Vol. 10 No. 1, Maret 2015
ISSN. 1907-9737
JURNAL RISET AKUNTANSI GOING CONCERN ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DAN PEMANFAATAN IT GOVERNANCE TERHADAP KEANDALAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA MENGGUNAKAN FRAMEWORK COBIT (Control Objectives For Information And Related Technology) Halens Ryanlie Ole, Grace Nangoi, Heince R. N. Wokas PELAKSANAAN PEMERIKSAAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH OLEH ANGGOTA TIM YUNIOR PADA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERWAKILAN PROVINSI SULAWESI UTARA Rizal Y. Budiman, Jullie J. Sondakh, Winston Pontoh PROSEDUR PERHITUNGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS GAJI PEGAWAI PEMERINTAH KABUPATEN MINAHASA SELATAN Andre Mandak, Jenny Morasa
EVALUASI KUALITAS APARAT PENGAWAS INTERN PEMERINTAH DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH (Studi pada Pemerintah Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara) Josua H.R.Lumbantobing, Lidya Mawikere PERLAKUAN AKUNTANSI ATAS KONSTRUKSI DALAM PENGERJAAN PADA LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PADA KABUPATEN MINAHASA Maruli Harry Siregar, David P. E. Saerang PENGARUH CAPITAL ADEQUACY RATIO (CAR), BOPO DAN NON PERFORMING LOAN (NPL) TERHADAP KINERJA KEUANGAN PERBANKAN DI INDONESIA Anggria Maya Matindas, Sifrid S. Pangemanan, David P.E. Saerang
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO
Vol.10,No.1,Maret 2015
ISSN.1907-9737
GOING CONCERN JURNAL RISET AKUNTANSI GOING CONCERN Pelindung
Rektor Universitas Sam Ratulangi
Penanggung Jawab
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNSRAT Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNSRAT
Pemimpin Redaksi
Prof. DR. David. P.E. Saerang,SE,M.Com(Hons)
Redaksi Pelaksana
Harijanto Sabijono,SE,MSi,Ak Lidia Mawikere,SE,MSi,Ak Hendrik Manossoh,SE,MSi,Ak Imelda Najoan,SE,MSi,Ak
Dewan Redaksi
DR. Grace Nangoy,SE,MSAc,Ak,CPA Sifrid S. Pangemanan,SE,MSA DR. Jullie J. Sondakh,SE,MSi,Ak,CPA DR.Ventje Ilat,SE,MSi DR. Herman Karamoy,SE,MSi,Ak DR. Jenny Morasa,SE,MSi,Ak DR. Agus T. Poputra,SE,MM,MA,Ak Victorina Tirayoh,SE,MM,Ak Linda Lambey,SE,MBA,MA,Ak Margaretha Bolang,SE,MA,Ak Peter Kapojos,SE,MSi,Ak
Administrasi & Sirkulasi
DR. Jantje Tinangon,SE,MM,Ak DR. Lintje Kalangi,SE,ME,Ak Winston Pontoh,SE,MM,Ak Christian Datu,SE,MSA,Ak
Alamat Redaksi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sam Ratulangi Manado Jl. Kampus Bahu – Manado, Sulawesi Utara Telp. (0431) 847472, Fax. (0431) 853584
Jurnal Riset Akuntansi Going Concern diterbitkan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sam Ratulangi Manado, dimaksudkan sebagai media pertukaran informasi, penelitian dan karya ilmiah antara pengajar, alumni, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Jurnal ini terbit empat kali setahun yaitu bulan Maret, Juni, September, Desember. Redaksi menerima naskah yang belum pernah diterbitkan oleh media dan tinjauan atas buku-buku akuntansi terbitan dalam dan luar negeri yang baru serta catatan/komentar atas artikel yang dimuat dalam jurnal ini. Surat menyurat mengenai naskah yang akan diterbitkan langganan, keagenan, dan lainnya dapat dialamatkan langsung ke alamat redaksi atau melalui email :
[email protected]
Jurnal Riset Akuntansi Going Concern FEB UNSRAT
i
Vol.10,No.1,Maret 2015
ISSN.1907-9737
GOING CONCERN JURNAL RISET AKUNTANSI GOING CONCERN DAFTAR ISI ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DAN PEMANFAATAN IT GOVERNANCE TERHADAP KEANDALAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA MENGGUNAKAN FRAMEWORK COBIT (Control Objectives For Information And Related Technology) Halens Ryanlie Ole, Grace Nangoi, Heince R. N. Wokas....................................................1-11 PELAKSANAAN PEMERIKSAAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH OLEH ANGGOTA TIM YUNIOR PADA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERWAKILAN PROVINSI SULAWESI UTARA Rizal Y. Budiman, Jullie J. Sondakh, Winston Pontoh ......................................................12-21 PROSEDUR PERHITUNGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS GAJI PEGAWAI PEMERINTAH KABUPATEN MINAHASA SELATAN Andre Mandak, Jenny Morasa ............................................................................................22-33 EVALUASI KUALITAS APARAT PENGAWAS INTERN PEMERINTAH DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH (Studi pada Pemerintah Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara) Josua H.R.Lumbantobing, Lidya Mawikere ................................................................... 34-43 PERLAKUAN AKUNTANSI ATAS KONSTRUKSI DALAM PENGERJAAN PADA LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PADA KABUPATEN MINAHASA Maruli Harry Siregar, David P. E. Saerang ........................................................................44-51 PENGARUH CAPITAL ADEQUACY RATIO (CAR), BOPO DAN NON PERFORMING LOAN (NPL) TERHADAP KINERJA KEUANGAN PERBANKAN DI INDONESIA Anggria Maya Matindas, Sifrid S. Pangemanan, David P.E. Saerang .............................. 52-66
Jurnal Riset Akuntansi Going Concern FEB UNSRAT
ii
1 ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DAN PEMANFAATAN IT GOVERNANCE TERHADAP KEANDALAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA MENGGUNAKAN FRAMEWORK COBIT (Control Objectives For Information And Related Technology) Halens Ryanlie Ole Grace Nangoi Heince R. N. Wokas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Magister Akuntansi Universitas Sam Ratulangi Manado Email:
[email protected] ABSTRACT The purpose of this study was to assess the internal control system in a number of “SKPD” in Southeast Minahasa Regency and check also the utilization of IT Governance at the “SKPD”. This study uses the COBIT framework to analyze the system of internal control and utilization of IT Governance in sectors in Southeast Minahasa Regency. The method used in this research using descriptive method by distributing questionnaires purposive sampling to target treasurer, operator, or financial administration officials are determined randomly. Obtained data is then processed and dideskriptifkan by researchers thus a detailed explanation of the study. The results showed that the Financial Statements To improve the reliability of the Local Government needed improvements in terms of control and monitoring activities. Meanwhile, IT Governance are not yet standardized, but have had the procedure. The most mature component is information architecture while most adults are communication objectives and management direction. Keywords : Internal Control System, SKPD, and IT Governance 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak Pemerintah Republik Indonesia memberlakukan otonomi daerah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (kemudian menjadi UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004), maka setiap daerah diberikan kewenangan untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri, termasuk didalamnya mengenai keuangan daerah. Sejalan dengan itu Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan reformasi pengelolaan keuangan negara dengan mengeluarkan Undang-Undang bidang keuangan Negara (UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 dan UU No 15 tentang Pemeriksaan Pertanggungjawaban Keuangan Negara), tata cara pelaporan keuangan pemerintah yang dirasakan kurang transparan dan akuntabel telah berubah, karena sebelumnya laporan keuangan tersebut belum sepenuhnya disusun mengikuti standar akuntansi pemerintahan yang sejalan dengan standar akuntansi sektor publik yang diterima secara internasional. Sistem Pengendalian Intern (SPI) di lingkungan instansi pemerintah dikenal sebagai suatu sistem yang diciptakan untuk mendukung upaya agar penyelenggaraan kegiatan pada instansi pemerintahan dapat mencapai tujuannya secara efisien dan efektif, dimana pengelolaan keuangan Negara dapat dilaporkan secara andal, asset negara dapat dikelola dengan aman, dan tentunya mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. SPI dalam penerapannya harus senantiasa memperhatikan norma keadilan dan kepatutan serta mempertimbangkan ukuran, kompleksitas dan sifat dari tugas dan fungsi instansi pemerintah (Penjelasan umum PP No 60 Tahun 2008).
2 Sistem Pengendalian Intern berjalan efektif bila dua unsur yaitu kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan teknologi informasi saling mendukung satu sama lain. Pada sebuah dokumen yang diterbitkan oleh The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO), dua puluh prinsip kunci (key principles) pengendalian internal dalam rangka pelaporan keuangan. Teknologi Informasi merupakan termasuk didalam dua puluh prinsip kunci yang merupakan bagian dari Aktivitas Pengendalian (Control Activities). Teknologi Informasi – Pengendalian teknologi informasi, bila memungkinkan, didesain dan diimplementasikan untuk mendukung pencapaian tujuan pelaporan keuangan. Pada Pemaparan Anwar Nasution dalam buku Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Era Reformasi, beliau menyampaikan ada 10 (sepuluh) Kelemahan Sistem Pengendalian Internal yang sangat mempengaruhi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mendapatkan Opini Wajar Tanpa Pengecualian. Salah satunya adalah Sinkronisasi Sistem Aplikasi Teknologi Komputer yang belum terintegrasi (IT Related) dan kompatible antara satu dengan lainnya. (Anwar Nasution, 2008:13) Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, peneliti ingin melihat bagaimana analisis sebuah sistem pengendalian intern pada pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara apakah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip pengendalian internal dengan memanfaatan teknologi informasi pada kualitas penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang sejak tahun 2008 – 2011 selalu mendapatkan opini disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan menggunakan CobiT Framework. Maka peneliti mengambil judul Analisis Sistem Pengendalian Intern Dan Pemanfaatan IT Governance Terhadap Keandalan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara Menggunakan Framework Cobit (Control Objectives For Information And Related Technology)”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latarbelakang masalah diatas, maka penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimana pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern dalam menghasilkan keandalan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dinilai dari kerangka kerja CobiT pada Kabupaten Minahasa Tenggara? 2. Bagaimana pemanfaatan IT Governance terhadap keandalan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dinilai dari kerangka kerja CobiT pada Kabupaten Minahasa Tenggara? 1.3 Batasan Masalah 1. Lingkup dari penelitian ini dibatasi pada menilai Sistem Teknologi Informasi yang sudah dimanfaatkan oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara untuk menghasilkan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang andal. 2. Lingkup Penelitian ini hanya menilai 1 domain CobiT 4.1 PO Plan and Organise (Perencanaan dan Pengorganisasian). 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini untuk: 1. Menganalisis pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern dalam menghasilkan keandalan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dinilai dari kerangka kerja CobiT. 2. Menganalisis seberapa besar pemanfaatan IT Governance terhadap keandalan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dinilai dari kerangka kerja CobiT. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi pemegang kebijakan, dalam hal ini pemerintah daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sistem pengendalian intern dan pemanfaatan IT Governance,
3 sehingga akan dapat dimanfaatkan dalam upaya peningkatan keandalan laporan keuangan daerah di Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara. 2. Bagi Inspektorat dan Seluruh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), sebagai masukan dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah khususnya peranan Inspektorat sebagai aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dan Seluruh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai Pimpinan Instansi Pemerintah menciptakan sistem pengendalian intern yang baik demi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. 3. Bagi akademisi, memberikan kontribusi pengembangan literatur akuntansi sektor publik di Indonesia terutama sistem pengendalian manajemen di sektor publik. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan mendorong dilakukannya penelitian-penelitian akuntansi sektor publik. Hasil penelitian ini juga diharapkan akan dapat memberikan sumbangan bagi penelitian berikutnya. 2.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Kewajiban pemanfaatan teknologi informasi oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dalam Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976). 2.1.2 Teori Kepatuhan Berdasarkan perspektif normatif maka sudah seharusnya bahwa teori kepatuhan ini dapat diterapkan di bidang akuntansi Apalagi kepatuhan entitas pelaporan dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan merupakan suatu hal yang mutlak dalam memenuhi kepatuhan terhadap pengungkapan informasi dalam laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (Faristina, 2011). 2.1.3 Teori Atribusi Dalam teori atribusi menjelaskan bahwa tindakan seorang pemimpin maupun orang yang diberikan wewenang dipengaruhi oleh atribut penyebab (Green and Mitchell, dalam Gifandi, 2011). Dengan adanya pengendalian internal maka tindakan tidak etis akan berkurang. Jika keefektifan pengendalian internal tinggi maka perilaku tidak etis akan menurun. 2.2 Sistem Pengendalian Intern Keandalan Pelaporan Keuangan adalah bagian dari tujuan Sistem Pengendalian Intern.Menurut COSO (Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission) (2013) ada tiga tujuan Sistem Pengendalian Intern antara lain: 1. Realibility of financial reporting; 2. Compliance with laws and regulations; and 3. Effective and efficient operations Sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2008, SPIP terdiri dari lima unsur, yaitu: 1. Lingkungan Pengendalian, 2. Penilaian risiko, 3. Kegiatan pengendalian, 4. Informasi dan komunikasi, 5. Pemantauan pengendalian intern 2.3 Pemanfaatan IT Governance Teknologi informasi meliputi komputer (mainframe, mini, micro), perangkat lunak (software), database, jaringan (internet, intranet), electronic commerce, dan jenis lainnya yang berhubungan dengan teknologi (Wilkinson et al., 2000). Kewajiban pemanfaatan teknologi informasi oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah yang merupakan pengganti dari PP No. 11 Tahun 2001 tentang Informasi Keuangan Daerah. 2.4 Keandalan Laporan Keuangan
4 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan pada Lampiran I menyebutkan bahwa kriteria dan unsur-unsur pembentuk kualitas informasi yang menjadikan informasi dalam laporan keuangan pemerintah mempunyai nilai atau manfaat yang disebutkan dalam Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan terdiri dari: (a) Relevan, (b) Andal, (c) Dapat dibandingkan dan (d) Dapat dipahami. Dan pada Paragraf ke 38 disana dijelaskan bahwal Laporan Keuangan dianggap andal jika Informasi dalam laporan keuangan bebas dari pengertian yang menyesatkan dan kesalahan material, menyajikan setiap fakta secara jujur, serta dapat diverifikasi. Informasi mungkin relevan, tetapi jika hakikat atau penyajiannya tidak dapat diandalkan maka penggunaan informasi tersebut secara potensial dapat menyesatkan. Informasi yang andal memenuhi karakteristik: (a) Penyajian Jujur, (b) Dapat Diverifikasi (verifiability), (c) Netralitas 2.5 CobiT (Control Objectives for Information and Related Technology) CobiT yaitu Control Objectives for Information and Related Technology adalah sebuat kerangka tata kelola IT dan merupakan sekumpulan dokumentasi dan panduan yang mengarahkan pada IT governance yang dapat membantu auditor, manajemen, dan pengguna (user) untuk menjembatani pemisah antara resiko bisnis, kebutuhan kontrol, dan permasalahan-permasalahan teknis. (Isaca, 1992) 3. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian Untuk lebih menyederhanakan kerangka pemikiran tersebut maka dibuatlah kerangka konseptual seperti pada gambar 3.1 dibawah ini:
Sumber : Data Olahan (2014) 3.2 Proposisi 1. Kelima Unsur Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Mendukung Keandalan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Pengendalian intern terdiri atas lima unsur yang meliputi : (1) Control environment; (2) Risk assesment; (3) Control activities; (4) Information and communication; (5) Monitoring (COSO, 2009 ; Arens et.al., 2010 ; PP No. 60/2008).
5 Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 pemerintah menetapkan adanya suatu sistem pengendalian intern yang harus dilaksanakan, baik pada tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Sistem pengendalian intern dimaksud adalah suatu proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundangundangan (Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah). Dengan demikian pengendalian intern yang memadai akan menciptakan tercapainya kualitas laporan keuangan yang baik. 2. IT Governance Mendukung Keandalan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Menurut Indriasari dan Nahartyo (2008) menyatakan bahwa perkembangan teknologi informasi tidak hanya dimanfaatkan pada organisasi bisnis tetapi juga pada organisasi sektor publik, termasuk pemerintahan. Teknologi informasi menunjukkan bahwa pengolahan data dengan memanfaatkan teknologi informasi (komputer dan jaringan) memberikan banyak keunggulan baik dari sisi keakuratan/ketepatan hasil operasi maupun predikatnya sebagai mesin multiguna. Pemanfaatan teknologi informasi juga mengurangi kesalahan yang terjadi. Kemajuan dalam teknologi komputer mempunyai dampak luar biasa pada seluruh aspek kegiatan usaha. Dalam sistem akuntansi manual, data sebagai masukan (input) diproses menjadi informasi sebagai keluaran (output) dengan menggunakan tangan. Pada sistem akuntansi yang berkomputer atau yang lebih sering disebut Pemrosesan Data Elektronik (PDE), data sebagai input juga diproses menjadi informasi sebagai output. Keuntungan yang dapat dilihat secara jelas dari penggunaan komputer ini adalah kecepatan, ketepatan, dan kemudian akuntansi (Banker et al., 2002, dikutip dari Setyawardani, 2007, h.85). 4. Metode Penelitian 4.1 Jenis dan Sumber Data Berdasarkan sumber pengambilannya, data dibedakan atas dua, yaitu data primer dan data sekunder (Hasan , 2008, dikutip dari Iskandar, 2013, h.204) 1. Data Primer; biasanya diperoleh dengan survei lapangan yang menggunakan semua metode pengumpulan data original (Kuncoro, 2003:127). Dalam penelitian ini, data primer berupa pertanyaan peneliti dan jawaban responden melalui kuesioner yang akan dibagikan kepada responden. 2. Data Sekunder; biasanya telah dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data dan dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data (Kuncoro, 2003:127). Dalam penelitian ini penulis mengambil data yang terkait relevan dengan masalah yang diangkat sebagai bahan dan materi dalam pembahasan dalam proposal ini. 4.2 Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitian kualitatif dan dalam usaha memperoleh data dan informasi yang berkenaan dengan penelitian ini untuk dijadikan sebagai bahan atau materi pembahasan, maka pengumpulan data dilakukan dengan penelitian lapangan (Field Research) yang menggunakan beberapa metode yaitu Observasi, Wawancara, Kuesioner. 4.3 Obyek dan Waktu Penelitian Obyek dalam penelitian ini mengambil lokasi di Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Minahasa Tenggara dengan waktu penelitian selama , 1 tahun 1 bulan yaitu mulai bulan September 2013 sampai dengan bulan Oktober 2014. 4.4 Populasi dan Sampel Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Minahasa Tenggara. Jumlah SKPD yang ada di Kabupaten Minahasa Tenggara sebanyak 42 SKPD. Sedangkan sampel penelitian akan dipilih dengan pendekatan purposive sampling dimana menurut Margono (2004), pemilihan sekelompok subjek dalam purposive sampling, didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi yang
6 sudah diketahui sebelumnya, sehingga unit sampel yang dihubungi disesuaikan dengan kriteriakriteria. 4.5 Metode dan Teknik Analisis Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan cara penyebaran kuisioner kepada para responden bendahara dan operator SIMDA di setiap SKPD. Data data yang diperoleh kemudian diolah dan dideskriptifkan oleh peneliti sehingga mendapat penjelasan secara detail mengenai penelitian ini. Menurut Nazir (2007:55), “Metode deskriptif adalah metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka.” 5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.2 Data Karekteristik Responden Sebelum hasil penelitian disajikan, terlebih dahulu dengan sederhana dijelaskan karakteristik responden. Karakteristik responden meliputi jenis kelamin, tingkat pendidikan responden, frekuensi mengikuti bimbingan teknis (bimtek). Tabel 5.10 Karakteristik Responden berdasarkan kelamin No Jenis Jumlah Presentasi Kelamin Responden 1 Pria 17 56,67 2 Wanita 13 43,33 Total 30 100,00 Sumber : Analisis data Dilihat dari jenis kelamin, sebesar 56,67% atau 17 responden berjenis kelamin pria dan sisanya sebesar 43.33% atau 27 responden berjenis kelamin wanita. Tabel 5.11 Tingkat Pendidikan Responden No Pendidikan Terakhir 1 SMA 2 Diploma 3 S1 4 S2 Total Sumber : Analisis data
Jumlah Responden 3 2 24 1 30
Presentasi 10,00 6,67 80,00 3,33 100,00
Responden penelitian ini terdiri dari 30 orang, masing-masing mewakili satu SKPD. Dilihat dari latar pendidikan responden, mayoritas berpendidikan sarjana (S1) sebanyak 24 orang (80%), sisanya SMK 3 orang (10%), diploma 2 orang (6,7%), dan magister 1 orang (3,3%). Dilihat dari latar pendidikan, mayoritas berlatar ekonomi manajemen yaitu 11 orang (36,7%). Latar pendidikan yang lebih dari satu orang mencakuplah ekonomi akuntansi 3 orang, sarjana administrasi 2 orang, sarjana ekonomi 2 orang, dan sarjana ilmu kelautan 2 orang. Latar pendidikan yang masingmasing hanya satu orang adalah kesehatan lingkungan, magister manajemen, peternakan, sarjana hukum, sarjana kesehatan masyarakat, sarjana komputer, sarjana sosial, sarjana teknik, dan teknik mesin. Satu orang tidak memberikan jawaban. Dilihat dari frekuensi Bimtek, mayoritas responden (46,7% atau 14 orang) mengikuti dua kali bimtek. Ada 5 orang yang mengikut bimtek satu kali, 7 orang tiga kali, 1 orang empat kali, dan 1 orang enam
7 kali. Hanya ada dua orang yang mengaku belum pernah mengikuti bimtek. Rata-rata adalah 2,13 dengan standar deviasi 1,167. Tabel 5.12 Frekuensi Bimtek Responden CobiT No Frekuensi Bimtek yang diikuti 1 0 2 1-2 3 3-4 4 5-6 5 7-8 Total
Jumlah Responden
Presentasi
2 19 8 1 0 30
6,67 63,33 26,67 3,33 0,00 100,00
Sumber : Analisis data Narasumber Wawancara Narasumber wawancara terdiri dari dua orang. Narasumber pertama yang memberikan informasi umum tentang Penerapan IT Governance menjabat sebagai sekretaris inspektorat. Dalam satgas SPIP, beliau menjabat sebagai anggota satgas. Usia responden adalah 48 tahun, berjenis kelamin laki-laki, berlatar pendidikan Magister Sains, dan menjadi PNS sejak tahun 2002. Narasumber kedua yang memberikan informasi kontekstual mengenai situasi penerapan SPI di Kabupaten Minahasa Tenggara merupakan Sekda Kabupaten Minahasa Tenggara. Beliau juga menjadi ketua Satgas SPIP. Beliau berusia 54 tahun, berjenis kelamin laki-laki, berlatar pendidikan Magister Teknik, dan menjadi PNS sejak tahun 1993. 5.3 Pembahasans 5.3.1 Penerapan Sistem Pengendalian Intern pada Kabupaten Minahasa Tenggara Secara keseluruhan, sistem pengendalian intern memiliki nilai rata-rata 68% yang berarti telah baik. Komponen yang paling baik adalah komponen informasi dan komunikasi (rata-rata 98%) dan komponen lingkungan pengendalian (rata-rata 81%). Komponen yang paling buruk adalah komponen aktivitas pengendalian (rata-rata 31%) dan komponen pemantauan (rata-rata 59%). Hasil ini membenarkan bahwa secara umum, dalam organisasi komponen pengendalian intern yang tergolong lemah adalah komponen pemantauan (Simonsson dan Johnson, 2006). Kualitas hasil pengendalian intern ini menurut narasumber telah lebih baik dari sebelumnya. Berdasarkan kesaksian narasumber, opini BPK untuk laporan keuangan daerah kabupaten Minahasa Tenggara tahun 2012 adalah disclaimer, sementara untuk tahun 2013 meningkat menjadi tidak wajar (adversed), satu tingkat lebih tinggi. Kabupaten Minahasa Tenggara telah mendapat opini disclaimer dalam lima tahun sejak 2008 sehingga hal ini merupakan sebuah kemajuan. Status tidak wajar berangkat dari kesalahan pencatatan administrasi. Kesalahan ini mencakuplah kesalahan di luar kendali entitas pada dua hal. Pertama, adanya potensi kerugian pada inspektorat dan sekretariat daerah yang tidak tertib sehingga menghasilkan potensi kerugian keuangan daerah sebesar Rp 532 juta akibat tidak sesuai dengan realisasi atau peruntukan. Hal ini mencakuplah Rp 436 juta yang diakui sebagai realisasi bank. Kedua, adanya indikasi tidak nyata pada belanja barang dan jasa sebesar sekitar Rp 2 Milyar. Indikasi ini mencakuplah belanja alat tulis kantor (Rp 875 juta), instalasi penerangan (Rp 396 juta), dan budget makan dan minum (Rp 910 juta). 5.3.2 Pemanfaatan IT Governance pada Kabupaten Minahasa Tenggara dari Framework COBIT Hasil keseluruhan evaluasi kerangka CobiT untuk IT Governance ditunjukkan pada tabel 5.23 berikut.
8
Tabel 5.23 Evaluasi Keseluruhan IT Governance Aspek PO 1 Define Strategic IT Plan PO2 Define the Information Architecture PO3 Determine Technological direction PO4 Define the IT process, Organisation and Relationship PO5 Manage the IT Investment PO6 Communicate Management Aims and Directions PO7 Manage IT human resource PO8 Manage Quality Mean
Average 2,22 2,57 1,88 2,32 2,12 1,79 2,37 2,13 2,17
SD 5,87 8,15 6,26 6,58 6,28 6,70 6,89 8,57 6,91
Sumber: Analisis Data Tabel 5.23 menunjukkan bahwa pengelolaan IT Governance di SKPD Kabupaten Minahasa Tenggara secara umum memiliki skor rata-rata 2,17 yang bermakna masih belum terstandar, walaupun telah memiliki prosedur. Nilai ini sejalan dengan level repeatable but intuitive dalam model kedewasaan perencanaan strategis TI (Van Grembergen, De Haes, dan Guldentops, 2004:16). Dalam situasi ini, memang ada proses yang sama dalam pengelolaan TI di lembaga-lembaga SKPD, tetapi ini bukan berdasarkan suatu standar, tetapi berdasarkan pada kepakaran masing-masing pengelola TI (Butler, 2001:5). Hal ini disebabkan tidak adanya pelatihan formal atau prosedur yang terstandar sehingga tanggungjawab TI terletak pada individual pengelola TI (Solar et al, 2009:5). Walau begitu, proses-proses TI memang telah dikenal dan disiapkan untuk perbaikan ke depannya hingga mencapai level yang lebih baik dan terstandar (de Haes dan van Grembergen, 2004:5). Jika pemerintah menginginkan, sejalan dengan tuntutan perkembangan kebutuhan TI dalam pemerintahan, maka dalam beberapa tahun ke depan, TI di SKPD-SKPD di Kabupaten Minahasa Tenggara dapat berada pada tahap defined process. Hal lain yang teramati pada evaluasi keseluruhan perencanaan TI adalah aspek yang paling dewasa adalah arsitektur informasi (mean 2,57), diikuti dengan manajemen SDM TI (mean 2,37), dan proses, organisasi, dan hubungan TI (mean 2,32). Aspek yang paling belum dewasa adalah komunikasi tujuan dan arah manajemen (mean 1,79), arah teknologi (mean 1,88), dan manajemen investasi TI (mean 2,12), serta manajemen mutu (mean 2,13). Empat elemen ini merupakan sasaran perbaikan yang dapat diambil oleh pemerintah. Dilihat secara individual, perencanaan TI secara keseluruhan yang terburuk ada pada Sekretariat DPRD dengan skor total hanya 97, Dinas ESDM dengan skor total 101, dan Dinas PU dengan skor total 109. Sementara itu, perencanaan TI terbaik ada pada BPPKAD (170), Inspektorat (161), dan Sekda (160). Jika dilihat berdasarkan rata-rata, maka hanya DPPKAD yang memiliki prosedur standar karena hanya SKPD ini yang memiliki rata-rata lebih dari 3,00. Dua SKPD terendah memiliki rata-rata yang menyatakan bahwa proses ada tetapi tanpa prosedur, sementara sisanya memiliki prosedur tidak standar. DPPKAD (Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) tampak sebagai satusatunya SKPD dengan TI yang cukup memuaskan. Hal yang mendekati ada pada Inspektorat Daerah dan Sekretaris Daerah. Ketiga badan dapat mewakili masalah keuangan, pengawasan, dan pengelolaan daerah sehingga dengan baik dapat mengelola dalam jumlah besar dalam mendukung fungsi mereka masing-masing. Berdasarkan data ini, dapat dilihat bahwa TI paling membantu bagi pemerintah daerah Minahasa Tenggara dalam penyelenggaraan akuntansi keuangan daerah dalam penerapan akuntansi pembiayaan, peninjauan laporan keuangan Pemda pada tahap perencanaan maupun pelaporan, dan penyediaan barang dan jasa. Sementara itu, TI masih belum efektif dalam menjalankan tugas dalam membantu review oleh wakil rakyat, memberikan masukan dari sektor ESDM dan sektor Pekerjaan Umum.
9
6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Tujuan penelitian ini adalah mengalamatkan dua isu kunci: bagaimana pelaksanaan sistem pengendalian intern dalam menghasilkan keandalan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dinilai dari kerangka kerja CobiT pada Kabupaten Minahasa Tenggara dan Bagaimana pemanfaatan IT Governance terhadap kehandalan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dinilai dari kerangka kerja yang sama. Jawaban atas permasalahan ini adalah sebagai berikut: 1. Secara keseluruhan, sistem pengendalian intern memiliki nilai rata-rata 68% yang berarti telah baik. Komponen yang paling baik adalah komponen informasi dan komunikasi (rata-rata 98%) dan komponen lingkungan pengendalian (rata-rata 81%). Komponen yang paling buruk adalah komponen aktivitas pengendalian (rata-rata 31%) dan komponen pemantauan (rata-rata 59%). Sistem Pengendalian Intern yang membantu Keandalan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah diperlukan perbaikan dari segi aktivitas pengendalian dan pemantauan. Dengan menindaklanjuti temuan pemeriksaan dari BPK RI dan Inspektorat Daerah. 2. Secara keseluruhan, pengelolaan IT Governance di SKPD Kabupaten Minahasa Tenggara memiliki skor rata-rata 2,17 yang bermakna masih belum terstandar, walaupun telah memiliki prosedur. Aspek yang paling dewasa adalah arsitektur informasi (mean 2,57), diikuti dengan manajemen SDM TI (mean 2,37), dan proses, organisasi, dan hubungan TI (mean 2,32). Aspek yang paling belum dewasa adalah komunikasi tujuan dan arah manajemen (mean 1,79), arah teknologi (mean 1,88), dan manajemen investasi TI (mean 2,12), serta manajemen mutu (mean 2,13). Empat elemen ini merupakan sasaran perbaikan yang dapat diambil oleh pemerintah. Penyesuaian dengan menambahkan bobot kepentingan aspek meningkatkan skor rata-rata menjadi 2,21 tetapi masih ditafsirkan sama karena tidak terlalu jauh berbeda. Dari penyesuaian dengan bobot ini, ditemukan kalau dua aspek yang paling urgen untuk diperbaiki adalah komunikasi tujuan dan arah manajemen dan manajemen mutu. Analisis dengan pendekatan manajerial menghasilkan kesimpulan bahwa langkah yang paling efektif dan efisien untuk meningkatkan pengelolaan IT Governance di SKPD Minahasa Tenggara adalah optimisasi biaya. 6.2 Saran 6.2.1 Saran untuk Pemerintah Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara Saran untuk pemda Kabupaten Minahasa Tenggara berdasarkan hasil penelitian ini antara lain: 1. Walaupun aspek rencana strategis TI dipandang sebagai aspek yang paling lemah dari pengelolaan TI di lembaga publik karena orientasi pada keseragaman dengan strategi nasional, pemerintah daerah perlu melakukan sejumlah penyesuaian. Hal ini misalnya disebabkan oleh SKPD dibentuk berdasarkan kewenangan daerah, bukan nasional. Akibatnya terdapat banyak variasi SKPD yang ada di berbagai daerah dengan berbagai kebutuhannya sendiri-sendiri. Kebutuhan yang berbeda memerlukan pula rencana strategis TI yang berbeda. Untuk itu, pemerintah Minahasa Tenggara perlu melakukan tinjauan kembali terhadap pengelolaan TI dan melakukan perbaikan untuk menyusun rencana strategis TI di SKPD-SKPD. 2. Proses, organisasi, dan hubungan TI adalah aspek yang paling kompleks dalam rencana strategis TI. Kinerja aspek ini pada SKPD-SKPD di Minahasa Tenggara sangat beranekaragam yang pada umumnya telah berjalan tetapi tidak terstandar. Pemerintah daerah harus segera membangun standar agar terdapat peningkatan pada dimensi perencanaan TI ini. 3. Hasil evaluasi ini menemukan hanya DPPKAD yang memiliki predikat cukup memuaskan dilihat dari skor perencanaan TI. Karenanya, DPPKAD harus dijadikan contoh sukses terhadap perencanaan TI di kawasan Minahasa Tenggara sehingga dapat ditiru oleh SKPD-SKPD lainnya. 4. Setiap SKPD harus memiliki komite yang memastikan kelincahan organisasi dalam hubungannya dengan penyedia TI dan stakeholder lainnya. Komite ini selain mampu
10 membangun jembatan antara SKPD dan masyarakat dalam penggunaan TI, juga dapat digunakan untuk mengatur program pengembangan SDM dalam hal TI di setiap SKPD. 6.2.2 Saran untuk Penelitian Selanjutnya Saran untuk penelitian selanjutnya antara lain: 1. Penelitian ini menggunakan Metode deskriptif dengan analisis framework CobiT dengan kuesioner yang berhubungan instrumen CobiT yaitu Plan and Organize. Untuk penelitian selanjutnya disarankan mencoba ke tahap lainnya seperti Acquire and Implement, Deliver and Support, Monitor and Evaluate, Information Criteria, dan IT Resources. 2. Penelitian ini hanya mendeteksi keadaan di SKPD-SKPD yang ada. Penelitian selanjutnya dapat mengeksplorasi setiap SKPD dalam bentuk studi kasus, khususnya pada DPPKAD sebagai kasus sukses dan SKPD-SKPD lain yang sedang dan gagal. 3. Terakhir, penelitian selanjutnya dapat meneliti sampel dalam jumlah yang lebih besar sehingga memperoleh gambaran untuk Sulawesi Utara secara keseluruhan. DAFTAR PUSTAKA Azhar. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Penerapan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pada Pemerintah Kota Banda Aceh. Tesis. Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Badan Pemeriksa Keuangan RI. 2006. Konsep Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. ------------------, 2008 Laporan Hasil Pemeriksaan Kab. Minahasa Tenggara Tahun Anggaran 2008 BPK RI ------------------, 2012 Laporan Hasil Pemeriksaan Kab. Minahasa Tenggara Tahun Anggaran 2011 BPK RI Butler, R.J. 2001. Applying the CobiT® Control Framework to Spreadsheet Developments. Controlling the Subversive Spreadsheet – Risks, Audit and Development Methods Proceedings of EuSpRIG 2001 Conference Darise, Nurlan. 2008. Akuntansi Keuangan Daerah (Akuntansi Sektor Publik). Jakarta : PT Indeks Darise, Nurlan. 2009. Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta : PT Indeks Diskominfo Jawa Timur. 2014. Ubaya Lakukan Studi Ekskursi ke Kominfo Jatim. http://kominfo.jatimprov.go.id/watch/40472 Herminingsih. 2009. Pengaruh Partisipasi dalam Penganggaran dan Peran Manajerial Pengelola Keuangan Daerah terhadap Kinerja Pemerintah Daerah. Tesis S2 Program Pasca Sarjana Magister Akuntansi, Universitas Diponegoro Semarang. Hill, P., Turbitt, K. 2006. Combine ITIL and COBIT to MeetBusiness Challenges. BMC software best Practice White Paper Nasution, Anwar 2008 .Perbaikan Pengelolaan Keuangan dalam Era Reformasi http://www.slideshare.net/banglarangan/dialog-publikmanado diakses 1 Mei 2014 Oktari, Ranti, 2011. Pengaruh Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Pengendalian Intern Terhadap Kinerja Instansi Pemerintah Daerah, Skripsi. Universitas Riau. Panko, R.R. 2006. Spreadsheets and Sarbanes–Oxley: Regulations, Risks, and Control Frameworks. Communications of the AIS, Vol. 17, Article 29 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. ------------------, 2004. Penjelasan Undang-Undang Perbendaharaan Negara nomor 1 tahun 2004 Republik Indonesia. ------------------, 2005 Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 56 Republik Indonesia: Sistem Informasi Keuangan Daerah ------------------, 2008 Penjelasan Umum PP No 60 Republik Indonesia: Sistem Pengendalian Intern Pemerintah ------------------, 2008 Peraturan Pemerintah No 60 Republik Indonesia: Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Simonsson, M., Johnson, P. 2006. Assessment of IT Governance - A Prioritization of Cobit. KTH, Royal Institute of Technology
11 Slaughter, S.A., Ang, S., Boh, W.F. 2007. Firm Spesific Human Capital and Compensation Organizational Tenure Profile: an Archival Analysis of Salary Data for IT Professionals. Human Resource Management, 46(3):373-394 Solar, M., Astudillo, H., Valdes, G., Iribarren, M., Concha, G. 2009. Identifying Weaknesses for Chilean eGovernment Implementation in Public Agencies with Maturity Model. Universidad Técnica Federico Santa María Spremic, M. 2009. IT Governance Mechanisms in Managing IT Business Value. WSEAS Transactions on Information Science and Applications, 6(6):906-915 Tuttle, B., Vandervelde, S.D. 2007. An empirical examination of CobiT as an internal control framework for information technology. International Journal of Accounting Information Systems 8 (2007) 240–263 Van Grembergen, W., de Haes, S., Amelinckx, I. 2003. Using COBIT and the Balanced Scorecard as Instruments for Service Level Management. Information Systems Control Journal, 4 Valdes, G., Solar, M., Astudillo, H., Iribarren, M., Concha, G., Visconti, M. 2011. Conception, development and implementation of an e-Government maturity model in public agencies. Government Information Quarterly 28 (2011) 176–187
12
PELAKSANAAN PEMERIKSAAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH OLEH ANGGOTA TIM YUNIOR PADA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERWAKILAN PROVINSI SULAWESI UTARA Rizal Y. Budiman Jullie J. Sondakh Winston Pontoh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Magister Akuntansi Universitas Sam Ratulangi Manado
Email:
[email protected] ABSTRACT This study used a qualitative ethnographic method aimed to analyze the condition of the local government's financial statements examination by the examiner to the role of the Youth Team Member Audit Board and the things behind the condition. Data collected by means of interviews and observations at the time of examination of LKPD Talaud Islands and South Minahasa District for Fiscal Year 2013. The results showed that in the field of education and training of qualified inspectors have determined. In the examination of the planning process is not all examiners were involved in the preparation of the examination program while in the process of implementation of the inspection there are weaknesses such as inspection measures that can not be solved completely, different abilities to each examiner, and the preparation of paper checks that have not been fully resolved in the field . Furthermore, in the reporting process examiner had stints exceeding portion Youth Team Member. Keywords: Examination, LKPD, Youth Team Member, Audit Board. 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Laporan keuangan pemerintah daerah merupakan gambaran atas kondisi keuangan maupun tolok ukur informasi dari sebuah pemerintah daerah. Laporan keuangan tersebut dapat menjadi indikator mengenai sehat atau tidaknya kondisi keuangan suatu pemerintah daerah. Laporan keuangan adalah sebuah bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada masyarakat atas pelaksanaan amanat pengelolaan keuangan daerah yang diberikan oleh masyarakat. Semakin tingginya tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel dan transparan harus disikapi secara serius, dimana laporan keuangan pemerintah daerah termasuk dalam salah satu obyek akuntabilitas dan transparansi yang dituntut oleh masyarakat. Segenap jajaran pemerintah daerah harus memiliki komitmen agar good government dan clean government dapat tercapai. Untuk mengawal tercapainya good government dan clean government, maka perlu dilakukan pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Diantara ketiga jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan BPK, pemeriksaan laporan keuangan merupakan pemeriksaan yang bersifat mandatory, sehingga harus dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya di setiap pemerintah daerah. Karena sifatnya yang menelurkan opini, maka pemeriksaan atas LKPD mendapatkan perhatian yang lebih besar dari pihak pemerintah daerah, kalangan media maupun masyarakat daripada jenis pemeriksaan lainnya. Bagi pemerintah daerah, opini yang diterbitkan BPK merupakan rapor atas kinerja yang mereka lakukan selama satu tahun anggaran. Oleh karena hal tersebut, maka pemeriksaan atas LKPD yang dipilih sebagai obyek pemeriksaan ini, bukan pemeriksaan Kinerja maupun PDTT.
13
Karena beratnya beban BPK dalam melakukan melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, maka diperlukan pemeriksa yang memiliki kapabilitas mumpuni. Untuk menjadikan pemeriksa memiliki kapabilitas yang mumpuni, maka diterbitkanlah Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Standar Pemeriksaan Keuangan Negara adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dan dinyatakan dalam bentuk Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP). Anggota Tim Yunior, sebagai pemeriksa di level beginner tentunya memiliki tantangan tersendiri karena harus memenuhi standar umum tersebut sedangkan dari sisi pengalaman & skill pemeriksaan yang dimiliki masih belum sebaik pemeriksa yang memiliki peran diatasnya. Oleh karena itu, Anggota Tim Yunior dipilih menjadi obyek pemeriksaan ini karena memiliki tantangan tersendiri dalam hal pengalaman dan skill pemeriksaan. Fenomena tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul : "Pelaksanaan Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah oleh Anggota Tim Yunior pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Sulawesi Utara". 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka menarik untuk dikaji mengenai bagaimana pelaksanaan pemeriksaan laporan keuangan pemerintah daerah oleh pemeriksa dengan peran Anggota Tim Yunior. Kajian ini juga mencakup hal-hal yang melatarbelakangi timbulnya kondisi tersebut yaitu kemahiran profesional, independensi, dan skeptisme profesional. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa pelaksanaan pemeriksaan laporan keuangan pemerintah daerah oleh pemeriksa dengan peran Anggota Tim Yunior serta hal-hal yang melatarbelakangi kondisi tersebut yaitu kemahiran profesional, independensi, dan skeptisme profesional. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang membutuhkan khususnya bagi BPK RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Utara. 2. Bagi Magister Akuntansi Universitas Sam Ratulangi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan tambahan referensi untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya. 2. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Audit Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2010 mendefinisikan pemeriksaan sebagai proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 disebutkan bahwa BPK melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan tersebut dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan. Dalam Keputusan Sekretaris Jenderal BPK RI Nomor 292/K/X-XIII.2/6/2011 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pemeriksa, tugas dari Anggota Tim Yunior (ATY) dalam pemeriksaan adalah sebagai berikut : 1. Perencanaan a. Melaksanakan administrasi penyusunan Program Pemeriksaan (P2). b. Menyusun Program Kerja Perorangan (PKP) untuk pelaksanaan tugas-tugas dengan kompleksitas rendah dalam pemeriksaan pendahuluan.
14
c.
Melaksanakan tugas-tugas dengan kompleksitas rendah dalam pemeriksaan pendahuluan. d. Menyusun Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) untuk pelaksanaan tugas-tugas dengan kompleksitas rendah dalam pemeriksaan pendahuluan. e. Melakukan reviu atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terdahulu. 2. Pelaksanaan. Melaksanakan tugas-tugas dengan kompleksitas rendah dalam pelaksanaan pemeriksaan. Tugastugas yang dilaksanakan tersebut pada setiap penugasan dapat berbeda karena tergantung dari Program Pemeriksaan dan Program Kerja Perorangan yang dibuat oleh Tim berdasarkan tujuan pemeriksaan. Hal-hal yang umumnya dilaksanakan dalam pemeriksaan LKPD antara lain yaitu wawancara, reviu dokumen, dan pengamatan fisik, dimana dijelaskan lebih rinci pada Bab V mengenai Pelaksanaan Pemeriksaan. 3. Pelaporan a. Menyiapkan bahan penyusunan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS). b. Melaksanakan administrasi dalam penyusunan LHP. c. Menyiapkan bahan dan data untuk penyusunan LHP dalam pemeriksaan dengan kompleksitas rendah. 2.1.2. Pemeriksa Salah satu teori yang terkait dengan good governance adalah stewardship theory (Shaw dalam Anwar; 2013). Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Implikasi teori stewardship theory dalam penelitian ini yaitu steward (dalam hal ini adalah pemeriksa) akan bekerja sebaik-baiknya untuk kepentingan principal (masyarakat dan organisasi pemeriksa). Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pemeriksa dan Angka Kreditnya, Jabatan Fungsional Pemeriksa (JFP) merupakan jabatan karier yang hanya dapat diduduki oleh seseorang yang telah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jabatan Fungsional Pemeriksa berkedudukan sebagai pelaksana teknis di bidang pemeriksaan di lingkungan BPK. Dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pemeriksa pada Badan Pemeriksa Keuangan, diterangkan bahwa Anggota Tim Yunior adalah peran yang dimiliki pemeriksa dengan tanggung jawab melaksanakan pemeriksaan dengan kompleksitas rendah dan disandang oleh Pemeriksa Pertama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keahlian adalah kemahiran dalam suatu ilmu (pekerjaan). Keahlian atau kompetensi auditor adalah kemahiran yang dimiliki auditor yang ditunjukkan melalui pengalaman melakukan audit. Ida Suraida dalam Hudiwinarsih (2010:254) menyatakan bahwa "competence is professional expertise possessed by the auditors as a result of formal education, professional examinations and participation in training, seminars, symposium. Experience is related to audits of financial statements in terms of duration and number of assignments handheld". Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa keahlian auditor adalah pengetahuan dan pengalaman memadai dalam bidang audit yang dimiliki oleh seorang auditor. Dalam Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, pemeriksa harus mematuhi standar umum yang salah satunya berkaitan dengan persyaratan kemampuan/keahlian pemeriksa. Persyaratan keahlian pemeriksa berkaitan dengan hal-hal berikut : 1. Pendidikan berkelanjutan. 2. Persyaratan kemampuan/keahlian pemeriksa. Wikipedia mengartikan independen dengan bebas, merdeka, atau berdiri sendiri. Gill dalam Rusmin (2010:04) menyatakan "independence has two faces: independence in fact and independence in appearance. Both independence in fact anda independence in appearance are complementary, they
15
cannot be completely separated from each other". Probabilitas auditor untuk melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi klien bergantung pada independensi auditor (Pamudji, 2009:151). Wilopo, Nurmala, dan Supriyati dalam Hudiwinarsih (2010:255) menyatakan "factors affecting the independence auditors such as family relationship with the client, financial ties and business relationship with clients, interfirm competition, provision of services othe than audit, long audits, major accountant's office, the amount of audit fee, anda giving or receiving the service". Menurut Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, pemeriksa harus mematuhi standar umum yang salah satunya adalah independensi. Menurut Pernyataan Nomor 01 tentang Standar Umum, dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya. Pemeriksa harus menghindar dari situasi yang menyebabkan pihak ketiga yang mengetahui fakta dan keadaan yang relevan menyimpulkan bahwa pemeriksa tidak dapat mempertahankan independensinya sehingga tidak mampu memberikan penilaian yang obyektif dan tidak memihak terhadap semua hal yang terkait dalam pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan. Menurut Bawono dan Singgih (2010:06), due professional care memiliki arti kemahiran profesional yang cermat dan seksama. Due profesional care menyangkut dua aspek, yaitu skeptisme profesional dan keyakinan yang memadai. Dalam Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, pemeriksa harus mematuhi standar umum yang salah satunya berkaitan dengan persyaratan kemahiran profesional. Kemahiran profesional menuntut pemeriksa untuk melaksanakan skeptisme profesional, yaitu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti pemeriksaan. Pemeriksa menggunakan pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dituntut oleh profesinya untuk melaksanakan pengumpulan bukti dan evaluasi obyektif mengenai kecukupan, kompetensi, dan relevansi bukti. Menerapkan kemahiran profesional secara cermat dan seksama memungkinkan pemeriksa untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa salah saji material atau ketidakakuratan yang signifikan dalam data akan terdeteksi. Keyakinan mutlak tidak dapat dicapai karena sifat bukti dan karakteristik penyimpangan. 2.2. Penelitian Terdahulu Sebagai acuan dari penelitian ini dapat disebutkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan antara lain yaitu : Dalam penelitian Alim (2007) yang berjudul pengaruh kompetensi dan independensi terhadap kualitas auditor dengan etika auditor sebagai variabel moderasi membuktikan bahwa kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas auditor. Di lain sisi, interaksi kompetensi dan etika auditor tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas auditor. Penelitian ini juga menemukan bukti empiris bahwa independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas auditor. Selanjutnya dalam penelitian Huntoyungo (2009) pada Inspektorat Provinsi Gorontalo tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas audit dimana hasil penelitiannya menggambarkan bahwa keahlian dan independensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas audit, sedangkan kecermatan dan keseksamaan tidak memiliki pengaruh signifikan. Kisnawati (2012) dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh kompetensi, independensi, dan etika terhadap kualitas audit pada auditor pemeritah di Inspektorat Kabupaten dan Kota se-Pulau Lombok menunjukkan bahwa secara simultan kompetensi, independensi, dan etika auditor berpengaruh terhadap kualitas audit serta secara parsial kompetensi dan independensi tidak berpengaruh terhadap kualitas audit, hanya etika auditor yang berpengaruh terhadap kualitas audit. 3. Kerangka Konseptual 3.1. Kerangka Konseptual Penelitian
16
Kerangka konseptual dirumuskan sebagai berikut: Gambar 1 Kerangka Konseptual Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Anggota Tim Yunior
Keahlian
Independensi
Perencanaan Pelaksanaan Sumber : Data Olahan (2014).
Skeptisme Profesional
Pelaporan
3.2. Model Analisis Metode yang diterapkan dalam penelitian ini yaitu kualitatif secara etnografi. Sofian (2013:25) menyebutkan bahwa etnografi adalah sebuah proses dan hasil dari sebuah penelitian. Dengan teknik "observatory participant", etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu. 4. Metode Penelitian 4.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Septiawan (2010:5), pendekatan kualitatif terutama layak untuk menelaah sikap atau perilaku dalam lingkungan yang agak artifisial, seperti dalam survei atau eksperimen. Kualitatif merupakan kajian berbagai studi dan kumpulan berbagai jenis materi empiris seperti studi kasus, pengalaman personal, pengakuan introspektif, kisah hidup, wawancara, dan pengamatan. Metode kualitatif yang diterapkan untuk menilai pelaksanaan fungsi pemeriksaan laporan keuangan pemerintah daerah oleh pemeriksa dengan peran Anggota Tim Yunior (ATY) menggunakan teknik etnografi. Spradley (2007:4) menyebutkan bahwa tujuan penelitian etnografi adalah sebagai berikut : 1. Memahami rumpun manusia. 2. Melayani manusia. Dalam kaitan dengan penelitian ini, peneliti adalah salah satu pemeriksa dengan peran ATY pada BPK RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Utara sehingga berhubungan secara langsung dengan pemeriksa dengan peran ATY lainnya sehingga bisa meneliti bagaimana unsur keahlian, independensi, dan skeptisme profesional berperan dalam melaksanakan pemeriksaan. Peneliti juga melakukan participant observation, dimana peneliti melakukan pengamatan terhadap kegiatan sehari-hari dari obyek kelompoknya, melakukan pengamatan dan mewawancarai anggota kelompok yang terlibat di dalamnya. 4.2. Responden Penelitian Dalam rangka memperoleh sejumlah informasi dan data yang berkaitan dengan penelitian ini, maka dibutuhkan dua responden yaitu dua responden pemeriksa ATY berlatar belakang ilmu akuntansi
17
(dalam penelitian ini akan disebut sebagai A1 dan A2) dan dua responden pemeriksa ATY berlatar belakang ilmu non-akuntansi (dalam penelitian ini akan disebut sebagai N1 dan N2). Pemilihan responden sebanyak 4 orang tersebut karena pemeriksaan LKPD atas sebuah pemerintah daerah hanya dilakukan satu kali dalam satu tahun oleh satu tim yang beranggotakan 4 orang yang berisi satu Ketua Tim dan tiga Anggota Tim. Pada tahun 2014 peneliti mendapatkan penugasan pemeriksaan atas LKPD sebanyak dua kali, pada Kabupaten Kepulauan Talaud dan Kabupaten Minahasa Selatan, dimana pada masing-masing tim tersebut terdapat satu ATY dengan latar belakang akuntansi dan satu ATY berlatar belakang non akuntansi sehingga peneliti bisa mendapatkan responden sebanyak empat orang sebagaimana tersebut diatas. Jumlah respoden tersebut merupakan jumlah maksimal yang bisa didapatkan dalam tim pemeriksa mengingat komposisi tim yang ada. 4.3. Instrumen Penelitian Penelitian etnografi menggunakan tiga cara pengumpulan data yaitu wawancara, observasi, dan dokumen (Emzir dalam Sofian, 2013:31). Etnografer mengeksplorasi key informant, yaitu individu yang dapat memberikan pandangan dan informasi yang berguna tentang kelompok dan dapat mengarahkan peneliti dalam mengumpulkan data dan informasi, yang dalam penelitian ini informasi berusaha dikumpulkan dari pemeriksa dengan peran ATY dengan latar belakang akuntansi dan nonakuntansi. 4.4. Obyek dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di Provinsi Sulawesi Utara dan yang menjadi unit analisis adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Utara. Penelitian berlangsung selama 6 (enam) bulan. 4.5. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam melaksanakan penelitian ini adalah : 1. Wawancara 2. Observasi 5. Analisis dan Pembahasan Hasil Penelitian 5.3.1. Standar Umum Pemeriksa Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa BPK telah membuat sistem yang cukup memadai untuk mengakomodir para pemeriksa agar memiliki kemampuan yang mumpuni. Dalam bidang pendidikan formal, seluruh responden telah memenuhi kualifikasi yaitu berlatar belakang pendidikan Strata Satu. Dalam hal pendidikan dan pelatihan, sebelum diangkat sebagai pemeriksa, pegawai BPK harus melalui proses sertifikasi pemeriksa. Seluruh responden telah lulus dan mendapatkan sertifikasi sebagai pemeriksa yaitu pada tahun 2009 dan 2011 sehingga telah memenuhi syarat untuk diangkat sebagai pemeriksa. Setelah diangkat sebagai pemeriksa, maka BPK memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi pemeriksa untuk mengembangkan diri dengan menyelenggarakan diklat secara rutin setiap bulannya di Pusdiklat dan 3 Balai Diklat. Selanjutnya, dalam hal independensi, selama menjadi pemeriksa seluruh responden tidak pernah mengalami gangguan independensi dalam pelaksanaan pemeriksaan karena seluruh responden tidak memiliki keterkaitan dengan entitas maupun hubungan kekerabatan di Provinsi Sulawesi Utara. Dalam penerapan skeptisme profesional, hanya responden A1, A2, dan N1 yang menggunakannya dalam pelaksanaan pemeriksaan, sedangkan responden N2 belum menerapkan skeptisme profesional dalam pelaksanaan pemeriksaan. 5.3.2. Perencanaan Pemeriksaan Dalam melaksanakan administrasi dalam penyusunan P2-Pendahuluan, responden A1 melakukan pengumpulan informasi dari media dan LHP sebelumnya mengenai permasalahan yang ada
18
pada auditee serta mengumpulkan data dari lama e-audit diantaranya dana transfer dari pemerintah pusat dan realisasi belanja, sedangkan responden A2 menyiapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemeriksaan. Responden N1 dan N2 tidak terlibat dalam proses administrasi dalam penyusunan P2-Pendahuluan. Dalam penyusunan Program Kerja Perorangan (PKP) semua responden membuat dan mendokumentasikannya. PKP tersebut dibuat berdasarkan langkah-langkah pada P2Pendahuluan dan pembagian tugas yang diberikan oleh Ketua Tim. Dalam pelaksanaan pemeriksaan pendahuluan, Responden A1,A2, N1, dan N2 melaksanakan pekerjaannya sesuai sasaran pemeriksaan yang telah diterjemahkan dalam langkah-langkah yang telah ditentukan dalam PKP, yaitu untuk mengidentifikasi dan memperoleh gambaran umum tentang proses bisnis di lingkungan pemerintah daerah dengan memahami bagaimana lingkup kerja entitas diatur, dikelola, dan dikendalikan. Pada saat melakukan pemeriksaan pendahuluan, responden A1, A2, N1, dan N2 juga membuat kertas kerja pemeriksaan (KKP) atas pemeriksaan pendahuluan. Selain itu, juga dilakukan reviu atas LHP terdahulu untuk melihat apakah permasalahan-permasalahan yang timbul pada tahun sebelumnya telah diselesaikan dan tidak muncul lagi di tahun berjalan. Dari proses perencanaan tersebut, diketahui bahwa belum seluruh responden terlibat dalam proses penyusunan P2, dimana seharusnya seluruh anggota tim berperan dalam proses tersebut. Anggota tim harus berperan dalam tiap tahapan perencanaan yang telah ditentukan agar memahami dengan baik program pemeriksaan yang akan dijalankan pada saat pelaksanaan pemeriksaan. 5.3.3. Pelaksanaan Pemeriksaan Dalam proses pelaksanaan pemeriksaan baik responden A1, A2, N1, maupun N2 tidak selalu dapat menyelesaikan seluruh langkah pemeriksaan karena keterbatasan waktu. Dalam pelaksanaan pemeriksaan terinci tersebut, responden A1, A2, N1, dan N2 memiliki perbedaan kemampuan dalam menangani akun-akun yang ditugaskan Ketua Tim karena faktor pengalaman maupun latar belakang pendidikan. Pada saat pelaksanaan pemeriksaan terinci, pemeriksa juga diharuskan membuat Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) sebagai dokumentasi hasil pemeriksaan. Responden A1, A2, N1, dan N2 pada saat pemeriksaan lapangan memang telah membuat KKP namun belum sempurna. Proses penyempurnaan KKP baru dilaksanakan setelah selesainya pemeriksaan lapangan. Hal tersebut terjadi karena terbatasnya waktu pemeriksaan sehingga lebih berkonsentrasi pada menjalankan langkahlangkah pemeriksaan. Pelaksanaan pemeriksaan LKPD tidak dapat dilepaskan dari ilmu akuntansi karena sangat berkaitan erat dengan laporan keuangan. Responden A1 merasa bahwa latar belakangnya di bidang akuntansi sangat membantu dalam melakukan pemeriksaan, begitu pula dengan responden A2. Sementara itu responden N1 dan N2 meskipun berlatar belakang non-akuntansi namun tidak mengalami masalah yang berarti dengan proses pemeriksaan karena dalam pembagian penugasan tidak pernah mendapatkan akun yang sangat berkaitan erat dengan ilmu akuntansi seperti misalnya kas daerah maupun memperoleh penugasan untuk melakukan penyusunan laporan keuangan.Dalam pemeriksaan LKPD di kabupaten/kota, komposisi tim terdiri atas 1 KT dan 3 AT dengan jangka waktu pemeriksaan pendahuluan selama 30 hari dan pemeriksaan terinci selama 40 hari. Responden A1, A2, dan N1 merasakan bahwa hal tersebut masih kurang karena tiap entitas memiliki masalah dan kompleksitas yang berbeda, sedangkan responden N2 menyatakan bahwa komposisi tim dan jangka waktu pemeriksaan telah mencukupi. Dari proses pelaksanaan tersebut, diketahui bahwa masih terdapat kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan pemeriksaan, yaitu yang pertama adalah komposisi tim dan jangka waktu pemeriksaan yang belum disesuaikan dengan besarnya anggaran dan kompleksitas permasalahan yang berbeda di tiap entitas. Kedua, langkah pemeriksaan belum seluruhnya dapat diselesaikan pada saat pelaksanaan pemeriksaan sehingga membebani pemeriksa untuk mengerjakannya padaa saat pelaksanaan pemeriksaan telah berakhir. Ketiga, penyusunan kertas kerja pemeriksaan belum dapat diselesaikan pada saat pelaksanaan pemeriksaan sehingga membebani pemeriksa untuk mengerjakannya padaa saat pelaksanaan pemeriksaan telah berakhir. Terakhir, meskipun sama-sama menyandang peran ATY namun diantara responden memiliki kemampuan yang berbeda dan terspesialisasi pada akun-akun
19
tertentu. Hal tersebut harus direduksi agar tiap ATY memiliki kemampuan yang merata pada tiap akun karena nantinya setiap ATY akan menjadi ketua tim pemeriksaan sehingga harus memiliki kemampuan yang lengkap dan memadai. 5.3.2. Pelaporan Pemeriksaan Meskipun tugas Anggota Tim seharusnya hanya menyiapkan bahan dan data serta administrasi, namun pada prakteknya responden A1, A2, dan N1 telah melaksanakan tugas yang seharusnya dilaksanakan oleh Ketua Tim, sementara responden N2 tidak terlibat dalam proses penyusunan laporan. Dalam proses pelaporan, responden A1 melakukan koreksi Konsep Hasil Pemeriksaan (KHP) yang telah dikoreksi oleh Pengendali Teknis (PT) dan Penanggung Jawab (PJ) serta melakukan pengujian ketepatan perhitungan. Responden A2 melakukan editing redaksional jika ada koreksi KHP. Sama dengan responden A1, responden N1 melakukan koreksi Konsep Hasil Pemeriksaan (KHP) yang telah dikoreksi oleh Pengendali Teknis (PT) dan Penanggung Jawab (PJ) serta melakukan pengujian ketepatan perhitungan. Dari proses pelaporan tersebut, diketahui bahwa belum seluruh responden terlibat dalam proses penyusunan LHP, dimana seharusnya seluruh anggota tim berperan dalam proses tersebut. Anggota tim harus berperan dalam tiap tahapan pelaporan yang telah ditentukan agar memahami dengan baik proses penyusunan LHP. Mengingat begitu vital peran yang diemban BPK dalam melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara/daerah, maka profesionalisme pemeriksa dalam menjalankan tugas menjadi satu hal yang penting. Berkaitan dengan stewardship theory, dimana steward (dalam hal ini adalah pemeriksa) akan bekerja sebaik-baiknya untuk kepentingan principal (masyarakat dan organisasi pemeriksa), Sementara itu, meskipun telah memiliki sistem yang cukup baik, namun masih terdapat kelemahan diantaranya dalam menentukan komposisi tim dan jangka waktu pemeriksaan dimana belum sepenuhnya mempertimbangkan resiko pemeriksaan dan besarnya anggaran yang diperiksa. 6. Simpulan dan Saran 6.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti menyimpulkan hal-hal sebagai berikut : a. Dalam hal standar umum pemeriksa, responden telah memenuhi kualifikasi sebagai pemeriksa BPK karena berlatar belakang pendidikan Strata Satu (S1), telah memiliki sertifikasi pemeriksa sehingga memiliki dasar untuk melaksanakan pemeriksaan dan BPK telah mengakomodir kebutuhan pendidikan dan pelatihan (diklat) pegawainya dengan cukup baik sehingga setiap responden dapat memenuhi standar minimal jam diklat yang disyaratkan, bahkan melebihi standar tersebut. Faktor independensi belum dapat teruji sepenuhnya karena sebelum menjadi pegawai BPK para responden tidak memiliki keterkaitan dengan Provinsi Sulawesi Utara. Dalam hal penggunaan skeptisme profesional, belum seluruh responden menggunakan skeptisme profesionalnya dalam melaksanakan pemeriksaan. b. Dalam proses perencanaan pemeriksaan peran serta Anggota Tim belum merata dimana masih ada responden yang belum terlibat dalam proses perencanaan pemeriksaan. c. Dalam proses pelaksanaan pemeriksaan masih terdapat kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan pemeriksaan, yaitu yang pertama adalah komposisi tim dan jangka waktu pemeriksaan yang belum disesuaikan dengan besarnya anggaran dan kompleksitas permasalahan yang berbeda di tiap entitas. Kedua, langkah pemeriksaan belum seluruhnya dapat diselesaikan pada saat pelaksanaan pemeriksaan sehingga membebani pemeriksa untuk mengerjakannya padaa saat pelaksanaan pemeriksaan telah berakhir. Ketiga, penyusunan kertas kerja pemeriksaan belum dapat diselesaikan pada saat pelaksanaan pemeriksaan sehingga membebani pemeriksa untuk mengerjakannya padaa saat pelaksanaan pemeriksaan telah berakhir. Terakhir, meskipun samasama menyandang peran ATY namun diantara responden memiliki kemampuan yang berbeda dan terspesialisasi pada akun-akun tertentu.
20
d. Dalam proses pelaporan pemeriksaan peran serta Anggota Tim juga belum merata dimana masih ada responden yang belum terlibat dalam proses pelaporan pemeriksaan. 6.2. Saran Berdasarkan simpulan tersebut, maka peneliti menyarankan untuk : a. Menjaga kontinuitas pemeriksa dalam mengikuti diklat agar selalu memenuhi standar minimal yang disyaratkan. b. Memberikan pembagian tugas secara merata pada ATY saat proses perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan. c. Dalam penyusunan langkah P2 harus mempertimbangkan waktu pelaksanaan agar seluruh langkah pemeriksaan berikut kertas kerja pemeriksaan dapat diselesaikan pada saat pelaksanaan pemeriksaan di lapangan. d. Memberikan pelatihan dan pengalaman yang memadai kepada Anggota Tim agar dapat menguasai semua akun dengan sama baiknya, tidak hanya menguasai akun-akun tertentu. e. Mempertimbangkan faktor resiko dan besarnya anggaran dalam menyusun komposisi tim dan menentukan jangka waktu pemeriksaan. f. Menekankan penggunaan skeptisme profesional dalam melaksanakan pemeriksaan. Daftar Pustaka Alim,M. Nizarul, 2007, Pengaruh Kompetensi dan Independensi Terhadap Kualitas Auditor dengan Etika Auditor Sebagai Variabel Moderasi, Simposium Nasional Akuntansi X. Anwar, Azwar, 2013, Peran SPI Terhadap Pencapaian Opini WTP dan Pencegahan Korupsi Melalui Penerapan GUG (Analisis Studi Pustaka), Ikhtiyar Volume 11. Bawono, Icuk Rangga, dan Elisha Muliani Singgih, 2010, Faktor-Faktor Dalam Diri Auditor dan Kualitas Audit: Studi Pada KAP 'Big Four' di Indonesia, Simposium Nasional Akuntansi XIII. Hudiwinarsih, Gunasti, 2010, Auditors Experience, Competency, and Their Independency as The Influential Factors in Professionalism, Journal of Economics, Business, and Accountancy Ventura Volume 13 No.3. Huntoyungo, Siti Badriyah, 2009, Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kualitas Audit (Studi pada Inspektorat Gorontalo), Tesis. Keputusan Sekretaris Jenderal BPK RI Nomor 292/K/X-XIII.2/6/2011, Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pemeriksa, Jakarta. Kisnawati, Baiq, 2012, Pengaruh Kompetensi, Independensi, dan Etika Terhadap Kualitas Auditor (Studi Empiris pada Auditor Pemerintah di Inspektorat Kabupaten dan Kota se-Pulau Lombok, Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan Volume 8 Nomor 3. Pamudji, Sugeng, 2009, Pengaruh Kualitas Audit dan Auditor Baru Serta Pengalaman Bagian Akuntansi Terhadap Kepuasan dan Loyalitas Klien, Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia Volume 13 No.2. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2007, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, Jakarta. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2010, Jabatan Fungsional Pemeriksa dan Angka Kreditnya, Jakarta. Rusmin, 2010, Auditor Quality and Discretionary Accruals: Case of Australian Listed Companies, Jurnal Akuntansi & Auditing Indonesia Volume 14 No.1.
21
Septiawan, Santana K., 2010, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Kedua, Yayasan Obor Indonesia, Yogyakarta. Sofian, Siska, 2013, Persepsi Pengguna pada Penerapan Lelang Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Salah Satu Wujud Peningkatan Kualitas Good Governance di Kementerian Agama se-Sulawesi Utara, Tesis, Universitas Sam Ratulangi, Manado. Spradley, James P., 2007, Metode Etnografi, Edisi Kedua, Tiara Wacana, Yogyakarta. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Jakarta. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta. Utami, Intiyas, dan Ertambang Nahartyo, 2013, Auditors Personality in Increasing The Burnout, Journal of Economics, Business, and Accountancy Ventura Volume 16 No.1. www.bpk.go.id.
22
PROSEDUR PERHITUNGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS GAJI PEGAWAI PEMERINTAH KABUPATEN MINAHASA SELATAN Andre Mandak Jenny Morasa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Magister Akuntansi Universitas Sam Ratulangi Manado email:
[email protected] ABSTRACT Income tax (VAT) of article 21 is a tax on income in the form of salaries, wages, fees, allowances, and other similar remuneration derived by any individual taxpayer in respect of employment or office, services, and activities. The purpose of this study is to provide an explanation of the implementation of the calculation and deduction, income tax reporting section 21 and the amount of income tax revenue has been recapitulated by the Government of South Minahasa District. This study used a descriptive analysis method by comparing theory and rules perpajakn there with the data obtained. From the research, it was found the procedure of calculation and reporting of income tax article 21 in the South Minahasa District Government has been good. It can be seen from the calculation until the reporting mechanism has been carried out based on the rules that apply. The use of services and applications for the calculation of Income Tax Article 21 of the PT. TASPEN in connection with the cooperation with the Government of South Minahasa. Keywords: Income tax (VAT) of article 21 1. 1.1
PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatkan kesejahtraan rakyat merupakan tujuan utama dari pembangunan suatu daerah. Sumber dana yang mendukung merupakan salah satu masalah dalam pembiayaan suatu pembangunan. Pembangunan akan berjalan seiring dengan adanya sumber dana yang mendukung. Dalam anggaran pendapatan dan belanja negara sumber pendapatan terbanyak didapat dari sektor perpajakan meskipun terdapat banyak sektor lain seperti sektor minyak dan gas bumi, serta bantuan luar negeri. Ekstensifikasi perpajakan dilaksanakan dengan cara meningkatkan jumlah pajak dan objek pajak baru sedangkan intensifikasi perpajakan dilaksanakan dengan berorientasi pada peningkatan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak, seperti dengan cara penyuluhan langsung kepada masyarakat. Dengan banyaknya perusahaan baru dan ataupun perusahaan yang sudah lama serta instansi-instansi pemerintah diharapkan meningkatkan pemasukan dari pajak penghasilan yang digunakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional nantinya. Dari segi ekonomi, pajak merupakan perpindahan sumber daya dari sektor privat ke sektor publik. Withholding system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri sistem ini adalah wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain pemerintah (fiskus) dan wajib pajak. Potongan pajak penghasilan pasal 21 dilakukan terhadap orang pribadi wajib pajak dalam negeri. Pemotongan pajak dilakukan oleh pemberi penghasilan dan dalam melaksanakan penghitungan haruslah mengikuti undang-undang perpajakan dan segala peraturan pemerintah yang berlaku guna menjadi pedoman dalam melaksanan penghitungan pajak. Kabupaten Minahasa Selatan merupakan Kabupaten pemekaran baru di Provinsi Sulawesi Utara. Pada awalnya Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan hanya menggunakan SIMDA dalam proses penggajian dan perhitungan pajak penghasilan pasal 21. Pada saat ini dengan adanya kerjasama antara
23
PT. Taspen dan Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan perhitungan dan pemotongan pajak penghasilan pasal 21 telah menggunakan layanan aplikasi yang disediakan oleh PT. Taspen. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk menulis mengenai bagaimana suatu instansi pemerintah dalam menentukan besarnya pajak penghasilan pegawai dan pelaporan serta penyetorannya oleh pemerintah dengan judul “analisis prosedur perhitungan dan pelaporan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 atas gaji pegawai pada pemerintah kabupaten minahasa selatan”. 1.2
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan penjelasan tentang pelaksanaan penghitungan dan pemotongan, mengevaluasi prosedur pelaporan besarnya pemotongan pajak penghasilan pasal 21 atas gaji pegawai Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan. 2. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pajak Erly Suandy (2011:5) pajak merupakan pungutan berdasarkan undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk penyediaan barang dan jasa publik”. Sedangkan menurut Waluyo (2013:2), pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat perestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan. 2.2 Fungsi Pajak Waluyo (2013:6), ada dua fungsi pajak yaitu sebagai berikut. 1. Fungsi Penerimaan (budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaranpengeluaran pemerintah. Sebagai contoh: diamsukannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah. 2.3
Cara Pemungutan Pajak Cara pemungutan pajak menurut Waluyo (2013:16-17) adalah sebagai berikut. 1. Stelsel pajak, cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel, adalah sebagai berikut. a. Stelsel nyata (rill stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan rill diketahui) b. Stelsel anggapan (fictive stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang, sebagai contoh penghasilan satu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah yang dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Kelemahannya adalah pajak yang dibayarkan tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya. c. Stelsel campuran
24
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah kekurangannya. Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil, maka kelebihannya dapat diminta kembali. 2. Sistem pemungutan pajak, sistem ini dapat dibagi menjadi berikut ini. a. Sistem official assessment Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri official assessment adalah sebagai berikut. 1) Wewenang untuk menetukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus 2) Wajib pajak bersifat pasif 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. b. Sistem self assessment Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggungjawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. c. Sistem withholding Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. 2.4
Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak. Siti Resmi (2011:74), pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau yang diperolehnya. Pajak penghasilan (PPh) pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan. 2.5 Wajib Pajak dan Tidak Termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21 1. Wajib Pajak PPh Pasal 21 Siti Resmi (2011:168-169), penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan sebagai berikut. 1) Pegawai. 2) Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya. 3) Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain sebagai berikut. a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris. b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya. c. Olahragawan. d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator. e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah. f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sitem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan.
25
g. Agen iklan. h. Pengawas atau pengelolah proyek. i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara. j. Petugas penjaja barang dagangan. k. Petugas dinas luar asuransi. l. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya. 4) Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain sebagai berikut. a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan perlombaan lainnya. b. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja. c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu. d. Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang. e. Peserta kegiatan lainnya. 2. Tidak Termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21 Siti Resmi (2011:169), tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah sebagai berikut. 1) Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 2) Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf c undang-undang pajak penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. 2.6
Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 Berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2008, subjek pajak dikelompokan sebagai berikut. 1. Subjek pajak orang pribadi Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal di Indonesia ataupun di Luar Indonesia. 2. Subjek pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupapakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. 3. Subjek pajak badan Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koprasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif
26
4.
2.7
dan bentuk usaha tetap. Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari pemerintah, misalnya lembaga badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Dalam pengertian perkumpulan termasuk juga asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. Subjek pajak bentuk usaha tetap (BUT) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat berupa. 1) Tempat kedudukan manajemen 2) Cabang perusahaan 3) Kantor perwakilan 4) Gedung kantor 5) Pabrik 6) Bengkel 7) Gudang 8) Ruang untuk promosi dan penjualan 9) Pertambangan dan penggalian sumber alam 10) Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi 11) Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan 12) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan 13) Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan 14) Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas 15) Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia 16) Komputer, agen elektronik, peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 Adapun penerima penghasilan yang tidak dipotong pajak penghasilan pasal 21, yaitu sebagai berikut. 1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orangorang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, yaitu dengan syarat sebagai berikut. 1) bukan Warga Negara Indonesia 2) di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; 2. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan sepanjang bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia. 2.8 Objek dan Bukan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 Siti Resmi (2011:171), penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah sebagai berikut.
27
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur. 2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya. 3. Penghasilan sehubungan denganpemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara skaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, uang tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis. 4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan. 5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan. 6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama Adapun pengahsilan yang tidak dipotong pajak penghasilan pasal 21, yaitu sebagai berikut. 1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan,asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa. 2. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit) 3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja 4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah 5. Beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal/nonformal yang terstruktur baik di dalam negeri maupun luar negeri. 2.9 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Dalam UU No. 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan pasal 21 ayat 1 yaitu, Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh sebagai berikut. 1. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yangdilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai 2. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan 3. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun 4. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas 5. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. Dasar hukum bendahara sebagai pemotong pajak penghasilan (PPh) pasal 21 sebagai berikut. 1. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 tahun 2009. 2. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008.
28
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 tahun 1994 tentang pajak penghasilan bagi pejabat Negara, pegawai negeri sipil, anggota ABRI dan para pensiunan atas penghasilan yang dibebankan kepada keuangan Negara atau keuangan daerah. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 149 tahun 2000 tentang pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan, dan tunjangan hari tua. 5. Peraturan Menteri Keuangan nomor : 181/PMK.03/2007 tentang bentuk isi surat pemberitahuan, serta tata cara pengambilan, pengisian, penandatanganan, dan penyampaian surat pemberitahuan. 6. Peraturan Menteri Keuangan nomor : 184/PMK.03/2007 tentang penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak, penentuan tempat pembayaran pajak, dan tata cara pembayaran, penyetoran, pelaporan pajak, serta tata cara pengansuran dan penundaan pembayaran pajak. 7. Peratuaran Menteri Keuangan nomor : 186/PMK.03/2007 tentang wajib pajak tertentu yang dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi berupa denda karena tidak menyampaikan surat pemberitahuan dalam jangka waktu yang ditentukan. 8. Peraturan Menteri Keuangan nomor : 190/PMK.03/2007 tentang tata cara pengambilan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. 9. Peraturan Menteri Keuangan nomor : 246/PMK.03/2008 tentang bea siswa yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan. 10. Peraturan Menteri Keuangan nomor : 250/PMK.03/2008 tentang besarnya biaya jabatan atau biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pegawai tetap atau pensiunan. 11. Peraturan Menteri Keuangan nomor : 252/PMK.03/2008 tentang petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi. 12. Peraturan Menteri Keuangan nomor : 254/PMK.03/2008 tentang penetapan bagian penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari pegawai harian dan mingguan serta pegawai tidak tetap lainnya yang tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan. 13. Peraturan Direktur Jendral Pajak No. PER-57/PJ/2009 tanggal 25 mei 2009 tentang pedoman teknis dan tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak penghasilan pasal 21 atau pajak penghasilan pasal 26 sehubungan dengan jasa dan kegiatan orang pribadi. 14. Peraturan Direktur Jendral Pajak No. PER-32/PJ/2009 tanggal 25 mei 2009 tentang bentuk formulir surat pemberitahuan masa pajak penghasilan pasal 21 dan/atau pasal 26 dan bukti pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan pasal 21 dan/atau pasal 26. 15. Peraturan Direktur Jendral Pajak No. PER-38/PJ/2009 tanggal 23 juni 2009 tentang bentuk formulir surat setoran pajak. 2.10 Tatacara Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Mulai bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu, tatacara penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan menjadi 6 macam, yaitu PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, PPh pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, PPh pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana
29
pensiun. Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu sebagai berikut. 1. Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan yang rutin dilakukan setiap bulan. 2. Penghitungan kembali yang dilakukan setiap masa pajak Desember (atau masa pajak dimana pegawai berhenti bekerja). 2.11 Sanksi Administrasi Dalam melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakan, wajib pajak seringkali dikenakan sanksi pajak yang bersifat administrasi maupun pidana. Ilyas dan Burton (2013:66-72) mengemukakan sanksi administrasi terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut. 1. Sanksi administrasi berupa denda Sanksi administrasi berupa denda tergolong sanksi yang masih dapat dipenuhi pelaksanaannya karena hanya mengenakan sanksi sejumlah uang kepada wajib pajak yang tidak patuh dalam melaksanakan administrasi perpajakan. 2. Sanksi administrasi berupa bunga Sanksi administrasi berupa bunga tergolong sebagai sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan sanksi denda, sanksi bunga diatur dalam berbagai terkait dengan persoalan kesalahan yang dilakukan wajib pajak. 3. Sanksi admistrasi berupa kenaikan Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan sanksi administrasi dengan memberikan sejumlah kenaikan pada besaran pajak yang harus dibayar. Jika dihitung sacara nominal, sanksi kenaikan merupakan sanksi administrasi yang paling berat dibandingkan dengan sanksi denda maupun sanksi bunga. 3. 3.1
METODE PENELITIAN Jenis Data dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yaitu penggambaran tentang objek penelitian dan kuantitatif yaitu berupa daftar pegawai, daftar mutasi gaji pegawai, perhitungan pajak penghasilan pasal 21 pada pegawai menurut pemerintah kabupaten Minahasa Selatan, dan rekapitulasi pemotongan pajak penghasilan pasal 21 oleh pemerintah kabupaten Minahasa Selatan. 3.2
Metode Pengumpulan Data Informasi dalam penelitian ini didapatkan melalui suatu proses pengumpulan data. Proses atau teknik pengumpulan data tersebut adalah penelitian lapangan (field research) atau mencari dan mengumpulkan data langsung dari objek penelitian dengan cara wawancara, dokumentasi, dan observasi. 3.3
Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif yaitu analisis dilakukan dengan cara membandingkan antara teori-teori yang telah ada dengan data-data yang didapat dari studi kasus.
3.4
Definisi Oprasional Dalam judul laporan akhir ini Analisis Prosedur Perhitungan dan Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Atas Gaji Pegawai pada Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan. Agar supaya tidak terjadi kesalahan dalam menginteprestasikan judul, maka sangat diperlukan penjelasan mengenai laporan akhir tersebut adalah sebagai berikut.
30
1. Analisis prosedur perhitungan pajak penghasilan pasal 21 atas gaji pegawai adalah proses kajian yang dilaksanakan terhadap serangkaian tindakan perhitungan pajak penghasilan pasal 21 atas gaji yang diperoleh pegawai yang seharusnya dijalankan. 2. Analisis prosedur pelaporan pajak penghasilan pasal 21 atas gaji pegawai adalah adalah proses kajian yang dilaksanakan terhadap serangkaian tindakan pelaporan pajak penghasilan pasal 21 atas gaji yang diperoleh pegawai yang seharusnya dijalankan. 3. Pajak penghasilan pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan. 4. 4.1
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Setelah menjabarkan uraian teoritis prosedur perhitungan dan pelaporan pajak penghasilan pasal 21 atas gaji pegawai juga mendeskripsikan mengenai Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan, maka hasil penelitian sebagai berikut. 4.1.1 Jumlah Pegawai Di dalam mendukung operasional organisasi, Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan telah memiliki pegawai negeri sipil yang menduduki berbagai posisi sesuai dengan kebutuhan operasional organsisasi. Saat ini jumlah pegawai negeri sipil yang telah ada adalah sebanyak 4.207 orang. 4.1.2 Sistem Penggajian Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan Mekanisme penggajian pada Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan adalah melaui pengajuan permintaan penerbitan daftar gaji dari setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) atau dari setiap kecamatan-kecamatan kepada Dinas Pengelola Keuangan, Pendapatan dan Aset Kabupaten Minahasa Selatan. Kemudian diterbitkan daftar gaji selanjutnya masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD) membuat surat perintah membayar (SPM) kepada Dinas Pengelola Keuangan, Pendapatan dan Aset Kabupaten Minahasa Selatan untuk diterbitkan surat perintah pencairan dana (SP2D) ke Bank Sulut sebagai rekening kas umum daerah (RKUD) dan kemudian disalurkan ke rekening Bank Sulut masing-masing pegawai negeri sipil. Dalam pelaksanaan mekanisme penggajian Dinas Pengelolah Keuangan, Pendapatan dan Aset Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan membuka pengajuan permintaan penerbitan daftar gaji 15 (lima belas) hari sebelum penerimaan gaji. Dalam proses perhitungan penggajian, pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan melakukan perhitungan secara sistematis dengan menggunakan layanan aplikasi perhitungan gaji pegawai negeri sipil. Layanan aplikasi perhitungan gaji pegawai negeri sipil disediakan oleh PT. Taspen sehubungan dengan adanya kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Minhasa Selatan dan PT. Taspen. Secara rutin per triwulan data gaji pegawai tersebut diupdate ke PT. Taspen. Dari hasil penelitian jumlah pembayaran gaji pegawai sampai dengan bulan November 2014 adalah Rp 196.350.314.167. 4.1.3 Mekanisme Perhitungan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Perhitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Penerimaan Gaji pokok Rp 2.570.200 Tunjangan Istri/Suami 10% Rp 257.020 Tunjangan Anak 2% Rp 51.404 Tunjangan Umum Rp 185.000 Tunjangan Beras 3 Jiwa Rp 209.280 Gaji Kotor Rp 3.272.904 Pengurangan Biaya 1 4,75% Rp 136.735 Biaya 2 5% Rp 163.645
31
Total Biaya Gaji bersih Gaji bersih setahun PTKP Pribadi Rp 24.300.000 Kawin Rp 2.025.000 Anak Rp 2.025.000 PTKP PKP
Rp 300.380 Rp 2.972.524 Rp 35.670.288
Rp 28.350.000 Rp 7.320.288
PPh Pasal 21 atas gaji setahun 5% Rp 366.014 PPh Pasal 21 atas gaji sebulan Rp 30.501 Sumber : Bidang Perbendaharaan Dinas Pengelolah Keuangan Pendapatan dan Aset Kabupaten Minahasa Selatan Contoh perhitungan pemotongan pajak penghasilan pasal 21 atas gaji pegawai golongan III B dan telah memiliki NPWP dengan satu orang istri dan satu orang anak. Biaya 1 (satu) merupakan iuran pensiun yang didapat dari gaji pokok ditambah tunjangan istri atau suami dan dijumlahkan dengan tunjangan anak kemudian dikalikan 4,75%. Biaya 2 (dua) merupakan biaya jabatan yang didapat dari gaji kotor dikalikan dengan 5%. 4.1.4 Mekanisme Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21 Mekanisme pemotongan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan dalam hal ini Dinas Pengelolah Keuangan, Pendapatan dan Aset dilakukan dengan menggunakan sistem atau layanan aplikasi dari PT. Taspen. Pemotongan dilakukan setelah terlebih dahulu melakukan penghitungan pajak penghasilan pasal 21 atas gaji pegawai. Secara otomatis langsung terpotong dalam sistem penggajian. Penyetoran pajak penghasilan (PPh) pasal 21, dilakukan secara kolektif. Pada penyetoran pajak penghasilan dilakukan setelah gaji pegawai negeri sipil seluruh satuan kerja perangkat daerah Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan telah terbayarkan. Dinas Pengelolah Keuangan, Pendapatan dan Aset merekap seluruh gaji dari setiap satuan kerja perangkat daerah yang sudah tercairkan untuk dilakukan penyetoran pajak. Penyetoran pajak dilakukan 3 (tiga) hari setelah pencairan gaji. Kemudian untuk proses penyetoran pajak penghasilan (PPh) pasal 21 disetor melalui sistem RTGS dari Bank Sulut sebagai bank daerah penyalur gaji pegawai ke bank persepsi yaitu PT. Bank Negara Indonesia (BNI) dan kemudian langsung di transfer ke Kas Negara. Apabila bendahara pemerintah terlambat menyetor dapat dikenakan sanksi administrasi. Untuk proses pelaporan pajak dibebankan kepada masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Dari proses penelitian, pemotongan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 dari Januari sampai dengan bulan November 2014 adalah sebanyak Rp 8.986.335.470. 4.2
Pembahasan Analisa yang dilakukan untuk mekanisme penyetoran dan pelaporan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebagai berikut. 1. Prosedur perhitungan pajak sudah dilakukan menggunakan sistem yang akan secara otomatis terpotong. Sistem ini ada dalam layanan aplikasi perhitungan gaji pegawai negeri sipil yang disediakan oleh PT. Taspen sehubungan dengan adanya kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Minhasa Selatan dan PT. Taspen. Secara rutin per triwulan data gaji pegawai tersebut diupdate ke PT. Taspen. 2. Proses penyetoran pajak penghasilan (PPh) pasal 21 disetor melalui bank persepsi yaitu PT. Bank Negara Indonesi (BNI) yang kemudian langsung di transfer ke kas negara. Penyetoran pajak dilakukan 3 (tiga) hari setelah pencairan seluruh gaji pegawai negeri sipil
32
Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan. Bendahara yang terlambat menyetor dapat dikenakan sanksi administrasi. 3. Untuk proses pelaporan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 di bebankan ke masing-masing SKPD untuk dilakukan pelaporan. Berdasarkan proses pemotongan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 atas gaji pegawai Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan, telah berjalan sesuai prosedur dan peraturan-peraturan yang berlaku. Pemotongan pajak penghasilan pasal 21 yang menggunakan sistem sudah efektif dan efisien serta. Proses penghitungan dan penyetoran dilakukan setiap bulan yang kemudian di setorkan ke bank persepsi untuk di setorkan ke kas negara. 5. 5.1
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan mengenai prosedur perhitungan dan pelaporan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 atas gaji pegawai, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Proses perhitungan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan atas gaji bulanan pegawai telah dilakukan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan telah melakukan kewajiban untuk menghitung dan memotong pajak penghasilan pasal 21 setiap bulan dengan baik. Dengan menggunakan sistem layanan aplikasi dari PT. Taspen sangat membantu dalam proses penghitungan dan pemotongan PPh pasal 21. 2. Dalam melakukan kewajiban penyetoran setiap bulannya, Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan menyetorkan pajak penghasilan pasal 21 yang telah dipotong dari gaji pegawai 3 (tiga) hari setelah pencairan gaji pada seluruh satuan kerja perangkat daerah Kabupaten Minahasa Selatan. Jika Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan tidak melakukan penyetoran setiap bulan dapat dikenakan sanksi administrasi. 3. Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan juga wajib melaporkan penyetoran pajak penghasilan pasal 21 yang telah dilakukan. Pelaporan pajak ini dibebanka kepada masing-masing satuan kerja perangkat daerah. 5.2
Saran Prosedur perhitungan dan pelaporan pajak penghasilan pasal 21 atas gaji pegawai pada Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan pada dasarnya telah dilakukan dengan cukup baik. Namun dalam pelaksanan perhitungan gaji pegawai didapati beberapa beberapa kendala yang dapat berpengaruh pada waktu dalam proses perhitungan dan penyetoran pajak penghasilan pasal 21. Oleh karena itu, penulis memberikan saran berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan. 1. Dilihat dari proses penghitungan dan pemotongan pajak penghasilan pasal 21 yang menggunakan layanan aplikasi yang disediakan PT. Taspen, maka Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan harus secara rutin melakukan koordinasi bersama dalam hal update data pegawai dan upgrade aplikasi apabila adanya pembaharuan yang berkaitan dengan penggunaan aplikasi tersebut. 2. Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan harus lebih teliti lagi dalam penyetoran dan pelaporan pajak penghasilan pasal 21 sehingga akan memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan dan terhindar dari sanksi administratif, karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk pemborosan. 3. Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan juga harus lebih memperdalam mengenai pajak penghasilan pasal 21 dan lebih update mengenai peraturan-peraturan atau ketentuanketentuan perpajakan yang berlaku, mengingat peraturan perpajakan yang selalu mengalami perubahan.
33
DAFTAR PUSTAKA Wirawan, B. Ilyas. dan Richard Burton. 2013. Hukum Pajak, Teori Analisis, dan Perkembangannya, Edisi Enam. Salemba Empat, Jakarta. Waluyo. 2010. Perpajakan Indonesia, Buku Satu, Edisi Sembilan. Salemba Empat, Jakarta. Waluyo. 2011. Perpajakan Indonesia, Buku Satu, Edisi Sepuluh. Salemba Empat, Jakarta. Waluyo. 2013. Perpajakan Indonesia, Buku Satu, Edisi Sebelas. Salemba Empat, Jakarta Siti Resmi, 2011. Perpajakan Teori Dan Kasus, Edisi Enam, Buku Satu. Salemba Empat, Jakarta. Kuncoro, Mudrajad 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Erlangga, Jogjakarta. http://www.sarjanaku.com/2012/07/pengertianpajakfungsipengelompokan.html Diakses pada tanggal 10 Oktober http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-pasal-21 Diakses pada tanggal 23 Oktober 2014 http://www.pajak.go.id/content/belajar-pajak Diakses pada tanggal 15 Oktober 2014 http://www.pajak.go.id/content/article/cara-penghitungan-pph-pasal-21-terbaru Diakses pada tanggal 20 Oktober 2014
34
EVALUASI KUALITAS APARAT PENGAWAS INTERN PEMERINTAH DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH (Studi pada Pemerintah Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara) Josua H.R.Lumbantobing Lidya Mawikere Fakultas Ekonomi dan Bisnis Magister Akuntansi Universitas Sam Ratulangi Manado Email:
[email protected] ABSTRACT This study aimed to evaluate the quality of Government Internal Supervisory Apparatus (APIP) Southeast Minahasa Regency. A common problem in this study is the finding of the audit that is not detected by the APIP as internal auditor, but was found by the external auditor, the Supreme Audit Agency (BPK). The method used in this research is descriptive qualitative. As in qualitative research, the authors use the method of in-depth interviews and Forum Group of Discussion with informants who have knowledge related to this research. The results show, that became important points APIP quality analysis Southeast Minahasa Regency are: First, to meet the needs of APIP competent to provide technical guidance, education and ongoing training to improve quality. Second, do not do that too frequent mutation, a mutation that is done must be in accordance with competence. While that is key to improving the quality of APIP is a strong commitment from the Head of Region for the creation of good and clean government to the fulfillment of the budget for APIP by 1% in accordance with the Regulatory applicable to improving the quality of APIP to provide technical guidance and education and training sustainable, adding facilities such as office operational vehicles and other supporting infrastructure. Keywords: Quality Evaluation of Internal Control Government officials, government officials Internal Control, Internal Control Apparatus Southeast Minahasa regency government. 1.PENDAHULUAN Tuntutan pelaksanaan akuntabilitas sektor publik terhadap terwujudnya good governance dan clean governance di Indonesia semakin meningkat. Tuntutan ini memang wajar, karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadinya krisis ekonomi di Indonesia ternyata disebabkan oleh buruknya pengelolaan (bad governance) dan buruknya birokrasi (Sunarsip, 2001).Banyaknya faktafakta yang terungkap tentang kinerja pemerintah yang bisa dinilai kurang memuaskan, mulai dari pengungkapan kasus-kasus korupsi hingga penganggaran yang diluar batas wajar, membuat tuntutan terhadap akuntabilitas sektor publik sangatlah tinggi. Menurut Mardiasmo (2008), terdapat tiga aspek utama yang mendukung terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance), yaitu pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan. Pengawasan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak di luar eksekutif, yaitu masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan.Pengendalian (control) adalah mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif untuk menjamin bahwa sistem dan kebijakan manajemen dilaksanakan dengan baik sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.Sedangkan pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah telah sesuai dengan standar yang ditetapkan. Salah satu unit yang melakukan audit/pemeriksaan terhadap pemerintah daerah adalah Aparat Pengawas Intern Pemerintah(APIP). Menurut Falah (2005) dalam, APIP mempunyai tugas menyelenggarakan kegiatan pengawasan umum pemerintah daerah dan tugas lain yang diberikan kepala daerah, sehingga dalam tugasnya APIPsama dengan auditor internal. Audit internal adalah audit
35
yang dilakukan oleh unit pemeriksa yang merupakan bagian dari organisasi yang diawasi (Mardiasmo, 2005). Peran dan fungsi Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) Provinsi, Kabupaten/Kota secara umum diatur dalam pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 64 Tahun 2007. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas pengawasan urusan pemerintahan, APIP Provinsi, Kabupaten/Kota mempunyai fungsi sebagai berikut: pertama, perencanaan program pengawasan; kedua, perumusan kebijakan dan fasilitas pengawasan; dan ketiga, pemeriksaan, pengusutan, pengujian, dan penilaian tugas pengawasan. Audit pemerintahan merupakan salah satu elemen penting dalam penegakan good government.Namun demikian, praktiknya sering jauh dari yang diharapkan. Mardiasmo (2000) menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam audit pemerintahan di Indonesia, di antaranya tidak tersedianya indikator kinerja yang memadai sebagai dasar pengukur kinerja pemerintahan baik pemerintah pusat maupun daerah dan hal tersebut umum dialami oleh organisasi publik karena output yang dihasilkan yang berupa pelayanan publik tidak mudah diukur. Dengan kata lain, ukuran kualitas audit masih menjadi perdebatan. Kualitas audit menurut De Angelo yang dikutip Alim dkk. (2007) adalah sebagai probabilitas bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran pada sistem akuntansi klien. Probabilitas untuk menemukan pelanggaran tergantung pada kemampuan teknis auditor dan probabilitas melaporkan pelanggaran tergantung pada independensi auditor. Dengan kata lain, kompetensi dan independensi dapat mempengaruhi kualitas audit. Dalam sektor publik, Government Accountability Office (GAO), mendefinisikan kualitas audit sebagai ketaatan terhadap standar pofesi dan ikatan kontrak selama melaksanakan audit (Lowenshon, et al, 2005). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), yaitu bahwa audit yang dilakukan auditor dikatakan berkualitas jika memenuhi standar auditing dan standar pengendalian mutu (Elfarini, 2005). Pentingnya standar bagi pelaksanaan audit juga dikemukakan oleh Pramono (2003). Dikatakan bahwa produk audit yang berkualitas hanya dapat dihasilkan oleh suatu proses audit yang sudah ditetapkan standarnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses audit dapat dikatakan telah memenuhi syarat quality assurance apabila proses yang dijalani tersebut telah sesuai dengan standar, antara lain: standar for the professional practice, internal audit charter, kode etik internal audit, kebijakan, tujuan, dan prosedur audit, serta rencana kerja audit. Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor PER/05/M.PAN/03/2008, pengukuran kualitas audit atas laporan keuangan, khususnya yang dilakukan oleh APIP, wajib menggunakan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang tertuang dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007. Pernyataan standar umum pertama SPKN adalah: “Pemeriksa secara kolektif harus memiliki kecakapan profesional yang memadai untuk melaksanakan tugas pemeriksaan”. Dengan Pernyataan Standar Pemeriksaan ini semua organisasi pemeriksa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap pemeriksaan dilaksanakan oleh para pemeriksa yang secara kolektif memiliki pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut.Oleh karena itu, organisasi pemeriksa harus memiliki prosedur rekrutmen, pengangkatan, pengembangan berkelanjutan, dan evaluasi atas pemeriksa untuk membantu organisasi pemeriksa dalam mempertahankan pemeriksa yang memiliki kompetensi yang memadai. Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.Auditor harus memiliki dan meningkatkan pengetahuan mengenai metode dan teknik audit serta segala hal yang menyangkut pemerintahan seperti organisasi, fungsi, program, dan kegiatan pemerintahan (BPKP, 1998).Keahlian auditor menurut Tampubolon (2005) dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan serta pengalaman yang memadai dalam melaksanakan audit.
36
Kompetensi seorang auditor bagai sebuah pedang bagi seorang satria.Semakin tinggi kompetensinya, maka semakin tajam pedang yang dipakainya. Tanpa pedang yang tajam, kecil kemungkinan sang satria akan mampu menebas habis musuh-musuhnya. Tanpa kompetensi yang memadai, kecil kemungkinan seorang pengawas akan mampu menjalankan tugas dan perannya secara efektif. Kompetensi seseorang dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu Pengetahuan (knowledge), Keterampilan (skill), dan Perilaku (attitude).Ungkapan ini tidak banyak berubah sejak masa lalu hingga masa kini. Yang berubah adalah substansi materi pengetahuan, keterampilan, dan perilaku apa yang harus dimiliki agar sesuai kompetensi yang dibutuhkan saat menjalankan tugas dan fungsinya. Demikian halnya dengan aparat pengawasan intern, perubahan peran, fungsi, serta dimensi penugasan menuntut aparat pengawasan intern untuk selalu mengasah dan meng-update knowledge, skill, dan attitudenya. Kompetensi seorang auditor diuji dari pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki (Sri Lastanti, 2005:88). Seorang auditor harus memiliki pengetahuan yang diukur dari seberapa tinggi pendidikan seorang auditor, karena dengan demikian auditor akan mempunyai semakin banyak pengetahuan (pandangan) mengenai bidang yang digelutinya sehingga dapat mengetahui berbagai masalah secara makin mendalam. Seorang auditor juga harus berpengalaman dalam melakukan audit.Semakin lama auditor melakukan pemeriksaan maka semakin banyak pengalaman yang dimiliki sebagai seorang auditor.Pengalaman kerja sebagai seorang auditor hendaknya memiliki keunggulan dalam mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan secara mendalam, dan mencari penyebab masalah tersebut. Kualitas audit sebagai proses dimana seorang auditor harus menemukan dan melaporkan pelanggaran dalam sistem akuntansi dengan pengetahuan dan keahlian auditor (Kusharyanti, 2003:25). Untuk menghasilkan kualitas audit yang baik, seorang auditor harus memiliki kompetensi dan juga independensi. Kompetensi seorang auditor sangat dibutuhkan dalam melakukan audit. Kompetensi merupakan standar yang harus dipenuhi oleh seorang auditor untuk dapat melakukan audit dengan baik. Namun, belum tentu auditor yang memiliki hal di atas akan memiliki komitmen untuk melakukan audit dengan baik. Sebagaimana dikatakan oleh Goleman (2001), hanya dengan adanya motivasi maka seseorang akan mempunyai semangat juang yang tinggi untuk meraih tujuan dan memenuhi standar yang ada. Dengan kata lain, motivasi akan mendorong seseorang, termasuk auditor, untuk berprestasi, komitmen terhadap kelompok serta memiliki inisiatif dan optimisme yang tinggi. Fenomena tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul : “Evaluasi kualitas Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) dalam pengawasan keuangan daerah Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara”. Sehubungan dengan audit pemerintah, terdapat penelitian mandiri mengenai pengaruh rewards instrumentalities dan environmental risk factors terhadap motivasi partner auditor independen untuk melaksanakan audit pemerintah. Penghargaan (rewards) yang diterima auditor independen pada saat melakukan audit pemerintah dikelompokkan ke dalam dua bagian penghargaan, yaitu penghargaan intrinsik (kenikmatan pribadi dan kesempatan membantu orang lain) dan penghargaan ekstrinsik (peningkatan karir dan status). Sedangkan faktor risiko lingkungan (environmental risk factors) terdiri dari iklim politik dan perubahan kewenangan. Arens, et.al.(2000) mendefinisikan independensi dalam pengauditan sebagai "Penggunaan cara pandang yang tidak bias dalam pelaksanaan pengujian audit, evaluasi hasil pengujian tersebut, dan pelaporan hasil temuan audit". Sedangkan Mulyadi (1992) mendefinisikan independensi sebagai "keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain" dan akuntan publik yang independen haruslah akuntan publik yang tidak terpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri akuntan dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam pemeriksaan. Alim dkk (2007) melakukan penelitian kualitas audit yang dilakukan oleh auditor pada kantor Akuntan Publik se-Jawa Timur. Variabel penelitian yang digunakan yaitu kompetensi dan
37
independensi sebagai variabel independen, kualitas audit sebagai variabel dependen, dan etika auditor sebagai variabel moderasi. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa independensi dan kompetensi auditor berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Murtanto (1998) dalam Mayangsari (2003) menunjukkan bahwa komponen kompetensi untuk auditor di Indonesia terdiri atas: 1) Komponen pengetahuan, yang merupakan komponen penting dalam suatu kompetensi. Komponen ini meliputi pengetahuan terhadap fakta-fakta, prosedurprosedur dan pengalaman. 2) Ciri-ciri psikologi, seperti kemampuan berkomunikasi, kreativitas, kemampuan bekerjasama dengan orang lain. Gibbin’s dan Larocque’s (1990) juga menunjukkan bahwa kepercayaan, komunikasi, dan kemampuan untuk bekerjasama adalah unsure penting bagi kompetensi audit. Muh. Taufig Efendy (2010) meneliti pengaruh kompetensi, independensi, dan motivasi terhadap kualitas audit aparat inspektorat dalam pengawasan keuangan daerah. Diketahui bahwa kompetensi, independensi, dan motivasi secara simultan berpengaruh terhadap kualitas audit yang dilaksanakan oleh aparat Inspektorat Kota Gorontalo. Komponen kompetensi dan motivasi berpengaruh positif terhadap kualitas audit, sedangkan komponen independensi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit. I. A. Angge Septiari dan Edy Sujana meneliti pengaruh kompetensi dan independensi terhadap kualitas audit dengan studi empiris pada 5 kantor inspektorat provinsi bali. Diketahui bahwa Komponen kompetensi berpengaruh positif terhadap kualitas audit, sedangkan komponen independensi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit. 2. METODE PENELITIAN Berdasarkan pada jenis dan sumber data serta teknik pengumpulan data maka, penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan teknik analisis perbandingan antara indikator yang telah ditentukan dengan jawaban yang diberikan berdasarkan kondisi aktual di lapangan.Sehingga menghasilkan suatu penelitian deskriptif kualitatif yang menjelaskan dan menggambarkan situasi aktual pada objek penelitian. Indikator-indikator tersebut dihasilkan atas dasar teori yang ada sehingga mampu dipertanggungjawabkan deskriptif atau penjelasan yang akan dibuat oleh peneliti. Peneliti telah mengambil data langsung dari responden dengan menggunakan metode wawancara langsung (direct interview) dan Forum Group of Discussion (FGD) berdasarkan daftar pertanyaan yang dibagikan kepada Aparat Pengawas Intern Pemerintah, anggota pemeriksa BPK atas APIP Kabupaten Minahasa Tenggara. Pada penelitian ini, teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara secara personal (personally direct interview). Wawancara ini terdiri dari tiga bagian, yaitu surat permohonan wawancara, data responden, dan daftar pertanyaan. Dalam hal ini Inspektorat Daerah Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara merupakan lokasi penelitian atau merupakan objek penelitian yang dilakukan oleh penulis. 3. PEMBAHASAN Kualitas audit aparat Inspektorat di Kabupaten Minahasa Tenggara masih belum memadai karena selama berdirinya Kabupaten ini, Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Utara dari tahun 2008 sampai dengan 2012 selalu menghasilkan opini tidak memberikan pendapat (disclaimer). Opini Tidak Memberikan Pendapat (disclaimer) yang diperoleh selama 5 (lima) tahun berturut-turut tersebut antara lain disebabkan oleh permasalahan yang berulang diantaranya mengenai pengelolaan pajak, pengelolaan belanja barang dan jasa, pengelolaan belanja bantuan dan hibah, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, pengelolaan aset tetap, pengelolaan piutang, pengelolaan pendapatan asli daerah, pengelolaan kas, pengelolaan belanja modal, pengelolaan utang, pengelolaan belanja pegawai, dan pengelolaan persediaan. Kompetensi aparat Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara sampai dengan saat ini masih perlu banyak pembenahan. Auditor yang berkompeten seharusnya mengetahui dan memahami bahwa
38
sesungguhnya Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) adalah merupakan alat untuk mengungkapkan setiap detail akun-akun yang diperiksa. KKP ini merupakan tanggungjawab mutlak dari auditor untuk mengisi informasi detail yang diperlukan dirinya untuk meyakinkan dirinya bahwa akun yang diperiksanya telah disajikan dengan benar dan sesuai dengan aturan yang mengaturnya. Kertas Kerja Pemeriksaan merupakan kewajiban dari pada auditor untuk dibuat dan disimpan dengan baik, agar dikemudian hari apabila ada masalah hukum yang harus dihadapi, auditor dapat mempertanggungjawabkan pekerjaannya sesuai dengan KKP yang dia buat. Laporan Hasil Pemeriksaan yang akan disampaikan kepada auditan seharusnya direviu terlebih dahulu secara berulang-ulang dan berjenjang mulai dari ketua tim, Irban, Sekretaris Inspektorat hingga Inspektur sebelum dia menandatanganinya sehingga kesalahan-kesalahan yang tidak perlu dapat diminimalisasi. Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara selaku APIP mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam bidang pengawasan yang kegiatannya antara lain audit dan reviu Laporan Keuangan. Untuk mendukung tugas dan fungsi tersebut Inspektorat harus memiliki jumlah dan kompetensi tenaga pengawas yang memadai dan diberikan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan yang sesuai kebutuhan. Efektivitas kegiatan audit dan reviu Laporan Keuangan (LK) Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) pada Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara yang salah satu tujuannya adalah untuk menilai efektivitas struktur dan tata kelola yang mendukung fungsi audit dan reviu LK. Salah kriteria yang dibangun adalah bahwa struktur dan tata kelola APIP yang mendukung fungsi audit dan reviu LK harus memadai dengan satu sub kriteria yang digunakan adalah sumber daya pendukung yang memadai. Sumber daya dimaksud adalah jumlah tenaga pengawas (auditor/P2UPD) tersedia dan telah dihitung berdasarkan analisis kebutuhan, kompetensi tenaga pengawas (auditor/P2UPD) sesuai persyaratan dan tenaga pengawasan (auditor/P2UPD) telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan sesuai kebutuhan. Berdasarkan wawancara peneliti dengan beberapa orang informan kunci yang menyatakan bahwa Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara belum mempunyai tenaga pengawas (auditor/P2UPD).Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara belum menghitung jumlah tenaga pengawas berdasarkan analisis kebutuhan. Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara sampai dengan tanggal 30 September 2014 memiliki jumlah pegawai sebanyak 36 orang terdiri dari 29 orang tenaga pengawas dan 7 orang pegawai sekretariat. Berdasarkan analisis perhitungan beban kerja berdasarkan Peraturan Kepala BPKP Nomor KEP-971/K/SU/2005 tentang Pedoman Penyusunan Formasi Jabatan Fungsional Auditor di Lingkungan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah diketahui jumlah pegawai yang tersedia pada Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara tidak sebanding dengan jumlah objek pemeriksaan yang ada. Adapun hasil perhitungan beban diperoleh jumlah ideal auditor dibandingkan dengan jumlah pegawai yang tersedia yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara sebagai berikut. Tidak memadainya kompetensi dari tenaga pengawas disebabkan pola mutasi yang terlalu sering yang terjadi pada Inspektorat. Tenaga pengawas yang telah memiliki pengalaman audit dipindahkan dan penggantinya merupakan pegawai yang belum memiliki pengalaman dan latar belakang pendidikan yang tidak tepat dengan bidang pengawasan. Pegawai yang dipindahkan ke Inspektorat tidak mempertimbangkan kompetensi dan latar belakang pendidikan pegawai yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan fungsi pengawasan. Bahkan dalam satu tim, mulai dari Inspektur Pembantu (Irban) Wilayah sampai dengan staf pelaksana baru semua, sehingga kinerja tim tidak maksimal. Bagaimana tim bisa bekerja maksimal apabila mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Karena semua anggota tim baru sehingga entry briefing yang seharusnya dilakukan setiap kali sebelum tim melakukan pemeriksaan/pengawasan tidak berjalan. Aparat Inspektorat yang dikirim untuk mengikuti bimbingan teknis (bimtek) maupun pendidikan dan latihan (diklat) tidak berkompeten dan serius sehingga hasilnya setelah mereka
39
mengikuti bimtek/diklat sama saja seperti sebelum mereka pergi. Mereka mengangap bahwa dikirim mengikuti bimtek/diklat sebagai ajang berekreasi saja. Inspektur diangkat dan diberhentikan oleh Bupati, karena diangkat dan diberhentikan oleh Bupati, maka independensi Inspektorat itu diragukan. Inspektorat dituntut untuk mengikuti apa maunya Bupati, jika Bupati suruh A, maka Inspektorat harus lakukan sesuai yang Bupati perintahkan. Independensi aparat pengawas Inspektorat juga tergantung dari kompetensi pengawas itu sendiri.Pengawas yang memiliki kompetensi yang baik hasil dari pembinaan serta pelatihan-pelatihan dengan sendirinya memiliki independensi yang tinggi dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai auditor. Seorang pengawas (auditor) minimal harus setingkat lebih tinggi kemampuannya dibandingkan dengan yang diawasi (auditan), kalau sama maka pengawas dapat dengan mudah ditipu atau dikerjai oleh auditan, karena auditan lebih menguasai apa yang dia kerjakan.Auditor yang tidak berkompeten hanya akan ditertawakan bahkan dipermalukan oleh auditan dengan diberikan informasi yang tidak benar atau bahkan diberikan uang supaya mereka tidak datang lagi melakukan pemeriksaan karena mereka juga tidak tahu apa yang harus mereka lakukan di obrik, sehingga untuk apa berlama-lama disana Tenaga pengawas yang akan melakukan audit dan reviu laporan keuangan wajib memiliki pengetahuan dan akses atas informasi teraktual dalam standar, metodologi, prosedur, dan teknik audit dan reviu laporan keuangan. Untuk mengembangkan kompetensinya tersebut tenaga pengawas wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhannya.Inspektur selaku pimpinan APIP berkewajiban memfasilitasi pegawai yang ada untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan serta ujian sertifikasi sesuai dengan ketentuan. Pendidikan profesional berkelanjutan dapat diperoleh melalui keanggotaan dan partisipasi dalam asosiasi profesi, pendidikan sertifikasi jabatan fungsional auditor, konferensi, seminar, kursus-kursus, program pelatihan di kantor sendiri, dan partisipasi dalam proyek penelitian yang memiliki substansi di bidang audit.Materi dan jumlah jam pendidikan dan pelatihan belum mencukupi karena kurangnya anggaran dan informasi mengenai diklat serta belum disusunnya mekanisme pemberian diklat. Sarana dan prasarana kerja pemerintahan daerah merupakan faktor penting dalam menunjang terlaksananya kegiatan audit dan reviu laporan keuangan. Sarana dan prasarana yang memadai dapat meningkatkan kinerja dan kelancaran tugas audit dan reviu laporan keuangan agar berdaya guna dan berhasil guna. BPK melakukan pemeriksaan kinerja atas efektivitas kegiatan audit dan reviu Laporan Keuangan (LK) Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) pada Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara yang salah satu tujuannya adalah untuk menilai efektivitas struktur dan tata kelola yang mendukung fungsi audit dan reviu LK. Salah kriteria untuk mengukur efektivitas struktur dan tata kelola tersebut adalah Inspektorat dalam melaksanakan audit dan reviu LK harus didukung sumber daya pendukung yang memadai yaitu memadainya peralatan dan ruang kantor yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan audit dan reviu LK. Berdasarkan observasi fisik yang dilakukan dalam rangka penyediaan sarana dan prasarana Inspektorat yang mendukung kegiatan audit dan reviu laporan keuangan diketahui bahwa Inspektorat telah memiliki fasilitas ruangan kerja yang memadai namun belum menyediakan peralatan kerja minimal yang harus ada sebagai pendukung kegiatan audit maupun reviu laporan keuangan. Inspektorat telah memiliki ruangan kerja yang cukup memadai seperti ruangan kerja lnspektur, para Inspektur Pembantu dan staf, ruangan Sekretaris Inspektorat dan staf, ruangan bendahara dan ruangan rapat. Terkait kendaraan operasional, para tenaga pengawas tidak diberikan fasilitas tersebut.Dalam kegiatan audit, kendaraan yang digunakan adalah kendaraan pribadi yang dimiliki oleh para tenaga pengawas tanpa diberikan uang sewa kendaraan. Keterangan dari staf pengawas, untuk kendaraan pribadi yang digunakan dalam kegiatan pengawasan hanya diberikan uang untuk pembelian bahan bakar minyak yang jumlahnya tidak tentu setiap kali pelaksanaan audit.
40
Inspektorat tidak memiliki sarana prasarana yang digunakan untuk kegiatan pembuatan laporan hasil pemeriksaan dan pemeriksaan fisik pekerjaan seperti komputer, laptop, printer, alat ukur ketebalan aspal (cordrill) dan alat ukur lapisan tembok (hammer test). Berdasarkan Kartu Inventaris Barang (KIB), Inspektorat memiliki sarana dan prasarana pendukung audit dengan keterangan kondisi masih baik berupa 2 unit laptop, 8 unit printer, 7 unit Komputer PC, 1 unit projektor, 1 unit sepeda motor dan 1 unit mobil. Laptop dikuasai oleh Inspektur dan Sekretaris Inspektorat, komputer dan printer terletak di masing-masing ruangan.Jumlah tersebut masih kurang memadai jika dibandingkan jumlah tenaga pengawas yang ada pada Inspektorat.Keterangan dari para tenaga pengawas diketahui bahwa dalam pelaksanaan kegiatan audit, para tenaga pengawas menggunakan laptop pribadi.Kamera sebagai salah satu alat minimal yang harus dipunyai Inspektorat baru diadakan di tahun 2014. Terkait dengan perolehan informasi mengenai peraturan-peraturan terbaru dan hubungan komunikasi dengan pihak luar terkait kegiatan audit dan reviu laporan keuangan, Inspektorat baru memiliki jaringan internet yang sangat penting dalam mendukung kegiatan tersebut di tahun 2014. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas aparat Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara dalam menghasilkan audit yang berkualitas pula. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a. Jumlah dan Kompetensi Tenaga Pengawas pada Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara Kurang dan Belum Mendukung Kegiatan Audit. b. Kurangnya pemberian bimbingan teknis (bimtek), pendidikan dan pelatihan (diklat) kepada para tenaga pengawas c. Infrastruktur Penunjang dan Pendukung yang Dimiliki APIP Belum Mendukung Kegiatan Audit dan Reviu Laporan Keuangan. Sampai dengan selesainya penelitian ini peneliti belum memperoleh rekomendasi dari pihak BPK Perwakilan Provinsi Sulut untuk melakukan wawancara dengan pemeriksa BPK yang melaksanakan pemeriksaan atas kinerja dan efektivitas audit dan reviuw Laporan Keuangan oleh Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara. Saran yang diberikan penulis adalah: a. Mencukupi kebutuhan jumlah pegawai pada bidang pengawasan dengan apa yang ada sekarang dimaksimalkan, dengan mengikutsertakan para pegawai Inspektorat dalam kegiatan bimbingan teknis (bimtek) serta pendidikan dan pelatihan (diklat) baik itu Jabatan Fungsional Auditor (JFA) yang diadakan oleh BPKP sebagai koordinator maupun jabatan fungsional Pejabat Pengawas Urusan Pemerintah Daerah (P2UPD) yang diadakan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri (Itjen Depdagri); b. Agar Inspektur lebih cermat dalam mengirim pegawai yang akan mengikuti bimtek/diklat, kalau perlu mewajibkan mereka yang dikirim mengikuti bimtek/diklat untuk mempresentasikan hasilnya kepada pegawai yang tidak dikirim. c. Agar Inspektur sebagai anggota Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) melarang apabila staf pengawasnya baik auditor maupun P2UPD dipindahkan ke Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain, kecuali mereka yang dipromosikan untuk menjabat sekretaris di SKPD lain atau menduduki jabatan eselon 2. d. Agar Inspektur menginstruksikan Kepala BKDD dalam melakukan pola mutasi pegawai pada Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara agar memperhatikan kompetensi pegawai. e. Agar Inspektur Kabupaten Minahasa Tenggara lebih cermat dalam pengadaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan audit dan reviu Laporan Keuangan.
41
DAFTAR PUSTAKA Alim, M.N., T. Hapsari, dan L. Purwanti. 2007. Pengaruh Kompetensi dan Independensi terhadap Kualitas Audit dengan Etika Auditor sebagai Variabel Moderasi.Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar Arens, A.A., J.K. Loebbecke. 2008. Auditing: An Integrated Approach. Eight Edition. New Jersey: Prentice Hall International Inc. BPK. 2013. Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Efektivitas Kegiatan Audit dan Reviu Laporan Keuangan oleh Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara Tahun Anggaran 2012 dan Semester I Tahun Anggaran 2013. BPKP.1998. Modul Diklat Peningkatan Kemampuan APFP Provinsi DI Yogyakarta.Unit Pengelola Pendidikan dan Latihan Pengawasan Perwakilan BPKP DI Yogyakarta. Elfarini, E.C. 2005. Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor terhadap Kualitas Audit. Skripsi tidak dipublikasikan. Universitas Negeri Semarang Falah, S. 2005. Pengaruh Budaya Etis Organisasi dan Orientasi Etika terhadap Sensitivitas Etika.Tesis tidak dipublikasikan. Universitas Diponegoro Semarang Goleman, D. 2001. Working White Emotional intelligence. (terjemahan Alex Tri Kantjono W). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama I. A. Angge Septiari dan Edy Sujana.Pengaruh kompetensi dan independensi Terhadap kualitas audit (studi empiris pada 5 kantor inspektorat provinsi bali) Kusharyanti. 2003. ”Temuan penelitian mengenai kualitas audit dan kemungkinan topik penelitian di masa datang”. Jurnal Akuntansi danManajemen (Desember). Hal.25-60 Lowenshon, S., Johnson E.L., dan Elder J.R. 2005.Auditor Specialization and Perceived Audit Quality, Auditee Satisfaction, and Audit Fees in the Local Government Audit Market Mardiasmo, 2000, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Penerbit Andi Mardiasmo. 2005. Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik: Suatu Sarana Good Governance. Jurnal AkuntansiPemerintah Vol. 2, No. 1 Mardiasmo. 2008. Akuntansi Sektor Publik Edisi 4. Penerbit Andi. Yogyakarta Mayangsari, S. 2003. Pengaruh Keahlian Audit dan Independensi terhadap Pendapat Audit: Suatu Kuasieksperimen. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Vol. 6 No. 1. Januari Muh. Taufiq Efendy. Pengaruh kompetensi independensi dan motivasiterhadap kualitas audit aparat Inspektorat dalam pengawasan keuangan daerah. Tesis. Universitas Diponogoro. Semarang. Mulyadi. 1992. Pemeriksaan Akuntan. Yogyakarta: Badan Penerbit STIE YKPN Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007.Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Jakarta Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor PER/05/M.PAN/03/2008.Standar Audit Aparat Pengawasan InternPemerintah. Jakarta. Peraturan Bupati Minahasa Tenggara Nomor 05 Tahun 2009.Tentang Penjabaran Tugas Pokok Dan Fungsi Inspektorat Kabupaten Minahasa Tenggara. Sulawesi Utara. Pramono, E.S. 2003. Transformasi Peran Internal Auditor dan Pengaruhnya bagi Organisasi.Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 3 No.2 Agustus Samelson, D., Lowenshon, S., and Johnson, L. 2006.The Determinants of Perceived Audit Quality and Auditee Satisfaction in Local Government. Journal of Public Budgeting, Accounting, & Financial Management, Vol. 18, No. 2 Sri Lastanti, Hexana. 2005. Tinjauan Terhadap Kompetensi dan Independensi Akuntan Publik : Refleksi Atas Skandal Keuangan. Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi Vol.5 No.1 April 2005. Sunarsip, 2001, Coorporat Governance Audit : Paradigma Baru Profesi Akuntansi dalam Mewujudkan Good Coorporate Gvernance, Media Akuntansi, No. 17/Th. VII.pp. II-VII
42
Tampubolon, R. 2005. Risk and Systems-Based Internal Audit.Penerbit Elex Media Komputindo. Jakarta Undang-Undang No. 9 Tahun 2007 tanggal 6 Januari 2007. Pembentukan Kabupaten Minahasa Tenggara. Gambar 4.1. Struktur Organisasi APIP Kabupaten Minahasa Tenggara
Tabel 4.1. Hasil Perhitungan Analisis Beban Kerja Rincian perhitungan pada lampiran
Auditor Ahli Utama/P2UPD Utama Auditor Ahli Madya/P2UPD Madya Auditor Ahli Muda/P2UPD Muda Auditor Ahli Pertama/ Auditor Terampil/P2UPD Pertama
1 2 6
Jumlah Yang ada 0 0 0
18
0
-18
Non Auditor/Non P2UPD Jumlah
0 27
29 29
29 2
No 1 2 3 4 5
Jabatan
Kebutuhan
Tabel 4.2. Komposisi SDM Berdasar Latar Belakang Pendidikan Jumlah No. Bidang pendidikan Tersedia 1 Akuntansi 8 2 3 4 5 6 7
Ekonomi Hukum Teknik Ilmu Kepemerintahan Komunikasi Pendidikan
8 2 6 3 1 6
Selisih -1 -2 -6
43
8 9
Sastra Lain
1 1
Tabel 4.3. Anggaran dan Realisasi Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Tahun 2012 2013 2014 (semester III)
Anggaran (Rp)
Realisasi (Rp)
Persentase
72.500.000,00
72.225.000,00
99,62
123.500.000,00
-
-
102.000.000,00
82.500.000,00
80,88
44
PERLAKUAN AKUNTANSI ATAS KONSTRUKSI DALAM PENGERJAAN PADA LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PADA KABUPATEN MINAHASA Maruli Harry Siregar David P. E. Saerang Fakultas Ekonomi dan Bisnis Magister Akuntansi Universitas Sam Ratulangi Manado email:
[email protected] ABSTRACT This study aimed to assess and provide feedback on the accounting treatment of Construction in Progress which is within the financial statements of Local Government. The analysis method used in this research is to use descriptive analysis method to describes the results of the analysis of the accounting treatment conducted by local government to account Construction in progress. Construction in progress are fixed assets that are in the process of development. The work includes the construction in the land, equipment and machinery, buildings and buildings, roads, irrigation and networks, and other fixed assets that the process of acquisition and / or construction requires a certain period of time and has not been completed. Listing of construction in progress in Minahasa regency government is done by making an adjustment to the journal reported assets unfinished for later recorded under construction in progress. In the process of recording still no records of advances in the development of an asset. There are some problems that can be encountered by the relevant local government recognition of a construction in progress. Recognition of construction in progress are important things that need to follow the guidelines in the Government Accounting Standards. Above special cases should be given special treatment and separate accounting policies in recognition of Construction in progress. Keywords: Government Accounting, Fixed Assets, Construction in Progress, Financial Statements 1. PENDAHULUAN Sejak terbitnya PP No. 24 tahun 2005, setiap unit pelaporan pada instansi pemerintah wajib untuk menyusun neraca sebagai bagian dari laporan keuangan pemerintah. Pengakuan/pencatatan ,pengukuran/penilaian, dan penyajian serta pengungkapan aset tetap menjadi fokus utama karena aset tetap memiliki nilai yang sangat signifikan dan memiliki tingkat kompleitas yang tinggi. Salah satu bagian dari akuntansi aset tetap adalah Konstruksi Dalam Pengerjaan yang telah diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 08 dari Lampiran PP 24 Tahun 2005 , maupun PSAP 08 dari Lampiran II PP 71 Tahun 2010 . PSAP 08 tersebut memberikan pedoman bagi pemerintah dalam melakukan pengakuan, pengukuran, dan penyajian serta pengungkapan Konstruksi dalam Pengerjaan berdasarkan peristiwa (events) yang terjadi.Pemahaman tentang Konstruksi Dalam pengerjaan, permasalahan dan solusinya menjadi hal yang sangat penting bagi penyusun laporan keuangan, aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) yang melakukan reviu atas laporan keuangan, dan auditor eksternal yang melakukan audit atas laporan keuangan pemerintah baik pusat maupun daerah. Dengan pemahaman yang memadai tentang hal tersebut diharapkan laporan keuangan akan menjadi lebih berkualitas dengan opini wajar tanpa pengecualian. Beberapa permasalahan terkait Konstruksi dalam Pengerjaan yang akan diulas dalam tulisan ini dengan tujuan untuk memberikan masukan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk memahami lebih lanjut perlakuan Konstruksi Dalam Pengerjaan dalam laporan keuangan pemerintah. Disini penulis ingin mengetahui dan memberikan tinjauan atas perlakuan Akuntansi pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dalam kaitannya terhadap pengakuan, penyajian,
45
pengungkapan dan pengukuran Konstruksi dalam Pengerjaan sebagai salah satu bagian dari Aset pemerintah daerah. Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diindentifikasikan rumusan masalah adalah bagaimana perlakuan akuntansi atas konstruksi dalam pengerjaan pada laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Minahasa? Dari perumusan masalah maka yang menjadi tujuan penelitian adalah untuk menganalisis perlakuan akuntansi atas Konstruksi dalam Pengerjaan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa. Manfaat yang diharapkan dari penelitan yang dilakukan penulis adalah sebagia berikut. 1. Menambah khazanah empirik terkait dengan perlakuan akuntansi atas konstruksi dalam pengerjaan. 2. Menjadi masukan bagi Pemerintah Kabupaten Minahasa dalam menerapkan akuntansi atas konstruksi dalam pengerjaan. 2. LANDASAN TEORITIS Halim (2007:38) mengemukakan definisi Akuntansi Keuangan Daerah adalah proses pengidentifikasian, pengukuran, pencatatan dan pelaporan transaksi ekonomi (keuangan) dari entitas pemerintah daerah (kabupaten, kota, atau provinsi) yang dijadikan sebagai alat informasi dalam rangka pengambilan keputusan ekonomi oleh pihak-pihak eksternal pemerintah daerah yang memerlukan. Selanjutnya, Bastian (2001:6) menjelaskan tentang pengertian Akuntansi Sektor Publik adalah sebagai berikut: “… mekanisme teknik dan analisis akuntansi yang diterapkan pada pengelolaan dana masyarakat di lembaga-lembaga tinggi negara dan departemen-departemen di bawahnya, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, LSM dan yayasan sosial, maupun pada proyek-proyek kerjasama sektor publik dan swasta.” Berdasarkan pengertian di atas Akuntansi Pemerintahan adalah akuntansi yang digunakan dalam suatu organisasi pemerintahan / lembaga yang tidak bertujuan untuk mencari laba, dan merupakan suatu bagian dari disiplin ilmu akuntansi sebagai yang utuh. Berdasarkan PP 71 tahun 2010 Konstruksi Dalam Pengerjaan merupakan bagian dari Aset tetap. Aset tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari dua belas bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Komponen Aset tetap antara lain sebagai berikut. 1. Tanah. 2. Peralatan dan mesin. 3. Gedung dan bangunan. 4. Jalan, irigasi, dan jaringan 5. Aset tetap lainnya. 6. Konstruksi dalam pengerjaan. Konstruksi dalam pengerjaan adalah aset-aset tetap yang sedang dalam proses pembangunan. Konstruksi Dalam Pengerjaan mencakup tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya yang proses perolehannya dan/atau pembangunannya membutuhkan suatu periode waktu tertentu dan belum selesai. Perolehan melalui kontrak konstruksi pada umumnya memerlukan suatu periode waktu tertentu. Periode waktu perolehan tersebut bisa kurang atau lebih dari satu periode akuntansi. Suatu benda berwujud harus diakui sebagai Konstruksi Dalam Pengerjaan jika memenuhi kondisi berikut ini. 1. Besar kemungkinan bahwa manfaat ekonomi masa yang akan datang berkaitan dengan aset tersebut akan diperoleh. 2. Biaya perolehan tersebut dapat diukur secara andal. 3. Aset tersebut masih dalam proses pengerjaan.
46
Konstruksi Dalam Pengerjaan dicatat dengan biaya perolehan. Nilai konstruksi yang dikerjakan oleh kontraktor melalui kontrak konstruksi meliputi berikut ini. 1. Termin yang telah dibayarkan kepada kontraktor sehubungan dengan tingkat penyelesaian pekerjaan. 2. Kewajiban yang masih harus dibayar kepada kontraktor berhubung dengan pekerjaan yang telah diterima tetapi belum dibayar pada tanggal pelaporan. 3. Pembayaran klaim kepada kontraktor atau pihak ketiga sehubungan dengan pelaksanaan kontrak konstruksi. Suatu entitas harus mengungkapkan informasi mengenai Konstruksi Dalam Pengerjaan pada akhir periode akuntansi untuk hal-hal berikut ini. 1. Rincian kontrak konstruksi dalam pengerjaan berikut tingkat penyelesaian dan jangka waktu penyelesaiannya. 2. Nilai kontrak konstruksi dan sumber pembiayaanya. 3. Jumlah biaya yang telah dikeluarkan. 4. Uang muka kerja yang diberikan. 5. Retensi. Dalam penelitian ini, yang menjadi obyek penelitian adalah Pemerintah Kabupaten Minahasa pada LKPD TA 2013. Metode analisis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif adalah suatu metode penelitian yang menguraikan hasil analisis perlakuan akuntansi yang dilakukan oleh Pemerintah daerah terhadap akun Konstruksi dalam pengerjaan. 3. HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN MASALAH Pada Catatan atas Laporan Keuangan Konstruksi Dalam Pengerjaan Kabupaten Minahasa Diungkapkan hal-hal sebagai berikut. Saldo KDP pada Tahun 2013 adalah sebesar Rp 14.340.980.822,00 dan pada Tahun 2012 sebesar Rp10.864.694.322,00 . Penyusunan Laporan Keuangan untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2013 berdasarkan asumsi sebagai berikut. 1. Pemerintah Kabupaten Minahasa merupakan organisasi yang mandiri dan harus bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku atau sebagai entitas akuntansi. 2. Pemerintah Kabupaten Minahasa akan berlanjut keberadaannya atau berkesinambungan. 3. Setiap kejadian atau transaksi yang disajikan dalam laporan keuangan dapat dinilai dengan satuan uang, berdasarkan asumsi keterukuran dalam satuan mata uang. Laporan Keuangan Tahun 2013 Pemerintah Kabupaten Minahasa mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah Lampiran I. Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah Kabupaten Minahasa adalah basis kas untuk pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran, dan basis akrual untuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dalam Neraca. Basis akrual untuk Neraca berarti bahwa aset, kewajiban, dan ekuitas dana diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi, atau pada saat kejadian atau kondisi lingkungan berpengaruh pada keuangan pemerintah, tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar. Pada lampiran X pernyataan SAP nomor 8 disebutkan bahwa Konstruksi Dalam Pengerjaan mencakup tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya yang proses perolehannya dan/atau pembangunannya membutuhkan suatu periode wa ktu tertentu dan belum selesai. Perolehan melalui kontrak konstruksi pada umumnya memerlukan suatu periode waktu tertentu. Periode waktu perolehan tersebut bisa kurang atau lebih dari satu periode akuntansi. Perolehan aset dapat dilakukan dengan membangun sendiri (swakelola) atau melalui pihak ketiga dengan kontrak konstruksi.
47
Pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan mengacu kepada permendagri 13 tahun 2006 dan perubahannya. Pada Kabupaten Minahasa Pencatatan akuntansi atas semua transaksi keyangan dilakukan dengan bantuan sistem informasi berupa SIMDA (Sistem Informasi Manajamen Daerah). Secara sistem SIMDA belum dapat mencatat pengeluaran untuk belanja aset tetap yang dilakukan melalui belanja modal dikolorarikan kepada KDP melainkan dikolorarikan kepada masing-masing akun aset tetap selain KDP. Aset harus diakui sebagai KDP jika: a. besar kemungkinan bahwa manfaat ekonomi masa yang akan datang berkaitan dengan aset tersebut akan diperoleh; b. biaya perolehan aset tersebut dapat diukur dengan handal; c. aset tersebut masih dalam proses pengerjaan. Apabila dalam konstruksi aset tetap pembangunan fisik proyek belum dilaksanakan, namun biaya-biaya yang dapat diatribusikan langsung ke dalam pembangunan proyek telah dikeluarkan, maka biaya-biaya tersebut harus diakui sebagai KDP aset yang bersangkutan Konstruksi secara substansi telah selesai dikerjakan dan konstruksi tersebut telah dapat memberikan manfaat/jasa sesuai tujuan perolehan. Dokumen sumber untuk pengakuan penyelesaian suatu KDP adalah Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP). Dengan demikian, apabila atas suatu KDP telah diterbitkan BAPP, berarti pembangunan tersebut telah selesai. Selanjutnya, aset tetap definitif sudah dapat diakui dengan cara memindahkan KDP tersebut ke akun aset tetap yang bersangkutan Pada pemerintah daerah Kabupaten minahasa KDP diungkapkan sesuai nilai dari kontrak yang telah dibayarkan. Pada Kabupaten Minahasa secara umum aset yang diakui sebagai KDP adalah Pembagunan Tahap I sd III Benteng Moraya dan Pekerjaan Konsultansi Perencanaan dan Pelaksanaan atas aset-aset yang telah dibangun dan yang akan dibangun. Pengakuan KDP atas aset pembangunan Benteng Moraya dicatat dalam 3 jenis aset yang berbeda yaitu sebagai berikut. 1. Pembangunan Fisik Tahap I Benteng Moraya Kontrak No. 166/PU/SP/2011 tanggal 17 Oktober 2011 Rp2.288.610.000,00. 2. Pembangunan Fisik Tahap II Benteng Moraya Kontrak No. 035/PU/SP/2012 tanggal 5 Maret 2012 senilai Rp1.720.620.000,00. 3. Pembangunan fisik Benteng Moraya Tahap III Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No. 01/PARBUD/SP/II/2013 tanggal 1 Mei 2013 senilai Rp964.887.000,00. Aset KDP yang berasal dari Kontrak konsultansi atas aset yang dibangun adalah perencanaan dan pengawasan Benteng Moraya yaitu sebagai berikut. 1. Perencanaan Teknis Benteng Moraya Tahap I Tahun 2011 (No.269/SPK/PU/2011 tanggal 9 September 2011 senilai Rp49.575.000,00. 2. Pengawasan Pembangunan Benteng Moraya Tahap I Tahun 2011 Kontrak No. 241/PU/SP/2011 tanggal 17 Oktober 2011 senilai Rp79.250.000,00. 3. Pengawasan Pembangunan Benteng Moraya Tahap II Tahun 2011 Kontrak No. 258/PU/SP/2011 tanggal 30 November 2011senilai Rp96.000.000,00. 4. Konsultasi Pengawasan Benteng Moraya Tahap II No. 264/PU/SP/2012 tanggal 15 Maret 2012 senilai Rp59.000.000,00. 5. Perencanaan Bangunan Benteng Moraya Tahap III Dinas Pekerjaan Umum No. 872/SPK.PL.CK/PjP/XI/2013 senilai Rp49.650.000,00. Pada laporan Keuangan Kabupaten Minahasa tahun 2013 hal – hal yang diungkapkan dalam penjelasan CaLK untuk akun Konstruksi dalam pengerjaan adalah sebagai berikut. 1. Saldo akun Konstruksi dalam Pengerjaan tahun 2013 dan 2012. 2. Mutasi konstruksi dalam pengerjaan baik penambahan maupun pengurangan. 3. Nama aset-aset konstruksi dalam pengerjaan. 4. Nilai masing-masing aset konstruksi dalam pengerjaan. Pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan mengacu kepada permendagri 13 tahun 2006 dan perubahannya. Pada Kabupaten Minahasa Pencatatan akuntansi atas semua transaksi keyangan dilakukan dengan bantuan sistem informasi berupa SIMDA. Seperti dijelaskan diatas terdapat
48
kelemahan dalam proses pencatatan akuntansi dengan menggunakan SIMDA yaitu belanja modal langsung kolorarikan sebagai aset tetap dari akun belanja modal tersebut. Pencatatan tersebut tidak tetap karena sesuai SAP lampiran 7 Tentang akuntansi aset tetap dijelaskan bahwa Untuk dapat diakui sebagai aset tetap, suatu aset harus berwujud dan memenuhi criteria sebagai berikut. 1. Mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan. 2. Biaya perolehan aset dapat diukur secara andal. 3. Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal entitas. 4. Diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk digunakan. Berdasarkan kiretria pengakuan aset tetap tersebut maka seharusnya belanja modal aset gedung bangunan tidak langsung dikolorarikan menjadi aset tetap karena belanja modal yang dibayarkan belum menghasilkan aset tetap yang berwujud dan mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan. Seharusnya pencatatan belanja modal dikolorarikan ke KDP terlebih dahulu. Sehingga pada akhir tahun tidak perlu dilakukan jurnal penyesuaian oleh pemerintah daerah. Selain itu pada pengungkapan atas Konstruksi dalam pengerjaan disyaratkan untuk mengungkapkan Uang muka kerja yang diberikan sampai dengan tanggal neraca namun pemerintah daerah umumnya tidak mencatat atas pemberian uang muka tersebut. Berdasarkan Perpres 54 tahun 2010 dan perubahannya tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah penyedia jasa pemerintah dapat diberikan uang muka kerja yang besarannya setinggitingginya 30% dari nilai kontrak untuk usaha kecil dan setinggi-tingginya 20% dari nilai kontrak untuk usaha non kecil. Penyelesaian uang muka dari penyedia jasa diperhitungkan dalam setiap termin pembayaran secara proporsional sesuai dengan pencapaian prestasi pekerjaan sehingga pembayaran prestasi kerja diberikan kepada Penyedia Barang/Jasa setelah dikurangi angsuran pengembalian Uang Muka dan bila terjadi. Dalam hal terjadi pemutusan Kontrak yang dilakukan karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa maka b.sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia Barang/Jasa atau Jaminan Uang Muka dicairkan. Dalam pencatatan akuntansi yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak terdapat pencatatan atas uang muka. Permendagri 13 tahun 2006 dan perubahannya tidak mengatur pengelolaan uang muka kerja atas proyek konstruksi. Uang muka kerja dapat diibaratkan sebagai pinjaman yang diberikan oelh pemerintah daerah kepada penyedia jasa konstruksi. Untuk akuntansi tentang pinjaman SAP mengaturnya untuk dicatat pada pembiayaan di LRA dan LAK. Ketiadaan pencatatan atas pemberian uang muka kerja akan mempengaruhi dalam penyajian laporan keuanga pemerintah daerah sebagai berikut. 1. Terhadap proyek rampung dalam satu tahun anggaran baik secara fisik maupun secara administrasi/keuangan, ketiadaan pencatatan akan berpengaruh kepada LRA dan LAK berupa hilangnya informasi pemberian piutang uang muka kerja dan penyelesaiannya. 2. Terhadap proyek yang tidak dapat diselesaikan pembayarannya dalam tahun anggaran bekenaan terlepas apakah secara fisik proyek tersebut telah selesai atau belum selesai. Ketiadaan pencatatan uang muka kerja akan mempengaruhi neraca disebabkan tidak adanya pencatatan secara wajar atas saldo piutang kepada pihak ke III serta akan mengurangi pengungkapan atas KDP dapa Catatan atas Laporan Keuangan. Berdasarkan PSAP 08 Paragraf 13, suatu benda berwujud harus diakui sebagai KDP jika keadaan berikut 1. Besar kemungkinan bahwa manfaat ekonomi masa yang akan datang berkaitan dengan aset tersebut akan diperoleh. 2. Biaya perolehan aset tersebut dapat diukur dengan handal. 3. Aset tersebut masih dalam proses pengerjaan. Apabila dalam konstruksi aset tetap pembangunan fisik proyek belum dilaksanakan, namun biaya-biaya yang dapat diatribusikan langsung ke dalam pembangunan proyek telah dikeluarkan, maka biaya-biaya tersebut harus diakui sebagai KDP aset yang bersangkutan
49
Pada Konstruksi dalam pengerjaan di Kabupaten Minahasa terdapat aset-aset berupa benteng moraya yang telah dibangun dalam 3 tahap dan setiap tahap dikontrakkan dam perjanjian konstruksi yang terpisah dan berdiri sendiri dan didukung perjanjian perencanaan dan pengawasan yang juga berdiri sendiri. Atas gedung bangunan benteng moraya yang kontraknya telah selesai tetap dikategorikan sebagai konstruksi dalam pengerjaan karena belum dimanfaatkan, namun atas hal tersebut tidak cukup diungkapkan oleh pemerintah Kabupaten Minahasa. Sesuai dengan paragraf 15 PSAP 08, suatu KDP akan dipindahkan ke pos aset tetap yang bersangkutan jika konstruksi secara substansi telah selesai dikerjakan dan konstruksi tersebut telah dapat memberikan manfaat/jasa sesuai tujuan perolehan. Dokumen sumber untuk pengakuan penyelesaian suatu KDP adalah Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP). Dengan demikian, apabila atas suatu KDP telah diterbitkan BAPP, berarti pembangunan tersebut telah selesai. Selanjutnya, aset tetap definitif sudah dapat diakui dengan cara memindahkan KDP tersebut ke akun aset tetap yang bersangkutan. Pencatatan suatu transaksi perlu mengikuti sistem akuntansi yang ditetapkan dengan pohon putusan (decision tree) sebagai berikut. 1. Atas dasar bukti transaksi yang obyektif (objective evidences). 2. Dalam hal tidak dimungkinkan adanya bukti transaksi yang obyektif maka digunakan prinsip subtansi mengungguli bentuk formal (substance over form). Selain itu pada KDP Pemerintah Kabupaten Minahasa terdapa aset KDP berupa Jasa Konsultansi Perencanaan pembangunan aset Tetap yang terdiri dari 6 aset KDP. Hal tersebut sejalan dengan Bultek 9 tentang aset tetap pada contoh kasus tentang pengakuan Biaya Perencanaan. Pelaksanaan pembagunan aset tetap yang dapat menyebabkan terjadinya KDP sering ditemui beberapa kondisi yang berbeda terkait tingkat penyelesaian pekerjaan konstruksi dan realisasi pembayarannya diantaranya sebagai berikut. 1. Tingkat penyelesaian pekerjaan (fisik) adalah 100%, dan realisasi pembayaran sebesar 100% dari nilai kontrak. Apabila pekerjaan konstruksi telah selesai (fisik 100%) dan telah diserahkan berdasarkan dokumen PHO. Dalam kondisi seperti ini KDP diakui sebesar termin yang telah dibayarkan kepada kontraktor sehubungan dengan tingkat penyelesaian pekerjaan atau sebesar pembayaran sesuai nilai kontrak konstruksi. Selanjutnya KDP dialihkan ke aset tetap definitifnya. Hal ini merupakan kejadian ideal yang seharusnya terjadi pada kontrak konstruksi pada pemerintah daerah. 2. Tingkat penyelesaian pekerjaan adalah 100%, dan realisasi pembayaran sebesar 95% (retensi sebesar 5% ditahan pembayarannya sampai berakhirnya masa pemeliharaan).Apabila pekerjaan konstruksi sebenarnya telah selesai (fisik 100%) dan telah diserahkan berdasarkan dokumen PHO, namun terdapat retensi sebesar 5% dari nilai kontrak, sehingga hanya dibayarkan sebesar 95% dari nilai kontrak. Dalam kondisi seperti ini KDP diakui sebesar nilai kontrak dengan berdasarkan pada tingakt penyelesaiannya. Selanjutnya KDP dialihkan ke aset tetap definitifnya. Retensi sebesar 5% dari nilai kontrak diakui sebagai utang jangka pendek dan dianggarkan dalam APBD tahun berikutnya pada pos pengeluaran pembiayaan. 3. Tingkat penyelesaian pekerjaan adalah 100%, dan realisasi pembayaran lebih kecil dari tingkat penyelesaian pekerjaan. Apabila pekerjaan konstruksi telah selesai (fisik 100%) dan telah diserahkan berdasarkan dokumen PHO, namun pembayaran lebih kecil dari tingkat penyelesaian pekerjaannya. Dalam kasus seperti ini KDP diakui sebesar nilai kontrak karena pekerjaan telah selesai. Selanjutnya KDP dialihkan ke aset tetap definitifnya karena telah selesai, diserahkan, dan dapat digunakan. Sisa pembayaran diakui sebagai utang jangka pendek di neraca dan dianggarkan dalam APBD tahun berikutnya pada pos pengeluaran pembiayaan. 4. Tingkat penyelesaian pekerjaan adalah kurang dari 100% (misalkan 70%), dan realisasi pembayaran adalah sesuai dengan tingkat penyelesaian pekerjaannya. Apabila pekerjaan konstruksi belum selesai realisasi fisik 70% sehingga KDP diakui sebesar termin yang telah dibayarkan kepada kontraktor sehubungan dengan tingkat penyelesaian pekerjaan sebesar 70% dari nilai kontrak. Dalam kasus seperti ini KDP diakui sebesar nilai kontrak karena pekerjaan telah selesai.
50
5. Tingkat penyelesaian pekerjaan adalah kurang dari 100% (misalkan 70%), namun realisasi pembayarannya lebih kecil dari tingkat penyelesaian pekerjaan yaitu baru dibayarkan sebesar 60% dari nilai kontrak. Apabila pekerjaan konstruksi belum selesai dalam hal ini 70%), namun pembayaran lebih kecil dari tingkat penyelesaian pekerjaannya. Dalam kasus seperti ini KDP diakui sebesar termin yang telah dibayarkan kepada kontraktor (60%) ditambah dengan kewajiban yang masih harus dibayar kepada kontraktor berhubung dengan pekerjaan yang telah diterima tetapi belum dibayar pada tanggal pelaporan (10% dari nilai kontrak). Sisa pembayaran sebesar 10% diakui sebagai utang jangka pendek di neraca. 6. Pekerjaan konstruksi baru mencapai tingkat penyelesaian sebesar 60%, tetapi realisasi pembayarannya sebesar 70% dari nilai kontrak. Apabila pekerjaan konstruksi belum selesai dalam hal ini 60%, namun pembayaran lebih besar dari tingkat penyelesaian pekerjaannya. Dalam kasus seperti ini KDP diakui sebesar termin yang telah dibayarkan kepada kontraktor (70%). Kelebihan pembayaran sebesar 10% diakui sebagai piutang kepada pihak Ke III di neraca. Pemerintah daerah Kabupaten Minahasa dalam Catatan atas laporan Keuangan menjelaskan secara minimal atas akun Konstruksi dalam pengerjaan. Pemerintah kabupaten Minahasa hanya menjelaskan nama atas aset konstruksi dalam pengerjaan dan nilai dari aset tersebut. Pemerintah Daerah Kabupaten Minahasa seharusnya menambahkan beberapa keterangan lain seperti yang disyarakan oleh Standar akuntansi Pemerintah yaitu sebagai berikut. 1. Rincian kontrak konstruksi dalam pengerjaan berikut tingkat penyelesaian dan jangka waktu penyelesaiannya pada tanggal neraca. 2. Nilai kontrak konstruksi dan sumber pembiayaanya. 3. Jumlah biaya yang telah dikeluarkan sampai dengan tanggal neraca. 4. Uang muka kerja yang diberikan sampai dengan tanggal neraca. 5. Jumlah Retensi. Pemerintah Kabupaten Minahasa mengungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan terdapat 15 aset Konstruksi dalam Pengerjaan. Namun didalamnya terdapat aset konstruksi dalam pengerjaan berupa benteng moraya yang merupakan satu kesatuan aset namun dicatat sebagai 8 aset mandiri Tambahan pengungkapan berupa penyatuan nilai aset KDP serta jumlah aset tersebut akan meningkatkan nilai informasi dari laporan keuangan karena akan menghindari penggunan laporan keuangan agar tidak salah menilai atas nilai keseluruhan suatu aset KDP serta tidak menyesatkan atas banyaknya aset KDP yang dimiliki. Pengungkapan atas hal-hal tersebut akan memudahkan dalam penjelasan dan dalam membandingkan laporan keuangan. Pemerintah daerah diharapkan dapat mengidentifikasi kebijakan akuntansi tambahan dan pengungkapan yang mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan akuntabilitas keuangan dan transparansi laporan keuangan. Hal tersebut diantaranya mencakup penjelasan tentang metode alternatif untuk menyajikan informasi tertentu. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Pencatatan konstruksi dalam pengerjaan pada pemerintah Kabupaten Minahasa dilakukan dengan cara membuat jurnal penyesuaian atas aset-aset yang dilaporkan belum selesai untuk kemudian dicatat pada akun Konstruksi dalam pengerjaan. Pemerintah Kabupaten Minahasa dalam pengakuan KDP masih mencatat beberapa kontrak atas pembangunan benteng Moraya ke dalam beberapa aset yang berbeda walaupun KDP tersebut merupakan satu kesatuan Aset. Pemerintah Kabupaten Minahasa belum mengungkapkan secara memadai atas persyaratan KDP seperti yang terdapat dalam Standar akuntansi Pemerintahan. Pada proses pencatatan masih belum ada pencatatan atas uang muka dalam pembangunan suatu aset. Terdapat beberapa permasalahan yang dapat dihadapi oleh pemerintah daerah terkait pengakuan suatu Konstruksi dalam pengerjaan. Pengakuan konstruksi dalam pengerjaan adalah hal penting dimana perlu untuk mengikuti panduan dalam Standar akuntansi Pemerintahan. Pada akhirnya Pengakuan Konstruksi dalam pengerjaan yang tepat akan membantu pemerintah daerah dalam pengungkapan di Laporan Keuangan. Pada akhirnya akan menyajikan nilai aset secara wajar.
51
Dari kesimpulan tersebut diatas maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Pemerintah daerah Kabupaten Minahasa dapat memperbaiki sistem informasi yang digunakan sehingga dapat mencatat Belanja modal terlebih dahulu sebagai aset konstruksi dalam pengerjaan untuk kemudian saat pekerjaan selesai dapat diakui sebagai aset definitive. Perbaikan sistem juga dapat digunakan untuk mencata pengeluaran sebagai uang muka pekerjaan dari kontrak Konstruksi. Atas kasus-kasus khusus hendaknya diberikan perlakuan khusus dan kebijakan akuntansi tersendiri didalam pengakuan dari Konstruksi dalam pengerjaan.sehingga Pemerintah daerah memiliki panduan yang konsisten atas suatu kejadian akuntansi. 2. Penelitian ini tidak membahas konstruksi dalam pengerjaan yang ditujukan menjadi aset tetap tanah, aset tetap peralatan dan mesin, aset tetap Jalan Irigasi dan Jaringan serta aset tetap lainnya. Semoga dimasa yang akan datang terdapat penelitian yang membahas kasus dan kebijakan akuntansi atas hal tersebut. DAFTAR PUSTAKA Halim, Abdul, Akuntansi Keuangan Daerah, Edisi Ketiga, Salemba Empat, Jakarta, 2007. Mahmudi, Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN, Yogyakarta, 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000, Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, Jakarta, 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005, Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta, 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Standar Akuntansi Pemerintahan, Jakarta, 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, Standar Akuntansi Pemerintahan, Jakarta, 2010. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta, 2006. Sugiyono, 2012, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Method), Alfabeta, Jakarta. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Jakarta, 2004.
52
PENGARUH CAPITAL ADEQUACY RATIO (CAR), BOPO DAN NON PERFORMING LOAN (NPL) TERHADAP KINERJA KEUANGAN PERBANKAN DI INDONESIA Anggria Maya Matindas Sifrid S. Pangemanan David P.E. Saerang Fakultas Ekonomi dan Bisnis Magister Akuntansi Universitas Sam Ratulangi Manado email:
[email protected] ABSTRACT This study aimed to determine the effect of the Capital Adequacy Ratio (CAR), ROA and NonPerforming Loans (NPLs) of the return on assets (ROA) banking companies listed in Indonesia Stock Exchange 2008-2010 period. Data obtained from the Financial Report issued by Bank Indonesia with the time period of 2008 to 2010. The population of this study were 28 companies and a total sample of 22 companies with a purposive sample passing phase. Analysis techniques will be used in this research is regression to obtain a comprehensive picture of the relationship between one variable with another variable. The results showed that the variable Capital Adequacy Ratio (CAR) is not significant and has a negative relationship to the ability of return of assets (ROA), ROA indicates that the variable ROA ROA significant effect on the banking company. While the Non Performing Loan (NPL) had no significant effect on ROA banking company. The result is expected that the variable Capital Adequacy Ratio (CAR), ROA, and Non-Performing Loans (NPLs) could be considered by the bank management in managing the company to improve the performance of the company. Keywords: CAR, ROA, NPLs, BOPO, and Bank 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan, badan-badan pemerintah dan swasta, maupun perorangan menyimpan dana-dananya. Bank adalah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menyediakan jasa intermediasi & jasa keuangan lainnya kepada perusahaan dan rumah tangga, dengan tujuan untuk memaksimumkan kekayaan pemilik. Resiko yang mungkin terjadi dalam kegiatan perbankan dapat menimbulkan kerugian bagi bank jika tidak dideteksi serta tidak dikelolah sesuai dengan prosedur. Untuk itu bank harus memahami dan mengenal resiko-resiko yang mungkin timbul dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Resiko tidak harus selalu dihindari dari semua keadaan namun semestinya dikelolah secara baik tanpa harus mengurangi hasil yang ingin dicapainya. Peranan perbankan sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu negara. Saat ini perkembangan di dunia perbankan sangat pesat serta tingkat persaingan yang tinggi dapat berpengaruh terhadap performa suatu bank. Semakin maju suatu negara maka semakin besar peranan perbankan dalam mengendalikan negara tersebut. Hal tersebut tampak dalam kegiatan pokok bank yang menerima simpanan dari masyarakat dalam bentuk tabungan, giro, deposito berjangka, dan memberikan kredit kepada pihak yang memerlukan dana. Adapun masalah yang ditimbulkan saat menjalankan usaha perbankan kredit macet hal ini dapat menyebabkan kinerja bank menurun. Dalam pemberian kredit bank di tuntut gara dapat memperoleh keuntungan yang besar sehingga dapat menutupi semua biaya-biaya yang ditimbulkan dalam kegiatan operasionalnya. Kredit yang diberikan kepada masyarakat sangat memberikan laba atau keuntungan yang
53
besar bagi pihak bank. Oleh karena itu bank harus mengelolah dengan baik kredit yang diberikan agar tidak resiko yang akan dihadapi sangat kecil. Penilaian kesehatan bank versi Bank Indonesia mengacu pada unsur-unsur Capital, Assets Quality, Management, Earning, Liquidity dan Sensitivity, sedangkan dalam penelitian ini menerapkan rasio- rasio keuangan yang umum digunakan untuk mengukur kinerja keuangan bank. Alasan dipilihnya Return On Assets (ROA) sebagai variabel dependen dengan alasan bahwa ROA digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. ROA merupakan rasio antara laba sesudah pajak terhadap total assets. Semakin besar ROA menunjukkan kinerja perusahaan semakin baik, karena tingkat pengembalian (return) semakin besar. ROA juga merupakan perkalian antara faktor net income margin dengan perputaran aktiva. Net Income Margin menunjukkan kemampuan memperoleh laba dari setiap penjualan yang diciptakan oleh perusahaan, sedangkan perputaran aktiva menunjukkan seberapa jauh perusahaan mampu menciptakan penjualan dari aktiva yang dimilikinya. Apabila salah satu dari faktor tersebut meningkat (atau keduanya), maka ROA juga akan meningkat. Alasan dipilihnya industri perbankan karena kegiatan bank sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil. Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila sektor moneter tidek bekerja dengan baik. Variabel-variabel tersebut antara lain yaitu Capital Adequacy Ratio (CAR), Biaya Operasi dibanding Pendapatan Operasi (BOPO), Non Performing Loan (NPL). Oleh karena itu perlu diuji kembali konsistensi dari variable-variabel tersebut dalam mempengaruhi kinerja bank. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan dari uraian tersebut, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh terhadap kinerja keuangan Bank yang diukur dengan Return On Asset (ROA) ? 2. Apakah BOPO berpengaruh terhadap kinerja keuangan Bank yang diukur dengan Return On Asset (ROA)? 3. Apakah Non Performing Loan (NPL) berpengaruh terhadap kinerja keuangan Bank yang diukur dengan Return On Asset (ROA) ? 4. Variable-variabel manakah yang paling dominan mempengaruhi kinerja keuangan Bank yang diukur dengan ROA. 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk membuktikan seberapa besar pengaruh CAR, BOPO dan NPL terhadap kinerja keuangan bank yang diukur dengan ROA. 2. Untuk menganalisa variable-variabel manakah yang paling dominan berpengaruh terhadap kinerja keuangan bank yang diukur dengan ROA. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk peneliti sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama menempuh pendidikan di Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi lebih khusus lagi tentang pengaruh CAR, BOPO dan NPL terhadap kinerja keuangan Bank umum di Indonesia yang diukur dengan ROA. 2. Untuk dapat memberikan masukan bagi pihak Bank bahwa CAR, BOPO, dan NPL berpengaruh terhadap kinerja keuangan Bank. 3. Untuk penelitian selanjutnya kiranya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan, masukan dan acuan.
54
1.5 Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian terdahulu yang digunakan sebagai bahan perbandingan dan refrensi untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Wisnu Mawardi (2005) menganalisis pengaruh efisiensi operasi (BOPO), resiko kredit (NPL), resiko pasar (NIM), modal (CAR) terhadap kinerja keuangan (ROA) bank umum yang beroperasi di Indonesia yang mempunyai total assets kurang dari satu trilyun rupiah. Periodisasi data yang digunakan adalah tahun 1998 sampai dengan 2001. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh negatif dan signifikan resiko kredit (NPL) terhadap kinerja keuangan (ROA), pengaruh positif dan signifikan resiko pasar (NIM) terhadap kinerja keuangan (ROA) serta pengaruh negatif dan signifikan efiensi operasi (BOPO) terhadap kinerja keuangan (ROA) dan tidak berpengaruh modal (CAR) terhadap kinerja keuangan ROA. 2. Penelitian Basran Desfian (2005) menguji pengaruh efisiensi, LDR dan CAR terhadap ROA. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa efisiensi, LDR, CAR secara parsial signifikan terhadap ROA bank umum di Indonesia periode 2001-2003 dan secara bersama-sama berpengaruh terhadap ROA bank umum di Indonesia. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Agus Suyono (2005) menguji pengaruh variabel CAR, BOPO, NIM, LDR, NPL, PLO, PK terhadap ROA. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rasio-rasio keuangan bank terutama CAR, BOPO dan LDR mampu mempengaruhi ROA pada bank umum yang beroperasi di Indonesia pada periode 2001 sampai dengan 2003. Penelitian ini bertujuan menguji kembali variabel-variabel yang dalam penelitian terdahulu mempunyai pengaruh terhadap ROA yaitu antara lain CAR, NIM, NPL, BOPO dan LDR. Penelitian ini merupakan replikasi dari ketiga penelitian sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada variabel yang digunakan dan periodisasi data yaitu tahun 2005. 1.6 Hipotesa - Ha1 : Capital Adequacy Ratio CAR berpengaruh terhadap ROA - H01 : Capital Adequacy Ratio CAR tidak berpengaruh terhadap ROA. - Ha2 : Biaya Operasi Dibanding Dengan Pendapatan Operasi (BOPO) berpengaruh terhadap ROA - H02 : Biaya Operasi Dibanding Dengan Pendapatan Operasi (BOPO) tidak berpengaruh terhadap ROA - Ha3 : non performing loan (NPL) berpengaruh terhadap ROA - H03 : non performing loan (NPL) tidak berpengaruh terhadap ROA 2.KERANGKA TEORITIS 2.1 Pengertian Perbankan Menurut Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 10 tahun 1998 pengertian bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan Bank Umum adalah bank yang bertugas melayani seluruh jasa-jasa perbankan dan melayani segenap lapisan masyarakat, baik masyarakat perorangan maupun lembaga-lembaga lainnya. Bank umum juga dikenal dengan nama bank komersil dan dikelompokan kedalam 2 jenis yaitu: bank umum devisa dan bank umum non devisa. Bank umum yang berstatus devisa memiliki produk yang lebih luas daripada bank yang berstatus non devisa. Bank devisa antara lain dapat melaksanakan jasa yang berhubungan dengan seluruh mata uang asing atau jasa bank ke luar negeri, sedangkan bank non devisa tidak. (Kasmir, 2011).
55
2.2 Kinerja Perbankan Penilaian kinerja perbankan menjadi sangat penting dilakukan karena operasi perbankan sangat peka terhadap maju mundurnya perekonomian suatu negara. Kinerja perbankan dapat dinilai dengan pendekatan analisa rasio keuangan. Tingkat kesehatan bank diatur oleh Bank Indonesia dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/5/DPNP 8 Februari 2011 kepada semua bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional perihal sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/ 1 /PBI/2011 tentang sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum, bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan bank secara triwulan. Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta hasil penilaian tingkat kesehatan bank tersebut secara berkala dan sewaktu-waktu untuk posisi penilaian tersebut terutama untuk menguji ketepatan dan kecukupan hasil analisis bank. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank mencakup penilaian terhadap faktor-faktor sebagai berikut: a. permodalan (capital); b. kualitas aset (asset quality); c. manajemen (management); d. rentabilitas (earning); e. likuiditas (liquidity); dan f. sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk). 2.3 Laporan Keuangan Perbankan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan mendefinisikan bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada strategis dalam pembangunan nasional, fungsi utamanya sebagai penghimpun dana dan penyalur dana dengan tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan banyak (Undangundang Perbankan, 1992). Dan sifat bank berbeda dengan bisnis perusahaan manufaktur maupun jenis perusahaan jasa lainnya. Laporan keuangan merupakan suatu informasi yang menggambarkan kondisi suatu perusahaan, dimana selanjutnya itu akan menjadi suatu informasi yang menggambarkan tentang kinerja suatu perusahaan (Irham Fahmi, 2011). Aktiva bank pada umumnya sebagian besar merupakan aktiva likuid dan hanya sedikit aktiva tetap. Oleh karena itu, tingkat perputaran aktiva dan pasivanya sangat tinggi. Bisnis perbankan merupakan usaha yang sangat mengandalkan pada kepercayaan , yaitu kepercayaan masyarakat pengguna jasa bank. Menurut ketentuan Bank Indonesia (1997) setiap bank harus menyajikan laporan keuangan seperti disebut di atas, setiap bank diwajibkan menyampaikan beberapa jenis laporan lainnya untuk disampaikan kepada BI. Laporan lainnya tersebut antara lain : 1. Laporan Mingguan 1. Giro wajib minimum yang mencakup, dana pihak ketiga rupiah / valuta asing per bank dan posisi pos-pos tertentu neraca rupiah dan valuta asing per bank. 2. Laporan keuntungan / kerugian transaksi derivative 3. Laporan posisi devisa netto (PDN) 2. Laporan Bulanan a. Laporan beserta lampiran per kantor (LBU) b. Laporan perkreditan bank umum per kantor ( LPBU) c. Laporan pelanggaran batas maksimal pemberian kredit (BMPK) 3. Laporan Triwulanan, berupa laporan realisasi perkreditan bank terhadap rencana kerja bank. 4. Laporan Semesteran a. Laporan dewan komisaris terhadap pelaksanaan rencana kerja bank b. Laporan keuangan publikasi di surat kabar berbahasa Indonesia
56
c. Laporan dewan audit tentang hasil kinerja audit intern yang telah dilakukan. 5. Laporan Tahunan a. Laporan tahunan yang diaudit oleh akuntan public yang terdaftar di BI yang disertai dengan surat komentar dari akuntan public. b. Laporan realisasi rencana kerja bank 6. Laporan lainnya a. Kerugian transaksi derivative yang melebihi 10 % dari modal bank beserta tindakan yang akan dilakukan untuk mengatasi selambat-lambatnya pada hari kerja berikutnya. b. Laporan khusus mengenai setiap temuan audit yang diperkirakan dapat mengganggu kelangsungan usaha bank yang ditandatangani direktur utama dan ketua dewan audit selambat-lambatnya 15 hari kerja sejak adanya temuan audit. c. Laporan atas setiap penyalahguanaan yang dilakukan melalui sarana teknologi sistem informasi. d. Laporan pelaksanaan dan pokok-pokok hasil audit intern , ditanda tangani oleh direktur utama dan ketua dewan audit selambat-lambatnya 2 bulan setelah akhir Juni dan akhir Desember. 2.4 Analisis Rasio Keuangan Rasio keuangan sangat penting gunanya untuk melakukan analisa terhadap kondisi keuangan perusahaan. Analisis rasio keuangan adalah metode analisis untuk mengetahui hubungan dari pos-pos tertentu dalam neraca atau laporan laba rugi secara individu ataupun secara kombinasi dari kedua laporan tersebut (Munawir,2002). Analisis rasio keuangan merupakan instrumen analisis prestasi perusahaan yang menjelaskan berbagai hubungan dan indikator keuangan yang ditujukan untuk menunjukan perubahan dalam kondisi keuangan atau prestasi operasi di masa lalu dan membantu menggambarkan trend pola perubahan tersebut, untuk kemudian menunjukan resiko dan peluang yang melekat pada perusahaan yang bersangkutan (Warsidi dan Bamabang). 2.5 Return On Assets (ROA) ROA merupakan kemampuan dari modal yang diinvestasikan ke dalam seluruh aktiva perusahaan untuk menghasilkan keuntungan. ROA menggunakan laba sebagai salah satu cara untuk menilai efektivitas dalam penggunaan aktiva perusahaan dalam menghasilkan laba. Semakin tinggi laba yang dihasilkan, maka semakin tinggi pula ROA, hal itu berarti bahwa perusahaan semakin efektif dalam penggunaan aktiva untuk menghasilkan keuntungan. ROA dihitung berdasarkan perbandingan laba sebelum pajak dan rata-rata total assets. Dalam penelitian ini ROA digunakan sebagai indikator performance atau kinerja bank. ROA menunjukkan efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan mengoptimalkan asset yang dimiliki. Semakin tinggi ROA maka menunjukkan semakin efektif perusahaan tersebut, karena besarnya ROA dipengaruhi oleh besarnya laba yang dihasilkan perusahaan. 2.6 Capital Adequacy Ratio (CAR) CAR merupakan salah satu indikator kesehatan permodalan bank. Penilaian permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan modal bank untuk mengcover eksposur resiko saat ini dan mengantisipasi eksopur resiko dimasa yang akan datang. CAR menunjukan seberapa besar modal bank telah memadai untuk menunjang kebutuhannya dan sebagai dasar untuk menilai prospek lanjutan usaha bank besangkutan. Semakin besar CAR makan akan semakin besar daya tahan bank yang bersangkutan dalam menghadapi penyusutan nilai harta bank yang timbul karena adanya harta yang bermasalah. 2.7 Biaya Operasi Dibanding Dengan Pendapatan Operasi (BOPO) BOPO merupakan rasio antara biaya operasi terhadap pendapatan operasi. Biaya operasi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh bank dalam rangka menjalankan aktivitas usaha utamanya seperti biaya bunga, biaya pemasaran, biaya tenaga kerja dan biaya operasi lainnya. Pendapatan operasi merupakan pendapatan utama bank yaitu pendapatan yang diperoleh dari penempatan dana dalam bentuk
57
kredit dan pendapatan operasi lainnya. Semakin kecil BOPO menunjukkan semakin efisien bank dalam menjalankan aktivitas usahanya. Menurut ketentuan Bank Indonesia efisiensi operasi diukur dengan BOPO. 2.8 Non Performing Loan (NPL) NPL merupakan salah satu indikator kesehatan kualitas aset bank. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum, semakin tinggi nilai NPL (diatas 5%) maka bank tersebut tidak sehat. NPL yang tinggi menyebabkan menurunnya laba yang akan diterima oleh bank. Yang dimaksud dengan NPL adalah debitur atau kelompok debitur yang masuk dalam golongan 3, 4, 5 dari 5 golongan kredit yaitu debitur yang kurang lancar, diragukan dan macet. Salah satu resiko yang muncul akibat semakin kompleknya kegiatan perbankan adalah munculnya non performing loan (NPL) yang semakin besar. Semakin besar skala operasi suatu bank maka aspek pengawasan terhadap kegiatan operasi semakin menurun, sehingga mengakibatkan NPL semakin besar atau resiko kredit semakin besar. 3. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Data dan Sumber Data 3.1.1 Jenis Data Data adalah sekumpulan informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan (Kuncoro 2008). Data diperoleh dengan mengukur nilai satu atau lebih variabel dalam sampel (atau populasi). Menurut Kuncoro (2008) jenis data dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu: 1. Data kuantitatif: data yang disajikan dan diukur dalam suatu skala numerik atau dalam bentuk angka-angka. Data kuantitatif dalam penelitian ini berupa data jumlah CAR, BOPO dan NPL yang langsung diperoleh dari laporan keuangan publikasi BI, IDX dan info bank 2011. 2. Data kualitatif: data yang bersifat deskriptif atau berbentuk uraian atau penjelasan serta tidak dapat diukur dalam skala numerik. 3.1.2 Sumber Data Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah Data sekunder : data yang diperoleh dari luar badan usaha (pihak eksternal perusahaan). Data sekunder berupa data laporan keuangan publikasi BI tahun 2008-2010 yang meliputi data Capital Adequacy Ratio (CAR), BOPO dan Non Performing Loan (NPL). Selain itu juga data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai macam buku, jurnal dan sumber lain yang berhubungan dengan kategori data eksternal. 3.2 Teknik Pengumpulan Data Di dalam melengkapi hasil penelitian ini, maka penulis melakukan pengumpulan data dengan cara sebagai berikut : 1. Metode pengumpulan data yang digunakan dengan cara non participant observation, yaitu mencatat atau mengcopy data yang tercantum dalam “Rating 120 Bank Versi Infobank 2010” data dari Infobank tersebut dipublikasikan dalam Infobank No. 387 Juni 2010, data laporan keuangan publikasi BI tahun 2008-2010 dan data lain bersumber dari IDX. 2. Studi Kepustakaan, yaitu suatu metode untuk mendapatkan informasi dari teori-teori dengan cara mempelajari serta mencatat dari buku-buku literatur, majalah, jurnal, serta bahan-bahan informasi lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas oleh penulis, yang kesemuanya itu diperoleh langsung dari perpustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi Manado, perpustakaan PPA (Pendidikan Profesi Akuntan) yang juga ada di Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi Manado, serta melalui jaringan internet dengan penelusuran Google dan Yahoo.
58
3.3
Populasi dan Sampel Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sebagai suatu populasi kelompok subyek ini harus memiliki ciri – ciri atau karakteristik bersama yang membedakan dari kelompok subyek yang lain (Sugiyono 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah bank umum yang beroperasi di Indonesia pada tahun 20082010 yang terdaftar di BEI sebanyak 28 bank. Oleh karena daftar bank pada tahun 2008-2010 berbeda, maka penelitian dilakukan terhadap seluruh 22 bank yang tetap terdaftar di BEI dalam kurun waktu 20082010. Sampel penelitian diambil secara purposive sample dimana sampel digunakan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Tersedia data laporan keuangan dalam kurun waktu penelitian (periode tahun 2008-2010). 2. Bank yang diteliti masih beroperasi dalam kurun waktu penelitian yaitu tahun 2008-2010. Berdasarkan kriteria diatas maka jumlah sampel yang dapat digunakan adalah 22 bank. 3.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Variable-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel dependen berupa kinerja perbankan yang diukur dengan Return On Assets (ROA). ROA pada bentuk yang paling sederhana dihitung sebagai laba dibagi aktiva. ROA dapatdipisahkan menjadi komponen yang memiliki makna relatif terhadap penjualan. Hal inidilakukan karena rasio komponen ini berguna bagi analisis kinerja perusahaan. Penjualanmerupakan kriteria penting untuk menilai profitabilitas perusahaan dan merupakan indikator utama atas aktivitas perusahaan. ROA yang digunakan dalam penelitian mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 dimana didefinisikan sebagai berikut : ROA = Laba Sebelum Pajak Rata – rata Total Aset
2. Variabel independent berupa rasio-rasio keuangan antara lain CAR, BOPO, dan NPL. Masingmasing variabel didefinisikan sebagai berikut : a. Capital Adequancy Ratio (CAR) CAR =
Modal Aktiva Tertimbang Menurut Resiko
b. Biaya Operasi dibanding dengan Pendapatan Operasi (BOPO) BOPO = Total Beban Operasional Total Pendapatan Operasional
c. Non Performing Loan (NPL) NPL = Kredit yang Bermasalah Kredit yang Diberikan
3.5
Metode Analisis Sesuai dengan hipotesis yang dirumukan maka alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda dengan persamaan kuadrat terkecil (OLS). Adapun bentuk model yang digunakan dari model dasar penentuan ROA adalah sebagai berikut : Y = α + 1X1 + 2X2 + 3X3 + Keterangan : Y = ROA 1 = koefisien regresi untuk X1 2 = koefisien regresi untuk X2
59
3 = X1 = X2 = X3 = =
koefisien regresi untuk X3 CAR BOPO NPL error sampling
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Objek Penelitian Berdasarkan pengumpulan data dan jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI periode 2008-2010 pada periode ini terdapat 28 bank, akan tetapi setelah dilakukan purposive sampling, maka sampel yang layak digunakan (memenuhi kriteria) dalam penelitian ini ada 22 buah perusahaan perbankan yang tercatat di BEI. Perusahaan perbankan, dari data 3 tahun periode maka jumlahnya adalah 66 bank. 4.2.Hasil Penelitian 4.2.1 Pengujian Asumsi Klasik Pengujian asumsi klasik dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas. Berdasarkan hasil pengolahan data yang menggunakan program aplikasi SPSS versi 20, maka diperoleh interpretasi dari hasil pengujian asumsi klasik sebagai berikut: 1. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak (Ghozali : 2007). Penelitian ini mengunakan pendekatan grafik Normal P-P of regression standardized residual untuk menguji normalitas data. Jika data menyebar disekitar garis diagonal pada grafik Normal P-P of regression standardized residual dan mengikuti arah garis diagonal tersebut, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas, tetapi jika sebaliknya data menyebar jauh berarti tidak memenuhi asumsi normalitas tersebut (Santoso : 2009). Tabel 4.1 Hasil Pengujian Normalitas
Sumber: Data olahan, 2012
60
Dari gambar 4.1 diketahui bahwa data menyebar disekitar garis diagonal pada grafik Normal P-P of regression standardized residual dan mengikuti arah garis diagonal tersebut, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas 2. Uji Multikolinearitas Suatu model regresi dinyatakan bebas dari multikolinearitas jika mempunyai nilai tolerance lebih dari 0,10 dan nilai Variance Inflation Factor (VIF) kurang dari 10. Tabel 4.2 Hasil Pengujian Multikolinearitas Coefficientsa Model Collinearity Statistics VIF (Constan) CAR 1.072 1 BOPO 1.056 NPL 1.092 a. Dependent Variable: ROA Dari Tabel 4.1 diketahui bahwa semua variabel bebas mempunyai nilai tolerance lebih dari 0,10 dan nilai VIF kurang dari 10. Hal ini berarti bahwa model regresi linear dalam penelitian ini bebas dari multikolinearitas. 3. Uji Heteroskedastisitas Gambar 4.2 Hasil Pengujian Heteroskedastisitas
Sumber: Data olahan, 2010 Untuk mendeteksi ada tidaknya heterokedastisitas dalam penelitian ini, dapat dilihat melalui analisis grafik Scatterplot pada Gambar 4.2. Dari gafik Scatterplot pada Gambar 4.2 terlihat bahwa titiktitik cukup menyebar di atas dan di bawah angka 0 (nol), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi dalam penelitian ini.
61
4.
Uji Autokorelasi Model regresi yang baik seharusnya bebas dari outokorelasi. Deteksi adanya autokorelasi yaitu dengan melihat nilai Durbin Watson (DW) pada Tabel 5.2. Nilai Durbin-Watson adalah 1,581, yang berarti berada di antara -2 dan +2 atau -2 < 1,581 < +2. Maka ini berarti model regresi dalam penelitian ini bebas dari autokorelasi.
Model
Tabel 4.4 Hasil Pengujian Autokorelasi Model Summaryb R R Square Adjusted R Std. Error of Square the Estimate a .361 .130 .088 1.10389
DurbinWatson 1.581
1 Sumber: Data olahan, 2012 Setelah dilakukan pengujian asumsi klasik, yaitu uji normalitas, uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi, maka terbukti bahwa hasil analisa regresi dalam penelitian ini telah bebas dari gangguan normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. 4.2.2. Koefisien Korelasi dan Koefisien Determinasi Tabel 4.5 Hasil Koefisien Korelasi dan Koefisien Determinasi Model Summaryb Model R R Square Adjusted R Std. Error of DurbinSquare the Estimate Watson a 1 .361 .130 .088 1.10389 1.581 a. Predictors: (Constant), NPL, BOPO, CAR b. Dependent Variable: ROA Sumber: Data Olahan, 2012 Pada Tabel 4.3 dapat dilihat nilai koefisien korelasi (R) adalah sebesar 0,361. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga variabel bebas yaitu NPL, BOPO dan CAR secara bersama-sama mempunyai hubungan yang lemah positif terhadap ROA. Hasil perhitungan koefisien determinasi dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.3. Berdasarkan output SPSS pada Tabel 4.3 tampak bahwa nilai koefisien determinasi adalah 0,130. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya pengaruh variabel bebas, yaitu NPL, BOPO dan CAR terhadap variabel terikat yaitu ROA yang dapat diterangkan oleh model persamaan dalam penelitian ini adalah sebesar 13 %, sedangkan sisanya sebesar 87 % diterangkan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model regresi. 4.2.3 Analisis Regresi Berganda Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Regresi Parsial Coefficient Model Unstandardized Standardized t Sig. Coefficients Coefficients B Std. Error Beta (Constant) 3.917 .777 5.044 .000 CAR -.008 .023 -.046 -.371 .712 1 BOPO -.023 .008 -.370 -3.039 .003 NPL .078 .108 .090 .729 .469 a. Dependent Variable: ROA Sumber: Data Olahan, 2012
62
-
-
-
-
Dari hasil analisis dalam tabel diperoleh persamaan regresi linier berganda sebagai berikut : Y = b0 + b1 X 1 + b 2 X2 + b 3 X3 + e Y = 3,917 - 0.008 X1 - 0,023 X2 + 0,078 X3 Dari persamaan regresi linier berganda di atas, dapat menginformasikan bahwa Nilai konstan sebesar 3,917 artinya jika variabel Capital Adequacy Ratio (CAR), dan Biaya Operasi di Banding Pendapatan Operasi (BOPO), dan Non Performing Loans (NPL) dianggap konstan, maka Return on Asset (ROA) akan sebesar 3,917. Koefisien X 1 Capital Adequacy Ratio (CAR) sebesar – 0.008 yang berarti setiap penurunan variabel CAR sebesar satu persen maka akan meningkatkan Return on Asset (ROA) sebesar 0,008 % dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tetap (citeris paribus). Koefisien X 2 Biaya Operasi di Banding Pendapatan Operasi (BOPO) sebesar - 0,023 yang berarti setiap penurunan Variabel BOPO (X 2 ) sebesar satu persen maka akan meningkatkan Kinerja Keuangan Bank yang diproksikan dengan ROA sebesar 0.023 % dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tetap (citeris paribus). Koefisien X 3 Non Performing Loans (NPL) sebesar 0,078 yang berarti setiap kenaikan Variabel NPL (X 3 ) sebesar satu persen maka akan meningkatkan Return on Asset (ROA) sebesar 0,078 % dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tetap (citeris paribus).
4.2.4 Pengujian Hipotesis a. Uji t (Uji Parsial) Uji t adalah untuk menguji pengaruh variabel bebas secara parsial atau sendiri-sendiri, untuk mengetahui kemampuan dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel dependent, dengan menganggap variabel lain konstan/tetap. Tabel 4.7 Hasil Perhitungan Uji t Coefficients Model Unstandardized Standardized t Sig. Coefficients Coefficients B Std. Error Beta (Constant) 3.917 .777 5.044 .000 CAR -.008 .023 -.046 -.371 .712 1 BOPO -.023 .008 -.370 -3.039 .003 NPL .078 .108 .090 .729 .469 a. Dependent Variable: ROA Sumber: Data Olahan, 2012 Nilai ttabel dengan jumlah sampel (n) = 66 ,jumlah variabel (k) = 4, taraf signifikan α = 0,05/2 = 0,025 (uji 2 sisi); degree of freedom (df) = n – k = 66 – 4 = 62 sehingga diperoleh nilai ttabel sebesar ± 2,29 Berdasarkan Tabel 4.6 diperoleh nilai t hitung untuk CAR (X1) sebesar -0,371< dari nilai t tabel sebesar 2,29 dan nilai signifikansi P = 0,712 > α = 0.05, maka Ho1 diterima dan Ha1 ditolak, artinya variable CAR (X1) berpengaruh tidak signifikan terhadap Return on Asset (ROA) dan terdapat hubungan tidak searah. Nilai t hitung X2 sebesar 3,039 > dari nilai t tabel sebesar 2,29, dan nilai signifikansi P = 0,003 > α = 0.05, maka Ho2 ditolak, yang berarti Ha2 diterima artinya variable BOPO berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return on Asset (ROA).
63
Nilai t hitung X3 = 0,729 sebesar 0.551 < dari nilai t tabel sebesar 2,29 dan nilai signifikansi P = 0,469 > α = 0.05, maka Ho3 diterima dan Ha3 ditolak, artinya variable NPL (X1) berpengaruh tidak signifikan terhadap Return on Asset (ROA). b.Uji F (Uji Simultan) Uji statistik F pada dasarnya menunjukan apakah semua variabel independen yang dimasukan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependennya.
Model
Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Uji F ANOVAa Sum of df Mean Squares Square 11.311 3 3.770 75.551 62 1.219 86.862 65
F
Sig.
Regression 3.094 .033b 1 Residual Total a. Dependent Variable: ROA b. Predictors: (Constant), NPL, BOPO, CAR Sumber: Data Olahan, 2012 Berdasarkan hasil uji F yang dapat dilihat pada Tabel 4.7, diperoleh F hitung sebesar 3,904 dengan tingkat signifikansi atau probabilitas sebesar 0,033 > α= 0,05, maka H4 diterima artinya Capital Adequacy Ratio (CAR), dan Biaya Operasi di Banding Pendapatan Operasi (BOPO), dan Non Performing Loans (NPL) tidak berpengaruh signifikan terhadap Kinerja keuangan Bank yang diproksikan dengan ROA. 4.3 Pembahasan Berdasarkan hasil uji F diketahui bahwa kinerja bank yang diproksikan dengan ROA dapat dipengaruhi signifikan secara bersama-sama oleh variabel-variabel CAR, NPL, dan BOPO dengan nilai F hitung sebesar 3,904 dengan nilai signfikansi 0,033. Dari nilai adjusted R square, didapatkan bahwa 13% variabel ROA dapat dijelaskan oleh variasi dari 3 variabel. Hasil uji regresi menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dan mempunyai hubungan yang negatif variable CAR terhadap kemampuan pengembalian asset (ROA) dengan nilai 0,712. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar Capital Adequacy Ratio (CAR) maka ROA yang diperoleh bank akan semakin berkurang. Semakin besar Capital Adequacy Ratio (CAR) maka semakin rendah kemampuan pengembalian asset (ROA) bank, menurunnya CAR tersebut disebabkan terkikisnya modal akibat negatif spread dan peningkatan aset yang tidak diimbangi dengan penambahan modal. Rendahnya CAR bisa menyebabkan turunnya kepercayaan masyarakat yang pada akhirnya dapat menurunkan Kinerja Bank yang ditunjukkan oleh ROA. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil dari penelitian Mawardi (2005) menunjukkan bahwa CAR tidak berpengaruh terhadap ROA yang merupakan proksi dari kinerja keuangan bank umum. Hal ini terjadi karena peraturan Bank Indonesia yang mensyaratkan CAR minimal sebesar 8% mengakibatkan bank-bank selalu berusaha menjaga agar CAR yang dimiliki sesuai dengan ketentuan. Namun bank cenderung menjaga CAR-nya tidak lebih dari 8% karena ini berarti pemborosan. Hal tersebut juga dapat terjadi karena bank belum dapat melempar kredit sesuai dengan yang diharapkan atau belum optimal. Berbeda dengan hasil dari penelitian Desfian (2005) yang menyatakan bahwa CAR berpengaruh positif terhadap ROA. Suyono (2005) menyatakan bahwa perubahan CAR berpengaruh positif dan signifkan terhadap ROA. Modal bank merupakan “engine” dari pada kegiatan bank, jika kapasitas mesinnya terbatas maka sulit bagi bank tersebut untuk meningkatkan kapasitas kegiatan usahanya khususnya dalam penyaluran kredit. CAR dibawah 8% tidak mempunyai peluang untuk memberikan kredit. Padahal
64
kegiatan utama bank adalah menghimpun dana dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit. Dengan CAR yang cukup atau memenuhi kententuan, Selain itu, semakin tinggi permodalan bank maka bank dapat melakukan ekspansi usahanya dengan lebih aman. Adanya ekspansi usaha yang pada akhirnya akan mempengarui kinerja keuangan bank tersebut. Pendanaan yang efisien akan terjadi bila perusahaan mempunyai capital yang optimal. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa variabel BOPO berpengaruh signifikan terhadap ROA dengan nilai signifikasi 0,003 yang berada dibawah 0,05. Hal ini menunjukkan Variabel BOPO berpengaruh signifikan terhadap ROA perusahaan, hal ini menandakan bahwa dengan meningkatnya BOPO pada perusahaan perbankan menandakan perusahaan lebih banyak mengeluarkan biaya operasional dalam menghasilkan laba. Kondisi ini juga menandakan bahwa perusahaan yang menghasilkan laba besar tidak efisien dalam melakukan operasionalnya sehingga BOPO berpengaruh negatif terhadap ROA. Berpengaruhnya BOPO terhadap ROA didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Suyono (2005). Disamping itu BOPO juga merupakan variabel yang mampu membedakan bank yang mempunyai ROA diatas rata-rata maupun bank yang mempunyai ROA dibawah rata-rata. Dalam pengelolaan aktivitas operasional bank yang efisien dengan memperkecil biaya operasional bank akan sangat mempengaruhi besarnya tingkat keuntungan bank yang tercermin dalam ROA sebagai indikator yang mencerminkan efektivitas perusahaan dalam menghasilkan laba dengan memanfaatkan keseluruhan aktiva yang dimiliki. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa variabel NPL tidak berpengaruh signifikan terhadap ROA dengan nilai signifikasi 0,469 yang berada diatas 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengembalian kredit bank tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap besar kecilnya ROA bank. Dalam memberikan kredit, akan meningkatkan piutang bank yang masuk kelompok asset untuk itu bank harus melakukan analisis terhadap kemampuan debitur dalam memenuhi kewajiban mereka kepada bank. Bank harus melakukan peninjauan, penilaian, dan pengikatan terhadap agunan untuk memperkecil risiko kredit atau gagal bayar debitur. Jadi apabila debitur tersebut tidak memenuhi kewajiban mereka kepada bank maka pihak bank dapat menjual agunan debitur untuk menutupi semua tunggakan atau melunasi pinjaman debitur tersebut. Krisis global di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia pada tahun 2008 berdampak negative terhadap kondisi bursa dan pasar keuangan Amerika Serikat. Banyak diantara lembaga-lembaga keuangan yang sudah berusia lebih dari 100 tahun harus meminta penyelamatan keuangan mereka apabila tidak mau gulung tikar. Sedangkan di Indonesia sendiri pemerintah berupaya memperluas jenis aset milik bank yang boleh diagunkan kepada BI, yang tadinya hanya meliputi aset kualitas tinggi. Hal ini ditujukan agar mempermudah bank dalam mengatasi kesulitan likuiditas, sehingga dapat memperoleh jumlah dana yang cukup dari BI. Dari kejadian krisis global di Amerika pada tahun 2008 yang seharusnya jika NPL suatu bank naik maka kinerja bank akan menurun dan berpengaruh terhadap ROA bank, tapi yang tejadi pada tahun 2008 adalah sebaliknya karena saat itu jumlah kredit yang diberikan meningkat sehingga menambah biaya cadangan aktiva produktif yang pada akhirnya mempengaruhi ROA bank. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Mawardi (2005) Non Performing Loan (NPL) berpengaruh terhadap ROA. NPL merupakan perbandingan total pinjaman bermasalah dibanding dengan total pinjaman diberikan pihak ketiga. Bank dapat menjalankan operasinya dengan baik jika mempunyai NPL dibawah 5%. Kenaikan NPL yang semakin tinggi menyebabkan cadangan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang ada tidak mencukupi sehingga pemacetan kredit tersebut harus diperhitungkan sebagai beban (biaya) yang langsung berpengaruh terhadap keuntungan bank dan karena keuntungan atau akumulasi keuntungan juga habis, maka harus dibebankan kepada modal. (Dunil, 2005).
65
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan nilai R square sebesar 0,130 menunjukan bahwa variabel bebas NPL, BOPO dan CAR secara bersama-sama mempunyai hubungan yang lemah positif terhadap ROA. Hal ini berarti 13 persen ROA dipengaruhi oleh ketiga variabel bebas CAR, NPL dan BOPO. Sedangkan sisanya 87 persen dipengaruhi oleh sebab-sebab lain di luar model regresi. 2. Hasil nilai F hitung sebesar 3,094 dengan P value sebesar 0,033 > α = 0,05 yang menunjukkan bahwa variabel CAR, NPL, dan BOPO tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan Bank yang diproksikan dengan ROA. 3. Secara parsial variable CAR tidak berpengaruh terhadap ROA dilihat dari nilai t hitung sebesar 0,371 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,712 yang berarti nilai P value lebih dari 0,05. 4. Variabel NPL secara parsial tidak berpengaruh terhadap ROA dilihat dari nilai t hitung sebesar 0,729 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,469 yang berarti nilai P value lebih dari 0,05. Berdasarkan persamaan regresi menunjukan bahwa tingkat pengembalian kredit bank tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap besar kecilnya ROA bank. Bank dapat menjalankan operasinya dengan baik jika mempunyai NPL dibawah 5%. 5. Variabel BOPO secara parsial berpengaruh signifikan terhadap ROA dilihat dari nilai t hitung sebesar – 3,039 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,003 yang berarti nilai P value kurang dari 0,05. Hal ini menunjukkan Variabel BOPO berpengaruh signifikan terhadap ROA perusahaan, hal ini menandakan bahwa dengan meningkatnya BOPO pada perusahaan perbankan menandakan perusahaan lebih banyak mengeluarkan biaya operasional dalam menghasilkan laba. Kondisi ini juga menandakan bahwa perusahaan yang menghasilkan laba besar tidak efisien dalam melakukan operasionalnya sehingga BOPO berpengaruh negatif terhadap ROA. 5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, disusun sejumlah saran sebagai berikut : 1. Kinerja suatu perbankan dapat ditingkatkan dengan menganalisa setiap permasalahan atau resiko yang mungkin terjadi yang dapat menimbulkan kerugian bagi perbankan. Untuk itu bank harus mengerti dan mengenal resiko-resiko yang mungkin timbul dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Untuk menjaga Non Performing Loan (NPL) kurang dari 5% bank harus melakukan analisa 5C yaitu Character, Capasity, Capital, Condition, dan Colleteral. Untuk laba perbankan sebaiknnya bank menekan semaksimal mungkin biaya-biaya operasional serta meningkatkan pendapatan operasi sehingga dapat menambah laba operasi yang akhirnya meningkatkan ROA. 2. Saran untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat menambah variable independen lainnya yang dapat mengukur kinerja suatu perusahaan perbankan yang nantinya juga berpengaruh terhadap ROA, tentunya dengan mempertimbangkan segala keterbatasan yang ada dalam penelitian ini.. DAFTAR PUSTAKA Irham Fahmi, 2011, Analisis Laporan Keuangan, Alfabeta, Bandung. Ferry, N Idroes dan Sugiarto. 2006, Manajemen Resiko Perbankan, Graha Ilmu, Yogyakarta. Kasmir,2011, Dasar-dasae Perbankan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. James, O Gill dan Moira Chatton, Memahami Laporan Keuangan. Kasmir, 2003, Manajemen Perbankan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Irham Fahmi, 2011, Analisis Kinerja Keuangan, Alfabeta, Bandung. Masyud, H Ali, 2003, Manajemen Resiko, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Jopie Jusuf, 1993, Analisis Kredit Untik Account Officer, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
66
Kasmir, 2008, Analisis Laporan Keuangan, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Infobank 2011. Rating 120 Bank. InfoBank. No.387. Edisi Juni 2011. Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia, 2008, Rintistya Kurniadi, 2012, Pengaruh CAR, NIM, LDR Terhadap Return Saham Perusahaan Perbankan Indonesia. Journal of Accounting Analysis, Vol 1, No. 1. Asna, 2006, Analisis Pengaruh Rasio Keuangan Terhadap Return Saham Perbankan Yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Journal Of Economic, Vol 2 No.3. Mawardi, Wisnu, 2005, Analisis Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan Bank Umum di Indonesia (Studi Kasus pada Bank Umum Dengan Total Asset Kurang dari Satu Triliun), Jurnal Bisnis Strategi, Vol 14, No 1, Juli, pp 83-94 . Peraturan Bank Indonesia No: 11/1/PBI/2009, Bank Umum. Peraturan Bank Indonesia No. 13/ 1 /PBI/2011, Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/10/DPNP tanggal 31 Maret 2005 Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum, Bank Indonesia, Jakarta http://www.bi.co.id http://www.idx.co.id http://www.infobank.com