Jurnal Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2011 PENGARUH KONSENTRASI CH3COOH TERHADAP KARAKTERISASI KOROSI BAJA BS 970 DI LINGKUNGAN CO2 Rendy Wahyu Santoso1, Budi Agung Kurniawan, ST., M.Sc.2 1 Mahasiswa Jurusan Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS 2 Dosen Jurusan Teknik Material dan metalurgi FTI-ITS
ABSTRAK Korosi CO2 merupakan masalah utama di dunia minyak dan gas bumi. Adanya karbon dioksida yang larut dalam uap air sebagai impuritas dari minyak dan gas bumi memicu terjadinya korosi pada baja sebagai material pada saluran pipa. Menurut penelitian sebelumnya, asam asetat diketahui mempengaruhi kelajuan korosi di lingkungan CO2. Korosi karbon dioksida menghasilkan produk korosi besi(II) karbonat yang larut dalam pipa maupun mengendap di permukaan pipa minyak. Adanya lapisan film yang mengendap ini membantu menghambat terjadinya korosi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh konsentrasi asam asetat terhadap karakterisasi korosi di lingkungan CO2. Penelitian dilakukan dengan pengujian korosi pada baja BS 970 pada media korosi NaCl 3%wt. Pengujian dilakukan pada konsentrasi CH3COOH 100; 500; 1000; 1500 dan 2000 ppm, dan temperatur 65° dan 75°C dengan pH 5,5. Pengukuran dilakukan dengan metode EIS dan metode Tafel untuk mengetahui laju korosi dan perilaku korosi. Kemudian dilakukan pengujian SEM pada semua sampel dan pengujian XRD pada sampel dengan parameter ekstrim yaitu pada konsentrasi 2000 ppm dengan temperatur 75°C. Dari hasil pengujian Tafel menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam asetat, semakin tinggi pula laju korosinya, namun menurun pada konsentrasi 2000 ppm. Sedangkan pada hasil XRD menunjukkan terbentuknya lapisan FeCO3 pada permukaan spesimen. Uji SEM menunjukkan bahwa lapisan FeCO3 yang terbentuk dipengaruhi oleh konsentrasi asam asetat, semakin tinggi konsentrasi asam asetat maka lapisan FeCO3 semakin berkurang. Kata Kunci ; korosi CO2, konsentrasi asam asetat, temperatur PENDAHULUAN Korosi CO2 pada baja karbon menjadi salah satu perhatian utama dalam industri minyak dan gas. Minyak mentah sendiri bukanlah zat yang bersifat korosif, tapi keberadaan CO2 sebagai gas terlarut dalam air sebagai zat pengotor atau ikutan di dalam minyak mentah adalah pemicu utama terjadinya korosi CO2. Korosi CO2 akan mempengaruhi proses pemilihan material yang digunakan dalam produksi, sistem transportasi dan fasilitas pengolahan. Masalah baru yang timbul pada korosi CO2 adalah adanya asam organik seperti asam asetat yang biasanya ditemukan di ladang minyak yang mempengaruhi laju korosi pada pipa baja karbon mild. Metode pengukuran laju korosi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode EIS dan Tafel. Kemudian spesimen diuji dengan X Ray Diffraction (XRD), dan Scanning Electron Mikroskop (SEM). Selanjutnya dapat dianalisa pengaruh konsentrasi asam asetat terhadap laju korosi dan pembentukan lapisan FeCO3 pada permukaan spesimen.
METODOLOGI Penelitian dilakukan untuk pengujian laju korosi dan karakterisasi pembentukan film. Pengukuran secara elektrokimia dilakukan untuk memperoleh data laju korosi pada berbagai variasi konsentrasi asam asetat, dan untuk uji pembentukan film untuk mendapatkan informasi mengenai lapisan produk korosi pada temperatur 650C, 750C, dengan pH 5,5, dan konsentrasi asam asetat 100 ppm, 500 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm. Sampel dari hasil uji pembentukan film sebagai produk korosi dilakukan karakteristik permukaan. Material yang digunakan dalam pengujian ini adalah baja BS 970. Sampel dibuat dengan memotong baja dengan diameter 12 mm dan tebal 4 mm. Kemudian sampel tersebut dihubungkan dengan kawat tembaga dengan panjang ±15 cm yang nantinya dipakai sebagai elektroda kerja. Pengujian laju korosi menggunakan beaker glass sebagai sel kaca dengan penutup dan pemanas. Media yang digunakan adalah larutan NaCl 3%, yang kemudian dilakukan penambahan asam asetat dengan variasi 1
Jurnal Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2011 konsentrasi 100; 500; 1000; 1500; dan 2000 ppm. Selanjutnya, sel kaca ditutup rapat dan dipanaskan sampai temperatur yang diinginkan (65° dan 75°C) menggunakan water jacket dan diamati pada PCO2 1 bar secara terus menerus. Start
Pembuatan larutan NaCl 3%wt dan Set up spesimen dan elektrode
Dilakukan pengaturan pH sebesar 5,5 dengan menambahkan NaHCO3 0,1 M
Ditambahkan asam asetat dengan variabel masingmasing 100, 500, 1000, 1500, dan 2000 ppm
Dialirkan gas CO2 ke dalam beaker glass
Dipanaskan pada temperatur konstan dengan variasi temperatur 65° dan 750C selama 30 menit
Uji EIS Dilakukan setelah semua parameter terpenuhi
Uji Tafel Dilakukan setelah uji EIS sebanyak 1 kali
Pengamatan morfologi dan permukaan (SEM) pada semua sampel
Identifikasi fasa (XRD) untuk sampel dengan variabel konsentrasi 2000 ppm, T 75°C
Analisa Data dan Pembahasan
Begitu temperatur yang diinginkan sudah tercapai, dilakukan uji pH larutan disesuaikan menjadi pH yang diinginkan dengan menambahkan 0,1 M natrium bikarbonat (NaHCO3). pH meter dikalibrasi dengan menggunakan pH 4 dan larutan buffer pH 7, yang dipanaskan sampai sesuai dengan parameter percobaan. Elektroda kerja yang dipakai adalah baja BS 970, elektroda referensi Hg/Hg2Cl2, dan elektroda bantu memakai platinum direndam ke dalam larutan dan semua sambungan listrik dibuat untuk memonitor laju korosi. Selanjutnya disiapkan larutan asam asetat 1M untuk kemudian diinjeksikan ke dalam sel kaca sebanyak jumlah yang telah ditentukan (satuan ppm). Asam asetat ini diukur pHnya dan kemudian diatur pHnya dengan menambahkan basa konjugasinya yaitu CH3COONa hingga mencapai pH larutan NaCl yaitu 5,5. Selanjutnya asam asetat diinjeksikan ke dalam larutan tersebut dan dikocok dengan magnetic stirrer dan ditunggu selama ± 30 menit untuk menunggu parameter temperatur tercapai dan tercapai kondisi mantap (steady state). Tercapainya kondisi steady dapat dilihat pada nilai OCP (open circuit potential) yang telah stabil. Setelah tercapai steady state, dapat dilakukan pengujian secara elektrokimia. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode Potentiodynamic Polarization Sweeped dan EIS (Electrochemical Impedance Spectroscopy). Potentiodynamic Polarization Sweeped dengan metode Tafel dilakukan untuk mendapatkan data tentang laju korosi. Sebelum dilakukan pengukuran secara elektrokimia, sel elektrokimia dibiarkan selama 30 menit agar antaraksi antarmuka baja karbon/larutan mencapai keadaan mantap (steady state). Tercapainya keadaan mantap ini ditunjukkan oleh nilai open circuit potential (OCP) yang relatif stabil.
Kesimpulan
End
Gambar 1 Diagram Alir Penelitian
2
Jurnal Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2011 HASIL DAN PEMBAHASAN Metode Tafel Dari hasil pengukuran dengan metode Tafel didapatkan grafik laju korosi.
Gambar 2 Grafik laju korosi pada variasi konsentrasi asam asetat 100, 500, 1000, 1500, 2000 ppm pada temperatur 65° dan 75°C Dari grafik dapat dilihat bahwa laju korosi pada kedua variabel temperatur meningkat seiring bertambahnya konsentrasi asam asetat. Pengaruh asam asetat terhadap korosi CO2, menunjukkan bahwa dalam korosi CO2, kehadiran asam asetat dapat menyebabkan peningkatan laju korosi. Salah satu sebab yang ditimbulkan dari keberadaan asam asetat adalah penurunan pH sistem yang signifikan. Hal ini disebabkan karena kelarutan asam asetat dalam air jauh lebih tinggi dibandingkan kelarutan CO2 di dalam air. Asam asetat dapat menurunkan pH akibat peningkatan konsentrasi proton (ion H+) yang dikonsumsi oleh reaksi katodik sebagai berikut : CH3COOH (aq) ÅÆ H+(aq) + CH3COO-(aq) 2H+(aq) + 2e- ÅÆ H2(g) Dan menyebabkan reaksi anodik bertambah cepat : Fe(s) ÅÆ Fe2+(aq) + 2eAkibat adanya peningkatan konsentrasi proton (H+) ini, elektron (e-) yang berasal dari reaksi anodik akan berikatan dengan ion H+, sehingga jumlah ion Fe2+ yang dilepaskan untuk menyeimbangkan kelebihan muatan positif akan semakin tinggi. Hal ini dapat meningkatkan arus batas katodik sehingga laju pelarutan Fe semakin tinggi. Ion asetat yang terbentuk dari disosiasi asam asetat dapat membentuk besi asetat yang memiliki kelarutan tinggi dalam air. CH3COO-(aq) + Fe2+ ÅÆ Fe(CH3COO)2(aq) hal tersebut mengakibatkan adanya kompetisi antara ion asetat dan bikarbonat yang sama-sama berikatan dengan ion Fe2+.
Akibatnya, ketika ion-ion asetat mulai berikatan dengan Fe2+, ion bikarbonat mulai kekurangan ion Fe2+ untuk diikat, yang menyebabkan berkurangnya kekuatan pendorong bagi pembentukan lapisan pelindung FeCO3 sehingga lapisan pelindung besi karbonat yang terbentuk menjadi lebih sedikit dan tidak merata pada permukaan logam. Akibatnya, laju korosi semakin tinggi akibat mudahnya ion-ion H+ untuk berdifusi ke permukaan logam. Pada konsentrasi asam asetat 2000 ppm, laju korosi pada temperatur 65°C dan 75°C menurun. Dapat disimpulkan bahwa kesebandingan pengaruh asam asetat tersebut memiliki batas maksimum. Pada konsentrasi asam asetat yang lebih tinggi dari batas maksimum, laju korosi justru menurun. Konsentrasi asam yang tinggi dari asam asetat akan menyebabkan permukaan logam menjadi kasar dan menyebabkan daya lekat lapisan besi karbonat ke permukaan logam meningkat. Hal tersebut menjelaskan fakta bahwa laju korosi menurun pada konsentrasi asam asetat tertentu yang lebih tinggi. Asam asetat dengan konsentrasi yang relatif tinggi memiliki kapasitas buffer yang lebih besar, yang artinya bahwa dengan semakin banyak tersedianya ion asetat, akan mendorong ion H+ untuk berikatan dengan ion asetat sehingga penurunan pH akibat ion H+ tidak terjadi. Dengan kapasitas buffer yang besar, pada kondisi larutan yang lewat jenuh, partikel-partikel produk korosi dapat terbentuk lebih seragam. Partikel-partikel tersebut mampu membentuk lapisan pelindung yang lebih rapat sehingga meminimalisi serangan spesi korosif terhadap permukaan logam. Sebaliknya, pada kapasitas buffer yang rendah, perbedaan pH antara sisi anodik dan katodik cukup tinggi. Tingginya perbedaan pH tersebut menyebabkan perbedaan potensial antara sisi anodik dan katodik semakin tinggi sehingga proses korosi berlangsung semakin cepat. Jadi, peningkatan konsentrasi asam yang melebihi batas maksimum justru menghasilkan lapisan produk korosi yang lebih protektif karena laju pertumbuhan dari lapisan pelindung yang terbentuk pada sistem dengan kapasitas buffer tinggi lebih terkontrol dibandingkan di dalam sistem dengan kapasitas buffer yang rendah. 3
Jurnal Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2011 Jika diamati pada kedua variasi temperatur tersebut, nampak bahwa pada temperatur 65°C mempunyai rata-rata laju korosi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka rata-rata laju korosi pada sampel dengan temperatur 75°C. Hal ini berkaitan dengan proses pembentukan lapisan film FeCO3 yang bersifat protektif pada permukaan baja yang mulai terbentuk pada temperatur 60° hingga 80°C. Pada temperatur 65°C, lapisan film sudah mulai terbentuk, akan tetapi belum terbentuk secara rata pada seluruh permukaan, sehingga masih terdapat bagian dari permukaan baja yang berinteraksi langsung dengan lingkungannya sehingga laju korosi masih relatif tinggi jika dibandingkan dengan sampel baja pada temperatur 75°C. Hal tersebut dikarenakan pada temperatur 75°C, lapisan film sudah mulai terbentuk secara merata pada permukaan baja, sehingga luas bagian dari permukaan baja yang berinteraksi langsung dengan lingkungannya lebih sedikit, sehingga laju korosinya relatif lebih rendah.
asam asetat disebabkan produk korosi yang berupa ion-ion Fe2+ meningkat dan turut berperan sebagai penghantar muatan listrik. Dengan naiknya konsentrasi asam asetat, tahanan larutan,Rs, sedikit menurun, tahanan transfer muatan, Rct, meningkat. Dengan naiknya temperatur, tahanan larutan,Rs, sedikit menurun, tahanan transfer muatan, Rct, juga menurun. Kondisi ini menggambarkan dikendalikannya laju korosi oleh kinetika transfer muatan disebabkan oleh sedikitnya ketebalan maupun kerapatan lapisan pelindung. Rct makin rendah dan nilai kapasitansi lapis rangkap listrik makin rendah, berdampak pada peningkatan transfer muatan atau peningkatan laju korosi baja karbon. Penurunan tahanan lapisan pelindung disebabkan jumlah pori makin banyak sehingga ion H+ dapat berdifusi menembus lapisan pelindung melalui pori tersebut. Akibatnya laju korosi baja karbon ditentukan oleh difusi ion-ion H+. Hasil XRD Kurva hasil pengujian XRD secara umum digunakan untuk menganalisa senyawa yang terbentuk pada permukaan material.
Metode EIS
Fe-Cr-Ni
FeC FeCO3
Gambar 3 Grafik harga konsentrasi asam asetat
Rs
terhadap Gambar 5 Hasil uji XRD untuk spesimen 2000 ppm, 75°C
Gambar 4 Grafik harga konsentrasi asam asetat
Rct
terhadap
Dari kedua gambar di atas (3 dan 4) dapat dilihat bahwa nilai tahanan larutan menurun karena konsentrasi asam asetat yang semakin meningkat. Nilai tahanan yang menurun dengan meningkatnya konsentrasi
Gambar 5 menunjukkan hasil uji XRD dari spesimen baja karbon setelah proses pengujian dengan metode Tafel dengan variasi paling ekstrim yaitu pada konsentrasi asam asetat 2000 ppm pada temperatur 75°C. Dari kurva dapat dilihat terdapat 3 puncak tertinggi yaitu pada sudut 2θ= 44,68°, 64,88°, 82,36°. Dari hasil analisa didapatkan hasil bahwa pada sudut 2θ= 44,68° merupakan senyawa Fe-Cr-Ni (JCPDS card no. 0351375), sedangkan FeCO3 (JCPDS card no. 029-0696) teridentifikasi pada puncak 4
Jurnal Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2011 dengan sudut 2θ= 64,88° dengan intensitas yang lebih rendah. Fe-Cr-Ni merupakan senyawa yang teridentifikasi pada spesimen baja karbon, merupakan senyawa yang paling dominan pada spesimen uji. Sedangkan FeCO3 terdapat pada puncak kedua dengan intensitas yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan pada pengujian ini hanya dilakukan selama 1 jam, sehingga lapisan FeCO3 yang sudah terbentuk hanya sedikit dan tidak menutupi permukaan spesimen secara keseluruhan. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji XRD yang menunjukkan bahwa FeCO3 memiliki intensitas yang lebih rendah dibandingkan FeCr-Ni karena FeCO3 tidak menutupi permukaan spesimen secara keseluruhan. Hasil SEM SEM biasanya digunakan untuk meneliti morfologi suatu material. Gambar 6 dan 7 menunjukkan hasil SEM menggunakan alat SEM (Zeiss EVO MA 10) dari sampel baja karbon BS 970 setelah proses pengujian secara elektrokimia dengan metode Tafel.
Gambar 6 Hasil Foto SEM permukaan baja pada temperatur 65°C dan variasi konsentrasi asam asetat (a) 100 ppm, (b) 500 ppm, (c) 1000 ppm, (d) 1500 ppm dan (e) 2000 ppm dengan perbesaran 1.000x
Gambar 7 Hasil Foto SEM permukaan baja pada temperatur 75°C dan variasi konsntrasi asam asetat (a) 100 ppm, (b) 500 ppm, (c) 1000 ppm, (d) 1500 ppm dan (e) 2000 ppm dengan perbesaran 1.000x Gambar 6 dan 7 menunjukkan morfologi dari spesimen baja karbon setelah proses pengujian dengan metode Tafel dengan variasi konsentrasi asam asetat. Pada gambar 6, yang merupakan penampakan morfologi pada variasi temperatur 65°C, dapat terlihat beberapa titik putih yang merupakan lapisan/kerak FeCO3, sedangkan bagian lainnya yang gelap, merupakan bagian yang telah terkorosi. Namun pada gambar (a) terlihat bahwa mayoritas masih berupa lapisan FeCO3 dan sedikit bagian yang terkorosi, hal ini dibuktikan bahwa pada gambar, masih didominasi oleh warna putih. Pada gambar (b) dan (c) lapisan berwarna putih sudah relatif berkurang, hal ini membuktikan bahwa keberadaan asam asetat berpengaruh terhadap pembentukan lapisan FeCO3, dimana semakin tinggi konsentrasi larutan asam asetat, semakin sedikit lapisan FeCO3 yang terbentuk, dikarenakan ion asetat kekurangan ion Fe2+ untuk membentuk lapisan FeCO3 karena dikonsumsi oleh ion asetat menjadi besi asetat yang larut dalam air. Pada gambar (d) bagian yang gelap semakin mendominasi, yang artinya bahwa pembentukan FeCO3 semakin menurun, disertai dengan korosi yang semakin merata. Sedangkan pada gambar (e) keberadaan FeCO3 (titik putih) masih relatif lebih banyak jika dibandingkan 5
Jurnal Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2011 dengan gambar (e). hal ini mendukung hasil uji Tafel yang menghasilkan data bahwa laju korosi pada 2000 ppm menurun jika dibandingkan dengan laju korosi pada 1500 ppm. Sedangkan pada gambar 7 yaitu dengan variasi temperatur 75°C , pola foto hasil SEM hampir sama dengan hasil SEM dari variasi temperatur 65°C pada gambar 6. Hal yang membedakan secara signifikan adalah keberadaan FeCO3 (titik putih) dan selaput-selaput putih pada permukaan spesimen lebih banyak/mendominasi, maka akan wajar jika data hasil uji Tafel mengatakan bahwa laju korosi rata-rata pada temperatur 75°C lebih rendah dibandingkan pada variasi temperatur 65°C dikarenakan lebih banyak FeCO3 yang mengendap di permukaan baja dan membentuk lapisan protektif yang melindungi permukaan baja dari ekspos lingkungannya. Pada hasil pengamatan foto SEM, juga terdapat beberapa lubang (hole) yang diidentifikasi sebagai korosi sumuran. Terjadinya korosi sumuran dapat disebabkan karena tidak meratanya pembentukan lapisan protektif FeCO3 pada permukaan spesimen disebabkan oleh perbedaan laju korosi antara satu tempat dengan tempat lainnya pada permukaan spesimen. Akibat tidak meratanya pembentukan lapisan protektif pada permukaan spesimen, menyebabkan terjadinya perbedaan kekasaran pada permukaan spesimen sehingga menimbulkan turbulensi ringan yang menyebabkan penipisan setempat pada lapisan protektif, yang diikuti dengan pembentukan pori. Aktivitas korosi menjadi lebih tinggi pada lokasi yang berpori sehingga terjadi kerusakan setempat. Korosi sumuran dimungkinkan terjadi pada kondisi lingkungan dalam media jenuh CO2. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil pengjian dengan metode Tafel pada baja BS 970 dengan variasi konsentrasi 100, 500, 1000, 1500 dan 2000 ppm dengan temperatur 65° dan 75°C, didapatkan kesimpulan : • Pada penambahan konsentrasi asam asetat 100, 500, 1000 dan 1500 ppm terjadi peningkatan laju korosi dikarenakan adanya penurunan pH secara signifikan akibat
•
• •
meningkatnya ion H+ dan terjadi kompetisi antara ion bikarbonat dan asetat dalam mengikat ion Fe2+ sehingga faktor pendorong terbentuknya lapisan protektif FeCO3 pada permukaan spesimen menurun. Pada penambahan konsentrasi asam asetat 2000 ppm terjadi penurunan laju korosi. Hal ini disebabkan karena besi asetat sebagai produk korosi yang memiliki kelarutan tinggi dalam air, sehingga kandungan ion Fe2+ meningkat dengan bertambahnya konsentrasi asam asetat yang menyebabkan kelewatjenuhan ion yang mendorong balik Fe2+ pembentukan paisan protektif FeCO3. Penurunan ini juga disebabkan konsentrasi asam yang tinggi dari asam asetat akan menyebabkan permukaan logam menjadi kasar dan menyebabkan daya lekat lapisan besi karbonat ke permukaan logam meningkat yang menyebabkan lebih banyak lapisan FeCO3 yang melekat sehingga lebih protektif. Terdapat batas maksimum dari konsentrasi asam asetat untuk meningkatkan laju korosi. Laju korosi pada pengujian dengan temperatur 65°C lebih tinggi daripada 75°C dikarenakan lapisan protektif yang terbentuk pada temperatur 75°C lebih banyak jika dibandingkan pada temperatur 65°C.
Pada hasil pengujian dengan metode EIS didapatkan : • Penambahan konsentrasi asam asetat akan meningkatkan kapasitansi lapis rangkap. • Temperatur yang meningkat akan menaikkan kapasitansi lapis rangkap. • Kapasitansi lapis rangkap mencapai maksimum pada saat temperatur 75⁰C dan konsentrasi asam asetat 1000 ppm yaitu 1,333 mF/cm2. Dari hasil pengujian XRD pada spesimen dengan variasi terekstrim yaitu 2000 ppm, 75°C, didapatkan : • Senyawa yang teridentifikasi adalah Fe-Cr-Ni (JCPDS card no. 0351375) dengan intensitas tinggi dan 6
Jurnal Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2011
•
FeCO3 (JCPDS card no. 029-0696) dengan intensitas yang lebih rendah. Lapisan FeCO3 yang terbentuk masih sangat sedikit.
Sedangkan dari hasil foto SEM pada semua spesimen didapatkan : • semakin meningkatnya konsentrasi asam asetat maka lapisan protektif (putih) juga semakin FeCO3 berkurang. • Pada konsentrasi asam asetat 2000 ppm, lapisan protektif FeCO3 mulai terbentuk lebih banyak jika dibandingkan pada konsentrasi asam astetat 1500 ppm. • Dari kedua variasi temperatur (65° dan 75°C) lapisan protektif FeCO3 lebih banyak terbentuk pada temperatur 75°C. Terjadinya korosi sumuran yang disebabkan karena perbedaan laju korosi pada setiap bagian spesimen, sehingga pembentukan lapisan protektif menjadi tidak merata dan menyebabkan perbedaan kekasaran yang menimbulkan turbulen ringan yang menyebabkan penipisan setempat pada lapisan protektif yang diikuti dengan pembentukan pori dimana aktivitas korosi pada lokasi berpori menjadi lebih tinggi. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut ini saran-saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya: 1. Pengujian laju korosi sebaiknya dilakukan dengan variasi waktu (long term) untuk mendapatkan hasil data laju korosi dan perilaku pembentukan lapisan FeCO3 yang lebih akurat. 2. Pengujian dilakukan secara triplo, sehingga hasil yang didapatkan dapat dipastikan kevalidannya. 3. Pengujian SEM dilakukan pada surface dan penampang melintang sampel untuk melihat karakterisasi produk korosi lapisan FeCO3 beserta ketebalannya. 4. Perlunya dilakukan pengujian EDAX untuk mengetahui pemetaan komposisi kimia pada foto hasil SEM.
DAFTAR PUSTAKA Aagotnes, N.O., Hemmingsen, T., Haarseth, C., dan Midttveit, I., 1999. “Comparison of Corrosion Measurement by use of ACImpedance, LPR, and polarization method on carbon steel in CO2 purged NaCl electrolytes”. Corrosion 2000, paper 7. Houston, TX, NACE. Annergen, I., dkk., 1999. “Application of localized electrochemical techniques to study kinetics of initiation and propagation during pit growth”. Electrochimica Acta, 44, 4383-4393. Azambuja, D.S., Mueller, I.L., Feris, L.A., Ladeira, F., Rias, L.S., 1996. “The electrochemical behavior of Fe in acetate corrosion containing chloride”. Corrosion Science, 38, (8), 1223-1244. ASTM G 106, 1989. “Standard practice for verification of algorithm and equipment for electrochemical impedance measurement”. Annual book of ASTM standards, metals Test method and analytical procedures. American Society for testing and materials. Brossia, C.S. dan Cragnolino, G.A., 2000. “Effect of environment variables on localized corrosion of carbon steel”, Corros. Sci., 56, 505-514. Bundjali, B., 2005. “Perilaku dan inhibisi korosi baja karbon dalam larutan buffer asetat, bikarbonat-CO2”, Disertasi Program Doktor, Institut Teknologi Bandung. Crolet, J.L., Thevenot, N., dan Dugstat, A., 1999. “Role of free acetic acid on the CO2 Corrosion of steel, Corrosion 1999”, paper 24, Houston, TX, NACE. Crolet, J.L., Thevenot, N., dan Nesic, S., 1996. “Electrochemical properties of iron dissolution in CO2 solutions – basics revisited, Corrosion/96”, paper 3, Houston, TX, NACE. De waard, C., Miliam, D.E., 1975. “Carbonic acid corrosion of steel”, Corrosion, 31, 177-181. Gabrielli, C., 1980. “Identification of electrochemical procceses by frequency response analysis”, Center Nation de la Rercheche Scientifique Physique des Liquides et Electrochimie Universite, France. 7
Jurnal Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2011 Gulbransen, E. and Bilkova, K., 2006. “Solution Chemistry Effects on Corrosion of Carbon Steel in Presence of CO2 and Acetic Acid”, Corrosion/06, paper no. 06364, NACE International, Houston, Texas. Hedges, B. dan McVeigh, L., 1999. “The Role of Acetate in CO2 Corrosion: The Double Whammy”, Corrosion/99, paper no 21, NACE, Houston, Texas. Jones, D.A., 1996. “Principles and prevention of corrosion”, Prentice Hall, Inc., New Jersey. Mora-Mendoza, J.L., Turgoose, S., 2000. “Fe3C influence on the corrosion rate of mild steel in aqueous CO2 systems under turbulent flow conditions”, Corrosion Science, 44, (6), 1223-1246. Muralidharan, V.S., 1997. “Warburg Impedance-Basics revisited”, Anti Corrosion Methods and materials, 44, 26-29. Nazari, M.H & Allahkaram, S.R, 2010. “The effect of acetic acid on the CO2 corrosion of grade X70 steel”, University of Tehran, Iran. Nesic, Srdjan, 2005. “Key issues related to modelling of internal corrosion of oil and gas pipeline – A review”, Institute for Corrosion and Multiphase Technologi, USA. Nurdin, I., Syahri, M., 1999. “Inhibisi baja karbon di dalam larutan karbonat/bikarbonat”, proc. ITB, 31(1). Oblonsky, L.J., Ryan, M.P., dan Isaacs, H.S., 2000. “In situ XANES study of formation and reduction of the passive film formed on Fe in acetate solution”, Corros. Sci., 42, 229-241. Perdomo, J.J., Morales, J.L., Viloria, A., dan Lusinchi, A.J., 2000. “CO2 and H2S corrosion of API 5L-B and API 5LX52 grade steels”, Corrosion 2000, paper 42, Houston, TX, NACE. Ramachandran, S., Jovancicevic, V., dan Ward, M.B., 1999. “Understanding interactions between corrosion inhibitors and iron carbonate films using molecular modeling”, Corrosion 1999, paper 7, Houston, TX, NACE. Schimtt, G., Mueller, M., Papenfuss, M., dan Strobel, E., 1999. “Understanding localized CO2 corrosion of carbon steel from physical properties of iron
carbonate scales”, Corroson 1999, paper 38, Houston, TX, NACE. Silverman, D.C., 1986. “Primer on the AC impedance technique”, Electrochemical Techniques for Corrosion engineering, NACE, Houston, Texas. Sunarya, Yayan., 2008. “Mekanisme dan Efisiensi Inhibisi Sistein pada Korosi Baja Karbon dalam larutan elektrolit jenuh karbondioksida”, Disertasi Porgram Doktor, Program Pasca Sarjana, ITB. Tebbal, S., dan Hackerman, N., 1999. “Effect of Buffer Capacity on the CO2 pitting of Steel”, Corrosion 1999, Paper 23, Houston, TX, NACE. Trethewey, K.R., Chamberlain, J., 1995. “Corrosion for science and engineering second edition”, longman group limited Videm, K., 2000. “The anodic behavior of iron and steel in aqueous solutions with CO2, HCO3-, CO32-, and Cl-“, Corrosion 2000, paper 39, Houston, TX, NACE. Yatiman, Petrus., 2006. “Mekanisme Inhibisi benzotriazol pada Korosi Baja Karbon dalam Larutan Natrium Klorida dan/atau Natrium Karbonat”, Disertasi Porgram Doktor, Program Pasca Sarjana, ITB. Zulhan, Z., 2000. “Studi mekanisme inhibisi inhibitor kalsium nitrit dan Sika Ferrogard-901 dalam larutan pori beton artifisial yang mengandung ion klorida dengan electrochemical impedance spectroskopy”, Thesis program magister, Program Pasca Sarjana, ITB.
8