SKRIPSI PIAGAM MADINAH DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Disusun Oleh: ANDY NASARAPI 101011020617
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006 M
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “PIAGAM MADINAH DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM” telah diajukan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal 15 November 2006 dan telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan Islam Program Strata 1 (S-1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, 15 November 2006 Sidang Munaqasah Ketua merangkap anggota
Sekretaris merangkap anggota Prof. Dr. H. Aziz Fahrurrozi,
Prof. Dr. Rosyada, M.A. MA. NIP: 150 231 356
NIP: 150 202 343
Anggota
Penguji I
Penguji II
Drs. Zaimuddin, M.Ag
Drs. H. Mu’allimi, MA.
NIP: 150 247 331
NIP: 150 012 968
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam Yang Maha Mulia lagi Maha Perkasa. Di tangan-Nya Dia memegang kekuasaan di langit dan di bumi Dia maha mengetahui sesuatu yang terungkapkan oleh bisikan rahasia yang yang terselip tak terkatakan. Dialah yang maha kuasa, dengan kekuasaan-Nyalah sehingga kita dapat melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan dalam dunia ini dan dengan rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat akhir di dalam menyelesaikan program sarjana (S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada manusia pilihan yang membawa manusia kepada peradaban yang Islami yaitu Nabi Muhammad SAW kepada keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya yang istiqomah dalam menjalankan ajaran Islam. Dalam penulisan skripsi ini banyak sekali kendala ataupun kesulitan yang penulis hadapi, akan tetapi berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak skripsi ini dapat terselesaikan sesuai batas waktu yang telah ditentukan. Oleh karena itu penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan berbagai macam nikmat, terutama nikmat iman, Islam serta sehat wal afiyat sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. 2. Ayahanda dan Ibunda tercinta Zainudin dan Tiharoh yang berkat didikan serta upaya keras keduanya, penulis dapat menempuh jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi dengan baik. 3. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Azyumardi, MA. dan Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
yang telah banyak
membina sekaligus memfasilitasi kegiatan belajar-mengajar di kampus dengan sebaik-baiknya. 4. Kepala Jurusan Pendidikan Agama Islam, Drs. A. F. Wibisono, M.Ag dan Sekretaris Jurusan serta para staf di lingkungan jurusan Pendidikan Agama Islam 5. Penasihat Akademik, Hj. Dra. Husnawati, M.Ag, yang telah banyak memberikan arahan dan dorongan kepada penulis untuk senantiasa aktif di berbagai kesempatan termasuk ketika masih aktif di perkuliahan dahulu. 6. Dosen pembimbing Drs. Ahmad Syafi'i, M.Ag, yang dengan penuh kesabaran serta keikhlasan telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan arahan dan bimbingan dari awal proses penulisan hingga akhir penulisan skripsi ini. 7. Pimpinan Perpustakan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dalam penulisan skripsi ini memberikan andil besar dalam hal penyediaan bahan pustaka dan sumber-sumber bacaan untuk kelancaran penulisan skripsi ini.
8. Keluarga Besar UKM Pramuka Racana Fatahillah Nyi-Mas Gandasari yang telah memberikan dukungannya dalam penulisan skripsi ini, juga pada Dewan Racana Fat-Nyi 2006/2007 yang diketuai oleh Nurul Iman yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan dalam penulisan skripsi ini. 9. Keluarga Besar HIMATA (Himpunan Mahasiswa Tangerang) Jakarta Raya yang juga telah memberikan dukungannya baik moril ataupun materiil dalam penulisan skripsi ini. 10. Teman-teman kelas C yaitu A. Afandi, M. Rahman WP, Abd. Hakim, AlBiladatur Rabiatun, Ibay dan yang lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, juga telah memberikan pendapatnya dalam penyusunan skripsi ini. 11. Dewan Guru SD Negeri 02 Pondok Aren yang telah memberikan dukungannya dan semangatnya dalam penyusunan skripsi ini. 12. Teman-teman Pencinta Alam (Porswapala) dengan pasukan : Burhan, Iik Samuel, Hamzah, Mas Zen, Agus TH (Bang Bocak), Firman (Licin), dan Adi, yang memberikan semangatnya selama penyusunan skripsi ini berlangsung. Penulis sepenuhnya menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini yang mesti disempurnakan. Dan hal itu tidak lepas karena keterbatasan kemampuan penulis tentunya dalam memberikan dalam memberikan sebuah interpretasi terhadap pandangan para ulama dan cendikiawan yang eksis dalam bidang pendidikan. Maka untuk itu kritik sekaligus saran senantiasa penulis harapkan sebagai upaya perbaikan di masa mendatang.
Semoga skripsi memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan umumnya kepada pembaca yang terus menjadi pemerhati pendidikan dengan berlandaskan AlQur'an dan Sunah. Atas semua bantuan yang diberikan, semoga Allah SWT membalasnya dengan balasan yang setimpal di sisi-Nya. Amin Yaa Rabbal Alamiiin.
Jakarta, 12 Oktober 2006
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................
iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................
vii
BAB
PENDAHULUAN...........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................
7
C. Metode Penelitian ..........................................................................
7
D. Tujuan dan Kegunaan penelitian....................................................
8
E. Sistematika Penulisan ....................................................................
9
I
BAB II
BAB III
TINJAUAN TEORTITIS TENTANG PENDIDIKAN POLITIK..........................................................................................
10
A. Pengertian Pendidikan Politik .......................................................
10
B. Pendidikan Politik Dalam Pemikiran Barat ...................................
13
C. Fungsi-Fungsi Pendidikan Politik ..................................................
14
D. Tujuan Pendidikan Politik..............................................................
16
E. Tujuan Pendidikan Politik Islam....................................................
18
SEJARAH PIAGAM MADINAH .................................................
21
A. Pengertian Piagam Madinah ...........................................................
21
B. Sejarah Terbentuknya Piagam Madinah..........................................
23
C. Tinjauan Teks Piagam Madinah......................................................
27
D. Tujuan Dibentuknya Piagam Madinah............................................
36
BAB
IV PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM
DIBALIK PERISTIWA
PIAGAM MADINAH .....................................................................
41
A. Prasyarat pendidikan : Kondisi yang harus ada pada proses pendidikan secara social ...................................................................................
41
1. Sifat Saling Percaya ..................................................................
42
2. Berlaku Adil ...............................................................................
43
B. Prinsip-prinsip dalam pendidikan pada peristiwa Piagam Madinah
BAB
V
44
a. Prinsip Demokrasi....................................................................
44
b. Prinsip Kebebasan....................................................................
46
c. Prinsip Persamaan atau Kesetaraan..........................................
53
C. Fungsi Pendidikan Pada Peristiwa Piagam Madinah .....................
56
PENUTUP..........................................................................................
62
A. Kesimpulan ....................................................................................
62
B. Saran...............................................................................................
64
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu peristiwa sejarah masa lalu adalah hijrah, yaitu perjalanan Nabi Muhammad SAW beserta kaumnya yang telah memeluk agama Islam dari kota Mekkah menuju Yastrid (Madinah). Peristiwa ini adalah momentum yang sangat besar dan berarti bagi seluruh kaum muslimin di mana ia dijadikan awal perhitungan penaggalan tahun hijriah dan juga suatu peristiwa terbentuknya suatu negara di kota Madinah yang dikepalai oleh Nabi Muhammad SAW sendiri. Sejarah Islam, sebagaimana sejarah tiap umat, dapat dibagi dalam tiga periode, periode klasik, periode pertengahan dan periode modern. Pada periode klasik, merupakan masa ekspansi, integrasi dan masa keemasan. Telah menjadi kenyataan sejarah bahwa, dalam hal ekspansi, hampir seluruh jazirah Arab sudah tunduk di bawah kekuasaan Islam, sebelum Nabi Muhammad SAW wafat di tahun 632 M.1 Sejarah menunjukan bahwa Nabi Muhammad dan umat Islam selama kurang lebih 13 tahun di Mekkah terhitung sejak pengangkatan Muhammad SAW sebagai Rasul, belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik yang menguasai suatu wilayah. Umat Islam menjadi satu komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M hijrah ke Madinah, kota yang sebelumnya disebut Yastrib. Kalau di Mekkah mereka sebelumnya merupakan umat lemah yang tertindas, di Madinah 1
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1985) cet. Ke-5, Jilid I, hlm.56.
mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera menjadi umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. 2 Mekkah adalah daerah yang tandus dan gersang hingga umatnya selalu berperang, bermusuhan dan saling mencaci maki sesamanya, masyarakat yang seperti inilah yang memerlukan penataan dan pengendalian sosial secara bijak dengan membuat undang-undang dan peraturan yang dapat menciptakan rasa aman dan keadaan damai atas dasar keserasian dan keadilan yang dapat diterima oleh semua golongan, akan tetapi itu semua terjadi setelah Nabi SAW beserta kaumnya hijrah ke Yatsrid (Madinah), di Madinah-lah penataan dan pengendalian sosial dilakukan oleh Nabi bersama para penduduk Mekkah (Muhajirin) dan para penduduk Madinah (Anshar) dengan tidak memihak satu sama lain, dengan membuat perjanjian persahabatan antara Muhajirin dan Anshar sebagai komunitas Islam di satu pihak dan antara kaum muslimin dan kaum Yahudi serta sekutu-sekutu mereka di pihak lain agar mereka terhindar dari pertentangan suku serta bersama-sama mempertahankan keamanan kota Madinah dari serangan musuh untuk hidup berdampingan secara damai sebagai inti dari persahabatan.3 Selain sebagai Nabi dan Rasul Allah, Muhammad SAW adalah juga seorang kepala negara dan kepala pemerintahan, sebab dalam kenyataannya beliau telah mendirikan negara bersama orang-orang pribumi (Anshar) dan masyarakat pendatang (Muhajirin), beliau membuat konstitusi tertulis (Undang-Undang Dasar) untuk
2 3
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: UI-Press, 1995). J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: PT Rajagrapindo Persada, 1994), Cet I. hlm. 113.
berbagai suku-suku termasuk Yahudi, beliau memberi perlindungan (proteksi) kepada umat non Islam.
Inilah negara yang jujur tetapi bukan negara teokrasi karena beliau tidak menganggap dirinya anak Tuhan. Beliau hamba Allah, pesuruh-Nya dalam menyampaikan risalah kenabian, kehadiran Beliau di dunia bagaikan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). 4 Setibanya Rasul di Madinah, ia dihadapkan persoalan bagaimana menata masyarakat yang majemuk. Pada saat itu penduduk Madinah terdiri atas: (1) Muslim pendatang dari Mekkah (kaum Muhajirin), (2) Muslim Madinah (Anshar) yang terdiri atas suku Aus dan Khazraj, yang telah memeluk Islam tetapi dalam tahap awal, bahkan di antaranya ada yang diam-diam memusuhi Rasulullah, (3) Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menyembah berhala, tapi kemudian masuk Islam, (4) Orang-orang Yahudi yang terbagi dalam tiga suku utama: Bani Qainuga, bani Nadhir, bani Quraizhi serta suku-suku yang lainnya.5 Belum genap dua tahun setelah hijrah, yaitu pada tahun 622 M, dua tahun sebelum perang Badar, Rasulallah mengeluarkan Piagam Madinah yang ditujukan pada kaum Muhajirin, Anshar dan kaum Yahudi. Piagam ini sering juga disebut dengan Dustur Madinah, Undang-Undang Madinah atau Konstitusi Madinah.
4 5
Drs. H. Inu Kencana Syafi’ie, Ibid, hlm. 167. Zafrulla Khan, Muhammad Seal of the Prophets (London: Routledge and Kegan Paul, 1980) hlm. 88.
Ada dua landasan bagi kehidupan bernegara yang diatur dalam Piagam Madinah yaitu : 1. Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku. 2. Hubungan antar komunitas muslim dan non muslim didasarkan pada prinsip: a. Bertetangga baik. b. Saling membantu dalam menghadapi musuh. c. Membela mereka yang teraniaya. d. Saling menasihati. e. Saling menghormati kebebasan beragama. 6 Dalam Al-Qur’an Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul:
☺
00000
Artinya: “Dan tidaklah Muhammad itu kecuali seorang Rasul ……".
(Q. S. Ali
Imran : 144)
6
Drs. Abdul Azis Thaba, M.A. Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. I. hlm. 98.
Sebagai Rasul beliau bertugas sebagai penyampai dan pen-syarah keseluruhan wahyu yang diterimanya kepada manusia. Bukan hanya sebagai penyampai dan penjelas keseluruhan wahyu Allah, tapi juga diberi hak legislatif atau hak menetapkan hukum bagi manusia dan hak menertibkan kehidupan masyarakat. Karenanya beliau disebut contoh teladan yang baik bagi manusia sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
⌧ ⌧ ⌧
☺ ⌧
Artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu". (Q.S. Al-Ahzab: 21)
Demikian pula, jika kita melihat kembali peristiwa Baiat ‘Aqabah pertama (621 M) dan Baiat ‘Aqabah kedua (622 M). Dalam kedua peristiwa tersebut beliau diakui sebagai pemimpin dari kelompok Madinah yang mampu mengendalikan kaum Muhajirin dan Anshar secara nyata dan efektif dengan mempersaudarakan mereka. Dari sinilah beliau dianggap memiliki pengetahuan tentang teori politik yaitu “kekuasaan sosial” di kalangan pengikutnya. Kekuasaan sosial adalah kemampuan mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan memberi perintah maupun secara tidak langsung dengan memanfaatkan segala alat dan cara
yang tersedia. Dari sinilah beliau memperoleh keabsahan (legitimasi) sebagai pemimpin masyarakat madinah.7 Sangat jelas terlihat bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki banyak pengetahuan yang mendukung kelayakannya menjadi seorang pemimpin dari kalangan kelompok masyarakat Madinah. Pengetahuan yang dimiliki Muhammad adalah tidak lepas dari peran Sang Khaliq (Allah SWT) sebagai Murabbi (guru) dan Muhammad SAW sebagai Murabba (murid). Peristiwa ini dalam perspektif pendidikan mengandung beberapa prinsip pendidikan yang dapat digunakan untuk pembelajaran, baik bagi siswa yang ingin meningkatkan belajarnya atau guru yang juga ingin meningkatkan kualitas pengajarannya. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip pendidikan dapat membantu guru dalam bertindak yang tepat,
dengan prinsip
pendidikan ini dapat mengembangkan sikap yang akan digunakan untuk peningkatan belajar. 8 Maka, atas dasar inilah penulis merasa tertarik untuk lebih dalam lagi mengkaji rahasia-rahasia yang tersimpan di balik peristiwa terjadinya Piagam Madinah yang dijadikan tauladan atau contoh bagi negara-negara yang menginginkan kedamaian serta menjadikan negaranya sebagai negara yang Baldatun Tayyibatun Warabun Gafur. Selain itu pula dalam peristiwa ini banyak terjadi suatu proses pembelajaran yang dapat diambil untuk kehidupan sehari-hari yang berasaskan pada perspektif pendidikan Islam. Maka dari itu penulis memilih judul “Piagam Madinah Dalam Perspektif Pendidikan Islam”
7 8
J. Suyuthi Pulungan, op cit, hlm. 70-71. Ali Imran, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Pustaka Jaya : 1996), hlm. 42.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat luasnya pokok bahasan tentang peristiwa Piagam Madinah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membatasi permasalahan tersebut hanya pada perspektif pendidikan Islam yang terjadi pada peristiwa Piagam Madinah yang dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW. di Madinah. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka masalah yang dirumuskan adalah sebagai berikut: a. Bagaimana proses sejarah terjadinya peristiwa Piagam Madinah? b. Pendidikan seperti apa yang terdapat pada peristiwa Piagam Madinah?
C. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library reseach) artinya, permasalahan dan pengumpulan datanya berasal dari kajian kepustakaan, baik itu berupa buku, jurnal, majalah, artikel dan surat kabar yang relevan dengan penelitian ini. Selanjutnya karena penelitian ini berhubungan dengan sejarah maka penulis mengunakan pendekatan histori (historical approach) artinya, pendekatan yang berkaitan dengan suatu kejadian atau peristiwa sejarah Rasulallah SAW dalam Piagam Madinah. Dari data yang terkumpul, penulis mengelola dan menganalisis data tersebut dengan menggunakan metode contens analysis, maksudnya adalah penulis
menganalisis data yang terkumpul, kemudian hanya data yang betul-betul terkait dengan topik penelitian ini saja yang akan penulis cantumkan dalam penulisan skripsi ini.
Selain itu, penulis juga memberikan tanggapan terhadap data tersebut dengan tujuan diperoleh formulasi yang lebih baik dan applicable mengenai pandangan pendidikan Islam tentang terjadinya peristiwa Piagam Madinah.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Penulis ingin mengetahui perspektif pendidikan Islam pada peristiwa Piagam Madinah 2. Penulis ingin membuktikan bahwa proses belajar mengajar juga terjadi pada peristiwa Piagam Madinah yang dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW di Yastrib (Madinah). 3. Untuk memberikan sumbangsih dan kontribusi pemikiran bagi dunia pendidikan Islam Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 2. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan (Spesifikasi bidang) 3. Diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran khususnya dalam dunia pendidikan Islam 4. Untuk memperkaya khazanah intelektual umat 5. Untuk dapat dikembangkan dan disempurnakan pada penelitian selanjutnya.
E. Sistematika Penulisan Dalam skripsi sebagai menjadi lima bab, dan bab-bab tersebut disistematikan penulis sebagai berikut : Bab I
Bab ini terdiri dari pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, metode penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II
Bab ini memuat tentang tinjauan pendidikan politik seperti, pengertian pendidikan politik, pendidikan politik barat, tujuan pendidikan politik.
Bab III
Bab ini memuat tentang sejarah terbentuknya Piagam Madinah, pengertian piagam Madinah, sejarah terbentuknya Piagam Madinah, dan
tujuan
dibentuknya Piagam Madinah BAB IV
Bab ini memuat tentang perspektif pendidikan politik dibalik peristiwa Piagam Madinah
BAB V
Bab ini merupakan bab penutup untuk mengakhiri penulisan yang bersisikan kesimpulan dan saran.
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENDIDIKAN POLITIK
A. Pengertian Pendidikan Politik Defenisi yang paling baik tentang pendidikan adalah "Proses membangun kepribadian manusia secara integral. Diantara aspek kepribadian manusia itu adalah aspek politik dan sosial". Dari sisi lain, pendidikan adalah "usaha yang sadar, terarah dan disertai dengan pemahaman yang baik, untuk menciptakan perubahan-perubahan yang diharapkan pada perilaku individu dan selanjutnya pada perilaku komunitas di mana individu itu hidup". Yakni bahwa ia telah keluar dari statusnya sebagai aktifitas individu atau keluarga, menjadi sebuah sistem kemanusiaan dan bangunan sosial yang mempunyai fungsi-fungsi politik, pemikiran, moral, ekonomi dan budaya. Karena itu, pendidikan politik merupakan tugas pokok lembaga-lembaga pendidikan. Pendidikan dalam pengertian yang mendalam adalah "sebuah aktivitas politik, sebagaimana bahwa politik itu pada intinya adalah aktivitas pendidikan. Karena itu upaya untuk memisahkan antara keduanya dan menafikan saling pengaruhnya merupakan pemaksaan yang menyebabkan bahaya bagi keduanya secara bersamaan. Ini secara persis terjadi pada situasi dan kondisi politik yang terbelakang, yakni ketika politik terlepas dari misinya dan kehilangan unsur edukatifnya yang khas. Demikian juga itu terjadi ketika pendidikan menjadi urusan yang marjinal dan sekedar fungsi
klise untuk memelihara nilai dan pemikiran yang ketinggalan zaman, tidak memiliki peran pembimbingan ke arah masa depan dalam kehidupan masyarakat dan dinamika peradabannya.1 Yang jelas, pendidikan bertugas untuk melakukan transformasi dan pengembangan kultur masyarakat dari generasi ke generasi. Budaya politik merupakan aspek politik dalam kultur masyarakat. Pendidikan diharapkan bisa melakukan transformasi kultur tersebut, mengembangkan dan membentuk generasi sesuai dengannya. Karena itu, hubungan antara pendidikan dan politik merupakan hubungan sangat erat yang saling mempengaruhi. Eratnya hubungan ini akan semakin tampak lagi jika dilihat dari sisi-sisi berikut : a. Hubungan antara pendidikan dan pengajaran dengan sistim politik. b. Obyek pendidikan, yakni manusia. c. Fungsi-fungsi politik pendidikan. d. Peran pendidikan di dunia ketiga yang terbelakang.2 Untuk melengkapi bahasan ini, maka akan dikemukakan pandangan pengertian pendidikan Islam,
Menurut A.D. Marimba, pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut aturan-aturan Islam. 3
1
Dr. Utsman Abdul Mu'iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, (Solo: Intermedia, 2000), hlm. 61-62. 2 Ibid, hlm. 62-63. 3 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), Cet 8, h. 23
ke-
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan pada perbaikan sikap (prilaku) dan mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain dan pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja akan tetapi juga bersifat praktis. Maka dari itu pendidikan Islam merupakan pendidikan kepribadian, iman dan amal bahkan pendidikan Islam merupakan pendidikan individu dan pendidikan masyarakat, karena ajaran Islam berisikan sikap dan tingkah laku pribadi dan masyarakat. Politik dalam bahasa Arabnya disebut "Siyasyah" atau dalam bahasa Inggrisnya "Politics". Politik itu sendiri berarti cerdik dan bijaksana. Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan politik pada galibnya adalah membicarakan negara, karena teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan negara, hakikat negara serta bentuk dan tujuan negara, di samping menyelidiki hal-hal seperti pressure group, interest group, elit politik, pendapat umum (public upinion), peranan partai politik dan pemilihan umum. Asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata "Polis" yang berarti "Negara Kota", dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan dan akhirnya kekuasaan. Tetapi politik bisa juga dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan, pemerintahan, konflik dan pembagian atau kata-kata yang serumpun. 4
4
Drs. Inu Kencana Syafi’I, Al-Qur'an dan Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 74-76.
Pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata “didik” yang berarti “memelihara memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran”. 5 Dari pengertian di atas tampak bahwa seluruh kegiatan yang ditujukan untuk membentuk akhlak, budi pekerti dan mengasah keterampilan berfikir adalah kegiatan pendidikan. Secara istilah pendidikan dalam arti yang luas adalah “semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuan, pengalaman kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkan generasi muda agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani”.6 Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan tidak hanya bertugas untuk mengembangkan kecerdasan dan membentuk akhlak sesuai dengan norma-norma yang berlaku, tetapi juga sebagai sarana generasi tua untuk mewariskan pengetahuannya kepada generasi muda, agar generasi muda dapat melaksanakan kewajibannya untuk melangsungkan kehidupan manusia. B. Pendidikan Politik Dalam Pemikiran Barat Edgar Fore dan kawan-kawan mendefinisikan pendidikan politik sebagai “penyiapan generasi untuk berfikir merdeka seputar esensi kekuasaan dan pilarpilarnya, seputar faktor-faktor yang berpengaruh dalam lembaga-lembaga atau berpengaruh dalam masyarakat melalui lembaga-lembaga tersebut. Ia berpendapat 5
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet ke-4, h. 232. 6 Soeganda Poerkawatja dan H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Gunung Agung, 1981), h. 257
bahwa pendidikan politik bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran politik dan mendidik karakteristi manusia yang kenyang dengan jiwa demokrasi. Ia bukan doktrin atas konsepsi-konsepsi politik, akan tetapi merupakan penyiapan generasi untuk dapat memahami sruktur-struktur dunia tempat mereka akan hidup di dalamnya, untuk menunaikan berbagai tanggung jawab yang benar dalam kehidupannya, agar mata mereka tak selamanya terpejam dan pemahaman terhadap teka-teki dunia ini pun tidak tertutup bagi mereka. Ia berpendapat bahwa yang esensial dalam pendidikan politik adalah mengaitkan aktivitas pendidikan dengan praktek kekuasaan secara seimbang, berguna dan demokratis.7 Sedangkan
Good
berpendapat
bahwa
pendidikan
politik
adalah
pengembangan kesadaran generasi terhadap berbagai problematika kekuasaan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dan pengembangan aspek itu adalah dengan menggunakan berbagai sarana seperti diskusi-diskusi nonformal, ceramah-ceramah dan partisipasi dalam kegiatan politik. Definisi ini menonjolkan dua dimensi pendidikan politik, yaitu kesadaran dan partisipasi, akan tetapi membatasinya hanya pada kekuasaan dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Kedua definisi di atas mencerminkan pendidikan politik di negara-negara demokrasi yang sudah mapan.8 C. Fungsi-Fungsi Pendidikan Politik
7 8
Edgar Fore dkk, Ta’allam Litakuuna (terjemahan Dr. Hanafi bin Isa). hal. 215. Dr. Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Op Cit, hal. 81-82.
Kaitannya dengan kegiatan politik, kegiatan politik ini dijadikan sebagai suatu fungsi-fungsi politik yang dijadikan menjadi dua kategori yaitu: fungsi-fungsi masukan (input functions) dan fungsi-fungsi keluaran (output functions). Yang pertama adalah fungsi-fungsi yang sangat penting dan menentukan cara kerjanya sistem dan yang diperlukan untuk membuat dan melaksanakan kebijaksanaan dalam sistem politik.
Fungsi-fungsi politik yang dimaksud adalah: a. Sosialisasi
politik.
Sosialisasi
antara
lain
berarti
proses
social
yang
memungkinkan seseorang menjadi anggota kelompoknya. Dari makna ini maka sosialisasi politik adalah merupakan proses sosial yang menjadikan seorang anggota masyarakat memiliki budaya politik kelompoknya dan bersikap serta bertindak sesuai dengan budaya politik tersebut. b. Rekrutmen politik. Yang dimaksud adalah proses seleksi warga masyarakat untuk menduduki jabatan politik dan administrasi. c. Artikulasi kepentingan. Fungsi ini merupakan proses penentuan kepentingankepentingan yang dikehendaki dari system politik. d. Agregasi kepentingan. Fungsi ini adalah proses perumusan alternatif dengan jalan penggabungan
atau
penyesuaian
kepentingan-kepentingan
yang
telah
diartikulasikan atau dengan merekrut calon-calon pejabat yang menganut pola kebijaksanaan tertentu.
e. Komunikasi politik. Fungsi ini merupakan alat untuk penyelenggaraan fungsifungsi lainnya. Orang tua, guru-guru dan pemimpin-pemimpin agama misalnya, mengambil bagian dalam sosialisasi politikdengan menggunakan komunikasi. Sedangkan fungsi-fungsi pengeluaran meliputi: pembuatan aturan (rule making), pelaksanaan aturan-aturan hukum (rule application) dan pengawasan atas pelaksanaan aturan-aturan hukum (rule adjdication).9
D. Tujuan Pendidikan Politik Sudah jelas bahwa pendidikan politik bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan kepribadian politik dan kesadaran politik, sebagaimana juga bertujuan untuk membentuk kemampuan dalam berpartisipasi politik pada individu, agar individu itu menjadi partisan politik dalam bentuk yang positif. Ada beberapa aspek agar pendidikan politik bisa berjalan sesuai dengan tujuan pendidikan politik tersebut yaitu: a. Kepribadian Politik Kepribadian politik merupakan tujuan pokok dari proses pendidikan politik. Karena itu, tidak ada kesadaran politik tanpa kandungan kepribadian politik dan bahwa jenis dan tingkat partisipasi politik di pengaruhi oleh jenis kultur politik yang membentuk kandungan kepribadian politik.
9
Dr. Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuatan Politik Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 41-45.
Beberapa definisi tentang kepribadian politik, menurut sebagian ilmuwan yaitu, “sejumlah respon yang dinamis sistematis dan berkesinambungan. Biasanya muncul karena rangsangan politik. Karena itu, ia meliputi sejumlah motivasi yang mungkin diuraikan menjadi sekumpulan nilai dan kebutuhan, pengetahuan dan kecenderungan politik.10 Definisi yang lebih detail yaitu, “kepribadian politik adalah sejumlah orientasi yang berbentuk pada individu untuk menghadapi dunia politik. Kepribadian politik mencakup berbagai dimensi, diantaranya informasi dan persepsi yang berkaitan dengan dunia politik, pandangan-pandangan baik positif maupun negatif, yang merumuskan hubungan individu dengan simbol-simbol politik.
b. Kesadaran Politik Ada beberapa definisi kesadaran politik yang diutarakan oleh para ilmuwan yaitu, menurut Petter adalah “berbagai bentuk pengetahuan, orientasi dan nilai-nilai yang membentuk wawasan politik individu., ditinjau dari keterkaitannya dengan kekuasaan politik”. Definisi ini menyamakan antara kesadaran dan wawasan. Sementara ilmuwan lain mendifinisikan kesadaran politik sebagai “pengetahuanpengetahuan politik pada individu dalam skala regional maupun internasional, sebagai hasil dari wawasan politik yang diperolehnya di tengah masyarakat. Tidak diragukan lagi bahwa “kesadaran” di sini merupakan sejenis pengetahuan atau informasi. 11
10 11
As-Sayyid Abdul Muthalib Ahmad Ghanim, Al-Musyarakah As-Siyasiyah fi Mishr. Hal. 37. Dr. Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Op Cit, hal. 91-94.
c. Partisipasi Politik Dalam ilmu politik, partisipasi politik didefinisikan sebagai keikutsertaan warga negara dengan bentuk yang terorganisir dalam membuat keputusan-keputusan politik, dengan keikutsertaan yang bersifat sukarela dan atas kemauannya sendiri, didasari oleh rasa tanggung jawab terhadap tujuan-tujuan social secara umum dan dalam koridor kebebasan berpikir, bertindak dan kebebasan mengemukakan pendapat. Dalam literature sosial politik dapat didefinisikan sebagai “kontribusi atau keikutsertaan warga dalam masalah-masalah politik di lingkup masyarakatnya, dengan mendukung atau menolak, membantu atau melawan dan seterusnya.12 Dengan ketiga aspek inilah maka pendidikan politik akan berjalan sesuai dengan tujuan dari pendidikan politik itu sendiri. Maka ketiga aspek di ataslah yang harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur pendidikan politik agar mendapatkan hasil yang maksimal dari proses pendidikan politik. Jadi, pada intinya pendidikan politik bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran politik dan mendidik karakteristik manusia yang kenyang dengan jiwa demokrasi. serta merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan pendidikan yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah demi tercapainya tujuan pendidikan yang umum ataupun yang khusus. Juga bertujuan untuk memperlancar jalannya demokrasi yang dinamis. E. Tujuan Pendidikan Politik Islam
12
Ibid, hal. 98-99
Hubungan erat antara Islam dan politik sebagaimana telah ditunjukan dalam keterlibatan nyata umat Islam dalam urusan-urusan politik, bukan sekedar penjelmaan realitas sejarah tapi juga penjelmaan dari ketentuan agama. Menurut Bernard Lewis, “Islam terkait dengan kekuasaan sejak awal kelahirannya, dari masa formatifnya di zaman Nabi dan para Khalifah sesudah Nabi wafat. Hubungan agama dan kekuasaan, umat dan masyarakat politik ini, dapat dilihat dalam Al-Qur’an sendiri dan dalam teks-teks keagamaan yang lain yang merupakan sandaran bagi keyakinan umat Islam.” Ini berarti bahwa keduanya memang tak terpisahkan. Pengalaman politik umat Islam dalam sejarah merupakan cerminan dari kesadaraan keagamaan. Tapi mungkin juga dua hal tersebut merupakan fenomena terpisah. Setelah masa Nabi dan Khalifah yang empat sejarah politik yang terbentuk bukanlah tipe kesadaran politik yang mengalir langsung dari semangat ajaran-ajaran Islam, melainkan sebagaimana dikatakan Hamid Enayat: “Suatu kecenderungan umat Islam kepada politik yang sering kali tersembunyi di belakangan ketakwaan, atau kelesuan politik atau keduanya. Kalau esensi politik adalah seni hidup dan kerjasama dengan yang lain, maka rukun Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji bagi yang mampu) sangat sesuai dengan upaya menjunjung-tinggi semangat korp (esprit de corps) dan solidaritas kelompok diantara umat Islam … jika … hakikat politik adalah pergumulan untuk kekuasaan, maka hampir menjadi lebih banyak lagi visi dunia politik : dengan selalu memandang hakikat manusia atas dasar kebutuhan jasmani dan rohani, Islam tidak pernah puas dengan sekedar ungkapan cita-cita, tapi terus menerus mencari alat untuk menjabarkan cita-cita tersebut dan kekuasaan adalah alat yang sangat penting untuk mencapai cita-cita tersebut”.13 Terdapat tiga arus utama pemikiran politik Islam yaitu :
13
M. Din Syamsudin, Islam dan Politik era orde baru, (Jakarta: Logos, 2001), h. 88-89
Pertama, arus formalistik. Arus ini menekankan formalisme keagamaan yaitu bentuk-bentuk prakonsepsi Islam tentang politik, seperti bentuk negara dan corak instrumen politik yang perlu diadakan. Kedua, kecenderungan substantive yang menekankan isi (substansi) dari pada bentuk (format). Pendukung arus ini menekankan tuntutan manifestasi nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik dan subtansi nilai-nilai instriksi Islam ke dalam kehidupan politik nasional. Ketiga, arus “fundamentalis”. Istilah ini dipakai untuk menunjukan adanya arus yang berada di luar dan di antara dua arus sebelumnya. Pendukung arus ini cenderung untuk bertumpu pada nilai-nilai dasar Islam dan berusaha untuk melakukan ideologisasi terhadap Islam untik kehidupan politik. Islam bukan hanya sekedar akidah ketuhanan atau ritual ibadah saja atau bukan hanya sekedar hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tanpa ada hubungan dengan penataan kehidupan, masyarakat dan negara. Islam adalah aqidah, ibadah, moral dan syari’ah yang integral. Dengan kata lain, Islam adalah system kehidupan yang komprehensif. Kepribadian muslim seperti yang di bina oleh Islam dan ditempa oleh akidah, syari’ah, ibadah dan tarbiyahnya adalah kepribadian politikus. Islam meletakan suatu kewajiban di pundak setiap muslim yang dinamakan dengan amar ma’ruf dan nahi munkar. Kewajiban ini mungkin saja dilaksanakan dalam bentuk nasehat kepada para penguasa dan kaum muslimin secara umum. Hal ini sejalan dengan hadits Rasul yang
mengatakan, “agama adalah nasehat”. Kegiatan seorang muslim dalam menata masalah umatnya, sekarang dinamakan dengan kegiatan politik.14 Para ulama masa lalu memuji nilai dan keutamaan politik, sehingga Imam AlGhazali mengatakan : “Dunia adalah ladang akhirat, agama tidak akan sempurna kecuali dengan dunia. Penguasa dan agama adalah kembaran. Agama adalah tiang dan penguasa adalah penjaga. Sesuatu yang tidak punya tiang akan rubuh dan sesuatu yang tidak dijaga akan hilang”.15 Politik diharuskan ada dalam suatu negara karena mempunyai peran yang sangat pital untuk kemajuan negara itu sendiri, yaitu dengan pemberi nasihat kepada para pemimpin atau penguasa bila terdapat kejanggalan atau kesalahan dalam kepemimpinannya, yaitu tugas menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar baik bagi masyarakat yang menggeluti politik yang bersangkutan ataupun pemimpin itu sendiri.
14 15
Dr. Yusuf Qardhawy, Fiqh Negara, (Jakarta: Robbani Press, 1997), h. 109-111 Ibid, h. 122
BAB III SEJARAH PIAGAM MADINAH A. Pengertian Piagam Madinah Tidak lama sesudah hijrah ke Madinah, Muhammad SAW. membuat suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah yang dihuni oleh beberapa macam golongan. Ia memandang perlu meletakkan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup diantara seluruh penghuninya. Kesatuan hidup yang baru dibentuk itu dipimpin oleh Muhammad SAW, sendiri dan menjadi yang berdaulat. Dengan demikian di Madinah Nabi Muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul Allah, tapi juga mempunyai sifat kepala negara. Tidaklah sama pendapat dan penilaian yang diberikan oleh para ahli terhadap naskah penting yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad itu. Tetapi dalam suatu hal pendapat mereka bersamaan, ialah naskah itu adalah suatu dokumen politik yang paling lengkap dan paling tua umurnya di dalam sejarah. Menurut W. Montgomery Watt dalam bukunya "Muhammad et Medina", sebagai lanjutan dari bukunya yang pertama "Muhammad et Mecca" (oxford, 1953) tidak kurang pula jasanya mempopulerkan piagam itu sebagai suatu Konstitusi, yang
dinamakannya sebagai "The Constitution of Medina" (Konstitusi Madienah). Dengan membagi Konstitusi itu kepada Mukaddimah dan 47 pasal.1 Sedangkan Dr. Ahmad Ibrahim Syarif mengartikan Piagam Madinah dengan "Shahiefah", sebagaimana yang terdapat dalam bukunya yang berjudul "Pembentukan Negara di Yastrid", yang berbunyi: "Nabi Muhammad telah memuat suatu 'Undang-undang Dasar' untuk mengatur kehidupan umum di Madinah dan melatakan dasar-dasar hubungan antara Madinah dengan tetangga-tetangganya. Undang-undang dasar ini menunjukkan suatu kemampuan yang besar dalam segi perundang-undangan dan suatu keahlian yang dalam tentang keadaan serta memahami betul akan situasi di zaman itu dan Undangundang dasar itu terkenal dengan nama "Shahiefah".2 Majid Khadduri mengatakan piagam itu sebagai "treaty" (perjanjian) yang mengacu pada isi naskah tersebut, dalam bukunya "War and Peace in the Law of Islam" dengan menamakan piagam itu dengan "Tripartite Agreement" (Perjanjian segi tiga), yaitu perjanjian antara kaum Muhajirin, Anshar dan kaum Yahudi. 3 Beberapa alasan dikemukakan mengapa para ahli sejarah menamakan Piagam Madinah dengan berbagai macam nama yaitu, disebut "piagam" (charter), karena isinya mengakui hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum warga Madinah supaya keadilan terwujud dalam kehidupan
mereka,
mengatur
kewajiban
kemasyarakatan
semua
golongan,
menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan semua warga. Disebut "konstitusi" (constitution) karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar-dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk 1
H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad SAW: Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) hlm. 74-75 2 Ibid, hlm. 85 3 Ibid. hlm. 67
suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk Madinah yang majemuk. Walaupun disebut dengan nama-nama yang berbeda (charter, perjanjian, konstitusi maupun shahifat) tapi bentuk dan muatannya itu tidak menyimpang dari pengertian tersebut di atas.4 Kitab-kitab Islam selalu menamakan piagam itu dengan "Ahdun Nabi bil Yahudi" (Perjanjian Nabi dengan kaum Yahudi) atau dengan "Ahdun Bainal Muslimin wal Yahudi" (Perjanjian antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi). Oleh karena pandangan mereka bersifat keagamaan semata-mata (agamis), maka perjanjian itu diartikan sebagai suatu hubungan antara pemeluk Islam dengan pemeluk-pemeluk agama lain. Sebab piagam tersebut dijadikan bukti adanya sifat kesabaran dan toleransi Islam terhadap pemeluk-pemeluk agama lainnya.5 Itulah pendapat para ilmuwan muslim dan non muslim yang menamakan Piagam Madinah dengan berbagai nama, tapi pendapat yang mereka kemukakan semua itu tidak menyimpang atau berbeda dari yang aslinya. Mereka mengakui bahwa perjanjian (Piagam Madinah) yang di buat oleh Rasulallah SAW dengan kaum Anshar dan Muhajirin adalah sebagai pembentukan Negara Islam yang pertama. B. Sejarah Terbentuknya Piagam Madinah Mula-mula Nabi mengajarkan Islam di Mekkah dengan cara sembunyisembunyi. Ketika itu orang-orang Islam yang jumlahnya sedikit, kalau hendak shalat
4
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur'an, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1996), Cet ke-2. hlm. 113-114 5 H. Zainal Abidin Ahmad, Op Cit, hlm. 66
bersama-sama mereka keluar dari kota dan berkumpul di salah satu daerah perbukitan di sekitar Mekkah. Baru pada akhir tahun ketiga dari awal kenabian, Nabi mulai menyiarkan agama yang dibawanya dengan terang-terangan, yang kemudian berakibat makin meningkatnya tindakan permusuhan dan penganiayaan oleh orangorang kafir Mekkah terhadap orang-orang Islam. Belum cukup dua tahun sejak Nabi menyebarkan Islam secara terbuka, tindakan permusuhan dan penganiayaan itu sedemikian memuncak, sampai banyak diantara para pengikut Nabi yang seakan-akan tidak tahan lagi menanggung deritanya. Maka atas anjuran Nabi mereka mengungsi ke Abesinia. Mereka berada di negeri Afrika itu selama tiga bulan, kemudian pulang kembali ke Mekkah karena mendengar berita bahwa suku Quraisy telah menerima baik agama yang diajarkan oleh Nabi. Tapi ternyata berita itu tidak benar dan bahkan mereka makin kejam terhadap pengikut-pengikut Nabi yang lemah, banyak umat Islam yang mengungsi lagi ke Abesinia dalam jumlah yang lebih besar dari pada waktu pengungsian yang pertama. Sementara itu Nabi tetap bertahan di Mekkah. Kemudian pada tahun kesebelas dari permulaan kenabian, terjadilah suatu peristiwa yang tampaknya sederhana tetapi yang kemudian ternyata merupakan titik kecil awal lahirnya satu era baru bagi Islam dan juga bagi dunia. Peristiwa tersebut adalah perjumpaan Nabi di Aqabah, Mina, dengan enam orang dari suku Khazraj dan Yastrid yang datang ke Mekkah untuk haji. Sebagai hasil perjumpaan, enam tamu dari Yastrid itu masuk Islam dengan memberikan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Sementara itu kepada Nabi mereka menyatakan bahwa kehidupan di Yastrid selalu dicekam oleh permusuhan
antar golongan dan antar suku, khususnya antara suku Khazraj dan suku Aus. Mereka mengharapkan semoga Allah mempersatukan dan merukunkan golongan-golongan dan suku-suku yang selalu bermusuhan itu melalui Nabi. Mereka berjanji kepada Nabi akan mengajak penduduk Yastrid untuk masuk Islam. Pada musim haji berikutnya, tahun kedua belas dari awal kenabian, dua belas orang laki-laki penduduk Yastrid menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka selain mengakui kerasulan Nabi serta masuk Islam juga berbaiat atau berjanji tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berbuat zina, tidak akan membohong dan tidak akan menghiyanati Nabi. Baiat ini dikenal dalam sejarah sebagai Baiat Aqabah Pertama (621 M). 6 Kemudian pada musim haji berikutnya sebanyak tujuh puluh tiga penduduk Yastrid yang sudah memeluk Islam berkunjung ke Mekkah. Mereka mengundang Nabi untuk hijrah ke Yastrid dan menyatakan lagi pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan pemimpin mereka. Nabi menemui tamu-tamunya itu ditempat yang sama dengan dua tahun sebelumnya, Aqabah. Di tempat itu mereka mengucapkan baiat bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah dan bahwa mereka akan membela Nabi sebagaimana mereka membela isteri dan anak mereka. Dalam pada itu Nabi akan memerangi musuh-musuh yang mereka perangi dan bersahabat dengan sahabat-sahabat mereka. Nabi dan mereka adalah satu. Baiat ini dikenal sebagai Baiat Aqabah Kedua (622 M). Oleh kebanyakan pemikir politik Islam, dua baiat itu, Baiat Aqabah Pertama dan Baiat Aqabah Kedua, dianggap sebagai batu pertama dari bangunan negara Islam. Berdasarkan dua baiat itu maka 6
H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993 ), Cet. 5, h. 8-9.
Nabi menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk hijrah ke Yastrid pada akhir tahun itu juga dan beberapa bulan kemudian Nabi sendiri hijrah bergabung dengan mereka.7 Nabi Muhammad SAW nampaknya memahami bahwa masyarakat yang beliau hadapi adalah masyarakat majemuk yang masing-masing golongan bersikap bermusuhan terhadap golongan lain. Langkah pertama begitu beliau tiba di kota Madinah, adalah membangun Mesjid. Lembaga keagamaan dan sosial ini dari segi agama berfungsi sebagai tempat beribadah kepada Allah SWT dan dari segi sosial berfungsi sebagai tempat mempererat hubungan dan ikatan di antara anggota jamaah Islam. Langkah beliau yang kedua adalah menciptakan persaudaraan nyata dan efektif antara orang-orang Islam Mekkah dan Madinah, yaitu setiap dua orang bersaudara karena Allah. Misalnya Abu Bakar bersaudara dengan Kharijat bin Zuhair dan seterusnya. Hal ini sejalan dengan sikap kaum muslimin Madinah dalam Baiat Aqabah Pertama dan Kedua, bahwa mereka telah melepaskan hubungan mereka dengan kabilah dan mereka bersatu dalam agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Persaudaraan yang dibentuk oleh Nabi itu merupakan awal terbentuknya umat Islam yang pertama kali. Jika langkah pertama dan kedua ditujukan khusus kepada konsolidasi umat Islam, maka langkah beliau berikutnya ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah. Untuk itu beliau membuat perjanjian tertulis atau yang menekankan pada persatuan yang erat di kalangan kaum muslimin dan kaum Yahudi, menjamin kebebasan
7
Ibid, h. 9.
beragama bagi semua golongan, menekankan kerja sama dan persamaan hak dan kewajiban semua golongan dalam sosial politik dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian dan menetapkan wewenang bagi Nabi untuk menengahi dan memutuskan segala perbedaan pendapat dan perselisihan yang timbul di antara mereka.8 Perjanjian masyarakat yang terjadi antara Nabi dan komunitas-komunitas penduduk Madinah membawa mereka kepada kehidupan sosial yang teratur dan terorganisir atau dari “zaman pra negara ke zaman bernegara" di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.9
C. Tinjauan Teks Piagam Madinah Dalam menganalisis Piagam Madinah atau Konstitusi Negara Islam pertama ini, penulis mulai dengan menampilkan pendapat beberapa ahli pikir, baik muslim maupun non muslim. Muhammad Husni Assiba'i menyimpulkan isi Piagam Madinah ini sebagai berikut : a.
Adanya kesatuan umat Islam tanpa ada perbedaan apa pun.
b.
Persamaan
seluruh
umat
dalam
hak
dan
kemuliaannya,
dapat
menyelamatkan golongan umat tanpa ada penganiayaan. c. Adanya kegotong royongan seluruh umat tanpa ada penganiayaan, penindasan, permusuhan, pelanggaran hak atau pengacauan. Tindakan keras akan diambil kepada siapa saja yang menganiaya dan mengacau negara.
8
J. Suyuthi pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an., (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1994). Cet. I. h. 64. 9 Ibid, h. 74.
d.
Dalam menetapkan garis kebijaksanaan untuk menghadapi musuh, umat
diikutsertakan. Setiap muslim tidak dibenarkan membiarkan saudaranya dalam keadaan terancam. e. Masyarakat diatur menurut peraturan yang sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya dan seadil-adilnya. f.
Diambilnya tindakan keras dan tegas terhadap orang yang melakukan
pemberontakan terhadap negara atau melakukan pengacauan terhadap ketentraman umum. Dan adanya larangan memberikan bantuan kepada mereka. g. Setiap orang yang ingin hidup damai bersama kaum muslimin dilidungi. h. Dilindunginya keyakinan agama dan harta benda orang-orang nonmuslim. Mereka tidak akan dipaksa memasuki agama Islam dan tidak pula diambil harta bendanya. i. Orang-orang bukan muslim wajib turut serta guna kesejahteraan negara, dengan jalan memberi bantuan dalam bentuk biaya dan lainnya, sebagaimana kewajiban yang dibebankan kepada kaum muslimin. j. Orang-orang yang bukan muslimin, yang berdiam di dalam negara Islam, wajib bersama-sama umat Islam untuk membela negara dari setiap ancaman yang datangnya dari luar. k. Mereka juga diwajibkan ikut memikul biaya peperangan selama negara masih dalam keadaan perang. l. Negara wajib memberikan pertolongan kepada golongan yang bukan Islam, jika salah seorang diantara mereka teraniaya, walaupun yang menganiaya itu orang muslim sendiri.
m. Setiap warga negara, baik muslim maupun nonmuslim, dilarang melindungi orang-orang yang memusuhi negara atau memberi bantuan kepada musuh negara itu. n. Demi kemaslahatan Negara, jika perdamaian dengan musuh dipandang baik, seluruh warga negara yang muslim maupun nonmuslim harus menerima keputusan perdamaian itu. o. Seorang tidak akan dikenakan hukuman, karena kesalahan orang lain. Setiap orang hanya akan dituntut oleh hukum karena kesalahan yang diperbuatnya sendiri. p. Kebebasan berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, baik di dalam maupun di luar negeri, dilindungi oleh negara. q. Tidak diberi perlindungan terhadap orang yang melakukan kesalahan atau penganiayaan (sehingga diberi hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku). r. Masyarakat didirikan di atas dasar gotong royong, kebajikan dan taqwa kepada Allah, bukan di atas dasar penindasan dan permusuhan. Selanjutnya tinjauan serta catatan terhadap Piagam Madinah atau Konstitusi ini sebagai berikut: Tentang Mukaddimah Penegasan-penegasan yang termuat di dalam mukaddimah ini antara lain yaitu a. Piagam tertulis ini dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. dengan rakyat Madinah, yang terdiri atas kaum Quraisy, kaum Yastrid dan orang-orang yang mengikuti dan berjuang bersama mereka. Nabi Muhammad SAW menulis dan
menandatangani sebagai pemimpin yang mereka akui bersama. Ini berarti adanya "persetujuan bersama" antara Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin dengan rakyat yang dipimpinnya. b. Menonjolkan nama pemimpin, yaitu Nabi Muhammad SAW dan nama rakyat yang membuat kontrak sosial ini, yaitu kaum Quraisy, Yastrid dan orangorang yang mengikuti dan berjuang bersama mereka. Ini mempunyai arti sejarah untuk kemudian hari, sebagai kenangan terhadap penanaman batu pertama bagi prinsip ini. c. Pemakaian kalimat "orang-orang yang percaya dan memeluk agama Islam", hanyalah mempunyai arti yang satu, tidak ada perbedaan. d. Mukaddimah ini mengandung pula maksud proklamasi berdirinya 'Negara Madinah' yang kemudian menjadi 'Negara Islam'. Tentang Bab I : Pembentukan Bangsa Negara Pasal 1 : Bab ini dinamakan "pembentukan bangsa negara" hanya terdiri atas satu pasal saja. Isinya secara tegas menyatakan : a. Perkataan ummah adalah istilah baru dalam politik yang menunjukan adanya warga dari negara yang baru didirikan. Sampai sekarang belum ada terjemahan tepat bagi istilah ini. Karena itu, kita mempergunakan perkataan bangsa negara dengan pengertian bahwa kebangsaan warga bukanlah bergantung kepada persatuan turunan, tempat tinggal atau lainnya, tetapi diikat oleh persatuan kenegaraan.
b. Perkataan "bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia lainnya" berarti adanya suatu bangsa yang berdaulat penuh, yang bebas dari segala pengacau dan kekuasaan yang datang dari luar. Tentang Bab II : Hak Asasi Manusia Pasal 2 sampai dengan pasal 10: Bab ini dinamakan Hak Asasi Manusia yang terdiri atas sembilan pasal, yaitu pasal 2 sampai dengan pasal 10. penagasan-penegasan yang terdapat di dalamnya ialah : a. Mengakui segala hak-hak yang sudah dimiliki oleh rakyat sejak dari semula, termasuk juga kebiasaan-kebiasaan yang baik yang tidak bertentangan dengan perikemanusiaan. Adat kebiasaan yang baik disebutkan di dalam pasal-pasal ini, yaitu mengganti hukum qisas (balasan setimpal) atas kejahatan seperti pembunuhan, penikaman dan lain-lain, diganti dengan pembayaran ganti rugi (diat), berdasarkan keikhlasan dan persetujuan dari famili yang bersangkutan. Kebiasan ganti rugi yang dipikul oleh famili atau qabilah (suku) secara bersam-sama, pada zaman kita sekarang, boleh disamakan dengan asuransi jiwa secara kolektif. b. Segala nama-nama suku yang disebutkan dalam tiap-tiap pasal, harus dibaca oleh seluruh manusia. Menyebutkan nama-nama suku yang selain mempunyai arti sejarah dan politis, berarti meyakinkan tiap-tiap orang dalam suku yang bersangkutan. Ini sama halnya dengan menyebutkan nama-nama propinsi, pulau atau negara-negara bagian.
c. Khusus mengenai kebiasaan membayar uang tebusan terhadap segala kejahatan mengenai darah, baik pembunuhan, penikaman dan lainnya, secara positif ditetapkan kebiasaan membayar uang tebusan, tetapi secara negatif dilarang dilakukannya pembalasan dendam terhadap orang yang telah bersalah membuat kejahatan itu. Segala hukuman mengenai kejahatan harus dilakukan oleh pemerintah dan negara dengan peraturan pemerintah, sebagaimana tersebut pada pasal 21 sehubungan dengan pasal 23. begitu juga keputusan ganti rugi atas persetujuan famili yang bersangkutan, hal itu dijatuhkan oleh mahkamah atau pengadilan. d.
Diakuinya hak membayar uang tebusan atas segala pembunuhan,
penikaman dan lainnya, berarti menyelamatkan jiwa manusia dari nafsu balas dendam. Hal ini berarti juga diakuinya hak hidup setiap manusia. Hak hidup adalah sumber dan pangkal segala hak manusia yang sudah diperinci dengan baik dalam Piagam Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). e. Walaupun hak tunggal satu-satunya yang termuat di dalam sembilan pasal itu adalah hak hidup, yang mencerminkan diakuinya hak membayar uang tebusan, hak ini merupakan pokok dan inti segala hak-hak dasar lainnya. Perincian segala hak dasar yang lainnya ditetapkan oleh Tuhan di dalam kitab suci Al-Qur'an. Banyak sekali ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang menjamin hak-hak itu.
Tentang Bab III : Persatuan Seagama Pasal 11 sampai dengan pasal 15 : Pasal 11 sampai dengan 15 adalah khusus ditujukan kepada warga negara seagama yang memeluk agama Islam. Bagian ini dinamakan bab Persatuan Seagama. a. Khusus warga negara yang beragama Islam, pasal-pasal ini ditujukan sekedar meletakkan tugas-tugas istimewa yang harus mereka pikul sebagai pendukung cita-cita yang dibawa oleh Islam. Dengan demikian, pasal-pasal ini harus diartikan sebagai penggemblengan dan pembentukan kader-kader yang mengerti bagi ideologi negara. Pasal-pasal ini sama sekali tidak memuat hak-hak istimewa yang diberikan khusus kepada warga negara yang beragama Islam. b. Pasal 13 ayat 2 membuktikan, perlunya pembentukan kader itu ialah latihan bersatu untuk menghadapi segala kejahatan, walaupun terhadap anak kandung sendiri. Tentang bab IV : Persatuan Segenap Warga Negara Pasal 16 sampai dengan pasal 23 : Pasal-pasal ini ditujukan kepada seluruh warga negara terdiri atas delapan pasal, yang mengatur mengenai prinsip-prinsip umum yang harus disadari oleh mereka seluruhnya, diantaranya adalah : a. Pasal 17 menegaskan tidak boleh bertindak sendiri. Pasal 18 mengatakan bahwa setiap serangan harus diartikan tantangan terhadap warga seluruhnya. Pasal 19 menegaskan bahwa pembelaan harus dilakukan secara bersama.
b. Pasal 17-19 di atas dan pasal 23 mengandung penegasan bahwa semua tindakan harus dikembalikan kepada pemerintah, yang di dalam piagam ini disebutkan dengan istilah kepada (hukum) Tuhan dan (keputusan) Muhammad SAW. c. Pasal 20 dan 22 menegaskan larangan terhadap segala hubungan dengan musuh, baik berupa apa pun. Ini menunjukan negara dalam bahaya, menurut paham modern sekarang ini. Tentang Bab V : Golongan minoritas Pasal 24 sampai dengan pasal 35 : Pasal-pasal ini khusus ditujukan kepada golongan minorotas. Golongan minoritas adalah golongan yang memeluk agama selain Islam. a. Pasal 25 ayat 1 menegaskan bahwa segala golongan itu adalah satu dengan umat Islam, sebagai warga negara atau bangsa negara (ummah). b. Pasal 34 dan pasal 35 menetapkan persamaan seluruh orang yang menjadi warga negara, baik sebagai pegawai, sekutu atau pembela. Tentang Bab VI : Tugas Warga Negara Pasal 36 sampai dengan pasal 38 : a. Pasal 36 ayat 1 menegaskan kekuasaan pemerintahan untuk bertindak keluar. b. Pasal 37 ayat 1, pasal 38 dan pasal 24 mengatur tentang tugas keuangan terhadap negara, seprti pajak, cukai dan lainnya. c. Pasal 37 ayat 2, pasal 19, pasal 39 dan pasal 44 mengatur tugas pertahanan negara. Tentang Bab VII : Melindungi Negara
Pasal 39 sampai dengan pasal 41 : Pasal-pasal ini mengatur tentang perlindungan, baik terhadap negara, tetangga (perseorangan atau negara) maupun terhadap keluarga. Kota Yastrid dikatakan sebagai ibukota negara karena sifat negara pada mulanya sebagai "negara kota". Kemudian, Yastrid (Madinah) menjadi ibukota negara Islam. Tentang Bab VIII : Pimpinan Negara Pasal 42 sampai dengan pasal 44 : Pasal-pasal ini merupakan kunci yang terpenting yang mengatur kekuasaan negara, karena menyinggung masalah pimpinan negara. a. Pasal 42 menegaskan kekuasaan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin negara, untuk menyelesaikan segala peristiwa kenegaraan dan segala bentuk persengketaan. Dengan pasal 17, 18, 19, 23 dan 36 serta pasal 45 berikut nanti, lengkaplah gambaran kekuasaan yang harus diserahkan kepada pemerintah. b. Pasal 44 menghendaki adanya sanksi terhadap segala penyelewengan atau pelanggaran konstitusi. Tentang Bab IX : Politik Perdamaian Pasal 45 sampai dengan pasal 46 : Pasal-pasal ini menegaskan tentang haluan negara yang harus diwujudkan dalam polotik luar negeri, yaitu politik perdamaian. Haluan tersebut harus ditetapkan oleh pemerintah setiap waktu yang diperlukan apabila berhadapan dengan negara-negara lain. Tentang Bab X : Penutup
Pasal 47 : Pasal penutup yang merupakan kunci seluruh pasal ini berisi pula permohonan doa kepada Allah untuk keselamatan negara di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara. Pasal terakhir ini terdiri atas tujuh ayat. Tiap-tiap ayat mempunyai isi yang penting, di antaranya sebagai berikut : a. Ayat 1 mengakui setiap orang (warga negara) untuk berusaha. Hal ini memperkuat hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam pasal 2 sampai dengan pasal 10. b. Ayat 2 menjamin keamanan setiap warga negara yang jujur. c. Ayat 3 melarang penyalahgunaan Piagam (konstitusi) ini untuk melindungi orang yang bersalah. d. Ayat 4 dan 5 menjamin keaman keluar masuk perbatasan negara bagi setiap warga negara yang baik. e. Ayat 6 sama maksudnya dengan ayat 2. f. Ayat 7 memanjatkan doa bagi keselamatan pemimpin negara, yaitu Nabi Muhammad SAW. Dalam Piagam ini dirumuskan dengan jelas hak dan kewajiban orang Islam di antara mereka sendiri, serta hak dan kewajiban antara orang Islam dan Yahudi. Orang Yahudi menerima perjanjian itu dengan gembira. Dokumen yang disimpan dengan baik dalam lembaran-lembaran Ibn Hisyam ini memperlihatkan kepada manusia bahwa Muhammad SAW adalah manusia yang berotak luar biasa, bukan saja bagi zamannya, sebagaimana dikatakan oleh Muir, melainkan juga bagi semua zaman. Dia
bukanlah seorang pemimpin liar yang bertekad meruntuhkan susunan masyarakat yang ada. Nabi Muhammad SAW adalah seorang negarawan yang mempunyai tenaga tanpa bandingan, seorang yang dalam zaman keruntuhan tanpa harapan, mempersiapkan diri untuk membangun suatu negara atas dasar kemanusiaan universal. "Dengan nama Allah yang maha pemurah dan maha penyayang", demikian dikatakan dalam Piagam pertama mengenai kemerdekaan nurani ini, "Ditujukan oleh Muhammad Rasulallah kepada kaum beriman baik orang Quraisy maupun orang Yastrid dan pada setiap orang dari manapun asalnya, yang mempunyai kepentingan bersama dengan mereka, semua mereka itu harus merupakan satu bangsa".10 D. Tujuan Dibentuknya Piagam Madinah Dalam kajian ilmu politik disebutkan bahwa tugas-tugas kepala negara untuk mencapai tujuan negara antara lain membuat undang-undang dan peraturan-peraturan serta melaksanakannya, menghukum orang yang salah, meminta nasihat dan pertimbangan dari orang dipandang cakap dan mengetahui hal-hal tertentu. Berbicara mengenai tujuan negara, banyak sekali teori-teori yang telah diajukan oleh ahli pikir, baik yang muslim maupun yang nonmuslim. Berikut akan diuraikan pendapat-pendapat dari para politik muslim mengenai tujuan negara. Dalam hal ini Al-Farabi mengemukakan pendapat bahwa setiap negara yang didirikan harus mempunyai tujuan (ends of the state) yang menjadi cita-cita utama dan idaman oleh setiap warga negara. Dengan tujuan akhir yaitu “kebahagiaan”.
10
Abdul Qadir Djaelani, Negara Islam Menurut Konsep Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), hlm. 35-43.
Kebahagiaan menurut Al-Farabi ialah kebaikan yang tertinggi yang idamidamkan. Tidak satupun yang lebih tinggi dari padanya, yang mungkin dicapai oleh manusia. Kebahagian itu tidak mungkin dapat diwujudkan kecuali dengan ilmu pengetahuan dan usaha yang sungguh-sungguh. Manusia tidak bisa memahami arti kebahagiaan secara baik, tanpa mengerti arti keutamaan. Apabila keutamaan telah dikenalinya, kebahagiaan yang bulat dan utuh, kebahagian jasmani dan rohani, material dan spiritual, di dunia dan di akhirat dapat diperolehnya. Dalam usaha mencapai kebahagiaan ini, seluruh warga negara harus mengarahkan seluruh potensinya dengan pimpinan seorang kepala negara (khalifah) yang mempunyai sifat-sifat kenabian atau memiliki sifat-sifat yang paling mendekati sifat-sifat kenabian seperti yang dimiliki oleh Khulafaur Rasyidin. Teori Al-Farabi mengenai kebahagiaan bersama sebagai tujuan negara yang paling tinggi dan paling ideal adalah suatu pandangan yang benar dan utuh. Sebab kebahagiaan individual tidak mungkin dapat diraih secara baik tanpa masyarakat sekitarnya turut serta dalam kebahagiaan itu. Sebab seluruh aspek kehidupan setiap individu sangat bergantung pada masyarakat sekitarnya. Masyarakat turut menentukan apakah seorang itu bahagia atau susah. Sedangkan menurut Al-Ghazali mempunyai teori tujuan negara yang sama dengan teori yang dikemukakan oleh Al-Farabi, yaitu manusia yang mendirikan negara dalam rangka mencapai tujuan, tujuan itu tidak lain adalah “kebahagiaan”. Untuk mewujudkan tercapainya kebahagiaan itu, manusia harus memulai cara dan jalan yang harus dilaluinya. Cara itu digambarkan oleh Al-Ghazali sebagai berikut : “Sebagaimana halnya bahan-bahan dan alat-alat kimia yang berupa materi, semua itu
hanyalah dapat dicari di dalam laboraturium yang dimiliki oleh pemerintah, bukan disembarang tempat. Tidak setiap orang dapat mengetahuinya. Sebagaimana halnya bahan-bahan dan alat-alat kimia, “kebahagiaan” yang bersifat rohani itu hanya dapat dicari di dalam laboraturium Tuhan, yang tidak mungkin diambilnya kalau tidak dengan perantaraan para nabi-Nya. Setiap orang yang mencarinya di tempat lain, pastilah akan kecewa dan salah jalan. Karena itu, setiap orang yang berhasrat untuk mencapai kebahagiaan haruslah mengikui pola yang ditempuh para nabi dengan jalan membersihkan diri dari segala sifat-sifat yang rendah dan memiliki sifat-sifat yang sempurna. Dengan demikian, teori mengenai tujuan negara yang paling ideal dan paling tinggi adalah kebahagiaan setiap warga negara, seperti yang diajukan oleh Al-Farabi dan Al-Ghazali. Hal ini sesuai dengan tujuan dunia dan akhirat yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Jika tujuan negara yang paling tinggi dan paling ideal adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat, tujuan negara yang paling dekat yang harus dicapai sekarang juga ialah terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbaun ghafur. Negara yang adil dan makmur dengan limpahan ampunan Allah SWT.11 Para pemikir muslim lain juga merumuskan pandangan yang tidak berbeda dari pendapat di atas, tentang fungsi negara yang harus direalisir oleh kepala negara untuk mencapai tujuan negara. Menurut al-Baqillani tugas kepala negara untuk melaksanakan fungsi negara agar tecapainya tujuan negara, adalah menegakkan
11
Ibid. hlm. 233-236
hukum yang telah ditetapkan, membela ummat dari gangguan musuh, melenyapkan penindasan dan meratakan penghasilan negara bagi rakyat. Sedangkan menurut al-Baghdadi, fungsi negara yang harus dilaksanakan kepala negara adalah melaksanakan undang-undang dan peraturan, melaksanakan hukum bagi pelanggar hukum, mengatur militer dan mengelola zakat dan pajak. AlMawardi juga berpendapat bahwa fungsi negara yang harus diwujudkan kepala negara adalah menjamin hak-hak rakyat dan hukum-hukum Tuhan, menegakkan keadilan, membangun kekuatan untuk menghadapi musuh, melakukan jihad terhadap orang yang menentang Islam, memungut pajak dan zakat, meminta nasihat dan pandangan dari orang-orang terpercaya. Fungsi negara yang seperti inilah yang akan membawa kebahagiaan bagi kepala negara dan rakyatnya, apabila terlaksana semua fungsi negara tersebut dengan sebaik-baiknya. Selain dari para pemikir muslim, para pemikir nonmuslim pun ikut berperan dalam membahas tentang tujuan dari sebuah negara, para pemikir itu antara lain : Montesquieu dan Kant kedua-duanya menyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada rakyat. Apabila undang-undang negara telah dibuat oleh badan legislatif dan telah dijalankan oleh pemerintah (eksekutif) dan jika ada orang yang melanggar ketentuan undang-undang sudah dihukum oleh oleh badan kehakiman (yudikatif), maka sudah tercapailah tujuan negara menurut teori yang dikemukakan oleh kedua pemikir ini, meski rakyat itu berada di dalam kebodohan dan kemiskinan.
Tetapi, ketika fungsi negara sudah semakin luas dan besar seperti yang terjadi saat sekarang ini, tujuan negara yang dikemukakan oleh Montesquieu dan Kant itu tidak dapat dipertahankan lagi karena kemajuan umat manusia yang selalu memberikan tambahan pekerjaan kepada negara, selalu terdapat penemuan baru dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin meningkat. Oleh karena itu dapatlah kita mengerti bahwa teori tujuan Negara sebagaimana diajukan oleh Montesquieu dan Kant itu hanya dapat berlaku pada masanya saja.12 Tujuan negara menurut Roger H. Soltau, ialah memungkinkan rakyat berkembang menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin, sedangkan menurut Harold J. Laski, tujuan negara adalah menciptakan keadaan sehingga rakyatnya dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal. Menurut Charles E. Merriam untuk mencapai tujuan negara ada lima fungsi yang harus diterapkan yaitu keamanan eksteren, ketertiban interen, kesejahteraan umum, kebebasan dan keadilan.13 Inilah para pendapat tentang teori tujuan sebuah negara dari berbagai golongan yaitu golongan muslim dan nonmuslim, mereka berpendapat bahwa tujuan negara untuk mencapai suatu kebahagiaan bagi rakyatnya, yaitu menjalankan peraturan yang sudah diterapkan oleh kepala negara yang telah disepakati oleh rakyatnya, maka dari itu peran kepala negara sangatlah penting dalam mengurusi sebuah negara. Tapi ada sedikit perbedaan yang menonjol dari kedua pemikir (muslim dan nonmuslim) ini, yaitu kalau para pemikir muslim mengacu pada Al-Qur’an dan 12 13
Ibid. hlm. 230-231 Ibid, h. 232
Hadits yaitu Allah SWT tapi kalau para pemikir non muslim tidak mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits.
BAB IV PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM DIBALIK PERISTIWA PIAGAM MADINAH A. Prasyarat Pendidikan : Kondisi Pendidikan secara Sosial pada Masyarakat Madinah Dalam struktur masyarakat Madinah sangat diperlukan penataan dan pengadilan sosial secara bijak dengan membuat undang-undang dan peraturan yang dapat menciptakan rasa aman dan keadaan damai atas dasar keserasian dan keadilan serta dapat diterima oleh semua golongan. Penataan dan pengendalian sosial dapat dilakukan oleh seseorang terhadap kelompok lain atau suatu kelompok terhadap kelompok lain. Para pemikir muslim, Ibn Abi Rabi, Al-Mawardi, Al-Ghazali dan Ibn Khaldun juga berpendapat bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang teratur diperlukan terciptanya rasa aman, keadaan damai, keadilan yang menyeluruh, undang-undang dan siasat yang berkaitan dengan pengaturan kerja sama antara kelompok-kelompok sosial untuk menjamin kepentingan bersama, pemimpin yang berwibawa untuk melaksanakannya serta mempunyai rasa percaya kepada pemimpinnya. Adapun kondisi yang harus ada untuk pelaksanaan pendidikan secara tidak langsung pada saat itu, atau unsur pendidikan yang dapat diambil pada saat sekarang ini adalah adanya sifat saling mempercayai dan tidak mendiskriminasi seseorang atau kelompok atau juga antara pemerintah dengan rakyatnya dalam sebuah negara.
1. Sifat Saling Percaya Seperti yang terjadi pada saat perang Fijar yang melibatkan suku-suku yang ada di Mekkah hampir terjadi pertumpahan darah dikalangan mereka dan ketika Mekkah dilanda banjir yang mengakibatkan kerusakan Ka’bah dan Hajar Aswad terlempar dari tempatnya. Setelah mereka perbaiki bangunan Ka’bah, pertengkaran pun terjadi di antara kabilah-kabilah pada saat mereka hendak meletakan batu hitam itu ke tempat semula. Karena setiap kabilah mengklaim sebagai yang paling berhak meletakkannya ke tempatnya dan mempunyai keyakinan bahwa siapa yang meletakkan benda hitam yang dimuliakan oleh semua kabilah itu akan memperoleh kedudukan yang terhormat. Muhammad yang ketika itu berusia tiga puluh lima tahun atau lima tahun menjelang kenabiannya berjasa besar memberi jalan keluar secara adil dengan mengajak wakil dari setiap kabilah untuk bersama-sama mengangkat Hajar Al-Aswad itu dan beliau sendiri yang meletakkannya di tempat semula. Ternyata mereka merasa puas dan senang atas keputusan yang adil itu dan pada saat itulah mereka menjuluki Muhammad sebagai al-amin orang dipercaya.1 Peristiwa lain juga terjadi pada Perjanjian Aqabah ke-satu dan ke-dua yang menyatakan dan mengakui bahwa Muhammad adalah sebagai Nabi dan pemimpin mereka dan mengharapkan peranannya untuk mempersatukan penduduk Madinah sehingga mereka memberi jalan kepada beliau agar bersedia hijrah ke lingkungan mereka.
1
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1994), Cet. I, hlm. 41.
Dari kedua peristiwa inilah adanya saling percaya satu sama lain untuk menjalani hubungan yang erat tali persaudaraan antara kedua belah pihak dengan tidak saling memusuhi dan mencaci antara satu dengan yang lainnya. Dengan sifat saling percaya ini hingga Rasulallah diberikan hak penuh untuk memimpin mereka (Anshar dan Muhajirin) di Madinah. 2. Berlaku Adil Prinsip ini mendapat posisi dalam Piagam Madinah yang dinyatakan secara tegas sebagai sistem perundang-undangan dalam kehidupan masyarakat negara Madinah. Pada pasal 13 menuntut orang-orang mukmin bersikap adil dalam menentang para pelaku kejahatan, ketidakadilan dan dosa sekalipun terhadap anak sendiri. Sebab seorang mukmin yang membiarkan atau menutup-nutupi anak atau orang terdekatnya yang melakukan perbuatan dosa, merupakan cerminan sikap yang tidak adil. Seorang mukmin yang adil menentang siapapun yang melakukan kejahatan agar ketidakadilan tidak merajalela. Demikian pula bila orang-orang mukmin mengadakan perjanjian damai harus atas dasar persamaan dan adil di antara mereka (pasal 17). Bila seseorang membunuh seorang mukmin yang tidak bersalah dengan cukup bukti, maka ia harus dihukum atas perbuatannya (pasal 21). Perlakuan secara adil juga diberikan kepada warga negara golongan non-muslim, kaum Yahudi dengan mendapat perlindungan dan persamaan seperti yang diperoleh kaum muslimin (pasal 16). Dari ketetapan di atas dapat ditegaskan bahwa berlaku adil menjadi salah satu sistem perundang-undangan negara Madinah. Yaitu semua warga negara baik muslim
maupun non-muslim diperlakukan secara adil dengan mempeoleh hak perlindungan dan hak persamaan dalam kehidupan sosial dan politik.2 Keadilan ini juga diberlakukan untuk memperoleh pendidikan yang diajarkan pada saat itu, baik muslim maupun non-muslim berhak mendapatkan pendidikan, baik pendidikan umum atau pendidikan ilmu-ilmu agama seperti Al-Qur'an dan hadits,
atau
juga
mendapatkan
pendidikan
startegi
peperangan
untuk
mempertahankan kedaulatan negara Madinah. Seperti pada zaman penjajahan negara Indonesia yang ketika itu dijajah oleh Belanda yang membedakan jenjang pendidikan antara anak bangsawan dan yang bukan anak dari keturunan bangsawan. Kalau anak dari keturunan bangsawan yang ingin bersekolah di tempatkan pada level yang lebih tinggi atau di kalangan para penjajah Belanda atau sekolah yang didirikan oleh penjajah Belanda. Begitulah penerapan pendidikan pada masa kolonial yang sangat jelas perbedaannya antara yang satu dengan yang lainnya, kehidupan ini memperlihatkan bahwa tidak adanya perlakuan yang adil antara si miskin dan si kaya, antara bangsawan atau yang bukan bangsawan. Kalau pada zaman sekarang masih ada rasa ketidakadilan pada salah satu institusi pendidikan maka, tidak akan terealisasikan tujuan pendidikan yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah. B. Prinsip-Prinsip dalam Pendidikan pada Peristiwa Piagam Madinah a. Prinsip Demokrasi Menurut Khalifah Abdul Hakim, Piagam itu dibuat untuk memberi kebebasan kepada semua golongan, karena salah satu inti perjuangan Islam adalah mewujudkan 2
Ibid., hlm. 222-223.
kadilan sosial dan karenanya Al-Qur'an mengajarkan kepada umat manusia agar berjuang menentang kezaliman dan penindasan terhadap kebebasan. Sebab, rakyat bebas untuk memeluk keyakinan yang disukainya dan berbuat menurut kehendaknya. Sebagaimana Khalifah Abdul Hakim, Haroon Khan Sherwani juga berpendapat bahwa Piagam itu memberikan perlindungan kepada semua golongan, menjamin kebebasan berpendapat dan kehendak umum. Nabi juga memberikan kebebasan kepada orang-orang kristen di Najran mengamalkan ajaran mereka. Disebut undang-undang atau konstitusi, menurut Marmaduke Pickthal, karena naskah itu mencerminkan perhatian Muhammad sebagai pemimpin untuk menetapkan dan mengatur kepentingan umum sebagai undang-undang negara (the constitution of the state). Menurut Gibb, undang-undang legislatif Islam yang pertama itu telah meletakkan dasar-dasar sosio-politik untuk mempersatukan penduduk Madinah dan itu merupakan hasil dari inisiatif Nabi, bukan dari wahyu Allah. Wensinck melihat konstitusi itu sebagai dektrit yang yang menetapkan hubungan tiga golongan Muhajirin-Anshar-Yahudi. Terwujudnya konstitusi itu bukti kekuasaannya yang besar setelah tinggal dalam waktu yang pendek di Madinah. Beliau orang baru, mampu meletakkan undang-undang untuk semua golongan dari populasi kota itu dan mampu mengendalikan kekuasaan-kekuasaan yang ada serta sukses mempersatukan kota itu secara politik. 3
3
Ibid, hlm. 110-111
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai : "Gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara". 4 Demokrasi di samping merupakan pelaksanaan dan prinsip kesamaan sosial dan tidak adanya perbedaan yang mencolok, juga menjadi suatu cara hidup, suatu way of life yang menekankan nilai individu dan intelegensi serta manusia percaya bahwa dalam berbuat bersama manusia menunjukkan adanya hubungan sosial yang mencerminkan adanya saling menghormati, kerja sama, toleransi dan fair flay. Dalam pendidikan, demokrasi ditunjukan dengan pemusatan perhatian serta usaha pada si anak didik dalam keadaan sewajarnya (intelegensi, kesehatan, keadaan sosial dan sebagainya). Serta antara pemerintah dengan rakyatnya, pemerintah yang bertugas memberikan fasilitas untuk pendidikan agar tercapainya tujuan pendiikan secara merata disetiap daerah tanpa adanya pembedaan antara satu daerah dengan daerah lain, kalau semua ini dilakukan oleh pemerintah secara merata maka tujuan pendidikan nasional yang dicanangkan akan berjalan sesuai prosedur. Dengan demikian, tampaknya demokrasi pendidikan merupakan pandangan hidup yang mengutarakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik dan anak didik serta antara pemerintah dengan rakyatnya. Demokrasi ini juga secara tidak langsung telah dilaksanakan oleh seorang Rasulallah dalam menetapkan Piagam Madinah tersebut, yakni beliau tidak
4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, hlm. 195
membatasi kebebasan antar peserta Piagam tersebut, seperti tidak menghilangkan adat-istiadat mereka selama tidak bertentangan dengan Piagam yang mereka sepakati bersama. Prinsip seperti inilah (demokrasi) yang dapat diambil kesimpulan untuk dijadikan sebagai proses pendidikan formal atau non formal sebagai kontribusi pada zaman sekarang ini, terutama bagi setiap negara yang menginginkan kemajuan negaranya dari segi pendidikannya. b. Prinsip Kebebasan Pada ketetapan Piagam Madinah tentang prinsip manusia sebagai umat yang satu (ummat wahidat), selain prinsip demokrasi juga diperlukannya prinsip kebebasan. Sebab, jika setiap orang atau golongan tidak tidak memperoleh kebebasan, maka prinsip tersebut tidak akan terwujud nyata dalam kehidupan masyarakat. Karena kebebasan merupakan salah satu hak dasar hidup setiap orang dan merupakan pengakuan seseorang atau kelompok atau persamaan dan kemuliaan harkat kemanusiaan orang lain. Dengan kebebasan membuat setiap orang atau golongan merasa terangkat eksistensinya dan dihargai harkat kemanusiaannya di tengah-tengah kemajemukan umat. Karena itu, prinsip kebebasan mutlak perlu dikembangkan dan dijamin pelaksanaannya guna terjaminnya keutuhan masyarakat pluralistik. Kebebasankebebasan yang dibutuhkan manusia adalah kebebasan beragama, kebebasan dari perbudakan, kebebasan dari kekurangan, kebebasan dari rasa takut, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan bergerak, kebebasan dari penganiayaan dan lain-
lain. Di dalam Piagam Madinah juga terdapat ketetapan-ketetapan mengenai kebebasan yang diperuntukan bagi segenap penduduk Madinah, yaitu : Pertama kebebasan melakukan adat kebiasaan yang baik. Golongan Muhajirin dari Quraisy tetap berpegang pada adat kebiasaan baik mereka, mengambil dan membayar diat (tebusan) diantara mereka dan menebus tawanan-tawanan mereka menurut kebiasaan baik (ma'aruf) dan adil (al-qisth) diantara mereka yang mukmin. Ketetapan ini terdapat pada pasal 2-10 yang terdiri dari beberapa suku untuk tidak meninggalkan kebiasaan mereka yang baik. Kedua kebebasan dari kekurangan. Hal ini dapat dilihat dalam ketetapan Piagam Madinah yang menyatakan bahwa "sesungguhnya orang-orang mukmin tidak boleh membiarkan seseorang diantara mereka menanggung beban hutang dan beban keluarga yang harus diberi nafkah, tetapi memberinya bantuan dengan cara yang baik dalam menebus tawanan atau membayar diat". Al-Qur'an juga menyatakan bahwa orang-orang mukmin yang berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan orang-orang memberi pertolongan dan tempat kediaman (kaum Anshar) kepada kaum Muhajirin, satu sama lain saling melindungi dan diantara mereka terjalin persaudaraan yang amat teguh untuk membentuk masyarakat yang baik. Ketiga, kebebasan dari penganiayaan dan menuntut hak. Prinsip ini difahami dari ketetapan Piagam yang menyatakan : “bahwa kaum Yahudi yang mengikuti kami berhak mendapat perlindungan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan atas mereka dan tidak pula ditolong orang yang menjadi musuh mereka (pasal 16) dan
bahwa tidak ada orang yang boleh menghalangi seseorang menuntut haknya, juga terdapat pada pasal 36. Dengan ketetapan ini, seluruh penduduk Madinah mendapat hak jaminan keamanan dan hak kebebasan dari penganiayaan. demikian pula kaum Yahudi sebagai anggota umat dan bagian dari penduduk Madinah yang mengakui Piagam Madinah mendapat jaminan yang sama. Bahkan kaum muslimin tidak akan membantu orang-orang yang memusuhi mereka. Mereka dijamin tidak akan mendapat penganiayaan dari siapa pun. Setiap individu dari penduduk Madinah juga mempunyai kebebasan untuk menuntut haknya, seperti bila ia dilukai, mempunyai hak untuk menuntut balas atau menuntut denda dan anti rugi secara baik dan adil. Keempat, kebebasan dari rasa takut. Piagam ini menyatakan : “Bahwa siapa saja yang keluar dari kota Madinah atau tetap tinggal (di dalamnya) ia akan aman kecuali orang-orang yang berbuat zalim dan dosa”. Ketetapan ini sesuai dengan pasal 47. ketetapan ini merupakan pengakuan akan hak atas hidup dan keselamatan diri, hak atas perlindungan diri, hak atas kebebasan dan keamanan diri pribadi setiap penduduk Madinah. Setiap warga negara yang keluar masuk dari dan ke kota itu maupun yang tinggal di dalamnya, keamanannya dijamin. Tidak ada tindakan kejahatan dan penganiayaan atasnya. Hak-hak ini merupakan bagian dari “hak kebebasan personal”, yang harus diperoleh setiap orang. Secara fungsional ketetapan tersebut bertujuan untuk memelihara keamanan dan kebebasan penduduk Madinah dalam mengadakan hubungan-hubungan sosial dengan siapa saja, bebas dan aman mencari nafkah hidup, bebas dan aman
mengembangankan kemampuan diri di berbagai bidang kehidupan, bebas dan aman mengajarkan agama dan sebagainya tanpa ada rasa takut. Ia juga bertujuan untuk merekayasa masyarakat Madinah yang heterogen itu agar bebas dari permusuhan dan terwujudnya masyarakat Madinah yang bermoral dan tertib, yaitu masyarakat yang saling menghargai dan menghormati sesama. Kelima, kebebasan perpendapat. Prinsip ini tidak dinyatakan oleh teks Piagam Madinah secara eksplisit. Prinsip ini dipahami dari pasal 37 yang menyatakan : “… dan bahwa diantara mereka saling memberi saran dan nasihat yang baik dan berbuat kebaikan tidak dalam perbuatan dosa” dan pasal 23 yang menyatakan : “Dan bahwa bila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka sesungguhnya rujukan (untuk menyelesaikannya) adalah kepada Allah dan Muhammad SAW. Dua ketetapan ini mengisyaratkan adanya jaminan kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat bagi penduduk Madinah. Undang-undang mengakuinya sebagai hak setiap individu atau salah satu dari hak kebebasan personal. Artinya, pasal-pasal tersebut memberikan hak kebebasan kepada penduduk Madinah tanpa kecuali untuk mengutarakan pendapat-pendapatnya. Seperti warga negara Madinah yang muslim boleh berbeda pendapat dengan Nabi dalam masalah-masalah kemasyarakatan yang belum ada ketentuannya dari wahyu, tapi tidak boleh masalah akidah dan syariat yang jelas ketetapannya, sedangkan warga negara yang tidak muslim boleh berbeda pendapat dengan Nabi baik dalam masalah syariat, keyakinan maupun masalah kemasyarakatan. Sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi bahwa Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat.
Keenam, kebebasan beragama. Penetapan prinsip ini di dalam Piagam Madinah tampaknya menjadi jawaban nyata terhadap situasi sosial penduduk Madinah, yakni adanya keragaman komunitas agama dan keyakinan di kota itu. Nabi, tentunya saja sangat memahami situasi ini. Beliau menyadari posisinya sebagai Nabi, fungsinya antara lain untuk berdakwah dan menyampaikan kebenaran Islam, bukan memaksa orang untuk menerima Islam. Karena persoalan agama merupakan masalah keyakinan, maka tidak seorang pun boleh memaksakan suatu keyakinan kepada siapa pun. Untuk itu beliau mengundangkan prinsip toleransi beragama, yang secara teknis sering dikaitkan dengan kemerdekaan dan kebebasan beragama. Karena Piagam Madinah adalah konstitusi negara Madinah, maka ketetapan tersebut mengandung makna dan fungsi strategis di mana kebebasan melaksanakan ajaran dan keyakinan bagi komunitas-komunitas agama dan keyakinan yang ada di Madinah dijamin secara konstitusional. Artinya, kebebasan beragama dijamin oleh negara dan undang-undang. Muhammad SAW, dalam kapasitasnya sebagai Nabi dan kepala negara tidak memaksa mereka yang belum muslim untuk menerima Islam. Bahkan beliau menciptakan kerukunan antar komunitas agama dan keyakinan yang ada. Dalam kaitan ini, Fazlur Rahman menyatakan, Piagam ini telah memberi jaminan kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dan mewujudkan kerja sama seerat mungkin dengan sesama kaum muslimin.5 Karena tujuan yang hendak dicapai adalah terciptanya suasana hidup rukun dalam masyarakat majemuk itu, tanpa setiap golongan merasa diperlakukan secara tidak 5
Fazlur Rahman, Islam, terjemahan Drs. Senuaji Saleh, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 12.
adil. Sebab, sebagai sesama anggota ummat, orang-orang non-muslim memiliki hakhak politik dan kultur yang sama dengan orang-orang muslim. Dengan demikian, ketetapan tersebut mengakui eksistensi komunitakomunitas agama, menjamin kemerdekaan dan kebebasan dalam melaksanakan ajaran agamanya dan menghormati hak kebebasan personal bagi setiap orang dalam memilih agama dan keyakinan yang dikehendakinya. Bahkan orang yang tidak memilih suatu agama pun harus dihormati. 6 Pendidikan adalah suatu proses pencapaian kemanusiaan universal, yaitu manusia yang mencapai kebebasan nurani. Keutuhan hidup manusia dimulai dengan adanya kebebasan, untuk menerima atau menolak sesuatu yang berkaitan dengan nilai hidup pribadi yang mendalam. Ia bebas dari setiap paksaan sekalipun yang dilaksanakan atas nama kebenaran mapan. Kemanusiaan universal haruslah dipandang sebagai telah dewasa dan matang dalam mengambil keputusan tentang hidup nuraninya, dengan kesediaan menanggung resiko. Manusia dalam suasana kebebasan dan kejujuran hati nurani, akan mampu membedakan, menangkap dan mengikuti yang benar dan yang sejati. Pendidikan mempunyai satu tujuan dasar yang universal yaitu membawa manusia menjadi individu yang dewasa. Dewasa berarti seseorang mencapai tahapan otonomi relatif dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Dewasa juga mempunya pengertian bertanggung jawab terhadap keputusan tindakannya. Kebebasan nurani
6
J. Suyuthi Pulungan, Op cit, hlm. 156-167.
berarti bebas dari segala paksaan dan dominasi. Inilah manusia tauhid, yang tidak berserah diri kepada kekuasaan apapun kecuali kepada Allah SWT. Otonomi relatif ini menyebabkan seseorang sanggup berpikir sendiri, menggunakan pikiran sendiri dan pikiran orang lain untuk menyusun pertimbangan sendiri, menarik kesimpulan sendiri dan akhirnya membuat keputusan sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Jadi dia menghayati suatu tindakan sebagai hasil pertimbangan dan keputusan sendiri, bukan suatu yang dipaksakan dari luar, karena itu siap menanggung resiko. Hanya manusia dengan kepercayaan diri yang tinggi, yang memiliki kebebasan nurani akan terbuka terhadap ilmu dan teknologi, dan mempergunakkanya untuk memecahkan masalah. Inilah prinsip-prinsip universal tentang kebenaran dan keadilan yang bermuara pada persamaan, persaudaraan dan kemerdekaan : •
Pluralis yaitu semangat yang mengakui kenyataan yang beragam dan bergaul secara beradab.
•
Toleran yaitu sikap menghormati perbedaan dan keterbukaan untuk pengujian oleh siapa pun.
•
Berpikir positif yaitu memandang orang lain juga dilahirkan dengan fitrah kesucian dan cenderung pada kebaikan.7
c. Prinsip Persamaan atau kesetaraan
7
Utomo Dananjaya, Sekolah Gratis, Esai-Esai Pendidikan yang Membebaskan, (Jakarta: Paramadina, 2005), Cet, I, hlm, 228-231.
Masyarakat sebelum Islam, terdiri dari berbagai kabilah setiap kabilah membanggakan ‘ashabiyyat (kefanatikan terhadap keluarga, suku dan golongan) dan nasab (asal keturunan) sehingga mereka terjerumus ke dalam pertentangan, kekacauan politik dan sosial. masyarakat mereka yang berdasarkan ‘ashabiyyat itu tidak mengenal adanya persamaan antara sesama manusia. Satu kabilah dengan kabilah yang lainnya tidak saling melindungi. Satu kabilah adalah musuh bagi kabilah yang lainnya yang harus dilenyapkan, karena setiap kabilah menganggap dirinya lebih unggul dari kabilah lainnya. Setiap kabilah sibuk dengan urusannya sendiri, tanpa ada kepedulian sosial terhadap kabilah lain. Tampaknya Nabi Muhammad melihat bahwa sistem kehidupan bermasyarakat demikian tidak manusiawi. maka ketika beliau berhijrah ke Madinah dan kemudian membuat perjanjian tertulis, beliau menetapkan seluruh penduduk Madinah memperoleh status yang sama atau persamaan dalam kehidupan sosial. Ketetapan Piagam tentang prinsip persamaan ini dapat diikuti sebagai berikut: 1. Dan bahwa orang Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh hak pelindungan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak ada orang yang membantu musuh mereka (pasal 16). 2. Dan bahwa Yahudi Al-Aus, sekutu mereka dan diri (jiwa) mereka memperoleh hak seperti apa yang terdapat bagi pemilik shahifat ini serta memperoleh perlakuan yang baik dari pemilik shahifat ini (pasal 46). Ketetapan tersebut di samping bersifat umum juga bersifat khusus, yaitu persamaan akan hak hidup, hak keamanan jiwa, hak perlindungan baik laki-laki maupun perempuan dan baik golongan Islam maupun non Islam.
Persamaan yang mencakup berbagai aspek kehidupan dapat dirujuk pada jiwa ketetapan lain. Persamaan dari unsur kemanusiaan tampak dalam ketetapan yang menyatakan seluruh penduduk Madinah adalah umat yang satu atau umat-umat yang mempunyai status sama dalam kehidupan sosial (pasal 25-35); hak membela diri (pasal 36); persamaan tanggung jawab dalam mempertahankan keamanan kota Madinah (pasal 44) dan banyak lagi persamaan-persamaan yang lainnya. Hak-hak ini adalah hak manusia yang paling dasar yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun. Pengakuan akan hak-hak ini berarti pengakuan terhadap persamaan semua golongan. Dengan begitu Piagam Madinah tidak mengenal kategori dikotomi di antara manusia. Golongan Islam dan penduduk lain sama-sama diakui hak-hak sipilnya, tidak satu golongan pun diistimewakan. Prinsip persamaan manusia diperkuat pula oleh Nabi dengan sabdanya yang artinya sebagai berikut : “Wahai manusia, ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan kamu satu dan bapak kamu satu. ingatlah tidak ada keutamaan orang Arab atas orang bukan Arab, tidak ada keutamaan orang bukan Arab atas orang Arab, orang hitam atas orang berwarna, orang berwarna atas orang hitam, kecuali karena takwanya”. Hadits ini menerangkan bahwa dari segi kemanusiaan tidak ada perbedaan antara seluruh manusia, sekalipun mereka berbangsa-bangsa atau berbeda warna kulit. umat manusia seluruhnya adalah sama. Keutamaan masing-masing terletak pada kadar takwanya kepada Tuhannya. Kaitannya dengan pendidikan zaman sekarang adalah bahwa setiap manusia mempunyai persamaan hak untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai yang
dijadikan sebagai kebutuhan hidup, bebas dari segala keterbelakangan serta bersama mendapatkan kesamaan pendidikan dengan warga yang lain. Ancaman peperangan dan kekerasan dalam pengalaman kemanusiaan, menumbuhkan kesadaran persamaan hak asasi manusia. Promosi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya termasuk dalam pendidikan adalah upaya transformasi dari kebudayaan peperangan dan kekerasan kepada kebudayaan perdamaian dan cinta. Untuk berhasil meraih tujuan-tujuan tersebut, dapat diambil contoh antara guru dan murid dalam kelas yaitu setiap guru memerlukan strategi dan bentuk-bentuk kegiatan pendidikan yang didasarkan pada perubahan paradigma dari mengajar kepada belajar. Ini berarti perubahan kualitas praktek guru di dalam kelas. Guru yang mempunyai hak dan wewenang penuh di dalam kelas, haruslah guru yang berkepribadian merdeka, dengan keyakinan profesional dan kesadaran menampilkan prilaku peduli (care), berbagi (sharing) dan tulus (fair), sehingga tercipta suasana kelas yang mendorong warga belajar untuk senang belajar dan belajar dengan senang. Maka dominasi aktivitas kelas terletak pada kegiatan murid. Juga peran pemerintah harus ditingkatkan demi lancarnya sistem pendidikan nasional dengan tidak membedakan antara si kaya dan si miskin dalam pendidikan, harus sama-sama diberi kedudukan yang sederajat agar tidak adanya kesalahpahaman antara para pesrta didik. Di tingkat yang lebih tinggi nilai-nilai keadilan, persamaan, keterbukaan dan demokrasi dibudayakan sebagai lawan peperangan dan kekerasan dalam upaya membudayakan hak asasi manusia. Maka mendidik manusia adalah upaya untuk menanamkan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Nilai-nilai luhur ini telah tumbuh dan mapan dalam peradaban
manusia, oleh karena itu perlu diwariskan dan terus diwariskan secara turun temurun. Pendidikan adalah pewarisan nilai-nilai. Dengan mendarahdagingkan nilai-nilai hak asasi manusia, maka orang atau masyarakat akan menegakkan HAM dan membela kehormatan manusia.8 Inilah perlunya persamaan antara satu individu dengan yang lainnya atau antara warga satu dengan warga yang lain untuk mendapatkan persamaan dalam hal hak asasi manusia, yaitu bebas dari segala peperangan, kekerasan dan lain-lain serta yang lebih penting adalah persamaan mendapatkan hak pendidikan.
C. Fungsi Pendidikan Pada Peristiwa Piagam Madinah Masalah pertama yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum Muhajirin ketika hijrah ke Yastrid adalah tempat tinggal. Untuk sementara para Muhajirin bisa menginap di rumah-rumah kaum Anshor, tetapi beliau sendiri memerlukan suatu tempat khusus di tengah-tengah umatnya sebagai pusat kegiatan, sekaligus lambang persatuan dan kesatuan di antara kedua kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda itu. Oleh karenanya maka kegiatan yang pertama-tama dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW bersama dengan kaum muslimin adalah membangun mesjid. Dalam memilih lokasi pembangunan mesjid tersebut, Haekal menceritakan :"... Unta yang dinaiki oleh Nabi Muhammad SAW, berlutut di tempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail bin Amr. Kemudian tempat itu dibelinya guna dipakai tempat pembangunan mesjid. Sementara itu dibangun, ia tinggal pada keluarga Abu Ayyub 8
Ibid, hlm. 298-305.
Khalid bin Zaid Al Ansori. Dalam pembangunan mesjid itu Nabi Muhammad SAW juga turut bekerja dengan tangannya sendiri. Kaum muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshor ikut pula bersama-sama membangun. Selesai masjid dibangun, maka di sekitarnya dibangun pula tempat-tempat tinggal sederhana dan disesuaikan dengan petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad SAW. Mesjid itulah pusat kegiatan Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin yang berfungsi sebagai pendidikan dan membina masyarakat baru, masyarakat yang disinari oleh tauhid dan mencerminkan persatuan dan kesatuan umat. Di mesjid itulah beliau bermusyawarah mengenai berbagai urusan, mendirikan shalat berjama'ah, membaca Al-Qur'an, baik dalam mengulang ayat-ayat yang sudah diturunkan terdahulu maupun membacakan ayat-ayat yang baru diturunkan. Dengan demikian mesjid itu telah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran selain sebagai tempat untuk shalat berjama'ah kaum muslimin.9 Pendidikan sosial politik yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya berlangsung terus atas bimbingan wahyu Tuhan. Dan wahyu Tuhan yang turun pada periode ini adalah dalam rangka memberikan petunjuk bagi Nabi Muhammad SAW dalam memberikan keputusan-keputusan dan mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk membina umat dan masyarakat Islam. Usaha selanjutnya adalah pembebasan Mekkah dan Baitullah dari berhalaberhala dan adat jahiliyah yang mengotorinya. Persiapan-persiapan pun direncanakan, baik persiapan mental maupun fisik. Persiapan mental berarti latihan-latihan bagi umatnya untuk merealisir ajaran tauhid dalam kehidupan pribadi dan kehidupan 9
Dra. Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), cet-5, hlm. 34- 35.
kemasyarakatan. Dalam hal ini adalah melaksanakan dan menerapkan aturan-aturan dan hukum-hukum yang ditetapkan dalam rangka membina kepibadian dan kehidupan sosial kemasyarakatan sesuai petunjuk wahyu. Sedangkan persiapan fisik adalah dengan jalan membentuk satuan-satuan militer untuk menjaga dan mengamankan jalannya pembebasan Baitullah (dari berhala dan adat jahiliyah) khususnya dan da'wah Islam umumnya.10 Dapatlah dibedakan kalau periode Mekkah, ciri pokok pembinaan pendidikan Islam adalah pendidikan tauhid (dalam arti yang luas), maka pada periode Madinah, ciri pokok pembinaan pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai pendidikan sosial dan politik (dalam arti yang luas pula). Tetapi sebenarnya antara kedua ciri tersebut bukanlah merupakan dua hal yang bisa dipisahkan satu sama lain. Kalau pembinaan pendidikan Islam di Mekkah titik beratnya adalah menanamkan nilai-nilai tauhid ke dalam jiwa setiap individu muslim, agar dari jiwa mereka terpancar sinar tauhid dan tercermin dalam perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan pembinaan pendidikan di Madinah pada hakikatnya adalah merupakan kelanjutan dari pendidikan tauhid di Mekkah, yaitu pembinaan di bidang pendidikan sosial dan politik agar dijiwai oleh ajaran tauhid, sehingga akhirnya tingkah laku sosial politiknya merupakan cermin dan pantulan sinar tauhid tersebut. Fungsi pendidikan pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu dilihat secara mikro dan makro. Dilihat secara mikro, pendidikan berfungsi untuk mendewasakan manusia yang belum dewasa, agar kepribadian dan kemampuannya berkembang secara serasi, 10
Ibid. hlm 42-43
baik segi jasmani maupun rohani, sebagai makhluk individu maupun sosial dan sebagai makhluk dunia dan akhirat. Dengan tercapainya keseimbangan dalam perkembangan ini, akhirnya diharapkan agar hidupnya dapat bahagia dan sejahtera baik lahir maupun batin. Jadi tinjauan secara mikro ini lebih dititik beratkan pada individu si terdidik. Dilihat secara makro, pendidikan harus dapat membentuk dan membina masyarakat luas (bangsa) agar hidup makmur, bahagia dan sejahtera, aman dan damai. Sedangkan dengan fungsi pendidikan di Indonesia terdapat pada pasal 3 Undang-Undang RI No. 2 tahun 1989 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. 11 Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara kontiniu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang perlu diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai hayatnya. Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai
mencapai
titik
kemampuan
optimal.
Sementara
fungsinya
adalah
menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar. 11
Drs. Madyo Ekosusilo, Drs. RB. Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta: IKAPI), hlm. 79
Dari telaah di atas dapat difahami bahwa, tugas pendidikan Islam setidaknya dapat dilihat dari tiga pendekatan. Ketiga pendekatan tersebut ialah: Pendidikan Islam sebagai pembangunan potensi, proses pewarisan budaya, serta interaksi antara potensi dan budaya. Sebagai pengembangan potensi, tugas pendidikan Islam adalah menemukan dan mengembangkan kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik, sehingga dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara sebagai pewaris budaya, tugas pendidikan Islam adalah alat transmisi unsur-unsur pokok budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga identitas umat tetap terpelihara dan terjamin dalam tantangan zaman. Adapun sebagai interaksi antara potensi dan budaya, tugas pendidikan Islam adalah sebagai proses transaksi (memberi dan mengadopsi) antara manusia dan lingkungannya. Dengan proses ini peserta didik (manusia) akan dapat menciptakan dan mengembangkan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengubah atau memperbaiki kondisi-kondisi kemanusiaan dan lingkungannya. Untuk menjamin terlaksananya tugas pendidikan Islam secara baik, hendaknya terlebih dahulu dipersiapkan situasi-kondisi pendidikan yang bernuansa elastis, dinamis dan kondusif yang memungkinkan bagi pencapaian tugas tersebut. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam dituntut untuk dapat menjalankan fungsinya, baik secara struktural maupun institusional. Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu : 1. Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide masyarakat dan nasional.
2. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan. Pada garis besarnya, upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki serta melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi yang demikian dinamis.12 Jadi, pendidikan yang diterapkan pada saat sekarang ini adalah suatu cara yang secara tidak langsung sudah diterapkan pada peristiwa Piagam Madinah yang dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW walaupun penerapannya tidak terorganisir dengan baik. Yaitu dengan berfungsinya masjid sebagai tempat pendidikan dan pengajaran selain untuk shalat berjamaah kaum muslimin, untuk membina kaum muslimin mempertebal jiwa dalam hal meyakini bahwa Allah adalah Tuhannya dan Muhammad adalah utusannya (tauhid), yang akan diterapkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan kaum muslimin di negara Madinah. Banyak sekali unsur-unsur pendidikan yang dapat diambil pada peristiwa Piagam Madinah sebagai suatu kontribusi bagi pendidikan zaman sekarang agar sesuai dengan tujuan yang diinginkan baik secara individu (mikro) atau secara umum (makro).
12
Dr. Al-Rasyidin, M.A., Dr. H. Samsul Nizar, M.A. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press), Cet-II, hlm. 32-34
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Peristiwa Piagam Madinah adalah kisah dimulainya era baru dalam penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Rasulallah SAW mulai dari kota Mekkah sampai kota Madinah, yang mana di kota inilah (Madinah) Nabi mulai membentuk kehidupan baru yang Islami tanpa ada gangguan dari manapun yang akan menghancurkan umat Islam. Pada musim haji, tahun kedua belas dari awal kenabian, dua belas orang lakilaki penduduk Yastrid menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka selain mengakui kerasulan Nabi serta masuk Islam juga berbaiat atau berjanji tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berbuat zina, tidak akan membohong dan tidak akan menghiyanati Nabi. Baiat ini dikenal dalam sejarah sebagai Baiat Aqabah Pertama (621 M). Kemudian pada musim haji berikutnya sebanyak tujuh puluh tiga penduduk Yastrid yang sudah memeluk Islam berkunjung ke Mekkah. Mereka mengundang Nabi untuk hijrah ke Yastrid dan menyatakan lagi pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan pemimpin mereka. Nabi menemui tamu-tamunya itu ditempat yang sama dengan dua tahun sebelumnya, Aqabah. Di tempat itu mereka mengucapkan baiat bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah dan bahwa mereka akan membela Nabi sebagaimana mereka membela isteri dan anak mereka.
Dalam pada itu Nabi akan memerangi musuh-musuh yang mereka perangi dan bersahabat dengan para sahabat mereka. Nabi dan mereka adalah satu. Baiat ini dikenal sebagai Baiat Aqabah Kedua (622 M). Oleh kebanyakan pemikir politik Islam, dua baiat itu, Baiat Aqabah Pertama dan Baiat Aqabah Kedua, dianggap sebagai batu pertama dari bangunan negara Islam. Berdasarkan dua baiat itu maka Nabi menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk hijrah ke Yastrid pada akhir tahun itu juga dan beberapa bulan kemudian Nabi sendiri hijrah bergabung dengan mereka. Piagam Madinah adalah suatu perjanjian atau konstitusi yang diterapkan oleh Rasul di kota Madinah kepada berbagai macam kaum yang berbeda, yang sebelumnya mereka saling membedakan antara kaum yang satu pada kaum yang lainnya. Dengan adanya Piagam atau Konstitusi ini, maka tujuan yang utama adalah mempersatukan kaum muslimin dengan orang-orang Yahudi Madinah agar tidak ada lagi perbedaan diantara mereka demi mempertahankan negara Madinah tersebut sebagai tempat tinggal mereka. Tujuan dari perjanjian juga untuk membentuk masyarakat Madinah menjadi masyarakat yang kuat dalam berbagai hal seperti kekuatan militer untuk menjaga keutuhan negara Madinah tersebut, keadilan sosial untuk membentuk sikap toleransi antar umat beragama yang berbeda diantara mereka (warga Madinah), menjalin persaudaraan antara satu kaum dengan kaum yang lainnya dengan mengangkat saudara baik dari kaum Muhajirin atau kaum Anshar, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta persaudaraan antar warga Madinah.
Perlu diketahui bahwa Piagam Madinah dibuat oleh Rasulallah atas kesepakatan para peserta perjanjian tersebut. Rasulallah bertindak sebagai kepala negara Madinah yang mengatur kehidupan warga Madinah yang heterogen tersebut. Dari peristiwa Piagam Madinah tersebut, terlihat adanya kontribusi untuk dapat diterapkan dalam dunia pendidikan pada zaman sekarang ini, seperti : Pendidikan keadalian yaitu agar tidak adanya sikap diskriminasi antara pemerintah dan institusi pendidikan daerah serta di ruang lingkup sekolah antara pendidik dan si terdidik, pendidikan kesetaraan atau kesamaan agar tidak adanya sikap saling membedakan antara satu dengan yang lainnya atau antara si pendidik dengan murid dan lain sebagainya. Demikianlah perspektif pendidikan Islam yang terdapat pada peristiwa Piagam Madinah dalam mempersatukan umat Islam yang berbeda-beda tapi dengan satu tujuan.
B. Saran Mengakhiri penulisan skripsi ini penulis menyarankan kepada seluruh temanteman, cendikiawan dan kaum muslimin seluruhnya untuk senantiasa kembali mendalami
sumber
ajaran
Islam
sekaligus
menjadikannya
pijakan
dalam
mengaplikasikan segala perbuatan kita di kehidupan ini, sebab keotentikan nilai ajaran Islam tidak akan pernah kita ketahui bahkan kita rasakan manfaatnya jika kita tidak pernah mengkajinya lebih dalam. Dalam upaya merangsang dan memotivasi umat, maka kepada seluruh temanteman, cendikiawan dan kaum muslimin seluruhnya untuk dapat memberikan
informasi kepada saudara-saudara kita yang haus akan ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Semoga Allah SWT berkenan menaungi kita di bawah bimbingannya dalam menjalankan ajaran-ajarannya di muka bumi ini juga mendapat ridha-Nya kelak. Amin Yaa Rabbal Alamin.
REFERENSI
Ahmad, Zainal Abidin, H., Piagam Nabi Muhammad SAW: Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). _______, Ilmu Politik Islam II: Konsepsi Politik dan Ideologi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977). Al-Munawar, Said Agil Husen, H. Dr. Prof. M.A. Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), cet-II. h. 4-5. Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyat, Dar al-Fikri, Bairut. h. 15-16. Aminudin, dkk., Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002). Al-Rasyidin, M.A. Dr., Nizar, Samsul, M.A. H Dr., Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press), hlm. 32-34 Assiba'i, Mustafa Husni, Kehidupan Sosial Menurut Islam, (Bandung: 1981), Diponogoro, hlm. 380-382. Barakat, Ahmad, Muhammad and The Jews, Vikas Publishing House, New York, 1979, hlm. 46. Dananjaya, Utomo, Sekolah Gratis, Esai-Esai Pendidikan yang Membebaskan, (Jakarta: Paramadina, 2005), Cet, I, hlm, 228-231. Daradjat, Zakiah, Dr. Dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet, III.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, hlm. 195. Ekosusilo, Madyo, Drs dan Kasihadi, Drs. RB. Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta: IKAPI), hlm. 79. Lambton, Ann, K.S. State and Government in Medieval Islam, (Oxford University Press, London, 1981), h. 73 dan 76. Muin Salim, Abd, Dr. Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuatan Politik Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1995). Mu'iz Ruslan, Utsman Abdul, Dr., Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, (Solo: Intermedia, 2000), hlm. 61-62. Nasution, Harun dan Effendi, Bahtiar, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987). Pulungan, Suyuthi, J., Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah: Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996). Poerkawatja, Soeganda dan. Harahap, H.A.H., Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Gunung Agung, 1981), h. 257 Qardhawy, Yusuf, Dr., Fiqh Negara, (Jakarta: Robbani Press, 1997), h. 109-111 Rahman, Fazlur, Islam, terjemahan Drs. Senuaji Saleh, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm12. Sjadzali, Munawir, M.A.,H., Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993).
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995). Syafi’ie, Inu Kencana, H. Drs., Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995). Syamsudin, Din, M, Islam dan Politik era Orde Baru, (Jakarta: logos, 2001), h. 88-89
Syarif, Ahmad Ibrahim, Daulat al Rasul fi al Madinat, Dar al Bayan, Kuwait, 1972, h. 87. Zuhairini, Dra. dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), cet-5, hlm. 34-35. Qardhawy, Yusuf, Dr., Fiqh Negara, (Jakarta: Robbani Press, 1997), h. 109-111