JURNAL PUSDIKLAT PERDAGANGAN Volume 2 Nomor 1 tahun 2016
ISSN : 2477-3476
REDAKSI
JURNAL PUSDIKLAT PERDAGANGAN Jaringan Informasi Diklat dan Kebijakan Perdagangan Diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perdagangan, Kementerian Perdagangan RI dua kali setahun. Penanggung Jawab : R. Sapuratwi, S.Sos, M.Si Pemimpin Redaksi : Drs. M.Hadi Adji Susanto, MM Editor : Sunang Kori, SE, MM Mitra Bestari : Dr. Parluhutan Tado Sianturi, SE Dr. Teja Primawati Utami, S.TP, MM Dr. Miftah Farid, S.Tp, MSE Dr. Azis Muslim, ST, MSE Dudi Adi Firmansyah, Ph.d Dr. Sukoco, S.Tp, MSE Design Grafis : Nasrudin Fotografer : Suaip Rizal, ST Penerbit : Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perdagangan Alamat : Gedung Pusdiklat Perdagangan, Jalan Abdul Wahab No. 8, Cinangka, Sawangan, Depok, Jawa Barat Telp/fax : 021-7422570, e-mail :
[email protected]
i
JURNAL PUSDIKLAT PERDAGANGAN Volume 2 Nomor 1 tahun 2016
ISSN : 2477-3476
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal Pusdiklat Perdagangan merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perdagangan, Kementerian Perdagangan. Maksud dan tujuan diterbitkannya Jurnal Pusdiklat Perdagangan adalah sebagai sarana pertukaran ilmu pengetahuan dan informasi yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan aparatur dan non aparatur, keilmuan di bidang perdagangan dan kebijakan di sektor perdagangan. Jurnal ini diharapkan dapat menumbuhkan kreativitas dan pertukaran gagasan para widyaiswara, peneliti, akademisi dan pemangku kebijakan sektor perdagangan. Jurnal Pusdiklat Perdagangan berisi pokok-pokok permasalahan baik dalam pengembangan kerangka teoritis, implementasi maupun pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan perdagangan serta pengkajian kebijakan di sektor perdagangan secara keseluruhan. Dalam Vol. 2 No.1, Juli 2016 Jurnal Pusdiklat Perdagangan memuat 14 tulisan ilmiah. Diharapkan setiap naskah yang diterbitkan didalam jurnal ini memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan sumberdaya penelitian didalam bidang ilmu pendidikan dan perdagangan. Tim redaksi membuka pintu lebih lanjut untuk masukan baik kritik, saran dan pembahasan. Semoga jurnal Pusdiklat Perdagangan dapat bermanfaat bagi kita semua.
Selamat menyimak dan semoga bermanfaat.
Salam redaksi
ii
JURNAL PUSDIKLAT PERDAGANGAN Volume 2 Nomor 1 tahun 2016
ISSN : 2477-3476
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI ANALISIS KELEMBAGAAN PRIOR OPTIONS REVIEW (POR) DALAM PELIMPAHAN WEWENANG UNTUK URUSAN KEMETROLOGIAN BERKAITAN DENGAN UU No.23 TAHUN 2014 DAN OIML D-1 EDITION 2012 Noprizal Achmad
1-9
PENERAPAN MODEL PERHITUNGAN MANFAAT FINANSIAL SISTEM RESI GUDANG UNTUK KOMODITAS BAWANG MERAH Rahayu Widyantini
10-21
DAMPAK TARIF DAN KUOTA IMPOR GULA TERHADAP PENAWARAN GULA DAN PENDAPATAN PETANI TEBU DI INDONESIA Vera Lisna dan Munawar Asikin
22-30
MARKET INFORMATION SYSTEM UNTUK MENDUKUNG ORGANIZED PHYSICAL MARKET: TEROBOSAN UNTUK PASAR YANG EFISIEN Nurlisa Arfani
31-38
STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS SWOT (Studi Kasus di Kabupaten Cianjur) Dwi Putri Destiani
39-47
ESTIMASI KETERSEDIAAN DAN FLUKTUASI HARGA BERAS DAN JAGUNG Kumara Jati
48-56
ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN USAHA KECIL MENENGAH (UKM) DAN KOMODITI UNGGULAN DAERAH DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN Gusnida dan Rahmedi Yonis
57-66
DINAMIKA PASAR PRODUK PANGAN SEGAR ANALISIS SKENARIO PERUBAHAN POLA KONSUMSI MASYARAKAT URBAN DI INDONESIA Ratnaningsih Hidayati
67-77
PERAN KAPAL TERNAK DALAM MEMPERLANCAR DISTRIBUSI DAN MENEKAN BIAYA LOGISTIK DAGING SAPI DARI SENTRA PRODUSEN KE SENTRA KONSUMEN DI INDONESIA Avif Haryana danYati Nuryati
78-85
iii
JURNAL PUSDIKLAT PERDAGANGAN Volume 2 Nomor 1 tahun 2016
ISSN : 2477-3476
DAFTAR ISI
REKAYASA ULANG MANAJEMEN PELAYANAN KEPADA ORIENTASI PELANGGAN SEBAGAI BAGIAN REVOLUSI MENTAL DALAM RANGKA MENDUKUNG MODERNISASI INFRASTRUKTUR PERDAGANGAN MENUJU PENINGKATAN DAYA SAING Rizal Himawan
86-95
PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PRAJABATAN DALAM MENDUKUNG REVOLUSI MENTAL CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL (STUDI KASUS: PRAJABATAN GOLONGAN III KABUPATEN MAMUJU TENGAH) Anita
96 -104
MEKANISME PENGAWASAN PERDAGANGAN MINYAK GORENG DENGAN TEKNIK TECHNIQUE FOR OTHERS REFERENCE BY SIMILARITY TO IDEAL SOLUTION (TOPSIS) Yusup Akbar HIkmatuloh
105 - 116
MEKANISME PRODUKSI MINYAK GORENG KEMASAN DENGAN MULTI CRITERIA DECISION MAKING (MCDM) DAN MULTI EXPERT MULTI CRITERIA DECISION MAKING (ME-MCDM) Wahyu Widji Pamungkas
117 - 130
HAK KONSUMEN UNTUK MENDAPATKAN BENAR, JELAS, DAN JUJUR SEBAGAI PRINSIPHUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Adi Wicaksono
131-137
iv
INFORMASI YANG DASAR PRINSIP-
Jurnal Pusdiklat Perdagangan, VOL 2 No.1, JULI 2016 : 48 - 56
ESTIMASI KETERSEDIAAN DAN FLUKTUASI HARGA BERAS DAN JAGUNG
Estimation of Availability and Price Fluctuation of Rice and Corn
Kumara Jati Kementerian Perdagangan Jl. M.I.Ridwan Rais No.5, Jakarta 10110
[email protected] ABSTRACT: This research estimate the availability and price fluctuation of rice and corn in Indonesia by the method of Staple Food Balance Sheets (NPP) and the Structural Time Series (STS). The policy of staple food should consider the condition of production and consumption of staple food for 33 provinces. Based on this analysis, the condition of staple food in Indonesia is varied depend on the characteristic of provinces and commodities. The calculation of staple food balance sheet shows that there are 18 provinces that surplus of rice and 12 provinces that surplus of corn. In national level, rice and corn already self-sufficient but government should consistent using food policy to increase production so that the target to maintain self-sufficient of rice and corn in 2019 can be achieved. Rice and corn price fluctuations are mostly caused by short-run component is seasonal due to the presence of different supply amount in each month. The Structural Time-Series Decomposition Model predicted that rice and corn price in the next 10 months up to December 2016 will be relatively stable with a tendency to increase. Keywords: Staple Food,Price Policy, Structural Time-Series Decomposition, Indonesia
PENDAHULUAN Berdasarkan data BPS (2013), penduduk Indonesia tahun 2015 diperkirakan berjumlah 255 juta orang, sebanyak 17,92 juta jiwa tinggal desa dan 28,55 juta orang hidup dibawah garis kemiskinan. Penghitungan ini berdasarkan asumsi bahwa garis kemiskinan di kota yaitu Rp308.826; dan di desa yaitu Rp275.779; per kapita per bulan. Menurut Wood, et. al. (2012), peningkatan jumlah keluarga miskin di negara berkembang salah satunya disebabkan oleh kenaikan harga pangan. Kenaikan harga pangan paling mempengaruhi kehidupan rakyat miskin karena proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan di kelompok ini paling besar (Monteiro, et.al., 2012; Naranpanawa dan Bandara, 2012). Permasalahan terjadi apabila penduduk miskin ini tidak bisa membeli dan mengakses pangan pokok. Pangan merupakan industri yang sangat strategis dan penting bagi perekonomian Indonesia karena sumber pendapatan utama bagi petani. Berdasarkan penelitian FAO (2001), pangan pokok harus memenuhi
kebutuhan energi manusia untuk menjaga kesehatan. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan menyatakan bahwa definisi ketahanan pangan yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Berdasarkan dua definisi diatas terlihat bahwa isu pangan bukan hanya masalah ketersediaan, tetapi harga juga harus terjangkau oleh masyarakat. Permasalahan terjadi apabila penduduk miskin ini tidak bisa membeli dan mengakses pangan pokok karena langkanya (tidak tersedia) atau harga yang naik. Dari penjelasan diatas, maka analisis ini bertujuan untuk melihat 48
Estimasi Ketersediaan dan Fluktuasi Harga beras dan Jagung, Kumara Jati
bagaimana estimasi ketersediaan dan fluktuasi harga beras dan jagung di Indonesia agar bisa dijangkau oleh rakyat miskin. Metode yang digunakan untuk mengukur dalam penelitian ini yaitu Neraca Pangan Pokok (NPP) dan Struktural Time Series (STS).
Penghitungan produksi beras berdasarkan asumsi: (i) konversi Gabah Kering Giling (GKG) menjadi beras yaitu 57% dari penelitian Arifin (2010); (ii) pendekatan konsumsi dihitung berdasarkan asumsi konsumsi per kapita beras di Indonesia sebesar 139 kg/kapita. Ada beberapa asumsi pendapatan per kapita yang lain dari BPS yaitu: 124 kg/kapita dan 114 kg/kapita, tetapi dalam penelitian ini dipilih asumsi yang terbesar untuk mengimbangi adanya estimasi yang berlebih dari data produksi. Data produksi beras tahun 2015 (BPS, 2015) berdasarkan Aram II dan data produksi beras 2016 berdasarkan prognosa produksi beras dari Kementerian Pertanian (Kementan, 2015) Total konsumsi per provinsi dihitung dari konsumsi per kapita per tahun dikalikan dengan populasi per provinsi. Tanda positif (+) dan negatif (-) merupakan selisih antara produksi dan konsumsi beras. Apabila hasilnya positif (+) maka mengindikasikan provinsi tersebut sudah swasembada beras dan bisa membantu provinsi lain yang defisit beras.
METODOLOGI Metode penghitungan Neraca Pangan Pokok (NPP) Neraca Pangan Pokok (NPP) berdasarkan definisi dari FAO (2002) yaitu gambaran secara komprehensif tentang pola pasokan pangan di suatu negara dalam kurun waktu tertentu termasuk produksi, impor, ekspor, stok dan konsumsi. Jadi dalam penelitian ini kami menggunakan istilah neraca pangan pokok sebagai penghitungan produksi dan konsumsi dari pangan pokok dalam periode tertentu di Indonesia dengan beberapa asumsi tertentu. Neraca pangan pokok ini juga diharapkan dapat memprediksi berapa kira-kira produksi dan konsumsi pangan di tiap-tiap provinsi di masa yang akan datang. Penghitungan Neraca Pangan Pokok (NPP) ini fokus pada 33 provinsi di Indonesia dan hanya melihat produksi serta konsumsi di tiap provinsi. NPP ini tidak memasukkan impor, ekspor serta stok dalam penghitungannya dan lebih sederhana dibandingkan penghitungan FAO. Kelemahan dari penghitungan ini yaitu kurang detail dalam menggambarkan keadaan sebenarnya dari neraca beras dan jagung di suatu provinsi di Indonesia. Namun ada juga kekuatan dari penghitungan ini yaitu lebih cepat dilakukan supaya bisa memberikan gambaran umum ketersediaan pangan suatu provinsi.
Neraca Pangan Pokok Jagung Penghitungan produksi jagung didapat berdasarkan asumsi konversi tongkol jagung ke pipilan jagung yaitu 70% (Aqil, 2010). Dalam hal penghitungan konsumsi, penelitian ini menggunakan asumsi konsumsi jagung per kapita per tahun yaitu 50 kg (Awika, 2011). Penghitungan surplus dan minus jagung sama dengan cara penghitungan neraca pangan pokok beras. Penelitian ini juga memprediksi konsumsi beras dan jagung pada tahun 2035 yang mengacu pada jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 berdasarkan perkiraan BPS yaitu sebesar 305.652.000 jiwa.
Neraca Pangan Pokok Beras NPP beras menunjukkan estimasi produksi dan konsumsi beras di Indonesia. Data mentah diambil dari Kementerian Pertanian untuk padi dan data populasi di Indonesia.
Metode Prediksi Harga Pangan Harga beras dan jagung merupakan dua komoditas yang
49
Jurnal Pusdiklat Perdagangan, VOL 2 No.1, JULI 2016 : 48 - 56
tergolong dalam Volatile Food (VF) atau komoditas sumber utama ketidakakuratan inflasi total yang sulit dimodelkan. Oleh karena itu diperlukan model sederhana yang dapat menjelaskan dinamika VF. Salah satu cara untuk dapat melakukan penilaian dan prediksi jangka pendek VF lebih terstruktur dan akurat adalah dengan melakukan dekomposisi dan proyeksi dalam sebuah model yang komprehensif yaitu Structural Time-Series (STS) Decomposition(Harvey dan Shephard, 1993). Kelebihan dari pendekatan STS ini dibandingkan rata-rata historis harga yaitu lebih terstruktur, dapat memodelkan pola musiman dan ketidakteraturan harga komoditas (irregularity) serta membuat modelnya lebih robust (kuat). STS Decomposition (Harvey dan Peters, 1990; Durbin dan Koopman, 2001) ini terdiri dari 3 komponen yaitu: (1) Komponen Trend yang mengikuti proses random walk.
(3) Komponen Siklus yang modelnya menyerupai Komponen Musiman.
j ,t cos c sin c j ,t 1 K t * sin cos * K * (4) c c j ,t 1 t j ,t untuk t = 1,...,T. Dimana ψt adalah komponen siklus, ρψ dan λc adalah faktor damping dan frekuensi dengan nilai 0< ρψ<1 dan0< λc<π sementara Kt dan Kt* tidak terkorelasi secara mutual N(0,σk2). Jika ketiga komponen tersebut dijumlahkan maka menjadi:
yt t t t t
(5) Jadi yt adalah harga pangan yang diprediksi oleh komponen trend (ԏt), musiman (γt) dan siklus (ψt).Model ini diestimasi dengan metode MLE (Maximum Likelihood Estimation) dan 3 komponen yang sulit untuk diestimasi yang dihasilkan dari Kalman filter (Harvey dan Shephard, 1993). Pengambilan data untuk model ini didapat dari BPS untuk harga beras umum dan dari Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan untuk harga jagung. Periode data yang digunakan yaitu data bulanan Januari 2009 – Februari 2016. Software yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Stamp OxMetrics 7.
t t t 1 nt , nt ~ N (0, 2 ) (1)
t t 1 t ~ N (0, 2 )
(2)
Dimana ԏt adalah komponen trend, μtadalah slope yang dapat bersifat stochastic, dan nt adalah error dari ԏt, serta Ʋt adalah error dari μt. (2) Komponen Musiman spesifikasi (yt) mengikuti trigonometri.
j ,t cos j * sin j j ,t
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penghitungan Neraca Pangan Pokok Penghitungan NPP beras (Tabel 1) menunjukkan ada 18 provinsi di Indonesia yang surplus beras 2015 dan 2016, yaitu: Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, NTB, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Bengkulu, Gorontalo, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara (berdasarkan urutan paling tinggi ke paling rendah surplus beras).
yang model
sin j j ,t 1 t cos j *j ,t 1 t*
(3) untuk j = 1,...,[s/2]; t = 1,...,T. Dimana γt adalah komponen musiman, ωt adalah error dari γt.
50
Estimasi Ketersediaan dan Fluktuasi Harga beras dan Jagung, Kumara Jati
Urutan 3 (tiga) besar provinsi yang surplus beras yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan surplus secara berurutan sebesar 1.812 ribu ton, 1.580 ribu ton dan 1.326 ribu ton di tahun 2015, serta 2.012 ribu ton, 2.025 ribu ton dan 1.609 ribu ton. Hal yang menarik adalah di tahun 2016 posisi nomor satu provinsi surplus beras diambil alih oleh Jawa Timur dari Sulawesi Selatan. Hal ini terjadi karena peningkatan produksi Jawa Timur yaitu sebesar 444 ribu ton lebih besar daripada peningkatan produksi beras di Sulawesi Selatan sebesar 200 ribu ton. Penghitungan NPP beras juga menghasilkan 15 provinsi yang defisit beras yaitu: Bali, Papua Barat, Yogyakarta, Maluku Utara, Maluku, Bangka Belitung, Jambi, Kepulauan Riau, NTT, Papua, Kalimantan Timur, Banten, Jawa Barat, Riau dan Jakarta. 3 (tiga)provinsi yang disebutkan terakhir merupakan 3 (tiga) besar provinsi yang
defisit beras terbesar di tahun 2015 dengan defisit secara berurutan sebesar 523 ribu ton, 681 ribu ton dan 1.411 ribu ton. Sedangkan urutan 3 (tiga) besar defisit di tahun 2016 yaitu Banten, Riau dan Jakarta dengan defisit secara berurutan sebesar 484 ribu ton, 647 ribu ton dan 1.410 ribu ton. Provinsi Jawa Barat diperkirakan hanya akan defisit sebesar 84 ribu ton di tahun 2016 karena Kementerian Pertanian memprediksi akan ada peningkatan jumlah produksi beras sebesar 439 ribu ton dalam waktu setahun. Peningkatan produksi di Jawa Barat juga diperkirakan terjadi karena akan ada peningkatan luas panen sebesar 24.351 hektar dari tahun 2015 ke 2016. NPP beras juga memprediksi kira-kira jumlah konsumsi beras di tahun 2035 yaitu sebesar 42.486.000 ton atau akan ada kenaikan sebesar 7 juta ton atau sekitar 20% dalam waktu 19 tahun.
Tabel 1. Penghitungan Neraca Pangan Pokok Beras (Ribu Ton)
No
Provinsi
Prod.
2015 Kons.
+/-
Prod.
2016* Kons.
+/-
2035* Kons.
1
Sulsel
2.996
1.184
1.812
3.196
1.184
2.012
1.348
2
Jatim
6.980
5.400
1.580
7.424
5.400
2.025
5.717
3 R
Jateng R
6.020 R
4.695 R
1.326 R
6.303 R
4.695 R
1.609 R
5.173 R
31
Jabar
5.970
6.493
(523)
6.409
6.493
(84)
7.942
32
Riau
201
882
(681)
235
882
(647)
1.301
33
Jakarta
1.415 (1.411)
5
1.415 (1.410)
1.593
Indonesia
4
39.964 35.509
4.455 42.687 35.509
7.177 42.486
Sumber=BPS, 2015: Kementan, 2015 (diolah), Prod.=Produksi, Kons.=Konsumsi, +/- = surplus / defisit, *=prediksi, R=Rangkum (Provinsi urutan ke 6 – 28 tidak dimasukkan ke tabel).
Penghitungan NPP Jagung (Tabel 2) menunjukkan ada 12 provinsi di Indonesia yang surplus jagung di tahun 2015 dan 2016, yaitu: Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, NTB, Gorontalo, Sumatera
Utara, NTT, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Yogyakarta, dan Sulawesi Barat (berdasarkan urutan paling tinggi ke paling rendah surplus jagung). Urutan 3 (tiga) besar provinsi yang surplus jagung yaitu: Jawa Timur, 51
Jurnal Pusdiklat Perdagangan, VOL 2 No.1, JULI 2016 : 48 - 56
Lampung dan Sulawesi Selatan dengan surplus secara berurutan sebesar 2.349ribu ton, 646 ribu ton, dan 644 ribu ton di tahun 2015, serta 3.063 ribu ton, 1.178 ribu ton dan 905 ribu ton di tahun 2016. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2015), diperkirakan produksi jagung di 3 provinsi ini naik karena adanya peningkatan luas panen yaitu di Jawa Timur sebesar 173.407 hektar (naik 14,3%), di Lampung sebesar 95.679 hektar (naik 29,7%) dan di Sulawesi Selatan sebesar 74.710 hektar (naik 25%). Penghitungan NPP jagung (Tabel 2) juga menghasilkan 21 provinsi yang defisit jagung yaitu: Papua Barat, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Bengkulu, Bangka Belitung, Maluku, Sulawesi Tenggara, Kepulauan Riau, Aceh, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah, Jambi, Papua, Kalimantan Barat, Bali, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Riau, Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Tiga provinsi yang disebutkan terakhir merupakan 3 provinsi yang defisit jagung terbesar dengan defisit secara berurutan sebesar 509 ribu ton, 589 ribu ton dan 1.664 ribu ton di tahun 2015, serta 509 ribu ton, 587 ribu ton dan 1.429 ribu ton di tahun 2016. Berdasarkan data Kementan (2015), penurunan produksi jagung di Jawa Barat diduga terjadi karena penurunan produktivitas dari 75,7 kuintal / hektar di tahun 2015 menjadi 72,74 kuintal / hektar di tahun 2016. NPP jagung juga memprediksi kira-kira jumlah konsumsi jagung di tahun 2035 yaitu sebesar 2.510 ribu ton atau sekitar 20% dalam waktu 19 tahun (persentase kenaikan ini relatif sama dengan beras).
Tabel2. Penghitungan Neraca Pangan Pokok Jagung (Ribuan Ton)
Prod.
2015 Kons.
Prod.
2016* Kons.
+/-
2035* Kons.
+/-
1 Jatim
4.292
1.942
2.349
5.006
1.942
3.063
2.056
2 Lampung
1.052
406
646
1.584
406
1.178
457
1.070 R
426 R
644 R
1.331 R
426 R
905 R
485 R
31 Jakarta
-
509
(509)
-
509
(509)
573
32 Banten
8
598
(589)
11
598
(587)
802
2.335 (1.664)
906
2.335 (1.429)
2.857
No
Provinsi
3 Sulsel R R
33 Jabar Indonesia
672
13.728 12.773
955 16.800 12.773
4.027
15.283
Sumber=BPS, 2015; Kementan, 2015 (diolah), Prod.=Produksi, Kons.=Konsumsi, +/- = surplus / defisit, *=prediksi, R=Rangkum (Provinsi urutan ke 6 – 28 tidak dimasukkan ke tabel).
Prediksi Harga Pangan Pokok Beras Pendekatan STS Decomposition terhadap harga beras menunjukkan bahwa : (1) dinamika harga beras bersumber dari tingginya komponen musiman, (2) komponen musiman beras cenderung stabil dengan kecenderungan sedikit menurun, (3) tidak adanya irregularity di harga beras
(Gambar 1). Irregularities pada beras tidak terjadi karena diperkirakan adanya intervensi pemerintah melalui Bulog pada saat terjadi musim paceklik atau hari raya besar keagamaan. Prediksi harga beras dari bulan Maret sampai dengan Desember 2016 akan meningkat sebesar 4,73% (Tabel 3). Fluktuasi harga beras sebagian 52
Estimasi Ketersediaan dan Fluktuasi Harga beras dan Jagung, Kumara Jati
Kenaikan harga beras ini masih dibawah toleransi Koefisien Keragaman (KK) yang berdasarkan Indikator Kinerja Utama (IKU) Kementerian Perdagangan sebesar 9%. Jadi dampak kenaikan harga beras terhadap rakyat miskin tidak terlalu besar. Meskipun demikian, apabila terjadi kenaikan beras sebesar 4,73% maka ada kemungkinan selisih harga beras domestik dan paritas Thailand atau Vietnam dapat semakin membesar. Apabila disparitas harga ini terlalu tinggi maka dapat terjadi peningkatan penyelundupan beras yang harus diantisipasi.
besar disebabkan oleh komponen jangka pendek yaitu musiman yang bisa terjadi karena adanya masalah jumlah pasokan beras yang relatif berbeda tiap bulannya. Pola kondisi surplus beras di Indonesia biasanya terjadi antara bulan Maret-September, sedangkan kondisi defisit beras biasanya terjadi OktoberFebruari (Kementan, 2014). Komponen musiman tinggi di awal tahun karena musim paceklik beras, tinggi di pertengahan tahun karena musim panen beras, kemudian turun lagi di akhir tahun karena panen semakin sedikit. Beras
Trend
Level
12000
10000
8000
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Musiman
Beras-Seasonal Beras-Seasonal 200
0
-200 2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Sumber: hasil penghitungan software Stamp OxMetrics 7, diolah Gambar 1. Perkembangan Harga Beras dan Pengaruh Komponen Trend dan Musiman Tabel 3. Tabel Estimasi Harga Pangan Pokok Beras dan Jagung (Rp/kg) Periode
Harga Beras
% Perubahan
Harga Jagung
% Perubahan
Jan-16
13.319
6.759
Feb-16
13.376
7.237
Mar-16
13.442
0,50
7.309
0,99
Apr-16
13.151
-2,17
7.323
0,19
Mei-16
13.138
-0,10
7.386
0,87
Jun-16
13.230
0,69
7.366
-0,28
Jul-16
13.385
1,17
7.383
0,23
Agust-16
13.512
0,95
7.438
0,74
Sep-16
13.621
0,81
7.497
0,80
Okt-16
13.674
0,38
7.512
0,20
Nop-16
13.771
0,71
7.465
-0,63
Des-16 Perubahan Maret-Desember 2016
14.015
1,78
7.546
1,09
Koefisien Keragaman
4,73
4,20
2 (stabil)
2,8 (stabil)
Sumber: BPS untuk harga beras umum dan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan untuk harga jagung, 2016 (diolah), harga Jan-Feb 2016 data riil, harga Mar-Des 2016 hasil prediksi.Koefisien Keragaman = standar deviasi dibagi rata-rata, jika dibawah 9 maka stabil.
53
Jurnal Pusdiklat Perdagangan, VOL 2 No.1, JULI 2016 : 48 - 56
Prediksi Harga Pangan Pokok Jagung Pendekatan STS Decomposition terhadap harga jagung menunjukkan bahwa : (1) dinamika harga jagung bersumber dari tingginya komponen musiman dan irregularity yang terkait dengan pasokan jagung dari dalam dan luar negeri serta produksi jagung yang bersifat musiman, (2) komponen musiman jagung cenderung stabil, (3) adanya irregularity harga jagung yang terjadi pada tahun 2010 dan awal tahun 2016 (Gambar 2). Fluktuasi harga jagung menyerupai fluktuasi harga beras dimana sebagian besar disebabkan oleh komponen jangka pendek musiman. Perbedaan fluktuasi harga beras dan jagung yaitu adanya irregularity di jagung yang disebabkan oleh penurunan produksi jagung akibat La Nina di tahun 2010 (USDA, 2010) dan terhambatnya pasokan jagung dari luar negeri di awal tahun 2016 (Detik, 2016). Kebijakan impor jagung sudah tidak
Jagung
7000
diatur di kebijakan Kementerian Perdagangan tetapi Kementerian Pertanian mengeluarkan Permentan No.57/Permentan/PK.110/11/ 2015 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Bahan Pakan Asal Tumbuhan ke dan dari Wilayah Negara Republik Indonesia. Peraturan Kementerian Pertanian ini dianggap menghambat impor jagung sehingga terjadi kelangkaan pasokan jagung yang menyebabkan harga jagung naik sebesar Rp.721 (11%) di bulan Februari 2016 jika dibandingkan dengan bulan Desember 2015. Prediksi harga jagung dari bulan Maret sampai dengan Desember 2016 akan meningkat sebesar 4,2% (Tabel 3). Kenaikan harga jagung ini masih dibawah toleransi Koefisien Keragaman (KK) yang berdasarkan Indikator Kinerja Utama (IKU) Kementerian Perdagangan sebesar 9%. Jadi dampak kenaikan harga jagung terhadap rakyat miskin tidak terlalu besar.
Level
Trend
5000
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
50
2016
Musiman
Jagung-Seasonal
0 -50 2009
2010
2011
2012
2013
2014
2016
Irregularities
Jagung-Irregular
10
2015
0 -10 2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Sumber: hasil penghitungan software Stamp OxMetrics 7, diolah Gambar 2. Perkembangan Harga Jagung dan Pengaruh Komponen Trend, Musiman serta Irregularities
54
2016
Estimasi Ketersediaan dan Fluktuasi Harga beras dan Jagung, Kumara Jati
SIMPULAN Pada tingkat nasional, komoditi beras dan jagung sudah swasembada. Namun berdasarkan penghitungan NPP, hanya ada 18 provinsi yang surplus beras dan 12 provinsi yang surplus jagung. Perlu adanya koordinasi antar pemangku kepentingan sehingga distribusi beras dari provinsi yang surplus bisa didistribusikan ke provinsi yang defisit. Pemerintah juga harus menjaga konsistensi kebijakan pangan untuk peningkatan produksi sehingga target mempertahankan swasembada pangan beras dan jagung tahun 2019 dapat tercapai. Prediksi harga beras dan jagung domestik memiliki tren meningkat dengan persentase sebesar 4,73% dan 4,2% dalam 10 bulan sampai dengan Desember 2016. Maka ada kemungkinan selisih harga beras domestik dan paritas Thailand atau Vietnam dapat semakin membesar. Apabila disparitas harga ini terlalu tinggi maka dapat terjadi peningkatan penyelundupan beras yang harus diantisipasi. Prediksi kenaikan harga beras dan jagung ini masih dibawah batas toleransi Indikator Kinerja Utama (IKU) Kementerian Perdagangan dengan batas 9%. Jadi apabila kenaikan harga pangan ini tidak terlalu tinggi maka penduduk miskin tidak terlalu merasakan dampaknya. Meskipun demikian kebijakan penyaluran rastra (beras sejahtera)/raskin tetap harus dapat terlaksana secara rutin untuk masyarakat yang membutuhkan. Selain itu operasi pasar dan pasar murah dapat terus dilakukan pada saat terjadi kelangkaan atau kenaikan harga beras dan jagung terutama pada saat puasa dan hari besar keagamaan. Dalam penelitian selanjutnya ada kesempatan untuk membuat Neraca Pangan Pokok dengan memperhitungkan ekspor dan impor, karena berdasarkan data impor beras dan jagung ternyata Indonesia masih sangat tergantung dari produksi negara lain. Rata-rata impor beras dalam 3
tahun terakhir sebesar 726 ribu ton dan rata-rata impor jagung dalam tiga tahun terakhir sebesar 3,2 juta ton. Salah satu penyebab relatif tingginya impor beras dan jagung karena tingginya permintaan jagung dari 15 provinsi yang defisit beras dan 21 provinsi defisit jagung. Impor juga bisa menyebabkan ketidakstabilan harga pengaruh dari pasar internasional (Byerlee et al., 2005). Hal ini terkait dengan variabilitas dari harga paritas impor sehingga ketidakstabilan harga dapat terjadi di pasar domestik atau disebut sebagai (imported instability). DAFTAR PUSTAKA Arifin,
B. 2010. Analisis Ekonomi: Disasosiasi Produksi, Stok, dan Harga. Nasional.kompas.com. Senin, 29 November 2010. Aqil, M. 2010. Pengembangan Metodologi untuk Penekanan Susut Hasil pada Proses Pemipilan Jagung. Prosiding Pekan Serealia Nasional 2010. Badan Penelitian Tanaman Serealia, Sulawesi Selatan, 2010. Awika, J.M. 2011. Major Cereal Grains Production and Use Around the World. American Chemical Society Symposium Series, Soil and Crop Science Department, Nutrition and Food Science Department, USA. Byerlee, D., Jayne, T. S. and Myers, R. 2005. Managing Food Price Risks and Instability in an Environment of Market Liberalization. World Bank, Washington, DC. BPS. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Katalog BPS: 2101018, Bappenas, BPS, dan UNFPA, Jakarta. BPS. 2015. Produksi Padi Menurut Provinsi (ton), 1993-2015. Laporan dari Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/linkTableDina mis/view/id/865(diakses 9 Februari 2016). Detik. 2016. Kementan Sebut Ada Jagung Impor Ilegal, Ini Respons Pengusaha Pakan Ternak. 29 Januari. http://finance.detik.com/read/2016/01 /29/115502/3130316/4/kementansebut-ada-jagung-impor-ilegal-ini-
55
Estimasi Ketersediaan dan Fluktuasi Harga beras dan Jagung, Kumara Jati
espons-pengusaha-pakan-ternak (diakses 23 Juni 2016). Durbin, J dan Koopman, S.J. 2001. Time Series Analysis by State Space Methods. Oxford University Press. FAO. 2001. Human Energy Requirements. Report of a Joint FAO/WHO/UNU Expert Consultation, Rome, Food and Agriculture Organization, 17-24 October 2001. FAO. 2002. Training in the Preparation of Food Balance Sheets. Paper No.5Food Balance Sheets History, Sources, Concepts and Definitions, Food and Agriculture Organization. Harvey, A.C. dan Peters, S. 1990. Estimating Procedurs for Structural Time Series Models. Journal of Forecasting, Vol.9, 89-108. Harvey, A.C. dan Shephard, N. 1993. Structural Time Series Models. Handbook of Statistics, Vol.11, Elsevier Science.
Kementan. 2014. Kementerian Pertanian Prediksi Tahun Ini Surplus Beras 4,2 Juta Ton. Laporan dari Kementerian Pertanian. Kementan. 2015. Pronosa Produksi Padi dan Jagung Tahun 2016. Laporan dari Direktorat Budidaya Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. Naranpanawa, A. & Bandara, J.S. (2012). “Poverty and Growth Impacts of High Oil Prices: Evidence From Sri Lanka”. Energy Policy xx (2012) xx-xx. USDA. 2010. MY2010/2011 Rice and Corn Main-Crops Back on Track. Report of Global Agricultural Information Network, USDA. Wood, B.D.K., Nelson, C.H., & Nogueira, L. 2012. Poverty Effects of Food Price Escalation: The Importance of Substitution Effects in Mexican Households. Food Policy 37 (2012) 77-85.
vi