Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS
Volume 19 Januari – April 2016
DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA 2016
i
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Volume 19 Januari — April 2016 Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Sejak Oktober 2009 Penanggung Jawab Ferry Adamhar, SH, LL.M Dr. iur. Damos Dumoli Agusman Redaktur Pelaksana M. Ichsan Redaktur Sudarsono, S.H., MM; Zainul Idris Yunus, S.E.; Mandala Sukarto Purba, S.H.; Fajar Yusuf, S.H., LL.M; Editor Nenda Inasa Fadhilah, S.H., LL.M.; Ronald Eberhard, SH, LLM; Aloysius Selwas Taborat, SH, LLM; Anditya Hutama Putra, SH; Ahmad Almauddy Amri, S.H., LL.M., M.Sc, Ph.D.; Maria Ayu Prabha Ardhanastri, S.H.; Dyan Radin Swastika, S.H. Disain Grafis Asep Hermawan S.H; Andre Bramantya, S.H.; Citra Yudha Nur Fatihah S.H.; Muhammad Abdul Hayyil Al Ayyubi, S.H. M.Par. Sekretariat Maisaroh, S.Sos; Tasunah; Eddy Aswandi, S.Ip.; Karsim, S.E. Alamat Redaksi: Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Jl. Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat Telp. +62 21 3846633 Fax. +62 21 3858044; Email:
[email protected] Jurnal Opinio Juris versi digital dapat diunduh di website http://pustakahpi.kemlu.go.id/
Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Opinio Juris adalah pendapat dan analisis pribadi dari para penulis dan tidak mewakili pandangan/posisi Kementerian Luar Negeri dan/atau Pemerintah Republik Indonesia.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
DAFTAR ISI Daftar Isi ..................................................................................................... v Pengantar Redaksi ...................................................................................... vi ASEAN Economic Community Impact for Indonesia Ariawan Gunadi ......................................................................................... 44 Tinjauan Konstruktivisme Politik-Hukum Internasional dalam Pertimbangan Indonesia pada Pembentukan ASEAN PoliticalSecurity Communitty Najamuddin Khairur Rijal ......................................................................... 51 Urgensi Dibentuknya Badan Peradilan Khusus Lingkungan Internasional dan Badan Pembersih Sampah Antariksa (Space Debris) Sofian Ardi ................................................................................................... 8 Perlindungan Hukum Merek Tidak Terdaftar Di Indonesia Rika Ratna Permata dan Muthia Khairunnisa…..…………………………..15 Resensi Buku The Oxford Handbook of The History of International Law Eka An Aqimuddin………………………………………………116 GLOSSARY .............................................................................................. 108 TENTANG PENULIS………………………………………………………….111
v
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
PENGANTAR REDAKSI Dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi diseminasi informasi terkait isu-isu hukum dan perjanjian internasional, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional telah menerbitkan Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional yang diberi nama “Jurnal Opinio Juris”. Dalam Jurnal Opinio Juris edisi 19, redaksi memutuskan untuk meningkatkan keragaman artikel dalam Jurnal Opinio Juris Volume 19. Lima penulis mengangkat berbagai aspek, seperti Tinjauan Konstruktivisme Politik-Hukum Internasional dalam Pertimbangan Indonesia pada Pembentukan ASEAN Political-Security Community oleh Najamuddin Khairur Rijal, Urgensi Dibentuknya Badan Peradilan Khusus Lingkungan Internasional dan Badan Pembersih Sampah Antariksa (Space Debris) oleh Sofian Ardi, ASEAN Economic Community Impact for Indonesia oleh Ariawan Gunadi, Perlindungan Hukum Merek Tidak Terdaftar di Indonesia oleh Rika Ratna Permata dan Muthia Khairunnisa. Kolom resensi diisi oleh Eka An Aqimuddin atas buku berjudul The Oxford Handbook of The History of International Law. Dalam kesempatan ini, redaksi Opinio Juris juga hendak mengucapkan terima kasih kepada para anggota redaksi terdahulu yang telah mendapat penugasan baru di beberapa Perwakilan RI atas dedikasinya dalam memajukan Opinio Juris. Redaksi juga mengajak para pembaca untuk turut berkontribusi serta memberikan saran dan masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang melalui email
[email protected]. Untuk memudahkan para pembaca setia Opinio Juris, Redaksi telah memuat Opinio Juris yang pernah terbit terdahulu pada vi
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Perpustakaan Hukum Digital (e-library) Kemlu yang dapat di akses melalui http://pustakahpi.kemlu.go.id/. Pada kesempatan ini, Redaksi Opinio Juris secara terus menerus mengajak para pembaca untuk turut menyumbangkan tulisan, memberikan saran dan masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang. Akhir kata, Redaksi Opinio Juris berharap semoga jurnal ini dapat bermanfaat serta menjadi sarana dalam menyebarluaskan informasi dan wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan perjanjian internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri. Terima kasih dan selamat membaca.
Redaksi Opinio Juris
vii
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
ASEAN ECONOMIC COMMUNITY IMPACT FOR INDONESIA
Dr. Ariawan Gunadi, SH., M.H.
Abstrak
Memasuki masa Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), yaitu dengan adanya satu pasar tunggal ASEAN dimana pergerakan barang dan jasa semakin bebas di kawasan ASEAN. Hal ini dapat mengakibatkan semakin ketatnya persaingan antar individu antar negara. Sehingga masyarakat Indonesia pun harus dipersiapkan menghadapi persaingan ini. Hal-hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas persaingan masyarakatnya, yaitu dengan dibuatnya pelatihan-pelatihan kerja yang memadai dengan peraturan perundang-undangan yang mendukung, memfasilitasi tempat pelatihan kerja, memberikan tenaga pelatihan yang berkualitas, membangun kerjasama pelatihan antar negara dan harus ada koordinasi antara kementerian dan lembaga-lembaga yang ada. Menjaga kesejahteraan masyarakatnya memang menjadi tanggung jawab pemerintah, namun bukan hanya pemerintah tapi masyarakat itu sendiri harus ikut berpartisipasi. Perlu adanya penyuluhan-penyuluhan mengenai pentingnya daya saing menghadapi MEA ini, dan masyarakat disadarkan bahwa mereka harus mempersiapkan diri agar tidak kalah bersaing dengan tenaga kerja asing dari negara lain. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut harus dengan meningkatkan upaya komprehensif ekstensifikasi dan 8
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
intensifikasi Balai Latihan Kerja. Gerakan kewirausahaan nasional juga perlu ditingkatkan gaungnya dan diikuti dengan program intensif khususnya bagi gerakan kewirausahaan di sektor pendidikan (Perguruan Tinggi-Akademisi), Usaha Kecil Menengah (UKM) dan kelompok industri lainnya untuk memperbaiki standar, kualitas, dan desain produk, serta kreatifitas dan inovasi dalam mengembangkan produk.
Keywords: ASEAN Economic Community, AEC, Human Resource, Indonesia, ASEAN, Small and Medium Enterprises, Challenges of Globalization
A. Introduction ASEAN Economic Community (AEC) is an agenda of international economic integration of the member countries of ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapore, Brunei Darussalam, the Philippines, Thailand, Laos, Myanmar and Vietnam), which aims to reduce obstacles to the Southeast Asian regional trade in goods and services as well as foreign investment. AEC 2015 will form a regional economic integration by reducing trade transaction costs; improve trade and business facilities, as well as improving the competitiveness of Micro, Small and Medium Enterprises. This will create a free market in Southeast Asia, which would also boost competitiveness among its members. Future implementation of the AEC in 2016 remains a big question for ASEAN widely and Indonesia are narrow, but it is inevitable globalization continue to ask countries to open up to one another the depletion boundaries between countries unstoppable due to technological advances and the needs of an increasingly globalized international community then inevitably ready or not all elements of the nation must be prepared. Because if Indonesia itself less competitive than other member states in 2015, the AEC will 9
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
actually bring harm to Indonesia. For example, unemployment will increase because Indonesian laborers will have to compete with other laborers from other countries which are more. On the other hand, most Indonesian laborers aren’t equipped with the proper skills nor certification to be recognized at regional level. Therefore Indonesia must be ready and able to compete with other countries members, to establish the readiness of course, requires a variety of business to be done.
B. The Existence of Indonesia in the ASEAN Economic Community 2015 1.
Asean Economic Community 2015
ASEAN has a vision to transform the region of Southeast Asia into a stable, prosperous and competitive region supported by a balanced economic development, poverty reduction and socio-economic disparities between Member States.1 Areas of cooperation AEC include human resource development and capacity building, recognition professional qualifications, consulting more closely at the macro-economic policy and financial measures trade financing, improvement of infrastructure and communications connectivity, the development of electronic transactions through e-ASEAN, integrating industry in throughout the region to promote regional resources, and increasing involvement of the private sector to build the AEC.2 In order to support the establishment of AEC member countries have agreed to establish the ASEAN Free Trade Area (AFTA), which begins with
1
Asean Vision 2020, http://www.asean.org/1814.htm Hadi Soesastro dan Clara Joewono, The Insklusif Regionalist, (Jakarta : Centre For Strategic And International Studies Indonesia, 2007) hal.139 2
10
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
a commitment to lowering tariff in goods between zero to five percent. To achieve the commitment of ASEAN Single Market in 2015, the situation would be improved by efforts to eliminate tariff (up to zero percent). 3 The one and only ASEAN Market is not only refers to the concept of ASEAN as a single market, but also as a single production base will require liberalization of capital and skilled labor.4 After a wave of economic crisis hit most parts of East and Southeast Asia in the late 1990s, there was appearing calculations and analysis to be more responsive to the possible negative impact of economic liberalization. The incident has been reinforcing the legitimacy of alternative economic actors are more stable and "resilient" that had been have not be calculated theoretically within the paradigm of international relations, namely the SME sector. Trends in the development of SMEs in ASEAN, as well as the ASEAN economic integration cannot be separated from the influence of China Factor which was later adopted also by South Korea.5 Attempts to create competitiveness through competition law and policy, has been formed through the ASEAN Secretariat has resulted in a number of actions. Over time, the ASEAN Expert Group on Competition (AEGC) has handled structural ASEAN duties and has initiated the implementation of competition law across the region, namely Indonesia and Thailand (1999), Singapore and Vietnam (2004) and Malaysia (2012), while five other countries still in drafting stage.
3
Ariawan Gunadi dan SerianWijatno, Perdagangan Bebas dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta : PT. Grasindo, 2014) hal.39 4 Zainuddin Djafar, Moon Young Ju dan Anissa Farha Mariana, Peran Strategis Indonesia dalam Pembentukan ASEAN dan Dinamikanya, Kajian Kebijakan Polugri RI, UKM Regional, Implikasi Liberalisasi Perdagangan, Realitas Piagam ASEAN dan Esensi Kompetisi Regional, (Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press), 2012), hal. 132 5 Denis Hew, Roadmap to an Asean Economic Community (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2005) hal. 42
11
JURNAL OPINIO JURIS
2.
Vol. 19 Januari – April 2016
Labor Market Competition
In the case of Indonesia entering the ASEAN Economic Community (AEC), some of the earliest issue includes labor competition and its relevance to the philosophical concept of AEC. It was an agenda of economic integration of ASEAN countries which aims to eliminate, minimize barriers in economic activity across the region, for example trade in goods, services and investment. The creation of AEC single market allows the country to sell goods and services easily to other countries across Southeast Asia so the competition will be intense. Trade and services will be unified and integrated in a common market. This means that businesses in Indonesia, especially for professionals who wish to expand their operations in ASEAN or opening branches in other ASEAN countries must understand the intricate employment law and permits to set up the employment service. Based on data from the Population Division of the United Nations (UN) number population in ASEAN countries reached 633.1 million in 2015 with Indonesia's population reached 237,641,326 inhabitants by the year 2010 alone so that Indonesia is the country with the largest population in the ASEAN region.6 It can be an opportunity and a challenge for Indonesia in facing the ASEAN single market in 2015, the Government of Indonesia is required to produce a variety of regulations and policies appropriate for the purpose of ASEAN and National Objectives can be achieved in tandem. AEC 2015 could be a blessing for Indonesia but at the same to be disastrous. AEC could be disastrous if the national services and products unable to compete. With free trade, we were able to increase exports but we must also
6
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Indikator Sosial Budaya 2003, 2006, 2009 dan 2012, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, www.bps.go.id/tab_sub/view.php/tabel
12
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
be aware of the risks of competition (competition risk) that came up with the number of imported goods will flow in large quantities to Indonesia, which will threaten the local industry to compete with the products of our foreign much higher quality. This in turn will increase the trade deficit for Indonesia. As one of the founding members of ASEAN Indonesian, the government should make efforts to improve the performance of government agencies and non-government that already exist in the face of economic integration through the AEC.7 Sector Small and Medium Enterprises (SMEs) has already received attention in efforts to improve the economic competitiveness of Indonesia since the beginning of the 1998 financial crisis. History demonstrated that global financial crisis hardly impacted the Indonesian SME sector compared to banking or infrastructure sector which heavily depended upon foreign loans. It is why that SMEs deserves get a larger portion for development and more opportunities to compete in regional and international level in particular. AEC in 2016 will broadly impact the nations that relied on traditional market while revolutionizing commerce on trade and services. It is only fair that the Indonesian government rethink harder about integrating its national economy into Southeast Asia international standards or even offering it as alternative for young generation with short term training. As such, we can refer to the successful European economic model through the European Union.8 Hopefully by doing so, Indonesia can successfully
7
Dodi Mantra, Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme: Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi Asean 2015, (Bekasi : Mantra Press, 2011) hal. 97 8 GeorgetaIlie New Trends in European Companies’ Business Models, Romanian Statistical Review nr. 12 / 2013 http://www.revistadestatis-tica.ro/wpcontent/uploads/2014/04/RRS_12_2013_A2_ en.pdf
13
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
achieve the goals of AEC while enhancing national defense and protect the national interest.9
3. ASEAN Economic Community Goal ASEAN leaders have now embarked the Southeast Asian association to the next step of economic development, which will also ultimately bring the Southeast Asian peoples closer. They have engaged since 2007 towards the integration of ASEAN into an ASEAN Economic Community based on 4 economic pillars:10 a) Single Market and Production Base: the region as a whole shall become a single market, while the and production base to produce and commercialize goods and services anywhere in ASEAN. b) Competitive Economic Region: the region must emphasize on the competitiveness of its production and capacity for export, as well as the free competition inside of its frontiers. c) Equitable Economic Development: to receive the benefits of the AEC, the people and businesses of ASEAN must be engaged into the integration process of the AEC. d) ASEAN’s integration into the globalized economy: ASEAN must not be isolated but an integrated part of the global economy. Through the implementation of these 4 pillars for economic integration, stability, competitiveness and dynamism, ASEAN is bound to realize the
9
C.P.F.Luhulima, Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015, (Jakarta : Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Pusat Penelitian Politik (P2P) Lipi, 2010) hal. 40 10 Asean Economic Community Blueprint, www.asean.org
14
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
principles of an Economic Community, inspired by the model of the European Union. After the entry into force of the AEC, trade and services will converge and integrate into a common market. This means that businesses in Indonesia, especially businesses who wish to expand their business in ASEAN or dealing with businesses in other ASEAN countries must understand the applicable business law in force in member countries, including competition law.
4. The role of the Government of Indonesia Facing AEC 1.
Indonesia Welfare State
Indonesia is a legal state characterized by the welfare state as in paragraph 4th preamble of Indonesian National Constitution of 1945 (“NRI 1945”) states as follows: "The Government of the State of Indonesia was formed to protect the entire Indonesian nation and the entire homeland of Indonesia and to promote the general welfare, educate life of the nation, and participate in implementing world order based on freedom, lasting peace and social justice ". Paragraph 4 of the preamble NRI 1945 above imply that, by adopting the task of the state in organizing the general welfare, the establishment of various regulations in the Republic of Indonesia became very important; the role of the state in charge of social welfare in the field of legal, social, political, economic, cultural, environment, defense, security and social justice organized through the establishment of state regulations. In a welfare state, the government's job is not only limited to execute the laws made by the legislature. As a matter of fact, the government is burdened with the obligation to hold a public interest or social welfare efforts, which includes implementing the authority tointervene in public life, within the limits permitted by law. As such, the intervention could be implemented by increasing the capacity of the people to participate in the 15
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
legal, social, political, economic, culture, the environment, defense and security as well as social justice. There are two reasons to maintain and develop the welfare state concept in AEC as an international trade fever: 1) most country still intervenes in the welfare affairs, but while still maintaining a democratic system in their varieties. Welfare state demonstrates the involvement of the state in various aspects of community life since people have long surrendered their rights in return for protection. As result government tends to develop bureaucracy and complex government affairs due to the enormous amount of citizens. Ultimately the involvement of the people in the government will be increasingly difficult (even to oversee the functioning leader or choose their representatives who will sit in parliament on central or regional level). 11 2) Government affairs in modern countries seems inevitably expanding at a great speed. Modern state government has entered so much of the life of society, ranging from constitutional rights, nuclear issues, defense and security, welfare and even personal information privacy. Free trade may bring a promise of prosperity and wealth, but also risks the breach of implicit exploitation or national security breach as the cost of liberal flow of information. Even major countries such as China and Australia have been actively filtering information in order to maintaining positive image for economic purposes.12
11
Charles P. Kindleberger, Government and International Trade, Essays in International Finance No. 129, July 1978, https://www.princeton.edu/~ies/IES_Essays/E129.pdf 12 Ioana Bianca Berna, The China-ASEAN Free Trade Area. Transferring the Halfhearted Evidence, Knowledge Horizons-Economics. Vol 5:1, pp 48-55, http://www.orizonturi.ucdc.ro/arhiva/2013_KHE_PDF_Vol_5_SI_1/KHE_Vol_5_SIss_1 _48to55.pdf
16
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
2. Role of Government In the new mass society, the role of government - which is a set of institutions that hold a monopoly on the use of the organized forces of affairs at home and abroad - forced changes. State as an organized political society requires a certain degree of stability in the social system to maintain balance. To achieve this, it is not only necessary to adjust demands and supply, which is being promoted by various groups in the governance of social and economic order, but also required the creation of a focused on the conditions of social welfare demanded by the new doctrine of equality. Thus the government as a tool of the state, is increasingly forced to accept responsibility for the creation and distribution of positive wealth. In this way, nearly all government in the world, has become a big organization, both in its scope, as well as in the number of employees required to develop its responsibilities, however, along with the growing number of civil servants, also means increasing numbers of people (these employees) which can be a victim of the regime's suppression through arbitrary manners.13 In connection with the purpose of the state of Indonesia, as stated in the preamble of NRI 1945, experts said that the purpose of the State as it reflects the type of state welfare laws. Welfare State theory laws is a mix between the concept of the Rule of law and the welfare state into a more condensed form of state law.14 State law is the State as the law is the basic rule and the holding power in all its forms is done under the rule of law. While the concept of the welfare state considers the state or the government does not merely as guard security or public order, instead if advocates that the executive, legislative and judicative bearers of authority bears the
13
Miriam Budiarjo, Masalah Kenegaraan, (Jakarta :Gramedia, 1982), hal. 77-79 Philipus. M. Hadjon,Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta : Media Pratama, 1996) hal. 72 14
17
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
responsibility of realizing social justice, general welfare and the welfare of the people.15
3.
Challenges of Globalization
Indonesia's readiness to face the challenges of globalization should be reinforced with internal reinforcement, the quality of human resources that have global competitiveness must be improved. The government's role in preparing it is essential, especially in the face of ASEAN single market in 2015, as an agreement to ensure sustainable development is beneficial. For generations present and future and put the well-being and the livelihood and welfare of the people as the center of the ASEAN community building process. The regional cooperation provides an opportunity for Indonesia. However, these opportunities can be exploited if Indonesia is able to meet various requirements, including the ability of the state to prepare for the ASEAN single market competition. If Indonesia is not prepared for the single market, then it is very possible that the state will become a marketing target of other ASEAN countries. The ability to compete will deteriorate and opportunities for domestic businesses to compete regional level will be very hard since small and medium-sized businesses often does not have adequate requirement to start up. Baier and Bergstrand stated that human resources is a long term strategy to defeat free trade competition. His statement asserts that leaders will have the ultimate responsibility to
15 Paul Spicker, Poverty and the Welfare State : Dispelling the Myths, (Cataylst Trust, 2002) hal. 37
18
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
determine the company's human resources as competitive advantage amid rapid technological sophistication.16 Labor is among the sensitive sector being proposed in AEC, it is small wonder that industrial owners need to improve their skills or their competitive advantage in order to adjust and compete in the professional community. Increased skills (skills upgrading) is a joint responsibility for the government, professional institution and business. It is predicted that the enactment of AEC 2015 will create free flow, whether implicitly or in droves, of skilled labor between countries. Therefore, the concept of services liberalization through reduction or barriers, should focus on the movement of individual service providers, especially foreign workers who provide specific expertise and comes to consumer countries. Boediono commented “on the existence of foreign worker who are attracted by numberous job opportunities that required specified advanced skills, with flexibility on employment relationship in Indonesia"17 Based on the understanding, despite the abundant laborers in Indonesia, most of them are unskilled or at least being used as nominee figures in companies that are actually run by foreigners in management level or owner. In many case, a skilled workforce will provide a boon to consumer services as countries have already agreed upon standards for various priority areas. Our current national legislation has yet to accomodate the applicability of the foreign
Scott L. Baier and Jeffrey H. Bergstand, “Do free trade agreements actually increase members' international trade?” Journal of International Economics Volume 71, Issue 1, 8 March 2007, Pages 72–95 17 Aprilian Hermawan, 20 Tahun Lagi Indonesia Kebanjiran Pekerja Asing, Kabar 24.com, http://kabar24.bisnis.com/read/20101220/79/15749/20-tahun-lagi-indonesia-kebanjiranpekerja-asing, 20 Desember 2010. 16
19
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
worker must comply with the provisions of legislation in force in Indonesia.18 4.
Efforts in Improving the Quality of Human Resources
With the acceleration of the qualified human resources, AEC member states require various steps to dominate the regional economy in ASEAN region especially in economic trade. Knowledge, development, and localization of resources is a sound step in optimizing the competitiveness of Indonesia. Emerging economic societies, higher education and professional is in dire need of the knowledge of the AEC application among Indonesia. The simple nature of economic trade is Indonesia should be developed in order to cope with the electronic advances, especially the government. Even so, there are several issues to be settled for AEC state members: a) Policy should be disseminated about AEC, for all levels of society; b) Each district or city government shall enforce socialization at the district and village level; c) University should pursue a curriculum that is suited to AEC standards to generate qualified graduates; d) The government should pursue efforts to disseminate information regarding applicable knowledge of AEC; e) The government should create policies that enforce AEC for all related stakeholders and apply sanction for offenders.
18 Whimbo Pitoyo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta :Visimedia, 2010), hal. 4
20
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Facilities supporting human resources needs to be put forward to facilitate the government's desire to achieve the goal in the AEC competition and so did the desire of its own for the advancement of human resources in Indonesia. The facilities for the acceleration of human resource quality comprises of: a) The Government will facilitate a job training and other skills training such as (research, technological development, innovation, etc). b) Provide faculty or qualified trainers. c) Establish a training cooperation with other countries, and provide facilities to add science scholarships abroad. d) Facilitate physical such as providing funds for the survival of human resources quality improvement. Facing AEC, Indonesians should keep in mind to conform to Article 28C paragraph (1) Constitution NRI 1945 stating that "everyone has the right to develop themselves through the fulfillment of basic needs, is entitled to education and to benefit from science and technology, arts and culture, in order to improve the quality of life and for the welfare of mankind." For that reason, every Indonesians should be provided with the right to develop themselves, to get an education in order to improve the quality of life and well-being. This is in line with the objectives of AEC which was to empower local employment, raise business efficiency and reserve domestic rights to upgrade the skills or the quality of life to prosper. So it can compete with skilled labor that goes into Indonesia without having to be a spectator or the injured party in their own country. On the other hand, Labor Law have mandated vocational training to the work force. It simply aimed to direct,
21
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
provide, improve, and develop job competence in order to improve the capability, productivity, and prosperity.19 Job training carried out with regard to labor market needs and the business world should be declared mandatory both inside and outside the employment relationship. Workers has the right to obtain a proof of work competence after following vocational training organized by vocational training institutions at government, private, cooperation between higher education entity-industry or even internal training in the workplace. The recognition of work competence certification may also be followed withpractical tuition for experienced practitioners or consultants. Job competence is set out by a national body of certifications. From a regulatory perspective, article 18 of the Labor Law stipulated the provision of job competence certification as well as the formation of National Profession Association. Furthermore, the provisions of Article 20 paragraph (1) and (2) of Labor Law mandates the development of a national vocational training system which is the hallmark of implementation of vocational training in all areas and/ or sectors to support the improvement of job training in order to manpower development. In addition, provisions concerning the form, mechanism and institutional system of national job training are supplemented by Government Regulation No. 31 Year 2006 on the National Vocational Training System. Overall, the Labor Law mandates the establishment national professional certification in order to provide competency certification for workers. Job competence certification is the process of awarding the certificates of competence are carried out systematically and objectively through competency test referring to the standards of competence Indonesian national and/or international.
19 Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2009) hal. 27
22
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
The Ministry of Manpower and Transmigration Ministry which is in charge of representing the government in creating a productive, competitive and prosperous labor and community. Vocational Training is a program under the auspices of Agency for Research, Development and Information Sector Employment Issues, specifically under the Ministry of Manpower and Transmigration. The program is directly related to the development of human resources (HR), but the program has yet to receive any important role in the development of national labor due to many obstacles. The various solutions to overcome the obstacles in the provision of training and job skills in Indonesia, as follows: a) The Ministry of Education and Culture should work hand in hand with the Ministry of Manpower and Transmigration in order to prevent the frequent duplication of training; b) Ministries/agencies and private agencies should conduct substantial training with substance along with industries to generate real values for graduates; c) The Ministry of Manpower and Transmigration should create laws that regulate clearly about the training, at least at government level regulation as guidelines for; d) Training Center Unit Technical Center of the Ministry of Manpower and Transmigration, which concerns vocational, equipment and materials, instructors, and the proportion of the budget plays a vocal point for the implementation of the regional potential job skills training; e) Job skills training program should be harmonized with productivity improvement programs to create not only qualified human resource, but also skillful worker that is attentive to the developing market.; f) The development of productivity in the service requires a relatively large area to be followed by an increase in service capacity (institutions, instructors, methodology); 23
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
The company and the workforce should focus at job skills training for workers as part of an investment and a necessity.
D. Indonesia's Readiness for AEC2015 1. Public Awareness Despite the dominant role in improving the quality, it does not mean the entire responsibility lies with the government. On the contrary, the awareness from the impact of AEC will be felt directly by the community, and may generate a separate independent responsibility to participate in building the national economy. Labor issues will undoubtly become an important issue since Indonesia enjoys one of the highest growing rate but inadequate skills or specifications. A research by Amiti et. al. even identified that only 10% of the workers have high school education and this phenomenon actually inhibits country aiming to become a production base since the cost became higher due to training employees or importing trainers. The flow of capital and investment from outside has limited dredge crops and educated workforce into a spectator in his own country. For that, it would be wise to consider Indonesian agricultural sector as Indonesia’s main commodity in the AEC by way of strengthening the inter-regional connectivity to be a part in the ASEAN level, and then at the global level. In addition, every region should develop its unique and comparative advantage, technological innovation and preparation of supporting infrastructure in order to improve competitiveness, harmonization of procedures, regulations, and standards that lead to improved quality and food safety (referring to the AEC Blueprint), and socializing AEC down to the grass-root level of society. Other issues to be addressed would be intellectual property rights in ASEAN level, since the level of legal certainty has never reached a convincing level. For example, Inter IKEA System B.V 24
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
lost a dispute with IKEA owned by PT Ratania Khatulistiwa and Ferrari from Italia vs Ferrari Indonesia owned by PT. Bali Nirwana Garment. Both cases lost due to the first to file principle as accorded in Article 61 paragraph (2) (a), Law No. 15 Year 2001 on Trademark, whereas registered trademarks which have been left dormant by its owner maybe delisted from the General List of Trademark. Indonesia has yet to adopt a universal famous brand standard in its intellectual property rights law, so legal standards deserved more attention to create better advantage in regional level. Indonesia is a country with the largest population in the ASEAN region. It is also a heterogeneous country with various types of tribes, languages and customs that spread from Sabang to Merauke. The state has a developed good economic strength and highest growth in the world (4.5%) after the People's Republic of China (PRC) and India. Such potency shall be a necessary capital to prepare the people of Indonesia towards AEC 2015.
2. Strategic Recommendations for Indonesia Strategic recommendations to prepare Indonesia faced AEC 2015 in an effort to improve the quality of human resources needs support from various stakeholders through a comprehensive effort expansion and intensification Training Center to cover the still low labor competitiveness, the Institute for Standardization Profession in Indonesia, which reached 78 needs to be optimized through the adoption of international standards (ASEAN) applies. Entrepreneurship movement national also necessary to increase noise and is followed by an intensive program, especially for the movement of entrepreneurship in the education sector (Universities-Academics), Small and Medium Enterprises (SMEs) and industry groups to improve standards, quality, and product design, as well as creativity and innovation in developing the product.
25
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Ministry of Commerce in an effort to respond to the challenges of globalization narrowly been preparing themselves for the effort to achieve consumer protection and secure the domestic market by establishing the Directorate General of Standardization and Consumer Protection through the Minister of Trade No. 31 year 2010 has been enhanced with the regulations of the Minister of Trade No. 57 Year 2012 on the Organization and Administration of the Ministry of Trade with the mission of improving the competitiveness of exports, increasing supervision and consumer protection, and acts as the manager of policy and implementation of development programs at once on trade security in the country. Broadly speaking, the chances of Indonesia to meet AEC include obtaining a potential market share of the world, as a Country of investment opportunities as exporting countries, the liberalization of trade in ASEAN, the demographic bonus is great, service sector which is open, and capital flows more smoothly and continuously. While the challenges to be faced, among others, the rate of increase in exports and imports more competitive, increase in the rate of inflation, the negative impact of capital flows more broadly, their similarities export products featured so as to be more creative to find and manage superior products and the economic development level is still diverse.
E. Conclusion AEC 2015 is a program for ASEAN countries to improve economic quality. AEC 2015 could be a blessing for Indonesia but at the same to be disastrous. AEC could be disastrous if our agricultural products unable to compete. State Government of Indonesia that protect the entire Indonesian nation and the entire homeland of Indonesia and to promote the general welfare, educating the nation, and participate in implementing world order based on freedom, lasting peace and social justice. Paragraph 4 of the 26
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
preamble NRI 1945 above imply that, by adopting the task of the state in organizing the general welfare, the establishment of various regulations in the Republic of Indonesia is very important, the role of the state in charge of social welfare in various fields as well as social justice organized through the establishment of rules State. So that Indonesian workers are also included in the government's responsibility to pay attention to well-being that in this case the readiness to face competition from foreign labor. Indonesia's readiness to face the challenges of globalization should be prepared with internal reinforcement; the quality of human resources that have global competitiveness must be improved. The government's role in preparing it are essential especially in the face of ASEAN single market in 2015, as an agreement to ensure sustainable development is beneficial. Indonesia is a country with the largest population in the ASEAN region. A strategic recommendation to prepare to face AEC 2015 Indonesia needs support from various stakeholders through a comprehensive effort expansion and intensification Training Center. Profession Standards Institution in Indonesia needs to be optimized through the adoption of international standards (ASEAN) applies. Entrepreneurship movement National also necessary to increase noise and is followed by an intensive program, especially for the movement of entrepreneurship in the education sector (Universities-Academics), Small and Medium Enterprises (SMEs) and industry groups to improve standards, quality, and product design, as well as creativity and innovation in developing the product.
27
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
BIBLIOGRAPHY
Amiti Mary and, Donal R. Davis Trade, Firms, and Wages: Theory and Evidence, Review of Economic Studies, Volume 79, Issue 1 Pp. 1-36 Anonymous. Ferrari menggugat http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol 22297/ menggugat-ferrari, 15 Juni 2009.
Ferrari. ferrari-
Arifin, Sjamsul,et.all., Kerjasama Perdagangan Internasional : Peluang dan Tantangan bagi Indonesia, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2007 Asean Economic Community Blueprint, www.asean.org Asean Vision 2020, http://www.asean.org/1814.htm Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Indikator Sosial Budaya 2003, 2006, 2009 dan 2012, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, www.bps.go.id/tab_sub/view.php/tabel Baier, Scott L. and Jeffrey H. Bergstand, Do Free Trade Agreements Actually Increase Members' International Trade? Journal of International Economics Volume 71, Issue 1, 8 March 2007. Ioana Bianca Berna, The China-ASEAN Free Trade Area. Transferring the Halfhearted Evidence, Knowledge Horizons-Economics. Vol 5:1, pp 48-55, http://www.orizonturi. ucdc.ro/arhiva/ 2013 _KHE_PDF_Vol_5_SI_1/ KHE_Vol_5_SIss_1_48to55.pdf Bhagwati, J., The World Trading System at Risk, Hertfordshire : Harvester Wheatsheaf, 1991 Brotosusilo, Agus, Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional :Studi tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi
28
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Dalam Negeri melalui Undang-Undang Anti Dumping dan Safeguard, Disertasi Universitas Indonesia, 2006 Djafar, Zainuddin,et.all,Peran Strategis Indonesia dalam Pembentukan ASEAN dan Dinamikanya, Kajian Kebijakan Polugri RI, UKM Regional, ImplikasiLiberalisasiPerdagangan, RealitasPiagam ASEAN danEsensiKompetisi Regional, Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press), 2012 Gunadi, Ariawan danSerian Wijatno, Perdagangan Bebas dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta : PT. Grasindo, 2014 Hew, Denis, Roadmap to an Asean Economic Community, Singapore : Institute of Southeast Asian Studies, 2005 Hadjon, Philipus. M., Kedaulatan Rakyat, Negara HukumdanHakHakAsasiManusia, Jakarta : Media Pratama, 1996 Khakim, Abdul, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2009 Kindleberger, Charles P., Government and International Trade, Essays in International Finance No. 129, July 1978, https://www.princeton.edu/~ies/IES_Essays/E129.pdf Luhulima, C.P.F., Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015, Jakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, 2010 Mantra, Dodi, et.all., Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi Asean 2015, Bekasi : Mantra Press, 2011 Messi, Nawir, Kompetisi menuju pasar bebas Asean, Jakarta :Kompetisi Edisi 42, 2013 Pitoyo, Whimbo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta :Visimedia, 2010 29
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Soesastro, Hadidan Clara Joewono, The Insklusif Regionalist, Jakarta : Centre For Strategic And International Studies Indonesia, 2007 Spicker, Paul, Poverty and the Welfare State: Dispelling the Myths, Cataylst Trust, 2002 Valenta, Elisa IKEA kehilangan merek dagang di Indonesia, CNN Indonesia http://www.cnn indonesia.com /ekonomi/ 2016020716505692 -109451/ikea-kehilangan-merek-dagang-di-indonesia/, 7 Februari 2016 Aprilian Hermawan, 20 Tahun Lagi Indonesia Kebanjiran Pekerja Asing, Kabar 24.com, http://kabar24.bisnis.com/read/20101220/79/15749/20tahun-lagi-indonesia-kebanjiran-pekerja-asing, 20 Desember 2010.
30
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
TINJAUAN KONSTRUKTIVISME POLITIK-HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERTIMBANGAN INDONESIA PADA PEMBENTUKAN ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY
Najamuddin Khairur Rijal, S.IP., M.Hub.Int.
Abstract
ASEAN Political-Security Community (APSC) is one of the three pillars of ASEAN Community. It is a proposal suggested from Indonesia in ASEAN Summit Conference 2003 in Bali. APSC is an ASEAN’s states cooperation efforts to create common security, regional peace and stability. This study analyze about what is Indonesia’s consideration to suggest formation of APSC. That proposal not only because Indonesia has strategic national interest or because Indonesia want revert to be center of ASEAN, but according to constructivism of international political-law, Indonesia also has idiographic, purposive, ethical and instrumental consideration.
Keywords: ASEAN; ASEAN Political-Security Community; Indonesia; constructivism; politic; international law
31
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Pendahuluan ASEAN Political-Security Community (APSC) merupakan salah satu dari tiga pilar ASEAN Community, selain ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). APSC merupakan upaya kerja sama negara-negara ASEAN dalam mewujudkan keamanan bersama, perdamaian dan lingkungan yang stabil untuk memajukan ASEAN sebagai organisasi regional. Jika pembentukan pilar AEC diusulkan oleh Singapura dan Thailand sebagai dua negara ASEAN yang perekonomiannya tergolong cukup maju, maka APSC merupakan konsep yang diajukan oleh Indonesia.20 Dalam pandangan Indonesia, ancaman terorisme dan implikasinya terhadap ASEAN merupakan salah satu alasan yang mendorong mengapa ASEAN perlu mengembangkan APSC, yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama politik dan keamanan antar negara anggota ASEAN.21 Sekalipun perlu ditegaskan, bahwa APSC bukan hanya memberikan perhatian terhadap terorisme sebagai ancaman bersama, melainkan kerangka APSC mencakup seluruh aspek politik-keamanan yang menjadi tantangan kerja sama regional ASEAN, termasuk masalah demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, konsep komunitas politik-keamanan yang dicanangkan Indonesia juga mengetengahkan pengembangan suatu lingkungan yang adil,
20
Konsep APSC yang diajukan Indonesia banyak diilhami oleh tulisan Rizal Sukma berjudul “ The Future of ASEAN: Towards a Security Community”. Paper dipresentasikan dalam seminar ASEAN Cooperation: Challenges and Prospects in the Current International Situation. New York, 3 Juni 2003. Lihat dalam CPF. Luhulima, et al., Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan P2P LIPI, 2008), hal. 90. 21 Bambang Cipto, Hubungan Internasional Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 81.
32
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
demokratis dan serasi (harmonious) serta penegakan hak-hak dan kewajiban asasi manusia. Dengan mengetengahkan demokrasi dan HAM, Indonesia memperluas keamanan komprehensif dari regime security (keamanan negara dan pemerintahan) ke human security (keamanan manusia/warga negara).22 Artinya, Indonesia ingin mendorong kerja sama politik-keamanan tidak hanya berfokus pada upaya membangun hubungan damai antar negara tetapi juga mencegah terjadinya kekerasan di dalam negeri.23 Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia ingin menciptakan APSC yang tidak saja state oriented tetapi juga people oriented. Mengingat ASEAN acapkali dikritik sebagai organisasi regional yang hanya memberi ruang bagi pemerintah (state oriented) tanpa keterlibatan warga negara Asia Tenggara. Pertanyaan yang menarik kemudian adalah apa yang menjadi pertimbangan Indonesia mengusulkan pembentukan APSC sebagai salah satu pilar ASEAN Community? Jawaban pertanyaan tersebut tentu bukanlah sekadar memberikan argumen bahwa Indonesia memiliki kepentingan strategis (national interest) dalam APSC ataupun karena Indonesia berupaya kembali mengetengahkan dirinya sebagai center of ASEAN. Namun lebih jauh dari itu, ada faktor-faktor dan pertimbangan yang mendorong Indonesia menekankan pentingnya pembentukan APSC sebagai kerangka kerja sama ASEAN guna menjadi organisasi regional yang kokoh dan stabil. Tulisan ini selanjutnya berusaha menjawab pertanyaan di atas dengan mendasarkan analisis pada pandangan perspektif konstruktivis dalam politik-hukum internasional untuk menganalisis alasan atau pertimbangan Indonesia mengusulkan pembentukan ASPC.
22
CPF. Luhulima, Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan P2P LIPI, 2011), hal. 316. 23 CPF. Luhulima, et al., op.cit.
33
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Perspektif Konstruktivisme dalam Politik Hukum Internasional Dalam studi politik-hukum internasional, terdapat tiga pendekatan untuk melihat hubungan antara politik internasional dan hukum internasional.24 Pertama adalah pendekatan realisme yang melihat politik sebagai perjuangan untuk mencapai kekuasaan materiil di antara negara berdaulat. Kedua, pendekatan liberal institusional yang diasosiasikan sebagai kelompok rasionalis memaknai politik sebagai ladang permainan strategis (strategic game) para aktor sebagai instrumen untuk memaksimalkan keuntungan atau kepentingannya. Hukum internasional, dalam pandangan ini, dipandang sebagai seperangkat aturan untuk menyelesaikan masalah kerja sama dalam sebuah tatanan dunia yang anarki. Ketiga, pendekatan konstruktivis yang menekankan bahwa politik merupakan bentuk tindakan yang terbentuk secara sosial, hukum sebagai pusat struktur normatif yang menentukan suatu tindakan aktor yang terlegitimasi dan dapat dibenarkan. Lebih lanjut, dalam pandangan konstruktivis, tindakan negara tidak sepenuhnya hanya didasarkan pada motif-motif politik, ekonomi, dan militer ataupun didasarkan pada maksimalisasi keuntungan di bawah tatanan dunia yang anarki dengan pertimbangan untung rugi, melainkan juga bagaimana aspek normatif, ideasional, dan identitas menjadi penting dalam membentuk tindakan dan perilaku negara.25 Untuk itu, pandangan
24
Christian Reus-Smit, The Politics of International Law (United Kingdom: Cambridge University Press, 2004), hal 15. 25 Dalam Deni Meutia dan Yoga Suharman, Pembentukan Piagam ASEAN: Tinjauan Konstruktivisme Politik Hukum Internasional, Makalah, hal. 5-6. Dipresentasikan dalam Konvensi Nasional III Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) di HI UMM pada 8-10 Oktober 2012.
34
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
konstruktivis menawarkan tiga preposisi penting dalam kajian politikhukum internasional, sebagaimana dijelaskan Christian Reus-Smit.26 Pertama, dalam membentuk tindakan dan perilaku negara serta aktor lainnya, struktur normatif dan ideasional dipandang sama pentingnya dengan struktur material. Menurutnya, tindakan atau respons suatu negara tidak hanya ditentukan oleh faktor lingkungan material, tetapi juga faktor kepercayaan intersubjektif yang membentuk identitas aktor dan kepentingannya.27 Kedua, untuk memahami perilaku negara dan aktor lainnya, perlu memahami bagaimana kondisi identitas sosial mengonstruksi kepentingan dan tindakan mereka. Ketiga, konstruktivis menekankan pentingnya kekuatan konstitutif dari struktur normatif dan ideasional yang muncul ketika terjadi praktek diskursus antara agen sosial yang saling berpengetahuan sehingga mereka sama-sama sadar akan perlunya perubahan-perubahan transformatif.28 Lebih lanjut, dalam konteks konstruktivisme politik-hukum internasional, Reus-Smit mengajukan empat alasan atau faktor penentu tindakan aktor dan proses terbentuknya institusi modern politik-hukum internasional, yaitu idiographic, purposive, ethical dan instrumental.29 Pertama, pertimbangan idiographic, yakni ketika aktor menghadapi pertanyaan ‘who am I?’ atau ‘who are we?’ atau mengenai identitas yang dimiliki. Kedua, pertimbangan purposive, berhubungan dengan pertanyaan
26
Christian Reus-Smit, op.cit., hal 21-22. Alexander Wendt, “Constructing International Politics,” 1995, International Security, hal. 73; AlexanderWendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1999) hal. 92-138; dan AlexanderWendt and Raymond Duvall, “Institutions and International Order,” dalam Ernst-Otto Czempiel and James N. Rosenau (eds.), Global Changes and Theoretical Challenges: Approaches to World Politics for the 1990s (Lexington: Lexington Books, 1989), hal. 60. Dikutip dalam ibid, hal. 22. 28 Alexander Wendt, “The Agent Structure Problem in International Relations Theory,” 1987, International Organization, dalam ibid. 29 Ibid, hal. 25 27
35
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
‘what do I want?’ atau ‘what do we want?’. Aspek ini berhubungan dengan proses pembentukan kepentingan atau preferensi serta tujuan yang diharapkan. Ketiga, pertimbangan ethical, berhubungan dengan pertanyaan ‘how should I act?’ atau ‘how should we act?’ yaitu berkaitan dengan norma dan standar moral yang menuntun perilaku negara serta apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Keempat, pertimbangan instrumental yang berkaitan dengan pertanyaan ‘how do I get what I want?’ atau ‘how do we get what we want?’ yakni bagaimana negara bisa mendapatkan apa yang ingin mereka capai. Elemen ini berkorelasi dengan metode atau instrumen apa yang digunakan. Keempat elemen tersebut selanjutnya akan digunakan untuk menjelaskan perilaku atau pertimbangan Indonesia dalam mengusulkan kerangka APSC sebagai satu pilar dalam ASEAN Community.
Sejarah Perkembangan APSC Tujuan utama ASEAN sebagaimana tertuang dalam Deklarasi ASEAN di Bangkok ialah membentuk suatu wilayah politik dan keamanan bersama dan dalam usaha itu mendamaikan persengketaan antar negara-negara di Asia Tenggara.30 Persengketaan yang melibatkan negara-negara Asia Tenggara pada waktu itu seperti sengketa perbatasan dan teritorial, konflik etnis dan permusuhan yang memunculkan gerakan separatis, pemberontakan komunis, prasangka agama serta ketakutan negara kecil terhadap negara besar. Untuk itu, negara-negara Asia Tenggara berupaya
30
Berdasarkan Pasal 1 ASEAN Charter, terdapat 15 tujuan dari ASEAN yang menyangkut aspek politik, keamanan, ekonomi ataupun sosial-budaya. Baca ASEAN Secretariat, ASEAN Charter (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), hal. 3-5.
36
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
untuk mengelola persengketaan tersebut menuju pembentukan suatu tatanan regional Asia Tenggara atas dasar sistem ekonomi dan sosial masingmasing dan status quo teritorial.31 Jadi sesungguhnya, sejak awal dibentuknya, ASEAN sudah merupakan komunitas keamanan (security community) karena semangat awal didirikannya adalah guna menyelesaikan berbagai problem keamanan yang lebih banyak menyangkut hubungan bilateral. Apalagi butir penting awal pembentukan ASEAN sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Bangkok ditujukan untuk memajukan perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Dalam perkembangannya, tahun 1971 ASEAN kemudian melembagakan ASEAN sebagai suatu community of security interest melalui Deklarasi Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) untuk memperluas wilayah keamanan atau pembentukan wilayah penyangga keamanan Asia Tenggara. Menurut Luhulima, deklarasi ZOPFAN sejatinya adalah ekspresi dari ketidaksetujuan ASEAN untuk membolehkan negaranegara besar, seperti China, Jepang, Uni Soviet dan Amerika Serikat melibatkan diri secara tidak terbatas di wilayah Asia Tenggara.32 Dengan demikian, perhatian ASEAN terhadap masalah dan isu-isu keamanan adalah merupakan perhatian utama. Sejak awal berdirinya ASEAN, diperlukan suatu tatanan keamanan yang memungkinkan untuk melangsungkan kerja sama di bidang ekonomi, sosial dan budaya serta bidang lainnya. Untuk itu, dalam rangka mendukung dan mewujudkan berbagai tujuan dan cita-cita ASEAN, negara-negara ASEAN kemudian menyadari pentingnya kerangka legal formal dalam kerja sama keamanan.
31 32
CPF. Luhulima, op.cit., hal. 303. Ibid, hal. 304.
37
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Maka lahirlah ide pembentukan komunitas keamanan ASEAN melalui APSC. Pembentukan APSC merupakan suatu upaya untuk mewujudkan Asia Tenggara yang damai dan stabil. Ide pembentukan APSC pertama kali muncul pada Konferensi Tingkat Tinggi (KKT) ke-9 di Bali tahun 2003. Ide APSC tersebut merupakan salah satu dari tiga pilar ASEAN Community. Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II) selanjutnya menandai awal terbentuknya ASEAN Community yang berusaha diwujudkan pada 2020, kemudian dipercepat menjadi akhir tahun 2015. Lebih lanjut, meskipun sebagai komunitas yang berarti negara-negara ASEAN digiring dalam common identity, namun norma-norma kerja sama APSC tetap berpegang teguh pada prinsip kedaulatan nasional, nonintervensi, integritas teritorial, identitas nasional, prinsip non-kekerasan dalam penyelesaian konflik, penolakan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal, serta menghindari perlombaan senjata (arms race) di kawasan Asia Tenggara.33 Selain itu, komunitas keamanan juga harus tetap mencegah terjadinya persengketaan antar sesama negara ASEAN dan antara negara ASEAN dengan negara non-ASEAN, mencegah eskalasi konflik hingga berujung pada konflik terbuka dan berupaya mencari langkah penyelesaian. Sebagaimana dijelaskan dalam buku ASEAN Selayang Pandang, bahwa APSC bersifat terbuka, berdasarkan pendekatan keamanan komprehensif dan tidak ditujukan untuk membentuk suatu pakta pertahanan atau aliansi militer maupun kebijakan luar negeri bersama (common foreign policy). APSC juga mengacu kepada berbagai instrumen politik ASEAN yang telah ada seperti ZOPFAN, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama Negara-Negara ASEAN (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia/TAC) dan
33
Ibid, hal. 324.
38
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (Treaty on Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone/SEANWFZ), selain menaati Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional terkait lainnya.34
Elemen Konstruktivisme Indonesia dalam Pembentukan APSC APSC merupakan konsep yang diajukan oleh Indonesia dalam Bali Concord II yang menandai terbentuknya ASEAN Community. Dalam pandangan konstruktivisme, terdapat empat faktor atau pertimbangan yang mendasari perilaku Indonesia terkait usulan pembentukan APSC. Bagaimana keempat faktor tersebut menjelaskan perilaku Indonesia dalam kerangka konstruktivisme?
1. Faktor Idiography Identitas Indonesia sebagai salah satu negara pendiri ASEAN selain Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki peran penting dalam perkembangan ASEAN. Terlebih, Indonesia pernah menjadi episentrum ASEAN sehingga adanya APSC diharapkan mampu kembali mengetengahkan posisi Indonesia yang perlu diperhitungkan dalam kerangka kerja sama ASEAN. Selain karena alasan di atas, kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dan negara terbesar di Asia Tenggara. Dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia serta keragaman etnis dan budaya, Indonesia membutuhkan suatu situasi yang aman dan stabil untuk memelihara keutuhan wilayah dan masyarakatnya. Situasi stabil tersebut
34
Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, ASEAN Selayang Pandang. Edisi ke-19 (Jakarta: Sekretariat ASEAN, 2010), hal. 31-32.
39
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
hanya dapat dicapai melalui kerja sama keamanan yang komprehensif. Agenda keamanan dibutuhkan Indonesia dalam upaya menjaga keutuhan negara kesatuan yang multikultur tersebut. Beberapa alasan lain mengapa Indonesia mengambil prakarsa mengusulkan konsep APSC dikemukakan oleh Rizal Sukma.35 Pertama, sejak reformasi 1998 yang membawa Indonesia menjadi negara demokrasi, agenda demokrasi dan HAM menjadi isu utama dalam kehidupan berbangsa yang ikut memengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia. Sehingga, sebagai negara demokrasi yang mensyaratkan adanya penghargaan terhadap HAM, Indonesia memandang perlunya ASEAN menyusun instrumen tersebut guna lebih peduli pada komunitas masyarakat ASEAN (people oriented), setelah selama ini lebih bersifat state oriented. Kedua, pengalaman Indonesia dalam menghadapi kekerasan di Timor Timur pada 1999 dan ketidakberdayaan ASEAN mengambil peran utama, mendorong Australia lebih mendominasi dengan menempatkan pasukan keamanan internasional. Hal ini sesungguhnya menjadi pelajaran bagi ASEAN untuk lebih berperan dalam memelihara perdamaian regional tanpa melibatkan negara di luar kawasan Asia Tenggara. Ketiga, Indonesia berpendapat bahwa setelah ASEAN Free Trade Area (AFTA) mulai diimplementasikan serta disetujuinya usul Singapura tentang ASEAN Economic Community, kerja sama ASEAN lebih banyak didominasi oleh isu ekonomi. Sementara kerja sama di bidang politik-keamanan kurang mendapat perhatian. Padahal keamanan merupakan prasyarat utama terwujudnya regionalisme Asia Tenggara yang kondusif. Untuk itu, konsep APSC diajukan Indonesia sebagai payung kerja sama keamanan ASEAN menuju terwujudnya Komunitas ASEAN. Menurut Severino, harus diakui
35
Dalam CPF. Luhulima, et al., op.cit., hal. 90-92.
40
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
pula bahwa selama ini Indonesia lebih menaruh perhatian terhadap masalah politik-keamanan dalam ASEAN daripada masalah ekonomi. Hal itu karena Indonesia menyadari merasa kalah bersaing di bidang ekonomi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura dan Malaysia.36
2. Faktor Purposive Elemen purposive mengapa Indonesia berada di garda depan dalam memajukan konsep APSC adalah menyangkut mengenai what do Indonesia want? Indonesia mendorong kerja sama keamanan melalui APSC adalah dalam upaya membangun hubungan damai antar negara anggota. Dengan situasi damai selanjutnya memungkinkan setiap negara anggota dapat mengembangkan kerja sama bilateral maupun multilateral serta meneguhkan kohesivitas ASEAN. Sasaran kerja sama keamanan dalam upaya menciptakan situasi damai itu diarahkan pada upaya menangkal persengketaan di antara sesama negara anggota maupun negara anggota dengan non-anggota, mencegah eskalasi persengketaan itu menjadi konflik. Jika seandainya konflik tidak terhindarkan, kerangka kerja sama APSC akan membatasi ruang lingkup konflik tersebut sekecil mungkin dan perlu segara mengambil langkahlangkah untuk mengatasinya. Pencegahan itu dilakukan dengan pembangunan kepercayaan, diplomasi preventif, dan kerja sama dalam masalah keamanan konvensional dan non-konvensional.37
36
Lihat Rodolfo C. Severino, Southeast Asian in Search of an ASEAN Community. Insights from the Former ASEAN Secretary General (Singapura: ISEAS, 2006), khususnya Bab 7. Dalam ibid, hal. 92. 37 Ibid, hal. 39.
41
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Lebih jauh dari itu, APSC diharapkan tidak hanya mengedepankan hubungan damai antar negara tetapi juga hubungan damai di dalam negeri masing-masing negara anggota. Untuk itu, demokrasi dan perlindungan terhadap HAM dipandang Indonesia perlu dimajukan guna mencegah terjadinya kekerasan di dalam negeri. Dengan mengetengahkan demokrasi dan HAM, Indonesia memperluas konsep keamanan dari keamanan pemerintahan (regime security) ke keamanan manusia (human security).
3. Faktor Ethical Elemen ethical menjadi landasan norma moral yang menjadi pertimbangan Indonesia dalam mengusulkan APSC. Transformasi ke human security yang ditekankan dalam APSC melalui demokrasi dan HAM sesungguhnya merupakan bagian integral dalam mengamankan kehidupan bangsa-bangsa ASEAN. Menurut Hassan Wirajuda, nilai-nilai demokrasi dan HAM perlu dibina karena nilai-nilai tersebut akan sangat mengurangi sumber-sumber konflik baik antar negara maupun intra negara.38 Pengamanan hidup manusia (human security) dalam payung demokrasi dan HAM akan sekaligus mengamankan kehidupan bangsa-bangsa ASEAN karena keamanan manusia mencakup seluruh spektrum keamanan yang sangat luas. Lebih lanjut, kerangka komunitas keamanan yang diusulkan Indonesia sesungguhnya tidaklah beranjak dari apa yang dipraktikkan selama ini oleh ASEAN melalui prinsip ASEAN Way. Prinsip-prinsip tidak tertulis dalam ASEAN Way itu adalah menentang kekerasan dan mengutamakan solusi damai (pembuatan keputusan melalui konsensus), otonomi regional, prinsip
38
Dalam Lokakarya IV ASEAN Regional Mechanism on Human Rights di Jakarta pada 17 Juni 2008. Dalam CPF. Luhulima, op.cit., hal. 206.
42
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
tidak mencampuri urusan negara lain (non-intervensi), menolak pembentukan aliansi militer dan menekankan kerja sama bilateral (penyelesaian konflik secara damai).39 Selain itu, APSC tetap berpegang pada norma-norma yang telah disepakati bersama. Antara lain upaya confidence building measure (CBM), preventive diplomacy dan conflict resolution. Serta, traktat-traktat yang telah diterima bersama seperti Treaty of Amity and Cooperation (TAC), Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) dan traktat Southeast Asian Nuclear Weapons Free Zone (SEANWFZ).
4. Faktor Instrumental Elemen terakhir pendekatan konstruktivis dalam politik-hukum internasional adalah pertanyaan mengenai bagaimana mencapai apa yang diinginkan. Dalam konteks ini, bagaimana mencapai harapan yang Indonesia usulkan melalui pembentukan APSC. Draf yang diusulkan Indonesia dalam APSC sesungguhnya lebih banyak mengandung ide orisinal yang cukup radikal.40 Instrumen yang ditawarkan adalah perlunya pendefinisian prinsip nonintervensi secara lebih fleksibel. Hal itu dimaksudkan agar negara anggota lebih terbuka terhadap saran dan keterlibatan para anggota lainnya apabila ada masalah yang bersifat lintas batas atau menimbulkan krisis kemanusiaan. Selain itu, Indonesia mengusulkan perlunya mendirikan
39
Lebih lanjut baca Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order (Landon: Routledge, 2001), hal. 45. Baca dalam Bambang Cipto, op.cit., hal. 23. 40 Dalam CPF. Luhulima, et al., op.cit., hal. 96.
43
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
mekanisme regional perlindungan HAM agar ASEAN memajukan demokrasi dan HAM. Ide lainnya adalah perlunya pembentukan pasukan perdamaian regional sehingga ASEAN memiliki kemampuan untuk memainkan peran aktif dalam pemeliharaan perdamaian dan post-conflict peace building. Indonesia juga menambahkan perlunya suatu tata aturan pemeliharaan perdamaian regional atau regional peace keeping arrangement serta pembentukan lembaga-lembaga pendukung bagi upaya penyelesaian konflik.41 Selain itu, Indonesia juga mengusulkan diadakannya kerja sama maritim tingkat regional dan peningkatan kerja sama di bidang pertahanan serta ASEAN Extradition Treaty.42 Namun kemudian, beberapa usul Indonesia yang diajukan di KTT Bali tahun 2003 itu mendapat penentangan dari beberapa negara anggota ASEAN karena dinilai melangkah terlalu jauh. Mengenai ide pembentukan pasukan perdamaian dipandang terlalu premature. Kerangka APSC yang akhirnya disetujui juga tidak secara eksplisit berbicara tentang komitmen memajukan demokrasi dan HAM, sehingga tampak bahwa ASEAN tidak mengalami pergeseran kerja sama politik-keamanan menjadi people oriented. Akan tetapi, dalam Vientiane Action Programme (VAP) pada 2004 yang merumuskan rencana aksi APSC, sebagian usul awal Indonesia yang semula ditolak berhasil dimasukkan kembali. VAP berhasil menyelipkan beberapa butir tentang demokrasi dan HAM secara lebih terbuka. Serta adanya kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama ASEAN dalam bidang
41
Ibid. Lihat juga CPF. Luhulima, op.cit., hal. 205. Semua ide-ide yang dikemukakan di atas tertuang dalam makalah Rizal Sukma. Lihat juga Mely Caballerro-Anthony, Regional Security in Southeast Asia (Singapura: ISEAS, 2005), hal. 270-272. Baca CPF. Luhulima, et al., op.cit. 42
44
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
pertahanan dan keamanan maritim serta rencana untuk melibatkan ASEAN dalam post-conflict peace building.43
Penutup Secara teoritik, pendekatan konstruktivisme memberikan sudut pandang alternatif dalam melihat realitas hubungan internasional dan politik-hukum internasional. Pendekatan ini memandang bahwa usul pembentukan APSC oleh Indonesia bukanlah semata-mata didasari oleh kepentingan material dan pertimbangan untung rugi melainkan dapat dianalisis berdasarkan elemen identitas, normatif-ideasional dan moral. Dalam konteks pembentukan APSC, konstruktivisme memandang bahwa terdapat empat elemen yang memberikan kerangka guna menganalisis perilaku Indonesia sebagai peletak dasar ide pembentukan APSC. Pertimbangan Indonesia didorong oleh elemen idiography (identitas) bahwa Indonesia membutuhkan situasi yang aman dan stabil guna memelihara keutuhan wilayah dan masyarakat yang multikultur. Selain itu, karena sejak memasuki alam demokrasi pascareformasi 1998 Indonesia menyadari pentingnya pembangunan nilai-nilai demokrasi dan penegakan HAM sebagai upaya mewujudkan perdamaian yang tidak hanya berbasis negara tetapi juga masyarakat (people oriented). Elemen identitas tersebut didukung oleh tujuan untuk mengembangkan kerja sama bilateral maupun multilateral serta meneguhkan kohesivitas ASEAN dengan adanya situasi yang aman dan stabil. Selain itu, dengan adanya komunitas keamanan, berbagai persengketaan antar negara anggota ASEAN dan dengan negara non-ASEAN dapat diselesaikan. Sebab, salah
43
Ibid, hal. 104-105. Untuk lebih lengkap mengenai kerangka kerjasama APSC yang telah disepakati baca ASEAN Secretariat, ASEAN Political-Security Community Blueprint (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009).
45
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
satu tantangan utama ASEAN sejak awal berdirinya adalah adanya sengketa-sengketa baik teritorial maupun sosial-budaya yang menghambat kerja sama ASEAN. Dalam upaya mewujudkan hal di atas, elemen ethical memberikan kerangka moral berdasarkan prinsip ASEAN Way yang selama ini dipelihara seperti prinsip non-intervensi, pembuatan keputusan melalui konsensus, otonomi regional dan kedaulatan nasional serta penyelesaian konflik secara damai tanpa kekerasan. Adapun elemen instrumental sebagai elemen terakhir untuk melihat perilaku Indonesia, menyediakan cara untuk mencapai tujuan yang diharapkan berdasarkan elemen moral yang ada. Pembentukan APSC diwujudkan dengan terbukanya perhatian pada masalah demokrasi dan HAM untuk menciptakan keamanan regional dan domestik. Serta adanya kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama ASEAN dalam bidang pertahanan dan keamanan maritim serta rencana untuk melibatkan ASEAN dalam post-conflict peace building. Terakhir, dalam upaya mewujudkan komunitas keamanan melalui APSC dan ASEAN Community secara umum, negara anggota dan masyarakat ASEAN perlu membangun we feeling (rasa kekitaan) yang terwujud melalui one identity, one vision dan sense of community.
46
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
DAFTAR PUSTAKA
ASEAN Secretariat. ASEAN Charter (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008) ASEAN Secretariat. ASEAN Political-Security Community Blueprint (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009) Cipto, Bambang. Hubungan Internasional Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN. ASEAN Selayang Pandang. Edisi ke-19 (Jakarta: Sekretariat ASEAN, 2010) Luhulima, CPF., et al. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan P2P LIPI, 2008) Luhulima, CPF. Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan P2P LIPI, 2011) Meutia, Deni dan Yoga Suharman. Pembentukan Piagam ASEAN: Tinjauan Konstruktivisme Politik Hukum Internasional. Makalah dipresentasikan dalam Konvensi Nasional III Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) di HI UMM pada 8-10 Oktober 2012. Reus-Smit, Christian. The Politics of International Law (United Kingdom: Cambridge University Press, 2004)
47
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
URGENSI DIBENTUKNYA BADAN PERADILAN KHUSUS LINGKUNGAN INTERNASIONAL DAN BADAN PEMBERSIH SAMPAH ANTARIKSA (SPACE DEBRIS)
Sofian Ardi
Abstract44
Drastic changes in some elements of the environment caused by human activities, organizations, public and private businesses, as well as countries, has recently become a big concern of mankind and nations, among others, global warming as a serious threat. Additionally, international environmental law is a very broad subject that affects many areas, such as labor, trade, energy, sovereignty, international fisheries law, health, international treaty law, and human rights. While courts that exist today is less able to handle effective international environmental problems that occur. Therefore, a new special international judicial bodies are needed, namely the International Environmental Court (IEC) and it is also expected to have a jurisdiction that is not owned by a national court to address the international environment damage. In addition, the problem of space debris as results from the human activities in aerospace become a
44
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jalan Dipatiukur Nomor 35 Bandung,
[email protected]
48
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
serious concern in international environmental issue too. The absence of a special body to handle space debris is an urgency in international legal framework besides the need to set up an International Environmental Court.
Keywords: International Environmental, International Environmental Court, Space Debris
A. LATAR BELAKANG Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh makhluk hidup bersama dengan benda tak-hidup lainnya.45 Adalah suatu kenyataan bahwa setiap bagian lingkungan hidup, menjadi bagian wilayah suatu negara atau berada di bawah l ingkungan hidup sebagai suatu keseluruhan. Setiap bagian lingkungan merupakan bagian dari suatu kesatuan (a wholeness) yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari satu sama lain, membentuk satu kesatuan tempat hidup yang disebut lingkungan hidup. Perubahan drastis beberapa unsur lingkungan hidup yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, organisasi bisnis, serta negara-negara, belakangan ini menjadi perhatian besar umat manusia, serta menimbulkan reaksi keras kelompok tertentu, terutama ekolog. Hakikat hukum lingkungan internasional adalah meningkatkan kualitas ekosistem dari derajat rendah ke derajat yang lebih tinggi. Hukum internasional memerlukan pendekatan yang representatif, yang mampu mengkaji masalah-masalah yang timbul akibat kegiatan internasional yang beraspek lingkungan, baik lingkungan hidup dalam porsi sebagai bagian wilayah suatu negara maupun sebagai bagian satu kesatuan ekosistem bumi yang utuh, yang tersusun dalam
45
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta, 1991, hlm.48
49
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
struktur sistem komponen yang saling terkait dan mempengaruhi.46 Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan dunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini.47 Masyarakat internasional menyadari bahwa langkah-langkah segera perlu diambil untuk melindungi planet bumi dengan mengingat keadaan bumi sekarang ini. Pemanasan global sebagai salah satu ancaman paling serius terhadap lingkungan saat ini dan mempengaruhi baik tanaman dan hewan dengan penipisan ozon yang terus berlanjut. Keanekaragaman hayati terus menurun karena banyak spesies tanaman dan hewan terancam punah oleh eksploitasi dan kegiatan industrial manusia. Asam hujan, deforestasi, polusi sumber daya air menimbulkan ancaman yang serius. Bahkan, bumi sudah dianggap sebagai satu tubuh yang saling berhubungan di bawah tekanan, dalam kondisi yang lemah, dan dengan kemampuan terbatas untuk mempertahankan kerusakan yang terjadi.48 Selain itu, luar angkasa menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan pula dengan lingkungan hidup yang juga merupakan sumber daya yang sangat berguna; dengan meluncurkan Hobble, satelit dan lain sebagainya kita bisa menggunakan televisi, GPS, mobile phone, ramalan cuaca, observasi, dan lain sebagainya, karena itu kita perlu melestarikannya. 49 Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari masa ke masa, dan dengan hasil di satu
46
Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional¸Reflika, Bandung, hlm. 5. 47 J.G.Strake, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta , 1999, hlm.3. 48 Susan M. Hinde, “Note: The International Environmental Court : Its Broad Jurisdiction as a Possible Fatal Flaw”, Hofstra Law Review, Vol 32, 2003, hlm 737 49 Sampah Benda di Luar Angkasa Sulit Di Atasi, diakses dari http://blendedlearning.itb.ac.id/web5/index.php/forum/detail/11716, pada tanggal 07 Juni 2015 pukul 20:30 WIB.
50
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
pihak maupun meningkatkan kesejahteraan manusia akan tetapi di lain pihak juga menjadi alat pemusnah dan di tambah lagi dengan dampakdampaknya terhadap lingkungan hidup, telah menyadarkan manusia bahwa hasil yang dicapai oleh ilmu dan teknologi itu memerlukan perangkat hukum. Perangkat hukum ini diharapkan dapat mengatur agar segala hasil ilmu dan teknologi dapat dimanfaatkan tanpa merugikan manusia dan juga lingkungan di mana dia hidup.50 Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum sebagai keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat, juga meliputi lembaga dan proses untuk mewujudkan asas dan kaidah tersebut dalam kenyataan. Kemudian, hakikat dan karakter lingkungan hidup demikian itu membutuhkan sistem hukum yang mampu menyerap sifat khas lingkungan hidup ke dalam pendekatan dan materinya yang berfungsi melindungi dan meningkatkan kualitas fungsi dari setiap komponen ekosistem. Dengan mengkaitkan pengertian hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja, sistem hukum yang dimaksud salah satunya adalah lembaga peradilan di bidang hukum lingkungan yang berfungsi untuk mewujudkan keseluruhan asas dan kaidah lingkungan hidup itu sendiri. Mengingat keadaan-keadaan sebagaimana disebutkan sebelumnya hanyalah merupakan awal dari daftar panjang masalah lingkungan global yang membutuhkan solusi. Untuk melindungi dan melestarikan lingkungan dunia, kerjasama internasional tidak diragukan lagi sangat dibutuhkan. Sejumlah ahli menyatakan bahwa pengadilan internasional untuk lingkungan perlu dibuat karena pengadilan internasional yang ada tidak cukup siap untuk berurusan dengan kerugian lingkungan yang besar seperti sekarang ini dan yang perlu menjadi perhatian pula ialah terkait perlunya
50
H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Fikahati Aneska, Jakarta, 2003, hlm xxi
51
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
suatu badan khusus yang menangani sampah ruang angkasa (space debris) sebagaimana disebutkan diatas.
B. PEMBAHASAN 1. Badan Peradilan yang Internasional Saat Ini
Menangani
Masalah
Lingkungan
Hukum Lingkungan Intenasional, disamping berkembang sebagai cabang hukum yang berdiri sendiri, juga berkembang melalui cabangcabang hukum internasional khusus, seperti space law, law of the sea, sebagai konsekuensi dari keberadaan bagian-bagian tertentu dari lingkungan hidup sebagai bagian ruang lingkungan yang masuk kedalam skup objek pengaturan cabang-cabang hukum tersebut.51 Dalam hukum laut internasional, termasuk mengenai persoalan terhadap kewajiban negara untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut, UNCLOS 1982 mengatur prosedur penyelesaian sengketa yang bersifat formal dan mengikat, salah satunya yaitu melalui ICJ (International Court of Justice).52 Yurisdiksi Mahkamah dapat dilaksanakan melalui salah satunya berdasarkan statuta, bahwa yurisdiksi pengadilan mencakup semua sengketa yang diserahkan oleh para pihak dan semua persoalan yang ditetapkan dalam Piagam PBB yang dituangkan dalam perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional yang berlaku.53 Yurisdiksi dari ICJ ini dapat dikatakan sangat luas, sehingga segala persoalan lingkungan hidup, karena belum memiliki badan peradilan khusus yang berdiri sendiri, dapat diserahkan untuk diselesaikan oleh ICJ.
51
Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit., hlm.16 Lihat Pasal 287 UNCLOS 1982 53 Lihat Pasal 36 ayat (1) Statuta ICJ 52
52
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Dalam proses penyelesaian sengketa di Mahkamah Internasional bersifat pasif artinya hanya akan bereaksi dan mengambil tindakan-tindakan bila ada pihak-pihak berperkara mengajukan ke Mahkamah Internasional. Dengan kata lain, Mahkamah Internasional tidak dapat mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk memulai suatu perkara. Dalam mengajukan perkara terdapat 2 tugas Mahkamah yaitu menerima perkara yang bersifat kewenangan memberi nasihat (advisory opinion) dan menerima perkara yang wewenangnya untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan oleh negara-negara (contensious case). Sebenarnya, hanya negara sebagai pihak yang boleh mengajukan perkara kepada Mahkamah Internasiona sehingga perseorangan, badan hukum, serta organisasi internasional tidak dapat menjadi pihak untuk berperkara ke Mahkamah internasional. Namun demikian berdasarkan Advisory Opinion tanggal 11 April 1949 Mahkamah Internasional secara tegas menyatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan pribadi hukum yang dapat mengajukan klaim internasional atau gugatan terhadap negara. Advisory Opinion ini telah membuka kesempatan kepada PBB untuk menjadi pihak dalam perkara kontradiktor (contentious case). Dalam upaya penyelesaian perkara ke Mahkamah Internasional bukanlah merupakan kewajiban negara namun hanya bersifat fakultatif. Artinya negara dalam memilih cara-cara penyelesaian sengketa dapat melalui berbagai cara lain seperti saluran diplomatik, mediasi, arbitrasi, dan cara-cara lain yang dilakukan secara damai. Dengan demikian penyelesaian perkara yang diajukan ke Mahkamah Internasional bersifat pilihan dan atas dasar sukarela bagi pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 (1) Piagam PBB. Meskipun Mahkamah Internasional merupakan organ utama PBB dan anggota PBB otomatis dapat berperkara melalui Mahkamah Internasional, namun dalam kenyataannya bukanlah merupakan kewajiban untuk menyelesaikan sengketa pada badan peradilan ini. Perkembangan hukum internasional khususnya mengenai pengajuan kasus-kasus ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice) 53
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
dalam lima tahun terakhir ini telah menghadapi babak baru. Paling tidak perhatian terhadap kasus-kasus yang menyangkut persoalan lingkungan hidup khususnya sumberdaya alam telah menjadi agenda penting, walaupun dalam kasus-kasus terdahulu hanya merupakan bagian dari kasus mengenai sengketa perbatasan. Hal ini dapat diketahui bahwa Mahkamah International telah menerima dua kasus penting yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup khususnya mengenai pengelolaan sumberdaya alam yaitu Case concerning Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v. Australia) dan Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia). Mengingat kedua kasus ini memiliki karakteristik tersendiri maka dengan pertimbangan Pasal 26 Piagam Mahkamah Internasional telah dibentuk The Chamber of Environmental Dispute pada tanggal 19 Juli 1993. Namun pembentukan kamar sengketa ini hanya berlaku bagi kewenangan untuk memeriksa perkara kontradiktor sehingga tidak berlaku dalam persidangan advisory opinion. Sebenarnya kasus lingkungan hidup dalam arti luas pernah ditangani oleh Mahkamah Internasional Permanen (PICJ) seperti dalam Diversion of the Waters of the River Meuse dan Territorial Jurisdiction of the International Commission of the River Oder Case 1929. Demikian juga dengan Mahkamah yang telah beberapa kali menangani sengketa yang bersinggungan dengan masalah lingkungan hidup. Sebagai contoh dalam Chorfu Channel Case (UK v. Albania) 1949, Nuclear Test Cases, Gulf of Maine Case (USA v. Canada) 1984, Fisheries Jurisdiction Case, dan beberapa kasus mengenai landas kontinen dan perbatasan. Sengketa lingkungan internasional yang diselesaikan oleh lembaga internasional di atas adalah sifatnya damai, tetapi belum ada proses pengadilan internasional tentang kerusakan lingkungan oleh perang seperti kehancuran lingkungan di Nagasaki dan Hiroshima dalam Perang Dunia II (1945), Perang Vietnam (1967-1975) yang menimbulkan kebutaan penduduk dan rusaknya alam karena Amerika Serikat menggunakan gas 54
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Agent Orange. Selain itu pula, Perang Iran-Irak (1980-1988), Perang Teluk I (1990-1991) yang menghancurkan ladang-ladang sumur minyak, serangan militer Israel ke Lebanon (2006) yang mengakibatkan pencemaran Laut Merah (Red Sea), dan agresi militer AS ke Irak sejak tanggal 20 Maret 2003 (Perang Teluk II) yang menimbulkan banyak korban warga sipil dan kehancuran terhadap lingkungan hidup di Irak.54
2. Urgensi Dibentuknya Badan Lingkungan Internasional
Peradilan
Khusus
mengenai
Dalam menghadapi persoalan-persoalan baru yang berkembang dengan pesat nampaknya Mahkamah Internasional dituntut mampu untuk menyesuaikan perkembangan zaman. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perkembangan demokratisasi khususnya tuntutan negara-negara baru sejak berakhirnya Perang Dunia II. Selain itu partisipasi masyarakat global melalui berbagai kegiatan internasional semakin nyata dengan makin berperannya Non-Governmental Organization (NGO), indigenous people, asosiasi-asosiasi dan berbagai kelompok kepentingan yang menuntut adanya hak-hak yang sama. Hal ini ditambah lagi proses globalisasi yang nyata dimana batas-batas negara semakin menipis dan semakin berkembanganya organisasi-organisasi yang memiliki karakter internasional yang kuat. Karena itu sebagian ahli menuntut adanya lembaga peradilan internasional yang mampu menangani berbagai persoalan global yang tidak terbatas pada kepentingan negara saja. Pada bulan Agustus 2002, United Nations Environment Programme (UNEP) menjadi tuan rumah selama tiga hari dari World Summit on Sustainable Development di Johannesburg bersama hakim-hakim dunia
54
Idris, Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional, Unpad Press, Bandung, 2011, hlm.46
55
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
terkemuka. Disana disimpulkan bahwa keadaan rapuh lingkungan global saat ini memerlukan pengadilan, sebagai ‘primary guardian of the rule of law’ untuk berani dan tanpa rasa takut menegakkan hukum lingkungan nasional dan internasional. Kejahatan lingkungan seperti perdagangan ilegal kayu, perdagangan spesies yang terancam punah, dan penanganan limbah berbahaya telah didiskusikan. Saran yaitu mulai dari pelatihan program untuk hakim domestik dan internasional dalam ilmu lingkungan dan kebijakan untuk pembentukan pengadilan internasional untuk lingkungan yang baru, telah didiskusikan pula sebagai solusi untuk masalah koordinasi dan penegakkan yang sulit terhadap dari lebih dari lima ratus perjanjian oleh badan peradilan yang ada. Untuk mengatasi masalah tersebut, dibuatnya peradilan yang kuat untuk menerapkan hukum lingkungan adalah suatu kebutuhan saat ini.55 Beberapa pendapat ahli menyatakan sebagai berikut, yaitu seperti: “… supporters will need to show that existing international and national judicial for are inadequate for resolution of international environmental disputes”.56 Selain itu terdapat pula pendapat ahli lain, yaitu: “… As evidence mounts that the planet is increasingly experiencing serious environmental consequences caused by a history of human activity, a call has been made to introduce a new international judicial body to the existing international courts and tribunals: an International Environtmental Court (IEC)… Advocates of the new court cite uncertain environmental jurisdiction in existing courts and tribunal to address in the environmental expertise of judges in the existing courts.”57
55
Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm.729 Sean D. Murphy, “Does the World Need a New International Environmental Court”, George Washington Journal International Law and Economy, Vol 32, hlm 333 57 Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm 727 56
56
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Dari kedua pendapat ahli tersebut menyatakan bahwa terbukti saat ini menunjukkan bahwa bumi ini semakin serius ancaman bahaya oleh kegiatan manusia dan pengadilan nasional maupun internasional yang ada sudah tidak memadai lagi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan internasional sehingga dibutuhkan badan peradilan internasional tersendiri yang baru, yaitu Mahkamah Lingkungan Internasional (International Environmental Court atau IEC). Selain itu, memang diperlukannya pula pembentukan suatu peradilan internasional khusus untuk memproses sengketa lingkungan karena marak dari adanya pelanggaran atau kejahatan terhadap lingkungan hidup, mengingat mahkamah atau pengadilan internasional yang dapat menangani kasus-kasus lingkungan tersebut dinilai sudah tidak memadai lagi. Dalam beberapa tahun terakhir, keberhasilan terbatas dalam menegakkan aturan hukum lingkungan internasional terhadap negaranegara yang melanggar telah menyebabkan panggilan untuk pembentukan pengadilan lingkungan internasional atau International Environmental Court (IEC) yang mampu mengeluarkan keputusan yang mengikat dan dapat dilaksanakan terhadap negara-negara tersebut. Para ahli pendukung dari pembentukan pengadilan baru ini, yang diperkirakan akan dibentuk oleh perjanjian internasional yang dibuat antara negara-negara, perlu untuk meyakinkan pemerintah negara-negara pada dua poin penting.58 Pertama, ahli pendukung perlu menunjukkan bahwa forum peradilan internasional dan nasional yang ada tidak memadai untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup internasional. Kedua, harus menunjukkan bahwa jika aspek forum peradilan yang ada tidak memadai, sehingga tidak dapat diperbaiki untuk dapat memuaskan sesuai harapan, sementara pada saat
58
Sean D. Murphy, Loc.Cit.
57
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
yang sama penciptaan pengadilan baru dibutuhkan untuk menghindari kekurangan tersebut. Para ahli pendukung pengadilan baru ini percaya beberapa isu saat ini dalam hukum lingkungan internasional akan diselesaikan dengan menciptakan International Environmental Court (IEC). Isu ini termasuk: (1) kekurangan keahlian, kesadaran, dan sumber daya lingkungan; (2) masalah efisiensi; (3) tidak adanya preseden yang jelas dalam hukum lingkungan internasional; (4) masalah dengan aksesibilitas untuk beberapa entitas di pengadilan saat ini; dan (5) kurangnya penegakan hukum dan yurisdiksi.59 Sejumlah ahli menyatakan bahwa dibentuknya pengadilan baru karena terdapatnya ketidakpastian yurisdiksi lingkungan di pengadilan yang ada saat ini untuk mengatasi kerusakan serius lingkungan internasional, dan kekurangan dalam keahlian hakim di pengadilan dalam bidang lingkungan internasional. Hukum lingkungan internasional adalah subjek yang sangat luas yang mempengaruhi banyak bidang, seperti tenaga kerja, perdagangan, energi, kedaulatan, hukum perikanan internasional, kesehatan, hukum perjanjian internasional, dan hak asasi manusia. Sementara pengadilan yang ada tidak menangani secara efektif dengan masalah lingkungan internasional seperti diatas. Masalah pada pengadilan yang ada sekarang ini yaitu60 termasuk kurangnya sumber daya, kesulitan untuk mentransformasikan perjanjian internasional menjadi hukum nasional, dan kurangnya kesadaran. Masalah ini terutama terjadi pada negara-negara berkembang. Selain itu tekanan lingkungan global, menunjukkan bahwa pengenalan IEC sebagai badan hukum internasional dibenarkan dan memang diperlukan. Segala kesulitan yang mengganggu pada pengadilan
59
Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm.739 Audra E. Dehan, “An International Environmental Court: Should There Be One?”, Touro Journal International Law, Vol 31, 1992, hlm.52 60
58
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
internasional sekarang ini dapat diselesaikan atau minimum dapat diperbaiki dengan menciptakan badan peradilan internasional yang baru. Diluar perspektif lingkungan dalam hukum internasional, Indonesia saat ini pun belum memiliki lembaga peradilan yang secara khusus menangani perkara-perkara sengketa lingkungan. Dilihat dari permasalahan sengketanya, isu-isu lingkungan merupakan permasalahan yang rumit penanganannya. Hal itu bisa dilihat dari proses pembuktian maupun kepentingan yang ada di balik konflik lingkungan. Apalagi, jika sengketa tersebut melibatkan entitas privat atau perusahaan di dalamnya. Sistem peradilan lingkungan yang akan dibangun harus memperhatikan hal-hal yang spesifik mengenai persoalan tersebut. Selama ini, perkara yang menyangkut soal lingkungan lebih sering masuk dalam ranah proses perdata dan administrasi di pengadilan. Kendati demikian, dalam konteks peradilan, masyarakat dapat mengujinya dalam sebuah wadah peradilan khusus lingkungan, mengingat jumlah kasus mengenai isu-isu lingkungan yang signifikan jumlahnya. Pengadilan lingkungan bisa menjadi bagian dari usaha pemerintah dalam rangka menyediakan akses terhadap keadilan, termasuk di dalamnya keadilan lingkungan bagi masyarakat. Dengan dibentuknya pengadilan lingkungan diharapkan menjadi satu pemacu dalam rangka menciptakan ruang untuk memperbaharui kebijakan lingkungan hidup di Indonesia.
3. Urgensi Dibentuknya Badan Khusus Pembersih Sampah Antariksa (Space Debris) Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara diatas wilayahnya. Wilayah ini sudah sejak lama dibahas, terutama tampak pada sebuah dalil Hukum Romawi yang berbunyi “cujus est solum, ejus est usque ad coelum”. Dalil ini berarti “Barang siapa memiliki sebidang tanah dengan
59
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah.61 Menurut hukum internasional wilayah negara terdiri dari tiga matra yaitu darat, laut, dan udara. Wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah daratan, dan wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah negara di darat dan dilaut. Hal ini tercermin dalam Pasal I Paris Convention for the Regulation of Aerial Navigation tahun 1919 yang mengakui kedaulatan negara penuh di ruang udara di atas wilayah daratan dan laut teritorialnya. Pada awalnya kedaulatan negara tidak ditetapkan batas jaraknya secara vertikal (usque ad coelum) yang kemudian dibatasi dengan adanya pengaturan tentang ruang angkasa.62 Dewasa ini frekuensi peluncuran-peluncuran satelit semakin meningkat dimana negara-negara bersaing keras meluncurkan satelit-satelit ke angkasa. Amerika Serikat dengan NASA-nya telah menciptakan pesawat ulang-alik yang dapat membawa beberapa satelit sekaligus ke angkasa, menempatkan di orbitnya, serta kembali ke bumi. Pesawat ulang-alik ini dapat digunakan kembali untuk program peluncuran satelit berikutnya. Soviet pun tidak kalah aktifnya dalam proyek ruang angkasanya. Proyek Soyuz, Sputnik serta Cosmos-nya bukan hal yang asing lagi. Indonesia dengan bantuan Amerika Serikat, telah meluncurkan satelit komunikasi pertamanya, PALAPA A-1, pada tahun 1970an. Ini menandakan pula bahwa Indonesia sejak tahun itu telah turut serta dalam era pemanfaatan ruang angkasa.63
61
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Keni Media, Bandung, 2011, hlm.137 62
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm 194 63
Huala Adolf., Op.Cit., hlm.143
60
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Bukan hanya di bumi saja manusia membuat sampah dalam jumlah yang besar, di luar angkasa manusia juga mengotorinya dengan sampah dengan melihat tingginya frekuensi kegiatan keruangangkasaan manusia pada saat ini. Berbagai benda yang diluncurkan manusia ke luar angkasa menjadi benda tak berguna. Sampah antariksa adalah benda buatan yang mengitari bumi selain satelit yang berfungsi. Sampah ini bisa berupa bekas roket (rocket bodies), serpihan (debris) dan lain-lain. Jika dirata-ratakan, satu sampah antariksa jatuh setiap hari sejak awal peluncuran satelit tahun 1957. Kebanyakan sampah ini berupa pecahan roket atau satelit yang habis terbakar di atmosfer. Hanya sepertiga dari 20 ribuan sampah yang jatuh berukuran cukup besar sehingga mampu bertahan sampai ke permukaan bumi. Benda-benda tersebut umumnya jatuh di daerah tak berpenduduk sehingga tidak membahayakan.64 Kasus-kasus tabrakan antarsatelit di ruang angkasa atau satelit yang sudah menjadi sampah dan dampak buruknya ke bumi harus menjadi perhatian masyarakat internasional sebagai langkah antisipasi mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan internasional karena kegiatan itu mengandung risiko tinggi bagi lingkungan dan manusia di bumi. Masalah sampah antariksa bukan saja mengkhawatirkan bagi keselamatan wahana antariksa, tetapi juga kemungkinannya untuk jatuh ke permukaan bumi. Semakin rendah posisi orbit satelit atau sampah antariksa, semakin cepat akan jatuh ke permukaan bumi. Contoh kasus jatuhnya sampah ruang angkasa ke permukaan bumi yaitu jatuhnya sampah ruang angkasa (space debris) Cosmos 954 milik Uni Soviet pada tahun 1979 yang menyadarkan masyarakat internasional untuk diatur lebih lanjut dalam hukum internasional karena peristiwa itu dapat menimpa siapa saja di dunia yang merugikan negara lain baik berupa
64
Sampah Antariksa, diakses dari http://orbit.bdg.lapan.go.id/index.php/informasi-umum/64-sampahantariksa-64, pada tanggal 08 Juni 2015 pukul 17:38 WIB.
61
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
terjadinya kerusakan lingkungan hidup maupun korban manusia. Cosmos 954 jatuh di wilayah Nortwest Territories Provinces of Alberta dan Saskatchewan Kanada yang menimbulkan kerugian bagi Kanada karena adanya sampah radioaktif berbahaya yang merusak lingkungan dan harta benda masyarakat di sekitar jatuhnya space debris tersebut.65 Pecahan Cosmos 954 itu berbobot sekitar 65 Kg dan mengandung sekitar 3.500 partikel radioaktif. Tingkat radiasi partikel tersebut sangat bervariasi dari ribuan sampai jutaan dari satu rontgen/jam. Beberapa diantaranya memiliki sifat sangat mematikan. Satu pecahan berukuran tidak terlalu besar, 25 mm x 15 mm x 10 mm, memiliki radiasi sampai 500 rontgen/jam dimana cukup untuk membunuh manusia dalam beberapa jam sejak mengalami kontak pertama.Ddata tersebut hanyalah data tentang dampak langsung (acut impacts) dari jatuhnya Cosmos 954, dan Kanada belum memperhitungkan dampak tidak langsungnya (cronic impacts).66 Atas permasalahan tersebut perlu adanya implementasi yang nyata dari prinsip pencegahan terhadap pencemaran dan kontaminasi dari ruang angkasa termasuk oleh benda-benda ruang angkasa agar kelestarian lingkungan tetap terjaga (sebagaimana diatur dalam Pasal IX Space Treaty). Berbeda dengan bumi yang memiliki petugas kebersihan dan bagian daur ulang sampah, sayangnya diluar angkasa tidak ada regu pembersih, sampah dibiarkan mengorbit terus menerus di luar angkasa. Walaupun telah terdapat hukum internasional yang mengatur mengenai pertanggungjawaban atas kerusakan yang diakibatkan oleh space objects yaitu Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972, namun tetap diperlukan adanya upaya pencegahan atas kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh benda-benda ruang angkasa atau
65 66
Idris, Op.Cit., hlm. 130-131. Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit., hlm. 51.
62
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
wahana antariksa. Akibat semakin bertambahnya populasi sampah antariksa menyebabkan sulit ditemukannya lokasi jatuhnya sampah tersebut sehingga perlu adanya upaya pencegahan dengan suatu mekanisme yang dilakukan oleh manusia untuk membersihkan sampah antariksa tersebut. Negara peluncur wahana antariksa harus melakukan pemantauan wahananya tersebut, karena hanya negara peluncur yang mengetahui masa orbit dari setiap space objects yang diluncurkannya. Negara peluncur harus terusmenerus memantau keberadaan sampah antariksa dan memetakannya. Upaya tersebut selanjutnya dapat dilakukan dengan mengirimkan misi yaitu dengan membentuk Badan Pembersih Sampah Antariksa untuk mengumpulkan sampah antariksa dan menghancurkannya menjadi serpihan kecil sehingga mengurangi kebahayaannya. Terlebih penting yaitu adanya kerja sama di antara negara-negara dalam mengurangi dampak lingkungan akibat jatuhnya sampah antariksa yaitu dengan alih teknologi dan kontribusi biaya dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang demi terjaganya kelestarian lingkungan hidup di Bumi ini.
C. Penutup Beberapa kasus lingkungan hidup khususnya yang dikategorikan sebagai common heritage of mankind diharapkan akan lebih menjadi perhatian Mahkamah Internasional di masa mendatang. Hanya saja usulan reformasi di dalam tubuh Mahkamah Internasional seperti pemberian kesempatan kepada Non-Governmental Organization (NGO) yang mewakili lingkungan hidup untuk memiliki locus standi hingga kini belum dapat diterima. Hal ini dikarenakan masih kuatnya doktrin yang menyatakan bahwa hanya negara sajalah yang dapat berperkara dalam Mahkamah Internasional. Karena itu ada beberapa kasus yang menyangkut persoalan sumberdaya alam diselesaikan oleh badan-badan di luar Mahkamah Internasional seperti GATT/WTO, Mahkamah Eropa (European Court of Justice), World Bank dll. 63
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Pengadilan nasional dan internasional yang ada tidak memadai lagi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan internasional karena bukti menunjukkan bahwa bumi ini makin seriusnya ancaman bahaya oleh aktivitas manusia, sehingga diperlukan badan peradilan internasional baru, yaitu Pengadilan Lingkungan Internasional (International Environmental Court/IEC) dan pengadilan khusus itu diharapkan mempunyai yurisdiksi yang tidak dimiliki oleh pengadilan nasional terhadap kerusakan lingkungan internasional. Manfaat lain dari dibentuknya sebuah IEC akan memberikan kepada masyarakat internasional meliputi: aksesibilitas terhadap berbagai aktor; pembentukan badan hukum lingkungan internasional yang konsisten; keputusan yang lebih cepat dalam menangani masalah dan perselisihan; biaya yang lebih rendah dari perkara sengketa lingkungan internasional; dan penegakan perjanjian yang lebih baik dalam bidang lingkungan. Pengadilan ini dapat lebih memungkinkan penggugat untuk membawa gugatannya kepada entitas non-negara yang saat ini dilarang menjadi pihak dalam hukum Internasional. Begitupun dengan dibentuknya badan khusus yang menangani sampah ruang angkasa (space debris) menjadi suatu kebutuhan mengingat dampak dari kegiatan keruangangkasaan manusia yang meningkat menjadi perhatian serius bagi lingkungan maupun kehidupan manusia di bumi. Dengan dibentuknya badan peradilan khusus lingkungan internasional dan badan khusus menangani sampah ruang angkasa (space debris) ini tentunya memperkuat kerangka hukum internasional di bidang lingkungan sehingga upaya-upaya yang gencar digalakkan saat ini untuk menjaga lingkungan hidup oleh banyak negara menjadi lebih kuat dan melengkapi.
64
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
DAFTAR PUSTAKA
Buku -
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Bandung:Keni Media, 2011
-
Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional, Bandung: PT Refika Aditama, 2003
-
Idris, Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional, Bandung: Unpad Press, 2011
-
J.G.Strake, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta , 1999
-
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 2003
-
Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Djambatan, 1991
-
Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Fikahati Aneska, Jakarta, 2003
Artikel Ilmiah -
Audra E. Dehan, “An International Environmental Court: Should There Be One?”, Touro Journal International Law, Vol 31, 1992
-
Sean D. Murphy, “Does the World Need a New International Environmental Court”, George Washington Journal International Law and Economy, Vol 32, 2000 65
JURNAL OPINIO JURIS
-
Vol. 19 Januari – April 2016
Susan M. Hinde, “Note: The International Environmental Court : Its Broad Jurisdiction as a Possible Fatal Flaw”, Hofstra Law Review, Vol 32, 2003
Website:
66
-
http://orbit.bdg.lapan.go.id/index.php/informasi-umum/64-sampahantariksa-64
-
http://blendedlearning.itb.ac.id/web5/index.php/forum/detail/11716
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
PERLINDUNGAN HUKUM MEREK TIDAK TERDAFTAR DI INDONESIA
Dr. Rika Ratna Permata, S.H., M.H. dan Muthia Khairunnisa S.H.
Abstract
A trademark performs as a sign that is capable of distinguishing the goods or services of another, as a guarantee for qualification and it should have a unique name. However, the trademark needs to be protected from the other parties to use their mark without permission. Indonesia applies the constitutive system, which is protect the first person to register their mark. It means the law gives the protection only for the first person who register their mark. Based on that they get an exclusive right and show that they are the real mark owner. Sometimes the owner of the mark, such as UMKM which is not registering their mark, because they do not know about the registration and has a minimum capital. This situation also protects the bad faith registration and gives the wrong protection. The trademark protection mechanism in America does not use the registration system. America uses the protection based on the use as a practical, which is should fullfilled the requirements, like it should be used in commerce or intend to be used in commerce. Indonesia should adopt the American protection system, which is giving double protection, either by registration or by using that trademark in practical. This is to minimize the disputes rising between the owner of the mark with the other parties using the mark without permission. 67
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Keywords: Well-known mark, unregistered mark, protection
PENDAHULUAN Merek mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai badge of origin, a piece of personal property, dan sebagai cultural resource. Merek sebagai badge of origin, merupakan hak penting dalam perdagangan dan memperlihatkan hubungan erat antara barang, jasa dan orang yang mempunyai merek tersebut dengan asal barang, sedangkan personal property, mempunyai arti bahwa merek merupakan aset bagi pemilik merek, sehingga pemilik merek dapat menjual merek tersebut karena memiliki nilai ekonomi, sedangkan merek sebagai cultural resource, yaitu merek dapat dikaitkan dengan budaya suatu negara, misalnya Barbie sebuah produk boneka yang merepresentasikan budaya Amerika.67 Menurut Abdul Kadir, merek mempunyai fungsi:68 1. Sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum dengan produksi orang lain atau badan hukum lainnya. 2. Sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksi cukup dengan menyebut mereknya. 3. Sebagai jaminan atas mutu barang.
67
Patricia Loughlan, Intellectual Property:Creative and Marketing Rights, Sydney, 1998, hlm. 18. 68 Abdul Kadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung :Citra Aditya, 2001, hlm. 32.
68
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
4. Menunjukan asal barang atau jasa yang dihasilkan. Menurut Cassavera, merek merupakan aset kondisional69, bahwa merek harus menghasilkan manfaat berupa nilai finansial bagi para pemiliknya dan merek harus selalu dikaitkan dengan suatu produk atau jasa. Dari hal tersebut diatas maka produk atau jasa merupakan bentuk nyata dari suatu merek. Merek harus mempunyai kriteria tertentu yaitu:70 1. Sign; 2. Which can be represented graphically; and 3. Which is capable to distinguishing the goods and service of one undertaking from those of undertakings. Jadi merek harus mempunyai suatu tanda yang merepresentasikan secara jelas seperti keadaan sebenarnya dan dapat membedakan bahwa barangnya adalah berbeda dengan benda atau jasa lainnya. Schachter mengemukakan bahwa Merek sebagai salah satu dari HKI merupkaan tanda pembeda harus mempunyai single rational basis adalah untuk menjaga keunikan sebuah merek, maka merek harus dilindungi sebagai species of property. Ini mempunyai maksud bahwa pemilik merek harus dilindungi ketika mereknya digunakan oleh pihak lain. Hak yang diberikan pada Merek71, yaitu hak eksklusif guna mencegah pihak ketiga tanpa izinnya untuk mempergunakan merek yang sama atau
69
Cassavera, Kasus Sengketa Merek di Indonesia, Yogyakarta:Graha Ilmu, Cetakan Pertama, 2009, hlm. 7. 70 Lionel Bently, Bred Sherman, Intellectual Property Law, New York: Oxford University Press, 2001, hlm. 760. 71 Achmed Zen Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung:Alumni, Cetakan ke III, hlm. 73.
69
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
mirip dalam kegiatan perdagangan dan dalam hal demikian “a likelihood of confusion shall be presumed”. Fungsi merek menurut The Chicago School, adalah bahwa:72 “Trade mark serve two efficiency enhancing functions: first, trademarks lessen consumer search cost by making product and producers easier to identify in the market place, and second trademarks encourage producers to invest in quality by ensuring that they, and not their competitors, reap the reputation realted rewards of that investment”. Fungsi merek di atas akan menimbulkan perlindungan hukum terhadap merek yang bersifat territorial. Perlindungan hukum terhadap pemilik merek Indonesia merupakan suatu kewajiban apabila merek tersebut didaftarkan dan ini merupakan perlindungan yang bersifat preventif. Prinsip ini dikenal dalam hukum merek Indonesia sebagai sistem pendaftaran konstitutif, yaitu bahwa pendaftaran memberikan kepastian hukum bagi pemilik merek yang sah dan dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila terjadi peniruan merek miliknya oleh pihak lain tanpa izin. Pendaftaran merek tersebut dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 UndangUndang Merek (UUM). Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa pendaftaran harus diajukan oleh pemohon yang beritikad baik juga pendaftaran merek tidak diperbolehkan mengandung hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan umum dan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftrannya.
Barton Bee, “The Semiotic Analysis of Trade Mark Law”, UNCLA Law Review, 2004, hlm. 623. 72
70
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Dengan sistem pendaftaran merek konstitutif maka yang dilindungi adalah pendaftaran pertama, tetapi pada kenyataannya pemilik merek tidak mendaftarkan mereknya karena ketidaktahuan dan minimnya mereka akan sistem pendaftaran yang menjadikan syarat mutlak bagi timbulnya hak, sehingga pemilik merek yang tidak mendaftarkan mereknya sering dirugikan dan dipergunakan oleh pihak lain tanpa izin tetapi dia mendaftarkan mereknya. Kasus yang akan dibahas adalah pemilik merek Sinar Laut dengan merek Sinar Laut Abadi dimana pemilik merek tidak mendaftarkan mereknya sehingga didaftarkan oleh pihak lain dengan suatu itikad buruk. Perbandingan yang akan diteliti adalah pengaturan pendaftaran merek di Amerika Serikat dimana perlindungan merek diatur dalam Lanham Act, yang mengartikan bahwa merek termasuk setiap kata, nama, simbol dan kombinasi ketiganya yang dipergunakan oleh setiap orang, dimana orang tersebut mempunai kehendak dan dipergunakan dalam perdagangan dan didaftarkan agar mendapat perlindungan juga untuk membedakan bahwa produk barang dan jasanya adalah berbeda dengan produk barang dan jasa orang lain. Merek di Amerika mempunyai fungsi sebagai sesuatu yang mengindikasikan keaslian (indication of origin), sehingga merek mempunyai fungsi sebagai jaminan terhadap barang dan jasa sehingga konsumen yakin akan barang yang dibeli, juga dengan melalui iklan merek merupakan suatu upaya barang yang dibeli, juga dengan melalui iklan merek merupakan suatu upaya untuk membentuk dan mempertahankan permintaan pasar, sehingga pemilik merek harus melindungi investasinya dari tindakan yang dilakukan pihak ketiga tanpa izin. Hak merek diperoleh dibawah hukum Amerika dengan melalui penggunaan. Pendaftaran di Amerika tidak diwajibkan untuk memperoleh hak merek. Pendaftaran hanya memperoleh keuntungan prosedural termasuk hak yang diperoleh, yaitu hak eksklusif bagi pemilik merek untuk 71
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
menggunakan merek diluar Amerika sebagai suatu yang tercantum dalam pendaftaran. Aplikasi pendaftaran merek dapat diisi berdasarkan asas itikad baik untuk menggunakan merek, dan tidak ada pemilik merek di Amerika yang memperoleh pendaftaran tanpa pemakaian merek didalam perdagangan antar negara yang berkaitan dengan barang dan jasa. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti beberapa permasalahan yang timbul, di antaranya: 1. Bagaimana sistem pendaftaran yang dianut di Amerika Serikat? 2. Sistem pendafataran yang bagaimana yang dapat diterapkan bagi pemilik merek yang tidak mendaftarkan mereknya di Indonesia? Dari penelitian ini diharapkan memperoleh kegunaan praktis, yaitu untuk dapat memberikan masukan aspek hukum dan manfaat bagi masyarakat luas, praktisi, juga aparat penegak hukum untuk mendapat kepastian hukum dalam kasus-kasus yang timbul khususnya kasus merek yang tidak terdaftar, dan mendorong terciptanya perlindungan hukum bagi pemilik merek yang tidak terdaftar.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Perlindungan Merek di Amerika Serikat
Merek sebagai salah satu wujud dari kekayaan intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang dan jasa dalam kegiatan perdagangan barang dan investasi. Merek dengan brand image-nya dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas produk atau jasa dalam suasana perdagangan bebas. Oleh karena itu, merek merupakan aset individu maupun perusahaan yang dapat menghasilkan keuntungan besar, tentunya bila didayagunakan dengan memperhatikan 72
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
aspek bisnis dan proses manejemen yang baik. Demikian pentingnya peranan merek ini, maka terhadapnya dilekatkan perlindungan hukum yakni sebagai objek yang terhadapnya terkait hak-hak perorangan atau badan hukum73 Perlindungan hukum menurut Bently and Sherman adalah ;74 a. Pendapat mengenai justifikasi kreatifitas masih menjadi perdebatan dalam dunia HKI, namun sebuah pendapat yang penting memandang perlindungan merek sebagai imbalan kreatifitas atas invensi. Dengan demikian, hukum merek mendorong produksi akan produksi produk-produk bermutu dan secara berlanjut menekan mereka yang berharap dapat menjual barang-barang bermutu rendah dengan cara memanfaatkan kelemahan konsumen untuk menilai mutu barang secara cepat. Usaha untuk membenarkan perlindungan merek dengan argumentasi kreatifitas adalah suatu hal yang lemah, sebagian karena pada saat hubungan antara barang dengan merek dipicu dan dikembangkan oleh pedagang, namun peran yang sama besarnya justru diciptakan oleh konsumen dan masyarakat. b. Informasi ini merupakan justifikasi utama perlindungan merek, karena merek digunakan dalam kepentingan umum sehingga meningkatkan pasokan informasi kepada konsumen dan dengan demikian meningkatkan efisiensi pasar merek merupakan cara singkat komunikasi informasi kepada pembeli dilakukan dalam rangka membuat pilihan belanja. Dengan melindungi merek, lewat pencegahan pemalsuan oleh pihak lain, maka akan menekan biaya belanja dan pembuatan keputusan. Belanja dan pilihan dapat
73
Cita Citrawinda, Perlindungan Merek Terkenal Di Indonesia, makalah disampaikan pada seminar KI Dan Penegakan Hukumnya, yang diselenggarakan di Jakarta, 19 September 2001. 74 http//:wordpress.com /tag/hak merek-Indonesian trademark-law-hki/
73
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
dilakukan secara lebih singkat, karena seorang konsumen akan yakin merek yang dilihatnya memang berasal dari produsen yang diperkirakannya. Peran iklan dalam dunia industri yang makin dominan menjadikan perlindungan merek menjadi semakin penting. c. Etis argumentasi utama perlindungan merek didasarkan pada gagasan fairness atau keadilan (justice). Secara khusus prinsipnya adalah seseorang tidak boleh menuai lebih dari yang ditanamnya. Secara lebih khusus, bahwa dengan mengambil merek milik orang lain, seseorang telah mengambil keuntungan dari nama baik (goodwill) yang dihasilkan oleh pemilik merek yang asli. Kaitannya ke lingkup yang lebih luas dari kegiatan perdagangan adalah perlindungan dari persaingan curang dan pengayaan diri yang tidak adil. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa merek mempunyai nilai ekonomis sehingga diharuskan diberikan perlindungan agar tidak dimanfaatkan oleh pihak lain tanpa izin dari pemilik merek. Menurut Sunaryati Hartono, dengan adanya teori insentif yang merupakan hasil dari teori reward maka akan merangsang para pihak untuk mencipatakan karya-karya intelektual baru, lebih bervariasi sehingga akan menghasilkan keuntungan.75 Pengertian merek menurut UUM Amerika Serikat adalah: “A Trademark is a word, phrase, symbol, design, color, smell, sound, or combination thereof that identifies and distinguishes the goods and services of one party from those others.”
75
Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung, Binacipta, 1982, hlm
74
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
(Merek adalah kata-kata, simbol, desain, wangi, suara atau kombinasi dari kesemuanya yang dapat mengidentifikasi atau membedakan dengan barang dan jasa lainnya). Secara esensial bahwa merek mempunyai fungsi sebagai identifikasi sumber bagi pihak konsumen yang menunjukan kualitas dan asal dari barang dan jasa. Merek juga mempresentasikan itikad baik dari perusahaan dan pihak konsumen juga menyadari dengan merek akan mengurangi biaya pencarian dan sebagai kualitas dari suatu produk. Merek juga melindungi bagi pihak konsumen agar tidak terjadi kekeliruan. Sedangkan yang dimaksud dengan merek jasa adalah sama dengan merek, kecuali merek itu mengidentifikasikan dan membedakan sumber jasa daripada barang, sehingga istilah trade mark dan Mark menunjukan kepada merek dan merek jasa. Dibawah Hukum Common Law Amerika76, pemilik merek mempunyai atau timbul hak merek dalam perdagangan tanpa pendaftaran yaitu melainkan berdasarkan maksud dan penggunaannya dalam praktik. Menurut definisi dari Bitlaw, the term common law marks indicate that the trademark rights that are developed through use are not governed by statute. Instead, common law trademark rights have been developed under judicially created scheme of rights governed by state law. Jadi, pendaftaran tidak menimbulkan enforceable rights, keuntungan yang diperoleh dari hukum federal adalah perluasan hak diluar area penggunaan, yaitu dalam pencarian insentif dari pendaftaran federal. Hal ini sama dengan pengaturan TRIPs bahwa perlindungan hak merek tidak perlu didaftarkan. Beberapa contoh yang dapat dianggap telah memperoleh secondary meaning yaitu kasus Manchester Airport PLC v ClubClub
76
Stuart Graham, Galen Hancock,Alan Marco, Amanda Fila Myers, The UPSTO Trademark Case files Dataset: Description, Lessons and Insight, January 2013.
75
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Limited, Wembley National Stadium Limited v Bob Thomson. Dari kasus tersebut telah digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa sehingga dianggap telah memiliki secondary meaning. Jadi, merek tidak perlu didaftarkan tetapi pemilik merek harus membuktikan bahwa nama tersebut harus mempunyai secondary meaning yang menjadi unsur pembeda, dan bukan hanya sebagai nama yang memiliki fungsi penggambaran (descriptive). Perlindungan merek di peroleh dengan penggunaan merek dalam perdagangan barang dan jasa, selain itu juga merek dapat didaftarkan. Ada 2 macam pendaftaran: a. Pendaftaran merek Federal (A Federal Trade Mark Registration) adalah pendaftaran yang diperuntukkan untuk merek yang dipergunakan antar negara bagian atau perdagangan internasional. Proses untuk pendaftaran merek federal adalah lebih banyak waktu consuming dan lebih teliti daripada state registration. Juga perlindungan yang diperoleh dari pendaftaran secara federal lebih besar dari pada state registration. Setiap pemilik merek lebih dianjurkan untuk mendaftar secara federal. b. Pendaftaran merek negara bagian (State trademark Registration) Bagaimanapun pendaftaran merek dalam pendaftaran Federal, mempuyai beberapa keuntungan antara lain :77 a. A legal presumption of your ownership of the mark and your exclusive right to use the mark nationwide on or in connection with the goods/services listed in the registration (where as state
77
Protecting Your Trademark, Enhancing Your Right through Fedaral Registration, Basic Facts about Trademarks, United States Paten and trade mark offices.
76
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
registration only provides rights within the boders of that State, and common law rights exist only for the spscific area where the mark is used). b. Public notice of your claim of ownership of the mark. c. Listing in the USPTOs online database. d. The ability to record the US registration with the US customs and border Protection Service to prevent importation of infringing foreign goods. e. The right to use the federal registration symbol “R”. f. The ability to bring an action concerning mark in federal court, and g. The use of the US registration as a basis to obtain registration in foreign countries. Di Amerika Serikat mempunyai 50 negara bagian yang masing-masing beroperasi secara paralel dengan atau lebih akurat dengan sistem pendaftaran federal. Menurut Hukum Common Law Amerika bahwa pemilik merek mempunyai hak eksklusif untuk memberikan perlindungan dari pihak ketiga yang tidak berhak untuk menggunakan merek yang sama atau hampir sama dengan barang atau jasa yang akan menimbulkan kebingungan bagi konsumen sebagai sumber asal. Hukum merek common law berasal dari Pengadilan Inggris dalam Standforths case,78 dimana pengadilan Inggris menemukan pedagang yang menjual inferior pakaian dengan merek milik suatu pedagang yang akan bertanggung jawab terhadap kerusakan reputasi merek tersebut, sejak itu pelanggaran dianggap sebagai perbuatan unfair competition, maka tidak diperlukan lagi pendaftaran. Maka pendaftaran
78
Staurt Graham, Galen Hancock, alan Marco, Amanda Fila Myers, op cit, hlm 6.
77
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
yang dilakukan oleh pihak terakhir akan bertanggung jawab terhadap merek yang pertama jika menimbulkan kesalahpahaman dari penggunaan merek yang sama atau hampir sama. Sistem pendaftaran merek di Amerika dilakukan secara paralel dengan sistem common law sejak abad 18. UU Merek Federal 1870 mengatur tentang pendaftaran federal yang pertama. Supreme Court membatalkan UU tahun 1879 unuk diterapkan kepada perdagangan antar negara sehingga Kongres merespon dengan mengeluarkan UU merek tahun 1881 yang mengatur perdagangan antar negara dan perdagangan dengan negara asing. Kemudian terjadi perubahan pada tahun 1905. Lanham Act Tahun 1946 menetapkan sistem pendaftaran Merek US Federal yang modern untuk memberikan perlindungan penggunaan merek dalam perdagangan dan didaftarkan di UPSTO. United States Patent and Trademark Office (UPSTO)79 merupakan agency dalam Departemen Perdagangan yang mengeluarkan paten terhadap inventor dan bisnis terhadap penemuannya dan pendaftaran merek bagi produk dan identifikasi kekayaan intelektual. UPSTO memberikan prosedur secara hukum untuk membantu pendaftaran dan untuk pertama kali melakukan pendaftaran bagi merek jasa, merek sertifikasi dan merek kolektif. Lanham Act menentukan dua sistem pendaftaran yaitu 80: a. Pendaftaran Prinsipal (Principal Register), merupakan pendaftaran yang diperuntukan untuk semua hak yang diatur oleh Lanham Act.
79
United states Patent and Trade Mark office, En.m. Wikipedia.org/wiki/ United states_Patn-and –Trademark-of. 80 ibid
78
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
b. Pendaftaran Tambahan (Supplemental Register), merupakan pendaftaran bagi yang tidak dapat didaftarkan kepada principal. Pengadilan menyatakan bahwa pendaftaran tidak menimbulkan hak Merek, tetapi hanya menyatakan bahwa hak itu dapat diperoleh melalui suatu penggunaan. Untuk melakukan pendaftaran setiap pemohon harus mempunyai legal basis untuk setiap pencatatan atau filing. Basis utama yaitu berdasarkan “use in commerce “dan “intent to use in commerce”. Penggunaan sebagai dasar hukum bahwa setiap pemilik harus menyerahkan suatu deklarasi atau pernyataan yang menyatakan tanggal dicatatkan (filing date), merek juga dipergunakan dalam perdagangan bahwa kongres dapat memberikan pengaturan perdagangan antara negara bagian dan perdagangan dengan negara lain. Pengertian use in commerce tercantum dalam Pasal 45 Lanham Act81 yaitu penggunaan merek secara itikad baik dalam perdagangan dan secara spesifik, “A mark shall be deemed to be use in commerce.” 1. On goods when , a. It is placed in any manner on the goods or their containers or the displays associated therewith or on the tags or labels affixed thereto, or if the nature of the goods makes such placement impracticable, then on documents associated with the goods or their sale, and; b. The goods are sold or transported in commerce, and; 2. On services when it is used or displayed in the sale or advertising of sevices and the services are rendered in commerce, or the the services are rendered in more than one state or in the United States
81
Mark P. Mc Kenna, Trademark Use and The Problem of Source, Mc Kenna Doc, 25-22009, hlm 792
79
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
and foreign country and the person rendering the services is engaged in commerce in connection with the services. Dasar suatu kehendak untuk menggunakan atau intent to use, pemohon diharuskan membuat suatu file yang menyatakan pernyataan berisi suatu keiginan melaksanakan suatu merek dengan asas itikad baik. Aplikasi dengan dasar suatu penggunaan merek dengan itikad baik tidak dapat didaftarkan sampai: a. Merek itu benar-benar dipergunakan dalam perdagangan, b. Pernyataan yang jelas yang akan mempengaruhi suatu permohonan, c. Spesifikasi yang diajukan untuk permohonan aplikasi.82 Pemohon juga diharuskan untuk mempergunakan aplikasi utama (prior application) atau pendaftaran di wilayah yurisdiksi asing sebagai dasar filing aplikasi Amerika. Dalam hal ini diperlukan suatu file pernyataan bahwa adanya kehendak untuk menggunakan merek dalam perdagangan di Amerika. Aplikasi harus didaftarkan dengan tidak mempergunakan actual use didalam perdagangan Amerika. Perlindungan bagi merek tidak terdaftar di Amerika, Lanham Act mengaturnya dalam Pasal 43(a), yaitu dapat dilakukan oleh negara federal dengan mengambil tindakan berupa83: a. Civil Action, 1. Any person who, on or in connection with any goods or services, or any container for goods, uses in commerce any word, term name,
82
Pemohon mempunyia waktu 6 bulan untuk memperoleh filing pernyataan penggunaan(statement of use) dan akan memperoleh pemberitahuan untuk penggunaan selama 36 bulan( Notice of Allowance) 83 Lee Ann. W. Lockridge, Abolishing State Trademark Registrations, Cardozo Arts & Entertainment volume 29:597 Tahun 2011, hlm 16.
80
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
symbol, or device, or any combination thereof, or any false designation of origin, which, a. Is likely to cause confusion, or to cause mistake, or to deceive affilation, connection, or association of such person, or as to the origin, sponsorship, or approval of his or her goods, services, or commercial activities by another person shall be liable in acivil action by any person who believes that he or she is or likely to be damaged by such act. Supreme Court menyatakan bahwa sudah umum untuk memberikan perlindungan terhadap yang tidak terdaftar. Jadi, Amerika Serikat adalah negara yang menerapkan perlindungan hukum merek tidak berdasarkan pendaftaran yang sesuai dengan TRIPs yang juga tidak mensyaratkan pendaftaran, hal ini didasarkan bahwa pada suatu kesadaran bahwa perlindungan diberikan berdasarkan pada maksud dan praktik penggunaan. Dengan tidak mewajibkan pendaftaran maka merek yang digunakan dapat diberikan perlindungan hukum.
2. Perlindungan Merek Tidak Terdaftar di Indonesia Merek adalah tanda yang berupa gambar/nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam perdagangan barang atau jasa. Dari pengertian tersebut maka ada beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk merek, yaitu: a. Merupakan suatu tanda, b. Mempunyai daya pembeda, c. Digunakan dalam perdagangan, dan d. Digunakan pada barang atau jasa yang sejenis. 81
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Merek harus mempunyai daya pembeda dan sebuah merek yang tidak memiliki daya pembeda secara spesifik (misalnya sebuah merek yang hanya atau semata-mata menggambarkan produknya/merely descriptive) dapat didaftarkan sebagai merek jika merek tersebut digunakan dalam jangka waktu yang lama sehingga dianggap memiliki daya pembeda. Merek merupakan suatu simbol yang menjelaskan 6 tingkatan, yaitu84: a. Atribut produk, merek memberikan ingatan pada atribut-atribut tertentu suatu produk, misalnya jika mendengar merek Guess maka akan teringat pada jam. b. Manfaat, atribut-atribut produk yang dapat diingat melaui merek harus dapat diterjemahkan dalam bentuk manfaat baik secara fungsional dan manfaat secara emosional, misalnya atribut kekuatan kemasan produk menterjemahkan manfaat secara emosional yang berhubungan dengan harga diri dan status. c. Nilai, merek mencerminkan nilai yang dimiliki oleh produsen sebuah produk, misalnya merek Sony mencerminkan produsen elektronik yang mempunayi teknologi yang canggih dan moderen. d. Budaya, merek mempresentasikan suatu budaya tertentu, misalnya Mercedes mempersentasikan budaya Jerman yang teratur, efisien dan berkualitas tinggi. e. Kepribadian, merek dapat diproyeksikan pada suatu kepribadian tertentu, misalnya Isuzu Panther yang diasosiakan dengan kepribadian binatang panther yang kuat dan tahan lama.
Dina Tropika, Sengketa Merek Makanan Ager-ager Swallow Globe Brand –bola Dunia, hlm 5. 84
82
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Akibat pemakaian sebuah merek yang terus menerus, para pelanggan dapat membedakan merek itu dengan merek lain meskipun merek tersebut tidak memiliki daya pembeda pada awal pemakaiannya. Jadi merek-merek tersebut dapat didaftarkan.85 Teori hukum yang dapat memberikan perlindungan merek86 adalah teori hukum berdasarkan fungsi kepentingan yang diutarakan oleh Jhering bahwa suatu hukum bukanlah murni dari jiwa bangsa dimana yang sesuai dengan jiwa bangsa hukum tersebut tumbuh dan berkembang jadi hukum yang ideal apabila sesuai dengan jiwa bangsa dan mengandung unsur-unsur yang sesuai dengan jiwa bangsa. Selain itu, teori keadilan John Rals, yang berakar dari kritiknya terhadap Average Utilitianirisme milik John Stuart yang berpendapat bahwa kita boleh diminta berkorban demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan apabila pengorbanan tersebut pertamapertama diminta dari orang-orang yang kurang beruntung dalam masyarakat. Mengenai jenis-jenis merek sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 3 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang merek, ada dua, yaitu merek dagang dan merek jasa. Merek dagang adalah merek yang dipergunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenisnya lainnya. Sedangkan merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa lainnya.
85
Eddy Damian,Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni,2002, hlm 135. Sri Sayekti, Tinjauan Yuridis Perlindungan Merek yang belum terdaftar di Indonesia, Majalah Ilmiah Pawiyatan, Edisi Khusus, Vol :XXII, no 2, juli 20015, hlm 46. 86
83
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Indonesia menganut sistem pendaftaran merek dengan sistim konstitutif, pendaftaran merupakan suatu keharusan agar dapat memperoleh hak merek, tanpa pendaftaran negara tidak akan memberikan hak atas merek kepada pemilik merek. Hal ini berarti tanpa mendaftarkan merek, seseorang tidak akan diberikan perlindungan. Menurut UUM Indonesia, hal-hal yang tidak dapat didaftarkan sebagai merek adalah: a. Merek yang permohonannya diajukan atas dasar itikad tidak baik (Pasal 4). b. Merek yang bertentangan dengan moral, perundang-undangan dan ketertiban umum (Pasal 5(a)). c. Merek yang tidak memiliki daya pembeda (Pasal 5(b)). d. Tanda-tanda yang telah menjadi milik umum (Pasal 5(c)). Contohnya: tengkorak dan tulang belulang sebagai tanda bahaya. e. Merek yang semata-mata menyampaikan keterangan yang berhubungan dengan barang atau jasa (Pasal 5 (d)), misalnya batu bata bahan bangunan untuk menggambarkan perusahaan konstruksi yang khusus beroperasi dalam bidang bangunan dengan batu bata. Standar untuk memenuhi kriteria pelanggaran merek adalah: a. The strength of the mark; b. The proximity of the goods; c. The similarity of the marks; d. Evidence of actual confusion; e. Marketing channels used; f. The type of goods and the degree of care likely to be excercised by the purchaser; 84
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
g. Defendants intent in selecting the mark; h. Likelihood of expansion of the product lines; Pendaftaran menurut UU Merek memberikan hak eksklusif kepada perusahaan pemilik merek guna mencegah pihak-pihak lain untuk memasarkan produk-produk yang identik atau mirip dengan merek yang dimilik oleh perusahaan bersangkutan dengan menggunakan merek yang sama atau merek yang dapat membingungkan konsumen. Menurut Sudargo, bahwa wajib pendaftaran lebih memberikan kepastian hukum. Sistem ini diambil dari Konvensi Stockholm 1967, yang diratifikasi oleh Indonesia pada 20 Desember 1979. Tujuan penggunaan sistem ini adalah untuk memperkecil timbulnya perselisihan atas merek antara pemakai merek yang tidak terdaftar dan pemilik merek yang sudah terdaftar. Pendaftaran sejak Undang-Undang No 19 Tahun 1992 adalah sistem konstitutif. Sistem ini memberikan perlindungan hanya pada pendaftar pertama yang beritikad baik. Hal ini juga diatur dalam Pasal 4 UU No 15 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftar oleh pemohon yang beritikad tidak baik. Permohonan Pendaftaran Merek yang harus dipenuhi oleh pemilik merek yaitu, merek yang akan didaftarkan harus memberikan contoh disertai dengan warna yang akan dipakai dalam merek disertai penjelasan mengenai kelas barang dan atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Sistem pendaftaran deklaratif, adalah suatu sistem dimana yang memperoleh perlindungan hukum adalah pemakai pertama dari merek yang bersangkutan. Sistem ini dianut dalam UU No 21 tahun 1961. Dengan perkataan lain, bukan pendaftaran yang menciptakan suatu hak atas merek, tetapi sebaliknya pemakaian pertamalah di Indonesia yang menciptakan atau menimbulkan hak itu. Sistem pendaftaran deklaratif pada UU No 21 Tahun 1961. Pada Pasal 2 ayat (1), menyebutkan:
85
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
“Hak khusus untuk memakai suatu merek guna membedakan barangbarang hasil perusahaan atau barang-barang perniagaan seseorang atau suatu badan dari barang-barang orang lain atau badan lain kepada barang siapa yang untuk pertama kali memakai merek itu untuk keperluan tersebut diatas di Indonesia.” Menurut Yahya Harahap, penegakan hukum berdasarkan Pasal 2 diatas mengandung konsepsi dualisme, satu segi ditegakkan doktrin pendaftaran pertama atau first to file principle, siapa pendaftar pertama dianggap mempunyai hak yang lebih unggul dan lebih utama dari pemilik merek lainnya, sesuai dengan asas prior in filing, tetapi berbarengan dengan itu ditegakkan doktrin pemakai pertama atau first to use system, apabila dapat membuktikan bahwa dia pemakai pertama yang sesungguhnya dianggap pemilik paling unggul haknya jika seseorang dapat membuktikan kedudukan yang utama pada asas prior user has a better right atau pemakai pertama mempunyai hak yang lebih baik dari pendaftar pertama87. Lingkup perlindungan hukum yang diberikan kepada pemilik merek, meliputi:88 a. Melindungi penggunaan hak eksklusif merek, meliputi: 1) Mempergunakan tanda merek sebagai logo, label atau gambar dalam surat menyurat, pada barang atau jasa, pada kemasan (packaging) dalam advertensi atau promosi.
87
ASMA, perbedaan sistim pendaftaran deklarati dan sistim konstitutif Yahya Harahap, Tinjauan Merek secara uum dan Hukum Merek Di Indonesia berdasarkan undang-Undang Nomor 19 tahun 1992, PT Citra Aditaya bakti, Bandung,1996, hlm 182 88
86
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
2) Menikmati secara eksklusif manifestasi yang lahir dari merek, meliputi goodwill atau well-known, reputasi tinggi, sumber asal, sentuhan kulturan dan sentuhan keakraban. b. Melindungi hak eksklusif mempergunakan merek sebagai alat eksploitasi memperoleh keuntungan dalam perdagangan, meliputi: 1) memasarkan barang atau jasa dalam perdagangan nasional, regional, dan global; dan, 2) menyimpan barang yang dilindungi hak merek, asal tidak bertentangan dengan ketentuan monopoli dan spekulasi untuk menaikkan harga. Contoh pembatalan merek yang terjadi sengketa yaitu sengketa antar keluarga terkait 51 merek yang mengandung nama Sinar Laut sampai pada tahap putusan akhir .89 1. Gugatan dilayangkan oleh Idahyati Kusni dan anaknya Minardi Aminnudin Kunardi, serta perusahaan merek Sinar Laut Abadi dan PT Sinar Laut Indahyati menggunakan nama Sinar Laut untuk nama toko yang begerak di bidang perdagangan alat-alat teknik. Dalam perkembangannya anak Indahyati menggunakan nama Sinar Laut sebagai nama perusahaan. Anak kembarnya, Wartono Fachrudin Kunardi dan Minardi Aminudin Kunardi mendirikan Sinar Laut Sejahtea. Minardi juga membuat toko bernama Sinar Laut Perkakas, sementara, Wartono bersama YuswadI Kunardi dan Karta Wiryadi Munardi membentuk Sinar Laut Abadi. Pasca perpecahan Wartono mendaftarkan Merek Sinar Laut, Sinar Lautan, Sinar Laut Abadi,
89
M.hukumonline.com/berita/baca/14bf0421..diaksestgl 21 November 2015 jam 14.00 WIB lihat juga nasinal.kontan.co.id, kakak beradik berebut merek Sinar laut
87
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Sinar Lautan Abadi, Sinar Laut Perkakas dan Sinar lautan Perkasa. Merek tersebut terdaftar di 51 kelas barang. Idahyati dan Minardi serta perusahaan mereka, PT Sinar Laut Abadi dan PT Sinar Laut, menggugat Wartono dan PT Sinar Laut Mandiri (tergugat 1 dan tergugat 2) ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Gugatan yang dilayangkan untuk membatalkan merek-merek tersebut yang didaftarkan pada 30 April 2010. 2. Para Penggugat mendudukkan perusahaan Wartono, yaitu Sinar Laut Mandiri sebagai Tergugat. Wartono digugat karena memakai nama Sinar Laut yang diklaim Indahyati sebagai sebagai miliknya sejak tahun 1976 Kuasa hukum dari Tergugat beranggapan bahwa Penggugat tak berhak menggugat karena Penggugat bukan pemilik merek terdaftar atas merek Sinar Laut, Sinar Lautan, Sinar Laut Abadi, Sinar Lautan Abadi, dan Sinar Lautan Perkakas, sekalipun Penggugat merupakan pemilik PT Sinar Laut dan PT Sinar Laut Abadi, namun itu adalah nama badan hukum yang belum terdaftar sebagai merek. Saat ini badan hukum baru akan didaftarkan di Direktorat Merek. 3. Penggugat sempat mengajukan masalah ini ke Mahkamah Konstitusi, tetapi kandas. 4. Hakim menolak gugatan dari Indahyati, menyatakan ditolak dan pendaftaran yang dilakukan oleh Indahyati sudah sesuai dengan ketentuan dan dilakukan dengan itikad baik. Selain itu majelis berpendapat dengan keterangan ahli Tommy Suryo, bahwa suatu perusahaan tidak otomatis mendapatkan merek sesuai dengan nama perusahaan tersebut menurut majelis, nama perusahaan dan merek adalah dua hal yang harus dibedakan. 88
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
5. Yang berhak mendapatkan perlindungan adalah merek terdaftar seperti halnya merek tergugat. Mengingat UU Merek menganut stelsel konstitutif, apabila suatu perusahaan ingin mendapatkan merek sesuai dengan namanya, maka perusahaan tersebut harus melakukan pendaftaran. Selain itu, menurut Kuasa hukum tergugat, untuk menentukan ada tidaknya itikad baik suatu merek yang dijadikan pembanding harus merek terkenal, sementara, nama badan hukum penggugat bukan merek terkenal. 6. Penggugat tidak berhasil membuktikan bahwa mereka memiliki merek Sinar Laut yang telah terdaftar di Direktorat Merek Dirjen HKI. Karena itu, merek yang dimiliki tergugat tidak termasuk merek yang pendaftarannya harus ditolak seperti dalam ketentuan Pasal 6 ayat 3 UUM. Pasal 6 ayat 3 berisi: Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut: a. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimilki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak. b. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak berwenang. c. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang resmi.
89
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
7. Penggugat mengajukan kasasi atas kuasa hukum Ari Kanthy Sutomo menyatakan pihaknya mengajukan kasasi ini karena hakim tidak melihat itikad tidak baik dari Tergugat. 8. Tergugat telah mendaftarkan 51 merek dalam kelas barang 6, 7, 8 dan 35. Dengan modal sertifikat merek, Tergugat melayangkan somasi kepada para penggugat terkait nama Sinar Laut untuk nama toko mereka. Padahal toko Sinar Laut milik Indahyati sudah berdiri sejak tahun 1976. 9. Menurut Ari, Penggugat tidak mempermasalahkan pendaftaran milik Tergugat apabila mereka tetap bisa menggunakan Sinar Laut sebagai nama toko. Namun kenyataannya memasang PT Sinar Laut saja dipermasalahkan oleh Wartono. 10. Dalam perkara sebelumnya pihaknya telah menang dalam menghadapi tergugat yang sama. Ini dapat dilihat dalam Putusan No 59/Merek/2008 jo Putusan MA No 140 K/Pddt.Sus/2009 jo 081 PK/Pd.Sus/2009 itu juga Wartono beritikad tidak baik dalam mendaftarakan merek Sinar Laut Perkakas, pembatalan diajukan Minardi dikabulkan hingga tahap kasasi. Dengan merek Sinar Laut Abadi milik Tergugat, dengan demikian, selaku pemilik merek berhak memonopoli penggunaan merek. 11. Putusan No 18 /Merek/2010/ PNH.JKT.PST telah dinyatakan merek Sinar Laut Abadi dan Sinar Laut Perkakas memiliki persamaan pada pokoknya. 12. Ari berpendapat bahwa stelsel konstitutif, seharusnya tidak berlaku mutlak. Apabila ada itikad tidak baik, maka pendaftaran merek bisa saja dibatalkan. Pihak pengugat belum mendaftarkan merek Sinar Laut.
90
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
13. Jadi permasalahannya apakah nama PT Sinar Laut Abadi yang tidak digunakan sebagai merek dan tidak terdaftar dalam daftar umum Merek dapat membatalkan merek Sinar Laut Abadi yang telah terdaftar. 14. Hasil berdasarkan Pasal 68 UUM yang berisi memberi kesempatan kepada pemilik merek tidak terdaftar dapat mengajukan pembatalan merek. 15. Putusan No 18/Merek/2010/PN.JKT>PST telah dinyatakan merek Sinar Laut. Kesimpulannya adalah pemilik merek tidak terdaftar dapat mengajukan pembatalan merek dengan alasan sebagaimana dimaksud Pasal 4 yang berisi merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik. Pasal 5 yang berisi merek tidak dapat terdaftar apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur dibawah ini: a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum. b. Tidak memilik daya pembeda. c. Telah menjadi milik umum, atau d. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Serta Pasal 6 yang berisi permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut: a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang dan/jasa yang sejenis. b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain untuk barang dan jasa sejenis. 91
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi georafis yang sudah dikenal. Dari kasus diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebaiknya perusahaan mendaftarkan nama mereknya karena merek sangat penting bagi pencitraan dan strategi pemasaran perusahaan, pemberian kontribusi terhadap citra, dan reputasi terhadap produk dari sebuah perusahaan di mata konsumen. Citra dan reputasi perusahaan untuk menciptakan kepercayaan merupakan dasar dari untuk mendapatkan pembeli yang setia dan meningkatkan nama baik perusahaan90. Jadi, Indonesia memberikan perlindungan hukum semua berdasarkan pendaftaran dengan tujuan mencapai kepastian hukum. Dari hal tersebut kepastian hukum baru tercapai setelah melalui masa pendaftaran dan masa daluwarsa gugatan pembatalan yang memakan waktu lama dan biaya yang biaya besar, sehingga hal ini justu menjadi penghambat iklim usaha di Indonesia bagi masyarakat Indonesia sendiri yang notabene belum memiliki pengetahuan tentang hukum dan kesadaran hukum yang baik91. Jadi, dari uraian di atas maka merek seolah-olah dibagi merek terdaftar dan merek tidak terdaftar karena dalam UUM yang diberikan perlindungan hanya pada merek yang terdaftar sedangkan merek yang tidak terdaftar, padahal penggunaan merek tanpa ijin oleh pihak ketiga menimbulkan kerugian karena dia tidak mendaftarkan mereknya. Hal ini kita lihat sebagian besar para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah terkadang karena ketidaktahuan perlunya perlindungan tidak dipahami dan
90
World Intellectual Property Right for business Series, Membuat sebuah Merek. Pengantar Merek Untuk usaha kecil dan Menengah hlm 4. 91 Sri Sayekti, Op. Cit hlm 50
92
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
kekurangan modal sehingga penggunaan merek yang telah lama dipakai tetapi dimanfaatkan oleh pihak ketiga tanpa ijin.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Perlindungan hukum merek di Amerika tidak diberikan berdasarkan pendaftaran tetapi melaui penggunaan yang didasarkan bahwa penggunaan dalam praktik itu harus sesuai dengan persyaratan bahwa merek tersebut harus use in commerce atau intend to use in commerce. 2. Perlindungan merek yang berlaku di Indonesia hanya diberikan hanya setelah pendaftaran, sehingga perlindungan hanya bersifat perlindungan semu karena kepastian hukum hanya tercapai setelah pendaftaran, juga pendaftar yang tidak baik pun dilindungi juga dalam praktik memberikan perlindungan berdasarkan penggunaan merek yang pertama.
Saran Sistem perlindungan merek sebaiknya mengadopsi perlindungan merek di Amerika, yaitu memberikan perlindungan berdasarkan dua sistem, yaitu melalui perlindungan merek berdasarkan penggunaan juga pendaftaran. Juga sebaiknya Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual melakukan pemeriksaan yang lebih teliti terhadap setiap permohonan merek agar tidak terjadi sengketa merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhan.
93
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. M. Ramli, HAKI Hak Kekayaan Atas Kepemilikan Intelektual Teori Dasar Perlindungan Rahasia Dagang, Bandung: Mandar Madju, 2000 Abdul Kadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: Citra Aditya, 2001 Achmed Zen Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: Alumni, Cetakan ke III Cassavera, Kasus Sengketa Merek di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, Cetakan Pertama, 2009 Eddy Damian, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, 2002 Jeremy Waldon, A Companion to Philoshopy of Law and Legal Theory, United Kingdom: Wiley Blackwell Publishers Ltd, Second Edition, 2001 Kamil Idris, Intellectual Property: A Power Tool for Economic Growth, WIPO Lionel Bently, Bred Sherman, Intellectual Property Law, New York: Oxford University Press, 2001 Patricia Loughlan, Intellectual Property: Creative and Marketing Rights, Sydney, 1998 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Edisi Pertama, Jakarta: Granit, 2004 Soerjono Soekanto dan Sri Mammudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005 94
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Sudjana, Penerapan Itikad Baik Dalam Pendaftaran dan Penggunaan Merek dihubungkan dengan pada Pokoknya atau Keseluruhan dengan Merek Terkenal, dalam buku: Kompilasi Bisnis, Keni Media, 2012 Sunaryati, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung, Binacipta Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986 Yahya Harahap, Tinjauan Merek secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 Barton Bee, “The Semiotic Analysis of Trade Mark Law”, UNCLA Law Review Cita Citrawinda, Perlindungan Merek Terkenal Di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar KI dan Penegakan Hukumnya, Jakarta, 19 September 2001 Lee Ann. W. Lockridge, Abolishing State Trademark Registrations, Cardozo Arts & Entertainment volume 29:597 Tahun 2011 Dina Tropika, Sengketa Merek Makanan Agar-Agar Swallow Globe Brand Bola Dunia Sri Sayekti, Tinjauan Yuridis Perlindungan Merek yang belum terdaftar di Indonesia, Majalah Ilmiah Pawiyatan, Edisi Khusus, Vol: XXII, No 2, Juli 2015
95
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
BOOK REVIEW Judul
: The Oxford Handbook of The History of International Law
Editor
: Bardo Fassbender and Anne Peters
Penerbit
: Oxford Handbooks
Bahasa
: Inggris
Jumlah halaman
: 1272 halaman
Tahun penerbitan
: 2012
Pembuat resensi
: Eka An Aqimuddin
Sebagian besar buku teks hukum internasional menjelaskan bahwa sejarah ide, konsep dan norma yang tumbuh dan berkembang dalam hukum internasional hingga saat ini bermula di Barat (Eropa). Tidak hanya itu, aktor maupun tokoh yang turut mengembangkan hukum internasional juga diceritakan berasal dari wilayah
yang
sama.
menimbulkan kritik
Hal
inilah
yang
dari sarjana hukum
internasional, khususnya yang berasal dari non-Eropa, bahwa sejarah hukum internasional sangat Eropasentris. Oleh karena itu, butuh wacana atau referensi pembanding untuk menyeimbangkan hegemoni Eropa terhadap sejarah hukum internasional. 96
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Buku editan karya Bardo Fassbender dan Anne Peters ini muncul dengan salah satu tujuan untuk mengatasi Eropasentrisme dalam catatan sejarah hukum internasional. Menurut editor, sejarah hukum internasional salah dan tidak lengkap. Karena hal itu seperti pengabaian, perusakan, kekerasan, dan arogansi Barat terhadap budaya hukum non-Barat. (hlm.1) Pendapat para editor tersebut ingin menegaskan bahwa sistem hukum nonBarat sebenarnya telah mengatur hubungan internasional. Dalam tulisan F. Sahli and A. El Ouazzani yang berjudul Africa North of the Sahara and Arab Countries (hlm.405) menunjukkan bahwa salah satu sumbangan hukum Islam terhadap hukum internasional adalah perlindungan terhadap agama minoritas dan perlakuan terhadap tawanan perang. Hal inilah yang dimaksud editor bahwa penulisan sejarah hukum internasional hanya berasal dari Barat adalah sesuatu yang salah dan tidak lengkap. Dengan demikian kompilasi tulisan dalam buku The Oxford Handbook of The History of International Law ini menjadi penting untuk mengingatkan bahwa penulisan sejarah hukum internasional tidak selalu kisah dari para penjajah maupun pemenang. Namun juga beragam cerita pengalaman hubungan luar negeri yang dilakukan komunitas otonom sepanjang sejarah kehidupan manusia. Pemilihan pendekatan “global history” ketimbang “universal history” oleh editor dalam penulisan buku ini bukanlah tanpa alasan. Penulisan sejarah hukum internasional dengan pendekatan global lebih melihat kepada transfer, jaringan, hubungan dan kerja sama antar aktor dan wilayah 97
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
sehingga akan didapat potret hukum internasional yang lebih majemuk. Selain itu, melalui pendekatan global, negara-bangsa bukanlah satu-satunya objek dari penulisan sejarah. Pergerakan/perubahan dari para beragam aktor itulah yang menjadi fokus penulisan (hlm.5-6)
Berdasarkan pendekatan tersebut di atas, maka editor membagi buku ini menjadi 6 bagian. Bagian pertama buku ini membahas para pelaku (actor) dalam hukum internasional. Oleh karena negara tidak menjadi satu-satunya objek penulisan, maka selain negara, dalam bagian ini dibahas juga peran organisasi
internasional,
pengadilan
internasional
dan
masyarakat
internasional. Bagian selanjutnya diberi judul “Themes”. Isi tulisan dalam bagian ini membahas konsep, ide dan norma yang berkembang dalam hukum internasional seperti wilayah dan perbatasan, hukum perang dan damai, hukum perdagangan internasional hingga pengaruh agama terhadap hukum internasional.
Bagian ketiga dari buku ini membahas sejarah dan perkembangan hukum internasional dari beragam wilayah. Judul bagian ketiga adalah “Region”. Terdapat empat sub-bagian yang menceritakan sudut pandang kewilayahan terhadap sejarah perkembangan hukum internasional yang terdiri dari; Afrika dan Arab, Asia, Amerika dan Karibia serta Eropa. Sedangkan
98
satu
sub-bagian
lagi
membahas
tentang
pergumulan
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
(encounters) antara hukum internasional dari perspektif non-Eropa dengan Eropa. Bagian keempat buku menggunakan judul “Interaction or Imposition”. Ragam tulisan dalam bagian ini menjelaskan bagaimana hukum internasional mengatur tentang hubungan internasional. Tidak hanya itu, beberapa tulisan juga menceritakan bagaimana pengenaan hukum internasional terhadap suatu peradaban dengan cara-cara kekerasan seperti kolonialisme, penundukan hingga melalui pembagian antara masyarakat beradab dengan tidak. Tentu saja dalam proses tersebut, Eropa (Barat) selalu digambarkan sebagai protagonis atau pihak yang selalu unggul. Bagian kelima membahas tentang metodologi dan teori dalam membahas sejarah hukum internasional. Garis besar tulisan dalam bagian ini menjelaskan tentang historiografi (periodisasi) hukum internasional itu sendiri. Seperti apa yang ditulis oleh Oliver Diggelmann Periodization of the
dalam
The
History of International Law, penetapan periodisasi
dalam penulisan sejarah hukum internasional bukanlah tanpa masalah. Meskipun dengan adanya periodisasi dalam penulisan sejarah hukum internasional menjadi terbayangkan (imaginable), namun pemilihan tersebut tidak merujuk kepada peristiwa aslinya. (hlm.739).
Salah satu periodisasi sejarah hukum internasional melihat bagaimana penerimaan teori hukum klasik (ancient) dalam perkembangan hukum internasional saat ini. Pada tulisan lain, isu yang diangkat adalah tentang 99
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
hukum internasional yang sangat Eropasentris atau sejarah pembagian wilayah
(regions)
atau
sub-wilayah
(sub-regions)
dalam
hukum
internasional.
Bagian terakhir atau keenam dari buku ini membahas tokoh-tokoh yang dianggap
memiliki
peran
penting
dalam
pengembangan
hukum
internasional. Meskipun diulas secara singkat namun jumlah tokoh yang dibahas cukup banyak yaitu 22 orang. Pengambilan tokoh-tokoh tersebut mengikuti periodisasi tahun yakni dimulai dari tokoh yang berasal dari Abad VIII (749-850 M) hingga tokoh yang berasal dari Abad XX.
Apabila membaca buku ini secara utuh, upaya editor untuk keluar sama sekali dari jebakan Eropasentrisme penulisan sejarah hukum internasional sulit dihindari. Beberapa bagian maupun tulisan dalam buku ini masih menunjukkan bias tersebut meskipun dengan beberapa catatan kritis didalamnya.
Dengan jumlah halaman 1.272 lembar, kontributor dalam buku ini terdiri dari 63 sarjana lintas disiplin yang berasal dari lima wilayah geografis dengan jumlah tulisan sebanyak 65 buah. Ironi muncul perihal kontributor dalam buku ini, dimana 39 dari 63 sarjana yang menulis dalam buku ini berasal dari Eropa. Asia diwakili oleh 7 orang, Afrika 3 orang, Amerika 13 orang serta Australia 1 orang. Lebih dari setengah kontributor merupakan 100
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
penulis dari Eropa. Tentu saja komposisi tersebut tidak bisa digeneralisasi bahwa penulis Eropa akan cenderung membela Eropasentrisme, akan tetapi fakta tersebut memberikan pembuktian bahwa narasi hukum internasional memang sangat bias Eropa. Namun, dari awal editor telah menyadari kekurangan tersebut dikarenakan sumber penulisan sejarah hukum internasional di luar Eropa sangat jarang sehingga rujukan untuk melengkapi tujuan penulisan buku ini, yakni keluar dari bias Eropasentrisme, sangat terbatas. (hlm.2)
Dalam beberapa tulisan sarjana yang berasal dari Eropa memang terlihat adanya kritisisme terhadap ide, konsep maupun norma hukum internasional yang berkembang dari Eropa. Misalnya dalam tulisan Andrew Fitzmaurice yang berjudul Discovery, Conquest, and Occupation of Territory, beliau berhasil menunjukan tahapan pembenaran Eropa untuk melakukan pendudukan terhadap wilayah yang berhasil ditemukan. Sedangkan kritik dari sarjana non-Eropa dapat dibaca dalam tulisan Liliana Obregón Tarazona yang berjudul The Civilized and the Uncivilized. Beliau kembali menegaskan bagaimana Eropa membuat stratifikasi antara masyarakat beradab/tidak beradab sehingga menjadi dasar pembenar bagi Eropa untuk melakukan peradaban kepada masyarakat non-Eropa yang tidak beradab. Tarazona mencontohkan bagaimana bangsa Spanyol menyebut bangsa Indian sebagai masyarakat barbar. Dengan membuat label tersebut, bangsa Spanyol seperti memiliki tugas untuk mengubah bangsa Indian menjadi seperti bangsa Spanyol yang beradab. Dengan demikian, klasifikasi beradab 101
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
dan tidak beradab merupakan justifikasi imperialisme dan kolonialisme yang dilakukan oleh Eropa sejak abad ke-16 hingga awal abad ke-19 ke luar wilayah Eropa.
Tentu saja peran dan sumbangan peradaban non-Eropa yang mengatur relasi antarnegara sudah dikenal. Namun, menurut editor terjadi kesulitan persoalan translasi konsep. Maksudnya, bisa jadi istilah atau norma yang dikembangkan oleh masyarakat Eropa secara konseptual juga telah dikenal oleh masyarakat non-Eropa akan tetapi dengan penekanan yang berbeda. Contohnya adalah konsep Futuhat (penundukan) yang telah dikenal dalam hukum Islam. Apakah Futuhat dapat disamakan dengan semangat kolonialisme yang dilakukan masyarakat Eropa terhadap masyarakat yang mereka temui dengan alasan untuk melakukan peradaban? (hlm.8) Atau dalam konteks Indonesia, misalnya, apakah benar konsep wewengkon dan ulayat serupa dengan konsep yurisdiksi teritorial dalam hukum internasional (S.Wignjodipoero) atau dapatkah Prinsip Rukun diterjemahkan serupa dengan prinsip mekanisme penyelesaian sengketa secara damai dalam hukum internasional (H. Adolf). Di sinilah saya kira dibutuhkan sumbersumber penulisan hukum internasional selain Eropa seperti yang dikeluhkan oleh editor buku ini.
Ironi lain dalam buku ini juga terlihat dalam bagian pembahasan tokoh. Hanya 2 dari 22 tokoh yang dibahas berasal dari luar Eropa. Pertama yaitu 102
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Muhammad Al-Shaybani dari Irak yang dianggap sebagai bapak hukum internasional Islam. Tokoh kedua yaitu Henry Wheaton, seorang hakim yang juga pernah menjabat sebagai perwakilan diplomatik Amerika Serikat di Denmark. Dengan hanya menceritakan 2 dari 22 tokoh di luar Eropa tentu saja menimbulkan pertanyaan apakah tujuan buku ini untuk keluar dari bias Eropasentrisme dalam penulisan sejarah hukum internasional dapat terwujud?
Seperti yang telah dibahas di atas, tentu saja kita tidak dapat mengeneralisasi bahwa semua penulis Eropa secara otomatis memiliki pandangan Eropasentrisme. Pertanyaan yang sama sebenarnya juga dapat diajukan, apakah penulis non-Eropa dapat dianggap akan membawa suarasuara non-Eropa. Namun, setidaknya dalam pembahasan para tokoh tersebut, editor telah memasukkan dua tokoh asal non-Eropa yang dianggap memiliki pengaruh terhadap perkembangan internasional. Adanya perwakilan tokoh dari luar Eropa setidaknya menegaskan bahwa ide, konsep dan norma hukum internasional juga sudah dikenal dan dipraktikkan oleh komunitas di luar Eropa meskipun dengan spirit dan kebutuhan yang berbeda.
Buku ini secara umum sangat layak untuk dibaca sekaligus dikaji. Dibaca sebagai sebuah asupan yang sangat bernas serta dikaji oleh karena pembahasan sejarah hukum internasional di negeri ini masih sangat jarang. Saya kira, apresiasi tinggi patut diberikan kepada dua editor buku ini yang 103
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
telah bekerja keras mengurai “benang kusut” dalam penulisan sejarah hukum internasional. Meskipun belum sepenuhnya berhasil untuk menghindar dari bias Eropasentrisme, setidaknya terbitnya buku ini membuka cakrawala kita dalam mendalami hukum internasional. Namun, perlu diingat pesan dari Mochtar Kusumaatmadja bahwa dalam membaca buku sejarah hukum internasional kita tidak harus menerima segalanya tanpa pandangan kritis sebab tiap penulis memiliki preferensi pribadi, pengaruh keagamaan dan politis. Pembacaan kritis tersebut kembali ditegaskan oleh Martti Koskenniemi dalam tulisannya di buku ini, A History of International Law Histories, bahwa apa yang kita pelajari sebagai sejarah hukum internasional tergantung pada apa yang terlintas pertama kali di pikiran kita tentang hukum internasional.
104
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
GLOSSARY Dyan Radin Swastika, S.H. Single market: Jenis pasar yang mayoritas hambatan tarif dan non-tarifnya telah ditiadakan, memiliki keseragaman peraturan hukum atas barang dan jasa sekaligus kebebasan bergerak atas faktor produksi (modal dan buruh). Vocational training: Pendidikan keterampilan Common identity: identitas bersama yang dibagi antara individual, komunitas maupun negara yang hendak dicapai dengan meminimalisasi bias persepsi antar objek Confidence building measure: langkah-langkah yang diambil untuk mengurangi permusuhan dan kurangnya kepercayaan antar pihak dalam situasi kritis Preventive diplomacy: langkah yang diambil untuk mencegah sebuah sengketa berkembang menjadi konflik terbuka dan membatasi dampak dari konflik terkait Conflict resolution: metode dan proses yang dilibatkan dalam memfasilitasi proses perdamaian dalam konflik
105
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
“ Law is reason, free from passion. Aristotle
106
”
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
TENTANG PENULIS Dr. Ariawan Gunadi, S.H. M.H. Beliau lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia di tahun 2012 di bidang ilmu hukum dagang internasional. Penulis saat ini bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara. Najamuddin Khairur Rijal, S.Ip., M.Hub.Int. Beliau adalah dosen pada Program Studi Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang telah menyelesaikan program S2 Magister Hubungan Internasional di Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga Surabaya. Saat ini penulis bekerja sebagai peneliti pada Malang-ASEAN Youth Community (Maycomm) UMM. Sofian Ardi Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Internasional di Universitas Padjajaran, Bandung. Aktif sebagai anggota ALSA serta LRD FH Unpad. Eka An Aqimuddin, S.H., M.H. Penulis adalah lulusan S2 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unpad. Saat ini beliau bekerja sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung. Dr. Rika Ratna Permata, S.H., M.H. Beliau saat ini bekerja sebagai pengajar di Program Pascasarjana Universitas Padjajaran. Muthia Khairunnisa, S.H. Penulis lulus dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran pada tahun 2016 dengan gelar Cum Laude. Pengalaman organisasi yang dimiliki antara lain adalah ALSA FH Unpad dan Red Cross.
107
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Jurnal Opinio Juris menerima tulisan dengan tema hukum internasional, perjanjian internasional, diplomasi, hubungan internasional, dan isu-isu dalam negeri yang memiliki dimensi hukum dan perjanjian internasional. Ketentuan Penulisan: 1. Panjang tulisan 10—20 halaman kertas A4 (termasuk abstraksi, isi, catatan kaki, dan daftar pustaka), format MS Word, spasi satu setengah, font Times New Roman ukuran 11. Untuk catatan kaki, spasi satu dan font Times New Roman ukuran 10; 2. Tulisan dapat dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris; 3. Setiap naskah harus disertai abstraksi maksimal 1 halaman A4. Untuk tulisan dalam bahasa Indonesia, abstraksi dibuat dalam bahasa Inggris dan untuk tulisan dalam bahasa Inggris, abstraksi dibuat dalam bahasa Indonesia. Jumlah kata abstraksi sekitar 100 kata. 4. Rujukan dibuat dalam bentuk catatan kaki (footnote); 5. Tulisan harus asli dari penulis, belum pernah diterbitkan, dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain; 6. Untuk setiap naskah yang masuk, redaksi berhak mengedit dengan tidak mengubah maksud dan isi tulisan; 7. Apabila diperlukan, redaksi akan memberikan masukan dan rekomendasi kepada penulis tentang tulisan yang dikirim; 8. Setiap naskah yang dikirim harus disertai daftar riwayat hidup singkat penulis (curriculum vitae) yang setidak-tidaknya terdiri dari pekerjaan, pendidikan, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi; 9. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan akan mendapatkan kompensasi finansial; 10. File naskah beserta kelengkapan lainnya dapat dikirim ke email Redaksi. 11. Keputusan untuk menerbitkan atau menolak penerbitan suatu naskah berada pada redaksi dengan tidak dapat diganggu gugat. Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Interansional Kementerian Luar Negeri Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat Telp: +62 21 3846633 Fax: +62 21 3858044 Email:
[email protected] http://pustakahpi.kemlu.go.id/
108