 14 IV14
Kurang Lancar
Diragukan
Macet
NPLs (kanan)
Dilihat dari sektor ekonominya, NPL tertinggi masih dialami oleh sektor konstruksi yaitu sebesar 7,64%, meningkat dibandingkan triwulan III 2014 yang sebesar 7,27%. Tingginya NPL pada sektor konstruksi utamanya didorong oleh kredit bermasalah pada sektor konstruksi di Kota Pekanbaru. Subsektor penyiapan lahan lainnya tercatat memberikan porsi kredit bermasalah tertinggi dari total NPL di sektor konstruksi Kota Pekanbaru.
50
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Beberapa sektor lain yang memiliki NPL cukup tinggi pada periode laporan ini adalah sektor perdagangan sebesar 5,36% dan sektor jasa sosial masyarakat sebesar 4,18%, namun untuk kedua sektor tersebut angka NPL yang tercatat menunjukkan perbaikan dibandingkan triwulan sebelumnya. Tabel 3.10. NPLs Per Sektor Ekonomi di Provinsi Riau No.
Sektor Ekonomi
2013
2014
Tw I
Tw II
Tw III
Tw IV
Tw I
Tw II
Tw III
Tw IV
1 Pertanian
2,73%
2,78%
3,08%
2,66%
2,82%
2,65%
2,53%
2,34%
2 Pertambangan
0,60%
0,42%
0,32%
0,36%
1,71%
1,68%
2,24%
1,56%
3 Perindustrian
1,09%
1,10%
1,09%
0,64%
0,74%
0,76%
0,77%
0,66%
4 Listrik
0,54%
0,20%
0,26%
0,16%
0,17%
1,54%
1,57%
1,43%
5 Konstruksi
7,91%
6,61%
6,00%
5,95%
6,54%
7,94%
7,27%
7,64%
6 Perdagangan
4,33%
4,31%
4,78%
4,33%
4,90%
5,47%
5,82%
5,36%
7 Pengangkutan
0,52%
1,87%
2,48%
2,97%
3,21%
2,83%
3,23%
3,02%
8 Jasa Dunia Usaha
2,51%
2,59%
3,91%
3,66%
4,85%
4,46%
4,61%
4,14%
9 Jasa Sosial Masy.
4,65%
4,80%
5,48%
4,44%
3,94%
4,47%
4,56%
4,18%
2,94%
2,75%
2,80%
2,32%
2,57%
2,70%
2,61%
2,24%
3,21%
3,19%
3,48%
3,06%
3,32%
3,54%
3,57%
3,23%
10 Lain-lain Total
Berdasarkan Kab/Kota, Kabupaten Indragiri Hilir tercatat memiliki NPL tertinggi yaitu 9,03%, dan menunjukkan tren yang cenderung meningkat dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Secara sektoral, NPL di Kabupaten Indragiri Hilir berasal dari sektor perdagangan yang didominasi oleh subsektor perdagangan eceran berbagai macam barang yang didominasi makanan, minuman dan tembakau. Sementara dilihat dari jenis penggunaannya, mayoritas NPL berasal dari kredit konsumsi. Tabel 3.11. NPLs Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau Lokasi Kota Kota Kab. Kab. Kab. Kab. Kab. Kab. Kab. Kab. Kab. Kab.
Pekanbaru Dumai Bengkalis Indragiri Hulu Indragiri Hilir Kampar Rokan Hulu Rokan Hilir Pelalawan Siak Kuantan Singingi Kep. Meranti JUMLAH
2011 2,10% 1,58% 1,89% 1,09% 1,29% 1,04% 1,97% 4,47% 0,90% 1,46% 0,92% 2,35%
2012 2,92% 2,25% 3,68% 3,24% 6,09% 1,60% 2,23% 6,73% 0,55% 1,43% 1,11% 1,52% 2,89%
2013 2,95% 2,95% 3,04% 5,49% 7,86% 1,40% 1,81% 5,94% 1,27% 1,38% 2,58% 1,63% 3,06%
I 3,22% 3,10% 3,47% 5,64% 8,54% 2,06% 2,35% 6,38% 1,28% 1,39% 2,27% 1,68% 3,32%
2014 II 3,35% 4,06% 4,26% 5,41% 8,93% 2,25% 3,16% 6,59% 1,52% 1,60% 2,05% 2,44% 3,54%
III 3,43% 4,26% 4,22% 5,57% 9,50% 2,10% 3,13% 6,07% 1,24% 1,54% 1,84% 1,92% 3,57%
IV 3,17% 3,53% 3,77% 4,33% 9,03% 1,80% 2,78% 4,92% 0,99% 1,57% 1,68% 1,42% 3,23%
Selanjutnya, NPL yang cukup tinggi juga dialami Kabupaten Rokan Hilir yang tercatat sebesar 4,92%, namun membaik dibandingkan periode sebelumnya. NPL juga didorong oleh Sektor Perdagangan besar dan Eceran yang didominasi oleh
51
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
subsektor perdagangan eceran berbagai macam barang yang didominasi makanan, minuman dan tembakau.
2.1.4. Dana Pihak Ketiga Dana Pihak Ketiga (DPK) bank umum di provinsi Riau pada triwulan IV tercatat tumbuh sebesar
15,52% (yoy) menjadi
Rp64,14 triliun, meningkat
jika
dibandingkan triwulan III yang tumbuh sebesar 11,44 % (yoy). Komponen DPK yang memiliki pangsa terbesar adalah tabungan yaitu sebesar 45,96% yang kemudian diikuti dengan deposito dan giro yang memiliki pangsa masing-masing sebesar 32,65% dan 21,40%. Komponen giro dan deposito tumbuh meningkat pada triwulan IV 2014 masing-masing sebesar 3,20% (yoy) dan 53,56% (yoy), sedangkan komponen tabungan tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 3,11% (yoy). Namun secara triwulanan komponen DPK bank umum di Provinsi Riau memiliki pertumbuhan yang melambat. Hal ini tidak terlepas dari komponen giro yang kembali mengalami penurunan sebesar 7,45% (qtq) dan deposito turun 0,13% (qtq) meskipun tabungan tumbuh meningkat sebesar 6,86% (qtq). Tabel 3.12. Perkembangan DPK di Provinsi Riau (Rp miliar) No
Komponen DPK
1 Giro 2 Tabungan 3 Deposito a. s.d 3 bln b. > 3-6 bln c. > 6-12 bln d. > 12 bln Total DPK
2013 I 15.784 23.838 13.132 9.902 1.745 1.201 284 52.754
II 16.721 23.861 15.408 12.562 1.667 994 184 55.990
2014 III 15.833 25.714 15.332 12.572 1.470 1.085 205 56.878
IV 13.298 28.588 13.638 10.749 1.610 935 344 55.524
I 12.557 27.364 14.546 11.081 1.925 1.139 400 54.466
II 16.864 26.937 16.995 13.519 1.552 1.692 232 60.795
Pertumbuhan (%) Tw IV 2014 III 14.828 27.587 20.969 17.344 1.566 1.827 232 63.384
IV 13.724 29.478 20.941 16.841 1.692 1.878 531 64.143
yoy 3,20 3,11 53,56 56,68 5,09 100,90 54,16 15,52
qtq (7,45) 6,86 (0,13) (2,90) 8,02 2,80 128,76 1,20
Berdasarkan kepemilikannya, perlambatan dalam pertumbuhan DPK secara triwulanan didorong oleh penurunan dana milik pemerintah sebesar 29,78% (qtq). Penurunan ini disumbang utamanya oleh penurunan dana milik pemerintah daerah yang memiliki pangsa 82,86% dari total dana milik pemerintah. Dana milik pemerintah daerah pada triwulan IV 2014 mengalami penurunan sebesar 31,36% (qtq), meskipun secara tahunan meningkat 46,95% (yoy). Disisi lain, dana milik sektor swasta mengalami peningkatan sebesar 5,07% (yoy) dan 29,88% (qtq). Kenaikan dana milik sektor swasta didorong oleh kenaikan dana milik perusahaan swasta sebesar 5,69% (yoy) dan 31,83% (qtq). Dana milik 52
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
perorangan tumbuh stabil dibandingkan periode sebelumnya yaitu mencapai 11,87% (yoy) dan 7,88% (qtq), yang utamanya didorong oleh peningkatan deposito dan tabungan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa tingkat suku bunga saat ini cukup menarik bagi masyarakat, sehingga jumlah dana yang dihimpun perbankan meningkat. Tabel 3.13. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (Rp juta) No
Kepemilikan
Sektor Pemerintah 1 Pemerintah Pusat 2 Pemerintah Daerah 3 Badan/ Lembaga Pemerintah 4 Badan Usaha Milik Negara 5 Badan Usaha Milik Daerah Sektor Swasta 6 Perusahaan Asuransi 7 Perusahaan Swasta 8 Yayasan dan Badan Sosial 9 Koperasi 10 Lainnya Perorangan Jumlah
2012 IV 9.105.668
2013
2014
III
IV
13.204.736
7.345.905
I
II
III
IV
Pertumbuhan (%) yoy qtq
8.093.251 14.316.253
15.444.957
10.845.951
47,65
-29,78
388.934 7.794.785 119.414 704.665 97.870 8.557.573 109.135 7.504.515 771.308 159.213 13.402 34.579.298
366.284 272.111 389.211 362.380 11.975.709 6.115.631 6.655.970 12.084.807 107.994 58.409 109.858 96.784 569.608 780.138 780.654 1.723.426 185.141 119.616 157.558 48.857 7.186.205 8.863.838 7.398.097 7.361.210 110.889 112.587 114.652 100.800 6.290.914 7.797.562 6.428.695 6.483.030 627.435 769.038 671.376 606.358 145.290 172.191 169.698 166.776 11.678 12.459 13.676 4.246 36.487.409 39.314.143 38.974.939 39.117.748
349.443 13.093.248 112.106 1.837.297 52.863 7.170.852 103.120 6.251.271 650.475 162.624 3.362 40.768.025
245.328 8.986.882 55.851 1.485.439 72.451 9.313.249 118.861 8.241.175 767.233 185.980 2.953 43.980.711
-9,84 46,95 -4,38 90,41 -39,43 5,07 5,57 5,69 -0,23 8,01 -76,30 11,87
-29,79 -31,36 -50,18 -19,15 37,05 29,88 15,26 31,83 17,95 14,36 -12,17 7,88
52.242.540
56.878.350 55.523.886 54.466.287 60.795.211
63.383.834
64.139.911
15,52
1,19
Total rekening dana bank umum Provinsi Riau pada triwulan IV mencapai 3.685.168 rekening meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat berjumlah 3.613.045. Jumlah rekening dana tumbuh sebesar 6,67% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 14,62% (yoy). Peningkatan jumlah rekening dana Provinsi Riau pada triwulan IV berasal dari pembukaan 69.054 rekening tabungan, 2.581 rekening deposito, dan 488 rekening giro. Dilihat dari pertumbuhannya, pembukaan rekening deposito memiliki pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 11,80% (yoy), diikuti dengan tabungan sebesar 6,70% (yoy) dan giro sebesar 1,57% (yoy).Peningkatan jumlah rekening dana yang juga searah dengan peningkatan DPK di bank umum menunjukkan bahwa tingkat suku bunga perbankan saat ini dipandang prospektif oleh masyarakat. Selain itu, hal ini juga menunjukkan adanya peningkatan inklusi keuangan di Provinsi Riau.
53
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.9. Perkembangan Jumlah Rekening Dana 4.000.000 3.500.000 3.000.000 2.500.000 2.000.000 1.500.000 1.000.000
500.000 -
I
II
III
IV
I
2012 Giro 56.973 Tabungan 2.411.87 Deposito 43.568 Total 2.512.41
57.747 2.526.52 42.853 2.627.12
II
III
IV
I
2013
58.671 2.668.86 43.054 2.770.59
59.227 2.688.79 44.051 2.792.06
60.831 2.849.17 244.664 3.154.67
60.944 2.881.76 43.458 2.986.17
II
III
IV
62.585 3.502.26 48.191 3.613.04
63073 3571323 50772 3.685.16
2014
61.917 3.046.48 43.886 3.152.28
62.101 3.346.94 45.413 3.454.46
63.878 3.467.061 47.369 3.578.30
62.582 3.461.02 46.811 3.570.41
Berdasarkan Kota/Kabupaten, Kota Pekanbaru masih merupakan daerah yang menyerap DPK terbesar pada triwulan IV 2014 yaitu sebesar Rp 34,96 triliun atau 54,51% dari total DPK di Propinsi Riau, namun DPK Kota Pekanbaru tumbuh melambat yaitu sebesar 1,08% (yoy) jika dibandingkan triwulan III 2014 yang tumbuh 14,30% (yoy). Jika dilihat secara triwulanan DPK Kota Pekanbaru mengalami kontraksi sebesar 11,44% (qtq). Adapun pertumbuhan yang meningkat dari DPK Provinsi Riau didorong salah satunya oleh Kabupaten Bengkalis yang merupakan pangsa DPK terbesar kedua di Provinsi Riau. DPK Kabupaten Bengkalis meningkat secara signifikan sebesar 56,99% (yoy) menjadi Rp 6,73 triliun di Triwulan IV 2014. Kabupaten Rokan Hulu masih menjadi lokasi dengan pertumbuhan penghimpunan dana tertinggi yaitu tumbuh meningkat hingga 145,88%, namun pangsa DPK di Kabupaten Rokan Hulu masih merupakan yang terendah setelah Kabupaten Meranti dan Kuantan Singingi. Tabel 3.14. Penghimpunan DPK Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau No.
Kab./Kota
2013
2014
yoy,%
Pangsa
III-2014 IV-2014 14,30 1,08
IV-2014
1 Pekanbaru
I 31.914.153
II 33.275.692
III 34.538.207
IV 34.589.115
I 34.593.620
II 37.838.302
III 39.478.858
IV 34.962.196
2 Bengkalis
4.808.789
5.283.058
5.275.732
4.286.310
3.999.920
4.871.172
4.918.565
6.729.011
(6,77)
56,99
10,49
3 Dumai
4.273.823
4.318.030
4.653.006
4.905.930
4.650.967
4.732.253
4.910.925
4.038.655
5,54
(17,68)
6,30
4 Indragiri Hilir
1.976.805
2.121.300
2.085.913
1.993.557
2.171.498
2.202.073
2.153.477
2.562.969
3,24
28,56
4,00
5 Indragiri Hulu
2.174.236
2.310.321
2.208.729
2.153.659
2.033.563
2.210.084
2.298.624
2.436.551
4,07
13,14
3,80
6 Kampar
1.138.308
1.170.466
1.216.432
1.393.224
1.086.369
1.427.954
1.374.764
2.063.726
13,02
48,13
3,22
7 Rokan Hulu
611.784
643.119
584.694
664.798
744.830
904.385
888.629
1.634.629
51,98
145,88
2,55
8 Rokan Hilir
1.633.183
1.972.962
1.673.537
1.308.436
1.206.136
1.649.956
1.867.377
2.942.892
11,58
124,92
4,59
907.579
992.020
970.529
915.030
897.188
1.088.802
1.091.527
1.249.041
12,47
36,50
1,95
671.168
790.035
687.035
743.045
640.059
747.813
868.088
717.435
26,35
(3,45)
1,12
11 Siak
1.598.446
1.946.899
1.769.969
1.505.950
1.399.299
1.892.753
2.110.305
2.729.403
19,23
81,24
4,26
12 Pelalawan
1.045.494
1.166.168
1.214.567
1.064.832
1.042.836
1.229.665
1.422.696
2.076.579
17,14
95,01
3,24
Jumlah
52.753.768
55.990.071
56.878.350
55.523.886
54.466.285
60.795.211
63.383.834
64.143.087
11,44
15,52
100,00
9 Kuantan Singingi 10 Meranti
54
54,51
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
2.1.5. Perkembangan Loan to Deposit Ratio (LDR) Loan to Deposit Ratio (LDR) bank umum di Provinsi Riau pada triwulan laporan tercatat mengalami peningkatan dari 80,43% pada triwulan III 2014 menjadi 81,78%. Peningkatan LDR tersebut tidak terlepas dari peningkatan nilai kredit yang lebih besar pada triwulan IV 2014 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sejalan dengan hal tersebut LDR berdasarkan lokasi proyek juga mengalami peningkatan dibandingkan periode sebelumnya yaitu dari 112,71% pada triwulan III 2014 menjadi 116,51%. Namun demikian, LDR berdasarkan lokasi proyek di Provinsi Riau lebih tinggi dibanding angka LDR nasional yang tercatat sebesar 91,98%. Grafik 3.10. Perkembangan LDR Di Provinsi Riau 120.0%
100.0%
80.0%
60.0%
40.0%
20.0%
0.0% Tw I-11 Tw II-11
Tw III11
Tw IV11
Tw I-12 Tw II-12
Tw III12
Tw IV 12
Tw I 13 Tw II 13 Tw III 13
LDR
75.2%
76.5%
80.3%
77.2%
78.3%
83.2%
83.60% 83.14% 83.60% 87.79% 89.02% 83.34% 80.43% 81.78%
LDR1*)
114.0% 112.1% 113.7% 113.7% 108.5% 111.0% 111.4% 114.9% 115.00% 113.68% 114.99% 120.12% 123.05% 119.08% 112.71% 115.06%
Nasional*
77.2%
75.9%
80.0%
81.7%
79.0%
80.8%
80.1%
83.4%
Tw IV 13
Tw I 14 Tw II 14 Tw III 14 Tw IV14
84.36% 84.53% 85.94% 88.38% 89.92% 90.61% 91.39% 91.15% 91.35% 91.98%
Ket : LDR1 = LDR berdasarkan kredit lokasi proyek *) Data s.d. Agustus 2014
2.1.6. Profitabilitas 2.1.6.1. Spread Bunga Suku bunga rata-rata tertimbang kredit bank umum di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 relatif stabil dibandingkan triwulan III 2014, sementara suku bunga dana mengalami peningkatan. Suku bunga tertimbang kredit bank umum menurun tipis yaitu sebesar 3 bps menjadi13,28%, sedangkan untuk suku bunga tertimbang dana dengan acuan suku bunga deposito 3 bulan meningkat sebesar 80 bps dari level 7,63% di triwulan III 2014 menjadi 8,43% pada triwulan laporan. Terdapatnya peningkatan suku bunga dana yang cukup besar bila dibandingkan dengan suku bunga kredit yang relatif stabil pada triwulan IV 2014 menyebabkan
55
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
margin yang diterima perbankan menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari level 5,68% menjadi 4,85%. Peningkatan suku bunga dana pada triwulan IV 2014 diperkirakan terkait dengan kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan BI rate dari 7,50% menjadi 7,75% pada pertengahan November 2014. Sedangkan stabilnya suku bunga kredit pada triwulan IV 2014 diperkirakan karena suku bunga kredit telah mencapai level yang cukup tinggi serta sebagai upaya bank untuk menghindari perlambatan laju pertumbuhan kredit. Grafik 3.11. Perkembangan Suku Bunga Rata-Rata Tertimbang Kredit dan Deposito3 Bulan 20,00
18,00
Margin
Kredit
Deposito 3 bulan
BI rate
16,00 14,00
%
12,00 10,00
8,00 6,00 4,00 2,00
2.1.6.2. Pendapatan dan Beban Bunga Total pendapatan bunga yang dihasilkan bank umum di Provinsi riau pada triwulan IV 2014 tumbuh 10,01% (yoy) meskipun sedikit melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 10,28% (yoy). Perlambatan pendapatan bunga bank umum utamanya masih berasal dari kredit yang memiliki pangsa sebesar 78% dari total pendapatan bunga. Pendapatan bunga dari kredit bank umum tumbuh melambat dari 10,83% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 9,22% (yoy) pada triwulan laporan. Perlambatan pendapatan bunga kredit tidak terlepas dari suku bunga kredit yang peningkatannya relatif terbatas.Komposisi pendapatan bunga utamanya masih berasal dari pendapatan bunga kredit dan diikuti oleh SBI dan surat berharga.
56
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.12. Komposisi Pendapatan Bunga (Rp miliar) 100% 90% 80%
70% 60% 50% 40%
30% 20% 10%
0%
Lainnya
Tw II 10
Tw III 10
Tw IV 10
Tw I 11
Tw II 11
Tw III 11
Tw IV 11
Tw I 12
Tw II 12
Tw III 12
Tw IV 12
Tw I 13
Tw II 13
Tw III 13
Tw IV 13
Tw I 14
TW II 14
Tw III 14
Tw IV 2014
85,7
81,9
86,0
100,4
103,3
110,3
140,4
89,8
84,8
86,0
123,7
99,9
554,7
372,6
351,1
279,9
305,7
394,0
396,0
Antar Bank
45,3
47,4
42,3
28,0
40,6
43,5
34,9
21,3
43,2
47,6
51,9
51,8
63,7
77,1
80,19
33,20
67,13
74,18
83,81
Kredit
994,0
1.048
1.072
1.103
1.115
1.223
1.257
1.243
1.361
1.432
1.464
1.471
1.488
1.572
1.654
1.652
1.657
1.742
1.807
SBI dan surat berharga
30,7
25,1
25,8
36,1
42,7
50,4
55,1
40,5
39,9
42,5
34,6
15,9
30,6
15,6
19,88
17,49
21,04
36,18
29,72
Di sisi lain beban bunga bank umum di Provinsi Riau justru mengalami sedikit peningkatan dilihat dari pertumbuhan tahunan yaitu dari 26,71% (yoy) di triwulan III 2014 menjadi 27,50% (yoy) di triwulan IV 2014, namun melambat secara triwulanan yaitu dari 18,47% (qtq) menjadi 5,07% (qtq). Beban bunga pada deposito masih memiliki pangsa tertinggi yaitu sebesar
42,33% diikuti oleh
tabungan sebesar 13,64%. Jika dilihat secara lebih rinci beban bunga baik pada deposito dan tabungan tumbuh melambat. Beban bunga deposito melambat dari 66,58% (yoy) di triwulan III 2014 menjadi 56,80% (yoy) di triwulan, sedangkan beban bunga tabungan dari 30,35% (yoy) menjadi 21,11% (yoy). Di sisi lain beban bunga giro mengalami penurunan sebesar 5,07% (yoy) pada triwulan IV 2014. Grafik 3.13. Komposisi Beban Bunga (Rp miliar) 100% 90% 80% 70% 60% 50%
40% 30%
20% 10%
0% Tw I 10 Lainnya
Tw II 10
Tw III Tw IV Tw II- Tw III- Tw IVTw II- Tw III- Tw IVTw II- Tw III- Tw IVTw II- Tw III- Tw IVTw I-11 Tw I-12 Tw I-13 Tw I-14 10 10 11 11 11 12 12 12 13 13 13 14 14 14
72,72 77,42 88,34 83,19 113,1 110,3 114,0 125,6 101,9 110,2 92,97 102,6 151,3 551,5 336,1 319,0 292,7 225,5 342,7 346,6
Antar Bank 38,02 43,71 44,76 39,83 23,51 16,62 23,25 11,79
7,04
6,13
8,03
8,66
10,29 12,55 29,69 36,68 30,12 59,83 51,28 68,20
Tabungan
107,9 102,8 109,3 116,5 125,0 128,9 133,5 129,0 124,3 110,3 111,4 114,2 115,2 114,3 116,6 125,2 125,7 167,4 152,0 151,6
Deposito
144,7 174,1 160,1 165,3 157,1 193,2 211,7 222,5 206,0 220,2 207,2 207,9 193,6 209,3 254,1 300,1 262,9 348,4 423,2 470,6
Giro
45,32 55,64 57,04 56,06 61,65 63,20 68,20 69,17 66,35 79,24 94,41 98,37 86,81 111,7 98,51 90,98 75,53 92,00 88,89 74,75
Meskipun pertumbuhan beban bunga lebih tinggi dari pertumbuhan pendapatan bunga, jumlah pendapatan bunga bersih pada triwulan laporan tercatat meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya meskipun terbatas. Pendapatan bunga bersih bank umum pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar Rp 1,20 triliun dari Rp 1,19 triliun pada triwulan sebelumnya.
57
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.14. Perkembangan Pendapatan, Beban Bunga serta Pendapatan Bunga Bersih Bank Umum di Riau 2.200
1.300 Beban Bunga
1.200
Pendapatan Bunga
1.800 1.600
1.100
NII (RHS)
1.000
Juta Rp
1.400 1.200
900
1.000
800
800
Juta Rp
2.000
700
600
600
400
Tw IV-14
Tw I-14
Tw II-14
Tw III-14
Tw IV-13
Tw I-13
Tw II-13
Tw III-13
Tw IV-12
Tw I-12
Tw II-12
Tw III-12
Tw IV-11
Tw I-11
Tw II-11
Tw III-11
Tw IV 10
Tw I 10
Tw II 10
Tw III 10
Tw IV 09
Tw I 09
400 Tw II 09
500
0 Tw III 09
200
2.2. Perbankan Syariah Kinerja perbankan syariah pada triwulan IV 2014 di Provinsi Riau menunjukkan penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan aset, dan dana masih menunjukkan arah negatif dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, namun pembiayaan masih tercatat tumbuh positif serta meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada triwulan IV 2014 aset perbankan syariah kontraksi sebesar 4,34% (yoy) sehingga menjadi Rp 4,89 triliun. Share asset bank umum syariah terhadap aset perbankan secara keseluruhan pada triwulan IV 2014 di Provinsi Riau adalah sebesar 5,63%, turun jika dibandingkan dengan kondisi triwulan sebelumnya yang mencapai 5,85%. Jumlah bank syariah maupun kantor cabang bank syariah di Provinsi Riau tidak berubah dibandingkan dengan periode yang lalu, tercatat beroperasi 13 bank syariah di lingkup wilayah Provinsi Riau yaitu11 bank umum dan 2 BPR. Tabel 3.15. Indikator Kinerja Utama PerbankanSyariah di Provinsi Riau (Rp juta) No. 1 2 3 4 5 6
Keterangan Jumlah Bank Aset DPK Pembiayaan NPF FDR
2013 2014 I II III IV I II III IV 12 12 13 13 13 13 13 13 4.640.850 5.027.412 5.421.995 5.112.961 5.118.736 5.150.121 5.133.283 4.891.004 3.568.478 3.675.883 3.939.521 3.705.550 3.819.126 3.751.134 3.600.116 3.493.835 3.047.067 3.260.505 3.362.977 3.347.598 3.324.491 3.411.590 3.437.477 3.466.839 4,40% 3,89% 4,38% 4,01% 4,76% 5,25% 5,04% 4,70% 85,39% 88,70% 85,37% 90,34% 87,03% 90,95% 95,48% 99,23%
yoy
qtq
-4,34 -4,72 -5,71 -2,95 3,56 0,85
Penurunan aset didorong oleh penurunan dana yang dihimpun sebesar 5,71% (yoy) sehingga jumlahnya menjadi Rp3,49 triliun. Di sisi lain pembiayaan syariah hanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 3,56% (yoy). Penurunan dana yang dihimpun yang diikuti dengan peningkatan kredit menyebabkan FDR meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya dari 95,48%menjadi 99,23%. Kualitas pembiayaan juga
58
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
menunjukkan perbaikan yang dilihat dari NPF yang menurun pada triwulan laporan namun masih berada pada level yang mengkhawatirkan. Berdasarkan penggunaannya, pembiayaan konsumsi masih memiliki pangsa tertinggi dibandingkan jenis kredit penggunaan lain yaitu mencapai 47,51% dari total kredit yang disalurkan perbankan syariah. Pembiayaan konsumsi pada triwulan IV 2014 tumbuh 11,94% hingga mencapai sebesar Rp 1,65 triliun. Sementara itu sektor produktif yang terdiri dari modal kerja dan investasi memiliki pangsa masing-masing sebesar 26,01% dan 26,48% dari total kredit perbankan syariah. Dari sisi pertumbuhannya, kedua jenis pembiayaan sektor produktif ini tercatat mengalami kontraksi pada triwulan IV 2014 yaitu sebesar 1,85% untuk kredit modal kerja dan 4,12% untuk kredit investasi. Posisi pembiayaan modal kerja untuk perbankan syariah di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 mencapai Rp901,96 miliar, sedangkan untuk pembiayaan investasi mencapai Rp918,19 miliar. Peningkatan penyaluran pembiayaan secara sektoral didorong oleh sektor konstruksi, sektor perdagangan, hotel, dan restoran dan sektor pertanian, masing-masing tercatat tumbuh 61,32% (yoy), 39,20% (yoy), dan 23,20% (yoy). Ketiga sektor tersebut masih menjadi sektor dengan pangsa terbesar pada pembiaayan oleh perbankan syariah. Pada triwulan IV 2014 sektor pertanian tercatat menyerap pembiayaan sebesar Rp 458,66 miliar, atau sebesar 13,23% dari total pembiayaan bank umum syariah. Selanjutnya, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor konstruksi mencatat penyerapan pembiayaan masing-masing sebesar Rp399,48 miliar dan Rp312,07 miliar.
2.3. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S) Secara umum, kegiatan usaha BPR/S pada triwulan laporan juga menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Kondisi ini tercermin dari pertumbuhan yang meningkat baik dari sisi aset, dana, maupun jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan syariah dibandingkan dengan triwulan III 2014. Jumlah BPR/S yang beroperasi di Provinsi Riau tidak mengalami perubahan dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu sebanyak 35 BPR/S. Pada triwulan laporan, aset BPR/S tercatat tumbuh meningkat dari 4,00% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 7,84% (yoy). Peningkatan pertumbuhan aset didorong oleh adanya peningkatan pada pertumbuhan dana yang dihimpun yaitu 59
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
dari 9,66% (yoy) menjadi 12,26% (yoy). DPK yang dihimpun BPR/S pada triwulan IV 2014 mencapai Rp809,75 miliar. Peningkatan pada penghimpunan DPK ini tidak terlepas dari pertumbuhan deposito yang saat ini nilainya telah mencapai Rp 453,67 miliar atau meningkat dari 9,54% (yoy) di triwulan III 2014 menjadi 17,45% (yoy) di triwulan laporan. Di sisi lain, pertumbuhan tabungan justru melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 9,79% (yoy) menjadi 6,28% (yoy) atau menjadi sebesar Rp 356,08 miliar. Jumlah kredit yang disalurkan mencapai Rp 836,11 miliar atau tumbuh 11,35% (yoy) dan 2,57% (qtq), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 7,68% (yoy). Berdasarkan sektoral, peningkatan penyaluran kredit BPR/S pada triwulan laporan utamanya utamanya disumbang oleh sektor pertanian yang tumbuh sebesar 19,52 % (yoy) dan sektor perdagangan yang tumbuh sebesar 8,71% (yoy). Kedua sektor tersebut menyerap kredit dengan pangsa terbesar, yaitu masing-masing tercatat sebesar 30,35% dan 24,73% dari total kredit perbankan syariah pada triwulan IV 2014. Peningkatan jumlah dana yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan jumlah kredit yang disalurkan mengakibatkan terjadinya penurunan nilai LDR dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu dari 105,83% menjadi 103,26%. Kualitas kredit yang disalurkan tercatat mengalami perbaikan, tercermin dari penurunan NPL BPR/S yaitu dari 15,56% menjadi 13,75%. Akan tetapi, NPLs BPR/S masih berada di atas batas kewajaran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (5%) sehingga masih perlu menjadi perhatian bagi pihak bank. Tabel 3.16. Indikator Kinerja Utama BPR/S di Provinsi Riau (dalam Rp juta) Keterangan 1. Jumlah BPR/S 2. Asset 3. DPK 4. Kredit 5. LDR 6. NPLs
2011
2012
2013 I
II
2014 III
IV
I
II
III
IV
33 34 34 34 34 35 35 35 35 35 920,404 1,038,271 1,019,107 1,047,697 1,063,827 1,075,865 1,102,376 1,091,313 1,106,417 1,160,162 642,785 694,541 688,364 676,577 702,399 721,299 748,775 744,336 770,216 809,748 617,548 708,530 715,763 748,449 757,009 750,891 762,700 782,561 815,127 836,111 96.07% 102.01% 103.98% 110.62% 107.77% 104.10% 101.86% 105.14% 105.83% 103.26% 8.22% 13.11% 14.44% 14.88% 15.52% 14.22% 15.47% 15.78% 15.56% 13.75%
Pertumbuhan (%) yoy qtq
7.84 12.26 11.35
4.86 5.13 2.57
2.4. Perkembangan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 oleh bank pelaksana KUR mencapai Rp 4,83 triliun, tumbuh 4,43% (qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya. Secara tahunan penyaluran KUR tumbuh melambat yaitu dari
60
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
21,08% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi 19,95% (yoy) pada triwulan laporan. Sejalan dengan realisasi KUR, pertumbuhan jumlah debitur juga tumbuh melambat dari 21,86% (yoy) menjadi 21,15% (yoy). Dilihat dari penyaluran rata-rata KUR pada triwulan IV 2014 terjadi penurunan dari Rp 23,82 juta/jiwa menjadi Rp 23,72 juta/jiwa. Tabel 3.17. Perkembangan Penyaluran KUR di Riau Indikator Realisasi KUR Outstanding KUR Jumlah Debitur (jiwa) Rata-Rata (RpJuta/Jiwa)
2011
2012
1,964 1,198 94,246 20.84
3,079 1,678 127,571 24.14
I 3,411 1,734 138,403 24.65
2013 II III 3,680 3,819 1,769 1,766 150,366 159,282 24.48 23.98
IV 4,026 1,684 168,059 23.96
I 4,202 1,634 175,735 23.91
2014 II III 4,432 4,624 1,619 1,576 184,443 194,101 24.03 23.82
IV 4,829 1,569 203,598 23.72
Sumber: Kantor Menko Perekonomian
Sektor pertanian masih merupakan sektor penerima KUR terbesar di Provinsi Riau, yaitu dengan pangsa 57,45%. Sub-sektor perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet merupakan jenis perkebunan yang menerima kredit dalam jumlah yang terbesar. Kondisi ini tidak terlepas dari besarnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian Provinsi Riau disamping migas. Selanjutnya, sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki pangsa sebesar 35,66% yang didominasi oleh subsektor perdagangan eceran berbagai macam barang yang didominasi makanan, minuman dan tembakau.Berdasarkan penggunaannya, alokasi KUR di Provinsi Riau lebih banyak digunakan untuk modal kerja, yaitu sebesar 53,98% dari total alokasi KUR di Provinsi Riau, dan sisanya KUR untuk investasi. Grafik 3.15. KUR menurut Sektor Ekonomi 0.47%
0.08%
Grafik 3.16. KUR menurut Jenis Penggunaan
Pertanian
4.80% Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air
46.02% Konstruksi
35.66%
53.98%
Perdag, hotel dan restoran 57.45%
Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi Jasa 0.48%
0.11% 0.92%
Lain-lain 0.01%
Modal Kerja
Investasi
61
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
3. Perkembangan Transaksi Pembayaran 3.1. Kondisi Umum Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 mengalami net outflow, tidak jauh berbeda dengan kondisi historisnya. Hal ini utamanya didorong oleh outflow yang lebih besar dari inflow. Meningkatnya outflow Riau pada triwulan laporan diperkirakan karena kebutuhan uang tunai yang masih tinggi di masyarakat. Sementara itu, transaksi pembayaran non tunai, baik melalui kliring maupun Real Time Gross Settlement (RTGS) pada triwulan IV 2014 meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya.
3.2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai 3.2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow
Outflow)
Sesuai dengan pola musimannya, perkembangan transaksi pembayaran tunai mengalami penurunan pada triwulan laporan. Kondisi ini tercermin dari penurunan baik dari sisi transaksi inflow maupun outflow di Provinsi Riau. Outflow yang lebih besar dibandingkan inflow, menyebabkan Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 mengalami net outflow yang tercatat sebesar Rp 3,15 triliun. Jumlah net outflow tersebut mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar Rp 2,61 triliun atau meningkat 20,86% (qtq). Meskipun demikian, nilai net outflow tersebut tidak setinggi triwulan yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp4,85 triliun. Penurunan outflow pada triwulan laporan terkait oleh faktor musiman dimana penurunan pada triwulan IV 2014 disebabkan oleh berakhirnya bulan Ramadhan serta hari raya Idul Fitri sehingga euphoria penduduk Riau dalam membelanjakan uangnya cendurung menurun. Pada triwulan IV 2014 tercatat penurunan arus uang keluar sebesar 21,55% (qtq) atau dari Rp 4,94 triliun pada triwulan sebelumya menjadi Rp 3,88 triliun pada triwulan laporan. Arus uang masuk uang ke Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar Rp 721,36 miliar, turun signifikan sebesar 69,05% (qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 2,33 triliun. Penurunan inflow yang cukup siginifikan dipengaruhi oleh pola musimannya dimana pada akhir tahun inflow 62
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
cenderung menurun karena kebutuhan masyarakat akan uang tunai masih relatif tinggi.
Rp. miliar
Grafik 3.17. Perkembangan Inflow dan Outflow 5,700 5,100 4,500 3,900 3,300 2,700 2,100 1,500 900 300 (300) (900)
I
II
III IV
2010
I
II
III IV
2011
Net Outflow (Rpmiliar)
I
II
III IV
I
2012
Inflow (Rpmiliar)
II
III IV
2013
I
II
III IV
2014
Outflow (Rpmiliar)
3.2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar Penyediaan uang kartal layak edar merupakan tugas Bank Indonesia.Terkait dengan hal tersebut, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara berkala melakukan kegiatan penghimpunan dan pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) dari masyarakat dan setoran bank di Provinsi Riau. Upaya ini dilakukan Bank Indonesia untuk memastikan ketersediaan uang layak edar (fit for circulation) di tengah-tengah masyarakat. Pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) pada triwulan IV-2104 meningkat dibandingkan periode sebelumnya. UTLE yang dimusnahkan pada periode tersebut sebanyak Rp 249,46 miliar, lebih tiggi dibandingkan periode lalu yang tercatat sebesar Rp 196,34 miliar. Rasio UTLE terhadap arus uang masuk juga mengalami peningkatan signifikan karena rendahnya inflow pada triwulan laporan dan meningkatnya jumlah UTLE. Peningkatan UTLE juga mengindikaskan semakin tingginya tingkat kerusakan uang di masyarakat, hal ini tidak terlepas dari tingginya transaksi keuangan pada periode sebelumnya.
63
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.18. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) yang Dimusnahkan
3.000
120
2.500
100
2.000
80
1.500
60
1.000
40
500
20
-
Persen (%)
Rp.miliar
Terhadap Inflow di Provinsi Riau
0 I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV
2010
2011
2012
2013
2014
UTLE
Inflow
Ratio (RHS)
3.2.3. Uang Rupiah Tidak Asli Dalam upaya meningkatkan awareness masyarakat dalam mengidentifikasi keaslian uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara rutin melakukan sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat termasuk kalangan perbankan melalui penerapan prinsip 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang). Dengan adanya sosialisasi ciri keaslian uang rupiah, masyarakat diharapkan terhindar dari penyebaran uang rupiah tidak asli. Pada triwulan IV 2014, penemuan uang rupiah tidak asli di Provinsi Riau mengalami penurunan dibandingkan periode sebelumnya. Pada triwulan laporan terdapat penemuan 87 lembar uang palsu yang terdiri dari 33 lembar menyerupai pecahan Rp 100.000, 51 lembar menyerupai pecahan Rp 50.000, 1 lembar menyerupai pecahan Rp 20.000, dan 2 lembar menyerupai pecahan Rp10.000. Penemuan tersebut berdasarkan atas permintaan klarifikasi dari perbankan dan masyarakat serta setoran dari bank ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau. Grafik 3.19. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau 600 500
Lembar
400 300 200
100 I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
IV
2014
64
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
3.3. PERKEMBANGAN TRANSAKSI PEMBAYARAN NON TUNAI Transaksi pembayaran non-tunai di Provinsi Riau pada triwulan IV-2104 mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan transaksi non tunai di Provinsi Riau pada akhir tahun sesuai dengan pola triwulanannya, dimana pada triwulan IV banyak penyelesaian anggaran kegiatan di akhir tahun atau dalam rangka tutup buku.
3.3.1. Transaksi Kliring Transaksi pembayaran dengan kliring pada triwulan IV 2014 tercatat meningkat baik dari segi nominal transaksi dibandingkan triwulan sebelumnya maupun jumlah warkat yang digunakan. Nilai transaksi kliring pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar Rp 8,44 triliun dengan volume transaksi mencapai 274.715 lembar meningkat dibandingkan dengan triwulan III 2014 yang nilainya tercatat sebesar Rp. 8,07 triliun dengan volume transaksi 256.711 lembar. Meskipun terdapat peningkatan nominal transaksi, namun nilai rata-rata transaksi per warkat tercatat menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari Rp 31,44 juta menjadi sebesar Rp 30,22 juta per transaksi. Grafik 3.20. Perkembangan Transaksi Kliring di Provinsi Riau 10,000
310
9,000
300
8,000
290
7,000 6,000
280
5,000
270
4,000
260
3,000
250
2,000
240
1,000 -
230 I
II
III IV
2011
I
II
III IV
2012
Nominal (Rp. miliar) (LHS)
I
II
III IV
2013
I
II
III IV
2014
Warkat (ribu lembar)
3.3.2. Real Time Gross Settlement (RTGS) Transaksi RTGS pada triwulan IV 2014 di Provinsi Riau mencapai Rp 104,12 triliun, meningkat sebesar 15,10% (qtq) dari triwulan III 2014 yang tercatat sebesar Rp 90,46 triliun. Seiring dengan peningkatan nilai transaksi, penggunaan warkat untuk
65
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
transaksi RTGS juga ikut meningkat sebesar 7,36% (qtq). Peningkatan nilai transaksi RTGS yang lebih tinggi dari volume transaksi RTGS menunjukkan peningkatan rasio transaksi per warkat dari Rp 1,86 miliar menjadi sebesar Rp 2 miliar per warkat. Kota Pekanbaru masih merupakan kota dengan transaksi RTGS tertinggi di Provinsi Riau yaitu sebesar Rp 100,02 triliun, 96,06% dari keseluruhan transaksi RTGS di Provinsi Riau. Tingginya aktifitas RTGS di Kota Pekanbaru mengindikasikan bahwa pusat kegiatan bisnis di Provinsi Riau belum bergeser dari Kota Pekanbaru. Selain menjadi pusat kegiatan bisnis, geliat perekonomian di Kota Pekanbaru masih cukup menarik, terutama bagi sektor perdagangan dan jasa. Selain di Kota Pekanbaru, jumlah transaksi RTGS di Kota Dumai juga relatif tinggi. Hal ini sejalan dengan banyaknya perusahaan berskala besar di kota tersebut yang dalam transaksinya sudah menggunakan transaksi non tunai. Kabupaten Kuantan Singingi dan Rokan Hilir merupakan dua daerah dengan aktifitas RTGS terendah di Provinsi Riau. Daerah Kuantan Singingi mencatatkan transaksi RTGS sebesar Rp 0,17 miliar dengan volume hanya sebesar 2 warkat. Sementara Kabupaten Rokan Hilir hanya mencatatkan transaksi RTGS sebesar Rp 2,33 miliar sepanjang triwulan III 2014 dengan jumlah warkat hanya sebanyak 8 lembar. Keterbatasan akses perbankan di daerah tersebut merupakan penyebab utama tidak berkembangnya penggunaan media transaksi RTGS bagi masyarakat dan pelaku usaha di kedua daerah tersebut. Tabel 3.18. Perkembangan Nilai BI-RTGS di Provinsi Riau Triwulan IV 2014 (dalam Rp miliar) TW III-2014 Kabupaten/Kota BENGKALIS DUMAI INDRAGIRI HULU INDRAGIRI HILIR KAMPAR KUANTAN SINGINGI PEKANBARU PELALAWAN ROKAN HILIR ROKAN HULU SIAK RIAU
FROM
TO
TW IV-2014
FROM -TO
Kumulatif Nilai
FROM
TO
FROM -TO
Kumulatif Nilai
541 1,377 34 10 9 52,388 0 36 319
338 1,144 2 0 23 1 66,192 16 6 4 170
208 407 0 31,488 0 47
671 2,115 35 10 32 1 87,092 16 6 40 442
1,149 1,328 64 12 17 72,366 0 28 602
398 1,119 2 0 28 0 64,840 48 2 3 136
279 514 1 37,186 0 44
1,269 1,934 66 12 45 0 100,020 48 2 30 694
54,715
67,896
32,150
90,461
75,566
66,578
38,024
104,120
66
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Tabel 3.19. Perkembangan Volume Warkat BI-RTGS di Riau Triwulan IV 2014 TW III-2014 Kabupaten/Kota BENGKALIS DUMAI INDRAGIRI HULU INDRAGIRI HILIR KAMPAR KUANTAN SINGINGI PEKANBARU PELALAWAN ROKAN HILIR ROKAN HULU SIAK RIAU
FROM
TO
TW IV-2014
FROM- TO
Kumulatif Volume
FROM
TO
FROM- TO
Kumulatif Volume
925 3,033 167 48 110 22,236 10 508 472
425 2,274 6 2 57 3 27,054 55 30 18 263
155 855 4 8,145 1 27
1,195 4,452 173 50 163 3 41,145 64 30 526 708
1,189 3,193 251 57 139 24,644 3 379 551
569 2,499 9 2 70 2 28,616 96 8 17 202
265 1,007 1 4 9,111 5 25
1,493 4,685 259 59 205 2 44,149 99 8 391 728
27,509
30,187
9,187
48,509
30,406
32,090
10,418
52,078
67
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
Bab 4 KONDISI KEUANGAN DAERAH
1. Kondisi Umum Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau hingga akhir tahun 2014 tercatat lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Realisasi anggaran pendapatan Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 mencapai 106,39% atau sebesar Rp7,87 triliun. Sementara, realisasi anggaran belanjanya tercatat lebih rendah yaitu sebesar Rp5,54 triliun atau sekitar 62,59% dari total anggaran yang dialokasikan.
68
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
2. Realisasi APBD 2014 Realisasi pendapatan Provinsi Riau hingga triwulan IV 2014 mencapai Rp7,87 triliun atau sebesar 106,39% dari total anggaran pendapatan yang dialokasikan. Jumlah realisasi ini lebih tinggi dibandingkan realisasi pendapatan hingga triwulan IV 2013. Kondisi ini justru berbanding terbalik dengan realisasi belanja pemerintah daerah yang hingga triwulan IV 2014 yang hanya mencapai 62,59% dari total anggaran belanja yang dialokasikan, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 84,17%. Realisiasi belanja hingga triwulan IV 2014 tercatat sebesar Rp5,54 triliun. Tabel 4.1. Ringkasan Realisasi APBD Riau Tahun 2013 dan 2014
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau Ket: *) Data sementara
Jumlah realisasi pendapatan yang lebih besar dibandingkan jumlah realisasi belanja hingga akhir tahun 2014 menyebabkan anggaran pemerintah Provinsi Riau tercatat mengalami surplus sebesar Rp2,33 triliun. Hal ini berbanding terbalik dengan alokasi APBD 2014 yang semula direncanakan akan mengalami defisit sebesar Rp1,45 triliun.
2.1. Realisasi Pendapatan
Realisasi pendapatan pemerintah Provinsi Riau hingga akhir tahun 2014 tercatat lebih tinggi dibandingkan realisasi periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hingga triwulan IV 2014 realisasi pendapatan pemerintah Provinsi Riau tercatat sebesar Rp7,87 triliun atau sebesar 106,39% dari total yang dianggarkan. Meningkatnya realisasi pendapatan terjadi pada semua komponen pendapatan Dana Perimbangan, yaitu dari 95,29% pada tahun 2013 menjadi 111,58% pada tahun 2014 atau mencapai Rp4,25 triliun. Adanya surplus dalam realisasi tersebut disebabkan karena terdapat penyelesaian dana perimbangan yang belum dibayarkan pada periode yang sama di tahun sebelumnya dan baru dibayarkan di akhir tahun 2014.
69
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
Tabel 4.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau Triwulan IV-2013 dan Triwulan IV 2014 (Rp miliar)
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Di sisi lain, realisasi pendapatan asli daerah lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya disebabkan oleh realisasi pendapatan pajak dan retribusi daerah. Hal ini diperkirakan bersumber dari penurunan pajak yang didapatkan dari perhotelan seiring dengan menurunnya pendapatan hotel akibat larangan kegiatan pertemuan pegawai pemerintahan di hotel. Realisasi pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah hingga akhir tahun 2014 masing-masing tercatat sebesar Rp2,44 triliun dan Rp17 miliar atau masing-masing mencapai 99,72% dan 90,68% dari total yang dianggarkan.
2.2. Realisasi Belanja Realisasi anggaran belanja pemerintah Provinsi Riau tahun 2014 mencapai Rp5,54 triliun, atau mencapai 62,59% dari total yang dianggarkan. Realisasi ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013 yang terealisasi sebesar 84,17% dari total yang dianggarkan. Belum optimalnya realisasi anggaran belanja daerah hingga akhir tahun anggaran diperkirakan karena tertundanya realisasi anggaran di awal tahun terkait masalah perubahan nomenklatur pemerintahan setempat, sehingga beberapa rencana kegiatan tidak dapat terlaksana. Berdasarkan komponennya, realisasi belanja terbesar adalah Belanja Operasi mencapai Rp3,3 triliun atau sebesar 59,63%, menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mampu mencapai 82,38% dengan nilai realisasi Rp4,39 triliun. Rendahnya realisasi belanja operasi disebabkan oleh belum optimalnya realisasi belanja barang dan jasa dan belanja pegawai. Total belanja barang dan jasa yang terealisasi hingga akhir tahun 2014 mencapai Rp1,31 triliun atau sebesar 43,88% dari total yang dianggarkan. Sementara total belanja pegawai yang terealisasi hingga akhir tahun 2014 mencapai Rp1,11 triliun atau sebesar 82,97% dari total
70
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
yang dianggarkan. Realisasi kedua komponen tersebut lebih rendah dibandingkan realisasi pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Tabel 4.3. Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau Triwulan IV-2013 danTriwulan IV 2014 (Rp miliar)
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau Ket: *) Data sementara
Selanjutnya belanja modal yang secara umum memberikan multiplier efek terhadap perekonomian realisasinya lebih rendah dibandingkan komponen belanja lainnya. Total realisasi belanja modal hingga akhir tahun 2014 tercatat sebesar Rp621 miliar atau sebesar 42,71% dari total yang dianggarkan. Sementara itu, realisasi anggaran transfer ke masing-masing kab/kota baru telah terealisasi 87,25% dari nilai transfer sebesar Rp1,85triliun. Dengan perkembangan realisasi pendapatan dan realisasi belanja tersebut maka APBD Riau pada tahun 2014 tercatat mengalami surplus sebesar Rp2,34 triliun, berbeda dengan tahun sebelumnya yang mencatatkan deficit sebesar Rp710,90 miliar.
71
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kesejahteraan Daerah
Bab 5 KESEJAHTERAAN DAERAH
1. KONDISI UMUM Perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau menunjukkan kecenderungan meningkat pada tahun 20141. Hal ini terlihat dari penurunan jumlah penduduk miskin dibandingkan dengan tahun 2013 dan 2012. Kondisi ini diperkirakan tidak terlepas dari membaiknya pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan tekanan inflasi yang cenderung menurun pada tahun 2014. Meskipun demikian,
tingkat
keparahan
kemiskinan2
Riau
mengalami
peningkatan
1
Posisi Agustus 2014 Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin 2
72
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kesejahteraan Daerah
dibandingkan
tahun
2013.
Hal
ini
mengindikasikan
bahwa
ketimpangan
pengeluaran penduduk miskin di Riau menjadi lebih besar.
2. KEMISKINAN 2.1 Penduduk Miskin Riau Persentase penduduk miskin di Riau pada tahun 2014 kembali menunjukkan penurunan setelah meningkat pada tahun lalu. Kondisi ini diperkirakan akibat tingkat inflasi pada tahun 2014 yang lebih rendah dibandingkan tahun 2013, yaitu dari 8,79% (yoy) menjadi 8,65% (yoy). Jumlah penduduk miskin di Riau pada tahun 2014 mencapai 498 ribu jiwa atau sekitar 7,99% dari jumlah penduduk. Grafik 5.1. Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Sepanjang historisnya, penyebaran penduduk miskin di Provinsi Riau masih dominan di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan. Hingga September 2014, jumlah penduduk miskin di pedesaan menyumbang 67,98% dari total penduduk miskin di Provinsi Riau, atau mencapai 339 ribu jiwa dari total 498 ribu jiwa. Meskipun demikian, jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan cenderung mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 360 ribu jiwa.
73
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kesejahteraan Daerah
Dilihat dari persentasenya, jumlah penduduk miskin di pedesaan mencapai 8,93% dari total penduduk pedesaaan. Angka ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 9,55% dari total penduduk pedesaan. Sementara itu, jumlah penduduk miskin Riau di daerah perkotaan relatif lebih rendah yakni mencapai 6,53% terhadap total penduduk di perkotaan atau sebesar 160 ribu jiwa. Angka jumlah penduduk miskin di perkotaan juga relatif menurun dibandingkan tahun 2013 lalu yang tercatat sebesar 6,68% atau 163 ribu jiwa. Menurunnya jumlah penduduk miskin Riau baik di Desa maupun di Kota diperkirakan terkait dengan penurunan tingkat inflasi hingga September 2014. Selain itu, meningkatnya perekonomian Riau tahun 2014 dibandingkan tahun 2013 yang bersumber dari peningkatan kinerja sekto pertanian, diperkirakan juga turut memberikan pengaruh terhadap taraf hidup masyarakat Provinsi Riau. Grafik 5.2. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
2.2 Garis Kemiskinan Riau Garis Kemiskinan (GK)3 Riau terus menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Pada tahun 2014, GK Riau mengalami peningkatan sebesar 8,30% menjadi Rp379.223,- perkapita/bulan. Jika dilihat berdasarkan wilayahnya, GK di kota lebih tinggi dari GK di desa. GK di Kota tahun 2014 mencapai Rp386.606,3
Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin
74
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kesejahteraan Daerah
perkapita/bulan meningkat 5,61% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara, GK di desa tercatat sebesar Rp374.466,- perkapita/bulan, meningkat 8,30%
dibandingkan
dengan
tahun
sebelumnya.
Meskipun
demikian,
perkembangan GK di provinsi Riau pada tahun 2014 secara umum melambat dibandingkan pertumbuhan GK pada tahun sebelumnya. Perlambatan GK tersebut didorong oleh melambatnya pertumbuhan GK makanan pada periode yang sama tahun lalu yaitu menjadi dari 13,15% pada September 2013 lalu menjadi 8,63%. Sementara GK bukan makanan juga mengalami perlambatan dari 11,56% pada September 2013 menjadi 7,42%. Melambatnya GK Riau pada tahun 2014 dipengaruhi oleh tingkat inflasi yang relatif lebih rendah dibandingkan September 2013 lalu akibat dampak penyesuaian harga BBM bersubsidi pada tahun 2013 yang mendorong terbentuknya keseimbangan harga baru baik pada bahan makanan maupun makanan jadi. Grafik 5.3. Perkembangan Garis Kemiskinan (GK) Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
2.3 Indeks
Kedalaman
Kemiskinan
(P1)
dan
Keparahan
Kemiskinan (P2) Riau Meskipun jumlah penduduk miskin pada tahun 2014 mengalami penurunan, namun dapat dilihat bahwa tingkat keparahan kemiskinan berada pada tren yang meningkat. Kondisi ini diperkirakan karena tren penurunan harga komoditas internasional yang masih berlanjut sehingga mempengaruhi tingkat pendapatan
75
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kesejahteraan Daerah
masyarakat setempat. Di sisi lain, perkembangan indeks kedalaman kemiskinan cenderung stabil. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau pada tahun 2014 relatif stabil dibandingkan dengan tahun 2013 yang lalu, yaitu dari 1.18 menjadi 1.2. Dilihat dari aspek spasial, peningkatan Indeks P1 terjadi baik di daerah desa, sementara di kota indeks P1 cenderung mengalami penurunan. Indeks P1 di desa meningkat sebesar 15,38% (yoy) menjadi 1.5 pada tahun 2014. Sementara, Indeks P1 di kota mengalami penurunan sebesar 26,26% (yoy) menjadi 0,73. Hal ini mengindikasikan bahwa ratarata pengeluaran penduduk miskin di daerah pedesaan lebih menjauh dari garis kemiskinan dibandingkan dengan penduduk miskin di daerah perkotaan yang pengeluaran penduduk miskinnya semakin mendekati garis kemiskinan. Di sisi lain, Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau pada tahun 2014 menunjukkan peningkatan yaitu dari 0,24 menjadi 0,29. Berdasarkan aspek kewilayahan, diketahui bahwa Indeks P2 di desa mengalami peningkatan dari 0,26 menjadi 0,40 pada tahun 2014. Sementara, Indeks P2 di kota justru menunjukkan penurunan yakni dari 0,21 menjadi 0,11. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di desa lebih tinggi dibandingkan di kota, dan ketimpangan di kota menurun sementara ketimpangan di desa meningkat. Grafik 5.4. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau
Grafik 5.5. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
76
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
Bab 6 PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
1. PROSPEK MAKROREGIONAL
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan I-2015 secara umum diperkirakan relatif meningkat dibandingkan triwulan IV-2014. Pertumbuhan ekonomi Riau secara tahunan diperkirakan berada pada kisaran 1,5-2,1% (yoy). Sumber pertumbuhan dari sisi penggunaan diperkirakan masih berasal dari konsumsi domestik, sementara perbaikan kinerja sektor utama diperkirakan akan mendorong pertumbuhan perekonomian Riau pada triwulan I 2015.
77
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
Tabel 6.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Aktual dan Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I-2015
Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak pertumbuhan diperkirakan masih ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga, meskipun pertumbuhannya
diperkirakan
melambat.
Kondisi
ini
sejalan
dengan
perkembangan indeks perkiraan pengeluaran dibandingkan 3 bulan yang akan datang cenderung melambat berdasarkan survei konsumen Bank Indonesia. Konsumsi pemerintah diperkirakan masih akan mengalami kontraksi, terkait dengan realisasi anggaran yang masih minim di awal tahun. Selain itu, perkembangan
investasi
diperkirakan
relatif
stabil
dibandingkan
triwulan
sebelumnya. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor diperkirakan belum membaik sejalan dengan penurunan harga komoditas global yang didorong oleh penurunan harga minyak dunia dan masih terbatasnya perbaikan perekonomian global. Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Perkiraan
Grafik 6.2. Perkembangan Hrga Minyak WTI
Pengeluaran Dibandingkan 3 Bulan yang Mendatang
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Sumber: Bloomberg
Sementara itu, kinerja sektor pertanian diperkirakan akan mengalami perlambatan pada triwulan I 2015 terkait dengan curah hujan yang mulai menurun pada bulan Februari-Maret 2015. Di sisi lain, perkembangan sektor industri pengolahan diperkirakan akan relatif meningkat sehubungan dengan meningkatnya pasokan
78
GE
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
bahan baku yang tercermin dari peningkatan kinerja sektor pertanian pada triwulan IV 2014. Meskipun demikian, terdapat risiko yang berpotensi membawa pertumbuhan ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside risks). Kondisi ini utamanya terkait dengan kondisi sumur minyak yang tidak produktif yang diperkirakan berpotensi mengakibatkan pertumbuhan sektor pertambangan migas masih mengalami kontraksi. Di sisi lain, salah satu faktor yang berpotensi membawa pertumbuhan menyentuh batas atas (upside risks) adalah potensi pemulihan ekonomi negara mitra dagang utama Riau dan negara berkembang (emerging market) di kawasan Asia serta peningkatan harga komoditas internasional yang diperkirakan akan memberikan spill over positif bagi kinerja ekspor utama Riau.
2. PERKIRAAN INFLASI Tabel 6.2. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Riau Triwulan I 2015 Inflasi yoy,% qtq,%
I 5,40 2,45
2013 II III 5,69 7,74 1,42 2,99
IV 8,79 1,67
I 7,76 1,05
2014 II III 6,60 5,82 0,81 1,03
IV 8,65 4,26
2015 (p) I (p) 6,5-7,5 (0,50)-0.05
Sumber: BPS Provinsi Riau Ket: (p) Proyeksi Bank indonesia
Inflasi Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan cenderung menurun, yaitu berada pada kisaran 6,5-7,5% (yoy). Sedangkan secara triwulanan, inflasi diperkirakan berkisar (0,50)-0,05% (qtq). Inflasi Riau pada triwulan I 2015 diperkirakan masih akan berasal dari inflasi administered price dan inflasi volatile foods. Inflasi kelompok administered price utamanya diperkirakan akibat belum meredanya dampak penyesuaian harga BBM bersubsidi, terutama pada tarif angkutan. Meskipun demikian, adanya penurunan harga solar sebesar Rp200 yang mulai diberlakukan sejak pertengahan Februari 2015 diperkirakan akan menahan laju peningkatan inflasi pada kelompok ini. Sementara itu, peningkatan inflasi volatile foods diperkirakan bersumber dari rencana kenaikan harga beras di daerah Jawa sebesar 30% pada akhir Februari. Selain itu, adanya rencana kenaikan HPP (harga pokok produksi) beras diperkirakan juga akan berkontribusi terhadap peningkatan inflasi Riau.
79
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
Tabel 6.2. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Riau Triwulan I 2015
Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia Ket: *) data hingga pertengahan Februari 2015
Namun terdapat,beberapa faktor yang diidentifikasi berpotensi membawa inflasi melewati batas atas kisaran proyeksi (upside risks) antara lain, (i) nilai tukar rupiah yang kembali terdepresiasi mengingat perbaikan kondisi perekonomian global yang masih terbatas sehingga akan mendorong peningkatan inflasi pada barang-barang impor, dan (iii) rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik. Sementara itu, terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi ke batas bawah (downside risks) proyeksi. Pada tingkat regional, solusi dini (pre-emptive solution) TPID yang dihasilkan melalui koordinasi dengan berbagai instansi terkait dalam menjaga ekspektasi diperkirakan dapat mengurangi permasalahan informasi pasokan yang asimetris terutama di tingkat konsumen. Kemudian, pada tingkat nasional, masih berlanjutnya koordinasi kebijakan yang bersifat counter cyclical dalam menstabilkan tekanan terhadap nilai Rupiah diperkirakan dapat sedikit banyak membantu mengurangi inflasi barang impor.
80