JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
”Each contracting state shall recognize arbitral awards as binding and enforce them in accordance with the rules of procedure of the territory where the award is relied upon, under the condition laid down in the following articles. There shall nor imposed substantially more onerous conditions or higher fees or charges on the recognition or enforcement of arbiral to which this Convention applies than are imposed on the recognition or enforcement of domestic arbitral awards”. (Terjemahan bebas dari penulis: Setiap negara anggota dapat mengakui putusan arbitrase sebagai putusan yang mengikat dan melaksanakannya sesuai dengan tata cara di wilayah dimana putusan tersebut dimintakan, sesuai dengan keadaan yang diatur dalam pasal-pasal selanjutnya. Tidak diperbolehkan mengenakan secara substansi yang lebih berat atau lebih tinggi biaya untuk pengakuan dan pelaksanaan putuan arbitrase yang diterapkan dalam konvensi ini dari pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase domestik/nasional).
Contoh lain mengenai penolakan putusan arbitrase internasional oleh Mahkamah Agung RI terlihat pada perkara PT. Bakrie Brothers vs. Trading Corporation of Pakistan Limited. Pakistan Trading yang berkedudukan di Karachi Pakistan, telah mengajukan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase, Award of Arbitration yang ditetapkan oleh Federation of Oils, Seed and Fats Association Limited, No. 2282 tanggal 8 September 1981 di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap PT. Bakrie Brothers yang berkedudukan di Jakarta Selatan. Permohonan mana telah dikabulkan dengan Ketetapan Eksekusi No.fol.22/48/JS/1983 tanggal 13 Februari 19849. Namun pihak PT. Bakrie Brothers mengajukan
9
Dalam kasus ini, Pengadilan tingkat pertama telah salah menerapkan asas resiprositas yang dianut di dalam Konvensi New York 1958. Untuk mempelajari perkara ini, lihat: Tineke L.T. Longdong, Asas Ketertiban Umum & Konvensi New York 1958. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 227.
87
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
bantahan. Dalam perkara tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menerima bantahan dari Pihak PT Bakrie Brothers yang mendalilkan, bahwa putusan arbitrase asal London tidak bisa dilaksanakan di Indonesia karena diajukan oleh perusahaan asal Pakistan (yang bukan anggota peserta Konvensi New York 1958) sehingga tidak memenuhi asas resiprositas yang dianut di dalam Konvensi New York 1958. Dan bantahan tersebut diterima oleh Pengadilan tingkat pertama dan tingkat kedua. Kemudian Mahkamah Agung RI menguatkan putusan-putusan yang lebih rendah tingkatannya yang menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Contoh lain dapat dilihat pada perkara Safic-Alcan & Cie, vs. PT Foursa Tani Nusa. Sengketa ini adalah antara Alcan yang berkedudukan di Perancis, Pemohon (Pembeli) lawan Foursa Tani berkedudukan di Surabaya, sebagai Termohon (Penjual) yang mengadakan jual beli 20.000 metric tonnes Indonesian tapioce chips, yang ternyata tidak dapat dipenuhi oleh Foursa Tani, sehingga dituduh ingkar janji. Berdasarkan surat dari Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 22 April 1993 karena adanya bantahan yang diajukan oleh PT Foursa Tani Nusa, maka pelelangan eksekusi atas aset PT tersebut, sesuai dengan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 065/1992 Eks ditangguhkan10. Contoh perkara lain adalah antara Sikinos Maritime Ltd., vs. PT Perdata Lot. Memorandum of Agreement, tanggal 20 September 1991, antara PT Perdata Lot, berkedudukan di Jalan Sutomo 540, Medan Indonesia, sebagai Penjual dan Sikinos Maritime Ltd., berkedudukan di Vallette Malta, telah melakukan jual beli kapal “M.T. BUMEUGAH”. Permohonan akan fiat eksekusi ini meskipun telah dipertimbangkan bahwa putusan arbitrase ini adalah mengenai pembayaran sejumlah uang
10
Ibid., hal. 238.
88
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
US$ 617,046 berikut bunga 6,5% per tahun sejak 15 Desember 1991, sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, namun permohonan exequatur ditolak oleh Mahkamah Agung11. Penolakan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung RI ini telah memberi kesan buruk, mengingat tatacara/prosedur sudah dilakukan oleh pelaku usaha dan juga tidak ada ketertiban umum yang dilanggar. Salah satu contoh perkara yang ditolak pelaksanaan putusan arbitrase internasionalnya karena melanggar ketertiban umum adalah perkara Yani Haryanto vs. E.D.& F.Man (Sugar) Ltd12 (perusahaan yang berkedudukan di Inggris). E.D. & F. Man (Sugar) Ltd (dalam hal ini sebagai Penjual) telah memperoleh suatu putusan arbitrase dari The Council of the Refined Sugar Association, Arbitration Center di London yang telah menyalahkan pihak Yani Haryanto (sebagai pembeli) telah melakukan default dalam melangsungkan kontrak pengimporan atau pembelian gula pasir untuk diimpor ke Indonesia. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pihak Yani Haryanto mengajukan gugatan perdata melawan pihak E.D. & F Man sebagai Penjual yang berkedudukan di London. Penggugat mendalilkan dengan surat gugatannya tanggal 8 Agustus 1988 bahwa kontrak bersangkutan adalah bertentangan dengan Keppres RI No.43/1974 tanggal 14 Juli 1971 mengenai “penyelenggaraan koordinasi dan pengawasan atas pelaksanaan kebijaksanaan dalam bidang pengadaan penyaluran dan pemasaran gula pasir” dan keputusan Presiden RI No. 39/1978 tanggal 6 November 1978 Badan Urusan Logistik (selanjutnya disingkat dengan BULOG). Oleh karena itu menurut Pasal 1320 KUH Perdata ayat (4) agar perjanjian dianggap sah harus ada sebab
11
Ibid., hal. 239. Mahkamah Agung RI No. 1203K/Pdt/1990 jo. 736/Pdt/G/VI/1988/PN.JKT.PST jo.PT Jkt No. 485/Pdt/1989/PT DKI. 12
Perdata
No.
89
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
yang halal (causa yang diperbolehkan). Suatu persetujuan tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengabulkan gugatan penggugat yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian jual beli bersangkutan dimana termuat klausula arbitrase itu adalah kontrak-kontrak yang mengandung cacat dan melanggar ketentuan peraturan yang berlaku di Indonesia karena itu mempunyai sebab atau kausa yang dilarang, maka perjanjian jual beli gula itu harus dibatalkan. Menurut Pengadilan Negeri, karena dasar dari putusan hakim asing tersebut bertentangan dengan ketertiban umum dan tertib hukum di Indonesia, maka putusan-putusan hakim asing tersebut tidak mempunyai daya pengikat13. Disamping beberapa contoh perkara di atas, ada pula beberapa contoh perkara yang diterima permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasionalnya, itu terjadi setelah keluarnya Perma. Perkara tersebut dapat dilihat pada Ecom USA Inc., vs. PT Mahameru Centratama Mills (Penetapan Mahkamah Agung RI No. 4 Pen.Ex’r/Arb.Int/Pdt/1992, 06-04-1994). Ecom USA Inc, perusahaan yang berkedudukan di DallasTexas, USA dalam sengketa ini telah bertindak sebagai Pemohon, yang diwakili oleh Executive Vice Presidentnya, Uwe Grobecker lawan PT Mahameru Centratama Mills yang berkedudukan di Bandung, sebagai Termohon14. Selain itu, juga terdapat perkara PT Tripatria Citra Pratama vs. Abdulelah Jamal Al Zamzani Est cs. Mahkamah Agung RI telah mengabulkan permohonan exequatur yang diajukan oleh Pemohon Citra Pratama, yang telah diajukan oleh Manajernya sebagai kuasa dari Direktur Utamanya terhadap para Termohon, Abdulelah Al Zamzani
13 14
Tinneke L. Longdong, Op. Cit., hal. 244. Ibid., hal. 231.
90
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Holdings Pte. Ltd., yang berasal dari Saudi Arabia (Penetapan Mahkamah Agung RI No. 1 Pen.Ex’r/Arb.Int/Pdt/1993, 3 Juni 199315. Dari beberapa contoh perkara di atas, dapat dikatakan bahwa setelah Mahkamah Agung RI mengeluarkan Perma, pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia mulai mendapat kepastian, karena hukum acara yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase internasional sudah jelas. Untuk mengatur pelaksanaan putusan arbitrase internasional dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia, pada 12 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terdiri dari XI Bab dan 82 Pasal. Pada Bab VI UU Arbitrase tersebut mengatur tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Perlu dilakukan kajian mendalam, apakah setelah berlakunya UU Arbitrase benar-benar tidak ada hambatan atau kendala lagi dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Mengingat bahwa setelah berlakunya UU Arbitrase, masih terdapat penolakan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional oleh Mahkamah Agung RI dengan alasan ketertiban umum, yaitu pada perkara Bankers Trust Company vs. PT Mayora Indah16 dan perkara Bankers Trust Company vs. The Jakarta International Hotel & Development Tbk. Selain
15
Ibid., hal. 231-235. PT Mayora Indah melawan Bankers Trust Company, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 489/PDT.G/1999/PNJS, tanggal 5 Oktober 1999. Jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI No. 211/PDT/2000/PT DKI, tanggal 20 Juli 2000. Jo Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 001/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST., tanggal 3 Februari 2000 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 01 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September 2000. 16
91