Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS
Volume 18 Mei —September 2015
DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA 2015
i
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Volume 18 Mei —September 2015 Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Sejak Oktober 2009 Penanggung Jawab Ferry Adamhar, SH, LL.M Dr. iur. Damos Dumoli Agusman Redaktur Patrick S. Hasjim, S.H., M.Si; Sudarsono, S.H., MM; Rofita, S.H.; Zainul Idris Yunus, S.E.; Fajar Yusuf, S.H., LL.M; Editor Nenda Inasa Fadhilah, S.H., LL.M.; Santa Marelda Saragih, S.H., MH.; M. Ferdien, S.H.; Galuh Indriana Rarasanti, S.H.; Dyan Radin Swastika, S.H. Disain Grafis Asep Hermawan S.H; Andre Bramantya, S.H. Sekretariat Uki Subki, S.Sos, M.Si; Anisa Husna, S.Hum. Maisaroh, S.Sos. Agustian; Sutono, S.Sos; Tasunah; Alamat Redaksi: Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Jl. Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat Telp. +62 21 3846633 Fax. +62 21 3858044; Email:
[email protected] Jurnal Opinio Juris versi digital dapat diunduh di website http://pustakahpi.kemlu.go.id/
Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Opinio Juris adalah pendapat dan analisis pribadi dari para penulis dan tidak mewakili pandangan/posisi Kementerian Luar Negeri dan/atau Pemerintah Republik Indonesia.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
DAFTAR ISI Daftar Isi ..................................................................................................... v Pengantar Redaksi....................................................................................... vi INDONESIAN VENTURE CAPITAL INDUSTRY: ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) STRATEGIC PERSPECTIVE ......................................................................................... 44 Yusuf Ausiandra
PENGALAMAN DIPLOMASI INDONESIA DALAM SENGKETA TUMPAHAN MINYAK MONTARA DAN KEBUTUHAN INSTRUMEN HUKUM REGIONAL ASEAN ........................................ 51 M. Ajisatria Suleiman KEBEBASAN MENGAKSES INTERNET SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA: SELAYANG PANDANG INDONESIA DAN NEGARA ASEAN LAINNYA……………………………………………………8 AP Edi Atmaja IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KORIDOR: REGULASI MP3EI BERBASIS WAWASAN KEBANGSAAN SEBAGAI SARANA MENGHADAPI AEC UNTUK MEWUJUDKAN SUSTAINABLE DEVELOPMENT………………………………………………………….11 Siti Ramdani
RESENSI BUKU………………………………………………………15 ISTILAH HUKUM .................................................................................. 108 TENTANG PENULIS ............................................................................. 109
v
JURNAL OPINIO JURIS
vi
Vol. 18 Mei – September 2015
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
PENGANTAR REDAKSI Dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi diseminasi informasi terkait isu-isu hukum dan perjanjian internasional, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional telah menerbitkan Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional yang diberi nama “Jurnal Opinio Juris”. Mengingat sebentar lagi Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, redaksi memutuskan untuk mengangkat tema ASEAN dalam Jurnal Opinio Juris Volume 18 ini. Empat penulis mengangkat berbagai aspek dari tema tersebut yang membahas modal ventura (Yusuf Ausiandra), penyelesaian kasus pencemaran maritim (M. Ajisatria Suleiman), kebebasan mengakses internet (A.P. Edi Atmaja), sinergi MP3EI dan MEA (Siti Ramdani) serta kolom resensi oleh Prita Amalia atas buku berjudul ASEAN: Life After the Charter. Dalam kesempatan ini, redaksi Opinio Juris juga hendak mengucapkan terima kasih kepada para anggota redaksi terdahulu yang telah mendapat penugasan baru di beberapa Perwakilan RI atas dedikasinya dalam memajukan Opinio Juris. Redaksi juga mengajak para pembaca untuk turut berkontribusi serta memberikan saran dan masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang melalui email
[email protected]. Untuk memudahkan para pembaca setia Opinio Juris, Redaksi telah memuat Opinio Juris yang pernah terbit terdahulu pada Perpustakaan Hukum Digital (e-library) Kemlu yang dapat di akses melalui http://pustakahpi.kemlu.go.id/. Pada kesempatan ini, Redaksi Opinio Juris secara terus menerus mengajak para pembaca untuk turut menyumbangkan tulisan, memberikan saran dan vii
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang. Akhir kata, Redaksi Opinio Juris berharap semoga jurnal ini dapat bermanfaat serta menjadi sarana dalam menyebarluaskan informasi dan wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan perjanjian internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri. Terima kasih dan selamat membaca.
Redaksi Opinio Juris
viii
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
INDONESIAN VENTURE CAPITAL INDUSTRY: (ASEAN ECONOMIC COMMUNITY) AEC STRATEGIC PERSPECTIVE Yusuf Ausiandra, S.H. LL.M
Abstrak
Industri pembiayaan modal ventura Indonesia sedang mengalami penurunan ditengah-tengah bertumbuhnya industri wirausaha global. Penyebab dari fenomena tersebut ditengarai berasal dari lemahnya pengaturan modal ventura di Indonesia, yang sedang diubah
oleh
Otoritas Jasa Keuangan dengan mengamandemen Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.010/2012 dan peraturan-peraturan terkait. Paper berikut akan membahas peluang yang bisa diambil dari integrasi ekonomi nasional dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dalam tulisan ini, Penulis berpendapat bahwa revisi dari regulasi pembiayaan modal ventura harus turut mempertimbangkan pendanaan modal ventura melalui ASEAN Fund Passport dan dampak positif lainnya yang berasal dari integrasi ekonomi ditingkat regional.
Kata Kunci: Venture capital; OJK; ASEAN Economic Community
9
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Introduction
Indonesia is currently undergoing an economical paradox. In the globally impacted booming age of venture capital financed start-ups and its success stories, the appearance of innovative entrepreneurs with brilliant ideas, Indonesia against the prevailing trend suffers from a weakening venture capital sector. From a total of 89 companies by the end of 2012 only 70 companies remain with only 60 companies effectively operating.1 Furthermore, most of Indonesian Venture Capitals (IVC) are gradually weakening in terms of capital and 70% of the IVCs are transforming into bank loan intermediaries or deviating from the purpose of their juridical form as venture capital firms. The Indonesia Financial Service Authority (OJK) intends to reform the current conditions by publishing an upcoming new regulation. In parallel, Indonesia is progressively liberalizing its financial and services market through the Association of South East Asian Nation (ASEAN) framework agreements. Historically, Indonesia is a founding member of the Association of South East Asian Nations (ASEAN). As an ASEAN Member State (MS), Indonesia has agreed the ASEAN Free Trade Area Agreement signed in
1
Asosiasi modal ventura Indonesia (Indonesian Venture Capital Association) website. 6 June 2015. “70% Modal Ventura Berubah Jadi Bank”. The article could be accessed on http://www.amvi.or.id/item-70-modal-ventura-berubah-jadi-039-bank039.html
10
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
1992. This Agreement followed by a more specific agreement on the liberalization of trade in services2 intends to liberalize trade in good and services by gradually eliminating tariff and non-tariff barriers by 2015. The ASEAN Free Trade Area after the liberalization process would form the ASEAN Economic Community (AEC). The final objective of the AEC would be to achieve regional economic integration in the form of a (i) single market and production base, (ii) a highly competitive economic region, (iii) a region of equitable economic development and (iv) a region fully integrated into the global economy3. The AEC would include five elements which are the (i) free flow of goods; (ii) free flow of services; (iii) free flow of investments; (iv) freer flow of capitals; and (v) free flow of skilled labor. The gradual progress towards the formation of the AEC provides an opportunity to adjust its regulatory reforms regarding the Venture capital industry while seizing a new scope of action in terms of funding access and spillovers that could result from cross-border cooperation and free flow of services, goods, freer flow of capital and skilled labor at a regional level. In the meanwhile, another more advanced regional organization, the European Union, has already achieved further financial integration. This paper would explore through a brief comparison to the European Union regional regulations concerning venture capital further
2 3
ASEAN Framework Agreement on Services 1995 Declaration on the ASEAN Economic Community Blueprint 2007
11
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
venues to be transposed to the ASEAN progress. This would shed light on some strategies that could be pursued by the Indonesian government to complement the forthcoming regulatory reforms. The paper would be structured as following: 1. The issues encountered in the Indonesian venture capital industry 2. The main regulation in the EU concerning venture capital and the current state of AEC 3. The required strategy to be pursued by Indonesia in regards to the AEC.
I. The Legal Framework Indonesian Venture Capital Industry 1.1 The current legal framework 1.1.1
Regulation of the Ministry of Finance 2012
The underlying legal infrastructure for Venture Capital resides in Regulation of the Minister of Finance Number 18/PMK.010/2012 on Venture Capital Firms. The regulation of the Minister of Finance permits 3 types of participation with equity, quasi equity (convertible bonds) and profit or revenue sharing4. The majority of Indonesia Venture Capitals
4 Article 2 of the Regulation of the Minister of Finance Number 18/PMK.010/2012 on Venture Capital Firms
12
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
focus on the third mode of financing. In other words, Indonesian venture capital firms only become another type of bank. Although legally valid, the non-equity participation in financing disrupts entrepreneurial motivation embedded in the venture capital concept itself. Equity or quasi equity financing constitutes the fundamental contracting tools to stimulate entrepreneurial through exit valuation rather than purely conservative loan rents. The underlying concept of venture capital itself would be a form of financing by equity participation in non-listed companies in order to finance their incubation stage, their developmental stage until the end of the fund term, which ideally should end by an exit through Initial Public Offering (IPO.5 The financed companies are mostly Small and Medium Enterprises (SME) and technology companies. The companies financed at its start mostly lack prior track record, valuable industrial assets and often only have an idea as a starting point. As a result, the start-ups are barred from capital market and banking finance due to the high risk and uncertainty of the business. This is where venture capitals become an intermediary and a business partner between long-term funds such as pension funds, public funds, and corporate funds and the start-up and SME businesses.6
5
Gilles Mougenot. 2014. Tout Savoir sur le Capital Investissements. 5th edition. Paris: Gualino lextenso editions. P.20 6 ibid
13
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
The Indonesian venture capital regulation prohibits direct fundraising to the public7 as contrast to global venture capital practice due to a separate prudential requirements regime for equity funds. Indonesia finance law, distinguishes between private equity contracts managed by professional fund managers as would be elaborated below and venture capital funds acting as mere finance intermediary. This schism highly weakens the capacity of Indonesian venture capital to raise adequate (longterm) funds from adequate investors (professional investors), undermine the quality of their portfolio companies8 and results in dependency to bank loans as source of liquidity in financing their portfolio companies. The structural inadequacy resides in bank loans as a source of financing for venture capitals (short term debt structure) in one hand and high-risk equity participation in portfolio companies in the other hand. A more adequate source of financing would be long-term idle funds such as pension funds or raising private equity funds from accredited wealthy investors.
7 Article 41 of the Bapepam LK Regulation No. IV.C.5 concerning Private Equity Contracts prohibits to contract fund from the public in the form of gyro and deposits. Indonesian venture capital funds also are prohibited from raising pools of funds from investors to be invested in their portfolio firms. 8
According to the Indonesian Venture capital Association in 2014, certain venture capital companies has filed bankruptcy due to a drastic reduction in asset value and bankruptcy coupled with incapacity to repay bank loans used to finance the investments.
14
JURNAL OPINIO JURIS
1.1.2
Vol. 18 Mei – September 2015
Private Equity Regulation
Indonesian finance law adopts a separate rule governing private equity contracts and regulates it through Bapepam LK Regulation Number IV.C.5 Concerning Private Equity.9 The regulation confines the offering of private equity to professional investors and with a threshold of 50 investors10.
Furthermore,
the
regulation
mandates
a
prudential
organizational structure to manage the private equity contracts such as (i) minimum paid-up capital of IDR 25 billion; (ii) hiring at least 1 employee who certified with Chartered Financial Analyst (CFA) or had registered as fund manager under prevailing Bapepam-LK regulations and have working experiences as fund manager for minimum 5 years; and (iii) has at least 1 participation unit in every fund managed by him/her. Those requirements demonstrate that the regulation prior to managing private equity adopts a certain prudential level. In return, private equity funds would be granted access to fundraising from professional investors.
9
Bapepam LK was Indonesian Capital Market Supervisory Agency in charge of financing institutions along with Indonesian Investment Coordinating Board division and the Minister of Finance until the shared authority of the three institutions was transferred to a single authority since 1st January 2013. The single authority is the Indonesian Financial Service Authority or OJK. 10 Article 2 of the Bapepam LK Regulation No. IV.C.5 concerning Private Equity Contracts
15
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Indonesia has no specific definition of professional or accredited investors, but for the purpose of the private equity regulation a private investor is an investor with financial capacity to purchase participation in designated private equity participation unit of IDR 5 billion or in the event that private equity fund is pooled in foreign currency, net worth of the relevant participation unit shall be equal to USD 500,000 or EUR 500,000; and have sufficient knowledge regarding private equity fund investment risks.11 In contrast to the regulation on private equity, the Indonesian venture capital regulation12 omits the obligation of management by specialized fund managers along with the above-mentioned prudential structure. Henceforth, the Indonesian venture capital legal structure is reduced to a mere financial intermediary function without access to potential source of investments as for private equity funds operating under the Bapepam LK Regulation. The current regulatory framework for venture capital reveals to be to fragmented and overly centered on the legal structure rather than on its management aspects. The absence of a mandatory professional fund manager function as in the private equity regulation would undermine the quality of choice in terms of portfolio companies and subsequently hinder
11
Article 11 of the Bapepam LK Regulation No. IV.C.5 concerning Private Equity Contracts 12 Regulation of the Minister of Finance Number 18/PMK.010/2012 on Venture Capital Firms
16
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
liquidity upon exit. Venture capital-backed companies mostly require further incubation period beyond the 10 year before being able to proceed to a profitable exit by IPO. This explains the domination of trade-sales exit over IPO in more bank-dominated economy such as in the European Union for instance.13 A private sales exit requires an ex-ante financially sound portfolio of investments hence most of the venture capital participations would be transferred to other private equity institutions before being able to precede to a profitable IPO.
1.1.3
Indonesia
Venture
Capital
Structural
deficiencies
From the above-mentioned elaboration, Indonesian venture capital regulation generates several issues for the industry. First, it favors the formation of intermediary bank-like institutions rather than a partnership relation between the venture capital (PMV) and the portfolio company (PPU). The regulation forsakes the importance of managerial participation by professional fund managers through equity financing. Secondly, the regulation hinders access to more adequate source of fundraising in particular accredited and professional investors falling under a special
13
Elisabete Gomes Santana Félix et al. Exit Decision in the European Venture Capital Market. CEFAGE-EU Working Paper 2008/01. P. 24
17
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
private equity regime. The venture capital regulation should have adopted the same criterion for the venture capital industry by rendering mandatory the management of venture capital under the same prudential regimes as private equity. This policy would result in the qualification of venture capital investment parts as a quality asset class for accredited investors. As a result from the current regulatory deficiency, the Indonesian Financial Services Authority (OJK) identified certain issues encountered by the Indonesian venture capital industry in the form of deviation in the financing model14. OJK through a press conference that 70% of the overall total 70 venture capital firms in Indonesia avoid using “equity participation” scheme in financing a business. The present condition infers that the majority of Indonesia venture capitalists adopt conservative stances in direct contradiction with the spirit and the term of venture capital itself. The Indonesian Venture Capital Association posits that the reason for a deviation is a result of difficulties of funding. The association advances that Indonesian Venture Capital Association obtains funds from bank loans15 causing a non-sustainable business structure. Venture capital by nature differs widely from banks for its industry resides on “high risk – high return” ventures.
14
http://www.ojk.go.id/siaran-pers-ojk-dorong-revitalisasi-industri-modal-
15
http://www.amvi.or.id/item-70-modal-ventura-berubah-jadi-039-bank-
ventura 039.html
18
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
The problems of ex-ante source funding hereby is combined with liquidity problems ex-post as observed through a reading of Article 7 of the Regulation of the Minister of Finance Number 18/PMK.010/2012 on Venture Capital Firms consisting of exit through IPO; Managerial Buyback or Private Sales (over-the-counter sales). The ministerial regulation has clearly omitted the recent problems encountered in the venture capital industry namely: post-investment liquidity problems. The development of a secondary private market would be a partial solution to the issue. To resume, the lack of “quality investments” by “qualified fund managers” in the form of venture capital would also block access to secondary private markets for venture capital funds. The secondary private market constitutes an important source of liquidity in the New Venture Capital cycle.16 The illiquid nature of venture capital investment requires the establishing of a secondary private market to channel the transfer of shares at a pre-IPO stage17. In considerations of the current deficiencies, AEC in particular pertaining to the financial integration could have a positive impact for the Indonesian venture capital industry.
1.1.4
Upcoming Reform under OJK
16
Mendoza, Jose Miguel and Vermeulen, Erik P. M., The 'New' Venture Capital Cycle (Part I): The Importance of Private Secondary Market Liquidity (May 3, 2011). Lex Research Topics in Corporate Law & Economics Working Paper No. 1/2011. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1829835 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1829835 . P.11 17 ibid
19
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
The Indonesian Financial Service Authority (OJK) has planned to publish a new Financial Service Authority Regulation (POJK) in the following months of 2015 to reform and revitalize the existing regulations governing the venture capital industry.18 The reform would mirror a once used Japanese strategy consisting of a Government-to-Government initiative to enable Indonesian venture capital funds to access funding from foreign sources. Furthermore, OJK would support the venture capital industry through tax incentives, equity management programs, the establishment of a Business Angel Network, and the strengthening of funding sources by the formation of venture funds.19 By venture fund, OJK implies the attempt to render possibly available for venture capitalist idle funds detained by insurances, pension funds and government (public) funds. Furthermore, OJK plans to impose the “accompanying function” (surveying and intervening in portfolio company day to day management) theoretically inherent in any US venture capital mechanism as an optional fee based business. Up until this the date of writing of this paper, the planned regulation is still under drafting by OJK.
27 April 2015. “OJK Susun Aturan Soal Modal Ventura”. The article could be accessed on http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt553de83c2f0f4/ojk-susun-aturansoal-modal-ventura 19 The summary of the press conference that took place on the 27th of April 2015 could be accessed on http://www.ojk.go.id/siaran-pers-ojk-dorong-revitalisasi-industrimodal-ventura 18
20
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
In resume, the Indonesian venture capital industry to date still encounters a dual level issue: (1) Functional – business problems (ex-ante Investments, ex-post liquidity and management issues) and (2) Regulatory framework problem. In context, Indonesian venture capital industry in addition to national regulatory reforms would require (i) Long-term venture funds; (ii) access to an extensive private secondary market and (ii) Professional fund managers experienced in managing venture capital funds. The reform of the current regulatory structure would require a triptych reform consisting of Actor, Fund structure and Regional Fund Mobility. These reforms would be elaborated further below under the light of regional integration movement in progress in ASEAN. But before discussing the ASEAN financial integration scheme, a concise review of a more advanced integration regime would be beneficial. The European Union regulatory framework for cross border commercialization of venture capital funds would be an adequate insight.
II. AEC 2015: Towards an ASEAN VC Passport
The European Union financial liberalization model resides on three main pillars namely: (1) minimum harmonization; (2) mutual recognition
21
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
and (3) home-country control.20 The minimum harmonization pillar refers to the principle adopted by the commission favoring the “lowest common denominator” in the process of harmonization amongst national standards21. The mutual recognition principle resides on the mutual recognition of the validity of rules in other countries upon minimum agreement on essential rules. The third pillar, the home country control principle, imposes responsibility upon the supervisory authority of each member states when their member states financial institutions conduct business in the territory of other member states. The three pillars govern the underlying rational of the regional financial regulation in the European Union including the Directives and regulation related to the Venture Capital Industry discussed below.
2.1 EU Regional VC regulation model
The EU law on financial integration including the rules governing venture capital is composed of a complex body of rules. Subsequently, the present section would discuss briefly the main points and structure of the
20
Bongini, Paola, The EU Experience in Financial Services Liberalization: A model for GATS negotiations?. THE EUROPEAN MONEY AND FINANCE FORUM, SUERF Studies, 2003/2. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=753502 . P. 12 21
22
ibid. P. 15
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
main legal instruments that affects the operation of the Venture Capital industry at a European level namely (a) The Markets in Financial Instruments (MiFID) Directive; (b) The European Venture Capital Fund Regulation (EuVECA) Regulation and (c) The Alternative Investment Fund Managers (AIFM) Directive.
2.1.1
The MiFID
22
MiFID Directive
replaces the Investment Service Directive (ISD) and
represents the most complex piece of European Financial Service legislations in recent years.23 In this regards, this sub-section would sum the important points of the Directives considering that this regulation has a limited impact on the over-all operations of most Venture Capital funds. Two key concepts could be extracted from the Directive inter alia
24
: (1)
Investments firms should be granted access to operate throughout the EU on the sole basis of authorization in their home member states. In other words, investment firms could provide cross-border investment services and establish branches in all Member States under a single passport; (2) a high level of investor protection should be established wherever they are established in the EU. MiFID lay down detailed conduct of business rules
22
Directive 2004/39/EC in Markets in Financial Instruments Directive European Private Equity and Venture Capital Association (EVCA). March 2008. MiFID Technical Briefing Note. P.3 24 Ibid 23
23
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
for investment firms setting a standard operating procedure for all member states.
2.1.2
EuVECA Regulation
The European Venture Capital Fund Regulation25 constitutes a specific regime dedicated to the venture capital industry. A regulation in the EU law nomenclature has general and direct applicability towards all member states26. In other words the regime is available in all the member states with requiring prior transposition in the national law. The principle elements of the regulation consists of three main features: (1) Fund managers; (2) Qualifying funds (EuVECA) and (3) Qualifying portfolio undertaking. The fund managers must fulfill the definition27 of (i) a legal person whose regular business is managing one or more qualifying venture capital; (ii) Established in the EU28 and (iii) managing funds below AIFM29 Directive thresholds30. The EuVECA Regulation provides that the
25
Regulation No. 345/2013 on European Venture Capital Funds Article 288 of the Treaty on the Functioning of the European Union (TFEU) 27 Article 3 C of the EuVECA Regulation 28 Article 2 (1) (b) of the EuVECA Regulation 29 The AIFM Directive (Directive 2011/61/EU) refers to the Alternative Investment Fund Manager that would be explained further below. 26
24
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
manager shall be either (i) an external manager, which is the legal person appointed by the EuVECA or on behalf of the EuVECA and which, through this appointment, is responsible for managing the EuVECA (external Alternative Investment Fund Manager)31; or (ii) the EuVECA itself, which shall then be registered as manager, where the legal form of the EuVECA permits an internal management and where the Alternative Investment Funds governing body chooses not to appoint an external manager. An internally managed EuVECA cannot be appointed as the external manager or another EuVECA. The Qualifying EuVECA refers to (i) Undertaking for Collective Investments (“UCI”) other than UCITS32 intending to invest at least 70% of its aggregate capital contribution and uncalled capital commitments in in “qualifying investments” such as equity or quasi equity instruments issued by the qualifying portfolio undertaking, loans granted to a qualifying portfolio undertaking, units and shares of other EuVECA33; (ii) established within territories of a Member State (“MS”) of the EU. The Qualifying portfolio undertakings should be (i) established in the EU or third country that is not listed by the Financial Action Task Force on Anti-Money Laundering and Terrorist Financing (FATF) and has
30 31
Article 2 (1) (2) of the EuVECA Regulation Article 3 of the EuVECA Regulation
32
UCITS relies on another regime laid down by the Directive 2009/65/EC
33
Article 3 (b) of the EuVECA Regulation
25
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
signed tax agreements with the home Member State of the fund manager and each other member state in which fund is intended to be marketed34; (ii) in the for of a SME not admitted to trading on a regulated market or multilateral trading facility, employing fewer than 250 persons, annual turnover not exceeding € 50m / annual balance sheet total not exceeding € 43m.35 In addition, EuVECAs may only be marketed to investors who have the experience, knowledge and expertise to make their own investment decisions and properly assess the risks associated with such investments.36 In distinction with the AIFM Directive explained further below, the EuVECA Regulation revolves around the attribution of the “EuVECA label” for the commercialization reserved for qualifying venture funds opting in for the status. The intention behind the regulation would be to provide an efficient framework for the financing of SMEs across Europe through the formation of a single and simplified regime within the EU. Fund managers instead of being under the obligation to comply with 27 national laws would only comply with a single regime.
34
Article 3 (d) (4) of the EuVECA Regulation Article 3 (d) (i) of the EuVECA Regulation 36 Article 6 of the EuVECA Regulation delimits the scope of professional investors as those who are (i) elect to be treated as professional clients and (ii) are willing to invest at least €100,000: and (iii) have confirmed in writing that they are aware of the risks associated with their investment. A “professional investor” is any investor which is considered to be a professional client or may be treated as a professional client on request within the meaning of Annex II of Directive 2004/39/EC 35
26
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Under this regulation, a registered AIFM can manage a EuVECA residents anywhere in the EU and can market it anywhere in the EU to professional and certain other investors.
2.1.3
AIFM Directive
Since the entry into force of the AIFM Directive37, European Union member states have adjusted their national securities laws in accordance with the new categorization of the directive. In the nomenclature of EU law, Directives should be transposed into the national law in order to have full effect38. The Directive adopts a classification based on the nature of the funds and the object of the investment vehicle.39 The rational on the directive would be the regulation of certain fund managers on the premises of the importance of the fund. By importance, the Directive aims to regulate funds that could trigger systemic issue due to their volume with the main idea of protecting the investors of the fund. The directive applies in the event, a fund manager in the European Union
37
Directive 2011/61/EU on Alternative Investment Fund Managers In accordance with Article 288 of the Treaty of the Functioning of the European Union (TFEU), a directive is directly binding to the addressed member states as to the result to be achieved leaving the implementation to the discretion of the concerned national authorities in regards of the choice of form and methods. 39 Florence Moulin and Daniel Schmidt. 2015. Les Fonds de Capital Investissement : Principes juridiques et fiscaux. 3rd edition. Paris : Gualino-lextenso édition. P.87 38
27
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
manages a fund worth of more than €100 million in leveraged funds or €500 million in unleveraged funds in which redemption rights are blocked for a period of 5 years following the initial investment. The aim of this directive would be to enhance transparency of Alternative Investment Fund (AIF) managers subject to the AIFM Directive towards their supervisory authorities, investors and other key stakeholders in order to increase investor confidence and to regulate the main sources of risk associated with alternative investment management. The Directive defines AIFs
(Alternative
Investment
Funds)
as
“collective
investment
undertakings, including investment compartments thereof which (i) raise capital from a number of investors, with a view to investing it in accordance with a defined investment policy for the benefit of those investors; and (ii) do not require authorization pursuant to Article 5 of Directive 2009/65/EC40. Subsequently, AIFM refers to the legal persons whose regular business is managing one or more of the AIFs.41 The AIFMD applies to: (a) EU AIFMs which manage one or more AIFs irrespective of whether such AIFs are EU AIFs or non-EU AIFs; (b) non-EU AIFMs which manage one or more EU AIFs; and (c) non-EU AIFMs which market one or more AIFs in the EU irrespective of whether such AIFs are EU AIFs or
40 41
28
This refers to funds regulated by the UCITS directive Article 4 (1) (b) of the AIFMD Directive
JURNAL OPINIO JURIS
non-EU AIFs.
42
Vol. 18 Mei – September 2015
The AIFM directive has an interesting benefit for the
funds falling under or opting in the directive regime: the granting of the European Passport. This attribute permits the funds to be marketed43 in terms of fundraising all around the European Union. The target clientele is limited to professional investors.44 The types of funds under the AIFM regime are long-term and mostly high risked funds employing subtle and intricate investing strategies requiring the investors to have a thorough understanding of the nature of the funds. The particularity of the fund investment strategy renders the funds targeted by the Directive nonadaptable for retail investors. In regards to venture capital funds, the AIFM Directive would impact the funds in relation to the volume of the fund hence in certain EU jurisdiction as in France; the category of funds has been reduced to two types of funds namely OPCVM or UCITS and FIA (AIFs).45 For the AIFs, a sub-division has been made creating AIFs
42
Article 2 of the AIFMD Directive The AIFMD in article 4 (x) defines marketing as “a direct or indirect offering or placement at the initiative of the AIFM or on behalf of the AIFM of units or shares of an AIF it manages to or with investors domiciled or with a registered office in the EU” 43
44
Professional investors is defined in article 4 (ag) of the Directive as an investor which is considered to be a professional client or may, on request, be treated as a professional client within the meaning of Annex II to Directive 2004/39/EC
29
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
dedicated to non-professional investors and AIFs dedicated to professional investors. A concise assessment of the EU venture capital regulatory ecosystem would bring us two common underlying notions: (1) Regulatory simplification by the creation of an optional unified regime for Venture capital funds in order to granted market entry through out Europe and (2) The common recognition of each home country financial supervisors in the operations of its funds in other countries. These two notions permits to present to reduce transaction costs by reducing unnecessary red tapes while still maintaining necessary prudential measures to protect investors.
2.2 ASEAN Integration as Strategic Venue 2.2.1
The Regional Passport Strategy: CIS
At the 13th ASEAN Summit in Singapore in November 2007 ASEAN leaders jointly adopt the AEC Blueprint. Pursuant to the AEC Blueprint the ASEAN Capital Markets Forum (ACMF) developed the Implementation Plan approved by the ASEAN Finance Ministers at the 12th ASEAN Finance Minister meeting in Da Nang, Vietnam in April 2008. Amongst the initiatives figured the plan to develop a mutual
45 Article L.214-1, II Code Monétaire et Financier (French Monetary and Finance Code)
30
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
recognition framework to facilitate cross border offers of collective investment schemes within ASEAN Collective Investment Scheme (ASEAN CIS)46. On 1 October 2013, ACMF announced that the Securities Commission Malaysia, the Monetary Authority of Singapore and the Securities and Exchange Commission of Thailand have signed a Memorandum of Understanding (MOU) to establish an ASEAN CIS framework for cross-border offerings of CIS (ASEAN CIS Framework). The ASEAN CIS Framework allows the units of an ASEAN CIS authorized in its Home Jurisdiction to be offered in other Host Jurisdictions under a streamlined authorization process, provided that the ASEAN CIS satisfies the set of common standards specified in the Standards of Qualifying CIS (the “Standards”).47 BNP Paribas Securities Services summed up the key features as following48: (i) The Funds must initially be assessed as suitable for cross-border distribution by Home Regulator (ii) Funds can only invest in specific assets: transferable securities, money market instruments, deposits, units in other CIS and financial derivatives; (iii) Eligible assets have investment restrictions according to qualifying standards; (iv) Funds must not engage in non-
46
ASEAN Capital Market Forum. 25th of August 2014. Handbook for CIS Operators of ASEAN CISs. P.3 47 The standards could be accessed online at http://www.theacmf.org/ACMF/upload/standards_of_qualifying_cis.pdf 48 BNP Paribas Securities New-letter. ASEAN Collective Investment Scheme (CIS) Framework. The document could be accessed at http://www.securitiesservicesnewsletter.com/debt-issuers-and-arrangers/article/passport-development-opportunitiesseminar-draws-huge-crowd-in-singapore
31
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
permissible activities such as securities lending, repurchase transactions and direct lending of monies; (v) Additional rules apply for money market funds, master feeder funds, fund-of-funds and exchange-traded funds ; (vi) CIS Operators must have at least 5 years of experience in managing CIS ; (vii) CIS Operators must have at least USD 500 million of Asset Under Management (AUM) globally in all related companies ; (viii) CIS Operator must have shareholder equity of at least USD 1 million and maintain specified capital adequacy; (ix) Trustee and fund supervisor must be resided and regulated in the same jurisdiction as the CIS it oversees ; (x) Appointed local intermediaries and representatives must be compliant with the Host Regulator requirements ; (xi) An independent party is required for valuation and Net Asset Value (NAV) calculation ; (xii) Eligible funds are subjected to on-going disclosure according to Host Regulator requirements. In sum, ASEAN CIS increases efficiency, accessibility and diversity of funds offered in ASEAN countries. It seems that ASEAN has adopted a scheme similar to the European Undertakings for Collective Investment in Transferable Securities (UCITS)49, AIFMD Fund Passport, and EuVECA European Passport Scheme in fostering regional integration amongst others. The
49
The UCITS (Undertakings for Collective Investment in Transferable Securities Directive) Directive (Directive 2009/65/EC) permits collective investment schemes (CIS) to be operated and commercialized throughout EU member states based on a single authorization from one member state.
32
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
overall gradual strategy towards regional integration consists amongst others by: (1) Strengthening prudential regulations and harmonizing the rules amongst member states (setting of common standards); (2) Listing in the form of an inventory national laws that could pose an obstacle to financial integration specific legal areas such merger and acquisitions, distance marketing, transparency, accounting, bankruptcy law, competition policy, etc.50 and (3) Mutual recognition amongst member states. As the same with the EU regional fund passport schemes, the ASEAN CIS represents an opportunity for the Indonesian venture capital industry in terms of fundraising and commercialization of venture funds part throughout ASEAN.
2.2.2
Indonesian Venture Capital Interest
In the midst of restructuring the current legal and business landscape for the Indonesian venture capital industry, Indonesia could seize the general trend of financial liberalization to negotiate a framework with other ASEAN member states in accordance with the interest of the national venture capital industry. As elaborated above, the Indonesian venture capital suffers from three levels of deficiencies. First, the lack of
50
Gloria O Pasadilla. Financial Services Integration in East Asia: Lessons from the European Union. Asia-Pacific Research and Training Network on Trade (ARNTNeT). Working Paper Series No. 53 March 2008. P. 18
33
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
professional managers seasoned by success investment exit track records to manage the investments. Second, new sources of optimal and adequate funds. Third, in order to diversify the risk repartition and extend the clientele outreach in terms of composition, a regional mobility for fundraising or the commercialization of the funds would be necessary. In sum, Indonesian venture capital industry interests consists of: (1) Professional fund managers; (2) External funds and liquidity structured in private-public arrangements; and (3) Regional mobility.
2.2.2.1 Professional fund managers
In order to lure and capture valuable highly experienced fund managers to fulfill the role of managing the venture capital fund, selecting the portfolio of investments and participating in the management of the portfolio companies, an attractive labor law regime along with compensation packages should be put in place. The free flow of services goal in the AEC blueprint could be geared towards a mutual recognition for fund managers and other supporting professions followed by enhanced free flow of professional fund managers between ASEAN member states. The Mutual Recognition Agreement (MRA) for the accounting profession constitutes a positive step.
2.2.2.2 Joint Private-Public Cooperation (Fund) 34
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Various attempts by different nations in engineering a mimetic of the United States success story - Silicon Valley - has resulted in utter failure. In classical venture capital literature, the root problem has been traced to the simultaneity of three elements namely entrepreneurs, specialized intermediaries (venture capital) and sufficient stock of capital.51 Yet, attempts to fund a venture capital market solely through public fund has failed due to passivity or deviation from main purposes of the funds.52 In other words, a venture capital industry fully backed by an enormous reserve of public fund could only disrupt the creation of a sustainable venture capital industry in the long run. The AEC Blueprint provides certain regional schemes and mechanism for investment in SMEs in the region.53 One of the schemes scheduled to be accomplished in 2015 consist of the establishment of a regional SME development fund that would be used as a financial source for SMEs that are undertaking
51
Ronald J. Gilson. Engineering a Venture Capital Market: Lessons from the American Experience. Stanford Law Review. Vol. 55, No. 4 April 2003 pp. 1067-1103. P. 1069 52 Two prime examples of these failures could be cited. First, there is the Chinese experience with the China New-Tech Venture Capital corporation (CNVCC), which deviated from its initial purpose of funding of financing technological innovation and engaged in the real estate industry and money lending businesses. Secondly, there is the German WFG experience which created a passive financial intermediary without conducting supervising of investments ending in failure of portfolio companies. 53 The AEC Blueprints classifies the regional SME development framework under the Equitable Economic Development section. The AEC blueprint refers to an even more specific blueprint: the ASEAN Policy Blueprint for SME Development 2004-2014 (APBSD);
35
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
business in the ASEAN region.54 Albeit the idea deemed positive for novel source of financing, a Public-Private Partnership in the financing of innovation would constitute a more positive impetus to develop a dynamic regional venture capital market.55 The economic rational of this structure would be the spill over effect or the transfer of knowledge from the private structure to the public sector along with a lower cost of capital from the participation of the public sector.56 Hence, the AEC constitute an opportunity for foreign venture capital funds to cooperate in a public-private partnership scheme channeled towards independent and competing privately managed venture capital firms as in the Yozma or Corfu Project. 57 A variant of this scheme could imply a tripartite cooperation between Indonesian private funds – foreign (ASEAN) funds and public (national) funds or just a joint
54
Strategic schedule for SMEs development. AEC Blueprint P.54
55
The EVCA itself states its position to support the formation of a private sector-managed pan-European fund-of-funds with a high commitment to venture capital in its position statement of November 2014 entitled Accelerating Innovation & Delivering Growth: Using the Jobs, Growth and Investment Package to Attract Private Sector Investors to the European Venture Capital Industry. The document could be accessed at the following link http://www.evca.eu/media/340371/141109_EVCA_FOF_scheme.pdf 56
Marian Moszoro and Pawel Gasiorowski. Optimal Capital Structure of PublicPrivate Partnerships. IMF Working Paper WP/08/1. January 2008. International Monetary Fund. P. 12 57 Op cit. Gilson. P. 1097
36
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
investment scheme between Indonesian venture capital funds and foreign (ASEAN) venture capital funds. The underlying rational remains the same: lowering capital cost and spillover effects in terms of know-how, and deterring dependence towards the use of public funds as source of financing. The constitution of ASEAN level funds of funds configured in a public-private structure would permit to secure a long-term fund availability adapted to Venture capital financing.
2.2.2.3 ASEAN Fund Passport Mobility
The study of the EuVECA regulation and the AIFM Directive has shed light on the strategic idea of a regional passport. As stated above, a similar framework has been implemented between several ASEAN member states under the ASEAN fund passport scheme or known as the ASEAN Collective Investment Scheme (CIS).58 The CIS will allow fund managers operating in one market to offer CIS (typically mutual funds or unit trusts) directly to retail investors in the other two member markets. All members will adopt a set of common standards in areas such as qualifications, investment limits, and capital requirements for instance, to
58
ASEAN Collective Investment Scheme (CIS) has been established between Singapore – Malaysia and Thailand A Handbook for CIS operators has been published on 25th of August 2014 on the matters related to different legislative requirements in each participating jurisdictions and the procedures for the cross-border offering of ASEAN CIS.
37
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
ensure that retail funds are managed based on industry best practices. Financial analysts have already estimated a sizeable volume of asset under management (AUM), around $ 470 billion according to BNP Paribas analyst in the event that Indonesia and the Philippines join the scheme59. In the light of the tremendous progress at the ASEAN level, Indonesia could opt-in the scheme and even proposes further specific schemes related to the commercialization of venture capital funds (fundraising) in other ASEAN member countries in analogy to the European passport through the EuVECA label or the AIFM funds. The grating of an ASEAN passport for venture capital funds would permit a broader outreach towards professional investors in other member countries, diversifying the regional investment options and unblocking massive passive funds in the form of well needed investments in innovative SMEs throughout Indonesia and the region. From a strategic risk management perspective, the ASEAN passport would also be an opportunity for Indonesia to partially transfer the burden of risk in venture capital portfolio investments to investors in other region.
2.3 Recommendations
59
Laurel Theo CFA. ASEAN as a Single Market: What, When, How, and Really?. 21 June 2014. Accessed at: http://blogs.cfainstitute.org/marketintegrity/2014/06/21/asean-as-a-single-market-whatwhen-how-and-really/
38
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
After briefly elaborating the structural deficiencies confronted by the Indonesian venture capital industry, a reform along the above stated vectors at a national level should be coincided with regional financial integration
strategies.
A
multistate
cooperation
favoring
mutual
recognitions of venture capital funds as under the CIS scheme could in the long-term support the liquidity and management problems plaguing the Indonesian venture capital industry.
III. Conclusion
The Indonesian venture capital industry has undergone a steady decline in number of firms and funds due to a deficient legal infrastructure. The current structure of funds merely adopts a finance intermediary institutional structure while undermining the important role of professional actors (fund managers), optimum hybrid (PPP) fund structures, and liquidity of investments alternative exits through fund mobility. The AEC community represents a temporal venue to adjust the Indonesian industry towards a regional and even global level. The triptych of vital reform consisting of fund managers, fund structure and mobility would permit to comprehend a holistic complement to the upcoming projected reform of the Indonesian venture capital law by the Indonesian Financial Service Authority (OJK). Fostering Mutual Recognition Agreements (MRA) between member states for fund managers, optimization of fund structures 39
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
and the establishing of an ASEAN Passport dedicated for qualified venture capital funds would permit to revamp the industry. An insight of the current regulatory framework applied to venture capitals in the European Union provides valuable insight in drafting a national strategy to further Indonesian venture capital interests. A referral to the ASEAN CIS framework in force between Malaysia, Singapore and Thailand could be a starting point to establish a similar regime for Indonesian venture capital funds. The goal for Indonesian regulators consists of establishing a regional cross-border recognition and commercialization regime for Indonesian venture capital funds investing in Indonesian SMEs. Furthermore, an ASEAN-wide recognized digital secondary market should be established to sustain market liquidity in a broader market. If successful, the Indonesian venture capital industry would be able to obtain more investments for SMEs, ensure the liquidity of the investments and transfer risks of investments to broader range of professional investors at a regional level. In addition, Indonesian funds would be able to benefit from spillover effects derived from regional integration in terms of venture business know-how by working in joint cooperation with foreign seasoned venture capitalist. Perspective of regional financial integration constitutes an opportunity to be seized by the Indonesian financial services authority in particular and the Indonesian government in general. In the light of recent plans to reform the national venture capital regulation, the findings
40
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
presented in the recent papers could contribute to enrich the perspective of ameliorating the Indonesian Venture Capital Market in the long-term.
Bibliography International Treaties ASEAN Treaties ASEAN Framework Agreement on Services 1995 Declaration on the ASEAN Economic Community Blueprint 2007 EU Treaties Treaty on the Functioning of the European Union (TFEU) Regulation No. 345/2013 on European Venture Capital Funds Directive 2011/61/EU on Alternative Investment Fund Managers Directive 2004/39/EC in Markets in Financial Instruments Directive Directive 2009/65/EC concerning Undertakings for Collective Investment in Transferable Securities National Laws Indonesian Law Bapepam LK Regulation No. IV.C.5 concerning Private Equity Contracts Regulation of the Minister of Finance Number 18/PMK.010/2012 on Venture Capital Firms French law 41
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Code Monétaire et Financier (French Monetary and Finance Code) Books and Documents ASEAN Capital Market Forum. 25th of August 2014. Handbook for CIS Operators of ASEAN CISs. BNP Paribas Securities New-letter. ASEAN Collective Investment Scheme (CIS) Framework EVCA.November 2014 Accelerating Innovation & Delivering Growth: Using the Jobs, Growth and Investment Package to Attract Private Sector Investors to the European Venture Capital Industry. European Private Equity and Venture Capital Association (EVCA). March 2008. MiFID Technical Briefing Note. Mougenot, Gilles. 2014. Tout Savoir sur le Capital Investissements. 5th edition. Paris: Gualino lextenso editions. Moulin, Florence and Daniel Schmidt. 2015. Les Fonds de Capital Investissement : Principes juridiques et fiscaux. 3rd edition. Paris : Gualino-lextenso édition. Journals and Papers Gilson, Ronald J. Engineering a Venture Capital Market: Lessons from the American Experience. Stanford Law Review. Vol. 55, No. 4 April 2003 pp. 1067-1103. P. 1069 Gomes, Elisabete et al. Exit Decision in the European Venture Capital Market. CEFAGE-EU Working Paper 2008/01. Mendoza, Jose Miguel and Vermeulen, Erik P. M., The 'New' Venture Capital Cycle (Part I): The Importance of Private Secondary Market Liquidity (May 3, 2011). Lex Research Topics in Corporate Law & Economics Working Paper No. 1/2011. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1829835 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1829835 . 42
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Moszoro, Marian and Pawel Gasiorowski. Optimal Capital Structure of Public-Private Partnerships. IMF Working Paper WP/08/1. January 2008. International Monetary Fund. Paola, Bongini. The EU Experience in Financial Services Liberalization: A model for GATS negotiations?. THE EUROPEAN MONEY AND FINANCE FORUM, SUERF Studies, 2003/2. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=753502 . Pasadilla, Gloria O. Financial Services Integration in East Asia: Lessons from the European Union. Asia-Pacific Research and Training Network on Trade (ARNTNeT). Working Paper Series No. 53 March 2008. Internet Articles and websites http://www.amvi.or.id/ http://www.ojk.go.id Laurel Theo CFA. ASEAN as a Single Market: What, When, How, and Really? http://blogs.cfainstitute.org/marketintegrity/2014/06/21/asean-as-asingle-market-what-when-how-and-really/
43
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
PENGALAMAN DIPLOMASI INDONESIA DALAM SENGKETA TUMPAHAN MINYAK MONTARA DAN KEBUTUHAN INSTRUMEN HUKUM REGIONAL ASEAN M. Ajisatria Suleiman
Abstract
In August 2009, massive spills of light crude oil and hydrocarbon gas occurred as a result of blowouts of Montara Well Head Platform in West Atlas Block, in the area of Timor Sea. The offshore platform was operated by PTTEP Australia, a subsidiary of a state owned enterprise in Thailand. As a response to this incident, the Government of Indonesia has been commencing various legal and diplomatic actions. The diplomatic discussion in the IMO concluded with a recommendation to develop either a bilateral or regional legal instrument, to further facilitate negotiation among parties. On the other hand, the diplomatic negotiation between Indonesia and Thailand has not yet to reach a positive outcome. It is concluded that there is an urgency to develop a bilateral or regional legal instrument, within the ASEAN region. However, one must distinguish a convention that facilitates civil liability and private insurance scheme (such as the CLC or Fund Convention) and a convention that facilitates state-to-state bilateral/regional cooperation. Failure to distinguish the 44
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
types of international agreement will result in unclear diplomatic position and focus.
Keywords: Montara spillover; ASEAN legal instrument; civil liability
A.
Latar Belakang Pada tanggal 21 Agustus 2009, berdasarkan laporan Australian
Maritime Safety Authority (AMSA), terjadi kebocoran minyak (light crude oil) dan gas hydrokarbon akibat ledakan di Montara Well Head Platform di Blok West Atlas-Laut Timor Perairan Australia yakni pada posisi 120 41’ LS 1240 32’BT dengan estimasi tumpahan 400 barel/hari (64 ton/hari).60 Per 30 Agustus 2009, jejak tumpahan minyak mentah (weathered light crude oil) telah memasuki sebagian kecil ZEE Indonesia yang berbatasan dengan ZEE Australia, sebagaimana tercatat oleh Balai Riset Kelautan dan Perikanan/BRKP Kementerian Kelautan dan Perikanan).61 Laporan AMSA juga menyebutkan bahwa per 21 September 2009 jejak tumpahan minyak mencapai 51 NM (nautical miles) dari Pulau Rote. Ledakan terjadi atas rig pengeboran dan platform dimiliki dan dioperasikan oleh PTTEP Australasia, anak perusahaan dari PTTEP di
60
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, Proses Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor, Agustus 2014. 61 Montara Commission of Inquiry of the Australian Government, Report of the Montara Commission Inquiry, Juni 2010.
45
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Thailand.62 Menurut Pemerintah Indonesia, tumpahan minyak merusak ekosistem laut di Laut Timor dan merugikan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Meskipun perusahaan yang bersangkutan memiliki asuransi, belum ada pembayaran yang diberikan karena, antara lain, terdapat perselisihan mengenai cakupan kerugian.63 Sebagai respons atas insiden ini, Pemerintah Indonesia telah menempuh berbagai tindakan dan advokasi. Segera setelah insiden terdeteksi, maka tim yang terdiri dari Kementerian Perhubungan, TNI Angkatan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup melakukan berbagai pemantauan, pengambilan sampel, serta kajian dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup di wilayah laut Republik Indonesia.64 Perundingan diplomatik dilakukan antara Pemerintah Indonesia dengan Thailand sebagai negara dimana penanggung jawab tumpahan berasal, mengingat operator pengeboran merupakan anak perusahaan dari BUMN Thailand. Selain itu, upaya diplomasi juga dilakukan di tingkat International Maritime Organization (IMO) untuk mengajukan usulan pembuatan instrumen hukum internasional. Selain itu, terdapat upaya
62
Government of Indonesia, Claims for Pollution Compensation in Timor Sea,
2010. 63
Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor, Laporan Perkembangan Tuntutan Ganti Rugi Akibat Pencemaran di Laut Timor Akibat Tumpahan Minyak, Januari 2012. 64 Lihat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, op. cit.
46
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
untuk mengajukan gugatan ganti rugi perdata. Namun, hingga saat ini, belum terdapat kejelasan mengenai arah penyelesaian ganti rugi akibat tumpahan yang minyak yang timbul. Dalam hal ini, terdapat beberapa pihak yang terlibat dalam kasus Montara, dan hal ini mempengaruhi bagaimana pertanggungjawaban dari masing-masing pihak bersangkutan. Misalnya dalam kasus Montara terdapat pihak-pihak yang berpotensi bertanggung jawab atas terjadinya blowout, antara lain:
1.
Operator pengeboran, yaitu PTTEP Australasia (Ashmore Cartier) Pty Ltd (PTTEPAA), yang merupakan anak perusahaan dari perusahaan Pemerintah Thailand (BUMN atau National Oil Companies, PTTEP)
2.
Regulator, yaitu, Northern Territory Department of the Environment yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Federal Australia untuk mengatur dan mengawasi kegiatan pengeboran;
3.
Pemerintah (Federal) Australia, yakni sebagai: (a) regulator utama kegiatan migas berdasarkan Offshore Petroleum Act dan/atau (b) pihak yang bertanggung jawab atas penggunaan dispersan (di laut bebas) yang menurut beberapa kalangan dianggap justru memperparah pencemaran lingkungan laut, dan (c) turut serta bertanggung jawab bersama-sama dengan Northern Territory Department of the Environment; 47
JURNAL OPINIO JURIS
4.
Vol. 18 Mei – September 2015
Halliburton, perusahaan Amerika Serikat yang dapat dianggap bertanggung jawab sebagai pihak yang melakukan pengeboran (kontraktor pengeboran) pada saat blowout dan/atau dianggap ikut bertanggung jawab memperparah pencemaran dengan melakukan tindakan yang penanganan yang tidak tepat sebelum blowout sehingga semakin memperparah blowout;
5.
Atlas Drilling, sebagai pemilik rig pengeboran, merupakan perusahaan di Singapura dan afiliasi dari Sea Drift Management, suatu perusahaan berbasis di Norwegia. PTTEPAA menggunakan jasa Atlas untuk berbagai kegiatan pengeboran.
B.
Analisis Diplomasi di IMO dan Urgensi Instrumen Hukum Regional Permasalahan pertanggungjawaban dan ganti kerugian pencemaran
laut lintas batas akibat kegiatan minyak bumi lepas pantai disampaikan oleh Indonesia kepada IMO pertama kali pada bulan Maret 2010, pada saat 60th session of the Marine Environment Protection Committee (MEPC).65 Kemudian Delegasi Indonesia menyampaikan proposalnya kepada IMO Legal Committee pada 97th session of the Legal Committee pada bulan
65
International Maritime Organization (IMO), Ongoing Discussion at IMO on Matters Concerning Liability and Compensation for Oil Pollution Damage Resulting from Offshore Exploration and Exploitation Activities, Medexpol 2013 Workshop on the Regional Response Capacity and Coordination to Major Oil Spill in the Mediterranean Sea, 5 December 2013.
48
JURNAL OPINIO JURIS
September 2010.
Vol. 18 Mei – September 2015
Menurut Delegasi Indonesia pula, meskipun sudah
terdapat asuransi, namun kewenangan regulasi atas asuransi tidak diatur oleh negara asal pencemaran (mengingat anjungan minyak berada di negara tersebut). Meskipun dimungkinkan adanya perjanjian regional atau bilateral. Namun demikian, batas cakupan asuransi akan bergantung dari hukum negaranya masing-masing. Oleh karena itu, dibutuhkan standar internasional yang dapat diberlakukan di semua negara dan semua insiden.66 Delegasi Indonesia meminta agar Legal Committee mencantumkan permasalahan ini dalam agenda sehingga mendorong instrumen hukum di bidang pertanggungjawaban dan kompensasi dari pencemaran laut yang berasal dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas.
Per
Desember 2013, proposal Delegasi Indonesia sudah dibahas di 4 sesi formal Legal Committee, maupun di sesi informal (informal intersession consultative group).67 Dari pembahasan di sesi-sesi tersebut, terlihat ada perdebatan di tingkat prosedural dan tingkat substansial. Secara procedural, berdasarkan IMO Council pembahasan materi agenda Sesi harus sesuai dengan Strategic Plan, dimana proposal Indonesia tidak sesuai dengan Strategic
66
Nikita Scicluna, A Legal Discussion on the Civil Liability for Oil Pollution Damage resulting from Offshore Oil Rigs in the light of the recent Deepwater Horizon incident, disampaikan dalam 1st Offshore Protocol Working Group Meeting Valletta, Malta, 13-14 Juni 2013. 67 Ibid.
49
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Plan. Oleh karenanya, dibutuhkan persetujuan dari IMO Council. Sementara secara substansi, perdebatan dari para negara peserta terpolarisasi dan tidak dapat mencapai titik temu.68 Atas bantuan Sekretariat dari Legal Committee, disampaikan berbagai instrumen hukum internasional dan regional yang sudah ada yang memadai untuk mengatasi permasalahan ini. Disimpulkan “bahwa tidak ada instrumen hukum internasional yang khusus mengatur mengenai pencemaran laut akibat kegiatan di anjungan minyak lepas pantai.”69 Namun terdapat beberapa instrumen internasional yang menyinggung dan cukup relevan untuk dibahas. a.
UNCLOS
memberikan
kewajiban
bagi
negara
untuk
mengendalikan polusi yang mencemarkan lingkungan laut dan membebankan kewajiban untuk memberikan kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan. Namun, UNCLOS tidak mengatur mengenai rezim pertanggungjawaban dan kompensasi secara detail. b.
Terdapat juga 1977 Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage from Offshore Activities (CLEE), namun hingga kini belum berlaku (entry into force).
c.
1974
Regional
Convention
between
Denmark,
Finlandia,
Norwegia, and Swedia memberikan kewajiban kompensasi atas
68 69
50
IMO, op. cit. IMO, op. cit.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
pencemaran laut dari anjungan lepas pantai, namun keberlakuannya hanya untuk empat negara tersebut (meskipun mekanisme yang ada dapat dijadikan rujukan). d.
Terdapat 1974 Offshore Pollution Liability Agreement (OPOL) yang mewajibkan perusahaan minyak yang beroperasi di North Sea untuk bertanggungjawab dalam mengganti kerugian akibat tumpahan minyak di anjungan lepas pantai.
e.
Sekretariat dari Legal Committee juga mencatat beberapa konvensi regional lain dan beberapa dokumen IMO yang mengatur mengenai polusi akibat kegiatan lepas pantai, namun tidak memberikan panduan
terkait
mekanisme
pertanggungjawaban
dan
penggantirugian. f.
2010
UNEP
Guidelines
memberikan
panduan
mengenai
mekanisme pertanggungjawaban dan penggantirugian atas kegiatan yang berbahaya bagi lingkungan hidup, namun tidak mengatur mengenai kegiatan lepas pantai. g.
2004 EU Environmental Liability Directive membebankan kewajiban bagi operator yang melakukan kegiatan berbahaya untuk bertanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability), namun hanya untuk beberapa tipe kecelakaan dari anjungan minyak. Namun, pasca insiden Deepwater Horizon, Directive ini direvisi dengan EU Directive 2013/30/EU tanggal 12 Juni 2013, dimana negara anggota EU diminta untuk memastikan bahwa pemegang izin dapat bertanggung
jawab
secara
finansial
untuk
mencegah
dan 51
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
memulihkan kerusakan lingkungan sebagaimana didefinisikan dalam Directive ini, yang diakibatkan oleh kegiatan minyak bumi dan gas lepas pantai, yang dilakukan oleh, atau untuk kepentingan, pemegang izin atau operator (“ensure that the licensee is financially liable for the prevention and remediation of environmental damage as defined in that Directive, caused by offshore oil and gas operations carried out by, or on behalf of, the licensee or the operator”). h.
Legal Committee menyebutkan bahwa selama 30 tahun terakhir, terdapat
Comite
Maritime
International
(CMI)
yang
mengembangkan Rancangan Konvensi tentang Offshore Mobile Craft. Pada tahun 1998, CMI menyampaikan laporan kepada IMO bahwa definisi “Mobile Craft” tidak dapat disamakan dengan kapal (ship), sehingga konvensi IMO mengenai kapal tidak dapat diterapkan kepada Mobile Craft (yang mana mencakup anjungan lepas pantai). Atas dasar ini, dibutuhkan konvensi baru yang mengatur mengenai mobile craft, atau mengubah konvensi yang sudah ada sehingga dapat juga mencakup unit-unit lepas pantai yang dapat bergerak (mobile) dan juga anjungan yang tidak bergerak (fixed structure).
52
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Dari 60 anggota yang menghadiri IMO Legal Committee, terdapat berbagai pendapat yang mendukung ataupun menolak usul Indonesia. Argumentasi yang mendukung antara lain:70 a.
Momen yang penting untuk pembahasan karena adanya insiden Montara dan Deepwater Horizon;
b.
IMO tidak perlu menunggu sampai ada kejadian lagi;
c.
IMO merupakan lembaga yang kompeten untuk membahas isu ini;
d.
Insiden pencemaran lintas batas membutuhkan kerjasama dan pengaturan di tingkat internasional;
e.
Diperlukan mekanisme kompensasi bagi korban.
Sementara itu, argumentasi yang menolak:71 a.
Sebaiknya menggunakan instrumen hukum nasional ataupun regional/bilateral, tidak perlu instrumen hukum internasional;
b.
IMO tidak ada mandat untuk membahas permasalahan ini, karena IMO fokus kepada permasalahan pelayaran (shipping), sementara anjungan lepas pantai bukan bagian dari kegiatan pelayaran;
c.
Menurut UNCLOS, negara yang berwenang untuk menyusun sistem
pertanggungjawaban
dan
kompensasinya,
tidak
memerlukan keterlibatan IMO;
70 71
IMO, op. cit. IMO, op. cit.
53
JURNAL OPINIO JURIS
d.
Vol. 18 Mei – September 2015
Sebaiknya dilakukan studi untuk menilai apakah instrumen regional/bilateral yang ada saat ini sudah efektif.
Pada bulan April 2012, Brazil menolak usul Indonesia karena beberapa alasan. Secara substansial, Brazil menolak usul Indonesia untuk mereplikasi pengaturan pencemaran laut dari kegiatan kapal (sebagaimana diatur dalam 1992 Civil Liability Convention dan Fund Convention) untuk diterapkan pada anjungan lepas pantai. Alasannya, ada perbedaan fundamental antara kegiatan kapal/pelayaran dengan kegiatan anjungan minyak lepas pantai, yang melekat pada kegiatan di landas kontinen. Anjungan
lepas
pantai
umumnya
dilakukan
di
wilayah
landas
kontinen/Zona Ekonomi Eksklusif, sehingga dampak pencemarannya terbatas. Hal ini berbeda dengan kapal tanker minyak yang bergerak hingga masuk ke kawasan laut territorial. Selain itu, kapal tanker juga berjalan melintasi berbagai yurisdiksi laut territorial berbagai macam negara, mulai dari negara asal hingga negara tujuan, dan termasuk juga negara tempat kapal tersebut lewat atau singgah/transit. Atas dasar kepentingan internasional ini dibutuhkan pengaturan hukum internasional. Dari hasil diskusi yang berkembang, disimpulkan bahwa IMO Legal Committee tidak melihat adanya urgensi untuk membentuk konvensi internasional untuk permasalahan ini. IMO Legal Committee juga sepakat bahwa cara terbaik untuk mengatasi permasalahan pencemaran lintas batas dari kegiatan anjungan minyak lepas pantai adalah melalui mekanisme bilateral dan regional. Mengingat IMO memiliki keahlian di bidang 54
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
pertanggungjawaban dan ganti rugi pencemaran laut, maka IMO Legal Committee, maka IMO akan menganalisis lebih jauh permasalahan ini dan membantu penyusunan model perjanjian bilateral atau regional yang mengatasi permasalahan ini. Pada Bulan April 2014, pada 101st Session of IMO Legal Committee, Delegasi Indonesia secara khusus menyatakan kekecewaannya atas kesimpulan tersebut di atas, namun akan tetap mendukung secara aktif dan
berkomitmen
untuk
mengembangkan
model
perjanjian
bilateral/regional mengenai pencemaran laut lintas batas akibat kegiatan minyak bumi dan gas.
C.
Analisis Diplomasi Bilateral Indonesia-Thailand Pada 15 Juli 2010, Pemerintah Indonesia mengawali langkah
advokasi dan negosiasi tuntutan ganti rugi dengan penerbitan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor. KP 326 Tahun 2010 Tanggal 15 Juli 2010 tentang Pembentukan Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran Laut Timor. Pertemuan pertama kali dilakukan dengan PTTEP AP di Perth, 27 Juli 2010. Sejak saat itu hingga tahun 2013, rangkaian proses negosiasi dan advokasi tuntutan dilakukan yang berujung pada kegagalan Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan tuntutan haknya dari PTTEP. Secara umum berikut adalah proses negosiasi yang dapat dikategorisasi menjadi 3 (tiga) tahap:
55
JURNAL OPINIO JURIS
1.
Vol. 18 Mei – September 2015
Negosiasi B2G antara Tim Advokasi Pemerintah Indonesia dengan PTTEP (Juli 2010-Juli 2011)72
Dalam tahap ini, negosiasi dilakukan antara Tim Pemerintah Indonesia dengan PTTEP secara business to government (B2G). Agar tercapai kesepakatan mengenai proses dan jumlah ganti rugi, PTTEP menghendaki adanya kesamaan data ilmiah yang digunakan, sehingga mengusulkan adanya pengkajian bersama. Usul ini ditolak oleh Pemerintah Indonesia karena menganggap sudah tidak cukup waktu. Hingga keseluruhan proses negosiasi berakhir, tidak tercapai kesepakatan mengenai data ilmiah yang digunakan. Permasalahan lain yang disampaikan oleh PTTEP adalah kewenangan Pemerintah Indonesia untuk mengajukan gugatan atas nama penggugat (khususnya masyarakat yang terkena dampak pencemaran). PTTEP hendak memastikan bahwa seandainya pun tercapai kesepakatan dengan Pemerintah Indonesia, di kemudian hari tidak ada gugatan yang diajukan kepada PTTEP atas nama pihak lain, misalnya masyarakat lokal, atau Pemerintah Daerah. Pemerintah Indonesia mengusulkan adanya langkah sementara (interim measure) sambil menunggu hasil proses negosiasi. PTTEP
72 Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, Proses Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor, Agustus 2014.
56
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
menyambut langkah ini dengan mengusulkan adanya pembayaran dengan skema Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bentuk itikad baik (goodwill), sehingga pembayaran tersebut tidak dapat diartikan sebagai pengakuan atas kesalahan (admission of liability). Selain itu, juga dibahas mengenai adanya jaminan kecukupan dana berupa bank garansi untuk memastikan kemampuan PTTEP memenuhi klaim yang disepakati. Keseluruhan mekanisme ganti rugi menggunakan pola dual track, sebagaimana dijelaskan di atas (CSR plus penghitungan ganti rugi dengan skema bank garansi), akan tercantum dalam suatu nota kesepahaman (Memorandum of Understanding). Namun demikian, penandatanganan MoU selalu tertunda karena berbagai alasan, termasuk negosiasi ulang atas poin-poin yang disepakati. Kegagalan penandatanganan MoU membuat proses negosiasi meluas menjadi G2G, dengan Pemerintah Indonesia menyurati Pemerintah Thailand sebagai otoritas yang berwenang atas perusahaan induk PTTEP. Dalam berbagai alasan yang dikemukakan oleh PTTEP, terdapat klaim bahwa penandatanganan MoU membutuhkan persetujuan dari Menteri Energi Thailand. MoU gagal ditandatangani sehingga disepakati bahwa proses negosiasi akan difasilitasi oleh kehadiran Neutral Committee.
57
JURNAL OPINIO JURIS
2.
Vol. 18 Mei – September 2015
Negosiasi dengan mediasi Neutral Committee dan dimulainya keterlibatan negosiasi G2G (Agustus 2011-November 2012)73
Pada bulan Juni 2011, disepakati pembentukan Neutral Committee dengan anggota terdiri atas Mr. Juha Christensen, H.E. Dr. Surakiart Sathirathai dan H.E. Dr. Hasan Wirajuda. Pertemuan pertama Neutral Committee dimulai pada bulan Agustus 2011. Juha Christensen adalah aktivis non-pemerintah yang banyak terlibat dalam proses perdamaian di Aceh, dan menjadi penasehat Pemerintah Finlandia dalam melakukan mediasi proses perundingan antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia. Surakiart Sathirathai adalah pakar hukum internasional dari Thailand dan mantan Wakil Perdana Menteri Thailand bidang hubungan luar negeri. Hassan Wirajuda adalah mantan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia. Pembahasan dalam Neutral Committee masih merujuk pada poinpoin yang sudah dibahas sebelumnya antara Pemerintah Indonesia dan PTTEP. Secara umum, kerangka penyelesaian ganti rugi melalui skema “dual track” (CSR dan kesepakatan ganti rugi yang dijamin oleh bank garansi). Skema dual track ini seyogyanya akan termaktub ke dalam MoU yang akan ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan PTTEP. Namun demikian, detail teknis mengenai materi MoU tidak kunjung disepakati.
73
58
Ibid.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Misalnya, mengenai jumlah CSR yang hendak dibayarkan sebagai goodwill, serta kerangka dasar penyelesaian dan penghitungan ganti rugi. Dalam perkembangannya, anggota dari Neutral Commitee berubah. Dari Thailand diganti menjadi Vasin Teeravechyan, diplomat yang juga menangani sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Sementara itu, untuk pihak ketiga yang netral diusulkan Michael Vatiokiotis, mantan jurnalis dan aktivis perdamaian yang berpengalaman mengelola organisasi non-pemerintah mediator konflik Thailand. Selain masalah substansi MoU, Neutral Commitee membahas mengenai teknikalitas hukum, seperti hukum yang berlaku (governing law). Baik substansi materi maupun teknikalitas hukum tidak kunjung disepakati oleh para pihak. Selain itu, terdapat berbagai alasan yang menghambat penandatangan MoU. Misalnya, adanya renegosiasi atas klausul-klausul yang sebenarnya sudah disepakati dalam pertemuan-pertemuan terdahulu. Pada bulan November 2012, Hassan Wirajuda resmi mengundurkan diri dan menyatakan bahwa skema dual track akan ditiadakan.
3.
Diplomasi Neutral Committee dan dimulainya rencana pengajuan tuntutan/gugatan hukum74
Hingga Desember 2012, Pemerintah Indonesia memberikan ultimatum untuk segera menyelesaikan proses perundingan dengan tenggat
74
Ibid.
59
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
waktu Desember 2012. Namun, hal ini tidak ditanggapi oleh Thailand, dan justru mengusulkan perubahan anggota Neutral Commitee menjadi Bhokin Bhalakula. Dengan gagalnya fasilitasi dari Neutral Commitee, maka proses negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan PTTEP berada dalam kondisi status quo. Pemerintah Indonesia sudah mulai menyikapi secara tegas perkembangan ini, dan mempersiapkan diri untuk mengajukan gugatan hukum, sebagaimana dibahas dalam rapat koordinasi Eselon 1 pada bulan April 2013. Beberapa opsi yang dipertimbangkan adalah sebagai berikut: 1)
Rencana pengajuan gugatan perdata ganti kerugian di pengadilan domestik Indonesia, sebagaimana dipersiapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
2)
Rencana penuntutan tindak pidana pencemaran, yang akan dikoordinasikan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia. Hingga akhir 2014, belum ada langkah nyata dari Pemerintah
Indonesia untuk menjalankan tuntutan atau gugatannya. Begitupula tidak ada kelanjutan proses negosiasi antara Tim Advokasi dengan PTTEP. Pada bulan Juni 2014, Menteri Perhubungan mengirimkan surat kepada Ketua Yayasan Peduli Timor Barat agar melakukan proses advokasi di skala lokal/regional. Hal ini menunjukan adanya perluasan jalur advokasi ke tingkat lokal.
60
JURNAL OPINIO JURIS
D.
Vol. 18 Mei – September 2015
Permasalahan Hukum dalam Proses Diplomasi IndonesiaThailand Proses negosiasi yang berlarut-larut antara Tim Advokasi dengan
PTTEP, bahkan sudah difasilitasi oleh Neutral Committee yang beranggotakan tokoh kompeten kedua negara dan tokoh netral, menunjukkan adanya kelemahan dalam hukum pertanggungjawaban pencemaran lingkungan yang sifatnya lintas batas. Hal ini pula yang mendorong Pemerintah Indonesia untuk aktif dalam melakukan advokasi di tingkat organisasi internasional melalui IMO. Beberapa kendala dan keterbatasan hukum yang dapat diamati melalui proses negosiasi adalah:
1.
Sifat hubungan negosiasi Hubungan para pihak dalam perundingan dalam prinispnya adalah
bersifat B2G (business to government) yaitu antara Pemerintah Indonesia dengan PTTEP sebagai badan hukum privat. Perundingan ini pun adalah bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out of court settlement dengan pola negosiasi/mediasi), yang sebenarnya bukan merupakan perundingan diplomatik. Dalam perkembangannya, perundingan mengarah ke pola “semi diplomasi” dengan pembentukan neutral committee yang merupakan mantan diplomat atau negosiator konflik internasional. Begitupula dalam perkembangannya
beberapa
kali
PTTEP
menyampaikan
bahwa
penandatanganan MoU membutuhkan persetujuan Pemerintah Thailand. Hal ini menyiratkan pola negosiasi berupa komunikasi diplomatik antara 61
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
negara (Government to Government, atau G2G). Namun demikian, apabila perundingan berstatus G2G antar pemerintah, disayangkan tidak ada keterlibatan Pemerintah Australia sebagai negara asal pencemaran. Dengan demikian, tidak ada kejelasan kerangka dasar perundingan, termasuk aktor negara dan non-negara yang terlibat, sehingga memperlambat proses perundingan.
2.
Kedudukan hukum Pemerintah Indonesia untuk mewakili korban
Dalam
suatu
perundingan
diplomasi,
negara
dapat
memperjuangkan kepentingan warga atau wilayahnya berdasarkan prinsip perlindungan diplomatik (diplomatic protection). Namun, mengingat perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan PTTEP bukanlah perundingan diplomatik, maka status Pemerintah Indonesia dipertanyakan. PTTEP
mempertanyakan
mengenai
kedudukan
Pemerintah
Indonesia apakah mewakili seluruh penggugat potensial (representing all potential claimants). Hal ini menjadi penting karena di satu sisi, PTTEP membutuhkan jaminan bahwa kompensasi yang dikeluarkan memang diperuntukan kepada korban dan masyarakat yang terdampak. Di sisi lain, dalam konteks gugatan perdata, Pemerintah Indonesia tidak dapat menjamin bahwa aktor lain, misalnya perwakilan LSM lokal, masyarakat adat, atau Pemerintah Daerah tidak melakukan gugatan kepada PTTEP. Pun dalam konteks gugatan perdata, gugatan perwakilan yang dilakukan Pemerintah tidak serta merta menyebabkan gugurnya hak pihak lain untuk mengajukan gugatan (nebis in idem). Masalah kedudukan hukum ini pula 62
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
yang menyebabkan perundingan antara Pemerintah Indonesia dan PTTEP tidak dapat menemukan penyelesaian.
3.
Referensi merumuskan skema pertanggungjawaban dan pemberian kompensasi Dalam setiap perundingan penyelesaian sengketa di luar pengadilan
(termasuk mediasi yang bersifat lintas batas), maka sewajarnya ada referensi mengenai hukum, peraturan, atau prinsip yang digunakan. Hal ini memudahkan para pihak untuk menemukan kesepahaman, maupun mengkonfirmasi ketidaksepahaman. Meskipun sifat negosiasi adalah kesepakatan para pihak, namun perundingan selalu dilakukan dengan merujuk peraturan yang ada. Tidak adanya mekanisme peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan dalam negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan PTTEP menjadikan perundingan sulit menemukan titik temu. Hal ini akan berbeda, seandainya terdapat ketentuan bahwa hukum yang berlaku (governing law) adalah hukum dimana kerugian terjadi, maka terdapat potensi pembahasan mengenai kompensasi dalam anti rugi dalam hukum Indonesia.
4.
Referensi dalam melakukan investigasi bersama/joint inquiry termasuk yang sifatnya teknis di bidang kemaritiman/ekologi Faktor penting yang menyebabkan perundingan tidak dapat
merumuskan titik temu adalah tidak adanya kesepahaman mengenai data 63
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
ilmiah yang dijadikan landasan untuk merumuskan ganti kerugian. Pemerintah Indonesia, Pemerintah Australia, maupun PTTEP secara mandiri melakukan kajian ilmiah teknis di bidang kemaritiman/ekologi untuk menilai dampak pencemaran terhadap lingkungan laut serta kehidupan sosial dan ekonomi. Namun demikian, tidak ada kewajiban dari masing-masing pihak untuk menerima hasil ataupun metodologi dari masing-masing kajian yang dihasilkan. Atas dasar ini, besarnya jumlah ganti kerugian tidak dapat ditetapkan dan disepakati. Dalam konteks gugatan perdata, memang lumrah terjadi adanya dua kajian ilmiah yang masing-masing dilakukan oleh penggugat dan tergugat untuk membuktikan adanya kerugian yang timbul, serta besarnya ganti rugi yang diperlukan. Para pihak pun dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan dimungkinkan untuk sepakat menunjuk pihak independen dalam melakukan kajian ilmiah yang hasilnya disepakati secara bersama, atau hasilnya digunakan oleh pihak ketiga dalam mengambil keputusan (arbiter/mediator).
Sementara dalam konteks hukum internasional,
terdapat prinsip dasar “duty to cooperate” yang mewajibkan adanya itikad baik dari negara dalam menyelesaikan hubungan internasional, khususnya secara regional ataupun internasional. Dapat termasuk dalam duty to cooperate ini adanya kesepakatan untuk melakukan kajian bersama, yang
64
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
mengacu pada suatu perjanjian bilateral/regional/internasional yang menjadi acuan.75
5.
Mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan urgensi penyelesaian perundingan Penyelesaian sengketa di luar sidang pengadilan hanya dapat
berjalan efektif jika ada insentif dari para pihak untuk menyelesaikannya segera. Insentif itu berupa adanya kalkulasi rasional bahwa penyelesaian sengketa di luar sidang akan lebih hemat biaya, cepat, dan efisien ketimbang penyelesaian sengketa di pengadilan. Oleh karena itu, perundingan/mediasi hanya dapat berjalan efektif jika ada pengadilan. Tanpa adanya kerangka yang mengatur gugatan lintas batas baik yang bersifat perdata maupun publik, tidak ada insentif dari PTTEP untuk menyelesaikan perundingan dengan itikad baik. Berdasarkan poin-poin di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat urgensi untuk membentuk instrumen hukum lintas negara (apakah itu bilateral, regional, ataupun internasional), yang khusus mengatur mengenai
75
Misalnya dalam Pasal 197 UN Convention on the Law of the Sea, dinyatakan “States shall cooperate on a global basis and, as appropriate, on a regional basis, directly or through competent international organizations, in formulating and elaborating international rules, standards and recommended practices and procedures consistent with this Convention, for the protection and preservation of the marine environment, taking into account characteristic regional features.” Lihat juga Gard AS, MARPOL Annex I, Regulations for the Prevention of Pollution by Oil, (April 2010).
65
JURNAL OPINIO JURIS
pertanggungjawaban
dan
Vol. 18 Mei – September 2015
pemberian
kompensasi
korban
akibat
pencemaran lintas batas yang disebabkan dari anjungan minyak lepas pantai. Namun di sisi lain, secara pragmatis dengan mempertimbangkan waktu dan sumber daya, serta kerugian yang dialami oleh korban, maka Pemerintah Indonesia juga sewajarnya mulai mengembangkan metodologi yang tepat dan disepakati oleh PTTEP dalam kasus Montara. Kemampuan Indonesia, seandainya berhasil, justru dapat dijadikan contoh untuk mendukung adanya instrumen hukum di tingkat internasional.
E.
Pembahasan Perjanjian Internasional yang Sudah Ada Sebagai Referensi Ada berbagai pendekatan dalam merumuskan instrumen hukum
yang dapat mendorong kerjasama dalam hal terjadi tumpahan minyak lintas
negara.
Mekanisme
pertama,
pendekatan
hukum
perdata
internasional, sebagaimana dapat dilihat dalam Convention on Civil Liability (CLC) dan Fund Convention. Dalam skema seperti ini, maka disusun suatu mekanisme pertanggungjawaban, pola kompensasi, maupun batas-batas pertanggungjawaban. Mekanisme kedua terkait dengan kerjasama antara negara (G2G) yang biasanya berlaku untuk tingkat bilateral atau regional. Yang ditekankan adalah aspek koordinasi antar negara, misalnya diatur mengenai bantuan operasional, kewajiban pertukaran informasi, dan penyelidikan bersama (secara ilmiah) untuk mendapatkan kesepahaman mengenai penyebab pencemaran. Ketiga, 66
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
pengaturan di tingkat hukum nasional, sebagaimana digunakan contoh Australia yang mengharuskan adanya asuransi, rencana nasional dan daerah, serta otoritas yang berwenang.
1.
Konvensi Pertanggungjawaban Perdata dan Konvensi Pendanaan76 International Convention on Civil Liability for Oil Pollution
Damage pertama kali diadopsi tahun 1969 dan berlaku tahun 1975. Konvensi ini kemudian diamandemen tahun 1992 dan berlaku tahun 1996. Per April 2014, 97% dari negara di dunia sudah meratifikasi Konvensi ini. Dalam diplomasi IMO, Indonesia secara khusus ingin menyusun konvensi dengan mereplikasi prinsip-prinsip CLC. Namun, usul ini ditolak oleh IMO karena dianggap sifat “internasional” dari tumpahan minyak tidak ada, berbeda dengan kapal. Rezim pertanggungjawaban lebih baik diatur secara regional atau bilateral. CLC pada prinsipnya berlaku terhadap kapal. Atas alasan ini, CLC tidak dapat berlaku terhadap anjungan minyak lepas pantai karena tidak dianggap sebagai kapal. CLC memberikan kewajiban kepada pemilik kapal yang mencemarkan laut karena tumpahan minyak. Skema pertanggungjawabannya adalah strict liability, sehingga kesalahan dari pemilik kapal tidak perlu dibuktikan. Pengecualian atas strict liability
Rosalie Balkin, “Is there a place for the regulation of offshore oil platforms within international maritime law? If not, then where?, Comitè Maritime International Dublin Symposium, 2013 76
67
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
adalah dalam hal-hal yang tertentu saja, misalnya adanya bencana alam. Namun demikian, untuk memberikan keseimbangan dan prediktabilitas, terdapat pembatasan jumlah pertanggungjawaban, sesuai dengan ukuran dan berat kapal. Adapun batas kompensasi adalah sebagai berikut:
Kapal sampai dengan 5000 GT
3 Juta Special Drawing Rights (SDR) Per Amandemen 2000 diganti menjadi 4.51 SDR (atau sekitar USD 5.78 juta)
Kapal 5000-140,000 GT
3 Juta Special Drawing Rights plus 420 SDR per ton Per Amandemen 2000 diganti menjadi 4.51 SDR (atau sekitar USD 5.78 juta) plus 420 per ton
Kapal di atas 140,000 GT
89.77 Special Drawing Right
Namun demikian, berdasarkan Amandemen di tahun 1992, pemilik kapal tidak dapat menikmati pembatasan di atas apabila tumpahan minyak terjadi karena kelalaian, kesengajaan, atau tindakan yang ceroboh (negligence). Pemilik kapal juga wajib mengasuransikan kapalnya bagi kapal yang membawa kargo di atas 2,000 ton minyak.
68
JURNAL OPINIO JURIS
Sementara
Konvensi
Vol. 18 Mei – September 2015
Pendanaan
(Fund
Convention)
pada
prinsipnya disusun untuk memberikan kompensasi bagi korban yang tidak tertanggung dalam CLC. Hal ini terjadi karena antara lain: 1.
Jumlah biaya melebih batas pertanggungjawaban;
2.
Pemilik kapal dikecualikan dari strict liability, sehingga tidak ada yang bertanggung jawab atas tumpahan minyak;
3.
Pemilik kapal maupun asuransi tidak memiliki dana untuk membayar kewajibannya.
Berdasarkan Konvensi Pendanaan, maka setiap pihak yang berada di negara peserta Konvensi dan menerima lebih dari 150,000 ton minyak mentah dan/atau minyak olahan, diwajibkan untuk memberikan iuran kontribusi. Namun demikian, kompensasi yang diberikan oleh Fund Convention pun juga terbatas. Yakni, 203 juta SDR bagi kejadian pra 2003, dan 135 juta SDR bagi kejadian pasca 2003.
2.
Konvensi dalam Pengelolaan Wilayah Artik77 CLC dan Fund Convention pada prinsipnya adalah pemberlakuan
rezim hukum perdata internasional bagi tumpahan minyak. Sementara, dapat pula dimungkinkan perjanjian yang sifatnya publik (G2G) sebagai kerjasama bilateral/regional. Sebagai contoh adalah Agreement on Cooperation on Marine Oil Pollution Preparedness and Response in the
77 Lihat Agreement on Cooperation on Marine Oil Pollution Preparedness and Response in the Arctic, ditandatangani pada tahun 2013.
69
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Arctic. Perjanjian ini merupakan kerjasama regional di antara Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, Rusia, Swedia, dan Amerika Serikat. Karena sifatnya yang kerjasama antara negara, maka fokus perjanjian ini adalah kerjasama, koordinasi, dan bantuan timbal balik (mutual assistance). Berbagai poin penting yang dapat diambil dari perjanjian ini adalah: 1.
Adanya kewajiban untuk membentuk sistem nasional yang mengendalikan kegiatan migas di wilayahnya masing-masing;
2.
Adanya focal point dari masing-masing negara untuk memudahkan kerjasama;
3.
Kewajiban notifikasi;
4.
Permintaan bantuan dan koordinasi dalam hal adanya operasi penanggulangan;
5.
Kebebasan pergerakan sumber daya antar negara dalam hal terjadi operasi penanggulangan;
6.
Reimbursement (penggantian biaya) apabila ada permintaan untuk memberikan bantuan dari negara lain;
7.
Kajian
bersama
(joint
review)
atas
tindakan/operasi
penanggulangan, termasuk dalam penentuan penyebab dan dokumen teknis lainnya;
70
8.
Kerjasama dan kewajiban dalam pertukaran informasi;
9.
Pelatihan bersama.
JURNAL OPINIO JURIS
F.
Vol. 18 Mei – September 2015
Kesimpulan Berdasarkan pengalaman Pemerintah Indonesia menangani kasus
tumpahan minyak Montara, banyak pelajaran yang dapat diambil, khususnya keputusan Pemerintah Indonesia untuk menempuh upaya diplomatik. Perundingan Indonesia-Thailand tidak dapat menemukan penyelesaian karena sifat negosiasinya yang tidak jelas, apakah B2G (dengan PTTEP sebagai korporasi) atau G2G (dengan Pemerintah Thailand). Apabila sifatnya adalah G2G, maka dapat dipertanyakan kewenangan Pemerintah Indonesia mewakili korban, dan jaminan bahwa korban tidak akan melakukan gugatan perdata secara terpisah dari hasil diplomasi G2G. Adanya percampuran konsep diplomasi ini terjadi karena belum ada kesamaan pandangan antara rumusan instrumen hukum yang ada, apakah yang sifatnya memfasilitasi gugatan perdata (seperti Konvensi Pertanggungjawaban
Perdata/Konvensi
Pendanaan)
atau
untuk
memfasilitasi kerjasama antara negara (seperti kerjasama regional negaranegara Arctic). Dengan pencampuradukan kedua model perjanjian internasional ini, maka tuntutan serta posisi negosiasi dalam diplomasi menjadi rancu. Atas dasar ini, sebagai rekomendasi tulisan ini, dan tindak lanjut dari pembahasan di IMO Legal Committee, memang dibutuhkan instrumen hukum yang sifatnya lebih tepat berupa bilateral atau regional. Dalam hal ini, untuk wilayah ASEAN dapat mengacu pada konvensi Wilayah Artik sebagai referensi. Konvensi tersebut fokus pada kerjasama antar negara, misalnya terkait joint inquiry, joint investigation, focal point sebagai 71
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
sarana pertukaran informasi, serta koordinasi dalam pelaksanaan tindakan darurat bersama. Konvensi tersebut tidak membahas mengenai elemen pertanggung jawaban perdata, yang merupakan materi muatan yang berbeda.
Referensi Agreement on Cooperation on Marine Oil Pollution Preparedness and Response in the Arctic, (2013) Balkin, Rosalie. “Is there a place for the regulation of offshore oil platforms within international maritime law? If not, then where?, Comitè Maritime International Dublin Symposium, 2013 Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, Proses Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor. Agustus 2014 Government of Indonesia. Claims for Pollution Compensation in Timor Sea. 2010 International Maritime Organization (IMO), Ongoing Discussion at IMO on Matters Concerning Liability and Compensation for Oil Pollution Damage Resulting from Offshore Exploration and Exploitation Activities, Medexpol 2013 Workshop on the Regional Response Capacity and Coordination to Major Oil Spill in the Mediterranean Sea, 5 December 2013. Montara Commission of Inquiry of the Australian Government. Report of the Montara Commission Inquiry,.Juni 2010. Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor. Laporan Perkembangan Tuntutan Ganti Rugi Akibat Pencemaran di Laut Timor Akibat Tumpahan Minyak. Januari 2012
72
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Scicluna, Nikita. A Legal Discussion on the Civil Liability for Oil Pollution Damage resulting from Offshore Oil Rigs in the light of the recent Deepwater Horizon incident. 1st Offshore Protocol Working Group Meeting Valletta, Malta, 13-14 Juni 2013 AS, Gard. MARPOL Annex I, Regulations for the Prevention of Pollution by Oil (April 2010).
73
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
KEBEBASAN MENGAKSES INTERNET SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA: SELAYANG PANDANG INDONESIA DAN NEGARA ASEAN LAINNYA AP Edi Atmaja
Abstract Internet was a technology that served information sharing quickly. However, many dictatorial countries restricted citizen access of the internet. On June 1, 2011, some international organizations consist of The United Nations (UN) Special Rapporteur on Freedom of Opinion and Expression, the Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) Representative on Freedom of the Media, and the Organization of American States (OAS) Special Rapporteur on Freedom of Expression proclaimed a joint declaration to resolute that freedom to access to the internet was one of human rights. The right of freedom to access to the internet consist of two forms of human right that was guaranteed on international law instrument: freedom of expression and freedom of information. In ASEAN, freedom of expression varies from one country to another. Keywords: Freedom to Access to the Internet; Human Rights; International Law
74
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
I. PENDAHULUAN
Internet merupakan teknologi yang lahir berkat persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet selama Perang Dingin,78 yang menawarkan perguliran informasi dengan luar biasa cepat dan pesat. Internet beserta perangkat teknologi pendukungnya seolah-olah telah menjadikan dunia nyaris tanpa batas (borderless). Namun, negara-negara seperti China, Myanmar, Korea Utara, dan sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika membatasi akses warga negara terhadap internet dengan paranoia tingkat tinggi. Reporters Without Borders, organisasi nonpemerintah yang peduli pada kebebasan akses internet dan berpusat di Paris, Prancis, melaporkan bahwa junta militer Myanmar menerapkan kecepatan koneksi (speed connection) sangat rendah supaya rakyat tak bisa mengunggah (upload) dan berbagi-pakai video. Kecepatan koneksi 512 kb per detik yang idealnya hanya untuk 1 komputer dipakai buat 10-15 komputer. Google Talk, aplikasi obrolan (chatting), yang memungkinkan terjadi pertukaran gagasan, tak bisa berfungsi dengan kecepatan seminim itu. Reporters Without Borders juga mencatat, junta militer sangat resisten terhadap
78
Dalam persaingan itu, Amerika Serikat lebih fokus pada penggarapan teknologi internet, sementara Uni Soviet (sekarang Rusia) mengembangkan teknologi ruang angkasa (air-space). Lihat Johnny Ryan, A History of the Internet and the Digital Future (London: Reaktion Books, 2010), hal. 45.
75
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
penyedia layanan surat elektronik (e-mail). Yahoo dan Hotmail, kedua di antaranya, diblokir dari negara itu dan tak bisa diakses.79 Internet terbukti memiliki pengaruh yang demikian besar dalam perkembangan dunia sehingga pada 16 Mei 2011, telah digulirkan dalam Sidang Ketujuhbelas Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan BangsaBangsa (PBB) sebuah laporan dari pelapor khusus (special rapporteur), Frank La Rue, mengenai perlindungan atas kebebasan berpendapat dan berekspresi di internet.80 Dalam laporannya beberapa negara telah melakukan pembatasan, manipulasi, dan sensor terhadap konten yang tersebar melalui internet tanpa dasar hukum, atau berdasarkan hukum yang sarat ambiguitas, dan tanpa menunjukkan alasan-alasan mengapa tindakan tersebut dilakukan.81 Laporan setebal 22 halaman itu pun lantas ditindaklanjuti oleh sebuah deklarasi82 yang dicetuskan bersama antara The United Nations (UN) Special Rapporteur on Freedom of Opinion and Expression, the Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) Representative on Freedom of the Media, the Organization of American States (OAS) Special Rapporteur on Freedom of Expression, dan the African Commission on Human and Peoples’ Rights (ACHPR) Special Rapporteur on Freedom of Expression and Access to Information yang
79
New Media Desk, Enemies of the Internet/Country under Surveillance (Paris: Reporters Without Borders, 2010). 80 Laporan ini bernomor A/HRC/17/27. 81 A/HRC/17/27, paragraf 26, hal. 8. 82 Sebuah deklarasi bersama (joint declaration) bertanggal 1 Juni 2011.
76
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
merumuskan bahwa kebebasan mengakses internet merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM). Ketika berbicara mengenai kebebasan mengakses internet, maka tak akan dapat disangkal juga akan menyinggung hak atas kebebasan berekspresi dan informasi. Mengakui hak atas kebebasan berekspresi dan informasi sebagai salah satu HAM berarti juga mengakui kebebasan mengakses internet. Hak atas kebebasan berekspresi dan informasi termaktub dalam Pasal 19 Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights/UDHR, 1948), yang berbunyi: “Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.” Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR, 1966)83 juga mengatur soal hak atas kebebasan berekspresi dan informasi, yang menyatakan: “(1) Everyone shall have the right to hold opinions without interference. (2) Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.”
83
Diratifikasi oleh Pemerintah RI melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
77
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Hak atas kebebasan berekspresi dan informasi dikategorikan sebagai HAM yang pemenuhannya dapat dibatasi (derogable rights).84 Kendati demikian, menurut Rahayu,85 dengan mengutip Pasal 29 ayat (2) UDHR, hak-hak dan kebebasan asasi manusia hanya dapat dibatasi dengan undang-undang dengan tujuan untuk menghormati hak-hak dan kebebasan asasi orang lain, moralitas, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum di dalam masyarakat yang demokratis. Pembatasan juga dapat dilakukan, misalnya, dalam rangka mempromosikan kesejahteraan umum (general welfare) dalam masyarakat demokratis, atas dasar alasan keamanan nasional (national security), atau dalam keadaan darurat yang sah (officially
proclaimed
public
emergencies)
yang
membahayakan
kehidupan bangsa. Internet sesungguhnya sudah lama digunakan sebagai sarana terakhir tetapi efektif oleh para pegiat demokrasi dan HAM di Indonesia di tengah represi penguasa Orde Baru. Tatkala pemberedelan demi pemberedelan surat kabar dan sensor televisi dengan gencar dilakukan oleh rezim Orde Baru, dengan tujuan untuk membendung arus informasi dari dan kepada
84
HAM terdiri dari dua macam: derogable rights dan non-derogable rights. Nonderogable rights muncul dari hak-hak alami (natural rights), yang asali dan tidak dapat dibatasi pemenuhannya, yang terdiri dari tujuh macam hak. Penjelasan lebih lanjut tentang ini bisa ditemukan dalam Rahayu, “Globalisasi dan Kesadaran Hak Asasi Manusia”, Naskah Presentasi pada Matrikulasi Mahasiswa Baru Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (Semarang, 29 Desember 2011). 85 Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010), hal. 28.
78
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
rakyat, internet nyaris tak tersentuh karena belum berkembang secara signifikan, sehingga rezim Orde Baru pun tidak perlu secara khusus mengeluarkan peraturan yang membatasi konten internet. Setelah Orde Baru tumbang dan seiring dengan bergulirnya era globalisasi, arus informasi menjadi tak terbendung lagi. Beragam media, baik cetak maupun elektronik, bermunculan. Internet pun menjadi wahana baru dalam agenda penyebaran informasi itu. Dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 240 juta jiwa, Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Kalau dibandingkan dengan negara-negara lain, jumlah pengguna internet di Indonesia termasuk cukup besar. Menurut data World Bank, pada 2010 Indonesia menempati peringkat ke-20 dunia, peringkat ke-7 Asia, dan peringkat ke-2 Asia Tenggara dengan jumlah pengguna internet sebanyak 21.828.255 atau 9,1 per 100 orang.86 Data yang berbeda disajikan Internet World Stats, yang menyebutkan bahwa per 30 Juni 2011, Indonesia masuk dalam Top 20 Countries with the Highest Number of Internet Users dengan pengguna internet mencapai 39.600.000 orang.87 Jumlah ini menempatkan Indonesia
The World Bank, “Internet Users (per 100 People)”, dalam http://data.worldbank.org/indicator/IT.NET.USER.P2/countries?display=default (diakses 1 Februari 2012). 87 Internet World Stats, “Top 20 Countries with the Highest Number of Internet Users”, dalam http://www.internetworldstats.com/top20.htm (diakses 1 Februari 2012). 86
79
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
pada urutan ke-11 dari negara-negara seluruh dunia atau menempati urutan ke-4 Asia, di bawah China, India, dan Jepang.88 Waspada terhadap kian bergeliatnya teknologi internet beserta pengaksesnya, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, menyiapkan sejumlah peraturan untuk menampung beragam perkembangan jenis dan model informasi. Salah satunya adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Undang-undang ini, selain menjadi pertanda berubahnya orientasi, model, dan sistem informasi di Indonesia, juga menandai kembalinya pembatasan negara atas informasi, termasuk informasi yang diterima melalui internet.
II. PEMBAHASAN
A. Kebebasan Mengakses Internet sebagai HAM David T Hill dan Krishna Sen mengatakan bahwa internet telah mematahkan dikotomi serius antara media dan demokrasi. Media konvensional, dalam bentuk cetakan ataupun siaran (broadcast), memungkinkan terjadinya kontrol monopolistik dari perusahaan dan
Internet World Stats, “Asia Top Internet Countries: March 31, 2011”, dalam http://www.internetworldstats.com/stats3.htm#asia (diakses 1 Februari 2012). 88
80
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
pemilik media yang bersangkutan, sehingga pada akhirnya mampu “to set the political agenda of nations”.89 Hal ini menimbulkan ketidaksetaraan besar antara produsen dan konsumen produk media, karena konsumen adalah pihak yang senantiasa dicekoki kepentingan produsen dan menjadi pihak yang selalu pasif atas informasi. Tentu saja praktik semacam ini mematikan demokrasi, yang menganggap bahwa kesetaraan adalah sesuatu yang
esensial.90
Namun,
internet
telah
berhasil
mematahkan
ketidaksetaraan tersebut. Setiap konsumen selalu berlaku sekaligus sebagai produsen. Di internet, semua orang bebas memproduksi tulisan atau gambar macam apa pun yang bisa dinikmati konsumen lain. Inilah esensi demokrasi itu, menurut David T Hill dan Krishna Sen.91 Internet juga menawarkan beragam kesempatan untuk menciptakan komunitas virtual yang memungkinkan setiap orang berbagi segala hal tentang kehidupan dan keyakinan mereka. Organisasi-organisasi di dunia nyata pun turut membangun jaringan di komunitas virtual itu guna mempererat hubungan yang telah terjalin di dunia nyata. Kini, amat sukar mendeskripsikan mana paguyuban (masyarakat), mana patembayan (golongan) di komunitas-komunitas semacam itu.92 Jejaring sosial seperti
David T Hill dan Krishna Sen, The Internet in Indonesia’s New Democracy (Oxon: Routledge, 2005), hal. 8. 90 AP Edi Atmaja, “Mengkaji Ulang Demokrasi Kita”, dalam Suara Merdeka, 26 Februari 2011 (Rubrik Kampus). 91 David T Hill dan Krishna Sen, op. cit., hal. 10. 92 Paguyuban (gemeinschaft) dan petembayan (gesellschaft) pertama kali dikemukakan oleh Ferdinand Tonnies ketika membicarakan soal kelompok-kelompok sosial. 89
81
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Facebook, Twitter, dan MySpace memperkenankan banyak orang untuk menciptakan jatidiri baru yang hanya dikenal di komunitas virtualnya, sehingga menjadi semacam ‘kehidupan kedua’. Beberapa teoretikus seperti Kalathil dan Boas, Tim Beal, AP D’Costa, Trevor Locke, dan tentu saja David T Hill dan Krishna Sen bersinyalemen bahwa demokrasi virtual lebih digdaya ketimbang demokrasi ‘biasa’ di dunia nyata. Warga maya (cybercitizen) dari komunitas-komunitas virtual bisa membangun interaksi dan pemerintahan-sendiri (self-governance) yang lebih bermakna ketimbang aktivitas rekan-rekan mereka pegiat demokrasi di dunia nyata. Tatkala demokrasi ‘biasa’ di dunia nyata susah diidealkan, apalagi diwujudkan, internet dan beragam produk teknologi informasi lain merealisasikan kemungkinan demokrasi yang diharapkan semua orang.93 Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika pada 16 Mei 2011, menyatakan dalam laporannya bahwa dalam hal memperluas kebebasan individu untuk berekpresi, internet telah mendorong pembangunan ekonomi, sosial, dan politik serta berkontribusi terhadap kemajuan umat manusia secara
Paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang bersifat murni, alamiah, dan kekal. Sementara patembayan merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu pendek, bersifat sebagai bentuk dalam pikiran (imajiner) belaka, serta berstruktur mekanis seumpama mesin. Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 116-117. 93 David T Hill dan Krishna Sen, op. cit., hal. 8.
82
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
94
keseluruhan. Hal ini berarti bahwa internet memainkan peran yang amat penting dalam peradaban manusia masa kini.
1. Kebebasan berekspresi di internet Kebebasan berekspresi memainkan peran yang amat penting dalam telaah hukum terhadap internet. Pakar kebebasan berbicara Dawn C. Nunziato menulis bahwa internet telah terkonseptualisasi sedemikian rupa menjadi semacam forum untuk kebebasan berekspresi dengan potensi nyaris tak terbatas bagi setiap individu guna mengekspresikan dirinya dan menerima ekspresi dari individu lain.95 Meski cenderung berlebihan, pernyataan tersebut agaknya kian mengejawantah belakangan ini. Forumforum dunia maya bermunculan dan semakin berkembang: dari yang hanya bisa berkirim teks dan gambar menjadi forum-forum yang menyediakan peranti pesan suara dan video. Bukan tidak mungkin di masa depan, para pecandu internet bisa saling meraba dan membau, sehingga lengkaplah pancaindera manusia terfasilitasi oleh internet. Hak atas kebebasan berekspresi (right to freedom of expression), secara hukum internasional, diatur dalam UDHR dan ICCPR. Secara khusus, Pasal 19 UDHR, Pasal 19 ayat (1) dan (2) ICCPR, dan Pasal 13 ayat (1) Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the
94
A/HRC/17/27, op. cit., paragraf 67, hal. 19. Antonio Segura-Serrano, “Internet Regulation and the Role of International Law”, dalam A. von Bogdandy and R. Wolfrum (ed.), Max Planck Yearbook of United Nations Law Volume 10, (Netherlands: Koninklijke Brill, 2006), hal. 261. 95
83
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Child/CRC, 1989)96 menjamin seorang individu atas hak menyatakan pendapat dan bebas berekspresi tanpa gangguan. Pengakuan dan pengaturan terhadap kebebasan berekspresi meniscayakan kebebasan untuk mencari (to seek), menerima (to receive), dan menyampaikan (to impart) informasi dengan cara apa pun. Dengan demikian, hak atas kebebasan berekspresi kemudian melahirkan hak atas informasi. Negara yang tak mengizinkan rakyatnya mengakses internet adalah negara yang merugi sebab internet memiliki potensi untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat. Jurang kesejahteraan yang teramat dalam di antara negara-negara di dunia tentu bisa diatasi dengan internet. Apabila setiap orang mau belajar dengan memanfaatkan potensi internet sebesar-besarnya, tak akan dapat disangkal, mereka akan memiliki intelektualitas yang melebihi generasi sebelumnya. Intelektualitas yang demikian ini disebut intelektualitas virtual, yakni intelektualitas yang lahir berkat dunia virtual.97
2. Pembatasan akses internet: petaka di Abad Informasi? Pembahasan mengenai internet sebagai produk virtual Abad Informasi atau Abad Digital mengantarkan pada pembahasan mengenai perlunya memberlakukan regulasi khusus di dalam internet. Konten-konten yang
96
Diratifikasi Pemerintah RI melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. AP Edi Atmaja, “Buku Digital dan Intelektualitas Virtual”, dalam Riau Pos, 18 Februari 2012 (Rubrik Opini). 97
84
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), pornografi, terorisme, perdagangan elektronik (e-commerce), dan kejahatan dunia maya (cybercrime) adalah wacana-wacana mutakhir di seputar internet yang terkadang melintas batas yurisdiksi nasional suatu negara, sehingga penyelesaiannya menuntut lebih dari sekadar hukum nasional. Ada tiga pendapat mengenai perlukah diberlakukan regulasi khusus di dalam internet.98 Pertama, kelompok libertarian. Kelompok ini meliputi sebagian besar sarjana yang bergelut di bidang isu-isu dunia maya, khususnya para sarjana Amerika Serikat. Menurut kelompok ini, internet tak akan bisa dan tak seharusnya diatur oleh siapa pun. Internet harus bebas dari campur-tangan negara sehingga pengaturan internet oleh negara sangatlah tak mungkin dan sia-sia. Pada gilirannya, kelompok ini terpecah menjadi dua, yakni (1) kelompok yang betul-betul ingin membebaskan internet dari peraturan macam apa pun dan (2) kelompok yang menghendaki dibentuknya suatu peraturan-sendiri (self-regulation) dari para pengguna internet (net citizen/netizen). Kedua, kelompok tradisionalis. Kelompok ini menganggap bahwa internet seharusnya diatur oleh institusi hukum dan politik suatu negara. Negara, yang berdasar atas pemerintahan yang terpilih secara sah melalui mekanisme hukum, memperoleh legitimasi demokratisnya sehingga berhak mencanangkan mekanisme tertentu yang diperlukan guna mengatur internet dan menegakkan regulasi tersebut. Kelompok ini bersepakat,
98
Antonio Segura-Serrano, op. cit., hal. 194-200.
85
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
mengatur dunia maya sama saja dengan mencegah terjadinya kekacauan akibat ketiadaan hukum di ruang virtual itu. Internet dianggap semata-mata sebagai produk teknologi komunikasi dan bukan ruang fisik yang berbeda dari dunia nyata, yang memiliki yurisdiksi sendiri. Ketiga, kelompok moderat. Kelompok ini mencoba melakukan pencampuran regulasi antara peraturan nasional dan peraturan-sendiri untuk menciptakan regulasi dunia maya (cyberspace regulation). Regulasi hibrida ini diyakini bakal menjamin kepastian, kelenturan, dan penegakan yang diperlukan terkait dengan regulasi internet sebagai sebuah sistem hukum. Oleh sebab itu, penegakan hukum internet mesti memperhatikan hukum nasional, peraturan-sendiri, dan hukum internasional. Penegakan hukum internasional saja tidak cukup sehingga diperlukan harmonisasi atas ketiga jenis peraturan tersebut. Terjadinya
kesimpangsiuran
dalam
soal
pengaturan
internet
sebagaimana terpapar dari ketiga pandangan yang berlainan tersebut seakan-akan menjadikan pembatasan akses internet yang dilakukan oleh beberapa negara menemukan pembenarannya. Peran hukum nasional yang terlampau besar dipastikan akan mengurangi kebebasan berekpresi di ruang-maya. Penyensoran media konvensional, baik dalam rupa cetakan maupun siaran, acapkali digunakan sebagai alat rezim otoritarian. Oleh sebab itu, internetlah ruang yang masih tersisa bagi para aktivis untuk melakukan kegiatannya. David T Hill dan Krishna Sen menunjukkan dua jalan 86
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
bagaimana para aktivis mempergunakan model baru komunikasi itu, yakni dengan menggunakan surat elektronik dan situs-situs berita yang tak berhasil disensor pemerintah.99 Menurut Frank La Rue,100 pembatasan akses internet memiliki enam macam bentuk, antara lain pemblokiran dan penyaringan konten internet secara sewenang-wenang, kriminalisasi pengguna internet, pembebanan tanggung jawab kepada pihak perantara, pemutusan akses internet dari pengguna karena melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI), serangan maya (cyber-attack), dan ketiadaan perlindungan terhadap hak atas diri pribadi dan data.
a. Pemblokiran dan penyaringan konten internet secara sewenang-wenang Pemblokiran dan penyaringan konten internet secara sewenangwenang meliputi pencegahan pengguna kala mengakses situs tertentu, alamat protokol internet (internet protocol/IP),101 nama domain (domain name)102 tertentu, mencabut situs dari penyedia hosting103, dan
99
David T Hill dan Krishna Sen, op. cit., hal. 10. A/HRC/17/27, op. cit., hal. 20-22. 101 Protokol internet adalah protokol lapisan jaringan (network layer dalam OSI Reference Model) atau protokol lapisan internetwork (internetwork layer dalam DARPA Reference Model) yang digunakan oleh protokol TCP/IP untuk melakukan pengalamatan (addressing) dan routing paket data antar-host di jaringan komputer berbasis TCP/IP. 102 Nama domain adalah nama unik yang diberikan untuk mengidentifikasi nama server komputer seperti web server atau e-mail server di jaringan komputer ataupun internet. Nama domain berfungsi untuk mempermudah pengguna internet pada saat melakukan akses ke server, selain juga dipakai untuk mengingat nama server yang dikunjungi tanpa 100
87
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
penggunaan teknologi penyaringan untuk membuat suatu laman menjadi tak lagi bisa dilihat. Pemblokiran dan penyaringan konten internet kerap dilakukan untuk menghalangi pengguna internet tatkala mengakses atau menyebarkan informasi mengenai peristiwa politik tertentu, seperti pemilihan umum atau perayaan hari jadi partai politik. Tujuan pemblokiran tersebut di antaranya supaya partai oposisi pihak penguasa tidak memperoleh dukungan karena keterputusan akses dengan rakyat. Dengan semakin sedikitnya dukungan kepada oposisi, pihak penguasa lebih mudah mendominasi dalam kontestasi perpolitikan negara.
b. Kriminalisasi terhadap pengguna internet Kriminalisasi terhadap pengguna internet merupakan gejala baru yang kini menguat di beberapa negara. Pemerintah negara-negara tertentu melakukan penahanan kepada siapa pun yang mencari, menerima, atau menyampaikan informasi yang sensitif
secara politis via internet.
harus mengenal deretan angka yang rumit yang dikenal sebagai alamat IP. Nama domain kadang-kadang disebut pula dengan istilah URL (uniform resource locator). 103 Hosting, atau biasa disebut sebagai web-hosting, adalah layanan penyewaan ruang simpan data (space) yang digunakan untuk menyimpan data situs web agar laman tersebut bisa diakses dari mana saja. Data web tersebut meliputi file-file HTML, PHP script, CGI script, CSS, image, database, dan file lain yang dibutuhkan untuk menampilkan laman. Selain menyimpan file-file tersebut, biasanya web-hosting juga memberikan fasilitas surat elektronik.
88
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Berdasarkan laporan Reporters Without Borders, pada 2010, terhitung 109 narablog dipenjara lantaran konten ekspresi daring (blog) mereka.104 Kriminalisasi
dan
penahanan
terhadap
pengguna
internet
sesungguhnya bisa dijustifikasi melalui Pasal 19 ayat (3) ICCPR, yang menyatakan: “The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary: (a) For respect of the rights or reputations of others; (b) For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals.” Namun, menurut Frank La Rue,105 alasan keamanan nasional (national security) tak bisa dengan begitu saja digunakan pemerintah buat membatasi hak atas kebebasan berekspresi, kecuali pemerintah dapat membuktikan bahwa (1) ekspresi itu diniatkan untuk menghasut terjadinya kekerasan, (2) ekspresi itu berupa hasutan yang rentan menimbulkan kekerasan, dan (3) ada hubungan langsung antara ekspresi itu dan kemungkinan terjadinya kekerasan.
104 105
A/HRC/17/27, op. cit., paragraf 35, hal. 10. A/HRC/17/27, op. cit., paragraf 36, hal. 11.
89
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
c. Pembebanan tanggung jawab kepada pihak perantara Pengguna internet dapat mengakses internet hanya melalui fasilitas yang disediakan pihak perantara. Portal106 daring seperti Wordpress dan portal surat elektronik seperti Gmail adalah contoh pihak perantara yang menyediakan wahana yang bisa dimanfaatkan oleh para narablog dan setiap pengguna internet untuk mengekspresikan dirinya atau menjalin komunikasi dengan pengguna internet lain. Salah satu keunikan internet adalah negara tidak selalu menjadi pengendali dan pengawas internet yang utama, dan internet dapat dikendalikan semata-mata oleh pihak perantara yang berbentuk badan usaha privat. Penyedia layanan internet (internet service provider)107 adalah contoh lain pihak perantara yang memungkinkan terjadinya transmisi konten internet di antara pengguna internet. Jika penyedia layanan internet sudah tidak beroperasi, maka pengguna internet tak bisa lagi mengakses internet. Pembebanan tanggung jawab kepada pihak perantara dalam soal pembatasan akses internet berkisar pada tiga hal. Pertama, pembatasan internet bisa saja dilakukan oleh pihak perantara berdasarkan kepentingan mereka sendiri. Kedua, pihak perantara dapat digunakan sebagai alat
106
Portal adalah sebutan lain untuk situs web. ISP adalah perusahaan atau badan yang menyediakan jasa sambungan internet dan jasa terkait lain. Kebanyakan perusahaan telepon merupakan penyedia layanan internet. Mereka menyediakan jasa seperti hubungan ke internet, pendaftaran nama domain, dan hosting. 107
90
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
negara untuk melakukan pembatasan akses internet terhadap penggunanya. Ketiga, pihak perantara bisa juga menjadi korban dari pembatasan internet yang dilakukan oleh negara. Adalah sebuah kewajaran manakala otoritas negara justru menerbitkan kebijakan yang isinya memerintahkan pihak perantara supaya membatasi konten internet tertentu.Beberapa negara bahkan memerkarakan pihak perantara ke pengadilan karena memuat konten internet yang dinilai merugikan kepentingan negara yang bersangkutan. Contoh kasus pemerkaraan pihak perantara terjadi di Italia. Tiga orang pimpinan tinggi Google dinyatakan bersalah oleh pengadilan atas pemuatan video yang menyinggung kebijakan pemerintah Italia.108 Padahal, video tersebut diunggah oleh seorang pengguna internet, sementara Google hanya memfasilitasi pengunggahan video tersebut.
d. Pemutusan akses internet dari pengguna karena melanggar hak atas kekayaan intelektual Pemutusan akses internet dari pengguna karena melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) diwujudkan dengan cara mengawasi lalu lintas internet dengan kontrol “on-off” tersentralisasi. Dengannya, pengguna internet bisa terputus dari sambungan internet ketika terbukti melanggar HAKI yang berlaku di negara yang bersangkutan.
108
A/HRC/17/27, op. cit., paragraf 40, hal. 12.
91
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Kemunculan internet telah menyebabkan banyak pengarang, pencipta lagu,
pekerja
seni,
dan
industri
bangkrut.
Teknologi
internet
memungkinkan banyak pembajakan atas karya digital tersebar dengan bebas, melampaui batas hukum nasional dan internasional yang mengatur HAKI. Lagu, film, dan karya-cipta lain yang sebelumnya memiliki hak cipta dan berbiaya bisa diunduh dengan mudah dan gratis melalui internet. Perlindungan HAKI tersebut bisa dijadikan dalih pemerintah untuk memutus pengguna dari akses internet.
e. Serangan maya Serangan maya (cyberattack) adalah upaya untuk merusak atau memberangus fungsi sistem komputer dengan tindakan seperti meretas (hacking)109 jaringan komputer dalam bentuk serangan distributed denial of service (DDoS).110 Serangan itu pada akhirnya akan mengakibatkan situs sasaran menjadi rusak dan tak bisa diakses untuk beberapa waktu.
109
Meretas adalah tindakan mengoperasikan, mengendalikan, dan menguasai komputer, yang mencakup segala aspek, meliputi tingkat dasar sampai tingkat tertinggi, baik dalam komputerisasi dasar, pemrograman dasar, maupun jaringan yang sangat rumit. Peretas (hacker) sering dianggap sebagai pelanggar hukum lantaran perbuatannya dinilai ilegal. 110 Distributed denial of service (DDoS) adalah serangan terhadap sebuah komputer atau server di dalam jaringan internet dengan cara menghabiskan sumber (resource) yang dimiliki oleh komputer tersebut sampai komputer tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan benar, sehingga secara tidak langsung mencegah pengguna lain untuk memperoleh akses layanan dari komputer yang diserang tersebut.
92
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
f. Ketiadaan perlindungan terhadap hak atas diri pribadi dan data Ketiadaan perlindungan terjadi ketika negara tidak memberi fasilitas yang memadai bagi setiap pengguna internet untuk bersikap sebagai sosok yang anonim. Internet memberi kemungkinan kepada setiap orang untuk mengakses informasi dan mengikuti percakapan dunia maya tanpa harus menerakan jati diri otentiknya. Namun, pada saat yang sama, internet juga memungkinkan negara memonitor dan mengumpulkan informasi mengenai kegiatan dan komunikasi individu di internet. Praktik tersebut, apabila disalahgunakan oleh negara, tentu saja melanggar hak atas pribadi seseorang dan melenyapkan rasa aman dan percaya diri pengguna internet. Hal itu pada gilirannya bakal menghambat arus informasi dan pertukaran gagasangagasan di internet, yang akan timbul hanya jika para penggunanya merasa aman dan percaya diri.
B. Selayang Pandang Indonesia dan Negara ASEAN Lainnya Freedom House,111 organisasi nirlaba yang berpusat di Washington DC, Amerika Serikat, dalam laporan terkininya, Freedom on the Net 2011:
111
Organisasi yang mendukung perubahan demokratis, mengawasi kebebasan, dan melakukan penyuluhan terhadap demokrasi dan hak asasi manusia ini didirikan pada 1941 di New York City oleh Wendell Willkie, Eleanor Roosevelt, George Field, Dorothy Thompson, Herbert Bayard Swope, dan lain-lain, yang terdiri dari elemen wartawan, pengusaha dan pemimpin buruh, akademisi, dan bekas pejabat pemerintah. Lihat lebih
93
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
A Global Assessment of Internet and Digital Media, menempatkan peringkat kebebasan internet di Indonesia pada peringkat ke-18 dari 37 negara. Dari penelitian tersebut diperoleh bahwa Indonesia merupakan negara yang ‘belum bebas’ (partly free) dengan skor 46. Faktor-faktornya meliputi (1) penghambatan akses, sebanyak 14 kasus; (2) pembatasan konten, sebanyak 13 kasus; dan (3) pelanggaran terhadap hak-hak pengguna, sebanyak 19 kasus. Di antara negara-negara di Asia, tingkat kebebasan Indonesia berada di peringkat ke-4 di bawah Korea Selatan (skor 32), India (skor 36), dan Malaysia (skor 41) yang sama-sama disebut sebagai negara yang belum ada kebebasan akses internet. Di antara negara-negara anggota Association of South East Asia Nations (ASEAN), Indonesia berada di peringkat ke-2 di bawah Malaysia (belum bebas, skor 41) serta di atas Thailand (tidak bebas, skor 61), Vietnam (tidak bebas, skor 73), dan Myanmar (tidak bebas, skor 88).112 Bagian ini coba memaparkan sebagian (kecil) kasus pembatasan akses terhadap internet yang terjadi di Indonesia sejumlah negara ASEAN lainnya. Selain kasus-kasus yang menunjukkan keterlibatan negara, bagian
lanjut Freedom House, “Our History”, dalam http://www.freedomhouse.org/content/ourhistory (diakses 29 Februari 2012). 112 Sanja Kelly dan Sarah Cook (ed.), Freedom on the Net 2011: A Global Assessment of Internet and Digital Media, (Washington DC: Freedom House, 2011).
94
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
ini juga ingin menjelaskan kasus-kasus yang didalangi oleh aktor nonnegara. 1. Kasus film “Fitna” Pada
2
April
2008,
Menteri
Komunikasi
dan
Informatika
(Menkominfo) saat itu, Muhammad Nuh, melayangkan surat edaran bernomor 84/M-Kominfo/04/08 kepada Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), 146 ISP, dan 30 NAP Network Access Provider (NAP). Surat dengan klasifikasi sangat segera tersebut berisi permintaan pemerintah untuk menutup blog dan situs yang memuat film “Fitna” yang disutradarai Geert Wilders.113 Bagi penyedia layanan internet yang tidak mematuhi surat itu, Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, mengancam akan mencabut izin.114 Dalam surat edarannya, Menkominfo beralasan bahwa Fitna disinyalir dapat mengakibatkan gangguan hubungan antarumat beragama dan
113
Geert Wilders adalah seorang politikus Belanda. Ibunya seorang Indo (campuran pribumi Indonesia dan Belanda) generasi ketiga yang lahir di Sukabumi, Jawa Barat. Pada 2004, ia membentuk Partai Kebebasan (Partij voor de Vrijheid/PVV). Haluan politik Wilders adalah kanan nasionalis yang liberal. Ia juga dikenal anti-Islam dan anti-imigran. Wilders pernah menyuarakan usulan agar pemerintah Belanda melarang al-Quran. 114 Tri Wahono, “Cegah Fitna, XL Blokir Empat Situs”, dalam http://tekno.kompas.com/read/2008/04/07/14485017/cegah.fitna.xl.blokir.empat.situs (diakses 2 Maret 2012).
95
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
harmoni antarperadaban pada tingkat global.115 Akibat pelayangan surat edaran tersebut, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), PT Excelomindo Pratama (XL), BigNet, D-Net, FastNet, dan penyedia layanan internet lain menutup akses terhadap situs-situs seperti YouTube, MySpace, Metacafe, Multiply, dan Rapidshare. Kebijakan Menkominfo tersebut pada akhirnya mendapat protes dari masyarakat. Masyarakat mendesak agar pemerintah segera mencabut pemblokiran karena pemblokiran itu dalam praktiknya tidak hanya dilakukan terhadap konten yang menampilkan “Fitna”, melainkan terhadap seluruh konten situs yang sebenarnya bermanfaat. Menkominfo kemudian mengubah kebijakannya dengan mencabut pemblokiran terhadap sejumlah situs, kendati tanpa melalui suatu proses hukum yang jelas. Kasus yang terjadi beberapa hari sebelum diundangkannya UU ITE116 tersebut patut ditelaah secara kritis. UU ITE jelas tak bisa digunakan untuk menelaah secara yuridis kasus tersebut. Namun, Pasal 19 UDHR dengan cukup jelas menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan dengan cara apa pun dan tanpa memandang batas-batas. Pasal 19 ayat (1) dan ayat
Tempo Interaktif, “Telkom Blokir Film Fitna”, dalam http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2008/04/08/brk,20080408-120716,id.html (diakses 2 Maret 2012). 116 UU ITE disahkan sekaligus dianggap berlaku sejak 21 April 2008. 115
96
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
(2) ICCPR menegaskan bahwa informasi tersebut bisa dalam wujud lisan, tulisan, cetakan, karya seni, ataupun media lain seperti internet. Bahkan, Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) merumuskan hak tersebut secara lebih luas, yakni bahwa negara menjamin bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya dan setiap orang berhak pula mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Pasal 13 UU HAM menambahkan bahwa setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya. Dengan mengacu pada pasal-pasal di atas dan Pasal 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), film “Fitna” bisa dikatakan sebagai informasi, yang merupakan hak setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikannya dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia, termasuk internet. Namun, harus pula diperhatikan rumusan Pasal 29 ayat (2) UDHR, Pasal 19 ayat (3) butir (a) dan (b) ICCPR, dan Pasal 20 ICCPR yang merumuskan beberapa batasan yang bisa meniadakan hak atas informasi. Pertama, hak atas informasi hanya dapat dibatasi dengan tujuan untuk menghormati hak-hak dan kebebasan asasi orang lain, moralitas, ketertiban 97
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
umum, dan kesejahteraan umum di dalam masyarakat yang demokratis. Kedua, pembatasan juga dapat dilakukan dalam rangka mempromosikan kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratis, alasan keamanan nasional, atau dalam keadaan darurat sah yang membahayakan kehidupan bangsa. Ketiga, pembatasan bisa dilakukan untuk menghormati nama baik orang lain. Keempat, pembatasan hak atas informasi juga dapat dilakukan apabila informasi memuat ekspresi kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Dengan mengacu pada seluruh saripati instrumen hukum internasional dan nasional di atas, dapat disimpulkan bahwa surat edaran yang dikirim Menkominfo
kepada
para
penyedia
layanan
internet
tersebut
sesungguhnya sudah tepat. Film yang disutradarai oleh Geert Wilders itu dengan sangat gamblang mengandung muatan SARA, yang menjadikan agama Islam dan Al-Quran sebagai sasaran kebencian. Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon, juga mengutuk penayangan “Fitna” dengan alasan tersebut. Persoalan menjadi lain ketika surat edaran yang dikirim Pemerintah tersebut ditanggapi penyedia layanan internet dengan salah kaprah. Maksud Pemerintah adalah hanya memblokir laman yang memuat film, bukan
keseluruhan
situs
web.
Memblokir
http://sastrakelabu.wordpress.com/20-12/01/21/para-aktivis-kampusngebloglah, 98
misalnya,
tidak
sama
dengan
memblokir
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
http://sastrakelabu.wordpress.com,
atau
induk
web-nya,
http://wordpress.com. Karena bisa jadi “Fitna” hanya terpasang di laman http://sastrakelabu.wordpress.com/2012/01/21/para-aktivis-kampusngebloglah,
bukan
di
http://sastrakelabu.wordpress.com
ataupun
http://wordpress.com. Dengan demikian, merupakan kekeliruan tatkala penyedia layanan memblokir secara keseluruhan situs YouTube, MySpace, Metacafe, Multiply, dan Rapidshare. Sebab, situs YouTube dan lain-lain tidak hanya mengandung konten “Fitna”. Ada beragam informasi yang terdapat di situs tersebut, yang memiliki tingkat kemanfaatannya tersendiri untuk masyarakat. Di sinilah letak permasalahan yang membuat masyarakat menyayangkan kebijakan pemerintah. Letak pelanggaran terhadap Pasal 19 UDHR, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) ICCPR, Pasal 28 F UUD NRI 1945, dan Pasal 14 UU HAM adalah bahwa pembatasan hak atas informasi semestinya sesuai proporsi. Sebagaimana dinyatakan Paragraf 4 General Comment No. 10 Freedom of Expression, Article 19, Nineteenth Session, 1983, bahwa pembatasan pemenuhan terhadap hak atas informasi tidak boleh membahayakan informasi itu sendiri. 2. Kasus laman “Ateis Minang” Alexander Aan, Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, pada 21 Januari 2012 ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan penodaan agama oleh Kepolisian Resort Dharmasraya, Sumatera Barat. 99
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Penodaan agama dituduhkan polisi lantaran status Facebook Alex (sapaan akrab Alexander Aan) yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada Tuhan. Alex juga tercatat sebagai administrator laman Facebook bertajuk “Ateis Minang”.117 Sebelum perkara ini sampai ke tangan polisi, pada 18 Januari 2012, Alex yang tengah bekerja di kantornya didatangi puluhan pemuda dari Sungai Kambuik, Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya. Para pemuda mempertanyakan pernyataannya yang sempat menimbulkan perdebatan di Facebook itu. Alex bersikeras bahwa pernyataannya tersebut benar dan merupakan pendapat pribadinya. Mendengar jawaban Alex, pemudapemuda itu langsung beramai-ramai memukuli Alex. Aparat Kepolisian Sektor Pulau Punjung yang memperoleh laporan bahwa telah terjadi keributan dengan sigap mengevakuasi Alex ke Kepolisian Resort Dharmasraya untuk menghindari amuk massa dan melakukan pemeriksaan terhadap Alex. 118 Akibat statusnya di Facebook, Alex secara resmi dituduh telah melanggar Pasal 156a dan 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Suara Pembaruan, “Pria Atheis Indonesia Ditetapkan sebagai Tersangka”, dalam http://www.suarapembaruan.com/home/pria-atheis-indonesia-ditetapkan-sebagaitersangka/16297 (diakses 1 Maret 2012). 118 Tribun Pekanbaru, “Gara-Gara Mengaku Atheis Minang di Facebook, Alexander Dihakimi Massa”, dalam http://pekanbaru.tribunnews.com/2012/01/21/gara-garamengaku-atheis-minang-di-facebook-alexander-dihakimi-massa (diakses 1 Maret 2012). 117
100
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Kalau mengacu dari pendapat Frank La Rue, kasus itu termasuk ke dalam kategori pembatasan akses internet yang berupa kriminalisasi terhadap pengguna internet. Dengan demikian, pemerintah telah melakukan pemidanaan terhadap orang yang mempergunakan hak atas kebebasan berekspresinya di internet. Hak atas kebebasan berekspresi yang dijamin dalam Pasal 19 UDHR; Pasal 19 ayat (1) dan (2) ICCPR; Pasal 5 d butir (viii) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/ICEAFRD, 1965);119 Pasal 13 ayat (1) CRC; Pasal 28 dan Pasal 28 E ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945; serta Pasal 23 ayat (2), 25, 44, dan 55 UU HAM yang menegaskan bahwa hak atas kebebasan berekspresi merupakan hak asasi setiap manusia, sehingga negara mesti menjamin pemenuhannya. Pemenuhan hak atas kebebasan berekspresi harus memperhatikan rumusan Pasal 29 ayat (2) UDHR, Pasal 19 ayat (3) butir (a) dan (b) ICCPR, dan Pasal 20 ICCPR, yang merumuskan beberapa batasan yang dapat meniadakan hak atas kebebasan berekspresi. Menurut Frank La Rue, alasan keamanan nasional tak bisa dengan begitu saja digunakan Pemerintah buat membatasi hak atas kebebasan berekspresi, kecuali pemerintah dapat membuktikan bahwa (1) ekspresi itu diniatkan untuk menghasut terjadinya kekerasan, (2) ekspresi itu berupa hasutan yang
119
Diratifikasi Pemerintah RI melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999.
101
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
rentan menimbulkan kekerasan, dan (3) ada hubungan langsung antara ekspresi itu dan kemungkinan terjadinya kekerasan. Dengan demikian, sebelum memidanakan Alex, mesti dibuktikan terlebih dahulu bahwa aktivitasnya di grup Facebook “Ateis Minang” atau ketika menulis soal ketiadaan Tuhan di statusnya adalah dengan sengaja untuk menghasut timbulnya kekerasan, berupa hasutan, atau statusnya tersebut memungkinkan terjadinya kekerasan. Selain itu, mesti pula diperhatikan, adakah faktor lingkungan yang memicu Alex sehingga ia melontarkan pernyataan tersebut. Singkatnya, bagaimanakah situasi kultural dari seorang Alex. Fenomena Alex sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru bagi suku Minangkabau. Dalam tulisannya, Signifikansi Budaya ”Ateis Minang”,120 Suryadi menjelaskan bahwa masyarakat Minangkabau yang terkenal suka merantau turut pula berkenalan dengan pandangan yang beraneka ragam dari seluruh dunia. Ia mengutip pendapat Jeffrey Hadler yang mengatakan, Sumatera Barat adalah reaktor pemijahan ideologi (ideological breeder reactor). Tak heran bila kemudian dari bumi dengan semboyan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” itu muncul tokoh dengan haluan pikir berlainan. Dari satu “Minang”, satu “Islam”, muncul pelbagai macam aliran. Sebagai contoh, bisa disebut antara lain
Suryadi, “Signifikansi Budaya ‘Ateis http://niadilova.blogdetik.com/?p=881 (diakses 1 Maret 2012). 120
102
Minang’”,
dalam
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Tuanku Nan Renceh (Islam konservatif), Fakih Saghir (Islam moderat), Haji Abdul Gani Rajo Mangkuto (kapitalis), Tan Malaka dan Upiak Itam (komunis), Sutan Sjahrir (sosialis), dan kini Alexander Aan (ateis). Dengan mengacu pada situasi kultural semacam, penanganan kasus Alex seharusnya disikapi secara lebih bijaksana. Bukan malah terpicu oleh pandangan sepihak kelompok tertentu, yang bisa jadi tidak mewakili pandangan masyarakat Minangkabau secara keseluruhan. Pernyataan Alex harus diteliti apakah dapat dikategorikan sebagai hasutan. 3. Kasus portal berita “Okezone” Selain pembatasan oleh pemerintah sebagaimana dipaparkan dalam dua kasus sebelumnya, pembatasan akses internet juga dapat muncul dari masyarakat, dalam hal ini pemilik media. Tindakan pembatasan ini dilakukan dalam bentuk meminta suatu konten dihapus atau melakukan blokir dan penyaringan (filtering). Pembatasan konten pernah dilakukan oleh portal berita Okezone (http://okezone.com), yang berada di bawah grup PT Media Nusantara Citra, Tbk (MNC). MNC adalah perusahaan induk kelompok media yang menaungi, antara lain, RCTI (PT Rajawali Citra Televisi Indonesia), MNC TV (PT Media Nusantara Citra Televisi), Global TV (PT Global Informasi Bermutu), Harian Seputar Indonesia (Sindo), dan Okezone.121
121
Indonesia Media Defense Litigation Network dan Institute for Criminal Justice Reform, 2000-2010: Kebebasan Internet Indonesia: Perjuangan Meretas Batas [Briefing Paper Nomor 3 Tahun 2011], hal. 14.
103
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Okezone merupakan portal berita populer di Indonesia dan termasuk dalam 23 situs yang paling banyak dikunjungi menurut lembaga pemeringkat internet, Alexa. Rata-rata, Okezone menaikkan 300 berita per hari, termasuk berita dari tim redaksi RCTI dan Sindo.122 Tatkala Kejaksaan Agung berupaya membongkar kasus Sistem Informasi
Badan
Hukum
(Sisminbakum)
di
Direktorat
Jenderal
Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM yang diduga melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara dan merugikan negara hingga hampir setengah triliun rupiah, Okezone mencabut berita-berita yang dianggap merugikan PT Sarana Rekatama Dinamika (PT SRD), pengelola program komputerisasi di Kemenkumham. PT SRD, bersama-sama dengan Okezone, Sindo, dan RCTI, di bawah naungan MNC. MNC sendiri berada di bawah naungan PT Bhakti Investama, perusahaan yang memiliki aneka macam usaha, mulai dari media sampai telekomunikasi, keuangan hingga penyewaan pesawat, dan dikuasai oleh Hary Tanoesoedibjo.123 Berita Sisminbakum pertama kali muncul di Okezone pada 14 Oktober 2008. Isinya, rencana Kejaksaan Agung mengungkap indikasi korupsi. “Biaya akses Sisminbakum tak mengalir ke kas negara, tapi ke rekening PT SRD,” demikian penggalan berita tersebut. Tampaknya, pada awal-awal kemunculan isu Sisminbakum, Okezone relatif berimbang
122
Ahmad Nurhasim dkk, Wajah Retak Media: Kumpulan Laporan Penelusuran (Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen, 2009), hal. 6. 123 Ibid., hal. 3.
104
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
(cover both side). Namun, sejak Romli Atmasasmita, mantan Direktur Jenderal pada Kemenkumham ditahan oleh Kejaksaan Agung, saat itulah Pemimpin Umum Okezone, David Fernando Audy, yang merupakan ipar dari istri Hary Tanoesoedibjo, mulai ‘menyetir’ arah pemberitaan. Reporter diminta untuk lebih banyak memberikan porsi kepada PT SRD dan Yusril Ihza Mahendra, mantan Menteri Hukum dan HAM yang mengambil keputusan tentang program komputerisasi itu.124 Dari 80 berita Sisminbakum yang ditulis Okezone, 16 berita menggunakan PT SRD sebagai narasumber utama dan 15 berita memanfaatkan Yusril Ihza Mahendra. Hanya 10 berita yang mengutip keterangan Kejaksaan Agung. Okezone juga mencabut berita-berita yang dianggap merugikan PT SRD. Pencabutan dilakukan hingga ke tembolok (cache),125 sehingga berita yang pernah tayang tak bisa dikorek-korek lagi meski memakai mesin peramban yang canggih. Melalui mesin peramban internal di Okezone, demikian ditulis Widianto,126 tercatat ada 81 berita yang memakai kata “sisminbakum”. Namun, ketika ditelusuri di mesin peramban publik, hanya tersisa 48 berita yang masih tayang. Sisanya lenyap secara misterius. Tindakan pengelola portal web Okezone tersebut jelas melanggar Pasal 19 UDHR serta Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) ICCPR, yang
124
Ibid., hal. 6. Tembolok adalah mekanisme penyimpanan data sekunder berkecepatan tinggi yang digunakan untuk menyimpan data atau instruksi yang kerap diakses. 126 Ahmad Nurhasim dkk, op. cit. 125
105
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi, baik dalam wujud lisan, tulisan, cetakan, karya seni, ataupun media lain seperti internet, dengan cara apa pun dan tanpa memandang batas-batas. Informasi tentang kasus korupsi Sisminbakum jelas adalah informasi yang penting bagi masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat berhak untuk menerima informasi tersebut. Apalagi, jika mengingat Okezone adalah portal berita sekaligus organ pers yang seharusnya menyediakan sumber berita yang lengkap bagi masyarakat. Pers, sebagaimana diketahui, adalah pilar demokrasi keempat. Pihak yang menyembunyikan informasi elektronik milik publik telah melanggar rumusan Pasal 32 ayat (1) UU ITE yang ancaman pidananya termaktub dalam Pasal 48 UU ITE. 4. Pemblokiran akses internet di Malaysia Perkembangan internet di Federasi Malaysia, negara dengan jumlah penduduk 28.250.000 jiwa dan pengguna internet mencapai 16.902.600 orang,127 dapat dilacak sejak 1988. Saat itu Malaysian Institute of Microelectronic Systems (Mimos), sekarang Mimos Berhad, mendirikan jaringan komputer universitas yang disebut Rangkaian Komputer Malaysia (Rangkom). Jaringan yang berupa sambungan telepon langsung (dial-up
127
Reporters Without Borders, Internet Enemies (2011), hal. 74.
106
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
line) itu menghubungkan Malaysia dengan Australia, Korea Selatan, Belanda, dan Amerika Serikat.128 Pada 1992, sambungan langsung yang berongkos mahal tersebut diganti dengan sambungan satelit antara Amerika Serikat dan Malaysia yang menghasilkan sambungan internet permanen. Sambungan satelit itu menyediakan akses internet di lebih dari 140 negara di dunia bagi warga Malaysia.129 Joint Advanced Integrated Networking (Jaring), penyelenggara jasa internet pertama di Malaysia, kemudian didirikan oleh Mimos.130 Jaring adalah satu-satunya penyelenggara jasa internet hingga TM-Net, bagian dari perusahaan telekomunikasi Malaysia, Telekom Malaysia Berhad, memperoleh lisensi pada Juli 1996 dan meluncurkan layanan pada November 1996. Duopoli ini berlangsung sampai tahun 2000. Setelah pasar Malaysia diliberalisasi, TM-Net masih menguasai 70 pasar
internet
dengan
1,05
juta
pelanggan
dan
menjadikannya
penyelenggara jasa internet terbesar di Asia Tenggara pada waktu itu. Menurut Malaysian Communications and Multimedia Commission (MCMC), terdapat dua juta pelanggan internet pada Juni 2001. PIKOM, asosiasi industri komputer dan multimedia Malaysia, memperkirakan
128
International Telecommunication Union, Multimedia Malaysia: Internet Case Study (2002), hal. 19. 129 Ali Salman dkk, “Tracing the Diffusion of Internet in Malaysia: Then and Now” dalam Asian Social Science Volume 9 Nomor 6 (Canadian Center of Science and Education, 2013), hal. 10. 130 Ibid., hal. 9.
107
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
bahwa terdapat empat juta pengguna internet pada Desember 2000 dengan penetrasi sebesar 17,2 persen dari jumlah penduduk.131 Domain Name Administration yang berada di bawah Mimos berdiri sejak 1987 ketika Internet Assigned Numbers Authority (IANA) mendelegasikan kode domain ”.my” kepada Mohamed Awang Lah yang bekerja untuk Mimos. Sekarang, pendaftaran nama domain menjadi wewenang dari Malaysian Network Information Centre (MYNIC), suatu unit yang berada dalam Mimos. Domain “.my” terdiri atas enam macam domain tingkat-kedua, yaitu “.com.my” untuk institusi komersial, “.net.my” untuk institusi yang berhubungan dengan jaringan, “.edu.my” untuk lembaga pendidikan, “.gov.my”
untuk
instansi
pemerintah,
“.mil.my”
untuk
lembaga
kemiliteran, dan “.org.my” untuk organisasi yang tidak berada dalam kualifikasi apa pun. Setelah
Undang-Undang
Komunikasi
dan
Multimedia
(Communications and Multimedia Act) disahkan pada 1998,132 wewenang pengalamatan dan penomoran elektronik (electronic addressing) berada di tangan
131
Malaysian
Communications
and
Multimedia
Commission
International Telecommunication Union, op. cit., hal. 19. Selain Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia Tahun 1998, peraturan lain yang berkaitan dengan internet antara lain Undang-Undang Kejahatan Komputer Tahun 1997, Undang-Undang Tandatangan Digital Tahun 1997, Undang-Undang Hak Cipta Tahun 1997 (amendemen). John Paynter dan Jackie Lim, “Drivers and Impediments to ECommerce in Malaysia” dalam Malaysian Journal of Library & Information Science, Volume 6 Nomor 2 (Desember 2001), hal. 13. 132
108
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
(MCMC). Itu berarti, sistem pengelolaan nama domain yang sebelumnya tak diatur memperoleh landasan yuridisnya.133 Pada
pertengahan
tahun
2011,
menurut
International
Telecommunications Union (ITU), penetrasi internet di Malaysia termasuk yang tertinggi di Asia, mencapai 17,5 juta pengguna atau melebihi 60 persen dari jumlah penduduk. Warga Malaysia dapat mengakses internet di rumah, tempat kerja, telepon genggam, atau warnet.134 Warnet berperan penting dalam menjembatani kesenjangan antara kota dan desa meskipun persebaran digital (digital divide) negara itu masih memprihatinkan, di mana 80 persen pengguna internet tinggal di kota. Untuk mengatasi kesenjangan ini, pemerintah mendistribusikan 500.000 netbook kepada siswa dan warga berpendapatan rendah yang tinggal di desa dan daerah kumuh. Ketiadaan
infrastruktur
berkualitas
tinggi
di
dalam
negeri
menimbulkan banyak hambatan untuk meningkatkan konektivitas. Oleh karena
itu,
pemerintah
infrastruktur
broadband
Malaysia internet.
memprioritaskan Pada
Maret
pembangunan
2010,
pemerintah
meluncurkan National Broadband Initiative, yang memperkenalkan lima program untuk memperluas jangkauan broadband internet dan telepon
133 134
International Telecommunication Union, op. cit., hal. 21. Freedom House, “Malaysia” dalam Freedom on the Net 2012 (2012), hal. 2.
109
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
genggam.135 Beberapa program dilaksanakan bekerja sama dengan Telekom Malaysia Berhad yang memonopoli sambungan telepon tetap (fixed line) dalam negeri. Pada pemilihan umum Maret 2008, koalisi partai penguasa, Barisan Nasional, kehilangan dua per tiga jumlah anggota parlemen yang pertama kali terjadi sejak tahun 1969. Penggunaan internet untuk mobilisasi politik ditengarai menjadi penyebab bertambahnya jumlah anggota parlemen dari golongan oposisi. Karena potensi tersebut, akses internet dipandang perlu untuk dikontrol secara lebih ketat. Regulasi
internet
berada
dalam
wewenang
Malaysian
Communications and Multimedia Commission (MCMC) dengan diawasi oleh Kementerian Informasi, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia. Baik MCMC maupun kementerian berpedoman pada Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia Tahun 1998 yang memberi menteri kewenangan yang luas untuk mengeluarkan lisensi dan keistimewaankeistimewaan lain. Pemerintah mengangkat tiga dari enam komisioner MCMC yang sisanya berasal dari unsur non-pemerintah. Pemerintah Malaysia tidak menerapkan teknologi penyaringan (filtering) untuk menangkal situs web secara aktif namun menempuh cara lain untuk membatasi akses terhadap informasi tertentu. Dalam ketentuan
135
Pada 2011, penggunaan telepon genggam menunjukkan peningkatan yang melebihi jumlah penduduk. Kira-kira 20 persen warga Malaysia yang berumur 20-24 tahun mengakses internet melalui telepon genggam. Ibid., hal. 3.
110
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia Tahun 1998, secara eksplisit dinyatakan bahwa tidak ada rumusan yang mengizinkan penyensoran internet.136 Nota jaminan (bill of guarantee) Multimedia Super Corridor (MSC), sebuah proyek pengembangan teknologi informasi, juga menjanjikan tidak akan ada sensor internet. Pada 2011, pemerintah, sebagaimana disampaikan oleh Perdana Menteri Najib Razak, berkomitmen untuk tidak menyensor internet. Namun demikian, pada April 2012, parlemen mengesahkan amendemen Undang-Undang Barang Bukti Tahun 1950 yang memungkinkan penangkapan atas pihak perantara dari konten yang diunggah pengguna internet anonim. Hal ini dinilai bakal berdampak buruk bagi kebebasan berekspresi di ruang maya dan kriminalisasi pengguna internet yang bermotif politik. Meskipun tidak melakukan pemblokiran situs web secara teknis, MCMC berupaya membatasi akses internet melalui kewenangannya. Pada bulan Mei 2011, MCMC mengirim memorandum kepada para penyelenggara jasa internet agar mereka memblokir akses terhadap sepuluh situs-web karena dinilai melanggar Pasal 263 Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia Tahun 1998 tentang hak cipta. MCMC juga pernah memerintahkan sejumlah narablog dan para pengelola situs-web berita agar menghapus konten yang terlalu mengkritik pemerintah. Prosedur perintah tersebut sering tidak transparan. Pada
136
Ali Salman dkk, op. cit., hal. 13.
111
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
September 2008, misalnya, dilaporkan bahwa MCMC membentuk suatu panel yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan agung, dan kementerian dalam negeri untuk memonitor situs-web dan blog-blog tertentu.137 5. Singapura dan delik penghinaan di internet Republik Singapura adalah salah satu negara berekonomi kuat di Asia Tenggara yang memberi dukungan penuh terhadap pembangunan di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Pemerintah Singapura mengambil peran aktif dalam pengembangan pasar teknologi informasi dan komunikasi dalam negeri. Peran aktif tersebut berupa desain dan implementasi kebijakan yang visioner dan komprehensif yang bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri sebagai pusat teknologi informasi dan komunikasi regional. Secara tidak langsung, negara juga berupaya memengaruhi pelaku pasar teknologi informasi dan komunikasi dan menyediakan bantuan dana dan subsidi kepada perusahaan yang mengembangkan inovasi telekomunikasi atau merintis teknologi baru.138 Akses internet sangat berlimpah, dengan rata-rata konektivitas melebihi 99 persen. Penetrasi internet juga sangat tinggi. Pada 2002 saja, 61 persen penduduk Singapura telah dapat mengakses internet. Pada waktu itu, tempat-tempat yang biasa digunakan untuk mengakses internet di antaranya rumah, tempat kerja, dan warnet. Starhub, Singnet, M1, dan
137
Freedom House, op. cit., hal. 5. International Telecommunication Union, Effective Regulation Case Study: Singapore 2001 (Geneva, 2001), hal. 5. 138
112
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Pacific Internet adalah perusahaan yang menyediakan jasa internet bagi 2,31 juta pelanggan.139 Meskipun demikian, Singapura memberlakukan pengawasan formal dan informal yang ketat terhadap warganya. Penyaringan internet dalam bentuk pemblokiran atas situs-web yang memuat materi terlarang seperti pornografi dan isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) banyak
dilakukan
dengan
dalih
untuk
menegakkan
nilai-nilai
kemasyarakatan dan persatuan nasional. Media Development Authority (MDA), lembaga pemerintah yang secara khusus berwenang mengontrol internet, mengklaim hanya memblokir seratus situs-web (sebagian besar pornografi) sebagai sikap negara atas konten tersebut.140 Sikap negara yang demikian restriktif terhadap internet dapat dilacak dari kebijakan regulasi negara atas media umum. Menurut sejumlah peneliti dari Universitas Hongkong, media Singapura digunakan sebagai “jembatan semiformal antara pemerintah dan masyarakat”. Dalam laporan tahunan Worldwide Press Freedom Index pada 2004, Singapura menempati urutan ke-147, peringkat terendah di antara negara-negara industri maju dan berkembang. Tindakan negara dalam mengontrol konten media sangat sering dilakukan, misalnya dengan menjatuhkan sanksi terhadap stasiun radio yang menyiarkan materi seksual dan jurnalis cetak
139
Open-Net Initiative, Internet Filtering in Singapore in 2004-2005: A Country Study (2005), hal. 4. 140 Ibid., hal. 3.
113
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
yang memberitakan perjalanan istri bekas perdana menteri ke luar negeri.141 Kepemilikan media dimonitor secara hati-hati oleh pemerintah melalui ikatan informal dan kepentingan investasi. Singapore Press Holdings (SPH), perusahaan yang mempunyai kedekatan dengan partai penguasa People’s Action Party (PAP), menguasai seluruh suratkabar di Singapura. Media Corporation of Singapore (Mediacorp), yang dimiliki agensi investasi negara dan dikontrol oleh pendukung PAP, mendominasi media penyiaran. Mediacorp dan SPH akhirnya bergabung pada 2004 dan menghilangkan persaingan besar yang sebelumnya terjadi antara industri media cetak dan televisi. Regulasi media secara resmi berada di bawah kewenangan Media Development Authority (MDA) yang didirikan pada 1 Januari 2003 (sebelumnya bernama Singapore Broadcasting Authority). Dasar hukum berdiri dan kewenangan primer MDA diperoleh dari Undang-Undang Otoritas Pengembangan Media Singapura (Media Development Authority of Singapore Act). Namun aturan lain, khususnya yang berhubungan dengan pornografi dan materi pemilihan umum, dapat diterapkan juga terhadap
141
internet
Ibid., hal. 5.
114
dan
penggunanya.
Dengan
demikian,
negara
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
memengaruhi keputusan keredaksian suratkabar melalui koneksinya dengan SPH dan program televisi dikontrol dan disensor oleh MDA.142 Secara informal, kontrol negara terhadap media diwujudkan dengan penegakan aturan tentang penghinaan. Delik penghinaan sering muncul di pengadilan khususnya pada kasus kebebasan berpendapat. Aturan terkait penghinaan menyatakan bahwa kalimat yang mengandung unsur penghinaan adalah salah dan penuntut tidak perlu membuktikan bahwa delik penghinaan itu benar-benar telah dilakukan oleh terdakwa.143
III. PENUTUP Hak atas kebebasan mengakses internet mengandung dua bentuk hak asasi yang dijamin dalam instrumen HAM internasional, yakni hak atas kebebasan berekspresi dan hak atas informasi. Kedua hak tersebut termaktub dalam Pasal 19 UDHR, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) ICCPR, Pasal 5 d butir (viii) ICEAFRD, dan Pasal 13 ayat (1) CRC. Mengacu pada substansi pasal-pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak atas informasi sesungguhnya muncul lantaran adanya hak atas kebebasan berekspresi. Pengakuan dan pengaturan terhadap kebebasan berekspresi meniscayakan kebebasan untuk mencari (to seek), menerima (to receive), dan menyampaikan (to impart) informasi dengan cara apa pun.
142 143
Ibid., hal. 6. Ibid.
115
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Hak atas kebebasan mengakses internet di Indonesia yang mengandung dua macam HAM, yakni hak atas kebebasan berekspresi dan informasi, dijamin dalam Pasal 28, Pasal 28 E ayat (2) dan (3), dan Pasal 28 F UUD NRI 1945; serta Pasal 13, Pasal 14, Pasal 23 ayat (2), Pasal 25, Pasal 44, Pasal 55, dan Pasal 60 ayat (2) UU HAM. Kebebasan mengakses internet belum menjadi HAM yang sepenuhnya terjamin di Indonesia dan sejumlah negara ASEAN lainnya, terlihat dari kasus-kasus seperti kasus film “Fitna”, laman “Ateis Minang”, portal berita Okezone.
DAFTAR BACAAN Atmaja, AP Edi. “Buku Digital dan Intelektualitas Virtual”, Riau Pos, 18 Februari 2012 (Rubrik Opini). ______________. “Mengkaji Ulang Demokrasi Kita”, Suara Merdeka, 26 Februari 2011 (Rubrik Kampus). ______________. “Para Aktivis Kampus, Ngebloglah”, dalam http://sastrakelabu.wordpress.com/2012/01/21/para-aktivis-kampusngebloglah/ (diakses tanggal 28 Januari 2012). Bogdandy, A von and R. Wolfrum (ed.), Max Planck Yearbook of United Nations Law Volume 10 (Netherlands: Koninklijke Brill, 2006). Canadian Center of Science and Education. Asian Social Science Volume 9 Nomor 6 (2013). Convention on the Rights of the Child, 1989 Freedom House. “Our History”, dalam http://www.freedomhouse.org/content/our-history (diakses tanggal 29 Februari 2012). Freedom on the Net 2012 (2012). 116
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
General Comment No. 10 Freedom of Expression (Article 19), Nineteenth Session, 1983 Hill, David T dan Krishna Sen, The Internet in Indonesi’s New Democracy (Oxon: Routledge, 2005). Indonesia Media Defense Litigation Network dan Institute for Criminal Justice Reform, 2000-2010: Kebebasan Internet Indonesia: Perjuangan Meretas Batas [Briefing Paper Nomor 3 Tahun 2011]. International Covenant on Civil and Political Rights, 1966 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965 Internet World Stats. “Top 20 Countries with the Highest Number of Internet Users”, dalam http://www.internetworldstats.com/top20.htm (diakses tanggal 1 Februari 2012). ______________. “Asia Top Internet Countries: March 31, 2011”, dalam http://www.internetworldstats.com/stats3.htm#asia (diakses tanggal 1 Februari 2012). International Telecommunication Union. Effective Regulation Case Study: Singapore 2001 (Geneva, 2001) ______________. Multimedia Malaysia: Internet Case Study (2002). Joint Declaration on Freedom of Expression and the Internet between the United Nations (UN) Special Rapporteur on Freedom of Opinion and Expression, the Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) Representative on Freedom of the Media, the Organization of American States (OAS) Special Rapporteur on Freedom of Expression and the African Commission on Human and Peoples’ Rights (ACHPR) Special Rapporteur on Freedom of Expression and Access to Information, 2011 Kelly, Sanja dan Sarah Cook (ed.), Freedom on the Net 2011: A Global Assessment of Internet and Digital Media (Washington DC: Freedom House, 2011). Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Malaysian Journal of Library & Information Science, Volume 6 Nomor 2 (Desember 2001), 117
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
New Media Desk. Enemies of the Internet/Country under Surveillance (Paris: Reporters Without Borders, 2010). ______________. Internet Enemies (Paris: Reporters Without Borders, 2011). Nurhasim, Ahmad dkk, Wajah Retak Media: Kumpulan Laporan Penelusuran (Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen, 2009). Open-Net Initiative. Internet Filtering in Singapore in 2004-2005: A Country Study (2005), Rahayu. “Globalisasi dan Kesadaran Hak Asasi Manusia”. Naskah Presentasi pada Matrikulasi Mahasiswa Baru Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Semarang, 29 Desember 2011. Report of the Special Rapporteur on the Promotion and Protection of the Right to Freedom of Opinion and Expression, Frank La Rue, 2011 Ryan, Johnny, A History of the Internet and the Digital Future (London: Reaktion Books, 2010). Suara Pembaruan. “Pria Atheis Indonesia Ditetapkan sebagai Tersangka”, dalam http://www.suarapembaruan.com/home/pria-atheis-indonesiaditetapkan-sebagai-tersangka/16297 (diakses tanggal 1 Maret 2012). Suryadi, “Signifikansi Budaya ‘Ateis Minang’”, dalam http://niadilova.blogdetik.com/?p=881 (diakses tanggal 1 Maret 2012). Tempo Interaktif. “Telkom Blokir Film Fitna”, dalam http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2008/04/08/brk,20080408120716,id.html (diakses tanggal 2 Maret 2012). The World Bank. “Internet Users (per 100 People)”, dalam http://data.worldbank.org/indicator/IT.NET.USER.P2/countries?displa y=default (diakses tanggal 1 Februari 2012). Tribun Pekanbaru. “Gara-Gara Mengaku Atheis Minang di Facebook, Alexander Dihakimi Massa”, dalam http://pekanbaru.tribunnews.com/2012/01/21/gara-gara-mengakuatheis-minang-di-facebook-alexander-dihakimi-massa (diakses tanggal 1 Maret 2012). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 118
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Universal Declaration of Human Rights, 1948 Wahono, Tri. “Cegah Fitna, XL Blokir Empat Situs”, dalam http://tekno.kompas.com/read/2008/04/07/14485017/cegah.fitna.xl.blokir.e mpat.situs (diakses tanggal 2 Maret 2012).
119
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KORIDOR: REGULASI MP3EI BERBASIS WAWASAN KEBANGSAAN SEBAGAI SARANA MENGHADAPI AEC UNTUK MEWUJUDKAN SUSTAINABLE DEVELOPMENT Siti Ramdani
Abstract Marching into AEC 2015, it is entrenched in our understanding that private sector is the most important sector in international relation. It is imperative for Indonesia to address the challenge of opening AEC market to the global market. Indonesia must commit itself to increasing the national economy growth by implementing MP3EI (Masterplan for Acceleration and Expansion of Indonesia's Economic Development), in order to accelerate the interconnection between MP3EI and AEC. Integration will only be achieved if interconnectivity between ASEAN states can be reached. This desired objective will only be fulfilled if Indonesia is serious in improving its infrastructure to establish ASEAN connectivity, while encourage the regional economic growth. The implementation of a strategic policy on the national scale will be a strategic action for Indonesia and its sustainable development. Therefore, the government’s role and all related parties are required to overseeing and evaluating MP3EI policy.
Keyword: regulation; MP3EI; AEC; sustainable development
Sinergisme Antara MP3EI dan AEC Dewasa ini, kita tengah bersiap-siap menghadapi adanya agenda terdekat yang kelak diprediksi akan sangat mempengaruhi kehidupan 120
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
bangsa Indonesia terutama dalam masalah
perekonomian. Agenda
tersebut yaitu ASEAN Economic Community (AEC) atau yang sering kita sebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN. AEC 2015 yang mulai diberlakukan 31 Desember 2015 merupakan bentuk integrasi ekonomi regional. Adanya kegiatan ini berakibat munculnya persepsi bahwa persaingan bebas secara global akan mendorong setiap negara ASEAN melakukan efisiensi dan efektivitas yang optimal dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga dapat menimbulkan adanya perolehan keuntungan yang tidak merata walaupun mekanisme dalam integrasi ekonomi regional berjalan dengan baik di setiap negara. Keinginan untuk menjadikan ASEAN sebagai pusat perdagangan kawasan yang terintegrasi inilah tujuan diadakannya blueprint dari AEC. AEC ini merupakan salah satu harapan bagi wilayah di kawasan ASEAN agar dapat disejajarkan dengan komunitas serupa seperti Uni Eropa. AEC pada hakikatnya merupakan liberalisasi yang mencakup seluruh bidang ekonomi yang selama ini sebagian masih ada hambatan masuk, baik itu melalui tarif maupun non-tarif. Secara teknis, pencapaian AEC menggunakan mekanisme dan inisiatif yang telah dibentuk oleh ASEAN yang diperkuat dengan penguatan institusi dalam kerjasama ASEAN. Masing-masing institusi dan inisiatif yang terlibat di lima elemen pasar tunggal (arus barang bebas, arus jasa bebas, arus investasi bebas, arus modal bebas, dan arus tenaga kerja bebas) dalam kesatuan basis produksi. Dalam hal ini, dalam upaya menghadapi AEC, sektor ekonomi merupakan sektor yang paling berpengaruh dalam hubungan internasional 121
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
yang sedang terjadi pada kegiatan transaksional maupun nontransaksional. Hal ini dipandang penting bagi Indonesia untuk segera menyiapkan strategi terbaiknya dalam bidang ekonomi guna menghindari resiko dari AEC yang dianggap sedikit hiperaktif dalam menyerbu pasar global. Oleh karena itu, Indonesia diharapkan mampu mempersiapkan segala usaha untuk mengangkat geliat pertumbuhan dan perkembangan perekonomian melalui program yang telah dicanangkan yaitu Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Percepatan Kemajuan, Rangsangan Menyambut AEC Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan sebuah roadmap yang disusun sebagai upaya untuk melakukan transformasi ekonomi untuk mendorong aktivitas perekonomian sekaligus mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan daya saing. Upaya transformasi ekonomi tersebut tentunya dilakukan dengan mempertimbangkan seluruh potensi dan tantangan yang dimiliki oleh Indonesia. Selain itu, MP3EI ini sekaligus sebagai pijakan awal dalam hal mengembangkan komitmen bersama antara Pemerintah dan
dunia
usaha
untuk
melaksanakan
berbagai
langkah-langkah
pembangunan yang konkret. Di Asia Tenggara, Indonesia adalah negara dengan luas kawasan terbesar, penduduk terbanyak dan sumber daya alam terkaya. Hal tersebut menempatkan Indonesia sebagai kekuatan utama negara-negara di Asia 122
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Tenggara. Di sisi lain, konsekuensi dari akan diimplementasikannya komunitas ekonomi ASEAN dan terdapatnya Asean-China Free Trade Area (ACFTA) mengharuskan Indonesia meningkatkan daya saingnya guna mendapatkan manfaat nyata dari adanya integrasi ekonomi tersebut. Oleh karena itu, percepatan transformasi ekonomi yang dirumuskan dalam MP3EI ini menjadi sangat penting dalam rangka memberikan daya dorong dan daya angkat bagi daya saing Indonesia. Koridor ekonomi diharapkan akan menghubungkan Indonesia dengan pusat-pusat perekonomian regional seperti ASEAN dan dunia (global) dalam upaya meningkatkan daya saing nasional. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan dari keterhubungan regional dan global (regionally and globally connected). Proyek MP3EI memanfaatkan keunikan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dan untuk meningkatkan daya saing logistik Indonesia serta semakin dekatnya penerapan pasar terbuka ASEAN. Keterkaitan MP3EI dengan perekomomian ASEAN telah menemukan benang merahnya. Integrasi bisa terwujud jika ASEAN inter dan intrakonektivitas dapat tercipta. Hal tersebut dapat dicapai dengan adanya perbaikan infrastruktur darat, laut dan udara. Perbaikan infrastruktur di Indonesia akan meningkatkan konektivitas ASEAN dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi lingkup APEC dan dunia.
123
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Oportunitas Pembangunan Negeri Melalui Kebijakan Pemanfaatan Koridor144
Elemen yang dipegang oleh MP3EI dan dipergunakan sebagai bahan
implementasi
yaitu
mengembangkan
6
koridor
ekonomi,
memperkuat konektivitas ekonomi nasional, dan memperkuat sumber daya
144
Dokumen MP3EI
124
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
manusia (SDM) dan teknologi (MP3EI, hal. 24). Konektivitas ekonomi nasional yang akan diperkuat terbagi dalam 3 jenis: konektivitas fisik (transportasi, energi, dan teknologi komunikasi-informasi ), konektivitas kelembagaan (liberalisasi perdagangan dan investasi, prosedur lintas perbatasan, dan pemberdayaan kapasitas), dan konektivitas sosial-budaya (pendidikan, budaya dan pariwisata). Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan tertentu, yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa aktor terkait dengan suatu masalah. Tindakan para aktor yang membuat kebijakan berupa pengambilan keputusan yang biasanya bukan merupakan keputusan tunggal, artinya kebijakan diambil dengan cara mengambil beberapa keputusan yang saling terkait dengan masalah yang ada. Pengambilan keputusan dapat diartikan juga sebagai pemilihan alternatif terbaik dari beberapa pilihan alternatif yang tersedia. Model pembuatan keputusan memiliki asumsi dasar perspektif bahwa tindakan internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan keputusan-keputusan yang dibuat oleh unit-unit politik domestik yang diakui, dimana para pemimpin negara (baik individual maupun berkelompok) bertindak sebagai aktor-aktor utama dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Perspektif ini memberikan penekanan utamanya pada analisis jaringan birokrasi organisasi yang kompleks dengan prosedur-prosedur kelembagaannya. Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia diselenggarakan berdasarkan pendekatan pengembangan pusat-pusat 125
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
pertumbuhan ekonomi, baik yang telah ada maupun yang baru. Pendekatan ini pada intinya merupakan integrasi dari pendekatan sektoral dan regional. Setiap wilayah mengembangkan produk yang menjadi keunggulannya. Tujuan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tersebut adalah untuk memaksimalkan keuntungan aglomerasi, menggali potensi dan keunggulan daerah serta memperbaiki ketimpangan spasial pembangunan ekonomi Indonesia. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan mengembangkan kluster industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan tersebut disertai dengan penguatan konektivitas antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan antara pusat pertumbuhan ekonomi dengan lokasi kegiatan ekonomi serta infrastruktur pendukungnya. Secara keseluruhan, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan konektivitas tersebut menciptakan Koridor Ekonomi Indonesia. Peningkatan potensi ekonomi wilayah melalui koridor ekonomi ini menjadi salah satu dari tiga strategi utama (pilar utama). Skema MP3EI, Indonesia terbagi ke dalam 6 koridor ekonomi. Adapun koridor ekonomi yang dimaksud adalah koridor Sumatera, koridor Jawa, koridor Kalimantan, koridor Sulawesi, koridor Bali dan Nusa Tenggara, dan koridor Maluku-Papua. Masing-masing koridor itu mengemban misi pengembangan ekonomi tertentu. Koridor Sumatera dan Kalimantan diproyeksikan menjadi sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung ekonomi nasional. Koridor Jawa akan menjadi 126
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
pendorong industri dan jasa nasional. Koridor Sulawesi dan Papua-Maluku dikembangkan untuk menjadi pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas, dan pertambangan nasional. Terakhir koridor Bali-Nusa Tenggara akan didorong menjadi pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional.
Regulasi Strategis, Percepat Perkembangan MP3EI Pembangunan nasional bukanlah semata-mata agregasi atau gabungan atas pembangunan daerah/wilayah atau bahkan gabungan pembangunan antar sektor semata. Pembangunan nasional adalah hasil sinergi berbagai bentuk keterkaitan (linkages), baik keterkaitan spasial (spatial linkages atau regional linkages), keterkaitan sektoral (sectoral linkages) dan keterkaitan institusional (institutional linkages). Hal tersebut dilakukan melalui sinergi yang lebih baik lagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, dan swasta. Pihak swasta akan memegang peran yang utama dan penting dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi khususnya dalam hal meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan kerja. Sedangkan pihak pemerintah akan berfungsi sebagai regulator, fasilitator, dan katalisator. Fasilitasi dan katalisasi akan diberikan oleh pemerintah melalui penyediaan infrastruktur maupun pemberian insentif fiskal dan non fiskal. Dari sisi regulasi, pemerintah akan melakukan deregulasi terhadap regulasi yang menghambat pelaksanaan investasi.
127
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Dalam koridor ekonomi Indonesia, peran pemerintah pusat hanya akan terbatas pada regulasi dan alokasi investasi pusat, sedangkan peran pemerintah (daerah), khususnya daerah yang merupakan lokasi dari koridor ekonomi Indonesia sehingga berperan sebagai pengguna (direct user) dari koridor yang telah ditetapkan. Selain itu daerah juga akan berperan dalam penentuan regulasi dan alokasi investasi di daerah. Namun, perlu disadari pula bahwa anggaran pemerintah, baik pemerintah pusat dan daerah memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, dedikasi dalam bekerja harus diutamakan, dan bukan semata-mata memenuhi tuntutan minimum pekerjaan (business as usual). Dedikasi kerja harus terefleksi dalam elemen penting dalam pembangunan, terutama dalam penyediaan infrastruktur. MP3EI berisikan arahan pengembangan kegiatan ekonomi utama yang sudah lebih spesifik, lengkap dengan kebutuhan infrastruktur dan rekomendasi perubahan/revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang perlu dilakukan maupun pemberlakuan peraturan-perundangan baru yang diperlukan untuk mendorong percepatan dan perluasan investasi. Selanjutnya MP3EI menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. MP3EI
bukan
dimaksudkan
untuk
mengganti
dokumen
perencanaan pembangunan yang telah ada seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 (UU No. 17 Tahun 2007) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, namun menjadi 128
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
dokumen yang terintegrasi dan komplementer yang penting serta khusus untuk melakukan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. MP3EI juga dirumuskan dengan memperhatikan Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) karena merupakan komitmen nasional yang berkenaan dengan perubahan iklim global. Harmonisasi peraturan perundangan antar negara ASEAN dengan MP3EI merupakan salah satu kebutuhan untuk dapat mendukung upaya penerapan penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi dunia usaha, termasuk usaha kecil, makro dan menengah (UMKM). Untuk mendukung realisasi percepatan dan perluasan kegiatan ekonomi utama, selain percepatan pembangunan dukungan infrastruktur, diperlukan dukungan non-infrastruktur berupa pelaksanaan, penetapan atau perbaikan regulasi dan perizinan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Perbaikan regulasi dan perizinan lintas sektor di tingkat nasional adalah yang terkait dengan penataan ruang, tenaga kerja, perpajakan, dan kemudahan dalam penanaman modal di Indonesia. Adapun perbaikan regulasi dan perizinan di tingkat daerah adalah yang terkait dengan sektor mineral dan batubara, kehutanan, dan transportasi (perkeretaapian, pelayaran, penerbangan) serta penyediaan infrastruktur dasar. Tujuan umum yang ingin dicapai dalam perbaikan regulasi dan perizinan adalah sebagai berikut: 1. Mempercepat penyelesaian peraturan pelaksanaan undang-undang; 2. Menghilangkan tumpang tindih antar peraturan yang sudah ada baik di tingkat pusat dan daerah, maupun antara sektor/lembaga; 129
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
3. Merevisi atau menerbitkan peraturan yang sangat dibutuhkan untuk mendukung strategi MP3EI (seperti Bea Keluar beberapa komoditi); 4. Memberikan insentif kepada kegiatan-kegiatan ekonomi utama yang sesuai dengan strategi MP3EI; 5. Mempercepat
dan
menyederhanakan
proses
serta
memberikan
kepastian perizinan. Dari penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa penetapan kebijakan dan regulasi yang tepat akan dapat melancarkan pembangunan MP3EI dan kelak akan berimbas positif pada keberhasilan menghadapi AEC. Kesesuaian kebijakan regulasi ini tentu saja memiliki peran yang cukup signifikan dalam tata kelola pemerintahan dalam mengatur segala hal yang menyangkut dan berkaitan di dalamnya. Oleh karena itulah, dibutuhkan peranan yang aktif dari pemerintah, praktisi, serta pemeran usaha yang terkait agar dapat bersinergi dalam memajukan pembangunan dan penetapan kebijakan regulasi yang terkait.
Perwujudan AEC Berbasis Wawasan Kebangsaan Kesediaan Indonesia bersama negara anggota ASEAN lainnya membentuk ASEAN Economic Community pada tahun 2015 sebagai bentuk integrasi ekonomi kawasan yang secara umum akan menyerupai system yang telah diterapkan oleh Europan Union (EU) ini, tentu saja didasarkan pada keyakinan atas manfaatnya yang secara konseptual akan meningkatkan pertumbuhan negara-negara anggota ASEAN. Integrasi 130
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
ekonomi dalam AEC 2015 melalui pembukaan dan pembentukan pasar yang lebih besar, dorongan peningkatan efisiensi dan daya saing, serta pembukaan peluang penyerapan tenaga kerja di kawasan ASEAN diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh negara di kawasan. Di Indonesia sendiri tahapan dari pencapaian AEC sudah berjalan mencapai perkembangan peraturan perdagangan bebas dan mulai bergerak mendekati pengembangan sistem kepabeanan serta pembebasan hambatanhambatan dalam faktor produksi guna menghadapi penerapan Custom Union dan Common Market di tahap selanjutnya. Perubahan pola pikir paling mendasar adalah pemahaman bahwa pembangunan ekonomi membutuhkan kolaborasi bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan Swasta (dalam semangat Indonesia Incorporated). Langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh Indonesia tentunya harus sesuai dengan apa yang direkomendasikan dalam pilar AEC Blueprint 2015 yang mengharuskan setiap negara ASEAN wajib mereformasi semua unsur-unsur utama yang menjadi sektor esensial dan syarat multak dalam rangka menghadapi implementasi AEC 2015. Antara kawasan domestik dengan kawasan regional harus dilakukan upaya-upaya yang memiliki korelasi yang sama dan upaya yang dilakukan harus tersinkronisasi dengan baik. Upaya yang dilakukan dalam kawasan domestik mengacu terhadap syarat mutlak yang diajukan dalam internalisasi regional. Sehingga dikatakan terpadu antar domestik dan regional dalam rangka menghadapi 131
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
integrasi ekonomi kawasan. Secara garis besar, langkah strategis yang harus dilakukan antara lain adalah dengan melakukan pembenahan terhadap sektor-sektor potensial yang strategis dan terkait dengan mekanisme yang telah ditentukan ASEAN dalam rangka menciptakan pasar bebas dan basis produksi internasional. Tentu saja, langkah-langkah tersebut harus berdasarkan wawasan kebangsaan yang tidak meninggalkan jati diri dan identitas Indonesia dalam menghadapinya. Hal ini akan menjadi titik penentu pola metode dan acuan keberhasilan dalam mewujudkan AEC dengan sikap dan tingkah laku yang lurus atas regulasi yang ada dan sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.
Kesimpulan dalam Menghadapi AEC Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut Brundtland Report dari PBB, 1987 arti dari pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development). Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
132
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Banyak laporan PBB, yang terakhir adalah laporan dari KTT Dunia 2005, yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan sebagai terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat. Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005 menyebut ketiga hal dimensi tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan skema di atas, aspek dan bidang ekonomi tentu sangat berpengaruh pada perwujudan pemerintah yang sustainable. Mengapa harus demikian? Pada dasarnya, sebuah pengelolaan khususnya 133
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
ekonomi dan regulasi sangat berkaitan dengan situasi dan kondisi atas peranan lingkungan sosial di sekitar. Untuk jangkauan yang lebih luas, maka jelaslah bahwa proses pertumbuhan ekonomi dan regulasi harus diterapkan
secara
fleksibel
dan
tepat
untuk
menjamin
adanya
pembangunan berkelanjutan yang tidak merugikan pihak intern khususnya. ASEAN Economic Community (AEC) mendatangkan beberapa tantangan dan peluang secara bersamaan. Dimana kondisi dalam negeri Indonesia sendiri yang sedang berada dalam tahapan reformasi menuju sistem yang lebih baik, dapat dikatakan mendapatkan stimulasi lebih dari pada hasil yang dijanjikan dalam pencapaian AEC 2015. DAFTAR PUSTAKA Sholeh. 2013. Persiapan Indonesia Dalam Menghadapi AEC (Asean Economic Community) 2015. Ejournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2): 509-522 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org Bakhri, Boy S. Kesiapan Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015 Dari Perspektif Daya Saing Nasional. Jurnal Economica 21 Vol. I No. 1 Januari 2015 Saptenno, M. J. 2013. Pembangunan Pertanian Berbasis Wawasan Kebangsaan. Majalah TANNAS Pattimura Edisi 96 – 2013 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2013. Kemajuan Regulasi Yang Telah Diselesaikan dan Dalam Proses dan Rangkaian Pelaksanaan Rapat Koordinasi MP3EI. Laporan Perkembangan Pelaksanaan MP3EI Buhaerah, Pihri, dkk. 2014. Kajian MP3EI dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Media Informasi Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Sustaining Partnership). 2011. Konektivitas Enam Koridor Ekonomi 134
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
135
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
BOOK REVIEW Judul
: ASEAN: Life After the Charter
Editor
: S. Tiwari
Penerbit
: Institute Of Southeast Asian Studies
Bahasa
: Inggris
Jumlah halaman
: 186 halaman
Tahun penerbitan
: 2010
Pembuat resensi
: Prita Amalia, S.H. M.H.
Buku
ASEAN:
Life
After
the
Charter,
sebenarnya bukan merupakan buku baru. Buku ini diterbitkan pada 2010, beberapa tahun setelah ASEAN memiliki Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Tinjauan terhadap buku ini masih penting dan relevan dengan perkembangan ASEAN saat ini. Selain itu, buku ini cocok bagi para pembaca yang baru mengenal dan ingin memahami ASEAN setelah berlakunya Piagam ASEAN.
Buku ini berisi kumpulan artikel dari beberapa sarjana yang memiliki perhatian terhadap perkembangan ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional. Dalam membahas sebuah artikel, penyusun buku 136
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
berusaha untuk menyajikannya dengan pemikiran yang berimbang sehingga ada beberapa topik yang ditulis oleh dari satu sarjana. Buku ini terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengenalan (introduction) dan perspektif sektor swasta (private sector perspectives). Pada bagian pengenalan, buku ini mencoba membahas hal-hal mendasar dan filosofis terkait dengan ASEAN sebagai sebuah organisasi regional internasional. Bagian mendasar dan filosofis itu terkait dengan kedudukan ASEAN sebagai subjek hukum internasional. Artikel-artikel bertajuk ASEAN Legal Personality After Its New Charter atau artikel untuk menjawab permasalahan-permasalahan apakah ASEAN adalah organisasi internasional yang eksis menjadi topik besar dalam bagian pertama buku ini. Bagian kedua membahas mengenai isu sektor swasta, di antara artikel yang ada ialah ASEAN Charter and ASEAN Economic Community, Uncertain of an Uncertain Global Economy on Integration Initiatives, Challenges to Achieving the ASEAN Economic Community, ASEAN as Integrated Market, A Miscellany of Trade Issues, dan Policy Issues for ASEAN Countries. Dalam resensi buku ini, penulis hanya akan memfokuskan peninjauan terhadap artikel-artikel yang membahas mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN - MEA (ASEAN Economic Community) yang akan segera dilaksanakan pada Desember 2015. Salah satu artikel ditulis oleh S. Tiwari dengan judul Legal Personality and Related Matters Explained. Dua poin yang dapat diambil dalam artikel tersebut adalah mengenai pertanyaan bagaimana status 137
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
kontrak yang melibatkan ASEAN dan suatu catatan terkait dengan fenomena terlambatnya beberapa negara anggota untuk meratifikasi dan mengimplementasikan perjanjian dalam kerangka ASEAN. Artikel selanjutnya sangat terkait dengan judul besar dari buku ini, yaitu Life in ASEAN after The Entry Into Force of the ASEAN Charter, Implications,
and
Follow
Ups,
yang
ditulis
oleh
Termsak
Chalermpalanupap. Artikel ini membahas akibat hukum setelah ASEAN memiliki Piagam ASEAN, di antaranya ialah kewajiban negara anggota ASEAN untuk menyesuaikan ketentuan hukum nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan dalam kerangka ASEAN sebagaimana dimanatkan dalam Pasal 5 Piagam ASEAN, mempercepat implementasi perjanjianperjanjian ASEAN, dan aktif berpartisipasi dalam kegiatan ASEAN. Artikel berikutnya ditulis oleh Michael Ewing Chow yang membahas mengenai bagaimana implementasi Piagam ASEAN dapat terlaksana oleh masing-masing negara anggota. Di antara pembahasannya, Michael mencoba merumuskan tiga permasalahan besar terkait dengan implementasi perjanjian internasional, yaitu kurangnya kemauan politis dari negara untuk melaksanakan perjanjian tersebut, pengadilan lebih memilih untuk menerapkan hukum nasionalnya dibandingkan dengan melaksanakan kewajiban yang tercantum pada perjanjian internasional, dan permasalahan struktural administratif yang mencegah kewajiban dalam suatu perjanjian internasional dilaksanakan di level bawah.
138
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Artikel lain yang terkait dengan MEA adalah seperti yang ditulis oleh Kanya Satyani Sasradipoera berjudul ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA). Artikel tersebut mengulas bagaimana ATIGA mengatur tentang perdagangan barang dalam kerangka ASEAN. Beberapa kerangka perjanjian perdagangan yang telah dimiliki ASEAN yaitu Common Effective Preferential Tariffs (CEPT) dalam kerangka ASEAN Free
Trade
Area
dan
beberapa
perjanjian
sebelumnya.
Untuk
melaksanakan MEA, ASEAN harus melakukan suatu pendekatan baru untuk dapat menyatukan berbagai perdagangan barang yang ada di negaranegara ASEAN. Artikel ini mencoba untuk membandingkan antara kerangka CEPT dan ATIGA, di mana ATIGA terlihat lebih lengkap karena mencakup semua aspek perdagangan barang, seperti liberalisasi tarif, liberalisasi halangan nontarif, rules of origin, fasilitasi perdagangan, bea cukai, dan kebijakan standar dan kesesuaian kesehatan dan phytosanitary. Hal baru yang terdapat dalam kerangka ATIGA dibandingkan dengan CEPT adalah penjadwalan pengurangan tarif secara penuh, kebijakan nontarif, dan fasilitasi perdagangan. Artikel ini juga membahas perkembangan persiapan implementasi ATIGA. Artikel lain, yang ditulis oleh Yap Lai Peng, membahas mengenai The ASEAN Comprehensive Investment Agreement 2009 (ACIA), Its Objectives, Plan and Progress. Dalam Artikel ini ACIA dijelaskan dengan sangat rinci dan mudah untuk dipahami. Penulis artikel mencoba membagi artikel menjadi beberapa bagian, yaitu latar belakang disusunnya ACIA oleh ASEAN, tujuan dari ACIA, perbandingan antara ACIA dan 139
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Perjanjian Investasi ASEAN, keuntungan dari ACIA, serta rencana dan perkembangan ACIA. ACIA merupakan suatu bentuk konsolidasi dari perjanjian investasi sebelumnya, yaitu ASEAN Agreement for the Promotion and Protection of Investment yang juga dikenal sebagai Investment Guarantee Agreement 1987 dan 1998 Framework Agreement on The ASEAN Investment Area. Dengan dibentuknya MEA, maka dibuatlah ACIA dengan tujuan untuk lebih membuka investasi. ACIA ditandatangani pada Februari 2009 dan akan mulai berlaku setelah semua negara anggota ASEAN melakukan notifikasi dan mendepositkan instrumen ratifikasi ke Sekretariat Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa. Beberapa artikel berikutnya membahas dari perspektif sektor swasta, di antaranya mengenai Piagam ASEAN dan hubungannya dengan MEA yang ditulis oleh Razeen Sally. Razeen Sally menulis artikel tersebut dengan sangat menarik dan dengan sudut pandang yang sangat detail dan menyeluruh. Pembahasan suatu integrasi ekonomi yang berusaha dicitacitakan oleh ASEAN dibahas dengan membandingkan posisi ASEAN dengan keberadaan organisasi internasional lainnya. Selain itu, artikel dimaksud juga membahas mengenai ASEAN Track Record, yakni suatu perjalanan ASEAN dalam membuat perjanjian dalam bidang ekonomi dan juga ASEAN Plus yang merupakan suatu upaya ASEAN untuk bekerja sama dengan negara di luar negara anggota ASEAN. Penulis artikel berusaha membuat suatu tulisan yang membandingkan ASEAN dengan
140
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
organisasi regional internasional lainnya yang telah lebih dahulu memiliki single market, yaitu Uni Eropa. Pandangan
lain
mengenai
kondisi
perekonomian
ASEAN
digambarkan oleh Eduardo Pedrosa dengan judul artikel Implications of an Uncertain Global Economy on Integration Iniatives. Artikel ini menggambarkan kondisi perekonomian negara-negara ASEAN yang berada dalam satu kawasan dalam kondisi krisis yang serba tak menentu. Kondisi perekonomian tersebut akan berdampak pada rencana ASEAN untuk membentuk single market sehingga untuk melaksanakan agenda integrasi ekonomi, harus dicarikan solusinya. Artikel ini pada awalnya memberikan gambaran pesimis, namun kemudian mendorong negara ASEAN untuk lebih realistis guna mencari solusi agar terlaksananya integrasi ekonomi. Sepertinya MEA merupakan suatu tantangan baru bagi negaranegara anggota ASEAN yang harus dicoba untuk tercapainya pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, David Parsons mencoba menggambarkannya dalam sebuah artikel yang berjudul Challenges to Achieving ASEAN Economic Community. Pandangan positif diberikan pada dua perjanjian internasional dalam kerangka ASEAN yang sangat penting guna terlaksananya MEA, yaitu ATIGA dan ACIA. Dua perjanjian dimaksud dianggap baik dan penting untuk perkembangan dunia bisnis. Namun demikian, implementasi perjanjian internasioal tersebut bukan merupakan hal yang mudah bagi negara-negara anggota ASEAN, khususnya dalam menyerap semua informasi
dan
juga
memanfaatkan
kesempatan
pad
saat 141
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
mengimplementasikan kedua perjanjian dimaksud. Tantangan lain bagi sebagian negara anggota ASEAN adalah untuk meningkatkan angka perdagangan dan investasi di negara masing-masing guna mencapai kondisi MEA yang baik. Pandangan ASEAN sebagai single market dalam buku ini ditulis oleh Martin Hutagalung. Dalam artikelnya, Martin mengungkapkan bahwa tantangan terbesar bagi ASEAN adalah untuk menyakinkan sektor swasta bahwa ASEAN serius untuk merealisasikan MEA 2015 secara menyeluruh termasuk semua perjanjian internasional yang terkait. Artikel ini memberikan gambaran bagaimana dunia bisnis memberikan pandangan terhadap ASEAN sebagai sebuah pasar. Penulis artikel memberikan dua rekomendasi terhadap hal tersebut, yaitu bahwa Sekretariat ASEAN harus lebih aktif dalam memberikan informasi kepada sektor swasta mengenai Piagam ASEAN, ACIA, ATIGA, dan perjanjian-perjanjian lainnya yang berhubungan, yang akan memberikan manfaat bisnis. Rekomendasi selanjutnya adalah terkait publikasi mengenai hukum dan regulasi yang ada di negara-negara anggota ASEAN yang berhubungan dengan masalah ekonomi. Hal ini sangat penting bagi pelaku bisnis untuk mengetahui hukum dan regulasi yang berlaku di negara-negara anggota ASEAN. Dua artikel terakhir ditulis oleh editor buku ini dengan judul A Miscellany of Trade Issues dan Policy Issues for ASEAN Countries. Kedua artikel ini sepertinya merupakan benang merah dari beberapa artikel yang sudah dibahas sebelumnya. Beberapa hal baru dalam isu perdagangan 142
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
internasional misalnya adalah pada mulanya hanya halangan tarif, namun sekarang isunya sudah menjadi halangan nontarif. Selain itu, tanggung jawab sektor swasta dan korupsi merupakan isu-isu tambahan dalam perdagangan di ASEAN. Artikel yang terakhir mengenai Policy Issues for ASEAN Countries merupakan garis besar dari artikel-artikel sebelumnya, yaitu membahas bagaimana pelaksanaan dari status hukum ASEAN. Kemudian bahwa untuk menjamin terlaksananya perjanjian-perjanjian ASEAN diperlukan pengawasan serta pembahasan mengenai beberapa hambatan serta hubungan antara negara-negara anggota ASEAN dan sektor swasta. Memahami ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional, khususnya setelah piagam ASEAN diberlakukan sehingga memberikan banyak perubahan dan juga status hukum yang berbeda bagi ASEAN, bukan merupakan suatu hal yang mudah. Begitu juga untuk memahami MEA dengan dua perjanjiannya, yaitu ATIGA dan ACIA. Namun demikian, melalui buku ini para pembaca diharapkan dapat memperoleh jawaban mengenai bagaimana ASEAN seharusnya bekerja setelah berlakunya Piagam ASEAN, khususnya bagaimana ASEAN dapat mencapai integrasi ekonomi dalam bentuk MEA.
143
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
GLOSSARY
Dyan Radin Swastika, S.H. Venture Capital: money provided by investors to startup firms and small businesses with perceived long-term growth potential. This is a very important sources of funding for startups that do not have access to capital markets. It typically entails high risk for the investor, but it has the potential for above-average returns.
Fund Passport: an economic initiative to provide regional managemnet of funds throughout member states of a international organization.
Equity fund: a fund that invested in stocks. It is typically invested in stocks, with some amount of cash, which generally quite small, as opposed to bonds, notes, or other securities. The objective of an equity funds may focus on a certain sector of the market or may be geared toward a ceratin level of risk. Stock funds can be distiguished by several properties. It can be calssified by value or growth. It may focus on some size of a company, or involve some component of stock picking which is actively managed, whereas index funds usually mirror specific stock market indices.
144
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Portfolio company: a company or entity in which a venture capital firm, buyout firm, holding company, or other investment fund invests. All of the companies currently backed by a private equity firm can be spoken of as the firm’s portfolio.
Leverage funds: finance assets that used as investment startegy of using borrowed money to generate outsize investment returns. The assets can be acquired from multiple sources, such as broker funds, securities, banks, and other sources. While leverage magnifies profits when returns from the asset more than offset the costs of borrowing, losses are magnified when it incurred. Those risks may be attributed to a loss in value of collateral assets, which may happen exactly when there is little market liquidity and sales by others are depressing prices. However, the risk can be mitigated by negotiating the terms of leverage, by maintaining unused room for additional borrowing, and by leveraging only liquid assets.
Broadband: a wide bandwidth data transmission with an ability to simultaneously transport multiple signals and traffic types. The medium can be coaxial cable, optical fiber, twisted pair, as well as wireless broadband.
Customs Union: a stage of multinational integration, during which the member states agree, by treaty, to refrain from imposing any customs duties, charges having equivalent effect or quantitative restrictions on each 145
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
other and to adopt an external common customs tariff in their relations with third countries. The common customs tariff implies not only a common customs policy but also a common foreign trade policy. Furthermore, the freedom of movement is applicable in a customs union regardless of the origin of goods, thus eliminating customs controls at internal borders.
Common Market: a market comprised of a number of countries who have agreed to have common policies about regulation, and where there is free movement of labor and capital. The idea is that the movement of labor, capital, goods and services should be as free between member countries as it is within any one of them.
146
JURNAL OPINIO JURIS
“
Vol. 18 Mei – September 2015
Law and order exist for the purpose of establishing justice and when they fail in this purpose they become the dangerously structured dams that block the flow of social progress.
”
Martin Luther King, Jr
147
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
TENTANG PENULIS Siti Ramdani, A. Md. Penulis adalah lulusan Diploma Fakultas Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Sebelas Maret. Saat ini penulis bekerja sebagai periset independen dibidang ekonomi kemasyarakatan dan pembangunan berkelanjutan. Yusuf Ausiandra S.H. LL.M. Beliau memperoleh gelar Master dari Erasmus Mundus di bidang Transnational Trade dan Master dari Unievrsity Strasbourg di bidang Banking and Finance Law. Penulis sebelumnya bekerja di di Firma Hukum ABNR dan sedang menyelesaikan studi S3 di College Doctoral Europeen de Strasbourg. M. Ajisatria Suleiman, S.H., LL.M, MLE. Beliau adalah konsultan independen yang bergerak di bidang kebijakan publik dan administrasi negara dan merupakan dosen tetap hukum bisnis di Universitas Podomoro. Penulis merupakan lulusan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum UI dan LL.M serta MLE di Erasmus University Rotterdam dan University of Hamburg sebagai Erasmus Mundus Scholar. A.P. Edi Atmaja, S.H., M.H. Penulis adalah lulusan Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro yang saat ini bekerja sebagai tenaga ahli di BPK RI Provinsi Riau. Prita Amalia, S.H. M.H. Prita Amalia adalah lulusan S2 Fakultas Hukum Universitas Padjajaran pada tahun 2009. Saat ini beliau mengajar di bidang Hukum Perdagangan 148
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Internasional sekaligus menjabat sebagai Lektor Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.
149
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18 Mei – September 2015
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Jurnal Opinio Juris menerima tulisan dengan tema hukum internasional, perjanjian internasional, diplomasi, hubungan internasional, dan isu-isu dalam negeri yang memiliki dimensi hukum dan perjanjian internasional. Ketentuan Penulisan: 1. Panjang tulisan 10—20 halaman kertas A4 (termasuk abstraksi, isi, catatan kaki, dan daftar pustaka), format MS Word, spasi satu setengah, font Times New Roman ukuran 11. Untuk catatan kaki, spasi satu dan font Times New Roman ukuran 10; 2. Tulisan dapat dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris; 3. Setiap naskah harus disertai abstraksi maksimal 1 halaman A4. Untuk tulisan dalam bahasa Indonesia, abstraksi dibuat dalam bahasa Inggris dan untuk tulisan dalam bahasa Inggris, abstraksi dibuat dalam bahasa Indonesia. Jumlah kata abstraksi sekitar 100 kata. 4. Rujukan dibuat dalam bentuk catatan kaki (footnote); 5. Tulisan harus asli dari penulis, belum pernah diterbitkan, dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain; 6. Untuk setiap naskah yang masuk, redaksi berhak mengedit dengan tidak mengubah maksud dan isi tulisan; 7. Apabila diperlukan, redaksi akan memberikan masukan dan rekomendasi kepada penulis tentang tulisan yang dikirim; 8. Setiap naskah yang dikirim harus disertai daftar riwayat hidup singkat penulis (curriculum vitae) yang setidak-tidaknya terdiri dari pekerjaan, pendidikan, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi; 9. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan akan mendapatkan kompensasi finansial; 10. File naskah beserta kelengkapan lainnya dapat dikirim ke email Redaksi. 11. Keputusan untuk menerbitkan atau menolak penerbitan suatu naskah berada pada redaksi dengan tidak dapat diganggu gugat. Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Interansional Kementerian Luar Negeri Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat Telp: +62 21 3846633 Fax: +62 21 3858044 Email:
[email protected] http://pustakahpi.kemlu.go.id/
150