JURNAL PUSDIKLAT PERDAGANGAN Volume 2 Nomor 1 tahun 2016
ISSN : 2477-3476
REDAKSI
JURNAL PUSDIKLAT PERDAGANGAN Jaringan Informasi Diklat dan Kebijakan Perdagangan Diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perdagangan, Kementerian Perdagangan RI dua kali setahun. Penanggung Jawab : R. Sapuratwi, S.Sos, M.Si Pemimpin Redaksi : Drs. M.Hadi Adji Susanto, MM Editor : Sunang Kori, SE, MM Mitra Bestari : Dr. Parluhutan Tado Sianturi, SE Dr. Teja Primawati Utami, S.TP, MM Dr. Miftah Farid, S.Tp, MSE Dr. Azis Muslim, ST, MSE Dudi Adi Firmansyah, Ph.d Dr. Sukoco, S.Tp, MSE Design Grafis : Nasrudin Fotografer : Suaip Rizal, ST Penerbit : Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perdagangan Alamat : Gedung Pusdiklat Perdagangan, Jalan Abdul Wahab No. 8, Cinangka, Sawangan, Depok, Jawa Barat Telp/fax : 021-7422570, e-mail :
[email protected]
i
JURNAL PUSDIKLAT PERDAGANGAN Volume 2 Nomor 1 tahun 2016
ISSN : 2477-3476
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal Pusdiklat Perdagangan merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perdagangan, Kementerian Perdagangan. Maksud dan tujuan diterbitkannya Jurnal Pusdiklat Perdagangan adalah sebagai sarana pertukaran ilmu pengetahuan dan informasi yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan aparatur dan non aparatur, keilmuan di bidang perdagangan dan kebijakan di sektor perdagangan. Jurnal ini diharapkan dapat menumbuhkan kreativitas dan pertukaran gagasan para widyaiswara, peneliti, akademisi dan pemangku kebijakan sektor perdagangan. Jurnal Pusdiklat Perdagangan berisi pokok-pokok permasalahan baik dalam pengembangan kerangka teoritis, implementasi maupun pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan perdagangan serta pengkajian kebijakan di sektor perdagangan secara keseluruhan. Dalam Vol. 2 No.1, Juli 2016 Jurnal Pusdiklat Perdagangan memuat 14 tulisan ilmiah. Diharapkan setiap naskah yang diterbitkan didalam jurnal ini memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan sumberdaya penelitian didalam bidang ilmu pendidikan dan perdagangan. Tim redaksi membuka pintu lebih lanjut untuk masukan baik kritik, saran dan pembahasan. Semoga jurnal Pusdiklat Perdagangan dapat bermanfaat bagi kita semua.
Selamat menyimak dan semoga bermanfaat.
Salam redaksi
ii
JURNAL PUSDIKLAT PERDAGANGAN Volume 2 Nomor 1 tahun 2016
ISSN : 2477-3476
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI ANALISIS KELEMBAGAAN PRIOR OPTIONS REVIEW (POR) DALAM PELIMPAHAN WEWENANG UNTUK URUSAN KEMETROLOGIAN BERKAITAN DENGAN UU No.23 TAHUN 2014 DAN OIML D-1 EDITION 2012 Noprizal Achmad
1-9
PENERAPAN MODEL PERHITUNGAN MANFAAT FINANSIAL SISTEM RESI GUDANG UNTUK KOMODITAS BAWANG MERAH Rahayu Widyantini
10-21
DAMPAK TARIF DAN KUOTA IMPOR GULA TERHADAP PENAWARAN GULA DAN PENDAPATAN PETANI TEBU DI INDONESIA Vera Lisna dan Munawar Asikin
22-30
MARKET INFORMATION SYSTEM UNTUK MENDUKUNG ORGANIZED PHYSICAL MARKET: TEROBOSAN UNTUK PASAR YANG EFISIEN Nurlisa Arfani
31-38
STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS SWOT (Studi Kasus di Kabupaten Cianjur) Dwi Putri Destiani
39-47
ESTIMASI KETERSEDIAAN DAN FLUKTUASI HARGA BERAS DAN JAGUNG Kumara Jati
48-56
ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN USAHA KECIL MENENGAH (UKM) DAN KOMODITI UNGGULAN DAERAH DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN Gusnida dan Rahmedi Yonis
57-66
DINAMIKA PASAR PRODUK PANGAN SEGAR ANALISIS SKENARIO PERUBAHAN POLA KONSUMSI MASYARAKAT URBAN DI INDONESIA Ratnaningsih Hidayati
67-77
PERAN KAPAL TERNAK DALAM MEMPERLANCAR DISTRIBUSI DAN MENEKAN BIAYA LOGISTIK DAGING SAPI DARI SENTRA PRODUSEN KE SENTRA KONSUMEN DI INDONESIA Avif Haryana danYati Nuryati
78-85
iii
JURNAL PUSDIKLAT PERDAGANGAN Volume 2 Nomor 1 tahun 2016
ISSN : 2477-3476
DAFTAR ISI
REKAYASA ULANG MANAJEMEN PELAYANAN KEPADA ORIENTASI PELANGGAN SEBAGAI BAGIAN REVOLUSI MENTAL DALAM RANGKA MENDUKUNG MODERNISASI INFRASTRUKTUR PERDAGANGAN MENUJU PENINGKATAN DAYA SAING Rizal Himawan
86-95
PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PRAJABATAN DALAM MENDUKUNG REVOLUSI MENTAL CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL (STUDI KASUS: PRAJABATAN GOLONGAN III KABUPATEN MAMUJU TENGAH) Anita
96 -104
MEKANISME PENGAWASAN PERDAGANGAN MINYAK GORENG DENGAN TEKNIK TECHNIQUE FOR OTHERS REFERENCE BY SIMILARITY TO IDEAL SOLUTION (TOPSIS) Yusup Akbar HIkmatuloh
105 - 116
MEKANISME PRODUKSI MINYAK GORENG KEMASAN DENGAN MULTI CRITERIA DECISION MAKING (MCDM) DAN MULTI EXPERT MULTI CRITERIA DECISION MAKING (ME-MCDM) Wahyu Widji Pamungkas
117 - 130
HAK KONSUMEN UNTUK MENDAPATKAN BENAR, JELAS, DAN JUJUR SEBAGAI PRINSIPHUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Adi Wicaksono
131-137
iv
INFORMASI YANG DASAR PRINSIP-
Analis Kelembagaan Prior Options Review (POR) ..., Noprizal Achmad
ANALISIS KELEMBAGAAN PRIOR OPTIONS REVIEW (POR) DALAM PELIMPAHAN WEWENANG UNTUK URUSAN KEMETROLOGIAN BERKAITAN DENGAN UU No.23 TAHUN 2014 DAN OIML D-1 EDITION 2012 Institutional Analysis Modelling with Prior Options Review (POR) for The Devolution of Authority in Metrology Relating with Act No.23 of 2014 and OIML D-1 Edition 2012 Noprizal Achmad Balai Pengelolaan Standar Nasional Satuan Ukuran Direktorat Metrologi Kementerian Perdagangan Jl. Pasteur No.27 Bandung
[email protected];
[email protected]
ABSTRACT: Devolution of authority in the implementation of government's affairs is needed to support the effectiveness of the government’s performance and in order to optimize service to the community. In Act No. 23 of 2014 concerning The administration of local Government, the delegation of authority consist of the principle of decentralization, deconcentration, and the principle of joint administration and also involve the participation of the society with particular mechanism. Services in the field of Legal Metrology is one of public service that supports the economy of a country because a truth measurement of a product will ensure the quality and quantity of the product and can minimize the technical barriers to trade, both in domestic trade and foreign trade. In OIML D-1, it is mentioned that the devolution of authority in the field of metrology consist of the transfer of authority and the delegation of authority depending on the regulations in the country. In this paper, we discuss the institutional analysis model Options Review Prior to the delegation of authority in the field of metrology in relation to Act No. 23 of 2014 about The Administration of Local Government and OIML D-1 edition 2012 about Consideration For a Law on Metrology. Keywords: Prior Options Review, Devolution of Authority, Act No.23 of 2014, OIML D-1 Edition 2012
PENDAHULUAN
2. Urusan Pemerintahan Konkuren, yaitu urusan pemerintahan yang kewenangannya dibagi antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kab/Kota dan menjadi dasar dalam pelaksanaan otonomi daerah/desentralisasi/transfer of authority. Untuk selanjutnya, Pembagian Urusan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kab/Kota untuk Urusan Pemerintahan Konkuren dapat dilihat pada bagian Lampiran dari UU No.23 Tahun 2014. Dengan berlaku UU No.23 Tahun 2014 tentunya Peraturan Pemerintah yang merupakan penjelasan dari UU 32 Tahun 2004, yaitu PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Pengganti UU Nomor 32 Tahun 2004), Urusan Pemerintahan terdiri dari 3 (tiga) yaitu: 1. Urusan Pemerintahan Absolut, yaitu urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pusat. Menurut Undang-Undang ini, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut, Pemerintah Pusat dapat melaksanakannya sendiri atau melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang adadi daerah atau Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat atas dasar dekonsentrasi/ delegation of authority.
1
Jurnal Pusdiklat Perdagangan, VOL 2 No.1, JULI 2016 : 1 - 9
3. Pemerintahan Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota dan PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Perangkat Daerah harus direvisi pula karena ada bagian-bagian tertentu yang tidak sejalan dengan Undang-Undang yang baru ini. 4. Urusan Pemerintahan Umum, yaitu urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara.
sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Misalnya untuk urusan di bidang agama, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional. Karakteristik dari dekonsentrasi adalah sebagai berikut: a. Adanya Delegation of authority. b. Policy executing only. c. Yang diserahi adalah pejabat pusat ditempatkan di pelosok tanah air. d. Munculnya aparat pusat di pelosok tanah air yang dilakukan dengan penunjukan (appointment system). e. Aparat pusat tersebut memiliki wilayah kerja dengan jangkauan yurisdiksi tertentu. f. Wilayahnya disebut wilayah administrasi. g. Keputusan pejabat lokal dapat ditiadakan atau dibatalkan oleh pejabat atasannya. h. Hubungan yang terjadi antara Pejabat yang tersebar di pelosok tanah air dengan atasannya adalah hubungan intra organisasi.
Secara umum asas pelimpahan wewenang dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di Indonesia ada 3 (tiga), yaitu: (Asshidiqie, Jimly :2006) 1. Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun karakteristik dari desentralisasi adalah sebagai berikut: a. Adanya Transfer of Authority. b. Adanya Policy making dan policy executing. c. Yang diserahi adalah satuan politik atas dasar wilayah masyarakat hukum yang disebut sebagai daerah otonom. d. Adanya lembaga representatif di tingkat lokal dengan pemilihan (election system). e. Wilayahnya dibentuk dalam jangkauan yurisdiksi tertentu. f. Terdapat otonomi karena adanya penyerahan wewenang pengambilan kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dalam bidang tertentu. g. Keputusan pejabat dalam pemerintahan daerah tidak dapat langsung dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. h. Hubungan yang terjadi antara Pemerintah Pusat dan daerah otonom adalah hubungan antar Organisasi.
3. Tugas Pembantuan, yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah propinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Tujuan diberikannya tugas pembantuan adalah : a. Untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat serta pembangunan. b. Bertujuan untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu untuk mengembangkan pembangunan daerah dan desa sesuai dengan potensi dan karakteristiknya.
2. Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur 2
Analis Kelembagaan Prior Options Review (POR) ..., Noprizal Achmad
METODOLOGI
Review (POR) dengan mempertimbangkan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan OIML D-1 edition 2012 tentang consideration for a law on metrology.
Dalam proses analisis urusan pemerintahan, ada beberapa model analisis yang biasa digunakan, yaitu analisis tentang public goods and private goods (E.S. Savas:1997) dan Prior Options Review (POR) yang dipraktekkan di Inggris. Pada dasarnya, klasifikasi barang dan jasa dapat dibagi ke dalam 2 jenis, yaitu barang publik (public goods) dan barang privat (private goods). Secara dikotomis dapat dilakukan pemisahan bahwa barang-barang publik wajib disediakan oleh lembaga publik (pemerintah), sementara barang-barang privat disediakan oleh swasta. Namun dalam prakteknya, dikotomi seperti itu tidak berlaku. Barang-barang yang tergolong private goods murni harus disediakan oleh pemerintah melalui mekanisme kontrol dan regulasi. Model analisis ini hanya cocok untuk urusan pemerintahan tertentu saja, contohnya: kebutuhan beras harus dipenuhi oleh pemerintah dengan sistem operasi pasar, pada saat terjadi kelangkaan beras. Adapun model analisis kelembagaan Prior Options Review (POR) secara garis besar bertujuan untuk menentukan apakah fungsi-fungsi atau jenis-jenis urusan tertentu yang selama ini dibiayai dan diselenggarakan oleh pemerintah masih diperlukan atau tidak, dan apakah dengan demikian penyelenggaraan urusan tersebut perlu dipertahankan, atau sebaiknya dialihkan kepada pihak swasta. Ditinjau dari UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan OIML D-1 edition 2012 tentang consideration for a law on metrology, model analisis kelembagaan Prior Options. Pendekatan yang dipakai dalam penulisan ini adalah dengan model analisis kelembagaan Prior Options
HASIL DAN PEMBAHASAN Perspektif penyelenggaraan urusan Metrologi Legal menurut UU no.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasca penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia, tentunya ada perubahan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di Indonesia yang semula secara terpusat (sentralisasi) oleh Pemerintah Pusat menjadi dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten, atau Kota). Urusan yang dilimpahkan kepada daerah atas dasar desentralisasi dinamakan urusan konkuren yang dalam pelaksanaannya ada pembagian urusan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Sesuai dengan UU No.23 Tahun 2014, bidang perdagangan merupakan urusan pilihan bagi pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten, atau Kota). Tentunya, Metrologi Legal yang merupakan bagian dari bidang perdagangan merupakan urusan pilihan juga. Sesuai dengan UU No.23 Tahun 2014, pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan kabupaten/kota didasarkan pada prinsip : a. Akuntabilitas; b. Efisiensi dan eksternalitas; c. Kepentingan strategis nasional. Dalam perspektif UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pembagian urusan untuk Metrologi Legal adalah sebagai berikut:
3
Jurnal Pusdiklat Perdagangan, VOL 2 No.1, JULI 2016 : 1 - 9
Tabel 1
Penyelenggaraan metrologi legal berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 berbeda dengan PP No.37 tahun 2007 (turunan dari UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Perbedaan paling signifikan terletak pada pelaksanaan metrologi legal berupa tera, tera ulang, dan pengawasan yang pada PP No.38 Tahun 2007 dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi, namun pada UU No.23 tahun 2014 menjadi kewenangan Pemerintah Kab/Kota yang tentunya hal ini akan mengubah infrastruktur kemetrologian di Indonesia ke depan. Saat ini jumlah kabupaten/kota yang ada di Indonesia berjumlah sekitar 514. Tentunya, akan menjadi kendala tersendiri jika seluruh kab/kota membentuk UPTD yang menangani metrologi legal. Kendala tersebut kemungkinan dapat diakibatkan oleh: 1. Urusan metrologi legal saat ini masih menjadi urusan pilihan (UU No.23 tahun 2014); 2. Kemampuan dan potensi daerah yang bersangkutan; 3. Anggaran; 4. Hambatan teknis dan nonteknis lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan (dalam hal ini metrologi legal), perlu adanya pertimbangan mengenai keterlibatan pihak ketiga dan/atau
kerjasama dalam penyelenggaraan urusan tertentu di bidang metrologi legal. Pihak ketiga yang dimaksud, dapat berupa lembaga atau badan milik pemerintah atau badan swasta lainnya yang diberikan kewenangan untuk melakukan urusan tertentu di bidang metrologi legal. Berkenaan dengan keterlibatan pihak ketiga dan/atau kerjasama dalam penyelenggaraan metrologi legal di Indonesia, hal ini telah diatur pula di dalam UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Bab XIV tentang Partisipasi Masyarakat dan Bab XVII tentang Kerjasama Daerah dan Perselisihan. Di dalam UU No.23 Tahun 2014 Bab XIV tentang Partisipasi masyarakat, dijelaskan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan partisipasi masyarakat dapat berupa : a. Konsultasi publik; b. Musyawarah; c. Kemitraan; d. Penyampaian aspirasi; e. Pengawasan; dan/atau f. Keterlibatan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang dimaksud dengan organisasi penyelenggara pelayanan publik dapat 4
Analis Kelembagaan Prior Options Review (POR) ..., Noprizal Achmad
Perspektif Menurut OIML D-1 Edition 2012 tentang Consideration for a Law on Metrology Dalam OIML D-1 Edition 2012 tentang Consideration for a Law on Metrology (Considerations pour une Loi de Metrologie), disebutkan bahwa Metrologi legal terdiri dari seluruh aktifitas persyaratan legal yang harus dilaksanakan untuk pengukuran, satuan pengukuran, instrumen pengukuran dan metode pengukuran. Aktifitas tersebut dapat dilaksanakan oleh atau atas nama otoritas pemerintah yang berwenang. Otoritas publik harus memberi perhatian khusus pada hasil-hasil pengukuran khususnya jika terjadi konflik kepentingan dalam hasil pengukuran. Persyaratan ini mencakup kewajiban hukum terkait dengan hasil pengukuran dan instrumen pengukuran, dan juga pengawasan legal yang dilakukan oleh atau atas nama pemerintah. Tujuan akhir dari metrologi legal adalah memberikan kepercayaan terhadap hasil pengukuran dengan persyaratan legal.Secara umum metrologi legal mencakup 4 (empat) aktivitas utama : (OIML D-1 Edition 2012) 1. Menyusun peraturan legal; 2. Control dan/atau penilaian kesesuaian terhadap produk dan aktifitas yang diatur; 3. Supervisi/pengawasan terhadap produk dan aktivitas yang diatur; 4. Memberikan infrastruktur yang dibutuhkan untuk kebenaran pengukuran. Peran pemerintah dalam metrologi adalah memberikan cara-cara yang diperlukan untuk membangun kepercayaan terhadap hasil pengukuran kepada masyarakat. Hal ini menuntut pemerintah untuk melakukan beberapa kegiatan yang diperlukan untuk mempromosikan metrologi, untuk membangun infrastruktur yang cukup, untuk mendukung penelitian dalam bidang metrologi dan melindungi baik individu maupun perusahaan terhadap pelanggaran yang mungkin terjadi terkait dengan pengukuran. Hal ini harus diorganisir dalam kebijakan yang
berupa satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undangundang untuk keperluan pelayanan publik, atau badan hukum lain yang dibentuk untuk kegiatan pelayanan publik dan masyarakat dapat berupa seluruh pihak, baik warga Negara maupun penduduk sebagai orang perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyelenggaraan metrologi legal oleh pihak ketiga dijelaskan juga dalam OIML D-1 Edition 2012 tentang Consideration for a Law on Metrology (Considerations pour une Loi de Metrologie). Di dalam UU No.23 Tahun 2014 Bab XVII tentang Kerjasama Daerah dan Perselisihan, daerah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, kerjasama dapat dilakukan oleh daerah dengan cara: 1. Menjalin kerjasama dengan daerah lain; 2. Pihak ketiga, dan/atau; 3. Lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Oleh karena urusan metrologi legal sangat terkait dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, maka dalam pelaksanaannya, perlu dikaji dengan melibatkan semua pemangku kepentingan mengenai keterlibatan peran serta masyarakat dan kerjasama daerah supaya penyelenggaraannya lebih efektif dan efisien. Hal detail tentang peran serta masyarakat dan kerjasama daerah dapat ditelaah dalam Bab XIV dan Bab XVII dari UU No.23 Tahun 2014.
5
Jurnal Pusdiklat Perdagangan, VOL 2 No.1, JULI 2016 : 1 - 9
menyeluruh dan koheren sehingga yang disarankan adalah aturan-aturan metrologi.OIML D-1 mengusulkan struktur metrologi secara hirarki dengan adanya Otoritas Metrologi Pusat /Central Metrology Authority (CMA) yang mengkoordinasikan kebijakan dan kegiatan metrologi di suatu negara. Setiap negara memiliki pandangan masing-masing dalam pengembangan persyaratan kemetrologian negaranya. Perjanjian tentang Hambatan teknis dalam Perdagangan /Technical Barriers to Trade (TBT), yang diterapkan oleh Organisasi Perdagangan Internasional/World Trade Organization (WTO), menjadikan kewajiban bagi negara-negara untuk mendasarkan aturan teknis nasionalnya pada standar internasional dengan cara mengharmonisasikannya dengan persyaratan nasional. Hal ini juga mensyaratkan penanda tangan perjanjian tersebut untuk berpartisipasi dalam sistem internasional conformity assessment dan perjanjian pengakuan satu sama lain/Mutual Recognition Agreement (MRA). Menurut OIML D-1, Otoritas dalam Pemerintahan, yang berwenang dalam kebijakan metrologi Nasional, bekerja sama dengan semua Kementerian dan Lembaga Pemerintah, diberi tanggung jawab untuk melakukan kerjasama dan koordinasi terhadap implementasi kebijakan metrologi legal. Kebijakan tersebut harus menentukan kegiatan pemerintah pada hal-hal yang terkait dengan metrologi dan harus mengikat semua Kementerian dan Lembaga sesuai dengan bidangnya masingmasing. Oleh karena itu, perlu dikaji undang-undang berikut dalam kaitannya dengan implementasi kebijakan metrologi nasional ke depan, yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; 3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit 4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 7. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; 8. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 9. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; 10. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 11. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Pengawasan Ilmu Pengetahuan; 12. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran; 13. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi; 14. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan; 15. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian; 16. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; Dalam OIML D-1 edisi 2012 direkomendasikan agar paling tidak pemerintah mengatur kebijakan metrologi nasional, menjamin pembangunan dan pengembangan infrastruktur metrologi yang sesuai, dan menentukan peraturan serta pelaksanaannya. Tugas-tugas teknis dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga khusus atau badan di luar pemerintahan. Lembaga dan badan tersebut dapat berupa lembaga pemerintahan, semi pemerintahan atau swasta. Lembaga ini harus bertugas di bawah otoritas dan memberikan laporan ke pemerintah pusat. Jika tugas-tugas tersebut didelegasikan ke semi publik atau lembaga swasta, harus terdapat kontrak yang sesuai dengan pemerintah untuk menjamin bahwa kepentingan publik dilindungi, agar 6
Analis Kelembagaan Prior Options Review (POR) ..., Noprizal Achmad
terdapat akuntabilitas dan tranparansi serta konflik kepentingan dihindari. Ada 2 (dua) cara untuk mendelegasikan tugas ke lembaga di luar pemerintahan yang mungkin adalah: 1. Menentukan sebuah lembaga dengan cara tender; 2. Atau menunjuk beberapa lembaga untuk bersaing, setiap lembaga yang memenuhi syarat yang ditentukan berhak untuk ditunjuk. Pilihan di antara 2 cara tersebut harus ditelaah dengan seksama, dengan cara mempertimbangkan tugas yang akan didelegasikan dan keuntungan dan kerugian masingmasing solusi tersebut (konsistensi teknis, cakupan seragam di daerah secara geografis di negara tersebut), pelaksanaan supervisi lembagalembaga tersebut, dan resiko-resiko lainnya. Beberapa urusan kemetrologian yang dapat didelegasikan kepada pihak ketiga dijelaskan lebih lanjut pada dokumen OIML lainnya, yaitu: 1. OIML D-3 Edisi 1979 tentang Legal Qualification of Measuring Instruments; 2. OIML D-9 Edisi 2004 tentang Principles of Metrological Supervision; 3. OIML D-16 Edisi 2011 tentang Principles of Assurance of Metrological Control; 4. OIML D-19 Edisi 1988 tentang Pattern Evaluation and Pattern Approval; 5. OIML D-20 Edisi 1988 tentang Initial and Subsequent Verification of Measuring Instruments and Processes.
menganalisisnya dengan pendekatan model Analisis Kelembagaan Prior Options Review (POR). Adapun hasil dari analisis POR ini berupa model-model restrukturisasi kelembagaan pemerintahan sebagai berikut: 1. Kebijakan Penghapusan, analisis penalaran strategis dimulai dengan analisis dan identifikasi jenis-jenis urusan yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah. Dari analisis ini dapat disimpulkan apakah urusan tersebut masih dibutuhkan atau tidak. Jika tidak, maka instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan tersebut dapat dihapus. 2. Swastanisasi, jika urusan tersebut masih dibutuhkan, pertanyaan selanjutnya adalah apakah pemerintah masih harus mendanainya. Jika tidak, maka jenis urusan tersebut dapat dipertimbangkan untuk diswastanisasi. Pertimbangan kemungkinan swastanisasi urusan antara lain ada tidaknya kegagalan pasar (Market failures). 3. Kemitraan, apabila peranan pemerintah masih diperlukan untuk menyelenggarakan urusan tertentu, namun dana atau anggaran pemerintah terbatas, pertanyaan selanjutnya adalah untuk mencari kemungkinan mengikutsertakan dana pihak swasta/masyarakat dalam penyelenggaraan urusan tersebut. Pengikutsertaan dana pihak swasta ini bisa dilakukan dalam bentuk swadaya masyarakat, dan sebagainya yang dikenal dengan istilah Private Funding Initiatives (PFI). 4. Kontrak Kerja/Karya, apabila dana dari pemerintah masih dibutuhkan, selanjutnya harus dianalisis juga apakah pelaksanaan penyelenggaraan urusan tersebut juga harus dilakukan oleh pemerintah. Jika tidak, maka urusan tersebut dapat dipertimbangkan untuk dilakukan kontrak karya. Model kebijakan ini
Analisis Kelembagaan Prior Options Review (POR) Terkait dengan pelimpahan wewenang seperti pada OIML D-1 Edition 2012 tentang Consideration for a Law on Metrology (Considerations pour une Loi de Metrologie) dan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kita dapat 7
Jurnal Pusdiklat Perdagangan, VOL 2 No.1, JULI 2016 : 1 - 9
telah lama diterapkan, terutama untuk pekerjaan konstruksi dan pengadaan. Market Testing, jika ternyata terdapat keraguan pemerintah atas kemampuan sendiri untuk menyelenggarakan urusan tertentu secara efisien dan efektif, maka dapat dipertimbangkan pola Uji Pasar (Market Testing) melalui proses tender kompetitif antara In-house bidder dengan pihak swasta atau tim kerja dari instansi lainnya. Konsep ini masih baru di Indonesia, khususnya mengenai kebijaksanaan In-house bidder, yaitu kelompok kerja internal lembaga pemerintahan tertentu yang dibentuk untuk mengikuti tender kompetitif dalam rangka memperoleh kontrak kerja penyelenggaraan urusan tertentu. Kelompok tersebut jika berhasil memenangkan tender akan bertindak sebagai kontraktor dan status kepegawaian anggotanya akan dialihkan menjadi swasta. 5. Program Efisiensi Internal, setelah berbagai pertimbangan tersebut dilakukan ternyata dinilai lebih baik jika penyelenggaraan urusan tertentu itu tetap dilaksanakan oleh pemerintah, maka unit kerja yang bersangkutan harus melaksanakan program efisiensi, misalnya melalui benchmarking, business process reengineering, restrukturisasi, rasionalisasi, standarisasi kinerja dan sebagainya. Pada kasus pelimpahan wewenang untuk urusan kemetrologian, jika kita melakukan pendekatan model POR tersebut terhadap OIML D-1 Edition 2012 tentang Consideration for a Law on Metrology (Considerations pour une Loi de Metrologie) dan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka pendekatan yang paling sesuai ialah melalui kemitraan karena pada pola ini tentunya penggunaan dana dari pemerintah bisa lebih efektif dan efisien karena mencari kemungkinan untuk mengikutsertakan dana pihak swasta/masyarakat dalam
rangka penyelenggaraan urusan tersebut.Untuk urusan kemetrologian, kita tidak mengadopsi model kemitraan secara sepenuhnya untuk satu bidang tertentu tapi hanya untuk salah satu atau sebagian saja, contohnya dalam hal pelaksanaan Ijin Tipe, Ijin Tanda Pabrik, Tera/Tera Ulang, dan beberapa urusan kemetrologian lainnya yang memungkinkan untuk dimitrakan seperti pada OIML D-1, OIML D-3, OIML D-9, OIML D-16, OIML D-19, dan OIML D20. Pendekatan model POR dengan cara kemitraan ini pun saat ini sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti UU No.32 Tahun 2004) Bab XIV tentang Partisipasi Masyarakat dan Bab XVII tentang Kerjasama Daerah dan Perselisihan. Metrologi legal sifatnya adalah mandatory sehingga model pelimpahan wewenang yang paling memungkinkan ialah dengan cara mendelegasikan untuk urusan-urusan tertentu di bidang kemetrologian seperti pada OIML D-1, OIML D-3, OIML D-9, OIML D-16, OIML D-19, dan OIML D-20, sedangkan untuk masalah policy making untuk masalah kemetrologian yang strategis seperti pada OIML D-1 tetap oleh Pemerintah Pusat melalui Central Metrology Authority(CMA) dan/atau Instansi Pusat yang ditunjuk oleh Pemerintah. Dalam pelaksanaannya ke depan perlu dikaji lebih mendalam mengenai kemungkinan-kemungkinan lainnya seiring dengan dinamika yang terjadi di Indonesia. SIMPULAN Berdasarkan kajian ini, maka dapat direkomendasikan bahwa model Prior Options Review (POR) dalam kaitannya dengan OIML D-1 Edition 2012 tentang Consideration for a Law on Metrology (Considerations pour une Loi de Metrologie) dan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah dengan kemitraan seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
8
Jurnal Pusdiklat Perdagangan, VOL 2 No.1, JULI 2016 : 1 - 9
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2006; E.S. Savas, Privatization and Public Private Partnerships, London:1997; OIML D-1 Edition 2012 tentang Consideration for a Law on Metrology; OIML D-9 Edition 2004 tentang Principles of Metrological Supervision; OIML D-16 Edition 2011 tentang Principles of Assurance of Metrological Control; OIML D-19 Edition 1988 tentang Pattern Evaluation and Pattern Approval; OIML D-20 Edition 1988 tentang Initial and Subsequent Verification of Measuring Instruments and Processes; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; Tri Widodo P Utomo,Prospek Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca PP 38 Tahun 2007 dan PP 41 Tahun 2007, PKP2A3 Lembaga Administrasi Negara, Samarinda:200
Untuk penerapannya, masih diperlukan diskusi dan masukan dari semua Pemegang Kepentingan (Stakeholders) dan perlu juga pendefinisian ulang mengenai istilah mandatory apakah mandatory itu berarti wajib oleh Pemerintah atau wajib melalui pemerintah dengan cara transfer atau delegation of authority. Hal lain yang perlu dikaji adalah efek pelimpahan wewenang kepada pihak lain terhadap ketahanan nasional, karena metrologi legal sangat berpengaruh terhadap kualitas suatu produk dalam bidang perdagangan, baik perdagangan dalam negeri maupun perdagangan luar negeri. Sektor perdagangan sangat berpengaruh terhadap ketahanan ekonomi suatu Negara dan ketahanan ekonomi merupakan salah satu aspek dari ketahanan nasional. DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta : Sekretariat
vi